BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE MENUMPAS ANGKARA MURKA


https://matjenuhkhairil.blogspot.com


MENUMPAS 

ANGKARA MURKA

oleh Fredy S.

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

Sebagian atau seluruh isi buku ini 

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Fredy S.

Serial Pendekar Gagak Rimang 

Dalam episode : 

Menumpas Angkara Murka

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


SATU


Desa Babakan Hijau sebenarnya 

adalah sebuah desa yang indah dan 

permai. Para penduduknya sebagian 

besar bertani, juga tak sedikit yang 

berniaga. Semua penduduk saling tolong 

menolong dan bantu membantu.

Kehidupan di Desa Babakan Hijau 

penuh kedamaian dan keikhlasan satu 

sama lain. Mereka saling kasih 

mengasihi. Penuh rasa cinta yang 

mendalam sebagai sesama umat manusia.

Namun akhir-akhir ini desa yang 

semula permai dan damai itu, kini 

begitu mencekam. Karena di desa itu 

telah berdatangan orang-orang dari 

gerombolan yang kejam. Mereka 

menamakan diri Gerombolan Golok Hitam!

Dan secara lambat laun, 

gerombolan itu pun menguasai seisi 

desa. Namun untungnya, mereka hanya 

sekali-sekali saja datang kesana. 

Menurut kabar, gerombolan itu bermukim 

di Bukit Siguntang yang terletak cukup 

jauh dari Desa Babakan Hijau. Tetapi 

meskipun demikian, orang-orang di Desa 

Babakan Hijau tak sepenuhnya bisa 

tenang. Karena sekali-sekali orang-

orang kejam itu bermunculan. Dan 

setiap kali mereka muncul, pasti ada 

saja keributan yang mereka perbuat.

Orang-orang dari gerombolan itu


terdiri dari orang-orang yang kejam. 

Mereka masing-masing memiliki ilmu 

silat yang rata-rata cukup tinggi. 

Hingga saat ini para penduduk di Desa 

Babakan Hijau tak ada yang berani 

mengusik mereka bila mereka datang.

Begitu pula dengan Ki Lurah Sen 

Kawung yang hampir setiap malam 

membahas masalah Gerombolan Golok 

Hitam di balai desa. Namun rata-rata 

mereka mengalami jalan buntu karena 

tak ada yang berani mencoba untuk 

menghalau atau pun mengusir orang-

orang kejam itu.

Pernah Ki Lurah Sen Kawung sekali 

waktu nekad untuk mengusir orang-orang

itu dengan mengerahkan penduduk yang 

mempunyai sedikit mental, namun mereka 

tak berdaya apa-apa ketika orang-orang 

Gerombolan Golok Hitam itu mengamuk. 

Malah banyak warganya yang meninggal 

atau pun luka parah.

Itulah sebabnya hingga saat ini, 

Ki Lurah Sen Kawung tak lagi mencoba 

untuk menentang sepak terjang mereka. 

Malah seakan dia memberikan kebebasan 

pada orang-orang Golok Hitam. Tak ada 

jalan lain lagi, daripada mereka semua 

mati dibantai oleh orang-orang kejam 

itu.

Yang penting, orang-orang itu 

tidak setiap hari berdatangan ke Desa 

Babakan Hijau. Ini masih memberikan 

mereka sedikit bisa bernafas lega.


Tetapi bila orang-orang itu berda-

tangan, kesunyian yang mencekam akan 

terasa menggigit setiap jantung 

penduduk.

Dan Ki Lurah Sen Kawung hanya 

bisa mendesah panjang saja bila 

melihat keonaran itu terjadi. Dia 

sudah tidak kuasa lagi untuk menentang 

gerakan orang-orang.

Dan pagi ini lima orang dari 

anggota gerombolan perampok Golok 

Hitam sedang berjalan ke sebuah rumah 

makan yang cukup ramai. Di Desa 

Babakan Hijau, tepatnya di tengah desa 

sebenarnya cukup banyak terdapat rumah 

makan yang lebih besar dan mewah. 

Namun sebagian besar laki-laki 

nampaknya lebih senang untuk makan di 

warung yang terletak di sudut jalan 

itu.

Semua itu disebabkan oleh Roro 

Dewi, putri sang pemilik warung yang 

berwajah cantik jelita. Kulitnya 

kekuningan, menandakan hawa gunung 

yang kerapkali menerpanya telah akrab 

dengan kulitnya. Usianya kira-kira 

baru 17 tahun. Dia memiliki sepasang 

mata yang hitam dan jernih.

Alisnya pun hitam bak semut 

beriring. Bibirnya yang mungil memerah 

dengan hidung bangir di atasnya, 

menambah kesempurnaan dari sosok tubuh 

Roro Dewi. Tubuhnya pun sedang mekar-

mekarnya. Dengan sepasang buah dada


yang gempal seakan ingin menampakkan 

kemekarannya. Dia adalah bunga Desa 

Babakan Hijau, sekaligus bunga rumah 

makan milik ayahnya.

Sekali-sekali Roro Dewi suka pula 

melayani para pengunjung rumah makan 

milik ayahnya itu, dan inilah yang 

membuat para pengunjung menjadi senang 

dan kerapkali menyempatkan diri untuk 

berkunjung di sana.

Bagi mereka, bukan makanannya 

yang menjadi sasaran utama, tetapi 

melihat kecantikan wajah dan keelokan 

tubuh Roro Dewilah yang menjadi tujuan 

utama mereka. Di samping memang 

hidangan yang ada di sana cukup lezat.

Dan setiap kali anggota 

Gerombolan Golok Hitam berkunjung ke 

sana, Roro Dewi diharuskan berada di 

sana dan melayani mereka. Sudah tentu 

ini sebenarnya merupakan satu siksaan 

bagi Roro Dewi, karena dia tidak 

pernah menyukai orang-orang yang kejam 

itu. Di samping itu pula, tangan-

tangan mereka suka amat jahil sekali 

hinggap pada bagian-bagian tubuhnya 

yang sensitif. Terasa amat menyiksa 

sekali. Namun mau tidak mau dia memang 

harus melakukannya. Karena kuatir 

orang-orang itu marah. Dan rumah makan 

milik ayahnya bisa dibuat porak 

poranda. Berani menentang keinginan 

Gerombolan Golok Hitam, maka mautlah 

taruhannya!


Dan semua itu dilakukan dengan 

pasrah saja oleh Roro Dewi. Kepasrahan 

yang sebenarnya amat dibencinya, 

karena dia ingin sekali-sekali 

berontak dari kungkungan orang-orang 

biadab dan kejam itu!

Kelima orang anggota Gerombolan 

Golok Hitam itu kini nampak berdiri di 

muka halaman rumah makan itu. Membuat 

orang-orang yang sedang makan menjadi 

melirik dengan cukup kecut. Apalagi 

ketika kelimanya dengan masih terbahak 

mereka memasuki rumah makan itu dengan 

sikap angkuh dan sombong.

Dan tertawa-tawa menduduki tempat 

yang nampaknya sejak tadi tidak pernah 

diduduki oleh pengunjung yang lain. 

Terlihat jelas kalau tempat itu 

sepertinya memang disediakan khusus 

untuk orang-orang Golok Hitam.

Salah seorang dari sekian banyak 

orang yang sedang menikmati makan pagi 

di rumah makan itu, terlihat satu 

sosok tubuh bercaping sedang asyik 

pula menikmati makannya. Sosok itu 

berpakaian putih-putih yang ringkas. 

Dan di punggungnya terdapat sebuah 

golok yang sarungnya nampak terbuat 

dari batang kayu yang berlapiskan 

timah kuning.

Wajah yang sebagian tertutup oleh 

caping itu hanya mendengus saja 

melihat kesombongan lima orang laki-

laki bertubuh besar yang baru datang


itu.

"Hmm... siapa mereka?" desisnya 

dalam hati. Tetapi kemudian orang yang 

mengenakan caping itu mengambil sikap 

tidak perduli. Santai saja dia 

menikmati makannya.

Dia tak lain adalah Pandu atau 

Pendekar Gagak Rimang yang sedang 

singgah di Desa Babakan Hijau. Murid 

tunggal Eyang Ringkih Ireng dari 

Gunung Kidul hanya sekilas memperha-

tikan sikap kelima orang itu, yang 

langsung tidak berkenan di hati-nya. 

Tetapi dia pun tidak perduli, buat apa 

memperdulikan mereka, toh aku tidak 

punya silang sengketa dengan mereka.

Namun sikap tak acuh dan santai 

yang diperlihatkan oleh murid Eyang 

Ringkih Ireng itu, lain halnya dengan 

para pengunjung lainnya. Mereka 

mendadak saja terlihat tidak bisa 

bersikap santai seperti tadi. Malah 

kini mereka terlihat amat terburu-buru 

dengan sekali-sekali melirik orang-

orang itu dengan wajah ketakutan.

Lalu terlihat pula perlahan-lahan 

satu per satu meninggalkan tempat itu. 

Bahkan ada yang belum sempat 

menghabiskan hidangannya sudah mening-

galkan tempat. Dan bergegas pula 

membayar. Semua itu disebabkan karena 

mereka tahu siapa orang-orang Golok 

Hitam itu yang seringkali membuat 

onar.


"Hei... mengapa jadi terburu-buru 

cara mereka makan?" tanya Pandu dalam 

hati yang melihat orang-orang di sana 

berkeliaran meninggalkan tempat itu.

Kini pandangan di rumah makan itu 

memang tidak terlihat seperti tadi. 

Hanya tinggal beberapa orang saja yang 

berani nekad meneruskan makannya. 

Termasuk Pandu yang kemudian tidak 

acuh kembali. Menikmati terus 

hidangannya dengan nikmat dan tak 

perduli.

Tiba-tiba salah seorang dari 

kelima orang itu yang masing-masing di 

pinggang mereka terdapat sebilah golok 

tebal dengan sarung yang terbuat dari 

kulit berwarna hitam, berseru-seru 

sambil menggebrak-gebrak meja. 

Perbuatannya nampak kasar sekali. 

Tetapi tak seorang pun yang berani 

menghalanginya, bahkan meliriknya. 

Mereka seolah tidak merasa terganggu 

oleh suara berisik yang ditimbulkan 

akibat meja yang dipukul-pukul.

Hanya Pandulah yang mengerutkan 

keningnya, karena merasa makannya 

menjadi terganggu.

"Siapa sebenarnya mereka ini? 

Nampak sekali kalau orang-orang di 

sini takut pada mereka? Hmm... baiknya 

kulihat saja apa yang akan dilakukan 

oleh mereka di sini."

Orang itu masih berseru-seru.

"Hei, Wayan Tua! Wayan Tua!!"


Keras. sambil menggebrak meja. 

"Mengapa kau bersembunyi saja, hah?! 

Cepat keluar!! Hidangkan makanan yang 

terlezat untuk tamu-tamumu yang 

terhormat ini!! Wayan Tua! Ke mana kau 

sembunyikan batang hidungmu, hah?! 

Keluar cepat!!"

Suara itu menggelegar dengan 

keras.

Pandu mendesis dalam hati. 

"Sombong! Aku jadi penasaran siapa 

sebenarnya mereka ini?"

"Wayan Tua!! Keluar cepat!!"

Suara itu kembali menggelegar. 

Pemilik rumah makan yang bernama Wayan 

Tua, terburu-buru ke luar sambil 

membungkuk-bungkuk.

Jelas sekali kalau dia begitu 

hormat dan ketakutan menghadapi para 

tamunya ini.

"Selamat datang, Tuan... selamat 

datang.,.." sapanya dengan nada takut-

takut dan rasa hormat yang luar biasa. 

Bungkukannya seolah dia membungkuk 

pada seorang raja. "Maaf... maafkan 

saya, Tuan... baru bisa keluar 

sekarang.... Saya... saya... ah, saya 

sibuk, Tuan...."

Pandu bergumam kepada diri 

sendiri. Hmm... rasanya aku menangkap 

gelagat tidak baik yang sedang terjadi 

di desa ini. Ada apa gerangan? Baiknya 

aku lihat saja apa yang terjadi 

kemudian... Benar-benar membuatku


penasaran...."

Orang-orang itu tertawa melihat 

rasa hormat dan ketakutan yang 

diperlihatkan Wayan Tua. Yang 

berteriak tadi berkata lagi. Dia 

bernama Penggekrawung. Wajah seram. 

Penuh bintik-bintik kecil seperti 

jerawat.

"Cepat kau hidangkan untuk kami 

makanan yang termahal dan terlezat! 

Dan jangan lupa... berapa kendi arak 

yang terlezat!"

"Baik, baik.... Tuan...."

Wayan Tua akan berbalik lagi ke 

dapur, tetapi tangan Penggekrawung 

dengan cepat meraih tangannya.

"Hei, mau kemana kau?!" 

bentaknya.

"Ke... ke belakang, Tuan...." 

kata Wayan Tua sambil tetap 

membungkuk.

"Mau apa?!"

"Meng... menghidangkan makanan 

untuk tuan-tuan sekalian. Bukankah 

begitu, Tuan?"

Penggekrawung tertawa ngakak.

"Ha ha ha... kau pikir kami mau 

menikmati pelayananmu, Wayan Tua?! Ha 

ha ha... tidak, kami tidak ingin 

dilayani olehmu, Wayan Tua...."

Wayan Tua terburu-buru berkata, 

"Iya... iya... maafkan saya, Tuan... 

pelayan saya yang akan melayani tuan-

tuan...."


Tiba-tiba Penggekrawung mengeram. 

"Kau sudah lupa dengan segala 

kebiasaan kami, Wayan Tua! Kau sudah 

lupa?!" 

"Saya... saya...."

"Hhh! Mana putrimu si Roro Dewi? 

Kenapa dia tidak keluar untuk 

menyambut kedatangan kami, hah? Mana 

dia? Suruh cepat ke luar! Atau... kami 

obrak-abrik rumah makan ini? Cepat, 

Wayan Tua!!"

. "Ma... maafkan saya, Tuan. 

Putri saya Roro Dewi belum pulang dari 

belajar menari...."

"Hei, sejak kapan dia belajar 

menari, hah?! Kau jangan coba-coba 

menipu kami, Wayan Tua?!"

"Sungguh, Tuan... sungguh... baru 

seminggu lamanya dia belajar menari."

Penggekrawung terbahak.

"Aduh, Dewiku... rupanya kau 

belajar menari, ya? Hhh! Di mana dia 

belajar, hah?!"

"Di Padepokan Melati Putih milik 

Nyai Ratih Alas Kembang, Tuan..." 

sahut Wayan Tua hormat. Penggekrawung 

terbahak.

"Ha ha ha... Nyai Ratih Alas 

Kembang... bagus, bagus... kalau 

begitu aku tidak marah. Ya, ya... 

mudah-mudahan dari hasil belajar 

menarinya tubuhnya semakin indah untuk 

dipandang. Hhh! Wayan Tua... cepat 

hidangkan masakan yang telah kami


pesan."

Wayan Tua terburu-buru masuk ke 

dalam. Kelima orang itu tertawa keras, 

merasa lucu karena orang itu nampak 

begitu ketakutan. Gemetar dan pucat 

wajahnya.

"Ha ha ha... tidak seorang pun 

rupanya yang berani menghalangi semua 

perbuatan kita!" terbahak Pengge-

krawung.

"Benar, Gerombolan Golok Hitam 

akan terus menjadi momok di Desa 

Babakan Hijau!!"

Orang-orang itu terbahak.

Mendadak muncul seorang pengemis 

tua ke rumah makan itu. Tepat ketika 

hidangan yang dipesan kelimanya 

datang. Sudah tentu kelima orang itu 

menjadi gusar, karena pakaian dari 

pengemis gembel itu mengeluarkan bau 

busuk. Bisa membuat selera makan 

menjadi hilang seketika.

Salah seorang dari kelimanya 

berdiri.

"Wayan Tua!!" geramnya keras.

Dari dalam kembali Wayan Tua 

muncul dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Tuan? Ada apa?!" 

serunya takut-takut, kuatir hidangan 

yang mereka sediakan tidak mengundang 

selera bagi kelima orang itu.

"Usir pengemis itu, cepat!!"

Wayan Tua melihat ke ambang 

pintu.


"Oh, baik, Tuan... baik.,.."

Wayan Tua adalah seorang laki-

laki setengah baya yang baik hati. 

Pengemis itu memang setiap hari datang 

ke rumah makannya. Memang dia sendiri 

yang menyuruhnya datang untuk dibagi 

sisa makanan.

Dan keduanya telah menjalin 

persahabatan yang akrab.

Tetapi kali ini si pengemis 

muncul di saat kelima orang Gerombolan 

Golok Hitam datang. Dan tepat di saat 

mereka hendak makan.

Ini sangat gawat!!

Maka dengan berat hati Wayan Tua 

mengusir pengemis itu yang tentu saja 

menjadi keheranan.

"Apakah saudara telah berubah, 

Wayan Tua?" tanyanya dengan suara 

tersendat. Matanya menatap heran. Dan 

penuh bertanya-tanya.

Wayan Tua mendesah panjang. 

Sebenarnya dia tidak enak melakukan 

hal ini, namun dia pun tak mau orang-

orang Golok Hitam menjadi marah dan 

mengobrak-abrik rumah makannya.

Lalu katanya dengan suara pelan, 

"Maafkan aku, Saudara... ada baiknya 

kau pergi saja dari tempat ini 

dulu...."

"Kalau aku tidak lapar, sudah 

tentu aku tidak ke mari, Wayan 

Tua...."

"Aku mengerti, Saudara... aku


mengerti... Bahkan aku sendiri yang 

mengundangmu...."

"Lalu mengapa kau melakukan hal 

ini padaku, Wayan Tua?" 

"Aku...."

"Usir jembel itu, Wayan Tua!!" 

Terdengar seruan keras dari dalam.

Wayan Tua semakin gugup. Wajahnya 

berkeringat. Mau tak mau dia harus 

mengusirnya. Harus. Maka dengan 

bengisnya walau kelihatan gugup dan 

gemetar, dia mengusir pengemis itu. 

Hatinya pilu sekali melakukan satu

perbuatan yang tidak sesuai dengan 

hatinya.

Tetapi pengemis itu hanya berdiri 

saja mematung dengan tatapan heran. 

Tak beranjak setapak pun.

"Wayan Tua...." desisnya pelan.

"Maafkan aku, Saudara... aku 

terpaksa melakukannya...."

"Kau sampai sekejam itu, Wayan 

Tua...."

"Maaf... maafkan aku, Saudara... 

pergilah... pergilah dari sini...." 

desis Wayan Tua serba salah.

"Perutku lapar, Wayan Tua...."

"Ya, ya... aku mengerti...."

"Kau tidak kasihan padaku, Wayan 

Tua?"

"Saudara... kau... kau nanti saja 

kembali lagi ke sini...."

"Kau lebih mementingkan rumah 

makanmu daripada indahnya sebuah


persahabatan, Wayan Tua...."

Mendengar kata-kata itu hati 

Wayan Tua menjadi pilu sekali. Apa 

yang bisa diperbuatnya sekarang?

"Bukan... bukan itu maksudku... 

aku hanya meminta pengertianmu...." 

kata Wayan Tua bagai desahan belaka. 

Dia melirik ke dalam dan melihat 

Penggekrawung melotot dingin. 

"Saudara... mengertilah akan posisiku 

sekarang ini... pergilah... pergilah 

dari sini...."

"Persahabatan yang telah kita 

jalin dengan indahnya ini, harus 

terputus begitu saja... Wayan Tua... 

aku sebenarnya kemari bukan karena 

lapar dan ingin meminta makan... 

tetapi sebagai sahabat yang selalu 

rindu akan sahabatnya. Kau mengerti, 

Wayan Tua?"

"Saudaraku... mengertilah... 

kalau aku tidak menuruti perintah 

orang-orang itu... mereka akan 

mengganggu putriku yang bernama Roro 

Dewi. Aku tak mau hal itu sampai 

terjadi. Aku sangat mencintainya, 

Saudaraku.... Kuminta pengertianmu 

dalam hal ini...."

"Aku memang tidak menyesali semua 

ini... dan maafkan aku bila 

kedatanganku ini hanya menyusahkan

mu...."

"Saudara! Bukan, bukan itu 

maksudku... tetapi...."


"Bangsaaaaattt." Terdengar benta-

kan yang keras dari dalam hingga Wayan 

Tua merasakan jantungnya berhenti 

berdetak sesaat. Teman Penggekrawung 

yang bernama Rembaga, sudah berdiri di 

samping Wayan Tua. Matanya melotot 

marah kepada pengemis itu.

Tetapi si pengemis hanya berdiri 

dengan tenangnya. Sedikit pun tidak 

kelihatan ketakutan seperti yang 

dialami Wayan Tua. Di kursinya, Pandu 

yang berpura-pura masih menikmati 

hidangannya, melirik. Sejak tadi 

sebenarnya dia sudah tidak menyukai

sepak terjang orang-orang itu. Dan 

sekarang dia menduga, sesuatu akan 

segera terjadi di sini.

Makanya, bila sampai si pengemis 

mengalami hal-hal yang tidak 

mengenakan, Pandu akan siap untuk 

membantu!

Dia sendiri tidak bersimpati 

terhadap orang-orang kasar itu.

Didengarnya bentakan Rembaga.

"Jembel hina! Tidak tahu diri! 

Mengapa kau masih berada di sini, 

hah?!"

Tetapi pengemis itu tetap ter-

diam. Wayan Tua menjadi semakin 

kebingungan. Dia kuatir terjadi hal 

yang mengenakan terhadap si pengemis 

yang menjadi sahabatnya. Wayan Tua pun 

menyesali mengapa si pengemis datang 

di saat orang-orang Gerombolan Golok


Hitam hendak makan.

Melihat sikap diam yang 

diperlihatkan si pengemis, membuat 

Rembaga menjadi naik pitam.

"Jembel busuk! Cepat pergi dari 

sini sebelum kemarahanku memuncak!!"

Tetapi si pengemis tetap diam 

saja. Hanya menatap Rembaga dengan 

tatapannya yang menua dan sendu. Hal 

ini membuat Rembaga semakin naik 

darah.

Ia seakan diledek dengan tatapan 

seorang jembel hina macam pengemis 

itu. Dan dia merasa, semua itu harus 

dibayar dengan kekerasan atau... nyawa 

sebagai taruhannya!!

"Jembel busuk!! Cepat pergi dari 

sini... atau... kubunuh kau!!"

Tetapi si pengemis tetap saja 

berdiri di hadapannya. Hal itu membuat 

Wayan Tua menjadi ketakutan. Dan dia 

tidak tahu apa yang akan diperbutnya.

Sementara Pandu semakin ber-

waspada.

Dan melihat sikap si pengemis 

yang nampak keras kepala membuat 

Rembaga tidak kuasa lagi untuk menahan 

amarahnya.

"Bangsat!!"

Dan dengan tiba-tiba saja 

tangannya sudah bergerak. 

"Des!!"

Dengan keras kepalan itu mengenai 

wajah si pengemis yang langsung


terhuyung dengan bibir berdarah. 

Tetapi sedikit pun tak keluar keluhan 

atau jeritan kesakitannya.

Hal ini makin membuat Rembaga 

naik pitam.

"Bangsat kau, Jembel hina!!"

Kembali dia menggerakkan 

tangannya!

Wajahnya murka memerah. Keme-

rahannya sudah naik keubun-ubun 

melihat si pengemis itu. Dan dia 

merasa tak ada ampun lagi bagi si 

pengemis untuk bisa menghindari 

dirinya.

Tangannya pun siap untuk 

menghajar kembali!

"Des!"

Kembali pukulannya menghantam 

wajah si pengemis. Bibir itu semakin 

berdarah, namun tak sepatah kata 

mengaduh pun yang ke luar dari bibir 

yang berdarah itu.

Wayan Tua mendesah pilu. Dia 

bermaksud hendak menolong, tetapi 

kuatir dengan Rembaga yang akan 

berbalik marah padanya. Dia hanya 

berdiri dengan sikap serba salah.

Dia hanya memekik menahan pilu 

melihat dengan telengasnya Rembaga 

menjatuhkan tangan dingin pada 

pengemis itu, yang menerima tanpa 

mampu membalas. Dan hanya menahan rasa 

sakitnya tanpa mengeluarkan seruan 

kesakitan sedikit pun.


Sudah tentu Rembaga yang sedang 

naik pitam itu menjadikan si pengemis 

bulan-bulanannya. Tinju dan 

tendangannya pun berulangkali mengenai 

bagian-bagian tubuh si pengemis.

Yang jatuh bangun dibuatnya.

Wayan Tua sendiri sudah tidak 

tahan melihat perlakuan Rembaga pada 

sahabatnya itu. Dia buru-buru berlari 

ke dalam dan bersembunyi di kamarnya 

dengan perasaan bersalah yang amat 

sangat.

Mengapa dia tidak berani 

membantu? Mengapa dia harus mengusir 

sahabatnya? Mengapa dia membiarkan 

sahabatnya dijadikan bulan-bulanan 

seperti itu?

Ah, semua ini gara-gara orang-

orang kejam itu. Orang-orang yang 

sepak terjangnya melebihi binatang! 

Bila saja dia tidak mempunyai putri 

seperti Roro Dewi, tentunya dia tidak 

akan pernah mengalami hal susah 

seperti ini.

Wayan Tua akan menyayangi 

putrinya. Dan dia tidak mau putrinya 

diganggu orang-orang itu.

Ah, persahabatan yang indah itu 

pun terputus gara-gara orang-orang 

kejam itu! Wayan Tua amat menyesali 

semua yang terjadi.

Diluar, si pengemis masih 

dijadikan bulan-bulanan oleh Rembaga. 

Teman-teman Rembaga pun ikut


mempermainkan si pengemis. Mereka

tertawa-tawa seperti tengah memainkan 

satu permainan yang mengasyikan. Si 

pengemis benar-benar dijadikan bola 

oleh mereka.

Dia dihajar ke sana ke mari 

hingga terhuyung-huyung.

"Ha ha ha... lebih baik kau 

mampus saja, Jembel busuk!!" bentak 

Rembaga sambil menendang si pengemis. 

Tubuh tua itu pun terhuyung dan salah 

seorang temannya siap menyambut tubuh 

itu dengan satu tendangan.

Namun mendadak saja dia merasakan 

tubuhnya kaku. Dan ambruk seperti 

pohon pisang.

Sudah tentu teman-temannya 

terkejut melihat hal itu. 

Penggekrawung bergegas memeriksa tubuh 

temannya. Dia menemukan sebuah totokan 

di salah satu urat belakang kawannya.

Sebuah totokan yang sangat hebat.

Dilakukan dari jarak jauh. Dan 

hanya seorang yang mempunyai tenaga 

dalam yang tinggi saja yang mampu 

melakukan hal itu.

Penggekrawung lebih lebih 

terkejut lagi setelah menemukan sebuah 

tusuk gigi di dekat tubuh kawannya 

yang ambruk kaku itu.

Luar biasa! Hanya dengan tusuk 

gigi temannya ditotok dari jarak jauh!

Penggekrawung menggeram marah.

"Bangsat! Siapa yang melakukan


hal ini?!"

Teman-temannya pun kaget. Mereka 

mengerumuni tubuh kawannya yang kaku 

itu. Mereka seakan melupakan si 

pengemis yang tadi dijadikan bulan-

bulanan.

"Bukan main! Yang melakukannya 

hebat sekali!"

"Pasti berilmu tinggi!"

"Dan hanya dengan tusuk gigi dia 

dapat melakukannya!!"

Seruan-seruan itu terdengar dari 

mulut mereka yang mau tak mau menjadi 

kagum pula. Satu pameran tenaga dalam 

yang hebat diperlihatkan seseorang 

yang menotok dari jarak jauh itu.

Penggekrawung menggeram jengkel. 

Dia segera membebaskan temannya dari 

totokan itu.

Semua disangkanya demikian mudah. 

Namun setelah berkali-kali dia 

melakukannya, temannya itu belum juga 

terbebas dari totokan itu.

"Bangsat!!" makinya dan berusaha 

kembali. Wajahnya mendadak keluar 

keringat.

Dia pun berusaha sekuat tenaga. 

Setelah dia mengeluarkan tenaga 

dalamnya hampir semua yang dimili-

kinya, barulah totokan itu berhasil 

dibebaskan.

"Anjing buduk! Siapa yang mau 

jual tampang padaku seperti ini?!" 

makinya geram. Dia mengalirkan sedikit


tenaga dalamnya pada temannya itu, 

yang langsung merasakan kaku di 

tubuhnya sebagian menghilang.

Setelah itu dia bergegas masuk ke 

dalam, menduga-duga siapa kiranya yang 

telah melakukan totokan itu.

Ada empat orang laki-laki di 

rumah makan itu. Dan kesemuanya sudah 

selesai menikmati hidangan.

Salah seorang dengan santainya 

bangkit hendak membayar namun tiba-

tiba Penggekrawung mencabut golok dari 

pinggangnya dan meloncat ke hadapan 

orang itu. Mengacungkannya di wajah 

orang itu dengan tatapan garang.

"Jawab yang jujur! Kepandaian apa 

yang kau gunakan untuk menotok 

temanku!"

Sudah tentu orang itu menjadi 

ketakutan. Dia yang tidak tahu apa-apa 

menjadi sasaran.

"Katakan cepat!"

"Apa... apa yang telah saya 

lakukan," desisnya ketakutan dengan 

wajah pucat. 

"Jangan pura-pura! Nanti kutebas 

lehermu!"

"Saya... saya...."

"Bangsat hina!!" Penggekrawung 

mengangkat tangannya, dan mengibaskan 

goloknya dengan kejam.

Tetapi mendadak sebuah sendok 

melayang dan menghalangi laju kibasan 

golok itu. Lemparan yang penuh dengan


sentakan tenaga, dan hanya bisa 

dilakukan oleh seseorang yang ahli, 

karena lemparan itu begitu tepat di 

tepi tajamnya golok Penggekrawung.

"Trang!"

Penggekrawung sendiri terkejut, 

karena golok yang dipegangnya sampai 

bergetar.

Teman-temannya yang sudah masuk 

pun terkejut melihat hal itu. Dan yang 

mengherankan, mereka tak melihat siapa 

yang telah melemparkan sendok itu!

Sementara itu si orang tadi yang 

nasibnya sudah di ambang maut, segera 

melarikan diri ketika mendapat 

kesempatan. Begitu pula dengan yang 

lain. Satu persatu dengan hati-hati 

mereka meninggalkan tempat itu dengan 

bergegas.

Dan tinggal Pandu yang juga 

sedang bersiap-siap. Di dekatnya, 

kelima anggota gerombolan itu saling 

pandang. Hanya seorang yang berani 

masih bertahan di sini. Dan tanpa 

dikomando serentak mereka mendekati 

Pandu.

Dan mengurungnya dengan sikap 

angker.

Pandu masih tenang saja, tak 

sedikit pun nampak kepanikan di 

wajahnya yang ganteng. Ia mengangkat 

kepalanya dan tersenyum kepada orang-

orang itu.

Penggekrawung menggeram, di


sangkanya pemuda ini akan langsung 

tunduk.

"Hhh!" dengusnya marah.

Pandu masih tetap tersenyum.

"Maaf, Tuan-tuan yang perkasa. 

Saya hendak pergi dari sini," katanya 

hormat.

"Bangsat! Siapa kau orang muda?! 

Begitu lancang kau terhadap kami! Kau 

belum tahu rupanya nama Gerombolan 

Golok Hitam!"

Pandu masih tetap tenang.

"Yah... saya baru mengetahuinya 

sekarang. Maafkan saya, Ki Sanak. Saya 

hendak membayar apa yang telah saya 

makan."

"Bangggsaaat!!" Tanpa banyak 

cakap lagi, Penggekrawung menyabetkan 

goloknya ke arah leher Pandu. 

Gerakannya sangat cepat dan bertenaga.

Tetapi dengan mudah saja Pandu 

bersalto menghindari serangan itu. Dan 

tanpa membalikkan tubuhnya melemparkan 

dua keping uang yang tepat masuk ke 

tempat penyimpanan uang di kasir itu.

Orang-orang itu terkejut.

"Kakang Penggekrawung!" seru 

Rembaga setelah pulih dari keter-

kejutannya. "Pemuda lancang itu yang 

telah membuat ulah!"

Penggekrawung sendiri juga 

tanggap. Dia cepat berkelebat 

mengurung Pandu yang sudah berada di 

halaman depan rumah makan itu. Teman


temannya pun mencabut golok mereka 

masing-masing.

Pandu memperhatikan dengan 

tatapan tenang.

"Ada apalagi ini, Ki Sanak? 

Apakah kalian belum puas menghajar 

pengemis itu!" seru Pandu sambil 

menunjuk si pengemis yang masih 

tergeletak di tanah dengan tubuh penuh 

luka dan darah.

"Aku tak suka banyak cakap, Anak 

muda? Siapa kau sebenarnya, heh?"

"Namaku Pandu...."

"Hhh! Kau sudah berani lancang 

terhadap kami! Kau mengganggu 

kesenangan kami! Bersiaplah untuk 

mampus sekarang juga!"

Penggekrawung benar-benar seorang 

yang pemarah. Dia langsung bergerak 

dengan sabetan goloknya. Kembali Pandu 

menghindari serangan itu. Kali ini 

hanya memiringkan tubuhnya. Melihat 

serangan kakangnya luput, yang lain 

pun segera mengibaskan senjata mereka 

masing-masing. Namun kembali Pandu 

memperlihatkan kelincahannya dalam 

berkelit.

Dia telah mengeluarkan jurus 

berkelitnya yang ampuh, Kijang Kumala. 

Serangan-serangan golok itu berkali-

kali tidak mencapai sasaran. Bahkan 

terasa kalau orang-orang itu hanya 

membuang-buang tenaga saja. Pandu 

hendak membuat orang-orang sombong itu


kapok.

Makanya dia pun mulai 

mengeluarkan jurus-jurus silatnya 

dalam tahap rendah. Pukulan Patuk 

Gagaknya yang sangat ampuh. Dalam 

gerakan yang pelan itu, lawannya saja 

sulit untuk melumpuhkannya, apalagi 

kalau sudah pada tingkat tinggi. Jurus 

Patuk Gagak Rimangnya bisa berkelebat 

dengan cepat. Pandu hanya mengandalkan 

jurus berkelitnya saja yang bagai 

seekor kijang menghindari sergapan 

pemburu. Begitu tangkas dan lincahnya.

"Ha ha ha. inikah anggota 

Gerombolan Golok Hitam yang ditakuti 

itu?" ejek Pandu sambil menghindari 

sambaran golok lawan-lawannya.

Orang-orang itu semakin geram, 

terutama Penggekrawung. Wajahnya merah 

padam karena marahnya sudah membludak. 

Ingin dicincang saja pemuda bangsat 

ini.

Tetapi sampai sekian jurus,

keadaan belum berubah. Pandu masih 

mempermainkan lawan-lawannya.

Namun ketika dilihatnya matahari 

sudah mulai menukik, barulah dia 

memberikan sedikit hajaran pada lawan-

lawannya.

"Des! Des!"

Dua orang ambruk terkena 

pukulannya.

Dan dengan cepat dia menghajar 

yang lain. Orang-orang itu bingung


melihat gerakan Pandu yang berubah 

menjadi sangat cepat.

"Des!"

"Des!"

"Des!"

Yang lain pun terhuyung dengan 

dada terasa seakan mau pecah. Begitu 

pula dengan Penggekrawung. Tetapi daya 

tahannya lumayan besar.

Dia cepat bangkit dan menerjang 

dengan pekikkan keras. Namun Pandu 

hanya perlu bersalto sekali dan 

menendang memutar hingga Penggekrawung 

tersuruk ke depan termakan tenaganya 

sendiri. Tubuhnya ambruk ke tanah 

dengan keras. Dan tidak bangun lagi. 

Orang bengis itu pingsan. Pandu 

mendengus.

"Hhh! Manusia-manusia durjana! 

Seenaknya saja berbuat dosa! Manusia-

manusia yang tak pernah mengetahui 

tingginya langit dan dalamnya bumi!"

Setelah itu Pandu cepat-cepat 

menolong si pengemis yang sekarang 

kelihatan tersenyum lega. Dia merasa 

bersyukur karena ada yang berani 

menolongnya.

Kini dia tertawa kecil melihat 

orang-orang yang menghajarnya tadi 

sudah lumpuh semua.

Wayan Tua yang mengintip dari 

dalam, buru-buru ke luar. Dia terkejut 

melihat orang-orang Golok Hitam yang 

bergeletakan di halaman depan rumah


makannya.

Ini kiamat namanya!

Berbahaya sekali.

Amat berbahaya.

Dia berpaling pada Pandu dan 

berkata gugup.

"Oh, anak muda... lekas, lekas 

kau tinggalkan tempat ini... sebelum 

teman-teman mereka datang...."

Pandu hanya tersenyum. "Bapak... 

tenanglah...." 

"Bukan begitu, Anak muda. Kau 

belum tahu siapa mereka...." 

"Saya tahu, Bapak... mereka 

orang-orang Golok Hitam yang sering 

buat onar."

"Nah, mengapa kau tidak juga 

pergi dari tempat ini setelah kau 

melakukan semuanya...?"

"Baiklah, Bapak... semua ini jadi 

urusan saya...." 

"Cepat Anak muda... cepat...." 

Pandu tidak ingin membuat Wayan 

Tua menjadi gugup dan kebingungan. 

Lalu dia menolong si pengemis itu 

bangkit dan membantunya naik ke 

kudanya. Lalu dia sendiri segera 

melompat dan duduk di belakang si 

pengemis.

Sebelum menggebrak lari kudanya 

dia berkata pada Wayan Tua yang 

menjadi ketakutan karena peristiwa 

itu.

"Bapak... bila ada apa-apa, nanti


saya yang akan bertanggung jawab...."

"Iya, iya... pergilah dari sini, 

Anak muda...."

Pandu menggebrak lari kudanya. 

Dia merasa kasihan melihat Wayan Tua 

menjadi gugup begitu. Tetapi Pandu 

tidak bisa menahan diri lagi bila 

melihat kekerasan dan kejahatan di 

depan matanya.

Kalau begitu siapa yang hendak 

disalahkan.

Dia harus menggebrak kudanya 

membawa si pengemis yang

menelungkupkan tubuhnya di dada kuda 

itu.

Sementara itu ketika Pandu dan si 

pengemis sudah menjauh, Wayan Tua 

terburu-buru masuk ke dalam dan 

menutup warungnya saat itu juga.

Dia tidak mau terjadi apa-apa. 

Dibiarkannya saja lima orang anggota 

Golok Hitam tergeletak di tanah.

Namun Wayan Tua tahu, semua ini 

pasti ada kelanjutannya. Dan dia cuma 

bisa mendesah panjang ketika ingat apa 

kelanjutan dari peristiwa ini.

Begitu menakutkan untuk 

dibayangkan!

Wayan Tua hanya bisa berdoa, agar 

peristiwa ini hanya sampai di sini. 

Tetapi mungkinkah doanya itu terkabul, 

sementara dia tahu siapa orang-orang 

Golok Hitam itu?

Tetapi dia tetap terus berdoa.


Karena hanya itu yang bisa 

dilakukannya. Dia pun tidak tau harus 

melakukan apalagi! Ah, Gusti Allah... 

lindungilah kami semua dari 

cengkeraman orang-orang kejam itu?

* * *

DUA



Kuda yang digebrak Pandu terus 

berlari dengan cepat. Sementara tubuh 

si pengemis tua itu tergolek lemah di 

depannya. Pandu memacu kudanya 

sedemikian cepat, dia harus segera 

mengobati luka-luka yang diderita si 

pengemis tua ini.

Lalu diarahkannya kudanya ke luar 

dari Desa Babakan Hijau, menuju ke 

sebuah hutan kecil. Di sana Pandu 

menghentikan kudanya. Lalu melompat 

turun sambil membopong tubuh yang 

nampak lemah.

Di atas rerumputan, dia mengobati 

luka-luka si pengemis dan menca-

rikannya buah-buahan yang banyak 

terdapat di hutan itu untuk mengisi 

perut.

Si pengemis itu makan dengan 

lahapnya, nampak jelas kalau dia lapar 

sekali.

Pandu yang masih mengenakan 

capingnya, tersenyum. Senang dia 

melihat pengemis itu makan dengan


lahapnya.

Tiba-tiba pengemis itu 

menghentikan makannya, dia menatap 

Pandu. "Kau tidak makan, Anak muda?" 

Pandu membuka capingnya dan

membiarkannya tergantung di lehernya 

dan tersampir di punggungnya.

"Aku sudah, Paman... habisilah 

buah-buahan itu... kau nampaknya lapar 

sekali...."

"Aku memang lapar sekali, Anak 

muda...."

"Kau habisilah, Paman...."

Si pengemis itu kembali menikmati 

buah-buahan yang diambil Pandu tadi di 

hutan. Dan setelah menghabisi sisa 

buah yang terakhir dia berucap sambil 

mengusapkan mulutnya dengan punggung 

tangannya. "Terima kasih, Anak 

muda...."

Pandu tersenyum.

"Maafkan saya, Paman... siapakah 

paman ini sebenarnya?" ,

"Saya hanya seorang pengemis, 

Anak muda...."

"Maksud saya... mengapa paman 

tidak pergi saja daripada disiksa oleh 

orang-orang itu?"

Pengemis itu tersenyum. Sungguh, 

Pandu melihat sorot mata yang begitu 

arif dan bijaksana dari mata yang 

nampak sudah menua itu.

Dan entah mengapa hati Pandu 

bergetar melihatnya. Mengingatkannya


pada seseorang, seorang kakek yang 

hampir sepuluh tahun mendidik dan 

menggemblengnya ilmu kanuragan. 

Pertapa sakti yang bermukim di Gunung 

Kidul, Eyang Ringkih Ireng. Guru yang 

amat dihormatinya. Guru yang 

memberinya segudang nasehat tentang 

hakekat hidup yang sesungguhnya. "Aku 

rindu padamu, Eyang...." desahnya 

dalam hati.

Didengarnya suara si pengemis 

menjawab pertanyaannya.

"Anak muda... apalah yang dapat 

kuperbuat untuk menghadapi orang-orang 

bengis seperti mereka?" katanya masih 

tetap tersenyum.

"Anak muda... bagi orang seperti 

aku, biasanya hanya mandah saja 

diperlakukan macam apa pun oleh orang-

orang seperti itu. Karena aku tak 

punya kebisaan apa-apa. Tetapi yang 

perlu kau ingat, Anak muda... bila 

Gusti Allah belum menghendaki nyawa 

tuaku ini, hingga kapan pun aku tak 

akan pernah mati. Nyawaku akan tetap 

bersatu di jasadku. Yah... sekali pun 

orang-orang tadi berbuat kejam padaku. 

Tetapi bila Gusti Allah menghendaki 

nyawaku, tanpa perlakuan orang-orang 

itu pun aku bisa mati. Bahkan... saat 

tidur pun bila Dia menghendaki 

nyawaku, aku tak akan pernah bangun 

kembali...."

Pandu menatap dalam kedua mata



tua itu. Dilihatnya lagi bibir itu 

bergerak dan bersuara lagi.

"Mereka memang orang-orang yang 

kejam, Anak muda. Tetapi... memang 

sudah takdir mereka seperti itu. Hanya 

yang disayangkan... mereka tidak mau 

mengubah takdir. Bukankah kau tahu, 

Gusti Allah tidak akan pernah merubah 

nasib seseorang atau pun suatu kaum, 

bila dia atau mereka tidak pernah mau 

merubahnya.... Kau paham itu? Kau 

tentunya amat paham sekali, Anak 

muda...."

Pandu tercenung. Dia seakan tidak 

percaya kata-kata itu keluar dari 

mulut pengemis ini. Hmm... siapakah 

pengemis ini sebenarnya?

Yang membuatnya semakin heran 

saat dia mengobati pengemis tadi. Dia 

sadar kalau sesungguhnya pengemis ini 

bukanlah pengemis sembarangan. Tadi 

pun ketika dia mengobati luka-luka 

pengemis itu, dia menjadi heran karena 

pengemis itu nampak tidak apa-apa. 

Seolah luka-luka akibat perlakuan 

orang-orang kejam itu lenyap dengan

sendirinya.

Jadi dia sebenarnya bukan 

mengobati, malah membersihkan tubuh si 

pengemis dari debu dan kotoran. Dan 

baru sekaranglah Pandu tanggap kalau 

pengemis ini bukan pengemis 

sembarangan adanya.

Jadi siapa sebenarnya si pengemis


ini? Tentunya dia adalah seorang sakti 

yang tengah menyamar. Ah, ini semakin 

membuat Pandu insyaf, kalau masih 

banyaknya orang sakti yang berlagak 

dan tidak memamerkan keberadaan mereka 

yang sesungguhnya.

Pandu hendak bertanya siapa 

pengemis ini sebenarnya, tetapi seolah 

tahu apa yang hendak ditanyakannya, 

pengemis itu sudah lebih dulu berkata:

"Kau tidak perlu mengetahui 

diriku yang sebenarnya saat ini, Anak 

Muda. Yang kau perlu tahu, akulah yang 

sekarang ini. Yah... suatu saat nanti 

kau pasti akan tahu siapa aku ini, 

Pandu...."

Tercengang Pandu segera berkata: 

"Maafkan aku, Paman... sebenarnya aku 

sungguh-sungguh amat penasaran. 

Tetapi...yah, aku jadi maklum 

sekarang."

Pengemis itu tersenyum.

"Hmmm... aku kagum denganmu, Anak 

muda. Siapakah sebenarnya namamu...?"

"Namaku, Pandu, Paman...."

"Hmm... Pandu, tingkah lakumu 

mencerminkan satu bentuk kepribadian 

yang hakiki. Satu bentuk kepribadian 

yang welas asih dan penuh kewibawaan."

"Paman terlalu memujiku...."

"Jarang aku menjumpai anak muda 

seperti kau ini, Pandu. Dan sungguh-

sungguh kukatakan, kalau aku amat 

kagum terhadapmu...."


"Ah, aku biasa saja, Paman. 

Bahkan mungkin aku tidak seperti yang 

paman duga...."

Pengemis itu terbahak. "Ha ha 

ha... kata-katamu yang merendah itu

sudah membuktikan bahwa kau 

sesungguhnya adalah pemuda yang sopan 

dan bijaksana. Ya, ya... aku 

menyukaimu, Pandu...."

"Terima kasih, Paman. Aku pun 

menyukai orang seperti kau ini, 

Paman...."

Pengemis itu manggut-manggut. 

Matanya lekat menatap Pandu, seolah 

hendak menembus caping yang menutupi 

wajahnya.

Menyadari hal itu, Pandu pun 

segera membuka capingnya.

"Pandu... ada yang hendak ingin 

kutanyakan padamu tentang satu hal."

"Apakah itu, Paman?"

"Kau tidak marah, karena kupikir 

ini tentunya menyangkut dirimu?"

"Aku belum bisa mengatakan aku 

akan marah atau tidak, kalau aku belum 

tahu apa yang hendak paman tanyakan 

itu...."

"Baiklah... kulihat di punggungmu 

ada sebilah golok yang nampaknya aku 

kenal."

"Oh!"

"Kau tidak perlu terkejut, 

Pandu...."

"Paman... bukankah aku belum


memperlihatkan golok yang ada di 

punggungku ini padamu. Lalu bagaimana 

kau bisa yakin sekali kalau kau amat 

mengenai golok ini?"

"Ya, aku yakin hal itu. Yakin 

sekali. Aku yakin mengenai golok yang 

ada di punggungmu!"

"Sungguhkah, Paman?"

"Ya, aku mengenalnya."

Pandu hanya terdiam.

"Boleh aku melihat golok itu, 

Pandu?"

Kali ini kelihatan jelas kalau 

Pandu sepertinya kebingungan untuk 

menjawab. Golok yang ada di 

punggungnya adalah golok pemberian 

gurunya, Eyang Ringkih Ireng yang 

berdiam di Bukit Paringin, atau bagian 

dari Gunung Kidul.

Terus terang sebenarnya Pandu 

tidak mengerti tentang senjata yang 

diberikan dari gurunya. Karena hampir 

setiap orang merasa mengenal golok 

itu. Padahal dia sendiri tidak tahu 

ada apa sebenarnya dengan golok itu. 

Ada apa di balik rahasianya. Hal 

itulah yang membuat Pandu menjadi 

berhati-hati pada siapa pun, karena 

dia yakin, nampaknya banyak orang yang 

berminat untuk merebut golok ini dari 

tangannya.

Pandu bukanlah tidak mempercayai 

pengemis yang telah membuatnya 

tertarik untuk mengetahui siapa


sesungguhnya pengemis ini. Tetapi dia 

tidak ingin terjadi kesulitan gara-

gara Golok Cindarbuana ini.

Sebenarnya hingga saat ini Pandu 

belum mengerti dan tahu ada rahasia 

apa sesungguhnya di balik Golok 

Cindarbuananya ini. Ada rahasia apa?

Mengapa banyak yang tertarik 

terhadap goloknya? Pengemis itu 

tersenyum. Dan lagi-lagi seperti tahu 

apa jalan pikiran yang ada di benak 

Pandu, pengemis itu berkata:

"Kalau kau ragu-ragu untuk 

memperlihatkannya padaku... tidak apa-

apa, Pandu. Aku sudah cukup puas 

melihatnya dari sini. Dan keyakinanku 

semakin bertambah, karena aku benar-

benar yakin kalau golok itu amat 

kukenal...."

"Maafkan aku, Paman...."

"Aku mengerti. Dan kalau boleh, 

aku akan menebak saja golok itu. 

Yah... aku makin bertambah yakin 

sekarang, golok yang ada di punggungmu

itu adalah Golok Cindarbuana. Benarkah 

dugaanku, Pandu?"

"Yah... begitulah, Paman.... Kau 

tidak salah menebak golok apa yang ada 

di punggungku ini...."

"Oh, Tuhan... golok itu ternyata 

masih ada di dunia ini. Golok 

legendaris yang abadi sampai kapan pun 

juga," kata pengemis itu seperti 

mendesah lega. "Kau amat beruntung


memilikinya, Pandu...."

"Terima kasih, Paman...."

Dan seperti ingat akan sesuatu, 

pengemis itu berkata:

"Maaf, Pandu... ada hubungan apa 

kau dengan Eyang Ringkih Ireng majikan 

Gunung Kidul?"

"Paman!" seru Pandu terkejut. 

Pengemis itu pun mengenal gurunya. 

Keyakinannya tentang siapa pengemis 

ini semakin bertambah besar. Tentunya 

pengemis ini bukan pengemis semba-

rangan adanya.

"Maafkan aku, Pandu... bila 

pertanyaanku itu membuatmu terkejut."

"Tadi aku memang terkejut, 

Paman.... Tetapi sekarang tidak. 

Karena aku yakin, kau tentunya adalah 

seorang sakti yang tengah 

menyamar...."

Pengemis itu terbahak.

"Ha ha ha... kau salah besar, 

Pandu... aku hanya seorang pengemis, 

yang kerjanya hanya meminta-minta...."

Pandu tersenyum.

"Baiklah, Paman... kujawab 

pertanyaanmu itu. Yah, Eyang Ringkih 

Ireng adalah guruku...."

"Ha ha ha... pantas, pantas kau 

memiliki golok sakti itu. Ha ha ha... 

Ringkih.... Ringkih... ternyata kau 

masih hidup. Di usia kita yang sama-

sama senja ini kita tak pernah lagi 

saling menyambangi satu sama lain....



Bagaimana kabar si Ringkih itu 

sekarang, Pandu?"

"Setahu saya.... Guru dalam 

keadaan baik-baik saja, Paman. Paman 

mengenalnya?"

"Ya, tentu saja aku mengenalnya. 

Ah, sudahlah... kau amat beruntung 

dapat mewarisi Golok Cindarbuana, 

Pandu...."

Lagi-lagi Golok Cindarbuana. Ah, 

golok itu berarti benar-benar 

menyimpan satu misteri dan membuat 

Pandu semakin penasaran untuk 

menyingkap misteri itu. Ada apa 

sesungguhnya di balik Golok 

Cindarbuana ini? Karena banyak tokoh-

tokoh aneh yang mengenai golok ini. 

Termasuk pengemis aneh ini!

Tetapi mengapa gurunya tidak 

menceritakan tentang sesuatu yang 

menjadi rahasia golok itu? Mengapa?

"Ha ha ha... kau tak perlu 

memikirkan golok ini, Pandu. Biarkan 

dia bersamamu. Biarkan dia menemanimu. 

Kau pasti akan merasa bersyukur karena 

golok itu ada yang menemani." 

Pandu menelan ludahnya.

"Ya, Paman..."

"Nah, bila kau hendak melanjutkan 

perjalananmu. lanjutkanlah. Tinggalkan 

saja aku di sini."

Memang masih jauh pengembaraan 

Pandu. Namun dia hendak kembali ke 

Desa Babakan Hijau. Karena dia yakin,


kejahatan sedang berlangsung di sana.

"Kalau begitu. baiklah, Paman.... 

Nampaknya kita memang harus berpisah 

sekarang...."

"Silahkan, Pandu. Tentunya kau 

tahu apa yang harus kau kerjakan 

selanjutnya...."

Pandu sebenarnya hendak bertanya 

maksud dari kalimat yang baru saja 

diucapkan pengemis itu. Namun belum 

lagi mulutnya terbuka, sosok pengemis 

itu telah lenyap dari pandangannya. 

Membuat Pandu tercengang.

Tak sadar mulutnya terbuka.

Siapa sebenarnya pengemis itu? 

Siapa dia?

Menyadari mulutnya masih 

menganga, Pandu mendengus.

"Hus! Tutup mulutmu, nanti 

kemasukan lalat bagaimana?!"

Lalu dia segera melompat dari 

kudanya. Dia akan menyelidiki kejadian 

apa yang sesungguhnya terjadi di Desa 

Babakan Hijau. Lalu dia pun memacu 

kudanya. Dua pertanyaan dan keheranan 

muncul di benaknya.

Siapa sebenarnya pengemis itu? 

Dia pastilah bukan orang sembarangan. 

Sikapnya sungguh-sungguh arif dan 

bijaksana. Dan kata-kata yang 

diucapkannya tadi masih melekat di 

benaknya. begitu sahdu dan penuh 

makna.

Dan melihat dari sikapnya,


tentulah dia bukan pengemis 

sembarangan.

Satu lagi, rahasia apa yang 

sesungguhnya ada di balik Golok 

Cindarbuana ini? Kalau memang ada 

rahasianya, mengapa gurunya tidak 

memberitahukannya?

Atau... gurunya menghendaki agar 

dia mencari sendiri jawabannya.

"Iya, Eyang... suatu saat, aku 

pasti akan menemukan jawabannya...." 

desisnya pelan.

Kudanya pun terus dipacu.

* * *

TIGA



"Bangsat!!" geram Gondeng sambil 

menggebrak meja hingga isinya 

berloncatan ke luar. "Siapa pemuda itu 

sebenarnya ?!"

Takut takut Penggekrawung 

menyembah.

"Maafkan kami, Ketua. Kami... 

kami tidak mengenal siapa dia.... 

Dia... yah, kami baru pertama ini 

melihatnya....". 

"Lalu kalian gagal menyuruh Roro 

Dewi kesini, heh?"

"Saat itu... kami sedang menunggu 

Nimas Roro Dewi yang sedang belajar 

menari." 

"Belajar menari?"


"Ya, Ketua."

"Hmmm... di mana dia belajar?" 

"Di Padepokan Melati Putih 

pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang, 

Ketua."

Tiba-tiba Gondeng tertawa lebar. 

Dia seorang laki-laki yang berwajah 

seram. Berberewok tebal dan berperut 

besar. Bisa ditebak, dialah ketua 

gerombolan Golok Hitam yang bermarkas 

di sebuah hutan kecil yang sulit untuk 

dimasuki. Karena untuk masuk ke sana, 

harus bisa melalui sebuah sungai kecil 

yang banyak buayanya dan juga banyak 

pengawal Gondeng yang menjaga.

Itulah dulu ketika Ki Runding 

Alam hendak menghancurkan Gerombolan 

Golok Hitam, mereka lebih dulu masuk 

kehutan itu. Dari menghilang dari 

sergapan Ki Runding Alam.

Sekarang Gerombolan Golok Hitam 

kembali berdiri dan mulai 

mengembangkan sayap kekuasaannya.

"Bagus, bagus... biarkan bungaku 

itu belajar menari. Nanti setelah dia 

pandai suruh dia setiap saat 

menghiburku menari di sini. Kau, 

Penggekrawung. Saat ini juga kuminta 

padamu, cari dan tangkap pemuda yang 

membuatmu babak belur begitu! Jangan 

kembali sebelum berhasil menangkapnya! 

Ingat, aku tidak suka kegagalan!" 

"Ketua...."

"Kau boleh membawa teman-temanmu


yang lain seberapa kau suka."

Penggekrawung tersenyum. 

"Baiklah, Ketua. Sekarang juga 

saya akan berangkat."

"Lebih cepat lebih baik, karena 

aku sudah tidak tahan untuk melihat 

wajah si pemuda itu."

Sekali lagi Penggekrawung meng-

angguk.

Gondeng bangkit dari tempat 

duduknya. Dia berjalan menuju ke 

kamarnya. Di mana seorang wanita muda 

tengah menunggu dengan tidak sabar.

Dia tersenyum begitu melihat 

Gondeng. Dan menyingkapkan selimut 

yang menyelimuti tubuhnya yang tidak 

berpakaian apa-apa, hingga telanjang 

bulat sekarang.

"Lama sekali? Ada apa?" tanyanya 

bagaikan desahan belaka. Matanya 

bersinar penuh gairah. Bibirnya 

mengundang birahi yang berkepanjangan.

Mata Gondeng pun nanar. Tubuh itu 

bukan main indahnya. Dan kini bayi 

dewasa telah lahir dihadapannya. Siapa 

yang tidak akan mabuk melihat tubuh 

yang indah bertelanjang bulat itu? 

Tubuh itu padat dan kulitnya putih 

mulus.

"Ha ha ha... manis, manis... ada 

urusan sedikit...."

"Sedikit kok lama sekali?"

"Ha ha ha... bukankah aku sudah 

muncul sekarang?"


"Kenapa tidak segera berbuat?" 

desah wanita itu dengan suara seperti 

malu-malu.

Gondeng terbahak. "Oh, Manis... 

aku sudah tidak tahan," desisnya 

dengan suara tenggorokan. Lalu 

terburu-buru dia membuka pakaiannya. 

Dan langsung menubruk menggeluti tubuh 

yang telanjang bulat itu.

Wanita itu memekik lirih dan 

tertawa kayak kuntilanak, membuat 

Gondeng semakin beringas dan bernafsu.

Mereka adalah orang-orang yang 

mempertuhankan nafsu. Nafsu bila sudah 

membelenggu akan sukar untuk 

dikalahkan. Bahkan perang yang paling 

besar adalah perang melawan hawa 

nafsu. Bila manusia dapat mengalahkan

nafsunya, maka dia akan menjadi 

manusia yang arif dan bijaksana. 

Manusia yang sabar dan berserah diri 

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya 

sayang, sebagian besar manusia malah 

menuruti hawa nafsunya belaka. Nafsu 

yang merusak dan menghancurkan diri 

sendiri.

Di luar kamar itu, Penggekrawung 

sudah selesai mengumpulkan teman-

temannya sebanyak sepuluh orang 

termasuk dirinya. Mereka dipersiapkan 

secara matang.

Mereka segera menaiki kuda 

masing-masing. Membawa sebilah golok 

lambang keperkasaan Gerombolan Golok


Hitam. Gerombolan perampok nomor satu 

di tanah Kediri!

"Kita jangan bertindak tanggung 

lagi! Kita bekuk pemuda lancang itu!!" 

kata Penggekrawung dengan geram sambil 

menaiki kudanya.

"Jangan takut, Kakang. Biar 

kuhajar habis orang itu!!" sahut salah 

seorang temannya yang berambut 

panjang. 

"Hhh! macam mana orangnya?!"

Penggekrawung tersenyum. "Aku pun 

berharap kau bisa melakukannya, 

Sembarita!"

Sembarita manggut-manggut dengan 

senyum pongah. Lalu mereka pun 

mengikuti laju kuda Penggekrawung yang 

sudah bergerak lebih dulu.

Dada Penggekrawung dipenuhi oleh 

sejuta dendam akan kekalahannya. Dia 

bersumpah, akan menghancurkan dan 

menelan hati pemuda itu mentah-mentah 

bila berhasil dikalahkannya.

Dia tidak terima diperlakukan 

seperti itu. Apalagi di hadapan orang-

orang banyak. Bukankah ini merupakan 

suatu penghinaan bagi Partai Golok 

Hitam? Dia harus membunuh pemuda itu! 

Harus!

Makanya dia semakin menggebrak 

dan mempercepat laju kudanya. Sepuluh 

ekor kuda dengan masing-masing 

penunggangnya, berderap ramai di jalan 

setapak dan menimbulkan tanda tanya


bagi yang diam-diam melihatnya.

Namun melihat wajah para 

penunggangnya yang seram dan murka, 

mereka dapat menduga kalau akan 

terjadi sesuatu yang tidak meng-

gembirakan. Siapa yang belum mengenai 

sepak terjaring manusia-manusia ganas 

dari Gerombolan Golok Hitam itu?

Yang bengis dan kejam!

Tidak pandang bulu dalam 

menggarap mangsanya. Orang-orang yang 

melihat itu hanya bisa berdoa semoga 

tidak terjadi sesuatu pada orang yang 

mereka kenal.

Penggekrawung bermaksud hendak ke 

rumah makan Wayan Tua dulu. Mungkin 

dari sana dia bisa mendapatkan suatu 

keterangan yang berguna mengenai si 

pemuda. Hhh! Bukan main geramnya bila 

dia teringat akan kekalahannya. Lima 

orang dikalahkan satu orang? Bukan 

main, ini suatu penghinaan!!

Tak berapa lama kemudian, mereka 

tiba di sana. Rumah makan itu seperti 

biasanya ramai. Apalagi sekarang Roro 

Dewi ikut pula melayani para 

pengunjung.

Duh! Betapa menggetarkan 

kecantikan yang dimiliki oleh gadis 

belia itu. Benar-benar membiuskan. 

Mengalahkan kecantikan para bidadari 

dari kahyangan dalam dongeng.

Siapa yang tidak bergetar 

melihat. kecantikan yang dimiliki oleh


Roro Dewi? Siapa? Kulit gadis itu 

putih dan halus. Gerakannya gemulai 

dan menggairahkan. Dia telah tumbuh 

menjadi gadis remaja yang sopan dan 

manis. Semua orang menyenanginya. 

Termasuk salah seorang pemuda yang 

berada di salah satu kursi rumah makan 

itu.

Tetapi pemuda itu mampu 

menyembunyikan perasaannya meskipun 

rumahnya tak jauh dari rumah makan 

milik ayahnya Roro Dewi.

Dia seorang pemuda putera petani. 

Tubuhnya tegap. Kekar. Wajahnya tampan 

walau agak hitam, mungkin tersengat 

oleh matahari kalau dia bekerja di 

sawah.

Dia bernama Joko Bara. Seorang 

pemuda gagah yang diam-diam mencintai 

Roro Dewi namun sampai sekarang masih 

dipendamnya karena dia tidak berani 

mengutarakannya kepada Roro Dewi, 

lantaran Roro Dewi tidak pernah 

berlaku manis atau berlebihan 

kepadanya. Sikapnya tetap sama seperti 

dia menyambut para pengunjung yang 

lain.

Ini membuatnya merasa sangat 

tersiksa. Setiap kali melihat Roro 

Dewi, hatinya selalu bergetar. 

Batinnya menjerit, mencoba memanggil. 

"Dewi.... Dewiku sayang...." Namun 

suara itu tak pernah ke luar sepatah 

pun. Terpendam dengan rapat di


hatinya.

Di luar terdengar derap kuda yang 

berhenti dan ringkikannya. Sepuluh 

orang Gerombolan Golok Hitam itu 

segera masuk ke rumah makan itu.

Seketika orang-orang yang sedang 

makan menjadi tidak enak. Gelisah. Dan 

merasakan masakan itu pun jadi tidak 

enak. Biarpun dilayani oleh Roro Dewi, 

kedatangan orang-orang Golok Hitam 

tetap menjadi momok.

Wayan Tua yang sedang tersenyum 

melihat kelincahan putrinya melayani 

pengunjung, menjadi ikutan gelisah 

begitu orang-orang itu muncul.

"Ha-ha-ha!" Penggekrawung tertawa 

ngakak di ambang pintu. "Enak sekali 

kelihatannya pengunjung di warung ini! 

Dilayani oleh seorang putri jelita 

yang gemulai dengan senyum aduhai 

menghidangkan hidangan.... Apa kabar, 

Nimas Roro Dewi?"

Roro Dewi menyambut dengan 

senyum, walaupun dia sangat jengkel 

sekali.

"Kabar baik, Kakang. Silahkan 

duduk, Kakang."

Penggekrawung tertawa. Ia segera 

mencari tempat duduk. Salah seorang 

temannya menendang ke luar dua orang 

pemuda yang sedang makan dan hanya 

memandang dengan geram namun tak 

berani berbuat apa-apa. Orang-orang 

itu segera menempati tempat duduk


mereka.

Sembarita segera menarik lengan halus 

Roro Dewi yang mengikutinya dengan 

terpaksa. Ia mencolek dagu Roro Dewi.

"He-he-he... sediakan hidangan 

yang enak, Roro.... Kakangmu ingin 

segera makan...."

"Ba.. baik.... Kakang." Roro Dewi 

buru-buru masuk ke dalam sementara 

orang-orang itu tertawa. Para 

pengunjung yang lain hanya diam saja, 

tidak berani ikut campur. Namun ada 

salah seorang yang teramat geram. Dia 

Joko Bara yang hanya menggeram pelan 

melihat pujaannya dipermainkan 

demikian.

Wayan Tua buru-buru ke luar 

menemui orang-orang itu. Ia 

membungkuk-bungkuk dengan hormat.

"Oh.... Tuan-tuan sekalian. Apa

kabar, Tuan-tuan?"

Orang-orang itu berhenti tertawa. 

Penggekrawung berdiri menghampiri 

Wayan Tua.

"Hmm... anakmu cantik sekali, 

Wayan...." 

"Ya, ya, Tuan...."

"Hmm... ketua kami, Yang Mulia 

Tuan Gondeng titip salam untuk 

anakmu...."

"Iya, iya.. nanti saya 

sampaikan."

"Hmm... begini, Wayan Tua. 

Mengenai soal pemuda yang menghajar


kami dua hari yang lalu. Siapa 

sebenarnya dia, Wayan Tua?"

"Oh, bukankah tuan-tuan sudah 

menanyakan hal itu.... Saya, saya 

benar tidak tahu siapa dia...?"

"Kami tidak main-main, Wayan 

Tua...."

"Saya sungguhan, Tuan. Saya tidak 

tahu."

"Dan ke mana orang itu pergi?"

"Tuan, tuan sudah mendengar 

jawabannya, bukan? Sepertinya... 

pemuda itu pergi ke arah istana."

"Hmm... ini yang membuat kami 

tidak percaya? Ke istana. Mau apa dia 

kesana? Lalu bagaimana dengan pengemis 

jembel itu?"

"Dia... dia pun pergi. Entah ke 

mana... sampai sekarang saya tidak 

melihatnya lagi...."

"Sekali lagi, Wayan Tua. Kau 

benar-benar tidak tahu ke mana 

perginya pemuda itu?"

"Sungguh, Tuan.... Sungguh saya 

tidak tahu.... Mengenalnya pun 

tidak...." kata Wayan Tua dengan sikap 

yang amat hormat luar biasa.

Penggekrawung menepuk-nepuk bahu 

Wayan Tua yang semakin membungkuk. 

Dadanya kebat kebit. Dia ngeri bila 

melihat laki-laki berwajah seram itu 

mendadak marah.

"Aku yakin... kau tentunya tidak 

berbohong padaku, Wayan Tua...."


"Iya, Tuan...."

"Dan tentunya kau pun tahu akibat 

apa yang akan kau dapatkan bila kau 

ketahuan berbohong padaku...."

"Iya, Tuan...."

"Bagus, Wayan Tua.... Bagus! Aku 

bangga padamu!!"

Wayan Tua semakin membungkuk, 

karena tepukan tangan Penggekrawung di 

bahunya semakin keras terasa. Dia 

kuatir bila laki-laki ini marah.

"Nah, Wayan Tua... bila kau 

melihat pemuda itu, cepat kau beritahu 

kami. Kau mengerti?"

"Ya, iya... Tuan...."

Penggekrawung terbahak.

"Hahaha... kau memang penurut 

sekali. Ya, ya... bagus, bagus itu... 

aku menyukaimu, Wayan Tua...." Dia 

kembali terbahak. Disusul dengan 

teman-temannya yang tertawa bersamaan, 

membuat hati Wayan Tua bertambah 

kecut.

Dari arah dalam muncul dua orang 

pelayan yang membawa masakan untuk 

orang-orang itu. Namun kedatangan 

mereka justru malah memancing 

kemarahan orang-orang itu.

Sembarita menggebrak meja.

"Bangsat! Mau apa kalian, heh?!" 

bentaknya dengan suara yang 

menggelegar keras.

Kedua pelayan wanita itu menjadi 

gugup. Wajah mereka pias. Jantung


mereka seakan mau copot dari 

tempatnya.

"Kami... kami...." sahut salah 

seorang dengan takut-takut, namun tak 

berhasil menyelesaikan kalimatnya 

karena sudah keburu dipotong 

Sembarita.

"Suruh keluar Roro Dewi! Bukan 

kalian yang melayani kami, tetapi dia! 

Harus dia yang melayani kami! Kalian 

mengerti, Pelayan busuk?!"

Dengan sisa keberanian yang 

tinggal setengah, salah seorang dari 

mereka menyahut dengan takut-takut.

"Den... Roro sedang mandi, 

Tuan...." 

"Hhh! Katakan padanya, cepat! 

Kami tidak sabar lagi untuk 

menunggu!!" bentak Sembarita marah. 

Lalu menoleh pada Wayan Tua yang 

merasakan tubuhnya menjadi semakin 

kecil saja. Ngeri dengan tatapan yang 

membara marah itu, "Wayan Tua... kami 

tidak main-main dalam hal ini! Kau 

mengerti?!!"

"Iya... iya, Tuan... nanti saya 

panggilkan agar dia segera cepat 

menyelesaikan mandinya...." sahut 

Wayan Tua sambil menyuruh kedua 

pelayannya masuk.

"Bagus!" 

"Iya, Tuan...."

"Lalu mengapa kau masih berada di 

sini, hah? Kau menunggu kami marah,


Wayan Tua?!"

"Oh, iya... iya, Tuan! Iya...." 

Tergopoh-gopoh Wayan Tua berlari ke 

belakang. Sepak terjang orang-orang 

itu amat mengerikannya.

Dia sungguh-sungguh takut yang 

luar biasa. Dan sedikitnya dia 

menyalahi pemuda yang pernah mengerjai 

orang-orang itu. Karena Wayan Tua 

yakin, sesungguhnya orang-orang itu 

marah pada si pemuda.

Orang-orang itu terbahak. Senang 

mereka bisa mempermainkan orang-orang 

yang takut pada mereka. Dan ini 

merupakan satu bentuk kenikmatan 

tersendiri.

Di kursinya, wajah Joko Bara 

memerah. Dia semakin membenci sikap 

dari orang-orang itu. Dan dia pun 

sudah tidak bisa lagi menahan marah 

dan jengkelnya.

Dengan kaki dihentakkan lebih 

dulu dan tangan terkepal erat, dia 

bangkit. Kaku kakinya dibawanya 

mendekati orang-orang yang masih 

tertawa itu.

Kejengkelannya memuncak! Orang-

orang yang sedang tertawa itu jelas 

saja tidak memperdulikannya. Mereka 

masih tertawa-tawa. Namun ketika Joko 

Bara masih berdiri di sana dan tidak 

kembali ke tempatnya, memancing 

perhatian Rembaga yang langsung 

menghentikan tawanya dan menoleh.


"Hei... mau apa kau di sini, 

hah?!"

Joko Bara hanya terdiam. 

Tatapannya lah yang berbicara akan 

kejengkelannya.

"Settan!!" Rembaga menggeram. 

"Cepat kembali ke tempatmu, hah? Di 

sini bukan tempatmu!!"

Tetap Joko Bara terdiam.

Terpancinglah amarah Rembaga.

"Bangsat! Mau apa kau 

sebenarnya?!"

"Hmm... mauku?!"

"Katakan cepat, sebelum kulempar 

kau ke luar dari sini!!" bentak 

Rembaga.

"Hmm... aku adalah orang yang 

tidak suka dengan perbuatan kalian," 

sahut Joko Bara dengan suara angker. 

"Dan mauku... kalianlah yang segera 

angkat kaki dari tempat ini!!"

"Bangsat!! Apa-apaan kau ini?!"

"Kau sudah mendengar kata-kataku 

barusan! Apakah kau mesti memakai alat 

pendengar agar telingamu lebih terang 

untuk mendengar?!"

Rembaga menggebrak meja dengan 

keras sambil berdiri. Tatapannya 

nyalang,

"Hhh! Siapa kau sebenarnya?!"

"Namaku Joko Bara...."

"Dan kau seorang jago rupanya!"

"Aku hanyalah seorang petani 

biasa...."


"Petani mau coba-coba jadi 

pahlawan!" potong Sembarita seraya 

berdiri dan tangannya bergerak 

mengirimkan sebuah pukulan ke wajah 

Joko Bara. Sembarita orangnya memang 

panasan, dan tidak suka bertele-tele.

Dia pikir, dengan sekali pukul 

saja pemuda itu akan rubuh dan 

menjerit-jerit minta ampun. Karena 

biasanya hanya lagak saja yang 

ditampilkan.

Namun dia sungguh terkejut ketika 

dengan tiba-tiba saja pemuda itu 

menarik kepalanya ke samping dan 

menangkap tangan Sembarita dan 

menariknya ke depan hingga tersuruk

menabrak kursi dan jatuh bergulingan.

"Brak!!"

"Anjing buduk!" geramnya.

Sudah tentu teman-teman Sembarita 

menjadi marah. Serentak mereka bangkit 

dengan geram dan mengurung Joko Bara 

yang menjadi waspada.

"Bangsat!! Pantas kau berani 

berlagak? Rupanya punya kelebihan juga 

kau, ya?!" bentak Rembaga sambil 

menggebrak meja yang diduduki Joko 

Bara.

Joko Bara mendengus. Perkelahian 

ini memang tidak bisa dielakkan lagi.

Dia pun mengerti kalau 

perkelahian bila terjadi di sini bisa 

merusak kursi dan meja, atau barang-

barang yang lainnya. Ini bisa


mengakibatkan kerugian pada Wayan Tua.

Makanya dia mendadak melesat ke 

luar, ke halaman rumah makan itu.

Orang-orang yang mengurungnya 

cukup kaget, karena gerakan yang tiba-

tiba diperlihatkan oleh Joko Bara. 

Dengan hati murka mereka serentak 

berlari ke sana dan kembali 

mengurungnya.

Joko Bara memperhatikan mereka 

dengan waspada. Namun sikapnya cukup 

tenang. Sikapnya itu membuktikan kalau 

dia seorang yang gagah berani dan 

perkasa.

"Aku bukan seorang pahlawan, 

tetapi aku paling tidak suka melihat 

kelakuan kalian! Kalian telah berbuat 

onar terus menerus di Desa Babakan 

Hijau ini. Kalian telah menganggap 

diri kalian sebagai dewa, sebagai 

Tuhan yang berkehendak apa saja!"

"Jangan berkhotbah!!" bentak 

Penggekrawung.

"Aku bukan berkhotbah! Aku hanya 

memperingatkan kalian, betapa 

banyaknya dosa yang telah kalian 

perbuat?! Dosa yang telah kalian 

lakukan dengan telengas! Tangan-tangan 

kalian telah penuh dosa yang sukar 

untuk diampuni! Mungkin hanya Tuhanlah 

yang tahu berapa banyak dosa-dosa yang 

telah kalian lakukan selama ini! 

Kalian memang manusia-manusia

durjana!!"


"Petani buduk!! Kau berani 

berkata begitu pada kami, orang-orang 

Gerombolan Golok Hitam?!"

"Untuk apa takut, bila aku berada 

di pihak yang benar!!" balas Joko Bara 

dengan berani.

"Bangsat! Berarti kau minta 

mampus!!"

"Semula tak terpikir di benakku 

untuk menghentikan sepak terjang 

kalian! Namun semua yang kalian 

lakukan hanyalah membuat onar semata! 

Membuat kejahatan yang begitu kejam 

dan menyedihkan! Maafkan bila aku, 

Joko Bara mencoba untuk menentang 

sikap kalian yang durjana ini dan 

mencoba menghentikan sepak terjang 

kalian!!" seru Joko Bara mantap. Dan 

dia sendiri pun merasa bahwa tak ada 

jalan lain kecuali untuk bertarung.

"Hhh! Pemuda congek!! Mampuslah 

kau hari ini!!" geram Penggekrawung 

seraya hendak menyerang.

Namun sebelum tubuhnya 

berkelebat, terdengar seruan:

"Tunggu!!" Sembarita melayang dan 

orangnya sudah berdiri di samping 

teman-temannya. Dengan geram dia 

menuding Joko Bara, "Kau harus 

menghadapiku, Bangsat!!"

"Siapa pun akan kulayani!!" 

"Jangan sok jago kau, Setan!" 

"Hhh! Kenapa masih banyak bacot 

pula! Majulah bila kau benar-benar


ingin bertarung denganku!!" sahut Joko 

Bara dengan suara keras.

Wajah Sembarita memerah. "Anjing 

buduk!! Benar-benar minta mampus 

kau!!" geramnya. Tiba-tiba dia 

memekik, 

"Tahan serangan, Anjing buduk!!"

"Hhh! Majulah!!" sahut Joko Bara 

dengan tenangnya, karena dia sudah 

siap menghadapi resiko apa pun. Yang 

penting baginya, berusaha untuk bisa 

mengusir mereka. Karena sesungguhnya 

dia sudah tidak tahan dengan perlakuan 

orang-orang kejam ini terhadap warga

Desa Babakan Hijau.

Memang tidak ada jalan lain 

kecuali menghadapi mereka!

Dengan cepat Sembarita melesat 

dengan melancarkan sebuah pukulan 

lurus ke wajah Joko Bara. Joko Bara 

yang sejak tadi berwaspada cepat 

berkelit. Dan membalas dengan satu 

tendangan ke perut.

Membuat Sembarita segera menarik 

tangannya dan menghantam kaki Joko 

bara. 

"Des!"

Belum lagi serangan itu terhenti, 

dengan tiba-tiba saja dia bergerak 

dengan satu gerakan yang amat 

menakjubkan. Berputar dua kali dari 

bawah ke atas dan begitu meluncur ke 

arah Joko Bara, kaki Sembarita sudah 

terarah lurus!


Joko Bara sedikit terkejut 

melihat serangan itu. Diam-diam dia 

mendesis kagum melihat pameran 

kehebatan yang diperlihatkan 

Sembarita.

Dan sebelum serangan yang 

dilancarkan Sembarita mengenai 

sasarannya, Joko Bara sudah 

menggulingkan tubuhnya ke kiri. Kali 

ini Sembarita yang terkejut karena 

tidak menyangka pemuda itu bisa 

mengelakkan serangannya.

Kini dia sadar kalau pemuda itu 

tidak bisa dianggap remeh. Dan ini 

merupakan sebuah penghinaan untuknya!

"Anjing buduk! Rupanya kau memang 

benar-benar punya kelebihan!!" makinya 

geram setelah hinggap di tanah dan 

berhadapan dengan Joko Bara.

Joko Bara terbahak. "Hahaha... 

agaknya kau memang benar-benar kaget, 

Iblis! Lumayan bukan, ilmuku cukup 

untuk menghentikan sepak terjang 

manusia busuk macam kau!!"

Mendengar kata-kata itu Sembarita 

semakin memerah wajahnya. Lalu dia pun 

menerjang kembali diiringi dengan 

pekikan yang keras.

Sembarita pun merasa ini bukanlah 

main-main lagi, karena pemuda itu 

benar-benar tangguh. Dan membuktikan 

ucapannya.

Joko Bara sendiri pun segera 

melesat memapaki serangan Sembarita.


Pertarungan antara keduanya 

berlangsung dengan sengit dan hebat. 

Masing-masing memperlihatkan 

kehebatannya.

Jurus demi jurus pun berlangsung 

dengan ketat. Saling serang dan saling 

menghindar.

Penggekrawung yang melihat 

kawannya itu belum juga bisa mengatasi 

si pemuda berseru, "Sembarita! Jangan 

membuang waktu lagi!!"

Sembarita pun mempergencar 

serangannya, Namun Joko Bara bukanlah 

pemuda kemarin sore, dia seorang 

pemuda yang rupanya benar-benar 

menguasai ilmu bela diri. Sampai 

sejauh itu dia masih bisa bertahan 

bahkan membalas.

Dan dalam satu kesempatan, tiba-

tiba Joko Bara memekik keras. Memapaki 

jotosan Sembarita dengan tangan 

kanannya. Dan dengan satu gerakan yang 

tak terduga, tiba-tiba dia berputar, 

kakinya mengayun.

Seketika Sembarita terpana. Dan 

sebelum dia menyadari apa yang 

terjadi, tiba-tiba dirasakannya 

dadanya sakit. Ayunan kaki Joko Bara 

dengan telak mengenai dadanya.

Membuat laki-laki sombong itu 

terhuyung ke belakang.

Teman-temannya terkejut melihat 

hal itu. Sembarita dapat dipecundangi?

Joko Bara sendiri sudah terbahak


melihat hasil kerjanya.

"Hahaha... rupanya kau memang 

orang yang sombong yang ternyata 

kosong melompong, Sembarita! Lebih 

baik kau kembali saja ke partaimu! Dan 

katakan pada ketuamu, agar lebih baik 

angkat kaki dari Desa Babakan Hijau!!"

Wajah Sembarita semakin memerah. 

Kegeramannya sudah sampai ke kepala. 

Hatinya penuh dendam. Di samping malu 

pada teman-temannya karena dia bisa 

dikalahkan, juga merasa tersinggung 

karena perlakuan pemuda itu.

Lalu dia pun berdiri tegak. 

Tatapannya memancarkan sinar ber-

bahaya.

"Pemuda sombong! Mampuslah kau!!" 

geramnya seraya menyerbu menyerang.

Joko Bara hanya terbahak. Kembali 

keduanya bertarung dengan hebat. Namun 

lagi-lagi terlihat kalau Sembarita 

yang terdesak kali ini.

Dan sekali lagi tendangan yang 

dilancarkan oleh Joko Bara mengenai 

sasarannya.

Begitu Sembarita terhuyung, 

teman-temannya pun segera berlompatan 

mengurung Joko Bara. Tetapi pemuda itu 

hanya terbahak saja.

"Hahaha... kini sudah terlihat 

bukan, kalau kalian adalah orang-orang 

pengecut!"

"Anjing kurapan!" memaki Pengge-

krawung dengan geram. Harga dirinya


pun tersinggung dengan kata-kata 

pemuda itu. Lalu dia mengangkat 

tangannya pada teman-temannya. "Mundur 

kalian semua, biar kuhajar pemuda tak 

tahu diri ini!!"

Serentak teman-temannya mundur. 

Joko Bara terbahak lagi dan melihat 

tatapan Penggekrawung yang buas dan 

berbahaya padanya.

"Hahaha... rupanya kau punya 

nyali juga, Orang jelek! Apakah kau 

menginginkan nasib seperti kawanmu 

itu?!" tertawa Joko Bara sambil 

menunjuk Sembarita yang tengah menahan 

sakit di dada. Bahkan dia tidak 

sanggup untuk bangkit karena dadanya 

dirasakan sakit sekali.

Wajah Penggekrawung memerah 

marah.

"Bedebah! Mampuslah kau!!" 

geramnya marah dan menyerbu ke depan. 

Joko Bara pun segera melayaninya.

Kini perkelahian terjadi kembali. 

Teman-teman Penggekrawung hanya bisa 

menahan marah dan mengepal tangannya 

karena sudah gatal untuk menghajar 

pemuda sombong itu. Sementara salah 

seorang menolong Sembarita.

Penggekrawung sendiri tidak mau 

menganggap enteng pemuda ini. Karena 

dia sudah tahu kekuatan yang dimiliki 

pemuda ini. Maka dia pun bertindak 

dengan hati-hati. Namun serangan-

serangannya amat kejam dan telengas.


Joko Bara sendiri pun cukup 

terkejut ketika merasakan angin dingin 

keluar dari tangan Penggekrawung kala 

laki-laki itu menggerakkan tangannya. 

Dan dia pun dapat menduga, kalau ilmu 

kanuragan yang dimiliki Penggekrawung 

lebih tinggi daripada yang dimiliki 

Sembarita.

"Hahaha... kau mau lari ke mana, 

Bocah?!" Terbahak Penggekrawung kala 

Joko Bara bersalto berulang kali 

menghindari pukulan, jotosan dan 

tendangan yang dilancarkan oleh 

Penggekrawung.

Serangan-serangan itu begitu 

cepat.

Tetapi Joko Bara memang sudah 

membulatkan tekad, untuk berusaha 

membasmi manusia-manusia durjana itu. 

Dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga 

dia berusaha bertahan.

Bahkan dia pun mencoba untuk 

membalas.

Namun desakan yang gencar dilan-

carkan oleh Penggekrawung membuatnya 

kewalahan juga. Ternyata lain 

Sembarita lain pula Penggekrawung. 

Menyadari lawannya tengah kebingungan 

karena terdesak, Penggekrawung 

terbahak.

"Hahaha... lebih baik kau 

membunuh diri saja, Bocah sombong! 

Sebelum tanganku begitu telengas 

membunuhmu! Hhhh! Jangan salahkan aku



bila semua itu terjadi?! Ini 

dikarenakan perbuatan usilmu yang 

ingin campur tangan urusan orang 

lain!!" bentak Penggekrawung sambil 

terus mencecar Joko Bara dengan 

cepatnya.

"Jangan kau pikir aku takut, 

Manusia busuk!!" balas Joko Bara tak 

mau kalah. Dia berkelit ke kiri dengan 

cepat kala tangan Penggekrawung 

bergerak ke arah dadanya. Lalu dia pun 

bersalto ke belakang kala kaki 

Penggekrawung bergerak ke arah kedua 

kakinya, meneruskan rangkaian serangan 

tadi.

"Ke mana pun kau lari akan 

kukejar!!"

"Hhh! Kemana pun kau kejar aku 

akan lari... hahahaha!!" terbahak Joko 

Bara meskipun dalam keadaan terdesak.

Dan mendengar kata-kata yang 

diputar balikkan itu, membuat dada 

Penggekrawung semakin membara. 

Darahnya seketika mendidih.

"Anjing buduk! Kau tak akan bisa 

lepas dari tanganku!!" makinya geram 

sambil menyerbu. Joko Bara pun segera 

mengimbangi kembali.

Jurus demi jurus pun tetap 

berlangsung. Dan Joko Bara lah yang 

kelihatan terdesak. Tetapi sampai saat 

itu, Penggekrawung belum juga bisa 

menjatuhkannya. Hal ini makin

membuatnya buas dan marah.


"Hehehe... mengapa kau tidak 

segera buktikan ucapanmu, Orang 

jelek?!" terkekeh Joko Bara sambil 

bersalto menghindari pukulan lurus 

yang dilontarkan oleh Penggekrawung.

Namun Penggekrawung yang telah 

geram mencecar secara membabi buta, 

segera melancarkan satu tendangan ke 

arah perut Joko Bara. Joko Bara 

berhasil menghindari tendangan itu, 

namun karena tenaganya sudah cukup 

terkuras, entah bagaimana dia 

kehilangan keseimbangannya saat 

menghindar.

Dan posisi demikian, 

Penggekrawung bergerak cepat. Melayang 

ke arahnya. Satu jotosan tangannya 

menghantam Joko Bara yang makin 

terhuyung.

Lalu ambruk ke tanah karena 

benar-benar hilang keseimbangannya.

Penggekrawung terkekeh. Karena 

berhasil juga menjatuhkan pemuda 

sombong itu.

"Hahaha... rupanya hanya sampai 

di situ saja kebiasaanmu, Pemuda 

sombong!!"

Joko Bara pun perlahan-lahan 

mengumpulkan lagi segenap tenaganya. 

Lalu bangkit. Kedua tangannya 

mengepal. Dia berdiri gagah dengan 

sepasang mata terbuka, nyalang.

"Hhh! Orang sepertimu juga tak 

layak untuk hidup lebih lama!"


balasnya.

"Monyet jelek! Kau benar-benar 

minta mampus?!"

Joko Bara mendengus walaupun dia 

menahan sakit di dadanya. "Hhh! Kau 

pikir aku takut mati, Orang jelek?! 

Aku lebih suka mati berkalang tanah 

dari pada hidup melihat kalian 

berpetualang minta darah dan 

kematian!!"

"Bangsat! Rupanya aku tidak perlu 

main-main lagi!!" geram Penggekrawung.

"Hmm... apakah sejak tadi kau 

main-main, Orang jelek?"

"Kurap!"

Penggekrawung mencabut goloknya. 

Golok itu tebal dan berkilat-kilat. 

Gagangnya berwarna hitam.

"Hmm... tak sanggup untuk 

membunuh ku dengan tangan kosong, 

harus memakai senjata rupanya. Tapi 

baiklah, tak sejengkal pun aku akan 

mundur dari hadapan wajahmu yang busuk 

itu!!"

"Setan!!" maki Penggekrawung dan 

tubuhnya pun sudah melesat ke depan, 

dengan satu kibasan golok yang seakan 

hendak membelah tubuh Joko Bara dari 

kepala ke bawah.

Joko Bara pun berkelit ke kiri. 

Namun bersamaan dengan itu, golok di 

tangan Penggekrawung pun bergerak ke 

kiri. Kibasan angin yang 

ditimbulkannya cukup membuat bulu


kuduk berdiri.

Golok itu seakan mempunyai mata, 

karena ke mana Joko Bara berkelit, 

pasti golok itu bergerak menyusul. Dan 

ini sungguh-sungguh merepotkannya. 

Rupanya Penggekrawung seorang yang 

ahli dalam memainkan ilmu golok.

"Hahaha... kau akan mampus di 

tanganku, Pemuda kurapan!" makinya 

sambil terus mencecar.

"Tetapi sejak tadi, kau belum 

membuatku mampus!!" balas Joko Bara 

sambil terus menghindar.

Serangan golok yang dilancarkan 

oleh Penggekrawung benar-benar hebat. 

Joko Bara hingga saat ini berhasil 

menghindarinya. Namun satu ketika 

terdengar seruan dari Penggekrawung 

yang cukup keras. Dan tubuhnya pun 

tiba-tiba melayang deras ke arah Joko 

Bara.

Joko Bara terkejut. Dia langsung 

bersalto ke depan. Namun sungguh di 

luar dugaan, Penggekrawung pun tiba-

tiba bersalto ke belakang. Bergerak 

menyusul Joko Bara dengan golok di 

tangannya.

"Hait!!" pekik Penggekrawung.

"Hei!!" jerit Joko Bara kaget. 

Karena hanya beberapa senti saja golok 

di tangan Penggekrawung berada di 

dekat tubuhnya. Itu pun dia cepat 

menjatuhkan diri ke tanah, bila saja 

dia terlambat, maka mampuslah Joko


Bara!

Namun satu pameran ilmu golok 

yang dipamerkan oleh Penggekrawung 

tidak hanya sampai di sana saja. Tiba-

tiba dia berputar bagaikan angin ke 

arah Joko Bara dan goloknya pun 

kembali menebas.

"Wut!"

Joko Bara berhasil merunduk 

menghindari tebasan golok itu, namun 

satu tendangan yang dilancarkan secara 

bersamaan oleh Penggekrawung sukar 

untuk dihindarinya. Tak ayal lagi 

dadanya pun terhantam tendangan itu.

"Des!"

Kembali tubuh Joko Bara terhuyung 

kebelakang. Saat dia berhasil 

menguasai keseimbangannya, nampak dia 

muntah darah. Nafasnya sudah terengah-

engah. Tenaganya benar-benar terkuras 

habis. Dan matanya berkunang-kunang.

Sementara Penggekrawung terbahak 

melihat pemuda itu muntah darah.

"Hhh! Mampus kau!!" bentaknya 

karena tak ingin membuang waktu lagi. 

Diiringi satu pekikan yang keras, 

tubuhnya pun melayang dengan golok 

lurus di tangan.

Keadaan Joko Bara memang sudah 

memprihatinkan. Dia sudah tidak mampu 

lagi untuk menghindar. Jangankan untuk 

menghindar dengan cara bersalto, 

menggeser tubuhnya saja pun dia sudah 

tidak sanggup.



Ajal sepertinya siap untuk 

menjemput Joko Bara.

Namun tanpa diduga siapa pun, 

sesosok bayangan hitam berkelebat dan 

membawa pergi tubuh Joko Bara.

Golok Penggekrawung menghunjam di 

tanah.

"Hei!!" seru Penggekrawung 

terkejut.

Namun bayangan hitam itu terus 

berkelebat pergi dengan membawa tubuh 

Joko Bara dan samar-samar nampak 

secarik kertas melayang-layang di 

udara dan jatuh di tanah.

Rembaga mengambil kertas itu. Ada 

beberapa baris tulisan. Dia 

membacanya. 

"Kehancuran untuk Golok Hitam 

sudah diambang pintu. Si Tua Tongkat 

Kayu."

Orang-orang itu berpandangan. Si 

Tua Tongkat Kayu. Siapa dia? Mengapa 

begitu berani ikut campur tangan 

urusan Golok Hitam? Hhh! Pasti seorang 

tua yang iseng dan tak punya kemampuan 

apa-apa!

Mereka kembali ke rumah makan 

itu. Orang-orang yang diam-diam 

menonton tadi, buru-buru menghadapi 

hidangannya. Roro Dewi kali ini yang 

melayani mereka. Orang-orang beringas 

itu makan dengan sepuasnya dan sekali


sekali mencolek lengan, pipi, dagu, 

hidung Roro Dewi, yang hanya 

menerimanya dengan pasrah saja, namun 

dengan perasaan muak di hati.

Apalagi suara orang-orang itu 

demikian kerasnya, membuat gendang 

telinga Roro Dewi seakan mau pecah. 

Dan dengan congkaknya Penggekrawung 

memuji dirinya sendiri karena berhasil 

mengalahkan pemuda itu.

Setelah puas makan dan minum, 

barulah orang-orang itu berangkat 

tanpa membayar sepeser pun. Sedangkan 

Roro Dewi kembali mandi lagi untuk 

menghilangkan kuman yang tertinggal di 

wajahnya dari tangan orang-orang itu.

Lalu dia pun segera berangkat ke 

Padepokan Melati Putih untuk 

meneruskan belajar menarinya. Roro 

Dewi mempunyai cita-cita ingin 

menghibur baginda raja di keraton. 

Atau kalau bisa, Roro Dewi ingin 

sekali menjadi selirnya!

Itulah sebabnya dia selalu giat 

berlatih menari di Padepokan Melati 

Putih pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.

Sekali waktu dia memang amat 

cemas dengan perlakuan orang-orang 

Golok Hitam terhadap diri dan ayahnya. 

Juga terhadap warga desa lainnya.

Namun dia berusaha untuk 

menghilangkan semua ketakutan itu. 

Karena giatnya, dengan rasa ketakutan 

atau pun tidak, orang-orang itu tetap

akan menyebarkan terornya pada siapa 

saja yang membangkang mereka. Jadi 

buat apa dia ketakutan? Sebenarnya 

Roro Dewi sejak tadi memperhatikan 

sejak terjang dari Joko Bara. Dia 

menjadi amat kagum dengan keberanian 

pemuda itu.

"Tapi sayang. aku tidak mencintai 

pemuda itu. Bila saja aku punya rasa 

simpati, pastilah aku amat bangga 

terhadapnya.... Dan tentulah aku amat 

menginginkan dia menjadi pendamping 

dan pelindungku...." desisnya. "Tapi 

sayang... aku tak punya perasaan apa-

apa...."

* * *

EMPAT



Kuda hitam itu berhenti tepat 

didepan rumah makan milik Wayan Tua. 

Pandu turun dari sana. Namun dia 

sungguh terkejut karena dengan tiba-

tiba saja, Wayan Tua menyuruhnya untuk 

meninggalkan kedainya.

"Ada apa, Bapa?" tanyanya 

keheranan.

"Anak muda... cepatlah kau 

tinggalkan kedai ini.... Cepatlah...." 

desis Wayan Tua dengan ketakutan. 

Kepalanya mencari-cari sesuatu yang 

nampaknya mampu membuatnya menjadi 

ketakutan seperti itu.

"Kenapa, Bapa?" tanya Pandu pula.

"Apakah kedatangan saya mengganggu?"

"Ya, kedatanganmu mengganggu 

sekali di sini, Anak muda!" kata Wayan 

Tua tegas.

"Tapi, Bapa...."

"Anak muda... akibat perlakuanmu 

itu, orang-orang Golok Hitam semakin 

telengas menurunkan tangan. Sebaiknya 

kau pergi saja dari sini. Cepat!"

"Apa yang telah mereka lakukan, 

Bapa?" 

"Tak perlulah kau banyak 

bertanya! Cepat tinggalkan tempat 

ini!"

Pandu dapat menangkap kalau wajah 

si Bapa ini amat ketakutan sekali. Dan 

Pandu pun dapat mengira-ngira apa dan 

siapa yang membuatnya ketakutan.

Golok Hitam.... Hmm... mereka 

merupakan satu momok abadi yang amat 

menakutkan dan mampu membuat orang 

terkencing-kencing mendengarnya. Dalam 

lubuk hati Pandu, rasa penasaran untuk 

membasmi orang-orang itu semakin 

besar.

Lalu untuk mengenakan hati si 

Wayan Tua, Pandu pun menaiki kudanya 

kembali. Sebelum dia menggebrak 

kudanya, dia berkata:

"Bapa maafkan bila perbuatanku 

tempo hari malah menyulitkanmu...."

Si Wayan Tua hanya diam saja. 

Sebagian bebannya seolah lenyap dengan 

perginya anak muda itu. Tetapi dia pun



menjadi amat was-was karena kini tak 

ada lagi yang berani untuk mencoba 

menentang atau pun menghadapi sepak 

terjang dari orang-orang Golok Hitam.

Dua pemuda yang gagah perkasa pun 

harus pergi dari sini. Pertama, pemuda 

bercaping itu. Bahkan dia sendiri yang 

mengusirnya. Kedua Joko Bara... pemuda 

petani yang gagah berani, namun sia-

sia belaka.

Wayan Tua pun kembali masuk ke 

kedainya. Sejak kejadian beruntun 

beberapa hari yang lalu, kedainya 

semakin lama semakin sepi saja 

dirasakan. Para penduduk yang biasa 

sering makan di kedainya, nampak sudah 

amat ketakutan karena sepak terjang 

orang-orang Golok Hitam semakin kejam 

saja. Sedangkan para pendatang yang 

hendak makan di kedai itu, setelah 

mengetahui keadaan yang sesungguhnya 

menjadi undur diri. Mereka lebih suka 

makan di tempat lain, sekali pun 

mereka merasa sayang karena mereka 

mendengar kabar betapa cantiknya 

Roro Dewi putri dari Wayan Tua.

Wayan Tua mengeluh dalam. Namun 

belum lagi keluhannya putus, tiba-tiba 

pintu kedainya digebrak dari luar. 

Sembarita, Rembaga dan Penggekrawung 

berdiri dengan wajah angker. Terkejut 

Wayan Tua menoleh ke belakang.

"Oh! Selamat... selamat pagi, 

Tuan-tuan...." katanya dengan suara


bernada takut.

"Pagi!" suara Penggekrawung 

angker terasa. Mengejutkan. Wajahnya 

pun semakin garang saja kelihatannya.

"Oh, silahkan... silahkan duduk, 

Tuan-tuan...."

"Hhh!!" Menggeram Penggekrawung. 

"Wayan Tua... apakah kau sekarang 

masih ingin mungkir, kalau kau 

berhubungan dengan pemuda sialan 

itu?!"

"Pemuda... pemuda yang mana, 

Tuan?"

"Jangan banyak cingcong! Dan 

jangan jual lagak di depan kami!!"

"Sungguh, Tuan... saya tidak tahu 

maksud tuan...."

"Settan!!" Tangan Penggekrawung 

bergerak, melayang dan hinggap di pipi 

Wayan Tua.

"Plak!!"

Tubuh yang cukup tua dengan rasa 

takut yang luar biasa, terpental kala 

tangan itu menyambar pipinya. Sungguh 

penderitaan semacam inilah yang amat 

ditakutkan Wayan Tua.

Penggekrawung memburu dan 

menginjak dada yang renta itu. 

"Katakan cepat! Dan jangan banyak 

menjual lagak lagi, bila kau masih 

ingin dadamu ini utuh dan tidak hancur 

diinjak kakiku!!"

"Sungguh, Tuan... saya tidak 

berhubungan dengannya...." meringis


Wayan Tua menahan sakit.

"Bangsat!! Kau pikir orang kami 

buta sehingga salah melihat, Wayan 

Tua?!"

"Tapi... pemuda itu datang tanpa 

kuundang, Tuan.... Dia bahkan aku usir 

untuk segera meninggalkan kedaiku 

ini!" Penggekrawung terbahak. 

"Bagus, bagus apa yang telah kau 

lakukan, Wayan Tua... Tapi mengapa kau 

harus berbohong padaku, hah?! Mengapa 

kau tidak melaporkan semua itu padaku, 

hah?! Mengapa kau tidak melaporkan 

semua itu padaku, hah?! Kau mau coba-

coba dengan kami, Wayan Tua?!"

"Tidak, Tuan.... Tidak.... Semula 

aku memang berniat untuk 

memberitahukan kalian. Namun kedaiku 

ini tidak ada yang menjaga. Semua 

pelayan dan pembantuku sedang belanja 

di kota. Lalu... lalu kupikir, nanti 

siang atau sorelah aku baru melaporkan 

hal ini pada tuan...." Sembarita 

terbahak. Dan mengangkat kakinya dari 

dada yang tua itu. Wayan Tua merayap 

bangun perlahan sambil meringis.

"Bagus, bagus.... Lalu dimana 

putrimu itu si Roro Dewi?"

"Oh, dia... dia ada di kamarnya, 

Tuan...."

"Cepat suruh dia keluar! Dan 

katakan padanya, kami ingin dilayani 

olehnya!!"

Tak berani membantah karena


kuatir tangan kekar dan kejam itu 

melayang kembali, Wayan Tua bergegas 

masuk ke kamar putrinya. Ketiga orang 

itu terbahak sambil menuju ke tempat 

duduk. Sikap mereka benar-benar begitu 

kejam dan amat kurang ajar.

Sementara di kamar putrinya, 

Wayan Tua berusaha keras untuk 

membujuk Roro Dewi agar dia mau keluar 

untuk menemani ketiga orang itu.

"Tapi Bapa... aku sesungguhnya 

takut dengan mereka, Bapak...." kata 

Roro Dewi bagaikan keluhan belaka.

"Begitu pula aku, Roro.... Aku 

pun tak bisa berbuat apa-apa 

menghadapi mereka. Yah... mungkin aku 

terlalu lemah sebagai seorang laki-

laki, juga sebagai seorang ayah yang 

tidak bisa berbuat apa-apa untuk 

melindungi keluarganya. Yah... maafkan 

Bapa, Roro...."

Roro Dewi menjadi tidak tahan 

melihat ayahnya bersikap seperti itu. 

Sungguh mati, sebenarnya dia tidak 

tahan diperlakukan semuanya saja oleh 

orang-orang seram itu. Bahkan tindakan 

mereka selalu amat kurang ajar.

Namun dia pun pasrah pada keadaan 

yang tengah menjeratnya. Dan semua itu 

mau tidak mau harus dihadapinya. Lalu 

dihampirinya ayahnya.

"Bapa... tenanglah... Janganlah 

Bapa berkata seperti itu. Ini mungkin 

sudah nasib kita, Bapa.... Biarlah


semua kita jalankan semampu kita. Bapa 

mengerti, bukan?"

Wayan Tua hanya mendesah saja.

Jelas dia malu dengan apa yang 

terjadi di sini. Apa yang menimpa 

keluarganya. Namun sebagai laki-laki 

dia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun 

tidak sepenuhnya Wayan Tua tidak bisa 

berbuat apa-apa.

Karena dia mengambil sikap 

mengalah ini, demi anaknya. Demi 

putrinya tercinta. Maka dia biarkanlah 

semua harga dirinya jatuh terinjak, 

yang penting baginya... putri 

kesayangannya itu, putrinya semata 

wayang, tidak diperlakukan dengan cara 

yang amat kurang ajar. Meskipun Wayan 

Tua sebenarnya tidak tahan bila 

melihat perlakuan orang-orang itu 

terhadap putrinya.

Ditatapnya wajah putrinya yang 

amat jelita. Tanpa sadar dia jadi 

teringat dengan mendiang istinya yang 

harus membayar semua ini dengan mahal. 

Teramat mahal, karena dia berjuang 

antara hidup dan mati untuk melahir-

kan Roro Dewi 17 tahun yang lalu.

Dan semua itu memang harus 

dibayar dengan mahal. Karena begitu 

Roro Dewi dilahirkan, maka tak lama 

kemudian nyawanya pun melayang.

Tanpa sadar pula air matanya 

mengalir.

Roro Dewi melihat hal itu.



"Mengapa, Bapa? Mengapa Bapa 

menangis?" tanyanya pelan namun 

hatinya pilu. Dia yakin, tangis 

ayahnya itu bukanlah satu bentuk 

tangis kebahagiaan, melainkan tangis 

kepedihan dan kesusahan.

Wayan Tua bergegas mengusap air 

matanya. Malu dia terlihat menangis 

oleh putrinya.

Dia tersenyum walau terasa sekali 

di mata Roro Dewi kalau semua itu 

dipaksakan.

"Aku tidak apa-apa, Roro...."

"Lalu mengapa Bapa menangis?" 

tanya Roro Dewi tidak tahan dan 

menjadi penasaran.

Wayan Tua sekali lagi mendesah.

"Aku teringat akan ibumu, Roro... 

Yah, sudahlah... tidak perlu lagi 

diingat masa yang telah lewat. Dan 

kesedihanku yang sekarang ini, aku 

seolah membiarkan saja kau masuk ke 

perangkap dan ke sarang macan orang-

orang Golok Hitam.... Aku sedih 

sekali, Roro...."

"Bapa... sudahlah, jangan terlalu 

dipikirkan. Bila aku tidak melakukan 

hal itu, maka kita semua ini akan 

hancur binasa. Untungnya, mereka tidak 

melakukan hal yang teramat kurang 

ajar, meskipun hatiku terasa pedih dan 

teramat sakit bila mengingat 

perlakukan mereka itu...."

"Maafkan Bapa, Roro.... Bapak


tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bila 

Bapa menentang mereka, maka yang Bapa 

kuatirkan adalah nasib kau. Nasib kau 

sesungguhnya berada di tangan Bapa. Di 

sikap Bapa. Dan begitu pula

sebaliknya. Nasib Bapa pun berada di 

tangan kau. Dari sikap kau terhadap 

orang-orang itu. Bila kita sedikit 

saja melakukan kesalahan bersikap, 

maka habislah kita...."

"Wayan Tuaaa!!!" Terdengar seruan 

itu. "Mengapa kau begitu lama, hah?!"

"Cepatlah, Roro... manusia-

manusia itu sudah tidak sabar lagi 

untuk kau temani...."

"Baiklah, Bapa... untuk saat ini 

kita harus menurut pada mereka. Namun 

suatu ketika, kita akan terbebas dari 

mereka..,." kata Roro Dewi mantap 

dengan nada yang amat yakin sekali 

akan kemungkinan itu.

Wayan Tua sendiri terperangah 

mendengar kata-kata yang dilontarkan 

dengan nada yang meyakinkan.

Lalu dia melihat Roro Dewi telah 

bersalin dari balik kamarnya. Dan 

dilihatnya pula langkah ringan 

putrinya berjalan ke arah orang-orang 

yang menunggu itu. Wayan Tua merasa 

seakan melepas putrinya ke sarang 

macan. Dan dia hanya bisa menunggu 

dengan hati yang teramat cemas.

"Tuhan, lindungilah kami dari ke-

kejaman orang-orang telengas ini...."

desisnya pilu dan hampir selalu dia 

mengucapkan doa itu.

Dan dia hanya bisa memperhatikan 

dengan hati yang pilu melihat putrinya 

diperlakukan dengan kurang ajar oleh 

orang-orang itu sambil terbahak-bahak.

Wayan Tua pun dapat merasakan 

kesedihan apa yang diderita oleh 

putrinya. Rasa malu dan rasa marah 

tentunya bercampur dengan rasa tidak 

berdaya.

"Maafkan Bapak, Roro...."

* * *

LIMA



"Mulai besok malam, Roro Dewi 

sudah berada di sini! Mengerti?!" 

Membentak Gondeng dengan suaranya yang 

keras. Membuat anak buahnya terkejut.

"Baik, Ketua," sahut 

Penggekrawung. "Dan aku tidak ingin 

kalian berlambat-lambat lagi! Mencari 

pemuda bercaping itu saja hingga 

sekarang kalian belum berhasil juga! 

Apa sebenarnya yang bisa kalian 

lakukan, hah?!"

Mereka hanya menundukkan kepala. 

Tak ada satu pun yang berani mendeham, 

menyahut. Bahkan bernafas saja mereka 

seakan kesusahan. Namun dalam hati 

mereka menggerutu, "Sialan... siapa 

pun mau sama Roro Dewi yang cantik



itu...." Namun sudah tentu hal itu 

tidak mereka kemukakan.

Karena bila mereka lakukan itu, 

maka artinya mereka tengah mencoba 

menentang maut.

Jadi yang bisa mereka lakukan 

sekarang, hanyalah menganggukkan 

kepala saja. Karena tak ada lagi yang 

dapat mereka lakukan.

"Hhh! Kalian ini adalah kambing-

kambing congek yang tak punya malu! 

Bisa kalian hanya mengangguk dan 

berjanji untuk memenuhi semua 

keinginanku. Namun mencari pemuda 

bercaping itu saja kalian tidak tahu! 

Goblok semuanya!! Dan apakah kalian 

akan gagal pula membawa Roro Dewi ke 

sini?!"

Penggekrawung menyahut. "Tidak, 

Ketua... Kami tidak akan pernah 

gagal...."

"Hmm... bagus, aku amat senang 

mendengar omongan seperti itu. Tetapi 

aku amat tidak senang bila melihat 

hasil yang kalian perbuat nol belaka! 

Kosong melompong tanpa satu bentuk 

yang membanggakan! Mengerti?"

"Ya, Ketua!"

"Hmm... lebih baik kalian 

keluarlah dari sini! Aku muak melihat 

tampang bodoh kalian!!"

Satu persatu mereka keluar 

meninggalkan ruangan itu. Lalu Gondeng 

sendiri segera masuk ke kamarnya. Di


mana di sana sudah menunggu dua orang 

wanita muda dengan pakaian minim yang 

merangsang dan wajah tidak sabar.

Gondeng tertawa melihatnya.

Tak lama kemudian di kamar itu 

pun terdengar desah mesum dan tawa 

yang dapat menggoda napsu birahi.

Malam semakin larut.

Suara mesum dari kamar itu makin 

jelas terdengar. Membuat gairah makin 

memuncak.

"Wayan Tua!! Panggil Roro Dewi ke 

mari! Cepat!!" Terdengar seruan itu 

demikian keras. Mengejutkan telinga 

Wayan Tua yang berada di ruang tengah. 

Juga membuat terkejut Roro Dewi yang 

tengah bersiap-siap untuk berlatih 

menari di Padepokan Melati Putih 

pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.

Tergopoh-gopoh Wayan Tua muncul 

dari dalam. Terbungkuk-bungkuk dia 

berkata, "Oh, selamat datang, Tuan-

tuan.... selamat datang...."

Penggekrawung menendang sebuah 

kursi.

"Panggil Roro Dewi keluar!"

"Oh, dia... dia...."

"Panggil cepat!!"

"Putriku... sedang... bersiap-

siap hendak latihan menari, Tuan...."

"Perduli setan! Cepat panggil dia 

keluar! Aku tidak mau bertele-tele, 

Wayan Tua!"

"Tapi, Tuan...."


"Bangsat!!" Tangan Penggekrawung 

melayang. Panas sekali Wayan Tua 

terasa di pipi. "Jangan coba-coba 

membantah, Wayan Tua! Panggil dia!"

"Roro Dewi...."

"Plak!"

Kali ini dengan hentakan tubuh 

yang terpelanting.

"Orang bodoh! Goblok! Panggil 

Roro Dewi, cepat!!"

Namun Wayan Tua tetap menolak. 

Dia yakin sekali kalau orang-orang ini 

punya maksud yang amat tidak baik. 

Karena melihat dari sikap mereka yang 

berangasan seperti ini. Entah mengapa 

Wayan Tua merasakan kalau putrinya 

hendak diculik oleh orang-orang 

beringas itu!

Maka dia bersikeras untuk tidak 

memanggil. Sembarita mendengus keras. 

Kakinya melayang.

"Des!"

Tubuh tua yang hendak bangkit itu 

terpelanting kembali.

"Banyak cingcong!" geram 

Sembarita,

"Biar aku cari gadis itu" 

dengusnya pula seraya melangkah ke 

dalam.

Wayan Tua yang yakin kalau 

putrinya hendak diculik berusaha 

menahan langkah Sembarita. Dia 

menubruk kaki Sembarita. Dan 

memegangnya dengan erat sekali.


"Anjing buduk!" geram Sembarita 

seraya menendang. Namun dekapan tangan 

yang amat kuat itu tak terlepas. 

Membuat Sembarita semakin jengkel. 

"Bangsat!!" Dia menendang lagi. Dan 

lagi. Semua itu dilakukan dengan 

kekejaman yang luar biasa. "Mampuslah 

kau, orang tak berguna!!" dengusnya 

dan menjejakkan kakinya ketangan yang 

masih berusaha untuk menahan 

langkahnya itu. Namun genggaman tangan 

itu bagaikan dekapan belaka. Teramat 

kuat mengikat.

Kegeraman Sembarita semakin 

menjadi-jadi. Dengan ganas dan 

berulangkali tanpa rasa kasihan 

sedikit pun, dia menjejak-jejakkan 

kakinya terus menerus. Hingga tangan 

itu pun luka dan mengeluarkan darah 

segar.

Wajah Wayan Tua meringis menahan 

sakit yang amat luar biasa. Namun dia 

masih berusaha untuk menahan langkah 

Sembarita.

Sayup berat dan samar dia 

berseru, "Roro... Roro... cepat 

tinggalkan tempat ini! Cepat, Roro!"

Sebenarnya tanpa diperintahkan 

seperti itu pun Roro Dewi sudah 

melihat kejadian yang menimpa ayahnya. 

Keadaan ayahnya amat menyedihkan 

sekali. Dia dapat melihat pula kedua 

tangan ayahnya yang erat menggenggam 

kaki Sembarita telah penuh dengan


darah.

Dan dia pun melihat pula sebelah 

kaki Sembarita yang bebas, 

berulangkali menjejak di kedua tangan 

ayahnya.

Pilu Roro Dewi mendesah, 

"Tuhan... selamatkan nyawa ayahku dari 

orang-orang beringas itu...."

Lalu dia pun segera berkemas. Dan 

kala dilihatnya Penggekrawung dan 

Rembaga bergegas menuju ke dalam, dia 

pun berlari melalui pintu belakang. 

Sebenarnya dia tak kuasa untuk 

meninggalkan ayahnya dalam keadaan 

disiksa seperti itu. Namun mau tak mau 

dia memang harus meninggalkannya.

Menurutnya, dia atau ayahnya yang 

harus berkorban. Bila kedua-duanya 

yang berkorban, maka akan terasa makin 

sia-sia.

Sambil terus berlari dia mendesah 

pelan, "Maafkan aku, Bapa...."

Sementara Penggekrawung dan 

Rembaga mendengus hebat menyadari Roro 

Dewi sudah tidak ada di tempatnya.

"Bangsat!" Menggeram 

Penggekrawung sambil menendang ranjang 

milik Roro Dewi hingga hancur 

berantakan.

Lalu dia pun mengacak-ngacak 

seisi kamar itu, sedangkan Rembaga 

telah berlari ke luar. Dan tidak 

melihat bayangan Roro Dewi yang masih 

nampak.


"Anjing!! Setan!" Dia pun 

mendengus hebat. Tangannya melayang ke 

dinding belakang rumah Wayan Tua, 

dinding itu pun bolong seketika.

Lalu dengan wajah panas dan 

kejengkelan yang amat luar biasa, 

keduanya kembali ke dalam. Dan melihat 

Sembarita sudah berhasil membebaskan 

diri, dan tengah menendang dada Wayan 

Tua hingga terpelanting muntah darah.

"Bagaimana? Mengapa Roro Dewi 

tidak bersama kalian?" tanyanya 

melihat kedua temannya kembali tanpa 

Roro Dewi.

"Dia sudah melarikan diri!" geram 

Rembaga. Dan menghampiri Wayan Tua 

yang nampak sedikit tersenyum 

mendengar hal itu.

"Ini semua gara-gara kau, laki-

laki tak berguna!!" Lalu kakinya 

melayang dengan deras.

"Des!"

Kembali sosok tua itu harus 

terpelanting ke belakang dan kembali 

muntah darah.

Menyadari hal itu, Sembarita pun 

menjadi semakin buas. Demikian pula 

dengan Penggekrawung. Dan ketiganya 

pun menjadikan tubuh Wayan Tua seperti 

bola yang dioper ke sana ke mari 

belaka.

Namun meskipun mengalami siksaan 

yang amat hebat, sekali pun tidak 

terdengar seruan kesakitan dari mulut


Wayan Tua. Dia sepertinya mandah dan 

pasrah saja pada Tuhan akan nasib yang 

akan dideritanya.

Hal ini semakin membuat orang-

orang itu marah.

"Anjing!" bentak Penggekrawung. 

"Bunuh saja manusia tak berguna ini!"

Rembaga pun segera meloloskan 

goloknya yang besar.

"Memang tak layak hidup manusia 

seperti ini!" geramnya. Dan tangannya 

pun mengayun, goloknya siap mengancam. 

Wayan Tua yang tak berdaya hanya bisa 

memejamkan matanya belaka.

Namun tiba-tiba saja ayunan 

tangan yang memegang golok besar itu 

terhenti. Dan kaku dengan tangan dan 

golok yang masih terangkat.

Lalu terdengar suara benda jatuh 

di dekat kaki Rembaga. Ketika mereka 

lihat, sebuah kerikil yang jatuh tadi. 

Dan kerikil itulah yang membuat tubuh 

Rembaga menjadi kaku. Rupanya ada 

seseorang yang melemparkan kerikil itu 

dari jarak jauh untuk menotok Rembaga.

"Bangsat!! Siapa yang berani buat 

ulah seperti ini, hah?!" Menggeram

Penggekrawung dengan mata bersiaga. 

"Keluar kau, Manusia pengecut!"

Namun Penggekrawung tak perlu 

lagi untuk meneriakkan kata yang sama 

untuk kedua kalinya, karena mendadak 

saja bagai ada angin keras yang 

datang, tiba-tiba terlihat satu sosok


tubuh berdiri tegak di hadapan mereka.

Wayan Tua cukup terkejut melihat 

sosok itu. Tadi pun dia heran dan 

membuka matanya karena merasa golok 

Rembaga tidak segera menjalankan 

tugasnya.

Sosok itu seorang pemuda gagah. 

Dia berbaju putih. Di punggungnya 

terdapat sebilah golok yang sarungnya 

terbuat dari batang kayu yang 

berlapiskan timah kuning.

Dan dia mengenakan caping yang 

menutupi sebagian wajahnya. Dia adalah 

Pandu, Pendekar Gagak Rimang.

"Anak muda!" desis Wayan Tua 

tidak sadar.

Sementara orang-orang itu pun tak 

kalah terkejutnya melihat siapa yang 

datang dan siapa yang telah membuat 

kawan mereka menjadi kaku seperti itu.

Pemuda yang telah lama mereka 

cari.

"Kau?" dengus Penggekrawung.

Wajah yang sebagian hampir 

tertutup oleh caping itu, mendengus.

"Ya, aku yang datang. Dan akan 

menghentikan sepak terjang kalian!"

"Sombong!"

"Hmm... kalian akan melihat 

seperti apa omongan yang baru saja 

kuucapkan tadi! Dan aku bukanlah orang 

pengecut seperti kalian, yang hanya 

bisa mengeroyok orang yang lemah tak 

berdaya! Aku juga bukan orang yang


kejam, yang telengas menurunkan 

tangan! Bila kalian ingin bertobat dan 

berjanji tidak akan melakukan hal 

seperti ini lagi, maka aku akan 

mengampuni semua perbuatan kotor 

kalian!"

Tetapi kata-kata itu malah 

membuat mereka menjadi geram dengan 

wajah memerah. Lalu disusul dengan 

tawa yang keras.

"Hahaha... sombong! Kita buktikan 

dulu apa yang bisa kau perbuat, hah?"

"Apakah kalian masih belum kapok 

atau sudah lupa yang kalian alami 

beberapa minggu yang lalu? Atau kalian 

masih ingin merasakan kerasnya kepalan 

tanganku?!"

"Sombong!" geram Sembarita dan 

mencoba untuk melepaskan totokan pada 

tubuh Rembaga. Namun dia terkejut, 

karena totokan itu sukar untuk 

dilepaskan. Mestinya menurut Sembarita 

totokan itu akan mudah dilepaskan, 

mengingat totokan itu dilakukan dari 

jarak jauh dengan sebuah kerikil kecil 

pula.

Namun totokan itu memang 

dilakukan oleh seorang yang ahli, 

sehingga sulit untuk dilepaskan. Dan 

Pandu sudah amat ahli dengan segala 

bentuk totokan, meskipun dilakukannya 

dari jauh maupun dekat.

Sekali lagi Sembarita 

melakukannya. Namun lagi-lagi totokan


itu tidak bisa terlepas. Hingga dia 

mengeluarkan tenaga dalamnya pun 

totokan itu tetap pada tempatnya. 

Malah membuat Rembaga meringis 

kesakitan akibat totokan itu.

Pandulah menarik senyumnya.

"Hmm... kau nampaknya masih harus

belajar lebih banyak lagi, Ki 

Sanak...." desisnya yang membuat 

Sembarita langsung menoleh dengan mata 

terbelalak garang.

"Sombong!" dengusnya. 

"Kubunuh kau!"

"Hahaha... majulah, Ki Sanak...."

"Tunggu!" Tahan Penggekrawung 

sebelum Sembarita menyerang. Namun 

golok itu telah diloloskan dari 

sarungnya. Penggekrewung mendengus 

tajam, "Anak muda... katakanlah siapa 

kau sesungguhnya?"

"Dulu... bukankah sudah pernah 

kukatakan siapa namaku. Baiklah... aku 

mengulanginya lagi. Namaku Pandu. Dan 

orang menjulukiku Pendekar Gagak 

Rimang. Puas? Atau... ya, tentunya kau 

tidak puas, bukan? Baiklah... akulah 

yang akan menghentikan sepak terjang 

kejam yang telah kalian lakukan. Juga 

bagi semua orang-orang Golok Hitam!"

Kali ini Sembara tak bisa lagi 

menahan emosinya. Maka dengan satu 

jeritan keras, dia pun menerjang. 

Golok besar di tangannya yang berwarna 

hitam itu berkelebat dengan ganas


menyerbu.

"Hati-hati dengan golok itu, Ki 

Sanak...." sahut Pandu sambil terus 

menghindar. Golok itu memang seakan 

memiliki mata, namun naluri berkelebat 

menghindar milik Pandu pun berjalan 

dengan penuh konsentrasi.

Melihat kawannya hanya dijadikan 

mainan belaka oleh Pandu, 

Penggekrawung pun datang membantu. 

Keduanya bergerak dengan cepat. 

Membabi buta dengan gerakan dan 

serangan yang amat berbahaya.

Pandu pun merasa harus segera 

memberikan pelajaran bagi kedua orang 

itu. Kini dia tidak hanya menghindar 

saja, dia pun mulai membalas dengan 

jurus Pukulan Patuk Gagak Rimang. Kali 

ini kedua lawannya benar-benar 

kebingungan dan kewalahan.

Kedua tangannya yang membentuk 

paruh mirip gagak berkelebat dengan 

gerakan yang amat fantastis sekali. 

Cepat, tangkas dan hebat.

"Hahaha... di mana nama besar 

orang-orang Golok Hitam bila tingkah 

laku kalian begitu pengecut seperti 

ini?!"

Seruan mengejek Pandu itu membuat 

keduanya semakin ganas menyerang, 

sementara Rembaga masih terdiam kaku. 

Dia sungguh geram sekali menyadari 

dirinya tak berguna sama sekali.

Pandu lama kelamaan merasa bosan


dengan cara berlama yang dia lakukan 

sendiri. Semula dia hendak membuat 

jera kedua manusia ini dengan cara 

mempermainkan mereka. Namun lama 

kelamaan dia sendiri yang merasa 

bosan. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya 

berjumpalitan ke belakang, kala golok 

Penggekrawung dengan kejamnya mencoba 

menyabet kedua kakinya dan golok 

Sembarita bergerak hendak menusuk 

perutnya.

Dan begitu kakinya hinggap di 

lantai, tubuhnya melenting kembali, 

dengan kedua tangan berbentuk patuk 

gagak yang siap menghantam sasarannya.

Kedua lawannya terkejut dengan 

gerakan yang diperlihatkan Pandu. 

Sebisanya keduanya menyabetkan golok 

yang mereka pegang untuk menghalau 

serangan itu. Namun lagi-lagi gerakan 

yang aneh diperlihatkan Pandu. Begitu 

kedua golok lawannya berkelebat di 

dada, dengan menurunkan sedikit posisi 

tangannya, Pandu menangkap pergelangan 

tangan kedua lawannya yang memegang 

golok.

Lalu memuntirnya, semua gerakan 

itu dilakukannya dengan cepat.

Dan kedua golok itu pun terlepas 

karena kedua lawannya tidak mau kalau 

tangan kanan mereka patah.

Tidak hanya sampai di situ saja 

yang dilakukan Pandu, begitu kedua 

golok lawannya berhasil pindah tangan,


dia menekuk kedua tangan dan 

menghantam dada kedua lawannya dengan 

tangkai golok itu.

"Des!"

"Des!"

Kedua lawannya tersuruk ke bela-

kang dengan masing-masing merasakan 

dadanya sakit bukan kepalang. Hantaman 

tadi mereka rasakan bagaikan gedoran 

sebuah godam besar.

Pandu mendengus seraya melem-

parkan golok itu ke belakang. Dan 

hebatnya, kedua golok itu menancap di 

tembok yang terbuat dari batu hingga 

setengahnya. Pertunjukan tenaga dalam 

yang hebat diperlihatkan Pandu.

"Hmm... lebih baik kalian segera 

pergi dari sini. Aku bukanlah orang 

yang kejam, yang suka menurunkan 

tangan telengas pada siapa pun. 

Termasuk kalian. Namun bila kalian, 

masih keras kepala juga, maka aku tak 

kuasa untuk menahan marahku berlama-

lama.

Cepatlah kalian pergi dari sini. 

Dan katakan pada pimpinan kalian... 

kalau aku, Pandu... akan menghentikan 

segala kegiatan busuknya hingga ke 

akar-akarnya!"

Penggekrawung dan Sembarita yang 

merasa tidak akan mampu untuk 

menghadapi Pandu segera bergegas 

melarikan diri, tanpa menghiraukan 

Rembaga yang masih dalam keadaan


tertotok.

Pandu tersenyum seraya mendekati 

Rembaga.

"Hmm... bukankah kau lihat, bahwa 

sesungguhnya kedua temanmu itu amat 

pengecut? Bila saja aku ingin membunuh 

kalian, tak ada susahnya sedikit pun. 

Namun aku bukanlah kalian, juga bukan 

kau yang telengas menurunkan tangan. 

Nah, pergilah dari sini, katakan pada 

pemimpin kalian, kalau aku akan datang 

ke tempat kediamannya untuk 

menghentikan sepak terjang kejamnya. 

Nah, pergilah!" desis Pandu seraya 

melepaskan totokan pada Rembaga.

Tubuh yang kaku itu pun dapat 

digerakkan kembali.

"Terima kasih, Pendekar...." 

desisnya lalu beranjak hendak 

meninggalkan tempat itu. Namun baru 

dua tindak dia melangkah, tiba-tiba 

saja dia membalikkan tubuhnya dengan 

cepat, seraya menyabetkan goloknya.

Sekali pun Pandu sedang 

membelakanginya, namun angin yang 

cukup keras akibat sabetan golok itu 

dapat dirasakannya. Mendadak saja dia 

melenting ke belakang dan langsung 

menghantamkan tangannya ke leher 

Rembaga saat dia masih posisi di 

udara.

Terdengar suara "Krak" yang cukup 

keras. Leher Rembaga patah. Dan 

tubuhnya menggelosor ke lantai.


Pandu mendesah panjang.

"Maafkan aku, Ki Sanak... bukan 

maksudku untuk membunuh. Namun kau 

sendiri yang memaksaku untuk berbuat 

seperti itu," desahnya pilu.

Lalu perlahan-lahan dihampirinya 

Wayan Tua yang tengah menahan rasa 

sakitnya. Pandu menotok beberapa jalan 

darahnya untuk mengurangi rasa sakit 

yang diderita Wayan Tua. Dan 

mengalirkan sedikit tenaga dalamnya 

melalui kedua tapak tangan Wayan Tua.

Perlahan-lahan terlihat kalau 

wajah itu mulai sedikit bersinar dan 

tidak meringis kesakitan seperti tadi.

Hanya suaranya yang masih lemah.

"Kau...." desisnya pelan.

"Bapa sudah kukatakan sejak 

semula padamu, biarkan aku berada di 

sini. Bila kita tidak mencoba melawan 

mereka, niscaya kita akan selalu 

mereka tekan, Bapa...."

"Kau benar, Anak muda...."

"Perbuatan mereka itu tidak bisa 

kita biarkan begitu saja, Bapa... Kita 

harus melawan...."

"Ya, ya... seharusnya aku memang 

berani melawan mereka. Dan karena 

kepengecutankulah... maka semua ini 

terjadi."

"Bapa... aku tahu, apa yang 

terjadi. Aku pun sudah menghubungi Ki

Lurah Sen Kawung. Dia sendiri angkat 

tangan. Apalagi engkau. Namun mulai


detik ini kita akan mencoba untuk 

menentang mereka. Ki Lurah Sen Kawung 

sendiri menyetujui usulku itu...."

"Anak muda... siapakah kau 

sebenarnya?" tanya Wayan Tua sambil 

menatap lekat pada Pandu.

"Aku hanyalah seorang pengelana 

dari Gunung Kidul, Bapa.... 

Kedatanganku ke Desa Babakan Hijau ini 

secara tidak sengaja. Dan melihat 

adanya kezaliman yang sedang terjadi 

di sini, aku tidak bisa lagi untuk 

segera melanjutkan perjalanan. Karena 

belum merasa tenang bila masih melihat 

dan mengingat keadaan desa ini...."

"Sungguh mulia hatimu, Anak 

muda...."

"Karena sebagai umat manusia, 

kita harus tolong menolong, bukan? Kau 

bersedia untuk menentang mereka, 

Bapa?"

"Ya, Anak muda.... Tentu aku 

bersedia...." Dan tiba-tiba saja Wayan 

Tua tertegun.

Pandu melihat itu dan menangkap 

satu perubahan yang drastis.

Penasaran dia bertanya, "Ada apa, 

Bapa?"

"Roro Dewi...."

"Apa, Bapa?"

Kepala Wayan Tua terangkat, 

menatap Pandu.

"Anakku..."

"Mengapa dengan anakmu, Bapa?"


"Oh! Roro Dewi!"

Pandu mengerti sekarang, putri 

laki-laki inilah yang ada di pikiran 

Wayan Tua.

"Mengapa dengan putrimu? Mengapa 

dengan Roro Dewi?" tanyanya cepat.

Wayan Tua menyaut, "Putriku 

melarikan diri, Anak muda...."

"Maksudmu?"

"Entahlah yang sebenarnya 

bagaimana. Namun yang kutahu, saat 

orang-orang kejam itu hendak menculik 

putriku, mereka kembali tanpa membawa 

putriku dari kamarnya. Kata salah 

seorang, putriku sudah melarikan diri. 

Tapi entahlah bagaimana 

sesungguhnya...."

Pandu mendesah.

"Ke mana dia pergi, Bapa?"

"Aku tidak tahu, Anak muda... 

tadi aku senang mendengar kabar 

putriku melarikan diri, namun sekarang 

aku cemas memikirkan nasibnya. 

Tentunya orang-orang itu tak akan 

membiarkan dia lolos begitu saja."

"Pernahkah dia ngambek pada 

Bapa?"

"Apa maksud dari pertanyaanmu 

itu, Anak muda?"

"Jawablah, Bapa... Pernah atau 

tidak."

"Pernah."

"Hmm... bila dia sedang ngambek, 

apa yang dilakukan?"


"Hmm... biasanya, dia mening-

galkan rumah."

"Bapa tahu ke mana dia pergi?"

"Oh, ya... ya... aku tahu. 

Padepokan Melati Putih. Tempat dia 

belajar menari. Ya, ya... dia selalu 

pergi ke sana bila sedang ngambek atau 

pun kena marah. Nyai Ratih Alas 

Kembang amat mengasihinya."

"Kalau begitu... biar saya yang 

mencarinya ke sana. Lebih baik bapa 

istirahat saja dulu."

"Ya, ya... Anak muda... Tolong 

carikan putriku. Dan jaga 

keselamatannya," kata Wayan Tua. Lalu 

dengan suara mantap dan penuh 

keyakinan, dia berkata sambil menatap 

Pandu. "Anak muda... kuserahkan jiwa 

dan raga milik putriku itu padamu. 

Jagalah dia, Anak muda...."

Namun Pandu sudah tidak mendengar 

lagi kata-kata selanjutnya, karena 

tubuhnya sudah melesat pergi dengan 

cepat. Dan menyadari sosok pemuda 

bercaping itu sudah tidak ada di 

tempatnya, Wayan Tua hanya bisa 

melongo. Namun dari rasa kaget itu 

beralih ke rasa kagum.

"Kau benar, Anak muda,... Bila 

kita tidak berusaha untuk melawan, 

maka selamanyalah kita akan ditindas 

oleh orang-orang kejam itu...." 

desisnya. "Ah, andaikata saja kau 

berjodoh dengan Roro Dewi... alangkah


senangnya aku mempunyai menantu 

seorang gagah perkasa dan baik budi 

seperti kau, Anak muda... Mudah-

mudahan semua keinginanku itu 

tercapai...."

Sementara itu kuda yang dipacu 

Pandu sudah melesat. Dia memang 

menemukan Roro Dewi berada di 

Padepokan Melati Putih milik Nyai 

Ratih Alas Kembang.

Semula Roro Dewi ragu untuk 

menemuinya karena dia kuatir pemuda 

itu merupakan salah seorang dari 

gerombolan kejam itu. Namun setelah 

Pandu menjelaskan semuanya, barulah 

rasa kuatirnya perlahan-lahan sirna.

"Lalu... bagaimana dengan bapa, 

Kakang?" tanya Roro Dewi cemas.

"Tenanglah, Roro... Kupikir, 

ayahmu tidak mengalami kurang suatu 

apa. Kondisinya sudah cukup sehat."

"Terima kasih, Kakang," kata Roro 

Dewi sambil berusaha menatap wajah 

yang sebagian tertutup caping itu. 

Namun tidak berhasil. Hati kecilnya 

berkata, "Aku berani bertaruh... pasti 

wajah itu begitu tampannya...."

"Roro... kalau begitu, kau tetap 

saja di sini. Kau nampaknya aman. Dan 

tersembunyi. Bila keadaan diluar sudah 

betul-betul, aman barulah kau bisa 

keluar dan kembali ke rumah." kata 

Pandu yang diam-diam mengagumi pula 

kecantikan wajah Roro Dewi.


"Iya, Kakang."

"Kalau begitu, aku permisi, 

Roro!" kata Pandu sopan, lalu mundur 

dan menaiki kudanya. Digebraknya 

kudanya tanpa menoleh lagi pada Roro 

Dewi padahal gadis itu berharap tadi, 

mungkin dari bawah bisa melihat wajah 

pemuda itu.

Roro Dewi hanya mendesah panjang.

Entah mengapa dia sudah menaruh 

rasa kagum terhadap pemuda itu. 

Padahal dia baru kali ini melihatnya. 

Melihat wajahnya? Ah, tidak sedikit 

pun dia bisa melihat secara utuh. 

Namun dia yakin, wajah pemuda itu 

pasti tampan.

Ih, memikirkan hal itu wajah Roro 

Dewi memerah.

Lalu buru-buru dia masuk ke dalam 

Padepokan Melati Putih milik Nyi Ratih 

Alas Kembang, yang menerima 

kedatangannya dengan senang hati.

Dia pun diberikan sebuah kamar.

Dan di kamar itulah langkahnya 

mendadak terhenti. Tertegun. Dan 

mulutnya terbuka.

Dia belum tahu nama pemuda itu!

* * *

ENAM



Bukit Siguntang malam hari.

Gondeng menggeram hebat ketika 

Penggekrawung dan Sembarita melaporkan 

hasil kerjanya. Wajah laki-laki seram 

itu semakin menyeramkan saja.

"Bodoh! Goblok!!" makinya.

Penggekrawung dan Sembarita hanya 

terdiam. Lalu terdengar suara 

Penggekrawung berkata, "Maafkan kami, 

Ketua... lagi-lagi pemuda itu yang 

menghalangi sepak terjang kami."

"Goblok! Mengapa tidak kalian 

tangkap saja, hah?!"

"Kesaktiannya amat tinggi, 

Ketua...."

"Bodoh! Hmm... Pandu, siapa kau 

sebenarnya...."

"Dia mengaku bernama Pendekar 

Gagak Rimang, Ketua...."

Godeng yang sedang melangkah 

mondar mandir, seketika langkahnya 

terhenti dan menoleh cepat.

"Apa?!"

"Ya, Ketua... dia bergelar 

Pendekar Gagak Rimang...."

Gondeng mengusap-usap dagunya.

"Hm... ya, ya... aku kini tahu 

siapa dia. Beberapa bulan yang lalu, 

kala kudengar sengketa antara Keraton 

Utara dan Keraton Selatan, dengan 

pengkhianatan yang dilakukan oleh 

salah seorang Keraton Utara yang



bermaksud hendak menggulingkan Prabu 

Sri Jayarasa... seorang pemuda 

bercaping... hei, benarkah dia 

mengenakan caping?"

"Ya, Ketua...."

"Ya, ya... pemuda bercaping 

itulah yang menyelamatkan kedua 

keraton itu dari salah paham mereka. 

Dan dia mengaku bergelar Pendekar 

Gagak Rimang...."

Apa yang dikatakan Gondeng itu 

memang benar adanya. Dalam mulai turun 

gunungnya, Pandu sudah terlibat dalam 

satu pertikaian hebat antara Keraton 

Utara dan Keraton Selatan, yang mana 

ternyata semua itu ditimbulkan oleh 

salah seorang panglima yang ingin 

menggulingkan keraton. (Baca: Lahirnya 

sang Pendekar & Genta Perebutan 

Kekuasaan)

Mereka terdiam. Gondeng pun 

nampaknya tengah memikirkan sesuatu. 

Tiba-tiba dia memukulkan tangannya ke 

meja hingga meja itu hancur 

berantakan.

"Hmm... aku ingin mengenal pemuda 

itu lebih dekat. Dan ingin kutahu 

sampai di mana kehebatan ilmunya. 

Hahaha... mampukah dia menghadapi ilmu 

golokku dan kesaktian Mestika Golok 

Hitam? Hahaha... kau akan segera 

mampus, Pendekar Gagak Rimang...."

Gondeng tertawa hebat. Namun 

seketika tawanya terhenti, karena


diluar terdengar suara ribut-ribut. 

Seperti orang sedang berkelahi.

Penggekrawung dan Sembarita sudah 

melesat ke luar. Dan mereka melihat 

sepuluh orang pemuda tengah bertarung 

sengit dengan anggota Golok Hitam yang 

menjaga. Di antara mereka terdapat Ki 

Lurah Sen Kawung. Dan salah seorang 

pemuda itu adalah sosok berpakaian 

putih yang mengenakan caping.

Rupanya Pandu sudah berhasil 

menyusun satu pasukan yang gagah 

berani, termasuk Ki Lurah Sen Kawung 

sendiri. Malam ini pula dia segera 

mengajak orang-orang itu untuk 

menyerbu ke Bukit Siguntang, di mana 

anggota Gerombolan Golok Hitam 

bermukim. 

Melihat hal itu, Penggekrawung 

dan Sembarita segera menerjunkan diri 

dalam pertempuran. Suara senjata 

beradu ramai terdengar.

Bukit yang kelihatan sepi itu 

malam ini seperti bagaikan ada sebuah 

pesta yang meriah.

"Trang!"

"Trang!"

"Cras!"

"Aduh!"

"Akkkhhh!!"

"Serbuuuu!!"

Seruan-seruan itu bercampur baur 

dengan hentakan hebat yang mereka 

lakukan. Ki Lurah Sen Kawung seperti


menemukan sosok dirinya di zaman 

mudanya, yang gagah berani dan 

perkasa.

Namun begitu masuknya Pengge-

krawung dan Sembarita, kelihatan 

mereka cukup terdesak. Pandu yang 

bermaksud hendak masuk ke bangunan 

besar itu untuk mencari Gondeng, 

mengurungkan niatnya.

Namun begitu dia hendak mendekati

Penggekrawung dan Sembarita, terdengar 

seruan keras disusul dengan dua sosok 

tubuh yang bersalto memasuki 

pertempuran.

"Anak muda... biar orang-orang 

ini aku yang mengurus!"

Lalu disusul dengan sebuah 

kibasan tongkat.

"Trang!"

Pandu melihat yang berseru itu 

adalah si Pengemis. Dia tersenyum. 

"Baiklah, Paman!"

"Nah, cepatlah kau ke dalam, 

sebelum bangsat pimpinan itu melarikan 

diri!"

"Baik, Paman!"

Pandu pun melesat ke dalam.

Sementara si pengemis itu pun 

segera memutar tongkat kayunya dan 

mengibaskannya pada anggota gerombolan 

itu.

"Hahaha... kalian, akan mampus 

semua! Akulah si Tua Tongkat Kayu yang 

bermaksud memusnahkan kalian!!"


Sedangkan yang seorang lagi 

adalah Joko Bara, pemuda gagah berani 

yang mencoba menentang sikap orang-

orang itu di kedai milik Wayan Tua. 

Melihat di antara orang-orang itu 

adalah warga desanya, maka dengan 

penuh semangat Joko Bara pun masuk ke 

kancah pertempuran.

Dengan datangnya dua orang itu, 

kedudukan orang-orang Golok Hitam 

nampak terdesak hebat. Belum lagi kayu 

yang ada di tangan pengemis itu, yang 

mengibas gila dengan cepat. Dan sekali 

tongkatnya berkelebat, maka akan 

terdengar suara jeritan kesakitan.

"Hahahaha... kalian memang 

manusia-manusia durjana yang nampaknya 

lebih baik mampus daripada hidup hanya 

membuat onar saja!"

Penggekrawung menggeram.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu, 

Pengemis busuk!" geramnya seraya 

menyerbu.

Sementara itu Pandu telah 

menemukan di mana Gondeng berada. Dia 

melihat sosok tubuh itu sedang duduk 

di sebuah kursi yang layaknya mirip 

sebuah singgasana dengan kaki terlipat 

menumpuk. Di tangan kanannya adalah 

sebuah golok besar berwarna hitam yang 

mengeluarkan cahaya tertekan ujungnya 

ke lantai.

"Hahaha... selamat datang di 

tempat kediamanku ini, Pemuda


bercaping...."

Pandu menjura.

"Salam kenal dariku untuk ketua 

Gerombolan Golok Hitam...." sahut 

Pandu. 

"Hahaha... Mengapa harus 

bersungkan-sungkan, Pendekar?"

"Sebagai seorang tamu yang sopan, 

maka aku pun bertindak seperti 

itu...."

"Baik, baiklah... namun aku 

yakin, kedatanganmu bukanlah sebagai 

seorang tamu..."

"Bila kau sudah mengetahui maksud 

kedatanganku, mengapa kau tidak segera 

menghentikan semua sepak terjangmu ini 

dan meninggalkan Desa Babakan Hijau 

ini...." sahut Pandu dengan suara yang 

terdengar angker.

"Meninggalkan desa ini?" Gondeng 

bangkit sambil mendengus. "Rasanya aku 

enggan untuk meninggalkan desa ini 

yang mana di sini semua kebutuhanku 

terpenuhi! Hhh! Kau telah lancang ikut 

campur dalam urusanku ini, Pandu! Dan 

kau layak untuk mampus!" geram Gondeng 

dengan suara yang tiba-tiba berubah 

kasar dan keras. Lalu mendadak dia 

melompat menyerang.

Pandu pun segera menyambutnya. 

Meskipun memegang sebuah golok yang 

belum digunakan, namun Gondeng dapat 

memainkan ilmu tangan kosong yang 

lumayan hebat.


Pandu sendiri sudah mengeluarkan 

Pukulan Patuk Gagaknya. Serang 

menyerang di antara mereka begitu 

hebat dan ketat. Masing-masing seakan 

hendak memperlihatkan kemampuan yang 

keduanya miliki.

Dan agaknya dengan tangan kosong 

seperti itu keduanya berimbang. 

Mendadak saja, Gondang bersalto ke 

belakang dan kini golok besarnya 

tergenggam dan terpancang ke atas.

"Hmm... kulihat di balik 

punggungmu ada sebuah golok. Pandu!" 

desisnya. "Cabutlah, ingin kulihat 

sampai di mana kehebatan ilmu golokmu 

itu!!"

"Bila memang sudah kurasakan 

perlu, maka aku akan mencabutnya. 

Silahkan!"

Gondeng pun menderu dengan 

sabetan golok yang hebat. Golok besar 

itu amat mengerikan sekali. Sekali 

menyapu terdengar deruan bagaikan 

tawon yang sedang menyerang. Belum 

lagi angin dingin yang ditimbulkan 

akibat sabetan golok itu.

Pandu setelah dua jurus berlalu 

pun merasa dia harus mencabut 

goloknya. Golok Cindarbuana yang 

hingga saat ini dia belum tahu ada 

rahasia apa di baliknya.

Tiba-tiba saja dia melenting ke 

belakang dan kala hinggap di bumi 

goloknya sudah tergenggam di tangan.


"Hahaha... mengapa harus sungkan, 

Pandu. Ayo, lakukanlah!"

Dan dengan senjata di tangan, 

keduanya segera bertarung kembali. 

Sungguh cepat permainan golok yang 

diperlihatkan oleh Gondeng. Golok 

mestikanya itu sungguh suatu golok 

yang amat istimewa. Namun golok 

Cindarbuana di tangan Pandu pun tak 

kalah istimewanya. Karena golok tipis 

yang kecil itu mampu menahan sapuan 

golok yang besar itu.

Semula Gondeng sendiri saja 

terkejut. Namun rasa terkejutnya itu 

berubah menjadi penasaran. Namun 

hasilnya tetap sama, golok di tangan 

Pandu tetap kokoh dan kuat.

"Hahaha... jangan kaget, Orang 

busuk! Bila kau ingin mengetahui golok 

di tanganku ini, namanya golok 

Cindarbuana!"

"Apa?! Golok Cindarbuana? Golok 

yang sakti yang menjadi impianku sejak 

lama! Bangsat! Berikan golok itu 

padaku cepat!!" serunya dengan kalap 

lantas menyerang lagi dengan membabi 

buta. Pandu pun segera melayaninya 

kembali. Hingga suatu ketika dia dapat 

memukul jatuh golok yang dipegang oleh 

Gondeng, lalu dengan cepat Pandu

menerjang dan menghantamkan golok 

Cindarbuana ke tubuh yang masih 

kesakitan.

Namun sungguh di luar dugaannya,


karena tubuh itu masih bisa 

menghindar.

"Hhh!" dengus Gondeng. "Bila kau 

berani... janganlah pakai senjata!"

"Hammm...." Pandu tersenyum. "Aku 

tak pernah takut, Orang busuk!" 

desisnya seraya memasukkan goloknya 

kembali ke sarungnya. "Majulah!"

Gondeng menggeram. Tiba-tiba dia 

nampak terdiam, berkonsentarasi akan 

satu ilmu. Nampaknya ilmu simpanan. 

Kemudian terlihatkan kalau tangan 

hingga sikunya berwarna hitam.

Lalu dia mendengus dengan tatapan 

garang.

"Hhh!" desisnya seram. "Terimalah 

ajian pemungkasku ini, Pandu! Aji 

Pemusnah Rasa!"

Pandu sendiri dapat merasakan 

betapa hebatnya ilmu itu tentunya. 

Lalu diam-diam dia pun merangkum ilmu 

pamungkasnya, ilmu Gagak Rimang.

Dan terdengar seruan keras dari 

Gondeng diiringi dengan tubuh yang 

melesat. Pandu pun segera berbuat yang 

sama. Tubuh keduanya melesat. Geraman 

keras terdengar.

Kemudian kedua pukulan sakti itu 

pun berbenturan.

Sungguh hebat. Dan teramat hebat. 

Karena kemudian terdengar suara 

seperti ledakan belaka. 

"Duaaaarrr!!"

Dinding bangunan itu seakan


goyang. Atap-atapnya pun berguguran. 

Dan dari kepulan asap putih yang 

terjadi kala keduanya berbenturan, 

terpental dua sosok tubuh ke belakang.

Pandu merasakan dadanya sakit 

yang luar biasa.

Sementara Gondeng sudah bisa 

menguasai dirinya!

Dia terbahak melihat Pandu 

memegangi dadanya. Pandu sendiri 

mendesis dalam hati. "Gila... Tangan 

Malaikat tak mampu menandingi Pemusnah 

Rasa miliknya. Gawat kalau begini!"

"Hahaha... itulah ilmu Cakar 

Gagak Rimang, Pandu? Tak ada gunanya, 

tak ada gunanya sama sekali. Kini 

terimalah ajalmu. Hmm... nah, 

mampuslah kau... oh... akhh... 

auggh... akkkhhh!!!" Tiba-tiba saja 

tubuh yang hendak menyerang itu 

lunglai sambil memegangi dadanya. Lalu 

ambruk.

Pandu mendesah panjang. Sungguh 

luar biasa daya tahan tubuh yang 

dimiliki oleh Gondeng.

Tiba-tiba terdengar suara ramai 

di belakang. Ki Lurah Sen Kawung, 

Pengemis Tua Tongkat Kayu, dan Joko 

Bara berdiri di belakang mereka. 

Dengan beberapa orang desa yang 

tersisa. Mereka mendesah lega melihat 

Gondeng telah tewas menjadi mayat. 

Pengemis itu tersenyum. Pandu 

melangkah sambil menahan rasa sakit di


dadanya. Kini semua dapat melihat 

wajah yang begitu tampan karena caping 

itu terbuka kala bertempur.

"Paman...." desis Pandu. 

"Masihkah kau merahasiakan siapa 

dirimu ini..." Pengemis itu hanya 

tersenyum. 

"Anak muda... waktu itu aku 

pernah mengatakan, suatu saat nanti 

kau akan mengetahui siapa aku. Namun 

tidak sekarang. Maafkan aku, Anak 

muda...." Dan tiba-tiba saja tubuh itu 

melesat menghilang membuat semuanya 

melongo dan berdecak kagum.

Sementara Pandu sendiri tengah 

berjalan kekudanya. Dia tak 

menghiraukan kata-kata Ki Lurah yang 

memintanya untuk singgah ke desa 

mereka dan merawat luka dadanya.

Pandu hanya tersenyum. Memasang 

capingnya.

"Joko Bara... Roro Dewi ada di 

Padepokan Melati Putih!" menggebrak 

kudanya.

Joko Bara tertegun.

Roro Dewi?

Dan kuda yang membawa tubuh 

Pendekar Gagak Rimang terus berlari 

dengan kencangnya.


                           TAMAT


Ikutilah serial berikutnya,

dalam episode :

"Rahasia Golok Cindarbuana"

.



 

0 komentar:

Posting Komentar