RORO CENTIL EPISODE ULAR BETINA SELAT MADURA
SATU
PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, me-
ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu.
Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan
tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai
yang indah itu. Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke
tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di pe-
rahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah.
Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah ber-
cengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau.
Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari
sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya
yang jenjang.
Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika
dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah da-
danya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si
pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap
menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu
adalah pegawai dari pesanggrahan "MELATI" yang berdiri tegar
dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu. Dia tahu kalau wa-
nita muda dan cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam
ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai
pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi
tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang te-
tamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak keta-
huan kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur pera-
hu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan
itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu
seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta
potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang
saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak
mungkin. Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap,
yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya
si gadis pendayung perahu tampak tenang- tenang saja bahkan dari
mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagu-
kan nada-nada dalam satu nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditu-
tupkan. Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangan-
nya mendayung. Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan
diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar
itu.
"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru ... ah, masih sore
begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dima-
lam hari ini lebih dulu?" berkata si wanita.
"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...!
Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menya-
hut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak membuka
kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang
buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan
itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau se-
perti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu,
sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melaya-
ni suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh-
nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan te-
tapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani teta-
mu. Kalau aku takut adalah wajar menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pan-
dangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang
memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang
kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu
menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.
"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat
menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita.
"Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.
"Dia mati mendadak..."
"Ooooh ...! Serangan penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.
Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.
"Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini
karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik ber-
tanya wanita itu.
Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar.
"Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau
teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi
lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya sema-
kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan ma-
ta membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar
nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi
bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu
tersenyum.
Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu di-
alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak.
Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa
arak dituangkannya kelaut...
***
Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi
mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya
kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk di-
pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup.
Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan ma-
ta. Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang ma-
ta gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia ter-
lonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah gerangan yang membuat
dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar
perahu membasahi kakinya.
Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga
sepertiga bagian.
"Celaka...!? Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan.
Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai
pintu perahu.
Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan se-
tengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air
tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuh-
nya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur
dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur
dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang
menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke-
lihatan batang hidungnya.
"Hah!? Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali
bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tu-
buh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak
bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja mem-
buat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan
terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar
perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang pa-
pannya telah ambrol.
"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus me-
nyelamatkan diri...!" berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera
dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang.
Maka... BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia
harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang
mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter-
paksa ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai. Te-
naganya serasa hilang terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan mu-
ka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perem-
puan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melaku-
kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini. Sukar
untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong
orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah
melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian
itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan
kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat
sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber-
desis. Dan dia segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak re-
mang-remang ketika segumpal awan hitam melintas. Gadis pen-
dayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya ten-
gah dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh
tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pen-
dayung perahu ini. Namun dia mengeluh. tubuhnya terkulai serasa
lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah meno-
toknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena den-
gan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melari-
kannya dengan cepat. Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang
tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca
sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan
meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu-
buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.
***
DUA
"HAH!? KAU... KUNTALI...?" tersentak si wanita pendayung
perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita
pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak
mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita
berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan
bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah ja
dinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!"
Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah ting-
gal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepen-
tingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan di-
ri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.
"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani me-
lakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak
buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pe-
laku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.
Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya
dari totokan.
"Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah ma-
na? Pondok siapakah ini?" tanya gadis pendayung perahu itu mem-
perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang men-
getahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun-
tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan
berikan satu setel pakaian untuknya.
"Kau membawa serta pakaianmu?"
"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya.
Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang ka-
wan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya.
"Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu
pesiar dalam kawalanku itu?"
"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman pera-
hu itu aku mengetahui...!" menyahut Kuntali.
"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?"
tanya Windarti dengan terkejut. Akan tetapi Kuntali hanya tertawa
kecil.
"Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"
"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang
telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo
Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.
"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi ka
wanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung
belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pu-
kat Inten yang bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA....!"
Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan
kawannya itu membuat dia terperangah.
"Ular Betina Selat Madura...?" desisnya tersentak. "Jadi si pe-
rempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu
adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini. Win-
darti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat he-
boh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita berkepandaian
tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita ten-
tang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa
bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak
terdengar lagi beritanya.
"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian
menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Se-
mentara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Beti-
na itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan
lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari ben-
cana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pe-
sanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang be-
rada di jalur sesat! Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi mela-
kukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan
atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pe-
sanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penja-
hat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai
wilayah.
Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersem-
bunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan. Adapun gadis
pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama
Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe-
sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah
menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua
perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya ada-
lah murid wanita dari Perguruan CEMPAKA BIRU, sebelum adanya
Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu
tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG. Wanita tua itu me-
nyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka. Hingga tak seo-
rangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba
Hijau.
Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab se-
jak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam
murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seo-
rang adalah murid yang paling tua, bernama NAGASARI. Wanita
itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di-
andalkan oleh sang guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk
memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawa-
hannya.
Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh
sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak
langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasa-
ri. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana mem-
buat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat
dimana terdapat seorang tabib. Konon khabarnya tabib itu seorang
yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat
sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki
muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan
Nagasari. Dia bernama BEGUK REKSASANA. Seorang laki-laki
bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur-
kan diri dari jabatannya.
Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak mem-
bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan berma-
cam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari se-
makin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasil-
nya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid
lainnya menjadi cemas. Demikianlah, Beguk Reksasana memberi sa-
ran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang
mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga un-
tuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan
apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.
Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup. Keadaannya sung-
guh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di-
usung. Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk
bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga
pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena
tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Rek-
sasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka. Na-
gasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru
telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar dioba-
ti lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah
gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang
datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa
ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut. "Kita
tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah di-
tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga
untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau ki-
ranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis-
itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru
berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.
Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan
hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka
tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gu-
runya itu.
"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya
Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka
Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat,
yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah,
kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri-
kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.
Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri
yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserah-
kan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada
pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah
kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wa-
siat itu tertera tanda-tangan guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. De-
mikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu.
Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Na-
mun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta me-
nyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kun-
tali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki
saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah
dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditu-
tup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama Pesanggrahan MELATI.
Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut di-
wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan
kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Rek-
sasana yang telah menjadi suami Nagasari. Pernikahan mereka di-
langsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa
disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau-
dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...
***
TIGA
"KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan
dia... ?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menye-
lami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Seper-
tinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis
ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung
ini.?" Dan "persahabatan" macam apakah antara kedua saudara se-
perguruan ini...?
"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya
menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian.
"Jangan khawatir! kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya
tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini
karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya
berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengan-
nya meraih dagu gadis pendayung itu.
"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara ha-
tinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu.
Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!"
suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu me-
rosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali
erat-erat. Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini
lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh
sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali se-
perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari
hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering menga-
dakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya me-
reka bagaikan "bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai
benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena me-
reka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat den-
gan memperdengarkan desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara
dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?" Tersentak kedua
gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk
masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap keha-
dapannya, karena sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri bertolak
pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu
juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan
diri...!" desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikut-
nya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera
menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "saha-
bat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada
saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah terkepung! lebih baik menyerah. Mung-
kin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan sua
ra itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka.
Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembu-
lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang.
"Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi ka-
mi!" membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya
dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menya-
hut salah seorang dari dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata
mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya
yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka
sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa.
"Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempat-
sempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadis-
gadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro
"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap ka-
lian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Bi-
nangun dengan tertawa menyeringai. Panas rasanya muka Kuntali.
Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat
pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut.
Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke-
dua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini
segera mengejar.
Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah di-
persiapkan.
WHUUT!... Krep! Luncuran tali laso yang memang sudah di-
kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Win-
darti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terle-
pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi Windarti
dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hing-
ga dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan
mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Win-
darti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui
Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.
"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat
kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak
tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak
gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia
gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara se-
perguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang
dan jatuh terjerembab bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali
dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai
singa. Tapi... BUK! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan te-
lak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling- guling dia
ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men-
giris jantung.
"Bocah tak tahu adat! kuberi kebebasan padamu di Pesanggra-
han Melati malah mau melarikan diri...! kau akan menyesal dengan
ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditem-
pat itu. Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari
Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Ka-
rena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke-
digjayaan tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh-
tokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Me-
lati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang berge-
lar si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk
bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat ke-
hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan ce-
pat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus
oleh Tapak Doro.
"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri
kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum. Bi-
nangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap
mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami
akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis
manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan
Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro.
"Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah!
kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk menga-
turnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan
urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan
Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu
dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibat-
nya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga
mahal telah dibuatnya tenggelam...!" Diam-diam tersentak kaget
Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah
wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempa-
tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Se-
lat Madura yang menjadi sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka ja-
di serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Ju-
ga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai ter-
lebih dulu.
"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah
ragu- ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi
di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tem-
pat duduk diatas sebatang kayu.
"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera men-
jatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.
"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun seren-
tak. Segera mereka mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang
akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan
permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka,
tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.
Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos.
Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe-
rikan hukuman mati pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga
akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang
telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertu-
tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Do-
ro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok.
Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam,
namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca. Sementara Win-
darti telah menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya
menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Na-
mun dia tak berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun
membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketu-
lang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai.
Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan
yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan
hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyap-
nya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pe-
sanggrahan Melati...
***
EMPAT
Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati te-
lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kaki-
tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berke-
pandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah
mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke-
tempat itu. Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia
lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau.
Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata-
rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.
"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan
menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si
Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya
yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang
bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa
kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu
khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular
Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya is-
triku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera men-
jura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru
semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu me-
mang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam-
diam telah berkomplot dengan dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung
manggut-manggut mendengar penuturan muridnya.
"Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?"
tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit.
Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah di-
ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil
meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk
Reksasana. Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasa-
na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat.
Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra-
han di pesisir pantai itu.
Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu
pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh
wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari
datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wa-
nita ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan
cepat sekali dia telah menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak
mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng-
gelosoh. Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah
yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga
wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia
mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu
tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah
diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja
dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya menca-
ri-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu mema-
suki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu ka-
mar dibukanya. Tapi kamar itu kosong. "Heh!? kemanakah Kuntali?
Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah
berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini
pelahan.
Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit
segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak
lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang
kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari
dalam... Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini
menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk-
kannya ke dalam pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak meng-
gembung.
Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun
didalam Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual
wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu.
Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar
khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar
itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. dengan kunci
palsu dimilikinya pintu bisa dibuka. Sekejap dia sudah melompat ke-
dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan
Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suara-
suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan-
gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhia-
san mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam
baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut da-
ra ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku-
kira dia sudah disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela
segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.
"Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan
tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang
membentak tak lain dari Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bah-
kan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan
mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jen-
dela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi.
WHUUUK!... CRIIING!
Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini
yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan di-
ri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam milik-
nya yang dihamburkan untuk menyerangnya.
"Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat
untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tang-
kaaap...!" Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati
menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjata-
senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"
"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Seba-
gian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan
itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari
sang Ketua.
"Apa yang terjadi Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari
sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak
ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk
mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" ber-
teriak-teriak mereka.
Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak
anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, se-
jenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan
gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men-
dahului para anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini
sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul.
Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata te-
lah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan
itu? memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...!
Oh, ludaslah sudah harta bendaku!
Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku
terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wani-
ta ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian
waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu. Berpi-
kir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa
lenyap untuk mengejar lebih jauh.
Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya
orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa
adanya orang itu. Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat
Madura? Pikirnya. Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali
lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikir-
kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya.
Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi le-
mari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati.
Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema-
kan waktu lebih dari dua tahun.
Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba... "Itu
dia...! tangkap! kejaar!"
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu
saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orang-
orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak men-
genali aku?" membentak Nagasari dengan suara mengeledek.
"Hah!? KET... KETTT... KETUA...?" hampir berbareng mereka
melompat mundur dengan suara tertahan.
"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami
tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan
mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan
tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang.
Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru
saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang me-
nyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.
"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?" Men-
delik sepasang mata wanita ini.
"Kau...?! apa saja kerjamu, kakang...? sampai tak tahu kejadian
ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat
itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersem-
bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk melaksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, ke-
cuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar
Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah
kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak
Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk me-
nuju ke arah kamarnya. Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut.
Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah
tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat
menyimpan uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si
Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap
mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.
"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari se-
raya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca
menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku...? He? aku tak tahu menahu dengan semua ini!
Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis-
ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang sua-
mi.
"Cih! kalau. tidak gara-gara kau menerima wanita muda berna-
ma Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" ber-
kata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembarin-
gan.
"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina
Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan pura-
pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak
mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya.
Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri
wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata-
kata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.
"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak usah kau mencari-cari alasan!
Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita mem-
bekuk si Ular Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan
ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan...
terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak
Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku
seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan
kamar itu...
***
LIMA
Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari ter-
golek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membela-
lakkan matanya.
"Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak
Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak me-
mutar. Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang
tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se-
bagai tawanan. Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia se-
perti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditu-
gaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong
untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas berge-
rak. Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan ma-
sih dalam keadaan membugil.
Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara
gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan
yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia
ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu
yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara ha-
tinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang me-
namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike-
jar...?"
Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang ter-
bayang justru kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu ro
manya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayat-
sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pe-
lampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang sauda-
ra seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga-
sari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan me-
reka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, na-
mun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari telah
menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan
bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui
kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhiana-
tannya.
Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pi-
pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi
nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan
pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, kare-
na segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke
pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjut-
nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki
terbelenggu...
Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya
dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi!
Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah kehilangan orang
yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya
sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia te-
lah menempuh jalan salah. Ya! tak semustinya dia mencintai sesama
jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak
wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya.
Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hi-
dup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat
luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan
tak lekang terkena panas!
"Nagasari...! tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan
puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang len-
gan mengepal dalam belenggu.
Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak
kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di
hadapannya.
"Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut
memberi isyarat. Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya
dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya.
Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan ta-
jam.
Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik
bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat
yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.
Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang ber-
topeng segera balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya
merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja
membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia
beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian
dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si
orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai
berpakaian?
Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya den-
gan cepat. Sebentar saja sudah rapih berpakaian. Cepat si orang ber-
topeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk mengikutinya. Dengan be-
rindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu. Melompat gesit
dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Tiba dibagian belakang
Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tan-
gan Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Se-
lanjutnya... WHUT! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur.
Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!? Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan ter-
sentak antara terkejut dan girang. Dan menghambur dia untuk kemu-
dian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang
berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak
lain dari Nini CANDRA GUMINTANG. Sang guru yang dikhabar
kan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan
seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu
adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU.
Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari
telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepa-
sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau
yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra
Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru
Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi
Ketua. Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan
sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI. Yang ber-
fungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam-
pungan wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola
secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang
dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wani-
ta tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, se-
raya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari kita berbincang-bincang dida-
lam...!" Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa,
guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penu-
tup wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan
antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama.
Menatap dengan mata mendelong. Adapun Windarti jadi terlongong
mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi se-
telah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka
topengnya.
"Kau..., kau SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.
Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita du-
duk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami cerita-
kan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau me-
nyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"
"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya
yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."
"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya mengga-
mit lengan Windarti. Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk
diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar
pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. La-
lu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar
dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sa-
bar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.
"Guru...! ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi?
Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil
alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. apakah memang
Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang mengatakan guru
telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani
oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...? Pertanyaan
Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.
Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera men-
jawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ke-
tika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah aki-
bat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada
makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses
lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membu-
nuhnya. Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu men-
jadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru
diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menu-
rut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di-
bawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.
Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari
berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang
buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau mem-
bunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendi-
ri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu,
karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata
kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan
serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajah-
nya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati.
Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri
Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari
SHIDARTA. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir)
Nini Candra Gumintang.
***
ENAM
SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana
muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah
segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Dong-
gala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbua-
tan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidar-
ta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat ra-
hasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama
sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari
para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan
janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang
lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan sa-
ja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu
segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan me-
netapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam
mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui seso-
sok mayat oleh para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali
Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam
keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir
hancur membusuk. Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali
Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pa-
kaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang
disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak le-
ga hati Shidarta mendengar berita itu
Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di
Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Naga-
sari. Namun dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat
Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan
mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walau-
pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasa-
na tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang
guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan
Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa,
karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak
punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang
saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana,
diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan
minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rom-
bongan mereka berangkat. Sebagai murid termuda. Apalagi masih
adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wi-
layah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang
berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan menga-
takan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat be-
rangkat pergi. tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyu-
sul pengangkut tandu yang membawa sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari
dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu ke-
sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu
memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana
ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara
seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pe-
sannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja
yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan
Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau-
dara seperguruan Nagasari. Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah
tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan
wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak
hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipa-
ten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya
mayat laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasa-
ri. Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah men-
jadi murid dari Perguruan Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan pa-
tuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu. Sebabnya kau kula-
rang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada sa-
tupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa
sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke-
sembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian.
Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus
sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut
Shidarta dengan tundukkan wajahnya.
"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan.
Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak
tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau
akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pa-
da setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di-
beri wewenang untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi perin-
gatan. Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu
setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana,
Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu se-
gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit.
Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat
larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan
membiarkan aku pergi begitu saja...!" Dugaannya benar. Ketika
membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok
tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau me-
nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.
Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa
terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melang
kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara
Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...?
Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shi-
darta pura-pura bertanya. Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan
dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu
saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Bi-
ru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan
nyawamu...!" Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa ham-
bar.
"Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan kata-
kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu TALI WANGSA!
Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati
Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau
bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan
penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu
untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam.
Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau
ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir
aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang
buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk
mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta
dengan lantang. Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini
yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau
merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah di-
angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak men-
genai budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbu-
atannya.
"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cu-
kup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh
kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau
murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa-
apa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun
dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami ber-
dua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat
seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya se-
cara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah
memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta
pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukata-
kan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama
LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?"
membentak Shidarta dengan wajah merah padam.
"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman guru-
mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhia-
nat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku me-
maksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar dibelakang Shi-
darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri te-
gak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman ib-
lis!
"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki
Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah
mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak.
Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa
agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan kera-
jaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selen-
dang sutera warna merah dari balik pakaiannya...
***
TUJUH
Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat mi-
ringkan kepalanya. Karena hawa dingin membersit cepat sekali me-
nebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi. Be-
guk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang
sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah diper-
siapkan sejak semula. Disamping nalurinya yang cukup peka. Akan
tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasa
na membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selen-
dang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan
bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang
tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit len-
gan atau kaki Shidarta.
Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terke-
siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang
demikian hebat.
"Hahaha. . . Shidarta! lebih baik kau buang senjata kapakmu
yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!"
mengejek Tali Wangsa. Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba den-
gan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos
diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke-
sempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas
dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksa-
sana jejakkan kaki! pemuda itu telah menghantam dadanya dengan
telak. BUK!
Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdi-
ri.
"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidar-
ta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara
berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Rek-
sasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan ter-
huyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^
untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke
Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana.
Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergu-
lung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus ber-
bahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah
oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena
sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk
Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...!
Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan
kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya
telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela-
kang leher yang menimbulkan hawa dingin.
"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu
membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar
Ungu Beguk Reksasana. Akan tetapi terdengar suara tertawa mengi-
kik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata
Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda
ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung-
kur dua-tiga tombak ke depan.
"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye-
ringai tertawa. "Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.
"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!"
sahut Nagasari. Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un-
tuk bangkit. Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah
membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali
dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat
mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku-
kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un-
tuk membelah batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera
merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu.
Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan...
Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat,
mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen-
tara Nagasari belalakkan mata terperangah. "Angin apakah yang le-
wat barusan?" desis Nagasari.
"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.
"Yaa...!"
keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar
tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta
lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menya-
darkan. "Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pu-
saka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu
kita pikirkan...!"
"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin
itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan
pembicaraan Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin
meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh
seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan teta-
pi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak
mengetahui.
Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula.
Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya
Seta. LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang gagah.
Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis ra-
cun, dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak bu-
ruk. Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya
karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu
warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di-
perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu
sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah mencerita-
kan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Se-
ta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang
lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara
seperguruannya itu.
Bahkan dengan diam-diam dikirimnya NAGASARI (anak ga-
disnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang. Yang baru saja
mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul
kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari
mendiang guru. Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta
tak pergi jauh. Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergu-
runya itu. Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni
lagi pondok perguruannya.
Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta.
Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya Tentu saja
membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya diapun
amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandung
nya sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara di-
am-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan
guru Lodaya Setapun tak mengetahui. Suatu hari telah berdatangan
beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka.
Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang
mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi
izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua-
tan jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya,
bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak-
al licik. Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatan-
nya yang telah dilakukan.
Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat
perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta melarikan diri. Dengan ilmunya
yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak.
Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbong-
kar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang
justru turun gunung. Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta un-
tuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas tita-
han gurunya. Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang
sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui
tempat tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah
seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang
Setan pada waktu itu. Tentu saja dengan menyatroninya belasan pen-
dekar itu membuat terkejut RESI GENTAYU guru kedua murid itu.
Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi Gen-
tayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bah-
kan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya
Seta. Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan.
Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak
gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah. Apabi-
la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye-
salannya.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesala-
hanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak
pergi dari sini?
Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita.
Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!" berkata Candra Gumin-
tang dengan suara lirih.
"Kakang mbok...! aku mengerti kau tak bisa berbuat apa- apa.
Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega
membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau
mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua un-
tuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita-
cita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi
dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa.
Ooo... alangkah menyesalnya aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kem-
bali air matanya mengalir bercucuran.
"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau
mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak menge-
tahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah
menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua
keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka
itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan ki-
ta. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Ka-
rena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntut-
nya...!" ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah
menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya mengingin-
kan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya.
Benar saja...!
"Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya
Seta. Candra Gumintang menggeleng.
"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan
wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang
mbok!" Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh.
Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun sejak
itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi
Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan
perguruan Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak
kandung Lodaya Seta. Candra Gumintang memang selama hidupnya
tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita
saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Do-
ro, Binangun dan Shidarta.
***
DELAPAN
Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya,
bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta diha-
dapannya.
"Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penya-
kitku?" bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam
pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa men-
genali orang dihadapannya.
"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bi-
lang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini
sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah mene-
rima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin
kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar
Lodaya Seta dengan menyeringai. Lodaya Seta telah berubah jadi
seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih
lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok. Keadaan-
nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis dan
jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuh-
nya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.
"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu
menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini Candra Gumintang.
"Hehehe... tentu saja...! bukankah aku menjadi seorang tabib?
aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang
lemah tak berdaya tanpa pamrih Aku tak mengharapkan imbalan apa-
apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membu-
tuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Se-
mua ini untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gu-
mintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang
mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening.
"Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kudu
ga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! ka-
lau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..." ujar
Nini Candra Gumintang dengan terharu.
"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...?
atau, cucumu...?" tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.
"Kau sendiri bagaimana?" balas bertanya. apakah kau sudah
bersuami?" Wanita tua itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri se-
jak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usia-
ku...!" Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mu-
damu?
Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut" pada-
mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu
sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas. Pernyataan
Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah. Akan
tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum
Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, nis-
caya dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena
memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang
telah menanam benih "cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak
berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta
adiknya sendiri.
Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lo-
daya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya. Hingga
kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah pergu-
ruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah
karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak
pernah bersua ini.
Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia
terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi
pipinya yang telah keriput. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Lo-
daya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat-
cepat menghapus air matanya.
"Oh... ya...! baiklah akan kukatakan. Aku memang telah meni-
kah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai
seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bu
kankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"
Membelalak mata Candra Gumintang. "Hah!? jadi... jadi
NAGASARI itu anakmu...?"
"Benar!" sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita
tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.
"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!" mengapa kau baru
mengatakannya sekarang?"
"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang
aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan pa-
daku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak pe-
rempuanku satu-satunya yang amat ku sayangi...!" Sampai disini tiba-
tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sam-
pai air matanya bercucuran.
"Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! tapi aku gembira.
Baiklah! akan kuberikan sisa harta pusaka warisan guru itu pada-
mu..." Melonjak girang NAGASARI yang diam-diam sembunyi
mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali
Wangsa.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut
Lodaya Seta dengan wajah girang. "Nah, minumlah ini untuk keseha-
tanmu.
Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!"
Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam
mangkuk.
"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya
Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat
itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera memi-
numnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta
bertanya.
"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"
"Oh ya ...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk se-
saat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu,
lalu diberikan pada Lodaya Seta.
"Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bu-
kalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta
dimana harta pusaka itu disimpan!" Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta
manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh kakang mbok seorang
yang berbudi luhur. Juga berhati bersih! membuat aku jadi malu ha-
ti...!"
"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bu-
kankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia?
Kalau aku tak memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"
"Benar! benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhu-
ran budimu...." Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen
itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta.
Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.
"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada Naga Sari?
Juga pada paman Lodaya Seta?" bertanya Windarti. Nini Candra
Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari aku memang telah
membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu.
Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka
Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat
Lodaya Seta...!" sahut Wanita tua itu.
"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.
"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..." Demikianlah! Nini
Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya. Ternyata
kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta
Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumin-
tang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternya-
ta tak lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah ti-
dur pulas. Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk
Reksasana tersenyum. Mereka berembuk untuk memulai rencana se-
lanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran
Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma pura-pura pulas.
Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya
untuk melawan pengaruh obat bius. Kecurigaannya mulai timbul, ka-
rena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang
bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari
tak mau munculkan diri terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke-
janggalan ini...? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam
perbuatan dan tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi
perhatiannya.
"Bagus...! dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?"
tanya Nagasari pada Lodaya Seta, Seusai menceritakan kejadian aneh
tentang Shidarta.
"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...! balas bertanya Lodaya
Seta.
"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah
payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"
"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya
setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat pe-
nyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sem-
buhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mam-
pu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu
saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi
seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Teruta-
ma Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan ra-
hasia ini!" ujar Nagasari.
"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah
melenyapkannya...!" lanjut ucapan Nagasari.
"Yah! tak ada jalan lain ...!" akhirnya Lodaya Seta manggut-
manggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat
menyesali tindakannya. Karena tak menduga akan semudah itu Can-
dra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi telah
menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain mele-
nyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.
Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang
diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang.
Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat
panggilan dari Nagasari yang menemuinya.
"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketem-
pat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.
"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan
kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!" menyahut
Tapak Doro.
"Hm, jangan khawatir! aku tak pernah mendustai apa yang telah
kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku
akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini saja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang pal-
ing aku percaya...!"
Sahut Nagasari dengan tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"
"Baik kakang mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut.
Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini
Candra Gumintang keluar goa. Bergantian mereka memanggul wani-
ta tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi ju-
rang yang dalam. Disana mereka berhenti.
"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu,
Binangun!" ujar Tapak Doro. "Toh bila kita lemparkan saja kejurang,
tentu dia akan mati!"
"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah! le-
bih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan
tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi ki-
ta!" sahut Binangun. Disaksikan elang dan burung-burung gagak
yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binan-
gun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru me-
reka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya...
Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah
serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup. Berambut pu-
tih beriapan.
"Tahan!" sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.
"Heh! Siapa Kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja
dia lantas urungkan niatnya.
Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.
"Bagaimana adik Binangun? apakah sebaiknya kita bikin mam-
pus dulu penghalang ini?" bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk.
Dan... Sreet! Criing...!
Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang.
"Manusia ataukah hantukah kau? mengapa menghalangi niat
kami?" bentak Tapak Doro. "Hmm...!" orang itu perdengarkan suara
dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah
kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si Manu-
sia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap
mencengkeram batok kepala keduanya.
"Awas, adik Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementa
ra dia sendiri segera melompat menghindar. Bahkan senjata golok be-
sarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan. Binangun mi-
ringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata
tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara rantainya
bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma-
nusia muka mayat.
Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba
tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah. Dari gerakan
menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya. Sepasang lengan-
nya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang
kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro
dan Binangun.
"Edan...!" maki Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan
tiga mata tombak itu lolos. Bahkan dia kini harus hindarkan serangan
mendadak yang di luar dugaan.
***
SEMBILAN
Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun
masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya
kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si
manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat
dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung
baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.
Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya
karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya.
Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak gu-
sar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan.
Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal
untuk membunuh guru mereka. Lompatan dengan jurus Macan putih
Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah
melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat ini
seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia
menghindar dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus
mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.
Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata
tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si manusia muka mayat se-
pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan sal-
tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ke-
tika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata
tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.
"Keparat! kau harus mampus! karena telah memperlambat uru-
san kami!" bentak Tapak Doro dengan gusar. Semakin menggebu
niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter-
desak. Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilan-
gan jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana.
Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka
memutuskan untuk cepat kembali. Pekerjaan mereka harus segera
diselesaikan.
Demikianlah. Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ke-
tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini can-
dra Gumintang.
Sesaat kemudian...
"Satu.... dua.... ti...ga !"
Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang
itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian
lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur
dan tertutup kabut.
Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang
mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang
kayu. Ya, sebatang kayu..! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra
Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh
berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka
Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.
Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu,
tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pe-
kerjaannya...
Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya,
yang ditutup dengan kata-kata... "Nah! Itulah sebabnya aku masih hi-
dup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"
Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan
itu.
"Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"
"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajah-
nya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si
Manusia Muka Mayat!"
"Ooooh...!?" Ternganga Windarti.
"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik
seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih
lanjut.
Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura
itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menye-
lamatkan
nyawaku... !" berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada
Windarti.
Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget. "Aiiih! jadi demikiankah
adanya...?" ucapnya dengan terbelalak matanya.
"Kini dimanakah paman Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya
palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.
"Beliau ada ditempat ini...!" ujar Shidarta.
"Guru...! bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman
guru...?"
"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular
Betina Selat Madura...!"
"Baik, guru...!" menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera
bangkit berdiri. Windarti mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya un-
tuk meraih tangan dara itu. "Mari kita ketempat mereka...!"
Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini
Candra Gumintang.
"Guru...! aku pergi dulu..."
Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum.
"Pergilah Windarti!" ucapnya.
Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera
keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan
kayu jati itu.
Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair
dangkal.
Diseberang sungai pada tempat ketinggian, tampak berdiri se-
buah rumah panggung yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia
sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."
Windarti manggut-manggut. "Siapakah nama atau gelarnya ki-
ni?"
"Beliau memakai nama Ki DONDOMAN dengan gelar Malai-
kat Tangan Sebelas...!" sahut Shidarta.
"Ah!?" nama yang aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti.
Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti se-
jenak. Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelu-
suri relung hati dara itu. Sementara lengannya masih mencekal jemari
tangan Windarti. Darah pemuda ini berdesir, dengan detak jantung
yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia. Semen-
tara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa dengan
sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?
"Windarti...!" terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengu-
tarakan isi hatiku...?"
"Hm, mengapa tidak? kita kan saudara seperguruan. Kalau kau
punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!" sahut Windarti dengan
termenung heran.
"Aneh!" pikir Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja ber-
hadapan denganku. Apakah tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terha-
dapku?"
"Terima kasih, Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut-
nya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa
yang akan dikatakannya.
"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Menga-
pa tak kau paparkan padaku?" Pertanyaan Windarti membuat Shidar-
ta tersentak.
"Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan ku-
katakan?" ujar Shidarta tergagap.
"Lho? kok malah berpikir dulu? langsung saja bicara! Kau tam
paknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku
lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg
dihatimu...!"
Akhirnya Shidarta bicara juga setelah menelan ludah berkali-
kali.
"Windarti...! apakah selama ini tak ada kau simpan nama seo-
rang laki-laki dihatimu?"
"Nama seorang laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti
tak mengerti.
"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang
pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegu-
pan tak keruan.
"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar-
ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki- la-
ki!" sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta
Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega. "Kalau
tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum
terjamah tangan laki-laki..." pikir Shidarta.
"Windarti...! tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama me-
naruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan
Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang pada-
mu itu masih ada.
Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebe-
narnya amat mencintaimu, Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg
dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.
Tercenung sesaat Windarti. Walau dihatinya mengadakan per-
tentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ter-
nyata masih berfungsi.
Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya.
Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama ini dia memang me-
nyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ke-
tidak wajaran. Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan
dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya.
Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas
jemari tangannya.
Sesaat hatinya berdegupan. Entah perasaan apa yang berkeca
muk di dadanya. bahagiakah? atau dia harus bersedih. Karena segera
teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya
bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis di-
tangan Nagasari.
"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghar-
gai. Dan... aku tak menolak cintamu....!" ujar Windarti dengan mata
berkaca-kaca.
"Kau... kau terima cintaku, Windarti?" tanya Shidarta penasa-
ran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas.
Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma
sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.
"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya
hatiku...!" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepa-
lanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.
"Ehmm...!" satu deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika
memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tu-
buh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna
hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Se-
ta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...
***
SEPULUH
Andaikan wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggra-
han Melati yang membunuh bangsawan tua itu?" tanya Windarti sete-
lah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.
"Tidak salah...! aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Ma-
dura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orang-
orang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk meng-
gelariku!" sahut Wanita bersuara merdu itu.
"PERAMPOK TENGIK...! kiranya kau bersembunyi disini?"
tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. Dan tiga sosok tubuh ber-
loncatan mengurung.
Mereka rata-rata berjubah hitam. Tak pelak lagi mereka itu tak
lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk
Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.
"Hihihi... bagus! bagus...! tanganku memang sudah gatal untuk
mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyu-
sul kemari!" berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik
tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di
depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata-
katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung
Siung itu.
Tentu saja membuat Windarti melegak heran. Ingin sekali dia
menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Ma-
dura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama
Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.
Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh. Dan muncul pula
sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat. "Heheheheh... Tiga
Dedemit Gunung Siung! akulah lawanmu....!"
Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh.
Langsung salah seorang membentak. "Huh! Siapakah kau...?"
"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"
"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan
edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Mela-
ti! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit Gunung
Siung.
"Huuu!? begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pe-
sanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Ka-
lau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu
harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.
"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pe-
sanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi
karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib
serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan
komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"
Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya
saling pandang dengan kawannya sendiri.
"Heh! siapakah kau ini sebenarnya?" bertanya salah seorang da
ri mereka. Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi ge-
rakkan tangannya "membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia menge-
nakan semacam topeng kulit manusia. "Nah! apakah kalian masih
mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini
wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.
"LODAYA SETA...!?" tersentak kaget ketiga manusia ini.
Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta
adanya.
Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap
dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu.
Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar
dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki
Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.
"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasa-
ri! apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutuk-
mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.
Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan
serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi ber-
sama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk
Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah
kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul.
Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka
telah sampai ketempat itu.
"A... a... ayah...!? benarkah kau tak mengakui aku anak kan-
dungmu lagi?" teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat.
Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam
seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda
itu.
"Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya
putih! apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?" membentak Ki
Dondoman.
Nagasari mundur dua langkah. Wajahnya tak sedap dipandang.
Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya.
Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih
pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.
"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak.
Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggan-
tikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu!
Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pan-
dai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar
ayah membenciku...!" berkata Nagasari bercampur isak.
Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari den-
gan tak berkedip. Dengan pancaran mata berapi-api. Sekilas ter-
bayang lagi saat kematian KUNTALI, yang sebelum dihabisi nya-
wanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Ta-
pak Doro dan Binangun.
Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak
tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat
kehadapan Nagasari.
"Perempuan bejat! hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!"
Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas. Yang diiringi peki-
kan-pekikan histeris.
Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk! Whuk!... BRRET!
Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka den-
gan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi
sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu.
Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat. Na-
mun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan. Karena di
samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gu-
mintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit
Gunung Siung.
Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Naga-
sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang
gesit.
Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengan-
nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga ber-
darah.
"Keparat!" memaki Nagasari. Kau mau mampus...!" bentaknya
menggledek. Dan... Menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan
dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya
itu.
Buk! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat
gadis ini terhuyung ke belakang.
"Kau...kau manusia kejam! penipu...! kau telah mengelabuiku!
mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah
membunuh KUNTALI! Kau racuni guru kita hanya karena ketama-
kanmu pada harta pusaka milik guru! apakah kau masih layak untuk
hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan
penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa ib-
lismu, keparat...!"
Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini. Bahkan air ma-
tanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengk-
ing panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan
ganasnya.
Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah laku-
kan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa.
Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras. Se-
sosok bayangan berkelebat.
"Awas, Windarti...!" teriakan itu dibarengi dengan mendorong
tubuh dara itu. Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena
lurukan jarum-jarum beracun Nagasari.
Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias
ANDINI. Seketika tubuhnya roboh. Dan berkelojotan ditanah. Tapi
sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...
Windarti melompat memburu diiringi Shidarta. Sementara Na-
gasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah mencekal
lengan Beguk Reksasana.
"Cepat! kita pergi dari sini...!" bisik Nagasari.
Akan tetapi... "Bocah murtad! hentikan langkahmu...!" satu ben-
takan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka henti-
kan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mere-
ka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar.
Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.
"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian se-
rahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada
hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman un-
tuk kalian, di Kota Raja!"
Ternganga mulut Nagasari. Pakaian wanita ini amat mirip dengan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena
serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan si Ular
Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata raha-
sianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Naga-
sari.
Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan
wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.
"He? siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi murid-
ku...!" berkata.
"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! bukan
aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang me-
nyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama KUNTALI...?" bertanya
wanita ini.
Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shi-
darta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia
telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di
depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu
terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman ma-
ti buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhia-
nat.
Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang
ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit
muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah
KUNTALI.
Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh
yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...
"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? kiranya kau... kau..." Tak kuat me-
nahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadar-
kan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu...
***
SEBELAS
"MURID MURTAD! segera kau akan merasakan kematian-
mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan pa-
rau yang memekakkan telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan alap-
alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari-
jari mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga. Akan
tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan
wanita tua ini. Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna
merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke dadanya.
WHHUUK! DHESS...!
Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersida-
kep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya. Tahu-tahu se-
belah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang. Terdengar
jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjeng-
kang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah
tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah.
Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.
DHESS...!
Darah segar menyemburat keudara. Memercik ke bumi. Dan...
menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tu-
buhnya yang telah tanpa kepala lagi.
Terperangah Nagasari. Wajahnya seketika berulah menjadi pu-
cat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu melun-
cur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu
sudah didepan mata!
Akan tetapi pada detik itu... TRANG!
Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas
dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, te-
pat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu
menembus tenggorokan Nagasari.
Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya setelah yang me-
lemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia Muka
Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar,
kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"
Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan
jubahnya mengibas. Di lain kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergem-
ing dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok.
Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Na-
gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan saat berikutnya Ki
Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat da-
ri tempat itu.
Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga De-
demit Gunung Siung.
Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Agaknya
mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh
Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Can-
dra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura. Agak-
nya mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka ada-
lah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang
milik Nagasari yang dirampok wanita itu. Akan tetapi melihat kema-
tian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar.
Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.
Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung
Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang
berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing ber-
warna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan
ke punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri
ditempat. Seperti belum niat bergerak.
BUK...!
Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar
biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena
bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu
mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu
Samber Nyawa. Entail tenaga darimana yang telah membentur tu-
buhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sam-
baran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.
Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki
terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung limbung. Dan...
tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan
sigap cepat melompat untuk menyangganya.
Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias. Sebelah lengannya memegangi dadanya. "Oh.! sudah kuduga...!" ujarnya, Selesai
berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.
Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah na-
nar pada Si Ular Betina Selat Madura.
Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak he-
ran. Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang. Sedangkan si
wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak
tersenyum-senyum.
Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gu-
nung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan seran-
gan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa
suara...
"Bedebah tengil! tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!" mem-
bentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam.
Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Se-
kejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.
"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan ka-
mi juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura
yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pe-
sanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.
"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?" dara ini me-
nyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari den-
gan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan ke be-
lakang. Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu
jadi mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh
bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi
melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka
tampak harus hati-hati.
"Bagus! kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera
tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu,
nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak
halal? Kalau kau kangkangi akan per-cuma saja. Lebih baik kau se-
rahkan pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jang-
kung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya.
"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mem-
pan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi
sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitung-
hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah
"pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung
tikar! Hihihi... hihihi..."
"Kalau begitu kau perlu diringkus...!" bentak Gantol Mumet.
Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu seren-
tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.
Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk
menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi pula dengan puku-
lan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak den-
gan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan me-
lenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan
tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.
Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu. Dalam serangan
empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Se-
lat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya.
Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda isya-
rat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.
Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur. Sementara se-
sosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu. Ternyata
si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk berga-
bung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan sen-
jatanya.
Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi
melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan. Di-
iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.
"Hebat! hebat...! sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka
kalau anda adalah Nona Pendekar RORO CENTIL...! Mohon maaf
atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang
tak lain dari LODAYA SETA alias Ki Dondoman, yang bergelar si
Malaikat Tangan Sebelas.
"He? kau muncul lagi? apakah maumu...?" bertanya Ular Betina
Selat Madura. Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh
pada ketiga kakek tiga berjubah hitam. "Hai?! mengapa kalian masih
berdiri terpaku? hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar
kita...!" membentak Lodaya Seta. Tak ayal ketiganya segera menjura
pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka membuka
jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama
tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang
Perwira Kerajaan. Sementara Lodaya Setapun segera tanggalkan ju-
bahnya. Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah
sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih CAKRA
BHUANA dari Kerajaan Mataram.
Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang
Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah
menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pa-
da beberapa bulan yang lalu.
"Aiiiih! kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...!
Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura.!"
Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wa-
jahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi ka-
lau bukan memang RORO CENTIL adanya.
"Kanjeng Gusti Patih...!" ujar Roro sambil menjura hormat.
"Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah ter-
cium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi
hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!"
ujar Roro sambil tersenyum.
"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama di-
lacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau
harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para
saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang
berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya.
Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!"
berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak
pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?" ujar Roro berseloroh.
"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama se-
pekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima su-
guhan kehormatan!" Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi
mengikik tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong menden-
garkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung
Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan
dibenaknya.
Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Ca-
kra Bhuana.
"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua
renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!" berkata
wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.
"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...!
Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda ja-
lan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari ke-
benaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Ca-
kra Bhuana. Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi
mayat, yang perlu kita hormati. Mari kita memakamkannya...!"
***
DUA BELAS
Lima hari kemudian... di Kadipaten LAMONGAN. Terperan-
gah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang
terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu. Setelah se-
lesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa,
Mahapatih Cakra Bhuana. mengajak mereka semua ke Kadipaten.
Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusan-
nya.
Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi
juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu. Karena
tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan Nagasari yang
dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...
"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang te-
lah terjadi dengan Lodaya Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan
wajah pucat. "Hai! pengawal! apakah kalian tak mengetahui tawanan
wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?" membentak Adipati
Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di seki
tar rumah tahanan itu.
"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta run-
tuhnya tembok kamar tahanan.
Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar
berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!" menyahut sa-
lah seorang prajurit seraya menyembah.
"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"
"Rasaya tidak, Gusti...!" sahut keduanya serempak. Sementara
nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan
Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal
dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.
"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang
melakukan perbuatan ini?" bertanya wanita tua ini dengan air mata
berkaca-kaca.
"Kau... kakang... mbok...! oh, bahagia sekali kau datang...! aku
memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Ca-
kra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam da-
lam tahanan ini atas permintaan ku sendiri. Karena aku merasa berdo-
sa. Aku telah salah memungut anak! ya, salah yang teramat besar...!"
ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan se-
nyum. Walau cuma senyum kekecewaan.
"Ah...!? jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?" tanya
nini Candra Gumintang. Laki-laki tua itu menggeleng. "Benar, ka-
kang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membu-
nuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian laki-
laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan mena-
wanku di dalam goa! Untuklah kakang Mahapatih Cakra Bhuana me-
nolongku...!"
Lodaya Seta berikan penjelasan. Tampak dia kelihatan berse-
mangat. Bahkan merasa agak kuat untuk bicara. Karena diam-diam
Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan
ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua-
tan tubuh Lodaya Seta.
Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki
tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya
Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua sauda-
ra seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.
Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tan-
pa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dile-
nyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja.
Aneh! semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap
sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu puku-
lan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!"
ujar Lodaya Seta.
Nini Candra Gumintang tersentak kaget. "Jadi selama ini kau
tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lo-
daya Seta mengangguk.
"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti
Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang,
seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.
Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengu-
capkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata
Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia
sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... se-
baiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk
menggotongmu dengan tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.
"Tidak usah, kakang Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih.
Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu
dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera pe-
rintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta
yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di-
perintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan
tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya ber-
lari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian.
Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak di-
padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran
mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu...
RORO CENTIL tampak berdiri diantara deretan para undangan.
Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan
kepala.
Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapa
tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia
tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihada-
pan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di-
kala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi
hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan.
Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lo-
daya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap
dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang
memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa,
diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun
membasahi pipinya...
Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar
menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu.
Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahla-
wan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari me-
nempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna pa-
tut dihargai. Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban
demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah
dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh ja-
lan sesat. Dan saat itu juga... Nagasari diputuskan menjadi orang
BURONAN Kerajaan Mataram!
Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan
diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran
jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung
Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bah-
kan langsung menerobos pintu gerbang. Tentu saja membuat para
prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak.
Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu te-
lah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan
Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumin-
tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.
Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pen-
gawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan
pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga
Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua
pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan
satu lagi berisi ribuan keping mas dan perak, juga bermacam perhia-
san yang tak ternilai harganya.
Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik ker-
tas bertulisan besar-besar.
"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...!
TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI.
SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA
KERAJAAN
MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM.
DAN... SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI
KESEJAHTERAAN RAKYAT!"
Pengirim: RORO CENTIL
GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA SELAT MADURA)
TELAH DICABUT....!
Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti
berisi uang dan harta "pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru
sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggal-
kan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina Selat Madura. Yang te-
lah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang memper-
mainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau mem-
bayar pajak. Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau
pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.
Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar
orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang menakutkan diwi-
layah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak halal.
Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji peker-
jaan semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium
oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar.
Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan
oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari RORO
CENTIL adanya. Yaitu... sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang
beradat aneh!
"Nona Pendekar Roro...! tunggu...!" satu teriakan terdengar.
Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.
"Hm, Shidarta...? ada apakah kau menahan langkahku?" ber-
tanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.
"Anu... ng..."
"Mau tanya apa?"
"Eh ya, ya...! itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu...
nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima
kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"
Roro tersenyum manggut-manggut. "Hanya itu?"
"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan
pertanyaan saya..." sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah,
kemanakah anak itu?" terdengar suara Shidarta menggumam.
"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah,
wah...! kau membawa teman mengapa tak aku perkenalkan pada-
ku...?"
"Dia... dia malu, nona Pendekar..."
"Hmm... mengapa malu?" "Entahlah, dia enggan berhadapan
dengan anda..."
"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia" yang kau mak-
sudkan itu?"
"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah...
WINDARTI..."
"Windarti...? apakah yang mau ditanyakannya?" tanya Roro
dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat
menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat
ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidar-
ta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali
yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi.
Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja
Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapan-
nya.
Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur. Dia memikir ka-
lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika kasak-kusuk dengan
Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem-
bongkar kuburan Kuntali...
Benar saja dugaan Roro. Ternyata Shidarta memang memperta
nyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.
"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."
"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”
"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.
"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Pen-
jelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan kau mau berjanji
takkan menceritakan pada Windarti, tentunya... berkata Roro. Semua
ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mung-
kin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan" pada
jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali
itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berba-
haya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang
salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang-
orang dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta
agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengar-
kan dengan serius.
"Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi ke-
baikan dia tentunya..." tukas Shidarta.
"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas
mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati
Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas
mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti
yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kema-
tian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan il-
muku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara sepergu-
ruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah
kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya
adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya il-
mu MALIH RAGA! Sedangkan kemunculan arwah KUNTALI diha-
dapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang
Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa
dengan dia?"
"Benar! benar...!" timpal Shidarta yang telah semakin jelas den-
gan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta ter-
perangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.
"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di
depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap
tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi-
darta dengan menatap kagum.
"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih
ada langit lagi!" ujar Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan
sudah teramat tinggi, wah, wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh
orang! hihihi..."
Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak
Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku
makin kagum
pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..." pemuda
ini tak teruskan lagi kata-katanya.
"Sudahlah! tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi
seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati
pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seper-
ti Tali Wangsa.
Nah! aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu,
Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau
dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu me-
mang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"
Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan-
pa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin.
Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut
ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat dahan-dahan pohon
bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan samar-samar hi-
dung Shidarta mencium bau harum semerbak.
"Ah...! sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat. Gumam-
nya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat
itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh
mendatangi.
Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya ber-
kata- "Windarti...! cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh mence-
ritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku
lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."
Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui. Bahkan
Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia ilmu
MALIH RAGA telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong
Nini Candra Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua
itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang. Roro telah
menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.
Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah
ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamon-
gan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui siapa
pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak
Doro dan Binangun.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar