BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE PEDANG SEMERAH DARAH


Pedang Semerah Darah


PEDANG SEMERAH DARAH 

Oleh Barata 

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama 

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun tanpa 

ijin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga 

episode Pedang Semerah Darah 

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.5


1

Kemunculan seorang pemuda berambut ombak 

dan mengenakan ikat kepala berwarna emas itu sung-

guh di luar dugaan. Secara jujur, Pendekar Pusar Bu-

mi mengakui ketampanan pemuda itu. Bahkan wajah 

itu boleh dibilang wajah yang cantik. Bibir pemuda itu 

semerah jambu muda. Hidungnya mancung, dan ma-

tanya mempunyai daya tarik yang lain dari pemuda 

mana pun, bahkan berbeda dengan sepasang mata 

Pendekar Pusar Bumi sendiri.

Sesungguhnya ia type pemuda yang lembut dan 

imut-imut. Tapi di balik kelembutan itu, ternyata ia 

orang yang keras hati. Kurang mengerti tata sopan 

santun. Menyerang dari belakang dengan suatu ten-

dangan yang tak boleh diremehkan kehebatannya.

Tendangan itu meluncur dari atas pohon dan men-

genai punggung Pendekar Pusar Bumi, atau yang 

mempunyai nama asli Domas Lanangseta. Akibatnya, 

Lanangseta tersentak ke depan dengan keadaan lim-

bung. Ia segera berbalik seraya memegangi punggung-

nya yang terasa bagai mau patah. Ia menatap pemuda 

berwajah imut-imut itu dengan sorot mata tajam, me-

nyiratkan kemarahan yang terpendam.

Pemuda berusia sepadan dengan Lanangseta itu


tersenyum sinis. Berdiri tegap dengan kaki terentang 

kokoh. Ia mengenakan celana model pangsi yang ter-

buat dari bahan semacam beludru merah. Pada bagian 

tepi celana dihiasi dengan rangkaian benang emas 

yang menimbulkan kesan mewah pada celana itu. Ikat 

pinggangnya berwarna hitam kulit macan kumbang. Ia 

juga mengenakan baju model rompi warna coklat tan 

ah dari bahan yang sama mutunya dengan celana ke-

tat sebatas bawah lutut itu. Sebilah pedang bergagang 

mulut singa terselip di pinggang, dalam sarung yang 

terbuat dari logam perak. Begitu megah dan mewah 

pedang itu, sehingga orang pun akan tergiur melihat 

sarungnya saja...

"Apa kau mengenal aku sehingga kau menyerang-

ku?" tanya Pendekar Pusar Bumi dengan menahan ke-

geraman.

"Ya, tentu aku mengenalmu, sehingga aku ingin 

membunuhmu. Kau yang bernama Domas Lanangseta, 

bukan? Kau yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, bu-

kan? Kau yang akan menikah dengan putri cantik 

anak Rama Sabdawana itu, bukan?"

Suara pemuda itu cukup berat, pantas untuk sua-

ra seorang bupati atau pejabat tinggi. Dan hal itu 

membuat Lanangseta terheran-heran. Tak disangka 

pemuda bertampang imut-imut itu mengenai identitas

dirinya, sekalipun tidak sebegitu detil. Jika seseorang 

bisa menyebutkan nama Lanangseta dengan kata Do


mas di depannya, berarti ia sudah cukup hebat dalam 

mencari keterangan tentang Lanang. Sedangkan, da-

lam hal ini Lanang sendiri masih bingung, siapa pe-

muda yang tahu-tahu menyerangnya dari atas pohon 

itu? Ia merasa baru sekarang bertemu dengan pemuda 

itu.

"Siapa kau? Bagaimana kau bisa mengenalku se-

dangkan aku tidak mengenalmu?"

Senyum sinis mekar di bibir pemuda itu. Ia me-

langkah ke samping, namun pandangan matanya ma-

sih tertuju pada Lanangseta.

"Apa kau butuh mengetahui nama calon pembu-

nuh mu?" ucapnya bernada angkuh.

"Tak peduli apa yang akan kau lakukan, tapi kau 

telah menyerangku. Kau telah mengetahui namaku, 

bahkan berani menyebut nama kehormatanku yang 

diberikan oleh kakekku. Jadi, sebelum kita terjadi ke-

salahpahaman, sebaiknya aku ingin tahu lebih dulu, 

siapa kamu sebenarnya?"

Gaya berdiri pemuda itu sungguh menarik perha-

tian. Ia berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, 

matanya lurus ke depan, namun tubuhnya menghadap 

ke samping. Kesan angkuh terlihat di wajahnya, na-

mun itu suatu keangkuhan tersendiri, yang punya 

daya tarik spesifik.

"Kurasa calon istrimu tahu, siapa pemuda yang 

punya nama Prabima Wardana. Kelak rohmu bisa me


nanyakannya dari alam kubur." Pemuda itu mema-

merkan giginya yang putih, rapi dan indah itu.

"Kau mengenai gadis Bukit Badai itu?"

"Tentu. Sebab itu aku harus membunuhmu...!" Se-

lesai bicara begitu, Prabima meloncat dengan kaki ma-

ju lebih dulu. Lanang tergeragap sejenak, kemudian 

segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya. 

Namun ia jadi terpelanting ke samping dan terhuyung-

huyung lagi.

"Gila, tendangannya amat keras," pikir Lanangseta.

Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Lanang te-

lah mendapat serangan lagi, berupa tendangan berpu-

tar dari kaki kiri Prabima yang tadi menapak pada saat 

menendang pertama kalinya. Dan kali ini tendangan 

itu tepat mengenai wajah Lanangseta.

"Auuhh...!" Lanang mengaduh dan terjengkang ke 

belakang. Prabima bagai tidak memberi kesempatan 

Lanang untuk mengatur nafas. Kaki kanannya mener-

jang bagai hendak menginjak habis kepala Lanangseta.

Untuk kali ini Lanangseta mampu bergulir ke kiri 

lalu melentik ke udara, bersalto dua kali sehingga ia 

mencapai sebuah dahan pohon. Ia duduk di dahan po-

hon itu seraya mengusap darah yang merembes dari 

bibir dan gusinya. Muka Lanang bagai tertimpa karung 

seberat satu kuintal rasanya. Pandangannya jadi sedi-

kit kabur, tapi hanya sebentar, lalu kembali normal.

Pemuda itu masih di bawah, dan bertolak pinggang


sambil mendongak ke atas.

"Kalau kau turun, kematianmu sedikit panjang, 

sebab aku ingin bermain-main dulu denganmu. Tapi 

kalau kau tetap di atas, kau cepat mati. Nah, silakan 

turun...!" Prabima bicara dengan tenang. Nada ang-

kuhnya cukup jelas, dan membuat Lanangseta berpikir 

"Haruskah ia meladeni Prabima?"

O, tidak. Ia harus segera datang ke Goa Malaikat 

untuk mengambil bunga teratai sebagai pelengkap mas 

kawinnya. Ia ingin segera diresmikan menjadi suami 

syah dari Kirana Sari, putri Bukit Badai itu. Jadi, buat 

apa ia harus melayani pemuda gila seperti Prabima 

itu? Ia harus pergi.

Baru saja Lanang berpikir demikian, tahu-tahu ia 

sudah melesat dan berguling-guling menghindari ja-

rum-jarum maut yang ditebarkan oleh Prabima War-

dana. Jarum-jarum warna hitam meluncur ke arah-

nya, dan berjumlah lebih dari seratus mata jarum. Hal 

ini mengingatkan Lanangseta pada serangan Kirana 

sebelum mereka saling jatuh cinta. (dalam kisah

MISTERI GOA MALAIKAT).

Lanangseta semakin tertegun sewaktu jarum-jarum 

hitam itu menancap pada dahan pohon dan membuat 

pohon itu mati seketika. Daunnya kering dan rontok. 

Benar-benar luar biasa kehebatan jarum-jarum itu, 

pohon sebesar itu dapat kering dan mati dalam bebe-

rapa detik saja. Apalagi kalau manusia yang terkena


jarum-jarum tersebut. Dulu, Kirana juga menyerang 

Lanangseta, dan jarumnya membuat semak belukar 

yang terkena menjadi kering dan mati seketika.

Tetapi, Lanang tidak punya waktu untuk berpikir 

dan bertanya tentang jarum. Hari sudah hampir senja. 

Goa Malaikat akan menutup sendiri pintunya jika tan-

pa ada sinar matahari. Dan kalau pintu goa tertutup, 

berarti Lanang harus menunda waktu sampai besok 

pagi untuk, mengambil bunga teratai. Lanang sudah 

tak sabar lagi menunggu saat perkawinannya sampai 

besok. Jadi, sekarang juga ia melejit bagaikan kilatan 

cahaya, pergi meninggalkan Prabima yang tampaknya 

lembut namun sebenarnya haus darah itu.

"Hei, jangan lari...!" teriak Prabima. Ia segera ikut 

melejit bagai kilasan angin. "Tunggu...! Jangan mati 

sebagai pengecut, tolol...!!" 

Lanangseta tidak mempedulikan teriakan itu. Ia te-

rus saja berlari dengan menggunakan ilmu peringan 

tubuhnya. Prabima tidak kalah gesit dan cepatnya. Ia 

juga mempunyai ilmu peringan tubuh yang sempurna, 

sehingga dalam waktu singkat ia telah berhasil menyu-

sul Lanangseta.

Prabima berdiri di depan Lanangseta, "Berhenti...!" 

seraya tangannya yang kanan diacungkan ke depan. 

Tetapi Lanangseta tidak mau menuruti perintahnya. Ia 

melesat menerjang tubuh Prabima sehingga pemuda 

tampan itu terpelanting ke samping, kemudian berge


gas mengejarnya lagi.

Dalam sekelebat Lanangseta mampu memperhati-

kan gerakan Prabima yang berlari di sampingnya, me-

nembus celah-celah pohon. Waktu yang dibutuhkan 

sangat singkat, Prabima sudah berada di depan La-

nangseta. Kali ini ia tidak bicara apapun, kecuali ber-

teriak:

"Heeaaaatt...!!"

Dan sebuah pukulan tenaga dalam meluncur ce-

pat, menghantam Lanangseta. Pukulan itu mengenai 

pangkal lengan kiri Lanang, dan membuat Lanang ber-

jumpalitan, bagai pohon yang rubuh tunggang lang-

gang. Tulang lengannya itu terasa panas dan ngilu. 

Lanang menggeliat bangun, tapi kaki Prabima sudah 

lebih dulu menyerang wajah Lanang.

Untung pada saat itu Lanang sudah mempunyai 

dugaan akan mendapat serang-an secepat itu, sehing-

ga dengan tangkas tangan kanan Lanangseta berhasil 

menangkap kaki Prabima. Prabima menekannya lebih

kuat, dan Lanang bertahan. Namun dalam detik beri-

kutnya, Prabima menjerit dalam keadaan terpental se-

telah kaki Lanang menendang bagian kemaluan Pra-

bima. Lanang sendiri tak peduli apakah telur itu pecah 

atau hanya retak, tetapi ia harus segera pergi ke Goa 

Malaikat. Matahari sudah tipis, sudah di ambang pe-

raduannya. Lanang tak ingin ketinggalan matahari. Ia 

tak ingin menunda niatnya sampai esok pagi. Ia harus


mengambil bunga teratai pada sore itu juga. Maka tu-

buhnya pun melesat cepat meninggalkan Prabima yang 

mengerang kesakitan.

Mulanya Lanang ingin mengambil jalan bawah, 

menggunakan jurus Lindung Bumi, dan ia dapat berla-

ri di dalam lapisan tanah sehingga tidak diketahui 

Prabima. namun sebelum ia melaksanakan niatnya, 

Prabima telah berseru:

"Pendekar pengecut...! Mampus kau...!" Dan ber-

samaan dengan itu seratus jarum melayang cepat ke 

arah tubuh Lanangseta. Mau tak mau Lanangseta ha-

rus meloncat dan berguling di udara menghindari ja-

rum-jarum beracun itu. Dalam keadaan yang serba 

terpepet itu, ternyata Prabima semakin gencar mene-

barkan jarum-jarum beracun ke arah Lanangseta se-

hingga Pendekar Pusar Bumi itu kewalahan.

"Orang gila...!" pikirnya sambil menghindari jarum-

jarum beracun. Kalau saja pedang Wisa Kobra tidak 

dicuri Si Tongkat Besi (Dalam kisah GERHANA 

TEBING NERAKA), sudah tentu Lanangseta akan me-

layani serbuan jarum-jarum hitam itu dengan pedang 

tersebut. Sayang pedang itu ada di tangan kakek tua 

itu, sehingga kali ini ia terpaksa mengerahkan tenaga 

dalam untuk menghindari serbuan seratus jarum be-

racun itu.

Prabima tertawa girang sambil masih melancarkan 

jarum-jarum beracun dari tangannya. Jarum-jarum itu


keluar sendiri dari telapak tangan kanan dan kiri ber-

gantian. Tanaman sudah banyak yang mati kering ka-

rena menjadi sasaran jarum-jarum tersebut. Lanangse-

ta tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan 

serangan balasan, karena ia sibuk menghindari kece-

patan jarum beracun itu. hanya ada satu yang bisa di-

lakukan oleh Lanang. Namun hatinya bertanya-tanya: 

Haruskah kugunakan itu hanya untuk menghadapi 

orang gila ini?

Ya, tak ada pilihan lain. Lanangseta sudah benar-

benar keteter oleh serangan maut Prabima. Karena itu 

ia pun segera berteriak sambil berjumpalitan:

"Kiranaaaa...!!"

Angin bertiup dari kecepatan sedang menjadi de-

ras. Badai mengamuk, dan guntur di angkasa mengge-

legar dua kali. Langit menjadi merah, dan bumi bagai 

berguncang-guncang. Tapi hanya sekejap. Tidak seper-

ti biasanya, sampai merubuhkan pohon-pohon di seki-

tar daerah itu. Kali ini badai yang mengamuk menjadi 

reda seketika, dan langit menjadi terang kembali sete-

lah Prabima berseru:

"Shalindra...!"

Pendekar Pusar Bumi yang telah kehilangan pe-

dangnya itu terbengong sejenak. Ia meneliti sekeliling, 

oh… sungguh tak ada badai yang mengamuk, sungguh 

tak ada petir yang menyambar-nyambar. Sekali lagi ia 

berseru:


"Kirana Sarii...!!"

Badai datang, petir menggelegar. Namun hanya be-

berapa helaan nafas sudah reda kembali, karena suara 

Prabima terdengar lagi berseru:

"Shalindraaa!!"

Sepi. Keduanya terbungkam dan saling pandang. 

Angin pun semilir, biasa. Lanangseta terkagum-kagum 

melihat kehebatan Prabima yang mampu meredakan 

amukan badai misterius itu. Baru sekali ini Lanang 

melihat seseorang yang mampu menolak kehadiran 

badai Kirana. Dan hal ini membuat Lanang jadi ter-

bungkam, seakan merasa dirinya menjadi kecil di ha-

dapan Prabima. Sampai-sampai ia tak tahu kalau Pra-

bima mengibaskan tangan kanannya dan seratus lebih 

jarum berwarna hitam melesat cepat menyerang La-

nangseta.

Angin panas dirasakan menyerang tubuh, dan se-

ketika itu juga Lanang segera berjungkir balik ke arah 

belakang. Ia baru menyadari kalau jarum beracun itu 

telah menyerangnya kembali. Sekalipun kecepatan ref-

leknya cukup bagus, tapi naas tak dapat dihalau begi-

tu saja. Dalam gerakan secepat itu, ada salah satu ja-

rum yang menancap di betis Lanangseta. Lanang ter-

pekik bagai disengat kalajengking. Rasa sakitnya luar 

biasa. Ia mengejang dan memegangi betisnya. Seba-

tang jarum telah masuk, dan membaur dengan darah-

nya di dalam daging. Lanangseta mati-matian mena


han rasa sakit yang baru kali itu ia rasakan sangat 

menyiksa. Lebih-lebih setelah ia menyadari, bahwa ka-

ki itu kini menjadi layu. Pucat bagai tak berdarah lagi.

"Aaoouuhh...!! Kakikuuu...!" ia menahan sakit 

hingga teriakan tak mampu keluar dari mulutnya.

Prabima mendekat dan memandang dengan se-

nyum kemenangan. Ia bertolak pinggang dan tertawa 

pendek memandangi Lanangseta yang kesakitan.

"Cukup satu jarum, sudah mampu membuatmu 

kering dan... mati secara perlahan-lahan...!"

"Setan! Apa salahku sebenarnya?! Mengapa kau 

begitu kejam dan... dan... aaaooww... Kakiku...!!" La-

nang mengencangkan seluruh otot tubuh untuk me-

nahan rasa sakit. Keringat sampai membanjir di seku-

jur tubuh. Rasa sakit masih menyengat dan menim-

bulkan siksaan yang luar biasa. Saat itu, Prabima 

Wardana semakin terbahak-bahak, lalu melangkah 

pergi dengan meninggalkan kata: 

"Aku puas, kau bisa tersiksa dulu baru mati. Aku 

puas. Puas sekali...! Nah, selamat tinggal Pendekar Pu-

sar Bumi yang banci, ha, ha, haaa...!!"

Prabima pergi. Pergi dengan meninggalkan kekejian 

yang sangat menyiksa. Lanangseta menjadi semakin 

tegang dan kelojotan. Ia meringis dengan kuat-kuat 

menahan sakit.

Alam menjadi sepi dan menambah siksaan saja ra-

sanya. Tak ada orang lewat di hutan itu. Tak ada yang


berani melewati Bukit Badai, jika bukan orang tersasar 

seperti dirinya dulu. Dan saat ini juga, tak ada orang 

yang tahu bahwa kaki Lanangseta itu mulai berubah 

mengerikan. Telapak kakinya menjadi berkeriput, dan 

makin mengkerut. Sakitnya luar biasa. Lanangseta da-

pat membayangkan kengerian yang bakal terjadi. Jika 

pohon saja menjadi kering, rontok dan mati, apalagi 

kakinya nanti: Pasti akan semakin kering dan mengke-

rut, lalu ia pun akan mati dalam tubuh kering semua.

"Kirana...!" desah Lanangseta dalam hati. "Kirana, 

aku terluka... Ooh, sakit. Sakit sekali, Kirana... Auuh, 

datanglah, tolonglah aku... Kirana...!"

Lanangseta sengaja menyebut dan meratap kepada 

Kirana di dalam hati. Tak ada orang lain yang bisa di-

harapkan dapat mendengar ratapannya kecuali Kirana. 

Tak ada orang lain yang bisa diharapkan mampu men-

gobati kakinya selain Kirana, sebab perempuan cantik 

itu juga mempunyai jurus dan senjata jarum beracun, 

sama dengan Prabima yang gila itu. Tapi, Lanangseta 

bagai tak dapat bertahan lagi. Tubuhnya yang kekar 

dan berotot itu sudah memerah, selain akibat mena-

han rasa sakit juga karena pengaruh racun dalam ja-

rum tersebut. Sedangkan telapak kakinya, semakin 

mengering. Berkeriput dan bagai bergerak mengkerut.

Lalu sekelebat bayangan hijau datang. Seorang pe-

rempuan cantik dan anggun berdiri di depan Lanang. 

Wajahnya menjadi tegang dan ia segera memeluk La


nangseta setelah melihat kaki Lanangseta menjadi ker-

ing dan mengkerut.

"Lanang...?! Kau... ooh, kau pasti telah bertarung 

melawan Prabima Wardana? Benar, bukan? Benar...?!"

Lanangseta hanya bisa mengangguk-angguk sambil 

menyeringai menahan sakit mati-matian.

"Iblis itu muncul pada saat yang tepat...!!" geram 

Kirana. "Dia memang biadab! Terkutuk! Seharusnya 

kau jangan berhadapan dengannya. Apalagi tanpa pe-

dang di tanganmu. Ia sangat berbahaya...!!"

Lanangseta sempat merasa jengkel kepada Kirana 

Sari. Ia berusaha membentak sambil menahan sakit 

dengan susah payah:

"Jangan banyak bicara dulu. Aaaoow...! Beri aku 

penawar racun jarum itu...! Lekaaass...! Aaduuuh...!"

"Aku... aku tidak punya!"

"Hah...?! Celaka...!"

"Jadi... aauhh...! Jadi aku harus mati menjadi ker-

ing seperti... seperti... aaauhh!"

Melihat kaki Lanang semakin berkeriput dan se-

bentar lagi juga sekujur tubuhnya menjadi kering, ma-

ka dengan satu kekuatan tersendiri yang dimilikinya, 

Kirana mengangkat tubuh kekasihnya, dan melesat 

membawanya pergi dalam keadaan tegang.

"Ayah yang harus menyembuhkannya...!! Pelajaran 

itu belum diberikan kepadaku, dan waktu itu aku me-

nolak untuk menerima pengobatan racun jarumku.


Dulu, aku tak pernah punya niat untuk menyembuh-

kan siapa saja yang terkena senjata jarum beracun. 

Ooh... aku tak sangka kalau ternyata buah hatiku 

sendiri yang menderita seperti ini..."

Sambil ngoceh tak karuan Kirana Sari melayang di 

udara, membawa pulang Lanangseta yang dalam kea-

daan bahaya. Setibanya di Griya Teratai Wingit, La-

nangseta segera dibawa kepada ayahnya, Sabdawana.

"Belum terlambat..." gumam ayah Kirana Sari sete-

lah melihat keadaan. luka Lanangseta. Lalu, ia segera 

menyuruh Ludiro dan Kirana mengangkat Lanangseta 

di tempat tersendiri, yaitu di sebuah kamar yang di-

namakan kamar perawatan. Lanangseta masih kejang-

kejang karena menahan rasa sakit. Pada waktu itu, 

ayah Kirana menyiramkan semacam cairan bening, se-

perti air bilas. Cairan itu disiramkan pada bagian yang 

telah keriput dan mengkerut itu.

Begitu cairan itu menyiram kaki Lanangseta, tiba-

tiba seringai kesakitan menghilang di wajah Lanang. Ia 

menjadi tenang. Rasa dinginnya air bagai meresap da-

lam tulang dan membaur di sekujur tubuhnya. Rasa 

sakit itu hilang. Nafas pun terhempas, terengah-engah. 

Rupanya kelegaan itu pun mampu membuat Lanang-

seta pingsan beberapa saat.

Dalam masa-masa itu, kecemasan dan kegelisahan 

sangat mencekam diri Kirana Sari. Tidak biasanya ia 

dapat segelisah itu. Tidak biasanya pula ia menden


gus-dengus kesal dan berjalan mondar-mandir di de-

pan kamar perawatan. Ludiro duduk dengan tenang, 

tak jauh dari kamar perawatan. Bahkan ia sesekali 

masih mengajak bicara salah seorang dari sepuluh pe-

layan dan pengawal Griya Teratai Wingit itu. Namun, 

Kirana tahu hal itu dilakukan oleh Ludiro hanya seke-

dar menghilangkan kecemasannya. Kalau saja ia bisa 

mengalihkan perhatian seperti Ludiro, mungkin hal itu 

akan ia lakukan. Sayang, dalam benaknya yang terpi-

kir hanya keselamatan Lanangseta. Sejak tadi ayah Ki-

rana belum keluar dari kamar perawatan. Padahal Ki-

rana ingin mengetahui keadaan Lanangseta menurut 

pemeriksaan ayahnya. Ah, suatu kegelisahan yang be-

nar-benar menyiksa diri.

Dalam benak Kirana ia teringat betapa ganasnya 

jarum beracun yang dimilikinya, juga yang dimiliki 

Prabima itu. Ia tahu betul keganasan jarum itu, dan ia 

tahu betul bahwa hanya ada dua orang di dunia ini 

yang memiliki racun dalam tebaran jarum hitam seper-

ti itu. Hanya dia dan Prabima. Selain itu tak ada yang 

punya.

"Aaah..." sekali lagi Kirana mendesah. Ludiro men-

getahui betapa tersiksanya Kirana pada saat itu. Ia jadi 

kasihan kepada perempuan cantik yang anggun dan 

berwibawa. Perempuan itu bagai tak peduli dengan si-

kapnya yang mulai tidak nampak tegar itu.

Ludiro mendekat dan mengajak Kirana bicara den


gan hati-hati:

"Kalau kau tahu siapa pelakunya, dan tahu di ma-

na tempatnya, tolong tunjukkan padaku. Aku akan ke 

sana dan membuat suatu perhitungan sendiri dengan-

nya."

"Jangan! Dia bukan tandingan mu, Paman Ludiro. 

Kau akan mati bila berhadapan dengannya," kata Ki-

rana cemas.

Dengan kalem Ludiro berkata lagi, "Mati itu me-

mang bagianku. Sejak aku menjadi pengawal Puteri 

Ayu Sekar Pamikat, tugasku adalah untuk mati mem-

belanya. Dan sekarang aku ditugaskan untuk menjaga 

Lanangseta. Aku ingat pesan Puteri Ayu ketika di da-

lam goa, maka ku siapkan diriku untuk mati di depan 

Lanangseta..."

Kirana kagum atas kesetiaan Ludiro, namun 

sayang sekali kalau orang seperti Ludiro harus mati di 

tangan Prabima.

"Tenanglah dulu, Paman. Orang itu pasti akan ke 

sini, sebab ia akan mengira bahwa Lanangseta telah 

mati..."

*

* *


2

LUDIRO menggeram gemas. Ia bagai tak sabar me-

nunggu kedatangan orang yang telah membuat La-

nangseta celaka. Sejak ia dan Lanangseta berhasil lolos 

dari pertempuran di Tebing Neraka, dia merasa berhu-

tang nyawa kepada Pendekar Pusar Bumi itu (baca ki-

sah Gerhana Tebing Neraka) Maka, dalam hatinya Lu-

diro selalu bertanya-tanya; kapan ia akan dapat mem-

balas hutang nyawa itu kepada Lanangseta. Rasa-

rasanya risi dan tak enak jika ia punya hutang. Jadi, 

setiap ada kesempatan ia selalu berusaha untuk me-

nyelamatkan Lanangseta sebagai tindakan balas budi 

sang Pendekar Pusar Bumi itu.

Tetapi terlepas dari urusan pribadinya itu, ia me-

mang harus tetap menjaga Lanangseta, sesuai dengan 

amanat putri asuhannya yang kini telah menjadi orang 

suci di dalam Goa Malaikat, yaitu Putri Ayu Sekar Pa-

mikat, bekas kekasih Lanangseta. Ia sangat patuh ke-

pada perintah Sekar Pamikat. Jiwa pengabdiannya be-

gitu besar, sehingga sekalipun ia merasa enak jika ke 

mana-mana tanpa membawa senjata, kecuali senjata 

rahasianya, namun untuk sekarang ia harus membia-

sakan diri dengan membawa senjata berupa pedang 

Jalak Pati dan Cambuk Naga.

Sebetulnya Ludiro sendiri tidak mahir memainkan



pedang atau cambuk, namun seperti yang pernah ia 

rasakan ketika penyerbuan di Tebing Neraka, pedang 

itu seakan menggerakkan sendiri tangannya untuk 

membabat kian ke mari. Tentang Cambuk Naga, ia ti-

dak tahu apakah tangannya dapat menirukan jurus-

jurus milik Sekar Pamikat atau tidak, itu belum per-

nah dibuktikan oleh Ludiro. Tapi yang jelas, ia tetap 

menyelipkan pedang Jalak Pati di pinggangnya dan 

Cambuk Naga di bagian punggungnya. Sedangkan sen-

jatanya yang asli, yaitu mata pisau beracun, masih te-

tap terselip di antara baju buntung dan ikat pinggang-

nya yang tebal itu.

Ludiro sedang melamunkan hal itu, ketika tiba-tiba 

ayah Kirana muncul dari kamar perawatan, lalu me-

manggilnya:

"Ludiro..." Ludiro segera mendekat dengan sikap 

sopan. "Tolong carikan seekor ular kobra jantan."

Tak tahu ke mana Ludiro harus mencari seekor 

ular kobra jantan, dan tak tahu apa manfaat ular ko-

bra itu, tetapi Ludiro hanya tahu itu adalah perintah. 

Perintah yang harus ditaati, sehingga tanpa bertanya 

ini dan itu Ludiro pun segera berangkat mencari see-

kor ular kobra jantan.

"Bagaimana, Ayah? Dapatkah dia...?"

"Tinggal pemulihan," potong Sabdawana yang men-

getahui kalau putrinya sangat cemas. Dengan memberi 

senyum bernada menggoda, Sabdawana tahu bahwa


putrinya sudah merasa lega. Karena itu Kirana segera 

bertanya:

"Bolehkah aku menemuinya, Ayah?"

"Temuilah, dan hiburlah dia biar dia tidak penasa-

ran. Jangan boleh dia turun dari pembaringan sebe-

lum Ludiro datang membawakan ular kobra jantan."

Sabdawana membiarkan Kirana masuk ke kamar, 

tempat di mana Lanangseta terbaring. Agaknya pemu-

da itu benar-benar tertolong. Wajahnya memang masih 

sedikit pucat, tapi itu hanya proses pengembalian me-

nuju normal saja. Lanangseta sudah bisa tersenyum 

kendati kaki kirinya masih dibalut kain oleh ayah Ki-

rana.

Pertama-tama yang dilakukan Kirana adalah me-

nebus kecemasannya dengan sebuah ciuman di kening 

Lanangseta. Itu tanda ia gembira melihat keadaan La-

nangseta.

"Syukurlah, kau dapat diselamatkan oleh Ayah," 

ucap Kirana dengan senyum kelegaan.

"Apakah kau kira aku tidak akan dapat disela-

matkan?"

"Aku tidak bilang begitu. Tapi setidaknya aku men-

cemaskan keadaanmu, Lanang. Sebab aku tahu, beta-

pa ganasnya racun itu. Mungkin hampir sama dengan 

racun yang pernah menyerang tubuh adikmu, Ekaya-

na itu."

"Kau kenal betul dengan pemuda bernama Prabima


itu?" suara Lanang masih sedikit lemah, bahkan agak 

serak karena terlalu banyak berteriak dalam keadaan 

tertahan.

Ketika Lanangseta menanyakan hal itu, Kirana jadi 

tertunduk. Sepertinya ia menyembunyikan suatu pera-

saan yang cukup mencurigakan Lanangseta, sehingga 

Lanang pun segera berkata lagi:

"Waktu aku menyebutkan namamu, badai pun da-

tang. Tapi tidak seperti biasanya. Karena badai itu ti-

ba-tiba berhenti setelah Prabima menyebutkan nama... 

Shalindra."

Kirana kelihatan terperanjat dan melirik ke pintu, 

seakan takut ada yang mendengarnya. Kemudian ia 

mendekatkan wajah dan berbisik:

"Itu... itu nama ibuku."

"Oh..?" Lanangseta terpekik tertahan. "Jadi, itu 

nama almarhumah ibumu?"

Kirana mengangguk. "Prabima adalah murid ke-

sayangan ibu, dan dialah yang mengetahui nama ibu 

sebenarnya. Nama itu memang nama sebuah ilmu pe-

ninggalan leluhur ku yang mampu membungkam sega-

la kemarahan, dari kemarahan manusia maupun ke-

marahan hewan, bahkan alam yang marah pun dapat 

dibungkamnya seketika. Itulah kehebatan nama ibu. 

Aku juga tidak tahu kalau Prabima mewarisi ilmu ter-

sebut. Sebab semasa hidupnya, ibu tidak pernah men-

ceritakan hal itu kepada kami."


"0oo..." Lanang manggut-manggut pelan, sedikit 

termenung beberapa saat.

Marwa, pelayan khusus dapur datang membawa-

kan semangkok minuman yang sering dipakai buat 

memulihkan kesehatan siapa pun. Ketika Marwa pergi, 

Kirana segera membantu mengangkat kepala Lanang-

seta dan meminumkan minuman tersebut. Ayah Kira-

na juga yang menemukan membuat ramuan penyegar 

badan itu. Rasanya sedikit getir, namun memang me-

nyegarkan setelah diminum beberapa saat.

Perlahan-lahan Kirana meletakkan kepala Lanang-

seta sehingga pemuda itupun terbaring lagi. Sekali lagi 

Kirana mencium kening Lanangseta dan mengusap 

rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Seharusnya kau tidak meladeni dia, Lanang. Se-

bab..."

"Dia menyerangku dengan tiba-tiba," sahut Lanang 

bernada protes. "Aku sudah menanyakan apa salahku, 

tapi dia bahkan menyuruhku menanyakannya kepa-

damu."

Sehela nafas dihempaskan oleh Kirana, sepertinya 

ia sedang merasakan sesuatu yang mengganjal di da-

lam hati. Lanang tidak mempedulikan keadaan itu, ia 

mendesak dengan pertanyaan yang diplomatis

"Kenapa aku harus bertanya kepadamu?"

Kirana duduk pada sebuah bangku kayu, letaknya 

tak jauh dari jangkauan tangan Lanangseta. Karena


itu, sekalipun Kirana berkata dengan pelan, Lanangse-

ta cukup jelas mendengar jawaban itu:

"Prabima mencintai ku...."

"Oh, celaka...!" desah Lanang.

"Tapi aku tidak mencintainya, Lanang. Sumpah! 

Aku tidak pernah bisa mencintainya. Aku memang 

pernah ke mana-mana bersama Prabima, tapi karena 

aku menganggapnya sebagai kakak sendiri. Dia adalah

murid kesayangan ibu, dan dia hidup lama bersama 

kami sehingga sudah seperti saudara. Aku sendiri ti-

dak tahu kalau dia selama ini mencintai ku. Dan bah-

kan... bahkan pernah bicara langsung dengan ayah 

dan ibu bahwa dia ingin memperistri aku. Waktu itu, 

ibu masih hidup, dan karena ia murid kesayangan ibu, 

maka ibu sangat setuju, sedangkan ayah tidak." 

Nada bicara Kirana memang pelan, namun mem-

punyai penegasan-penegasan yang mengharapkan 

suatu kepercayaan dari Lanangseta. Mau tidak mau 

Lanang harus mempercayai kata-kata itu, sebab wajah 

Kirana tampak sangat sedih dan memohon pengertian 

yang dalam dari Lanangseta.

"Teruskan..."

"Kau tidak marah?"

"Aku ingin mendengar seluruhnya."

Perempuan cantik berbibir sensual itu menelan lu-

dah sekali, bagai sedang menelan suatu kegetiran yang 

memuakkan. Lalu ia bicara dengan kelembutannya


yang anggun.

"Ayah berdebat dengan ibu, dan akhirnya ayah 

memberi keputusan atau syarat seperti yang diberikan 

kepadamu. Kalau Prabima ingin memperistri aku, dia 

harus mengalahkan orang-orang Tebing Neraka, yang 

dari dulu selalu mengincar tempat kami."

"Dan Prabima berangkat juga tentunya?"

"Ya," jawab Kirana dalam desah. "Tapi dia meren-

gek kepada ibu untuk membantu menyerang orang-

orang Tebing Neraka. Ibu tidak keberatan, sebab me-

mang dasarnya Prabima adalah murid kesayangannya 

yang tak ingin celaka karena syarat dari ayah itu. Tapi 

ibu tidak menyadari bahwa itu adalah akal bulus Pra-

bima. Ibu turun ke lembah dan menyerang orang-

orang Tebing Neraka, sementara Prabima enak-enak 

menunggu di tepi Jurang Gempal. 

Ketika ibu menemui nasibnya, jatuh di jurang be-

rasap dan lenyap begitu saja, Prabima segera melari-

kan diri bersama kedua pelayan kami yang menyer-

tainya. Lalu dia merasa malu untuk kembali ke mari, 

sehingga ia hanya mengutus kedua pelayan kami un-

tuk memberitakan hal itu. 

Sejak saat itu, ayah sangat benci kepada Prabima, 

demikian juga aku. Dan rupanya selama belakangan 

ini dia selalu mengintai perkembangan di Griya Teratai 

Wingit ini, lalu dia juga dapat mengetahui bahwa kau 

telah menjadi calon suamiku. Mungkin juga dia men


getahui bahwa kau telah berhasil menghancurkan 

orang-orang Tebing Neraka itu, sehingga ia merasa 

perlu membunuhmu. 

Bagi Prabima, kau adalah penghalang besar atas 

cintanya kepadaku. Aku yakin, dia menunggu saat-

saat tertentu, misalnya menunggu kematian ayah, dan 

bila ayah telah tiada, dia dapat memaksaku untuk 

menjadi istrinya. Aku tahu dia amat tergila-gila kepa-

daku. Sebab itu, dia bertekad dengan cara apapun ha-

rus mendapatkan aku..."

"Lalu apa rencanamu selanjutnya? Menghampiri 

Prabima dan meluluhkan kemarahannya dengan 

membalas cintanya?"

Kirana menggeleng, "Menemuinya dan membunuh-

nya!"

Jawaban Kirana itu sempat membungkus kecem-

buruan Lanangseta. Pemuda tampan berambut pan-

jang, lembut itu menghempaskan nafas, pertanda se-

dang mencari ketenangan hati..

"Kau akan mencari Prabima?"

Kirana menggeleng. "Dia akan datang sendiri ke 

mari, dan akan menemuiku secara diam-diam. Dia 

pasti mengira kau telah mati akibat jarum mautnya 

itu."

"Dengan diam-diam? Dan kau akan menuruti per-

temuan dengan diam-diam itu?" Lanang menjadi se-

perti anak kecil, membiarkan kecemburuan menguasai


dirinya.

Usapan lembut jemari Kirana pada rambut La-

nangseta sedikit menenangkan hati yang cemburu. Ki-

rana berbisik:

"Jangan berpikiran buruk kepadaku, Sayang. Ma-

sih kurangkah aku membuktikan bahwa aku mencin-

taimu?"

"Tapi kau akan mengadakan pertemuan dengan di-

am-diam itu? Dan... dan semua pertemuan yang dila-

kukan diam-diam pasti menuju jalan yang serong."

Nada gerutu dari Lanangseta sempat membuat Ki-

rana tertawa kecil. Ia bahkan meledek, "Kau lucu kalau 

sedang cemburu. Aku senang melihat kecemburuan 

itu. Baiklah, akan kubuat kau selalu cemburu sepan-

jang waktu. Kau... kau lebih tampan dan lebih meng-

gairahkan dalam keadaan muka cemburu begini..."

Lanangseta hanya mendengus kesal dan buang 

muka. Kirana tertawa sedikit keras. Lalu dia memeluk 

kepala Lanang dengan satu ciuman di pipi. Kini bah-

kan pipinya ditempelkan lekat-lekat pada pipinya La-

nangseta seraya ia berbisik:

"Izinkan aku menemuinya diam-diam, kalau ia da-

tang. Aku menemuinya untuk membunuh, bukan un-

tuk bercinta...!"

"Kau janji?"

"Janji!"

"Kau tidak akan lari dengannya."

"Aku sudah bisa lari sendiri denganmu." 

Beberapa saat setelah mereka tercekam kehenin-

gan, maka tangan Lanangseta pun bergerak memeluk 

Kirana dengan mesra. Dan sebuah kecupan segera 

mendarat di bibir yang merekah sensual itu.

Malam menggelincir menjadi malam kembali. Ludi-

ro belum pulang. Menurut kekhawatiran Kirana, Ludi-

ro belum mendapatkan ular kobra jantan atau mati di-

patok ular kobra.

Tapi Lanang menjelaskan bahwa Ludiro tak mung-

kin dapat digigit ular kobra. Lanang menjelaskan ten-

tang kekebalan tubuh Ludiro yang tidak mempan sen-

jata apapun akibat memakan lumut bercahaya (dalam, 

kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI).

Kirana sempat tertegun beberapa saat setelah 

mendengar kehebatan yang dimiliki Ludiro. Entah apa 

yang ia pikirkan dalam lamunannya, yang jelas La-

nangseta merasa terganggu sejak ia menceritakan goa 

yang berlumut cahaya, seperti yang pernah didengar-

nya dari Ludiro. Ketika malam terus bergulir dan men-

jadi malam kembali, keresahan mulai meliputi pikiran 

Lanangseta.

Sesekali ia diizinkan turun dari pembaringan oleh 

ayah Kirana, namun sudah beberapa saat ini ia tidak 

menemui Kirana. Pikiran Lanangseta begitu kacau. Ia 

terbayang pertemuan diam-diam yang akan dilakukan 

Kirana dengan Prabima. Dalam hatinya timbul kekha


watiran yang kuat, bahwa Kirana telah lari bersama 

Prabima dan mengkhianati dirinya. Malam sepi, bagai 

tak bergeming, dan Kirana benar-benar tak muncul. 

Geram di hati Lanangseta bercampur dengan kegelisa-

han yang menyiksa. Kakinya masih terpincang-pincang 

ketika ia turun dari pembaringan secara diam-diam, 

dan ia melangkah pelan-pelan ke luar dari kamar un-

tuk mencari Kirana. Para penjaga Griya Teratai Wingit 

tak ada yang tahu kalau Lanangseta sudah berada di 

luar pagar dan bergegas Untuk pergi sendirian mencari 

Kirana.

Cahaya api penerang jalan berbinar-binar dalam 

tempat khusus. Lanangseta baru saja akan melangkah 

tanpa pamit, tapi tiba-tiba ia harus menghentikan 

langkah.

Seorang pemuda bertampang imut-imut, ganteng 

dan manis itu berdiri menghadang Lanangseta. Pedang 

bersarung perak memantulkan cahaya dari api pene-

rang jalan. Senyum licik tersungging di bibir yang se-

benarnya menawan itu. Lanangseta menggeram dalam 

suatu tanya:

"Mana gadis itu...?! Kembalikan dia padaku, Se-

tan!"

Prabima Wardana tertawa kecil. Ia tahu bahwa Ki-

rana pasti tidak ada, walau sebenarnya ia tidak me-

nyangka kalau Lanangseta ternyata masih hidup. Tu-

juannya malam itu datang untuk menculik Kirana. Te


tapi begitu mendengar pertanyaan Lanangseta, maka 

tahulah Prabima bahwa Kirana malam itu tak ada di 

rumah, dan Lanangseta menuduhnya sebagai orang 

yang menyembunyikan Kirana. Suasana itu diman-

faatkan oleh Prabima dengan mengatakan:

"Kau pikir dia sungguh-sungguh mencintaimu?!"

"Setan!" geram Lanangseta sambil mengepalkan 

tinjunya kuat-kuat. Prabima merasa pancingannya 

mulai mengena.

Dengan angkuh Prabima berkata:

"Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak 

sampai meresap di dalam hatinya. Buktinya, malam ini 

ia telah menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu 

menyuruhku untuk melukaimu kembali. Paling tidak 

dengan kau terluka perkawinanmu akan ditunda, dan 

itu kesempatan bagi dia untuk memuaskan diri ber-

samaku. Kau memang tolol, Lanangseta!" Prabima ter-

tawa pelan namun memanjang.

Merah seketika wajah Lanangseta mendengar kata-

kata itu. Darahnya mendidih, jantungnya bagai diba-

kar oleh nyala api yang maha dahsyat. Ia telah terma-

kan tipu daya Prabima yang memang ahli dalam hal 

itu.

Dengan mengerahkan tenaga yang ada, Lanangseta 

menyerang Prabima dengan pukulan bernafsu, "Mam-

pus kau, Setaaan...!" Pukulan itu diarahkan ke dada 

Prabima, tetapi Prabima meloncat mundur sambil


mengibaskan tendangan kaki memutar. Tendangan itu 

tepat mengenai rahang Lanangseta sehingga Pendekar 

Pusar Bumi Itu pun sempoyongan menahan sakit.

"Aku harus melukaimu, sesuai dengan perintah 

gadis itu...!"

"Sreet...!" Prabima mencabut pedangnya. Lanangse-

ta menahan keseimbangan tubuh dan memusatkan 

perhatian pada pedang berkilauan itu. Kakinya masih 

terasa sakit, namun tak dihiraukan lagi. Ia masih 

mampu meletik bagai udang ke udara pada saat ujung 

pedang meluncur ke arah perutnya bersamaan dengan 

meluncurnya tubuh Prabima Wardana.

"Hiaaaat...!!" Pekikan itu menambah kekuatan La-

nangseta untuk melancarkan tendangan ke punggung 

Prabima yang berhasil diloncati.

"Bukk...!" Punggung itu menjadi sasaran Lanangse-

ta, dan Prabima tersungkur mencium bebatuan. ia ce-

pat-cepat bangkit, lalu semakin bernafsu untuk melu-

kai Lanangseta. Pada saat itu, dua pengawal pintu ger-

bang Griya Teratai Wingit telah keluar dari pagar dan 

bergegas ke arah datangnya teriakan itu. Tapi kedua 

pengawal tersebut akhirnya bingung sendiri, mana 

yang harus dibela. Mereka mengenal Lanangseta seba-

gai calon suami Kirana, tetapi mereka juga mengenal

Prabima sebagai bekas anggota keluarga Teratai Win-

git. Jadi, yang bisa mereka lakukan saat itu hanya me-

lototkan mata dalam kebingungan.


Lanangseta tidak perduli, apakah pengawal itu 

akan membela dia atau membela Prabima. Yang jelas 

ia harus segera menyerang dan membuatnya kewala-

han sebelum Prabima melancarkan serangan lagi. Ma-

ka, dengan bersalto satu kali di udara, kaki Lanangse-

ta meluncur ke dada Prabima. Sengaja kaki itu menye-

rang tempat yang kosong, sehingga tebasan pedang 

Prabima pun akan meleset. Dan begitu kaki kanan itu 

menginjak tanah kembali, pukulan telah meluncur de-

ras dan keras di wajah Prabima. Pedang dikibaskan 

saat itu pula, tapi hal itu sudah diperkirakan oleh La-

nangseta, sehingga dengan cepat ia merundukkan ke-

pala. Pedang berlalu di atas kepalanya, dan Lanangse-

ta pun berguling setelah kakinya menjejak dada Pra-

bima seperti seekor kuda liar mengamuk. Prabima ter-

pental sekali lagi, namun ia segera berdiri dan menya-

rungkan pedangnya.

Lanangseta tahu gelagat, pasti ia akan melancar-

kan jarum-jarum beracun lagi ke arah Lanangseta. Se-

bab itu, Pendekar Pusar Bumi segera melompat-

lompat, berguling-guling di udara dengan cepat se-

hingga membingungkan Prabima yang hendak melan-

carkan serangan jarum beracun. Satunya jalan, Pra-

bima harus melumpuhkan kekuatan Lanang lebih du-

lu sebelum ia menyerang dengan jarumnya. Dengan 

lumpuhnya kekuatan Lanang, maka tak ada daya lagi 

bagi pendekar berikat kepala kulit macan tutul itu un


tuk melayang dan berjumpalitan membingungkan.

Prabima segera melayang juga menyongsong tubuh 

Lanang dalam satu jurus tendangan menyamping. 

"Praak...!" Ia berhasil menendang tulang rusuk La-

nangseta dengan keras, dan membuat Lanangseta 

mengaduh kesakitan, lalu jatuh tak bertenaga lagi. Itu-

lah saat Prabima memperoleh kesempatan menyerang 

Lanangseta dengan jarum beracunnya.

Namun pada saat ia ingin mengeluarkan jarum-

jarum racun dari tangan dan setiap jari-jarinya, men-

dadak ia harus terguling-guling di tanah beberapa kali 

karena sebuah tendangan yang cukup dahsyat. Len-

gannya terasa hampir putus, dan ia menyeringai kesa-

kitan, tapi matanya sempat memandang seorang ber-

tubuh terhitung pendek dengan badan kekar dan bero-

tot gempal berdiri di depannya. Orang itu menyandang 

pedang di pinggang dan cambuk di punggung. Sedang-

kan di tangan kiri lelaki itu, terlihat seekor ular kobra 

yang digenggamnya kuat-kuat dan masih hidup.

"Paman Ludiro...?!" seru Lanangseta. Tapi Ludiro 

tidak menyahut. Ia memandang tajam pada Prabima, 

lalu menyumpah dengan sengit:

"Rupanya kau bajingan tengik itu, ya?!"

Prabima tidak mengenal siapa Ludiro, yang ia tahu 

orang tersebut ada di pihak Lanangseta. Karena itu da-

lam keadaan masih melonjor di tanah, ia melancarkan 

serangan jarum beracun yang meluncur bagai hujan


dari setiap ujung jarinya. Ludiro berkelit dengan cepat, 

melompat ke samping kiri dengan badan berputar, ke-

mudian menghentakkan kaki sehingga melambung 

tinggi dan bersalto satu kali, kemudian tendangannya 

tepat jatuh di kepala Prabima. Waktu itu, Prabima ba-

ru saja bergegas untuk berdiri, tahu-tahu ia harus te-

lentang lagi, dan terguling-guling menghindari kaki 

Ludiro yang berkali-kali gagal menginjaknya. 

Dengan gerakan cepat, Prabima dapat melentikkan 

tubuh untuk menjauhi Ludiro. Begitu keadaannya su-

dah cukup jauh, kedua tangannya segera lurus ke de-

pan dengan jari-jari terarah pada Ludiro. Tanpa me-

nunggu gerakan lain, Ludiro segera mencabut cambuk 

naganya sambil melayang menghindari jarum-jarum 

yang melesat. Cambuk naga melecut keras, menimbul-

kan letupan kecil, dan menghantam kedua tangan 

Prabima. Tangan itu berdarah, Prabima menjerit kesa-

kitan, kemudian segera melarikan diri ke balik kegela-

pan malam. Di sana ia menghilang entah ke mana. Ta-

pi Lanangseta segera melesat mengejar Prabima den-

gan kemarahan yang meluap.

*

* *

3

AYAH Kirana terperanjat ketika melihat Lanangseta 

berkelebat mengejar Prabima. Ia menampakkan rasa 

khawatirnya, sehingga ia pun berseru kepada Ludiro, 

"Kejar dia! Bawa pulang! Kesehatannya belum pulih 

betul! Ia bisa sekarat di perjalanan!"

"Bagaimana dengan ular kobra jantan ini?" tanya 

Ludiro sambil memperlihatkan ular kobra jantan di 

tangannya.

"Sambu!" seru ayah Kirana kepada salah seorang 

pelayannya. Orang yang bernama Sambu itu mende-

kat. "Bawa ke belakang ular kobra jantan itu, dan usa-

hakan masih tetap hidup sampai darahnya kuambil 

untuk diminumkan kepada Lanangseta."

"Baik, Rama," jawab Sambu yang kemudian dengan 

hati-hati menerima ular kobra jantan dari tangan Ludi-

ro. Setelah itu Ludiro segera pergi mencari Lanangseta 

yang dikhawatirkan pingsan di tengah jalan.

Tetapi sampai jauh malam, Ludiro tidak menemu-

kan Lanangseta. Bahkan sampai matahari terbit, La-

nangseta masih tak terlihat jejaknya. Agaknya ayah Ki-

rana sangat mencemaskan keadaan Ludiro dan La-

nangseta, sehingga ia pun mengutus dua pengawalnya, 

yaitu: Bonang dan Lande. Tetapi sampai jauh siang 

mereka tidak menemukan orang yang dicari. Hanya sa


ja, pada rimbunan semak berduri tiba-tiba Bonang dan 

Lande menemukan ikat kepala dari kulit macan tutul, 

warnanya kuning bertotol-totol hitam.

"Ini seperti ikat kepala Lanangseta," kata Bonang.

Lande mengangguk, "Bawa pulang ikat kepala ini. 

Ayo...!"

Waktu mereka berdua sampai di Griya Teratai 

'Wingit, Ludiro sudah berada di sana, di halaman bela-

kang, berbicara dengan Sabdawana, ayah Kirana. Ke-

datangan Bonang dan Lande membuat mereka tegang 

dan ayah Kirana segera bertanya, "Bagaimana? Kalian 

menemukan Lanangseta?"

"Tidak, Rama," jawab Lande. "Tapi, kami menemu-

kan barang ini..." Kemudian Lande menyerahkan ba-

rang temuannya.

Ludiro dan ayah Kirana memandang dengan te-

gang, lalu mereka saling tatap. Ludiro segera bertanya 

kepada Lande:

"Di mana ikat kepala Lanang ini kalian temukan?!"

"Di semak berduri, dekat jalan menuju Goa Malai-

kat," jawab Bonang dengan semangat.

"Mungkinkah dia masuk ke dalam Goa Malaikat?" 

tanya Ludiro kepada ayah Kirana. Lelaki berambut 

uban itu hanya mendengus kesal dalam kebingungan-

nya.

"Tapi tadi kau bilang sudah mencari di Goa Malai-

kat?" kata ayah Kirana.


"Benar, Rama," jawab Ludiro. "Tapi saya tidak 

mencari sampai di kedalaman goa. Kalau begitu, akan 

saya cari sampai ketemu, Rama."

Sabdawana mengangguk. "Carilah dan temukan 

dia. Aku sudah terkesan kepadanya, dan hanya dia 

yang menurutku pantas menjadi pengganti ku di Tera-

tai Wingit ini."

"Hemm... bagaimana dengan putri Rama yang ka-

tanya juga pergi sejak kemarin lusa itu?"

"Jangan khawatirkan dia. Itu sudah biasa bagi dia, 

pergi tanpa pamit! Memang sedikit bandel putriku itu!"

"Baiklah, saya pergi ke Goa Malaikat, Rama..." kata 

Ludiro, lalu ia pun pergi ke sana dengan hati masih 

cemas akan keselamatan Lanangseta. Ia tahu, dalam 

kondisi yang masih lemah itu, Lanangseta akan mu-

dah dikalahkan oleh Prabima, apalagi Lanang dalam 

keadaan tanpa pedang Wisa Kobra. Keadaan Lanang 

sangat membahayakan, dan itu adalah tanggung jawab 

Ludiro. Sebab itulah Ludiro mati-matian untuk mene-

mukan Lanangseta kembali ke manapun Pendekar Pu-

sar Bumi itu pergi.

Namun yang paling dikhawatirkan oleh Ludiro ada-

lah pemuda yang bernama Prabima. Luka di tangan 

bekas cambukkan Ludiro itu memang tidak seberapa. 

Dalam beberapa saat bisa sembuh. Dan dalam kea-

daan seperti itu bisa saja ia menyerang Lanangseta, la-

lu menyeret Lanang ke suatu tempat untuk dibunuh



dan disembunyikan mayatnya.

Bukan hal yang aneh jika Prabima sengaja me-

nyembunyikan Lanang baik dalam keadaan parah atau 

pun mati, sebab menurut penuturan ayah Kirana yang 

sempat didengarnya tadi, bahwa Prabima memang 

mempunyai naluri untuk mengacau kehidupan di Te-

ratai Wingit. Secara sekilas, Ludiro juga mendengar 

bahwa Prabima mencintai Kirana, tetapi cintanya bagai 

sampah yang terbuang begitu saja. Dalam kasus itu, 

Lanangseta adalah pihak yang menjadi korban suatu 

peristiwa masa lalu, yaitu peristiwa penolakan cinta 

Prabima kepada Kirana. Kalau memang benar begitu 

kenyataannya, Ludiro sudah siap untuk menyiksa 

Prabima dengan memotong-motong tubuh pemuda itu 

menjadi berkeping-keping.

Memang tidak semua orang tahu di mana Lanang-

seta atau Pendekar Pusar Bumi itu. Juga tidak semua 

orang tahu bagaimana keadaannya sekarang. Tetapi 

seorang lelaki tua berjubah kuning dan berjenggot pu-

tih kemerah-merahan itu hanya tersenyum dan terke-

keh-kekeh pelan. Matanya yang sudah berkelopak ke-

riput itu masih memandangi

Lanangseta yang tengah mengerjap-ngerjapkan ma-

tanya.

"Oohh... di mana aku ini? Uuh...!"

Lanangseta belum menyadari bahwa dirinya ada 

dalam pondok si tua Tongkat Besi. Kakek tua itulah


yang mencuri pedang Wisa Kobranya dan selalu berha-

rap agar Lanangseta mau membunuhnya (dalam kisah 

GERHANA TEBING NERAKA). Maka, ketika Lanangseta 

mulai menyadari di mana dia berada, mata yang semu-

la buram itu kini menjadi terbelalak kaget. Ia menguc-

al-ngucal matanya, dan sekali lagi memandang, lalu 

mengeluh lemas:

"Oouh... kau, Tongkat Besi...?!"

Lanangseta merebah lemas, telentang di atas dipan 

bambu tanpa kasur, kecuali tikar pandan yang telah 

lusuh.

"Memang sebaiknya kau beristirahat dulu, Lanang. 

Kau tak akan kuat melawanku dalam keadaan lemas 

seperti itu. Nah, sementara kau beristirahat, ku cari-

kan ramuan untuk memulihkan kekuatanmu. He, he,

hee..." Tongkat Besi terkekeh.

Entah bagaimana mulanya, Lanangseta tak bisa 

menjabarkan. Hanya saja, menurut dugaannya ia ten-

tu dalam keadaan lemas. Mungkin pingsan dalam pen-

gejaran terhadap Prabima, lalu dalam keadaan pingsan 

itu bisa saja kakek berjubah kuning itu membawanya 

ke suatu tempat, yaitu suatu tempat berupa pondok 

yang sangat sederhana. Mengapa Tongkat Besi mem-

bawanya ke pondok sederhana itu, Lanangseta sudah 

mengetahui. Pasti berhubungan dengan pedang Wisa 

Kobra yang dicuri, atau lebih tepatnya lagi diserobot, 

oleh Si Tua Tongkat Besi.


Denyut di kepala Lanangseta semakin kuat, tetapi 

ia tetap berusaha untuk bangkit dan duduk di tepian 

dipan bambu yang sering disebut orang sebagai lincak. 

Matanya redup, dan pandangan matanya memang 

berkunang-kunang. Meski demikian, ia masih mampu 

menatap sebuah benda yang digantungkan pada dind-

ing rumah, di mana dinding tersebut terbuat dari ba-

tangan-batangan kayu pohon tanpa dihaluskan atau 

dibelah menjadi papan demi papan. Batangan kayu itu 

masih utuh dan memang kelihatan kokoh. Benda yang 

tergantung pada dinding tersebut tak lain dari pedang-

nya sendiri, yakni pedang Wisa Kobra.

Kaki terasa lemas. Tak kuat untuk berdiri. Mung-

kin ini akibat racun dari jarum milik Prabima itu. Pen-

garuhnya begitu kuat, dan Rama Sabdawana belum 

selesai melakukan perawatan, tapi Lanangseta sudah 

kabur lebih dulu dari Griya Teratai Wingit itu. Sebab 

itu, kali ini Lanangseta mendesah penuh kesal; men-

gapa dirinya nekad mengejar Prabima pada malam itu?

Ketika kakinya menapak pada lantai pondok yang 

ternyata juga dari kayu tanpa dihaluskan, ia mulai sa-

dar bahwa penyesalannya itu tiada guna untuk kali 

ini. Yang panting, ia harus mengambil pedang Wisa 

Kobra dari dinding itu. Ia harus merayap, karena pan-

dangannya goyah. Perlahan dengan cara merambat 

dan berpegangan pada meja, Lanangseta mencoba 

mendekati pedangnya.


Ketika tangannya menyentuh pedang tersebut, ha-

tinya menjadi tenang. Nafasnya terhempas lega. Ke-

mudian ia membawanya ke pembaringan, dan dipe-

luknya pedang itu sesaat.

Dengan pandangan mata yang masih sedikit kabur, 

Lanang mengamati pedang tersebut. Ia menghunus da-

ri sarungnya, dapat menyunggingkan senyum kebang-

gaan melihat pedang itu masih utuh. Segera ia mema-

sukkan kembali pedang Wisa Kobra pada sarungnya, 

dan ia membawanya dalam pelukan sambil memba-

ringkan badan. Lama sekali ia meresapi kerinduannya 

terhadap pedang Wisa Kobra, sehingga ia pun akhirnya 

tertidur beberapa lama.

Ketika ia bangun, hari sudah malam. Pedang Wisa 

Kobra sudah tidak ada dalam pelukannya. Ia sempat 

terperanjat kaget. Lalu tawa yang terkekeh dari Tong-

kat Besi terdengar menyadarkan Lanangseta.

"Mana pedangku?!" Itulah pertanyaan pertama se-

telah ia melihat ke dinding dan pedang itu tidak juga 

tergantung di sana.

"Pedangmu kusimpan sampai persepakatan antara 

kita terjadi," ujar kakek tua yang sedikit nyentrik itu.

Lanangseta mendenguskan keluh, pertanda ia se-

dang menahan kedongkolan. Ia tahu, Tongkat Besi se-

benarnya tidak bermaksud jahat kepadanya, hanya sa-

ja sikapnya yang sering menjengkelkan itu membuat 

Lanangseta rasa-rasanya ingin menampar muka Tong


kat Besi.

"Kau harus minum ramuan ini," kata Tongkat Besi 

sambil menyerahkan sebuah cairan kental dalam ba-

tok kelapa. Cairan itu berwarna hitam dan amis.

"Apa ini?!"

"Minumlah dulu, nanti ku jelaskan."

Lanangseta membuang keragu-raguan. Cairan hi-

tam yang berbau anyir dan amis itu diminumnya den-

gan mata terpejam kuat-kuat. Habis. Ia menyeringai 

sambil bergidik beberapa kali. Tongkat Besi hanya me-

nertawakannya. Kemudian mengambilkan air putih bi-

asa untuk sekedar penawar rasa pahit dan amis di 

mulut Lanangseta. Setelah meminum air putih itu, La-

nangseta mulai tenang. ia sengaja duduk sambil ber-

sandar pada dinding kayu dengan kedua kaki ditekuk, 

hampir menyatu dengan dada.

"Bagaimana? Enak?" tanya Tongkat Besi setelah 

mengembalikan tempat minum ke meja. 

"Cairan apa yang kuminum tadi, Kek?"

"Darah kobra jantan." 

Mata Lanangseta terbelalak. Lalu, ia ingat kata-

kata Rama Sabdawana, bahwa kesehatannya akan pu-

lih sama sekali kalau ia sudah meminum darah kobra 

jantan. Tongkat Besi pun berkata demikian.

"Darah kobra jantan dapat memulihkan kekua-

tanmu yang hampir tawar karena racun yang ganas. 

Tadi aku sempat memeriksa kakimu, lalu aku berpen


dapat, bahwa kau habis terluka dan luka itu mengan-

dung racun ganas yang tak kenal belas kasihan. Begi-

tu, ya?"

"Kau mengenal jenis racun itu?"

Kakek tua yang sudah berkulit keriput itu men-

gangguk. "Dalam dunia persilatan, hanya ada satu ma-

cam racun seperti itu, yang diberi nama racun Mayat 

Seribu."

Pendekar Pusar Bumi menggumam. Kemudian, 

Tongkat Besi ikut naik ke atas tempat tidur bambu 

dan berkata lagi. 

"Racun Mayat Seribu, hanya dimiliki oleh keluarga 

Shalindra, tempatnya di Bukit Badai, di mana aku me-

nemukan kau dalam keadaan pingsan itu."

Dalam hati Lanang berkata, "Kakek ini hebat juga. 

Ia bisa mengenal racun dan pemiliknya. Sungguh ba-

nyak pengalamannya di dunia persilatan.'"

"Kau mengenal keluarga Shalindra?"

Lanang mencoba untuk berbohong dengan mengge-

lengkan kepala. Ia ingin tahu sampai di mana pengeta-

huan kakek tua itu tentang keluarganya Kirana.

Dengan suara tua, sedikit serak, Tongkat Besi 

mengatakan, "Leluhur Shalindra terkubur di Bukit Ba-

dai. Mereka dulu melawan suatu kekuatan di daerah 

Selatan, dan bahkan berhasil menenggelamkan sebuah 

pulau tempat suatu kerajaan terkutuk. Kukatakan ter-

kutuk, karena raja dan rakyatnya sebegitu banyak ser


ing melakukan kejahatan dan bejat semua moralnya. 

Perilakunya seperti iblis, kesaktiannya yang kejam itu 

tak ada yang mampu mengalahkan kecuali leluhur ke-

luarga Shalindra."

"Apakah sampai sekarang masih ada keluarga Sha-

lindra itu, Kek?"

Kakek Tongkat Besi manggut-manggut. Ia melint-

ing tembakau cacah, dan menghisapnya dengan san-

tai.

"Sebetulnya..." kata Tongkat Besi sambil menikmati 

isapan tembakaunya, "...nama Shalindra adalah nama 

sebuah ilmu, yaitu ilmu pembungkam. Manusia, he-

wan, petir, dan apa saja yang bersuara dapat dibung-

kam oleh ilmu Shalindra. Bahkan kalau ia mau, Sha-

lindra dapat membuat bumi berhenti berputar dalam 

waktu tertentu. Jadi, dari sesuatu yang bergerak, atau 

bersuara, menjadi diam atau berhenti. Itulah keheba-

tan ilmu Shalindra."

Sekali lagi Lanangseta manggut-manggut dalam 

gumam, dan ia sengaja tidak memberi komentar apa-

pun sebelum segalanya dibeberkan oleh kakek Tongkat 

Besi itu.

"Tetapi..." lanjut kakek tua, "...dalam kurun waktu 

berikutnya, ternyata Shalindra dipakai untuk nama 

seorang bayi perempuan. Bayi Shalindra dapat tum-

buh menjadi dewasa dan kawin dengan seorang lelaki 

yang masih satu buyut dengannya. Hal ini mereka la


kukan guna menjaga perkawinan darah campuran. 

Pada masa itu, keluarga Shalindra mempunyai suatu 

keistimewaan, bahwa barang siapa kawin dengan satu 

darah, tapi bukan satu ibu, maka ilmu dan kesaktian 

mereka semakin bertambah dengan sendirinya. Hal ini 

berlaku sampai tujuh turunan. Dan perempuan yang 

bernama Shalindra itu adalah turunan mereka yang 

terakhir. Jadi mereka kawin, maksudku perempuan 

Shalindra itu kawin dengan saudara satu buyut, yang 

bernama Sabdawana."

"Apakah Sabdawana itu juga berilmu tinggi?" tanya 

Lanang memancing keterangan sebenarnya.

"O, sakti. Ilmunya cukup hebat. Terutama dalam 

ilmu pengobatan dan ilmu yang dinamakan ajaran su-

ci. Tapi... sudah tentu lebih hebat aku daripada dia...."

Mulut Lanangseta mencibir sewaktu Tongkat Besi 

terkekeh. Walaupun dalam hatinya Lanangseta men-

gakui bahwa sejak ia disuruh minum darah kobra 

dengan campuran khusus itu badannya berangsur-

angsur menjadi segar. Malahan sekarang rasa pusing-

nya hilang, dan pandangan matanya terang kembali. 

Tapi, mendengar kesombongan Tongkat Besi, muak ra-

sanya perut Lanangseta.

Tongkat Besi masih tetap menghisap tembakau ca-

cahnya. Ia kelihatan sangat tenang dan santai dalam 

duduk bersila.

Ia melanjutkan kisahnya: "Perkawinan Sabdawana


dan perempuan Shalindra menghasilkan seorang putri 

yang bernama...." Tiba-tiba ia berhenti, seperti teringat 

sesuatu. Lalu, katanya, "Ooh... nama anaknya itu tak 

boleh disebutkan."

"Kenapa?" Lanangseta berlagak tak tahu.

"Nama itu adalah nama sebuah ilmu yang bila dis-

ebutkan oleh siapa saja akan mendatangkan badai 

kencang, dan bumi bagai dilanda gempa. Alam men-

gamuk, langit merah dan petir menyambar-nyambar. 

Sebab itu, namanya tak berani kusebutkan. Pokoknya 

putri Sabdawana itu cantik dan kabarnya berilmu 

tinggi. Tapi... sudah tentu belum ada sekuku hitamnya 

dengan ilmuku..."

Sekali lagi Lanangseta mendesah. Sebal dengan ke-

sombongan Tongkat Besi. Sampai-sampai Lanang ber-

tanya:

"Kau kelihatannya sombong sekali, Kek! Kenapa 

mau menjadi orang sombong?"

Kakek tua itu hanya terkekeh sejenak. "Dari dulu, 

aku tidak pernah hidup sombong. Jadi sekarang ini, 

aku ingin bagaimana rasanya hidup sombong. Sebe-

lum ajalku tiba di tanganmu, aku ingin merasakan 

menjadi orang sombong. Ternyata banyak orang yang 

muak dan membenci ku, he... he..." Tongkat Besi keli-

hatan bangga dengan hasil percobaannya, yaitu men-

jadi orang sombong. Aneh. Ya, memang begitulah kea-

nehan pada diri kakek tua itu.


Namun dari sekian pembicaraan Tongkat Besi, ada 

sesuatu yang terselip dan menjadi ganjalan di hati La-

nangseta. Lalu, ia pun menanyakannya langsung:

"Apa dulu kakek juga pernah mengenai perempuan 

Shalindra?"

"Kenal...!" jawabnya tegas sambil manggut-

manggut. "Tetapi waktu itu ia masih bayi. Jangankan 

kepada perempuan yang bernama Shalindra, kepada 

canggahnya atau buyutnya Shalindra aku juga kenal."

"O, ya? Jadi, kakek mengenai leluhur Shalindra?"

Tongkat Besi tertawa sinis bernada sombong. "Dulu 

kan sudah kukatakan, bahwa usiaku ini sudah ratu-

san tahun!"'

Dahi Lanangseta berkerut-kerut, ia mengangguk-

angguk.

"Ya, memang dulu pernah kau katakan... antara 

empat ratus tahun, atau enam ratus tahun..." 

"Atau lebih..." tambahnya.

"Ya. Tapi kukira waktu itu kau hanya membual, 

Kek."

"Nah, di situlah kepicikan zaman. Sekarang zaman 

telah mempengaruhi kehidupan manusianya. Zaman 

yang menghendaki sesuatu yang benar bisa disalahkan 

dan sesuatu yang salah bisa dibenarkan. Zaman juga 

yang menganggap orang jujur itu pembohong, semen-

tara seorang penipu akan dianggap orang jujur. Dan

manusia yang hidup di zaman itulah yang menjadi


korban kebodohan tersebut."

"Eh, soalnya begini.... Bagaimana mungkin seorang 

manusia dapat hidup sampai ratusan tahun seperti 

yang kakek alami itu. Aku jadi sangsi dan... dan me-

mang tidak masuk akal, Kek."

"Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya," Tongkat 

Besi melengos dengan gerutu bernada angkuh. Lalu 

sambungnya lagi dengan tanpa memandang Lanangse-

ta, kecuali melirik sinis, "Kau menganggapku manusia 

biasa, kan?"

"Ya. Apakah itu salah?"

Tongkat Besi menggeleng. "Salah...!" katanya ang-

kuh sekali. Lanang menahan tawa melihat keangku-

han yang lucu.

"Jadi, siapa dirimu sebenarnya, Kek?"

Tongkat Besi menatap Lanangseta beberapa saat, 

seperti ada keraguan yang sedang dipertimbangkan. 

Namun beberapa saat kemudian ia pun menjawab:

"Sebenarnya aku... seorang dewa...."

Lanangseta terperanjat, bahkan ia sempat berdiri 

di atas tempat tidur bambu itu.

Matanya membelalak lebar dan mulutnya terngan-

ga bengong. Tongkat Besi bicara dengan pelan, tapi se-

rius. Tak ada kesombongan, tak ada canda dan sifat 

main-main. Serius namun berwibawa. Terpancar satu 

kharisma tersendiri dari cermin wajahnya pada saat ia 

menyebutkan siapa dirinya sebenarnya. Jantung La


nangseta menjadi berdebar-debar dan tak sedikit pun 

ia berani menyanggah dan membantah. Sebegitu hebat 

kekuatan yang terpancar dari ekspresi wajahnya, se-

hingga Lanang sangat terkesima.

"Duduk...!" ucap Tongkat Besi. Suaranya pelan, 

bahkan bisa dikatakan suara yang lembut. Namun, 

tanpa disadari Lanangseta menuruti kata-kata itu. Ia 

duduk dengan gerakan perlahan-lahan.

"Berdiri...!" sekali lagi suara itu sangat lembut, bu-

kan membentak dan menakutkan. Tapi, toh hal itu 

membuat Lanangseta kembali berdiri lagi perlahan-

lahan bagai di luar kesadarannya.

Tongkat Besi tersenyum dan Lanangseta mulai sa-

dar. Ia bertanya dalam hati: "Kenapa mau-maunya aku 

disuruh duduk dan berdiri lagi, ya? Ooh... gila betul 

orang ini! Dia mampu memerintah jiwaku dengan satu 

kata dan aku menjadi menurutinya. Benar-benar he-

bat. Benar-benar aku berhadapan dengan seorang de-

wa."

Perlahan-lahan Lanangseta duduk sendiri. Terden-

gar suara Tongkat Besi berkata lirih:

"Jangan menjadi takut karena pengakuan ku tadi, 

Lanang. Sebuah pengakuan tidak selalu murni. Adaka-

lanya hanya berupa tipuan yang terselubung. Tetapi, 

untuk pengakuan ku tadi, kau bisa menarik kesimpu-

lan sendiri setelah aku mengajarkan ilmuku kepada-

mu. Setelah selesai kuajarkan semua ilmuku, lalu ta


riklah kesimpulan, apakah benar pengakuan ku tadi. 

Biasanya manusia membutuhkan bukti dari suatu 

pengakuan. Tapi bagiku, orang yang mempercayai sua-

tu kebenaran tanpa melihat bukti, dia adalah orang bi-

jak yang akan memperoleh hidupnya. Yaitu keselama-

tan diri akibat suatu kepercayaan. Mengerti?" 

Karena Lanang menggeleng, maka Tongkat Besi 

menerangkan, "Kepercayaan itu adalah senjata paling 

ampuh, Seorang anak kecil, misalnya, ia sedang dike-

jar anjing. Lalu ia lari dan di depannya ada pagar tinggi

menghalanginya. Karena rasa takut kepada anjing, 

maka timbul satu kepercayaan bahwa ia akan mampu 

melompati pagar itu. Ia harus percaya akan berhasil, 

sebab kalau gagal ia pasti digigit anjing. Dan ternyata 

ia berhasil. Memang berhasil melompati pagar itu …

Lalu ia akan terbengong dan bertanya dalam hati: "kok 

bisa ya?". Nah, itulah bukti bahwa kepercayaan yang 

kuat mampu mengalahkan kesulitan apapun juga...." 

Lanangseta manggut-manggut, masih terkesima 

pada kenyataan. Namun ada satu hal lagi yang perlu ia 

tanyakan.

*

* * *


4

LANANGSETA sedikit ragu, tapi akhirnya terlontar 

juga pertanyaan itu.

"Mengapa seorang dewa hidup sebagai manusia di 

permukaan bumi ini, Kek? Bukankah di alam para de-

wa, mereka hidup dengan enak, tentram, damai dan 

sejahtera?"

"Ini pertanyaan yang paling bagus," kata si Tongkat 

Besi sambil menggerakkan jari telunjuknya. Ia meru-

bah posisi duduknya, dari duduk dengan kaki ditekuk 

satu ke atas, di mana lututnya bisa dipakai tumpuan 

lengan, kini menjadi duduk bersila. Serius, bagai seo-

rang guru sedang mengajarkan satu falsafah hidup 

pada muridnya.

"Aku mempunyai kesalahan yang kurasa tak perlu 

dijelaskan kesalahan apa, tapi yang jelas karena kesa-

lahanku itu aku dihukum. Aku diusir dari Suralaya, 

setelah sidang para dewa memutuskan bahwa aku tak 

pantas lagi menjadi dewa. Lalu aku terlempar dari Su-

ralaya sebagai manusia di bumi ini. Tetapi, karena aku 

pernah berjasa dalam suatu pertempuran membela 

Suralaya, maka sebagai tanda jasa, para dewa tidak 

mencabut kekuatanku, yaitu kesaktian dan ilmu ka-

weruh yang ada pada diri setiap dewa. Hanya saja, 

wewenangku dan hak guna pakai sebagai dewa, dica


but dan dibatalkan.

Jelasnya, aku telah dicoret dari daftar para dewa di 

Suralaya. Jadi aku beredar di bumi bukan sebagai de-

wa tetapi sebagai manusia. Karena itu, rasa-rasanya 

aku tidak pantas menggunakan nama asliku, maka 

kubiarkan orang menjuluki aku sebagai si Tongkat Be-

si"

"Kakek tidak menentang hukuman itu?" Tongkat 

Besi menggeleng. "Aku memang salah. Aku pantas di 

hukum. Dan, kuterima diriku menjadi sosok manusia 

di bumi. Tapi, lama-lama aku bosan. Di bumi ini ba-

nyak kericuhan. Kepalaku sering sakit dan pernafa-

sanku sering tersendat karena ulah kehidupan di bu-

mi. Jadi, aku ingin segera mati. Tapi betapa susahnya 

mati itu sebenarnya. Bahkan sampai ku curi pedang-

mu untuk bunuh diri, tapi ternyata pedang itu tidak 

bermanfaat sama sekali di tanganku. Bahkan untuk 

memotong daun pun sulit robeknya. Kupikir, di tangan 

orang lain pedangmu itu tak lebih dari sebatang besi 

bekas. Tapi di tanganmu, barulah pedang itu mampu 

menunjukkan kehebatannya. Sebab itu aku memba-

wamu ke mari." 

Kali ini Tongkat Besi tampak murung dan sorot 

matanya memandang dengan sayu. Kasihan. Sebenar-

nya Lanang memang kasihan kepada Tongkat Besi. 

Tapi haruskah ia menolong kakek tua itu? Membunuh 

seseorang apakah bisa digolongkan sebagai perbuatan


yang bijak? Apakah bisa dikatakan sebagai 'menolong' 

seseorang yang dalam kesulitan?

"Tidurlah, besok kita mulai latihan," ujar kakek 

tua.

"Latihan? Latihan apa?"

"Akan kuturunkan semua ilmuku kepadamu."

"Tidak," tiba-tiba di hati Lanang ada rasa khawatir 

yang susah diungkapkan. "Aku tidak mau mempelajari 

ilmumu, Kek."

"Goblok kamu!" Tongkat Besi menggeram. "Ilmuku 

ini jarang ada di dunia. Tak seorang pun yang pernah 

memiliki ilmuku. Hebat lho...!"

"Tidak. Aku tidak mau!"

"Harus mau!" bentak Tongkat Besi dengan ber-

sungguh-sungguh. "Aku hanya akan menurunkan il-

muku pada orang yang pasti mampu membunuhku."

Lanangseta sempat menggeragap. Pandangan 

Tongkat Besi begitu tajam dan menusuk hati, bagai 

melemahkan persendian tulang. Ia tidak bisa bicara, ia 

hanya menggeleng dalam cekaman rasa takut yang ja-

rang dimilikinya.

"Kenapa kau menolak," kali ini pertanyaan Tongkat 

Besi cukup lunak.

"Karena... karena aku tak ingin seperti kamu, Kek."

"Maksudmu?"

"Hemm... tidak bisa... tidak bisa mati sampai bera-

tus-ratus tahun... aku tidak mau hidup terlalu berle


bihan umur."

Senyum tipis mekar di bibir yang keriput. "Setiap 

manusia akan mati dengan caranya sendiri. Cara yang 

telah digariskan di dalam hidupnya."

"Kalau begitu, kakek tidak perlu memaksa aku ha-

rus menerima ilmumu dan setelah itu membunuhmu."

"Aku punya kelainan dengan manusia seperti kau, 

tolol! Kalau aku, aku bisa membunuhmu dengan tanpa 

menyentuh dan tanpa memerlukan waktu lebih dari 

satu helaan nafas. Tapi kalau kau, untuk membunuh-

ku kau harus mempunyai satu kekuatan tersendiri 

yang membutuhkan waktu untuk belajar."

"Tapi..."

"Tidur, dan besok mulai belajar!" kata Tongkat Besi 

dengan tegas. Matanya memancarkan cahaya lain, 

janggal. Namun barangkali kekuatan dari pancaran 

mata itulah yang membuat Lanangseta menguap, lalu 

tertidur pulas.

Ketika matahari baru muncul sebagian, Lanangseta 

sudah dibangunkan oleh si Tongkat Besi. Ia diajak ke 

samping rumah, yang ternyata rumah atau pondok itu 

ter-letak di lereng sebuah bukit. Lanangseta baru me-

nyadari kalau ia berada dalam pondok di lereng bukit, 

di mana dalam jarak beberapa langkah terdapat jurang 

yang lebar dan dalam. Tempat itu sangat sepi. Dingin. 

Kabut pagi masih tebal dan suara kicau burung saling 

bersahutan dengan jelas. Agaknya hanya pondok itu


lah yang ada di lereng bukit itu. Dan hutan di sekitar-

nya itu, sepertinya hutan yang jarang dijamah manu-

sia kecuali Si Tongkat Besi. Samar-samar terdengar 

suara deru air berjatuhan, Lanangseta dapat memasti-

kan tak jauh dari daerah itu pasti terdapat aliran air 

terjun yang cukup curam.

Lanangseta yang merasa badannya sudah benar-

benar sehat itu tiba-tiba tersentak. Ujung tongkat me-

nyodok punggungnya dengan keras. 

"Jaga naluri mu...!" tukas kakek tua.

Sebenarnya Lanangseta benar-benar malas mem-

pelajari ilmu yang dimiliki Tongkat Besi. Yang ia pikir-

kan adalah 'imbalannya', bahwa ia harus mau berta-

rung dengan Tongkat. Besi dengan menggunakan pe-

dangnya. Tetapi kemalasan yang ada pada Lanangseta 

ternyata tidak mampu melawan perintah Tongkat Besi 

walau sedikit pun. Tanpa disadari ia telah berada da-

lam pengaruh kekuatan magis yang ada pada diri be-

kas dewa itu.

Tanpa ia sadari pula, ia telah melupakan segala pi-

kiran sebelumnya. Tak ada Kirana di dalam otak, tak 

ada Sekar Pamikat, tak ada Prabima, tak ada Ludiro 

dan tak ada semuanya. Lanangseta sendiri merasa he-

ran, mengapa ia jadi sangat menurut kepada Tongkat 

Besi. Pikirannya hanya tertuju kepada soal ilmu yang 

diajarkan oleh kakek tua itu. Suatu kali ia pernah 

memanggil Kirana di dalam hatinya, yaitu pada saat


Tongkat Besi memberikan waktu istirahat selama 100 

hitungan. Tetapi, panggilan hati itu sudah tak berfung-

si lagi. Nyatanya Kirana tak pernah muncul selama 

Lanangseta berada di pondok tersebut selama satu bu-

lan lebih. Pada saat itu ia hanya ditertawakan oleh 

Tongkat Besi. Laki-laki tua berjanggut lebat, panjang 

berwarna putih kemerah-merahan itu berkata:

"Jangan coba-coba memanggil seseorang di dalam 

hatimu. Aku telah menutup raga mu dengan satu lapi-

san yang tak mampu ditembus oleh suara hati siapa 

pun. Bahkan suara hatimu sendiri hanya bisa kuden-

garkan setiap saat...! Ayo, latihan lagi."

"Aku... aku capek dan mengantuk, Kek!"

"Minum ini...!"

Lagi-lagi Lanangseta disuruh meminum suatu ra-

muan yang ada di dalam mangkok dari tanah liat. Ra-

muan itu terasa pahit sekali dan getir. Namun, sangat 

diakui, bahwa setelah minum ramuan itu, Lanangseta 

menjadi bergairah dan badannya segar kembali, seperti 

ia tak pernah bekerja keras. Rasa kantuk hilang seke-

tika. Dan ia pun mulai berlatih lagi.

Sementara itu, di Goa Malaikat seorang pengawal 

dari Griya Teratai Wingit berdiri di depan mulut goa. 

Sudah dua hari lebih ia berdiri di mana menunggu 

kemunculan Ludiro.

Namun pada hari ketiga setelah Bonang menung-

gu, barulah Ludiro keluar dari dalam goa, dan terkejut


melihat Bonang berada di mulut goa.

"Bonang? Ada apa kau berdiri di situ?" tanya Ludi-

ro dengan perasaan heran.

"Paman Ludiro, aku sudah tiga hari berada di sini 

menunggu kemunculanmu, Paman."

"O, ya?!" Ludiro berkerut dahi. "Ada apa?"

"Rama Sabdawana memanggilmu."

Ludiro mendesis sambil duduk pada sebuah batu. 

"Aku belum menemukan Lanangseta."

"Dia ingin bertemu denganmu, Paman. Ada yang 

ingin dibicarakan sekalipun kau datang tanpa Lanang-

seta."

Ludiro yang semula termenung, kini menatap Bo-

nang.

"Apa ada sesuatu yang penting? Apa Lanangseta 

sudah kembali?"

"Tidak. Lanangseta belum kembali. Tetapi Putri 

Bukit Badai telah kembali dua minggu yang lalu. Seka-

rang ada di rumah. Dan... ah, pokoknya datanglah sa-

ja. Ini panggilan dari Rama Sabdawana, Paman," bujuk 

Bonang.

Mulanya Ludiro tidak ingin kembali ke Griya Tera-

tai Wingit sebelum menemukan Lanang, entah hidup 

atau mati. Tetapi karena rupanya ada sesuatu yang 

penting, maka Ludiro pun harus menghadap ayah Ki-

rana. Belakangan ini memang ayah Kira itulah yang 

dianggapnya sebagai pucuk pimpinan, menggantikan


almarhum ayah Sekar Pamikat, yaitu: Patih Sambang-

bumi.

Sambil melangkah menuju Griya Teratai Wingit, 

Ludiro menanyakan sesuatu yang tadi dirasakan cu-

kup ganjil.

"Bonang, tadi kau bilang bahwa Putri Bukit Badai 

itu telah kembali dua minggu yang lalu?"

"Benar, Paman."

"Aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Dua minggu yang lalu...?" Ludiro menggumam 

sendiri sambil melangkah. "Berarti aku sudah dua 

minggu berada di dalam goa itu, ya?"

"Satu bulan lebih satu minggu, Paman."

"Hah...?!" Ludiro berhenti dan mendelik.

"Betul, Paman!" laki-laki tinggi, jangkung itu mene-

gaskan jawabannya. "Paman berada di dalam goa itu 

sudah selama satu bulan lebih satu minggu."

"Gila! Rasa-rasanya aku baru berada sehari sema-

lam di dalam sana! Sungguh!" Ludiro terheran-heran. 

Tapi Bonang kelihatan tenang-tenang saja dan tidak 

terkejut dengan hal itu. Ia bahkan tersenyum dan ber-

kata menjelaskan:

"Memang begitulah keanehan goa tersebut, Paman 

Ludiro. Menurut cerita Rama Sabdawana, goa itu 

mempunyai keanehan tidak hanya satu-dua saja. Tapi 

banyak. Dan kalau kurang beruntung, orang dapat


mati terkena udara beracun di sana. Satu di antara 

dari sekian keanehan adalah yang Paman alami sendiri 

itu. Sepertinya hanya sebentar berada di dalam goa, 

namun sebetulnya waktu di luar goa sudah berjalan 

lebih cepat lagi. Bahkan menurut perkiraan... ini 

hanya perkiraan saja, bahwa goa itu bisa menembus 

ke Tebing Neraka jika tidak salah lorong."

"Oooo... ya, ya, ya..." Ludiro mengangguk-angguk.

"Dan, kalau kita berada di dalam goa itu, perut kita 

terasa selalu kenyang, juga tahan haus."

"Benar, Bonang. Aku juga begitu. Aku rasakan 

sendiri bahwa selama ini, kalau memang benar aku 

sudah berada selama satu bulan lebih satu minggu, 

aku tidak pernah lapar tidak pernah haus, dan tidak 

mengantuk."

"Ya, begitulah, Paman. Katanya lagi, semua penya-

kit dapat beku bila berada di dalam goa itu. Artinya, 

tidak bertambah parah, tapi juga tidak bertambah 

baik. Tetap. Tenaga kita pun akan tetap. Nyala api...."

"Juga tetap, kan?" sahut Ludiro. "Aku pernah men-

galaminya. Pernah sekali. Sebatang ranting ku bakar

dan apinya tak pernah padam, padahal kata Lanang 

aku sudah beberapa hari berada di dalam goa itu. 

Wah, sungguh aneh goa itu. Sepertinya tak punya 

waktu. Tak ada hari di sana. Mungkin kita bisa awet 

muda jika mau tinggal di dalam Goa Malaikat walau-

pun selama seratus tahun, ya?"



"Mungkin begitu, Paman. Tapi, tentunya tinggal di 

kedalaman goa, bukan di bagian dekat mulut goa itu."

Ludiro manggut-manggut merenungi keanehan Goa 

Malaikat. Tanpa disadari, mereka sudah sampai di pin-

tu gerbang Griya Teratai Wingit. Seorang lelaki beram-

but uban telah berdiri di pintu gerbang dengan didam-

pingi dua pengawal lainnya.

"Saya mendengar kabar dari Bonang, katanya Ra-

ma memerlukan saya untuk datang ke mari? Betulkah 

itu, Rama?" kata Ludiro dengan sopan dan penuh 

hormat.

"Ya. Mari ke dalam, Ludiro," kata Sabdawana yang 

lebih tua ketimbang Ludiro.

Sabdawana membawa masuk Ludiro ke sebuah 

kamar, namun mereka hanya berada di pintu, tidak 

masuk sampai di ranjang. Sementara di ranjang mata 

Ludiro terbelalak melihat Kirana yang pucat pasi bagai 

kan mayat. Tubuhnya sangat kurus dan matanya ce-

kung. Bibirnya yang dulu ranum dan sensual, kini 

membiru dan beku. Sorot matanya nyaris bukan milik 

Kirana Sari lagi

"Paman..." ia menyebut sepotong nama itu dengan 

suara yang sangat lemah. Hampir tak terdengar oleh 

Ludiro.

Meratap hati Ludiro melihat kenyataan itu. perih 

dan terharu rasanya memandang keadaan Kirana yang 

sedemikian parah. Ludiro sendiri bertanya-tanya da



lam hati; apa gerangan yang membuat Kirana menderi-

ta sedemikian parah? Racun lagi?

"Mendekatlah, Ludiro..." bisik Sabdawana.

Maka, Ludiro pun mendekati Kirana yang terbaring 

bagai tidak mempunyai tenaga lagi itu. Dalam jarak sa-

tu jangkauan lebih Ludiro berhenti dan membungkuk-

kan badan, memberi hormat sebagai seorang hamba.

"Lanang bagaimana, Paman?"

Semakin pedih rasa hati Ludiro mendengar perta-

nyaan itu. Dengan hati-hati Ludiro menjawab:

"Sementara ini, Lanangseta memang belum kami. 

temukan, Putri. Tetapi, dalam waktu dekat ia pasti 

akan pulang. Dia memang senang mempermainkan 

saya, Putri."

"Tapi dia pasti pulang.... kan?" pertanyaan ini ter-

lontar dengan suara parau.

Dengan tegas, seakan yakin betul, Ludiro men-

gangguk.

"Pasti! Saya berani bertaruh nyawa..."

Kirana yang sayu, Kirana yang pucat, kini meng-

hempaskan nafas bagai dalam kelegaan yang semu. Ia 

berkata tanpa berpaling memandang Ludiro, "Kabari 

aku jika ia telah terlihat jalan di seberang jembatan,

Paman."

"Tentu. Tentu saya akan segera datang mengabar-

kan hal itu dan kita akan menjemputnya segera, Pu-

tri."


Sebenarnya Ludiro tak habis pikir, apa sebab Kira-

na sebegitu parah? Hanya karena rindukah ia bisa 

menjadi separah itu? Ah, terlalu mengada-ada, pikir 

Ludiro. Tetapi ia segera menanyakan kecurigaan ha-

tinya itu kepada ayah Kirana. Waktu itu, mereka bera-

da di halaman belakang, pada sebuah taman kecil 

yang dihiasi dengan bebatuan indah. Banyak tanaman 

bunga di sana, walau sebenarnya tanah yang ada ada-

lah tanah cadas putih, tapi ada tanaman bunga khu-

sus yang bisa tumbuh di tanah cadas seperti itu.

"Apakah ada racun yang mengganas di dalam tu-

buh Putri, Rama?" tanya Ludiro dengan menyebut kata 

'Putri' sebagai ganti kata 'Kirana'.

Sabdawana, laki-laki yang kelihatan berwibawa, 

punya kharisma dan berhati bijak itu menghela nafas 

dengan berat. Sepertinya saat itu hatinya sedang men-

geluh dalam memprihatinkan keadaan putrinya.

"Mungkin racun yang tak dapat ditawarkan lagi, 

Rama?" desak Ludiro, dan Sabdawana menjawab lirih:

"Semacam itu..."

"Semacam racun?"

"Ya. Dan penyakit itu di luar kebisaan ku, Ludiro."

Ludiro mengerutkan dahi dan berpikir beberapa 

saat. Lalu, setelah mereka bungkam beberapa saat, 

Sabdawana berkata lagi dengan suara berat:

"Leluhur ku mempunyai sebuah ilmu yang na-

manya dipakai oleh nama anak itu. Jika ada yang me


nyebutkan nama itu, maka akan datang, badai besar, 

alam mengamuk seperti hendak kiamat. Ilmu itu 

hanya milik keluarga kami, dan sekarang seolah-olah 

mutlak menjadi milik anak itu. Kalau dia mati, maka 

ilmu itu pun akan mati..."

"Ck, ck, ck... begitu hebatnya ilmu itu, Rama," 

ucap Ludiro dengan kagum.

"Ya. Tapi ada pan tangannya."

Alis Ludiro semakin beradu, berkerut ingin tahu. 

Sabdawana berkata lagi:

"Dia tak boleh jatuh cinta pada seorang lelaki, da-

lam arti yang sebenarnya. Dia boleh mengasihi seorang 

lelaki, boleh mencintai, tapi tidak boleh terlalu dalam. 

Jika ia benar-benar mencintai seorang lelaki, maka ha-

tinya akan diperbudak oleh cinta. Jika hatinya dikua-

sai oleh cinta, maka ia akan mengenal rindu. Nah, se-

benarnya yang menjadi pantangan keras baginya ada-

lah rindu. Rindu terhadap seorang lelaki, itu yang da-

pat menghancurkan dirinya."

"Rindu...?!" Ludiro bersungut-sungut kebingungan.

"Ya, rindu! Memang sulit untuk menjelaskannya, 

Ludiro... Tetapi pada pokoknya, jika ia rindu dan sam-

pai meratap di dalam hati, maka dirinya akan hancur 

dimakan ilmunya sendiri. Dia akan segera mati jika ti-

dak bertemu dengan Lanangseta. Sebab itu, dari dulu 

ia tak pernah mau jatuh cinta pada siapa pun."

"Aneh..." gumam Ludiro yang didengar Sabdawana.


"Memang aneh, tapi itulah kenyataan hidupnya. 

Kerinduan jelas akan menyiksa hati. Jika hati rindu 

setengah mati, maka ia akan meratap. Unsur rindu itu 

sendiri sebenarnya ungkapan lain dari nafsu birahi 

yang terpendam. Nah, di dalam darahnya, nafsu birahi 

yang terpendam itu akan mengendap dan lama-lama 

akan meracuni dirinya. Meracuni darah itu, lalu darah 

beredar ke seluruh tubuh dan menghancurkan tubuh-

nya. Racun semacam itu, Ludiro... belum pernah ku-

temukan obatnya. Kecuali mempertemukan dia dengan 

lelaki yang dirindukan. Sekalipun tanpa melalui hu-

bungan badaniah, dengan bertemu lelaki yang dirin-

dukan, lalu dipeluk dan dicium, secara dengan sendi-

rinya nafsu birahi itu mulai luntur, lalu tawar. Tidak 

menjadi racun lagi. Jadi racun semacam itu, adalah 

racun yang paling berbahaya bagi dia. Kalau sampai 

Lanangseta ternyata mati, lantas ke mana ia harus 

memperoleh obatnya?"

"Apakah... apakah dia sendiri tidak tahu ke mana 

Lanang berada?"

Sabdawana menggeleng. "Dalam keadaan seperti 

itu, sudah jelas ia telah kehilangan kontak batin den-

gan kekasihnya."

Sekali lagi Ludiro manggut-manggut dengan mulut 

ternganga mendengar keterangan dari ayah Kirana.

"Kalau dia tidak kehilangan kontak batin, dia akan 

dapat berbicara dari jarak jauh dengan Lanangseta,


akan dapat bermesraan dalam jarak jauh. Tetapi seka-

rang ia bukan tidak mau melakukan, tapi ia telah kehi-

langan kontak batin itu. Dan biasanya..." Sabdawana 

terbungkam sesaat, sepertinya berat untuk mengemu-

kakan sesuatu. Namun, akhirnya ia katakan juga ka-

rena Ludiro tampak menunggu dan segera ingin tahu:

"Biasanya jika sudah begitu itu suatu pertanda, 

bahwa... kekasihnya telah tiada. Mati."

"Tidak!" tiba-tiba Ludiro tersengat telinganya dan ia 

menjadi garang. "Tak ada yang sanggup membunuh-

nya sebelum orang itu mampu melangkahi mayat saya, 

Rama."

"Sabar, tak perlu sekeras itu kemarahan mu. Ada 

yang perlu kita lakukan untuk itu, Ludiro."

Ludiro menghempaskan nafas, mencari ketenangan 

dalam hatinya. Kemudian ia berkata dengan tegas:

"Berikan perintah pada saya, saya akan kerjakan 

sekarang juga!"

"Ludiro... aku akan mencarinya melalui rohku. Aku 

akan masuk ke kamar dan bersemadi. Mudah-

mudahan dengan cara begitu aku bisa melacak di ma-

na Lanangseta. Tetapi aku minta bantuanmu, berjaga-

jagalah di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan jauh-

jauh dari Griya Teratai Wingit ini. Kau yang kutu-

gaskan menjagaku, sekaligus menjaga keamanan di 

sini. Usir siapa saja yang ingin menemuiku, dan atasi 

jika ada yang hendak membuat keonaran di sini. Mengerti?"

"Mengerti. Saya mengerti, Rama. Dan saya akan ja-

lankan tugas itu dengan senang hati...!" 

Memang aneh penyakit Kirana itu. Ada-ada saja 

penyakit semacam itu, pikir Ludiro. Kerinduan, cinta, 

birahi, ternyata mampu menghancurkan diri seseorang 

jika tak mampu mengendalikannya. Tapi syukurlah, 

sekarang ayah Kirana sudah masuk ke dalam kamar. 

Ludiro berharap mudah-mudahan ayah Kirana dapat 

menemukan di mana Lanangseta berada. Mudah-

mudahan roh Sabdawana dapat lebih teliti mencari le-

tak kedudukan Lanangseta saat ini. Sementara itu, 

Ludiro merasa bertanggungjawab terhadap keamanan 

di tempat itu.

*

* * *


5

JAUH di lereng bukit, yang konon bernama Bukit 

Dewa, seorang pemuda tampan berbadan tegap, kekar, 

sedang asyik memandang tepian jurang yang dalam. 

Tetapi sesungguhnya saat itu ia hanya menggunakan

kesempatan yang ada. Kesempatan untuk melamun, 

setelah sekian lama ia melupakan seorang perempuan 

yang sangat menggetarkan hatinya. Kirana Sari! Itulah 

yang sedang terlintas dalam ingatan Lanangseta di 

Bukit Dewa.

Sebenarnya ia ingin meratap karena kerinduan 

yang baru disadari saat ini. Namun, ingatannya pun 

kembali melayang pada wajah Prabima, pemuda ber-

tampang imut-imut, ganteng dan berbibir ranum yang 

amat mengganggu kerinduannya. Ia masih ingat saat 

terakhir bertemu dengan Prabima, pada malam sebe-

lum ia pingsan dan dibawa oleh si Tongkat Besi. Yang 

terngiang adalah kata-kata Prabima: 

"Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak 

sampai meresap di dalam hatinya... malam ini ia telah 

menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu menyu-

ruhku untuk melukaimu kembali... perkawinanmu 

akan tertunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk 

memuaskan diri bersamaku..."

Gemertak gigi Lanangseta, dan menggenggam kuat


kuat kedua tangannya. Kalimat itu sekarang terngiang 

lebih dari tiga kali. Padahal selama ia tinggal di situ, ia 

tak pernah sempat terngiang kalimat tersebut. Dendam 

dan kemarahan tersembur dari nafas Lanangseta. Su-

dah cukup lama ia tinggal bersama si Tongkat Besi, 

sudah tiba saatnya untuk melampiaskan dendam dan 

kemarahannya kepada Prabima. Namun, kemudian dia 

ingat, bukankah Prabima hanya menuruti perintah Ki-

rana? Bukankah itu berarti Kirana yang mengkhianati 

cintanya? Uuh...! Keji! Sungguh keji hati Kirana. Licik! 

Jadi, untuk apa ia harus marah dan mendendam ke-

pada Prabima, kalau toh Kirana sendiri dengan suka 

rela menyerahkan keperawanannya kepada Prabima? 

Bangsat! geram Lanangseta.

Sebuah pukulan tongkat begitu keras disabetkan 

ke arah kepalanya. Lanangseta dengan tenang, tetap 

memandang dasar jurang berair jernih, tetap bicara 

mengumpat dalam hati, namun tangan kanannya den-

gan gesit melintang ke atas kepala. 

"Plak..." Tongkat dari besi itu tertangkap oleh tan-

gan Lanangseta sekalipun ia tidak melihat dan bahkan 

sedang melamunkan sesuatu.

Lalu sebuah tendangan menyusul menyerangnya 

dari belakang. Lanangseta masih melamunkan keke-

jian Kirana, namun tubuhnya meliuk ke samping kiri, 

dan tendangan kaki itu melesat di samping kanannya, 

mengenai tempat kosong. Itulah perkembangan kecil


ilmu yang diperolehnya. Tanpa berpikir anggota tu-

buhnya sudah bergerak sendiri menghindari bahaya. 

Wajah penyerang tua tampak cerah. Terkekeh-kekeh 

sesaat. Lanang pun berpaling.

"Apa yang sedang kau lamunkan, ha?" tegur si

Tongkat Besi.

Lanang masih memperlihatkan wajah yang mu-

rung. Ia berjalan ke pondok seraya berkata:

"Perempuan yang mengkhianatiku, Kek...!"

"Itu yang bisa merusak jiwamu kalau terlalu kau 

pikirkan terus, Lanang." Setelah berkata demikian, 

Tongkat Besi melemparkan sebatang kayu sebesar sa-

tu pelukan. ia melemparkan dari arah belakang La-

nangseta. Dengan cepat Lanangseta tahu-tahu melom-

pat dan kakinya terentang. Ia menggunakan jurus ten-

dangan kipas yang tepat mengenai batang kayu besar 

itu. Dalam waktu kurang dari sekejap, batang kayu itu 

berubah menjadi serbuk halus, lebih halus dari gula 

pasir. Dan Tongkat Besi manggut-manggut.

"Sudahlah jangan pikirkan dulu... mari kita berla-

tih jurus Pedang Suralaya..." ujar Kakek tua.

"Bukankah aku sudah menguasai jurus pedang 

yang kemarin kau ajarkan itu?"

"Itu jurus pedang Gegana Sakti. Kali ini lain. Kalau 

jurus pedang Gegana Sakti dapat menebas dari jarak 

sepuluh langkah dari benda yang akan kau potong, ja-

di seperti kau bermain pedang sendiri namun sebenar



nya kau sedang membabat musuhmu dan ia akan ma-

ti. Tetapi pedang Suralaya berbeda, Lanang."

"Apa itu perlu? Dan apa ada keistimewaannya?"

"O, iya. Perlu dan ada keistimewaannya. Kau tak 

perlu menancapkan pedang itu ke tubuh lawan. Cu-

kup menyentuhkan ujungnya pada bagian tubuh la-

wanmu. Maka ia akan mati seketika."

"Ah, itu biasa, Tidak istimewa. Di mana letak isti-

mewa nya? Malahan lebih hebat jurus pedang Gegana 

Sakti," kilah Lanangseta menyepelekan. Tongkat Besi 

hanya tersenyum.

"Kelihatannya memang tak ada keistimewaannya, 

tapi lihatlah contoh yang akan kumainkan..."

Kemudian Tongkat Besi mengambil pedang tiruan, 

yang dibuat semirip mungkin dengan pedang Wisa Ko-

bra. Baik bentuk, bahan, dan beratnya, sama persis, 

Hanya bedanya, kalau pedang Wisa Kobra dapat untuk 

memotong besi, apalagi kayu. Tapi kalau pedang tiruan 

itu tak dapat untuk memotong rumput sekalipun. La-

nangseta sempat terkejut ketika Tongkat Besi menye-

rahkan pedang tiruan itu. Bahkan ia heran, begitu pin-

tarnya Kakek tua itu dalam meniru sebuah benda. 

Waktu itu, Tongkat Besi berkata, "Kau harus berla-

tih untuk menggunakan pedang yang sama persis den-

gan pedang Wisa Kobra; baik beratnya, panjangnya, 

bentuknya, bahannya, harus sama persis supaya kau 

tidak ada kejanggalan jika kau bermain dengan pedang


Wisa Kobra yang sebenarnya...." 

Itulah tujuan Tongkat Besi yang diakui Lanangseta 

sebagai orang cerdik terselubung kesederhanaannya.

Seperti saat itu, Wisa Kobra yang ash ada di tan-

gannya, sedangkan yang palsu diberikan kepada La-

nangseta. Lalu, Tongkat Besi memainkan jurus Pedang 

Suralaya dengan gerakan yang masih asing bagi La-

nangseta. Tubuhnya meliuk ke kiri, lalu melangkah 

maju, meliuk ke kanan, lalu membalik lagi dan menu-

sukkan pedang itu ke batang pohon.

"Deep...!" Ujung pedang bagai menyentuh pohon, 

tanpa harus terbenam sedikitpun. Kemudian pohon ja-

ti kecil itupun roboh dengan menimbulkan bunyi ge-

muruh. Tongkat Besi tersenyum memandang Lanang-

seta yang masih tenang berdiri memperhatikannya. Ia 

menunjuk pada pohon yang roboh. Tapi Lanangseta 

hanya mencibir, menyepelekan kehebatan jurus itu. 

"Kuno..." ejeknya.

Tapi beberapa saat kemudian mata Lanangseta 

membelalak lebar. Ternyata pohon yang ada di bela-

kang pohon pertama itu ikut roboh juga. Menyusul po-

hon ketiga, dan pohon keempat yang berjarak sekitar 

enam langkah dari pohon ketiga. Terbengong mulut 

Lanangseta menyaksikan satu tusukan ujung pedang 

namun mampu merobohkan tiga pohon yang ada di 

belakang pohon pertama.

"Kuno, bukan?" sindir Tongkat Besi dengan sinis.


"Kalau kau tak berminat, ya sudah... tak perlu 

kuajarkan!"

"Aku berminat!" jawab Lanangseta cepat. Dan 

Tongkat Besi terkekeh menertawakan semangat La-

nangseta.

"Lakukan dengan pedang palsu itu... gerakannya

harus mantap dan konsentrasikan pikiranmu pada 

ujung pedang. Tak perlu keras mendorongnya, cukup 

ujungnya kau sentuhkan pada benda yang kau tuju, 

maka benda yang ada di belakangnya akan ikut tertu-

suk, asal masih dalam jarak 15 langkah dari benda 

yang kau tusuk pertama itu."

Dengan tekun Lanangseta berlatih jurus Pedang 

Suralaya, Memang, Tongkat Besi mempunyai banyak 

ilmu, termasuk ilmu pedang beraneka ragam. Belum 

lagi sebegitu banyak ilmu tenaga dalam yang dahsyat-

dahsyat, yang ternyata dapat diselesaikan oleh La-

nangseta dalam waktu singkat. Itu bukan lantaran La-

nangseta punya otak cerdas, melainkan karena ban-

tuan unsur hidup yang ada pada Tongkat Besi telah 

mengalir dalam jiwa Lanangseta, sehingga semua itu 

bagai sebuah ulangan dari pelajaran yang pernah dilu-

pakan saja. 

Tanpa menggunakan daya pengalihan unsur hidup 

yang ada pada diri Tongkat Besi, maka ilmu sebegitu 

banyak hanya akan rampung dalam tempo 200 tahun. 

Tetapi kali ini Tongkat Besi pun gembira, karena dapat


menurunkan semua, hampir semua, ilmunya kepada 

Lanangseta dalam waktu kurang dari 2 bulan. Ini pun 

di luar dugaan Tongkat Besi sendiri.

Semua terjadi di luar dugaan. Lanang sendiri tidak 

menyangka kalau ia akan tertarik dan sangat antusias 

dalam mempelajari semua ilmu pemberian Tongkat 

Besi. Ilmunya aneh-aneh, dan menghadirkan banyak 

kejutan. Sebab itulah Lanang menjadi betah dan ha-

nyut dalam keasyikannya mempelajari ilmu yang ditu-

runkan kakek berjubah kuning itu. 

Dan suatu kehebatan lain yang mengherankan La-

nang adalah, bahwa selama ini dia tidak pernah tidur, 

tidak pernah merasa letih dan ngantuk. Istirahat boleh

dibilang tidak pernah. Makan sambil mempelajari ge-

rakan jurus- jurus yang akan dipraktekkan sehabis 

makan nanti. Mandi sambil mendengarkan petunjuk-

petunjuk yang akan dilatihnya nanti, dan begitu sete-

rusnya, pagi, siang, sore dan malam hari. Sehingga se-

sekali Lanangseta lupa bahwa semua itu telah dica-

painya dengan kemustahilan yang menjadi nyata.

Seperti pagi ini, setelah Lanangseta berlatih ilmu 

yang mampu menghentikan gerakan air terjun secara 

mendadak, ia kembali ke pondok. Di pondok, ia telah 

disambut oleh 'gurunya' yang eksentrik itu.

"Bagaimana? Sudah bisa menghentikan jalannya 

air berapa helaan nafas?" tanya Tongkat Besi.

"Sudah mencapai sembilan puluh kali helaan nafas, Kek."

"Yah... lumayan lah. Nah, sekarang kita berlatih ju-

rus Pedang Pamungkas Dewa. Ingat, kau hanya boleh 

menginjak tanah dua kali selama pertarungan.... Je-

las?!"

"Jelas, Kek."

"Kemarin kau empat kali menginjak tanah. Seka-

rang jangan lebih dari dua kali. Nan, ambil pedangnya 

dan kita pergi ke lereng atas...."

Lanangseta bergegas mengambil dua pedang. Lalu 

mereka berdua pergi ke lereng atas, di mana ada tanah 

sedikit lega dan pepohonannya berjarak cukup jauh 

dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

"Pilih, kau mau pakai pedang yang mana?!" kata 

Tongkat Besi.

Lanangseta cukup hati-hati sekali memilih kedua 

pedang itu. Sebab salah-salah ia memakai pedang 

yang asli dan dapat mengenai gurunya betulan, wah... 

repot. Lanang tak ingin membunuh Kakek tua itu, 

apapun alasannya ia tak mau sampai terjadi begitu. 

Lebih baik dia yang dibunuh daripada harus membu-

nuh gurunya.

"Yang, ini, Kek..." kata Lanang setelah ia memilih 

pedang yang palsu.

"Baik. Mari kita mulai..." Lalu Tongkat

Besi melompat dan kakinya menginjak dedaunan 

semak, begitu juga Lanangseta, ia sudah terbiasa menginjak dedaunan semak tanpa harus membuat daun 

itu melengkung sedikit pun.

"Lanangseta...!" kata si Tongkat Besi. "Jika kau 

berhasil kali ini, kau patut menyandang gelar Malaikat 

Pedang Sakti...."

Lanangseta tersenyum bangga, ia yakin bahwa ia 

akan berhasil sesuai dengan ketentuan yang dikatakan 

gurunya tadi, tidak boleh menginjak tanah lebih dari 

dua kali. Itu patokan yang diingat Lanangseta.

Tongkat Besi berdiri di atas dedaunan semak tanpa 

membuat daun itu melengkung sedikit pun. Lalu den-

gan tangan kiri bertolak pinggang, ia berkata:

"Sebaiknya kau memakai pedang yang ini saja, La-

nang."

"Tidak. Aku pakai pedang yang sudah kupegang 

pegang ini!" jawab Lanangseta dengan tegas. Tongkat 

Besi tersenyum mencurigakan. Tapi Lanangseta mem-

perhatikan pedangnya lagi. Ia telah memberi tanda se-

cara diam-diam pada pedang palsunya dengan seutas 

benang tipis pada lingkaran di bawah kepala kobra, di 

gagang pedang itu. Dan pedang yang dipegangnya saat 

itu mempunyai benang tipis, warna hitam, tepat di ba-

wah kepala kobra pada bagian gagangnya. Berarti pe-

dang itu adalah pedang palsu. Tetapi ia jadi ciut nya-

linya setelah Tongkat Besi berkata:

"Ini latihan terakhir, Lanang. Kau tak boleh main-

main. Ingat, hanya pedang Wisa Kobra yang asli yang


akan dapat menembus tubuhku. Jika pedangmu itu 

asli, maka kau hari ini juga akan berhasil membunuh-

ku, dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Tetapi 

kalau ternyata pedangku ini adalah Wisa Kobra yang 

asli, aku mohon maaf... karena itu berarti aku yang 

akan membunuhmu. Tak boleh ada rasa menyesal di 

antara kita. Aku tidak akan menyesal membunuhmu, 

kalau memang kau yang terbunuh, dan kau tak boleh 

menyesal jika kau yang ternyata membunuhku."

"Tunggu...! Jangan begitu, Kek. Aku...."

si Tongkat Besi tidak menghiraukan lagi ketegan-

gan di wajah Lanangseta. Tubuhnya yang kerempeng 

itu melesat cepat bagaikan anak panah. Pedang di tan-

gannya menjurus ke tubuh Lanangseta, dan Lanangse-

ta takut terkena. pedang itu, karenanya ia melompat 

tinggi, hingga mencapai dahan pohon besar. Ia mau bi-

cara sesuatu, namun dari belakang datang serangan 

tak diduga cepatnya.

"Trang...!!" 

Ia menangkis pedang yang dibabatkan oleh Tong-

kat Besi dengan hanya menggerakkan pedangnya ke 

belakang. Kaki Lanangseta maju ke depan, gerakannya 

seperti hendak melompat ke bawah. Namun sebenar-

nya kaki yang masih menginjak dahan pohon itulah

yang tahu-tahu menendang ke belakang sambil ia ber-

salto di udara. Tendangan kaki Lanangseta mengenai 

perut Tongkat Besi. Ia terhempas seperti pohon kering


ditiup angin. Tetapi posisi jatuhnya begitu indah. Kele-

bat jubah kuningnya bagai sayap garuda menghampiri 

sarangnya. Kaki Tongkat Besi menginjak pada selem-

bar daun, sedangkan Lanangseta bagaikan cicak, ka-

kinya menempel pada batang pohon yang berdiri tegak.

Agaknya Tongkat Besi ingin mengadakan serangan 

balasan setelah ia berhasil ditendang Lanangseta. 

Dengan sekali loncatan bagai harimau terbang, ia 

mengarahkan pedangnya ke dada Lanangseta.

"Heeeaaaahh...!!" Teriakan itu begitu keras dan 

membuat Lanangseta gugup sedikit, lalu ia bersalto di 

udara menghindari tusukan pedang Tongkat Besi. 

"Traang...!" 

Pedang mereka beradu. Anehnya tak ada yang pa-

tah salah satu. Pada saat mereka mengadu pedang, 

tangan kiri Tongkat Besi sempat memukul wajah La-

nangseta dengan kerasnya, sehingga Lanang menjadi 

limbung, namun cepat menjejakkan kaki ke pohon 

lain. Maksudnya supaya ia jangan sampai jatuh ke ta-

nah dan menginjak tanah. Tubuh yang melesat dalam 

kesakitan wajah itu disambut dengan meluncurnya 

tendangan miring oleh si Tongkat Besi. Lanangseta 

menghindari tendangan yang membahayakan itu. Te-

tapi pada saat ia menghindar, pedang si Tongkat Besi 

menyambar kepalanya, "wesss..." Kepala Lanang buru-

buru merunduk, dilangsungkan dengan gerakan sal-

tonya. Lalu sebelum kaki Lanang sempat menyentuh


tanah, ia telah menyentuh ranting kering dan dengan 

bantuan ranting kering itu tubuhnya dapat melesat 

naik lagi. Sementara itu, pedang Tongkat Besi berhasil 

menyentuh tanah, dan dengan tenaga tangan ia mele-

tik ke udara.

Pada saat tubuh Tongkat Besi meletik ke udara, 

bertepatan dengan itu, tubuh Lanangseta sedang me-

layang melalui depannya dan ia mengibaskan pedang 

palsu itu sekuat tenaga agar dapat menjatuhkan tu-

buh Tongkat Besi. Pedang berhasil mengenai tubuh 

Tongkat Besi dan Kakek tua itu berseru:

"Aaauuhh...!!" '

Lalu tubuhnya benar-benar jatuh ke tanah dalam 

keadaan telentang. Lanangseta terbelalak kaget. "Ka-

kekkk...?!"

Perut Tongkat Besi robek total, isi perutnya meng-

hambur ke luar. Lanangseta menjerit sekali lagi setelah 

memperhatikan pedangnya berlumuran darah dari 

ujung sampai sebatas gagang. Merah segar warnanya.

"Kakek...?! Kakek, kau terluka betulan...?!"

Tongkat Besi tersenyum, lalu tertawa terkekeh-

kekeh sambil menyeringai kesakitan.

"Aku berhasil!! Aku berhasil...! He, he, heee...!" Ka-

kek tua itu bahkan tertawa dan senang melihat perut-

nya amburadul mengerikan begitu. Lanang segera 

mengangkat kepala Tongkat Besi dengan wajah ngeri 

dan menegang.


"Kek... maafkan aku...?! Kenapa yang kupakai itu 

jadi pedang Wisa Kobra yang asli...? Oh, aku tidak ta-

hu, Kek...!"

"Lanang... aku telah menukar benang yang kau 

pakai tanda pada gagang pedang palsu ke pedang yang 

asli. Jadi yang kau pilih itu sebenarnya pedang Wisa 

Kobra yang asli. Dan dengan cara begini kau akan bisa 

membunuhku...! Tapi ingat, aku mati secara kesatria 

lho.... Ingat itu. Dan, dan..." Tongkat Besi tak menghi-

raukan ratapan Lanangseta. Ia meraba tangan La-

nangseta dan berjabat tangan dengan muridnya, seka-

ligus pembunuhnya.

"Terima kasih. Terima kasih, Lanang.... Kini cita-

citaku ratusan tahun ini telah berhasil. Aku dapat ma-

ti... ya, dapat mati walau harus melalui pedang dan 

tanganmu...!"

"Kek, kau keterlaluan! Kau gila!" bentak Lanangse-

ta jengkel sendiri.

"Ingat, jangan menyesal! Aku tadi sudah... sudah 

katakan sebelumnya...! Karena penyesalan itu seperti 

halnya sebuah borok! Mau diapakan lagi kalau me-

mang sudah borok! Dipulihkan kembali? Toh tetap 

meninggalkan bekas...! Hey, lihat pedangmu itu, ba-

nyak darahnya...!"

"Persetan dengan kata-katamu!" bentak Lanangseta 

dalam kesedihan dan penyesalannya. Ia berusaha 

mengangkat tubuh Tongkat Besi, namun kewalahan


karena tubuh itu nyaris terpotong menjadi dua bagian.

"Mau dibawa ke mana aku? Tak usah repot-repot, 

Lanang."

"Kau harus disembuhkan, Kek. Harus...!"

"Mana bisa.... Kamu masih kalah sakti denganku. 

Kamu belum menguasai semua cara pengobatan. Ada 

lima cara yang belum kuajarkan kepadamu dan meru-

pakan simpanan ku, salah satu di antaranya adalah 

pengobatan sakit seperti yang ku derita saat ini. 

Oohh... usus ku keluar. Brodol! He, he..."

Geram dan kebingungan membuat Lanangseta be-

nar-benar stres. Ia mencari-cari akal untuk membawa 

Tongkat Besi ke pondok, namun tidak ketemu. Otak-

nya bagai beku.

"Sudahlah..." ucap Tongkat Besi dengan suara se-

makin pelan dan tubuh melemas dalam kepucatan 

yang pasi. "Tak usah repot-repot membawa... ku. Ki-

ta... kita ngobrol sebentar di sini, sebelum ajalku sele-

sai... Ini pesan gurumu yang terakhir, Lanang..."

Akhirnya Lanangseta tak dapat berbuat apa-apa 

kecuali menuruti pesan guru yang terakhir kali. Ba-

rangkali dengan mendengarkan pesan guru itulah yang 

bisa menggantikan ungkapan rasa sesalnya.

"Lanang...! Pedangmu itu berdarah. Bersihkan den-

gan lidahmu. Lekas, sebelum menjadi kering...."

Lanangseta buru-buru melaksanakan perintah gu-

runya. Tanpa ada rasa jijik kecuali sedih, ia menjilati



darah yang berlumuran di sekujur pedang. Tetapi 

anehnya, pedang itu masih saja berlumur darah walau 

telah dijilat berulangkali. Terdengar suara Tongkat Be-

si terkekeh-kekeh pelan. "Cukup, jangan habiskan. Pe-

dang itu tetap akan merah dan mempunyai kekuatan 

tersendiri. Sekarang, lemparkan pedang itu ke tempat 

semak-semak itu."

Lanang melemparkan tanpa banyak berpikir.

"Panggil namanya...!"

Lanang berseru tertahan kepedihan, "Wisa Ko-

bra...!" Lanang tak dapat berseru keras. Namun tiba-

tiba dari semak itu muncul pedang Wisa Kobra yang 

segera meluncur sendiri ke arah Lanangseta, dan tan-

gan Lanang segera menangkapnya dengan sigap. Ma-

tanya yang memerah menahan kesedihan itu sempat 

terbelalak sedikit karena heran dan kagum. Tetapi 

Tongkat Besi yang mulai sekarat itu masih berusaha 

menertawakan Lanang, walau pelan dan serak.

"Kau telah menjadi seorang kesatria tangguh. Pen-

dekar hebat yang boleh menyandang gelar pemberian-

ku... Malaikat Pedang Sakti... Pedang Wisa Kobra, te-

tap akan berwarna merah, karena di situlah pangkal 

dari kehidupanku yang panjang. Di pedangmu itulah 

akhir dari perjalananku yang jauh.... Kuburkan aku di 

belakang pondok itu... Oh, aku capek. Dingin. Dan... 

oh... oh ya... kuminta... kuminta jangan... jangan susul 

aku, ya...? Selesaikan dulu tugasmu di dunia ini, la


lu... lalu... ah, aku lemas...." Lalu suaranya menghi-

lang, mulutnya ternganga, bibirnya bergerak-gerak pe-

lan. Mata Tongkat Besi semakin redup. Lanang me-

mandangnya dengan hati ditabah-tabahkan. Mata itu 

kian redup, sayu... lalu terpejam pelan-pelan. Bibirnya 

menyunggingkan senyum tipis. Dan... nafasnya ter-

hempas habis lewat lobang hidung.

"Guru...?! Guru...!" suara Lanangseta mulai geme-

tar menahan derai tangis dan keharuan atas kepergian 

seorang guru. Ia mendekap kepala Tongkat Besi. Men-

dekap kuat-kuat seperti bagian dari hidupnya sendiri. 

Namun ia juga menahan kuat-kuat air mata yang 

mendesak di pelupuk mata.

Angin pun bertiup deras. Matahari tertutup mega 

hitam. Mendung. Lalu, tak lama kemudian hujan pun 

turun membasahi mayat Tongkat Besi dan muridnya 

yang masih tenggelam dalam kesedihan. Petir me-

nyambar sesekali. Dedaunan serempak melambai, ba-

gai mengucapkan selamat jalan kepada kakek berju-

bah kuning itu. Selamat jalan, selamat menempuh ke-

langgengan hidup yang ia cita-citakan selama ini.

Menjelang sore, Lanangseta memakamkan jenazah 

gurunya yang nyentrik itu di belakang pondok. Kemu-

dian ia berkabung selama tiga hari di pondok itu sen-

dirian. Sesekali ia memandangi pedang Wisa Kobra 

yang asli, dan pedang itu masih berwarna merah. Da-

rah mengering, namun justru membuat mengkilat.


Terbayang di pelupuk mata Lanang saat pedang itu be-

radu dengan pedang di tangan gurunya. Siapa sangka 

kalau justru pedang di tangan guru itu yang palsu. Ka-

lau saja saat itu Tongkat Besi tidak menyalurkan ke-

kuatan tenaga dalamnya, pasti pedangnya telah patah 

ditebas Wisa Kobra yang asli. Semua itu sengaja dila-

kukan kakek tua untuk menjebak pikiran Lanangseta 

yang bertekad tak mau membunuh gurunya.

Bagaimanapun lihainya seorang murid, tetap ma-

sih kalah pintar dengan gurunya. Dan kenyataan itu 

dihadapi sendiri oleh Lanangseta, Pendekar Pusar Bu-

mi yang kini menyandang gelar baru: Malaikat Pedang 

Sakti. Apa yang terjadi, seperti sebuah kepastian yang 

tak dapat diingkari. Dewa yang terusir dari Suralaya, 

telah mengetahui di mana letak akhir hidupnya. Dan 

kepada Lanang setelah ia menurunkan ilmunya walau 

sebenarnya Lanangseta sendiri takut menanggung re-

siko yang telah terjadi itu: yakni membunuh gurunya.

Tetapi penyesalan memang seperti borok, yang 

apabila kering tetap meninggalkan bekas. Jadi, La-

nangseta berkeras hati untuk tidak menelan penyesa-

lan. Ketika ia melangkah meninggalkan pondok di le-

reng Bukit Dewa, ia telah menyimpan penyesalan itu di 

lubuk jiwanya, dipendam bersama kemelut yang akan 

dihadapinya nanti.

Ia teringat kepada Kirana, tapi ia juga teringat ka-

ta-kata Prabima. Kirana sudah tidak perawan lagi. Ki


rana telah mengkhianati cintanya. Kirana kejam dan 

tak tahu bagaimana cara kasihan kepada orang lain. 

Bagi Lanangseta, Kirana perlu belajar mengenai kasih.

Tapi benarkah sejauh itu kekejaman Kirana? Be-

narkah ia telah menyerahkan keperawanannya kepada

Prabima? Lanang dalam kebimbangan. Ia sendiri tak 

tahu apakah Kirana saat ini sudah menikah resmi 

dengan Prabima, atau pergi memuaskan diri bersama 

pemuda imut-imut itu? Tak tahu apakah Kirana Sari 

masih mempunyai cinta kepada Lanangseta? 

Memang tak tahu bagaimana nasib Kirana yang te-

lah terserang racun rindu itu, Lanang pun tak tahu? 

Apakah kepergian Kirana yang tergiur oleh cerita ten-

tang lumut bercahaya itu juga bisa dipakai alasan bagi 

Lanang, untuk menuduh Kirana telah serong dan 

mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan 

Prabima? Haruskah pemuda tampan berikut kepala 

kain emas itu dimusnahkan? Apakah Ludiro tak bisa

menangani Prabima?

Malaikat Pedang Sakti dapat menjawab semua per-

tanyaan itu. Kisahnya sungguh membuat seseorang 

akan mengerti sulitnya melangkah dalam kebenaran 

Ldan kesucian.



                             T A M A T






 

0 komentar:

Posting Komentar