PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE MALAIKAT PEDANG SAKTI
MALAIKAT PEDANG SAKTI
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Malaikat Pedang Sakti
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6
1
LUDIRO meloncat dengan ilmu peringan tubuh yang
cukup sempurna. Pagar halaman Griya Teratai Wingit
itu cukup tinggi, tetapi Ludiro dapat meloncatinya
dengan mudah. Sementara itu, para penjaga Griya
Teratai Wingit masih tertidur semua. Malam begitu
gelap. Ludiro tidak membangunkan para penjaga. Ia
sengaja melakukan penyelidikan sendiri di luar pagar
bumi Griya Teratai Wingit. Ia mendengar suatu-suara,
seperti dengus nafas seseorang di kegelapan malam.
Karena itu ia berusaha memeriksanya dengan cermat.
Arah suara ada di samping kanan dari pintu gerbang
Griya Teratai Wingit.
"Siapa di sana?! Keluar!" bentak Ludiro tak terlalu
keras. Tapi dari kegelapan malam dan rimbunan semak
itu tetap tak ada jawaban.
Bagaimana pun sepinya tempat itu, Ludiro yakin ada
seseorang yang sedang mengintai di kegelapan sana.
Ludiro segera memegang pedang Jalak Pati warisan
Putri Ayu Sekar Pamikat itu. Tetapi tak jadi dicabut. Ia
juga sudah bersiap hendak melecutkan Cambuk Naga,
tetapi cambuk yang bergagang hitam dan menempel di
punggungnya itu tak jadi dicabut. Tak jadi dilecutkan.
Mata Ludiro masih memandang tajam mengawasi
sekeliling. "Hemm... tak ada gerakan sedikit pun dari
semak kegelapan itu," pikir Ludiro. Namun, nalurinya
tetap mengatakan ada seseorang atau lebih yang
bersembunyi di sana.
Maka secepat kilat Ludiro melemparkan senjata
rahasianya berupa mata pisau beracun. "Wess...
zzing...!" Bunyinya.
Lalu, terdengar suara, "triing...!"
Nah, senjata rahasia Ludiro ada yang menangkis.
Hebat. Pasti bukan orang sembarangan yang dapat
menangkis senjata rahasia dalam kegelapan itu. Paling
tidak pasti ia mempunyai kecepatan mencabut pedang
yang cukup lumayan.
"Keluar kau, Iblis!" geram Ludiro sengaja agak keras.
Ludiro baru saja hendak melangkah mendekati
semak yang gelap itu. Tahu-tahu nalurinya merasakan
ada sesuatu yang cukup membahayakan. Ada
hembusan angin tipis menuju ke arahnya. Segera
Ludiro meloncat sambil bersalto ke belakang. Dan ia
berdiri di dekat lampu obor penerang jalan. Ia
mendengar suara menceracap di dedaunan.
"Hemm... jarum beracun...." gumamnya sambil
manggut-manggut. "Pasti jarum beracun yang
menyerangku tadi, dan pasti pemuda sinting itu
pemiliknya. Siapa lagi yang mempunyai jurus jarum
beracun kecuali putri Sabdawana dan pemuda sinting
Prabima Wardana itu."
Kemudian tetap di tempatnya Ludiro berseru,
"Prabima! Keluar kau dari persembunyianmu, Bangsat!"
Sepi. Tidak ada suara, tidak ada gerakan.
Namun, beberapa saat kemudian Ludiro
berjumpalitan lagi di udara, dan menyumpah-nyumpah
tak karuan. Ada lima lembar daun kecil melayang ke
arahnya. Ludiro menghindari kelima lembar daun itu. Ia
tahu, daun itu bukan sembarangan daun, tapi
mempunyai tenaga dalam yang dapat memotong leher
atau menembus batok kepala.
Sambil melentik tinggi dan berguling di udara, Ludiro
sempat melepaskan senjata rahasianya ke arah
datangnya lima daun itu. Dari kegelapan itu terdengar
lagi denting senjata rahasia yang ditangkis oleh sebuah
benda logam, mungkin sebilah pedang.
Ludiro sudah berdiri dengan tegak. Badannya yang
pendek untuk ukuran seorang pendekar itu kelihatan
semakin legam, sebab kulit tubuhnya memang hitam.
Matanya menatap dengan tajam, tegang, mengawasi
tempat gelap itu dengan cermat. Ia segera mencabut
pedang Jalak Pati ketika dari arah lain muncul sebuah
serangan gelap. Serangan itu berupa sebuah senjata
berbentuk piringan bergerigi. Ukurannya sebesar tutup
gelas, dan warnanya putih logam berkilat.
"Trang...! Trang...!"
Dua kali senjata piring bergerigi itu melesat ke arah
Ludiro, dan dua kali pula Ludiro mengibaskan
pedangnya. Menangkis senjata itu sehingga tak tahu
mental ke mana. Kini Ludiro tahu, musuhnya tidak
hanya seorang, tetapi lebih. Bisa dua, bisa tiga, bisa
juga banyak. Ia semakin meningkatkan kewaspadaan,
mempertajam pandangan mata. Sebab kali ini
musuhnya tidak kelihatan karena bersembunyi di
tempat gelap.
"Hei, Monyet-monyet...!" kata Ludiro dengan dongkol.
"Keluarlah dari persembunyian kalian! Jadilah seorang
kesatria. Kalau mau mati, matilah secara kesatria juga!"
Dari rimbunan daun lebar, muncullah seorang lelaki
berambut panjang. Putih rambutnya, putih juga jenggot
dan kumisnya. Ludiro sengaja mundur ke tempat
terang, supaya lelaki itu mendekat ke tempat terang.
Pancingannya mengena. Lelaki itu ternyata seorang
kakek berjubah merah. Rambutnya panjang, putih, dan
tanpa diikat, sehingga angin malam sempat membuat
rambutnya berserakan ke mana-mana. Ia membawa
sebatang tongkat sebesar lengan anak-anak. Bentuknya
seperti ular, berbintik-bintik dan sedikit mempunyai
lengkungan. Kepala tongkat itu juga seperti kepala
seekor ular sanca. Matanya sipit tapi tubuhnya masih
kekar, seperti tubuh anak muda saja.
"Siapa kau?!" hardik Ludiro menunjukkan
keberaniannya
"Aku ingin ketemu Sabdawana!" kata kakek itu tegas.
"Rama Sabdawana tak dapat diganggu. Ia sedang
repot!" jawab Ludiro yang tetap ingat pesan Sabdawana,
ayah perempuan yang bernama Kirana Sari itu. Ludiro
ingat, bahwa keamanan Griya Teratai Wingit itu
dipercayakan kepadanya selama Sabdawana masuk ke
kamar semedi. Rohnya akan melayang mencari di mana
Pendekar Pusar Bumi berada. Dan Sabdawana telah
wanti-wanti kepada Ludiro, agar selama ia semadi
jangan ada yang boleh masuk atau mengusiknya.
(dalam kisah Pedang Semerah Darah).
"Jangan halang-halangi langkahku, Orang bodoh!"
gertak kakek berambut putih itu. "Kalau kau nekad,
kau akan mati dan ragamu akan menjadi debu."
"Setiap orang kelak akan menjadi debu, sebab ia
tercipta dari debu pula. Kenapa aku harus takut mati?"
jawab Ludiro dengan tenang tapi tetap waspada, sebab
ia ingat di lain sisi masih ada pengintai lain yang
sewaktu-waktu dapat menyerangnya.
"Supaya kau ketahui," kata kakek itu. "Aku punya
urusan dengan Sabdawana. Jadi, aku hanya ingin
ketemu dia, bukan kamu. Mengerti?"
"Dan perlu kau ketahui, Kek... untuk menemui Rama
Sabdawana harus melangkahi mayat Ludiro dulu,
tahu?" seraya Ludiro. menepuk dadanya. Pedang Jalak
Pati masih di tangan kanan, tergenggam kuat.
"Hei, jangan panggil aku kakek, ya? Kurobek
mulutmu nanti. Panggil namaku... Begal Dogol!
Mengerti?!"
Kakek itu tampak marah dengan mata yang sipit
dilebarkan. Tapi Ludiro hanya tersenyum
menyepelekan. Ludiro bahkan berani berkata,
"Orang setua kamu sudah pantas dipanggil kakek."
"Kurang ajar. Kurobek betul mulutmu, hah...?!" Dan
kakek yang mengaku bernama Begal Dogol itu
menyerang Ludiro dengan satu pukulan tangan kirinya.
Ludiro sempat mengelak ke samping, sehingga
pukulan itu hanya lewat beberapa inci dari depan
hidungnya. Tapi pada saat ia memiringkan tubuh,
dengan cepat tangan kosongnya menghantam rusuk
Begal Dogol. Kakek tua itu tidak merasakan sakit,
kecuali hanya menahan nafas beberapa saat. Lalu,
dengan cepat tongkat ularnya menyodok perut Ludiro.
Ia menggunakan satu tangan untuk menyodokkan
tongkat itu. Dan oleh Ludiro yang mundur dua langkah
dengan cepat itu segera mengibaskan pedangnya,
menebas tongkat tersebut. Hanya saja, tongkat itu tidak
patah. Bahkan terdengar suara berdenting bagai besi
beradu dengan besi. Padahal menurut dugaan Ludiro,
tongkat itu hanya terbuat dari akar sebuah pohon yang
keras serta dibentuk seperti ular sanca. Aneh. Kok bisa
berdenting? Pasti dialiri tenaga dalam yang cukup kuat
dan hebat.
"Mampus kau, Kunyuk...!" geram Begal Dogol. Ia
memukulkan tongkatnya ke kepala Ludiro. Tapi Ludiro
merunduk. Angin pukulannya sempat membuat rambut
Ludiro rontok beberapa helai. Pada waktu itu kaki
kanan Ludiro memutar dan menghantam tubuh Begal
Dogol. Sayang hanya mengenai bagian lengannya.
Tetapi sudah cukup membuat Begal Dogol hampir
terpelanting.
Ia berhenti. Tidak menyerang. Nafasnya terengah dan
diaturnya setenang mungkin. Ludiro sendiri juga tidak
melanjutkan pertarungannya. Namun ia tetap sigap dan
waspada. Seorang pengintai masih bersembunyi di balik
semak kegelapan. Pengintai itu diperkirakan adalah
seorang pemuda yang bernama Prabima. Pemuda inilah
yang membuat Lanangseta pergi meninggalkan Kirana
Sari, putri Sabdawana yang kini menderita sakit karena
kerinduan hati berubah menjadi racun di dalam
darahnya. Ayah Kirana hanya bisa mencari tahu di
mana Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu,
dengan cara bersemadi, mengeluarkan roh dari raganya
untuk melayang-layang mencari Lanangseta. (dalam
kisah PEDANG SEMERAH DARAH)
"Sia-sia aku bertarung melawanmu, Kunyuk!" kata
Begal Dogol. "Aku punya urusan dengan Sabdawana! Ini
urusan orang tua dengan orang tua. Kau tidak
mempunyai hak untuk turut campur dalam urusan ini."
Ludiro menyunggingkan senyum sinis. Ia
menyarungkan pedang Jalak Pati, dan berkata, "Aku
diberi hak oleh Rama Sabdawana untuk menangani
masalah seperti ini. Dan...."
Orang tak akan menyangka bahwa Ludiro yang
masih tenang berbicara dengan Dogol itu tiba-tiba
meloncat dan berjumpalitan ke udara. Ternyata ia
hanya menghindari serangan jarum beracun yang
datang dari arah semak kegelapan. Nalurinya begitu
kuat dan sangat peka. Sehingga, jarum-jarum beracun
yang jumlahnya lebih dari seratus itu melesat melewati
tubuh Ludiro, lalu menuju badan Begal Dogol. Seketika
itu pula, Begal Dogol pun kaget dan secara reflek
menggerakkan tongkatnya sambil melompat ke arah
kanan. Terdengar bunyi kayu dihunjam jarum bertubi-
tubi. Dalam keremangan cahaya obor penerang jalan
Ludiro dapat melihat bahwa jarum-jarum itu menancap
pada tongkat milik Begal Dogol. Menancap dengan rapi
bagai disusun seseorang dengan tekun.
Ludiro tak tahu, apakah Begal Dogol sengaja
memancingnya bicara, dan mengurangi kewaspadaan
Ludiro supaya bisa diserang dengan tiba-tiba oleh orang
yang bersembunyi itu, atau memang sesuatu yang
kebetulan saja sifatnya? Tak peduli telah terjadi
persekongkolan atau tidak, tapi Ludiro terpaksa
mencabut Cambuk Naga untuk bisa memukul dari
jarak jauh. Cambuk Naga dilecutkan satu kali ke arah
semak kegelapan itu.
"Taar...!"
Sebuah cambukan biasa-biasa saja, tetapi ujung
cambuk itu mengenai seseorang yang bersembunyi di
sana, dan orang itu mengaduh tertahan. Ludiro hendak
mengejar orang tersebut, tetapi ia membatalkan
niatnya, sebab Begal Dogol bergerak melayang. Ia ingin
masuk ke dalam Griya Teratai Wingit dengan cara
melompati pagar tersebut yang tingginya dua kali
ukuran tembok. Karena itulah, maka tubuh Ludiro
akhirnya melayang juga ke arah pagar tinggi, dan
melemparkan Begal Dogol dengan hempasan tenaga
dalamnya. Tubuh Begal Dogol melayang bagai daun
terbang, dan jatuh di dekat semak kegelapan dengan
posisi berdiri tegak, kedua kakinya merenggang kokoh.
"Keparat...!" geram kakek berambut panjang itu.
Begal Dogol hendak menyerang, namun dari dalam
semak kegelapan itu keluarlah seorang pemuda yang
persis seperti dugaan Ludiro.
"Biar saya yang menghadapi, Guru!" kata Prabima
kepada Begal Dogol.
"O, rupanya kau murid si tua bangka peot itu, ya?!"
ledek Ludiro dengan masih berdiri di atas pagar. Lalu ia
melompat turun dan tertawa dengan sinis.
Kokok ayam menjelang pagi terdengar di kejauhan.
Samar-samar sekali. Pada saat itulah, Prabima berlari
menyerang Ludiro dengan pedangnya. Ludiro sengaja
melompat ke belakang dengan bersalto dua kali. Begitu
kakinya menginjak tanah, cambuknya segera
dikibaskan.
"Tarr...!" Cambuk itu melecut tangan Prabima.
Tangan itu berdarah, seperti dulu lagi. Pedangnya jatuh.
Prabima menyeringai kesakitan.
Para penjaga terbangun. Dua orang membuka pintu
gerbang dan menghambur keluar. Melihat kedua
penjaga membuka pintu gerbang, Begal Dogol
tersenyum, kemudian berusaha masuk. Tetapi kedua
penjaga itu melarangnya dengan melancarkan pukulan
ke arah Begal Dogol. Tongkat Begal Dogol beraksi,
memukul tangan penjaga dengan keras, sehingga kedua
penjaga itu menyeringai kesakitan. Kemudian kaki
Begal Dogol mengibas, bagai menampar kedua penjaga
itu, sehingga kedua orang tersebut tersungkur ke
samping, Begal Dogol melangkah ke pintu gerbang.
Saat itu Ludiro berlari dan meloncat dengan kaki kiri
direntangkan ke samping. Kaki itu mengenai lengan
Prabima hingga pemuda bertampang ganteng itu
sempoyongan. Dan gerakan Ludiro dilanjutkan dengan
bersalto satu kali. Ia mendarat di belakang Begal Dogol
yang hendak masuk ke pintu gerbang. Cambuk Naga
dikibaskan, lalu berhasil membelit di leher Begal Dogol.
Sejenak kakek tua itu berusaha melepaskan lilitan
Cambuk Naga yang terbuat dari serat benang sutera
tipis namun mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Agaknya kakek berambut panjang merasa kesulitan
membuka lilitan cambuk, sehingga ia menghentakkan
kakinya kuat-kuat. Melayang dan bersalto ke belakang
dua kali. Kakinya mendarat di tanah dengan mantap,
dan kini posisinya berada di belakang Ludiro. Dengan
sekali hentakan kaki ke depan, Ludiro nyaris terdorong
rubuh. Tapi tangannya masih kuat memegangi gagang
cambuk. Dengan tenaga besar Ludiro menggeret
cambuknya, di sentakkan kuat-kuat sehingga tubuh
Begal Dogol terbawa ke depan. Dan pada saat itulah
kaki Ludiro menendangnya kuat sekali, sehingga Begal
Dogol terpental ke belakang setelah lehernya merasa
bagai tercekik, lalu seperti dibeset dengan benang
tajam.
Leher itu berdarah. Begal Dogol segera meludahi
telapak tangannya, lalu mengusap leher yang terbeset
cambuk. Dalam sekejap, luka dan darah hilang dari
leher Begal Dogol. Ia tersenyum sinis kepada Ludiro.
Ludiro menggeletukkan gerahamnya. Pada saat itu,
tubuh Prabima melayang menyerang Ludiro dengan
kaki miring ke samping.
Kemarahan dan kebencian Ludiro meluap, maka ia
mengibaskan cambuknya dengan suatu luapan emosi
yang kuat. Dan akibatnya, sungguh mengerikan.
Cambuk itu mengenai pundak Prabima.
"Aaakhh...!" pekik Prabima kesakitan, karena
pundak itu patah dan robek begitu dalam. Darah
mengucur banyak sekali. Begal Dogol khawatir kalau
luka itu sampai ke jantung, karenanya ia segera
menyerang Ludiro dengan lemparan senjata lempengan
bulat bergerigi tajam. Tanpa disadari, tangan Ludiro
bergerak sendiri, mencambuk-cambukan senjatanya
dengan salah satu kaki ditekuk hingga lututnya hampir
menyentuh tanah. Cambuk itu melecut sebanyak 7 kali,
sesuai dengan senjata bulat yang dilemparkan Begal
Dogol. Cambuk itu mengenai lempengan besi bergerigi,
dan membuat besi itu terpental ke mana-mana.
Ludiro dalam keadaan sibuk. Begal Dogol segera
mengangkat tubuh Prabima dengan gerakan yang tak
dapat diikuti oleh pandangan mata orang. Tahu-tahu ia
telah berada dalam jarak beberapa meter sambil
menggendong Prabima yang terluka parah itu.
"Tunggu! Tunggulah kehadiran muridku yang lain
yang akan melumatkan batang hidungmu, Kunyuk!"
teriak Begal Dogol. Ludiro hendak mengejar pada waktu
Begal Dogol pergi membawa kabur Prabima Wardana,
tetapi puncak Ludiro terasa ada yang menekannya
dengan berat sehingga ia tak jadi melangkah mengejar
Begal Dogol.
Waktu Ludiro berpaling, ia terperanjat sedikit,
karena yang menekan pundaknya itu ternyata
Sabdawana sendiri. Agaknya Sabdawana telah selesai
bersemadi beberapa hari lamanya. Ludiro pun buru-
buru memberi sikap menghormat kepada lelaki tua itu.
"Jangan kau kejar dia. Berbahaya."
"Rama mengenal dia?"
Sabdawana mengangguk, matanya yang
memancarkan kharisma dan kewibawaan itu
memandang tempat kepergian Begal Dogol. Matahari
sudah mulai muncul, dan gumam Sabdawana terdengar
jelas.
"Begal Dogol...! Hem, dia musuh lamaku."
"Agaknya dia cukup tangguh, ya Rama?"
"Seharusnya begitu. Berpuluh-puluh tahun dia
menghilang dari rimba persilatan setelah kukalahkan.
Tentunya ia mencari ilmu dan menambah kehebatan
dirinya untuk melawanku," tutur Sabdawana dengan
datar.
"Jadi, kedatangannya ke mari adalah untuk
membalas dendam atas kekalahannya dulu?" tanya
Ludiro.
"Ya," Sabdawana mengangguk. "Tapi agaknya ada
keperluan lain juga, mengingat dia telah bersekutu
dengan Prabima Wardana."
"Pemuda itu muridnya, Rama. Saya mendengar dia
memanggil Begal Dogol dengan sebutan 'guru'."
Sabdawana manggut-manggut sambil menggumam.
Kemudian ia melangkah masuk halaman Griya Teratai
Wingit, di mana ia tinggal di situ bersama anak
perempuannya dan para pelayan serta pengawal yang
berjumlah sepuluh orang.
"Bagaimana tentang Lanangseta menurut Rama?"
tanya Ludiro yang segera ingin mendengar bagaimana
keadaan Lanang.
Sabdawana diam beberapa saat, sepertinya
menyimpan keraguan. Ia duduk di atas tempat duduk
empuk yang berbentuk bunga teratai. Tempat duduk itu
terbuat dari batu cadas berukir dan dilapisi beberapa
kain yang dibungkus oleh mori putih bersih.
"Aku menemui kesulitan dalam melacak di mana
Lanangseta. Rohku hampir saja nyasar tak tentu arah."
kata Sabdawana dengan pelan. "Susah memastikan
apakah Lanangseta masih hidup atau sudah mati."
"Saya harap Rama jangan bicara terlalu keras, takut
kalau putri mendengarnya, dan akan semakin parah."
Setelah diam sejenak, Sabdawana bicara seperti
dalam sebuah gumam, "Dia... memang sudah parah."
Ludiro menghela nafas, merasa prihatin dan kasihan
terhadap anak gadis Sabdawana.
"Bagaimana selama kutinggal bersemadi?" tanya
Sabdawana.
"Baru tadi ada gangguan, si tua bangka Begal Dogol
dengan setan kencur Prabima itu."
"Putriku...?"
"Putri anda selalu menanyakan hasil semedi yang
anda lakukan, Rama. Ia benar-benar ingin mendengar
kabar tentang Pendekar Pusar Bumi itu."
Kini, Sabdawana yang menghempaskan nafas
panjang.
"Tapi selama ini saya sudah mencoba dan selalu
mencoba mengalihkan perhatian serta pikirannya ke
arah lain."
"Berhasil?"
"Sesekali berhasil, sesekali ia ingat Lanangseta, lalu
menangis lagi. Ah, saya jadi tak habis pikir, putri anda
yang tegar itu bisa berubah menjadi perempuan
cengeng dan lemah sekali," ujar Ludiro.
"Itulah keburukan racun yang sudah terlalu
bercampur dengan darahnya. Bahkan racun itu akan
membuat dia menjadi seperti anak kecil lagi,
kemudian... mungkin tak akan tertolong lagi." Kata-kata
itu terlontar begitu lirih dan membuat wajah
Sabdawana sangat murung.
"Kalau begitu," kata Ludiro setelah sama-sama
berpikir beberapa saat. "... anda katakan saja bahwa
anda telah bertemu dengan Lanangseta dan hendak
kembali kalau sudah selesai urusannya. Mungkin
sebentar lagi. Begitu, Rama."
Sabdawana menggeleng. "Aku tak boleh bohong.
Kebohongan hanya akan merugikan diri sendiri. Aku
harus mengatakan yang sebenarnya. Kalau aku
berbohong dengan mengatakan seperti saranmu itu, dia
pasti akan bangga dan senang. Harapan untuk bertemu
Lanangseta akan semakin menggebu dan tak sabar.
Tapi jika sampai beberapa hari ternyata Lanangseta
tidak datang, ia akan kecewa. Semakin rindu dan
semaian tersiksa. Kerinduan yang sangat kuat itu akan
lebih meracuni darahnya, lalu dia akan mati. Kalau dia
mati, berarti aku kehilangan dia. Jelas akan
membuatku sangat menderita. Itulah sebabnya
kukatakan tadi, kebohongan akan merugikan diri kita
sendiri."
Ludiro manggut-manggut, merasa menyesal juga
telah memberi saran tak sehat kepada Sabdawana.
Untung Sabdawana orang yang teliti, yang bisa
membedakan mana salah dan mana benar. "Hahhh...!"
Ludiro. mendesah bagai merasa gemas. Dalam hati ia
bertanya dengan jengkel, "Ke mana sebenarnya
Lanangseta itu?!"
***
2
SINAR matahari menyorot ke bumi dengan tajam.
Ada bayangan yang berjalan dengan tegap. Bayangan
dari sesosok tubuh yang kekar, tegap dan seakan penuh
keyakinan atas dirinya. Bayangan itu tak lain adalah
milik Lanangseta, Si Pendekar Pusar Bumi, yang telah
mendapat gelar dari seorang guru, sehingga ia patut
menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti. Sebenarnya,
sudah pantaskah ia menyandang gelar agung itu?
Orang akan menilai suatu perbuatan dari orang lain.
Dan perbuatan, gerakan serta kemampuan Lanangseta
dalam memainkan jurus-jurus pedangnya itulah yang
akan membuat orang percaya, bahwa ia memang pantas
menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti.
Meski sesekali langkahnya menjadi pelan karena
merasa ada yang mengikuti, namun Lanangseta tak
menunjukkan kecurigaannya. Ia tetap melangkah
dengan tegap, tenang dan mantap. Sampai pada suatu
saat, ia terpaksa harus berhenti karena melihat
pengemis yang duduk di bawah sebuah pohon, tak jauh
dari sebuah desa.
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan,"
pengemis itu mengulurkan tangannya dalam posisi
tengadah. Lanangseta memperhatikan sekilas. Tatapan
matanya cukup bersahabat. Pengemis muda yang kurus
kering dengan pakaian compang-camping itu
memperlihatkan wajah sedihnya.
"Sedikit sedekah, Tuan, semoga bisa menjadi berkah.
Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak
makan...."
Lanangseta merasa tertarik dengan keadaan
pengemis itu. Ia ingin memberikan saran sedikit kepada
si pengemis, "Kamu masih muda, kan? Usiamu tidak
jauh lebih tua dariku, bahkan lebih muda. Apa tak bisa
cari kerja? Jangan malas, bekerjalah. Kerja apa saja,
yang penting bisa buat hidup sendiri."
Pengemis muda itu cemberut, "Ini juga bekerja, kan?
Apa Tuan pikir mengemis itu bukan suatu pekerjaan?"
Senyum tenang Lanangseta mengembang di bibirnya.
"Yang kumaksud bekerja sebagai pengemis, berbeda
dengan bekerja sebagai pekerja atau buruh. Kamu
masih kuat mencangkul sawah, buruh tani apa saja.
Menggembala kambing milik orang kaya juga masih
mampu. Kenapa harus mengemis?"
"Yaah... mungkin sudah bakat."
"Apa kau punya cita-cita jadi pengemis?"
Pemuda kurus kerempeng itu menggeleng.
"Lalu, apa cita-citamu?"
"Mengetuai semua pengemis di dunia ini, Tuan."
"Hah... itu sama saja!"
"Lain, Tuan. Pendapatannya lebih besar. Saya tidak
perlu merengek, menyusun kata yang menyedihkan
supaya diberi berkat. Saya tinggal memberi perintah
kepada anak buah saya: hari ini si A mengemis di
wilayah sana, si B mengemis di wilayah sini... Besok si
A ganti ngemis di sini, si B di sebelah sana... Ah, cuma
mengatur jalannya perngemisan dunia, apa susahnya
sih? Paling-paling saya memberi pelajaran bagaimana
menjadi pengemis yang sukses kepada anak buah. Kan
enak kalau begitu? Cita-cita yang agung kan?"
Lanangseta tertawa pendek, pelan. Ia menggeleng
samar. "Itu keliru. Itu tidak baik."
"O, jadi Tuan pendekar punya cara yang lebih baik
tentang bagaimana mengatur perkembangan pengemis
di dunia ini? Jadi, Tuan juga punya teknik mengemis
yang lebih tepat lagi, ya?"
"Tidak. Kau tidak mengerti maksudku. Kau...."
"Kalau begitu, beri sajalah saya sedekah biar Tuan
tidak pusing-pusing menasehati saya...."
"Aku tak ingin mendidik orang menjadi malas...."
kata Lanangseta seraya pergi meninggalkan pengemis
muda. Gerutu pengemis itu terdengar jelas, hanya kata-
katanya yang sukar dipahami. Tetapi Lanangseta tidak
peduli. Ia terus melangkah sambil menimbang-nimbang,
haruskah ia pulang ke Griya Teratai Wingit?
Ah, itulah yang membuat Lanangseta gelisah dalam
hati. Ia ingat Kirana kekasihnya, tapi ia juga ingat
pemuda Prabima yang memuakkan. Apalagi jika ia ingat
kata-kata Prabima yang memberitahu, bahwa Kirana
sudah menyerahkan keperawanannya kepada Prabima.
Bahwa pula, Kirana yang menyuruh Prabima datang
dan melukai Lanangseta, supaya perkawinan Lanang
dan Kirana tertunda beberapa saat, sementara Kirana
ingin menikmati kemesraan dengan Prabima beberapa
saat lagi. Uuh... benci sekali Lanangseta mengingat
peristiwa itu (dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH)
Pada waktu itu, Kirana memang tidak ada di tempat.
Bahkan menghilang sampai beberapa saat. Hal itu pula
yang membuat kecurigaan Lanangseta semakin kuat,
bahwa Kirana memang ada main belakang dengan
Prabima. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bertemu
lagi dengan Kirana, karena almarhum kakek Tongkat
Besi telah membawanya kabur ke Bukit Dewa. Dan
sampai sekarang, Lanangseta tidak tahu bagaimana
keadaan Kirana, bagaimana nasib Prabima dan
bagaimana kisah Griya Teratai Wingit sejak
kepergiannya sampai dua bulan lebih ini. Tak tahu.
Sungguh tak ada berita sedikit pun tentang hal itu yang
masuk ke telinga Lanangseta, atau si Malaikat Pedang
Sakti, alias Pendekar Pusar Bumi itu.
Langkah Malaikat Pedang Sakti terhenti sejenak,
seperti ada sesuatu yang mengejutkan. Ia belum
memasuki perbatasan desa, namun ia sudah bertemu
dengan seorang pengemis muda yang kini ada di
depannya dalam jarak kira-kira 20 langkah lagi. Dan
herannya, pengemis muda yang tadi juga yang
ditemuinya saat ini. Dalam hati Lanangseta berkata,
"Hebat juga kecepatan lari pengemis itu? Atau...
mungkin ia telah mendahului langkahku tanpa
kusadari? Mungkin pada saat aku melamun itulah ia
telah mendahuluiku?"
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanangseta sengaja berhenti dan memperhatikan
pengemis muda bertubuh kurus kerempeng dengan
pakaian compang-camping itu. "Ah, kata-katanya pun
sama saja," pikir Lanang. Pengemis itu memperlihatkan
wajah dukanya, lesu dan murung. Ia mengucap kata,
"Sedikit sedekah, Tuan, semoga menjadi berkah.
Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak
makan...."
"Persis!" gumam Lanangseta dalam hati. Persis
seperti yang didengarnya tadi, ketika bertemu pengemis
muda itu di bawah pohon. Lanangseta bagai
menyimpan suatu rahasia. Ia tersenyum, lalu segera
meninggalkan diri. Pengemis itu menggerutu tak jelas
ucapannya. Namun pada saat ditinggalkan Lanangseta
ia tetap duduk di tempatnya bersila. Lanangseta lari
dengan cepat dan naik ke atas pohon dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dan dari atas
pohon ia tetap melihat pengemis tadi duduk di
tempatnya. Karena jauhnya, sampai terlihat seakan
sebuah titik yang diam tak bergerak sedikit pun.
Kemudian Lanangseta turun dari pohon. Ia yakin
pengemis seusia adiknya itu masih duduk di
tempatnya. Ia segera lari ke arah rimbunan pepohonan,
di mana di balik rimbunan itu pasti terdapat sebuah
desa. Lanang sengaja melesat bagai bayangan cahaya
supaya cepat sampai di desa itu. Ia harus mencari kedai
buat mengisi perutnya.
Tetapi ia terkejut lagi, karena ketika ia tiba di tepian
desa, ia telah melihat seorang anak muda berpakaian
compang-camping, duduk bersila menunggu orang
lewat. Itu si pengemis kurus kerempeng tadi.
"Sial! Dia sudah ada di depanku?! Padahal aku
sudah berlari tidak sekedar berlari. Jurus Badai
Menghembus sudah kugunakan. Tapi nyatanya aku
kalah cepat dengan pengemis itu. Ia tahu-tahu sudah
menghadangku di sana."
Lanangseta sengaja lewat tanpa berhenti di depan
pengemis muda itu. Ia berlagak tidak tahu kalau
pengemis itu ada di situ. Namun, tak urung ia tetap
mendengar ucapan pengemis itu seperti tadi juga:
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanang pura-pura tidak mendengar. Lalu pengemis
muda itu melanjutkan kata, "Sedikit sedekah, Tuan,
semoga menjadi berkah. Kasihanilah saya... sudah
beberapa hari tidak makan...."
Sambil berjalan terus tanpa berpaling, Lanangseta
berkata dalam hati, "Dia bukan pengemis sembarangan.
Anak muda itu pasti punya maksud tertentu di
depanku. Ah, biarlah, aku tak mau banyak urusan
dengannya."
Lanangseta tiba di depan kedai yang pengunjungnya
tak begitu banyak. Perutnya mengkerukuk menahan
lapar. Maka ia pun segera masuk ke kedai yang cukup
besar itu. Tapi baru tiba di depan pintu masuk, tahu-
tahu ia melihat pengemis muda itu sudah duduk
bersila, seakan sudah dari tadi ia berada di situ. Gila!
Dan waktu Lanangseta hendak lewat di depannya,
Lanang sudah tahu apa yang ia dengar dari mulut
pemuda kurus itu.
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanang segera menyahut, "Sedikit sedekah, Tuan,
semoga menjadi berkah... kasihanilah saya... sudah
beberapa hari tidak makan...."
Maksudnya Lanangseta mengejek pengemis itu,
menirukan kata-kata tersebut, sekaligus menunjukkan
bahwa ia sudah bosan mendengar ucapan si pengemis
muda. Tetapi di luar dugaan, ada pengunjung kedai
yang mendengar ucapan Lanangseta tadi. Sambil
menggerutu, pengunjung itu melemparkan sekeping
uang kepada Lanangseta, "Uhh... masih muda, gagah,
kuat, kok mengemis. Nih, ala kadarnya saja...!"
Tangan Lanangseta tak sadar menangkap sekeping
uang tersebut dengan mulut terbengong. Orang itu
mengira Lanang sedang mengemis kepadanya. Dan...
dan Lanang bingung dengan uang tersebut. Akhirnya ia
melemparkan uang itu, jatuh di tangan pengemis muda,
lalu Lanang segera mendekati orang berkumis yang
melemparkan uang tadi.
"Bukan saya yang meminta sedekah, tapi pemuda
it...." Lanangseta kebingungan sendiri. Pengemis muda
itu menghilang dengan cepat. Jari tangan Lanangseta
menunjuk tempat yang sudah kosong. Tentu saja orang
berkumis yang melemparkan uang kepada Lanang
hanya mencibir, seraya berkata, "Alaaah... pakai alasan
segala. Ngemis ya ngemis!"
Tentu saja Lanangseta jadi salah tingkah. Hanya
gara-gara hal seperti itu, masa' ia harus berdebat
dengan orang berkumis. Nanti apa kata orang: Datang-
datang dikira cari keributan. Maka, Lanangseta tak
menghiraukan kata-kata orang itu lagi. Ia segera
mencari tempat dan memesan makanan serta minuman
untuknya. Tetapi ia masih penasaran dengan pengemis
muda yang membuatnya terkecoh tadi. "Ke mana
perginya anak itu?"
Pemilik kedai menghidangkan nasi dengan dua
potong paha ayam goreng. Minumannya... segelas air
putih. Lalapnya, sambal terasi dengan daun kemangi
dan ketimun mentah. Tak lupa pemilik kedai juga
menyediakan kendi air yang diletakkan tak jauh dari
jangkauan tangan Lanangseta.
Mendadak Lanang membelalakkan mata, ia melihat
pengemis muda yang kurus kerempeng dengan pakaian
compang-camping itu duduk pula di salah satu meja
kosong. Letaknya di depan Lanang, agak serong ke arah
kiri. Menyudut. Lanangseta memperhatikan dengan
diam-diam. Perasaannya sedikit heran, mengapa
pengemis itu memperhatikan ia juga secara diam-diam.
Siapa dia sebenarnya dan apa perlunya?
"Hah...?!" Lanangseta hampir saja berseru kaget.
Karena pada saat itu, ia melihat air dalam cangkir yang
belum diminum itu sudah habis mendadak. Ia
mengangkat cangkir itu, kalau-kalau bocor. Ternyata
tidak.
Lanangseta menuang air kendi ke cangkir itu, dan ia
segera makan dengan tenang. Tapi pada waktu ia harus
minum karena seret, tahu-tahu cangkir itu telah kosong
lagi.
"Gila! Apa-apaan ini?!" pikir Lanangseta sambil
melirik ke arah pengemis muda yang memperhatikan
dari sudut sana. Tampak seulas senyum tipis mekar di
bibir pengemis berkulit hitam dan berambut tak teratur
itu.
Lanang menggumam dalam hati, seperti menyimpan
suatu rencana. Lalu ia menuang kembali air kendi ke
dalam cangkirnya. Namun bersamaan dengan itu,
gerakan tangan cepat Lanang tak terlihat siapa pun
bahwa ia mencampurkan sedikit sambal terasi pada air
tersebut. Lalu, ia berlagak makan dengan tenang lagi.
Sesaat kemudian, ia mendengar suara orang terbatuk-
batuk dan megap-megap kepedasan. O, rupanya
pengemis muda itu kepedasan, padahal ia tak makan
nasi dengan sambal. Lanang melirik cangkirnya; O,
kosong!
Sekarang Lanang sudah jelas, bahwa pengemis itu
memang bukan pengemis sembarangan. Ia mempunyai
ilmu yang di luar dugaan orang, ternyata cukup hebat.
Ia dapat meminum air di cangkir orang lain dari jarak
jauh. Buktinya ketika minuman Lanang diam-diam
dicampur sambal, pengemis muda itu yang kepedasan
dan megap-megap. Lidahnya dikipasi dengan tangannya
sendiri. Di samping itu, ia juga mempunyai ilmu
mempercepat gerakan tubuhnya. Buktinya, tiga kali
lebih Lanang menemukan dia masuk duduk bersila di
depan langkah Lanang. Padahal waktu tadi, Lanang
sudah mencoba berlari melesat menggunakan ilmu
Badai Menghembus, nyatanya pengemis kurus
kerempeng itu bisa melebihi kecepatan jurus Badai
Menghembus.
Hemm... siapa dia sebenarnya? Apa maksudnya
memamerkan kehebatannya itu di depan Lanangseta?
Apakah ia tak tahu bahwa yang diikutinya itu murid
seorang dewa?
Lanangseta berpaling, seperti orang-orang itu,
melongok ke luar kedai. Di sana ada serombongan
manusia yang tengah mengarak seorang lelaki berikat
kepala kain batik warna hitam. Orang itu tidak
mengenakan baju, kecuali celana pangsi hitam. Kedua
tangannya diikat ke belakang. Dan ia berjalan dengan
didorong-dorong oleh beberapa orang bertampang galak.
Sesekali ia tersungkur rubuh, lalu diseret agar bangun
lagi, dan berjalan kembali. Selain orang-orang
bertampang galak, juga ada beberapa penduduk yang
mengikuti dengan wajah-wajah tegang dan perasaan
sedih yang tak sempat tercurah semuanya.
Salah seorang pengunjung kedai itu berkata kepada
temannya, "Wah, akhirnya mati juga Pak Lodang itu...."
"Memangnya kenapa sih?" tanya temannya.
"Gara-gara tidak membayar pajak ke Kanjeng
Adipati, akhirnya dia akan dihukum gantung, kan?
Padahal dia sudah kuingatkan, bayarlah pajak
penghasilan sawahnya kepada Kanjeng Adipati, supaya
ia tidak celaka. Eh, dia tetap tidak mau."
"Ck, ck, ck... kasihan dia, ya? Akhirnya nasibnya
seperti Marjan dan mak Idah. Digantung!" komentar
yang lain.
"Tapi... anak dan istrinya kok tidak kelihatan?"
"Yah, mungkin mereka sengaja tidak diberitahu oleh
kaki tangan Kanjeng Adipati Legowo. Biasa, bikin
kejutan!"
Istri pemilik kedai berlari-lari ke luar dari dapur dan
bertanya kepada suaminya, "Ada apa lagi itu, Pak?"
"Ada orang mau digantung."
"Hahh...?! Siapa?!"
"Pak Lodang...."
"Ya, Gustiii... kasihan amat nasibnya...." keluh istri
pemilik kedai dengan wajah sedih. "Lalu bagaimana
nasib istri dan anak gadisnya, si Mahani itu...? Ah,
kasihan sekali dia."
Otak Lanangseta merekam semua pembicaraan yang
didengarnya. Hatinya sempat ikut terharu melihat lelaki
kurus tanpa baju dengan punggung dan dada membilur
biru akibat bekas cambukan itu, didorong-dorong oleh
beberapa orang bersenjatakan golok. Mereka kasar-
kasar, dan tak mengenal belas kasihan.
Karena orang-orang dalam kedai ikut ke luar,
mendekati rombongan tersebut, maka Lanangseta pun
demikian. Ia ke luar dengan mata memandang orang-
orang kasar, menghitung dalam hatinya. Ada yang
berpakaian seperti warok, serba hitam dan memakai
ikat kepala batik hitam dengan bentuk khusus,
menyerupai sepasang tanduk. Orang itu berbadan
besar, memakai gelang akar bahar, berkumis melintang
tebal, alisnya juga tebal, dan matanya lebar membelalak
ganas. Ia mengenakan ikat pinggang sepertinya dari
sebuah tali halus, besarnya hampir satu genggaman
orang dewasa. Pada kedua ujung sabuk itu terjulur ke
bawah, hampir sebatas lutut. Warnanya merah
berseling hitam. Ia berjalan pada barisan paling
belakang. Langkahnya mantap, gerakan matanya penuh
kecurigaan. Orang itu agaknya memegang peranan
dalam rombongan tersebut. Buktinya, ketika
rombongan sampai di bawah tiang gantungan di sebuah
alun-alun yang tak jauh dari desa itu, barisan orang-
orang kasar terbelah menjadi dua jalur, dan orang
berkumis melintang itu berjalan dengan tenang
mendekati Pak Lodang.
"Siapa dia?" bisik Lanang kepada salah seorang
penduduk.
"Itu yang namanya Warok Sabuk Geni. Orang kuat di
dalam dalem kadipaten. Dia kan orang andalan Adipati
Legowo...."
Lanangseta mengangguk-angguk. Tiba-tiba dari arah
sampingnya nyeletuklah suara, "Namanya aneh, ya?
Nama kok pakai Borok. Ih, Borok Sabuk Geni. Sabuk
Geninya sih hebat, Boroknya yang menjijikkan."
Eh, ternyata pengemis muda yang kurus kerempeng
itu yang seakan mengajak bicara Lanangseta. Pengemis
itu kelihatan biasa-biasa saja, tidak seperti orang asing,
tidak juga menunjukkan kesedihannya seperti waktu
mengemis.
"Siapa yang namanya Borok?" Lanang sengaja
menimpali.
"Orang berbaju serba hitam itu, kan? Tadi katanya
bernama Borok Sabuk Geni."
"Bukan Borok, tapi... Warok! Warok Sabuk Geni."
"Ooo... tidak jadi Borok? Jadi sekarang diganti
Warok?"
"Bego...!" geram Lanangseta.
"Lho, kok tahu nama saya?" kata pengemis muda itu
sambil Cengar-cengir. "Sudah kenal nama saya, ya?
Wah, kalau begitu saya ini orang terkenal, ya? Hebat
juga saya ini."
Lanangseta melirik sinis. "Siapa yang mengenal
kamu?"
"Tadi...? Tadi Tuan memanggil saya: Bego... begitu.
Nah, mau mengelak nih...." Ia menuding-nuding
Lanangseta. "Mau menyanggah nih, ya? Tadi kan bilang:
Bego. Itu kan memanggil saya. Iya, kan? Iya toh?! Ah,
ngaku saja...!"
Ada beberapa mata sempat mengawasi pengemis
muda itu, sebab ia bicara dengan sedikit keras.
Lanangseta jadi tak enak. Ia semakin gemas jadinya,
tapi hanya ditahan kuat-kuat. Ia berkata setelah
pengemis muda itu diam.
"Memangnya namamu Bego?"
"Iya. Nama saya Jaka Bego. Tuan kenal dari mana?
Mungkin teknik mengemis saya Tuan kagumi ya,
sampai-sampai Tuan melacak nama saya dan... ingin
belajar, ya?"
Lanangseta tak banyak komentar. Diam dengan
meredam kedongkolan. Matanya memandang ke depan,
di mana mereka menyiapkan segala perlengkapan
untuk menggantung Pak Lodang. Lanangseta bergeser
dari antara kerumunan orang, lebih mendekati ke
depan, supaya jelas. Tapi pengemis yang mengaku
bernama Jaka Bego itu ternyata juga ikut bergeser ke
depan, terus mepet Lanangseta, bagai tak mau
berjauhan.
"Kasihan orang itu, ya? Saya melihat wajah tak
bersalah sedang dikalungi tali gantungan...." bisik
pengemis itu.
Sebenarnya Lanangseta tahu, pengemis itu berbicara
kepadanya, tapi ia berlagak tidak mendengar. Ia ada
yang mendorong dari belakang, hingga rombongan yang
ada di depannya sampai memisah dan Lanang bisa
masuk lebih ke depan lagi.
Pada saat itu, yang namanya Pak Lodang sudah naik
ke atas bangku bundar, lehernya sudah berkalung tali
gantungan, dua orang penjaga berbadan besar dan di
samping kanan-kirinya. Sementara itu, yang bernama
Warok Sabuk Geni berbicara kepada massa.
"Ingat, ini sebagai peringatan buat kalian. Barang
siapa tidak membayar pajak penghasilan sawah, atau
kebun, maka hukumannya adalah seperti Pak Lodang
ini. Digantung! Mengerti?!"
Tak ada jawaban satu pun dari penduduk yang
berkerumun, Masing-masing rupanya dicekam
perasaan sedih dan takut. Dan Warok Sabuk Geni tak
mau menunggu jawaban lebih lama lagi. Ia menganggap
semua penduduk sudah mengerti. Lalu ia perintahkan
kepada dua pengawal berbadan besar yang ada di
kanan-kiri Pak Lodang.
"Hukuman gantung... kerjakan!"
"Tunggu...!" Ada suara berseru, dan kedua pengawal
tak jadi menyeret bangku yang dipakai berdiri Pak
Lodang. Suara itu datangnya dari Lanangseta, yang
kemudian maju mendekati Warok Sabuk Geni.
"Berapa uang yang harus dibayar oleh orang itu
untuk melunasi pajaknya?" tanya Lanangseta dengan
sopan dan hormat.
Warok Sabuk Geni kelihatan menggeram jengkel.
Matanya yang lebar dan memerah itu memandang
penuh curiga. Lalu jawabnya dengan kasar, "Lima ratus
keping!"
Lanangseta memandang Pak Lodang sebentar, lalu
berkata, "Bebaskan dia, aku akan membayarnya
sebanyak enam ratus keping kepadamu, Ki Warok."
"Hahh?!" semua orang terperanjat, demikian juga
Warok Sabuk Geni. Sementara itu, Jaka Bego bertepuk
tangan kegirangan. Lalu, penduduk jadi ikut bertepuk
tangan semua.
"Tidak bisa!" kata Warok Sabuk Geni. "Waktu
pembayaran sudah terlambat, sekarang yang ada waktu
penghukuman!"
Jaka Bego berseru, "Huhhh...!" Orang-orang ikut
berseru bersahutan, "Huhh...! Huuhh...! Uuuhh...!"
***
3
WAROK SABUK GENI membentak orang-orang yang
saling 'ha-hu, ha-hu' itu. "Diam...!"
Bentakannya cukup menggetarkan sekian banyak
orang yang ada dalam kerumunan itu. Mereka menjadi
bungkam mendadak bagai jangkerik terinjak. Sepi.
Wajah-wajah takut tergambar jelas dan Warok Sabuk
Geni semakin garang.
"Orang ini harus dihukum karena kesalahannya! Tak
ada ampun! Tak ada tebusan! Tak ada ganti rugi!" Mata
Warok yang merah membelalak, bagai mau loncat,
memandangi mereka satu persatu. Lanangseta tetap
tenang, kedua tangannya dilipat di depan dada. Dengan
seenaknya ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kutebus
dengan uang tujuh ratus keping?" suaranya pelan, tapi
jelas. Semua telinga mendengarnya. Pengemis muda
yang mengaku bernama Jaka Bego menyahut, "Iya.
Tuh, sudah naik. Dari enam ratus keping menjadi
delapan ratus keping. Apa tidak buaaanyak yang
segitu?"
Lanang melirik dengan dongkol. "Siapa yang bilang
delapan ratus keping?"
"Lho, tadi katanya mau ditebus delapan ratus
keping?" Jaka Bego bertampang bingung.
"Tujuh ratus!" geram Lanangseta, seakan ingin sekali
menampar mulut Jaka Bego.
"O, tujuh ratus? Kok nggak jadi delapan ratus?"
"Bayarlah sendiri kalau dia memang mau delapan
ratus."
"Boleh saja," jawabnya di luar dugaan Lanang. Ia
bahkan berkata kepada Warok, "Bagaimana? Delapan
ratus?"
Warok Sabuk Geni membentak kasar, "Tidak! Tidak
ada, penebusan, tau?!"
"Ya, sudah! Jangan ngotot!" Jaka Bego bagai tak
sadar, ganti membentak Ki Warok. Sudah tentu
membuat Warok Sabuk Geni menjadi semakin marah.
Dengan langkah mantap dihampirinya Jaka Bego. Lalu,
ditamparnya keras-keras wajah Jaka Bego. "Plak...
plak...!" Kemudian ditinggalkan berdiri di tempat
semula.
Jaka Bego meringis kesakitan sambil mengelus-elus
pipinya. Ia menyenggol lengan Lanangseta yang tetap
berdiri dengan tenang, memandang Pak Lodang yang
pucat pasi. Lanang bagaikan tak melihat kejadian itu.
Jaka Bego menyenggol lengan Lanangseta lagi dan
berbisik dalam sebuah rengekan.
"Saya ditampar...." ia bagai mengadu.
"Aku tahu," jawab Lanang dengan tetap pada posisi
semula. Ia tidak berpaling ke arah Jaka Bego sedikit
pun. "Sakit...."
"O, iya. Tentu sakit," jawab Lanang masih tanpa
memandang sedikit pun ke arah Jaka Bego.
"Kok tidak dibela?"
"Aku sedang asyik menantikan saat penggantungan
Pak Lodang itu." Senyum sinis mekar di bibir Lanang.
"Warok itu akan kecele! Pak Lodang tidak akan mati
digantung."
"Kok bisa?"
"Lihat saja...!"
Pada saat itu, Warok berseru kepada kedua penjaga
yang bertugas menarik bangku tempat berdiri Pak
Lodang. Jika bangku itu ditarik, maka seketika itu
tubuh Pak Lodang akan tergantung, lingkaran tali akan
mengencang dan mencekik lehernya.
"Gantung dia! Kerjakan!"
Maka betul juga dugaan orang-orang, kedua penjaga
itu menarik dan mendorong kursi itu satu arah. Kaki
Pak Lodang terlepas dari bangku dan... dan anehnya
tubuh Pak Lodang tidak bergerak turun seperti dugaan
mereka semua.
Tubuh Pak Lodang masih tetap, seperti pada saat ia
masih berdiri di atas bangku tadi. sudah tentu, tali
gantungan tidak menjadi kencang, dan tidak menjerat
leher..
Semua mata terperanjat kaget. Semua orang terpekik
seketika, kecuali Lanangseta yang tetap tenang.
Sedangkan Pak Lodang sendiri masih berkedip-kedip
matanya, ia bagai berdiri pada satu penopang kaki.
Bahkan ketika kedua pengawal yang menarik bangku
tadi kini menarik-narik kaki Pak Lodang, ternyata orang
tua yang digantung itu kakinya masih tetap tak mau
turun. Masih mengambang pada tempatnya. Dua orang
pengawal menarik kuat-kuat sampai mukanya merah
dan ototnya keluar semua. Tetapi tubuh Pak Lodang
tetap mengambang seperti orang terbang. Bahkan
sampai-sampai kedua pengawal bertubuh besar itu
bergelantungan pada kaki Pak Lodang, namun tubuh
tua tanpa baju itu tetap tak bergerak sedikit pun.
Warok Sabuk Geni mulai naik pitam. Giginya
gemeratak menahan luapan kemarahan. Matanya
semakin merah, kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
Semua orang-orangnya sibuk menarik-narik kaki Pak
Lodang, tapi tetap saja mereka tidak bisa menurunkan
tubuh Pak Lodang. Gumam orang-orang seperti seribu
lebah hendak bertelur. Hal itu menambah kegeraman
dan kemarahan Warok Sabuk Geni.
Jaka Bego tertawa kecil. "Syukur...!" katanya seperti
orang tak sadar berbicara.
Eh, tahu-tahu penduduk yang menyaksikan hal itu
saling bersahutan dan berseru, "Syukur...! Syukur...!
Syukurin...!"
Mereka tak tahu kalau Lanangseta sudah pergi
meninggalkan kerumunan itu. Jaka Bego sendiri masih
tak sadar kalau dirinya sudah tidak di samping
Lanangseta. Jaka Bego semakin bersemangat
meneriakkan kata, "Syukurr...!" Suaranya cempreng
dan paling keras kedengaran di telinga ki Warok.
Kontan, Ki Warok menamparnya dengan kemarahan.
Jaka Bego ketakutan, ia berlari menerjang sekumpulan
orang di belakangnya.
"Tangkap anak ingusan itu!" perintah Ki Warok
dengan suaranya yang menggelegar. Maka, anak
buahnya yang bertampang kasar semua itu segera
berlarian mengejar Jaka Bego. Anehnya, semua orang
jadi ikut berlarian tak karuan. Mereka ketakutan
sendiri, dan lari tunggang langgang, bersimpang siur
tak karuan sehingga memusingkan para pengejar Jaka
Bego. Ada yang saling berbenturan dan sama-sama
nyungsep ke tanah.
Di tiang gantungan tinggal Pak Lodang dan Warok
Sabuk Geni. Diam-diam Warok juga ikut mencoba
menarik kaki Pak Lodang, tapi tidak berhasil. Sekali lagi
Ki Warok mengerahkan tenaganya untuk menarik
tubuh Pak Lodang biar turun dan tercekik tali, tapi
sampai berulangkali ternyata tak berhasil. Warok takut
ketahuan penduduk lainnya, maka ia segera bersikap
biasa-biasa saja, seolah-olah tidak pernah mencoba
menarik kaki Pak Lodang. Sedangkan ketika Warok
berjalan menjauhi tiang gantungan, Pak Lodang
berteriak-teriak antara ketakutan dan kebingungan.
"Tolong...! Tolong nasib saya ini bagaimana? Kalau
mau mati ya matilah kalau mau selamat ya
selamatlah...!"
Tapi tak seorang pun yang mendengar teriakan Pak
Lodang. Ia bagai dikatung-katungkan di sana, antara
hidup dan mati. Sedangkan hiruk-pikuknya penduduk
masih bersimpang siur mengacaukan para pengejar
Jaka Bego. Pada waktu itu, Jaka Bego sendiri lari tak
tentu arah. Sampai akhirnya ia pun tersudut di suatu
tempat, dan tiga orang kasar menghadang serta
mengepungnya.
"Jangan! Jangan sentuh aku...! Aku bukan gadis...!"
teriak Jaka Bego. Ketiga orang kasar itu makin
mendekat. Jaka Bego segera memungut batu. Ia
melemparkan batu itu dengan kuat-kuat. "Wess...!"
Batu berhasil dihindari oleh salah seorang pengejarnya.
Namun di luar dugaan, batu itu meluncur terus, dan
mengenai tali gantungan. Herannya lagi, tali itu putus
seketika, dan tubuh Pak Lodang pun jatuh ke tanah. Ia
meringis kesakitan, karena pantatnya terbentur tanah
dengan keras.
Pada saat itu, Jaka Bego sedang mencoba menerobos
kepungan pengejarnya. "Bross...!" Dan ia berhasil
menerobos kepungan itu, kemudian lari tak karuan
arahnya. Kadang berlindung di balik pohon, kadang lari
memutari seorang pengejar lain, sehingga pengejar itu
jadi pusing sendiri. Akhirnya berhenti, tidak mengikuti
gerakan Jaka Bego. Tapi pengejar lainnya masih
berusaha menangkap Jaka Bego. Anak itu cepat larinya,
dan licin dipegangnya bagai belut sawah. Bahkan ia
sempat berhenti sebentar menghadapi pengejar dari kiri
dan kanan. Lalu, ia segera merunduk ketika kedua
pengejar itu berusaha menubruknya. Akibatnya, kedua
pengejar itu saling bertabrakan dan jatuh semua.
Kepala mereka sempat benjol akibat benturan sesama
kepala.
"Tawanan hilaaang...! Tawanan hilaaang...!" teriak Ki
Warok dengan keras. Semua anak buahnya terkejut,
berhenti mengejar Jaka Bego. Hal itu digunakan oleh
Jaka Bego untuk bersembunyi di balik sebuah pohon
besar.
Para anak buah Ki Warok berdatangan mendekati
atasannya. Warok Sabuk Geni kelihatan memuncak
kemarahannya. Matanya melebar dan nyaris wajah itu
seakan menjadi mata semua, hidung dan mulutnya
bagaikan tertutup lebarnya mata.
"Tawanan kita, Si Lodang... mana dia? Mana, ha?
Hilang kan? Hilang...! Goblok semua!" Warok Sabuk
Geni memarahi anak buahnya yang berkumpul. "Kita
bisa ganti digantung Kanjeng Adipati Legowo kalau
begini caranya! Brengsek!"
Kemudian, ada anak kecil usia kurang dari 10
tahun. Anak itu berlari mendekati Ki Warok, dengan
berani anak itu berkata, "Ki Warok... tadi saya lihat
orang yang mau digantung lari...."
"Lari ke mana? Ke mana?!" bentak Warok tak sabar.
"Ke sana...! Jauh," jawab anak kecil itu.
"Kejar ke sana! Cepat!"
"Tidak mau, ah...!" kata anak kecil.
"Aku tidak memerintahkan kamu, Tikus Kecil! Aku
menyuruh anak buahku itu! Goblok...!"
Anak kecil itu tersentak kaget ketika dibentak
terakhir kalinya. Kemudian, semua anak buah Warok
Sabuk Geni berlarian ke arah yang ditunjuk anak kecil
itu. Warok Sabuk Geni ikut ke arah itu dengan berjalan
cepat. Dan... keadaan pun menjadi sepi. Orang-orang
kasar telah pergi bersama pimpinannya. Jaka Bego ke
luar dari persembunyiannya. Matanya jelalatan kian-ke
mari, rupanya ia mencari Lanangseta yang telah
meninggalkan dia. Lalu, pikirannya teringat pada kedai
dan nasi serta dua potong paha ayam goreng yang tadi
belum sempat dimakan Lanangseta. Ia segera
menghampiri kedai yang tadi, untuk mengambil bagian
makanan Lanangseta.
Ketika sampai di kedai yang tadi, Jaka Bego
terbengong, sebab Lanang sedang duduk di tempat
semula. Malahan kali ini ia ditemani Pak Lodang. Dua
potong paha ayam goreng itu sudah di tangan Pak
Lodang yang tampaknya kelaparan.
"Lho, Pak Lodang sudah di sini? Tadi dicari-cari
sama Ki Warok tuh...." tegur Jaka Bego seakan sudah
mengenal Pak Lodang dengan akrab. Kemudian Jaka
Bego bergegas pergi, namun Lanangseta sempat
menegurnya cepat, "Hei, mau ke mana kamu?!"
"Mau memberi tahu Ki Warok kalau Pak Lodang ada
di sini. Mereka mencarinya ke sana, dikira Pak Lodang
lari ke sana. Tidak tahunya...."
Pak Lodang ketakutan, sedangkan Lanangseta segera
mengancam dengan kata-kata, "Larilah ke sana dan
beritahukanlah kepada Ki Warok, kalau kakimu ingin
patah keduanya. Silahkan."
Jaka Bego bersungut-sungut, dan kembali
mendekati mereka. Ia duduk di dekat Pak Lodang yang
berhenti makan, karena takut dengan tindakan Jaka
Bego.
"Kenapa tidak jadi memberitahu Ki Warok?" tanya
Lanang.
Jaka Bego menggeleng sambil murung, "Saya
diancam!"
"Sama siapa?"
"Sama orang gila." lalu ia menggerutu, "Kaki bagus-
bagus mau dipatahkan."
Lanangseta hanya tersenyum sinis. Lalu, kembali
berbicara dengan Pak Lodang.
"Tenangkan hati Bapak di sini." Pak Lodang
mengangguk. Lanang bicara lagi, "Keserakahan dan
kelaliman yang ada di desa ini anggaplah suatu selingan
hidup. Jangan terlalu ditakuti."
"Kenapa Ki Warok menolak uang tebusan pajak itu?
Bukankah Pak Lodang dihukum gantung karena tidak
membayar pajak penghasilan sawah?"
Pak Lodang menjelaskan kepada Jaka Bego,
"Sebenarnya bukan karena tidak membayar pajak
semata yang membuat saya digantung. Ada persoalan
lain antara saya dengan Kanjeng Adipati Legowo."
Lanangseta dan Jaka Bego saling pandang dan
manggut-manggut. Mereka mulai jelas apa sebenarnya
yang sedang terjadi di hadapan mereka.
"Persoalan apa itu, Pak Lodang?" tanya Lanangseta.
"Bukan karena pajak yang tak mau saya bayar,
melainkan karena Mahani, anak gadis saya yang tinggal
seorang itu," jawab Pak Lodang dengan menampakkan
kemurungannya.
"Ooo... Jadi, Pak Lodang punya anak gadis?
Namanya Makroni...?" Jaka Bego menimpali, dan segera
disergah Lanangseta.
"Hei, bukan Makroni. Namanya Mahani...! Budeg!"
"O, namanya tidak jadi Makroni? Siapa tadi...?
Mahani?"
"Ya," jawab Pak Lodang setelah meneguk air minum.
"Dulu saya punya tiga anak, yang dua lelaki. Tapi nasib
mereka mati di tangan anak buah Warok Sabuk Geni.
Dan sekarang tinggal satu, perempuan. Mahani itu. Dia
akan diambil istri oleh Adipati Legowo, tepatnya akan
dijadikan gundiknya yang ke lima belas. Dan kami
sangat tidak setuju, kemudian kami menyembunyikan
Mahani demi keselamatan dirinya, demi masa depannya
juga."
"Dan karena itu Pak Lodang dihukum mati?" sela
Lanang.
Pak Lodang yang berwajah duka mengangguk.
Mengharukan sekali. Lanangseta menghela nafas,
demikian juga Jaka Bego yang dari tadi diam, bengong
melompong mendengarkan kisah Pak Lodang.
"Buat saya, lebih baik saya mati daripada hidup
Mahani hancur berkeping-keping."
"Sekarang di mana dia?"
"Ada dalam persembunyian. Kalau... kalau Ki Sanak
tidak keberatan, saya mohon diantar sampai di tempat
persembunyian kami...."
"O, tidak. Tidak keberatan sedikit pun," jawab Jaka
Bego. Lalu. Lanang pun mengangguk.
"Ya, rupanya Jaka Bego itu bersedia mengantar Pak
Lodang ke tempat persembunyian, sementara itu saya
akan di sini sampai sementara waktu."
"Wah, kok saya...." ujar Jaka Bego.
"Yang bilang tidak keberatan kan kamu."
"Iya, maksudku... sekalian sama sampean...! Kalau
saya sendirian, wah... ngeri. Nanti di jalan kepergok Ki
Warok, bisa ditampar dua kali lebih saya...."
"O, begitu? Kukira kau memang pemberani," ujar
Lanang.
Pak Lodang membawa Lanangseta dan Jaka Bego ke
rumahnya. Tetapi mereka datang lewat jalan belakang,
karena takut di depan rumah sudah dijaga anak buah
Warok Sabuk Geni. Di belakang rumah itu, yang
agaknya berukuran lebar dengan bentuk bangunan
tergolong mewah, ada sebuah sumur tua yang sudah
tidak dipakai. Permukaan sumur itu ditutup oleh
dedaunan kering sehingga tampak kurang menarik. Pak
Lodang membuka dedaunan kering itu sehingga lobang
sumur terlihat jelas. Kotor dan lembab.
"Kita masuk lewat sini," kata Pak Lodang.
Jaka Bego terbelalak. "Kita disuruh bunuh diri?"
"Tidak, Jaka Bego... Ini jalan menuju persembunyian
Mahani dan istri saya."
"Ooo...." Jaka Bego manggut-manggut.
"Mari, ikuti saya. Kita jangan sampai terlambat.
Takutnya kalau anak buah Ki Warok ada yang
melihatnya...."
Kemudian Pak Lodang menuruni tangga batu yang
menuju ke dasar sumur. Lanang memberikan
kesempatan kepada Jaka Bego untuk turun lebih dulu
setelah Pak Lodang.
"Aku takut tergelincir. Sumur ini biar tua tapi masih
berair. Dan airnya kotor. Saya tak bisa menyelam."
"Kalau begitu, kau tunggu saja di atas sampai aku
dan Pak Lodang selesai berbicara."
"Nanti kalau anak buah Ki Warok mengetahui aku di
sini, terus bagaimana? Ah, lebih baik aku turun saja
daripada ditampar lagi...." katanya seraya Jaka Bego
pun ikut turun dengan hati-hati.
Rupanya mereka tidak harus menyelam di air
sumur. Sebelum mereka sampai pada permukaan air
sumur, mereka sudah harus masuk ke sebuah lobang
besar yang menembus dinding sumur. Ternyata itu
adalah pintu yang membawa mereka ke ruangan
rahasia di dasar sumur. Ruangan itu cukup luas, dan
agaknya dibangun dalam waktu lama. Mungkin sudah
dipersiapkan jauh-jauh hari. Ada meja dan kursi, ada
dipan berkasur, ada almari pakaian model kuno dan
ada barang-barang berharga atau perabot lainnya yang
menandakan bahwa ruangan rahasia itu dibangun
sudah sejak lama. Dipersiapkan khusus untuk
bersembunyi.
Di situ ada tiga orang perempuan. Istri Pak Lodang
adalah perempuan berkebaya biru kusam, sedangkan
gadis yang bernama Mahani itu mungkin yang
mengenakan kain dodot sebatas dada yang dirangkapi
kebaya tipis. Mereka berdua sedang memeluk Pak
Lodang dalam tangis keharuan. Sedangkan seorang
perempuan lain, bertubuh pendek dan mengenakan
kain sedengkul serta kebaya lusuh itu, mungkin
pembantu keluarga Lodang.
Lampu minyak dan obor cukup menerangi ruangan
tersebut. Mata Jaka Bego menyapu ruangan itu dengan
terheran-heran.
"Seperti sarang penyamun saja, ya?" bisik Jaka Bego,
tapi tidak ditanggapi Lanangseta.
Kemudian Lanangseta diperkenalkan dengan istri
dan anak gadis Pak Lodang: Mahani. Belakangan
kemudian diketahui bahwa perempuan berkain
sedengkul dengan kebaya lusuh itu adalah pelayan Pak
Lodang, yang khususnya melayani Mahani.
Jaka Bego bersalaman dengan istri Pak Lodang dan
Genduk, pelayan itu, secara cepat. Sedangkan waktu
bersalaman dengan Mahani sengaja diperlama. Bahkan
ia sempat cengar-cengir seraya meremat-remat jari
tangan yang lentik itu. Mahani meringis kesakitan,
Lanangseta menepak punggung Jaka Bego, kemudian
Jaka Bego melepaskan jabat tangannya itu.
Gadis bernama Mahani mempunyai bulu mata yang
lentik. Matanya sedikit lebar, namun kelihatan serasi
dengan bentuk hidungnya yang bangir. Mata itu
sesekali mencuri pandang dengan takut-takut ke arah
Lanangseta. Rambutnya yang terurai sepanjang
pinggang itu tampak indah. Hitam legam dan lemas.
Berkilau bagai permata hitam. Sesekali pula ia
membetulkan letak kebaya tipisnya agar tak kelihatan
bentuk belahan dadanya yang membusung padat itu. Ia
duduk di ujung meja, sementara Lanangseta duduk di
ujung meja yang satu, sehingga tak sengaja mereka
telah duduk saling berhadapan. Gadis berkulit sawo
matang dengan wajah desa yang lugu tapi manis itu
sesekali menghela nafas, entah ada perasaan apa yang
membuat nafasnya kelihatan sesak dan berat dihela.
Sedangkan Lanangseta yang mengetahui gerakan mata
indah itu, hanya diam saja. Lanangseta sengaja
bersikap tenang, seakan tidak menghiraukan gadis
manis itu. Ia berlagak lebih serius mengikuti
pembicaraan Pak Lodang yang menuturkan kisah
keluarganya dari sejak beberapa tahun lalu.
"Kami sebenarnya dari keluarga Adipati," kilah Pak
Lodang yang membuat Jaka Bego berbengong-bengong.
"Kakek kami adalah Raden Mas Panji Gading. Pada
masa itu, Kadipaten Branjangan Wilis ini diperintah
oleh beliau. Namun beberapa tahun kemudian, Legowo
muncul dan merebut tahta Kadipaten dengan
menghasut rakyat dan raja. Mungkin hal itu dilakukan
oleh Legowo untuk membalas dendam atas hukuman
yang dijatuhkan kepada ayahnya, yang membuat ayah
Legowo dibuang ke sebuah pulau akibat kesalahannya.
Dan dalam tempo beberapa saat kemudian, maka
tumbanglah pemerintahan Adipati Panji Gading, diganti
oleh Adipati Legowo. Kemudian, ia mempersulit ruang
gerak keluarga dan keturunan Panji Gading,
menjatuhkan hukuman mati dengan kesalahan yang
dicari-cari. Tujuannya hanya untuk memusnahkan
keturunan Panji Gading. Musibah itu, kini sedang
menimpa keluarga saya. Kedua anak lelaki saya dijatuhi
hukuman mati karena berkelahi dengan anak buah
Warok Sabuk Geni. Dan sekarang... Mahani yang akan
dijadikan korban nafsu binatang Legowo. Kami
mempertahankan Mahani, sebab dialah keturunan
terakhir dari keluarga Panji Gading saat ini...."
Lanangseta manggut-manggut dan menahan
kedongkolan mendengar kekejaman Legowo. Istri Pak
Lodang menyahut, "Kami ingin melarikan diri ke desa
Tayub, di pesisir pantai Selatan. Tetapi, kami takut
dibunuh anak buah Warok dalam perjalanan ke sana."
Pak Lodang menimpali, "Ya... kami punya paman di
desa Tayub, yang sudah bukan wilayah Kadipaten
Branjangan Wilis. Tapi untuk menuju ke sana, sangat
berbahaya. Padahal di sana kami akan hidup aman dan
tenang, meski kami sudah bukan keluarga Adipati lagi."
Semua tercenung, semua membisu. Sesekali mata
gadis manis itu masih mencuri pandang. Lanang tetap
diam saja.
Kata Pak Lodang setelah saling membisu sesaat,
"Kalau nak Lanangseta tidak keberatan, tolong antarkan
kami ke desa Tayub. Kami sangat membutuhkan
tempat yang aman untuk kehidupan keturunan kami
selanjutnya...."
***
4
LANANGSETA memilih waktu tengah malam untuk
keluar dari Desa Puger. Bahkan menjelang dini hari,
Lanangseta dan keluarga Lodang telah meninggalkan
perbatasan Desa Puger yang dijaga oleh beberapa orang
Kadipaten. Hanya saja, waktu itu para penjaga sedang
tertidur pulas, sehingga dengan selamat Lanangseta dan
keluarga Lodang berhasil keluar dari Desa Puger.
Namun apakah itu berarti mereka telah aman dari
keganasan dan kekasaran orang-orangnya Legowo?
Belum. Mereka memang menuju ke desa Tayub, di
pesisir pantai Selatan. Tapi jaraknya cukup jauh,
sedangkan perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan
Wilis juga masih jauh. Mereka harus mencapai Gunung
Pekayon, lalu melewati gunung itu, barulah mereka
akan berada di luar batas Kadipaten Branjangan Wilis.
Dan untuk mencapai ke sana membutuhkan waktu
kurang lebih sehari semalam.
Lanangseta sebenarnya ingin mengetahui siapa Jaka
Bego itu? Mengapa sekarang jadi lengket kepadanya
dan selalu mengikutinya? Apa yang dicari oleh Jaka
Bego itu? Tetapi agaknya Lanangseta belum mempunyai
waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu. Dia masih
membiarkan Jaka Bego mengikutinya terus, seakan
mendampinginya ke mana saja. Dan tenaganya masih
bisa dimanfaatkan untuk disuruh ini-itu oleh
Lanangseta. Ia bagai ingin mengabdi kepada Pendekar
Pusar Bumi yang sudah menyandang gelar Malaikat
Pedang Sakti. Sepanjang tidak terlalu menjengkelkan
dan tidak membuat keributan, Lanang masih
membiarkannya.
"Berhenti...!" seru suara dari balik semak belukar.
Lalu, dua orang bertampang bengis muncul dengan
satu loncatan yang mengagetkan Mahani. Gadis itu
segera memegangi ayahnya bagai minta perlindungan.
"Kalau tidak salah lihat, gadis itu memang benar
Mahani, Kakang Sumo Belang!" ujar lelaki yang
memegang rantai bermata kampak tajam.
"Benar, Gendono...! Aku hapal betul dengan wajah
cantik calon garwo selir Kanjeng Adipati itu," ujar Sumo
Belang yang wajahnya separoh hitam, separohnya lagi
coklat.
Pak Lodang berbisik kepada Lanang, "Itu juga
termasuk orang andalan Legowo. Ia di bawah Warok
pangkatnya."
Lanangseta manggut-manggut dengan tenang. Sumo
Belang yang memegangi tombak bermata kampak ganda
itu mulai mendekat, diikuti orang yang bernama
Gendono bersenjata rantai yang ujungnya bermata
kampak juga.
Mahani bergeser, merapat ke ayahnya, demikian
pula Mak Lodang dan Genduk. Hanya saja, Genduk
lebih merapat ke Jaka Bego, sehingga Jaka Bego
menjadi risi dibuatnya.
"Tempat lega kok mepet-mepet sih...?!" hardik Jaka
Bego kepada Genduk. Perempuan pendek sedikit gemuk
itu hanya cemberut dan bersungut-sungut, lalu
mencoba merenggangkan jarak dengan Jaka Bego.
"Mau ke mana kalian, hah...?! Mau kabur ke mana
Mahani?!" hardik Sumo Belang yang berdiri tegak dan
bertolak pinggang dengan tangan sebelah memegangi
tombak kampak ganda.
"Apa urusanmu menanyakan hal itu?" kata
Lanangseta dengan sikap biasa-biasa saja.
"Aku bertanya kepada Mahani, bukan kepada seekor
monyet!" bentak Sumo Belang. "Mau ke mana kau,
Mahani?!"
"Mau lari ke desa Tayub!" celetuk Jaka Bego dengan
lantang, seakan ia telah bicara dengan berani dan
benar. Lanangseta mendekati Jaka Bego dengan geram.
Ia menginjak kaki Jaka Bego dan berkata gemas,
"Jangan bicara seenak mulutmu, Bego! Itu rahasia kita!"
"O, ya... maaf. Aku lupa." Kemudian Jaka Bego
memandang berani kepada Sumo Belang dan berkata,
"Eh, kami tidak pergi ke desa Tayub! Tidak ke sana!
Sebab itu rahasia yang tidak boleh diomongkan, tahu?!"
"Aduuuh... Jaka Bego kok ngomong begitu...?!"
Mahani berbisik penuh kecemasan. "Lanangseta,
bagaimana ini?!"
"Tenanglah, Mahani," kata Lanang kalem, sambil di
mulutnya ia masih menggigit-gigit sehelai ilalang.
Genduk ikut cemas. "Jaka Bego... bagaimana ini?!"
"Diamm...!" bentak Jaka Bego. Padahal yang
diharapkan Genduk adalah jawaban sekalem Lanang
terhadap Mahani tadi. Akhirnya Genduk hanya
cemberut dan bersungut-sungut lagi.
"Kami harus membawa Mahani, sebab dia adalah
calon istri Kanjeng Adipati Legowo. Dia tak boleh ke
mana-mana!" kata Gendono seraya mempermainkan
rantainya.
"Tidak bisa!" jawab Jaka Bego dengan lantang dan
berani. "Mahani harus disembunyikan! Mahani tidak
boleh kawin dengan si Legowo...!"
"Keparat kau!" geram Gendono.
"Iya. Memang keparat. Mau apa kalian, ha?" tantang
Jaka Bego.
Lanang tenang, mendekati Jaka Bego dan berbisik,
"Kau berani...?"
Jaka Bego berpaling dan menatap dengan wajah
sedih. Ia menggeleng. "Tidak, ah...!"
"Kok suaramu sekeras kaleng rombeng?!"
"Aku cuma menantangkan buat kamu...."
"Aku tidak ingin berkelahi melawan mereka. Kamu
tahu, senjata mereka itu cukup berbahaya. Kepalamu
bisa dipenggal dengan kampak itu, tahu?"
Jaka Bego berwajah takut dan bergidik merinding.
"Hii... ngeri, ya?"
Tiba-tiba terdengar suara Sumo Belang. "Gendono...!
Seret gadis itu kembali ke kadipaten!"
Gendono maju. Pak Lodang dan istrinya cemas,
apalagi Mahani, ia semakin kuat memegangi ayahnya.
Jaka Bego segera bersembunyi di balik tubuh
Lanangseta yang kekar. Lanang bergerak kebingungan
karena pinggangnya bagai digelitik tangan Jaka Bego.
"Hei, hei... apa-apaan ini?! Bisa melorot celanaku,
Bego!"
"Mereka mau merebut Mahani. Lihat...!"
"Aauww... jangaaan...!" Mahani meronta di tangan
Gendono.
"Pancing dia supaya melepaskan Mahani, nanti aku
yang menghadapi Sumo Belang itu," bisik Lanangseta
kepada Jaka Bego. Maka, tanpa menunggu perintah
kedua kalinya Jaka Bego berlari menyerang Gendono
yang tengah berusaha menyeret Mahani dari tangan
ayah Mahani. Jaka Bego langsung menggigit tangan
Gendono yang memegangi lengan Mahani. Tentu saja
Gendono menjerit kesakitan, lalu mengibaskan tangan
yang digigit Jaka Bego. Kibasannya begitu kuat
sehingga Jaka Bego terpental ke belakang sampai
berjarak tiga langkah. Ia jatuh dengan pantat
membentur batang kayu kering.
"Kubunuh kau, Bocah edan...!" geram Gendono yang
kemudian mengibaskan rantai bermata kampak itu.
"Sreet...!" Rantai meluncur, ujungnya mengarah ke
wajah Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu
ketakutan, lalu berguling ke kiri. Tepat pada waktu itu
mata rantai mengenai kayu kering. "Craaak...!"
Jaka Bego buru-buru bangkit dan berusaha
melarikan diri. Namun rantai di tangan Gendono itu
ternyata bisa terulur menjadi panjang. "Sreeett...!" Jaka
Bego melompat ke kiri bagai sedang menubruk seekor
katak. Wajahnya membentur tanah berumput. Namun
terasa pedas juga di kulit wajah itu. Tetapi baginya itu
lebih baik daripada harus disambar ujung kampak yang
tajam berkilat itu.
"Biar kuurus anak setan ini, kau geret saja Mahani!"
seru Sumo Belang yang kemudian mengejar Jaka Bego.
Sementara itu, Gendono segera kembali ke Mahani.
Namun langkahnya terhenti, karena sekarang Mahani
sudah berada di belakang Lanangseta. Pendekar Pusar
Bumi itu berdiri dengan tegap, kakinya terenggang
mantap, sekalipun ia masih menggigit-gigit sehelai
ilalang dan mengisap-isapnya.
"Kau orang asing di Kadipaten kami! Jangan turut
campur urusan ini!" gertak Gendono.
"Aku tidak turut campur," jawab Lanangseta tenang.
"Minggir kalau begitu...! Biar kuseret gadis bandel itu
dan kuhadapkan ke Kanjeng Adipati Legowo. Minggir!"
"Silahkan singkirkan aku...! Dan ambillah Mahani...!"
Gendono menggeram, kemudian segera menyerang
Lanangseta dengan sebuah pukulan ke depan.
Lanangseta tak menangkis, namun mengelak dengan
cara menggerakkan kepalanya ke samping kiri dan
badannya pun ikut meliuk. Pukulan Gendono mengenai
tempat kosong. Pada saat tangan Gendono molos ke
samping kanan Lanangseta, kaki Lanang yang kanan
bergerak cepat. Ujung kaki terangkat jarinya, dan
dengan mantap menendang ulu hati Gendono.
"Huhhgh...! Setan kau...! Hiaaaat...!"
Gendono mengibaskan tangannya bagai pedang yang
sedang membabat leher, dan dengan cepat kepala
Lanangseta meliuk ke bawah, lalu tegak lagi setelah
tangan itu melesat menuju tempat kosong. Lalu, pada
saat itu pula kaki Lanang menginjak kaki Gendono.
Dengan gerakan merendahkan badan, tangan Lanang
menghantam keras rusuk Gendono.
"Aaahh...!" Gendono mengaduh. Tubuhnya tak bisa
bergerak mengelak karena kakinya diinjak Lanangseta.
Tapi kini, sekali lagi Lanangseta memukul kuat dan
keras rusuk Gendono sambil melepaskan injakannya.
Dan begitu pukulannya menghantam rusuk Gendono,
tubuh itu melayang ke belakang dalam satu teriakan
kesakitan. Tubuh itu hilang keseimbangan, kemudian
jatuh bagai nangka rubuh dari atas pohon.
Lanang berjalan kalem ke arah yang bersifat
menjauhi Mahani sekeluarga. Sebab ia tahu Gendono
ingin melancarkan pukulan rantai bermata kampak itu.
Dugaannya memang tepat. Dalam keadaan belum
bangun dari tanah ia masih sempat memutarkan rantai
kampaknya yang dapat meluncur jauh itu. Lalu dengan
satu hentakan tertentu, rantai itu meluncur hendak
menghantam kaki Lanangseta. Dengan ringan tubuh
Lanangseta meloncat dan bersalto ke depan. Kakinya
jatuh di dekat Gendono. Kaki itu seketika menendang
muka Gendono dengan keras sekali, sehingga salah
satu giginya ada yang terlepas keluar.
"Wadoooww...!" teriak Gendono sambil menutup
mulutnya yang berdarah. Ia berguling sejenak dan
meraung kesakitan. Lanang membiarkan. Berdiri
dengan tegap dan bertolak pinggang tangan sebelah.
Mulutnya masih sibuk menggigit-gigit dan menghisap-
hisap sehelai ilalang.
Lanang menyempatkan melirik keadaan Jaka Bego.
Agaknya Sumo Belang merasa kewalahan menghadapi
Jaka Bego. Secara kebetulan setiap ia menebaskan
tombak bermata kampak ganda itu tubuh Jaka Bego
selalu dapat terhindar. Satu kali Jaka Bego berdiri
dengan wajah ketakutan, ingin bicara tapi lidahnya
kelu. Tangannya bergerak-gerak seakan mengatakan,
"Jangan... jangan bunuh saya...." Namun Sumo Belang
sudah terlanjur marah. Ia menusukkan tombaknya
dalam jarak hanya tiga langkah dari depan Jaka Bego.
Tetapi pada saat tombak bergerak cepat ke arah Jaka
Bego, tiba-tiba kakinya yang melangkah mundur itu
tersangkut akar semak dan ia terpelanting jatuh tepat
pada saat di mana ujung tombak seharusnya menancap
di dadanya. Akibatnya, tusukan tombak Sumo Belang
mengenai tempat kosong. Jaka Bego terguling di
rerumputan, kakinya tak sengaja menggaet kaki Sumo
Belang, sehingga di luar dugaan Sumo Belang sendiri
terpelanting jatuh. Pada saat itu Jaka Bego semakin
ketakutan. Ia segera bangkit dan menolong Sumo
Belang seraya berkata, "Maaf... maaf. saya tidak sengaja
kok. Sumpah! Tidak sengaja...." Ia mengulurkan tangan
hendak menolong Sumo Belang untuk bangkit. Tentu
saja hal itu menggemaskan hati Sumo Belang. Maka
kepala Jaka Bego pun segera dipegang. Rambutnya
yang acak-acakan ditarik sekuatnya ke arah lutut Sumo
Belang. Kepala Jaka Bego hendak dibenturkan dengan
lutut Sumo Belang, tetapi karena Jaka Bego meronta
dan berteriak kesakitan, akibatnya ia yang mencoba
berdiri itu jatuh tersentak ke bawah. Tak sengaja lutut
Jaka Bego menghantam mulut Sumo Belang dengan
keras.
"Aaoww...! Uuf... uff...!" Sumo Belang membuang
kepala Jaka Bego karena mulutnya terasa pecah
terkena dengkul anak itu. Jaka Bego terpental jauh dan
berguling-guling sambil berteriak ketakutan dan
kesakitan. Ia memegangi lututnya setelah mampu
berdiri. Ia meringis, merasakan sakit pada lututnya itu.
Sedangkan Sumo Belang masih af-uf, af-uf... menahan
sakit di bibirnya. Darah keluar dari bibir yang retak. Hal
ini menambah kemarahan yang meluap dari diri Sumo
Belang. Ia segera mengejar Jaka Bego.
Hampir saja Lanangseta terkena ujung rantai
Gendono karena ia tertawa geli melihat pertarungan
Jaka Bego dengan Sumo Belang. Untung gerakan reflek
dari kepala Lanangseta cukup sempurna, sehingga
mata kampak yang mengkilat itu mampu dihindari
dengan hanya merunduk. Dengan cepat tangan kiri
Lanangseta menyahut rantai itu. Gendono berusaha
mencabut kembali rantainya, namun kekuatannya
bagai tak memadai kekuatan Lanangseta dalam
menahan rantau. Lalu, dengan sekali hentak,
Lanangseta berhasil membuat tubuh Gendono
melayang ke arahnya tanpa keseimbangan. Tubuh itu
disambut dengan pukulan Lanang ke arah leher
Gendono.
"Hekkghh...!" suara leher tersekat benda berat. Mata
Gendono mendelik. Pegangan rantainya terlepas dari
tangannya, dan sebelum ia jatuh ke tanah, kaki
Lanangseta menendangnya keras-keras dengan satu
teriakan, "Hiaaat...!"
"Aaaakhhh...!" Tubuh Gendono yang besar itu
melambung beberapa meter dari tanah. Pada waktu itu,
Sumo Belang sudah kehilangan kesabaran lagi. Ia
melemparkan tombaknya ke arah Jaka Bego yang lari
meninggalkan Sumo Belang. Kakinya terantuk batu,
dan Jaka Bego tersungkur jatuh. Tombak yang menuju
ke arah punggungnya melesat terus dan di luar dugaan
tombak berujung kampak ganda itu telah mengenai
perut Gendono! "Jubb...! Breet...!"
Gendono jatuh ke tanah dengan mata mendelik. Isi
perutnya berhamburan. Ia meregang dan kelojotan, lalu
tak sempat bernafas untuk selamanya.
Jaka Bego terbengong ngeri melihat tubuh Gendono
terkena lemparan tombak Sumo Belang. Ada lecet di
kening Jaka Bego karena ia jatuh tersungkur nyaris
mencium batu. Tetapi luka kecil itu tak dihiraukannya,
karena Sumo Belang telah berdiri di belakangnya
hendak menginjak tubuh Jaka Bego. Sumo Belang
benar-benar mengalami puncak kemarahan.
"Kau telah membunuh temanku, Bangsaaaat...!"
"Lho, bukan saya... saya kan tidak punya tombak...
saya tidak melemparkan apa-apa kok. Sumpah...!"
"Jaka... minggir...!" teriak Pak Lodang yang merasa
ngeri melihat Jaka Bego masih telentang sedangkan
kaki Sumo Belang sudah berada di dekatnya. Satu
langkah lagi Jaka Bego akan terinjak kaki itu. Tapi
memang dasar tolol, Jaka Bego tidak menyingkir,
melainkan bahkan meminta maaf, "Maaf... saya tidak
sengaja membunuh temanmu. Saya tadi tersandung
batu...! Sungguh kok, saya...!"
"Mampus kau!" teriak Sumo Belang sambil
menghentakkan kakinya menginjak perut Jaka Bego.
"Aaah...!" jerit Mak Lodang seraya menutup mukanya
sendiri, tak tega melihat Jaka Bego yang kurus diinjak
oleh kaki Sumo Belang yang besar, kekar itu.
Pada saat kaki Sumo Belang menginjak perut Jaka
Bego, anak itu tersentak dengan kaki terangkat
seketika. Matanya mendelik, ia sukar bernafas. Tapi
kakinya yang tersentak naik secara otomatis itu telah
mengenai rusuk Sumo Belang. Akibatnya Sumo Belang
meringis kesakitan. Ia menghentakkan kakinya ke perut
Jaka Bego lagi. Namun, kali ini kaki Jaka Bego juga
terangkat dengan sendirinya, semacam sebuah per yang
bekerja untuk menahan rasa sakit.
Mata Jaka Bego mendelik lagi dengan nafas sukar
dihembuskan. Ia tak tahu kalau gerakan kakinya telah
menendang rusuk Sumo Belang lagi, bahkan lebih
keras sehingga Sumo Belang pun jatuh menahan sakit.
"Cepat lari...! Lari, Jaka...! Lariii...!" teriak Mahani di
dekat ayahnya.
Mendengar jeritan Mahani, Jaka Bego seperti
memperoleh suatu kekuatan. Yang jelas ia merasa malu
kalau sampai kalah di depan Mahani, gadis yang cantik
manis itu. Jaka Bego segera bangkit dan berlari. Tapi
baru satu langkah ia berlari, kakinya telah menginjak
batu sebesar satu genggaman. Batu itu tersentak ke
belakang bersamaan dengan itu Jaka Bego tersungkur
kembali jatuh ke tanah.
"Bruuk...!"
"Wadow biyuung...!" teriak Jaka Bego. Hanya saja, ia
tak menyadari kalau batu yang diinjaknya itu juga
tersentak ke belakang dengan keras. Melesat cepat dan
masuk ke mulut Sumo Belang yang waktu itu sedang
ternganga untuk menahan sakit.
"Uhmm... uuhmm...!" Sumo Belang berusaha
mengeluarkan batu yang masuk ke mulutnya. Jaka
Bego terbelalak melihat keadaan musuhnya yang
menyedihkan.
"Astagaaa...! Batu itu masuk ke mulutnya?!"
Takut Sumo Belang semakin marah kepadanya,
maka Jaka Bego segera menghampiri orang itu dan
berusaha mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belong.
"Maaf, aku tidak sengaja. Aku terpeleset batu ini, dan
batu ini mental masuk ke mulut... Maafkan saya. Saya
kira waktu tadi mulutmu tidak sedang menganga...!"
Tangan Sumo Belang yang marah itu mengibas dan
mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!" Jaka Bego terpental
ke belakang. Lalu ia berteriak, "Saya mau membantu
mengeluarkan batu itu! Kok malah dipukul...?"
"Biarkan, Jaka...! Biarkan dia mati menelan batu!"
teriak Genduk dengan tegang. Mendengar seruan itu,
Jaka Bego bahkan semakin berusaha membantu
musuhnya mengeluarkan batu. Ia memukul tengkuk
kepala Sumo Belang supaya batu itu dapat tersentak
keluar. Tapi rupanya batu itu cukup besar dan pas
seukuran mulut Sumo Belang.
"Batu bandel...!" geram Jaka Bego. Lalu ia memukul
belakang kepala Sumo Belang. Ia terpaksa memukul
sekuat tenaga dan berulang-ulang, supaya batu bisa
meloncat keluar dari mulut.
Tetapi di luar dugaan, pukulan yang sekeras-
kerasnya itu telah membuat otak belakang di kepala
Sumo Belang terganggu. Persendian antara kepala
dengan leher menjadi retak, dan hal itulah yang
membuat Sumo Belang mengejang, darah keluar dari
mulut dan hidung. Jaka Bego makin kaget. Ia mundur
beberapa langkah dengan mata mendelik. Tak lama
setelah itu, tubuh Sumo Belang mengejang dan tak
bergerak lagi.
"Lho, kok malah mati...?!" Jaka Bego takut
bercampur rasa heran. Ia memandang Lanangseta yang
dari tadi sengaja diam saja tidak mau membantunya.
Senyum Jaka Bego tak ada, tapi senyum Lanangseta
terlihat samar. Sepertinya Lanangseta telah mengetahui
apa sebenarnya yang terjadi. Ia mendekati Jaka Bego,
menepuk pundak dan berkata, "Suatu pukulan yang
bagus...! Cukup mematikan."
"Ta... tap... tapi saya tidak bermaksud
membunuhnya...."
"O, ya...? Katakanlah kepada Genduk dan Mahani
begitu. Tapi jangan katakan kepadaku begitu. Aku tidak
seperti mereka, Jaka Bego."
Kata-kata Lanangseta seakan mempunyai arti
tersendiri yang sukar dipahami orang awam. Pak
Lodang dan istrinya berkerut dahi mendengar ucapan
itu, namun mereka tak berani menanyakannya.
Sebaliknya, Jaka Bego yang tadi bagai orang ketakutan
dan heran itu kini mencemberutkan wajah. Kemudian
matanya menjadi sayu dalam kebeloonan. Ia seperti
orang yang tidak pernah menyesali tindakannya.
Bagi Lanang, ia memang tak dapat dibohongi bahwa
semua gerakan sudah diatur sedemikian rupa oleh Jaka
Bego. Jelas hentakan batu itu mempunyai suatu
kekuatan khusus sehingga bisa tepat masuk ke mulut
Sumo Belang. Juga pukulan di tengkuk kepala Sumo
Belang itu, bukan semata-mata pukulan yang berguna
untuk mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belang,
melainkan pukulan yang mempunyai suatu tenaga
dalam, disalurkan secara tidak kentara. Tanpa begitu,
mustahil Sumo Belang yang kekar itu mampu
merenggang dan mati akibat pukulan tersebut. Namun
agaknya Jaka Bego tidak ingin Lanangseta berbicara
soal itu, karenanya Jaka Bego segera berkata kepada
Pak Lodang, "Kok bisa mati, ya?"
"Kebetulan Yang Maha Kuasa sedang melindungimu,
Nak."
"Ya. Terima kasih Yang Maha Kuasa!" teriak Jaka
sambil menengadah ke langit. Kemudian ia berbalik
kepada Mahani,
"Kak Mahani...? Kau tidak apa-apa?"
"Tidak. Aku tidak ada yang luka sedikit pun. Oh,
Lanang... terima kasih atas pertolonganmu...."
Jaka Bego terbengong. "Kok Lanang yang mendapat
ucapan terima kasih?" pikirnya.
Lanang menjawab kata-kata Mahani, "Ini baru
permulaan. Siapa tahu setelah ini ada yang lebih ganas
lagi...."
"Tapi tenang saja kita," ujar Genduk. "Kan ada Jaka
Bego yang hebat...."
"Huuuhh...!" Jaka Bego bersungut-sungut, merasa
tak suka mendapat pujian dari Genduk. Ia ingin Mahani
yang memujinya.
"Terima kasih, Jaka Bego," ucap Genduk sambil
nyengir.
"Terserah...!" jawab Jaka Bego dengan berjalan
menuju arah semula.
***
5
MALAM menyelimuti bumi. Langkah-langkah kaki
mereka mulai loyo, terutama Jaka Bego. Pemuda kurus
kerempeng itu bahkan berkata kepada Lanangseta,
"Sebaiknya saya pulang saja. Saya tak sanggup
mengikuti perjalanan ini. Dari malam sampai malam
tak ada berhentinya."
"Silahkan...!" jawab Lanangseta dengan tetap
berjalan menuntun Mahani. Mendengar jawaban itu,
Jaka Bego hanya menggerutu.
Yang lebih menjengkelkan Jaka Bego adalah keadaan
pahit yang ia alami. Pak Lodang menuntun istrinya
yang sudah limbung jalannya. Lanangseta menuntun
Mahani yang malu-malu berjalan sambil bergelayutan di
pundak Lanang. Sedangkan Jaka Bego sebentar-
sebentar jalan berpindah-pindah urutan. Jika Genduk
ke depan, Jaka Bego berganti jalan paling belakang.
Jika Genduk memperlambat langkah dan menjadi
paling belakang, Jaka Bego mempercepat langkah
sehingga ia berjalan paling depan. Begitu seterusnya,
sehingga gerutu dan sungut-sungut keduanya sama-
sama silih berganti. Jelasnya, Jaka Bego tak mau jika
disuruh menuntun Genduk. Sedangkan Genduk, tak
punya pegangan. Hanya Jaka Bego yang masih belum
punya tuntunan. Karenanya ia berharap dapat dituntun
Jaka Bego.
"Aku lemas sekali, Jaka...." ujar Genduk.
"Aku tidak menyuruhmu lemas. Salah sendiri
kenapa mau menjadi lemas." jawab Jaka Bego ketus.
"Uuhh... capeknya...." Genduk sengaja mengeluh.
"Kenapa nasibku tidak seperti Non Mahani itu, ya?"
"Jelas lain! Kamu kan bukan keturunan Panji
Gading. Menurutku kamu keturunan Gading Gajah...."
"Iiih... kamu begitu, ah!" Genduk ingin mencubit, tapi
tiba-tiba dihindari oleh Jaka Bego, sehingga tubuh yang
lemas itu pun jatuh tersungkur.
"Ada apa itu?" seru Pak Lodang yang ada di paling
depan. Jaka Bego hanya menyahut, "Semangka jatuh,
Pak."
"Hei," hardik Lanang kepada Jaka Bego. "Jangan
usil, Bego! Kasihan Genduk kan?"
"Tapi saya tidak menyuruhnya jatuh kok.
Menyentuhnya pun tidak!" bantah Jaka Bego, kemudian
jalan lebih cepat sehingga ia ada di paling depan.
Lanangseta menyempatkan menolong Genduk. Tetapi
ketika hendak dituntun, Genduk merasa tak enak.
"Saya masih bisa jalan sendiri kok, Mas Lanang...."
Mahani masih bergelayutan di pundak Lanangseta.
Langkahnya sedikit diseret. Rasa lelah, kantuk dan
lapar, membuatnya tak dapat bicara apa-apa lagi. Rasa
malu kepada Lanangseta dibuangnya jauh-jauh. Yang
penting ia bisa tetap berjalan dengan tanpa terjatuh-
jatuh.
"Masih bisa bertahan, Mahani?" tanya Lanangseta
dengan lembut. Mahani mengangguk. Lanangseta
merangkul, setengah memapah langkah Mahani. Dan
hal ini pula yang membuat Mahani tidak menolak
untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Tak
semua orang tahu kalau tangan Lanangseta
merangkulnya, bahkan tak seorang pun tahu kalau hati
Mahani berdesir-desir dalam rangkulan pendekar
tampan itu.
Sejak dari kedatangan Lanangseta, Mahani telah
mengalami keanehan dalam dirinya, yaitu suatu
perasaan senang dan gairah untuk hidup lebih lama.
Sejak pembicaraan demi pembicaraan, pandangan demi
pandangan, hati Mahani selalu mendesah-desah bagai
digelitik oleh tangan-tangan usil. Terutama bibir
Lanangseta yang begitu menarik baginya, seringkali
menghadirkan keluh kemesraan yang tak tahu apakah
akan terjangkau olehnya atau tidak. Yang jelas, ia
menjadi bersemangat mengadakan perjalanan jauh
seperti itu. Ia sangat setuju, sebab ada harapan di balik
perjalanannya itu.
Lanangseta tahu bahwa Mahani memaksakan diri
untuk berjalan sedemikian jauhnya. Namun Lanangseta
tak tahu kalau Mahani menyembunyikan satu debaran
jantung dalam pelukan Lanangseta. Yang diketahui
Lanang hanya rasa lelah dan kantuk begitu berat
menyerang Mahani. Sebenarnya ia ingin menghentikan
perjalanan. Menundanya sampai esok. Tapi ia sangat
khawatir jika esok sebelum ia keluar dari perbatasan
Kadipaten Branjangan Wilis, anak buah Legowo telah
menyusulnya. Jadi, meski malam dan melelahkan, ia
harus memaksakan mereka untuk tetap berjalan.
"Kau tidak menyesal meninggalkan Desa Puger,
tempat kelahiranmu itu, Mahani?" kata Lanangseta,
karena menurutnya dengan mengajak ngobrol Mahani,
setidaknya dapat mengalihkan perhatian gadis itu
sehingga kelelahan dan kantuk sedikit berkurang.
"Tanah kelahiran yang penuh kepahitan, untuk apa
diberatkan? Aku ingin hidup tenang, seperti gadis-gadis
lainnya." jawab Mahani dengan suara mengambang
karena kantuk dan kelelahan.
"Tak sayang meninggalkan teman-temanmu?"
Mahani terasa menggelengkan kepala. "Aku tidak
punya teman. Selama ini aku hanya mengeram di
kamar, di dalam rumah dan jarang sekali diizinkan
ayah untuk keluar."
"Kenapa? Takut menjadi incaran orang-orang
Legowo?"
"Kata ayah begitu."
"Dan kau... kau juga tidak punya teman pria yang
istimewa?" pancing Lanangseta mencarikan gairah lain.
Mahani tidak menjawab. Mungkin malu, mungkin
juga bimbang untuk menentukan jawabannya. Namun
sebaliknya, ia bahkan bertanya, "Apa kau sendiri
mempunyai teman wanita yang istimewa?"
Lanangseta tertawa pendek. "Menurutmu,
bagaimana?"
"Pasti kau sudah punya kekasih!" tebak Mahani
dengan suatu debaran hati yang menggelisahkan, dan
membuat ia punya kekuatan lain untuk melangkah.
"Dari mana kau bisa mengatakan begitu?" desak
Lanang.
"Ketampananmu, dan... yah, kurasa hanya gadis
bodoh yang tidak tertarik kepadamu, Lanang."
Sekali lagi Lanangseta tertawa pelan. Ia berbisik,
"Apakah kau termasuk gadis bodoh?"
Mahani menjadi malu, ia terperangkap dalam
jebakannya sendiri. Ia ingin menyatakan bahwa dirinya
bukan gadis bodoh, tapi... rasa-rasanya ia lebih malu
lagi. Sebab dengan begitu ia berarti telah berterus
terang bahwa dirinya tertarik oleh Lanangseta. Oh, dia
tak mau mendahului bicara demikian. Ia hanya
menjawab, "Apa kau bisa menilaiku, termasuk gadis
bodoh atau gadis yang pintar?"
Lanang menjawab lirih, "Kurasa... kau gadis yang
pintar, Mahani. Tapi sayang, kau tidak berani
mengemukakan kepintaranmu."
Mahani tahu maksudnya, Lanang hanya ingin
mengatakan, bahwa dirinya tak berani mengutarakan
perasaan tertariknya kepada Lanangseta. Mahani diam
saja. Ia tak tahu harus bicara apa lagi kepada pendekar
tampan yang menggoda hatinya itu.
Tetapi Lanang tahu gerakan naluriah yang tersirat
dari isi hati Mahani. Tangannya menggenggam tangan
Lanang dan ia hanya mendesah dengan suatu
hempasan nafas yang penuh arti. Lanang sengaja
menggodanya. "Sayang tidak ada gadis seperti kamu
yang mau tertarik kepadaku. Yahh... maklumlah, aku
ini kan orang tak tentu arah. Tak punya rumah dan
harta berharga apa pun. Jadi, sangat wajar jika tak ada
gadis semanis kamu yang mau mengisi kehidupan ini."
"Jangan berkata begitu, Lanang. Aku tak suka."
"Memang nyatanya tak ada kok."
"Kalau ternyata ada gadis yang tertarik denganmu,
bagaimana?"
"Yaah... aku bersyukur."
"Hanya bersyukur?" nada ucapan Mahani sedikit
protes.
"Dalam segala perkara, dan setiap hal, kita wajib
mengucapkan syukur. Berterima kasih kepada Hyang
Widi, yang menciptakan kita serta seisi alam ini. Jadi,
bersyukur adalah tindakan yang paling baik bagiku,
jika memang ada gadis semanis kamu mau menemani
hidupku."
"Kalau begitu aku salah duga." Tiba-tiba terdengar
suara Mahani setelah bungkam sementara waktu.
"Salah duga bagaimana?"
"Kukira kau tidak hanya akan bersyukur jika ada
gadis sepertiku yang mau menemani hidupmu."
Lanangseta tertawa pendek, tetapi ia semakin
mempererat pelukannya. Hati Mahani sedikit
memperoleh kelegaan ketika merasakan pelukan itu
semakin erat. Paling tidak untuk sementara ini ia masih
bisa memiliki semangat untuk tetap berjalan menyusuri
gelap, menembus semak hutan bersama Lanangseta.
Namun, betapa ingin hatinya terpeluk erat, Mahani
tetap berusaha menutupi keinginan itu. Ia tak ingin
mendapat penilaian sebagai gadis murahan, sebagai
gadis gampangan dan ia tak ingin Lanang mengatakan
bahwa dirinya tumbuh sebagai gadis kurang sopan.
Betapa berat dan sesaknya, Mahani harus bisa
menyimpan baik-baik perasaan hatinya. Tak wajar jika
ia menyatakan cinta lebih dulu sebelum Lanangseta
melontarkan isi hatinya.
Dan ketika itu, pagi mulai menyingsing. Mereka telah
sampai di kaki Gunung Pekayon, yang merupakan
perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan Wilis. Desa
yang dituju mereka memang masih jauh. Masih harus
ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira satu hari lagi.
Lanangseta memperkirakan mereka akan tiba di desa
Tayub menjelang matahari tenggelam nanti.
"Aku terlalu capek, Pak...." kata mak Lodang.
Kemudian Pak Lodang meminta kepada Lanang untuk
beristirahat beberapa saat mengingat keadaan istrinya
begitu memprihatinkan sekali.
"Iya, istirahat dululah...! Kita harus mempunyai
tenaga untuk sampai ke desa Tayub nanti," timpal Jaka
Bego.
"Baiklah.... kita istirahat dulu, tapi cari tempat yang
aman dan dapat dipakai buat berlindung sewaktu-
waktu." kata Lanangseta, dan nafas-nafas pun
terhempas lega. Di hutan itu ada pohon cukup besar,
akarnya pipih dan membentuk suatu segitiga, mirip
sebuah dinding ruangan. Di situlah mereka beristirahat,
melepas lelah setelah sehari semalam berjalan tiada
henti.
"Pak Lodang...." kata Lanangseta. "Apakah ada jalan
lain yang lebih dekat menuju desa Tayub?"
Pak Lodang berpikir, matanya berkedip-kedip,
sesekali ia memandang Lanangseta, seperti ragu untuk
mengatakan sesuatu. Lanangseta merasa aneh. Lalu
mendesak dengan pertanyaan lagi, "Maksud saya, kalau
ada yang lebih dekat, ibaratnya kita bisa potong jalan,
yah... sebaiknya kita memotong jalan sajalah. Supaya
lebih cepat."
Setelah diam sesaat, Pak Lodang berkata dengan
lirih, "Sebetulnya ada, tapi kita harus melalui Bukit
Badai."
Lanangseta hampir saja ketahuan terkejutnya begitu
mendengar kata 'Bukit Badai'. Kegelisahan dan
kepedihan kembali lagi menyayat hati. Ingat Bukit
Badai, ingat Kirana. Dan setiap ingat Kirana, hati
Lanangseta tak dapat dibohongi lagi, pasti berdebar-
debar menyemburkan rasa perih.
"Kalau begitu, sebaiknya kita lewat Bukit Badai saja,"
usul Jaka Bego yang mendengar pembicaraan itu.
Pak Lodang menjawab, "Tapi daerah itu daerah
berbahaya. Selain ada penguasanya, dan merupakan
daerah tertutup bagi orang asing semacam kita, juga...
takutnya kalau kepergok orang-orang Tebing Neraka.
Mereka itu sangat ganas-ganas. Melebihi orang-
orangnya Legowo. Karena itu, hanya orang-orang Tebing
Neraka yang konon berani nekad sering memasuki
wilayah Bukit Badai."
"Ah, tapi siapa tahu orang-orang Tebing Neraka
sedang tidak ada di daerah itu." kata Jaka Bego.
"Iya, tapi kalau penguasa Bukit Badai marah,
bagaimana? Orang-orang Bukit Badai itu sangat
misterius, dan berilmu tinggi lho..." sahut Pak Lodang.
"Alaaah... setinggi-tingginya ilmu mereka, masih bisa
ditaklukkan oleh...." Jaka Bego melirik Lanang seraya
menuding dengan jempol tangannya. Lalu ia meringis
konyol.
Lanangseta diam saja. Pikirannya kacau. Jaka Bego
berkata kepadanya, "Lanang, kau sanggup
menaklukkan orang Bukit Badai kan?" Lanang tidak
menjawab. Semakin resah. Jaka Bego mendesak,
"Alaah... jangan takut, nanti kubantu. Kalau orang
Bukit Badai marah, gempur saja kepala mereka."
Pak Lodang menyahut, "Husy...! memangnya
gampang menggempur mereka? Apalagi di Bukit Badai
itu, katanya... ini menurut cerita yang pernah kudengar
lho... katanya di sana ada seorang perempuan cantik
yang sangat judes, galak dan berilmu tinggi. Kalau
perempuan itu sedang marah, semua tanaman
bergoyang, bumi bagai mau tenggelam, langit pecah dan
badai mengamuk tak karuan. Pokoknya kalau
perempuan Bukit Badai itu marah, kiamat terjadi
sementara waktu! Betul. Itu kata mereka yang pernah
menyaksikan sendiri...." Pak Lodang bicara sampai
bibirnya monyong-monyong. Bersemangat sekali.
"Hemm...." Jaka Bego mencibir. "Baru hanya seorang
perempuan. Sehebat apa pun kekuatan perempuan itu,
kalau menghadapi Lanang, dia tak akan bisa berbuat
apa-apa, Pak. Jangankan dengan Lanang, dengan saya
saja belum tentu perempuan Bukit Badai bisa unggul.
Mungkin akan lari terkencing-kencing kalau sudah
kukeluarkan jurus Kodok Nunggingku. Eh, Pak...." Jaka
Bego mendekatkan wajah, "Perempuan Bukit Badai itu
akan lemas, lunglai, loyo dan tak bisa marah apa-apa
lagi kalau sudah kucium dari kening sampai ujung
kakinya, ia pasti akan kegirangan kalau kupeluk
dan...."
"Plak...!"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Jaka Bego.
Lanangseta merah mukanya, nafasnya terengah-engah.
Jaka Bego heran melihat kemarahan Lanangseta.
"Kenapa kau menamparku?! Salah apa aku
padamu?"
Lanangseta mulai sadar, bahwa sesungguhnya
mereka tak tahu dari mana asalnya. Mereka tak tahu
bahwa Lanangseta adalah bagian dari Bukit Badai itu.
Mereka juga tak tahu kalau perempuan Bukit Badai
yang diceritakan itu masih membekas di hati Lanang
dan sedang menjadi ganjalan kegelisahannya.
"Maafkan aku...." ujar Lanangseta, menyesal. "Aku
mengingatkan kamu, agar tidak bicara sembarangan di
tempat seperti ini. Aku takut kalau omonganmu itu
didengar orang, dan sampai di telinga perempuan Bukit
Badai. Kau bisa dihancurkan olehnya, atau paling tidak
itu pertanda kita cari gara-gara dengannya. Jangan cari
musuh, Bego!"
Matahari mulai merayap ke arah tengah. Lanangseta
memberi perintah agar mereka bergegas meneruskan
perjalanan kembali.
"Kita tak perlu memotong jalan. Tak perlu lewat
Bukit Badai. Ini untuk mengurangi resiko yang
berbahaya bagi keselamatan Mak Lodang serta Mahani,"
itulah alasan Lanang mengapa mereka diminta melalui
arah yang semula.
Tetapi baru saja mereka hendak bergerak, di
kejauhan terdengar deru kaki kuda terpacu. Suara
ringkik kuda menandakan mereka yang ada di
kejauhan itu sedang tergesa-gesa. Jaka Bego menjadi
tegang, demikian juga Pak Lodang dan istrinya, juga
Mahani dan Genduk. Bungkusan berisi pakaian dan
perbekalan ala kadarnya itu segera diangkat oleh
Genduk, ia bersiap untuk lari jika sewaktu-waktu ada
perintah bersembunyi.
Hanya Lanangseta yang kelihatan tenang sekali
memandang arah datangnya suara gemuruh kaki kuda.
Ia menggumam jelas di telinga Jaka Bego, "Mereka
mengejar kita...."
"Siapa? Orang-orang Kadipaten Branjangan Wilis
itu?"
"Ya...."
"Kalau begitu aku bersembunyi dulu, ya?" Jaka Bego
hendak bergerak, tetapi Lanangseta segera menenteng
lengannya, membawa Jaka Bego ke suatu tempat yang
agak jauh dari Mahani dan keluarganya. Dengan pelan
dan tegas Lanang berkata, "Bego... aku tahu siapa
kamu. Memang belum jelas dari mana asal-usulmu dan
apa maksudmu mengikuti aku. Tapi aku tahu, kau
punya isi. Tak usah berlagak bego di depanku. Yang
jelas, kuminta kau untuk menghadapi mereka untuk
melindungi keluarga lemah itu. Kasihan Pak Lodang
dan anak istrinya, kan? Kau harus bergerak sebagai
dirimu sebenarnya."
"Aku bingung dengan omonganmu."
"Terserah, kau mau bingung atau tidak, tapi hadapi
mereka. Tunjukkan kepada keluarga Lodang...
khususnya kepada Mahani. Siapa tahu jika Mahani
melihat kehebatanmu, dia jadi menyukaimu."
"Aaah... itu kan...." Jaka Bego berhenti
menyepelekan kata-kata Lanang, ia bahkan berbisik.
"Apa mungkin Mahani bisa mengagumiku...?"
"Kau bisa membuktikannya nanti, setelah kau
mampu mengalahkan mereka...."
"Lanang... itu mereka kelihatan?! Warok dan anak
buahnya. Ooh... bagaimana kita?!" Mahani berseru
dalam ketakutan. Lanang segera bergegas
meninggalkan Jaka Bego yang masih termangu-mangu
dalam kebingungan. Lanangseta segera menyuruh
mereka bersembunyi di bawah sebuah pohon besar, di
mana di situ ada batu gunung berlumut yang tingginya
melebihi tinggi tubuh Lanangseta. Besar sekali. Di
samping itu, ada rimbunan semak yang menutup batu
itu, sehingga mereka dapat melihat ke arah Jaka Bego,
namun dari sana orang akan sulit memandang yang
bersembunyi.
Rombongan Warok Sabuk Geni terlihat semakin
jelas. Kuda-kuda mereka sebentar lagi melewati tempat
lenggang, di mana pohon dan semak jarang tumbuh.
Terlihat oleh Lanang, mereka terdiri dari delapan orang
penunggang kuda yang kekar-kekar. Kuda yang
ditunggangi Warok paling depan, warnanya putih dan
berbulu indah.
"Hei, lihat...! Anak setan itu ada di sana!" seru Ki
Warok kepada anak buahnya. "Kejar dia! Dia pasti
bersama keluarga Mahani!"
Karena anak buah Warok Sabuk Geni mendatangi
Jaka Bego, maka Jaka Bego lari ketakutan ke arah
Lanangseta yang berada di balik persembunyian.
"Mereka hendak membunuhku...! Itu mereka ke
mari!"
"Goblok! Bego...!" geram Lanangseta. "Mengapa kamu
lari ke mari? Kalau begini caranya mereka bisa tahu
bahwa kami bersembunyi di sini. Goblok!"
"O, iya! Aku lari ke tempat lain saja...!" Lalu, Jaka
Bego yang memang bego itu segera lari ke arah lain
sebelum orang-orang Kadipaten memergokinya di
tempat persembunyian. Jaka Bego dalam kebingungan,
berlari kian ke mari. Perasaannya sudah lari jauh,
padahal ia hanya memutar pohon yang satu ke pohon
yang lain. Tak urung anak buah Warok Sabuk Geni pun
memergoki dia, dan segera mengurung Jaka Bego
dengan barisan rapat berkuda. Jaka Bego
menampakkan wajah ngerinya, memandang kian ke
mari bagai anak mau menangis.
"Di mana Mahani, Setan dekil?!" bentak salah
seorang.
"Mahani...? Mahani bersama bapaknya. Bukan
bersama aku. Sungguh. Boleh digeledah, saya tidak
membawa Mahani...." Jaka Bego mengangkat bajunya
dan berputar, maksudnya menunjukkan bahwa ia tidak
menyembunyikan Mahani di balik bajunya. Orang yang
tadi membentak kini turun dari kuda. Berjalan dengan
sangar mendekati Jaka Bego. Jaka Bego semakin ngeri,
mimiknya seperti anak mau menangis.
"Aku tahu Mahani bersama bapaknya, tapi di mana
mereka? Ayo, cepat katakan!" Orang itu menarik baju
Jaka Bego.
"Mereka... mereka...."
"Cepat katakan kalau mau selamat?!"
"Mereka... mereka bersembunyi. Sumpah kok!
Bersembunyi!"
"Iya, bersembunyi! Tapi di mana mereka
bersembunyi?!" teriak orang itu dengan kasar dan
semakin mencengkeram baju Jaka Bego.
"Di... di sana...." jawab Jaka Bego.
"Di sana mana?! Bangsat...!"
"Di sana...!" Jaka Bego menunjuk arah lain.
Kebetulan angin berdesir dan menggoyangkan
dedaunan rimbun di suatu tempat. Mereka mengira
Mahani dan keluarganya bersembunyi di sana. maka
mereka pun segera bergerak ke arah yang berlawanan
dengan tempat persembunyian Mahani.
"Bagus... cerdik juga dia," gumam Lanangseta sambil
tetap bersembunyi. Tapi di luar dugaan, Jaka Bego
kegirangan, karena usahanya berhasil mengecohkan
musuh. Ia melonjak dan berseru, "Cihuuu...! Aku
berhasil menipu mereka...!"
Ia tidak sadar kalau ucapannya itu bisa didengar
oleh mereka, sehingga kuda mereka berhenti dan
berbalik menghadap ke arah Jaka Bego.
"Anak itu membohongi kita...!" seru salah seorang.
Lalu orang yang memegang rantai berujung bola
berduri itu menggeram, "Kurang ajar...! Kita dibuat
mainan! Awas kau...!" Orang itu memacu kudanya
hingga berlari ke arah Jaka Bego. Rantai berujung bola
berduri itu diputar-putar, siap menghancurkan kepala
Jaka Bego. Jaka Bego seperti orang gugup, tak tahu
harus lari ke mana. Ia diam di tempat dengan mata
memandang tegang, penuh ketakutan.
Tapi di luar dugaan, Jaka Bego berguling mendadak,
kakinya sengaja dihalangkan sehingga kaki kuda itu
tersangkut dan kuda itu tersungkur seketika dengan
ringkik yang membahana. Sudah tentu penunggang
kuda bersenjata bola berduri itu terjungkal ke depan
dan tubuhnya tengkurap seperti kura-kura. Kuda tak
bisa membedakan mana rumput dan mana tubuh
manusia, akhirnya badan kuda yang besar itu
menindihi tubuh orang itu. Kaki kuda meletik-letik
berusaha untuk bangun, dan orang itu semakin
cengap-cengap. Mulutnya berdarah karena badannya
tertindih kuda. Lalu ketika kuda berhasil berdiri dan
melarikan diri, tubuh penunggangnya masih diam tak
bergerak. Mungkin tulang punggungnya patah dan
pernapasannya mengalami penyumbatan.
Jaka Bego tertawa dan tepuk tangan sendiri
menyaksikan musuhnya tak bergerak dengan mata
mendelik dan mulut berdarah. Tetapi di luar dugaan,
beberapa orang penunggang kuda lainnya menyerbu
Jaka Bego dengan ganas dan secara bersamaan. Jaka
Bego merebah, hendak menjegal kaki kuda lagi, tapi
karena banyak kaki kuda yang menyerangnya, ia buru-
buru bangun kembali dan berlari.
"Wah, bisa-bisa mukaku diinjak-injak kuda...!"
Mereka mengejar Jaka Bego. Salah seorang
melemparkan tombak bermata tiga. Pada saat itu tubuh
Jaka Bego tersungkur karena tersandung akar pohon.
Tombak bermata tiga lolos, melayang di atas kepalanya.
Namun akibatnya ia segera terkurung oleh lawan-
lawannya. Jaka Bego bangkit, hendak melarikan diri,
tapi tak jadi. Ia terkurung. Dan dua orang penunggang
kuda bersenjata pedang dan clurit bergagang panjang
segera turun dari kudanya.
"Jangan...! Jangan bunuh saya. Membunuh itu
pekerjaan yang tidak baik, kalau tidak kepepet...!" kata
Jaka Bego seraya cengar-cengir mengambil hati
lawannya.
Kedua orang itu tidak memberi komentar, tapi yang
di atas kuda masih sempat berseru, "Bunuh saja anak
itu!"
"Jangan ngotot," kata Jaka Bego. "Tadi sudah
kusarankan, membunuh itu tidak baik. Betul!"
Terdengar suara Warok Sabuk Geni, "Jangan
lamban! Serang dia...!"
Jaka Bego berpaling memandang Warok Sabuk Geni
yang sejak tadi diam di atas punggung kuda, di
kejauhan. Pada waktu itu, dua orang bersenjata pedang
dan clurit panjang segera menyerang Jaka Bego.
"Jakaaa...! Awaaas...!" teriak Genduk dari tempat
persembunyian. Hal itu membuat orang-orang lainnya
berpaling memandang ke arah Genduk. Lanangseta jadi
gemas dan dongkol sekali kepada Genduk yang secara
tak langsung telah membuat musuh mengetahui tempat
persembunyian Mahani. Maka, mereka pun mulai
berdatangan ke tempat persembunyian yang
sebenarnya sudah aman itu. Pak Lodang menampar
mulut Genduk dengan keras. Mereka berdua ribut. Tapi
Lanangseta tak sempat melerai, karena empat orang
penunggang kuda sedang mendatangi persembunyian
Mahani. Lanang segera keluar dan melompat
menyambut kedatangan mereka berempat, sementara
yang dua sedang sibuk membunuh Jaka Bego. Agaknya
Jaka Bego licin bagai belut, lincah seperti anak kijang.
Lanangseta sendiri sibuk menghadapi keempat
lawannya. Dua orang turun dari kuda, dan dua lagi
masih berada di punggung kuda. Mereka menyerang
dengan tombak bermata tiga dan tombak bermata
pedang. Sedangkan yang turun dari kuda menyerang
dengan pedang serta sepasang trisula tajam.
Lanangseta sibuk menghindari sepasang trisula yang
secara bersamaan terarah ke wajahnya. Ia berhasil
menggelinding ke depan, tapi segera disambut oleh
pedang lawan. Untung Lanangseta dapat mengelak
dengan berguling ke kiri. Kakinya sempat menyepak
kaki lawan sehingga orang bersenjata pedang itu jatuh
terjengkang ke belakang. Kaki Lanangseta segera
menghentak perut orang itu dengan tumit. "Heaat...!"
"Uuuhk...!" Orang itu mengerang, tepat pada saat
temannya mencoba menusuk tubuh Lanang dengan
tombak berujung tiga. Senjata yang menyerupai garpu
tanah itu berhasil dielakkan Lanang dengan meliukkan
dan ke kanan. Dengan tangkas senjata itu berhasil
ditangkap oleh tangan Lanang, lalu ditarik dengan satu
hentakan, sehingga tubuh di atas punggung kuda itu
pun jatuh.
Kesempatan itu digunakan oleh Lanang untuk
melejit dengan bertumpukan tombak yang menancap di
tanah. Tubuh Lanangseta melambung tinggi,
bersamaan dengan itu ia pun segera mencabut pedang
Wisa Kobra.
"Sreet...!"
Semua mata mendelik melihat pedang itu membawa
seperti gumpalan lahar panas., Merah, dan mengerikan.
Tombak berujung pedang dilemparkan. Dengan
kecepatan di luar batas pandangan mata, Lanangseta
mengibaskan pedangnya berulangkali. Tahu-tahu
tombak itu telah patah menjadi beberapa bagian.
Keempat lawannya semakin tercengang. Lanangseta
melambung dalam satu hentakan kaki, tubuhnya
melayang menuju ke salah satu penunggang kuda dan
seketika itu juga orang tersebut jatuh ke tanah dengan
kepala terpenggal. Padahal mereka tidak melihat
Lanang mengibaskan pedangnya. Tapi ternyata kepala
penunggang kuda itu telah terpisah dari leher.
"Gila! Kecepatan pedangnya luar biasa," gumam
salah seorang. Dan penunggang kuda lainnya segera
menyerang Lanang dengan menggunakan kudanya.
Kuda itu dipacu cepat untuk menabrak Lanang. Tapi
Lanang tidak bergerak sedikit pun, ia berdiri tegap,
sedikit merendahkan badan, dan pedang Wisa Kobra
berdiri di depan wajahnya. Pada saat kuda itu
menerjang, Lanangseta berkelebat ke samping. Cahaya
meraih membara itu pun bagai menyinari tubuh kuda.
Namun kuda itu meringkik histeris, dam roboh seketika
dengan perut terbelah mengerikan. Penunggang kuda
itu terpental jatuh di tempat Jaka Bego yang sedang
melompat kian ke mari menghindari tebasan senjata
lawannya. Tanpa sengaja, Jaka Bego melompat
menghindari tebasan senjata dan jatuh tepat menginjak
dada orang yang terlempar dari kuda.
"Uuuhk... eekh... ekh...!" Orang itu mengejang, darah
merah tersembur dari mulutnya. Jaka Bego terkejut
melihat orang yang tak sengaja diinjaknya itu meregang
dan kejet-kejet. Kontan ia melompat ke tempat lain,
membiarkan orang itu menggelepar-gelepar dan mati.
"Babi busuk kau...!" teriak temannya yang makin
ganas.
Jaka Bego berlari mendekati Lanang. "Mereka
semakin marah padaku...!" Ia hendak berlindung di
tubuh Lanang. Tapi gerakan Lanang sudah semakin
cepat sehingga Lanang tak berhasil dipegang Jaka Bego.
Bahkan, Jaka Bego salah pegang, karena matanya
memandang musuh yang menyerangnya. Ia memegang
pantat kuda dengan kuat-kuat. Tentu saja kuda merasa
geli, dan segera menyepaknya. Jaka Bego menjerit
dengan tubuh melayang disepak kuda.
Ketika itu, Lanangseta menyongsong kedua musuh
yang mengejar Jaka Bego. Ia berguling ke tanah dan
berdiri lagi dengan salah satu lututnya. Tahu-tahu
kedua orang itu telah rubuh karena goresan pedang
yang begitu cepat.
Jaka Bego menggeliat bangun dari jatuhnya.
Kepalanya terasa pusing. Ia tak tahu kalau dirinya
sedang terancam: Seorang musuh sedang mengangkat
pedangnya dan hendak menusuk Jaka Bego dari
belakang. Tetapi Jaka Bego bergumam sendiri, "Masa
cuma disepak kuda, begini... kok bisa jatuh...." Ketika
itulah Jaka Bego memperagakan kuda menyepak
dirinya. Dan di luar dugaan gerak kaki yang menirukan
kuda menyepak itu telah mengenai dada orang yang
ingin membunuhnya. Orang itu terpental bagai
menerima tendangan begitu kuat. Jaka Bego berpaling
kaget. "Oh, maaf, aku tidak tahu kalau kau di
belakangku...!" katanya. Orang itu mengerang kesakitan
sambil memegangi dadanya.
"Maaf, ya aku tidak... Lho, kok jadi mati?"
Rupanya orang itu bukan mati karena tendangan
sepak kuda Jaka Bego, melainkan waktu ia terjengkang
ke belakang dan jatuh telentang, punggungnya terkena
senjata temannya yang tadi jatuh tertindih kuda.
Punggung orang itu tertancap bola berduri yang
agaknya selain tajam juga mengandung racun. Maka,
sudah tentu tubuh itu kejang-kejang dan mati tak
berkutik lagi. Sementara itu, tinggal satu orang anak
buah Warok Sabuk Geni yang masih nekad menghadapi
Lanangseta. Ia menyerang Lanangseta dengan senjata
clurit bergagang panjang. Waktu tubuh itu melayang di
atas Lanangseta, pedang Wisa Kobra masih berdiri
tegak. Lanangseta berguling ke depan, dan ternyata
gerakan itu membuat lawannya mengerang sebentar,
lalu roboh dengan bagian dada hingga perut terbelah
mengerikan. Kilasan pedang itu begitu cepat dan tak
sempat terlihat oleh mata siapa pun.
Lanangseta menyarungkan pedangnya setelah
dilihatnya tak ada anak buah Warok Sabuk Geni yang
masih hidup. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara tawa
yang menjijikkan, serak dan kasar. Suara itu datang
dari Warok Sabuk Geni, yang diam-diam sudah berhasil
menawan Mahani dan Pak Lodang. Ia mengacungkan
goloknya yang besar dan tajam ke leher Pak Lodang dan
berseru, "Berani mendekat, kubunuh orang ini!"
Lanangseta diam tercengang. Jaka Bego
kebingungan melihat keadaan yang di luar dugaan.
"Siapa kamu sebenarnya, Orang asing? Permainan
silatmu cukup boleh dibanggakan. Siapa kau, hah?!"
"Aku... Malaikat Pedang Sakti!" jawab Lanang dengan
tegas.
"Ha, ha, haaa... pantas-pantas... Ilmu pedangmu
sangat mengagumkan. Tapi kau tak akan bisa
mengalahkan kekuatanku. Buang senjatamu, atau
kurobek leher orang tua ini!"
"Jangan, Lanang!" teriak Mahani.
"Plaak...!" Mahani menjerit karena ditampar Ki
Warok.
"Buang jauh-jauh pedangmu itu, lekas!" bentak
Warok Sabuk Geni.
"Buang...! Buang saja...!" bisik Jaka Bego kepada
Lanang. Lanang hanya diam tak menjawab dan tak
bergerak.
"Kuhitung sampai tiga kali, kalau kau tidak
membuang senjatamu itu, kurobek leher orang ini.
Satu...!"
"Lanang buang saja senjatamu, uuh... payah! Nanti
Pak Lodang mati lho...." bujuk Jaka Bego yang
ketakutan.
"Dua...!"
"Taaar...!"
Suara letusan kecil terdengar. Seorang bertubuh
pendek untuk ukuran seorang pendekar, berdiri di
kejauhan. Kulitnya hitam, dan ia memegang cambuk di
tangannya.
"Paman Ludiro...?!" seru Lanangseta.
Pada waktu itu, Warok Sabuk Geni hendak
mengambil golok besarnya yang jatuh akibat tangannya
terkena cambukan Ludiro. Namun selagi ia
membungkuk, Cambuk Naga melesat lagi dengan cepat.
"Tarr... Tarrr...!"
"Aaahh...!" Warok Sabuk Geni terguling-guling,
punggungnya terluka bagai robek dua tempat dan
saling bersilang.
Warok Sabuk Geni masih berusaha untuk bangkit,
Ludiro dan yang lainnya membiarkan. Warok Sabuk
Geni meringis dan segera berlari mendekati kudanya,
kemudian naik ke punggung kuda. Dengan sekali
hentak, kuda itu berlari ke arah tempat datangnya tadi.
Lanangseta bergumam, "Itu bisa menjadi penyakit
bagi rakyat Kadipaten. Harus dimusnahkan... sekali!"
Setelah berkata demikian, Lanangseta mencabut
pedangnya. Warna merah membara membuat Ludiro
terkejut. Lanangseta bagai bicara dengan pedangnya,
"Bunuh, Warok Sabuk Geni itu...!" Ia melepaskan
pedang Wisa Kobra, tanpa suatu lemparan sedikit pun.
Tapi pedang yang merah bagai bara api itu telah melesat
dengan sendirinya. Gerakannya cepat, seperti kilasan
cahaya merah. Pedang itu menembus punggung Warok
Sabuk Geni sampai tembus di perut, dan keluar lagi
melayang. Pedang itu bergerak cepat menuju arah
Lanangseta, lalu dalam waktu yang begitu singkat
pedang Wisa kobra telah berada dalam genggaman
Lanangseta. Pedang itu pun dimasukkan ke sarungnya
kembali. Sementara. Itu maka Jaka Bego masih
mendelik lebar, memandang Warok Sabuk Geni yang
rubuh di punggung kuda setelah terpekik sesaat karena
ditembus pedang Lanang. Kudanya berjalan terus, bagai
mengantarkan mayat Warok Sabuk Geni.
"Kita selamat, Mak... Kita selamat...?!" kata Mahani
dengan tangis kegembiraan. Mak Lodang pun memeluk
anaknya sambil menangis lega. Lalu Pak Lodang segera
memeluk keduanya dalam keharuan yang tertahan.
"Jaka... kita selamat...!" teriak Genduk sambil berlari
menghampiri Jaka Bego dengan tangan terentang
keduanya. Jaka Bego tak mau berpelukan dengan
Genduk. Ia segera berkelit ke samping dan Genduk
menabrak pohon dalam pelukannya.
"Peluk tuh pohon...!" gerutu Jaka Bego sambil
berjalan mendekati Lanangseta.
Sementara itu Ludiro berkata kepada Lanangseta,
"Kau harus pulang ke Bukit Badai, Lanang. Harus!"
Jaka Bego terbengong kaget, lalu berseru sampai
didengar yang lainnya, "Jadi, kau orang Bukit Badai?!
Astaga...!"
Semua mata tertuju pada Lanangseta. Semua mata
terbelalak bagai tak mempercayai suara Jaka Bego.
Lanangseta terpaksa menghela nafas panjang-panjang.
"Paman, haruskah aku kembali ke sana?!"
"Ya. Harus! Jika kau tidak kembali ke Bukit Badai,
maka dia akan mati."
Lanang mengerti yang dimaksud Ludiro, pasti
Kirana.
"Kenapa sampai begitu? Bukankah dia sudah
mengkhianatiku dan telah menyerahkan...."
"Pasti kau telah difitnah oleh Prabima keparat itu!"
sahut Ludiro. "Tidak. Kau harus kembali ke Bukit
Badai. Ini saat-saat terakhir baginya antara hidup dan
mati. Ia telah kehilangan dirinya. Ia tinggal tulang
dibungkus kulit yang layu. Rama Sabdawana tak bisa
menyembuhkan karena penyakitnya itu sangat langka,
dan cuma kamu yang akan berhasil menyelamatkan
jiwanya. Cuma kamu, Lanang!"
Lanangseta termenung beberapa saat. Ia berjalan
dan memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Ia sempat mendengar Jaka Bego bertanya kepada
Ludiro yang ikut-ikutan memanggil 'paman' kepada
Ludiro.
"Dia itu siapa sebenarnya, Paman? Tumbal Bukit
Badai?!"
Ludiro tersenyum tipis. "Dia calon pengganti
penguasa Bukit Badai."
"Haahh...?!" Teriakan Jaka Bego begitu keras
sehingga mengagetkan yang lain.
Kepada Pak Lodang terpaksa Lanang berkata, "Kita
meneruskan perjalanan melalui Bukit Badai. Paman
Ludiro yang akan menggantikan saya untuk mengawal
Pak Lodang sekeluarga. Sedangkan saya... ada urusan
penting yang harus saya kerjakan sekarang juga. Tak
boleh terlambat."
Pak Lodang manggut-manggut walau kurang jelas
persoalannya. Lanang menambahkan kata, "Paman
Ludiro dan Jaka Bego tetap akan mengawal Pak Lodang
sampai ke desa Tayub, dan saya sendiri akan menyusul
ke sana kalau urusan saya telah selesai...."
Sebenarnya Mahani tak ingin berpisah dengan
Lanang. Tapi untuk sementara ini ia bisa memahami
kesibukan Lanang yang kelihatan sangat penting.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar