BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE MALAIKAT PEDANG SAKTI


malaikat pedang sakti

 

MALAIKAT PEDANG SAKTI

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga

episode Malaikat Pedang Sakti

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6



1

LUDIRO meloncat dengan ilmu peringan tubuh yang 

cukup sempurna. Pagar halaman Griya Teratai Wingit 

itu cukup tinggi, tetapi Ludiro dapat meloncatinya 

dengan mudah. Sementara itu, para penjaga Griya 

Teratai Wingit masih tertidur semua. Malam begitu 

gelap. Ludiro tidak membangunkan para penjaga. Ia 

sengaja melakukan penyelidikan sendiri di luar pagar 

bumi Griya Teratai Wingit. Ia mendengar suatu-suara, 

seperti dengus nafas seseorang di kegelapan malam. 

Karena itu ia berusaha memeriksanya dengan cermat. 

Arah suara ada di samping kanan dari pintu gerbang 

Griya Teratai Wingit.

"Siapa di sana?! Keluar!" bentak Ludiro tak terlalu 

keras. Tapi dari kegelapan malam dan rimbunan semak 

itu tetap tak ada jawaban.

Bagaimana pun sepinya tempat itu, Ludiro yakin ada 

seseorang yang sedang mengintai di kegelapan sana. 

Ludiro segera memegang pedang Jalak Pati warisan 

Putri Ayu Sekar Pamikat itu. Tetapi tak jadi dicabut. Ia 

juga sudah bersiap hendak melecutkan Cambuk Naga, 

tetapi cambuk yang bergagang hitam dan menempel di 

punggungnya itu tak jadi dicabut. Tak jadi dilecutkan.

Mata Ludiro masih memandang tajam mengawasi 

sekeliling. "Hemm... tak ada gerakan sedikit pun dari 

semak kegelapan itu," pikir Ludiro. Namun, nalurinya 

tetap mengatakan ada seseorang atau lebih yang 

bersembunyi di sana.

Maka secepat kilat Ludiro melemparkan senjata 

rahasianya berupa mata pisau beracun. "Wess... 

zzing...!" Bunyinya.

Lalu, terdengar suara, "triing...!"

Nah, senjata rahasia Ludiro ada yang menangkis.


Hebat. Pasti bukan orang sembarangan yang dapat 

menangkis senjata rahasia dalam kegelapan itu. Paling 

tidak pasti ia mempunyai kecepatan mencabut pedang 

yang cukup lumayan.

"Keluar kau, Iblis!" geram Ludiro sengaja agak keras.

Ludiro baru saja hendak melangkah mendekati 

semak yang gelap itu. Tahu-tahu nalurinya merasakan 

ada sesuatu yang cukup membahayakan. Ada 

hembusan angin tipis menuju ke arahnya. Segera 

Ludiro meloncat sambil bersalto ke belakang. Dan ia 

berdiri di dekat lampu obor penerang jalan. Ia 

mendengar suara menceracap di dedaunan.

"Hemm... jarum beracun...." gumamnya sambil 

manggut-manggut. "Pasti jarum beracun yang 

menyerangku tadi, dan pasti pemuda sinting itu 

pemiliknya. Siapa lagi yang mempunyai jurus jarum 

beracun kecuali putri Sabdawana dan pemuda sinting 

Prabima Wardana itu."

Kemudian tetap di tempatnya Ludiro berseru, 

"Prabima! Keluar kau dari persembunyianmu, Bangsat!"

Sepi. Tidak ada suara, tidak ada gerakan.

Namun, beberapa saat kemudian Ludiro 

berjumpalitan lagi di udara, dan menyumpah-nyumpah 

tak karuan. Ada lima lembar daun kecil melayang ke 

arahnya. Ludiro menghindari kelima lembar daun itu. Ia 

tahu, daun itu bukan sembarangan daun, tapi 

mempunyai tenaga dalam yang dapat memotong leher 

atau menembus batok kepala.

Sambil melentik tinggi dan berguling di udara, Ludiro 

sempat melepaskan senjata rahasianya ke arah 

datangnya lima daun itu. Dari kegelapan itu terdengar 

lagi denting senjata rahasia yang ditangkis oleh sebuah 

benda logam, mungkin sebilah pedang.

Ludiro sudah berdiri dengan tegak. Badannya yang 

pendek untuk ukuran seorang pendekar itu kelihatan


semakin legam, sebab kulit tubuhnya memang hitam. 

Matanya menatap dengan tajam, tegang, mengawasi 

tempat gelap itu dengan cermat. Ia segera mencabut 

pedang Jalak Pati ketika dari arah lain muncul sebuah 

serangan gelap. Serangan itu berupa sebuah senjata 

berbentuk piringan bergerigi. Ukurannya sebesar tutup 

gelas, dan warnanya putih logam berkilat.

"Trang...! Trang...!"

Dua kali senjata piring bergerigi itu melesat ke arah 

Ludiro, dan dua kali pula Ludiro mengibaskan 

pedangnya. Menangkis senjata itu sehingga tak tahu 

mental ke mana. Kini Ludiro tahu, musuhnya tidak 

hanya seorang, tetapi lebih. Bisa dua, bisa tiga, bisa 

juga banyak. Ia semakin meningkatkan kewaspadaan, 

mempertajam pandangan mata. Sebab kali ini 

musuhnya tidak kelihatan karena bersembunyi di 

tempat gelap.

"Hei, Monyet-monyet...!" kata Ludiro dengan dongkol. 

"Keluarlah dari persembunyian kalian! Jadilah seorang 

kesatria. Kalau mau mati, matilah secara kesatria juga!"

Dari rimbunan daun lebar, muncullah seorang lelaki 

berambut panjang. Putih rambutnya, putih juga jenggot 

dan kumisnya. Ludiro sengaja mundur ke tempat 

terang, supaya lelaki itu mendekat ke tempat terang.

Pancingannya mengena. Lelaki itu ternyata seorang 

kakek berjubah merah. Rambutnya panjang, putih, dan 

tanpa diikat, sehingga angin malam sempat membuat 

rambutnya berserakan ke mana-mana. Ia membawa 

sebatang tongkat sebesar lengan anak-anak. Bentuknya 

seperti ular, berbintik-bintik dan sedikit mempunyai 

lengkungan. Kepala tongkat itu juga seperti kepala 

seekor ular sanca. Matanya sipit tapi tubuhnya masih 

kekar, seperti tubuh anak muda saja.

"Siapa kau?!" hardik Ludiro menunjukkan 

keberaniannya


"Aku ingin ketemu Sabdawana!" kata kakek itu tegas.

"Rama Sabdawana tak dapat diganggu. Ia sedang 

repot!" jawab Ludiro yang tetap ingat pesan Sabdawana, 

ayah perempuan yang bernama Kirana Sari itu. Ludiro 

ingat, bahwa keamanan Griya Teratai Wingit itu 

dipercayakan kepadanya selama Sabdawana masuk ke 

kamar semedi. Rohnya akan melayang mencari di mana 

Pendekar Pusar Bumi berada. Dan Sabdawana telah 

wanti-wanti kepada Ludiro, agar selama ia semadi 

jangan ada yang boleh masuk atau mengusiknya. 

(dalam kisah Pedang Semerah Darah).

"Jangan halang-halangi langkahku, Orang bodoh!" 

gertak kakek berambut putih itu. "Kalau kau nekad, 

kau akan mati dan ragamu akan menjadi debu."

"Setiap orang kelak akan menjadi debu, sebab ia 

tercipta dari debu pula. Kenapa aku harus takut mati?" 

jawab Ludiro dengan tenang tapi tetap waspada, sebab 

ia ingat di lain sisi masih ada pengintai lain yang 

sewaktu-waktu dapat menyerangnya.

"Supaya kau ketahui," kata kakek itu. "Aku punya 

urusan dengan Sabdawana. Jadi, aku hanya ingin 

ketemu dia, bukan kamu. Mengerti?"

"Dan perlu kau ketahui, Kek... untuk menemui Rama 

Sabdawana harus melangkahi mayat Ludiro dulu, 

tahu?" seraya Ludiro. menepuk dadanya. Pedang Jalak 

Pati masih di tangan kanan, tergenggam kuat.

"Hei, jangan panggil aku kakek, ya? Kurobek 

mulutmu nanti. Panggil namaku... Begal Dogol! 

Mengerti?!"

Kakek itu tampak marah dengan mata yang sipit 

dilebarkan. Tapi Ludiro hanya tersenyum 

menyepelekan. Ludiro bahkan berani berkata,

"Orang setua kamu sudah pantas dipanggil kakek."

"Kurang ajar. Kurobek betul mulutmu, hah...?!" Dan 

kakek yang mengaku bernama Begal Dogol itu


menyerang Ludiro dengan satu pukulan tangan kirinya.

Ludiro sempat mengelak ke samping, sehingga 

pukulan itu hanya lewat beberapa inci dari depan 

hidungnya. Tapi pada saat ia memiringkan tubuh, 

dengan cepat tangan kosongnya menghantam rusuk 

Begal Dogol. Kakek tua itu tidak merasakan sakit, 

kecuali hanya menahan nafas beberapa saat. Lalu, 

dengan cepat tongkat ularnya menyodok perut Ludiro. 

Ia menggunakan satu tangan untuk menyodokkan 

tongkat itu. Dan oleh Ludiro yang mundur dua langkah 

dengan cepat itu segera mengibaskan pedangnya, 

menebas tongkat tersebut. Hanya saja, tongkat itu tidak 

patah. Bahkan terdengar suara berdenting bagai besi 

beradu dengan besi. Padahal menurut dugaan Ludiro, 

tongkat itu hanya terbuat dari akar sebuah pohon yang 

keras serta dibentuk seperti ular sanca. Aneh. Kok bisa 

berdenting? Pasti dialiri tenaga dalam yang cukup kuat 

dan hebat.

"Mampus kau, Kunyuk...!" geram Begal Dogol. Ia 

memukulkan tongkatnya ke kepala Ludiro. Tapi Ludiro 

merunduk. Angin pukulannya sempat membuat rambut 

Ludiro rontok beberapa helai. Pada waktu itu kaki 

kanan Ludiro memutar dan menghantam tubuh Begal 

Dogol. Sayang hanya mengenai bagian lengannya. 

Tetapi sudah cukup membuat Begal Dogol hampir 

terpelanting.

Ia berhenti. Tidak menyerang. Nafasnya terengah dan 

diaturnya setenang mungkin. Ludiro sendiri juga tidak 

melanjutkan pertarungannya. Namun ia tetap sigap dan 

waspada. Seorang pengintai masih bersembunyi di balik 

semak kegelapan. Pengintai itu diperkirakan adalah 

seorang pemuda yang bernama Prabima. Pemuda inilah 

yang membuat Lanangseta pergi meninggalkan Kirana 

Sari, putri Sabdawana yang kini menderita sakit karena 

kerinduan hati berubah menjadi racun di dalam


darahnya. Ayah Kirana hanya bisa mencari tahu di 

mana Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu, 

dengan cara bersemadi, mengeluarkan roh dari raganya 

untuk melayang-layang mencari Lanangseta. (dalam 

kisah PEDANG SEMERAH DARAH)

"Sia-sia aku bertarung melawanmu, Kunyuk!" kata 

Begal Dogol. "Aku punya urusan dengan Sabdawana! Ini 

urusan orang tua dengan orang tua. Kau tidak 

mempunyai hak untuk turut campur dalam urusan ini."

Ludiro menyunggingkan senyum sinis. Ia 

menyarungkan pedang Jalak Pati, dan berkata, "Aku 

diberi hak oleh Rama Sabdawana untuk menangani 

masalah seperti ini. Dan...."

Orang tak akan menyangka bahwa Ludiro yang 

masih tenang berbicara dengan Dogol itu tiba-tiba 

meloncat dan berjumpalitan ke udara. Ternyata ia 

hanya menghindari serangan jarum beracun yang 

datang dari arah semak kegelapan. Nalurinya begitu 

kuat dan sangat peka. Sehingga, jarum-jarum beracun 

yang jumlahnya lebih dari seratus itu melesat melewati 

tubuh Ludiro, lalu menuju badan Begal Dogol. Seketika 

itu pula, Begal Dogol pun kaget dan secara reflek 

menggerakkan tongkatnya sambil melompat ke arah 

kanan. Terdengar bunyi kayu dihunjam jarum bertubi-

tubi. Dalam keremangan cahaya obor penerang jalan 

Ludiro dapat melihat bahwa jarum-jarum itu menancap 

pada tongkat milik Begal Dogol. Menancap dengan rapi 

bagai disusun seseorang dengan tekun.

Ludiro tak tahu, apakah Begal Dogol sengaja 

memancingnya bicara, dan mengurangi kewaspadaan 

Ludiro supaya bisa diserang dengan tiba-tiba oleh orang 

yang bersembunyi itu, atau memang sesuatu yang 

kebetulan saja sifatnya? Tak peduli telah terjadi 

persekongkolan atau tidak, tapi Ludiro terpaksa 

mencabut Cambuk Naga untuk bisa memukul dari


jarak jauh. Cambuk Naga dilecutkan satu kali ke arah 

semak kegelapan itu.

"Taar...!"

Sebuah cambukan biasa-biasa saja, tetapi ujung 

cambuk itu mengenai seseorang yang bersembunyi di 

sana, dan orang itu mengaduh tertahan. Ludiro hendak 

mengejar orang tersebut, tetapi ia membatalkan 

niatnya, sebab Begal Dogol bergerak melayang. Ia ingin 

masuk ke dalam Griya Teratai Wingit dengan cara 

melompati pagar tersebut yang tingginya dua kali 

ukuran tembok. Karena itulah, maka tubuh Ludiro 

akhirnya melayang juga ke arah pagar tinggi, dan 

melemparkan Begal Dogol dengan hempasan tenaga 

dalamnya. Tubuh Begal Dogol melayang bagai daun 

terbang, dan jatuh di dekat semak kegelapan dengan 

posisi berdiri tegak, kedua kakinya merenggang kokoh.

"Keparat...!" geram kakek berambut panjang itu.

Begal Dogol hendak menyerang, namun dari dalam 

semak kegelapan itu keluarlah seorang pemuda yang 

persis seperti dugaan Ludiro.

"Biar saya yang menghadapi, Guru!" kata Prabima 

kepada Begal Dogol.

"O, rupanya kau murid si tua bangka peot itu, ya?!" 

ledek Ludiro dengan masih berdiri di atas pagar. Lalu ia 

melompat turun dan tertawa dengan sinis.

Kokok ayam menjelang pagi terdengar di kejauhan. 

Samar-samar sekali. Pada saat itulah, Prabima berlari 

menyerang Ludiro dengan pedangnya. Ludiro sengaja 

melompat ke belakang dengan bersalto dua kali. Begitu 

kakinya menginjak tanah, cambuknya segera 

dikibaskan.

"Tarr...!" Cambuk itu melecut tangan Prabima. 

Tangan itu berdarah, seperti dulu lagi. Pedangnya jatuh. 

Prabima menyeringai kesakitan.

Para penjaga terbangun. Dua orang membuka pintu



gerbang dan menghambur keluar. Melihat kedua 

penjaga membuka pintu gerbang, Begal Dogol 

tersenyum, kemudian berusaha masuk. Tetapi kedua 

penjaga itu melarangnya dengan melancarkan pukulan 

ke arah Begal Dogol. Tongkat Begal Dogol beraksi, 

memukul tangan penjaga dengan keras, sehingga kedua 

penjaga itu menyeringai kesakitan. Kemudian kaki 

Begal Dogol mengibas, bagai menampar kedua penjaga 

itu, sehingga kedua orang tersebut tersungkur ke 

samping, Begal Dogol melangkah ke pintu gerbang.

Saat itu Ludiro berlari dan meloncat dengan kaki kiri 

direntangkan ke samping. Kaki itu mengenai lengan 

Prabima hingga pemuda bertampang ganteng itu 

sempoyongan. Dan gerakan Ludiro dilanjutkan dengan 

bersalto satu kali. Ia mendarat di belakang Begal Dogol 

yang hendak masuk ke pintu gerbang. Cambuk Naga 

dikibaskan, lalu berhasil membelit di leher Begal Dogol. 

Sejenak kakek tua itu berusaha melepaskan lilitan 

Cambuk Naga yang terbuat dari serat benang sutera 

tipis namun mempunyai kekuatan yang luar biasa. 

Agaknya kakek berambut panjang merasa kesulitan 

membuka lilitan cambuk, sehingga ia menghentakkan 

kakinya kuat-kuat. Melayang dan bersalto ke belakang 

dua kali. Kakinya mendarat di tanah dengan mantap, 

dan kini posisinya berada di belakang Ludiro. Dengan 

sekali hentakan kaki ke depan, Ludiro nyaris terdorong 

rubuh. Tapi tangannya masih kuat memegangi gagang 

cambuk. Dengan tenaga besar Ludiro menggeret 

cambuknya, di sentakkan kuat-kuat sehingga tubuh 

Begal Dogol terbawa ke depan. Dan pada saat itulah 

kaki Ludiro menendangnya kuat sekali, sehingga Begal 

Dogol terpental ke belakang setelah lehernya merasa 

bagai tercekik, lalu seperti dibeset dengan benang 

tajam.

Leher itu berdarah. Begal Dogol segera meludahi


telapak tangannya, lalu mengusap leher yang terbeset 

cambuk. Dalam sekejap, luka dan darah hilang dari 

leher Begal Dogol. Ia tersenyum sinis kepada Ludiro. 

Ludiro menggeletukkan gerahamnya. Pada saat itu, 

tubuh Prabima melayang menyerang Ludiro dengan 

kaki miring ke samping.

Kemarahan dan kebencian Ludiro meluap, maka ia 

mengibaskan cambuknya dengan suatu luapan emosi 

yang kuat. Dan akibatnya, sungguh mengerikan. 

Cambuk itu mengenai pundak Prabima.

"Aaakhh...!" pekik Prabima kesakitan, karena 

pundak itu patah dan robek begitu dalam. Darah 

mengucur banyak sekali. Begal Dogol khawatir kalau 

luka itu sampai ke jantung, karenanya ia segera 

menyerang Ludiro dengan lemparan senjata lempengan 

bulat bergerigi tajam. Tanpa disadari, tangan Ludiro 

bergerak sendiri, mencambuk-cambukan senjatanya 

dengan salah satu kaki ditekuk hingga lututnya hampir 

menyentuh tanah. Cambuk itu melecut sebanyak 7 kali, 

sesuai dengan senjata bulat yang dilemparkan Begal 

Dogol. Cambuk itu mengenai lempengan besi bergerigi, 

dan membuat besi itu terpental ke mana-mana.

Ludiro dalam keadaan sibuk. Begal Dogol segera 

mengangkat tubuh Prabima dengan gerakan yang tak 

dapat diikuti oleh pandangan mata orang. Tahu-tahu ia 

telah berada dalam jarak beberapa meter sambil 

menggendong Prabima yang terluka parah itu.

"Tunggu! Tunggulah kehadiran muridku yang lain 

yang akan melumatkan batang hidungmu, Kunyuk!" 

teriak Begal Dogol. Ludiro hendak mengejar pada waktu 

Begal Dogol pergi membawa kabur Prabima Wardana, 

tetapi puncak Ludiro terasa ada yang menekannya 

dengan berat sehingga ia tak jadi melangkah mengejar 

Begal Dogol.

Waktu Ludiro berpaling, ia terperanjat sedikit,


karena yang menekan pundaknya itu ternyata 

Sabdawana sendiri. Agaknya Sabdawana telah selesai 

bersemadi beberapa hari lamanya. Ludiro pun buru-

buru memberi sikap menghormat kepada lelaki tua itu.

"Jangan kau kejar dia. Berbahaya."

"Rama mengenal dia?"

Sabdawana mengangguk, matanya yang 

memancarkan kharisma dan kewibawaan itu 

memandang tempat kepergian Begal Dogol. Matahari 

sudah mulai muncul, dan gumam Sabdawana terdengar 

jelas.

"Begal Dogol...! Hem, dia musuh lamaku."

"Agaknya dia cukup tangguh, ya Rama?"

"Seharusnya begitu. Berpuluh-puluh tahun dia 

menghilang dari rimba persilatan setelah kukalahkan. 

Tentunya ia mencari ilmu dan menambah kehebatan 

dirinya untuk melawanku," tutur Sabdawana dengan 

datar.

"Jadi, kedatangannya ke mari adalah untuk 

membalas dendam atas kekalahannya dulu?" tanya 

Ludiro.

"Ya," Sabdawana mengangguk. "Tapi agaknya ada 

keperluan lain juga, mengingat dia telah bersekutu 

dengan Prabima Wardana."

"Pemuda itu muridnya, Rama. Saya mendengar dia 

memanggil Begal Dogol dengan sebutan 'guru'."

Sabdawana manggut-manggut sambil menggumam. 

Kemudian ia melangkah masuk halaman Griya Teratai 

Wingit, di mana ia tinggal di situ bersama anak 

perempuannya dan para pelayan serta pengawal yang 

berjumlah sepuluh orang.

"Bagaimana tentang Lanangseta menurut Rama?" 

tanya Ludiro yang segera ingin mendengar bagaimana 

keadaan Lanang.

Sabdawana diam beberapa saat, sepertinya


menyimpan keraguan. Ia duduk di atas tempat duduk 

empuk yang berbentuk bunga teratai. Tempat duduk itu 

terbuat dari batu cadas berukir dan dilapisi beberapa 

kain yang dibungkus oleh mori putih bersih.

"Aku menemui kesulitan dalam melacak di mana 

Lanangseta. Rohku hampir saja nyasar tak tentu arah." 

kata Sabdawana dengan pelan. "Susah memastikan 

apakah Lanangseta masih hidup atau sudah mati."

"Saya harap Rama jangan bicara terlalu keras, takut 

kalau putri mendengarnya, dan akan semakin parah."

Setelah diam sejenak, Sabdawana bicara seperti 

dalam sebuah gumam, "Dia... memang sudah parah."

Ludiro menghela nafas, merasa prihatin dan kasihan 

terhadap anak gadis Sabdawana.

"Bagaimana selama kutinggal bersemadi?" tanya 

Sabdawana.

"Baru tadi ada gangguan, si tua bangka Begal Dogol 

dengan setan kencur Prabima itu."

"Putriku...?"

"Putri anda selalu menanyakan hasil semedi yang 

anda lakukan, Rama. Ia benar-benar ingin mendengar 

kabar tentang Pendekar Pusar Bumi itu."

Kini, Sabdawana yang menghempaskan nafas 

panjang.

"Tapi selama ini saya sudah mencoba dan selalu 

mencoba mengalihkan perhatian serta pikirannya ke 

arah lain."

"Berhasil?"

"Sesekali berhasil, sesekali ia ingat Lanangseta, lalu 

menangis lagi. Ah, saya jadi tak habis pikir, putri anda 

yang tegar itu bisa berubah menjadi perempuan 

cengeng dan lemah sekali," ujar Ludiro.

"Itulah keburukan racun yang sudah terlalu 

bercampur dengan darahnya. Bahkan racun itu akan 

membuat dia menjadi seperti anak kecil lagi,


kemudian... mungkin tak akan tertolong lagi." Kata-kata 

itu terlontar begitu lirih dan membuat wajah 

Sabdawana sangat murung.

"Kalau begitu," kata Ludiro setelah sama-sama 

berpikir beberapa saat. "... anda katakan saja bahwa 

anda telah bertemu dengan Lanangseta dan hendak 

kembali kalau sudah selesai urusannya. Mungkin 

sebentar lagi. Begitu, Rama."

Sabdawana menggeleng. "Aku tak boleh bohong. 

Kebohongan hanya akan merugikan diri sendiri. Aku 

harus mengatakan yang sebenarnya. Kalau aku 

berbohong dengan mengatakan seperti saranmu itu, dia 

pasti akan bangga dan senang. Harapan untuk bertemu 

Lanangseta akan semakin menggebu dan tak sabar. 

Tapi jika sampai beberapa hari ternyata Lanangseta 

tidak datang, ia akan kecewa. Semakin rindu dan 

semaian tersiksa. Kerinduan yang sangat kuat itu akan 

lebih meracuni darahnya, lalu dia akan mati. Kalau dia 

mati, berarti aku kehilangan dia. Jelas akan 

membuatku sangat menderita. Itulah sebabnya 

kukatakan tadi, kebohongan akan merugikan diri kita 

sendiri."

Ludiro manggut-manggut, merasa menyesal juga 

telah memberi saran tak sehat kepada Sabdawana. 

Untung Sabdawana orang yang teliti, yang bisa 

membedakan mana salah dan mana benar. "Hahhh...!" 

Ludiro. mendesah bagai merasa gemas. Dalam hati ia 

bertanya dengan jengkel, "Ke mana sebenarnya 

Lanangseta itu?!"

***

2

SINAR matahari menyorot ke bumi dengan tajam. 

Ada bayangan yang berjalan dengan tegap. Bayangan 

dari sesosok tubuh yang kekar, tegap dan seakan penuh 

keyakinan atas dirinya. Bayangan itu tak lain adalah 

milik Lanangseta, Si Pendekar Pusar Bumi, yang telah 

mendapat gelar dari seorang guru, sehingga ia patut 

menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti. Sebenarnya, 

sudah pantaskah ia menyandang gelar agung itu?

Orang akan menilai suatu perbuatan dari orang lain. 

Dan perbuatan, gerakan serta kemampuan Lanangseta 

dalam memainkan jurus-jurus pedangnya itulah yang 

akan membuat orang percaya, bahwa ia memang pantas 

menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti.

Meski sesekali langkahnya menjadi pelan karena 

merasa ada yang mengikuti, namun Lanangseta tak 

menunjukkan kecurigaannya. Ia tetap melangkah 

dengan tegap, tenang dan mantap. Sampai pada suatu 

saat, ia terpaksa harus berhenti karena melihat 

pengemis yang duduk di bawah sebuah pohon, tak jauh 

dari sebuah desa.

"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan," 

pengemis itu mengulurkan tangannya dalam posisi 

tengadah. Lanangseta memperhatikan sekilas. Tatapan 

matanya cukup bersahabat. Pengemis muda yang kurus 

kering dengan pakaian compang-camping itu 

memperlihatkan wajah sedihnya.

"Sedikit sedekah, Tuan, semoga bisa menjadi berkah. 

Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak 

makan...."

Lanangseta merasa tertarik dengan keadaan 

pengemis itu. Ia ingin memberikan saran sedikit kepada


si pengemis, "Kamu masih muda, kan? Usiamu tidak 

jauh lebih tua dariku, bahkan lebih muda. Apa tak bisa 

cari kerja? Jangan malas, bekerjalah. Kerja apa saja, 

yang penting bisa buat hidup sendiri."

Pengemis muda itu cemberut, "Ini juga bekerja, kan? 

Apa Tuan pikir mengemis itu bukan suatu pekerjaan?"

Senyum tenang Lanangseta mengembang di bibirnya. 

"Yang kumaksud bekerja sebagai pengemis, berbeda 

dengan bekerja sebagai pekerja atau buruh. Kamu 

masih kuat mencangkul sawah, buruh tani apa saja. 

Menggembala kambing milik orang kaya juga masih 

mampu. Kenapa harus mengemis?"

"Yaah... mungkin sudah bakat."

"Apa kau punya cita-cita jadi pengemis?"

Pemuda kurus kerempeng itu menggeleng.

"Lalu, apa cita-citamu?"

"Mengetuai semua pengemis di dunia ini, Tuan."

"Hah... itu sama saja!"

"Lain, Tuan. Pendapatannya lebih besar. Saya tidak 

perlu merengek, menyusun kata yang menyedihkan 

supaya diberi berkat. Saya tinggal memberi perintah 

kepada anak buah saya: hari ini si A mengemis di 

wilayah sana, si B mengemis di wilayah sini... Besok si 

A ganti ngemis di sini, si B di sebelah sana... Ah, cuma 

mengatur jalannya perngemisan dunia, apa susahnya 

sih? Paling-paling saya memberi pelajaran bagaimana 

menjadi pengemis yang sukses kepada anak buah. Kan 

enak kalau begitu? Cita-cita yang agung kan?"

Lanangseta tertawa pendek, pelan. Ia menggeleng 

samar. "Itu keliru. Itu tidak baik."

"O, jadi Tuan pendekar punya cara yang lebih baik 

tentang bagaimana mengatur perkembangan pengemis 

di dunia ini? Jadi, Tuan juga punya teknik mengemis 

yang lebih tepat lagi, ya?"

"Tidak. Kau tidak mengerti maksudku. Kau...."


"Kalau begitu, beri sajalah saya sedekah biar Tuan 

tidak pusing-pusing menasehati saya...."

"Aku tak ingin mendidik orang menjadi malas...." 

kata Lanangseta seraya pergi meninggalkan pengemis 

muda. Gerutu pengemis itu terdengar jelas, hanya kata-

katanya yang sukar dipahami. Tetapi Lanangseta tidak 

peduli. Ia terus melangkah sambil menimbang-nimbang, 

haruskah ia pulang ke Griya Teratai Wingit?

Ah, itulah yang membuat Lanangseta gelisah dalam 

hati. Ia ingat Kirana kekasihnya, tapi ia juga ingat 

pemuda Prabima yang memuakkan. Apalagi jika ia ingat 

kata-kata Prabima yang memberitahu, bahwa Kirana 

sudah menyerahkan keperawanannya kepada Prabima. 

Bahwa pula, Kirana yang menyuruh Prabima datang 

dan melukai Lanangseta, supaya perkawinan Lanang 

dan Kirana tertunda beberapa saat, sementara Kirana 

ingin menikmati kemesraan dengan Prabima beberapa 

saat lagi. Uuh... benci sekali Lanangseta mengingat 

peristiwa itu (dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH)

Pada waktu itu, Kirana memang tidak ada di tempat. 

Bahkan menghilang sampai beberapa saat. Hal itu pula 

yang membuat kecurigaan Lanangseta semakin kuat, 

bahwa Kirana memang ada main belakang dengan 

Prabima. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bertemu 

lagi dengan Kirana, karena almarhum kakek Tongkat 

Besi telah membawanya kabur ke Bukit Dewa. Dan 

sampai sekarang, Lanangseta tidak tahu bagaimana 

keadaan Kirana, bagaimana nasib Prabima dan 

bagaimana kisah Griya Teratai Wingit sejak 

kepergiannya sampai dua bulan lebih ini. Tak tahu. 

Sungguh tak ada berita sedikit pun tentang hal itu yang 

masuk ke telinga Lanangseta, atau si Malaikat Pedang 

Sakti, alias Pendekar Pusar Bumi itu.

Langkah Malaikat Pedang Sakti terhenti sejenak, 

seperti ada sesuatu yang mengejutkan. Ia belum


memasuki perbatasan desa, namun ia sudah bertemu 

dengan seorang pengemis muda yang kini ada di 

depannya dalam jarak kira-kira 20 langkah lagi. Dan 

herannya, pengemis muda yang tadi juga yang 

ditemuinya saat ini. Dalam hati Lanangseta berkata, 

"Hebat juga kecepatan lari pengemis itu? Atau... 

mungkin ia telah mendahului langkahku tanpa 

kusadari? Mungkin pada saat aku melamun itulah ia 

telah mendahuluiku?"

"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."

Lanangseta sengaja berhenti dan memperhatikan 

pengemis muda bertubuh kurus kerempeng dengan 

pakaian compang-camping itu. "Ah, kata-katanya pun 

sama saja," pikir Lanang. Pengemis itu memperlihatkan 

wajah dukanya, lesu dan murung. Ia mengucap kata, 

"Sedikit sedekah, Tuan, semoga menjadi berkah. 

Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak 

makan...."

"Persis!" gumam Lanangseta dalam hati. Persis 

seperti yang didengarnya tadi, ketika bertemu pengemis 

muda itu di bawah pohon. Lanangseta bagai 

menyimpan suatu rahasia. Ia tersenyum, lalu segera 

meninggalkan diri. Pengemis itu menggerutu tak jelas 

ucapannya. Namun pada saat ditinggalkan Lanangseta 

ia tetap duduk di tempatnya bersila. Lanangseta lari 

dengan cepat dan naik ke atas pohon dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dan dari atas 

pohon ia tetap melihat pengemis tadi duduk di 

tempatnya. Karena jauhnya, sampai terlihat seakan 

sebuah titik yang diam tak bergerak sedikit pun.

Kemudian Lanangseta turun dari pohon. Ia yakin 

pengemis seusia adiknya itu masih duduk di 

tempatnya. Ia segera lari ke arah rimbunan pepohonan, 

di mana di balik rimbunan itu pasti terdapat sebuah 

desa. Lanang sengaja melesat bagai bayangan cahaya


supaya cepat sampai di desa itu. Ia harus mencari kedai 

buat mengisi perutnya.

Tetapi ia terkejut lagi, karena ketika ia tiba di tepian 

desa, ia telah melihat seorang anak muda berpakaian 

compang-camping, duduk bersila menunggu orang 

lewat. Itu si pengemis kurus kerempeng tadi.

"Sial! Dia sudah ada di depanku?! Padahal aku 

sudah berlari tidak sekedar berlari. Jurus Badai 

Menghembus sudah kugunakan. Tapi nyatanya aku 

kalah cepat dengan pengemis itu. Ia tahu-tahu sudah 

menghadangku di sana."

Lanangseta sengaja lewat tanpa berhenti di depan 

pengemis muda itu. Ia berlagak tidak tahu kalau 

pengemis itu ada di situ. Namun, tak urung ia tetap 

mendengar ucapan pengemis itu seperti tadi juga: 

"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."

Lanang pura-pura tidak mendengar. Lalu pengemis 

muda itu melanjutkan kata, "Sedikit sedekah, Tuan, 

semoga menjadi berkah. Kasihanilah saya... sudah 

beberapa hari tidak makan...."

Sambil berjalan terus tanpa berpaling, Lanangseta 

berkata dalam hati, "Dia bukan pengemis sembarangan. 

Anak muda itu pasti punya maksud tertentu di 

depanku. Ah, biarlah, aku tak mau banyak urusan 

dengannya."

Lanangseta tiba di depan kedai yang pengunjungnya 

tak begitu banyak. Perutnya mengkerukuk menahan 

lapar. Maka ia pun segera masuk ke kedai yang cukup 

besar itu. Tapi baru tiba di depan pintu masuk, tahu-

tahu ia melihat pengemis muda itu sudah duduk 

bersila, seakan sudah dari tadi ia berada di situ. Gila!

Dan waktu Lanangseta hendak lewat di depannya, 

Lanang sudah tahu apa yang ia dengar dari mulut 

pemuda kurus itu.

"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."



Lanang segera menyahut, "Sedikit sedekah, Tuan, 

semoga menjadi berkah... kasihanilah saya... sudah 

beberapa hari tidak makan...."

Maksudnya Lanangseta mengejek pengemis itu, 

menirukan kata-kata tersebut, sekaligus menunjukkan 

bahwa ia sudah bosan mendengar ucapan si pengemis 

muda. Tetapi di luar dugaan, ada pengunjung kedai 

yang mendengar ucapan Lanangseta tadi. Sambil 

menggerutu, pengunjung itu melemparkan sekeping 

uang kepada Lanangseta, "Uhh... masih muda, gagah, 

kuat, kok mengemis. Nih, ala kadarnya saja...!"

Tangan Lanangseta tak sadar menangkap sekeping 

uang tersebut dengan mulut terbengong. Orang itu 

mengira Lanang sedang mengemis kepadanya. Dan... 

dan Lanang bingung dengan uang tersebut. Akhirnya ia 

melemparkan uang itu, jatuh di tangan pengemis muda, 

lalu Lanang segera mendekati orang berkumis yang 

melemparkan uang tadi.

"Bukan saya yang meminta sedekah, tapi pemuda 

it...." Lanangseta kebingungan sendiri. Pengemis muda 

itu menghilang dengan cepat. Jari tangan Lanangseta 

menunjuk tempat yang sudah kosong. Tentu saja orang 

berkumis yang melemparkan uang kepada Lanang 

hanya mencibir, seraya berkata, "Alaaah... pakai alasan 

segala. Ngemis ya ngemis!"

Tentu saja Lanangseta jadi salah tingkah. Hanya 

gara-gara hal seperti itu, masa' ia harus berdebat 

dengan orang berkumis. Nanti apa kata orang: Datang-

datang dikira cari keributan. Maka, Lanangseta tak 

menghiraukan kata-kata orang itu lagi. Ia segera 

mencari tempat dan memesan makanan serta minuman 

untuknya. Tetapi ia masih penasaran dengan pengemis 

muda yang membuatnya terkecoh tadi. "Ke mana 

perginya anak itu?"

Pemilik kedai menghidangkan nasi dengan dua


potong paha ayam goreng. Minumannya... segelas air 

putih. Lalapnya, sambal terasi dengan daun kemangi 

dan ketimun mentah. Tak lupa pemilik kedai juga 

menyediakan kendi air yang diletakkan tak jauh dari 

jangkauan tangan Lanangseta.

Mendadak Lanang membelalakkan mata, ia melihat 

pengemis muda yang kurus kerempeng dengan pakaian 

compang-camping itu duduk pula di salah satu meja 

kosong. Letaknya di depan Lanang, agak serong ke arah 

kiri. Menyudut. Lanangseta memperhatikan dengan 

diam-diam. Perasaannya sedikit heran, mengapa 

pengemis itu memperhatikan ia juga secara diam-diam. 

Siapa dia sebenarnya dan apa perlunya?

"Hah...?!" Lanangseta hampir saja berseru kaget. 

Karena pada saat itu, ia melihat air dalam cangkir yang 

belum diminum itu sudah habis mendadak. Ia 

mengangkat cangkir itu, kalau-kalau bocor. Ternyata 

tidak.

Lanangseta menuang air kendi ke cangkir itu, dan ia 

segera makan dengan tenang. Tapi pada waktu ia harus 

minum karena seret, tahu-tahu cangkir itu telah kosong 

lagi.

"Gila! Apa-apaan ini?!" pikir Lanangseta sambil 

melirik ke arah pengemis muda yang memperhatikan 

dari sudut sana. Tampak seulas senyum tipis mekar di 

bibir pengemis berkulit hitam dan berambut tak teratur 

itu.

Lanang menggumam dalam hati, seperti menyimpan 

suatu rencana. Lalu ia menuang kembali air kendi ke 

dalam cangkirnya. Namun bersamaan dengan itu, 

gerakan tangan cepat Lanang tak terlihat siapa pun 

bahwa ia mencampurkan sedikit sambal terasi pada air 

tersebut. Lalu, ia berlagak makan dengan tenang lagi. 

Sesaat kemudian, ia mendengar suara orang terbatuk-

batuk dan megap-megap kepedasan. O, rupanya


pengemis muda itu kepedasan, padahal ia tak makan 

nasi dengan sambal. Lanang melirik cangkirnya; O, 

kosong!

Sekarang Lanang sudah jelas, bahwa pengemis itu 

memang bukan pengemis sembarangan. Ia mempunyai 

ilmu yang di luar dugaan orang, ternyata cukup hebat. 

Ia dapat meminum air di cangkir orang lain dari jarak 

jauh. Buktinya ketika minuman Lanang diam-diam

dicampur sambal, pengemis muda itu yang kepedasan 

dan megap-megap. Lidahnya dikipasi dengan tangannya 

sendiri. Di samping itu, ia juga mempunyai ilmu 

mempercepat gerakan tubuhnya. Buktinya, tiga kali 

lebih Lanang menemukan dia masuk duduk bersila di 

depan langkah Lanang. Padahal waktu tadi, Lanang 

sudah mencoba berlari melesat menggunakan ilmu 

Badai Menghembus, nyatanya pengemis kurus 

kerempeng itu bisa melebihi kecepatan jurus Badai 

Menghembus.

Hemm... siapa dia sebenarnya? Apa maksudnya 

memamerkan kehebatannya itu di depan Lanangseta? 

Apakah ia tak tahu bahwa yang diikutinya itu murid 

seorang dewa?

Lanangseta berpaling, seperti orang-orang itu, 

melongok ke luar kedai. Di sana ada serombongan 

manusia yang tengah mengarak seorang lelaki berikat 

kepala kain batik warna hitam. Orang itu tidak 

mengenakan baju, kecuali celana pangsi hitam. Kedua 

tangannya diikat ke belakang. Dan ia berjalan dengan 

didorong-dorong oleh beberapa orang bertampang galak. 

Sesekali ia tersungkur rubuh, lalu diseret agar bangun 

lagi, dan berjalan kembali. Selain orang-orang 

bertampang galak, juga ada beberapa penduduk yang 

mengikuti dengan wajah-wajah tegang dan perasaan 

sedih yang tak sempat tercurah semuanya.

Salah seorang pengunjung kedai itu berkata kepada



temannya, "Wah, akhirnya mati juga Pak Lodang itu...."

"Memangnya kenapa sih?" tanya temannya.

"Gara-gara tidak membayar pajak ke Kanjeng 

Adipati, akhirnya dia akan dihukum gantung, kan? 

Padahal dia sudah kuingatkan, bayarlah pajak 

penghasilan sawahnya kepada Kanjeng Adipati, supaya 

ia tidak celaka. Eh, dia tetap tidak mau."

"Ck, ck, ck... kasihan dia, ya? Akhirnya nasibnya 

seperti Marjan dan mak Idah. Digantung!" komentar 

yang lain.

"Tapi... anak dan istrinya kok tidak kelihatan?"

"Yah, mungkin mereka sengaja tidak diberitahu oleh 

kaki tangan Kanjeng Adipati Legowo. Biasa, bikin 

kejutan!"

Istri pemilik kedai berlari-lari ke luar dari dapur dan 

bertanya kepada suaminya, "Ada apa lagi itu, Pak?"

"Ada orang mau digantung."

"Hahh...?! Siapa?!"

"Pak Lodang...."

"Ya, Gustiii... kasihan amat nasibnya...." keluh istri 

pemilik kedai dengan wajah sedih. "Lalu bagaimana 

nasib istri dan anak gadisnya, si Mahani itu...? Ah, 

kasihan sekali dia."

Otak Lanangseta merekam semua pembicaraan yang 

didengarnya. Hatinya sempat ikut terharu melihat lelaki 

kurus tanpa baju dengan punggung dan dada membilur 

biru akibat bekas cambukan itu, didorong-dorong oleh 

beberapa orang bersenjatakan golok. Mereka kasar-

kasar, dan tak mengenal belas kasihan.

Karena orang-orang dalam kedai ikut ke luar, 

mendekati rombongan tersebut, maka Lanangseta pun 

demikian. Ia ke luar dengan mata memandang orang-

orang kasar, menghitung dalam hatinya. Ada yang 

berpakaian seperti warok, serba hitam dan memakai 

ikat kepala batik hitam dengan bentuk khusus,


menyerupai sepasang tanduk. Orang itu berbadan 

besar, memakai gelang akar bahar, berkumis melintang 

tebal, alisnya juga tebal, dan matanya lebar membelalak 

ganas. Ia mengenakan ikat pinggang sepertinya dari 

sebuah tali halus, besarnya hampir satu genggaman 

orang dewasa. Pada kedua ujung sabuk itu terjulur ke 

bawah, hampir sebatas lutut. Warnanya merah 

berseling hitam. Ia berjalan pada barisan paling 

belakang. Langkahnya mantap, gerakan matanya penuh 

kecurigaan. Orang itu agaknya memegang peranan 

dalam rombongan tersebut. Buktinya, ketika 

rombongan sampai di bawah tiang gantungan di sebuah 

alun-alun yang tak jauh dari desa itu, barisan orang-

orang kasar terbelah menjadi dua jalur, dan orang 

berkumis melintang itu berjalan dengan tenang 

mendekati Pak Lodang.

"Siapa dia?" bisik Lanang kepada salah seorang 

penduduk.

"Itu yang namanya Warok Sabuk Geni. Orang kuat di 

dalam dalem kadipaten. Dia kan orang andalan Adipati 

Legowo...."

Lanangseta mengangguk-angguk. Tiba-tiba dari arah 

sampingnya nyeletuklah suara, "Namanya aneh, ya? 

Nama kok pakai Borok. Ih, Borok Sabuk Geni. Sabuk 

Geninya sih hebat, Boroknya yang menjijikkan."

Eh, ternyata pengemis muda yang kurus kerempeng 

itu yang seakan mengajak bicara Lanangseta. Pengemis 

itu kelihatan biasa-biasa saja, tidak seperti orang asing, 

tidak juga menunjukkan kesedihannya seperti waktu 

mengemis.

"Siapa yang namanya Borok?" Lanang sengaja 

menimpali.

"Orang berbaju serba hitam itu, kan? Tadi katanya 

bernama Borok Sabuk Geni."

"Bukan Borok, tapi... Warok! Warok Sabuk Geni."


"Ooo... tidak jadi Borok? Jadi sekarang diganti 

Warok?"

"Bego...!" geram Lanangseta.

"Lho, kok tahu nama saya?" kata pengemis muda itu 

sambil Cengar-cengir. "Sudah kenal nama saya, ya? 

Wah, kalau begitu saya ini orang terkenal, ya? Hebat 

juga saya ini."

Lanangseta melirik sinis. "Siapa yang mengenal 

kamu?"

"Tadi...? Tadi Tuan memanggil saya: Bego... begitu. 

Nah, mau mengelak nih...." Ia menuding-nuding 

Lanangseta. "Mau menyanggah nih, ya? Tadi kan bilang: 

Bego. Itu kan memanggil saya. Iya, kan? Iya toh?! Ah, 

ngaku saja...!"

Ada beberapa mata sempat mengawasi pengemis 

muda itu, sebab ia bicara dengan sedikit keras. 

Lanangseta jadi tak enak. Ia semakin gemas jadinya, 

tapi hanya ditahan kuat-kuat. Ia berkata setelah 

pengemis muda itu diam.

"Memangnya namamu Bego?"

"Iya. Nama saya Jaka Bego. Tuan kenal dari mana? 

Mungkin teknik mengemis saya Tuan kagumi ya, 

sampai-sampai Tuan melacak nama saya dan... ingin 

belajar, ya?"

Lanangseta tak banyak komentar. Diam dengan 

meredam kedongkolan. Matanya memandang ke depan, 

di mana mereka menyiapkan segala perlengkapan 

untuk menggantung Pak Lodang. Lanangseta bergeser 

dari antara kerumunan orang, lebih mendekati ke 

depan, supaya jelas. Tapi pengemis yang mengaku 

bernama Jaka Bego itu ternyata juga ikut bergeser ke 

depan, terus mepet Lanangseta, bagai tak mau 

berjauhan.

"Kasihan orang itu, ya? Saya melihat wajah tak 

bersalah sedang dikalungi tali gantungan...." bisik


pengemis itu.

Sebenarnya Lanangseta tahu, pengemis itu berbicara 

kepadanya, tapi ia berlagak tidak mendengar. Ia ada 

yang mendorong dari belakang, hingga rombongan yang 

ada di depannya sampai memisah dan Lanang bisa 

masuk lebih ke depan lagi.

Pada saat itu, yang namanya Pak Lodang sudah naik 

ke atas bangku bundar, lehernya sudah berkalung tali 

gantungan, dua orang penjaga berbadan besar dan di 

samping kanan-kirinya. Sementara itu, yang bernama 

Warok Sabuk Geni berbicara kepada massa.

"Ingat, ini sebagai peringatan buat kalian. Barang 

siapa tidak membayar pajak penghasilan sawah, atau 

kebun, maka hukumannya adalah seperti Pak Lodang 

ini. Digantung! Mengerti?!"

Tak ada jawaban satu pun dari penduduk yang 

berkerumun, Masing-masing rupanya dicekam 

perasaan sedih dan takut. Dan Warok Sabuk Geni tak 

mau menunggu jawaban lebih lama lagi. Ia menganggap 

semua penduduk sudah mengerti. Lalu ia perintahkan 

kepada dua pengawal berbadan besar yang ada di 

kanan-kiri Pak Lodang.

"Hukuman gantung... kerjakan!"

"Tunggu...!" Ada suara berseru, dan kedua pengawal 

tak jadi menyeret bangku yang dipakai berdiri Pak 

Lodang. Suara itu datangnya dari Lanangseta, yang 

kemudian maju mendekati Warok Sabuk Geni.

"Berapa uang yang harus dibayar oleh orang itu 

untuk melunasi pajaknya?" tanya Lanangseta dengan 

sopan dan hormat.

Warok Sabuk Geni kelihatan menggeram jengkel. 

Matanya yang lebar dan memerah itu memandang 

penuh curiga. Lalu jawabnya dengan kasar, "Lima ratus 

keping!"

Lanangseta memandang Pak Lodang sebentar, lalu


berkata, "Bebaskan dia, aku akan membayarnya 

sebanyak enam ratus keping kepadamu, Ki Warok."

"Hahh?!" semua orang terperanjat, demikian juga 

Warok Sabuk Geni. Sementara itu, Jaka Bego bertepuk 

tangan kegirangan. Lalu, penduduk jadi ikut bertepuk 

tangan semua.

"Tidak bisa!" kata Warok Sabuk Geni. "Waktu 

pembayaran sudah terlambat, sekarang yang ada waktu 

penghukuman!"

Jaka Bego berseru, "Huhhh...!" Orang-orang ikut 

berseru bersahutan, "Huhh...! Huuhh...! Uuuhh...!"

***

3

WAROK SABUK GENI membentak orang-orang yang 

saling 'ha-hu, ha-hu' itu. "Diam...!"

Bentakannya cukup menggetarkan sekian banyak 

orang yang ada dalam kerumunan itu. Mereka menjadi 

bungkam mendadak bagai jangkerik terinjak. Sepi. 

Wajah-wajah takut tergambar jelas dan Warok Sabuk 

Geni semakin garang.

"Orang ini harus dihukum karena kesalahannya! Tak 

ada ampun! Tak ada tebusan! Tak ada ganti rugi!" Mata 

Warok yang merah membelalak, bagai mau loncat, 

memandangi mereka satu persatu. Lanangseta tetap 

tenang, kedua tangannya dilipat di depan dada. Dengan 

seenaknya ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kutebus 

dengan uang tujuh ratus keping?" suaranya pelan, tapi 

jelas. Semua telinga mendengarnya. Pengemis muda 

yang mengaku bernama Jaka Bego menyahut, "Iya.


Tuh, sudah naik. Dari enam ratus keping menjadi 

delapan ratus keping. Apa tidak buaaanyak yang 

segitu?"

Lanang melirik dengan dongkol. "Siapa yang bilang 

delapan ratus keping?"

"Lho, tadi katanya mau ditebus delapan ratus 

keping?" Jaka Bego bertampang bingung.

"Tujuh ratus!" geram Lanangseta, seakan ingin sekali 

menampar mulut Jaka Bego.

"O, tujuh ratus? Kok nggak jadi delapan ratus?"

"Bayarlah sendiri kalau dia memang mau delapan 

ratus."

"Boleh saja," jawabnya di luar dugaan Lanang. Ia 

bahkan berkata kepada Warok, "Bagaimana? Delapan 

ratus?"

Warok Sabuk Geni membentak kasar, "Tidak! Tidak 

ada, penebusan, tau?!"

"Ya, sudah! Jangan ngotot!" Jaka Bego bagai tak 

sadar, ganti membentak Ki Warok. Sudah tentu 

membuat Warok Sabuk Geni menjadi semakin marah. 

Dengan langkah mantap dihampirinya Jaka Bego. Lalu, 

ditamparnya keras-keras wajah Jaka Bego. "Plak... 

plak...!" Kemudian ditinggalkan berdiri di tempat 

semula.

Jaka Bego meringis kesakitan sambil mengelus-elus 

pipinya. Ia menyenggol lengan Lanangseta yang tetap 

berdiri dengan tenang, memandang Pak Lodang yang 

pucat pasi. Lanang bagaikan tak melihat kejadian itu. 

Jaka Bego menyenggol lengan Lanangseta lagi dan 

berbisik dalam sebuah rengekan.

"Saya ditampar...." ia bagai mengadu.

"Aku tahu," jawab Lanang dengan tetap pada posisi 

semula. Ia tidak berpaling ke arah Jaka Bego sedikit 

pun. "Sakit...."

"O, iya. Tentu sakit," jawab Lanang masih tanpa


memandang sedikit pun ke arah Jaka Bego.

"Kok tidak dibela?"

"Aku sedang asyik menantikan saat penggantungan 

Pak Lodang itu." Senyum sinis mekar di bibir Lanang. 

"Warok itu akan kecele! Pak Lodang tidak akan mati 

digantung."

"Kok bisa?"

"Lihat saja...!"

Pada saat itu, Warok berseru kepada kedua penjaga 

yang bertugas menarik bangku tempat berdiri Pak 

Lodang. Jika bangku itu ditarik, maka seketika itu 

tubuh Pak Lodang akan tergantung, lingkaran tali akan 

mengencang dan mencekik lehernya.

"Gantung dia! Kerjakan!"

Maka betul juga dugaan orang-orang, kedua penjaga 

itu menarik dan mendorong kursi itu satu arah. Kaki 

Pak Lodang terlepas dari bangku dan... dan anehnya 

tubuh Pak Lodang tidak bergerak turun seperti dugaan 

mereka semua.

Tubuh Pak Lodang masih tetap, seperti pada saat ia 

masih berdiri di atas bangku tadi. sudah tentu, tali 

gantungan tidak menjadi kencang, dan tidak menjerat 

leher..

Semua mata terperanjat kaget. Semua orang terpekik 

seketika, kecuali Lanangseta yang tetap tenang. 

Sedangkan Pak Lodang sendiri masih berkedip-kedip 

matanya, ia bagai berdiri pada satu penopang kaki. 

Bahkan ketika kedua pengawal yang menarik bangku 

tadi kini menarik-narik kaki Pak Lodang, ternyata orang 

tua yang digantung itu kakinya masih tetap tak mau 

turun. Masih mengambang pada tempatnya. Dua orang 

pengawal menarik kuat-kuat sampai mukanya merah 

dan ototnya keluar semua. Tetapi tubuh Pak Lodang 

tetap mengambang seperti orang terbang. Bahkan 

sampai-sampai kedua pengawal bertubuh besar itu



bergelantungan pada kaki Pak Lodang, namun tubuh 

tua tanpa baju itu tetap tak bergerak sedikit pun.

Warok Sabuk Geni mulai naik pitam. Giginya 

gemeratak menahan luapan kemarahan. Matanya 

semakin merah, kedua tangannya mengepal kuat-kuat. 

Semua orang-orangnya sibuk menarik-narik kaki Pak 

Lodang, tapi tetap saja mereka tidak bisa menurunkan 

tubuh Pak Lodang. Gumam orang-orang seperti seribu 

lebah hendak bertelur. Hal itu menambah kegeraman 

dan kemarahan Warok Sabuk Geni.

Jaka Bego tertawa kecil. "Syukur...!" katanya seperti 

orang tak sadar berbicara.

Eh, tahu-tahu penduduk yang menyaksikan hal itu 

saling bersahutan dan berseru, "Syukur...! Syukur...! 

Syukurin...!"

Mereka tak tahu kalau Lanangseta sudah pergi 

meninggalkan kerumunan itu. Jaka Bego sendiri masih 

tak sadar kalau dirinya sudah tidak di samping 

Lanangseta. Jaka Bego semakin bersemangat 

meneriakkan kata, "Syukurr...!" Suaranya cempreng 

dan paling keras kedengaran di telinga ki Warok. 

Kontan, Ki Warok menamparnya dengan kemarahan. 

Jaka Bego ketakutan, ia berlari menerjang sekumpulan 

orang di belakangnya.

"Tangkap anak ingusan itu!" perintah Ki Warok 

dengan suaranya yang menggelegar. Maka, anak 

buahnya yang bertampang kasar semua itu segera 

berlarian mengejar Jaka Bego. Anehnya, semua orang 

jadi ikut berlarian tak karuan. Mereka ketakutan 

sendiri, dan lari tunggang langgang, bersimpang siur 

tak karuan sehingga memusingkan para pengejar Jaka 

Bego. Ada yang saling berbenturan dan sama-sama 

nyungsep ke tanah.

Di tiang gantungan tinggal Pak Lodang dan Warok 

Sabuk Geni. Diam-diam Warok juga ikut mencoba


menarik kaki Pak Lodang, tapi tidak berhasil. Sekali lagi 

Ki Warok mengerahkan tenaganya untuk menarik 

tubuh Pak Lodang biar turun dan tercekik tali, tapi 

sampai berulangkali ternyata tak berhasil. Warok takut 

ketahuan penduduk lainnya, maka ia segera bersikap 

biasa-biasa saja, seolah-olah tidak pernah mencoba 

menarik kaki Pak Lodang. Sedangkan ketika Warok 

berjalan menjauhi tiang gantungan, Pak Lodang 

berteriak-teriak antara ketakutan dan kebingungan.

"Tolong...! Tolong nasib saya ini bagaimana? Kalau 

mau mati ya matilah kalau mau selamat ya 

selamatlah...!"

Tapi tak seorang pun yang mendengar teriakan Pak 

Lodang. Ia bagai dikatung-katungkan di sana, antara 

hidup dan mati. Sedangkan hiruk-pikuknya penduduk 

masih bersimpang siur mengacaukan para pengejar 

Jaka Bego. Pada waktu itu, Jaka Bego sendiri lari tak 

tentu arah. Sampai akhirnya ia pun tersudut di suatu 

tempat, dan tiga orang kasar menghadang serta 

mengepungnya.

"Jangan! Jangan sentuh aku...! Aku bukan gadis...!" 

teriak Jaka Bego. Ketiga orang kasar itu makin 

mendekat. Jaka Bego segera memungut batu. Ia 

melemparkan batu itu dengan kuat-kuat. "Wess...!" 

Batu berhasil dihindari oleh salah seorang pengejarnya. 

Namun di luar dugaan, batu itu meluncur terus, dan 

mengenai tali gantungan. Herannya lagi, tali itu putus 

seketika, dan tubuh Pak Lodang pun jatuh ke tanah. Ia 

meringis kesakitan, karena pantatnya terbentur tanah 

dengan keras.

Pada saat itu, Jaka Bego sedang mencoba menerobos 

kepungan pengejarnya. "Bross...!" Dan ia berhasil 

menerobos kepungan itu, kemudian lari tak karuan 

arahnya. Kadang berlindung di balik pohon, kadang lari 

memutari seorang pengejar lain, sehingga pengejar itu


jadi pusing sendiri. Akhirnya berhenti, tidak mengikuti 

gerakan Jaka Bego. Tapi pengejar lainnya masih 

berusaha menangkap Jaka Bego. Anak itu cepat larinya, 

dan licin dipegangnya bagai belut sawah. Bahkan ia 

sempat berhenti sebentar menghadapi pengejar dari kiri 

dan kanan. Lalu, ia segera merunduk ketika kedua 

pengejar itu berusaha menubruknya. Akibatnya, kedua 

pengejar itu saling bertabrakan dan jatuh semua. 

Kepala mereka sempat benjol akibat benturan sesama 

kepala.

"Tawanan hilaaang...! Tawanan hilaaang...!" teriak Ki 

Warok dengan keras. Semua anak buahnya terkejut, 

berhenti mengejar Jaka Bego. Hal itu digunakan oleh 

Jaka Bego untuk bersembunyi di balik sebuah pohon 

besar.

Para anak buah Ki Warok berdatangan mendekati 

atasannya. Warok Sabuk Geni kelihatan memuncak 

kemarahannya. Matanya melebar dan nyaris wajah itu 

seakan menjadi mata semua, hidung dan mulutnya 

bagaikan tertutup lebarnya mata.

"Tawanan kita, Si Lodang... mana dia? Mana, ha? 

Hilang kan? Hilang...! Goblok semua!" Warok Sabuk 

Geni memarahi anak buahnya yang berkumpul. "Kita 

bisa ganti digantung Kanjeng Adipati Legowo kalau 

begini caranya! Brengsek!"

Kemudian, ada anak kecil usia kurang dari 10 

tahun. Anak itu berlari mendekati Ki Warok, dengan 

berani anak itu berkata, "Ki Warok... tadi saya lihat 

orang yang mau digantung lari...."

"Lari ke mana? Ke mana?!" bentak Warok tak sabar.

"Ke sana...! Jauh," jawab anak kecil itu.

"Kejar ke sana! Cepat!"

"Tidak mau, ah...!" kata anak kecil.

"Aku tidak memerintahkan kamu, Tikus Kecil! Aku 

menyuruh anak buahku itu! Goblok...!"


Anak kecil itu tersentak kaget ketika dibentak 

terakhir kalinya. Kemudian, semua anak buah Warok 

Sabuk Geni berlarian ke arah yang ditunjuk anak kecil 

itu. Warok Sabuk Geni ikut ke arah itu dengan berjalan 

cepat. Dan... keadaan pun menjadi sepi. Orang-orang 

kasar telah pergi bersama pimpinannya. Jaka Bego ke 

luar dari persembunyiannya. Matanya jelalatan kian-ke 

mari, rupanya ia mencari Lanangseta yang telah 

meninggalkan dia. Lalu, pikirannya teringat pada kedai 

dan nasi serta dua potong paha ayam goreng yang tadi 

belum sempat dimakan Lanangseta. Ia segera 

menghampiri kedai yang tadi, untuk mengambil bagian 

makanan Lanangseta.

Ketika sampai di kedai yang tadi, Jaka Bego 

terbengong, sebab Lanang sedang duduk di tempat 

semula. Malahan kali ini ia ditemani Pak Lodang. Dua 

potong paha ayam goreng itu sudah di tangan Pak 

Lodang yang tampaknya kelaparan.

"Lho, Pak Lodang sudah di sini? Tadi dicari-cari 

sama Ki Warok tuh...." tegur Jaka Bego seakan sudah 

mengenal Pak Lodang dengan akrab. Kemudian Jaka 

Bego bergegas pergi, namun Lanangseta sempat 

menegurnya cepat, "Hei, mau ke mana kamu?!"

"Mau memberi tahu Ki Warok kalau Pak Lodang ada 

di sini. Mereka mencarinya ke sana, dikira Pak Lodang 

lari ke sana. Tidak tahunya...."

Pak Lodang ketakutan, sedangkan Lanangseta segera 

mengancam dengan kata-kata, "Larilah ke sana dan 

beritahukanlah kepada Ki Warok, kalau kakimu ingin 

patah keduanya. Silahkan."

Jaka Bego bersungut-sungut, dan kembali 

mendekati mereka. Ia duduk di dekat Pak Lodang yang 

berhenti makan, karena takut dengan tindakan Jaka 

Bego.

"Kenapa tidak jadi memberitahu Ki Warok?" tanya


Lanang.

Jaka Bego menggeleng sambil murung, "Saya 

diancam!"

"Sama siapa?"

"Sama orang gila." lalu ia menggerutu, "Kaki bagus-

bagus mau dipatahkan."

Lanangseta hanya tersenyum sinis. Lalu, kembali 

berbicara dengan Pak Lodang.

"Tenangkan hati Bapak di sini." Pak Lodang 

mengangguk. Lanang bicara lagi, "Keserakahan dan 

kelaliman yang ada di desa ini anggaplah suatu selingan 

hidup. Jangan terlalu ditakuti."

"Kenapa Ki Warok menolak uang tebusan pajak itu? 

Bukankah Pak Lodang dihukum gantung karena tidak 

membayar pajak penghasilan sawah?"

Pak Lodang menjelaskan kepada Jaka Bego, 

"Sebenarnya bukan karena tidak membayar pajak 

semata yang membuat saya digantung. Ada persoalan 

lain antara saya dengan Kanjeng Adipati Legowo."

Lanangseta dan Jaka Bego saling pandang dan 

manggut-manggut. Mereka mulai jelas apa sebenarnya 

yang sedang terjadi di hadapan mereka.

"Persoalan apa itu, Pak Lodang?" tanya Lanangseta.

"Bukan karena pajak yang tak mau saya bayar, 

melainkan karena Mahani, anak gadis saya yang tinggal 

seorang itu," jawab Pak Lodang dengan menampakkan 

kemurungannya.

"Ooo... Jadi, Pak Lodang punya anak gadis? 

Namanya Makroni...?" Jaka Bego menimpali, dan segera 

disergah Lanangseta.

"Hei, bukan Makroni. Namanya Mahani...! Budeg!"

"O, namanya tidak jadi Makroni? Siapa tadi...? 

Mahani?"

"Ya," jawab Pak Lodang setelah meneguk air minum. 

"Dulu saya punya tiga anak, yang dua lelaki. Tapi nasib


mereka mati di tangan anak buah Warok Sabuk Geni. 

Dan sekarang tinggal satu, perempuan. Mahani itu. Dia 

akan diambil istri oleh Adipati Legowo, tepatnya akan 

dijadikan gundiknya yang ke lima belas. Dan kami 

sangat tidak setuju, kemudian kami menyembunyikan 

Mahani demi keselamatan dirinya, demi masa depannya 

juga."

"Dan karena itu Pak Lodang dihukum mati?" sela 

Lanang.

Pak Lodang yang berwajah duka mengangguk. 

Mengharukan sekali. Lanangseta menghela nafas, 

demikian juga Jaka Bego yang dari tadi diam, bengong 

melompong mendengarkan kisah Pak Lodang.

"Buat saya, lebih baik saya mati daripada hidup 

Mahani hancur berkeping-keping."

"Sekarang di mana dia?"

"Ada dalam persembunyian. Kalau... kalau Ki Sanak 

tidak keberatan, saya mohon diantar sampai di tempat 

persembunyian kami...."

"O, tidak. Tidak keberatan sedikit pun," jawab Jaka 

Bego. Lalu. Lanang pun mengangguk.

"Ya, rupanya Jaka Bego itu bersedia mengantar Pak 

Lodang ke tempat persembunyian, sementara itu saya 

akan di sini sampai sementara waktu."

"Wah, kok saya...." ujar Jaka Bego.

"Yang bilang tidak keberatan kan kamu."

"Iya, maksudku... sekalian sama sampean...! Kalau 

saya sendirian, wah... ngeri. Nanti di jalan kepergok Ki 

Warok, bisa ditampar dua kali lebih saya...."

"O, begitu? Kukira kau memang pemberani," ujar 

Lanang.

Pak Lodang membawa Lanangseta dan Jaka Bego ke 

rumahnya. Tetapi mereka datang lewat jalan belakang, 

karena takut di depan rumah sudah dijaga anak buah 

Warok Sabuk Geni. Di belakang rumah itu, yang


agaknya berukuran lebar dengan bentuk bangunan 

tergolong mewah, ada sebuah sumur tua yang sudah 

tidak dipakai. Permukaan sumur itu ditutup oleh 

dedaunan kering sehingga tampak kurang menarik. Pak 

Lodang membuka dedaunan kering itu sehingga lobang 

sumur terlihat jelas. Kotor dan lembab.

"Kita masuk lewat sini," kata Pak Lodang.

Jaka Bego terbelalak. "Kita disuruh bunuh diri?"

"Tidak, Jaka Bego... Ini jalan menuju persembunyian 

Mahani dan istri saya."

"Ooo...." Jaka Bego manggut-manggut.

"Mari, ikuti saya. Kita jangan sampai terlambat. 

Takutnya kalau anak buah Ki Warok ada yang 

melihatnya...."

Kemudian Pak Lodang menuruni tangga batu yang 

menuju ke dasar sumur. Lanang memberikan 

kesempatan kepada Jaka Bego untuk turun lebih dulu 

setelah Pak Lodang.

"Aku takut tergelincir. Sumur ini biar tua tapi masih 

berair. Dan airnya kotor. Saya tak bisa menyelam."

"Kalau begitu, kau tunggu saja di atas sampai aku 

dan Pak Lodang selesai berbicara."

"Nanti kalau anak buah Ki Warok mengetahui aku di 

sini, terus bagaimana? Ah, lebih baik aku turun saja 

daripada ditampar lagi...." katanya seraya Jaka Bego 

pun ikut turun dengan hati-hati.

Rupanya mereka tidak harus menyelam di air 

sumur. Sebelum mereka sampai pada permukaan air 

sumur, mereka sudah harus masuk ke sebuah lobang 

besar yang menembus dinding sumur. Ternyata itu 

adalah pintu yang membawa mereka ke ruangan 

rahasia di dasar sumur. Ruangan itu cukup luas, dan 

agaknya dibangun dalam waktu lama. Mungkin sudah 

dipersiapkan jauh-jauh hari. Ada meja dan kursi, ada 

dipan berkasur, ada almari pakaian model kuno dan


ada barang-barang berharga atau perabot lainnya yang 

menandakan bahwa ruangan rahasia itu dibangun 

sudah sejak lama. Dipersiapkan khusus untuk 

bersembunyi.

Di situ ada tiga orang perempuan. Istri Pak Lodang 

adalah perempuan berkebaya biru kusam, sedangkan 

gadis yang bernama Mahani itu mungkin yang 

mengenakan kain dodot sebatas dada yang dirangkapi 

kebaya tipis. Mereka berdua sedang memeluk Pak 

Lodang dalam tangis keharuan. Sedangkan seorang 

perempuan lain, bertubuh pendek dan mengenakan 

kain sedengkul serta kebaya lusuh itu, mungkin 

pembantu keluarga Lodang.

Lampu minyak dan obor cukup menerangi ruangan 

tersebut. Mata Jaka Bego menyapu ruangan itu dengan 

terheran-heran.

"Seperti sarang penyamun saja, ya?" bisik Jaka Bego, 

tapi tidak ditanggapi Lanangseta.

Kemudian Lanangseta diperkenalkan dengan istri 

dan anak gadis Pak Lodang: Mahani. Belakangan 

kemudian diketahui bahwa perempuan berkain 

sedengkul dengan kebaya lusuh itu adalah pelayan Pak 

Lodang, yang khususnya melayani Mahani.

Jaka Bego bersalaman dengan istri Pak Lodang dan 

Genduk, pelayan itu, secara cepat. Sedangkan waktu 

bersalaman dengan Mahani sengaja diperlama. Bahkan 

ia sempat cengar-cengir seraya meremat-remat jari 

tangan yang lentik itu. Mahani meringis kesakitan, 

Lanangseta menepak punggung Jaka Bego, kemudian 

Jaka Bego melepaskan jabat tangannya itu.

Gadis bernama Mahani mempunyai bulu mata yang 

lentik. Matanya sedikit lebar, namun kelihatan serasi 

dengan bentuk hidungnya yang bangir. Mata itu 

sesekali mencuri pandang dengan takut-takut ke arah 

Lanangseta. Rambutnya yang terurai sepanjang


pinggang itu tampak indah. Hitam legam dan lemas. 

Berkilau bagai permata hitam. Sesekali pula ia 

membetulkan letak kebaya tipisnya agar tak kelihatan 

bentuk belahan dadanya yang membusung padat itu. Ia 

duduk di ujung meja, sementara Lanangseta duduk di 

ujung meja yang satu, sehingga tak sengaja mereka 

telah duduk saling berhadapan. Gadis berkulit sawo 

matang dengan wajah desa yang lugu tapi manis itu 

sesekali menghela nafas, entah ada perasaan apa yang 

membuat nafasnya kelihatan sesak dan berat dihela. 

Sedangkan Lanangseta yang mengetahui gerakan mata 

indah itu, hanya diam saja. Lanangseta sengaja 

bersikap tenang, seakan tidak menghiraukan gadis 

manis itu. Ia berlagak lebih serius mengikuti 

pembicaraan Pak Lodang yang menuturkan kisah 

keluarganya dari sejak beberapa tahun lalu.

"Kami sebenarnya dari keluarga Adipati," kilah Pak 

Lodang yang membuat Jaka Bego berbengong-bengong. 

"Kakek kami adalah Raden Mas Panji Gading. Pada 

masa itu, Kadipaten Branjangan Wilis ini diperintah 

oleh beliau. Namun beberapa tahun kemudian, Legowo 

muncul dan merebut tahta Kadipaten dengan 

menghasut rakyat dan raja. Mungkin hal itu dilakukan 

oleh Legowo untuk membalas dendam atas hukuman 

yang dijatuhkan kepada ayahnya, yang membuat ayah 

Legowo dibuang ke sebuah pulau akibat kesalahannya. 

Dan dalam tempo beberapa saat kemudian, maka 

tumbanglah pemerintahan Adipati Panji Gading, diganti 

oleh Adipati Legowo. Kemudian, ia mempersulit ruang 

gerak keluarga dan keturunan Panji Gading, 

menjatuhkan hukuman mati dengan kesalahan yang 

dicari-cari. Tujuannya hanya untuk memusnahkan 

keturunan Panji Gading. Musibah itu, kini sedang 

menimpa keluarga saya. Kedua anak lelaki saya dijatuhi 

hukuman mati karena berkelahi dengan anak buah


Warok Sabuk Geni. Dan sekarang... Mahani yang akan 

dijadikan korban nafsu binatang Legowo. Kami 

mempertahankan Mahani, sebab dialah keturunan 

terakhir dari keluarga Panji Gading saat ini...."

Lanangseta manggut-manggut dan menahan 

kedongkolan mendengar kekejaman Legowo. Istri Pak 

Lodang menyahut, "Kami ingin melarikan diri ke desa 

Tayub, di pesisir pantai Selatan. Tetapi, kami takut 

dibunuh anak buah Warok dalam perjalanan ke sana."

Pak Lodang menimpali, "Ya... kami punya paman di 

desa Tayub, yang sudah bukan wilayah Kadipaten 

Branjangan Wilis. Tapi untuk menuju ke sana, sangat 

berbahaya. Padahal di sana kami akan hidup aman dan 

tenang, meski kami sudah bukan keluarga Adipati lagi."

Semua tercenung, semua membisu. Sesekali mata 

gadis manis itu masih mencuri pandang. Lanang tetap 

diam saja.

Kata Pak Lodang setelah saling membisu sesaat, 

"Kalau nak Lanangseta tidak keberatan, tolong antarkan 

kami ke desa Tayub. Kami sangat membutuhkan 

tempat yang aman untuk kehidupan keturunan kami 

selanjutnya...."

***

4

LANANGSETA memilih waktu tengah malam untuk 

keluar dari Desa Puger. Bahkan menjelang dini hari, 

Lanangseta dan keluarga Lodang telah meninggalkan 

perbatasan Desa Puger yang dijaga oleh beberapa orang 

Kadipaten. Hanya saja, waktu itu para penjaga sedang 

tertidur pulas, sehingga dengan selamat Lanangseta dan


keluarga Lodang berhasil keluar dari Desa Puger.

Namun apakah itu berarti mereka telah aman dari 

keganasan dan kekasaran orang-orangnya Legowo? 

Belum. Mereka memang menuju ke desa Tayub, di 

pesisir pantai Selatan. Tapi jaraknya cukup jauh, 

sedangkan perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan 

Wilis juga masih jauh. Mereka harus mencapai Gunung 

Pekayon, lalu melewati gunung itu, barulah mereka 

akan berada di luar batas Kadipaten Branjangan Wilis. 

Dan untuk mencapai ke sana membutuhkan waktu 

kurang lebih sehari semalam.

Lanangseta sebenarnya ingin mengetahui siapa Jaka 

Bego itu? Mengapa sekarang jadi lengket kepadanya 

dan selalu mengikutinya? Apa yang dicari oleh Jaka 

Bego itu? Tetapi agaknya Lanangseta belum mempunyai 

waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu. Dia masih 

membiarkan Jaka Bego mengikutinya terus, seakan 

mendampinginya ke mana saja. Dan tenaganya masih 

bisa dimanfaatkan untuk disuruh ini-itu oleh 

Lanangseta. Ia bagai ingin mengabdi kepada Pendekar 

Pusar Bumi yang sudah menyandang gelar Malaikat 

Pedang Sakti. Sepanjang tidak terlalu menjengkelkan 

dan tidak membuat keributan, Lanang masih 

membiarkannya.

"Berhenti...!" seru suara dari balik semak belukar. 

Lalu, dua orang bertampang bengis muncul dengan 

satu loncatan yang mengagetkan Mahani. Gadis itu 

segera memegangi ayahnya bagai minta perlindungan.

"Kalau tidak salah lihat, gadis itu memang benar 

Mahani, Kakang Sumo Belang!" ujar lelaki yang 

memegang rantai bermata kampak tajam.

"Benar, Gendono...! Aku hapal betul dengan wajah 

cantik calon garwo selir Kanjeng Adipati itu," ujar Sumo 

Belang yang wajahnya separoh hitam, separohnya lagi 

coklat.


Pak Lodang berbisik kepada Lanang, "Itu juga 

termasuk orang andalan Legowo. Ia di bawah Warok 

pangkatnya."

Lanangseta manggut-manggut dengan tenang. Sumo 

Belang yang memegangi tombak bermata kampak ganda 

itu mulai mendekat, diikuti orang yang bernama 

Gendono bersenjata rantai yang ujungnya bermata 

kampak juga.

Mahani bergeser, merapat ke ayahnya, demikian 

pula Mak Lodang dan Genduk. Hanya saja, Genduk 

lebih merapat ke Jaka Bego, sehingga Jaka Bego 

menjadi risi dibuatnya.

"Tempat lega kok mepet-mepet sih...?!" hardik Jaka 

Bego kepada Genduk. Perempuan pendek sedikit gemuk 

itu hanya cemberut dan bersungut-sungut, lalu 

mencoba merenggangkan jarak dengan Jaka Bego.

"Mau ke mana kalian, hah...?! Mau kabur ke mana 

Mahani?!" hardik Sumo Belang yang berdiri tegak dan 

bertolak pinggang dengan tangan sebelah memegangi 

tombak kampak ganda.

"Apa urusanmu menanyakan hal itu?" kata 

Lanangseta dengan sikap biasa-biasa saja.

"Aku bertanya kepada Mahani, bukan kepada seekor 

monyet!" bentak Sumo Belang. "Mau ke mana kau, 

Mahani?!"

"Mau lari ke desa Tayub!" celetuk Jaka Bego dengan 

lantang, seakan ia telah bicara dengan berani dan 

benar. Lanangseta mendekati Jaka Bego dengan geram. 

Ia menginjak kaki Jaka Bego dan berkata gemas, 

"Jangan bicara seenak mulutmu, Bego! Itu rahasia kita!"

"O, ya... maaf. Aku lupa." Kemudian Jaka Bego 

memandang berani kepada Sumo Belang dan berkata, 

"Eh, kami tidak pergi ke desa Tayub! Tidak ke sana! 

Sebab itu rahasia yang tidak boleh diomongkan, tahu?!"

"Aduuuh... Jaka Bego kok ngomong begitu...?!"


Mahani berbisik penuh kecemasan. "Lanangseta, 

bagaimana ini?!"

"Tenanglah, Mahani," kata Lanang kalem, sambil di 

mulutnya ia masih menggigit-gigit sehelai ilalang.

Genduk ikut cemas. "Jaka Bego... bagaimana ini?!"

"Diamm...!" bentak Jaka Bego. Padahal yang 

diharapkan Genduk adalah jawaban sekalem Lanang 

terhadap Mahani tadi. Akhirnya Genduk hanya 

cemberut dan bersungut-sungut lagi.

"Kami harus membawa Mahani, sebab dia adalah 

calon istri Kanjeng Adipati Legowo. Dia tak boleh ke 

mana-mana!" kata Gendono seraya mempermainkan 

rantainya.

"Tidak bisa!" jawab Jaka Bego dengan lantang dan 

berani. "Mahani harus disembunyikan! Mahani tidak 

boleh kawin dengan si Legowo...!"

"Keparat kau!" geram Gendono.

"Iya. Memang keparat. Mau apa kalian, ha?" tantang 

Jaka Bego.

Lanang tenang, mendekati Jaka Bego dan berbisik, 

"Kau berani...?"

Jaka Bego berpaling dan menatap dengan wajah 

sedih. Ia menggeleng. "Tidak, ah...!"

"Kok suaramu sekeras kaleng rombeng?!"

"Aku cuma menantangkan buat kamu...."

"Aku tidak ingin berkelahi melawan mereka. Kamu 

tahu, senjata mereka itu cukup berbahaya. Kepalamu 

bisa dipenggal dengan kampak itu, tahu?"

Jaka Bego berwajah takut dan bergidik merinding. 

"Hii... ngeri, ya?"

Tiba-tiba terdengar suara Sumo Belang. "Gendono...! 

Seret gadis itu kembali ke kadipaten!"

Gendono maju. Pak Lodang dan istrinya cemas, 

apalagi Mahani, ia semakin kuat memegangi ayahnya. 

Jaka Bego segera bersembunyi di balik tubuh


Lanangseta yang kekar. Lanang bergerak kebingungan 

karena pinggangnya bagai digelitik tangan Jaka Bego.

"Hei, hei... apa-apaan ini?! Bisa melorot celanaku, 

Bego!"

"Mereka mau merebut Mahani. Lihat...!"

"Aauww... jangaaan...!" Mahani meronta di tangan 

Gendono.

"Pancing dia supaya melepaskan Mahani, nanti aku 

yang menghadapi Sumo Belang itu," bisik Lanangseta 

kepada Jaka Bego. Maka, tanpa menunggu perintah 

kedua kalinya Jaka Bego berlari menyerang Gendono 

yang tengah berusaha menyeret Mahani dari tangan 

ayah Mahani. Jaka Bego langsung menggigit tangan 

Gendono yang memegangi lengan Mahani. Tentu saja 

Gendono menjerit kesakitan, lalu mengibaskan tangan 

yang digigit Jaka Bego. Kibasannya begitu kuat 

sehingga Jaka Bego terpental ke belakang sampai 

berjarak tiga langkah. Ia jatuh dengan pantat 

membentur batang kayu kering.

"Kubunuh kau, Bocah edan...!" geram Gendono yang 

kemudian mengibaskan rantai bermata kampak itu.

"Sreet...!" Rantai meluncur, ujungnya mengarah ke 

wajah Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu 

ketakutan, lalu berguling ke kiri. Tepat pada waktu itu 

mata rantai mengenai kayu kering. "Craaak...!"

Jaka Bego buru-buru bangkit dan berusaha 

melarikan diri. Namun rantai di tangan Gendono itu 

ternyata bisa terulur menjadi panjang. "Sreeett...!" Jaka 

Bego melompat ke kiri bagai sedang menubruk seekor 

katak. Wajahnya membentur tanah berumput. Namun 

terasa pedas juga di kulit wajah itu. Tetapi baginya itu 

lebih baik daripada harus disambar ujung kampak yang 

tajam berkilat itu.

"Biar kuurus anak setan ini, kau geret saja Mahani!" 

seru Sumo Belang yang kemudian mengejar Jaka Bego.


Sementara itu, Gendono segera kembali ke Mahani. 

Namun langkahnya terhenti, karena sekarang Mahani 

sudah berada di belakang Lanangseta. Pendekar Pusar 

Bumi itu berdiri dengan tegap, kakinya terenggang 

mantap, sekalipun ia masih menggigit-gigit sehelai 

ilalang dan mengisap-isapnya.

"Kau orang asing di Kadipaten kami! Jangan turut 

campur urusan ini!" gertak Gendono.

"Aku tidak turut campur," jawab Lanangseta tenang.

"Minggir kalau begitu...! Biar kuseret gadis bandel itu 

dan kuhadapkan ke Kanjeng Adipati Legowo. Minggir!"

"Silahkan singkirkan aku...! Dan ambillah Mahani...!"

Gendono menggeram, kemudian segera menyerang 

Lanangseta dengan sebuah pukulan ke depan. 

Lanangseta tak menangkis, namun mengelak dengan 

cara menggerakkan kepalanya ke samping kiri dan 

badannya pun ikut meliuk. Pukulan Gendono mengenai 

tempat kosong. Pada saat tangan Gendono molos ke 

samping kanan Lanangseta, kaki Lanang yang kanan 

bergerak cepat. Ujung kaki terangkat jarinya, dan 

dengan mantap menendang ulu hati Gendono.

"Huhhgh...! Setan kau...! Hiaaaat...!"

Gendono mengibaskan tangannya bagai pedang yang 

sedang membabat leher, dan dengan cepat kepala 

Lanangseta meliuk ke bawah, lalu tegak lagi setelah 

tangan itu melesat menuju tempat kosong. Lalu, pada 

saat itu pula kaki Lanang menginjak kaki Gendono. 

Dengan gerakan merendahkan badan, tangan Lanang 

menghantam keras rusuk Gendono.

"Aaahh...!" Gendono mengaduh. Tubuhnya tak bisa 

bergerak mengelak karena kakinya diinjak Lanangseta.

Tapi kini, sekali lagi Lanangseta memukul kuat dan 

keras rusuk Gendono sambil melepaskan injakannya. 

Dan begitu pukulannya menghantam rusuk Gendono, 

tubuh itu melayang ke belakang dalam satu teriakan


kesakitan. Tubuh itu hilang keseimbangan, kemudian 

jatuh bagai nangka rubuh dari atas pohon.

Lanang berjalan kalem ke arah yang bersifat 

menjauhi Mahani sekeluarga. Sebab ia tahu Gendono 

ingin melancarkan pukulan rantai bermata kampak itu. 

Dugaannya memang tepat. Dalam keadaan belum 

bangun dari tanah ia masih sempat memutarkan rantai 

kampaknya yang dapat meluncur jauh itu. Lalu dengan 

satu hentakan tertentu, rantai itu meluncur hendak 

menghantam kaki Lanangseta. Dengan ringan tubuh 

Lanangseta meloncat dan bersalto ke depan. Kakinya 

jatuh di dekat Gendono. Kaki itu seketika menendang 

muka Gendono dengan keras sekali, sehingga salah 

satu giginya ada yang terlepas keluar.

"Wadoooww...!" teriak Gendono sambil menutup 

mulutnya yang berdarah. Ia berguling sejenak dan 

meraung kesakitan. Lanang membiarkan. Berdiri 

dengan tegap dan bertolak pinggang tangan sebelah. 

Mulutnya masih sibuk menggigit-gigit dan menghisap-

hisap sehelai ilalang.

Lanang menyempatkan melirik keadaan Jaka Bego. 

Agaknya Sumo Belang merasa kewalahan menghadapi 

Jaka Bego. Secara kebetulan setiap ia menebaskan 

tombak bermata kampak ganda itu tubuh Jaka Bego 

selalu dapat terhindar. Satu kali Jaka Bego berdiri 

dengan wajah ketakutan, ingin bicara tapi lidahnya 

kelu. Tangannya bergerak-gerak seakan mengatakan, 

"Jangan... jangan bunuh saya...." Namun Sumo Belang 

sudah terlanjur marah. Ia menusukkan tombaknya 

dalam jarak hanya tiga langkah dari depan Jaka Bego. 

Tetapi pada saat tombak bergerak cepat ke arah Jaka 

Bego, tiba-tiba kakinya yang melangkah mundur itu 

tersangkut akar semak dan ia terpelanting jatuh tepat 

pada saat di mana ujung tombak seharusnya menancap 

di dadanya. Akibatnya, tusukan tombak Sumo Belang


mengenai tempat kosong. Jaka Bego terguling di 

rerumputan, kakinya tak sengaja menggaet kaki Sumo 

Belang, sehingga di luar dugaan Sumo Belang sendiri 

terpelanting jatuh. Pada saat itu Jaka Bego semakin 

ketakutan. Ia segera bangkit dan menolong Sumo 

Belang seraya berkata, "Maaf... maaf. saya tidak sengaja 

kok. Sumpah! Tidak sengaja...." Ia mengulurkan tangan 

hendak menolong Sumo Belang untuk bangkit. Tentu 

saja hal itu menggemaskan hati Sumo Belang. Maka 

kepala Jaka Bego pun segera dipegang. Rambutnya 

yang acak-acakan ditarik sekuatnya ke arah lutut Sumo 

Belang. Kepala Jaka Bego hendak dibenturkan dengan 

lutut Sumo Belang, tetapi karena Jaka Bego meronta 

dan berteriak kesakitan, akibatnya ia yang mencoba 

berdiri itu jatuh tersentak ke bawah. Tak sengaja lutut 

Jaka Bego menghantam mulut Sumo Belang dengan 

keras.

"Aaoww...! Uuf... uff...!" Sumo Belang membuang 

kepala Jaka Bego karena mulutnya terasa pecah 

terkena dengkul anak itu. Jaka Bego terpental jauh dan 

berguling-guling sambil berteriak ketakutan dan 

kesakitan. Ia memegangi lututnya setelah mampu 

berdiri. Ia meringis, merasakan sakit pada lututnya itu. 

Sedangkan Sumo Belang masih af-uf, af-uf... menahan 

sakit di bibirnya. Darah keluar dari bibir yang retak. Hal 

ini menambah kemarahan yang meluap dari diri Sumo 

Belang. Ia segera mengejar Jaka Bego.

Hampir saja Lanangseta terkena ujung rantai 

Gendono karena ia tertawa geli melihat pertarungan 

Jaka Bego dengan Sumo Belang. Untung gerakan reflek 

dari kepala Lanangseta cukup sempurna, sehingga 

mata kampak yang mengkilat itu mampu dihindari 

dengan hanya merunduk. Dengan cepat tangan kiri 

Lanangseta menyahut rantai itu. Gendono berusaha 

mencabut kembali rantainya, namun kekuatannya


bagai tak memadai kekuatan Lanangseta dalam 

menahan rantau. Lalu, dengan sekali hentak, 

Lanangseta berhasil membuat tubuh Gendono 

melayang ke arahnya tanpa keseimbangan. Tubuh itu 

disambut dengan pukulan Lanang ke arah leher 

Gendono.

"Hekkghh...!" suara leher tersekat benda berat. Mata 

Gendono mendelik. Pegangan rantainya terlepas dari 

tangannya, dan sebelum ia jatuh ke tanah, kaki 

Lanangseta menendangnya keras-keras dengan satu 

teriakan, "Hiaaat...!"

"Aaaakhhh...!" Tubuh Gendono yang besar itu 

melambung beberapa meter dari tanah. Pada waktu itu, 

Sumo Belang sudah kehilangan kesabaran lagi. Ia 

melemparkan tombaknya ke arah Jaka Bego yang lari 

meninggalkan Sumo Belang. Kakinya terantuk batu, 

dan Jaka Bego tersungkur jatuh. Tombak yang menuju 

ke arah punggungnya melesat terus dan di luar dugaan 

tombak berujung kampak ganda itu telah mengenai 

perut Gendono! "Jubb...! Breet...!"

Gendono jatuh ke tanah dengan mata mendelik. Isi 

perutnya berhamburan. Ia meregang dan kelojotan, lalu 

tak sempat bernafas untuk selamanya.

Jaka Bego terbengong ngeri melihat tubuh Gendono 

terkena lemparan tombak Sumo Belang. Ada lecet di 

kening Jaka Bego karena ia jatuh tersungkur nyaris 

mencium batu. Tetapi luka kecil itu tak dihiraukannya, 

karena Sumo Belang telah berdiri di belakangnya 

hendak menginjak tubuh Jaka Bego. Sumo Belang 

benar-benar mengalami puncak kemarahan.

"Kau telah membunuh temanku, Bangsaaaat...!"

"Lho, bukan saya... saya kan tidak punya tombak... 

saya tidak melemparkan apa-apa kok. Sumpah...!"

"Jaka... minggir...!" teriak Pak Lodang yang merasa 

ngeri melihat Jaka Bego masih telentang sedangkan


kaki Sumo Belang sudah berada di dekatnya. Satu 

langkah lagi Jaka Bego akan terinjak kaki itu. Tapi 

memang dasar tolol, Jaka Bego tidak menyingkir, 

melainkan bahkan meminta maaf, "Maaf... saya tidak 

sengaja membunuh temanmu. Saya tadi tersandung 

batu...! Sungguh kok, saya...!"

"Mampus kau!" teriak Sumo Belang sambil 

menghentakkan kakinya menginjak perut Jaka Bego.

"Aaah...!" jerit Mak Lodang seraya menutup mukanya 

sendiri, tak tega melihat Jaka Bego yang kurus diinjak 

oleh kaki Sumo Belang yang besar, kekar itu.

Pada saat kaki Sumo Belang menginjak perut Jaka 

Bego, anak itu tersentak dengan kaki terangkat 

seketika. Matanya mendelik, ia sukar bernafas. Tapi 

kakinya yang tersentak naik secara otomatis itu telah 

mengenai rusuk Sumo Belang. Akibatnya Sumo Belang 

meringis kesakitan. Ia menghentakkan kakinya ke perut 

Jaka Bego lagi. Namun, kali ini kaki Jaka Bego juga 

terangkat dengan sendirinya, semacam sebuah per yang 

bekerja untuk menahan rasa sakit.

Mata Jaka Bego mendelik lagi dengan nafas sukar 

dihembuskan. Ia tak tahu kalau gerakan kakinya telah 

menendang rusuk Sumo Belang lagi, bahkan lebih 

keras sehingga Sumo Belang pun jatuh menahan sakit.

"Cepat lari...! Lari, Jaka...! Lariii...!" teriak Mahani di 

dekat ayahnya.

Mendengar jeritan Mahani, Jaka Bego seperti 

memperoleh suatu kekuatan. Yang jelas ia merasa malu 

kalau sampai kalah di depan Mahani, gadis yang cantik 

manis itu. Jaka Bego segera bangkit dan berlari. Tapi 

baru satu langkah ia berlari, kakinya telah menginjak 

batu sebesar satu genggaman. Batu itu tersentak ke 

belakang bersamaan dengan itu Jaka Bego tersungkur 

kembali jatuh ke tanah.

"Bruuk...!"


"Wadow biyuung...!" teriak Jaka Bego. Hanya saja, ia 

tak menyadari kalau batu yang diinjaknya itu juga 

tersentak ke belakang dengan keras. Melesat cepat dan 

masuk ke mulut Sumo Belang yang waktu itu sedang 

ternganga untuk menahan sakit.

"Uhmm... uuhmm...!" Sumo Belang berusaha 

mengeluarkan batu yang masuk ke mulutnya. Jaka 

Bego terbelalak melihat keadaan musuhnya yang 

menyedihkan.

"Astagaaa...! Batu itu masuk ke mulutnya?!"

Takut Sumo Belang semakin marah kepadanya, 

maka Jaka Bego segera menghampiri orang itu dan 

berusaha mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belong. 

"Maaf, aku tidak sengaja. Aku terpeleset batu ini, dan 

batu ini mental masuk ke mulut... Maafkan saya. Saya 

kira waktu tadi mulutmu tidak sedang menganga...!"

Tangan Sumo Belang yang marah itu mengibas dan 

mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!" Jaka Bego terpental 

ke belakang. Lalu ia berteriak, "Saya mau membantu 

mengeluarkan batu itu! Kok malah dipukul...?"

"Biarkan, Jaka...! Biarkan dia mati menelan batu!" 

teriak Genduk dengan tegang. Mendengar seruan itu, 

Jaka Bego bahkan semakin berusaha membantu 

musuhnya mengeluarkan batu. Ia memukul tengkuk 

kepala Sumo Belang supaya batu itu dapat tersentak 

keluar. Tapi rupanya batu itu cukup besar dan pas 

seukuran mulut Sumo Belang.

"Batu bandel...!" geram Jaka Bego. Lalu ia memukul 

belakang kepala Sumo Belang. Ia terpaksa memukul 

sekuat tenaga dan berulang-ulang, supaya batu bisa 

meloncat keluar dari mulut.

Tetapi di luar dugaan, pukulan yang sekeras-

kerasnya itu telah membuat otak belakang di kepala 

Sumo Belang terganggu. Persendian antara kepala 

dengan leher menjadi retak, dan hal itulah yang


membuat Sumo Belang mengejang, darah keluar dari 

mulut dan hidung. Jaka Bego makin kaget. Ia mundur 

beberapa langkah dengan mata mendelik. Tak lama 

setelah itu, tubuh Sumo Belang mengejang dan tak 

bergerak lagi.

"Lho, kok malah mati...?!" Jaka Bego takut 

bercampur rasa heran. Ia memandang Lanangseta yang 

dari tadi sengaja diam saja tidak mau membantunya. 

Senyum Jaka Bego tak ada, tapi senyum Lanangseta 

terlihat samar. Sepertinya Lanangseta telah mengetahui 

apa sebenarnya yang terjadi. Ia mendekati Jaka Bego, 

menepuk pundak dan berkata, "Suatu pukulan yang 

bagus...! Cukup mematikan."

"Ta... tap... tapi saya tidak bermaksud 

membunuhnya...."

"O, ya...? Katakanlah kepada Genduk dan Mahani 

begitu. Tapi jangan katakan kepadaku begitu. Aku tidak 

seperti mereka, Jaka Bego."

Kata-kata Lanangseta seakan mempunyai arti 

tersendiri yang sukar dipahami orang awam. Pak 

Lodang dan istrinya berkerut dahi mendengar ucapan 

itu, namun mereka tak berani menanyakannya. 

Sebaliknya, Jaka Bego yang tadi bagai orang ketakutan 

dan heran itu kini mencemberutkan wajah. Kemudian 

matanya menjadi sayu dalam kebeloonan. Ia seperti 

orang yang tidak pernah menyesali tindakannya.

Bagi Lanang, ia memang tak dapat dibohongi bahwa 

semua gerakan sudah diatur sedemikian rupa oleh Jaka 

Bego. Jelas hentakan batu itu mempunyai suatu 

kekuatan khusus sehingga bisa tepat masuk ke mulut 

Sumo Belang. Juga pukulan di tengkuk kepala Sumo 

Belang itu, bukan semata-mata pukulan yang berguna 

untuk mengeluarkan batu dari mulut Sumo Belang, 

melainkan pukulan yang mempunyai suatu tenaga 

dalam, disalurkan secara tidak kentara. Tanpa begitu,


mustahil Sumo Belang yang kekar itu mampu 

merenggang dan mati akibat pukulan tersebut. Namun 

agaknya Jaka Bego tidak ingin Lanangseta berbicara 

soal itu, karenanya Jaka Bego segera berkata kepada 

Pak Lodang, "Kok bisa mati, ya?"

"Kebetulan Yang Maha Kuasa sedang melindungimu, 

Nak."

"Ya. Terima kasih Yang Maha Kuasa!" teriak Jaka 

sambil menengadah ke langit. Kemudian ia berbalik 

kepada Mahani,

"Kak Mahani...? Kau tidak apa-apa?"

"Tidak. Aku tidak ada yang luka sedikit pun. Oh, 

Lanang... terima kasih atas pertolonganmu...."

Jaka Bego terbengong. "Kok Lanang yang mendapat 

ucapan terima kasih?" pikirnya.

Lanang menjawab kata-kata Mahani, "Ini baru 

permulaan. Siapa tahu setelah ini ada yang lebih ganas 

lagi...."

"Tapi tenang saja kita," ujar Genduk. "Kan ada Jaka 

Bego yang hebat...."

"Huuuhh...!" Jaka Bego bersungut-sungut, merasa 

tak suka mendapat pujian dari Genduk. Ia ingin Mahani 

yang memujinya.

"Terima kasih, Jaka Bego," ucap Genduk sambil 

nyengir.

"Terserah...!" jawab Jaka Bego dengan berjalan 

menuju arah semula.

***


5

MALAM menyelimuti bumi. Langkah-langkah kaki 

mereka mulai loyo, terutama Jaka Bego. Pemuda kurus 

kerempeng itu bahkan berkata kepada Lanangseta, 

"Sebaiknya saya pulang saja. Saya tak sanggup 

mengikuti perjalanan ini. Dari malam sampai malam 

tak ada berhentinya."

"Silahkan...!" jawab Lanangseta dengan tetap 

berjalan menuntun Mahani. Mendengar jawaban itu, 

Jaka Bego hanya menggerutu.

Yang lebih menjengkelkan Jaka Bego adalah keadaan 

pahit yang ia alami. Pak Lodang menuntun istrinya 

yang sudah limbung jalannya. Lanangseta menuntun 

Mahani yang malu-malu berjalan sambil bergelayutan di 

pundak Lanang. Sedangkan Jaka Bego sebentar-

sebentar jalan berpindah-pindah urutan. Jika Genduk 

ke depan, Jaka Bego berganti jalan paling belakang. 

Jika Genduk memperlambat langkah dan menjadi 

paling belakang, Jaka Bego mempercepat langkah 

sehingga ia berjalan paling depan. Begitu seterusnya, 

sehingga gerutu dan sungut-sungut keduanya sama-

sama silih berganti. Jelasnya, Jaka Bego tak mau jika 

disuruh menuntun Genduk. Sedangkan Genduk, tak 

punya pegangan. Hanya Jaka Bego yang masih belum 

punya tuntunan. Karenanya ia berharap dapat dituntun 

Jaka Bego.

"Aku lemas sekali, Jaka...." ujar Genduk.

"Aku tidak menyuruhmu lemas. Salah sendiri 

kenapa mau menjadi lemas." jawab Jaka Bego ketus.

"Uuhh... capeknya...." Genduk sengaja mengeluh. 

"Kenapa nasibku tidak seperti Non Mahani itu, ya?"

"Jelas lain! Kamu kan bukan keturunan Panji


Gading. Menurutku kamu keturunan Gading Gajah...."

"Iiih... kamu begitu, ah!" Genduk ingin mencubit, tapi 

tiba-tiba dihindari oleh Jaka Bego, sehingga tubuh yang 

lemas itu pun jatuh tersungkur.

"Ada apa itu?" seru Pak Lodang yang ada di paling 

depan. Jaka Bego hanya menyahut, "Semangka jatuh, 

Pak."

"Hei," hardik Lanang kepada Jaka Bego. "Jangan 

usil, Bego! Kasihan Genduk kan?"

"Tapi saya tidak menyuruhnya jatuh kok. 

Menyentuhnya pun tidak!" bantah Jaka Bego, kemudian 

jalan lebih cepat sehingga ia ada di paling depan. 

Lanangseta menyempatkan menolong Genduk. Tetapi 

ketika hendak dituntun, Genduk merasa tak enak.

"Saya masih bisa jalan sendiri kok, Mas Lanang...."

Mahani masih bergelayutan di pundak Lanangseta. 

Langkahnya sedikit diseret. Rasa lelah, kantuk dan 

lapar, membuatnya tak dapat bicara apa-apa lagi. Rasa 

malu kepada Lanangseta dibuangnya jauh-jauh. Yang 

penting ia bisa tetap berjalan dengan tanpa terjatuh-

jatuh.

"Masih bisa bertahan, Mahani?" tanya Lanangseta 

dengan lembut. Mahani mengangguk. Lanangseta 

merangkul, setengah memapah langkah Mahani. Dan 

hal ini pula yang membuat Mahani tidak menolak 

untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Tak 

semua orang tahu kalau tangan Lanangseta 

merangkulnya, bahkan tak seorang pun tahu kalau hati 

Mahani berdesir-desir dalam rangkulan pendekar 

tampan itu.

Sejak dari kedatangan Lanangseta, Mahani telah 

mengalami keanehan dalam dirinya, yaitu suatu 

perasaan senang dan gairah untuk hidup lebih lama. 

Sejak pembicaraan demi pembicaraan, pandangan demi 

pandangan, hati Mahani selalu mendesah-desah bagai


digelitik oleh tangan-tangan usil. Terutama bibir 

Lanangseta yang begitu menarik baginya, seringkali 

menghadirkan keluh kemesraan yang tak tahu apakah 

akan terjangkau olehnya atau tidak. Yang jelas, ia 

menjadi bersemangat mengadakan perjalanan jauh 

seperti itu. Ia sangat setuju, sebab ada harapan di balik 

perjalanannya itu.

Lanangseta tahu bahwa Mahani memaksakan diri 

untuk berjalan sedemikian jauhnya. Namun Lanangseta 

tak tahu kalau Mahani menyembunyikan satu debaran 

jantung dalam pelukan Lanangseta. Yang diketahui 

Lanang hanya rasa lelah dan kantuk begitu berat 

menyerang Mahani. Sebenarnya ia ingin menghentikan 

perjalanan. Menundanya sampai esok. Tapi ia sangat 

khawatir jika esok sebelum ia keluar dari perbatasan 

Kadipaten Branjangan Wilis, anak buah Legowo telah 

menyusulnya. Jadi, meski malam dan melelahkan, ia 

harus memaksakan mereka untuk tetap berjalan.

"Kau tidak menyesal meninggalkan Desa Puger, 

tempat kelahiranmu itu, Mahani?" kata Lanangseta, 

karena menurutnya dengan mengajak ngobrol Mahani, 

setidaknya dapat mengalihkan perhatian gadis itu 

sehingga kelelahan dan kantuk sedikit berkurang.

"Tanah kelahiran yang penuh kepahitan, untuk apa 

diberatkan? Aku ingin hidup tenang, seperti gadis-gadis 

lainnya." jawab Mahani dengan suara mengambang 

karena kantuk dan kelelahan.

"Tak sayang meninggalkan teman-temanmu?"

Mahani terasa menggelengkan kepala. "Aku tidak 

punya teman. Selama ini aku hanya mengeram di 

kamar, di dalam rumah dan jarang sekali diizinkan 

ayah untuk keluar."

"Kenapa? Takut menjadi incaran orang-orang 

Legowo?"

"Kata ayah begitu."


"Dan kau... kau juga tidak punya teman pria yang 

istimewa?" pancing Lanangseta mencarikan gairah lain.

Mahani tidak menjawab. Mungkin malu, mungkin 

juga bimbang untuk menentukan jawabannya. Namun 

sebaliknya, ia bahkan bertanya, "Apa kau sendiri 

mempunyai teman wanita yang istimewa?"

Lanangseta tertawa pendek. "Menurutmu, 

bagaimana?"

"Pasti kau sudah punya kekasih!" tebak Mahani 

dengan suatu debaran hati yang menggelisahkan, dan 

membuat ia punya kekuatan lain untuk melangkah.

"Dari mana kau bisa mengatakan begitu?" desak 

Lanang.

"Ketampananmu, dan... yah, kurasa hanya gadis 

bodoh yang tidak tertarik kepadamu, Lanang."

Sekali lagi Lanangseta tertawa pelan. Ia berbisik, 

"Apakah kau termasuk gadis bodoh?"

Mahani menjadi malu, ia terperangkap dalam 

jebakannya sendiri. Ia ingin menyatakan bahwa dirinya 

bukan gadis bodoh, tapi... rasa-rasanya ia lebih malu 

lagi. Sebab dengan begitu ia berarti telah berterus 

terang bahwa dirinya tertarik oleh Lanangseta. Oh, dia 

tak mau mendahului bicara demikian. Ia hanya 

menjawab, "Apa kau bisa menilaiku, termasuk gadis 

bodoh atau gadis yang pintar?"

Lanang menjawab lirih, "Kurasa... kau gadis yang 

pintar, Mahani. Tapi sayang, kau tidak berani 

mengemukakan kepintaranmu."

Mahani tahu maksudnya, Lanang hanya ingin 

mengatakan, bahwa dirinya tak berani mengutarakan 

perasaan tertariknya kepada Lanangseta. Mahani diam 

saja. Ia tak tahu harus bicara apa lagi kepada pendekar 

tampan yang menggoda hatinya itu.

Tetapi Lanang tahu gerakan naluriah yang tersirat 

dari isi hati Mahani. Tangannya menggenggam tangan


Lanang dan ia hanya mendesah dengan suatu 

hempasan nafas yang penuh arti. Lanang sengaja 

menggodanya. "Sayang tidak ada gadis seperti kamu 

yang mau tertarik kepadaku. Yahh... maklumlah, aku 

ini kan orang tak tentu arah. Tak punya rumah dan 

harta berharga apa pun. Jadi, sangat wajar jika tak ada 

gadis semanis kamu yang mau mengisi kehidupan ini."

"Jangan berkata begitu, Lanang. Aku tak suka."

"Memang nyatanya tak ada kok."

"Kalau ternyata ada gadis yang tertarik denganmu, 

bagaimana?"

"Yaah... aku bersyukur."

"Hanya bersyukur?" nada ucapan Mahani sedikit 

protes.

"Dalam segala perkara, dan setiap hal, kita wajib 

mengucapkan syukur. Berterima kasih kepada Hyang 

Widi, yang menciptakan kita serta seisi alam ini. Jadi, 

bersyukur adalah tindakan yang paling baik bagiku, 

jika memang ada gadis semanis kamu mau menemani 

hidupku."

"Kalau begitu aku salah duga." Tiba-tiba terdengar 

suara Mahani setelah bungkam sementara waktu.

"Salah duga bagaimana?"

"Kukira kau tidak hanya akan bersyukur jika ada 

gadis sepertiku yang mau menemani hidupmu."

Lanangseta tertawa pendek, tetapi ia semakin 

mempererat pelukannya. Hati Mahani sedikit 

memperoleh kelegaan ketika merasakan pelukan itu 

semakin erat. Paling tidak untuk sementara ini ia masih 

bisa memiliki semangat untuk tetap berjalan menyusuri 

gelap, menembus semak hutan bersama Lanangseta. 

Namun, betapa ingin hatinya terpeluk erat, Mahani 

tetap berusaha menutupi keinginan itu. Ia tak ingin 

mendapat penilaian sebagai gadis murahan, sebagai 

gadis gampangan dan ia tak ingin Lanang mengatakan


bahwa dirinya tumbuh sebagai gadis kurang sopan. 

Betapa berat dan sesaknya, Mahani harus bisa 

menyimpan baik-baik perasaan hatinya. Tak wajar jika 

ia menyatakan cinta lebih dulu sebelum Lanangseta 

melontarkan isi hatinya.

Dan ketika itu, pagi mulai menyingsing. Mereka telah 

sampai di kaki Gunung Pekayon, yang merupakan 

perbatasan wilayah Kadipaten Branjangan Wilis. Desa 

yang dituju mereka memang masih jauh. Masih harus 

ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira satu hari lagi. 

Lanangseta memperkirakan mereka akan tiba di desa 

Tayub menjelang matahari tenggelam nanti.

"Aku terlalu capek, Pak...." kata mak Lodang. 

Kemudian Pak Lodang meminta kepada Lanang untuk 

beristirahat beberapa saat mengingat keadaan istrinya 

begitu memprihatinkan sekali.

"Iya, istirahat dululah...! Kita harus mempunyai 

tenaga untuk sampai ke desa Tayub nanti," timpal Jaka 

Bego.

"Baiklah.... kita istirahat dulu, tapi cari tempat yang 

aman dan dapat dipakai buat berlindung sewaktu-

waktu." kata Lanangseta, dan nafas-nafas pun 

terhempas lega. Di hutan itu ada pohon cukup besar, 

akarnya pipih dan membentuk suatu segitiga, mirip 

sebuah dinding ruangan. Di situlah mereka beristirahat, 

melepas lelah setelah sehari semalam berjalan tiada 

henti.

"Pak Lodang...." kata Lanangseta. "Apakah ada jalan 

lain yang lebih dekat menuju desa Tayub?"

Pak Lodang berpikir, matanya berkedip-kedip, 

sesekali ia memandang Lanangseta, seperti ragu untuk 

mengatakan sesuatu. Lanangseta merasa aneh. Lalu 

mendesak dengan pertanyaan lagi, "Maksud saya, kalau 

ada yang lebih dekat, ibaratnya kita bisa potong jalan, 

yah... sebaiknya kita memotong jalan sajalah. Supaya


lebih cepat."

Setelah diam sesaat, Pak Lodang berkata dengan 

lirih, "Sebetulnya ada, tapi kita harus melalui Bukit 

Badai."

Lanangseta hampir saja ketahuan terkejutnya begitu 

mendengar kata 'Bukit Badai'. Kegelisahan dan 

kepedihan kembali lagi menyayat hati. Ingat Bukit 

Badai, ingat Kirana. Dan setiap ingat Kirana, hati 

Lanangseta tak dapat dibohongi lagi, pasti berdebar-

debar menyemburkan rasa perih.

"Kalau begitu, sebaiknya kita lewat Bukit Badai saja," 

usul Jaka Bego yang mendengar pembicaraan itu.

Pak Lodang menjawab, "Tapi daerah itu daerah 

berbahaya. Selain ada penguasanya, dan merupakan 

daerah tertutup bagi orang asing semacam kita, juga... 

takutnya kalau kepergok orang-orang Tebing Neraka. 

Mereka itu sangat ganas-ganas. Melebihi orang-

orangnya Legowo. Karena itu, hanya orang-orang Tebing 

Neraka yang konon berani nekad sering memasuki 

wilayah Bukit Badai."

"Ah, tapi siapa tahu orang-orang Tebing Neraka 

sedang tidak ada di daerah itu." kata Jaka Bego.

"Iya, tapi kalau penguasa Bukit Badai marah, 

bagaimana? Orang-orang Bukit Badai itu sangat 

misterius, dan berilmu tinggi lho..." sahut Pak Lodang.

"Alaaah... setinggi-tingginya ilmu mereka, masih bisa 

ditaklukkan oleh...." Jaka Bego melirik Lanang seraya 

menuding dengan jempol tangannya. Lalu ia meringis 

konyol.

Lanangseta diam saja. Pikirannya kacau. Jaka Bego 

berkata kepadanya, "Lanang, kau sanggup 

menaklukkan orang Bukit Badai kan?" Lanang tidak 

menjawab. Semakin resah. Jaka Bego mendesak, 

"Alaah... jangan takut, nanti kubantu. Kalau orang 

Bukit Badai marah, gempur saja kepala mereka."



Pak Lodang menyahut, "Husy...! memangnya 

gampang menggempur mereka? Apalagi di Bukit Badai 

itu, katanya... ini menurut cerita yang pernah kudengar 

lho... katanya di sana ada seorang perempuan cantik 

yang sangat judes, galak dan berilmu tinggi. Kalau 

perempuan itu sedang marah, semua tanaman 

bergoyang, bumi bagai mau tenggelam, langit pecah dan 

badai mengamuk tak karuan. Pokoknya kalau 

perempuan Bukit Badai itu marah, kiamat terjadi 

sementara waktu! Betul. Itu kata mereka yang pernah 

menyaksikan sendiri...." Pak Lodang bicara sampai 

bibirnya monyong-monyong. Bersemangat sekali.

"Hemm...." Jaka Bego mencibir. "Baru hanya seorang 

perempuan. Sehebat apa pun kekuatan perempuan itu, 

kalau menghadapi Lanang, dia tak akan bisa berbuat 

apa-apa, Pak. Jangankan dengan Lanang, dengan saya 

saja belum tentu perempuan Bukit Badai bisa unggul. 

Mungkin akan lari terkencing-kencing kalau sudah 

kukeluarkan jurus Kodok Nunggingku. Eh, Pak...." Jaka 

Bego mendekatkan wajah, "Perempuan Bukit Badai itu 

akan lemas, lunglai, loyo dan tak bisa marah apa-apa 

lagi kalau sudah kucium dari kening sampai ujung 

kakinya, ia pasti akan kegirangan kalau kupeluk 

dan...."

"Plak...!"

Sebuah tamparan mendarat di pipi Jaka Bego. 

Lanangseta merah mukanya, nafasnya terengah-engah. 

Jaka Bego heran melihat kemarahan Lanangseta.

"Kenapa kau menamparku?! Salah apa aku 

padamu?"

Lanangseta mulai sadar, bahwa sesungguhnya 

mereka tak tahu dari mana asalnya. Mereka tak tahu 

bahwa Lanangseta adalah bagian dari Bukit Badai itu. 

Mereka juga tak tahu kalau perempuan Bukit Badai 

yang diceritakan itu masih membekas di hati Lanang


dan sedang menjadi ganjalan kegelisahannya.

"Maafkan aku...." ujar Lanangseta, menyesal. "Aku 

mengingatkan kamu, agar tidak bicara sembarangan di 

tempat seperti ini. Aku takut kalau omonganmu itu 

didengar orang, dan sampai di telinga perempuan Bukit 

Badai. Kau bisa dihancurkan olehnya, atau paling tidak 

itu pertanda kita cari gara-gara dengannya. Jangan cari 

musuh, Bego!"

Matahari mulai merayap ke arah tengah. Lanangseta 

memberi perintah agar mereka bergegas meneruskan 

perjalanan kembali.

"Kita tak perlu memotong jalan. Tak perlu lewat 

Bukit Badai. Ini untuk mengurangi resiko yang 

berbahaya bagi keselamatan Mak Lodang serta Mahani," 

itulah alasan Lanang mengapa mereka diminta melalui 

arah yang semula.

Tetapi baru saja mereka hendak bergerak, di 

kejauhan terdengar deru kaki kuda terpacu. Suara 

ringkik kuda menandakan mereka yang ada di 

kejauhan itu sedang tergesa-gesa. Jaka Bego menjadi 

tegang, demikian juga Pak Lodang dan istrinya, juga 

Mahani dan Genduk. Bungkusan berisi pakaian dan 

perbekalan ala kadarnya itu segera diangkat oleh 

Genduk, ia bersiap untuk lari jika sewaktu-waktu ada 

perintah bersembunyi.

Hanya Lanangseta yang kelihatan tenang sekali 

memandang arah datangnya suara gemuruh kaki kuda. 

Ia menggumam jelas di telinga Jaka Bego, "Mereka 

mengejar kita...."

"Siapa? Orang-orang Kadipaten Branjangan Wilis 

itu?"

"Ya...."

"Kalau begitu aku bersembunyi dulu, ya?" Jaka Bego 

hendak bergerak, tetapi Lanangseta segera menenteng 

lengannya, membawa Jaka Bego ke suatu tempat yang


agak jauh dari Mahani dan keluarganya. Dengan pelan 

dan tegas Lanang berkata, "Bego... aku tahu siapa 

kamu. Memang belum jelas dari mana asal-usulmu dan 

apa maksudmu mengikuti aku. Tapi aku tahu, kau 

punya isi. Tak usah berlagak bego di depanku. Yang 

jelas, kuminta kau untuk menghadapi mereka untuk 

melindungi keluarga lemah itu. Kasihan Pak Lodang 

dan anak istrinya, kan? Kau harus bergerak sebagai 

dirimu sebenarnya."

"Aku bingung dengan omonganmu."

"Terserah, kau mau bingung atau tidak, tapi hadapi 

mereka. Tunjukkan kepada keluarga Lodang... 

khususnya kepada Mahani. Siapa tahu jika Mahani 

melihat kehebatanmu, dia jadi menyukaimu."

"Aaah... itu kan...." Jaka Bego berhenti 

menyepelekan kata-kata Lanang, ia bahkan berbisik. 

"Apa mungkin Mahani bisa mengagumiku...?"

"Kau bisa membuktikannya nanti, setelah kau 

mampu mengalahkan mereka...."

"Lanang... itu mereka kelihatan?! Warok dan anak 

buahnya. Ooh... bagaimana kita?!" Mahani berseru 

dalam ketakutan. Lanang segera bergegas 

meninggalkan Jaka Bego yang masih termangu-mangu 

dalam kebingungan. Lanangseta segera menyuruh 

mereka bersembunyi di bawah sebuah pohon besar, di 

mana di situ ada batu gunung berlumut yang tingginya 

melebihi tinggi tubuh Lanangseta. Besar sekali. Di 

samping itu, ada rimbunan semak yang menutup batu 

itu, sehingga mereka dapat melihat ke arah Jaka Bego, 

namun dari sana orang akan sulit memandang yang 

bersembunyi.

Rombongan Warok Sabuk Geni terlihat semakin 

jelas. Kuda-kuda mereka sebentar lagi melewati tempat 

lenggang, di mana pohon dan semak jarang tumbuh. 

Terlihat oleh Lanang, mereka terdiri dari delapan orang


penunggang kuda yang kekar-kekar. Kuda yang 

ditunggangi Warok paling depan, warnanya putih dan 

berbulu indah.

"Hei, lihat...! Anak setan itu ada di sana!" seru Ki 

Warok kepada anak buahnya. "Kejar dia! Dia pasti 

bersama keluarga Mahani!"

Karena anak buah Warok Sabuk Geni mendatangi 

Jaka Bego, maka Jaka Bego lari ketakutan ke arah 

Lanangseta yang berada di balik persembunyian.

"Mereka hendak membunuhku...! Itu mereka ke 

mari!"

"Goblok! Bego...!" geram Lanangseta. "Mengapa kamu 

lari ke mari? Kalau begini caranya mereka bisa tahu 

bahwa kami bersembunyi di sini. Goblok!"

"O, iya! Aku lari ke tempat lain saja...!" Lalu, Jaka 

Bego yang memang bego itu segera lari ke arah lain 

sebelum orang-orang Kadipaten memergokinya di 

tempat persembunyian. Jaka Bego dalam kebingungan, 

berlari kian ke mari. Perasaannya sudah lari jauh, 

padahal ia hanya memutar pohon yang satu ke pohon 

yang lain. Tak urung anak buah Warok Sabuk Geni pun 

memergoki dia, dan segera mengurung Jaka Bego 

dengan barisan rapat berkuda. Jaka Bego 

menampakkan wajah ngerinya, memandang kian ke 

mari bagai anak mau menangis.

"Di mana Mahani, Setan dekil?!" bentak salah 

seorang.

"Mahani...? Mahani bersama bapaknya. Bukan 

bersama aku. Sungguh. Boleh digeledah, saya tidak 

membawa Mahani...." Jaka Bego mengangkat bajunya 

dan berputar, maksudnya menunjukkan bahwa ia tidak 

menyembunyikan Mahani di balik bajunya. Orang yang 

tadi membentak kini turun dari kuda. Berjalan dengan 

sangar mendekati Jaka Bego. Jaka Bego semakin ngeri, 

mimiknya seperti anak mau menangis.


"Aku tahu Mahani bersama bapaknya, tapi di mana 

mereka? Ayo, cepat katakan!" Orang itu menarik baju 

Jaka Bego.

"Mereka... mereka...."

"Cepat katakan kalau mau selamat?!"

"Mereka... mereka bersembunyi. Sumpah kok! 

Bersembunyi!"

"Iya, bersembunyi! Tapi di mana mereka 

bersembunyi?!" teriak orang itu dengan kasar dan 

semakin mencengkeram baju Jaka Bego.

"Di... di sana...." jawab Jaka Bego.

"Di sana mana?! Bangsat...!"

"Di sana...!" Jaka Bego menunjuk arah lain. 

Kebetulan angin berdesir dan menggoyangkan 

dedaunan rimbun di suatu tempat. Mereka mengira 

Mahani dan keluarganya bersembunyi di sana. maka 

mereka pun segera bergerak ke arah yang berlawanan 

dengan tempat persembunyian Mahani.

"Bagus... cerdik juga dia," gumam Lanangseta sambil 

tetap bersembunyi. Tapi di luar dugaan, Jaka Bego 

kegirangan, karena usahanya berhasil mengecohkan 

musuh. Ia melonjak dan berseru, "Cihuuu...! Aku 

berhasil menipu mereka...!"

Ia tidak sadar kalau ucapannya itu bisa didengar 

oleh mereka, sehingga kuda mereka berhenti dan 

berbalik menghadap ke arah Jaka Bego.

"Anak itu membohongi kita...!" seru salah seorang.

Lalu orang yang memegang rantai berujung bola 

berduri itu menggeram, "Kurang ajar...! Kita dibuat 

mainan! Awas kau...!" Orang itu memacu kudanya 

hingga berlari ke arah Jaka Bego. Rantai berujung bola 

berduri itu diputar-putar, siap menghancurkan kepala 

Jaka Bego. Jaka Bego seperti orang gugup, tak tahu 

harus lari ke mana. Ia diam di tempat dengan mata 

memandang tegang, penuh ketakutan.


Tapi di luar dugaan, Jaka Bego berguling mendadak, 

kakinya sengaja dihalangkan sehingga kaki kuda itu 

tersangkut dan kuda itu tersungkur seketika dengan 

ringkik yang membahana. Sudah tentu penunggang 

kuda bersenjata bola berduri itu terjungkal ke depan 

dan tubuhnya tengkurap seperti kura-kura. Kuda tak 

bisa membedakan mana rumput dan mana tubuh 

manusia, akhirnya badan kuda yang besar itu 

menindihi tubuh orang itu. Kaki kuda meletik-letik 

berusaha untuk bangun, dan orang itu semakin 

cengap-cengap. Mulutnya berdarah karena badannya 

tertindih kuda. Lalu ketika kuda berhasil berdiri dan 

melarikan diri, tubuh penunggangnya masih diam tak 

bergerak. Mungkin tulang punggungnya patah dan 

pernapasannya mengalami penyumbatan.

Jaka Bego tertawa dan tepuk tangan sendiri 

menyaksikan musuhnya tak bergerak dengan mata 

mendelik dan mulut berdarah. Tetapi di luar dugaan, 

beberapa orang penunggang kuda lainnya menyerbu 

Jaka Bego dengan ganas dan secara bersamaan. Jaka 

Bego merebah, hendak menjegal kaki kuda lagi, tapi 

karena banyak kaki kuda yang menyerangnya, ia buru-

buru bangun kembali dan berlari.

"Wah, bisa-bisa mukaku diinjak-injak kuda...!"

Mereka mengejar Jaka Bego. Salah seorang 

melemparkan tombak bermata tiga. Pada saat itu tubuh 

Jaka Bego tersungkur karena tersandung akar pohon. 

Tombak bermata tiga lolos, melayang di atas kepalanya. 

Namun akibatnya ia segera terkurung oleh lawan-

lawannya. Jaka Bego bangkit, hendak melarikan diri, 

tapi tak jadi. Ia terkurung. Dan dua orang penunggang 

kuda bersenjata pedang dan clurit bergagang panjang 

segera turun dari kudanya.

"Jangan...! Jangan bunuh saya. Membunuh itu 

pekerjaan yang tidak baik, kalau tidak kepepet...!" kata


Jaka Bego seraya cengar-cengir mengambil hati 

lawannya.

Kedua orang itu tidak memberi komentar, tapi yang 

di atas kuda masih sempat berseru, "Bunuh saja anak 

itu!"

"Jangan ngotot," kata Jaka Bego. "Tadi sudah 

kusarankan, membunuh itu tidak baik. Betul!"

Terdengar suara Warok Sabuk Geni, "Jangan 

lamban! Serang dia...!"

Jaka Bego berpaling memandang Warok Sabuk Geni 

yang sejak tadi diam di atas punggung kuda, di 

kejauhan. Pada waktu itu, dua orang bersenjata pedang 

dan clurit panjang segera menyerang Jaka Bego.

"Jakaaa...! Awaaas...!" teriak Genduk dari tempat 

persembunyian. Hal itu membuat orang-orang lainnya 

berpaling memandang ke arah Genduk. Lanangseta jadi 

gemas dan dongkol sekali kepada Genduk yang secara 

tak langsung telah membuat musuh mengetahui tempat 

persembunyian Mahani. Maka, mereka pun mulai 

berdatangan ke tempat persembunyian yang 

sebenarnya sudah aman itu. Pak Lodang menampar 

mulut Genduk dengan keras. Mereka berdua ribut. Tapi 

Lanangseta tak sempat melerai, karena empat orang 

penunggang kuda sedang mendatangi persembunyian 

Mahani. Lanang segera keluar dan melompat 

menyambut kedatangan mereka berempat, sementara 

yang dua sedang sibuk membunuh Jaka Bego. Agaknya 

Jaka Bego licin bagai belut, lincah seperti anak kijang.

Lanangseta sendiri sibuk menghadapi keempat 

lawannya. Dua orang turun dari kuda, dan dua lagi 

masih berada di punggung kuda. Mereka menyerang 

dengan tombak bermata tiga dan tombak bermata 

pedang. Sedangkan yang turun dari kuda menyerang 

dengan pedang serta sepasang trisula tajam. 

Lanangseta sibuk menghindari sepasang trisula yang


secara bersamaan terarah ke wajahnya. Ia berhasil 

menggelinding ke depan, tapi segera disambut oleh 

pedang lawan. Untung Lanangseta dapat mengelak 

dengan berguling ke kiri. Kakinya sempat menyepak 

kaki lawan sehingga orang bersenjata pedang itu jatuh 

terjengkang ke belakang. Kaki Lanangseta segera 

menghentak perut orang itu dengan tumit. "Heaat...!"

"Uuuhk...!" Orang itu mengerang, tepat pada saat 

temannya mencoba menusuk tubuh Lanang dengan 

tombak berujung tiga. Senjata yang menyerupai garpu 

tanah itu berhasil dielakkan Lanang dengan meliukkan 

dan ke kanan. Dengan tangkas senjata itu berhasil 

ditangkap oleh tangan Lanang, lalu ditarik dengan satu 

hentakan, sehingga tubuh di atas punggung kuda itu 

pun jatuh.

Kesempatan itu digunakan oleh Lanang untuk 

melejit dengan bertumpukan tombak yang menancap di 

tanah. Tubuh Lanangseta melambung tinggi, 

bersamaan dengan itu ia pun segera mencabut pedang 

Wisa Kobra.

"Sreet...!"

Semua mata mendelik melihat pedang itu membawa 

seperti gumpalan lahar panas., Merah, dan mengerikan.

Tombak berujung pedang dilemparkan. Dengan 

kecepatan di luar batas pandangan mata, Lanangseta 

mengibaskan pedangnya berulangkali. Tahu-tahu 

tombak itu telah patah menjadi beberapa bagian. 

Keempat lawannya semakin tercengang. Lanangseta 

melambung dalam satu hentakan kaki, tubuhnya 

melayang menuju ke salah satu penunggang kuda dan 

seketika itu juga orang tersebut jatuh ke tanah dengan 

kepala terpenggal. Padahal mereka tidak melihat 

Lanang mengibaskan pedangnya. Tapi ternyata kepala 

penunggang kuda itu telah terpisah dari leher.

"Gila! Kecepatan pedangnya luar biasa," gumam


salah seorang. Dan penunggang kuda lainnya segera 

menyerang Lanang dengan menggunakan kudanya. 

Kuda itu dipacu cepat untuk menabrak Lanang. Tapi 

Lanang tidak bergerak sedikit pun, ia berdiri tegap, 

sedikit merendahkan badan, dan pedang Wisa Kobra 

berdiri di depan wajahnya. Pada saat kuda itu 

menerjang, Lanangseta berkelebat ke samping. Cahaya 

meraih membara itu pun bagai menyinari tubuh kuda. 

Namun kuda itu meringkik histeris, dam roboh seketika 

dengan perut terbelah mengerikan. Penunggang kuda 

itu terpental jatuh di tempat Jaka Bego yang sedang 

melompat kian ke mari menghindari tebasan senjata 

lawannya. Tanpa sengaja, Jaka Bego melompat 

menghindari tebasan senjata dan jatuh tepat menginjak 

dada orang yang terlempar dari kuda.

"Uuuhk... eekh... ekh...!" Orang itu mengejang, darah 

merah tersembur dari mulutnya. Jaka Bego terkejut 

melihat orang yang tak sengaja diinjaknya itu meregang 

dan kejet-kejet. Kontan ia melompat ke tempat lain, 

membiarkan orang itu menggelepar-gelepar dan mati.

"Babi busuk kau...!" teriak temannya yang makin 

ganas.

Jaka Bego berlari mendekati Lanang. "Mereka 

semakin marah padaku...!" Ia hendak berlindung di 

tubuh Lanang. Tapi gerakan Lanang sudah semakin 

cepat sehingga Lanang tak berhasil dipegang Jaka Bego. 

Bahkan, Jaka Bego salah pegang, karena matanya 

memandang musuh yang menyerangnya. Ia memegang 

pantat kuda dengan kuat-kuat. Tentu saja kuda merasa 

geli, dan segera menyepaknya. Jaka Bego menjerit 

dengan tubuh melayang disepak kuda.

Ketika itu, Lanangseta menyongsong kedua musuh 

yang mengejar Jaka Bego. Ia berguling ke tanah dan 

berdiri lagi dengan salah satu lututnya. Tahu-tahu 

kedua orang itu telah rubuh karena goresan pedang


yang begitu cepat.

Jaka Bego menggeliat bangun dari jatuhnya. 

Kepalanya terasa pusing. Ia tak tahu kalau dirinya 

sedang terancam: Seorang musuh sedang mengangkat 

pedangnya dan hendak menusuk Jaka Bego dari 

belakang. Tetapi Jaka Bego bergumam sendiri, "Masa 

cuma disepak kuda, begini... kok bisa jatuh...." Ketika 

itulah Jaka Bego memperagakan kuda menyepak 

dirinya. Dan di luar dugaan gerak kaki yang menirukan 

kuda menyepak itu telah mengenai dada orang yang 

ingin membunuhnya. Orang itu terpental bagai 

menerima tendangan begitu kuat. Jaka Bego berpaling 

kaget. "Oh, maaf, aku tidak tahu kalau kau di 

belakangku...!" katanya. Orang itu mengerang kesakitan 

sambil memegangi dadanya.

"Maaf, ya aku tidak... Lho, kok jadi mati?"

Rupanya orang itu bukan mati karena tendangan 

sepak kuda Jaka Bego, melainkan waktu ia terjengkang 

ke belakang dan jatuh telentang, punggungnya terkena 

senjata temannya yang tadi jatuh tertindih kuda. 

Punggung orang itu tertancap bola berduri yang 

agaknya selain tajam juga mengandung racun. Maka, 

sudah tentu tubuh itu kejang-kejang dan mati tak 

berkutik lagi. Sementara itu, tinggal satu orang anak 

buah Warok Sabuk Geni yang masih nekad menghadapi 

Lanangseta. Ia menyerang Lanangseta dengan senjata 

clurit bergagang panjang. Waktu tubuh itu melayang di 

atas Lanangseta, pedang Wisa Kobra masih berdiri 

tegak. Lanangseta berguling ke depan, dan ternyata 

gerakan itu membuat lawannya mengerang sebentar, 

lalu roboh dengan bagian dada hingga perut terbelah 

mengerikan. Kilasan pedang itu begitu cepat dan tak 

sempat terlihat oleh mata siapa pun.

Lanangseta menyarungkan pedangnya setelah 

dilihatnya tak ada anak buah Warok Sabuk Geni yang


masih hidup. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara tawa 

yang menjijikkan, serak dan kasar. Suara itu datang 

dari Warok Sabuk Geni, yang diam-diam sudah berhasil 

menawan Mahani dan Pak Lodang. Ia mengacungkan 

goloknya yang besar dan tajam ke leher Pak Lodang dan 

berseru, "Berani mendekat, kubunuh orang ini!"

Lanangseta diam tercengang. Jaka Bego 

kebingungan melihat keadaan yang di luar dugaan.

"Siapa kamu sebenarnya, Orang asing? Permainan 

silatmu cukup boleh dibanggakan. Siapa kau, hah?!"

"Aku... Malaikat Pedang Sakti!" jawab Lanang dengan 

tegas.

"Ha, ha, haaa... pantas-pantas... Ilmu pedangmu 

sangat mengagumkan. Tapi kau tak akan bisa 

mengalahkan kekuatanku. Buang senjatamu, atau 

kurobek leher orang tua ini!"

"Jangan, Lanang!" teriak Mahani.

"Plaak...!" Mahani menjerit karena ditampar Ki 

Warok.

"Buang jauh-jauh pedangmu itu, lekas!" bentak 

Warok Sabuk Geni.

"Buang...! Buang saja...!" bisik Jaka Bego kepada 

Lanang. Lanang hanya diam tak menjawab dan tak 

bergerak.

"Kuhitung sampai tiga kali, kalau kau tidak 

membuang senjatamu itu, kurobek leher orang ini. 

Satu...!"

"Lanang buang saja senjatamu, uuh... payah! Nanti 

Pak Lodang mati lho...." bujuk Jaka Bego yang 

ketakutan.

"Dua...!"

"Taaar...!"

Suara letusan kecil terdengar. Seorang bertubuh 

pendek untuk ukuran seorang pendekar, berdiri di 

kejauhan. Kulitnya hitam, dan ia memegang cambuk di


tangannya.

"Paman Ludiro...?!" seru Lanangseta.

Pada waktu itu, Warok Sabuk Geni hendak 

mengambil golok besarnya yang jatuh akibat tangannya 

terkena cambukan Ludiro. Namun selagi ia 

membungkuk, Cambuk Naga melesat lagi dengan cepat. 

"Tarr... Tarrr...!"

"Aaahh...!" Warok Sabuk Geni terguling-guling, 

punggungnya terluka bagai robek dua tempat dan 

saling bersilang.

Warok Sabuk Geni masih berusaha untuk bangkit, 

Ludiro dan yang lainnya membiarkan. Warok Sabuk 

Geni meringis dan segera berlari mendekati kudanya, 

kemudian naik ke punggung kuda. Dengan sekali 

hentak, kuda itu berlari ke arah tempat datangnya tadi.

Lanangseta bergumam, "Itu bisa menjadi penyakit 

bagi rakyat Kadipaten. Harus dimusnahkan... sekali!" 

Setelah berkata demikian, Lanangseta mencabut 

pedangnya. Warna merah membara membuat Ludiro 

terkejut. Lanangseta bagai bicara dengan pedangnya, 

"Bunuh, Warok Sabuk Geni itu...!" Ia melepaskan 

pedang Wisa Kobra, tanpa suatu lemparan sedikit pun. 

Tapi pedang yang merah bagai bara api itu telah melesat 

dengan sendirinya. Gerakannya cepat, seperti kilasan 

cahaya merah. Pedang itu menembus punggung Warok 

Sabuk Geni sampai tembus di perut, dan keluar lagi 

melayang. Pedang itu bergerak cepat menuju arah 

Lanangseta, lalu dalam waktu yang begitu singkat 

pedang Wisa kobra telah berada dalam genggaman 

Lanangseta. Pedang itu pun dimasukkan ke sarungnya 

kembali. Sementara. Itu maka Jaka Bego masih 

mendelik lebar, memandang Warok Sabuk Geni yang 

rubuh di punggung kuda setelah terpekik sesaat karena 

ditembus pedang Lanang. Kudanya berjalan terus, bagai 

mengantarkan mayat Warok Sabuk Geni.


"Kita selamat, Mak... Kita selamat...?!" kata Mahani 

dengan tangis kegembiraan. Mak Lodang pun memeluk 

anaknya sambil menangis lega. Lalu Pak Lodang segera 

memeluk keduanya dalam keharuan yang tertahan.

"Jaka... kita selamat...!" teriak Genduk sambil berlari 

menghampiri Jaka Bego dengan tangan terentang 

keduanya. Jaka Bego tak mau berpelukan dengan 

Genduk. Ia segera berkelit ke samping dan Genduk 

menabrak pohon dalam pelukannya.

"Peluk tuh pohon...!" gerutu Jaka Bego sambil 

berjalan mendekati Lanangseta.

Sementara itu Ludiro berkata kepada Lanangseta, 

"Kau harus pulang ke Bukit Badai, Lanang. Harus!"

Jaka Bego terbengong kaget, lalu berseru sampai 

didengar yang lainnya, "Jadi, kau orang Bukit Badai?! 

Astaga...!"

Semua mata tertuju pada Lanangseta. Semua mata 

terbelalak bagai tak mempercayai suara Jaka Bego. 

Lanangseta terpaksa menghela nafas panjang-panjang.

"Paman, haruskah aku kembali ke sana?!"

"Ya. Harus! Jika kau tidak kembali ke Bukit Badai, 

maka dia akan mati."

Lanang mengerti yang dimaksud Ludiro, pasti 

Kirana.

"Kenapa sampai begitu? Bukankah dia sudah 

mengkhianatiku dan telah menyerahkan...."

"Pasti kau telah difitnah oleh Prabima keparat itu!" 

sahut Ludiro. "Tidak. Kau harus kembali ke Bukit 

Badai. Ini saat-saat terakhir baginya antara hidup dan 

mati. Ia telah kehilangan dirinya. Ia tinggal tulang 

dibungkus kulit yang layu. Rama Sabdawana tak bisa 

menyembuhkan karena penyakitnya itu sangat langka, 

dan cuma kamu yang akan berhasil menyelamatkan 

jiwanya. Cuma kamu, Lanang!"

Lanangseta termenung beberapa saat. Ia berjalan


dan memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu. 

Ia sempat mendengar Jaka Bego bertanya kepada 

Ludiro yang ikut-ikutan memanggil 'paman' kepada 

Ludiro.

"Dia itu siapa sebenarnya, Paman? Tumbal Bukit 

Badai?!"

Ludiro tersenyum tipis. "Dia calon pengganti 

penguasa Bukit Badai."

"Haahh...?!" Teriakan Jaka Bego begitu keras 

sehingga mengagetkan yang lain.

Kepada Pak Lodang terpaksa Lanang berkata, "Kita 

meneruskan perjalanan melalui Bukit Badai. Paman 

Ludiro yang akan menggantikan saya untuk mengawal 

Pak Lodang sekeluarga. Sedangkan saya... ada urusan 

penting yang harus saya kerjakan sekarang juga. Tak 

boleh terlambat."

Pak Lodang manggut-manggut walau kurang jelas 

persoalannya. Lanang menambahkan kata, "Paman 

Ludiro dan Jaka Bego tetap akan mengawal Pak Lodang 

sampai ke desa Tayub, dan saya sendiri akan menyusul 

ke sana kalau urusan saya telah selesai...."

Sebenarnya Mahani tak ingin berpisah dengan 

Lanang. Tapi untuk sementara ini ia bisa memahami 

kesibukan Lanang yang kelihatan sangat penting.



                                TAMAT





0 komentar:

Posting Komentar