BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE DENDAM DARAH TUA


Dendam Darah Tua


DENDAM DARAH TUA

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga

episode Dendam Darah Tua

Wirautama, 1991

128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6




1

PETI MAYAT dibawa masuk melalui pintu gerbang. 

Kayunya terbuat dari jati glondongan berukir. 

Warnanya coklat tua, mengkilap. Peti mayat itu 

diletakkan di ruang paseban oleh orang-orang Griya 

Teratai Wingit. Wajah-wajah mereka dilapisi duka 

mendalam. Sementara di luar rumah besar itu, kabut 

hitam merayap menutup jalan, dan langit mendung 

bagai membungkus bumi dengan tebal.

Di kejauhan, tampak sesosok tubuh kekar milik 

seorang pendekar sedang bergerak menuruni lereng, 

menuju Griya Bukit Badai. Sosok pendekar muda yang 

tampan itu sudah tidak mengenakan ikat kepala dari 

kulit macan tutul lagi. Rambutnya yang panjang 

mengenakan ikat kepala dari tali halus, bagai terbuat 

dari rajutan benang-benang sutera berwarna ungu. 

Sosok itu, tak lain dari sosok Lanangseta, yang berjuluk 

Pendekar Pusar Bumi, dan menyandang gelar 

pemberian gurunya sebagai Malaikat Pedang Sakti.

Ia berhenti di depan pintu gerbang, mencium bau 

setanggi kematian. Bau itu menggerakkan hatinya 

untuk bercuriga dan bertanya-tanya, siapa yang 

meninggal? Debar-debar jantungnya begitu keras dan 

cepat. Ia mulai dicekam kecemasan yang membuat 

tangannya gemetar. Wajah menegang dan firasat buruk 

mulai terasa jelas. Kepada kedua penjaga pintu gerbang 

Griya Teratai Wingit itu ia bertanya, "Siapa yang 

meninggal?"

Dengan membungkuk dan memberi hormat, salah 

seorang penjaga menjawab sopan, "Putri Bukit Badai, 

Tuan...!"

"Kirana...?!"


Lanangseta menjerit dalam hati. Jantungnya seperti 

berhenti beberapa detik. Ia bergegas masuk, bahkan 

dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata 

sepasang penjaga pintu gerbang. Nafasnya terengah-

engah karena menahan kedukaan yang amat dalam. 

Ketika berhadapan dengan Marwa, pelayan Kirana, 

Lanangseta tak mampu melontarkan sepatah kata pun. 

Ia terlanjur dibungkam oleh kesedihan yang meledak-

ledak di dalam dada. Tetapi dengan wajah murung, 

dilapis kedukaan, Marwa berkata lirih:

"Kami sudah berupaya menghiburnya, tapi Putri 

belum bisa menerima keadaan ini. Rindunya semakin 

dahsyat dan telah merobah darahnya menjadi racun. 

Dan... dan tadi malam ia menghembuskan nafas 

terakhir sambil menyebutkan namamu, Mas Lanang...."

Merah mata Lanangseta mendengar penuturan itu. 

Menggeletuk giginya, mengepal tangannya kuat-kuat. 

Darah di dalam tubuh mendidih. Ia seakan ingin 

memukul dirinya sendiri. Namun jiwa seorang pendekar 

melarang dirinya rapuh dalam menerima kenyataan. Ia 

harus tetap tegar, harus bisa tabah dan mampu 

menguasai emosi dirinya.

Lanangseta belum masuk ke ruang paseban. Ia 

sempat bertemu dengan ayah Kirana, Rama Sabdawana 

di serambi samping. Lelaki berambut uban dan sedikit 

gemuk itu memandang kehadiran Lanangseta yang 

segera bersujud kepadanya. Wajah Sabdawana 

menyimpan selaksa duka, sekalipun ia kelihatan 

tenang. Matanya kemerah-merahan, perih. Ia 

mengenakan jubah abu-abu menandakan masa duka 

pada dirinya. Ia hanya mengusap rambut Lanangseta 

yang berada di lututnya dengan perasaan haru 

menghunjam-hunjam hati. Lalu ia berkata pelan setelah 

Lanangseta bangkit dan berdiri dengan sopan di 

hadapannya.


"Dia telah pergi...." suara Sabdawana serak dan lirih 

sekali. "Dia menunggumu untuk hidup bersama, tapi 

dia gagal. Kerinduan merupakan pantangan hidupnya, 

yang apabila terjadi akan merubah darahnya menjadi 

racun. Jika terlambat terobati, akan membunuhnya 

sendiri. Dan ternyata, dia memang terlambat...."

Rasa-rasanya ada sebilah kulit bambu yang 

mengiris-iris hati Lanangseta dengan pelan-pelan sekali. 

Ia nyaris berteriak dalam ledakan dukanya begitu 

mendengar kata-kata Sabdawana, ayah Kirana. Namun 

semua itu ditahannya, mati-matian. Ia hanya berusaha 

berkata dengan susah sekali, "Saya... yang terlambat...."

"Belum," jawab Sabdawana. "Waktumu masih 

memberi kesempatan untuk melihat seperti apa jenazah 

calon istrimu itu. Ia kami baringkan dalam peti, sebagai 

tempat penantian orang yang dicintainya...."

Berulangkali Lanangseta mengerjapkan mata, 

menahan rasa perih dan panas akibat rembasan air dari 

dalam kelopaknya. Ia melangkah ke paseban bersama 

Sabdawana dengan lutut gemetar. Baru sekarang ia 

merasakan keharuan yang begitu menyiksa diri akibat 

rasa sesal menghantuinya.

Di ruang paseban, tempat pertemuan antara 

Sabdawana dengan para muridnya yang kini menjadi 

pelayan dan pengawal di situ, ada beberapa orang yang 

telah berkumpul melingkari peti mayat. Mereka 

menggumamkan kidung puji-pujian dan doa untuk 

arwah Kirana Sari. Lanangseta nyaris tak tahan 

mengendalikan emosinya begitu melihat wajah orang-

orang yang berkidung menyayat hati itu dihiasi oleh 

linangan air mata. Berulangkali Lanangseta menghela 

nafas dalam-dalam, berulangkali juga nafas 

dihempaskan panjang-panjang untuk memperoleh 

ketenangan.

Atas perintah Sabdawana, Lanangseta diizinkan


masuk dalam lingkaran asap setanggi yang mengelilingi 

peti mayat itu. Mulanya Lanangseta sedikit ragu, tak 

sampai hati. Ia hanya memandang peti mayat yang 

masih belum ditutup. Namun akhirnya ia pun 

melangkah, mendekat setelah Rama Sabdawana 

berkata pelan, "Datanglah, dia menunggumu. Masih 

setia menunggumu, sekalipun dia telah mati...."

Langkah yang berat berhenti di tepi peti mayat. Mata 

Lanangseta membelalak dan mulai berkaca-kaca 

digenangi cairan bening menghangat. Ia bagai tak 

percaya kalau yang dilihatnya adalah Kirana. Ia nyaris 

menjerit melihat tubuh itu kurus kering, kulitnya 

membungkus tulang dan layu. Kecantikannya bagai 

pudar dirongrong penyakit mengerikan.

Dulu Kirana cantik, menggairahkan. Badannya 

padat, buah dadanya menonjol. Kulitnya bersih, 

matanya sangat indah dalam lilitan maskara pada masa 

itu. Bibirnya merekah segar dan sangat sensual. Tetapi 

kini, ia bagai mati dalam ketuaan. Tubuhnya tak lebih 

dari sebatang bambu suling yang dibungkus kulit layu 

dan pudar. Tulang-tulang rahang terlihat menonjol, juga 

tulang pipi dan pundaknya.

Sebegini parahkah kerinduan Kirana? Setragis inikah 

cinta Kirana kepada Lanangseta? Jadi benarkah selama 

ini Lanang telah termakan fitnah pemuda Prabima 

Wardana, yang mengatakan bahwa Kirana telah berbuat 

serong dengan pemuda itu? Sepahit inikah kenyataan 

yang ada pada diri Kirana yang memendam kesucian 

cintanya kepada Lanangseta, dan menelan racun 

kerinduan atas datangnya Pendekar Pusar Bumi ini?

Lanangseta menggeletukkan giginya kuat-kuat. 

Desakan duka semakin hebat, semakin menghentikan 

pernafasan. Batinnya yang bertanya-tanya dan 

berkecamuk sendiri itu meratap tak mampu dicegah 

lagi. Lalu, dengan pelan dan penuh keharuan yang


membungkus jiwa, Lanangseta mengusap pipi jenazah 

Kirana. Perlahan-lahan sekali ia merundukkan kepala 

ke dalam peti, dan mencium kening Kirana dengan 

sentuhan lembut dan menyayat hati. Ia ingin menahan 

air mata kesedihan. Namun gagal. Ada setetes air mata 

yang menitik, jatuh di kening Kirana. Ia buru-buru 

mengangkat wajahnya, agar tidak terlalu dalam larut 

dalam kesedihan yang meratap itu. Ia buru-buru 

mengecapkan matanya, bagai ingin mengembalikan air 

mata yang telah terlanjur menggenang di kelopaknya.

Namun pada saat itu, mata yang memerah itu tiba-

tiba membelalak kaget. Semua orang yang berkabung di 

situ melihat perubahan wajah Lanangseta yang 

terperanjat kaget. Semua orang saling bertanya-tanya 

dalam hati, apa yang terjadi? Kenapa Lanangseta 

terkejut sekali? Apa yang dilihat Lanangseta pada waktu 

itu? Maka mereka pun bergegas bangun dari duduknya, 

mereka bergerak membentuk beberapa kelompok dan 

saling berkasak-kusuk. Sabdawana sendiri ikut merasa 

heran melihat Lanangseta membelalakkan mata begitu.

Mayat Kirana Sari mengerjap-ngerjapkan mata pada 

saat air mata Lanangseta menitik di keningnya. Mata itu 

semakin jelas terbuka. Memandang sayu kepada 

Lanangseta. Lama-lama mata itu sendiri berair bagai 

dihunjam keharuan yang dalam. Kemudian tangan 

Kirana bergerak pelan, terangkat bagai minta disambut 

oleh Lanangseta. Lanang merasa ragu. Tapi terdengar 

dari mulut Kirana sepatah kata yang memanggil 

kekasihnya, "Lanang...."

Suara itu lirih. Sangat pelan. Hampir tak terdengar 

oleh Lanangseta. Bibir yang membiru itu bergerak-gerak 

dengan tangan yang semakin tinggi terangkat. Lalu, 

Lanang pun menyambutnya, membantu Kirana untuk 

bangkit dan memeluk Lanangseta dalam satu tangis 

yang nyata.


Mereka yang turut berbela sungkawa di situ menjadi 

mundur ketakutan. Ada yang berseru di luar 

kesadaran, "Dia bangkit...! Mayat itu bangkit dan... dan 

hidup lagi...?!"

Erat sekali Kirana memeluk Lanangseta. Tangisnya 

menghangat di hati Lanang. Ia belum mampu berkata 

lebih banyak lagi kecuali sebaris kata yang terucap 

dengan serak, "Kau telah kembali, Kasihku...."

"Cantik...." desah Lanangseta dalam pelukan 

kerinduan itu. Ketika itu Sabdawana mendekat, dan 

Kirana buru-buru memeluk ayahnya juga dalam tangis 

seorang perempuan polos.

"Ia telah kembali, Ayah... ia kembali...." Orang-orang 

masih bingung dan diliputi rasa takut bercampur heran. 

Wajah-wajah mereka menegang di dekat pintu. Yang tak 

berada di ruang paseban menjadi berdesak ingin 

melihat mayat hidup kembali. Sementara itu, 

Lanangseta masih terbengong-bengong memikirkan 

keanehan itu. Tapi kata-kata Sabdawana yang berwajah 

cerah telah sedikit menetralkan keheranan hati Lanang.

"Kau telah menghidupkannya kembali, Lanangseta. 

Air matamu kurasa telah menetes dan menyentuh 

jasadnya. Air matamu itu... sesungguhnya air surgawi 

yang amat dibutuhkan untuk menghidupkan suatu 

kematian yang belum saatnya tiba. Dan, ternyata 

kematian putriku adalah kematian yang mendahului 

kodrat, sehingga mampu kau tawarkan dengan air 

mata, walau hanya setetes...."

Ruang paseban itu cukup luas, sehingga suara 

Sabdawana terdengar menggema. Setiap orang 

mengangguk-angguk dalam keheranan yang memukau 

mereka. Selain luas, ruangan itu juga berjendela lebar. 

Ada empat jendela di sana, masing-masing di samping 

kiri dan kanan. Dua jendela di samping kiri menjurus 

ke pemandangan serambi samping, dan yang dua lagi di



bagian kanan menjurus pada pemandangan di luar 

pagar rumah besar itu. Dari jendela kanan itu dapat 

terlihat tanah lereng berpohon lebat.

Dan pada saat itu mereka semua dikejutkan oleh 

meluncurnya sebatang anak panah yang datang dari 

arah pohon di luar pagar rumah. Anak panah itu 

berwarna kuning, berbulu merah. Anak panah itu 

menancap tepat di sisi peti mayat sebelah kanan.

"Musuh datang...!" seru orang-orang yang hadir di 

situ. Mereka adalah para murid Sabdawana yang tanpa 

menunggu komando segera lari melesat ke luar dan 

memburu ke tempat datangnya anak panah tadi. 

Sementara itu, Kirana menghentikan tangisnya, 

memandang anak panah yang masih menancap di peti 

mayat.

Lanangseta menemukan gulungan surat yang diikat 

pada anak panah itu. Ia segera menyerahkan gulungan 

surat tersebut kepada Sabdawana. Dengan dahi 

berkerut, Sabdawana membuka dan membaca surat itu. 

Kemudian ia menggeram gemas sambil menyerahkan 

surat tersebut kepada Lanangseta. Kirana masih lemas 

dan lesu, namun ia memaksakan diri untuk ikut 

membaca bunyi surat tersebut:

Sudah saatnya kita menentukan nasib lama, siapa 

yang terkuat: Teratai Wingit atau Pesanggarahan Maut. 

Tepat waktu matahari di pucuk kepala kita. kutunggu 

kehadiranmu di Lembah Berdarah. Kau atau aku yang 

harus mati di sana. Selamat jumpa lima hari lagi di 

Lembah Berdarah.

Dari aku, musuh lamamu,

BEGAL DOGOL

"Begal Dogol, Ayah...?!" Kirana bernada cemas.

"Ia masih penasaran dan mendesak untuk bertarung


denganku." kata Sabdawana dengan tenang dan 

menyimpan kegelisahan. Lanangseta segera mohon diri 

sebentar. Ia melompat melalui jendela dengan 

kecepatan yang luar biasa, Mengejar si pengirim surat, 

walau sudah cukup lama menghilang.

Kemarahan Lanangseta meluap. Mungkin 

dikarenakan suasananya dirusak oleh kehadiran suara 

tantangan itu. Mungkin juga karena ia sejak tadi sudah 

memendam kemarahan terhadap dirinya sendiri yang 

nyaris membuat Kirana mati itu, sehingga kehadiran 

surat tantangan itu bagaikan api yang membakar 

darahnya. Tak peduli Kirana waktu itu berseru 

memanggilnya, Lanangseta tetap melesat bagai sinar, 

langsung melompati pagar yang tinggi, mendahului para 

pengejar lainnya.

Dari pohon ke pohon Lanangseta bergerak cepat. Ia 

sengaja tidak melalui jalan darat. Kakinya sejak tadi 

tidak menyentuh tanah, kecuali menyentuh dahan dan 

daun-daun pohon. Matanya memandang nanar pada 

setiap gerakan, mencari orang yang telah diutus oleh 

Begal Dogol untuk menyampaikan surat tantangan. 

Surat itu semacam penghinaan yang merendahkan 

harga diri Sabdawana. Lanangseta merasa perlu 

bertindak, karena Sabdawana sudah dianggap ayahnya 

sendiri.

Sekali pun kaki Lanangseta menginjak dahan dan 

daun-daun pohon, namun sama sekali tidak 

menimbulkan bunyi. Daun dan dahan tak satu pun ada 

yang bergerak. Ini menunjukkan betapa sempurnanya 

ilmu peringan tubuh Lanangseta sejak ia menjadi murid 

Tongkat Besi.

Dalam satu gerakan, Lanangseta tiba-tiba berhenti 

terpaku. Ia melihat seorang lelaki bertudung daun 

pandan, berselempang busur dan membawa dua anak 

panah di punggungnya. Gerakan lelaki itu cukup gesit.


Langkahnya lebar dan mantap. Lelaki itu berpakaian 

serba hitam dan menyelipkan sebilah golok di 

pinggangnya. Menurut gerakannya yang terlihat luwes 

dan ringan itu, Lanangseta dapat memastikan bahwa 

lelaki itu tentu mempunyai ilmu silat yang tidak mudah 

dianggap ringan oleh murid-murid Sabdawana. Tentu 

saja para murid itu tertinggal jauh dan tak akan 

mampu mengejarnya, karena lelaki itu setiap melompat 

selalu diiringi dengan salto ke depan. Hanya beberapa 

langkah saja ia berhenti bersalto, tapi selebihnya, ia 

selalu melayang dan berjumpalitan di udara. 

Tudungnya amat kuat melekat di kepala. Bajunya yang 

serba hitam itu seakan nyaris tidak bergerak sedikit 

pun.

Lelaki itu berhenti seketika dari gerakannya, karena 

seorang lelaki bertubuh kekar dan tegap telah berdiri di 

depannya. Ia sedikit kaget, karena kemunculan 

Lanangseta itu sama sekali di luar dugaannya.

"Siapa kau? Apa alasanmu menghadangku?!" hardik 

lelaki bertudung itu.

"Kau utusan dari Begal Dogol?!" Lanangseta bahkan 

ganti bertanya. Lelaki itu sedikit menggeragap.

"Apa urusanmu?"

"Aku ingin bertemu dengan Begal Dogol yang sok 

jago itu. Seperti apa rupanya?" kata Lanangseta dengan 

tenang.

Lelaki itu menjadi gusar. Lanangseta sudah dapat 

memperhitungkan kalau ketahanan lelaki bertudung itu 

tidak seberapa, sebab ia masih mampu terpancing oleh 

ejekan Lanang.

"Jangan menyebut guruku sembarangan, Bangsat!"

"Aku toh tidak menyebut gurumu dengan julukan 

Bangsat!"

Lelaki itu menggeram. "Sekarang apa maumu?!"

"Menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan


dia?!"

"Akan kusampaikan."

Lanangseta menggeleng. "Aku sangsi gurumu yang 

sok jago itu tidak mempercayai kata-katamu. Sebaiknya 

kau harus membawa tanda."

"Apa maksudmu...?"

Tanpa menjawab lagi, Lanangseta segera bergerak 

dengan satu lompatan. Kaki Lanangseta meluncur ke 

arah muka lelaki itu, tetapi lelaki itu dapat berkelit ke 

samping dan mencoba menangkis kaki Lanangseta. 

Lanangseta berdiri dan tersenyum. "Hanya segitu 

kemampuanmu...." ujar Lanangseta. Kemudian ia 

segera bergulung-gulung ke udara dengan satu kali 

lompatan. Lelaki itu sempat kebingungan menentukan 

arah pukulannya. Gerakan Lanangseta bagai mengitari 

dirinya dengan cepat dan susah diawasi. Lelaki itu tidak 

tahu kalau Lanangseta telah mencabut pedangnya. 

Yang ia tahu seperti ada sinar merah yang menyertai 

gerakan Lanangseta. Dan sinar merah itu tahu-tahu 

berkelebat menyentuh tangannya. Lelaki itu mencoba 

menghindar sambil bersalto ke arah samping. Ia tak 

tahu kalau Lanangseta sudah memasukkan pedangnya 

lagi ke sarungnya.

Lelaki bertudung itu berdiri tegak dengan kaki 

terenggang kokoh. Lanangseta juga berdiri tegak dengan 

ketegapan badannya yang begitu menakjubkan. Lelaki 

bertudung itu tersenyum. Lanangseta juga membalas 

senyuman sinis itu. Mereka berjarak antara enam atau 

delapan langkah. Masing-masing menampakkan sikap 

waspada dan ketegarannya.

Terdengar suara lelaki itu mengejek Lanangseta, 

"Ilmumu masih cetek, Bung. Hanya bisa membuat 

lawan menjadi pusing sebentar, dan tidak menghasilkan 

apa-apa."

"Mungkin benar dugaanmu, Kawan. Tapi... lihatlah


tanganmu yang kanan itu...."

Lelaki itu melihat tangan kanannya, dan ia terkejut 

bukan kepalang tanggung, bahkan sempat menjerit 

dengan mata terbelalak tegang. Tangan itu telah 

buntung pada batas pergelangannya. Hebatnya lagi, 

potongannya itu tidak mengucurkan darah, melainkan 

hanya merembaskan darah sedikit demi sedikit.

"Setaaan...!" teriak lelaki itu kepada Lanangseta. Ia 

sempat mencari ke sekeliling, di mana terjatuh 

penggalan tangannya. Namun agaknya ia tidak 

menemukan.

"Kau mencari jari-jemarimu, Kawan...?"

Lelaki itu masih memandang sekeliling, tapi begitu 

mendengar kata-kata Lanangseta, ia segera mengangkat 

wajah. Tegang, sangar dan nafasnya terengah-engah. 

Pada saat itulah tangan kanan Lanangseta yang sejak 

tadi disembunyikan di belakang segera terulur ke depan 

dan memperlihatkan potongan tangan lelaki itu yang 

telah ada dalam genggaman Lanangseta.

"Mungkin ini yang kau cari, Kawan...!" Lanang 

tersenyum sinis. Lelaki yang jari serta telapak 

tangannya utuh ada pada Lanangseta itu segera 

menggeram sambil menyeringai marah. Ia ingin 

bergerak maju, tapi Lanangseta telah melompat 

mundur. Ia berhenti dengan nafas kemarahan meledak-

ledak. Lanang tersenyum sinis, mengejek, semakin 

menjengkelkan.

"Apa barang bekas ini masih kau butuhkan? Untuk 

apa? Untuk makanan anjing?"

"Bangsaaat...!" Lelaki itu melayang, menebang 

dengan kaki.

Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto ke depan 

beberapa kali, melampaui ketinggian lelaki itu. 

Kemudian kaki Lanangseta menjejak ke bumi, melayang 

lagi sampai ia berhenti di atas dahan pohon. Lelaki itu


kebingungan dalam geram nafsu kemarahan yang 

hebat.

Melalui tangan kirinya ia melancarkan pukulan 

tenaga dalam yang membuat ranting pohon serta dahan 

yang diinjak Lanangseta itu patah seketika. Tapi 

Lanangseta telah berpindah tempat ke dahan yang lain.

"Katakan kepada gurumu, Si Bangsat Begal Dogol, 

aku ingin bertemu dengannya kapan saja... aku ingin 

membuat dia mati dengan memuaskan. Nah, 

sampaikan salamku itu kepada Begal Dogol. Katakan 

itu salam dari Malaikat Pedang Sakti, begitu. Jelas 

kan?!"

Lanangseta segera melejit meninggalkan lelaki 

bertudung. Lelaki itu berteriak, "Berikan potongan 

tanganku itu...!" Tapi Lanangseta tidak menjawab 

sepatah pun. Ia menghilang, bagai masuk dalam 

gumpalan awan di langit. Namun ia masih memegangi 

potongan tangan kanan lelaki bertudung, yang tadi 

melayangkan panah ke peti mati Kirana.

"Pulang semua, sudah kudapatkan dia...!" teriak 

Lanangseta kepada murid-mu rid Sabdawana yang 

sibuk mencari pemanah gelap itu. Mendengar suara 

Lanangseta, kendati tidak melihat ujud orangnya, maka 

murid-murid Sabdawana itu pun segera pulang. 

Lanangseta sampai ke Griya Teratai Wingit lebih dulu 

dari mereka. Lanang langsung menghadap Sabdawana 

yang masih berada di ruang paseban. Sementara itu ia 

melihat Kirana sudah bisa duduk di sebuah bantal 

berlapis sarung kain mengkilap, sejenis kain satin 

putih. Ia tersenyum lega melihat kedatangan Lanang 

kembali.

"Bagaimana dengan orang itu? Kau apakan?" tanya 

Kirana dengan suara masih lemas. Lanangseta segera 

meletakkan potongan telapak tangan utusan Begal 

Dogol. Potongan telapak tangan itu di letakkan di lantai


bertikar, di depan Sabdawana yang tengah duduk 

bersila.

"Surat itu kujawab dengan ini...!" kata Lanang, dan 

Sabdawana mengeluh dalam desah yang panjang.

"Ini berarti aku harus memenuhi tantangan Begal 

Dogol, Lanang. Padahal aku bermaksud tidak mau 

menuruti nafsunya!" kata Sabdawana yang membuat 

Lanangseta terbengong. Dalam hati Lanang bertanya, 

"Kenapa tidak mau? Takut? Atau Apa...?"

***

2

SABDAWANA termenung di bawah pohon rindang di 

belakang rumah besar itu. Ia duduk pada sebuah 

bangku dari batu cadas putih yang diukir motif 

kelopak-kelopak teratai. Sore itu, Lanangseta tidak ingin 

mengganggu tidur Kirana. Ia menyempatkan diri 

mendesak ayah Kirana untuk mengatakan apa sebab 

ayah Kirana tidak ingin memenuhi tantangan Begal 

Dogol. Dalam renungannya itu, Sabdawana berkata 

pelan seakan kepada dirinya sendiri, "Haruskah setiap 

tantangan berakhir dengan pertarungan? Haruskah 

harga diri terletak pada ujung senjata?"

Pendekar Pusar Bumi yang duduk tak jauh dari 

Sabdawana itu juga ikut termenung, khususnya 

merenungkan kata-kata orang tua berambut uban itu.

"Tapi saya ingin tahu apa alasan Rama, sehingga 

Rama bermaksud tidak melayani Begal Dogol," ucap 

Lanangseta dengan suara penuh kesopanan.

"Apa alasannya?" Sabdawana berkerut dahi sambil 

memandang Lanangseta. "Apakah aku juga harus


mendesakmu, menanyakan apa alasanmu menghilang 

selama ini?"

"Itu pertanyaan yang wajar, Rama. Dan sudah pasti 

saya akan menceritakan, apa sebab saya menghilang."

Sabdawana manggut-manggut. "Baiklah. 

Ceritakanlah sejujurnya, Lanang."

Tiba-tiba ada perasaan ragu yang menyelinap di hati 

Lanangseta. Ada rasa takut dikatakan sombong jika ia 

membeberkan siapa dirinya sekarang ini. Tapi 

pertimbangan otaknya mengatakan lain: ia harus 

bicara, ia tak ingin segalanya serba misterius.

"Rama... seseorang telah menculik saya, ketika saya 

pingsan dalam pengejaran terhadap diri Prabima...." 

(dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH).

Sabdawana kelihatan menyimak betul tiap ucapan 

Lanang, sampai-sampai ia tidak bergerak sedikit pun.

"Orang itu juga memaksa saya untuk menjadi 

muridnya. Ia membawa saya ke sebuah lereng gunung, 

dan di sana saya dijejali ilmu-ilmunya. Ia cukup kuat, 

berilmu tinggi. Dan semua itu hanya karena dia ingin 

mati. Mulanya saya menolak, tapi tak terasa saya jadi 

menyukai ilmu orang itu. Sampai pada akhirnya, saya 

ditipu olehnya, diajak berlatih ilmu pedang yang 

ternyata suatu jebakan untuk kematiannya. Dia mati 

dengan pedang saya ini, Rama."

"Siapa orang itu?"

"Si Tongkat Besi...."

"Tongkat Besi?" Sabdawana berkerut dahi. "Kalau 

tak salah dulu kau pernah mengatakan bahwa 

pedangmu itu dicuri oleh seorang kakek yang bergelar 

Si Tongkat Besi? Kalau tak salah waktu itu kau habis 

menghancurkan Puri Tebing Neraka."

"Ya. Memang orang itulah yang akhirnya menjadi 

guru saya, namun sekaligus yang menjadi musuh saya, 

sekali pun itu musuh yang paling saya cintai."



"Apa kehebatan ilmunya?"

"Banyak, Rama. Dia mempunyai banyak ilmu dewa, 

sebab dia memang seorang dewa yang terusir dari 

Suralaya, tempat para dewa itu."

"Seorang dewa?!" Sabdawana menjadi kaget, lalu 

kelihatan tegang. Ada kekhawatiran yang 

disembunyikan dalam hatinya. Dan kekhawatiran itu 

terbias lewat sorot matanya yang mencurigakan.

"Rama kelihatannya terkejut? Mungkin tidak 

percaya?"

Sabdawana gelisah dan menggeleng. "Ada sesuatu 

yang kurasakan aneh. Setahuku, seorang yang dulu 

bekas dewa hanyalah Eyang Pramban. Dia adalah guru 

dari guruku, Lanang. Jadi, kalau sekarang kau 

mengaku dididik oleh orang yang mengaku bekas dewa, 

ah... kedengarannya janggal sekali. Jangan-jangan kau 

tertipu olehnya."

Lanangseta termenung sesaat. "Mungkinkah ia 

menipu saya, Rama? Apa maksudnya kalau memang ia 

menipu saya."

Sabdawana angkat bahu, "Entahlah. Tapi, kurasa itu 

sebuah tipuan."

"Kalau begitu, saya memang sudah terpengaruh dan 

terjerat dalam tipuannya. Mungkin saya terlalu percaya 

kepadanya. Ia mengaku pernah hidup pada zaman 

dulu. Mengaku berusia antara 400 sampai 600 tahun, 

dan sampai saat kemarin belum bisa mati-mati. Hanya 

saja, yang saya herankan, ia dapat mengenal keluarga 

Rama Sabda. Ia bahkan menyebutkan nama seorang 

perempuan yang memakai nama ilmu leluhur Bukit 

Badai ini. Menurutnya, perempuan itu bernama... 

Syalindra...."

"Lanang...?!" Sabdawana terkejut sekali, sampai-

sampai ia berdiri. Lanangseta jadi takut menyinggung 

perasaan Sabdawana, apalagi setelah Sabdawana


berkata, "Itu nama istriku...! Jangan sebut dengan 

sembarangan!"

"Maaf, Rama," kata Lanang penuh dengan nada

penyesalan. "Tapi memang itulah kata-kata guru 

Tongkat Besi yang berhasil saya bunuh. Saya tak tahu 

persis, apakah dia dewa atau hanya mengaku-aku 

sebagai dewa, yang jelas dia punya kesaktian yang luar 

biasa, Rama."

"Perlu kau ketahui, Lanang," kata Sabdawana masih 

tetap berdiri. "Zaman dulu, memang ada orang yang 

mengaku bernama Eyang Pramban. Dia adalah bekas 

dewa. Dia diusir dari kahayangan, dan menjelma 

sebagai manusia. Dia mempunyai seorang murid, Ki 

Pandan Wangi, yang kemudian menjadi guruku. Tapi 

belum habis ilmu Eyang Pramban diturunkan kepada Ki 

Pandan Wangi, guruku itu telah pergi darinya karena 

suatu sebab yang tak dapat dikerjakan, yaitu harus 

membunuh gurunya sendiri. Dan pada masa remajaku, 

dunia persilatan pernah heboh karena sebuah 

sayembara. Sayembara itu berbunyi: Barang siapa bisa 

membunuh Eyang Pramban, maka ia akan diberikan 

pusaka yang tiada duanya di dunia tentang 

kehebatannya. Maka orang berlomba-lomba membunuh 

Eyang Pramban. Tapi tak satu pun ada yang mampu 

membunuhnya, sehingga pusaka yang dijanjikan itu 

tidak berhasil dikuasi oleh siapa pun. Nah, sekarang 

kau mengaku telah membunuh orang bekas dewa. Apa 

buktinya, Lanang?"

Kemudian, setelah mempertimbangkan beberapa 

saat, Lanang pun mencabut pedang Wisa Kobra dari 

sarungnya seraya berkata, "Hanya ini bukti yang saya 

miliki, Rama...."

Sabdawana bagai orang melihat setan, matanya 

membelalak lebar dan mulutnya ternganga, bukan 

sekedar melompong, tapi ternganga lebar. Ia sepertinya


mau berteriak, tapi tak mampu. Wajah tuanya menjadi 

pucat pasi, dan tangannya gemetar saat ia melihat 

pedang Lanang bercahaya merah, seperti gumpalan 

bara yang amat panas. Dan tiba-tiba, sangat di luar 

dugaan Lanangseta, Sabdawana yang usianya jauh 

lebih tua darinya itu bersimpuh di depan Lanangseta. 

Bahkan kini bersujud menyembah Lanangseta dengan 

perasaan takut sekali.

"Rama...? Rama...? Kenapa harus begini?!" 

Lanangseta tak enak disembah Sabdawana. Apalagi 

Sabdawana itu kan calon mertuanya? Masa' seorang 

calon mertua sampai menyembah calon menantu? pikir 

Lanang begitu. Tetapi nyatanya, Sabdawana bahkan 

menangis dalam ketakutan. Lanang semakin bingung 

lagi. Ia menyuruh Sabdawana bangun dan berdiri, 

namun Sabdawana tetap bersujud menyembah 

Lanangseta.

"Wah, kacau ini kalau begini...!" pikir Lanangseta 

sambil memandang ke sana-sini, takut ada murid 

Sabdawana melihatnya. Untung keadaan sepi, sehingga 

tak ada orang yang mengetahui betapa takutnya 

Sabdawana ketika itu, dan betapa menghormatnya 

Sabdawana kepada Lanang begitu ia melihat pedang 

Wisa Kobra seperti bara api yang amat panas.

Lanangseta segera menyarungkan pedang itu. 

Hatinya benar-benar kebingungan mengatasi hal itu. Ia 

membiarkan sampai beberapa saat. Kemudian, setelah 

dirasakan keterkejutan dan masa shock dari ayah 

Kirana itu sudah reda, Lanangseta berkata dengan 

lembut dan penuh kesopanan.

"Rama... bangkitlah. Saya Lanangseta, saya bukan... 

bukan...." Lanangseta kebingungan. Tapi dengan hati-

hati dan penuh rasa sungkan, Lanangseta membantu 

Sabdawana untuk bangun dan tidak bersujud terus 

begitu.


"Rama, kenapa Rama Sabdawana harus bersujud 

dan menyembah saya. Saya ini apa? Saya ini kan calon 

menantu Rama Sabdawana. Malu kalau rampai ada 

yang tahu, Rama...."

"Ampunilah saya...." ucap Sabdawana dengan rasa 

takut, dan sepertinya menyimpan perasaan bersalah. 

"Saya merasa bersalah. Saya tidak tahu, ooh... 

ampunilah saya...."

Lanangseta sebenarnya merasa jengkel, mengapa 

jadi begini? Siapa yang gila sebenarnya? Dia, atau ayah 

Kirana?

"Rama, coba jelaskan, sejelas-jelasnya. Sungguh, 

saya mohon penjelasan dan jangan membuat saya jadi 

gila. Saya ingin Rama menjelaskan semua ini, seperti 

seorang mertua menjelaskan kepada menantunya. 

Silakan, Rama...."

"Seperti seorang mertua kepada menantunya?"

"Iya. Jelaskan begitu. Jangan ada pemisah 

hubungan di antara kita. Saya bukan apa-apa. Rama 

jangan salah duga. Saya Lanangseta, calon menantu 

Rama. Jelaskanlah, tolong. Saya minta tolong betul, 

Rama...." Lanangseta memohon, berharap-harap dengan 

kerendahan hati, sehingga Sabdawana mulai berani 

bersikap seperti tadi, walau sedikit kaku dan tak berani 

bicara dengan kasar.

"Pedang itu... oh, saya jadi ingat masa lalu...."

"Ceritakanlah masa lalu itu, Rama, supaya saya 

tidak penasaran dan menjadi gila karenanya."

Sabdawana menelan liurnya sendiri. Ia masih 

bersikap lebih rendah dari Lanangseta. Lalu ia bicara 

dengan hati-hati dan seakan menghormati Lanangseta.

"Tadi sudah kukatakan... ada sayembara dari Eyang 

Pramban, yaitu dewa yang menjelma menjadi manusia 

karena diusir dari Suralaya. Banyak orang berusaha 

membunuh Eyang Pramban untuk memperoleh pusaka


sakti yang bernama Pedang Malaikat. Sekian banyak 

orang dari penjuru dunia mencoba, dan tak ada yang 

berhasil. Ki Pandan Wangi, guruku itu, merasa tak tega 

melihat Eyang Pramban dikejar-kejar banyak orang 

hanya karena ingin membunuhnya dan ingin 

mendapatkan Pedang Malaikat. Kemudian secara diam-

diam, saya diperintahkan untuk membayang-bayangi 

Eyang Pramban. Disuruh melindungi beliau dari 

kekasaran orang-orang yang hendak membunuhnya itu. 

Salah satu orang yang bernafsu membunuhnya 

adalah... sepasang suami-istri, yaitu Begal Dogol dan 

istrinya. Mereka berasal dari Pesanggrahan Maut. 

Waktu Begal Dogol dan istrinya hendak membokong 

Eyang Pramban, aku menghalangi dan bahkan berhasil 

membunuh istrinya. Dari situlah awal dendam Begal 

Dogol terhadapku. Setiap kami jumpa, kami selalu 

bertarung dan Begal Dogol selalu kabur lebih dulu...."

"Kemudian...?" desak Lanangseta karena Sabdawana 

berhenti beberapa saat.

"Kemudian... aku pernah mendapat cerita dari Ki 

Pandan Wangi, bahwa barang siapa bisa membunuh 

Eyang Pramban, selain ia akan mendapat Pedang 

Malaikat, juga akan menjadi anak dewa. Siapa pun 

orangnya. Ki Pandan Wangi sendiri sangat menghormati 

Eyang Pramban, bahkan siapa pun orangnya yang 

berhasil membunuh Eyang Pramban juga harus 

dihormati, sebab secara tak langsung dia sudah menjadi 

anak dewa yang mampu membuat merah hitamnya 

dunia persilatan. Ki Pandan Wangi juga menjelaskan 

ciri-ciri pusaka Pedang Malaikat yang ia peroleh dari 

Eyang Pramban semasa menjadi muridnya. Ciri-ciri itu 

seperti yang ada pada pedangmu, Merah bagai 

membara, namun sebetulnya dingin bila disentuh 

tangan. Pedang itu akan menjadi membara seperti 

panasnya lahar, apabila sudah menyentuh atau sudah


basah oleh darah Eyang Pramban. Itulah Pedang 

Malaikat. Dan orang yang berhasil membunuh Eyang 

Pramban akan menyandang gelar dari Suralaya sebagai 

Malaikat Pedang Sakti. Itu sudah menjadi ketentuan 

para dewa sebelum Eyang Pramban terusir dari 

Suralaya. Semua tokoh persilatan di jagad raya ini 

harus tunduk kepada pemegang Pedang Malaikat, 

sebab tak seorang pun akan dapat menandingi 

kesaktian Malaikat Pedang Sakti. Dan... dan ternyata, 

orang itu adalah kau sendiri, calon menantuku. Secara 

pribadi, aku adalah calon mertuamu. Tetapi dari segi 

dunia persilatan, kau lebih unggul dariku, bahkan kau 

juga anak dari Eyang guru yang patut kuhormati."

"Kalau begitu, kita berdiri dari segi pribadi saja, 

Rama. Jangan pandang saya dari sudut dunia 

persilatan?" kata Lanangseta menghindari hormat 

Sabdawana.

"Apakah harus begitu?" tanya Sabdawana masih 

dengan perasaan sungkan.

"Ya. Karena saya tak ingin hubungan saya dengan 

putri Rama itu akan terganggu jika Rama memakai 

kaidah hukum rimba persilatan. Saya... saya sangat 

mencintai dia, dan tak ingin diganggu oleh siapa pun."

"Saya juga," tiba-tiba terdengar suara dari arah 

belakang mereka. Suara perempuan yang masih parau.

"Kau...?" Lanang hanya menyebut Kirana begitu 

karena ia terkejut melihat Kirana sudah berada di 

belakangnya.

Kata Kirana, "Apakah saya juga harus menghormat 

kepada dia, Rama?"

Jawab Sabdawana, "Ya. Kau orang rimba persilatan, 

kau harus tunduk kepadanya. Kalau tidak, kau bisa 

binasa, bukan oleh kemarahannya, tapi oleh 

kemarahan Pedang Malaikat itu...."

"Tidak!" sanggah Lanangseta. "Kau tidak perlu


seperti yang lain, Kir...." Lanang tak jadi menyebutkan 

nama Kirana, takut terjadi amukan badai yang dahsyat. 

"Kau tidak seperti yang lain. Kau adalah istimewa 

bagiku...."

Lanang menyambut tangan Kirana. Kirana 

tersenyum, tampak segunung ketenangan dan bangga 

diri telah dipeluknya dalam hati.

"Tapi kesehatanmu belum mengijinkan kau berdiri di 

sini, Cantik... kau masih harus di kamar, jangan 

mencuri pembicaraan."

"Aku tidak sengaja mendengar semua pembicaraan 

itu."

"Ya, tapi kau masih lemah. Jangan jadi pencuri tak 

sengaja dulu. Kau harus banyak beristirahat supaya 

cepat sehat seperti sediakala."

"Aku yakin, dalam waktu dekat aku pasti akan pulih, 

sehat seperti sediakala. Darahku tidak beracun lagi. 

Senyummu sudah menawarkan racun dalam darahku, 

Lanang...."

Sabdawana tahu diri, ia menyingkir perlahan-lahan, 

memberi kesempatan kepada sepasang remaja yang 

sedang memadu kerinduan itu. Hanya saja ia tak habis 

pikir, mengapa ia menjadi mertua dari Malaikat Pedang 

Sakti, yang konon menjadi buah bibir setiap orang itu? 

Nasib keberuntungan siapa yang singgah dalam 

hidupnya ini?

Lanangseta membimbing Kirana agar duduk dan 

bersandar dengan santai. Tubuhnya yang kurus itu 

dengan hati-hati sekali dituntun Lanangseta dan 

ditempatkan seenak mungkin.

"Apakah kau tidak merasakan kejang lagi di setiap 

ototmu?" tanya Lanangseta.

"Tidak. Mungkin selamanya penyakit itu tak akan 

kuderita lagi," bisik Kirana.

"Kenapa kau yakin begitu?"


"Karena ada Malaikat Pedang Sakti di sampingku."

Lanangseta tersenyum dalam tawanya yang pelan 

bagai tawa sebuah gumam.

"Kau tak akan meninggalkan aku lagi, bukan?" tanya 

Kirana dengan mencoba bersandar di dada Lanangseta. 

"Oh, masih sehangat yang dulu," pikir Kirana pada saat 

itu.

"Kalau aku pergi, kenapa?" goda Lanangseta.

"Mungkin akan sakit lagi."

"Kenapa harus sakit lagi?"

"Karena aku akan merindukan kamu."

"Kalau kau rindu, kenapa itu?"

"Darahku akan berubah menjadi racun lagi."

"Kalau begitu aku tak akan pergi, tapi bagaimana 

dengan tantangan Begal Dogol itu? Aku harus 

mengawal ayahmu, bukan?" kata Lanangseta seraya 

mengusap rambut Kirana yang dibiarkan meriap 

panjang.

"Ayah belum tentu berangkat ke Lembah Berdarah," 

jawab Kirana dalam bisik.

"Kau tahu apa sebabnya?"

"Sebab...." Kirana melirik ayahnya. "Oh, tak 

kelihatan." Maka ia pun menjawab pertanyaan 

Lanangseta. "Sebab, ia telah berjanji di depan roh ibu, 

ketika roh ibu menemui ayah pada suatu malam."

"Berjanji bagaimana?" desak Lanangseta penasaran.

"Ayah berjanji tidak akan bertarung lagi dengan 

siapa pun. Ia hanya akan menggunakan kekuatan 

bahasanya dalam bicara. Kalau memang orang itu 

nekad akan membunuhnya, ia hanya akan berdoa 

supaya ibu segera menjemput ayah."

"Aneh. Kenapa harus begitu?"

"Ayah ingin mati dalam jemputan ibu. Bukan mati 

konyol atau mati penasaran di tangan musuh dan 

dendam."


"Romantis sekali ayahmu itu, Cantik."

Kirana berbisik pelan, persis di depan mulut Lanang, 

"Wajar kan kalau putrinya mengikuti sang ayah?"

"Apa kau juga romantis?" goda Lanang.

"Apa kau tidak suka, Lanang?"

"Kau pernah mendengar aku berkata begitu?"

Kirana menggeleng. "Yang kutahu...." Kirana 

berhenti.

"Yang kau tahu, apa?"

"Yang kutahu... kau sudah lama tidak 

menciumku...." jawab Kirana dalam desah yang lembut.

Lanang tersenyum mesra. Lalu ia menggoda lagi, 

"Aku lupa bagaimana cara menciummu... kau mau 

ajarkan cara itu padaku?"

"Kau harus memanggilku guru kalau begitu."

"Baik, Guru Cantik...."

Kirana terkikik samar-samar, dan Lanangseta pun 

tertawa terpendam. Kemudian Kirana yang sedang 

meneguk dahaga kerinduannya itu pun semakin 

romantis.

"Pejamkan matamu kalau ingin mencium gadis," 

ujarnya.

"Kenapa harus memejamkan mata, Bu Guru?"

"Untuk memusatkan perhatian dan pikiranmu pada 

rasa."

"Rasa apa itu? Mual, mulas, pahit...?"

"Kalau kau bercanda, pelajaran akan kututup 

sampai di sini," Kirana berlagak mengancam.

"Silahkan kalau Bu Guru bisa menutupnya...."

Kirana mencubit lembut bibir Lanangseta. "Jangan 

nakal, Lanang. Nanti kuhukum kau."

"Asal aku pandai mencium gadis, aku rela dihukum 

Bu Guru...." Lanang masih meladeni kegembiraan 

Kirana. Pikir Lanang, barangkali dengan begini ia bisa 

membalut luka yang selama ini diderita Kirana dan


nyaris membuatnya terkubur. Barangkali inilah obat 

yang ditunggu-tunggu oleh Kirana sepanjang hari.

"Lanang...?"

"Ya, Bu Guru...."

"Pejamkan mata," bisik Kirana.

"Yang kiri atau yang kanan, Bu Guru?"

"Keduanya, Sayang...."

"Ah, nanti saya tidak bisa melihat kecantikan Bu 

Guru."

"Kecantikanku hanya ada dalam jiwa dan sukmamu, 

Lanang. Carilah kecantikan itu di sana, dan kau akan 

menemukannya lebih dari yang pernah kau lihat."

Lalu, Lanang menuruti permintaan Kirana yang 

mesra itu. Ia memejamkan matanya dengan bibir masih 

tersungging senyum.

"Tahan nafasmu, Lanang...." bisik Kirana.

"Sampai berapa lama, Bu Guru?"

"Jangan terlalu lama, nanti aku kehilangan kamu," 

rengek Kirana menyejukkan hati Lanang.

"Saya sudah menahan nafas, Bu Guru."

"Diamlah sebentar...."

"Tidak boleh bicara, Bu?"

"Tidak boleh...."

"Kenapa tidak boleh?"

"Karena kalau kau bicara bibirmu bergerak-gerak. 

Kalau bibirmu bergerak-gerak aku sulit mengecupmu, 

Sayang."

"Kalau begitu pegang saja bibir saya, Bu Guru, biar 

gampang dikecup."

"Dalam berciuman, tangan tak boleh menyentuh 

bibir."

"Kalau begitu, tangan saya harus menyentuh apa, Bu 

Guru?"

Suara Kirana semakin lirih dan mendesah, 

"Memelukku...."


Lalu Lanangseta memeluk Kirana dengan mesra, dan 

Kirana menyentuhkan bibirnya tipis-tipis ke bibir 

Lanangseta. Ia menggeser bibirnya perlahan-lahan dan 

bagai mengambang di bibir Lanang, sehingga nafas-

nafas mereka terasa menghangat di wajah masing-

masing.

Lanangseta masih mengikuti permainan ala Kirana. 

Bibirnya dibiarkan disentuh-sentuh dengan lidah 

Kirana tipis-tipis dan membuat tubuhnya merinding. 

Hati Lanang berdesir-desir. Tapi Kirana masih 

menyentuh-nyentuhkan ujung bibirnya dan lidahnya ke 

mulut Lanangseta. Tangan Lanang meremas punggung 

Kirana samar-samar. Kirana mendesah, kemudian 

segera melumat bibir Lanang dengan tak sabar lagi. 

Lanangseta mengimbangi dalam kelembutan yang ada. 

Dan Kirana semakin melumat bibir yang 

menggairahkan itu. Sesaat mereka bercumbu, lalu 

Kirana melepaskan ciumannya perlahan-lahan sekali. 

Bibirnya ditarik mundur dengan amat pelan hingga 

Lanangseta merasa berdesir-desir.

"Bagaimana, Lanang?" bisiknya setelah mengikik.

"Saya tidak merasa apa-apa, Bu Guru."

"Aku tadi sudah menciummu, masa' tak merasa?"

"Saya murid pelupa, Bu Guru. Coba diulangi sekali 

lagi, biar saya hafal pelajaran ini."

"Ulangan akan diadakan nanti malam. Tidak 

sekarang...!" Kirana terkikik geli, Lanang pun juga, lalu 

mereka saling berpelukan dalam kasih dan kemesraan. 

Namun, mendadak di benak Lanang teringat sesuatu: 

bagaimana nasib Mahani?

***


3

KEMESRAAN semakin membara, cinta telah 

menuntut segalanya. Lanangseta sudah jelas, bahwa 

selama ini rasa cemburunya telah dimanfaatkan 

Prabima untuk memfitnah dan mematahkan percintaan 

suci itu. Karenanya, Lanangseta tak ingin mengalami 

kekejian fitnah dari pihak lain. Ia harus segera 

mengawini Kirana Sari, putri dari Sabdawana. Namun 

seperti syarat yang ditentukan dulu, yaitu mengalahkan 

orang-orang Tebing Neraka dan sekuntum bunga teratai 

dari Goa Malaikat sebagai mas kawinnya, mau tak mau, 

Lanangseta harus melengkapi syarat tersebut. Orang-

orang Tebing Neraka telah berhasil dihancurkan, (dalam 

kisah GERHANA TEBING NERAKA) dan kini Lanangseta 

tinggal mencari kembang teratai dari Goa Malaikat.

"Aku akan menemui Sekar Pamikat untuk meminta 

bunga teratai dari Goa Malaikat," kata Lanang. "Dia 

telah menjanjikannya tempo hari sebelum aku 

berangkat ke Tebing Neraka. Jadi, kurasa tak ada 

masalah lagi, Cantik. Aku tinggal memintanya dan...."

"Dan kita akan segera menikah, bukan?" sambung

Kirana dengan bersemangat. Lanangseta hanya 

mengerlingkan mata. Lalu keduanya tertawa dalam 

pelukan.

"Hati-hati, Lanang. Kali ini aku tak ingin kau gagal 

lagi," bisik Kirana. "Jangan terlalu lama, nanti aku 

rindu. Aku tak bisa menahan rindu. Mungkin itu 

kelemahanku dalam bercinta. Mungkin itu pula yang 

menyebabkan dulu aku dilarang jatuh cinta kepada 

seorang lelaki."

"Tunggulah sebentar. Hanya sebentar, Sayang...."

Goa Malaikat, sungguh merupakan suatu kenangan


manis bagi Lanangseta, namun juga kepahitan kisah 

baginya. Di goa ini, ia berpisah dengan Putri Ayu Sekar 

Pamikat, yang kini telah menjadi petapa cantik dalam 

goa tersebut. Takdir telah menggaris kehidupan mereka, 

bahwa mereka harus berpisah, sekalipun cinta sudah 

terlanjur melekat erat.

Lanangseta tak mau banyak mengenang kisah lama. 

Terlalu perih di hati jika dikenang. Ia menghela nafas 

dalam-dalam sebelum masuk ke goa misterius itu. Ia 

merangkak untuk masuk melalui mulut goa yang 

sempit, seperti lubang sumur dalam posisi miring. 

Lanang sudah sedikit tahu tentang rahasia goa 

tersebut. Di antaranya, jika tak ada matahari pintu goa 

akan menutup sendiri. Rapat, bagai tak pernah ada 

pintu di situ. Namun jika goa itu terkena sinar 

matahari, maka pintunya akan terbuka dengan 

sendirinya, (kisah selengkapnya ada dalam cerita 

MISTERI GOA MALAIKAT) demikian pula dengan lorong-

lorongnya yang dapat buntu mendadak jika pantulan 

sinar matahari tidak lagi memasuki goa tersebut. 

Bahkan Lanangseta masih ingat, pada dinding lorong 

yang menuju ke kanan, tersimpan segudang emas bagai 

bongkahan batu jika dindingnya terbuka oleh pantulan 

sinar matahari. Tetapi Lanang tidak berminat untuk 

memiliki emas yang ada di situ, karena selain 

mempunyai resiko yang berbahaya, juga ia menganggap 

bunga teratai yang harus diperolehnya dari goa tersebut 

lebih berharga ketimbang bongkahan emas yang dapat 

menjadi sumber bencana. Cintanya kepada Kirana, 

lebih tinggi nilainya, lebih murni kadarnya ketimbang 

segunung emas Goa Malaikat.

Lanangseta menyusuri lorong yang ada di bagian kiri 

dari arah dia masuk goa. Ia masih menemukan bekas 

pakaian Gopo yang untuk alas tidur adik kembarnya: 

Pendekar Maha Pedang, dulu ketika pendekar muda itu


terkena racun dari Sendang Bangkai, (dalam kisah 

RAHASIA SENDANG BANGKAI)

Langkah Lanangseta yang telah menyusuri lorong 

dengan tegap itu tiba-tiba terhenti. Ia sedikit ragu 

melihat seorang pemuda berada di dalam goa tersebut. 

Pemuda itu sedang berjalan masuk, sehingga ia tidak 

tahu kalau di belakangnya Lanangseta berhenti 

memperhatikan langkahnya. Siapa pemuda itu? Ini 

yang menjadi pertanyaan Lanang pada saat terbengong 

melompong memandang langkah pemuda itu.

Bukankah goa ini adalah goa larangan bagi siapa 

saja? Kecuali keluarga leluhur Kirana, tak boleh seorang 

pun masuk ke dalam Goa Malaikat. Mungkinkah 

pemuda itu tersasar jalan seperti diri Lanang dulu?

Lanang mengikuti terus langkah pemuda tersebut. Ia 

ingin tahu, apa dan siapa itu sebenarnya. Langkah yang 

begitu cepat, seakan ia sudah hapal dengan liku-liku 

lorong yang banyak terdapat dalam goa tersebut.

O, agaknya pemuda berpakaian necis, berwarna biru 

muda itu memang sudah beberapa saat tinggal di dalam 

goa tersebut. Buktinya ia menuju suatu tempat yang 

lebih lega, di mana di situ terdapat lima obor pada 

dinding goa. Obor itu cukup sederhana: potongan kain 

dibungkuskan pada batang kayu, dan dinyalakan. 

Begitu saja. Ada lima obor yang dikaitkan pada dinding 

goa. Pemuda itu dengan santai mengambil sebilah 

pedang bersarung emas yang diletakkan pada 

tumpukan dedaunan kering. Agaknya tumpukan 

dedaunan kering itulah tempat tidurnya.

Jika melihat bentuk dan potongan pakaiannya, ia 

seperti keturunan bangsawan, setidaknya putra seorang 

demang yang punya pengaruh kuat di tengah 

masyarakatnya. Tapi melihat wajahnya yang tampan, 

bersih, dan bermata bulat membelalak indah itu, 

sepertinya Lanang pernah melihat wajah tersebut. Tapi


kapan dan di mana, Lanangseta benar-benar tak 

mampu mengingatnya. Ia mengintip dari satu celah 

dinding yang berongga, dan memperhatikan semua 

gerak-gerik pemuda itu sambil mengingat-ingat seraut 

wajah. Tapi sampai begitu lama, Lanang bagai 

menemukan kekusutan otak belaka. Ia tak mampu 

mengingat apa-apa. Yang ia tahu, pemuda itu berusia 

jauh lebih muda darinya. Mungkin seusia dengan Jaka 

Bego. Pemuda itu pantas menjadi adiknya. Hidung dan 

bulu mata yang tebal, semua persis dengan yang ada di 

wajah Lanangseta. Ganteng. Lanang juga ganteng.

Tapi alas kakinya yang terbuat dari bahan halus, 

berbulu indah warna merah, sungguh menampakkan 

betul sebagai alas kaki anak seorang raja. Siapa dia 

sebenarnya? Penasaran sekali Lanangseta dibuatnya. Ia 

bermaksud menampakkan diri, tapi Lanangseta 

tercengang sejenak oleh suara pemuda itu yang bagai 

bicara sendirian, "Seorang tamu yang datang dengan 

sembunyi-sembunyi, tak lebih dari seorang pencuri...."

Dahi Lanangseta berkerut. Dirinya itukah yang 

dimaksud seorang tamu? Pemuda itu berkata lagi, 

"Sesuatu yang tersembunyi, biasanya mempunyai 

kebusukan. Tapi kebusukan itu cepat atau lambat akan 

ketahuan. Jadi buat apa bersembunyi di sana, Kawan?"

Lanangseta yakin, pemuda itu berbicara kepada 

dirinya. Memang mata pemuda berpakaian biru muda 

yang indah itu tertuju kepada pedangnya yang 

bersarung kuning emas. Tetapi dari nada bicaranya, 

Lanangseta yakin betul bahwa dialah yang sedang 

diajak bicara pemuda itu.

Sambil berkerut dahi, akhirnya Lanangseta pun ke 

luar dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu 

bergegas bangkit ketika Lanangseta berkata, "Kau 

bicara denganku, Kawan?"

Pemuda itu berjalan mendekati Lanangseta sambil


tertawa lepas. Lagi-lagi Lanangseta harus berpikir, di 

mana ia pernah mendengar suara tawa yang khas 

seperti itu?

Pemuda itu menggenggam pedang sarung emasnya 

di tangan kiri, dan menjabat tangan Lanangseta dengan 

senyum yang mempesona. Ganteng, bak senyum 

seorang pangeran. Ia berkata dengan suaranya yang 

empuk, "Selamat datang ke Goa Malaikat lagi, 

Lanangseta...."

"Hai?!" Lanangseta semakin heran. "Kau mengenal 

namaku?"

"Tentu," jawabnya, lalu tertawa lagi. "Aku tak pernah 

melupakan kamu, Pendekar tampan. Aku tak pernah 

melupakan sepasang pendekar kembar. Lanangseta 

yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, dan Ekayana, yang 

bergelar Pendekar Maha Pedang. Kalian berdua sama 

hebatnya."

Pusing sekali kepala Lanang menghadapi masalah 

itu. Pemuda itu enak sekali bicara, merasa sudah 

mengenal lama dan akrab. Pemuda itu tidak asing lagi 

dengan Lanangseta. Tapi Lanangseta mengapa belum 

bisa mengingat-ingat siapa pemuda tersebut. Sikapnya 

yang ramah dan suka tertawa sering menggoda hati 

Lanang untuk semakin mengorek ingatannya. Siapa? Di 

mana? Kapan? Ah... kacau!

"Kau tahu banyak tentang aku?" Lanang bertanya 

heran.

"Ya," jawabnya sambil tertawa pendek.

"Tapi aku tidak tahu, siapa kamu?! Aneh."

"Ya," jawab pemuda itu, seakan mengajak bercanda.

"Ya, bagaimana? Apanya yang 'Ya'?"

"Kebingunganmu, Lanang." Ia tersenyum-senyum, 

matanya yang membelalak dan berbulu lentik itu 

mengawasi Lanang dengan kesan kerinduan yang kini 

telah terpenuhi.


"Siapa namamu, Kawan?" tanya Lanangseta.

"Wijaya."

"Wijaya...?!" Lanang mengingat-ingat.

"Wijaya Buana."

"Wijaya Buana?!" kerutan dahi Lanang kian tajam. 

"Rasa-rasanya aku belum pernah berkenalan dengan 

orang yang bernama Wijaya Buana. Sungguh!"

Dengan berani dan bersikap sok akrab, pemuda itu 

memegang kedua pundak Lanang dengan kedua 

tangannya. Mata mereka saling tatap, tapi berbeda sorot 

hati yang ada. Wijaya Buana memandang dengan 

perasaan gembira, dan Lanang dengan tatapan heran 

penuh selidik.

"Goa ini penuh keanehan," gumam Lanang.

"Benar. Dan aku ini sebagian dari keanehan itu."

"Sebagian? Dari keanehan? Apa maksudmu?"

Pemuda itu tertawa, lalu meredakan tawanya. 

"Pernah mendengar tawa itu?"

Lanang manggut-manggut bagai orang tolol. 

"Sepertinya aku memang pernah mendengar suara tawa 

itu."

"Tidak ingat siapa pemiliknya?"

"Aku lupa. Sungguh. Bukan aku sombong, tapi aku 

benar-benar lupa. Maafkan aku...."

Pemuda itu tertawa lagi, kemudian dengan 

merangkul Lanang ia mengajak Lanang berjalan. Akrab 

sekali. Sedangkan Lanang... bingung sekali.

"Barangkali karena memandang wajahku, kau lupa 

dengan suara tawaku. Coba pejamkan mata dan 

dengarkan sekali lagi. Aku akan tertawa, dan kau 

memusatkan ingatanmu."

Mereka berhenti melangkah di dekat obor. "Tidak. 

Sebutkan saja siapa kamu sebenarnya dan di mana kita 

pernah bertemu? Aku tak punya waktu."

"Tidak, tidak, tidak...!" sergah Wijaya. "Aku ingin


membuat kau terkejut. Atau, sekarang sebaiknya kau 

terkejut dulu baru kuberitahu siapa aku dan di mana 

kita pernah bertemu. Bagaimana...?" Pemuda itu 

tertawa lagi dengan girang. Lanangseta seperti orang 

tolol yang sedang dipermainkan.

"Ayo, pejamkanlah mata dan simaklah tawaku...."

Akhirnya Lanangseta pun memejamkan mata. 

Pemuda itu tertawa lagi. Kali ini tawanya agak panjang 

dan tubuh Lanangseta merasa gemetar jadinya. 

Lanangseta buru-buru membuka mata, lalu menatap 

tak berkedip pada pemuda itu.

"Bagaimana, sudah kau temukan siapa aku?"

Lanangseta terbengong lama. Dari ujung rambut 

sampai ke ujung kaki pemuda tampan itu diperhatikan 

dengan teliti. Lalu ia menggumam dengan ragu, 

"Mustahil...."

"Bukan...!" pemuda itu tertawa geli. "Namaku bukan 

Mustahil. Hei, jangan ngacau kamu...."

"Ya, aku tahu namamu bukan Mustahil. Tapi sekilas 

nama yang melintas dalam ingatanku itu yang 

mustahil."

"O, ya? Nama siapa itu? Sebutkanlah, Lanang. 

Sebutkanlah. Ayo...."

"Seperti... seperti tawanya... Tongkat Besi?"

"Tongkat Besi? Wouw... bukan!"

"Jadi, siapa kamu. Aku sudah menyerah."

Pemuda yang mengaku bernama Wijaya itu 

menepuk-nepuk pundak Lanangseta yang 

dirangkulnya.

"Kau pernah diculik Peri Sedang Bangkai?"

Lanang mengangguk dengan sangsi dan curiga. Ia 

memasang kewaspadaan.

"Kau pernah diselamatkan oleh putri Ayu Sekar 

Pamikat?"

Lanang mengangguk lagi, makin curiga.


"Dan... kau pernah mendengar nama Gopo?"

Lanang mengangguk lagi, tanpa komentar.

"Itulah aku... Go-po..." Kemudian pemuda itu tertawa 

melihat Lanangseta terperanjat kaget seraya 

menatapnya tanpa berkedip. Tawanya itu kini telah 

mengingatkan otak Lanangseta, bahwa ia pernah 

mempunyai teman yang tertawa seperti itu, dan 

bernama Gopo. Maka, tak ragu lagi Lanang segera 

memeluk pemuda itu dalam satu keharuan tersendiri.

"Gopo...! Kau gila...! Kau bisa jadi seperti pangeran!"

"Memang aku calon raja," kata Gopo yang berubah 

ujud dan nama menjadi Wijaya Buana.

"Sungguh aku tak habis pikir, bagaimana bisa kau 

seperti ini? Dulu badanmu besar, mirip raksasa, 

wajahmu kasar dan...."

"Cukup, cukup...!" sergah Gopo. "Jangan mengungkit 

masa lalu. Aku suka malu sendiri."

"Jadi bagaimana kau bisa menjadi begini?" tanya 

Lanang sambil duduk di tumpukan daun kering. Ia 

kelihatan gembira sekali setelah sekian lama 

meninggalkan Goa Malaikat dan berpisah dengan Gopo, 

sekarang dapat bertemu lagi dalam keadaan yang 

sangat di luar dugaan. Bahkan terlalu khayal baginya.

"Lanang, kisahku panjang sekali. Terutama diawali 

dengan kisah Ludiro yang menggiurkan hatiku. Kisah 

tentang Lumut Bercahaya yang dimakannya itu dan 

membuat tubuhnya menjadi kebal senjata. Aku ingin 

menyusuri goa itu dan ingin memakan lumut itu, 

tapi...."

Gopo alias Wijaya Buana itu terkekeh sendiri.

"Aku tersasar di suatu tempat, Lanang. Aku hampir 

menangis karena tidak bisa menemukan jalan menuju 

tempat kalian berkumpul itu. Lalu, aku menemukan 

sebuah telaga, yang menurutku hanya sebuah kolam 

yang terjadi secara alam, tanpa dibuat seseorang. Telaga



itu ada di dalam goa ini. Airnya bening dan segar. Aku 

nekad mandi dan beberapa kali meminum air telaga itu, 

walau sebenarnya aku tidak haus. Nah, waktu aku 

menyelam di kedalaman telaga itu, tiba-tiba aku jadi 

seperti bisa bernapas. Aneh kan? Aku bermain lama 

sekali di dalam air telaga itu, melihat dinding-dinding 

telaga yang bergambar relief. Ternyata gambar relief 

dalam dinding telaga itu adalah sebuah rangkai jurus-

jurus silat kuno. Aku berhasil mempelajarinya dalam 

waktu singkat, dan tanpa menghirup udara dulu ke 

atas telaga. Aku tetap berada di dalam air telaga. Lalu, 

ketika aku muncul di permukaan air, kulihat tubuhku 

telah berganti ujud, dan leherku terkelupas sedikit. 

Kukira aku terluka ternyata... itu adalah insang 

pernapasanku selama aku belajar ilmu silat kuno di 

kedalaman air telaga...." Kemudian Gopo membuka 

krah leher bajunya dan memperlihatkan kulitnya yang 

bagai robek beberapa senti.

Kulit yang robek seperti diiris itu berdenyut-denyut 

bagai mengisap sesuatu. Lalu, Gopo pun berkata, 

"Inilah insang yang dapat kupakai bernapas di dalam 

air. Dan beginilah gerakan insangku jika sedang 

bernapas."

"Ajaib sekali...!"

"Memang. Memang sangat ajaib perjalanan hidup ini. 

Dan waktu aku melihat tubuhku sudah berubah ujud 

seperti ini, lalu aku menangis. Menangis dalam 

keharuan. Tetapi, tiba-tiba, Nang... aku melihat Sekar 

Pamikat menghampiriku dan membawakan pakaian ini. 

Aku bertanya kepada Sekar Pamikat, apakah dia masih 

ingat padaku? Ternyata dia masih ingat, Nang. Terus... 

ia menjelaskan, bahwa semua ini terjadi karena 

memang sudah seharusnya terjadi. Jadi bukan secara 

kebetulan. Memang beginilah nasib dan takdir hidupku. 

Sama seperti dirinya yang menjadi petapa di dalam goa


ini, untuk selanjutnya menjadi milik goa ini. Kemudian, 

aku diberi pakaian seperti ini, Nang. Bagus ya?"

"Sangat bagus," jawab Lanang. "Lalu, kenapa kau 

tidak segera ke luar dari goa ini?"

"Sekar Pamikat melarangku ke luar dari goa ini, 

sampai pada suatu saat nanti, ada seorang putri raja 

yang tersasar ke mari dan mengenalku. Putri raja itulah 

calon istriku, dan aku akan menjadi raja di suatu 

tempat menggantikan kedudukan ayahnya. Tapi aku 

tidak tahu raja mana dan putrinya cantik atau tidak... 

aku tidak tahu." Gopo tertawa. Lanjutnya, "Kemudian 

aku diberi nama baru... Wijaya Buana. Gusti Ayu yang 

memberiku nama itu."

"Siapa Gusti Ayu itu?"

Wijaya berbisik, "Bekas kekasihmu dulu. Sekar 

Pamikat. Masa' lupa...? Dialah penunggu dan penguasa 

segala kekayaan goa ini."

"Oooh..." Lanangseta manggut-manggut. Ia 

memperhatikan Gopo yang sudah berubah menjadi 

pemuda ganteng dan punya kelainan, yaitu di kedua 

lehernya terdapat insang pernapasan jika ia berada di 

kedalaman air.

"Nah, sekarang apa tujuanmu ke mari?" tanya 

Wijaya.

"Aku akan menikah dengan seorang gadis, dan mas 

kawinnya adalah bunga teratai dari dalam goa ini."

Wijaya Buana tertawa, "Aku tahu, aku tahu...! Itu 

yang namanya teratai Wingit."

Lanangseta terperanjat sedikit, nama teratai itu 

sama persis dengan nama rumah Kirana. Lalu apa 

sebenarnya hubungan antara bunga teratai yang ada di 

goa tersebut dengan rumah kediaman Kirana itu? 

Lanang tak sempat berpikir panjang lebar karena Gopo 

telah menggeret tangannya seraya berkata, "Mari 

kutunjukkan tempatnya...! Bunga teratai itu adalah


satu-satunya bunga yang tumbuh di dalam goa ini. 

Letaknya di tengah telaga yang kuselami dulu itu. Nah, 

mari kubawa kau ke sana. Tapi, o, ya... sebaiknya kau

tetap harus meminta ijin kepada Sekar Pamikat lebih 

dulu, sebab ia pernah melarangku mengambil bunga 

tersebut sekalipun aku kagum terhadap keindahan 

bunga itu."

Gopo yang tampan, Gopo yang tidak sekasar dulu, 

hanya gaya candanya yang masih kelihatan itu, dengan 

gembira mengantar Lanangseta menuju ruangan 

khusus di bawah goa. Mereka menuruni tangga yang 

terdiri dari 100 anak tangga.

"Aku pernah masuk ke sini, ketika aku harus 

meminta restu kepada Sekar sebelum aku berangkat 

mengalahkan orang-orang Tebing Neraka," kata 

Lanangseta. Gopo melepaskan pegangan tangannya.

"Huhh... kalau begitu buat apa aku menuntunmu ke 

mari. Kukira kau belum tahu tempat pertapaan Gusti 

Ayu!"

"Sebagai teman baik, ada perlunya kau menyertaiku, 

Gopo. Eh, aku memanggilmu bagaimana? Gopo atau 

Wijaya?"

"Kalau sedang sepi, tak ada orang lain, yaah... 

panggil saja Gopo. Tapi kalau sedang ada orang, apalagi 

gadis calon istriku nanti, jangan panggil Gopo, ah! Malu 

aku. Panggil saja Wijaya. Manis kan...?"

Lanangseta tidak menyahut kecuali hanya mencibir 

dan menuruni tangga sejumlah 100 anak tangga itu. 

Lalu, tak berapa lama mereka tiba di depan sebuah 

ruangan khusus yang tertutup pintu batu berbentuk 

lengkung atasnya. Ruangan itu ada di dalam sebuah 

ruangan yang lebar, konon tempat para leluhur Kirana 

bertemu. Di depan pintu batu berbentuk lengkung 

atasnya itu, Lanang diam sesaat, menjernihkan hati dan 

pikirannya.


Lanang masih ingat bagaimana cara membuka pintu 

tersebut. Dengan kelembutan.

Maka ia mengetuk pintu itu tujuh kali dengan 

lembut, dan tak lama pintu pun bergerak perlahan. 

Gerakan pintu ke samping dan sangat pelan. Kemudian 

tampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai 

mengenakan jubah putih bening seperti dari bahan 

satin, dan begitu lembutnya sehingga bagian bawah 

gaun yang menyentuh ke tanah itu seperti busa-busa 

salju berserakan. Perempuan itu tak lain dari Sekar 

Pamikat, yang dulu pernah melekat di hati Lanangseta. 

Maka, begitu melihat kecantikan Sekar yang semakin 

mirip bidadari itu, hati Lanangseta bagai teriris pilu, 

ingat masa-masa perempuan cantik itu ada dalam 

pelukannya. Sayang ia sekarang sudah menjadi petapa 

suci yang... Pikiran Lanang tak sempat berlanjut karena 

ia melihat suatu kejanggalan pada diri Sekar Pamikat.

Perempuan cantik yang bersih, lembut bagai bidadari 

dan termasuk orang suci itu, kini berlutut di depan 

Lanangseta. Ia berlutut dan membungkukkan badan 

dengan kepala tertunduk sebentar.

"Apa-apaan ini? Aku ke mari mau minta ijin untuk 

mengambil bunga teratai," kata Lanang seperti bicara 

pada diri sendiri.

"Sekar... bangunlah." kata Lanang lagi.

"Sepantasnya saya memberi sembah dan hormat 

kepada Putra Dewa yang agung...." ucap Sekar Pamikat 

lirih. Tapi justru membuat Lanang kebingungan. Ia 

memandang Wijaya maksudnya hendak minta 

pertimbangan dan sedikit komentar tentang apa yang 

harus dilakukannya dalam keadaan begini. Tapi, tiba-

tiba Wijaya sendiri bagai penuh ketakutan. Ia jadi 

berlutut, membungkukkan badan dan menundukkan 

kepala.

"Ampunilah saya... saya tidak tahu kalau Putra Dewa


adalah orang yang pernah saya kenal dulu...." kata 

Wijaya yang bagai kehilangan candanya dan menjadi 

takut sekali.

"Sekar, apa maksud semua ini?!"

Jawab Sekar Pamikat sambil masih berlutut, "Saya 

mencium bau wangi darah dewa. Saya yakin, darah itu 

membekas di pedangmu. Dan saya harus tunduk, 

menyembah kepadamu, karena kau sudah menjadi 

Putra Dewa. Dan saya sudah siapkan setangkai teratai 

Wingit buatmu, semoga bahagia kau bersama putri 

Bukit Badai, semoga rukun selalu dengannya...."

Lanangseta bingung, apa yang harus dilakukannya? 

Betulkah dia lebih agung dari pada petapa suci Goa 

Malaikat ini?

***

4

TERATAI Wingit, ternyata nama setangkai bunga 

teratai berwarna jingga. Besarnya seukuran piring 

makan, mengabarkan bau harum yang lembut, lain 

daripada yang lain. Tangkainya ada satu jengkal 

berwarna merah tua. Memang cukup aneh dan 

menarik, tapi lebih dari itu, teratai Wingit seakan 

merupakan kunci perkawinan Lanangseta dengan 

Kirana. Di sanalah ada cinta. Dalam teratai itu 

tersimpan segenggam cinta suci penuh pengorbanan. 

Terserah pandangan yang memandang, Cinta Sekar 

Pamikat, atau cinta Lanang kepada Kirana?

Yang jelas, perasaan Lanangseta terbagi menjadi dua 

bagian ketika membawa pulang teratai Wingit itu,


Antara bangga dan suka karena sebentar lagi ia akan 

mempersunting Kirana, serta haru karena ia telah 

melepas cintanya kepada Sekar Pamikat, bahkan Sekar 

Pamikat sendiri yang memetikkannya dan memberikan 

teratai itu kepada Lanangseta. Simbol suatu kemurnian 

cinta kasih yang diberikan dengan kerelaan dan 

pengorbanan.

Waktu meninggalkan Goa Malaikat, Lanangseta 

sempat diantar oleh Gopo dengan suatu penghormatan 

melebihi seorang panglima yang hendak berangkat 

bertempur. Gopo mengantar sampai di luar pintu goa, ia 

berdiri terus di samping lobang goa sampai Lanangseta 

menghilang di balik kerimbunan pohon lembah Bukit 

Badai.

Sepanjang perjalanan menuju Griya Teratai Wingit, 

hati Lanangseta tak henti-hentinya berdebar. Sesekali ia 

tersenyum membayangkan masa-masa indah yang akan 

dilaluinya bersama Kirana Sari. Sesekali Lanangseta 

sengaja mengendus bau harumnya teratai Wingit itu. 

Tapi pada suatu langkah, ia terpaksa harus berhenti 

dengan gerutu di dalam hati.

Dua orang berpakaian seragam menghadang 

Lanangseta. Mereka sama-sama mengenakan baju lapis 

logam yang dirajut sedemikian rupa sehingga 

menyerupai penutup dada. Kilatan cahaya matahari 

yang memantul dari baju anti senjata itu membuat 

mata Lanangseta mengerjap silau. Seragam celananya 

warna merah dari bahan halus dan mahal. Pada bagian 

tepi celana terdapat garis lurus dari pinggang ke mata 

kaki. Garis itu berwarna kuning gading. Demikian juga 

dengan baju lengan panjang yang rapat sampai 

pergelangan tangan mereka. Sedangkan di kepala 

mereka terdapat semacam topi keprajuritan warna biru 

tua berhias lempengan emas. Di bagian tengah topi ada 

semacam besi meruncing juga berwarna kuning emas.


Sementara penutup dadanya yang berwarna tembaga 

dan berbentuk bulat. Kedua orang ini sama-sama 

bermata sipit dan berkulit kuning. Jelas mereka bukan 

dari bumi Nusantara, melainkan dari tanah seberang 

yang menurut dugaan Lanangseta, mereka dari negeri 

Cina.

"Tak salah lagi, inilah orangnya, Chang Hu," kata 

seorang dari mereka kepada temannya. Temannya 

manggut-manggut. Matanya yang sipit memandang 

tajam kepada Lanangseta. Lalu ia menjawab, "Ya. Ini 

orangnya. Kita bicara baik-baik, kalau dia tidak mau 

bersikap baik, baru kita hajar dia, Yang Lung."

Kedua orang itu dapat diketahui namanya, yang satu 

Chang Hu, yang satunya lagi Yang Lung. Untuk 

menandai yang mana Chang Hu, ialah pada kumisnya. 

Kumis Chang Hu tak begitu lebat, namun turun ke 

bawah dan nyaris menjadi satu dengan jenggotnya yang 

sedikit, mirip segenggam lumut hitam. Namun 

keduanya sama-sama pedang lebar bertangkai panjang, 

menyerupai sebuah tombak. Di antara pedang dan 

tangkainya terdapat rumbai-rumbai halus berwarna 

merah, saat ini mirip sejumlah rambut yang meriap-riap 

dihempas angin.

"Siapa kalian? Ada urusan apa denganku?" kata 

Lanangseta sambil semakin hati-hati membawa bunga 

teratainya.

"Aku Chang Hu, kepala keamanan kapal, dan ini 

wakilku yang bernama Yang Lung. Kami datang dari 

negeri Cina...."

"Untuk keperluan apa?" tanya Lanang sambil alisnya 

berkerut tajam.

Yang Lung yang bertubuh sama besar dengan Chang 

Hu, hanya sedikit lebih pendek itu, segera menyahut 

jawaban, "Kami mendapat tugas dari Kaisar untuk 

mengawal Laksamana Chou ke negeri ini dalam urusan


dagang. Dan seperti kau ketahui sendiri, Laksamana 

Chou mempunyai seorang anak gadis yang bernama Yin 

Yin. Selama ini kami sudah melarang kau berhubungan 

dengan Nona Yin Yin. Tetapi keduanya sama-sama

nekad. Lalu, Laksamana Chou sudah hilang 

kesabarannya sejak putrinya kau bawa lari tiga hari 

yang lalu. Jadi, demi keselamatanmu, berikanlah 

kepada kami Nona Yin Yin, dan jangan lagi 

berhubungan dengannya. Dua hari lagi kapal kami 

akan bertolak kembali ke negeri Cina, dan...."

"Tunggu sebentar!" sergah Lanangseta yang semakin 

tidak mengerti dengan kata-kata kedua utusan dari 

negeri Cina itu.

"Yin Yin itu siapa? Dan seperti apa ujudnya? Aku 

belum pernah mengenal Yin Yin!"

"Tak perlu berpura-pura begitu!" Chang Hu mulai 

menggertak dengan langkah maju satu kali. "Semua 

orang kapal tahu kalau kau sering menunggu Yin Yin di 

pantai, lalu mengajaknya ngobrol. Laksamana Chou 

sendiri pernah melihat kalian saling bergandeng tangan. 

Kau pikir, kau pantas berhubungan dengan Nona Yin 

Yin?! Dia anak seorang Laksamana, tahu? Bukan anak 

pelaut sembarangan!"

"Gawat!" pikir Lanangseta. Ini pasti salah alamat. 

Lanang sendiri merasa tidak pernah mempunyai teman 

gadis orang Cina, mengapa sekarang ia jadi terlibat 

urusan dengan kedua pengawal Laksamana Chou ini? 

Pasti ini ulah Prabima yang ingin menggagalkan 

perkawinan Lanang dengan Kirana. Entah dengan cara 

bagaimana, Prabima memanfaatkan tamu asing ini 

untuk terlibat urusan dengan Lanangseta. Karenanya 

Lanangseta segera berkata dengan tegas, "Chang Hu 

dan Yang Lung... kalian salah alamat. Bukan aku orang 

yang kalian cari. Aku memang mempunyai musuh, dan 

ia sangat licik. Mungkin kalian dimanfaatkan untuk



menyerang aku dengan caranya sendiri."

"Hayaa... jangan bohong! Kamu membawa bunga 

teratai, bukan? Dan bunga itu adalah bunga kesukaan 

Nona Yin!" kata Yang Lung. "Pasti bunga itu akan kau 

sampaikan kepada Nona Yin, supaya dia bisa kamu 

bujuk untuk mengikuti semua keinginanmu. Betul, 

bukan?"

"Bunga teratai...?!" Lanangseta memandang bunga 

teratai Wingit yang masih di tangan kirinya, dekat 

dengan dada.

"Benar," sahut Chang Hu. "Kalau kamu tidak 

membawa bunga teratai, mungkin kami bisa kamu 

bohongi. Tapi bunga teratai itu sudah menandakan 

bahwa kamulah orang yang membawa lari Nona Yin.

Kamu pasti mau serahkan bunga itu kepadanya, 

bukan?"

"O, bukan! Kalian salah duga...!" bantah Lanangseta. 

Sebenarnya ia ingin menerangkan keadaan sebenarnya, 

tapi Chang Hu sudah terlanjur hilang kesabarannya.

"Yang Lung...! Serang...!" teriaknya sambil maju 

menyerang Lanangseta dengan pedang jagalnya. Mau 

tak mau Lanangseta melompat menghindar ujung 

pedang yang menyerang ke arah dadanya. Namun pada 

waktu bersamaan tahu-tahu kaki Yang Lung 

menghentak ke atas, hampir membentuk sudut 180°. 

Tendangan itu mengenai pinggul Lanangseta sehingga 

Lanang menjadi limbung.

Lanang baru saja meletakkan kakinya ke tanah, dan 

disambut oleh pedang Yang Lung yang menebas kepala 

Lanang. Secepat kilat Lanang berguling ke depan. 

Chang Hu melompat dan jatuh di depan Lanang, 

sehingga Lanang tak jadi berdiri karena pedang itu 

dikibaskan, bagai sebuah sapu yang sedang menghalau 

kotoran.

Sekali lagi Lanangseta koprol dan menggunakan


kesempatan untuk meletik bagai udang, lalu bersalto 

dua kali dan mendarat dengan manis di tempat sepi. 

Mereka berjarak antara 7 sampai 8 kaki dari kedua 

belah pihak.

"Tunggu sebentar, jangan keburu nafsu...!" teriak 

Lanangseta, maksudnya supaya mereka menahan 

kemarahan. Tapi seruan itu tidak dihiraukan. Chang 

Hu mengambil pisau belati dari balik punggungnya dan 

dilemparkan dengan kecepatan luar biasa ke tubuh 

Lanangseta. Lanangseta menghindar ke kiri, tapi 

ternyata kepalanya itu disambut oleh pisau kecil yang 

meluncur dari tangan Yang Lung.

Pada saat itu bunga teratai hampir jatuh dari tangan 

Lanangseta, sehingga pikiran Lanang terpusat untuk 

menyelamatkan bunga tersebut agar tak jatuh dari 

tangannya. Dan ia sempat tercengang melihat benda 

kecil mengkilat itu meluncur di depan hidungnya. Tak 

ada waktu dan kesempatan untuk menghindar. Hanya 

saja, benda tersebut tiba-tiba berbelok arah karena 

mendapat sentuhan benda kecil lainnya yang 

menimbulkan suara "Ting...!" Ternyata benda yang 

menyentuh pisau kecil itu adalah sebutir batu yang 

melesat dari arah balik pohon. Kesempatan itu 

digunakan oleh Lanangseta untuk bersalto ke belakang 

dan berdiri tegak di samping pohon tersebut.

"Hei...!" sapa seorang pemuda berpakaian compang-

camping yang bertubuh kurus kerempeng.

"Bego...! Kenapa ada di sini?"

"Aku sedang jalan-jalan. Habis di rumah, paman 

Ludiro marah-marah terus padaku," kata Jaka Bego 

yang bersembunyi di balik pohon.

Lanangseta tak sempat ngobrol dengan Jaka Bego, 

karena kedua utusan dari negeri Cina itu telah 

menghampirinya dengan pedang bertangkai panjang 

tertuju ke arah depan.


"Bawa bunga ini. Hati-hati, jangan sampai jatuh...!"

Setelah menyerahkan bunga teratai Wingit kepada 

Jaka Bego, Lanang pun menyongsong serangan 

lawannya dengan meloncat maju dan melewati atas 

kepala dua lawannya. Kedua prajurit negeri Cina itu 

berbalik arah. Mereka tetap menyerbu bersama dengan 

senjata yang kembar. Rumbai-rumbai merah di pangkal 

mata pedang itu berkelebat ketika Chang Hu 

mengibaskannya dalam jarak tiga langkah di depan 

Lanangseta. Lanang merundukkan badan dan mencoba 

menangkap tangkai pedang, namun ia gagal. Yang Lung 

telah mendahului meloncat dan bersalto ke arah Lanang 

dengan senjata panjang ditusukkan ke dada 

Lanangseta. Tapi Lanangseta mampu berkelit ke kiri 

dan memukul lengan Yang Lung dengan keras. Hampir 

saja senjata itu jatuh kalau tidak buru-buru diambil 

alih oleh tangan kiri Yang Lung. Pada saat itu, Yang 

Lung sempoyongan dan menyeringai kesakitan karena 

pukulan Lanang. Hal itu digunakan sebaik mungkin 

oleh Lanang untuk menendang punggung Yang Lung 

sehingga lelaki itu tersungkur.

"Kuminta kalian jangan membuang-buang nyawa di 

sini!" geram Lanangseta memperingatkan lawannya. 

"Aku tidak kenal dengan gadis yang kalian cari. Kalian 

salah duga!"

"Pencuri mana yang akan mengaku sebelum dihajar 

sampai hancur...!" balas Chang Hu sambil menyerang 

Lanang. Tombak bermata pedang itu diputar cepat di 

depannya, membentuk sebuah perisai yang agaknya 

sulit ditembus karena kecepatan putarnya. Lalu tiba-

tiba putaran itu berhenti dan tahu-tahu ujung pedang 

telah melesat maju, nyaris menusuk leher Lanangseta 

jika Lanang tidak bergerak memiringkan badan ke 

samping kiri. Sambil mengelak, tangan Lanang berhasil 

memegang tangkai pedang tersebut. Chang Hu mencoba


menariknya seketika, namun tak berhasil. Tetapi 

tangan kiri Lanang telah berhasil menghantam bawah 

ketiak Chang Hu, dan membuat Chang Hu meringis 

kesakitan.

"Kasihan mereka harus mati karena kesalah-

pahaman," pikir Lanangseta. Sebab itu ia segera melesat 

dalam satu hentakan kaki, tinggi, dan berguling di 

angkasa beberapa kali sehingga ia berhasil mencapai 

dahan pohon. Di luar dugaan, Yang Lung telah 

menyusulnya dengan satu kali hentakan badan, ia 

seperti terbang lurus ke atas dan bertengger pada satu 

dahan, sama dengan dahan yang diinjak Lanangseta. Ia 

segera menyerang dengan pedangnya yang panjang itu. 

Lanang mencoba mengelak dan menendang Yang Lung 

dengan kaki kanannya yang lurus ke samping atas 

dengan keras dan kaku. Yang Lung berteriak kesakitan 

setelah pelipisnya berhasil ditendang Lanang sekuat-

kuatnya. Ia limbung dan jatuh dari atas pohon tanpa 

mampu mengontrol keseimbangan tubuhnya.

Pada waktu Yang Lung jatuh, Jaka Bego ada di 

bawahnya persis. Ia segera berlari takut kejatuhan 

tubuh Yang Lung. Gerakan Jaka Bego yang ketakutan 

itu sempat mematahkan dahan pada pohon kecil di 

sampingnya. Patahannya membentuk keruncingan 

sendiri sehingga pada waktu Yang Lung jatuh, kaki 

Yang Lung sempat menghantam patahan dahan 

tersebut. Di luar dugaan, kayu runcing itu telah 

menusuk paha Yang Lung dan tembus sampai ke 

atasnya. Yang Lung menjerit kesakitan. Salah satu 

kakinya berhasil berdiri di tanah sedang kaki kirinya 

masih tersangkut pada dahan pohon yang runcing itu.

Waktu itu, Chang Hu meloncat tinggi sekali dan 

melesat ke arah Lanangseta. Gerakannya begitu cepat, 

ia melewati atas kepala Lanangseta, tapi ternyata 

kakinya bergerak ke belakang dan berhasil mengenai


punggung Lanang. Lanang terjatuh tapi masih bisa 

mengatur keseimbangan tubuh. Lalu Chang Hu 

melompat sambil bersalto dan mendarat di dekat 

Lanangseta.

Sementara itu Yang Lung masih berteriak-teriak 

kesakitan dan menyumpah-nyumpah memakai bahasa 

Cina. Jaka Bego memperhatikan dari arah depan Yang 

Lung. Ia melongo sambil memandang wajah Yang Lung 

yang menyeringai menahan sakit akibat pahanya 

tertusuk dahan yang patah. 

"Sakit, ya...?" tanya Jaka Bego dengan cemas. Yang 

Lung mengangguk. Ia menuding-nuding pahanya yang 

ditembus kayu sebesar tangkai pedangnya. Maksudnya 

meminta bantuan Jaka Bego untuk melepaskan kayu 

tersebut dari pahanya. Ia tak mampu melepas sendiri 

sebab posisinya terbalik, di mana wajah dan bagian 

dadanya menghadap ke tanah, sedangkan kayu itu 

menembus dari paha depan sampai ke paha belakang.

Jaka Bego segera meletakkan bunga teratai Wingit di 

atas kerimbunan semak. Lalu ia segera membantu Yang 

Lung melepaskan kayu yang menusuk pahanya.

"Wooaaaoo...!" teriak Yang Lung kesakitan ketika 

Jaka Bego menggerak-gerakkan kayu yang menancap di 

paha itu dengan kasar. Maksudnya untuk mencari 

kemudahan agar kayu bisa dicabut dengan gampang. 

Tapi justru gerakan kayu yang seperti diputar-putar 

itulah yang menambah rasa sakit Yang Lung.

Jaka Bego gugup, ia kembali ke depan wajah Yang 

Lung dan bertanya, "Masih sakit, ya?" Dan Yang Lung 

hanya bisa mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab 

dengan kata.

Jaka Bego berlari mendekati pohon yang dahannya 

menancap di paha Yang Lung, lalu dengan mengambil 

posisi yang enak, tangan Jaka Bego memegangi dahan 

tersebut Dipegang erat-erat dengan kedua tangan,



kemudian kakinya menendang selangkangan Yang Lung 

kuat-kuat. Sekali, dua kali, kayu belum tercabut tapi 

teriakan Yang Lung semakin kuat. Kemudian yang 

ketiga kali, tendangan kaki Jaka Bego semakin kuat 

menghentak selangkangan Yang Lung, dan tubuh 

itupun terpental sampai beberapa meter dengan cepat 

sekali.

Di luar dugaan tubuh Yang Lung melesat cepat dan 

menghantam pohon di depannya. Kepala Yang Lung 

membentur batang pohon, di mana pada batang pohon 

itu terdapat bekas tebangan dahan yang tersisa, 

bentuknya meruncing. Maka tak aneh lagi jika ubun-

ubun Yang Lung menancap keras di bekas tebangan 

dahan yang meruncing itu. "Crook...!"

Yang Lung tak sempat berteriak lagi. Kepalanya 

berdarah. Ketika Jaka Bego mendekatinya, ia juga 

melihat ada darah yang ke luar dari selangkangan Yang 

Lung. Agaknya 'telur' Yang Lung pun pecah pada saat 

hentakan kaki Jaka Bego begitu keras menendangnya. 

Memang paha Yang Lung dapat terlepas dari kayu yang 

menancapnya itu, tapi di sisi lain, Yang Lung pun 

menemui ajalnya karena ubun-ubunnya tertancap pada 

bekas potongan dahan yang meruncing, serta bagian 

alat vitalnya rusak karena hentakan kaki Jaka Bego.

Melihat kenyataan itu, Jaka Bego terbengong-

bengong. Ia menggumam sendiri setelah memeriksa 

Yang Lung ternyata tidak bernyawa lagi. "Kok bisa mati, 

ya? Padahal aku cuma menolong melepaskan kayu itu, 

tapi kenapa jadi melepaskan nyawanya sekalian, ya?" 

Jaka Bego garuk-garuk kepala.

Jaka Bego segera berlari ke daerah pertarungan 

antara Lanang dengan Chang Hu. Waktu itu, Chang Hu 

sedang memainkan jurus pedang bertongkat yang dapat 

melilit-lilit di sekujur tubuhnya. Lanangseta sedang 

bersiap mencari kelengahan dan celah bagus untuk


menghantam Chang Hu. Tetapi Jaka Bego seperti orang 

yang tidak tahu bahaya. Ia mencoba mendekati Chang 

Hu dan tangannya meraih-raih dengan ngeri seraya 

berkata, "Bah.... Bah...! Itu, tuh, temannya mati...! Bah, 

temannya mati di sana...."

Tangan Jaka Bego tak berhasil menyentuh tubuh 

Chang Hu, sekali pun ia hanya bermaksud 

mencoleknya. Lanang yang mengetahui ketololan Jaka 

Bego jadi cemas.

"Bego! Jangan di situ nanti kau kena senjatanya...!"

Tapi Jaka Bego tidak mendengar seruan Lanangseta, 

sebab desau angin permainan pedang bertangkai itu 

cukup menutup gendang telinganya. Ia tetap berusaha 

menyentuh dan mencolek lengan Chang Hu, tapi tanpa 

sengaja colekan tangan Jaka Bego mengenai kepala 

Chang Hu, sehingga kepala itu seakan didorong dan 

disentakkan ke depan.

Chang Hu berhenti, tak jadi membuka jurus 

permainan pedang melingkar. Ia melotot kepada Jaka 

Bego, "Anak tak tahu sopan! Kepala orang tua dibuat 

mainan seenaknya...! Rasakan hukumanku ini, hihh...!"

Chang Hu menebaskan tangkai pedangnya bagian 

bawah untuk memukul Jaka Bego. Tapi Jaka Bego 

berhasil menghindar dengan ketakutan dan tangan 

dijulurkan ke depan. "Jangan...! Jangan marah sama 

saya. Maaf. Saya cuma mau bilang kalau teman Babah 

mati di sana tuh...!"

Chang Hu menggeram, lalu hendak memukul Jaka 

Bego lagi. Tapi Jaka Bego segera lari ketakutan seraya 

berseru minta tolong. "Toloooong...!"

Chang Hu yang sudah naik pitam segera mengejar 

Jaka Bego. Rupanya Jaka Bego dapat berlari lebih cepat 

dan lebih lincah. Bahkan Jaka Bego berhasil segera 

memanjat pohon dengan cepat seperti seekor beruk 

hendak memilih kelapa.


Lanangseta segera menerjang Chang Hu setelah 

dilihatnya lelaki bermata sipit itu hendak menggunakan 

ilmu peringan tubuh untuk mendahului Jaka Bego 

sampai di dahan pohon. Akibat terjangan kaki Lanang, 

Chang Hu terpental dan terguling-guling.

Pada sat itu Jaka Bego berhasil sampai di sebatang 

dahan. Ia berseru sambil jingkrak-jingkrak 

bergelayutan.

"Syukur...! Syukur...! Diberitahu baik-baik malah 

maraaah...!" Jaka Bego jatuh karena dahan yang 

dienjot-enjot itu patah seketika. Ia menjerit ketakutan.

Tepat pada saat itu, Chang Hu bergegas untuk 

bangkit. Namun baru beberapa bagian, tahu-tahu ia 

telah ditimpa dahan pohon bersama tubuh Jaka Bego. 

Dahan pohon sebesar paha orang dewasa itu mengenai 

kepala Chang Hu. "Trook...!" Terdengar keras suaranya. 

Sementara itu, ternyata ada ranting kecil yang sempat 

menancap di leher Chang Hu sehingga Chang Hu 

menjerit kesakitan. Jaka Bego juga menjerit ketakutan, 

karena hampir saja pundaknya terkena pedang Chang 

Hu yang berdiri itu. Ia bergegas bangkit dan hendak 

menyingkir dari atas tubuh Chang Hu yang meronta-

ronta sambil kesakitan. Tapi, Jaka Bego terpelanting 

jatuh menindih bagian dahan yang kering. Chang Hu 

menjerit ketakutan. O, ternyata masih ada ranting 

sebesar ibu jari yang menusuk dalam lengan Chang Hu, 

pantas ia menjerit makin keras.

Tangan Jaka Bego terjulur minta ditolong 

Lanangseta agar tubuhnya bisa cepat ke luar dari 

dahan dan ranting yang ruwet karena daun-daunnya 

itu. Semakin Jaka Bego meronta bangun, semakin sakit 

saja luka Chang Hu, sebab dahan itu bagai semakin 

ditusukkan ke tubuh Chang Hu.

"Hoaaa...! Huuuh...! Aaaaoow...!" Chang Hu 

berteriak-teriak tak karuan. Lanangseta segera


menggeret tangan Jaka Bego, dan pemuda kurus 

kerempeng itu berhasil keluar dari keributan dahan dan 

ranting yang tak teratur itu.

"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Lanangseta.

"Orang itu, bagaimana?" seraya Jaka Bego menuding 

Chang Hu, yang masih berusaha melepaskan diri dari 

rimbunan dahan yang patah menjatuhi dirinya.

"Biarkan saja! Ia bisa keluar dari kesulitannya! 

Ayo...!" Lanangseta bergerak lari meninggalkan tempat 

tersebut. Jaka Bego sempat berpamitan kepada Chang 

Hu, "Bah... saya pergi dulu, ya? Tidak bisa menolong, 

habis.,, dia menyuruhku cepat-cepat pergi.... Tuh, aku 

ditinggalnya kan?" Kemudian tanpa menunggu jawaban 

dari Chang Hu, Jaka Bego menyusul Lanangseta.

"Untung kau datang dan bisa menyelesaikan 

masalah itu," kata Lanang seraya berlari ke arah Griya 

Teratai Wingit.

"Hebat saya, ya? Bisa mengetahui ada pencuri gadis 

Cina," ujar Jaka Bego sambil meringis.

"Kau pikir benar-benar aku yang melarikan gadis 

itu?" sanggah Lanang yang mengerti, bahwa Jaka Bego 

ternyata sejak tadi telah mendengar pembicaraan 

Lanang dengan dua utusan Laksamana Chou itu.

"Jadi, bukan kamu yang melarikan gadis Yin Yin 

itu?"

"Bukan!"

"Aku juga bukan kok...!" kata Jaka Bego takut 

dituduh.

Lari mereka begitu cepat. Dalam waktu beberapa 

saat sudah hampir sampai rumah Kirana. Tapi tiba-tiba 

Lanang ingat sesuatu. Ia berhenti dan memandang 

tegang pada Jaka Bego. "Hei...!" serunya. "Di mana 

bunga teratai itu?"

"Hah...? Bunga itu? Astaga... kutinggalkan di atas 

semak sana tadi. Aku lupa membawanya kembali...!"



"Bego! Tolol! Itu bunga berharga bagiku...!" Dengan 

tenang Jaka Bego menjawab, "Aaah... hanya setangkai

bunga saja kok harus marah. Nanti gampang cari lagi."

"Tolol...! Itu bukan sembarangan bunga? Aduuh... 

Bego, Bego!" teriak Lanangseta sambil meringis geram 

dan dongkol.

***

5

BERUNTUNG sekali teratai Wingit masih ada di 

tempatnya, di atas dedaunan semak belukar. 

Lanangseta segera memungutnya, mencium bunga itu 

sekali, lalu mendekapnya dengan hati-hati.

"Sifatmu berubah, Lanang. Sudah mulai mendekati 

kebanci-bancian," ujar Jaka Bego melihat Lanangseta 

seperti seorang perempuan yang menyukai bunga. 

Lanang tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya, 

mendapatkan teratai Wingit sama saja mendapatkan 

segalanya, tanpa harus peduli omongan orang.

"Hei, Lanang...? Ke mana mayat orang Cina tadi?" 

Jaka Bego terkejut melihat keadaan di sekitar situ 

sudah kosong. Hanya ada ceceran darah yang 

menandakan bekas tergeletaknya mayat orang 

berpedang panjang itu. Juga dahan-dahan pohon serta 

rantingnya yang bagai menimbun Chang Hu itu sudah 

berserakan. Ada bekas darah, tapi kedua orang itu tidak 

ada. Menghilang? Atau dimakan binatang buas? Atau 

bersembunyi di suatu tempat untuk menyerang dari 

belakang?

"Kurasa Chang Hu berhasil selamat dari timbunan


dahan, lalu ia membawa pulang mayat wakilnya itu," 

kata Lanangseta sambil menatap ke sekeliling.

"Akan kucari mereka...!" Jaka Bego hendak pergi.

"Hei, jangan berbuat bodoh, Bego! Kau bisa dihadang 

oleh teman-teman Chang Hu. Mereka datang ke mari 

satu kapal bersama Laksamana Chou. Sebaiknya mari 

kita pulang ke Griya Teratai Wingit saja."

"Yaah... kalau kau mengkhawatirkan diriku, ya

sudah...."

Jaka Bego nyelonong pergi ke arah Griya Teratai 

Wingit. Lanangseta mengikutinya dari samping. Sempat 

pula Lanang menanyakan kedatangan Jaka Bego dan 

Ludiro.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Mahani, 

Bego?"

"Mahani tetap saja seorang gadis cantik," jawab Jaka 

Bego seenaknya.

"Tak ada halangan sampai di Desa Tayub?"

"Tidak. Kami-kami memang tidak mencari halangan 

kok. Pokoknya, kami sudah antar dia sampai di Desa 

Tayub, lalu paman Ludiro mengajakku pulang ke 

rumah Rama Sabdawana."

"Kapan kau sampai? Tadi pagi?"

"Maksudmu sampai di rumah Rama Sabdawana?"

"Ya."

"Kemarin lusa!" tegas Jaka Bego. "Tiga hari yang lalu 

kami sudah sampai di rumah Rama Sabdawana."

"Tiga hari yang lalu?!" Lanang berkerut dahi.

"Iya! Kamu pikir kami mampir-mampir dulu setelah 

dari Desa Tayub? Uuh... paman Ludiro yang tidak mau 

diajak mampir nonton orang adu jago...."

Lanang membiarkan Jaka Bego berceloteh sendiri, 

sementara Lanang memikirkan waktu yang ternyata 

telah bergerak di luar kesadarannya. Jadi menurut 

perkiraannya ia sudah ada tiga atau empat hari di


dalam Goa Malaikat itu.

"Mungkin terlalu asyik ngobrol dengan Gopo 

sehingga lupa bahwa waktu telah berubah dengan 

cepat. Tapi, ah... goa itu memang misterius. Aneh. 

Perbedaan waktu di dalam goa dengan di luar goa 

memang sangat menyolok. Baru saja berada di dalam 

goa beberapa saat, ehh... tahu-tahu sudah beberapa 

hari menurut perhitungan waktu di luar goa...." 

Lanangseta juga berceloteh sendiri di dalam hatinya. 

Kemudian ia segera mempercepat langkah, takut kalau-

kalau kepergiannya yang sudah beberapa hari itu 

menimbulkan kerinduan di hati Kirana, dan membuat 

racun dalam darah gadis itu. Oh, tidak. Lanang tidak 

ingin Kirana menderita rindu seperti dulu lagi. Ia harus 

segera sampai di rumah dan memeluk Kirana dengan 

mesra.

Tapi ketika mereka tiba di Griya Teratai Wingit, 

keadaan cukup sepi. Tak terdengar suara Ludiro, atau 

Rama, atau Kirana, dan bahkan suara para pengawal 

pun tak ada. Mencurigakan sekali.

"Ke mana mereka? Kok sepi-sepi saja?" tanya 

Lanangseta kepada Sambu, pelayan yang dulu tekun 

menghidangkan makanan dan minuman ketika Lanang 

dalam perawatan.

"Mereka pergi, Mas Lanang," jawab Marwa. Pada 

waktu itu Jaka Bego langsung masuk ke dapur mencari 

makanan.

"Pergi? Pergi ke mana?" Lanang mulai cemas.

"Ke Lembah Berdarah, memenuhi panggilan sahabat 

lama Rama Sabdawana, katanya."

"Astaga...!" Lanang kebingungan, ia mencari-cari 

seseorang yang diperkirakan bersembunyi sengaja 

mempermainkan dirinya, tapi memang tidak ada. Sepi 

dan lenggang. Hanya ada dua pengawal di pintu 

gerbang dan dua pelayan yang bernama Marwa serta


Sambu.

"Siapa saja yang ke Lembah Berdarah?!" tanya 

Lanang kepada Sambu.

"Rama dan putri, serta... paman Ludiro. Hanya saja, 

murid-murid lainnya mengikuti dari belakang secara 

sembunyi-sembunyi. Mereka mengkhawatirkan 

keselamatan Rama. Mereka tahu kalau hari ini, tepat 

matahari di atas kepala manusia, Rama akan bertarung 

melawan musuh lamanya: Begal Dogol. Para murid tak 

sampai hati untuk membiarkan begitu saja, tanpa turut 

campur dalam urusan ini."

"Gawat...!" Lanang masih kebingungan, mondar-

mandir sambil memegangi buah teratai Wingit. Lanang 

tak ingat kalau hari ini adalah hari penantangan Begal 

Dogol. Ini berarti ia tak boleh diam begitu saja Ia harus 

menyusul ke Lembah Berdarah, apalagi calon istrinya 

ada di sana, paling tidak Lanangseta harus melindungi 

Kirana dari keusilan Prabima Wardana, bekas pemuda 

yang ditolak cintanya oleh Kirana Sari.

"Marwa," panggil Lanangseta kepada pelayan itu. 

"Tolong simpan bunga ini baik-baik, ya? Jangan sampai 

layu, dan jangan boleh ada yang menyentuhnya 

sebelum kami pulang dari Lembah Berdarah. Ngerti?"

"Baik, Mas Lanang," Marwa menerima dengan hati-

hati. Ia memperhatikan takjub kepada bunga itu, 

kemudian membawanya ke dapur. Lanang sendiri 

segera pergi setelah ia mendapat penjelasan dari kedua 

pengawal pintu gerbang tentang letak Lembah 

Berdarah.

"Lanang...! Tunggu akuu...!" teriak Jaka Bego. 

Lanang tidak peduli. Ia melesat cepat menuju Lembah 

Berdarah. Jaka Bego sibuk mengambil daun pisang dan 

membungkus beberapa potong singkong rebus yang 

sudah dicampur dengan parutan kelapa. Dengan 

tergesa-gesa ia membungkus singkong itu, lalu segera


lari ke luar halaman, dan ternyata Lanang sudah tidak 

kelihatan lagi.

"Brengsek...!" gerutunya dengan kesal.

Lanang memang lebih memikirkan keselamatan 

calon istrinya. Memang Kirana dan Sabdawana dikawal 

oleh Ludiro yang punya badan kebal senjata itu, namun 

bukan hal aneh lagi jika Begal Dogol menggunakan 

cara-cara yang licik untuk membunuh Sabdawana 

beserta pengikutnya.

Kecemasan Lanang itu memang benar. Sebab pada 

saat itu, di Lembah Berdarah yang tandus itu, ternyata 

Begal Dogol tidak hanya sendirian. Begitu Sabdawana 

dan Kirana yang didampingi terus oleh Ludiro itu 

sampai di sebuah tonjolan batu cadas, tahu-tahu Begal 

Dogol muncul beserta empat anak buahnya. Begal 

Dogol di tengah, dikawal kanan kiri dengan masing-

masing sisi dua orang.

"Sabdawana...." sapa Begal Dogol dengan senyum 

sinis. "Kita berjumpa lagi. Selamat datang di Lembah 

Berdarah, tempat kita dulu bertarung, dan tempat 

istriku mati oleh pedangmu. Hei, di mana pedangmu 

yang dulu itu, hah? Kau kelihatannya tidak membawa 

apa-apa, Sabdawana? Bukankah lebih baik kita 

bertarung dengan menggunakan pedang yang kau pakai 

membunuh istriku dulu?!"

Sabdawana yang tenang dan berwibawa itu hanya 

berkata, "Aku datang bukan untuk perang, Dogol. Aku 

datang untuk menyelesaikan dendammu secara baik-

baik. Jangan lagi ada pertumpahan darah di antara 

kita. Kita ini sudah tua-tua, sudah waktunya masuk 

liang kubur, janganlah akhir dari hidup diwarnai 

dengan semburan darah dendam."

Begal Dogol tertawa, demikian juga kedua anak 

buahnya di kiri, dan kedua yang di kanan.

"Belum-belum sudah takut duluan," kata Begal


Dogol kepada keempat pengawalnya. Kemudian ia 

berseru, "Sabdawana, mungkin kamu tahu kalau 

selama ini aku telah banyak menimba ilmu sehingga 

kau takut menghadapiku. Baiklah.... kalau begitu, kau 

berhadapan saja dengan anak buahku. Pilih salah satu 

dari keempat muridku ini: Sargowi, Peot, si Bonyok, 

atau Bujel...." Begal Dogol memperkenalkan keempat 

pengawal di kanan kirinya. "Pilih salah satu, mana yang 

hendak kau lawan. Jika kau kalah, berarti aku akan 

melupakan namamu, dan kalau kau menang, aku akan 

melupakan almarhumah istriku. Pilih, yang mana yang 

akan kau lawan...?"

"Tak seorang pun akan kulawan, Begal Dogol. Aku 

merasa sudah tua, sudah sepatutnya menghindari 

perkelahian."

"Kalau begitu aku harus memaksamu, ya?"

"Biar saya yang maju, Rama," bisik Ludiro.

Sabdawana berkata, "Jangan. Biarkan dia mati 

dengan nafsunya sendiri."

Begal Dogol bersuit panjang. Tahu-tahu dari segala 

penjuru muncul anak buah Begal Dogol, jumlahnya 

lebih dari 50 orang. Masing-masing mempunyai senjata 

beraneka ragam. Dan mereka serempak maju, 

mengurung Sabdawana serta Ludiro dan Kirana. Suara 

mereka bergemuruh seperti lebah yang siap menyengat. 

Anehnya, dari sekian banyak orang yang mengepung, 

tak terlihat wajah Prabima Wardana. Padahal, Kirana 

sengaja ikut ke Lembah Berdarah hanya untuk 

membunuh Prabima, yang telah mengacaukan 

percintaannya dengan Lanangseta selama ini. Sayang 

pemuda itu tidak menampakkan diri, dan sekarang 

sekian banyak orang telah siap membunuh mereka 

bertiga. Mereka membikin satu lingkaran yang 

merupakan pagar betis di mana ketiga orang Griya 

Teratai Wingit itu tidak akan bisa keluar dari kurungan


itu. Ludiro waktu itu hanya menggumam, "Licik...!" Dan 

matanya semakin liar.

Begal Dogol tertawa. "Kalau sudah begini apakah kau 

tetap tidak akan mau bertarung melawan kami, hah?"

"Kau boleh bunuh aku, tapi jangan sentuh putriku!" 

kata Sabdawana. Dan Begal Dogol hanya tertawa. Lalu 

dari arah belakang Begal Dogol, muncul beberapa orang 

yang telah meringkus enam murid Sabdawana. 

Ternyata para murid itu telah berhasil diringkus 

sewaktu mengikuti Sabdawana dengan diam-diam. Dan 

kini Sabdawana terbelalak melihat keenam muridnya 

menjadi tawanan mereka.

"Sabdawana...? Ini murid-muridmu, bukan?" kata 

Begal Dogol dengan angkuh. Sabdawana tak menjawab, 

Kirana dan Ludiro menjadi tegang. Ada Bonang dan 

Lande di sana. Mereka berdua mempunyai ilmu yang 

cukup bisa diandalkan, tapi nyatanya mereka masuk 

dalam tawanan anak buah Begal Dogol. Berarti tak ada 

apa-apanya Bonang dan Lande itu. Ludiro tak sabar 

menunggu penyerangan, sayang Sabdawana tidak 

segera memberi komando dan bahkan diam dengan 

tenang. Malahan ketika Dogol menyeret salah seorang 

murid Sabdawana, Ludiro menjadi tegang sekali. Murid 

Sabdawana tersungkur di depan kaki Begal Dogol, 

kemudian dengan kejam Begal Dogol menusukkan 

tongkat berbentuk ular sanca di kepala murid tersebut. 

Suara teriakan histeris berbarengan dengan tawa Begal 

Dogol dan orang-orangnya. Kepala orang itu tembus 

ditusuk tongkat Begal Dogol dan tubuh itu pun 

berkelojot sebentar lalu tak bergerak lagi.

"Jahanaaam...!" geram Ludiro tak sabar lagi. Tetapi 

tangan Sabdawana merentang, memberi isyarat agar 

Ludiro tenang dan tidak bertindak apa-apa.

"Kau masih tak mau bertanding denganku, 

Sabdawana?!" kata Begal Dogol dengan suara dingin.


"Aku selalu menghindari perselisihan, Dogol."

"Bah!" geram Begal Dogol yang berambut panjang 

dan berjenggot panjang, sama putihnya itu. Mata 

tuanya yang keriput memandang nanar. Jubahnya yang 

merah bergerak-gerak ditiup angin lembah.

"Sebagai seorang guru, kau tidak patut dihormati! 

Kau biarkan muridmu mati, kau tak mempunyai 

pembelaan sedikitpun kepada murid-muridmu ini! Guru 

macam apa kau?!" Kakek tua itu menjadi dongkol 

sendiri. Tapi Sabdawana menjawab dengan tenang, dan 

masih berwibawa, "Muridku sudah siap mati untuk 

gurunya. Karena mereka mencintai aku. Apakah kau 

mempunyai murid seperti mereka? Kurasa mereka 

hanya bisa pasang tampang modal badan, tapi tidak 

mempunyai nilai pengabdian terhadap seorang guru. 

Lihat, mereka... wajah-wajah mereka mulai cemas, 

karena merasa takut hanya dijadikan umpan 

kemarahanmu saja. Lihat, mana ada wajah mereka 

yang tenang seperti murid-muridku? Semua wajah 

sekarang tahu, bahwa sebentar lagi mereka akan 

dijadikan umpan pertama untuk mencoba ilmuku...."

Terdengar suara kasak-kusuk dan gerutu tak jelas 

dari orang-orang yang mengurung Sabdawana. Agaknya 

kata-kata Sabdawana menjadi bahan pertimbangan

bagi mereka. Dan hal itu membuat Begal Dogol menjadi 

tambah panas hatinya. Ia menarik salah seorang murid 

Sabdawana, lalu orang itu dihantam dengan tongkat 

ular, "blegaaar...!" Suara ledakan terdengar 

mencengangkan. Orang yang dihantam tongkat itu 

hancur bagai serpihan daging mentah. Mengerikan 

sekali. Ludiro menggeram dan Kirana menghela nafas 

dalam-dalam. Tapi Sabdawana tetap tenang.

Begal Dogol semakin garang. "Lihat, lihat muridmu 

ini, kalau tidak kau bela, maka mereka akan mati 

hancur berkeping-keping seperti orang ini, tahu?! Akan


kubunuh mereka satu persatu untuk membuktikan 

bahwa kau memang seorang guru yang banci! Penakut! 

Dan tak pantas dihormati."

"Pikiranmu salah, Dogol," kata Sabdawana dengan 

tenang namun suaranya cukup menggema di sela-sela 

perbukitan itu. "Kau justru menambah semangat 

murid-muridku untuk mati membela gurunya. Mereka 

yang akan kau bunuh itu tahu betul, bahwa hidup itu 

tidak harus saling mendendam, seperti ajaranku kepada 

mereka. Sekarang mereka melihat buktinya bahwa aku 

sendiri dapat bersikap sabar dan mengalah demi 

kemenangan yang sebenarnya. Tetapi bagaimana 

dengan murid-muridmu yang sebanyak ini? Apakah 

mereka tidak akan menilai kau sebagai seorang guru 

yang tak pantas menjadi panutan? Tindakanmu kejam 

dan di luar batas kemanusiaan. Kurasa mereka mulai 

cemas, kalau-kalau suatu saat mereka akan menjadi 

korban kekejamanmu seperti itu. Barangkali mereka 

hari ini bisa membunuh kami, tapi di kemudian hari, 

mereka juga akan menjadi korbanmu, Dogol. Mereka 

sekarang mulai tahu, bahwa kau selama ini hanya 

bermanis muka, selama ini kau berusaha merebut 

perhatian mereka, sehingga mereka tunduk kepada 

perintahmu. Tetapi di balik kebaikanmu selama ini, 

mereka sekarang mulai sadar bahwa mereka sengaja 

dipersiapkan untuk acara seperti ini, yaitu sebagai 

umpan dan sebagai percobaan ilmuku. Kalau ilmuku 

lebih hebat dan bisa membunuh mereka lebih sadis dari 

kamu, kau akan lari meninggalkan mereka. Kau akan 

mencari ilmu lagi, sementara murid-muridmu itu akan 

mati secara bersamaan di tanganku. Aku yakin, Dogol... 

murid-muridmu sekarang ini sedang berfikir, mengapa 

kau tidak berbuat sekejam itu. Aku yakin, mereka tahu 

kalau aku bisa membunuh mereka dengan sekali 

gebrak empat-lima orang akan mati seketika. Mereka


jangan dianggap bodoh, Dogol. Mereka itu tahu, kalau 

orang diam itu ilmunya pasti tinggi, dan mereka mulai 

menyesal mengikuti orang semacam kamu, Dogol. 

Kurasa hati mereka saat ini sedang bertanya-tanya, 

haruskah mereka menjadi korban urusan pribadimu? 

Kau membela istri, tapi mereka...? Siapa yang membela 

istri mereka dan keluarga mereka jika mereka mati di 

sini? Apakah kau akan menjamin? Belum tentu. 

Mungkin kau bilang akan menjamin keluarganya, tapi 

jika mereka sudah terlanjur mati sia-sia dan kau tidak 

menjamin keluarganya, apakah mereka bisa 

menuntutmu? Kau pasti akan mengingkari janji kepada 

mereka. Kalau orang yang bisa berbuat kejam terhadap 

orang lain sepertimu, mengapa tak bisa berbuat kejam 

terhadap mereka juga? Pasti bisa. Pasti suatu saat kau 

perlakukan mereka seperti kau memperlakukan murid-

muridku. Percayalah Dogol... saat ini mereka yang 

mengurung kami sedang menimbang-nimbang, apakah 

mereka harus menjadi korban urusan pribadimu, 

sedangkan pribadinya sendiri tidak kau urusi, atau 

mereka lebih baik mengikuti aku, menjadi orang-

orangku dan dapat hidup damai di Griya Teratai Wingit 

sana. Lihat, wajah-wajah mereka itu menampakkan 

suatu keinginan. Keinginan hidup dengan damai 

bersama anak-istri dan keluarganya."

"Tutup mulutmu!" teriak Begal Dogol. Kemarahannya 

semakin meluap. Ia berseru kepada orang-orang yang 

mengurung Sabdawana. "Serang mereka...! Serang...!"

Sepi. Tak ada yang bergerak. Masing-masing saling 

bertatap-tatapan, masing-masing menunggu temannya 

berbuat. Orang-orang yang mengurung Sabdawana itu 

menampakkan keragu-raguannya. Begal Dogol tegang.

"Serang mereka, lekas! Seraaang...!"

Mereka dalam kebimbangan. Salah seorang 

membuang senjatanya ke tanah. Lalu di ujung sana


juga ada yang membuang senjatanya. Lalu disusul yang 

lainnya. Senjata berjatuhan, berdenting ramai bagai 

sedang dikumpulkan.

"Tolol...! Jangan mau terhasut oleh omongannya...! 

Serang mereka?! Hei, hei... apa-apaan kalian membuang 

senjata? Goblok! Benar-benar goblok...!" Begal Dogol 

kebingungan.

Orang-orang yang mengepung Sabdawana menjadi 

loyo. Mereka pergi menyisih setelah membuang 

senjatanya di tempat. Agaknya kata-kata Sabdawana 

berhasil meresap dalam hati dan pikiran suci mereka. 

Sampai-sampai tak seorang pun mau berdiri di 

tempatnya semula. Oh, begitu hebat ilmu yang 

digunakan Sabdawana. Dalam tempo beberapa saat ia 

dapat menundukkan hati orang-orang sangar itu. 

Rupanya ilmu Lebur Hati inilah yang menjadi andalan 

Sabdawana. Bukan hanya sekedar bicara, namun ia 

mampu menggerakkan hati mereka dengan kelembutan 

tenaga dalamnya yang benar-benar mengagumkan. 

Kini, orang-orang itu menepi, duduk memandang ke 

arah arena pertempuran yang telah kosong, kecuali 

Sabdawana beserta dua orangnya, dan Begal Dogol 

dengan keempat pengawal setianya. Bahkan orang-

orang yang meringkus anak buah Sabdawana itu pun 

menepi sambil melepaskan ikatan pada tangan 

tawanannya.

"Gila! Mengapa mereka jadi seperti buruh menunggu 

uang upah mingguannya?!" teriak Begal Dogol.

Pada saat itu, seorang bertangan buntung ke luar 

dari balik batuan cadas setinggi lima tombak. Melihat 

salah satu tangannya buntung, tanpa telapak tangan, 

Kirana jadi ingat Lanangseta. "Pasti orang itulah yang 

mengirimkan surat tantangan dan akhirnya dipotong 

tangannya oleh Lanangseta. Ah, tapi ke mana dan 

sedang apa Lanang sekarang?" pikir Kirana saat itu.



"Biar aku yang menghadapi mereka lebih dulu, 

Guru," ujar si tangan buntung.

"Serang mereka Braja...!" perintah Begal Dogol.

Kalau saja waktu itu Lanang sudah ada di tempat, 

tentu orang itu bagian Lanangseta. Pasti orang yang 

bernama Braja itu akan menyerang Lanangseta lebih 

dulu, karena ia ingin membalas dendam atas hilangnya 

sebelah telapak tangannya. Sayang waktu itu 

Lanangseta masih dalam perjalanan menuju Lembah 

Berdarah.

Lanang berlari dengan cepat menyusuri tepian 

hutan, kemudian menembus hutan lagi, memotong 

jalan cepat menuju Lembah Berdarah. Ia tak berhenti 

berlari, karena ia merasa harus cepat sampai di Lembah 

Berdarah sebelum Kirana yang kondisi tubuhnya masih 

lemah itu jangan sampai terluka oleh kelicikan orang-

orangnya Begal Dogol.

Terdengar suara pedang beradu di kejauhan. 

Lanangseta yakin, "Itulah pertarungan antara 

Sabdawana dan Begal Dogol. Tapi kedengarannya hanya 

dua pedang yang beradu. Berarti Begal Dogol tidak main 

keroyokan," pikir Lanang. Ia mempercepat langkahnya, 

menggunakan ilmu peringan tubuh lagi.

Namun alangkah kagetnya Lanangseta ketika ia baru 

saja akan sampai di tempat pertarungan itu, ternyata ia 

melihat Jaka Bego sedang makan singkong dalam daun. 

Jaka Bego agaknya sudah sejak tadi menyaksikan 

pertarungan di daerah tandus itu. Pertarungan antara 

Ludiro dengan lelaki bertangan buntung. Jaka Bego 

menyaksikan dari atas cadas yang menjulang tinggi. Ia 

duduk dengan santai sambil makan singkong dan 

memandang pertarungan tersebut.

"Hei...!" sapa Lanangseta dengan terengah-engah.

Jaka Bego menengok, lalu bersungut-sungut, "Kamu 

jahat. Kau meninggalkan aku, pergi sendiri tidak mau


ajak-ajak aku...."

"Tapi nyatanya kau datang lebih dulu kan?"

"Hah...?" Jaka Bego bingung. "Jadi, kau baru datang, 

ya?"

Lanangseta menghempaskan nafas. Kesal juga 

mendengar lagak Jaka Bego.

"Wah, kalau begitu kau tidak melihat Rama Sabda 

menggunakan ilmunya, ya?"

"Apa? Jadi, Rama Sabda sudah bertanding melawan 

Begal Dogol?" Lanang agak terkejut dan was-was.

"Bukan melawan Begal Dogol, tapi melawan orang-

orang yang segitu banyak mengurungnya tadi. Hanya 

dengan kata-kata, hebat kan? Dengan kata-kata saja 

musuh jadi buang senjata dan sekarang malah menjadi 

penonton setia. Itu, lihat mereka yang duduk di 

pinggiran sana... itu tadi mereka sudah siap menyerang 

Rama Sabda, tapi dengan kata-kata Rama Sabda, 

mereka jadi luluh hatinya dan membuang senjatanya. 

Huhh... kamu suka mampir-mampir kalau pergi, jadi 

tidak sempat menyaksikan kekuatan ilmu Lebur Hati."

"Kekuatan ilmu Lebur Hati? Kok kamu tahu kalau 

Rama Sabdawana menggunakan kekuatan ilmu Lebur 

Hati?"

"Aku mengarang sendiri," jawab Jaka Bego sambil 

menggigit singkongnya lagi. "Habis aku tidak tahu 

namanya, maka kukarang sendiri saja. Ilmu Lebur 

Hati...." Lanang tertegun beberapa saat. Dia ingat, dulu 

Kirana pernah bercerita tentang ilmu Lebur Hati yang 

dimiliki oleh leluhurnya, termasuk ayah Kirana. Tapi, 

mungkinkah hal semacam itu juga diceritakan Kirana 

kepada Jaka Bego? Jika tidak, dari mana Jaka Bego 

mengetahui adanya ilmu Lebur Hati? Apakah benar ia 

hanya asal ucap saja?

"Hei, lihat...!" seru Jaka Bego. "Sekarang dua orang 

menyerang putri Sabdawana...! Tuh, lihat...! Ah, ah...



kasihan seorang perempuan harus dilawan dengan dua 

orang...."

Ketika Jaka Bego melongok ke bawah, ternyata 

Lanang sudah tak ada di tempatnya semula. Ia 

menggerutu, "Sialan! Diajak ngomong capek-capek tidak 

tahunya sudah pergi...! Eh, kok itu Lanang sudah 

sampai sana...?"

Jaka Bego bergegas turun dari batuan cadas dan 

berlari ke arah pertarungan itu. Ia dengan 

membusungkan dada sambil membawa bungkusan 

daun pisang masuk ke dalam arena. Ia mencolek 

Lanang dan berkata, "Jangan turut campur. Biar aku 

dulu yang menghadapi mereka. Tolong bawakan ini...." 

Jaka Bego menyerahkan bungkusan singkong kepada 

Lanang. Lanangseta menerima dengan terbengong 

melompong, sedangkan Sabdawana yang tak jauh dari 

Lanang hanya tersenyum tipis. Kemudian mereka 

membiarkan Jaka Bego masuk dalam arena, melibatkan 

diri dengan serangan-serangan dari anak buah Begal 

Dogol yang masih setia itu.

"Berhenti...! Berhenti semua...!" teriaknya dengan 

sesekali menaikkan celananya yang seakan mau 

melorot.

Semua jadi berhenti. Ludiro tetap memegang pedang 

Jalak Pati, Kirana mundur, dan kedua musuh Kirana 

juga berhenti, demikian pula si tangan buntung yang 

ikut berhenti bagai terkejut oleh sesuatu yang 

mengagetkan.

"Semua pertarungan harap dibatalkan!" seru Jaka 

Bego.

"Apa-apaan kau anak ingusan!" bentak Begal Dogol.

Jaka Bego berlari sebentar mendekati Lanang dan 

berbisik keras, "Aku juga punya ilmu Lebur Hati. 

Lihat...."

Jaka Bego kembali ke tempat, sementara Sabdawana


terkejut mendengar ilmu itu disebutkan. Ia memandang 

Lanang.

"Siapa dia sebenarnya?"

Lanang angkat bahu. "Yang saya tahu, dia bocah 

misterius, Rama...."

Mereka hanya bisa memandang tingkah Jaka Bego 

yang sesekali membingungkan, sesekali menjengkelkan, 

dan yang jelas sering mengherankan. Jaka Bego saat itu 

sedang bicara sambil menghadap kepada orang-orang 

yang duduk menjauh dari arena tersebut.

"Perkenalkan, namaku Jaka Bego. Pernah 

membunuh sembilan pendekar dari berbagai negeri...!"

Orang-orang yang duduk menjauh itu bertepuk 

tangan. Jaka Bego nyengir sambil menghormat seperti 

petinju mau bertanding. Lalu ia berseru lagi, "Kuminta 

kalian semua tetap di tempatnya masing-masing. Sebab 

kalian harus merasa beruntung, bahwasanya... kalian 

dapat menyaksikan pertarungan tingkat tinggi dengan 

gratis, yaitu pertarungan Begal Dogol dengan Jaka 

Bego, sebagai wakil dari Rama Sabdawana. Setuju...?"

"Setuju...! Akuuur...! Sikat saja...! Yang seru, ya...?!" 

Mereka saling saur manuk, seperti burung di pagi hari.

Begal Dogol maju mendekati Jaka Bego dan 

menampar pipi Jaka Bego. "Plak...plak...!"

"Minggir kau, Anak bawang...!"

"Sabar, Mbah... sabar... saya mau bertarung dengan 

yang namanya Begal Dogol." kata Jaka Bego sambil 

mengusap-usap pipinya yang kesakitan ditampar itu. 

"Kuminta, Mbah dukun jangan ikut campur. Biarkan 

saya menghadapi Begal Dogol sendiri..."

"Aku Begal Dogol!" bentak Begal Dogol dengan sengit.

"Ah, masa' seorang begal kok sudah keriput begitu?!"

"Kurang ajar...!" geram Begal Dogol. "Aku ini yang 

bernama Begal Dogol."

"Ah...." Jaka mundur karena Begal Dogol maju


mendesaknya.

"Ayo, lawan aku...!" sambil Begal Dogol menyodok-

nyodokkan perutnya ke tubuh Jaka Bego.

"Ah, jangan main-main, Mbah...." Jaka Bego 

kelihatan ketakutan.

"Aku tidak main-main. Ayo lawan aku...! Pukul...!" 

Jaka Bego menggeragap dan terhuyung karena perut 

Begal Dogol disodok-sodokkan ke tubuh Jaka Bego. 

"Pukul aku...! Nih, pukul...! Katanya kau mau melawan 

Begal Dogol...!"

"Iya, tapi situ bukan Begal Dogol...! Aduh...!" Jaka 

tersandung dan nyaris jatuh. "Jangan main-main, 

Mbah... ini pertarungan tingkat tinggi lho, nanti 

encokmu kumat!"

"Plak...! Plak...! Plookk...!"

Jaka Bego dipukul keras wajahnya sampai ia 

terpejam-pejam dalam kesakitan. Ludiro hendak 

bergerak, tapi Lanang segera menahan.

"Biarkan dulu dia. Tak perlu khawatir, memang 

begitulah ilmu kebegoannya...." bisik Lanang, yang lain 

pun mendengar dan manggut-manggut.

"Lawan, Begooo...!" teriak salah seorang di kejauhan.

"Plak...!"

"Ayo, lawanlah...! Lawan aku, cepat...!"

Sekali lagi tamparan keras dari Begal Dogol 

mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!"

"Beraninya sama anak kecil...!" Jaka Bego mulai mau 

menangis.

Di kejauhan ada yang berseru, "Yaaah... nangiiis...!"

"Kau yang menghentikan pertarungan ini, sekarang 

kau yang harus bertanggung-jawab. Aku ingin melihat 

sampai di mana kesaktianmu, Bocah sinting?! Ayo, 

lawan aku...!" teriak Begal Dogol.

"Jangan begitu, Mbah... aku kan tadi hanya bilang 

kalau mau melawan Begal Dogol! Bukan melawan


kamu!"

"Iya, tapi aku ini Begal Dogol...!"

"Bukan! Kamu bukan Begal Dogol...!" Jaka Bego 

semakin ingin menangis, mulutnya sudah mewek-

mewek sambil melangkah mundur.

Begal Dogol bicara kepada Braja, "Ini anak sinting 

benar-benar menjengkelkan...."

"Cekek saja!" kata Braja. Seketika itu Jaka Bego 

memegangi lehernya dengan rasa takut dicekek.

"Jangan, Mbah... jangan cekek aku...."

Dengan geram dan dongkol sekali, Begal Dogol 

menendang Jaka Bego sekeras-kerasnya.

"Huhhgh...!" Jaka Bego tak sempat mengaduh, 

tubuhnya yang kurus kerempeng itu melayang dengan 

cepat dalam posisi tangan terbuka. Tak sengaja tangan 

kanannya menghantam kening seorang pengawal yang 

tadi menyerang Kirana: si Bonyok. Tahu-tahu si Bonyok 

menjerit kesakitan terkena hempasan tangan Jaka 

Bego. Dan ia buru-buru menutup wajahnya dengan 

kedua telapak tangan sambil berguling-guling dan 

berteriak-teriak. Ternyata kening itu menjadi pecah dan 

darah segar tersembur dari kening itu. Semua mata jadi 

memandang tegang, melotot menyaksikan adegan di 

luar dugaan itu.

Tubuh si Bonyok berkelojotan beberapa saat, 

kemudian ia tak tertolong lagi karena ada darah putih 

yang keluar dan ternyata itu adalah otak. Tentu saja 

banyak orang yang mengucek-ngucek matanya sendiri 

karena menganggap sesuatu yang mustahil telah 

dilihatnya. Masa' hanya tersenggol tangan yang 

melayang akibat tendangan Begal Dogol bisa 

mengakibatkan separah itu. Sementara Jaka Bego 

sendiri tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia 

jatuh dengan kepala duluan. Ia meringis dan mengaduh 

sambil memegangi kepalanya. Wajahnya seakan ingin


segera menangis, tanpa mempedulikan mata tiap orang 

terheran-heran melihat si Bonyok yang benar-benar 

menjadi bonyok itu.

"Kau telah membunuh saudaraku, Kunyit...!" teriak 

Peot yang bertubuh sepadan dengan Jaka Bego, namun 

lebih gemuk lagi. Ia segera menyerang Jaka Bego 

dengan mencabut goloknya, Jaka Bego lari ketakutan. 

Ia lari sambil menengok ke belakang sampai tak sadar 

kalau dia menabrak tubuh Begal Dogol. "Monyet...!" 

geram Begal Dogol sambil memegang kedua pipi Jaka 

Bego. Kedua pipi itu ditekannya kuat-kuat sampai 

mulut Jaka Bego monyong ke depan dan tak bisa bicara 

kecuali kesakitan.

Begal Dogol mendekatkan wajah dengan gemas dan 

berkata, "Kau apakan si Bonyok, h ah?! Kau apakan 

dia...?!"

"Uuf... uuf... uuuff...." Jaka Bego hanya bisa bicara 

begitu. Namun Peot yang sudah marah karena 

saudaranya mati terbunuh oleh kibasan tangan Jaka 

Bego itu tak sabar lagi. Ia segera menendang tubuh 

Jaka Bego dari belakang. Akibat tendangan itu, sudah 

tentu Jaka Bego kesakitan dan ludahnya sempat 

muncrat ke wajah Begal Dogol. "Crot...!" Ludah itu 

mengenai mata Begal Dogol. Dan tiba-tiba Begal Dogol 

melemparkan Jaka Bego kuat-kuat lalu menjerit 

kesakitan. Ia memegangi matanya sambil menyumpah-

nyumpah. Orang mengira, Begal Dogol marah karena 

merasa dihina dengan diludahi Jaka Bego. Namun di 

balik semua itu, mereka merasa heran karena Begal 

Dogol berjalan dengan meraba-raba dan berseru, 

"Bangsat...! Mataku buta! Anak itu membuat mataku 

menjadi butaaaa...!" Semua pengawal Begal Dogol 

mencabut senjata. Mata mereka membelalak tegang 

memandang Jaka Bego yang menggeliat kesakitan 

pinggangnya. Sabdawana dan Lanangseta saling


pandang. Heran. Demikian juga Ludiro dan Kirana, 

sama-sama tertegun.

"Ilmu yang langka sekali...." gumam Sabdawana.

"Jangan...! Jangan bunuh aku...." Jaka Bego 

ketakutan. Ia jadi gemas sendiri karena pinggangnya 

terasa sakit untuk berdiri, akibatnya ia tak dapat lari. 

"Jangan bunuh aku. Aku cuma ingin bertarung dengan 

Begal Dogol. Sungguh, cuma dengan Begal Dogol...! 

Begal Dogol, Begal Dogol, Begal Dogoooolll...!" seraya 

Jaka Bego memukul-mukul tanah karena jengkelnya 

terhadap pinggangnya. Namun di luar dugaan, pada 

saat itulah dari beberapa balik batuan cadas muncul 

enam bayangan serupa. Keenam bayangan itu melesat 

dan mendarat di dalam arena. Semua mata terperanjat 

kaget. Bahkan Sabdawana sendiri sempat mundur 

selangkah, seperti halnya Lanangseta, Kirana dan 

Ludiro.

Keenam orang itu sama persis dengan Begal Dogol. 

Pakaiannya juga kembar dengan Begal Dogol yang 

matanya buta itu. Tongkatnya juga sama persis, tak ada 

bedanya sedikit pun. Hanya ada satu orang yang 

berbeda dalam hal pakaian. Kalau yang enam lainnya 

berpakaian serba merah, seperti juga Begal Dogol yang 

matanya buta, tapi satu orang itu berpakaian putih 

bersih, sama putihnya dengan rambut dan jenggotnya 

yang panjang.

"Gila! Begal Dogol ternyata telah memecah diri 

menjadi tujuh sosok kembar. Ini rupanya yang menjadi 

andalan Begal Dogol dalam menantangku," kata 

Sabdawana. Yang lain masih terbengong. Bahkan para 

pengawalnya bersama si tangan buntung itu juga 

terbengong-bengong melihat Begal Dogol ada tujuh 

orang. Sama persis. Tak berbeda sedikit pun.

"Rupanya Jaka Bego sejak tadi mengetahui bahwa 

yang diludahi itu bukan Begal Dogol yang asli. Dan ia


menyebut-nyebut nama Begal Dogol tiga kali sambil 

memukulkan tangannya ke tanah, itu adalah kunci 

memanggil Begal Dogol yang asli," bisik Sabdawana.

"Sekarang tergantung kita untuk menentukan, mana 

Begal Dogol yang asli," sahut Ludiro dengan mata 

memandang cermat ke setiap wajah Begal Dogol.

Lanang menambahkan kata, "Kalau sudah begini, ini 

adalah tugas saya, Rama. Kuminta jangan ada yang 

bertindak kecuali saya dengan... paman Ludiro."

"Hati-hati, Lanang," pesan Kirana yang semakin 

menambah semangatnya hati Lanangseta.

Lanang dan Ludiro maju beberapa langkah. Ludiro 

berseru lebih dulu kepada pengawal Begal Dogol yang 

hendak menyerang Jaka Bego, "Jangan sentuh anak 

itu!"

Namun Peot dan Sargowi tetap nekad hendak 

membacok Jaka Bego. Dengan cepat Ludiro mengambil 

Cambuk Naga dari punggungnya dan memecutkan dua 

kali ke arah Peot dan Sargowi. Kedua orang itu menjerit 

kuat-kuat karena bahunya bagai terpotong benda tajam 

dan nyaris putus, sedangkan Jaka Bego malahan 

menjerit ketakutan dan ngeri melihat bahu kedua orang 

itu seperti paha sapi dipotong hidup-hidup. Kedua 

orang itu terguling-guling dalam kesakitan yang amat 

sangat.

Lalu dua orang Begal Dogol menyerang Ludiro 

dengan tongkat berbentuk ular sanca. Ludiro berguling 

pada saat kedua kaki dan tongkat lawannya 

menyerangnya dengan cepat. Ludiro lolos dari serangan 

itu, sementara Cambuk Naganya melecut ke belakang 

dan mengenai kedua sosok Begal Dogol. Kedua 

punggung itu robek bagai tanah yang retak di musim 

kemarau.

Tepat pada saat rubuhnya kedua orang itu, 

Lanangseta segera mencabut pedang Wisa Kobranya.


Karena di depannya telah bergerak dua sosok Begal 

Dogol sambil menghunjamkan tongkatnya. Pertama-

tama kedua tongkat itu ditebas dengan gerakan cepat 

oleh pedang Wisa Kobra yang membara seperti besi 

sedang dipanggang itu. Kedua tongkat tersebut hancur 

beberapa bagian. Lalu tubuh kedua pemilik tongkat itu 

ditebas pula oleh pedang tersebut, namun keduanya 

berhasil bergulir ke samping kanan-kiri dalam keadaan 

melayang, sehingga mereka selamat.

"Pedang Malaikat...?!" seru seorang Begal Dogol yang 

mengenakan jubah putih. Seketika itu ia melejit hendak 

melarikan diri, tapi Cambuk Naga telah mendahului 

melecut leher orang berjubah putih. Rupanya orang itu 

cukup tangkas. Ia berhasil menggenggam Cambuk Naga 

itu tanpa tergores sedikit pun tangannya. Ludiro dan 

orang berjubah putih saling bertahan, tarik menarik 

melalui Cambuk Naga yang terentang kuat. Pada saat 

itu, seorang pengawal yang bernama Bujel 

mengeluarkan golok pendeknya dan hendak memotong 

tali Cambuk Naga. Tetapi ia terjegal kaki Jaka Bego 

yang bermaksud hendak bangkit. Bujel jatuh 

tersungkur dalam keadaan limbung, ia bertahan untuk 

tidak menyentuh tanah. Tetapi pada waktu ia bangun 

hendak berdiri tegak, tahu-tahu tali cambuk yang 

terentang itu dikibaskan oleh Ludiro ke samping. Tak 

sengaja tali itu mengenai leher Bujel, dan orang itu pun 

berkelojotan bagai kambing disembelih, sebab tali 

Cambuk Naga telah memotong lehernya.

Jaka Bego berguling dengan terpaksa karena 

tubuhnya terkena tendangan tangan buntung yang 

sedang melawan Lanangseta. Akibatnya, tubuh Jaka 

menyentuh kaki Begal Dogol yang buta tadi.

"Mampus kau sekarang, Bocah edaaan...!" geram 

Begal Dogol yang buta, ia segera mengangkat kakinya 

dan menginjak wajah Jaka Bego kuat-kuat. Injakan itu


tepat di mulut Jaka Bego. Tentu saja Jaka Bego 

berkelojot kesakitan. Dengan berusaha sedapat 

mungkin, Jaka Bego akhirnya bisa menggigit jari 

kelingking kaki lawannya yang masuk ke mulut Jaka 

Bego. Kelingking itu digigit dengan gemas dan Begal 

Dogol yang buta itu menjerit sekuat-kuatnya. Lalu, 

mendadak tubuhnya menjadi membiru, dan rubuh. 

Badan itu menjatuhi Jaka Bego sehingga Jaka Bego 

menjerit minta tolong. Ia berusaha menyingkirkan 

tubuh yang telah membiru dan mengerikan baginya. 

Begitu ia berhasil lolos dari tumpukan tubuh itu, ia 

memandang dengan heran, sebab tubuh itu kini 

menjadi kaku dan biru bagai terkena bisa ular beracun 

yang amat ganas.

Di lain tempat, Lanangseta menghadapi tiga 

lawannya sekaligus. Mereka adalah dua Begal Dogol 

dan si tangan buntung. Dalam satu kesempatan, 

mereka berposisi berjajar ke belakang. Paling depan 

Braja, atau si tangan buntung dan di belakangnya tepat 

dua Begal Dogol berdiri hendak mengatur gerak. 

Seketika itu Lanangseta menggerakkan pedangnya 

dengan cepat, menusukkan ke dada Braja, namun tidak 

sampai menembus, melainkan hanya ujung pedang saja 

yang menyentuh dada Braja. Setelah itu Lanangseta 

bersalto ke belakang dua kali, menjauhi lawannya. 

Ketiga lawannya bergerak menyerang dengan tendangan 

layang. Namun sebelum mereka sampai di tanah, tahu-

tahu Braja meliuk seperti gedebong pisang yang telah 

dipotong. Tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Ia tak 

sempat berteriak kecuali menganga lebar. Sedangkan 

tak berapa lama, kedua tubuh Begal Dogol yang ikut 

melayang itu juga menjadi terpotong tiga bagian, yaitu 

bagian dada, serta bagian pusar. Mereka juga tidak 

berkutik lagi, tak mampu berteriak.

Kini tinggal tiga sosok Begal Dogol yang harus


mereka tumbangkan. Satu orang sedang menyerang 

Ludiro yang sedang adu kekuatan dengan Begal Dogol 

berjubah putih, satu lagi sedang menyerang Jaka Bego 

dengan tongkat yang dilemparkan.

Jaka Bego ketakutan diserang tongkat itu. Ia 

bukannya lari atau menghindar, tapi malahan 

berteriak-teriak sambil menutup wajahnya dengan 

kedua lengan. Lanangseta segera menggerakkan tangan 

kirinya, dan keluarlah semacam sinar merah yang 

menjurus ke tongkat tersebut, sehingga tongkat itu pun 

melesat menuju ke tempat lain. Lanang segera 

melambungkan tubuh, bersalto dan jatuh di belakang 

Begal Dogol yang menyerang Jaka Bego. Orang itu 

berbalik arah hendak menyerang Lanangseta, tapi 

Lanangseta melayang dan bersalto lagi melalui atas 

kepalanya, lalu mendarat di depan Begal Dogol 

berjubah putih. Pada saat itu Begal Dogol yang hendak 

menyerang Jaka Bego itu telah menjerit satu kali dan 

tahu-tahu kepalanya telah terbelah.

Lanangseta menggerakkan kakinya ke arah Begal 

Dogol berbaju putih. Kaki itu menghantam rahang 

lawannya, sehingga orang berjubah putih itu terpental. 

Pegangan Cambuk Naga terlepas, tepat pada saat itu 

Ludiro kebingungan mengatasi serangan satu lawannya. 

Namun ketika ia hendak disabet tongkat ular, Ludiro 

sempat berguling ke tanah. Sambil berguling, ia berhasil 

mengibaskan cambuknya dan mengenai perut orang 

itu. Kontan orang itu berjumpalitan dalam erang 

kesakitan. Perutnya bodol, ususnya keluar. Dan ia 

menggelepar-gelepar di tanah.

Saat itu juga Lanang berhasil merobek lengan orang 

berjubah putih yang diperkirakan Begal Dogol yang asli. 

Namun orang itu sempat melayang dan menyemburkan 

asap hitam dari mulutnya. Lanangseta berguling-guling 

menghindari asap hitam yang diduga adalah racun


berbahaya. Orang itu jatuh menindih tubuh Jaka Bego, 

namun pada saat itu, Jaka Bego sedang memegang 

sebilah golok pendek milik Bujel. Ia sedang terheran-

heran melihat golok begitu pendek, dan tahu-tahu 

tubuh orang berjubah itu menjatuhi dirinya. Tak 

sengaja Jaka Bego telah menggenggam erat tangkai 

golok itu, lalu orang berjubah putih mengerang panjang. 

Jaka Bego membelalakkan mata melihat orang itu 

mengerang dan berusaha bangkit.

Jaka Bego berseru, "Tolong.... tarikan orang ini. 

Golok yang kupegang ini menancap di punggungnya.... 

Kasihan dia tidak bisa bernapas tuh... tuh lihat...!"

Ludiro mengibaskan Cambuk Naga, dan cambuk itu 

membelit di kedua kaki orang tersebut. Lalu dia 

menariknya dengan satu sentakan, dan orang itu 

melayang dengan kaki dililit Cambuk Naga. Pada saat 

itu, Lanangseta melepaskan pedang membaranya. 

Pedang itu melesat sendiri bagai sinar api merah. 

Pedang itu menembus tubuh yang sedang melayang. 

Jebol sampai ke bagian depan, dan pedang itu pun 

segera kembali lagi ke tangan Lanangseta.

Orang berjubah putih jatuh tak sempat bernafas lagi. 

Jaka Bego segera melompat dan berdiri di atas perut 

Begal Dogol berjubah putih. Ia mengangkat kedua 

tangannya bagai memperoleh kemenangan yang 

gemilang. Lalu orang-orang bersorak. "Horeee...! Hidup 

Jaka Bego...!" Dan mereka pun segera menyerbu Jaka 

Bego. Mereka mengangkat tubuh Jaka Bego ke atas 

dengan sorak kemenangan. Mereka berseru, "Hidup 

Jaka Bego...! Hidup Bego, Bego...! Bego, Bego kok hidup! 

Hidup Bego, Bego...!"

"Hei, hei... turunkan aku...! Aduuh... pinggangku 

patah, tahu?! Adduuhh... celaka kalau begini...!"

Lanangseta dan Ludiro tertawa menyaksikan sorak-

sorai itu. Kirana segera meninggalkan ayahnya dan


memeluk Lanangseta. Tetapi ketika Lanangseta 

mendekati Sabdawana, orang itu bersujud dan berkata,

"Terima kasih atas bantuanmu, Putra Dewa...."

"Sudahlah, Rama... sekarang aku akan mengurus 

perkawinanku dengan gadis angkuh ini," ujar 

Lanangseta. Sabdawana dan Kirana tertawa lepas.

Tapi Ludiro segera bertanya, "Hei, apakah kalian ada 

yang melihat di mana pemuda yang bernama Prabima 

itu. Bukankah dia juga murid Begal Dogol?"

"Iya, ya...? Di mana dia...?" tanya Kirana. "Dan, siapa 

sebenarnya Jaka Bego itu? Agaknya ia punya ilmu yang 

aneh."

Lanang hanya mendesah, "Ah, itu soal nanti. Yang 

penting sekarang kawin dulu."



                             SELESAI




 

0 komentar:

Posting Komentar