PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE DENDAM DARAH TUA
DENDAM DARAH TUA
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Dendam Darah Tua
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6
1
PETI MAYAT dibawa masuk melalui pintu gerbang.
Kayunya terbuat dari jati glondongan berukir.
Warnanya coklat tua, mengkilap. Peti mayat itu
diletakkan di ruang paseban oleh orang-orang Griya
Teratai Wingit. Wajah-wajah mereka dilapisi duka
mendalam. Sementara di luar rumah besar itu, kabut
hitam merayap menutup jalan, dan langit mendung
bagai membungkus bumi dengan tebal.
Di kejauhan, tampak sesosok tubuh kekar milik
seorang pendekar sedang bergerak menuruni lereng,
menuju Griya Bukit Badai. Sosok pendekar muda yang
tampan itu sudah tidak mengenakan ikat kepala dari
kulit macan tutul lagi. Rambutnya yang panjang
mengenakan ikat kepala dari tali halus, bagai terbuat
dari rajutan benang-benang sutera berwarna ungu.
Sosok itu, tak lain dari sosok Lanangseta, yang berjuluk
Pendekar Pusar Bumi, dan menyandang gelar
pemberian gurunya sebagai Malaikat Pedang Sakti.
Ia berhenti di depan pintu gerbang, mencium bau
setanggi kematian. Bau itu menggerakkan hatinya
untuk bercuriga dan bertanya-tanya, siapa yang
meninggal? Debar-debar jantungnya begitu keras dan
cepat. Ia mulai dicekam kecemasan yang membuat
tangannya gemetar. Wajah menegang dan firasat buruk
mulai terasa jelas. Kepada kedua penjaga pintu gerbang
Griya Teratai Wingit itu ia bertanya, "Siapa yang
meninggal?"
Dengan membungkuk dan memberi hormat, salah
seorang penjaga menjawab sopan, "Putri Bukit Badai,
Tuan...!"
"Kirana...?!"
Lanangseta menjerit dalam hati. Jantungnya seperti
berhenti beberapa detik. Ia bergegas masuk, bahkan
dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata
sepasang penjaga pintu gerbang. Nafasnya terengah-
engah karena menahan kedukaan yang amat dalam.
Ketika berhadapan dengan Marwa, pelayan Kirana,
Lanangseta tak mampu melontarkan sepatah kata pun.
Ia terlanjur dibungkam oleh kesedihan yang meledak-
ledak di dalam dada. Tetapi dengan wajah murung,
dilapis kedukaan, Marwa berkata lirih:
"Kami sudah berupaya menghiburnya, tapi Putri
belum bisa menerima keadaan ini. Rindunya semakin
dahsyat dan telah merobah darahnya menjadi racun.
Dan... dan tadi malam ia menghembuskan nafas
terakhir sambil menyebutkan namamu, Mas Lanang...."
Merah mata Lanangseta mendengar penuturan itu.
Menggeletuk giginya, mengepal tangannya kuat-kuat.
Darah di dalam tubuh mendidih. Ia seakan ingin
memukul dirinya sendiri. Namun jiwa seorang pendekar
melarang dirinya rapuh dalam menerima kenyataan. Ia
harus tetap tegar, harus bisa tabah dan mampu
menguasai emosi dirinya.
Lanangseta belum masuk ke ruang paseban. Ia
sempat bertemu dengan ayah Kirana, Rama Sabdawana
di serambi samping. Lelaki berambut uban dan sedikit
gemuk itu memandang kehadiran Lanangseta yang
segera bersujud kepadanya. Wajah Sabdawana
menyimpan selaksa duka, sekalipun ia kelihatan
tenang. Matanya kemerah-merahan, perih. Ia
mengenakan jubah abu-abu menandakan masa duka
pada dirinya. Ia hanya mengusap rambut Lanangseta
yang berada di lututnya dengan perasaan haru
menghunjam-hunjam hati. Lalu ia berkata pelan setelah
Lanangseta bangkit dan berdiri dengan sopan di
hadapannya.
"Dia telah pergi...." suara Sabdawana serak dan lirih
sekali. "Dia menunggumu untuk hidup bersama, tapi
dia gagal. Kerinduan merupakan pantangan hidupnya,
yang apabila terjadi akan merubah darahnya menjadi
racun. Jika terlambat terobati, akan membunuhnya
sendiri. Dan ternyata, dia memang terlambat...."
Rasa-rasanya ada sebilah kulit bambu yang
mengiris-iris hati Lanangseta dengan pelan-pelan sekali.
Ia nyaris berteriak dalam ledakan dukanya begitu
mendengar kata-kata Sabdawana, ayah Kirana. Namun
semua itu ditahannya, mati-matian. Ia hanya berusaha
berkata dengan susah sekali, "Saya... yang terlambat...."
"Belum," jawab Sabdawana. "Waktumu masih
memberi kesempatan untuk melihat seperti apa jenazah
calon istrimu itu. Ia kami baringkan dalam peti, sebagai
tempat penantian orang yang dicintainya...."
Berulangkali Lanangseta mengerjapkan mata,
menahan rasa perih dan panas akibat rembasan air dari
dalam kelopaknya. Ia melangkah ke paseban bersama
Sabdawana dengan lutut gemetar. Baru sekarang ia
merasakan keharuan yang begitu menyiksa diri akibat
rasa sesal menghantuinya.
Di ruang paseban, tempat pertemuan antara
Sabdawana dengan para muridnya yang kini menjadi
pelayan dan pengawal di situ, ada beberapa orang yang
telah berkumpul melingkari peti mayat. Mereka
menggumamkan kidung puji-pujian dan doa untuk
arwah Kirana Sari. Lanangseta nyaris tak tahan
mengendalikan emosinya begitu melihat wajah orang-
orang yang berkidung menyayat hati itu dihiasi oleh
linangan air mata. Berulangkali Lanangseta menghela
nafas dalam-dalam, berulangkali juga nafas
dihempaskan panjang-panjang untuk memperoleh
ketenangan.
Atas perintah Sabdawana, Lanangseta diizinkan
masuk dalam lingkaran asap setanggi yang mengelilingi
peti mayat itu. Mulanya Lanangseta sedikit ragu, tak
sampai hati. Ia hanya memandang peti mayat yang
masih belum ditutup. Namun akhirnya ia pun
melangkah, mendekat setelah Rama Sabdawana
berkata pelan, "Datanglah, dia menunggumu. Masih
setia menunggumu, sekalipun dia telah mati...."
Langkah yang berat berhenti di tepi peti mayat. Mata
Lanangseta membelalak dan mulai berkaca-kaca
digenangi cairan bening menghangat. Ia bagai tak
percaya kalau yang dilihatnya adalah Kirana. Ia nyaris
menjerit melihat tubuh itu kurus kering, kulitnya
membungkus tulang dan layu. Kecantikannya bagai
pudar dirongrong penyakit mengerikan.
Dulu Kirana cantik, menggairahkan. Badannya
padat, buah dadanya menonjol. Kulitnya bersih,
matanya sangat indah dalam lilitan maskara pada masa
itu. Bibirnya merekah segar dan sangat sensual. Tetapi
kini, ia bagai mati dalam ketuaan. Tubuhnya tak lebih
dari sebatang bambu suling yang dibungkus kulit layu
dan pudar. Tulang-tulang rahang terlihat menonjol, juga
tulang pipi dan pundaknya.
Sebegini parahkah kerinduan Kirana? Setragis inikah
cinta Kirana kepada Lanangseta? Jadi benarkah selama
ini Lanang telah termakan fitnah pemuda Prabima
Wardana, yang mengatakan bahwa Kirana telah berbuat
serong dengan pemuda itu? Sepahit inikah kenyataan
yang ada pada diri Kirana yang memendam kesucian
cintanya kepada Lanangseta, dan menelan racun
kerinduan atas datangnya Pendekar Pusar Bumi ini?
Lanangseta menggeletukkan giginya kuat-kuat.
Desakan duka semakin hebat, semakin menghentikan
pernafasan. Batinnya yang bertanya-tanya dan
berkecamuk sendiri itu meratap tak mampu dicegah
lagi. Lalu, dengan pelan dan penuh keharuan yang
membungkus jiwa, Lanangseta mengusap pipi jenazah
Kirana. Perlahan-lahan sekali ia merundukkan kepala
ke dalam peti, dan mencium kening Kirana dengan
sentuhan lembut dan menyayat hati. Ia ingin menahan
air mata kesedihan. Namun gagal. Ada setetes air mata
yang menitik, jatuh di kening Kirana. Ia buru-buru
mengangkat wajahnya, agar tidak terlalu dalam larut
dalam kesedihan yang meratap itu. Ia buru-buru
mengecapkan matanya, bagai ingin mengembalikan air
mata yang telah terlanjur menggenang di kelopaknya.
Namun pada saat itu, mata yang memerah itu tiba-
tiba membelalak kaget. Semua orang yang berkabung di
situ melihat perubahan wajah Lanangseta yang
terperanjat kaget. Semua orang saling bertanya-tanya
dalam hati, apa yang terjadi? Kenapa Lanangseta
terkejut sekali? Apa yang dilihat Lanangseta pada waktu
itu? Maka mereka pun bergegas bangun dari duduknya,
mereka bergerak membentuk beberapa kelompok dan
saling berkasak-kusuk. Sabdawana sendiri ikut merasa
heran melihat Lanangseta membelalakkan mata begitu.
Mayat Kirana Sari mengerjap-ngerjapkan mata pada
saat air mata Lanangseta menitik di keningnya. Mata itu
semakin jelas terbuka. Memandang sayu kepada
Lanangseta. Lama-lama mata itu sendiri berair bagai
dihunjam keharuan yang dalam. Kemudian tangan
Kirana bergerak pelan, terangkat bagai minta disambut
oleh Lanangseta. Lanang merasa ragu. Tapi terdengar
dari mulut Kirana sepatah kata yang memanggil
kekasihnya, "Lanang...."
Suara itu lirih. Sangat pelan. Hampir tak terdengar
oleh Lanangseta. Bibir yang membiru itu bergerak-gerak
dengan tangan yang semakin tinggi terangkat. Lalu,
Lanang pun menyambutnya, membantu Kirana untuk
bangkit dan memeluk Lanangseta dalam satu tangis
yang nyata.
Mereka yang turut berbela sungkawa di situ menjadi
mundur ketakutan. Ada yang berseru di luar
kesadaran, "Dia bangkit...! Mayat itu bangkit dan... dan
hidup lagi...?!"
Erat sekali Kirana memeluk Lanangseta. Tangisnya
menghangat di hati Lanang. Ia belum mampu berkata
lebih banyak lagi kecuali sebaris kata yang terucap
dengan serak, "Kau telah kembali, Kasihku...."
"Cantik...." desah Lanangseta dalam pelukan
kerinduan itu. Ketika itu Sabdawana mendekat, dan
Kirana buru-buru memeluk ayahnya juga dalam tangis
seorang perempuan polos.
"Ia telah kembali, Ayah... ia kembali...." Orang-orang
masih bingung dan diliputi rasa takut bercampur heran.
Wajah-wajah mereka menegang di dekat pintu. Yang tak
berada di ruang paseban menjadi berdesak ingin
melihat mayat hidup kembali. Sementara itu,
Lanangseta masih terbengong-bengong memikirkan
keanehan itu. Tapi kata-kata Sabdawana yang berwajah
cerah telah sedikit menetralkan keheranan hati Lanang.
"Kau telah menghidupkannya kembali, Lanangseta.
Air matamu kurasa telah menetes dan menyentuh
jasadnya. Air matamu itu... sesungguhnya air surgawi
yang amat dibutuhkan untuk menghidupkan suatu
kematian yang belum saatnya tiba. Dan, ternyata
kematian putriku adalah kematian yang mendahului
kodrat, sehingga mampu kau tawarkan dengan air
mata, walau hanya setetes...."
Ruang paseban itu cukup luas, sehingga suara
Sabdawana terdengar menggema. Setiap orang
mengangguk-angguk dalam keheranan yang memukau
mereka. Selain luas, ruangan itu juga berjendela lebar.
Ada empat jendela di sana, masing-masing di samping
kiri dan kanan. Dua jendela di samping kiri menjurus
ke pemandangan serambi samping, dan yang dua lagi di
bagian kanan menjurus pada pemandangan di luar
pagar rumah besar itu. Dari jendela kanan itu dapat
terlihat tanah lereng berpohon lebat.
Dan pada saat itu mereka semua dikejutkan oleh
meluncurnya sebatang anak panah yang datang dari
arah pohon di luar pagar rumah. Anak panah itu
berwarna kuning, berbulu merah. Anak panah itu
menancap tepat di sisi peti mayat sebelah kanan.
"Musuh datang...!" seru orang-orang yang hadir di
situ. Mereka adalah para murid Sabdawana yang tanpa
menunggu komando segera lari melesat ke luar dan
memburu ke tempat datangnya anak panah tadi.
Sementara itu, Kirana menghentikan tangisnya,
memandang anak panah yang masih menancap di peti
mayat.
Lanangseta menemukan gulungan surat yang diikat
pada anak panah itu. Ia segera menyerahkan gulungan
surat tersebut kepada Sabdawana. Dengan dahi
berkerut, Sabdawana membuka dan membaca surat itu.
Kemudian ia menggeram gemas sambil menyerahkan
surat tersebut kepada Lanangseta. Kirana masih lemas
dan lesu, namun ia memaksakan diri untuk ikut
membaca bunyi surat tersebut:
Sudah saatnya kita menentukan nasib lama, siapa
yang terkuat: Teratai Wingit atau Pesanggarahan Maut.
Tepat waktu matahari di pucuk kepala kita. kutunggu
kehadiranmu di Lembah Berdarah. Kau atau aku yang
harus mati di sana. Selamat jumpa lima hari lagi di
Lembah Berdarah.
Dari aku, musuh lamamu,
BEGAL DOGOL
"Begal Dogol, Ayah...?!" Kirana bernada cemas.
"Ia masih penasaran dan mendesak untuk bertarung
denganku." kata Sabdawana dengan tenang dan
menyimpan kegelisahan. Lanangseta segera mohon diri
sebentar. Ia melompat melalui jendela dengan
kecepatan yang luar biasa, Mengejar si pengirim surat,
walau sudah cukup lama menghilang.
Kemarahan Lanangseta meluap. Mungkin
dikarenakan suasananya dirusak oleh kehadiran suara
tantangan itu. Mungkin juga karena ia sejak tadi sudah
memendam kemarahan terhadap dirinya sendiri yang
nyaris membuat Kirana mati itu, sehingga kehadiran
surat tantangan itu bagaikan api yang membakar
darahnya. Tak peduli Kirana waktu itu berseru
memanggilnya, Lanangseta tetap melesat bagai sinar,
langsung melompati pagar yang tinggi, mendahului para
pengejar lainnya.
Dari pohon ke pohon Lanangseta bergerak cepat. Ia
sengaja tidak melalui jalan darat. Kakinya sejak tadi
tidak menyentuh tanah, kecuali menyentuh dahan dan
daun-daun pohon. Matanya memandang nanar pada
setiap gerakan, mencari orang yang telah diutus oleh
Begal Dogol untuk menyampaikan surat tantangan.
Surat itu semacam penghinaan yang merendahkan
harga diri Sabdawana. Lanangseta merasa perlu
bertindak, karena Sabdawana sudah dianggap ayahnya
sendiri.
Sekali pun kaki Lanangseta menginjak dahan dan
daun-daun pohon, namun sama sekali tidak
menimbulkan bunyi. Daun dan dahan tak satu pun ada
yang bergerak. Ini menunjukkan betapa sempurnanya
ilmu peringan tubuh Lanangseta sejak ia menjadi murid
Tongkat Besi.
Dalam satu gerakan, Lanangseta tiba-tiba berhenti
terpaku. Ia melihat seorang lelaki bertudung daun
pandan, berselempang busur dan membawa dua anak
panah di punggungnya. Gerakan lelaki itu cukup gesit.
Langkahnya lebar dan mantap. Lelaki itu berpakaian
serba hitam dan menyelipkan sebilah golok di
pinggangnya. Menurut gerakannya yang terlihat luwes
dan ringan itu, Lanangseta dapat memastikan bahwa
lelaki itu tentu mempunyai ilmu silat yang tidak mudah
dianggap ringan oleh murid-murid Sabdawana. Tentu
saja para murid itu tertinggal jauh dan tak akan
mampu mengejarnya, karena lelaki itu setiap melompat
selalu diiringi dengan salto ke depan. Hanya beberapa
langkah saja ia berhenti bersalto, tapi selebihnya, ia
selalu melayang dan berjumpalitan di udara.
Tudungnya amat kuat melekat di kepala. Bajunya yang
serba hitam itu seakan nyaris tidak bergerak sedikit
pun.
Lelaki itu berhenti seketika dari gerakannya, karena
seorang lelaki bertubuh kekar dan tegap telah berdiri di
depannya. Ia sedikit kaget, karena kemunculan
Lanangseta itu sama sekali di luar dugaannya.
"Siapa kau? Apa alasanmu menghadangku?!" hardik
lelaki bertudung itu.
"Kau utusan dari Begal Dogol?!" Lanangseta bahkan
ganti bertanya. Lelaki itu sedikit menggeragap.
"Apa urusanmu?"
"Aku ingin bertemu dengan Begal Dogol yang sok
jago itu. Seperti apa rupanya?" kata Lanangseta dengan
tenang.
Lelaki itu menjadi gusar. Lanangseta sudah dapat
memperhitungkan kalau ketahanan lelaki bertudung itu
tidak seberapa, sebab ia masih mampu terpancing oleh
ejekan Lanang.
"Jangan menyebut guruku sembarangan, Bangsat!"
"Aku toh tidak menyebut gurumu dengan julukan
Bangsat!"
Lelaki itu menggeram. "Sekarang apa maumu?!"
"Menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan
dia?!"
"Akan kusampaikan."
Lanangseta menggeleng. "Aku sangsi gurumu yang
sok jago itu tidak mempercayai kata-katamu. Sebaiknya
kau harus membawa tanda."
"Apa maksudmu...?"
Tanpa menjawab lagi, Lanangseta segera bergerak
dengan satu lompatan. Kaki Lanangseta meluncur ke
arah muka lelaki itu, tetapi lelaki itu dapat berkelit ke
samping dan mencoba menangkis kaki Lanangseta.
Lanangseta berdiri dan tersenyum. "Hanya segitu
kemampuanmu...." ujar Lanangseta. Kemudian ia
segera bergulung-gulung ke udara dengan satu kali
lompatan. Lelaki itu sempat kebingungan menentukan
arah pukulannya. Gerakan Lanangseta bagai mengitari
dirinya dengan cepat dan susah diawasi. Lelaki itu tidak
tahu kalau Lanangseta telah mencabut pedangnya.
Yang ia tahu seperti ada sinar merah yang menyertai
gerakan Lanangseta. Dan sinar merah itu tahu-tahu
berkelebat menyentuh tangannya. Lelaki itu mencoba
menghindar sambil bersalto ke arah samping. Ia tak
tahu kalau Lanangseta sudah memasukkan pedangnya
lagi ke sarungnya.
Lelaki bertudung itu berdiri tegak dengan kaki
terenggang kokoh. Lanangseta juga berdiri tegak dengan
ketegapan badannya yang begitu menakjubkan. Lelaki
bertudung itu tersenyum. Lanangseta juga membalas
senyuman sinis itu. Mereka berjarak antara enam atau
delapan langkah. Masing-masing menampakkan sikap
waspada dan ketegarannya.
Terdengar suara lelaki itu mengejek Lanangseta,
"Ilmumu masih cetek, Bung. Hanya bisa membuat
lawan menjadi pusing sebentar, dan tidak menghasilkan
apa-apa."
"Mungkin benar dugaanmu, Kawan. Tapi... lihatlah
tanganmu yang kanan itu...."
Lelaki itu melihat tangan kanannya, dan ia terkejut
bukan kepalang tanggung, bahkan sempat menjerit
dengan mata terbelalak tegang. Tangan itu telah
buntung pada batas pergelangannya. Hebatnya lagi,
potongannya itu tidak mengucurkan darah, melainkan
hanya merembaskan darah sedikit demi sedikit.
"Setaaan...!" teriak lelaki itu kepada Lanangseta. Ia
sempat mencari ke sekeliling, di mana terjatuh
penggalan tangannya. Namun agaknya ia tidak
menemukan.
"Kau mencari jari-jemarimu, Kawan...?"
Lelaki itu masih memandang sekeliling, tapi begitu
mendengar kata-kata Lanangseta, ia segera mengangkat
wajah. Tegang, sangar dan nafasnya terengah-engah.
Pada saat itulah tangan kanan Lanangseta yang sejak
tadi disembunyikan di belakang segera terulur ke depan
dan memperlihatkan potongan tangan lelaki itu yang
telah ada dalam genggaman Lanangseta.
"Mungkin ini yang kau cari, Kawan...!" Lanang
tersenyum sinis. Lelaki yang jari serta telapak
tangannya utuh ada pada Lanangseta itu segera
menggeram sambil menyeringai marah. Ia ingin
bergerak maju, tapi Lanangseta telah melompat
mundur. Ia berhenti dengan nafas kemarahan meledak-
ledak. Lanang tersenyum sinis, mengejek, semakin
menjengkelkan.
"Apa barang bekas ini masih kau butuhkan? Untuk
apa? Untuk makanan anjing?"
"Bangsaaat...!" Lelaki itu melayang, menebang
dengan kaki.
Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto ke depan
beberapa kali, melampaui ketinggian lelaki itu.
Kemudian kaki Lanangseta menjejak ke bumi, melayang
lagi sampai ia berhenti di atas dahan pohon. Lelaki itu
kebingungan dalam geram nafsu kemarahan yang
hebat.
Melalui tangan kirinya ia melancarkan pukulan
tenaga dalam yang membuat ranting pohon serta dahan
yang diinjak Lanangseta itu patah seketika. Tapi
Lanangseta telah berpindah tempat ke dahan yang lain.
"Katakan kepada gurumu, Si Bangsat Begal Dogol,
aku ingin bertemu dengannya kapan saja... aku ingin
membuat dia mati dengan memuaskan. Nah,
sampaikan salamku itu kepada Begal Dogol. Katakan
itu salam dari Malaikat Pedang Sakti, begitu. Jelas
kan?!"
Lanangseta segera melejit meninggalkan lelaki
bertudung. Lelaki itu berteriak, "Berikan potongan
tanganku itu...!" Tapi Lanangseta tidak menjawab
sepatah pun. Ia menghilang, bagai masuk dalam
gumpalan awan di langit. Namun ia masih memegangi
potongan tangan kanan lelaki bertudung, yang tadi
melayangkan panah ke peti mati Kirana.
"Pulang semua, sudah kudapatkan dia...!" teriak
Lanangseta kepada murid-mu rid Sabdawana yang
sibuk mencari pemanah gelap itu. Mendengar suara
Lanangseta, kendati tidak melihat ujud orangnya, maka
murid-murid Sabdawana itu pun segera pulang.
Lanangseta sampai ke Griya Teratai Wingit lebih dulu
dari mereka. Lanang langsung menghadap Sabdawana
yang masih berada di ruang paseban. Sementara itu ia
melihat Kirana sudah bisa duduk di sebuah bantal
berlapis sarung kain mengkilap, sejenis kain satin
putih. Ia tersenyum lega melihat kedatangan Lanang
kembali.
"Bagaimana dengan orang itu? Kau apakan?" tanya
Kirana dengan suara masih lemas. Lanangseta segera
meletakkan potongan telapak tangan utusan Begal
Dogol. Potongan telapak tangan itu di letakkan di lantai
bertikar, di depan Sabdawana yang tengah duduk
bersila.
"Surat itu kujawab dengan ini...!" kata Lanang, dan
Sabdawana mengeluh dalam desah yang panjang.
"Ini berarti aku harus memenuhi tantangan Begal
Dogol, Lanang. Padahal aku bermaksud tidak mau
menuruti nafsunya!" kata Sabdawana yang membuat
Lanangseta terbengong. Dalam hati Lanang bertanya,
"Kenapa tidak mau? Takut? Atau Apa...?"
***
2
SABDAWANA termenung di bawah pohon rindang di
belakang rumah besar itu. Ia duduk pada sebuah
bangku dari batu cadas putih yang diukir motif
kelopak-kelopak teratai. Sore itu, Lanangseta tidak ingin
mengganggu tidur Kirana. Ia menyempatkan diri
mendesak ayah Kirana untuk mengatakan apa sebab
ayah Kirana tidak ingin memenuhi tantangan Begal
Dogol. Dalam renungannya itu, Sabdawana berkata
pelan seakan kepada dirinya sendiri, "Haruskah setiap
tantangan berakhir dengan pertarungan? Haruskah
harga diri terletak pada ujung senjata?"
Pendekar Pusar Bumi yang duduk tak jauh dari
Sabdawana itu juga ikut termenung, khususnya
merenungkan kata-kata orang tua berambut uban itu.
"Tapi saya ingin tahu apa alasan Rama, sehingga
Rama bermaksud tidak melayani Begal Dogol," ucap
Lanangseta dengan suara penuh kesopanan.
"Apa alasannya?" Sabdawana berkerut dahi sambil
memandang Lanangseta. "Apakah aku juga harus
mendesakmu, menanyakan apa alasanmu menghilang
selama ini?"
"Itu pertanyaan yang wajar, Rama. Dan sudah pasti
saya akan menceritakan, apa sebab saya menghilang."
Sabdawana manggut-manggut. "Baiklah.
Ceritakanlah sejujurnya, Lanang."
Tiba-tiba ada perasaan ragu yang menyelinap di hati
Lanangseta. Ada rasa takut dikatakan sombong jika ia
membeberkan siapa dirinya sekarang ini. Tapi
pertimbangan otaknya mengatakan lain: ia harus
bicara, ia tak ingin segalanya serba misterius.
"Rama... seseorang telah menculik saya, ketika saya
pingsan dalam pengejaran terhadap diri Prabima...."
(dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH).
Sabdawana kelihatan menyimak betul tiap ucapan
Lanang, sampai-sampai ia tidak bergerak sedikit pun.
"Orang itu juga memaksa saya untuk menjadi
muridnya. Ia membawa saya ke sebuah lereng gunung,
dan di sana saya dijejali ilmu-ilmunya. Ia cukup kuat,
berilmu tinggi. Dan semua itu hanya karena dia ingin
mati. Mulanya saya menolak, tapi tak terasa saya jadi
menyukai ilmu orang itu. Sampai pada akhirnya, saya
ditipu olehnya, diajak berlatih ilmu pedang yang
ternyata suatu jebakan untuk kematiannya. Dia mati
dengan pedang saya ini, Rama."
"Siapa orang itu?"
"Si Tongkat Besi...."
"Tongkat Besi?" Sabdawana berkerut dahi. "Kalau
tak salah dulu kau pernah mengatakan bahwa
pedangmu itu dicuri oleh seorang kakek yang bergelar
Si Tongkat Besi? Kalau tak salah waktu itu kau habis
menghancurkan Puri Tebing Neraka."
"Ya. Memang orang itulah yang akhirnya menjadi
guru saya, namun sekaligus yang menjadi musuh saya,
sekali pun itu musuh yang paling saya cintai."
"Apa kehebatan ilmunya?"
"Banyak, Rama. Dia mempunyai banyak ilmu dewa,
sebab dia memang seorang dewa yang terusir dari
Suralaya, tempat para dewa itu."
"Seorang dewa?!" Sabdawana menjadi kaget, lalu
kelihatan tegang. Ada kekhawatiran yang
disembunyikan dalam hatinya. Dan kekhawatiran itu
terbias lewat sorot matanya yang mencurigakan.
"Rama kelihatannya terkejut? Mungkin tidak
percaya?"
Sabdawana gelisah dan menggeleng. "Ada sesuatu
yang kurasakan aneh. Setahuku, seorang yang dulu
bekas dewa hanyalah Eyang Pramban. Dia adalah guru
dari guruku, Lanang. Jadi, kalau sekarang kau
mengaku dididik oleh orang yang mengaku bekas dewa,
ah... kedengarannya janggal sekali. Jangan-jangan kau
tertipu olehnya."
Lanangseta termenung sesaat. "Mungkinkah ia
menipu saya, Rama? Apa maksudnya kalau memang ia
menipu saya."
Sabdawana angkat bahu, "Entahlah. Tapi, kurasa itu
sebuah tipuan."
"Kalau begitu, saya memang sudah terpengaruh dan
terjerat dalam tipuannya. Mungkin saya terlalu percaya
kepadanya. Ia mengaku pernah hidup pada zaman
dulu. Mengaku berusia antara 400 sampai 600 tahun,
dan sampai saat kemarin belum bisa mati-mati. Hanya
saja, yang saya herankan, ia dapat mengenal keluarga
Rama Sabda. Ia bahkan menyebutkan nama seorang
perempuan yang memakai nama ilmu leluhur Bukit
Badai ini. Menurutnya, perempuan itu bernama...
Syalindra...."
"Lanang...?!" Sabdawana terkejut sekali, sampai-
sampai ia berdiri. Lanangseta jadi takut menyinggung
perasaan Sabdawana, apalagi setelah Sabdawana
berkata, "Itu nama istriku...! Jangan sebut dengan
sembarangan!"
"Maaf, Rama," kata Lanang penuh dengan nada
penyesalan. "Tapi memang itulah kata-kata guru
Tongkat Besi yang berhasil saya bunuh. Saya tak tahu
persis, apakah dia dewa atau hanya mengaku-aku
sebagai dewa, yang jelas dia punya kesaktian yang luar
biasa, Rama."
"Perlu kau ketahui, Lanang," kata Sabdawana masih
tetap berdiri. "Zaman dulu, memang ada orang yang
mengaku bernama Eyang Pramban. Dia adalah bekas
dewa. Dia diusir dari kahayangan, dan menjelma
sebagai manusia. Dia mempunyai seorang murid, Ki
Pandan Wangi, yang kemudian menjadi guruku. Tapi
belum habis ilmu Eyang Pramban diturunkan kepada Ki
Pandan Wangi, guruku itu telah pergi darinya karena
suatu sebab yang tak dapat dikerjakan, yaitu harus
membunuh gurunya sendiri. Dan pada masa remajaku,
dunia persilatan pernah heboh karena sebuah
sayembara. Sayembara itu berbunyi: Barang siapa bisa
membunuh Eyang Pramban, maka ia akan diberikan
pusaka yang tiada duanya di dunia tentang
kehebatannya. Maka orang berlomba-lomba membunuh
Eyang Pramban. Tapi tak satu pun ada yang mampu
membunuhnya, sehingga pusaka yang dijanjikan itu
tidak berhasil dikuasi oleh siapa pun. Nah, sekarang
kau mengaku telah membunuh orang bekas dewa. Apa
buktinya, Lanang?"
Kemudian, setelah mempertimbangkan beberapa
saat, Lanang pun mencabut pedang Wisa Kobra dari
sarungnya seraya berkata, "Hanya ini bukti yang saya
miliki, Rama...."
Sabdawana bagai orang melihat setan, matanya
membelalak lebar dan mulutnya ternganga, bukan
sekedar melompong, tapi ternganga lebar. Ia sepertinya
mau berteriak, tapi tak mampu. Wajah tuanya menjadi
pucat pasi, dan tangannya gemetar saat ia melihat
pedang Lanang bercahaya merah, seperti gumpalan
bara yang amat panas. Dan tiba-tiba, sangat di luar
dugaan Lanangseta, Sabdawana yang usianya jauh
lebih tua darinya itu bersimpuh di depan Lanangseta.
Bahkan kini bersujud menyembah Lanangseta dengan
perasaan takut sekali.
"Rama...? Rama...? Kenapa harus begini?!"
Lanangseta tak enak disembah Sabdawana. Apalagi
Sabdawana itu kan calon mertuanya? Masa' seorang
calon mertua sampai menyembah calon menantu? pikir
Lanang begitu. Tetapi nyatanya, Sabdawana bahkan
menangis dalam ketakutan. Lanang semakin bingung
lagi. Ia menyuruh Sabdawana bangun dan berdiri,
namun Sabdawana tetap bersujud menyembah
Lanangseta.
"Wah, kacau ini kalau begini...!" pikir Lanangseta
sambil memandang ke sana-sini, takut ada murid
Sabdawana melihatnya. Untung keadaan sepi, sehingga
tak ada orang yang mengetahui betapa takutnya
Sabdawana ketika itu, dan betapa menghormatnya
Sabdawana kepada Lanang begitu ia melihat pedang
Wisa Kobra seperti bara api yang amat panas.
Lanangseta segera menyarungkan pedang itu.
Hatinya benar-benar kebingungan mengatasi hal itu. Ia
membiarkan sampai beberapa saat. Kemudian, setelah
dirasakan keterkejutan dan masa shock dari ayah
Kirana itu sudah reda, Lanangseta berkata dengan
lembut dan penuh kesopanan.
"Rama... bangkitlah. Saya Lanangseta, saya bukan...
bukan...." Lanangseta kebingungan. Tapi dengan hati-
hati dan penuh rasa sungkan, Lanangseta membantu
Sabdawana untuk bangun dan tidak bersujud terus
begitu.
"Rama, kenapa Rama Sabdawana harus bersujud
dan menyembah saya. Saya ini apa? Saya ini kan calon
menantu Rama Sabdawana. Malu kalau rampai ada
yang tahu, Rama...."
"Ampunilah saya...." ucap Sabdawana dengan rasa
takut, dan sepertinya menyimpan perasaan bersalah.
"Saya merasa bersalah. Saya tidak tahu, ooh...
ampunilah saya...."
Lanangseta sebenarnya merasa jengkel, mengapa
jadi begini? Siapa yang gila sebenarnya? Dia, atau ayah
Kirana?
"Rama, coba jelaskan, sejelas-jelasnya. Sungguh,
saya mohon penjelasan dan jangan membuat saya jadi
gila. Saya ingin Rama menjelaskan semua ini, seperti
seorang mertua menjelaskan kepada menantunya.
Silakan, Rama...."
"Seperti seorang mertua kepada menantunya?"
"Iya. Jelaskan begitu. Jangan ada pemisah
hubungan di antara kita. Saya bukan apa-apa. Rama
jangan salah duga. Saya Lanangseta, calon menantu
Rama. Jelaskanlah, tolong. Saya minta tolong betul,
Rama...." Lanangseta memohon, berharap-harap dengan
kerendahan hati, sehingga Sabdawana mulai berani
bersikap seperti tadi, walau sedikit kaku dan tak berani
bicara dengan kasar.
"Pedang itu... oh, saya jadi ingat masa lalu...."
"Ceritakanlah masa lalu itu, Rama, supaya saya
tidak penasaran dan menjadi gila karenanya."
Sabdawana menelan liurnya sendiri. Ia masih
bersikap lebih rendah dari Lanangseta. Lalu ia bicara
dengan hati-hati dan seakan menghormati Lanangseta.
"Tadi sudah kukatakan... ada sayembara dari Eyang
Pramban, yaitu dewa yang menjelma menjadi manusia
karena diusir dari Suralaya. Banyak orang berusaha
membunuh Eyang Pramban untuk memperoleh pusaka
sakti yang bernama Pedang Malaikat. Sekian banyak
orang dari penjuru dunia mencoba, dan tak ada yang
berhasil. Ki Pandan Wangi, guruku itu, merasa tak tega
melihat Eyang Pramban dikejar-kejar banyak orang
hanya karena ingin membunuhnya dan ingin
mendapatkan Pedang Malaikat. Kemudian secara diam-
diam, saya diperintahkan untuk membayang-bayangi
Eyang Pramban. Disuruh melindungi beliau dari
kekasaran orang-orang yang hendak membunuhnya itu.
Salah satu orang yang bernafsu membunuhnya
adalah... sepasang suami-istri, yaitu Begal Dogol dan
istrinya. Mereka berasal dari Pesanggrahan Maut.
Waktu Begal Dogol dan istrinya hendak membokong
Eyang Pramban, aku menghalangi dan bahkan berhasil
membunuh istrinya. Dari situlah awal dendam Begal
Dogol terhadapku. Setiap kami jumpa, kami selalu
bertarung dan Begal Dogol selalu kabur lebih dulu...."
"Kemudian...?" desak Lanangseta karena Sabdawana
berhenti beberapa saat.
"Kemudian... aku pernah mendapat cerita dari Ki
Pandan Wangi, bahwa barang siapa bisa membunuh
Eyang Pramban, selain ia akan mendapat Pedang
Malaikat, juga akan menjadi anak dewa. Siapa pun
orangnya. Ki Pandan Wangi sendiri sangat menghormati
Eyang Pramban, bahkan siapa pun orangnya yang
berhasil membunuh Eyang Pramban juga harus
dihormati, sebab secara tak langsung dia sudah menjadi
anak dewa yang mampu membuat merah hitamnya
dunia persilatan. Ki Pandan Wangi juga menjelaskan
ciri-ciri pusaka Pedang Malaikat yang ia peroleh dari
Eyang Pramban semasa menjadi muridnya. Ciri-ciri itu
seperti yang ada pada pedangmu, Merah bagai
membara, namun sebetulnya dingin bila disentuh
tangan. Pedang itu akan menjadi membara seperti
panasnya lahar, apabila sudah menyentuh atau sudah
basah oleh darah Eyang Pramban. Itulah Pedang
Malaikat. Dan orang yang berhasil membunuh Eyang
Pramban akan menyandang gelar dari Suralaya sebagai
Malaikat Pedang Sakti. Itu sudah menjadi ketentuan
para dewa sebelum Eyang Pramban terusir dari
Suralaya. Semua tokoh persilatan di jagad raya ini
harus tunduk kepada pemegang Pedang Malaikat,
sebab tak seorang pun akan dapat menandingi
kesaktian Malaikat Pedang Sakti. Dan... dan ternyata,
orang itu adalah kau sendiri, calon menantuku. Secara
pribadi, aku adalah calon mertuamu. Tetapi dari segi
dunia persilatan, kau lebih unggul dariku, bahkan kau
juga anak dari Eyang guru yang patut kuhormati."
"Kalau begitu, kita berdiri dari segi pribadi saja,
Rama. Jangan pandang saya dari sudut dunia
persilatan?" kata Lanangseta menghindari hormat
Sabdawana.
"Apakah harus begitu?" tanya Sabdawana masih
dengan perasaan sungkan.
"Ya. Karena saya tak ingin hubungan saya dengan
putri Rama itu akan terganggu jika Rama memakai
kaidah hukum rimba persilatan. Saya... saya sangat
mencintai dia, dan tak ingin diganggu oleh siapa pun."
"Saya juga," tiba-tiba terdengar suara dari arah
belakang mereka. Suara perempuan yang masih parau.
"Kau...?" Lanang hanya menyebut Kirana begitu
karena ia terkejut melihat Kirana sudah berada di
belakangnya.
Kata Kirana, "Apakah saya juga harus menghormat
kepada dia, Rama?"
Jawab Sabdawana, "Ya. Kau orang rimba persilatan,
kau harus tunduk kepadanya. Kalau tidak, kau bisa
binasa, bukan oleh kemarahannya, tapi oleh
kemarahan Pedang Malaikat itu...."
"Tidak!" sanggah Lanangseta. "Kau tidak perlu
seperti yang lain, Kir...." Lanang tak jadi menyebutkan
nama Kirana, takut terjadi amukan badai yang dahsyat.
"Kau tidak seperti yang lain. Kau adalah istimewa
bagiku...."
Lanang menyambut tangan Kirana. Kirana
tersenyum, tampak segunung ketenangan dan bangga
diri telah dipeluknya dalam hati.
"Tapi kesehatanmu belum mengijinkan kau berdiri di
sini, Cantik... kau masih harus di kamar, jangan
mencuri pembicaraan."
"Aku tidak sengaja mendengar semua pembicaraan
itu."
"Ya, tapi kau masih lemah. Jangan jadi pencuri tak
sengaja dulu. Kau harus banyak beristirahat supaya
cepat sehat seperti sediakala."
"Aku yakin, dalam waktu dekat aku pasti akan pulih,
sehat seperti sediakala. Darahku tidak beracun lagi.
Senyummu sudah menawarkan racun dalam darahku,
Lanang...."
Sabdawana tahu diri, ia menyingkir perlahan-lahan,
memberi kesempatan kepada sepasang remaja yang
sedang memadu kerinduan itu. Hanya saja ia tak habis
pikir, mengapa ia menjadi mertua dari Malaikat Pedang
Sakti, yang konon menjadi buah bibir setiap orang itu?
Nasib keberuntungan siapa yang singgah dalam
hidupnya ini?
Lanangseta membimbing Kirana agar duduk dan
bersandar dengan santai. Tubuhnya yang kurus itu
dengan hati-hati sekali dituntun Lanangseta dan
ditempatkan seenak mungkin.
"Apakah kau tidak merasakan kejang lagi di setiap
ototmu?" tanya Lanangseta.
"Tidak. Mungkin selamanya penyakit itu tak akan
kuderita lagi," bisik Kirana.
"Kenapa kau yakin begitu?"
"Karena ada Malaikat Pedang Sakti di sampingku."
Lanangseta tersenyum dalam tawanya yang pelan
bagai tawa sebuah gumam.
"Kau tak akan meninggalkan aku lagi, bukan?" tanya
Kirana dengan mencoba bersandar di dada Lanangseta.
"Oh, masih sehangat yang dulu," pikir Kirana pada saat
itu.
"Kalau aku pergi, kenapa?" goda Lanangseta.
"Mungkin akan sakit lagi."
"Kenapa harus sakit lagi?"
"Karena aku akan merindukan kamu."
"Kalau kau rindu, kenapa itu?"
"Darahku akan berubah menjadi racun lagi."
"Kalau begitu aku tak akan pergi, tapi bagaimana
dengan tantangan Begal Dogol itu? Aku harus
mengawal ayahmu, bukan?" kata Lanangseta seraya
mengusap rambut Kirana yang dibiarkan meriap
panjang.
"Ayah belum tentu berangkat ke Lembah Berdarah,"
jawab Kirana dalam bisik.
"Kau tahu apa sebabnya?"
"Sebab...." Kirana melirik ayahnya. "Oh, tak
kelihatan." Maka ia pun menjawab pertanyaan
Lanangseta. "Sebab, ia telah berjanji di depan roh ibu,
ketika roh ibu menemui ayah pada suatu malam."
"Berjanji bagaimana?" desak Lanangseta penasaran.
"Ayah berjanji tidak akan bertarung lagi dengan
siapa pun. Ia hanya akan menggunakan kekuatan
bahasanya dalam bicara. Kalau memang orang itu
nekad akan membunuhnya, ia hanya akan berdoa
supaya ibu segera menjemput ayah."
"Aneh. Kenapa harus begitu?"
"Ayah ingin mati dalam jemputan ibu. Bukan mati
konyol atau mati penasaran di tangan musuh dan
dendam."
"Romantis sekali ayahmu itu, Cantik."
Kirana berbisik pelan, persis di depan mulut Lanang,
"Wajar kan kalau putrinya mengikuti sang ayah?"
"Apa kau juga romantis?" goda Lanang.
"Apa kau tidak suka, Lanang?"
"Kau pernah mendengar aku berkata begitu?"
Kirana menggeleng. "Yang kutahu...." Kirana
berhenti.
"Yang kau tahu, apa?"
"Yang kutahu... kau sudah lama tidak
menciumku...." jawab Kirana dalam desah yang lembut.
Lanang tersenyum mesra. Lalu ia menggoda lagi,
"Aku lupa bagaimana cara menciummu... kau mau
ajarkan cara itu padaku?"
"Kau harus memanggilku guru kalau begitu."
"Baik, Guru Cantik...."
Kirana terkikik samar-samar, dan Lanangseta pun
tertawa terpendam. Kemudian Kirana yang sedang
meneguk dahaga kerinduannya itu pun semakin
romantis.
"Pejamkan matamu kalau ingin mencium gadis,"
ujarnya.
"Kenapa harus memejamkan mata, Bu Guru?"
"Untuk memusatkan perhatian dan pikiranmu pada
rasa."
"Rasa apa itu? Mual, mulas, pahit...?"
"Kalau kau bercanda, pelajaran akan kututup
sampai di sini," Kirana berlagak mengancam.
"Silahkan kalau Bu Guru bisa menutupnya...."
Kirana mencubit lembut bibir Lanangseta. "Jangan
nakal, Lanang. Nanti kuhukum kau."
"Asal aku pandai mencium gadis, aku rela dihukum
Bu Guru...." Lanang masih meladeni kegembiraan
Kirana. Pikir Lanang, barangkali dengan begini ia bisa
membalut luka yang selama ini diderita Kirana dan
nyaris membuatnya terkubur. Barangkali inilah obat
yang ditunggu-tunggu oleh Kirana sepanjang hari.
"Lanang...?"
"Ya, Bu Guru...."
"Pejamkan mata," bisik Kirana.
"Yang kiri atau yang kanan, Bu Guru?"
"Keduanya, Sayang...."
"Ah, nanti saya tidak bisa melihat kecantikan Bu
Guru."
"Kecantikanku hanya ada dalam jiwa dan sukmamu,
Lanang. Carilah kecantikan itu di sana, dan kau akan
menemukannya lebih dari yang pernah kau lihat."
Lalu, Lanang menuruti permintaan Kirana yang
mesra itu. Ia memejamkan matanya dengan bibir masih
tersungging senyum.
"Tahan nafasmu, Lanang...." bisik Kirana.
"Sampai berapa lama, Bu Guru?"
"Jangan terlalu lama, nanti aku kehilangan kamu,"
rengek Kirana menyejukkan hati Lanang.
"Saya sudah menahan nafas, Bu Guru."
"Diamlah sebentar...."
"Tidak boleh bicara, Bu?"
"Tidak boleh...."
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena kalau kau bicara bibirmu bergerak-gerak.
Kalau bibirmu bergerak-gerak aku sulit mengecupmu,
Sayang."
"Kalau begitu pegang saja bibir saya, Bu Guru, biar
gampang dikecup."
"Dalam berciuman, tangan tak boleh menyentuh
bibir."
"Kalau begitu, tangan saya harus menyentuh apa, Bu
Guru?"
Suara Kirana semakin lirih dan mendesah,
"Memelukku...."
Lalu Lanangseta memeluk Kirana dengan mesra, dan
Kirana menyentuhkan bibirnya tipis-tipis ke bibir
Lanangseta. Ia menggeser bibirnya perlahan-lahan dan
bagai mengambang di bibir Lanang, sehingga nafas-
nafas mereka terasa menghangat di wajah masing-
masing.
Lanangseta masih mengikuti permainan ala Kirana.
Bibirnya dibiarkan disentuh-sentuh dengan lidah
Kirana tipis-tipis dan membuat tubuhnya merinding.
Hati Lanang berdesir-desir. Tapi Kirana masih
menyentuh-nyentuhkan ujung bibirnya dan lidahnya ke
mulut Lanangseta. Tangan Lanang meremas punggung
Kirana samar-samar. Kirana mendesah, kemudian
segera melumat bibir Lanang dengan tak sabar lagi.
Lanangseta mengimbangi dalam kelembutan yang ada.
Dan Kirana semakin melumat bibir yang
menggairahkan itu. Sesaat mereka bercumbu, lalu
Kirana melepaskan ciumannya perlahan-lahan sekali.
Bibirnya ditarik mundur dengan amat pelan hingga
Lanangseta merasa berdesir-desir.
"Bagaimana, Lanang?" bisiknya setelah mengikik.
"Saya tidak merasa apa-apa, Bu Guru."
"Aku tadi sudah menciummu, masa' tak merasa?"
"Saya murid pelupa, Bu Guru. Coba diulangi sekali
lagi, biar saya hafal pelajaran ini."
"Ulangan akan diadakan nanti malam. Tidak
sekarang...!" Kirana terkikik geli, Lanang pun juga, lalu
mereka saling berpelukan dalam kasih dan kemesraan.
Namun, mendadak di benak Lanang teringat sesuatu:
bagaimana nasib Mahani?
***
3
KEMESRAAN semakin membara, cinta telah
menuntut segalanya. Lanangseta sudah jelas, bahwa
selama ini rasa cemburunya telah dimanfaatkan
Prabima untuk memfitnah dan mematahkan percintaan
suci itu. Karenanya, Lanangseta tak ingin mengalami
kekejian fitnah dari pihak lain. Ia harus segera
mengawini Kirana Sari, putri dari Sabdawana. Namun
seperti syarat yang ditentukan dulu, yaitu mengalahkan
orang-orang Tebing Neraka dan sekuntum bunga teratai
dari Goa Malaikat sebagai mas kawinnya, mau tak mau,
Lanangseta harus melengkapi syarat tersebut. Orang-
orang Tebing Neraka telah berhasil dihancurkan, (dalam
kisah GERHANA TEBING NERAKA) dan kini Lanangseta
tinggal mencari kembang teratai dari Goa Malaikat.
"Aku akan menemui Sekar Pamikat untuk meminta
bunga teratai dari Goa Malaikat," kata Lanang. "Dia
telah menjanjikannya tempo hari sebelum aku
berangkat ke Tebing Neraka. Jadi, kurasa tak ada
masalah lagi, Cantik. Aku tinggal memintanya dan...."
"Dan kita akan segera menikah, bukan?" sambung
Kirana dengan bersemangat. Lanangseta hanya
mengerlingkan mata. Lalu keduanya tertawa dalam
pelukan.
"Hati-hati, Lanang. Kali ini aku tak ingin kau gagal
lagi," bisik Kirana. "Jangan terlalu lama, nanti aku
rindu. Aku tak bisa menahan rindu. Mungkin itu
kelemahanku dalam bercinta. Mungkin itu pula yang
menyebabkan dulu aku dilarang jatuh cinta kepada
seorang lelaki."
"Tunggulah sebentar. Hanya sebentar, Sayang...."
Goa Malaikat, sungguh merupakan suatu kenangan
manis bagi Lanangseta, namun juga kepahitan kisah
baginya. Di goa ini, ia berpisah dengan Putri Ayu Sekar
Pamikat, yang kini telah menjadi petapa cantik dalam
goa tersebut. Takdir telah menggaris kehidupan mereka,
bahwa mereka harus berpisah, sekalipun cinta sudah
terlanjur melekat erat.
Lanangseta tak mau banyak mengenang kisah lama.
Terlalu perih di hati jika dikenang. Ia menghela nafas
dalam-dalam sebelum masuk ke goa misterius itu. Ia
merangkak untuk masuk melalui mulut goa yang
sempit, seperti lubang sumur dalam posisi miring.
Lanang sudah sedikit tahu tentang rahasia goa
tersebut. Di antaranya, jika tak ada matahari pintu goa
akan menutup sendiri. Rapat, bagai tak pernah ada
pintu di situ. Namun jika goa itu terkena sinar
matahari, maka pintunya akan terbuka dengan
sendirinya, (kisah selengkapnya ada dalam cerita
MISTERI GOA MALAIKAT) demikian pula dengan lorong-
lorongnya yang dapat buntu mendadak jika pantulan
sinar matahari tidak lagi memasuki goa tersebut.
Bahkan Lanangseta masih ingat, pada dinding lorong
yang menuju ke kanan, tersimpan segudang emas bagai
bongkahan batu jika dindingnya terbuka oleh pantulan
sinar matahari. Tetapi Lanang tidak berminat untuk
memiliki emas yang ada di situ, karena selain
mempunyai resiko yang berbahaya, juga ia menganggap
bunga teratai yang harus diperolehnya dari goa tersebut
lebih berharga ketimbang bongkahan emas yang dapat
menjadi sumber bencana. Cintanya kepada Kirana,
lebih tinggi nilainya, lebih murni kadarnya ketimbang
segunung emas Goa Malaikat.
Lanangseta menyusuri lorong yang ada di bagian kiri
dari arah dia masuk goa. Ia masih menemukan bekas
pakaian Gopo yang untuk alas tidur adik kembarnya:
Pendekar Maha Pedang, dulu ketika pendekar muda itu
terkena racun dari Sendang Bangkai, (dalam kisah
RAHASIA SENDANG BANGKAI)
Langkah Lanangseta yang telah menyusuri lorong
dengan tegap itu tiba-tiba terhenti. Ia sedikit ragu
melihat seorang pemuda berada di dalam goa tersebut.
Pemuda itu sedang berjalan masuk, sehingga ia tidak
tahu kalau di belakangnya Lanangseta berhenti
memperhatikan langkahnya. Siapa pemuda itu? Ini
yang menjadi pertanyaan Lanang pada saat terbengong
melompong memandang langkah pemuda itu.
Bukankah goa ini adalah goa larangan bagi siapa
saja? Kecuali keluarga leluhur Kirana, tak boleh seorang
pun masuk ke dalam Goa Malaikat. Mungkinkah
pemuda itu tersasar jalan seperti diri Lanang dulu?
Lanang mengikuti terus langkah pemuda tersebut. Ia
ingin tahu, apa dan siapa itu sebenarnya. Langkah yang
begitu cepat, seakan ia sudah hapal dengan liku-liku
lorong yang banyak terdapat dalam goa tersebut.
O, agaknya pemuda berpakaian necis, berwarna biru
muda itu memang sudah beberapa saat tinggal di dalam
goa tersebut. Buktinya ia menuju suatu tempat yang
lebih lega, di mana di situ terdapat lima obor pada
dinding goa. Obor itu cukup sederhana: potongan kain
dibungkuskan pada batang kayu, dan dinyalakan.
Begitu saja. Ada lima obor yang dikaitkan pada dinding
goa. Pemuda itu dengan santai mengambil sebilah
pedang bersarung emas yang diletakkan pada
tumpukan dedaunan kering. Agaknya tumpukan
dedaunan kering itulah tempat tidurnya.
Jika melihat bentuk dan potongan pakaiannya, ia
seperti keturunan bangsawan, setidaknya putra seorang
demang yang punya pengaruh kuat di tengah
masyarakatnya. Tapi melihat wajahnya yang tampan,
bersih, dan bermata bulat membelalak indah itu,
sepertinya Lanang pernah melihat wajah tersebut. Tapi
kapan dan di mana, Lanangseta benar-benar tak
mampu mengingatnya. Ia mengintip dari satu celah
dinding yang berongga, dan memperhatikan semua
gerak-gerik pemuda itu sambil mengingat-ingat seraut
wajah. Tapi sampai begitu lama, Lanang bagai
menemukan kekusutan otak belaka. Ia tak mampu
mengingat apa-apa. Yang ia tahu, pemuda itu berusia
jauh lebih muda darinya. Mungkin seusia dengan Jaka
Bego. Pemuda itu pantas menjadi adiknya. Hidung dan
bulu mata yang tebal, semua persis dengan yang ada di
wajah Lanangseta. Ganteng. Lanang juga ganteng.
Tapi alas kakinya yang terbuat dari bahan halus,
berbulu indah warna merah, sungguh menampakkan
betul sebagai alas kaki anak seorang raja. Siapa dia
sebenarnya? Penasaran sekali Lanangseta dibuatnya. Ia
bermaksud menampakkan diri, tapi Lanangseta
tercengang sejenak oleh suara pemuda itu yang bagai
bicara sendirian, "Seorang tamu yang datang dengan
sembunyi-sembunyi, tak lebih dari seorang pencuri...."
Dahi Lanangseta berkerut. Dirinya itukah yang
dimaksud seorang tamu? Pemuda itu berkata lagi,
"Sesuatu yang tersembunyi, biasanya mempunyai
kebusukan. Tapi kebusukan itu cepat atau lambat akan
ketahuan. Jadi buat apa bersembunyi di sana, Kawan?"
Lanangseta yakin, pemuda itu berbicara kepada
dirinya. Memang mata pemuda berpakaian biru muda
yang indah itu tertuju kepada pedangnya yang
bersarung kuning emas. Tetapi dari nada bicaranya,
Lanangseta yakin betul bahwa dialah yang sedang
diajak bicara pemuda itu.
Sambil berkerut dahi, akhirnya Lanangseta pun ke
luar dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu
bergegas bangkit ketika Lanangseta berkata, "Kau
bicara denganku, Kawan?"
Pemuda itu berjalan mendekati Lanangseta sambil
tertawa lepas. Lagi-lagi Lanangseta harus berpikir, di
mana ia pernah mendengar suara tawa yang khas
seperti itu?
Pemuda itu menggenggam pedang sarung emasnya
di tangan kiri, dan menjabat tangan Lanangseta dengan
senyum yang mempesona. Ganteng, bak senyum
seorang pangeran. Ia berkata dengan suaranya yang
empuk, "Selamat datang ke Goa Malaikat lagi,
Lanangseta...."
"Hai?!" Lanangseta semakin heran. "Kau mengenal
namaku?"
"Tentu," jawabnya, lalu tertawa lagi. "Aku tak pernah
melupakan kamu, Pendekar tampan. Aku tak pernah
melupakan sepasang pendekar kembar. Lanangseta
yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, dan Ekayana, yang
bergelar Pendekar Maha Pedang. Kalian berdua sama
hebatnya."
Pusing sekali kepala Lanang menghadapi masalah
itu. Pemuda itu enak sekali bicara, merasa sudah
mengenal lama dan akrab. Pemuda itu tidak asing lagi
dengan Lanangseta. Tapi Lanangseta mengapa belum
bisa mengingat-ingat siapa pemuda tersebut. Sikapnya
yang ramah dan suka tertawa sering menggoda hati
Lanang untuk semakin mengorek ingatannya. Siapa? Di
mana? Kapan? Ah... kacau!
"Kau tahu banyak tentang aku?" Lanang bertanya
heran.
"Ya," jawabnya sambil tertawa pendek.
"Tapi aku tidak tahu, siapa kamu?! Aneh."
"Ya," jawab pemuda itu, seakan mengajak bercanda.
"Ya, bagaimana? Apanya yang 'Ya'?"
"Kebingunganmu, Lanang." Ia tersenyum-senyum,
matanya yang membelalak dan berbulu lentik itu
mengawasi Lanang dengan kesan kerinduan yang kini
telah terpenuhi.
"Siapa namamu, Kawan?" tanya Lanangseta.
"Wijaya."
"Wijaya...?!" Lanang mengingat-ingat.
"Wijaya Buana."
"Wijaya Buana?!" kerutan dahi Lanang kian tajam.
"Rasa-rasanya aku belum pernah berkenalan dengan
orang yang bernama Wijaya Buana. Sungguh!"
Dengan berani dan bersikap sok akrab, pemuda itu
memegang kedua pundak Lanang dengan kedua
tangannya. Mata mereka saling tatap, tapi berbeda sorot
hati yang ada. Wijaya Buana memandang dengan
perasaan gembira, dan Lanang dengan tatapan heran
penuh selidik.
"Goa ini penuh keanehan," gumam Lanang.
"Benar. Dan aku ini sebagian dari keanehan itu."
"Sebagian? Dari keanehan? Apa maksudmu?"
Pemuda itu tertawa, lalu meredakan tawanya.
"Pernah mendengar tawa itu?"
Lanang manggut-manggut bagai orang tolol.
"Sepertinya aku memang pernah mendengar suara tawa
itu."
"Tidak ingat siapa pemiliknya?"
"Aku lupa. Sungguh. Bukan aku sombong, tapi aku
benar-benar lupa. Maafkan aku...."
Pemuda itu tertawa lagi, kemudian dengan
merangkul Lanang ia mengajak Lanang berjalan. Akrab
sekali. Sedangkan Lanang... bingung sekali.
"Barangkali karena memandang wajahku, kau lupa
dengan suara tawaku. Coba pejamkan mata dan
dengarkan sekali lagi. Aku akan tertawa, dan kau
memusatkan ingatanmu."
Mereka berhenti melangkah di dekat obor. "Tidak.
Sebutkan saja siapa kamu sebenarnya dan di mana kita
pernah bertemu? Aku tak punya waktu."
"Tidak, tidak, tidak...!" sergah Wijaya. "Aku ingin
membuat kau terkejut. Atau, sekarang sebaiknya kau
terkejut dulu baru kuberitahu siapa aku dan di mana
kita pernah bertemu. Bagaimana...?" Pemuda itu
tertawa lagi dengan girang. Lanangseta seperti orang
tolol yang sedang dipermainkan.
"Ayo, pejamkanlah mata dan simaklah tawaku...."
Akhirnya Lanangseta pun memejamkan mata.
Pemuda itu tertawa lagi. Kali ini tawanya agak panjang
dan tubuh Lanangseta merasa gemetar jadinya.
Lanangseta buru-buru membuka mata, lalu menatap
tak berkedip pada pemuda itu.
"Bagaimana, sudah kau temukan siapa aku?"
Lanangseta terbengong lama. Dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki pemuda tampan itu diperhatikan
dengan teliti. Lalu ia menggumam dengan ragu,
"Mustahil...."
"Bukan...!" pemuda itu tertawa geli. "Namaku bukan
Mustahil. Hei, jangan ngacau kamu...."
"Ya, aku tahu namamu bukan Mustahil. Tapi sekilas
nama yang melintas dalam ingatanku itu yang
mustahil."
"O, ya? Nama siapa itu? Sebutkanlah, Lanang.
Sebutkanlah. Ayo...."
"Seperti... seperti tawanya... Tongkat Besi?"
"Tongkat Besi? Wouw... bukan!"
"Jadi, siapa kamu. Aku sudah menyerah."
Pemuda yang mengaku bernama Wijaya itu
menepuk-nepuk pundak Lanangseta yang
dirangkulnya.
"Kau pernah diculik Peri Sedang Bangkai?"
Lanang mengangguk dengan sangsi dan curiga. Ia
memasang kewaspadaan.
"Kau pernah diselamatkan oleh putri Ayu Sekar
Pamikat?"
Lanang mengangguk lagi, makin curiga.
"Dan... kau pernah mendengar nama Gopo?"
Lanang mengangguk lagi, tanpa komentar.
"Itulah aku... Go-po..." Kemudian pemuda itu tertawa
melihat Lanangseta terperanjat kaget seraya
menatapnya tanpa berkedip. Tawanya itu kini telah
mengingatkan otak Lanangseta, bahwa ia pernah
mempunyai teman yang tertawa seperti itu, dan
bernama Gopo. Maka, tak ragu lagi Lanang segera
memeluk pemuda itu dalam satu keharuan tersendiri.
"Gopo...! Kau gila...! Kau bisa jadi seperti pangeran!"
"Memang aku calon raja," kata Gopo yang berubah
ujud dan nama menjadi Wijaya Buana.
"Sungguh aku tak habis pikir, bagaimana bisa kau
seperti ini? Dulu badanmu besar, mirip raksasa,
wajahmu kasar dan...."
"Cukup, cukup...!" sergah Gopo. "Jangan mengungkit
masa lalu. Aku suka malu sendiri."
"Jadi bagaimana kau bisa menjadi begini?" tanya
Lanang sambil duduk di tumpukan daun kering. Ia
kelihatan gembira sekali setelah sekian lama
meninggalkan Goa Malaikat dan berpisah dengan Gopo,
sekarang dapat bertemu lagi dalam keadaan yang
sangat di luar dugaan. Bahkan terlalu khayal baginya.
"Lanang, kisahku panjang sekali. Terutama diawali
dengan kisah Ludiro yang menggiurkan hatiku. Kisah
tentang Lumut Bercahaya yang dimakannya itu dan
membuat tubuhnya menjadi kebal senjata. Aku ingin
menyusuri goa itu dan ingin memakan lumut itu,
tapi...."
Gopo alias Wijaya Buana itu terkekeh sendiri.
"Aku tersasar di suatu tempat, Lanang. Aku hampir
menangis karena tidak bisa menemukan jalan menuju
tempat kalian berkumpul itu. Lalu, aku menemukan
sebuah telaga, yang menurutku hanya sebuah kolam
yang terjadi secara alam, tanpa dibuat seseorang. Telaga
itu ada di dalam goa ini. Airnya bening dan segar. Aku
nekad mandi dan beberapa kali meminum air telaga itu,
walau sebenarnya aku tidak haus. Nah, waktu aku
menyelam di kedalaman telaga itu, tiba-tiba aku jadi
seperti bisa bernapas. Aneh kan? Aku bermain lama
sekali di dalam air telaga itu, melihat dinding-dinding
telaga yang bergambar relief. Ternyata gambar relief
dalam dinding telaga itu adalah sebuah rangkai jurus-
jurus silat kuno. Aku berhasil mempelajarinya dalam
waktu singkat, dan tanpa menghirup udara dulu ke
atas telaga. Aku tetap berada di dalam air telaga. Lalu,
ketika aku muncul di permukaan air, kulihat tubuhku
telah berganti ujud, dan leherku terkelupas sedikit.
Kukira aku terluka ternyata... itu adalah insang
pernapasanku selama aku belajar ilmu silat kuno di
kedalaman air telaga...." Kemudian Gopo membuka
krah leher bajunya dan memperlihatkan kulitnya yang
bagai robek beberapa senti.
Kulit yang robek seperti diiris itu berdenyut-denyut
bagai mengisap sesuatu. Lalu, Gopo pun berkata,
"Inilah insang yang dapat kupakai bernapas di dalam
air. Dan beginilah gerakan insangku jika sedang
bernapas."
"Ajaib sekali...!"
"Memang. Memang sangat ajaib perjalanan hidup ini.
Dan waktu aku melihat tubuhku sudah berubah ujud
seperti ini, lalu aku menangis. Menangis dalam
keharuan. Tetapi, tiba-tiba, Nang... aku melihat Sekar
Pamikat menghampiriku dan membawakan pakaian ini.
Aku bertanya kepada Sekar Pamikat, apakah dia masih
ingat padaku? Ternyata dia masih ingat, Nang. Terus...
ia menjelaskan, bahwa semua ini terjadi karena
memang sudah seharusnya terjadi. Jadi bukan secara
kebetulan. Memang beginilah nasib dan takdir hidupku.
Sama seperti dirinya yang menjadi petapa di dalam goa
ini, untuk selanjutnya menjadi milik goa ini. Kemudian,
aku diberi pakaian seperti ini, Nang. Bagus ya?"
"Sangat bagus," jawab Lanang. "Lalu, kenapa kau
tidak segera ke luar dari goa ini?"
"Sekar Pamikat melarangku ke luar dari goa ini,
sampai pada suatu saat nanti, ada seorang putri raja
yang tersasar ke mari dan mengenalku. Putri raja itulah
calon istriku, dan aku akan menjadi raja di suatu
tempat menggantikan kedudukan ayahnya. Tapi aku
tidak tahu raja mana dan putrinya cantik atau tidak...
aku tidak tahu." Gopo tertawa. Lanjutnya, "Kemudian
aku diberi nama baru... Wijaya Buana. Gusti Ayu yang
memberiku nama itu."
"Siapa Gusti Ayu itu?"
Wijaya berbisik, "Bekas kekasihmu dulu. Sekar
Pamikat. Masa' lupa...? Dialah penunggu dan penguasa
segala kekayaan goa ini."
"Oooh..." Lanangseta manggut-manggut. Ia
memperhatikan Gopo yang sudah berubah menjadi
pemuda ganteng dan punya kelainan, yaitu di kedua
lehernya terdapat insang pernapasan jika ia berada di
kedalaman air.
"Nah, sekarang apa tujuanmu ke mari?" tanya
Wijaya.
"Aku akan menikah dengan seorang gadis, dan mas
kawinnya adalah bunga teratai dari dalam goa ini."
Wijaya Buana tertawa, "Aku tahu, aku tahu...! Itu
yang namanya teratai Wingit."
Lanangseta terperanjat sedikit, nama teratai itu
sama persis dengan nama rumah Kirana. Lalu apa
sebenarnya hubungan antara bunga teratai yang ada di
goa tersebut dengan rumah kediaman Kirana itu?
Lanang tak sempat berpikir panjang lebar karena Gopo
telah menggeret tangannya seraya berkata, "Mari
kutunjukkan tempatnya...! Bunga teratai itu adalah
satu-satunya bunga yang tumbuh di dalam goa ini.
Letaknya di tengah telaga yang kuselami dulu itu. Nah,
mari kubawa kau ke sana. Tapi, o, ya... sebaiknya kau
tetap harus meminta ijin kepada Sekar Pamikat lebih
dulu, sebab ia pernah melarangku mengambil bunga
tersebut sekalipun aku kagum terhadap keindahan
bunga itu."
Gopo yang tampan, Gopo yang tidak sekasar dulu,
hanya gaya candanya yang masih kelihatan itu, dengan
gembira mengantar Lanangseta menuju ruangan
khusus di bawah goa. Mereka menuruni tangga yang
terdiri dari 100 anak tangga.
"Aku pernah masuk ke sini, ketika aku harus
meminta restu kepada Sekar sebelum aku berangkat
mengalahkan orang-orang Tebing Neraka," kata
Lanangseta. Gopo melepaskan pegangan tangannya.
"Huhh... kalau begitu buat apa aku menuntunmu ke
mari. Kukira kau belum tahu tempat pertapaan Gusti
Ayu!"
"Sebagai teman baik, ada perlunya kau menyertaiku,
Gopo. Eh, aku memanggilmu bagaimana? Gopo atau
Wijaya?"
"Kalau sedang sepi, tak ada orang lain, yaah...
panggil saja Gopo. Tapi kalau sedang ada orang, apalagi
gadis calon istriku nanti, jangan panggil Gopo, ah! Malu
aku. Panggil saja Wijaya. Manis kan...?"
Lanangseta tidak menyahut kecuali hanya mencibir
dan menuruni tangga sejumlah 100 anak tangga itu.
Lalu, tak berapa lama mereka tiba di depan sebuah
ruangan khusus yang tertutup pintu batu berbentuk
lengkung atasnya. Ruangan itu ada di dalam sebuah
ruangan yang lebar, konon tempat para leluhur Kirana
bertemu. Di depan pintu batu berbentuk lengkung
atasnya itu, Lanang diam sesaat, menjernihkan hati dan
pikirannya.
Lanang masih ingat bagaimana cara membuka pintu
tersebut. Dengan kelembutan.
Maka ia mengetuk pintu itu tujuh kali dengan
lembut, dan tak lama pintu pun bergerak perlahan.
Gerakan pintu ke samping dan sangat pelan. Kemudian
tampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai
mengenakan jubah putih bening seperti dari bahan
satin, dan begitu lembutnya sehingga bagian bawah
gaun yang menyentuh ke tanah itu seperti busa-busa
salju berserakan. Perempuan itu tak lain dari Sekar
Pamikat, yang dulu pernah melekat di hati Lanangseta.
Maka, begitu melihat kecantikan Sekar yang semakin
mirip bidadari itu, hati Lanangseta bagai teriris pilu,
ingat masa-masa perempuan cantik itu ada dalam
pelukannya. Sayang ia sekarang sudah menjadi petapa
suci yang... Pikiran Lanang tak sempat berlanjut karena
ia melihat suatu kejanggalan pada diri Sekar Pamikat.
Perempuan cantik yang bersih, lembut bagai bidadari
dan termasuk orang suci itu, kini berlutut di depan
Lanangseta. Ia berlutut dan membungkukkan badan
dengan kepala tertunduk sebentar.
"Apa-apaan ini? Aku ke mari mau minta ijin untuk
mengambil bunga teratai," kata Lanang seperti bicara
pada diri sendiri.
"Sekar... bangunlah." kata Lanang lagi.
"Sepantasnya saya memberi sembah dan hormat
kepada Putra Dewa yang agung...." ucap Sekar Pamikat
lirih. Tapi justru membuat Lanang kebingungan. Ia
memandang Wijaya maksudnya hendak minta
pertimbangan dan sedikit komentar tentang apa yang
harus dilakukannya dalam keadaan begini. Tapi, tiba-
tiba Wijaya sendiri bagai penuh ketakutan. Ia jadi
berlutut, membungkukkan badan dan menundukkan
kepala.
"Ampunilah saya... saya tidak tahu kalau Putra Dewa
adalah orang yang pernah saya kenal dulu...." kata
Wijaya yang bagai kehilangan candanya dan menjadi
takut sekali.
"Sekar, apa maksud semua ini?!"
Jawab Sekar Pamikat sambil masih berlutut, "Saya
mencium bau wangi darah dewa. Saya yakin, darah itu
membekas di pedangmu. Dan saya harus tunduk,
menyembah kepadamu, karena kau sudah menjadi
Putra Dewa. Dan saya sudah siapkan setangkai teratai
Wingit buatmu, semoga bahagia kau bersama putri
Bukit Badai, semoga rukun selalu dengannya...."
Lanangseta bingung, apa yang harus dilakukannya?
Betulkah dia lebih agung dari pada petapa suci Goa
Malaikat ini?
***
4
TERATAI Wingit, ternyata nama setangkai bunga
teratai berwarna jingga. Besarnya seukuran piring
makan, mengabarkan bau harum yang lembut, lain
daripada yang lain. Tangkainya ada satu jengkal
berwarna merah tua. Memang cukup aneh dan
menarik, tapi lebih dari itu, teratai Wingit seakan
merupakan kunci perkawinan Lanangseta dengan
Kirana. Di sanalah ada cinta. Dalam teratai itu
tersimpan segenggam cinta suci penuh pengorbanan.
Terserah pandangan yang memandang, Cinta Sekar
Pamikat, atau cinta Lanang kepada Kirana?
Yang jelas, perasaan Lanangseta terbagi menjadi dua
bagian ketika membawa pulang teratai Wingit itu,
Antara bangga dan suka karena sebentar lagi ia akan
mempersunting Kirana, serta haru karena ia telah
melepas cintanya kepada Sekar Pamikat, bahkan Sekar
Pamikat sendiri yang memetikkannya dan memberikan
teratai itu kepada Lanangseta. Simbol suatu kemurnian
cinta kasih yang diberikan dengan kerelaan dan
pengorbanan.
Waktu meninggalkan Goa Malaikat, Lanangseta
sempat diantar oleh Gopo dengan suatu penghormatan
melebihi seorang panglima yang hendak berangkat
bertempur. Gopo mengantar sampai di luar pintu goa, ia
berdiri terus di samping lobang goa sampai Lanangseta
menghilang di balik kerimbunan pohon lembah Bukit
Badai.
Sepanjang perjalanan menuju Griya Teratai Wingit,
hati Lanangseta tak henti-hentinya berdebar. Sesekali ia
tersenyum membayangkan masa-masa indah yang akan
dilaluinya bersama Kirana Sari. Sesekali Lanangseta
sengaja mengendus bau harumnya teratai Wingit itu.
Tapi pada suatu langkah, ia terpaksa harus berhenti
dengan gerutu di dalam hati.
Dua orang berpakaian seragam menghadang
Lanangseta. Mereka sama-sama mengenakan baju lapis
logam yang dirajut sedemikian rupa sehingga
menyerupai penutup dada. Kilatan cahaya matahari
yang memantul dari baju anti senjata itu membuat
mata Lanangseta mengerjap silau. Seragam celananya
warna merah dari bahan halus dan mahal. Pada bagian
tepi celana terdapat garis lurus dari pinggang ke mata
kaki. Garis itu berwarna kuning gading. Demikian juga
dengan baju lengan panjang yang rapat sampai
pergelangan tangan mereka. Sedangkan di kepala
mereka terdapat semacam topi keprajuritan warna biru
tua berhias lempengan emas. Di bagian tengah topi ada
semacam besi meruncing juga berwarna kuning emas.
Sementara penutup dadanya yang berwarna tembaga
dan berbentuk bulat. Kedua orang ini sama-sama
bermata sipit dan berkulit kuning. Jelas mereka bukan
dari bumi Nusantara, melainkan dari tanah seberang
yang menurut dugaan Lanangseta, mereka dari negeri
Cina.
"Tak salah lagi, inilah orangnya, Chang Hu," kata
seorang dari mereka kepada temannya. Temannya
manggut-manggut. Matanya yang sipit memandang
tajam kepada Lanangseta. Lalu ia menjawab, "Ya. Ini
orangnya. Kita bicara baik-baik, kalau dia tidak mau
bersikap baik, baru kita hajar dia, Yang Lung."
Kedua orang itu dapat diketahui namanya, yang satu
Chang Hu, yang satunya lagi Yang Lung. Untuk
menandai yang mana Chang Hu, ialah pada kumisnya.
Kumis Chang Hu tak begitu lebat, namun turun ke
bawah dan nyaris menjadi satu dengan jenggotnya yang
sedikit, mirip segenggam lumut hitam. Namun
keduanya sama-sama pedang lebar bertangkai panjang,
menyerupai sebuah tombak. Di antara pedang dan
tangkainya terdapat rumbai-rumbai halus berwarna
merah, saat ini mirip sejumlah rambut yang meriap-riap
dihempas angin.
"Siapa kalian? Ada urusan apa denganku?" kata
Lanangseta sambil semakin hati-hati membawa bunga
teratainya.
"Aku Chang Hu, kepala keamanan kapal, dan ini
wakilku yang bernama Yang Lung. Kami datang dari
negeri Cina...."
"Untuk keperluan apa?" tanya Lanang sambil alisnya
berkerut tajam.
Yang Lung yang bertubuh sama besar dengan Chang
Hu, hanya sedikit lebih pendek itu, segera menyahut
jawaban, "Kami mendapat tugas dari Kaisar untuk
mengawal Laksamana Chou ke negeri ini dalam urusan
dagang. Dan seperti kau ketahui sendiri, Laksamana
Chou mempunyai seorang anak gadis yang bernama Yin
Yin. Selama ini kami sudah melarang kau berhubungan
dengan Nona Yin Yin. Tetapi keduanya sama-sama
nekad. Lalu, Laksamana Chou sudah hilang
kesabarannya sejak putrinya kau bawa lari tiga hari
yang lalu. Jadi, demi keselamatanmu, berikanlah
kepada kami Nona Yin Yin, dan jangan lagi
berhubungan dengannya. Dua hari lagi kapal kami
akan bertolak kembali ke negeri Cina, dan...."
"Tunggu sebentar!" sergah Lanangseta yang semakin
tidak mengerti dengan kata-kata kedua utusan dari
negeri Cina itu.
"Yin Yin itu siapa? Dan seperti apa ujudnya? Aku
belum pernah mengenal Yin Yin!"
"Tak perlu berpura-pura begitu!" Chang Hu mulai
menggertak dengan langkah maju satu kali. "Semua
orang kapal tahu kalau kau sering menunggu Yin Yin di
pantai, lalu mengajaknya ngobrol. Laksamana Chou
sendiri pernah melihat kalian saling bergandeng tangan.
Kau pikir, kau pantas berhubungan dengan Nona Yin
Yin?! Dia anak seorang Laksamana, tahu? Bukan anak
pelaut sembarangan!"
"Gawat!" pikir Lanangseta. Ini pasti salah alamat.
Lanang sendiri merasa tidak pernah mempunyai teman
gadis orang Cina, mengapa sekarang ia jadi terlibat
urusan dengan kedua pengawal Laksamana Chou ini?
Pasti ini ulah Prabima yang ingin menggagalkan
perkawinan Lanang dengan Kirana. Entah dengan cara
bagaimana, Prabima memanfaatkan tamu asing ini
untuk terlibat urusan dengan Lanangseta. Karenanya
Lanangseta segera berkata dengan tegas, "Chang Hu
dan Yang Lung... kalian salah alamat. Bukan aku orang
yang kalian cari. Aku memang mempunyai musuh, dan
ia sangat licik. Mungkin kalian dimanfaatkan untuk
menyerang aku dengan caranya sendiri."
"Hayaa... jangan bohong! Kamu membawa bunga
teratai, bukan? Dan bunga itu adalah bunga kesukaan
Nona Yin!" kata Yang Lung. "Pasti bunga itu akan kau
sampaikan kepada Nona Yin, supaya dia bisa kamu
bujuk untuk mengikuti semua keinginanmu. Betul,
bukan?"
"Bunga teratai...?!" Lanangseta memandang bunga
teratai Wingit yang masih di tangan kirinya, dekat
dengan dada.
"Benar," sahut Chang Hu. "Kalau kamu tidak
membawa bunga teratai, mungkin kami bisa kamu
bohongi. Tapi bunga teratai itu sudah menandakan
bahwa kamulah orang yang membawa lari Nona Yin.
Kamu pasti mau serahkan bunga itu kepadanya,
bukan?"
"O, bukan! Kalian salah duga...!" bantah Lanangseta.
Sebenarnya ia ingin menerangkan keadaan sebenarnya,
tapi Chang Hu sudah terlanjur hilang kesabarannya.
"Yang Lung...! Serang...!" teriaknya sambil maju
menyerang Lanangseta dengan pedang jagalnya. Mau
tak mau Lanangseta melompat menghindar ujung
pedang yang menyerang ke arah dadanya. Namun pada
waktu bersamaan tahu-tahu kaki Yang Lung
menghentak ke atas, hampir membentuk sudut 180°.
Tendangan itu mengenai pinggul Lanangseta sehingga
Lanang menjadi limbung.
Lanang baru saja meletakkan kakinya ke tanah, dan
disambut oleh pedang Yang Lung yang menebas kepala
Lanang. Secepat kilat Lanang berguling ke depan.
Chang Hu melompat dan jatuh di depan Lanang,
sehingga Lanang tak jadi berdiri karena pedang itu
dikibaskan, bagai sebuah sapu yang sedang menghalau
kotoran.
Sekali lagi Lanangseta koprol dan menggunakan
kesempatan untuk meletik bagai udang, lalu bersalto
dua kali dan mendarat dengan manis di tempat sepi.
Mereka berjarak antara 7 sampai 8 kaki dari kedua
belah pihak.
"Tunggu sebentar, jangan keburu nafsu...!" teriak
Lanangseta, maksudnya supaya mereka menahan
kemarahan. Tapi seruan itu tidak dihiraukan. Chang
Hu mengambil pisau belati dari balik punggungnya dan
dilemparkan dengan kecepatan luar biasa ke tubuh
Lanangseta. Lanangseta menghindar ke kiri, tapi
ternyata kepalanya itu disambut oleh pisau kecil yang
meluncur dari tangan Yang Lung.
Pada saat itu bunga teratai hampir jatuh dari tangan
Lanangseta, sehingga pikiran Lanang terpusat untuk
menyelamatkan bunga tersebut agar tak jatuh dari
tangannya. Dan ia sempat tercengang melihat benda
kecil mengkilat itu meluncur di depan hidungnya. Tak
ada waktu dan kesempatan untuk menghindar. Hanya
saja, benda tersebut tiba-tiba berbelok arah karena
mendapat sentuhan benda kecil lainnya yang
menimbulkan suara "Ting...!" Ternyata benda yang
menyentuh pisau kecil itu adalah sebutir batu yang
melesat dari arah balik pohon. Kesempatan itu
digunakan oleh Lanangseta untuk bersalto ke belakang
dan berdiri tegak di samping pohon tersebut.
"Hei...!" sapa seorang pemuda berpakaian compang-
camping yang bertubuh kurus kerempeng.
"Bego...! Kenapa ada di sini?"
"Aku sedang jalan-jalan. Habis di rumah, paman
Ludiro marah-marah terus padaku," kata Jaka Bego
yang bersembunyi di balik pohon.
Lanangseta tak sempat ngobrol dengan Jaka Bego,
karena kedua utusan dari negeri Cina itu telah
menghampirinya dengan pedang bertangkai panjang
tertuju ke arah depan.
"Bawa bunga ini. Hati-hati, jangan sampai jatuh...!"
Setelah menyerahkan bunga teratai Wingit kepada
Jaka Bego, Lanang pun menyongsong serangan
lawannya dengan meloncat maju dan melewati atas
kepala dua lawannya. Kedua prajurit negeri Cina itu
berbalik arah. Mereka tetap menyerbu bersama dengan
senjata yang kembar. Rumbai-rumbai merah di pangkal
mata pedang itu berkelebat ketika Chang Hu
mengibaskannya dalam jarak tiga langkah di depan
Lanangseta. Lanang merundukkan badan dan mencoba
menangkap tangkai pedang, namun ia gagal. Yang Lung
telah mendahului meloncat dan bersalto ke arah Lanang
dengan senjata panjang ditusukkan ke dada
Lanangseta. Tapi Lanangseta mampu berkelit ke kiri
dan memukul lengan Yang Lung dengan keras. Hampir
saja senjata itu jatuh kalau tidak buru-buru diambil
alih oleh tangan kiri Yang Lung. Pada saat itu, Yang
Lung sempoyongan dan menyeringai kesakitan karena
pukulan Lanang. Hal itu digunakan sebaik mungkin
oleh Lanang untuk menendang punggung Yang Lung
sehingga lelaki itu tersungkur.
"Kuminta kalian jangan membuang-buang nyawa di
sini!" geram Lanangseta memperingatkan lawannya.
"Aku tidak kenal dengan gadis yang kalian cari. Kalian
salah duga!"
"Pencuri mana yang akan mengaku sebelum dihajar
sampai hancur...!" balas Chang Hu sambil menyerang
Lanang. Tombak bermata pedang itu diputar cepat di
depannya, membentuk sebuah perisai yang agaknya
sulit ditembus karena kecepatan putarnya. Lalu tiba-
tiba putaran itu berhenti dan tahu-tahu ujung pedang
telah melesat maju, nyaris menusuk leher Lanangseta
jika Lanang tidak bergerak memiringkan badan ke
samping kiri. Sambil mengelak, tangan Lanang berhasil
memegang tangkai pedang tersebut. Chang Hu mencoba
menariknya seketika, namun tak berhasil. Tetapi
tangan kiri Lanang telah berhasil menghantam bawah
ketiak Chang Hu, dan membuat Chang Hu meringis
kesakitan.
"Kasihan mereka harus mati karena kesalah-
pahaman," pikir Lanangseta. Sebab itu ia segera melesat
dalam satu hentakan kaki, tinggi, dan berguling di
angkasa beberapa kali sehingga ia berhasil mencapai
dahan pohon. Di luar dugaan, Yang Lung telah
menyusulnya dengan satu kali hentakan badan, ia
seperti terbang lurus ke atas dan bertengger pada satu
dahan, sama dengan dahan yang diinjak Lanangseta. Ia
segera menyerang dengan pedangnya yang panjang itu.
Lanang mencoba mengelak dan menendang Yang Lung
dengan kaki kanannya yang lurus ke samping atas
dengan keras dan kaku. Yang Lung berteriak kesakitan
setelah pelipisnya berhasil ditendang Lanang sekuat-
kuatnya. Ia limbung dan jatuh dari atas pohon tanpa
mampu mengontrol keseimbangan tubuhnya.
Pada waktu Yang Lung jatuh, Jaka Bego ada di
bawahnya persis. Ia segera berlari takut kejatuhan
tubuh Yang Lung. Gerakan Jaka Bego yang ketakutan
itu sempat mematahkan dahan pada pohon kecil di
sampingnya. Patahannya membentuk keruncingan
sendiri sehingga pada waktu Yang Lung jatuh, kaki
Yang Lung sempat menghantam patahan dahan
tersebut. Di luar dugaan, kayu runcing itu telah
menusuk paha Yang Lung dan tembus sampai ke
atasnya. Yang Lung menjerit kesakitan. Salah satu
kakinya berhasil berdiri di tanah sedang kaki kirinya
masih tersangkut pada dahan pohon yang runcing itu.
Waktu itu, Chang Hu meloncat tinggi sekali dan
melesat ke arah Lanangseta. Gerakannya begitu cepat,
ia melewati atas kepala Lanangseta, tapi ternyata
kakinya bergerak ke belakang dan berhasil mengenai
punggung Lanang. Lanang terjatuh tapi masih bisa
mengatur keseimbangan tubuh. Lalu Chang Hu
melompat sambil bersalto dan mendarat di dekat
Lanangseta.
Sementara itu Yang Lung masih berteriak-teriak
kesakitan dan menyumpah-nyumpah memakai bahasa
Cina. Jaka Bego memperhatikan dari arah depan Yang
Lung. Ia melongo sambil memandang wajah Yang Lung
yang menyeringai menahan sakit akibat pahanya
tertusuk dahan yang patah.
"Sakit, ya...?" tanya Jaka Bego dengan cemas. Yang
Lung mengangguk. Ia menuding-nuding pahanya yang
ditembus kayu sebesar tangkai pedangnya. Maksudnya
meminta bantuan Jaka Bego untuk melepaskan kayu
tersebut dari pahanya. Ia tak mampu melepas sendiri
sebab posisinya terbalik, di mana wajah dan bagian
dadanya menghadap ke tanah, sedangkan kayu itu
menembus dari paha depan sampai ke paha belakang.
Jaka Bego segera meletakkan bunga teratai Wingit di
atas kerimbunan semak. Lalu ia segera membantu Yang
Lung melepaskan kayu yang menusuk pahanya.
"Wooaaaoo...!" teriak Yang Lung kesakitan ketika
Jaka Bego menggerak-gerakkan kayu yang menancap di
paha itu dengan kasar. Maksudnya untuk mencari
kemudahan agar kayu bisa dicabut dengan gampang.
Tapi justru gerakan kayu yang seperti diputar-putar
itulah yang menambah rasa sakit Yang Lung.
Jaka Bego gugup, ia kembali ke depan wajah Yang
Lung dan bertanya, "Masih sakit, ya?" Dan Yang Lung
hanya bisa mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab
dengan kata.
Jaka Bego berlari mendekati pohon yang dahannya
menancap di paha Yang Lung, lalu dengan mengambil
posisi yang enak, tangan Jaka Bego memegangi dahan
tersebut Dipegang erat-erat dengan kedua tangan,
kemudian kakinya menendang selangkangan Yang Lung
kuat-kuat. Sekali, dua kali, kayu belum tercabut tapi
teriakan Yang Lung semakin kuat. Kemudian yang
ketiga kali, tendangan kaki Jaka Bego semakin kuat
menghentak selangkangan Yang Lung, dan tubuh
itupun terpental sampai beberapa meter dengan cepat
sekali.
Di luar dugaan tubuh Yang Lung melesat cepat dan
menghantam pohon di depannya. Kepala Yang Lung
membentur batang pohon, di mana pada batang pohon
itu terdapat bekas tebangan dahan yang tersisa,
bentuknya meruncing. Maka tak aneh lagi jika ubun-
ubun Yang Lung menancap keras di bekas tebangan
dahan yang meruncing itu. "Crook...!"
Yang Lung tak sempat berteriak lagi. Kepalanya
berdarah. Ketika Jaka Bego mendekatinya, ia juga
melihat ada darah yang ke luar dari selangkangan Yang
Lung. Agaknya 'telur' Yang Lung pun pecah pada saat
hentakan kaki Jaka Bego begitu keras menendangnya.
Memang paha Yang Lung dapat terlepas dari kayu yang
menancapnya itu, tapi di sisi lain, Yang Lung pun
menemui ajalnya karena ubun-ubunnya tertancap pada
bekas potongan dahan yang meruncing, serta bagian
alat vitalnya rusak karena hentakan kaki Jaka Bego.
Melihat kenyataan itu, Jaka Bego terbengong-
bengong. Ia menggumam sendiri setelah memeriksa
Yang Lung ternyata tidak bernyawa lagi. "Kok bisa mati,
ya? Padahal aku cuma menolong melepaskan kayu itu,
tapi kenapa jadi melepaskan nyawanya sekalian, ya?"
Jaka Bego garuk-garuk kepala.
Jaka Bego segera berlari ke daerah pertarungan
antara Lanang dengan Chang Hu. Waktu itu, Chang Hu
sedang memainkan jurus pedang bertongkat yang dapat
melilit-lilit di sekujur tubuhnya. Lanangseta sedang
bersiap mencari kelengahan dan celah bagus untuk
menghantam Chang Hu. Tetapi Jaka Bego seperti orang
yang tidak tahu bahaya. Ia mencoba mendekati Chang
Hu dan tangannya meraih-raih dengan ngeri seraya
berkata, "Bah.... Bah...! Itu, tuh, temannya mati...! Bah,
temannya mati di sana...."
Tangan Jaka Bego tak berhasil menyentuh tubuh
Chang Hu, sekali pun ia hanya bermaksud
mencoleknya. Lanang yang mengetahui ketololan Jaka
Bego jadi cemas.
"Bego! Jangan di situ nanti kau kena senjatanya...!"
Tapi Jaka Bego tidak mendengar seruan Lanangseta,
sebab desau angin permainan pedang bertangkai itu
cukup menutup gendang telinganya. Ia tetap berusaha
menyentuh dan mencolek lengan Chang Hu, tapi tanpa
sengaja colekan tangan Jaka Bego mengenai kepala
Chang Hu, sehingga kepala itu seakan didorong dan
disentakkan ke depan.
Chang Hu berhenti, tak jadi membuka jurus
permainan pedang melingkar. Ia melotot kepada Jaka
Bego, "Anak tak tahu sopan! Kepala orang tua dibuat
mainan seenaknya...! Rasakan hukumanku ini, hihh...!"
Chang Hu menebaskan tangkai pedangnya bagian
bawah untuk memukul Jaka Bego. Tapi Jaka Bego
berhasil menghindar dengan ketakutan dan tangan
dijulurkan ke depan. "Jangan...! Jangan marah sama
saya. Maaf. Saya cuma mau bilang kalau teman Babah
mati di sana tuh...!"
Chang Hu menggeram, lalu hendak memukul Jaka
Bego lagi. Tapi Jaka Bego segera lari ketakutan seraya
berseru minta tolong. "Toloooong...!"
Chang Hu yang sudah naik pitam segera mengejar
Jaka Bego. Rupanya Jaka Bego dapat berlari lebih cepat
dan lebih lincah. Bahkan Jaka Bego berhasil segera
memanjat pohon dengan cepat seperti seekor beruk
hendak memilih kelapa.
Lanangseta segera menerjang Chang Hu setelah
dilihatnya lelaki bermata sipit itu hendak menggunakan
ilmu peringan tubuh untuk mendahului Jaka Bego
sampai di dahan pohon. Akibat terjangan kaki Lanang,
Chang Hu terpental dan terguling-guling.
Pada sat itu Jaka Bego berhasil sampai di sebatang
dahan. Ia berseru sambil jingkrak-jingkrak
bergelayutan.
"Syukur...! Syukur...! Diberitahu baik-baik malah
maraaah...!" Jaka Bego jatuh karena dahan yang
dienjot-enjot itu patah seketika. Ia menjerit ketakutan.
Tepat pada saat itu, Chang Hu bergegas untuk
bangkit. Namun baru beberapa bagian, tahu-tahu ia
telah ditimpa dahan pohon bersama tubuh Jaka Bego.
Dahan pohon sebesar paha orang dewasa itu mengenai
kepala Chang Hu. "Trook...!" Terdengar keras suaranya.
Sementara itu, ternyata ada ranting kecil yang sempat
menancap di leher Chang Hu sehingga Chang Hu
menjerit kesakitan. Jaka Bego juga menjerit ketakutan,
karena hampir saja pundaknya terkena pedang Chang
Hu yang berdiri itu. Ia bergegas bangkit dan hendak
menyingkir dari atas tubuh Chang Hu yang meronta-
ronta sambil kesakitan. Tapi, Jaka Bego terpelanting
jatuh menindih bagian dahan yang kering. Chang Hu
menjerit ketakutan. O, ternyata masih ada ranting
sebesar ibu jari yang menusuk dalam lengan Chang Hu,
pantas ia menjerit makin keras.
Tangan Jaka Bego terjulur minta ditolong
Lanangseta agar tubuhnya bisa cepat ke luar dari
dahan dan ranting yang ruwet karena daun-daunnya
itu. Semakin Jaka Bego meronta bangun, semakin sakit
saja luka Chang Hu, sebab dahan itu bagai semakin
ditusukkan ke tubuh Chang Hu.
"Hoaaa...! Huuuh...! Aaaaoow...!" Chang Hu
berteriak-teriak tak karuan. Lanangseta segera
menggeret tangan Jaka Bego, dan pemuda kurus
kerempeng itu berhasil keluar dari keributan dahan dan
ranting yang tak teratur itu.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Lanangseta.
"Orang itu, bagaimana?" seraya Jaka Bego menuding
Chang Hu, yang masih berusaha melepaskan diri dari
rimbunan dahan yang patah menjatuhi dirinya.
"Biarkan saja! Ia bisa keluar dari kesulitannya!
Ayo...!" Lanangseta bergerak lari meninggalkan tempat
tersebut. Jaka Bego sempat berpamitan kepada Chang
Hu, "Bah... saya pergi dulu, ya? Tidak bisa menolong,
habis.,, dia menyuruhku cepat-cepat pergi.... Tuh, aku
ditinggalnya kan?" Kemudian tanpa menunggu jawaban
dari Chang Hu, Jaka Bego menyusul Lanangseta.
"Untung kau datang dan bisa menyelesaikan
masalah itu," kata Lanang seraya berlari ke arah Griya
Teratai Wingit.
"Hebat saya, ya? Bisa mengetahui ada pencuri gadis
Cina," ujar Jaka Bego sambil meringis.
"Kau pikir benar-benar aku yang melarikan gadis
itu?" sanggah Lanang yang mengerti, bahwa Jaka Bego
ternyata sejak tadi telah mendengar pembicaraan
Lanang dengan dua utusan Laksamana Chou itu.
"Jadi, bukan kamu yang melarikan gadis Yin Yin
itu?"
"Bukan!"
"Aku juga bukan kok...!" kata Jaka Bego takut
dituduh.
Lari mereka begitu cepat. Dalam waktu beberapa
saat sudah hampir sampai rumah Kirana. Tapi tiba-tiba
Lanang ingat sesuatu. Ia berhenti dan memandang
tegang pada Jaka Bego. "Hei...!" serunya. "Di mana
bunga teratai itu?"
"Hah...? Bunga itu? Astaga... kutinggalkan di atas
semak sana tadi. Aku lupa membawanya kembali...!"
"Bego! Tolol! Itu bunga berharga bagiku...!" Dengan
tenang Jaka Bego menjawab, "Aaah... hanya setangkai
bunga saja kok harus marah. Nanti gampang cari lagi."
"Tolol...! Itu bukan sembarangan bunga? Aduuh...
Bego, Bego!" teriak Lanangseta sambil meringis geram
dan dongkol.
***
5
BERUNTUNG sekali teratai Wingit masih ada di
tempatnya, di atas dedaunan semak belukar.
Lanangseta segera memungutnya, mencium bunga itu
sekali, lalu mendekapnya dengan hati-hati.
"Sifatmu berubah, Lanang. Sudah mulai mendekati
kebanci-bancian," ujar Jaka Bego melihat Lanangseta
seperti seorang perempuan yang menyukai bunga.
Lanang tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya,
mendapatkan teratai Wingit sama saja mendapatkan
segalanya, tanpa harus peduli omongan orang.
"Hei, Lanang...? Ke mana mayat orang Cina tadi?"
Jaka Bego terkejut melihat keadaan di sekitar situ
sudah kosong. Hanya ada ceceran darah yang
menandakan bekas tergeletaknya mayat orang
berpedang panjang itu. Juga dahan-dahan pohon serta
rantingnya yang bagai menimbun Chang Hu itu sudah
berserakan. Ada bekas darah, tapi kedua orang itu tidak
ada. Menghilang? Atau dimakan binatang buas? Atau
bersembunyi di suatu tempat untuk menyerang dari
belakang?
"Kurasa Chang Hu berhasil selamat dari timbunan
dahan, lalu ia membawa pulang mayat wakilnya itu,"
kata Lanangseta sambil menatap ke sekeliling.
"Akan kucari mereka...!" Jaka Bego hendak pergi.
"Hei, jangan berbuat bodoh, Bego! Kau bisa dihadang
oleh teman-teman Chang Hu. Mereka datang ke mari
satu kapal bersama Laksamana Chou. Sebaiknya mari
kita pulang ke Griya Teratai Wingit saja."
"Yaah... kalau kau mengkhawatirkan diriku, ya
sudah...."
Jaka Bego nyelonong pergi ke arah Griya Teratai
Wingit. Lanangseta mengikutinya dari samping. Sempat
pula Lanang menanyakan kedatangan Jaka Bego dan
Ludiro.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Mahani,
Bego?"
"Mahani tetap saja seorang gadis cantik," jawab Jaka
Bego seenaknya.
"Tak ada halangan sampai di Desa Tayub?"
"Tidak. Kami-kami memang tidak mencari halangan
kok. Pokoknya, kami sudah antar dia sampai di Desa
Tayub, lalu paman Ludiro mengajakku pulang ke
rumah Rama Sabdawana."
"Kapan kau sampai? Tadi pagi?"
"Maksudmu sampai di rumah Rama Sabdawana?"
"Ya."
"Kemarin lusa!" tegas Jaka Bego. "Tiga hari yang lalu
kami sudah sampai di rumah Rama Sabdawana."
"Tiga hari yang lalu?!" Lanang berkerut dahi.
"Iya! Kamu pikir kami mampir-mampir dulu setelah
dari Desa Tayub? Uuh... paman Ludiro yang tidak mau
diajak mampir nonton orang adu jago...."
Lanang membiarkan Jaka Bego berceloteh sendiri,
sementara Lanang memikirkan waktu yang ternyata
telah bergerak di luar kesadarannya. Jadi menurut
perkiraannya ia sudah ada tiga atau empat hari di
dalam Goa Malaikat itu.
"Mungkin terlalu asyik ngobrol dengan Gopo
sehingga lupa bahwa waktu telah berubah dengan
cepat. Tapi, ah... goa itu memang misterius. Aneh.
Perbedaan waktu di dalam goa dengan di luar goa
memang sangat menyolok. Baru saja berada di dalam
goa beberapa saat, ehh... tahu-tahu sudah beberapa
hari menurut perhitungan waktu di luar goa...."
Lanangseta juga berceloteh sendiri di dalam hatinya.
Kemudian ia segera mempercepat langkah, takut kalau-
kalau kepergiannya yang sudah beberapa hari itu
menimbulkan kerinduan di hati Kirana, dan membuat
racun dalam darah gadis itu. Oh, tidak. Lanang tidak
ingin Kirana menderita rindu seperti dulu lagi. Ia harus
segera sampai di rumah dan memeluk Kirana dengan
mesra.
Tapi ketika mereka tiba di Griya Teratai Wingit,
keadaan cukup sepi. Tak terdengar suara Ludiro, atau
Rama, atau Kirana, dan bahkan suara para pengawal
pun tak ada. Mencurigakan sekali.
"Ke mana mereka? Kok sepi-sepi saja?" tanya
Lanangseta kepada Sambu, pelayan yang dulu tekun
menghidangkan makanan dan minuman ketika Lanang
dalam perawatan.
"Mereka pergi, Mas Lanang," jawab Marwa. Pada
waktu itu Jaka Bego langsung masuk ke dapur mencari
makanan.
"Pergi? Pergi ke mana?" Lanang mulai cemas.
"Ke Lembah Berdarah, memenuhi panggilan sahabat
lama Rama Sabdawana, katanya."
"Astaga...!" Lanang kebingungan, ia mencari-cari
seseorang yang diperkirakan bersembunyi sengaja
mempermainkan dirinya, tapi memang tidak ada. Sepi
dan lenggang. Hanya ada dua pengawal di pintu
gerbang dan dua pelayan yang bernama Marwa serta
Sambu.
"Siapa saja yang ke Lembah Berdarah?!" tanya
Lanang kepada Sambu.
"Rama dan putri, serta... paman Ludiro. Hanya saja,
murid-murid lainnya mengikuti dari belakang secara
sembunyi-sembunyi. Mereka mengkhawatirkan
keselamatan Rama. Mereka tahu kalau hari ini, tepat
matahari di atas kepala manusia, Rama akan bertarung
melawan musuh lamanya: Begal Dogol. Para murid tak
sampai hati untuk membiarkan begitu saja, tanpa turut
campur dalam urusan ini."
"Gawat...!" Lanang masih kebingungan, mondar-
mandir sambil memegangi buah teratai Wingit. Lanang
tak ingat kalau hari ini adalah hari penantangan Begal
Dogol. Ini berarti ia tak boleh diam begitu saja Ia harus
menyusul ke Lembah Berdarah, apalagi calon istrinya
ada di sana, paling tidak Lanangseta harus melindungi
Kirana dari keusilan Prabima Wardana, bekas pemuda
yang ditolak cintanya oleh Kirana Sari.
"Marwa," panggil Lanangseta kepada pelayan itu.
"Tolong simpan bunga ini baik-baik, ya? Jangan sampai
layu, dan jangan boleh ada yang menyentuhnya
sebelum kami pulang dari Lembah Berdarah. Ngerti?"
"Baik, Mas Lanang," Marwa menerima dengan hati-
hati. Ia memperhatikan takjub kepada bunga itu,
kemudian membawanya ke dapur. Lanang sendiri
segera pergi setelah ia mendapat penjelasan dari kedua
pengawal pintu gerbang tentang letak Lembah
Berdarah.
"Lanang...! Tunggu akuu...!" teriak Jaka Bego.
Lanang tidak peduli. Ia melesat cepat menuju Lembah
Berdarah. Jaka Bego sibuk mengambil daun pisang dan
membungkus beberapa potong singkong rebus yang
sudah dicampur dengan parutan kelapa. Dengan
tergesa-gesa ia membungkus singkong itu, lalu segera
lari ke luar halaman, dan ternyata Lanang sudah tidak
kelihatan lagi.
"Brengsek...!" gerutunya dengan kesal.
Lanang memang lebih memikirkan keselamatan
calon istrinya. Memang Kirana dan Sabdawana dikawal
oleh Ludiro yang punya badan kebal senjata itu, namun
bukan hal aneh lagi jika Begal Dogol menggunakan
cara-cara yang licik untuk membunuh Sabdawana
beserta pengikutnya.
Kecemasan Lanang itu memang benar. Sebab pada
saat itu, di Lembah Berdarah yang tandus itu, ternyata
Begal Dogol tidak hanya sendirian. Begitu Sabdawana
dan Kirana yang didampingi terus oleh Ludiro itu
sampai di sebuah tonjolan batu cadas, tahu-tahu Begal
Dogol muncul beserta empat anak buahnya. Begal
Dogol di tengah, dikawal kanan kiri dengan masing-
masing sisi dua orang.
"Sabdawana...." sapa Begal Dogol dengan senyum
sinis. "Kita berjumpa lagi. Selamat datang di Lembah
Berdarah, tempat kita dulu bertarung, dan tempat
istriku mati oleh pedangmu. Hei, di mana pedangmu
yang dulu itu, hah? Kau kelihatannya tidak membawa
apa-apa, Sabdawana? Bukankah lebih baik kita
bertarung dengan menggunakan pedang yang kau pakai
membunuh istriku dulu?!"
Sabdawana yang tenang dan berwibawa itu hanya
berkata, "Aku datang bukan untuk perang, Dogol. Aku
datang untuk menyelesaikan dendammu secara baik-
baik. Jangan lagi ada pertumpahan darah di antara
kita. Kita ini sudah tua-tua, sudah waktunya masuk
liang kubur, janganlah akhir dari hidup diwarnai
dengan semburan darah dendam."
Begal Dogol tertawa, demikian juga kedua anak
buahnya di kiri, dan kedua yang di kanan.
"Belum-belum sudah takut duluan," kata Begal
Dogol kepada keempat pengawalnya. Kemudian ia
berseru, "Sabdawana, mungkin kamu tahu kalau
selama ini aku telah banyak menimba ilmu sehingga
kau takut menghadapiku. Baiklah.... kalau begitu, kau
berhadapan saja dengan anak buahku. Pilih salah satu
dari keempat muridku ini: Sargowi, Peot, si Bonyok,
atau Bujel...." Begal Dogol memperkenalkan keempat
pengawal di kanan kirinya. "Pilih salah satu, mana yang
hendak kau lawan. Jika kau kalah, berarti aku akan
melupakan namamu, dan kalau kau menang, aku akan
melupakan almarhumah istriku. Pilih, yang mana yang
akan kau lawan...?"
"Tak seorang pun akan kulawan, Begal Dogol. Aku
merasa sudah tua, sudah sepatutnya menghindari
perkelahian."
"Kalau begitu aku harus memaksamu, ya?"
"Biar saya yang maju, Rama," bisik Ludiro.
Sabdawana berkata, "Jangan. Biarkan dia mati
dengan nafsunya sendiri."
Begal Dogol bersuit panjang. Tahu-tahu dari segala
penjuru muncul anak buah Begal Dogol, jumlahnya
lebih dari 50 orang. Masing-masing mempunyai senjata
beraneka ragam. Dan mereka serempak maju,
mengurung Sabdawana serta Ludiro dan Kirana. Suara
mereka bergemuruh seperti lebah yang siap menyengat.
Anehnya, dari sekian banyak orang yang mengepung,
tak terlihat wajah Prabima Wardana. Padahal, Kirana
sengaja ikut ke Lembah Berdarah hanya untuk
membunuh Prabima, yang telah mengacaukan
percintaannya dengan Lanangseta selama ini. Sayang
pemuda itu tidak menampakkan diri, dan sekarang
sekian banyak orang telah siap membunuh mereka
bertiga. Mereka membikin satu lingkaran yang
merupakan pagar betis di mana ketiga orang Griya
Teratai Wingit itu tidak akan bisa keluar dari kurungan
itu. Ludiro waktu itu hanya menggumam, "Licik...!" Dan
matanya semakin liar.
Begal Dogol tertawa. "Kalau sudah begini apakah kau
tetap tidak akan mau bertarung melawan kami, hah?"
"Kau boleh bunuh aku, tapi jangan sentuh putriku!"
kata Sabdawana. Dan Begal Dogol hanya tertawa. Lalu
dari arah belakang Begal Dogol, muncul beberapa orang
yang telah meringkus enam murid Sabdawana.
Ternyata para murid itu telah berhasil diringkus
sewaktu mengikuti Sabdawana dengan diam-diam. Dan
kini Sabdawana terbelalak melihat keenam muridnya
menjadi tawanan mereka.
"Sabdawana...? Ini murid-muridmu, bukan?" kata
Begal Dogol dengan angkuh. Sabdawana tak menjawab,
Kirana dan Ludiro menjadi tegang. Ada Bonang dan
Lande di sana. Mereka berdua mempunyai ilmu yang
cukup bisa diandalkan, tapi nyatanya mereka masuk
dalam tawanan anak buah Begal Dogol. Berarti tak ada
apa-apanya Bonang dan Lande itu. Ludiro tak sabar
menunggu penyerangan, sayang Sabdawana tidak
segera memberi komando dan bahkan diam dengan
tenang. Malahan ketika Dogol menyeret salah seorang
murid Sabdawana, Ludiro menjadi tegang sekali. Murid
Sabdawana tersungkur di depan kaki Begal Dogol,
kemudian dengan kejam Begal Dogol menusukkan
tongkat berbentuk ular sanca di kepala murid tersebut.
Suara teriakan histeris berbarengan dengan tawa Begal
Dogol dan orang-orangnya. Kepala orang itu tembus
ditusuk tongkat Begal Dogol dan tubuh itu pun
berkelojot sebentar lalu tak bergerak lagi.
"Jahanaaam...!" geram Ludiro tak sabar lagi. Tetapi
tangan Sabdawana merentang, memberi isyarat agar
Ludiro tenang dan tidak bertindak apa-apa.
"Kau masih tak mau bertanding denganku,
Sabdawana?!" kata Begal Dogol dengan suara dingin.
"Aku selalu menghindari perselisihan, Dogol."
"Bah!" geram Begal Dogol yang berambut panjang
dan berjenggot panjang, sama putihnya itu. Mata
tuanya yang keriput memandang nanar. Jubahnya yang
merah bergerak-gerak ditiup angin lembah.
"Sebagai seorang guru, kau tidak patut dihormati!
Kau biarkan muridmu mati, kau tak mempunyai
pembelaan sedikitpun kepada murid-muridmu ini! Guru
macam apa kau?!" Kakek tua itu menjadi dongkol
sendiri. Tapi Sabdawana menjawab dengan tenang, dan
masih berwibawa, "Muridku sudah siap mati untuk
gurunya. Karena mereka mencintai aku. Apakah kau
mempunyai murid seperti mereka? Kurasa mereka
hanya bisa pasang tampang modal badan, tapi tidak
mempunyai nilai pengabdian terhadap seorang guru.
Lihat, mereka... wajah-wajah mereka mulai cemas,
karena merasa takut hanya dijadikan umpan
kemarahanmu saja. Lihat, mana ada wajah mereka
yang tenang seperti murid-muridku? Semua wajah
sekarang tahu, bahwa sebentar lagi mereka akan
dijadikan umpan pertama untuk mencoba ilmuku...."
Terdengar suara kasak-kusuk dan gerutu tak jelas
dari orang-orang yang mengurung Sabdawana. Agaknya
kata-kata Sabdawana menjadi bahan pertimbangan
bagi mereka. Dan hal itu membuat Begal Dogol menjadi
tambah panas hatinya. Ia menarik salah seorang murid
Sabdawana, lalu orang itu dihantam dengan tongkat
ular, "blegaaar...!" Suara ledakan terdengar
mencengangkan. Orang yang dihantam tongkat itu
hancur bagai serpihan daging mentah. Mengerikan
sekali. Ludiro menggeram dan Kirana menghela nafas
dalam-dalam. Tapi Sabdawana tetap tenang.
Begal Dogol semakin garang. "Lihat, lihat muridmu
ini, kalau tidak kau bela, maka mereka akan mati
hancur berkeping-keping seperti orang ini, tahu?! Akan
kubunuh mereka satu persatu untuk membuktikan
bahwa kau memang seorang guru yang banci! Penakut!
Dan tak pantas dihormati."
"Pikiranmu salah, Dogol," kata Sabdawana dengan
tenang namun suaranya cukup menggema di sela-sela
perbukitan itu. "Kau justru menambah semangat
murid-muridku untuk mati membela gurunya. Mereka
yang akan kau bunuh itu tahu betul, bahwa hidup itu
tidak harus saling mendendam, seperti ajaranku kepada
mereka. Sekarang mereka melihat buktinya bahwa aku
sendiri dapat bersikap sabar dan mengalah demi
kemenangan yang sebenarnya. Tetapi bagaimana
dengan murid-muridmu yang sebanyak ini? Apakah
mereka tidak akan menilai kau sebagai seorang guru
yang tak pantas menjadi panutan? Tindakanmu kejam
dan di luar batas kemanusiaan. Kurasa mereka mulai
cemas, kalau-kalau suatu saat mereka akan menjadi
korban kekejamanmu seperti itu. Barangkali mereka
hari ini bisa membunuh kami, tapi di kemudian hari,
mereka juga akan menjadi korbanmu, Dogol. Mereka
sekarang mulai tahu, bahwa kau selama ini hanya
bermanis muka, selama ini kau berusaha merebut
perhatian mereka, sehingga mereka tunduk kepada
perintahmu. Tetapi di balik kebaikanmu selama ini,
mereka sekarang mulai sadar bahwa mereka sengaja
dipersiapkan untuk acara seperti ini, yaitu sebagai
umpan dan sebagai percobaan ilmuku. Kalau ilmuku
lebih hebat dan bisa membunuh mereka lebih sadis dari
kamu, kau akan lari meninggalkan mereka. Kau akan
mencari ilmu lagi, sementara murid-muridmu itu akan
mati secara bersamaan di tanganku. Aku yakin, Dogol...
murid-muridmu sekarang ini sedang berfikir, mengapa
kau tidak berbuat sekejam itu. Aku yakin, mereka tahu
kalau aku bisa membunuh mereka dengan sekali
gebrak empat-lima orang akan mati seketika. Mereka
jangan dianggap bodoh, Dogol. Mereka itu tahu, kalau
orang diam itu ilmunya pasti tinggi, dan mereka mulai
menyesal mengikuti orang semacam kamu, Dogol.
Kurasa hati mereka saat ini sedang bertanya-tanya,
haruskah mereka menjadi korban urusan pribadimu?
Kau membela istri, tapi mereka...? Siapa yang membela
istri mereka dan keluarga mereka jika mereka mati di
sini? Apakah kau akan menjamin? Belum tentu.
Mungkin kau bilang akan menjamin keluarganya, tapi
jika mereka sudah terlanjur mati sia-sia dan kau tidak
menjamin keluarganya, apakah mereka bisa
menuntutmu? Kau pasti akan mengingkari janji kepada
mereka. Kalau orang yang bisa berbuat kejam terhadap
orang lain sepertimu, mengapa tak bisa berbuat kejam
terhadap mereka juga? Pasti bisa. Pasti suatu saat kau
perlakukan mereka seperti kau memperlakukan murid-
muridku. Percayalah Dogol... saat ini mereka yang
mengurung kami sedang menimbang-nimbang, apakah
mereka harus menjadi korban urusan pribadimu,
sedangkan pribadinya sendiri tidak kau urusi, atau
mereka lebih baik mengikuti aku, menjadi orang-
orangku dan dapat hidup damai di Griya Teratai Wingit
sana. Lihat, wajah-wajah mereka itu menampakkan
suatu keinginan. Keinginan hidup dengan damai
bersama anak-istri dan keluarganya."
"Tutup mulutmu!" teriak Begal Dogol. Kemarahannya
semakin meluap. Ia berseru kepada orang-orang yang
mengurung Sabdawana. "Serang mereka...! Serang...!"
Sepi. Tak ada yang bergerak. Masing-masing saling
bertatap-tatapan, masing-masing menunggu temannya
berbuat. Orang-orang yang mengurung Sabdawana itu
menampakkan keragu-raguannya. Begal Dogol tegang.
"Serang mereka, lekas! Seraaang...!"
Mereka dalam kebimbangan. Salah seorang
membuang senjatanya ke tanah. Lalu di ujung sana
juga ada yang membuang senjatanya. Lalu disusul yang
lainnya. Senjata berjatuhan, berdenting ramai bagai
sedang dikumpulkan.
"Tolol...! Jangan mau terhasut oleh omongannya...!
Serang mereka?! Hei, hei... apa-apaan kalian membuang
senjata? Goblok! Benar-benar goblok...!" Begal Dogol
kebingungan.
Orang-orang yang mengepung Sabdawana menjadi
loyo. Mereka pergi menyisih setelah membuang
senjatanya di tempat. Agaknya kata-kata Sabdawana
berhasil meresap dalam hati dan pikiran suci mereka.
Sampai-sampai tak seorang pun mau berdiri di
tempatnya semula. Oh, begitu hebat ilmu yang
digunakan Sabdawana. Dalam tempo beberapa saat ia
dapat menundukkan hati orang-orang sangar itu.
Rupanya ilmu Lebur Hati inilah yang menjadi andalan
Sabdawana. Bukan hanya sekedar bicara, namun ia
mampu menggerakkan hati mereka dengan kelembutan
tenaga dalamnya yang benar-benar mengagumkan.
Kini, orang-orang itu menepi, duduk memandang ke
arah arena pertempuran yang telah kosong, kecuali
Sabdawana beserta dua orangnya, dan Begal Dogol
dengan keempat pengawal setianya. Bahkan orang-
orang yang meringkus anak buah Sabdawana itu pun
menepi sambil melepaskan ikatan pada tangan
tawanannya.
"Gila! Mengapa mereka jadi seperti buruh menunggu
uang upah mingguannya?!" teriak Begal Dogol.
Pada saat itu, seorang bertangan buntung ke luar
dari balik batuan cadas setinggi lima tombak. Melihat
salah satu tangannya buntung, tanpa telapak tangan,
Kirana jadi ingat Lanangseta. "Pasti orang itulah yang
mengirimkan surat tantangan dan akhirnya dipotong
tangannya oleh Lanangseta. Ah, tapi ke mana dan
sedang apa Lanang sekarang?" pikir Kirana saat itu.
"Biar aku yang menghadapi mereka lebih dulu,
Guru," ujar si tangan buntung.
"Serang mereka Braja...!" perintah Begal Dogol.
Kalau saja waktu itu Lanang sudah ada di tempat,
tentu orang itu bagian Lanangseta. Pasti orang yang
bernama Braja itu akan menyerang Lanangseta lebih
dulu, karena ia ingin membalas dendam atas hilangnya
sebelah telapak tangannya. Sayang waktu itu
Lanangseta masih dalam perjalanan menuju Lembah
Berdarah.
Lanang berlari dengan cepat menyusuri tepian
hutan, kemudian menembus hutan lagi, memotong
jalan cepat menuju Lembah Berdarah. Ia tak berhenti
berlari, karena ia merasa harus cepat sampai di Lembah
Berdarah sebelum Kirana yang kondisi tubuhnya masih
lemah itu jangan sampai terluka oleh kelicikan orang-
orangnya Begal Dogol.
Terdengar suara pedang beradu di kejauhan.
Lanangseta yakin, "Itulah pertarungan antara
Sabdawana dan Begal Dogol. Tapi kedengarannya hanya
dua pedang yang beradu. Berarti Begal Dogol tidak main
keroyokan," pikir Lanang. Ia mempercepat langkahnya,
menggunakan ilmu peringan tubuh lagi.
Namun alangkah kagetnya Lanangseta ketika ia baru
saja akan sampai di tempat pertarungan itu, ternyata ia
melihat Jaka Bego sedang makan singkong dalam daun.
Jaka Bego agaknya sudah sejak tadi menyaksikan
pertarungan di daerah tandus itu. Pertarungan antara
Ludiro dengan lelaki bertangan buntung. Jaka Bego
menyaksikan dari atas cadas yang menjulang tinggi. Ia
duduk dengan santai sambil makan singkong dan
memandang pertarungan tersebut.
"Hei...!" sapa Lanangseta dengan terengah-engah.
Jaka Bego menengok, lalu bersungut-sungut, "Kamu
jahat. Kau meninggalkan aku, pergi sendiri tidak mau
ajak-ajak aku...."
"Tapi nyatanya kau datang lebih dulu kan?"
"Hah...?" Jaka Bego bingung. "Jadi, kau baru datang,
ya?"
Lanangseta menghempaskan nafas. Kesal juga
mendengar lagak Jaka Bego.
"Wah, kalau begitu kau tidak melihat Rama Sabda
menggunakan ilmunya, ya?"
"Apa? Jadi, Rama Sabda sudah bertanding melawan
Begal Dogol?" Lanang agak terkejut dan was-was.
"Bukan melawan Begal Dogol, tapi melawan orang-
orang yang segitu banyak mengurungnya tadi. Hanya
dengan kata-kata, hebat kan? Dengan kata-kata saja
musuh jadi buang senjata dan sekarang malah menjadi
penonton setia. Itu, lihat mereka yang duduk di
pinggiran sana... itu tadi mereka sudah siap menyerang
Rama Sabda, tapi dengan kata-kata Rama Sabda,
mereka jadi luluh hatinya dan membuang senjatanya.
Huhh... kamu suka mampir-mampir kalau pergi, jadi
tidak sempat menyaksikan kekuatan ilmu Lebur Hati."
"Kekuatan ilmu Lebur Hati? Kok kamu tahu kalau
Rama Sabdawana menggunakan kekuatan ilmu Lebur
Hati?"
"Aku mengarang sendiri," jawab Jaka Bego sambil
menggigit singkongnya lagi. "Habis aku tidak tahu
namanya, maka kukarang sendiri saja. Ilmu Lebur
Hati...." Lanang tertegun beberapa saat. Dia ingat, dulu
Kirana pernah bercerita tentang ilmu Lebur Hati yang
dimiliki oleh leluhurnya, termasuk ayah Kirana. Tapi,
mungkinkah hal semacam itu juga diceritakan Kirana
kepada Jaka Bego? Jika tidak, dari mana Jaka Bego
mengetahui adanya ilmu Lebur Hati? Apakah benar ia
hanya asal ucap saja?
"Hei, lihat...!" seru Jaka Bego. "Sekarang dua orang
menyerang putri Sabdawana...! Tuh, lihat...! Ah, ah...
kasihan seorang perempuan harus dilawan dengan dua
orang...."
Ketika Jaka Bego melongok ke bawah, ternyata
Lanang sudah tak ada di tempatnya semula. Ia
menggerutu, "Sialan! Diajak ngomong capek-capek tidak
tahunya sudah pergi...! Eh, kok itu Lanang sudah
sampai sana...?"
Jaka Bego bergegas turun dari batuan cadas dan
berlari ke arah pertarungan itu. Ia dengan
membusungkan dada sambil membawa bungkusan
daun pisang masuk ke dalam arena. Ia mencolek
Lanang dan berkata, "Jangan turut campur. Biar aku
dulu yang menghadapi mereka. Tolong bawakan ini...."
Jaka Bego menyerahkan bungkusan singkong kepada
Lanang. Lanangseta menerima dengan terbengong
melompong, sedangkan Sabdawana yang tak jauh dari
Lanang hanya tersenyum tipis. Kemudian mereka
membiarkan Jaka Bego masuk dalam arena, melibatkan
diri dengan serangan-serangan dari anak buah Begal
Dogol yang masih setia itu.
"Berhenti...! Berhenti semua...!" teriaknya dengan
sesekali menaikkan celananya yang seakan mau
melorot.
Semua jadi berhenti. Ludiro tetap memegang pedang
Jalak Pati, Kirana mundur, dan kedua musuh Kirana
juga berhenti, demikian pula si tangan buntung yang
ikut berhenti bagai terkejut oleh sesuatu yang
mengagetkan.
"Semua pertarungan harap dibatalkan!" seru Jaka
Bego.
"Apa-apaan kau anak ingusan!" bentak Begal Dogol.
Jaka Bego berlari sebentar mendekati Lanang dan
berbisik keras, "Aku juga punya ilmu Lebur Hati.
Lihat...."
Jaka Bego kembali ke tempat, sementara Sabdawana
terkejut mendengar ilmu itu disebutkan. Ia memandang
Lanang.
"Siapa dia sebenarnya?"
Lanang angkat bahu. "Yang saya tahu, dia bocah
misterius, Rama...."
Mereka hanya bisa memandang tingkah Jaka Bego
yang sesekali membingungkan, sesekali menjengkelkan,
dan yang jelas sering mengherankan. Jaka Bego saat itu
sedang bicara sambil menghadap kepada orang-orang
yang duduk menjauh dari arena tersebut.
"Perkenalkan, namaku Jaka Bego. Pernah
membunuh sembilan pendekar dari berbagai negeri...!"
Orang-orang yang duduk menjauh itu bertepuk
tangan. Jaka Bego nyengir sambil menghormat seperti
petinju mau bertanding. Lalu ia berseru lagi, "Kuminta
kalian semua tetap di tempatnya masing-masing. Sebab
kalian harus merasa beruntung, bahwasanya... kalian
dapat menyaksikan pertarungan tingkat tinggi dengan
gratis, yaitu pertarungan Begal Dogol dengan Jaka
Bego, sebagai wakil dari Rama Sabdawana. Setuju...?"
"Setuju...! Akuuur...! Sikat saja...! Yang seru, ya...?!"
Mereka saling saur manuk, seperti burung di pagi hari.
Begal Dogol maju mendekati Jaka Bego dan
menampar pipi Jaka Bego. "Plak...plak...!"
"Minggir kau, Anak bawang...!"
"Sabar, Mbah... sabar... saya mau bertarung dengan
yang namanya Begal Dogol." kata Jaka Bego sambil
mengusap-usap pipinya yang kesakitan ditampar itu.
"Kuminta, Mbah dukun jangan ikut campur. Biarkan
saya menghadapi Begal Dogol sendiri..."
"Aku Begal Dogol!" bentak Begal Dogol dengan sengit.
"Ah, masa' seorang begal kok sudah keriput begitu?!"
"Kurang ajar...!" geram Begal Dogol. "Aku ini yang
bernama Begal Dogol."
"Ah...." Jaka mundur karena Begal Dogol maju
mendesaknya.
"Ayo, lawan aku...!" sambil Begal Dogol menyodok-
nyodokkan perutnya ke tubuh Jaka Bego.
"Ah, jangan main-main, Mbah...." Jaka Bego
kelihatan ketakutan.
"Aku tidak main-main. Ayo lawan aku...! Pukul...!"
Jaka Bego menggeragap dan terhuyung karena perut
Begal Dogol disodok-sodokkan ke tubuh Jaka Bego.
"Pukul aku...! Nih, pukul...! Katanya kau mau melawan
Begal Dogol...!"
"Iya, tapi situ bukan Begal Dogol...! Aduh...!" Jaka
tersandung dan nyaris jatuh. "Jangan main-main,
Mbah... ini pertarungan tingkat tinggi lho, nanti
encokmu kumat!"
"Plak...! Plak...! Plookk...!"
Jaka Bego dipukul keras wajahnya sampai ia
terpejam-pejam dalam kesakitan. Ludiro hendak
bergerak, tapi Lanang segera menahan.
"Biarkan dulu dia. Tak perlu khawatir, memang
begitulah ilmu kebegoannya...." bisik Lanang, yang lain
pun mendengar dan manggut-manggut.
"Lawan, Begooo...!" teriak salah seorang di kejauhan.
"Plak...!"
"Ayo, lawanlah...! Lawan aku, cepat...!"
Sekali lagi tamparan keras dari Begal Dogol
mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!"
"Beraninya sama anak kecil...!" Jaka Bego mulai mau
menangis.
Di kejauhan ada yang berseru, "Yaaah... nangiiis...!"
"Kau yang menghentikan pertarungan ini, sekarang
kau yang harus bertanggung-jawab. Aku ingin melihat
sampai di mana kesaktianmu, Bocah sinting?! Ayo,
lawan aku...!" teriak Begal Dogol.
"Jangan begitu, Mbah... aku kan tadi hanya bilang
kalau mau melawan Begal Dogol! Bukan melawan
kamu!"
"Iya, tapi aku ini Begal Dogol...!"
"Bukan! Kamu bukan Begal Dogol...!" Jaka Bego
semakin ingin menangis, mulutnya sudah mewek-
mewek sambil melangkah mundur.
Begal Dogol bicara kepada Braja, "Ini anak sinting
benar-benar menjengkelkan...."
"Cekek saja!" kata Braja. Seketika itu Jaka Bego
memegangi lehernya dengan rasa takut dicekek.
"Jangan, Mbah... jangan cekek aku...."
Dengan geram dan dongkol sekali, Begal Dogol
menendang Jaka Bego sekeras-kerasnya.
"Huhhgh...!" Jaka Bego tak sempat mengaduh,
tubuhnya yang kurus kerempeng itu melayang dengan
cepat dalam posisi tangan terbuka. Tak sengaja tangan
kanannya menghantam kening seorang pengawal yang
tadi menyerang Kirana: si Bonyok. Tahu-tahu si Bonyok
menjerit kesakitan terkena hempasan tangan Jaka
Bego. Dan ia buru-buru menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan sambil berguling-guling dan
berteriak-teriak. Ternyata kening itu menjadi pecah dan
darah segar tersembur dari kening itu. Semua mata jadi
memandang tegang, melotot menyaksikan adegan di
luar dugaan itu.
Tubuh si Bonyok berkelojotan beberapa saat,
kemudian ia tak tertolong lagi karena ada darah putih
yang keluar dan ternyata itu adalah otak. Tentu saja
banyak orang yang mengucek-ngucek matanya sendiri
karena menganggap sesuatu yang mustahil telah
dilihatnya. Masa' hanya tersenggol tangan yang
melayang akibat tendangan Begal Dogol bisa
mengakibatkan separah itu. Sementara Jaka Bego
sendiri tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia
jatuh dengan kepala duluan. Ia meringis dan mengaduh
sambil memegangi kepalanya. Wajahnya seakan ingin
segera menangis, tanpa mempedulikan mata tiap orang
terheran-heran melihat si Bonyok yang benar-benar
menjadi bonyok itu.
"Kau telah membunuh saudaraku, Kunyit...!" teriak
Peot yang bertubuh sepadan dengan Jaka Bego, namun
lebih gemuk lagi. Ia segera menyerang Jaka Bego
dengan mencabut goloknya, Jaka Bego lari ketakutan.
Ia lari sambil menengok ke belakang sampai tak sadar
kalau dia menabrak tubuh Begal Dogol. "Monyet...!"
geram Begal Dogol sambil memegang kedua pipi Jaka
Bego. Kedua pipi itu ditekannya kuat-kuat sampai
mulut Jaka Bego monyong ke depan dan tak bisa bicara
kecuali kesakitan.
Begal Dogol mendekatkan wajah dengan gemas dan
berkata, "Kau apakan si Bonyok, h ah?! Kau apakan
dia...?!"
"Uuf... uuf... uuuff...." Jaka Bego hanya bisa bicara
begitu. Namun Peot yang sudah marah karena
saudaranya mati terbunuh oleh kibasan tangan Jaka
Bego itu tak sabar lagi. Ia segera menendang tubuh
Jaka Bego dari belakang. Akibat tendangan itu, sudah
tentu Jaka Bego kesakitan dan ludahnya sempat
muncrat ke wajah Begal Dogol. "Crot...!" Ludah itu
mengenai mata Begal Dogol. Dan tiba-tiba Begal Dogol
melemparkan Jaka Bego kuat-kuat lalu menjerit
kesakitan. Ia memegangi matanya sambil menyumpah-
nyumpah. Orang mengira, Begal Dogol marah karena
merasa dihina dengan diludahi Jaka Bego. Namun di
balik semua itu, mereka merasa heran karena Begal
Dogol berjalan dengan meraba-raba dan berseru,
"Bangsat...! Mataku buta! Anak itu membuat mataku
menjadi butaaaa...!" Semua pengawal Begal Dogol
mencabut senjata. Mata mereka membelalak tegang
memandang Jaka Bego yang menggeliat kesakitan
pinggangnya. Sabdawana dan Lanangseta saling
pandang. Heran. Demikian juga Ludiro dan Kirana,
sama-sama tertegun.
"Ilmu yang langka sekali...." gumam Sabdawana.
"Jangan...! Jangan bunuh aku...." Jaka Bego
ketakutan. Ia jadi gemas sendiri karena pinggangnya
terasa sakit untuk berdiri, akibatnya ia tak dapat lari.
"Jangan bunuh aku. Aku cuma ingin bertarung dengan
Begal Dogol. Sungguh, cuma dengan Begal Dogol...!
Begal Dogol, Begal Dogol, Begal Dogoooolll...!" seraya
Jaka Bego memukul-mukul tanah karena jengkelnya
terhadap pinggangnya. Namun di luar dugaan, pada
saat itulah dari beberapa balik batuan cadas muncul
enam bayangan serupa. Keenam bayangan itu melesat
dan mendarat di dalam arena. Semua mata terperanjat
kaget. Bahkan Sabdawana sendiri sempat mundur
selangkah, seperti halnya Lanangseta, Kirana dan
Ludiro.
Keenam orang itu sama persis dengan Begal Dogol.
Pakaiannya juga kembar dengan Begal Dogol yang
matanya buta itu. Tongkatnya juga sama persis, tak ada
bedanya sedikit pun. Hanya ada satu orang yang
berbeda dalam hal pakaian. Kalau yang enam lainnya
berpakaian serba merah, seperti juga Begal Dogol yang
matanya buta, tapi satu orang itu berpakaian putih
bersih, sama putihnya dengan rambut dan jenggotnya
yang panjang.
"Gila! Begal Dogol ternyata telah memecah diri
menjadi tujuh sosok kembar. Ini rupanya yang menjadi
andalan Begal Dogol dalam menantangku," kata
Sabdawana. Yang lain masih terbengong. Bahkan para
pengawalnya bersama si tangan buntung itu juga
terbengong-bengong melihat Begal Dogol ada tujuh
orang. Sama persis. Tak berbeda sedikit pun.
"Rupanya Jaka Bego sejak tadi mengetahui bahwa
yang diludahi itu bukan Begal Dogol yang asli. Dan ia
menyebut-nyebut nama Begal Dogol tiga kali sambil
memukulkan tangannya ke tanah, itu adalah kunci
memanggil Begal Dogol yang asli," bisik Sabdawana.
"Sekarang tergantung kita untuk menentukan, mana
Begal Dogol yang asli," sahut Ludiro dengan mata
memandang cermat ke setiap wajah Begal Dogol.
Lanang menambahkan kata, "Kalau sudah begini, ini
adalah tugas saya, Rama. Kuminta jangan ada yang
bertindak kecuali saya dengan... paman Ludiro."
"Hati-hati, Lanang," pesan Kirana yang semakin
menambah semangatnya hati Lanangseta.
Lanang dan Ludiro maju beberapa langkah. Ludiro
berseru lebih dulu kepada pengawal Begal Dogol yang
hendak menyerang Jaka Bego, "Jangan sentuh anak
itu!"
Namun Peot dan Sargowi tetap nekad hendak
membacok Jaka Bego. Dengan cepat Ludiro mengambil
Cambuk Naga dari punggungnya dan memecutkan dua
kali ke arah Peot dan Sargowi. Kedua orang itu menjerit
kuat-kuat karena bahunya bagai terpotong benda tajam
dan nyaris putus, sedangkan Jaka Bego malahan
menjerit ketakutan dan ngeri melihat bahu kedua orang
itu seperti paha sapi dipotong hidup-hidup. Kedua
orang itu terguling-guling dalam kesakitan yang amat
sangat.
Lalu dua orang Begal Dogol menyerang Ludiro
dengan tongkat berbentuk ular sanca. Ludiro berguling
pada saat kedua kaki dan tongkat lawannya
menyerangnya dengan cepat. Ludiro lolos dari serangan
itu, sementara Cambuk Naganya melecut ke belakang
dan mengenai kedua sosok Begal Dogol. Kedua
punggung itu robek bagai tanah yang retak di musim
kemarau.
Tepat pada saat rubuhnya kedua orang itu,
Lanangseta segera mencabut pedang Wisa Kobranya.
Karena di depannya telah bergerak dua sosok Begal
Dogol sambil menghunjamkan tongkatnya. Pertama-
tama kedua tongkat itu ditebas dengan gerakan cepat
oleh pedang Wisa Kobra yang membara seperti besi
sedang dipanggang itu. Kedua tongkat tersebut hancur
beberapa bagian. Lalu tubuh kedua pemilik tongkat itu
ditebas pula oleh pedang tersebut, namun keduanya
berhasil bergulir ke samping kanan-kiri dalam keadaan
melayang, sehingga mereka selamat.
"Pedang Malaikat...?!" seru seorang Begal Dogol yang
mengenakan jubah putih. Seketika itu ia melejit hendak
melarikan diri, tapi Cambuk Naga telah mendahului
melecut leher orang berjubah putih. Rupanya orang itu
cukup tangkas. Ia berhasil menggenggam Cambuk Naga
itu tanpa tergores sedikit pun tangannya. Ludiro dan
orang berjubah putih saling bertahan, tarik menarik
melalui Cambuk Naga yang terentang kuat. Pada saat
itu, seorang pengawal yang bernama Bujel
mengeluarkan golok pendeknya dan hendak memotong
tali Cambuk Naga. Tetapi ia terjegal kaki Jaka Bego
yang bermaksud hendak bangkit. Bujel jatuh
tersungkur dalam keadaan limbung, ia bertahan untuk
tidak menyentuh tanah. Tetapi pada waktu ia bangun
hendak berdiri tegak, tahu-tahu tali cambuk yang
terentang itu dikibaskan oleh Ludiro ke samping. Tak
sengaja tali itu mengenai leher Bujel, dan orang itu pun
berkelojotan bagai kambing disembelih, sebab tali
Cambuk Naga telah memotong lehernya.
Jaka Bego berguling dengan terpaksa karena
tubuhnya terkena tendangan tangan buntung yang
sedang melawan Lanangseta. Akibatnya, tubuh Jaka
menyentuh kaki Begal Dogol yang buta tadi.
"Mampus kau sekarang, Bocah edaaan...!" geram
Begal Dogol yang buta, ia segera mengangkat kakinya
dan menginjak wajah Jaka Bego kuat-kuat. Injakan itu
tepat di mulut Jaka Bego. Tentu saja Jaka Bego
berkelojot kesakitan. Dengan berusaha sedapat
mungkin, Jaka Bego akhirnya bisa menggigit jari
kelingking kaki lawannya yang masuk ke mulut Jaka
Bego. Kelingking itu digigit dengan gemas dan Begal
Dogol yang buta itu menjerit sekuat-kuatnya. Lalu,
mendadak tubuhnya menjadi membiru, dan rubuh.
Badan itu menjatuhi Jaka Bego sehingga Jaka Bego
menjerit minta tolong. Ia berusaha menyingkirkan
tubuh yang telah membiru dan mengerikan baginya.
Begitu ia berhasil lolos dari tumpukan tubuh itu, ia
memandang dengan heran, sebab tubuh itu kini
menjadi kaku dan biru bagai terkena bisa ular beracun
yang amat ganas.
Di lain tempat, Lanangseta menghadapi tiga
lawannya sekaligus. Mereka adalah dua Begal Dogol
dan si tangan buntung. Dalam satu kesempatan,
mereka berposisi berjajar ke belakang. Paling depan
Braja, atau si tangan buntung dan di belakangnya tepat
dua Begal Dogol berdiri hendak mengatur gerak.
Seketika itu Lanangseta menggerakkan pedangnya
dengan cepat, menusukkan ke dada Braja, namun tidak
sampai menembus, melainkan hanya ujung pedang saja
yang menyentuh dada Braja. Setelah itu Lanangseta
bersalto ke belakang dua kali, menjauhi lawannya.
Ketiga lawannya bergerak menyerang dengan tendangan
layang. Namun sebelum mereka sampai di tanah, tahu-
tahu Braja meliuk seperti gedebong pisang yang telah
dipotong. Tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Ia tak
sempat berteriak kecuali menganga lebar. Sedangkan
tak berapa lama, kedua tubuh Begal Dogol yang ikut
melayang itu juga menjadi terpotong tiga bagian, yaitu
bagian dada, serta bagian pusar. Mereka juga tidak
berkutik lagi, tak mampu berteriak.
Kini tinggal tiga sosok Begal Dogol yang harus
mereka tumbangkan. Satu orang sedang menyerang
Ludiro yang sedang adu kekuatan dengan Begal Dogol
berjubah putih, satu lagi sedang menyerang Jaka Bego
dengan tongkat yang dilemparkan.
Jaka Bego ketakutan diserang tongkat itu. Ia
bukannya lari atau menghindar, tapi malahan
berteriak-teriak sambil menutup wajahnya dengan
kedua lengan. Lanangseta segera menggerakkan tangan
kirinya, dan keluarlah semacam sinar merah yang
menjurus ke tongkat tersebut, sehingga tongkat itu pun
melesat menuju ke tempat lain. Lanang segera
melambungkan tubuh, bersalto dan jatuh di belakang
Begal Dogol yang menyerang Jaka Bego. Orang itu
berbalik arah hendak menyerang Lanangseta, tapi
Lanangseta melayang dan bersalto lagi melalui atas
kepalanya, lalu mendarat di depan Begal Dogol
berjubah putih. Pada saat itu Begal Dogol yang hendak
menyerang Jaka Bego itu telah menjerit satu kali dan
tahu-tahu kepalanya telah terbelah.
Lanangseta menggerakkan kakinya ke arah Begal
Dogol berbaju putih. Kaki itu menghantam rahang
lawannya, sehingga orang berjubah putih itu terpental.
Pegangan Cambuk Naga terlepas, tepat pada saat itu
Ludiro kebingungan mengatasi serangan satu lawannya.
Namun ketika ia hendak disabet tongkat ular, Ludiro
sempat berguling ke tanah. Sambil berguling, ia berhasil
mengibaskan cambuknya dan mengenai perut orang
itu. Kontan orang itu berjumpalitan dalam erang
kesakitan. Perutnya bodol, ususnya keluar. Dan ia
menggelepar-gelepar di tanah.
Saat itu juga Lanang berhasil merobek lengan orang
berjubah putih yang diperkirakan Begal Dogol yang asli.
Namun orang itu sempat melayang dan menyemburkan
asap hitam dari mulutnya. Lanangseta berguling-guling
menghindari asap hitam yang diduga adalah racun
berbahaya. Orang itu jatuh menindih tubuh Jaka Bego,
namun pada saat itu, Jaka Bego sedang memegang
sebilah golok pendek milik Bujel. Ia sedang terheran-
heran melihat golok begitu pendek, dan tahu-tahu
tubuh orang berjubah itu menjatuhi dirinya. Tak
sengaja Jaka Bego telah menggenggam erat tangkai
golok itu, lalu orang berjubah putih mengerang panjang.
Jaka Bego membelalakkan mata melihat orang itu
mengerang dan berusaha bangkit.
Jaka Bego berseru, "Tolong.... tarikan orang ini.
Golok yang kupegang ini menancap di punggungnya....
Kasihan dia tidak bisa bernapas tuh... tuh lihat...!"
Ludiro mengibaskan Cambuk Naga, dan cambuk itu
membelit di kedua kaki orang tersebut. Lalu dia
menariknya dengan satu sentakan, dan orang itu
melayang dengan kaki dililit Cambuk Naga. Pada saat
itu, Lanangseta melepaskan pedang membaranya.
Pedang itu melesat sendiri bagai sinar api merah.
Pedang itu menembus tubuh yang sedang melayang.
Jebol sampai ke bagian depan, dan pedang itu pun
segera kembali lagi ke tangan Lanangseta.
Orang berjubah putih jatuh tak sempat bernafas lagi.
Jaka Bego segera melompat dan berdiri di atas perut
Begal Dogol berjubah putih. Ia mengangkat kedua
tangannya bagai memperoleh kemenangan yang
gemilang. Lalu orang-orang bersorak. "Horeee...! Hidup
Jaka Bego...!" Dan mereka pun segera menyerbu Jaka
Bego. Mereka mengangkat tubuh Jaka Bego ke atas
dengan sorak kemenangan. Mereka berseru, "Hidup
Jaka Bego...! Hidup Bego, Bego...! Bego, Bego kok hidup!
Hidup Bego, Bego...!"
"Hei, hei... turunkan aku...! Aduuh... pinggangku
patah, tahu?! Adduuhh... celaka kalau begini...!"
Lanangseta dan Ludiro tertawa menyaksikan sorak-
sorai itu. Kirana segera meninggalkan ayahnya dan
memeluk Lanangseta. Tetapi ketika Lanangseta
mendekati Sabdawana, orang itu bersujud dan berkata,
"Terima kasih atas bantuanmu, Putra Dewa...."
"Sudahlah, Rama... sekarang aku akan mengurus
perkawinanku dengan gadis angkuh ini," ujar
Lanangseta. Sabdawana dan Kirana tertawa lepas.
Tapi Ludiro segera bertanya, "Hei, apakah kalian ada
yang melihat di mana pemuda yang bernama Prabima
itu. Bukankah dia juga murid Begal Dogol?"
"Iya, ya...? Di mana dia...?" tanya Kirana. "Dan, siapa
sebenarnya Jaka Bego itu? Agaknya ia punya ilmu yang
aneh."
Lanang hanya mendesah, "Ah, itu soal nanti. Yang
penting sekarang kawin dulu."
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar