PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE KUTUKAN JAKA BEGO
KUTUKAN JAKA BEGO
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Kutukan Jaka bego
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.8
1
JAKA BEGO merasa diikuti oleh beberapa orang
secara sembunyi-sembunyi. Ia berlagak tidak menge-
tahui. Ia bahkan berjalan sambil menyenandungkan
tembang Dandanggulo. Desa Tayub masih agak jauh.
Sebetulnya bisa ditempuh dengan waktu yang singkat.
Ilmu peringan tubuh yang ada padanya bisa saja
mempercepat langkah. Namun berhubung ada tiga
orang mengikutinya dari belakang secara sembunyi-
sembunyi, maka ia tetap berjalan biasa. Sepertinya
sudah menjadi kebiasaannya, bahwa ia akan bersikap
biasa jika ada orang yang belum dikenalnya.
Dalam satu kesempatan, Jaka Bego melihat sebuah
batu besar di tepi jalan. Ia bergegas bersembunyi di
balik batu itu. Ia ingin tahu siapa ketiga orang yang
mengikutinya itu. Benar juga. Ketiga orang itu berhen-
ti, agaknya ia kehilangan jejak. Masing-masing clingak-
clinguk mencari buruan mereka. Jaka Bego tahu, sa-
lah seorang berdiri sambil bersandar pada batu itu, ta-
pi ia tidak menengok ke arah kanan. Jika ia menengok
ke arah kanan dan menunduk, maka ia akan mene-
mukan Jaka Bego di sana.
Sebab itu, Jaka Bego bisa mendengar percakapan
ketiga orang yang menguntitnya itu. Mereka berbicara
dengan bahasa Cina. O, rupanya mereka adalah utu-
san Laksamana Chou yang kehilangan anak gadisnya,
(dalam kisah DENDAM DARAH TUA). Dengan kemam-
puannya yang tak diketahui orang, ternyata Jaka Bego
bisa mengartikan bahasa Cina yang dipergunakan ke-
tiga penguntit itu.
"Tidak mungkin anak itu hilang. Liu. Dia bukan se-
tan," kata orang yang bersandar pada batu tempat Ja-
ka bersembunyi.
"Kalau bukan setan, kenapa dia bisa menghilang,
Li Twan?"
"O, yang bersandar di batu itu bernama Li Twan,"
pikir Jaka Bego. Kemudian ia mendengar suara Li
Twan. "Pak Chang Hu, apa Anda tidak salah lihat?"
Rupanya satu di antara mereka adalah Chang Hu,
kepala keamanan di kapal Laksamana Chou. Dan ter-
dengar Chang Hu berkata, "Aku tidak salah lihat. Aku
hapal betul dengan bau anak itu."
"Tapi dia menghilang? Kita kehilangan jejak," kata
Liu.
"Kita jalan terus, siapa tahu anak itu ada di depan
kita. Kita kuntit dia sampai masuk ke rumah pemuda
yang membawa lari nona Yin Yin. Ayo, jalan...."
Setelah ketiga utusan Laksamana Chou itu lewat,
Jaka Bego tersenyum lega sambil menampakkan diri
dari persembunyiannya. Ia memandang tiga orang ber-
seragam pakaian merah. Ketiganya membawa pedang
bertangkai panjang. Ketiganya memakai topi khas se-
perti bentuk buah bangkuang terbelah. Warnanya sa-
ma-sama biru berhias kuningan emas. Di setiap pang-
kal pedang, mereka memberi hiasan rumbai-rumbai
halus, sepertinya dari bahan benang wol berwarna me-
rah juga. Pedang bertangkai panjang itu kelihatan se-
ram.
Jaka Bego berjalan pelan-pelan mengikuti ketiga
orang itu. "Pasti ini masih ada hubungannya dengan
hilangnya putri Laksamana Chou," pikir Jaka Bego.
"Pasti dikira aku ingin pergi ke rumah Lanangseta. Ah,
sebenarnya Lanangseta melarikan nona Yin Yin atau
tidak?"
Ketika benak Jaka Bego sedang bertanya-tanya be-
gitu, tahu-tahu ia kehilangan orang yang dikuntitnya.
Ketiga orang itu bagai lenyap ditelan bumi. Jaka Bego
clingak-clinguk, tak kelihatan mereka membelok ke ki
ri atau ke kanan. Tapi tak mungkin kalau hilang begitu
saja. Pasti bersembunyi. Jaka Bego mencari di setiap
semak dan bebatuan yang pantas dipakai buat ber-
sembunyi. Namun beberapa tempat telah diperiksanya,
ternyata tidak ada.
"Hei, utusan negeri Cina...?! Di mana kalian?!" seru
Jaka Bego. Tentu saja tak ada jawaban. "Aku menye-
rah. Aku tak bisa mencari kalian. Nah, sekarang ke-
luarlah...!" Tetap tak ada jawaban. Sepi. "Ah, berarti
mereka sudah pergi jauh. Mungkin dengan berlari ce-
pat," pikir Jaka Bego.
Maka Jaka Bego segera lari, mengejar ketiga utu-
san dari negeri Cina yang diperkirakan sudah berada
di depannya. Tetapi dalam suatu kesempatan, Jaka
Bego terpaksa memperlambat langkahnya. Ia menden-
gar suara langkah di belakangnya. Segera ia berkele-
bat, bersembunyi pada sebatang pohon besar. Ia meli-
rik ke belakang, oh... ternyata ketiga orang Cina itu
masih ada di belakangnya dan kini sedang menguntit-
nya lagi. Jadi, tadi sebenarnya ketiga utusan itu juga
bersembunyi sewaktu mereka mengetahui bahwa Jaka
Bego menguntitnya dari belakang.
Wah, ini namanya saling menguntit! Buktinya wak-
tu Jaka Bego bersembunyi di balik pohon, ketiga utu-
san itu juga secepatnya bersembunyi di balik pohon.
Jaka Bego melanjutkan perjalanannya. Ketiga orang
itu juga melanjutkan penguntitannya. Jaka segera me-
lesat masuk ke balik pohon lagi. Ketiga utusan itu juga
masuk di balik pohon lagi. Jaka Bego berlagak mau ke-
luar dari balik pohon, ketiga penguntitnya juga keluar
dari pohon. Tapi Jaka masuk kembali, dan ketiga pen-
guntitnya segera masuk juga. Jaka Bego mengulurkan
tangan keluar dari pohon, ketiga pengintai itu juga
mengulurkan tangan keluar dari pohon. Tangan Jaka
ditarik kembali, tangan mereka juga ditarik kembali.
Jaka Bego tertawa pelan dari persembunyiannya.
Akhirnya Jaka Bego merasa malas main umpetan,
lalu ia keluar dari persembunyian dengan berseru,
"Boleh menguntit asal jangan mengganggu...!"
Eh, dijawab juga, "Iyaaa...!"
"Tolol...!" bentak Chang Hu kepada Liu. "Jangan
menjawab. Itu berarti kita mengaku sedang mengun-
titnya."
"Hayaaa... dia sudah terlanjur tahu, buat apa-
lah...!"
Jaka Bego berhenti sejenak sewaktu sampai di te-
pian desa Tayub. Ia mengingat-ingat di mana rumah
Pak Lodang dan Mahani itu. Menurut ingatan Jaka Be-
go, di depan rumah adiknya Pak Lodang itu ada dua
pohon kelapa berjajar. Nah, sekarang itulah yang men-
jadi patokan Jaka Bego. Ia tersenyum setelah melang-
kah. Ia membayangkan wajah Mahani yang berkulit
coklat namun manis. Dengan adanya perkawinan La-
nangseta dengan Kirana satu hari lagi, itu berarti
memberi alasan bagi Jaka Bego untuk datang ke ru-
mah Pak Lodang. Alasannya memberitahu dan men-
gundang Pak Lodang sekeluarga untuk menghadiri
pesta perkawinan Lanangseta. Tapi sebenarnya... cu-
ma ingin bertemu dengan Mahani yang ia senangi itu.
"Ah, tapi ketiga penguntit itu benar-benar memua-
kkan jadinya. Pasti mereka nanti akan mengganggu
pertemuannya dengan Mahani. Maka, begitu sampai di
depan rumah Mahani, Jaka Bego langsung saja masuk
lewat jendela. Biarlah Pak Lodang atau Mahani terkejut
sebentar, namun mereka akan tercengang dengan ke-
datanganku," pikir Jaka Bego. Pelan-pelan sekali ia
melangkah masuk. Dan tiba-tiba sebuah pukulan kayu
mendarat di punggung Jaka Bego.
"Auuwh...!" Jaka Bego mengaduh.
"Maling kamu, ya? Mau maling, ya?!" bentak seorang nenek sambil sekali lagi memukulkan gagang sa-
pu ke tubuh Jaka Bego.
"Aaoww...! Sabar, Nek... Sabar...! Saya ini teman-
nya Pak Lodang. Nenek besok ikut juga ya? Ikut da-
tang ke pesta perkawinan Lanangseta. Ya, Nek...?
Aoow...!" Jaka Bego mengaduh lagi.
"Pergi...! Ayo, pergi...!" teriak Nenek itu.
"Tunggu dulu, aduh...! Saya cuma mau memberi-
tahu kepada Pak Lodang, bahwa... eh, nenek ini
ibunya Mak Lodang yang katanya suka cerewet itu,
kan?"
"Di sini bukan rumah Lodang. Ini rumah Kumoro,
anakku."
"Hah...?! Rumah...? Lho, ini bukan rumah Pak Lo-
dang? Astaga... aku salah masuk!"
"Ayo, pergi...! Tidak perlu pakai astaga-astagaan
segala. Pokoknya pergi...! Kau mau memperkosaku,
ya?"
"Iiih... amit-amit!" sambil Jaka Bego mencibir. Ke-
mudian ia bermaksud membuka pintu untuk keluar.
"Ayo, keluar! Kok malah masuk!"
"Iya ini aku mau keluar! Ih, galak amat!"
"Kenapa kamu mau masuk kamar mandi, ha?"
"Lho, ini bukan pintu untuk keluar? Ooooh... pintu
kamar mandi? Astaga...!"
"Tidak perlu pakai astaga, pokoknya keluar!" Lalu,
"pletaak...!" Gagang kayu itu dipukulkan di kepala Ja-
ka Bego. Jaka berlari menghindari pukulan berikut-
nya. Ia kembali melalui jendela dan keluar dari rumah
itu. Nenek pemilik rumah masih gemas. Ia melempar-
kan bakiaknya. Jaka Bego menghindar. Bakiak itu se-
gera diambil dan diserahkan kembali kepada nenek
tersebut. Nenek itu masih marah, bakiak dilemparkan
lagi dengan keras.
"Maaf, Nek... aku tidak sengaja...!" kata Jaka Bego
sambil menghindar. Dan memang luput. Tapi Jaka Be-
go mengambil bakiak itu lagi, diserahkan kepada ne-
nek.
Nenek menerima bakiak dengan omelan panjang.
"Anak tak tahu sopan... kurang ajar! Mau jadi pencuri
tanggung kamu, ya? Ini rasakan bakiakku...!"
"Wess...!" Bakiak melayang lagi, sedangkan Jaka
Bego sudah berjalan beberapa langkah. Merasa dirinya
dilempar lagi, walau tidak terkena, ia menjadi dongkol.
"Sudah dibaiki malah ngelunjak," gerutu Jaka Bego.
Kemudian ia mengambil bakiak itu, dan dilemparkan
kembali kepada nenek. Maksudnya mau diberikan se-
cara cepat. Tapi rupanya nenek itu tidak tangkas, ba-
kiak yang hendak ditangkap ternyata meleset dan
mengenai jidatnya. "Pletoook...!"
"Kurang ajar...! Kepala orang tua dilempar bakiak!"
teriak nenek itu, dan Jaka Bego terbengong jadinya.
Kemudian takut dikeroyok orang sekitarnya, Jaka Bego
lari ketakutan. Omelan nenek itu masih terdengar
sayup-sayup. Lalu, setelah merasa jauh dari rumah
tersebut, Jaka Bego berhenti sejenak. Mengatur perna-
fasannya. Mengelus kepalanya yang tadi terkena puku-
lan dua kali.
"Sial...!" gerutu Jaka Bego. "Kukira tadi yang ada di
depan rumah adalah dua pohon kelapa, eh... tidak ta-
hunya dua pohon jambe. Uuh... gara-gara salah masuk
rumah kepalaku jadi nyut-nyutan...!"
Kemudian ia teringat tiga orang yang menguntit-
nya. Ia segera berpaling kian ke mari. "Mana tadi keti-
ga penguntit ku? Sudah pergi? Kehilangan jejak?!"
Sekilas kelihatannya sudah aman. Tapi mata Jaka
Bego ternyata masih awas. Ketiga penguntitnya ber-
jongkok bersama di pohon kelapa. Masing-masing ka-
kinya terjulur setelah lipatan. Tangan mereka meme-
gang topi yang dikembangkan sehingga dari jauh me
mang mirip tanaman hias yang berwarna merah. Na-
mun agaknya Jaka Bego tak bisa ditipu begitu saja. Ia
tahu itu muslihat para penguntitnya. Maka, ia pun
bergegas masuk ke sebuah kandang kambing milik
orang. Dengan masuk ke kandang kambing secara ti-
ba-tiba, maka ketiga pengintainya jadi kebingungan.
Jaka Bego menertawakan ketiga penguntitnya yang
kini sedang clingak-clinguk mencarinya. Mereka me-
nyebar dan tampak cemas, takut kalau kehilangan je-
jak. Tapi di luar kesadaran, ternyata di belakang Jaka
Bego ada seekor kambing yang hendak beranak.
Kambing itu mengembek berulangkali. Jaka Bego me-
lihat dengan mata menyipit betapa susahnya kambing
itu hendak beranak.
"Oh, anaknya kembar...? Mau keluar bersamaan?!"
Jaka Bego tertegun sesaat. "Iih... kasihan sekali kamb-
ing ini." Akhirnya Jaka Bego membantu mengeluarkan
anak kambing yang satu. Tanpa disadari, ia pun telah
menjadi dukun beranak untuk kambing. Ini mau tak
mau harus dilakukan daripada kambing mengembek
terus dan penguntitnya bisa mengetahui di mana dia
berada, kan lebih baik mempercepat kelahiran kamb-
ing itu supaya tidak mengembek terus.
Ada seorang lelaki keluar dari rumah. Mungkin di-
alah pemilik kambing tersebut. Karena takut dikira
mau mencuri kambing, maka Jaka Bego pun segera
mengindap-indap dan pergi dari kandang kambing itu.
Ia berlari dengan berjingkat-jingkat sambil memperha-
tikan apakah pemilik kambing mencurigainya atau ti-
dak. Ternyata pemilik kambing bahkan tersenyum lega
melihat kambingnya sudah beranak. Tetapi ketika Ja-
ka Bego hendak melangkah lagi, ternyata ada seorang
penguntitnya yang sudah berdiri di depannya persis.
Jaka Bego menyeringai malu.
"Mau ke mana kau, Babi?"
"Mau... mau ke sana, Celeng...." Jaka Bego merin-
gis, dan orang itu mendelik dikatakan celeng. Lalu
orang itu menggenggam rambut Jaka Bego sehingga
Jaka Bego meringis kesakitan.
"Di mana rumah pemuda itu?! Lekas katakan!"
"Pemuda yang mana? Di sini banyak pemuda," ja-
wab Jaka Bego dengan ketololannya. Mendengar sua-
ranya yang besar, pasti ini yang bernama Li Twan,
yang tadi bersandar di batu ketika Jaka Bego bersem-
bunyi di balik batu itu.
"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, jangan
becanda! Aku sudah bosan menguntit mu terus. Ayo,
sekarang tunjukkan di mana rumah pemuda yang me-
larikan nona Yin Yin."
"Wah, mana saya tahu?! Saya kan tidak ikut mela-
rikan nona Yin Yin!" bantah Jaka Bego, dan sebuah
tamparan mendarat di wajahnya. Jaka Bego meringis
kesakitan. Tapi ketika ia hendak ditampar lagi, ia
memberanikan diri untuk menangkis dengan gerakan
cepat. Namun tangkisannya meleset malahan menge-
nai pipi Li Twan. "Plook...!"
"Kurang ajar kamu, hayaa...!" Li Twan semakin
mengangkat rambut Jaka Bego sehingga kaki Jaka Be-
go menggantung. Jaka Bego berseru kesakitan. Ka-
kinya berkejet-kejet, dan tangannya simpang siur tak
karuan. Malahan pada saat itu, ia berhasil menampar
wajah Li Twan dua kali: "Plok...! Plook...!"
Li Twan segera melepaskan rambut Jaka Bego dan
menendangnya. Ia tidak langsung menyerang, melain-
kan mendesis-desis dan mengibaskan wajahnya beru-
langkali. Karena ia mencium bau tak sedap dan mual.
Bau darah kambing melahirkan. Jaka Bego meringis
geli. Ia lupa tidak membersihkan tangannya ketika ha-
bis membantu kambing beranak. Darah masih belepo-
tan di tangannya. Dan tak sadar tangan itu ia gunakan
untuk menampar wajah Li Twan. Sekalipun tampa-
rannya sangat pelan tak berarti, tapi lumuran darah
kambing beranak itulah yang membuat Li Twan tidak
buru-buru menyerangnya.
"Itulah jurus Kambing Beranak...!" seru Jaka Bego
sambil berlari, selagi Li Twan mendesis, mendengus-
dengus, dan mengusap-usap wajahnya. Pada waktu
itu, Liu datang menemui Li Twan.
"Ada apa? Kau telah menangkap anak itu?" Liu tak
berani mendekat. Ia meludah beberapa kali. "Bau apa
ini? Uuh... cuih... cuih...!"
"Anak itu tangannya berlendir dan berbau kambing
begini. Puih...!" Li Twan meludah. "Ia lari ke sana...!"
Jaka Bego berlari dengan lincah dan gesit. Ia ber-
henti di samping sebuah rumah. Di sana ada air, dan
ia mencelupkan tangannya ke kolam air tersebut. Tapi
ia segera berteriak kaget. Ada sesuatu yang membuat
jari tangannya terasa sakit. Tak lama, dari dalam ko-
lam air itu muncul seekor kura-kura yang pantasnya
disebut, penyu. Oh, rupanya ia digigit penyu itu. Ja-
rinya sempat berdarah. Ia tak tahu kalau kolam itu
adalah tempat peternakan penyu. Di desa Tayub itu,
penduduknya banyak yang beternak penyu untuk di-
ambil telurnya, atau menjadi nelayan tulen. Dan akibat
teriakan itulah maka pemilik penyu pun keluar. Pemi-
lik penyu itu mengira Jaka Bego hendak mencuri
penyu-nya, karena itu ia berteriak, "Maliiiing...!"
Jaka Bego berlari cepat. Bukan lantaran diteriaki
sebagai maling, tapi lantaran ia melihat ketiga pengun-
tit dari Cina itu sedang menuju ke tempatnya. Tapi
orang-orang kampung mengira Jaka Bego benar-benar
seorang pencuri. Buktinya dia melarikan diri dan takut
tertangkap penduduk. Sebab itulah semangat pendu-
duk semakin berkobar. Mereka segera mengejar Jaka
Bego.
"Kepung...! Kepung...! Ngidul...! Ngidul larinya...!"
teriak orang-orang kampung. Ada yang membawa arit,
ada yang membawa pentungan, ada yang membawa
alu, pokoknya segala macam yang bisa dibawa, mereka
bawa. Bahkan ada yang berlari membawa pengki tem-
pat sampah, karena pada waktu itu yang dekat den-
gannya adalah pengki tempat sampah. Bahkan ada
yang membawa kutang, karena waktu itu ia sedang
memeras kutang istrinya yang basah habis dicuci.
Kejaran mereka semakin banyak. Jaka Bego tetap
berlari sambil berseru, "Aku bukan maling...! Jangan
salah sangka. Aku bukan maling...!"
Tapi mereka tetap mengejar Jaka Bego sambil ber-
teriak sahut-menyahut, "Maling...! Maling...!" Bahkan
ada orang yang baru keluar dari rumah berseru sambil
lari di depan Jaka Bego. "Maliiing...! Maling...!" Ia men-
gajak bicara kepada Jaka Bego, "Maling apa sih orang
itu?"
"Tidak tahu, Pak!" jawab Jaka Bego.
"Memang harus segera dirajang-rajang orang sema-
cam dia itu. Maling kok siang hari...! Maliiing...!"
Jaka Bego tahu orang itu berlari tanpa tujuan, se-
bab dia tidak tahu siapa pencuri yang dikejarnya. Ma-
ka Jaka Bego pun berkata, "Bapak mengejar apa?"
"Orang yang diteriaki maling itu...!"
"Yang diteriaki maling saya, Pak."
"Lho, jadi, kamu yang diteriaki maling?! Eh,
alaah...!"
"Glepok...!" Tiba-tiba orang itu memukul Jaka Be-
go. Jaka tak sempat menghindar sehingga jatuh tergul-
ing-guling. Orang itu hendak menginjak perut Jaka
Bego, "Mampus kau!" Tapi Jaka Bego sempat berguling
ke kiri. Dan orang itu berteriak nyaring karena kakinya
menginjak tanah dan di tanah itu ada pecahan beling
yang cukup runcing. Tapi Jaka Bego sebenarnya juga
terkena pecahan beling itu, tapi berhubung benda ter-
sebut hanya mengenai ikat pinggangnya yang terbuat
dari kulit kerbau, maka ia tak merasa sakit.
Pada waktu Jaka Bego lari lagi, ia terkepung ba-
nyak orang di depannya. Salah satu orang itu ada Pak
Lodang yang membawa sepotong bambu petung.
"Pak Lodang...! Saya Jaka Bego...!" teriak Jaka Be-
go.
"Lho, kamu Bego...? Kok jadi dikejar-kejar sebagai
maling?!"
Orang di belakang Jaka Bego semakin dekat. Jaka
Bego tergesa-gesa. "Pak, mereka salah anggapan! Po-
koknya saya bukan maling. Saya mau datang ke ru-
mah, memberi kabar bahwa Bapak sekeluarga kalau
bisa besok datang ke Bukit Badai. Anu... di sana La-
nangseta kawin, sedang pesta. Dan... dan saya dikejar-
kejar tiga orang Cina, jadi saya terpaksa lari...."
"Maliiing... tangkap! Ganyang...!"
"Tunggu-tunggu...! Dia bukan maling...!" cegah Pak
Lodang. Dan pada saat orang-orang ribut dengan Pak
Lodang, Jaka Bego menyelamatkan diri. Jaka Bego
naik ke sebuah pohon dengan cepat, lalu meloncat ke
genting rumah. Dari genting yang satu ke genting yang
satu ia berlari dengan cepat. Anehnya tak satu pun
genting yang pecah diinjaknya. Gerakannya begitu ce-
pat. Sampai akhirnya ia bisa melarikan diri sampai di
tepian desa. Namun ternyata di sana ia terjebak. Tiga
penguntitnya telah melesat dan mendahului larinya.
Jaka Bego hendak berbalik ke perkampungan ne-
layan, tapi tiba-tiba tiga pedang bertangkai panjang itu
telah menyergapnya. Ketiga pedang itu bergerak cepat
dan menyilang di lehernya. Satu menyilang di leher ki-
ri, satu di leher kanan, dan satu lagi menyilang di leher
depan.
"Bergerak, mati...!" beriak Chang Hu.
Jaka Bego tak berani bergerak, karena jika ia ber-
gerak, maka pedang itu akan mengiris kulit lehernya.
"Uh, tajam juga mata pedang itu," pikir Jaka Bego den-
gan menahan nafas. Repotnya, pada waktu itu ia ingin
batuk. Namun kalau ia batuk, berarti ia akan berge-
rak-gerak, dan mata pedang akan mengirisnya. Akhir-
nya ia menahannya kuat-kuat sampai matanya menja-
di merah.
"Jangan menangis!" bentak Liu. "Ikut kami ke kap-
al!"
"Ya, bawa saja ke kapal. Biar Laksamana Chou
yang menyiksanya agar mengaku di mana rumah pe-
muda itu!" timpal Li Twan yang tadi dilumuri darah
kambing beranak.
"Jangan. Jangan bawa saya ke mana-mana. Besok
ada pesta...." Jaka Bego merengek, namun ia tetap dis-
eret ke kapal.
Tangan Jaka Bego diikat dan ia dituntun oleh Li
Twan dengan seutas tali sisa pengikatnya. Ia jadi se-
perti kambing yang hendak dijual ke pasar hewan.
"Saya tidak tahu menahu soal nona Yin Yin, kena-
pa saya dijadikan korban...?" ucap Jaka Bego dengan
wajah hendak menangis.
"Aku melihat sendiri kau kerjasama dengan pemu-
da itu!" bentak Chang Hu. "Apa kau tak ingat waktu
aku kau jatuhi dahan pohon sehingga aku terluka di
beberapa bagian?!"
"Iya. Aku ingat. Itu memang peristiwa lucu yang
tak bisa kulupakan. Tapi...."
"Plook...!" Tamparan mendarat lagi di wajah Jaka
Bego. Chang Hu memerah wajahnya. "Jangan sekali
lagi bilang itu pengalaman lucu, ya? Kau menghinaku
jika berkata begitu!"
"Baiklah, pengalaman itu tak jadi lucu. Tapi aku
berani sumpah, bahwa aku memang tidak kenal dengan Yin Yin. Kalau kalian mau memperkenalkan aku
dengan nona Yin Yin, boleh saja, tapi jangan begini ca-
ranya!"
"Diaaam...!" bentak Liu.
"Bagaimana bisa diam? Aku tidak bersalah kok
disuruh diam. Nanti kalau aku dihukum, apa kau mau
bertanggungjawab?!"
Liu jengkel, ia menendang pinggang Jaka Bego
dengan tendangan samping.
"Aauuw...!" Jaka Bego terjatuh. Ia terguling-guling.
Lalu berusaha berpegangan pada batu, namun segera
ditarik oleh Li Twan. "Sreet...!" Sengaja ia mengenakan
tali pengikat pada batu sehingga sedikit terpotong.
Ia berlari lagi karena dibangunkan oleh Chang Hu.
Tapi tak lama kemudian ia berpegangan pada pohon.
Dan Li Twan menariknya, "Ayo, cepat...!"
"Sreet...!" Tali bergesekan dengan kulit pohon. Begi-
tu seterusnya ia lakukan. Dan hal itu di luar kesada-
ran para utusan Laksamana Chou. Makin lama kea-
daan tali semakin rantas. Jaka Bego punya sedikit ha-
rapan untuk bisa lolos. Namun ia harus mengulangi
tindakannya itu supaya tali bisa tergeser dan bergesre-
kan terus dan nantinya akan menjadi putus. Tapi,
sampai kapan ia akan tahan begitu? Sebab jika berge-
sekan dengan benda lain, kulit tangannya jadi ikut le-
cet dan perih.
*
* *
2
DALAM perjalanan ke kapal Cina, Jaka Bego sem-
pat merasakan ada sesuatu yang janggal. Sesuatu
yang janggal itu ialah adanya sepasang mata di tempat
persembunyian yang mengikuti penderitaan Jaka Be-
go. Mungkin ketiga utusan Cina itu tidak melihat
adanya sepasang mata di tempat persembunyian. Te-
tapi, naluri Jaka Bego tak dapat dikelabuhi lagi.
Benar. Ada sepasang mata tajam mengawasi perja-
lanan ketiga utusan Cina yang menyeret-nyeret Jaka
Bego. Sepasang mata itu tampaknya cukup dikenali
oleh hati Jaka Bego. Dalam hati Jaka Bego hanya ber-
tanya-tanya, "Bukankah yang bersembunyi itu La-
nangseta? Tapi mengapa ia tidak segera memberi per-
tolongan? Mengapa ia membiarkan aku tersiksa begi-
ni? Mengapa hanya memperhatikan dari balik semak
belukar itu?"
Jaka Bego mengeluh dalam hati, "Sialan! Aku
hanya dijadikan tontonan. Apakah... apakah Lanang
sengaja membiarkan aku begini? Apakah ia terlalu ta-
kut terlibat dalam kekacauan ku ini? Ya, ya... aku
mengerti. Mungkin Lanang sengaja membiarkan hal ini
terjadi, karena jika ia ikut terlibat, mestinya ia takut
perkawinannya besok akan tertunda lagi. Sialan! Ini
namanya tidak adil. Lanang tega membiarkan aku ter-
siksa begini, hanya karena ia takut kalau perkawinan-
nya akan tertunda. Uuh...! Dasar pendekar tidak tahu
belas kasihan sama teman sendiri...!"
Tali mulai rantas. Jaka Bego sering jatuh dan dis-
eret. Kadangkala ia ditendang oleh Chang Hu atau Liu.
Tapi di balik kesengsaraannya, Jaka Bego punya ren-
cana untuk memutuskan tali itu dan kabur. Hanya sa-
ja, rasanya lama sekali tali yang mengikat kedua tan
gannya tidak putus-putus juga. Dan, pada saat ia sen-
gaja jatuh terakhir kalinya, di dekat semak berduri, ia
sengaja mengenakan tali itu pada duri-duri semak. Li
Twan yang memegangi ujung tali segera menyeret lagi
dengan kasar. Jaka Bego mengharapkan tali itu putus
pada detik itu pula. Ternyata tidak. Hanya kulitnya
yang besot karena termakan duri-duri semak. Tapi ma-
tanya sempat bertatapan dengan sepasang mata yang
mengintai dari balik kerimbunan semak lain.
"Lanang...!" Jaka Bego berseru dalam hati. "Ya. Be-
tul. Itu sepasang mata milik Lanangseta. Ah, gembel!
Dia diam saja. Tega sekali dia, ya? Oh, awas kau...!
Awas kau Lanang...!" Kemudian tanpa sadar ia bicara
agak keras, "Perkawinanmu akan gagal!"
Suara itu sangat jelas karena memang terlontar le-
wat mulut dengan keras. Tentu saja hal itu menge-
jutkan ketiga utusan Cina, Twan, yang menyeretnya
sejak tadi jadi berhenti, dan membentak kepada Jaka
Bego, "Perkawinan siapa yang kau maksud?!"
"Hah...?!" Jaka Bego berlagak tidak mendengar.
"Kau mengatakan perkawinanmu akan gagal, mak-
sudmu perkawinan siapa?!" kali ini Chang Hu yang
membentak.
Jaka Bego mulai menggeragap dan tak ingin jalan
pikirannya diketahui lawan. Ia segera menjawab den-
gan laga begonya, "Ah, aku tidak bilang apa-apa kok."
Ketiga utusan Cina saling pandang. Mulanya Liu
dan Li Twan sedikit curiga dan ingin mengorek kete-
rangan. Tapi Chang Hu memberi isyarat agar kedua
temannya tetap terus berjalan. "Omongan orang gila
memang susah dimengerti!" gerutu Chang Hu seraya
melangkah kembali.
Tetapi di dalam hati Jaka Bego, ada sebaris gerutu
lain yang membuat sedikit dongkol, "Biar. Biar ku
sumpahi supaya perkawinan Lanang tidak akan ter
laksana sebelum ia menolongku...!"
Lanangseta tidak tahu kalau ia telah dikutuk Jaka
Bego. Ia sibuk mengurusi keperluan perkawinannya di
Griya Teratai Wingit. Dan Jaka Bego sendiri tidak tahu
kalau Lanang sebenarnya tidak mengetahui apa yang
terjadi pada diri Jaka Bego. Lanangseta hanya menge-
tahui, bahwa Jaka Bego telah pergi tanpa pamit. Ini
menjengkelkan Lanang dan paman Ludiro.
"Jaka Bego hanya mau makan enak saja, tidak
mau membantu kerepotan kita," gerutu Ludiro.
"Ke mana sebenarnya dia, Paman?" tanya Lanang-
seta sedikit dongkol.
"Mana aku tahu. Tadi kulihat ia mengejar-ngejar
capung sambil tertawa-tawa, eeh... tahu-tahu sampai
sekarang ia belum pulang."
Kejadian ini berlangsung, setengah hari setelah Ja-
ka Bego pergi ke desa Tayub, untuk memberitahukan
pesta perkawinan Lanang kepada keluarga Pak Lo-
dang. Pada masa-masa itu, tentu saja hanya kedong-
kolan yang ada pada diri Ludiro, karena dianggapnya
Jaka Bego tak mau ikut repot. Tetapi setelah sampai
malam Jaka Bego belum kelihatan, Ludiro mulai was-
was, jangan-jangan Jaka Bego tak akan kembali untuk
selamanya? Dugaan itulah yang membuat Ludiro ter-
paksa bertanya kepada Lanangseta, "Apakah Jaka Be-
go sebelum pergi marah denganmu?"
"Tidak. Tidak ada masalah apa-apa," jawab Lanang
yang sudah berada di kamar rias pengantin.
"Aneh!" gumam Ludiro. "Aku curiga ada yang tidak
beres. Jangan-jangan... dia telah mencuri pedang Wisa
Kobra-mu, lalu segera melarikan diri."
"Ah, tidak," sanggah Lanangseta. "Pedangku ada di
kamar pusaka. Hanya Rama Sabdawana yang meme-
gang kuncinya."
Menurut peraturan adat keluarga Kirana, memang
begitu. Setiap mau mengawinkan keluarga mereka,
semua pusaka harus dijadikan satu, dikumpulkan da-
lam kamar pusaka, dan kuncinya dibawa oleh
Sabdawana. Jadi, Lanangseta yakin betul kalau
pedang Wisa Kobra yang juga disebut pedang Malaikat
itu, benar-benar masih ada di kamar pusaka.
"Lanang..." sapa Sabdawana, ayah Kirana. "Jangan
lupa, nanti, sebentar lagi, kau harus mengikuti upaca-
ra Getih Manunggal. Persiapkan pakaian pendekar
mu."
"Baik, Rama. Tapi... bagaimana dengan pedang pu-
saka saya itu, Rama?"
"O, ya. Pedang itu tentu harus kau pakai juga da-
lam upacara nanti," jawab Sabdawana.
"Maksud saya apakah masih ada di kamar pusa-
ka?"
Sabdawana jadi curiga atas pertanyaan itu. "Me-
mangnya kenapa kau bertanya begitu?"
Lanangseta menjelaskan kekhawatiran Ludiro se-
hubungan atas kepergian Jaka Bego yang sampai ma-
lam itu belum pulang juga. Karenanya, Sabdawana se-
gera mengajak Lanangseta dan Ludiro untuk memerik-
sa ke kamar pusaka. Ternyata pedang itu masih ada.
Utuh. Lanangseta mengambilnya, mengeluarkan dari
sarungnya, ooh... masih asli. Pedang itu masih menya-
la seperti bara api.
"Bawalah sekalian buat perlengkapan upacara nan-
ti," ujar Sabdawana.
Pada detik-detik berikutnya, terdengar derap suara
kaki kuda menembus kesunyian malam. Hampir se-
mua orang yang mendengarnya bercuriga, sebab tak
ada perkiraan pada diri mereka kalau akan datang ta-
mu pada malam itu, apalagi mengendarai kuda. Se-
dangkan upacara perkawinan Lanangseta dengan Ki-
rana itu tidak menyebar ke mana-mana. Hanya disaksikan oleh murid-murid Sabdawana saja, baik murid-
murid lama maupun murid-murid baru, yaitu bekas
anak buah Begal Dogol.
"Siapa yang datang?" tanya Lanangseta kepada sa-
lah seorang murid di situ.
Jawab murid tersebut, "Katanya... utusan dari desa
Tayub. Itu juga saya dengar dari penjaga gerbang."
"Desa Tayub?!" Lanangseta dan Ludiro nyaris
menggumam bersamaan. Ludiro tanpa diperintah sege-
ra menuju ke pintu gerbang. Tak lama kemudian ia
kembali lagi menemui Lanangseta dan Sabdawana
yang masih bertanya-tanya: siapa tamunya itu.
"Siapa, Paman?" Lanangseta tak sabar.
"Hemm... Pak Lodang."
"Pak Lodang?! Pak Lodang malam-malam begini da-
tang?"
"Ya. Naik kuda lagi. Berdua sama tetangganya," ka-
ta Ludiro.
Ini benar-benar di luar dugaan. Pak Lodang datang
bersama tetangganya. Dengan menggunakan kuda se-
waan? Dengan dipandu oleh tetangganya yang sudah
tahu letak Bukit Badai dan letak Griya Teratai Wingit?
Aneh. Ada apa?
Pertanyaan batin itu dilontarkan oleh Lanangseta
ketika Pak Lodang menemuinya. Dengan sedikit gu-
gup, Pak Lodang menjelaskan, "Tadi siang, Jaka Bego
bermaksud mengabari saya dan keluarga tentang pesta
perkawinanmu besok."
"Memang benar. Dan... maaf, saya tidak sempat
memberitahu Pak Lodang jauh-jauh hari. Bahkan
hampir saja saya lupa tidak memberitahu keluarga Pak
Lodang. Tapi, di mana Jaka Bego sekarang?!"
"Dia... dia dikejar-kejar tiga orang Cina berpakaian
seragam. Hampir saja dia disangka pencuri oleh warga
desa kami. Dan... dan salah seorang penduduk melihat
Jaka Bego tertangkap, lalu diseret-seret oleh tiga orang
Cina itu."
"Chang Hu...." gumam Lanangseta dengan hati pa-
nas. Betapapun begonya Jaka Bego itu, namun sebe-
narnya Lanang sangat sayang kepada pemuda kurus
kerempeng itu. Biar tolol, tapi beberapa kali Lanang
tertolong olehnya. Jadi, jika dalam keadaan begini, ten-
tu saja ia tak dapat tinggal diam. Ia tak akan sampai
hati membiarkan Jaka Bego disiksa, atau diapakan sa-
ja oleh tiga orang Cina yang dulu menuduhnya mencu-
ri anak gadis Laksamana Chou.
Pedang sudah di punggung, Lanangseta segera me-
lesat keluar, dan meloncat ke punggung kuda bawaan
Pak Lodang. Kuda dipacu cepat. Kirana sempat berse-
ru, "Lanang...! Sabar dulu...!"
Tapi tak dihiraukan oleh Lanang. Dengan sedikit
basa-basi, Ludiro berhasil meminjam kuda yang di-
tunggangi tetangga Pak Lodang itu. Dengan kuda ter-
sebut Ludiro mengejar Lanangseta. Untung ada cahaya
rembulan remang-remang, sehingga Ludiro bisa men-
gikuti gerakan Lanangseta yang bagai anak panah me-
nembus kegelapan malam.
"Lanang! Kembali...!" seru Ludiro setelah kuda me-
reka berjajar.
"Ini kesalahpahaman. Salah paham yang bisa ber-
larut-larut, Paman. Jaka Bego adalah korban kesalah-
pahaman!"
"Iya. Tapi ingat, kau besok jadi pengantin. Malam
ini kau harus mengikuti upacara adat Getih Manung-
gal. Kau harus memakan bunga Teratai Wingit itu su-
paya darahmu bisa menyatu dengan darah keturunan
leluhur mereka. Ingat kata-kata Rama Sabdawana,
bahwa tanpa memakan bunga itu, kau tidak akan bisa
menikah dengan mereka. Pulanglah...!"
"Bagaimana dengan Jaka Bego?" seraya Lanang
masih memacu kudanya.
"Nanti kita bicarakan di rumah. Yang jelas, tak
baik calon pengantin pergi pada malam Midodareni ini.
Setiap pengantin yang esoknya akan menikah, malam
sebelumnya atau malam midodareni, tidak boleh ke-
luar dari rumah lebih dari sepuluh langkah. Tahu?!
Ayo, pulanglah sekarang juga. Kita bisa berembuk
dengan kepala dingin...!"
Tak ada pilihan lain bagi Lanangseta kecuali men-
gikuti saran Ludiro. Ia pulang dengan langkah kuda
yang lunglai. Namun ketika mereka sampai di Griya
Teratai Wingit, ternyata di sana telah terjadi keka-
cauan. Orang-orang sibuk mencari sesuatu di luar ru-
mah, bahkan sampai menyelusup di semak kegelapan.
"Apa yang terjadi?!" tanya Ludiro kepada salah seo-
rang penjaga pintu gerbang.
"Ada seseorang yang memakai kerudung hitam ke-
luar dari dalam. Ia kelihatannya telah mencuri sesua-
tu."
Ludiro memandang Lanangseta. Lanang buru-buru
turun dari punggung kuda dan menemui Kirana yang
tampak sedih dan cemas. Kirana yang mengetahui ke-
munculan Lanang segera menghambur dan berkata,
"Lanang... bunga itu hilang!"
"Ha...?! Bunga... maksudmu bunga teratai Wingit?!"
Lanang membelalakkan mata lebar-lebar.
"Ya. Bunga teratai Wingit telah hilang. Tadi, baru
saja Lande memergoki seseorang berkerudung keluar
dari kamar pusaka. Ia melesat cepat di kegelapan se-
mak sana!"
"Gila...!" gertak Lanangseta dengan mata nanar dan
gigi segera menggeletuk penuh kemarahan. Ia pun me-
lesat di kegelapan malam, tempat orang berkerudung
hitam menghilang. Darah Lanangseta bagai mendidih
dan nafas pun tak teratur.
Semua orang, tanpa kecuali, sibuk mencari di seki-
tar rumah Kirana. Banyak yang membawa obor, me-
nembus kegelapan semak di sana-sini. Namun, tak sa-
tu pun yang menemukan orang berkerudung hitam
itu, juga bunga teratai Wingit tak ditemukan walau se-
kelopak pun.
"Lande...." seru Lanangseta. "Seperti apa wajah
orang yang berkelebat tadi?"
"Tidak jelas, Mas Lanang. Seluruh tubuhnya berke-
rudung hitam. Wajahnya pun bagai mengenakan penu-
tup dari kain hitam. Gerakannya begitu cepat."
"Tinggi badannya?"
"Kira-kira... yah, sejajar dengan Mas Lanang sendi-
ri," jawab Lande, penjaga sekaligus murid Sabdawana.
"Brengsek...!" geram Lanangseta.
Ketika Lanang duduk di kamar rias pengantin pria,
ia sempat tergerak oleh suara Sabdawana.
"Tanpa bunga itu... kau tak bisa kawin dengan
anakku, sekalipun kau putra dewa, sekalipun kau mu-
rid dari pewaris ilmu Eyang Pramban. Bunga itu punya
arti tersendiri dan sangat penting bagimu. Tanpa me-
makan bunga teratai Wingit, darahmu tak akan bisa
menyatu dengan putri ku. Kau tak akan mempunyai
keturunan seumur hidup, dan terlebih lagi, putri ku
akan mati dalam waktu tidak kurang dari seminggu ji-
ka kalian telah bersetubuh. Sebab darahnya tak bisa
menerima darahmu. Karena itu, dengan memakan
bunga teratai Wingit, maka darahmu akan menjadi sa-
tu golongan dengan darah putri ku. Bisa bercampur."
Lanangseta terhempas kesal. Sabdawana kelihatan
sangat prihatin sekali. Ia menepuk punggung Lanang
seraya berkata, "Dapatkan dulu bunga itu kembali, ba-
ru kalian bisa menikah dan tidak berbahaya. Ingat,
semua ini adalah rentetan nasib demi nasib. Jangan
kau ingkari, bahwa untuk mendapatkan putri ku, memang sulit. Seperti seseorang yang ingin menggenggam
cahaya. Tapi aku yakin, kau pasti akan berhasil. Aku
telah melihat tanda-tanda dalam garis hidup pada diri
anakku, bahwa akhirnya ia akan menikah juga dengan
orang yang berhasil memakan bunga Teratai Wingit
itu."
"Bagaimana kalau bukan saya yang memakannya,
Rama?" Lanangseta menampakkan kecemasannya.
Sabdawana mendesah lirih. "Terlalu sulit menja-
wabnya, Lanang. Sebaiknya carilah dengan segera, se-
belum ada orang yang memakan bunga itu."
Kutukan Jaka Bego telah menjadi kenyataan. Bun-
ga Teratai Wingit yang menjadi syarat perkawinan an-
tara Lanang dengan Kirana, ternyata telah hilang dari
kamar pusaka. Seperti yang dikatakan Sabdawana ke-
pada Lanangseta, bahwa tanpa bunga itu perkawinan
tak dapat berlangsung. Banyak resiko yang akan me-
nimpa perkawinan tersebut jika tanpa bunga teratai
dari Goa Malaikat itu.
Siapa yang mencuri bunga teratai Wingit itu? Un-
tuk apa dicuri? Dan di mana Lanangseta harus men-
dapatkannya kembali? Itu adalah sebaris pertanyaan
yang menyelinap di benak Lanangseta, si Pendekar Pe-
dang Malaikat, atau Pendekar Pusar Bumi. Belum lagi
pertanyaan: di mana Jaka Bego? Bagaimana keadaan-
nya? Bagaimana nasibnya di tangan utusan Laksama-
na Chou? Siapa pula yang telah memfitnah Lanangseta
dengan tuduhan melarikan putri Laksamana yang ka-
barnya bernama Yin Yin itu? Seperti apa Yin Yin itu?
"Uuuh...!" Kesal sekali hati Lanangseta dibuatnya.
Kesal karena kemarahannya tak dapat dilampiaskan
kepada siapa pun di situ. Ia sendiri menjadi bego, tidak
tahu mana yang harus dikerjakan lebih dulu. Belum
lagi ia berpikir bahwa Kirana akan cemburu jika men-
dengar ia dituduh melarikan putri Yin Yin. Woww...!
Bisa ribut besar dia dengan calon istrinya. Paling tidak
akan timbul kesalahpahaman lagi jika Kirana tahu,
bahwa Lanangseta dituduh melarikan gadis Cina.
"Sebaiknya, aku mencari Jaka Bego dan kau men-
cari bunga teratai Wingit itu," usul Ludiro setelah La-
nang mengeluh berulangkali dalam kebingungan.
"Aku akan minta bantuan Pak Lodang untuk men-
gantarku ke kapal Laksamana itu," sambung Ludiro
yang beberapa hari sebelumnya telah mendapat cerita
tentang tuduhan terhadap diri Lanang.
"Apa Pak Lodang tahu di mana kapal Laksamana
Chou berlabuh? Dan apa sudah pasti kalau Jaka Bego
dibawa ke sana?"
"Paling tidak, Pak Lodang dapat memberitahu di
mana pelabuhan. Di pelabuhan itu aku bisa bertanya
lagi."
Lanangseta tidak punya pilihan lain lagi. Usul Lu-
diro dipandang baik untuk saat ini. Maka ketika fajar
pagi menyingsing, Ludiro dan Lanangseta sama-sama
berangkat. Mereka mengajak serta Pak Lodang dan te-
tangganya, namun di persimpangan jalan mereka akan
berpisah, Lanang mengambil langkah ke kiri, Ludiro
beserta Pak Lodang dan tetangganya ke kanan, menu-
ju pelabuhan.
Namun sebelum mereka sampai ke persimpangan
jalan, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu di jalanan.
Tubuh seorang gadis tergeletak tanpa darah. Pingsan.
Pak Lodang yang melihatnya pertama kali. Di sela re-
rumputan lebat, bajunya yang berwarna merah muda
itu kelihatan. Dan ketika sama-sama mendekati, Ludi-
ro dan Lanangseta hampir terpekik bersamaan, "Andi-
ni...?!"
Pak Lodang segera tahu bahwa Lanang dan Ludiro
sudah mengenal gadis yang tergeletak pingsan itu.
Namanya Andini, wajahnya cantik. Ada tahi lalat di bibir bawah. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya len-
tik. Bibirnya mungil, tipis, namun indah. Hanya saja,
bibir itu jelas menampakkan betul sifatnya yang cere-
wet dan manja.
"Bagaimana bisa Andini ada di sini?" kata Lanang.
"Aku sendiri tidak tahu. Agaknya ia menemui kesu-
litan."
"Setahuku ia pergi bersama Ekayana, adikku, sejak
dari Goa Malaikat itu." (dalam kisah MISTERI GOA
MALAIKAT)
Ludiro menggumam, seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tak jadi. Rupanya Andini sudah lama
pingsan di situ. Dan ketika mereka datang, beberapa
saat kemudian ia siuman. Ia berkerut-kerut dahi dan
mengeluh dalam rengek kemanjaannya. Ludiro sudah
sebal dulu mendengarnya, namun ia segera memak-
lumi, toh itu sifat Andini. Mungkin tanpa kemanjaan,
tanpa kecerewetan, bukan Andini namanya.
"Ekayana...?!" Andini segera memeluk Lanangseta
tanpa tanggung-tanggung lagi. Lanangseta agak panik.
"Andini...! Andini, ingat aku Lanangseta."
Andini segera melepaskan pelukannya. Ia mundur
beberapa langkah dan memandang Lanang dengan
cermat. Tapi air matanya menjadi kian membasahi pi-
pi. "Lanang...." desisnya. Ia menatap dan menatap te-
rus, sehingga Lanang menjadi risi.
"Apa yang terjadi, Andini? Mengapa kau sampai
pingsan di sini?" tanya Lanangseta dengan lembut, un-
tuk mengendurkan kecengengan Andini.
"Lanang, ooh...?!" Andini kembali memeluk La-
nangseta. Ludiro dan yang lainnya hanya menghem-
paskan nafas. Andini menangis dan terisak-isak. La-
nang mencoba menenangkan dengan segala cara. Lalu,
Andini pun menjelaskan permasalahannya.
"Lanang... Ekayana nakal! Kejam!" rengek Andini
seperti anak kecil.
"Kenapa dengan Ekayana, adikku itu?"
"Dia... dia tergila-gila dengan putri Cina. Namanya
Yin Yin dan sekarang dia malah melarikan diri bersa-
ma putri Cina itu...."
"Oooohh...." Lanangseta manggut-manggut, demi-
kian juga Ludiro. Sekarang sedikit jelas permasala-
hannya, bahwa Ekayana itulah orang yang dicari-cari
oleh Laksamana Chou. Karena wajah Ekayana dengan
Lanangseta adalah sama persis, dan memang saudara
kembar, maka ketika utusan pencari putri Yin Yin me-
nemui Lanang dan Jaka Bego, mereka yakin betul
bahwa mereka telah bertemu dengan Ekayana. Mereka
tidak tahu kalau Ekayana itu mempunyai saudara
kembar yang berwajah sama hanya berbeda sedikit da-
lam gaya penampilannya, yaitu Lanangseta.
"Kalau begini aku yang kena getahnya...." gumam
Lanangseta. Ludiro tersenyum simpul. Tapi Andini ma-
sih memegangi tangan Lanangseta dengan manja.
"Paman Ludiro... sebaiknya antarkan dulu Andini
ke rumah dan kenalkan pada Rama Sabdawana su-
paya...."
"Kau sendiri mau ke mana? Mencari Ekayana?" sa-
hut Andini dengan suaranya yang seperti anak kecil.
"Aku ada perlu lain. Penting, Andini. Untuk semen-
tara...."
"Aku ikut kamu saja!" sahut Andini, merajuk.
"Andini, aku akan pergi dengan satu tujuan. Kau
tak bisa ikut. Karena tujuanku bukan ingin menemui
Ekayana, tapi untuk...."
"Tidak. Aku ingin menemanimu. Aku... aku sakit
hati pada Yin Yin dan ingin membunuhnya. Tapi, un-
tuk meredakan sakit hatiku, aku ikut kamu dulu, La-
nang. Aku tak bisa meninggalkan wajah Ekayana. Tak
bisa! Dan wajah itu ada padamu, Lanang. Hemm... aku
ikut ya?"
"Wah, bagaimana ini...?!"
*
* *
3
ANDINI merasa kewalahan mengimbangi kecepatan
Lanangseta. Ia sering tertinggal, sekalipun Lanang se-
sekali berhenti menunggunya, namun kembali jika su-
dah melesat Andini tertinggal beberapa jauh.
"Lanaaang...!" serunya. "Jangan cepat-cepat, nanti
aku kehilangan kamu."
"Kita harus secepatnya sampai di sana!"
"Iya. Tapi badanku kan masih lemas. Habis ping-
san. Aku tidak bisa secepat kamu. Kalau mau...." An-
dini cemberut setelah dekat dengan Lanang. "Kalau
mau, gendonglah aku."
"Andini, ayolah... jangan bermanja-manjaan. Wak-
tuku hanya sedikit."
"Gendong aku supaya kecepatan kita sama," ren-
gek Andini, dan hal itu membuat Lanangseta menahan
kedongkolan.
Sebenarnya Lanangseta kurang menyukai keikut-
sertaan Andini. Tetapi, agaknya Andinilah yang tahu di
mana bunga Teratai Wingit itu berada. Karena, keping-
sanan Andini telah meninggalkan jejak bagi pencuri
bunga Teratai Wingit.
Sebab di dalam kegelapan malam itu, Andini masih
sempat melihat sinar dari Suatu tempat. Ia tidak tahu
kalau sinar itu adalah sinar dari kesibukan di rumah
Kirana. Yang penting, sebelum malam menjadi gelap,
ia merasa harus sudah mendapat tempat untuk men-
ginap. Dalam perjalanannya mencari Ekayana, ia ha-
rus berani sengsara, ia harus mau tidur di kandang
kebo sekalipun kalau pemilik rumah yang hendak di-
datangi mengijinkan ia tidur di kandang kebo.
Dalam upayanya mendatangi cahaya obor yang be-
lum diketahui milik rumah siapa itu, tiba-tiba Andini
merasa berpapasan dengan orang berkerudung hitam.
Andini pada waktu itu menyangka ia akan diserang
oleh orang tersebut, sehingga rupanya ia merasa perlu
menyerang lebih dulu.
Dengan satu loncatan yang gesit, Andini melancar-
kan pukulan dan tendangan secara bergantian. Namun
gerakan kaki dan tangannya selalu saja bagai menge-
nai tempat kosong melulu. Orang berkerudung itu da-
pat menghindari setiap serangan Andini dengan gesit.
Badannya meliuk ke sana sini, melompat kian ke mari,
namun orang berkerudung itu belum mau menyerang
Andini.
"Aku mencium bau harum pada diri orang berke-
rudung itu," kata Andini ketika menuturkan kisahnya
itu di depan Lanang. Pada waktu itu Ludiro dan Pak
Lodang serta tetangganya itu masih ada bersama An-
dini. Mereka belum berpencar. Mereka menyimak betul
setiap perkataan Andini.
"Lalu, kenapa kau sampai pingsan?" tanya Ludiro.
"Ia menyerangku dengan pukulan jarak jauhnya.
Dan... dan aku sempat lumpuh sejenak, karena kakiku
merasa beku."
Andini mengenang peristiwa semalam. Ia diserang
dengan pukulan jarak jauh sehingga kakinya merasa
beku. Pada saat itu, tiba-tiba tangan Andini juga mera-
sa bagai disekap oleh balok-balok es. Beku. Orang itu
mendekati Andini, meraba wajah Andini dengan tan-
gan kanannya. Andini masih sadar, mendengar kata
kata orang berkerudung itu dalam gumam, "Ternyata
kau cantik juga, Nona...."
"Setan! Tinggalkan aku. Kecantikanku bukan un-
tuk kamu. Jangan salah sangka kalau aku cantik kau
kira untuk dirimu. Jangan menyangka begitu. Tolol ka-
lau kau menyangka aku begitu!" Andini mengomel dan
menggeram dongkol.
"O, begitu, ya...?" Orang berkerudung itu tertawa
pelan dalam bentuk desahan. "Tapi nyatanya aku bisa
menciummu malam ini...." Kemudian orang berkeru-
dung itu membuka penutup wajahnya. Andini tegang.
Samar-samar ia melihat lekuk ketampanan orang itu.
Dan, tahu-tahu orang itu telah menciumnya. Menciumi
Andini berulang kali dengan nafsu birahi yang men-
dengus-dengus. Andini tak kuasa mengelak.
Orang berkerudung hitam yang telah membuka
penutup wajah itu menjadi tegang. Ia berhenti menci-
umi Andini, bahkan berhenti meraba-raba tubuh An-
dini dengan tangan kanannya, sementara tangan ki-
rinya memegangi sesuatu yang disembunyikan di balik
jubah hitamnya. Ia memandang ke arah suara keribu-
tan, di mana obor-obor berjalan cepat kian ke mari.
Orang itu mendengus kesal.
"Sayang, malam ini urusanku lebih penting daripa-
da harus menikmati kehangatan tubuhmu, Nona ma-
nis. Tak, kurasa untuk kali ini cukup sampai di sini
dulu kemesraan kita!"
"Iblis kau! Akan ku tuntut perbuatanmu yang tak
senonoh ini, Setan!" geram Andini.
"Boleh. Tuntutlah. Datang ke Pulau Kramat, di sa-
na kau bisa menuntut kenikmatan yang tertunda ini.
Kutunggu...!"
Orang itu melesat, merasa takut ketahuan para
pembawa obor yang sedang mencarinya. Namun Andi-
ni sempat berseru, "Hei, jangan pergi begitu saja! Kan
cingkan dulu bajuku ini, Keparat!"
Orang berpakaian serba hitam itu berhenti, berpal-
ing ke arah Andini. Andini memandang benci walau so-
rot matanya terhalang gelap. Lalu, orang itu mengge-
rakkan tangan kanannya bagai sedang menunjuk ke
arah Andini. Detik berikutnya Andini terpental, jatuh
telentang dalam keadaan kancing di depan dadanya te-
lah tertutup rapi, namun ia segera tak sadarkan diri.
Rupanya orang itu mengirimkan kekuatan tenaga da-
lam yang selain mampu menutupkan kancing baju, ju-
ga mampu menotok peredaran darah sesaat sehingga
membuat Andini pun pingsan.
Pulau Kramat!
Itulah sasarannya. Beruntung Andini terlibat kasus
sendiri dengan orang berkerudung hitam itu, sehingga
Lanang merasa mendapat titik terang. Kini ia tahu, ke
mana ia harus pergi. Pulau Kramat. Tak salah itulah
tempat yang harus dituju selekasnya. Sebab Lanang
yakin, orang yang telah menciumi dan meraba-raba
Andini dengan bernafsu itu, jelas orang yang mencuri
bunga Teratai Wingit. Dan sudah tentu di Pulau Kra-
mat itulah bunga tersebut dibawa pencurinya. Tapi di
mana Pulau Kramat itu?
Sebetulnya tetangga Pak Lodang itu tahu tempat-
nya, tapi ketika Lanang mengajaknya, ia tak mau ikut.
"Pulau itu banyak hantunya," kata tetangga Pak
Lodang. Karenanya, ia hanya memberikan arah dan
gambaran di mana Pulau Kramat itu berada. Kemu-
dian Lanang pergi bersama Andini yang beralasan in-
gin menuntut balas perbuatan orang berkerudung itu.
Namun hati Ludiro yang dibawa pergi ke pelabuhan
itu sempat menaruh curiga kepada Andini. Dalam du-
gaan Ludiro, jangan-jangan Andini itulah yang mencuri
bunga Teratai Wingit. Mungkin dengan alasan tersen-
diri yang belum diketahui kebenarannya. Atau saja,
mungkin Andini memang bekerja sama dengan orang
berkerudung untuk mencuri bunga Teratai Wingit un-
tuk suatu keperluan tersendiri, yang juga belum dike-
tahui kebenarannya.
Tapi jika memang benar seluruh cerita Andini, ma-
ka Ludiro pun berpendapat, bahwa orang berkerudung
itu adalah pencuri bunga Teratai Wingit. Terbukti ia
selalu menggunakan satu tangan dalam menyerang
dan meraba Andini. Pasti tangan kirinya itulah yang
menggenggam bunga tersebut. Bukti lain ialah ada bau
harum yang tercium Andini, itu pasti bau harum Tera-
tai Wingit. Jadi, kalau begitu Ludiro harus segera me-
nyelamatkan Jaka Bego, kemudian segera bergabung
dengan Lanangseta di Pulau Kramat. Itu rencana Ludi-
ro dalam perjalanan ke pelabuhan. Sementara itu, Pak
Lodang dan tetangganya pulang ke rumah mereka. Lu-
diro melarang Pak Lodang ikut menemaninya.
Di pelabuhan, tempat di mana kapal pelayan dari
berbagai daerah ditambatkan, ternyata Ludiro tidak
menemukan kapal Cina di sana. Semua kapal milik
orang pribumi. Ludiro menjadi bingung. Beberapa ne-
layan yang sedang nongkrong di dermaga juga tidak
mengetahui adanya kapal Cina. Tetapi seorang lelaki
tua yang menjadi pengurus pelelangan di pasar ikan
itu agaknya bisa memberi penjelasan kepada Ludiro,
ketika Ludiro iseng-iseng menanyakannya.
"Kira-kira lima hari yang lalu, saya melihat sebuah
kapal dengan bentuk buritan kapal seperti seekor na-
ga. Mungkin itu kapal Cina yang kamu maksud. Tapi
ia tidak berlabuh di sini. Ia hanya lewat di kejauhan
sana. Entah ia menuju ke mana. Yang jelas ke arah
Barat jalannya...." kata lelaki pengurus pelelangan
ikan.
"Terima kasih,. Pak tua. Kalau begitu saya harus
menyusuri pantai ke arah Barat," ujar Ludiro.
"Ya. Tapi, ada apa sebenarnya? Kau kelihatan te-
gang. Apa yang terjadi di kapal Cina itu?"
Ya, ada apa di sana. Mungkin tak banyak orang
mengetahuinya. Bahkan Ludiro sendiri tak tahu keja-
dian yang sebenarnya, di mana di kapal itu seorang
pemuda kurus kerempeng sedang diikat kedua tan-
gannya pada kedua tiang. Jaka Bego disiksa dalam se-
buah kamar. Di sana ada dua tiang, dan di kedua tiang
itulah tangan Jaka Bego diikatkan dalam posisi teren-
tang, sedangkan kakinya dibiarkan lepas. Lemas dan
bagai tak mampu berdiri lagi. Tali pengikat yang berja-
rak satu hasta dari masing-masing pergelangan tangan
ke tiang itu ternyata cukup kuat, kokoh, dan membuat
tubuh Jaka Bego terayun-ayun lemas.
Laksamana Chou, dengan pakaian kebesarannya
berwarna kuning emas itu berdiri di depan Jaka Bego.
Matanya yang sipit tapi tajam dan sudutnya bagai ter-
tarik ke atas itu memandangi luka bekas cambukan di
badan Jaka Bego.
"Jangan menjadi bodoh hanya karena kesetiaan,
Jaka Bego," ujar Laksamana Chou yang sudah men-
dengar nama tawanannya. "Kamu tak akan mendapat
apa-apa dari pemuda yang mencuri anak gadisku.
Jangan kau berkorban sampai penyiksaan yang lebih
keji lagi."
"Saya tidak pernah mau disiksa. Tapi anak buah
Tuan yang gila siksaan. Bayangkan hampir semua
orang kapal ini jika masuk ke mari pasti menyakiti
saya. Ada yang menampar dengan alas kakinya, ada
yang memukul dengan gagang sapu, ada yang menya-
bet dengan kain handuknya, bahkan tadi ada yang da-
tang langsung meludahi saya...."
Laksamana Chou tersenyum sinis. "Di sini memang
ada larangan meludah di atas kapal."
"Iya, tapi cobalah bikin larangan yang berbunyi: Di
larang Meludah Di wajah Jaka Bego." sambil berkata
begitu, Jaka Bego bersungut-sungut. Luka di beberapa
tempat tidak begitu dihiraukan. Hanya sesekali ia me-
nyeringai menahan sakit, namun tak sempat mem-
buatnya menangis meraung-raung. Ia mencoba tidak
menampakkan kecengengannya. Dan sejak tadi, ia
berhasil tidak meraung-raung, kecuali menjerit kesaki-
tan.
"Jaka Bego, kalau kau mau mengaku, mau menun-
jukkan di mana pemuda itu melarikan dan menyem-
bunyikan Yin Yin, kau akan kubebaskan dan kuberi
hadiah," kata Laksamana.
"Mau...! Mau sekali!" kata Jaka Bego. "Tapi pemuda
yang mana yang kalian kehendaki? Aku tidak tahu."
"Jangan berlagak tolol, Jaka Bego," geram Laksa-
mana. "Chang Hu pernah bertarung dengan pemuda
itu, dan kau telah membantunya, bukan?"
"Yaaah... Tuan dibohongi Kacang Hiu...!" ujar Jaka
Bego dengan senyum meremehkan.
Di situ ada Chang Hu, dan ia segera menampar Ja-
ka Bego dengan keras, sehingga Jaka Bego gelagepan.
"Namaku Chang Hu! Bukan Kacang Hiu, tahu?!"
bentaknya setelah menampar Jaka Bego.
"Laksamana...." kata Chang Hu kepada Laksamana
Chou. "Saya berani bersumpah, saya melihat jelas Ja-
ka Bego ini bersama pemuda Ekayana yang melarikan
nona Yin Yin. Jelas sekali, Laksamana! Saya tak
mungkin berbohong."
"Siapa? Pemuda siapa katamu tadi?!" Jaka Bego
bagai memperoleh semangat.
"Ekayana," jawab Laksamana. "Itu nama pemuda
tersebut, bukan?"
"Weee... malu. Namanya bukan Ekayana! Namanya
Lanangseta! Wee malu! Salah!"
"Plokk...!"
Tampar Chang Hu setelah Jaka Bego mencibir be-
rulangkali ke mukanya.
"Jangan coba-coba mengalihkan dan mengacaukan
pikiran kami, tolol! Kami tahu persis, pemuda itu ber-
nama Ekayana, yang konon, menurut pengakuannya
terhadap salah seorang awak kapal ini, ia bergelar
Pendekar Maha Pedang!"
"Waaah... ngawur!" teriak Jaka Bego bagai mempe-
roleh kegirangan. "Ngawuuur...!"
"Husy! Diam!" bentak Huang Pai, sang algojo di si-
tu. Jaka Bego menjelaskan maksudnya, "Kalian Salah
duga. Benar-benar salah kaprah sekali. Pemuda yang
bertarung dengan Chang Hu itu bernama Lanangseta,
gelarnya Pendekar Pusar Bumi dan Malaikat Pedang
Sakti. Tapi... tak tahu juga kalau kalian memberi gelar
sendiri kepadanya. Aku belum pernah mendengarnya
kok."
"Pendekar Pusar Bumi...?" gumam Laksamana
sambil termenung. Chang Hu ikut tertegun sejenak.
Lalu, Jaka Bego menyahut kata, "Iya. Pendekar Pusar
Bumi sajalah. Jangan Pendekar Maha Pedang. Atau...
berikan saja gelar, Pendekar Pusar Perawan. Nah... itu
lebih cocok dan enak didengar...."
Laksamana Chou memandang Jaka Bego dengan-
kedongkolan yang masih ditahannya. Maksudnya ia
ingin menyuruh Jaka Bego diam, tidak membicarakan
soal gelar. Tapi Jaka Bego mengira, Laksamana ragu-
ragu dalam memberikan gelar untuk Lanangseta. Ma-
kanya Jaka Bego segera menyahut lagi, "Tuan... saya
rasa gelar Pendekar Pusar Perempuan itu cukup lang-
ka di dunia ini. Iya, kan...? Atau... atau, o ya, saya
punya gagasan lain. Begini... bagaimana kalau kita be-
rikan gelar baru kepadanya dengan julukan Pendekar
Maha Pusar... eh, jangan-jangan... jangan itu. Ini saja,
hem... Pendekar... Pendekar Malaikat Pusar. Nah, itu
saja, Tuan. Saya rasa itu cocok untuk...!"
"Plak... plaak... buug...!"
Pukulan beruntun menghunjam Jaka Bego dari
tangan Chang Hu dan Huang Pai, lelaki tinggi berba-
dan besar itu.
"Kami tidak sedang berembuk untuk mencarikan
gelar buat pemuda banci itu, tahu?!" bentak Chang
Hu. "Kamu tidak perlu menyodorkan beberapa gagasan
nama gelar, kami tidak butuh. Yang kami butuhkan
keterangan darimu, di mana dia berada! Lekas berita-
hukan kepada kami, kalau tidak... kau akan menjadi
daging cincang, lalu akan kami buat santapan ikan-
ikan hiu yang ada di tengah samudera nanti!"
Jaka Bego mengerang kesakitan. Tubuhnya berge-
lantungan di kedua tali yang mengikat tangan. Ia se-
pertinya tak tahan lagi untuk berdiri, karena sudah
terlalu lama berdiri dan menderita siksaan macam-
macam.
Laksamana Chou mendekatkan wajah sambil me-
renggut pipi Jaka Bego. Kedua pipi itu ditekan kuat-
kuat dengan jemari tangannya sampai mulut Jaka Be-
go monyong-monyong.
"Katakan, di mana tempatnya! Jangan membuat
kami kehabisan kesabaran, dan jangan mencoba men-
gulur-ngulur waktu. Katakan, lekas.... di mana Ekaya-
na dan Yin Yin...?!"
"Suyu, tuduk tuhu...." ucap Jaka Bego dengan bibir
monyong ke depan.
"Jangan bilang tidak tahu! Kamu pasti tahu!" ben-
tak Laksamana dengan tangan masih menjepit mulut
Jaka Bego.
"Butul, tutuk tuhu. Sumpuh. Suyu tuduk kunul
Yun Yun dun Ukuyunu...."
"Apa katanya, Chang?!" tanya Laksamana.
"Lepaskan dulu jepitan tangan Tuan, dan biarkan
ia bicara dengan jelas mengulang kata-katanya tadi."
Laksamana melepaskan jepitan tangan dari mulut
Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng berpakaian
gembel itu mengibaskan wajah, mulutnya menganga
kian ke mari karena pegal setelah dijepit keras. Wajah
Jaka Bego dilemaskan dengan cara melenturkan kian
ke mari. Tapi Laksamana mengira Jaka Bego meledek
dan mencibir di depannya berulangkali. Karenanya se-
buah tamparan keras mendarat di wajah Jaka Bego
yang segera menggeragap.
"Jangan coba-coba mencibir di depanku, ya?! Bisa
kupancung kepalamu!"
"Saya tidak mencibir, Tuan. Saya melemaskan otot-
otot wajah setelah Tuan jepit kuat-kuat tadi."
"Ooo... kukira meledek aku...!" Laksamana bersun-
gut-sungut. Lalu, Chang Hu membentak:
"Ayo, ulangi kata-katamu tadi! Ucapkan dengan je-
las biar Tuan Laksamana tidak bingung mengartikan-
nya!"
"Saya bilang, bahwa saya betul tidak tahu. Sum-
pah. Saya tidak kenal Yin Yin dan Ekayana."
"Bohong! Dia orang licik. Pintar-pintar bodoh." seru
Laksamana. "Huang Pai, siksa dia sampai mau menga-
ku!"
"Baik, Laksamana...!" jawab Huang Pai yang bertu-
buh tinggi, berbadan tegap. Ia hanya mengenakan ce-
lana hitam dan ikat pinggang dari kain, semacam se-
lendang warna merah. Kepalanya yang botak itu di-
biarkan mulus tanpa hiasan. Tapi kumisnya yang tebal
itu, sungguh menyeramkan jika berhadapan dengan
Jaka Bego.
Laksamana keluar dari kamar tahanan di dalam
kapal, dan Chang Hu ikut keluar juga setelah dengan
usil kakinya menendang tulang kering Jaka Bego, se-
hingga Jaka Bego sangat kesakitan mendadak. Ia men
jerit, "Aauuw... Terkutuk kau Kacang Hiu! Mudah-
mudahan kakimu sendiri yang sebentar lagi akan pa-
tah...!"
"Plook...!" Tamparan Huang Pai mendarat di mulut
Jaka Bego.
"Aoow...!" teriak Jaka Bego. "Mudah-mudahan gi-
gimu sendiri akan segera rontok, Huang Pai!" teriak
Jaka Bego.
Huang Pai tidak menghiraukan kata-kata itu. Ia
segera mengambil cambuk panjang dan mencambuk
tubuh kurus kerempeng itu berulangkali. Jaka Bego
menjerit dan kelojotan. Huang Pai dengan posisi kaki
terenggang dan berdiri tegar melancarkan cambuknya
berulangkali, bahkan melecut ke bagian kaki segala.
Posisi berdiri Jaka Bego sudah seperti mengambang.
Tak bisa lurus. Jaka Bego menahan sakit mati-matian.
Untung belum mati betulan.
"Tar...! Tarr... Taar...!"
"Berhenti...! Hentikan...! Aaaauuhhh...! Hentikan
sebentar nanti mulai lagi...!" teriak Jaka Bego. Dan
Huang Pai dengan senyum sinis menghentikan cam-
bukan itu. Nafas Jaka Bego terengah-engah. Tubuhnya
seperti jemuran basah. Ngelumbruk. Lunglai.
"Perintah Chang Hu, setiap sepuluh kali cambukan
hanya diijinkan berhenti selama dua puluh hitungan,"
kata Huang Pai. Tambahnya lagi, "Dan selama dua pu-
luh hitungan itu kau berhak berpikir untuk memberi
jawaban dengan benar, atau membiarkan tubuhmu di-
cambuk lagi!"
"Huang Pai.... Ada sesuatu yang ingin kukatakan
kepadamu, tapi hanya untuk kamu. Aku tak ingin
yang lain mendengar rahasia ini...." kata Jaka Bego di
sela nafas yang ngos-ngosan.
Huang Pai berkerut dahi, matanya memancar ta-
jam. Curiga. Jaka Bego berkata lagi:
"Aku ingin membisikkan kata padamu. Sebuah ra-
hasia. Dan aku percaya, kau pasti bisa menyimpan ra-
hasia ini...."
"Baik bicaralah...." kata Huang Pai yang berhidung
besar itu.
"Mendekatlah ke mari, Huang Pai...."
"O, tidak. Aku tidak akan memberi peluang pada-
mu untuk menggigit telingaku, he... he... he...."
"Kau memang waspada sekali, Huang Pai."
"Tentu, karena dulu ada seorang tawanan yang
berbuat seperti rencanamu, dan daun telingaku cuil
sedikit karena gigitannya." Waktu itu Jaka Bego meli-
rik daun telinga Huang Pai yang kiri, dan ia tertawa
pelan melihat daun telinga itu geripis sedikit.
Kemudian Jaka Bego berkata lagi di sela nafasnya
yang masih terengah-engah:
"Tapi kali ini kau harus beruntung, Huang Pai...."
"Kenapa?"
"Kau mendapatkan tawanan seorang kesatria," ja-
wab Jaka Bego seperti bicara bersungguh-sungguh,
dan hal itu membuat Huang Pai tertawa terkekeh-
kekeh.
"Betul, Huang Pai. Aku bukan tawanan pengecut
yang beraninya menggigit daun telinga. Kalau aku
mau, aku bisa menggigit urat lehermu sampai putus."
Huang Pai terperanjat kaget dan siap mencambuk
lagi. Jaka Bego segera berkata untuk menahan cam-
buk agar tak melecut lagi:
"Huang Pai, dengar... mendekatlah sedikit... Ini ra-
hasia betul. Aku tidak bohong...."
Huang Pai ragu sebentar, kemudian mendekati Ja-
ka Bego pelan-pelan, penuh kewaspadaan dan kecuri-
gaan.
"Kau mau bicara apa, lekas bicaralah selagi cam-
buk ku belum mencabik badanmu yang kerempeng
itu."
"Huang Pai, dengar... tapi, tapi kau tidak akan bi-
lang pada siapa pun, kan? Kau janji?"
"Akan ku usahakan berjanji...! Ayo, katakan!"
"Huang Pai, sebenarnya... sebenarnya aku ini orang
sakti...."
"O, ya...?!" Huang Pai tersenyum sinis dan dongkol.
Kata-kata itu seperti ejekan, ia merasa terkecoh. Tapi
karena Jaka Bego bicara lagi, Huang Pai terpaksa me-
nyimak lagi.
"Sungguh, Huang Pai. Aku ini orang sakti. Hanya
saja, tak banyak orang yang mengetahui kesaktianku.
Jadi, kalau kau menyiksaku, kau akan celaka. Kau
akan terkutuk, seperti yang kukatakan tadi, bahwa gi-
gimu akan rontok dalam waktu dekat. Sebab...."
"Setan...! Kau menakut-nakutiku saja, hah?!"
Huang Pai hendak melancarkan lecutan cambuk, tapi
Jaka Bego segera berkata dengan serius:
"Tunggu, dengar dulu...! Kau boleh mencambuk ku
lagi, tapi kau harus melihat kesaktianku dulu."
Huang Pai menggumam jelas. Lalu berkata:
"Tunjukkan kesaktianmu...!"
"O, tidak. Itu namanya aku menyombongkan diri,"
kilah Jaka Bego.
"Kalau begitu, sekarang sudah saatnya aku men-
cambuk mu lagi...." kata Huang Pai sambil mengi-
baskan cambuknya satu kali. Jaka Bego berteriak
sambil berkelejot kesakitan:
"Baik, baik akan kutunjukkan padamu...."
Huang Pai berhenti mencambuk. "Lekas...."
Jaka Bego seperti kebingungan. Lalu ia berkata pe-
lan,
"Carikan aku madu tawon...."
"Apa?!"
"Madu! Aku butuh madu lebah hutan untuk membuat aku menjadi sakti...."
Huang Pai mencibir sinis, Menertawakan kata-kata
itu. Ia tampak ingin melecutkan cambuk lagi, namun
Jaka Bego buru-buru berkata:
"Lekaslah, tak ada waktu lagi untuk menunjukkan
kesaktianku. Nanti akan kuajarkan kepadamu. Ayo,
carikan aku madu, walau hanya setetes saja."
"Kau bohong! Kau mau menipuku dan mengulur
waktu supaya aku tidak mencambuk mu!"
"Tidak. Aku tidak bohong. Penggallah kepalaku ka-
lau aku berani berbohong kepadamu. Aku ini orang
yang tak pernah berbohong kepada siapa pun, kecuali
keadaan terdesak."
Sejenak Huang Pai berpikir, menimbang-nimbang.
"Agaknya kata-kata tawanan ini bersungguh-sungguh,"
pikir Huang Pai. Ia menjadi penasaran. Ia ingat di da-
pur ada madu khusus untuk hidangan keluarga Lak-
samana Chou. Maka ia bergegas ke dapur, dengan tak
lupa mengunci pintu ruang tahanan di dalam kapal
itu. Tak lama kemudian ia kembali lagi dengan mulut
berdarah. Ia segera mengunci pintu dari dalam. Jaka
Bego heran melihat mulut Huang Pai berdarah.
"Kenapa mulutmu, Kawan?"
"Kepala juru masak marah padaku sewaktu aku
ketahuan mencuri madu. Lalu aku ditamparnya pakai
penggorengan. Keras sekali tamparannya sampai gigi-
ku ada yang patah tiga biji. Uuuh... sialan kamu!"
"Nah, kutukan sudah terjadi bukan? Padahal aku
belum minum madu, apalagi kalau sampai meminum
madu. Pasti lebih mujarab," kata Jaka Bego, terse-
nyum geli.
"Tapi aku berhasil membawa madu dalam kain
serbet ini. Nah, minumlah setetes, tapi awas... kau bo-
hong kupenggal tanpa persetujuan dari Laksamana.
Mengerti?"
4
UNTUK mencapai Pulau Kramat, harus menyebe-
rangi lautan bergelombang. Ombak yang besar dan ka-
rang-karang menjulang runcing merupakan pengha-
lang pertama bagi orang yang ingin menyeberang ke
Pulau Kramat.
Dari atas perbukitan karang, Lanangseta berdiri te-
gak memandang pulau tersebut. Andini duduk pada
sebuah batu karang yang tidak terlalu tajam. Matanya
yang jeli itu ikut memandang ke lautan lepas. Di sana
ada pulau kecil, namun sesungguhnya cukup besar.
Karena terlihat dari jarak yang cukup jauh, maka pu-
lau tersebut kelihatan sebesar jambu monyet.
"Kau yakin itu yang bernama Pulau Kramat?" tanya
Lanang kepada Andini.
Rambut Andini yang meriap sebagian itu dibiarkan
dihempas angin, menari-nari di permukaan wajahnya.
"Setahuku, memang itulah Pulau Kramat. Sebab
dulu ada seorang pemberontak di negeri ku, dan ter-
tangkap. Lalu ayahku diberi tugas untuk membuang
pemberontak itu ke Pulau Kramat. Waktu itu, aku ma-
sih kecil. Aku ikut di kapal ayahku dan melihat Pulau
Kramat dari jarak cukup jauh."
Lanang menggumam panjang. Rambutnya yang le-
bat sebatas punggung itu juga dipermainkan oleh an-
gin. Matanya masih memandang tajam dan sedikit me-
nyipit, terlempar jauh ke pulau itu. Seakan pandan-
gannya mengandung tanya: Ada apa di sana?
"Kau ingat siapa pemberontak yang dibuang di pu-
lau itu?"
"Aku sudah lupa. Tapi kabarnya orang itu sudah
mati."
"Dari mana kau tahu kalau orang itu sudah mati?
Siapa tahu dia masih hidup, lalu bisa menyusun ke-
kuatan dan membuat onar di wilayah ku, kemarin?"
"Tidak. Orang itu sudah mati," jawab Andini. "Se-
bab, pada suatu hari ulang tahun negeri ku, raja ber-
maksud memberi kebebasan dan pengampunan kepa-
da semua tahanan, asal mereka mau mendukung pe-
merintahan selanjutnya. Ayahku bertugas menawar-
kan pengampunan itu kepada orang yang dibuang di
pulau itu beberapa tahun yang lalu. Tetapi, menurut
cerita ayahku, orang itu sudah mati. Mati tak terawat,
dan tulang belulangnya tergeletak di pinggir pantai
dengan pakaian yang dikenakan masa pembuangan
itu. Memang pakaian itu sudah tinggal serpihan saja,
tapi ayahku yakin bahwa dialah orang yang dibuang
beberapa tahun yang lalu. Dan... kau tahu, Lanang?"
Andini berpaling memandang Lanangseta.
"Apa...?"
"Pulau itu kosong. Tanpa penghuni. Tapi kalau ma-
lam, atau pada saat menjelang matahari terbenam, ka-
tanya sering terdengar orang memanggil-manggil pera-
hu yang lewat di sekitar perairan sana. Bahkan, seo-
rang nelayan dari daerah ku pernah tersesat ke pulau
itu, lalu ketika dia bisa lolos dari amukan badai dan
bisa kembali ke rumahnya, ia menceritakan banyak
kengerian yang tak masuk akal." Andini bergidik sendi-
ri membayangkan cerita itu.
"Cerita apa?"
"Ia melihat banyak orang berjalan di sepanjang
pantai tanpa kepala. Dan ia melihat orang-orang ber-
bulu, seperti orang hutan, yang selalu menyeret-nyeret
kepala manusia dengan wajah yang menyeramkan.
Ada yang bilang, itu manusia purba. Tapi ada yang bi-
lang lagi, itu sebuah gangguan roh halus. Mana yang
benar, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, pulau itu me-
mang kosong. Dalam setengah hari berjalan kaki, kamu bisa mengelilingi pulau itu melalui pantainya. Be-
rarti tidak begitu luas, kan?"
Sekali lagi Lanangseta memandang jauh ke pulau
tersebut. Ada rasa merinding waktu mendengar cerita
Andini, namun hati kecilnya tidak mau percaya penuh.
Lalu ia membuang perasaan itu. Yang ada dalam piki-
rannya hanyalah: bagaimana caranya untuk mencapai
perjalanan ke sana. Ombak begitu besar. Banyak ka-
rang menonjol di sana-sini. Kalau tidak seorang pelaut
sejati, sulit menghindari karang-karang itu. Sebab ka-
rang-karang tajam meruncing itu ibarat pagar yang
mengelilingi Pulau Kramat.
Kalau saja ada Jaka Bego, mungkin ia bisa mencari
jalan menuju ke sana, pikir Lanangseta. Jaka Bego
memang kadang menyebalkan, tapi segala tindakannya
seakan mempunyai arti yang di luar dugaan. Mungkin
saja Jaka Bego bisa berbuat tolol di saat itu, di saat
Lanang membutuhkan cara untuk mencapai pulau
tersebut. Tapi siapa tahu ketololannya itu justru mem-
bawa Lanang bisa sampai ke Pulau Kramat itu. Ah,
sayang tak ada Jaka Bego. Ah, sayang orang bego itu
dalam tawanan orang-orang Cina. Ah... ah.... Mampu-
kah ia membebaskan diri sendiri dari tangan orang-
orang Cina itu?
Lanangseta tak tahu kalau di dalam kamar taha-
nan Jaka Bego telah terjadi sesuatu yang menge-
jutkan. Huang Pai, si Algojo bertubuh besar dan ber-
kepala gundul itu telah memberikan apa yang diminta
Jaka Bego: yaitu setetes madu. Huang Pai sempat
mencelupkan ujung serbet ke dalam madu, kendati
untuk itu ia terpaksa ditampar oleh kepala juru masak
dan mengakibatkan giginya rontok tiga biji.
Ujung serbet itu diperaskan ke mulut Jaka Bego
yang menganga dengan lidah terjulur keluar. Huang
Pai mengingatkan sekali lagi:
"Kalau kau bohong, tidak ada kesaktian apa-apa,
akan kupenggal sekarang juga kepalamu! Ingat itu,
ya?"
Jaka Bego sedikit mengangguk, karena mulut dan
lidahnya sibuk menunggu tetesan madu dari ujung
serbet. Dan setelah akhirnya ada madu menetes satu
kali ke lidahnya, Jaka Bego segera menelannya dengan
mata berkedip-kedip seperti orang minum jamu kepa-
hitan.
"Nah, sekarang tunjukkan kesaktianmu...!" ujar
Huang Pai seraya bertolak pinggang di hadapan Jaka
Bego. Mata Huang Pai yang bulat lebar bagai tanpa ke-
lopak mata itu memandang tajam, seakan siap me-
nunggu saat pelaksanaan menghukum Jaka Bego.
Jaka Bego diam saja. Kedua tangannya masih te-
rentang dalam ikatan tali yang kuat. Kakinya sedikit
ditekuk karena merasa pegal dan nyeri akibat cambu-
kan tadi. Ia menundukkan wajah sambil memejamkan
mata.
"Hemm... dia sedang membaca mantera khusus
untuk kesaktiannya," kata Huang Pai di dalam hati.
Huang Pai tetap berdiri dan menunggu kesaktian apa
yang akan di keluarkan oleh tawanannya. Lama sekali
Jaka Bego menunduk dengan mata terpejam. Huang
Pai jadi berdebar-debar, mulai tegang.
"Brengsek...!" cacinya dalam bahasa Cina. "Dia ma-
lah tidur...!"
Huang Pai merasa ditipu mentah-mentah, karena
lama-lama ia mendengar suara dengkuran halus.
Dengkuran itu ternyata keluar dari mulut Jaka Bego.
Geram dan dongkol sekali hati Huang Pai dipermain-
kan begitu. Ia sama saja disuruh menunggui dengan
setia seorang tawanan yang akan berangkat tidur.
Kedongkolan pertama dilampiaskan dalam bentuk
tamparan dua kali. "Plak...! Plak...!"
Jaka Bego masih mendengkur, bahkan semakin
kencang.
Kedongkolan ketiga dilampiaskan dalam bentuk
cambukan pada tangan kiri Jaka Bego satu kali.
"Taar...!"
Eh, masih tidur juga. Gemas dan marah tak dapat
ditahan oleh Huang Pai. Ia bermaksud menghajar wa-
jah Jaka Bego dengan suatu pukulan keras. Sekeras-
kerasnya biar tawanannya terjengkang kaget lalu ban-
gun dari tidurnya. Namun pada saat ia mengangkat
wajah Jaka Bego yang ingin dipukulnya dengan keras
itu, tiba-tiba kaki Jaka Bego bergerak ke depan, kedu-
anya menjejak perut Huang Pai dengan hentakan san-
gat keras.
"Uugh...!" Huang Pai mendelik, nafasnya bagai ber-
henti beberapa helaan. Ia terlempar ke belakang den-
gan kedua kaki melengkung ke depan, nyaris bertemu
dengan kepalanya yang ikut melengkung ke depan.
Akibatnya, punggung Huang Pai beradu dengan dind-
ing, kapal. "Breaak...!" Huang Pai menyeringai kesaki-
tan, ya perut, ya punggung. Belum lagi kepalanya yang
waktu itu kejatuhan palang pintu darurat yang disan-
darkan pada dinding itu. "Pletook...!"
"Iyaauww...!" pekik Huang Pai kesakitan. Ia bagai
melihat banyak bintang berputar-putar mengelilingi
batok kepalanya.
Namun pada saat itu, ia masih mendengar suara
orang mendengkur. Ia mencoba memandang tawanan-
nya, dan ternyata tawanannya itu masih tertidur den-
gan pulas dan mendengkur. Ada beberapa iler yang
sempat menetes karena asyiknya tertidur dengan mu-
lut ternganga sedikit.
Aneh!
Huang Pai mencoba memperhatikan dari jarak de-
kat, dan ia yakin bahwa Jaka Bego memang masih tertidur. Rasa-rasanya tak mungkin orang ini bisa meng-
hindari pukulan, atau bahkan menyerang sekeras tadi,
pikir Huang Pai. Lalu ia melangkah mundur, mengam-
bil jarak untuk menendang Jaka Bego, setidaknya
membalas tendangan yang tadi.
Dengan gerakan cepat kaki kanan Huang Pai me-
luncur ke dada kerempeng Jaka Bego. Tapi pada detik
yang tak diduga sama sekali, tubuh Jaka Bego terayun
ke belakang. Kedua kakinya merapat dan bergerak ke
belakang, membentuk garis lurus dengan badannya,
sehingga keadaan Jaka Bego seperti burung Elang
yang hendak menukik. Tangannya yang masih diikat
tali itu terentang semua itu seperti sayap burung Elang
yang perkasa.
Akibat gerakan tak terduga dari Jaka Bego itu, ma-
ka tendangan kaki kanan Huang Pai menembus udara
kosong. Yang lebih mencengangkan lagi, kaki Jaka Be-
go itu tidak turun-turun. Diam kaku, bagai ada sesua-
tu yang menopang kaki yang merapat itu. Tapi kea-
daan Jaka Bego masih tertidur. Melirik sedikit pun ti-
dak. Nafasnya sangat teratur. Dengkurnya masih ter-
dengar jelas. Ia bagai tidur menelungkup di awang-
awang.
Huang Pai terheran-heran, dan mencoba mende-
katkan wajah untuk memastikan apakah kedua mata
Jaka Bego benar dalam keadaan terpejam. Tapi pada
saat Huang Pai hendak melihat dari dekat, tiba-tiba
kedua kaki yang merapat itu turun dengan cepat dan
menendang dagu Huang Pai dengan keras.
"Aaoouu...!" Huang Pai mengerang panjang, kesaki-
tan. Tubuhnya kembali terpental dan membentur dind-
ing kapal. Bibirnya terluka akibat gigi bawah yang ti-
dak ikut patah pada waktu ditampar kepala juru ma-
sak itu telah membentur bibir atas. Bibir itu berdarah,
dan Huang Pai semakin dongkol saja rasanya.
Tubuhnya yang besar dan tanpa baju itu segera
bergegas bangkit. Ia hendak menyerang Jaka Bego
dengan jurus andalannya. Tetap ia dibuat tercengang
lagi karena tali yang mengikat kedua tangan Jaka Bego
itu telah lepas. Putus dalam satu hentakan kuat. Jaka
Bego mulai melepaskan sisa tali yang masih melingkar
di kedua pergelangan tangannya. Namun ia masih da-
lam posisi tertidur pulas: Kepalanya tertunduk lemas,
matanya terpejam, dan kakinya berdiri bagai tidak
seimbang. Sebentar-sebentar ingin jatuh.
Waktu Huang Pai nekad hendak menyerang, tiba-
tiba Jaka Bego bicara seperti orang mengigau.
"Jangan menyerang, Huang... Pai! Kau akan mati
kalau menyerang aku. Tapi kalau kau tidak menye-
rangku dan mau membantuku keluar dari kapal ini,
kau akan menjadi saudagar kaya di bumi Nusantara
ini."
Huang Pai ragu sesaat, karena ia mengira ucapan
itu adalah ucapan orang mengigau. Tetapi sebelum
Huang Pai berbuat sesuatu, Jaka Bego telah bicara da-
lam tidurnya.
"Lihat, pintu itu akan terbuka sendiri...."
"Klik...!" Pintu itu kuncinya bergerak sendiri dan
terbuka, namun belum menganga lebar. Jaka Bego ter-
tawa pelan bagai orang sedang bermimpi.
"Ini adalah kesaktianku, Huang Pai. Aku telah me-
menuhi janji ku, bukan...." kata-kata Jaka Bego selalu
datar. "Dan aku akan memenuhi janji ku yang tadi,
tentang kau akan menjadi saudagar kaya jika tidak
menyerangku. Kau akan kukutuk menjadi orang kaya,
jika kau mau membantuku melarikan diri dari kapal
ini. Kau mengerti...?"
"Hem... ah... an... iya. Mengerti.... Mengerti sekali,
Jaka...."
"Hei, hei... dalam keadaanku begini, namaku bukan Jaka Bego. Jangan panggil begitu lagi."
"Hab... hab... habis, har... harus panggil apa?"
"Dewa...."
"Hah...?! Ded... de... dew...."
"Dewa!" bentak Jaka Bego. "Bilang begitu saja su-
sah!" rupanya dalam tidur pun ia masih sempat meng-
gerutu. Aneh!
"Iyyy... iya. Hemm... Dewa. Ya, Dewa... Dewa Be-
go?"
"Husy! Sembarangan saja!" bentak Jaka Bego lirih,
tapi dengan nada suara yang datar. Aneh. "Bukan De-
wa Bego. Tapi... panggil aku Dewa Seribu Mimpi...."
"Banyak amat?!" Huang Pai terperanjat. "Seribu...?"
"Itu hanya nama, Huang Pai. Bukan jumlah uang
atau jumlah kutu busuk di kamar ini."
"Baik, baik...." Huang Pai mengangguk-angguk,
membungkuk-bungkuk, memberi hormat dengan rasa
takut. Tangannya saling berdekap erat dan teracung-
acung di depan wajahnya jika ia menghormat, sekali-
pun ia tahu bahwa Jaka Bego sebenarnya tak pantas
di panggil Dewa.
Jaka Bego yang masih tertidur seperti orang men-
gigau itu berjalan limbung menuju pintu yang telah
terbuka kuncinya. Kemudian ia membuka sendiri pin-
tu itu, dan berkata kepada Huang Pai:
"Jalanlah di depanku, Huang Pai. Tunjukkan jalan
yang aman dan bisa untuk meloloskan diri."
"Tap... tapi...."
"Tapi!" sahut Jaka Bego.
"Iya, saya mau bicara soal tapi, hanya saja... gu-
gup."
"Jangan gugup. Jangan takut. Kau ku lindungi.
Kalau kau gugup, tidur saja seperti aku ini...."
"Bisa tidak gugup, ya?"
"Bisa kecebur laut!" jawab Jaka Bego. "Nah, ayo ja
lan lebih dulu."
"Dewa...." kata Huang pai dengan takut-takut.
"Dewa Seribu Mimpi... Anda tidak akan bisa lolos dari
kapal ini!"
Jaka Bego membentak, "Harus bisa! Kenapa tidak
bisa?!"
Huang Pai benar-benar kaget dan sampai terlonjak
tubuhnya. Kegugupannya semakin bertambah. Jaka
Bego membentaknya lagi:
"Kenapa tidak bisa, hah?!"
"Sebab.... sebab di laut... di laut ada airnya... eh,
ah... maksud saya...."
"Yang namanya laut pasti ada airnya, Tolol!"
"Maksud saya, di... di tolol, eh... di laut. Ya, di
laut."
"Ngomong apa kamu ini, hah? Ngomong apa?!" ben-
tak Jaka Bego lagi. "Yang jelas...!"
Huang Pai berkeringat, wajahnya pucat. Nafasnya
pun tidak teratur, kadang dihela, kadang ditahan. Tu-
buhnya gemetar sehingga seakan apa yang dilakukan
serba salah.
"Dewa tidak akan bisa lolos, sebab... kapal ini be-
rada di tengah lautan, bukan merapat ke dermaga.
Kapal ini sedang turun jangkar di tengah lautan. Jarak
dari kapal dengan lautan cukup jauh."
"Jarak kapal dengan lautan cukup jauh...? Lho, ja-
di kapal ini ada di mana? Bukankah ada di tengah lau-
tan?"
"Eh, iya... maksud saya...." Huang Pai menyadari
kekeliruannya dalam bicara. "Maksud saya, jarak kap-
al dengan daratan cukup jauh. Harus ditempuh den-
gan sampan atau perahu kecil. Hal ini sengaja dilaku-
kan oleh Laksamana, supaya tawanannya, yaitu Anda
sendiri, tidak dapat melarikan diri sebelum menje-
laskan di mana letak rumah, atau tempat persembunyian nona Yin Yin dan pemuda yang melarikan nona
Yin Yin itu."
"Ah... itu soal gampang. Mumpung aku masih men-
jadi dewa, aku bisa merubah lautan menjadi daratan
tandus."
"Hah...?!" Huang Pai mendelik. "Hebat sekali, ya?"
"Itu sudah peraturan: Dewa harus hebat. Jangan
heran." Huang Pai manggut-manggut saja dalam kese-
riusan. Lalu Jaka Bego menyuruh Huang Pai keluar
lebih dulu. Menaiki tangga menuju geladak kapal. Pa-
da saat Huang Pai muncul ke geladak, Liu melihatnya,
Liu langsung berseru:
"Hei... Huang Pai, bagaimana dengan tawanan itu?
Sudah mau mengaku?"
Huang Pai kebingungan, sementara itu Jaka Bego
sedang menaiki anak tangga menuju geladak dengan
keadaan tertidur. Dengkurnya terdengar jelas di telinga
Huang Pai.
"Sudah kau siksa supaya ia mengaku?" ulang Liu.
"Sudah. Dan... dan dia sudah mengaku...." jawab
Hung Pai dalam keadaan bingung.
"Bagus! Mari kita melaporkan pengakuannya kepa-
da Laksamana Chou! Kau hapal dengan pengakuannya
itu, kan?"
"Ya, hapal. Ia mengaku bahwa dirinya adalah dewa
yang sakti...."
"Tolol! Itu bukan pengakuan, tapi penghinaan ter-
hadap kita. Ia menganggap kita ini lebih rendah dari
dia! Mana tawanan itu, aku mau menampar mulut-
nya."
"Tak perlu...! Kau tak perlu ikut masuk, dia se-
dang... sedang tidur."
"Tidur...?! Tidur bagaimana?" Liu semakin mende-
kat dan pada saat itu Jaka Bego muncul dengan kepa-
la terkantuk-kantuk dan mata terpejam lemas. Dengkurnya membuat Liu tersenyum sinis, mengira ia se-
dang ditipu oleh Jaka Bego. Sebab itu, Liu segera men-
gambil sikap menyerang Jaka Bego dengan tangan ko-
song.
"Jangan menyerang!" hardik Jaka Bego kurang se-
ram. Ia berkata lagi, "Kalau kau menyerangku, kau
akan patah tulang. Tapi kalau kau membantu melari-
kan diri dari kapal ini, kau akan diangkat menjadi
nakhoda kapal!"
"Setan! Kau pikir aku bisa tertipu oleh permainan-
mu?! Hiaaat...!"
Liu melompat dalam gerak kaki kanan menerjang
Jaka Bego dan kaki kirinya terlipat ke selangkangan.
Tendangan itu dibiarkan meluncur ke arah wajah Jaka
Bego. Kemudian dengan gerak seperti hendak terkulai
jatuh, Jaka Bego miring ke kiri. Kaki Liu nyelonong ke
tempat kosong, dan sebelum pukulan Liu melesat ke
wajah Jaka Bego, ternyata Jaka Bego lebih dulu berha-
sil menghantam kuat-kuat rusuk lawannya. Bukan
hanya satu kali hantaman, tapi sempat tiga kali han-
tam dalam satu gerakan cepat yang tak dapat dilihat
mata manusia.
"Aaahhk...!" Liu menjerit kesakitan. Ia mengerang
sambil memegangi tulang rusuknya yang tadi waktu
dipukul mengeluarkan bunyi berderak. Patah. Teria-
kan Liu itu membuat orang kapal bergegas ke tempat
kejadian. Mereka hanya menemukan Liu sendirian
mengerang dan mengaduh sambil telentang di geladak.
"Kenapa Liu...?" tanya mereka yang mendekat.
"Tulang rusuk ku ada yang patah, aauhh... sakit-
nya...!"
"Kenapa dipatahkan? Kau sudah bosan punya tu-
lang rusuk?"
"Tawanan kita yang mematahkannya, Tolol!" ben-
tak Liu dalam teriakan.
"Tawanan yang mana?! Bukankah dia ada di dalam
kamar tahanan kita bersama Huang Pai? Ah, ngaco sa-
ja omongan mu!"
Liu sendiri heran, ke mana Jaka Bego dan Huang
Pai. Mereka tidak kelihatan di ujung tangga seperti ta-
di. Ke mana ya?
*
* *
5
PARA awak kapal dikerahkan untuk mencari hi-
langnya Jaka Bego, tawanan mereka. Kesibukan terjadi
di sana-sini. Mereka menggeledah tiap kabin, tiap ka-
mar, dan semua tempat digeledah. Diperiksa dengan
teliti, namun hasilnya nihil. Jaka Bego dan algojo me-
reka yang bertugas menghukum dan menyiksa tawa-
nan itu telah lenyap. Laksamana Chou menjadi be-
rang.
"Buta semua mata kalian!" bentak Laksamana
Chou. "Masa' mencari dua orang dalam kapal ini saja
sampai tidak bisa? Mereka kan tidak mungkin bere-
nang ke daratan!"
Tak satu pun ada yang berani membantah atau
pun menyanggah kata-kata Laksamana Chou. Mereka
masih sibuk memeriksa sampai di bagian ruang bawah
kapal, di gudang makanan dan gudang persenjataan.
Tapi tetap saja mereka tidak menemukan Jaka Bego.
"Penghianat! Huang Pai juga penghianat! Penggal
kepalanya kalau dia tertangkap nanti!" teriak Laksa-
mana Chou yang amat marah. Ia merasa dipermainkan
oleh orang gila semacam Jaka Bego. Sementara itu,
Laksamana segera bicara kepada kepala keamanan
kapal: Chang Hu.
"Cari mereka sampai dapat, lalu pancung kedua
kepala mereka. Tapi kalau sampai besok mereka tidak
tertangkap, kepalamu yang akan kupancung sendiri!
Jelas?!"
"Jelas, Laksamana...!" jawab Chang Hu dengan su-
ara lemah dan gemetar
Chang Hu menggerutu tak habis-habisnya sambil
mencari tawanannya. Bahkan ia sempat berteriak keti-
ka hari sudah menjadi sore: "Jaka Bego...! Di mana
kamu! Keluarlah! Kasihanilah aku sedikit, jangan
sampai aku yang dipancung!"
Sebelum gelap menguasai alam jagad raya ini, telah
dikerahkan dua regu pencari memakai sekoci. Kedua
regu itu menjelajah di perairan dengan mendayung
perlahan-lahan. Salah satu regu dalam sebuah sekoci
dipimpin oleh Chang Hu sendiri. Gerutu dan omelan-
nya tak kunjung reda dari tadi.
"Huang Pai benar-benar jahanam...!" katanya sam-
bil memandang di permukaan air, kalau-kalau ada se-
suatu yang mencurigakan. "Dia sudah bekerja dengan
kita lebih dari sepuluh tahun, eeh... sekarang dia mau
jadi penghianat, membantu menyembunyikan Jaka
Bego. Uhh...! Apa sebenarnya yang akan ia dapatkan
dengan memihak kepada Jaka Bego?!"
Salah seorang dalam sekoci itu menyahut, "Mung-
kin bahkan Huang Pai sendiri dalam bahaya. Ia dijadi-
kan jaminan atas keselamatan tawanan kita."
"Hemm... apa mungkin begitu?" pikir Chang Hu.
Namun bagaimana pun geram dan marahnya dia saat
itu, guratan rasa takut dan kecemasan terbayang jelas
di permukaan wajahnya yang gemuk bagai bakpau itu.
Jelas ia sangat khawatir kalau-kalau sampai besok pagi Jaka Bego belum ditemukan. Itu pertanda riwayat-
nya akan habis! Dipancung Laksamana sendiri.
Sampai menjelang tengah malam, mereka masih
mencari ke mana saja. Mereka belum menemukan
tanda-tanda berhasil. Sampai akhirnya mereka lemas,
terlalu lelah mencari seharian sibuk mencari tawanan
yang seperti mencari setan saja itu. Lalu, mereka terti-
dur dalam kepenatan. Hanya beberapa orang yang ber-
tugas menjaga keamanan kapal, termasuk keamanan
barang-barang dagangan mereka berupa... candu dan
rempah-rempah lainnya.
Dalam kesepian malam itu, Chang Hu tidak dapat
tidur. Sebentar-sebentar ia terbangun dan memeriksa
keliling kapal sendiri. Lalu berusaha untuk tidur lagi,
kendati otaknya tak pernah berhenti berpikir. Chang
Hu dan yang lainnya tak tahu, bahwa Jaka Bego dan
Huang Pai bersembunyi dalam gulungan layar kapal.
Mereka membuat diri mereka bagai menyatu dengan
gulungan layar kapal, dan berusaha menahan segala
kepengapan, kegerahan, kehausan atau apa saja. Bah-
kan ia mulai irit nafas, sebab pergantian udara di situ
cukup susah. Mereka berada dalam satu gulungan
layar besar yang tak sampai dicurigai para awak kapal.
Namun ketika hari sudah menjadi sepi, Huang Pai
jadi sangat cemas, karena dengkuran Jaka Bego yang
masih tertidur terus itu terdengar jelas. Huang Pai ta-
kut kalau dengkuran itu didengar penjaga, dan mereka
bisa ketahuan kalau bersembunyi dalam gulungan
layar. Rupanya kegelisahan dan kecemasan Huang Pai
itu tetap diketahui Jaka Bego, kendati dalam keadaan
tidur. Jaka Bego berbisik di sela dengkurnya:
"Huang Pai, kau sanggup berlari sampai ke dara-
tan?"
"Berlari?!" Huang Pai juga berbisik. "Kalau saja kita
berada di suatu lembah atau dataran kering, mungkin
saya sanggup berlari mencapai tempat aman. Tapi, kita
ini kan ada di atas permukaan laut, Dewa."
Jaka Bego mendengkur, sepertinya tidak menden-
garkan ucapan Huang pai. Tapi beberapa saat kemu-
dian ternyata Jaka Bego berkata lagi:
"Kalau begitu, mari kita keluar sekarang. Keadaan
sudah sepi."
"Bagaimana dengan penjaga? Biasanya kapal ini
biar pun malam dan di tengah lautan, tetap ada orang
yang mendapat tugas jaga. Dan... dan kalau tak salah
malam ini saya juga kena giliran jaga."
"Kalau begitu berjagalah dulu, nanti kita melarikan
diri bersama-sama." kata Jaka Bego seperti orang
mengigau.
"Tadi Dewa mendengar sendiri, bukan? Bahwa saya
pun akan dipenggal kepalanya oleh Laksamana. Jadi,
saya rasa saya tak perlu ikut tugas jaga malam. Nanti
malah saya kehilangan kepala."
"Ya, ya... tapi kau bicara jangan terlalu keras. Lu-
dahmu menyembur semua ke wajahku...." bisik Jaka
Bego, lalu mendengkur lagi. Tidak keras, tapi pasti.
Pasti tidur.
Malam semakin larut. Rembulan memercikkan si-
narnya sedikit saja. Cukup untuk menerangi malam
hingga jadi remang-remang. Perlahan sekali Huang Pai
membuka gulungan layar untuk meloloskan diri. Dan
beberapa saat berikutnya mereka memang berhasil ke-
luar dari gulungan layar.. Jaka belum bangun dari ti-
durnya. Ia berjalan seperti mayat hidup yang kekuran-
gan nafas. Huang Pai mengendap-endap mendekati
pagar kapal. Ia melongok ke bawah, lalu berbisik:
"Tuan Dewa... di bawah kita ada sekoci ditam-
batkan...."
"Hah? Kuaci? Untuk apa kuaci itu?"
"Bukan kuaci, tapi sekoci. Perahu kecil. Kita bisa
mendayungnya sampai ke daratan."
"Ide yang bagus. Tapi kau tidak lupa bagaimana
cara mendayung, bukan?"
"O, tidak, Tuan Dewa...! Saya dulu juara men-
dayung sekapal ini. Dan... oh, berarti nanti saya yang
harus mendayung terus sampai di darat, ya?" Huang
Pai seakan baru menyadari tugas yang akan dilaksa-
nakan. Jaka Bego mengangguk samar-samar, seperti
kepala yang sedang terkantuk-kantuk.
"Cepat kau turun lebih dulu, siapkan dayung, pe-
gang kuat-kuat dan...."
"Hei, siapa itu di pinggiran kapal?!" teriak seorang
penjaga.
"Gawat, kita ketahuan penjaga, Tuan Dewa," bisik
Huang Pai dengan tegang. Lalu ia buru-buru menuruni
tangga terbuat dari tali yang menuju ke sekoci. Penjaga
berpakaian serba hitam dengan ikat kepala kain merah
itu berjalan mendekati Jaka Bego, sementara Huang
Pai telah turun. Jaka Bego masih tertidur dengan pu-
las. Penjaga itu mengamat-amati keadaan Jaka Bego.
Ia terbengong tegang.
"Astaga...! Kau...? Kau tawanan yang lepas itu,
kan?!"
Jaka Bego bersandar pada pagar kapal. Penjaga
heran, lalu mendekatkan wajah untuk memastikan
apakah orang yang dihadapi itu benar-benar dalam
keadaan tidur, atau hanya tipuan belaka. Sesaat da-
lam penyelidikannya, ia yakin bahwa tawanan itu ti-
dur. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam
rahangnya, sehingga ia terpekik tertahan dan roboh di
geladak. Jatuhnya tubuh ke lantai papan menimbul-
kan bunyi cukup keras. Jaka Bego tak mau yang lain-
nya terbangun karena keributan tersebut. Dengan ce-
pat ia menggerakkan kakinya dan menghentak ke ulu
hati penjaga. Orang tersebut mengerang tertahan, lalu
pingsan. Dengan masih tetap dalam posisi tidur, Jaka
Bego mencoba menuruni tangga menuju sekoci. Di
bawahnya ada dua sekoci. Dalam salah satu sekoci
terdapat Huang Pai yang sudah siap memegangi
dayung dan sudah melepas tali pengikat sekoci. Ia siap
jalan.
Ada suara langkah orang di geladak. Huang Pai
menjadi sangat tegang. Ia berbisik keras, "Tuan De-
wa... lekas! Ada orang yang berjalan menuju ke atas ki-
ta...!"
Memang. Jaka Bego juga mengetahui adanya ba-
haya yang mendekat, sebab itu ia segera turun dengan
satu lompatan halus, di mana pada waktu mendarat di
dalam sekoci, tak ada suara yang terdengar sedikit
pun. Lembut dan ketahuan kalau diimbangi dengan
ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna.
"Lekas dayung...!" bisik Jaka Bego kepada Huang
Pai. "Lekas...! Tunggu apa lagi?!"
"Tuan Dewa... tuan salah naik. Bukan sekoci itu
yang akan bergerak, tapi sekoci yang saya naiki ini...."
kata Huang Pai dengan gugup.
Jaka Bego mendengkur sebentar. Kemudian berka-
ta, "Sial. Aku salah naik sekoci...!" Ia segera melompat
ke sekoci yang di dalamnya sudah siap Huang Pai
hendak mendayung.
Begitu dayung bergerak beberapa kali, terdengar
suara Chang Hu berteriak keras, "Hoii...! Lihat, itu ta-
wanan kita melarikan diri dengan sekoci...!"
Semua orang kapal menjadi terbangun dan ikut
memandang ke laut. Mereka berduyun-duyun bahkan
saling berdesak untuk mendapat tempat berdiri paling
pinggir. Mereka melihat gerakan payung Huang Pai be-
gitu cepat, membuat perahu kecil itu melaju dengan
pesat.
"Tolol...! Kenapa hanya menjadi penonton! Kejar
mereka...! Kejaaar...!" teriak Hu dengan keras, seperti
orang kesetanan.
Jumlah awak kapal begitu banyak, dan mereka be-
rebut turun ke sekoci, bahkan kini ada dua sekoci lagi
yang diturunkan dan dipersiapkan untuk pengejaran
laut.
"Cepat...! Cepat...!" teriak Chang Hu yang panik.
"Nyawaku ada pada mereka! Cepat turun dan kejar.
Jangan... aaaaahh...!" Chang Hu terdesak anak buah-
nya dan akhirnya jatuh melampaui pagar kapal. Tu-
buhnya melayang, dan jatuh tepat di pinggiran sekoci
baru. Kakinya menghantam tepian sekoci sehingga
persendian lututnya patah total, sedangkan tubuhnya
terguling masuk ke air laut. Ia berteriak-teriak antara
ketakutan dan kesakitan.
Huang Pai mendayung dengan gerakan cepat. Tiga
kapal sekoci lainnya mengejar dengan semangat dan
gerak yang sama cepatnya. Sementara itu, Jaka Bego
tetap tertidur dengan enaknya. Ia bagai tidak menghi-
raukan ketegangan saat itu.
"Seraaang...!" ada suara lengking yang terdengar.
Huang Pai tahu, itu suara Laksamana Chou. Dan itu
adalah aba-aba untuk perang. Maka tak heran kalau
Huang Pai segera dihujani anak panah yang berham-
buran melintasi kepala dan sekitar badannya. Posisi
Jaka Bego sedikit menguntungkan, karena ia sedikit
merebah sehingga kemungkinan terkena anak panah
cukup sedikit. Tetapi Huang Pai, sungguh dalam ba-
haya. Ia tetap harus mengayuh dayung sambil dihujani
anak panah yang beterbangan bagai lalat di waktu ma-
lam. Gemas dan ketakutannya bercampur jadi satu,
malam membuat semangatnya bertambah besar, de-
mikian juga tenaganya.
"Berikan dayung yang satunya padaku...." kata Ja-
ka Bego dalam nada datar, mirip orang mabok.
Huang Pai memberikan salah satu dayung kepada
Jaka Bego. Lalu, dengan terhuyung-huyung dan se-
bentar-sebentar jatuh terduduk, Jaka Bego mengi-
baskan dayung kian ke mari. Kibasan anginnya mem-
buat anak panah melesat tak beraturan, seakan anak
panah itu terpental sebelum memasuki pusaran angin.
"Hujani panah terus...!" seru seseorang yang ter-
baring di dalam sekoci. Rupanya ia adalah Chang Hu,
yang dalam keadaan sakit, patah tulang lututnya, na-
mun masih ikut serta dalam pengejaran. Jelas hal itu
dilakukan hanya semata-mata ingin menghindari hu-
kuman pancung, seandainya ia gagal menangkap Jaka
Bego dan Huang Pai.
Anak panah terus menghujani sekoci warna coklat
tua. Agaknya sekoci itu sudah cukup lama. Kayu-kayu
papannya mampu ditembus anak panah, dan kini
anak panah itu menghunjam ke badan sekoci bebera-
pa kali. Itu akibat kibasan angin yang timbul dari ge-
rakan dayung Jaka Bego. Berputar dalam satu tangan
bagai kitiran.
"Astaga...!" Huang Pai terpekik. "Sekoci kita bocor.
Air mulai masuk...!"
Yang lebih parah lagi, ayunan ombak laut terasa
semakin menghebat. Memang bukan berupa gelom-
bang besar, tapi mampu menggulingkan sekoci kalau
saja hal itu terjadi.
"Tinggalkan sekoci ini, Huang Pai...." ucap Jaka
Bego dengan suara sedikit serak.
"Tinggalkan bagaimana, Tuan Dewa?"
"Lari, Tolol! Jangan pakai sekoci ini lagi...!"
Kemudian, sambil tetap memutar dayung di udara
untuk menghalau anak panah, Jaka Bego turun dari
sekoci. Kedua kakinya menapak di air dan terayun-
ayun mengikuti gelombang lautan.
"Ayo, turun dari sekoci...!" perintahnya kepada
Huang Pai, tetapi Huang Pai masih mendelik dan terte-
gun heran. Ia sangat heran melihat Jaka Bego dapat
berdiri di atas permukaan air laut tanpa tenggelam se-
dikit pun. Jaka Bego bagai berdiri di tanah yang berge-
lombang, namun ia masih dalam posisi tidur dengan
kepala terkantuk-kantuk.
"Turun, jangan bengong saja!"
"Turun bagaimana? Saya mana bisa berjalan di
atas air seperti Tuan Dewa?!" Huang Pai kebingungan
dan ngeri.
"Pegang tanganku dan kita lari bersama," kata Ja-
ka Bego sambil mengulurkan tangannya yang lemas
lunglai itu. Sementara tangan yang memutar dayung
sudah berhenti. Huang Pai berdiri, memegangi tangan
Jaka Bego, namun ia belum turun ke permukaan air.
Ia masih dalam sekoci yang mulai memberat karena air
banyak masuk di dasarnya.
"Ayo, lekas...!" desak Jaka Bego. Huang Pai masih
kebingungan sebab ia tahu betul bahwa dirinya tidak
mampu mempunyai ilmu sehebat Jaka Bego. Ia tidak
mampu berdiri di permukaan air seperti itu.
"Aku... aku tak bisa seperti itu, Tuan Dewa...."
"Harus bisa. Ayo, ikuti langkahku...!"
Dengan perasaan bimbing. Huang Pai melangkah
ke permukaan air yang bergolak itu. Byuur...! Huang
Pai tercebur dan gelagepan sesaat. Jaka Bego berseru
lemas:
"Jangan bimbang, Tolol! Jika kau bimbang, kau tak
akan berhasil melakukan sesuatu yang di luar dugaan.
Ayo, bangkit dan jangan bimbang...!"
Mereka yang mengejar bertambah dua sekoci, jadi
ada lima sekoci di belakang Jaka Bego dan Huang Pai.
Masing-masing sekoci ada sekitar enam atau tujuh
orang. Kapal layar besar yang sering disebut kapal
layar raksasa itu masih berlabuh pada tempatnya. Tetapi sayup-sayup terdengar teriakan yang tak jelas ar-
tinya. Pasti itu teriakan Laksamana Chou yang gemas
sendiri terhadap anak buahnya.
Sementara mereka menghujani panah, Huang Pai
sendiri berulangkali mencoba untuk bisa berjalan di
atas air. Ia masih gagal terus. Namun akhirnya, entah
dengan suatu kekuatan apa, Jaka Bego membentak di
tengah tidurnya: "Berdiri!"
Bentakan itu cukup kuat, mengagetkan Huang Pai.
Dan seakan karena bentakan itu tubuh Huang Pai ter-
lonjak, kemudian di luar kesadarannya ia telah mam-
pu berdiri di samping Jaka Bego. Tangan Jaka Bego
yang lemas lunglai itu masih dipegangi terus dengan
perasaan ngeri masih ada. Tetapi ketika Jaka Bego
memberi perintah dengan bentakan orang yang sedang
tidur: "Lari...!"
Maka, Huang Pai pun dapat lari di atas permukaan
air laut yang bergolak. Laju lari mereka begitu cepat,
melebihi kecepatan sekoci. Bahkan mereka tidak di-
ombang-ambingkan ombak seperti sekocinya tadi.
Huang Pai merasa heran, mengapa telapak kakinya
bagaikan berjalan di atas gumpalan es keras. Dingin
tapi keras. Ia sendiri tak pernah menyangka kalau di-
rinya akan mampu berjalan di atas permukaan air
laut.
"Aahk...!" Huang Pai terpekik tertahan. "Saya... ke-
na panah, Tuan Dewa...!"
Ada anak panah yang sempat melesat dan menge-
nai punggung Huang Pai, tapi untung tidak terlalu da-
lam, sehingga dengan mudah Jaka Bego yang tertidur
itu menarik serta melepaskan anak panah tersebut.
"Ayo, bertahan... daratan sudah kelihatan," kata
Jaka Bego seperti orang sok tahu. Padahal ia terpejam,
dan di depan cukup gelap, tapi ia tahu kalau daratan
sudah dekat. Sedangkan Huang Pai yang masih membuka mata dan bahkan membelalak lebar itu, tidak
mengetahui kalau daratan sudah dekat. Karenanya,
Huang Pai terus berlari mengikuti perintah bekas ta-
wanannya.
"Aaahk...! Kena lagii...." Huang Pai mengerang da-
lam pekikan yang tertahan. Kini pahanya yang terkena
anak panah yang masih menghujani mereka itu.
Jaka Bego berhenti dan mencabut anak panah itu
dengan gerakan cepat, nyaris tidak terasa oleh Huang
Pai. Sambil tertidur dalam keadaan berdiri, Jaka Bego
menggerutu, dan kini ia menghadap ke arah lawan-
lawannya. Ia berkata seperti hendak berseru, namun
tak mampu berseru karena rasa kantuknya amat be-
rat.
"Orang-orang terkutuk...! Lihat saja, tak lama lagi
kapal itu akan hancur disapu badai...!"
Kemudian ia meneruskan pelarian dengan agak
lamban karena kaki Huang Pai membutuhkan topan-
gan tubuh Jaka Bego. Sampai akhirnya, mereka pun
tiba di pantai dalam keadaan basah kuyup. Huang Pai
langsung terjatuh sampai mengerang kesakitan: Pung-
gung dan pahanya terluka akibat tusukan panah pen-
gejarnya.
"Bertahan, Huang Pai.... Bertahanlah sebentar, kita
harus mencari tempat perlindungan...." Jaka Bego me-
nyeret-nyeret Huang Pai. Sedangkan Huang Pai sendiri
sudah tak dapat bicara apa-apa, kecuali nafasnya te-
rengah-engah sambil mengerang kesakitan.
Agaknya tak ada pilihan lain bagi Jaka Bego kecua-
li mengangkat Huang Pai ke suatu tempat. Huang Pai
masih sadar ketika ia merasa diangkat oleh kedua tan-
gan Jaka Bego dengan ringan sekali. Jaka Bego yang
kurus kerempeng itu bagaikan tak merasa keberatan
sedikit pun mengangkat tubuh Huang Pai yang besar
itu. Bahkan dengan satu kekuatan khusus, Huang Pai
sadar kalau tubuhnya dibawa melayang ke atas. Tiga
kali kaki Jaka Bego menghentak ke batang pohon ke-
lapa, dan sampailah mereka di atas pohon kelapa yang
berdaun lebat. Huang Pai sempat berteriak ketakutan
waktu ia menyadari bahwa kini dirinya ada di puncak
pohon kelapa. Ia disandarkan pada pelepah daun kela-
pa itu. Jaka Bego segera menutup mulut Huang Pai
yang berteriak-teriak kengerian.
"Di sini kita akan aman sementara waktu, asal mu-
lutmu tidak jeplak seenaknya begitu, Huang Pai," kata
Jaka Bego.
"Ak... aku.... Sa.... Sssaya... saya takut pada tem-
pat yang ting... tinggi...." ucap Huang Pai dalam keta-
kutan yang lebih mencekam jiwanya. "Sayaa...
sssaya... memang tidak berani berada di tempat ting-
gi...."
"Badan gede, muka kasar begitu kok takut di tem-
pat tinggi... Uhh, payah!" Jaka Bego sempat mengomel
dan menggerutu dalam tidurnya. "Kalau begitu, pe-
jamkan mata dan jangan sekali-kali memandang ke
bawah!"
Huang Pai benar-benar memejamkan mata kuat-
kuat. Hal itu dilakukan setelah ia berbalik menelung-
kupkan badan di atas sehelai pelepah daun kelapa. Pe-
lepah itu cukup kuat, dan Jaka Bego ternyata pintar
memilih mana pelepah yang kuat untuk menyangga
tubuh, mana yang tidak kuat.
Masih dalam keadaan tidur, Jaka Bego berusaha
kelapa muda yang ada di bawah kakinya. Dengan
menggunakan gigi dan terkantuk-kantuk Jaka Bego
mengupas sebutir kelapa muda. Ia mengupasnya den-
gan menggunakan gigi saja. Membesot serat demi serat
sabut kelapa yang ada.
Sementara itu, para pengejar yang menggunakan
sekoci itu mulai mendekati pantai, siap melakukan
pendaratan. Terdengar dari atas pohon suara Chang
Hu berseru dalam suara tertahan:
"Cari mereka sampai ketemu, dan bilamana perlu
bunuh di tempat. Penggal kepalanya lalu kita serahkan
Laksamana! Uuhh...! Sial! Kalau kakiku tidak patah
karena jatuh tadi, kedua monyet itu pasti sudah kuda-
patkan!"
"Chang Hu kakinya patah," bisik Huang Pai sambil
memejamkan mata. Jaka Bego sibuk menyesat serabut
kelapa.
"Kalau tak salah, kau pernah mengutuknya di ka-
mar tahanan. Tuan Dewa. Kau pernah mengutuk
Chang Hu, yaitu ketika ia menendang tulang kering
kakimu, Tuan Dewa...."
"Lupakan kutukan itu, toh sekarang sudah terjadi."
Jaka Bego bicara dengan pelan.
Gelap malam membuat para pencari tak melihat
tempat persembunyian Jaka Bego. Apalagi sudah ge-
lap, daun kelapa itu amat rimbun dan banyak buah-
nya, sudah tentu tempat persembunyian semacam itu
cukup aman. Para pencari itu mulai gaduh dan menyi-
sir daerah pantai dengan barisan pemeriksa dan peng-
geledah yang bergerak dengan teratur. Mereka berbaris
dalam jarak lima langkah, berjajaran dan serempak
maju ke kedalaman semak belukar tanaman pantai.
Jaka Bego sudah berhasil mengupas kelapa, ia ju-
ga berhasil membolongi batok kelapa yang keras itu
dengan salah satu jarinya. Ia segera meminum air ke-
lapa muda beberapa teguk, lalu diminumkan pula ke-
pada Huang Pai. Kemudian ia minum lagi beberapa te-
guk, tapi tidak benar-benar diteguk habis. Ia menyisa-
kan air itu di dalam mulutnya, lalu dipakai untuk ber-
kumur beberapa saat. Di luar dugaan Huang Pai ter-
nyata Jaka Bego sedang bersiap untuk menyembuh-
kan luka pada tubuh Huang Pai yaitu dengan cara
menyemburkan air kelapa muda itu dengan pelan dan
setiap luka disemburkan tiga kali. Perih. Memang pe-
rih. Huang Pai hampir saja menjerit karena sakit.
"Usahakan untuk tidur, supaya besok kau menda-
patkan lukamu sudah sembuh."
"Se... secepat itukah lukaku akan sembuh, Tuan
Dewa?"
"Iya, tapi jangan keras-keras bicaramu!"
"Saya terkejut mendengar luka saya akan sembuh."
"Saya juga," kata Jaka Bego.
"Ah, masa Anda juga terkejut, Tuan Dewa?"
"Yaah... sekedar rasa setia kawanku saja kepada-
mu, kalau kau sengsara akan kubantu untuk ikut me-
rasakan kesengsaraanmu. Kalau kau terkejut, akan
kubantu untuk lebih terkejut lagi. Biasa, itu sikapku.
Sikap saling menolong."
"Sungguh baik hati Anda ini sebenarnya, Tuan De-
wa."
"O, iya! Kan sudah kukatakan sejak semula, bahwa
aku tak pernah berbuat jahat kepada siapa pun, kecu-
ali benar-benar terdesak."
"Jadi, kalau Tuan Dewa bilang, tidak, kenyataan-
nya juga tidak, begitu? Maksud saya soal kejujuran,
Tuan Dewa."
Sambil terkantuk-kantuk dan bagai malas bicara,
Jaka Bego menjawab. "Itu juga pernah kukatakan ke-
padamu, bukan, bahwa aku tidak pernah berbohong,
kalau tidak terdesak."
"Juga tentang nona Yin Yin, apakah Tuan Dewa ti-
dak berbohong?"
"Tidak. Aku tidak bohong. Aku memang tidak kenal
nona Yin Yin. Bahkan... melihatnya pun belum per-
nah...."
"Tapi bagaimana dengan pemuda yang bernama
Ekayana itu? Apakah Tuan Dewa benar-benar tidak
mengenalnya?"
"Benar. Aku berani... eh, kamu masih terus mengo-
rek keterangan dariku, ya? Ingat kita sudah jauh dari
kapal. Kau bukan lagi algojo dan tukang siksa, aku
sudah bukan lagi tawanan mu...!"
"Ma... maaf, Tuan...." Huang Pai menyadari tinda-
kannya.
Dengkuran Jaka Bego semakin keras, bagai ber-
lomba dengan deru deburan ombak di pantai. Huang
Pai tidak tahu, apakah Jaka Bego tidur sungguh, atau
tetap memperhatikan keadaan sekitarnya. Kali ini
Huang Pai merasa hidup di samping pendekar aneh.
Orang sakti yang unik. "Siapa sebenarnya Jaka Bego
itu?" pikir Huang Pai sambil tetap menelungkup di atas
pelepah daun kelapa. Lukanya sudah tak seperih tadi.
Ia sedikit tenang. Namun ia tetap tak berani membuka
mata, sebab ia takut melihat bawah. Karena asyik ber-
tanya-tanya dalam hati dengan keadaan mata terpe-
jam, maka tak ayal lagi Huang Pai pun tertidur.
Ketika ia terbangun, ia telah merasakan panasnya
matahari menyengat kulit. Tubuh Huang Pai berkerin-
gat segar. Ia hampir saja berteriak karena membuka
mata, dan begitu mata terbuka ia dalam posisi me-
mandang ke bawah dari suatu ketinggian.
"Tuan Dewa...." sapanya gemetar. Huang Pai tetap
memejamkan mata kembali.
"Ssst... bergerak pelan-pelan, jangan bersuara," bi-
sik Jaka Bego. Lalu ia membantu Huang Pai duduk
dan bersandar pada pelepah daun kelapa itu. Keadaan
Huang Pai sudah menghadap ke Jaka Bego, jadi ia be-
rani membuka matanya sedikit demi sedikit.
Oh, ternyata Jaka Bego sudah tidak tertidur lagi.
Jaka Bego dalam keadaan terbengong memandang ke
bawah.
"Tuan Dewa... Anda sudah tidak tidur lagi?"
"Tidur? Hemm.... O, ya... tidak. Eh, apa aku tadi
tertidur?" tanya Jaka Bego dengan heran.
"Lho, Tuan Dewa tidak sadar?"
Jaka Bego menggeleng. "Aku malah sedang berpikir
bagaimana caranya turun ke bawah."
"Aneh...!"
"Kamu keterlaluan Huang Pai, membawa kabur
aku saja sampai di tempat setinggi ini."
"Hemm... bukankah, bukankah Anda sendiri yang
membawa saya bersembunyi dari kejaran mereka di
tempat setinggi ini? Mengapa Tuan Dewa jadi bingung
sendiri?"
"Tuan Dewa...?!" Jaka Bego bingung. Ia garuk-
garuk kepala.
"Bukankah Anda mengaku sebagai Dewa Seribu
Mimpi?"
"Dewa Seribu Mimpi? Ah, persetan dengan dewa-
dewaan."
"Nah, yang benar yang mana ini?" Huang Pai se-
makin kebingungan. Ia memberanikan diri melihat ke
bawah sambil berpegangan lengan Jaka Bego. "Hah...?
Banyak mayat bergelimpangan?!"
"Iya. Aku juga heran tadinya. Tapi setelah kuperha-
tikan, mereka mayat orang-orang kapal, teman-
temanmu juga."
"Ooh...?!" Huang Pai tegang. "Jadi, siapa yang
membunuh mereka? Siapa yang membantai para pen-
gejar kita?"
"Jangan tanyakan aku! Aku. sendiri sedang berpi-
kir tentang bagaimana cara kematian mereka!" Jaka
Bego bersungut-sungut.
Samar-samar Jaka Bego mendengar suara letusan-
letusan kecil. Arahnya di balik rimbun dedaunan, di
bawah sebarisan pohon kelapa lainnya. Lalu teriakan-
teriakan kecil terdengar pula, ada yang berteriak karena direnggut maut, ada yang berteriak karena kemara-
han. Lalu, Jaka Bego mencoba berdiri untuk melihat
ke arah lain, arah datangnya letusan-letusan kecil dan
teriakan-teriakan itu.
"Astaga... ada yang bertarung di sana...." ujar Jaka
Bego. Tapi Huang Pai tidak mendengar ucapan itu. Pi-
kirannya masih dililiti keheranan karena melihat luka-
lukanya telah sembuh sama sekali. Bahkan tidak me-
ninggalkan bekas sedikit pun. Luka di paha itu, seper-
tinya tak pernah terjadi luka. Begitu pula sewaktu
Huang Pai meraba punggungnya yang terkena anak
panah tadi malam, ternyata juga tak ada bekasnya se-
dikit pun. Aneh. Seingatnya, semalam ia disembur
memakai air kelapa oleh Jaka Bego. Tapi secepat itu-
kah lukanya dapat sembuh?
"Oh, ya, ya... aku tahu," kata Jaka Bego.
"Tahu? Tahu tentang apa maksud, Tuan Dewa?"
"Tahu suara letusan itu. Kau dengar letusan itu?"
"Ya.... Saya dengar seperti letusan... itu bukan le-
tusan. Itu lecutan cambuk, Tuan Dewa. Saya hapal
dengan lecutan cambuk...."
"Benar. Itu lecutan cambuk. Dan pasti lecutan
Cambuk Naga."
"Cambuk Naga?! Cambuk pusaka siapa?"
"Cambuk pusaka milik paman Ludiro. Aku kenal
baik dengan paman Ludiro. Dan, kurasa dialah yang
bertarung melawan orang-orang kapal yang mati di
bawah kita ini...."
Jaka Bego berdiri lagi, Huang Pai tidak berani.
Dengan berdiri pandangan mata tidak terganggu rim-
bunan daun di sebelah sana. Dengan berdiri Jaka Bego
bisa melihat gerakan silat Ludiro yang menyambar la-
wannya dengan lecutan Cambuk Naga.
"Eh, itu dia Chang Hu. Ia memberi aba-aba dari pe-
rahu kecil. Agaknya kaki Chang Hu terluka dan tak
dapat dipakai untuk berdiri."
"Seingat saya," kata Huang Pai. "Kaki Chang Hu
memang terkena kutukan Tuan Dewa sehingga benar-
benar patah."
"Hah...? Aku mengutuk begitu kepadanya?"
"Iya! Bahkan saya pun pernah Anda kutuk. Satu di
antaranya tentang kerontokan gigi saya ini, Tuan De-
wa...."
"Astaga...! Aku tidak ingat lagi kok, ya?" Jaka Bego
terbengong memandang tiga gigi atas Huang Pai patah
semua.
Tiba-tiba ia harus merunduk, karena angin bertiup
cukup kencang. Makin lama semakin kencang dan
bunyi desau angin menggaung mirip suara lebah seju-
ta. Ada apa ini? Semakin lama semakin jelas hembu-
san angin menjadi badai yang mengamuk. Tapi suara
letusan dari Cambuk Naga masih terdengar samar-
samar. Suara teriakan semakin banyak dan gaduh.
Ombak bergolak sangat ganas. Jaka Bego berusaha
berdiri lagi memandang ke tempat pertempuran Ludi-
ro. Oh, ternyata pada saat itu Ludiro sedang memutar-
mutarkan cambuknya di udara. Sementara itu, orang-
orang kapal berusaha melarikan diri dengan sekoci
menuju kapal induk yang dari pucuk pohon kelapa ter-
lihat kecil itu.
"Huang Pai... teman-temanmu melarikan diri me-
nuju kapal induk, dan menggunakan kapal kecil untuk
ke sana."
"Itu siasat tempur Chang Hu. Jika keadaan tidak
memungkinkan lebih baik mundur untuk menyerang
kembali di lain waktu dan kesempatan yang berbeda."
"Uaah...! Mereka berjumpalitan. Lihat, ombak me-
lemparkan perahu kecil yang mereka naiki. Iih... om-
bak begitu ganasnya mengamuk. Lihat, Huang Pai...
air laut bagai dituangkan ke sana-sini dan... dan... astaga kapal induk itu terbalik!"
"Hah...?! Kapal induk terbalik? Maksudnya kapal
yang dipakai buat menawan Anda kemarin?"
"Iya...! Sini berdirilah... biar kelihatan jelas...."
Huang Pai takut, namun penasaran. Akhirnya ia
nekad berdiri dengan berpegangan pada tubuh Jaka
Bego. Dan ia pun terbengong melihat lautan bergelora,
badai mengamuk, membuat ombak lautan seperti li-
dah-lidah raksasa hendak menelan bumi. Deburannya
sangat keras mengerikan. Kapal yang dikuasai oleh
Laksamana Chou itu terbalik, kemudian kembali se-
perti posisi semula, dan... malahan kini terlempar ke
belakang, lalu diam tengkurap bagai bangkai kapal
yang naas.
"Gila! Bisa segini hebat kekuatan Cambuk Naga?!"
gumam Jaka Bego. "Dengan hanya diputar-putar saja
sudah mendatangkan badai sebegini hebatnya, apalagi
kalau sampai mengenai benda apapun, pasti benda itu
akan hancur menjadi serbuk yang halus.... Wah, jurus
apa itu yang dipakai paman Ludiro, ya? Pintar juga
dia. Kuakui sungguh pintar paman Ludiro itu. Kapal
sebegitu besar bisa ditunggang-balikkan dengan tanpa
menyentuh sedikit pun...."
"Jelasnya," sambung Huang Pai. "Kapal itu telah
termakan kutukan Anda, Tuan Dewa. Ia benar-benar
disapu badai, seperti yang anda lontarkan tadi malam
dalam sebuah kutukan, yaitu pada saat saya terkena
anak panah dua kali."
"Oh, jadi aku juga mengutuk begitu?!"
Huang Pai mengangguk sekali pun dalam hatinya
heran, mengapa hal itu sampai tidak disadari Jaka Be-
go. Mungkinkah Jaka Bego pendekar yang lupa inga-
tan? Mungkinkah karena ia bertarung dalam keadaan
tidur sehingga tidak tahu apa yang ia lakukan?
Memang, aneh sosok pemuda kurus kering dan ke
rempeng itu. Bahkan sewaktu ia turun dari pohon per-
lahan-lahan, ia tidak sanggup membantu Huang Pai
untuk turun ke bawah, padahal semalam ia yang men-
gangkat tubuh Huang Pai dan membawanya loncat tiga
kali hingga sampai di pucuk pohon.
"Paman Ludiro...!" teriaknya ketika ia melihat Ludi-
ro memandang orang-orang kapal yang berserakan di
lautan lepas. Badai telah reda, dan banyak mayat
mengapung di permukaan air laut. Kayu-kayu pun
mengapung, pertanda kapal maupun sekoci itu pecah
disabet ombak besar tadi.
"Hei, Jaka Begooo...!" seru Ludiro yang tampak ter-
cengang dalam senyum kegembiraan. Ludiro segera
berlari menemui Jaka Bego. Ia menggenggam erat ke-
dua pundak Jaka Bego seraya berkata:
"Kupikir kau telah dibunuh oleh mereka di kapal
itu!"
"Belum sempat, Paman. Aku bahkan sempat mela-
rikan diri dengan bantuan salah satu dari orang mere-
ka."
"Ooh... syukur, syukur.... Kalau tahu begitu seha-
rusnya aku tak semarah tadi. Eh, kau di mana tadi?
Kau melihat aku bertarung dengan mereka?"
Jaka Bego mengangguk. "Aku bersembunyi, Pa-
man. Sejak semalam, aku bersembunyi di pucuk po-
hon kelapa itu...." jawab Jaka Bego menuding pohon
tempat persembunyiannya. "Malahan orang yang me-
nolongku melarikan diri masih di pucuk sana, ia tak
berani turun. Takut...."
Ludiro menertawakan kata-kata Jaka Bego. "Kalau
begitu, mari kita bantu menurunkan dia...." kata Ludi-
ro. Sambil berjalan ke arah pohon kelapa yang masih
dihuni Huang Pai, Ludiro berkata kepada Jaka Bego:
"Habis ini kita ke Pulau Kramat."
"Pulau Kramat?!" Jaka Bego merasa heran dan masih asing nama itu bagi telinganya. "Kenapa harus ke
sana?"
"Bunga Teratai Wingit dicuri orang."
"Hah...?! Dicuri orang?! Siapa yang mencurinya?"
"Itu yang sedang diselidiki Lanangseta. Ada kabar
yang mengatakan bahwa bunga itu dibawa pencurinya
ke Pulau Kramat."
"Jadi...? Jadi Lanangseta sampai sekarang belum
menikah dengan putri Bukit Badai?"
"Pernikahannya terpaksa tertunda, karena ia harus
mendapatkan bunga teratai itu."
"Pernikahan yang tertunda...?" Jaka Bego seperti
sedang bicara pada dirinya sendiri. Lalu ia berkata da-
lam hati, "Mungkinkah itu akibat kutukan ku sewaktu
aku diseret-seret Chang Hu dan anak buahnya? Tapi...
tapi waktu itu aku melihat Lanang memperhatikan aku
dari tempat persembunyian." Jaka Bego terbengong, ia
belum tahu bahwa yang memperhatikan dia itu bukan
Lanangseta, melainkan adik kembarnya yang bernama
Ekayana. Pemuda itu pula yang dicari-cari oleh Lak-
samana Chou atas tuduhan melarikan putrinya yang
bernama Yin Yin.
Kalau begitu, bagaimana nasib putri Laksamana
Chou yang bernama Yin Yin itu? Apakah Ekayana yang
bergelar Pendekar Maha Pedang itu benar-benar jatuh
cinta Kepada Yin Yin? Jadi, bagaimana nasib Andini ji-
ka Ekayana bercinta dengan Yin Yin? Dan yang utama
lagi... apakah Lanang akan berhasil merebut kembali
bunga Teratai Wingit dari Pulau Kramat? Bukankah
kata Andini pulau itu kosong. Kalau begitu, siapa
orang yang mencuri bunga teratai Wingit itu? Orang
yang dibuang oleh pemerintah negeri asal Andini? Bu-
kankah orang itu sudah mati?!
Banyak yang belum terungkap. Namun kutukan
Jaka Bego telah banyak yang menjadi kenyataan. Kapal Laksamana Chou disapu badai, kaki Chang Hu pa-
tah, perkawinan Lanangseta tertunda, dan apakah
Huang Pai akan menjadi saudagar kaya seperti kutu-
kan aneh yang terlontar dari mulut Jaka Bego?
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar