PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE IBLIS PULAU KERAMAT
IBLIS PULAU KERAMAT
Oleh Barata
© Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Iblis Pulau Keramat
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.9
1
MATAHARI mulai surut ke bumi. Sementara
itu, keributan di depan pintu gerbang Griya Tera-
tai Wingit masih berlangsung dengan seru. Seo-
rang pemuda tampan, bertampang imut-imut,
berhidung bangir dengan bulu mata yang lentik
dan bibir semerah jambu segar itu masih menga-
muk dengan pedang peraknya. Lande dan Bonang
masih bertahan membendung amukan pemuda
itu, sedangkan orang-orang Griya Teratai Wingit
sudah mengepung, membentuk satu arena perta-
rungan yang cukup menegangkan. Hanya Lande
dan Bonang, sebagai orang kepercayaan keluarga
Sabdawana, sebagai murid Sabdawana yang tertua
dari yang lainnya, yang kala itu patut menghadapi
pemuda berbadan sedikit kurus tapi alot.
Sabdawana mengunci diri di dalam kamar se-
madi, sedangkan Kirana Sari putrinya, masih me-
nikmati tidur sore. Ia tak tahu ada keributan di
luar rumahnya. Ia masih asyik bermimpi bersama
Lanangseta, calon suaminya yang saat ini sedang
mencari kembali bunga Teratai Winggit yang dicuri
orang pada malam sebelum hari perkawinan me-
reka. (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Ada
beberapa orang mengusulkan agar salah satu ada
yang membangunkan putri Bukit Badai yang can-
tik dan anggun itu. Namun Marwa, pelayan se-
tianya melarang. Marwa hanya berkata kepada pa-
ra murid Sabdawana:
"Hanya menghadapi tikus satu, masa' harus
membangunkan Putri Agung...?"
"Tapi pemuda itu mengamuk dengan hebat.
Kami bisa kewalahan. Dia mempunyai ilmu silat
yang cukup tinggi."
"Apakah kalian tidak mempunyai ilmu silat
yang tinggi? Kurasa kalian sudah banyak belajar
ilmu kanuragan dari Putri Agung maupun Rama
Sabdawana. Lawanlah dia beramai-ramai."
Jika Kirana Sari yang disebut Putri Agung itu
sedang tidur atau beristirahat, memang tak satu
pun ada yang berani mengganggunya. Mereka se-
gan, menaruh rasa hormat yang tinggi kepada Ki-
rana atau pun ayahnya. Sehingga, sekali pun ada
keributan yang terjadi seperti sore ini, para murid
itulah yang harus mengatasi keributan tersebut
dengan dibantu oleh beberapa pengawal dan orang
kepercayaan Sabdawana, seperti Lande dan Bo-
nang itu.
Hanya saja kali ini Lande dan Bonang merasa
mendapat lawan yang tidak tanggung-tanggung
beratnya. Berulangkali mereka melancarkan jurus
mematikan, namun selalu saja dapat dihindari
oleh pemuda bercelana merah berbaju rompi war-
na coklat tanah.
Pemuda itu berhenti menyerang pada saat
Lande dan Bonang tersungkur akibat tendangan-
nya tadi. Pemuda itu berseru kepada Lande dan
yang lainnya:
"Lebih baik kalian jangan menghalangi mak-
sudku untuk bertemu Putri Bukit Badai! Jangan
sia-siakan nyawa kalian. Biarkan aku masuk ke
dalam dan menemui Putri anak Rama Sabdawana
itu!"
"Tidak seorang pun boleh masuk ke dalam
lingkungan rumah terhormat ini!" balas Bonang
setelah berhasil berdiri lagi. "Kalau kau bertemu
Putri Agung, tunggu sampai dia bangun dari ti-
durnya."
"Aku tak ada waktu...!"
Sambil berkata begitu, pemuda tersebut me-
lompat dengan gerakan yang ringan seperti kapas,
ia melayang untuk melewati pagar rumah Kirana
yang bertembok tinggi. Tetapi sebelum ia sempat
melesat melompati pagar yang menyerupai ben-
teng itu, Bonang sudah lebih dulu melemparkan
beberapa butir batu ke arah pemuda tersebut.
Dua lemparannya berhasil ditepiskan oleh pemuda
itu, tapi dua lemparan lainnya mengenai dagu dan
ketiak pemuda itu. Lemparan lainnya berikutnya
menyusul dari Lande yang membuat pemuda itu
bersalto ke belakang beberapa kali, dan mendarat
di bawah sebuah pohon buni. Ia menggeram ge-
mas. Ia tak berhasil melompati pagar rumah Sab-
dawana. Satu-satunya jalan ia harus melumpuh-
kan kedua orang kepercayaan Sabdawana itu.
Sebuah tendangan menyamping dilancarkan
ke arah muka Lande. Dengan bergerak ke samping
Lande dapat menghindari tendangan tersebut.
Sambil bergerak ke samping tangan Lande meng-
hantam betis kaki itu. Meleset. Karena kaki itu se-
gera bergerak ke samping dengan tiba-tiba dan
mengenai bawah leher Lande. Tendangan itu
membuat Lande limbung. Kelimbungannya disam-
but dengan satu pukulan tangan kiri, namun ma-
sih sempat ditangkis oleh Lande dengan gerakan
merendahkan tubuh. Pada saat Lande bergerak
merendah, pedang di tangan kanan pemuda itu
menghunjam ke arah leher Lande. Dengan cepat
Lande berguling ke samping, tapi kaki Lande sem-
pat menyapu kaki pemuda itu dengan keras. Pe-
muda itu sedikit limbung. Keadaan seperti itu di-
manfaatkan oleh Bonang untuk melancarkan pu-
kulan ke arah pinggang lawan. Tapi tangan Bo-
nang yang melesat lurus itu dapat tersentak ke
atas karena tendangan pemuda itu yang cukup
kuat. Bonang menyeringai kesakitan. Tangannya
terasa semutan dan linu. Bonang membungkuk
mendekap tangan kirinya sendiri. Ia berputar
membelakangi lawan, sehingga dengan cepat pe-
dang lawan membacok ke arah punggung Bonang.
Gerakan Lande ternyata tidak terlambat, karena
kakinya berhasil menjejak pinggang lawan dengan
keras, sehingga lawan terpental dan bacokan pe-
dangnya meleset ketempat kosong.
"Kalian memang tak pantas diberi ampun...!"
kata pemuda itu dengan kemarahan yang dalam.
Ia menyarungkan pedangnya ke tempat pedang
yang terbuat dari perak putih. Lalu ia mereng-
gangkan kakinya ke samping kanan kiri, sedikit
merendahkan badan sehingga kaki itu kelihatan
kokoh berpijak. Tangan kanan dan kiri bergerak
kaku dan keras, membuka ke kanan dan ke kiri.
Lalu dengan gerakan kuat tangan itu menjadi ka-
ku dan bersimpang siur di depan wajahnya. Jari
telunjuk dan jempolnya berdiri tegak, sedangkan
ketiga jari lainnya ditekuk sejajar. Lalu, dengan
satu gerakan cepat kedua tangannya itu menghen-
tak ke depan bersamaan.
Dari telapak tangan itu keluar asap yang me-
luncur dengan cepat. Asap itu berwarna hitam dan
mengarah kepada Lande dan Bonang. Secepatnya
kedua orang itu melambung ke atas, menghindari
asap itu, yang ternyata membuat dua ledakan ke-
tika menghantam ke tanah.
Dua ledakan itu membuat tanah tersebut be-
rongga, tanpa ada sebutir pasir pun yang tersem-
bur ke udara. Dan hal itu membuat tanah di seki-
tarnya berguncang, bagai terjadi gempa setempat.
"Woow...!" seru orang-orang yang mengepung
membentuk arena pertarungan itu. Mereka mulai
melangkah mundur dan merasa ngeri. Lande dan
Bonang saling berpandangan tegang.
"Ilmu Inti Badai...?!" kata Lande terperangah
tegang.
Bonang bergerak menyamping, mendekati
Lande, tapi matanya masih mengawasi gerakan
pemuda itu. Bonang sempat berbisik:
"Siapa pemuda itu sebenarnya? Mengapa ia
menguasai ilmu Inti Badai?"
Sekali lagi tangan pemuda itu maju ke depan
dengan menghentak keras, dan sekilas asap hitam
melesat ke arah Bonang dan Lande.
"Awas...!" seru Bonang. Lalu keduanya melejit
ke atas dan masing-masing berkelit dengan meng-
gulingkan badan ke kanan dan ke kiri.
Sebatang pohon berukuran sedang tumbang
karena serangan pemuda itu mengenai akar pohon
tersebut. Bumi berguncang sejenak, dan orang-
orang yang mengepung semakin merenggang
mundur. Wajah mereka tetap tegang memandang
pertarungan pemuda itu melawan Lande dan Bo-
nang dengan perasaan was-was.
Bonang melancarkan pukulan tenaga dalam
yang boleh dibilang tidak seimbang. Namun tu-
juannya hanya untuk mengacaukan perhatian
pemuda itu, sebab ia akan bersalto ke depan un-
tuk mendekati Lande. Kini, mereka berdua saling
berhimpitan lengan. Lande berbisik tegang:
"Gunakan jurus Paku Jagat...!"
Dengan gerakan yang sangat cepat, Lande dan
Bonang mengibaskan tangan kiri dan kanan ke
segala penjuru. Gerakan tangan mereka cukup
kuat, kaku dan kokoh, bagai penuh tenaga mema-
dat. Kaki kanan mereka sama-sama bergerak ke
depan dengan kekar, lalu bergerak ke kiri semen-
tara posisi tangan mereka mengembang bagai
sayap garuda. Kemudian kaki kanan itu segera
menghentak ke tanah dengan kuat. Hentakan itu
bersamaan dan membuat pemuda tersebut terke
jut, ia terpental ke atas dalam keadaan limbung.
Lalu jatuh.
Itulah kehebatan jurus Paku Jagad yang baru
beberapa saat berhasil mereka pelajari dari Sab-
dawana. Sebuah hentakan kaki yang cukup man-
tap, mengalirkan tenaga inti ke dalam tanah dan
mencebol ke atas di tempat lawan berdiri. Sudah
tentu pemuda itu ter-sentak melambung dalam
keadaan tak sempat menjaga keseimbangan ba-
dan.
Hanya saja setelah dia rubuh ke tanah, tiba-
tiba ia menggerakkan tangan kanannya dengan
keadaan semua jari terarah ke depan. Lalu, dari
jari-jarinya itu keluar jarum-jarum kecil berwarna
hitam. Jarum itu melesat cepat, nyaris tak terli-
hat. Untung Kirana segera keluar dan menghenti-
kan gerakan jarum itu dengan sebuah pukulan
pembeku yang dilancarkan dari tangan kanannya.
Jarum-jarum itu bagai mengumpul menjadi satu
dan jatuh ke tanah tanpa dapat bergerak lagi. Pe-
muda tersebut bergegas bangun, lalu tertawa sinis
kepada Kirana.
"Akhirnya kau keluar juga, Putri...!"
Kirana tidak menjawab. Ia melangkah dengan
penuh wibawa dan keanggunan. Ia mengenakan
celana ketat sebatas bawah lutut berwarna kuning
gading, sedangkan kain halus membentuk satu si-
langan di dada hingga ke dua pundak. Kain itu
berwarna merah muda, menambah keanggunan-
nya. Ia membuat rambutnya yang panjang ter-
sanggul bagian tengah, sedangkan ujung rambut
lainnya dibiarkan menjuntai lewat pundak, ber-
henti di dada kiri. Ia berdiri dengan sedikit me-
renggangkan kaki, menatap pemuda itu dengan
sorot mata yang tajam namun mengandung kebe-
kuan. Dingin.
"Kau sungguh semakin cantik, Putri...."
Kirana diam. Tidak memberi komentar apa-
apa. Namun sikapnya yang berdiri tegap bagai
seorang pendekar putri itu menyatakan bahwa ia
siap bertarung melawan musuhnya. Ia bagaikan
sedang menunggu serangan dari lawan. Tetapi
pemuda itu hanya tersenyum-senyum menjijikkan
bagi Kirana, namun barangkali mempesonakan
bagi wanita lain. Pemuda itu kini dengan tenang
dan gaya langkahnya yang sok jago itu mendekati
Kirana. Kirana memandang dingin, sedangkan
pemuda itu memandang penuh gairah. Matanya
yang nakal nyata-nyata tertuju pada kepadatan
buah dada Kirana yang menonjol merangsang sya-
raf kelaki-lakiannya. Kirana tak banyak bergerak,
kedua tangannya bersilang di dada, seakan sema-
kin menonjolkan kedua bukit sucinya itu.
"Bagaimana kabarmu, Putri...? Baik-baik sa-
ja?"
Tak ada jawaban dari Kirana. Sepi. Mereka
yang mengepung membuat satu lingkaran itu juga
sepi, tak ada yang berbicara sedikit pun. Juga
Lande dan Bonang, diam dalam jarak lima meter
dari Kirana. Mereka berdiri berjejer, tapi tetap me-
nunjukkan kesigapannya.
"Bagaimana kalau kita bicara di dalam, Putri?
Ada hal penting yang patut kita bicarakan ber-
dua," kata pemuda itu yang sudah mengenai betul
siapa Kirana Sari itu. Dan Kirana sendiri juga pa-
ham betul siapa pemuda itu. Tapi ia benci kepa-
danya, dan merasa muak bertemu pemuda be-
rambut ikal bergelombang dan mengenakan ikat
kepala dari kain emas itu.
"Rama Sabdawana ada di rumah?" tanya pe-
muda itu setelah sedikit salah tingkah karena se-
mua kata-katanya tidak mendapat sambutan dari
Kirana.
"Dia dalam keadaan baik-baik saja, Putri?"
Dengan suara datar namun tandas itu Kirana
berkata:
"Apa maumu, Bajingan...?!"
Semua wajah yang menunduk sepi kini kem-
bali terangkat dengan rona ketegangan yang sa-
mar. Pemuda itu tersenyum tenang, berjalan ke
belakang sebentar, lalu membalik lagi sehingga
posisinya kini berada di depan Kirana dalam jarak
tiga langkah. Ia juga merenggangkan kedua kaki
seakan siap menunggu serangan lawannya.
"Putri... aku ke mari untuk membicarakan se-
suatu yang amat penting bagimu. Bukan untuk
bertarung denganmu. Ada hal yang perlu kau ke-
tahui dengan segera."
"Aku tidak butuh keteranganmu, Prabima!" ja-
wab Kirana dengan ketus, tanpa keramahan sedi-
kit pun.
"Tapi aku yakin...." pemuda itu melirik sinis.
"Kau pasti membutuhkan keterangan di mana
bunga Teratai Wingit itu, bukan?"
Sebenarnya saat itu Kirana ingin membelalak-
kan mata karena kaget. Ada rasa penasaran juga
yang menggumpal di dalam hatinya, namun ia
bertahan untuk tetap setenang mungkin, dan ber-
bicara dengan ketus:
"Aku tahu, kaulah pencurinya, Prabima" Kira-
na cepat mengambil kesimpulan tentang siapa
yang mencuri bunga itu.
"Aku tahu segala kelicikanmu, dan sekarang
kau mau apa?!" tantang Kirana dengan penuh ke-
beranian.
"Bagaimana kalau bunga itu kukembalikan
padamu?"
Kirana tetap menjawab dengan ketus. "Tidak
perlu...!"
Prabima berkerut dahi. Pemuda itu dari dulu
mencintai Kirana, dari sejak ia menjadi murid ke-
sayangan almarhumah ibu Kirana. Tetapi Kirana
tak pernah mau melayani cintanya. Kirana justru
menjauhi Prabima setelah ia tahu bahwa murid
kesayangan mendiang ibunya itu telah lama men-
gincar dirinya. Bahkan hubungan Kirana dengan
Pendekar Pusar Bumi yang juga berjuluk Malaikat
Pedang Sakti itu selalu diganggunya. Prabima ti-
dak rela Kirana jatuh dalam pelukan Lanangseta,
atau si Pendekar Pusar Bumi. Sebab itu, segala
cara ia tempuh untuk mendapatkan kehangatan
cinta Kirana.
Syarat dari perkawinan itu adalah memakan
bunga Teratai Wingit dari dalam Goa Malaikat.
Tanpa itu, Kirana tak akan dapat berumahtangga
dengan Lanangseta, sebab darah Kirana hanya bi-
sa bercampur dan menghasilkan keturunan den-
gan darah leluhurnya. Tapi jika Lanangseta telah
memakan bunga tersebut, maka darahnya akan
berubah dan akan bisa menjadi satu dengan da-
rah Kirana, sehingga mereka pun akan bisa meng-
hasilkan keturunan dan Kirana tidak akan mati
dalam seminggu setelah perkawinannya. Sebab
itulah, kendati usianya sudah dibilang cukup,
namun Kirana belum mau jatuh cinta dan meni-
kah dengan pemuda lain, apalagi seperti Prabima.
Namun kini, Malaikat Pedang Sakti telah muncul
dan membuat cinta bersemi di hatinya. Sebab itu,
pendekar tampan berambut panjang itu harus
mengambil bunga teratai Wingit dari Goa Malaikat,
dan itu sudah dilakukan oleh Lanangseta. Namun,
pada malam sebelum hari perkawinan tiba, bunga
itu telah dicuri seseorang. Orang berkerudung
yang mencuri bunga tersebut tak lain adalah Pra
bima. Ia berharap dengan mendapatkan bunga te-
ratai itu, maka Kirana tak dapat menikah dengan
Lanangseta. Dan hanya kepada Prabima sajalah
Kirana dapat bersuami, sebab hanya Prabima yang
akan memakan bunga tersebut dan darahnya bisa
menyatu dengan darah Kirana.
Jadi bunga teratai yang dicuri Prabima itu kini
menjadi senjata ampuh untuk membuat Kirana
berlutut dan mau menikah dengannya. Tetapi apa
kata Kirana pada waktu itu? Dengan suara lan-
tang dan penuh dendam yang terdekap di dada,
Kirana berkata:
"Ambillah bunga itu, dan tak perlu kau kemba-
likan lagi. Karena calon suamiku itulah yang akan
merebut dari tanganmu. Sudah ku pesan padanya,
agar jangan lupa persembahkan padaku maskawin
lain, yaitu kepalamu! Itulah maskawin yang ber-
harga bagiku, Prabima."
Pemuda itu menjadi gusar. Ia merasa dihina,
diremehkan di depan banyak orang. Namun, seka-
lipun hatinya meledak ingin marah Prabima tetap
mencoba untuk bersabar. Ia hanya tersenyum ma-
sam, seakan tak merasa dihina.
"Suamimu tak akan berhasil mengalahkan
aku, Putri. Camkan dan ingat kata-kataku : dia ti-
dak akan berhasil mengalahkan aku. Percayalah,
aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Kau be-
lum mengenal betul siapa aku yang sekarang."
Kirana membalas senyum masam dalam
keangkuhan. Ia berkata, "Kalau toh Lanangseta
gagal memenggal kepalamu, maka aku akan me-
nyebar sayembara ke seluruh pelosok dunia, ba-
rang siapa mampu memberikan maskawin padaku
berupa kepalamu, maka aku akan bersedia men-
jadi istrinya sepanjang masa. Siapa pun orangnya,
bagaimana pun ujudnya, kalau memang ia datang
dengan membawa kepalamu yang pantas buat
sumpal jamban itu, sekali pun ia seekor gorila,
aku tetap akan mencintainya dan kawin dengan-
nya."
Merah wajah Prabima mendengar ucapan itu.
Nafasnya mulai memburu disekap nafsu kemara-
han. Sekalipun demikian Prabima tetap menjaga
ketenangannya.
"Siapa pun tidak akan berhasil memenggal ke-
palaku, tahu kau, Putri?!"
"Kalau begitu akulah yang akan memenggal
kepalamu!" kata Kirana dengan tegas.
Prabima memandang penuh kegeraman. Kira-
na tetap berdiri dengan tegap, kaki terentang sedi-
kit dan kedua tangannya bersilang di dada. Da-
gunya sedikit terangkat, matanya yang bertepian
hitam itu bagai menantang suatu pertarungan.
Prabima mendekat dan berkata dengan angkuh:
"Apa kau bisa memenggal kepalaku? Apa bi-
sa?"
"Apa kau perlu bukti...? Nih... heaat!"
Sebuah pukulan yang tak terduga melesat dari
tangan Kirana dan mengenai rahang Prabima. Pe-
muda itu oleng ke kiri dan kakinya menendang
putar ke arah Kirana. Tapi oleh Kirana kaki itu
bagai hanya ditepiskan saja.
Lalu dalam keadaan tubuh Prabima terbung-
kuk oleng ke kiri itu, Kirana melihat ada peluang
di pinggang Prabima. Kakinya segera menendang
dalam bentuk tendangan samping.
"Aauhh...!"
Prabima terpental dan jatuh ke tanah sambil
mengaduh. Ia memegangi pinggangnya yang terasa
mau patah.
"Ilmumu masih belum seberapa, Monyet bu-
suk...!" kata Kirana sambil mendekati Prabima
dengan langkah mantap. "Aku tahu semua jurus
yang diajarkan ibu kepadamu, tapi itu tidak cukup
untuk membuat kau menjadi bajingan tengik!"
Sebuah tendangan kembali menerjang wajah
Prabima. Tendangan itu cukup keras dan mem-
buat bibir Prabima berdarah. Prabima bergegas
bangun dan berdiri siap diserang. Namun Kirana
tidak menyerangnya. Kirana hanya diam, mem-
perhatikan Prabima yang sibuk menghapus darah
dari bibirnya itu.
"Dengar, Putri...! Kau akan menyesal memper-
lakukan aku demikian. Kau akan menyesal! Sebab
sebentar lagi bunga itu akan ku makan, dan
hanya akulah laki-laki yang bisa kawin denganmu.
Hanya akulah nantinya laki-laki yang bisa membe-
rikan keturunan kepadamu, Putri!"
Kirana mulai diliputi kegelisahan. Gawat juga
kalau sampai Prabima memakan bunga teratai
Wingit itu. Jelas, hanya Prabima yang dapat mem-
berikan keturunan dan hanya pemuda itulah yang
bisa menjadi suaminya. Apakah sudah menjadi
garis ketentuan hidupnya bahwa ia harus meni-
kah dengan lelaki yang sama sekali tidak dicin-
tainya?
Tidak. Sebelum Prabima memakan bunga itu,
Kirana harus bisa membunuhnya, supaya bunga
tersebut tidak dimakan oleh lelaki mana pun, ke-
cuali Lanangseta.
"Kau memang biadab...!" seru Kirana dengan
bergerak melompat dan melayang bagai anak pa-
nah menuju Prabima.
Pemuda itu menghindari serangan Kirana den-
gan cara melompat ke kiri lalu bersalto ke depan
beberapa kali. Kirana tak mau menyerah, ia juga
bersalto mengejar Prabima. Kakinya tepat menda-
rat di depan Prabima, lalu dengan segera ia me
lancarkan beberapa pukulan bertubi-tubi ke wajah
Prabima.
"Tap... tap... tap...!" Prabima berhasil menang-
kis semua pukulan Kirana, malahan kini salah sa-
tu pukulan kiri Prabima sempat menghantam pe-
rut Kirana. Kirana mundur.
Sambil berbalik mundur, kaki Kirana melayang
cepat ke wajah Prabima sehingga pemuda itu
menggeragap sementara waktu. Ia mengibaskan
kepalanya karena pandangan mata menjadi ber-
kunang-kunang. Saat itulah, Kirana melompat sa-
tu kali dan mengibaskan kaki kirinya, namun se-
benarnya kaki kanan yang tiba-tiba maju menen-
dang dagu Prabima. Pemuda itu meringis kesaki-
tan karena tendangan Kirana begitu telak menge-
nai dagunya.
Dengan bersalto ke belakang dua kali, Prabima
mengatur jarak serang agak tak terlalu dekat. Te-
tapi belum sempat Prabima mengatur keseimban-
gan tubuhnya, tiba-tiba kaki Lande menghentak
ke tanah dengan kuat. Jurus Paku Jagat dilancar-
kan cepat. Tenaga dalam yang hebat meluncur
melalui kedalaman tanah dan menjebol ke atas,
sehingga membuat Prabima terpental ke atas.
Pada saat tubuh Prabima melayang, Kirana se-
gera mengambil selembar daun kering. Daun itu
segera diluncurkan ke arah Prabima, melesat ce-
pat menggores tumit Prabima. Daun yang telah di-
isi dengan tenaga dalam itu berubah bagai sebilah
pisau tajam yang mampu memotong kayu sebesar
apa pun. Dan pada saat ini, tumit Prabima yang
menjadi sasaran. Tumit itu robek dan terluka da-
lam. Prabima menjerit kesakitan, lalu berdiri den-
gan terpincang-pincang. Kaki kanannya berdiri
menginjak tanah, sedang kaki kirinya dikibas-
kibaskan karena darah banyak yang keluar. Posisi
berdiri itu dimanfaatkan oleh Bonang untuk me-
nyerang kaki kanan Prabima. Prabima terpelanting
jatuh karena kaki kanannya disapu kaki Bonang
sekuat tenaga hingga terasa mau patah.
"Kau harus mati, Jahanam...!" teriak Kirana.
Lalu sebuah pukulan mengarah ke wajah Prabima.
Prabima bergegas bangkit, namun terlambat. Tan-
gan Kirana telah sempat menghantam keningnya
dengan keras. Disusul sebuah kibasan tangan Ki-
rana yang bagai memenggal rusuk Prabima den-
gan keras.
Prabima tak sempat berteriak kesakitan. Ia
hanya terguling-guling di tanah, lalu melentik
tinggi dan bersalto dua kali. Kini ia berdiri di tem-
pat yang agak jauh dari Kirana. Tiba-tiba tubuh-
nya berubah menjadi kabut tipis, kian lama kian
tebal, dan menghilang.
Kirana dan yang lainnya tercengang menyaksi-
kan keajaiban tersebut. Tubuh Prabima bagai ter-
telan kabut, dan entah ke mana. Kini yang ada
hanya suaranya. Suara di sela tawa yang terden-
gar dengan jelas oleh setiap orang:
"Aha... Putri Bukit Badai yang cantik... ru-
panya tak ada cara lain yang harus kupakai, ke-
cuali dengan jalan pintas menuju gerbang hati-
mu...." suara ini berkumandang, seperti memantul
ke segala penjuru dunia. "Putri... tunggu saat ke-
datanganku lagi. Aku akan datang dengan darah
yang siap campur dengan darahmu. Ha, ha, ha....
Bunga itu akan ku makan, dengan begitu hanya
akulah yang pantas menjadi suamimu, Putri can-
tik. Akulah yang bisa memberikan keturunan pa-
damu, untuk melangsungkan keturunan leluhur
Bukit Badai ini. Hanya aku. Ya, hanya aku yang
mempunyai darah sama dengan leluhur Bukit Ba-
dai. Nah, sampai jumpa dalam waktu dekat. Aku
pasti datang setelah memakan bunga teratai Win-
git itu...."
"Keparat kau, Prabima...!!" seru Kirana dengan
geram. "Prabima...! Hadapi aku. Aku menantang-
mu! Mari kita bertarung, sekarang juga. Kalau aku
kalah, kau boleh ambil aku sebagai istrimu. Itu ta-
ruhan ku...!"
"Rasa-rasanya lebih enak istirahat di rumah
sambil memakan bunga itu, Putri.... Selamat ting-
gal...."
"Prabimaaa...!" teriak Kirana kelabakan. "Pra-
bima, perlihatkan ujudmu...! Jangan pergi, Prabi-
ma!" Kirana memandang kian ke mari dengan te-
gang. Orang-orang itu juga memandang ke sana
sini, mencari-cari kemunculan Prabima. Tapi lelaki
itu agaknya telah pergi. Tidak di tempat itu lagi.
Kirana berteriak berulangkali dengan kemarahan
yang sangat menyesakkan pernafasan. Tapi Pra-
bima tetap hilang. Kabut itu pun lenyap tanpa be-
kas.
"Bangsat itu menguasai ilmu Halimun...." ujar
Lande.
"Bukan," jawab seseorang di ambang pintu.
Oh, rupanya Sabdawana telah keluar dari kamar
semadi. "Dia menguasai ilmu iblis yang bernama :
Siluman Raga Muspra...!"
Kirana menghampiri ayahnya dengan cemas.
"Ayah... ia mengancam akan memakan bunga
itu...!"
Sabdawana yang lebih berwibawa itu men-
gangguk. "Ayah mendengar ucapannya."
"Tapi... tapi aku tak mau kawin dengannya,
Ayah."
"Itu yang harus kita pikirkan di dalam. Ayo...."
Sabdawana mengajak putrinya masuk dengan si-
kap penuh ketenangan.
2
LUDIRO, bekas pengawal setia Putri Ayu Sekar
Pamikat yang sekarang sudah menjadi orang suci
di dalam Goa Malaikat, kini ia sedang menyusul
Lanangseta ke arah menuju Pulau Kramat. Ia ber-
jalan bersama Jaka Bego, yang sudah bebas dari
tahanan dalam kapal Laksamana Chou, dan
Huang Pai, seorang algojo Laksamana Pau yang
akhirnya memihak pada Jaka Bego.
Huang Pai menceritakan kehebatan Jaka Bego
yang mampu melarikan diri dari kapal Laksamana
Chou dengan berjalan di atas permukaan air. Te-
tapi, sekali lagi Ludiro tersenyum masam, pertan-
da ia tidak mempercayai cerita itu.
"Kalau Tuan Dewa ini tidak sakti, saya tidak
mau ikut dia, Paman Ludiro," kata Huang Pai da-
lam aksen Cinanya.
"Tuan Dewa...? Kau memanggil dia Tuan De-
wa?" Ludiro heran-heran geli. "Orang seperti ini
dipanggil Dewa!" seraya Ludiro menjulekkan kepa-
la Jaka Bego. Jaka Bego terdorong ke depan dan
hampir jatuh.
"Jangan begitu, Paman," katanya seraya ber-
sungut-sungut.
Huang Pai terkejut. Lalu ia menceritakan kea-
daan Jaka Bego ketika anak itu diberi setetes ma-
du. Jaka Bego menjadi mengantuk, dan tertidur.
Dalam tidurnya itu ia bicara terus, menyebut di-
rinya sebagai Dewa Seribu Mimpi. Bahkan dalam
keadaan tidur itu Jaka Bego menunjukkan kehe-
batan ilmu silatnya, bahkan mampu berjalan di
atas air selama dalam pengejaran. Juga mampu
melompat dari darat ke atas pohon kelapa yang
tinggi sebagai tempat persembunyian mereka (da-
lam kisah KUTUKAN JAKA BEGO).
"Saya alami sendiri hal itu bersamanya, Paman
Ludiro." Huang Pai menegaskan.
Ludiro sama sekali tak percaya. Ia tertawa dan
melirik Huang Pai yang bermata lebar, namun
masing-masing ujungnya tertarik ke atas, sehing-
ga menandakan betul bahwa ia keturunan dari
Tiongkok.
"Jangan percaya dengan omongan dia," kata
Ludiro. "Dia cukup ahli kalau disuruh menipu.
Malahan dulu pernah kusarankan agar nama Jaka
Bego diganti Pendekar Tipu Muslihat. Itu lebih co-
cok bagi orang yang gemar makan tapi tidak bisa
gemuk, seperti dia itu...!" Ludiro tertawa lagi, tapi
Jaka Bego hanya bersungut-sungut, tak punya
wibawa dan penampilan yang meyakinkan sebagai
Dewa Seribu Mimpi. Huang Pai sedikit bingung.
Jaka Bego mendekati Huang Pai dan berbisik:
"Sudah kubilang, jangan bilang sama siapa
pun, Tolol. Aku malu...."
"O, ya... maaf, saya tidak ingat kalau itu tipuan
Anda, Tuan Dewa."
"Jangan panggil itu lagi! Hapuskan dari inga-
tanmu. Panggil saja seperti biasanya: Jaka Bego,
begitu!" geram Jaka Bego dalam bisikan sewaktu
Ludiro berjalan di depan mereka.
Hari semakin sore. Jaka Bego merasa kesal
menempuh perjalanan ke Pulau Kramat itu. Se-
bentar-sebentar ia bertanya kepada Ludiro: "Apa-
kah masih jatuh tempatnya?"
Ludiro selalu menjawab, "Sudah dekat."
Tapi nyatanya mereka dari tadi pagi sampai
sore jalan terus, tak sampai-sampai. Akhirnya
dengan jengkel Jaka Bego berkata:
"Paman, sebetulnya berapa malam kita harus
berjalan kaki untuk mencapai Pulau Kramat itu?"
"Mana aku tahu?" jawab Ludiro. "Aku belum
pernah ke sana. Baru kali ini akan ke sana."
"Huhhh...!" Jaka Bego cemberut kesal. Ia ber-
henti dan duduk di bawah pohon. "Aku tidak ikut
sajalah...." katanya.
"Baiklah," jawab Ludiro. "Dan aku akan men-
jawab tidak tahu tentang kamu, jika nanti aku
singgah ke rumah pak Lodang, lalu Mahani mena-
nyakan kamu, ya?"
Jaka Bego bergegas bangun dari duduknya,
"Jadi nanti kita akan singgah dulu ke rumah Ma-
hani?! O, kalau begitu aku ikutlah...." Jaka Bego
meringis dan mau berjalan lagi.
Namun ketika mereka sampai di rumah pak
Lodang, suasana di sana menjadi lain. Rumah pak
Lodang penuh orang. Wajah-wajah cemas dan se-
dih saling berkasak-kusuk di depan rumah. Ludiro
segera mendesak kerumunan orang untuk masuk
ke dalam rumah pak Lodang, sementara itu Huang
Pai menemani Jaka Bego bertanya kepada seseo-
rang.
"Ada apa di dalam itu, Pak? Apa yang terjadi?"
Jawab orang itu, "Mak Lodang pingsan, lalu
kesurupan."
"Kesurupan?!" Jaka Bego mulai tegang, ia me-
mandang Huang Pai yang ikut berkerut dahi. Lalu,
mereka menerobos kerumunan orang di pintu.
"Hei, itu dia pencuri yang kita kejar-kejar tem-
po hari!" seru seseorang kepada temannya sambil
menuding Jaka Bego.
"Kita hajar sekarang saja," sahut yang lain.
"Jangan. Dia bukan pencuri. Pak Lodang kan
sudah menjelaskan bahwa dia sebenarnya bukan
pencuri, tapi seorang pendekar kebetulan."
"Tapi tampangnya kok seperti pencuri?"
"Yahh... mungkin memang orang tuanya dulu
senang bentuk tampang seperti itu, jadi yang dicetak begitu...."
Jaka Bego sebenarnya ingin membentak ka-
sak-kusuk itu, tapi rasa penasaran ingin tahu
keadaan sebenarnya membuat ia menganggap ka-
sak-kusuk itu tak perlu ditanggapi. Ia lebih pent-
ing segera bergabung dengan Ludiro yang sedang
mendapat keterangan dari pak Lodang.
"Mulanya cuma pingsan...! Pingsan biasa!" ka-
ta pak Lodang dalam kebingungannya yang panik.
"Tapi begitu sadar, ia jadi bersuara lelaki dan...
dan kami segera menyimpulkan bahwa dia kesu-
rupan."
"Mak Lodang pingsan karena apa, Pak?" tanya
Jaka Bego.
"Itu... anu...." Pak Lodang gugup. "Gara-gara
Mahani...."
"Mahani? Ada apa dengan Mahani?" "Mahani...
ah, anak itu memang picik!" geram pak Lodang.
"Jadi masalahnya begini, Ludiro... Tadi pagi aku
bicara kepada ibunya Mahani, bahwa Lanangseta
mau kawin tapi gagal. Bunga sebagai syarat per-
kawinan dicuri orang, dan pencurinya pergi ke Pu-
lau Kramat. Lalu Lanang lari mengejar ke Pulau
Kramat. Nah, pada waktu itu rupanya Mahani
menyimak pembicaraan kami. Ia menangis men-
dengar Lanang mau kawin dengan Putri Bukit Ba-
dai. Lalu... lalu...."
"Lalu bagaimana?!" desak Jaka Bego tak sabar.
"Lalu... beberapa saat tadi, Mahani meminjam
kuda tetangga dan ia minggat. Dia minggat entah
ke Pulau Kramat menyusul Lanangseta, atau ke
rumah Putri Bukit Badai itu. Sebab, kata tetangga
yang kemarin ikut ke rumah Lanang, dia memin-
jam kuda sambil menangis dan menanyakan tem-
pat rumah Lanang kepada tetangga kami itu. Ta-
hu-tahu... ia pergi begitu saja tanpa pamit kepada
kami.... Ibunya jadi kaget. Maklum ia suka berde-
bar-debar, jantungnya sering deg-degan jika ada
masalah apa saja. Kemudian... ibunya Mahani
pingsan dan... dan...."
"Apa Bapak punya tulang babi...?" tiba-tiba
Huang Pai ikut bicara.
"Apa maksudmu, Huang Pai?" tanya Ludiro.
"Saya biasa menyembuhkan orang kesurupan
dengan tulang babi. Kalau memang ada, biarlah
saya yang menangani ibu itu," jawab Huang Pai
dengan penuh keyakinan.
"Kalau begitu, sebentar... saya mintakan kepa-
da tetangga saya yang punya peternakan babi...!"
Pak Lodang segera keluar dan berseru kepada be-
berapa tetangganya. Waku itu, Mak Lodang men-
delik-mendelik bagai setan hendak berontak dari
pegangan empat lelaki.
"Huang Pai...." kata Jaka Bego setelah terben-
gong sesaat." Kau bantu pak Lodang di sini ya?
Aku mau mengejar Mahani...!"
"Jak, tunggu...!" cegah Ludiro.
"Paman, saya tidak ingin Mahani mendapat
halangan apa pun di perjalanan. Saya harus me-
nyusul dan melindunginya. Biar saya mengejar
sendiri, Paman."
"Jangan, Jaka. Pulau Kramat cukup berba-
haya...!"
"Demi keselamatan Mahani, saya bersedia me-
nempuh bahaya apa pun...!" setelah bicara begitu,
Jaka Bego langsung keluar dan Ludiro mengejar-
nya setelah berkata kepada Huang Pai:
"Jangan pergi-pergi sebelum kami kembali,
Huang Pai!"
"Baik, Paman...!" jawab Huang Pai dengan wa-
jah tegang.
Ludiro tahu, Jaka Bego benar-benar menaruh
hati kepada Mahani. Tetapi agaknya Mahani lebih
tertarik kepada Lanangseta. Itu memang wajar. Te-
tapi yang tidak wajar ialah Jaka Bego sendiri. Me-
nurut Ludiro, Jaka Bego kurang bisa mawas diri.
Ia hanya memburu rasa cinta tanpa mempertim-
bangkan keserasian wajah dan kondisi pasangan-
nya.
"Tapi yang namanya cinta memang sering
membuat hati manusia menjadi buta," pikir Ludi-
ro. Ia menghempaskan nafas sambil melihat gera-
kan lari Jaka Bego begitu penuh semangat dan te-
kad. Ludiro hanya mengikutinya dari belakang,
sekali pun sebenarnya Jaka Bego sudah mengeta-
hui, bahwa Ludiro mengikutinya, namun agaknya
Jaka Bego tidak mau diusik ketegangannya. Ia
tampak benar-benar mencemaskan keselamatan
Mahani.
Pulau Kramat, bagi penduduk desa Tayub ter-
nyata sudah bukan tempat aneh lagi. Bagi para
nelayan, Pulau Kramat merupakan pulau yang se-
lalu diingat untuk tidak didekati. Semua pendu-
duk desa Tayub mengetahui di mana letak pulau
itu, tapi tak seorang pun yang berani dengan sen-
gaja mendekati pulau tersebut, kendati konon di
perairan Pulau Kramat terdapat banyak ikan ke-
timbang di perairan lainnya. Namun kemisterian
dan keseraman pulau tersebut membuat dongeng
turun-temurun yang dituturkan kepada generasi
ke turunan masyarakat Desa Tayub, lalu mereka
berkesimpulan, jika ingin selamat, jika tidak ingin
ditelan hantu, jangan berlayar dekat Pulau Kra-
mat. Sebab itulah, kepergian Mahani ke Pulau
Kramat itu membuat ibunya panik dan pingsan.
Sebab itu juga, wajah-wajah penduduk desa Tayub
menjadi tegang dan was-was mendengar kabar
bahwa Mahani lari mengejar kekasihnya ke Pulau
Kramat.
Sebegitu dalamkah cinta Mahani kepada La-
nangseta? Sebegitu kuatkah Mahani memendam
cinta itu dan baru sekarang orang tuanya menge-
tahuinya? Menurut Ludiro, Mahani sama piciknya
dengan Jaka Bego. Mereka tidak mau memikirkan
tentang keselamatan diri sendiri demi mengejar
cintanya yang tertiup angin ke arah Pulau Kramat.
Jaka Bego seorang lelaki, mungkin bisa saja men-
gatasi kesulitan demi mengejar kasihnya kepada
Mahani. Tetapi bagaimana dengan Mahani? Dia
seorang perempuan tanpa bekal ilmu silat sedikit
pun, mampukah dia menjaga diri sendiri dalam
mengejar cintanya kepada Lanangseta?
Ludiro jadi berhenti dari jalannya ketika ia me-
lihat Jaka Bego merunduk-runduk di balik semak
belukar. Ludiro mendekat, dan berbisik:
"Ada apa?"
"Ssstt...!" Jaka Bego hanya memberi isyarat
dengan jari telunjuknya yang ditempelkan di bibir.
Ludiro manggut-manggut setelah ia tahu apa
yang diintai Jaka Bego. Ia mendengar suara dua
perempuan yang sedang bertengkar. Lewat celah
dedaunan, Ludiro dapat melihat dua perempuan
itu adalah Mahani, dan seorang gadis bermata ke-
cil, dengan wajah dan hidung serta bibirnya mun-
gil, cantik. Gadis itu berpakaian kuning dengan
bunga-bunga warna merah, dari bahan kain
mengkilap yang halus. Rambutnya tersanggul rapi;
mengenakan tusuk konde dari kayu cendana, dan
pada bagian pelipisnya kanan kiri terdapat bebe-
rapa rambut yang terjulur sampai di bawah telin-
ga. Rambut itu melingkar, meliuk-liuk bagai akar
yang lembut. Dan rambut itu pula yang membuat
gadis Cina itu kelihatan cantik menawan hati.
Sementara itu, Mahani mengenakan celana
dan baju longgar lengan panjang. Warnanya abu-
abu, mengenakan ikat kepala dari kain merah, se-
perti seorang pendekar yang siap bertempur sam-
pai titik darah penghabisan. Mahani menarik-
narik tangan pemuda ganteng, tapi gadis Cina itu
memegangi tangan pemuda itu yang sebelahnya.
Seakan gadis Cina itu mempertahankan barang
miliknya yang hendak direbut Mahani.
"Itukah gadis putri Laksamana Chou, Paman?"
tanya Jaka Bego.
"Kurasa begitu. Gadis itulah yang bernama Yin
Yin. Dari wajah dan potongan pakaiannya yang
berleher tertutup itu kita bisa mengetahui bahwa
dia gadis Cina."
"Tapi mengapa mereka jadi berebut Lanangse-
ta, ya? Maksudku, mengapa Lanangseta ternyata
mengenal Yin Yin? Padahal menurut pengakuan
Lanang, dia tidak pernah bertemu dengan gadis
yang bernama Yin Yin. Tapi...."
"Ssst...! Itu bukan Lanangseta!" kata Ludiro.
"Bukan Lanangseta, bagaimana? Apa pengliha-
tan Paman sudah kabur? Jelas pemuda itu ada-
lah...."
"Dia adik kembar Lanangseta. Aku mengenal-
nya waktu ia terluka di Goa Malaikat...." (dalam
Kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI dan MISTERI
GOA MALAIKAT).
Jaka Bego manggut-manggut dengan mulut
melongo. Ia baru sekarang diberitahu bahwa La-
nangseta mempunyai saudara kembar yang wajah
dan potongannya sama persis dengan Lanangseta.
Kata Ludiro masih dari balik semak-semak.
"Dia itulah yang bernama Ekayana...."
"Ekayana...?!" Jaka Bego makin berkerut dahi.
"O, pantas waktu itu Laksamana Chou menyiksa-
ku untuk mencari keterangan di mana pemuda
yang bernama Ekayana berada. Kukira mereka sa-
lah menyebutkan nama Lanang menjadi Ekayana.
Wah, untung bukan aku yang bernama Ekayana
ya?"
"Pemuda itu bergelar Pendekar Maha Pedang."
"Pendekar Maha Pedang?! O, kalau begitu ia
mempunyai permainan silat berpedang yang cu-
kup hebat, ya?"
"Memang...! Eh, lihat... Yin Yin ditampar oleh
Mahani. Aduh, kasihan dia...!"
"Ayo, kita bantu menyelesaikan kesalahpaha-
man itu. Mahani pasti mengira Yin Yin merebut
Lanang dari hatinya." Lalu, sambil bergegas keluar
dari persembunyian, Jaka Bego bicara sendiri da-
lam gumam, "Mahani, Mahani... kenapa kau bere-
but hati pemuda itu sedangkan ada hati pemuda
lain yang sedang nganggur menunggu usapan ka-
sih mu. Hatiku inilah yang sedang nongkrong
mencari tempat untuk berlabuh.... Wih, kok syair-
ku seperti kapal ikan saja, pakai berlabuh...." ujar
Jaka Bego sendirian.
Sementara itu, Mahani masih dibungkus ke-
cemburuan yang meluap dan menuding-nuding
Yin Yin.
"Kalau tidak mampu cari kekasih, beli saja di
tempat lain. Tapi jangan merebut kekasih orang!."
"Kamu yang merebut kekasihku! Ini kekasih-
ku, bukan kekasihmu!" balas Yin Yin sama galak-
nya.
"Aku lebih dulu mengenai Lanangseta! Aku le-
bih dulu menaruh hati kepada pemuda ini...!
"Tidak bisa! Mungkin memang kau lebih dulu
menaruh hati kepadanya, tapi aku sudah lebih du-
lu menerima benih bayi darinya!"
"Oooh...?! Jadi kau telah mengandung?
Mengandung karena perbuatannya?!" Mahani
tercengang kaget sambil menuding Ekayana yang
cengar-cengir saja.
Mahani memandang marah kepada Ekayana
yang disangka Lanangseta. Air matanya mulai me-
nitik dan ia menampakkan betul sakit hatinya.
Dengan tandas ia berkata:
"Lanang.... Kau kejam! Kau biadab! Kau han-
curkan semua impian dan dambaan ku dengan
menghamili gadis itu, Lanang!"
"Aku bukan Lanang, Nona manis...." jawab
Ekayana dengan tersenyum geli sendiri.
"Hahh...! Kau sekarang bahkan mengkhianati
dirimu sendiri dengan mengaku bukan Lanang!"
"Betul. Aku bukan Lanangseta!"
"Mustahil! Nyatanya kau bisa menghamili ga-
dis itu! Itu berarti kau Lanang!" geram Mahani,
dan Ekayana semakin tersenyum geli.
"Dia Ekayana...!" cetus Ludiro yang muncul
dari semak bersama Jaka Bego.
"Oh, Paman Ludiro...?!" Mahani dan Ekayana
nyaris berseruan bersamaan. Mahani segera
menghambur kepada Ludiro, dan Jaka Bego su-
dah terlanjur mengembangkan kedua tangannya
siap dipeluk Mahani dalam tangis, ternyata Maha-
ni bahkan memeluk Ludiro dalam tangisnya…
"Dia menghancurkan hati saya, Paman. Dia....
Lanang telah menghamili gadis Cina itu dan... dan
ia tak mau mengenal saya lagi. Oooh... sakit sekali
hati saya, Paman...."
Ludiro melerai tangis Mahani. "Segalanya akan
ku jelaskan padamu, Mahani...."
"Paman Ludiro," kata Ekayana. "Agaknya gadis
itu salah alamat, Paman. Tolong jelaskan bahwa
aku bukan Lanang...!"
"Bohong...!" bentak Mahani.
Jaka Bego yang berdiri di dekat Ludiro ikut
berkata:
"Betul, Mahani. Dia bukan Lanang, aku tahu
persis cara Lanang memandang perempuan. Ia
akan menatap mata perempuan. Sedangkan orang
ini selalu melirik belahan dadamu, Mahani. Dia
bukan Lanang."
Mahani mencengkeram baju Jaka Bego dengan
marah, "Kau tidak tahu apa-apa, Bego! Kau tidak
punya rasa kasih yang dapat membedakan mana
Lanang dan mana yang bukan. Tapi aku... aku
punya cinta kepadanya, aku tahu bahwa dia La-
nangseta, buktinya gadis itu bisa hamil dengan-
nya...."
"Mahani..." kata Jaka Bego tenang. "Bukan
hanya Lanang yang bisa menghamili perempuan.
Terus terang... aku sendiri bisa!"
"Haah...!" Mahani gemas sendiri lalu mendo-
rong tubuh Jaka Bego. Tapi Jaka Bego masih ber-
sabar, bahkan berkata:
"Soal hamil-menghamil... jangan sangsikan ke-
saktianku untuk itu. Aku berani menjamin, dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya gadis mana pun
bisa hamil denganku. Tidak hamil, uang kembali!"
"Baik! Baik...!" teriak Mahani yang sudah se-
perti orang kesurupan. Ia menuding-nuding Jaka
Bego. "Akan kubuktikan kata-katamu.!"
"Hahh...?!" Jaka Bego membelalak senang.
"Akan kubuktikan kata-katamu. Di rumahku
ada seekor kambing perempuan! Nah, buktikan
kesaktianmu yang kau katakan tadi! Buktikan,
Orang kurus!" bentak Mahani.
Jaka Bego terbengong melompong.
"Aku disuruh menghamili kambing perem-
puan?! Ah, yang benar saja, Mahani.... Kamukan
bukan kambing, mana bisa disamakan...!"
Ludiro melerai kesalahpahaman mereka. Dengan sabar dan bersikap sebagai penengah yang
adil, Ludiro berkata:
"Mahani, Lanangseta mungkin belum pernah
bercerita padamu, bahwa ia mempunyai saudara
kembar, yaitu adiknya yang berwajah serupa. Na-
manya, Ekayana. Dan ini, pemuda ini, namanya
Ekayana. Ia bergelar: Pendekar Maha Pedang, se-
dangkan kalau Lanang bergelar Pendekar Pusar
Bumi. Jadi, jangan salah duga. Memang Ekayana
mempunyai wajah dan potongan tubuh yang sama
persis dengan Lanangseta, tapi dia bukan Lanang-
seta. Percayalah padaku, Mahani.... Dalam usiaku
yang sudah lanjut ini, untuk apa aku menipu
hanya karena membela persoalan cinta seperti
ini...."
Mahani tertegun sejenak, lalu menangis ter-
sengguk-sengguk.
"Jadi... jadi di mana Lanangseta? Bukankah
kata ayah dia juga ingin menikah dengan seorang
gadis Bukit Badai? Oh, tidak Paman... aku harus
menemuinya. Dia harus tahu bahwa akulah pe-
rempuan yang paling mencintainya, sekali pun hal
itu belum pernah ku lontarkan padanya...."
"Lanangseta pergi ke Pulau Kramat!" sambung
Jaka Bego tanpa diminta. "Dia harus merebut
bunga teratai, supaya dia dapat kawin dengan pu-
tri Bukit Badai!"
"Tidak!" teriak Mahani membuat Jaka Bego ter-
loncat mundur. "Dia tidak boleh kawin dengan
siapa pun! Dia tidak boleh ke Pulau Kramat yang
sudah sering menimbulkan korban manusia itu...!
Tidak! Aku harus mencegahnya...!"
"Mahani...! Tunggu...!" teriak Jaka Bego, tapi
Mahani tetap naik ke punggung kuda dan memacu
kuda dengan cepat.
"Dia pasti ke Pulau Kramat, Paman. Bagaima
na ini?!"
"Itu salahmu sendiri! Mengapa kamu bicara
asal buka bacot?!"
Ekayana ikut tegang, "Pulau Kramat?! Ba-
haya...! Kalau begitu aku harus ikut menyusulnya,
Paman. Pulau itu kejam!"
*
* *
3
BUKIT karang di tepi laut. Warnanya putih.
Cahaya sinar bulan memantulkan warna tersendi-
ri. Bukit karang itu menjadi seperti perak. Dan
ombak laut di tepian tebing yang curam memer-
cikkan air yang menerpanya. Buih laut seperti ca-
haya mata kucing di tengah malam. Bagai kunang-
kunang bertaburan pada lidah ombak.
"Pemandangan di sini indah sekali," tutur An-
dini seraya memperhatikan buih-buih ombak yang
memercik. Rambutnya bergerai-gerai dipermain-
kan oleh angin laut. Tak kencang, namun cukup
menghadirkan kedinginan yang membungkus tu-
buh.
"Kalau aku sudah kawin, aku ingin mempu-
nyai rumah di tepi laut seperti ini. Indaaah... seka-
li."
Lanangseta tidak menanggapi kata-kata gadis
manja, Andini. Ia membiarkan gaun merah jambu
yang melambai bagai kilasan kabut indah itu di
terpa angin. Ia membiarkan tubuh sintal berdada
sekal itu berpeluk tangan sendiri. Ia juga mem-
biarkan angin mempermainkan rambutnya sendi-
ri, yang sesekali menutup gagang pedang Wisa
Kobra di punggungnya. Lanangseta duduk tenang,
memandang gumpalan hitam di tengah lautan.
Gumpalan hitam itulah Pulau Kramat. Pulau yang
harus dihampiri, karena di sana tersimpan bunga
Teratai Wingit, di tangan pencurinya.
Sedari tadi Lanangseta sedang berpikir, bagai-
mana caranya untuk datang ke sana. Bukan soal
kendaraannya, tapi soal keamanannya. Pulau itu
terbuka. Sosok manusia melintasi perairan laut,
akan dapat terlihat, sekalipun manusia itu berkelit
dalam naungan karang-karang yang mencuat dari
kedalaman ombak.
'Kau menyukai pemandangan indah ini, bu-
kan?" tanya Andini seraya duduk di batu karang
datar, di samping Lanang. Jawaban Lanang hanya
sebaris kebisuan. Matanya masih menatap lurus
ke depan, pada gumpalan hitam di tengah lautan.
Andini semakin bergeser, lebih mendekati ke tu-
buh Lanang.
"Kau memikirkan untuk membangun rumah di
sini? Dan hidup mesra di samping seorang istri
tercinta?"
Lanang belum mau menjawab, atau bahkan ti-
dak mendengar apa yang dikatakan Andini. Tapi,
Andini tak bosan memancing pembicaraan dengan
bisikan lembut:
"Kubayangkan kalau aku mempunyai rumah di
sini, dan dapat hidup bersama seorang suami se-
perti... kamu." Andini melirik, Lanang masih
bungkam. "Bukan seperti adikmu, Ekayana yang
mata keranjang itu!" Andini cemberut, ketus. Tapi
Lanangseta tetap diam. Ia duduk dengan kedua
lengannya ditaruh di atas lutut, dan tubuhnya se-
dikit membungkuk. Ia seakan menunggu sesuatu
yang bakal terjadi dan sangat diharapkan. Andini
yang manja, masih berceloteh:
"Lama-lama aku bisa menilai, siapa yang ter
baik antara adikmu dan... kakaknya. Aku bisa
menilai, siapa yang patut mendapat perhatian
khusus dariku, kau atau Ekayana. Dan ternyata,
setelah kupelajari... kaulah yang terbaik dari sega-
lanya."
Andini memandang Lanangseta terang-
terangan. Tetapi Lanangseta tak ubahnya seperti
patung bernyawa. Diam, tidak bergerak, tapi tetap
bernafas. Andini sengaja memandangnya dari ja-
rak dekat, supaya wajah halus berhidung bangir
itu dapat lebih bisa dinikmati lagi dalam taburan
cahaya rembulan malam.
Andini bergumam sendiri, pelan sekali.
"Kau... punya pesona yang tak mungkin bisa
dilupakan oleh setiap wanita. Aku menemukan pe-
sona itu sekarang. Aku tahu, mengapa hatiku ser-
ing berdebar-debar sejak kita berada di dalam Goa
Malaikat itu. Ternyata... ternyata ini yang membi-
kin hatiku sering tergoda olehmu...." Andini mem-
beranikan diri menyentuh bibir Lanangseta. Ia
mengusapnya perlahan-lahan setelah Lanangseta
tidak mengelak. Ia semakin girang setelah tahu
Lanang hanya diam mematung.
Bibir itu begitu segar, seperti delima direndam
salju. Sentuhan Andini sangat lembut, sedikit
mengambang agar tidak membuat bibir itu terte-
kan. Dan kelembutan sentuhan jemarinya itu
membuat Andini semakin berdebar-debar. Detak-
detak jantungnya terasa jelas, seakan mampu
menggerakkan kain bajunya yang tipis dan lem-
but.
Andini mendesah beberapa kali, tapi Lanangse-
ta tetap diam. Sentuhan jemari itu begitu pelan
dan tipis, merayap ke dagu yang halus, kemudian
ke bibir, kembali mengusap-usap seraya ia berkata
dalam desah:
"Bibir ini... pernah menggoda hatiku. Bibir ini
pula yang membuat aku gelisah di sela kemesraan
ku bersama Ekayana. Dan setelah ku tahu keme-
sraan itu palsu, bibir ini semakin menggoda ku."
Kini, suara Andini berubah bagai sebaris rintih pe-
rawan di ambang birahi.
"Aku ingin memiliki selimut malam ini. Ingin...
sekarang pun ingin.... Ooh... Kebisuan mu sema-
kin menggoda naluri kewanitaan ku, Lanang...." Ia
mendesah dan mendekatkan wajah. "Lanang... ku-
renggut kau...."
Andini yang sudah terengah-engah itu menjadi
nekad. Ia tak takut dikatakan perempuan mura-
han. Ia tak peduli akan dicaci Lanang nantinya, Ia
sudah terlanjur diserap birahi yang menjalar ke
seluruh tubuh dan membuatnya gemetar serta
merinding. Lanangseta tidak bergerak, bagai ter-
hipnotis. Ketika Andini lebih berani menempelkan
bibirnya ke bibir Lanangseta, pendekar tampan itu
pun masih terpaku seperti patung seorang pange-
ran malam. Andini merasa diberi peluang untuk
menikmati kobaran birahinya. Ia mengecup bibir
Lanang beberapa kali dengan penuh penghayatan.
Ia menggigit-gigitnya dengan tipis. Sangat tipis,
sehingga bibir itu bagai mengalirkan madu surga-
wi yang amat manis melenakan. Andini tak bosan
bermain lidah di permukaan bibir itu. Alam yang
sepi, debur ombak yang menyanyi, sungguh me-
rupakan irama malam penghantar kemesraan.
"Aaahh...!"
Lanangseta terpekik. Secara refleks tangannya
bergerak menepis. Gerakan itu bagai sebuah tam-
paran di wajah Andini. Lanang bangkit dan men-
gaduh, meringis menahan sakit. Ia memegangi
pinggangnya yang ternyata berdarah. Pinggang itu
robek beberapa senti. Andini membelalakkan mata. Kaget.
"Lanang...?! Kenapa pinggangmu itu?!"
"Uuhhff...!" Lanangseta masih menahan rasa
sakit. Ia segera meludah di telapak tangan, lalu
menempelkan ludahnya itu ke tempat yang terlu-
ka. Ia semakin menyeringai menahan rasa perih.
"Apa yang terjadi?! Aku tidak melukaimu...!"
kata Andini yang sangat cemas dan terheran-
heran.
"Memang bukan kau yang melukai ku...." kata
Lanang mengerang menahan sakit.
"Lalu, kenapa kau terluka begitu?!"
"Seseorang di sana telah melukai ku."
"Apa...?! Seseorang di pulau itu...?!"
"Ya. Aku sempat bertarung dengannya. Ia
mempunyai ilmu silat yang cukup hebat, Dan pe-
dangnya berhasil melukai ku karena pusat piki-
ranku terganggu oleh perbuatanmu!" Lanangseta
jadi geram, menahan kedongkolan.
Andini terbengong dalam keheranan yang tak
habis-habisnya. Ia sempat memandang pulau yang
hanya kelihatan bagai gumpalan hitam di tengah
lautan itu. Lalu ia kembali bicara kepada Lanang-
seta.
"Tapi... tapi sejak tadi kau berada di sini! Kau
sejak tadi diam di sini bersamaku, dan… dan bah-
kan kita sedang menikmati kemesraan malam.
Aneh. Kenapa kau bilang bahwa kau bertarung
dengan seseorang di sana?"
"Raga ku di sini, tapi aku mengirim nyawaku,
sukma ku ke sana. Aku menyelidiki pulau itu den-
gan sukma ku, tapi karena kau mengganggu pe-
musatan pikiranku, maka aku jadi lengah dan ia
berhasil menebaskan pedangnya ke pinggangku!
Uuh... sialan kau!"
"Ooh... maafkan...." Andini masih tertegun
dengan mulut melongo dan kedua tangannya sal-
ing remat dalam kecemasan. Ia baru tahu bahwa
Lanangseta ternyata mampu mempermainkan ju-
rus yang langka, yaitu mengirimkan sukmanya
untuk bertarung jauh, sementara raganya tetap di
tempat. Jika lawan berhasil melukai sukmanya,
maka raganya itulah yang terluka. "Woow...!
Alangkah tinggi ilmunya. Alangkah sempurna," pi-
kir Andini diam-diam.
"Jadi di sana ada manusia penghuninya?!"
Lanangseta mengangguk. "Ada beberapa
orang...."
"Beberapa orang?!"
"Ya. Perempuan semua."
"Perempuan semua?!"
Lanangseta mendesah. Rasa sakitnya berku-
rang. Ia berkata lagi, "Ia menghadang kedatangan
kita."
"Menghadang?!"
"Pulau itu... mempunyai sebuah istana."
"Istana?!"
"Tapi tak dapat dilihat oleh mata manusia bi-
asa."
"Biasa...?!"
"Berbahaya sekali jika kita berbuat seenak-
nya!"
"Berbuat seenaknya?!"
"Uuh... luka ini bisa membuatku tak tahan...."
"Tak tahan?! O, ya... aku juga tak tahan...!"
"Hei, mabok laut kau ya?!" bentak Lanangseta.
Andini menggeragap, ia bagai telah bicara di luar
kesadaran. Ia buru-buru menutup mulutnya dan
berpaling malu.
"Ngomong asal cuap saja...." gerutu Lanangseta
seraya melangkah mendekati tebing bukit karang,
dan matanya memandang jauh ke gumpalan hitam
di tengah samudera itu.
"Andini...!"
"Ya, Lanang...?!"
"Aku akan ke sana sendirian."
"Aku juga akan ikut sendirian."
"Tidak bisa."
"Ya, tidak bisa.'"
"Kau harus tinggal di sini."
"Aku harus ikut!"
"Andini, ini keadaan gawat. Kau tak boleh ikut
ke sana, Andini!" tegas Lanangseta.
"Aku tahu, tapi aku sering berada dalam kea-
daan gawat, kau harus percaya itu."
"Aaahh...!" Lanang mendesah jengkel. "Pokok-
nya aku akan ke sana sendirian."
'Pokoknya aku harus ikut!"
"Kau gila!"
"Mudah-mudahan kau sadar kalau aku tergila-
gila padamu!" jawab Andini dengan bersungut-
sungut manja.
Lanangseta menghempaskan nafas kesal. Ia
termenung dan berpikir dalam kedongkolannya.
Baginya, membawa Andini ke pulau itu sama saja
membawa beban seberat gunung. Lanang merasa
dapat dengan mudah datang ke sana. Ia harus
menggunakan ilmu peringan tubuh, atau meng-
gunakan jurus Lindung Bumi, yaitu amblas ke ta-
nah dan berjalan melalui dasar lautan. Tetapi ba-
gaimana dengan Andini? Apakah dia bisa?
Andini masih cemberut memunggungi Lanang-
seta. Ia duduk dengan bertopang tangan kirinya.
Lanangseta memperhatikan sejenak, lalu buang
muka dan termenung lagi.
"An...." sapa Lanangseta setelah bungkam be-
berapa saat. Andini hanya berpaling sedikit, meli-
rik Lanang dengan tetap bertopang dagu. Lanang
mendekat seraya masih mendekap luka di ping-
gangnya.
"Kau bisa berenang?" tanya Lanang pelan.
"Bisa," jawab Andini malas-malasan.
"Yakin kau tidak akan tenggelam?!"
"Entahlah," jawab Andini acuh tak acuh.
"Seingatku, dulu aku sering berenang, tapi selalu
tenggelam. Entah kalau sekarang."
"Busyet! Apa bedanya dengan sekarang? Itu
berarti kau belum bisa berenang!"
"Apakah kau akan membiarkan aku tengge-
lam?"
"Tentu tidak."
"Nah, itulah yang ku maksud: entah dengan
sekarang."
"Jadi maksudmu, kalau sekarang karena ada
aku kau mungkin tidak akan tenggelam? Begitu?"
Andini mengangguk, masih cemberut dan ma-
las-malasan.
"Siapa bilang?! Kalau kau tak bisa berenang,
biar pun ada aku ya tetap saja tak bisa berenang."
"Apa gunanya punggungmu?" kata Andini din-
gin.
"Jadi, kau ingin naik ke punggungku sementa-
ra aku berenang mengarungi ombak lautan itu?"
"Apakah itu tak bisa terjadi?"
Laming mendengus kesal. Ia berdecak menam-
pakkan kedongkolannya. Lalu berkata dalam geru-
tu, "Kalau begitu kau lebih baik tak usah ikut! Bi-
kin beban semakin berat saja!"
"Aku ikut!" kata Andini tegas, tapi datar.
"Di sini tidak ada perahu. Dan kau tidak bisa
berenang, bagaimana mungkin kau akan sampai
ke sana? Kau tidak bisa mengandalkan pung-
gungku untuk menanggung beban tubuhmu sela-
ma aku berenang. Aku bisa kehabisan tenaga."
"Aku akan sampai ke pulau itu tanpa bere-
nang... "
Lanang menatap Andini dalam kebimbangan
dan kesangsian atas ucapan tadi.
"Jadi, apa maksudmu?"
"Aku akan ke Pulau Kramat dengan caraku
sendiri!"
"Caranya?!"
"O, kau ingin tahu? Kau ingin belajar padaku?"
"Aaah... Andini! Ayolah, jangan main-main...!
Aku hanya ingin memperhitungkan keselamatan-
mu."
"Kenapa harus kau perhitungkan. Sudah tentu
aku akan selamat sampai di sana."
"Dengan ilmumu sendiri?"
"Dengan perlindunganmu, tentunya...!"
Nafas terhempas lagi. Lanangseta murung.
"Itulah yang ku maksud bebanku semakin ber-
tambah."
"Kalau begitu yah... jangan anggap sebagai be-
ban. Kau pun tak perlu melindungiku."
"Kalau kau mati, bagaimana?"
"Tanpa nafas, tentunya."
"Maksudku, kalau kau mati, lantas Ekayana
menuntut ku sebagai penyebab kematianmu, ba-
gaimana?"
"Jangan singgung-singgung lagi tentang
Ekayana!" Andini cemberut. "Aku tak ingin men-
dengar kau bicara tentang adikmu yang mata ke-
ranjang dan penghianat itu!" geramnya.
"Bukankah... bukankah kau masih kekasih
Ekayana? Bukankah dulu kalian merencanakan
bertunangan?"
"Bertunangan, memang. Tapi berkelanjutan ti-
dak! Aku sudah bukan milik dia, dan dia bukan
milik aku. Dia milik Yin Yin, gadis Cina itu. Dan
aku milik... milik...."
"Milik siapa?!" tanya Lanangseta setelah Andini
terdiam.
"Milik... milikmu, kalau kau mau memiliki
aku...."
Andini menunduk, Lanang berkerut dahi. Na-
mun segera menghela nafas, mengendurkan wajah
yang berkerut. Ia membuka luka yang disekap
oleh tangannya tadi. "Ah, syukur luka itu sudah
kering. Ilmu pemberian Tongkat Besi tidak sia-
sia," pikir Lanangseta pada waktu itu.
"Lanang...." ucap Andini seraya mendekat.
"Apakah aku salah jika aku... lari dalam dekapan
mu?"
"Kau bicara sudah kelewat ngaco, Andini."
"Jadi mengharapkan kasih adalah kata-kata
ngaco?! Jadi, mengharapkan balasan cinta kasih
darimu adalah ngaco?"
"Ya," jawab Lanangseta dengan tegas. "Kau ti-
dak tahu keadaanku saat ini, Andini."
'Yang ku tahu kita hanya berdua. Yang ku ta-
hu aku sering tergoda oleh bibirmu dari sejak di
Goa Malaikat. Yang ku tahu, sekarang tak ada je-
leknya jika kita saling mencari kehangatan angin
pantai ini. Yang ku tahu...."
'Yang ku tahu pikiranmu mulai gila!" sahut
Lanang tegas. Andini menunduk, lalu berjalan
menjauh. Duduk di batu karang yang tadi. Sorot
bulan di langit menampakkan wajahnya yang mu-
rung dan berselaput kesedihan. Lanangseta men-
coba menyadarkan amukan cinta Andini.
"Aku tahu, kau mengharapkan aku, Andini.
Bahkan mungkin akan banyak yang mengha-
rapkan aku, karena... karena darah dewa telah
tersentuh dalam bibirku dan mulutku...."
Andini memandang sayu, namun punya mak
na ingin menjelaskan tentang darah dewa. Dan
Lanang berkata.
"Kapan-kapan ku jelaskan hal itu. Tapi yang
jelas, sekali pun banyak perempuan cantik yang
akan tergila-gila padaku, namun aku tetap ingin
mencintai satu perempuan, yaitu calon istriku...."
"Siapa calon istrimu itu?" tanya Andini yang
memang belum tahu bahwa bunga teratai yang in-
gin direbut Lanang dari tangan penghuni Pulau
Kramat itu, adalah syarat untuk perkawinannya
dengan Kirana, Putri Bukit Badai itu.
"Jawablah, Lanang... siapa calon istrimu itu?"
"Kenapa kau mendesak? Untuk apa kau tahu?"
"Barangkali aku bisa menunjukkan padanya
bahwa akulah orang yang pantas mendampingi-
mu. Dia perlu tahu bahwa aku punya kehebatan
sebagai seorang istri pendekar."
Lanangseta tersenyum masam seraya geleng-
geleng kepala pelan. "Kau keliru, Andini. Kau tak
boleh begitu."
"Aku hanya ingin menunjukkan betapa pan-
tasnya seorang istri pendekar gagah dan tampan
berilmu tinggi seperti aku. Paling tidak supaya ca-
lon istrimu itu sadar dengan apa yang ia impikan!"
Sebenarnya Lanangseta merasa tersinggung
mendengar ucapan Andini itu. Ia merasa calon is-
trinya disepelekan. Ia nyaris membawa Andini me-
nemui Kirana dan akan menyuruh Kirana mero-
bek mulut Andini yang sombong. Namun setelah ia
berpikir dalam ketenangan, apalah artinya itu se-
mua? Memang, terkadang cinta yang membara
sering melakukan kesalahan besar. Adakalanya
cinta yang berkobar melakukan tindakan yang
menjadi bencana bagi diri sendiri.
"Ayo, katakan di mana calon istrimu berada
saat ini, dan kau bisa pergi ke Pulau Kramat itu
sendirian, sementara aku akan menemui dia di
rumahnya." desak Andini.
Kepala Lanangseta menggeleng lagi. Ia berkata
dengan tenang dan suaranya cukup kalem.
"Kau akan hancur!"
"Hancur? Iih...." Andini mencibir. Menyepele-
kan.
"Hancur oleh kesombongan dan kebodohanmu
sendiri," sambung Lanang yang sempat membuat
Andini menatap serius. Andini cemberut dan
buang muka, tapi suaranya terdengar penuh ke-
manjaan:
"Kau senang ya kalau aku hancur? Kau suka
kalau aku mati?"
"Kalau kau ingin aku suka, aku bisa bilang
suka. Tergantung sikapmu terhadapku dan terha-
dap calon istriku."
Tiba-tiba Andini berpaling, lalu segera mende-
kati Lanang. Lanang duduk, sementara Andini be-
rani berjongkok di depan Lanang, kedua tangan-
nya memegang kedua paha Lanang, sepertinya ia
seorang hamba yang perlu merayu raja.
"Kenapa kau tidak mau mencintai ku? Kena-
pa? Apa aku jelek? Apa istrimu itu lebih cantik da-
riku? Apakah... apakah aku kurang menggairah-
kan? Apakah kau merasa aku tak bisa memberi-
kan kehangatan yang membuatmu ketagihan?"
"Andini, cukup kata-katamu! Jangan menjadi
gila karena hasrat tak sampai!" cetus Lanang.
Andini tidak peduli. "Apakah aku tak pantas
kau cumbu, baik besok, lusa, atau pun seka-
rang...?" Andini mulai semakin berani. Ia melepas
kancing gaunnya yang ada di bagian dada sambil
berkata, "Apakah tubuhku kurang merangsang ke-
laki-lakianmu?"
"Terlalu! Terlalu...!" Lanang beringsut dan berpaling.
"Lanang... pandanglah aku... pandanglah mi-
likku di antara taburan sinar bulan ini... pandan-
glah...!"
"Cukup, Andini!" bentak Lanang dengan suara
keras. Andini yang sudah mabok kepayang tak
pernah mau mendengarkan bentakan semacam
itu. Ia semakin nekad.
"Lanang.... Apakah kau tega tidak mau mene-
rima kehadiranku di hatimu?! Apakah aku tak
pantas menjadi istri seorang pendekar setampan
kamu dan seperkasa kamu?!"
Lanang menjauh, Andini sengaja mengejar. Ia
tahu, Lanang sudah kerepotan menahan nafas
dan mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu
Lanang sangat tergoda. Sebab itu, Andini semakin
menggila. Kini gaunnya sudah lepas di bagian
atas. Kedua pundaknya terlihat mulus dan sangat
menggairahkan terkena pantulan cahaya rembu-
lan. Lanangseta sendiri menjadi berkeringat, dan
bungkam menahan diri sewaktu Andini mendekat
menempelkan bibirnya ke lengan Lanangseta. De-
sahnya terdengar menggetarkan bulu kuduk:
"Beri aku kesempatan untuk membuktikan
cintaku, Lanang. Beri aku kesempatan untuk
membuatmu tahu, bahwa aku tak akan kalah me-
narik dengan calon istrimu itu.... Sekarang, La-
nang. Sekarang dan di tempat ini saat yang baik
untuk membuktikan betapa besar cinta dan peng-
harapan ku padamu...." Tiba-tiba Lanangseta
mendorong tubuh Andini sehingga gadis itu ter-
jengkang ke belakang. Sikap Lanang menjadi ka-
sar dan ganas. Ia sendiri melompat dengan bersal-
to ke belakang. Andini semula ingin marah kepada
Lanang. Tapi kemarahannya itu sirna oleh rasa
kaget yang tidak kepalang tanggung. Sebab pada
saat tubuh mereka terpisah, sebuah sinar warna
biru tua melayang di udara dan melesat bagai
meteor, menghantam mereka. Untung Lanang ge-
sit mengelak, sehingga sinar itu membentur batu
karang yang menonjol di kejauhan sana, lalu batu
itu hancur bersama bunyi sebuah ledakan yang
amat mengagetkan.
"Mereka mampu menyerang kita dari pulau
itu, Andini!"
"Tapi sekarang ini saatnya aku membuktikan
diri, Lanang...!"
"Gila...!" bentak Lanang. "Lihat, ada dua sinar
biru lagi yang menuju ke arah kita. Hei. Awas, An-
dini... yang satu menuju ke arah mu, yang satu ke
arah ku.... Awaas...! Pergi dari situ...! Pergiii...!"
"Blaar...! Blaar...!"
*
* *
4
ANDINI nyaris menjadi korban kecerobohan
nafsunya. Ia hampir saja terkena sinar biru kalau
saja Lanang tidak segera meloncat bagai gerakan
macan menerkam, dan menubruk dada Andini se-
hingga gadis itu tersentak ke belakang. Kepalanya
nyaris membentur batu karang yang menonjol.
"Kasar sekali kau padaku, Lanang...." Andini
merengek bagai anak kecil hendak menangis. La-
nangseta melepaskan hempasan nafas sambil ma-
tanya masih tertuju ke arah Pulau Kramat.
"Kita harus segera turun dari tempat keting-
gian ini!" kata Lanangseta seraya bergegas bangkit.
Ia melongok ke bawah, tebing cukup curam. Om-
bak dan batu karang runcing saling beradu di bawah tebing. Tempat itu memang menyerupai bukit,
namun sesungguhnya sebuah dataran yang tinggi
dan menjorok ke laut. Barangkali karena peruba-
han alam yang panjang, maka dataran itu menjadi
sebuah bukit karang yang tandus. Lega, tanpa ta-
naman apa pun.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Kita ke bawah
sana!"
"Ke bawah...?!" Andini membiarkan Lanangseta
menarik tangannya dan menggandengnya pergi
dari tepian bukit karang. Beberapa puluh langkah
kemudian mereka memasuki hutan lagi. Sebab ka-
lau hendak menuju ke pantai, harus mengelilingi
bukit itu lebih dulu. Dan di sekeliling bukit itu,
jauh dari tebingnya, cukup banyak pepohonan
yang tumbuh dengan liar, sebagai hutan yang ja-
rang dijamah manusia. Semak belukar banyak,
tapi binatang buas boleh dibilang tidak ada, kecu-
ali binatang berbisa sejenis serangga hutan dan
ular kecil.
Rimbun dedaunan bagai atap sebuah goa. Tak
ada berkas sinar rembulan yang menembus keda-
laman hutan. Gelap dan senyap. Mereka terpaksa
berjalan meraba-raba, kadang juga tertatih-tatih
dan tersandung akar yang melintang pukang.
"Lanang... aku takut...." kata Andini bagai
anak kecil yang berada di kamar mayat. Nada sua-
ranya seperti ingin menangis karena dihimpit ke-
takutan. Lanang hanya menggandengnya sambil
berjalan pelan-pelan.
"Aduuh...!" pekik Andini. Lalu ia mengerang
dengan suara nyaris tak terdengar.
"Andini? Ada apa? Kenapa kau...?!" Lanang
meraba tubuh Andini. Samar-samar pandangan
mata Lanangseta mampu melihat bayangan wajah
dan kepala Andini yang mendongak-dongak dengan erangan lirih penahan rasa sakit. Lanang se-
gera meraih punggung Andini. Ia sedikit panik ka-
rena tak tahu kenapa Andini jadi kesakitan begitu.
"Apa yang terjadi, Andini?!"
"Ular...." jawab Andini dalam erangan tipis.
"Hah...? Ular? kau digigit ular?"
"He, eh...." jawab Andini dalam desah meren-
gek. "Kakiku... tepat di tumit... ular itu menggi-
gitku lalu... lalu entah ke mana. Aduuh... badanku
terasa dingin sekali...!"
Lanangseta tak dapat memeriksa keadaan An-
dini lebih teliti lagi. Namun menurutnya, Andini
harus segera dibawa ke pantai. Di pantai ada ca-
haya rembulan Lanang yakin dapat mengobati bi-
sa ular dengan pedangnya, asal ditempelkan persis
pada luka gigitannya. Untuk menentukan bekas
gigitan, Lanang perlu sinar. Dan di pantai itulah
ada sinar yang dapat membantu. Sinar bulan.
"Lanang... badanku dingin dan... dan nafas ku
sesak...."
"Gawat...! Bisa ular begitu tajam dan ganas!
Kau harus segera kubawa ke pantai, Andini...."
Tanpa banyak tanya lagi, Lanangseta men-
gangkat tubuh Andini dengan kedua tangannya. Ia
berlari cepat ke arah pantai, melingkari perbukitan
karang, Sepanjang perjalanan, Andini mengeluh
pelan. Pelan sekali, seperti seseorang yang berada
di ambang maut. Kedua tangannya memeluk La-
nang, melingkar pada leher Lanangseta. Wajahnya
begitu dekat dengan wajah Lanang, sehingga La-
nang sendiri merasakan betapa hangatnya dengus
nafas Andini di pipinya.
"Aaah... ooh... Lanang...." desah dan erangan
yang tipis itu sangat mengganggu detak jantung
Lanangseta. Sesekali Andini mendesis, menahan
rasa sakit. Lalu mengerang pelan dan melepaskan
nafas dalam desah. Udara hangat merayap di an-
tara leher Lanangseta sampai ke permukaan wa-
jahnya.
"Bertahanlah...! Bertahanlah, Andini...!" La-
nangseta mengalihkan perasaan ganjil yang me-
nyelusup di sela hatinya. Ia membayangkan kalau
sampai Andini mati, apa yang harus ia lakukan
terhadap mayatnya, dan apa yang harus dikata-
kan kepada Ekayana. Lanang mencoba berpikir ke
situ. Tetapi suara desah dan erangan Andini selalu
mengacaukan pikirannya. Semburan nafas yang
menghangat di leher Lanang membuat perasaan
aneh di dalam dadanya mulai bergejolak terang-
terangan. Apalagi ia merasa tengkuk kepalanya
dalam genggaman jemari Andini yang sesekali ba-
gai meremas-remasnya, bayangan yang ada di be-
nak Lanangseta sudah semakin kacau.
"Lanang...." desah Andini. "Uuhh... sakit...." ia
bicara penuh kemanjaan. "Aduuh... oouuh...
ssss... aah...."
Dan ketika mereka sampai di pantai, cahaya
bulan mulai menerpa wajah-wajah mereka. Andini
yang berada dalam dekapan kedua tangan La-
nangseta semakin mendesah menimbulkan
bayangan yang menggelitik benak, memancing
khayalan untuk bercumbu. Ternyata, Andini
menggunakan kesempatan itu. Wajahnya yang su-
dah semakin dekat dengan wajah Lanangseta se-
gera menghemburkan ciuman ke pipi Lahang.
"Andini...?!" Lanang terpekik namun dengan
suara tertahan. Andini agaknya tak perduli peki-
kan itu. Ia semakin mengganas, wajahnya yang
cantik menghamburkan ciuman bertubi-tubi. Bu-
kan hanya di wajah Lanangseta, namun juga di
leher Lanang dan mencekam beberapa kali. La-
nangseta segera menurunkan gadis itu dari gendongannya. Ia mencoba mengelak, mendorong tu-
buh Andini, tapi tak berhasil. Gadis itu semakin
gila. Semakin diracuni birahi yang membuatnya
lupa diri. Bahkan kini Lanang merasa terdorong
dalam keseimbangan tubuh yang tak terkontrol. Ia
terjatuh di hamparan pasir pantai. Ombak memer-
cikkan buih, dan Lanang semakin merasa dis-
erang. Kelabakan. Rompi kulitnya terbuka. Bulu
dadanya tersirat dan dipagut berulangkali oleh
Andini. Jantung Lanang berdetak sangat cepat.
Itulah yang membuat Lanang menjadi lemas seka-
lipun tetap meronta.
Andini tak ubahnya seperti singa betina yang
sedang lapar. Ia bagai ingin menggigit seluruh tu-
buh Lanangseta. Jemarinya meremat pundak La-
nang, atau meremas bulu-bulu di dada Lanang da-
lam erangan nafas yang tak terkendali lagi. Lanang
sempat berpikir; merasa aneh terhadap kejadian
itu. Sebegitu kuat birahi Andini sehingga ia tidak
memikirkan harga dirinya sebagai gadis putri Pan-
glima Negeri Seberang. Mungkinkah cahaya bulan
yang menerpa mereka sangat berpengaruh pada
semangat birahi? Memang, konon cahaya bulan
dapat membangkitkan gairah birahi setiap orang
yang disinarinya, tetapi mungkinkah sebegitu
dahsyatnya? Mungkinkah sampai membuat seo-
rang gadis bersikap brutal dan berani hendak
memperkosa seorang pendekar tampan yang per-
kasa? Atau, tidak adakah kemungkinan lain? Mi-
salnya adanya pengaruh kekuatan lain yang di-
pancarkan dari Pulau Kramat itu sehingga meru-
bah otak sehat Andini menjadi seperti singa di pa-
dang pasir? Rasa-rasanya bukan mustahil lagi jika
Andini menjadi sangat bernafsu karena ia terkena
pengaruh kekuatan magis yang terpancar dari Pu-
lau Kramat. Barangkali saja untuk mengacaukan
kewaspadaan Lanangseta.
Tepat pada saat Lanang berpikir demikian,
tangan Andini sudah meremas bagian terlarang. Ia
berada di atas Lanang dalam keadaan separuh
bugil. Lanang segera berteriak dan menghentak ke
samping, sehingga Andini terpental beberapa jeng-
kal dari tubuh Lanangseta yang sudah berpakaian
acak-acakan itu.
Pada saat tubuh Lanang menghentak ke samp-
ing dan terguling-guling, pada saat itulah sebatang
tombak menancap tepat di mana Lanang tadi ber-
baring dalam himpitan tubuh Andini. Menyadari
hal itu, Lanangseta segera bangkit. Tapi sekali lagi
desing sebatang tombak terdengar menuju ke
arahnya. Lanangseta melompat tinggi dan bersalto
ke belakang. Tombak pun menancap tepat di anta-
ra kedua paha Andini yang tengah telentang dalam
kerenggangan kakinya. Ia terpekik begitu menya-
dari sebatang tombak menancap, nyaris mengenai
bagian tubuhnya yang keramat. Ia segera mundur,
berguling dan melentik ke udara, lalu bersalto sa-
tu kali. Dan ia berdiri dengan kaki kokoh di samp-
ing Lanang.
Mata Andini terbelalak lebar memandang tom-
bak itu, lalu memandang tombak yang pertama
menancap tadi.
"Seseorang hendak membunuh kita, Lanang!"
ucap Andini dalam ketegangan yang nyata.
"Mereka...!"
"Mereka siapa?"
"Orang-orang di Pulau Kramat itu!" ujar La-
nangseta seraya memandang tak berkedip ke arah
Pulau Kramat yang kelihatan bagai gumpalan hi-
tam itu.
"Bukan!" bantah Andini. "Tombak ini mana
mungkin terlempar dari jarak sebegini jauhnya.
Anak panah pun tak mungkin dapat melesat dari
pulau itu sampai ke mari."
Lanangseta menggumam. Ada sedikit keraguan
dalam pertimbangannya. Ia menggumam panjang
seraya memeriksa keadaan sekeliling. Mungkinkah
memang ada orang di sekitarnya yang menyerang
secara sembunyi-sembunyi?
Tetapi mendadak matanya menjadi terbelalak.
Ia berseru kepada Andini seraya menuding tombak
yang pertama menancap tadi:
"Lihat...! Lihat tombak itu...! Ia mulai memu-
dar...!"
"Ooh...?!" Andini terperanjat kaget melihat
tombak itu memudar pelan-pelan, seperti berubah
menjadi asap, namun sebenarnya bukan kabut.
Memudar. Hilang sedikit demi sedikit, dan akhir-
nya lenyap sama sekali.
"Dia lenyap...!" pekik Andini. Gadis itu segera
mendekati tempat tombak tadi. Ia meraba, meng-
gerakkan tangannya ke tempat bekas tombak itu,
dan ia hanya menemui tempat kosong, tanpa me-
nyentuh apa pun di sana.
"Aneh...!" katanya. "Tombak itu sepertinya
hanya sebuah bayangan... yang kemudian hilang
karena tak terkenal sorot lampu lagi."
Lanangseta berlari menghampiri tombak yang
kedua, yang tadi nyaris mengenai barang 'keramat’
Andini. Tombak itu masih utuh. Masih bisa terpe-
gang tangkainya yang terbuat dari kayu. Lanang-
seta berseru, "Tombak ini masih nyata!" Andini
berlari ikut memegangnya. Ia segera mengikatkan
sebuah ikat pinggang yang diambil dari kantong
gaunnya. Ikat pinggang itu terbuat dari kain ber-
warna merah muda, sama dengan gaunnya, lalu
ikat pinggang itu diikatkan pada tangkai tombak
di bagian agak ke ujung hingga mirip bendera.
"Tinggalkan...! Kita lihat perubahannya," kata
Andini seraya bergerak mundur. Lanang pun juga
bergerak mundur. Mata mereka masih tertuju pa-
da tangkai tombak yang diikat oleh ikat pinggang
dari kain halus. Mata mereka enggan berkedip ka-
rena ingin menyaksikan perubahan tombak terse-
but dalam menghilang. Namun sampai beberapa
lama, tombak itu masih utuh. Ikat pinggang masih
terkait pada tangkai tombak. Lanangseta meman-
dang Andini sambil angkat bahu.
"Kali ini... ternyata tombak asli!" Andini me-
mandang Lanangseta dengan tatapan penuh sesal.
"Lanang... maafkan aku tadi. Aku... Aku...."
"Ah, sudah. Lupakan saja. Aku tahu itu bukan
kemauanmu. Aku tahu kau sendiri merasakan su-
atu keanehan pada saat tadi, bukan?"
"Ya. Dari mana kau tahu aku merasa heran
pada diri sendiri? Apakah aku tadi mengatakan-
nya kepadamu?"
"Tidak. Tapi aku punya praduga, bahwa peng-
huni Pulau Kramat itu telah menggunakan kekua-
tan gaibnya untuk mempengaruhi birahimu, dan
membuat kau lupa diri, seperti macan betina di
padang pasir. Aku sendiri tak dapat banyak ber-
buat, sekalipun ingin meronta namun... aku le-
mas."
"Ooh...." Andini terduduk di pasiran. Lanang
menghampirinya. Ia mengusap kepala Andini satu
kali dengan sikap yang lebih bijaksana.
"Apakah... apakah kita tadi sudah berbuat,
Lanang?"
"Belum."
"Sungguh? Kau tidak bohong?"
"Apakah kau merasakan ada kelainan pada...."
Lanang tak jadi meneruskan kata-katanya. Ma-
tanya terbelalak memandang tombak berikat kain
merah muda itu. "Hei, lihat tombak itu...! Tombak
itu telah lenyap. Kita tidak sempat memperhati-
kannya!"
"Astaga...! Barangkali ada yang mengambilnya
dengan tenaga dalam yang tinggi."
"Mana mungkin begitu. Lihat saja, kain ikat
pinggangmu jatuh di pasir. Dan simpul ikatannya
belum lepas. Berarti tombak itu lenyap dengan
sendirinya, tanpa membuka ikatan kain itu."
Andini segera menghampirinya dan memungut
ikatan kain itu. Ia memperhatikan sejenak, lalu
menggumam, "Ajaib...!"
Lanang berjalan lebih mendekati buih-buih
ombak yang menghampar di pasiran. Pandangan-
nya tertuju pada Pulau Kramat yang hitam dalam
kegelapan itu. Memang tampak lebih angker oleh
cahaya bulan, karena Pulau keramat seperti se-
buah bayangan mahluk aneh kelihatannya.
"Siapa sebenarnya yang berdiam di pulau itu?"
bisik Andini sewaktu mendekati Lanangseta, dan
dengan berani menggenggam lengan Lanang bagai
pasangan yang mesra.
"Iblis...!" kata Lanang seperti sebuah umpatan
dendam.
"Iblis Pulau Kramat?!"
"Ya. Mereka punya kekuatan gaib yang luar bi-
asa."
"Apakah kau nekad ingin ke sana?"
"Harus!" jawab Lanang tegas.”
"Kau yakin akan menang melawan kekuatan
gaib mereka?"
Lanang menatap Andini. Gadis itu kelihatan
penuh kecemasan. Bahkan kini genggaman jema-
rinya terasa makin erat di lengan Lanangseta.
"Aku sudah memperhitungkan kekuatanku,
Andini. Aku akan berhasil, asal tidak bersamamu."
"Apakah tidak terbalik kenyataannya nanti?
Kau akan gagal bila tanpa aku!"
Lanangseta jadi berpikir lagi. "Mungkinkah
akan begitu?" ia bertanya dalam hati. Sejenak
pandangan Lanang ditujukan pada kaki Andini.
"Bagaimana dengan luka di kakimu?"
"Luka...?!" Andini memandang heran.
"Kau tadi bilang digigit ular pada tumitmu."
"Oh, ya? Tapi... tapi aku merasa tidak digigit
apa-apa!"
"Brengsek...!" geram Lanangseta.
"Maafkan aku jika aku tadi bilang begitu. Tapi
sumpah mati, aku tidak sadar waktu bilang begi-
tu."
Nafas Lanang terhempas panjang. Ia kembali
memandang pulau di tengah lautan. Jika ia harus
menyeberang, ia harus sangat hati-hati, karena
banyak karang saling mencuat bagai hambatan
maut yang siap menerkam mangsanya.
"Biarkan aku ikut denganmu, Lanang. Biarkan
aku mati di sampingmu, kalau memang aku harus
mati karenanya," bisik Andini, kini kedua tangan-
nya menggenggam erat lengan pendekar tampan
itu.
Ada keharuan tipis yang tersirat di hati La-
nangseta. Namun ia buru-buru membungkusnya
dengan dendam kepada penghuni Pulau Kramat
itu.
"Andini, kau menguasai ilmu peringan tubuh?"
'Ya. Kurasa begitu."
"Kau sanggup berjalan di atas air tanpa teng-
gelam? Sebab aku akan ke sana dengan cara begi-
tu."
"Akan ku coba. Kau tak perlu mengkhawatir-
kan keadaanku. Aku akan berusaha dengan cara-
ku sendiri. Yang penting aku boleh mendampingi
mu."
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya La-
nang pasrah diri pada rencana Andini. Ia mulai
menapak di permukaan air, bahkan ia berdiri di
ujung ombak dengan tenang. Ia melangkah, lalu
berhenti memandang Andini yang masih terting-
gal.
"Jalanlah dulu, nanti kususul...." kata Andini
seraya memperhatikan ombak lautan yang tak be-
gitu ganas.
Lanang seta tak perduli lagi kepada gadis man-
ja itu. Ia melangkah, memandang lurus ke depan
dengan penuh kewaspadaan. Badannya yang te-
gap, berambut panjang dengan pedang bertengger
di pundak itu bagai membekas di permukaan air
laut, karena cahaya bulan menciptakan bayangan
tubuhnya di Sana. Langkah sangat hati-hati, se-
bab ia harus menghindari batu-batu karang yang
runcing seperti ujung-ujung tombak. Di samping
itu juga ada beberapa batu karang yang ujungnya
tertutup permukaan air. Salah langkah, salah
menjaga keseimbangannya ia akan jatuh dan ter-
hunus batu karang runcing itu.
Angin bertiup cukup pelan, namun cukup
membawa hawa dingin yang menegangkan urat
syaraf. Dan tiba-tiba, Lanang merasakan sesuatu
yang aneh pada telapak kakinya. Sesuatu itu ialah
rasa dingin yang bagai membekukan telapak kaki
dan sekitarnya. Lanangseta ingin memandang ke
bawah, namun takut ada serangan mendadak dari
arah depan. Ia terpaksa meraba dan menduga,
bahwa kakinya telah menginjak gumpalan es yang
mungkin terselubung air laut.
Tetapi mendadak ia jadi terperanjat setelah
ada suara yang menegurnya dari belakang. Suara
Andini yang tampaknya cukup gembira.
"Lanang...! Lihat, aku berhasil berjalan sendiri,
bukan?!"
Bukan keberhasilan Andini yang membuat La-
nang terperanjat kaget, namun keadaan alam di
bawahnya. Air laut! Ya, air laut itu telah menjadi
beku. Beku dan keras. Dinginnya luar biasa. Bah-
kan bukan hanya di bawah kaki mereka, namun
seluruh perairan laut itu menjadi beku. Benar-
benar seperti bentangan permadani biru kehijau-
hijauan yang mempunyai suhu di bawah nol dera-
jat. Lautan yang tadinya berombak menjadi seperti
bentangan padang es yang cukup menakjubkan.
Lanangseta seperti orang udik yang belum pernah
melihat lautan; clingak-clinguk dalam kebingun-
gan.
"Kau...?!" Ia memandang Andini dengan heran.
"Kau sanggup membekukan seluruh air laut ini?!"
Andini tersenyum genit. "Untuk membantumu,
aku akan sanggup berbuat apa saja. Supaya kau
tahu kalau aku bisa berguna bagi hidupmu. Bu-
kan sekarang saja, tapi selama-lamanya aku dapat
berguna bagi hidupmu, Lanang."
"Ouhh... Andini. Berhentilah berkhayal. Kita
tak boleh lengah sedikit pun di sini...."
"Sebab itu aku harus mendampingimu untuk
menghindarkan dirimu dari bahaya apa pun."
Ada kapas melayang-layang. Lanangseta mem-
perhatikan kapas itu dengan mendekap diri sendi-
ri karena dingin. Lalu, ada lagi yang melayang dan
hinggap di badannya. Lanang menepiskan dengan
curiga. Tapi ia menjadi heran, dan mulai mere-
mas-remas benda itu.
Oh, bukan kapas. Salju!
Gila! Alam ini menjadi bersalju. Batu-batu ka-
rang memutih dalam bentuk aneh, bagai dilapisi
kapas murni. Juga Pulau Kramat yang ada di depannya itu, mulai terlihat berbulu, putih. Salju be-
terbangan, dan hinggap di mana ia mau. Bahkan
di rambut Lanang pun ada serpihan salju yang
melekat. Lanangseta memandang kagum kepada
alam sekitarnya. Pulau Kramat menjadi seperti pu-
lau es yang memantulkan cahaya bulan di langit.
Ia memandang Andini, dan Andini tertawa pelan
seraya tangannya menggapai-gapai hembusan an-
gin pembawa salju.
"Bukan main kau ini, Andini...."
"Berjalanlah lagi, supaya kita lekas ampai di
pulau itu. Dan pujilah aku di sana dalam pelukan
mu nanti."
Lanangseta menggeleng-geleng dalam senyum,
entah apa artinya. Yang jelas ia mulai salut kepa-
da Andini.
Langkah Lanangseta dipercepat, karena pulau
itu sudah semakin dekat. Ia melesat seperti kila-
san angin malam, dan ternyata Andini mampu
mengimbangi kecepatan gerak Lanang.
"Hati-hati, Lanang...!" Andini mengingatkan.
"Kita semakin dekat dengan bahaya. Aku tak ingin
kehilangan kau!"
Kalau tidak dalam keadaan penuh kewaspa-
daan, Lanang ingin memberi jawaban atas kata-
kata itu. Namun kali ini ia lebih tertarik pada gu-
gusan Pulau Kramat yang makin dekat. Perha-
tiannya itu ternyata tidak sia-sia. Karena pada
saat tertentu, dialah yang melihat ada kilasan
benda bening melayang; ke arah Andini. Lanangse-
ta menghentakkan kaki dan menyambut tubuh
Andini ke udara. Benda itu melesat terus. Bentuk-
nya tak dapat diketahui. Yang jelas, kali ini benda
itu datang lagi dari arah depan, sekarang berjum-
lah lebih dari lima. Semuanya bisa berjajar rapi,
membentuk semacam satu barisan yang menyerang Lanangseta dan Andini dengan cepatnya. La-
nangseta berseru:
"Andini, merunduk...!"
Andini memperlihatkan kehebatannya lagi. Ia
dapat terguling-guling tanpa menyentuh permu-
kaan air. Kira-kira tubuhnya berjarak tiga jengkal
dari permukaan air yang telah membeku itu. Se-
dangkan Lanangseta hanya melayang dan bersalto
melebihi ketinggian benda-benda aneh itu. Namun
keduanya tetap bergerak maju sekalipun mereka
diserang kembali oleh tiga batang tombak bermata
mengkilat. Andini kebetulan berada di depan La-
nangseta, sehingga dialah yang menangkis ketiga
tombak itu dengan tangan dan kakinya. Andini
melompat, salah satu kakinya menendang perten-
gahan tombak, lalu kedua tangan lainnya berusa-
ha menepiskan kedua tombak lainnya sambil
kembali mendarat di belakang tombak. Lanang
menyaksikan hal itu dengan bangga.
"Awass...!" Lanang berseru, karena sebuah
bumerang melayang, melingkar-lingkar tertuju ke
arah Andini. Dengan gesit Andini memiringkan tu-
buhnya, dan bumerang itu memutar kembali ke
asal. Andini semakin bergerak lebih cepat. Lanang
segera menyusul dengan lompatan-lompatan yang
berkecepatan tinggi. Kini ia berada di depan Andi-
ni dengan memasang kewaspadaan.
"Hati-hati, Lanang...." bisik Andini ketika me-
reka sudah menginjakkan kaki di pantai Pulau
Kramat. Keadaan di depan mereka amat gelap.
Daun-daun memutih di balik kegelapan. Lanang-
seta berhenti sejenak, memegang Andini. Ia berbi-
sik, "Ada jebakan maut di depan kita...!"
*
* *
5
UDARA dingin sangat membekukan darah. La-
nangseta merasa tak tahan dicekam kedinginan
es. Dalam hati ia memuji kehebatan ilmu Andini
yang mampu merubah keadaan sekitar menjadi
sedingin kutub Utara.
Dalam keremangan gelap, Lanangseta menco-
ba berbisik dengan tidak bergerak. "Jangan sedikit
pun menggerakkan kaki. Aku merasa ada jebakan
di depan kita."
"Ya, aku sadar," balas Andini… "Bagaimana
kalau kita saling berdekapan saja, supaya keliha-
tan hanya ada satu pendatang."
"Ah, mereka sudah tahu kalau kita berdua."
"Tapi mereka akan menyangka kalau salah sa-
tu di antara kita masuk dalam jebakan itu. Lalu,
mereka akan sedikit lega. Biasanya orang yang
mengalami kelegaan ia tak akan mempunyai ke-
waspadaan yang setinggi mungkin."
Lanang belum menjawab, tapi dia merasa
bahwa kaki Andini mulai bergeser pelan-pelan.
Tubuh Lanang menggigil. Ia berbisik, "Andini...."
"Hemm...?"
"Dapatkah kau membuat salju-salju itu ber-
henti dan alam menjadi hangat lagi?"
"Apakah itu perlu, Lanang?" kata Andini dalam
desah yang samar-samar.
"Kurasa perlu. Aku tak tahan dingin. Aku ge-
metaran,"
"Kalau begitu, biarlah kau kuhangatkan...!"
Andini memeluk Lanang. Merapatkan tubuhnya
lekat-lekat sehingga mereka tampak dalam satu
bayangan.
"Andini..." Lanangseta berbisik pelan sekali.
"Hati-hati, di sini pengaruh kekuatan gaib akan
lebih tajam dan mudah mempengaruhi jiwa kita.
Jangan sampai kau menjadi macan seperti di pan-
tai sana tadi."
"Ya, akan ku jaga diriku. Hanya saja... kea-
daan ini sungguh menggembirakan hatiku. Kau,
bagaimana?"
Lanangseta sebenarnya tak ingin menjawab,
tapi demi melegakan hati gadis itu yang sangat
kasihan, maka ia pun menjawab, "Ya. Aku pun se-
perti kamu."
"Oh, sungguh, Lanang...?"
"Ah, sudahlah. Jangan hanyut!"
Andini tertawa lirih dalam desah. Ia menem-
pelkan kepalanya di pundak Lanangseta, wajah-
nya menghadap ke leher sehingga dengus nafas-
nya terasa menghangat. Membuat darah yang
membeku bagai hendak mendidih kembali.
"Injak kakiku, Andini."
"Apa?" bisik Andini.
"Injak kedua kakiku...!" „
Andini mengikuti perintah itu, kaki kirinya
menginjak kaki kanan Lanang, dan kaki kanannya
menginjak kaki kiri Lanang.
"Peluk aku kuat-kuat!"
"Apa?" Andini merasa heran mendengar perin-
tah itu, namun di sela keheranan terselip kegem-
biraan yang indah. Ia pun tak tanggung-tanggung
memeluk Lanangseta dalam satu desahan meng-
hangat di leher dan dagu Lanang. Kedua tangan
Andini ada di bawah ketiak Lanangseta, sehingga
kedua tangan Lanang dapat bergerak dengan be-
bas.
Pada saat itu, ternyata Lanangseta mempunyai
naluri yang peka. Ia segera mencabut pedang ka-
rena ada sebatang tombak melayang lagi ke arah-
nya, datangnya dari tempat gelap. Tombak yang
melesat itu segera dihantam dengan pedangnya
yang membara bagai besi terpanggang. Sambil
menebaskan pedang, kaki Lanang merenggang,
dan dengan sendirinya kaki Andini pun ikut me-
renggang, sebab kedua telapak kaki Andini berada
di atas kedua kaki Lanang.
Tombak yang melesat berubah arah. Total.
Tombak itu jadi melesat ke arah tempat datang-
nya. Lalu segera terdengar orang berteriak kesaki-
tan, dan diam. Bagai hilang ditelan sepi. Lanang
dan Andini masih tegang.
"Apa yang terjadi, Lanang?" bisik Andini sangat
pelan.
"Entah. Aku yakin ada seseorang yang terkena
tombaknya sendiri."
"Hanya seorang?"
"Entah. Kita tunggu saja."
"Kita tunggu?! Tunggu datangnya serangan be-
rikutnya?!"
"Ya. Kita buta dalam hal ini. Gelap. Kita tak
tahu ada jebakan apa dan di mana saja. Jadi kita
tunggu serangan mereka. Sambil kita menantikan
terbitnya matahari, kita tetap harus diam dalam
kewaspadaan yang tinggi, Andini."
"Sampai matahari terbit kita harus begini?
"Kalau kau tak suka, lepaskan pelukan mu
dan turunlah dari kedua kakiku," kata Lanang
dengan mata bergerak liar.
"O, tidak...." Andini tertawa lirih sekali. "Aku
suka dengan keadaan seperti ini. Mudah-mudahan
matahari tak akan terbit lagi, biar aku bisa begini
terus bersamamu…"
Lanangseta sempat mendenguskan tawa. An-
dini semakin mempererat pelukannya. Tapi tangan
Lanang mempererat pegangan pedangnya yang
masih terhunus dan menyala merah membara.
Itulah Pedang Wisa Kobra yang telah berubah
menjadi Pedang Malaikat sejak ia berhasil mem-
bunuh seorang dewa yang aneh hidupnya (dalam
kisah Pedang Semerah Darah).
Lama sekali tak kunjung datang serangan be-
rikutnya, padahal Lanang telah bersiap dan selalu
membuka mata lebar-lebar. Mungkin memang
hanya satu penjaga pantai pulau itu yang menye-
rangnya. Betapa pun anehnya keadaan itu, namun
Lanang cukup mengakui bahwa penjaga tersebut
benar-benar berilmu tinggi. Tak salah jika ia di-
tempatkan sebagai penjaga pantai seorang diri.
Karena ilmunya memang dapat diandalkan. Hanya
saja, agaknya hari itu adalah hari sialnya, ia me-
nemui lawan setangguh Lanangseta. Jika bukan
Lanangseta, mungkin ia akan menang dan dapat
berjaga dengan santai. Kini, ia terpaksa roboh
dengan tenang, dan memang tenang selama-
lamanya. Ia terhunjam tombak pada jantungnya,
yaitu tombak yang dilemparkan ke arah Lanang,
namun dapat dibalikkan dengan sekali tebasan
Pedang Malaikat.
Lanang dapat mengetahui sosok mayat yang
tertembus tombak pada jantungnya ketika mata-
hari telah terbit. Alam menjadi remang, bahkan
kian terang. Salju hilang, dan ombak menderu
kembali. Laut tidak membeku seperti semalaman.
Andini dan Lanang sudah tidak lagi berdeka-
pan. Kini mereka bahkan memandang mayat pen-
jaga pantai dengan seringai kengerian. Mayat itu
sudah busuk. Sudah tidak banyak daging yang
melekat, kecuali tulang belulang yang sangat jelas
bertonjolan di sana-sini. Wajah orang itu pun tak
dapat dikenali, sebab telah berwujud sebagai
tengkorak dengan sisa daging di sana-sini yang ti-
dak membantu untuk mengenai wajah itu.
"Pulau ini benar-benar ganas dan menyeram-
kan," ujar Andini sambil memandang sekeliling.
"Tak ada keramahan sedikit pun di wajah pulau
ini."
"Mungkin sebab itulah dikatakan sebagai Pu-
lau Kramat."
Lanangseta melangkah memperhatikan jeba-
kan yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua.
Jebakan itu membentang di sepanjang pantai, be-
rupa sebuah lubang dilapisi penutup berlapis pa-
sir. Sekilas memang kelihatan seperti hamparan
pasir pantai, tetapi sesungguhnya itulah gerbang
maut dari Pulau Kramat tersebut. Kecurigaan na-
luri Lanangseta berhasil membongkar tutup lu-
bang memanjang itu. Ternyata di bawahnya terda-
pat sejumlah tombak mencuat ke atas dalam jarak
yang cukup rapat. Masing-masing ada satu jengkal
jaraknya. Dan setelah disusuri, ternyata tombak
berjajar-jajar itu mengitari pantai, bagai mengu-
rung pulau tersebut. Lanangseta dan Andini mera-
sa ngeri, bergidik bulu romanya saat mereka meli-
hat bekas telapak kaki mereka ada di tepian lu-
bang memanjang bagai selokan raksasa itu. Andai
saja waktu semalam mereka melangkah satu kali
lagi, maka mereka akan terperosok ke lubang ter-
sebut dan besar kemungkinannya akan mati ter-
tusuk tombak di sekujur tubuh.
Hutan di situ, sebenarnya tidak selebat hutan
di sekitar Bukit Badai. Namun kesepiannya itulah
yang membuat suasana aneh mencekam di pulau
itu. Tak ada seekor burung pun yang mencicit. Tak
ada kehidupan apa pun di sana. Satwa bagai tak
mau singgah di pulau itu, dan kabut pagi bagai-
kan enggan merayap pergi. Kabut pagi begitu tipis
merambah di atas permukaan tanah sebatas tumit
kaki. Tetapi anehnya di bagian pantai dan laut tak
ada kabut seperti itu. Kalau toh ada, hanya seba-
gian dari kabut di dalam hutan yang tertiup angin
ke sana.
"Apakah kau yakin pulau seperti ini ada peng-
huninya?" tanya Andini seraya ia merayap mengi-
kuti Lanang memasuki hutan tersebut.
"Salah satu contoh adalah penjaga pantai yang
mati terkena tusukan tombaknya sendiri itu. Dan
kau harusnya berpikir, untuk apa jebakan yang
mengelilingi pulau ini sepanjang pantai."
"Supaya orang tak dapat masuk sembarangan
di pulau ini," jawab Andini.
"Dan itu berarti di pulau ini ada yang harus di-
lindungi, bukan?"
"Sebuah benda pusaka maksudmu?!"
"Bisa jadi begitu, tapi bisa jadi sebuah harta
karun, atau sebuah makam keramat, atau seje-
nisnya, yang jelas perlu dilindungi "
"Apakah...." Andini belum habis bicara, tahu-
tahu kakinya masuk dalam jerat tali dan ia seketi-
ka itu terangkat ke atas dengan salah satu kaki,
tergantung. Tentu saja ia menjerit seketika itu,
dan Lanang tercengang melihat Andini sudah ber-
gelantungan di pohon dengan salah satu kakinya
terjerat tali.
"Lanaaang...! Bebaskan aku!" teriaknya, dan
Lanang sedikit panik, karena ia sadar bahwa se-
seorang sedang berdiri di atas pohon dengan ke-
dua tangan memegangi tali penggantung kaki An-
dini, Kalau orang itu melepaskan tali tersebut,
maka tubuh Andini akan meluncur jatuh ke ba-
wah. Jika keseimbangan Andini tak terkendali,
maka sudah pasti ia akan jatuh dengan kepala du-
lu. Sebab itu, Lanangseta terpaksa harus hati-hati
dan tidak bertindak ceroboh. Ia bisa saja memukul
perempuan yang memegangi tali itu, tapi hal itu
dapat mengakibatkan tubuh Andini melesat ke
bawah dari ketinggian yang begitu mengerikan.
Perempuan yang menjerat kaki Andini itu ter-
tawa kegirangan, Ia mengenakan celana pendek
dan penutup dada dari kulit binatang. Di ping-
gangnya terselip pedang, dan kepalanya yang be-
rambut pendek itu berikatkan seutas tali berwarna
ungu. Tali itu sebesar ibu jari, dan kelihatannya
dirajut dengan beberapa helai benang emas. Tu-
buh perempuan itu sangat indah, ramping tapi
sexy. Celananya begitu tipis dan kecil sekali, sea-
kan hanya sekedar penutup bagian tertentu.
"Selamat datang di pulau kami... Pendekar
tampan...!" seru perempuan berikat kepala ungu.
Andini merasa tak suka dengan sebutan perem-
puan itu kepada Lanangseta, ia pun segera berte-
riak:
"Iblis betina...! Ku lumatkan mulutmu kalau
kau bicara begitu lagi kepada dia!"
"Hai, hai... kau amat cemburu, Nona! Tapi
sayang kau akan mati, dan cemburu mu tak akan
berkelanjutan!"
"Keparat kau...!" Andini meronta-ronta. "Kalau
aku mati, kuhanguskan tubuhmu, Setan!" teriak
Andini dengan kemarahan yang besar sekali.
Ia tampak semakin gusar setelah ia melihat
Lanangseta dikurung oleh empat perempuan ber-
pakaian minim seperti yang di atas pohon itu.
Keempat perempuan itu mengurung Lanangseta
dengan masing-masing pedang siap di tangan.
"Arumi...." teriak salah seorang dari keempat
gadis-gadis sexy itu. Yang di atas pohon menja-
wab. "O, itu yang bernama Arumi?" pikir Lanang.
"Arumi, kita mendapat kakap bertenaga kuda.
Wow...! Alangkah hebatnya dia, Arumi!"
"Hei, hei, heii... sisakan aku, ya? Jangan kalian
habiskan madunya...!" Arumi tertawa melengking,
mirip tawa kuntilanak.
"Kalau bisa jangan terluka, Kuadi...!" kata pe-
rempuan berikat kepala kuning tembaga. Yang
bernama Kuadi mulai maju mendekati Lanangseta
dengan pedang terarah ke tubuh Lanangseta. Ku-
adi berkata kepada Lanang.
"Sebelum kau mati, kuijinkan kau menikmati
kami berlima sebagai sarapan pagi di pulau ini,
Bung!"
"Terima kasih. Aku sudah cukup kenyang," ja-
wab Lanang dengan tenang, kendati tetap menjaga
kewaspadaan.
"Sekali pun begitu, kau tetap harus mencicipi
kami, dan kami pun harus mencicipi kamu! Di sini
kami sering menunggu ikan seperti kamu. Tapi...
kami jarang mendapatkannya, kecuali Putra
Tunggal. Itu pun harus digilir. Tapi dengan keda-
tanganmu ke mari, berarti kami akan dapat sering
menikmati sarapan lezat."
"Jangan sentuh dia...!!" teriak Andini dari atas.
"Tangkap dia tanpa luka, Kuadi...!" teriak
Arumi yang ada di atas pohon sambil memegangi
tali pengikat kaki Andini. Kuadi mendekati La-
nang. Lanang masih diam saja.
"Jangan sentuh dia! Kuhancurkan kalian ka-
lau berani menyentuhnya sedikit pun...!!" ancam
Andini dengan semakin gusar. Dalam hati Lanang
menggerutu dan mencaci teriakan Andini yang bi-
sa memancing kenekatan mereka. Dengan berte-
riak begitu, justru mereka akan semakin penasa-
ran. "Uhh...! Tolol sekali Andini itu!" gerutu La-
nang dalam hati.
"Buang senjatamu...! Buang!" bentak Kuadi.
Tapi tiba-tiba gadis itu menjerit keras dengan tu-
buh menggeliat ke belakang. Andini telah melancarkan pukulan tenaga dalamnya yang begitu he-
bat, hingga membuat ulu hati Kuadi menjadi hi-
tam hangus. Kemudian ketiga temannya bergerak
menyerang Lanangseta dengan pedang. Lanang
melompat ke samping, mencari posisi yang enak
untuk menghindar. Ia ragu jika harus menyerang-
nya. Perempuan-perempuan itu bagai tak men-
genal dosa. Ia yakin, perempuan-perempuan itu
berada dalam satu perintah dan satu pengaruh ja-
hat. Lanang akan berusaha untuk tidak membu-
nuhnya, tapi membuatnya bersekutu untuk men-
cari bunga Teratai Wingit.
Tetapi agaknya Andini berpikiran lain. Ia brut-
al dalam kemarahannya. Ia tak ingin Lanangseta
disentuh oleh perempuan mana pun. Karenanya
dalam satu gerakan cepat Andini melancarkan pu-
kulan tenaga dalamnya sekali lagi ke arah Arumi
yang ada di atas pohon, yang sedang memegangi
tali pengikat kaki Andini. Arumi melayang dalam
satu teriakan tinggi. Ulu hatinya menjadi hangus
dan berasap.
Akibat dari itu, tubuh Andini melesat ke bawah
dengan kepala meluncur lebih dulu. Tetapi sebe-
lum ia menyentuh tanah, tubuhnya yang seperti
kapas itu melengkung ke belakang dan mendarat
dengan manis. Kain merah jambu itu bagai sayap
kupu-kupu hinggap di kelopak bunga.
"Lanang, biar aku yang menangani ini...! Mere-
ka musuhku. Aku yang harus menghajar mereka
tanpa ampun lagi!"
"O, mereka musuhmu?" kata Lanang.
"Siapa yang ingin menyentuhmu, dia adalah
musuhku. Dia harus kubunuh sebelum dia memi-
liki kamu. Diamlah di situ saja, Lanang...!" Andini
bersiap setelah melepaskan tali yang mengikat ka-
kinya.
Dua orang musuh menghadapi Andini, mereka
hendak menyerang dari kanan dan kiri, sementara
satu lagi menghadapi Lanangseta dengan tegang.
Pada saat itu Lanangseta hanya memperhatikan
dengan senyum menawan, tapi diam-diam tetap
berjaga-jaga. Sedangkan Andini meliukkan tubuh-
nya dengan lembut, tangan kanannya terangkat ke
atas dengan gemulai dan tangan kirinya terentang
ke samping. Kedua kakinya berdiri berjingkat-
jingkat dan memutar lembut. Kedua musuhnya
terbengong melihat Andini menari dengan lemah
gemulai.
Andini perlahan-lahan menarik tangan kanan-
nya yang ke atas itu menjadi turun ke bawah, te-
rus sampai ke betis, sehingga tubuhnya meleng-
kung lemas. Sementara itu, kaki kirinya kini te-
rentang ke belakang dan kepala Andini mendon-
gak ke depan memandang Lanangseta. Tahu-tahu
ia bergerak bagai belalang meloncat. Bersalto satu
kali dan kaki kanannya berhasil menendang teng-
kuk kepala perempuan yang sedang menghadapi
Lanangseta.
Perempuan yang terkena tendangan Andini
tersungkur dengan menyemburkan darah kental
dari mulutnya. Sementara itu, kedua temannya
terkesiap di tempat, matanya mendelik melihat
akibat tendangan gemulai itu ternyata sangat
membahayakan. Maka kedua perempuan itu sege-
ra menyerang Andini yang kali ini sedang mem-
permainkan kaki ke atas, nyaris membentuk garis
lurus dengan kaki satunya lagi.
Agaknya Andini tak mau membuang-buang
waktu. Ia takut Lanangseta matanya tak bisa ter-
pejam karena melihat lekuk tubuh kedua perem-
puan itu yang cukup aduhai. Karenanya, ketika
sebuah pedang menebas kaki Andini yang teracung ke atas, Andini segera meluruskan kaki
membentuk sudut 90° dengan kaki yang satunya.
Kemudian ia segera berputar dengan cepat, kaki
itu menghantam pelipis lawannya. Keras. Yang
terkena tendangan Andini terguling di tanah da-
lam satu erangan memanjang. Namun ia masih
berusaha bangkit lagi untuk mengadakan seran-
gan balasan.
Sementara itu, tubuh Andini meliuk bagai seo-
rang penari ketika pedang lawan yang satunya me-
lesat nyaris memotong kepala. Kedua tangan An-
dini menyentuh tanah, dan menghentak cepat.
Tubuhnya melayang dalam posisi tengkurap. Pada
saat itulah ia melancarkan pukulan tenaga dalam
yang keluar dari telapak tangan kanannya. Puku-
lan itu mengenai lam bung kanan lawan yang tadi
terkena tendangan pelipisnya.
Belum sempat Andini mengetahui hasil puku-
lannya, tiba-tiba pinggangnya terkena tendangan
lawan yang satu. Andini terpental beberapa lang-
kah dan mengerang kesakitan.
"Sekarang kau mampus, Perempuan Lacur...!"
geram lawannya. Ia mengarahkan pedang ke dada
Andini sambil meloncat menerjang tubuh Andini
yang terkapar di tanah. Pada saat yang kritis itu,
tangan kiri Andini sempat mengibas, bagaikan ia
sedang menaburkan sesuatu di udara. Ternyata
segenggam rumput telah dicabut dan disebarkan
ke arah tubuh lawannya. Rumput-rumput itu
mempunyai kekuatan maha hebat, di mana ketika
mengenai musuhnya langsung menembus ke ba-
gian tubuh di atas perut.
"Aaahkk...!!" Perempuan yang hendak meni-
kam dengan pedang itu mengejang. Berhenti seke-
tika. Kepalanya mendongak ke atas dengan tubuh
melengkung ke belakang. Erangannya tertahan sesaat, kemudian ia pun rubuh dan berkelojotan se-
jenak. Darah mengalir dari bagian perut. ke atas.
Lobang-lobang kecil bekas masuknya rumput ter-
lihat jelas. Lobang itu menjadi hitam, ada yang
membiru. Rumput itu selain berubah menjadi besi
tajam juga mempunyai kadar racun yang cukup
mematikan, sehingga tubuh itu pun tak pernah
bergerak-gerak lagi selamanya.
Lanangseta masih tenang, memperhatikan
mayat kelima perempuan berpakaian minim itu.
Mengerikan sekali mereka, terkapar dengan darah
menghitam dan berbau amis sekali. Andini terse-
nyum memandang mayat musuh-musuhnya, ke-
mudian ia menghambur dan memeluk Lanangseta
erat-erat.
"Mereka sudah kusingkirkan, Lanang," ka-
tanya dengan penuh kebanggaan.
"Ya. Tak satu pun ada yang hidup."
"Mereka tak boleh hidup. Kalau mereka ada
yang hidup, maka kau akan diganggunya, dan...
lelaki biasanya punya ketahanan nafsu yang ra-
puh. Kau nanti bisa jatuh dalam pelukannya.
Dengan begini, maka tak ada dari mereka yang
akan merebutmu dari pelukanku."
"Tapi aku tadi melihat seseorang yang mengin-
tai dari balik rumpun semak itu."
Andini kaget. "Betulkah?"
'Ya. Dan aku tahu dia lari ke arah sana...!" La-
nang menunjuk suatu arah. "Sebaiknya mari kita
ke sana...!"
Ternyata arah yang dimaksud Lanang itu me-
nuju ke suatu tempat. Di sana ada jalan setapak
yang agaknya jarang digunakan orang. Namun
Lanang tetap menyusuri jalan setapak itu seraya
berkata kepada Andini:
"Aku tadi bagaikan melihat seorang penari beraksi di depanku," kata Lanang mengomentari ju-
rus-jurus yang digunakan Andini dalam bertarung
melawan kelima perempuan setengah bugil itu.
"Jurus-jurusmu cukup aneh. Aku sampai terkesi-
ma memandangnya."
Andini tersenyum senang. "Kalau kau suka,
aku akan menari terus di depanmu. Bahkan tanpa
busana pun aku sanggup asal kau tahan!" Andini
mengikik nakal.
"Aku hanya merasa asing dengan jurus-
jurusmu."
"Itu yang bernama gabungan tarian Bidadari
Manja."
"Ooo...." Lanang manggut-manggut. "Pan-tas,
pantas...."
"Pantas bagaimana?"
"Pantas kau punya sifat manja."
"Hanya untuk kamu," jawab Andini dengan
suara pelan, tapi terlihat dari rona wajahnya, ia
sangat gembira.
Sekali pun dalam keadaan ngobrol, namun
mata mereka tetap mengawasi keadaan sekeliling.
Sampai akhirnya mereka menemukan sebuah ru-
mah di antara pohon-pohon yang berdaun rimbun.
Rumah itu bagaikan sebuah pondok yang terbuat
dari kayu, beratap ilalang kering. Tapi bentuknya
memanjang, mirip sebuah asrama. Rumah itu
mempunyai halaman samping yang cukup luas.
Bahkan di halaman itu terdapat kolam air tawar
yang teratur rapi dan bersih. Bentuk rumah me-
makai sistem panggung, dengan anak tangga em-
pat baris. Ia mempunyai serambi depan yang ter-
buat dari kayu-kayu terbelah menjadi dua bagian.
Pondok itu cukup sepi dan sunyi. Tak ada manu-
sia satu pun yang tampak sedang melakukan ke-
sibukan di luarnya. Pagarnya terbuat dari kayu
kayu pohon berukuran setinggi batas dada manu-
sia normal.
Dari balik semak Andini dan Lanang mengintai
keadaan rumah tersebut. Mereka diam beberapa
saat di balik semak berdaun mirip gergaji itu. An-
dini sempat mengaduh beberapa kali karena kulit
tubuhnya tersentuh daun itu dan rasanya sakit.
Perih. Tapi tak begitu dihiraukan. Ia bahkan ber-
kata dalam bisikan, "Jangan-jangan ini juga se-
buah jebakan!"
"Bisa jadi begitu...." jawab Lanang seraya ma-
tanya bergerak-gerak liar, penuh waspada.
Mereka tiba-tiba harus segera menunduk dan
berlindung lebih rapat lagi, karena tampak seo-
rang perempuan dengan busana miskin: hanya
bagian dada dan bawah perut saja yang ditutupi,
sedang berlari memasuki halaman rumah terse-
but. Perempuan itu juga berikat kepada dari tali,
namun kali ini berwarna merah tua.
Di depan tangga menuju ke dalam rumah, pe-
rempuan itu merendahkan badan. Lutut kanannya
menyentuh tanah sedang kaki kirinya ditekuk
dengan lutut menghadap ke atas. Ia menunduk-
kan kepala tiga kali. Kemudian dari dalam pondok
itu keluar seorang perempuan berambut panjang,
terurai. Perempuan itu hanya mengenakan jubah
dari bahan kain yang sangat tipis, transparan, se-
hingga menampakkan betul kemolekan lekuk tu-
buhnya. Selain tubuh yang indah, ia juga memiliki
paras wajah yang cantik dan sangat mempesona.
"Mereka sudah tewas semua, Nyai...!" ujar pe-
rempuan berpedang di pinggangnya.
"Arumi...?"
"Arumi juga tewas dengan dada hangus dan
membusuk."
"Hangus? Membusuk?"
"Benar, Nyai."
"Jahanam...! Itu pukulan Bidadari Senja!" ge-
ram perempuan yang dipanggil Nyai.
Selintas ingatan Lanang beralih pada wajah
perempuan itu. Begitu cantik dan sangat mengge-
tarkan hati. Benar-benar kecantikan yang punya
daya tarik luar biasa hebatnya. Wajah dan kecan-
tikan itu, memang baru kali ini dijumpai oleh La-
nangseta, namun suaranya terasa pernah diden-
gar Lanangseta. Entah kapan, di mana dan siapa?
Lanang masih mencoba mengingat-ingatnya.
"Hei, jangan melotot terus begitu...!" sergah
Andini yang merasa was-was ketika Lanang me-
mandang perempuan berjubah biru muda yang ti-
pis sekali itu. "Apa yang kau pikirkan?" Andini
bersungut-sungut. Sewot.
"Bidadari Senja. Aku mendengar ia menyebut
Bidadari Senja. Apa maksudnya?" Lanang menco-
ba mengalihkan kecurigaan Andini.
"Nama jurus yang kugunakan memukul mere-
ka," jawab Andini kelihatan mengendurkan ke-
cemberutannya.
Kemudian perempuan cantik yang melebihi
seorang ratu mana pun itu berkata lagi kepada pe-
rempuan berikat kepala merah tua.
"Panggil Putra Tunggal...! Suruh dia mengha-
dap aku sekarang juga!"
"Baik, Nyai...!"
Perempuan muda berikat kepala warna merah
segera menghormat tiga kali dengan tundukan ke-
palanya, kemudian ia pergi, dan perempuan ber-
jubah tipis itu memandang sekeliling dengan curi-
ga. Sesaat kemudian, ia masuk kembali. Lanang
tak sempat memandang tembus isi rumah panjang
itu. Tetapi ia segera berbisik kepada Andini.
"Sergap gadis berikat merah itu. Kita korek keterangan di mana bunga terataiku disimpan mere-
ka."
"Bunga teratai? Jadi hanya .setangkai bunga
yang dicuri oleh orang yang kau cari itu?" Andini
yang baru paham apa yang dicari Lanang itu ter-
paksa menyipitkan mata dalam keheranan. "Kuki-
ra kau mempunyai dendam kepada seseorang
yang nyaris memperkosaku itu."
"Nanti akan ku jelaskan, Andini. Tapi sekarang
aku butuh waktu untuk menyergap gadis berikat
merah tadi."
Andini mendengus kesal, lalu mengikuti lang-
kah Lanang. Sekelebat bayangan gadis itu dapat
terlihat oleh pandangan mata Lanangseta. Ia sege-
ra memotong jalan, yang diperkirakan akan tem-
bus di depan langkah gadis itu. Ternyata gadis itu
mengetahui adanya bahaya yang mengintainya. Ia
segera mencabut pedangnya yang seukuran satu
hasta. Ia sedikit merundukkan badan, bersiap
menyambut bahaya. Matanya liar memandang ke
sana-sini. Namun dilihat dari sikapnya dalam ber-
jaga-jaga, ia pasti mempunyai kelincahan seperti
anak kijang, secerdik ular sanca. Ia masih berge-
rak pelan menunggu bahaya datang.
Andini memungut sebutir batu kecil, lalu di
sentilkan ke arah kepala gadis itu. Batu yang su-
dah dialiri tenaga dalam itu melesat dan mengenai
tengkuk kepala gadis itu. Pedang menebas ke be-
lakang, tapi pada saat itu perempuan berikat me-
rah segera oleng, lalu jatuh ke tanah. Pingsan. La-
nang mengacungkan jempol tangannya kepada
Andini.
Gadis berikat kepala merah tergeletak di ta-
nah. Namun ketika Andini hendak menyentuh ka-
kinya, tiba-tiba tangan Andini terpaksa ditarik
mundur dengan cepat. Matanya terbelalak kaget.
"Kenapa?" tanya Lanang.
"Tubuhnya sangat panas. Luar biasa panas-
nya. Lihat... rumput dan tanaman di sekitar tu-
buhnya menjadi layu dan... tuh, lihat... malahan
menjadi hangus bagai terbakar!"
Lanangseta tak berkedip memandang keane-
han tersebut. Rumput dan tanaman lainnya me-
mang menjadi hangus bagai terbakar. Jelas tubuh
itu mengandung bara api yang amat panas, tapi
tidak dapat dilihat oleh mata. Barangkali itu aki-
bat tenaga dalamnya yang begitu hebat, sehingga
mampu menyemburkan hawa panas tinggi dari
pori-pori kulitnya. Jari tangan Andini yang sudah
terlanjur menyentuhnya menjadi melepuh.
"Jariku melepuh, Lanang...." rengek Andini se-
perti anak kecil. "Iih... bagaimana ini? Jariku jadi
jelek begini...." Andini bagai anak yang mau me-
nangis. Mewek.
Lanang masih memikirkan bagaimana caranya
menawan gadis itu dan mengorek keterangan da-
rinya. Tetapi Andini ribut melulu dengan jarinya.
"Lanang...! Carikan madu dan kain untuk
membungkus jariku. Aduuh... bagaimana ini, La-
nang...?"
"Andini...!" hardik Lanang. "Hanya soal jari me-
lepuh saja kamu ribut, ah!"
Andini diam. Bersungut-sungut dan cemberut
dan bersungut-sungut. Ia menjauhi Lanang seraya
meniupi jarinya.
Lanang segera mengambil beberapa ranting
bercabang. Bahkan ada dahan yang besar pun di-
ambilnya asal bercabang. Lalu dengan tenaga
khusus ia menancapkan dahan bercabang pada
kaki gadis itu, sehingga cabang menghimpit kuat
kaki gadis itu. Demikian juga kedua tangannya,
bahkan bagian leher pun dijepit dengan cabang
yang menancap ke tanah. Kemudian Lanangseta
menunggu sampai gadis itu sadar.
"Mana kuat kayu segitu untuk menahannya. Ia
akan dapat berontak dan dengan mudah cabang-
cabang itu dihentakkan," kata Andini. Tetapi sete-
lah diam sesaat, Lanang pun berkata pelan:
"Itu bukan kayu. Itu besi yang kokoh dan
kuat!"
"Gila...! Sudah jelas kayu dikatakan besi, mana
bi...." ucapan Andini terhenti, matanya melebar
memandang bahan penjepit kaki, tangan dan leher
gadis itu. Ia benar-benar tertegun ketika ia melihat
kayu-kayu cabang itu ternyata telah berubah men-
jadi besi-besi yang kokoh dan kuat. Penasaran se-
kali Andini jadinya, ia pun mendekat, mengamati
benda penjepit tubuh itu, ternyata benar-benar
besi. Bukan kayu. Kemudian ia memandang La-
nangseta yang tersenyum masam sambil bersilang
tangan di dada.
"Kau hebat...! Kayu bisa kau rubah menjadi
besi. Ilmu dari mana yang kau peroleh itu? Siapa
gurumu sebenarnya?" kata Andini terkagum-
kagum. Dan sekali lagi Lanang hanya tersenyum.
Ia tak mengatakan bahwa itu salah satu ilmu yang
diajarkan oleh kakek tua, Si Tongkat Besi.
Beberapa saat kemudian, gadis berikat kepala
merah itu siuman. Ia mengerjap-ngerjapkan mata,
lalu berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa
terjepit oleh besi-besi kokoh. Ia kebingungan, dan
kembali tenang setelah menyadari ada orang yang
menawannya pada saat itu.'
Lanang berdiri di samping kiri gadis itu, dekat
dengan pinggangnya. Gadis itu mencoba meronta,
namun tak dapat lepas. Tangan terentang ke atas
keduanya, dan kaki pun terentang dalam jepitan
keras.
"Kau tak akan bisa bangun sebelum kube-
baskan...." kata Lanangseta dengan tenang.
"Apa maumu, Kunyuk...?!" geram gadis itu
dengan suara berat karena lehernya agak tercekik
besi penjepit.
"Aku ingin membunuhmu pelan-pelan...!" La-
nang tersenyum. Lalu ia mencabut pedang Wisa
Kobra yang membara bagai besi terpanggang hen-
dak lumer. Gadis itu mengernyitkan mata, merasa
ngeri melihat pedang itu. Andini terkesima kagum
secara diam-diam melihat pedang Lanangseta.
"Kalau kau mau menunjukkan di mana bunga
teratai disimpan oleh atasanmu, kau akan kube-
baskan!"
"Kau bicara mengigau. Di sini tidak ada bunga
teratai! Kalau bunga tahi ayam, banyak!" kata ga-
dis itu dengan berani.
Lanangseta menebaskan pedangnya ke ujung
besi penjepit kaki. Besi itu terpotong rapi bagai iri-
san tebu. Gadis itu merasa ngeri. Ia tahu keheba-
tan pedang Lanangseta yang sudah tentu akan
dapat memotong-motong anggota tubuhnya. La-
nang semakin menyeringai melihat kengerian ga-
dis itu.
"Aku kehilangan bunga teratai," kata Lanang
dengan dingin sambil mengamati pedangnya.
"Pencurinya seorang berkerudung hitam...."
"Dia juga yang kurang ajar berani menggaga-
hiku!" timpal Andini dengan ketus.
Lanang berkata lagi. "Katakan di mana orang
itu, dan di mana bunga teratai itu disimpannya...!"
"Puiih...!" Gadis itu meludah ke arah Lanang,
tapi tidak mengenai Lanang sedikit pun. Hanya sa-
ja, kaki Andini yang ada di samping kanannya se-
gera menginjak perut gadis itu dengan keras. Ga-
dis itu tak sempat mengaduh, namun ia meringis
kesakitan. Lanang sebenarnya kurang setuju den-
gan tindakan Andini, namun untuk saat itu ia tak
ingin banyak berdebat dulu.
"Jangan coba-coba menguji keberanian kami,
ya?!" kata Andini. Gadis itu masih menyeringai ke-
sakitan.
"Aku... tidak tahu..." suaranya makin lemah.
Lanang menimpali kata, "Kalau begitu, usaha
kami sia-sia menawanmu begini. Baiklah, kubu-
nuh saja kau dengan pelan-pelan...!" Lanang mulai
mengarahkan pedangnya pelan-pelan ke arah betis
gadis itu.
"Untuk yang pertama, kau harus merasakan
betapa sakitnya jika kakimu terpotong dalam kea-
daan sadar... Selamat menikmati!" Lanang men-
gangkat pedangnya, dan gadis itu pun berteriak
tertahan:
"Jangan...! Jangan lakukan itu...!" Ia mulai
menangis.
"Katakan, di mana?" ulang Lanang.
"Di... di dalam rumah panjang itu...." jawab
gadis berikat kepala merah dengan perasaan ngeri
yang mencekam jiwa.
"Siapa yang ada di dalam rumah itu?"
"Nyai...." jawabnya. "Tadinya kami berenam,
tujuh dengan Nyai Katri, guru kami.
Tapi sekarang, lima dari kami sudah kalian
bunuh, tinggal kami berdua: aku dan Nyai."
"Kudengar kau disuruh memanggil Putra
Tunggal, siapa orang itu?" desak Lanang.
"Dia... dia... satu-satunya lelaki yang menjadi
murid Nyai. Di samping murid, juga sebagai pe-
layan kami, jika... jika kami membutuhkan kehan-
gatan. Sebab itu, dia disebut Putra Tunggal. Di-
alah yang mencuri bunga itu dan menitipkan ke-
pada Nyai untuk disimpan dan dijaga... Oh, le
paskan aku!"
"Hei, kau bilang di sini hanya ada satu lelaki.
Tetapi waktu kami datang, kami diserang seorang
lelaki di pantai...." kata Andini.
"Dia... bukan lelaki. Dia perempuan juga...."
"Ooh...." Andini bertatapan mata sejenak den-
gan Lanang.
Lanang mengajukan pertanyaan, "Siapa Nyai
Katri itu sebenarnya, hah?!"
"Ia yang berjuluk... Iblis Pulau Kramat,..!" ga-
dis itu menghirup udara dengan susah, lalu berka-
ta lagi. "Nyai adalah penguasa tunggal pulau ini,
yang mempunyai rencana untuk mempunyai ketu-
runan. Sebelum ia mempunyai keturunan ia akan
menguasai dunia, sehingga kelak dunia ini adalah
milik anak turunnya. Untuk itu, ia perlu pasukan,
dan kami diculik dan dipaksa untuk menjadi ba-
han percobaan ilmu dan benih pembuahan...."
"Benih dan pembuahan...?!" Andini merasa he-
ran, tapi gadis itu tetap menjelaskan secara gam-
blang.
"Ia seorang ahli tanaman. Ia menemukan bebe-
rapa getah tanaman yang sangat ajaib. Bila di-
campur dengan... dengan bibit dari lelaki akan
menghasilkan anak yang luar biasa ketangguhan-
nya. Namun, selama ini masih gagal. Ia masih per-
lu menguji ilmunya dan mencoba apa yang dite-
mukannya. Salah satu dari teman kami... pernah
melahirkan anak, namun berbentuk aneh. Seperti
monyet, tapi mempunyai sisik. Dan... dan ia tak
tahan terkena panas matahari, akhirnya bayi itu
mati kering seperti tanaman kurang air."
"Kurasa dia di sini juga tertekan," kata Lanang
kepada Andini.
Andini mengangguk.
Gadis itu mendengar, dan menyahut, "Benar.
Aku memang tertekan. Tapi aku harus menunai-
kan tugasku jika aku ingin tetap selamat, dan bisa
kembali ke rumah keluargaku."
"Kalian dibekali ilmu tinggi dari Nyai?" tanya
Lanang.
"Ya. Dan itu kesempatan bagiku untuk menca-
ri kelengahan dan kesempatan kabur dari sini.
Nyai memang berilmu tinggi. Tak ada yang bisa
membunuhnya, karena ia bisa berubah menjadi
bayangan yang tak mampu ditebas pedang atau
senjata apa pun...."
"Puri Sendang Bangkai!" seru Lanang seperti
baru saja menemukan satu ingatan yang sejak ta-
di dipikirkan. Ya, suara perempuan yang dipanggil
Nyai itu persis dengan suara Peri Sendang Bang-
kai. Ilmu yang dimiliki Nyai juga sama dengan il-
mu yang dimiliki Peri Sendang Bangkai, atau Gus-
ti Dalem yang pernah berkuasa di Tebing Neraka.
Merinding bulu kuduk Lanangseta setelah ta-
hu, bahwa perempuan cantik berjubah biru tipis
itu adalah perubahan wujud Peri Sendang Bangkai
atau Gusti Dalem. Perempuan itu dulu pernah
menculik Lanang dan Ekayana untuk dijadikan
bibit unggul. Rupanya Peri Sendang Bangkai yang
nama aslinya Areswara itu, mempunyai serang-
kaian kegiatan kejahatan dengan tujuan sama, da-
ri sejak peristiwa Rahasia Sendang Bangkai, sam-
pai peristiwa Gerhana Tebing Neraka, dan seka-
rang ini, ia masih tetap bertujuan sama: yaitu
menciptakan satu keturunan yang akan mengua-
sai dunia dengan ilmu-ilmu dahsyatnya dan kelai-
nan-kelainan fisiknya.
"Dia musuh lamaku, Andini."
"Aku tahu. Tapi tidak kubiarkan kau menyele-
saikannya sendiri. Aku harus mendampingimu,
Lanang," kata Andini.
Gadis itu menyahut. "Jangan! Kalian akan ce-
laka! Apalagi seorang lelaki, ia akan menggunakan
ilmunya yang paling dahsyat untuk menundukkan
lelaki itu, sehingga kelak akan menjadi budak naf-
sunya."
"Kau dengar itu, Lanang?" kata Andini. "Kura-
sa ada baiknya kalau aku saja yang menyelesai-
kan urusan ini.... Aku tak ingin dia berhasil me-
renggut mu tiap malam...."
Lanang baru saja akan menjelaskan maksud-
nya kepada Andini, tetapi mulutnya mendadak tak
jadi berucap kata, karena tahu-tahu ia harus me-
lesat ke atas dan berguling di udara beberapa kali.
Sebuah serangan tak terlihat mata. Serangan itu
berupa jarum-jarum hitam yang beracun ganas.
Jumlahnya lebih dari seratus mata jarum. Dan
Lanangseta berhasil menghindar. Pada saat itu,
terdengar pula tawa seorang lelaki yang segera
menampakkan diri beberapa langkah dari tempat
gadis berikat kepada merah tertawan.
"Lanangseta.... Ahai, punya gundik pula kau
rupanya!"
"Prabima...?!" Lanangseta menggeram dan ter-
bakar darahnya teringat peristiwa yang pernah di-
alami bersama Prabima Wardana, (dalam kisah
Pedang Semerah Darah) yang nyaris merenggut
nyawa Kirana.
"Lanang, dialah orang yang pernah mau mem-
perkosaku!" teriak Andini. "Hei, Setan... sekarang
saatnya aku menebus kekalahanku tempo hari,
hiiaaaat...!!"
Andini meloncat dengan pukulan diarahkan ke
Prabima. Tapi Prabima mengibaskan tangannya
bagai menepiskan nyamuk, dan pada saat itu tu-
buh Andini terlempar bersama satu pekikan tertahan.
"Bangsat kau, Prabima...!" Lanangseta hendak
menyerang. Namun, Prabima segera mengeluarkan
tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikan di
belakang. Ia berseru:
"Berhenti, Lanang! Atau bunga ini ku makan
sekarang juga, ha... ha... ha...."
Gerakan Lanang tertahan seketika setelah ia
tahu bahwa Prabima membawa bunga Teratai
Wingit dan mengancamnya hendak memakan. La-
nangseta jadi tegang. Kalau bunga itu dimakan
Prabima, maka habislah riwayat cinta kasihnya
dengan Kirana. Sebab itu ia harus hati-hati. Pra-
bima memegang bom yang sewaktu-waktu bisa
meledak.
"Ikut aku, Lanang. Kalau kau membangkang,
maka bunga ini akan ku makan di depanmu! Se-
karang kau harus ikut aku menghadap Nyai Ka-
tri...!"
"Bertarunglah secara ksatria, Prabima...!"
"Oh, itu soal nanti. Tetapi sekarang kau harus
menurut padaku. Ikut aku, menghadap Nyai, agar
Nyai merasa bangga dan gembira, sebab ia pasti
membutuhkan bibit keturunanmu. Dan, kuja-
min... kau akan ketagihan dengannya Lanang.
Kau harus bersekutu dengannya, sebab dialah
yang akan memberimu segala yang kau cari di da-
lam seorang perempuan!"
"Tidak! Jangan paksa dia menghadap Iblis Pu-
lau Kramat itu! Tidaaakk...!" Andini yang ketaku-
tan segera melayang seraya tangan kanannya ber-
gerak memukul Prabima dengan tenaga dalam
yang disebut pukulan Bidadari Senja. Prabima me-
lesat dalam satu loncatan, dan pukulan itu men-
genai perut gadis yang masih tertawan dalam kea-
daan telentang di tanah. Akibatnya, gadis itulah
yang meregang menemui ajal dengan perut menjadi hitam seketika.
Lanangseta menggunakan kesempatan itu un-
tuk bersalto ke arah Prabima. Hampir saja Prabi-
ma lengah dengan bunga di tangannya. Ia masih
bisa berkelit menghindari bunga dari raihan tan-
gan Lanang. Tapi pada saat itu tubuh Andini me-
luncur cepat ke arah Prabima, membuat Prabima
terpaksa berguling-guling di tanah. Dan Lanang
segera mengimbangi gulingan itu sehingga pan-
dangan Prabima menjadi kacau. Prabima berhasil
melentikkan tubuh ke udara, tapi Andini segera
menyerang dengan pukulan Bidadari Senja yang
membuat Prabima jadi terteter menghindarinya. Ia
bersalto lagi. Lanangseta memapaskan dengan ge-
rakan bersalto juga, dan berhasil menendang
pinggang Prabima. Tubuh Prabima melayang di
udara. Belum sampai mendarat ke tanah, Andini
menyongsongnya dengan suatu tendangan ber-
ganda dan mengenai dagu Prabima. Tubuh Prabi-
ma melesat karena tersentak tendangan kaki An-
dini. Ia segera menjaga keseimbangan tubuh den-
gan merentangkan kedua tangan dan me-letakkan
posisi kakinya untuk mendarat dengan tegap.
"Hiaaaat...!!"
Kaki Prabima berhasil berdiri tegap di tanah,
namun suara pekikan itu mengejutkan dia. Suara
itu datang dari arah belakangnya. Sesosok tubuh
melayang dan menyambar bunga teratai dari tan-
gan Prabima. Tubuh itu jatuh di depan Lanangseta
dengan teriakan kesakitan karena ia jatuh dalam
posisi pinggang membentur batu.
"Aadooouuhh...!!" teriaknya seraya memegang
bunga teratai di tangannya.
"Jaka Bego...?!" teriak Lanang terkejut melihat
Jaka Bego sudah berada di situ dan dalam kea-
daan memegang bunga teratai.
Prabima menyerang Jaka Bego, tetapi suara
dari belakangnya membuat gerakan Prabima ter-
henti.
"Cukup Putra Tunggal...! Serahkan dia pada-
ku...!"
"Oh, rupanya kau turun tangan juga, Peri Sen-
dang Bangkai," kata Lanangseta dengan geram.
Saat itu, Prabima mundur, dan Peri Sendang
Bangkai maju.
"Kau masih mengenaliku, Lanangseta?! Ba-
gus!"
Jaka Bego segera berkata, "Lanang... bawa
bunga ini dan larilah...! Lekas, lari... bawa kabur
bunga ini...!"
Lanang telah memegang bunga Teratai Wingit,
namun ia masih bimbang dengan saran Jaka Be-
go. Jaka berseru lagi, "Lekas lari, biar ku rayu pe-
rempuan itu, tolol! Lari...!" Jaka Bego terpaksa
menendang Lanangseta. Tendangannya begitu
kuat dan Lanang pun terpental jauh. Kemudian
Andini menggeret tangan Lanang seraya berkata,
"Ayo, lari...! Larilah...! Aku yang melindungimu da-
ri belakang!"
"Putra Tunggal, kejar dan tangkap mereka...!!"
teriak Peri Sendang Bangkai yang di situ disebut
Nyai Katri. Prabima melesat mengejar Lanang dan
Andini, sementara itu, Jaka Bego yang hendak
bergerak menjadi diam bagaikan robot. Ia telah
terhipnotis oleh kekuatan Nyai Katri dan berjalan
mengikuti Nyai Katri menuju rumah panjang itu.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar