BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE RAHASIA GOLOK CINDARBUANA


https://matjenuhkhairil.blogspot.com



RAHASIA GOLOK CINDARBUANA

Oleh Freddy S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin 

tertulis dari penerbit

Fredy S.

Serial Pendekar Gagak Rimang

dalam episode

Rahasia Golok Cindarbuana


SATU


Suara derap langkah kuda memecah 

keheningan suasana. Keadaan yang sunyi 

senyap itu pun harus terpecahkan oleh 

hentakkan kaki kuda yang dijalankan den-

gan cepat, lalu suara itu pun melambat 

dan perlahan-lahan. Hanya seperti bunyi 

ketukan yang berirama.

Dan terdengar pula suara binatang 

yang berlarian karena merasa ketenangan 

mereka terganggu dengan terdengarnya de-

rap langkah kuda yang mendatangi tempat 

mereka itu.

Suasana hutan yang cukup lebat tadi 

sebenarnya amat hening. Suasana di sana 

pun teramat mencekam. Sepertinya hutan 

itu, jarang didatangi orang.

Namun seorang pemuda yang berpa-

kaian putih-putih dengan wajah sebagian 

yang tertutup-caping di kepalanya itu, 

menghentikan laju kudanya. Nampak sepa-

sang mata bening yang awas itu memperha-

tikan sekelilingnya.

"Hmm... agaknya tempat ini cukup 

cocok bagiku beristirahat," katanya dalam 

hati. Lalu dia menjalankan kudanya perla-

han-lahan. Matanya tetap memperhatikan 

sekelilingnya.

Tak lama kemudian pemuda berbaju 

putih dengan sebuah golok di punggungnya 

itu pun turun dari kudanya dan menam


batkan kudanya pada sebatang pohon. Golok 

yang ada di punggungnya nampak agak aneh. 

Sarungnya terbuat dari kulit kayu yang 

berlapiskan timah berwarna kuning.

Pemuda itu kembali memperhatikan 

sekelilingnya. "Hmm... nampaknya hutan 

ini tak pernah di jamah orang. Binatang-

bina-tang nampak begitu gembira berlarian 

ke sana ke mari tanpa kuatir diganggu 

oleh tangan-tangan manusia yang jahat. 

Ah, kehidupan seperti inilah yang sebe-

narnya amat ku dambakan. Tenang. Bersih. 

Jauh dari segala orang-orang yang bermak-

sud jahat dan hendak berbuat jahat. Tapi 

agaknya, di muka bumi ini kejahatan itu 

akan terus berlangsung selama manusia ma-

sih ada. Sampai kapan pun. Hingga akhir 

kiamat nanti!" desisnya sambil mengusap 

dagunya yang kukuh. Wajahnya tertutup 

oleh sebagian caping yang menutupi kepa-

lanya. Namun melihat dari bentuk wajah 

dan dagunya, sudah bertanda dia adalah 

seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Lalu siapakah dia sebenarnya?

Pemuda berbaju putih dengan memakai 

caping itu tak lain adalah Pandu atau 

Pendekar Gagak Rimang. Murid dari Eyang 

Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-

dul, memang sedang berkelana. Dalam pen-

gelanaannya dia sudah banyak terlibat da-

lam satu bentuk kehidupan manusia. Di ma-

na ada yang baik, berpura-pura baik dan


ada yang jahat. Sifat manusia itu sukar 

dicari tolak ukurnya yang pasti. Karena 

hanya Yang Maha Kuasalah yang mengetahui 

apa yang tersimpan di dasar sanubari ma-

nusia.

Dan Pandu semakin yakin, bahwa ke-

hidupan ini sukar untuk berdampingannya 

kejahatan dan kebaikan. Tidak akan pernah 

bisa. Karena keduanya nampak saling ber-

musuhan.

Inilah sifat manusia yang mendasar 

namun sukar untuk diketahui secara pasti.

Lalu murid Eyang Ringkih Ireng dari 

Gunung Kidul itu pun melangkah ke mata 

air yang terdapat di sana. Dia minum den-

gan sepuasnya dan membasuh mukanya. Tera-

sa sugar sekali.

Dan ketika dia baru saja hendak 

kembali, tiba-tiba pendengarannya yang 

terlatih mendengar gerakan-gerakan yang 

mencurigakan. Pandu pun menjadi waspada. 

Namun dia tetap melangkahkan kakinya den-

gan ketenangan yang meyakinkan dan pasti.

"Hm... rupanya ada manusia-manusia 

iseng yang ingin bermain-main denganku," 

desisnya. "Hmm... baiknya aku lihat saja 

siapa orang-orang ini. Dan apa yang mere-

ka inginkan dariku, hah?!"

Dan langkahnya semakin pasti. Pandu 

bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa.

Dugaannya pun menemui kenyataan, 

karena tiba-tiba saja meluncur tiga buah


tali yang di ujungnya terdapat sebuah be-

si tajam dan menuju deras ke arahnya.

"Siiinggg!!"

"Siiingg!!"

"Siiingg!!"

Merasakan ada desiran angin yang 

keras menerpa ke arahnya, Pandu segera 

mengempos tubuhnya berjumpalitan ke atas. 

Dan ketika besi yang terikat di tiga buah 

tali itu pun menancap ke tanah. Barulah 

Pandu melihat benda apa yang menyerang-

nya. Dia menggeram.

"Bangsat! Apa maunya orang-orang 

ini!"

Tiba-tiba saja ketiga besi yang me-

nancap di tanah itu tercabut. Dan bagai-

kan mempunyai mata yang bisa melihat sa-

sarannya, ketiga besi itu bergerak lagi 

ke arah Pandu.

Bersamaan sehingga angin yang di-

timbulkan ketiga besi itu teramat kuat, 

berdesir membuat bulu roma berdiri.

"Heit!" Pandu membentak seraya men-

gempos tubuhnya kembali ke udara. Gera-

kannya ringan sekali dan instingnya ber-

bicara penuh naluri. Ketiga besi itu lu-

put mengenai sasarannya. Namun sebelum 

dia hinggap kembali di tanah, salah satu 

besi itu berbalik dan meluncur kembali 

dengan deras ke arah punggungnya.

Hampir saja punggung murid Eyang 

Ringkih Ireng itu bolong bila saja dia


tidak segera berguling ke kiri.

"Bedebah!" makinya geram. Lalu den-

gan satu gerakan yang ringan pula dia 

berdiri. 

"Hei, manusia-manusia busuk! Ke 

luaaaar kalian!"

Tak ada sahutan.

"Bangsat! Beraninya jangan hanya 

main bokong saja!!" bentaknya pula, keras 

dan suaranya menggema di seluruh hutan 

itu, membedah keheningan.

Tetap tak ada sahutan.

Hanya desir angin yang terdengar.

Beberapa binatang malam pun segera 

kembali ke sarang mereka, karena naluri 

mereka seakan menangkap satu gerakan yang 

berbahaya yang akan terjadi.

Menggeram marah Pandu membentak la-

gi, "Anjing-anjing kurap! Tampakkan ba-

tang hidung kalian yang tidak tahu malu 

bisanya hanya membokong saja!"

Tetap tak ada sahutan. Sepertinya 

orang-orang gelap yang menyerang itu me-

mang ingin mempermainkannya. Mereka mem-

biarkan saja pemuda bercaping itu berse-

ru-seru.

Menyadari hal itu, Pandu menggeram 

dalam hati.

"Bangsat! Mereka memang ingin main-

main denganku," desisnya. "Tetapi menen-

tukan di mana posisi mereka, sulit juga 

buatku."


Dia berseru kembali.

"Hei, bangsat-bangsat pengecut, ayo 

tampakkan batang hidung kalian! Jangan 

hanya bisanya main bokong secara pengecut 

seperti anak perempuan!!"

Tetap tak ada sahutan.

Pandu semakin bertambah geram.

Dia kepalkan kedua tangannya. Ma-

tanya awas memperhatikan sekelilingnya. 

Namun kegelapan malam membuatnya semakin 

bertambah kegelapan. Bukan apa-apa, dia 

memang telah digembleng oleh Eyang Ring-

kih Ireng untuk melihat dalam gelap. Na-

mun saat ini bukankah dia harus mencari 

manusia yang membokongnya?

Pandu berseru lagi, "Bila kalian 

memang jantan, tampakkan batang hidung 

kalian! Bila memang kalian bersembunyi, 

tentulah kalian adalah orang-orang yang 

pengecut! Ayo tampakkan batang hidung ka-

lian!!"

Tetap tak ada sahutan.

Malah secara tiba-tiba sebagai ja-

waban dari bentakkannya, ketiga tab beru-

jung besi tajam itu meluncur kembali ke 

arahnya.

"Bangsat!" maki Pandu seraya meng-

hindar.

Tetapi ketiga tali berujungkan besi 

tajam itu seakan mempunyai mata. Kali ini 

tak memberi kesempatan lagi bagi Pandu 

untuk berdiam sedetik pun. Ketiganya te


rus bergerak, kadang bersamaan kadang 

berlainan arah datangnya, namun sasaran-

nya satu, tubuh Pandu!

Setiap detik agaknya maut bagi Pan-

du bila dia tidak bergerak dengan cepat. 

Ujung-ujung tali itu siap untuk mencabut 

nyawanya.

"Keparat!" maki Pandu yang tunggang 

langgang menghindari serangan tali beru-

jung besi tajam itu.

Tiba-tiba salah sebuah tali melun-

cur ke arah kepalanya, Pandu berkelit. 

Namun tali berujung besi itu secara tiba-

tiba memutar dan mengancam dari belakang.

"Sialan!!" makinya seraya bergulin-

gan. Dan tak ada kesempatan baginya untuk 

bernafas sejenak.

Ketiga tali berujung besi tajam itu 

kembali menyerangnya.

"Bangsat! Baiklah, kita lihat siapa 

yang lebih unggul!!" maki Pandu.

Dia langsung melompat ke kiri begi-

tu sebuah tali mengarah padanya. Pandu 

sengaja berkelit ke arah pohon. Dan keti-

ka tali berujungkan besi itu mengarah pa-

danya, dia langsung melompat.

"Cep!"

Ujung besi itu menancap di batang 

pohon tadi. Sebelum tali itu bisa lepas, 

Pandu segera bergerak cepat. Membentak 

tali itu dengan keras. Dan dari salah sa-

tu pohon, meluncur sosok tubuh dengan


lengkingan keras ke tanah.

Pada saat itu dua buah tali beru-

jung besi yang lain tengah meluncur ke 

arahnya! Pandu bergerak cepat dan bertin-

dak di luar dugaannya.

Dia menyongsong kedua besi tajam 

itu sedang tangannya masih memegang tali 

yang penyerangnya jatuh ke tanah. Ketika 

kedua besi itu akan menancap ke tubuhnya, 

tiba-tiba Pandu melenting lebih tinggi. 

Dan menarik dengan keras tali yang dipe-

gangnya hingga pemiliknya terbawa dan me-

nyongsong kedua tali berujung besi tajam 

itu. Tanpa ampun lagi, kedua besi tajam

itu menembus tepat di jantung dan tenggo-

rokan orang itu.

Seketika terdengar jeritan kematian 

yang keras, merobek keheningan malam.

"Aaaaakkkkhhhh!!!"

Dari salah sebuah pohon yang ada di 

sana terdengar seruan kaget, "Tambon!"

Pandu yang sudah hinggap di tanah, 

melirik ke arah suara itu. Berarti manu-

sia penyerangnya itu bercokok di sana. 

Dan samar-samar dia melihat sebuah bayan-

gan sosok tubuh yang berdiri di salah sa-

tu dahan.

Dengan gerakan yang cepat dia ber-

guling mengambil sebuah kerikil dan me-

nyambitkannya ke atas.

"Tuk!"

Kerikil itu tepat menotok urat kaku


si orang tadi, hingga orang itu terdiam 

kaku. Dan tidak menyangka kalau pemuda 

yang diserangnya dapat menotok dengan se-

buah kerikil kecil dari jarak jauh.

Tubuh kaku orang itu tidak sampai 

jatuh, karena terhalang dahan pohon.

"Hm... tinggal yang seorang lagi," 

desis Pandu dalam hati. Tetapi Pandu ti-

dak perduli mencari karena orang itu su-

dah meloncat turun dan berdiri di hada-

pannya.

Dia seorang laki-laki bertubuh te-

gap dengan wajah yang menakutkan. Wajah-

nya penuh kumis, cambang dan brewok. Se-

perti gendoruwo kalau di lihat malam be-

gini.

Wajah itu beringas dengan sepasang 

mata berkilat-kilat berbahaya.

"Hahaha... akhirnya kau muncul ju-

ga, Setan!" Pandu terbahak begitu melihat 

kemunculan orang itu.

Orang itu mengeram berat. Marah ka-

rena merasa diremehkan, dan marah karena 

salah seorang kawannya harus mati di ma-

kan ujung tali yang terikat sebuah besi 

miliknya sendiri.

"Jangan tertawa kau, Bangsat! Kau 

telah membunuh temanku!!" geramnya.

"Hahaha... membunuh? Bukankah kau 

sendiri yang membunuhnya dengan senjata 

mu itu?!" balas Pandu seenaknya.

Yang membuat wajah laki-laki itu


memerah.

"Bangsat! Kau harus mengganti nyawa 

temanku itu, Setan!!"

"Hahaha... baiklah, bila memang aku 

yang membunuh, aku telah siap untuk meng-

ganti. Tapi... tentunya bila kau mampu 

untuk mencabut nyawaku...."

"Kau terlalu sombong!!"

"Hahaha... baik, baik... tetapi ka-

takanlah dulu siapa kalian dan mengapa 

kalian menyerangku? Setahuku, kita tak 

pernah bertemu sebelumnya! Dan kita pun 

tak punya silang sengketa!"

"Jangan banyak bacot, Bangsat! Bila 

kau ingin selamat, serahkan Golok Cindar-

buana itu padaku! Kalau tidak, kugorok 

lehermu!!"

Walau kini mengerti, mengapa orang-

orang itu menyerangnya tetapi Pandu he-

ran. Mengapa golok ini diincar orang-

orang ini? Hmm, ada apa dengan golok ini? 

Dia kembali menatap. wajah seram di hada-

pannya.

"Kalau aku tidak memberikan, kau 

mau apa?" kata Pandu dengan nada menan-

tang. Padahal dia bermaksud mengorek ke-

terangan lebih lanjut sebab apa orang-

orang ini menginginkan golok yang tersam-

pir di punggungnya.

"Akan kurebut secara paksa golok 

itu! Dan kuhabisi nyawa kau, Pemuda gen-

deng!!"


"Hmm... apakah kau yakin golok yang 

hendak kau rebut dari tanganku ini Golok 

Cindarbuana?"

"Cepat serahkan golok itu padaku!!"

"Hahaha... mengapa kau tidak segera 

mengambilnya dariku?!"

"Bangsat! Kubunuh kau!!"

"Hahaha... apakah kau mampu, heh? 

Silakan, kedua tanganku terbuka untuk me-

nyambutmu!"

Diejek seperti itu, semakin mengge-

ram orang berwajah seram itu. Dia memang-

gil-manggil kawannya yang di atas, tetapi 

sekian lama dia memanggil kawannya itu 

tidak turun-turun.

Pandu mentertawakannya.

"Biar sampai habis suaramu, temanmu 

tak akan muncul, Orang jelek! Dia telah 

ku totok! Dan kini menjadi kaku seperti 

batang pohon!!"

"Bangsaaaat!!" geram si jelek sam-

bil memutar tali berujung besinya dan me-

nimbulkan suara angin yang besar, berdes-

ing-desing.

Begitu dingin dan menyeramkan.

Pandu pun segera bersiap. Dia tetap 

heran, kenapa orang ini menginginkan go-

lok pemberian gurunya, Golok Cindarbuana? 

Mengapa? Kenapa?

Dan siapa sebenarnya orang ini? 

Apakah memang dia dan temannya yang men-

ginginkan Golok Cindarbuana, ataukah ma


sih ada orang lain yang menyuruhnya? Dan 

apa sebenarnya yang diinginkan orang ini 

dari golok pemberian gurunya ini?

Tetapi Pandu tidak sempat berpikir 

panjang lagi, karena tali berujung besi 

itu sebenarnya jauh lebih mudah, tetapi 

jurus-jurus tali yang di mainkan lawannya 

lebih dahsyat dari yang tadi. Nampaknya 

dia lebih leluasa memainkan jurus-

jurusnya di tanah. Juga tidak terganggu 

oleh kedua senjata kawannya tadi.

Pandu sendiri sudah memainkan jurus 

berkelitnya dari rangkaian jurus Gagak 

Rimang-nya. Hingga sukar bagi lawannya 

untuk mengenai sasaran yang tepat. Ini 

membuat lawannya murka.

Kembali dia memperlihatkan keheba-

tan permainan tali berujung besi tajam 

itu. Ujung besi itu berdesing-desing 

hingga menimbulkan suara seperti tawon 

yang sedang marah.

Tetapi Pandu tidak mau ayal lagi, 

mendadak dia melompat ke belakang dan me-

lontarkan pukulan sinar putihnya yang am-

puh! Sekaligus mencoba kembali!

Seberkas sinar terang melesat ke 

arah tali berujung besi itu yang sedang 

mengarah padanya.

"Tes!"

Sinar itu menyambar tepat dan memu-

tuskan tali itu hingga terpisah dari 

ujung besinya.


Orang itu terkejut dan menggeram. 

Biarpun senjatanya telah dimusnahkan te-

tapi dia tidak takut. Lawan Pandu ini 

adalah orang yang telah matang dalam du-

nia kekerasan.

Maka dia pun segera melengking dan 

melesat dengan jurus tangan kosongnya.

Pandu pun segera menyambutnya den-

gan jurus Patuk Bangaunya yang telah di-

latihnya selama sepuluh tahun lamanya. 

Inilah jurus-jurus sakti dan telah ditu-

runkan Eyang Ringkih Ireng kepada murid 

tunggalnya. Jurus Pukulan Patuk Gagak Ri-

mang.

Kembali di tempat itu terjadi per-

kelahian yang hebat. Kali ini masing-

masing bertangan kosong. Dan saling mem-

perlihatkan kehebatan mereka.

Kadang saling memukul, bertahan, 

menendang, menangkis, menghantam, juga 

menghindar. Keduanya benar-benar dalam 

kondisi puncak bertarung.

Mendadak lawan Pandu berputar dan 

tubuhnya berguling di tanah dan bergerak

dengan cepat sekali ke arah Pandu. Pandu 

terkejut, dia berusaha untuk melompat ka-

lau tidak mau kemaluannya di sodok tangan 

yang sekokoh besi.

Tetapi terlambat, karena meskipun 

gagal mengenai sasaran yang diincar, tan-

gan orang itu telah menghantam betis Pan-

du, yang loncatannya menjadi kacau dan


hilang keseimbangannya.

Tubuh Pandu ambruk ke tanah. Sung-

guh aneh jurus yang di mainkan orang itu.

Orang itu berdiri kembali dan ta-

wanya pun menggema keras.

"Hahaha... lebih baik kau serahkan 

Golok Cindarbuana padaku!!" serunya.

Pandu menahan rasa sakit di betis-

nya.

"Hhh! Sejengkal pun aku tak akan 

mundur darimu! Dan tak akan pernah kube-

rikan golok ini padamu!!"

"Hahaha... jangan main-main dengan 

Tiga Malaikat Pencabut Nyawa, Anak muda! 

Bila kau penasaran ingin tahu siapa 

aku... hahaha... namaku Jimbun. Kau telah 

merasakan kehebatan Jimbun bukan?"

"Bangsat!!"

"Hhh! Cepat serahkan golok itu pa-

daku?! Atau... kutebas lehermu itu!!"

"Kau banyak omong juga rupanya, 

Jimbun! Bila kau memang menginginkan nya, 

ambil dari tanganku!!"

"Bangsat! Kutebas lehermu!!"

"Kau belum membuktikan leherku kau 

tebas!!" bentak Pandu tak kalah geramnya. 

Dia baru saja turun gunung, dia masih be-

lum tahu akan kelicikan orang-orang di 

dunia luar.

Dia belum tahu kalau ilmu yang te-

ramat keji, semacam ilmu yang dilancarkan 

oleh orang yang bernama Jimbun tadi. Dia


kalah pengalaman, dan hal inilah yang 

membuat pengalamannya bertambah.

Dia harus berhati-hati mengahadapi 

jurus lawannya yang tadi!

Pandu mencoba berdiri. Hmmmp! Kaki 

kanannya terasa agak sakit. Dan perlahan-

lahan dia mengalirkan tenaga dalamnya ke 

kaki kanannya.

Dan perlahan-lahan pula dirasakan-

nya sudah agak membaik. Dan dia bergidik 

mengingat jurus aneh yang dilancarkan 

orang bernama Jimbun ini tadi!

Dan Pandu lebih terkejut mengingat 

tugas yang diembannya belum mendapatkan 

hasil apa-apa. Malah kini dia mendapat 

halangan dari orang yang ingin merebut 

Golok Cindarbuana.

Hmm... dia harus segera membereskan 

orang ini. Lalu dia membentak, "Hhh! Ka-

takan... siapa yang menyuruhmu dan kedua 

temanmu itu untuk merebut golokku ini?!"

"Hahaha... rupanya kau belum tahu 

riwayat golok sakti itu, Anak muda!"

"Apa maksudmu?!"

"Perduli apa maksudku! Hhh! Dari 

mana kau dapatkan golok itu?!"

"Itu urusanku!" sahut Pandu keras. 

"Tak layak orang sepertimu diberitahu!"

"Jawab pertanyaanku. Kalau ti-

dak...."

Pandu telah memotong lebih cepat, 

"Kau sudah mulai mengancam lagi? Tetapi


mengapa sejak tadi tidak kau buktikan an-

camanmu itu, hah?!"

"Bangsaaaat!! Kau memang mau mampus 

rupanya! Cepat serahkan golok itu pada-

ku!!" Sambil membentak keras, tubuh Jim-

bun menyerbu maju dengan pukulan lurus ke 

depan, ke arah dada Pandu.

Pandu hanya tersenyum saja. Meski-

pun nampaknya tenang, namun dia dapat me-

rasakan angin besar akibat tubuh dan do-

rongan tangan dari Jimbun.

Itu menandakan tenaga dalamnya te-

lah terkumpul di tangan dan membentak sa-

tu pertahanan tenaga yang amat kuat.

Tubuh itu pun semakin meluncur.

Pandu yang sudah mendapatkan penga-

laman pahit tadi, kini menjadi lebih ber-

hati-hati. Pada gebrakan pertama dia me-

nyambut pukulan Jimbun dengan tangkisan 

tangan kanannya.

"Des!"

Pandu dapat merasakan kalau tenaga 

dalam lawannya cukup besar. Jimbun sendi-

ri merasakan tangannya cukup ngilu. Dia 

meneruskan serangannya dengan satu ten-

dangan yang cukup kuat.

Ke arah ulu hati Pandu.

Pandu menangkis serangan itu dengan 

ayunan siku kanannya. Dan dengan gerakan 

yang mendadak dia memutar, tangan kanan-

nya tadi diteruskan pada satu gerakan 

yang cepat, mengarah hendak menyambar ke


pala lawan.

Luput, karena Jimbun dengan cepat 

menarik kepalanya. Dan langsung melancar-

kan pukulan lagi ke perut Pandu.

Diam-diam Pandu mendesis kagum da-

lam hati, "Hmm... rupanya manusia ini me-

miliki kepandaian yang cukup lumayan."

Serangan yang dilancarkan Jimbun 

tadi dihindarinya dengan satu gerakan me-

miringkan tubuhnya dan menggeser kakinya 

satu langkah. Gerakan itu sungguh cepat.

Keduanya saling serang.

Namun Pandu kali ini lebih mengan-

dalkan jurus berkelitnya. Tubuhnya dengan 

lincah berkelit ke sana ke mari. Dengan 

maksud hendak menguras tenaga Jimbun.

Jimbun sendiri menjadi penasaran. 

Dia merasa dipermainkan karena sejak tadi 

tak satu serangan pun yang berhasil men-

genai sasarannya.

"Anjing buduk!" makinya. "Jangan 

hanya bisa menghindar saja kau, Setan!"

Pandu terbahak.

"Bukankah dengan begini ketahuan 

bahwa kau sesungguhnya tidak memiliki ge-

rakan yang patut di andalkan, bukan?" se-

ru Pandu dan terus menghindar.

Mendengar kata-kata yang penuh eje-

kan itu, membuat Jimbun semakin meradang. 

Dia pun menjadi buas. Dan serangan-

serangannya jadi sukar terkendalikan. Te-

naganya banyak yang terkuras karena ter


lalu bernafsu menyerang.

Hal inilah yang sejak tadi diingin-

kan Pandu. Dengan banyak tenaga yang ter-

kuras dari Jimbun, semakin membuat seran-

gannya bertambah kacau balau. Banyak se-

rangannya yang tidak terarah lagi.

"Hahaha... lebih baik kau menyerah 

saja dan berlutut mencium kakiku. Niscaya 

aku akan memaafkanmu...." seru Pandu sam-

bil terus menghindar.

"Bangsat! Rupanya kau hanya bisa 

menghindar saja, Pengecut!"

"Hahaha... baik, baik... bila kau 

ingin melihat aku menyerang. Dan jangan 

salahkan aku bila kau akan kewalahan. Bu-

kankah kau sendiri yang menginginkan-

nya!"

"Buktikan, pengecut!"

"Kau lihatlah. Tahan serangan!" se-

ru Pandu sambil berjumpalitan ke depan, 

dan langsung menyerang begitu hinggap di 

tanah.

Kecepatan jurus Pukulan Patuk Gagak 

diperlihatkan dengan sempurna. Sejenak 

Jimbun tertegun melihatnya. Namun di de-

tik lain dia pun harus berusaha menghin-

dari serangan yang secara beruntun itu di 

lancarkan oleh Pandu. Ini membuatnya se-

dikit kewalahan.

Dan susah payah dia menghindari hal 

itu.

Pandu terbahak melihat lawannya


tunggang langgang menghindar.

"Hahaha... maafkan aku, Kawan... 

Bukankah kau yang meminta hal itu?"

"Anjing!"

"Hahaha... kini terimalah pelajaran 

pertama dariku!" desis Pandu dan memper-

gencar serangannya.

Gerakannya semakin cepat.

Dua kali pukulan Patuk Gagak berha-

sil mengenai tubuh Jimbun hingga ter-

huyung. "Des!" "Des!"

Di saat tubuh itu masih terhuyung 

kehilangan keseimbangannya, tubuh Pandu 

bergerak lagi dengan cepat.

Menotok jalan darah Jimbun hingga 

kaku.

Pandu menghentikan gerakannya. Wa-

jah yang sebagian tertutup caping itu 

tersenyum.

Dihampirinya tubuh Jimbun yang ma-

sih dalam keadaan kaku.

"Maafkan aku, kawan. Bukankah kau 

yang memaksaku untuk berbuat seperti 

ini?"

"Anjing buduk! Lepaskan totokanmu! 

Kita kembali bertarung!"

"Hmm... nampaknya kau sudah tidak 

mampu untuk melawanku. Lebih baik kau te-

nang saja dalam keadaan dirimu yang se-

perti ini."

Sepasang mata itu terbelalak gusar. 

Berpendar sinar marah dan dendam. Kala


mulut yang menguarkan bau busuk itu hen-

dak berucap lagi, dengan cepat Pandu 

menggerakkan tangannya. menotok urat ga-

gunya hingga mulut itu kaku dan dalam po-

sisi terbuka.

Dan mata itu terlihat semakin kasar 

melotot.

Pandu hanya tersenyum.

"Hhh... sayang, aku lagi malas bi-

cara. Bila tidak, kupaksa kau untuk men-

gatakan siapa yang menyuruhmu dan kedua 

temanmu itu berbuat seperti ini padaku!"

Mulut itu tetap terbuka, tanpa men-

geluarkan suara. Matanya saja yang nampak 

melotot, yang seakan menggantikan fungsi 

mulutnya untuk bicara.

"Hahaha... kau kesal denganku, bu-

kan? Tak perlulah kau sesali. Bukankah 

semua ini kau yang meminta?"

Sepasang mata itu semakin mendelik.

"Hmm... tadi kupikir aku bisa ber-

malam di sini, namun rupanya seleraku un-

tuk tidur di hutan ini jadi hilang. Tentu 

kau tahu bukan, di mana desa yang terde-

kat dari sini? Hahaha... tak usah, tak 

usahlah kau memberitahukannya padaku. Aku 

akan mencarinya sendiri. Oh, Tuhan... aku 

lupa... Maafkan aku, kawan... aku lupa, 

kalau kau sekarang tidak bisa bicara," 

kata Pandu sambil menahan tawanya.

Kegeraman Jimbun semakin menjadi-

jadi. Namun dia sungguh tidak berdaya se


karang. Matanya yang tadi garang itu, ki-

ni pun mulai meredup.

Merasa tak berdaya.

Pandu memalingkan wajahnya, menatap 

gunung merapi yang dari kejauhan begitu 

menyeramkan. Samar terselubung oleh kabut 

dan suasana kegelapan yang amat pekat.

"Maafkan aku, Kawan... terpaksa kau 

harus kutinggal di sini bertemankan din-

gin dan kegelapan. Hahaha... soalnya aku 

sudah mengantuk dan perutku lapar tera-

sa!" kata Pandu kemudian. Lalu dia pun 

mengambil kudanya. Dan dengan sekali me-

lompat sudah hinggap di atas kudanya.

Dijalankannya kudanya mendekati 

Jimbun.

"Hmm... maafkan aku, kawan... Sela-

mat berdingin-dingin dan kau tentunya se-

nang bukan ditemani oleh nyamuk-nyamuk 

nakal yang liar?"

Lalu dia pun menggebrak" kudanya 

dengan diiringi tawanya yang mengejek.

Sementara Jimbun hanya bisa melotot 

saja.

Sedangkan Pandu terus memacu ku-

danya menerobos kepekatan malam. Berkali-

kali dia mendengus karena keinginannya 

untuk beristirahat ternyata terganggu.

"Sialan! Dasar manusia-manusia sab-

leng!

Kerjanya hanya mengganggu orang sa-

ja. Dan sungguh sialan, ada apa sebenar


nya dengan Golok Cindarbuana ku ini!"

Memang, sebenarnya sudah lama Pandu 

tidak mengerti. Mengapa banyak orang-

orang yang menginginkan golok pemberian 

gurunya itu. Dia sungguh tidak tahu raha-

sia apa yang terpendam di balik golok 

itu.

Gurunya sendiri tidak menjelaskan 

apa-apa saat pertama dia turun gunung, 

meninggalkan Gunung Kidul yang telah lama 

di diami nya.

"Hmm... mulai saat ini, aku akan 

mencari rahasia apa yang terdapat di ba-

lik Golok Cindarbuana ini," desisnya pe-

nuh keyakinan yang mendalam.

Lalu dipacunya kudanya dengan ce-

pat. Sebenarnya perutnya sudah cukup la-

par. Dan lelah menderanya. Dia sebenarnya 

tidak mengerti mengapa tiba di hutan itu 

tadi.

"Masa bodohlah, yang penting aku 

bisa beristirahat sejenak. Ah, betapa ba-

nyaknya kejahatan di muka bumi ini. Dan 

semuanya menjanjikan keangkaramurkaan."

Kudanya pun terus dipacu ke luar 

dari hutan itu. Dia mengarahkan kudanya 

menuju Tenggara. Beberapa saat kemudian, 

Pandu cukup terkejut ketika melihat sinar 

api dari kejauhan. Berkobar dengan hebat.

Dia menghentikan laju kudanya.

"Gila. Ada pesta apa hingga membuat 

api demikian besarnya?" gumamnya "Atau


penduduk di desa itu memang gila berbuat 

seperti itu? Bermain api? Hm... tapi men-

gapa nampaknya banyak dan seperti terpi-

sah?"

Api yang dari kejauhan di lihat 

Pandu itu memang nampak besar. Dan terda-

pat di beberapa bagian.

Pandu jelas saja menjadi keheranan.

"Hmm... lebih baik aku lihat saja, 

pesta apa yang tengah dirayakan oleh para 

penduduk desa itu."

Lalu dipacunya kembali kudanya me-

nuju ke arah api yang besar itu. Dan se-

sampai di tengah desa itu, dia menjadi 

tercengang.

Tak sadar dia menghentikan kudanya 

dengan menarik kuat tali kekangnya hingga 

kudanya berdiri dan meringkik keras.

"Tenang, Hitam... Tenang...." de-

sisnya.

Matanya kembali memperhatikan kea-

daan di depannya. Sungguh tragis sekali. 

Api besar yang dilihatnya di beberapa ba-

gian itu bukan berasal dari sebuah api 

unggun dalam satu pesta. Melainkan dari 

beberapa rumah penduduk yang terbakar.

"Apa yang telah terjadi sini?" de-

sisnya.

Dia pun melihat sebagian besar pen-

duduk desa itu berlarian ke sana ke mari 

dengan kepanikan yang luar biasa. Juga 

matanya menangkap beberapa sosok tubuh


yang bergeletakan. Ada yang luka parah, 

juga ada yang mati terbakar.

"Oh, Tuhan... siapa yang telah me-

lakukan semua ini?"

Pandu melihat seorang laki-laki se-

tengah baya yang tengah berusaha untuk 

menenangkan orang-orang yang panik itu. 

Dia nampaknya sedikit agak kewalahan ju-

ga, namun lama kelamaan dia pun berhasil 

kelihatannya.

Dan para warga yang berlarian itu 

pun berkumpul di depannya yang berdiri 

tegak.

"Tenang... tenang semua!" serunya 

lantang. "Usahakanlah agar kalian tidak 

menjadi panik adanya. Lebih baik, kita 

padamkan saja api yang masih menyala di 

beberapa rumah! Untunglah Gerombolan Te-

lapak Bara sudah pergi meninggalkan desa 

kita!"

"Tetapi bagaimana dengan anak-anak 

gadis kami yang mereka culik, Ki Lurah?" 

terdengar seruan keras itu di susul den-

gan suara yang ramai.

Pandu yang masih tegak di atas ku-

danya, menjadi paham sekarang. Laki-laki 

yang nampak berwibawa itu bukan lain ada-

lah lurah di desa ini.

*

**


DUA


Dilihatnya Ki Lurah itu nampak 

menghela nafas panjang. Jelas sekali dia 

menjadi masygul dan gundah mendengar ka-

ta-kata yang diucapkan seseorang tadi.

"Yah... itu memang amat kusesali 

sekali. Tetapi lebih baik, kita padamkan 

saja api-api yang masih berkobar itu se-

belum merambat ke yang lainnya!"

Dan terlihatlah beberapa orang se-

gera berusaha memadamkan api. Pandu men-

desah. Dia jadi ingin mengetahui lebih 

banyak apa yang telah terjadi.

Lalu perlahan-lahan di jalankannya 

kudanya ke tengah kerumunan orang-orang 

itu dan ki lurah yang tengah berkata-

kata, sudah tentu kemunculannya menarik 

perhatian mereka. Dan beberapa orang nam-

paknya menjadi curiga, terlihat jelas da-

ri sikap dan tatapan mata mereka.

Pandu yang mengetahui kalau seba-

gian dari mereka menaruh curiga padanya, 

segera turun dari kudanya dan membuka ca-

pingnya. Terlihatlah seraut wajah yang 

tampan, dengan rambut tergerai yang teri-

kat berbentuk kucir kuda.

Beberapa orang gadis yang berada di 

sana diam-diam mendesah dalam hati meli-

hat ketampanan wajah pemuda yang baru da-

tang itu.

"Bukan main, baru kali ini kulihat


pemuda begitu tampan," desis salah seo-

rang.

"Oh, Tuhan... Dewa Kamajayakah yang 

hadir sekarang ini?" desis salah seorang.

Begitu pula dengan para ibu yang 

memiliki anak gadis.

"Andaikata pemuda itu menjadi suami 

Lastri, alangkah bahagianya aku. Dia bu-

kan hanya tampan, namun gagah pula. Oh, 

siapakah dia?"

Namun sebagian pemuda atau laki-

laki yang berada di sana, masih menaruh 

curiga. Siapa pemuda ini? Kapan dia mun-

cul? Mau apa dia muncul? Ataukah... dia 

sesungguhnya adalah teman dari orang-

orang kejam yang menyerang desa kami ta-

di?

Pandu segera menjura.

"Maafkanlah bila kemunculanku men-

gejutkan kalian," katanya sopan. Lalu 

berkata pada Ki Lurah, "Salam hormat dan 

kenal dari ku, Ki Lurah...."

Laki-laki setengah baya yang nampak 

masih gagah itu, mau tidak mau menaruh 

rasa kagum pula melihat kesopanan yang di 

tampilkan oleh si pemuda.

"Anak muda... siapakah kau gerangan 

adanya?" tanyanya sambil memperhatikan 

Pandu.

Pandu tersenyum. Hati beberapa ga-

dis yang berada di sana menjadi galau.

"Ki Lurah... aku datang dari Gunung


Kidul. Nama saya Pandu...." katanya so-

pan.

Dan beberapa orang gadis segera 

mengingat-ingat nama itu dalam hati.

"Anak muda... namaku Perkoso. Aku 

lurah di Desa Batang Muara ini," kata la-

ki-laki setengah baya itu.

Pandu masih memasang senyumnya.

"Ki Lurah... ada apa gerangan yang 

terjadi di desa ini? Dari kejauhan sana 

kulihat api berkobar dengan hebat, mem-

bumbung tinggi. Kupikir ada pesta yang 

tengah diselenggarakan oleh penduduk di 

sini. Namun yang mengherankan ku, mengapa 

api unggunnya terlihat ada di beberapa 

bagian.

Dan yang lebih membuatku terkejut 

lagi, kala dekat kuperhatikan, bukannya 

api unggun, namun api yang membakar bebe-

rapa rumah. Juga kelihatan keadaan yang 

kacau balau. Ki Lurah, bila aku boleh ta-

hu. sebenarnya apa yang telah terjadi?"

Ki Lurah Prakoso mendesah panjang. 

Beberapa orang yang tadi diperintahkan 

untuk memadamkan api, sudah kembali ber-

kumpul. Mereka keheranan melihat Pandu 

berada di sana. Dengan berbisik-bisik me-

reka bertanya siapa dia dan mengetahui 

jawabannya.

"Memang benar, Pandu. Desa ini baru 

saja kedatangan orang-orang kejam yang 

me-namakan diri Telapak Bara...."



"Telapak Bara?" potong Pandu.

"Benar. Mereka amat kejam dan te-

lengas sekali. Dan... oh, Tuhan... mereka 

membunuhi siapa saja. Dan mereka juga 

menculik beberapa anak gadis kami yang 

entah di bawa ke mana."

"Siapakah sebenarnya mereka, Ki?"

"Aku tak tahu. Karena tiba-tiba sa-

ja mereka muncul dan dengan ganasnya me-

nyerang."

"Apa yang mereka inginkan?" "Mereka 

menginginkan anak-anak gadis kami." "Gi-

la!"

"Yang lebih gila lagi, bila permin-

taan mereka tidak kami penuhi...."

"Apa yang akan mereka lakukan?"

"Mereka akan membakar hangus seisi 

desa ini. Dan apa yang mereka lakukan ta-

di adalah sebagai peringatan...."

"Rupanya ancaman mereka tidak bisa 

di anggap main-main, Ki...."

"Benar. Dan kami kebingungan meng-

hadapi masalah seperti ini Pandu...."

Pandu terdiam sejenak. Hmm, agaknya 

dia pun harus terlibat dalam masalah ini. 

Masalah dengan orang-orang yang menye-

rangnya di hutan itu saja tadi masih mem-

bingungkannya.

Siapa sebenarnya mereka? Dan menga-

pa mereka menginginkan goloknya? Masih 

belum tuntas dia selesaikan. Hmm, lebih 

baik nanti dia kembali ke sana dan mena


nyai mereka.

Lalu di tatapnya Ki Lurah Perkoso. 

"Ki Lurah... aku hanyalah seorang kelana. 

Namun... bila Ki Lurah mengizinkan... aku

bermaksud untuk membantu Desa Batang Mua-

ra ini dari orang-orang Telapak Bara itu. 

Bagaimana, Ki Lurah? Yah... mungkin ban-

tuanku ini tak seberapa..."

Ki Lurah Perkoso yang sejak tadi 

sudah kagum dengan sikap dan tutur kata 

pemuda itu, mengembangkan senyumnya.

"Anak muda... bila kau jujur dan 

tulus ingin membantu kami menghadapi 

orang-orang itu, tentu saja akan kami te-

rima dengan senang hati. Tapi yang perlu 

kau ingat, kami tidak punya sesuatu yang 

patut untuk diberikan kepadamu sebagai 

imbalannya...."

Pandu tersenyum.

Perlahan menggelengkan kepalanya.

"Aku tulus membantumu, Ki Lurah... 

karena kupikir dalam hidup ini kita harus 

saling tolong menolong, bukan?"

Kembali Ki Lurah Perkoso tersenyum. 

Dia tak kuasa lagi untuk membendung rasa 

kagumnya.

"Pandu.... Rasanya baru kali ini 

aku bertemu dengan seorang pemuda seperti 

kau. Biarpun kita baru saling bertemu na-

mun hati kecilku telah mempercayaimu se-

bagai seorang pemuda yang bertanggungja-

wab."


"Terima kasih, Ki Lurah...."

Dan diam-diam salah seorang gadis 

yang bernama Lastri yang sejak pertama

melihat Pandu sudah tertarik, semakin 

tertarik pula melihat sikap dan tutur ka-

tanya. Dan hatinya semakin berbunga-bunga 

kala dia mendengar kata-kata Ki Lurah se-

lanjutnya.

"Sebaiknya... kau tinggallah bersa-

ma kami, Pandu. Dan kau bisa menumpang 

untuk sementara di rumah Nyai Kasi-

mah...."

Pandu hanya mengangguk.

"Baiklah, Ki Lurah...."

Dan dada Lastri ingin meledak ra-

sanya. Nyai Kasimah itu adalah ibunya. 

Berarti pemuda itu akan tinggal di rumah-

nya. Bukankah itu akan membuatnya lebih 

banyak berdekatan dengan pemuda itu. Tan-

pa sadar dia melirik Pandu yang juga se-

dang melihatnya karena Ki Lurah tengah 

menunjuk Nyai Kasimah dan putrinya.

Hati Lastri galau. Gemuruh hatinya 

semakin menjadi-jadi bertalu-talu, ber-

goyang. Apalagi setelah pemuda itu mema-

merkan senyumnya.

Hati Lastri seakan mau runtuh.

"Bagaimana, Pandu? Kau bersedia me-

numpang di sana?" tanya ki lurah.

"Bila segala sesuatunya memungkin-

kan, saya bersedia ki lurah. Dan sebalik-

nya kita harus segera menyusun segala se


suatunya."

"Ya, sebaiknya memang begitu...." 

sahut Ki Lurah Perkoso. Lalu dia berseru 

pada warganya, "Sebaiknya kalian yang pe-

rempuan masuk kembali ke rumah! Dan bagi 

yang rumahnya terbakar sebaiknya menum-

pang di rumah yang lain! Bawa masuk juga 

anak-anak kalian! Sementara yang laki-

laki menguburkan mayat-mayat itu malam 

ini juga!"

Seruan itu pun di patuhi. Lastri 

masih sempat menatap Pandu sebelum dia 

melangkahkan kakinya. Rasanya dia sudah 

tidak sabar menunggu Pandu tinggal di ru-

mahnya.

Ah, mengapa perasaannya menjadi ga-

lau seperti ini? Jarang sekali dia menga-

lami hal seperti ini.

Pandu sendiri hanya tersenyum saja. 

Lalu keisengannya timbul. Dia mengedipkan 

matanya pada Lastri hingga gadis itu se-

makin galau. Dan buru-buru menunduk, se-

mentara langkahnya makin bergegas.

Setelah mayat-mayat di kuburkan, 

Pandu menghampiri Ki Lurah Perkoso.

"Ki lurah... aku ada urusan seben-

tar di hutan sana. Dalam waktu beberapa 

jam nanti, aku akan kembali ke sini...." 

katanya yang tiba-tiba saja teringat akan 

para penyerangnya yang dalam keadaan ter-

totok.

Dia bermaksud hendak langsung saja


menanyai mereka siapa yang menyuruh mere-

ka hendak merebut Golok Cindarbuana dari 

tangannya. Karena sesungguhnya Pandu ma-

sih amat heran dengan golok itu.

Ada rahasia apa sebenarnya.

Ki lurah tersenyum.

"Pandu... bila kulihat dari kea-

daanmu, kau nampaknya amat lapar dan le-

lah. Tidak bisakah untuk sementara uru-

sanmu itu di tunda dulu kau beristira-

hat?"

"Ki lurah... bukan aku menampak ta-

waranmu, tapi sungguh, aku harus menyele-

saikan urusanku ini. Demi Gusti Batara 

Agung, aku berjanji untuk membantu kalian 

menghalau orang-orang Telapak Bara itu."

Ki lurah tersenyum.

"Pergilah, Pandu... dan kembalilah 

ke sini!"

"Baik, Ki!" sahut Pandu sambil ter-

senyum. Lalu dipasangnya kembali caping-

nya dan dia berjumpalitan naik ke kudanya 

hingga membuat orang-orang itu berdecak 

kagum.

Ki lurah sendiri mendesis, "Agaknya 

pemuda itu memang di datangkan Dewata un-

tuk menolong kita. Buktinya, bertepatan 

desa kita di serang orang-orang kejam 

itu, dia datang dan menawarkan diri untuk 

membantu.

"Ah, siapa pun adanya kau Pandu... 

sikapmu sudah membuat hatiku tertarik!"


Sementara itu murid Eyang Ringkih 

Ireng dari Gunung Kidul semakin memperce-

pat laju kudanya. Dalam hatinya menden-

gus, "Sialan, perutku melilit sekali ra-

sanya! Tetapi bila aku tidak menyelesai-

kan masalah ini satu persatu bisa runyam 

semuanya. Yang paling penting adalah men-

cari jawaban rahasia apa yang ada di ba-

lik Golok Cindarbuana ini. Sekaligus me-

nolong mereka dari ancaman orang-orang 

Telapak Bara!"

Kembali Pandu mengarahkan kudanya 

ke jalan semula. Di pacunya dengan ken-

cang menerobos kepekatan malam.

Beberapa saat kemudian, dia sudah 

tiba di tempat tadi, di mana dia dibokong 

secara liar oleh tiga orang seram dengan 

bersenjata tali yang ujungnya terdapat 

besi tajam.

Namun betapa terkejutnya Pandu ke-

tika melihat tak satu sosok tubuh pun 

yang ada di sana.

"Hmm... ke mana larinya mereka?" 

desisnya. Bahkan mayat salah seorang dari 

ketiga nya sudah tidak ada di tempatnya. 

Pandu menengadah ke atas, mencari sosok 

tubuh yang telah kaku tertotok olehnya.

Namun lenyap.

Semuanya lenyap.

Kening Pandu berkerut.

"Hmm... apa yang telah terjadi? 

Mengapa mereka menghilang begitu saja?


Bila yang tertotok tadi membebaskan toto-

kan dengan tangannya sendiri, rasanya 

mustahil. Karena tak akan mungkin bisa. 

Yang kugunakan itu adalah totokan satu 

jari!

"Lalu bila begini, siapakah yang 

telah membebaskan mereka? Aneh sekali. 

Dan nampaknya aku kalah cepat dengan 

orang itu. Ya, keyakinanku semakin ber-

tambah, kalau ketiga pembokongku tadi itu 

adalah orang-orang suruhan atau orang-

orang bawahan dari seorang yang jago. 

Hmm... aku jadi penasaran sekali dalam 

hal ini. Baiknya kucoba saja mencari yang 

mungkin bisa kutemukan."

Namun jejak itu pun tak ada sedikit 

pun. Tak ada tanda-tanda yang menggembi-

rakan baginya untuk mengetahui siapakah 

yang telah menolong orang-orang itu.

"Sialan!" dengusnya. "Orang itu 

terlalu pintar, dan agaknya dia memiliki 

tenaga dalam yang lumayan!"

Memang, sungguh hebat orang yang 

biasa membebaskan dua orang yang telah 

tertotok itu.

Pandu mendengus. Lalu kembali dia 

menaiki kudanya. Lebih baik dia segera 

saja ke Desa Batang Muara, karena dia ya-

kin, ki lurah masih menunggu.

Dan begitu dia tiba di desa itu, 

pagi telah menjelang dengan sinar mataha-

ri yang menyinari seluruh desa.

Gunung merapi di kejauhan sana nam-

pak begitu angkuh dan menyimpan misteri 

yang mengerikan.

*

* *

TIGA



Di Utara Desa Batang Muara, yang 

letaknya cukup jauh, ada sebuah gunung 

merapi yang masih aktif. Bila hendak per-

gi ke sana dari Desa Batang Muara, membu-

tuhkan waktu kira-kira tiga hari lamanya.

Suasana di sekitar lereng gunung 

itu amat sepi dan menyeramkan. Tak seo-

rang manusia pun yang berani untuk menda-

tangi tempat itu. Padahal tanah di seki-

tar lereng gunung merapi itu amat subur. 

Apapun yang di tanam di sana akan tumbuh.

Namun tak seorang pun yang tertarik 

untuk tinggal di sana. Bagi mereka, ha-

nyalah kematian yang akan didapati bila 

nekad untuk tinggal di sana.

Bahkan sepertinya gunung merapi itu

nampak menyimpan satu misteri yang hingga 

sekarang belum terungkap oleh siapa pun. 

Dia tetap tegar dengan keangkuhan yang 

amat tinggi menjulang.

Gunung itu dikelilingi hutan yang 

lebat, masih banyak terdapat binatang


buas di sana. Seperti monyet, ular dan 

harimau. Di sana-sininya pun banyak ter-

dapat jurang dan lembah yang terjal dan 

dalam.

Sungguh suatu keadaan yang amat 

mengerikan. Membuat orang harus berpikir 

sepuluh kali untuk mendatangi tempat itu.

Dulu di sekitar lereng gunung mera-

pi itu memang banyak penduduk yang men-

diaminya. Mereka hidup dari bercocok ta-

nam dan rata-rata hidup serba kecukupan.

Mereka hidup rukun dan damai. Sal-

ing hormat menghormati satu sama lain.

Namun sekitar dua tahun kemudian, 

suasana kehidupan yang ten tram dan damai 

itu pun harus porak poranda dengan da-

tangnya ke tempat itu gerombolan yang ke-

jam dan ganas.

Mereka membuat hancur semuanya. Me-

reka membunuhi siapa saja yang ada di sa-

na. Tidak tua maupun muda. Mereka bengis 

dan kejam. Semua mereka bantai.

Ladang dan sawah yang di tanami 

tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh dengan 

subur, mereka bakar dan bumi hanguskan.

Yang amat kasihan dan mengenaskan 

tentulah nasib para wanitanya. Mereka di 

buat menjadi bulan-bulanan nafsu binatang 

para gerombolan itu. Orang-orang itu den-

gan buasnya menggumuli mereka. Bergan-

tian. Sungguh amat tragis apa yang diala-

mi oleh kaum wanita di sana pada kala


itu.

Sifat dan perangai orang-orang ke-

jam itu tak ubahnya seperti binatang be-

laka. Mereka tidak mengenal kasihan. Me-

reka tak menghiraukan jerit dan tangis 

minta dilepaskan dari para wanita yang 

merasakan dunia ini runtuh tepat menimpa 

kepalanya.

Orang-orang itu bagaikan srigala 

yang tengah menggarap kelinci-kelinci 

mungil nan lembut. Dengan tawa birahi 

yang membludak diiringi dengan desis se-

tan merasuk jiwa, mereka hancurkan hidup 

mereka!

Karena tak kuasa menahan siksaan 

yang amat keji dan memalukan itu, tak ja-

rang para wanitanya yang banyak membunuh 

diri. Sesudah atau sebelum diperkosa dan 

di gilir.

Sungguh amat menyedihkan nasib me-

reka. Tetapi tidak sedikit pula yang 

hingga melahirkan. Namun setelah itu mem-

bunuh diri sambil menatap anak yang baru 

saja mereka lahirkan. Anak yang kelahi-

rannya mereka tidak inginkan. Anak yang 

terlahir dari hasil nafsu binatang laki-

laki, bukan dari perpaduan kasih sayang 

antara dua insan manusia yang berbeda. 

Namun dari nafsu binatang dan ketidakber-

dayaan perempuan.

Namun anak-anak yang mereka lahir-

kan itu, lebih banyak mati kemudian dari


pada hidup. Karena tak ada seorang manu-

sia pun yang menurunkan kasih sayang ke-

pada mereka.

Sungguh memang amat mengerikan apa 

yang telah terjadi beberapa tahun yang 

lalu. Satu peristiwa yang tak mungkin 

terlupakan.

Namun siapa yang bisa mengingatnya 

lagi, karena tempat itu sudah tidak ber-

penghuni lagi. Atau tepatnya, sesungguh-

nya tidak ada yang tahu kalau tempat itu 

sebenarnya berpenghuni.

Dan hanya orang-orang itulah yang 

masih bisa mengingat peristiwa beberapa 

tahun yang lalu.

Karena di salah satu tempat di gu-

nung merapi itu, dekat sebuah lembah yang 

terjal dan curam, bermukimlah gerombolan 

kejam itu yang telah memporak-porandakan 

desa yang ada di sana beberapa tahun yang 

lalu. Mereka tidak meninggalkan tempat 

itu rupanya. Karena bagi mereka ini ada-

lah satu tempat yang amat strategis untuk 

di jadikan kediaman.

Hidup mereka pun begitu mudah. Me-

reka tinggal menyerang beberapa buah desa 

yang letaknya berada di sekitar sana atau 

pun harus ke luar dari tempat mereka.

Bukankah hal ini amat menyenangkan? 

Terlalu bodoh bila mereka meninggalkan 

tempat itu!

Gerombolan kejam itu dipimpin oleh


seorang laki-laki yang bernama Ki Pancang 

Jalak. Dia adalah seorang laki-laki yang 

sudah berusia lima puluhan. Namun masih 

nampak gagah dan kuat. Semua itu berkat 

kesaktiannya. Dialah yang memimpin gerom-

bolannya untuk menghabisi para penduduk 

yang hidup di sekitar lereng Gunung Bera-

pi itu beberapa tahun yang lalu.

Dia adalah seseorang laki-laki yang 

teramat kejam.

"Tak seorang pun yang bisa menga-

lahkan aku di muka bumi ini!" serunya 

sombong

Dan dia pula yang menyuruh dan me-

merintahkan puluhan orang anak buahnya 

untuk menyerang desa-desa. Sekadar mem-

buat mereka takluk dan keder. Namun tidak 

hanya sampai di sana saja tindakan yang 

dilakukan Ki Pancang Jalak.

"Bunuh semuanya, siapa saja yang 

berani membantah perintahku!"

Dan kekejamannya itu pun menular 

pada diri anak buahnya.

"Bawa gadis-gadis cantik ke sini! 

Jadikan mereka perhiasan dan pajangan 

buat istana kita!" seru Ki Pancang Jalak.

Memang sudah puluhan gadis yang me-

reka culik dan mereka paksa untuk menjadi 

dayang-dayang atau pun pelayan di sana. 

Namun nasib mereka tidaklah enak seperti 

yang dibayangkan.

Karena di samping itu, mereka harus


bersedia melayani nafsu binatang siapa 

saja dari gerombolan itu. Dan bila mereka 

menolak maka mautlah sebagai ganjarannya.

Memang banyak yang menolak dan mati 

dengan leher patah. Namun tak sedikit pu-

la yang masih berusaha bertahan hidup 

dengan merelakan harga diri dan kehorma-

tannya diinjak-injak oleh mereka.

Namun di hati mereka, dendam dan 

sakit hati itu sudah amat membludak dan 

sepertinya siap untuk di muntahkan.

Tetapi tak satupun yang berani me-

nantang Ki Pancang Jalak. Manusia yang 

bersifat dan bersikap seperti binatang.

Dia tak ubahnya seperti seekor srigala 

lapar yang siap dan kapan saja menampak-

kan taring-taring giginya yang tajam dan 

kuku-kukunya yang seperti pisau.

Dia adalah manusia harimau yang ke-

jam.

Sejarah telah membuktikannya di 

saat dia menghancurkan hidup para pendu-

duk yang tak berdosa dan tak bersalah 

yang hidup di sekitar lereng gunung mera-

pi di sekitar beberapa tahun yang lalu. 

Dia adalah orang yang kejam dan mena-

kutkan. Siapa pun yang membangkangnya 

akan dihabisinya.

Tak seorang pun anak buahnya yang 

berani mencoba-coba untuk membangkang pe-

rintah darinya. Ki Panjang Jalak adalah 

seorang pemimpin yang mempunyai ilmu ke


saktian yang hebat. Dari tangannya bisa 

mengeluarkan panas yang bukan main me-

nyengatnya. Bila sesuatu atau apa pun 

terkena sentuhan tangan itu, maka niscaya 

akan hangus seketika.

Hingga dia sering dijuluki oleh ka-

wan maupun lawan dengan sebutan Hantu 

Bertangan Bara. Ki Pancang Jalak bangga 

dengan sebutan itu. Dan dia semakin mem-

buat namanya menjulang menembus ke langit 

tujuh yang begitu menggetarkan.

Dan sepak terjangnya amat menge-

naskan.

Begitu pula dengan para anak buah-

nya yang dipimpinnya dalam panji kebesa-

ran Telapak Bara. Dan rata-rata para anak 

buahnya mewarisi ilmu ketua mereka walau 

masih jauh berada di bawah Ki Pancang Ja-

lak, namun cukup mampu untuk membuat la-

wan-lawan mereka ngeri untuk menghadapi.

Sepertinya Ki Pancang Jalak memang 

sengaja mewarisi ilmu Tangan Baranya ke-

pada beberapa anak buah pilihannya.

Tempat persembunyian mereka yang 

sukar dijamah dan sukar diketahui orang, 

lebih memungkinkan bagi mereka untuk men-

gepak dan mengembangkan sayap, Melatih 

anggota baru atau pun lama dengan ilmu 

andalan gerombolan itu, yaitu ilmu Tela-

pak Bara, pengembangan dari ilmu Ki Pan-

cang Jalak atau yang bergelar Hantu Ber-

tangan Bara.


Ini merupakan satu tempat yang aman 

bagi Ki Pancang Jalak dan para anggotanya 

untuk berdiam.

Hari ini, Ki Pancang Jalak sedang 

berhadapan dengan tiga orang anak buahnya 

di pendoponya yang mirip dengan istana. 

Dari pembicaraan itu, nampak jelas sekali 

kalau Ki Pancang Jalak amat serius men-

dengarkan salah seorang anak buahnya yang 

bernama Wayaluta berkata-kata.

Berkali-kali Ki Pancang Jalak mang-

gut-manggut dan sekali-sekali pula dia 

menyela.

"Jadi kau tidak tahu siapa dia, 

Wayaluta?" terdengar suara Ki Pancang Ja-

lak kemudian.

Wayaluta mengangguk hormat.

"Begitulah, Ketua. Aku tidak tahu 

siapa pemuda itu sebenarnya. Agaknya pe-

muda itu murid seorang tua yang gagah 

perkasa. Atau...."

"Atau apa, Wayaluta?" tanya Ki Pan-

cang Jalak karena Wayaluta menghentikan 

kata-katanya. Sepertinya pemuda itu te-

ringat akan sesuatu.

"Dialah yang mewarisi Golok Cindar-

buana itu berikut ilmu dahsyat yang ter-

pendam di dalam golok itu, Ketua!"

Terlihat kepala Ki Pancang Jalak 

menggeleng.


"Tidak mungkin!" potongnya cepat.

"Bagaimana tidak mungkin, Ketua! 

Golok Cindarbuana itu berada di tangan-

nya!"

"Tetapi tidak mungkin, Wayaluta. 

Golok Cindarbuana adalah milik sepasang 

kakek nenek dari Tiongkok, yang hilang 

begitu saja ketika sepasang kakek nenek 

itu lengah. Mereka tidak tahu siapa yang 

telah mencuri Golok Cindarbuana. Dan me-

reka bersumpah, akan membunuh orang yang 

telah mengambil golok itu. Tetapi sayang, 

mereka keburu mati. Maut telah mengundang 

mereka terlalu cepat sebelum mereka tahu 

siapa yang telah mencuri golok sakti 

itu."

"Lalu bagaimana golok itu bisa be-

rada pada pemuda itu, Ketua?"

"Aku pun tidak tahu," kata Ki Pan-

cang Jalak. Lalu berpaling pada dua orang 

yang duduk di sebelah Wayaluta. "Jimbun 

dan Rimbin... apakah kalian yakin Golok 

Cindarbuana yang ada di tangan pemuda 

sakti itu?"

"Begitulah, Ketua...." kata Jimbun 

hormat. Juga temannya yang bernama Rim-

bin.

"Kau yakin?"

"Saya yakin sekali, Ketua. Yang ada 

di punggung pemuda yang bernama Pandu itu 

adalah Golok Cindarbuana. Golok yang pu-

luhan tahun yang lalu telah hilang dan



tak seorang pun yang tahu siapa pencu-

rinya. Seperti yang ketua pernah cerita-

kan kepada kami dulu...."

Ki Pancang Jalak manggut-manggut. 

Usapkan tangannya pada jenggotnya yang 

memutih.

Rupanya yang duduk di sebelah Waya-

luta adalah dua manusia yang ingin mere-

but Golok Cindarbuana dari tangan Pandu. 

Jimbun dan Rimbin serta seorang teman me-

reka yang tewas di tangan Pandu dalam 

perkelahian di hutan lebat yang jauh dari 

Desa Pareden.

Ketiga penyerang Pandu itu bergelar 

Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa. Pandu 

yang bermaksud hendak beristirahat dis-

erang begitu saja oleh ketiganya, yang 

ternyata hanya merebut Golok Cindarbuana 

pemberian gurunya, Eyang Ringkih Ireng 

atau sesepuh Gunung Kidul.

Dan dalam perkelahian itu Pandu 

berhasil menang. Namun kala dia kembali 

hendak mengorek siapa mereka sebenarnya, 

bukan main terkejutnya Pandu karena 

orang-orang itu sudah tidak ada di tem-

patnya.

Orang yang membebaskan Jimbun dan 

Rimbin dari totokan Pandu adalah Wayalu-

ta.

Dialah yang telah membuat neraka 

bagi penduduk Desa Batang Muara, dengan 

beberapa gerombolannya.


Ketika mereka melewati hutan lebat 

itu, mereka secara tak sengaja melihat 

Jimbun dan Rimbin dalam keadaan tertotok.

Dan Wayaluta menjadi amat geram se-

kali mendengar kata-kata Rimbin. Dan ke-

geramannya berubah menjadi keterkejutan, 

setelah Rimbin berkata-kata tentang Golok 

Cindarbuana. Golok sakti yang tengah di 

cari ketua mereka, Ki Pancang Jalak!

Tetapi mengapa mereka tidak berpa-

pasan dengan Pandu atau Pendekar Tangan 

Malaikat yang tengah ke luar dari hutan 

lebat itu?

Tentu saja tidak, karena Pandu men-

gambil arah ke Tenggara, sedangkan orang-

orang itu melalui Barat Daya, karena me-

reka membuat onar lagi di sebuah desa 

yang ada di arah Barat Daya.

Lalu Wayaluta segera memerintahkan 

para anggotanya untuk kembali ke markas 

mereka. Dia bermaksud hendak mencegat 

Pandu untuk merebut langsung Golok Cin-

darbuana bersama Jimbun dan Rimbin.

Tetapi kemudian, Wayaluta merasa 

lebih baik mereka melaporkan hal itu pada 

Ki Pancang Jalak. Dan menguburkan mayat 

Tambon.

Hal itu pun segera di laporkan ke-

pada Ki Pancang Jalak, yang juga merupa-

kan pimpinan dari Tiga Malaikat Tali Pen-

cabut Nyawa.

Walau sedikitnya geram dan marah


karena mengetahui Tambon tewas, namun Ki 

Pancang Jalak masih bisa tertawa gembira 

mendengar tentang golok sakti yang berta-

hun-tahun lamanya dia cari. Bahkan sele-

ranya terhadap wanita yang di culik pun 

menjadi lenyap begitu saja.

Tak sabar dia untuk mengetahui ke-

jadian apa selanjutnya. Bukankah telah 

lama dia mencari tentang golok sakti itu? 

Dan sekarang telah didengarnya di mana 

golok itu berada, tentu saja dia tidak 

akan menyia-nyiakannya.

Dan dia sudah membayangkan kalau 

dirinya akan menjadi seorang jago yang 

tak terkalahkan.

Dengan golok sakti itu, tentunya 

tak seorang manusia pun yang akan bisa 

mengalahkannya.

Sekarang pun dia membicarakan masa-

lah itu lagi. Dari raut wajahnya sudah 

tergambar rasa ketidaksabaran yang mem-

bludak.

"Kalau benar Golok Cindarbuana yang 

di-bawa oleh pemuda itu, kita harus sege-

ra merebutnya. Golok itu adalah golok 

yang teramat sakti."

"Ketua... sebenarnya rahasia apa 

yang terdapat di balik Golok Cindarbuana 

itu?" tanya Wayaluta.

"Aku sendiri tidak tahu secara pas-

ti. Konon golok itu adalah sebuah golok 

yang hebat. Benda sekeras dan sehebat apa


pun akan patah dan musnah di tebas oleh 

golok itu. Dan konon ada sebuah rahasia 

yang hingga sekarang belum terpecahkan. 

Karena sepasang kakek itu telah pergi se-

belum ada yang tahu apa rahasia itu."

"Apa kira-kira rahasia itu, Ke-

tua...."

"Entahlah... aku sendiri tidak ya-

kin, karena golok itu belum ada padaku. 

Dan tak lama lagi rahasia itu akan kuke-

tahui, karena sebentar lagi golok itu 

akan pindah tangan kepadaku, bukan?"

Ki Pancang Jalak terbahak-bahak. 

Penuh keyakinan akan berhasil memiliki 

Golok Cindarbuana itu

*

**

EMPAT



Ketiga bawahannya itu pun ikut ter-

tawa. Mereka begitu heran sebenarnya me-

lihat Ki Pancang Jalak begitu gembira.

Rupanya laki-laki setengah baya itu 

memang amat berharap dan berkeinginan un-

tuk berhasil memiliki Golok Cindarbuana. 

Yang konon tak ada satu benda pun yang 

dapat menandingi kehebatannya.

"Ketua... kita rebut golok itu," 

kata Jimbun. "Dan kita bunuh pemuda ber-

caping itu!"


"Benar, Ketua," lanjut Rimbin. "Ka-

mi hendak membalas dendam atas kematian 

adik kami Tambon. Kami tidak akan pernah 

merasakan kegembiraan dalam hidup ini, 

selama pemuda itu masih hidup. Dan adik 

seperguruan kami tidak akan tenang dalam 

kuburnya sebelum nyawa pemuda itu datang 

menemainya. Hhh! Aku sudah tidak sabar 

rasanya untuk bertemu dan membalaskan ke-

matian Tambon pada pemuda bercaping yang 

juga mengaku Pendekar Tangan Malaikat!"

Mendengar nama itu disebutkan, te-

linga Ki Pancang Jalak kelihatan menegak. 

Samar-samar dia pernah mendengar akan se-

buah julukan yang akhir-akhir ini menjadi 

pembicaraan orang ramai. Karena julukan 

itu telah mendatangkan bencana bagi 

orang-orang golongan hitam

Ah, persetan dengan semua itu. Yang 

pasti, dia harus merebut dan memiliki Go-

lok Cindarbuana. Dan membunuh pemuda sia-

lan itu bila benar dia Pendekar Tangan 

Malaikat adanya.

Ki Pancang Jalak memperhatikan Jim-

bun dan Rimbin yang ucapan keduanya ter-

dengar begitu berapi-api. Dari kedua mata 

mereka terlihat sinar dendam yang menya-

la-nyala, yang siap untuk ditumpahkan.

"Hmm... ya, kalian kutugaskan untuk 

membunuh pemuda itu. Dan rebutlah Golok 

Cindarbuana untukku," katanya kemudian.

"Ketua... lebih cepat lebih baik.


Izinkanlah kami pergi mencarinya," kata 

Jimbun.

"Baiklah, kalian memang kuizinkan 

untuk pergi," kata Ki Pancang Jalak. "Te-

tapi mendengar cerita kau berdua, ilmu 

pemuda itu agaknya cukup tinggi. Dan la-

gi, bila benar dia adalah Pendekar Tangan 

Malaikat yang namanya sudah sering dibi-

carakan orang, kalian harus lebih berha-

ti-hati lagi. Dan ada baiknya bila Waya-

luta ikut menemani kalian. Kuminta pada 

kalian untuk menyelesaikan tugas ini den-

gan baik!"

"Baik, Ketua. Saya pun penasaran 

hendak melihat siapa dia adanya, juga 

sampai seberapa tinggi kesaktiannya," ka-

ta Wayaluta.

"Jangan lupa... selain nyawa pemuda 

itu, Golok Cindarbuana sasarannya."

"Saya akan ingat pesan, Ketua."

"Dan aku tidak suka dengan kegaga-

lan kalau tidak terpaksa."

"Kami akan berusaha merebutnya. Ka-

mi yakin, akan berhasil mendapatkan golok 

itu."

"Aku pun yakin akan hal itu. Kau 

Wayaluta, adalah orang ke satu di bawah-

ku. Ilmu Telapak Bara pun sudah sedemi-

kian tinggi. Aku harapkan kau bisa men-

gambil golok yang kuidam-idamkan. Dan 

persiapkan kau sendiri bagaimana, Jimbun, 

Rimbin?"



Kedua orang itu menyembah hormat.

"Maafkan kami, Ketua," kata Jimbun. 

"Dengan Adik Tambon, kami adalah Tiga Ma-

laikat Tali Pencabut Nyawa. Kami terlalu 

sombong, hingga tidak mau mempelajari Il-

mu Telapak Bara yang ketua ajarkan. Teta-

pi sekarang, kami telah mempelajarinya. 

Sudah cukup kami rasa dalam waktu tiga 

bulan mempelajarinya."

Ki Pancang Jalak manggut-manggut.

"Waktu itu sudah cukup memang. Ku-

lihat kalian berdua belajar dengan sung-

guh-sungguh. Nah, lakukan sekarang juga. 

Pergilah, rebut Golok Cindarbuana itu."

"Kami akan penuhi harapan, Ketua," 

kata Jimbun dan Rimbin bersamaan. "Kami 

akan membawa pula mayat pemuda itu di ha-

dapan ketua...."

"Kami tak ingin melihat ketua kece-

wa," sambung Wayaluta.

Dan kata-kata ketiga orang itu mem-

buat Ki Pancang Jalak tertawa lebar. Se-

nang dia anak buahnya begitu patuh. 

Hmm... sebentar lagi golok itu akan men-

jadi miliknya. Dia akan berusaha memecah-

kan rahasia golok itu.

Dia akan menjadi orang nomor satu 

dalam hal ilmu kesaktian. Olah kanuragan 

yang di dambakan oleh setiap manusia. Il-

mu yang memang perlu dimiliki oleh siapa 

saja. Namun alangkah salahnya jika ilmu 

kesaktian itu dibuat untuk membunuh, me


nyakiti atau melukai sesamanya. Olah ka-

nuragan hanya dipakai untuk membela diri, 

tanpa menyakiti sesamanya, selain pula 

untuk olahraga, mencari kesegaran jasma-

niah dan rohaniah.

Tetapi orang-orang yang memiliki 

ilmu kesaktian atau olah kanuragan lebih 

banyak sombongnya daripada menyembunyikan 

kepandaiannya itu. Mereka lebih suka un-

tuk berseru-seru menyatakan diri mereka 

kuat. Diri mereka gagah. Diri mereka mam-

pu menghadapi apa pun dan siapa pun.

Mereka merasa lebih dari siapa pun!

Dan mereka tidak memakai ilmu padi, 

yang semakin berisi malah semakin merun-

duk.

Kita mengalah belum tentu kalah. 

Kita merunduk belum tentu takut. Tetapi 

lebih baik menghindari perkelahian yang 

menyakiti sesama daripada harus terlibat 

perkelahian yang sebenarnya tidak ada gu-

nanya.

Tidak seperti Ki Pancang Jalak yang 

memiliki ilmu kesaktian untuk menyerang 

sesama, menyakiti sesama dan membunuh se

sama. Betapa sangat di sayangkannya 

ilmu yang di milikinya itu hanya untuk 

menyakiti sesamanya.

Dia lupa akan kodratnya sebagai ma-

nusia yang lemah, yang sebenarnya tidak 

bisa berbuat apa-apa bila takdir buruk 

telah menimpa dirinya.


Ki Pancang Jalak telah menyatakan 

dirinya sebagai orang yang ditakuti, den-

gan gelar Hantu Bertangan Bara. Sebagai 

orang yang berkuasa. Dan gerombolan yang 

dipimpinnya pun ditakuti oleh kawan mau-

pun lawan.

Terdengar lagi dia berkata pada ke-

tiga bawahannya.

"Gagal, aku paling benci dengan ka-

ta-kata itu. Dan aku tak ingin kalian 

gagal."

"Seperti janji kami tadi, Ketua... 

kami tak akan membuat ketua kecewa," kata 

Wayaluta.

"Bagus!"

"Dan kami berjanji akan membuat ke-

tua tersenyum senang dan gembira," sam-

bung Jimbun.

Ki Pancang Jalak terbahak.

"Hahaha... bagus, bagus sekali. Aku 

suka dengan semua kata-kata kalian itu. 

Nah, rebutlah golok itu. Kalau perlu bu-

nuh siapa saja yang akan menghalangi ka-

lian. Jangan bertindak tanggung-tanggung 

lagi. Tunjukkan bahwa kalian adalah 

orang-orang yang kejam! Bantai semuanya! 

Darah sebagai taruhannya?!! Mengerti ka-

lian?!!"

Ketiganya mengangguk.

"Kami mengerti, Ketua!" kata Waya-

luta.

Terdengar Ki Pancang Jalak kembali


terbahak. Dia merasa bangga pada dirinya 

sendiri karena para anak buahnya amat 

menghormati dan menaruh rasa segan yang 

besar terhadapnya. Bukankah ini merupakan 

satu kesenangan yang luar biasa?

Terlihat ketiga kepala mengangguk 

kembali. Dengan yakin dan pasti akan me-

menuhi semua keinginan sang ketua dan ti-

dak akan mengecewakan mereka.

Lalu sore itu pula mereka berangkat 

dengan kuda yang tinggi dan gagah untuk 

men-cari Pandu. Untuk merebut Golok Cin-

darbuana dan sekaligus membunuh Pandu!

Namun yang pasti, untuk menyenang-

kan hati ketua mereka, Ki Pancang Jalak.

Sementara. Ki Pancang Jalak lang-

sung melangkahkan kakinya ke kamarnya. Di 

kamarnya telah terdapat dua orang gadis 

manis yang matanya sembab karena terlalu 

banyak menangis.

Keduanya adalah gadis-gadis yang 

baru di culik oleh Wayaluta. Dan melihat 

kemunculan laki-laki seram itu, membuat 

hati kedua gadis itu semakin ketakutan.

Wajah mereka pias.

Tak sadar mereka mundur ke sudut 

kamar begitu Ki Pancang Jalak menyerin-

gai.

Dan ketakutan mereka semakin menja-

di-jadi ketika laki-laki itu membuka ba-

junya.

"Hehehe... mengapa harus ketakutan,



Manis? Kalian adalah hidanganku sore ini. 

Ayo... berbuatlah yang mengenakan hatiku. 

Hehehe... kalian memang ayam-ayam montok 

yang menggairahkan!"

Langkah Ki Pancang Jalak semakin 

dekat.

*

**

LIMA



Malam yang larut itu pun berganti 

dengan secercah matahari keesokan pa-

ginya. Suasana begitu asri dan damai. Ma-

tahari menyinari sebagian besar Desa Ba-

tang Muara yang kini nampak kembali ce-

rah.

Sudah hampir lima malam keamanan 

desa diperketat sejak munculnya penyerang 

an sadis yang dilakukan oleh orang-orang 

gerombolan Telapak Bara. Dan dengan gerak 

cepat pula Pandu telah melatih beberapa 

orang warga desa dengan satu bentuk for-

masi pertahanan yang bagus dan cukup kuat 

dipakai untuk menghadang dan menahan.

Dan hingga sejauh ini, orang-orang 

Telapak Bara tidak lagi muncul. Ataukah 

mereka tengah menyerang desa lainnya?

Kemungkinan itu pun dibicarakan 

orang-orang atau warga desa itu di balai 

desa. Pandu pun hadir di sana.



"Bila memang benar kenyataannya, 

bahwa orang-orang itu menyerang desa 

lainnya, betapa mengenaskannya. Sementara 

kita menunggu di sini dan siap memperta-

ruhkan nyawa untuk melawan mereka semua, 

namun nyawanya tak satu pun wajah orang-

orang itu nongol," kata Ki Lurah Perkoso. 

Wajahnya sedikit terlihat pancaran lega, 

namun juga terlihat pancaran kesal.

"Lalu apa yang akan kita perbuat, 

Ki Lurah?" tanya salah seorang.

"Bila kau bertanya tentang itu, ja-

wabku hanya satu... kita tetap menunggu 

di sini dan siap menyambut kedatangan me-

reka bila mereka datang. Yah... mungkin 

ini agak membosankan bagi kita, namun bi-

la kita perhitungkan dengan matang, maka 

sesungguhnya ini merupakan satu keharusan 

yang tetap kita jalankan."

"Ki lurah... apakah sebagai manusia 

yang berbudi dan beradab, kita tidak men-

coba membantu para penduduk yang lain, 

bila mereka memang benar tengah diteror 

oleh orang-orang sialan itu?" berseru sa-

lah seorang.

"Benar, Ki Lurah!" lanjut salah 

seorang. "Kita tidak akan membiarkan me-

reka pun berbuat sewenang-wenang mereka 

saja terhadap sesama. Apakah lalu kita 

akan diam saja bila kita tahu kalau 

orang-orang itu tengah menyebarkan teror-

nya?"


Sahutan-sahutan ramai pun terden-

gar.

Ki Lurah Perkoso hanya mendesah.

Sementara Pandu, murid dari Eyang 

Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-

dul hanya mencoba untuk menjadi pendengar 

yang setia.

Dilihatnya ki lurah seperti hendak 

berkata. Dan di dengarkannya dengan sek-

sama apa yang dikatakan ki lurah itu.

"Yah... tentunya kita tidak akan 

berbuat seperti itu. Namun yang perlu di-

tanyakan, apakah kita tahu di mana dan 

desa mana yang tengah diserang oleh ge-

rombolan liar itu? Dan bila kita tahu, 

apakah kita harus segera ke sana, semen-

tara desa kita sepi tanpa warganya?

Yah... aku pun masih punya rasa pe-

rikemanusiaan sebenarnya. Namun bagiku, 

desa dan wargaku inilah yang teramat 

penting nasib dan kehidupannya.

Sekali lagi kukatakan, aku bukannya 

hendak mengalihkan atau tidak mengindah-

kan apa yang tengah dialami oleh warga 

desa lainnya. Namun nasib kita di sinilah 

yang harus kita jaga. Karena aku tidak 

mau bila suatu saat kita meninjau ke desa 

yang tengah di landa kesengsaraan, desa 

kita kosong melompong. Dan orang-orang 

liar itu mendadak saja mengalihkan penye-

rangan ke desa kita.

Bukankah itu amat menakutkan seka


li?

Jadi... kupikir, lebih baik kita 

tetap saja berjaga-jaga dan menunggu ke-

datangan mereka di sini!"

Orang-orang itu terdiam. Mereka pun 

akhirnya memaklumi apa yang dikatakan Ki 

Lurah Perkoso. Dan ini bukanlah demi ke-

pentingan mereka sendiri. Namun yang me-

reka takutkan, bila nyatanya yang dikata-

kan ki lurah benar.

"Lalu apa yang akan kita lakukan, 

Ki Lurah?" bertanya salah seorang. Dia 

sebenarnya seusia dengan ki lurah. Namun 

hanya bedanya dia nampak lebih tua dari 

ki lurah. "Apakah kita akan membiarkan 

saja sementara beberapa orang anak gadis 

kita dibawa mereka. Dan aku tidak yakin 

mereka akan mendapatkan satu kebahagiaan 

di sana. Tentunya... oh, mereka akan di-

jadikan pelampiasan nafsu orang-orang be-

jat itu!"

Kali ini ki lurah mendesah panjang.

Dia sebenarnya pun memikirkan hal 

itu. Namun ke mana mereka akan bisa men-

cari jejak orang-orang jahat yang tak 

berperikemanusiaan itu?

Anginnya saja pun tidak tahu ke ma-

na anak-anak gadis mereka di bawa.

"Pak Martono... yah, mungkin sebe-

narnya inilah yang menyusahkan hatiku. 

Aku pun teramat was-was memikirkan nasib 

mereka. Tapi apa yang bisa kita perbuat,


sementara hatiku sendiri begitu cemas?"

Orang-orang pun terdiam. Ki lurah 

mendesah masygul. Yah, dia pun tidak tahu 

apa yang hendak diperbuatnya.

Tiba-tiba terdengar suara pelan na-

mun berwibawa, semuanya menoleh pada Pan-

du, pemuda gagah yang mengenakan caping.

"Maafkan kelancanganku bicara sebe-

lumnya," desis Pandu.

Ki lurah tersenyum. Sikap pemuda 

ini meskipun sudah di terima sepenuhnya 

oleh mereka, tetap saja memperlihatkan 

sikap yang santun.

"Silahkan Pandu... katakanlah apa 

yang ingin kau katakan...." kata Ki Lurah 

Perkoso.

Pandu membuka capingnya. Dan meli-

hat orang-orang yang duduk di lantai itu 

memperhatikannya. Angin berhembus sejuk 

dari luar dan masuk melalui celah-celah 

pagar yang dijadikan dinding balai desa 

itu.

"Bila ternyata kita semua mengua-

tirkan nasib para anak gadis kita, ada 

baiknya bila salah seorang atau beberapa 

orang dari kita untuk mencari jejak mere-

ka. Kupikir, kita memang tak perlu lagi 

membuang waktu sia-sia menunggu kedatan-

gan mereka. Yah, kita harus segera men-

gambil satu keputusan yang tepat. Bila 

kita membuat waktu lebih lama lagi, kupi-

kir nasib para gadis yang dibawa oleh


orang-orang jahat itu akan sukar untuk 

dilindungi...."

Pandu mengedarkan tatapannya pada 

orang-orang yang masih memperhatikannya.

"Yah, untuk tugas penyelidikan 

ini... aku bersedia untuk melakukan-

nya...."

Dari keheningan karena mendengar 

kata-kata Pandu itu, berubah menjadi sua-

ra riuh.

Ki lurah menenangkan warganya.

"Pandu... bila benar kau mengingin-

kan hal itu dan bersedia melakukannya, 

kami mengucapkan banyak terima kasih. Te-

tapi bila kau memerlukan bantuan beberapa 

orang pemuda warga desa ini, kami pun 

bersedia membantu."

Pandu tersenyum.

"Tidak perlu, Ki. Maaf... bukannya 

aku tidak memerlukan bantuan kalian dan 

tidak mengindahkan rasa berterima kasih, 

tetapi aku lebih suka melakukannya sendi-

ri."

"Yah... bila itu maumu, silahkan-

lah, Pandu...." kata Ki Lurah Perkoso.

Dan berita Pandu hendak mencari ke-

diaman orang-orang kejam itu sampai di 

telinga Lastri.

Hati gadis itu menjadi gundah dan 

gelisah. Dia dapat merasakan kekejaman 

dari orang-orang Gerombolan Telapak Bara 

itu. Dan dia tidak menghendaki Pandu men


jadi korban dari kekejaman mereka.

Maka ketika pemuda itu muncul di 

rumahnya, dia langsung bertanya, "Kakang 

Pandu... benarkah kau hendak mencari mar-

kas orang-orang kejam itu?"

Pandu yang telah mengikat kudanya 

membuka capingnya. Dia tersenyum yang 

membuat Lastri jadi gelagapan tersipu. 

Dan tanpa sadar dia menunduk dengan wajah 

merona merah.

Ih, dia jadi benci sendiri pada di-

rinya.

Mengapa dia begitu gelisah sekali? 

Mengapa dia cemas? Ah, tidak tahukah Pan-

du, kalau aku menyukaimu?"

"Rayi Lastri...." kata Pandu masih 

tetap tersenyum. "Memang itulah adanya, 

aku memang hendak mencari mereka. Karena 

di samping itu, aku juga amat gelisah 

dengan gadis-gadis yang mereka culik."

Mendengar kalimat itu wajah Lastri 

menegak. Cemas akan gadis-gadis? Oh, su-

dah kenalkah Pandu dengan mereka? Mengapa 

pemuda ini begitu cemas? Ataukah dia se-

cara diam-diam telah mengenal salah seo-

rang dari mereka? Dan maksud kedatangan-

nya yang sebenarnya adalah untuk menjum-

pai gadis itu?

Bermacam pikiran jelek singgah di 

benak Lastri. Dia begitu kuatir sekali 

nampaknya.

Melihat gadis itu terdiam, Pandu


berkata, "Mengapa, Rayi? Mengapa kau ter-

diam? Adakah kata-kataku yang menyinggung 

perasaanmu?"

Gadis itu tanpa sadar menggelengkan 

kepalanya. Terlalu cepat dilakukannya, 

desis Pandu dalam hati.

"Adakah kata-kataku yang menying-

gung perasaanmu, Rayi?" ulang Pandu.

"Oh, tidak, Kakang... tidak... ti-

dak ada apa-apa...."

"Lalu mengapa kau terdiam, Rayi?" 

"Ah, sungguh tidak ada apa-apa, Ka-

kang..." "Benar kah?" "Iya, Kakang...."

Sebenarnya Pandu sudah tahu apa 

yang membuat gadis ini terdiam. Tentunya 

gadis ini cemburu kala dia berkata mence-

maskan gadis-gadis yang diculik oleh ge-

rombolan Telapak Bara yang kejam itu.. 

Namun bagi Pandu itu bukanlah satu hal 

yang bagus. Bukan-kah memang patut dia 

mencemaskan keselamatan para gadis yang 

entah bagaimana nasibnya hingga saat ini?

Dan kemudian gadis itu yang kedua, 

tentunya dia cemas dengan perginya Pandu 

untuk mencari orang-orang kejam itu. Ka-

rena itu sama saja dengan mengantarkan 

nyawa percuma.

Tetapi bagi Pandu yang yakin menga-

pa gadis itu menjadi cemas, tentunya ka-

rena gadis itu menyayanginya menjadi ser-

ba salah mengikuti sikap dan tingkah ga-

dis itu.


Dari sikap yang diperlihatkan gadis 

itu sehari-hari selama dia berada di ru-

mah itu, begitu besar sekali. Dari makan 

hingga tidurnya pun diperhatikan.

Sebenarnya Pandu risih dengan sikap 

yang diperlihatkan oleh Lastri. Karena 

dia tahu semua itu dilakukan atas dasar 

cinta. Sedangkan dia? Ah, cinta... apakah 

dia cinta sama Lastri? Pandu tidak tahu 

dan tidak pernah mengerti. Dia memang su-

ka bila berdekatan dan berduaan dengan 

Lastri. Tetapi tidak bermaksud untuk men-

gakrabkan hubungan itu dengan satu tali 

percintaan yang bisa mengikat.

Pandu tidak ingin seperti itu.

Cinta baginya hanyalah cinta seba-

gai seorang kakak dan adik. Atau cinta 

anak pada orang tua. Bukannya cinta seo-

rang laki-laki dan seorang perempuan.

Terlalu berat, terlalu berat resiko 

yang tentu akan ditanggungnya nanti. Tak 

mungkin dalam pengembaraannya ini dia 

membawa seorang istri. Tak akan mungkin.

Bagaimana pula dia bisa bebas men-

gembara, bila di benaknya dipenuhi oleh 

nasib anak dan istrinya nanti? Pandu 

menghela nafas panjang.

"Ah, Lastri... maafkan aku...." de-

sisnya dalam hati.

Lalu ditatapnya gadis itu yang ma-

sih menundukkan kepalanya. Dan perlahan-

lahan serta hati-hati pula dia memegang


dagu gadis itu yang langsung tersentak 

kaget dan tanpa sadar mengangkat kepa-

lanya.

Pandu dapat melihat kerjapan malu 

dan senang pada sepasang mata yang bening 

dan cerah itu.

Dan secepat dia mengangkat wajah-

nya, secepat itu pula dia menurunkan wa-

jahnya. Gelagapan tersipu. Dengan satu 

gerakan lembut yang sopan dan mampu mem-

buat hati Lastri bergetar, Pandu menaik-

kan wajahnya.

Hingga mau tidak mau gadis itu ter-

paksa menatapnya. Sepasang mata itu sema-

kin tersipu. Ah, rasanya tak kuasa Lastri 

menolaknya bila Pandu mengecupnya atau 

menarik tubuhnya ke dalam rangkulannya. 

Dan dia memang mengharapkan pemuda itu 

melakukannya.

Namun pemuda itu masih tegak mena-

tapnya. Tidak melakukan apa-apa biarpun 

tangannya masih memegang dagunya. Hal itu 

membuat Lastri semakin kagum karena pemu-

da itu tidak ceriwis dan tidak mengguna-

kan kesempatan yang ada.

Jarang dia menemui pemuda seperti 

Pandu. Justru dari sikap Pandu itulah 

yang membuat Lastri semakin menjadi pena-

saran untuk dipeluk dan di rangkul.

Ataupun... ih, dikecup!

Tetapi pemuda itu tidak berbuat 

apa-apa. Lastri mendengar pemuda itu ber


kata, "Rayi... mengapa kau nampaknya ce-

mas padaku? Mengapa kau nampaknya tidak 

rela bila aku mencari orang-orang kejam 

itu? Bukankah kau tahu, bila orang-orang 

itu dibiarkan terus berkeliaran, maka na-

sib orang banyak akan jadi malapetaka 

yang luar biasa. Kau sudah menyaksikan 

bagaimana kekejaman mereka bukan, Rayi? 

Dan kau tentunya dapat merasakan kepedi-

han bagaimana yang dialami orang-orang 

yang terkena gangguan mereka? Pilu dan 

luka, Rayi. Apalagi dengan nasib para ga-

dis yang mereka culik? Mungkin sudah ra-

tusan jumlahnya gadis-gadis yang mereka 

culik dari berbagai desa itu tanpa seo-

rang pun yang tahu bagaimana nasib mere-

ka. Ini amat memprihatinkan, bukan?"

"Tapi, Kakang...." suara gadis itu 

bergetar. "Aku kuatir denganmu...."

"Mengapa kau kuatir, Rayi? Menga-

pa?"

Ditembak dengan pertanyaan yang 

langsung pada sasaran dan tatapan mata 

yang menikam, membuat Lastri menunduk. 

Dan tiba-tiba saja dia berlari masuk ke 

dalam tersipu dan berujar, "Karena... aku 

sayang padamu, Kakang...."

"Benar dugaanku," desah Pandu dalam 

hati. "Yah, memang sudah kuduga hal itu 

sebenarnya. Namun aku tidak mau terlibat 

percintaan seperti itu. Maafkan aku, Rayi 

Lastri."


Lalu dia menaiki kudanya dan meng-

gebrak larinya dengan cepat. Dari balik 

gorden Lastri mengintip dengan hati pilu. 

"Mengapa Pandu tidak pamit lagi padaku?" 

Desisnya di hati.

Sementara pemuda itu terus memacu 

kudanya dengan cepat. Baginya dia merasa 

tidak perlu memikirkan Lastri. Biarlah 

gadis itu akan menyadari sendiri, bahwa 

aku tidak pantas untuknya.

Tidak mungkin gadis lembut seperti 

dia bisa kuajak mengembara, dan kalau pun 

bisa mungkinkah aku akan tega melakukan-

nya.

Mengajaknya bertualang? Ah, bukan-

kah dalam pengembaraanku ini akan banyak 

kujumpai kendala dan halangan yang amat 

susah? Bisakah kulakukan bersama Lastri?

Bisakah?

Pandu mendesah panjang dan melari-

kan kudanya kencang-kencang. Dia tidak 

mau lagi mengingat gadis itu. Biarlah ga-

dis itu, biarlah dia tenggelam dalam an-

gannya. Dan aku tak mau menambah angan 

itu semakin dalam.

Kala siang hari saat matahari sudah 

merambah dunia dengan kegarangan sinar-

nya, Pandu menghentikan kudanya di suatu 

tempat yang cukup sepi. Pohon-pohon besar 

dan tinggi cukup menghalangi sinar mata-

hari yang datang menyengat.

Setelah menambatkan kudanya, Pandu


lalu merebahkan tubuhnya di rerumputan, 

namun setelah beberapa saat berlalu, ti-

ba-tiba di dengarnya derap langkah kuda 

yang bergegas ke arahnya dengan bergemu-

ruh dan cepat.

Menimbulkan tanda tanya.

Pandu pun segera bangkit untuk me-

lihat siapa yang datang. Dan batinnya 

berbicara, bahwa akan terjadi sesuatu 

yang tidak menggembirakan.

*

**

ENAM



Semula Pandu tidak melihat dengan 

jelas siapa orang-orang yang menunggangi 

kuda-kuda itu. Namun ketika tinggal bebe-

rapa tindak lagi, barulah dia mengenali 

dua orang penunggang kuda itu yang pernah 

mau merebut Golok Cindarbuana yang ter-

sampir di punggungnya.

Dan dia memang benar, orang-orang 

itu adakah Wayaluta, Jimbun dan Rimbin. 

Yang setelah mendapat tugas dari Ki Pan-

cang Jalak atau Hantu Bertangan Bara un-

tuk membunuh Pandu dan merebut Golok Cin-

darbuana dari tangannya, telah tiba di 

sini.

Mereka hampir seminggu lamanya me-

macu kuda-kuda mereka dengan rasa penasaran dan tidak sabar untuk bertemu dengan 

pemuda yang mereka cari!

Dan sudah tentu mereka gembira kala 

secara tidak sengaja bertemu dengan pemu-

da itu di sini! Bukankah ini merupakan 

satu keberuntungan sehingga mereka tidak 

perlu bersusah payah lagi?!

Serentak ketiganya memperlambat la-

ri kuda mereka. Dan betapa geramnya Jim-

bun dan Rimbin begitu melihat siapa pemu-

da yang tengah beristirahat dengan santai 

dan wajah yang sebagian tertutup caping 

yang dikenakannya. Namun kali ini sudah 

berdiri dengan gagah.

"Bangsat! Rupanya kau berada di si-

ni, pemuda busuk!" membentak Jimbun den-

gan marahnya. Wajahnya seketika beringas. 

Dan nafasnya mendengus-dengus. Dendamnya 

semakin menjadi-jadi dengan besar sekali.

Pandu hanya tersenyum. Hingga seka-

rang ini dia masih tetap heran bagaimana 

kedua manusia jelek ini bisa terlepas da-

ri totokannya.

"Hmmm... rupanya Tiga Malaikat Tali 

Pencabut Nyawa yang ada di hadapanku se-

karang ini! Tetapi kini tinggal Dua Ma-

laikat Tali Pencabut Nyawa dan seorang ki 

sanak yang tak kukenal. Hmm... ada apakah 

gerangan hingga kalian tidak segera me-

lanjutkan perjalanan?!"

Lalu mengapa kalian menuduh aku 

yang membunuh? Rupanya kalian berdua ini


orang-orang yang pelupa sekali. Adik se-

perguruan kalian mati oleh tangan kalian 

sendiri?!"

Merah padam wajah Rimbin. Memang, 

mereka juga kaget ketika menyadari senja-

ta tali berujungkan besi lancip yang men-

jadi senjata andalan mereka menancap di 

tubuh Tambon. Namun semua itu semua itu 

karena si pemuda setan ini!!

"Perduli setan! Semuanya kaulah 

yang menjadi gara-gara!"

"Aku? Hahaha... sejak semula sudah 

ku katakan, kita tidak punya saling seng-

keta. Namun kalian yang datang ingin mem-

bunuhku dan merebut Golok Cindarbuana mi-

likku ini! Nah, bagaimana aku bisa menye-

rahkan nyawa dan golokku ini begitu saja 

pada kalian? Mustahil bukan! Tapi... aku 

kagum dengan kalian berdua, rupanya ka-

lian bisa membebaskan diri juga, bukan? 

Tapi... tidak mungkin rasanya bila tidak 

ada yang menolong. Dan dugaanku, kaulah 

ki sanak yang telah menolong mereka...."

Wayaluta yang merasa pandangan mata 

Pandu tertuju padanya hanya menyeringai.

"Hehehe... memang aku yang telah 

membebaskan mereka dari totokanmu, Anak 

muda... Tapi perduli setan dengan semua-

nya. Yang kami inginkan sekarang, berikan 

Golok Cindarbuana itu pada kami! Dan se-

telah itu, kau boleh membunuh diri!!"

Pandu tersenyum walau dalam hati


berkata, lagi-lagi golok ini. Ada rahasia 

apa sebenarnya di batik golok ini?

"Tidak mungkin sepertinya menda-

patkan golok ini dari tanganku...."

"Bila benar adanya demikian, maka 

kau menantang orang-orang Telapak Bara!" 

seru Wayaluta dengan suara yang angker.

"Telapak Bara? Apa pula itu?" tanya 

Pandu tidak mengerti.

Dia memang sungguh-sungguh tidak 

mengerti. Namun Wayaluta menganggapnya 

sebagai suatu penghinaan dan ejekan. Ka-

rena ternyata masih ada orang yang tidak 

tahu tentang Gerombolan Telapak Bara.

"Pemuda busuk! Sombong pula kau ru-

panya! Ketahuilah, Telapak Bara adalah 

sebuah gerombolan yang bermukim di Gunung 

Merapi. Dan dipimpin oleh Ki Pancang Ja-

lak atau yang bergelar Hantu Bertangan

Bara!"

"Apakah dia yang menyuruh kalian 

untuk merebut Golok Cindarbuana dari tan-

ganku ini?"

"Tanpa diperintah oleh dia pun kami 

datang memang untuk membunuhmu!!" seru 

Jimbun dan tangannya sudah bergerak, me-

mainkan senjata talinya yang ujungnya te-

rikat sebuah besi tajam.

Desingan senjata itu cukup keras. 

Pandu serentak berjumpalitan ke samping. 

Dalam hatinya dia menggerutu, "Sialan!

Sebenarnya ada rahasia apa di balik


Golok Cindarbuana ini? Benar-benar aneh! 

Aneh sekali!"

Dan melihat Jimbun sudah menyerang, 

Rimbin pun segera menggerakkan senjata 

tali berujungkan besinya. Kini dua senja-

ta itu pun berputar-putar berdesing den-

gan hebatnya. Menyambar dengan cepat ke 

arah Pandu. Sungguh luar biasa cepatnya. 

Angin yang ditimbulkan akibat desingan 

senjata itu cukup keras.

Pandu sendiri sudah menggunakan ju-

rus menghindarnya, Bangau Terbang. Lalu. 

Namun kedua senjata itu tetap mengejar 

dengan hebatnya.

Belum lagi ketika Wayulata sudah

membantu dengan jurus Telapak Baranya. 

Setiap tangannya bergerak, terasa hawa 

panas yang cukup menyengat menerpa kulit 

Pandu.

Hal ini benar-benar membuatnya ke-

repotan.

"Celaka! Aku tidak bisa bertahan 

lama-lama kalau begini! Mereka terus me-

nyerangku! Enak saja, aku tidak di beri 

kesempatan untuk menyerang! Baiklah, kita 

lihat sekarang!!" desis pemuda berbaju 

putih itu dalam hati.

Tiba-tiba saja dia berjumpalitan ke 

belakang dan sebelum hinggap di bumi dia 

sudah melepaskan pukulan sinar putihnya. 

Selarik sinar putih itu mampu mengurung-

kan niat Wayaluta untuk menerobos masuk


menyerbu.

"Haittt!!" serunya seraya menghin-

dar ke kiri.

"Bangsat!!" geram Jimbun dan segera 

menyerang lagi dengan senjatanya. Kali 

ini Pandu pun kembali mencecarnya dengan 

Pukulan Sinar Putihnya. Namun Jimbun yang 

dalam hal ini ditemani oleh Rimbin, tidak 

mengenal takut. Keduanya terus menerobos 

masuk. Membuat Pandu menjadi kebingungan 

sendiri. Karena jarak yang mereka perli-

hatkan begitu dekat, begitu memudahkan 

mereka untuk menyerang dengan lebih lelu-

asa, karena senjata mereka itu bisa digu-

nakan dalam menyerang jarak panjang mau-

pun jarak pendek.

"Brengsek!!" dengusnya apalagi se-

telah Wayaluta merangsek masuk. Membuat-

nya jadi kewalahan. Tak satu pun dari se-

rangan ketiganya yang berani di tangkis-

nya, hanya dihindarinya saja.

Dan Pandu pun membuka Pukulan Patuk 

Gagak. Semua pukulan itu mampu mengimban-

gi ketiganya dengan kecepatan handal yang 

diperlihatkan. Gerakannya sungguh-sungguh

amat cepat dan mengagumkan.

Dan kaki tangannya seolah berubah 

menjadi gerakan Burung Gagak Rimang yang 

kadang gemulai dan. kadang keras. Cepat 

dan hebat. Sejenak Pandu berhasil mengua-

sai pertarungan. Namun karena dia tak be-

rani bersentuhan tangan dengan Wayaluta


yang telah mengeluarkan pukulan Telapak 

Baranya sejak tadi, inilah yang membuat-

nya menjadi menjaga jarak.

Dan akhirnya dia kembali terdesak.

"Celaka! Mereka benar-benar tang-

guh! Huh! Mengapa harus ada orang yang 

bisa menggunakan Telapak Bara itu? Il-

munya sungguh hebat sekali! Sulit bagiku 

untuk melawannya. Hei... apakah mesti ku-

gunakan Ajian Tangan Malaikat ku?"

Sambil memikir-mikirkan hal itu, 

Pandu masih berusaha untuk mengimbangi 

serangan-serangan ketiga lawannya. Dan 

dia pun tak dapat membendung serangan ke-

tiga lawannya.

Memang tidak ada jalan lain lagi 

kalau begini. Terpaksa ilmu andalannya 

yang diturunkan oleh gurunya, Mpu Daga, 

harus digunakannya. Selama ini dia memang 

belum pernah menggunakan Ajian Tangan Ma-

laikatnya. Dan kali inilah kesempatan 

itu.

Tiba-tiba saja Pandu melompat ke 

kiri, kala tangan Wayaluta sudah hendak 

menyambar tubuhnya. Lalu dia berjumpali-

tan ke belakang ketika dua senjata yang 

dilepaskan Jimbun dan Rimbin mencecar ke 

arahnya.

Dalam hal ini Pandu bisa saja meng-

gunakan Golok Cindarbuana yang ada di 

punggungnya. Ilmu golok pun lumayan he-

bat. Namun karena masih penasaran ada ra



hasia apa sesungguhnya di balik Golok 

Cindarbuana itu, membuat Pandu menjadi 

enggan untuk menggunakannya.

Memang tidak ada jalan lain untuk 

menghadapi mereka. Ajian Tangan Malaikat-

nya harus segera dia gunakan.

Dan begitu dia berhasil menghindari 

serangan-serangan itu, Pandu langsung me-

rangkum kedua tangannya di dada. Nampak 

dia seperti tengah bersemedi. Ketiga la-

wannya saling pandang tidak mengerti. Na-

mun kemudian mereka langsung menyerang.

Sungguh luar biasa. Karena tiba-

tiba saja tubuh Pandu melenting ke atas. 

Dan saat hinggap di tanah kedua tangannya 

mengepulkan asap berwarna putih.

Ketiga lawannya tahu, kalau pemuda 

itu tengah mengeluarkan jurus andalannya. 

Dan ini membuat mereka semakin berhati-

hati menyerang. Namun mereka telah ber-

janji, untuk tidak mengecewakan hati Ki 

Pancang Jalak.

Mereka pun tetap menyerbu dengan 

maksud merebut Golok Cindarbuana dan mem-

bunuh pemuda itu.

"Pemuda edan! Lebih baik serahkan 

saja golok itu pada kami, bila tidak in-

gin kau mati dalam keadaan yang menya-

kitkan!!" seru Wayaluta sambil menyerbu.

"Hahaha... tak akan pernah kuberi-

kan golok ini pada siapa pun yang bermak-

sud jahat denganku!" sahut Pandu sambil


menghindari serangan itu dan mencoba mem-

balasnya lewat satu jotosan tangan kanan-

nya. Wayaluta langsung menghindar pula 

karena dia merasakan hawa yang sungguh-

sungguh panas luar biasa menguar dari 

tangan itu. Dan ini membuatnya menjadi 

pucat. Pandu melihat hal itu, "Hahaha... 

rupanya Telapak Baramu tak ada gunanya 

bukan melawan ilmu Cakar Gagak Rimang 

yang kumiliki ini?"

"Bangsat! Apa pula dengan ilmu Ca-

kar Gagak Rimang itu?!" bentak Wayaluta.

"Hahaha... mengapa harus sungkan-

sungkan bertanya, hah? Semua ini tak per-

lu kujelaskan, karena sebentar lagi ka-

lian akan merasakan ilmu itu. Dan kalian 

akan tahu siapa aku... hahaha!!"

"Sombong!!" dengus Jimbun sambil 

melontarkan lagi senjatanya. Namun sung-

guh di luar dugaannya, karena begitu sen-

jata itu dekat dengannya, tiba-tiba saja 

Pandu seperti gerakan membelah, tangan 

kanannya mengibas ke arah besi yang ten-

gah meluncur itu ke arahnya.

"Trass!!"

Tali itu terputus terpotong. Namun 

ujung besinya terus meluncur ke arah Pan-

du. Dengan satu gerakan yang luar biasa 

cepat dan sigapnya, tubuh Pandu berputar 

dua kali ke belakang menghindari ujung 

besi itu. Dan.... "Des!!" Tangan kanannya 

mengibas, tepat menghantam ujung besi itu


hingga berbalik dengan cepat.

Lebih cepat dari datangnya dan me-

luncur ke arah pemiliknya!

Jimbun terkejut.

Sungguh dia amat tidak menyangka 

kalau senjatanya akan berbalik ke arah-

nya.

Dan dia pun seolah terpaku oleh 

senjatanya yang datang kembali ke arah-

nya. Tanpa ampun lagi besi itu pun menan-

cap tepat di jantungnya.

Terdengar lolongan keras yang amat 

menyayat di pagi hari ini.

Melihat kawannya mati, Rimbin men-

jadi buas dan marah. Dia mencecar Pandu 

dengan segala kecepatannya. Ujung talinya 

yang berbentuk besi itu menyambar-nyambar 

dengan cepat. Menimbulkan desingan angin 

yang kuat, atau pun seperti gemuruh tawon 

yang datang beramai-ramai.

"Kau harus membayar nyawa Jimbun, 

Pemuda sombong!!" serunya kalap dan terus 

mencecar.

Pandu pun menghindarinya dengan ce-

pat dan sigap. Dan tiba-tiba dia terdiam 

ketika ujung besi itu mengarah padanya. 

Namun lima senti ujung besi itu tepat 

menghujam jantungnya, tiba-tiba tubuhnya 

bergerak ke atas. Tangan kanannya menyam-

bar ujung besi itu dan dijadikannya seba-

gai batu tumpuan untuk mengempos tubuhnya.


Dan tubuhnya itu pun terempos ke 

atas. Langsung meluncur ke arah Rimbin 

yang kini bisa jadi terpaku. Dan tanpa 

ampun lagi telapak tangan Pandu yang ter-

buka itu tepat mengenai dadanya.

Terdengar lolongan bagaikan orang 

digigit seorang srigala lapar.

Dan tak lama kemudian tubuh Rimbin 

menggelepar, lalu ambruk terdiam. Dan ti-

ba-tiba saja tubuh itu mengempos-ngempis. 

Lalu tiba-tiba meledak!

Pandu terkejut. Ya Tuhan... begitu 

kejam kah Ajian Cakar Gagak Rimang milik-

nya. Benar-benar amat mengerikan. Pantas, 

gurunya melarangnya menggunakan ilmu itu 

sembarangan Karena akibatnya sungguh-

sungguh di luar dugaan.

Bau sengit pun menguar karena tubuh 

itu berubah menjadi hangus.

Wayaluta sendiri pun terkejut. Tadi 

dia menduga, Ajian Cakar Gagak Rimang 

yang dimiliki pemuda itu hanya satu ilmu 

yang menimbulkan hawa panas. Sama seperti 

yang dimilikinya ini. Dan ilmu Tangan Ma-

laikat itu pasti jauh berada di bawah il-

mu si Hantu Bertangan Bara. Namun melihat 

hasil dari satu pukulan yang dilepaskan 

pemuda itu pada Rimbin tadi, sungguh amat 

mengejutkannya.

Terus terang dia mengakui, ilmu si 

Hantu Bertangan Bara masih kalah oleh 

ajian milik si pemuda ini.


Karena merasa tak sanggup untuk 

menghadapinya lagi, Wayaluta hanya bisa 

mendengus.

"Pandu... suatu saat nanti, kita 

akan berjumpa lagi!"

"Ki Sanak... mengapa kiranya ki sa-

nak bernafsu untuk memiliki Golok Cindar-

buana ini, dan begitu bernafsu ingin mem-

bunuhku? Ada apa dengan golok ini? Dan 

mengapa nyawaku begitu amat diinginkan 

oleh ki sanak untuk di cabut?"

Wayaluta mendengus.

"Persetan dengan semua pertanyaan-

mu! Jawablah sendiri! Karena kau pun se-

benarnya tahu apa jawabannya!"

"Sungguh, ki sanak... aku tidak ta-

hu apa jawabannya! Masalah misteri apa 

yang terpendam di balik golok ini saja 

sudah amat membingungkanku!"

"Hmm... kau sungguh hebat berka-

ta...." "Ki Sanak... aku sungguh bingung 

dengan semua ini. Belum lagi mengapa ka-

lian begitu bernafsu untuk membunuhku? 

Padahal sejak semula aku tidak memiliki 

silang sengketa dengan kalian? Ini benar-

benar merupakan satu teka-teki yang sulit 

untuk kujawab!"

"Hmm... bila kau penasaran, baik-

lah akan kujawab pertanyaanmu itu. Kami 

memang menginginkan nyawamu! Karena kami 

memang menginginkan kau mati! Sedangkan 

kenapa kami menginginkan golok itu, kare


na kau tak pantas memilikinya! Tak pantas 

golok itu berada di tanganmu, mengerti?!"

"Belum, Ki Sanak. Aku belum menger-

ti sepenuhnya. Sebenarnya aku tidak mau 

terlibat perkelahian terus menerus den-

ganmu atau dengan siapa saja karena golok 

ini. Aku ingin kita hidup berdampingan. 

Tidak saling mencari silang sengketa yang 

berkepanjangan!"

"Selama kau masih memiliki Golok 

Cindarbuana itu, maka selamanya orang 

akan mencarimu! Demikian pula aku, Waya-

luta, anggota dari Gerombolan Telapak Ba-

ra yang akan membuatmu musnah dari muka 

bumi ini!"

Tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya 

seakan tidak percaya dengan apa yang di-

dengarnya. Anggota Telapak Bara? Oh, bu-

kankah dia memang sedang mencari orang-

orang itu? Ataukah... ya, ya... tentunya 

dia memang anggota Telapak Bara mengingat 

dari ilmu yang digunakannya tadi.

Untuk meyakinkan Pandu bertanya, 

separuh geram dan separuh menyelidik.

"Wayaluta... benarkah kau anggota 

perkumpulan kejam yang menamakan dirinya 

Gerombolan Telapak Bara?"

Wayaluta terbahak.

"Hahaha... agaknya kau jeri menden-

gar nama gerombolanku yang sudah begitu 

hebat, hah? Nah, bukankah lebih baik kau 

segera saja menyembah berlutut kepadaku,



hah? Cepat, sebelum ajalmu datang!"

Pandu mendesah dalam hati.

"Wayaluta... apakah orang-orangmu 

yang menyerbu dan membumihanguskan Desa

Batang Muara?"

"Hahaha... aku sudah tidak ingat 

lagi nama desa-desa yang kupimpin untuk 

kuhancurkan! Batang Muara? Ya, ya... ra-

sanya aku pernah mendengar nama itu. Te-

tapi entahlah benar atau tidak... Haha-

ha... soalnya aku sudah lupa. Karena ter-

lalu banyak desa-desa yang kami ratakan 

dengan tanah!" kata Wayaluta terbahak.

Pandu yang tadi semula sudah mena-

han dirinya lagi, kini kembali menjadi 

emosi. Hhh! Kalau tak percuma dia bertemu

dengan manusia-manusia kejam ini. Bukan-

kah ini akan membuatnya mudah melakukan 

rencananya?

"Wayaluta... ingatkah kau dengan 

seorang kepala desa yang bernama Ki Lurah 

Perkoso?" pancing Pandu untuk meyakinkan 

bahwa Desa Batang Muara dihancurkan oleh 

Wayaluta yang memang orang-orang dari Te-

lapak Bara. "Ingatkah kau akan hal itu, 

Wayaluta?!"

Wayaluta terlihat terdiam. Lalu ke-

mudian terdengar tawanya yang keras.

"Hahaha... ya, ya... aku ingat, aku 

ingat sekarang! Benar, kalau begitu Desa 

Batang Muaralah yang kami hancurkan baru-

baru ini. Hei, pemuda tengik! Ketahuilah,


bahwa gadis-gadis dari Desa Batang Muara 

begitu cantik menggairahkan!

Bahkan ketua kami, Ki Pancang Jalak 

amat menyukai mereka! Hahaha, ya, ya...." 

Terbahak Wayaluta namun tiba-tiba tawanya 

terhenti. Sepasang matanya tajam menatap 

Pandu. "Hhh! Lalu kau mau apa sebenar-

nya?! Apa kau pikir kaulah dewa penyela-

mat bagi setiap manusia yang kami teror 

hah? Jangan bermimpi pemuda tengik!!"

"Wayaluta... agaknya petualangan 

kekejaman kau, ketuamu dan gerombolanmu 

akan segera berakhir! Selama aku masih 

ada di bumi ini, tak kubiarkan kalian te-

rus-menerus menebarkan teror yang kejam!"

"Hahaha! Kau tengah bermimpi di 

siang belong, Pandu!"

"Katakan pada ketuamu yang bernama 

Ki Pancang Jalak itu! Bila dia memang 

jantan adanya, kutunggu dia di Lembah 

Maut saat purnama pertama bulan ini! Dan 

bila dia menolak tantanganku, maka lebih 

baik tinggalkan dunia ini dan jangan kem-

bali lagi!"

"Sombong!!" Wayaluta menggeram mur-

ka dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat 

menerjang dengan ganas. Dia kembali meng-

gunakan Ajian Telapak Baranya. Namun Pan-

du yang tengah kesal dan kejam, mengim-

banginya dengan Ajian Tangan Malaikatnya 

tingkat pertama. Dan gebrakan Wayaluta 

tak ada gunanya. Dia pun harus kalah da


lam gebrakan pertama. Mulutnya mengalir-

kan darah segar saat dia muntah.

Matanya tajam menatap. Penuh kege-

raman yang amat sakit di dada.

Pandu tersenyum.

"Maafkan aku, Ki Sanak.... Katakan-

lah pada ketuamu tentang tantanganku itu! 

Dan sebaiknya, kau tak perlu ikut campur 

dalam masalah ini!!"

"Persetan denganmu!" geram Wayalu-

ta. "Ingat, Pandu... suatu saat nanti, 

kita akan bertemu lagi! Dan kau harus me-

nyerahkan nyawamu dan Golok Cindarbuana 

itu padaku! Mengerti?!"

"Ki Sanak...."

Namun tubuh Wayaluta telah menghi-

lang dengan membawa dendam dan amarahnya 

yang luar biasa. Juga luka dalam yang di 

deritanya di dada. Bukannya berhasil men-

dapatkan apa yang mereka inginkan, malah 

mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin. 

Bahkan sebenarnya secara diam-diam Waya-

luta kagum dengan keberanian dan ketega-

ran pemuda itu.

Dan dia pun mengakui kalau pemuda 

itu amat tangguh. Apalagi dengan Ajian 

Cakar Gagak Rimang. Hmm... jadi dugaan 

ketua benar, kalau saat ini ada seorang 

pendekar kelana yang bergelar Pendekar 

Gagak Rimang, desisnya dalam hati. Dan 

gelar itu bukanlah gelar kosong belaka!

Gelar yang amat menggetarkan bagi


yang mendengarnya! Dan akan membuat orang 

lari terbirit-birit bila sudah menyaksi-

kan kehebatan ilmunya!

Sementara Pandu mendesah panjang.

Rupanya secara kebetulan tugasnya 

mencari orang-orang kejam itu berakhir 

hingga di sini, karena dia akan menantang 

Ki Pancang Jalak untuk bertarung di Lem-

bah Maut.

Dan secara tidak sengaja pula, dia 

dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang 

begitu penasaran untuk merebut Golok Cin-

darbuana itu.

Kini Tiga Malaikat Tali Pencabut 

Nyawa telah mampus. Dan dia siap untuk 

menghadapi Ki Pancang Jalak atau Hantu 

Bertangan Bara demi keadilan dan kebena-

ran.

Baginya hidupnya tidak akan tenang 

bila dia tidak menghentikan sepak terjang 

orang-orang itu.

Lalu Pandu segera menaiki kudanya 

dan melarikan lagi kudanya. Kembali ke 

Desa Batang Muara.

Sesampai di sana, dia segera mela-

porkan semuanya pada Ki Lurah Perkoso.

"Jadi kau akan datang ke Lembah 

Maut itu, Pandu?" tanya ki lurah.

"Benar, Ki. Aku akan ke sana. Jan-

gan ada seorang pun yang meninggalkan de-

sa. Karena menurutku, keadaan kini lebih 

gawat dari sebelumnya. Dugaanku, orang


orang itu akan segera menyerang ke mari."

"Tapi, Anak muda... tegakah hati 

kami melepaskan kau pergi seorang diri?"

"Ki lurah... percayalah, aku sudah 

berjanji akan menolong orang-orang di de-

sa ini dari keangkaramurkaan yang dilaku-

kan orang-orang kejam itu. Nah, aku akan 

tunaikan janjiku itu.

Biarlah semuanya aku yang tanggung. 

Bila Gusti Batara Agung masih memperbo-

lehkan aku hidup, maka aku akan tetap hi-

dup. Percayalah, Gusti Batara Agung akan 

menjaga umat-Nya yang berlindung pada-

Nya.

Tak ada yang bersuara.

Dan tentang pertarungan itu pun 

terdengar oleh Lastri. Gadis itu hanya 

bisa menangis berkepanjangan.

Dia amat mencintai pemuda itu.

Amat mencintainya!

*

* *

TUJUH



Ki Pancang Jalak alias Hantu Ber-

tangan Bara menggebrak meja yang ada di 

hadapannya hingga hancur berantakan. 

Wayaluta yang duduk di hadapannya tanpa 

sadar menggigil. Dan tanpa sadar pula dia 

langsung menundukkan kepalanya begitu ta

tapannya berbenturan dengan tatapan mata 

Ki Pancang Jalak yang bukan main dingin-

nya.

"Bodoh! Goblok! Menghadapi pemuda 

itu saja kau gagal, hah?! Bahkan harus 

mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin! Be-

nar-benar tolol! Sungguh tolol!!" seru Ki 

Pancang Jalak dengan suara murka.

Wayaluta hanya menunduk. Tadi pun 

dia ragu sebenarnya untuk mengatakan hal 

itu. Namun ketuanya bisa-bisa marah besar 

bila dia terlambat memberi keterangan 

yang sesungguhnya. Hal seperti itu saja, 

padahal dia tidak terlambat, murkanya su-

dah bukan alang kepalang lagi. Ini amat 

berbahaya.

"Maafkan saya, Ketua... pemuda itu 

amat tangguh sekali," kata Wayaluta den-

gan suara mendesis. Bagaikan desahan be-

laka. Wajahnya nampak pias dan ketakutan.

"Bodoh! Tolol! Kau benar-benar ti-

dak berguna, Wayaluta! Kau bisa membunuh-

nya! Kau hanya omong besar, Wayaluta!!"

"Ketua...." kata Wayaluta sambil 

menahan rasa takutnya. "Pemuda itu sung-

guh tangguh sekali, Ketua. Dia... dia... 

memiliki ilmu Tangan Malaikat, Ketua...."

Ki Pancang Jalak yang sedang mondar 

mandir dengan perasaan kesal seketika 

berhenti melangkah. Berbalik menatap 

Wayaluta dengan tatapan terbelalak.

"Apa katamu?!"


"Dia... dia memiliki ilmu Cakar Ga-

gak Rimang, Ketua...."

"Kau tidak salah, Wayaluta?"

"Ketua.,.. Ketualah yang pernah 

menceritakan hal itu padaku, kalau ilmu 

itu adalah satu ilmu yang amat langka di 

muka bumi ini. Bahkan dikabarkan ilmu itu 

sudah tidak ada sama sekali

Dan aku pun tahu bagaimana ciri-

ciri dari ilmu itu. Bukankah ketua sendi-

ri yang menceritakannya padaku? Dia sung-

guh-sungguh memiliki ilmu yang amat lang-

ka itu, Ketua! Ilmu Cakar Gagak Rimang.

Ki Pancang Jalak terdiam. Ilmu Ca-

kar Gagak Rimang? Oh, ilmu yang pernah 

menggemparkan dunia puluhan tahun yang 

silam. Lalu mengapa sekarang ada seorang 

pemuda yang menguasai ilmu itu? Siapakah 

pemuda itu sebenarnya?

Apakah selama ini desas-desus yang 

mengabarkan adanya seorang pemuda kelana 

yang tangguh dan bergelar Pendekar Gagak 

Rimang benar adanya.

Wajah Ki Pancang Jalak semakin me-

rona memerah kala mendengar kata-kata da-

ri Wayaluta selanjutnya.

"Ketua... bahkan pemuda itu menan-

tang ketua untuk bertanding di Lembah 

Maut kala purnama pertama di bulan ini."

"Anjing buduk.'!" geram Ki Pancang 

Jalak hingga berdiri. Wajahnya menampak-

kan kegeraman yang amat luar biasa. Ma


tanya beringas dengan nafas yang menden-

gus-dengus menyeramkan.

Wayaluta menjadi ngeri. Dan tanpa 

sadar dia menundukkan kepalanya. "Benar, 

Ketua...."

"Setttan!! Pemuda itu belum tahu 

siapa aku rupanya, hah?! Baik, aku akan 

terima tantangan bertarung di Lembah Maut 

itu!" desisnya menggeram menakutkan.

"Ketua...." kata Wayaluta sambil 

perlahan-lahan. "Bukannya saya meremehkan 

ketua... saya yakin, ilmu Tangan Bara ke-

tua tidak ada tandingannya. Namun...."

"Hhh! Aku mengerti maksudmu, Waya-

luta! Nah, pergilah kau ke Gunung Semeru! 

Temui kakak seperguruanku yang sedang 

bersemedi di sana!"

"Baik, Ketua. Tapi...."

"Apa, Wayaluta?"

"Bagaimana caranya hingga saya men-

getahui dia adanya? Bukankah selama ini 

saya tidak pernah berjumpa dengannya?"

"Dia bernama Ki Kerto Ijo atau yang 

berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa! Dia 

tengah bersemedi di puncak Gunung Semeru. 

Katakanlah padanya, kalau aku amat membu-

tuhkan segala bantuannya. Mengerti?"

"Ya, Ketua... tetapi jalan menuju 

ke Gunung Semeru demikian sulitnya. Dan 

aku tidak yakin bila tidak banyak penjeg-

al di sana."

"Bawa beberapa anak buahmu! Cepat,


Wayaluta!" Deru Ki Pancang Jalak. "Bunuh 

siapa saja yang menghalangi langkahmu! 

Persetan dengan mereka! Penghinaan ini 

tidak pernah aku terima!

Cepatlah, Wayaluta! Ilmu Cakar Ga-

gak Rimang yang dimiliki pemuda itu hanya 

bisa dilawan oleh ilmu kakak sepergurua-

nku si Malaikat Pencabut Nyawa!"

"Baik, Ketua!" kata Wayaluta hor-

mat. Lalu dia mengumpulkan tiga orang te-

man atau anak buahnya. Dan saat itu juga 

dia berangkat menuju Gunung Semeru.

Ki Pancang Jalak hanya mendesah 

panjang. Lalu dia memasuki kamar yang ada 

di kediamannya itu. Satu sosok tubuh te-

lanjang bulat sudah menunggunya dalam 

keadaan tidak sadar.

*

* *

Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut 

Nyawa memiliki tubuh tinggi besar. Wajah-

nya amat menyeramkan. Di dadanya tersam-

pir kalung tengkorak yang menyala berwar-

na merah kedua matanya. Di dua pergelan-

gan tangannya terdapat dua belah gelang 

yang besar dan tebal. Begitu pula di ke-

dua pergelangan kakinya.

Ki Pancang Jalak menyambut kakak 

seperguruannya itu dengan tertawa gembi-

ra. Keduanya berpelukan karena sekian la


ma tidak berjumpa.

Ki Kerto Ijo disuguhi anak perawan 

yang masih murni, dan anak perawan itu 

hanya bisa menangis sedih. Setelah itu, 

keduanya bercakap-cakap.

Sekali-kali terlihat wajah Ki Kerto 

Ijo geram bukan main. Dan kala mendengar 

kata-kata Ki Pancang Jalak tentang Golok 

Cindarbuana yang dimiliki pemuda itu wa-

jahnya menjadi gembira.

Dia terbahak-bahak keras.

"Hahaha... ini berita yang menggem-

birakan bagiku, Jalak! Bagus, bagus! Ya, 

ya... aku sudah tidak sabar rasanya untuk 

melumat ratakan dengan tanah pemuda busuk 

yang bergelar si Tangan Malaikat itu!

Namun yang kutahu, di dunia ini 

hanya seorang yang memiliki ilmu Cakar 

Gagak Rimang. Dia adalah pertapa sakti 

Eyang Ringkih Ireng atau majikan Gunung 

Kidul di Bukit Paringin. Bila dikaitkan 

dengan pemuda itu, sudah bisa dipastikan 

kalau dia adalah murid tunggal Eyang 

Ringkih Ireng.

Hmm, agaknya memang benar adanya. 

Ya, ya... Pukulan Sinar Putihnya pun amat 

tangguh. Tentunya semua ilmu yang dimili-

ki oleh Eyang Ringkih Ireng telah ditu-

runkan kepadanya, mengingat pemuda itu 

pun memiliki ilmu yang amat hebat itu!"

"Benar, Kakang Kerto.... Dan aku 

yakin, ilmu Malaikat Pencabut Nyawa yang


akan bisa menandingi kehebatan ilmu dari 

Pendekar Gagak Rimang!"

Mendengar pujian itu, Ki Kerto Ijo 

terbahak lebar. Ternyata saat tertawa pun 

tidak mengurangi keseraman wajahnya yang 

menakutkan itu.

"Hahaha... jangan kuatir soal itu, 

Adi Jalak! Semuanya akan beres aku tanga-

ni! Hmm, ya, ya... rasanya aku pun sudah 

tidak sabar menunggu bulan ini!"

"Benar, Kakang!" kata Ki Pancang 

Jalak yang sebenarnya masih mengira-

ngira dan mengukur kehebatan ilmu Tangan 

Malaikat yang mampu menggetarkan siapa 

saja yang mendengar nama itu.

Namun dia membesarkan dirinya, bah-

wa ilmu Tangan Baranya akan mampu mem-

bungkamkan sepak terjang Pendekar Gagak 

Rimang.

"Kurasa... kau sendiri mampu mela-

kukan, Adi Jalak!" kata Ki Kerto Ijo.

"Tetapi bukankah bila ada kau, ke-

kuatan ku malah bertambah, Kakang?" kata 

Ki Pancang Jalak menyeringai.

Ki Kerto Ijo terbahak keras.

"Lembah Maut akan menjadi saksi ke-

matian dari Pendekar Gagak Rimang, yang 

namanya kini telah beranjak naik ke per-

mukaan.

Dan nama Ki Kerto Ijo alias Malai-

kat Pencabut Nyawa akan menggebrak naik 

menjadi jago nomor satu di rimba persila


tan ini... hahaha!!"

Ki Pancang Jalak pun terbahak-

bahak. Rasanya keyakinannya bertambah un-

tuk memiliki Golok Cindarbuana. Namun se-

kali waktu dia berpikir, apakah golok 

sakti itu akan jatuh ke tangannya bila 

kakaknya pun ingin memiliki golok itu?

Ki Pancang Jalak hanya mendesah 

panjang.

*

**

DELAPAN



Bila mendengar nama Lembah Maut di 

sebutkan, orang sudah bergetar hatinya. 

Bahkan bisa kuncup melempem. Jangankan 

untuk mendatangi tempat itu, mendengar 

namanya saja orang sudah ngeri dan berpi-

kir seribu kali untuk pergi ke sana.

Konon di Lembah Maut pernah terjadi 

pertarungan yang amat hebat antara dua 

tokoh dari Tiongkok. Dan kedua orang sak-

ti itu pun sama-sama tewas setelah ber-

tempur seratus hari seratus malam tanpa 

beristirahat.

Bahkan ada yang menduga, kalau Lem-

bah Maut itu pun akan menjadi makam abadi 

bagi yang mendatanginya.

Namun di kala rembulan tepat berada 

di atas kepala, sinarnya cemerlang dan


bersinar purnama, nampak dua sosok tubuh 

berada di lembah itu. Lembah yang sekeli-

lingnya kosong melompong dan di penuhi 

oleh batu-batu cadas yang tajam dan ter-

jal. Bila malam hari angin dingin berhem-

bus menembus hingga ke tulang sumsum. Na-

mun bila siang hari, panas yang luar bi-

asa akan menyengat menyakitkan.

Tetapi di tengah dinginnya angin 

yang berhembus dan pekatnya kabut yang 

cukup tebal, sekilas nampak dua sosok tu-

buh yang berdiri tegar. Seakan tidak 

menghiraukan hembusan angin itu. Bahkan 

terlihat keduanya nampak begitu tenang 

dan tidak merasa terganggu.

Mata keduanya nampak begitu waspada 

memperhatikan sekelilingnya.

"Hmm... agaknya manusia itu adalah 

manusia pengecut, Adi Jalak!" terdengar 

suara bernada seram.

"Benar, Kakang! Sudah cukup lama 

kita menunggu di sini, namun manusia itu 

belum muncul juga!!" terdengar sahutan 

yang di tanya tadi,

Keduanya adalah Ki Kerto Ijo dan Ki 

Pancang Jalak. Purnama telah tiba berarti 

tantangan itu pun akan segera terlaksana. 

Sudah hampir seperminum teh mereka berada 

di sana, namun sedikit pun mereka tidak 

melihat bayangan Pandu.

Namun tiba-tiba terlihat sekilas 

cahaya berwarna putih melesat ke angkasa.


Keduanya tersentak.

"Apa itu, Kakang?" tanya Ki Pancang 

Jalak.

"Entahlah, aku pun baru melihat ca-

haya putih bersinar seperti itu!"

Selagi keduanya sibuk untuk menge-

tahui cahaya apa yang baru saja berkele-

bat, mendadak saja satu sosok tubuh me-

lenting ke angkasa dan hinggap di dekat 

keduanya.

Keduanya cukup terkejut, karena ge-

rakan sosok tubuh itu begitu cepat tanpa 

menimbulkan sedikit suara. Yang lebih 

terkejut lagi, Ki Pancang Jalak ketika 

mendengar suara angker bertanya.

"Hmm, kaukah Ki Pancang Jalak alias 

Hantu Bertangan Bara? Bila memang benar 

adanya, apakah kau telah menjadi manusia 

pengecut hingga menerima tantanganku den-

gan membawa teman, hah?!"

Dari rasa keterkejutannya segera 

beralih pada kegeraman. Seketika Ki Pan-

cang Jalak segera tahu siapa manusia yang 

tengah berdiri di hadapannya ini. Meski-

pun matanya susah untuk melihat wajah 

yang bersuara tadi karena tertutup oleh 

caping yang dikenakan, namun Ki Pancang 

Jalak dapat merasakan sorot tajam dari 

mata yang hanya terlihat sedikit itu.

"Hhh! Rupanya Pendekar Gagak Rimang 

telah berdiri di hadapanku!!"

"Memang benar adanya, Ki Pancang


Jalak! Aku tidak mau panjang lebar sebe-

narnya, hentikan sepak terjangmu menye-

barkan teror di muka bumi ini, niscaya 

nyawamu akan kuampuni! Namun bila tidak, 

kau tak akan pernah lagi melihat dunia 

yang begitu indah ini, Ki Pancang Jalak!"

Dan satu hal itu, katakan... ada 

rahasia apa di balik Golok Cindarbuana 

ini? Dan mengapa kau begitu bernafsu un-

tuk memilikinya?

"Demikian pula dengan para kerocomu 

yang nekad membuang nyawa percuma di tan-

ganku!"

Wajah Ki Pancang Jalak memerah, 

terlihat jelas karena purnama bersinar 

terang. Dan terdengar geraman hebat dari 

sisinya.

Ki Kerto Ijo menggeram bagaikan de-

sisan srigala lapar. Kedua tangannya yang 

besar dan kekar mengepal, menandakan dia 

telah marah.

Pandu hanya tersenyum. Dan dia da-

pat mengetahui kalau ilmu yang dimiliki 

laki-laki menyeramkan ini lebih tinggi 

dari ilmu kesaktian Ki Pancang Jalak.

"Pandu!" seru Ki Kerto Ijo. "Lebih 

baik kau segera menyerahkan Golok Cindar-

buana itu padaku, setelah itu kau boleh 

pergi dengan tenang!

Namun bila kau melanggar perintahku 

ini, maka nyawa dan jasadmu akan terpisah 

selama-lamanya!"


Mendengar ancaman itu Pandu hanya 

membuang tawa.

"Lucu, lucu sekali! Siapakah kau 

sebenarnya, manusia jelek lagi seram? 

Apakah kau merasa yakin bisa merebut Go-

lok Cindarbuana dari tanganku ini, hah?"

Demikian pula dengan kau, Ki Pan-

cang Jalak! Meskipun kau minta bantuan 

manusia kerbau seperti dia itu, tak akan 

mungkin kau bisa mengalahkan aku!!"

"Anjing!" geram Ki Pancang Jalak.

"Katakan... ada rahasia apa di ba-

lik Golok Cindarbuana ini?!"

"Persetan dengan permintaanmu itu! 

Cepat serahkan golok itu pada kami!"

"Hahaha... agaknya kau pun menjadi 

pemimpi, Ki Pancang Jalak! Ceritakan ra-

hasia apa yang terpendam pada golok ini, 

Ki Pancang Jalak?!"

"Anjing buduk! Lebih baik kau mam-

pus saja!" maki Ki Pancang Jalak dan tu-

buhnya pun menderu maju dengan kecepatan 

laksana angin kencang.

Pandu yang sejak tadi telah ber-

siap, hanya tersenyum saja. Dan begitu 

serangan Ki Pancang Jalak hendak mengenai 

tubuhnya mendadak saja, Pandu berputar 

dan tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke 

atas hinggap di tanah.

Ki Pancang Jalak menggeram hebat, 

merasa pendekar itu tengah mempermainkan-

nya dengan memperlihatkan ilmu peringan


tubuhnya.

"Bedebah!" menggeram dia seraya 

membalikkan tubuhnya. Dan agaknya Ki Pan-

cang Jalak sudah tidak mau bertindak 

tanggung lagi. Apalagi di depan kakak se-

perguruannya. Ibaratnya dia dipercundan-

gi dengan sekali menghindar oleh pemuda 

sialan itu!

Lalu dia pun merapal Ajian Tangan 

Baranya yang amat kejam. Seketika terli-

hat dari siku hingga jari jemarinya warna 

seperti bara.

Dan mengeluarkan hawa panas yang 

cukup menyengat.

Pandu dapat mengira-ngira kalau il-

mu itu amat mengerikan. Tetapi dia hanya 

tertawa saja.

"Bangsat! Mampuslah kau!" sambil 

menggeram kembali Ki Pancang Jalak me-

nyerbu. Pandu pun segera mengeluarkan il-

mu menghindarnya. Gagak Rimang Terbang 

Lalu.

Namun serangan dan ilmu yang diper-

lihatkan oleh Ki Pancang Jalak sungguh 

suatu ilmu yang dahsyat, kejam dan menge-

rikan. Angin yang timbul setiap kali dia 

menggerakkan tangannya, menebarkan hawa 

panas yang menyengat. Biarpun Pandu dapat 

menghindari serangan-serangan itu, namun 

hawa panas yang timbul amat mengganggu 

gerakannya.

Lama kelamaan dia menjadi cukup ke


panasan. Dan secara tiba-tiba saja kala 

Ki Pancang Jalak menyerbu, dia pun lang-

sung melenting ke angkasa. Dan diki-

baskannya tangan kanannya. Selarik sinar 

putih melesat ke arah Ki Pancang Jalak 

yang nampaknya hendak menyerang lagi.

Namun laki-laki ketua dari Telapak 

Bara itu harus mengurungkan niatnya me-

nyerang bila tidak ingin tubuhnya diterpa 

dan hangus oleh Pukulan Sinar Putih itu.

"Setttannnn!" dengusnya seraya ber-

salto menghindar.

Pandu dapat sejenak bernafas.

Namun hanya beberapa detik saja, 

karena detik berikutnya Ki Pancang Jalak 

sudah menyerbu ke depan dengan pekikan 

melengking yang menyayat hati.

Pandu pun tidak mau bertindak tang-

gung pula. Hanya satu yang bisa menghen-

tikan Ajian Tangan Bara milik Ki Pancang 

Jalak. Berpikiran demikian, maka dia pun 

mengeluarkan Ajian Cakar Gagak Rimang.

Dan langsung memekik pula menyong-

song ke depan, ke arah Ki Pancang Jalak 

yang juga sedang menyerbu.

Tanpa ampun lagi dua pukulan sakti 

itu pun bertemu. Menimbulkan suara leda-

kan yang cukup keras. Pasir yang ada di 

sekitar Lembah Maut beterbangan.

Dan dua sosok tubuh terpental ke 

belakang. Sungguh hebat dan mengerikan 

dua ajian sakti itu bila bertemu dalam


satu bentuk permusuhan dan menganggap se-

bagai lawan belaka.

Bergulingan.

Dan berhenti.

Kala keduanya bangkit, terlihat ke-

duanya muntah darah. Keadaan Ki Pancang 

Jalak lebih parah rupanya, karena dia me-

rasakan sekujur tubuhnya panas menyengat.

Dia menjerit-jerit bergulingan un-

tuk mengusir rasa panas yang menyengat.

Ki Kerto Ijo segera bertindak ce-

pat. Dia pun mengalirkan tenaga dalamnya 

pada adik seperguruannya itu dengan mak-

sud untuk mengusir hawa panas dari tubuh 

Ki Pancang Jalak.

Beberapa saat kemudian terlihat tu-

buh Ki Pancang Jalak yang bergulingan he-

bat itu terdiam. Dan perlahan-lahan ma-

tanya yang terpejam ketat untuk menghi-

langkan dan menahan hawa panas itu terbu-

ka.

Dia kini bisa bernafas dengan lega. 

Lalu dia bersemedi untuk memulihkan tena-

ga dan jalan darahnya.

Sementara Ki Kerto Ijo tengah mena-

tap Pandu yang bangkit perlahan-lahan. 

Dia masih beruntung karena Ajian Cakar 

Gagak Rimang berada satu tingkat di atas 

Ajian Tangan Bara Ki Pancang Jalak.

"Anak muda... ilmu Cakar Gagak Ri-

mang sungguh luar biasa!" serunya jumawa 

sambil berkacak pinggang. Jubah hitamnya


berkibar dihembus angin malam. "Bila aku 

tidak salah duga, kau tentunya murid dari 

Eyang Ringkih

Ireng, pertapa sakti yang kini ber-

diam di Gunung Kidul, karena sudah merasa 

tua dan tidak mampu untuk berada di kera-

maian rimba persilatan!

Malam ini... aku hendak mencoba 

Ajian Tangan Malaikat milik Eyang Ringkih 

Ireng yang pernah menggetarkan dunia per-

silatan puluhan tahun yang silam.

"Karena engkaulah pewaris tunggal 

dari pertapa sakti itu, maka engkaulah 

yang menjadi sasarannya!"

Pandu yang diam-diam terluka dalam, 

mendesah. Dia memang belum tahu kehebatan 

Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut Nya-

wa. Namun biarpun begitu, dia sudah dapat 

mengira-ngira tentu amat tinggi kesaktian 

dari ilmu Ki Kerto Ijo. Dan berarti ini 

bukanlah satu hal untuk main-main.

"Ki Kerto Ijo... kau dan adik se-

perguruan mu itu memusuhiku karena ingin 

merebut Golok Cindarbuana, bukan? Namun 

secara pribadi... aku pun mengatakan bah-

wa aku tidak menyukai sepak terjang yang 

kejam yang telah di lakukan kau Ki Pan-

cang Jalak dan anggota gerombolan mu yang 

buas itu!

"Hmm... sesungguhnya ada apakah di 

balik Golok Cindarbuana ini?"

Ki Kerto Ijo terbahak.


"Hahaha... kau belum tahu rupanya, 

Pandu? Goblok! Amat tolol kau! Hhh! Cepat 

kau berikan golok itu padaku, sebelum 

nyawamu kucabut dan kau tak pernah akan 

mengetahui rahasia apa yang ada di balik 

golok itu. Cepat!!

Saat ini yang ada di benak Pandu 

bukanlah untuk mempertahankan diri, me-

lainkan untuk mengetahui rahasia apa yang 

ada di balik Golok Cindarbuana.

"Kalau begitu... aku harus menye-

rang, karena diam pun percuma. Malah sea-

kan aku mengantarkan nyawa belaka!" de-

sisnya dalam hati. "Maafkan aku, Eyang... 

dua manusia ini teramat sakti untukku!"

"Kau tidak dengar kata-kataku, 

hah?!" membentak lagi Ki Kerto Ijo.

"Agaknya kita memang diharuskan un-

tuk bertarung Ki Kerto Ijo. Aku tak akan 

mundur selangkah ke belakang pun untuk 

menghadapimu!"

"Bagus! Nah, kau bersiaplah!" seru 

Ki Kerto Ijo. Kini sepasang matanya mena-

tap mengerikan dan siap memuntahkan kema-

rahan yang luar biasa dalam dan dahsyat-

nya. Pandu pun bersiap.

Dan kala tubuh Ki Kerto Ijo mener-

jang ke depan, dia pun segera melesat.

Terjadi lagi pertempuran di tempat 

itu. Serangan demi serangan keduanya la-

kukan dengan cepat.

Dahsyat. Dan berbahaya.


Ki Kerto Ijo memang membuktikan 

ucapannya. Dia memang bukan omong kosong 

belaka. Karena serangan-serangan Pukulan 

Patuk Bangau yang dilakukan Pandu berha-

sil dipatahkannya.

"Hahaha... lebih baik kau menyerah 

saja dan menyerahkan Golok Cindarbuana 

padaku!"

"Bangsat!" memaki Pandu sambil 

menghindari pukulan Ki Kerto Ijo. 

"Eyang... ujian ini sungguh berat bagi-

ku," desis Pandu dalam hati.

Dalam serangan-serangan berikutnya 

terlihat Pandu terdesak hebat. Dia memang 

berusaha bertahan, namun berkali-kali pu-

kulan atau pun tendangan yang dilakukan 

Ki Kerto Ijo mengenai sasarannya.

"Goblok! Cepat kau keluarkan Ajian 

Cakar Gagak Rimang, hah? Cepat!"

Memang, mungkin hanya itu yang bisa

membuatnya bertahan. Tiba-tiba tubuh Pan-

du melenting ke angkasa. Dan kala dia 

hinggap di bumi, ilmu Cakar Gagak Rimang 

telah terangkum di tangannya.

"Hahaha... mengapa tidak sejak ta-

di, hah? Nah, kita buktikan... apakah il-

mu mu mampu mengalahkan Ajian Malaikat 

Pencabut Nyawa milikku!" seru Ki Kerto 

Ijo.

Beberapa saat kemudian terlihat dia 

terdiam. Matanya terpejam. Dan mendadak 

tangannya berputar bagaikan baling-baling


lalu disusul dengan tubuhnya.

Sungguh dahsyat angin yang ditim-

bulkan oleh tangan dan tubuh yang berpu-

tar itu. Pandu sedikit jeri melihatnya. 

Mampukah ajian Cakar Gagak Rimang menahan 

serangan yang nampak begitu. hebat dan 

mengerikan?

"Bersiaplah untuk mampus, Pandu!" 

seru Ki Kerto Ijo dan tubuhnya pun sudah 

melesat menyerbu. Sungguh hebat sekali, 

karena gebrakannya terus berputar. Mampu 

membuat lawan menjadi kebingungan dan sa-

mar-samar mata yang melihat dan menjadi 

gelap.

Begitu pula yang dialami Pandu. Na-

mun dia tetap berkonsentrasi penuh.

Tiba-tiba dia pun memekik dan me-

nyongsong serangan itu. "Bantu aku, 

Eyang...."

Dan tanpa ampun lagi keduanya pun 

bertemu. Kali ini lebih hebat dan bentu-

ran tenaga sakti Cakar Gagak Rimang dan 

Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak.

"Duuuuaaarrr!!!"

Terdengar ledakan yang amat hebat 

dan kuat. Bumi seakan bergoncang dan me-

nimbulkan kepulan debu yang amat tebal. 

Dari balik kepulan itu satu sosok tubuh 

terdorong ke belakang dengan kuat.

Tubuh Pandu, yang kini ambruk den-

gan dada terasa jebol dan seluruh tubuh 

yang ngilu. Dan kala debu yang tebal itu


mulai menipis, terlihatlah sosok Ki Kerto 

Ijo yang tegar berdiri.

Lalu mengumandanglah tawanya yang 

keras luar biasa, menebar ke seluruh Lem-

bah Maut.

Pandu dengan susah payah untuk 

bangkit. Sakit. Sakit yang amat luar bi-

asa dideritanya. Capingnya terlepas. Dan 

terlihat tatapan mata yang mengandung si-

nar marah dan nyeri.

"Bangsat!" makinya lemah. "Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!"

Dan tangannya pun bergerak, menca-

but Golok Cindarbuana dari sarungnya. Ki 

Kerto Ijo dan Ki Pancang Jalak mendesis 

kagum melihat golok yang luar biasa itu 

dan mengeluarkan cahaya.

Mata Ki Kerto Ijo makin berkilat-

kilat. "Serahkan golok itu padaku!"

"Hmm... rebutlah dari tanganku!"

"Anjing!" maki Ki Kerto Ijo dan 

kembali menyerbu.

Pandu pun melayaninya dengan ilmu 

goloknya yang amat hebat. Namun karena 

tenaganya sudah melemah dan tubuhnya yang 

kesakitan, gerakannya menjadi kacau. Da-

lam dua gebrakan berikutnya, dia sudah 

terhuyung dan terpelanting jatuh.

Goloknya terlepas.

Sigap Ki Kerto Ijo menyambarnya. 

Dan mengelus-ngelusnya kagum dengan tawa 

yang menggelegar.


"Hahaha... akhirnya golok ini men-

jadi milikku! Dan rahasia yang selama ini 

terpendam akan menjadi milikku pula! Hhh, 

Pandu... kini kau akan segera tahu raha-

sia apa yang ada di balik Golok Cindarbu-

ana ini.

Ketahuilah, ujung golok ini mengan-

dung sari sakti yang amat hebat. Dua 

tetes air yang keluar dari ujung golok 

ini mengandung ilmu

yang kuat. Bila orang beruntung 

mendapatkannya, maka dia akan kebal oleh 

akibat sari sakti itu. Pukulan dan benda 

apa pun tak akan mampu mengalahkannya.

"Dan akulah orang yang mampu menga-

lahkannya!"

Lalu terlihat Ki Kerto Ijo mengo-

sok-gosok ujung golok itu dengan menenga-

dah, tepat meletakkan ujung golok itu ke 

rongga mulutnya.

Pandu mendesah panjang. Ini tidak 

boleh terjadi. Dan dia pun tahu akhirnya 

rahasia yang terpendam di balik Golok 

Cindarbuana itu. Namun dia tidak kuasa 

untuk menahannya. Dia hanya bisa memper-

hatikan dengan hati pedih.

Sari sakti yang ada di ujung Golok 

Cindarbuana itu akan tertelan oleh Ki 

Kerto Ijo. Yang dikuatirkan Pandu, karena 

Ki Kerto Ijo tentunya akan menggunakan 

kesaktiannya untuk berbuat jahat.

"Maafkan aku, Eyang... aku tak kua


sa untuk mencegahnya," desisnya pilu.

Namun mendadak terdengar jeritan 

kesakitan dari mulut Ki Kerto Ijo yang 

terhempas ke depan. Golok yang dipegang-

nya terlepas.

Ki Pancang Jalak berdiri gagah usai 

menyambar golok yang terlepas itu. Dialah 

yang menghantam kakak seperguruannya dari 

belakang dengan Tangan Baranya. Dia tidak 

ingin sari sakti Golok Cindarbuana terte-

lan oleh kakaknya.

Sejak semula dia memang telah me-

rencanakan semua itu. Dia akan menikam 

dari belakang kakak seperguruannya.

Ki Kerto Ijo yang merasakan tubuh 

bagian belakangnya hangus menoleh dengan 

geram. "Kau?!" Hanya itu yang bisa di-

ucapkannya, karena detik berikutnya tu-

buhnya sudah ambruk. Racun Tangan Bara 

milik Ki Pancang Jalak sudah mengenai 

jantungnya.

Kini Ki Pancang Jalak terbahak-

bahak.

"Hahaha... akulah yang akan memili-

ki kesaktian ilmu kebal dari sari sakti 

Golok Cindarbuana ini!" Lalu dia pun 

menggosok-gosok ujung golok itu dengan 

cara yang sama yang tadi dilakukan oleh 

kakak seperguruannya.

Manusia ini sungguh licik, desis 

Pandu yang tidak mengira Ki Pancang Jalak 

akan melakukan pembokongan yang mengeri


kan itu.

Dan manusia itu masih tertawa. Tan-

gannya masih menggosok-gosok ujung golok 

itu. Namun mendadak saja terdengar leng-

kingan kesakitannya.

Tubuhnya terhuyung. Jalannya lim-

bung. Pandu melihat enam buah anak panah 

menancap di punggung Ki Pancang Jalak. 

Lalu nampaklah beberapa orang yang memba-

wa busur ke arahnya. Ki Lurah Perkoso dan 

beberapa orang penduduk.

Ki Pancang Jalak masih berusaha un-

tuk bertahan, namun jantungnya telah ter-

tembus anak panah itu. Limbung. Dan ter-

dengar lolongan yang keras saat tubuhnya 

ambruk ke tanah.

Darah segar bermuncratan. Nyawanya 

pun melayang. 

Pandu mendesah lega. Kelicikan itu 

telah terbalas.

Ki Lurah Perkoso bergegas mengham-

piri.

Hatinya pilu melihat Pandu yang ke-

sakitan dan terluka! "Pandu...."

"Tenanglah, Ki....tolong ambil go-

lok itu."

Ki lurah menyerahkannya. Pandu 

menggosok-gosok ujung golok itu. Dan lama 

kelamaan menetes dua buah air dari ujung-

nya, yang langsung ditelannya.

Rahasia Golok Cindarbuana telah te-

rungkap. Dan dia pula yang beruntung men


dapatkannya.

Tubuhnya seketika terasa segar. 

Sungguh ajaib sari sakti yang terdapat 

dari Golok Cindarbuana ini. Rasa sakitnya 

pun menghilang. Pandu mengambil capingnya 

dan memasukkan golok itu ke sarungnya.

Lalu dia berdiri. Ditatapnya ki lu-

rah.

"Ki lurah... kurasa Sudah saatnya 

kita berpisah. Terima kasih atas pelaya-

nan yang telah diberikan kepadaku."

"Anak muda...."

Tetapi sosok itu telah lenyap. Dan 

dari kejauhan hanya terdengar ringkik ku-

da saja. Membuat orang-orang menjadi ka-

gum. Walau sesungguhnya mereka masih ber-

tanya, siapakah sebenarnya pemuda itu!

Dan di rumahnya, Lastri terus me-

nunggu yang berkepanjangan.


                           SELESAI


Ikutilah serial:

Pendekar Gagak Rimang berikutnya, dalam 

episode:

LAMBANG PENYEBAR KEMATIAN


 

0 komentar:

Posting Komentar