BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE LAMBANG PENYEBAR KEMATIAN


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SATU


Desa Kali Sunyi terletak di Utara Gunung 

Pengging. Desa itu adalah sebuah desa yang aman 

dan tentram. Para penduduknya sebagian besar 

bertani. Mereka selalu rukun dan damai. Dan 

ketentraman itu semakin dirasakan oleh para 

penduduknya sejak berdirinya Perguruan Silat 

Cempaka Biru.

Perguruan Cempaka Biru dipimpin oleh 

Andikabirata. Dia seorang laki-laki setengah baya 

yang gagah perkasa. Tubuhnya masih nampak 

kekar. Dalam memimpin perguruannya dia begitu 

arif dan bijaksana, sehingga semakin lama nama 

perguruannya semakin tinggi menjulang.

Tidak hanya di sana saja, Andikabirata pun 

selalu aktif hadir setiap kali ada undangan di Balai 

Desa. Sehingga penduduk desa menyukainya dan 

menyukai pula para anggota dari Perguruan 

Cempaka Biru.

Nama Andikabirata pun semakin dihormati. Ki 

Lurah Pati Negoro setiap kali ada sesuatu yang 

mengganggu ketentraman desa selalu meminta 

bantuannya.

Dan Andikabirata dengan senang hati 

membantu.

"Karena aku telah lama berada di sini, dan aku 

berhak dan berkewajiban untuk membantu apapun 

yang terjadi!" katanya suatu hari di Balai Desa.


Memang, sebenarnya Andikabirata putra asli 

yang dilahirkan di Desa Kali Sunyi ini. Namun sejak 

berusia 17 tahun, dia pergi merantau. Dan dalam 

perantauannya dia banyak belajar akan ilmu 

kanuragan. Dalam setiap perantauannya pula dia 

selalu membela kebenaran dan memerangi 

kebatilan.

Itu dilakukan karena merasa itulah 

kewajibannya. Namanya dan gelarnya si Toya Maut 

pun mulai dikenal oleh banyak jago-jago rimba 

persilatan. Bahkan dia disegani dalam setiap 

pertemuan yang dihadiri oleh para jago.

Bukan hanya ilmunya saja yang tinggi, namun 

juga kewibawaannya yang menjadikan dia disegani 

oleh siapa pun. Dan itu merupakan ciri khasnya.

Dia selalu berpikir panjang bila menghadapi satu 

persoalan. Tidak pernah main hantam begitu saja.

Dan setelah merasakan cukup dia pun kembali 

ke Desa-Kali Sunyi dan mendirikan perguruan silat 

yang diberi nama Perguruan Cempaka Biru. 

Perguruan yang menggunakan senjata toya.

Bagi Andikabirata sendiri, memang dia ingin 

menyumbangkan kebisaannya bagi banyak orang. 

Karena dia merasa, bila ilmu yang dimilikinya tidak 

disumbangkan pada orang lain, .maka ilmu akan 

tumpul dan sia-sia.

Namun di balik semua itu sebenarnya ada yang 

menyusahkan pikiran Andikabirata. Pikiran yang 

telah lama mengganggu dan menyiksanya.


Di mana Perguruan Silat Cakram Maut telah 

menuduh mereka mencuri pusaka kebanggaan 

Cakram Maut. Sudah tentu Andikabirata menolak 

tuduhan itu kala beberapa orang utusan Perguruan 

Cakram Maut datang menanyakan hal itu. Bila 

semata-mata hanya bertanya, mungkin 

Andikabirata masih bisa menerima. Namun mereka 

langsung memvonis dengan menuduh yang terasa 

keji dan menyakitkan.

Akhirnya pertarungan pun tak bisa dihindari lagi 

karena beberapa murid Perguruan Cempaka Biru 

sudah tidak kuasa lagi menahan amarah.

Dalam pertarungan itu utusan dari Cakram Maut 

berhasil dipukul mundur dan luka-luka. Begitu pula 

halnya dengan beberapa murid Cempaka Biru. 

Andikabirata sendiri tidak turun tangan, karena dia 

tidak mau semua ini mengakibatkan sesuatu yang 

mengerikan.

Namun akibat dari semua itu, beberapa hari 

kemudian datang surat tantangan dari Perguruan 

Cakram Maut, yang mana isinya menyatakan 

bertarung dan bermusuhan dengan Perguruan 

Cempaka Biru.

"Rupanya pertarungan ini tak akan bisa kita 

dihindari lagi," kata Andikabirata pada para 

muridnya setelah membicarakan perihal surat 

tantangan dari Perguruan Cakram Maut.

"Apakah memang benar tidak bisa dihindari lagi, 

Bapak," kata Juwitasari putri tunggalnya. Dia


adalah seorang gadis jelita yang cantik luar biasa. 

Pesonanya sukar sekali untuk ditepiskan bagi 

pemuda yang melihatnya.

"Mungkin sulit, Wita... kita jelas-jelas tidak bisa 

menghindari semua ini. Dan sebaiknya kita bersiap-

siap bila suatu saat, para orang Cakram Maut 

datang menyerang ke sini," kata Andikabirata 

sambil mengusap dagunya.

Yang mendengarkan hanya mendesah. 

Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Dan pasti 

akan terjadi. Namun yang sungguh mengerikan 

adalah akibat dari semua itu.

Yang ingin dihindari oleh Andikabirata, adalah 

pertarungan yang akan membawa bencana bagi 

para penduduk yang tak berdosa. Ini merupakan 

sebuah beban yang berat baginya. Beban yang 

mungkin akan terbawa terus bila suatu ketika 

pertarungan yang tak terelakkan itu tiba waktunya.

Ini merupakan satu pemikiran yang 

menyulitkan. Jalan pemecahan pun sudah 

berulangkah dia lakukan. Dengan cara menjelaskan 

pada ketua Perguruan Cakram Maut, Ki Renggono 

Paksi. Namun tetap tuduhan yang dilontarkan Ki 

Renggono Paksi jatuh pada Perguruan Cempaka 

Biru.

Alasan Ki Renggono Paksi karena dia 

menemukan beberapa toya yang berlambangkan 

bunga cempaka di kedua ujungnya. Dan itu adalah 

ciri khas dari senjata toya milik Perguruan Cempaka


Biru.

Andikabirata berpikir, mungkin ada orang yang 

telah mencuri dan mengkambinghitam-kan 

Perguruan Cempaka Biru. Namun satu pemikiran 

lain pun tersirat di benak Andikabirata. Mungkinkah 

bila ada murid Perguruan Silat Cempaka Biru yang 

berkhianat?

Karena berpikir seperti inilah dia tidak berani 

untuk meneruskan pikirannya lagi tentang orang 

yang hendak mengkambinghi-tamkan 

perguruannya. Namun bukannya dia tidak perduli 

lagi dalam hal itu, dia sebenarnya masih 

memikirkannya pula. Namun tidak berani secara 

total.

Begitu pula halnya dengan Juwitasari. Sebagai 

putri satu-satunya dari Andikabirata, dia pun dapat 

merasakan kesulitan yang sedang dialami ayahnya. 

Namun dia pun tidak bisa pula memikirkan lebih 

lama.

"Tetapi yang kukuatirkan... bila benar 

pertarungan itu terjadi. Ah, mengapa sejahat itu 

orang-orang Cakram Maut menuduh kami?" 

desisnya pilu di suatu malam. "Namun bila 

memang demikian adanya, aku tidak akan tinggal 

diam. Aku pun benci pada mereka karena tuduhan 

keji yang mereka lontarkan. Tuduhan yang amat 

menyakitkan sekali. Dan ini jelas tidak bisa 

dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberi 

pelajaran!"


Wajah gadis yang cantik itu menjadi geram. 

Tadi sore dia melihat ayahnya duduk melamun di 

pendopo. Namun dia tidak berani untuk 

mendekatinya. Karena kuatir ayahnya akan 

terganggu. Karena jelas sekali ayahnya tengah 

berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut.

"Kasihan, Bapak... kasihan dia.... Seharusnya di 

usianya yang semakin senja ini.... Bapak tidak perlu 

mengalami hal yang demikian rumit. Dia 

seharusnya bersantai dan tenang-tenang 

menikmati masanya."

Dan kegeraman Juwitasari terhadap orang-

orang Cakram Maut menjadi berlipat ganda. Karena 

merekalah yang menyebarkan fitnah yang amat 

keji. Fitnah benar-benar bisa membawa petaka 

berkepanjangan.

Di samping itu pun Juwitasari tidak mau 

merasakan akibat dari semua ini. Darah dan darah 

yang akan mengalir. Semua ini terjadi karena 

mempertahankan harga diri.

Namun bisakah harga diri itu dipertahankan 

tanpa mengorbankan apa-apa? Apalagi 

mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.

Sebagai gadis belia dengan darah muda yang 

menggejolak, Juwitasari marah dengan semua 

tuduhan yang dilontarkan oleh Perguruan Cakram 

Maut.

Tetapi jelas dia tidak mau pertarungan ini 

terjadi. Pertarungan yang bisa pula dikatakan


peperangan, yang hanya menelan korban-korban 

tak bersalah dan menimbulkan kepedihan serta 

kesengsaraan yang berkepanjangan.

"Oh... mungkin hanya Gusti Betara Agunglah 

yang tahu siapa yang benar dan bersalah. Hanya 

Dia pula yang bisa menghentikan semua ini. 

Gusti... bila semua ini menjadi ke-hendak-Mu... 

berikanlah jalan ke luarnya. Cobaan yang Kau 

berikan ini terlalu besar dan berat bagi kami untuk 

memikulnya. Namun kami tidak bisa mengelak bila 

semua ini sudah Kau kehendaki. Karena hanya 

Engkaulah yang menjadi tumpuan kami. Yang 

mengatur semua permainan hidup di dunia ini...." 

desisnya sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.

Namun dia tetap berharap, semua ini tidak akan 

terjadi.

Juwitasari tidak bisa lagi memperpanjang 

lamunannya tentang perang dan akibatnya. Dia 

pun terlelap.

Dan pagi harinya gadis itu muncul dari dapur 

dengan membawa dua buah cangkir berisikan kopi 

pahit dan sepiring ubi rebus untuk ayahnya yang 

sedang duduk sambil menghisap rokok 

tembakaunya di Pendopo.

Sikap ayahnya nampak sedang memikirkan 

sesuatu. Kasihan Bapak... desis Juwita dalam hati. 

Tetapi aku akan membantunya sekuat tenaga 

dengan resiko apapun. Dengan penuh tanggung 

jawab. Lalu dengan anggunnya gadis itu


menghidangkan apa yang dia bawa di hadapan 

ayahnya. Dia pun tersenyum manis sekali. Siapa 

pun akan terkesan melihat senyum itu.

Andikabirata sendiri jadi terpecah pikirannya. 

Dia membetulkan letak duduknya.

Andikabirata memperhatikan putrinya itu 

menyediakan hidangan pagi untuknya. Betapa 

senangnya dia. Putrinya kini telah tumbuh sebagai 

gadis jelita dan berkepandaian tinggi.

Ah... dia mirip ibunya ketika muda dulu.

Andikabirata tersenyum sendiri mengenang 

masa lalunya ketika dia mengejar-ngejar Ratih 

Sudati, ibu putrinya ini. Ah, dia bagaikan orang gila 

jika tidak bertemu dengan pujaannya itu. Melatinya 

yang dia takut keburu dipetik orang lain. Siang 

malam dia selalu menjaganya dengan hati-hati dan 

merindukannya. Sampai dia berhasil memetik dan 

menyuntingnya.

Ah... senyum itu mengembang lagi di bibirnya.

Juwitasari yang sudah selesai meletakkan 

hidangan itu, heran melihat ayahnya tersenyum 

sendiri. Tatapan ayah seperti kosong namun 

bercahaya gembira. Ayah seperti orang yang 

sedang mendapatkan suatu khayalan atau 

renungan yang menyenangkan hati.

Pelan-pelan Juwitasari memanggil, "Bapak...."

Tetapi ayahnya masih tersenyum sendiri. 

Kenangan itu begitu indah bagi Andikabirata. Di



malam pengantin itu pula dia berhasil memetik dan 

mengambil apa yang dipersembahkan dengan 

penuh kasih sayang dan ikhlas dari Ratih Sudati. 

Namun benih yang ditanamnya sekian lama tidak 

bertunas. Membuatnya gelisah dan malu, karena 

ternyata tidak mampu memberikan Ratih Sudati 

bibit yang unggul. Begitu pula dengan Ratih Sudati 

sendiri. Dia malu karena ladangnya ternyata tidak 

subur.

Namun berkat cinta kasih mereka yang tulus 

dan mendalam, juga dengan panjatan doa kepada 

Tuhan Yang Maha Esa, benih itu tertanam pula 

dengan sempurna. Betapa gembira mereka berdua. 

Dalam perkawinan mereka yang ke-20 itulah baru 

ada sebuah bibit yang tumbuh di ladang istrinya. 

Dan ini membuat mereka seperti pengantin baru 

lagi. Bercanda dengan keriangan sepanjang hari.

Juwitasari semakin heran karena sudah dua kali 

dia memanggil ayahnya namun ayahnya masih 

tetap tersenyum sendiri. "Bapak... Bapak...:"

Andikabirata masih mengenang masa lalu yang 

indah itu.

Juwitasari semakin penasaran. Hati-hati dia 

menyentuh lengan ayahnya."

"Bapak...."

Baru sekaranglah Andikabirata tersentak. Dia 

mengerjap-ngerjapkan matanya dan buru-buru 

mengisap rokok tembakaunya.


ooo0dw0ooo---

Juwitasari menghela napas lega.

"Oh... ada apa, Wita?" tanya Andikabirata 

setelah berhasil menenangkan diri.

"Bapak melamun?"

"Bapak tidak melamun."

"Bagaimana bapak tidak melamun? Ju-wita 

sudah berulangkali memanggil bapak namun bapak 

diam saja. Apakah yang bapak lamunkan? Itu pun 

kalau bapak mau menerangkan dan Wita boleh 

mendengarkannya."

Andikabirata tersenyum. Menatap wajah 

putrinya yang seperti purnama di malam 15. Begitu 

bercahaya dan membuat orang mudah terpesona. 

Apalagi saat ini putrinya tengah memakai pakaian 

kain kebaya yang ketat, sehingga nyata mencetak 

tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Putrinya 

seakan menjadi dua manusia dalam satu waktu. 

Kadang dia menjadi seorang gadis anggun dan 

cantik. Kadang dia menjadi seorang gadis yang 

keras dan pemarah. Itu kalau dia sedang 

menghadapi lawan-lawannya. Juga nampak seperti 

seorang pendekar wanita yang gagah andaikata dia 

memakai baju hitam dan celana panjang hitamnya 

dengan toya pendek di bahunya.

Betapa cantiknya kau anakku.

Betapa beruntungnya aku memilikimu, Nak.


Betapa indahnya mata itu.

Alangkah beruntungnya kumbang yang berhasil 

menyuntingmu, Nak.

"Bapak melamun lagi," kata Juwitasari yang sej 

ak tadi menunggu jawaban bapaknya.

"Ah... Bapak sedang merenungi dirimu, Nak."

"Kenapa pula dengan diriku, Bapak? Apakah ada 

sesuatu yang aneh? Atau yang salah pada diriku?" 

tanya Juwitasari was-was. Dia kuatir tingkah 

lakunya ada yang tidak berkenan pada hati 

ayahnya. Padahal dia sudah berbuat sebaik 

mungkin. Dia juga yakin tingkah lakunya tidak ada 

yang jelek di mata ayahnya.

Tetapi dia kembali menghela napas lega setelah 

melihat ayahnya menggelengkan kepala.

"Bukan ada yang aneh atau ada yang salah 

padamu Juwita anakku."

"Lalu kenapa bapak menatapi diriku?" tanya 

Juwitasari penasaran

"Kau...." Andikabirata terdiam sesaat

"Ya, Bapak."

Tiba-tiba Andikabirata menarik napas. Matanya 

tak lepas dari wajah putrinya yang jelita. Ia 

menghisap rokok tembakaunya, lalu mematikannya 

dengan diinjak.

Dan menyeruput sedikit kopi pahitnya.


"Bapak... Bapak semakin membuatku 

penasaran. Apa sih yang bapak lihat dalam diriku 

ini? Katakanlah, Bapak, biar aku bisa melihat apa 

kekuranganku."

Andibirata tertawa pelan.

"Sedikit pun tak kulihat kekurangan pada dirimu, 

Wita. Kau begitu pandai, anggun, cantik, tegar, ah, 

sulit untuk mengatakan semua kelebihanmu."

Juwitasari tersipu, "Ah, Bapak. Kau membuatku 

malu saja, Bapak."

"Kau cantik sekali, Wita. Mirip dengan ibumu."

Mendengar kata ibunya disebutkan, Juwita tak

berkedip memandang ayahnya. "Apakah Bapak 

memikirkan soal ibu?”

Kali ini Andikabirata tidak bisa mengelak lagi. 

Dia menganggukkan kepalanya.

"Yah... aku memikirkan ibumu. Alangkah 

bahagianya kita jika ibumu berada di sisi kita 

semua. Ah, sesuatu yang tak mungkin bisa kita 

lakukan sekarang. Karena ibumu hampir 18 tahun 

pulang ke tempat asalnya, kembali ke pangkuan 

pemiliknya. Yah... dan tak mungkin kembali...."

Wajah Andikabirata nampak sendu. Ia 

menyalakan lagi rokok tembakaunya. Lalu 

menyeruput kembali kopi pahitnya. Angin sore 

berhembus semilir, masuk melalui jendela pendopo 

itu.


Sayup-sayup terdengar suara bentakan di 

halaman depan.

Andikabirata menatap muka anaknya. "Kau tidak 

berlatih, Juwita?"

"Tadi pagi sudah, Bapak. Sore ini aku ingin 

menemanimu duduk di pendopo ini."

"Aku yakin, kemajuan ilmu toyamu akan sukar 

dicari tandingannya, Wita." kata Andikabirata 

sambil tersenyum. Dan dia memang sungguh yakin 

dengan kata-katanya, melihat putrinya setiap hari 

semakin giat berlatih.

"Ah, Bapak...." desis Juwitasari malu tersipu 

karena dipuji seperti itu. "Aku hanya seorang anak 

gadis, manalah bisa memainkan ilmu toya tanpa 

tandingan, Bapak... Bapak terlalu mengada-ada 

dan memuji demi menyenangkan aku...."

Andikabirata tertawa.

"Aku tidak sedang memujimu, Wita... aku 

mengatakan apa adanya...."

"Bapak...."

Kembali Andikabirata tersenyum melihat 

putrinya tersipu. Senang dia melihat putrinya selalu 

merendah. Namun di balik sikapnya itu, 

tersembunyi sifat keras kepala dan keperkasaan 

seorang wanita. Ah, siapakah kelak yang akan 

berhasil menyunting dan mencuri hati si Jelita ini.

Andikabirata masih tersenyum kala putrinya


bertanya, "Bapak... bagaimana dengan tantangan 

dari Perguruan Cakram Maut. Apakah kita hanya 

diam berpangku tangan saja? Ataukah membiarkan 

mereka menuduh kita dengan keji tanpa bukti yang 

kuat? Bagaimana, Bapak?"

Mendengar pertanyaan putrinya, senyum 

Andikabirata menghilang seketika. Namun dia tidak 

menyalahkan putrinya yang bertanya seperti itu. 

Memang sudah sepatutnyalah bila putrinya 

bertanya.

Lagi pula, bukankah dengan sikap seperti itu 

menunjukkah bahwa putrinya punya perhatian 

yang besar terhadapnya?

"Aku pun tidak tahu apa yang harus kita 

lakukan, Wita? Namun semua ini telah terjadi. Dan 

kita harus bersiap-siap menghadapi «egala 

kemungkinan yang ada. Bila memang benar terjadi, 

kita pun tidak akan bisa menghindarinya...."

"Apakah tidak ada jalan lain, Bapak?" 

"Kemungkinan tidak ada, Wita... Bukankah kau 

tahu, usaha yang aku lakukan semuanya sia-sia 

belaka. Dan sedikit pun tidak menunjukkan hasil 

yang memadai...."

Juwitasari mendesah pelan, masygul. Terbayang 

kembali akibat perang yang mengerikan.

"Kalau memang demikian kenyataannya Bapak... 

apa yang bisa kita perbuat dalam hal ini?"

"Tak ada jalan lain, Wita... kita tetap akan


menyambut kedatangan mereka."

"Bapak... apakah bapak tidak tahu akibat 

perang? Perang yang akan terjadi di antara kita ini 

dengan Perguruan Cakram Maut, hanya akan 

menimbulkan korban dan membuat orang ketiga 

tertawa melihat perpecahan ini."

"Apa maksudmu dengan orang ketiga itu, Wita?" 

tanya Andikabirata sambil tersenyum. Diam-diam 

dia kagum terhadap putrinya yang berpikiran sudah 

sejauh itu. Bukankah dia sendiri pun telah 

memikirkan hal yang sama? Hanya mungkin, dia 

masih dipenuhi pikiran bahwa bisa saja salah 

seorang murid atau beberapa murid Perguruan 

Cempaka Biru yang berkhianat?

"Bapak... apakah bapak benar tidak tahu, 

ataukah hanya ingin menguji saya?" Andikabirata 

terbahak. "Kau memang pintar, Wita... Tidak, tidak 

ada maksud Bapak untuk mengujimu. Nah, bila kau 

punya pendapat lain, katakanlah biar bapak 

tahu...."

"Bapak... Perguruan Cakram Maut telah 

menuduh kita mencuri pusaka milik mereka. Dan 

kita tetap bersikeras membantah, karena pada 

kenyataannya kita memang tidak mencuri apa-apa 

seperti tuduhan mereka...."

"Lalu apa maksudmu, Wita...."

"Belum mengertikah Bapak?"

Andikabirata kembali terbahak.



"Jadi maksudmu... ada orang lain atau kelompok 

lain yang telah mencuri pusaka Perguruan Cakram 

Maut dan membuat kambing hitam kepada kita?"

"Begitulah dugaanku, Bapak... Betapa enaknya 

orang ketiga itu yang tertawa berhasil melihat 

kerjanya mengadu domba antara kita dengan 

Cakram Maut."

"Mungkin dugaanmu itu benar, Wita...."

"Mengapa mungkin, Bapak?"

Andikabirata mendesah panjang.

"Wita... tidak sampaikah pikiran bila memang 

benar ada di antara kita yang mencuri pusaka milik 

Perguruan Cakram Maut?"

"Apa maksudmu, Bapak...."

"Mungkin ini hanya dugaan. Bukankah kita 

berbicara tentang dugaan, Wita? Nah, Bapak pun 

mempunyai dugaan seperti itu. Ada di antara murid 

Perguruan Cempaka Biru yang memang berbuat 

seperti itu. Hal inilah yang sebenarnya 

memusingkan bapak, Wita...."

"Memang benar demikian adanya, bukankah 

sebaiknya kita selidiki saja, Bapak...."

"Itu pun secara diam-diam telah aku lakukan, 

Wita... Hanya saja aku tidak tega dan sampai hati 

bila benar memang ada murid Perguruan Cempaka 

Biru yang berkhianat."

Juwitasari terdiam. Baru dia berpikir sampai ke


sana Selama ini dia tidak berpikir tentang itu 

karena tidak menduga hal itu. Dalam pikiran 

Juwitasari, mana mungkin ada murid Perguruan 

Cempaka Biru yang berkhianat.

Namun memang bila pada kenyataannya seperti 

itu, .ini adalah suatu hal yang amat menjengkelkan 

sekali.

"Bapak...."

"Ya, Wita...."

"Tahukah Bapak siapa kira-kira yang telah 

berbuat seperti itu?"

"Aku sedang menyelidikinya, Wita. Kau memang 

putriku yang memiliki otak yang cerdas...."

"Aku hanya mencari kemungkinan yang mungkin 

terlewatkan, Bapak... Dan aku tidak ingin 

ketegangan ini makin merayap dan bisa menyebar 

kepada para penduduk...."

Andikabirata tersenyum.

"Kau memang gadis yang cerdas, Juwita. Ya, 

ya... kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi 

siapakah kira-kira orang yang telah membuat 

perpecahan ini? Wita... aku pun tidak menyukai 

adanya peperangan. Sudah kenyang rasanya aku 

makan derita dari hasil perang. Tetapi semua 

sudah terbayang. Bukankah kita tidak mau tanah 

ini diserang begitu saja? Kita punya dua tangan 

dan dua kaki, kita bisa membela diri. Dan kita 

harus mempertahankannya, bukankah begitu,


Wita?"

"Ya, Bapak."

"Nah, sekarang aku hendak bertanya." 

"Silahkan, Bapak."

"Maukah kau membela Cempaka Biru jika orang-

orang Cakram Maut menyerang ke sini?"

Juwitasari tidak langsung menjawab. Kelihatan 

ia agak bingung untuk menjawab.

"Kau ragu, Wita?" tanya ayahnya.

"Aku tidak ragu, Bapak. Kalau memang untuk 

membela negara, aku bersedia melakukannya. Yah, 

aku bersedia... Di tanah ini aku hidup. Aku akan 

membelanya, Bapak."

"Bagus. Jika pertempuran memang tidak bisa 

dihindarkan lagi, kau toh tidak akan ragu lagi. 

Karena aku sudah mendengar jawaban seperti ini 

dua kali dari mulutmu. Bukan begitu, Wita?"

"Ya, Bapak."

Angin berhembus pelan. Suara murid-murid 

Cempaka Biru yang sedang latihan di halaman 

depan terdengar. Juwitasari mengangkat 

kepalanya.

"Ubi rebusnya masih hangat, Bapak. Si-lahkan 

dicicipi. Saya sendiri yang merebusnya, Bapak."

"Lho, ke mana Nyai Asih?"

"Biarkan dia beristirahat Bapak. Kasihan wanita


tua itu, nampaknya terlalu letih bekerja."

"Ya, ya...." Andikabirata mengambil sepotong 

ubi rebus. Belum lagi dia mencicipinya, tiba-tiba 

muncul salah seorang murid Perguruan Cempaka 

Biru.

Andikabirata meletakkan kembali ubi yang 

dipegangnya. Menatap pemuda yang baru datang 

itu. Nampaknya begitu lelah seperti habis berlari 

karena napasnya terengah-engah juga peluhnya 

yang mengalir di sekitar wajahnya. Pemuda itu 

menunduk hormat.

"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata dengan 

suaranya yang terdengar berwibawa. Matanya lekat 

menatap pemuda yang baru datang itu.

Sikap Juwitasari sendiri pun sudah serius sekali 

ingin mendengarkan apa yang sebenarnya telah 

terjadi.

Pemuda yang bernama Priatana itu mengatur 

napasnya. Dia adalah salah seorang murid terbaik 

Perguruan Cempaka Biru. Yang ditugaskan oleh 

Andikabirata untuk menjaga di perbatasan Desa 

Kali Sunyi.

Bersama salah seorang murid Perguruan 

Cempaka Biru lainnya yang bernama Yan-tara, 

Priatna pun menjaga di ujung perbatasan Desa Kali 

Sunyi, untuk memata-matai orang-orang yang 

bermaksud jahat, sehingga setiap kejahatan yang 

akan terjadi bisa segera diketahui dan segera dapat 

ditanggulangi. Karena penjagaan yang ketat dan


sistem pengawasan yang hebat itu sampai 

sekarang ini Desa Kali Sunyi selalu aman dari 

gangguan orang-orang jahat.

Namun tugas yang diberikannya kepada Priatna 

dan Yantara adalah untuk memata-matai orang-

orang Cakram Maut yang kemungkinan besar 

sudah datang menyerang Desa Kali Sunyi.

Kembali dia menatap Priatna dan melihat mulut 

pemuda itu terbuka, "Maafkan kami Ketua... yang 

mengganggu ketenangan Ketua bersama Rayi 

Juwita...." 

Juwitasari tersenyum. "Kau tidak perlu berbasa 

basi seperti itu, Kakang Priatna. Katakanlah, apa 

yang me-nyebabkanmu sampai terengah-engah 

begitu. Katakanlah, Kakang Priatna... biar kami 

tidak bertanya-tanya lagi...."

Mendengar suara Juwitasari hati Priatna diam-

diam bergetar. Sebenarnya sejak lama dia sudah 

menaruh hati pada putri gurunya yang jelita itu. 

Namun hingga saat ini, Priatna tidak berani untuk 

mengutarakan cintanya.

Karena dia tahu siapa dirinya dan siapa 

Juwitasari. Meskipun begitu, siang dan malam 

Priatna selalu menyimpan rasa cintanya pada 

Juwitasari. Dan yang membuatnya makin tidak 

mengerti, semakin lama dia simpan cinta itu, malah 

semakin besar terasa.

Dan semakin dia berusaha untuk 

menghilangkannya, malah semakin sukar sekali.



Namun dia tetap untuk memendamnya. Karena dia 

belum punya keberanian untuk mengutarakan isi 

hatinya pada Juwitasari.

Tadi pun dia melihat Juwitasari tersenyum 

padanya. Duh, ini seakan menambah rasa cintanya 

saja pada gadis itu.

Priatna pun membalas tersenyum.

"Baik, Rayi...." Lalu katanya pada Andikabirata. 

"Ketua... di perbatasan desa sana, kami melihat 

anggota Cakram Maut yang akan segera memasuki 

desa kita ini, Ketua...." kata Priatna setelah 

mengatur napasnya. "Dan jumlah mereka sungguh 

demikian banyak jumlahnya, Ketua...."

"Apa?!" Suara Andikabirata terdengar demikian 

keras pertanda dia sungguh-sungguh terkejut.

Juwitasari pun terkejut. Priatna cuma mendesah.

---ooo0dw0ooo---

DUA



Lalu dengan hati-hati dia menceritakan apa yang 

telah dilihatnya di perbatasan ujung Desa Kali 

Sunyi.

Andikabirata mendesah panjang. Dia sampai 

bangkit dari duduknya karena kaget tadi.

"Orang-orang Cakram Maut sudah tiba di sini?!" 

ulangnya lagi. Lalu mengusap-usap dagunya. Benar


dugaannya kalau begitu, dan ini tidak bisa 

dibiarkan begitu saja.

"Begitulah kenyataannya, Ketua...." kata Priatna 

tetap dengan suara hormat.

"Kau yakin?"

"Yakin sekali, Ketua. Kami melihat lambang 

Perguruan Cakram Maut dari bendera yang dibawa 

beberapa orang anggotanya. Agaknya, mereka 

hendak menyerang desa kita ini, Ketua. Dan 

kemungkinan besar desa kita ini dijadikan markas 

oleh mereka."

Andikabirata manggut-manggut. Dia mengusap-

usap dagunya sambil memandang ke luar jendela. 

Nampak di halaman para muridnya sudah selesai 

berlatih, karena hari sudah menjelang malam.

Kegeraman nampak jelas di wajah Andikabirata.

Juwitasari memperhatikan ayahnya dengan hati 

yang geram pula.

"Tepat dugaanku semula," desis Andikabirata. 

"Pasti orang-orang itu akan terus menyerang 

perguruan kita. Hhh! Anjing-anjing Cakram Maut!"

"Apa yang bisa kita lakukan, Bapak?" tanya 

Juwitasari.

Andikabirata terdiam. Lalu berkata pada Priatna.

"Priatna, kita akan menyambut kedatangan 

mereka! Beri mereka pelajaran!!" "Baik, Guru!" 

sahut Priatna hormat. "Pimpin teman-temanmu ke


perbatasan

Desa Kali Sunyi!" perintahnya lagi. "Jangan 

sampai terlambat! Sebelum orang-orang Cakram 

Maut itu tiba di perbatasan desa ini'"

"Baik, Guru! Saya akan melakukannya dengan 

baik!"

"Nah, lakukanlah!"

"Baik, Guru!" kata Priatna seraya hendak 

meninggalkan tempat itu.

"Kakang!" Terdengar suara Juwitasari 

memanggil dan membuat Priatna membalik dan 

memandangnya. Duh, wajah itu demikian cantik. 

Sementara Andikabirata memperhatikan putrinya.

"Oh, ada apa, Rayi?" tanya Priatna. Kembali 

hatinya berdebar.

"Apakah Kakang yakin mereka adalah orang-

orang Cakram Maut?"

"Begitulah kenyataannya, Rayi.... Lambang 

perguruan mereka yang tertera di bendera yang 

mereka bawa, sudah cukup sebagai bukti!"

"Hm... berapa jumlah mereka?"

"Kira-kira... seratus orang lebih, Rayi. Mereka 

nampaknya sudah dalam keadaan siap tempur!"

Juwitasari mengangguk-angguk. Semakin cantik 

saja di mata Priatna. Tetapi pemuda itu tidak mau 

untuk memikirkan kecantikan Juwitasari lebih lama.


Dia pun buru-buru menyingkir. Lalu segera 

mengumpulkan te-m an-temanny a.

Tak lama kemudian tiga puluh pemuda dengan 

bersenjatakan toya telah berkumpul di halaman 

pendopo. Priatna segera memimpin teman-

temannya itu untuk langsung bergerak ke 

perbatasan Desa Kali Sunyi.

Sementara itu di pendopo, Juwitasari sedang 

berkata pada ayahnya, "Saya akan segera 

membantu Kakang Priatna, Bapak.... Jumlah 

mereka terlalu banyak. Saya kuatir, banyak di 

antara kita yang akan menjadi korban...."

"Mereka murid-murid pilihan, Juwita...." kata 

Andikabirata. "Percayalah... kalau mereka mampu 

menjaga dan mempertahankan nyawa mereka...."

"Tetapi jumlah mereka sedikit, Bapak...."

"Karena hanya sekian orang yang dibawa oleh 

Priatna, Juwita?" sahut Andikabirata sambil 

tersenyum. Padahal dalam hatinya dia tengah 

gembira dan berkata, "Hmm... agaknya jiwa 

kepahlawanan dalam hati anakku begitu besar. Dia 

tidak mau jika terjadi perang, namun ketika orang-

orang itu datang menyerang, dia tidak bisa 

mengekang rasa perikemanusiaan dalam dirinya. 

Biar kuuji lagi keinginannya itu, jangan-jangan 

hanya dorongan karena ingin menunjukkan 

kehebatannya saja di depan murid-murid yang lain. 

Hal ini tidak boleh terjadi. Tetapi bila itu timbul dari 

rasa jiwa kesatriamu, Wita... Bapak salut dan


bangga padamu...."

Juwita yang tidak tahu akan hal itu, terus 

mendesak ayahnya ingin membantu. Memang dia 

sendiri bukannya ingin menunjukkan 

kepandaiannya, tetapi dia jelas tidak suka jika 

desanya atau dirinya diserang orang-orang itu. Dia 

harus mempertahankan, karena dengan begini 

bukan dia yang memulai bertempur. Dia 

mempertahankan haknya dan hal itu 

diperbolehkan.

"Bagaimana, Bapak?" tanyanya lagi karena 

ayahnya masih diam saja. "Aku ingin sekali 

membantu mereka, Bapak. Mereka teman-temanku 

sejak kecil? Aku tidak bisa berdiam diri saja melihat 

mereka semua bertempur dan rela berkorban 

nyawa dan tenaga mereka, Bapak."

"Bukankah kau tidak menginginkan pertempuran 

atau pertumpahan darah, Anakku?" tanya 

Andikabirata pula.

"Itu tidak bisa kupungkiri, Bapak. Tetapi aku 

tidak bisa berpangku tangan saja jika orang 

menyerang desa kita ini, Bapak."

"Lalu kau hendak menyusul mereka?"

"Ya, Bapak."

Semakin berbunga-bunga hati Andikabirata. 

Perlahan dia menarik senyumnya dan 

menganggukkan kepala.

"Kalau kau yakin dan mantap akan kepu


tusanmu itu, pergilah. Bantulah mereka. Bapak 

yakin akan kemampuanmu. Cuma ingat, jangan 

terkejut jika kau melihat darah."

"Baik, Bapak."

Lalu gadis jelita itu undur diri. Juwitasari masuk 

ke kamarnya dan mengganti pakaiannya. Kali ini 

dia memakai pakaian seperti seorang pria. Dia pun 

memakai ikat kepala. Lalu menyangkutkan toya 

kecil yang jika ditarik kedua ujungnya bisa menjadi 

panjang.

Saat memakai baju itu, secara tak sengaja dia 

berhadapan dengan sebuah cermin besar. Dan, 

ah... buah dadanya telah semakin subur tumbuh, 

mengkal dan membulat. Sejenak dikaguminya buah 

dadanya itu. Dan tak sadar dia membuka kembali 

seluruh pakaiannya hingga bertelanjang bulat di 

hadapan cermin itu.

Ah betapa indah dan bagusnya bentuk 

tubuhnya. Begitu ramping pinggangnya dan begitu 

indah pinggulnya. Padat dan menggairahkan. Juga 

sepasang buah dadanya yang bergelayut indah, 

mengkal dan mengundang I birahi bagi yang 

melihatnya.

Sejak kapan dia mulai mengagumi tubuhnya ini? 

Yah, sejak dia sering melihat teman-teman 

gadisnya yang selalu pergi ke sawah, mencuci di 

sungai dan mandi telanjang bulat bersama-sama 

dengan riangnya. Mereka pun sering minum jamu 

untuk menjaga keindahan tubuh mereka.


Sedangkan dia? Ah, dia sepertinya tidak pernah 

merawat tubuhnya, meskipun dia berlaku seperti 

seorang gadis lazimnya di rumah. Dia lebih sering 

berlatih ilmu olah kanuragan daripada memikirkan 

bentuk tubuhnya. Tapi nyatanya sekarang, dia 

memiliki bentuk tubuh yang indah dan bagus. Ah... 

betapa senangnya dia memandangi tubuhnya yang 

indah di cermin. Lalu sayangkah dia hendak 

melukai tubuhnya sendiri jika bertempur dengan 

orang-orang Kediri? Ah, jangan, jangan kau lukai 

tubuhku ini.

Namun bayangan teman-temannya yang 

mungkin saat ini sedang bertempur antara hidup 

dan mati membuatnya segera memakai pakaiannya 

kembali.

Tidak, biar bagaimana pun dia harus berhati-hati 

dan membantu mereka.

Bukankah ayahnya sendiri akan terjun 

langsung?

Mengingat itu buru-buru dia mempersiapkan 

segala sesuatunya dan masih sempat sekilas 

mengagumi kembali bentuk payudaranya yang 

indah dan bulat dengan putingnya yang merah dan 

keras.

Lalu dia keluar kamar.

Ayahnya sudah menunggu di halaman dengan 

siap di kudanya.

Juwitasari pun segera menaiki kudanya.


Saat dia menaiki kudanya ayahnya sedang 

berkata-kata pada salah seorang muridnya.

"Kalian harus mempertahankan Perguruan 

Cempaka Biru ini! Jangan biarkan orang-orang itu 

sampai ke sini! Ingat, kami bisa gagal. Dan kalian 

jangan mengulangi kegagalan itu."

"Baik, Guru. Kami akan menjaga kemegahan 

Perguruan Cempaka Biru sebagai abdi Singasari."

"Bagus! Mari, Wita! Kita segera berangkat!"

Juwita menggebrak kudanya mengikuti lari kuda 

ayahnya. Dia adalah seorang gadis yang tangkas 

dan berpendirian tegar.

Dia mampu menggunakan kuda dengan lihai. 

Dalam lari kencang pun dia bisa melompat menaiki 

punggung kudanya. Juwitasari adalah gadis yang 

bisa segalanya. Di satu segi dia bisa tampil sebagai 

seorang pria. Di segi lain dia bisa pula tampil 

sebagai seorang gadis.

Seperti gadis-gadis lain, dia pun suka 

mengagumi tubuhnya sendiri dan berupaya untuk 

merawatnya. Namun untuk membela desa, negara 

dan harga dirinya, dia bisa melupakan hal itu. Lupa 

bahwa dia seorang gadis. Lupa bahwa dia harus 

selalu merawat bentuk tubuhnya, agar kelihatan 

menarik. Biarpun wajah seorang gadis itu jelita 

namun jika tidak memiliki bentuk tubuh yang 

bagus, masih kurang sedap dipandang mata.

Angin berhembus dingin.


Kuda Juwitasari sudah bisa menjajari kuda 

ayahnya. Dan keduanya memacu terus kuda-kuda 

mereka menuju perbatasan Desa Kali Sunyi.

Juwitasari bertekad akan menghancurkan orang-

orang Kediri itu. Orang-orang yang suka mencari 

gara-gara. Orang yang suka menuduh tanpa bukti.

Betapa harga diri itu harus dijaga dan 

dipertahankan.

Sejak lama Juwitasari setuju akan hal itu.

Dan dia tetap tidak mau perang itu terjadi. 

Namun mau diapakan lagi, karena kini semuanya 

sudah jelas di ambang mata. Bukankah inilah yang 

dinamakan dilema? Bila mereka diam, maka 

hancurlah mereka dibantai lawan. Bahkan bila 

mereka pun menye-

rang dan membalas, bisa pula hancur karena 

lawan begitu kuat.

Perang tidak enak. Amat menyedihkan 

akibatnya. Namun semua kini sudah ada di depan 

mata. Tak akan bisa untuk dihindari lagi.

---ooo0dw0ooo---

TIGA



Murid-murid Perguruan silat Cempaka Biru yang 

dipimpin oleh Priatna sudah tiba di perbatasan 

Desa Kali Sunyi. Yantara yang sejak tadi mengintai 

terus, memberitahu kalau pasukan itu sekitar lima 

menit lagi akan *iba di perbatasan ini. Dan jumlah


mereka pun cukup banyak.

"Kita harus bersiaga, Priatna," kata Yantara.

"Baik! Kita harus mempertahankan tanah Desa 

Kali Sunyi ini!" 

"Apa kata Guru?" 

"Seperti yang kuucapkan tadi!" Lalu Priatna 

segera bergerak cepat. Dengan sigapnya dia 

memerintahkan teman-temannya untuk berpencar. 

Sekaligus mencari posisi untuk menyerang dan 

bertempur.

Dan masing-masing pun segera mengambil 

posisi yang baik dan mempersiapkan senjata 

mereka. Mereka bersenjata toya, senjata andalan 

Perguruan Cempaka Biru.

Priatna sendiri ditemani lima orang temannya. 

Mereka pun nampak bersiaga. Yan-tara yang 

bersembunyi di sampingnya, hampir-hampir tidak 

mendengar desah napas Priatna. Rupanya 

ketegangan itu sudah mulai merambat. Dan 

masing-masing pun memang merasakan 

ketegangan yang sama. Benar-benar satu kejadian 

yang amat mencekam.

Untunglah hari sudah semakin sore. Dan mulai 

merangkak malam sehingga orang-orang sudah 

kembali ke rumah masing-masing dari pekerjaan 

mereka. Ini menguntungkan, karena tentunya 

orang-orang itu tidak akan merepotkan mereka.

Suasana benar-benar semakin hening. Benar


benar mencekam. Orang-orang yang bersembunyi 

dan menunggu di sana seolah tidak merasakan 

hembusan angin yang dingin. Dan masing-masing 

merasakan detak jantung mereka semaki keras.

Tak ada yang bersuara, bahkan desah napas 

mereka saja seolah tertelan kembali. Mereka 

seakan tidak menghiraukan teman lagi yang ada di 

samping mereka. Semua tatapan mata tertuju ke 

depan menanti pasukan Kediri yang datang.

Hanya itu satu-satunya yang kini ada di hati 

mereka menanti munculnya pasukan Kediri dan 

bertempur mati-matian!

Tiba-tiba terdengar suara derap langkah dari 

kejauhan dan semakin lama suaranya terdengar 

semakin mendekat. Dengan hati-hati Priatna 

mengintip dari tempat persem-bunyiaannya. 

Orang-orang Cakram Maut sudah tiba dengan 

pasukannya yang berjumlah banyak.

Priatna mendesah panjang.

Dalam hatinya ada rasa ciut juga mengingat 

jumlah teman-temannya. Tiga berbanding satu. 

Duh, mampukah mereka menghadapi sekian 

banyak orang-orang Cakram Maut yang nampak 

beringas dan kejam?

Orang-orang Cakram Maut memang bagaikan 

binatang buas belaka. Siap untuk mencakar habis 

siapa saja yang berada di dekatnya.

Tetapi Priatna yakin, mereka adalah murid


murid Perguruan Cempaka Biru yang tidak 

mengenal takut dan putus asa. Meskipun jumlah 

mereka sedikit, namun mereka adalah manusia-

manusia yang berjiwa kesatria. Dan punya 

keinginan sekuat baja untuk menunjukkan rasa 

kemanusiaan dan kesatriaan mereka yang tinggi.

Mereka tak mengenal takut dan berani 

menghadapi orang-orang yang telah memfitnah 

Perguruan Cempaka Biru. Yang sekaligus 

mengotori pula Desa Kali Sunyi. Di mana mereka 

dilahirkan untuk menjadi manusia yang berguna. 

Manusia gagah berani dan perkasa. Manusia yang 

dilahirkan dari rahim seorang bunda yang welas 

asih ke tanah Kali Sunyi ini.

Tiba-tiba saja Priatna bersalto keluar dari 

tempat persembunyiannya. Sekali bersalto dia 

sudah berdiri di jalan berumput itu dengan sikap 

gagah. Toyanya tersampir di punggung dan 

dengan sigap akan dipergunakannya bila keadaan 

amat memaksa. Pandangannya amat geram sekali 

terhadap orang-orang yang dengan kejinya 

memfitnah Perguruan Cempaka Biru.

Orang-orang yang tak akan pernah bisa 

dimaafkannya. Namun di balik kegeraman dan 

ketegangannya itu tersimpan satu ketenangan 

yang luar biasa dalam menghadapi lawan-

lawannya. Matanya waspada dan bagaikan elang 

menyambar.

Bukankah sikap yang ditujukan oleh Priatna itu 

sudah merupakan bukti kalau dia seorang yang


gagah berani.

Sementara teman-temannya hanya 

memperhatikan saja. Dan bersiap membantu bila 

terjadi sesuatu pada kawan yang mereka hormati 

itu.

Orang-orang Cakram Maut yang telah tiba dan 

siap menggempur Perguruan Kali Sunyi dipimpin 

oleh seorang laki-laki gagah perkasa. Dia sebaya 

dengan Priatna. Namanya Marayuda. Seorang 

pemuda yang tampan.

Dari kejauhan pemuda itu pun segera melihat 

seseorang yang berdiri gagah. Dengan kedua kaki 

terbuka melintang. Sikapnya menantang dan semu 

itu menunjukkan kalau dia memang sedang 

menghadang.

"Manusia keparat!" geram Marayuda 

mendengus. Geram hatinya bila mengingat pusaka 

Perguruan Cakram Maut yang berupa Cakram Emas 

hilang dari perguruan mereka. Sebagai orang 

kepercayaan ketua Perguruan Cakram Maut, 

Marayuda sudah tentu geram bukan main. Dan dia 

siap menghadapi semuanya dengan resiko apapun 

juga.

"Cempaka Biru keparat! Akan kubumiratakan 

kalian dengan tanah!"

Marayuda segera mengangkat tangan kanannya 

ke atas, tanda menghentikan para anak buahnya 

yang di wajah masing-masing memperlihatkan 

kegeraman. Mereka pun telah melihat seorang



pemuda yang berdiri di tengah jalan berumput itu.

Hal ini semakin membuat mereka bertambah 

geram adanya. Di samping muak dengan sikap 

Priatna juga geram karena mereka yakin orang-

orang perguruan Cempaka Birulah yang telah 

mencuri pusaka milik mereka.

Pusaka Cakram Emas yang amat mereka 

agungkan dan mereka banggakan.

Marayuda sendiri pun segera maju menghampiri 

Priatna. Langkahnya tegang dan kaku. Sikapnya 

gagah. Senjata cakramnya tersampir di 

pinggangnya. Dari sorot matanya kegeraman itu 

terpancar kuat dan penuh kemarahan.

Dia sekarang sudah berdiri di hadapan Priatna. 

Kedua pemuda itu kini saling bertatapan, mata 

mereka menyambar bagaikan mata elang. Kedua 

pemuda itu seperti sedang mengukur tingkat 

kepandaian masing-masing.

Dan bila diperhatikan lebih seksama, keduanya 

sebaya. Sama-sama tampan dan gagah perkasa.

Marayuda memasang wajah angker. Kegeraman 

di wajahnya kian nyata. Begitu pula dengan 

Priatna. Suasana cukup tegang dan mengalirkan 

hawa kengerian ke seluruh tubuh.

Sikap keduanyajelas dan tidak bersahabat. 

Masing-masing jengkel terhadap mereka. Terutama 

Marayuda. Karena sikap pemuda di hadapannya ini 

seperti melecehkannya. Mengejeknya. Dan


menganggapnya ringan.

Begitu pula dengan Priatna. Dia pun tak kalah 

jengkelnya melihat sikap pemuda yang berdiri di 

hadapannya ini seperti menantang. Settannn! 

Makinya dalam hati!

Priatna pun tidak mau kalah. Dia pun memasang 

wajah yang tak kalah angkernya. Kedua tangannya 

terpancang di pinggang. Si- j kapnya itu benar-

benar menjengkelkan Ma-rayuda. Namun Priatna 

seolah tak acuh saja. Malah dia memang sengaja 

ingin memancing kemarahan Marayuda.

Benar saja, beberapa saat kemudian, anak 

muda yang pemarah itu berkata, "Hm... siapa 

gerangan adanya Ki Sanak? Kenapa sikap Ki Sanak 

seperti sedang menghadang perjalanan kami? 

Apakah Ki Sanak memang bermaksud demikian?"

Priatna hanya memperhatikan pemuda yang 

berdiri, di hadapannya. Mulutnya tidak terbuka. 

Terkatup rapat dengan kegeraman yang amat 

sangat. Tatapannya dingin, sedingin wajahnya 

yang tak bersahabat. Marayuda mendengus dalam 

hati.

"Ki Sanak... Tidak dengarkah Ki Sanak kalau aku 

bertanya?!" desisnya menahan geram.

Tetapi Priatna tetap terdiam. Hanya tatapannya 

yang dingin yang bicara.

"Ki Sanak... apakah Ki Sanak tidak bisa 

menjawab pertanyaanku?" Marayuda sudah mulai


jengkel.

Namun Priatna yang memang' sengaja ingin 

membuatnya jengkel tetap terdiam.

Dan ini membangkitkan kemarahan Marayuda.

"Bangsat! Kiranya Ki Sanak memang sedang 

menghadang perjalanan kami!"

Priatna tetap terdiam.

"Anjing kurap! Apa maumu sebenarnya, lah?!" 

membentak Marayuda dengan kejengkelan yang 

luar biasa.

Kali ini Priatna membuka suaranya, angker.

"Mauku, kalian tinggalkan tempat ini dengan 

segera!"

"Apa maksudmu?!"

"Tadi kau bertanya bukan, apa mauku? Nah, 

mauku menyuruh kalian untuk pergi meninggalkan 

Desa Kali Sunyi ini sekarang j juga. Tanpa kecuali!" 

"Hmm."

"Orang-orang Cakram Maut yang tidak tahu diri. 

Berani-beraninya kalian lancang J menginjak Desa 

Kali Sunyi ini!"

"Hmm...."

"Orang-orang lancang tukang membuat fitnah!"

"Hem...."

"Seenaknya saja menuduh Cempaka Biru



sebagai pencuri!" 

"Hmmm...."

"Jangan hanya bergumam saja, Ki Sanak!" 

bentak Priatna yang mulai jengkel dan sebal 

mendengar kata-katanya hanya disambut dengan 

gumaman saja oleh Marayuda.

"Hmmm...."

Hawa panas pun makin mengalir.

Hawa kemarahan pun menebar.

Wajah Priatna memerah.

"Kami orang-orang Desa Kali Sunyi sekaligus 

abdi setia Perguruan Cempaka Biru... tidak akan 

membiarkan kalian, orang-orangl busuk Cakram 

Maut memasuki wilayah Kali Sunyi ini!" serunya 

berapi-api. 

"Hmm....."

"Dan akan membela Cempaka Biru dengan 

segenap kemampuan kami!" "Hmmm...."

"Kau memuakkan aku, Ki Sanak!" geram Priatna 

penuh dengan kemarahan yang membludak. Dan 

segera saja dia menyerang Marayuda dengan 

gebrakan cepat dan hebat. "Mampuslah kau, 

manusia sombong!"

Tetapi Marayuda pun di samping sikapnya yang 

acuh tak acuh itu sebenarnya telah bersiaga penuh. 

Maka dengan gerakan yang cepat pula Marayuda


menarik kepalanya ke belakang, menghindari 

jotosan tangan kanan Priatna yang mengarah pada 

wajahnya.

"Heit!"

Lalu dia pun dengan cepat segera kirimkan 

serangan balasan.

Priatna sendiri segera melayaninya dengan 

ketangkasannya. Tidak percuma dia menjadi murid 

unggulan pertama di Perguruan Silat Cempaka 

Biru. Dengan tangkasnya dia menghadapi 

serangan-serangan Marayuda dengan gebrakan 

yang cepat dan tangguh pula.

Keduanya pun memperlihatkan ketangguhan 

dan kehebatan mereka.

"Hahaha... kau rupanya memiliki kebisaan pula, 

Ki Sanak!" tertawa Marayuda sambil melayani pula 

gebrakan-gebrakan dahsyat yang dilakukan 

Priatna.

"Nah, mengapa kau tidak segera mengajak anak 

buahmu untuk angkat kaki dari Desa Kali Sunyi ini, 

hah?! Apakah kau ingin mati konyol?!"

"Hahaha... jangan terlalu sesumbar dulu, Ki 

Sanak! Kau belum merasakan kelanjutan-

"Sombong! Mengapa tidak segera kau keluarkan 

semua kemampuanmu, hah?! Kalian memang 

manusia-manusia busuk yang bisanya hanya 

memfitnah saja!"


"Hhhh! Ini bukan fitnah, Ki Sanak! Namun 

kalianlah yang telah mencuri Cakram Emas milik 

perguruan kami! Dan kami tak akan pernah 

mengampuni siapa pun orang yang berada di 

bawah naungan Perguruan Cempaka Biru!" 

"Bangsat!"

Dan gebrakan-gebrakan yang keduanya lakukan 

semakin cepat dan hebat. Masing-masing 

memperlihatkan segenap kemampuan yang meraka 

miliki. Saling serang. Saling tangkis.

Seakan mereka tidak ingin memberi kesempatan 

pada lawan-lawannya untuk bisa bernapas sejenak. 

Karena serangan-serangan yang mereka lakukan 

beruntun dan cepat.

Sementara teman-teman Priatna sudah tidak 

sabar untuk membantu. Namun Yantara menyuruh 

mereka untuk bisa menahan diri, karena dia sendiri 

yakin Priatna akan mampu menghadapi pemuda 

pemarah dan memuakkan itu.

Juga karena pasukan Kediri tak satu pun yang 

bergerak membantu. Rupanya mereka terlalu taat, 

jika belum diperintahkan, maka mereka tidak akan 

bergerak.

Perkelahian antara Priatna dengan Marayuda 

semakin seru. Ketangkasan, kepandaian dan 

kelihaian keduanya sudah mereka tampilkan. 

Benar-benar indah dan mengagumkan. Sampai 

saat ini keduanya nampak seimbang dan masih 

menggunakan tangan kosong.


Malam pun sudah merambat turun.

Dan tiba-tiba saja Marayuda menyerang dengan 

gencar, membuat Priatna agak kewalahan. Namun 

dia masih bisa menghindar dengan lincah. Suatu 

saat, ketika dia sedang bersalto di udara, Marayuda 

mendadak berguling mengejar. Dan tempat di 

tempat yang akan dipakai Priatna untuk 

menjejakkan kaki, mendadak saja Marayuda 

mencabut pedangnya dan mengelebatkan ke atas.

Sudah tentu Priatna terkejut bukan main, tidak 

menyangka serangan yang demikian itu. Namun 

sedetik dia terlambat, hilanglah nyawanya.

Teman-temannya pun sudah membayangkan 

hal-hal yang mengerikan bagi Priatna. Terlalu 

menakutkan.

Namun kemudian semuanya menghela nafas 

lega. Karena dengan tangkasnya Priatna 

melolorkan toyanya dan dengan ujung toya itu dia 

menangkis sabetan pedang Marayuda. Dan,

"Trak!"

Dengan lincahnya kemudian Priatna menggenjot 

tubuhnya dengan tumpuan toya itu pada tanah. 

Dan bersalto ke depan dan berdiri dengan sigap.

Menghadap Marayuda dengan penuh tantangan. 

Bibirnya menyungging senyum ejekan.

Marayuda sendiri sangat terkejut karena tidak 

menyangka pemuda itu bisa meloloskan diri.


"Bangsat! Rupanya kau punya kepandaian pula 

hingga berani menghadang perjalanan kami! Baik! 

Kami adalah orang-orang Kediri yang akan 

membantai Singasari dan merebut kembali pusaka 

milik kami! Dan kami akan bergerak perlahn-lahan 

dengan menduduki setiap desa yang berada di sini. 

Satu per satu kami akan menguasainya. Dan 

kesempatan pertama, Desa Kali Sunyi ini yang akan 

kami gulung!"

"Mimpi di siang bolonglah kau dengan anak 

buahmu itu!" balas Priatna tak kalah kerasnya. 

"Hanya Tuhanlah yang bisa meratakan Desa Kali 

Sunyi ini!"

Merah padam wajah Marayuda. Dia meludah 

dengan tatapan geram.

"Bangsat!" bentaknya kalap. "Kami akan 

buktikan kekuatan ini!"

"Kami?" ejek Priatna tenang. "Bukannya kau? 

Hmm.... rupanya tak ada keberanianmu lagi 

menghadapiku sekarang! Bagus! Perempuanlah 

kau semestinya! Dan berlarilah pulang dengan 

tunggang langgang bagai perempuan yang buah 

dadanya dipegang tangan laki-laki jahil!"

Semakin panas wajah Marayuda dirasakannya. 

Untungnya malam mulai menyelimuti. Dan cahaya 

rembulan pun hanya redup saja, seperti enggan 

menyaksikan pertempuran itu. Ah, rembulan pun 

enggan melihat darah yang sebentar lagi akan 

tumpah.


Namun mengapa manusia itu lebih suka 

berperang daripada berdamai. Apakah mereka lupa 

kalau Tuhan menciptkan mereka untuk saling 

mengasihi satu sama lain? Mereka telah dibuai oleh 

ambisi diri sendiri. Perang. Perang. Perang. Terlalu 

menakutkan untuk dibayangkan. Terlalu 

mengerikan untuk dihadapi. Terlalu mematikan 

untuk terjun ke dalamnya, namun mereka masih 

menyukai perang. Seakan tanpa perang arti hidup 

tidak ada lagi, tidak ada lagi yang akan bisa 

mereka perlihatkan. Karena dalam perang 

kepandaian, kegagahan dan kejantanan 

diperlihatkan. Begitukah caranya untuk meyakinkan 

diri, meyakin pada orang lain, meyakinkan pada 

dunia, bahwa dia adalah lelaki jantan? Tidak 

adakah cara lain? Perang.... kau hanya membawa 

berita kematian pada orang-orang yang tak 

bersalah.

"Baik! Akan kubuktikan sekarang!" terdengar 

suara Marayuda geram. Dan dengan pedang di 

tangannya dia pun kembali menyerang.

Kali ini dengan toya di tangannya pula Priatna 

memapaki serangan itu. Dan dengan kedua senjata 

di tangan masing-masing, keduanya nampak 

semakin tangguh dan hebat. Toya yang dipegang 

Priatna sukar sekali ditebak ke mana arahnya. 

Begitu cepat dan berulang-ulang. Kadang-kadang 

toya itu menusuk, memukul, menyabet, berdiri 

tegak dan kadang-kadang bergerak baling-baling 

yang menimbulkan suara keras dan berde-sing-

desing. Bagaikan ribuan tawon yang menyerbu.


Sungguh luar biasa apa yang diperlihatkan 

Priatna. Dia benar-benar membuktikan diri, bahwa 

dia memang patut menjadi murid nomor satu di 

Perguruan Silat Cempaka Biru.

Gebrakan toya yang begitu hebat diperlihatkan 

Priatna, membuat Marayuda sejenak tertegun. Dan 

dia menjadi agak kewalahan. Sekaligus juga 

keheranan melihat jurus-jurus toya yang 

ditampilkan oleh Priatna. Toya itu seakan 

mempunyai mata. Karena ke mana tubuhnya pergi, 

ke sana pula toya itu mengejar.

Amat hebat!

Dengan pedang di tangannya, Sebisanya 

Marayuda mencoba mengimbangi serangan-

serangan yang berbahaya, aneh dan cepat itu. 

Namun ujung toya di tangan Priatna memiliki dua 

kutub. Satu berkelebat, yang lainnya cepat 

menyusul, secepat apa yang digerakkan oleh 

pemiliknya. Lain halnya dengan pedang di tangan 

Marayuda yang hanya memiliki satu kutub yang 

bisa digunakan.

Dan hal ini benar-benar membuatnya 

kewalahan. Karena selain toya itu memiliki dua 

kutub yang keras, juga lebih panjang dari 

pedangnya. Sehingga menyulitkan Marayuda untuk 

menyerang dari jarak dekat, karena kedua ujung 

toya itu seakan menghentikan gerakannya bila 

ingin mendekat.

Sedangkan Priatna semakin berada di atas angin


dengan memperlihatkan kehebatan permainan ilmu 

toyanya.

"Hahahah... sudah kukatakan sejak tadi, lebih 

baik kau angkat kaki dari sini!!" ejeknya sambil 

terus mencecar.

"Wut!"

"Wut!"

Dua sambaran itu berhasil dielakkan oleh 

Marayuda, dengan jalan melompat. Dan masih 

melompat dia mencoba menyerang dengan satu 

tusukan ke arah wajah Priatna.

Namun dengan manisnya Priatna memutar 

toyanya.

"Traaaaakkk!"

Dan dengan gerakan yang cepat dan sulit, tiba-

tiba ujung toyanya sudah menggedor perut 

Marayuda hingga terhuyung.

"Heikkk!!"

"Hahahah.... lumayan bukan apa yang kau 

rasakan itu?!" mengejek Priatna yang semkin 

membuat Marayuda bukan main marahnya.

Tanpa menghiraukan rasa mual di perutnya, 

Marayuda kembali menyerbu dengan pekikan yang 

cukup keras. Priatna pun segera melayaninya 

dengan permainan toyanya yang hebat.

Kembali keduanya bertarung bagaikan dua ekor


ayam di dalam kalangan.

Namun Marayuda benar-benar kewalahan 

menghadapi permainan ilmu toya yang 

diperlihatkan oleh Priatna. Kini dia hanya bisa 

mencoba menggerakkan pedangnya saja untuk 

menangkis, tanpa bisa menyerang lagi.

Sampai suatu ketika, toya di tangan Priatna 

dengan cepat bergerak memutar, mencoba 

mengancam bagian leher Marayuda. Marayuda 

cepat merunduk. Namun tiba-tiba saja Priatna 

sudah melompat ke atas dengan kedua tangan 

yang menggenggam ujung toyanya dan siap 

menghantam kepada Marayuda.

Gerakan yang cepat itu membuat Marayuda 

terkejut dan dengan memegang kedua pedangnya 

dia mengangkat ke atas dan menangkis pukulan 

toya Priatna.

Namun selagi kedua tangannya yang memegang 

pedang itu berada di atas, dengan tidak terduga 

tiba-tiba tubuh Priatna dan kakinya dengan cepat 

menyambar ke dada Marayuda. Pemuda itu 

terkejut, namun sulit baginya untuk menghindari 

serangan itu!

Dan tanpa ampun lagi kaki Priatna menghantam 

sasarannya dengan keras.

"Des! Heiikkk!!"

Seketika tubuh Marayuda terdorong oleh sebuah 

tenaga yang cukup kuat ke belakang dengan deras.


Lalu terbanting ke tanah. Debu mengepul dan 

langsung hinggap di bagian baju dan sedikit 

wajahnya.

Melihat lawannya sudah terjatuh, Priatna 

menarik kakinya dan berdiri dengan senyum 

mengejek. Tidak menyerang lagi. Toyanya diputar 

sebelum dipancangkan di sebelah kaki kanannya 

dengan tangan kanannya memegang bagian toya 

itu.

"Maafkan aku, Ki Sanak. Sebenarnya bukan 

salah aku. Tetapi kau yang lengah. Dan dalam hal 

ini, kau harus lebih banyak lagi belajar."

Marayuda geram bukan main. Dia mengusap 

bibirnya yang mengeluarkan darah. Dadanya terasa 

sesak. Namun yang lebih menyakitkan ejekan yang 

dilakukan Priatna tadi.

Perlahan-lahan dia bangkit.

Tatapannya demikian geram.

Dan dengan tiba-tiba dia mengangkat tangan 

kanannya ke atas. Dengan serentak | anak 

buahnya yang sejak tadi menunggu dengan tidak 

sabar berlarian menyerbu Priatna | dengan suara 

yang gegap gempita.

Melihat pasukan Kediri sudah menyerang, 

Yantara pun tidak mau kalah. Dengan memekik 

keras dia beserta teman-temannya segera keluar 

dari persembunyiannya dan segera menyambut 

orang-orang Kediri itu.


"Serrrbuuuu!!"

Di malam yang sunyi ini, pertempuran besar 

terjadilah. Perbatasan Desa Kali Sunyi yang 

biasanya sepi kali ini ramai dengan teriakan yang 

hiruk pikuk, juga suara senjata yang ramai beradu.

Suasana amat gegap gempita.

Kadang terdengar suara memekik.

Kangan terdengar suara menjerit.

Kadang terdengar suara mengaduh.

Kadang terdengar suara senjata bertemu.

Keras dan menyayat.

Semua menjadi satu dengan kegelapan malam. 

Namun orang-orang itu terus saja saling 

menyerang dengan buas. Masing-masing ingin 

segera melumpuhkan lawannya. Semakin buas dan 

kejamlah mereka.

Mereka yang tengah bertempur itu tidak 

memperdulikan malam yang semakin merambat. 

Hanya satu keinginan mereka, mengalahkan lawan 

mereka masing-masing.

Jumlah pasukan Kediri yang lebih banyak tidak 

membuat gentar murud-murid Cempaka Biru, 

dengan beraninya mereka menghalau setiap 

serangan lawan. Tak sedikit yang mendapat 

sekaligus dua orang.

Dalam hal ini, Priatna dan Yantara bergerak


dengan cepat. Merekalah yang menjadi motor 

penggerak teman-teman mereka yang lain..

Toya-toya yang berada di tangan mereka, bagai 

hidup saja. Ke mana lawan bergerak, ke sana 

pulalah toya itu bergerak. Membuat keduanya 

ditakuti. Karena setiap toyanya bergerak, pasti ada 

yang mengaduh.

Melihat hal itu Marayuda menjadi geram. 

Dengan mengibaskan pedangnya ke sana ke mari 

dia berusaha mencapai Priatna. Dia masih geram 

karena pemuda itu mampu menendangnya tadi. 

Apalagi sekarang mempo-rak porandakan 

pasukannya.

"Hadapi aku, setan!" geram Marayuda ketika 

sudah berhadapan dengan Priatna dan langsung 

menyerang dengan pedangnya. Buas dan bernafsu.

Priatna sendiri pun segera meninggalkan lawan-

lawannya. Dia pun menyambut kembali serangan 

Marayuda. Kembali kedua pemuda gagah itu 

bertempur dengan tangkas.

Sementara kedua kelompok itu sudah semakin 

menenggelamkan diri dalam pertempuran. Sudah 

banyak pula yang berguguran baik dari pihak Kediri 

maupun murid-murid Cempaka Biru.

Dan pertempuran itu sudah berjalan hampir dua 

jam.

Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kuda 

yang cepat. Andikabirata dan Juwitasari yang baru


saja tiba. Keduanya terkejut melihat pertempuran 

itu. Dan tanpa banyak cakap lagi keduanya segera 

melompat turun dan menerjunkan diri ke dalam 

pertempuran itu.

Melihat guru dan Rayu Juwitasari datang, 

memberi semangat bagi murid-murid Cempaka 

Biru. Mereka kembali menyerang dengan cepat 

seolah mendapatkan tenaga baru.

Andikabirata atau si Toya Kilat dengan gerakan 

yang sangat cepat sudah merubuhkan lima orang 

prajurit Kediri. Begitu pula dengan putrinya, yang 

sudah menarik toya kecilnya menjadi panjang.

Dengan gerakan yang manis dan tangkas pula 

dia menghajar setiap lawan yang mendekat 

padanya.

Dengan bantuan kedua orang gagah itu, 

kemenangan sudah nampak di ambang pintu bagi 

Perguruan Cempaka Biru, walaupun banyak pula 

murid-murid perguruan itu yang gugur dan luka-

luka.

Sementara itu Priatna masih bertarung dengan 

Marayuda. Wajah pemuda pemarah itu pias melihat 

kedatangan dua orang sakti itu, yang membuat 

pasukannya porak poran-da dan sebentar saja 

sudah dipukul ambruk. Mereka tidak berani lagi 

mengangkat senjata.

Namun biar bagaimana pun dia tidak gentar. Dia 

tidak memperdulikan dirinya yang kini sudah 

benar-benar terkepung dalam lingkaran murid


murid Cempaka Biru. Sedangkan pasukannya 

sudah menyerah kalah, bahkan yang takut mati 

lebih rela ditawan. Atau pura-pura pingsan.

Marayuda tetap menahan dan membalas 

serangan Priatna. Pertempuran keduanya sudah 

memakan waktu yang lama. Ini membuat 

Juwitasari menjadi jengkel.

Kalau dia yang melawan, tak lebih dari lima 

jurus orang Kediri itu akan ambruk, begitu katanya 

dalam hati. Dan pertarungan kedua pemuda itu 

terasa membosankannya. Dengan tiba-tiba saja dia 

menggerakkan tangan kirinya.

Siung!'

Sebuah jarum berbisa melayang ke arah

Marayuda yang sedang terdesak dan menancap di 

bahunya.

"Aduh!"

Marayuda terhuyung sambil menekap bahunya. 

Dan pedangnya terlepas karena terkejut, sehingga 

serangan Priatna selanjutnya tidak bisa dibendung 

lagi.

"Des! Des!"

Dua kali dadanya dihantam dengan keras oleh 

kaki Priatna, membuatnya terhuyung dan ambruk. 

Namun sambil menahan rasa sakit yang bukan 

main, dia berusaha untuk bangkit dan menyeringai 

kesal pada Juwitasari. Namun tubuhnya benar-

benar lelah, tenaganya telah habis diperas


sehingga dia pun ambruk kembali.

Priatna tidak tahu kalau lawannya itu telah 

terkena jarum berbisa milik Juwitasari. Dia 

tersenyum puas karena bisa membuktikan diri di 

hadapan guru dan putri gurunya bahwa dia mampu 

mengalahkan orang Kediri.

Tetapi Juwitasari tidak sekali pun meliriknya. 

Gadis itu seolah tidak mau tahu akan kebanggaan 

Priatna yang berhasil mengalahkan lawannya.

Begitu pula dengan Andikabirata. Walaupun 

sukar untuk diikuti oleh mata gerakan yang 

dilakukan Juwitasari tadi, namun dia sempat 

melihat sekilas gerakan tangan putrinya. Dan dia 

pun menduga bahwa putrinya sedang menyerang 

dengan senjata rahasianya. Benar saja, orang 

Cakram Maut itu tiba-tiba menekap tangan 

kanannya.

Sambil berbisik tenang, Andikabirata berkata 

pada putrinya, "Kau tidak boleh berbuat curang, 

Wita...."

Juwitasari sedikit kaget. Oh, ayahnya 

mengetahui perbuatannya tadi. Buru-buru dia 

menunduk, lalu perlahan-lahan kembali 

mengangkat kepalanya. Dan terlihat wajahnya 

yang cantik tersaput ketersipuan.

"Aku tidak sabar melihat Kakang Priatna yang 

lambat begitu, Bapak.... hanya lawan seperti itu 

saja dia sulit untuk menjatuhkannya."


Andikabirat tersenyum. Hatinya sedikit bangga 

karena putrinya menuruni sifatnya yang sedikit 

keras. Namun dia tidak mau putrinya melakukan 

hal seperti itu. Menyerang musuh secara diam-

diam adalah pengecut.

"Tapi kau telah berbuat curang, Wita... Dan 

seingatku, aku tak pernah mengajarkan kau 

berbuat seperti itu. Kau pun tentunya tahu hal itu, 

Wita....."

"Biarkan saja, Bapak.... aku muak dengan 

orang-orang Cakram Maut. Mereka seenaknya saja 

berbuat dan bersikap seperti itu. Apakah aku 

terima dengan senang hati?" Suara Juwitasari 

sedikit mengandung keras kepala.

Andikabirata menghela napas. Putrinya sudah 

benar-benar terbawa arus jiwa mudanya, yang 

tidak bisa membendung rasa marahnya jika hal 

yang tidak bisa diterimanya. Apalgi dalam hal ini, 

kejadian yang amat menyinggung jiwa dan 

raganya.

Akhirnya Andikabirata mendiamkan saja putrinya 

yang masih nampak sebal. Lalu dia berjalan 

menghampiri Marayuda yang sedang meringis 

kesakitan.

Andikabirata mencoba tersenyum.

"Maafkan putriku, Anak muda... dia terlalu 

lancang mencampuri perkelahianmu...."

Tetapi Marayuda mendengus marah. Matanya


bersinar mengejek. Biar bagaimana pun laki-laki 

yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang 

telah mencuri pusaka Cakram Emas milik 

Perguruan Cakram Maut.

"Hhh! Tak perlu berbasa basi dan menjual lagak, 

Orang tua! Katakan pada anakmu itu, kalau ingin 

membunuh aku, lakukan saja! Tidak perlau 

melakukan serangan keji dan pengecut ini! Hhh! 

Memang sudah kuduga, orang-orang Cempaka Biru 

adalah manusia curang dan pengecut!!"

"Dia masih muda, Anak muda... jiwanya masih 

mudah dikuasai emosi," suara Andikabirata masih 

pelan dan bibirnya tetap tersenyum.

Namun Marayuda yang geram itu tidak 

memperdulikannya. Dia tengah dendam. Tengah 

menyimpan kemarahan yang berat. Malah dia 

meludah dengan sikap menyakitkan.

"Cih! Biar mampus anakmu, Orang tua!!"

Andikabirata untunglah seorang laki-laki yang 

sabar. Sikap Marayuda sebenarnya sudah amat 

kurang ajar sekali. Namun dia masih bersikap 

santai. Dengan bibir yang selalu tersenyum.

"Anak keras kepala," desisnya dalam hati sambil 

menggeleng-gelengkan kepala.

Tetapi dia tetap sabar dan tersenyum. "Bisa 

jarum itu bisa menjalar ke seluruh tubuhnya, Anak 

muda. Dalam waktu setengah jam lagi, kau akan 

menemui ajalmu dengan tubuh menegang biru."


"Lalu apa urusanmu, Orang tua!" geram 

Marayuda. "Biar dosanya ditanggung oleh anakmu 

itu!"

"Aku bermaksud hendak mengobatinya. Marilah, 

ikut aku ke rumahku. Di sana lebih leluasa untuk 

mengobati luka-lukamu dan menghilangkan bisa 

jarum itu."

"Cih! Tak sudi aku menerima bantuan dari orang 

yang hendak mencelakakanku dan abdi Singasari 

yang telah mencuri Pusaka Patung Pualam milik 

kerajaan Kediri! Tak sudi aku!!"

Melihat ayahnya dibentak dengan suara yang 

keras itu, Juwitasari menghampiri dengan jengkel.

"Kenapa tidak dibunuh saja orang ini, Bapak?" 

serunya marah. "Biar mampus sekalian di sini 

daripada merepotkan kita!"

"Ya, bunuh saja aku! Bunuh saja! Kenapa kau 

menunggu waktu lagi, hah? Kenapa?!" bentak 

Marayuda keras. "Ayo lakukan, lakukan!!"

"Bangsat!" seru Juwitasari. "Kau pikir aku main-

main, hah?!"

"Lakukan, lakukan! Aku muak berada dalam 

tawananmu! Lebih baik aku mati daripada hidup 

bersama orang-orang yang tak beradab! Secara 

curang menyerang orang selagi lengah! Mana 

keberanian kalian, selain hanya membokong saja, 

hah?! Mana?!"

Dengan geram Juwitasari mencabut toya-nya


dan menggerakkan dengan cepat. Pemuda ini 

membuatnya sangat jengkel. Biar mampus saja.

Sedangkan Marayuda dengan tenang saja 

menerima apa yang akan terjadi pada dirinya. 

Bahkan dia memejamkan matanya saja pun tidak. 

Biar dia mati daripada ditawan oleh musuh Kediri 

ini.

Namun mendadak saja sebuah benda 

menghalangi laju toya Juwitasari.

"Traaak!"

Tangan Juwitasari agak bergetar menerima 

tangkisan yang bertenaga itu pada toya-nya. Dan 

dia sangat terkejut begitu tahu siapa yang 

menahan tongkat toyanya.

"Bapak?!" suaranya bergetar, tak percaya. "Aku 

tidak pernah mengajarkan kau untuk menyerang 

orang yang telah kalah, Juwita. Apakah kau lupa 

kalau itu tak pernah kuajarkan padamu?"

"Tetapi dia menghinaku, Bapak!" suara 

Juwitasari tersendat, bagai menangis belaka. 

Malunya bukan main karena yang menahan 

serangannya itu ayahnya sendiri. Dan ini sulit 

baginya untuk marah. Malu di hatinya semakin 

bertambah besar saja. Mengapa bapak membuatku 

malu? mengapa? Isaknya di hati tidak mengerti.

"Tetapi dia telah kalah, Wita. Kau tidak boleh 

menyerangnya lagi. Bila kau masih melakukannya, 

kau tidak ksatria. Seorang ksatria sejati, pantang


menjatuhkan tangan telengasnya pada lawan yang 

sudah kalah. Dan kau harus bersikap seperti itu, 

Wita. Jangan main sembarang menurunkan tangan 

telengas pada lawan yang telah kalah...." 

"Tapi, Bapak...."

"Bapak yakin, kau akan menuruti kata-kata 

bapak," kata Andikabirata sambil tersenyum. Dia 

tahu sifat putrinya ini yang keras kepala dan 

manja. Namun dia tidak suka bila putrinya 

menurunkan tangan telengasnya pada lawan yang 

sudah kalah. Andikabirata menginginkan putrinya 

agar menjadi seorang kesatria sejati. 

"Bapak...."

Juwitasari tidak meneruskan kata-katanya 

karena mendengar suara tawa Marayuda yang 

mengejeknya. Dan kala tatapan Juwitasari beradu 

dengan tatapan mata yang mengejeknya itu, 

membuatnya ingin menangis karena malu.

Betapa menjengkelkannya. Dan begitu 

mengejeknya!

"Heheheh.... lakukanlah, Nona.... lakukanlah.... 

bukankah kau ingin membunuhku? Heheheh.... 

ayo, bunuhlah aku.... lakukanlah... ayo, Nona.... 

ayo...."

Juwitasari hanya bisa menghentakkan kakinya 

dengan jengkel ke bumi. Lalu dia berpaling pada 

ayahnya.

"Bapak.... kau dengar itu, dia mengejekku?!"


Andikabirata hanya tersenyum.

Sementara Marayuda masih terkekeh-kekeh 

dengan kata-kata ejekannya.

"Heheheh.... mengapa kau diam saja, Nona? 

Ayo, mana kepandaianmu? Apakah kau takut untuk 

membunuhku, hah? Heheheh.... maka-nya jangan 

terlalu sesumbar, Nona... Hehehe... atau kau 

memang pengecut hingga tak mau melakukannya? 

"

Merah padam seluruh wajah Juwitasari. 

Kegeramannya amat luar biasa. Sayang dia pun 

amat menghormati ayahnya, bila tidak, sudah tentu 

akan dibunuhnya pemuda yang mengejeknya dan 

membuat sakit hatinya ini.

"Kau?!" Hanya itu yang bisa terlontar dari 

sepasang bibir memerah yang mungil itu. 

Tersendat. Matanya memerah. Begitu pula dengan 

wajahnya. Untunglah rembulan tidak begitu terang 

bersinar, kalau cukup terang, mungkin pemuda 

ceriwis itu akan terus mengejeknya. Namun 

suaranya yang tersendat itu bisa dengan mudah 

diketahui kalau dia ingin menangis.

Hati Juwitasari benar-benar kesal dan mangkel. 

Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Marayuda masih terkekeh.

"Hehehe.....menangis, ya? Hehehe... bunuhlah 

aku, Nona... Hehehe... cengeng sekali kau!!"

Kali ini Juwitasari tidak bisa lagi menahan


kemarahannya. "Kubunuh kau?!" serunya keras 

sambil menggerakkan toyanya ke arah Marayuda. 

Malunya tidak ketulungan lagi. Dia harus melenyap 

pemuda ini dari muka bumi!!

Dan toya itu pun melesat ke arah Marayuda!

Namun belum toya itu mengenai sasarannya, 

Juwitasari merasakan satu benda menghalangi laju 

toyanya. Dan bukan main terkejut dan malunya, 

karena lagi-lagi ayahnya yang menahan serangan 

itu. Membuat rasa malunya semakin besar.

"Bapak!" serunya tersendat.

Dan tiba-tiba dia berlari melompat ke kudanya 

sambil terisak. Lalu menggebraknya sehingga kuda 

itu melesat bagaikan anak panah yang lepas dari 

gendewanya.

Dia malu.

Malu karena diejek seperti itu.

Malu karena justru ayahnya yang menahan 

setiap serangan yang dilakukannya. Oh, mengapa 

ayahnya membuatnya malu? Mengapa? Ayahnya 

jahat kalau begitu! Tega membuat putrinya sendiri 

menanggung malu di depan pemuda ceriwis itu.

Kalau setiap serangannya tidak ditahan ayahnya 

sendiri, tentunya pemuda itu akan dibunuhnya!

Priatna yang baru mendekat setelah 

pertempuran itu, mencoba menahannya karena 

dilihatnya Juwitasari begitu kesal. Namun gadis itu


mendorongnya hingga jatuh. Dan pemuda itu 

hanya bisa berdiri kembali sambil memanggil-

manggil. "Wita! Juwita! Juwita!"

Namun bayangan gadis itu beserta kudanya 

sudah menghilang dari pandangannya. Ada apa 

dengan gadis itu? Desis Priatna dalam hati.

Akh, dia tidak pernah suka melihat gadis itu 

bermuram durja atau pun kesal.

Dengan tidak mengerti Priatna menghampiri 

gurunya.

"Ada apa dengan Juwita, Guru?"

Andikabirata hanya tersenyum.

"Tidak ada apa-apa. Rayimu memang begitu?"

"Tetapi dia seperti menangis, Guru...."

"Biarkan saja."

"Saya tidak mengerti, Guru."

"Aku sendiri tidak mengerti apa maunya putriku 

itu, Priatna," kata Andikabirata sambil tersenyum.

"Tapi, Guru...."

Namun sebelum Andikabirata sempat membuka 

mulut, Marayuda sudah terkekeh. "Heheheh... 

kasihan gadis cantik itu. Dia malu, pasti malu 

sekali. Heheheh... ingin sekali aku melihatnya 

dalam keadaan malu begitu. Pasti wajahnya yang 

cantik itu akan memerah dan begitu mempesona. 

Gadis itu memang cantik. Sungguh cantik.


Wajahnya begitu mempesona. Ah, sayang 

rembulan sedang segan bersinar. Jika dia lebih 

berbaik hati padaku, pasti dia akan menerangi 

wajah rupawan itu. Ah, sayang, sayang...."

Kata-kata Marayuda membuat keberangan 

Pritna menjadi naik kembali. Bangsat! Pemuda 

pemarah itu mendadak menjadi perayu sekali. Dan 

dia berani memuji Juwitasari di hadapannya.

Sungguh keterlaluan!

Priatna yang diam-diam mencintai gadis itu 

menjadi amat tersinggung. Sejak lama dia 

mencintai Juwitasari. Mungkin sudah hampir tiga 

tahun. Waktu yang cukup lama baginya untuk 

memendang cinta itu di lubuk hatinya yang teramat 

dalam.

Tersimpan rapat.

Setiap malam dia selalu membayangkan wajah 

cantik milik Juwitasari. Betapa senangnya 

andaikata dia bisa menatap wajah itu lebih lama. 

Betapa senangnya andaikata dia bisa mengecup 

bibir mungil yang indah itu.

Ah, ah....

Dan sekarang gadis pujaannya itu dipuji lelaki 

lain di hadapannya. Ini membuatnya tersinggung.

Namun lain bagi Andikabirata. Diam-diam dia 

tersenyum dalam hatinya. Betapa lucunya pemuda 

ini menurutnya. Seperti dirinya di masa muda dulu 

ketika merayu Ratih Sudati gadis yang dicintainya.


Begitu nekad. Begitu lucu.

Lucu, lucu.

Dan tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah 

senyuman. Namun begitu mendengar dengusan 

Priatna buru-buru dia menghilangkan senyum itu.

Dan didengarnya suara Priatna yang menekan. 

"Kau laki-laki ceriwis! Kau beraninya hanya pada 

seorang gadis!"

Marayuda yang masih terbaring di tanah dengan 

menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya terkekeh 

pelan.

"Hehehe... tak ada salahnya bukan, kalau aku 

memuji gadis secantik dia?"

"Tetapi kau telah membuatnya tersinggung!"

"Apa yang telah kulakukan kepadanya, hah? 

Gadis itu yang menangis dan berlari meninggalkan 

tempat ini. Kau pikir aku menggodanya heh? Tidak, 

sama sekali tidak. Aku tidak akan bisa mencintai 

gadis jahat itu. Maaf, lain kali saja!" Terkekeh lagi 

membuat Priatna semakin bertambah geram.

"Kau pikir gadis itu mencintaimu, hah?!" seru 

Priatna makin jengkel.

"Siapa tahu?!" jawaban yang dilontarkan

Marayuda itu begitu santai dan ringannya. 

Bahkan di dalam suaranya tersimpan nada yang 

amat yakin sekali. Hal ini membuat Priatna semkin 

geram dan jengkel. Ingin rasanya dia segera



menghantamkan kepalannya kepada manusia 

ceriwis ini. Sayang ada gurunya di dekatnya, bila 

tidak dia tak akan kompromi lagi.

"Jangan terlalu banyak berharap, Kawan!" sahut 

Priatna padahal hatinya cemas dan cemburu.

"Heheheh.... aku tak prnah berharap. Tetapi... 

hehehe... tentunya gadis itu yang mengharapkan 

aku, bukan?"

"Brengsek...!"

"Hei, hei... mengapa kau harus marah? Apakah 

kau tidak yakin kalau sesungguhnya gadis itu jatuh 

cinta padaku?"

Sebelum Priatna membuka mulut, Andikabirata 

segera menenangkan persoalan itu. Dia berkata 

pada Marayuda, "Anak muda... siapa namamu 

sebenarnya?"

Suara yang bertanya itu amat lembut, namun 

dibalas dengan suara yang kasar oleh Marayuda.

"Buat apa kau mengetahui namaku, Orang tua? 

Dan kau pikir aku mau mengatakannya, heh?! 

Tidak akan pernah aku mengatakannya padamu, 

Orang tua! Kau boleh berharap banyak, tapi jangan 

kau pikir akan tercapai harapanmu itu!"

Priatna menyangka gurunya akan marah karena 

kata-kata itu diucapkan dengan kasar. Tetapi 

malah kelihatannya gurunya tenang-tenang saja.

"Kau tidak mau mengatakannya?"


"Buat apa, hah?!"

Andikabirata tersenyum.

"Baiklah... mari ikut aku ke Perguruan Cempaka 

Biru. Bila terlambat, jarum berbisa itu akan segera 

menyerangmu dan bisa mematikanmu."

"Biarkan saja! Apa urusannya denganmu, Orang 

tua? Biarkan aku di sini! Biarkan aku mampus! Apa 

perdulimu sebenarnya? Kau toh malah senang 

bukan, karena anak gadis itu berhasi membunuhku 

dengan jarum bangsatnya? Bukan, begitu? Hei, 

jangan hanya diam saja, Orang tua! Apa kau takut 

mengakuinya, heh?! Dan kau tak mau disalahkan 

kalau sebenarnya kau suka dan bangga melihat 

hasil kerja jarum anak gadis itu, bukan?!"

Mendengar kata-kata itu jantung Priatna 

berdetak lebih cepat. Seakan dia habis berlari jauh 

sekali. Jarum berbisa? Juwitasari? Oh, kalau begitu 

pemuda ini telah diserang oleh jarum berbisa yang 

dilepaskan Juwitasari. Oh, betapa malunya karena 

dia menyangka pemuda itu telah berhasil 

dijatuhkannya.

Betapa malunya!

Padahal dia sudah amat bangga tadi. Pantas, 

kala itu Juwitasari tidak membalas senyumnya. 

Rupanya tangan gadis itulah yang telah mengakhiri 

perlawanan Marayuda terhadapnya.

Ini sungguh-sungguh amat memalukan sekali!

Dan dengan perasaan yang amat geram sekali,


dia ingin segera menyumpal mulut pemuda yang 

mendadak berubah menjadi ceriwis itu!

Namun sudah tentu tidak akan mungkin 

dilakukannya sekarang.

"Tetapi bisa yang terdapat pada jarum itu akan 

mematikanmu, Anak muda," Didengarnya lagi 

suara gurunya berkata. Betapa lembutnya. Oh, 

gurunya kenapa menjadi begitu bersimpati pada 

pemuda ini? Mengapa? Desis Priatna geram dan 

heran dalam hati.

Bukankah pemuda itu musuh mereka? Orang 

Cakram Maut yang hina? Orang yang telah 

menyerang Perguruan Cempaka Biru? Mengapa 

harus bertindak sungkan-sungkan? Mengapa tidak 

dibunuh saja? Priatna menjadi bingung dengan 

semunya.

---ooo0dw0ooo---

EMPAT



Lagi-lagi kekehan yang terdengar dari mulut 

Marayuda. Ini kebali membuat Priatna menjadi 

jengkel. Sebenarnya maksud dari Marayuda adalah 

hendak mengulur waktu. Dia mencoba tengah 

mencari sela untuk melarikan diri.

Namun sejak tadi, rasanya tidak mungkin dia 

bisa melarikan diri.

Maka dia pun bersikap semakin kurang ajar 

pada Andikabirata, yang membuat Priatna menjadi


geram adanya.

"Hehehe... mengapa kau menghiraukan aku, 

Orang tua? Apakah dengan cara seperti ini kau 

pikir aku akan tunduk padamu? Hehehe... tak akan 

pernah, Orang tua! Tak akan pernah! Aku muak 

melihat wajahmu, tahu!!"

Andikabirata mendesah panjang.

"Kau tak pernah berterima kasih, Anak muda...."

"Terima kasih? Untuk apa aku berterima kasih? 

Apa lagi terhadap orang sepertimu? Hehehe... 

jangan terlalu mengkhayal, Orang tua! Bila kau 

berani, bunuhlah aku! Biarkan aku mampus! 

Bukankah itu lebih baik untukmu daripada aku 

hidup? Hehehe... jangan jual lagak, Orang tua!"

"Kau keras kepala, Anak muda...." kata 

Andikabirata tetap dengan suara yang terdengar 

sabar.

"Hehehe... mengapa kau masih berpura-pura, 

Orang tua? Mengapa? Jangan kau pikir aku tidak 

tahu permaianan sandiwaramu ini, hah?! Biarkan 

saja! Biarkan aku mampus di sini! Bukankah 

putrimu akan gembira bila mendengar aku 

mampus? Nah, mengapa kau masih berpura-

pura?!" Marayuda terkekeh dengan suara yang 

mampu membuat singa jinak sekalipun menjadi 

murka.

Tetapi suara Andikabirata tetap lembut.

"Kau sungguh keras kepala...."


"Heh? Keras kepala? Hehehe... bukankah ini 

yang kau tunggu? Bunuh saja aku! Bunuh saja! Aku 

sudah bosan dengan permainan sandiwaramu itu! 

Biarkan putrimu senang mendengarnya bila aku 

sudah mati! Mengapa kau masih belum 

melakukannya, hah? Mengapa? Atau kau 

menghendaki aku bunuh diri? Ciih! Pantang aku 

melakukannya di depan orang-orang hina seperti 

kalian! Ayo bunuh saja aku! Bunuh saja! Hehehe.... 

kau memang pengecut, Orang tua! Ayo, bunuh 

aku! Putrimu akan senang, bukan? Dan kau juga 

senang bukan melihatnya?!"

"Dia tidak seperti yang kau duga, Anak muda...."

"Apa yang tidak seperti aku duga, heh?" 

Marayuda mengejek menyakitkan. "Dia 

menyerangku seperti itu sudah jelas, bahwa 

putrimu itu seorang gadis yang jahat! Dia.... 

aughkk!!!"

Tiba-tiba saja Marayuda muntah darah. Rupanya 

bisa jarum itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. 

Mendadak dia merasakan tubuhnya menggigil. 

Bergetar. Namun dia berusaha untuk tertawa.

Dan lagi-lagi dia munta darah. "Augghkhghh!!"

"Kau tidak menuruti kata-kataku, Anak muda."

"Biarkan aku di sini!"

"Guru.... kita biarkan saja pemuda ini di sini. 

Toh dia musuh kita. Dia bukan apa-apa kita, Guru." 

kata Priatna yang sudah geram bukan main. Kalau


tidak ada gurunya akan disepak sampai mampus 

pemuda ini. Biarkan saja dia tergeletak di sini!

Tetapi gurunya menggeleng.

"Tidak, aku tidak akan membiarkannya di sini. 

Dia menjadi tanggung jawabku, Priatna."

"Tetapi dia manusia yang tak berguna, Guru. 

Dia hanya membuat onar saja."

Lagi-lagi Andikabirata menggelengkan 

kepalanya.

"Tidak, aku akan membawanya ke Perguruan 

Cempaka Biru."

"Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau kau 

rawat! Biarkan aku mampus di sini! Biarkan!" 

bentak Marayuda yang menahan rasa nyerinya 

yang sakit luar biasa. Dia menggeliat ngilu. Tulang-

tulangnya dirasakan bagai direjam jarum tajam 

yang jumlahnya ribuan. Dan napasnya pun mulai 

dirasakan sesak.

Rupanya bisa yang terdapat di jarum itu sudah 

menyerang tubuhnya.

Dan mendadak dia kembali muntah darah. Kali 

ini darahnya lebih banyak yang keluar. Kental. Ini 

membuat Andikabirata semakin kuatir dan 

dilihatnya pemuda itu pingsan, tergolek dengan 

lemah.

"Yantara! Bawa pemuda ini dengan kuda. Cepat! 

Bisa jarum beracun itu bisa mengakibatkan


kematian pada dirinya! Cepat!"

Yantara segera bergerak sigap. Dia mengambil 

kuda yang ditunggangi gurunya dan membopong 

tubuh Marayuda ke atas kudanya.

Setelah selesai dengan sigap Andikabirata 

meloncat ke kudanya dan menggeprak kudanya 

hingga lari begitu kencang setelah menyuruh 

Priatna dan Yantara memimpin dan membawa 

murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang luka-

luka.

Sementara para tawanannya pun digiring.

Kuda yang membawa Andikabirata telah tiba di 

rumahnya. Dengan bergegas dia membawa masuk 

pemuda itu dan membaringkannya di pendopo.

Lalu dengan cepat pula dia meramu obat-

obatan. Dan begitu selesai meminumkannya pada 

pemuda itu. Terlihat kerja obat itu begitu cepat dan 

berkhasiat. Karena dalam waktu lima menit, biru-

biru di sekujur tubuh pemuda itu mulai 

menghilang.

Dan dia pun bernapas dengan normal kembali.

Andikabirata menghela napas panjang.

"Akh... hampir saja aku terlambat. Pemuda ini 

paling sedikit harus beristirahat selama dua hari."

Di dalam kamarnya, Juwitasari yang sedang 

menangis di bantal akibat perbuatan Marayuda tadi 

mengintip perbuatan ayahnya. Dia mendengar


ketika ayahnya pulang tadi.

Betapa jengkelnya dia ketika melihat ayahnya 

tengah mengobati pemuda itu!

Huh! Ayahnya rupanya hendak membuat dia 

malu lagi. Bukankah dengan begitu pemuda itu 

harus tinggal di sini untuk memulihkan tenaganya 

dan memulihkan racun yang menyerangnya itu.

Ini membuat Juwitasari tidak menyenangi hal 

itu. Dia- bertekad akan membalas sakit hatinya.

Dia belum puas bila belum membalas semua 

perlakukan pemuda itu padanya. Sungguh panas 

dan malu hatinya dibuat bahan ejekan seperti itu.

Dan Juwitasari sungguh-sungguh tidak 

mengerti, mengapa ayahnya mau merawat dan 

mengobati pemuda yang sudah jelas-jelas 

penyebar fitnah pada Cempaka Biru.

Pemuda yang datang untuk menyerang Desa 

Kali Sunyi! Lalu mengapa harus ditolong? Ini benar-

benar membingungkan Juwitasari.

"Aneh Bapak ini... bukannya dibunuh saja 

pemuda itu, malah ditolongnya," desisnya dalam 

hati. Dan keesokan harinya pun Juwitasari melihat 

sikap yang sama diperlihatkan ayahnya pada 

pemuda itu. Bahkan terlihat jelas kalau ayahnya 

begitu telaten memeriksa keadaan tubuh pemuda 

itu.

Ini membuatnya semakin jengkel saja.



Dan perasaannya untuk membalas dendam 

semakin lama semakin besar saja. Hanya sayang, 

ayahnya selalu berada di dekat pemuda itu. Ini 

membuat Juwitasari hanya bisa menunggu saat 

yang tepat.

Dia berjanji, akan tetap membalas sakit hatinya 

atas perlakuan pemuda itu.

Bila saatnya yang tepat tiba?

---ooo0dw0ooo---

LIMA



Derap langakah kuda itu memecah kesunyian 

malam. Kecepatan larinya amat sukar untuk diikuti 

oleh mata. Terlihat walaupun samar satu sosok 

tubuh yang menunggang kuda itu. Melihat bentuk 

tubuhnya jelas dia seorang pemuda. Di punggung 

penunggang kuda itu terdapat sebilah golok yang 

nampak agak aneh. Sarungnya terbuat dari kulit 

kayu yang berlapiskan timah berwarna kuning.

Pemuda ini pun terlihat mengenakan caping. Dia 

adalah Pandu, murid dari Eyang Ringkih Ireng 

majikan Gunung Kidul.

Secara tidak sengaja pemuda itu telah 

memasuki batas Desa Kali Sunyi. Dan karena

terlalu penat, dia pun bermaksud hendak 

beristirahat.

"Kita beristirahat dulu di sini, Hitam." katanya 

pada kudanya serya melompat turun. Namun


belum lagi dia melangkah, mendadak telah muncul 

di hadapannya beberapa orang laki-laki yang 

memegang toya.

Kening Pandu berkerut. Apa-apaan ini? Apalagi 

setelah dilihatnya wajah mereka yang tidak 

menandakan tanda persahabatan.

Wajah mereka tegang dan kaku.

"Hmm.... kesulitan apa yang akan kuhadapi lagi 

ini?" desisnya dalam hati.

"Manusia lancang, berani-beraninya kau 

menyatroni Desa Kali Sunyi malam hari, hah?!" 

bentak salah seorang. Dia adalah Priatna yang 

tengah bertugas berjaga-jaga di perbatasan Kali 

Sunyi.

Dan bisa ditebak, yang lainnya adalah teman-

teman seperguruannya. Priatna sebenarnya masih 

jengkel dan dendam pada Marayuda. Namun 

hingga tiga hari pemuda musuh itu berada di 

tengah-tengah mereka, gurunya belum juga 

menjatuhkan hukuman.

Ini membuat Priatna heran.

96 LAMBANG PENYEBAR KEMATIAN

Dan kali ini Pandu yang heran. Murid Eyang 

Ringkih Ireng itu menebarkan senyum. Wajahnya 

sebagian tertutup oleh capingnya.

"Hmm.... maafkan aku, Ki Sanak.... aku 

hanyalah pengelana yang sedang kemalaman. Dan


bermaksud hendak beristirahat di sini...." sahutnya 

sopan.

"Manusia busuk, jangan jual lagak di depan 

kami! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau 

sebenarnya, hah?! Jangan berlagak!"

Eyang.... kesulitan apa yang akan kualami ini....

"Maafkan aku, Ki Sanak... Mungkin aku lancang 

karena memasuki desa ini tanpa izin. Namun bila Ki 

Sanak tidak berkenan mengizinkan aku untuk 

melepas lelah di sini, tak apa... lebih baik aku pergi 

saja...."

Belum lagi Pandu melangkah, terdengar 

bentakan yang amat keras. "Tunggu!"

"Ada apa lagi, Ki Sanak?"

"Jangan kau pikir semudah itu kau bisa 

meninggalkan tempat ini. Kau sudah memasuki 

kalangan, dan berarti kau siap menerimanya!"

Pandu mendesah. Dia merasa memang sedang 

terlibat dalam satu kesulitan.

Namun dia tak ingin kesulitan itu lagi-lagi 

membelenggunya. Maka dia pun berpikir, lebih baik 

segera pergi saja. Maka tanpa mengacuhkan 

bentakan dari Priatna, dia bermaksud hendak 

melompat ke kudanya.

Tetapi datang sambaran angin keras ke arah 

kakinya. Sigap Pandu melompat dan bersalto sekali 

kemudian hingga di bumi dengan ringannya.


Priatna mendengus.

"Hhh! Pantas kau berani jual lagak! Rupanya 

kau punya kebisaan juga, hah!"

"Ki Sanak... kita tidak saling kenal adanya, lalu 

mengapa kau hendak membunuhku? Dari sikapmu 

itu, kau nampak begitu murka!"

"Ya, selama orang-orang Cakram Maut masih 

menebarkan fitnahnya, selamanya aku akan 

murka!"

"Orang Cakram Maut? Ooo.... Ki Sanak.... 

rupanya kau salah duga, aku bukanlah orang dari 

perguruan yang kau sebutkan itu. Aku adalah 

seorang pengelana. O ya, namaku Pandu, dari 

Gunung Kidul...."

"Siapa pun kau adanya, kau tetap menjual lagak 

di depanku! Nah, orang Cakram Maut, bersiaplah 

untuk mampus di sini!"

"Tahan!" seru Pandu.

Tetapi Priatna telah menderu maju dengan toya 

di tangannya. Sudah tentu Pandu tidak ingin 

tubuhnya dijadikan sasaran toya yang nampaknya 

amat keras dan telah dialiri tenaga dalam itu.

Maka dia pun segera menghindarinya dengan 

satu gerakan yang hebat dan cepat, membuat 

Priatna menjadi semakin marah dan murka.

"Anjing keparat!"

Dia pun segera meningkatkan kemampuannya.


Serangan-serangan toyanya amat dahsyat. Angin 

yang keluar setiap kali toya itu berkelebat sungguh 

amat keras dan menebarkan hawa kematian.

Pandu sendiri dengan susah payah menghindari 

serangan toya itu. Namun sejauh ini dia belum 

membalas, karena merasa orang yang 

menyerangnya tengah kalap dan berada dalam 

satu kesalahpahaman.

Hal ini justru yang membuat Priatna semakin 

marah.

"Jangan hanya menghindar saja, Setaa-annnn!" 

makinya dan semakin membabi buta. Melihat sejak 

tadi Priatna masih belum juga berhasil mendesak 

lawannya, teman-temannya yang berjumlah lima 

orang itu segera datang membantu.

"Ini tidak dianggap main-main lagi rupanya," 

desis Pandu dalam hati.

Dia pun dengan jurus Gagak Terbang, lalu 

menghindari serangan-serangan yang datang 

dengan cepat dan beruntun itu. Namun mereka 

adalah murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang 

telah mendapat kepercayaan dari Andikabirata 

untuk mengawasi Desa Kali Sunyi.

Sudah tentu ilmu yang mereka miliki tidak 

tanggung-tanggung lagi. Tentu tangguh.

Pandu sendiri akhirnya berinisiatif untuk 

menyerang. Karena bila begini terus-menerus, 

maka dia akan kewalahan. Tenaganya perlahan


lahan akan terkuras habis.

Maka tiba-tiba dia bersalto dua kali ke belakang, 

menjaga jarak serang dari orang-orang yang kalap 

itu.

"Maafkan aku, Ki Sanak sekalian... kalian yang 

telah memaksaku untuk membalas...."

"Setttaaaaan!" maki Priatna. "Tangkap dan 

bunuh orang itu!" serunya pula.

Lalu mereka pun kembali menerjang, dan kali ini 

Pandu sendiri dengan tiba-tiba menyongsong 

terjangan orang-orang itu.

Kebali mereka bertempur dengan hebat. Namun 

kali ini Pandu pun mulai membalas.

Jurus Patuk Rimang warisan gurunya Eyang 

Ringkih Ireng dipergunakannya dengan hebat. 

Membuat para penyerangnya menjadi kaget.

Namun mereka pun diam-diam amat kagum, 

dan dalam hati mereka pula terbersit satu 

kenyataan, bahwa orang ini bukanlah orang 

Cakram Maut yang amat mereka benci.

Puluhan jurus telah berlalu. Pandu sendiri 

akhirnya bermaksud menyudahi perlawanan 

mereka. Maka dengan satu gerakan yang amat 

cepat dan hebat, dia pun bersalto dan melompat 

menotok.

Lima orang tertotok.

Priatna berhasil meloloskan diri namun dengan


cepat Pandu terus mendesaknya dan berhasil 

mendaratkan satu tendangan ke dadanya, yang 

membuat Priatna terguling ke; belakang dan 

muntah darah.

Pandu sendiri telah berdiri sigap.

"Maafkan aku, Ki Sanak.... Engkaulah yang telah 

memaksaku untuk berbuat seperti itu...." katanya 

lembut dan sedikit menyesal, karena dia yakin 

orang itu dalam satu kesalah pahaman.

Priatna yang telah bangkit menatap murka dan 

tangan kirinya mengusap darah yang mengalir dari 

mulutnya.

"Katakan siapa kau sebenarnya?!"

"Tadi sudah kukatakan, Ki Sanak. Namaku 

Pandu, pengelana dari Gunung Kidul...."

"Hhh! Bila kau memang benar bukan orang 

Cakram Maut, beranikah kau kuhadapkan kepada 

guruku?!"

Pandu terdiam sejenak. Dia kini malah jadi 

penasaran untuk mengetahui apa yang sebenarnya 

tengah terjadi.

---oo0dw0ooo---

"Bila itu maumu, tentu dengan senang hati aku 

akan menurut padamu." 

"Bagus!"

"Tetapi... bisakah kau menjelaskan mengapa


terjadi hal seperti ini?!"

"Persetan dengan permintaanmu itu! Sebaiknya 

kau ikut kami menghadap guru!"

"Baiklah...!"

"Lepaskan totokanmu pada teman-temanku!"

Pandu hanya menurut dan rasa penasarannya 

semakin besar. Dia pun ikut saja kala kudanya 

dipegang tali kekangnya oleh Priatna. Sementara 

dia berjalan kaki bersama lima orang murid 

Perguruan Cempaka Biru yang berjalan di 

belakangnya.

Hati Pandu semakin bertanya-tanya, ada apa 

sebenarnya ini? Mengapa orang-orang yang 

nampak dari satu perguruan itu begitu membenci 

Perguruan Cakram Maut?

Dugaan Pandu, mereka berada dalam satu 

sengketa. Yang nampaknya sudah amat mendarah 

daging;vdan menimbulkan kemarahan yang luar 

biasa.

Dilihat dari sikap orang-orang itu kala 

menyambutnya tadi. Sepertinya mereka amat 

berhati-hati sekali. Ataukah orang Cakram Maut itu 

dalam menebarkan terornya selalu menyamar?

Pandu jadi semakin ingin mengetahui duduk 

persoalannya lebih lanjut.

Maka dia pun segera mengikutinya saja tanpa 

banyak bertanya lagi.


Ada apa sebenarnya ini?

Andikabirata sudan tentu heran begitu melihat 

rombongan yang mendekati pendopo-nya. Sejak 

kejadian yang ditebarkan oleh orang-orang Cakram 

Maut terhadap Cempaka Biru, dia jadi tidak bisa 

tidur dengan tenang.

Dan setiap malam datang, dia selalu gelisah tak 

menentu. Akhirnya setelah kejadian itu yang terus-

menerus datang, dia jadi tidak bisa tidur.

Dia pun sigap segera bangkit dari duduk 

bersilanya dan menghampiri rombongan yang 

datang.

Priatna menjura hormat, "Maafkan kami, Guru... 

yang mengganggu kesendirianmu...." 

"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata sambil 

memperhatikan satu sosok yang asing di matanya. 

Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemuda itu?

Priatna segera menceritakan kejadian yang baru 

saja terjadi. Andikabirata manggut-manggut.

Dia menatap Pandu.

"Siapakah gerangan kau adanya, Anak muda...." 

tanyanya dengan tutur suara yang lembut.

Pandu pun menjura dan bersikap dengan sopan.

"Maafkan saya, Paman... Saya pun tidak 

menyangka akan terjadi hal seperti ini...." 

"Ceritakanlah...."


Pandu pun bercerita yang sesungguhnya.

"Nama saya Pandu, Paman... pengelana dari 

Gunung Kidul...."

Tiba-tiba terlihat kening Andikabirata berkerut. 

Nampaknya dia seperti tengah memikirkan sesuatu 

yang mengganggu pikirannya.

Mendadak dia bertanya, "Apakah.... bila aku 

tidak salah... Kau Pandu yang bergelar.... Pendekar 

Gagak Rimang?"

"Ah, Paman... itu hanyalah sebuah gelar yang 

tak banyak arti...."

"Jadi benar kau Pandu... Pendekar Gagak 

Rimang itu?" Kali ini suara Andikabirata 

mengandung kekaguman.

"Orang-orang yang menggelari aku seperti itu, 

Paman...."

"Oh, Gusti Betara Agung... sudah lama aku 

mendengar namamu Pandu... namun tak pernah 

kusangka kalau aku pun mempunyai kesempatan 

untuk bertemu denganmu...."

Pandu tersenyum.

"Paman... janganlah terlalu membesarkan 

namaku... Aku bukanlah orang seperti yang kau 

duga... Aku tak pernah menganggap sesuatu itu 

terjadi dengan pasti... Dalam hal ini adalah julukan 

yang diberikan oleh orang-orang... Itu hanyalah 

julukan belaka...."


Diam-diam dalam hatinya Andikabirata 

tersenyum.

"Anak muda... nama besarmu sudah melekat di 

hatiku... Dan sikapmu itu semakin membuatku 

bertambah pasti dan yakin, bahwa kau memang 

orang pilihan yang begitu hebat dan pantas 

menyandang gelar seperti itu....

Pandu kembali menjura.

"Bila memang demikian anggapanmu, Paman... 

aku mengucapkan banyak terima kasih...."

Mereka pun masuk ke pendopo. Priatna dan 

kawan-kawannya segera mengucapkan maaf pada 

Pandu.

Pandu bertanya tentang kesalah paham-an yang 

terjadi. Dari penjelasan yang disampaikan 

Andikabirata, dia pun akhirnya tahu apa yang telah 

terjadi.

"Lalu bagaimana, Paman?"

"Orang-orang Cakram Maut tetap pada terornya. 

Dan mereka pun tetap berkeyakinan, bahwa orang-

orang Cempaka Birulah yang telah mencuri pusaka 

Cakram Emas...."

"Dan hingga saat ini belum terlihat atau 

terdengar kabar, bahwa ada orang ketiga yang 

berbuat seperti ini?"

Belum lagi Andikabirata menjawab, tiba-tiba 

didengarnya suara derap langkah tergesa-gesa. Ki


Lurah Pati Negoro datang bersama beberapa orang 

anak buahnya.

"Maafkan kelancanganku, Andikabirata...." kata 

Ki Lurah begitu berdiri di depan Andikabirata.

"Oh, silahkan masuk, Ki Lurah... Nampaknya ada 

kejadian yang telah menyusahkan Ki Lurah?"

"Benar, Andikabirata. Tiba-tiba saja datang 

segerombolan orang-orang bersenjatakan cakram 

menyerbu ke balai desa...."

Andikabirata terkejut.

"Benarkah itu, Ki Lurah?"

"Memang benar adanya. Dan saya tidak 

mengerti mengapa tiba-tiba saja desa kita diserang 

oleh orang-orang bersenjata cakram itu...."

Memang jelas Ki Lurah Pati Negoro tidak 

mengerti akan hal itu, karena selama ini 

Andikabirata belum memberitahukan masalah yang 

tengah dihadapinya.

"Maafkan aku sebelumnya, Ki Lurah.... memang 

aku selama ini mendiamkan saja masalah yang 

tengah kuhadapi. Karena aku tak ingin masyarakat 

desa gempar karena masalah yang tengah terjadi 

ini...."

"Masalah apa gerangan?"

Andikabirata pun segera menceritakan kejadian 

yang sesungguhnya. Setelah itu dia memerintahkan 

Priatna untuk mengumpulkan hampir semua murid


Perguruan Cempaka Biru.

Setelah itu mereka pun segera bergerak ke 

sumber yang mengerikan. Pandu sendiri segera 

menaiki kudanya.

Hiruk pikuk terjadi dengan cepat dan gencar. 

Suasana menjadi kacau balau. Api pun membakar 

atap-atap rumah sehingga penghuninya berlarian 

ke luar.

Suasana tegang dan kacau balau.

Jerit tangis yang mengerikan menyayat 

terdengar dari segala penjuru. Orang-orang 

Cakram Maut memang hebat. Dia memasuki Desa 

Kali Sunyi lewat desa seberang, dan menyeberangi 

kali besar yang dijadikan harapan oleh Perguruan 

Cempaka Biru untuk menghambat mereka.

Namun mereka salah perhitungan, karena 

orang-orang Cakram Biru sudah memasuki Desa 

Kali Sunyi. Mereka sengaja meng-obrak abirk desa 

agar orang-orang Cempaka Biru keluar dari sarang.

Di tengah-tengah kacau balau yang amat sangat 

itu, terlihat seorang laki-laki berwajah seram. 

Dengan kumis dan cambang yang lebat tengah 

terbahak-bahak.

Dia adalah Ki Renggono Paksi ketua dari 

Perguruan Cakram Maut.

"Hancurkan semuanya!" serunya. "Hancurkan 

hingga rata dengan bumi!"


Semakin kacaulah keadaannya.

Senjata cakram berkelebat berulangkah 

menyambar nyawa rakyat yang tak berdosa. Yang 

mempunya keberanian sedikit pun nekad untuk 

melawan. Namun semuanya itu sia-sia belaka 

karena mereka pun harus meragang nyawa dengan 

bersimbah darah yang mengalir deras.

Orang-orang Cempaka Biru tiba di sana. 

Andikabirata segera memerintahkan para muridnya 

untuk maju menyerang. Kini pertarungan.antara 

dua perguruan itu pun tak dapat dihindari lagi. 

Keadaan semakin membahana dalam satu 

kengerian yang menyengat.

Ki Renggono Paksi langsung merah padam 

wajahnya dengan kegeraman yang membludak 

begitu melihat Andikabirata. Dia pun dengan sigap 

melompat maju ke arah Andikabirata.

Andikabirata hanya tersenyum saja, semakin 

membuat Ki Renggono Paksi marah.

"Manusia busuk!" makinya. "Akhirnya kau 

menampakkan diri juga!"

"Hm.... apa kabar, Renggono? Lama kita tidak 

berjumpa. Nampaknya di saat perjumpaan ini kita 

dalam suasana yang tidak enak dan memanas...."

"Bangsat! Kau masih bisa menjual mulut manis 

juga rupanya, Andikabirata! Apakah kau tidak tahu 

kalau ajalmu sudah tiba hingga di sini?!"

"Hmm... agaknya bila kita memakai darah


panas, sudah tentu semua ini tidak akan berjalan 

dengan lancar. Bagaimana bila kita membicarakan 

masalah ini dengan kepala dingin, Renggono?!"

Wajah Ki Renggono Paksi semakin memerah 

dengan kegeraman yang luar biasa. Dia melirik 

pemuda yang sejak tadi diam berdiri di sisi 

Andikabirata. Namun kemudian dia meludah tak 

acuh:

"Andikabirata sebaiknya kau kembalikanlah 

pusaka Cakram Emas milikku. Bila semuanya beres, 

aku akan tenang dan tak akan mengganggu hidup 

kalian lagi!"

"Renggono... bagaimana caraku untuk 

mengembalikan pusaka itu bila aku sendiri tidak 

mengetahuinya...."

"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata!"

"Renggono... dasar tuduhanmu karena kau 

menemukan toya lambang Perguruan Cempaka 

Biru.... tidak terpikirkah olehmu, bila ada orang 

ketiga yang tengah mengadu domba kita? Aku 

yakin, sebenarnya kau sudah singgah pada pikiran 

itu. Namun kau tidak mau menggunakan akal 

sehatmu untuk mengetahui lebih lanjut!"

"Jangan berlagak, Andikabirata! Kembalikan 

pusaka milikku, atau bila tidak... kumusnahkan 

kalian hingga ke akar-akarnya...."

Andikabirata mendengus. Namun belum lagi dia 

bicara, tiba-tiba dilihatnya Ki Renggono Paksi


bersalto dua kali ke belakang. Sekilas Andikabirata 

melihat beberapa batang jarum berbisa mengarah 

pada Ki Renggono Paksi. Dan tiba-tiba saja di 

sisinya telah berdiri Juwitasari yang melihat dengan 

geram ke arah Ki Renggono Paksi yang telah 

berhasil menyelamatkan diri dari serangan 

gelapnya.

Dia marah dan jengkel karena serangannya 

gagal.

"Wita...." desis Andikabirata karena merasa tidak 

senang dengan perbuatan putrinya. Dengan begitu, 

putrinya memancing kemarahan yang membludak 

dari Ki Renggono Paksi.

"Maafkan aku, Bapak...." desis Juwitasari yang 

yakin ayahnya marah atas perbuatannya.

Namun dimaafkan atau tidak, Ki Renggono Paksi

sudah sampai pada puncak kemarahannya.

"Manusia keparat! Kubunuh kalian semua!" 

serunya sambil menderu maju ke arah Juwitasari. 

Andikabirata tanggap, kalau putrinya ini tak 

akan pernah menang melawan Ki Renggono Paksi.

Maka dia pun segera bergerak memapaki 

serangan Ki Renggono Paksi. 

"Des!"

"Des!"

Tenaga keduanya berbenturan dengan keras. 

Namun masing-masing langsung sa4 ling


menyerang. Pertarungan antara dua jago itu 

sungguh hebat dan cepat.

Saling menghindar.

Saling menyerang.

Yang dilakukan dengan gerakan yang amat 

fantastis.

Pandu hanya memperhatikan saja. Hingga saat 

ini dia belum tahu harus berpihak pada siapa. 

Begitu pula dengan Juwitasari. Meskipun dia 

geram, namun dia diam saja. Karena memang jelas 

dia tak akan menang bila melawan Ki Renggono 

Paksi.

Hingga kemudian baru disadarinya, kalau di 

sisinya sejak tadi berdiri seorang pemuda 

bercaping. Siapa dia? Mau apa dia? Karena merasa 

pemuda ini asing baginya, sikap Juwitasari pun 

menjadi kasar.

Dia menatap Pandu dengan geram. Yang ditatap 

hanya memperhatikan pertarungan antara 

Andikabirata dengan Ki Renggono Paksi tanpa 

melirik Juwitasari sedikit pun.

Hal ini membuat Juwitasari menjadi jengkel.

"Hei, siapa kau gerangan adanya?!" bentaknya.

Pandu hanya diam saja. Dia tetap mengikuti 

gerak dan laga kedua jago itu.

"Hei! Kau tuli, ya?!" bentak Juwitasari pula.



Namun Pandu tetap berdiam.

Masih berkonsentrasi memperhatikan 

pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono 

Paksi.

Hal ini semakin membuat Juwitasari bertambah 

geram.

Tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya ke 

dada Pandu. Namun yang membuatnya terkejut, 

karena serangannya mengenai tempat kosong.

---oo0dw0ooo---

Padahal sungguh mati, dia tidak melihat pemuda 

itu bergerak atau pun bergeser sedikit pun. Kini 

malah pemuda itu tetap dengan perhatiannya pada 

pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono 

Paksi.

"Settaaannnn!" geram Juwitasari setelah 

menyadari kalau pemuda ini tengah 

mempermainkannya. Lalu diambilnya senjatanya 

yang tersampir di punggung dan ditariknya 

memanjang.

Kembali diserangnya Pandu dengan cepat. 

Namun belum lagi satu gebrakan, toya itu sudah 

berhasil ditangkap. Dan sulit dilepaskan oleh 

Juwitasari.

"Aku tidak memihak siapa pun, Nona.... 

Janganlah memusuhiku.... aku adalah tamu 

ayahmu...."


Lalu dilepaskannya genggamannya dari toya 

milik Juwitasari, yang langsung menariknya dengan 

bibir cemberut.

Pertarungan antara Andikabirata dengan Ki 

Renggono Paksi sudah pada puncaknya.

Keduanya kini sudah menggunakan senjata 

masing-masing. Berulangkah Ki Renggono 

melemparkan cakramnya ke arah Andikabirata 

yang juga telah berulangkah pula menghalau 

cakram itu dengan toyanya.

"Trang!"

"Trang!"

"Trang!"

Kini masing-masing memperlihatkan kehebatan 

mereka dengan serangan-serangan yang 

berbahaya.

"Renggono.... tidak bisakah kita menghadapi 

semua ini dengan kepala dingin? Dengan satu 

penjelasan yang mungkin bisa kitajadikan jalan 

keluar?!" seru Andikabirata sambil menghindari laju 

cakram dan mengayunkan toyanya ke leher Ki 

Renggono Paksi.

Ki Renggono Paksi merunduk dengan sigap.

"Bila kau sudah mengembalikan pusaka Cakram 

Emas, bolehlah kita berbincang dengan kepala 

dingin!"

"Sejak semula sudah kukatakan, kalau aku


maupun murid-murid Perguruan Cempaka Biru 

tidak pernah berbuat licik dan keji seperti itu!"

"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata. 

Bila belum kau kembalikan pusaka itu, maka aku 

pun tak akan menghentikan pertikaian di antara 

kita!"

Kembali pertarungan keduanya semakin sengit 

dan menjadi-jadi. Masing-masing sudah 

memperlihatkan dan mengeluarkan segenap 

kemampuan mereka.

Pandu masih tenang memperhatikan.

Dia tidak bisa menentukan siapa yang keluar 

sebagai pemenang dalam pertarungan itu.

Namun tiba-tiba matanya menangkap satu 

gerakan aneh yang dilakukan oleh Ki Lurah Pati 

Negoro. Gerakan yang menurutnya janggal.

Sejak tadi dia memang memperhatikan Ki Lurah 

Pati Negoro membantu melawan orang-orang 

Cakram Maut. Namun gerakan itu sungguh diluar 

dugaannya. Karena tiba-tiba saja Ki Lurah Pati 

Negoro berputar dan perlahan-lahan tubuhnya 

melenyap.

"Oh, Tuhan!" desisnya. "Ada apa ini?"

Pandu pun segera membuka mata batinnya 

setelah mengeluarkan dan mengalirkan hawa 

murninya. Terlihat bayangan Ki Lurah

Pati Negoro menyelinap ke luar dari


pertempuran itu.

"Hmm.... sebaiknya kuikuti saja apa maunya, Ki 

Lurah itu?" desisnya.

---ooo0dw0ooo---

ENAM



Melalui mata batinnya pula Pandu mengikuti 

langkah Ki Lurah yang demikian cepat menuju ke 

rumahnya. Pandu pun melompat berjingkat dengan 

ilmu peringan tubuhnya untuk hinggap di atap 

rumah Ki Lurah.

Dibukanya sedikit atap di sana, dan dia melihat 

Ki Lurah tengah tergesa-gesa memasuki kamarnya.

"Mau apa Ki Lurah ini? Sikapnya begitu misterius 

sekali?" tanyanya dalam hati.

Dan dia melihat Ki Lurah Pati Negoro tengah 

membuka sebuah laci. Dia pun melihat Ki Lurah 

mengambil sesuatu yang terbungkus kain hitam.

Pandu melihat sebuah benda bergerigi yang 

terbuat dari emas. Keningnya berkerut. Itukah 

Cakram Emas milik Perguruan Cakram Maut.

Lalu mengapa ada pada Ki Lurah? Namun Pandu 

tak perlu lagi mencari jawabnya karena dia 

mendengar Ki Lurah Renggono Paksi mengoceh, 

"Hahahah.... biarlah kalian berdua saling gontok-

gontokkan. Ini akibatnya bila kau menolak 

lamaranku terhadap putrimu, Andikabirata.... Kau 

merasakan akibat yang amat mengerikan.



Hahaha.... dengan senjata toya yang kucuri dari 

perguruanmu, kubuat satu fitnah yang bagus pula. 

Kucuri Cakram Emas ini dari Perguruan Cakram 

Maut dan kutebarkan fitnah padamu.... 

Andikabirata... agaknya kau kurang paham siapa 

aku sebenarnya. Sialan kau ini, berani-beraninya 

menolak lamaranku terhadap putrimu!"

Pandu yang mendengar kata-kata itu menjadi 

geram. Anjing buduk! Rupanya biang keladi semua 

ini adalah orang yang amat dipercaya dan 

dihormati seisi desa.

Pandu pun tak mau bertindak membuang waktu 

lagi. Maka dia pun segera menjebol atap rumah itu, 

yang membuat Ki Lurah terkejut.

Namun kemudian dia terbahak.

"Hahahah.... mengapa kau baru masuk 

sekarang, Anak muda? Sejak tadi kau sudah 

mengetahui kalau congormu itu mengikuti jejakku. 

Kau sungguh berani, Anak muda. Aku kagum 

padamu. Namun karena kau sudah mengetahui 

semua ini, maka nyawamu sebagai taruhannya!"

Maka Ki Lurah pun segera menyerang Pandu 

yang dengan sigap menghindar.

"Kau lurah keparat rupanya! Lurah yang 

menghisap darah daging wargamu sendiri! Kau 

menyebar fitnah yang terlalu kejam dan keji!"

"Hahaha... itu akibatnya bila berani menentang 

dan menolak permintaanku!"


"Mampus rupanya jalan yang terbaik untukmu, 

Ki Lurah!" dengus Pandu seraya menerjang.

"Hahaha.... kau terlalu meremehkan aku 

rupanya. Kau belum tahu siapa aku, Anak muda...."

"Biar aku cari tahu siapa ku sesungguhnya! 

Namun sebagian aku sudah tahu, bahwa engkau 

adalah orang yang pengecut dan memiliki akal 

busuk yang keji!"

"Bangsat!"

Dengan geram Ki Lurah Pati Negoro bergerak 

menyerang kembali. Serangannya amat berbahaya. 

Rupanya dia memiliki ilmu kanuragan yang amat 

hebat.

Pandu pun bergerak mengimbanginya dengan 

satu gerakan yang cepat dan tangkas pula. Dia 

sudah memainkan jurus Patuk Gagak Rimang 

dalam tingkat tinggi.

"Anjing! Kau bisa pula mengimbangi ilmuku, 

hah?!"

"Kau terlalu sesumbar rupanya!"

"Hhh! Terimalah ilmu yang satu ini, Anak 

muda!" dengus Ki Lurah.

Tiba-tiba dia bersalto ke belakang. Dan saat 

hinggap di bumi, dia memutar kedua tangannya ke 

atas. Menyatukannya dan memutar tiga kali ke 

arah kanan.

Lalu tangan itu dibukanya dan dikibas-kannya ke


arah Pandu. Asap hitam mengepul dan bergerak ke 

Pandu.

Pandu tanggap dan yakin, kalau asap itu 

mengandung racun. Maka dia pun bersalto 

menghindar, namun asap itu dengan pekat terus 

mengejar ke arahnya.

"Settaaan! Ilmu beracun yang kau punya, Ki 

Lurah! Keji! Kau teramat keji!"

"Hahahaha... kau jerih rupanya denganku, Anak 

muda.... Hhh! Lebih baik kau bunuh diri saja di 

depanku daripada harus mampus dengan 

mengerikan!"

"Tak akan pernah aku mundur setapak pun, Ki 

Lurah! Orang seperti kau harus ditangkap dan 

diadili!" seru Pandu sambil terus menghindari 

kejaran asap hitam itu.

Namun asap itu seakan memiliki mata yang 

amat tajam. Ke mana pun Pandu lari, ke sana pula 

dia mengejar.

Tiba-tiba Pandu bersalto ke belakang. Dan 

sambil bersalto itu dia mengibaskan tangan 

kanannya. Selarik sinar putih melesat dengan 

cepat, menerpa ke arah asap hitam itu.

---ooo0dw0ooo---

Asap itu memang tidak bisa pecah, malah 

semakin menggumpal. Namun Ki Lurah Pati Negoro 

yang harus menghindari sinar putih itu bila tidak 

ingin dirinya dihantam hancur oleh pukulan sinar


putih itu.

Dan secara mendadak asap hitam itu 

menghilang. Kini Pandu paham, rupanya asap 

hitam itu digerakkan oleh tenaga dalam Ki Lurah 

Pati Negoro.

Maka dia pun semakin mencecar dengan hebat. 

Namun Ki Lurah pun dengan sigap dan tangkas 

menghindari serangan-serangan sinar putih milik 

Pandu yang berbahaya.

Dia berpikir, ilmu menghilangkannya akan sia-sia 

bila diperlihatkan pada pemuda itu. Maka tiba-tiba 

dia duduk bersila bersemedi.

Mendadak saja terlihat asap putih keluar dari 

jasadnya. Rupanya dia memiliki Ilmu Pendua Roh 

yang kejam. Pandu sendiri sedikit terkejut. Karena 

ini terlihat asap putih itu berubah menjadi makhluk 

raksasa yang mengerikan.

"Ilmu sihir!" dengus Pandu seraya menghindari 

serangan-serangan yang dilakukan makhluk 

jejadian itu. Rumah milik Ki Lurah menjadi hancur 

berantakan. Porak poranda.

Pandu terus menghindar dengan cekatan. 

Namun saat menghindar itu, Ki Lurah yang 

nampaknya tengah bersemedi, melemparkan 

Cakram Emas yang dicurinya dari Perguruan 

Cakram Maut.

Sigap Pandu menghindar dan kini dia pun harus 

menghadapi dua serangan yang sama-sama


berbahaya. Tiba-tiba saja Pandu mencabut golok 

yang tersampir di punggungnya. Itu adalah Golok 

Cindarbuana yang diwarisi oleh gurunya dan 

menyebar petaka.

Sambil menghindari serangan makhluk jejadian 

itu, dia pun menangkis serangan Cakram Emas 

yang menderu deras. 

"Trang"

Sungguh sakti Golok Cindarbuana yang 

dimilikinya, karena cakram itu langsung lumpuh tak 

bergerak. Lalu Pandu pun meneruskan 

serangannya pada Ki Lurah Pati Negoro. Lagi-lagi 

asap yang menjelama menjadi makhluk jejadian itu 

dikendalikan oleh tenaga dalam Ki Lurah.

Dan langsung hancur seketika. Pandu segera 

cepat bergerak. Dia menotok Ki Lurah Pati Negoro 

hingga kaku.

"Hmmm.... agaknya aku tak patut untuk 

mengadilimu, Lurah jahanam! Sebaiknya biarlah 

warga desa dan dua perguruan itu yang 

mengadili!"

Pandu cepat-cepat membopong Ki Lurah Pati 

Negoro yang dalam keadaan tertotok. Dia pun 

mengambil pula Cakram Emas milik Perguruan 

Cakram Maut.

Sesampainya di tempat yang telah menjadi 

arena pertempuran, Pandu bergerak sigap 

memisahkan pertarungan yang terjadi antara


Andikabirata dan Ki Renggono Paksi.

Keduanya terlontar ke belakang dan terkejut 

karena merasa ada tenaga yang amat dahsyat 

melontarkan mereka.

Namun sebelum keduanya berkata, Pandu 

segera melemparkan Cakram Emas pada Ki 

Renggono Paksi yang terkejut dan gembira.

"Hentikan pertempuran yang tak ada gunanya 

ini! Bila kalian ingin mengetahuinya lebih jelas, 

kalian bisa tanyakan pada Ki Lurah Pati Negoro! 

Karena dialah biang keladinya!" Sesudah berkata 

begitu, Pandu segera melompat ke kudanya dan 

melarikannya kencang-kencang.

Tanpa sempat orang-orang itu bertanya.

Malam pun hampir menjelang pagi.

 



0 komentar:

Posting Komentar