BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE GENTA PEREBUTAN KEKUASAAN


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

GENTA PEREBUTAN KEKUASAAN

oleh Fredy S.

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Fredy S.

Serial Pendekar Gagak Rimang

dalam episode 002 :

Genta Perebutan Kekuasaan


SATU


Sepasang mata Pandu bersinar 

waspada. Memperhatikan tiga sosok tubuh 

yang mengurungnya dengan tombak 

terhunus. Wajah di balik caping itu 

nampak tenang saja meskipun tatapannya 

sungguh waspada.

"Maafkan aku, Ki sanak... aku hanya 

seorang pengembara yang kebetulan lewat 

di sini," katanya. "Dan aku sungguh tidak 

mengerti dengan apa yang telah terjadi, 

karena tiba-tiba saja kalian telah 

mengurungku...."

"Dusta! Katakan siapa kau 

sebenarnya!!"

"Namaku Pandu... aku datang dari 

Gunung Kidul."

"Jangan bohong, Anak muda!!" 

"Aku tidak bohong, Ki sanak...." 

"Mengapa kau memakai caping?" 

"Sekedar untuk menutupi kepala dari 

sinar matahari!" 

"Buka!"

Pandu yang tidak mau mencari 

masalah, segera membuka capingnya. Dan 

ketiga orang yang mengurungnya itu 

melihat seraut wajah yang tampan di balik 

caping itu.

"Katakan sekali lagi, siapa kau 

adanya, Anak muda?!" bentak salah 

seorang.

"Tadi sudah kukatakan dengan 

jelas... namaku Pandu, aku seorang



pengembara dan berasal dari Gunung 

Kidul...."

Ketiga prajurit itu saling 

berpandangan. Seolah meminta pendapat 

satu sama lain.

Pandu yang melihat kebingungan dan 

rasa ketidak percayaan mereka segera 

berkata, "Bila kalian masih ragu dengan 

siapa aku yang sebenarnya... aku 

bersedia kalian bawa... tanpa melawan!!"

Mendengar kata-kata itu ketiganya 

kembali berpandangan. Dan kali ini 

saling mengangguk tanda setuju. Lalu 

ketiganya dengan mendongakkan tombak di 

punggung Pandu menggiring pemuda itu ke 

Keraton Utara.

Dia dihadapkan pada Mpu Daga yang 

langsung tersenyum begitu melihat pemuda 

itu. Capingnya telah terbuka dan kini 

bertengger di punggungnya dengan tali 

yang melilit di lehernya.

Tiga prajurit tadi menjaga di depan 

pintu.

"Hmm... siapakah kau anak muda?" 

tanya Mpu Daga dengan sikap welas asih.

Pandu berkata dalam hati, sikap 

laki-laki ini mengingatkan aku pada 

eyang...

"Maafkan saya, Mpu... nama saya 

Pandu pengembara dari Gunung Kidul. Dan 

kebetulan saja lewat di sini. Namun 

tiba-tiba saja tiga orang prajurit 

dengan senjata tombak di tangan 

mengurung saya. Dan akhirnya, terjadilah



hal seperti ini, di mana kita 

bertemu...."

Diam-diam Mpu Daga sendiri kagum 

melihat sikap pemuda itu. Tutur katanya 

begitu halus. Dan tak ada kelihatan sikap 

sombong. Dalam sekali lihat saja Mpu Daga 

sudah yakin kalau pemuda itu berkata 

jujur.

"Maafkan kelancangan prajurit 

prajurit tadi. Yang membuatmu menjadi 

tidak enak hati, bukan?"

"Mpu... sebenarnya aku heran pula, 

mengapa sikap para prajurit demikian? 

Ada apakah sebenarya, Mpu? Maukah Mpu 

menceritakannya padaku?"

Mpu Daga mendesah panjang. Lalu 

perlahan-lahan dia pun menceritakan apa 

yang sesungguhnya terjadi di Keraton 

Utara ini. Dia pun menceritakan 

kemungkinan apa yang akan dialami oleh 

Keraton Utara dan bagaimana dengan sikap 

Keraton Selatan.

"Maafkan aku, Mpu... bila aku 

lancang bertanya," kata Pandu kemudian.

"Tidak apa-apa. Kau sebagai tamu 

kehormatan di Keraton Utara ini."

"Apakah Mpu sudah yakin kalau 

sesungguhnya yang mencuri pusaka tanah 

Keraton Utara itu orang-orang Keraton 

Selatan?"

"Aku sendiri tidak yakin dalam hal 

ini, Pandu. Tetapi sebenarnya aku yakin, 

Keraton Selatan tidak terlibat dalam hal 

ini. Aku sendiri menduga, si pencuri


adalah orang dalam. Orang Keraton Utara 

sendiri. Mungkin pula dia bekerja sama 

dengan satu komplotan. Atau... yah, 

sesungguhnya pencuri itu menginginkan 

singgasana prabu untuk didudukinya. Ini 

namanya pemberontakan. Dan bila ini 

memang benar adanya, maka petaka besar 

akan melanda Keraton Utara. Musuh dalam 

selimut telah mengembara di keraton. Ini 

ancaman yang mengerikan, karena kami 

tidak tahu siapa musuh dalam selimut 

itu...."

"Maafkan aku, Mpu... apakah tidak 

ada tanda-tanda yang bisa membawa ke 

sana, siapa kiranya musuh dalam selimut 

itu?" tanya Pandu lagi.

"Sampai sekarang belum ketahuan 

siapa yang mempunyai niat busuk untuk 

menggulingkan tahta Keraton Utara. 

Dengan cara mengadu domba dengan Keraton 

Selatan!"

"Mpu...." kata Pandu kemudian. 

"Bila mpu tidak keberatan bolehkah 

kiranya aku ikut campur dalam masalah 

ini?"

Wajah Mpu Daga nampak bercahaya. 

"Hahaha... sudah tentu, Pandu. Sudah 

tentu aku mengizinkan. Tetapi... apa 

yang mendorongmu untuk melakukan semua 

ini?"

"Maafkan saya, Mpu... aku hanya se-

orang pengembara belaka yang singgah 

dari desa ke desa. Tidak ada maksud lain 

kecuali ingin menolong sesama...."



Mpu Daga tersenyum. Sikapnya begitu 

welas asih.

"Pandu... sebelumnya atas nama 

Prabu, aku mengucapkan banyak terima 

kasih. Nah, untuk itu... kau harus 

menyamar menjadi salah seorang prajurit. 

Dan bila kau ada kesempatan, kau harus 

segera menyelidiki siapa musuh dalam 

selimut yang hendak menggulingkan 

Keraton Utara...."

"Baiklah, Mpu... aku setuju saja."

"Kalau begitu... bila ada cara yang 

tepat nanti, kau akan kuperkenalkan pada 

mereka tadi.” 

“Baiklah, Mpu... semoga saya tidak 

mengecewakan Mpu nantinya...."

"Aku yakin kau tidak akan 

mengecewakan aku, Pandu. Tetapi... 

bisakah kau menceritakan sedikit tentang 

siapa kau sebenarnya...."

"Kalau kau begitu memerlukan 

keterangan mengenai siapa aku, baiklah, 

Mpu... aku pun paham karena suasanayang 

sedang genting ini...."

Lalu Pandu pun menceritakan sedikit 

tentang siapa dirinya.

"Jadi? Eyang Ringkih Ireng itu 

gurumu, Pandu?!" suara Mpu Daga 

terdengar cukup terkejut.

"Begitulah adanya, Mpu!"

"Hahaha... bagus, bagus! Kini aku 

yakin siapa kau adanya, Pandu! Aku 

tahu... di dunia ini hanya seorang yang 

menguasai Ilmu Tangan Malaikat. Eyang


Ringkih Ireng. Apakah kau mendapatkan 

Ilmu Tangan Malaikat itu, Pandu?"

"Ya, Mpu. Ilmu langka itu pun aku 

miliki."

"Berikut golok Cindarbuana yang ada 

di bahumu itu, bukan?"

Pandu terkejut karena ada orang yang 

mengenai golok pemberian gurunya. Kalau 

begitu, tentunya ini golok yang 

terkenal. Tetapi mengapa gurunya tidak 

mengatakan apa-apa padanya.

"Benar, Mpu. Tapi...."

"Sudahlah, Pandu. Lebih baik kau 

menyingkir dulu dari sini. Nanti aku 

hubungi."

"Baik, Mpu."

"Cepatlah, Pandu. Sebelum ter-

lambat!"

Karena saat ini Sri Jayarasa, sang 

prabu Keraton Utara tengah membaca surat 

tantangan perang dari Prabu Keraton 

Selatan yang marah dan merasa terhina.

Setitik darah menjadi lambang 

kematian di surat itu!

Sri Jayarasa menggeram marah. Dia 

meremas surat itu hingga lumat.Juga anak 

panah yang dipakai untuk melontarkan 

surat itu, diinjak-injaknya hingga 

patah. Entah dari mana dilontarkannya.

"Kita sambut tantangan perang 

mereka ini!" geram prabu muda 

berapi-api. Lalu berkata pada Ki Sima 

Ireng yang ada di sana. "Ki Sima Ireng,


segera pimpin pasukan untuk menyerang ke 

sana!!"

Tak ada jalan lain bagi Ki Sima Ireng 

kecuali hanya mengangguk. Padahal saat 

ini Ki Runding Alam dan Ki Manggala belum 

kembali dari Keraton Selatan. Ini saja 

sudah menimbulkan kekuatiran pada diri 

Ki Sima Ireng. Dia sering bertanya-tanya 

dalam hati. Apa yang telah terjadi dengan 

kedua sahabatnya itu? Apa yang terjadi?

Tetapi dia tak dapat membantah dan 

mengemukakan jalan pikirannya, karena 

Sri Jayarasa sekali lagi memerintahkan 

untuk segera memimpin pasukan perang!

Memang tak bisa dibantah. Perintah 

adalah pernitah!

Dengan cepat Ki Sima Ireng 

melaksanakan perintah itu. Dia segera 

menyusun barisan perang menjadi dua 

kelompok. Kelompok satu, barisan berkuda 

dengan busur dan panah. Lalu kelompok 

dua, barisan berjalan kaki yang akan 

membantu dari belakang. Masing-masing 

kelompok berjumlah seratus orang. 

Penyerangan dalam tahap awal.

Besok pagi setelah matahari 

sepenggalah mereka akan segera 

menyerang.

Dan bukan main terkejutnya Mpu Daga 

ketika keesokan paginya ketika dia 

datang melihat betapa banyaknya pasukan 

Keraton Utara di halaman keraton degan 

pakaian dan keadaan siap berperang. Ada 

apa ini?


Apa yang telah terjadi?

Masih bertanya-tanya dalam hati, 

dia segera masuk ke ruang prabu berada 

dan bertanya.

"Daulat, Tuanku Raja Yang Agung. Ada 

apakah gerangan ini? Mengapa sedemikian 

banyaknya prajurit di halaman keraton 

dalam keadaan siap untuk berperang?"

Raja muda itu menatap Mpu Daga. Mpu 

Daga dapat melihat kilatan mata marah 

pada sepasang mata itu.

"Kau sudah tahu, bukan? Ini tandanya 

perang, Mpu!" sahut raja muda itu dengan 

suara cukup keras.

Mpu Daga mendesah panjang.

"Apa yang menyebabkan para prajurit 

sudah siap untuk berperang? Maaf, 

Tuanku... bilamana lancang ber-

tanya...."

"Mpu Daga..." Sri Jayarasa bangkit 

dari duduknya. Berjalan ke jendela. 

"Perang tidak bisa dihindari lagi, darah 

akan tumpah lagi. Prabu Keraton Selatan 

telah mengirim surat tantangan perang. 

Tak ada jalan lain, aku bermaksud 

menyambut tantangan itu, .. Mpu...."

Mpu Daga mendesah dalam hati. Aku 

terlambat... desisnya pilu.

"Tuanku... apakah telah difikirkan

dengan matang tentang hal itu...."

"Maksudmu apa, Mpu?"

"Apakah tidak ada jalan lain untuk 

menyelesaikan masalah ini selain jalan 

berperang?"


"Tidak ada, Mpu. Matahari 

sepenggalah, pasukan kita akan segera 

menyerang!" potong Sri Jayarasa cepat.

"Tuanku... perang hanya menimbulkan 

kesengsaraan dan kemiskinan. Tahanlah 

pasukan dulu, Tuanku. Apakah Tuanku 

lupa, kalau Ki Runding Alam dan Ki 

Manggada belum kembali dari Keraton 

Selatan? Apakah tidak sebaiknya kita 

tunggu kedatangan mereka, Tuanku?

"Karena aku ingat hal itu, di mana 

Ki Runding Alam dan Ki Manggada belum 

kembali, aku bermaksud mengirimkan 

pasukan ke sana!" Sri Jayarasa duduk 

kembali di singgasananya. Memperhatikan 

Mpu Daga yang duduk bersila di bawah dan 

menatapnya dengan penuh keprihatinan 

yang mendalam. "Aku menduga, Ki Runding 

Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan 

mereka, Mpu."

Mpu Daga menggelengkan kepalanya. 

"Hamba tidak percaya kalau Ki Runding 

Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan 

mereka. Hamba mengenal keduanya sejak 

mereka kecil, Tuanku. Mereka adalah 

manusia-manusia tangguh yang diciptakan 

Hyang Widi...."

"Tapi apakah selamanya manusia itu 

akan tangguh? Di dunia ini kesalahan, 

kekalahan dan kesialan selalu ada, Mpu. 

Ingat hal itu. Janganlah menganggap 

mereka sebagai dewa!"

"Hamba mengerti, Tuanku."


"Dan aku yakin, orang-orang Keraton 

Selatan yang menyusup ke keraton dan 

mencuri Pusaka Patung Pualam. Ini tidak 

bisa dibiarkan, Mpu!"

Mpu Daga menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. Dia tidak ingin perang sampai ter-

jadi. Dia ingin kedua kerajaan itu hidup 

rukun dan damai, dalam kurun waktu 

sepanjang masa. Dia terus berusaha agar 

Prabu Keraton Utara mau mengurungkan 

niatnya.

"Tuanku... apakah tuanku yakin 

kalau Keraton Selatan yang mencuri 

pusaka leluhur Keraton Utara? Sepertinya 

tidak mungkin orang Keraton Selatan 

dapat menyusup ke keraton yang dijaga 

begitu ketat...."

"Lalu bagiamana dugaanmu, Mpu?"

"Orang dalamlah yang berbuat semua 

ini, Tuanku...."

"Mpu... aku tak pernah berfikir 

sampai. ke sana. Tetapi yang pasti, aku 

tetap akan mengirimkan pasukan ke 

Keraton Selatan! Raja sialan itu telah 

membuatku malu dengan mengirimkan surat 

tantangan!! Aku pantang ditantang 

seperti itu! Dan darah sebagai 

taruhannya!"

Lagi Mpu Daga mendesah masygul. Kini 

tak ada lagi usaha yang bisa dilakukannya 

untuk menggagalkan keinginan raja muda 

yang marah ini. Yang sedikit-sedikit 

lebih memakai kekuatan daripada akal 

sehat. Dan perang sepertinya tak bisa


dihindarkan lagi. Mpu Daga sendiri tidak 

bisa berbuat apa-apa.

Lalu Mpu Daga pun perlahan-lahan 

mohon pamit mundur.

"Mpu!" panggil Raja ketika Mpu Daga 

sampai di ambang pintu.

Mpu Daga berbalik. "Daulat, 

Tuanku...."

"Bantu Ki Sima Ireng dalam memimpin 

pasukan!"

"Saya akan membantunya, Tuanku...." 

kata Mpu Daga, lalu melangkah ke luar 

dengan lesu. Pikirannya 

dibayang-bayangi hal-hal yang 

mengerikan. Mpu Daga telah merasakan 

kepedihan yang luar biasa akibat perang. 

Dan dia tidak menginginkan hal itu 

terulang lagi.

Apalagi dua negara yang pernah 

terlibat perang dan kini telah berdamai, 

harus mengangkat senjata kembali 

mempertahankan harga diri dan 

kehormatan.

Ah, akan manusia sulit untuk membuat 

sesuatu itu menjadi lebih baik. Sulit, 

padahal dia seorang yang mampu!!

Mpu Daga amat menyesali bila,perang 

benar-benar terjadi. Dan sepertinya 

memang akan terjadi. Ah, Mpu Daga tidak 

bisa membayangkan kembali bagaimana 

pedihnya akibat perang! Perang yang 

sebenarnya dilandasi nafsu belaka.

Beratus umat manusia akan mengalami 

hal yang mengerikan. Perang adalah satu


bentuk fenomena kehidupan yang berakibat 

amat menakutkan. Berbagai macam perang 

memang terjadi dalam kehidupan ini.

Perang yang paling besar adalah 

perang. melawan hawa nafsu sendiri. 

Perang yang begitu hebat.

Dan raja muda itu telah kalah 

melawan nafsunya sendiri. Dia hanya 

ingin membuktikan bahwa dirinya kuat dan

mampu memimpin suatu negara. Padahal 

semua ini hanyalah membuktikan bahwa 

dirinya tidak mampu menggunakan akal 

sehatnya.

Mpu Daga sungguh-sungguh amat 

menyesali kejadian itu.

Kejadian yang menurutnya tidak 

dipikirkan lagi secara panjang. Tidak 

memikirkan akibat apa yang ditimbulkan 

nanti. Terlalu mengerikan untuk 

dibayangkan.

Mpu Daga mendesah panjang.

Dia memang tidak bisa lagi untuk 

berbuat sesuatu agar perang tidak

terjadi. Karena kini sudah diambang 

pintu, dan pintu itu telah terbuka.

"Hanya Dewatalah yang bisa 

menghentikan semua ini," desahnya pilu.

Lalu dia pun melangkahkan kakinya ke 

halaman keraton.

Tak ada yang bisa diperbuatnya!

* * *


DUA


Di halaman keraton pasukan yang 

telah siap dengan senjata peralatan 

perang, siap untuk diberangkatkan. Ki 

Sima Ireng duduk di kuda putih yang 

tinggi dan kekar. Dia telah siap dengan 

pakaian perangnya.

Di pinggangnya terselip dua buah 

besi yang ujungnya berbentuk cakar. 

Itulah senjata Ki Sima Ireng alias Macan 

Seranggi. Dia amat lihai menggunakan 

senjatanya itu.

Sebenarnya Ki Sima Ireng amat 

menyesali juga keputusan yang telah 

diberikan oleh Raja Muda itu. Namun dia 

tak bisa berbuat apa-apa kecuali 

menuruti perintahnya.

Ki Sima Ireng melihat Mpu Daga ke 

luar dari pintu keraton dengan lesu. 

Serentak Ki Sima Ireng melompat dari 

kudanya dan menghampiri Mpu Daga, dan 

menyapa.

"Mpu..!."

Mpu Daga berhenti melangkah. 

Menatap Ki Sima Ireng yang kini telah 

berdiri di hadapannya. Matanya menyapu 

pasukan yang telah siap untuk 

diberangkatkan.

Matahari sudah sepenggalah. Angin 

berhembus dingin dan menusuk. 

Mengherankan, karena matahari bersinar 

terang tetapi udara amat dinginnya.


Mpu Daga merasakan bulu kuduknya 

bergidik. Dia merasakan hembusan angin 

yang mengundang maut. Angin kematian!

"Peperangan tidak bisa dihindari 

lagi, Mpu..." kata Ki Sima Ireng.

"Benar. Sima...." sahut Mpu Daga

pelan. "Aku tak kuasa untuk menahan 

perintah Yang Mulia Raja kita," kata Ki 

Sima Ireng pula.

Mpu Daga menghela nafas panjang.

"Aku pun gagal, Sima. Dan sebagai 

hamba-hamba yang setia, yang telah lama 

mengabdi pada Keraton Utara kita harus 

menerima segala titahnya."

"Benar, Mpu."

"Berapa bagian pasukan ini?" tanya 

Mpu Daga kemudian.

"Kususun menjadi dua bagian, Mpu." 

"Dengan formasi bagaimana?" 

"Barisan berkuda dan barisan 

berjalan. Barisan berkuda akan menyerang 

pertama, dan barisan berjalan akan 

menerobos."

"Hmm... rubah formasimu ini, Sima."

"Bagaimana, Mpu?"

"Barisan pertama atau barisan 

berjalan, menyerang pertama. Barisan 

berkuda menerobos masuk ke dalam 

pertahanan lawan. Ah, benarkah Keraton 

Selatan menjadi lawan kita, Sima?"

"Aku pun tidak tahu, Mpu. Dan 

setelah semua ini siap untuk dikerahkan, 

aku pun jadi menduga kalau Keraton 

Selatan adalah lawan kita. Karena bila


kita diam, maka kita yang dihajar. Dalam 

hal ini hanya ada satu kalimat, membunuh 

atau dibunuh!" sehut Ki Sima Ireng.

"Ya... memang tak ada jalan lain. 

Nah, berangkatlah dengan usul yang 

kuberikan tadi."

Kali ini Ki Sima Ireng mengeluh. 

"Aku bukan ahli strategi perang, Mpu. 

Selama ini biasanya aku mengikuti 

perintah Ki Runding Alam. Hanya beliau 

yang menurutku ahli strategi perang yang 

hebat. Tetapi sampai saat ini beliau 

belum juga muncul. Ini memang 

kesalahanku karena aku tak pernah bisa 

mengatur strategi perang. Baiklah, 

Mpu... aku menuruti perintahmu...."

"Aku akan memimpin barisan berkuda, 

Sima" kata Mpu Daga kemudian.

Dan kata-katanya itu membuat Ki Sima 

Ireng terkejut. Dia menatap Mpu Daga 

lekat-lekat.

"Mpu akan terjun langsung?!"

"Ya."

"Tapi Mpu... Mpu lebih baik tinggal 

di sini. Pikiran Mpu sangat membantu bagi 

kerajaan. Dan amat diperlukan."

"Raja memerintahkan aku untuk 

membantumu."

"Tapi, Mpu...."

"Bukankah tadi kita sudah 

menyetujui, sebagai hamba-hamba yang 

setia, kita tak bisa menghindari segala 

perintah raja. Bukan begitu, Sima?"

"Benar, Mpu."



"Dan perintah itu pun tak bisa 

kuhindari."

"Tapi, Mpu... bagaimana halnya 

dengan keraton?"

"Perintah raja hanya menyuruhku 

membantumu, Sima. Aku akan membantumu."

Ki Sima Ireng hanya bisa mendesah 

saja tanpa bisa untuk membantah lagi. Dia 

tahu siapa Mpu Daga, seorang tua yang 

amat menghormati perintah raja. Yang 

tentunya tak akan pernah ditelannya 

bulat-bulat sebelum dipikirkan.

"Baiklah, Mpu..." katanya akhirnya.

"Aku akan memimpin barisan berkuda. 

Kau pimpin barisan berjalan. Kau masih 

ingat situasi jalan menuju Keraton 

Selatan, bukan? Di Desa Pareden, kita 

kembali mengatur strategi penyerangan 

dan pertahanan. Bagaimana, Sima? Nah, 

kau bergeraklah lebih dulu, Sima. 

Usahakan semuanya berjalan lancar. 

Jangan ada yang salah dalam perhitungan. 

Sima, aku hendak kembali sebentar...."

"Hendak ke manakah, Mpu?"

"Ada seseorang yang harus kujumpai 

dan kuharapkan keterlibatannya dalam 

urusan ini."

"Siapakah dia, Mpu? Apakah.dia 

benar-benar ingin mengabdi terhadap 

Keraton Utara?"

"Kita lihat nanti, apakah dia 

benar-benar ingin mengabdi, atau hanya 

ingin terlihat gagah saja... atau... dia 

adalah mata-mata Keraton Selatan yang


ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di 

sini...."

"Apakah Mpu sudah memeriksanya 

lebih lanjut?"

Mpu Daga menganguk. Mata tuanya ke-

lihatan lelah.

"Aku sudah memeriksanya, Sima. 

Hanya kita ingin bukti apakah dia 

benar-benar ingin mengabdi atau tidak. 

Nah, bergeraklah, Sima... Doaku 

menyertaimu... ingat, jangan gegabah 

dalam bertindak. Fikirkan segala 

sesuatunya. Mungkin aku akan lebih cepat 

menyusulmu...."

Ki Sima Ireng terharu mendengar 

ucapan Mpu Daga. Seorang lelaki tua yang 

amat disegani dan dihormatinya. Seorang 

lelaki tua yang perkasa, yang mampu 

membuat strategi perang dan sistim 

pertahanan yang luar biasa bagusnya. 

Sulit untuk ditembus musuh. Dan Ki 

Runding Alam orang yang juga ahli dalam 

penyerangan, tidak ada di tempat. Namun 

tanpa strategi dari Mpu Daga, Ki Runding 

Alam pun sulit untuk menyerang.

Dan kini Mpu Daga akan segera terjun 

langsung ke dalam pertempuran.

Itu sebabnya Ki Sima Ireng terharu.

"Baiklah, Mpu... kami akan 

bergerak...."

Ki Sima Ireng segera memimpin 

pasukannya. Sedangkan pasukan berkuda 

menunggu kedatangan Mpu Daga yang segera


pergi setelah pasukan Ki Sima Ireng 

bergerak.

Tepat tengah hari, Mpu Daga muncul 

bersama seorang lelaki muda yang gagah 

dan tampan. Tubuhnya tegap. Dia memakai 

baju putih-putih dan berikat kepala 

biru. Ikat kepala itu berlambai-lambai 

ditiup angin.

Si lelaki muda itu adalah Pandu, 

yang menunggang kuda hitam. Di 

punggungnya terdapat sebuah golok tipis 

yang indah dan panjang. Sarungnya 

kelihatan terbuat dari batang kayu namun 

kelihatan pula berlapis timah kuning.

Mpu Daga memperkenalkan Pandu 

kepada pasukan Keraton Utara. Lalu 

segera memimpin barisannya. Bergeraklah 

mereka dengan beriring-iringan secara 

perlahan-lahan.

Pandu berada dalam barisan itu. 

Dalam hatinya dia mendesah, 

"Eyang... mungkin inilah pengalaman 

dan petualangan yang kau maksudkan itu. 

Eyang... bimbinglah aku... berilah aku 

kekuatan hati untuk menyelidiki siapa 

sesungguhnya musuh dalam selimut ini 

yang mengkambing hitamkan Keraton 

Selatan? Eyang, doakanlah semoga aku 

mampu untuk menyeledikinya... Dan tugas 

ini cukup berat, Eyang...."

Iring-iring itu terus bergerak 

dengan cepatnya. Pandu menjalankan 

kudanya di sisi Mpu Daga yang nampak 

seperti tengah berpikir. Diam-diam

Pandu, kagum dengan Mpu Daga meskipun dia 

yakin laki-laki tua itu tengah banyak 

pikiran.

* * *

TIGA



Di Keraton Selatan pun Sri Jaya 

Wisnuwardana sudah mempersiapkan pula 

bala tentaranya. Dia tetap tidak bisa 

menerima perlakuan yang telah dilakukan 

oleh orang-orang Keraton Utara dengan 

mengirimkan fitnah yang keji, menuduh 

mereka telah mengambil Pusaka Patung 

Pualam.

Setelah mengirimkan surat tantangan 

sebagai balasan perbuatan dua orang 

Keraton Utara yang telah mengacau di 

ruang pertemuan Keraton Selatan, sang 

prabu pun segera menyiapkan bala 

tentaranya.

Nanti malam mereka akan menyerang ke 

Keraton Utara. Sang prabu ingin, pasukan 

Keraton Utara bisa digiring ke luar 

perbatasan. Dia tidak ingin pertempuran 

terjadi di Desa Pareden, desa perbatasan 

antara Keraton Utara dan Keraton 

Selatan, karena selir kesayangannya, 

Sekar Perak sedang berlibur ke rumah 

ibunya.

Sang prabu pun amat cemas memikirkan 

nasib selir kesayangannya itu. Dia 

memang tidak bisa lagi menolak


permintaan selir yang amat disayanginya 

itu untuk mengunjungi ibunya karena 

sudah beberapa tahun tidak berjumpa 

dengannya.

Dan prabu pun bermaksud dan 

menginginkan pertempuran itu terjadi di 

Bukit Sanggabuana.

Makanya dia menugaskan Kyai Rebo 

Panunggul untuk bisa menggiring pasukan 

Keraton Utara ke bukit itu. Dan setelah 

masuk perangkap, pasukan yang dipimpin 

oleh Tunggul Dewa akan datang menyerang. 

Cuma Prabu Keraton Selatan tidak tahu, 

kalau selir kesayangannya itu sudah 

diculik oleh Ki Runding Alam dan Ki 

Manggada yang datang mengacau ke 

Singasari.

"Kau harus membawa pasukan perang 

yang tangguh, Kyai!" kata sang prabu pada 

bawahannya yang setia itu.

Kyai Rebo Panunggul mengangguk.

"Semua menjadi tanggung jawab 

hamba, Tuanku...."

"Bagus!"

"Hamba telah memiliki dan memilih 

seratus orang prajurit yang terdiri dari 

panglima perang dan ahli-ahli bela diri 

yang akan membuat pasukan Keraton Utara 

kocar kacir!" kata Kyai Rebo Panunggul 

hormat.

"Bagus! Aku suka mendengar semua 

kata-katamu itu, Kyai!" kata sang prabu. 

Lalu menatap pada Tunggul Dewa yang duduk 

bersila di samping Kyai Rebo Panunggul.



"Tunggul Dewa... kau sendiri 

bagaimana dengan pasukanmu?"

"Seperti yang telah dilakukan oleh 

Kyai Rebo Panunggul, pasukan yang hamba 

pimpin pun terdiri dari orang-orang yang 

tangguh pula!"

"Bagus! Kalau begitu, segala 

sesuatunya sudah siap, bukan?"

"Begitulah adanya, Tuanku," sahut 

Kyai Rebo Panunggul dan Tunggul Dewa 

secara bersamaan. Keduanya menjura 

hormat dan melihat wajah sang prabu 

begitu puas sekali.

"Baiklah, malam ini kalian harus 

segera berangkat. Dan tunggu kedatangan 

mereka di Desa Pareden. Kyai Rebo 

Panunggul, kau beserta pasukanmu harus 

bisa menggiring pasukan Keraton Utara ke 

Bukit Sanggabuana."

"Hamba, Tuanku."

"Dan kau Tunggul Dewa, segera bawa 

pasukanmu ke Bukit Sanggabuana. Kalian 

harus menunggu pasukan Kyai Rebo 

Panunggul yang menggiring pasukan 

Keraton Utara ke sana. Setelah pasukan 

Kediri muncul, segera kalian habisi 

mereka!"

"Baik, Tuanku."

"Kalian tidak boleh gagal dalam 

memimpin pasukan! Hanya perlu diingat, 

bila kalian menjumpai Sekar Perak, cepat 

kalian selamatkan dia dan larikan ke 

keraton.


"Baik, Tuanku..." sahut Kyai Rebo 

Panunggul dan Tunggul Dewa secara 

bersamaan lagi.

"Sekarang kalian berangkatlah. 

Tunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan 

kita besar. Sukar untuk dikalahkan. Dan 

tunjukkan pula, bahwa Keraton Selatan 

bukan pengecut! Bukan pencuri seperti 

tuduhan mereka! Kita pun tak pernah mau 

bila dihina! Tunjukkan semua itu dan 

katakan!" suara prabu Keraton Selatan 

amat berapi-api, menandakan 

kemarahannya telah berkobar karena 

tuduhan yang diberikan oleh orang-orang 

Keraton Utara.

Keraton Selatan adalah tanah 

mereka, tanah yang akan mereka 

pertahankan dari segala macam bentuk 

hinaan dan tuduhan!

Kedua pemimpin pasukan itu segera 

berdiri. Lalu menjura dengan hormat.

"Mohon doa restu, Tuanku," kata Kyai 

Rebo Panunggul.

"Pergilah kalian."

Lalu keduanya pun amit mundur dan 

segera menjalankan perintah sesuai 

dengan rencana Sri Jaya Wisnuwardana, 

raja mereka.

Setelah malam mulai turun, kedua 

pasukan itu berpecah menjadi dua. Yang 

dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul segera 

bergerak ke arah Desa Pareden. Sedangkan 

yang dipimpin oleh Tunggul Dewa segera 

menuju ke Bukit Sanggabuana.


Pasukan itu gagah dan tegap.

Malam semakin surut.

Sementara itu, pasukan Keraton 

Utara sudah beristirahat di Desa 

Pareden. Kembali Mpu Daga, Ki Sima Ireng 

dan Pandu yang diperkenalkan Mpu Daga 

sebagai pengembara dari Gunung Kidul 

yang datang untuk membantu mengatur 

strategi.

"Jadi... sebelum matahari besok 

pagi muncul, kita sudah kembali 

bergerak. Sasaran sekarang adalah Desa 

Glagah Wangi. Kita harus bergerak cepat, 

sebelum Keraton Selatan sudah menduduki 

desa itu. Atau sebelum mereka sampai di 

Desa Pareden ini," kata Mpu Daga sambil 

menatap Ki Sima Ireng dan Pandu. "Secara 

pasti, kita harus lebih cepat dari 

mereka!"

"Bagaimana bila mereka sudah 

bergerak lebih dulu, Mpu?" tanya Ki Sima 

Ireng.

"Yah... terpaksa kita menyambut 

mereka. Dan gagallah rencanaku untuk 

menghindari pertempuran ini. Aku 

bermaksud hendak menghadap Prabu Keraton 

Selatan untuk berunding kembali 

menghindari pertempuran ini."

"Apakah mpu menginginkan hal itu?" 

terdengar suara Pandu bertanya tiba-tiba 

sambil menatap laki-laki perkasa yang 

duduk di hadapannya.


"Ya, apakah kau punya rencana, Anak 

muda?" tanya Mpu Daga sambil menatap 

Pandu pula.

"Hal itu ada dalam pikiran saya, 

Mpu. Tetapi sepertinya sulit di terima."

"Tentang apakah itu?"

Pandu mendesah sebelum bicara.

"Saya bermaksud, malam ini, untuk 

pergi menyelidiki keadaan di Keraton 

Selatan. Saya ingin melihat dulu apakah 

mereka sudah mengirimkan. pasukannya 

atau belum. Dan berapa besar kekuatan 

mereka. Jika kita lebih sedikit, 

sebaiknya kita segera membuat pertahanan 

dan menunggu kedatangan mereka. Jika 

kita lebih kuat, sebaiknya kita segera 

menyerang. Bagaimana, Mpu? Apakah mpu 

setuju? Dan bagaimana pula dengan 

tanggapan anda, Ki Sima Ireng?"

Mpu Daga mendehem.

"Kalau memang itu keinginanmu, tak 

ada salahnya kau menjajaki ke sana. Dan 

kau harus berhati-hati. Sekarang kita, 

orang-orang Keraton Utara, telah 

dianggap sebagai musuh besar oleh 

orang-orang Keraton Selatan. Tetapi anak 

muda... tidakkah kau ingat... seharusnya 

kau tidak terlibat dalam masalah yang 

rumit ini, bukan?"

"Mengapa Mpu berkata demikian?"

"Tahukah kau... kau bukanlah orang 

Keraton Utara atau orang Keraton 

Selatan. Namun kau sepertinya rela untuk 

membantu kami...."


Pemuda itu tersenyum.

"Mpu... sebagai manusia yang 

mempunyai jiwa kesatria yang tinggi, 

tolong menolong kiranya hal yang biasa. 

Dan itu wajib kita lakukan...."

"Tetapi kau telah terlibat, 

Pandu...."

"Tidak mengapa, Mpu... Karena aku 

pun sebenarnya penasaran, siapakah 

sesungguhnya orang yang telah mencuri 

Pusaka Patung Pualam itu. Ini justru yang 

membuatku semakin yakin untuk membantu 

Keraton Utara!"

"Terima kasih, Pandu. Dan kau harus 

berhati-hati dalam hal ini...."

"Sudah tentu saya akan 

berhati-hati, Mpu. Kapan saya bisa 

melaksanakan rencana itu?"

"Kapan maumu?" tanya Mpu Daga. "Se-

benarnya kami tak punya hak untuk 

memerintah padamu...."

"Hehehe... Mpu lupa, bukankah aku 

telah menjadi salah seorang prajurit 

Keraton Utara?"

Mpu Daga tersenyum. Entah kenapa dia 

semakin suka dengan pemuda itu.

"Kau benar, Pandu. Jadi kapan kau 

hendak berangkat?"

"Sebaiknya malam ini, Mpu. Karena 

menurut perkiraan saya, lebih cepat 

lebih baik. Sebelum kita terlambat 

mengetahuinya dan dengan mendadak 

pasukan Keraton Selatan menyerang. 

Bagaimana, Mpu? Setuju?"


"Hahaha... aku sudah tentu setuju 

saja. Bagus, dan kau harus 

berhati-hati."

"Baik, Mpu...."

"Sebelumnya, sekali lagi kuucapkan 

banyak terima kasih atas bantuanmu ini, 

Anak muda," kata Mpu Daga dengan suara 

yang tak bisa disembunyikan nada bangga 

dan terima kasihnya. Dia menepuk-nepuk 

bahu pemuda itu yang dalam hati mendesis, 

"Orang tua ini sepertimu, 

Eyang...."

Ki Sima Ireng sendiri diam-diam 

salut dan bangga terhadap pemuda yang mau 

membuang waktu dan tenaganya untuk 

memulihkan hubungan antara Keraton Utara 

dan Keraton Selatan. Dan yang membuatnya 

lebih bangga, pemuda itu menawarkan diri 

untuk masuk ke sarang musuh.

Ini merupakan satu pengorbanan yang 

amat luar biasa menurut Ki Sima Ireng. 

Karena pemuda itu sebenarnya tidak ada 

sangkut pautnya dengan Keraton Utara.

"Hati-hati, Anak muda," katanya 

dengan suara bangga. "Orang-orang 

seperti kaulah yang sebenarnya 

diharapkan oleh bangsa dan negara. 

Pergilah... dan laporkanlah apa yang kau 

ketahui. Jangan kau paksakan kemauanmu 

itu hingga menjadi pejuang yang hanya 

mengantarkan nyawa. Camkan itu 

baik-baik, Anak muda...."

"Saya akan mengingatnya, Ki... Yang 

perlu kalian ketahui, hatiku merasa


enakmberada di antara kalian, meskipun 

pada saat ini kita semua tengah terlibat 

dalam kesulitan yang panjang. Akibat 

sebuah fitnah yang dilemparkan oleh 

orang yang mengkambing hitamkan Keraton 

Selatan!"

Hening. Kedua pentolan Keraton 

Utara itu seperti merenungi kata-kata 

Pandu. Yah, memang ada musuh dalam 

selimut di Keraton Utara ini. Tetapi 

siapa?

Pandu kemudian berkata lagi, "Kalau 

tak ada yang perlu dibicarakan lagi... 

sebaiknya saya pergi sekarang...."

Keduanya melepas Pandu yang 

bergerak tanpa berkuda. Hanya membawa 

sebilah golok tipis yang tergantung di 

punggungnya. Dan sebuah caping yang 

kerap menutupi wajahnya.

Langkah cepat menembus kegelapan 

malam.

Semua prajurit amat bangga pada 

pemuda itu yang mereka sendiri tidak tahu 

sebenarnya siapa dia. Hanya menurut Mpu 

Daga, pemuda itu bergelar. Pendekar 

Gagak Rimang!

Mpu Daga yang mengantar kepergian 

Pandu dalam hati berkata, "Semoga kau 

berhasil dalam tugas ini, Pandu. Padahal 

kau seharusnya tidak terlibat dalam 

masalah yang amat pelik ini. Namun kau 

sepertinya begitu rela mengorbankan 

nyawa dan waktumu. Bila terjadi apa-apa


pada dirimu, aku tentu amat menyesal, 

pandu...."

sedangkan dalam hati ki sima ireng, 

"hmm... baru pertama kulihat ada seorang 

pendekar kelana yang kerjanya menolong 

orang dari kesusahan. dan menegakkan

keadilan dan kebenaran. dan aku yakin 

sekali dengan kehebatan ilmu 

kesaktianmu, pandu. karena menurut mpu 

daga... kaulah pendekar gagak rimang 

yang hadir kembali di rimba persilatan 

ini!!"

kedua pentolan keraton utara itu 

lalu masuk kembali ke perkemahan mereka.

dan kembali pula melanjutkan 

pembicaan mengenai strategi perang 

mereka.

dan dari pembicaraan itu mereka pun 

membicarakan masalah pandu atau pendekar 

gagak rimang.

"sebenarnya... aku tak pernah 

menyangka kita akan mendapat bantuan 

darinya, sima... sungguh tak kusangka 

ada seorang pendekar muda yang budiman 

seperti itu...."

"benar, mpu... sesungguhnya, aku 

tidak mau kalau perang.ini akan 

berlanjut. dan musuh dalam selimut yang 

tak bisa kita ketahui siapa dia adanya, 

pasti sedang tertawa menyaksikan semua 

hasil perbuatan dan rencananya."

"benar, sima... dan aku pun tak mau 

di antara kita saling tuding dan 

menyalahkan. yang pasti, perintah gusti



Prabu amat kusesalkan untuk menanyakan 

ke Keraton Selatan. Dan inilah 

akibatnya! Yah... mudah-mudahan. 

Pendekar Gagak Rimang dapat menyelidiki 

dan membuat semuanya menjadi sedia kala 

lagi...." kata Mpu Daga berharap.

"Mudah-mudahan, Mpu...." sahut Ki 

Sima Ireng tak kalah berharapnya.

* * *

Sosok tubuh bercaping itu dengan 

cepat berkelebat menerobos kepekatan 

malam. Nampak jelas kalau ilmu 

meringankan tubuhnya sudah amat 

sempurna. Larinya kini bagaikan terbang 

belaka.

Sosok yang tak lain Pandu itu terus 

menggunakan ilmu larinya yang amat 

hebat. Baginya penyelidikan ini 

merupakan satu kasus yang amat pelik 

sekali. Sejak kedatangannya di Keraton 

Utara, di tempat tinggalnya sementara 

yang diberikan oleh Mpu Daga, secara 

diam-diam Pandu sering menyelinap ke 

dalam Keraton Utara.

Dia selalu membuka matanya dan 

telinganya lebar-lebar. Namun dia tidak 

mendapatkan apa-apa yang mencurigakan. 

Tidak menemukan jejak siapa pencuri 

Pusaka Patung Pualam itu. Pernah Pandu 

sampai pada kesimpulan, kalau pencuri 

Pusaka Patung Pualam memang orang-orang 

Keraton Selatan.


Tetapi dihapuskannya dengan cepat 

pikiran itu. Tak mungkin Keraton Selatan 

yang telah menjalin kembali persaudaraan 

dan persahabatan dengan Keraton Utara 

membuat onar lagi. Dan yang lebih hebat 

lagi, adalah mencuri Pusaka Patung 

Pualam, lambang kejayaan Keraton Utara. 

Lambang yang amat diakui, yang harus 

dipegang oleh setiap Prabu yang 

menjabatnya.

Dan bagi yang memiliki pusaka itu, 

maka mau tak mau semua orang harus 

mengakuinya bahwa orang itu adalah Prabu 

Keraton Utara. Ini sudah tentu amat 

membingungkan Prabu Keraton Utara. Di 

samping juga gusar karena pusaka yang 

tersimpan rapi di kamarnya telah lenyap 

begitu saja.

Pandu mendesah panjang. Dia terus 

berlari menerobos kepekatan malam. 

Sebuah hutan kecil pun dilaluinya.

Dan saat itulah pandangan mata Pandu 

yang tajam melihat sebuah api unggun 

kecil di ujung sana. Terhalang sedikit 

oleh pepohonan besar.

"Hmm... siapa yang malam-malam 

begini berkumpul di hutan yang cukup 

menyeramkan ini...." pikir Pandu dalam 

hati. Dan secara perlahan-lahan dia 

menyelinap ke balik pepohonan itu.

Matanya cukup awas untuk melihat 

lima orang laki-laki yang tengah 

berkumpul di sana. Salah seorang dari 

mereka mengenakan kedok berwarna hitam.


"Hei, apa pula maksud orang berkedok 

itu? Mengapa dia harus menutupi 

wajahnya?" desis Pandu dalam hati.

Dan nampak jelas kalau kelima orang 

itu sedang membicarakan satu masalah 

yang kelihatannya amat penting sekali. 

Dan terlihat pula, kalau si Kedok Hitam 

dijadikan sebagai orang yang terhormat, 

karena dia nampak mendominir setiap 

pembicaraan. Sedangkan empat orang 

lainnya lebih banyak mengangguk 

anggukkan kepalanya.

"Hmm... nampaknya penting sekali 

yang mereka bicarakan itu," kata Pandu 

lagi. "Aku benar-benar jadi penasaran. 

Ah, biar kutunda dulu pengintaianku 

terhadap pasukan Keraton Selatan. Aku 

lebih tertarik dengan orang-orang yang 

berkumpul ini. Terutama orang yang 

mengenakan kedok hitam itu! Hmm, lebih 

baik kudengarkan saja pembicaraan 

mereka!"

Lalu dengan sekali melompat, Pandu 

menghentakkan tubuhnya ke sebuah pohon 

yang cukup tinggi. Hanya sekali 

melompat. Dan di sebuah cabang pohon yang 

cukup kecil! Mirip ranting tapi lebih 

besar sedikit.

Dari tempatnya mencuri dengar itu 

dia dapat mendengar apa yang tengah 

dibicarakan orang-orang itu.

Nampak suara si Kedok Hitam 

dijadikan pusat perhatian oleh keempat 

orang lainnya.


"Bila semua pasukan yang kita cari 

sudah beres, kita tinggal mengadakan 

penyerbuan ke Keraton Utara," kata si 

Kedok Hitam dengan suara pelan namun 

berwibawa. "Dan aku tak mau semua ini 

gagal. Telah kusebarkan fitnah kepada 

Keraton Selatan. Berarti bila gagal, 

sia-sialah semua apa yang kuinginkan 

untuk menggulingkan singgasana Prabu 

Keraton Utara."

"Ketua Kedok Hitam... kami akan 

membantu Ketua sampai kapanpun juga," 

kata suara laki-laki berbaju hitam dan 

bertubuh tegap. Wajahnya nampak cukup 

menyeramkan. Di dadanya banyak terdapat 

bulu. Di pinggangnya tersampir sebuah 

golok besar. Dia adalah Kawung Rongo atau 

yang bergelar si Golok Maut. Kawung Rongo 

dikenal sebagai bajingan kelas wahid 

yang kerjanya hanya merusak dan 

menganggu orang banyak. Dia juga 

memiliki ilmu kanuragan yang cukup 

tinggi.

"Bagus! Dan kau bagaimana, Bujang 

Kroto?" tanya si Kedok Hitam pada 

laki-laki kurus setengah baya. Rambutnya 

nampak memutih. Dan kala dia menyeringai 

mirip mayat hidup. Sungguh mengerikan.

Yang dipanggil Bujang Kroto itu 

manggut-manggut.

"Beres! Aku telah menghimpun 

sejumlah pasukan yang cukup besar!" 

katanya tetap dengan menyeringai. 

Menampakkan beberapa buah giginya yang


tanggal. "Pasukan yang kupimpin terdiri 

dari orang-orang golongan hitam semua. 

Rata-rata mereka bekas perampok, dan 

penjahat. Dan masing-masing memiliki 

ilmu yang cukup lumayan. Bila kau 

menyuruh aku untuk memanggil mereka 

sekarang dan langsung menggempur Keraton 

Utara, saat ini juga mereka akan 

berkumpul di sini!!"

Si Kedok Hitam" tertawa, nampak dia 

puas mendengar kata-kata si Bujang 

Kroto.

Pandu yang mencuri dengar dari atas 

pohon, mendengus dalam hati. "Hmm... 

inilah si manusia bangsat atau musuh 

dalam selimut yang telah lama 

dicari-cari!!"

Ingin Pandu langsung menggempur me-

reka. Namun dia menahannya, karena dia 

masih ingin mendengarkan lagi kelanjutan 

apa yang dibicarakan oleh orang-orang 

itu.

Maka ditahannya rasa marahnya 

begitu mengetahui mereka inilah 

orang-orang yang punya rencana jahat 

untuk menggulingkan Keraton Utara. Dan 

sebenarnya hatinya sudah tidak sabar 

untuk mengetahui siapa sebenarnya si 

Kedok Hitam. Namun ditahannya karena dia 

masih ingin tahu apa rencana mereka 

sesungguhnya, yang penting di mana 

markas pasukan yang siap menggulingkan 

Keraton Utara itu berada.


Si Kedok Hitam masih mengumbar 

tawanya.

Nampaknya dia cukup puas dengan 

kata-kata si Bujang Kroto.

Tiba-tiba dia menghentikan tawanya. 

Dan menatap dua orang laki-laki yang 

sejak tadi hanya terdiam. Pandu cukup 

terkejut melihat kedua laki-laki itu. 

Diperhatikan secara seksama, ya... tak 

ada bedanya! Keduanya tak ada bedanya. 

Sama! Mirip dan serupa!

Pandu mendengar si Kedok Hitam 

memanggil kedua orang sama itu, "Hmm... 

kalian sendiri bagaimana, Setan Kembar 

Bukit Iblis? Apakah kalian siap untuk 

mengorban-an nyawa demi kepentingan kita 

bersama?

Salah seorang dari Setan Kembar 

Bukit Iblis itu menyahut pelan, namun 

suaranya menusuk, "Kala ini mungkin kau 

masih bisa mengatakan... kalau kita 

masih bersama dan bersatu. Namun apakah 

mungkin, bila semuanya sudah berhasil 

kau dapati, kau masih mengatakan kita 

bersatu?"

"Hahaha... Renggota... mengapa kau 

berkata demikian? Apakah kau pikir aku 

akan melupakan bantuan kalian bila 

semuanya sudah berhasil kita lakukan?" 

si Kedok Hitam terbahak. Namun 

sesungguhnya di balik kedoknya yang 

berwarna hitam itu, wajahnya geram bukan 

main dengan kata-kata bernada tidak 

percaya itu.


"Hmm... kau bisa berkata begitu saat 

ini. Kedok Hitam. Tetapi hati kecilku 

masih sangsi dengan apa yang akan terjadi 

kemudian...."

"Hahaha... lihat saja nanti...."

"Baiklah... bila kau memang 

benar-benar seorang kesatria sejati dan 

pantang berbuat khianat, katakan pada 

kami semua yang ada di sini, di mana kau 

sembunyikan benda itu?"

Mendengar pertanyaan itu wajah si 

Kedok Hitam pias. Untung terhalang 

kedoknya.

"Mengapa harus lama kau 

menjawabnya, Kedok Hitam?" tanya 

Renggota dengan suara mengejek. "Kau tak 

mau memberitahukan di mana benda itu kau 

sembunyikan?"

Si Kedok Hitam sebenarnya merasa 

jengkel sekali. Tetapi dia tertawa.

"Hahaha... untuk apa benda itu aku 

sembunyikan sendiri. Baiklah... bila 

kalian ingin tahu. Hmm... kalian bisa 

melihatnya di Danau Siluman, sebelah 

Tenggara dari arah Keraton Utara. Di 

sanalah benda itu kubenamkan, setelah 

kubungkus dengan kain tebal dan 

kuikatkan ujungnya dengan tail. Lalu 

tali yang cukup panjang itu kuikatkan di 

sebatang pohon kecil yang tak nampak! 

Bagaimana, kau cukup puas, Renggota?

Renggota menganggukkan kepalanya.

"Maafkan aku, Kedok Hitam... bukan 

maksudku untuk mencurigai rasa kesetia


kawanmu. Tetapi aku perlu waspada bukan, 

karena kegentingan yang terjadi antara 

Keraton Utara dan Keraton Selatan sudah 

amat genting sekali. Dan ini berarti, 

kami semua telah siap untuk menghadapi 

resiko apa pun. Dengan segala akibatnya! 

Bukankah begitu, Kedok Hitam?"

Si Kedok Hitam terbahak. "Tetapi 

jangan lupa," katanya di sela tawanya. 

"Bila semua ini berhasil, maka kalian 

akan menjadi kaya raya, bukan?"

Mereka pun ikut tertawa.

Kemudian terlihat saudara kembar 

Renggota yang bernama Ranggota mendehem.

"Kedok Hitam... kapan saat 

penyerangan yang paling tepat dilakukan? 

Aku sudah tidak sabar ingin menginjak 

Keraton Utara. Ingin menikmati kehidupan 

mewah seperti layaknya seorang prabu. 

Dilayani dayang. Dikelilingi 

selir-selir yang cantik aduhai. 

Hahaha... betapa nikmatnya kehidupan se-

perti itu. Kehidupan yang telah lama aku 

cari dan kudambakan... hahaha... Aku 

sungguh tidak sabar lagi, aku sungguh 

tidak sabar lagi, Kedok Hitam...."

Si Kedok Hitam pun terbahak.

"Tenanglah... tak lama lagi semua 

itu akan kita jalani dan kita dapatkan. 

Dan aku punya rencana yang amat jitu akan 

kulakukan sendiri...."

"Hmm... apa itu, Ketua Kedok Hitam?" 

tanya Bujang Kroto. Yang menunjukkan 

wajah tidak sabar untuk mengetahui


rencana apa yang ada di benak si Kedok 

Hitam. Begitu pula dengan yang lainnya, 

yang nampak menunjukkan wajah berminat.

Begitu pula dengan Pandu yang masih 

mencuri dengar di atas pohon. Dia pun 

nampak tidak sabar ingin mengetahui 

rencana apa yang ada di balik si Kedok 

Hitam.

Namun kemudian dia mendengus gusar 

ketika melihat si Kedok Hitam 

berbisik-bisik. Dan terlihat 

kepala-kepala yang mendengar itu 

mengangguk-angguk.

"Sialan!" dengus Pandu. "Kenapa 

harus pakai berbisik-bisik segala? Apa 

dipikirnya ada yang mencuri dengar?" 

makinya tetapi sejurus kemudian dia 

terdiam, lalu terkikik pelan. "Hihihi... 

bukannya aku yang lagi mengintip?"

Lalu kembali Pandu mengarahkan 

pandangannya pada orang-orang yang masih 

nampak sibuk dengan satu pembicaraan.

Kemudian terdengar suara si Kedok 

Hitam, "Bagaimana?"

"Bagus! Rencanamu amat jitu 

sekali!" kata si Bujang Kroto. "Dan bila 

kau bisa melakukannya dengan cepat, maka 

kita tak perlu susah payah lagi untuk 

menggulingkan Keraton Utara."

"Sebaiknya kau. melakukannya dengan 

segera, Kedok Hitam," kata Ranggota. 

"Selagi sebagian besar pasukan Keraton 

Utara meninggalkan keraton untuk 

menggempur Keraton Selatan."


"Memang, aku akan melaksanakannya 

secepatnya. Tetapi tentunya bila 

kudapa-kan satu kesempatan yang pas dan 

tepat! Bila saja ini berhasil, maka kita 

akan bisa melakukannya dengan segera! 

Tetapi kurasa aku akan berhasil, karena 

saat ini hanya Panglima Anglinglah yang 

berada di sana. Dan para pentolan Keraton 

Utara lainnya sedang bergerak untuk 

menggempur Keraton Selatan. Rencana yang 

jitu, bukan?"

Yang lainnya mengangguk.

Di tempatnya, Pandu mendengus dan 

menggerutu berulang kali. "Sialan! Apa 

yang mereka sedang rencanakan itu, sih? 

Brengsek! Apa sebaiknya aku turun saja 

dan bertanya, "Hei... kalian 

merencanakan apa sih tadi? Tapi gila, 

bisa gagal pula aku untuk mengetahui 

siapa sebenarnya musuh dalam selimut 

Keraton Utara yang mengenakan kedok 

hitam itu. Sialan, amat sialan sekali! 

Aku biasa tidak tahu suara mereka. Pelan 

banget mereka ucapkan!"

Pendekar itu masih terus menggerutu 

panjang pendek karena kesal. Lalu 

kemudian dilihatnya orang-orang bangkit 

lalu berpencaran berpisah.

Pandu bingung. Hmm... dia maunya 

untuk segera saja mengikuti ke mana 

perginya si Kedok Hitam itu. Namun dia 

masih ada tugas yang harus dilakukannya 

untuk kepentingan Keraton Utara.


Maka dia pun melompat turun dari 

tempat persembunyiannya di atas pohon 

ketika dilihatnya orang-orang itu sudah 

tidak nampak lagi.

Sesampainya di tanah, Pandu 

langsung menghentakkan kakinya sambil 

menggerutu, 

"Hhh! Kenapa aku harus menyelidiki 

pasukan Keraton Selatan? Tapi... 

hehehe... usul itu kan datangnya dari aku 

sendiri. Hmm... lebih baik segera saja 

kuteruskan untuk mengetahui di mana 

adanya pasukan Keraton Selatan! Tapi 

sungguh sayang, padahal aku bisa 

langsung menangkap orang-orang itu dan 

mengetahui siapa adanya wajah di balik 

kedok hitam itu. Benda apakah yang ada di 

danau Siluman sebelah Tenggara Keraton 

Utara? Tapi tempatnya di mana itulah yang 

aku tidak tahu... Sial, sial!!"

Pemuda itu kembali meneruskan 

larinya yang amat cepat. Dia masih 

menyesal hal itu. Padahal dia bisa 

langsung menangkap si Kedok Hitam itu. 

Tetapi dia pun tak mau kalah tugasnya 

kali ini untuk menyelidiki pasukan 

Keraton Selatan pun gagal.

Maka kembali dia meneruskan 

larinya.

Dan dia pun tak ingin bila kembali 

terlambat ke pasukan Keraton Utara 

berada. Dipercepat larinya menerobos 

kepekatan malam. Dan di luar desa Glagah


Wangi, Pandu memperlambat larinya karena 

matanya menangkap sesuatu di depannya.

Cepat dia. menyelinap di balik 

rimbunnya pepohonan. Sepasang matanya 

mengintip hati-hati memperhatikan apa 

yang ada di depannya.

"Hmmm... siapa pula mereka ini?" 

desisnya dalam hati sambil terus 

mempehatikan. Dan matanya semakin 

dipicingkan. Lekat menatap orang-orang 

di hadapannya.

Tak jauh dari hadapannya, di 

depannya nampak beberapa buah api unggun 

kecil dengan beberapa orang prajurit 

yang sedang menghangatkan badan sambil 

tertawa dan minum-minum.

Mereka adalah pasukan Keraton 

Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo 

Panunggul yang sengaja beristirahat di 

hutan kecil di luar Desa Glagah Wangi 

sebelum melanjutkan perjalanan. Rencana 

di benak Kyai Rebo Panunggul, mereka akan 

sampai di Desa Pareden pagi hari dan 

beristirahat beberapa jam sambil 

menunggu pasukan Kediri.

Pandu melihat hampir seratus orang 

jumlah pasukan yang dipimpin oleh Kyai 

Rebo Panunggul yang kelihatan sedang 

minum arak. Pandu menduga, dialah 

pemimpin pasukan ini karena pakaian 

orang itu lain dan nampaknya yang lain 

pun begitu hormat padanya.

Tiba-tiba Pandu ingin membuat 

mereka kaget. Dia bermaksud untuk


menyerang sendiri di tempat ini. Kembali 

dia mengenakan capingnya. Dan dengan 

beberapa buah kerikil, dia dapat membuat 

orang-orang yang didekatnya terdiam 

kaku. Lalu dia berguling ke arah depan 

dan bersembunyi di balik semak. Matanya 

waspada. Memperhatikan sekitarnya. 

Mendadak seorang prajurit berjalan ke 

arahnya. Pandu bermaksud berpindah 

tempat, tapi orang itu terus saja 

berjalan. Dia hanya buang air. Ketika 

kembali itulah Pandu menghantam lehernya 

hingga pingsan dan menyeretnya ke balik 

semak.

Dia menghitung jarak antara api 

unggun di dekatnya ini dengan yang di 

sana. Agak jauh Dan di sana orang-orang 

lebih asyik minum arak. Tiba-tiba dia 

bersalto dan muncul di hadpaan 

orang-orang yang didekatnya.

Mereka terkejut dan bersiap dengan 

senjata. Tapi kaki dan tangan Pandu telah 

bergerak cepat. Keempat orang itu 

dibuatnya pingsan. Namun salah seorang 

sempat berteriak dan ini menimbulkan 

perhatian yang lain. Serentak mereka 

bangkit meraih senjata dan mendatangi 

tempat jeritan tadi. Betapa terkejutnya 

ketika melihat kawan-kawan mereka 

bergeletakan.

"Bangsat!" salah seorang membentak. 

"Cecunguk mana yang berani berbuat onar 

terhadap pasukan Keraton Selatan ini?!"


Tapi dia tidak perlu menunggu lama, 

karena Pandu sudah muncul di hadapannya. 

Capingnya sengaja ditutup dalam-dalam 

untuk menutupi wajahnya. Eyang Ringkih 

Ireng telah melatihnya hampir lima tahun 

untuk melihat dalam gelap. Juga terhadap 

serangan-serangan senjata dalam gelap. 

Maka itu, Pandu tidak begitu kesulitan 

untuk melihat berapa jumlah orang yang 

muncul di hadapannya ini dan segera 

mengepungnya sambil menghunus tombak dan 

golok.

"Siapa kau?!" bentak salah seorang. 

"Aku adalah aku... dan kalian adalah 

kalian... bukankah begitu?"

"Bangsat! Kau abdi Keraton 

Selatan?" 

"Itu urusanku...."

"Lalu kau mau apa membuat onar 

begini?"

"Aku ingin menghentikan tindakan 

gila-gilaan kalian yang bermaksud 

mengadakan perang dengan Keraton Utara.

"Setan! Dia abdi Keraton Utara!" 

seru yang lain marah.

"Kita ganyang habis!" sambut yang 

lain ramai.

"Saat ini Keraton Utara bukan 

saudaraku, dia adalah musuh besar kita, 

dia telah berani menuduh yang 

bukan-bukan terhadap raja kita! Kita 

tangkap orang ini!"

"Tahan!" seru Pandu sebelum 

orang-orang itu bergerak. "Aku datang


bukan ingin menumpahkan darah, tapi 

mencoba untuk berunding dengan kalian, 

apakah kalian masih mau berpikir, 

tentang tak ada gunanya perang...."

"Tapi prabu kami telah orang-orang 

Keraton Utara hina!!”

"Apakah ini bukan salah paham 

saja?!"

"Tidak! Prabu Keraton Utara yang 

salah! Kami, sebagai abdi setia Keraton 

Selatan pantang menyerah! Dan paling 

benci melihat raja kami dihina orang! 

Sudah kawan-kawan, kita tangkap orang 

ini! Sikkaaaaatt!!"

Setelah dikomando demikian, yang 

lain pun segera bergerak dengan senjata 

masing-masing. Serentak di tempat itu 

Pandu kembali memperlihatkan 

kelincahannya berkelit. Kali ini dia 

juga melancarkan pukulannya. Dia 

benar-benar bergerak cepat. Hanya sekali 

gebrak saja, tiga orang sudah ambruk 

tanpa nyawa. Pandu terkejut melihat 

hasil pukulannya, tapi perang memang 

minta korban. Dan inilah jeleknya 

perang. Dia sangat menyiksa. Keributan 

itu pun memancing prajurit yang lain yang 

segera bergerak ke sana, termasuk Kyai 

Rebo Panunggul. Saat itu Pandu sudah 

merubuhkan semua lawan-lawannya.

Melihat keadaan yang bisa 

membahayakan dirinya, dia segera 

bersalto ke belakang. Tapi beberapa 

tombak yang dilempar mampu menahannya


sesaat, juga orang-orang yang menyerang, 

yang bergerak maju dengan cepat. Dengan 

raut wajah seram dan penuh nafsu ingin 

membunuhnya.

Kali ini Pandu tidak mau bertindak 

murah hati lagi. Dia menghantam 

orang-orang itu hingga jatuh berantakan. 

Namun karena orang-orang itu terlalu 

banyak, Pandu segera melesat pergi 

setelah menerobos kepungan itu dan 

menghantam beberapa orang pengurungnya 

hingga kelojotan.

Lalu dia berjumpalitan dua kali dan 

tubuhnya telah berada di luar para 

pengurungnya. Lalu dihentakkannya 

kakinya untuk berlari. Dia masih belum 

mau mencari ribut yang berkepanjangan. 

Karena dia yakin, ini semua hanya salah 

paham belaka. Tadi pun dia berbuat 

seperti itu terdorong rasa jengkel saja 

melihat jumlah pasukan Keraton Selatan 

yang demikian banyaknya. Yang mana 

menurutnya hanya akan menambah korban 

jiwa dari orang-orang yang tak berdosa.

Dan dia sendiri juga tidak mau mati 

konyol menghadapi sejumlah pasukan yang 

demikian banyaknya. Belum lagi dengan 

adanya Kyai Rebo Panunggul yang geram 

bukan main.

Dia marah besar karena ada orang 

yang mengobrak abrik pasukannya. Dan itu 

pun dia tidak tahu siapa orang itu. Gagal 

menangkapnya. Jangankan menangkap, 

mengetahui siapa dia saja sulit baginya,


karena orang itu mengenakan caping yang 

menutupi juga wajahnya.

Dan yang lebih membuatnya semakin 

marah, setelah mengetahui penyerang itu 

hanya satu orang! Hanya satu orang! 

Sungguh suatu penghinaan sekali namanya 

baginya!

Malam ini juga dengan marah yang 

berkobar-kobar, Kyai Rebo Panunggul 

memerintahkan pasukannya untuk 

bergerak. 

"Sikat jika ada penghalang bagi 

barisan ini!" serunya dengan suara yang 

mengandung kemarahan yang amat sangat 

sekali. 

"Bunuh siapa saja!!"

Dan pasukan itu pun sigap segera 

bergerak dengan rasa marah pula di hati 

masing-masing. Beberapa kawan mereka 

yang mati akibat serangan tadi mereka 

tinggal. Sementara yang tertotok sudah 

dibebaskan oleh Kyai Rebo Panunggul.

Dan pasukan itu pun bergerak.

Sementara itu Pandu terus mengguna-

kan ilmu larinya untuk berlari, Malam ini 

baginya seakan malam keberuntungan. Per-

tama dia mengetahui secara tidak sengaja 

rencana busuk dari musuh dalam selimut 

Keraton Utara. Namun hanya yang 

disayangkannya, dia tidak tahu siapa 

orang dibalik kedok berwarna hitam itu. 

Namun yang lebih penting lagi, dia tahu 

di mana Pusaka Patung Pualam itu 

disembunyikan.


Kedua, dia dapat mengetahui jumlah 

pasukan Keraton Selatan yang siap untuk 

menggempur Keraton Utara. Jumlah yang 

amat banyak sekali.

Dan dia harus melaporkan semua itu 

pada Mpu Daga. Terutama tentang 

orang-orang yang punya rencana busuk 

menggulingkan Keraton Utara.

Mpu Daga cukup gembira mendengar 

cerita itu. Sama halnya dengan Ki Sima 

Ireng. Namun keduanya cukup terkejut 

ketika Pandu bercerita tentang jumlah 

pasukan Keraton Selatan yang amat banyak 

jumlahnya.

Tetapi Mpu Daga segera 

memerintahkan pasukannya untuk bersiap 

menyambut kedatangan pasukan Keraton 

Selatan.

Memang benar dugaannya, sangat 

sulit untuk menyelesaikan masalah ini 

secara damai. Karena bendara perang 

sudah dikibarkan!

Dan perang sebentar lagi akan 

terjadi!

Tak ada yang bisa menahannya kecuali 

Dewata. Mpu Daga pun merasa, bila dia 

harus menerangkan apa yang didengar dan 

dilihat Pandu tadi mengenai orang-orang 

yang punya rencana busuk pada Keraton 

Utara kepada pasukan Keraton Selatan, 

ini akan sia-sia belaka!

Yah... perang pun tak bisa 

dihindarkan lagi rupanya!

* * *

LIMA



Malam semakin larut. Tengah malam 

telah lewat.

Desa Pareden nampak sunyi senyap. 

Rembulan di atas sana renta, seakan 

enggan bersinar. Semua penghuni desa itu 

telah tertidur lelap. Tak seorang pun 

yang tahu, kalau di desa itu telah 

berkumpul pasukan Keraton Utara.

Karena bagi mereka, keadaan telah 

aman. Dan mereka tak pernah menduga kalau 

perang akan terjadi lagi.

Tak ada yang perlu ditakutkan.

Namun tiba-tiba mereka tersentak 

bangun dan terkejut bukan alang 

kepalang, karena di ujung Desa Pareden 

terdengar teriakan yang amat keras. 

Disusul dengan suara jeritan dan 

pekikan. Lalu terdengar suara senjata 

beradu dan diiringi dengan jerit 

kematian yang menyayat hati. Ada apa? Apa 

yang terjadi?

Pasukan Keraton Selatan yang 

dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul, telah 

tiba di ujung Desa Pareden. Dia 

memerintahkan untuk menyerang begitu 

melihat pasukan Keraton Utara.

Tentu saja pasukan Keraton Utara 

yang memang telah bersiaga, segera 

menyambut. Hingga terjadi peperangan 

yang teramat dahsyat.


Semua mengamuk.

Darah pun bersembur ke tanah, 

membasahi bumi yang telah basah oleh 

embun.

Ki Sima Ireng menggebrak kudanya 

dengan keras. Dan dengan senjatanya yang 

berbentuk cakar macan, dia menghantam ke 

kanan ke kiri. Kudanya menerobos. Setiap 

kali dia mengibaskan tangannya, selalu 

ada yang menjerit kesakitan. Amat 

memilukan.

Dan ambruk seketika tanpa nyawa. 

Atau mundur dengan salah satu bagian 

tubuh yang berdarah.

Beberapa orang pasukan terlatih 

Keraton Selatan segera mengepungnya. Dan 

salah seorang mengibaskan tangannya ke 

arah Ki Sima Ireng. Beberapa buah jarum 

berbisa bertengger ke pentolan Kediri 

itu.

Sambil membentak keras, Ki Sima 

Ireng melompat dari kudanya dan bersalto 

beberapa kali di udara. Lalu dia pun 

bergerak menyerang karena begitu dia 

hinggap di bumi beberapa senjata 

lawannya segera mengarah padanya.

Mereka rapat mengepung Ki Sima 

Ireng. Tetapi sebagai orang kepercayaan 

Prabu Keraton Utara itu bukanlah orang 

sembarangan.

Dia mengamuk dengan hebat dengan 

jurus macannya. Si Macan Seranggi 

bergerak dengan dahsyatnya. Dan sebentar 

saja terdengar jeritan beruntun dan



darah segar yang memuncrat dari tubuh 

lawan-lawannya.

Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul 

yang juga sedang bergerak secara membabi 

buta, menjadi marah besar. Dia bersalto 

menghindari lawan-lawannya dan langsung 

menyerang Ki Sima Ireng sekaligus untuk 

menghentikan serangan Ki Sima Ireng pada 

para anak buahnya.

Dan kedua pentolan dari dua negara 

itu pun kini berhadapan.

"Hhh! Rupanya kau, Rebo

Panunggul!!" bentak Ki Sima Ireng yang 

mengenali Kyai Rebo Panunggul.

"Macan Seranggi, kini tibalah 

ajalmu!!" geram Kyai Rebo Panunggul yang 

langsung menyerang.

Ki Sima Ireng pun tak mau kalah, dia 

bergerak cepat memapaki serangan Kyai 

Rebo Panunggul. Maka terjadilah 

pertarungan yang amat dashyat pada 

keduanya.

Keduanya menguasai ilmu jurus macan 

yang hebat. Hanya bedanya Kyai Rebo 

Panunggul tidak memakai senjata. Namun 

jurus Macan Setannya tak kalah hebatnya 

dengan jurus Macan Seranggi Ki Sima 

Ireng. Cakar tangannya pun tak kalah 

kuatnya dengan besi senjata Ki Sima 

Ireng.

Dan keduanya bertempur dengan 

kekuatan yang teramat dashyat. Masing 

masing memperlihatkan ketangguhannya.


Pandu sendiri segera menggunakan 

jurus bangaunya untuk menghantam para 

prajurit Keraton Selatan. Jurusnya 

ampuh.

Tak seorang pun prajurit Keraton 

Selatan pun yang mampu menghalangi 

gerakannya. Yang mencoba menahannya, 

dihajar habis-habisan.

"Majulah kalian semua!" 

bentaknya. 

"Dan mampuslah kalian semua!!"

Tunggang langganglah prajurit yang 

berani mendekatinya.

Sedangkan Mpu Daga hanya memukul 

dengan setengah hati. Dia tidak tega bila 

sampai menurunkan tangan telengasnya 

atau membunuh. Kalau bisa dia hanya ingin 

membuat orang-orang itu pingsan. 

Orang-orang yang tak bersalah, 

orang-orang yang hanya menjalankan 

perintah para penguasa mereka. 

Orang-orang yang sebenarnya tidak tahu 

apa-apa. 

Namun kadang, bila keadaan memaksa, 

Mpu Daga terpaksa membunuh pula. Karena 

bila tidak, maka dialah yang akan 

dibunuh. Dan betapa sedihnya dia melihat 

mayat hasil kerja tangannya. Mpu Daga 

merasa begitu amat berdosa.

Tetapi perang memang mengerikan. 

Terlalu menakutkan untuk dibayangkan. 

Tetapi mengapa masih banyaknya manusia 

yang menyenangi perang, hanya sekedar 

menahan gengsi.


Sampai sang surya menampakkan 

sinarnya diufuk Timur, pertempuran itu 

masih berlanjut. Sudah puluhan orang 

yang tewas dengan tubuh luka parah. Dan 

puluhan pula yang terluka parah.

Semua bergeletakan. Ada yang 

terinjak-injak. Ada pula yang saling 

tumpang tindih.

Pertempuran antara Ki Sima Ireng dan 

Kyai Rebo Panunggul pun belum berakhir. 

Keduanya sama-sama tangguh. Namun lama 

kelamaan terlihat Ki Sima Ireng 

terdesak, karena dua orang prajurit 

terlihat membantu Kyai Rebo Panunggul.

Ini sungguh menyulitkan bagi Ki Sima 

Ireng. Biarpun kedua prajurit itu tidak 

begitu tangguh, namun senjata tombak 

yang dimainkan keduanya suatu saat mampu 

menembus tubuhnya. Apalagi dibantu 

dengan serangan-serangan dari Kyai Rebo 

Panunggul yang teramat dahsyat. Kakek

itu bersorban putih itu bermaksud untuk 

menyelesaikan pertarungannya.

Dia melihat matahari sudah mulai 

bersinar, orang-orang ini harus segera 

digiring ke Bukit Sanggabuana seperti 

perintah Raja Singasari.

Maka dengan tiba-tiba saja dia

membentak dengan keras. Tubuhnya 

menyerbu ke depan dengan kecepatan luar 

biasa. Ki Sima Ireng yang sedang 

menangkis serangan tombak kedua prajurit 

itu terkejut.

"Heit!!"


Dia membentak keras dan berhasil 

mengepos tubuhnya. Tetapi dua buah 

tombak itu terus mencercanya. Dan 

lagi-lagi Kyai Rebo Panunggul menyerbu.

Kali ini dia sebisanya memapaki 

serangan dari Kyai Rebo Panunggul. Namun 

dalam keadaan tidak siap begitu, 

akibatnya sungguh luar biasa. Tubuh Ki 

Sima Ireng terpental beberapa tombak 

terhantam pukulan tangan kanan Kyai Rebo 

Panunggul yang cukup keras.

Dan dari mulutnya terlontar darah 

merah yang segar.

Beberapa prajurit Keraton Selatan 

yang ada di dekatnya, segera 

menggerakkan tombak mereka. Sulit bagi 

Ki Sima Ireng untuk membebaskan diri, 

karena posisinya begitu terjepit. Tetapi 

sebelum tombak-tombak itu mengenai 

sasarannya, tubuh orang-orang itu 

berterbangan tanpa nyawa.

Pandu telah bergerak dengan cepat 

menghantamkan pukulannya pada beberapa 

prajurit Keraton Selatan. Dan menyambar 

tubuh Ki Sima Ireng.

"Ayo Ki! Kau istirahat dulu!" seru 

Pandu sambil bersalto, menghindari 

beberapa tombak yang dilemparkan.

Melihat hal itu Kyai Rebo Panunggul 

segera mengejar. Namun tiba-tiba dia 

bersalto ke belakang, karena sebuah 

serangan menghadangnya.


Mpu Daga telah maju menggebrak 

dengan cepat. Kyai Rebo Panunggul 

membentak marah.

"Bangsat tua! Rupanya kau sudah 

ingin mampus!!"

"Panunggul... Panunggulll... kita 

sudah sama-sama tua... untuk apalah 

bertempur...."

"Bangsat!!" Kyai Rebo Panunggul 

ganti kini menyerang Mpu Daga. 

Serangannya dahsyat dan keji. Mpu Daga 

segera menyambutnya. Tenaga tuanya masih 

mampu digunakan untuk menghalau serangan 

itu. Matahari terus naik, memancarkan 

sinarnya menerangi seluruh Desa Pareden. 

Hal itu kembali mengingatkan Kyai Rebo 

Panunggul untuk menyeret orang-orang ini 

ke Bukit Sanggabuana. Apalagi dia 

melihat pasukannya sudah mulai terdesak 

hebat. Banyak pasukannya yang sudah 

berguguran. Makanya dia mulai 

memerintahkan pasukannya mundur.

Tiba-tiba kedua tangannya merangkum 

ke udara dan bergerak memutar, 

menghantam wajah Mpu Daga. Mpu Daga 

sedikit terkejut melihat serangan aneh 

begitu. Dia merunduk dan melancarkan 

jurus Elangnya ke arah kiri. Kyai Rebo 

Panunggul bersalto ke belakang, tapi Mpu 

Daga memburunya dengan cepat. Kembali 

Kyai Rebo Panunggul mengelak kesamping.

"Munduuuur!!" seru Kyai Rebo 

Panunggul sambil melemparkan senjata


rahasianya yang berbentuk bintang. Dan 

membuat Mpu Daga bersalto tiga kali.

Serentak pasukan Keraton Selatan 

mundur. Pasukan Keraton Utara yang 

merasa menang, langsung mengejar. 

Apalagi Ki Sima Ireng yang sudah masuk 

kembali ke medan laga, langsung memimpin 

pasukannya untuk menyerang terus.

Mpu Daga dan Pandu sendiri mau tak 

mau mengikuti mereka. Yang tanpa sadar, 

kalau mereka tengah digiring ke sarang 

buaya.

Keadaan di Desa Pareden langsung 

sunyi senyap. Angin bertiup semilir. 

Mayat-mayat dari kedua keraton itu 

bergeletakan mengerikan. Beberapa orang 

Desa Pareden setelah keadaan sepi, baru 

berani keluar. Dan semua menghela nafas 

masygul. Sadar, kalau perang sudah di 

ambang mata.

Tak bisa dielakkan lagi!

Sementara itu matahari sudah 

semakin tinggi. Menyelimuti seluruh isi 

di Bukit Sanggabuana. Pasukan Keraton 

Selatan yang mundur telah sampai ke sana. 

Dan segera bersiap menyambut pasukan 

Keraton Utara.

Suasana di Bukit Sanggabuana yang 

tadi sepi kini menjadi ramai. Mpu Daga 

tiba-tiba mempunyai pikiran yang 

membingungkannya sendiri, begitu 

melihat pasukan Keraton Selatan bersiap 

menyambutnya di lapangan yang luas. 

Mengapa mereka sengaja berdiri di tempat


terbuka? Ada apa ini? Mengapa mereka 

tidak bersembunyi? Apakah... yah... 

mereka telah terjebak. Di tempat ini 

pasti ada puluhan pasukan Keraton 

Selatan yang siap menelan mereka 

hidup-hidup.

"Berhenti!!" serunya keras, 

menggema di seluruh Bukit Sanggabuana.

Pasukan itu segera berhenti. Mereka 

menunggu perintah Mpu Daga. Ki Sima Ireng 

sendiri segera bergegas menghampiri.

"Ada apa, Mpu? Pasukan mereka 

tinggal sedikit. Kita hantam habis!"

"Sabar, Sima... aku heran, kenapa 

mereka berdiri di tempat terbuka? Apakah 

mereka sengaja menunggu maut, ataukah... 

ada pasukan lain yang bersembunyi?"

"Ah... Mpu hanya memakai perasaan 

saja. Tidak ada pasukan yang datang 

membantu. Tempat ini sudah kita kuasai. 

Ayo mpu, kita ganyang mereka!!" Ki Sima 

Ireng amat bernafsu.

Mpu Daga terdiam. Lalu kelihatan dia 

manggut-manggut. Benar, jalan masuk ke 

bukit ini sudah mereka kuasai. Tapi 

apakah... Mpu Daga tidak sempat berpikir 

lagi, karena Ki Sima Ireng sudah 

memerintahkan pasukannya untuk segera 

menyerang.

Dengan penuh teriakan yang 

melengking, pasukan berkuda dan jalan 

kaki itu, bergerak dengan cepat. 

Beberapa orang melontarkan panahnya.


Kembali di tempat terbuka itu terjadi 

pertempuran yang dahsyat

Ki Sima Ireng sendiri kembali 

bertempur dengan Kyai Rebo Panunggul. 

Melihat hal itu, kembali Pandu dan Mpu 

Daga bergerak membantu.

Pertempuran berjalan hampir satu 

jam. Dan terlihat kalau pasukan Keraton 

Selatan terdesak hebat. Tapi tak sedikit 

prajurit Keraton Utara yang gugur.

Dan begitu matahari tepat di atas 

kepala, dari balik pohon, batu, semak 

bermunculan puluhan prajurit Keraton 

Selatan yang dipimpin oleh Tunggul Dewa 

dengan pekikan keras.

Tentu saja pasukan Keraton Utara 

yang tinggal sedikit itu menjadi 

terkejut. Terutama Mpu Daga. Dia 

mendesah panjang pendek. Dia pun 

mengeluh. Firasatnya benar. Tetapi mau 

apa lagi, mereka sudah terjebak ke sarang 

buaya. Kedatangan teman-temannya itu, 

membuat pasukan Keraton Selatan yang 

tadi lemah kembali menjadi bersemangat. 

Sudah tentu hal ini membawa semangat bagi 

mereka.

Pasukan Keraton Utara terdesak. Dan 

dipukul hebat. Semua prajuritnya 

dibantai habis. Hanya dalam waktu 

singkat saja, tinggal sepuluh prajurit 

yang masih bertahan.

Dengan Ki Sima Ireng, Pandu dan Mpu 

Daga. Ketiga tokoh sakti dari Kediri itu 

pun sudah agak terdesak menghadapi

puluhan prajurit dengan tenaga dan 

semangat baru. Belum lagi menghadapi 

gempuran-gempuran Tunggul Dewa dan Kyai 

Rebo Panunggul yang melayang-melayang 

menyerbu bak burung elang menyambar 

mangsa, siap menerkamnya!

Tak lama kemudian, sepuluh orang 

prajurit Keraton Utara itu pun habis 

dibantai dengan tubuh direjam! 

Mengerikan!

Amat mengerikan!

* * *

ENAM



Kini tinggal ketiga pentolan 

Keraton Utara saja, yang bersiap dengan 

mata awas menghadapi orang-orang Keraton 

Selatan. Keadaan begitu jelek sekali. 

Tidak menguntungkan. Dan terlihat betapa 

sulitnya untuk meloloskan diri.

Dalam hatinya Ki Sima Ireng menyesal 

sekali tidak mau menuruti kata-kata Mpu 

Daga. Kini dia sadar, kata-kata orang tua 

itu kadang berpetuah. Tetapi mau apa, 

sekarang mereka harus bisa menghindari 

serangan. orang-orangitu, demi selembar

nyawa yang harus mereka pertahankan.

"Tangkap dan bunuh mereka!!" 

membentak Kyai Rebo Panunggul.

Serentak para prajuritnya kembali 

menggempur dari segala penjuru dengan


hebat. Senjata yang ada di tangan mereka, 

kini bagaikan malaikat pencabut nyawa.

Karena jumlah yang tak tertahankan 

banyaknya, membuat ketiganya terdesak 

hebat. Kaki kanan Ki Sima Ireng sudah 

terluka terkena sabetan golok seorang 

prajurit Keraton Selatan. Dia masih 

berusaha untuk mempertahankan 

keseimbangannya.

Melihat darah yang mengalir dari 

kaki Ki Sima Ireng, pasukan Keraton 

Selatan semakin menjadi buas. Mereka 

seakan ingin menghisap darah Ki Sima 

Ireng mentah-mentah.

"Bunuh!!"

"Ganyang!!"

"Hajar!!"

Seruan-seruan itu membahana keras. 

Dan puluhan senjata kembali menyerang. 

Ki Sima Ireng merasakan letih yang amat 

luar biasa. Tetapi dia terus mencoba 

mempertahankan diri. Keringat sudah 

mengalir di se-kujur tubuhnya.

Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul 

terbahak.

"Hahaha... lebih baik kalian 

menyerahkan diri saja, dari pada 

membuang nyawa dengan per cum a!!"

"Hhh! Tak sedikit pun kami mempunyai 

niatan untuk menjadi tawanan Keraton 

Selatan!!" seru Ki Sima Ireng geram dan 

menghalau beberapa senjata yang 

mendekati tubuhnya.


"Hahaha... dalam keadaan seperti 

ini kau masih banyak bacot saja, Sima!!"

"Buktikan dulu bila kalian 

benar-benar bisa menangkap dan 

mengalahkan kami!!"

Mendengar kata-kata itu wajah Kyai 

Rebo Panunggul memerah. Lalu sambil 

menggeram marah dia berseru, "Bunuh 

manusia itu!!"

Dan kembali puluhan prajurit 

menerjang ke arah Ki Sima Ireng.

Sementara Mpu Daga dan Pandu pun 

mengalami hal yang sama keduanya sudah 

terdesak hebat pula.

"Hati-hati, Pandu!" seru Mpu Daga 

yang bersalto ke sana ke mari. Dan kali 

ini dia tidak menyesali menurunkan 

tangan telengasnya. Memang tak ada jalan 

lain lagi bila masih ingin nyawanya 

menyatu dengan jasadnya.

"Ya, Mpu!" sahut Pandu yang terns 

bergerak dengan jurus Patuk Gagak 

Rimang.

Namun karena jumlah prajurit yang 

sedemikian banyak, membuat ruang lingkup 

gerakan mereka menjadi amat sempit. 

Barisan itu seakan hendak menerobos 

masuk satu benteng pertahanan.

Pandu sendiri sudah kerepotan 

sekali. Mendadak dia mendesah panjang. 

Inikah saat yang tepat menggunakan ilmu 

Cakar Gagak Rimang?

Memang tak ada jalan lain lagi.


Lalu Pandu pun mulai merapal. Dan 

kala menyerang dia mendesis dalam hati, 

"Maafkan aku eyang...."

Dan tubuhnya pun bergerak dengan 

cepat. Dengan kedua tangan yang telah 

dialiri ilmu Cakar Gagak Rimang. Dengan 

sekali sentuh saja yang disentuh 

langsung kelojotan dan mati dengan tubuh 

hancur.

Gerakan dan ilmu yang diperlihatkan 

membuat orang-orang Keraton Selatan 

menjadi ngeri dengannya. Mereka satu 

persatu tak ada lagi yang berani 

mendekat. Selain kecepatan yang 

diperlihatkan pemuda itu sungguh cepat, 

juga ilmunya yang amat mengerikan.

Benar-benar satu ilmu yang amat 

langka dan hebat sekali. Kyai Rebo 

Panunggul sampai terkejut dibuatnya.

Dan tanpa sadar dia memekik, "Tangan 

Malaikat!"

Kyai Rebo Panunggul tahu kalau ilmu 

Cakar Gagak Rimang adalah satu bentuk 

ilmu yang amat langka. Dan hingga 

sekarang dia tidak tahu siapa yang 

memilikinya lagi. Dan tiba-tiba saja 

seorang pemuda yang nampaknya membela 

Keraton Utara muncul dengan ilmu yang 

amat dahsyat itu.

Hanya seingat Kyai Rebo Panunggul, 

di puncak Gunung Kidul atau tepatnya di 

Bukit Paringin, tinggalah seorang 

pertapa sakti yang bernama Eyang Ringkih 

Ireng. Pertapa yang berusia sudah amat


lanjut. Hanya dia seoranglah yang 

memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang.

Lalu sekarang dilihatnya pemuda 

gagah bercaping ini yang memilikinya. 

Ada hubungan apa dia dengan pertapa sakti 

yang mengasingkan diri di Gunung Kidul?

"Anak muda... siapakah kau sebenar-

nya?" Tak urung terlontar juga 

pertanyaan itu dari mulutnya. Karena dia 

sesungguhnya amat penasaran untuk 

mengetahui siapa adanya pemuda itu.

Sambil menghantamkan pukulannya, 

Pandu menyahut, "Namaku, Pandu... Orang 

Gagah!!"

"Ada hubungan apa kau dengan Eyang 

Ringkih Ireng, hah?!"

"Dia guruku!!" sahut Pandu sambil 

berjumpalitan. Dan sekali melompat itu 

posisinya sudah agak menjauh dari para 

prajurit Keraton Selatan yang menjadi 

jeri untuk mendekatinya. Dengan sekali 

berkelebat, puluhan nyawa temannya putus 

seketika.

Kyai Rebo Panunggul tidak takut 

karenanya. Dia membentak, "Pandu! Bila 

kau seorang dan murid dari pertapa sakti 

itu... mengapa kau malah membantu 

orang-orang yang menyebarkan fitnah, 

hah?!"

"Aku bukannya membantu, Orang Ga-

gah! Tetapi aku hendak mencari posisi 

yang tepat!"

"Tetapi secara pasti kau telah 

berpihak pada Keraton Utara!!"


"Orang Gagah... tidak bisakah kita 

hentikan dulu pertarungan ini?!"

"Cih!" wajah Kyai Rebo Panunggul 

sengak. "Kau mau mengulur waktu agar kau 

bisa bebas dari kungkungan kami, 

bukan?!"

"Aku bukanlah orang picik yang 

seperti kau kira! Aku ingin membicarakan 

masalah ini secara pasti! Tidakkah kau 

lihat... betapa banyaknya darah yang 

bertumpahan. Betapa banyaknya nyawa yang 

terbuang percuma!

Apakah semua ini akan kita biarkan 

saja? Pikirkanlah hal itu, Orang Gagah.”

“Menurutmu tadi... kalian hanyalah 

kena fitnah belaka. Tetapi orang-orang 

Keraton Utara tidak merasa sedang 

memfitnah! Nah... yang mana yang benar? 

Yang mana yang dusta belaka?!"

"Sudah tentu apa yang dilontarkan 

oleh orang-orang Keraton Utara!"

"Kau yakin sekali nampaknya. Orang 

Gagah?"

"Sudah tentu aku yakin sekali, 

pemuda bercaping. Karena kami, 

orang-orang Keraton Selatan sama sekali 

tidak merasa telah mengambil Pusaka 

Patung Pualam milik tanah leluhur 

Keraton Utara!

Memang, kami dulu pernah mengadakan 

penyerbuan ke Keraton Utara! Tetapi 

semuanya telah pulih secara damai! 

Hubungan antara Keraton Selatan dan 

Keraton Utara sudah berjalan seperti


sedia kala. Dan tiba-tiba saja, tuduhan 

itu jatuh ke Keraton Selatan. Yang 

dikatakan telah mencuri Pusaka Patung 

Pualam. Bukankah ini merupakan satu 

penghinaan yang amat sakit sekali? Dan 

yang kupikir, secara jelas Prabu Keraton 

Utara ingin membuat malu Keraton Selatan 

di mata dunia!"

"Orang Gagah... tidakkah sebaiknya 

kita hentikan dulu pertempuran ini? Dan 

kita bicarakan secara baik-baik. 

Bagaimana?"

Suara yang bernada lembut dan tidak 

mengandung satu nada kecurangan, membuat 

Kyai Rebo Panunggul menjadi seakan 

terpengaruh. Dari tatapannya, dia nampak 

yakin kalau pemuda itu tidak akan 

memperdayainya.

Tiba-tiba saja dia berseru, keras 

dan mengejutkan, "Hentikan!!"

* * *

TUJUH



Seketika pasukan yang tengah 

menggempur itu menghentikan serangannya 

yang mereka tujukan pada Mpu Daga dan Ki 

Sima Ireng. Mereka langsung menyusun 

barisan. Dan menghadap rapi pada Kyai 

Rebo Panunggul meskipun keheranan 

menyelimuti hati mereka. Juga Tunggul 

Dewa yang hanya menurut saja,


Kyai Rebo Panunggul menyuruh pasuk-

annya untuk diam saja. Sementara Mpu Daga 

dan Ki Sima Ireng sendiri tak kalah 

herannya mengapa tiba-tiba saja Kyai 

Rebo Panunggul menyuruh pasukannya 

menghentikan serangan pada mereka.

Tetapi kedua pentolan Keraton Utara 

itu segera berjumpalitan dan berdiri di 

sisi kanan kiri Pandu yang tengah 

berhadapan dengan Kyai Rebo Panunggul.

Sementara di sekililing mereka,

bertebaran mayat-mayat yang 

bergeletakan. Sebagian besar mayat 

pasukan Keraton Utara yang kadang 

terlihat amat mengerikan akibat luka 

senjata yang amat tajam dan banyak 

sekali.

Kyai Rebo Panunggul menatap Pandu.

"Nah... Pendekar, katakanlah apa 

maumu”. Pandu tersenyum. 

"Orang Gagah... agaknya perlu 

keperkenalkan dulu siapa aku. Aku 

bukanlah orang Keraton Utara dan juga 

bukan orang Keraton Selatan. Aku adalah 

seorang pengembara dari Gunung Kidul. 

Dan secara tidak sengaja bergabung 

dengan pasukan Keraton Utara. Tentunya 

kau bertanya mengapa, bukan? Baiklah, 

dengarkanlah penjelasanku. Dari Mpu 

Daga, orang kepercayaan prabu Keraton 

Utara, dia menjelaskan tentang hilangnya 

Pusaka Patung Pualam, pusaka lambang 

kejayaan Keraton Utara. Namun Mpu Daga 

sendiri menyangsikan bila Keraton


Selatan yang mengambil semua itu. Dan dia 

yakin sekali, kalau ada musuh dalam 

selimut pada Keraton Utara...."

"Hmm... lalu mengapa Prabu Keraton 

Utara mengirim dua orang utusannya yang 

lantas membuat onar di kediaman 

orang-orang Keraton Selatan?!" kata Kyai 

Rebo Panunggul dengan suara keras.

"Kalau masalah itu, biarlah nanti 

Mpu Daga yang menjawabnya, Orang Gagah," 

kata Pandu. "Tetapi perlu kau ketahui... 

ketika aku hendak mengintai pasukanmu, 

secara tidak sengaja aku melihat lima 

orang laki-laki tengah berunding di 

sebuah hutan kecil. Salah seorang dari 

mereka mengenakan kedok berwarna hitam, 

dan agaknya yang empat orang lainnya 

menaruh hormat padanya."

"Siapa mereka?" tanya Kyai Rebo Pa-

nunggul mulai tertarik. Matanya serius 

menatap Pandu.

"Bila kau bertanya siapa adanya 

orang yang mengenakan kedok berwarna 

hitam itu, secara terus terang aku tidak 

bisa menjelaskannya. Karena aku memang 

tidak tahu siapa dia adanya. Tetapi bila 

kau bertanya mengenai empat orang 

lainnya, aku bisa menjelaskan nama 

mereka. Hanya nama belaka, karena baru 

kali ini aku melihat mereka." '

"Hmm... siapa empat lainnya?" tanya 

Kyai Rebo Panunggul.kemudian.

"Nama mereka Kawung Ronggo, Bujang 

Kroto dan Setan Kembar dari Bukit Iblis


yang bernama Renggoto dan Ranggoto. 

Hanya itu yang kuketahui!"

Namun bagi Kyai Rebo Panunggul, 

nama-nama yang disebutkan oleh Pandu 

tadi bukanlah nama yang asing bagi 

telinganya. Orang-orang itu amat sering 

dikenal sebagai tukang membuat onar. Dan 

tokoh-tokoh jahat dari golongan hitam.

"Hmm... apa yang mereka 

rencanakan?"

"Mereka hendak menggulingkan 

Keraton Utara. Agaknya si Kedok Hitam 

adalah orang dalam sendiri. Orang yang 

nampaknya mengenai seluk beluk istana. 

Dia tengah menyusun satu rencana dengan 

jumlah pasukan yang kuat untuk menyerbu 

ke Keraton Utara. Ini memang amat 

membahayakan. Yang lebih lagi, 

menurutku, tentunya dia adalah orang 

dekat dari Keraton Utara!"

"Pandu!" seru Mpu Daga terkejut.

"Apa maksudmu?!"

"Mpu... nampaknya ini hanya 

gudaanku belaka."

"Berkata apa si Kedok Hitam itu?"

"Dia bilang, bila saatnya tepat... 

maka mereka akan segera bergerak untuk 

menggulingkan Keraton Utara. Dia pun 

bilang, saat ini di Keraton Utara ada 

Panglima Angling seorang yang tak begitu 

sulit di hadapi....”

Mpu Daga jadi terdiam. Dia kuatir 

dengan nasib Prabu. Dan hal itu pun 

dikemukakan pada Pandu.


"Pandu... Baginda Prabu?"

"Tenanglah, Mpu. Aku pun baru saja 

memikirkan hal itu. Dan maksudku... 

setelah penjelasan ini... aku akan 

segera pergi ke Keraton Utara," kata 

Pandu. Lalu matanya menatap kembali 

orang-orang di sana, "Yang lebih hebat 

lagi, ternyata benda yang berharga 

sedang disembunyikan oleh si Kedok 

Hitam."

"Hei... apa benda yang kau maksud 

ini pusaka milik Keraton Utara? Kau tahu 

di mana pusaka itu berada?" tanya Ki Sima 

Ireng cepat.

"Ya, katakanlah, Pendekar... di 

mana pusaka itu berada," sambung Kyai 

Rebo Panunggul. "Gara-gara pusaka itulah 

maka Keraton Selatan menjadi sasaran 

fitnah orang-orang keji itu! Katakanlah, 

Pandu...."

Pandu menatap kembali orang-orang 

yang berada di sana. Yah... semua ini 

hasil kerja tangan jahat musuh dalam 

selimut yang membuatnya menjadi kacau 

balau begini.

"Hmm... pusaka atau benda lain, aku 

tak jelas. Tapi benda itu dibenamkan di 

sebuah danau yang bernama Danau Siluman.

Menurut Kedok Hitam, letak danau itu di 

sebelah Tenggara dari Keraton Utara...."

Ki Sima Ireng menggeram.

"Bangsat! Benar-benar luar biasa 

musuh dalam selimut itu! Hhh! Aku jadi 

menyesali perintah dari Prabu kita yang


nampak tergesa-gesa. Kau benar, Mpu... 

ternyata ada orang lain yang ingin 

berbuat jahat dan keji pada kita...."

Mpu Daga hanya mengangguk. Dan dia 

menatap Kyai Rebo Panunggul yang juga 

sedang menatapnya. Nampak jelas di mata 

kedua jago itu sedikit penyesalan 

mengapa mereka tidak berunding sejak 

tadi, sebelum nyawa-nyawa yang tak 

berdosa berguguran tak bersalah.

Mpu Daga berkata, "Panunggul... 

percayakah kau pada kata-katanya itu?"

Kyai Rebo Panunggul hanya 

menganggukkan kepalanya.

Tetapi tiba-tiba terdengar suara 

bentakan Tunggul Dewa yang sejak tadi 

terdiam, "Hhh! Pemuda Gagah! Diberi apa 

hingga kau berkata seperti itu, hah?! 

Rupanya kau jeri melihat keadaan kalian 

sudah kalah, bukan? Lalu kau buatlah 

sebuah cerita karanganmu belaka tentang 

beberapa orang yang sedang menyusun 

rencana untuk menggulingkan Keraton 

Utara! Tetapi aku tidaklah bodoh, Anak 

muda! Hhh! Katakanlah bahwa kau 

bohong!!"

Pandu hanya tersenyum saja.

"Tidak, Orang Gagah... aku 

berbicara apa adanya. Dan aku bukanlah 

orang Keraton Utara. Aku hanya 

pengembara yang baru saja turun dari 

Gunung Kidul!!"

Tunggul Dewa terbahak.


"Hahaha... anak muda... anak 

muda... Bila kau benar murid tunggal dari 

pertapa sakti yang bernama Eyang Ringkih 

Ireng, tentunya kau pun memiliki 

ilmu-ilmu yang amat ampuh bukan! Tadi 

memang sempat kulihat ilmu Cakar Gagak 

Rimang itu! Tetapi aku tidak yakin, 

apakah benar itu ilmu Cakar Gagak Rimang 

milik si pertapa sakti?!" suara Tunggul 

Dewa terdengar sengak, membuat Pandu 

menjadi jengkel.

"Hmm... lalu apa maumu, Orang 

Gagah?"

"Buktikanlah bila ilmumu itu memang 

ilmu Cakar Gagak Rimang yang amat 

hebat!!"

"Bagaimana cara aku untuk membukti-

kannya, Orang Gagah?" tanya Pandu 

sembari menekan rasa jengkelnya.

"Hahaha... mudah saja. Kau lihat 

deretan pohon-pohon besar itu. Nah, kau 

coleklah dengan sekali berkelebat. Dan 

harus sepuluh batang pohon yang mestinya 

hangus bila benar kau menggunakan ilmu 

itu."

Kali ini Pandu tersenyum.

"Apakah hanya itu, Orang Gagah?"

"Ya! Bisakah kau melakukannya?"

"Bila aku bisa melakukannya... 

apakah kau percaya bahwa aku berkata apa 

adanya?"

"Masih ada satu lagi yang kuminta 

bukti darimu?! Nah, cepatlah kau 

kerjakan dulu yang kuperintahkan!"


"Baiklah..." kata Pandu. Lalu dia 

berbalik ke arah batang-batang pohon 

yang banyak tumbuh di sana. Tiba-tiba dia 

teriak dan tubuhnya berkelebat cepat. 

Sungguh fantastis, gerakan itu tak bisa 

dilihat oleh mata. Cepat sekali. Dan 

mendadak saja Pandu sudah kembali berada 

di tempatnya semula, kali ini berhadapan 

lagi dengan Tunggul Dewa.

Orang-orang yang ada di sana, merasa 

mereka belum sempat mengedipkan mata. 

Bahkan nafas pun seakan baru ditarik 

keluar. Dan tiba-tiba saja pemuda itu 

sudah kembali di hadapan mereka. Kapan 

pemuda itu berkelebat?

Belum lagi keheranan mereka menemui 

jawabnya, tiba-tiba terdengar suara 

berderak keras dan terlihatlah beberapa 

pohon yang ada di sana rubuh patah dengan 

beberapa bagian batangnya hangus. 

Orang-orang itu terkejut.

Suara berdebam itu rubuh secara 

bersamaan. Ki Sima Ireng hingga melompat 

karena terkejut melihat kehebatan yang 

diperlihatkan pemuda itu. Debu-debu pun 

berkepul. Dan beberapa pohon lainnya 

bergetar tercerabut akarnya karena 

getaran yang cukup kuat dari pepohonan 

yang tumbang!

Pandu hanya tersenyum.

"Orang Gagah... silahkan diperiksa 

jumlah pohon yang tumbang itu! Dan 

katakanlah, kalau mereka tumbang karena


pukulan Cakar Gagak Rimang!" kata Pandu 

pada Tunggul Dewa.

Tunggul Dewa cukup tercekat juga 

hatinya menyaksikan hal itu. Tetapi dia

menguatkan juga dan bertindak seperti 

masih tidak yakin kalau yang 

dihadapannya ini adalah murid dari 

pertapa sakti Eyang Ringkih Ireng.

Dia pun segera melangkahkan kakinya 

untuk menghitung jumlah pohon yang 

tumbang. Tepat sepuluh buah! Dan dari 

pengamatannya, jelas-jelas kalau pohon 

itu tumbang oleh pukulan Cakar Gagak 

Rimang. Pukulan maha sakti yang kini 

hadir kembali di rimba persilatan.

Namun Tunggul Dewa masih 

menyangsikan hal itu. Dia kembali 

menjumpai Pandu.

"Anak muda... masih ada lagi yang 

perlu kutanyakan padamu. Dan harus 

memperlihatkan bukti yang menyatakan 

bahwa kau adalah murid dari Eyang Ringkih 

Ireng."

"Silahkan, Orang Gagah."

"Kulihat di punggungmu ada sebilah 

golok. Dan tentunya itu bukan golok 

sembarangan, bukan?"

"Entahlah ini golok sembarangan 

atau bukan. Yang pasti, guru 

memberikannya padaku!"

"Seingatku, sebelum orang sakti itu 

mengasingkan diri di Gunung Kidul, dia 

memiliki golok sakti yang bernama Golok 

Cindarbuana. Bila benar kau diberikan


golok oleh pertapa sakti itu, sudah tentu 

golok yang berada di punggungmu itu 

adalah Golok Cindarbuana. Bisakah kau 

memperlihatkan golokmu itu?!"

"Sudah tentu bisa kulakukan, Orang 

Gagah. Tetapi bila ini bukan Golok 

Cindarbuana, apakah kau masih meragukan 

bahwa aku murid tunggal dari Eyang

Ringkih Ireng? Bukan orang Keraton Utara 

yang mencoba bersandiwara karena sudah 

terjebak dalam posisi yang sulit?"

"Yah... mungkin aku bisa 

menerimanya."

"Silahkan, orang gagah..." kata 

Pandu seraya meloloskan golok di 

punggungnya. Lalu diserahkannya golok 

itu pada Tunggul Dewa.

Golok yang sarungnya terbuat dari 

batang kayu yang berlapis timah kuning 

itu diterima oleh Tunggul Dewa. Lalu 

pentolan Keraton Selatan itu pun dengan 

hati-hati menarik ke luar tangkai golok 

dari sarungnya.

Terlihatlah sebuah golok yang amat 

indah berkemilau kekuningan. Amat tipis 

dan yakin sekali kalau itu amat tajam. 

Tunggul Dewa sendiri kelihatan terkejut 

melihat golok itu yang nampak bersinar.

"Golok Cindarbuana!!" desisnya 

tanpa sadar. Lalu dengan cepat 

dimasukkannya kembali golok itu ke 

sarungnya. Ditatapnya Pandu dengan 

tatapan tajam.


"Anak muda...ya, ya... kini aku 

yakin... engkaulah murid dari Eyang 

Ringkin Ireng... Bukan orang Keraton 

Utara yang bermain sandiwara karena 

posisinya dalam keadaan terjepit...."

"Terima kasih, Orang Gagah," sahut 

Pandu sambil menerima kembali golok yang 

dikeluarkan oleh Tunggul Dewa. "Hmm... 

apakah setelah ini kau yakin dengan 

ceritaku? Bahwa aku melihat lima orang 

laki-laki dan seorang berkedok hitam 

tengah mengatur rencana untuk 

menggulingkan Keraton Utara?"

"Aku yakin, Anak muda... Hmm... 

tentunya... kau bergelar Pendekar Gagak 

Rimang, bukan?" kata Tunggul Dewa 

kemudian, artinya sebuah gelar yang amat 

bagus dan membuat kita seakan seorang 

yang sakti, bila tindak tanduk kita mirip 

binatang belaka? Bukankah hanya sia-sia 

gelar itu, bukan?

"Nah, bila kita semua sudah bersatu 

seperti ini, maafkan aku... bila aku 

memerintah dalam hal ini...." kata 

Pandu.

"Katakanlah apa rencanamu, 

Pendekar?" tanya Kyai Rebo Panunggul.

"Malam ini pula aku hendak pergi ke 

Keraton Utara. Karena aku masih gelisah 

dan penasaran dengan orang-orang yang 

sambil berbisik merencanakan sesuatu. 

Aku tidak tahu apa rencana mereka. Tetapi 

yang jelas, sudah tentu menyangkut 

masalah Keraton Utara. Mengingat dia


bilang hanya Panglima Angling yang 

berada di sana. Dan kuminta... kalian 

semua pergi ke Danau Siiuman untuk 

mencari Pusaka Patung Pualam. Sementara 

beberapa pasukan Keraton Selatan biarkan 

berada di sini dan bila bertemu dengan 

pasukan atau orang Keraton Utara, tolong

jelaskan masalah yang sebenarnya 

terjadi. Kalian setuju dengan usul ini?

Orang-orang di sana menatapnya. 

Sudah tentu mereka setuju. Pandu memang 

masih penasaran dengan apa yang 

direncanakan orang-orang itu sambil 

berbisik. Namun dugaannya tetap satu, 

yakni keselamatan Prabu Keraton Utara 

sedang terancam!

"Bila kalian semua sudah setuju, 

lebih baik jalankan rencana itu 

sekarang! Bagaimana?"

"Kau harus berhati-hati, Pandu...." 

kata Mpu Daga yang semakin mengagumi anak 

muda itu.

"Aku akan berhati-hati, Mpu! Sampai 

berjumpa!" Lalu tubuh itu pun melesat 

dengan cepat. Saking cepatnya tak lagi 

terlihat sedikit bayangan atau 

gerakannya, membuat orang-orang yang 

berada di sana semakin terlongo-longo.

"Bukan main... untunglah kita belum 

saling bunuh kembali," kata Kyai Rebo 

Panunggul. "Tak kusangka... kalau kita 

semua akan diselamatkan oleh anak muda 

bernama Pandu itu. Aku yakin, untuk di 

masa mendatang... dia akan menjadi

pendekar pembasmi kejahatan nomor wahid! 

Dan kesaktiannya akan sukar sekali 

ditandingi!"

Mpu Daga, Ki Sima Ireng dan Tunggul 

Dewa pun yakin akan hal itu. Lalu mereka 

segera berangkat menuju Danau Siiuman 

untuk mencari Pusaka Patung Pualam 

setelah Kyai Rebo Panunggul 

memerintahkan beberapa pasukan Keraton 

Selatan menjaga di tempat itu.

Sementara Pandu atau Pendekar Gagak 

Rimang semakin terus berlari. Malam ini 

dia banyak sekali berlari namun nampak 

pula kalau dia tidak kelelahan.

Malah nampak dia lebih bersemangat.

"Eyang... tolonglah beri aku 

kekuatan untuk menghadapi segala yang 

menjadi tanggung jawabku..." desisnya 

sambil terus berlari. Menerobos 

kepekatan malam.

* * *

DELAPAN



Bulan di langit renta, sepotong dan 

seakan enggan untuk bersinar. Sinarnya 

redup terasa, tidak membangkitkan gairah 

bagi orang-orang untuk ke luar malam.

Udara malam begitu dingin sekali, 

seakan menembus hingga ke tulang sumsum. 

Malam ini entah kenapa angin berhembus 

lebih dingin dari biasanya. Lain dengan 

hari-hari yang lalu. Udara dingin ini

seakan memberikan satu tanda. Entah 

tanda apa, tetapi terasa amat 

menakutkan.

Udara yang amat dingin menyebabkan 

penduduk di tanah Keraton Utara merasa 

lebih enak berada di dalam rumah. Tetapi 

para penjaga istana tidak perduli dengan 

rasa dingin biar seperti es sekalipun. 

Mereka tetap menjaga dan berpatroli 

dengan setia. Menjaga suasana yang mulai 

genting.

Memang, penjagaan di Keraton Utara 

semakin diperketat. Mengingat keadaan 

yang semakin gawat.

Prabu Sri Jayarasa sendiri malam ini 

tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia 

nampak gelisah di pembaringannya. 

Tubuhnya bolak balik ke kiri ke kanan. 

Banyak pikiran yang adai di benaknya, dan 

menyiksanya dengan satu kegelisahan yang 

panjang.

Dan tiba-tiba dia terbangun. Udara 

yang amat dingin itu dirasakan Prabu amat 

panas. Tubuhnya berkeringat. Ia duduk di 

ranjangnya.

"Ah, mengapa malam ini perasaanku 

tidak enak?" desisnya pelan.

Lalu dengan hati-hati dia bangkit, 

berjalan ke tepi jendela. Disibaknya 

tirai jendela sedikit matanya nyalang 

menerobos malam. Sinar lampu di halaman 

keraton terang benderang. Itu pun 

penambahan karena keadaan yang 

benar-benar semakin gawat.


Prabu menutup tirai jendela itu 

lagi. Lalu dia mendesah panjang. Dia 

sendiri merasa heran, mengapa malam ini 

dia tidak dapat tidur.

Di luar sana, para penjaga tetap 

berdiri dengan tegak, walau sebenarnya 

dalam hati mereka lebih suka tidur 

daripada menjaga di udara yang dingin 

menusuk ini.

Sungguh-sungguh keterlaluan!

Salah seorang yang merasa jengkel 

itu bernama Mandini. Dia seorang 

prajurit yang sudah setengah baya. 

Berulangkali terdengar gerutuan dari 

mulutnya. Dan tangannya sekali-sekali 

menepuk lengannya karena nyamuk yang 

asyik berpesta dengan darahnya.

Dia mendengus sebal.

"Sialan! Udara dingin banget!! 

Mendingan aku tidur di rumah istri mudaku 

malam ini!!" dengusnya jengkel. "Hhh, 

lebih enak di sana! Hangat sambil memeluk 

tubuhnya yang montok. Tapi sial, dasar 

sial, bekerja di udara dingin begini! 

Mana banyak nyamuk lagi! Hhh! Mampus kau 

nyamuk sialan! Enak-enaknya kau 

menghisap darahku." makinya sambil 

menepuk lengannya.

Dia masih menggerutu panjang 

pendek. Tiba-tiba dia menoleh ke kanan 

dan ke kiri. Ada pikiran curang untuk 

meninggalkan pos penjagaannya. Dia masih 

tetap memikirkan kemontokan tubuh istri


mudanya, yang selalu menggelinjang 

gelinjang membuatnya keenakan.

"Hehehe... biar aku kabur saja. Toh 

tidak ada kejadian apa-apa. Lagi salah 

sendiri, kenapa mau repot-repot 

mengadakan perang dengan Keraton 

Selatan. Yah, akhirnya begini ini! Huh, 

dasar raja yang sok!

Tapi... ah, penjagaan sudah 

sedemikian ketatnya. Kayaknya juga tidak 

akan terjadi apa-apa! Masa bodoh ah, bila

terjadi apa-apa juga!"

Lalu laki-laki yang berhati culas 

itu ke luar dari pos penjagaannya yang 

berada di samping istana. Tinggal 

menyeberang ke luar dan lolos dari pintu 

samping, dia sudah berhasil meninggalkan 

tempat itu.

"Hehehe... kenapa tidak sejak tadi 

kulakukan hal ini. Dan sejak tadi pula 

aku sudah mendekap tubuh montok istri 

mudaku... hehehe..." tawanya ketika dia 

berhasil berada di luar batas keraton.

Besok pagi-pagi sekali dia akan 

datang kembali. Karena bila ada 

pemeriksaan, dia sudah berada di pos 

penjagaannya.

Diam-diam Mandini tertawa sendiri 

dan memuji-muji dirinya.

"Hehehe... Mandini memang pintar, 

memang pintar... Kalian yang menjaga 

sekarang adalah orang-orang yang bodoh, 

yang mau menjaga sesuatu yang tidak ada 

dengan ditemani angin dingin menusuk dan


nyamuk-nyamuk liar yang busuk! 

Hehehe...! Hanya Mandini yang punya 

pikiran cerdik seperti ini! Hanya 

Mandini... hehehe!"

Dan dia pun melakukannya dengan 

hati-hati. Kini langkahnya sudah berada 

di jalan setapak. Terus ke kanan, dia 

sudah semakin jauh dari istana.

Mandini terkekeh dan bergegas. Di 

ujung jalan itu istri mudanya tinggal. 

Tempat yang sepi dan cocok istri mudanya 

tinggal. Terbayang sudah nanti betapa 

enaknya dia menggeluti tubuh istrinya 

yang montok. Wanita itu baru seminggu 

dinikahinya. Masih sedang 

panas-panasnya. Membayangkan hal itu 

membuat Mandini mempercepat larinya.

Namun ketika tinggal tiga rumah dari 

tempat tinggal istri mudanya, tiba-tiba 

berkelebat bayangan hitam dan berdiri di 

hadapannya. Sikapnya seperti 

menghadang.

Gugup dia berhenti dan mengacungkan 

tombaknya.

"Siapa kau?!"

"Aku adalah aku," sahut bayangan 

hitam itu. Suaranya angker.

"Aku siapa?!" bentak Mandini pula 

sambil memegang tombaknya.

"Aku mau tanya kepadamu, orang 

busuk. Ada berapa orang penjaga di

keraton?"

"Kau mau apa?" Mandini segera 

mencium sesuatu yang tidak enak.


"Jangan banyak tanya. Jawab, kalau 

tidak ingin kepalamu pecah."

"Bangsat!! Kau pikir mudah 

mengalahkan aku, heh?"

"Semudah membalikkan telapak 

tangan. Jawab pertanyaanku," kata orang

itu dingin.

"Hhh! Aku tidak suka dipaksa!"

"Dan aku akan tetap memaksa!"

"Lakukan kalau kau bisa!!"

Orang itu tersenyum. Mandini tidak 

bisa melihat senyumnya yang sinis dan 

dingin. Dia menyiapkan tombaknya untuk 

menyambut serangan orang itu.

"Jawab pertanyaanku," orang itu 

masih menyuruhnya. Kali ini suaranya 

mengandung kegeraman.

"Tak semudah itu."

"Kau memaksaku, orang busuk. Baik!" 

Sehabis berkata begitu, dia berkelebat 

dengan cepat. Dan tanpa tahu kapan dan 

bagaimana orang itu bergerak, tiba-tiba 

saja tombak Mandini sudah pindah ke 

tangannya. "Hhh! Aku bisa saja kalau mau 

mencopot kepalamu! Jawab 

pertanyaanku!!"

"Tidak! Kau... kau... siapa?!"

"Aku adalah aku! Jangan membuatku 

marah, orang busuk!"

Mandini mundur takut-takut. Suara 

orang itu mengandung ancaman yang 

mematikan.

"Jawab!!"


Seruan itu semakin membuat Mandini 

mati langkah. Tubuhnya gemetar.

"Jawab!" bentakan itu terdengar 

lagi.

"Kau,.. kau... Iblis!!"

"Setan! Kau membosankan, orang 

busuk!" geram orang itu dan mendadak dia 

berkelebat. Tahu-tahu terdengar 

jeritan Mandini keras dan jeritannya 

terputus bersama putusnya kepalanya dari 

lehernya. Kepala yang buntung dan leher 

yang menyemburkan darah segera jatuh ke 

bumi. Dan orang kejam itu menendang 

kepala yang buntung itu hingga terpental

cukup jauh. 

"Orang tak berguna”. desisnya tak 

mengenai ampun.

Lalu dia memperhatikan 

sekelilingnya. Dan orang berkedok hitam 

itu melesat ke depan. Larinya menandakan 

dia menuju ke arah Keraton Utara. Dia 

memang mempunyai niat busuk untuk 

membunuh Prabu Sri Jayarasa. Yah, orang 

yang tak lain si Kedok Hitam yang pernah 

dilihat di hutan bersama empat orang 

sekutunya terus berkelebat. Dengan 

menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, 

dia sudah hinggap di tembok keraton yang 

cukup tinggi. Matanya di balik kedok 

hitamnya memperhatikan lagi 

sekelilingnya. Lalu dia berjumpalitan 

dengan gerakan yang amat ringan. Dan 

hinggap di bumi tanpa menimbulkan suara 

sedikit pun.


Dia langsung berlari ke dalam 

keraton. Dari gerak geriknya nampak dia 

tahu seluk beluk Keraton Utara. Karena 

dia masuk melalui pintu rahasia yang 

hanya orang-orang kepercayaan prabu saja 

yang mengetahui pintu itu. Dan tanpa 

banyak kesulitan yang berarti dia sudah 

menemukan tempat di mana beristirahatnya 

sang prabu.

Hanya tiga orang yang berjaga di 

depan kamar sang prabu. "Hmm... 

pekerjaan yang mudah," desis si Kedok 

hitam sambil tersenyum.

Dan tanpa kesulitan pula dia 

berhasil melumpuhkan ketiga penjaga itu. 

"Des! Des! Des!"

Tiga penjaga itu jatuh menggelosor 

tanpa sempat berteriak. Begitu berhasil 

melumpuhkan ketiga penjaga itu, si Kedok 

Hitam segera merapatkan tubuhnya di 

tembok. Pekerjaannya amat rapi, tidak 

menimbulkan suara sedikit pun.

"Hmm... sebentar lagi kau akan 

mampus, Prabu... Dan akulah yang akan 

menjabat sebagai kepala negara di 

Keraton Utara ini!!" desisnya pelan 

sambil mendengus.

Di kamarnya, sang Prabu masih tidak 

bisa memejamkan matanya. Dia tetap 

mondar mandir dengan gelisah. Pikirannya 

teramat ruwet sekali. Dan tak satupun 

pikiran itu yang berhasil 

dituntaskannya. Banyak sekali, saling

.

bertumpuk. Sikapnya benar-benar resah 

dan tidak tenang.

Entah kenapa dia mendapat firasat 

yang tidak enak.

"Ah, mengapa aku jadi begini?" 

desisnya. Dan kakinya terus melangkah 

mengelilingi kamar itu. "Ada apa 

sebenarnya denganku ini?"

Suasana pun dirasakannya amat 

mencekam. Firasatnya terus berbicara 

kalau akan ada sesuatu yang tidak 

dinginkannya. Namun dia tidak tahu apa 

itu. Apakah mungkin pasukan Keraton 

Selatan menyerang ke sini? Tanyanya 

dalam hati.

Tetapi dia tak perlu lama-lama lagi 

memikirkan hal apa yang 

menggelisahkannya. Karena tiba-tiba 

saja pintu kamarnya terbuka secara 

paksa. Jebol engsel-engselnya. Pintu 

yang terbuat dari kayu yang besar dan 

keras itu pun hancur dihantam.

Terhentak sang prabu menoleh. Dan 

satu sosok tubuh berpakaian hitam dan 

berkedok hitam meloncat dengan gagah.

"Siapa kau, heh?!" bentak prabu dan 

entah mengapa dia nampak bersiaga. "Dan 

mau apa kau?!"

Wajah di balik kedok hitam itu 

menyeringai. Senang dia melihat sang 

prabu nampak ketakutan.

"Hmm... apa kabar, Gusti?"

"Siapa kau, hah? Katakan...."


"Mengapa gusti nampak tegang, hah? 

Tenang... kedatanganku memang ada maksud 

padamu...."

"Katakan!!"

"Hahaha... kedatanganku hanya satu, 

Gusti... ingin mencabut nyawamu!"

Wajah sang prabu kelihatan pias. 

Namun dia berusaha tenang.

"Apa kau bilang, Kedok Hitam?!"

"Mencabut nyawamu!" kata si Kedok 

Hitam kejam. "Kau belum tuli bukan, 

Prabu?"

Sang prabu menampakkan senyumnya, 

seolah dia tidak cemas dengan ancaman 

itu.

"Hhh! Kau pikir mudah melakukannya? 

Kau keliru, Kedok Hitam...."

"Hahaha... kau berani sesumbar 

juga, Prabu. Untuk membunuhmu... lebih 

sulit membunuh semut di pelupuk mata dari 

pada menghabisi nyawa busukmu, Prabu! 

Hmm... sebenarnya aku salut pada 

ketegaranmu, Prabu! Kau memang pantas 

menjadi seorang Prabu sebuah negara! 

Tapi... nyawamu tak lama lagi hinggap di 

jasadmu! Ajalmu sudah dekat, Prabu!!" 

seru si Kedok Hitam dengan suara yang 

buas dan kejam. 

"Setan!"

"Sekarang bersiaplah, Prabu! Aku 

tak ingin banyak cakap lagi!"

Sehabis berkata begitu si Kedok 

Hitam memasang jurus yang nampak sangat 

diandalkannya. Dia tidak ingin membuang


waktu. Dia ingin segera menyelesaikan 

tugas. Jurus akan merenggut nyawa sang 

prabu!

Prabu sendiri adalah orang yang 

pengalaman. Dia pun memiliki ilmu bela 

diri yang lumayan. Dia tidak gentar 

sedikit pun menghadapi si Kedok Hitam 

itu. Dia juga membuka jurusnya.

Si Kedok Hitam terbahak.

"Orang seperti kau tak layak untuk 

melawanku. Lebih baik serahkan saja 

kepalamu untuk kupenggal."

"Hhh! Orang busuk, kau tidak tahu 

dengan siapa berhadapan. Aku Rajamu, 

orang yang harus kau hormati. Dan kau pun 

tahu bukan, ratusan prajurit menunggumu 

di luar."

"Perduli setan dengan semua itu! 

Jaga seranganku, Prabu!"

Sehabis berkata demikian, si Kedok 

Hitam segera bergerak. Gerakannya cepat 

dan tangguh. Pukulan kedua tangannya 

mirip patuk ular dan meliuk-liuk. Dan 

tenaga yang dimilikinya pun hampir sama 

dengan seekor banteng luka.

Prabu sendiri terkejut menerima 

serangan itu. Dia tidak berani untuk 

memapaki. Sebisanya dia berusaha 

menghindar. Kamar yang lumayan besar itu 

seketika menjadi tempat pertempuran. 

Prabu benar-benar harus menguras seluruh 

tenaganya untuk bisa mempertahankan 

selembar nyawanya. Dia tidak ingin 

mampus begitu saja.


Tetapi si Kedok Hitam terus 

melakukan tekanan-tekanan yang 

berbahaya. Jurus-jurusnya aneh. Dan satu 

pukulan telak tak berhasil dihindari 

oleh prabu Keraton Utara. Dadanya 

tergedor pukulan itu hingga terhuyung 

deras dan muntah darah.

"Ha-ha-ha... sudah kukatakan, kau 

tak berguna untuk menandingiku, Prabu!"

"Bangsat keji!" geram prabu sambil 

menahan rasa sakit yang luarbiasa. 

"Siapa kau sebenarnya!"

"Sudah kukatakan, aku adalah 

malaikat pencabut nyawa! Dan malam ini, 

nyawamu akan kurenggut dengan paksa! 

Bersiaplah, Prabu!"

"Manusia keparat!"

Manusia itu segera menerjang lagi. 

Desisannya mirip seekor ular berbisa 

yang ganas dan mengundang kematian. 

Gerakannya cepat dan mengerikan.

Tetapi Sri Jayarasa tidak mau mati 

begitu saja. Dia masih berusaha 

memberikan perlawanan. Dia merasa harus 

mampu mempertahankan diri.

Di ruangan yang sempit itu terasa 

sangat menyulitkan dirinya untuk 

bergerak, belum lagi serangan yang 

dilakukan Kedok Hitam begitu dashyat. 

Dan kadang Sri jayarasa benar-benar 

merasa ajalnya sudah tiba, bila serangan 

Kedok Hitam datang bertubi-tubi. Namun 

tiba-tiba dia melompat ke kiri. Sambil 

menghindar serangan Kedok Hitam, dia


menyambar pedang yang terpampang di 

dinding.

Sri Jayarasa segera menghadapi si 

Kedok Hitam dengan pedang itu. Tapi Kedok 

Hitam malah tertawa. Menertawakan!

"Lakukan apa yang hendak kau 

lakukan, Prabu! Berbuatlah yang 

menyenangkan hatimu, tapi jaga selembar 

nyawamu itu!"

Setelah berkata begitu Kedok Hitam 

kembali menerjang. Kali ini gerakannya 

lebih cepat dan mematikan. Pedang yang 

digunakan oleh Prabu Sri Jayarasa tidak 

begitu banyak membantu, malah terasa 

agak menyulitkan untuk bergerak secara 

leluasa.

Yang lebih mencengangkan dan 

mengherankan bagi prabu itu adalah 

sabetan pedangnya yang sia-sia. 

Berkali-kali dia membabat, membacok dan 

menusuk ke arah tubuh lawannya, tapi 

lawannya tidak terluka sedikitpun. 

Bahkan lawannya malah menertawakan.

Sial! Benar-benar sial! Maki prabu 

itu makin penasaran terus saja menyerang 

dengan pedangnya.

"Huaha... ha... ha... ha lakukan, 

Gusti Prabu. Lakukan! Tusuk, sabet! Kali 

ini aku tidak mau menyia-nyiakan 

kesempatan ini! Untuk itu, kau harus 

bersiap diri!" ancam lawannya sembari 

tertawa mengejek.

Kembali si Kedok Hitam menyerang. 

Gusti prabu terus berusaha bertahan.



Namun sekuat apa pun usaha Gusti Prabu, 

akhirnya tenaganya terkuras habis. 

Konsentrasinya jadi berkurang. Pada saat 

itu sebuah pukulan si Kedok Hitam 

menghantam dengan telak ke dadanya. 

Tanpa ampun lagi gusti prabu 

terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak

bernapas. Lalu menahan rasa sakit yang 

teramat hebat, dari mulut Gusti Prabu 

muntah darah segar.

Si Kedok Hitam terbahak melihat 

keadaan sang prabu benar-benar dalam 

titik penghabisan. Dia berhasil mendesak 

dengan hebat, hingga Prabu Sri Jayarasa 

terpojok dan kewalahan menunggu ajal.

"Hahaha... malam ini ajal akan 

menjemputmu, Prabu... Hahaha...

bersiaplah untuk mampus menghadap Hyang 

Widi!"

Meskipun sudah terpojok, sang prabu 

mendengus.

"Hhh! Bila Hyang Widi menghendakiku 

mati di tanganmu, maka aku akan mati! 

Tetapi bila tidak, sampai kapan pun aku 

tidak akan pernah mati di tanganmu, 

Manusia busuk! Hhh! Baiknya kau katakan 

siapa kau sebenarnya! Bukalah kedok 

hitam yang menyelubungi wajahmu itu bila 

kau memang jantan adanya!"

Kata-kata sang prabu hanya disambut 

oleh tawa oleh si Kedok Hitam.

"Hahaha... prabu... untuk apa kau 

mengetahui wajahku, hah?!"

"Pengecut!!"


"Hahaha... maafkan aku, Prabu... 

permintaanmu itu tak akan pernah 

kupenuhi. Tapi yang perlu kau ketahui... 

bahwa semua kejadian ini adalah hasil 

buah tanganku. Kau paham maksudku?!"

"Kau?!" Wajah pias sang prabu 

berubah menjadi kemarahan. Dia 

menggeram. Dan bersuara bersama 

dengusnya yang keras, "Bangsat! 

Jadi....."

"Hahaha... ya, ya... dugaanmu tak 

salah, Prabu! Akulah yang telah mencuri 

Pusaka Patung Pualam! Bukankah dengan 

memiliki pusaka itu bertanda akulah yang 

berhak menduduki singgasana di Keraton 

Utara ini? Bukan kau orangnya, Prabu! Dan 

yang perlu lagi kau ingat, sementara 

orang-orangmu sedang sibuk menyerbu 

Keraton Selatan karena perintahmu yang 

tolol itu, aku dan pasukanku telah siap 

untuk menggulingkan kedudukanmu 

prabu!!"

"Keji!" geram prabu. "Siapa kau 

sebenarnya, hah?!"

"Itu tak perlu kau ketahui, Prabu!"

"Anjing buduk! Pemberontak keji!"

"Berteriaklah, Prabu! Berteriaklah 

dengan keras! Aku mau lihat siapa yang 

akan bisa menolongmu!" seru si Kedok 

Hitam dengan suara yang terdengar keji 

dan mengancam. "Hh! Kini ajalmu telah 

tiba, Prabu!"

"Bangsat...!!"


"Hmm... kita buktikan... apakah 

Hyang Widi memang menginginkan kau mati 

di tanganku atau tidak. Hahaha... 

sepertinya ha-apanmu gagal total, 

Prabu...."

Kini nampaknya si Kedok Hitam tidak 

mau berbuat tanggung lagi. Dia merangkum 

dua buah tenaga besar di kepalanya. Akan 

dihancurkannya sang prabu sekarang juga.

"Bersiaplah, Prabu! 

Heeeiiittttt!!" Pekikan keras merenggut 

nyawa sang prabu. Tubuhnya pun melesat 

menyerbu. Sang prabu hanya terkulai 

dengan mulut masih mengeluarkan darah. 

Tak kuasa lagi untuk menahan serangan 

itu.

Maut! Maut! Sudah terpampang jelas 

di hadapannya. Sudah tiba dan akan 

menjemputnya sekarang.

"Mampuslah kau, Prabu!!"

Prabu hanya pasrah saja. Tak ada 

lagi kesempatan untuk meloloskan diri. 

Matanya pun perlahan-lahan terpejam.

Namun terjadi keajaiban di luar 

dugaan siapa pun. Karena mendadak saja 

selarik sinar putih muncul dan 

berkelebat di ha-dapan prabu. Membuat si 

Kedok Hitam terpekik dan segera 

berjumpalitan untuk menghindari sinar 

putih itu. Serangannya terputus.

"Baammmm!!" 

Sinar putih itu menghantam dinding 

peraduan prabu hingga berantakan.


"Bangsat!!" Si Kedok Hitam 

membentak sementara dia telah berdiri 

tegak. Matanya memperhatikan 

sekelilingnya dengan seksama. Sedangkan 

prabu yang telah membuka matanya 

berulangkali menghela nafas lega, tetapi 

juga heran siapa yang telah menolongnya.

Si Kedok Hitam kembali membentak. 

"Hh! Siapa kau, hah?! Beraninya jangan 

bersembunyi! Ayo keluar!!"

Si Kedok Hitam tak perlu berteriak 

untuk kedua kalinya. Karena mendadak 

sesosok tubuh muncul dari jendela dengan 

cara berjumpalitan dan langsung berdiri 

gagah di depannya.

Dia seorang pemuda gagah. Berwajah 

tampan. Dia mengenakan baju putih-putih.

Dia memiliki sebuah golok tipis 

bersarungkan batang kayu yang berlapis 

timah kuning. Dia mengenakan caping yang 

menutupi sebagian wajahnya. Dia 

tersenyum mengejek pada si Kedok Hitam. 

Dia... Pandu!!

Sementara si Kedok Hitam menjadi 

gusar. Namun hatinya bertanya, siapa 

adanya pemuda bercaping ini?

Tatapannya menatap gusar.

"Siapa kau?!"

Pandu hanya tersenyum. Semakin mem-

buat gusar si Kedok Hitam. Matanya sema-

kin melotot geram.

Pandu pun membalas dengan tatapan 

waspada. Ah, bila dia terlambat sedikit 

saja, maka habislah riwayat Prabu.


Rupanya rencana keji inilah yang 

dibicarakan si Kedok Hitam dan 

teman-temannya secara berbisik.

Sementara Prabu Sri Jayarasa mende-

sah lega karena ada yang menyelamat-

kannya. Dia pun berdoa semoga tidak 

terjadi sesuatu yang membahayakan 

keselamatannya dan diri pemuda yang 

telah menolongnya.

Si Kedok Hitam menggeram murka. 

"Siapa kau adanya, hah? Katakan cepat, 

sebelum nyawamu kucabut!!"

Pandu tersenyum.

"Aku adalah orang yang menggagalkan 

niat busukmu itu, manusia laknat!!"

"Bangsat! Kau jual lagak rupanya!"

"Hmm... bukankah tadi sudah 

kubuktikan, kalau aku tidak menjual 

lagak!"

"Anjing buduk!"

"Apakah tidak terbalik? Kaulah 

anjing buduk yang secara pengecut hendak 

membunuh Prabu yang tak berdaya. Juga 

hendak berbuat makar terhadap Keraton 

Utara ini!"

"Itu urusanku!"

"Hahaha... sekarng menjadi 

urusanku! Bukankah aku telah terlibat 

dalam hal ini?!"

"Kubunuh kau, Keparaaaatttt!!"

"Hahaha... mampukah kau membuktikan 

ucapanmu itu? Lebih baik kau pergi dari 

sini!"

"Setttann!!"


"Cepat pergi dari sini!!"

"Kau yang pergi, pemuda busuk!!"

Tiba-tiba Pandu terbahak. 

"Hahaha... rupanya kau terkena juga 

dengan pancinganku! Baik, kau tak akan 

pernah bisa pergi dari sini! Dan akan 

kuperlihatkan pada Prabu, wajah siapa 

yang ada di balik kedok busukmu itu!!" 

seru Pandu dan tubuhnya sudah melesat 

menerjang dengan tangan lurus ke arah 

muka, mencoba menjambret kedok yang 

menutupi wajah orang itu.

Sudah tentu si Kedok Hitam tidak mau 

ditelanjangi begitu saja. Dia berkelit 

dan tangan kanannya menepak lalu 

membalas dengan sodokan pada telapak 

tangannya.

Pandu menurunkan sikunya untuk 

menangkis. Lalu kembali meneruskan 

serangannya ke muka dengan ayunan siku 

yang sama Terlihat si Kedok Hitam cepat 

menarik kepalanya ke belakang. Saat 

itulah Pandu bergerak cepat. Tangannya 

yang membentuk siku tadi bergerak cepat 

ke arah wajah si Kedok Hitam, hendak 

menyambar kedoknya.

Namun sungguh cepat pula gerakan 

yang diperlihatkan si Kedok Hitam. Dia 

menghindar dengan jalan merunduk. Lalu 

memberikan satu sepakan pada kaki Pandu.

Semua serangan itu dilakukan dengan 

cepat dan hebat. Penuh tenaga dan 

kehebatan yang penuh. Pertarungan itu 

terus berjalan lagi benda-benda yang


hancur karena terkena hantaman atau 

tendangan keduanya.

Sungguh pertarungan yang amat hebat 

dan cepat.

Tiba-tiba si Kedok Hitam bersalto 

dan berbalik ke belakang. Nampak dia 

membuka jurusnya. Tak lama kemudian 

terdengar suaranya mendesis mirip ular.

"Jurus Ratu Cobra Merah!!" 

Terdengar seruan Prabu Sri Jayarasa 

terkejut. 

"Hati-hati anak muda! Ilmu itu amat 

berbahaya!"

Si Kedok Hitam yang tadi sudah 

kewalahan menghadapi Pandu, segera 

mengeluarkan jurus andalannya. Namun dia 

lupa kalau nampaknya Prabu mengenali 

jurusnya. Langsung saja dia melemparkan 

senjata rahasianya yang berupa jarum 

berbisa. Untungnya Prabu masih bisa 

mengelakkan meskipun tubuhnya terasa 

sakit saat digerakkan.

"Bangsat!!" Pandu menggeram. Dia 

menerjang. Namun si Kedok Hitam segera 

memburunya memapaki. Pandu merasakan 

angin panas menerpanya kala si Kedok 

Hitam mendekat. Kontan dia 

berjumpalitan.

Jelas sekali kalau jurus Ratu Cobra 

Merah itu amat berbahaya. Sekali kena, 

bisa mati seketika. Karena di ujung jari 

si Kedok Hitam seperti mengeluarkan bisa 

cobra yang amat mematikan!


"Hahaha... mampuslah kau, anak 

muda!" geram si Kedok Hitam dan terus 

mencecar. Pandu meningkat jurus 

berkelitnya. Tetapi dia belum berani 

menahan atau membalas, karena dia yakin 

jurus itu amat berbahaya.

Tiba-tiba Pandu melepaskan Pukulan 

Sinar Putihnya, mampu membuat si Kedok 

Hitam menjaga jarak. Namun si Kedok Hitam 

seolah tidak kuatir dengan jurus itu. Dia 

malah terus mendekat, hingga Pandu yang 

kewalahan. Tiba-tiba pemuda itu bersalto 

dan saat hinggap di tangannya sudah 

terpegang sebuah golok yang memancarkan 

sinar terang.

"Golok Cindarbuana!" seru si Kedok 

Hitam. "Hhh! Cepat kau serahkan golok itu 

padaku, Keparat!!"

"Rupanya kau tertarik juga dengan 

golokku ini, Kedok Hitam. Rebutlah kalau 

kau mampu, aku baru mau memberikannya 

dengan ikhlas."

"Setan" geram si Kedok Hitam sambil 

menerjang kembali. Dengan golok 

Cindarbuana di tangan, Pandu baru berani 

memapakinya dengan kibasan-kibasan 

berbahaya ke arah leher, dada dan 

kemaluan. Ini membuat si Kedok Hitam jadi 

membatasi gerakannya.

Namun Kedok Hitam itu seorang yang 

luar biasa. Tiba-tiba saja dia 

mengibaskan tangannya ke depan. Delapan 

buah senjata rahasia berbentuk jarum 

kecil melesat dengan cepat. Mata Pandu


yang telah sekian tahun terlatih melihat 

dalam gelap, segera menangkap desingan 

halus itu.

Dengan jurus golok Kibasan Golok 

Membelah Bumi. Jurus yang diciptakan 

oleh gurunya untuk bertahan, dia 

menghalau jarum-jarum maut itu.

"Ting! Ting!"

Enam buah jarum itu berhasil 

dihalaunya dan dua buah lagi nancap di 

dinding setelah berhasil dihindarinya.

Orang di balik kedok hitam itu 

terkejut melihat ketangguhan ilmu golok 

yang diperlihatkan oleh Pandu.

Namun dia malah semakin penasaran. 

Dengan ganasnya dia menerjang terus. 

Kembali keduanya memperlihatkan 

kehebatan, ketangguhan dan kelihaian 

mereka dalam berkelahi.

Dan biar pun Pandu memakai golok 

itu, namun dia sendiri pun belum berhasil 

mengenai sasarannya.

Setelah bertempur lebih dari lima 

puluh jurus, barulah dia mampu memberi 

kenangan sedikit di bahu si Kedok Hitam 

yang sedikit terhuyung.

Pandu bukan orang yang kejam, 

padahal selagi si Kedok Hitam terhuyung 

demikian, dia mampu melumpuhkannya 

dengan sekali gebrak. Namun dia 

membiarkan saja si Kedok Hitam menekap 

lukanya dan melotot dengan gusar.


"Bangsat kau!" geramnya marah. 

"Suatu saat, aku akan datang lagi dan 

mencabut nyawamu!"

Setelah berkata demikian, si Kedok 

Hitam bersalto ke arah jendela dan 

menghilang.

"Hei!" Pandu mengejar dan masih 

terlihat bayangan tubuh yang melesat 

cepat itu. Tiba-tiba dia melontarkan 

Pukulan Sinar Putihnya ke arah bayangan 

itu.

"Sing!"

Selarik sinar putih itu melesat 

dengan cepat. Mengarah tepat pada 

sasarannya. Namun si Kedok Hitam sudah 

cepat bersalto lebih dulu dan sinar putih 

itu luput dari sasarannya, menghantam 

sebuah pohon yang langsung hangus dan 

tumbang.

Sementara si Kedok Hitam sudah 

menghilang dalam kegelapan malam. 

Lagi-lagi pemuda itu yang mengha-

langinya. Siapa sebenarnya dia? Suatu 

saat, dia harus bisa membunuh pemuda itu.

Pohon yang tumbang itu, menarik 

perhatian para penjaga yang segera 

melihat. Mereka heran, terkena apa pohon 

ini bisa hangus dan tumbang. Dan mendadak 

mereka teringat akan keselamatan prabu.

Mereka segera masuk ke tempat 

peraduan baginda. Di sana baginda sedang 

menghela nafas dan Pandu berdiri di 

sampingnya.


Melihat ada orang asing yang berdiri 

di dekat baginda, para penjaga itu segera 

menyerang Pandu. Serangan itu lemah 

namun mengagetkan Pandu.

"Heit!" Dengan manisnya dia 

berkelit dan bersalto.

Ketika para penjaga itu akan 

menyerang lagi, baginda membentak.

"Tahan! Dia orang kita!"

Seketika mereka menahan 

serangannya. Namun masih menjaga-jaga 

segala kemungkinan. Baginda segera 

menerangkan apa yang barusan terjadi, 

barulah para penjaga itu mengerti dan 

minta maaf pada Pandu.

Sementara di luar, malam sudah 

enggan untuk lebih lama menemani dunia, 

dia pun segera kembali ke peraduannya dan 

menyuruh sang fajar menggantikan 

kedudukannya.

Alam pun mulai hidup lagi, segar 

kembali. Di kejauhan, sang surya sudah 

mulai memancarkan sinamya yang keemasan. 

Suara kokok ayam dan kicau burung, 

menandakan suasana yang damai. Namun 

binatang-binatang itu tidak tahu apa 

yang tengah melanda Kerajaan Kediri. 

Juga para rakyatnya. Mereka sudah 

kembali bekerja seperti biasa. Ada yang 

sebagai petani, pedagang dan lainnya.

Walaupun kelihatan damai, mereka 

sadar akan apa yang telah dan akan 

terjadi antara Keraton Utara dan Keraton 

Selatan.


Namun mereka tidak ada yang tahu 

kalau semua ini disebabkan oleh musuh 

dalam selimut yang baru saja meloloskan 

diri. Menjelang pagi, Pandu segera 

menemui Prabu dan menceritakan apa yang 

terjadi.

Prabu mendesah lega.

"Tapi... aku belum mengetahui 

kabarnya Ki Runding Alam dan Ki Manggala. 

Ah, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa 

dengan mereka. Jelas ini adalah 

kesalahanku yang terlalu emosi menuruti 

hawa nafsu!"

"Sudahlah, Prabu... yang sudah 

biarkanlah. Hmm... lebih baik, Prabu 

segera membentuk barisan untuk 

bersiaga."

"Apa maksudmu, Anak muda?"

"Karena menurut firasat hamba... si 

Kedok Hitam akan datang lagi dengan 

pasukannya dan siap untuk menggulingkan 

Keraton Utara sekarang juga! Lakukanlah 

cepat, Prabu!!"

Prabu Sri Jayarasa pun bertindak 

cepat. Saat itulah dia baru ingat, kalau 

Panglima Angling tidak muncul saat 

keributan itu terjadi.

* * *

Apa yang diduga Pandu ternyata benar 

adanya. Ketika matahari sepenggalah, 

nampak terlihat dari kejauhan debu-debu


yang mengepul tebal. Diiringi suara yang 

gegap gempita.

Pandu segera memerintahkan pasukan 

Keraton Utara untuk bersiap. Dan 

debu-debu yang tebal itu, kala mendekat 

terlihat puluhan pasukan berkuda dengan 

berpakaian hitam-hitam dan bermacam 

senjata di tangan.

Pandu melihat jelas, di depan 

pasukan berkuda itu, nampak si Kedok 

Hitam dan empat orang sekutunya.

"Hmm... ini amat berbahaya sekali. 

Tetapi mau tidak mau aku harus segera 

memimpin pasukan ini untuk menyerang 

pula," desis Pandu.

Lalu dia pun memerintahkan untuk 

segera menghadang pasukan yang telah 

mendekat itu. Seketika di depan halaman 

Keraton Utara terdengar suara hingar 

bingar yang amat keras. Gegap gempita 

yang amat mengglegar.

Suara pedang dan senjata lainnya 

yang beradu memekakkan telinga, diiringi 

dengan suara jerit kematian.

Karena jumlah pasukan lawan yang 

demikian banyak, sebentar saja pasukan 

Keraton Utara terdesak mundur. Pandu 

sendiri sudah berkelebat dengan Golok 

Cindarbuana dan jurus Cakar Gagak 

Rimangriya. Namun karena lawannya amat 

banyak, dia pun menjadi kewalahan pula.

Belum lagi serangan-serangan yang 

dilakukan oleh Renggota dan Ranggota,


Bujang Kroto dan Kawung Rongo yang amat 

marah karena rencana digagalkan.

"Mundur!!" seru Pandu karena 

terlihat pasukan Keraton Utara terdesak. 

"Pertahankan pintu gerbang!!" serunya.

Beberapa prajurit menahan pintu 

gerbang dengan sekuat tenaga. Sementara 

di luar pasukan berpakaian hitam-hitam 

itu berusaha untuk mendobrak pintu.

Belum lagi dengan senjata-senjata 

yang dilemparkan dari luar ke dalam, 

semakin membuat suasana menjadi panik 

adanya. Namun tiba-tiba terdengar suara 

hingar bingar di luar dan jerit kematian 

yang memilukan.

Apa yang terjadi?

Pandu segera naik ke tower yang 

tinggi dan melihat pasukan Keraton 

Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo 

Panunggul dan Tunggul Dewa datang 

menghajar orang-orang itu. Di sana pun 

terlihat Mpu Daga dan Ki Sima Ireng.

Merasa bantuan telah datang, Pandu 

segera memerintahkan untuk membuka pintu

gerbang. Lalu pasukan berpakaian 

hitam-hitam yang kocar kacir dan 

menerobos masuk, dihantam 

habis-habisan.

Pandu sendiri segera bergabung 

kembali dalam pertempuran itu. Dia 

melihat si Kedok Hitam yang berusaha 

untuk melarikan diri. 

Dengan sekali berjumpalitan Pandu 

menghadangnya dan menyeringai.


"Hhh... kita bertemu lagi, Kedok 

Hitam! Tetapi saat ini, kau tak akan bisa 

lolos dari tanganku!"

"Sombong!!" suara si Kedok Hitam 

terdengar panik, namun dia menyerbu 

dengan garangnya. Kembali jurus Ratu 

Cobra Merah dikeluarkannya.

Sementara Kyai Rebo Panunggul 

berhadapan dengan Renggota.

Ki Sima Ireng berhadapan dengan 

Ranggota.

Mpu Daga berhadapan dengan Bujang 

Kroto.

Sedangkan Tunggul Dewa berhadapan 

dengan Kawung Rongo.

Pertarungan berjalan seru. 

Sementara pasukan berpakaian 

hitam-hitam itu telah habis dibantai. 

Kini hanya nampak lima pertarungan yang 

amat hebat.

Kelihatan masing-masing amat 

berusaha ingin segera melumpuhkan 

lawannya. Dan terlihat pula satu persatu 

mulai berjatuhan. Kyai Rebo Panunggul 

berhasil menjatuh Renggota, Begitu pula

dengan Ki Sima Ireng. Hal yang sama pun 

dialami Mpu Daga. Sedangkan Tunggul Dewa 

harus terluka di bahu kanannya sebelum 

berhasil melumpuhkan Kawung Rongo.

Dan kini terlihat tinggal Pendekar 

Gagak Rimang yang tengah bertarung hebat 

dengan si Kedok Hitam. Prabu Sri Jayarasa 

pun hadir di sana menyaksikan 

pertarungan itu.


Sungguh suatu pertarungan yang amat 

hebat. Saling serang menyerang dengan 

hebat dan cepat. Pandu sendiri sudah 

mengeluarkan pukulan Cakar Gagak 

Rimangnya. Namun kala kedua tangan 

mereka saling berbenturan, keduanya 

sama-sama terjengkang ke belakang. 

Menandakan ilmu yang mereka miliki sama.

Namun Pandu tak mau berbuat setengah 

lagi. Dia segera mencabut goloknya. Dan 

dengan golok itu dia menyerang si Kedok 

Hitam dengan hebat.

Kali ini nampak jelas si Kedok Hitam 

yang kewalahan, Dan satu ketika, Pandu 

berjumpalitan dengan satu sodokan golok 

ke arah dada si Kedok Hitam yang menjadi 

terkejut hingga menarik tubuhnya ke 

belakang. .

Saat itulah Pandu bergerak dengan 

cepat. Tangannya- menyambar kedok hitam 

yang menutupi wajah orang itu. Dan 

serentak terdengar tiga seruan secara 

bersamaan.

"Panglima Angling!!"

Wajah di balik kedok hitam itu 

ternyata memang Panglima Angling. Dialah 

musuh dalam selimut yang menginginkan 

tahta singgasana Keraton Utara. Dia pun 

yang mencuri Pusaka Patung Pualam, kala 

Prabu ke luar dari peraduannya.

Wajah itu pias. Namun sombong.

"Hhh! Ya... akulah orangnya! Kalian 

semua bisa membunuhku tetapi... 

hahaha... kalian tak akan pernah


mendapatkan di mana Pusaka Patung Pualam 

berada!!" serunya terbahak.

Tetapi ketika didengarnya suara Mpu 

Daga, "Apa kau bilang, Panglima busuk? 

Apakah di tanganku ini bukan Pusaka 

Patung Pualam?!"

Terbelalak mata Panglima Angling. 

Dia merasa dirinya sudah kalah. 

Tiba-tiba saja dia menggerakkan 

tangannya hendak menghantam dadanya 

sendiri dengan jurus Ratu Cobra Merah. 

Namun Pandu segera berkelebat, menotok 

tubuh itu hingga kaku.Dan dia 

berjumpalitan kembali. Berhadapan 

dengan Prabu dan yang lainnya. 

"Prabu dan orang gagah sekalian... 

tugasku agaknya sudah selesai. Untuk itu 

aku mohon pamit!!"

Belum lagi ada yang bicara, Pandu 

sudah berkelebat dengan cepat hingga 

orang-orang di sana hanya terlongo-longo 

saja.

Tak lama kemudian terlihat tiga 

sosok tubuh mendekat. Yang seorang 

nampak lemah sekali. Dia adalah Ki 

Runding Alam, Ki Manggala dan yang lemah 

adalah Sekar Perak. Yang amat terkejut 

melihat pasukan Keraton Selatan berada 

di sana. Namun setelah dijelaskan oleh 

Mpu Daga dia pun mengerti.

Dan tiba-tiba pula muncul Dasa 

Samudra dan beberapa orang prajurit yang 

tengah mencari jejak ke mana Sekar Perak 

selir kesayangan Gusti Prabu Keraton


Selatan diculik. Dia pun segera diberi 

penjelasan oleh Kyai Rebo Panunggul.

Udara berhembus dingin. Sementara 

Pandu sang Pendekar Gagak Rimang terus 

melanjutkan pengembaraannya.


                          TAMAT


Ikutilah serial Pendekar Gagak 

Rimang

Dalam Episode:


"Menumpas Angkara Murka"

V,



0 komentar:

Posting Komentar