Selasa, 26 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE BARA DENDAM CANDI KALASAN


 

bara dendam candi kalasan

pengarang: bastian tito


SATU


ITS = INDAH TANPA SENSOR

Di pinggir jalan Kolonel Sugiyono, di depan Wisma tempat para 

pelajar SMU Nusantara III menginap. Andi, Firman juga Rio 

masih berdiri memperhatikan minibus

yang membawa Ronny, Vino, Sulastri, Wike, dan Laila meluncur

menuju Kantor Polisi.

Firman, sambil menggosok-gosokkan dua telapak tangan 

berpaling ke timur jalan. Mobil angkutan umum yang ditumpangi

Boma tak kelihatan lagi.

“Gila, sial apa kita-kita ini!” ucap si ceking Firman.

Dwita belum lama selamat, sekarang Ibu Renata diculik orang. 

Lalu anak gendeng itu pergi sendirian ke Candi Sewu.”

“Mustinya tadi kita ikut sama-sama boma. Kalau kejadian apa-

apa sama si Bonek itu, urusan bisa tambah ruwet.” Andi 

menyambung kata-kata Firman.

“Yang aku heran,” Kata Rio pula. “Semua kejadian ini serba 

aneh,”

“Yang nyulik Ibu Renata, jangan-jangan kerjaan orang jahat yang

sebelumnya nyekep Dwita di dalam stupa,” ucap Rio.

“Mungkin saja,” sahut Andi. “Gagal nyelakain Dwita, kini Ibu 

Renata yang jadi sasaran.”

“Dua-duanya orang yang seneng sama Boma,” menimpali Rio.

“Kalau Trini masih disini, jangan-jangan ‘tu anak yang bakal 

diculik,”kata Andi. “Soalnya Trini juga naksir berat sama Boma.”

“Jelas si penculik punya dendam jahat sama sohib kita itu, Andi 

kembali bicara.


“Kalau semua ini bukan Cuma kebetulan, berarti ucapan 

Bokapnya Dwita, juga ucapannya Pak Sanyoto ada benernya.“ 

Firman yang kini bicara.

“Maksud lu, Man?” tanya Rio.

“Anak gendeng itu ada kaitannya sama semua kejadian ini.” 

Jawab Firman.

“Maksud lu, Boma?” tanya Rio lagi.

“Siapa lagi,” sahut Firman. “Tapi ini dugaan gue doang.” Firman 

menambahkan.

“Biar cuma dugaan, kamu ngomongnya jangan kayak gitu Man. 

Boma Cuma ketiban apes, tau!” Andi membela Boma. “Sekarang

‘tu anak pergi sendirian. Nggak tau

jalan, nggak punya duit. Baiknya kita nyusul.”

“Kita juga pada nggak tau jalan. Tungguin aja dulu teman-teman 

yang melapor ke Kantor Polisi.” Rio memberi saran.

Sebuah becak ditumpangi dua wanita kulit putih bergaun mini 

meluncur melewati ke tiga anak lelaki itu. Salah seorang dari 

perempuan bule ini duduk seenaknya.

“Ajie busyet ‘tu paha. Putih banget,” Ucap Andi, menatap dengan

mata tak berkedip.

“Pake celana apa nggak ‘tu bule,” kata Rio.

“Hallo Miss.” Firman menegur sambil lambaikan tangan.

Salah seorang yang dihallo balas melambaikan tangan seraya 

berucap “Hallo jiuuga.”

Andi dan Rio tertawa geli. Firman masih memperhatikan ke arah 

becak yang melaju menjauh.

“Kamu masih ngeliatin aja Man. Kayaknya lu seneng banget ama

bule yang dadanya gembrot. Udah lu gantiin aja tukang 

becaknya.” 

Firman Cuma menyengir mendengar ucapan Rio itu. Andi yang 

menyelutuk, “Anak ceking begini lu suruh ngenjot becak. Baru 

tiga meter jalan udah kendor dia!”

Andi dan Rio tertawa cekikan. Si ceking Firman Cuma


menyengir.

Sesaat ke tiga anak ini seolah lupa akan masalah yang tengah 

mereka hadapi. Namun begitu becak berlalu di kejauhan Andi 

kembali keluarkan ucapan, “ Sekarang

kita-kita ini mau ngapain? Masuk ke kamar rasanya nggak plong. 

Berdiri di sini lama-lama bisa disamber kendaraan.”

“Kita duduk aja di teras sana. Nungguin Ronny sama yang lain-

lain balik dari Kantor Polisi,” usul Rio lalu mendahului 

melangkah ke teras penginapan.

Sesaat setelah duduk diteras Andi berkata, “Terus terang aku 

nggak suka sama sikapnya Trini. Masa’ sih pulang begitu aja. 

Sekalipun dipaksa sama Bokapnya

die musti setia kawan dong sama kita-kita. Pergi sama-sama, 

pulang juga sama-sama.”

Firman menepuk nyamuk yang hinggap dilengan kirinya.

“Gue ude ceking begini masih aja lu mau ngisep darah gue! 

Mampus lu!” Plaak! Nyamuk di lengan mati dalam tepukan 

Firman. Sambil membersihkan darah di tangannya

Firman berkata. “Aku liat, waktu ngomong sama Boma sebelum 

pergi, matanya Trini berkaca-kaca.”

“Ala…” tukas Rio. “Kalau dia beneran suka sama Boma, 

mustinya dia nggak pergi begitu aja. Padahal Dwita saingannya 

nggak ada lagi. Dia ‘kan punya kesempatan

besar. Gua rasa ‘tu cewek kurang menyimak situasi. Bener ‘kan 

teman-teman?”

“Menurut kamu gimana Di?” Rio bertanya pada Andi.

“Tauk! Emangnya gue pikirin” jawab Andi cuwek seenaknya.

“Kalau cewek gua model begitu, pasti gue PHK,” Rio tak peduli 

ceweknya Andi.

“Sok lu!” Kini Firman ceking yang menukas.

“Jangan salah paham sobat,” jawab Rio masih tak mau kalah. 

“PHK yang gua maksud bukannya Pemutusan Hubungan Kerja, 

tapi Pencet Habis Kutangnya.”


“Kalau pakai kutang, kalau nggak?” celetuk Firman.

“Berarti ITS” sahut Rio.

“Apaan tuh? Apa hubungannya onderdil cewek sama Institut 

Teknologi Surabaya?” Firman penasaran.

Rio tertawa geli. “Kuper lu! ITS yang gue maksud bukan Institut 

Teknologi Surabaya tapi Indah Tanpa Sensor.”

“Sialan lu!” maki Firman.

Rio senyum-senyum sambil mengucapkan berulang-ulang kata-

kata.

“Pokoknya Sekwilda.. Pokoknya Sekwilda.”

“Nah, apaan lagi ‘tuh?” tanya Firman tambah penasaran.

“Sekitar Wilayah Dada,” jawab Rio lalu tertawa membahak.

Firman Cuma bisa nyengir.

“Lu berdua ngomongnya pada ngacok aja!” gerutu Andi.

Tidak Perduli gerutu temannya Rio lalu melantunkan nyanyian 

anak-anak yang sedang ngetop, tapi dengan kata-kata diplesetkan.

“Diobok-obok anunya diobok-obok.

Diobok-obok si anu jadi mabok.”

Tiga pelajar SMU Nusantara III itu kemudian sama-sama tertawa 

cekikan.

Sebuah taksi meluncur masuk ke halaman penginapan, berhenti 

di depan teras. Pintu kiri belakang terbuka.

Dari ke tiga anak yang memperhatikan, Firman yang pertama kali

memberi reaksi. “Eh, lu liat! Siapa yang turun.”

“Nah lu! Kok balik?” Rio heran.

“Gua kira ‘tu anak udah molor di Jakarta.” Celetuk Andi. “Liat, 

tampangnya pucet lu.”

***

DUA



TRINI MEMBELOT


TRINI menutup pintu taksi. Sambil menenteng sebuah kantong 

plastik dia melangkah ke arah tiga anak laki-laki itu. Muka pucat


membayangkan keletihan.

“Rin, kok kamu balik? Sendirian?” tanya Firman.

“Jangan tanya dulu. Duit gue kurang. Tolong pinjemin aku 

seceng.”

Rio keluarkan sehelai ribuan lusuh dari saku celana blujinsnya.

“Tolong sekalian kasi-in sama sopir taksi,” kata Trini.

“Brengsek lu. Udah minjem, nyuruh lagi!” Rio mengomel tapi 

anak ini mau juga menyerahkan uang seribu perak itu pada sopir 

taksi yang menunggu.

Empat pelajar SMU Nusantara III itu kemudian duduk di teras 

Wisma.

“Aku balik, kalian heran ‘kan?” ucap Trini dengan senyum kecil 

menghias bibirnya yang kelihatan kering.

“Jelas heran dong.” Jawab Andi.

“Mau tau ‘kan?”

“Jelas mau tau..gimana ceritanya,” ucap Firman

“Tapi ogut lagi capek tau, mau ngelonjor dulu. Meremin mata 

sebentar. Rasanya gue mau pilek deh. Kalian silahkan makan 

dulu ini. Habisin aja.”

“Trini melemparkan kantong plastik yang dibawanya. Kantong 

ditangkap oleh Andi sambil bertanya. “Apaan nih?”

“Donat, aku beli di airport. Makan aja.” Jawab Trini.

“Makan gampang. Yang penting kamu cerita dulu. Kok kamu 

balik ke sini?” Ucap Andi.

“Pesawatnya dikansel ya? Lalu bokap kamu mana? Dwita mana? 

Juga bokapnya Dwita si diplomat combro itu.” Bertanya Rio.

Trini Damayanti tidak menjawab. Seperti dikatakannya tadi, 

kedua kakinya dilonjorkan di lantai teras. Punggung disandarkan 

ke kursi dan sepasang mata

dipejamkan.

“Aneh, muncul-muncul kok kelakuannya jadi begini?” ucap Andi

sambil memandang ke arah Rio dan Firman.

“Jangan-jangan kesambet setan airport,” kata Firman.


Andi membuka kantong plastik yang tadi dilemparkan Trini. 

Begitu melihat isinya langsung mengomel monyong dan 

membantingkan kantong itu ke ubin.

“Cewek brengsek! Lagian tisu wese! Bilangnya donat! Sialan, 

ane dibokisin!” (dibokisin=dibohongi).

Trini cekikikan. Perlahan-lahan anak perempuan ini buka 

matanya yang dipejamkan. Wajah diusap beberapa kali. Rambut 

dirapikan dengan jari-jari tangan.

Dua kaki ditarik.

“Sorry teman-teman. Ogut capek. Bener-bener capek,” kata Trini 

pula.

“Rin, kamu belum nerangin. Kok kamu balik sih?” tanya Rio.

“Aku terpaksa membelot tau.”

“Keren amat istilah lu,” ucap Firman.

“Ceritain Rin, gimana kejadiannya.” Rio tidak sabar ingin tahu.

“Aku nggak mungkin pergi begitu aja. Ninggalin kalian semua 

disini.”

“Tapi waktu bokap lu ngajak berangkat ke airport kok nggak 

nolak?” tanya Firman.

“Waktu itu gua nggak bisa apa-apa. Ikut aja. Pasrah aja lagi. Tapi

otak ogut jalan, tau. Nyari akal, tau” jawab Trini.

“Terus?” tanya Rio.

“Waktu di airport. Sebelum pesawat berangkat aku bilang sama 

bokap, mau ke toilet dulu. Tapi aku nggak ke toilet. Aku ngumpet

di kios orang jual majalah.

Aku liat bokapku mondar-mandir. Dia ke toilet, tanya sama 

petugas di sana. Tapi aku nggak ada di sana. Bingung dia. Aku 

liat dia nelpon pakai handphone.

Mungkin nelpon ke Wisma ini, mungkin juga ke Kantor Polisi 

ngubungin temennya. Lalu aku dengar panggilan lewat pengeras 

suara. Supaya aku segera menemui

bokap di pintu chenk in. Aku kasihan juga sih ngeliat bokap. 

Waktu ada pengumuman penumpang jurusan Jakarta


dipersilahkan naik ke pesawat, aku liat bokap

nemuin Satpam airport. Bokapku nulis sesuatu di sepotong kertas.

Mungkin nulis namaku, atau nomor telpon. Lalu dia pergi. 

Kayaknya dia punya dugaan kira-kira

aku kemana ‘gitu.”

“Kalau aku nggak salah pesawat berangkat jam dua. Kok kamu 

baru gini hari sampai disini.” Bertanya Rio.

“Aku nggak bego la yauw. Aku punya firasat bisa aja bokapku 

batal berangkat. Nyatanya bener. Aku liat dia masuk kantor 

penerbangan. Waktu pesawat udah

berangkat dia masih mondar-mandir di airport. Pasti saat itu dia 

masih nyari-in aku. Pasti dia juga udah ngebatalin keberangkatan 

yang jam dua, ganti pesawat

lain. Ogut bener-bener sport jantung. Kalau aku masih ngumpet 

di kiosnya tukang majalah, satu saat mungkin aja bokap 

nyelonong ke situ. Waktu dia masuk

lagi ke toilet aku buru-buru keluar dari kios majalah. Cari taksi 

tapi nggak langsung kesini.”

“Kenapa?” tanya Andi.

“Gue ngeri kalo-kalo bokap datang nyatronin kemari.”

“Nggak, dia enggak muncul disini, ‘tuh,” menerangkan Firman.

“Lalu kamu kemana aja selama beberapa jam?” tanya Rio.

“Sampai magrib aku muter-muter dulu di Malioboro. Ngabisin 

waktu.”

“Beli donat, eh tissu wese!” sambung Andi yang tadi 

dipermainkan Trini.

Trini tertawa geli.

“Boleh juga kamu Rin,” kata Firman. “Bokap kamu ‘kan polisi. 

Letkol bagian Reserse lagi. Tapi kamu masih bisa ngelece-in dia. 

Lebih piter kamu dari Pak

Polisi!”

“Tapi, dia pasti marah besar Rin,” kata Rio. “Begitu sampai 

dirumah, siap-siap aja terima dampratan.”


“So pasti, bo,” jawab Trini.

Seorang karyawan Wisma datang ke teras.

Memberi tahu kalau tadi sore ada telpon dua kali dari jakarta, 

menanyakan Trini. Karena terlalu sibuk dia lupa dan baru bisa 

memberi tahu saat itu.

“Yang nelpon lelaki apa perempuan Mas?” tanya Andi.

“Dua-duanya perempuan. Yang pertama bilang ibunya Trini. 

Satunya saya lupa namanya. Tapi suaranya bukan suara orang 

tua.”

“Mungkin Dwita,” kata Firman. “Terima kasih, Mas.”

Rio menatap wajah Trini lalu berkata.

“Rin, bokapmu pasti marah besar. Buat ngeredam, juga agar 

orang tua kamu tidak pada bingung, bagusnya kamu nelpon aja 

ke rumah sekarang.

Syukur-syukur sang bokap belom sampe. Ngomong sama nyokap

kamu. Ceritain semua yang kejadian. Jujur aja. Kenapa kamu 

kabur. Minta maaf sama mereka. Bilang

kamu masih di Jogya.”

“Gua rasa yang dibilang Rio bener juga. Di seberang sono ada 

Wartel.” Kata Andi sambil menunjuk ke arah jalan raya.

“Gue pikir memang musti begitu,” sahut Trini sambil 

memandang ke arah Wartel di seberang jalan. “Tapi barang 

cepeng aku udah nggak punya doku,”

Firman dan Andi berpaling pada Rio. Anak lelaki ini pencongkan

mulut. “Gue lagi yang kena,” katanya sambil mengeruk kantong 

blujinsnya.

Ketika hendak turun dari teras Wisma, sesaat Trini hentikan 

langkah, bertanya. “Ngomong-ngomong yang lain pada 

kemana?”

“Allan sama Gita ke Malioboro. Tadinya aku sama Firman mau 

ikut. Tapi batal. Ceritanya mau barengan sama Boma. Allan sama

Gita pergi duluan.”

Menerangkan Andi.


“Lalu Bomanya kemana? Juga Ronny, Vino? Si Centil Lastri…?”

tanya Trini lagi.

“Boma, ini yang jadi urusan,” kata Firman.

“Ronny, Vino sama Lastri, Wike dan Laila ke Kantor Polisi,” 

menyambung Rio.

“Boma? Memangnya kenapa Boma?” Tanya Trini.

“Lalu Ronny sama yang lain-lain, ngapain ke Kantor Polisi?”

“Ada kejadian besar Rin. Pokoknya bener-bener heboh!” jawab 

Andi

“Kejadian apa?”

“Ibu Renata diculik. Boma nguber si penculik. Sendirian. Temen-

temen udah ngelarang. Tapi dia nekad naik angkutan umum. 

Ronny dan yang lain-lainnya ngelapor

ke Kantor Polisi.”

“Apa? Ibu Renata diculik? Boma nekad?” Air muka Trini 

berubah. Sepasang matanya membesar. “Ini bercanda apa 

guyon?” tanya Trini tidak percaya.

“Nggak ada yang bercanda, nggak ada yang guyon.” Jawab Rio. 

Lalu anak ini menerangkan apa yang terjadi.

Untuk beberapa saat lamanya Trini terdiam mendengar cerita 

Rio.

“Kasihan amat Ibu Renata…” Ucap Trini perlahan. Bibirnya 

digigit. Matanya sesaat menatap ke arah jalan. Lalu mulutnya 

berucap bertanya. “Si Umar kemana?”

“Pergi dari siang,” jawab Rio.

“Jangan-jangan dia yang jadi biang kerok nyulik Ibu Renata.” Si 

Umar adalah nama plesetan Pak Sanyoto yang kepalanya mulai 

botak, Guru Olah Raga di SMU

Nusantara III. (Umar= Untung masih ada rambut).

“Gila lu Rin! Pak Sanyoto memang sih naksir berat sama Ibu 

Renata. Tapi kalau sampai nyulik gua rasa otaknya udah di 

dengkul! Sinting kali!”

Firman menyambungi ucapan Rio. “Nggak mungkin Si Umar.


Lastri nyaksi-in penculikan itu. Yang nyulik nggak kaya Si 

Umar.”

“Bisa aja para penculik suruhannya Si Umar. Dendam karena 

cintanya ditoIak.” Trini tetap mempertahankan dugaannya.

“Kita ke Wartel aja dulu. Mudah-mudahan temen-temen yang 

lapor ke PoIisi cepet balik.” kata Andi pula.

Di WarteI hanya Trini dan Rio yang masuk. Andi dan Firman 

menunggu di luar.

“Ada yang gua pikirin Man.” kata Andi.

“Jangan keliwat banyak mikir. Nanti ABS lu kayak Pak 

Sanyoto.” sahut Firman (ABS = Agak Botak Sedikit) Tapi dia 

ingin tahu juga apa yang dipikirkan temannya

itu. “Memangnya kamu mikirin apa sih?”

“Omongannya si Trini,”

“Omongannya yang mana?”tanya Firman. 

“Waktu dia bilang balik ke sini karena nggak mau ninggaIin kita-

kita begitu aja. Dulunya ‘tu anak ‘kan nggak gitu deket sama kita-

kita.”

“Bagus dong ada perubahan. Berarti sekarang dia memang sohib 

betulan.”

“Bisa jadi begitu. Tapi gua punya dugaan lain.” Kata Andi pula.

“Pasti dugaan kotor!” tuduh Firman. 

“Enak aja lu. Dugaan gua begini. Si Trini balik bukan karena 

kita-kita. Tapi lantaran inget Boma. Dwita balik ke Jakarta. Kalau

dia balik berarti nggak

punva rival dia. Ada kesempatan berduaan terus sama Boma.” 

Andi diam, sejenak memperhatikan wajah Firman baru 

meneruskan. “Itu dugaan pertama. Dugaan

kedua mungkin juga si Trini cemburu sama Ibu Renata. Bisa 

dong? Inget nggak gosip Boma macarin Ibu Renata di rumahnya 

waktu guru bahasa Inggris itu lagi

sakit?” (Baca Episode “

Muridku Machoku


”)

Firman mengangguk.

“Kalau dia balik ke Jakarta berarti ngebiarian Boma digandeng 

Ibu Renata. Nah, apa nggak stres ‘tu anak mikirin Boma sama Ibu

Renata.”

“Ajie gile,” ucap Firman. “Dugaan lu boleh juga. Tapi baiknya lu 

tanya-in langsung aja sama si Trini.”

“Nanti gua tanya-in. Pasti!” jawab Andi.

Ketika Trini dan Rio keluar dari wartel, andi mendekati Trini. 

Bukan untuk menanyakan bagaimana pembicaraan telpon dengan

orang tua anak perempuan itu.

Seperti yang dikatakannya tadi dia menanyakan alasan Trini 

kembali ke Wisma.

“Rin, aku mau tanya nih. Kamu jawab jujur-jujur aja ya.”

“Jangan tanya-tanya dulu deh. Aku barusan dimaki nyokap di 

telpon. Masih nyesek rasanya.” Jawab Trini Damayanti. “Untung 

bokap gue belum pulang. Kalau

nggak bonyok gue dimaki kiri kanan.”

“Pertanyaan gue cuman gecel aja Rin. Aku sama Firman mau tau,

kamu ini nggak pulang ke Jakarta bener lantaran solider sama 

kita-kita?”

“Habisnya gua mau solider sama siapa?” Balik bertanya Trini. 

“Apa enak ninggalin kamu-kamu. Pasti ada yang bilang gue 

enak-enakan pulang ke Jakarta. Nggak

setia temen.”

“Kalau memang begitu bagus deh.” Kata si ceking Firman tapi 

sambil senyum-senyum tidak percaya.

Trini jadi sengit. “Emangnya ada apa sih?!” Trini lalu remas 

pinggang Andi hingga anak lelaki ini melintir kesakitan. “Ayo, 

bilang nggak?!”

“Gila! Sakit Rin. Lepasin!” teriak Andi.

“Nggak, gue mau tau dulu apa yang ada di otak lu!” Trini tidak 

melepaskan cekalannya di pinggang anak lelaki itu.


Tak tahan sakit Andi terpaksa menjawab. “Aku punya dugaan 

kamu kembali ke sini karena Boma. Kamu jelous, kamu cemburu 

sama Ibu Renata….”

“Edan! Ngapain gue cemburu segala.”

“Swear?” Firman menantang Trini bersumpah.

“Uh, yang begituan aja pakai sumpah segala. Enggak model la 

yauw. Kampungan!” Sekarang Firman yang dicubit Trini bagian 

perutnya. Hingga anak lelaki kurus

kering ini menjerit kesakitan. Firman tarik ke atas baju kaosnya, 

memperhatikan perutnya yg barusan dicubit. “Gila lu Rin. Liat 

perut gue ampe bentol!”

Trini Cuma menyengir, menarik lengan Rio mengajak anak itu 

menyebrang jalan meninggalkan Andi dan Firman yang masih 

meringis kesakitan.

***

TIGA



BOMA JADI SETAN 


DI ATAS kendaraan umum Boma Tri Sumitro duduk geIisah. 

Dia coba menata jalan pikiran, mengingat apa yang telah terjadi 

dan apa yang sekarang dihadapinya.

Trini pulang ke Jakarta. Dia tidak kecewa, cuma kesal. 

Seharusnya Trini tetap di Jogya bersama teman-teman. Tapi anak 

perempuan itu pasrah saja ikut kemauan

ayahnya. Dwita juga begitu. 

“Diplomat bego!” maki Boma dalam hati bila ingat bagaimana 

dia dimaki oleh Erlan Sujatmiko -ayah Dwita- di depan teman-

teman, dituduh mencelakai Dwita.

Lalu Ronny Celepuk juga dimaki malah hendak dipukul. Dwita 

sudah selamat dan kini pasti telah berada di rumahnya di Jakarta. 

Saat-saat diselamatkannya

Dwita dari dalam stupa di Candi Borobudur merupakan satu


peristiwa luar biasa aneh yang tidak bakal dilupakan Boma 

sampai kapanpun. Dan sebagian besar

dari kejadian aneh itu hanya dia sendiri yang mampu 

menyaksikan sementara teman-temannya tidak melihat apa-apa. 

Semua itu telah berlalu. Kini ada kejadian

yang tak kalah gawat dengan peristiwa disekapnya Dwita dalam 

stupa. Ibu Renata diculik!

Boma menowel hidung beberapa kali lalu mengusap dada dengan

tangan kiri. Tangan ini kemudian diletakkan di atas bahu kanan, 

tak sengaja tepat di atas Batu

Penyusup Batin, batu sakti yang disusupkan Sinto Gendeng (baca

serial/episode sebelumnya berjudul “

Muridku Machoku

”) ke bahu kanan Boma dekat tulang belikat.

Dibawah redup lampu kecil yang menerangi bagian dalam 

kendaraan Boma perhatikan penumpang lain di sekitarnya. Di 

bangku di seberangnya duduk seorang lelaki

berdampingan mesra dengan seorang perempuan muda, agaknya 

sepasang suami istri. Mungkin belum lama kawin. Di sebelah 

mereka terkantuk-kantuk duduk seorang

kakek berkaca mata tebal, mengenakan blangkon batik yang 

sudah pudar. Tangan kanan si kakek merangkul bahu cucunya, 

seorang bocah lelaki berwajah lucu

bermata belok.

Boma melirik ke kiri. Di situ duduk seorang mbakyu, bertubuh 

gemuk dengan wajah selalu keringatan. Di pangkuannya ada 

kotak kardus entah berisi apa. Di

sebelah ujung, di samping si mbakyu ada seorang gadis remaja 

berjilbab. Boma berpaling ke depan. Di samping pengemudi 

duduk seorang penumpang memakai topi

pet merah. Tubuhnya menebar bau wangi menusuk aneh. Boma 

rasa-rasa pernah mencium bau wangi ini sebelumnya.

Dari keterangan Sulastri yang menyaksikan penculikan atas diri


Ibu Renata, salah satu dari dua penculik ciri-cirinya sama dengan 

orang bermantel yang menyekap

Dwita di dalam stupa.

“Pangeran Matahari”, pasti Pangeran Matahari.” Batin Boma 

berucap. Tangan kirinya kembali mengusap bahu kanan. Tepat di 

bagian yang disusupi Batu Penyusup

Batin. “Heran, apa salah Ibu Renata, kok diculik? Jangan-jangan, 

dia marah, dendam nggak bisa mencelakai Dwita, lalu Ibu Renata

yang jadi sasaran. Tapi

kenapa Ibu Renata? Bukan Sulastri, atau Gita atau cewek 

Iainnya? Atau aku?” 

Pasangan suami istri muda yang duduk di depan Boma mendadak

sama-sama merasa dingin tengkuk masing-masing. Tadi 

keduanya menyaksikan sosok Boma yang duduk

di depan mereka terlihat jelas tapi tiba-tiba saja berubah menjadi 

memudar samar. Mereka seolah melihat bayangan hidup. Lalu 

sosok yang samar ini mendadak

lenyap entah kemana! Siapa yang tidak kaget? Siapa yang tidak 

jadi takut?

“Mas...” Lidah sang istri seperti kelu ketika berucap. Dia pegang 

lengan Suaminya erat-erat. Tangan dan lengan sama-sama dingin.

“Mas, situ liat nggak?”

Yang ditanya rnengangguk kaku. 

“Setan Mas. Barusan aku nyium bau wangi angker...!” 

“Aku juga,” jawab sang suami. 

Tidak menunggu Iebih Jama Ielaki ini berseru pada supir agar 

menghentikan kendaraan. Cepat-cepat dia menyodorkan ongkos 

tumpangan, lalu menarik lengan

istrinya. Tergopoh-gopoh kedua orang itu turun dari kendaraan 

umum dengan muka pucat. Di tepi jalan, setelah kendaraan 

angkutan umum itu meluncur pergi

sang istri berkata pada suaminya.


“Mas, situ inget nggak peristiwa beberapa bulan lalu? Seorang 

anak lelaki mati ditabrak bus. Di jalan raya sini. Jangan-jangan 

yang tadi itu setannya.

Gentayangan....” 

Sang suami tidak menyahuti ucapan istrinya. Dia hanya berdiri 

tegang sambil memegang lengan perempuan itu erat-erat. Mata 

memandang takut ke arah angkutan

umum yang tadi ditumpangi. 

Baru saja mini bus itu bergerak meneruskan, ganti sekarang 

kakek berkacamata tebal berseru memberi tahu mau turun juga. 

Wajahnya yang keriputan kelihatan

pucat.

"Lho, Eyang kok medhu neng kene?" Bocah lelaki cucu orang tua

itu bertanya heran ketika dia digendong dan dibawa turun dari 

kendaraan padahal masih belum

sampai tujuan.

Si kakek tidak menjawab. Setelah memberikan ongkos 

tumpangan dia cepat-cepat menggendong cucunya ke tepi jalan.

Walau merasa heran tapi supir kendaraan umum diam saja. 

Ketika kendaraan mulai berjalan mbakyu gemuk keluarkan 

ucapan.

"Heran ada apa sama orang-orang tadi? Kok kayak kaget, takut?"

Sambil mengusap wajahnya yang keringatan dia berpaling ke 

kiri, pada gadis berjilbab.

"Aku juga heran mbakyu," jawab anak perempuan berjibab.

"Kayak ngeliat hantu saja."

Mbakyu gemuk goleng-goleng kepala. Menoleh ke kanan ke arah

Boma. Hendak membuka mulut tapi langsung bungkam. Mata 

mendelik, menyusul kening mengerenyit.

Anak lelaki yang tadi duduk di sebelah kanannya kini tidak 

kelihatan lagi, lenyap entah kemana. Jelas anak lelaki itu tadi 

tidak ikutan turun. Tidak percaya

pada pandangan matanya perempuan gemuk ini gerakkan tangan


kanan ke samping.

"Mosok sih, ada orang bisa ngilang?" pikirnya.

Dia membuat gerakan meraba.

"Heh! Ooallah!" Si Mbakyu tersentak kaget.

Gemetaran tangannya cepat ditarik. Barusan dia memegang 

bagian tubuh orang. Mungkin bagian paha. Tapi sosoknya tidak 

kelihatan!

"Maaaass! Mas supir! Stop Mas. Aku medhu neng kene ae!" 

(Aku turun di sini saja!)

Dari balik stagennya si mbakyu keluarkan selembar uang kertas 

pecahan lima ratus. Uang itu langsung dilemparkan ke arah 

pengemudi angkutan umum. Lalu tubuh

gemuknya bergegas keluar dari dalam kendaraan sambil 

membawa kotak kardus.

Di tepi jalan perempuan gemuk ini melangkah terbirit-birit ke 

balik sebuah pohon besar. Kotak kardus dijatuhkan begitu saja. 

Isinya berceceran di tanah.

Ternyata kutang dan celana dalam perempuan. Tidak heran 

karena mbakyu ini adalah pedagang kredit yang mengkhususkan 

diri pada onderdil dalam kaum hawa!

Di balik pohon si mbakyu singsingkan ke atas kain panjangnya 

tinggi-tinggi. Lalu cepat-cepat jongkok sambil mulutnya 

termonyong-monyong berulang kali mengucap.

"Numpang-numpang aku nunut nguyoh. Numpang-numpang aku 

nunut nguyoh...." (Numpang-numpang aku mau kencing) Lalu 

seerrrr! Kencinglah si mbakyu dalam gelapnya

malam.

Di atas kendaraan umum Boma perhatikan tangan kirinya yang 

saat itu masih berada di atas bahu. Selintas pikiran muncul dalam 

benaknya.

"Ajie gile! Jangan-jangan ini gara-gara Batu Penyusup Batin. 

Aku tak sengaja mengusap..."

Boma sadar lalu cepat usap Batu Penyusup Batin yang ada di


bahu kanannya. Ini adalah usapan yang ke tiga . Seperti diketahui

jika batu sakti di bahunya

diusap satu kali, sosoknya akan terlihat samar. Diusap dua kali 

tubuhnya lenyap tak kelihatan. Kalau diusap sekali lagi maka 

tubuhnya akan terlihat kembali

seperti semula.

Gadis berjilbab yang tadi memperhatikan mbakyu gemuk, alihkan

pandangannya ke samping.

"Lho, 'tak kira tadi situ ikut-ikutan turun."

Dia memandang ke jalan, lalu kembali memperhatikan ke arah 

Boma. Ada rasa heran.

Boma tersenyum. Menowel hidung.

"Pasti tadi dia juga nggak ngeliat gua." Ucap anak lelaki ini 

dalam hati.

"Ada apa ya? Orang-orang tadi kok kaget-kagetan turun? Kayak 

ngeliat setan... " Boma keluarkan ucapan.

"Iyya, aku juga nggak ngerti," kata gadis berjilbab.

Matanya masih mengawasi Boma.

Boma tersenyum.

Selang beberapa menit gadis berjilbab turun. Sebelum berlalu, 

sesaat Dia masih berdiri di depan pintu kendaraan. Mata tak 

berkesip, memandangi Boma.

Boma menowel hidung, berharap kendaraan yang ditumpanginya 

segera jalan. Tapi sampai anak perempuan berjilbab pergi, 

kendaraan itu tidak juga bergerak.

Boma menoleh ke arah pengemudi. Saat itulah si pengemudi 

berpaling ke arah Boma dan bertanya.

"Mas, sampeyan mau kemana? Mobilku mau balik ke kota."

Boma memandang ke arah penumpang yang duduk di samping 

supir. Kalau mobil memang mau balik ke Jogya, kenapa 

penumpang bertopi pet tidak turun?

"Kita dimana?" Boma bertanya. Anak ini mulai bingung. Dia 

memandang keluar kendaraan. Gelap dan sepi.


"Ini Jalan Raya Jogja-Solo. Dekat kawasan Prambanan. Mosok 

nggak 'tau? Situ tujuannya kemana?" Tanya supir.

"Saya bukan orang sini Mas. Saya dari Jakarta. Mau ke Candi 

Sewu," jawab Boma.

"Ya turun di sini. Nanti ganti kendaraan atau naik ojeg. Maaf 

Mas, tolong ongkosnya."

Boma tambah bingung. Dia mengeruk saku blujins sebelah 

kanan. Kosong. Lalu sebelah kiri. Juga kosong. Semakin bingung

anak ini. Dirabanya dua kantong sebelah

belakang. Hanya ada sehelai sapu tangan.

Melihat gelagat Boma, Supir angkutan umum jadi kesal.

"Punya duit apa nggak Mas?"

Boma semakin tambah bingung.

"Gila, masa 'sih aku nggak bawa duit barang cepeng," Boma 

memaki diri sendiri.

"Mas, duit saya ketinggalan di Wisma...."

"Sudah, nggak usah neko-neko. Kalau nggak punya duit turun 

saja!"

(neko-neko = macam-macam).

"Maaf Mas..."

"Maaf-maaf! Sudah turun sana cepetan!"

Tiba-tiba dalam kendaraan itu menyeruak tawa mengekeh.

"Anak muda dari Jakarta, malam-malam begini ada keperluan apa

sampeyan ke Candi Sewu?"

Boma berpaling ke arah penumpang yang duduk di sebelah depan

di samping supir. Dia yang barusan tertawa dan mengeluarkan 

ucapan. Orang ini menoleh ke arah

Boma. Topi pet merah di atas kepala dibuka. Kelihatan rambut 

putih dikuncir ke atas. Boma Tri Sumitro mendelik. Dia Ingat bau

harum yang menusuk itu. Dia

pernah mencium sebelumnya. Dia juga ingat wajah tua itu. Orang

aneh yang muncul di Wisma. Yang Memaksa minta Batu 

Penyusup Batin. Pak Broto! Di tempatnya


duduk kembali orang tua itu mengumbar tawa mengekeh. 

Membuat bulu tengkuk Boma merinding.

***

EMPAT


DIKEJAR SI MUKA BANGKAI 


SAMBIL terus tertawa, orang tua itu kenakan topi petnya 

kembali. Lalu dia keluarkan selembar uang kertas. Uang ini 

dimasukkannya ke dalam kantong kemeja

supir angkutan umum.

"Mas supir, sampeyan nggak usah jengkel. Biar aku yang bayar 

ongkos anak itu. Ini lima ribu perak. Cukup 'kan untuk berdua?"

Supir yang tadi sempat jengkel kini tertawa gembira. Lima ribu 

rupiah ongkos tumpangan tentu saja sangat besar dan berlebihan.

Orang tua itu membuka pintu mobil lalu turun. Dia melangkah ke

samping mobil dan berdiri di hadapan pintu. Memandang 

menyeringai pada Boma lalu berkata.

"Ayo, turun. Ngapain kamu masih duduk di situ?"

Dalam bingung Boma akhirnya bergerak turun.

"Anak muda, kita bertemu Iagi Kau punya hutang padaku. 

Ingat?"

"Nanti saya ganti. Uang saya ketinggalan di Wisma," jawab 

Boma.

Orang tua di hadapan Boma tertawa mengekeh lalu batuk-batuk. 

Ada lelehan darah di sudut bibimya. Dia keluarkan sehelai sapu 

tangan lembab penuh noda cairan

merah. Setelah menyeka lelehan darah di sudut bibir orang tua ini

bertanya.

"Namamu Boma, benar?"

Boma mengangguk. Hatinya merasa tidak enak. Dia harus segera 

meninggalkan tempat itu walau tidak tahu mau pergi ke arah 

mana. Tapi seperti tahu gelagat,


si orang tua ulurkan tangan kiri, memegang bahunya.

Boma kembali merasa tengkuknya merinding. Tangan yang 

memegang bahunya dingin sekali. Pegangan tangan si orang tua 

di bahunya membuat dia tidak kuasa menggerakkan

tubuh ataupun menggeser kaki.

"Dengar, aku tidak minta uang ongkos tadi. Aku minta sesuatu 

yang lain..."

"Minta apa?" tanya Boma.

Dalam hati anak ini sudah bisa menduga apa yang diingini kakek 

aneh dan menakutkan di hadapannya.

"Bocah, kau telah berani menipuku. Sekarang ayo ikut aku."

Mula-mula Boma hanya menurut saja ketika tangannya ditarik. 

Setengah jalan dia bertanya.

"Pak Broto, kita mau kemana?"

Orang tua berbaju lecak yang tubuh serta pakaiannya menebar 

wangi menusuk itu menyeringai.

"Bagus, kau masih ingat namaku. Pak Broto! Ha... Ha... Ha! Kau 

tahu, itu cuma nama palsu. Namaku sebenarnya adalah Si Muka 

Bangkai alias Si Muka Mayat!"

Boma hentikan langkah. Tapi ketika lengannya ditarik, kakinya 

terseret.

"Aku guru Pangeran Matahari. Aku murid Kunti Api. Tapi hari 

ini aku bersumpah tidak menyukai bangsat perempuan itu Iagi. 

Lihat apa yang telah dilakukannya

terhadapku"

Si orang tua batuk keras berulang kali. Lalu Dia keluarkan suara 

seperti muntah. Dari dalam mulutnya menghambur darah segar.

Boma jijik dan tambah ngeri.

Tiba-tiba orang tua itu hentikan langkah dan berbalik. Wajahnya 

yang pucat kelihatan tambah menyeramkan. Dua mata menatap 

menakutkan pada anak lelaki yang

dicekalnya.

"Semua ini gara-gara kamu! Kalau tidak karena kamu aku tidak


akan sengsara seperti ini! Aku tidak perlu meninggalkan alamku! 

Hanya untuk mendapatkan celaka

sial dangkalan seperti ini! Kamu! Semua gara-gara kamu!"

"Pak Broto, memangnya saya berbuat apa sama Bapak? Saya 

salah apa?" tanya Boma.

Dalam hati anak ini berkata.

"Barusan dia bilang kalau dia meninggalkan alamnya. Lalu 

makhluk apa orang tua ini sebenarnya? Manusia atau hantu?"

"Salahmu? Kau tanya apa salahmu?!" Pak Broto membentak.

"Dadaku ditendang! Mukaku diludahi!"

"Siapa yang menendang? Siapa yang meludahi?" tanya Boma.

"Bukan saya!"

"Tai kucing!" Pak Broto memaki, menyebut tai kucing segala. 

Rahang menggembung. Wajah seramnya menyeringai. Lalu 

orang ini tertawa mengekeh. Dia balikkan

badan, tarik tangan kanan Boma. Di satu tempat sepi dimana 

terdapat banyak tebaran batu-batu besar berbentuk empat persegi 

orang tua ini dorongkan tangannya

hingga Boma terjajar ke belakang dan jatuh terduduk di salah satu

batu.

Di kejauhan sana Candi Prambanan menjulang tinggi, menghitam

dalam kegelapan malam. Sayup-sayup terdengar suara raungan 

anjing. Boma mengusap tengkuknya

yang terasa dingin lalu menowel hidung.

"Bocah jahil! Kau pandai berpura-pura. Kau tidak mengaku 

menipuku hah?!"

"Memangnya, memangnya saya menipu apa sama Pak Broto?"

Dari dalam saku celananya Pak Broto keluarkan sebuah kantong 

kecil terbuat dari kain berwarna kuning. Boma ingat kantong 

kuning itu adalah kantong yang

disusupkan nenek sakti ke saku belakang celana blujinsnya. 

Nenek sakti bau pesing yang pertama kali ditemui dan 

menolongnya waktu malapetaka menimpa dirinya


dan anak-anak SMU Nusantara III di Gunung Gede. (Baca 

episode/serial pertama Boma Gendenk Berjudul “

Suka Suka Cinta

”).

Pak Broto tarik tali pengikat kantong kuning isi kantong 

dikeluarkan dan diletakkan di telapak tangan kanan. Di atas 

telapak tangan itu kini ada sebuah

benda. Hampir sebesar telur burung dara, memancarkan cahaya 

biru.

"Batu ini! Ingat waktu aku datang ke penginapan? Aku minta kau

menyerahkan Batu Penyusup Batin! Kau menyerahkan batu ini! 

Ternyata ini Batu palsu Bukan

batu Penyusup Batin! Kau menyembunyikan yang asli!"

Boma kaget. Terdiam sesaat. Lalu pura-pura senyum untuk 

menutupi keterkejutannya. Hampir dia ketelepasan bicara, hendak

mengatakan bahwa kantong kain kuning

berisi batu biru itu ada yang memasukkan ke dalam saku celana 

blujinsnya. Diwaktu bersamaan ada suara bisikan dari orang yang

tidak kelihatan agar dia

menyerahkan batu tersebut pada si orang tua bernama Pak Broto.

"Ayo bicara! Apa dalihmu!"

"Saya, saya mana tahu kalau batu itu palsu.... "

"Kau pandai berpura-pura! Masih bau kencur sudah berani 

menipuku! Coba kau rasakan dulu ini!"

Habis berkata begitu Pak Broto gerakkan tangan kirinya.

"Plaakk!"

Satu, tamparan mendarat di pipi kanan Boma. Begitu kerasnya 

tamparan itu hingga membuat Boma terpekik dan terpelanting 

dari atas batu yang didudukinya

lalu terkapar di tanah. Kepala terasa seperti pecah. Pipi kanan 

berdenyut sakit bukan kepalang.

Dia merasa ada cairan hangat dan asin. Pasti ada luka di bibir 

atau bagian dalam mulutnya. Ketika anak ini hendak mencoba


bangkit, Pak Broto letakkan kaki

kanannya di atas dada Boma.

"Sekali aku menggerakkan kaki, tulang dadamu pasti jebol! 

Jantungmu pecah! Kau bakalan mampus! Kau hanya bisa selamat

kalau mau menyerahkan Batu Penyusup

Batin padaku!".

Terus-terusan dalam ketakutan, ketika dilanda kesakitan Boma 

jadi nekad. Dia ingat pada kekuatan tersembunyi yang ada di 

tangan kirinya. Dia bisa pergunakan

tangan itu untuk menghantam mematahkan kaki kanan Pak Broto.

Namun di saat yang sama suara hatinya berkata.

"Sabar Boma, sabar. Jangan hadapi kekerasan dengan kekerasan. 

Kau bisa celaka. Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa. Bukan 

manusia bukan juga setan.

Makhluk jahat ini bisa membunuhmu! Pergunakan akal. Pakai 

siasat!"

"Saya tidak tahu, saya tidak memiliki batu itu." Teriak Boma.

Wajahnya mengerenyit sakit. Kaki kanan Pak Broto yang ada di 

atas dadanya seperti himpitan batu besar yang beratnya puluhan 

kilo. Dia sulit bernafas. Tulang

dadanya serasa remuk, tulang-tulang iga seperti mau patah.

"Jangan berani menipu! Jangan mengira aku tidak tahu apa yang 

terjadi di atas kendaraan umum tadi. Tubuhmu lenyap! Kau bisa 

menghilang! Berarti batu sakti

itu ada padamu! Ayo lekas serahkan padaku! Atau amblas 

dadamu!"

"Aduh! Tunggu!" Jerit Boma.

"Ayo! Apa yang mau kau katakan?!"

"Angkat dulu kakinya Pak. Saya tidak bisa bernafas.. Nggak bis...

Bisa bicara."

Pak Broto tidak mengangkat kakinya dari atas dada Boma. Tapi 

kini anak lelaki itu merasa tekanan berat pada dadanya mendadak

lenyap.


"Sekarang kau bisa bicara! Ayo katakan dimana batu sakti itu!"

Boma megap-megap. Dia menekankan kedua sikunya ke tanah. 

Berusaha berdiri.

"Aku tahu batu itu dalam salah satu bagian tubuhmu! Mungkin 

dalam batok kepalamu! Kalau begitu biar aku hancurkan saja 

kepalamu!"

Pak Broto membungkuk. Tangan kanan dikepalkan lalu 

dihantamkan ke kepala

Boma.

"Ampun! Jangan!" Boma tutupi kepalanya dengan kedua tangan.

"Bukk!"

***

LIMA



TIPUAN BOMA TAK BERHASIL 


TANAH di samping kiri kepala Boma terbongkar. Satu lobang 

besar terlihat di tempat itu. Boma turunkan ke dua tangannya. 

Menoleh ke samping dan gemetar

lemas sekujur tubuhnya melihat lobang di samping kepala. Dapat 

dibayangkan apa yang terjadi kalau tadi orang tua itu benar-benar

memukul kepalanya. Keringat

dingin membasahi sekujur tubuh Boma.

Pak Broto alias si Muka Bangkai tertawa mengekeh.

"Bocah, kau rupanya takut mati juga! Ayo lekas bicara! Aku 

sudah tidak sabaran"

"Biar saya berdiri dulu. Saya akan bicara. Saya akan beri tahu."

Pak Broto cekal leher baju kaos Boma. Sekali disentakkan anak 

lelaki itu telah berdiri di hadapannya.

"Kau sudah berdiri! Ayo mana batu itu!"

"Kita kembali ke Wisma. Batu itu saya tinggalkan di sana. Di 

dalam tas"

Pak Broto menyeringai dan geleng-gelengkan kepala. Dalam hati


dia berkata.

"Saat ini aku bisa saja membunuh bocah menyebalkan ini. 

Secepat aku membalikkan telapak tangan. Tapi aku ingin 

membiarkan dia hidup. Persetan dengan tugas

Kunti Api keparat itu. Persetan bahwa anak ini bakal menjadi 

Pendekar tahun dua ribu! Yang akan menyusahkan orang-orang 

rimba persilatan golongan hitam!

Aku bisa balas dendam pada Kunti Api melalui anak ini!"

"Jangan menipu! Jangan membuat aku benar-benar hilang sabar!"

Sekali tangan kirinya bergerak. Jari-jari Pak Broto sudah 

mencengkram mencekik leher Boma hingga lidah anak ini 

terjulur dan mata mendelik, nafas megap-megap,

tenggorokan turun naik.

"Kau mau mati sekarang atau mau bicara?!"

Boma angguk-anggukkan kepala.

"Heh! Sampeyan mau mati betulan?!" bentak Si Muka Bangkai 

melihat anggukan Boma.

"Ti... Tidak..." Boma cepat geleng-gelengkan kepala.

"Bat... Batu sakti itu saya simpan di sini..." ucap Boma seraya 

menunjuk dengan tangan kiri ke arah bawah perutnya.

Kening Pak Broto mengerenyit. Sepasang matanya bergerak 

berputar lalu mengarah ke bagian bawah perut Boma.

"Bocah, aku merasa kau mau menipuku kembali."

"Tidak Pak, saya tidak bohong... " kata Boma.

Pak Broto melirik lagi ke bagian bawah perut anak lelaki itu. Lalu

anggukkan kepala.

"Itu memang tempat yang paling aman," kata Pak Broto sambil 

menyeringai.

"Kalau begitu buka celanamu. Ambil batu itu. Serahkan padaku. 

Tapi awas! Kalau kau dusta, biji kemaluanmu yang akan aku 

ambil sebagai gantinya!"

Pak Broto lepaskan cekikan di leher Boma.

Boma menelan ludah dan usap lehernya. Lalu tangannya bergerak


membuka ikat pinggang celana blujins. Ketika dia hendak 

membuka kancing besi celana itu dia

memandang pada Pak Broto.

"Ada apa? Ayo terus buka celanamu!"

"Malu Pak" jawab Boma sambil senyum-senyum.

"Batunya saya sembunyikan di samping anu... Dalam celana..."

"Malu, malu! Tai kucing! Memangnya aku perempuan?! Kita 

sama laki-laki. Apa yang kau malukan? Anumu jelek? Burik 

barangkali?!"

Boma menggigit bibir, menyengir menahan tawa.

"Tolong Pak. Berbalik dulu. Kalau batunya sudah saya pegang 

dan siap saya serahkan, akan saya beritahu. Baru nanti Pak Broto 

berbalik"

"Rasa-rasanya kau mau menipuku!" Pak Broto tidak percaya

"Kau saja yang berbalik."

"Itu pantangannya Pak. Saya nggak boleh berbalik" jawab Boma.

"Jangan macam-macam!"

"Nggak Pak, saya nggak nipu. Saya cuma malu aja" jawab Boma 

dengan wajah serius.

"Tipu, anak ini mau menipuku. Tapi biar saja. Aku mau lihat" 

membatin Si Muka Bangkai. Lalu dia berkata.

"Baik, tapi ingat! Awas!" Pak Broto mengancam. Lalu memutar 

tubuh membelakangi Boma.

Boma membuat gerakan seperti hendak segera membuka kancing

besi celana blujins. Lalu melorotkan resleting. Tapi begitu Pak 

Broto membalikkan badan secepat

kilat dia mengusap Batu Penyusup Batin yang ada di bahunya. 

Detik itu juga tubuhnya lenyap. Dalam keadaan tubuh tidak 

terlihat Boma lari sekencang yang

bisa dilakukannya ke arah jalan raya.

Pak Broto menunggu.

"Sudah?" tanyanya.

Tak ada jawaban hatinya sudah Syak wasangka. Dia menoleh ke


belakang.

"Kurang ajar!"

Makian keluar dari mulut guru Pangeran Matahari ini. Sepasang 

matanya berputar liar. Boma tak ada lagi di tempat itu.

"Bocah tolol! Tai kucing! Kau kira bisa lari jauh!"

Walau ujud atau sosok Boma tidak kelihatan akibat kesaktian 

Batu Penyusup Batin, lalu ditambah pula dengan gelapnya 

malam, namun Si Muka Bangkai punya

kemampuan sendiri untuk mendeteksi kemana dan dimana 

beradanya anak itu.

Dari suara beradunya telapak kaki dengan tanah, dari suara 

tarikan nafas ketika Boma berlari serta ranting-ranting yang 

bergerak tersenggol tubuh Boma,

Si Muka Bangkai tahu ke arah mana anak lelaki itu melarikan 

diri.

Dia berhasil mencekal pinggang celana Boma sebelah belakang 

sebelum anak ini mencapai jalan raya.

"Anak gendeng! Kau hanya punya satu pilihan! Perlihatkan 

dirimu kembali atau kubunuh kau saat ini juga!"

Boma memang tak punya pilihan lain dan tentu saja tetap ingin 

hidup. Dengan tubuh keluarkan keringat dingin dan tangan 

gemetar dia usap Batu Penyusup Batin

di bahu kanan. Detik itu juga ujud tubuhnya kembali terlihat 

nyata.

"Pak Broto..." kata Boma dengan nafas panjang pendek.

"Kalau kau bunuh diri saya, sampai bongkok kau tak bakal 

mendapatkan batu sakti itu."

"Persetan, aku memang sudah bongkok! Aku tidak perduli 

nyawamu. Kau terus-terusan mempermainkan diriku!"

"Ampun Pak. Saya nggak mau bohong lagi. Kapok! Tapi gimana 

kalau kita buat perjanjian."

Pak Broto meludah ke tanah. Ludahnya masih merah bercampur 

darah.


"Kita buat perjanjian Pak. Waktu di Wisma Pak Broto bilang 

orang yang diculik dibawa ke Candi Sewu. Antarkan saya ke 

candi itu. Tolong saya mencari lbu

Renata. Kalau guru saya itu bisa diselamatkan jangankan batu, 

nyawa juga saya serahkan pada Pak Broto!"

Si Muka Bangkai keluarkan suara bersiul lalu tertawa mengekeh.

"Lagakmu! Memangnya kau punya nyawa berapa? Ha... Ha... Ha!

Mungkin saja kau mau menipuku lagi. Tapi aku lihat satu hal 

baik dalam dirimu. Kau ingin menyelamatkan

seseorang. Aku tak perlu bertanya. Gurumu itu pasti cantik 

wajahnya. Ha... Ha... Ha...!"

Sambil terus rnengumbar tawa diam-diam si muka bangkai 

selusuri bagian depan tubuh Boma dengan pandangan matanya.

Orang tua ini kemudian melangkah ke belakang. Kini dia 

memperhatikan bagian belakang tubuh anak lelaki itu.

Walau yakin batu sakti yang dicarinya ada di tubuh Boma, namun

dia tidak punya kemampuan untuk tembus pandang, untuk 

mengetahui di bagian tubuh mana batu

tersebut berada.

Tiba-tiba Si Muka Bangkai bungkukkan tubuhnya. Di lain kejap 

Boma sudah berada di panggulan bahu kanan orang tua itu lalu 

secepat tiupan angin dia dibawa

lari ke arah utara.

***

SUPIR angkutan umum yang tadi ditumpangi Boma memutar 

kendaraannya di jalan raya, kembali ke arah Jogjakarta. Malam 

itu entah mengapa tubuhnya terasa capai.

Dia memutuskan kembali pulang saja. Apa lagi barusan ada 

penumpang yang begitu berbaik hati, membayar ongkos lima ribu

rupiah.

Mendekati Hotel Ambarukmo dia meraba kantong kiri baju lalu 

mengambil uang yang tadi dimasukkan orang tua bertopi pet.

Ketika tangan dikeluarkan dari kantong dan dia memperhatikan,


mata supir ini jadi melotot besar, kaki kanannya langsung 

menginjak rem. Tidak percaya dia.

Mobil berhenti mendadak.

Di sebelah belakang seorang pengemudi sedan tersentak kaget. 

Untung dia masih cekatan dan cepat menginjak rem hingga 

mobilnya berhenti dengan empat ban

mengeluarkan suara berdenyit. Dua garis hitam bekas gesekan 

ban terlihat nyata di aspal. Pengemudi sedan turunkan kaca 

jendela lalu berteriak memaki habis-habisan.

Supir angkutan umum itu seperti tidak mendengar suara denyitan 

rem mobil di belakangnya. Juga dia seolah tidak mendengar suara

orang yang memaki.

Dibelakang kemudi wajahnya tampak memucat. Mata mendelik 

tak berkedip memperhatikan benda di tangan kiri. Yang 

dipegangnya bukan lembaran uang kertas,

tapi sehelai daun! Tengkuknya langsung dingin.

"Setan.... Orang tua itu pasti setan" Sang supir berucap gemetar.

Dia ingat tampang orang tua itu. Pucat seperti tidak berdarah. 

Terngiang kembali tawa mengekehnya. Juga seolah tercium 

kembali di dalam mobil itu bau minyak

wanginya yang aneh menusuk.

Supir ini baru tersentak sadar ketika di belakangnya pengemudi 

sedan membunyikan klakson panjang-panjang dan menyalakan 

lampu dim berulang kali.

Cepat-cepat supir angkutan umum ini menekan pedal gas. Mini 

bus itu meluncur kencang seperti dikejar setan.

***

ENAM


MENGANTAR NYAWA KE CANDI SEWU


MALAM membentang gelap. Rembulan di langit tak mampu 

menerangi bumi karena tertutup awan tebal. Sesekali angin


bertiup kencang. Udara terasa dingin. Mungkin

tak selang berapa lama akan turun hujan.

Dipanggul dan dibawa lari luar biasa cepatnya membuat Boma 

merasa ngeri. Pohon-pohon yang dilewati seolah hendak 

menghantam dirinya. Kalau sudah begitu

anak ini pejamkan mata dan tekap kepala.

Selain itu, sengitnya aroma minyak wangi yang menempel di 

tubuh dan pakaian Pak Broto membuat rongga hidung Boma 

laksana tersekat, susah bernafas dan ada

rasa mau muntah.

"Pak Broto. Bapak mau bawa saya kemana?" Boma bertanya.

"Anak geblek! Tolol amat pertanyaanmu! Kau yang membuat 

perjanjian! Kau yang minta diantar ke Candi Sewu!"

Boma diam saja. Hatinya merasa was-was. Lari Pak Broto 

semakin cepat. Sambaran angin membuat telinga Boma mengiang

dingin. Anak ini kembali pejamkan mata.

Ketika dia merasa si orang tua memperlambat lari, perlahan-lahan

Boma buka kedua matanya. Pandangannya langsung tertumbuk 

pada satu tembok batu.

Di belakang tembok ini terdapat puluhan candi kecil yang 

sebagian besar dalam keadaan rusak. Di belakang deretan candi 

kecil ada satu candi besar. Seluruh

bangunan candi menghitam angker dalam kegelapan.

"Kita sudah sampai," ucap Pak Broto lalu hentikan lari dan 

turunkan Boma dari panggulan bahu kanan.

Untuk beberapa lama Boma berdiri agak sempoyongan. 

Kepalanya terasa pusing. Dia bingung melihat tembok yang 

runtuh, puluhan candi rusak serta beberapa

candi besar dan tinggi di bagian tengah yang juga tidak dalam 

keadaan utuh.

"Yang mana Candi Sewu?" tanya Boma bingung.

Siapa yang tidak bingung. Candi Sewu terdiri dari sebuah candi 

induk dikelilingi puluhan Candi kecil, ada yang masih utuh,


banyak yang sudah rusak. Candi-candi

kecil itu disebut candi perwara.

Hamparan candi dikelilingi tembok batu. Ada tiga jalan masuk ke

dalam kawasan candi tersebut. Sebelah barat, utara dan timur. 

Pada setiap pintu masuk terdapat

dua patung raksasa bersenjata gada.

"Ikuti aku!" Pak Broto berkata sambil tangannya memberi isyarat.

Dengan gerakan cepat orang tua ini memasuki kawasan candi 

melalui pintu sebelah timur. Beberapa belas langkah menjelang 

candi induk Pak Broto berhenti.

Kepala mendongak ke langit gelap. Sepasang telinga dipentang 

sedang mata dipejamkan.

"Anak geblek. Kau mendengar sesuatu?" Tiba-tiba Pak Broto 

bertanya. Suaranya perlahan, hampir berbisik.

Boma jadi kecut. Sambil mengusap hidung dia memandang 

berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali puluhan bangunan 

candi dan stupa. Semua menghitam

dalam gelapnya malam.

"Saya nggak mendengar apa-apa. Saya tidak melihat apa-apa." 

jawab Boma.

Pak Broto menyeringai.

"Aku mendengar suara tarikan nafas...."

"Mungkin itu suara tarikan nafas Ibu Renata," bisik Boma.

Pak Broto menggeleng. Kepalanya yang mendongak diturunkan. 

Mata yang tadi terpejam kini dibuka dan memandang tajam ke 

arah candi induk.

"Bukan tarikan nafas perempuan...." ucap Pak Broto.

"Ada dua orang mendekam di tempat ini. Keduanya laki-laki. 

Sulit aku menduga di sebelah mana mereka berada."

Sesaat Pak Broto alias Si Muka Bangkai merenung. Hatinya 

membatin.

"Aku kini baru bisa menduga, semua ini cuma siasat tipu daya..."

"Siasat? Tipu daya?" Boma tidak mengerti.



Dan Pak Broto tidak menjawab. Orang tua ini kembali membuka 

mulut, seolah bicara pada diri sendiri.

"Jangan-jangan memang mereka. Mendekam, menunggu di 

tempat ini. Tololnya diriku! Mengapa aku tidak bisa menduga 

jauh-jauh sebelumnya. Kasip... Kasip! Aku

harus berlaku waspada. Siapa yang mereka incar? Aku atau anak 

itu? Hemmmm..."

Si orang tua berpaling, menatap wajah anak Ielaki di hadapannya.

"Boma, mereka mau menghabisimu. Mereka tidak ingin kau jadi 

calon Pendekar Tahun Dua Ribu."

"Saya nggak ngerti Pak. Siapa mau membunuh saya? Saya calon 

Pendekar Tahun Dua Ribu...?"

Ucapan Pak Broto membuat Boma jadi merinding. Tambah kecut

anak ini. Dan Pak Broto tidak mau menjawab pertanyaannya tadi.

"Dengar," Pak Broto letakkan tangan kanannya di bahu Boma.

Dinginnya tangan orang tua aneh ini membuat Boma hampir 

tersentak.

"Sesuai perjanjian aku hanya mengantarmu ke Candi Sewu ini. 

Selanjutnya jika kau ingin mencari dan menyelamatkan gurumu, 

silahkan lakukan sendiri!"

Boma menowel hidung berulang kali. Di Iapangan luas dengan 

candi yang puluhan banyaknya ini, di malam gelap kemana dia 

akan mencari Ibu Renata. Rasa takut,

bingung serta cemas bercampur jadi satu.

Boma memandang pada Pak Broto. Si orang tua yang maklum 

arti pandangan anak itu menyeringai lalu berkata.

"Kamu takut?" tanya Pak Broto lalu menyeringai.

"Takut sih memang ada," jawab Boma polos.

"Tapi gimanapun Ibu Renata harus saya temukan? Musti saya 

selamatkan?".

"Bocah nekad..."

Boma tersenyum dan menowel hidung.

"Lho, sampeyan kok masih bisa-bisanya senyum."


"Saya ingat ucapan teman-teman. Seperti yang Pak Broto barusan

bilang. Katanya saya ini Bonek alias Bocah Nekad."

Pak Broto hampir semburkan tawa mengekeh tapi sadar dan cepat

tutup mulutnya. Lalu berkata.

"Boma, perjanjian kita, aku hanya mengantar. Tidak lebih dari 

itu. Seharusnya saat ini aku sudah boleh menagih batu sakti itu. 

Tapi aku beri kesempatan

sampai kau berhasil menemui Ibu Gurumu dan menolongnya."

Boma menowel hidung dua kali. Mendadak dia dapat akal. 

Mulutnya dibuka lebar-lebar, siap berteriak memanggil Ibu 

Renata.

Tapi Pak Broto bertindak cepat, menekap mulut Boma hingga 

suara teriakan tak sampai membersit keluar.

"Jangan berlaku tolol! Jangan berteriak! Pergi sendiri! Cari 

sendiri! Kelilingi kawasan ini. Masuki semua candi, periksa satu 

persatu. Kalau kau temukan

gurumu lekas kembali ke sini!"

"Pak, kalau itu yang saya lakukan, sampai pagi tidak bakalan 

selesai. Ada puluhan candi di tempat ini. Mungkin ratusan...."

"Apa artinya jumlah dan waktu dibanding dengan keselamatan 

gurumu!"

Boma terdiam. Memandang berkeliling.

"Kalau nekad jangan tanggung-tanggung!" Kata Pak Broto.

"Biar aku beri saran. Masuki bangunan candi induk. Di situ ada 

empat ruangan batu. Mungkin Ibu Gurumu ada dalam salah satu 

ruangan itu. Tapi jujur saja

aku kurang yakin. Aku tidak merasakan tarikan nafas perempuan 

di tempat ini."

"Kalau begitu percuma saya masuk ke dalam candi induk," kata 

Boma pula sambil memandang ke arah candi paling besar di 

sebelah tengah hamparan puluhan candi.

Bangunan candi paling besar ini tampak angker dikelilingi 

beberapa candi yang telah rusak.


"Terserah sampeyan!" kata Pak Broto pula.

"Jika kau tak mau menyelidik, berarti tugasku selesai sampai di 

sini. Serahkan Batu Penyusup Batin padaku! Cepat!"

Boma tarik nafas dalam dan pandangi tampang pucat si orang tua 

sesaat, lalu menatap ke arah candi induk. Menowel hidung dua 

kali. Akhirnya anak ini bergerak

melangkah. Tengkuk merinding dingin. Kaki terasa berat dan 

dada berdebar keras.

Tiba-tiba dia mendengar suara hembusan angin di belakangnya. 

Seperti ada satu makhluk besar berkelebat ke udara.

Boma berpaling. Pak Broto tak ada lagi di tempatnya!

"Tak mungkin dia kabur. Dia inginkan batu sakti itu," kata Boma 

dalam hati.

Boma mencari-cari. Akhirnya dilihatnya orang tua itu berdiri 

bersidekap dada di atas reruntuhan salah satu candi perwara. 

Hanya saja keadaannya tidak lagi

seperti tadi.

Topi pet hitam yang tadi ada di kepalanya kini tidak kelihatan 

lagi. Rambut putih yang sebelumnya dikuncir ke atas kini 

dibiarkan lepas riap-riapan sampai

ke bahu. Boma jadi bergidik. Sikap si orang tua jelas tegang tapi 

penuh waspada. Dia tengah menghadapi bahaya besar!

Dalam keadaan seperti itu Boma berusaha menabahkan diri 

menguatkan hati. Peristiwa penculikan Ibu Renata bisa saja lebih 

dahsyat dari kejadian penyekapan

atas diri Dwita dalam stupa Candi Borobudur.

Satu demi satu Boma menaiki tangga candi induk sebelah timur 

hingga akhirnya dia sampai di pintu kamar atau ruangan batu 

candi sebelah timur.

Dia mencium bau tidak enak. Udara di tempat itu terasa pengap. 

Boma tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu. Sekalipun

ada orang atau benda lain

di tempat itu dia tak akan mampu melihat saking gelapnya.


"Ibu.... Ibu Renata." Boma memanggil nama gurunya.

Anak ini kaget sendiri oleh gaung suaranya yang masuk ke dalam

ruangan lalu dipantulkan kembali oleh empat dinding batu. 

Kakinya tersurut dua langkah.

Belum habis kejut Boma tiba-tiba menggelegar suara tawa 

bergelak. Ada dua orang yang tertawa. Begitu tawa berhenti salah

seorang dari yang tertawa tadi

membentak.

"Boma Tri Sumitro! kau datang mengantar nyawa! Malam ini 

tamat riwayatmu. Kau tak akan pernah menjadi Pendekar Tahun 

Dua Ribu! Kami orang-orang golongan

hitam tetap akan menguasai rimba persilatan! Ha...ha...ha!"

Gelegar suara tawa lenyap. Lalu kembali terdengar bentakan 

keras. Kali ini memerintah garang.

"Pangeran! Bunuh anak itu!"

***

ENAM


MENGANTAR NYAWA KE CANDI SEWU


MALAM membentang gelap. Rembulan di langit tak mampu 

menerangi bumi karena tertutup awan tebal. Sesekali angin 

bertiup kencang. Udara terasa dingin. Mungkin

tak selang berapa lama akan turun hujan.

Dipanggul dan dibawa lari luar biasa cepatnya membuat Boma 

merasa ngeri. Pohon-pohon yang dilewati seolah hendak 

menghantam dirinya. Kalau sudah begitu

anak ini pejamkan mata dan tekap kepala.

Selain itu, sengitnya aroma minyak wangi yang menempel di 

tubuh dan pakaian Pak Broto membuat rongga hidung Boma 

laksana tersekat, susah bernafas dan ada

rasa mau muntah.

"Pak Broto. Bapak mau bawa saya kemana?" Boma bertanya.


"Anak geblek! Tolol amat pertanyaanmu! Kau yang membuat 

perjanjian! Kau yang minta diantar ke Candi Sewu!"

Boma diam saja. Hatinya merasa was-was. Lari Pak Broto 

semakin cepat. Sambaran angin membuat telinga Boma mengiang

dingin. Anak ini kembali pejamkan mata.

Ketika dia merasa si orang tua memperlambat lari, perlahan-lahan

Boma buka kedua matanya. Pandangannya langsung tertumbuk 

pada satu tembok batu.

Di belakang tembok ini terdapat puluhan candi kecil yang 

sebagian besar dalam keadaan rusak. Di belakang deretan candi 

kecil ada satu candi besar. Seluruh

bangunan candi menghitam angker dalam kegelapan.

"Kita sudah sampai," ucap Pak Broto lalu hentikan lari dan 

turunkan Boma dari panggulan bahu kanan.

Untuk beberapa lama Boma berdiri agak sempoyongan. 

Kepalanya terasa pusing. Dia bingung melihat tembok yang 

runtuh, puluhan candi rusak serta beberapa

candi besar dan tinggi di bagian tengah yang juga tidak dalam 

keadaan utuh.

"Yang mana Candi Sewu?" tanya Boma bingung.

Siapa yang tidak bingung. Candi Sewu terdiri dari sebuah candi 

induk dikelilingi puluhan Candi kecil, ada yang masih utuh, 

banyak yang sudah rusak. Candi-candi

kecil itu disebut candi perwara.

Hamparan candi dikelilingi tembok batu. Ada tiga jalan masuk ke

dalam kawasan candi tersebut. Sebelah barat, utara dan timur. 

Pada setiap pintu masuk terdapat

dua patung raksasa bersenjata gada.

"Ikuti aku!" Pak Broto berkata sambil tangannya memberi isyarat.

Dengan gerakan cepat orang tua ini memasuki kawasan candi 

melalui pintu sebelah timur. Beberapa belas langkah menjelang 

candi induk Pak Broto berhenti.

Kepala mendongak ke langit gelap. Sepasang telinga dipentang


sedang mata dipejamkan.

"Anak geblek. Kau mendengar sesuatu?" Tiba-tiba Pak Broto 

bertanya. Suaranya perlahan, hampir berbisik.

Boma jadi kecut. Sambil mengusap hidung dia memandang 

berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali puluhan bangunan 

candi dan stupa. Semua menghitam

dalam gelapnya malam.

"Saya nggak mendengar apa-apa. Saya tidak melihat apa-apa." 

jawab Boma.

Pak Broto menyeringai.

"Aku mendengar suara tarikan nafas...."

"Mungkin itu suara tarikan nafas Ibu Renata," bisik Boma.

Pak Broto menggeleng. Kepalanya yang mendongak diturunkan. 

Mata yang tadi terpejam kini dibuka dan memandang tajam ke 

arah candi induk.

"Bukan tarikan nafas perempuan...." ucap Pak Broto.

"Ada dua orang mendekam di tempat ini. Keduanya laki-laki. 

Sulit aku menduga di sebelah mana mereka berada."

Sesaat Pak Broto alias Si Muka Bangkai merenung. Hatinya 

membatin.

"Aku kini baru bisa menduga, semua ini cuma siasat tipu daya..."

"Siasat? Tipu daya?" Boma tidak mengerti.

Dan Pak Broto tidak menjawab. Orang tua ini kembali membuka 

mulut, seolah bicara pada diri sendiri.

"Jangan-jangan memang mereka. Mendekam, menunggu di 

tempat ini. Tololnya diriku! Mengapa aku tidak bisa menduga 

jauh-jauh sebelumnya. Kasip... Kasip! Aku

harus berlaku waspada. Siapa yang mereka incar? Aku atau anak 

itu? Hemmmm..."

Si orang tua berpaling, menatap wajah anak Ielaki di hadapannya.

"Boma, mereka mau menghabisimu. Mereka tidak ingin kau jadi 

calon Pendekar Tahun Dua Ribu."

"Saya nggak ngerti Pak. Siapa mau membunuh saya? Saya calon


Pendekar Tahun Dua Ribu...?"

Ucapan Pak Broto membuat Boma jadi merinding. Tambah kecut

anak ini. Dan Pak Broto tidak mau menjawab pertanyaannya tadi.

"Dengar," Pak Broto letakkan tangan kanannya di bahu Boma.

Dinginnya tangan orang tua aneh ini membuat Boma hampir 

tersentak.

"Sesuai perjanjian aku hanya mengantarmu ke Candi Sewu ini. 

Selanjutnya jika kau ingin mencari dan menyelamatkan gurumu, 

silahkan lakukan sendiri!"

Boma menowel hidung berulang kali. Di Iapangan luas dengan 

candi yang puluhan banyaknya ini, di malam gelap kemana dia 

akan mencari Ibu Renata. Rasa takut,

bingung serta cemas bercampur jadi satu.

Boma memandang pada Pak Broto. Si orang tua yang maklum 

arti pandangan anak itu menyeringai lalu berkata.

"Kamu takut?" tanya Pak Broto lalu menyeringai.

"Takut sih memang ada," jawab Boma polos.

"Tapi gimanapun Ibu Renata harus saya temukan? Musti saya 

selamatkan?".

"Bocah nekad..."

Boma tersenyum dan menowel hidung.

"Lho, sampeyan kok masih bisa-bisanya senyum."

"Saya ingat ucapan teman-teman. Seperti yang Pak Broto barusan

bilang. Katanya saya ini Bonek alias Bocah Nekad."

Pak Broto hampir semburkan tawa mengekeh tapi sadar dan cepat

tutup mulutnya. Lalu berkata.

"Boma, perjanjian kita, aku hanya mengantar. Tidak lebih dari 

itu. Seharusnya saat ini aku sudah boleh menagih batu sakti itu. 

Tapi aku beri kesempatan

sampai kau berhasil menemui Ibu Gurumu dan menolongnya."

Boma menowel hidung dua kali. Mendadak dia dapat akal. 

Mulutnya dibuka lebar-lebar, siap berteriak memanggil Ibu 

Renata.


Tapi Pak Broto bertindak cepat, menekap mulut Boma hingga 

suara teriakan tak sampai membersit keluar.

"Jangan berlaku tolol! Jangan berteriak! Pergi sendiri! Cari 

sendiri! Kelilingi kawasan ini. Masuki semua candi, periksa satu 

persatu. Kalau kau temukan

gurumu lekas kembali ke sini!"

"Pak, kalau itu yang saya lakukan, sampai pagi tidak bakalan 

selesai. Ada puluhan candi di tempat ini. Mungkin ratusan...."

"Apa artinya jumlah dan waktu dibanding dengan keselamatan 

gurumu!"

Boma terdiam. Memandang berkeliling.

"Kalau nekad jangan tanggung-tanggung!" Kata Pak Broto.

"Biar aku beri saran. Masuki bangunan candi induk. Di situ ada 

empat ruangan batu. Mungkin Ibu Gurumu ada dalam salah satu 

ruangan itu. Tapi jujur saja

aku kurang yakin. Aku tidak merasakan tarikan nafas perempuan 

di tempat ini."

"Kalau begitu percuma saya masuk ke dalam candi induk," kata 

Boma pula sambil memandang ke arah candi paling besar di 

sebelah tengah hamparan puluhan candi.

Bangunan candi paling besar ini tampak angker dikelilingi 

beberapa candi yang telah rusak.

"Terserah sampeyan!" kata Pak Broto pula.

"Jika kau tak mau menyelidik, berarti tugasku selesai sampai di 

sini. Serahkan Batu Penyusup Batin padaku! Cepat!"

Boma tarik nafas dalam dan pandangi tampang pucat si orang tua 

sesaat, lalu menatap ke arah candi induk. Menowel hidung dua 

kali. Akhirnya anak ini bergerak

melangkah. Tengkuk merinding dingin. Kaki terasa berat dan 

dada berdebar keras.

Tiba-tiba dia mendengar suara hembusan angin di belakangnya. 

Seperti ada satu makhluk besar berkelebat ke udara.

Boma berpaling. Pak Broto tak ada lagi di tempatnya!


"Tak mungkin dia kabur. Dia inginkan batu sakti itu," kata Boma 

dalam hati.

Boma mencari-cari. Akhirnya dilihatnya orang tua itu berdiri 

bersidekap dada di atas reruntuhan salah satu candi perwara. 

Hanya saja keadaannya tidak lagi

seperti tadi.

Topi pet hitam yang tadi ada di kepalanya kini tidak kelihatan 

lagi. Rambut putih yang sebelumnya dikuncir ke atas kini 

dibiarkan lepas riap-riapan sampai

ke bahu. Boma jadi bergidik. Sikap si orang tua jelas tegang tapi 

penuh waspada. Dia tengah menghadapi bahaya besar!

Dalam keadaan seperti itu Boma berusaha menabahkan diri 

menguatkan hati. Peristiwa penculikan Ibu Renata bisa saja lebih 

dahsyat dari kejadian penyekapan

atas diri Dwita dalam stupa Candi Borobudur.

Satu demi satu Boma menaiki tangga candi induk sebelah timur 

hingga akhirnya dia sampai di pintu kamar atau ruangan batu 

candi sebelah timur.

Dia mencium bau tidak enak. Udara di tempat itu terasa pengap. 

Boma tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu. Sekalipun

ada orang atau benda lain

di tempat itu dia tak akan mampu melihat saking gelapnya.

"Ibu.... Ibu Renata." Boma memanggil nama gurunya.

Anak ini kaget sendiri oleh gaung suaranya yang masuk ke dalam

ruangan lalu dipantulkan kembali oleh empat dinding batu. 

Kakinya tersurut dua langkah.

Belum habis kejut Boma tiba-tiba menggelegar suara tawa 

bergelak. Ada dua orang yang tertawa. Begitu tawa berhenti salah

seorang dari yang tertawa tadi

membentak.

"Boma Tri Sumitro! kau datang mengantar nyawa! Malam ini 

tamat riwayatmu. Kau tak akan pernah menjadi Pendekar Tahun 

Dua Ribu! Kami orang-orang golongan


hitam tetap akan menguasai rimba persilatan! Ha...ha...ha!"

Gelegar suara tawa lenyap. Lalu kembali terdengar bentakan 

keras. Kali ini memerintah garang.

"Pangeran! Bunuh anak itu!"

***

TUJUH


IBU RENATA TIDAK ADA DI CANDI SEWU


BOMA terkesiap kaget. Benar ucapan Pak Broto. Ada orang 

hendak membunuhnya. Mata memandang liar berputar. Hidung 

diusap. Lalu anak ini mendengar suara

kesiuran angin beberapa kali. Dua diantaranya mengarah ke 

tempat dia berada. Boma cepat merunduk sambil palangkan dua 

tangan di depan kepala, berjaga-jaga.

Saat itu ada tiga sosok mendekam dalam kegelapan di kawasan 

percandian. Tiba-tiba, muncul satu sosok lagi. Hampir serentak 

tiga sosok terdahulu bergerak

cepat laksana setan berkelebat.

Sosok pertama yang melesat di dalam gelap adalah sosok orang 

bermantel hitam. Orang ini berkelebat dari reruntuhan salah satu 

atap candi perwara, tepat

di samping kiri candi induk, melesat ke arah Boma Tri Sumitro 

yang berada di depan pintu timur Candi Sewu. Sementara 

tubuhnya melayang di udara orang ini

hantamkan tangah kanan kearah Boma. Boma keluarkan seruan 

tertahan. Terkejut ketika melihat dari tangan orang bermantel 

menyambar keluar tiga larik cahaya

mengerikan.

Boma ingat orang bermantel itu adalah orang yang sama dengan 

orang yang hendak membunuh Dwita sewaktu masih terkurung di

dalam stupa Candi Borobudur. Pukulan

sakti yang dilancarkannya juga sama. Boma tidak pernah


melupakan tampang manusia satu ini. Orang ini juga yang dulu 

pernah muncul di SMU Nusantara III

hendak membunuhnya! Kini dia muncul kembali dengan maksud 

sama. Membunuh dirinya! Pangeran Matahari! (baca Episode 

sebelumnya berjudul “

Topan Di Borobudur

”)

Tiga cahaya maut menyambar ke arah Boma Tri Sumitro. 

Kuning, merah dan hitam! Sebelum tiga larik sinar sampai, 

hamparan hawa luar biasa panas menyambar

lebih dulu. Boma menjerit keras. Tangan kiri dihantamkan ke 

depan. Di tangan itu tersimpan satu kekuatan hebat isian nenek 

sakti Sinto Gendeng dari Gunung

Gede. Namun menghadapi pukulan sakti Pangeran Matahari, 

Boma tidak berdaya. Tubuhnya terasa seperti leleh. Anak ini 

menjerit sekali lagi! Lalu roboh ke

lantai candi. Bersamaan dengan itu tiga cahaya maut datang 

menyapu!

Di saat tiga cahaya maut dengan kekuatan hawa panas ratusan 

derajat siap memanggang tubuh Boma Tri Sumitro, dari balik 

salah satu candi perwara tiba-tiba

berkelebat satu bayangan tinggi hitam. Mulut berteriak nyaring.

"Oo ladalah! Kalau tadi aku tidak beser, tidak kencing dulu 

dibalik candi sana pasti tidak akan terlambat! Seharusnya aku 

kencing sambil lari! Kencing

sialan! Terlambat! Terlambat! Anak Gendeng itu tak mungkin 

kutolong! Gusti Allah! Cuma kau yang bisa menyelamatkannya!"

Hampir bersamaan dengan menyambarnya tiga larik cahaya 

kuning, sekonyong-konyong dari arah belakang Boma, dari 

reruntuhan atap sebuah candi perwara melesat

turun satu sosok berambut putih. Inilah sosok Pak Broto alias Si 

Muka Bangkai, murid Kunti api, guru Pangeran Matahari.

Begitu melihat Pangeran Matahari menggerakkan tangan, Si


Muka Bangkai segera maklum kalau muridnya itu hendak 

membunuh Boma dengan pukulan Gerhana Matahari.

Di rimba persilatan tanah Jawa, di alam asalnya sulit dicari tokoh 

persilatan yang sanggup menghadapi atau selamatkan diri dari 

pukulan maut itu. Apalagi

hanya seorang anak lelaki seperti Boma!

"Pangeran Matahari dan Kunti Api benar-benar ingin 

menyingkirkan bocah itu! Aku masih punya kepentingan!" Si 

Muka Bangkai kertakkan rahang. Tangan kanan

diputar seperti orang mengayun bola. Ketika tangan itu 

didorongkan ke depan, terdengar suara mendesis. Bersamaan 

dengan itu satu gelombang angin luar biasa

derasnya dan juga mengandung hawa panas menyambar ke arah 

candi induk. Itulah Pukulan Telapak Matahari. Biasanya pukulan 

tersebut dilancarkan sekaligus

dengan tangan kiri kanan. Namun disaat yang sangat kepepet itu 

Si Muka Bangkai hanya mampu pergunakan satu tangan. Walau 

demikian dia yakin, dengan tingkat

kesaktian dan tenaga dalam yang dimilikinya dia sanggup 

menangkis serangan Pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan 

muridnya. Rupanya Si Muka Bangkai tidak

mengetahui kalau tingkat kepandaian Pangeran Matahari saat itu 

sudah jauh maju. Kakek bermuka mayat ini baru tersentak kaget 

ketika dia merasakan ada getaran

di tangan kanan. Lalu tubuhnya yang masih melayang di udara 

seolah tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan. Dada 

terasa panas. Darah kental menyembur

dari mulutnya.

"Celaka! Apa yang terjadi! Aku tidak mampu menyelamatkan 

anak itu!" teriak Si Muka Bangkai.

Matanya melotot. Dia kembali berteriak. "Aku memilih mati!" 

Kakek ini lipat gandakan tenaga dalam, lalu kali ini dorongkan 

dua tangan sekaligus!


"Wusss! Wusss!"

Di depan sana Pangeran Matahari keluarkan jeritan keras. Sesaat 

tubuhnya kelihatan terhuyung. Dia kerahkan tenaga coba 

bertahan tapi tubuhnya malah terpental.

"Jahanam Muka Bangkai! Belum mati kau rupanya! Apa yang 

kau Iakukan?!" Ada yang berteriak. Lalu orang ini cepat 

merangkul tubuh Pangeran Matahari yang

terpental.

"Nenek Guru...." Pangeran Matahari keluarkan ucapan.

"Aku masih bisa melaksanakan perintahmu. Aku akan bunuh 

anak itu!"

"Diam! Apa kau tidak melihat perubahan di tempat ini?! Ada dua 

orang barusan muncul!" bentak Kunti api, orang yang barusan 

merangkul Pangeran Matahari.

"Siapa, Eyang?" Pangeran Matahari bertanya.

Kunti Api tidak menjawab. Setengah dilemparkan Pangeran 

Matahari diturunkan di tangga candi perwara di samping candi 

induk. Ketika nenek berambut kusut

riap-riapan ini memandang ke depan, kagetlah dia. Sosok Boma 

Tri Sumitro tak ada lagi di lantai candi induk! Melirik ke 

samping, sudut mata kanan Kunti

Api melihat satu bayangan berkelebat.

"Kurang ajar! Dia melarikan anak itu!" Kunti Api bercarut marah.

"Muka Bangkai Murid celaka! Malam ini biar aku benar-benar 

membunuhmu!" Dua tangan diangkat

ke atas. Sepuluh jari dipentang. Pada tangan kanan hanya dua jari

yang mencuat yakni ibu jari dan jari manis. Tiga jari lain yaitu 

jari tengah, telunjuk

dan jari kelingking tak ada lagi. Ketiga jari itu putus dibabat 

serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang dilancarkan Sinto 

Gendeng ketika terjadi perkelahian

hebat di Candi Borobudur. (baca Episode sebelumnya berjudul “

Bonek Candi Sewu


”)

Warna hitam pada tujuh kuku jari cepat sekali berubah menjadi 

tujuh pancaran sinar merah. Kunti Api siap melancarkan serangan

ilmu Kuku Api. Namun sebelum

sempat dilakukan nenek ini tersentak kaget, nafas tertahan, kaki 

surut satu langkah. Dia berpaling ke kiri. Dari arah itu mendadak 

menghambur lengkingan

suara tawa cekikikan.

"Bangsat itu! Memang dia! Pasti! Aku sudah melihat 

bayangannya tadi! Aku mencium bau pesing!" membatin Kunti 

Api dalam keterkejutannya.

"Kunti Api, pelacur muka dempul! Jari, tinggal tujuh, masih 

belum mau bertobat! Mantel apek hangus selengan, masih belum 

mampu mengganti! Heran, mengapa

masih jahil hendak mencelakai orang lain?! Apa pelajaran yang 

aku berikan di Borobudur masih kurang?! Atau kau mau aku 

telanjangi lagi sampai bugil seperti

tempo hari?! Hik... Hik... Hik!"

Sepasang mata Kunti Api seperti mau melompat dari rongganya. 

Nenek bermantel biru ini gembungkan rahang, menuding dengan 

telunjuk kiri ke arah nenek kurus

hitam, cengengesan sambil memutar-mutar susur di dalam 

mulutnya yang perot. Tegak bungkuk menopang tubuh dengan 

sebatang tongkat kayu butut di tangan kiri

sambil pantatnya disonggengkan.

"Nenek sundal tidak pernah laku laki-laki!" Kunti Api 

semprotkan makian pada orang di depannya yang bukan lain 

adalah si nenek sakti Sinto Gendeng dari

Gunung Gede. "Kau selalu muncul menggerecoki urusan orang!"

Sinto Gendeng ketuk-ketukkan tongkat kayunya ke tanah lalu 

tertawa mengekeh.

"Untung cuma urusanmu yang aku gerecoki. Kalau sampai 

perutmu yang kugerecoki, semua isi perutmu pasti sudah


berhamburan! Hik... Hik... Hik!"

Kunti Api memaki panjang pendek. Namun saat itu dia memang 

tidak punya keberanian menghadapi Sinto Gendeng. Serangan 

Sepasang Sinar Inti Roh yang telah

mencelakainya membuat nyalinya putus menghadapi lawan satu 

ini.

"Bau pesing tubuh dan pakaianmu membuat aku mau muntah! 

Maaf saja kalau aku tidak bisa lama-lama berada di tempat ini! 

Aku sarankan agar kau mandi di tujuh

sumur, pakai kembang dan wewangian, lalu mandi lulur! Terus 

bersolek. Siapa tahu ada kakek-kakek dogol mau melamarmul 

Hik... Hik... hik!"

Marahnya Sinto Gendeng mendengar ejekan itu bukan alang 

kepalang.

"Kurobek mulutmu!" teriak guru Pendekar 212 Wiro Sableng ini.

Tongkat kayu di tangan Sinto Gendeng melesat ke arah mulut 

Kunti Api. Yang diserang cepat melompat mundur lalu kebutkan 

lengan jubah sebelah kiri.

"Wuutt! Desss!"

Sebuah benda berbentuk bola hitam sebesar buah jamblang 

melesat keluar dari balik lengan jubah. Begitu menyentuh udara 

benda ini meletus dan asap hitam

tebal serta merta memekati tempat itu.

"Pengecut tengik! Apa kau kira bisa kabur seenaknya?!" Sinto 

Gendeng melompat ke arah kepulan asap. Tubuhnya sesaat 

lenyap. Ketika keluar dari kepekatan

asap hitam nenek ini memaki habis-habisan. Kunti Api maupun 

Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu!

"Kurang ajar! Kemanapun kalian lari akan kukejar! Jangan kira 

aku tidak tahu kalian menuju kemana!" Sinto Gendeng berteriak 

marah. Lalu diam sebentar,

memutar otak. Susur dalam mulut dikeluarkan. Ludah merah 

disemburkan. Susur dimasukkan kembali ke dalam mulut.


Tampangnya yang nyaris menyerupai tengkorak

karena tinggal kulit pembalut tulang tampak luar biasa angker.

Sesaat sebelum melakukan pengejaran Sinto Gendeng 

memperhatikan seputaran kawasan candi. Ketika yang dicarinya 

tidak ditemui si nenek berkata sendiri.

"Orang satu itu. Kemana perginya...?" Sinto Gendeng geleng-

geleng kepala. "Juga aneh. Mengapa Si Muka Bangkai mau-

mauan menyelamatkan anak gendeng itu?

Pasti ada maunya! Eh, dia bawa kemana bocah itu?" Si nenek 

pencong-pencongkan mulutnya.

"Jangan-jangan anak itu mau dihombre. 

Hik... Hik... Hik." Sinto Gendeng tertawa sendiri. Tahu pula dia 

bahasa prokem rupanya (dihombre = disodomi) Sambil 

melintangkan tongkat kayu di depan

dada nenek sakti dari Gunung Gede ini berkata.

"Muka Bangkai, kalau sampai anak itu kau bikin celaka akan 

kutabas batang lehermu! Kukuliti batok kepalamu!".

***

DELAPAN


PETAKA DI CANDI KALASAN


WALAU tidak parah, tapi bentrokan pukulan sakti dengan Si 

Muka Bangkai membuat Pangeran Matahari merasa ada yang 

tidak beres dengan tubuhnya sebelah dalam.

Buktinya kecepatan larinya saat itu jauh menurun. Dia hanya 

mampu berlari mengikuti Kunti Api di sebelah belakang terpaut 

tiga sampai lima meter.

Malam gelap, di langit rembulan masih tertutup awan tebal.

"Pangeran, percepat larimu! Jangan bikin aku tambah jengkel!" 

Berteriak Kunti Api.

"Nenek Guru, rasanya aku menderita luka dalam. Maaf kalau aku 

tidak bisa berlari cepat."


Dengan kesal terpaksa Kunti Api perlambat larinya. 

Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran Matahari berkata. 

"Nenek Guru. Waktu di Candi Sewu saya melepas Pukulan 

Gerhana Matahari dengan tenaga dalam

penuh untuk menghabisi anak itu. Mendadak, tidak terduga sama 

sekali, guru saya Si Muka Bangkai yang ada di situ, menangkis 

serangan maut saya dengan Pukulan

Telapak Matahari. Jelas sekali tindakannya itu adalah untuk 

menyelamatkan anak bernama Boma yang saat itu sudah terkapar

di lantai candi, dalam keadaan

tak berdaya. Siap menerima kematian, dipanggang pukulan sakti 

yang saya lancarkan. Apa yang dilakukan guru Si Muka Bangkai 

bagi saya adalah satu keanehan.

Keanehan pertama. Mengapa dia menolong, melindungi dan 

kemudian menyelamatkan anak itu? Padahal jelas, sebelumnya 

Nenek Guru sudah memberi tugas bahwa

kita harus membunuh anak itu! Lalu ada keanehan kedua. Saya 

maklum Nenek Guru juga tahu kalau tingkat tenaga dalam saya 

saat ini sedikit lebih tinggi dari

guru Si Muka Bangkai. Namun.... "

Nafas Pangeran Matahari tersedak, sesaat dia tak bisa 

meneruskan kata-katanya. 

Kunti Api lalu menjawab. "Bagiku tidak ada yang aneh. 

Bukankah setelah terjadi saling hantam antara kau dan gurumu di 

Candi Sewu aku memberi tahu bahwa

ada dua orang muncul di tempat itu secara tak terduga?"

"Saya melihat Sinto Gendeng," kata Pangeran Matahari sambil 

mengusap dada. "Tapi saya tahu betul, nenek keparat itu sama 

sekali belum sempat turun tangan

melakukan sesuatu."

"Kemunculannya memang membuat urusan kita jadi kapiran! 

Tapi bukan dia yang punya pekerjaan. Ada orang lain, maksudku 

makhluk lain yang hadir di tempat


itu, Dialah yang melancarkan tangkisan hebat hingga kau 

terpental dan menderita luka dalam."

Terkejutlah Pangeran Matahari mendengar ucapan Gurunya itu. 

Dia kerahkan seluruh tenaga untuk dapat menyusul karena saat 

itu kembali dia tertinggal beberapa

meter di belakang. Begitu berada di samping Kunti Api, Pangeran

Matahari membuka mulut bertanya.

"Nenek Guru, siapa orang yang kau maksudkan itu? Makhluk 

katamu? Makhluk apa? Saya tidak melihat siapa-siapa."

"Akupun tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku hanya 

mencium bau harum samar-samar. Lalu aku melihat sosok 

seorang perempuan cantik tinggi semampai. Sangat

samar-samar seolah dirinya terbuat dari asap. Yang aku masih 

ingat di kepalanya ada sebentuk mahkota..."

"Makhluk berupa perempuan cantik itu yang menyelamatkan 

Boma dari serangan maut saya?"

"Dugaanku memang begitu. Karena Sinto Gendeng tidak 

membuat gerakan apa-apa. Gurumu Si Muka Bangkai memang 

melancarkan serangan Pukulan Telapak Matahari

dengan dua tangan sekaligus. Tapi bukan pukulan itu yang 

mencelakaimu. Aku melihat makhluk berbentuk asap melenggok 

seperti menari, lalu menggerakkan tangannya

sedikit. Tidak ada angin yang bersiur, tidak ada cahaya yang 

berkiblat. Tahu-tahu kau mental..."

Pangeran Matahari terengah. Diam sesaat lalu bertanya. "Nenek 

Guru, kau mungkin tahu siapa atau apa makhluk itu adanya?"

"Sulit kuduga. Namun ada satu kepastian. 

Makhluk yang aku katakan itu, dia bukan berasal dari alam kita, 

bukan pula dari alam sekarang."

Pangeran Matahari jadi heran namun tak berani bertanya.

"Yang juga jadi tanda tanya besar dalam benakku," Kunti Api 

melanjutkan. "Apa hubungan si makhluk dengan bocah itu hingga

mau turun tangan menyelamatkannya?"


"Nenek Guru, harap maafkan diriku. Aku lagi-lagi gagal. Tidak 

dapat membunuh anak itu."

"Sekarang tugasmu tambah berat," ucap Kunti Api.

"Kau telah melihat sendiri tindakan Si Muka Bangkai. Bukan saja

dia melalaikan tugas, tapi malah mengkhianati kita. Menolong 

anak yang seharusnya kita

habisi. Berarti musuh kita bertambah satu orang. Yaitu gurumu 

sendiri. Dengan kata lain, selain membunuh anak bernama Boma,

kau juga harus menyingkirkan

Si Muka Bangkai!"

"Ah...!" Pangeran Matahari keluarkan suara terganggu karena 

tidak menyangka akan mendengar ucapan itu dari mulut Kunti 

Api. Nenek sakti berwajah setan

yang dandanan tebalnya morat marit ini menginginkan kematian 

muridnya! Dan dia yang diperintahkan untuk membunuh sang 

murid. Yang merupakan gurunya sendiri!

"Nenek Guru, saya rasa saya akan cukup tegar untuk 

melaksanakan perintah Nenek Guru. Terus terang saja sudah 

sejak lama saya menaruh bara dendam terhadap

guru saya Si Muka Bangkai itu...."

Tampang Kunti Api sesaat tampak berkerut. "Hemmm.... " si 

nenek bergumam. "Bagaimana ceritanya sampai kau mengindap 

bara dendam dalam dirimu terhadapnya."

"Nenek Guru ingat pertemuan dan pembicaraan kita di satu Kedai

Tuak di Jakarta beberapa waktu lalu? Waktu itu guru saya Si 

Muka Bangkai tidak hentinya

mencaci maki saya. Saya dimaki sebagai manusia tolol, bodoh. 

Saya masih bersabar diri. Tapi ketika saya keluar dari kedai tuak, 

saya sempat menguping Si

Muka Bangkai berkata bahwa kelak dia akan membuat saya 

sengsara seumur-umur. Bagi saya kata-kata itu sama saja dengan 

dia ingin membunuh saya secara perlahan-lahan.

Sikap dan ucapannya menimbulkan dendam dalam diri saya.


Sebelum itu terjadi atas diri saya! Saya punya hak untuk membela

diri. Membunuhnya terlebih dulu!"

Kunti Api menyeringai tapi tidak berkata apa-apa. Belakangan ini

dia sendiri memang merasa tidak begitu suka Iagi terhadap 

muridnya Si Muka Bangkai alias

Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat itu.

"Guru, mengapa diam saja. Katakan sesuatu...." ucap Pangeran 

Matahari.

"Hemmm.... Aku tidak mau ikut campur urusan kalian guru dan 

murid."

Si nenek coba membebaskan diri dan cuci tangan. "Tapi kita 

harus menyusun kekuatan. Kau, aku dan gurumu di satu pihak. 

Wiro Sableng, Sinto Gendeng di lain

pihak. Kalau sampai Si Muka Bangkai menyeberang ke pihak 

Sinto Gendeng berarti kekuatan kita berkurang. Apalagi kalau 

makhluk aneh berupa perempuan cantik

itu muncul secara tidak terduga menolong si bocah bernama 

Boma. Bisa celaka kita semua!"

"Yang saya tidak habis pikir, mengapa guruku Si Muka Bangkai 

menyelamatkan anak yang seharusnya dibunuhnya!"

"Aku menduga. Hanya ada satu jawaban. Anak itu memiliki Batu

Penyusup Batin kepunyaanku. Si Muka Bangkai ingin 

mengambilnya. Tapi tidak tahu bagaimana

caranya atau belum tahu dimana si anak menyembunyikan."

"Saya ingat," kata Pangeran Matahari pula.

"Sewaktu saya berniat, membunuh anak itu di sekolah, tubuhnya 

lenyap begitu saja. Dugaan Nenek Guru saya rasa ada benarnya. 

Anak itu memiliki Batu Penyusup

Batin. Pasti Sinto Gendeng yang memberikan padanya setelah 

berhasil mencuri dari guru Si Muka Bangkai."

Apa kejadian yang diceritakan Pangeran Matahari itulah 

merupakan sebagian hal yang membuat Kunti Api merasa tidak 

suka dan hilang rasa percaya terhadap


muridnya Si Muka Bangkai. Sang murid telah berlaku sembrono 

hingga batu sakti dicuri orang. Membuat urusan jadi ruwet tidak 

karuan. Lalu Si Muka Bangkai

juga tidak berhasil membunuh Sinto Gendeng. Lalu kini dia 

malah menolong anak yang harus disingkirkannya.

"Nenek Guru, bagaimana kalau kita merubah siasat?" Pangeran 

Matahari ajukan usul.

"Siasat apa, yang mana? Apa maksudmu?!" balik bertanya Kunti 

Api.

"Saya punya dua usul. Pertama bagaimana kalau sesampainya di 

Candi Kalasan, perempuan muda yang kita culik langsung saja 

saya rusak kehormatannya. Setelah

kubunuh mayatnya kita letakkan di halaman Wisma tempat anak-

anak sekolah itu menginap. Kepalang tanggung, biar dibuat 

heboh sekalian! Anak lelaki bernama

Boma bisa-bisa jadi gila melihat mayat guru yang disayanginya. 

Saat itulah kita baru membunuhnya. Kalaupun nanti masih ada 

orang atau makhluk yang menolong

anak itu, paling tidak pikirannya sudah kita buat rusak dan dia 

akan sengsara seumur-umur."

Kunti Api menyeringai "Apa usulmu yang kedua?" Si nenek 

kemudian bertanya.

"Kita culik anak lelaki itu. Membawanya ke Candi Kalasan. Biar 

dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana saya 

menghancurkan guru yang disayanginya.

Kalau dia masih hidup, anak itu akan gila sepanjang umurnya."

"Dua-dua usulmu luar biasa! Kau memang pantas disebut sebagai

Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, 

segala congkak. Dan kini

aku tambahkan satu lagi Pangeran segala mesum! Hik...hik...hik."

Kunti Api usap mukanya yang ditutupi dandanan celemongan 

lalu berkata. "Tapi aku lebih

suka kau melakukan hal yang pertama. Lebih aman dan bisa lebih


cepat dilaksanakan. Menculik anak itu dan membawanya ke sini 

bisa mudah, bisa juga salah

kaprah. Aku kawatir makhluk aneh berbentuk perempuan cantik 

bermahkota itu masih berada di sekitarnya."

"Kalau begitu kemauan Nenek Guru, saya akan lakukan. Saya 

akan merusak kehormatan guru itu, lalu membunuhnya"

Kunti Api kembali menyeringai lalu tertawa mengekeh. Sambil 

merapikan rambutnya yang acak-acakan si nenek berkata. "Aku 

mendadak saja merasa merinding.

Sudah lama aku tidak merasakan sentuhan Ielaki. Hik...hik...hik"

Ketika melewati sederetan pohon besar tiba-tiba Kunti Api 

hentikan larinya. Dia memandang ke arah ujung jalan yang 

barusan dilewati, lalu putar kepala

memperhatikan keadaan sekeliling.

"Nenek Guru, ada apakah?" tanya Pangeran Matahari.

"Aku mendengar suara sesuatu. Suara seperti orang berlari 

menguntit kita."

Pangeran Matahari ikuti pandangan si nenek. "Saya tidak melihat 

apa-apa. Mungkin hanya suara tiupan atau desau dedaunan."

Si nenek angkat bahu lalu berbalik dan lanjutkan larinya ke arah 

barat menuju Candi Kalasan.

***

BANGUNAN Candi Kalasan yang juga disebut Candi 

Kalibening keadaannya telah banyak rusak dimakan zaman. 

Dibawah naungan malam tanpa bintang dan rembulan

masih terus ditutupi awan tebal kelabu, candi ini tampak 

menghitam dalam kesunyian malam.

Pintu timur Candi Kalasan dimana terdapat dua patung raksasa 

duduk memegang gada dan membawa ular berhubungan dengan 

sebuah ruang batu paling besar di

dalam candi. Dalam ruangan yang gelap ini satu sosok tubuh 

perempuan tergeletak di Iantai candi yang dingin. Sesekali sosok 

ini bergerak, lalu ada desah


tarikan nafas dan degup jantung memburu. Sejak tadi dia 

berusaha untuk berdiri, tapi tidak mampu. Dua kakinya seperti 

kaku, tak dapat digerakkan. Tubuh

bagian atas terasa berat. Dua tangan memang bisa digerakkan 

namun hanya sekedar untuk menggapai dinding atau mengusap 

lantai candi. Setiap kali dia berusaha

mengeluarkan suara, ingin berteriak, suaranya tersekat di 

tenggorokan. Nafasnya menyesak dan dia terpaksa menggeletak 

kembali dengan sekujur tubuh terasa

lemas. Disaat-saat seperti itu, hanya sepasang bola matanya saja 

yang masih bisa bergerak, berputar kian kemari. Sesekali mata itu

menatap ke arah pintu.

Walau di luar sana agak terang dibanding di dalam ruangan 

dimana dia tergeletak, namun dia tidak bisa melihat apa-apa, 

selain ujung-ujung rerantingan sebatang

pohon. Perempuan malang ini bukan lain adalah guru Bahasa 

Inggris SMU Nusantara III Ibu Renata, yang diculik Pangeran 

Matahari dan Kunti Api di tengah

jalan lalu disembunyikan di Candi tersebut.

Di dalam kamar hanya dinding gelap yang bisa dilihat. Temaram 

udara di luar candi sedikit sekali merambas masuk ke dalam 

candi, itupun hanya berupa bayangan

samar di salah satu bagian lantai. Rasa takut amat sangat 

menyelimuti diri Ibu Renata. Dia ingat betul kejadian sore itu, 

ketika dia diculik, ditarik dari

atas beca lalu dimasukkan ke dalam mobil. Namun belum sempat

berpikir jauh tiba-tiba di ambang pintu candi sebelah timur 

berkelebat muncul dua sosok tubuh.

Meski tidak melihat wajah namun dari bentuk rambut, tubuh serta

pakaian dia segera mengenali. Dua sosok yang muncul adalah 

dua orang aneh yang menculik

dirinya sore menjelang Magrib tadi. Dua orang ini berdiri di 

bawah pintu candi yang ada lekuk dan disebut Lekuk Kala


Makara.

"Mereka datang.... Ya Tuhan, tolong saya. Jangan sampai saya 

mereka apa-apakan..." Ibu Renata mengucap, tubuh menggigil 

takut. Dia merasa dingin tapi sekujur

tubuhnya nyaris basah oleh keringat.

Salah seorang yang muncul di ambang pintu candi, yaitu yang 

mengenakan mantel hitam melangkah masuk. Langsung 

mendekati dan berjongkok di samping Ibu Renata.

"Ibu Guru Renata, harap maafkan kalau kami terlalu lama 

meninggalkan dirimu sendirian di tempat sunyi, gelap dan dingin 

ini. Namun percayalah sebentar

lagi tempat ini akan ceria oleh desah nafasmu dan nafasku. 

Suasana gelap akan berubah menjadi terang oleh rasa sukacita. 

Ruangan yang dingin akan menjadi

hangat oleh aliran darah kita berdua yang akan sama-sama 

memanas."

Habis berkata seperti orang menguntai syair orang yang 

berjongkok, yang bukan lain adalah Pangeran Matahari adanya 

lalu gerakan dua tangan ke leher dan

kaki Ibu Renata, perempuan yang sejak tadi tergeletak tak mampu

bergerak dan tak bisa bersuara. Saat itu juga Ibu Renata 

merasakan dua kaki menjadi ringan,

dan jalan pernafasan menjadi lega. Sekali bergerak dia mampu 

bangkit dan duduk serta mengeluarkan ucapan.

"Demi Allah, jangan apa-apakan saya. Tolong, jangan sentuh 

saya..."

Pangeran Matahari tertawa lebar.

"Ketahuilah, perempuan itu dilahirkan untuk mendambakan 

sentuhan belaian tangan laki-laki. Perjalanan nasib 

mempertemukan kita berdua. Malam ini kau ditakdirkan

untuk melayani diriku." Ucap Pangeran Matahari keluarkan 

ucapan seperti bersajak. Lalu dia ulurkan tangan membelai 

rambut Ibu Renata.


"Jangan! Tolong.... Demi Allah jangan sentuh saya. Jangan sakiti 

saya..." Ratap Ibu Renata.

Pangeran Matahari menyeringai dan ulurkan tangan meraba pipi 

Ibu Renata. "Ibu Guru, aku dengar kau menyayangi anak lelaki 

bernama Boma itu. Ini adalah

satu kesalahan besar pertama. Dan bocah keparat itu kabarnya 

juga menyayangi dirimu. Ini kesalahan besar kedua. Malam ini 

kasih sayang kalian akan menjadi

bencana. Di tanganku! " Tangan Pangeran Matahari turun ke 

bahu.

"Jangan...."

Ibu Renata menjerit keras ketika tangan Pangeran Matahari yang 

ada di bahu meluncur ke bawah. Namun Pangeran Matahari cepat

menekap mulutnya hingga jeritan

itu berubah menjadi suara gumaman.

"Pangeran Matahari, jangan berlaku bodoh! Lekas tutup jalan 

suaranya. Suara jeritan bisa mengundang orang datang ke sini."

"Jangan kawatir. Saya akan lakukan perintahmu, Nenek Guru," 

Jawab Pangeran Matahari. Yang dilakukannya bukan menutup 

atau menotok jalan suara Ibu Renata

melainkan dia rundukkan kepala dan cepat sekali mulutnya 

ditutupkan ke mulut Ibu Renata, dua tangan merangkul kencang.

Ketika Ibu Renata meronta memberi perlawanan bahkan berusaha

memukuli Pangeran Matahari, sang Pangeran malah seperti 

disurup rangsangan. Dua tangannya

bergerak kian kemari berusaha menanggalkan kemeja dan celana 

panjang yang melekat di tubuh Ibu Renata. Di pintu candi, Kunti 

Api berdiri sambil senyum-senyum

menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Matahari. Tiba-tiba 

nenek ini mendengar sesuatu. Dia delikkan mata karena seperti 

ada bayangan berkelebat.

"Pangeran! Lekas selesaikan pekerjaanmu! Aku merasa ada orang

lain di sekitar candi ini."


Kunti Api berkata lalu pentang sepasang mata lebar-lebar, kepala 

setengah mendongak mendengar setiap suara dan diam-diam 

tenaga dalam dialirkan ke tangan

kiri kanan.

Ibu Renata menjerit, berusaha menerjang, memukul, menggigit, 

melakukan apa saja untuk bisa menyelamatkan diri dan 

kehormatannya. Namun sosok tinggi besar

dan kuat yang digarang nafsu keji disertai aliran darah dendam 

Pangeran Matahari bukanlah tandingannya. Ketika satu tamparan 

didaratkan Pangeran Matahari

ke wajahnya, didahului jeritan keras Ibu Renata terguling ke 

lantai candi. Dia tidak pingsan, masih setengah sadar ketika 

Pangeran Matahari berusaha melucuti

pakaiannya. Ibu Renata menggigil keras sewaktu Pangeran 

Matahari bergerak meneduhi tubuhnya. Tampangnya 

menyeringai, nafas memburu keras. Untuk kesekian

kalinya guru yang malang ini menjerit keras. 

Agaknya ini adalah jeritannya yang terakhir sebelum kekejian 

menghancurkan diri dan kehormatannya.

Namun Tuhan maha menentukan. Ketika kemesuman itu siap 

terjadi hanya dalam bilangan beberapa detik saja, tiba-tiba ada 

suara-suara aneh di luar Candi Kalasan.

Kunti Api tercekat. "Pangeran!" ucap si nenek sambil dua kaki 

digeser.

Pangeran Matahari yang juga sudah mendengar suara-suara itu 

ikut terkesiap, tarik badan ke belakang dan setengah berjongkok 

di lantai. Memasang telinga.

Sementara di luar sana suara-suara aneh terdengar makin jelas.

"Seperti suara seruling... Juga suara kerincingan...." kata Kunti 

Api perlahan.

"Juga ada suara gendang..." menyambungi Pangeran Matahari.

"Dengar," kata Kunti Api. "Aku punya firasat tidak enak. Aku 

akan menyelidik keluar. Kau bersiap-siap di dalam sini. Kalau


terjadi apa-apa lekas larikan

perempuan itu. Bawa ke Candi Prambanan. Tunggu di sana 

sampai aku datang."

Pangeran Matahari mengangguk. Kunti Api secepat kilat melesat 

ke pintu candi. Mendekam dibawah lekuk pintu Lekuk Kala 

Makara. Sepasang mata mendelik besar,

dan daun telinga dipentang lebar.

***

SEMBILAN


DI KAMAR SUMI PRIMBON


BOMA tidak tahu berapa lama dia pingsan. Ketika sadar, dalam 

keadaan mata masih terpejam dia merasa sekujur tubuhnya mulai 

dari kaki sampai kepala mendenyut

sakit. Malam gelap, bangunan candi yang menghitam, terbayang 

di pelupuk mata Boma. Ada lagi larik cahaya menyambar 

kearahnya. Ada hawa panas luar biasa.

Dia menjerit keras lalu terkapar di lantai batu, di depan pintu 

ruangan gelap. 

Tangan Boma meraba. Dia tidak merasakan kerasnya batu candi. 

Ada hamparan empuk, lapisan lain. Lalu telinganya mendengar 

suara tarikan nafas. Boma maklum,

dia tidak sendirian di tempat itu.

Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya. Pertama sekali 

dilihatnya adalah langit-langit ruangan, eternit Putih. Kepalanya 

dimiringkan ke kanan. Dinding.

Suara orang menarik nafas kembali terdengar. Di arah kakinya. 

Boma bersitahan dengan dua siku lalu angkat kepala. Untuk 

membuat gerakan ini sekujur tubuhnya

seperti mau bertanggalan walau hawa panas mulai berkurang. 

Memandang berkeliling anak ini dapatkan dirinya berada di atas 

sebuah tempat tidur, masih memakai


sepatu kets. Dalam sebuah kamar apik diterangi lampu neon 

bulat.

Di ujung kakinya, di tepi tempat tidur duduk orang tua itu. 

Punggung dan kepala tersandar ke dinding. Lengan kemeja 

tangan panjang gombrong biru belang-belang

yang dikenakannya kelihatan hitam hangus. Beberapa bagian 

lengan kemeja ini tampak robek-robek. Dua tangan si orang tua 

terkulai lemas di atas pangkuan.

Di atas pangkuan itu pula terletak sehelai sapu tangan basah 

penuh noda darah. Sesekali kelihatan orang tua ini menarik nafas 

dalam dan Panjang. Setiap

menarik nafas tampangnya yang pucat mengerenyit seperti 

menahan sakit. Tubuhnya terasa panas. Dua tangannya bergerak. 

Brett Breeet! Kemeja dirobek lalu ditanggalkan hingga kini si 

orang tua terduduk setengah telanjang. Dadanya yang tipis 

dengan tulang-tulang iga menyembul

bergerak turun naik. Boma memperhatikan tangan kiri orang tua 

itu. Mulai dari siku ke bawah kulit lengannya berwarna lain 

dibanding dengan bagian tangan

di atas siku. Lalu bentuk tangan kiri itu sedikit lebih besar jika 

dibanding dengan tangan kanan.

"Pak Broto, kita dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.

Yang ditanya tidak bergerak, tapi mulutnya berucap.

"Pak...."

"Diam, jangan bicara! Aku tengah mengatur hawa sakti, jalan 

pernafasan, aliran darah, tenaga dalam. Sekujur tubuhku sakit, 

panas!"

"Sama, saya juga..." Boma masih menyahuti lalu diam. Boma lalu

beringsut, duduk di ujung tempat tidur, mata terus 

memperhatikan ke arah si orang tua. Di

luar terdengar suara tiang listrik dipukul orang.

"Tiang listrik dipukul dua kali. Pukul dua malam... " Pikir Boma. 

Hatinya tergerak hendak keluar dari kamar. Dia beringsut ke tepi


tempat tidur. Belum

sempat kedua sepatunya menyentuh Iantai kamar, dari ujung 

tempat tidur Pak Broto alias Si Muka Bangkai keluarkan suara.

"Jangan berani turun dari tempat tidur. Jangan berani keluar 

kamar. Apa lagi sampai meninggalkan rumah ini."

"Pak Broto kita ini dimana? Ini rumah siapa?" tanya Boma.

Yang ditanya tak menjawab. Pak Broto membuat beberapa kali 

tarikan nafas, batuk-batuk Ialu menyeka lelehan darah di 

mulutnya dengan sapu tangan. Sesaat

kemudian orang tua ini memperbaiki duduknya. Mata yang sejak 

tadi dipejamkan perlahan-lahan dibuka.

"Pak Broto, sudah selesai mengatur hawa sakti dan aliran darah?"

Yang ditanya masih belum menjawab. Hanya sepasang matanya 

yang angker dingin menatap ke arah Boma. Sesaat kemudian baru

dia berucap.

"Rasa tubuhku agak mendingan sekarang." Pak Broto lalu 

ulurkan tangan kanan, memegang bahu Boma. Anak ini merasa 

ada satu hawa aneh memasuki tubuhnya.

Lalu sakit dan panas yang sejak tadi dirasakannya kini jauh 

berkurang.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Lumayan, rasa sakit, juga panas, mulai hilang." Jawab Boma. 

Dia maklum kalau Pak Broto barusan melakukan cara pengobatan

aneh atas dirinya.

"Pak Broto, sebelumnya kita di candi. Sekarang kok tau-tau ada 

di sini...."

“Aku yang membawamu ke sini. Kau pingsan di tengah jalan…”

“Lalu kita sekarang ini dimana? Ini rumah siapa?”

Untuk kesekian kalinya Boma kembali bertanya.

"Ini rumah Sumi Primbon."

"Sumi Primbon? Siapa itu? Saudara Pak Broto?" Pak Broto 

menyeringai. Lalu menggeleng.

"Teman?"


"Lebih dari teman. Cemcemanku." (cemceman = kekasih gelap)

Boma terbelalak. Pak Broto menyengir. Boma usap hidungnya 

lalu menutup mulut menahan tawa. "Pak Broto, kok tau segala 

cemceman sih?"

"Aku dengar-dengar orang bilang begitu, ya aku sebut saja. Yang 

jelas aku senang punya cemceman seperti Sumi Primbon. Gemuk,

putih. Dan gocekannya itu

lho!"

"Gocekan? Gocekan apa?" tanya Boma.

"Ala, kamu masih kecil, masih ijo. Mana ngerti!" ujar Pak Broto 

sambil tertawa dan lambaikan tangannya.

"Jadi Pak Broto sama Sumi Primbon itu kumpul kebo?"

"Gila kamu! Sumi Primbon itu manusia, Perempuan , kok di 

bilang kebo!" Pak Broto pelototi Boma.

Boma tersenyum dan diam saja. Percuma menjelaskan kalau yang

dijelaskan memang tidak bisa mengerti arti ungkapan kumpul 

kebo.

"Pak Broto, kalau ini rumahnya Sumi Primbon, lalu orangnya 

mana?"

"Nanti juga datang." Jawab Pak Broto.

"Nggak ada di sini?"

"Lagi kerja," menerangkan Pak Broto.

"Kerja malem? Kerja apa?" tanya Boma. Lalu anak ini menjawab 

sendiri. "Jadi hostess?"

"Apa itu hostes? Ora ngerti aku."

"Hostes sama dengan pramuria."

"Podo wae. Tetap nggak ngerti." Jawab Pak Broto yang rupanya 

mulai tahu sedikit-sedikit bahasa Jawa.

"Hostess itu artinya wanita penghibur," menerangkan Boma.

Pak Broto tertawa hampir tanpa suara.

"Terserah kau mau bilang apa. Dia memang pandai menghiburku.

Dan orangnya begini." Pak Broto lalu acungkan sekaligus jempol 

tangan kiri dan tangan kanan.


"Oke punya?" ujar Boma.

"Oke punya. Betul!" Orang tua itu kembali tertawa.

"Sumi Primbon, cemcemanku itu dia jual makanan lesehan di 

Malioboro. Ini rumahnya. Untuk sementara kita aman di tempat 

ini."

Dalam hati Boma berkata. "Aman buat dia dan aku, tapi 

bagaimana dengan Ibu Renata?"

"Pak, saya ingat kejadian di Candi Sewu. Orang bernama 

Pangeran Matahari itu, dia hendak bunuh saya seperti waktu di 

Candi Borobudur. Nyatanya saya berada

di sini. Dalam keadaan selamat. Saya berterima kasih Pak Broto 

sudah menolong saya..."

"Aku menolongmu tidak cuma-cuma. Antara kita ada perjanjian. 

Aku membawamu ke Candi Sewu, kau menyerahkan batu 

Penyusup Batin. Jangan lupakan hal itu!"

Boma hendak mengusap bahu kanannya pada letak Batu 

Penyusup Batin. Tapi karena si orang tua menatap ke arahnya hal 

itu dibatalkan dan dia pura-pura mengusap

hidung.

"Kalau saya tidak dapat menyerahkan batu itu pada Bapak, Pak 

Broto mau membunuh saya?" "Bisa saja. Tapi terus-terang ada 

satu hal yang tidak kau ketahui."

"Hal apa Pak?" tanya Boma pula.

"Sebenarnya, waktu di Candi Sewu bukan aku yang 

menyelamatkan nyawamu. Ada orang lain yang menolong. Aku 

hanya tolong memboyongmu ke tempat ini."

***

SEPULUH


SIAPA SEBENARNYA YANG MENOLONG BOMA?


BOMA tercengang mendengar kata-kata Pak Broto itu.

"Aneh..." ucap Boma.


"Memang semua serba aneh. Waktu Pangeran Matahari 

menghantammu aku coba menangkis. Tapi aku kalah tenaga. Saat

pukulan muridku itu hampir memanggangmu,

tiba-tiba aku merasa ada satu gelombang kekuatan luar biasa. 

Dibilang angin tidak ada suara. Dikatakan pukulan sakti tidak 

mengeluarkan warna. Namun aku

sempat melihat satu bayangan. Sangat samar-samar, tidak jelas."

"Bayangan bagaimana Pak Broto?"

"Sosok tinggi semampai seorang perempuan berkulit putih. 

Cantik luar biasa. Dia pakai selendang kalau tak salah warna 

ungu. Di kepalanya ada satu mahkota.

Aku ingat, di saat yang sama aku mencium bau harum sekali..."

"Mungkin itu bau minyak wangi yang melekat di tubuh dan 

pakaian Bapak sendiri..." ucap Boma pula.

"Aroma minyak wangi orang yang aku cium di candi itu baunya 

lain. Sangat lembut tapi semerbak luar biasa. Yang aku pakai 

minyak wangi peletan. Biar Sumi

Primbon lengket sama aku..." Jawab Pak Broto sambil senyum-

senyum.

Untuk beberapa ketika Boma hanya bisa diam, mengusap 

tengkuk lalu menowel hidung.

"Aku sering melihat kamu menowel hidung. Aneh..."

"Kebiasaan aja, Pak."

"Jangan-jangan batu sakti itu ada dalam hidungmu." Tangan kiri 

Pak Broto bergerak, menyambar ke arah hidung Boma lalu 

memencet. Boma sampai keluar air

mata menahan sakit. Masih untung tidak sampai berteriak. Begitu

pencetan dilepas anak ini bersin sampai tiga kali. Pak Broto 

tertawa dan gelengkan kepala.

"Tidak, batu sakti itu tidak ada di hidungmu... " katanya.

"Kenapa sih Bapak menginginkan batu itu?"

"Itu bukan batu sembarangan. Asal muasalnya batu itu adalah 

milik guruku, Eyang Kunti Api. Batu diberikan padaku, dipesan


agar disampaikan pada Pangeran

Matahari. Selanjutnya Pangeran Matahari harus membunuhmu. 

Tapi muridku itu berlaku tolol. Dia kecolongan. Batu dicuri 

seorang pengamen di Jakarta. Untungnya

aku berlaku waspada. Batu yang kuberikan pada Pangeran 

Matahari bukan batu asli , tapi batu kawinan...."

"Batu kawinan? Memangnya batu bisa kawin?" tanya Boma.

"Tai kucing! Geblek! Maksudku batu yang kuberikan adalah batu

yang diusap batu asli. Hingga batu palsu itu punya kekuatan yang

sama, tapi hanya untuk beberapa

hari." Menerangkan Pak Broto. "Aku menemui muridku. Dengan 

Batu Penyusup Batin yang asli tubuhnya aku usapi agar bisa lebih

sakti, bisa melenyapkan diri.

Tapi celakanya saat itu muncul Sinto Gendeng. Batu sakti asli 

dirampasnya."

"Sinto Gendeng, siapa itu Pak?"

"Tai kucing! Jangan pura-pura!" bentak Pak Broto.

"Aku mendengar kabar, dia yang menolongmu waktu terjadi 

bencana di Gunung Gede. Dia yang memberikan ilmu pukulan 

sakti. Dimasukkan ke tangan kirimu. Coba

lihat tangan kirimu. Buka telapakannya. Ayo!"

Pak Broto tarik tangan kiri Boma. Anak ini terpaksa kembangkan

telapak tangan. Pak Broto alias Si Muka Bangkai perhatikan 

telapak tangan kiri yang memang

ada tanda kalinya itu. "Di alamku, ilmu pukulan yang kau miliki 

di tangan kiri itu tak ada artinya. Tapi di alammu, kau bisa 

membunuh orang, sanggup memecahkan

kepala kerbau, memukul jebol tembok."

Boma terkesiap. Dia memang pernah dipesan oleh si nenek 

misterius untuk tidak boleh mempergunakan tangan kirinya 

secara sembarangan. Tapi kalau dia katakan

sanggup memukul jebol tembok, anak ini jadi terheran-heran 

sendiri.


"Kamu tidak percaya kehebatan tangan kirimu?" Boma tak 

menjawab.

"Muridku Pangeran Matahari pernah kau pukul sampai patah 

tulang iganya waktu dia hendak membunuhmu di sekolah. 

Ingat?" ( Baca episode berjudul "

Topan Di Borobudur"

)

Boma hanya terdiam menggigit bibir lalu mengangguk. Dia 

memang ngeri jika ingat peristiwa itu. Namun ingatannya hanya 

sebagian saja tertuju pada kejadian

tersebut. Dia kini lebih banyak memikirkan si nenek misterius.

"Pak Broto, jadi nenek di puncak Gunung Gede itu namanya 

Sinto Gendeng?"

"Kau benaran tidak tahu?"

Boma menggeleng.

"Saya pernah tanya, dia tidak pernah bilang."

"Nenek satu itu memang paling aneh. Menurutku dia sudah 

menganggapmu sebagai murid. Malah ada satu rencana besar 

untuk menjadikanmu Pendekar Tahun Dua

Ribu...."

"Pendekar Tahun Dua Ribu, " ulang Boma. "Nenek itu memang 

pernah bilang sama saya. Waktu dia datang ke kamar saya. Di 

rumah. Malam-malam. Tapi saya nggak

ngerti...."

"Kalau saja aku berhasil membunuhnya waktu menyerbu ke 

puncak Gunung Gede, urusan tidak berkepanjangan seperti ini."

"Pak Broto, silang sengketa apa sebenarnya antara Bapak dengan 

Sinto Gendeng sampai mau saling berbunuhan?"

Pak Broto monyongkan mulut peotnya. "Kamu pemah baca buku 

cerita silat?"

"Nggak hobby." Jawab Boma.

"Apa itu hobi?"

"Maksudnya nggak suka. Nggak 'gitu suka."


"Tapi tahu kalau dalam dunia persilatan itu ada golongan hitam 

dan golongan putih yang saling bermusuhan seumur-umur?"

Boma mengangguk.

"Aku, muridku dan guruku adalah orang-orang dari golongan 

hitam. Sinto Gendeng dan teman-temannya dari golongan putih. 

Kami bermusuhan. Musuh bebuyutan.

Satu kali ada rahasia besar rencananya bocor ke tangan kami. 

Sinto Gendeng tengah mencari dan hendak menjadikan seorang 

anak laki-laki sebagai Pendekar

Tahun Dua Ribu. Kalau hal itu sampai kejadian, kami orang-

orang golongan hitam pasti bakal menghadapi bencana besar. 

Rencana itu harus digagalkan. Sinto

Gendeng harus dibunuh lebih dulu. Soal si anak bisa diurus 

kemudian."

"Pak Broto menyerbu ke puncak Gunung Gede..."

"Benar, tapi di alamku sana namaku bukan Pak Broto. Aku 

dikenal dengan julukan Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. 

Serbuanku gagal. Malah tangan kiriku

dibikin buntung sebatas siku oleh Sinto Gendeng. Dia punya ilmu

kesaktian berupa dua larik sinar yang keluar dari sepasang 

matanya. Kata orang itu adalah

ilmu yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Aku tak sanggup 

menghadapinya. Jangankan aku, guruku si Kunti Api juga bisa 

kelabakan. Tidak heran. Sinto Gendeng

dedengkot dari para tokoh rimba persilatan golongan putih. 

Tangan kiriku dibikin buntung sebatas siku. Guruku Eyang Kunti 

Api kemudian membawa aku ke seorang

ahli di Jakarta. Katanya dokter. Aku tidak tahu apa artinya dokter 

itu. Tapi dia punya kepandaian menyambung-nyambung aurat 

manusia, menjebol dan menjahit

tubuh orang. Oleh guruku dokter itu dipaksa menyambung 

tanganku dengan tangan orang lain. Kau lihat sendiri. Tangan 

kiriku sebelah bawah tidak sama dengan


yang di atas siku. Apa lagi kalau kau bandingkan dengan tangan 

kanan. Sebabnya tangan yang jadi sambungan ini adalah tangan 

gelandangan. Tanganku sendiri

terbang entah kemana." Si Muka Bangkai lalu mengekeh.

Boma melongo. Setengah tak percaya.

"Yang namanya dokter itu memang pandai sekali. Tapi kalau 

tidak dibantu guruku, mana mungkin tangan ini bisa bersambung 

sempurna dalam waktu hanya satu

setengah hari..." ( Baca Episode Boma Gendenk berjudul "

Muridku Machoku"

)

"Untung tangan Bapak yang buntung. Kalau bagian tubuh yang 

lain..."

"Maksudmu kalau leherku yang buntung? Tewas sudah! So pasti!

Ha...ha...ha!" Si Muka Bangkai bicara keren. Seperti anak remaja 

saja pakai so pasti segala.

Boma ikut tertawa mendengar kata-kata Pak Broto yang terakhir. 

Tapi dia masih ingin mempermainkan orang tua ini.

"Bukan, maksud saya bukan leher Pak Broto tapi yang 

seandainya yang putus itu... " Boma memandang ke arah bawah 

perut si orang tua lalu goyangkan kepalanya.

Pak Broto terdiam sesaat. Menatap Boma lalu memandang ke 

bawah perutnya sendiri. Lalu meledaklah tawa orang tua muka 

pucat ini.

"Tai kucing!" maki Pak Broto. "Anak gendeng!" Tapi orang tua 

aneh ini tidak marah malah tertawa.

"Kalau anuku yang buntung, lalu disambung dengan apa? Siapa 

yang mau memberikan anunya walau dibayar mahal!"

"Mungkin anu kuda, Pak, " ucap Boma pula.

Pak Broto mendelik.

"Tai kucing!" kata Boma mendahului sebelum Si Muka Bangkai 

ucapkan makian itu.

Si Muka Bangkai tertawa gelak-gelak.


"Anak kurang ajar!" semprotnya.

"Pak Broto, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih. 

Gimanapun juga Pak Broto telah menyelamatkan saya. Semua itu

membuat saya heran. Pak Broto seharusnya

sudah membunuh saya sesuai perintah guru Pak Broto. Mungkin 

masih tertunda karena batu sakti itu belum jatuh ke tangan Pak 

Broto?"

Si Muka Bangkai tidak menjawab.

"Pak Broto..."

"Hemmm...?"

"Saya boleh tanya satu hal?"

"Apa?"

"Pak Broto, Pangeran Matahari, Kunti Api dan nenek bernama 

Sinto Gendeng itu sebenarnya makhluk apa sih? Menurut Bapak, 

Bapak datang dari alam lain. Tapi

ujudnya seperti manusia biasa. Lalu apa Bapak ini, juga yang 

lain-lain itu bangsa setan, hantu atau jin...."

Si orang tua usap mukanya yang pucat seolah darah tak pernah 

mengalir ke wajah itu.

Mata memandang lurus menerawang. Seperti ada bayangan rasa 

sedih di wajah yang pucat itu. Lalu terdengar mulutnya berucap. 

Suaranya perlahan.

"Aku tidak mampu menjawab pertanyaanmu itu. Kau tanya soal 

lain saja."

Boma pandangi wajah tua berambut putih awut-awutan itu. Entah

mengapa ada rasa kasihan dan juga rasa suka dalam diri anak 

lelaki itu pada orang tua itu.

Padahal jelas orang punya niat jahat, malah sewaktu-waktu siap 

membunuhnya.

Si Muka Bangkai palingkan kepala. Pandangannya saling 

bertatapan dengan Boma. Lalu meluncur pertanyaan dari mulut 

orang tua ini.

"Waktu kau aku tampar, bagaimana rasanya? Sakit?"


"Lumayan, mana ada sih orang ditampar tidak sakit. Pipi saya 

sebelah dalam berdarah..."

Si Muka Bangkai tersenyum mendengar jawaban Boma itu. 

Namun dibalik senyuman itu Boma sendiri merasa ada bayangan 

penyesalan dalam diri orang tua berwajah

seram ini. Menyesal karena telah menamparnya.

Boma alihkan pembicaraan.

"Pak Broto, saya ingat. Waktu di Wisma Bapak bilang Ibu Renata

diculik dan dibawa ke Candi Sewu. Ternyata guru saya tidak ada 

di sana."

"Aku diperdaya. Kena dijebak!"

"Siapa yang menjebak?"

"Siapa lagi?! Murid dan guruku sendiri! Pangeran Matahari dan 

Eyang Kunti Api," menerangkan Pak Broto alias Si Muka 

Bangkai. "Kunti Api pura-pura bicara

pada Pangeran Matahari. Memberi tahu bahwa gurumu diculik 

dan dibawa ke Candi Sewu. Karena tahu pasti aku mendengar. 

Salahnya aku lalu memberi tahu kamu.

Tapi itu lantaran aku inginkan batu sakti. Kita lalu ke Candi 

Sewu. Sebenarnya dirimu yang mereka incar. Jelas!"

"Lalu.... Kalau begitu dimana Ibu Renata sekarang?"

"Hanya setan malam yang tahu dimana gurumu itu disekap Kunti 

Api dan Pangeran Matahari..."

"Pak Broto..." Boma mengencangkan tali sepatunya lalu turun 

dari tempat tidur. "Saya harus mencari Ibu Renata. Saya harus 

menolongnya sebelum dia diapa-apakan

orang-orang jahat itu."

Pak Broto mengangkat tangan kanannya. Memberi isyarat. Lalu 

mendahului Boma turun dari tempat tidur, melangkah ke pintu 

kamar. Di luar sana, di tepi jalan

ada suara mobil berhenti di depan rumah.

"Sumi Primbon kalau pulang selalu naik becak. Tidak pernah 

naik mobil. Hatiku tidak enak. Ada firasat tidak baik..."


"Kita berdua membuat kesalahan. Masuk ke rumah orang tanpa 

memberi tau, tanpa izin pemilik rumah. Malah enak-enakan tidur 

di kamarnya..."

Pak Broto melintangkan jari tangan kanan di depan mulut. 

Memberi isyarat agar Boma berhenti bicara. Di luar sana 

terdengar pintu depan dibuka. Lalu ada

langkah kaki masuk. Pak Broto tahu persis itu adalah langkah-

langkah kaki Sumi Primbon. Namun di belakang langkah-langkah

itu ada langkah-langkah lain

mengikuti.

"Sumi pulang," bisik Pak Broto pada Boma. Raut wajahnya yang 

pucat angker tidak menunjukkan rasa gembira, malah sebaliknya 

orang tua ini tampak khawatir.

Telinga dipasang, mulut berucap perlahan. "Ada beberapa orang 

bersamanya. Pakai sepatu berat. Mereka di ruang tamu."

Di luar sana terdengar suara perempuan bicara. Diam sesaat lalu 

terdengar lagi langkah-langkah kaki menuju pintu kamar.Lalu di 

pintu ada suara anak kunci

dimasukkan ke lobang kunci. Tidak menunggu lama, pintu kamar

terbuka dan satu sosok perempuan gemuk siap melangkah masuk 

ke dalam kamar tapi tertahan ketika

melihat dua orang yang berdiri di hadapannya.

***

SEBELAS


JANGAN BERAK, JANGAN BEOL


DI PAGI buta itu, Pos Polisi yang terletak di sebelah utara 

Malioboro hanya ditunggui dua orang anggota Polisi. Yang satu 

mendengkur di kursi ruang depan,

temannya duduk dekat pintu masuk sambil merokok. Seharusnya 

Sumi Primbon dan empat orang polisi itu akan lebih dulu sampai 

di Pos Polisi dari pada Boma.

Tapi karena untuk satu keperluan Sumi minta diantar dulu ke 

tempat dagangannya di Malioboro, maka Boma yang Iebih dulu 

sampai di situ.

Boma menyeberangi jalan, melangkah menuju Pos Polisi. Mula-

mula agak ragu. Tapi sampai dia berdiri sejarak satu meter dari 

hadapan polisi yang merokok,

polisi ini tenang saja, terus menikmati rokoknya seolah tidak 

melihat kehadiran anak lelaki itu di depannya.

Boma mendekat. Dia lambai-lambaikan tangan kirinya di depan 

muka polisi yang merokok. Tetap saja polisi ini duduk tenang-

tenang, menyedot dan menghembuskan

asap rokok.

Boma tersenyum. "Berkat Batu Penyusup Batin." katanya dalam 

hati. Dia tinggalkan polisi yang merokok, masuk ke dalam Pos 

Polisi. Di ruang depan sejenak

anak itu perhatikan polisi bertubuh gemuk yang duduk tidur 

mengeluarkan suara mendengkur.

Bangunan Pos Polisi itu hanya terdiri dari ruangan depan dan 

sebuah Kamar. Di ruang depan ada sebuah meja dan kursi butut. 

Boma melangkah ke arah pintu

kamar yang tertutup. Handel pintu ditekan ke bawah lalu pintu 

didorong. Tapi daun pintu tidak bergerak.

"Brengsek, dikunci!"

Boma memandang berkeliling, mencari-cari. Di atas meja butut 

tidak ada apa-apa selain satu botol plastik berisi air putih yang 

tinggal setengah. Di dinding

ada beberapa paku. Salah satu paku dicanteli topi pet polisi.


"Kalau kunci sampai nggak ketemu, gagal semua urusan!" kata 

Boma cemas. Apa boleh buat. Boma harus memeriksa saku 

pakaian polisi yang tidur. 

Mungkin kunci kamar ada dalam salah satu kantongnya. Tapi 

kalau tidak ketemu berarti polisi yang diluar itu yang memegang. 

Boma mendekati polisi yang tidur.

Dia meraba saku kemeja kiri kanan. Kosong, tidak ada apa-apa. 

Pindah ke kantong celana. Di salah satu kantong dia hanya 

menemukan sebuah bolpen.

"Jangan-jangan di kantong celana belakang. Wah susah, gimana 

ngerogonya?"

Hati-hati Boma putar ke kanan tubuh gemuk yang tidur dalam 

keadaan duduk itu. Dengkuran sang polisi mendadak berhenti. 

Boma yang siap memasukkan tangannya

ke kantong celana untuk menarik dompet cepat-cepat 

membatalkan niat. Polisi itu menggeliat lalu tidur lagi. Boma 

tukar siasat. Badan si polisi tidak diputar,

tapi kini kursi yang diduduki polisi itu yang didorong. Tidak 

gampang mendorong kursi yang dibebani tubuh gemuk berbobot 

sekitar 90 Kg itu. Celakanya ketika

berhasil digeser empat kaki kursi keluarkan suara cukup keras. 

Polisi yang di luar berdiri, masuk ke dalam. Diperhatikannya 

temannya yang tidur di kursi yang saat itu kembali mulai 

mendengkur.

"Heran, suara apa tadi?" Polisi ini berucap sendiri lalu ambil 

botol plastik di atas meja dan meneguk air di dalamnya. Setelah 

itu dia kembali duduk di

dekat pintu Pos.

Walau kursi hanya bergeser sedikit, tapi Boma kini bisa 

menyusup di belakang kursi. Hati-hati, perlahan-lahan dia tarik 

dompet yang ada di dalam kantong

kiri belakang. Berhasil. Dompet diperiksa. Kunci yang dicarinya 

tidak ada. Dompet itu hanya berisi beberapa kartu nama dan


kertas yang dilipat-lipat.

"Nggak ada duitnya, Miskin amat. Sama dengan ogut." Boma 

masukkan dompet kembali ke dalam saku kiri belakang. Kini 

tinggal kantong celana kanan belakang

yang belum diperiksa. Boma luruskan lima jari tangan kanan lalu 

disusupkan ke dalam kantong itu. Dalam tidurnya si polisi sempat

merasa kegelian hingga

tubuhnya tersentak-sentak beberapa kali. Di kantong ini Boma 

juga tidak menemukan kunci yang dicarinya.

"Apes! Jangan-jangan dibawa pulang sama komandan Pos. Atau 

Polisi yang satu itu yang nyimpan. Gimana aku memeriksanya. 

Kalau Pak Broto ada bisa saja dibuat

kaku pakai ilmu totokannya," Boma melangkah mundar-mandir. 

Dia ingat Sumi Primbon yang berangkat duluan, tapi tidak ada di 

Pos Polisi itu.

Boma memandang ke dinding, memperhatikan paku-paku yang 

menancap di situ. Lalu dia perhatikan topi pet polisi yang 

tergantung di dinding kanan. Langkahnya

mundar-mandir dihentikan. Anak ini menghampiri topi pet yang 

tergantung di paku lalu menariknya. 

"Nah!"

Sepasang bola mata Boma berbinar.

Pada paku yang dipakai untuk menggantung topi pet itu 

tergantung pula sebuah kunci. Boma cepat mengambilnya lalu 

menyorongkan ke lobang kunci. Kunci diputar.

"Klik!"

Kunci pintu terbuka. Boma menekan handel pintu ke bawah lalu 

mendorong. Daun pintu bergerak. sesaat kemudian Boma sudah 

ada di dalam kamar. Sebuah meja

terletak di sudut kanan, mepet ke dinding. Di atas meja ada mesin

tik tua, kertas-kertas dan sebuah cangkir porselen bekas berisi 

kopi. Di sebelah kiri

ada seperangkat sofa butut tanpa meja.


Sasaran Boma adalah meja kerja yang ada di tempat itu. Dia ingat

keterangan Sumi Primbon. Dua gelang emas di simpan di dalam 

laci meja. Ternyata meja itu

punya dua laci.

Perlahan-lahan Boma menarik laci sebelah kanan. Matanya 

melotot melihat benda yang ada di dalam laci itu. Tangannya 

gemetar mengangkat benda itu yang ternyata

adalah sepucuk pistol. Jenis Colt 38.

"Ajie gile. Ini yang namanya beceng. Baru sekali ini ogut bisa 

megang," kata Boma. (beceng = pistol) Hati-hati senjata itu 

dimasukkan kembali ke dalam

laci.

Boma beralih ke laci meja sebelah kiri. Di dalam laci ini hanya 

ada satu bungkusan kertas. Tak ada gelang emas. Kening Boma 

berkerut. Bungkusan kertas

diambil. Lalu dibuka. Dua gelang emas yang masih baru 

berkilauan dibawah cahaya lampu. Cepat-cepat, perhiasan ini 

dibungkus kembali. Saking girangnya,

ketika hendak keluar tak sengaja pinggul Boma menyentuh kursi 

yang ada di belakang meja. Kursi ini tersandar ke dinding 

mengeluarkan suara keras. Boma

cepat betulkan letak kursi. Polisi gemuk di dalam Pos masih terus

mendengkur. Tapi kawannya yang diluar sudah bangkit dari 

kursinya dan masuk ke dalam.

Otak Boma langsung jalan. Gelang emas yang dibungkus kertas 

cepat-cepat dimasukkan kembali ke dalam laci kiri meja. Lalu 

anak ini tegak mendekam di sudut

kamar.

Polisi yang masuk merasa heran ketika dia mendapatkan pintu 

kamar tidak dikunci. Masuk ke dalam kamar dia segera 

memeriksa dua buah laci. Hatinya lega

ketika mendapatkan pistol dan dua gelang emas masih ada di 

tempat itu.


Setelah polisi tadi duduk kembali di depan Pos, Boma ambil lagi 

dua gelang emas dari dalam laci lalu keluar dari kamar. Kunci 

pintu digantungkannya di

paku semula, ditutup dengan topi pet dan kamar dibiarkan tetap 

tidak terkunci.

***

DI DEPAN Hotel Garuda, tempat janji bertemu, Boma tidak 

menunggu lama. Pak Broto muncul membawa sebuah kantong 

plastik mengeluarkan suara berkerincing.

Tapi si orang tua tampak bingung, menoleh kian kemari, 

memandang ke halaman dalam hotel.

"Mendadak buta 'kali orang ini," membatin Boma.

"Pak Broto, saya di sini!"

Pak Broto palingkan kepala ke arah datangnya suara. Tapi masih 

mencari-cari. Boma ingat. "Astaga, sampai lupa!" Cepat tangan 

kirinya diusapkan satu kali

ke bahu kanan tempat terletaknya Batu Penyusup Batin. Detik itu 

juga sosoknya nyata terlihat kembali.

"Anak gendeng, kau mempermainkan aku!" Pak Broto mendekat 

bersungut-sungut. Dia maklum kalau barusan Boma telah 

mempergunakan kesaktian Batu Penyusup Batin

untuk menghilang dan memunculkan diri.

"Dapat koinnya?" tanya Boma.

Pak Broto ulurkan kantong plastik yang dipegang. Boma 

memeriksa.

"Busyet! Banyak banget. Ini sih bisa bikin gelang sebaskom!"

Pak Broto tertawa lebar. "Gelangnya dapat?" tanyanya.

"Ada di dalam kantong," jawab Boma.

"Sekarang apa yang kita lakukan?"

"Kita cari tempat yang aman. Kita, maksud saya Pak Broto harus 

mampu membuat tiruan dua gelang emas dengan uang Iogam 

ini..."

"Gila, mana mungkin! Kamu kira aku ini pandai emas apa!"


"Ssst... Pasti bisa. Di Jakarta banyak orang bikin cincin dengan 

koin lima ratusan...."

"Mereka punya alat."

"Pak Broto juga punya alat." Jawab Boma.

"Gila! Aku punya alat apa? Aku cuma punya pentungan pendek! 

Hik... Hik... Hik. Itupun tidak bisa dipakai kalau nggak nenggak 

Majun Arab Iebih dulu."

Boma tertawa geli.

Di satu tempat sepi di tepi kali, Boma berhenti. Setelah menoleh 

berkeliling untuk memastikan tempat itu aman dan tidak ada 

orang lain, dari saku celana

Boma keluarkan dua gelang emas dalam bungkusan kertas.

"Ah..." Pak Broto keluarkan suara pendek tertahan. "Pak Broto, 

Bapak punya kesaktian, Bapak sanggup mengalirkan hawa panas.

Ambil empat uang logam lima

ratusan. Bikin leleh dengan kesaktian Bapak. Bikin tiruan gelang 

emas itu. Pak Broto pasti bisa"

Si Muka Bangkai terkesiap kaget.

"Gila, jangan bicara ngacok! Aku tidak pernah melakukan yang 

beginian! Mana mungkin!"

"Pak Broto bisa. Ayo Pak, waktu kita singkat sekali!" Si Muka 

Bangkai pandangi wajah Boma sesaat. Sambil geleng-geleng 

kepala orang tua ini keluarkan empat

uang logam lima ratusan. Boma ambil bungkusan plastik hitam 

dari tangan kiri Pak Broto sementara Pak Broto mulai 

menggenggam empat uang logam ditangan

kanannya. Sesaat dia merasa bimbang memandang ke arah Boma.

"Bisa Pak, Pak Broto pasti bisa!" Boma meyakinkan. "Demi 

Sumi Primbon Pak. Demi cemceman Bapak! Ayo!"

Mendengar disebutnya nama Sumi Primbon, seperti dapat 

semangat Si Muka Bangkai dongakkan kepala ke langit. Mata 

dipejam. Tubuh dan lengan kanannya bergetar

ketika dia mulai mengalirkan tenaga dalam mengandung hawa


panas sakti ke dalam genggaman tangan kanan. Boma 

memperhatikan dengan tidak berkedip, sesaat

kemudian dari genggaman tangan itu mengepul asap berwarna 

kekuningan. Untuk pertama kalinya Boma melihat wajah pucat 

putih Pak Broto berubah kemerahan

dan diperciki keringat pertanda dia tengah mengerahkan satu 

kekuatan tenaga dalam mengandung hawa panas luar biasa. 

Ketika lima jari yang menggenggam dibuka,

Boma melihat empat uang logam lima ratusan lenyap. Berubah 

menjadi cairan leleh berwarna kuning. Luar biasa!

"Sudah leleh Pak. Sekarang cairan logam itu harus dipulung-

pulung. Dibentuk menyerupai gelang ini." Boma tunjukkan satu 

dari dua gelang emas dan meletakkannya

di telapak tangan agar bisa dilihat jelas oleh Pak Broto. Orang tua

ini melakukan apa yang dikatakan Boma. Cairan uang logam 

yang panas, seolah tanah liat

mulai dipulung-pulung membentuk gelang emas.

"Jadi!" Si Muka Bangkai berseru dan memperlihatkan hasil 

pekerjaannya pada Boma.

Boma memperhatikan "Kok lain, Pak?"

“Apanya yang lain?”

"Ukurannya hampir sama. Tapi bentuknya berbeda. Yang asli 

lebih apik..."

"Lalu, musti bagaimana? Aku robah lagi mumpung masih 

lembek?"

"Jangan yang itu. Yang asli yang dirobah. Pasti lebih mudah dan 

bisa lebih menyamai yang palsu."

"Anak gendeng! Otakmu encer juga! Itu yang justru aku mau 

lakukan!" Si Muka Bangkai ambil gelang emas asli yang ada di 

atas telapak tangan Boma. Dengan

ujung jarinya gelang ini diusap-usap. Gelang Mengepulkan asap 

kuning. Sesaat kemudian gelang yang asli itu bentuknya telah 

berubah menjadi lebih sederhana,


menyerupai gelang yang dibuat dari uang logam lima ratusan.

"Nah, bagaimana menurutmu?" tanya Pak Broto.

"Sudah bagus. Tapi ada yang masih kurang. Gelang emas kok 

warnanya butek amat. Bisa dibuat mengkilap nggak? Warnanya 

dibikin lebih kuning."

"Wah, pecah otakku! Gimana caranya?"

"Dikawinin Pak. Ingat Bapak pernah cerita mengusap Batu 

Penyusup Batin palsu dengan yang asli?" 

Si Muka Bangkai terbelalak lalu tertawa mengekeh.

"Anak Gendeng! Otakmu luar biasa!" Gelang palsu dipegang di 

tangan kiri. Yang asli di tangan kanan. Lalu orang tua sakti ini 

kerahkan tenaga dalam dan

mulai menggosok-gosokkan dua gelang itu satu sama lain. Untuk 

kesekian kalinya muncul kepulan asap kuning.

"Sudah! Lihat!"

Si Muka Bangkai angsurkan dua telapak tangan yang 

dikembangkan ke arah Boma.

"Hebat, yang asli dan yang palsu hampir nggak keliatan 

bedanya." Ucap Boma. "Sekarang tinggal bikin satu lagi Pak."

"Tunggu dulu," ucap Si Muka Bangkai.

"Ada apa?"

"Aku kebanyakan mengerahkan tenaga dalam. Nafasku sesak. 

Perutku jadi mulas. Aku mau buang air dulu ke kali sana."

"Ala Mak...! Tahan Pak. Tolong ditahan. Waktu kita singkat. 

Bikin satu gelang lagi. Yang palsu saya bawa ke Pos Polisi, yang 

asli Bapak ambil, serahkan

pada Sumi Primbon"

"Kalau aku kebanyakan ngeden lalu berak di celana, aku nggak 

jamin!"

"Jamin Pak, jamin Bapak pasti nggak berak. Ayo Pak. Cepatan. 

Nanti keburu siang, Gelang palsu harus sudah ada di laci meja 

Pos Polisi sebelum polisi datang."

"Aku jamin mereka tidak akan datang lebih cepat dari kita,"


jawab Si Muka Bangkai sambil menyeringai.

"Kok Pak Broto tau?"

"Wong aku papasan sama mobil mereka di tengah jalan. Bannya 

aku gembosi. Hik... Hik... Hik..." Habis tertawa Si Muka Bangkai

ambil empat buah uang logam

lima ratusan dari dalam kantong plastik hitam. Lalu dongakkan 

kepala, pejamkan mata dan kepalkan jari-jari tangan kanan. Siap-

siap membuat gelang emas

tiruan yang kedua.

Boma memperhatikan. Dalam hatinya anak ini berucap terus 

menerus. "Jamin... Jamin. Jangan berak, jangan beol, Jangan 

berak, jangan beol!"

***

BASTIAN TITO 

BARA DENDAM CANDI KALASAN 

14

SUMI PRIMBON TERTOLONG


JAM delapan kurang lima keesokan paginya, Sukardi pemilik 

Toko Mas Sinar Terang di Pasar Beringharjo sampai di Pos 

Polisi, langsung masuk ke kamar kerja

Komandan Pos. Di situ sudah ada Sumi Primbon yang datang 

sejak menjelang pagi. Wajah perempuan gemuk ini tampak pucat 

dan keletihan. Konde besar di atas

kepala sudah miring ke kiri dan bibir yang selalu merah kini 

kelihatan kering tidak ada sentuhan lipstick. Selain Komandan 

Pos Serka Dulrohim Partowiluyo

yang duduk di belakang meja kerja, di kamar itu juga ada dua 

orang anggota Serse yang malam tadi menemui Sumi Primbon di 

Malioboro.

Komandan Pos Polisi memberi tahu pada pemilik toko mas 

bahwa pemanggilannya adalah untuk dimintai keterangan. 

Sekaligus sebagai saksi dalam peristiwa raibnya

dua gelang emas miliknya.


"Walau Pak Sukardi memang tidak melapor pada Kepolisian, 

kami mengetahui perkara kehilangan dua gelang emas itu melalui

berita di surat kabar. Kasus sekarang

menjadi bukan perkara yang bersifat delik aduan. Jadi kami harus

berlaku tanggap dan memanggil Pak Sukardi. Saya harap Pak 

Sukardi tidak keberatan untuk

menjawab beberapa pertanyaan."

"Tidak, saya tidak keberatan," jawab Sukardi.

"Tadi malam anggota kami secara tidak sengaja menemui dua 

gelang emas, dipakai oleh Ibu ini. Ibu Sumi Primbon pedagang 

lesehan di Malioboro. Kehadirannya

di sini adalah untuk memberi keterangan. Tapi jika keterangan 

dan kesaksian Pak Kardi nanti memberatkan dirinya, maka Ibu 

Sumi Primbon bisa-bisa jadi tersangka

dan mulai hari ini kami tahan..."

Mendengar kata-kata Serka Dulrohim itu Sumi Primbon langsung

menggerung. Diantara sesenggukannya dia berkata. "Jangan, 

jangan saya ditahan, Pak. Saya tidak

punya salah apa-apa. Saya tidak mencuri gelang emas itu. Saya 

dikasih. Dihadiahi seorang kenalan. Saya nggak tau dimana dia 

sekarang. Waktu memberikan

gelang ada selembar kertas. Surat pembelian. Tapi surat itu hilang

. Nggak tau keselip dimana. Saya sudah mencari di rumah, nggak 

ketemu. Bapak-bapak ini

tau Semua..." Sumi Primbon menunjuk dengan ibu jarinya ke 

arah dua orang anggota Serse yang menjemputnya di Malioboro 

tadi malam.

"Ibu Sumi, tenang saja. Tenang. Kalau Ibu tidak bersalah tidak 

usah takut..."

"Saya tidak mau ditahan. Saya memang tidak salah."

Serka Dulrohim anggukkan kepala. Lalu membuka laci meja 

sebelah kiri, mengeluarkan bungkusan kertas berisi dua gelang 

emas. Perhiasan itu diperhatikannya


sejenak. Agak lama. Ada sesuatu yang tidak dimengertinya tapi 

tak tahu apa. Dua gelang emas itu akhirnya diletakkan di atas 

meja, diangsurkan ke arah Sukardi.

"Coba Pak Kardi perhatikan baik-baik, apa benar ini dua gelang 

emas milik Pak Sukardi yang tempo hari katanya hilang secara 

aneh?"

Pemilik Toko Mas Sinar Terang itu mengeluarkan kaca mata, 

memakainya lalu memperhatikan dua gelang emas dengan sangat 

teliti. Perhiasan itu diusap-usap

berulang kali. Hatinya meragu. Dia melirik ke arah Sumi 

Primbon. Perempuan gemuk ini juga tengah memperhatikan dua 

gelang emas itu sementara di dalam hati

dia berkata. "Heran, kayaknya bukan itu gelang yang diberikan 

Mas Broto. Yang tadi malam diambil Polisi."

"Bagaimana Pak Kardi?" tanya Serka Dulrohim.

"Sebentar," jawab pemilik toko emas. Dari dalam saku celananya 

dia keluarkan sebuah benda berbentuk batu asahan kecil. Salah 

satu gelang emas digosokkannya

ke batu asahan itu. Bekas gosokan diperhatikan dengan sangat 

teliti. Sukardi geleng-gelengkan kepala.

"Bagaimana Pak Kardi?" tanya Serka Dulrohim kembali.

"Sebentar Pak. Saya ingin lebih memastikan. Ijinkan saya 

memotong salah satu dari gelang ini. Nggak usah kawatir, nanti 

tukang saya bisa sambung kembali."

Dari dalam kantong kemejanya Sukardi mengeluarkan sebuah 

benda berbentuk tang kecil.

"Kreekk!"

Salah satu dari dua gelang diputus Sukardi dengan tang itu. 

Ketika melihat bagian dalam kutungan gelap, Sukardi menarik 

nafas dalam.

"Palsu Pak," katanya. "Gelang ini palsu. Bukan emas. Bahannya 

logam dengan kadar kuningan tinggi campur sedikit suasa. Saya 

pasti ini bukan gelang jualan


saya yang hilang. Bentuk dan buatannya kasar. Saya punya jauh 

halus, jauh bagus dari ini. Ini buatan kampungan."

Serka Dulrohim terdiam. Sumi Primbon tercengang. Serse 

berambut gondrong mengambil gelang yang baru diputus lalu 

dicium-cium. "Memang bau tembaga," katanya.

"Bagaimana gelang satunya?" tanya Serse berambut cepak.

"Nggak usah saya periksa. Melihat saja sudah tau gelang itu juga 

palsu," jawab Sukardi.

"Bu Sumi," tiba-tiba Serka Dulrohim menyapa perempuan gemuk

pedagang lesehan di Malioboro itu. "Apa benar ini gelang yang 

dihadiahi kenalan Ibu?"

Sumi tak segera menjawab karena masih diselimuti rasa heran. 

Jelas-jelas itu bukan dua gelang yang pernah diberikan Mas Broto

padanya. Walau dua gelang

itu terbuat dari emas asli, tapi mengapa kini bentuknya jadi begitu

buruk.

"Anu Pak, gelang itu. Tadi malam..."

Hampir terlepas ucapan Sumi Primbon bahwa dua gelang emas 

itu tidak sama dengan yang pernah diberikan Mas Broto, dan 

yang disita Polisi tadi malam. Tiba-tiba

di telinga kiri Sumi Primbon ada suara orang berbisik.

"Bu Sumi, bilang aja itu memang gelang yang diberikan Pak 

Broto. Jangan sampai salah bicara."

"Anu bagaimana Bu Sumi?" tanya Serka Dulrohim.

"Maksud saya benar sekali. Dua gelang itu perhiasan yang 

dihadiahi kenalan saya. Tadi malam orang Bapak mengambilnya 

dari saya."

"Siapa nama kenalan Ibu Sumi itu?"

"Mas Broto."

"Orangnya kerja dimana?"

"Saya kurang tau Pak."

"Mosok sih dihadiahi gelang kerjanya Bu Sumi nggak tau."

"Bilang saja kerja di kapal." Kembali ada bisikan di telinga Sumi


Primbon.

"Nganu Pak. Kalau nggak salah Mas Broto kerja di kapal."

"Hmmm, begitu? Alamatnya tau?" tanya Serka Dulrohim lagi.

"Di Jakarta, bilang di Jakarta. Tapi jelasnya nggak tau." Lagi-lagi 

ada bisikan menuntun Sumi Primbon.

"Di Jakarta Pak. Tapi jelasnya saya nggak paham."

Serka Dulrohim ambil dua gelang emas lalu dibungkus kembali 

dengan kertas putih yang sudah Iusuh.

"Baiklah Pak Sukardi. Dari pertemuan ini jelas dua gelang emas 

ini selain palsu, juga bukan sebagai milik jualan Pak Sukardi 

yang lenyap. Jadi akan saya

kembalikan ke Ibu Sumi Primbon. Saya mengucapkan terima 

kasih atas kedatangan Pak Kardi. Seandainya ada perkembangan 

baru mungkin kami akan memanggil Pak

Kardi kembali."

"Saya selalu siap Pak," jawab si pedagang emas lalu menyalami 

Kepala Pos Polisi itu dan anak buahnya. Sebelum meninggalkan 

ruang dia berkata pada Sumi

Primbon kalau gelang yang tadi dipotong mau disambung 

kembali silahkan datang ke tokonya. Sumi Primbon mengangguk 

dan ucapkan terimakasih.

Setelah Sukardi pergi Serka Dulrohim menyerahkan bungkusan 

dua gelang pada Sumi Primbon.

"Bu Sumi, gelang saya serahkan kembali. Rupanya kenalan Ibu 

itu mendustai Ibu. Memberi gelang emas nyatanya palsu. Dari 

tembaga yang dipoles."

"Sebelumnya saya nggak tau Iho Pak kalau itu emas palsu. Kalau 

cuma tembaga buat apa saya ambil."

"Bu Sumi, gelang itu harus diambil. Jangan ditinggal." Terdengar

lagi bisikan di telinga Sumi Primbon.

"Jadi gelang palsu ini mau ditinggal?" Serka Dulrohim bertanya.

"Begini Pak, walau gelang-gelang itu palsu, hanya tembaga, tapi 

karena hadiah orang biar saya ambil lagi. Anggap saja kenang


kenangan pahit. Yang jelas

saya nggak bakal lagi mau kenal dan mau ketemu dengan Mas 

Broto penipu itu."

"Kalau begitu silahkan diambil..."

Sumi Primbon mengambil kedua gelang lalu melingkarkan di 

lengan kanannya. "Saya boleh pergi sekarang? Saya nggak 

ditahan?"

"Tidak, Ibu Sumi tidak ditahan. Ibu Sumi tidak punya salah apa-

apa. Malah telah jadi korban penipuan orang."

"Saya mohon diri,"

Sumi Primbon bangkit berdiri, membungkuk dalam hingga 

dadanya yang besar putih membuyut seperti mau melompat. Mata

Serka Dulrohim yang kurang tidur tadi

malam serta merta terpentang lebar.

"Saya mohon diri. Terima kasih Pak, semuanya..."

"Kapan-kapan kami boleh mampir di Malioboro?" tanya Serse 

yang kepalanya cepak.

"Ditunggu Pak. Makan sepuasnya gratis."

"Yang lainnya ada yang gratis nggak?" tanya Serse berambut 

gondrong jahil.

"Tinggal nyebutkan apa maunya, pasti gratis," jawab Sumi 

Primbon sambil merapikan konde besarnya lalu tertawa genit.

***

SEWAKTU Sumi Primbon kembali ke rumahnya, Pak Broto 

lagi-lagi sudah berada di dalam kamar. Langsung perempuan 

gemuk ini menyemprot.

"Udah jelek, nipu lagi!"

"Eh, siapa yang kamu maksud jelek dan nipu?" tanya Pak Broto.

"Siapa lagi? Pura-pura! Kamu! Gelang emas yang kamu kasih itu 

dua-duanya palsu. Bukan emas tapi tembaga!"

"Tunggu, jangan salah sangka Sum. Semua ini memang sudah 

diatur agar rahasia tidak terbuka."


"Rahasia? Memangnya ada rahasia apa? Sudah, aku nggak suka 

kamu lama-lama di sini. Pergi, jangan berani balik. Jangan berani

datang ke Malioboro! Hampir

aku jadi narapidana! Masuk bui! Gara-gara kamu! Tua bangka 

jelek! Bau!"

"Owallah Sum.... Sumi. Dengar dulu, aku mau kasih keterangan. 

Tapi aku mau tanya, anak itu mana? Tidak sama-sama kamu?"

"Anak yang mana?! Siapa?!"

"Anak yang malam tadi datang ke sini bersamaku. Boma..."

"Aku nggak tau!"

"Pak Broto, saya ada di sini," satu suara terdengar lalu sosok 

Boma muncul di dalam kamar. Tangan kirinya menenteng 

kantong plastik hitam berisi uang logam

lima ratusan.

"Oo dia?" ucap Sumi Primbon sambil pencongkan mulut. 

"Sekarang sudah ketemu. Ayo pergi sana. Dua-duanya!"

"Sum, anak ini yang nolong kamu. Kalau tidak kamu sudah 

jeblos masuk bui!"

"Nggak percaya aku! Nggak ada yang nolongi aku. Kau sendiri 

enak-enakan di sini!"

"Bu Sumi, Pak Broto nggak bohong. Kami berdua mengatur 

siasat. Pak Broto kerja lain, saya nemani Ibu. Saya yang ngebisiki

Ibu waktu di Pos Polisi."

"Apa?!" Sumi Primbon kaget. Dia ingat bisikan yang beberapa 

kali masuk ke telinganya waktu ditanyai Serka Dulrohim.

"Nggak ngerti aku. Kau bilang ngebisiki, tapi aku nggak ngeliat 

kamu di kantor Polisi di sana."

"Boma, ceritakan saja sama dia. Mulai dari kau mengambil dua 

gelang emas dari laci meja di Pos Polisi. Aku mencari uang 

logam, lalu kita membuat gelang

tiruan.."

"Ah, baiknya biar Pak Broto saja yang cerita. Saya mau pergi. 

Saya musti mencari Ibu Renata."


"Kau mau mencari kemana?"

Boma menggeleng. "Saya memang nggak tau. Tapi kalau cuma 

diam saja, mana mungkin bisa."

Boma letakkan kantong plastik berisi uang logam di tepi tempat 

tidur. Lalu dari dalam saku celananya dia keluarkan dua gelang 

emas asli milik Sumi Primbon

yang bentuknya sudah berubah. Gelang itu diletakkannya di 

samping kantong plastik.

"Ini gelang milik Ibu. Benar-benar emas. Cuma bentuknya sudah 

dirobah, disamakan dengan yang palsu. Kalau ibu pakai lagi, 

tidak ada yang curiga..."

"Bocah edan! Jadi itu maksudmu menyuruh aku agar merubah 

gelang asli lalu menyamakan gelang palsu dengan yang asli itu! 

Otakmu cerdik sekali."

Boma tersenyum. "Pak Broto, Ibu Sumi, saya mohon diri..."

"Tunggu dulu, aku mau tahu cerita jelasnya," ucap Sumi 

Primbon. Tapi Boma sudah keluar dari kamar.

"Anak gendeng! Jangan pergi sendirian! Orang mengincar 

nyawamu! Biar kutemani!"

Pak Broto alias Si Muka Bangkai mengejar keluar. Tapi Boma 

tak kelihatan lagi.

"Anak itu, pasti dia menggunakan kesaktian batu itu. Ah, kemana

aku harus mencarinya."

"Mas Broto," suara Sumi Primbon terdengar di samping. 

"Mungkin tadi aku kesusu marah. Aku beneran nggak tau kalau 

Mas Broto sama anak itu telah menolongku.

Aku... Mas, biar seger apa nggak mandi dulu?"

Si Muka Bangkai tersenyum.

"Maunya sih begitu. Mandi basah mandi kering. Hik... Hik! Tapi 

aku sudah janji sama anak itu. Malah sumpah! Kalau dia 

menolongmu dari tangan Polisi aku

akan menolong menyelamatkan ibu gurunya yang diculik! Aku 

harus pergi Sum. Nanti aku balik...."


"Aku kangen lho Mas," ucap Sumi Primbon perlahan dan lirih.

Hati Mas Broto tergetar juga. Tapi dia tidak mau mengingkari 

janji dan sumpah. "Nanti malam aku datang. Aku harus nyari 

Majun Arab dulu. Nggak dapat Majun

Arab aku nggak kembali. Percuma...." Sumi Primbon masih 

berusaha menahan tapi sang Mas Broto sudah keburu pergi.

***

KETIKA Allan dan Gita sampai ke Wisma di Jalan Kolonel

Sugiyono pada jam 12.05 malam, Wisma berada dalam keadaan

sepi. Tidak seorangpun teman-teman mereka

ada di situ. Seorang karyawan Wisma yang kemudian ditemui

memberi tahu berita yang sangat mengejutkan kedua pelajar

SMU Nusantara III. Ibu Renata diculik,

sekarang entah berada di mana. Boma pergi tidak tahu kemana,

mungkin mengejar ke Candi Sewu.

"Tuh, Lan. Betul nggak?" kata Gita sambil memegang lengan

Allan. Tubuhnya mendadak terasa lemas. "Aku bilang apa waktu

di Malioboro. Perasaanku nggak enak.

Pantes si Andi sama si Firman ditungguin nggak muncul-

muncul!"

"Anak-anak yang lain?" tanya Allan.

"Tadi ada anak-anak diantar sama mobil Wisma ke Kantor Polisi

untuk melapor. Mereka kembali setengah jam lalu. Langsung

berangkat ke Candi Sewu, diantar

empat orang petugas Kepolisian." Menerangkan karyawan

Wisma. Lalu menambahkan. "Tak lama setelah anak-anak dan

Polisi berangkat ke Candi Sewu, Pak Sanyoto

datang. Saya beri tau apa yang terjadi. Pak Sanyoto langsung

pergi lagi. Katanya juga mau ke Candi Sewu."

"Ah. Kalau si Umar itu sih gak gue pikirin," kata Gita lalu anak

perempuan ini tekapkan dua tangan ke wajahnya yang gemuk

berminyak beberapa saat. Tanpa



menurunkan tangan dia berucap suaranya seperti mau menangis.

"Kok musibah enggak habis-habisnya sih? Lan, kita... Kita mau

ngapain sekarang?" 

"Maunya sih nyusul ke Candi Sewu. Tapi aku nggak tau jalan."

Gita turunkan tangannya, memandang pada karyawan Wisma.

Lelaki ini maklum arti pandangan Gita, "Maaf mbak. Saya nggak

bisa nolong. Saya tugas sendirian

malam ini."

"Gini aja Git," kata Allan. "Kita cari kendaraan apa aja. Taksi

kek, omprengan kek. Yang penting kita musti nyusul ke Candi

Sewu. Aku kasihan sekali sama

Ibu Renata..."

Ketika kedua anak itu hendak beranjak pergi, karyawan Wisma

cepat berkata. "Candi Sewu jauh dari sini. Saya sarankan

sebaiknya tunggu di Wisma. Jauh malam

begini sulit cari kendaraan ke sana."

Allan dan Gita dalam bingungnya tidak bisa menjawab. Tidak

tahu mau berbuat apa lagi. Tapi cuma sesaat. Ketika Gita menarik

tangan Allan, anak ini ikut

melangkah ke luar Wisma. Di halaman Wisma di depan teras

Allan melihat sebuah sepeda motor Honda Astrea diparkir.

Kelihatannya masih baru.

"Itu motor siapa?" tanya Allan pada karyawan Wisma.

Mula-mula karyawan ini tak mau menjawab. Tapi akhirnya

memberi tahu kalau motor itu miliknya.

"Saya pinjam."

"Bensinnya nggak ada," menerangkan si karyawan. Mungkin dia

hanya bohong karena tak mau memberi pinjam.

"Saya beliin!" jawab Allan. Mukanya yang jerawatan kini

kelihatan sangar.

"Katanya nggak tau jalan." 

"Nanya-nanya pasti ketemu. Segimana sih besarnya Jogja ini!"

sahut Allan yang jadi kesal karena orang yang dimintai tolong


selalu mencari dalih.

Segan-seganan akhirnya karyawan Wisma mengeluarkan kunci

motor dari saku celananya. Waktu menyerahkan kunci orang ini

berkata. "Hati-hati. Kreditnya belum

lunas."

Duduk di belakang Allan, sebelum motor meluncur keluar dari

pintu depan Wisma, Gita sempat bertanya. "Lan, seinget aku

kamu nggak punya SIM."

"Ada, SIM delman," jawab Allan sambil nyengir lalu membedal

gas Honda Astrea.

Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Allan dan Gita keluar dari

pintu gerbang Wisma di Jalan Kolonel Sugiyono itu.

***

BASTIAN TITO 

BARA DENDAM CANDI KALASAN 

15

DUA MAKHLUK MEMBEKAL BARA DENDAM

MULUT termonyong-monyong meniup harmonika. Tangan kiri

menggoyang rebana yang ada kerincingan, ditimpal tangan kanan

sesekali menepuk gendang kecil yang

digantung di bawah perut, kakek berambut pirang kaku

melangkah meliuk-liuk sambil pantat diogel-ogel. Di sebelah

depan perutnya, sebuah anting menyantel

di pusarnya yang bodong. Di belakang punggung tergantung

sebuah payung kertas. Kalau hal ini terjadi siang hari dan di

tempat ramai pasti banyak orang

akan mengikuti langkah si kakek.

Saat itu malam hari, sunyi dan dingin. Langit pekat menghitam.

Kegelapan menyelimut dimana-mana. Si kakek aneh terus saja

berjalan meliuk-Iiuk sambil meniup

harmonika, menggoyang rebana, menabuh gendang.

Di satu kelokan jalan, dekat kerimbunan semak belukar si kakek

hentikan langkah lalu duduk menjelepok di tanah.


"Capek ah... istirahat dulu ah...." ucapnya.

Dia meraba saku jaket blujins sebelah kanan. Dari dalam saku

jaket itu dikeluarkannya sebuah pisang rebus yang sudah medel.

Kulit pisang dikupas lalu makanlah

si kakek dengan mulut mengeluarkan suara berciplak keras.

Habis pisang dimakan, kakek ini julurkan kaki, usap perut

beberapa kali. "Lumayan, buat ganjalan sampai menjelang pagi.

Mudah-mudahan saja besok pagi ada

rejeki makanan besar menanti." Lalu dia menguap lebar-lebar,

menggeliat dan pejamkan mata seperti orang mau tidur namun di

lain saat mulutnya kembali

keluarkan suara.

"Perjalanan masih cukup jauh. Makhluk yang menguntit diriku

sejak tadi, apakah kamu mau unjukkan diri atau mau terus saja

sembunyi?"

Si kakek bicara sambil matanya memandang berkeliling.

Setelah menunggu beberapa ketika tak ada jawaban si kakek

kembali berkata. "Ah, tak ada jawaban. Tidak apa. Mungkin malu

unjukkan diri karena tampangnya

jelek. Bopeng barang kali! Hik... Hik... Hik! Mungkin juga yang

menguntit bukan manusia tapi setan yang tidak punya wajah!

Hik... Hik... Hik!"

Tiba-tiba sesiur angin bertiup. Bau harum semerbak menebar di

tempat itu hingga si kakek kembang-kempis cuping hidungnya

menghirup-hirup.

"Bau harum. Tapi bukan harumnya menyan. Berarti bukan setan

kuburan yang lagi gentayangan," kata si kakek perlahan. Lalu

dengan suara lebih keras dia berkata.

"Mustahil ada malaikat atau bidadari turun ke bumi malam-

malam begini, di tempat seperti ini. Jangan-jangan gendoruwo

yang kesasar kebelet kencing, sembunyi

di balik belukar. Tapi mengapa tidak ada bunyi suara besernya?

Awas, kalau sampai aku sempat mengintip baru tahu rasa! Tapi!


Ah tidak, jangan! Nanti mataku

bisa bintitan! Hik... Hik... Hik!"

Si kakek tiup harmonikanya satu kali, goyang rebana dan pukul

gendang lalu bangkit berdiri. "Kalau tidak mau unjukkan diri ya

sudah. Tapi jangan harap

bakal bisa menguntit diriku lagi!"

Dua kaki si kakek bergeser di tanah. Dalam gelap tampak debu

tanah beterbangan. Agaknya kakek aneh ini tengah keluarkan

satu ilmu yang bisa membuat dirinya

serta merta lenyap dari tempat itu dan tak mungkin dikuntit lagi.

Namun sebelum dia benar-benar berkelebat pergi, tiba-tiba

terdengar satu suara.

"Aku sejak tadi ada di sini. Apa matamu buta tidak melihat?"

"Glek!"

Si kakek telan ludah terkejut. Cepat berpaling ke kiri. Astaga!

Di sisi kiri si kakek saat itu berdiri seorang gadis berwajah luar

biasa cantik. Rambut pirang sepinggang, pakaian biru tipis dan

tubuh menebar bau harum

mewangi. Si kakek terperangah, tersurut mundur beberapa

langkah lalu blukk! Jatuh duduk di tanah.

"Mulutku tadi mungkin terlalu lancang. Namun apakah saat ini

jangan-jangan aku tengah berhadapan dengan makhluk yang

namanya bidadari." Si kakek keluarkan

ucapan sambil dua telapak tangan dirapatkan satu sama lain.

Gadis yang berdiri, di hadapan si kakek cuma tersenyum.

Senyuman ini membuat dua lesung pipit muncul di pipi kiri

kanan, menambah kecantikan wajahnya.

"Ah... " si kakek tambah blingsatan dan oleng-goleng kepala. Dia

tiup harmonikanya keras-keras, goyangkan rebana lalu pukul

gendang. "Tuhan Maha Besar.

Saat ini aku diberikan kenikmatan luar biasa. Dipertemukan

dengan seorang bidadari."

"Orang tua, aku bukan bidadari. Aku manusia biasa sama seperti


dirimu."

"Aih, suaramu merdu sekali!" si kakek geleng-geleng kepala.

"Aku tua bangka keriput, rada-rada bau apek. Kau gadis muda

belia cantik luar biasa bertubuh

harum. Mana mungkin kau bilang kita sama? Hik... Hik... Hik."

"Kek, terus terang aku ini lagi kesasar. Tidak tahu jalan. Mungkin

kau bisa menolong..."

"Ah, begitu...? Tapi kau mengikuti diriku..."

"Betul, aku mengikuti sejak kau meninggalkan Candi Mendut.

Aku tak tahu mau kemana. Waktu aku lihat dirimu di tengah jalan

langsung saja aku mengikuti..."

"Kenapa mengikuti diriku. Kenapa tidak tanya orang lain? Kau

bilang kesasar. Kemana tujuanmu. Lalu siapa dirimu sebenarnya?

Apa kau punya nama?" Si gadis

tersenyum. "Pertanyaanmu banyak amat. Aku belum mau

menjawab kalau kau tidak memberi tahu siapa dirimu lebih dulu,

juga kemana tujuanmu."

"Kemana tujuanku itu adalah satu rahasia besar. Tapi kalau mau

tahu siapa diriku, aku bersedia mengatakan. Namaku Labodong.

Orang-orang menjulukiku Si

Pelawak Sinting. Pekerjaanku mengamen. Nah, ceritakan siapa

dirimu."

"Maaf, siapa diriku aku tidak akan mengatakan apa-apa. Aku

datang dari alam lain...." 

"Heh!" si kakek bersurut satu langkah.

"Maksudmu... Maksudmu kau ini setan, sebangsa jin, hantu

pelayangan atau...."

"Terserah kau mau menganggap diriku ini apa. Ujudku begini.

Inilah aku adanya."

"Rambutmu pirang, rambutku juga pirang. Sama..." kata si kakek

pula.

"Rambutku pirang asli. Rambutmu dicat, kaku. Pasti susah

disisir."


Si kakek tertawa mengekeh. Saat mulutnya terbuka lebar

kelihatan barisan giginya berwarna putih perak karena dilapisi

kertas timah pembungkus rokok.

"Kek, aku juga tahu, kau adalah makhluk dari alam lain. Malah

terpaut ribuan tahun dari alamku...."

Si kakek terkejut. Gagap dia bertanya.

"Ba... Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ada tanda yang mungkin kau sendiri tidak menyadari."

"Tanda? Tanda apa...?"

"Raba bagian belakang telinga kananmu. Disitu ada satu benjolan

kecil berwarna merah...."

Labodong alias Si Pelawak Sinting pengamen dari Candi Mendut

lakukan apa yang dikatakan si gadis. Dan jadi terkejut!

"Eh, kau benar! Aku sendiri tidak tahu kalau ada tanda seperti ini.

Gadis cantik, aku minta, katakan siapa dirimu sebenarnya."

Si gadis menggeleng. "Aku cuma bisa memberi tahu.

Kehadiranku jauh sampai ke sini adalah mencari seseorang."

"Mencari seseorang?"

Si gadis mengangguk.

"Lelaki atau perempuan?" tanya kakek Pelawak Sinting.

"Lelaki."

"Hemmm...." Pelawak Sinting bergumam sambil matanya

memandang lekat-lekat ke wajah sang dara.

"Hai! Tunggu!" Kata si kakek setengah berteriak.

"Ada apa?"

"Jangan-jangan kau adalah nenek sakti Sinto Gendeng yang

sengaja menyamar mencariku!"

Disebutnya nama Sinto Gendeng membuat si gadis terkejut.

Wajahnya yang cantik berubah.

"Bagaimana kau tahu nama itu. Kau kenal dengan Sinto

Gendeng?"

"Kenal belum, bertemupun belum. Tapi aku ditakdirkan berjodoh

dengan dirinya. Aku akan kawin dengan nenek itu!"


Si gadis terdiam, lagi-lagi kaget. Lalu tertawa lebar.

"Aku bukan Sinto Gendeng. Aku tidak dalam penyamaran. Ujud

asliku adalah seperti yang kau saksikan saat ini."

"Kalau kau tidak ada hati terhadapku lalu mengapa kau menguntit

diriku sejak dari Candi Mendut? Gadis cantik, dengar. Aku

bersedia memutuskan rencana perkawinanku

dengan Sinto Gendeng asal kau mau menjadi penggantinya."

Sang dara tertawa panjang lalu berkata. "Kau adalah orang

pertama dari alam lain yang aku ketahui

keberadaannya, Seperti kataku tadi, aku muncul di alam ini

karena mencari seseorang."

"Katamu orang itu laki-laki. Dia itu, musuh atau seorang

sahabat?"

"Dia musuh besarku."

"Berarti kemunculanmu membawa dendam luar biasa besar?"

Si gadis anggukkan kepala.

"Katakan siapa orang yang kau cari itu."

"Dia dikenal dengan julukan Pangeran Matahari."

"Astaga naga!"

"Kau kaget. Berarti kau tahu orang itu. Katakan Kek, dimana

dia?!"

"Beberapa waktu lalu dia nyaris mau membunuh diriku."

Menerangkan Labodong alias Si Pelawak Sinting.

"Berarti kita berada di pihak yang sama."

"Aku juga punya bara dendam kesumat terhadap bangsat satu

itu."

"Apa yang dilakukannya terhadapmu?" tanya si gadis.

"Dia, membunuh adik kandungku," jawab Labodong. (Baca

Episode pertama berjudul “

Topan Di Borobudur

”). "Saat ini aku dalam perjalanan...." Pelawak Sinting buru-buru

hentikan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan bicara.

"Kau sepertinya tidak percaya pada diriku...."


Si gadis tampak agak kecewa.

"Gadis cantik, walau katamu kita berada di pihak yang sama,

sama-sama membekal dendam terhadap Pangeran Matahari, tapi

nyawa bangsat itu adalah milikku.

Dia harus mampus di tanganku!"

"Soal membunuh Pangeran Matahari, aku atau kau, kepastiannya

adalah siapa yang lebih cepat di antara kita."

"Kalau begitu aku tidak akan sudi memberi tahu keberadaan

bangsat itu padamu. Aku tidak mau kedahuluan olehmu."

"Terserah saja. Itu hakmu," jawab si gadis.

Si Pelawak Sinting diam sesaat lalu berkata.

"Sebelum kita berpisah, apa kau mau menjelaskan, dendam

kesumat apa yang ada antaramu dengan Pangeran Matahari?"

"Pangeran bejat itu membunuh Pandan Arum, saudara

kembarku." (Baca serial Wiro Sableng berjudul “

Wasiat Iblis

” terdiri dari 8 Episode)

"Oallah...." ucap Si Pelawak Sinting. "Ternyata dendammu tidak

kalah hebatnya dengan dendamku."

"Karena itulah aku minta bantuanmu. Kalau kita bisa sama-sama

mencari Pangeran Matahari dan membalaskan bara dendam

kesumat sakit hati kita..." Pelawak

Sinting gelengkan kepala. "Soal nyawa Pangeran Matahari tetap

adalah urusanku sendiri. Kau jangan ikut campur. Kita berpisah

di sini."

Pelawak Sinting hendak putar tubuh tapi batal karena sang dara

berseru.

"Tunggu!"

"Ada apa?" tanya si kakek.

"Kalau Pangeran Matahari mampu membunuh adikmu, kurasa

tak terlalu susah baginya untuk menghabisi dirimu. Kecuali kau

memiliki ilmu kesaktian jauh diatas

adikmu itu."


Pelawak Sinting terdiam sesaat. Akhirnya kakek ini berkata.

"Jangan kau menakut-nakuti diriku dengan ucapan itu!"

"Kek, jika kau tidak mau bersahabat denganku dan membagi

keterangan, aku terpaksa akan menguntit dirimu kemanapun kau

pergi."

"Aku tidak takut ancamanmu. Silahkan saja kalau kau mampu!"

Habis berkata begitu Si Pelawak Sinting tiup harmonika, pukul

gendang dan kencringkan rebana. Dua kaki digeser. Debu tanah

beterbangan ke udara. Saat itu

juga tubuhnya lenyap dari pemandangan. Setelah lari cukup lama

dan cukup jauh si kakek berpaling ke belakang. Dia tidak melihat

bayangan si gadis. Merasa

telah meninggalkan sang penguntit kakek ini perlambat larinya.

Namun ketika dia palingkan kepala kembali ke depan, kagetnya

bukan alang kepalang. Gadis

cantik jelita berambut pirang berpakaian biru tipis itu tampak

tegak berdiri sekitar sepuluh langkah di depan sana, bertolak

pinggang sambil tersenyum.

"Ooladalah. Ilmu kesaktian apa yang dimiliki gadis ini.

Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di depanku?" Si Pelawak

Sinting hentikan lari.

Si gadis bergerak mendekati. Sampai di hadapan si kakek dia

keluarkan ucapan. "Bagaimana? Apakah kita bisa bersahabat dan

membagi beban bara dendam kesumat

sakit hati kita?"

"Dengan satu syarat."

"Apa?"

"Katakan siapa namamu."

"Namaku Pandan Wangi."

"Aku tahu, orang berkepandaian tinggi sepertimu, di alammu

selalu punya gelar atau julukan. Kau punya?"

"Mereka memanggilku dengan julukan Bidadari Angin Timur.

Kurasa itu terlalu berlebihan..."


"Tidak...." jawab si kakek sambil leletkan lidah. "Mereka tidak

berlebihan. Wajahmu secantik bidadari. Kecepatanmu melebihi

tiupan angin. Bidadari Angin

Timur. Itu julukan yang sangat pantas bagimu."

"Kalau begitu kita bersahabat?" tanya sang dara pula sambil

tersenyum.

"Mulai saat ini!" jawab si kakek lalu angkat telapak tangannya.

Pandan Wangi alias Bidadari Angin Timur juga angkat

tangannya. Dua telapak tangan yang saling dikembangkan lalu

diadu satu sama lain. Tos!

Setelah saling beradu telapak tangan si kakek letakkan telapak

tangan kanannya ke hidung.

"Hemmm... Harum..." katanya sambil bola mata dibolak-balik.

Si gadis tersenyum dan berkata.

"Kakek sahabatku, aku punya satu permintaan. Kau boleh

mengatakan siapa namaku pada siapa saja. Tapi jangan sekali-

kali memberi tahu nama julukanku. Apakah

aku bisa mempercayaimu?"

"Beres!" jawab Si Pelawak Sinting.

"Kita pergi sekarang."

"Kemana?"

"Candi Kalasan. Musuh besar kita, Pangeran Matahari ada di

tempat itu!" jawab Pelawak Sinting. Lalu melesat.

"Candi Kalasan" mengulang Bidadari Angin Timur.

Sekali dia berkelebat, saat itu juga dia sudah berada di samping si

kakek yang sebelumnya telah mendahului di sebelah depan

sejauh enam meter.

"Luar biasa!" kata Si Pelawak Sinting dalam hati sambil melirik

ke samping. "Aku berdoa, mudah-mudahan dia memang Sinto

Gendeng calon istriku yang sedang menyamar!"


***

Terselamatkankah Ibu Renata dari perbuatan keji dan mesum

Pangeran Matahari? 

Dapatkah Boma mempertahankan Batu Penyusup Batin yang

diinginkan Si Muka Bangkai? Atau anak ini harus menerima

kematian di tangan Kunti Api dan Pangeran Matahari? 

Siapa sebenarnya perempuan cantik bermahkota bersosok samar

yang menolong Boma? 

Kemunculan Bidadari Angin Timur apakah akan merupakan

pertolongan bagi Ibu Renata dan Boma ataukah menambah

kacaunya keadaan?

Semua akan anda dapat jawabannya dalam Episode berikut yang

segera terbit :


"PURNAMA DI PRAMBANAN


0 komentar:

Posting Komentar