BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 10 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE PUSAKA TUAK SETAN


PENDEKAR MABUK EPISODE PUSAKA TUAK SETAN

 Serial : Pendekar Mabuk 

Judul : 02. Pusaka Tuak Setan 


 

SATU



SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi 

pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu 

arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang 

perempuan muda bersenjatakan cambuk di 

pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam 

keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris 

terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan 

muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk 

memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya 

melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu 

jatuh tertelungkup di belakang leher kuda. 

Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata 

memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian 

kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan 

pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak. 

Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan 

rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar 

pundak dan punggung. 

la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi 

sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur 

perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun 

sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang 

kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan 

luka dalam yang cukup berat dan perlu segera dibawa 

pulang ke perguruan.Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang 

perguruan yang bagian atasnya bertuliskan : 

"Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat 

sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang 

yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga 

pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak. 

Salah seorang berseru, 

"Murbawati...?! Oh, kenapa dia?!" 

"Kelihatannya terluka cukup berat!" 

"Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru!" 

Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua 

penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui 

bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera 

dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut 

menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di 

sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang 

berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka. 

Seorang perempuan berwajah cantik, namun 

sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang 

duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana. 

Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah 

dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga 

pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat 

membayang di balik jubah kuningnya. 

Rambutnya yang panjang sebatas pinggang 

dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada 

kiri sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat 

kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera 

yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas. 

Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya 

jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap 

bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam 

logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih 

berkilauan.


Orang yang mengantarkan Murbawati berseru 

beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul 

itu. 

"Nyai Guru...! Murbawati terluka!" 

Perempuan berselubung kain jubah kuning gading 

itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang 

disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati 

terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai 

Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata 

terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila 

dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera 

mengerumuni kuda tunggangan Murbawati. 

"Jangan dipakai buat tontonan!" seru Betari Ayu. 

"Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!" 

Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk 

penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu 

dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu 

yang dilapisi kain tebal. 

"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu kepada para 

penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh, 

segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini 

yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu. 

Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot 

pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi 

menggeletuk, mata pun menjadi menyipit. 

Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh 

di dalam dadanya yang terasa hampir meledak 

melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan 

sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam, 

mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun 

tampak indah itu. 

"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang!" 

Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu 

memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi

Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang 

mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda 

itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah 

mereka juga memancarkan ketegangan dan 

kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan 

saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat 

hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas 

pembalasan. 

"Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh 

Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu tanpa 

memandang kedua muridnya. 

Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun 

yang dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik 

Bidadari Jalang itu, Nyai Guru." 

"Benar! Dan rupanya dia sudah campur tangan 

dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada 

geram. 

"Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang 

mengenakan pakaian merah dadu bak buah jambu 

yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih. 

la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang 

guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya. 

"Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur!" 

"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan 

terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari 

Jalang." 

Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang 

pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui 

ciri pukulan itu!" 

"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa' 

milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia 

menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut. 

Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan 

pukulan 'Guntur Perkasa'."


"Alasanmu?!" sergah Betari Ayu. 

"Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan 

'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini 

tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain 

membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga 

membuat tubuh lawan menjadi cepat membusuk. 

Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai 

sekarang, Guru?" 

"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap 

dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu 

dalam hal ini. 

Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati, 

memandangnya beberapa saat, kemudian berkata 

kepada kedua muridnya. 

"Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur!" 

"Benar bagaimana, Guru?!" sergah Dewi Murka. 

"Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur 

Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya 

menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya 

mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat 

menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati 

tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan 

pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang." 

Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi, 

karena semua keputusan gurunya tak berani 

disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam 

dengan trisula di pinggang, hanya diam dan 

memandangi tubuh Murbawati. 

Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya, 

"Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini, 

Guru?" 

"Lupakan dulu tentang siapa penyerang 

Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku 

menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki


Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui 

bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang 

Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum 

kulepaskan tanganku dari dada Murbawati." 

"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap 

patuh. 

"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas 

semuanya, Guru?" 

"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya 

saja...!" 

Di luar ruang penyembuhan itu, para murid 

Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk 

membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling 

menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai 

kepastian tentang siapa penyerang Murbawati 

sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam, 

merasa marah melihat saudara seperguruan 

mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu 

pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri, 

sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru 

yang mereka segani itu. 

Murbawati dikenal di lingkungan perguruan 

sebagai murid yang cekatan dan pandai menyusup. 

Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga 

jika mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah 

sebuah perintah merupakan suatu penghormatan 

besar baginya. 

Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui 

Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu 

Lembah Asmara, guna menyampaikan undangan dari 

Nyai Guru Betari Ayu. Pertemuan itu akan diadakan 

tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta 

kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk 

membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda yang


dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara. 

Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan 

baik, maka Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut 

kepada Ratu Lembah Asmara sebagai tempat 

bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta. 

Tetapi belakangan hari, Betari Ayu membutuhkan 

tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya 

yang berkembang kian pesat itu. 

Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan sikap 

Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai 

utusan Perguruan Merpati Wingit disambut dengan 

permusuhan. Sang utusan dilukai sedemikian 

parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari Ayu 

terpaksa mengerahkan banyak tenaga hingga 

beberapa waktu lamanya. 

Murbawati tersentak dan segera memuntahkan 

cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini 

pertanda racun pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa 

Murbawati tertolong. Namun perempuan muda itu 

belum bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas, 

hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat 

beberapa waktu lamanya. 

Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di 

serambi depan kamarnya. la termenung 

mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya. 

Jelas, melukai muridnya sama saja menantang 

pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar Ratu 

Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat 

Betari Ayu, Ratu Lembah Asmara tidak memiliki 

pukulan yang mirip sekali dengan pukulan 'Guntur 

Perkasa' milik Bidadari Jalang. 

"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan, 

selalu saja pukulan yang mematikan yang 

dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti


ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata benar bahwa 

Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah 

Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu? 

Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku? 

Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku? 

Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku 

pernah menolong nyawanya dari ancaman maut 

Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?" 

Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam 

hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh 

seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus 

menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya 

wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah 

Bidadari Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari 

Jalang pernah terjadi bentrokan ketika 

memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk 

Marah Gadai. 

Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut 

wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah 

Gadai. Ada hati yang bersemi di dalam dada Betari 

Ayu. Ada cinta yang tumbuh di dalam hati Betari Ayu. 

Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan 

Bidadari Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang 

saat ia memergoki Datuk Marah Gadai bercinta 

dengan Bidadari Jalang. 

Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu. 

Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan rasa 

cemburu yang mendidihkan darahnya. Tetapi, 

Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah 

dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang terluka 

dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang. 

Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di 

dalam raga Betari Ayu. 

Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah Gadai


tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu. Datuk Marah 

Gadai justru pergi bersama Bidadari Jalang, 

melanjutkan cengkeramanya di tempat lain. 

Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam 

Bidadari Jalang sampai sekarang masih sesekali 

menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas 

pukulan itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu 

jadi tersumbat, membuat Betari Ayu mengalami 

kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau 

mati. Sampai sekarang Betari Ayu belum bila 

melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang 

bermukim di bagian jantung dan paru-parunya. 

Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati, 

terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah 

Gadai. Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari 

Ayu, yang tidak tahu kapan akan dibalaskan 

dendamnya. Karena selama bekas pukulan 

'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan, Betari Ayu 

belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas 

pukulan itu kambuh pada saat pertarungan, maka 

jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh 

salah satu dari mereka. 

Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang 

selalu menolong Betari Ayu jika sedang kambuh. 

Tanpa melalui hawa murni mereka, maka 

penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan 

darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan 

menewaskan nyawa sang Guru yang banyak 

menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya. 

Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru 

sedang termenung. la mencoba mendekati dengan 

hati-hati. Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk 

didekati, sehingga sang Guru menegur lebih dulu. 

"Ada yang ingin kau sampaikan padaku, Selendang


Kubur?" 

Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la 

biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera 

berkata, 

"Bicaralah. Tak ada yang perlu kau ragukan!" 

"Saya hanya ingin membicarakan tentang 

Murbawati, Guru." 

"Apa pendapatmu tentang dia?" 

"Murbawati telah siuman. Agaknya ia ingin bicara 

dengan Guru." 

Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada kelegaan 

di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera 

bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang 

Kubur mengikuti langkah gurunya dari belakang. Di 

sebuah tikungan lorong, Dewi Murka melihat 

kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur. Hatinya 

segera membatin. 

"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai Guru 

dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur 

sedang cari muka agar mendapat pujian di hati Nyai 

Guru. Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka 

supaya Selendang Kubur tidak punya kesempatan 

untuk mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah 

Dewi Murka menyusul langkah gurunya dan 

Selendang Kubur. 

Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah 

kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas 

langkah. Selendang Kubur memejamkan mata 

sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan ia 

segera mengenali langkah dan napas yang ada di 

belakangnya adalah milik Dewi Murka. Selendang 

Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya. 

Belakangan ini, keduanya memang saling 

bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari Ayu


berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari dunia 

persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di 

perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai 

saat itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan 

menggantikan kedudukannya sebagai Ketua 

Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang pilihannya 

ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur, 

karena hanya mereka berdualah yang mempunyai 

ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya. Bahkan 

Murbawati masih berada dua tingkat di bawah 

mereka. 

Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras untuk 

menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi 

Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai 

Guru, maka dialah orang yang berhak memegang 

Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci 

utama dari semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab 

Wedar Kesuma itulah yang menjadi incaran utama 

bagi Dewi Murka. 

Sementara itu, Selendang Kubur juga mengetahui 

tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon 

pengganti gurunya. la juga mengincar kedudukan dan 

Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau kelihatan 

menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata 

hatinya penuh waspada terhadap gerak-gerik Dewi 

Murka. 

Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang 

penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk 

dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari 

dalam. Maksudnya supaya Dewi Murka tidak ikut 

menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu 

ruangan seenaknya saja. 

Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat licik 

Selendang Kubur. Maka, dengan merabakan jemari


tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu pun 

bergerak sendiri. Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi 

Murka pun segera masuk. Matanya beradu pandang 

dengan Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan 

di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian 

merah dadu dengan selendang putih di pinggangnya 

itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan 

pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar 

birunya sudah banyak berkurang. 

"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan 

sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa orang yang 

menyerangmu sedemikian rupa?" 

Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan, 

"Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?" 

"Bukan," jawab Murbawati masih dengan suara 

lemah. 

"Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari Ayu. 

"Juga bukan, Nyai Guru." 

"Lantas siapa?" 

"Pujangga Kramat," jawab Murbawati. 

Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki 

kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang. 

Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama 

tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka merasa 

asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya 

tidak merasa asing. Hanya sedikit heran, mengapa 

Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga 

Kramat. 

"Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan 

saya yang telah membuat saya terluka seperti ini," 

tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap 

menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja, 

mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup 

rapat, kedua tangan berlipat di dada. Murbawati


melanjutkan kata-katanya. 

"Saya terpancing oleh kemunculan seorang 

pemuda tampan yang berkelebat melintasi perjalanan 

saya, pada saat saya menuju ke Bukit Garinda. Saya 

ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu. 

Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan 

Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si Gila 

Tuak...." 

Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama 

tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan 

matanya menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya 

masih tetap terkatup rapat, seakan tak mau memberi 

ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan 

Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar 

nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi 

dengan nama tokoh tua yang sangat disegani oleh 

orang-orang di rimba persilatan. 

Hanya saja, mereka merasa sangat heran 

mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang murid. 

Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si 

Gila Tuak mempunyai murid jelas akan 

menghebohkan dunia persilatan, karena selama ini si 

Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai murid siapa 

pun juga. 

Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua 

temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun 

ia tetap melanjutkan kata-katanya, 

"Saya sangat tertarik dengan murid si Gila Tuak itu, 

sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara 

si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan 

batu cadas. Saya mendengar adanya rahasia penting 

yang dibicarakan oleh mereka berdua...." 

"Tentang apa?" tukas Betari Ayu. 

"Sebuah pusaka yang bernama Tuak Setan."


"Hah...?!" kembali lagi Betari Ayu terperanjat kaget 

dengan mata makin melebar. Sebentar matanya 

singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur, 

sebentar kemudian sudah kembali menatap tajam 

kepada Murbawati yang masih terbaring lemah. 

"Apa yang kau ketahui tentang pusaka Tuak Setan 

itu?" 

"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu untuk 

menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat 

berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak 

tidak ingin pusaka itu masih berada di bumi kita, 

karena sangat membahayakan jika digunakan oleh 

orang-orang tak bertanggung jawab. Dan... pada saat 

saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba 

muncul di hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan 

setianya si Gila Tuak. la menyerang saya dengan dua 

jurus, dan saya terluka parah begini!" 

Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang 

logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena 

asap yang mengepul dari telapak tangannya. Buru-

buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari 

bahan baja mengkilap dari tangannya. 

"Pujangga Kramat bukan tandinganmu, 

Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi Murka adalah 

lawan yang imbang untuk berhadapan dengan 

Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa bicara 

dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan 

lebih sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan 

setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak tidak 

menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri 

begitu." 

"Saya dianggap pencuri, Guru," kata Murbawati 

sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali

dengan tuduhan tersebut.


Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya 

sebagai orang yang layak menandingi Pujangga 

Kramat, segera berkata dengan hati masih merasa 

bangga. 

"Haruskah saya berangkat sekarang, Guru?!" 

"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera 

memandang ke arah Murbawati. "Apalagi yang kamu 

ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu?!" 

"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak Setan 

akan dimusnahkan oleh murid si Gila Tuak itu." 

Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada sesuatu 

yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri, 

"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap 

Selendang Kubur dan Dewi Murka secara bergantian, 

lalu berkata, 

"Tuak Setan adalah pusaka maut yang tidak 

pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu 

disembunyikan oleh si Gila Tuak, entah di mana 

tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap orang, 

baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak 

sendiri tidak berani menghancurkan pusaka itu 

karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa 

dengan dirinya. Tetapi jika orang lain yang 

menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi 

hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa 

pun." 

Selendang Kubur mengajukan pertanyaan, "Apa 

kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?" 

"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi tuak ribuan 

tahun usianya. Apabila tuak tersebut diminum oleh

seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah 

menjadi badai yang amat dahsyat jika dihentakkan 

dengan sedikit dorongan tenaga dalam. Badai itu 

dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan,


atau menggelindingkan batu sebesar rumah 

sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan diminum oleh 

orang yang punya sifat angkara murka; maka bumi ini 

akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap 

dan menenggelamkan gunung setinggi apa pun. Tuak 

Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si 

Gila Tuak mengamuk." 

"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya 

sendiri?" tanya Dewi Murka. 

"Karena dia takut menghadirkan bencana besar. 

Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan. 

Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika 

digunakan oleh seseorang yang sedang memendam 

kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila 

Tuak tidak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan. 

Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan 

untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi..., 

mengapa muridnya yang disuruh menghancurkan? 

Mengapa bukan Bidadari Jalang?" 

Murbawati menyahut, "Menurut yang saya dengar, 

si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang yang 

bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu 

kecuali sang murid itu sendiri." 

"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang 

sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil termenung. 

Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati, 

"Siapa murid si Gila Tuak itu?" 

"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya Suto 

Sinting!" 

"Suto Sinting...?!" gumam mereka berbarengan. 

* *


DUA



DERU suara air terjun memekakkan telinga. 

Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan, 

pecah dan berubah menjadi gumpalan air yang 

mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu. Sungai 

yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam 

kelam, menjadi tempat melejitnya tubuh kekar berikat 

kepala kulit ular hijau pupus. 

Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke batu 

lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya 

saja pada waktu menapak di salah satu batu. Bekas 

tapakan ujung jempol kaki itu menimbulkan asap 

tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi 

hancur sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami 

kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun. 

Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui ujung 

jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi 

rapuh dan hancur dalam bentuk serpihan lembut. 

Lima buah pisau kecil melesat dari suatu tempat. 

Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat 

bagaikan kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang 

bersalto dari batu ke batu. Putaran saltonya tampak 

lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir 

baliknya, sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di 

atas sebuah batu runcing dengan menggunakan satu 

kaki. 

la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak 

yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata 

kelima pisau terbang tadi berhasil ditangkisnya 

dengan tabung bambu. Kelima pisau itu menancap 

berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang 

disebutnya bumbung itu. 

Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda 

dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu,


tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang 

menancap di bumbungnya. la melirik ke arah daratan, 

di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah 

kuning sedang tersenyum pula kepadanya. Kakek 

itulah yang tadi melemparkan lima pisau 

berkecepatan bagai kilat itu. 

Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari kain 

warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa 

pusar yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca 

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa 

Pusar"). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah 

pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah 

menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid tunggalnya 

tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak 

Suto dengan ketajaman mata dan otak yang cukup 

tinggi, sehingga mampu melihat dan menangkis 

gerakan lima pisau tadi. 

"Suto, kemari!" perintah si Gila Tuak sambil 

mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali. 

"Baik, Kek...!" jawab Suto dengan tegas. 

la hendak melompat dari batu itu, tetapi tiba-tiba 

ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku, 

kecuali di bagian kepala. la ingin menurunkan satu 

kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan 

untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu. 

Semuanya menjadi kaku dan beku. 

"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha sekuat tenaga 

menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu 

sia-sia. 

Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari 

tempatnya. Suto segera memandang ke arah 

gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya 

sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru. 

"Sial! Dia menotokku dari sana lewat hentakan


tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati dengan sedikit 

dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan kemampuanku 

melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto 

memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-

dalam, dan seketika itu ia memekik panjang, 

"Hiaaat...!" 

Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi dan 

jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya 

menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto 

tadi. 

Prakkk...! Batu itu menjadi bongkahan-bongkahan 

yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai 

berair bening. 

Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh 

totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua 

kakinya menapak di tanah tepian sungai. Jligg...! 

Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak yang 

terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang 

tersimpan dari dalam tongkatnya. 

"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung tuak dari 

punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke 

tanah. Jluug...! Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak 

tersentak naik ke atas di luar dugaan sang guru. 

Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas 

dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang 

disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan tembus 

tanah. 

Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga dalam 

Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat 

membentur dahan pohon kepalanya. Plokkk...! 

"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai kesakitan. la 

segera berkelebat jungkir balik di angkasa dalam 

keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat 

yang tadi hendak ditenggak isinya.


Kaki si Gila Tuak mendatar di tanah dengan sigap 

dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang 

menyumpal mulut, sementara Suto tertawa terkakak-

kakak melihat wajah gurunya merengut akibat 

dipermainkan oleh sang murid. 

"Hati-hati kau, Suto!" sentak si Gila Tuak sambil 

mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena 

benturan dahan tadi. 

Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya, 

dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam 

bumbung itu. Glek... glek... glek...! Pada waktu wajah 

Suto terdongak menenggak tuak itulah si Gila Tuak 

segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh 

Suto. Wusss...! 

Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak 

memegang bumbung segera disentakkan ke depan. 

Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula 

oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa 

pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya 

menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh 

dari pohon. 

Beeegh...! 

Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si Gila 

Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto 

mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari 

pukulan jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh 

kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima 

sentakan. Tubuh itu membentur pohon. Bukkk...! 

"Kurang ajar kau!" geram si Gila Tuak karena 

merasakan sakit pada bagian punggungnya yang 

terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan 

menggenggam. 

Suto tertawa keras sambil menuding-nuding 

gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian


punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan membuat 

Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas 

beberapa saat, sementara Suto sudah memutar-

mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit lebih 

besar dari tongkat sang Guru. 

Ketika bumbung itu diputar dengan cara 

memegangi talinya, timbullah suara berdengung yang 

membisingkan telinga. Putaran bumbung itu pun 

memancarkan angin kencang bergelombang-

gelombang. Rambut sang Guru tersingkap nyaris 

copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan 

naik dan terkait pada salah satu patahan ranting. 

"Hentikan, Suto! Itu jurus berbahaya!" sentak si 

Gila Tuak. 

Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya 

itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak 

memandangi gurunya yang bersungut-sungut. Sang 

Guru mau bergerak maju, namun gerakannya bagai 

ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak 

pasang waspada, la melirik sedikit tegang ke 

belakang sambil membatin, 

"Siapa orang yang berani menahan gerakanku 

ini?!" 

Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap 

menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya. 

Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil 

menuding-nuding ke arahnya, si Gila Tuak menjadi 

ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia 

pun jadi menghempaskan napas kesal. Karena ia 

tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan 

ranting, sehingga menahan gerakan majunya. 

"Kucing Kurap!" makinya dengan dongkol, segera 

menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas dari 

patahan ranting.


Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat gurunya 

menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat 

Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung 

tuaknya. 

"Diam, Suto! Diam....!" sentak si Gila Tuak. 

Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan 

semakin bertambah kegelian mendengar bentakan 

gurunya. Secepatnya si Gila Tuak melemparkan 

tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun 

meluncur cepat ke arah wajah Suto, dengan tujuan 

mulut Suto. 

Tetapi dengan cepat Suto berguling di rerumputan 

sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung 

tuak Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada 

waktu menangkis tongkat yang meluncur cepat itu 

menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam 

berbenturan. Taaang...! 

Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli 

suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan 

tenaga dalam baik tongkat maupun bumbung Suto, 

tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang 

sedemikian hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur 

datar tadi saat itu bisa melesat naik, tinggi dan lebih 

cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat 

itu menancap pada batang pohon di bagian atas. 

Jruub...! 

"Ambil tongkatku!" sentak si Gila Tuak setelah 

mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup 

tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan 

padaku!" 

"Salah Guru sendiri, mengapa membuang 

tongkatnya?!" bantah Suto sambil menghabiskan 

tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung. 

Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak


yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian kalinya, 

Si Gila Tuak bergegas menghampiri Suto dengan 

langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung 

dan sedikit membungkuk. la mengangkat kedua 

tangannya dengan lemah. Satu tangan masih 

memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan 

marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka 

dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto 

berkata diiringi sisa tawanya. 

"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan pada Kakek 

Guru!" 

"Kupelintir batang lehermu kalau tidak kau 

kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!" 

Suto segera melompat dan bersalto di udara satu 

kali. Kakinya menjejak pohon tempat menancapnya 

tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan 

bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan 

bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian. 

Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi 

melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si 

Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid. 

Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan. 

Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru 

saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-

tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat 

itu Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan 

dengan satu hembusan napas kencang. Wuuus...! 

Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian 

segera berubah menjadi seekor ular sanca. 

Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto 

kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu 

menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera 

melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun 

dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.


Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan 

kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, 

dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu 

sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala. 

Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di 

rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping, 

dan ia bertepuk tangan sambil berkata, 

"Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya. 

Hebat...!" 

Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto. 

Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung 

bawahnya menyentuh tanah. 

"Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir 

dari bibi gurumu; Bidadari Jalang itu!" 

"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari 

Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya. 

"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan 

penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak 

sambil mendekati Suto. 

"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru 

hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya, 

karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap 

penyakit racun birahinya." 

"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu 

itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto." 

"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya 

buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai 

dia membohong aku." 

Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi 

gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa 

saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan 

kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu 

'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau 

hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah


ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku 

harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila 

Tuak di dalam hatinya. 

Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan 

oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi 

bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk 

menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih 

belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan 

bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto, 

pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu 

menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu 

Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto, 

pemuda tampan yang punya senyum memikat hati 

setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh 

menghadapi musuh mana pun. 

Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut,

ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto 

untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya. 

Pada waktu itu si Gila Tuak berkata, 

"Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa 

pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan 

kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang 

akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti, 

justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba 

persilatan." 

"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari 

Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku 

sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku 

yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa 

dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin 

membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku 

kian hilang satu persatu." 

"Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada 

yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal


itu, Nawang Tresni!" 

"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku 

ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari 

rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk 

melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba 

persilatan jika tidak ada keperluan yang penting." 

"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni." 

"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa 

pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk 

pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan 

untuk melawan racun birahiku." 

"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam 

pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah 

itu semakin dewasa semakin kelihatan 

ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya." 

Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak 

keberatan kau mengawasinya, karena memang aku 

sangat membutuhkan tenaga intinya." 

Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari 

Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid, 

kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa 

anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya. 

Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang 

menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam 

pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak. 

Kadang-kadang mereka melatih Suto secara 

berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-

jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus 

mereka itu. 

Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun 

birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke 

dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan 

penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat 

mata Suto menjadi buta sementara dengan racun


tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak, 

supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat 

melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari 

Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan 

dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua 

pakaiannya di dalam sebuah kamar. 

"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di 

punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu 

penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan 

sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan 

kulit punggung Bidadari Jalang. 

"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto! 

Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu. 

Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak 

tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang. 

Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang 

menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto 

disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari 

Jalang berkata, 

"Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh, 

tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam 

gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak 

akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga 

intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!" 

Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi 

Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan 

hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa 

pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto 

yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi 

bermandikan keringat hingga mirip orang habis 

kehujanan. 

"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan 

tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil 

Bidadari Jalang berbaring. Suto meraba bagian ulu


hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu 

memekik keras. 

"Hai, jangan yang itu yang kau pegang!" 

"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!" 

"Nakal kamu!" 

Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap 

tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa 

yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang 

sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu 

segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik 

napas panjang-panjang. 

Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas 

tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang 

menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering 

bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya. 

Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di 

rimba persilatan sebagai pendekar pembela 

kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak 

oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai 

pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana 

selalu membawa tabung bambu yang disebut 

bumbung. Benda itu berukuran satu depa 

panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat 

milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto, 

bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung 

itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di 

dada jika bumbung itu sedang dibawa di 

punggungnya. 

"Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai 

latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan 

kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka 

Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan 

itu!" 

Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti


angin, menerobos curah air terjun, dan Suto 

mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu 

terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila 

Tuak selama ini. 

* * 

TIGA



PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda 

yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh 

seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat 

pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang 

panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari 

bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang 

dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia 

adalah orang Perguruan Merpati Wingit. 

Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak 

lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah 

Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas 

menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk 

menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari 

Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut 

panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak 

cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari 

Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak 

tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara 

seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut 

tidak membuat retak hubungan baiknya dengan 

Betari Ayu. 

Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi 

masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu 

Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus 

Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik.


Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang 

dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun 

sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati 

Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan 

seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-

endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh 

Betari Ayu. 

Dengan diutusnya Dewi Murka untuk 

menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini 

merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan 

hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah 

merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari 

Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan 

lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya 

untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan 

Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab Wedar 

Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat 

bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu. 

Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang 

tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda 

menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali 

sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun 

jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda. 

Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup 

tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena

dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera 

menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan 

segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri 

kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil 

sikap menunggu serangan berikutnya. 

Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka 

menunggu dengan mata memandang tajam ke 

sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang 

tampak mencurigakan yang akan membahayakan


dirinya. 

"Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang 

menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka 

dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu 

tidak segera menyerangku lagi. Apa maksudnya dia 

begitu? Siapa dia sebenarnya?" 

Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera 

mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat 

pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil 

memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap 

bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi 

tenang. 

"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang 

kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak 

mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja 

di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia 

menyebutkan kudanya. 

Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-

usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru 

saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda 

menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi 

sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan 

kuda hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau 

saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua 

langkah. Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut 

adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu putus 

hampir di dekat bagian yang digenggam tangan 

kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan 

asap yang menandakan adanya sebuah pukulan 

tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu 

sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda. 

Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia 

segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la 

mengenali pukulan itu.


"Tapak Merpati Murka'.,.!" gumamnya menyebut 

nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang 

Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati 

Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati 

Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang 

menggunakan pukulan berbahaya itu untuk 

menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main. 

Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud 

jahat." 

Dewi Murka segera memejamkan mata dengan 

kedua tangannya saling bertaut di depan dada. 

Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah 

menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu 

tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju 

pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit. 

Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup 

tinggi dilancarkan. 

Wuuugh...! Blaarrr...! 

Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah 

karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari 

gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh 

bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di 

udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas 

menampakkan warna merah dadu, dan segera 

mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat 

Dewi Murka berdiri. 

"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka sedikit terperanjat 

dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali 

penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah 

Selendang Kubur. 

"Apa maksudmu menyerangku, Selendang 

Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap

siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya 

pun memandang tajam berkesan bermusuhan.


Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis, 

demikian pula senyumnya yang tipis menandakan 

senyum kesinisan. 

"Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru 

telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas 

bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh 

kata-katamu yang suka memuji diri sendiri itu." 

Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya 

yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun 

berkata dengan ketus. 

"Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin 

mengutus muridnya yang masih hijau untuk 

berurusan dengan tokoh tua itu." 

Selendang Kubur menggeram menahan 

kemarahannya. la membatin. 

"Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi 

tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang 

masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu 

diberi pelajaran...!" 

Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang 

putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat 

gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap 

mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya 

selendang putih dari pinggang merupakan tantangan 

maut buat dirinya, karena memang begitulah 

kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai 

niat bertarung dengan siapa pun. 

"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi..., 

menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku 

lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika 

sewaktu-waktu ia bertindak keras." 

"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak 

tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama 

ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar


padanya." 

"Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!" 

ucap Selendang Kubur dengan nada dingin. 

Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut 

bibirnya yang mungil namun tampak judes itu. 

"Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu 

penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri 

yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan 

jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut 

pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan 

memikat hati itu!" 

"JahanamI" geram Selendang Kubur. Kemudian 

mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu

jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat 

kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran 

ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata Murbawati 

mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat 

mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati 

kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama 

dengan niat hati kecilku ini?" 

Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya, 

"Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya

Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku. 

Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula 

dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila 

Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi 

menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan 

kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang 

mempunyai wajah menggetarkan hati setiap 

perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-

kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang 

Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang 

utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan 

sebentuk kematian?!"


Sepertinya percakapan batin mereka saling 

didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur 

pun segera berkata, 

"Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi. 

Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan 

ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara 

kita sendiri!" 

"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan pikir aku 

akan mundur setapak pun menghadapi 

kecuranganmu ini!" 

"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak

pun, itu akan memudahkan diriku untuk 

membunuhmu dengan cepat, Dewi!" 

Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan 

sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur 

itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi 

Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan 

tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka 

segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-

merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang 

dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh 

Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-

sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula 

yang memancarkan udara panas dalam jarak satu 

depa di depannya. 

"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik 

bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi 

Murka yang melayang menembus tempat kosong di 

bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur 

dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi 

Murka dengan kerasnya, 

Bukkk...! 

"Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan 

dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya


membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya 

dari atas tadi. 

Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri 

dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya 

terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya. 

Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan 

menahan napas beberapa saat dan 

menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi 

Murka memandang lebih tajam lagi ke arah 

Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan 

trisulanya ke depan. Wuuugh...! 

Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa 

panas yang diperkirakan dapat membakar selendang 

putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru 

mengibaskan selendangnya ke depan dengan 

melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung 

gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga 

dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing 

itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan 

bunyi teredam yang cukup jelas. Dubbb...! Blaarrr...! 

Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua 

tenaga dalam bergelombang berlawanan itu 

mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak. 

Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-

daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di 

sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan 

gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik 

ketakutan. 

Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama 

berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling 

pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti 

tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut 

mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan. 

Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh


terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan 

sama-sama lemah. 

Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar. 

Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang 

Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat 

jelas pula ada nya darah segar yang mengalir dari 

mulut Selendang Kubur bagian sudutnya. 

Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh 

yang melesat ke segala arah akibat benturan dua 

tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam 

dada masing-masing dan sempat membuat luka di 

bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak 

seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal 

itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama 

tewas tanpa hasil. Alias mati konyol. 

Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran 

mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-

masing? 

* * 

EMPAT



JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu 

menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di 

dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah 

Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak 

itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai 

ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup 

kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan 

bisa menembus curah air terjun raksasa itu. 

Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua 

sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya 

cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar

air terjun. Setiap orang yang melompat masuk 

menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir 

mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir 

dan menjadi santapan batu-batu runcing di 

bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak 

semua orang bisa mencapai mulut gua. 

Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian 

dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan 

tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang 

lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya. 

Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari 

sepuluh tombak tingginya. 

Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor 

penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak 

kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding 

gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak 

berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai 

tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak. 

Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-

jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila 

dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak 

sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil 

sesekali menenggak tuaknya. 

Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan, 

rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk 

bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu 

sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur 

tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal 

semadinya itu menampakkan punggung lebar dan 

kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya. 

Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak 

memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri 

setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali. 

Dalam hatinya ia berkata,



"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ. 

Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan 

tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada 

dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia 

dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia 

tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa 

menunggu menyerah dirinya. Aku harus membangun 

semadinya!" 

Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping 

logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu 

runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh 

mata telanjang. Benda itu akan menancap di 

punggung Suto yang berkulit sawo matang. Zingng...! 

Tappp...! 

Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa 

berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu 

ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu 

bergerak menyentak pelan, namun membuat benda 

yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari 

gerakan terbangnya yang tadi. 

Crangng! 

"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat 

duduknya. Hampir saja benda itu mengenai

pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan 

melompat turun dari balai-balai bambu. 

"Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu 

membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku 

semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia 

akan membalikkan benda itu. Untung sisa 

kegesitanku masih ada, sehingga benda itu 

menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi 

pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga 

sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan 

pelan sudah dapat membuat benda besi itu meluncur


melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm... 

agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai 

kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga 

pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan 

oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga 

menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari 

kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari 

Jalang." 

Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati 

sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh 

curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera 

menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan 

semadinya dengan cara memejamkan mata, dan 

kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya 

yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama 

menggenggam walau tak terlalu kencang. 

"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!" 

Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar 

ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan 

dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak 

bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya. 

"Keras kepala kau ini, hah?!" bentak si Gila Tuak. 

Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu. 

Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah 

dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia 

lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu 

meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke 

dada Suto seperti anak panah. 

Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya. 

Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung 

tongkat yang melesat cepat. 

Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto 

tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak

menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!


Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam 

keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak 

panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu 

cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima. 

la tak menyangka Suto akan mengembalikan 

tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan, 

namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar. 

Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak. 

Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping 

dan tongkatnya kembali membentur dinding batu. 

Duaaang...! 

Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng. 

Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-

benda yang menempel di dinding. Salah satu obor 

jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya 

nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat 

kakek berjubah kuning itu melompat sambil berteriak 

antara kaget dan jengkel. 

"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil 

mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar 

ujung jubahnya. 

Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh 

dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang 

curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan 

digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata, 

"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada 

apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari 

Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun 

kenapa sampai tiga hari belum selesai juga? Padahal 

seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan 

Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah 

kuturunkan padanya." 

Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya 

Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang


ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la 

bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk 

sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci 

besar yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu. 

Beberapa saat lamanya setelah menunggu, 

akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto 

melalui suara batinnya. 

"Suto, bangunlah. Buka matamu!" Maka, pelan-

pelan Suto membuka matanya. Seketika itu 

terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua 

mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik 

kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air 

mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam 

dengan mata tak berkedip memandangi muridnya. 

"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak. Suto 

menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak 

apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang 

meleleh dari matanya. 

Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari 

adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la

terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah 

setelah mengusap pipinya. Mata itu segera 

memandang gurunya dengan tajam dan tegang. 

"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru?!" ia justru 

balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi 

kebingungan menjawabnya. 

Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa 

mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang 

murid. Darah yang keluar dari mata Suto 

dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari, 

bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala 

si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti 

menemukan sesuatu dalam hatinya. 

"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan


darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam 

dari luar gua?" 

"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil 

berdiri untuk mengambil kain pembersih. Sementara 

itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban 

tersebut. 

"Saya menangis, Guru?!" 

"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah 

bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi 

tangis air mata, melainkan tangis darah." 

Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan 

kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu 

membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua 

sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya 

berkata, 

"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma 

terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari 

di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan. 

Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui 

apakah kau mempunyai tali hubungan dengan 

pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya 

hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan 

mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika 

kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan bisa 

menghancurkan pusaka Tuak Setan." 

Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto 

selesai mengeringkan darah dari sudut matanya. 

Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami 

buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas. 

"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat 

persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan 

mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka, 

Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!" 

"Saya sudah menemukan di mana pusaka itu


disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan 

tegas. 

"Di mana?" pancing Gila Tuak. 

"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah 

guci Tuak Setan terkubur!" 

Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata, 

"O, kalau begitu dia memang sudah menemukan 

Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin. 

Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan 

kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!" 

Terdengar suara Suto menuntut kepastian, 

"Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?" 

"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan 

Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai 

mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang 

telah terjadi pada sukmamu?" 

Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la 

menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung 

tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya 

sambil masih memegangi bumbung dari bambu 

pilihan itu. 

"Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya 

telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang 

sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya 

kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau 

menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat 

menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan 

saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan 

kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut 

berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih 

dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya 

itu, Kek?" 

Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-

kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi


ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan 

ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang 

Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa, 

ia pun berkata, 

"Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu 

kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal 

menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang, 

dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu." 

"Begitukah?" 

"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping, 

memandangi sang murid yang termenung dengan 

dahi masih berkerut. 

"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila 

Tuak setelah menenggak tuaknya kembali. 

"Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya, 

mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia 

pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, 

itu namanya!" Sambil tetap tersenyum, si Guru 

menggumamkan nama itu, 

"Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama itu. 

Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut. 

"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik 

dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang." 

"Ssst...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi 

gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia 

bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau 

kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun 

juga!" 

Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini 

pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah 

cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya 

tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya, 

"Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh 

saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman


biasa?" 

"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan 

berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan 

yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika 

sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu 

pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum 

sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu 

besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air 

mata darah, Suto." 

Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut 

sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya, 

"Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?" 

"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti. 

Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja 

padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu, 

karena dia adalah jodohmu." 

"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya, 

Kek!" 

"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam 

hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu 

justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak 

sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya 

lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus 

menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan 

pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana 

bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan 

Yang Maha Kuasa." 

"Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek 

Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai 

mengubur pusaka itu, Kek?" 

"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di 

sebelah barat pegunungan Suralaya." 

"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang 

belum saya mengerti, tentang adanya benda


berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika 

menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di 

samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu 

sebenarnya, Kek?" 

"Kau melihatnya dengan jelas?" 

"Tidak terlalu jelas." 

Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil 

menggumam. 

"Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah 

sebuah cincin. Namanya; Cincin Manik Intan, 

warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan 

dari guru bibi burumu yang bernama Eyang Nini Galih. 

Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari 

tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam 

murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis." 

"Apa keistimewaan batu itu, Kek?" 

"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang 

tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu 

bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan 

menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut. 

Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu 

itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang 

mampu melelehkan baja setebal satu depa." 

"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum. 

"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan 

cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa 

mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan 

kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi 

gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana 

pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu 

telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan 

menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak 

korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam 

yang keluar melalui cincin tersebut."


"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar 

telaga juga?" 

"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin 

itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir 

saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi 

gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan aku 

mau menguburkan satu-satunya pusaka andal yang 

kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan 

Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin 

Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi 

keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani 

menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir 

malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh 

pulau Jawa." 

Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut. 

Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang 

yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang 

begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan 

pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut 

menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan, 

terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam. 

Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat 

percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa 

pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan 

telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan 

ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu 

kekuatan batin mereka mampu mendengar 

percakapan tersebut. 

Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin 

Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya 

sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan 

cemas. 

"Ada apa, Guru?" tanya Suto. 

"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya


dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang 

menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata, 

"Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan 

kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu 

menemukannyal" 

"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa 

bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam 

hal ini?" 

"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak 

Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku 

yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang 

menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati 

karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi, 

aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan 

turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah 

mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun 

kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang 

benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak 

manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau 

muncul di permukaan rimba persilatan untuk menjadi 

wakilku!" 

"Saya mengerti, Guru!" 

"Kerjakan!" 

* * 

LIMA


DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara 

bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan 

mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya 

yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh 

sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana 

hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu. 

Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan 

Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan 

keinginan masing-masing untuk menemui si Gila 

Tuak. 

Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba 

saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak 

ketiga. 

"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-

sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita 

bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar 

Dewi Murka mengajak berdamai. 

"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau 

menghendaki kita bersatu." 

Mereka berdua memang tidak menyangka jika 

kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh 

sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal 

dengan nama julukan: Pujangga Kramat. Pelayan 

setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga. 

Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah 

air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan. 

Bahkan seorang penggembala kambing pun 

pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga 

penggembala kambing itu nyaris mati di tangan 

Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang 

Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat 

yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka 

berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si


Gila Tuak. Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata, 

"Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian 

kepada!" 

Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-

sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata 

Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum, 

karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru 

mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia 

yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata 

bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap 

ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya 

mempunyai seni sastra tersendiri. 

"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi 

Murka. 

"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si 

Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat. 

Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka, 

"Apa maksudnya?" 

"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk 

menerima tamu!" 

"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika 

begitu, kita desak saja dia dengan rayuan." 

"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan 

wanita." 

Belum sempat kedua perempuan itu berunding 

lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada 

membentak. 

"Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini 

orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik 

sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera 

tak pergi!" 

"Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si 

Gila Tuak!" kata Dewi Murka. 

Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan


pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya. 

Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang. 

Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan 

tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap 

Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera 

ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang 

rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi 

pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing 

perempuan yang bersebelahan itu. 

Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama 

memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan 

mereka dihentakkan ke depan dengan keras. 

Wuuggh...! Wuggh...! 

Duubh...! 

Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan 

menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya. 

Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang 

Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga 

tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu 

terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya. 

Brrukk...! 

Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di 

dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya 

sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan 

semua uratnya dan melesat cepat dengan 

menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali 

berdiri dengan wajah memerah. 

"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu 

berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan 

kita berdua!" kata Dewi Murka. 

Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia 

melepas kain selendangnya seraya berkata pelan 

kepada Dewi Murka. 

"Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu


mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!" 

Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata, 

namun ia melangkah mundur beberapa tindak, 

membiarkan Selendang Kubur maju ke depan. Pada 

saat itu, Pujangga Kramat berkata, 

"Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya 

nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini 

cepatlah pergi!" 

Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi 

Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?" 

"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!" 

Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la 

melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun 

melangkah maju dengan bersiap mengirimkan 

pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan 

kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak 

melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang 

putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan 

angin di siang hari bolong. Wusss...! Srettt...! 

Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat. 

Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang itu.

Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk 

menarik selendang tersebut, sementara Selendang 

Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-

kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga. 

Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan 

tangan gemetaran. 

Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan 

orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku 

akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya 

tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih 

mengerahkan tenaga lagi!" 

Maka memekiklah Selendang Kubur dengan 

suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"


la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh 

Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan 

terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu 

segera menyongsongnya dengan satu lompatan 

bertenaga. 

"Heaaah...!" 

Plak, plak...! 

"Huggh.,.!" 

Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur 

tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang 

mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan 

bagian depannya itu tersentak mundur akibat 

pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh 

berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti 

nangka busuk jatuh dari pohon. 

Bluuugh...! 

Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai 

kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar, 

karena ia telah menarik napas dalam-dalam 

menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera 

teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya 

membekas dua telapak tangan merah memar, la 

segera membatin. 

"Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak 

mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah 

jebol sampai ke belakang." 

Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi 

Murka saat berdiri di sampingnya. 

"Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia 

melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja. 

Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar, 

tapi nyatanya hanya membekas merah saja!" 

"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka 

berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan


menghadapi dia, biarlah aku yang maju!" 

"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata 

menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai 

nama asli Larasati. 

"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan 

pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang 

baik." 

Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan 

kemampuan Selendang Kubur. Tetapi sikapnya itu 

tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan 

itu segera bergerak maju dengan selendang putih 

dikalungkan di lehernya. 

"Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang 

kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak, 

kupatahkan batang lehermu memakai selendang 

kuburku ini!" 

Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak 

pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak 

bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu, 

Pujangga Kramat pun berkata, 

"Hebatnya apa selendang itumu?! Tak hebat 

adanya sama sekali!" 

"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku 

di dadamu?" 

"Tak lihat kau pula bekas di tangan 

pergelanganmu?" 

Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan 

kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka 

dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?" 

"Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka. 

"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya, 

la melihat noda hitam menghangus di pergelangan 

tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan 

di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan


jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur. 

Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah, 

sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas 

hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning 

langsat itu. 

"Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir 

saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan 

itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat 

bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku. 

Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan 

membahayakan jika tidak diperhatikan!" 

"He, he, he... diam mengapa, Selendang Kubur? 

Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol 

kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah 

sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar 

dan lainnya pusarmu." 

Geram hati Selendang Kubur bertambah 

mengganas. Maka, ia pun segera menarik 

selendangnya ke belakang dan melecutkannya 

dengan kaki menghentak ke tanah satu kali. 

Wusss...! 

Dueaarr...! 

Ujung selendang memercikkan api. Suara 

menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin 

selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar 

terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian 

tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang 

Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak 

menduga akan mendapat serangan sehebat itu. 

Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan 

berkekuatan besar. 

Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di 

tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke 

tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan


hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi 

napasnya, ia terengah-engah dengan mata 

berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan 

kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam 

penglihatannya itu. 

"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung 

ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau 

saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur 

disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang 

keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku 

harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu 

perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar 

angin petir." 

Pujangga Kramat segera bangkit, tidak 

menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju 

satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak 

kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri 

dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur. 

Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai 

kecamuk batin. 

"Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia 

terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya 

rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh 

percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'-ku tadi. 

Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia 

cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan 

tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya." 

Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata 

merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur. 

"Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak 

ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!" 

"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa 

memandangi Dewi Murka. 

"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari


jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!" 

Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak 

mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju 

dua langkah dengan memutar-mutarkan kain 

selendangnya di atas kepala. 

Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya 

kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya 

mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing 

tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua 

tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu 

sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya. 

Wuugh...! 

Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari 

keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu 

tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh 

Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya 

terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah 

itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya. 

Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat 

sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut 

terangkat dan berputar dengan kuat. Wusss... 

wuuss... wuusss...! 

Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan 

diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan 

kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin 

dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut. 

Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus 

yang cukup besar. 

"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika 

dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka 

yang tampak mau melawannya dengan kekuatan 

tenaga dalamnya. Namun begitu mendengar kata-

kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-

kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat


yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan 

kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika 

tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping, 

bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh. 

Buuk... buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu 

berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak 

mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh 

Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba berhenti 

melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam 

sekejap. 

"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing 

sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!" 

Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang 

Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka. 

Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain 

selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...! Sreett...! 

Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, 

bagai terikat kuat dengan selendang putih itu. 

Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena 

selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki 

bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap 

sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa 

mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga 

merasakan tubuhnya mulai melayang. 

Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu 

dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan 

cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia 

antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan, 

diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin 

lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon 

sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu. 

Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari 

selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat, 

terbuang entah ke mana dan jika membentur benda


keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah. 

Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat 

menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung 

sejuta kumbang. 

"Waooow...!" 

Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing 

yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan 

jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka 

dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan 

tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan 

pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti 

dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung 

trisula. 

Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak 

dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga 

Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat 

membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka. 

Perempuan itu sempat terbengong melompong 

melihat tangannya kosong. 

Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat 

sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah 

membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal 

selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa 

berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk 

Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa 

keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar 

bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh 

Pujangga Kramat itu. 

"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah 

lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu didengar 

oleh Selendang Kubur. 

"Hah...?!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung 

selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak 

memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya


itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam 

jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok 

yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua 

dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas 

punggung, lurus rapi, lembut gemulai. 

Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun 

menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian 

coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada 

di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan 

sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar. 

Kedua perempuan itu memandang dengan mata 

tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan 

senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut 

menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga 

indah bermekaran membuai jiwa. 

Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur, 

"Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang 

disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting 

itu!" 

"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya 

sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut 

Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih 

sekali. 

"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga 

Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan 

biarlah urusan ini saya yang selesaikan." 

"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan 

suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali 

berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau 

rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di 

hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu. 

"Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik 

Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman 

pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian


Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda 

tampan itu. 

Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar 

dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan 

berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia 

melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam 

jarak tiga langkah di depan mereka. 

"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri, 

alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi 

Murka. 

"Hmmm... maksudku... maksudku...." 

Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto 

yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat 

menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat 

terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya 

berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto. 

Sreppp...! 

Jliiggg...! 

Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua 

perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke 

belakang, senyumnya kembali mekar indah 

mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak 

sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu 

cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat 

trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi, 

persis pada tempat semula. 

"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku. 

Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku 

pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi 

Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur. 

Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan 

kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah 

dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang 

diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat


tersendiri di hati kedua perempuan itu. 

"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan 

Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur 

melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung 

tuaknya untuk dilepas dari punggung. 

"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit," 

jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,," 

ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang 

mata Suto menatap dengan kelembutan yang 

meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur 

merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya 

karena tatapan mata Suto, maka ia segera 

mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata 

lagi. 

"Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk 

menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, 

Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, 

yang membuat teman kami menderita sakit akibat 

pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat." 

"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan 

muda berkuda hitam?" 

"Benar!" jawab Selendang Kubur. 

"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan 

guruku itu?"

"Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi Murka ingin 

ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya 

berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah 

lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga. 

Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa 

melontarkan kata-kata dengan baik. 

Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak 

memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud 

temannya, 

"Temanku itu bukan menyadap percakapanmu


dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia 

mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian 

bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya... 

hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih 

jelas ketampananmu." 

Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh 

mirip orang tua, sambil berkata, 

"Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku? 

Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga 

ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak 

bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan 

Guru?" 

"Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami 

mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal 

yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang 

ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak 

perguruanku dengan pihak si Gila Tuak." 

Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan 

sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di 

sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat 

cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan 

wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia 

merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan 

tersebut. 

"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang 

Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya 

segera blingsatan karena hatinya makin berdebar 

pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama 

beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan 

bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang. 

"Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang 

Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka. 

Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku 

yang bergelar Dewi Murka."


"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya 

dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang 

perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila 

Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati 

Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa 

lagi di antara kita." 

"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini 

tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang 

Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah 

gugusan batu di tanah lereng. 

"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi 

sikapmu bicara padaku masih kurang sopan." 

"Harus bagaimana aku bicara padamu?" 

"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap 

yang sopan."

"Aku belum sanggup." 

"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini, 

sejak tadi sanggup menatapku." 

"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu." 

Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak 

sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang 

Kubur. 

"Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang." 

"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi 

Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-

katanya, membuat Suto semakin tertawa geli. 

"Apa maksudmu?" 

"Kam... kam... kam...." 

'Kambing?" sahut Suto menerka. 

Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat. 

Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak 

bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip 

sejak tadi. 

"Ak... ak... aku... aku...."


"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku 

bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang, 

sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun 

akan segera pergi."' 

Selendang Kubur menatap sebentar, lalu 

memalingkan pandangan ke arah lain, sambil 

melontarkan pertanyaan. 

"Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik 

Intan?" 

"Kau tak perlu tahu." 

"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi. 

"Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan... 

bah... bah...." . El 

"Bahagia?" sahut Suto. 

"Bah... bah... bahaya...." 

Serentak wajah Selendang Kubur berpaling 

menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?" 

Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap 

memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol... 

tolong... ak... aku.... Di punggung...." 

Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian 

memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka.

Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah 

karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang 

kelingkingnya. 

"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur dengan sangat 

terkejut. 

Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian 

memucat. la telah menjadi salah sasaran dari 

seseorang yang ingin menyerang Suto dengan 

menggunakan jarum beracun. 

* *


ENAM



PADA saat Suto menenggak tuak dengan 

mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah 

seseorang di balik persembunyiannya melepaskan 

jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan 

dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa 

sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga 

yang menjadi sasaran adalah punggungnya. 

Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-

putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan 

Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari 

jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat 

napas Dewi Murka menjadi terputus-putus. 

Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun 

ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui 

kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi, 

usaha itu tidak berhasil. 

"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto 

kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai 

tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku 

memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya." 

"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau 

berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?" 

"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan 

namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging." 

"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si 

Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang 

yang bijak dan suka menolong?" 

"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia 

mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau 

orang yang pelit." 

Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat 

Selendang Kubur berani menahan tangan Suto


sambil berkata, 

"Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera pergi 

membawa temanku ini pulang ke perguruan." 

"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali 

penenggak tuak dari bumbung bambunya. 

"Manusia yang tak berperasaan adalah kamu, 

Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata 

memandang menyipit, memancarkan benci. 

"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?" 

"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan 

pada diri temanku, tapi kau tidak mau 

melakukannya." 

"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup 

menolongnya?" 

"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur. 

Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak. 

"Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong 

menyembuhkannya." 

Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit 

merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, 

karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin 

membiru, parahnya benar-benar beku. 

"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada 

Selendang Kubur. 

"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?" 

"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!" 

Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut 

oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari 

lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya 

tidak terkena semburan darah hitam. Setelah darah 

itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera 

meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak 

ditelannya. Sebagian disimpan di mulut. Kemudian, 

tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung


Dewi Murka. Bruusss...! Air tuak ada yang memercik 

ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu 

menyentak berani. 

"Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi 

aku, hah?!" 

Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku 

tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, 

wajahmu pasti hangus saat ini juga." 

Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah, 

mengusap air tuak yang melekat di pipi dan 

rahangnya. la bersungut-sungut dongkol. 

"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata 

Suto. 

"Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu 

kali sudah disuruh membawanya pulang!" 

"Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?" 

"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan 

bimbang. 

"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau 

tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!" 

Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini 

debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya 

gugup, sehingga ia berani menatap agak lama. 

Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah 

dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat 

berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa 

maksud kata-katamu sebenarnya?" 

"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil 

nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat 

karena terlalu banyak tuak. 

Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget 

melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, 

warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal 

itu membuat mata Selendang Kubur tak mau


berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia 

semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum 

itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah 

berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai 

mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali. 

Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar 

biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya 

dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya, 

racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka 

jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan 

yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki 

oleh pendekar lain." 

Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar. 

Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang 

Kubur sedikit lega melihat temannya semakin 

membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah 

Suto yang ada di belakangnya. 

"Dia benar-benar telah...." 

Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak 

ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa 

meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama 

sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia 

memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah 

kosong. 

Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang 

Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah 

ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera 

bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di 

tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata 

memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu. 

"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi 

tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana 

perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke 

Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil


masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku 

menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa 

pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?" 

"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu 

sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah 

menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang 

Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri 

tegak. 

"Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku 

terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa 

basah?" 

Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya, 

"Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah 

menimpamu?" 

"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu 

aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu 

membawaku kemari, hah?" 

"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi 

terluka." 

"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang 

bisa melukaiku!" 

"Kau tadi disembuhkan oleh Suto." 

"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi Murka 

menampakkan keheranannya. Setelah hening 

sejurus, Selendang Kubur berkata, 

"Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan 

yang menjadi murid si Gila Tuak?" 

"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji 

ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa 

orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari 

Murbawati!" 

Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian 

ingatan Dewi Murka yang terhapus karena 

penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar


benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto. 

Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?" 

Dengan sedikit menahan kesabarannya, 

Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar 

telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua 

telah melihat ketampanannya yang menggiurkan 

hati!" 

"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu 

siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat." 

"Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur 

berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan 

itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah 

bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang 

Kubur berkata. 

"Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke 

Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin 

bisa menemukan ingatanmu kembali tentang 

ketampanan Suto." 

"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk 

menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan 

si Gila Tuak." 

"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto. 

Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan 

pihak si Gila Tuak!" 

"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu 

untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga 

Kramat, seperti tadi." 

Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka. 

Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan 

maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka 

akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak 

mau banyak bicara. la hanya berkata, 

"Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si 

Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga


Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto 

dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!" 

Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa 

menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak

dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada 

kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa 

Dewi Murka. 

Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi 

Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu 

akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur. 

Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang 

ingatannya tentang Suto. 

Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan 

kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-

mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin 

mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik 

kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat 

itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu. 

Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin 

mencelakainya dengan jarum beracun. 

Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu 

cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya 

mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat 

pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang 

kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga 

lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya 

itu. 

"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar 

mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu 

menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap 

percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah 

cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak 

Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka 

tersebut," pikir Suto.


Mendadak langkah Suto terhenti karena ia 

mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di 

sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik 

pertarungan itu. 

Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat 

suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto 

jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang 

sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah 

danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh 

di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga 

Manik Intan. 

* * 

TUJUH



SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika 

sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan 

keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la masih 

tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh 

sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia 

membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan 

asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap 

supaya keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu 

adalah asap yang timbul akibat pukulan di 

punggungnya tadi. 

Sementara itu lawannya yang tadi berhasil 

memukul punggung dengan pukulan yang 

mengandung tenaga dalam cukup besar, segera 

mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya 

yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang 

bertubuh kurus kering dengan tajam. Wajah dingin, 

tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai 

tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya. la 

mengenakan baju berlengan panjang kombor warna


hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas. 

Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di 

pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung 

pedang warna perak. Sementara di bagian kepalanya 

ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat 

penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini 

mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis 

yang menambah angker wajahnya, yang berusia 

antara empat puluh lima tahun. 

Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung, 

berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa 

ikat kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju 

potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan 

bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan 

tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup, 

sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut. 

"Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa sehingga 

mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya 

aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik 

aku duduk di balik semak ini sambi! menonton 

pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la 

segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu 

menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit. 

Terdengar orang berpakaian serba hitam itu 

berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri 

dengan kedua tangan berkuku panjang siap 

menyambut serangan. 

"Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu 

minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah! 

Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu 

dan selamatkan nyawamu dari amukanku!" 

Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus 

berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di 

mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu


semakin berkesan bengis dalam usia antara lima 

puluh tahunan. 

"Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!" katanya, 

"Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku." 

"Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam 

telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!" 

sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu. 

Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus 

yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-

usap jenggot abu-abunya. 

Suto membatin, "O, orang yang berpakaian hitam 

itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu. 

Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai 

kebiasaan menggadaikan barang-barangnya, 

sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!" 

Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya. 

Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih 

bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan. 

Orang kurus kering itu berkata, "Aku memang telah 

menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada 

apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga 

kecuali kekecewaan!" 

"Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan 

mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk 

meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah 

kau, Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu 

menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa 

harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan 

dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu, 

Cadaspati!" 

Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak 

Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati 

kecilnya berkata, 

"Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan?


Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat 

Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah 

mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat 

orang kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan 

ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga 

tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi 

Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu 

'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya 

aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu." 

Suto bergeser dari tempat persembunyiannya. la 

mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk 

memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya 

tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas 

pohon. 

Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup 

tinggi. Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah 

hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat. 

Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak 

menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan 

pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin 

dalam gerakannya. 

"Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan 

orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya. 

"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka 

Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan 

Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh 

Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan 

terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata 

yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena 

kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa 

dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai." 

Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap 

lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya


terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan itu 

saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan 

yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras 

itu mulai kelihatan berasap tipis. 

Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan 

tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku 

tangannya memercik-mercikkan bunga api. Seperti 

ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang 

satu ke kuku yang satunya lagi. 

"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki 

ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara. 

"Hiaaah...!" Cadaspati juga menjejakkan kaki ke 

tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk 

Main Gadai. 

Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat 

mereka saling menghantamkan pukulan masing-

masing. 

Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...! 

"Hugh...!" keduanya sama memekik tertahan. 

Tubuh mereka saling terpental ke belakang. 

Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk 

ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di 

tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan 

hingga ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati 

setelah mengadu pukulan segera bersalto ke 

belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah 

dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang 

cekung itu memantang penuh nafsu membunuh. 

Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin 

telaga. 

Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat 

Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya. 

"Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan 

bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk


bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya 

kucabut nyawamu! Hiaaat...!" 

Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya 

ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak 

kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang 

melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih keperakan itu 

segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu 

lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu, 

Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek 

angin. Wuuusss...! 

Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan 

kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat 

menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang 

berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan 

akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan 

tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke 

dalam telaga hingga airnya berguncang hebat. 

Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya. 

Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat 

gelombang di permukaan air telaga. Telaga bagai ada 

yang mengguncang-guncangnya dari dalam. 

Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk 

Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang 

membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap. 

Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda 

hancurnya gugusan batu tersebut. 

"Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi," 

pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya 

kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai 

oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia 

melontarkan suara legukan satu kali. 

"Huk...!" 

Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut 

suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti


itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah 

suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai 

memandang sekelilingnya penuh curiga. 

"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Aku tak bisa 

meredam suara cegukanku ini!" 

Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai lengah. 

Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera 

tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!" 

Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh 

Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik 

memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera 

mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak 

tangan. Wuuugh...! Beegh...! 

"Huggh...!" tubuh Cadaspati melengkung ke 

belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak 

jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah 

dengan wajah semakin mendendam bengis. "Keparat 

kau, Datuk!" 

"Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari dulu kau. 

Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata cekung yang 

memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi 

lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk 

berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam 

hatinya. 

"O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik 

kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya 

mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu 

di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di 

bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis 

punggungnya!" 

Cadaspati memang berdiri dengan oleng. 

Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan 

bicaranya bernada mengambang. 

"Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah,


nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he, 

he...!" 

Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin 

merasa aneh melihat sikap Cadaspati. 

Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu 

membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata 

cekungnya. 

Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang 

pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh

tergagap-gagap. la segera bangkit dan menggerutu 

sendiri. 

"Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada 

tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang 

menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari! 

Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku 

bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!" 

Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku tak 

mengerti arah bicaramu, Cadaspati!" 

"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya dengan suara 

mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata 

bagai menggantung. la menuding Datuk dengan 

tangan lemas. Katanya lagi. 

"Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!" 

Datuk masih diam, tapi ia membatin, "Hmm... ada 

yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan 

akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah 

mengacaukan urusanku dengan Cadaspati." 

Dugaan itu memang benar. Suto telah 

menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri 

Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah 

menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto 

sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan 

Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial 

Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa


Pusar"). 

Datuk Marah Gadai pun segera membentak, 

"Siapa kau sebenarnya, hah?!" 

"Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?" 

Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto 

sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang 

pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang 

yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput 

dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh 

ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu 

dikatakan ganteng. Namun Datuk Marah Gadai tidak 

mau tertawa lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan 

segera berkata kepada Cadaspati. 

"Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati! 

Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang 

juga, nah?" 

"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!" 

"Jahanam kau! Hiih...!" 

Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan 

tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...! 

"Uts...!" Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap 

mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung saja 

pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak 

mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja 

Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga 

dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke 

mana-mana giginya. 

Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera 

mendekat kembali dan berkata sambil menuding-

nuding dengan tangan lemas. 

"Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci 

sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!" 

"Tutup mulutmu, hiiih...!" 

Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke


mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari 

yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis 

pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu 

punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan 

ke ulu hati Datuk. 

Bukkk...! 

"Ugh...!" Datuk Marah Gadai tersentak kaget. 

Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras 

bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah 

Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan 

perut dan menahan napas. 

"Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!" 

geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan 

telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan 

bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah 

darinya. 

Wuuugh...! 

"Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu 

mengenai dadanya. la tersentak ke belakang. 

Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian 

tubuhnya jatuh di bawah pohon. Punggungnya 

membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu. 

Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka' 

dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati 

menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut menyadari 

sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit 

dan tulang punggung bagai mau patah. 

"Apa yang kualami tadi?" pikir Cadaspati. la 

berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan 

menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan 

Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun 

segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan 

bertenaga dalam yang lebih besar lagi. 

"Hiaaat...!" tangan kanan disentakkan ke depan


dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu 

mempunyai gelombang panas yang mampu 

membakar kulit pohon. 

Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan 

sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan 

tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa 

panas itu menerjang telapak tangan kiri Cadaspati. 

Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan 

hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah 

kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga 

membentur pohon besar di belakangnya. 

"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la 

menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera 

mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai 

kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan 

batu tadi. 

"Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau 

menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah 

Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan 

menendang ke depan. Sinar putih keperakan melesat 

dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati. 

Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat 

cepat dan membentur sinar putih keperakan itu. 

Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang 

mengguncangkan pepohonan di sekitarnya. 

Blarrr...! 

Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar. 

Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua 

berambut putih yang muncul dari balik semak 

belukar. Sosok orang berambut putih panjang tanpa 

ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara 

Cadaspati dan Datuk Marah Gadai. Posisinya lebih 

dekat ke Cadaspati. 

"He, he, he...," orang tua yang lebih kurus dari


Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya 

yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la 

mengenakan celana hitam dan kain putih yang 

diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian 

melilit di pinggang. Di pinggang itu pun ia 

mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna 

hitam berbulu. 

Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, 

"Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? 

Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati." 

"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini 

kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil 

melukai adikku, Cadaspati!" 

"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun! 

Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban 

kemarahanku!" 

"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau 

ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah 

adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. 

Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu 

sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita 

harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?" 

"Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa 

oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah 

sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu 

diserahkan kepadaku!" 

Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera 

bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa 

Pusaka Tuak Setan?" 

"Tidak!" jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar 

di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai 

tadi. 

"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak 

Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya


kepadamu!" 

"Omong kosong!" sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, 

ia diam sebentar. Hatinya berkata, "Sebenarnya aku 

sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. 

Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku 

melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir 

saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. 

Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia 

pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami 

memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan 

membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya. 

Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil 

keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan 

mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang 

sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu 

juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah 

aku melawannya lagi?" 

"Hei, Datuk..., mengapa diam saja? Apakah 

bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau 

melepaskan adikku? Atau kita teruskan persoalan ini 

dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang 

Peramal Pikun. 

Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, 

"Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali 

juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai 

kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah 

berkesan selalu ceria dan tersenyum." 

Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang, 

"Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki 

Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul 

dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan 

pusaka tersebut!" 

"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah 

Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak


Setan itu milik si Gila Tuak?" 

Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya 

disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara 

cegukannya tidak berbunyi. 

"Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak. 

Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata 

Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si 

Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan 

dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus 

sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan 

pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah 

mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!" 

"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam 

telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia 

tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!" 

"Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh 

Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik 

pakaiannya itu!" 

Sekali lagi Suto membatin, "Iya. Kurasakan agak 

berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya. 

Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu 

sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan 

Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang 

tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya 

itu?" 

Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap 

menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan 

sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang 

dan cengar-cengir saja. 

"Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke 

neraka karena membela adikmu yang punya urusan 

denganku!" 

"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun tetap kalem. 

"Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesia


siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab 

menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak 

akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan 

murid tunggalnya si Gila Tuak." 

"Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!" 

"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila 

Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia 

pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah 

Gadai." 

"Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang 

kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di 

tangan adikmu itu!" 

"Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan, 

Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini." 

Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la 

melirik sekelilingnya. 

"Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya 

ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang 

lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk 

mati bersama adikmu!" 

Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser 

merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku. 

Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua 

tindak. 

"Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya 

ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya, 

menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk." 

"Mana yang seorang lagi!" sentak Datuk Marah 

Gadai dengan suaranya yang besar. 

"Ada di atas sana," jawab Peramal Pikun sambil 

tangannya seperti menebarkan sesuatu namun 

sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat 

ke dalam tempat Suto bersembunyi. Datuk Marah 

Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan


melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda 

itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena 

ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan 

oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur 

dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah 

dan jatuh ke tanah. 

Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara 

Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya 

mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun 

mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran 

Suto. 

* * 

DELAPAN



MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak, 

melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat 

bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan 

kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat 

menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang 

tadi mengganggunya dengan menggunakan raga 

Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa 

lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati 

bertingkah seperti orang gila di hadapannya. 

"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram 

Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun 

memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu 

sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun. 

"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto 

Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun. 

Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau 

kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun." 

"Dari mana kau tahu?"


"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya 

yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto 

tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya 

masih sesekali menyentak tubuh. 

"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang 

Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. 

Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi 

seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja 

kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting 

semua. He he he he...!" 

"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka 

perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja, 

huk...!" sambil Suto cegukan. 

Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan 

ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!" 

"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau, 

huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan 

menjadi setan, huk!" 

"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar 

kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah 

ingusan!" 

"He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada 

Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah 

ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, 

huk... he he he...!" 

Rupanya kesempatan itu digunakan oleh 

Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa

tenaganya ia segera melarikan diri dari arena 

pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati 

membatin. 

"Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah 

Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di 

tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar 

masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"


Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan 

sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. 

Maka ia pun segera berteriak. 

"Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!" 

Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk 

mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula 

Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di 

udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk 

Marah Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai 

sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai 

bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena 

kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah 

dengan wajah membentur semak-semak. Prosss...! 

Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah 

dengan tongkat digenggam tangan kanan. la 

menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang 

segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap 

wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores 

akibat duri semak yang ditabraknya. 

"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau 

turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin 

persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai 

dengan wajah menampakkan kemarahannya. 

"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi 

denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!" 

Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah. 

Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, 

terucap dalam batin Datuk Marah Gadai. 

"Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu. 

Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku 

akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar 

bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut 

melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk 

mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh


karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku 

tadi." 

Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak 

tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah 

tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil 

menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali 

memperdengarkan suara cegukannya. 

Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah 

Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak 

jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya 

nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu 

membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun 

tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang 

terdorong ke belakang. 

Broolll...! 

Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong 

kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau 

manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto 

satu kali. 

Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi, 

Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan 

pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan 

kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar 

melesat dari kedua tangan. 

Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya 

ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia 

menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga 

dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya 

yang berbentuk kepala burung garuda itu. 

Duub...! 

Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling 

berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu 

mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak 

ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu


runcing. 

"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena 

pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit 

dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya. 

Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk 

Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh 

Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri 

hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri 

pada tempatnya. la berkata kepada Suto. 

"Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah, 

lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!" 

Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu 

semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh 

mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk 

Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera 

mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan 

tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu 

melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan 

cepat ke arah tubuh Peramal Pikun. 

Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal 

Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali. 

Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke 

arah Suto yang sedang duduk di batu. 

Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke 

arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung 

tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai 

bumbung, namun tidak segera meledakkan 

bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru 

berbalik melesat ke tempat asalnya. Wusss...! 

Kecepatannya melebihi kecepatan semula. 

Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan 

kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, 

menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, 

hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada di


atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih 

keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah 

pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal 

serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya. 

"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah 

Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan 

sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada 

orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa' 

dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke 

asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah 

Gadai terheran-heran. 

Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut 

melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' 

yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus 

'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk 

Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa 

ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan 

kekuatan yang lebih dahsyat lagi. 

Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika 

sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah 

Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak 

Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa 

menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah 

mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa 

menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari 

kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk 

Garuda'. 

Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani 

menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat 

terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan 

menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat 

tuaknya. Peramal Pikun pun membatin. 

"Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung. 

Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si


Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini 

selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu 

sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa 

Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama 

seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu 

tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak 

mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus 

mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani 

bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal 

namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang 

ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan 

mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!" 

Kesadaran Peramal Pikun terlambat. 

Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat

itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai 

bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai 

menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah 

Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya 

kepada Suto Sinting. 

"Ke mana orang itu tadi?" 

Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!" 

ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi. 

"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama 

Kadaspati itu!" 

"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal 

Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto 

hanya tertawa sambil mengangguk. 

"Mengapa kau tidak menahannya?!" kata Peramal 

Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila Tuak 

itu menjawab. 

"Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan 

dia lari ke sana, huk...!" 

"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak 

Setan dari tangan adikku!"


"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka 

Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, 

untuk apa aku menghalangi kepergiannya!" 

"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau 

tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan 

orang lain!" 

"Berarti ramalanmu itu palsu!" 

"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang. 

Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu 

dari tangan si Datuk Marah Gadai!" 

"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak 

Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau 

ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut 

Guci Pusaka Tuak Setan itu?" 

"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto 

Sinting!" 

"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena 

aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang

lemah, huk!" 

Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai 

orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak 

melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam 

hati. 

"Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan 

dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! 

Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar 

Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng 

dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. 

Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai 

menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati 

terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi 

melawan Datuk Marah Gadai." 

Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan. 

la berkata dengan suara mabuknya.


"Aku mau mandi, biar segar badanku!" 

"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka 

Tuak Setan?" 

"Dari mana kau tahu?" 

"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak 

dari kejauhan." 

"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku 

mau mandi!"

"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal 

Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul 

Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan 

Cadaspati!" 

* * 

SEMBILAN



PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan 

angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi 

dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk 

mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan 

dalam hatinya ia berkata. 

"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan 

Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati 

yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis." 

Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru 

sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan 

oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-

buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah 

celingak-celinguk penuh curiga. 

Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul 

sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. 

Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel 

dalam hatinya.


"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!" 

Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak 

lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak 

pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera 

mendekati Suto dan berkata dengan napas masih 

terengah-engah. 

"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu 

perempuan!" 

"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan 

sama perempuan?" 

"Itu perempuan,..!" 

"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa 

mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu 

memar begitu, Paman? Ada apa, huk?" 

"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama 

Guru." 

"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak 

Paman untuk bertemu dengan Guru?" 

"Betul sangat!" 

"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan 

katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman 

menyusulku kemari, huk?" 

"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia 

masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya 

pasti." 

"Guru ditantang perempuan itu?" 

"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru 

olehnya." 

"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu, 

Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang 

perempuan. Huk...!" 

"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan." 

"Aku mau mandi." 

"Dulu tundalah!"


"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan 

kalimat. 

"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan 

perempuan itu selamatkan gurumu!" 

"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman! 

Aku mau mandi!" 

"Tahanlah!" 

"Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu 

dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak 

segera mandi." 

"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh 

perempuan itu?!" 

"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa 

bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!" 

"Pergi cepatlah ke sana!" 

"Aku mau mandi! Tahu...?!" sentak Suto merasa 

jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat Pujangga 

Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya 

mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa 

mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut. 

Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi 

penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang 

diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto. 

Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan 

susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat 

diminta untuk membantu menarikkan bajunya. 

Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat 

menuruti perintah itu tanpa banyak bicara. 

Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar 

detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto 

yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke 

arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan 

segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat 

memandang dengan heran, tak mengerti maksud


Suto. 

la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah. 

Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan. 

Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam 

yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah 

seberang memercik ke arah rimbunan semak yang 

dicurigai Suto. Crattt...! 

"Auh...!" terdengar suara pekik dari rimbunan 

semak. 

Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang 

ada rimbunan semak dibalik." 

"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak. 

Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara 

padaku apa maunya!" 

"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-

jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan 

mukaku." 

"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli. 

"Takut tidak. Jera iya." 

Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di 

balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi. 

Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip 

aku dari sana!" 

Merasa persembunyiannya sudah diketahui, 

perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun 

akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana 

dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara 

gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh 

dedaunan. 

"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata 

perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak 

sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar. 

"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto 

memandang dengan mata merahnya yang mirip orang


mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot 

pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu, 

Pujangga Kramat berbisik, 

"Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan 

membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke 

gua, temui Ki Gila Tuak." 

"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu," 

sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan 

Selendang Kubur berjalan mendekat. 

Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu 

mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku. 

Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan 

akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!" 

"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat 

menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa 

persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak 

ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat 

masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan 

meminta maaf atas sikap mencurigakan dari 

Murbawati, teman kami." 

"O, begitu?" 

"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan 

perbuat jahat kepada gurumu." 

"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali 

celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah 

Paman Giri ini?" 

"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat 

baiknya hingga ia melakukan kekerasan." 

"O, begitu?" 

"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak 

suka mencari persoalan dengan orang lain." 

"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?" 

"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil 

memalingkan pandangan mata ke arah lain.


"Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa. 

"Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat. 

Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku 

mandi!" 

Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka 

dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan 

berkesan ketus. 

"Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu 

mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah 

bisa melihatmu telanjang." 

"Hah...?l" Pujangga Kramat terkejut. la segera 

merapatkan kedua pahanya dan menutupkan 

tangannya ke bawah. 

Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan, 

setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang 

Kubur. la berkata, 

"Jangan menyombongkan ilmu di depanku, 

Selendang Kubur." 

"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku 

bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau 

mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau 

sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'. 

Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati 

Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'." 

Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak 

percaya. 

"Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!" 

kata Selendang Kubur setelah menatap Suto 

beberapa saat. 

Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu 

memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang 

Kubur berkata, 

"Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam 

semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan,


dekat dengan tulang pinggul." 

Menggeragap bingung Suto menghadapi 

perempuan berhidung mancung dan bermata bundar 

itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena 

apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung 

kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa 

Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata 

tembus pandang. Akibatnya, Suto segera 

bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi 

Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, 

pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan 

kedua tangan mendekap bagian bawah. 

Suto kebingungan, maka ia segera berpindah 

tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat. 

Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan 

bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya 

yang nongol dan berseru, 

"Bersembunyi cepat pohon di balik!" 

Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari 

ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan 

berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia 

berseru. 

"Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan 

pandanganku, Suto!" 

"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri 

saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas 

gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak 

berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan 

tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus 

keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak 

sopan padaku." 

Suto yang salah tingkah itu segera mengambil 

keputusan untuk menceburkan diri ke telaga. 

Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan


tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk 

mandi. 

Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon 

setelah melemparkan bumbungnya ke tangan 

Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali 

dan, byuurrr...! 

Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera 

menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan 

berseru kepada Pujangga Kramat. 

"Apakah dia bunuh diri?" 

"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga 

Kramat yang membuat Selendang Kubur 

merenungkan arti kata sebenarnya. Setelah 

memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur 

tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, 

melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas 

sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar. 

la bagai seorang penjaga yang menunggu 

majikannya sedang mandi. Matanya memandang 

sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang 

pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau 

bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto. 

Semakin lama semakin berkerut cemas dahi 

Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke 

permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi 

cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di 

telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga 

Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon. 

"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa 

berenang?" 

"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah 

melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku 

tenggelam!"


Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto 

mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama. 

Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu 

menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke 

dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka 

Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati 

benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau 

memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu. 

Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian 

mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata 

Sumo sempat melihat benda yang separonya 

terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat 

mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar 

telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya. 

"Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!" pikir Suto. 

Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun 

separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut 

adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman 

pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, 

bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil 

melekat di anyaman pandan. 

"Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi 

di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka 

Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan 

sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya 

kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul 

ke permukaan!" 

Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia 

sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh 

Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata 

Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak 

Setan!" 

Selendang Kubur merasa lega begitu melihat 

kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la


tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu 

akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat. 

Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon. 

Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh 

Suto yang berpakaian basah kuyup. 

Pandangan mata yang semula menemukan 

keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan 

senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang. 

Rupanya pandangan mata perempuan berselendang 

putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah 

benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu 

berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar 

genggaman tangan Suto. 

"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur 

dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang 

dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat 

menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan? 

Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak 

itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat 

hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut. 

Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak 

terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas 

orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di 

tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih 

tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan 

kepalanya. 

"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata 

Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak 

buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan 

kagum. Hatinya berdebar-debar. 

Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh 

Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan 

pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di 

kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak


limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku 

menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang 

akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?" 

"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi 

pusaka terkubur Tuak Setan bersama!" 

"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur 

bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin 

Manik Intan." 

"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh 

menghancurkan pusaka dua-duanya!" 

Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya 

mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata 

pelan. 

"Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di 

dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku 

tadi melihatnya di sana!" 

"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!" 

"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku 

akan menyelam kembali ke dasar telaga." 

"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu." 

Suto segera melompat kembali ke dalam telaga. 

Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa 

heran dan perlu berkerut dahi. 

"Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?" 

pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan 

mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar 

kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi 

yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya 

kutunggu saja hasilnya." 

Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali, 

tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada 

sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha 

melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari 

Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak


ditemukan. 

Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak 

Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada. 

Suto bertambah gelisah karena tidak mudah 

menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke 

permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-

sampai timbul pertanyaan di batinnya. 

"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul 

ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin 

itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di 

sini? Ke mana larinya cincin itu?" 

Cukup lama Suto menahan kegundahan hati. 

Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. 

Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya, 

maka ia pun segera muncul di permukaan telaga. 

"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti 

seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu 

yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la 

segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan 

tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia 

bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan 

tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku 

membiru. 

"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk 

membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu 

masih belum bisa membuka matanya. Sekujur 

tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian 

lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu. 

Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu 

serupa dengan jarum beracun yang mengenai 

punggung Dewi Murka. 

"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan 

Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau 

merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman


Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang 

Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun 

hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut 

Pusaka Tuak Setan itu?" 

Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak 

yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi 

dalam hatinya ia masih berkata, 

"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka 

Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah 

satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan 

tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang 

Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak 

mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari 

Selendang Kubur?" 


                      SELESAI 



Segera menyusul!!! 

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting 

dalam episode: 

DARAH ASMARA GILA 


0 komentar:

Posting Komentar