BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 10 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE DARAH ASMARA GILA


PENDEKAR MABUK EPISODE DARAH ASMARA GILA

 


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah 

lindungan undang-undang.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.


SATU



ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung 

membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja 

tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling 

berhadapan. Satu mengepalkan tangan dengan kuat, satu 

lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah 

mereka saling bertatap pandang menyemburkan api 

permusuhan.

Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku 

hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh 

keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka 

sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan

mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng 

bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap 

akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga 

dalam.


Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua 

pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah 

didekati ternyata mereka adalah dua perempuan 

bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya. 

Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada 

montok yang bergerak naik turun akibat napas yang 

terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun 

agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan 

tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan 

mereka masing-masing.

Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak 

lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.

"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi 

aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul 

petang nanti!"

"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati-

hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak 

segan-segan mencabutnya!"

Perempuan jelita yang berambut lurus dan 

mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil 

dengan batuan merah delima sebesar kacang tanah di 

tengah dahinya itu, kembali berkata setelah 

perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.

"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku?! Kalau 

saja aku tak ingin berurusan panjang dengan 

perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan 

nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"

Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang 

Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang


terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama 

Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu. Dialah 

perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting 

karena persoalan hilangnya guci kecil yang disebut 

Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Pusaka Tuak Setan").

Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan 

selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah 

Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang 

berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu? Tokoh 

muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh 

Selendang Kubur. Jelas dia punya ilmu cukup tinggi 

juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan 

jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia 

sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan 

pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia 

terpaksa tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun 

mengalami hal yang sama.

Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang 

kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang Kubur. 

Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah 

bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur 

masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum 

itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai 

nama asli Sundari.

Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang 

pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya 

mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara, 

sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam saling


beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui 

bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat

perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua 

segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu 

hancur di tangan mereka sendiri.

Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara 

seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?

"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu 

untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang 

kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa 

lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan 

nyawamu!"

Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri 

Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang 

pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.

"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak 

ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap 

kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang 

langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar 

mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya! 

Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"

Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah 

mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.

"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak 

ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang 

Kubur!"

"Ada!" sentak Selendang Kubur.

"Apakah karena asmara kau melakukannya?!"

"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"


"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada 

pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di 

hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan 

kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda 

pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang 

Kubur, tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika 

sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan!

Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini 

dari tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah 

yang menjadi tebusannya!"

"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali 

aku ingin menghancurkan kepalamu, harus kulaksanakan 

secepatnya! Hiaaat..!"

Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang 

Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke 

depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api 

seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri 

Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke 

atas batu di belakangnya. Wussst..!

Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan 

lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!

Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah

berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri 

Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan 

pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!

Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa 

berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan

ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan 

tombak di belakang Selendang Kubur. Dan, pohon itu


pun bergetar nyaris tumbang. Ranting-ranting keringnya 

berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara 

gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati 

Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas 

bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki 

sedikit merentang tegar.

Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil 

sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan 

tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya. 

Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu 

berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar 

kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan 

sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas 

melalui bambu berlubang itu.

Sluupp...! Zeett...!

Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu

kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang 

siap. Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah 

terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur 

berseru,

"Jarum beracun...?!"

Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari 

semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan 

si Gila Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur 

melompat dan berguling di tanah menghindari jarum 

beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu, 

arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke 

arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali 

melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu


juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.

Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik 

sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari 

jarum iblis-ku, Selendang Kubur! Ke mana pun kau lari 

akan diburunya! Kik kik kik kik...!"

Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu 

peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan 

kaki ia telah melesat terbang ke atas dan berjungkir balik 

satu kali untuk mencapai sebuah batu setinggi tubuhnya 

sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat 

jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan 

selendang dengan cepat. Wuuttt...!

Blaarrr...!

Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat 

berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan 

tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet 

ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras. 

Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.

Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa 

dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun 

segera membatin,

"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum 

iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu! Ternyata 

ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua 

tahun sebelum ini!"

Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar. 

Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta 

mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok 

perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.


Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling 

bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk 

memuji kehebatan ilmu lawan.

Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan 

suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.

"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup 

lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku 

kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian 

menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku 

semakin kuat mempertahankannya dan siap 

mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"

"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut 

pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"

"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul

dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.

"Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur. 

Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut 

Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila 

Tuak tahu berterima kasih padamu! Sangkamu dia 

menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!" 

Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur. 

Lanjutnya lagi.

"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi 

seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya 

mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak 

lebih dari seonggok daging busuk yang patut 

dilenyapkan!"

Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya 

kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar


dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini 

akan sia-sia di mata Suto? Apakah benar Suto tidak akan 

tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk 

merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"

Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap 

berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam 

berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih 

tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan 

berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,

"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah 

benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang 

mau membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap 

mati untuk sesuatu yang sia-sia ini? Pertimbangkanlah 

sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita 

menjadi korban laki-laki lagi!"

Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki, 

melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat 

Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak 

orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun 

sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri 

Malam.

*

* *



DUA



SETELAH semburkan tuaknya dari mulut ke bekas 

luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu

sedikit demi sedikit mulai sadarkan diri. Suto

sunggingkan senyum lega di hatinya.

"Untung aku tidak terlambat," pikirnya. "Kalau saja 

aku sedikit telat muncul dari dasar telaga itu, pasti 

nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini cukup 

ganas, sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi 

Murka, teman seperguruan Selendang Kubur itu."

Pakaian Suto masih basah kuyup, demikian pula 

rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak 

bisa bicara dengan bahasa yang benar itu, kejapkan mata 

lalu melek menyipit, Suto berhenti kibaskan rambutnya 

yang basah. 

"Apa ada aku?" tanya Pujangga Kramat yang 

maksudnya; ada apa dengan diriku.

"Paman habis tertidur," jawab Suto sengaja tidak 

mengatakan yang sebenarnya, supaya Pujangga Kramat 

tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang 

yang telah menyerangnya memakai jarum beracun.

"Benar tertidur aku apa?" 

"Benar, Paman."

"Di mana lalu Guci Pusaka Setan Tuak itu?" 

"Tuak Setan!" Suto membetulkan kalimatnya. 

"Ya. Tuak Setan! Pergi ke mananya?" 

"Ke mana perginya!"

"Ya. Ke mana perginya, itu Setan, eh... itu Tuak!"

"Entah. Hilang dibawa orang," jawab Suto kalem, ia 

membuka bumbung tuak dan menenggak beberapa 

teguk.

"Orang siapa yang bawa itu pusaka?" 

"Aku tidak tahu."


Pujangga Kramat kerutkan dahi, sipitkan mata. Ia 

renungkan diri bagai ada yang berusaha diingat-

ingatnya. Lama ia termenung sampai akhirnya ia 

berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."

"Dicari ke mana? Sudah telanjur dibawa orang!"

"Perempuan!" sentak Pujangga Kramat tiba-tiba.

"Apa maksud Paman?"

"Ingat-ingatku, perempuan ada bersama aku. Di mana 

tapi dia? Siapa pula perempuan orang itu. Aku ingat 

tidak!"

Badannya yang semula pucat membiru, kini cepat 

berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak 

telah membuat Pujangga Kramat bisa berdiri tegak. 

Dengan dahi masih berkerut dia bicara pada Suto yang 

kenakan bumbung tuak ke punggungnya.

"Itu pusaka cari kamu harus! Kalau tidak dicari harus, 

itu gurumu marah harus! Dan kalau dia marah harus, 

bahaya harus...."

"Harus, harus...!" sentak Suto rada jengkel. "Sudah, 

sekarang Paman pulang ke Jurang Lindung. Kasih tahu 

sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri 

Pusaka Tuak Setan."

"Baik. Kamulah hati-hati, Suto!" Pujangga Kramat 

tepuk pundak Suto kasih semangat, "Itu orang curi yang 

pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia rubuhkan 

aku sekejap dalam."

"Ya ya ya...!" potong Suto merasa lelah sendiri 

mengartikan kata-kata pelayan gurunya.

"Berjuang selamat, Suto!"


"Ya," jawab Suto pendek. Kemudian ia segera 

melesat pergi tinggalkan Pujangga Kramat di tepi telaga. 

Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata 

berkedip bingung, karena Suto telah lenyap begitu saja 

bagai tertelan bumi. Kalau bukan murid Gila Tuak, tak 

mungkin bisa lari sekejap itu.

Ke mana ia harus mencari Pusaka Tuak Setan, tak 

tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto 

adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan 

pusaka itu kepada Pujangga Kramat, dan dia menyelam 

kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik 

Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat, 

walau jarak mereka tidak berdekatan (Untuk jelasnya 

mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode: 

"Pusaka Tuak Setan").

Dan begitu Suto muncul di permukaan sendang, 

Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan 

tubuh pucat membiru tak berkutik. Pusaka Tuak Setan 

tak ada di tangan Pujangga Kramat. Selendang Kubur 

hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai 

Selendang Kubur.

Satu arah yang memungkinkan bisa bertemu dengan 

Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto 

menduga Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati 

Wingit. Sewaktu Suto masih kecil, ia pernah melihat 

perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai 

bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan 

Merpati Wingit berada. Tetapi letak pintu gerbang 

perguruan tidak menghadap ke arah sungai berbatu-batu


itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang 

membelakangi sungai.

Tiga hari Suto menyusuri sungai berbatu-batu, 

sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar 

susunan batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah 

buat Suto untuk melompat terbang melintasi pagar tinggi 

itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi ia tidak 

mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat 

belakang. Maka, Suto pun segera menuju ke arah pintu 

gerbang.

Di sana ia dihadang oleh dua penjaga pintu gerbang. 

Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba 

putih, masing-masing bersenjatakan tombak. Suto 

melangkah perlahan. Senyumnya berkembang indah di 

bibirnya, ia memang tampan. Hati kedua penjaga 

perempuan itu sama-sama mengagumi, sama-sama 

berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka sama-

sama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling 

berlagak tak peduli. Padahal mestinya mereka akan 

menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar 

wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut 

lebih tergoda oleh ketampanan Suto, keduanya justru 

tidak menyapa apa pun kepada Suto.

Suto nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu. 

Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu 

menyilang di depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan 

itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua 

penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh 

dengan ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan


itu. Suto tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun 

tetap acuh tak acuh.

"Bolehkah aku masuk?" sapa Suto bersikap ramah.

"Tidak!" tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab 

serentak.

"Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat

baik!"

Penjaga berambut panjang berkata ketus, "Sebutkan 

niatmu!"

"Aku ingin bertemu Selendang Kubur."

Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu 

kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang 

berambut pendek bertanya,

"Ada hubungan apa kau dengan Selendang Kubur?"

"Teman," jawab Suto dengan tegas tapi suaranya 

menawan.

"Teman baik atau teman jahat?" tanya yang berambut 

pendek lagi.

"Teman baik."

"Teman jauh atau teman dekat?" timpal yang 

berambut panjang. 

"Teman dekat."

"Dekat sekali," jawab Suto sengaja memancing 

penasaran.

"Kekasih atau bukan?"

"Pilih sendiri salah satu. Aku tak punya banyak 

waktu. Izinkan aku bertemu dengan Selendang Kubur."

"Tidak ada!" jawab yang berambut pendek bernada 

judes.


"Kalau begitu, aku mau bertemu dengan gurumu."

"Tidak ada!"

"Harus ada!" desak Suto.

"Beraninya kau mendesak kami, hah?" sentak yang 

berambut panjang berlagak galak, matanya dilebar-

lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya 

tersenyum tipis, ia bahkan membuka tutup bumbung 

tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Bumbung 

kembali ditutup dan diletakkan di punggung.

"Singkirkan tombak kalian. Biar aku masuk menemui 

guru kalian!"

"Siapa kamu sebenarnya, hah?!" bentak si rambut 

panjang lagi.

"Suto Sinting!"

"Hahh...?!" kedua perempuan itu terbelalak matanya, 

namun buru-buru meredupkan kembali. Tak mau 

kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam 

sambil menatap temannya di seberang.

"Pendekar Mabuk...?!"

Suto ganti bertampang angkuh dibuat-buat. Matanya 

lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya 

sedikit terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas 

berwibawa.

"Buka pintu gerbang!"

Tanpa menjawab, kedua perempuan itu berebut 

membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah 

masuk dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup 

oleh dua penjaga. Lalu, kedua perempuan itu sama-sama 

menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngos


ngosan, seperti habis menahan napas beberapa saat 

lamanya. Mereka sama-sama bersandar di pinggir pintu 

kanan kiri dengan badan lemas.

"Tak kusangka...! Tak kusangka dia murid si Gila 

Tuak yang belakangan ini dikabarkan sangat tampan 

itu," kata si rambut pendek.

"Iya. Aku juga tak menyangka. Hampir saja mulutku 

tadi berteriak keras karena kegirangan bisa bertemu 

dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar 

keduanya."

"Lututku juga. Kepalaku jadi pusing. Pandangan 

mataku berkunang-kunang...."

"Apakah karena rasa kagumku terhadap 

ketampanannya?"

"Kurasa bukan. Kurasa mataku berkunang-kunang 

karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi 

begitu habis melihat Pendekar Mabuk itu, perutku jadi 

kenyang!" Keduanya mengikik geli.

Kehadiran Suto Sinting di Perguruan Merpati Wingit 

menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk 

terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus 

dedaunan rumpun bambu. Mereka saling membicarakan 

pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan 

yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk 

kelompok kasak-kusuk sendiri-sendiri.

Bahkan ada yang tertegun diam bagaikan patung 

bernyawa dengan mata melotot tak berkedip 

memandangi Suto Sinting. Ada pula yang sedang 

membawa piring berisi makanan sampai jatuh piringnya


tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang 

itu kepada kegagahan dan ketampanan wajah Suto.

Sepuluh orang murid lainnya yang berseragam hitam-

hitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai 

mulut joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan 

tangan Dewi Murka yang memberi isyarat kepung. 

Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua 

hari sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi 

Murka menunjukkan sikap wibawa dan tegas terhadap 

sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.

Dua orang murid berpakaian hitam-hitam itu menepi 

ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk 

mendekati Suto dari arah joglo ke pelataran di depannya.

Suto tersenyum kepada perempuan berpakaian hitam 

dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali 

perempuan yang bernama Dewi Murka itu, karena dia 

pernah bertemu saat perempuan itu mengeroyok 

Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya 

karena racun dari jarum penyerang gelap. Tetapi, Dewi 

Murka merasa asing kepada Suto, sebab setelah dia 

sembuh dari pengaruh racun yang nyaris merenggut 

nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang. 

Itulah sebabnya dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila 

Tuak untuk menyampaikan permintaan maaf atas sikap 

Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai 

(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka 

Tuak Setan").

Karena ingatannya lemah tentang Suto, Dewi Murka 

hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat orang


tampan ini. Tapi di mana dan kapan, aku tidak tahu!"

Dewi Murka menyipitkan mata dalam memandang 

Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan

oleh tamu asingnya. Bahkan suaranya pun dibuat sedikit 

ketus berwibawa.

"Sebutkan dirimu dan apa keperluanmu masuk ke 

perguruan kami?!"

"Aku mau bertemu dengan Selendang Kubur," jawab 

Suto dengan kalem, ia pun sadar bahwa Dewi Murka 

telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara 

sembur tuaknya itu. Kalau bukan orang dekat dan 

berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika habis 

diobati memakai pengobatan sembur tuak.

"Siapa dirimu!" Dewi Murka setengah membentak, 

karena merasa pertanyaannya hanya dijawab salah satu 

saja.

"Aku Suto, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. 

Jelas?!" tandas Suto berkesan mengejek.

Mulut Dewi Murka terperangah. Seakan ia baru sadar 

sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu. 

Mendengar suara Suto menyebutkan namanya, samar-

samar ingatannya tentang peristiwa jarum beracun itu 

mulai menggerayangi pikirannya. Sejurus kemudian, 

ingatan itu kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya 

bersama Selendang Kubur dan Suto waktu di atas Jurang 

Lindu itu kembali teringat jelas dalam bayangannya.

Tak heran jika hati Dewi Murka menjadi berdebar-

debar dan membatin.

"O, ya...! Pemuda ini yang dulu membuatku


penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu 

diceritakan Murbawati tentang ketampanannya. Pemuda 

ini pula yang dulu pernah menyembuhkan lukaku dari 

serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku 

baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di 

dadanya? Oh, indah sekali kala itu. Sekarang pun hatiku 

berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi... mengapa 

yang ia cari Selendang Kubur? Mengapa bukan aku? 

Atau Nyai Guru Betari Ayu...?!"

Dari satu sudut muncul seorang perempuan dengan 

badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak 

sekal tubuh Selendang Kubur. Suto menatap ke arah 

perempuan itu. Sangkanya perempuan itu Selendang 

Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat, 

Suto yakin bahwa perempuan itu bukan Selendang 

Kubur.

Tetapi perempuan itu terperanjat belalakkan matanya. 

Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.

"Oooh...?! Dia...?! Dia datang...!"

Perempuan yang kegirangan namun salah tingkah itu 

tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama 

dari orang Perguruan Merpati Wingit yang tergila-gila 

dan penasaran dengan ketampanan Suto. Tak heran jika 

ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar 

perempuan yang dua tingkat di bawah Dewi Murka 

ilmunya.

"Ssst...!" Dewi Murka segera mendesis keras 

memberi peringatan kepada Murbawati yang berucap 

kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.


Kemudian, dengan tetap berusaha menenangkan hatinya 

yang bergemuruh indah, Dewi Murka bertanya,

"Ada apa kau mau bertemu dengan Selendang 

Kubur?"

"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," jawab Suto, 

sengaja tidak menjelaskan maksud kedatangannya yang 

berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan, 

supaya hal itu tidak menyebar ke mana-mana dan 

menjadi bahan buruan setiap orang.

"Selendang Kubur tidak ada. Dia belum pulang," kata 

Dewi Murka.

"Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!"

"Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!" Dewi 

Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk 

menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu.

"Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara 

dengan ketua perguruan ini!"

"Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan 

padaku!"

Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka 

terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.

"Biarkan dia menemuiku, Dewi!"

Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di 

belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang 

berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat 

pandangan mata Suto ke arah Betari Ayu menjadi lebih 

jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Suto membatin,

"O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu 

menarik dengan kecantikan Dyah Sariningrum, idaman


hatiku itu!"

Betari Ayu memerintahkan kepada Dewi Murka dan 

Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia 

berkata kepada Suto Sinting.

"Kalau tidak salah dengar telingaku, tadi kau 

mengaku murid si Gila Tuak."

"Benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu 

sebagai ketua perguruan di sini."

"Silakan masuk! Jangan bicara di pelataran."

"Harus di mana kita bicara? Di dalam kamar?"

Betari Ayu yang memang ayu itu tersenyum malu. 

Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun 

segera ia memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh 

Suto. Dari kejauhan Dewi Murka dan Murbawati 

memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.

Rupanya Betari Ayu mengajak Suto ke taman di 

bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari

Ayu membangun taman indah di sana, yang cukup luas 

untuk ukuran taman pribadi, dan mempunyai aneka 

macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan 

berpancuran di bagian tengahnya. Satu hal yang 

menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam 

berpancuran airnya. Air yang mancur dari tengah kolam 

itu tidak jatuh kembali ke kolam, namun lenyap bagai 

berubah menjadi uap dan terbang terbawa angin. Padahal 

bentuk air yang memancur itu seperti bunga terompet 

yang melengkung pada bagian tepiannya. Mestinya pada 

bagian lengkung itu air jatuh ke kolam lagi, tapi ternyata 

air menghilang lenyap.


Suto tersenyum memandang air mancur itu. Betari 

Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat 

air mancurnya. Karena memang air mancur itulah yang 

dibanggakan oleh Betari Ayu jika ada tamu yang diajak 

ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu 

belum tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari 

Ayu hanya menerima tamunya sampai di bangsal 

patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada 

seorang tamu yang diajak bicara di taman tersebut, itu 

pertanda Betari Ayu menganggap tamu itu adalah tamu 

istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya 

Betari Ayu yang bisa mengukurnya.

Di taman rindang bersuasana teduh itu ada empat 

bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut. 

Tapi Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah 

satu bangku tersebut, ia berjalan menyusuri tanaman 

rumpun mawar yang beraneka warnanya sambil 

mengajak Suto bicara.

"Aku tak sangka kalau akan kedatangan tamu agung 

hari ini," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan 

menatap indah sekilas.

"Aku terpaksa datang kemari," kata Suto polos-polos 

saja.

"Bagaimana kabar gurumu?"

"Sehat-sehat saja. Kau kenal dengan guruku?"

"Sangat kenal. Hubunganku dengannya cukup baik. 

Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia 

punya murid tampan yang gagah dan menawan."

Betari Ayu menatap sambil hentikan langkah.


Senyumnya kembali mekar bak bunga-bunga di taman, 

termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum 

indahnya. Tapi segera ia meraih bumbung bambu 

tuaknya dan ia menenggak tuak itu beberapa teguk, ia 

lakukan hal itu tanpa malu dan sungkan-sungkan.

"Aku yakin si Gila Tuak menurunkan semua ilmunya 

padamu, termasuk kebiasaannya minum tuak dan 

mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan 

santainya. Suto perdengarkan tawa mirip orang 

menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut 

menyentuh hati.

"Aku datang kemari bukan untuk pamer ilmu, juga 

bukan untuk jualan tuak," kata Suto. "Aku ingin bertemu 

dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang 

Kubur!"

Langkah kaki berbetis indah itu terhenti. Perempuan 

berambut panjang dengan ikat kepala tali merah 

berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit 

heran kepada Suto.

"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Selendang 

Kubur?"

"Ya," jawab Suto. 

"Sangat pribadi?' 

"Sangat pribadi." 

"Menyangkut cinta?" 

"Bukan."

Tampak perempuan berpakaian biru dengan jubah 

sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia 

bagaikan terhindar dari satu ketegangan yang


menghimpit hatinya sesaat tadi.

"Selendang Kubur belum pulang sejak ia menyusul 

Dewi Murka untuk kuutus meminta maaf pada gurumu."

"Apakah dia pergi ke suatu tempat?'

"Aku tak bisa pastikan tempat itu. Mungkin saja dia 

terpikat seorang lelaki dan pergi bersama lelaki itu."

"Apakah dia punya kekasih?'

"Di sini tidak. Tapi di tempat lain, mungkin saja. 

Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja 

bisa mempunyai perasaan cinta kepada seorang lelaki. 

Kurasa kau tahu setiap perempuan punya perasaan 

tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa 

berkata begitu, karena aku pun seorang perempuan yang 

sama seperti Selendang Kubur."

"Juga punya kekasih di tempat lain?"

Senyum sipu mekar di bibir manis Betari Ayu, yang 

meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik. 

Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang 

punya ilmu awet muda dan tetap cantik. Suto tahu hal itu 

dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.

Betari Ayu memetik setangkai mawar warna ungu. 

Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat. 

Mawar ungu itu diserahkan kepada Suto sambil 

perdengarkan kata lirihnya,

"Terimalah...."

Suto tersenyum sambil menerima setangkai mawar 

ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi 

warnanya yang bagus. Bau harum mawar itu pun terasa 

lebih lembut dari mawar lainnya.


"Terima kasih, Nyai Guru Betari Ayu," ucap Suto 

mengutip nama yang didengar dari kasak-kusuk tadi. 

"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar 

ungu itu padaku?"

Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan 

letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.

"Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Suto. 

Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang 

pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya 

kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga 

itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat 

jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"

Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya 

tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu 

gigitkan bibir menahan sakitnya.

"Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya 

raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka 

di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Suto 

tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak, 

karena ketika jari itu masuk ke mulut Suto untuk disedot 

darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur 

tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan, 

sampai akhirnya Betari Ayu desiskan napas lewat mulut 

dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian berdetak 

cepat dicekam rasa nikmat.

*

* *


TIGA



SEMAK belukar di dalam hutan bagai dihempaskan 

oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang. 

Hembusan angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir 

segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi rontok dan 

rubuh bagai dilanda topan sejurus.

Kecepatan seseorang berilmu tinggi dalam larinya 

mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang 

yang berlari ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan 

orang yang mengejar di belakangnya. Napas-napas 

terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu 

berhenti ketika orang yang berlari cepat tiba di tepian 

sungai berbatu-batu terjal.

Tubuh kurus bermata cekung dengan rambut panjang 

acak-acakan itu akhirnya melompat dengan 

menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sungai yang

lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto, hingga di 

salah satu pucuk batu, melenting lagi dan bersalto 

kembali, hinggap di batu yang lain. Begitu seterusnya 

sampai orang kurus kering berjenggot kelabu itu tiba di 

seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh juga 

karena kelelahan.

Sementara itu dari tempat munculnya orang kurus itu 

muncul juga orang sedikit gemuk, berkumis tebal 

dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak 

sipit, namun berkesan bengis. Dia tak lain adalah Datuk 

Marah Gadai yang sedang mengejar musuhnya yang 

kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.

Dari seberang sungai Datuk Marah Gadai berseru 

lantang,

"Cadaspati! Ke mana pun kau lari pasti akan kukejar 

dan kudapatkan! Ingat, kau terluka oleh pukulanku dan 

tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya, 

serahkan saja benda itu padaku supaya aku bisa 

menyembuhkan lukamu!"

Cadaspati yang disangka telah berhasil membawa lari 

Pusaka Tuak Setan itu hanya menggeram dari 

tempatnya, ia mencoba bangkit dengan terhuyung-

huyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia melihat 

Datuk Marah Gadai memetik dua lembar daun jati muda, 

mata Cadaspati semakin tegang.

Dua lembar daun jati yang masih muda itu 

dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera 

menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dan 

melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya 

berdiri di atas dua lembar daun jati yang tetap 

mengambang di air walau mendapat beban seberat tubuh 

Datuk Marah Gadai.

"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai sentakkan kaki

kanannya dengan kedua tangan mengeras diangkat ke 

atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang 

melintasi sungai dengan membawa tubuh Datuk Marah 

Gadai di atasnya. Wuusss...!

Melihat lawannya terbang cepat ke arahnya, 

Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya 

yang tidak ikut terluka, yaitu tangan kirinya, merapat di 

ketiak dan telapak tangan itu menghadap ke depan.


Tangan tersebut dihentakkan dengan sebuah teriakan.

'"Guntur Colok Sukma'...!"

Dari telapak tangan itu meluncur keluar sinar merah 

membara yang sebenarnya kumpulan dari jarum-jarum 

yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke 

arah Datuk Marah Gadai. Secepatnya kaki Datuk Marah 

Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu 

tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di 

angkasa. Wuugh, wuugh...!

Gerombolan jarum merah itu melesat menghantam 

dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun 

tersebut hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi 

serpihan-serpihan kering tak berwarna hijau lagi, 

melainkan abu-abu.

Ilmu 'Guntur Colok Sukma' milik Cadaspati melesat 

dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk 

Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan 

berangnya. Meski kecil tapi mata itu memandang 

setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang 

menyadari keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.

"Cadaspati!" kata Datuk Marah Gadai dengan suara 

geram angker. "Tak akan ada orang yang bisa 

menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga 

serahkan Pusaka Tuak Setan itu padaku. Kau akan 

kusembuhkan!"

"Persetan dengan omonganmu, Datuk Marah Gadai! 

Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki 

pusaka itu!"

"Kau telah menyelam di dalam Telaga Manik Intan!"


"Aku mandi di sana!"

"Adakah orang mandi tanpa melepas pakaian?!" 

senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati 

menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu 

hanya membatin,

"Sial amat nasibku! Menyelam di telaga mencari 

sampai lama tapi pusaka itu tidak kudapat. Sekarang 

malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu! 

Repotnya lagi, orang kuat ini tidak mau percaya dengan 

kata-kataku. Sepertinya aku memang harus bertempur 

habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa 

aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"

Maka dari kantong jubahnya di bagian belakang,

Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa 

cambuk tiga lidah. Cambuk itu terdiri dari tiga tali satu 

gagang. Setiap tali mempunyai ujung bersenjata. Dua 

tali berujung senjata seperti pisau kecil, satu tali 

berujung bola besi berduri berukuran sebesar jeruk 

peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna 

talinya berbeda, yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk 

yang bertali putih itulah yang berujung bola besi baja 

berduri.

"Datuk Marah Gadai!" geram Cadaspati dengan mata 

dinginnya. "Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, 

aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"

"Bagus!" kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum 

sinis. "Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu 

itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang 

tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku."


"Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk 

Busuk!" geram murid Malaikat Tanpa Nyawa yang telah 

kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial 

Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").

Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang 

memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh 

Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk 

mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api 

itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar 

bagai hendak meruntuhkan langit. Blaarrr...! 

Glegeerrr...!

Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa 

sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah 

dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai 

pun terpental ke samping membentur batu. Lengan 

kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena 

lecutan cambuk, melainkan karena robek terkoyak 

pecahan batu runcing yang dijadikan tempat benturan 

tubuhnya.

"Jahanam...!" geram Datuk Marah Gadai dengan 

semakin beringas, ia pun segera mencabut pedangnya 

yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang 

sepanjang ukuran lengan orang dewasa itu dihunus 

dengan gerakan cepat. Srettt...!

Duueerr...!

Lepasnya pedang dari sarungnya saja sudah 

menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan 

mencabut pedang itu menimbulkan gelombang 

bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah


batu berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu 

terlempar ke arah Cadaspati bersama batu-batu kecil 

lainnya.

Cambuk tiga lidah dilecutkan di udara, kilatan 

cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung 

cambuk membentur batu yang melayang dan membuat 

beberapa batu besar itu pecah tanpa suara. Tinggal 

bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani 

tubuh Cadaspati.

Orang kurus murid Malaikat Tanpa Nyawa itu 

terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu 

itu rupanya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang 

lumayan, dan selain menerpa tubuh juga mendorong 

tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi 

dorongan itu tidak membuat tubuh kurus Cadaspati 

menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri dan memandang 

ke arah pedang Datuk Marah Gadai.

Pedang itu seperti baru diangkat dari perapian. 

Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di 

sekelilingnya. Pedang yang menyerupai besi mau 

ditempa itu segera bergerak menebas ke arah leher 

Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah. 

Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh 

tubuh Cadaspati, lelaki bermata cekung itu 

berjumpalitan menghindari gelombang panas yang 

menyerangnya dengan cepat. Wuuus...

"Ahgh...!" Cadaspati terpekik tertahan. Kakinya 

sempat tersapu hawa panas dari kibasan pedang tersebut. 

Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi


panas. Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin 

berkurang.

"Kau masih tidak mau menyerahkan pusaka itu, 

Cadaspati?!" Datuk Marah Gadai mengancam.

"Aku sudah tidak menganggap berurusan dengan 

Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap 

berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas 

luka-lukaku, Bangsat! Hiaaat...!"

Blaaarrr...!

Kembali tepian sungai diguncang gempa sekejap, 

karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh Datuk 

Marah Gadai. Tubuh itu juga kembali terpental lima 

tindak ke samping belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh 

dengan tangan masih mencoba menopang badan di atas 

sebuah batu hitam.

Keadaan Datuk Marah Gadai yang setengah 

tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai 

kesempatan emas untuk melecutkan cambuknya ke 

punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat 

Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam 

satu pekikan membunuh.

"Hiaaaht...!"

Wuuuttt...! Blaarrr...!

Glegaarrr...!

Gemuruh suara gempa di tepian sungai. Batu-batu 

pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk 

melesat, Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke 

atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan dua senjata itu 

menimbulkan gelegar keras yang mengguncang bumi.


Tiga cambuk itu putus seketika oleh pedang milik Datuk 

Marah Gadai yang jarang digunakan jika bukan dalam 

keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah 

itulah yang membuat timbulnya gemuruh mengguncang 

bumi.

Tubuh kurus kering itu terlempar ke atas bagai 

mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh 

itu melayang dan berusaha mendarat ke tanah dengan 

kedua kakinya. Tetapi, Datuk Marah Gadai berteriak 

keras dan panjang.

"Hiaaat...!"

Ia jejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya pun 

melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati. 

Dalam keadaan mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai 

sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...! Crasss...!

"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari 

Cadaspati.

Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke tanah seperti nangka 

busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah 

bagaikan terpanggang api yang amat panas. Bekas luka 

tusukan pedang di dadanya tampak menganga lebar dan 

membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah, 

namun seperti magma gunung berapi.

Tubuh murid Malaikat Tanpa Nyawa itu tersentak-

sentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai 

membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup. 

Lalu, hilang sama sekali. Yang tinggal hanya sisa 

bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa 

pembakaran. Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut


terbakar atau terpanggang api sedikit pun.

Datuk Marah Gadai berdiri tegak di samping mayat 

Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang 

merah membara masih digenggam di tangan kanannya. 

Kemudian pedang itu segera dimasukkan ke dalam 

sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup 

menggidikkan.

Tanp menunggu lama-lama, Datuk Marah Gadai 

segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap 

itu. Sampai beberapa saat ia menggeledah, akhirnya 

menyentakkan makian dengan nada kemarahan.

"Jahanam busuk! Ternyata dia tidak mempunyai 

Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar-

benar tidak membawa Pusaka Tuak Setan, tak sudi aku 

mengejar-ngejarnya sampai mencabut pedang pusakaku! 

Puih...!"

Datuk Marah Gadai berdiri tegak sambil bertolak 

pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan 

yang bercampur kedongkolan hati. Ia memandang 

sekeliling sambil berkata dalam batinnya.

"Kalau begitu, Pusaka Tuak Setan benar-benar masih 

ada di dalam telaga tersebut. Atau, mungkinkah sudah 

diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan 

itu?! Hmmm... kalau begitu aku harus mencoba 

mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak 

kutemukan Tuak Setan di sana, aku akan memburu 

murid si Gila Tuak yang konyol itu!"

Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu 

yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di


bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang. 

Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan 

pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang 

itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.

Dari balik tiga batang aisang yang tumbang itu 

muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya 

menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan 

kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak 

antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan 

berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras 

cantik milik Peri Malam.

"Rupanya kau yang mau membokongku dari 

belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang 

sudah mengenal perempuan itu.

"Jaga mulutmu, Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada 

watak dalam diri Peri Malam untuk membokong 

seseorang dari belakang!"

"Jadi kau minta dari depan?" sambil senyum nakal 

Datuk Marah Gadai terlihat jelas. Tapi mendapat 

sambutan sinis dari Peri Malam.

"Tua bangka tak tahu adat!" geram Peri Malam tak 

takut sedikit pun. Mungkin karena ia tahu, Datuk Marah 

Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan gurunya, 

jadi sikap Peri Malam pun menjadi sangat berani pada 

lelaki yang usianya jauh lebih tua darinya itu.

"Lantas apa maksudmu mengintai dari balik pohon 

itu?"

"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini, 

sampai timbulkan guncangan hebat pada bumi. Rupanya


kau sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus 

ceking ini!"

"Jadi, kau tak ada urusan apa-apa denganku?"

"Ada baiknya kita mengurus diri kita masing-masing, 

Datuk. Itu pun belum tentu kita becus, apalagi mau 

mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan 

ketusnya.

"Kalau begitu, aku pun harus pergi secepatnya, 

sebelum segalanya menjadi terlambat!" Datuk Marah 

Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap 

berikutnya ia telah melesat bersalto naik dan sampai di 

tepi tanggul. Kemudian ia melompat hilang tanpa peduli 

dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan 

kalimat.

"Tak akan bisa kau menguasai tanah Jawa, Marah 

Gadai...!"

Peri Malam mencibir sinis, ia tahu, bahwa Datuk 

Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi

penguasa rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi 

Peri Malam yakin, cita-cita Datuk Marah Gadai itu tak 

akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa mengalahkan 

gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan 

menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Sudah 

pasti semua orang sakti di rimba persilatan tanah Jawa 

ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan 

maha dahsyat yang dinamakan kekuatan 'Napas Tuak 

Setan'.

Sebenarnya perempuan berhidung bangir dengan tahi 

lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik


itu ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun 

tiba-tiba langkahnya terhenti karena tahu-tahu seorang 

lelaki tua berselempang kain putih dengan rambut 

panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang 

langkahnya.

Orang tua renta berbadan kurus itu memandang sedih 

pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam 

pada Peri Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat 

ketika ia berkata dengan nada datar.

"Perawan kencur! Cukup tinggi ilmumu sampai bisa 

menewaskan adikku Cadaspati!"

Peri Malam kerutkan dahi. Ia tidak kenal siapa orang 

itu. Ia tidak tahu, bahwa orang tua berkumis tipis dengan 

badan kurus kering itu adalah kakak dari Cadaspati yang 

bergelar Peramal Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa 

orang yang dihadapannya jelas tokoh tua yang tidak 

enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar 

jika harus bertarung dengan tokoh tua itu.

"Siapa kau, Bandot?! Mengapa sikapmu bermusuhan 

denganku? Tidak tahukah kau bahwa aku adalah murid 

si Mawar Hitam yang tersohor itu?!"

"Aku tahu! Aku kenal si Mawar Hitam yang diam di 

Pulau Hantu. Dan aku tahu kau adalah muridnya yang 

bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"

"Bagus kalau kau tahu semuanya!" kata Peri Malam. 

"Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku. Bandot 

Tua?!"

"Menuntut balas kematian adikku!"

"Buka matamu lebar-lebar, Bandot Tua! Buka juga


telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut 

balas atas kematian tikus sawah itu padaku!"

"Jaga mulutmu jika tak ingin kutumbuk dengan 

tongkat ini! Hih...!"

Cepat sekali Peramal Pikun sentakkan ujung 

tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan 

perempuan itu pun tak kalah cepat kibaskan ke samping 

untuk menangkis tongkat itu. Trrak...! Terdengar bunyi 

bagaikan kayu besi saling beradu.

"Boleh juga kekuatan tenaga dalamnya, sampai suara 

tongkatku gemeretak ditangkisnya," batin Peramal 

Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam 

serentak. Tak sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si 

Mawar Hitam!"

Sementara itu, Peri Malam pun membatin, "Tinggi 

juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti yang ia salurkan lewat 

tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada 

tenaga dalam tersalur di tongkatnya, pasti tongkat kayu 

itu telah patah! Tanganku sempat merasakan linu sedikit 

di bagian pergelangannya."

Peramal Pikun masih tetap memandang dingin 

dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi 

bengis. Itu pasti disebabkan hatinya berkabung atas 

kematian adiknya. Bahkan dengan datar pula ia berkata 

kepada Peri Malam.

"Jangan kau mengelak dari tuntutan dendamku, Peri 

Malam! Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa. 

Hutang darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi 

untuk tertawa, karena sebentar lagi nyawa dan ragamu


akan terpisah."

Kata-kata itu disepelekan oleh Peri Malam. Bibir 

manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin 

getir.

"Jangan bikin persoalan denganku, kalau raga tuamu 

tak ingin dipatah-patahkan oleh guruku!"

Genggaman tangan Peramal Pikun pada tongkatnya 

semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,

"Persetan dengan gurumu! Kalau perlu kutumbuk 

lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"

Wuusss...! Tongkat dikibaskan menghantam kepala 

Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu 

tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri 

Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal 

Pikun.

Taapp...! Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga 

dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak 

tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah 

jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.

Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat 

siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam. 

Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di 

pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan 

tenaga dalam itu. Prasss...!

Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai 

sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama-

sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam 

lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka.

"Tahan!"


Keduanya saling palingkan wajah memandang 

pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat, 

namun cepat sembunyikan rasa kaget. Peramal Pikun 

menyipitkan mata dan berkata, "Lagi-lagi kamu mau ikut 

campur urusanku, Suto!"

Suto Sinting tersenyum menyeringai, lalu berkata, 

"Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan dara 

cantik macam dia, Peramal Pikun?!"

"Peduli apa dengan cantiknya dia! Aku harus 

menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia, 

Suto!"

Peri Malam menukas kata, "Bukan aku 

pembunuhnya!"

"Kalau bukan kau, siapa?! Yang ada di sini hanya kau 

dan mayat adikku!" sentak Peramal Pikun.

"Datuk Marah Gadai yang membunuh adikmu, 

Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia 

pergi ke selatan sebelum kau datang dari utara!" suara 

Peri Malam terdengar lantang juga.

"Nah, kau dengar sendiri, Peramal Pikun!" kata Suto.

Peramal Pikun agak sangsi, ia masih menatap tajam 

pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang 

kembali datar.

"Jangan kau coba-coba mengelabui pikiranku, Peri 

Malam!"

"Bangunkan mayat adikmu, dan tanyalah sendiri 

padanya!"

Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki. 

Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam


kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai, 

kemudian melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga 

dalam yang membuatnya cepat menghilang dari 

pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.

Setelah meneguk tuaknya dua kali, Suto pun berkata,

"Kurasa apa yang dikatakan memang benar, Peramal 

Pikun! Bukankah Datuk Marah Gadai sejak dari tepi 

telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai 

ini? Aku yakin bukan perempuan itu yang membunuh 

adikmu, Peramal Pikun."

"Kalau begitu, akan kucari Datuk Marah Gadai untuk 

bikin perhitungan pribadi denganku!"

"Terserah kau, Peramal Pikun. Tapi tolong jelaskan 

padaku, siapa perempuan beringas tadi, Peramal Pikun? 

Kau pasti mengenalnya."

"Peri Malam," jawab Peramal Pikun. "Dia murid 

nenek peot yang bergelar si Mawar Hitam, yang 

menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang 

menunggu saat terbaik untuk membalas dendam dengan 

musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."

Suto terperanjat sekejap. Tapi ia bisa lekas tenangkan 

diri begitu mendengar nama bibi gurunya disebutkan.

"Mengapa ia bermusuhan dengan Bidadari Jalang?" 

tanya Suto dengan rasa ingin tahu.

"Bidadari Jalang melukai hati si Mawar Hitam 

semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari

Mawar Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa 

direbut oleh Bidadari Jalang. Perkawinan itu menjadi 

hancur karena ulah Bidadari Jalang. Itu sebabnya,


Mawar Hitam punya dendam pada Bidadari Jalang. Tapi 

dendam itu tidak pernah kesampaian, karena ilmu yang 

dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih 

tinggi dibanding ilmu Mawar Hitam. Maka, Mawar 

Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia 

hanya akan muncul lagi jika sudah mendapatkan 

kesaktian yang bisa menandingi Bidadari Jalang."

"Lalu, bagaimana dengan Pendekar Tanduk Dewa 

itu?"

"Dia patah hati, merasa dipermainkan cintanya oleh 

Bidadari Jalang, ia sudah tak mau lagi kembali pada 

Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh 

Batu, sampai sekarang tak pernah lagi muncul di 

permukaan bumi."

Suto manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. 

Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang

kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik 

tolak dari masalah cinta dan lelaki. Bahkan ia pun tahu 

bahwa bibi gurunya itu punya urusan dengan Nyai Guru 

Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya dan 

mendendam kepada Bidadari Jalang. Betari Ayu 

menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun 

Biadab! Tapi Suto tetap berlagak tidak tahu menahu 

tentang Bidadari Jalang.

"Suto, tak ada waktu lagi bagiku untuk berbincang-

bincang denganmu. Aku harus mengejar Datuk Marah 

Gadai!"

"Tunggu sebentar, Peramal Pikun...!" cegah Suto. 

"Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal


pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi 

bisakah kau mengetahui siapa perempuan yang bernama 

Dyah Sariningrum itu?"

Peramal Pikun sentakkan mata, jadi melebar tegas. 

Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera 

mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"

Suto tersenyum. "Aku tahu kau dusta padaku, 

Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang 

bernama Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"

Wajah tua itu tampak menggeragap, walaupun pada 

akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,

"Aku tak kenal nama perempuan itu. Aku tak tahu di 

mana dia berada. Jangan tanyakan padaku, Suto!"

"Tapi mengapa telingamu berdarah!"

Peramal Pikun semakin kaget, ia pegang telinganya. 

Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah 

kental yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup 

membuat wajahnya makin pucat. Ada rasa takut yang 

bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun 

pun segera berkata, "Sekali waktu kita akan bertemu, 

Suto!"

Setelah berkata begitu, Peramal Pikun melompat ke 

atas tanggul sungai melalui pijakan batu di sampingnya. 

Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri 

dalam pengejarannya terhadap Datuk Marah Gadai.

Suto hanya membatin, "Apa sebab telinga Peramal 

Pikun berdarah? Apakah ia mendapat serangan tenaga 

dalam dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini? 

Tapi menurut inderaku, tak ada orang di sekitar sini.


Hmmm... aku yakin, Peramal Pikun tahu persis siapa dan 

di mana Dyah Sariningrum itu. Haruskah aku 

mendesaknya? Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya 

dulu. Aku lebih tertarik mengejar Peri Malam yang 

cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku 

mengejarnya? Hanya sekadar menggoda kecantikannya 

atau ingin bersahabat dengannya? Ah, tak tahu aku, 

kenapa aku ingin mengejarnya!"

*

* *

EMPAT



GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar 

bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru, 

karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua 

dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di 

samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut 

hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian 

mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut 

sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan 

nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.

Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut 

gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa 

waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah 

daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang 

disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah 

menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.

Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun

kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari 

lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik 

seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai 

emas dengan batu merah delima dibagian keningnya. 

Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu 

kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput 

yang berjuluk Mawar Hitam.

Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup 

perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus 

terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya 

yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang 

tersimpan di hati Peri Malam.

"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati. 

"Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa 

terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur 

mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak 

Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria 

setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga 

mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali 

tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha 

melupakannya, tapi tak pernah bisa."

Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar 

Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir 

menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul 

oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun, tapi takut 

jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.

Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki 

perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan 

satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil


mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang 

pelepah daun pisang.

Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut 

yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam 

segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali 

sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu 

dan segera raih kayu pendayung.

Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran 

hati ini semakin parah, aku akan minta izin kepada Guru 

untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di 

jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk 

kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru akan izinkan 

hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan 

Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."

Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepat-

cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai 

pada sang Guru dan segera mintakan izin rencananya itu. 

Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai 

kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh 

tombak. Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap 

cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat sedikit 

pun.

Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa 

menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat 

membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya 

Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya 

makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin 

menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke 

belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan


berjalan maju, tapi berjalan mundur.

"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak. 

Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak 

dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan 

perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan 

dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan 

terlalu mudah dipermainkan ombak!"

Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua 

dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu. 

Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan 

gunakan dua dayung kanan-kiri. Gerakannya tambah 

dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa 

pergi perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati 

pantai.

"Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam. 

"Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya, 

perahu ini akan melaju mundur."

Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya 

untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke 

tepian pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar 

suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan 

karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini 

menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat 

dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang, 

ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari 

perahunya.

"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada 

perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit dan 

melompat turun. Perahunya ditarik ke tepian sambil


menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang 

dulu dan arah angin menuju ke barat. Jika arah angin 

menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong 

perahuku ke arah barat pula."

Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan 

karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang 

agak meruncing. Peri Malam pun segera pergi ke bawah 

sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana 

ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.

"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah 

pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala 

memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon. 

Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan 

pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan 

tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke 

pohon itu. Duugg...!

Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu 

meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan 

bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.

Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu 

pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya 

muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun 

terpental tak tentu arah.

Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan 

mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia 

membatin,

"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku. 

Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang 

mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak,


tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan 

kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah! 

Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"

Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk 

memancing persembunyian orang yang memecahkan 

kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah 

kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar 

itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.

Bluukkk...!

Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa 

tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat 

Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda 

tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan 

itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata kelapa 

tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat 

menginjaknya.

Taapp...!

Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu. 

Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari 

betis sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan 

akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di 

sana.

Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis 

sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.

"Dia lagi...!"

Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang 

hitam berukuran besar itu masih sunggingkan 

senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat 

kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap


dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda 

itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan-

kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang runcing 

berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang, 

kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa. 

Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda 

yang konon bernama Kapak Kebo Geni.

"Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu 

sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.

"Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi 

menggangguku, Dirgo!"

"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri 

Malam."

"Mengapa harus menahanku di pantai ini? Kau bisa 

datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana, 

Dirgo Mukti."

Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga 

tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri, 

Dirgo Mukti hentikan langkahnya.

"Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku 

melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani 

melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu 

kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di 

sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah 

wilayah kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya

yang melewati daerah ini harus berurusan denganku, tapi 

bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."

Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam 

sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang


sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri 

Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia 

Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan 

dengan Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru 

mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri 

Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.

Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai 

seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau 

yang segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan 

cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke 

permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...!

Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah 

berlubang dan bisa dipakai untuk mengeluarkan air di 

dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan 

kelapa kepada Peri Malam.

Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan 

hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak 

habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke 

atas untuk menerima curahan air kelapa, mata Dirgo 

Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus 

dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin 

mencium leher Peri Malam. Tapi saat ia bergerak 

setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan 

meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan 

sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.

"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti 

pelan.

"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.

Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan


membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya 

gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta. 

Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani 

cintamu nantinya, Peri Malam."

Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan 

ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia 

sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik 

dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu. 

Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh 

rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.

Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis 

mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan 

kesaktian dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya 

membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia 

mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang 

Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.

"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?" 

tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,

"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan 

itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo, 

maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata 

Mawar Hitam yang cadel.

"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru. 

Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara 

memuakkan!"

"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia. 

Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."

"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu 

kali saja!"


"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok 

sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi 

Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"

Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa 

lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani 

mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri 

Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan 

Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi 

untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah 

lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti 

dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu 

dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama 

keras bagai dua besi baja saling beradu.

"Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi, 

Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam, 

penuh sinar permusuhan.

"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi 

dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan mata 

menahan kejengkelan hati.

"Apa maksudmu, hah?!" sentak Peri Malam.

"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku 

tak sanggup lagi berjauhan denganmu."

"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti. 

Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah 

membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri. 

Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa 

dipermainkan dirinya.

"Hiaaat...!"

Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo


Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan 

tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa 

memantulkan tenaga.

"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat, 

dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam jarak 

lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut 

untuk sesaat, karena hatinya berkata,

"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku 

belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah 

menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja 

tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau 

sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm... 

baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"

Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan 

dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya 

hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di 

dada.

Weeeung...!

Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri 

Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua 

kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan 

tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam 

telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo 

Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo 

Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.

"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati 

oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"

"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah

mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!"


geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka, 

serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih 

besar lagi.

Wuungh...!

Weuung...!

Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri 

Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari 

tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh 

membentur bongkahan batu karang.

"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada 

punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat 

untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya 

terhempas lepas.

Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin, 

"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku 

tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku 

jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya 

aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"

Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri 

Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya 

dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke 

samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian, 

membalikkan tangannya dengan telapak tangan 

menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak 

keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan 

itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola 

sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah 

Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam dan 

tersenyum-senyum.


"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir 

balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar-

pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali 

lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.

Wuuuooss...!

Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam 

yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri. 

Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi 

putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-

serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda 

bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.

"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis 

dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi 

bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah 

masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya 

itu?"

Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas 

sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau 

menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan 

membalas kesombonganmu, Peri Malam!"

"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"

Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba 

terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan 

bumi. Blaarrr...!

Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling 

di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan 

heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo 

Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan 

tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu


menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.

"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak 

kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi 

menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu 

memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.

"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!" 

sentaknya lagi.

Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari 

penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu. 

Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti 

berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada 

cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, 

namun sempat membuat Peri Malam tersenyum 

kegirangan.

"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada 

Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu 

Dirgo berseru,

"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau, 

Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"

Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat 

malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya. 

Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri 

Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik 

dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu 

yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada 

orang yang mengganggunya.

"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan 

batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia 

Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja


salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga 

batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan 

ke telinganya.

Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di 

belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh 

berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong 

bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam 

terpekik kaget.

"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"

*

* *

LIMA



DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke 

arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari 

punggung dan halangkan bumbung ke depannya. 

Craap...!

Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang 

sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu 

kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil 

itu dan membuangnya dengan seenaknya ke samping.

"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu? He 

he he...!" Suto melompat turun dari atas batu, melangkah 

dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau 

kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup 

banyak minum tuak dan sedikit mabuk. Tapi matanya 

belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.

Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada. 

Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau

itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan 

mengenai sebongkah batu. Batu itu pecah dengan 

menimbulkan bunyi yang pelan.

"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah 

termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan 

tenaga dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara, 

jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang 

terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak 

ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak? 

Hmmm... siapa sebenarnya orang ini?! Aku belum 

pernah jumpa dengannya."

Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan 

itu.

"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya 

inilah kesempatan yang baik untuk menghajar Dirgo 

Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila 

Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku 

lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, 

sesuai pesan Guru."

Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam. 

Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing 

kemarahan Dirgo.

"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik 

urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti 

menyentak dengan melangkah setindak ke samping 

kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri 

berjajar menghadap Dirgo Mukti.

Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab 

pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau


pasti tahu!"

Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan 

suara jelas.

"Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang 

punya julukan Pendekar Mabuk."

"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti 

dengan mengejek sinis.

Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si 

Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak, 

tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang 

pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang

namanya ada di papan atas dunia persilatan. Lalu, apa 

urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah 

dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah 

musuh utamaku dalam merebut hati Peri Malam!"

Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu 

mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena 

ia menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam, 

keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan 

beraninya dia berucap kata kepada Suto.

"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka 

Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting 

si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta, 

mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup 

berdampingan dengan Peri Malam!"

"Kau menantangku, Dirgo?!"

"Ya!"

Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua 

mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,


"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu 

apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-

ku ini!"

"Jangan...."

Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang 

sebaiknya jangan di pantai ini."

Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri 

Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.

"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di 

mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan

berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri 

Malam!"

Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas 

kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi 

selalu disahut Peri Malam.

"Maksudku begini, Dirgo...."

"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang 

menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya, 

silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang 

pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."

"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata 

Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan kita di Bukit 

Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid 

si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama 

mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah 

menunggumu!"

Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan 

melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan 

kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti


yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu 

lainnya.

Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo 

Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan 

kuntilanak pulang pagi.

"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik 

olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia. Berulang 

kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin 

aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan 

anak tikus. Hik hik hik...!"

Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun 

tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya 

dia bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.

"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan 

yang tidak benar begitu?"

"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan 

tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.

"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"

"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"

"Memang salah!"

"Maaf kalau begitu!'' ucap Peri Malam berlagak ketus 

sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni 

yang rindang itu.

Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto 

yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah. 

Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si 

Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah 

yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.

"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam


dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak 

kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.

Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri 

Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri 

Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,

"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya, 

seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya 

itu.

"Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo." 

"Apakah kau takut?"

Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah 

mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam 

bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga 

dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat 

senyuman itu.

"Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci 

kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung 

kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung 

melawan orang yang tidak punya salah padaku."

"Tapi kau tadi menyerangnya."

"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka 

melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."

"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi 

istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku melayani 

nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan 

menderita begitu?"

"Tidak."

"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak 

tadi."


"Apa maksudmu? Jelaskan!"

"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar 

cintaku karena merasa berilmu tinggi."

"Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"

"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."

"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?" 

"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan 

dengan Dirgo." 

"Kenapa?"

"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.

"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk 

menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"

"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku 

terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan 

cinta di hatiku."

"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."

Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah 

lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari 

depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap, 

dan ucapannya lirih berkata,

"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau 

mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"

"Mana bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai 

idaman hati sendiri."

"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku. 

Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih, 

Suto."

"Mana bisa?! Aku tak pernah tahu hangatnya 

pelukanmu."


Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian, 

dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak 

hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah 

ciuman hangat melekat di pipi murid sinting si Gila 

Tuak itu.

Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat 

Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan 

wajah maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan 

menyentuh di bibir Suto. Crupp...!

"Oh...?!" Peri Malam cepat undurkan wajah.

"Kenapa?"

"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik 

tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan 

tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip 

gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu 

diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai 

melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah 

dan mendebarkan.

Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu 

berucap lirih.

"Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"

"Mana bisa?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan 

kita."

Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan 

muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri 

seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan 

rambut digulung naik ke atas.


Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto 

Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia 

layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan 

yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.

"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau 

belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang 

Kubur?!"

"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri 

Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara dingin 

memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan 

dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan 

Peri Malam.

*

* *

ENAM



MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua 

perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu. 

Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar 

mata memancarkan permusuhan.

Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas 

gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali 

menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur 

urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu 

menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi 

pihak penonton saja.

Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan 

itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto 

tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab

perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto 

hanya membatin,

"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah 

mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri 

Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku 

tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau 

Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak 

bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak 

Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya

dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus 

menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia 

kabur lagi!"

Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki 

tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama 

membusung ke depan, karena memang keduanya sama-

sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena 

mereka sama-sama menahan rasa cemburu.

"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus 

dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat 

hidupmu?"

"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua 

hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah 

ketus dan tegas.

"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur! 

Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan 

Suto Sinting!"

Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya 

Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka 

Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan


keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka 

Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan 

tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan 

ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri 

Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di 

mana Pusaka Tuak Setan itu berada.

"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan 

kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina. 

Kau durjana dan kotor!"

"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri 

Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan 

perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan 

lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu 

kepada Trenggono!"

"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan 

kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum 

dia kita hancurkan!"

Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata 

begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu 

bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini 

adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang 

menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.

Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia 

pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras 

lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia 

berharap agar Suto pun mendengar dan 

mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati 

Peri Malam atau meninggalkannya.

Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil


memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya 

manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya 

sudah sama-sama blong. He he he...!"

Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto. 

Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas 

dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa 

kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang 

dianggap sudah tak perawan lagi itu.

Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke 

arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati 

Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur, 

karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman 

ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.

Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu 

sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara 

dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam 

gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!

Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap 

berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke 

tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit 

melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan 

dada tetap membusung.

Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi 

tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya 

tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak 

darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia 

terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam. 

Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga 

dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja


Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan 

kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat 

itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari 

pantai.

Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya 

kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya. 

Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak 

boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau 

harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga 

diriku!"

Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang 

Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga. 

Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang 

terkena pukulan tadi.

"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan 

paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek. 

Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun 

untuk menyamai ilmuku!"

"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri 

Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup 

kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan 

pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"

Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di 

udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak 

menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai 

mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan 

Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya 

dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat 

kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah


lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan 

satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup 

besar. Buugh...! 

"Ahhg...!"

Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan 

tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu 

di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan 

kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga 

wajahnya tak jadi terbentur batu.

Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang 

Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap 

direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan 

dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur 

lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah 

pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari 

ketiga jurus sakti simpanannya itu.

"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata. 

Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah 

Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi 

langkahnya sedikit limbung.

"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak 

Selendang Kubur.

Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya, 

"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni 

lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan 

seperti itu dari guruku."

"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak 

ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"

Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya


semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan 

'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit 

yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia 

teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup 

menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus 

maut yang belum sempat dikeluarkan.

Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan 

Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan 

terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu 

Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera 

menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.

Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga 

demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak 

kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang 

sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu 

sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan 

melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia 

telah mencapai dahan di atas sebuah pohon. Dari sana ia 

serukan kata,

"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang 

Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting 

dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita 

bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup 

lebih lama lagi di antara kita berdua!"

Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting 

lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan 

satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang 

pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.

"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak


Selendang Kubur.

Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur 

pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri 

Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya 

seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang 

Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu 

besar. Brukkk...!

Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga 

itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda. 

Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat 

berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.

"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?! 

Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"

"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu 

karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di 

pihaknya?"

"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku 

mengejarnya?"

"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak 

Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi 

bumbung tuak.

Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan 

pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar. 

Hatinya membatin.

"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah 

perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya 

tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat 

mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"

Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur


singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah. 

Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar 

itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata 

Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas 

permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati 

dirinya sampai jarak tiga langkah.

"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya 

dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi 

dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas 

bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang 

puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"

Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu, 

Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya 

dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur 

menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah 

dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah 

urusan Pusaka Tuak Setan.

Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga 

kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya 

diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan 

Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.

Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke 

arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia 

berkata,

"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal 

seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin 

menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan 

perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan 

dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi


bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"

"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur. 

Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi 

perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau 

curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan 

mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"

"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia 

palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.

Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan 

suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang 

memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi 

suatu percakapan kecil.

"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit? 

Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk 

mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia 

mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar 

dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat 

padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak 

mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku, 

sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti. 

Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih 

dulu. Aku malu."

Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua 

kali tuak dari bumbungnya.

"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu 

dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku 

sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman 

yang indah itu."


"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke 

taman itu?!"

"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."

"Kagum pada guruku?"

"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto 

mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan 

Selendang Kubur itu.

Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya. 

Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh

Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian 

istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai 

rasa suka pada Suto?"

"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam," 

tambah Suto.

Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau 

bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan 

siapa kau tidur di sana?'

"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda, 

membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.

"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"

"Bukan."

"Murbawati?"

"Bukan."

"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu, 

Suto?"

"Pembayun!" jawab Suto.

"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan 

napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang 

paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat


kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat 

setia merawat kuda milik Betari Ayu.

"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"

"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur 

tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah 

larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan 

dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri 

setelah menyadari larangannya itu.

"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu 

perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih 

memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi 

kecemasannya.

"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana, 

Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu. 

Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku 

muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang 

dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."

Hati Selendang Kubur masih berdebar indah 

mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka 

dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena 

rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan 

indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya 

kepada Suto.

"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan 

begitu?"

"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan 

darimu."

"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera 

kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.


Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti 

orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata 

Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa 

geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok. 

He he he...!" 

"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau 

mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan 

Pusaka Tuak Setan?" 

"Ya. Benar."

"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak 

Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'

"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur. 

Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan 

Paman Sugiri."

Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah 

yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini 

menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun 

sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi 

masih berkerut tegang.

"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak 

Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah 

Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas 

Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada 

saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua 

kalinya."

"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"

"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri 

Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum 

beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka


beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang 

Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di 

atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ, 

karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan 

dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di 

atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak 

Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya. 

Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang 

berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat 

benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang 

menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak, 

sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu 

untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak 

bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan 

gurunya."

Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa 

hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri 

Malam?!"

"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk 

dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya 

sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak 

percaya, mari kita buktikan!"

Suto tertegun. Matanya semburat merah karena 

mabuk.

*

* *


TUJUH



MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri 

Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah 

bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun 

tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua 

yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan 

Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri

Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau 

Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu 

tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat 

pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan 

menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.

Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain 

lagi.

"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu 

menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi 

bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"

"Apa maksudmu?"

"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak 

Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut. 

Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya 

sendiri?"

"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata 

Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk 

isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.

"Apa dia berani menjadi murid murtad?" 

"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu." 

"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh

cinta?"


"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus 

singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk 

itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat. 

Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid 

murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan 

minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat 

menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki 

dirimu."

"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang 

lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."

"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, 

dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau 

melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau 

kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan 

itu."

Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata 

Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara 

semakin sumbang.

"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan 

itu?"

"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia. 

Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan

mendampingimu dan menjagamu!"

Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau

mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi 

tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang 

yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian 

dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur! 

He he he he...!"


"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak 

akan bisa menahan gejolak birahiku."

Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur 

melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari 

perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu 

itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan

tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar 

kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar 

kuning. Blaarrr...! Praakkk...!

"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.

"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab 

Selendang Kubur.

"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk 

menyeberangi lautan ini!"

"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu 

artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan 

mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."

"Yah, bisa juga dia buat lagi!" 

"Kita berangkat sekarang, Suto!" 

"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.

Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang 

Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari 

belakang mereka.

"Tunggu!"

Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang 

Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang 

dan menahan langkahnya.

"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan 

tak suka.


"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!" 

kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.

"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa 

kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang 

Kubur bernada ketus,

"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang 

Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya 

urusan sendiri!"

"Apa hakmu melarangku?"

"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru. 

Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil 

oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"

Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin, 

"Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi 

diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan-

jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku 

meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan 

kedudukanku di samping Suto!"

Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas, 

"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?" 

"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari 

Guru!"

Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi 

kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku 

pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke 

tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku 

tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin 

menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"


"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang 

Kubur!"

"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang! 

Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"

"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!" 

sentak Dewi Murka.

"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu, 

Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata, 

"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat 

sekarang juga!"

"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli 

Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak. 

"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu, 

Larasati!"

Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan 

membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia 

melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara 

lantang.

"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"

"Menyuruhmu pulang!"

"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"

"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"

"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang 

Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto 

diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.

Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan 

hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak 

dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang 

Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri

dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.

Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan 

suaranya yang tegas.

"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku 

untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak 

apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang 

dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"

"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu! 

Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar 

peraturan perguruan!"

"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi 

murid bersalah dan dianggap telah murtad!"

"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras 

kerutkan keningnya karena heran.

"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu 

tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil 

mencuri Kitab Wedar Kesuma!"

"Gila kau!"

"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya. 

Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena 

sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"

"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, 

karena kau takut Guru akan memilihku sebagai 

penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil 

menuduh balik kepada Dewi Murka.

"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, 

Larasati!"

"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih 

harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan


yang amat penting!"

"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau 

kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''

"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak 

Selendang Kubur dengan berani.

"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi 

Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar 

menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari 

pinggang.

Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama 

dengan kata hati Selendang Kubur tadi.

"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru 

untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar 

tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia 

akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa 

pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya 

maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di 

perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat 

gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku 

mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap 

menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia 

punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan 

juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat 

Selendang Kubur dekat denganku."

Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala. 

Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang 

Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya 

berkata,

"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat


tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku 

hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka 

tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum 

dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua 

perempuan itu."

Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi 

Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru. 

Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu 

melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan 

gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.

Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk 

membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali, 

sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto 

sempat ucapkan kata,

"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu 

tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku. 

Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai 

cara."

Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan. 

"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri 

Malam?" kata hati Suto. "Keduanya sama-sama penting. 

Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa 

saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam. 

Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku 

akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri 

Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa 

korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya 

kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan 

Pusaka Tuak Setan itu!"


Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon 

yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung 

lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama 

kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas 

Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati 

Suto berucap kata,

"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di 

salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku 

harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"

Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa 

tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan 

di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam 

bumbungnya.

Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang 

makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu 

sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka. 

Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam 

dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal

sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-

sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang 

menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu 

memercik ke mana-mana.

Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel 

di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa 

makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu 

tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada 

di depan lelaki berkumis tebal itu.

Tang...! Prakkk...!

Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar


genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan 

tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia 

mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu 

dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun

ada yang dicurigainya.

"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!" 

bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku 

samping.

Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah 

keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata 

lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.

"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti 

kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan 

minuman."

"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya 

mahal!"

Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak 

Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"

"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku 

tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu! 

Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan 

paling mahal!"

"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak 

Kebalen satu kendi."

"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"

"Untuk apa, Kang?"

"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik 

kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan 

tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki


berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu 

melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam 

saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang 

sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.

"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya 

pemilik kedai.

"Sudah. Cukup."

Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya 

kepada lelaki berkumis tebat itu.

"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu 

banyak dipakai untuk cuci tangan?'

"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis 

makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini 

kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan 

atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"

Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil

berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, 

kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.

"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak 

meja. Pemilik kedai semakin gemetar.

"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."

"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan 

tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan 

tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik 

kedai menurutinya karena takut.

Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil

berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan, 

bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam 

kendi!.


"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang 

panas?"

Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan 

perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi 

tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia 

tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.

"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai 

diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.

"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat 

tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul. 

Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-

merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan 

rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di 

situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan 

hal itu.

Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki 

berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu 

tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto. 

Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu 

segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,

"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"

Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi 

pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang 

disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis 

menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan 

Suto bulat-bulat.

"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum 

tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki 

berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.


"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo 

Bodong, tukang beset kulit manusia!"

Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi 

semakin geram.

"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak 

Ingusan!"

Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan 

pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto 

merundukkan kepala dan tangannya berkelebat 

menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung 

telapak tangan. Plook...!

Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah 

jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari 

punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya 

pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.

Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang 

ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda 

tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah 

tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong 

berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa 

pijak dengan rasa takut.

"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.

"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf. 

Maafkan aku, Satria gagah...!"

"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!" 

Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang 

mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang 

tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera 

mendekati Suto dengan sopan.


"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto 

Sinting, murid dari si Gila Tuak?"

"Betul. Dari mana kau tahu?"

"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, 

yang bergelar Pendekar Mabuk?"

"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana 

kamu?"

Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan 

masih gemetar.

"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita 

tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto 

Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang 

kesohor di rimba persilatan itu."

"Siapa yang menceritakan diriku?"

"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia 

numpang bermalam di sana."

"Siapa yang menceritakan diriku? Itu 

pertanyaannya!"

"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia 

banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang 

kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan 

perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud 

saya... dadanya... anu...!"

"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"

"Bet... betot, eh... betul!"

"Memakai pakaian kuning?"

"Iya!"

"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir 

Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku


menemuinya!"

"Ba... ba... baik!" 

*

* *

DELAPAN



ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat 

kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali 

ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan 

bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang 

Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.

"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto 

dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya 

masih ada.

Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak 

merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam 

berkata riang.

"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan 

bersama Selendang Kubur."

"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang 

Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."

Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera 

muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam 

memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk 

yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.

"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya 

Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti 

yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor 

bergelar si Gila Tuak itu!"


Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum 

melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis 

Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas 

tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau 

bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi 

dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan 

makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang 

kehebatan ilmu-ilmunya.

Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan 

ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum 

sekali padaku?"

"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan 

gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita 

kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku. 

Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan 

mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk 

bermalam di rumah ini!"

"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini? 

Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit 

mengacau.

Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah. 

Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling 

rumah Kriyo Suntuk.

Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang 

mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.

Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para 

tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada 

mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita 

tersebut.


Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat 

tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki 

berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama

Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak 

terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti 

yang pernah dilihat oleh Suto.

Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas. 

Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan 

emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang 

berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah 

memandangi wajah ganteng Suto Sinting.

Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu 

sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun, 

hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan 

galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut 

kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis 

senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.

"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"

"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau 

sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih 

tidur?"

"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu 

Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh, 

Kang?"

"Iya. Mana dia?"

"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum 

pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto. 

Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, 

rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada


yang berani membangunkan Kang Suto!"

"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak 

sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm... 

pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak 

punya kesempatan bicara padanya."

Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam, 

yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto, 

perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia 

masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak 

mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu 

keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah 

selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi 

melesatnya anak panah.

Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang 

kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang 

berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang 

itu adalah Peri Malam.

Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya 

berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia 

sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia 

melompat di atas daun demi daun yang digunakan 

sebagai pijakan kakinya.

Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman 

kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi 

pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa 

tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-

bisul tersumbul dari dada seorang perawan.

Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia 

tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak


bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa 

nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu 

pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk 

menemui gurunya si Mawar Hitam.

Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri 

Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga 

perempuan cantik berotak licik itu.

"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali 

saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya. 

Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera 

disembunyikan perasaan itu.

"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup 

keresahan.

"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak 

Setan kau serahkan padaku."

Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia 

berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas 

terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak 

bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.

"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"

"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan 

Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau 

lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun 

milikmu itu!"

"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."

"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari 

mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak 

berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam, 

membuat perempuan itu makin gelisah.


"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku 

menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya 

yang mana, aku juga tidak tahu."

"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri 

Malam. Jangan kau berdusta lagi!"

"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya 

dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha 

mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan 

denganku dan dia bebas mencintaimu."

"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"

"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang

pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak 

tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"

"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil 

tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut. 

Sambungnya lagi.

"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk 

berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita 

secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku 

menyakitimu...."

Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah 

kau mencintaiku sungguh, Suto?"

"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku, 

karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu 

berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal, 

kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu 

yang amat berharga dalam hidupmu!"

Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat 

berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari


pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia 

hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri, 

sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan 

kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah 

aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun 

mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang 

disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun 

diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti 

bahwa aku sungguh mencintaimu...."

Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-

tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam 

sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun 

terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang 

berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin 

berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.

Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan 

Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu. 

Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan 

dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih 

dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka 

memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan 

Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa 

yang terkekeh-kekeh.

Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya 

agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru 

lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya 

yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata 

berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira 

dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang


punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang 

itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot 

dengan gigi berjarak renggang karena ompong.

Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain

gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam. 

Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang 

Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia 

tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.

"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan 

lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika. 

Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam, 

dan ia mengumpat.

"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka 

mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"

"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu 

pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan 

milik Suto Sinting ini!"

"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama 

ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah 

lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua 

yang tidak bisa menyebutkan huruf R.

"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap 

tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang 

masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan 

membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan 

padaku!"

"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa. 

"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin 

bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak,


kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus 

tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum 

Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala 

tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"

"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan 

pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"

"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih, 

kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak 

Lial ini...!"

Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang 

bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat 

cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan 

senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan, 

atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada 

korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam 

segera mendekati Suto dan berbisik,

"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, 

sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang 

menjinakkan kemarahannya, Suto!"

"Aku tak peduli, Peri Malam!"

"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia 

pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku, 

supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia 

mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan 

saja kalian siap!"

"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya. 

Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan 

beraninya.

"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!


Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan 

yang bodoh itu! Hiaaah...!"

Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah 

memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan 

cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak 

kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya 

dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam 

berteriak cemas.

"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"

Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak 

menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju 

menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto 

sambil berteriak,

"Jangan, Guru...!"

Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh 

Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat 

melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima 

oleh bumbung tuaknya Suto.

Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu 

mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke 

arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu 

kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan. 

Wuuugh...!

Kibasan angin itu membentur sinar perak dan 

terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!

Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri 

Malam terlambat menghindari gelombang ledakan 

tersebut.

"Uhhg...!"


Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah 

ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar, 

membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat 

seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak 

mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya 

mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi 

bagian dada.

"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas. 

"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling 

pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam 

lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak 

kambingnya.

Suto merasakan datangnya gelombang panas yang 

menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke 

tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam 

gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai 

daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat 

kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di 

batu atasnya Mawar Hitam.

"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan 

tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.

Plakkk...!

Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya. 

Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar 

Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto 

segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki, 

tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.

Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang 

terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal


paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan 

bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam 

memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi. 

Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam 

terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang 

keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.

"Uuhhg...!"

Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah 

Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam 

berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!

Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa 

memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan 

bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan 

menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.

Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk, 

lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah 

lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung 

jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto 

mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan 

dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu 

besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu 

terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng 

bukit.

"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri 

Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau 

satu kakinya telah remuk.

Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan 

kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada. 

Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak


jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi 

bumbung tuak itu tampak bergetar.

Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak 

jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di 

tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang 

nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga 

Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit 

demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan 

kiri.

Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci 

Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat 

pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak 

berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya 

hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', 

warisan ilmunya si Gila Tuak.

Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa 

dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari 

genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu 

sentakkan tangan kanannya yang masih memegang 

tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke 

arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu 

pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada 

saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk 

melompat meraih guci itu.

"Aaahhg...!"

Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang 

karena terkena pukulan punggungnya. Kepala Suto 

terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan 

suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci di atasnya


pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu 

tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.

Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam 

berteriak keras karena kecewanya.

"Jahanaaam...! Hiaaah...!"

Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan 

dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari 

arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat 

cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam. 

Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.

"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh 

terpelanting dan menyemburkan darah kental dari 

mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk 

memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah 

karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah 

Peri Malam.

Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada 

Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat

jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu 

mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan 

keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.

Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi 

Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat 

pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal 

itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat, 

termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan 

juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh 

mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan 

bukit.


Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin 

jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam 

keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu 

bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya 

berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang 

tersentak-sentak.

Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap 

berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun 

memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang 

saat ia menyebut nama, "Suto...?!"


                              SELESAI


PENDEKAR MABUK

Ikuti kisah selanjutnya 

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:

PERAWAN SESAT


0 komentar:

Posting Komentar