PENDEKAR MABUK EPISODE DARAH ASMARA GILA
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
SATU
ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung
membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja
tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling
berhadapan. Satu mengepalkan tangan dengan kuat, satu
lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah
mereka saling bertatap pandang menyemburkan api
permusuhan.
Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku
hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh
keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka
sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan
mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng
bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap
akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga
dalam.
Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua
pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah
didekati ternyata mereka adalah dua perempuan
bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya.
Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada
montok yang bergerak naik turun akibat napas yang
terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun
agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan
tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan
mereka masing-masing.
Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak
lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.
"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi
aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul
petang nanti!"
"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati-
hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak
segan-segan mencabutnya!"
Perempuan jelita yang berambut lurus dan
mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil
dengan batuan merah delima sebesar kacang tanah di
tengah dahinya itu, kembali berkata setelah
perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.
"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku?! Kalau
saja aku tak ingin berurusan panjang dengan
perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan
nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"
Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang
Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang
terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama
Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu. Dialah
perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting
karena persoalan hilangnya guci kecil yang disebut
Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan").
Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan
selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah
Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang
berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu? Tokoh
muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh
Selendang Kubur. Jelas dia punya ilmu cukup tinggi
juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan
jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia
sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan
pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia
terpaksa tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun
mengalami hal yang sama.
Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang
kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang Kubur.
Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah
bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur
masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum
itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai
nama asli Sundari.
Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang
pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya
mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara,
sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam saling
beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui
bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat
perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua
segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu
hancur di tangan mereka sendiri.
Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara
seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?
"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu
untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang
kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa
lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan
nyawamu!"
Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri
Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang
pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.
"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak
ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap
kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang
langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar
mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya!
Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"
Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah
mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.
"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang
Kubur!"
"Ada!" sentak Selendang Kubur.
"Apakah karena asmara kau melakukannya?!"
"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"
"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada
pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di
hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan
kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda
pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang
Kubur, tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika
sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan!
Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini
dari tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah
yang menjadi tebusannya!"
"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali
aku ingin menghancurkan kepalamu, harus kulaksanakan
secepatnya! Hiaaat..!"
Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang
Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke
depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api
seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri
Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke
atas batu di belakangnya. Wussst..!
Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan
lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!
Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah
berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri
Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan
pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!
Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa
berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan
ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan
tombak di belakang Selendang Kubur. Dan, pohon itu
pun bergetar nyaris tumbang. Ranting-ranting keringnya
berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara
gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati
Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas
bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki
sedikit merentang tegar.
Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil
sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan
tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya.
Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu
berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar
kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan
sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas
melalui bambu berlubang itu.
Sluupp...! Zeett...!
Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu
kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang
siap. Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah
terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur
berseru,
"Jarum beracun...?!"
Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari
semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan
si Gila Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur
melompat dan berguling di tanah menghindari jarum
beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu,
arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke
arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali
melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu
juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.
Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik
sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari
jarum iblis-ku, Selendang Kubur! Ke mana pun kau lari
akan diburunya! Kik kik kik kik...!"
Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu
peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan
kaki ia telah melesat terbang ke atas dan berjungkir balik
satu kali untuk mencapai sebuah batu setinggi tubuhnya
sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat
jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan
selendang dengan cepat. Wuuttt...!
Blaarrr...!
Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat
berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet
ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras.
Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.
Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa
dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun
segera membatin,
"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum
iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu! Ternyata
ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua
tahun sebelum ini!"
Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar.
Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta
mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok
perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.
Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling
bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk
memuji kehebatan ilmu lawan.
Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan
suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.
"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup
lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku
kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian
menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku
semakin kuat mempertahankannya dan siap
mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"
"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut
pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"
"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul
dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.
"Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur.
Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut
Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila
Tuak tahu berterima kasih padamu! Sangkamu dia
menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!"
Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur.
Lanjutnya lagi.
"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi
seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya
mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak
lebih dari seonggok daging busuk yang patut
dilenyapkan!"
Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya
kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar
dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini
akan sia-sia di mata Suto? Apakah benar Suto tidak akan
tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk
merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"
Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap
berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam
berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih
tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan
berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,
"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah
benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang
mau membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap
mati untuk sesuatu yang sia-sia ini? Pertimbangkanlah
sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita
menjadi korban laki-laki lagi!"
Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki,
melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat
Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak
orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun
sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri
Malam.
*
* *
DUA
SETELAH semburkan tuaknya dari mulut ke bekas
luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu
sedikit demi sedikit mulai sadarkan diri. Suto
sunggingkan senyum lega di hatinya.
"Untung aku tidak terlambat," pikirnya. "Kalau saja
aku sedikit telat muncul dari dasar telaga itu, pasti
nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini cukup
ganas, sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi
Murka, teman seperguruan Selendang Kubur itu."
Pakaian Suto masih basah kuyup, demikian pula
rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak
bisa bicara dengan bahasa yang benar itu, kejapkan mata
lalu melek menyipit, Suto berhenti kibaskan rambutnya
yang basah.
"Apa ada aku?" tanya Pujangga Kramat yang
maksudnya; ada apa dengan diriku.
"Paman habis tertidur," jawab Suto sengaja tidak
mengatakan yang sebenarnya, supaya Pujangga Kramat
tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang
yang telah menyerangnya memakai jarum beracun.
"Benar tertidur aku apa?"
"Benar, Paman."
"Di mana lalu Guci Pusaka Setan Tuak itu?"
"Tuak Setan!" Suto membetulkan kalimatnya.
"Ya. Tuak Setan! Pergi ke mananya?"
"Ke mana perginya!"
"Ya. Ke mana perginya, itu Setan, eh... itu Tuak!"
"Entah. Hilang dibawa orang," jawab Suto kalem, ia
membuka bumbung tuak dan menenggak beberapa
teguk.
"Orang siapa yang bawa itu pusaka?"
"Aku tidak tahu."
Pujangga Kramat kerutkan dahi, sipitkan mata. Ia
renungkan diri bagai ada yang berusaha diingat-
ingatnya. Lama ia termenung sampai akhirnya ia
berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."
"Dicari ke mana? Sudah telanjur dibawa orang!"
"Perempuan!" sentak Pujangga Kramat tiba-tiba.
"Apa maksud Paman?"
"Ingat-ingatku, perempuan ada bersama aku. Di mana
tapi dia? Siapa pula perempuan orang itu. Aku ingat
tidak!"
Badannya yang semula pucat membiru, kini cepat
berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak
telah membuat Pujangga Kramat bisa berdiri tegak.
Dengan dahi masih berkerut dia bicara pada Suto yang
kenakan bumbung tuak ke punggungnya.
"Itu pusaka cari kamu harus! Kalau tidak dicari harus,
itu gurumu marah harus! Dan kalau dia marah harus,
bahaya harus...."
"Harus, harus...!" sentak Suto rada jengkel. "Sudah,
sekarang Paman pulang ke Jurang Lindung. Kasih tahu
sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri
Pusaka Tuak Setan."
"Baik. Kamulah hati-hati, Suto!" Pujangga Kramat
tepuk pundak Suto kasih semangat, "Itu orang curi yang
pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia rubuhkan
aku sekejap dalam."
"Ya ya ya...!" potong Suto merasa lelah sendiri
mengartikan kata-kata pelayan gurunya.
"Berjuang selamat, Suto!"
"Ya," jawab Suto pendek. Kemudian ia segera
melesat pergi tinggalkan Pujangga Kramat di tepi telaga.
Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata
berkedip bingung, karena Suto telah lenyap begitu saja
bagai tertelan bumi. Kalau bukan murid Gila Tuak, tak
mungkin bisa lari sekejap itu.
Ke mana ia harus mencari Pusaka Tuak Setan, tak
tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto
adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan
pusaka itu kepada Pujangga Kramat, dan dia menyelam
kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik
Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat,
walau jarak mereka tidak berdekatan (Untuk jelasnya
mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Pusaka Tuak Setan").
Dan begitu Suto muncul di permukaan sendang,
Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan
tubuh pucat membiru tak berkutik. Pusaka Tuak Setan
tak ada di tangan Pujangga Kramat. Selendang Kubur
hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai
Selendang Kubur.
Satu arah yang memungkinkan bisa bertemu dengan
Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto
menduga Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati
Wingit. Sewaktu Suto masih kecil, ia pernah melihat
perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai
bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan
Merpati Wingit berada. Tetapi letak pintu gerbang
perguruan tidak menghadap ke arah sungai berbatu-batu
itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang
membelakangi sungai.
Tiga hari Suto menyusuri sungai berbatu-batu,
sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar
susunan batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah
buat Suto untuk melompat terbang melintasi pagar tinggi
itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi ia tidak
mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat
belakang. Maka, Suto pun segera menuju ke arah pintu
gerbang.
Di sana ia dihadang oleh dua penjaga pintu gerbang.
Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba
putih, masing-masing bersenjatakan tombak. Suto
melangkah perlahan. Senyumnya berkembang indah di
bibirnya, ia memang tampan. Hati kedua penjaga
perempuan itu sama-sama mengagumi, sama-sama
berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka sama-
sama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling
berlagak tak peduli. Padahal mestinya mereka akan
menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar
wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut
lebih tergoda oleh ketampanan Suto, keduanya justru
tidak menyapa apa pun kepada Suto.
Suto nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu.
Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu
menyilang di depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan
itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua
penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh
dengan ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan
itu. Suto tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun
tetap acuh tak acuh.
"Bolehkah aku masuk?" sapa Suto bersikap ramah.
"Tidak!" tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab
serentak.
"Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat
baik!"
Penjaga berambut panjang berkata ketus, "Sebutkan
niatmu!"
"Aku ingin bertemu Selendang Kubur."
Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu
kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang
berambut pendek bertanya,
"Ada hubungan apa kau dengan Selendang Kubur?"
"Teman," jawab Suto dengan tegas tapi suaranya
menawan.
"Teman baik atau teman jahat?" tanya yang berambut
pendek lagi.
"Teman baik."
"Teman jauh atau teman dekat?" timpal yang
berambut panjang.
"Teman dekat."
"Dekat sekali," jawab Suto sengaja memancing
penasaran.
"Kekasih atau bukan?"
"Pilih sendiri salah satu. Aku tak punya banyak
waktu. Izinkan aku bertemu dengan Selendang Kubur."
"Tidak ada!" jawab yang berambut pendek bernada
judes.
"Kalau begitu, aku mau bertemu dengan gurumu."
"Tidak ada!"
"Harus ada!" desak Suto.
"Beraninya kau mendesak kami, hah?" sentak yang
berambut panjang berlagak galak, matanya dilebar-
lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya
tersenyum tipis, ia bahkan membuka tutup bumbung
tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Bumbung
kembali ditutup dan diletakkan di punggung.
"Singkirkan tombak kalian. Biar aku masuk menemui
guru kalian!"
"Siapa kamu sebenarnya, hah?!" bentak si rambut
panjang lagi.
"Suto Sinting!"
"Hahh...?!" kedua perempuan itu terbelalak matanya,
namun buru-buru meredupkan kembali. Tak mau
kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam
sambil menatap temannya di seberang.
"Pendekar Mabuk...?!"
Suto ganti bertampang angkuh dibuat-buat. Matanya
lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya
sedikit terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas
berwibawa.
"Buka pintu gerbang!"
Tanpa menjawab, kedua perempuan itu berebut
membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah
masuk dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup
oleh dua penjaga. Lalu, kedua perempuan itu sama-sama
menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngos
ngosan, seperti habis menahan napas beberapa saat
lamanya. Mereka sama-sama bersandar di pinggir pintu
kanan kiri dengan badan lemas.
"Tak kusangka...! Tak kusangka dia murid si Gila
Tuak yang belakangan ini dikabarkan sangat tampan
itu," kata si rambut pendek.
"Iya. Aku juga tak menyangka. Hampir saja mulutku
tadi berteriak keras karena kegirangan bisa bertemu
dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar
keduanya."
"Lututku juga. Kepalaku jadi pusing. Pandangan
mataku berkunang-kunang...."
"Apakah karena rasa kagumku terhadap
ketampanannya?"
"Kurasa bukan. Kurasa mataku berkunang-kunang
karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi
begitu habis melihat Pendekar Mabuk itu, perutku jadi
kenyang!" Keduanya mengikik geli.
Kehadiran Suto Sinting di Perguruan Merpati Wingit
menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk
terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus
dedaunan rumpun bambu. Mereka saling membicarakan
pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan
yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk
kelompok kasak-kusuk sendiri-sendiri.
Bahkan ada yang tertegun diam bagaikan patung
bernyawa dengan mata melotot tak berkedip
memandangi Suto Sinting. Ada pula yang sedang
membawa piring berisi makanan sampai jatuh piringnya
tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang
itu kepada kegagahan dan ketampanan wajah Suto.
Sepuluh orang murid lainnya yang berseragam hitam-
hitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai
mulut joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan
tangan Dewi Murka yang memberi isyarat kepung.
Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua
hari sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi
Murka menunjukkan sikap wibawa dan tegas terhadap
sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.
Dua orang murid berpakaian hitam-hitam itu menepi
ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk
mendekati Suto dari arah joglo ke pelataran di depannya.
Suto tersenyum kepada perempuan berpakaian hitam
dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali
perempuan yang bernama Dewi Murka itu, karena dia
pernah bertemu saat perempuan itu mengeroyok
Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya
karena racun dari jarum penyerang gelap. Tetapi, Dewi
Murka merasa asing kepada Suto, sebab setelah dia
sembuh dari pengaruh racun yang nyaris merenggut
nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang.
Itulah sebabnya dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila
Tuak untuk menyampaikan permintaan maaf atas sikap
Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka
Tuak Setan").
Karena ingatannya lemah tentang Suto, Dewi Murka
hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat orang
tampan ini. Tapi di mana dan kapan, aku tidak tahu!"
Dewi Murka menyipitkan mata dalam memandang
Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan
oleh tamu asingnya. Bahkan suaranya pun dibuat sedikit
ketus berwibawa.
"Sebutkan dirimu dan apa keperluanmu masuk ke
perguruan kami?!"
"Aku mau bertemu dengan Selendang Kubur," jawab
Suto dengan kalem, ia pun sadar bahwa Dewi Murka
telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara
sembur tuaknya itu. Kalau bukan orang dekat dan
berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika habis
diobati memakai pengobatan sembur tuak.
"Siapa dirimu!" Dewi Murka setengah membentak,
karena merasa pertanyaannya hanya dijawab salah satu
saja.
"Aku Suto, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak.
Jelas?!" tandas Suto berkesan mengejek.
Mulut Dewi Murka terperangah. Seakan ia baru sadar
sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu.
Mendengar suara Suto menyebutkan namanya, samar-
samar ingatannya tentang peristiwa jarum beracun itu
mulai menggerayangi pikirannya. Sejurus kemudian,
ingatan itu kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya
bersama Selendang Kubur dan Suto waktu di atas Jurang
Lindu itu kembali teringat jelas dalam bayangannya.
Tak heran jika hati Dewi Murka menjadi berdebar-
debar dan membatin.
"O, ya...! Pemuda ini yang dulu membuatku
penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu
diceritakan Murbawati tentang ketampanannya. Pemuda
ini pula yang dulu pernah menyembuhkan lukaku dari
serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku
baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di
dadanya? Oh, indah sekali kala itu. Sekarang pun hatiku
berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi... mengapa
yang ia cari Selendang Kubur? Mengapa bukan aku?
Atau Nyai Guru Betari Ayu...?!"
Dari satu sudut muncul seorang perempuan dengan
badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak
sekal tubuh Selendang Kubur. Suto menatap ke arah
perempuan itu. Sangkanya perempuan itu Selendang
Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat,
Suto yakin bahwa perempuan itu bukan Selendang
Kubur.
Tetapi perempuan itu terperanjat belalakkan matanya.
Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.
"Oooh...?! Dia...?! Dia datang...!"
Perempuan yang kegirangan namun salah tingkah itu
tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama
dari orang Perguruan Merpati Wingit yang tergila-gila
dan penasaran dengan ketampanan Suto. Tak heran jika
ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar
perempuan yang dua tingkat di bawah Dewi Murka
ilmunya.
"Ssst...!" Dewi Murka segera mendesis keras
memberi peringatan kepada Murbawati yang berucap
kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.
Kemudian, dengan tetap berusaha menenangkan hatinya
yang bergemuruh indah, Dewi Murka bertanya,
"Ada apa kau mau bertemu dengan Selendang
Kubur?"
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," jawab Suto,
sengaja tidak menjelaskan maksud kedatangannya yang
berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan,
supaya hal itu tidak menyebar ke mana-mana dan
menjadi bahan buruan setiap orang.
"Selendang Kubur tidak ada. Dia belum pulang," kata
Dewi Murka.
"Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!"
"Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!" Dewi
Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk
menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu.
"Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara
dengan ketua perguruan ini!"
"Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan
padaku!"
Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka
terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.
"Biarkan dia menemuiku, Dewi!"
Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di
belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang
berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat
pandangan mata Suto ke arah Betari Ayu menjadi lebih
jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Suto membatin,
"O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu
menarik dengan kecantikan Dyah Sariningrum, idaman
hatiku itu!"
Betari Ayu memerintahkan kepada Dewi Murka dan
Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia
berkata kepada Suto Sinting.
"Kalau tidak salah dengar telingaku, tadi kau
mengaku murid si Gila Tuak."
"Benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu
sebagai ketua perguruan di sini."
"Silakan masuk! Jangan bicara di pelataran."
"Harus di mana kita bicara? Di dalam kamar?"
Betari Ayu yang memang ayu itu tersenyum malu.
Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun
segera ia memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh
Suto. Dari kejauhan Dewi Murka dan Murbawati
memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.
Rupanya Betari Ayu mengajak Suto ke taman di
bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari
Ayu membangun taman indah di sana, yang cukup luas
untuk ukuran taman pribadi, dan mempunyai aneka
macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan
berpancuran di bagian tengahnya. Satu hal yang
menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam
berpancuran airnya. Air yang mancur dari tengah kolam
itu tidak jatuh kembali ke kolam, namun lenyap bagai
berubah menjadi uap dan terbang terbawa angin. Padahal
bentuk air yang memancur itu seperti bunga terompet
yang melengkung pada bagian tepiannya. Mestinya pada
bagian lengkung itu air jatuh ke kolam lagi, tapi ternyata
air menghilang lenyap.
Suto tersenyum memandang air mancur itu. Betari
Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat
air mancurnya. Karena memang air mancur itulah yang
dibanggakan oleh Betari Ayu jika ada tamu yang diajak
ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu
belum tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari
Ayu hanya menerima tamunya sampai di bangsal
patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada
seorang tamu yang diajak bicara di taman tersebut, itu
pertanda Betari Ayu menganggap tamu itu adalah tamu
istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya
Betari Ayu yang bisa mengukurnya.
Di taman rindang bersuasana teduh itu ada empat
bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut.
Tapi Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah
satu bangku tersebut, ia berjalan menyusuri tanaman
rumpun mawar yang beraneka warnanya sambil
mengajak Suto bicara.
"Aku tak sangka kalau akan kedatangan tamu agung
hari ini," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan
menatap indah sekilas.
"Aku terpaksa datang kemari," kata Suto polos-polos
saja.
"Bagaimana kabar gurumu?"
"Sehat-sehat saja. Kau kenal dengan guruku?"
"Sangat kenal. Hubunganku dengannya cukup baik.
Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia
punya murid tampan yang gagah dan menawan."
Betari Ayu menatap sambil hentikan langkah.
Senyumnya kembali mekar bak bunga-bunga di taman,
termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum
indahnya. Tapi segera ia meraih bumbung bambu
tuaknya dan ia menenggak tuak itu beberapa teguk, ia
lakukan hal itu tanpa malu dan sungkan-sungkan.
"Aku yakin si Gila Tuak menurunkan semua ilmunya
padamu, termasuk kebiasaannya minum tuak dan
mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan
santainya. Suto perdengarkan tawa mirip orang
menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut
menyentuh hati.
"Aku datang kemari bukan untuk pamer ilmu, juga
bukan untuk jualan tuak," kata Suto. "Aku ingin bertemu
dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang
Kubur!"
Langkah kaki berbetis indah itu terhenti. Perempuan
berambut panjang dengan ikat kepala tali merah
berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit
heran kepada Suto.
"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Selendang
Kubur?"
"Ya," jawab Suto.
"Sangat pribadi?'
"Sangat pribadi."
"Menyangkut cinta?"
"Bukan."
Tampak perempuan berpakaian biru dengan jubah
sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia
bagaikan terhindar dari satu ketegangan yang
menghimpit hatinya sesaat tadi.
"Selendang Kubur belum pulang sejak ia menyusul
Dewi Murka untuk kuutus meminta maaf pada gurumu."
"Apakah dia pergi ke suatu tempat?'
"Aku tak bisa pastikan tempat itu. Mungkin saja dia
terpikat seorang lelaki dan pergi bersama lelaki itu."
"Apakah dia punya kekasih?'
"Di sini tidak. Tapi di tempat lain, mungkin saja.
Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja
bisa mempunyai perasaan cinta kepada seorang lelaki.
Kurasa kau tahu setiap perempuan punya perasaan
tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa
berkata begitu, karena aku pun seorang perempuan yang
sama seperti Selendang Kubur."
"Juga punya kekasih di tempat lain?"
Senyum sipu mekar di bibir manis Betari Ayu, yang
meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik.
Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang
punya ilmu awet muda dan tetap cantik. Suto tahu hal itu
dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.
Betari Ayu memetik setangkai mawar warna ungu.
Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat.
Mawar ungu itu diserahkan kepada Suto sambil
perdengarkan kata lirihnya,
"Terimalah...."
Suto tersenyum sambil menerima setangkai mawar
ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi
warnanya yang bagus. Bau harum mawar itu pun terasa
lebih lembut dari mawar lainnya.
"Terima kasih, Nyai Guru Betari Ayu," ucap Suto
mengutip nama yang didengar dari kasak-kusuk tadi.
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar
ungu itu padaku?"
Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan
letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.
"Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Suto.
Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang
pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya
kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga
itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat
jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"
Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya
tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu
gigitkan bibir menahan sakitnya.
"Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya
raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka
di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Suto
tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak,
karena ketika jari itu masuk ke mulut Suto untuk disedot
darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur
tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan,
sampai akhirnya Betari Ayu desiskan napas lewat mulut
dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian berdetak
cepat dicekam rasa nikmat.
*
* *
TIGA
SEMAK belukar di dalam hutan bagai dihempaskan
oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang.
Hembusan angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir
segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi rontok dan
rubuh bagai dilanda topan sejurus.
Kecepatan seseorang berilmu tinggi dalam larinya
mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang
yang berlari ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan
orang yang mengejar di belakangnya. Napas-napas
terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu
berhenti ketika orang yang berlari cepat tiba di tepian
sungai berbatu-batu terjal.
Tubuh kurus bermata cekung dengan rambut panjang
acak-acakan itu akhirnya melompat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sungai yang
lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto, hingga di
salah satu pucuk batu, melenting lagi dan bersalto
kembali, hinggap di batu yang lain. Begitu seterusnya
sampai orang kurus kering berjenggot kelabu itu tiba di
seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh juga
karena kelelahan.
Sementara itu dari tempat munculnya orang kurus itu
muncul juga orang sedikit gemuk, berkumis tebal
dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak
sipit, namun berkesan bengis. Dia tak lain adalah Datuk
Marah Gadai yang sedang mengejar musuhnya yang
kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.
Dari seberang sungai Datuk Marah Gadai berseru
lantang,
"Cadaspati! Ke mana pun kau lari pasti akan kukejar
dan kudapatkan! Ingat, kau terluka oleh pukulanku dan
tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya,
serahkan saja benda itu padaku supaya aku bisa
menyembuhkan lukamu!"
Cadaspati yang disangka telah berhasil membawa lari
Pusaka Tuak Setan itu hanya menggeram dari
tempatnya, ia mencoba bangkit dengan terhuyung-
huyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia melihat
Datuk Marah Gadai memetik dua lembar daun jati muda,
mata Cadaspati semakin tegang.
Dua lembar daun jati yang masih muda itu
dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dan
melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya
berdiri di atas dua lembar daun jati yang tetap
mengambang di air walau mendapat beban seberat tubuh
Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai sentakkan kaki
kanannya dengan kedua tangan mengeras diangkat ke
atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang
melintasi sungai dengan membawa tubuh Datuk Marah
Gadai di atasnya. Wuusss...!
Melihat lawannya terbang cepat ke arahnya,
Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya
yang tidak ikut terluka, yaitu tangan kirinya, merapat di
ketiak dan telapak tangan itu menghadap ke depan.
Tangan tersebut dihentakkan dengan sebuah teriakan.
'"Guntur Colok Sukma'...!"
Dari telapak tangan itu meluncur keluar sinar merah
membara yang sebenarnya kumpulan dari jarum-jarum
yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke
arah Datuk Marah Gadai. Secepatnya kaki Datuk Marah
Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu
tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di
angkasa. Wuugh, wuugh...!
Gerombolan jarum merah itu melesat menghantam
dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun
tersebut hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi
serpihan-serpihan kering tak berwarna hijau lagi,
melainkan abu-abu.
Ilmu 'Guntur Colok Sukma' milik Cadaspati melesat
dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk
Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan
berangnya. Meski kecil tapi mata itu memandang
setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang
menyadari keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.
"Cadaspati!" kata Datuk Marah Gadai dengan suara
geram angker. "Tak akan ada orang yang bisa
menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga
serahkan Pusaka Tuak Setan itu padaku. Kau akan
kusembuhkan!"
"Persetan dengan omonganmu, Datuk Marah Gadai!
Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki
pusaka itu!"
"Kau telah menyelam di dalam Telaga Manik Intan!"
"Aku mandi di sana!"
"Adakah orang mandi tanpa melepas pakaian?!"
senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati
menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu
hanya membatin,
"Sial amat nasibku! Menyelam di telaga mencari
sampai lama tapi pusaka itu tidak kudapat. Sekarang
malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu!
Repotnya lagi, orang kuat ini tidak mau percaya dengan
kata-kataku. Sepertinya aku memang harus bertempur
habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa
aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"
Maka dari kantong jubahnya di bagian belakang,
Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa
cambuk tiga lidah. Cambuk itu terdiri dari tiga tali satu
gagang. Setiap tali mempunyai ujung bersenjata. Dua
tali berujung senjata seperti pisau kecil, satu tali
berujung bola besi berduri berukuran sebesar jeruk
peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna
talinya berbeda, yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk
yang bertali putih itulah yang berujung bola besi baja
berduri.
"Datuk Marah Gadai!" geram Cadaspati dengan mata
dinginnya. "Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku,
aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"
"Bagus!" kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum
sinis. "Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu
itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang
tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku."
"Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk
Busuk!" geram murid Malaikat Tanpa Nyawa yang telah
kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang
memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh
Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk
mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api
itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar
bagai hendak meruntuhkan langit. Blaarrr...!
Glegeerrr...!
Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa
sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah
dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai
pun terpental ke samping membentur batu. Lengan
kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena
lecutan cambuk, melainkan karena robek terkoyak
pecahan batu runcing yang dijadikan tempat benturan
tubuhnya.
"Jahanam...!" geram Datuk Marah Gadai dengan
semakin beringas, ia pun segera mencabut pedangnya
yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang
sepanjang ukuran lengan orang dewasa itu dihunus
dengan gerakan cepat. Srettt...!
Duueerr...!
Lepasnya pedang dari sarungnya saja sudah
menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan
mencabut pedang itu menimbulkan gelombang
bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah
batu berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu
terlempar ke arah Cadaspati bersama batu-batu kecil
lainnya.
Cambuk tiga lidah dilecutkan di udara, kilatan
cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung
cambuk membentur batu yang melayang dan membuat
beberapa batu besar itu pecah tanpa suara. Tinggal
bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani
tubuh Cadaspati.
Orang kurus murid Malaikat Tanpa Nyawa itu
terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu
itu rupanya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
lumayan, dan selain menerpa tubuh juga mendorong
tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi
dorongan itu tidak membuat tubuh kurus Cadaspati
menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri dan memandang
ke arah pedang Datuk Marah Gadai.
Pedang itu seperti baru diangkat dari perapian.
Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di
sekelilingnya. Pedang yang menyerupai besi mau
ditempa itu segera bergerak menebas ke arah leher
Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah.
Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh
tubuh Cadaspati, lelaki bermata cekung itu
berjumpalitan menghindari gelombang panas yang
menyerangnya dengan cepat. Wuuus...
"Ahgh...!" Cadaspati terpekik tertahan. Kakinya
sempat tersapu hawa panas dari kibasan pedang tersebut.
Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi
panas. Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin
berkurang.
"Kau masih tidak mau menyerahkan pusaka itu,
Cadaspati?!" Datuk Marah Gadai mengancam.
"Aku sudah tidak menganggap berurusan dengan
Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap
berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas
luka-lukaku, Bangsat! Hiaaat...!"
Blaaarrr...!
Kembali tepian sungai diguncang gempa sekejap,
karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh Datuk
Marah Gadai. Tubuh itu juga kembali terpental lima
tindak ke samping belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh
dengan tangan masih mencoba menopang badan di atas
sebuah batu hitam.
Keadaan Datuk Marah Gadai yang setengah
tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai
kesempatan emas untuk melecutkan cambuknya ke
punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat
Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam
satu pekikan membunuh.
"Hiaaaht...!"
Wuuuttt...! Blaarrr...!
Glegaarrr...!
Gemuruh suara gempa di tepian sungai. Batu-batu
pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk
melesat, Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke
atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan dua senjata itu
menimbulkan gelegar keras yang mengguncang bumi.
Tiga cambuk itu putus seketika oleh pedang milik Datuk
Marah Gadai yang jarang digunakan jika bukan dalam
keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah
itulah yang membuat timbulnya gemuruh mengguncang
bumi.
Tubuh kurus kering itu terlempar ke atas bagai
mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh
itu melayang dan berusaha mendarat ke tanah dengan
kedua kakinya. Tetapi, Datuk Marah Gadai berteriak
keras dan panjang.
"Hiaaat...!"
Ia jejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya pun
melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati.
Dalam keadaan mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai
sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...! Crasss...!
"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari
Cadaspati.
Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke tanah seperti nangka
busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah
bagaikan terpanggang api yang amat panas. Bekas luka
tusukan pedang di dadanya tampak menganga lebar dan
membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah,
namun seperti magma gunung berapi.
Tubuh murid Malaikat Tanpa Nyawa itu tersentak-
sentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai
membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup.
Lalu, hilang sama sekali. Yang tinggal hanya sisa
bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa
pembakaran. Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut
terbakar atau terpanggang api sedikit pun.
Datuk Marah Gadai berdiri tegak di samping mayat
Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang
merah membara masih digenggam di tangan kanannya.
Kemudian pedang itu segera dimasukkan ke dalam
sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup
menggidikkan.
Tanp menunggu lama-lama, Datuk Marah Gadai
segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap
itu. Sampai beberapa saat ia menggeledah, akhirnya
menyentakkan makian dengan nada kemarahan.
"Jahanam busuk! Ternyata dia tidak mempunyai
Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar-
benar tidak membawa Pusaka Tuak Setan, tak sudi aku
mengejar-ngejarnya sampai mencabut pedang pusakaku!
Puih...!"
Datuk Marah Gadai berdiri tegak sambil bertolak
pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan
yang bercampur kedongkolan hati. Ia memandang
sekeliling sambil berkata dalam batinnya.
"Kalau begitu, Pusaka Tuak Setan benar-benar masih
ada di dalam telaga tersebut. Atau, mungkinkah sudah
diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan
itu?! Hmmm... kalau begitu aku harus mencoba
mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak
kutemukan Tuak Setan di sana, aku akan memburu
murid si Gila Tuak yang konyol itu!"
Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu
yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di
bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang.
Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan
pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang
itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.
Dari balik tiga batang aisang yang tumbang itu
muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya
menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan
kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak
antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan
berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras
cantik milik Peri Malam.
"Rupanya kau yang mau membokongku dari
belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang
sudah mengenal perempuan itu.
"Jaga mulutmu, Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada
watak dalam diri Peri Malam untuk membokong
seseorang dari belakang!"
"Jadi kau minta dari depan?" sambil senyum nakal
Datuk Marah Gadai terlihat jelas. Tapi mendapat
sambutan sinis dari Peri Malam.
"Tua bangka tak tahu adat!" geram Peri Malam tak
takut sedikit pun. Mungkin karena ia tahu, Datuk Marah
Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan gurunya,
jadi sikap Peri Malam pun menjadi sangat berani pada
lelaki yang usianya jauh lebih tua darinya itu.
"Lantas apa maksudmu mengintai dari balik pohon
itu?"
"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini,
sampai timbulkan guncangan hebat pada bumi. Rupanya
kau sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus
ceking ini!"
"Jadi, kau tak ada urusan apa-apa denganku?"
"Ada baiknya kita mengurus diri kita masing-masing,
Datuk. Itu pun belum tentu kita becus, apalagi mau
mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan
ketusnya.
"Kalau begitu, aku pun harus pergi secepatnya,
sebelum segalanya menjadi terlambat!" Datuk Marah
Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap
berikutnya ia telah melesat bersalto naik dan sampai di
tepi tanggul. Kemudian ia melompat hilang tanpa peduli
dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan
kalimat.
"Tak akan bisa kau menguasai tanah Jawa, Marah
Gadai...!"
Peri Malam mencibir sinis, ia tahu, bahwa Datuk
Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi
penguasa rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi
Peri Malam yakin, cita-cita Datuk Marah Gadai itu tak
akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa mengalahkan
gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Sudah
pasti semua orang sakti di rimba persilatan tanah Jawa
ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan
maha dahsyat yang dinamakan kekuatan 'Napas Tuak
Setan'.
Sebenarnya perempuan berhidung bangir dengan tahi
lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik
itu ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun
tiba-tiba langkahnya terhenti karena tahu-tahu seorang
lelaki tua berselempang kain putih dengan rambut
panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang
langkahnya.
Orang tua renta berbadan kurus itu memandang sedih
pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam
pada Peri Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat
ketika ia berkata dengan nada datar.
"Perawan kencur! Cukup tinggi ilmumu sampai bisa
menewaskan adikku Cadaspati!"
Peri Malam kerutkan dahi. Ia tidak kenal siapa orang
itu. Ia tidak tahu, bahwa orang tua berkumis tipis dengan
badan kurus kering itu adalah kakak dari Cadaspati yang
bergelar Peramal Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa
orang yang dihadapannya jelas tokoh tua yang tidak
enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar
jika harus bertarung dengan tokoh tua itu.
"Siapa kau, Bandot?! Mengapa sikapmu bermusuhan
denganku? Tidak tahukah kau bahwa aku adalah murid
si Mawar Hitam yang tersohor itu?!"
"Aku tahu! Aku kenal si Mawar Hitam yang diam di
Pulau Hantu. Dan aku tahu kau adalah muridnya yang
bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"
"Bagus kalau kau tahu semuanya!" kata Peri Malam.
"Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku. Bandot
Tua?!"
"Menuntut balas kematian adikku!"
"Buka matamu lebar-lebar, Bandot Tua! Buka juga
telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut
balas atas kematian tikus sawah itu padaku!"
"Jaga mulutmu jika tak ingin kutumbuk dengan
tongkat ini! Hih...!"
Cepat sekali Peramal Pikun sentakkan ujung
tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan
perempuan itu pun tak kalah cepat kibaskan ke samping
untuk menangkis tongkat itu. Trrak...! Terdengar bunyi
bagaikan kayu besi saling beradu.
"Boleh juga kekuatan tenaga dalamnya, sampai suara
tongkatku gemeretak ditangkisnya," batin Peramal
Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam
serentak. Tak sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si
Mawar Hitam!"
Sementara itu, Peri Malam pun membatin, "Tinggi
juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti yang ia salurkan lewat
tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada
tenaga dalam tersalur di tongkatnya, pasti tongkat kayu
itu telah patah! Tanganku sempat merasakan linu sedikit
di bagian pergelangannya."
Peramal Pikun masih tetap memandang dingin
dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi
bengis. Itu pasti disebabkan hatinya berkabung atas
kematian adiknya. Bahkan dengan datar pula ia berkata
kepada Peri Malam.
"Jangan kau mengelak dari tuntutan dendamku, Peri
Malam! Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Hutang darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi
untuk tertawa, karena sebentar lagi nyawa dan ragamu
akan terpisah."
Kata-kata itu disepelekan oleh Peri Malam. Bibir
manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin
getir.
"Jangan bikin persoalan denganku, kalau raga tuamu
tak ingin dipatah-patahkan oleh guruku!"
Genggaman tangan Peramal Pikun pada tongkatnya
semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,
"Persetan dengan gurumu! Kalau perlu kutumbuk
lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"
Wuusss...! Tongkat dikibaskan menghantam kepala
Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu
tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri
Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal
Pikun.
Taapp...! Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga
dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak
tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah
jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.
Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat
siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam.
Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di
pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan
tenaga dalam itu. Prasss...!
Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai
sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama-
sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam
lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka.
"Tahan!"
Keduanya saling palingkan wajah memandang
pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat,
namun cepat sembunyikan rasa kaget. Peramal Pikun
menyipitkan mata dan berkata, "Lagi-lagi kamu mau ikut
campur urusanku, Suto!"
Suto Sinting tersenyum menyeringai, lalu berkata,
"Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan dara
cantik macam dia, Peramal Pikun?!"
"Peduli apa dengan cantiknya dia! Aku harus
menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia,
Suto!"
Peri Malam menukas kata, "Bukan aku
pembunuhnya!"
"Kalau bukan kau, siapa?! Yang ada di sini hanya kau
dan mayat adikku!" sentak Peramal Pikun.
"Datuk Marah Gadai yang membunuh adikmu,
Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia
pergi ke selatan sebelum kau datang dari utara!" suara
Peri Malam terdengar lantang juga.
"Nah, kau dengar sendiri, Peramal Pikun!" kata Suto.
Peramal Pikun agak sangsi, ia masih menatap tajam
pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang
kembali datar.
"Jangan kau coba-coba mengelabui pikiranku, Peri
Malam!"
"Bangunkan mayat adikmu, dan tanyalah sendiri
padanya!"
Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki.
Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam
kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai,
kemudian melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga
dalam yang membuatnya cepat menghilang dari
pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.
Setelah meneguk tuaknya dua kali, Suto pun berkata,
"Kurasa apa yang dikatakan memang benar, Peramal
Pikun! Bukankah Datuk Marah Gadai sejak dari tepi
telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai
ini? Aku yakin bukan perempuan itu yang membunuh
adikmu, Peramal Pikun."
"Kalau begitu, akan kucari Datuk Marah Gadai untuk
bikin perhitungan pribadi denganku!"
"Terserah kau, Peramal Pikun. Tapi tolong jelaskan
padaku, siapa perempuan beringas tadi, Peramal Pikun?
Kau pasti mengenalnya."
"Peri Malam," jawab Peramal Pikun. "Dia murid
nenek peot yang bergelar si Mawar Hitam, yang
menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang
menunggu saat terbaik untuk membalas dendam dengan
musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."
Suto terperanjat sekejap. Tapi ia bisa lekas tenangkan
diri begitu mendengar nama bibi gurunya disebutkan.
"Mengapa ia bermusuhan dengan Bidadari Jalang?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu.
"Bidadari Jalang melukai hati si Mawar Hitam
semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari
Mawar Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa
direbut oleh Bidadari Jalang. Perkawinan itu menjadi
hancur karena ulah Bidadari Jalang. Itu sebabnya,
Mawar Hitam punya dendam pada Bidadari Jalang. Tapi
dendam itu tidak pernah kesampaian, karena ilmu yang
dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih
tinggi dibanding ilmu Mawar Hitam. Maka, Mawar
Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia
hanya akan muncul lagi jika sudah mendapatkan
kesaktian yang bisa menandingi Bidadari Jalang."
"Lalu, bagaimana dengan Pendekar Tanduk Dewa
itu?"
"Dia patah hati, merasa dipermainkan cintanya oleh
Bidadari Jalang, ia sudah tak mau lagi kembali pada
Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh
Batu, sampai sekarang tak pernah lagi muncul di
permukaan bumi."
Suto manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu.
Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang
kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik
tolak dari masalah cinta dan lelaki. Bahkan ia pun tahu
bahwa bibi gurunya itu punya urusan dengan Nyai Guru
Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya dan
mendendam kepada Bidadari Jalang. Betari Ayu
menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun
Biadab! Tapi Suto tetap berlagak tidak tahu menahu
tentang Bidadari Jalang.
"Suto, tak ada waktu lagi bagiku untuk berbincang-
bincang denganmu. Aku harus mengejar Datuk Marah
Gadai!"
"Tunggu sebentar, Peramal Pikun...!" cegah Suto.
"Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal
pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi
bisakah kau mengetahui siapa perempuan yang bernama
Dyah Sariningrum itu?"
Peramal Pikun sentakkan mata, jadi melebar tegas.
Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera
mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"
Suto tersenyum. "Aku tahu kau dusta padaku,
Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang
bernama Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"
Wajah tua itu tampak menggeragap, walaupun pada
akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,
"Aku tak kenal nama perempuan itu. Aku tak tahu di
mana dia berada. Jangan tanyakan padaku, Suto!"
"Tapi mengapa telingamu berdarah!"
Peramal Pikun semakin kaget, ia pegang telinganya.
Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah
kental yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup
membuat wajahnya makin pucat. Ada rasa takut yang
bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun
pun segera berkata, "Sekali waktu kita akan bertemu,
Suto!"
Setelah berkata begitu, Peramal Pikun melompat ke
atas tanggul sungai melalui pijakan batu di sampingnya.
Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri
dalam pengejarannya terhadap Datuk Marah Gadai.
Suto hanya membatin, "Apa sebab telinga Peramal
Pikun berdarah? Apakah ia mendapat serangan tenaga
dalam dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini?
Tapi menurut inderaku, tak ada orang di sekitar sini.
Hmmm... aku yakin, Peramal Pikun tahu persis siapa dan
di mana Dyah Sariningrum itu. Haruskah aku
mendesaknya? Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya
dulu. Aku lebih tertarik mengejar Peri Malam yang
cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku
mengejarnya? Hanya sekadar menggoda kecantikannya
atau ingin bersahabat dengannya? Ah, tak tahu aku,
kenapa aku ingin mengejarnya!"
*
* *
EMPAT
GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar
bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru,
karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua
dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di
samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut
hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian
mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut
sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan
nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.
Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut
gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa
waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah
daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang
disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah
menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.
Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun
kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari
lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik
seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai
emas dengan batu merah delima dibagian keningnya.
Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu
kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput
yang berjuluk Mawar Hitam.
Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup
perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus
terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya
yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang
tersimpan di hati Peri Malam.
"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati.
"Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa
terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur
mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak
Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria
setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga
mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali
tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha
melupakannya, tapi tak pernah bisa."
Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar
Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir
menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul
oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun, tapi takut
jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.
Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki
perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan
satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil
mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang
pelepah daun pisang.
Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut
yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam
segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali
sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu
dan segera raih kayu pendayung.
Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran
hati ini semakin parah, aku akan minta izin kepada Guru
untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di
jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk
kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru akan izinkan
hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan
Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."
Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepat-
cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai
pada sang Guru dan segera mintakan izin rencananya itu.
Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai
kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh
tombak. Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap
cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat sedikit
pun.
Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa
menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat
membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya
Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya
makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin
menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke
belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan
berjalan maju, tapi berjalan mundur.
"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak.
Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak
dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan
perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan
dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan
terlalu mudah dipermainkan ombak!"
Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua
dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu.
Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan
gunakan dua dayung kanan-kiri. Gerakannya tambah
dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa
pergi perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati
pantai.
"Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam.
"Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya,
perahu ini akan melaju mundur."
Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya
untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke
tepian pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar
suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan
karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini
menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat
dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang,
ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari
perahunya.
"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada
perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit dan
melompat turun. Perahunya ditarik ke tepian sambil
menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang
dulu dan arah angin menuju ke barat. Jika arah angin
menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong
perahuku ke arah barat pula."
Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan
karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang
agak meruncing. Peri Malam pun segera pergi ke bawah
sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana
ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.
"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah
pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala
memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon.
Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan
pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan
tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke
pohon itu. Duugg...!
Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu
meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan
bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.
Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu
pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya
muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun
terpental tak tentu arah.
Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan
mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia
membatin,
"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku.
Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang
mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak,
tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan
kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah!
Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"
Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk
memancing persembunyian orang yang memecahkan
kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah
kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar
itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.
Bluukkk...!
Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa
tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat
Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda
tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan
itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata kelapa
tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat
menginjaknya.
Taapp...!
Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu.
Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari
betis sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan
akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di
sana.
Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis
sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.
"Dia lagi...!"
Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang
hitam berukuran besar itu masih sunggingkan
senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat
kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap
dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda
itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan-
kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang runcing
berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang,
kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa.
Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda
yang konon bernama Kapak Kebo Geni.
"Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu
sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.
"Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi
menggangguku, Dirgo!"
"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri
Malam."
"Mengapa harus menahanku di pantai ini? Kau bisa
datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana,
Dirgo Mukti."
Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga
tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri,
Dirgo Mukti hentikan langkahnya.
"Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku
melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani
melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu
kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di
sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah
wilayah kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya
yang melewati daerah ini harus berurusan denganku, tapi
bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."
Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam
sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang
sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri
Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia
Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan
dengan Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru
mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri
Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.
Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai
seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau
yang segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan
cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke
permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...!
Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah
berlubang dan bisa dipakai untuk mengeluarkan air di
dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan
kelapa kepada Peri Malam.
Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan
hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak
habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke
atas untuk menerima curahan air kelapa, mata Dirgo
Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus
dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin
mencium leher Peri Malam. Tapi saat ia bergerak
setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan
meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan
sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.
"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti
pelan.
"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.
Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan
membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya
gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta.
Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani
cintamu nantinya, Peri Malam."
Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan
ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia
sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik
dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu.
Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh
rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.
Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis
mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan
kesaktian dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya
membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia
mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang
Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.
"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?"
tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,
"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan
itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo,
maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata
Mawar Hitam yang cadel.
"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru.
Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara
memuakkan!"
"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia.
Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."
"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu
kali saja!"
"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok
sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi
Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"
Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa
lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani
mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri
Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan
Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi
untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah
lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti
dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu
dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama
keras bagai dua besi baja saling beradu.
"Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi,
Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam,
penuh sinar permusuhan.
"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi
dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan mata
menahan kejengkelan hati.
"Apa maksudmu, hah?!" sentak Peri Malam.
"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku
tak sanggup lagi berjauhan denganmu."
"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti.
Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah
membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri.
Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa
dipermainkan dirinya.
"Hiaaat...!"
Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo
Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan
tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa
memantulkan tenaga.
"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat,
dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam jarak
lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut
untuk sesaat, karena hatinya berkata,
"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku
belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah
menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja
tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau
sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm...
baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"
Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan
dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya
hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di
dada.
Weeeung...!
Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri
Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua
kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan
tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam
telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo
Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo
Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.
"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati
oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"
"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah
mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!"
geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka,
serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih
besar lagi.
Wuungh...!
Weuung...!
Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri
Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari
tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh
membentur bongkahan batu karang.
"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada
punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat
untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya
terhempas lepas.
Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,
"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku
tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku
jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya
aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"
Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri
Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya
dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke
samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian,
membalikkan tangannya dengan telapak tangan
menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak
keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan
itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola
sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah
Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam dan
tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir
balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar-
pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali
lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss...!
Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam
yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.
Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi
putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-
serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda
bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis
dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi
bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah
masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya
itu?"
Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas
sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau
menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan
membalas kesombonganmu, Peri Malam!"
"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba
terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan
bumi. Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling
di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan
heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo
Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan
tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu
menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak
kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi
menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu
memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.
"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!"
sentaknya lagi.
Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari
penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu.
Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti
berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada
cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak,
namun sempat membuat Peri Malam tersenyum
kegirangan.
"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada
Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu
Dirgo berseru,
"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau,
Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"
Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat
malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.
Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri
Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik
dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu
yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada
orang yang mengganggunya.
"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan
batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia
Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja
salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga
batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan
ke telinganya.
Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di
belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh
berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong
bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam
terpekik kaget.
"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"
*
* *
LIMA
DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke
arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari
punggung dan halangkan bumbung ke depannya.
Craap...!
Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang
sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu
kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil
itu dan membuangnya dengan seenaknya ke samping.
"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu? He
he he...!" Suto melompat turun dari atas batu, melangkah
dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau
kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup
banyak minum tuak dan sedikit mabuk. Tapi matanya
belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.
Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada.
Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau
itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan
mengenai sebongkah batu. Batu itu pecah dengan
menimbulkan bunyi yang pelan.
"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah
termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan
tenaga dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara,
jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang
terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak
ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak?
Hmmm... siapa sebenarnya orang ini?! Aku belum
pernah jumpa dengannya."
Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan
itu.
"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya
inilah kesempatan yang baik untuk menghajar Dirgo
Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila
Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku
lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo,
sesuai pesan Guru."
Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam.
Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing
kemarahan Dirgo.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik
urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti
menyentak dengan melangkah setindak ke samping
kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri
berjajar menghadap Dirgo Mukti.
Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab
pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau
pasti tahu!"
Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan
suara jelas.
"Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang
punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti
dengan mengejek sinis.
Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si
Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak,
tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang
pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang
namanya ada di papan atas dunia persilatan. Lalu, apa
urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah
dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah
musuh utamaku dalam merebut hati Peri Malam!"
Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu
mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena
ia menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam,
keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan
beraninya dia berucap kata kepada Suto.
"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka
Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting
si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta,
mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup
berdampingan dengan Peri Malam!"
"Kau menantangku, Dirgo?!"
"Ya!"
Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua
mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,
"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu
apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-
ku ini!"
"Jangan...."
Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang
sebaiknya jangan di pantai ini."
Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri
Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.
"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di
mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan
berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri
Malam!"
Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas
kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi
selalu disahut Peri Malam.
"Maksudku begini, Dirgo...."
"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang
menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya,
silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang
pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."
"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata
Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan kita di Bukit
Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid
si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama
mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah
menunggumu!"
Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan
melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan
kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti
yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu
lainnya.
Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo
Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan
kuntilanak pulang pagi.
"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik
olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia. Berulang
kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin
aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan
anak tikus. Hik hik hik...!"
Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun
tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya
dia bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.
"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan
yang tidak benar begitu?"
"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan
tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"
"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"
"Memang salah!"
"Maaf kalau begitu!'' ucap Peri Malam berlagak ketus
sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni
yang rindang itu.
Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto
yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah.
Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si
Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah
yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.
"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam
dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak
kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.
Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri
Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri
Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,
"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya,
seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya
itu.
"Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."
"Apakah kau takut?"
Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah
mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam
bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga
dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat
senyuman itu.
"Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci
kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung
kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung
melawan orang yang tidak punya salah padaku."
"Tapi kau tadi menyerangnya."
"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka
melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."
"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi
istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku melayani
nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan
menderita begitu?"
"Tidak."
"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak
tadi."
"Apa maksudmu? Jelaskan!"
"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar
cintaku karena merasa berilmu tinggi."
"Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"
"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan
dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk
menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku
terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan
cinta di hatiku."
"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."
Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah
lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari
depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap,
dan ucapannya lirih berkata,
"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau
mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"
"Mana bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai
idaman hati sendiri."
"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku.
Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih,
Suto."
"Mana bisa?! Aku tak pernah tahu hangatnya
pelukanmu."
Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian,
dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak
hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah
ciuman hangat melekat di pipi murid sinting si Gila
Tuak itu.
Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat
Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan
wajah maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan
menyentuh di bibir Suto. Crupp...!
"Oh...?!" Peri Malam cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik
tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan
tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip
gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu
diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai
melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah
dan mendebarkan.
Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu
berucap lirih.
"Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"
"Mana bisa?"
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan
kita."
Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan
muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri
seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan
rambut digulung naik ke atas.
Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto
Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia
layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan
yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.
"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau
belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang
Kubur?!"
"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri
Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara dingin
memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan
dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan
Peri Malam.
*
* *
ENAM
MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua
perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar
mata memancarkan permusuhan.
Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas
gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali
menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur
urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu
menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi
pihak penonton saja.
Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan
itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto
tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab
perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto
hanya membatin,
"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah
mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri
Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku
tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau
Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak
bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak
Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya
dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus
menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia
kabur lagi!"
Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki
tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama
membusung ke depan, karena memang keduanya sama-
sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena
mereka sama-sama menahan rasa cemburu.
"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus
dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat
hidupmu?"
"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua
hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah
ketus dan tegas.
"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!
Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya
Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka
Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan
keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka
Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan
tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan
ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri
Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di
mana Pusaka Tuak Setan itu berada.
"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan
kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.
Kau durjana dan kotor!"
"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri
Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan
perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan
lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu
kepada Trenggono!"
"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan
kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum
dia kita hancurkan!"
Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata
begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu
bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini
adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang
menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia
pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras
lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia
berharap agar Suto pun mendengar dan
mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati
Peri Malam atau meninggalkannya.
Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil
memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya
manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya
sudah sama-sama blong. He he he...!"
Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.
Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas
dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa
kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang
dianggap sudah tak perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke
arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati
Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur,
karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman
ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.
Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu
sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara
dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam
gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!
Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap
berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke
tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit
melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan
dada tetap membusung.
Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi
tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya
tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak
darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia
terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam.
Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja
Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan
kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat
itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari
pantai.
Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya
kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak
boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau
harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!"
Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang
Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.
Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang
terkena pukulan tadi.
"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan
paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun
untuk menyamai ilmuku!"
"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri
Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup
kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan
pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di
udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan
Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya
dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat
kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah
lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan
satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup
besar. Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan
tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu
di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan
kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga
wajahnya tak jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang
Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap
direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan
dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur
lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah
pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari
ketiga jurus sakti simpanannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.
Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah
Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi
langkahnya sedikit limbung.
"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak
Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,
"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni
lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan
seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak
ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"
Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya
semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan
'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit
yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia
teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup
menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus
maut yang belum sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan
Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu
Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera
menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.
Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga
demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak
kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang
sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu
sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan
melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia
telah mencapai dahan di atas sebuah pohon. Dari sana ia
serukan kata,
"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang
Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting
dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita
bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup
lebih lama lagi di antara kita berdua!"
Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting
lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan
satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang
pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.
"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak
Selendang Kubur.
Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur
pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri
Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya
seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang
Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu
besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga
itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda.
Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat
berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.
"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?!
Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"
"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu
karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di
pihaknya?"
"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku
mengejarnya?"
"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak
Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi
bumbung tuak.
Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan
pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah
perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya
tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat
mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"
Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur
singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.
Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar
itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata
Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas
permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati
dirinya sampai jarak tiga langkah.
"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya
dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi
dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas
bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang
puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"
Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu,
Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya
dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur
menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah
dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah
urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga
kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya
diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan
Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.
Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke
arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia
berkata,
"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal
seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin
menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan
perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan
dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi
bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"
"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.
Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau
curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan
mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia
palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.
Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan
suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang
memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi
suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit?
Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia
mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar
dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat
padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak
mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku,
sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.
Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih
dulu. Aku malu."
Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua
kali tuak dari bumbungnya.
"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu
dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku
sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman
yang indah itu."
"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke
taman itu?!"
"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"
"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto
mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan
Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.
Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh
Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian
istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai
rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"
tambah Suto.
Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau
bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan
siapa kau tidur di sana?'
"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,
membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu,
Suto?"
"Pembayun!" jawab Suto.
"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan
napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang
paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat
kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat
setia merawat kuda milik Betari Ayu.
"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"
"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur
tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah
larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan
dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri
setelah menyadari larangannya itu.
"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu
perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih
memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi
kecemasannya.
"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana,
Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu.
Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku
muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang
dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."
Hati Selendang Kubur masih berdebar indah
mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka
dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena
rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan
indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya
kepada Suto.
"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan
begitu?"
"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan
darimu."
"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera
kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.
Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti
orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata
Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa
geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok.
He he he...!"
"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau
mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan
Pusaka Tuak Setan?"
"Ya. Benar."
"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak
Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'
"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.
Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan
Paman Sugiri."
Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah
yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini
menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun
sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi
masih berkerut tegang.
"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak
Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah
Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas
Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada
saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua
kalinya."
"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"
"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri
Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum
beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka
beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang
Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di
atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ,
karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan
dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di
atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak
Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.
Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang
berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat
benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang
menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak,
sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu
untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan
gurunya."
Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa
hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri
Malam?!"
"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk
dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya
sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak
percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun. Matanya semburat merah karena
mabuk.
*
* *
TUJUH
MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri
Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah
bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun
tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua
yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan
Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri
Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu
tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat
pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan
menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain
lagi.
"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"
"Apa maksudmu?"
"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak
Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut.
Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya
sendiri?"
"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata
Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk
isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."
"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh
cinta?"
"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus
singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk
itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.
Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid
murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan
minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat
menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki
dirimu."
"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang
lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."
"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya,
dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau
melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau
kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan
itu."
Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata
Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara
semakin sumbang.
"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan
itu?"
"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.
Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan menjagamu!"
Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau
mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi
tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang
yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian
dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur!
He he he he...!"
"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak
akan bisa menahan gejolak birahiku."
Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur
melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari
perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu
itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan
tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar
kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar
kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab
Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk
menyeberangi lautan ini!"
"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu
artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan
mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."
"Yah, bisa juga dia buat lagi!"
"Kita berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang
Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari
belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang
Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang
dan menahan langkahnya.
"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan
tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"
kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa
kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang
Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang
Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya
urusan sendiri!"
"Apa hakmu melarangku?"
"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.
Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil
oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"
Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,
"Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi
diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan-
jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku
meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan
kedudukanku di samping Suto!"
Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,
"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari
Guru!"
Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi
kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku
pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke
tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku
tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin
menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang
Kubur!"
"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!
Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"
sentak Dewi Murka.
"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu,
Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata,
"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat
sekarang juga!"
"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli
Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak.
"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,
Larasati!"
Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan
membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia
melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara
lantang.
"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"
"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang
Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto
diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan
hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak
dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang
Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri
dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan
suaranya yang tegas.
"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku
untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak
apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang
dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"
"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!
Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan perguruan!"
"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi
murid bersalah dan dianggap telah murtad!"
"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras
kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu
tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil
mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila kau!"
"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.
Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena
sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri,
karena kau takut Guru akan memilihku sebagai
penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil
menuduh balik kepada Dewi Murka.
"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang,
Larasati!"
"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih
harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan
yang amat penting!"
"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau
kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''
"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak
Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi
Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar
menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari
pinggang.
Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama
dengan kata hati Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru
untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar
tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia
akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa
pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya
maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di
perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat
gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku
mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap
menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia
punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan
juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat
Selendang Kubur dekat denganku."
Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.
Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya
berkata,
"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat
tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku
hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka
tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum
dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua
perempuan itu."
Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi
Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.
Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu
melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan
gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.
Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk
membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto
sempat ucapkan kata,
"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu
tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai
cara."
Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.
"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri
Malam?" kata hati Suto. "Keduanya sama-sama penting.
Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa
saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.
Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku
akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri
Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa
korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya
kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan
Pusaka Tuak Setan itu!"
Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon
yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung
lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama
kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas
Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati
Suto berucap kata,
"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di
salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku
harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa
tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan
di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam
bumbungnya.
Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang
makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.
Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal
sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-
sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang
menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu
memercik ke mana-mana.
Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel
di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa
makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu
tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada
di depan lelaki berkumis tebal itu.
Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar
genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan
tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia
mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu
dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun
ada yang dicurigainya.
"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!"
bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku
samping.
Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah
keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata
lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.
"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti
kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan
minuman."
"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya
mahal!"
Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak
Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"
"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku
tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu!
Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan
paling mahal!"
"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak
Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"
"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik
kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan
tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki
berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu
melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam
saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang
sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya
pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."
Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya
kepada lelaki berkumis tebat itu.
"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu
banyak dipakai untuk cuci tangan?'
"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis
makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini
kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan
atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil
berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras,
kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.
"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak
meja. Pemilik kedai semakin gemetar.
"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."
"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan
tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan
tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik
kedai menurutinya karena takut.
Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil
berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam
kendi!.
"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang
panas?"
Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan
perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi
tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia
tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.
"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai
diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.
"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat
tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul.
Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-
merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan
rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di
situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan
hal itu.
Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki
berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu
tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto.
Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu
segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,
"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi
pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang
disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis
menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan
Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum
tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki
berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo
Bodong, tukang beset kulit manusia!"
Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi
semakin geram.
"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak
Ingusan!"
Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan
pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala dan tangannya berkelebat
menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung
telapak tangan. Plook...!
Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah
jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari
punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya
pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang
ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda
tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah
tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong
berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa
pijak dengan rasa takut.
"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.
Maafkan aku, Satria gagah...!"
"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"
Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang
mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang
tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera
mendekati Suto dengan sopan.
"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto
Sinting, murid dari si Gila Tuak?"
"Betul. Dari mana kau tahu?"
"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting,
yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana
kamu?"
Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan
masih gemetar.
"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita
tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto
Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang
kesohor di rimba persilatan itu."
"Siapa yang menceritakan diriku?"
"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia
numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan diriku? Itu
pertanyaannya!"
"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia
banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang
kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan
perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud
saya... dadanya... anu...!"
"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"
"Bet... betot, eh... betul!"
"Memakai pakaian kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir
Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"
*
* *
DELAPAN
ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat
kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali
ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan
bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang
Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.
"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto
dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya
masih ada.
Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak
merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam
berkata riang.
"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan
bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang
Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."
Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera
muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam
memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk
yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya
Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti
yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor
bergelar si Gila Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum
melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis
Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas
tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau
bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi
dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan
makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang
kehebatan ilmu-ilmunya.
Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan
ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum
sekali padaku?"
"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan
gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita
kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.
Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan
mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk
bermalam di rumah ini!"
"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini?
Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit
mengacau.
Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.
Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling
rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang
mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.
Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para
tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada
mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita
tersebut.
Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat
tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki
berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama
Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak
terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti
yang pernah dilihat oleh Suto.
Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.
Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan
emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang
berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah
memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu
sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun,
hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan
galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut
kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis
senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau
sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih
tidur?"
"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu
Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh,
Kang?"
"Iya. Mana dia?"
"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum
pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto.
Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan,
rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada
yang berani membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak
sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm...
pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak
punya kesempatan bicara padanya."
Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,
yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,
perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia
masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak
mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah
selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi
melesatnya anak panah.
Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang
kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang
berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang
itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya
berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia
sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia
melompat di atas daun demi daun yang digunakan
sebagai pijakan kakinya.
Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman
kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi
pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa
tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-
bisul tersumbul dari dada seorang perawan.
Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia
tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak
bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa
nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu
pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk
menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri
Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga
perempuan cantik berotak licik itu.
"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali
saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya.
Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera
disembunyikan perasaan itu.
"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup
keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak
Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia
berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak
bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.
"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"
"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan
Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau
lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun
milikmu itu!"
"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."
"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari
mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak
berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam,
membuat perempuan itu makin gelisah.
"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku
menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya
yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri
Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya
dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha
mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan
denganku dan dia bebas mencintaimu."
"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang
pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak
tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil
tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut.
Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk
berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita
secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku
menyakitimu...."
Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah
kau mencintaiku sungguh, Suto?"
"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku,
karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu
berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,
kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu
yang amat berharga dalam hidupmu!"
Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat
berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari
pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia
hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri,
sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan
kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah
aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun
mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun
diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti
bahwa aku sungguh mencintaimu...."
Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-
tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam
sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun
terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang
berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan
Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.
Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan
dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih
dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka
memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan
Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa
yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya
agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya
yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata
berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira
dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang
punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang
itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot
dengan gigi berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain
gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.
Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang
Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia
tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan
lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika.
Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,
dan ia mengumpat.
"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka
mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"
"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu
pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan
milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama
ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah
lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua
yang tidak bisa menyebutkan huruf R.
"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap
tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang
masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan
membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan
padaku!"
"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.
"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin
bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak,
kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus
tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum
Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala
tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"
"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan
pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"
"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih,
kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak
Lial ini...!"
Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang
bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat
cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan
senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan,
atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada
korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam
segera mendekati Suto dan berbisik,
"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu,
sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang
menjinakkan kemarahannya, Suto!"
"Aku tak peduli, Peri Malam!"
"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia
pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku,
supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia
mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan
saja kalian siap!"
"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.
Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan
beraninya.
"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!
Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan
yang bodoh itu! Hiaaah...!"
Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah
memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan
cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak
kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya
dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam
berteriak cemas.
"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak
menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto
sambil berteriak,
"Jangan, Guru...!"
Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh
Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat
melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima
oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu
mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke
arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu
kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.
Wuuugh...!
Kibasan angin itu membentur sinar perak dan
terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!
Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri
Malam terlambat menghindari gelombang ledakan
tersebut.
"Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah
ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,
membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat
seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak
mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya
mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi
bagian dada.
"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas.
"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling
pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam
lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak
kambingnya.
Suto merasakan datangnya gelombang panas yang
menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke
tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam
gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai
daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat
kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di
batu atasnya Mawar Hitam.
"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan
tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.
Plakkk...!
Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.
Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar
Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto
segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki,
tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang
terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal
paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan
bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam
memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam
terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang
keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah
Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam
berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa
memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan
bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan
menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.
Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk,
lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah
lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung
jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto
mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan
dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu
besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu
terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng
bukit.
"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri
Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau
satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan
kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak
jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi
bumbung tuak itu tampak bergetar.
Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak
jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di
tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang
nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga
Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit
demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan
kiri.
Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci
Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat
pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak
berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya
hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma',
warisan ilmunya si Gila Tuak.
Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa
dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari
genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu
sentakkan tangan kanannya yang masih memegang
tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke
arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu
pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada
saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang
karena terkena pukulan punggungnya. Kepala Suto
terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan
suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci di atasnya
pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu
tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.
Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam
berteriak keras karena kecewanya.
"Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan
dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari
arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat
cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.
Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh
terpelanting dan menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk
memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah
karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah
Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada
Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu
mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan
keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi
Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat
pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal
itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,
termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan
juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh
mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan
bukit.
Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin
jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam
keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu
bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya
berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap
berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun
memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang
saat ia menyebut nama, "Suto...?!"
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kisah selanjutnya
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PERAWAN SESAT
0 komentar:
Posting Komentar