PENDEKAR MABUK EPISODE BOCAH TANPA PUSAR
SATU
PARA penduduk mulai cemas mendengar suara
gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah
masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di
sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan
mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-
abuan.
Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa
Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam
menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap.
Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara
gemuruh terdengar lagi.
"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki
setengah umur.
"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa
kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau
meletus! Cepat!" teriak tetangganya.
"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya
istrinya.
"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya!
Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"
"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang
dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak
bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
"Kumpulkan anak kita!"
"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung.
Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang
juga panik. Mereka saling teriak.
"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu
akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi,
hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari
sini!"
Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke
mana, Mak?!"
"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak
kemasi barang!"
"Barangku ada di mana, Mak?!"
"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga
barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"
Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi
gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah
berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat
jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan
rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil.
Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan
berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.
"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku
sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin
perkara saja!"
Para penduduk menghambur keluar dari rumah.
Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan
tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.
Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong
rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi
kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada
yang saling tabrak dan saling caci sendiri.
Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut
ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari
anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak
menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang
berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar
kambing bandot.
Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang
tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di
atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang
kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk
yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping
kuda merah kecoklatan.
"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"
seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia
tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak
itu.
"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"
"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih
berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan
talinya!"
"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas,
Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman
Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi
tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"
"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda
meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan
tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan
tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-
tanda gunung akan meletus.
"Paman! Bagaimana ini?!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan disentak."
Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda
meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang
bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia
jatuh.
"Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang
segera menolongnya sambil menggerutu.
"Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.
Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo,
bangun! Lekas bangun."
"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai
kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."
"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang
kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda
betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke
punggung kuda."
Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke
punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...!
Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"
"Bantu aku naik, Paman!"
Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto
didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada
saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua
terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi
takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil
meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.
"Paman, Paman...! Awas...!"
"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang
dengan jengkel.
Suto memegang tali kekang dengan kaki belum
sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan
berlari dalam sentakan awal.
"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.
"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya
Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-
seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai
gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa
duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih
pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"
"Habis aku duduk di mana?"
"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.
Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda.
Hentikanlah, Paman!"
"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.
Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-
ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.
Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama
kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda
ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap
mengungsi. "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus
mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik
begini!" kata Paman Dubang.
"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke
mana-mana. Memandang tiap orang dengan
kesibukannya masing-masing.
Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin
kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.
Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya
yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang
nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung.
Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman
sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.
Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin
beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang
ketakutan dan berteriak keras-keras.
"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda
ini...!"
Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada
yang datang menolong. Semua panik dengan upaya
menyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang
lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia
hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di
sebuah tempat tinggi dan berseru.
"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"
Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka
mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan
sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang
ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah
kedai yang telah kosong penghuninya. Bruss...!
Braaak...!
Semua mata jadi memandang ke arah kedai
bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.
"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-
kudaan!"
Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut
di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.
Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang
atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto
bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas
menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto
menolak, kakinya menjejak-jejak.
"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."
Suto pun melompat turun. Huuhp...!
Braak...! ,
"Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di
meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman
Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang
kembali menyentak.
"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah
terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah
Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.
Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang
di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh
berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan,
kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah
langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus.
Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk
mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing.
Gunung itu tidak akan meletus!"
"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar
gemuruhnya."
"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita
ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"
jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.
"Masa begitu?"
"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa
Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika
desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung
itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap
hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang
mengguncangkan bumi, tiga kali."
"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"
tanya seseorang.
"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.
Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-
baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi
sesuatu secara tiba-tiba!"
Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka
melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar
kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.
Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka
masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman
Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh
gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak
menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada
guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati
masyarakat desa pun jadi lapang.
Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu
datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi
tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling
pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak
baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung.
Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"
"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."
Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya
ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang
menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah
bergemuruh sendiri!"
"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita
sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil
menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh
menunda...!"
Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian
mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak
samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju.
Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada
serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka.
Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang
penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,
menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka
ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua
bersenjata. Sepertinya siap tempur.
Salah seorang yang menjadi ketua mereka
mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti.
Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak
jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu
menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan
mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut
berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu
rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah
dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang
pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi
di balik sarung bapaknya.
"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan
kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal
melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung
hantu.
"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru
orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang
pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding
dengan ukuran lengannya yang besar pula.
Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut,
selain buka baju karena kegerahan, maka orang
tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan
mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang
memandangnya.
Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi
di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya
Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,
ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus,
dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.
"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau
kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak
sabar.
"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat,
Paman!"
"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam
dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"
"Ba... baik.., baik, Tuan!"
"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal
Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali
bertanya meyakinkan.
"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok
sana?!"
"Benar, Tuan Kombang Hitam."
"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas
rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali
dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah
bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil
mengucapkan kata terima kasih lagi.
"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada
anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada
yang tersisa!"
Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah
pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan
jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam
sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada
di depan rombongan.
'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang
perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.
Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
"Mak... aku... lemas... aku...."
"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat?
Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...?
Anakku...?!"
"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup.
Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya
tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan.
Brukkkk...!
"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris
setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi.
Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya
menjadi biru kehitaman.
"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang
mangerumun.
"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara
salaman sama Kombang Hitam itu!"
"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu
menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan
berbahaya!"
"Edan! Jahat sekali orang itu."
"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu
melawannya!"
"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat
kadipaten?!"
*
* *
DUA
RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.
Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan
hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang
menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang
berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan
hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo
Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk
beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat
hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi
penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah
hukum kadipaten, sehingga masih sering minta
pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih
menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap
menerima upah perbulannya.
Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya
kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit
menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya
diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan
seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.
Serombongan orang berkuda itu segera mengepung
rumah tersebut sampai di bagian belakang.
Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-
batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan
dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.
Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata
menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa
heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang
atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,
bukan?"
"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia
berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak
Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas
kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya
saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan
hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,
keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa
merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-
anak, bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas
anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada
tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang
berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di
alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah
berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak
kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara
Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali
kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun
berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia
delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang
dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang
menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar,
melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan
Paman Dubang.
"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas
menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok
dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik
kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang
kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia
bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman
Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga
orang itu menegang dan napas mereka tampak tak
teratur.
"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-
jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"
tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal
Utara!"
"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera
turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh
sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga
dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang
Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak
perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.
Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga
diperkosa dan dibunuh, dan...."
"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia
bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.
"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.
Sebaiknya...."
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak
momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka
melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka
merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu
itu!"
"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku
gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"
sambil Dubang memandang celananya yang basah
bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu
besar.
"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah
ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak
ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka
berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"
"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah
rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat
kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto
begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran
rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju
rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia
mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang
diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin
melihat kebenaran cerita itu.
Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah
pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya
terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga
melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua
anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam
sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping
kudanya.
"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai
mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati
siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua
anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah
kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk
menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.
Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah
Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan
mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!
"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang,
lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan
jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan
mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg...! Bleg...!
"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik
matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak
itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua
dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo
merasakan ada hawa panas yang membakar rongga
dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar
api.
Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit
bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas
menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke
arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.
Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya
menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso
yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya,
terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu
kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya
berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja,
sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua
tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri,
tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.
Bleg...! Bleg...!
"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah
hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan
memenggal itu seperti dua batang balok yang
dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun
jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,
Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang
sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan
bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia
menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia
justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang
Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang
langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu
dan melemparkan.
Plak, pletak!
Batu itu mengenai wajah dan kepala
penghadangnya.
"Wadow...!" seru mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah
seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah
Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu
berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram
Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan
mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto
membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran
rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk
di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk
habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"
Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan
memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan
tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak
buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang
diambil Suto.
Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah
menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit,
Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa
menjerit.
"Pamaaan...!"
"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang
menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman
jagung milik tetangga itu.
"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya
lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang
yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun
segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua
tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-
langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan
tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher
Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan
Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas
Dubang sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada
kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak
itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung,
Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya
bengong saja?!"
Maka kedua orang tersebut segera menerabas
masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman
itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan
Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera
melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia
akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.
"Wah... bajuku robek, Paman!"
"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari
arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di
belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di
dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin
mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya
sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan
Suto. Maka mereka lari berdua.
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil
keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,
mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan
liar menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan
ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau
putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.
Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,
Paman...!"
"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia
masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus
lari tanpa berhenti, mana bisa?!"
Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang
mulai cemas.
"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.
Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil!
Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini
mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-
celah batang pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar
dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang
Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak
dengan kemarahannya.
"Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang,
Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat
gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia
menuding sambil berteriak keras.
"Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam
meringkik dan melonjak kaget karena suara keras
tersebut.
"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam
bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera
bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.
Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih
cepat bergerak di kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di
belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.
Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat
mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah
tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti
dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal
seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah
asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari
mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung
dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi
tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto
memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu
segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita
jurang yang sangat dalam, Paman."
"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang
dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan
kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di
belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat
Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih
cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun,
sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang
melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke
depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba
bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian
sekarang, hah...?!"
Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya
goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan
Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk
menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.
Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh
Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.
Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon.
Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.
Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu
menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.
Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah
ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang
tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu,
Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.
Susah payah ia menarik dirinya dengan
berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip
rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah
Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka
menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang
satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...!
Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo
Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang
satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi
tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu
mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin
memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.
Orang yang memegang golok itu segera menebas ke
depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh
Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan
jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan
itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan
Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi
kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari
semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya
bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu,
kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan
napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa
terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.
Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.
"Penggal kepala bocah itul Penggal!"
*
* *
TIGA
JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu
semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam
terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari
kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.
Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam
kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot.
Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak
ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan
membentak keras.
"Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi
kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher
bocah telanjang dada itu.
Trangng...!
Orang yang menggenggam golok itu mendelik
melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang
tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi
gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya
yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam
terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil
matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang
telah mematahkan golok itu dengan menggunakan
sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.
Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu
kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati
sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu
tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini
bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana
dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke
sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.
Tak ada tempat yang mencurigakan.
Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang
golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh
pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram
dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya
yang masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia
merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-
coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat
diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Trangng...!
Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga
bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan
lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu
sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu
menjadi semakin panas. Matanya semakin buas
memandang sekeliling.
"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua
tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu
digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-
abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega,
bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah
kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?!
Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?!
Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang
Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari
persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang
mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar
oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak
jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini,
ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak
mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka
dan Suto.
"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik
kita," ia berkata kepada anak buahnya.
"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian
tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap
itu mendengus benci, dan memalingkan kepala.
Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.
Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.
"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.
Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa
menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-
gerak yang mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,
Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan
di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum
bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.
Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena
merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang
mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping
dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi
sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil
terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya
ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.
Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan
hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam
menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas
bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada
keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.
Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang
amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu
menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut
dan kaki.
"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"
geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.
Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak
yang ada! Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan
perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto
juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak.
"Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut
kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau
masih ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak
tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto
berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?
Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam
sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon
dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun
jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari
telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan
garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.
"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.
Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita
menemukan dia, kita mati lebih dulu."
"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu
sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh
lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara
diam-diam?"
"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo,
lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu
hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita
mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita
bisa mati konyol!",
"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat
sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni
bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.
Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang
jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang
menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada
kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk.
Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di
atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai
berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,
sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua
anak buah Kombang Hitam itu.
"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang
meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah
ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari
karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang
Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan,
terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.
Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini
menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya
apa pun juga."
"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah
itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu
kerikil?"
"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita
tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu
mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk
sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang
jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat
kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang
memperhatikan sang ketua kita?"
"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya
bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti
di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui
kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga
langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan
kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.
Orang tersebut berada di arah samping mereka,
jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang
sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya
mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang
Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.
"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi
tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai
pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya
panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.
Apakah dia orang yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak
buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat
batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi,
belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat
seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-
ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari
ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah
orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada
di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang
kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu
cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang
jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.
Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu
sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana
perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang
berjalan mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini!
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.
Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang
merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali
terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut
dan berhenti seketika, sehingga yang belakang
menabraknya dalam satu sentakan yang membuat
mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena
di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan
kulit tebal yang diikat sampai betis.
Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang
mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya
berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh.
Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat
memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang
tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu
menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat
oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat,
bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis
dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih
tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah
berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah
Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena
gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-
kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.
"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai
jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling
menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan
yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih
tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh.
Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian,
baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir
dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning
melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka
rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak
ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang
belakang.
"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang
mendorongnya dengan kuat sekali!"
"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek
itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu
mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau
rasanya."
"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng
kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi
sekali!"
"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan
jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu
berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak
bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah
orangnya yang membuat senjata kita patah."
"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu,
pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan
mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia
melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia
sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang
ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia
bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena
patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita
teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek
tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau
pengkhianat, biar sajalah...!"
Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang
menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada
tegang.
"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"
Mereka memandang ke tanah ladang.
"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"
kata yang satunya dengan kagum sekali.
Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu
sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...!
bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga.
Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku
jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di
dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi semakin
berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan
membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti
jagung yang baru saja dibakar!"
"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba
kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!
Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-
benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir
jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya
sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.
"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh,
kepalaku jadi menggeliyang begini?"
Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak
temannya. Temannya menjadi heran bercampur
tegang.
"Hai, kenapa kau? Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu
terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar melebar. Ia
melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang
teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi
perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.
Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera
memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas
sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi
dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga
dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba
kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong
lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek
berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar,
nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa
menawarkan racun dan sudah mulai menguasai
pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk
bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin.
Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa
sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.
Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak
bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak
mendengarkan.
"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan
sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia
kembali menatap ke belakang sebentar sambil
istirahat.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau
punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau
lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang
ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau
akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu
itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.
Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat
kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik
berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku
kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka
lakukan terhadap bocah itu?!"
*
* *
EMPAT
KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah
memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada
jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak
buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang
tersembunyi.
"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu
siapa aku!" gumam Kombang Hitam.
Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia
memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang
menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada.
Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu
dihentakkan membuka ke arah depan. Huup...!
Dueerr...!
Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan
cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat
dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut
meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam
keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik
panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian
dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang
sedikit ternganga.
Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu
menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan.
Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu
kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah
tumbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemetaran
bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya
masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam,
karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang
berwajah sangar itu.
Dueer...! Dueer...!
Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang
oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam. Matanya
tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena
hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang
bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang
ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah
bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan
dari telapak tangan Kombang Hitam.
"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam.
Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati
Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas
wajahnya.
"Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari
jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku keluar?"
"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi
entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari
persembunyiannya!"
Suto tersenyum sinis bernada mengejek.
"Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah
penyerang gelap itu kubereskan!"
"Coba saja!" jawab Suto dengan makin
menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan
berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua
telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.
"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil
mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup telinga!"
Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan
suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu
kemunculan penyerang tersembunyi. Ia memandangi
kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya
kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati
Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang
menderita.
"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang
bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku tidak bisa
mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun
segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang
geIapnya itu ada di atas pohon. Ternyata tidak ada apa
apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam
jadinya.
Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman,
maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto.
Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa
keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi sedikit
ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas.
Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.
Wusss...!
Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam
terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke
kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja
melintas di depannya. Ketika pandangan matanya
kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar.
Napasnya bagai tersentak berhenti.
Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap.
Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh
kemarahan. Matanya menjadi liar memandang
sekeliling.
"Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu
sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur
berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang
diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya telah
menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa
pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak
mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap
langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah
dirobohkan sewaktu-waktu.
"Hi, hi, hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri.
Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka
segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.
"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia
menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana
ada seorang perempuan berambut panjang terurai.
Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang
membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu
muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam
keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan
darahnya.
Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya
kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita
selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua langkah ketika
perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas
pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling
lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun
mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya
kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan
tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik
daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya,
tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan
berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum,
namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari
dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut
dan bagian tubuh lainnya.
Jlig...!
Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan
mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil
menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat
terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat
turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu
meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak
lari pergi.
"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari
si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia
masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa
seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,
membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu
muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam
keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan
darahnya.
Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya
kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita
selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua langkah ketika
perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas
pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling
lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun
mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya
kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan
tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik
daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya,
tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan
berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum,
namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari
dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut
dan bagian tubuh lainnya.
Jlig...!
Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan
mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil
menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat
terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat
turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu
meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak
lari pergi.
"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari
si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia
masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa
seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,
dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada
yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm...
siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang
melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak
mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti
nanti akan muncul!"
Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat
kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya
tertunda sejenak. Hatinya berdebar-debar indah.
Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum.
Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu
perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan.
Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa
merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan
tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan
bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji
dalam hati.
"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku, rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau
Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa
daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan
itu tersenyum. Cantiknya bukan main.
Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia
tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit.
Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan,
Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan
perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi
agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah,
tidak berani bertindak sembarangan. Bahkan tiap
langkah nya pun diperhitungkan.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"
"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba
persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak
mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"
"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi,
sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai
ubun-ubun lagi."
Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba
mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan
segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf
padaku."
"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan
ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian
kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit.
Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan
itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang,
bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.
"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar
gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya
sebesar upil!"
Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit
merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat
menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak
mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari
kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan
kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai
satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan
dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.
"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!
Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh
perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya
menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu
Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.
"Waddoow...!"
Brukkk!
Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah.
Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor
banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang
kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main.
Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk
mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam,
pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan
memar membiru, atau bengkak.
"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam
masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali
ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki
terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak
menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak
bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan
pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tiba-
tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan
membentur batang pohon besar. Bukkk...!
"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya
ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat
benturan kuat itu.
Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu
pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu
kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung
saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup
besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya
tidak ada yang patah.
"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja
tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hitam
dengan terheran-heran.
Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan
menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga
semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi.
Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan
mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh.
Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat
menyeramkan bagi orang lain.
"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam!
Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang
mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung
jarinya membara bagaikan besi terpanggang api. Jelas
akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari
'Cakar Kumbang Mesra' itu.
Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan
cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon
besar. Crak, crak, crak...!
Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto
membelalakkan mata melihat pohon yang terkena
cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa
tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap.
Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya
berkata, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku
harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"
Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada
perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul
Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika
sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah?!"
Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu
menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar
Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan
apa-apa."
Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan
pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam
tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang.
Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis
dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi
terbelalak kaget, karena bekas hitam yang
mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak
ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun.
Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.
Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui
ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu
sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung
bintik-bintik putih seperti busa. Setelah diperhatikan
baik-baik, ternyata busa-busa salju.
"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa
memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang
Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin
membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"
Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan
rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya
ke baju sambil memandang tajam pada perempuan
berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali
berkata-kata.
"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini
ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku.
Pedangku pun tak akan mampu melawan!"
Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar
hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu
sebenarnya?!"
"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan
Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu.
Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.
"Bidadari Jalang...?!"
"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu.
Tegas dalam senyum yang angkuh.
Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai
ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur
satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu
adalah Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di
rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang,
melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti
oleh beberapa kalangan persilatan.
"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan
jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat itu, lalu
pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai
Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana
Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari
dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan
tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal
sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet
saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi
dirinya sendiri?
Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi
Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula
sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan
kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata
ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa
bisa dimakamkan jenazahnya.
"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir
Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera melepaskan
diri dari renungannya.
"Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak
punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik
urusan pribadiku?"
"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"
"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku
punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan
harus membunuh anak itu!"
"Itu berarti kau punya urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"
"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup,"
jawabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar,
manis namun angkuh.
Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut
Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa
nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk
membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya.
Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.
"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari
Jalang?"
"Aku ada di pihakku sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap
hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari
tanganku?"
Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia
pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan,
Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah
satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku
melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba
persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku
meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku.
Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."
"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari
Jalang."
"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa
pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak
lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"
"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh
anak itu."
"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?"
tantang si cantik bermata indah itu.
Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin
lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan
pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula
berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru
penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani.
Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada
pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada
Kombang Hitam.
"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu
lama di sini," kata Bidadari Jalang.
"Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika
Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia buru-buru
berbalik dan memandang dengan sorot mata yang
tajam.
"Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan
tubuhmu yang seperti badak itu?!"
"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku,
tapi...."
"Aku tidak punya waktu lagi."
Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak
tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus,
kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari,
kemarilah...."
Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayang-
layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah.
Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang
Hitam. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto
mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu
sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang
menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.
"Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!"
gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.
"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto
di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat
ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik
ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu.
Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan
memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri
tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa
yang terjadi saat itu.
Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya
tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut
dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto
tiga kali putaran.
"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena
merasa terbang tak tentu arah.
Tappp...!
Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua.
Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat
tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari
Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah
begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih
dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian
terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat
kayu hitam itu.
"Si Gila Tuak..:?!" sebut Kombang Hitam tak sadar.
Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah
mundur lagi.
Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak
memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila
Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang
sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba
persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri
pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka
yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu,
Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba
persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur. Tapi
tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di
ujung tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa
Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu
Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.
Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu
membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti
Kombang Hitam. Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis
dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan
kali ini kau mencampuri urusanku lagi."
"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak
menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka
hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun
membutuhkannya."
"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari
Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang Hitam
semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya
kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang
Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin
berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.
"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari
Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku.
Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku
mohon diri dari hadapan kalian!"
Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang
Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar
menghilang dengan kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang
Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu
dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan
liang kubur. Kombang Hitam lebih memilih mengalah,
membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan
mereka.
Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat
bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang
banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan
Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga
diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika
terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si
Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila
Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi
itu, atau sebaliknya?
*
* *
LIMA
BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai
Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan
kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang
membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia
menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha
mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila
Tuak.
"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing
kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan
bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir
kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan
orang lain."
Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir
yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang
pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku
hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah
padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"
"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini,
Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah
bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi
kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi
pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid
yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan.
Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan
tenang."
"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram
Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang
menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.
Jluuk...!
Wuuss...!
Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah
Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari
pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan
Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam
gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk
digendongan seorang ibu.
Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan
peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi
ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang
diperkuat.
"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila
Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang
telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.
Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya
bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting
tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas
untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh
yang menggendong Suto itu sudah berada di atas
sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan
matanya setelah menyadari berada di sebuah
ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu
menjadi kecil.
"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.
Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.
Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun
melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan
yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto
tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah
tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian
daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas
akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari
Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon
lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri
girang.
Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.
Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam
membawanya lari membuat Suto bagai melayang
dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto
berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah
berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal
itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat
bawah.
Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai
tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon
disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.
Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.
JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam
berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit
berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus
membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi,
Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah
Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga
tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit
makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.
Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan
Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila
Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah
melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila
Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada
tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal
totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang
perlu membujuk Suto.
Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di
permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu
sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di
mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan
dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok
tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi
matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat
hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka
Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.
"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari
Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"
"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan
tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"
"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang
perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda
setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh
senyuman birahi Bidadari Jalang.
Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu
yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk
mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu
membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari
nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran
kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya
karena merasa dibuat nikmat dengan memandang
senyuman iblis itu.
Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan
akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang
mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia
telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya
rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.
"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan
bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"
"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan
beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga
Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak
pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah
mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi.
Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi
sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria.
Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering
mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak
mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku
mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa
pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku
segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah
inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku
pulih kembali dan racun menjadi tawar."
"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan
belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila
Tuak.
"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya
termasuk guru cinta. Hi hi hi...."
"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau
racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta
birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-
ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan
tenang, entah di tangan siapa saja!"
"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang
bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan
susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih
mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak
sepeot kamu. Hi hi hi..."
"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet
muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua
aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan
umurku!"
"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat
diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku
mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini
Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari
suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah
yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi
kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti
kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang
kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila
Tuak?"
"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu.
Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-
masing. Persoalan kita adalah Suto!"
"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil
mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang
melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke
kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang
semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun
segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan
dihantam palu godam yang sangat besar.
Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia
terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera
melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak
dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila
Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru
dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba
persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu
barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan
Bidadari Jalang yang tersisa itu.
Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari
pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah
langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau
melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera
mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan
kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari
secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.
"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila
Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya.
Matanya menyipit memandang kilasan angin merah
yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya
dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai
tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak
panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba-
tiba terdengar suara orang memekik. '
"Aaahg...!"
Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di
sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena
punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu.
Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu
menjerit ketakutan.
"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!
Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap
olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas
lega.
Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.
Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu
melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan
kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger
burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai
bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan
tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang
mampu berdiri di sana.
Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi
pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada
di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.
Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit
naik.
"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng,
Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,
Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan
muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah
karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak
pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala
Suto.
"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara
kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.
Hiaat...!"
Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.
Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna
kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan
cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...!
Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang
membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok
sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila
Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah
dibawa terjun begitu cepat.
"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek.
Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba
melihat anak itu.
Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan
Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas
pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap
garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan
membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau
Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan
saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak
marah terkena muntahanmu, Suto!"
"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun
kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur
hidupmu! Jahanam kau!"
Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa
kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati
puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah
sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila
Tuak, yaitu Ki Sabawana.
Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan
keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah
seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan
menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil
mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang
bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan
semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu
menjadi panik dan salah tingkah.
Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap
membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak
mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu
akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan
pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking
itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih,
gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak
perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau
alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga,
melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan
Peri' tersebut.
Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus
mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka
tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut
itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega,
karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam
jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.
Gila Tuak ingin segera membawa Suto
menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu
peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air
asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus
terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi
sambil merengek.
"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."
Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan.
Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan
sentakan suara kemarahannya.
"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"
Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh
pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya
sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena
harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah
tanpa cairan lagi itu.
"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?!
Perhatikanlah gambar pada layarnya."
Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit
terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di
layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga
melingkar di tengahnya.
"Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah
mengenali simbul pada layar perahu tersebut.
"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis
Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas
dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah
kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas
sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa
sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau
tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang
Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus
menyelamatkannya dan menyembunyikannya."
"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.
"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu
anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti
kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin
menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara
bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.
Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau
kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"
Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap
laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati
arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia
mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan
datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup
berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai
dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi
sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia
akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa?
Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul,
apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!
*
* *
ENAM
SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh
Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu,
ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai,
hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.
Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa,
yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari
Jalang.
Lelaki berhidung mancung dengan mata indah
memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu
sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan
Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang
sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan
perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis
Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.
Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang
berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia
bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya
kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu
menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya
roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi
desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah
menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga
ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering
terbayang dan mengganggu batinnya.
Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk
mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia
bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk
asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda
juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka
kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya
akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama
Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah
terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris
habis. Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.
Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan
Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah
seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam
dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari
Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa,
apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari
ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari
ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan
itu?
Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap
oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum
kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.
"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia
sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu,
Bidadari Jalang!"
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir
aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja
yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban
kemarahan Nagadipa."
"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"
Dia akan menyangka Suto adalah anakku."
"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin
dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya
kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia
mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."
Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar,
tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera
beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,
"Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah,
selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku
jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak
ini menjadi muridku."
Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari
Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin
kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.
Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....
Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia
lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto
digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi,
Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek.
Aku sudah sangat puyeng."
"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"
karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu,
akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke
sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu
tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan
Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu
kedatangan lawannya.
Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi
anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu.
Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap
siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika
sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia
menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar
hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari
tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap
kakinya di buritan perahu.
Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali
bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar
perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat
hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun
terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi
terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya,
semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis
diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari
Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu
tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan
bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang
mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang
membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh,
tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si
pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air,
di bawah perahunya itu?
"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.
Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian
bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul
serangan dariI bawah sana.
"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu
kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari
Jalang.
"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.
Kalem.
Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh
ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian
kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang
Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak
terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua
kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas
pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain
berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu
semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu
belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan
semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.
Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang
begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.
Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang
berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan
segera bekerja kembali merongrong kekuatannya
"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya
Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata
begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,
Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di
belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu
bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan
yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di
belakang Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut sambil
memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia
melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah
benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.
Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari
Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"
ketusnya.
"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari
Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa
bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk
menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun
yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku
sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu
indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.
Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya
melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati
bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke
arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku
membunuhmu sebelum puas aku mengagumi
kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan
bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau
miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.
Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya
kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi,
aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu
demi membalas dendam kematian guruku, atau
membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu,
Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu
semakin mengguncangkan hatinya, semakin
menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik
birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya
sendiri.
Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui
oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin
mendayu-dayukan rayuannya.
"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.
Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,
menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih
sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung
karang...."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan
mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau
menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua
tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang
ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling
memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari
Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar
tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem,
sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.
"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu,
Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul
hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi
wajahmu dengan penuh kelembutan."
"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan,
Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak
mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak
muncul kapan saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.
Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari
Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.
Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin
tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin
besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup
menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak
hatiku menerima tatapan matamu yang begitu
menggoda hati..."
Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan
gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia
menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan
dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena
napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...
aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu
semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.
Bidadari Jalang kian gusar hatinya.
Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke
depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari
terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar
tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa
membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai
menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke
kiri. Duubb...! Wuuug...!
Kraaak...!
Gundukan batu karang yang berjarak lima belas
tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak
bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan
di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang
itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu
berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke
arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang
itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang
beradu itu.
Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya
mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia
melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu
kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,
Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan
sorot pandangan matanya yang lembut.
la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang
sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam
gumam.
"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya?
Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan
rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau
menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari
Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"
Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,
mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut
berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang
menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!
Nagadipa menahan dengan kedua tangan
disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika
itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan
oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang
disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa
terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam
jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru
berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam
posisi siap menerima serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto
beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari
jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.
Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,
melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki
itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena
hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah
itu.
Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki
bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan
dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai
dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan
tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar
membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga
dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya
Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.
"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata
Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari
kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran
membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang
kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan
rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan
tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat
ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.
Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih
dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.
Prasss...!
Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan
kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-
desir mendengar rayuan Nagadipa.
Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang
segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu
Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik
yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa
terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak
sambil bersuara.
"Huugh...!"
Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu
lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada
itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari
kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental
dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera
berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam
hatinya.
"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang
mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap
cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan
mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat
tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada
orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang
memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar
dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.
Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang
tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri
dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan
balasan dari Nagadipa.
Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar
melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai
Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan
kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan
disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit
merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan
ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung
tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke
dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari
Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan
tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng
kain jubah ungu.
Traap...! Traas...! Traas...!
Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur
jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam
lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.
Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling
katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan
keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan
Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu
mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh
Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin
besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.
Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah
potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah
Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,
sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke
belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung,
dan telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan
mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera
menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping
kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati
Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,
Hiaaat...!"
*
* *
TUJUH
NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau
menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-
tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke
belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih
mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa
memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga
membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu
keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.
Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa
heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai
mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba
bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya.
Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia
masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih
sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.
"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan
dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita
tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku
sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang
tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila
Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang
berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut
bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan
puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak
terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai
saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia
tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan
hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar
dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah
itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut
makanan, hanya menuntut pulang.
"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita
tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah
mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu
terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan
anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh
berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang
membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya
tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian
Kombang Hitam.
Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat
pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada
suara memelas.
"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat
menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan
kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela
kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi
berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama
aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di-
usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi
pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa
muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar
bergelar Pendekar Cepat Muntah."
Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,
"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu
Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup
mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela
tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut
oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki
tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada
pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa,
Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena
pukulan."
"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada
dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa
menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."
Anak itu tersenyum bangga membayangkan
kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik
memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto
berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari
kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang
dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan
terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa
kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali,
Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima
kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha
Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap
syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi
pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani,
ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga
harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari
Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi
jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak
seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila
Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan
sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang
bidadari dari kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh
Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip
kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi
mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah
suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara
bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh
tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-
masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung
denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan
mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga
mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya
sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya
ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia
mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu
sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan
Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin
dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk
melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah
hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan
pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya
sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil
memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga
membisu sambil termenung memandang kesana. Namun
tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila
Tuak menjadi heran.
"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan
menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan
kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya
sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang
itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"
"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk
Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil
sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah
besar nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi
penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-
bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih
dalam tentang perempuan."
Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang
ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan
diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak
mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan
sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang
terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu
bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan
tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan
mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung
yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu
bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah
beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan
kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat
itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera
menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya
kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah
Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan
lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak
tangannya.
"Cuih, cuih...," Suto meludah.
"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi
minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya
dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku
jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"
"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk
bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku,
akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak
diminum untukmu."
"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa
yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi
Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya
berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit
puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu
perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila
Tuak menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak
dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus
membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah
jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar
saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat
julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he
he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah
tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.
Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena
pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat
pada pertarungan di sana.
Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter
oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya
semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari
Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke
sana-sini.
"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia
punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh
musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.
Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah
ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"
Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,
"Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila
Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.
Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi
pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa
merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti
bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya
Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-
galanya begitu besar.
"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang
jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada
pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari
sudut mana kita memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan
orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam
jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-
jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh
diri kita baik sadar maupun tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata
kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali
memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh
sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang
purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan
setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila
Tuak duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari
telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada
saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia
punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat
belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur
batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran
pukulan tenaga dalam mereka berdua.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari
Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini
Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah
dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila
Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia
menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya
mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek
berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah
pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek
itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.
Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan
tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari
mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja
bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang
mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal
itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa
memuntahkan darah?
Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang
segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya
tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan
terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat
lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,
sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir
di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut
segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.
Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air
pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga
api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api
berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga
Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik
keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan
hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia
berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya
pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak
segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit
dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang
sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal
itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya
dalam melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan
tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam
Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini
dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia
itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu
memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak
tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan
kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih
puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.
Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan
beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,
Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana
dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah
mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto
digandengnya, dan langkah mereka tampak santai
sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak
membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan
orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia
adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah
diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh
kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab,
dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita
harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.
Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan
Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat
Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,
"Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan
nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti
anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus
dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang
bersamanya ke padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas
pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang
Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar
ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan
bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan
ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.
Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi
sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya
di depan Suto, dan hawa panas yang mampu
melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi
berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget
mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'
itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera
menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan
tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya
sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang
gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.
"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa
menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat,
apalagi bisa mengembalikan?"
*
* *
DELAPAN
"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh
penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang
membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat
terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat
pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.
"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan
tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila
Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan
Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang
paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding
denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si
Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia
persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila
Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara
dengannya...."
Nagadipa baru percaya betul dengan pesan
almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri
kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan
'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.
Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak,
nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang
berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa
segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat
menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil
menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih
itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah
Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa
atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya
menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai,
seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.
"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau
pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan
jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"
Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi
menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.
"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu
bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti
akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,
kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa
itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam
tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun
segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata
itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia
menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang
tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat
limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur
secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di
tangan Nagadipa.
Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah
cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut
namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila
Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang
Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku
saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang
bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.
Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak
mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap
merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan
hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya
ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau
melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia
tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata
Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia
pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah
kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam
saja, yang menatap aneh padanya. Sementara itu, Gila
Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam
bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada
Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal
itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau
digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata
Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya
terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan
tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya
berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari
tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan
agak ke depan dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan
hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu,
hah?!"
Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto
tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah
itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya
kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila
Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan
suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita
tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke
tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan
nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang
dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam
memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke
depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh
beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang
mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit
ketus.
"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan
main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,
"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera
bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto
Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang
Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran
lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat
itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan
dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang
berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak
harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata
dengan suara bisik yang amat pelan.
Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia
memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun
bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak
bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak
bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu
menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat
salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti
tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang
memegangi dari dalam tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak
main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam
keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan
Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser
dari tempatnya berpijak. Gila Tuak akhirnya
menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan
dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua
tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua
dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang
berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila
Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya
meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah
karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam
Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling,
penuh kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal
kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat
dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih
pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan
ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam
yang kupakai tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya
memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah
batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang
tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan
ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak
menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.
Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya
memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...!
"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena
tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan
itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun
kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser
dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis
merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan
keras.
"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa
kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan
bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi
iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat
menahan tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram
Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang
berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu
Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam
kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata
telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir
pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik
ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru
meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan
jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya
meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir
pasir yang masuk ke mulutnya.
"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.
"Cuih, cuih...I"
Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip
bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan
tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar
semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di
depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat
kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu
sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan
jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku
sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.
Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.
"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa
yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"
Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.
Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua
tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan
dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang
bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya
untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya
memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat
tubuh.
"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu
menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang.
Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah
kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan
tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila
Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan
Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya
masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu
tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu
tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan
perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan
ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.
Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat
tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada
Bidadari Jalang.
"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu
dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel
tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala
Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan
kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan
tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang
mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam
tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua
tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari
telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur
ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila
Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.
Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.
Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser
sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas dengan mata
beradu pandang. Angin malam masih berhembus
mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan
di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada
di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah
Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga
kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,
"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan
menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak
tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari
Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang melangkah
mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah
menghamburkan kata.
"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di
sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang
penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada
yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau
kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian
melalui tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati
perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena
hembusan angin itu berkata-kata sendirian.
"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila
Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya.
Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil
pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya.
Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto,
tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto
berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku
untuk menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.
Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"
Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati
Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di
luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak
ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh
Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira
tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat
mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia
menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari
Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!
Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila
Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki,
"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau
menyerangku, hah?!"
Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.
"Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"
Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar
wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu
ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba
tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan
pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu
hati Bidadari Jalang. Begg...!
"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga
langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh
Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin
membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri
tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal
mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan
kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi
sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.
"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus
diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang
dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus
dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak
menghantam tangan itu. Plokk...!
"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.
Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat
pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan
tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun
cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam
dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika
pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu
kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.
Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa
ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia
hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara
rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa
dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila
Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah,
namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan
ia siap menunggu serangan lagi.
Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,
"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.
Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya
tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah
mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang
sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara
pelan juga.
"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan,
supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang
dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai
melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita
kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit
karena seranganmu."
"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.
Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila
Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung
dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap
siap menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari
Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup
lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot
pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.
Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal
begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya
agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami
tahu, kau bukan Suto!"
*
* *
SEMBILAN
BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap
menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu,
Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab
ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto
nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat
kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti
datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila
Tuak menggerutu sendiri.
"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah
tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah
sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri.
Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti
dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi
seorang pendekar tanpa tanding. Karena
keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel
itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia
tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya
pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan
manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari
golongan hitam!"
Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap
dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi
sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit
panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama
senyum orang dewasa yang dibawakannya.
Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan
jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto
melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari
posisinya yang sedang bergerak turun itu dia
menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah
Bidadari Jalang.
Wooos...!
Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan
Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut
Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segera
melompat ke belakang dalam gerakan salto juga.
Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu
berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"
Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari
Jalang dari tempatnya berdiri.
"Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku,
Nawang!"
Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang,
firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu,
mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang
membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar
mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka
dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus
menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat
itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari
Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak. Tendangan
samping yang terbang itu meleset pada sasarannya,
karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh
Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri
Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha
Bidadari Jalang.
Plokk...!
"Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit,
namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat
godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa.
Hatinya jadi berdesir dan deg-degan.
"Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"
"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo'
tadi."
"Dia mau memancing gairahku."
"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."
"Hah...?!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah
Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"
"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih
penasaran ingin membalas dendam atas kematian
gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat
Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu
'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa
disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan
orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk
melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau
ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia
perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."
Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari
Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam
hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu
berkata, "Pantas bocah itu mampu membuatku
terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang
mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia
bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi
di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga
bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan
Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto.
Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa
punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya
kepada Gila Tuak!"
Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada
saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan
Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para
tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai
pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari
partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi
Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi
Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh
Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat
diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok
diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu
didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun
hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.
Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan
Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu
dengan Cadaspati. Bertubuh kurus kering, rambutnya
panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya
abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah. Gerakannya
begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum
jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak
segesit belut putih. Tak heran juga jika Suto sebentar-
sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam
raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang
senang mengusap-usap jenggot kelabunya.
Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi
melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak
jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk,
tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis
oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di
bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping,
menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon
kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-
buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada
yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang
sempurna dengan batang kelapa itu hanya
menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara.
Wuuugh...!
Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti
menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan
batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar
sinar merah membara, meluncur menghantam
gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam
bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto
dari belakang.
Wesss...!
"Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh
tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat
berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah
berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang
tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu
menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa
yang kekar.
"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara
tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak
serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu
ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.
"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai,
Gila Tuak," katanya dengan suara besar sedikit serak.
Jelas bukan suara Suto.
"Kalau kau memang masih menyimpan dendam
padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga
bocah itu."
"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini
supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur
berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di
tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang
saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!''
Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah
duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah
tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada
bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata
apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman
itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya
membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga
Suto.
Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar
keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya
berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia
seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari
mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.
Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung
tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di
tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak
berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu
hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala
Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.
Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke
tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang
hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan
dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga
dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun
segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan
tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi
telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun
sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan
hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.
Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti
bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke
atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan
bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan
lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam
udara dingin itu. Angin kencang dan guntur
menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya
petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan
tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya
petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya
petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak,
namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua
bangka tersebut.
Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan
gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di
depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan
keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.
"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"
Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan,
dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan,
bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum
yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah
dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka
telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan
Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang
memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu
membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum
membara.
Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala
itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju.
Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias
cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya
membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak
bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin
membalik ke dirinya.
Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai
berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua
bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi
merah. Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang.
Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir
masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan
memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.
Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di
tengah samudera menuju ke tepian.
Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan
jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan
Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian
terdesak.
"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam
telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka
cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam
telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang
berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga',
yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau
tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu.
Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk
menyelamatkan raga Suto itu!"
Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari
telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin
mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.
Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan
Suto.
Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!
Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang
Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan
terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih
keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-
bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta.
Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera
membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah
dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan
sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu
hentakan yang cukup kuat.
"Aaakh...!"
Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang,
melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah
menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.
Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali
terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.
Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya
menjadi kecil.
Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih
menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai
terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini.
Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama
kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya,
hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung
yang amat transparan.
"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas
kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan
kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun
sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut
aneh tersebut.
"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku,
hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!"
Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah,
namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan
kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip
serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto
menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.
Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang
belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk
bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di
tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak
di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin
jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu
menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara
bak serpihan logam panas.
Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari
panjang. "Hiaaah...!"
Broolll...!
Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.
Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke
belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah
dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak
terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya
berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada
yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas
tempatnya berdiri.
"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari
penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut
ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini,
Setan!"
Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke
sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang
berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera
mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil
kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam
pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu
untuk membunuh.
"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian
ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan
membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa
tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang
jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan
terpepet."
"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh
menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin
membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi
kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat,
kalian pasti akan segera membebaskan aku."
Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun
napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan
berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu
tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk
mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku
akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam
tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni
bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan
menjadi miliknya."
"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel
dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin
melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa
berbuat itu.
Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan
oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat,
makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut
bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang
menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti
tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga
mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama
'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena
rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"
"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan
dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"?
Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa
menghancur leburkan tubuh Suto?"
"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan
tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun
kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan
lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku
yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh
bocah itu."
"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari
Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"
"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah
Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti
Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga
Suto. Aku sudah bebas bergerak."
"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa
Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"
"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang
harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau
tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"
"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari
Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau
berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi
hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa
pada kedongkolannya.
Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat
Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada
perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama
membuatnya kian terengah-engah.
"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu
sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap
mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"
"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka
Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga
Suto."
"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip
Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.
"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal
kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.
Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah
kalian."
"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya
lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana
ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu
muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak
mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap
kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa
sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya
pilihan lain."
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui
keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.
"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak.
"Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena
aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu
gugat lagi."
Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu,
Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh
di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan,
Nawang...!"
"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik
keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.
Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya,
ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat
itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di
dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu,
ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan
menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun
mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-
bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah
ungunya.
Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan
tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.
Brusss...!
"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun
tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah
itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah
dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan
agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan
hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke
atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat
yang terbuka tutupnya itu.
Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar
dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung
tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi,
tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu
kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan
Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!
Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu
terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini
keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai
bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar.
Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.
Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama
lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit
dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan
tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang
tali pusar.
"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian
Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak
menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus
menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."
Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis
tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan
itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.
"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."
Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-
senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi
rambut hitam yang cukup lebat.
"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri
untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."
"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya
lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak
punya tandingannya?"
Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli
mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka,
Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau
menjadi pendekar cinta saja?"
"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil,
Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu
ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi
pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"
"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa
cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa
geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam
gerutunya,
"Dasar bocah sinting!"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di
rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan
jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.
Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu?
SELESAI
Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!!
Serial Pendekar Mabuk
Dalam episode:
PUSAKA TUAK SETAN
0 komentar:
Posting Komentar