BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 10 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE BOCAH TANPA PUSAR


PENDEKAR MABUK EPISODE BOCAH TANPA PUSAR

  SATU


PARA penduduk mulai cemas mendengar suara

gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah 

masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di 

sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan 

mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-

abuan.

Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa 

Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam

menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap. 

Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara

gemuruh terdengar lagi.

"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki

setengah umur.

"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa

kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau 

meletus! Cepat!" teriak tetangganya.

"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya

istrinya.

"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya!

Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"

"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang 

dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak 

bisa dibawa berusaha dibawanya pula. 

"Kumpulkan anak kita!"

"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung. 

Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang 

juga panik. Mereka saling teriak.

"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu

akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi,

hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari

sini!"

Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke 

mana, Mak?!"

"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak 

kemasi barang!"


"Barangku ada di mana, Mak?!"

"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga

barangnya Emak itu, Tong!"

"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"

Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi

gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah

berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat

jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan 

rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil. 

Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan 

berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.

"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku

sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin 

perkara saja!"

Para penduduk menghambur keluar dari rumah.

Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan

tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.

Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong

rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi

kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada

yang saling tabrak dan saling caci sendiri.

Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut 

ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari

anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak 

menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang

berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar

kambing bandot.

Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang

tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di

atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang

kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk

yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping 

kuda merah kecoklatan.

"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"

seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia 

tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak


itu. 

"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!" 

"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih

berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan 

talinya!"

"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas,

Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman

Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi

tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"

"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda 

meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan

tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan 

tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-

tanda gunung akan meletus.

"Paman! Bagaimana ini?!" 

"Kendorkan talinya!" 

"Sudah."

"Tarik lagi jangan disentak."

Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda

meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang 

bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia

jatuh.

"Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang

segera menolongnya sambil menggerutu.

"Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.

Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo,

bangun! Lekas bangun." 

"Baik, Paman!"

"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai 

kuda yang menunggang kamu!"

"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."

"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang

kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda 

betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke

punggung kuda."

Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke

punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...! 

Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"

"Bantu aku naik, Paman!"

Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto

didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada

saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua

terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi 

takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil

meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.

"Paman, Paman...! Awas...!"

"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang

dengan jengkel.

Suto memegang tali kekang dengan kaki belum 

sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan

berlari dalam sentakan awal.

"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru. 

"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya

Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-

seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai

gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa 

duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih

pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"

"Habis aku duduk di mana?" 

"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.

Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"

"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda.

Hentikanlah, Paman!"

"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.

Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-

ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.

Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama 

kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda

ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap 

mengungsi. "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus

mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik

begini!" kata Paman Dubang.


"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke 

mana-mana. Memandang tiap orang dengan

kesibukannya masing-masing.

Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin

kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.

Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya

yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang

nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.

"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung. 

Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman

sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.

Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin 

beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang

ketakutan dan berteriak keras-keras.

"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda

ini...!"

Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada 

yang datang menolong. Semua panik dengan upaya

menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang

lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia

hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di 

sebuah tempat tinggi dan berseru.

"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!" 

Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka 

mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan

sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang

ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah

kedai yang telah kosong penghuninya. Bruss...!

Braaak...!

Semua mata jadi memandang ke arah kedai

bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru. 

"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-

kudaan!"

Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut

di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.


Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang

atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto

bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas

menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto

menolak, kakinya menjejak-jejak.

"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri." 

Suto pun melompat turun. Huuhp...! 

Braak...! ,

"Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di

meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman

Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang 

kembali menyentak.

"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah

terbahak-bahak!"

"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah

Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli. 

Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang 

di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh

berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan,

kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah

langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus.

Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk 

mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. 

Gunung itu tidak akan meletus!" 

"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"

"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!" 

"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar

gemuruhnya."

"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita 

ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"

jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.

"Masa begitu?"

"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa

Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika 

desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung

itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap


hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang

mengguncangkan bumi, tiga kali." 

"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"

tanya seseorang.

"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.

Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-

baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi

sesuatu secara tiba-tiba!" 

Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka

melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar

kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung. 

Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka

masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman

Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh

gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak

menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada

guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati

masyarakat desa pun jadi lapang. 

Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu

datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi

tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling

pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak 

baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung.

Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"

"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."

"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."

Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya

ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang 

menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah

bergemuruh sendiri!"

"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.

"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita

sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"

Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil

menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh

menunda...!"


Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian

mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak 

samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju. 

Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada

serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka.

Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang 

penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,

menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka

ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua 

bersenjata. Sepertinya siap tempur.

Salah seorang yang menjadi ketua mereka

mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti. 

Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak 

jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu

menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan

mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut

berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu

rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah

dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang

pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi

di balik sarung bapaknya. 

"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan

kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal

melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung 

hantu. 

"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru

orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang 

pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding

dengan ukuran lengannya yang besar pula.

Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut, 

selain buka baju karena kegerahan, maka orang

tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan

mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang

memandangnya. 

Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi 

di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya


Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,

ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus,

dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.

"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau 

kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak 

sabar.

"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat,

Paman!" 

"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam

dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!" 

"Ba... baik.., baik, Tuan!"

"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal

Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali

bertanya meyakinkan.

"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok

sana?!"

"Benar, Tuan Kombang Hitam." 

"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas

rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali

dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah

bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil

mengucapkan kata terima kasih lagi. 

"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada

anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada 

yang tersisa!" 

Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah

pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan 

jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam

sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada 

di depan rombongan. 

'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang

perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.

Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut. 

"Mak... aku... lemas... aku...." 

"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat?

Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...?


Anakku...?!"

"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup.

Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya 

tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan.

Brukkkk...!

"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris

setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi.

Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya

menjadi biru kehitaman.

"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang 

mangerumun.

"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara 

salaman sama Kombang Hitam itu!"

"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu 

menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan

berbahaya!"

"Edan! Jahat sekali orang itu."

"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu

melawannya!"

"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat

kadipaten?!" 

*

* *


DUA



RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten. 

Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan

hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang

menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang

berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan 

hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo

Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk

beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat 

hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi

penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah 

hukum kadipaten, sehingga masih sering minta

pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih 

menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap 

menerima upah perbulannya.

Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya 

kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit

menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya

diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan

seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.

Serombongan orang berkuda itu segera mengepung

rumah tersebut sampai di bagian belakang. 

Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-

batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan 

dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram. 

Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata

menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa

heran. 

"Siapa kau?"

"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang 

atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,

bukan?"

"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia 

berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak 

Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris


"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas 

kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya 

saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan

hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,

keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa

merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"

"Tunggu dulu...!"

Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-

anak, bantai habis mereka!" 

"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas

anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada

tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang 

berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di

alam neraka.

Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah

berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak

kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara 

Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali

kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun

berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia

delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang

dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang 

menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar,

melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan

Paman Dubang.

"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas

menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"

"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok

dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik

kuda sendiri."

"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang 

kuda sendiri."

"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"

"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!" 

"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia

bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.


Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman 

Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga 

orang itu menegang dan napas mereka tampak tak

teratur.

"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-

jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.

"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"

"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.

"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.

"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?" 

tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.

"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal

Utara!"

"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera 

turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh

sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga 

dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"

"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang

Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak 

perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.

Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga

diperkosa dan dibunuh, dan...."

"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia

bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.

"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"

"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak. 

Sebaiknya...."

"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak

momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka

melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka 

merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu

itu!" 

"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku

gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"

sambil Dubang memandang celananya yang basah

bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu


besar.

"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah

ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.

Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak

ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka

berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"

"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah

rumahnya!"

"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat 

kita kejar dia!"

Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto 

begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran

rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju

rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia 

mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang

diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin

melihat kebenaran cerita itu.

Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah

pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya

terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga

melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua

anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam 

sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping 

kudanya. 

"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai 

mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati 

siapa saja yang melihat pertarungan itu.

Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua

anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah

kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk

menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.

Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah

Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan 

mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!

"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang, 

lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari


mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.

Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan 

jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan 

mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.

Bleg...! Bleg...!

"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik

matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak 

itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua 

dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo

merasakan ada hawa panas yang membakar rongga

dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar

api.

Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit 

bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas

menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke

arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.

Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya

menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso

yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya, 

terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu 

kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya 

berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja,

sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua 

tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, 

tertuju pada tengkuk kepala Ronggo. 

Bleg...! Bleg...!

"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah 

hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan

memenggal itu seperti dua batang balok yang

dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun

jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,

Suto menjerit dari balik persembunyiannya.

"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang

sekarat.

"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan

bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia


menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.

Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia

justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang

Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang 

langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu 

dan melemparkan. 

Plak, pletak! 

Batu itu mengenai wajah dan kepala

penghadangnya.

"Wadow...!" seru mereka serempak.

Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah

seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah

Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu

berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.

"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram

Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan 

mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto

membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran

rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk

di jalanan sempit itu.

"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk

habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!" 

Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan

memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan

tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak

buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang

diambil Suto. 

Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah

menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit, 

Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa

menjerit.

"Pamaaan...!"

"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang

menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman

jagung milik tetangga itu.

"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya


lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang

yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun

segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua

tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-

langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan

tertekan.

"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher

Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan

Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas 

Dubang sulit dikendalikan.

"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada 

kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak 

itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"

"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung,

Ketua!"

"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya

bengong saja?!"

Maka kedua orang tersebut segera menerabas

masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman

itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan

Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera

melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia

akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.

"Wah... bajuku robek, Paman!" 

"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari 

arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di

belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di

dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin

mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya

sudah tidak tentu arah lagi.

"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!" 

"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan

Suto. Maka mereka lari berdua.

Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil 

keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,

mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan


liar menuju kaki bukit.

"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan

ngos-ngosan juga.

"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau 

putus, Suto."

"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.

Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,

Paman...!"

"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia

masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus

lari tanpa berhenti, mana bisa?!"

Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang

mulai cemas.

"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.

Paman selamatkan diri saja."

"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil! 

Ayo, lari lagi."

Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini

mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-

celah batang pohon. Menerabas semak berduri.

Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar

dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang

Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak

dengan kemarahannya.

"Kalian lagi! Huh...!"

"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang, 

Ketua!"

"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"

Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat 

gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia 

menuding sambil berteriak keras.

"Itu dia!" 

"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam

meringkik dan melonjak kaget karena suara keras

tersebut.

"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"


"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"

"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam

bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera

bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda. 

Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih

cepat bergerak di kerimbunan semak.

Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di

belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.

Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat

mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah

tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti

dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal 

seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah

asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari

mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung

dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi

tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto 

memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu

segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.

"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita

jurang yang sangat dalam, Paman." 

"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang

dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan

kelelahan begitu.

Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di

belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat 

Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih

cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun,

sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang

melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke

depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.

"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba

bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian 

sekarang, hah...?!"

Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya

goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.


"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan

Dubang. 

Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk 

menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.

Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh

Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.

"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"

Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.

Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. 

Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati. 

Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"

"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu

menolong Dubang agar bisa naik.

"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.

"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!" 

Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.

Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah 

ingusan...! Ha, ha, ha...!"

Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang

tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu,

Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.

Susah payah ia menarik dirinya dengan

berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip

rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah

Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka

menemukan Dubang dalam keadaan kritis.

"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang

satu berkata pula.

"Habisi saja dia!"

Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...! 

Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo

Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"

"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang

satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi 

tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"

Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu


mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin

memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.

Orang yang memegang golok itu segera menebas ke

depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh 

Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan

jerit yang menggema mengerikan.

"Aaaa...!" 

Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan

itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan

Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi 

kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari

semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya

bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu,

kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan

napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa

terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.

Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.

"Penggal kepala bocah itul Penggal!"

*

* *


TIGA



JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu

semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam

terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari

kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.

Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.

"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam 

kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot. 

Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak

ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan

membentak keras.

"Penggaaal...!"

Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi

kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher

bocah telanjang dada itu. 

Trangng...!

Orang yang menggenggam golok itu mendelik

melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang

tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi

gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya 

yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam

terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil

matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang

telah mematahkan golok itu dengan menggunakan 

sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.

Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu

kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati 

sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu

tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini 

bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana

dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke

sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.

Tak ada tempat yang mencurigakan.

Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang

golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh

pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram


dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya 

yang masih mempunyai golok di pinggang.

"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"

Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia

merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-

coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.

Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat

diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Trangng...!

Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga

bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan

lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu

sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu

menjadi semakin panas. Matanya semakin buas

memandang sekeliling.

"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua 

tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu

digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-

abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega, 

bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah

kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.

Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?! 

Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! 

Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang

Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari

persembunyianmu! Keluar...!" 

Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang

mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar 

oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak 

jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini,

ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak

mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka 

dan Suto.

"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik 

kita," ia berkata kepada anak buahnya.

"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian


tersembunyi?"

Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap 

itu mendengus benci, dan memalingkan kepala.

Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.

Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.

"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.

Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa 

menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-

gerak yang mencurigakan."

"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,

Ketua?"

"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan 

di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum 

bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"

Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto. 

Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena

merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang

mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping 

dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi

sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil

terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya

ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.

Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan

hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam

menjadi tertegun bengong tak berkedip.

"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas

bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada

keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.

Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang

amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu

menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut

dan kaki.

"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!" 

geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.

Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak

yang ada! Cepaaat...!"


Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan

perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto

juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak. 

"Hai, mau ke mana kamu, hah?" 

"Membakar semak!"

"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut 

kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau

masih ingin selamat!"

Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak 

tidak takut sedikit pun.

Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto

berkasak-kusuk.

"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?

Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"

"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam

sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon

dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun 

jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari

telapak tangan kita, seperti Ketua."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan

garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.

"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.

Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.

Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita

menemukan dia, kita mati lebih dulu."

"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu

sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh 

lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."

"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara 

diam-diam?"

"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo, 

lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu

hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita

mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita 

bisa mati konyol!",


"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat

sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!" 

Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni 

bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.

Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang

jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang

menghentikan langkah temannya.

"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada 

kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk. 

Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di

atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai

berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang, 

sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua

anak buah Kombang Hitam itu.

"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?" 

"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang

meriap. Berdirinya begitu tegar."

Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah

ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari 

karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang 

Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan,

terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.

Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini 

menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya

apa pun juga."

"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah 

itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu

kerikil?"

"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita 

tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu 

mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk 

sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang

jurang lebar itu, kan?"

"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat

kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang

memperhatikan sang ketua kita?"


"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya

bingung sendiri.

"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti

di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui 

kita lari!" 

Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga

langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan

kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.

Orang tersebut berada di arah samping mereka,

jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang

sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya 

mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang

Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.

"Siapa orang itu?"

"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."

"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi

tidakkah kau sadari pakaiannya?"

"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai 

pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya 

panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.

Apakah dia orang yang ada di atas...."

Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak

buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat 

batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi, 

belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat

seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-

ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari

ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.

"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah

orang yang ada di atas batu sana?"

"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada 

di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang

kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu 

cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang

jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.

Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu


sudah tidak kelihatan lagi. 

"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana

perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang

berjalan mendaki?"

"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini! 

Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"

Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.

Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang

merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali

terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut

dan berhenti seketika, sehingga yang belakang

menabraknya dalam satu sentakan yang membuat

mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena

di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan 

kulit tebal yang diikat sampai betis.

Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang

mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya

berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh. 

Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat

memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang 

tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu

menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat

oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat, 

bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis 

dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih

tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah

berusia lewat dari sembilan puluh tahun.

"Mengapa kalian ketakutan?"

"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah

Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena 

gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-

kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.

"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai 

jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"

"Ka... kami... kami takut, Kek."

"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"


"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling

menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan 

yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih

tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh. 

Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian,

baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."

Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir

dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning

melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka

rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak

ditimpa tubuh mereka berdua.

"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang

belakang.

"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang

mendorongnya dengan kuat sekali!"

"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek

itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu

mendorong tubuhmu." 

"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau

rasanya."

"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng 

kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam

yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi 

sekali!"

"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan

jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu 

berdiri."

"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak

bertindak kurang sopan padanya."

"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah

orangnya yang membuat senjata kita patah."

"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu,

pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan

mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia

melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia

sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang


ketua. Iya, kan?"

"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia

bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena

patah, jika memang bukan dia pelakunya?"

"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita 

teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek

tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau 

pengkhianat, biar sajalah...!"

Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang

menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada 

tegang.

"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?" 

Mereka memandang ke tanah ladang. 

"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"

kata yang satunya dengan kagum sekali.

Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu

sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...! 

bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga. 

Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.

"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku

jadi kepingin menjadi muridnya."

"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di

dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."

Temannya memandang dengan dahi semakin

berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan

membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.

"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti 

jagung yang baru saja dibakar!"

"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba 

kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!

Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-

benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir

jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya 

sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.

"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh,

kepalaku jadi menggeliyang begini?"


Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak

temannya. Temannya menjadi heran bercampur

tegang.

"Hai, kenapa kau? Kenapa?"

Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu

terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"

Mata temannya semakin bundar melebar. Ia

melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang 

teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi

perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.

Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera

memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas 

sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi

dingin dan kian dingin.

"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga

dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba 

kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong 

lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek

berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar,

nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa

menawarkan racun dan sudah mulai menguasai

pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk

bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"

"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin. 

Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa

sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.

Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak

bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak

mendengarkan.

"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan

sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia

kembali menatap ke belakang sebentar sambil

istirahat.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau

punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau

lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang


ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau 

akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu 

itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.

Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat 

kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik

berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku

kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka

lakukan terhadap bocah itu?!"

*

* *


EMPAT


KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah

memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada

jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak

buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang

tersembunyi.

"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu

siapa aku!" gumam Kombang Hitam.

Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia

memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang 

menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada.

Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu

dihentakkan membuka ke arah depan. Huup...! 

Dueerr...!

Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan

cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat 

dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut

meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam

keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik

panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian

dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang

sedikit ternganga.

Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu

menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan.

Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu

kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah 

tumbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemetaran

bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya 

masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam,

karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang 

berwajah sangar itu.

Dueer...! Dueer...!

Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang

oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam. Matanya

tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena


hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang

bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang

ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah 

bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan

dari telapak tangan Kombang Hitam.

"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam. 

Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati

Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas 

wajahnya.

"Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari

jongkokmu?"

"Bukankah kau menyuruhku keluar?" 

"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi

entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari

persembunyiannya!"

Suto tersenyum sinis bernada mengejek. 

"Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah 

penyerang gelap itu kubereskan!"

"Coba saja!" jawab Suto dengan makin

menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan

berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua

telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.

"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil

mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup telinga!"

Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan

suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu

kemunculan penyerang tersembunyi. Ia memandangi 

kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya

kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati

Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang

menderita.

"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang

bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku tidak bisa

mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun 

segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang

geIapnya itu ada di atas pohon. Ternyata tidak ada apa


apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam

jadinya.

Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman,

maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto.

Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa 

keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi sedikit

ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas.

Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.

Wusss...!

Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam 

terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke

kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja

melintas di depannya. Ketika pandangan matanya

kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar.

Napasnya bagai tersentak berhenti.

Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap. 

Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh

kemarahan. Matanya menjadi liar memandang

sekeliling.

"Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu

sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur

berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang

diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya telah

menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa

pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak

mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap 

langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah 

dirobohkan sewaktu-waktu.

"Hi, hi, hi...!"

Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri.

Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka 

segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.

"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia

menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana

ada seorang perempuan berambut panjang terurai.

Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang


membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu

mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu

muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam

keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan

darahnya.

Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya

kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita

selesaikan apa kemauanmu!"

"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"

Kombang Hitam mundur dua langkah ketika

perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas 

pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling 

lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun

mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.

Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya

kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan

tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik

daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya,

tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan

berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum,

namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari

dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut 

dan bagian tubuh lainnya. 

Jlig...!

Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan

mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil

menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat

terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat

turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu

meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak

lari pergi.

"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari

si rakus, Begal Utara itu!"

Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia 

masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa

seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,


membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu

mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu

muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam

keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan

darahnya.

Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya

kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita

selesaikan apa kemauanmu!"

"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"

Kombang Hitam mundur dua langkah ketika

perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas 

pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling 

lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun

mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.

Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya

kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan

tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik

daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya,

tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan

berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum,

namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari

dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut 

dan bagian tubuh lainnya. 

Jlig...!

Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan

mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil

menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat

terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat

turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu

meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak

lari pergi.

"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari

si rakus, Begal Utara itu!"

Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia 

masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa

seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,


dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada

yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm...

siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang

melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak

mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti 

nanti akan muncul!"

Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat 

kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya

tertunda sejenak. Hatinya berdebar-debar indah.

Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum.

Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu

perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan.

Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa 

merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan

tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan

bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji

dalam hati. 

"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"

"Kau tahu namaku, rupanya?"

"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau

Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa

daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan

itu tersenyum. Cantiknya bukan main.

Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia

tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit. 

Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan,

Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan 

perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi

agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah,

tidak berani bertindak sembarangan. Bahkan tiap

langkah nya pun diperhitungkan.

"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"

"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba 

persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak

mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"

"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi,


sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai 

ubun-ubun lagi."

Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba 

mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan

segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf

padaku."

"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan 

ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian

kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit.

Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan

itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang,

bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.

"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar

gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya

sebesar upil!" 

Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit

merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat

menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak

mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari

kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan 

kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai

satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan

dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.

"Hiaaat...!" 

Tap...! Tuk...!

Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh

perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya

menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu

Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.

"Waddoow...!"

Brukkk!

Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah.

Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor 

banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang 

kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main. 

Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk


mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam, 

pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan

memar membiru, atau bengkak.

"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam

masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali

ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki

terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak

menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak

bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan

pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tiba-

tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan 

membentur batang pohon besar. Bukkk...!

"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya

ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat

benturan kuat itu.

Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu

pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu

kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung

saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup

besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya

tidak ada yang patah.

"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja

tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hitam

dengan terheran-heran.

Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan 

menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga

semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi. 

Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan

mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh.

Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat

menyeramkan bagi orang lain.

"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam! 

Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang

mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung 

jarinya membara bagaikan besi terpanggang api. Jelas

akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari


'Cakar Kumbang Mesra' itu.

Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan

cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon

besar. Crak, crak, crak...!

Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto

membelalakkan mata melihat pohon yang terkena

cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa

tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap. 

Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya

berkata, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku

harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"

Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada 

perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul

Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika

sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah?!"

Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu

menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar

Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan

apa-apa."

Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan 

pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam

tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang. 

Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis

dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi

terbelalak kaget, karena bekas hitam yang

mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak

ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun.

Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.

Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui 

ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu

sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung

bintik-bintik putih seperti busa. Setelah diperhatikan

baik-baik, ternyata busa-busa salju.

"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa

memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang

Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin


membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"

Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan 

rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya 

ke baju sambil memandang tajam pada perempuan

berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali

berkata-kata.

"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini 

ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku.

Pedangku pun tak akan mampu melawan!"

Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar

hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu

sebenarnya?!"

"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan

Bidadari Jalang?"

Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu.

Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.

"Bidadari Jalang...?!"

"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu.

Tegas dalam senyum yang angkuh.

Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai

ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur

satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu

adalah Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di

rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang,

melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti

oleh beberapa kalangan persilatan.

"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan 

jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat itu, lalu 

pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai

Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana 

Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari

dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan 

tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal

sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet 

saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi

dirinya sendiri?


Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi

Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula

sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan

kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata

ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa 

bisa dimakamkan jenazahnya.

"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir 

Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera melepaskan

diri dari renungannya.

"Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak

punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik

urusan pribadiku?"

"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"

"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku

punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan

harus membunuh anak itu!"

"Itu berarti kau punya urusan denganku."

"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"

"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup,"

jawabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar,

manis namun angkuh.

Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut 

Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa 

nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk

membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya. 

Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.

"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari

Jalang?"

"Aku ada di pihakku sendiri."

"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap

hidup?"

"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari 

tanganku?"

Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia 

pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan,

Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah


satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku

melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba

persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku 

meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku.

Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso." 

"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus. 

"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari

Jalang."

"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa 

pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak 

lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"

"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh

anak itu." 

"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?"

tantang si cantik bermata indah itu.

Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin 

lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan

pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula

berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru

penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani. 

Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada

pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada

Kombang Hitam.

"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu

lama di sini," kata Bidadari Jalang.

"Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika

Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia buru-buru 

berbalik dan memandang dengan sorot mata yang

tajam.

"Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan

tubuhmu yang seperti badak itu?!"

"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku,

tapi...."

"Aku tidak punya waktu lagi."

Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak

tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus,


kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari,

kemarilah...."

Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayang-

layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah.

Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang

Hitam. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto 

mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu

sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang

menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.

"Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!"

gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.

"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto 

di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat 

ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik 

ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu. 

Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan

memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri

tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa

yang terjadi saat itu. 

Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya 

tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut 

dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto 

tiga kali putaran.

"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena

merasa terbang tak tentu arah.

Tappp...!

Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua.

Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat

tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari

Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah

begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih

dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian

terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat

kayu hitam itu.

"Si Gila Tuak..:?!" sebut Kombang Hitam tak sadar. 

Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah


mundur lagi.

Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak

memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila

Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang

sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba

persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri

pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka

yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu,

Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba

persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur. Tapi

tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di

ujung tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa

Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu

Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.

Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu

membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti

Kombang Hitam. Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis 

dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan

kali ini kau mencampuri urusanku lagi."

"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak

menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka

hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun 

membutuhkannya." 

"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari 

Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang Hitam

semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya 

kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang

Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin

berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.

"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari

Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku.

Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku

mohon diri dari hadapan kalian!"

Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang

Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar

menghilang dengan kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang

Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu

dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan 

liang kubur. Kombang Hitam lebih memilih mengalah,

membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan

mereka. 

Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat

bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang

banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan

Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga

diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika

terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si

Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila

Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi

itu, atau sebaliknya?

*

* *


LIMA



BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai

Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan

kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang

membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia

menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha

mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila

Tuak.

"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing 

kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."

"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan

bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir

kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan

orang lain."

Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir

yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang

pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku 

hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah

padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"

"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini,

Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah

bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi

kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi 

pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid

yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. 

Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan

tenang."

"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram

Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang 

menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.

Jluuk...!

Wuuss...! 

Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah

Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari

pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan 

Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam


gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk

digendongan seorang ibu. 

Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan 

peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi

ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang

diperkuat.

"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila

Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang

telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.

Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya

bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting

tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas 

untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh

yang menggendong Suto itu sudah berada di atas

sebuah pohon berdahan kekar.

"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan

matanya setelah menyadari berada di sebuah

ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu

menjadi kecil.

"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.

Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.

Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun 

melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan

yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto 

tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah 

tujuannya.

Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian 

daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas

akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari

Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon

lainnya ikut runtuh daunnya.

"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri 

girang.

Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana. 

Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam

membawanya lari membuat Suto bagai melayang


dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto

berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah

berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal

itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat 

bawah.

Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai

tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon

disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.

Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.

JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam

berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.

Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit

berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus 

membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi,

Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah

Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga

tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit 

makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.

Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan 

Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila

Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah

melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila

Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada

tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal 

totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang

perlu membujuk Suto.

Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di

permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu

sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di 

mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan

dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok 

tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi 

matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat

hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka

Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.

"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari


Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"

"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan

tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"

"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang

perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda

setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh 

senyuman birahi Bidadari Jalang.

Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu

yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk

mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu 

membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari

nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran

kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya

karena merasa dibuat nikmat dengan memandang

senyuman iblis itu.

Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan

akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang

mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia 

telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya

rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.

"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan

bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"

"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan

beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga

Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak

pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah

mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi.

Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi 

sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria. 

Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering

mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak

mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku

mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa

pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku

segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah 

inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku


pulih kembali dan racun menjadi tawar." 

"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan 

belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila

Tuak.

"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya 

termasuk guru cinta. Hi hi hi...."

"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau

racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta

birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-

ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan 

tenang, entah di tangan siapa saja!"

"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang

bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan

susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih 

mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak 

sepeot kamu. Hi hi hi..."

"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet

muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua

aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan 

umurku!" 

"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat

diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku

mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini

Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari

suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah

yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi 

kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti

kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang

kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila

Tuak?"

"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu.

Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-

masing. Persoalan kita adalah Suto!"

"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"

"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil

mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.


Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang

melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke

kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang

semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun

segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan

dihantam palu godam yang sangat besar.

Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia

terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera

melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak 

dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila

Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru

dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba

persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu 

barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan

Bidadari Jalang yang tersisa itu.

Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari

pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah

langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau

melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera

mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan

kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari

secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.

"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila

Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya.

Matanya menyipit memandang kilasan angin merah

yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya

dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai

tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak

panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba-

tiba terdengar suara orang memekik. '

"Aaahg...!"

Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di

sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena

punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu. 

Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu

menjerit ketakutan.


"Waaaooow...!"

Wusssh...! Taaap...!

Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap 

olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas 

lega.

Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.

Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu

melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan 

kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger

burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai

bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan

tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang 

mampu berdiri di sana.

Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi

pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada 

di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.

"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.

Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit 

naik.

"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng, 

Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,

Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan 

muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah

karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak

pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala

Suto.

"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara 

kau bawa lari sana-sini!"

"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.

Hiaat...!"

Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang. 

Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna

kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan

cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...!

Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang

membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.


Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok

sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila

Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah

dibawa terjun begitu cepat. 

"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek.

Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba

melihat anak itu.

Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan

Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas

pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap

garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan

membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau

Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan 

saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak

marah terkena muntahanmu, Suto!"

"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun

kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur

hidupmu! Jahanam kau!"

Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa

kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati

puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah 

sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila 

Tuak, yaitu Ki Sabawana.

Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan

keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah

seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan

menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil

mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang

bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan

semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu

menjadi panik dan salah tingkah.

Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap

membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak

mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu

akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan

pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking


itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih,

gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak 

perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau

alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan

tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga,

melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan 

Peri' tersebut.

Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus

mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka

tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut 

itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega,

karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam

jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.

Gila Tuak ingin segera membawa Suto

menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu

peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air

asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus 

terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi

sambil merengek.

"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."

Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan. 

Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan

sentakan suara kemarahannya.

"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"

Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh

pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya 

sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena 

harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah

tanpa cairan lagi itu.

"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?!

Perhatikanlah gambar pada layarnya."

Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit

terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di

layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga

melingkar di tengahnya. 

"Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah


mengenali simbul pada layar perahu tersebut.

"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis

Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas

dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah 

kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas

sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa

sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau 

tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang

Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus

menyelamatkannya dan menyembunyikannya."

"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang. 

"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu 

anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti

kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin

menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara

bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.

Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau

kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"

Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap 

laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati

arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia

mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan

datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup

berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai

dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi

sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia

akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa?

Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul,

apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!

*

* *


ENAM



SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh

Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu,

ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai,

hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.

Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa,

yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari 

Jalang.

Lelaki berhidung mancung dengan mata indah

memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu 

sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan

Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang

sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan

perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis 

Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.

Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang 

berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia

bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya

kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu

menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya

roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi

desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah

menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga

ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering

terbayang dan mengganggu batinnya.

Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk 

mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia

bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk 

asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda 

juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka 

kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya

akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama

Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah

terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris

habis. Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.

Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan


Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah 

seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam 

dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari

Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, 

apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari

ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari 

ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan 

itu?

Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap 

oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum

kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.

"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia

sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, 

Bidadari Jalang!"

"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir 

aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja

yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban

kemarahan Nagadipa."

"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"

Dia akan menyangka Suto adalah anakku." 

"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin 

dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya

kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia

mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."

Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar, 

tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera

beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,

"Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, 

selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku 

jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak

ini menjadi muridku."

Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari

Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin

kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang. 

Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....

Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia


lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto

digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi,

Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek. 

Aku sudah sangat puyeng."

"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..," 

karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu,

akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke 

sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu

tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan

Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu 

kedatangan lawannya. 

Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi 

anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu. 

Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap

siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika

sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia

menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar

hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari

tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap

kakinya di buritan perahu.

Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali

bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar 

perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat

hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun

terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi

terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.

Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya,

semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis

diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari 

Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu

tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan

bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang

mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang

membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh,

tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si

pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air,


di bawah perahunya itu? 

"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.

Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian

bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul

serangan dariI bawah sana.

"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu

kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!" 

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari

Jalang.

"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.

Kalem.

Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh

ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian

kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang 

Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak

terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua

kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas

pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain

berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu 

semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu 

belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan

semakin mempesona dipandang mata.

"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.

Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang

begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu. 

Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang 

berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan 

segera bekerja kembali merongrong kekuatannya

"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya

Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata 

begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,

Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di

belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu

bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan 

yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di

belakang Bidadari Jalang.


Perempuan itu manggut-manggut sambil

memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia

melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah 

benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.

Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari

Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu. 

Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.

"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"

ketusnya.

"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari 

Jalang."

"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa 

bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.

"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk

menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun 

yang lalu, bukan?"

"Benar."

"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku

sudah siap." 

Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu

indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.

Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya

melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati

bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke

arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku 

membunuhmu sebelum puas aku mengagumi

kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan

bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau

miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.

Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya

kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, 

aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu

demi membalas dendam kematian guruku, atau

membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?" 

"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu,

Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu


semakin mengguncangkan hatinya, semakin

menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik 

birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya

sendiri.

Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui

oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin

mendayu-dayukan rayuannya.

"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.

Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,

menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih

sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung

karang...."

"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan

mata mendelik. 

"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau

menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"

Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua

tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang

ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling 

memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari

Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar

tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem,

sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.

"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu, 

Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul

hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi

wajahmu dengan penuh kelembutan."

"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, 

Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.

"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak

mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak

muncul kapan saja dan di mana saja."

Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.

Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.

"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari

Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.


Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin

tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin 

besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup 

menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak 

hatiku menerima tatapan matamu yang begitu

menggoda hati..."

Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan

gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia

menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan 

dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena 

napasnya tertahan berat.

"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku... 

aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu

semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk. 

Bidadari Jalang kian gusar hatinya. 

Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke 

depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari 

terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar

tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa

membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai

menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke 

kiri. Duubb...! Wuuug...! 

Kraaak...!

Gundukan batu karang yang berjarak lima belas

tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak

bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan

di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang 

itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu 

berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke

arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang

itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang

beradu itu.

Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya

mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia

melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu

kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,


Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan 

sorot pandangan matanya yang lembut.

la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang

sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"

"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam 

gumam. 

"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya? 

Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan 

rayuanku?"

"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau

menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari

Jalang?" 

"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"

Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,

mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut

berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang

menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!

Nagadipa menahan dengan kedua tangan

disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika

itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan 

oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang

disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa

terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam

jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru 

berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam 

posisi siap menerima serangan lagi. 

Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto

beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari

jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.

Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,

melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki 

itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena

hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah 

itu.

Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki

bidadari Jalang segera menendangnya dengan


tendangan miring.

"Hiattt...!"

Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan

dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai

dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan

tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar

membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga

dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya 

Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.

"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata

Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari

kitab peninggalan gurumu itu!"

"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran

membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."

"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang

kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan

rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan

tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat 

ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.

Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih 

dulu menyambar kaki Bidadari Jalang. 

Prasss...! 

Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan

kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-

desir mendengar rayuan Nagadipa.

Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang 

segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu 

Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik 

yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa

terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak

sambil bersuara.

"Huugh...!"

Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu 

lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada

itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari 

kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental


dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera

berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam

hatinya.

"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum." 

Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.

Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang

mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap

cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan

mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental. 

Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat

tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada 

orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang

memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar 

dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.

Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang

tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri 

dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan

balasan dari Nagadipa.

Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar 

melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai

Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan

kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan 

disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit

merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan 

ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung

tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke

dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari

Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan

tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng

kain jubah ungu.

Traap...! Traas...! Traas...!

Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur 

jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam

lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.

Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling


katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan

keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.

"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"

Wuung...! Blaamm...!

Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan 

Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu

mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh

Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin 

besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.

Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah

potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah

Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,

sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke

belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, 

dan telinganya mengeluarkan darah.

Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan

mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera

menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping

kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati

Bidadari Jalang sambil ia berteriak.

"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,

Hiaaat...!"

*

* *


TUJUH


NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau

menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-

tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke

belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih

mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa

memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga

membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu 

keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.

Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa

heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai

mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu

dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba

bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya. 

Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia

masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih

sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu. 

"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.

"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan

dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita

tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"

"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku 

sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang 

tak mau kalah sesumbar.

Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila 

Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang

berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut

bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan

puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak

terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai

saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia

tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan

hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar

dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah 

itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut

makanan, hanya menuntut pulang.


"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita

tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"

"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah

mu?"

Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu

terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan 

anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh

berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi. 

Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang

membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya 

tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian 

Kombang Hitam.

Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat

pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada

suara memelas.

"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu." 

"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat

menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan 

kepadamu, Suto."

"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?" 

"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela

kebenaran."

"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi

berjubah ungu itu, ya?"

"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."

"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama 

aku bisa sinting lagi!"

Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di-

usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi

pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa

muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar 

bergelar Pendekar Cepat Muntah."

Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,

"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu 

Suto Sinting."

Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup


mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela

tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut

oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki

tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada

pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.

Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa, 

Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena

pukulan."

"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada 

dan tidak melatih gerakan lincah."

"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa

menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"

"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."

Anak itu tersenyum bangga membayangkan 

kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik

memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto 

berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari 

kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang

dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan 

terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa

kusampaikan karena Bibi itu sibuk."

"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali,

Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima

kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha

Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap

syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."

"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi

pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, 

ya Kek?"

"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga 

harus lebih berani daripada Bibi Nawang."

"Nawang itu apa namanya, Kek"

"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari

Jalang."

"Jalang itu apa, Kek?"

Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi


jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak

seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila 

Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."

"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan

sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang

bidadari dari kayangan?"

"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh 

Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip

kecantikan bidadari."

"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi

mempunyai guru yang sama?"

"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah 

suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara 

bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh

tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-

masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung

denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan

mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga 

mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya 

sendiri."

"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya

ilmu tinggi!"

"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia 

mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu 

sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan 

Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin

dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk

melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah

hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan

pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya 

sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil

memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga

membisu sambil termenung memandang kesana. Namun 

tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila

Tuak menjadi heran. 

"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila


Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya. 

"Tidak ada apa-apa kok, Kek." 

"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan

menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan

kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya

sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"

"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang

itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"

"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk 

Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil 

sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah

besar nanti, ya?" 

"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."

"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi

penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-

bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih

dalam tentang perempuan."

Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang

ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan

diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak

mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan

sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang

terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu

bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan

tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan

mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung

yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu

bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"

"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah 

beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan

kalau tak terlalu banyak."

Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat 

itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera 

menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya 

kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"

"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah


Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan

lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak 

tangannya.

"Cuih, cuih...," Suto meludah.

"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi

minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya 

dalam waktu-waktu tertentu."

"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku

jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"

"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk 

bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku, 

akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak

diminum untukmu."

"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa 

yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi

Nawang kok jadi berputar, Kek?"

"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya

berputar."

"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"

"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit

puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu

perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila

Tuak menepuk dadanya sendiri.

"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."

"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak

dalam tongkatku!"

"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus

membawa apa, ya Kek?"

"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah

jadi pendekar?"

"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar

saja."

"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.

"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat

julukan si Singkong Setan!"

"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he


he...!"

Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah 

tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.

Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena

pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat 

pada pertarungan di sana.

Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter

oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya

semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari

Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke 

sana-sini.

"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia

punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh

musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.

Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah

ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"

Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,

"Birahi itu apa toh, Kek?"

"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila

Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.

Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi

pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"

"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."

"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"

"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa

merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti 

bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."

"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya 

Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"

tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-

galanya begitu besar. 

"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang

jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada 

pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari

sudut mana kita memandang."

"Kenapa begitu?"


"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan

orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam

jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-

jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh

diri kita baik sadar maupun tak sadar."

Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata

kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali

memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh

sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang

purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan

setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila 

Tuak duduk dengan santai.

Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari

telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada

saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia 

punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat 

belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur 

batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran

pukulan tenaga dalam mereka berdua.

Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari

Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini 

Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah

dari tempatnya.

Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila

Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia

menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya

mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek 

berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah

pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek

itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.

Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.

Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan

tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari

mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja 

bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang

mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal


itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa 

memuntahkan darah?

Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang

segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya

tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan

terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat

lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,

sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir

di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut 

segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.

Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air

pada tubuh Nagadipa.

Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga

api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api

berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga

Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik

keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan 

hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia

berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya

pakaiannya terbakar menjadi padam.

Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak

segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit

dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang

sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal

itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya

dalam melawan Nagadipa.

"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan

tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam

Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini

dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia

itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu

memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak

tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan

kelengahan."

Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih

puyeng saja?"


"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.

Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan

beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."

"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,

Kek?"

"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana

dulu."

Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah

mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto

digandengnya, dan langkah mereka tampak santai

sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak

membantu Bibi?"

"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan

orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia

adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah

diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh 

kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab,

dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita

harus sudah siap menanggung akibat buruknya."

Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.

Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan

Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat 

Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,

"Jangan ikut campur urusanku!"

"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan

nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti 

anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus 

dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang 

bersamanya ke padepokanku."

Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas

pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang

Hitam."

Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar

ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan

bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan

ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.


Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi

sasaran hawa panas itu.

"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.

Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya

di depan Suto, dan hawa panas yang mampu

melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi

berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget

mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'

itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera

menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan

tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya

sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang

gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.

"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa

menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat, 

apalagi bisa mengembalikan?"

*

* *



DELAPAN


"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh

penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang

membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat

terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat 

pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.

"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan

tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila

Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan 

Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang 

paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding

denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si

Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia

persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila

Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara 

dengannya...."

Nagadipa baru percaya betul dengan pesan

almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri

kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan

'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga. 

Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak,

nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang

berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa

segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat 

menyusuri tepian pantai.

"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil 

menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih 

itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah

Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa

atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya

menjadi ketakutan.

"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"

"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai, 

seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.

"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau


pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan

jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"

Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi

menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.

"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu

bantuanmu!"

"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti

akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,

kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa 

itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam

tubuhmu!" 

Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun

segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata 

itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia 

menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang 

tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat

limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur 

secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di

tangan Nagadipa.

Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah

cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut

namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila 

Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang

Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku

saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang

bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."

Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat. 

Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak

mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap 

merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan

hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya

ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau

melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia

tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.

"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata

Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia


pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah

kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam

saja, yang menatap aneh padanya. Sementara itu, Gila 

Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam

bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada

Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal 

itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.

"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau

digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata

Bidadari Jalang kepada Suto.

Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya 

terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan

tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya

berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari

tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan

agak ke depan dari Gila Tuak.

"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan

hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu,

hah?!"

Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto

tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah 

itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya

kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila

Tuak maupun Bidadari Jalang.

"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"

"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan

suara datar.

"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita

tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke 

tempat lain."

"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."

Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan

nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang

dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam

memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke 

depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh


beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang

mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit

ketus.

"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan

main-main denganku, Gila Tuak!"

Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,

"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."

"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera 

bergerak untuk pergi?"

"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto

Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.

Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang

Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran

lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat 

itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan

dari hidung Gila Tuak. 

"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang 

berkesan tegang di dalam hatinya. 

"Seseorang telah menahan inti ragaku." 

"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak 

harus berucap kata dengan keras.

"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata 

dengan suara bisik yang amat pelan.

Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia

memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun

bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak 

bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak 

bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu 

menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat

salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti

tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang 

memegangi dari dalam tanah.

Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak

main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam

keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan

Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser


dari tempatnya berpijak. Gila Tuak akhirnya

menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan 

dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua

tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua 

dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang

berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila 

Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya

meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah 

karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.

"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam

Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling,

penuh kecurigaan. 

"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal

kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"

"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat

dari tempat ini."

"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih

pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan 

ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam

yang kupakai tertahan kuat-kuat."

Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya

memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah

batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang 

tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan 

ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak 

menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.

Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya

memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.

"Haiaai..!" 

Buukk...!

"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena

tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan 

itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun

kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser

dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis

merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan


keras.

"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa 

kau menyerangku, hah?!"

"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan 

bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."

"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"

Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi 

iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat 

menahan tendangan tadi. 

"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram

Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang

berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu 

Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam

kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata

telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir 

pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik

ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru 

meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan

jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya 

meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir

pasir yang masuk ke mulutnya.

"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.

"Cuih, cuih...I"

Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip

bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan

tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar

semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di

depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat

kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu

sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan

jubahnya melambai-lambai tertiup angin.

"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku 

sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.

Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.

Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.

"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa


yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"

Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.

Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua

tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan

dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang

bergelayutan di salah satu dahan pohon.

"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya

untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya

memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat

tubuh.

"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu

menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang. 

Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah 

kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan

tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila

Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.

"Waoow...!"

Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan

Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya

masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu

tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu

tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan

perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan 

ilmu Gila Tuak. 

"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.

Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat

tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada

Bidadari Jalang.

"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu

dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel

tanahnya."

Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala

Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan

kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan

tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang

mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam


tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.

"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua

tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari

telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur 

ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila 

Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.

Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.

Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser

sedikit pun.

Mereka saling menghempas napas dengan mata

beradu pandang. Angin malam masih berhembus

mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan 

di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada 

di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah 

Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga

kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.

Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,

"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan

menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak 

tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari 

Suto ke mana saja." 

Belum sempat Bidadari Jalang melangkah

mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah

menghamburkan kata.

"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di

sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang

penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada 

yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau

kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian

melalui tongkatku ini."

Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati

perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena

hembusan angin itu berkata-kata sendirian.

"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila 

Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya.

Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil


pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya.

Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto,

tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto

berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku 

untuk menculik si Suto."

"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.

Jangan diam saja!"

"Baiklah...!"

Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati

Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di 

luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak

ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh

Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira 

tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat

mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia

menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.

"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari

Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!

Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila

Tuak.

Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki, 

"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau

menyerangku, hah?!"

Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.

"Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"

Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar 

wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu

ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba 

tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan 

pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu

hati Bidadari Jalang. Begg...!

"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga

langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh 

Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin

membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri

tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal


mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan

kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi

sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.

"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus 

diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."

Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang

dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus

dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak

menghantam tangan itu. Plokk...!

"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.

Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat

pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan 

tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun

cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam 

dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika

pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu

kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.

Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa 

ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.

"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"

"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia

hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara

rendah.

"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa

dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila 

Tuak!"

"Itu bukan kekuatannya." 

Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, 

namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih 

berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan

ia siap menunggu serangan lagi.

Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,

"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat. 

Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya 

tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah


mengendalikan bocah itu sebenarnya?"

Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang 

sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara 

pelan juga.

"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan,

supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang 

dipakai oleh Suto."

"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai

melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita 

kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit

karena seranganmu."

"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.

Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila

Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung

dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap 

siap menyerang atau bertahan.

"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari

Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup

lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot

pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.

Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal

begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya 

agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.

"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami

tahu, kau bukan Suto!"

*

* *


SEMBILAN



BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap

menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu, 

Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab 

ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto 

nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat

kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti

datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila

Tuak menggerutu sendiri.

"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah

tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah

sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. 

Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti

dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi 

seorang pendekar tanpa tanding. Karena

keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel 

itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia

tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya 

pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan 

manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari

golongan hitam!"

Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap 

dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi

sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit

panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama

senyum orang dewasa yang dibawakannya.

Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan

jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto 

melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari 

posisinya yang sedang bergerak turun itu dia

menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah

Bidadari Jalang.

Wooos...!

Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan

Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut

Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segera


melompat ke belakang dalam gerakan salto juga.

Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu

berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"

Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari

Jalang dari tempatnya berdiri.

"Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, 

Nawang!"

Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang,

firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu,

mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang

membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar 

mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka

dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus

menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat 

itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari

Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak. Tendangan

samping yang terbang itu meleset pada sasarannya,

karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh 

Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri

Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha

Bidadari Jalang.

Plokk...!

"Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit,

namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat

godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa.

Hatinya jadi berdesir dan deg-degan. 

"Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"

"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo' 

tadi."

"Dia mau memancing gairahku."

"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."

"Hah...?!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah

Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"

"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih

penasaran ingin membalas dendam atas kematian

gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat


Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu

'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa

disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan

orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk 

melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau 

ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia 

perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."

Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari

Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam

hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu

berkata, "Pantas bocah itu mampu membuatku

terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang

mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia

bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi 

di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga

bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan

Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto.

Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa

punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya 

kepada Gila Tuak!"

Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada

saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan

Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para

tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai

pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari 

partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi

Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi

Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh 

Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat

diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok

diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu

didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun

hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.

Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan

Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu

dengan Cadaspati. Bertubuh kurus kering, rambutnya


panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya

abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah. Gerakannya

begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum

jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak

segesit belut putih. Tak heran juga jika Suto sebentar-

sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam

raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang

senang mengusap-usap jenggot kelabunya.

Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi

melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak

jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk, 

tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis

oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di

bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping,

menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon

kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-

buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada

yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang 

sempurna dengan batang kelapa itu hanya

menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara. 

Wuuugh...!

Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti

menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan

batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar

sinar merah membara, meluncur menghantam

gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam

bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto

dari belakang.

Wesss...!

"Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh 

tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat

berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah

berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang

tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu

menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa

yang kekar.


"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara

tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak

serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu

ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.

"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai,

Gila Tuak," katanya dengan suara besar sedikit serak.

Jelas bukan suara Suto.

"Kalau kau memang masih menyimpan dendam

padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga

bocah itu." 

"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini 

supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur 

berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di

tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang

saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!''

Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah 

duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah

tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada 

bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata 

apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman 

itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya

membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga 

Suto.

Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar 

keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya

berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia

seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari 

mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.

Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung 

tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di

tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak 

berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu 

hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala 

Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.

Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke


tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang 

hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan

dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga

dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun

segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan 

tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi

telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun 

sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan

hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.

Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti

bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke

atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan

bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan

lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam 

udara dingin itu. Angin kencang dan guntur

menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya 

petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan

tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya

petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila

Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya

petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak,

namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua

bangka tersebut. 

Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan

gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di

depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan 

keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.

"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"

Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan,

dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan,

bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum 

yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah 

dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka 

telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan 

Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang

memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu


membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum 

membara.

Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala

itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju. 

Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias

cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya 

membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak

bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin

membalik ke dirinya. 

Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai

berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua

bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi

merah. Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang. 

Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir 

masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan

memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.

Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di 

tengah samudera menuju ke tepian.

Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan

jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan

Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian

terdesak.

"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam 

telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka

cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam

telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang

berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga',

yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau 

tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu.

Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk

menyelamatkan raga Suto itu!"

Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari

telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin

mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.

Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan

bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan


Suto.

Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!

Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang

Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan 

terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih

keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-

bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta. 

Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera

membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah

dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan 

sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu

hentakan yang cukup kuat.

"Aaakh...!"

Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang,

melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah 

menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.

Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali

terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.

Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya

menjadi kecil.

Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih

menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai

terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini. 

Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama

kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya,

hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung

yang amat transparan.

"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas 

kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan

kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun

sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut

aneh tersebut.

"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, 

hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!"

Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, 

namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan


kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip

serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto

menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.

Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang

belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk

bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di 

tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak 

di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin 

jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu

menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara

bak serpihan logam panas.

Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari

panjang. "Hiaaah...!"

Broolll...!

Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.

Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke

belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah

dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak

terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya

berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada

yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas

tempatnya berdiri.

"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari

penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut 

ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini,

Setan!"

Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke

sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang 

berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera

mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil 

kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam

pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu

untuk membunuh.

"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian

ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan

membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa


tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang

jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan

terpepet."

"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh 

menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin

membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi

kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat,

kalian pasti akan segera membebaskan aku."

Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun

napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan

berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu 

tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk

mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku

akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam

tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni

bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan 

menjadi miliknya."

"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel

dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin

melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa

berbuat itu.

Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan 

oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat,

makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut

bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang

menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti 

tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga

mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama

'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena 

rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.

"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"

"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan

dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"?

Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa

menghancur leburkan tubuh Suto?"

"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan


tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun 

kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan

lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku

yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh 

bocah itu."

"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari

Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"

"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah 

Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti

Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga

Suto. Aku sudah bebas bergerak."

"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa 

Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"

"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang 

harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau

tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"

"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari 

Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau 

berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi

hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa

pada kedongkolannya.

Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat

Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada

perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama

membuatnya kian terengah-engah.

"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu

sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap

mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"

"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka

Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga

Suto."

"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip

Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."

"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.

"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal 

kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.


Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah 

kalian."

"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya 

lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana

ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu

muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak 

mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap

kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa

sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya

pilihan lain."

"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui 

keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.

"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak.

"Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena

aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu

gugat lagi." 

Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu,

Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh 

di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan,

Nawang...!"

"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik 

keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan. 

Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, 

ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat 

itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di

dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu,

ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan

menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun

mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-

bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah 

ungunya.

Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan

tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.

Brusss...!

"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun

tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah


itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah

dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan 

agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan

hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke 

atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat

yang terbuka tutupnya itu.

Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar

dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung

tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, 

tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu

kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan 

Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!

Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu

terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini

keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai 

bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar. 

Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar. 

Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama

lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit

dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan

tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang

tali pusar.

"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian

Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak

menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus

menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."

Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis

tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan 

itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.

"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."

Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-

senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi 

rambut hitam yang cukup lebat. 

"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri 

untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."

"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.


"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya

lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak 

punya tandingannya?"

Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli

mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, 

Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau

menjadi pendekar cinta saja?"

"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil,

Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu

ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi

pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"

"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.

"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa

cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa

geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam

gerutunya,

"Dasar bocah sinting!"

Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di

rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan

jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.

Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu?



                       SELESAI



Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!!

Serial Pendekar Mabuk

Dalam episode:

PUSAKA TUAK SETAN


0 komentar:

Posting Komentar