GENTO GUYON EPISODE TOPENG KEDUA
SATU
Kegelapan baru saja menyelimuti daerah di
sekitar puncak bukit itu. Tak berselang lama se-
cara perlahan purnama menampakkan diri dian-
tara ranting dan daunan. Di sebelah utara pun-
cak bukit terlihat satu-satu pemandangan aneh
dimana satu sosok berpakaian merah terpendam
tubuhnya sampai sebatas dada. Pakaian sosok ini
hancur seperti dicabik-cabik binatang buas, ram-
but acak-acakan sedangkan di bagian dada,
punggung, serta kepala nampak mengucurkan
darah.
Dalam keadaan tubuh terpendam seperti
itu nampaknya dia sama sekali tak dapat berge-
rak apalagi saat itu kedua tangannya yang ber-
warna hitam terikat dua lembar benang yang sulit
diputuskan. Dia hanya dapat mengerang ketika
merasakan tubuhnya yang terpendam mulai dari
bagian dada ke bawah terasa panas laksana ter-
bakar. Celakanya sejak dirinya terpendam begitu
rupa, dia sama sekali tak mampu menggerakkan
tubuh juga memutus benang yang mengikat ke-
dua tangannya.
Padahal dua tangannya yang sakti selama
ini dapat dipergunakan untuk menghancurkan
benda apa saja. Kini dua tangan sakti yang dia
sendiri selalu menyebutnya dengan Tangan Sial
seakan kehilangan keampuhannya. Dua utas be-
nang-benang yang dipergunakan untuk mengikat
tangan seakan memiliki satu kekuatan yang san-
gat hebat. Bukan hanya itu saja, benang yang me-
lilit bagian tangan itu kini malah terbenam me-
nembus kulit dan daging. Sedangkan dari bagian
luka nampak mengucurkan darah. Ini satu ke-
nyataan yang cukup mengejutkan bagi laki-laki
yang menyandang julukan Si Tangan Sial itu. Be-
tapa tidak? Selama ini tangan itu tidak pernah
mengalami cidera walau dia berusaha memotong-
nya dengan pedang atau menghancurkan sepa-
sang tangan itu dengan batu.
Melihat kenyataan yang terjadi pada di-
rinya si orang tua paling tidak merasa putus asa
atau menjadi ketakutan membayangkan kemung-
kinan buruk yang terjadi pada dirinya. Ternyata
hal seperti itu tidak terjadi. Malah wajah Si Tan-
gan Sial tampak tegar luar biasa.
Untuk pertama kali setelah dirinya merasa
gagal memutus benang yang melibat tangannya Si
Tangan Sial kitarkan pandangan mata. Dia tidak
melihat siapapun disitu terkecuali dirinya sendiri
"Makhluk keparat itu, sama sekali aku tak
tahu apa yang diinginkannya. Dia mengaku seba-
gai saudaraku, padahal aku ingat betul sejak ter-
lahir aku merasa tidak punya saudara. Sekarang
setelah membawaku ke tempat keparat ini tubuh-
ku malah dipendamnya!" Si orang tua sahabat
Gento Guyon merutuk dalam hati. Sejenak dia
terdiam, kepala tertunduk, rasa panas di bagian
tubuh yang terpendam makin menghebat, sakit-
nya tiada tara namun dia tidak lagi mengeluh
apalagi merintih. Perlahan wajah yang tertunduk
berlumuran darah mendongak ke langit. Langit
terang kuning kemilau. Tiga beruang tadi menye-
rangku, pakaian dan tubuhku habis dicakarnya.
Aku yakin makhluk lumpuh itu yang punya pe-
rintah, aku mengetahui kehebatan ucapannya.
Jika dia berasal dari golongan sesat kehadirannya
di rimba persilatan bisa membuat celaka banyak
orang. Fikir Si Tangan Sial.
Sekali lagi dia kitarkan pandangan ke selu-
ruh puncak bukit kapur. Hingga saat itu dimana
udara dingin menyerang dan angin berhembus
kencang orang yang memendamnya di dalam ta-
nah masih belum memperlihatkan tanda-tanda
akan muncul.
Sadar kesempatan untuk membebaskan
diri masih terbuka luas, diam-diam Si Tangan Sial
kerahkan tenaga dalam kebagian kedua belah
tangannya. Tenaga sakti yang bersumber dari ba-
gian pusernya mengalir deras melalui dada, terus
menjalar ke bagian tangan. Tak berselang lama
kemudian kedua tangan disentakkan.
Breet!
Si Tangan Sial menjerit kesakitan. Benang
yang melilit tangannya bukan putus tapi malah
terbenam ke dalam daging, menimbulkan rasa
nyeri dan sakit yang amat sangat. Darah mengucur. Si Tangan Sial mengumpat panjang pendek.
"Benang celaka! Aku tak bisa membetotnya
hingga putus. Malah kini luka dipergelangan tan-
ganku tambah menghebat." Sekali lagi dia perha-
tikan tangannya yang terluka. Melihat banyaknya
darah yang mengalir keluar, mendadak timbul ra-
sa takut di hati Si Tangan Sial. Dia takut kehilan-
gan tangannya. Padahal selama ini bertahun-
tahun dia selalu berusaha membuat celaka tan-
gannya sendiri. Sepasang tangan yang dia anggap
sebagai pembawa malapetaka bagi dirinya. Sepa-
sang tangannya memang menyimpan kesaktian
hebat secara alami, bahkan bila dia marah benda
apa saja yang disentuhnya pasti hancur, layu
atau terbakar termasuk juga yang pernah terjadi
pada diri istrinya. Yang mengherankan mengapa
kini sepasang tangan itu seakan tidak berdaya di-
bawa libatan selembar benang yang begitu tipis
bahkan terkesan rapuh.
Kenyataan yang terjadi padanya ini adalah
merupakan suatu kenyataan yang sangat sulit
untuk dipercaya, hingga pada akhirnya Si Tangan
Sial merasa letih sendiri
"Sampai kapan aku berada dalam keadaan
seperti ini? Jika dulu aku ingin agar kedua tan-
ganku terlepas dari badanku, mengapa sekarang
aku seperti merasa takut kehilangan. Tanpa tan-
gan aku kini baru bisa membayangkan betapa hi-
dup ini jadi semakin sulit." gumam si orang tua.
Berkata begitu dia hendak menggaruk hidungnya.
Tapi begitu sadar kedua tangannya dalam keadaan terikat niatnya urung malah Si Tangan Sial
menyeringai kesakitan.
Di langit kini cahaya bulan terhalang seke-
lompok awan, suasana di puncak bukit berubah
jadi temaram. Pada saat itulah satu sosok tubuh
tampak melayang dan jatuh di depan Si Tangan
Sial.
Bluk!
Si orang tua yang tadinya tertunduk kini
mengangkat wajah, dengan matanya yang beng-
kak menggembung karena terluka dia memperha-
tikan. Melihat siapa yang datang Si Tangan Sial
merutuk dalam hati. "Manusia jahanam satu ini
kedua kakinya lumpuh tapi dia dapat pergi ke-
mana-mana. Apa yang hendak dilakukannya pa-
daku? Aku mesti berhati-hati. Bukan mustahil
dia berniat mencelakai aku."
"Ha ha ha, Tangan Sial. Sesuai dengan ju-
lukanmu ternyata sepanjang hidupmu nasib sial
selalu membuntuti dirimu." berkata si kakek ber-
badan jerangkong berambut acak-acakan dipenu-
hi kapur disertai tawa terbahak-bahak.
"Jerangkong lumpuh apa maksudmu?
Mengapa aku kau bawa kemari? Kau mengatakan
aku ini saudaramu, terus-terang aku tak per-
caya."
Kakek jerangkong tatap Si Tangan Sial. Ada
kilatan aneh dalam mata si kakek lumpuh. Satu
seringai menghias bibirnya. Seringai lenyap, wa-
jahnya yang putih berselemot kapur berubah
angker. Di tempatnya terkubur Si Tangan Sial
sama sekali tak bergeming, dia balas menatap si
jerangkong dengan perasaan penuh marah.
"Kalau kau tak percaya aku ini saudaramu,
keyakinanmu itu memang betul. Aku Begawan
Panji Kwalat juga tak pernah merasa punya sau-
dara sepertimu. Walaupun begitu terus-terang
kedatanganmu memang kutunggu. Belasan tahun
aku mendekam disini, sekian lama aku mem-
buang waktu. Aku senang karena ternyata penan-
tian ku tidak sia-sia. Walau lumpuh kaki nasibku
tidak pula seburuk dirimu. Ha ha ha!"
Walaupun Si Tangan Sial sudah menduga
hal ini, namun tetap saja pengakuan si jerang-
kong membuatnya kaget. Si badan jerangkong
bukan saudaranya. Kini dia mencoba mereka-
reka siapa adanya Begawan Panji Kwalat
Melihat caranya bergerak yang bukan den-
gan mempergunakan kaki maupun tangan me-
lainkan melayang, ilmu si jerangkong ini pastilah
sangat tinggi. Mungkin juga beberapa kali lipat di
atasnya. Ini dibuktikan dengan hanya memper-
gunakan benang saja kedua tangannya yang me-
miliki kekuatan sakti sudah dibuat tidak berdaya.
Malah kedua tangan itu kini terluka.
"Begawan Panji Kwalat. Siapa dirimu aku
tak tahu, sebagaimana yang pernah kukatakan
aku bahkan tak mengenalmu. Diantara kita tak
ada silang sengketa, mengapa kau memperlaku-
kan aku seperti ini, seolah aku ini adalah seorang
musuh yang sangat kau benci?" tanya Si Tangan
Sial
"Kaus memang bukan musuhku, bahkan
diantara kita tidak ada saling sengketa. Agar kau
tidak penasaran, kukatakan padamu kalau aku
saat ini mempunyai urusan besar. Urusan ini
hanya bisa terlaksana bila kau mau membantu-
ku." kata Begawan Panji Kwalat. Si Tangan Sial
Semakin tidak mengerti saja kemana arah ucapan
si jerangkong. Pada akhirnya sambil tersenyum
sinis dia berkata. "Setelah aku kau perlakukan
seperti ini kau beranggapan aku mau memban-
tumu, begitu? Ha ha ha. Kau jangan mimpi. Kau
sudah menipuku dan kesalahan ini saja merupa-
kan kenyataan yang tak dapat ku maafkan. Jadi
kuharap kau tak banyak menaruh harap pada-
ku."
Ucapan tegas Si Tangan Sial membuat Be-
gawan Panji Kwalat tertawa terkekeh-kekeh. Saat
itu cahaya bulan sudah tidak terhalang awan lagi
sehingga puncak bukit telah kembali berubah
menjadi terang-benderang. Sekejab tawa si kakek
terhenti, dari mulutnya terdengar suara mengge-
rung aneh. Dengan tenang dia dongakkan wajah-
nya memandang ke arah bulan. Mulut si jerang-
kong berucap layaknya orang melantunkan syair.
Sepanjang waktu aku menunggu kehadi-
rannya.
Sekarang dia berada dalam genggamanku.
Akan kujadikan dia seorang utusan.
Dia akan menjadi budak yang patuh setia
Peruntungan ku menyangkut kepentingan
besar
Jika yang aku mau telah kudapatkan.
Akan ku tempatkan muridku di sebuah kur-
si kekuasaan
Akan kubunuh para penentang
Bersama kekuasaan akan ku peluk rembu-
lan
Ha ha ha....
Muridku,
Kekuasaan dan kedudukan semakin jelas
bagimu
Kau akan robah dunia persilatan dengan
warna darah
Batu,
Muridku
Batu adalah muridku!
Suara si kakek jerangkong terhenti hingga
disitu, kini dia kembali pandangi Si Tangan Sial.
Di tempatnya terpendam Si Tangan Sial
sunggingkan senyum mengejek. "Jerangkong
lumpuh, syair mu sungguh pilu menyedihkan.
Tapi di telingaku kedengarannya seperti suara
kere di pasar. Sayang aku tidak punya emas atau
uang kepengan. Jadi syair mu hanya bisa ku-
bayar dengan kentut ku, apakah kau mau? Ha ha
ha." kata Si Tangan Sial diiringi tawa bergelak.
Kakek jerangkong mendengar ucapan Si Tangan
Sial jadi sangat tersinggung. Baru saja dia mem-
buka mulut hendak mendamprat, Si Tangan Sial
meneruskan ucapannya. "Saat itu aku telah kau
buat tidak berdaya. Jika kau punya rencana ka-
takan apa keinginanmu. Semuanya akan kuden-
gar, setelah itu apapun rencanamu kelak semua-
nya kuanggap sebagai angin, sebagai kentut. Ha
ha ha."
Sepasang mata si jerangkong yang seolah
tenggelam ke dalam rongga bergerak-gerak, ada
benci dan geram terlihat disana. Sejauh itu dia te-
tap berlaku tenang.
"Apa yang kau katakan aku tak perduli.
Satu tugas yang harus kau kerjakan kau mesti
pergi ke kuil Setan!" tegas si jerangkong.
Si Tangan Sial jadi melengak kaget.
"Jerangkong keparat itu apa maunya aku
disuruh pergi ke Kuil Setan?" Rutuk Si Tangan
Sial. Wajahnya nampak berubah pucat, namun
dia tetap berlaku tenang.
"Aku tahu kau mengenal seluk-beluk dae-
rah itu Tangan Sial. Kulihat wajahmu menunjuk-
kan rasa kaget, mulutmu boleh terkunci tapi ma-
tamu tak bisa menipuku." Begawan Panji Kwalat
berkata disertai senyum. "Mungkin juga kau
mengenal nama sebuah senjata hebat Bintang
Penebar Petaka. Senjata dahsyat itu konon berada
di tangan salah seorang penghuni kuil, disembu-
nyikan di suatu tempat yang hanya diketahui oleh
para penghuni kuil." jelas si jerangkong.
Dalam kagetnya Si Tangan Sial tak mampu
keluarkan suara, apalagi bicara. Baginya Kuil Se-
tan bukan sebuah tempat asing. Dulu dia pernah
menetap di daerah ini, punya seorang sahabat
penghuni kuil, namun tak pernah mampu mene-
robos bagian dalam kuil itu. Selain kuil ini diseli-
muti kabut aneh, setiap dia hendak masuk ke da-
lam kuil tubuhnya seperti dilemparkan, seakan
ada satu kekuatan yang tak terlihat yang men-
campakkannya. Apa yang terjadi padanya waktu
itu masih belum seberapa. Malah beberapa tahun
yang lalu banyak tokoh golongan hitam maupun
putih tewas di tempat itu. Sekarang bagaimana
mungkin dia menuruti perintah Begawan Panji
Kwalat, apalagi jika disuruh mengambil Bintang
Penebar Petaka.
"Begawan Panji Kwalat, seperti yang telah
kukatakan, kau jangan bermimpi aku mau men-
gerjakan perintahmu. Bagiku lebih baik mati da-
ripada harus pergi ke Kuil Setan." Si Tangan Sial
menjawab disertai senyum mencibir.
Sepasang mata angker si jerangkong yang
memerah si bagian lingkaran tepinya membelalak
lebar. Dia lalu berteriak. "Kematian yang kau min-
ta tak akan kuberikan, malah kau akan ku siksa
yang nantinya akan membuatmu menderita seu-
mur hidup. Pertama sekali aku akan mengambil
kedua telingamu. Bukan melalui ucapanku yang
manjur karena itu kuanggap terlalu enak bagimu.
Telingamu akan ku potong, ku sayat kecil-kecil."
Si jerangkong kemudian julurkan tangan sambil
buntalan yang tergeletak di dalam lubang tidur-
nya. Dari buntalan itu dia mengeluarkan sebilah
golok buntung tumpul karatan, mirip golok yang
terendam di air asin. Melihat karatnya mata golok
Si Tangan Sial jadi miris sendiri. Setelah memper-
lihatkan golok si kakek melanjutkan. "Jika daun
telingamu sudah ku cacah, baru kemudian ku po-
tong pula bukit hidungmu. Selesai hidung baru
kucungkil kedua mata setelah itu bibir dan kulit
tubuhmu baru ku kelupas, lalu kedua tangan.
Puas aku mendengar suara jeritan mu baru ku
potong lidahmu. Ha ha ha."
Mendengar ucapan Begawan Panji Kwalat,
Si Tangan Sial merasakan dadanya laksana mau
meledak dibuncah amarah. Kedua pelipis berge-
rak-gerak sedangkan mata mencorong tajam.
"Begawan terkutuk! Daripada kau perlaku-
kan aku seperti itu lebih baik kau bunuh saja
aku." kata Si Tangan Sial lantang.
Begawan Panji Kwalat gelengkan kepala
disertai senyum.
"Aku tidak punya niat membunuh, nilai ji-
wamu terlalu mahal bagiku. Terkecuali nanti sete-
lah kau dapat menyelesaikan tugas-tugasmu. Ha
ha ha."
"Kau jangan banyak berharap. Kau siksa
sekalipun sampai mati aku tak sudi menjalankan
perintahmu!" tegas Si Tangan Sial. Dalam kea-
daan seperti itu dia berharap ada yang datang
menolong, dia bahkan tak lupa berdoa meminta
pada Tuhan. Beberapa saat berlalu, tak ada per-
tolongan tak ada pula keajaiban. Dia coba meng-
gerakkan lengannya yang terikat. Sakitnya luar
biasa. Malah rasa sakit makin menghebat tembus
hingga kesumsum tulang. Si Tangan Sial meringis
kesakitan. Sebaliknya Begawan Panji Kwalat ma-
lah tertawa tergelak-gelak.
"Sekarang kau boleh bicara apa saja. Ingin
kulihat sampai dimana ketabahan mu." kata si je-
rangkong Begawan Panji Kwalat sambil mengu-
lum senyum. Kemudian golok buntung karatan
ditimangnya, lalu hulunya digenggam erat. Selan-
jutnya kakek itu meniup senjatanya sebanyak tiga
kali. Pulang balik dari bagian ujung golok sampai
ke hulu. Begitu ditiup golok yang tadinya berwar-
na kecoklatan kini berubah merah laksana baru
habis dibakar.
"Wahai golok, senjata boleh mencuri di
tempat tukang terasi. Kau sudah mendengar apa
yang kukatakan tadi. Sekarang kau kerjakan pe-
rintahku. Potong bagian anggota tubuh manusia
penuh kesialan itu. Lakukan perintahku, jangan
berhenti sebelum mendapat aba-aba dariku!" Si
jerangkong berkata ditujukan pada golok.
Sesuatu yang mengejutkanpun terjadi.
Seakan memiliki nyawa golok yang telah berubah
merah membara itu melesat meninggalkan tangan
si jerangkong. Di udara golok berputar tiga kali
dengan gerakan menggunting disertai suara ber-
dengung menyakitkan telinga. Setelah itu ujung
golok menukik tajam ke bawah, bergerak mengi-
tari kepala Si Tangan Sial. Setelah itu mata golok
yang tumpul dan panas luar biasa menempel di
daun telinga kanan Si Tangan Sial. Mata golok
bergerak maju mundur seperti gergaji. Si Tangan
Sial menjerit kesakitan. Bukan karena akibat mata golok telah mengiris daun telinga. Jeritan si
orang tua akibat begitu panasnya badan golok itu,
hingga membuat daun telinga Si Tangan Sial me-
lepuh hangus menghitam. Si orang tua meronta,
tapi gerakannya tertahan akibat sakit yang men-
dera lengannya.
"Begawan bangsat. Jauhkan benda celaka
itu dari telingaku. Aku... aku...!" suara Si Tangan
Sial terputus-putus.
"Tahan...!" Begawan Panji Kwalat berseru.
Bersamaan dengan itu pula gerakan golok jadi
terhenti. Si jerangkong sunggingkan senyum pe-
nuh kemenangan. Dia lalu membuka mulut. "Kau
menyerah?! Sekarang katakan kesanggupan mu
untuk lakukan perintahku" katanya.
"Aku... hanya ingin mengatakan golok
tumpul jahanam itu lebih pantas untuk menggo-
rok lehermu sendiri. Ha ha ha!" dengus Si Tangan
Sial disertai tawa tergelak-gelak.
Jawaban ini tentu saja membuat Begawan
Panji Kwalat jadi marah besar. Sekujur tubuhnya
bergetar, dua tangan dikepalkan sedangkan gi-
ginya yang hitam mengeluarkan suara bergemele-
tukan.
"Golok karatan!" seru Begawan Panji Kwa-
lat kalap. "Tangguhkan perintahku pertama. Se-
karang kau pukul dia, pukul tangannya yang ke-
ras!" Suara si jerangkong belum lagi lenyap, na-
mun pada saat itu golok telah melesat di udara la-
lu berputar menghantam kepala, wajah juga ke-
dua tangan si orang tua. Dalam keadaan terluka
akibat terlilit benang Si Tangan Sial benar-benar
mengalami penderitaan yang sangat hebat. Pelipis
mengucurkan darah, dada serta bagian punggung
bengkak menggembung. Sedangkan bagian kepala
laksana mau meledak. Darah menetes dari sudut
bibir dan hidungnya. Si Tangan Sial merintih, na-
fas megap-megap dan orang tua ini akhirnya tak
sadarkan diri.
Entah berapa lama orang tua ini dalam
keadaan seperti itu, ketika dia siuman dia men-
dapati dirinya tidak lagi dalam keadaan terpen-
dam. Saat itu dia terbaring di depan si kakek je-
rangkong. Sedangkan ikatan benang sudah dile-
pas. Walau sakit sudah agak berkurang namun
kedua tangannya masih terasa nyeri
Tangan Sial kerjabkan matanya. Di langit
saat itu bulan telah bergeser ke sebelah barat. Si
Tangan Sial mengeluh. Dia melirik ke samping
dimana si jerangkong lumpuh duduk di atas tum-
pukan kapur. Ingat dengan penipuan serta perla-
kuan yang terjadi atas dirinya mendadak sekujur
tubuh Si Tangan Sial jadi menegang.
"Kupret jahanam ini harus kubunuh!"
menggeram si orang tua dalam hati. Tanpa fikir
panjang dia hantamkan tangan kanannya yang
sakti ke dada Begawan Panji Kwalat. Apa yang
terjadi kemudian membuat Si Tangan Sial jadi
terkejut sendiri. Dia ternyata tak mampu mengge-
rakkan tangannya. Jangankan untuk memukul
remuk dada lawannya, sedangkan untuk men-
gangkat sekalipun sulit bukan main. Seolah tangan itu telah berubah berat menjadi ratusan kati.
Begawan Panji Kwalat yang memiliki ber-
bagai macam kesaktian aneh itu kembali tertawa
lebar. Senyum mengejek yang mentertawai keti-
dak berdayaannya. Rasanya seumur hidup baru
kali ini Si Tangan Sial merasa dipermainkan
orang. Diapun merutuk habis-habisan.
"Apa yang bisa kau perbuat Tangan Sial?
Kau mau membunuhku? Selama kau berada da-
lam kekuasaanku tak satupun yang dapat kau
lakukan untuk menyelamatkan dirimu sendiri."
berkata begitu si jerangkong keluarkan tiga ba-
tang jarum berpentol besar pada salah satu
ujungnya. Jarum berwarna hitam itu kemudian
diletakkan di bagian telapak tangan.
"Makhluk celaka ini hendak berbuat apa
lagi padaku?" gumam Si Tangan Sial dalam hati.
Di bawah sinar bulan yang mulai meredup dia te-
rus perhatikan gerak-gerik orang itu.
"Tiga benda ini akan memaksamu berbuat
apa saja sesuai dengan kehendakku. Kau harus
mengambil senjata itu di Kuil Setan. Bunuh siapa
saja yang kau temui disana." tegas Begawan Panji
Kwalat. Dia lalu melanjutkan ucapannya lagi. "Sa-
tu tugas lagi yang harus kau kerjakan, kau mesti
membunuh kawanmu yang bernama Gento
Guyon. Ingat, Gento harus kau bunuh dengan
tangan saktimu!" tegas Begawan Panji Kwalat.
Kejut Si Tangan Sial bukan alang kepalang
mendengar ucapan si jerangkong. Anehnya dia
kemudian malah tertawa terbahak-bahak. Kening
sang Begawan berkernyit, belum lagi rasa heran
si jerangkong lenyap dengan tegas Si Tangan Sial
berkata. "Rencanamu edan amat jerangkong sint-
ing. Dari pada aku membunuh Gento, lebih baik
membunuhmu. Daripada aku melenyapkan nya-
wa pemuda konyol temanku itu lebih baik aku
melenyapkanmu seribu kali. Kau sudah tua,
otakmu jahat, kakimu lumpuh. Daripada menjadi
penyakit bagi orang lain, bukankah lebih baik
membunuh diri saja? Ha ha ha."
Begawan Panji Kwalat merasa geram bukan
main. Sambil menahan geram pula dia berteriak.
"Berani membangkang perintahku berarti kau
mencari penyakit. Sudah menjadi suratan nasib-
mu, sepanjang hidup kau selalu ditimpa kesialan.
Kau berada dalam genggamanku, kau berada di
bawah perintahku. Jawabanmu kutolak, niatku
tetap harus terlaksana!" Begitu usai bicara Bega-
wan ini melapalkan mantra-mantra, mulutnya
komat-kamit perdengarkan suara racau tak jelas.
Setelah itu dia baru meniup tiga buah jarum di
telapak tangannya. Jarum lenyap dari tangan
sang Begawan. Si Tangan Sial belalakkan mata
begitu dia mendengar suara desing halus di de-
katnya. Bersamaan dengan itu pula si jerangkong
keluarkan ucapan.
"Berdiri!"
Seketika Si Tangan Sial bangkit berdiri.
Tapi kemudian dia menjerit ketika merasakan tiga
buah benda halus menembus bagian belakang
leher dan kedua bahunya kiri kanan. Beberapa
saat kemudian hawa dingin langsung menyerang
si orang tua jadi kelabakan. Hawa dingin terus
menjalar kebagian otak, merasuk ke dalam sel-sel
otak hingga membuat keadaan Si Tangan Sial jadi
setengah sadar.
"Sekarang kau pergilah! Laksanakan tu-
gasmu. Jangan pernah kembali sebelum kau ber-
hasil menyelesaikan semua tugas yang kuberikan
padamu!" tegas Begawan Panji Kwalat.
Tancapan tiga buah jarum yang diberi na-
ma Jarum Penggendam Roh membuat Si Tangan
Sial tak mampu lagi menggunakan otak dan fiki-
rannya. Tanpa bicara apa-apa dia langsung balik-
kan badan. Setelah itu berjalan meninggalkan
puncak bukit kapur
Begawan Panji Kwalat pandangi kepergian
Si Tangan Sial sambil tersenyum penuh arti.
DUA
Si gondrong bertelanjang dada Gento
Guyon murid si gendut besar Gentong Ketawa
sambil berlari memanggul sosok nenek tua bebe-
rapa kali menyempatkan diri untuk melihat ke be-
lakang. Dewa Angin Guntur dan murid-muridnya
ternyata tidak mengejar sebagaimana yang dia
sangkakan. Di satu tempat setelah melewati ti-
kungan jalan di bawah sebatang pohon berdaun
rindang dia hentikan larinya. Gento lalu kitarkan
pandang mencari tempat yang aman. Ketika dia
melihat sebuah gua kecil yang terletak tak jauh di
sebelah kiri pohon diapun melangkah mengham-
piri.
Sampai di mulut gua yang ternyata tidak
seberapa lebar Gento turunkan si nenek dari ba-
hunya. Setelah itu dia melangkah lagi ke depan,
julurkan kepala ke dalam mulut gua sambil men-
gendus-endus.
"Gua ini baunya sungguh tidak nyaman.
Mungkin ini tempat tinggal kampret. Tidak men-
gapa. Nenek itu walaupun manusia seperti aku
tubuhnya sejak tadi juga menebar bau kampret."
Gento mengomel dalam hati. Dia berpaling, me-
mandang ke arah, Gento melihat betapa wajah si
nenek nampak lebih tua dari usia yang sebenar-
nya. Bahkan tatap matanya yang letih banyak
menyimpan beban penderitaan hidup.
"Nek...!" Gento menegur. Si nenek diam tak
menjawab, matanya menerawang kosong seolah
telah kehilangan semangat hidup. Gento heran,
tapi juga tersenyum. Setelah itu baru mengusap
wajahnya tiga kali. Dia mendekati si nenek, jari
tangan digoyang pulang balik di depan mata si
nenek. Perempuan tua yang bernama Selasih
Jingga inipun tetap diam tak bergeming. "Nek di
dalam gua gelap sekali. Baunya pesing lagi, jika
kau tidak keberatan daripada bengong begitu ma-
sih bagus tiduran di dalam sana." celetuk Gento
lagi.
Seakan baru terjaga dari tidurnya nenek
Selasih Jingga kedip-kedipkan kedua matanya.
Beberapa saat dia diam terhenyak seperti orang
bingung. Kemudian air matanya berderai, tangis-
nya terguguk seperti anak kecil. Melihat ini Gento
jadi melongo, bingung lalu usap-usap batang hi-
dungnya.
"Aneh nenek ini. Rasanya tak ada yang ke-
liru dalam ucapanku, mengapa dia jadi menangis
begini?" kata Gento. Dia terdiam, otaknya berfikir
barangkali si nenek menangis karena memikirkan
rumahnya yang ludes terbakar. Merasa iba Gento.
berkata menghibur. "Nek, saat ini jangan lagi kau
tangisi rumahmu yang menjadi abu. Seribu ru-
mah apalagi pondok buruk seperti itu dapat kau
buat bahkan aku kalau diperlukan bersedia
membantu. Kau harus bersyukur pada Gusti Al-
lah karena telah memanjangkan umurmu. Jika
nafas panjang, umur panjang segala sesuatunya
bisa dipikirkan kemudian nek, seribu rencana
bahkan dapat dibuat. Sudahlah jangan menangis.
Atau kau lapar nek? Aku bisa mengambilkan
jambu untukmu"
Bukannya terhenti, tangis si nenek malah
semakin menjadi. Gento jadi serba salah. Karena
tidak tahu harus berbuat apa, maka Gento ikutan
menangis. "Entah mengapa aku jadi ikut sedih.
Hu hu hu hu, sebenarnya apa yang menyusahkan
hatimu. Kalau kau mau berbagi kesusahan aku
mau menerima biar aku jadi ikut susah." kata
Gento
Entah mengapa si nenek mendadak jadi
hentikan tangisnya. Kini Gento jadi asyik menan-
gis sendiri.
"Pemuda gondrong apa yang kau lakukan?"
Sambil menyeka air matanya untuk pertama kali
si nenek membuka mulut ajukan pertanyaan.
Gento jadi kaget, serentak dia memandang
ke arah si nenek sambil kedip-kedipkan matanya.
"Kau telah berjasa besar selamatkan se-
lembar nyawa tua bangka tidak berguna ini. Aku
berterima kasih atas budi pertolonganmu. Tapi
rasa terima kasihku pasti bertambah besar jika
kau membiarkan aku mati dicincang oleh murid-
murid Dewa Angin Guntur." kata si nenek seakan
menyesali tindakan pertolongan yang dilakukan
oleh Gento.
Murid Gentong Ketawa tentu saja jadi kaget
dan tidak menyangka si nenek akan bicara seperti
itu. Banyak orang berdosa di dunia ini yang ma-
sih inginkan umur panjang saat dirinya berada
dalam ancaman bahaya besar. Tapi sebaliknya
nenek berpakaian hitam ini malah memilih mati.
Sungguh Gento jadi geleng-geleng kepala sendiri.
"Nek... mengapa kau bicara seperti itu? Apa
yang membuatmu merasa putus asa?" tanya Gen-
to.
Si nenek tarik nafas panjang. "Percuma
aku hidup jika buah hatiku sudah dibunuh
orang. Sebagai seorang ibu yang melahirkannya
hatiku sangat menderita perasaanku jadi tergun-
cang." berkata si nenek dengan suara tersendat
pilu.
Ucapan nenek Selasih Jingga membuat
Gento jadi terdiam. Dia jadi ingat sebelum meno-
long nenek itu dia melihat Dewa Angin Guntur
dan murid-muridnya dengan dibantu puluhan
penduduk dusun mengeroyok seorang pemuda
berpakaian putih. Waktu itu dia hendak meno-
long, tapi dia menganggap pertolongannya tidak
akan berguna mengingat pemuda itu dihujani
berbagai senjata secara bertubi-tubi. Gento baru
mengambil tindakan ketika si nenek yang sudah
dalam keadaan tertotok ini hendak dicincang oleh
murid-murid Dewa Angin Guntur.
Sekarang Gento baru mengerti kiranya pe-
muda itu adalah putra si nenek. Tentu sekarang
dia jadi maklum jika perempuan tua ini merasa
hidupnya sudah tidak berguna lagi. Tapi Gento
berfikir semua itu tidak akan terjadi jika tidak
ada silang sengketa sebelumnya.
"Nek, ketua perguruan gunung Keramat
dan muridnya tidak mungkin berlaku keji pada
puteramu, jika tidak ada persoalan yang amat be-
sar. Konon turut yang aku dengar Dewa Angin
Guntur adalah manusia yang bijaksana. Barang-
kali putra mu pernah melakukan sesuatu hingga
membuat orang itu jadi sangat membencinya?"
"Kau benar," ujar si nenek. Kali ini dia su-
dah tidak lagi menangis. Setelah diam sejenak dia
lalu melanjutkan. "Belum lama ini putri tunggal
Dewa Angin Guntur dibunuh orang. Sebelum di-
bunuh dia diperlakukan secara keji. Putraku
Bayu Gendala dituduh sebagai pelakunya karena
disamping mayat ditemukan dua bukti. Sebilah
pedang menancap di dada Lara Murti, selain itu
tak jauh dari korban ditemukan sebuah topeng
kayu." Menerangkan si nenek dengan mata mene-
rawang entah kemana.
"Apa hubungan pedang serta topeng den-
gan anakmu nek?"
"Justru karena pedang dan topeng itu ada-
lah milik anakku, aku tak tahu bagaimana kedua
benda itu bisa berada di tangan si pembunuh."
ujar si nenek bingung.
"Kau yakin bukan anakmu yang membu-
nuh gadis itu?"
"Aku sangat yakin sekali. Aku tahu Bayu
jatuh cinta pada Lara Murti. Dia memang pernah
mengatakan akan menempuh segala macam cara
untuk mendapatkan gadis itu. Tapi aku percaya
dia tak akan sanggup melakukan hal itu karena
aku tahu kesaktian serta ilmu silat jauh lebih
rendah dibandingkan kesaktian yang dimiliki oleh
Lara Murti. Gadis itu mempunyai tingkat kesak-
tian tiga tingkat di atas Bayu Gendala. Tak
mungkin dia bisa menculik Lara Murti apalagi
membuatnya celaka sampai dua kali." ujar si ne-
nek dengan mata berkaca-kaca.
Gento berfikir jika benar apa yang dikata-
kan oleh si nenek, jelas yang membunuh Lara
Murti bukan Bayu Gendala. Tapi mungkin seseo-
rang yang menyimpan dendam kesumat pada
Bayu Gendala atau boleh jadi pada gadis itu pula.
Gento jadi ingat pada kejadian di kebun bunga
beberapa hari yang lalu. Ketika itu seorang pe-
muda bertopeng menunggang kuda putih menye-
rang Lambang Pambudi. Serangan pemuda berto-
peng tidak begitu ganas, jurus-jurus pedangnya
juga terkesan kaku. Mendapat serangan seperti
itu saja Lambang Pambudi terkesan seperti tidak
berdaya. Dia yang konon tidak pandai ilmu silat
nyaris tewas ditembus pedang jika Gento dan Si
Tangan Sial tidak cepat menolong.
Ingat akan semua kejadian itu Gento pun
ajukan pertanyaan. "Nek, apakah anakmu sering
memakai topeng dan menunggang kuda putih?"
Pertanyaan ini membuat si nenek ber-
jingkrak kaget dan surut dua langkah. Namun ge-
rakannya jadi tertahan karena pengaruh totokan
kiranya masih menguasai dirinya. Lama si nenek
menatap Gento dengan tatapan curiga juga ber-
campur heran. Akhirnya diapun anggukkan kepa-
la.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku pernah bertemu dengannya beberapa
hari yang lalu." Selanjutnya Gento menceritakan
segala sesuatunya yang terjadi di kebun bunga.
Wajah si nenek mendadak berubah muram. "Jadi
kau percaya anakku telah membunuh Lara Mur-
ti?" tanya si nenek putus asa.
Gento menarik nafas, dongakkan kepala ke
langit lalu tertawa tergelak-gelak. "Jangan terlalu
cepat mengambil kesimpulan nek. Di dunia ini
segala kemungkinan bisa saja terjadi. Anakmu
mungkin termakan fitnah orang, bisa jadi anak
mu memang seorang pembunuh. Jika benar se-
perti katamu gadis itu memiliki kesaktian tinggi.
Setelah aku melihat jurus pedang anakmu aku ti-
dak bisa percaya anakmu yang melakukan pem-
bunuhan itu. Atau mungkin kau punya musuh
lain nek. Coba ingat. Aku percaya sekarang kau
adalah orang baik. Tapi siapa tahu dulu-dulu?!"
kata Gento mendapat pertanyaan seperti itu si
nenek nampak sedih, wajahnya semakin muram
membayangkan rasa putus asa. Ingin rasanya dia
mati saat itu juga, beruntung tubuhnya dalam
keadaan tertotok, jika tidak mungkin dia telah
menghantam remuk batok kepalanya sendiri sak-
ing tak sanggup menahan beban batin yang
mengguncang perasaannya.
"Nek, jika kau tak berkenan mengatakan-
nya lebih baik tak usah jawab pertanyaan tololku.
Aku tidak hendak memaksa, namun jika kau mau
rasanya berterus terang akan lebih baik karena
itu dapat mengurangi beban penderitaanmu. Se-
lain itu dengan berterus-terang mungkin aku da-
pat membantumu dalam menyelesaikan persoalan
ini." kata Gento bernada membujuk. Si nenek
manggut-manggut, namun pada akhirnya dia
mengakui. "Terus-terang dulunya aku memang
bukan orang baik. Di waktu muda aku membuat
kekacauan dimana-mana. dengan Ilmu Jari Pe-
rontok Nyawa aku malang melintang menebar ke-
jahatan. Aku bahkan tak segan menjatuhkan tan-
gan jahat pada siapa saja yang berani menentang
kehendakku. Kejahatan yang pernah kulakukan
sedalam lautan selangit tembus. Setelah anakku
terlahir dan suamiku tewas di tangan seseorang
barulah aku menyadari semua perbuatanku itu.
Aku sadar, insyaf dan timbul keinginan untuk
membesarkan anak. Aku mengasingkan diri. Se-
jak kecil Bayu Gendala ku didik menjadi manusia
baik-baik yang kelak kuharapkan dia dapat men-
jadi seorang pendekar penegak keadilan, meno-
long kaum yang lemah lagi tertindas dari tangan
penguasa yang sewenang-wenang. Karenanya aku
tak pernah menurunkan ilmuku yang sangat ber-
bahaya kepada Bayu terkecuali hanya jurus-jurus
pedang sekedar untuk menjaga diri. Kenyataan
yang terjadi dan apa yang kulihat dari anakku
sungguh membuat aku merasa segan untuk hi-
dup lebih lama." sesal si nenek dengan mata ber-
kaca-kaca.
Pengakuan tulus dari seorang ibu yang
sangat menderita tekanan batin hebat ini sung-
guh membuat hati Gento jadi tergugah dan jadi
merasa iba. Sekarang dia bisa mengerti mengapa
Dewa Angin Guntur seolah tak bisa menerima
pengakuannya yang jujur. Kiranya dulunya dia
seorang perempuan berhati jahat.
"Nek, setiap manusia pasti, pernah mela-
kukan kesalahan. Hidup ini bukan. untuk disesali
atau sekedar untuk mengenang masa lalu yang
suram. Aku yakin jika kau sudah bertobat Tuhan
pasti memaafkan dosa-dosamu. Dosa apa saja
terkecuali syirik. Yang terpenting kau tidak men-
gulang lagi melakukan dosa yang sama. Jika itu
kau lakukan berarti sama halnya dengan menge-
jek Tuhan! Ha ha ha." kata Gento diiringi tawa.
Si nenek manggut lagi, dalam hati merasa
kagum mendengar ucapan Gento.
"Tak kusangka dibalik tampangmu yang
sinting ternyata kau mempunyai pandangan yang
luas. Tapi tolong kau bebaskan totokan ini dulu."
Mendengar ucapan si nenek murid si gendut be-
sar Gentong Ketawa jadi melongo.
Gento menepuk keningnya. "Astaga, Nek!
Aku sungguh tak mengira kau masih dalam kea-
daan tertotok." desis Gento. Dia lalu melangkah
lebih mendekat lagi. "Di bagian tubuhmu yang
mana kena ditotok Dewa Angin Guntur?"
"Punggung kiri dan leher sebelah kanan."
menerangkan si nenek.
Gento mengitari nenek itu, lalu berhenti se-
telah berada di bagian punggung si orang tua. Se-
telah dapat menemukan bagian yang kena toto-
kan, maka tanpa pikir panjang dia gerakkan ja-
rinya.
Desss!
Dua jari berkelebat menghantam bagian
punggung dan leher sebelah kanan. Sesaat sete-
lah itu si nenek sudah dapat menggerakkan ke-
dua tangan bahkan seluruh tubuhnya. Si nenek
saking gembira berjingkrak-jingkrak seperti orang
menari. Gento jadi tertawa melihat kegembiraan
si nenek. Sadar dirinya ditertawakan orang dan
sadar pemuda itu telah menolongnya, si nenek ja-
tuhkan diri berlutut di depan Gento.
"Nek, rupanya dulu kau seorang penari he-
bat. Sekujur tubuhmu tadi kulihat terus bergerak
tak mau diam. Tapi... eeh... nek apa yang kau la-
kukan ini? Mengapa kau berlutut di hadapanku?"
sergah Gento sempat surut mundur ke belakang
dengan mata terbelalak mulut ternganga.
"Aku merasa terharu, aku merasa berteri-
ma kasih kau mau menolong tua bangka rongso-
kan ini. Aku merasa bersyukur karena kau mau
mempercayai ucapanku, selain itu kau yang begi-
ni muda telah banyak memberi ku pandangan
yang baik. Hingga aku tak mengambil jalan pin-
tas, mencari mati secara menyesatkan." ujar si
nenek dengan suara serak terharu dan nafas
kembang kempis.
Gento geleng kepala lalu tertawa pelan.
"Nek... nek. Jadi orang jangan berlebih-
lebihan. Kalau mau bersyukurlah pada Gusti Al-
lah. Aku ini bukan manusia yang selalu berjalan
di atas garis yang lurus. Kebetulan saja aku ber-
temu denganmu dalam keadaan otak lagi lem-
pang. Coba kalau otakku lagi angot, ucapanku bi-
sa ngawur dan bisa membuatmu kalang kabut
bahkan mungkin mati lebih cepat. Ha ha ha." ka-
ta pemuda itu seenaknya sambil tergelak-gelak.
Mendengar ucapan Gento, si nenek yang sedang
mengalami guncangan batin itu mau tak mau jadi
ikut tertawa.
"Aku suka melihat gaya mu bicara. Sejak
semula aku memang sudah menduga otakmu ti-
dak beres dan ada sedikit kelainan. Hik hik Hik."
kata si nenek menimpali.
"Terkadang malah lebih parah nek." celetuk
Gento lagi-lagi dia mengumbar tawanya.
Si nenek manggut-manggut. "Kau sekarang
hendak kemana?" tanya orang tua itu sambil me-
natap lawan bicaranya.
Tanpa fikir panjang Gento menjawab. "Aku
akan menyelidik, siapa sebenarnya yang telah
membunuh putri Dewa Angin Guntur. Jika pem-
bunuh itu tak kutemukan, maaf ada kemungki-
nan anakmu adalah pembunuhnya."
Nenek Selasih Jingga tarik nafas pendek.
"Baiklah apapun yang terjadi nanti akan kuteri-
ma. Yang penting persoalan ini harus dijernihkan
dulu." kata si nenek.
"Kau sendiri hendak kemana nek? Apakah
ingin menyatroni perguruan Gunung Keramat?"
sindir Gento.
Si nenek tersenyum tipis. "Aku sudah tua,
biarlah semuanya berlalu menjadi kenangan pahit
sekaligus pelajaran bagi orang yang mau mere-
nungkan kejadian ini. Sekarang aku mohon diri."
berkata begitu si nenek langsung berkelebat pergi
tinggalkan Gento seorang diri.
Sebelum orang tua itu lenyap Gento masih
sempat berkata. "Nek, moga kau panjang umur.
Moga kau menemukan jodoh pengganti suamimu
yang hilang. Kelak jika kau jadi pengantin jangan
lupa kau undang diriku. Aku yakin bila dirias wa-
jahmu jadi cantik kembali. Menjadi pengantin ko-
non merupakan sesuatu yang sangat berarti. Walau kau nantinya jadi pengantin kesiangan! Ha ha
ha."
"Bocah sialan!" satu suara menyahuti la-
pat-lapat di kejauhan. Gento tersenyum.
"Dia sudah sangat tua, namun gerakannya
masih cepat. Wajah keriput kulit tangan dan kaki
putih dan masih mulus. Moga nenek itu cepat
dapat jodoh, agar di akhir hayatnya dia tak kese-
pian. Kasihan kalau malam dia cuma berselimut
angin. Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa se-
perti orang linglung.
TIGA
Dewa Angin Guntur memimpin murid-
muridnya kembali ke perguruan. Perasaan puas
menghias di wajahnya. Dia berfikir walaupun Se-
lasih Jingga telah diselamatkan oleh seorang pe-
muda tidak dikenal. Paling tidak dia telah berhasil
membunuh Bayu Gendala yang dia anggap telah
melakukan kekejian sekaligus membunuh Lara
Murti.
Sambil terus membedal kuda Dewa Angin
Guntur kepalkan tinjunya. Dia merasa kesal dan
memendam marah pada si gondrong.
"Pemuda itu ilmunya sangat tinggi. Sayang
dia telah berlaku tolol dengan memberikan perto-
longan pada perempuan jahat. Kalau saja dia ta-
hu siapa adanya Jari Perontok Nyawa, pasti nenek keparat itu akan dibunuhnya seribu kali." ge-
ram si orang tua. Dia diam sejenak, sementara ra-
tusan muridnya mengikuti tak jauh di belakang.
Orang tua berambut putih berpakaian biru ini se-
lanjutnya berfikir, siapapun adanya pemuda itu
dia tidak perduli. Nanti setelah masa berkabung
berlalu dia bertekad untuk mencari Selasih Jing-
ga. Jika pemuda itu bersamanya dan tetap berada
dipihaknya, Dewa Angin Guntur telah bertekad
untuk membunuhnya pula.
Orang tua itu tersenyum, sementara mere-
ka sudah hampir memasuki Solotiga ketika tiba-
tiba saja kuda Dewa Angin Guntur meringkik ke-
ras. Kuda berhenti mendadak, sambil mengang-
kat kedua kaki depannya.
"Gendolo Putih ada apa?" seru Dewa Angin
Guntur menyebut nama kuda yang menjadi tung-
gangannya. Bicara begitu dia raih leher kuda
hingga tidak membuatnya terbanting.
Melihat kejadian itu muridnya segera
menghambur berlarian ke depan menghampiri.
"Guru ada apa?" tanya salah satu dianta-
ranya.
Ketua perguruan Gunung Keramat tidak
menjawab, dia memandang ke satu jurusan di-
mana dia melihat satu sosok berkelebat diantara
puncak pepohonan.
Merasa curiga tak menunggu lebih lama
Dewa Angin Guntur berkelebat mengejar. Sampai
di salah satu cabang pohon dia berhenti, matanya
jelalatan memandang ke setiap sudut. Senyum
tersungging di bibir kala dia melihat satu sosok
tubuh mendekam tak jauh darinya dalam posisi
memunggungi. Rupanya perhatian orang itu ter-
tuju pada murid-murid Dewa Angin Guntur.
"Orang yang mengintai perjalananku, siapa
dirimu ini adanya? Gerak-gerikmu mencurigakan.
Sebaliknya menghadaplah kehadapanku!" dengus
Dewa Angin Guntur tegas.
Orang itu terkejut dan cepat memutar ba-
dan dan memandang langsung ke arah ketua per-
guruan Gunung Keramat. Dewa Angin Guntur
tercekat ketika melihat sosok yang mendekam itu
ternyata memakai topeng berpakaian putih pan-
jang menjela.
"Tak mungkin. Sungguh tak dapat kuper-
caya!" desis Dewa Angin Guntur. Selagi perasaan
orang tua ini diliputi rasa kaget, sosok berpakaian
putih bertopeng kayu itu hantamkan tangannya
ke arah Dewa Angin Guntur sambil berkelebat
pergi.
Wuuus!
Dua pukulan menderu menebarkan hawa
panas luar biasa. Seakan baru tersadar apa yang
terjadi si orang tua langsung melompat menghin-
dari pukulan. Di belakangnya terdengar suara le-
dakan berdentum, pohon rambas hangus terkena
pukulan. Dewa Angin Guntur berhasil selamatkan
diri. Tanpa fikir panjang dia langsung mengejar ke
arah lenyapnya orang bertopeng tadi.
"Bangsat jangan lari!" teriak Dewa Angin
Guntur
Kejar mengejar terjadi, namun ternyata
orang yang dikejar lenyap. Dewa Angin Guntur
hentikan langkah sambil kepalkan kedua tin-
junya. Seakan tak percaya dia pandangi ke juru-
san lenyapnya orang tadi. Mulutnya mendesis.
"Rasanya tidak mungkin. Murid-muridku telah
membunuhnya. Tak mungkin dia bisa hidup lagi,
lalu siapa orang bertopeng tadi? Kulihat-topeng
yang dipakainya sama persis dengan topeng yang
sering dipakai Bayu Gendala. Mungkinkah...!"
Dewa Angin Guntur tak lanjutkan ucapan. Dia
raba pakaian di bagian perut, sepasang matanya
terbelalak. Topeng itu tak ada, dia mencoba men-
gingat-ingat. Sekarang dia baru sadar kalau to-
peng itu tertinggal di halaman rumah Selasih
Jingga, jatuh ketika dia berusaha menotok nenek
itu.
"Aku tak percaya orang yang mati bisa hi-
dup lagi. Terlebih-lebih tubuhnya telah hancur
seperti dicacah." Dewa Angin Guntur menggu-
mam sendiri. Masih merasa penasaran Dewa An-
gin Guntur lalu berbalik bergabung lagi dengan
muridnya. Akan tetapi belum jauh dia melangkah
pada waktu bersamaan berkelebat dua sosok
bayangan, angin menyambar di depan si orang
tua. Dewa Angin Guntur siap menghantam.
"Hei, tahan...!" satu suara berseru. Hanya
sekejap di depan Dewa Angin Guntur berdiri te-
gak seorang gadis cantik berpakaian putih dan
seorang kakek berbadan tinggi tambun berperut
gendut berpakaian hitam tak terkancing.
"Paman gendut dan kau... bagaimana bisa
muncul di tempat ini?" tanya Dewa Angin Guntur
curiga.
Si gendut besar Gentong Ketawa serta ga-
dis berbaju putih yang bernama Ambini terse-
nyum.
Gentong Ketawa tertawa mengekeh. "Dewa
Angin, aku sendiri menjadi heran mengapa kau
membawa murid begini banyak, seolah kalian
hendak menghadapi perang besar."
"Saya baru saja menyelesaikan urusan
penting." jawab Dewa Angin Guntur singkat.
"Urusan penting... urusan penting
hemm...!" Gentong Ketawa mengulang ucapannya.
"Urusan penting apa?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!" kata De-
wa Angin Guntur.
Ambini melirik ke arah si kakek gendut.
Gentong Ketawa kedipkan matanya. Dia maju se-
langkah ke depan Dewa Angin Guntur. Lalu dia
menjawab. "Terus-terang kami sedang mengikuti
seseorang, sayang kami kehilangan jejak. Dia
memakai sebuah topeng, gerak-geriknya mencuri-
gakan. Tak dinyana kami bertemu denganmu dis-
ini." kata si gendut.
Mendengar penjelasan Gentong Ketawa,
Dewa Angin Guntur langsung teringat pada orang
tadi, "Apakah orang itu memakai pakaian serba
putih?" tanya Dewa Angin Guntur dengan tatapan
menyelidik.
Ambini dan si gendut jadi tercengang. "Ba
gaimana kau bisa tahu, Dewa Angin? Apa kau ju-
ga bertemu dengan orang itu? Melihat tindak-
tanduknya aku jadi curiga bukan mustahil dia
orangnya yang telah membunuh cucu sahabatmu
itu." kata si gendut lagi.
Dewa Angin Guntur diam membisu. "Aneh
apakah aku telah keliru membunuh orang. Kura-
sa aku telah melakukan suatu tindakan tepat.
Bayu Gendala jelas merupakan pembunuh putri
ku. Tapi mengapa kini muncul orang bertopeng
lainnya? Apakah dia orang yang telah merenca-
nakan pembunuhan atas diri putri ku." gumam
Dewa Angin Guntur jadi bingung
"Apa maksud paman? Siapa, yang telah
paman bunuh?" tanya Ambini.
Wajah Dewa Angin Guntur berubah mu-
rung. Dia kemudian menarik napas panjang baru
berkata. "Beberapa hari yang lalu seseorang telah
membunuh putri ku. Bukan hanya itu saja, sebe-
lum dibunuh dia memperlakukan Lara Murti se-
cara biadab. Rasanya sulit bagiku melupakan ke-
jadian mengenaskan itu. Hingga tanpa fikir pan-
jang aku bersama murid-muridku pergi menjum-
pai Bayu Gendala. Kemudian dia kubunuh. Ini
pun bukan tanpa alasan. Pertama dia sering
menggoda putri ku, beberapa hari sebelumnya
pemuda itu bahkan bermaksud membunuh Lam-
bang Pambudi. Hal yang kedua membuat aku
sangat yakin dia bertanggung jawab dalam keja-
dian ini karena muridku menemukan sebuah pe-
dang berikut topeng miliknya. Alasan-alasan ini
yang membuat aku yakin memang dia orangnya
yang bertanggung jawab atas segala kekejian itu."
jelas Dewa Angin Guntur
"Dewa Angin, ada beberapa hal yang ku ra-
sakan janggal. Kau sebagai orang berilmu tinggi,
punya pandangan luas dan sangat terpandang
apakah tidak merasa terburu-buru dalam men-
gambil tindakan?" tanya si gendut disertai se-
nyum
Mendengar pertanyaan itu Dewa Angin
Guntur melengak kaget. Apa maksud pertanyaan
itu?
"Aku tak mengerti dengan pertanyaanmu
itu?" tanya Dewa Angin Guntur heran.
"Maksudku bukan apa-apa. Setelah meli-
hat kemunculan orang bertopeng tadi aku jadi cu-
riga tidak tertutup kemungkinan telah terjadi ke-
salahan dalam menjatuhkan tangan." kata si ka-
kek
Di depannya Dewa Angin Guntur terdiam
seolah sedang memikirkan apa yang baru saja di-
katakan oleh si gendut. Gentong Ketawa kemu-
dian melanjutkan.
"Ketua perguruan Gunung Keramat menu-
rut penglihatanmu antara Bayu Gendala yang kau
bunuh dan anakmu Lara Murti apakah ilmu ke-
pandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dibanding-
kan ilmu yang dimiliki anakmu?"
"Tentu saja anakku yang lebih tinggi. Bayu
Gendala hanya pemuda yang suka pamer dan
menyombongkan jurus-jurus pedangnya, padahal
ilmu kesaktian yang dia miliki jauh berada di ba-
wah anakku." jawab Dewa Angin Guntur tegas.
Si gendut Gentong Ketawa mendadak ter-
tawa lebar mendengar jawaban orang tua di de-
pannya.
"Paman gendut adakah ucapanku yang
membuatmu merasa lucu?" tanya Dewa Angin
Guntur merasa tersinggung.
Si gendut hentikan tawanya sambil menye-
ka air mata yang bergulir di pipinya yang tembem.
"Ucapanmu tidak ada yang lucu, Dewa Angin. Ta-
pi ada satu hal yang tak pernah terpikirkan oleh-
mu, mungkin semua itu karena kau terlalu marah
dan gelap mata melihat kematian putri tunggal-
mu. Hanya untuk menjadi bahan pertimbangan-
mu apakah mungkin anakmu yang mempunyai
tingkat kepandaian tinggi dari Bayu Gendala da-
pat dicelakainya? Ha ha ha."
Bukan main kagetnya Dewa Angin Guntur
mendengar uraian yang disampaikan oleh Gen-
tong Ketawa. Bagaimana mungkin apa, yang dika-
takan si gendut. Tak pernah terfikirkan olehnya?
Menyadari ketololannya sendiri wajah Dewa Angin
Guntur berubah merah padam.
EMPAT
"Apa pun yang kau katakan, mungkin me-
mang ada benarnya paman. Saat itu aku tidak bisa berfikir lain, karena di samping mayat anakku
ditemukan topeng kayu yang sering dipakai oleh
Bayu Gendala. Dari semua bukti yang ditemukan
ditambah beberapa kejadian sebelumnya apakah
aku tidak boleh mengambil keputusan sendiri?"
bertanya Dewa Angin Guntur setelah beberapa
saat lamanya berdiam diri.
Si kakek gendut manggut-manggut, dia
kembangkan jemari tangan, setelah itu si kakek
menggoyangkan tangannya pulang balik dengan
gerakan seperti orang mengipas. "Terlalu banyak
kemungkinan yang tidak dapat diduga. Misalnya
seperti orang bertopeng kayu berpakaian putih
yang kami kejar itu." kata si kakek. Dia lalu bica-
ra ditujukan pada Dewa Angin Guntur. "Dewa
Angin seperti apakah topeng yang dipakai oleh
pemuda yang kau bunuh?"
Mendapat pertanyaan seperti itu ketua
perguruan Gunung Keramat jadi bingung. Dia
sendiri sudah melihat orang yang dimaksudkan
kakek Gentong Ketawa. Walau tak sempat melihat
wajahnya, tapi topeng yang dipakai orang yang
mendekam diatas pohon baik buatannya, warna
kayu maupun rupanya sama persis dengan to-
peng yang selalu dipakai oleh putra Selasih Jing-
ga alias Jari Perontok Sukma.
Setelah berfikir, dengan mengesampingkan
perasaannya sendiri, dia menjawab. "Topeng yang
dipakai Bayu Gendala terbuat dari kayu, ringan
berwarna putih. Bentuknya lucu, bagian alis
mencuat ke atas, ada dua buah lubang di bagian
mata, bagian mulut membentuk senyum dan di
bagian hidung terdapat sebuah lubang."
"Yang paman terangkan adalah topeng
yang sama seperti yang dipakai orang berpakaian
putih itu," tukas Ambini.
"Dan orang yang kalian maksudkan baru
saja berlalu dari tempat ini!" ujar Dewa Angin
Guntur akhirnya berterus-terang.
Ambini dan kakek gendut Gentong Ketawa
terperanjat dan sempat bersurut mundur.
"Tidak pernah saya sangka!" berkata Ambi-
ni setelah dapat menenangkan perasaannya sen-
diri.
"Semuanya kini berubah menjadi teka-teki
yang membingungkan." celetuk si kakek gendut.
Sementara itu beberapa murid Dewa Angin Gun-
tur telah bermunculan mengelilingi gurunya. Ru-
panya mereka khawatir terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan mengingat Dewa Angin Guntur yang
tadi mengejar sesuatu tidak kunjung muncul me-
nemui mereka.
"Apa maksudmu paman gendut. Jika kau
terus-menerus membuatku bingung bisa jadi aku
jadi menaruh curiga kepadamu." kata orang tua
itu jadi tidak sabar.
Mendengar ucapan orang, Gentong Ketawa
hanya tersenyum saja. "Dewa Angin curiga pada
orang lain saja, tapi jika kau berani menuduh
jangan kira aku takut padamu." sahut si kakek
pula membuat perasaan Ambini jadi tidak enak.
"Sekarang kau dengar baik-baik. Saat ini
setelah melihat orang bertopeng tadi, aku mena-
ruh duga mungkin ada orang yang mendendam
padamu."
"Tidak mungkin, aku tidak punya musuh!"
bantah Dewa Angin Guntur cepat.
Masih dengan tersenyum si kakek kembali
berucap. "Musuh mungkin kau tidak punya Dewa
Angin. Tapi dalam hidup tidak tertutup kemung-
kinan orang memiliki rasa benci. Jika penjelasan-
ku ini tidak dapat kau terima. Mungkin ada se-
seorang yang memendam dendam pada Bayu
Gendala. Jika orang sudah kelewat benci pada se-
seorang, dia bisa melakukan apa saja untuk men-
celakakan orang yang sangat dibencinya terma-
suk juga mencuri topeng dan pedang milik Bayu
Gendala topeng itu kemudian dipergunakan oleh
orang itu, aku berani menjamin akibat dari semua
kejahatannya pasti akan ditanggung oleh orang
yang dibencinya."
Apa yang diterangkan oleh kakek gendut
ini cukup mengena di hati Dewa Angin Guntur.
Kalau memang bukan Bayu Gendala yang mem-
bunuh anaknya, lalu siapa? Bukan hanya itu sa-
ja, kematian murid Guru Lanang Pakekasan
hingga sampai saat ini juga belum diketahui siapa
yang membunuhnya.
"Paman gendut, keteranganmu mungkin
bisa kuterima. Tapi terlalu rumit untuk ku cerna.
Seandainya Selasih Jingga waktu itu dapat ku-
tangkap dan tidak dilarikan oleh pemuda gon-
drong itu. Mungkin dari mulutnya bisa kukorek
keterangan ada berapa topeng yang dimiliki oleh
Bayu Gendala. Sayang pemuda urakan itu telah
membawanya pergi," geram si orang tua seakan
menyesali
"Eh, Dewa Angin. Dapatkah kau terangkan
bagaimana ciri-ciri pemuda itu?" tanya si kakek
gendut. Ambini sendiri walau diam, tapi dia dapat
menduga siapa adanya pemuda itu. "Pasti Gento!"
Ambini membatin. Ingat akan Gento Guyon, hati
dan perasaan Ambini tiba-tiba perasaan aneh. Di
matanya Gento walaupun terkesan urakan tapi
mempunyai daya tarik tersendiri bagi gadis ma-
napun. Bagi Ambini setelah bergaul sekian lama
dengan Gento telah menumbuhkan satu kesan
mendalam yang tidak mungkin dapat terlupakan.
Kini setelah mendengar penjelasan Dewa Angin
Guntur yang terkesan tidak suka, Ambini jadi
khawatir takut terjadi kesalahpahaman. Tapi, dia
tidak mungkin mencegah kakek gendut yang su-
dah terlanjur ajukan pertanyaan.
"Pemuda itu berbadan tinggi semampai,
badannya tegap, rambut, gondrong sebahu berte-
lanjang dada!" menerangkan Dewa Angin Guntur.
"Apakah dia memakai celana? Eeh, mak-
sudku apakah dia bercelana hitam?"
"Ya, dia bercelana hitam kumuh dekil?"
sembur ketua perguruan Gunung keramat den-
gan perasaan jengkel.
"Kalau celananya bulukan, bukan murid-
ku, mungkin pemuda itu pengemis dipasar Turi.
Sedangkan muridku...!"
"Kek...!" Ambini bermaksud mencegah uca-
pan si kakek gendut begitu melihat wajah Dewa
Angin Guntur berubah merah kelam. Si kakek
menoleh dan memandang pada Ambini dengan
perasaan heran. Justru pada saat itulah Dewa
Angin Guntur keluarkan satu bentakan mengge-
ledek.
"Semua keteranganmu dapat kuterima,
kau telah membuka jalan fikiranku yang buntu,
gendut! Satu hal yang tidak bisa ku maafkan, jika
bocah edan itu muridmu, berarti kau harus me-
nanggung dosa dari kesalahan yang telah dilaku-
kannya!"
Mendengar ucapan ketua perguruan Gu-
nung Keramat yang membuat pengang telinganya
itu Gentong Ketawa sempat berjingkrak kaget
"Eeh, bagaimana tutur katamu yang san-
tun kini berubah seperti itu Dewa Angin. Apa kau
tidak takut pamanmu ini memasukkanmu ke da-
lam botol atau ke dalam perut. Ha ha ha! Dasar
orang tua songong gendeng!" kata si kakek den-
gan mulut berubah cemberut. Wajah Dewa Angin
Guntur berubah menegang, matanya merah ber-
kilat sedangkan sekujur tubuhnya berubah me-
negang. Melihat ini Ambini jadi khawatir, lalu dia
berbisik pada si kakek gendut. "Kek, sebaiknya
kita menyingkir. Jangan cari penyakit dengan me-
layani orang gila ini."
Bukannya turuti saran Ambini, sebaliknya
kakek gendut dengan bobot lebih dari dua ratus
kati ini malah tertawa tergelak-gelak. "Kau hendak berbuat apa Dewa Angin Guntur? Ingat Mer-
babu tidak jauh dari sini, kau berbuat kurang
ajar padaku, apalagi berani menyentuh perut
gendutku. Guruku Dewa Kincir Samudera pasti
akan memencetmu sampai mejret. Jika kau ma-
sih punya kewarasan dan bisa mempergunakan
fikiranmu sebaiknya kau pertimbangkan ucapan-
ku dengan baik!" ujar si kakek sambil terus um-
bar tawanya
Mendengar disebutnya Dewa Kincir Samu-
dera, tokoh sakti setengah manusia setengah de-
wa itu, maka kemarahan Dewa Angin Guntur to-
koh paling disegani di daerah utara jadi surut.
Dia sadar tokoh aneh yang lebih suka tinggal di
atas gelombang lautan itu memiliki ilmu yang ti-
dak tertandingi. Konon tokoh misterius ini bisa
berada dimana saja hanya dalam waktu sekedi-
pan mata. Jika benar Dewa Kincir Samudera ada-
lah gurunya Gentong Ketawa, berurusan dengan
manusia satu ini walau pun belum tentu kalah
tapi sama saja dengan mencari bencana.
"Paman gendut sialan!" dengus laki-laki itu
sambil menahan kekesalannya. "Mengingat dan
demi memandang nama besar Dewa Kincir Sa-
mudera, aku bisa memaafkan dirimu. Tapi den-
gan satu syarat, kau harus memerintahkan mu-
ridmu untuk menyerahkan Selasih Jingga pada-
ku. Kalau dia tidak mau kau dan muridku harus
bisa menangkap orang bertopeng itu atau paling
tidak mencari siapa yang telah membunuh anak-
ku dan juga cucu sahabatku!" tegas Dewa Angin
Guntur.
"Walah, tugas si tua ini terasa semakin ber-
tambah berat saja. Tapi tidak mengapa karena
kau mau memaafkan muridku. Dan aku sebagai
gurunya tidak ikutan terbawa sengsara! Apa yang
kau minta akan ku penuhi, kau boleh menunggu
di rumah sambil uncang-uncang kaki. Ha ha ha!"
kata Gentong Ketawa. Dia kemudian berpaling ke
samping, lalu berkata ditujukan pada Ambini.
"Kekasihmu si bocah kampret itu punya masalah
karena ketololannya. Kalau kau sudah kau boleh
ikut denganku. Urusan gila ini harus aku, sele-
saikan secepatnya. Tapi kalau kau mau memilih
jalan sendiri aku tidak bisa melarang."
Gadis cantik berpakaian serba putih itu
terdiam dan berfikir. Dia lalu menjatuhkan pili-
hannya sendiri. "Kek sebaiknya aku pergi sendiri.
Mungkin dengan begitu kita dapat menemukan
pembunuh Lara Murti secepatnya." ujar Ambini.
"Ha ha ha. Semakin tua kiranya diriku se-
makin dijauhi oleh gadis-gadis cantik," si gendut
mengendus badannya sendiri. "Pantas tubuhku
bau asam. Ha ha ha." kata si kakek. Sambil ter-
tawa dia memutar tubuh. Sebelum kakek ini pergi
dia berkata ditujukan pada Ambini. "Kuharap kau
bisa menjaga diri. Eeh, jika aku bertemu dengan
bocah edan itu apa yang harus kukatakan pa-
danya."
"Katakan saja apa yang kakek mau!" sahut
Ambini lalu berkelebat pergi.
"Kalau begitu akan kukatakan padanya
bahwa kau rindu dan ingin bertemu." kata si ka-
kek. Sambil tertawa-tawa orang tua ini berkelebat
lenyap dari hadapan Dewa Angin Guntur.
Ketua perguruan Gunung Keramat geleng-
kan kepala. "Orang tua sinting, tapi mempunyai
ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan."
gumamnya. Dia lalu memberi isyarat pada murid-
muridnya untuk melanjutkan perjalanan.
LIMA
Di satu tempat di bawah kerindangan po-
hon sosok berpakaian putih memakai topeng
kayu ini rebahkan tubuhnya. Dia letakkan bunta-
lan putih berbau busuk yang selalu dibawanya
kemana saja dia pergi. Sejenak dia memandang
lurus ke pucuk pohon. Berbagai beban fikiran
berkecamuk di dalam benaknya. Dia menarik na-
fas, lalu menghembuskannya dalam-dalam.
"Pembunuh biadab itu jejaknya saja sulit
kutemukan. Aku telah mencari." keluh si orang
bertopeng. Sejenak dia memandang ke arah bun-
talan, sepasang mata dibalik topeng itu menda-
dak berkaca-kaca. Tanpa terasa air mata bergulir
lalu terdengar suara isak tangis tertahan.
"Cucuku maafkan kakekmu ini. Pembunuh
itu masih belum kutemukan. Aku sadar arwahmu
pasti tidak tenang di alam sana." kata si orang
bertopeng yang bukan lain adalah Guru Lanang
Pamekasan seorang diri.
Dia lalu mengambil sikap duduk, buntalan
berisi potongan kepala cucunya yang telah mem-
busuk dipeluknya. Bau busuk menyengat sudah
tak dia hiraukan. Puas memeluki potongan kepala
sang cucu yang bernama Pattira Seta dia meman-
dang lurus ke depan. Di saat matanya menera-
wang kosong sedangkan fikiran dibalut duka dan
dendam. Pada saat itu sayup-sayup terdengar su-
ara orang seperti sedang bersenandung.
Si kakek tercengang. Dalam hati dia mem-
batin. "Aneh. Di tempat sesunyi ini bagaimana
ada penyair gila kesasar dan lantunkan senan-
dung di malam gelap? Matahari baru saja tengge-
lam, mungkin yang kudengar adalah suara setan
penghuni lembah." katanya lagi. Dia tetap duduk
diam di tempatnya, bersikap acuh namun telinga
tetap dipasang baik-baik.
Suara orang bersenandung semakin ber-
tambah jelas.
Malam,
Ku rindukan selalu kedatanganmu
Saat hati terbalut dendam
Luka dendam di hatiku diatas segala.
Kesunyian
Ku sambut kehadiranmu dengan segala
amarah
Karena luka di hatiku ini adalah luka yang
tak kunjung tersembuhkan.
Satu korban jatuh
Semua itu bukan batas penentuan.
Akan kubunuh semua orang yang ikut tersa-
lah
Hingga segala dendam menjadi impas!
Di tempat duduknya Guru Lanang Pame-
kasan jadi tercekat. Tengkuknya bukan rasa
tengkuk lagi, tapi telah berubah dingin laksana
gundukan es. Siapapun orangnya yang mengu-
capkan kata-kata seperti itu jelas dia menyimpan
dendam kesumat pada seseorang. Begitu terlintas
sesuatu dalam benaknya si kakek bangkit berdiri.
"Kurasa lebih baik aku menyelidik. Men-
dengar suaranya aku yakin dia berada di sekitar
sini." Dengan cepat orang tua memakai topeng
penutup wajah ini bangkit berdiri. Sambil menen-
teng bungkusan berisi kepala cucunya orang tua
ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tak berselang lama dia sampai di satu
lembah. Dalam gelapnya malam dia mendekam di
balik gundukan lembah di sudut selatan lembah.
Mata dipentang, pendengaran dipasang baik-baik.
Sunyi! Padahal tadi sumber suara jelas berasal
dari situ.
"Aneh, aku yakin yang bersenandung tadi
manusia, bukan setan atau roh gentayangan
penghuni lembah."
Selagi matanya sibuk mencari-cari, mem-
perhatikan ke setiap pepohonan yang tumbuh
subur di sekitar lembah, pada saat itu Guru La-
nang Pamekasan dikejutkan oleh terdengarnya
suara tawa bergelak. Bukan hanya itu saja seba-
tang pohon dimana suara tawa terdengar tergun-
cang keras.
"Manusia gila. Benar-benar tidak waras!" si
kakek merutuk sambil memandang ke atas ke-
tinggian pohon dengan tatapan tak berkesip.
"Datangnya maut tak mengenal tempat dan
waktu, juga tak dapat ditunda atau dimajukan.
Malam ini akan ada jiwa melayang terbang ke ne-
raka. Dia datang padaku tanpa kuundang!" seru
sosok di atas pohon. Dalam gelapnya malam di
tengah kesunyian suara orang diatas pohon ba-
gaikan suara geledek yang menyambar telinga si
kakek
Sosok hitam itu lakukan gerakan berputar
sebanyak tiga kali.
Wuuuttt!
Sekejab tubuhnya lenyap dari pandangan
mata. Guru Lanang Pamekasan jadi tercekat me-
lihat sosok diatas pohon mendadak raib.
"Kuya, kemana perginya bangsat gila ta-
di?!" membatin si kakek. Sekali lagi dia meman-
dang ke pohon. Sosok yang berada di sana tetap
tak terlihat. Orang tua itu berfikir sejenak, dia
langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres
bakal terjadi. Tanpa sadar si kakek meraba hulu
celurit besar yang tergantung di bagian pung-
gungnya.
Perlahan si kakek bangkit berdiri, matanya
memandang ke setiap sudut kegelapan. Dalam
hati dia membatin. "Dia pergi, aku takut dia pasti
mengetahui kehadiranku."
Belum lagi Guru Lanang Pamekasan sem-
pat beranjak dari tempatnya. Dari balik batu be-
sar mendadak ada suara menegur.
"Kau mencariku orang tua?!"
"Heh...!" Dalam kejutnya si kakek cepat
memutar tubuh balikkan badan. Tangan kanan
bergerak mencabut senjata. Ketika balikkan ba-
dan si kakek jadi terperangah melihat sosok ber-
pakaian hitam dan berbaju putih dibagian dalam
telah berdiri tegak disitu dengan bibir sungging-
kan senyum dingin menyeramkan. Yang lebih
mengejutkan lagi orang ini juga memakai topeng
sebagaimana dirinya sehingga diapun tak dapat
mengenali orang itu.
Guru Lanang Pamekasan adalah seorang
tokoh silat berkepandaian tinggi, memiliki ilmu
meringankan tubuh sangat sempurna dan ahli
pula dalam menggunakan celurit. Jika kehadiran
sosok yang wajahnya tertutup topeng sampai ti-
dak dia ketahui, semua itu merupakan suatu per-
tanda sosok yang berdiri di depannya itu memiliki
kesaktian tinggi.
"Siapa kau?!" tanya Guru Lanang Pameka-
san dengan sikap waspada.
"Jawabannya tanyakan pada cucumu itu!"
Guru Lanang Pamekasan kembali tercekat,
mulut ternganga sedangkan dada bergemuruh
hebat.
"Cucuku? Jadi kau bangsatnya yang telah
membunuh cucuku?" tanya si kakek dengan suara keras bergetar.
Di depannya sosok hitam bertopeng me-
nyeringai dingin. "Aku tak menghendaki antara
manusia dengan manusia melakukan perjodohan.
Jodoh hanya Tuhan yang boleh menentukan!" ka-
ta sosok bertopeng kayu sinis.
"Apa urusannya denganmu?" hardik si ka-
kek sengit.
"Pertanyaanmu baru terjawab setelah kau
berada di alam roh. Sekarang ini sudah tiba wak-
tunya bagimu untuk menyusul arwah cucumu"
kata sosok berpakaian hitam bertopeng. Sekejab
dengan kecepatan laksana kilat. Sosok itu berge-
rak menyambar ke arah guru Lanang Pamekasan,
dua tangan meluncur ke bagian wajah sedangkan
kaki menghantam ke bagian perut serta dada.
Dua serangan dahsyat yang dilakukan secara
bersamaan, bukan serangan sembarangan, apala-
gi disertai menebarnya angin dingin. Si kakek wa-
lau sempat terkesiap namun dengan cepat me-
nyambut serangan itu dengan babatan celurit dari
arah atas meluncur ke bawah.
Sinar putih berkiblat, hawa dingin luar bi-
asa memancar dari celurit. Mendapat sambutan
yang tak kalah hebatnya orang itu kembali berge-
rak dan tarik serangannya.
Wueeees!
Tangkisan yang dilakukan kakek itu hanya
mengenai angin. Lawan raib bagaikan setan. Da-
lam kaget, tak menyangka lawan lolos dari serga-
pan senjatanya, kakek itu memutar tubuh sekali
gus gerakkan senjata di tangannya. Yang celaka
dia tak melihat dimana posisi lawan. Sehingga se-
rangannya dilakukan secara serampangan. Di
saat dilanda rasa bingung seperti itu dia merasa
ada orang mencolek bahunya. Si kakek langsung
melompat ke samping sambil babatkan senjata ke
belakang.
Wuuut!
"Ha ha ha. Seranganmu ngawur seperti
orang mabuk. Kurasa kau mabuk karena bau bu-
suknya bangkai. Yang sangat disayangkan siapa
aku kau tak akan pernah mengetahuinya. Aku
tahu ilmumu sangat tinggi, disayangkan semua
itu tak banyak artinya di hadapanku. Sekarang
kau lihat kemari orang tua!" kata lawannya. Guru
Lanang Pamekasan cepat palingkan wajahnya,
memandang ke arah mana suara tadi terdengar.
Saat itu si kakek melihat satu kilatan ca-
haya pedang, cahaya angker yang kemudian ber-
kiblat ke arahnya dengan kecepatan laksana kilat.
Sadar dirinya dalam ancaman bahaya besar, tak
menunggu lagi Guru Lanang Pamekasan segera
melepaskan pukulan Gerhana Langit-langit ke
arah pedang, setelah itu dia melanjutkan seran-
gan dengan membabatkan celurit di tangannya.
Sinar hitam berkiblat disertai suara berge-
muruh keras, lalu terjadi suara ledakan berden-
tum. Orang yang diserang lenyap. Bukan hanya
pukulan si kakek saja yang tidak mengenai sasa-
ran, sebaliknya serangan senjatanya juga cuma
membabat angin,
"Aku di sini orang tua!" kembali terdengar
suara di belakang si kakek. Dengan penuh kema-
rahan karena merasa dipermainkan orang, si ka-
kek membalikkan badan. Saat itulah satu kilatan
cahaya putih menyambar lehernya. Si kakek ter-
kesiap, namun tak sempat selamatkan diri
Craas!
Darah tersembur dari kepala si kakek yang
nyaris tanggal. Tubuhnya terhuyung, lalu ambruk
jatuh bergedebukan tak berkutik lagi. Sosok serba
hitam, tersenyum dingin dan dengan cepat ting-
galkan tempat itu.
LIMA
Sejak berpisah dengan kakek gendut Gen-
tong Ketawa, hati Ambini selalu diliputi kegelisa-
han. Kini setelah melakukan perjalanan seorang
diri fikiran gadis itu selalu teringat pada Gento.
Entah dimana pemuda itu sekarang berada. Dia
ingin mencari atau menemui pemuda itu, menga-
takan segala sesuatu yang didengarnya dari Dewa
Angin Guntur. Tapi dia sendiri jadi bingung hen-
dak mencari kemana. Tak lama setelah memikir-
kan segala sesuatunya sambil berjalan, Ambini
berteduh di bawah pohon di pinggir sungai. Panas
matahari yang terik membakar membuatnya ingin
membasuh muka. Ambini lalu julurkan kedua
kakinya ke dalam air. Terasa sejuk. Dia lalu
menggerakkan tangannya, mengambil air dengan
menggunakan telapak tangan sambil membasahi
bagian wajah.
"Nyaman sekali," gumam si gadis sambil
memercikkan air ke sekujur badan hingga pa-
kaiannya menjadi basah. Puas bermain air, gadis
itu kembali duduk di bawah pohon. Kini terfikir
olehnya untuk mencari orang bertopeng yang
pernah lolos dari kejaran mereka.
"Gadis itu sungguh tragis sekali suratan
nasibnya. Entah siapa yang begitu tega melaku-
kan perbuatan terkutuk itu. Jika benar Bayu
Gendala yang telah membunuhnya, lalu siapa
orang bertopeng itu? Topeng yang dipakainya sa-
ma persis dengan topeng milik Bayu Gendala. Bo-
leh jadi topeng pemuda itu sengaja dicuri oleh si
pembunuh." kata Ambini.
Selagi si gadis tengah memikirkan segala
sesuatunya, pada saat itu dia mendengar suara
sesuatu yang bergemeretak dibelakangnya. Secara
cepat si gadis menoleh memandang ke arah ter-
dengarnya suara. Ambini belalakkan mata begitu
melihat siapa yang datang. Sekonyong-konyong
dia melompat berdiri. Matanya berbinar, wajah-
nya berubah cerah. Dia hendak berlari menyong-
song kedatangan sosok berpakaian merah itu.
Tapi gerakannya mendadak surut, dia tertegak di
tempatnya. Wajah yang tadinya tegang kini beru-
bah heran. Penglihatannya memang tidak salah,
benar yang berdiri tegak di depannya adalah Si
Tangan Sial sahabatnya, juga merupakan sahabat
Gento Guyon sekaligus gurunya. Tapi sosok yang
dilihatnya kali ini jauh berbeda dengan apa yang
dilihatnya beberapa hari yang lalu.
"Paman Tangan Sial apa yang terjadi pa-
damu?" tanya Ambini suaranya bergetar pertanda
dia tak dapat menutupi rasa kagetnya. Di depan-
nya sana Si Tangan Sial memandang pada si ga-
dis dengan tatapan matanya yang menerawang
kosong. Ditatap dengan cara seperti itu si gadis
cepat alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Da-
lam hati, dia berkata, "Entah apa yang telah ter-
jadi padanya? Kulihat wajah paman ini seperti
pernah terluka disiksa orang pelupuk matanya
membiru, pipinya ada parut bekas goresan, pa-
kaian hancur compang-camping. Pasti telah terja-
di sesuatu yang sangat hebat pada dirinya.
Mungkinkah orang bertopeng itu yang punya pe-
kerjaan?"
"Ambini... aku rasa kenal, aku rasa pernah
berjumpa denganmu. Bukankah kau sahabatnya.
Gento Guyon, murid si kakek tambun Gentong
Ketawa?" kata Si Tangan Sial. Suaranya satu-
satunya, seakan tertahan di tenggorokan. Ambini
jadi tercekat dan mundur satu tindak ke bela-
kang.
"Paman Tangan Sial, bagaimana kau bisa
lupa dengan sahabatmu sendiri?"
"Sahabatku, siapa sahabatku?" tanya Tan-
gan Sial seperti orang bingung. Mendengar perta-
nyaan orang tua itu Ambini semakin bertambah
kaget. "Bukankah Gento sahabatmu juga?"
Si Tangan Sial tercengang, dia hendak
mengatakan sesuatu. Tapi pada waktu bersamaan
tengkuk dan kedua bahunya mendadak menjadi
sakit. Rasa sakit yang disertai dengan menjalar-
nya hawa dingin luar biasa. Tubuh orang tua itu
bergetar hebat. Dalam keadaan seperti itu lapat-
lapat seperti suara ngiangan nyamuk dia men-
dengar suara orang membisik dari sebuah jarak
yang sangat jauh. "Kau tangkap gadis itu, tinggal-
kan pesan. Aku jamin urusan melenyapkan nya-
wa Gento Guyon menjadi satu persoalan yang
mudah." suara lenyap Si Tangan Sial mengang-
guk.
"Mungkin orang itu sahabatku, bahkan
siapa diriku sendiri aku hampir tak dapat men-
gingat!" kata Si Tangan Sial
"Siapa yang membuat dirimu berubah se-
perti ini?" tanya Ambini.
Si Tangan Sial gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa." jawab si
orang tua. Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Aku
ingin menangkapmu, aku ingin membawamu ke
satu tempat ke Kuil Neraka!"
Kagetlah Ambini mendengar ucapan Si
Tangan Sial. Dengan tegas gadis cantik jelita ini
berkata. "Tangan Sial, siapapun yang telah mem-
peralatmu. Siapapun yang berdiri di belakangmu
hingga membuatmu lupa ingatan begini rupa aku
tak perduli. Tapi satu hal yang harus paman ke-
tahui, Kuil Neraka adalah tempat paling terlaknat
di dunia persilatan ini. Aku tak mau ikut ke tem-
pat terkutuk itu!" teriak Ambini.
Si Tangan Sial sunggingkan seringai din-
gin. Matanya yang menerawang kosong meman-
dang ke arah si gadis beberapa saat lamanya. Me-
lihat pada wajah si gadis seakan timbul kesada-
ran si orang tua, tapi ada sesuatu yang membe-
rontak di tiga bagian tubuhnya, satu kekuatan
yang membuatnya selalu menderita rasa sakit he-
bat bahkan melenyapkan kesadaran orang tua itu
sendiri.
"Aku akan membawamu, aku bisa memak-
samu!" Berkata begitu Si Tangan Sial langsung
menyergap ke depan dengan gerakan seperti
orang yang hendak menangkap. Menyadari Si
Tangan Sial tidak bisa dibuat sadar, maka Ambini
segera berkelit dari sergapan lalu sambil merun-
duk dia berlari ke belakang ke arah mana si orang
tua tadi menyerang. Si Tangan Sial begitu menya-
dari lawan dapat meloloskan diri segera berbalik.
Laksana kilat tubuhnya berkelebat, dua tangan
terjulur, satu mencengkeram leher dan satunya
lagi mencekal tangan Ambini.
Gadis ini tidak tinggal diam, dia langsung
menghantamkan kedua tangan lepaskan dua pu-
kulan beruntun. Di udara Si Tangan Sial sempat
terdorong mundur, dengan tangan kiri yang me-
miliki kesaktian aneh sejak dirinya masih kecil
orang tua ini menyambut pukulan Ambini.
Wut! Wuut!
Laksana tersedot serangan yang dilancar-
kan si gadis seolah amblas lenyap begitu saja. Si
gadis jadi tercekat, dia bantingkan tubuhnya, lalu
bergulingan ke samping. Sambil berguling-guling
dia meraup sesuatu dari dalam kantong perbeka-
lannya.
"Kupu-kupu biru, lumpuhkan orang itu!"
Ambini keluarkan seruan keras bernada meme-
rintah, sedangkan tangan kanannya yang meraup
sesuatu dari dalam kantong yang dihiasi sulaman
kupu-kupu langsung dilontarkan ke udara. Ketika
tangan terkembang di udara bertaburan puluhan
kupu-kupu berwarna biru. Kupu-kupu langka
yang memiliki belalai dapat menyengat dan men-
gandung racun mematikan ini begitu mendapat
perintah seakan mengerti langsung menyerang Si
Tangan Setan. Seperti diketahui orang tua itu
memiliki kesaktian hebat hanya pada bagian ke-
dua tangannya saja, sedangkan bagian tubuhnya
yang lain tidak memiliki kekebalan.
Ketika Si Tangan Sial melihat serangan pu-
luhan kupu-kupu biru tanpa fikir panjang orang
tua ini langsung memutar kedua tangannya un-
tuk melindungi diri. Begitu kedua tangan diputar
membentuk perisai diri, maka angin pun mende-
ru. Belasan kupu-kupu bermentalan terhantam
tangan Si Tangan Sial. Sebagian diantaranya yang
berhasil hinggap dan menusukkan belalainya di
lengan orang tua itu sama sekali tidak menimbul-
kan akibat apa-apa. Binatang beracun ini lang-
sung diremas oleh Si Tangan Sial hingga hancur.
Ambini jadi tercengang melihat kehebatan
tangan laki-laki itu. Dia lalu melepaskan dua sen-
jata anehnya berupa dua lingkaran pipih yang
sangat tajam pada setiap sisinya. Senjata ini seca-
ra berturut-turut disambitkan ke arah Si Tangan
Sial. Terdengar suara berdesing disertai melesat-
nya kedua senjata itu membelah udara.
Si Tangan Sial tertawa terkekeh, dua tan-
gan langsung digerakkan menyambuti senjata la-
wannya.
Ziiing!
Tap! Tep!
Senjata kena ditangkap oleh Si Tangan Si-
al. Tanpa terduga dua senjata disatukan, setelah
itu tangannya bergerak.
Kraak!
Senjata itupun hancur berkeping-keping.
Sambil membuang senjata Si Tangan Sial melom-
pat ke depan. Ambini yang masih belum hilang
rasa kagetnya melihat senjata dihancurkan lawan
langsung lakukan gerakan berjumpalitan ke bela-
kang. Tapi walaupun gerakannya sangat cepat
luar biasa, kedua kakinya masih kena disambar
dan dicekal lawan. Begitu tercekal dia langsung
lancarkan totokan
"Tangan Sial! Apa yang hendak kau laku-
kan padaku?!" hardik Ambini yang sekujur tu-
buhnya telah berubah kaku dalam keadaan terto-
tok. Si Tangan Sial menyeringai dingin. Dia men-
gangkat si gadis dan meletakkannya di bahu kiri.
"Seperti yang sudah kukatakan, aku akan mem-
bawamu ke Kuil Setan!" sahut Si Tangan Sial ak-
hirnya. Dia menyentakkan kantong perbekalan
milik Ambini, diatas kantong perbekalan itu, dia
guratkan sesuatu. Sebelum pergi dia gantungkan
kantong perbekalan itu di salah satu cabang po-
hon yang gampang terlihat.
"Tangan Sial, otakmu pasti sudah tergang-
gu, lepaskan aku!" teriak si gadis. Si Tangan Sial
tertawa dingin sambil tinggalkan tempat itu.
TUJUH
Beberapa hari ini Lambang Pambudi me-
mang kurang tidur. Hal ini terlihat dari wajahnya
yang pucat, mata kemerahan membayangkan ke-
letihan luar biasa. Pagi itu adalah hari ke empat
setelah kematian kekasihnya. Dan sejak ditinggal
kekasihnya Lambang Pambudi memang sudah ti-
dak dapat lagi hidup tenteram. Fikirannya kacau,
hati dirundung duka dan kegelisahan. Dia me-
mang merasa amat kehilangan Lara Murti bahkan
mungkin akan terus berduka atas kematiannya.
Disayangkan diluar semua itu ada hal lain yang
amat menekan perasaannya.
Kini setelah jauh meninggalkan perguruan
Gunung Keramat, pemuda ini terus memacu ku-
danya ke arah selatan. Tak berselang lama dia
sampai di pinggir sebuah sungai. Kuda terus di-
pacu menyeberangi sungai. Namun setelah bera-
da di seberang Lambang Pambudi hentikan kuda
tunggangannya. Sepasang mata memandang ke
depan dengan penuh rasa heran. Saat itu di atas
ranting pohon rindang tergantung sebuah kan-
tong perbekalan yang tidak jelas entah milik sia-
pa. Kantong berwarna putih yang pada salah satu
sisinya terdapat sulaman bergambar kupu-kupu
berwarna biru dan putih. Si pemuda putar kepala
edarkan pandang. Tak terlihat tanda-tanda keha-
diran orang lain di tempat itu terkecuali dirinya
sendiri. Dalam herannya Lambang Pambudi ber-
gerak mendekati. Kantong perbekalan itu kemu-
dian diambilnya. Selanjutnya kantong dibolak-
balik, Lambang Pambudi meneliti. Tiba-tiba sepa-
sang mata pemuda itu terbelalak karena kantong
perbekalan itu berisi pesan.
"Kantong ini berisi pesan. Siapa pemilik
kantong ini dan siapa pula yang telah meninggal-
kan pesan?" si pemuda jadi heran sendiri. Lam-
bang Pambudi lalu membaca dua baris kalimat
yang tertera pada kantong tersebut.
Kepada Gento Guyon, murid kakek edan
Gentong Ketawa. Kehadiranmu kutunggu di Kuil
Setan. Jika pada waktu yang telah ditentukan kau
tidak muncul gadis yang bernama Ambini akan
mati sia-sia.
Setelah membaca pesan Lambang Pambudi
tersenyum. Inilah pertama kalinya Lambang
Pambudi tersenyum setelah ditinggal Lara
"Setan gila mana yang telah meninggalkan
pesan ini untuk sahabatku Gento. Akan ku apa-
kan kantong ini? Kemana aku harus mencari pe-
muda itu. Untuk mencari dimana beradanya pen-
dekar seperti dia tentu tidak mudah." kata Lambang Pambudi. Lama pemuda itu tertegun diatas
kudanya. Dia jadi ingat dengan pertolongan yang
diberikan Gento di kebun bunga beberapa hari
yang lalu. Lambang Pambudi gelengkan kepala.
Selagi dia memutuskan untuk meletakkan kan-
tong perbekalan di tempat semula, pada waktu
bersamaan dia mendengar suara siulan yang dis-
ertai dengan berkelebatnya satu sosok tubuh ke
arah pemuda
"Ha ha ha. Sudah lama kita tak bertemu.
Apa yang kau lakukan disini?" tanya satu suara.
Lambang Pambudi dengan cepat menoleh, me-
mandang ke arah datangnya suara. Dia jadi me-
lengak kaget ketika melihat seorang pemuda gon-
drong bertelanjang dada telah berdiri tegak diha-
dapannya sambil ulurkan tangan menyalami.
"Senang aku bertemu denganmu, Gento."
sahut Lambang Pambudi sambil menyambut ulu-
ran tangan Gento.
Sejenak mereka saling berpandangan. Gen-
to kernyitkan alisnya ketika melihat wajah saha-
batnya nampak pucat seperti tidak berdarah. Se-
mentara Lambang Pambudi alihkan perhatiannya
ke arah kantong perbekalan yang dipegangnya.
Gento sendiri akhirnya ikutan memandang ke
arah kantong perbekalan itu. Begitu mengenali
kantong dalam dekapan Lambang Pambudi dia
jadi kaget. Seakan mengerti pemuda di depannya
berkata. "Aku menemukan benda ini di ranting
pohon. Ada pesan untukmu yang agaknya ditulis
dengan tergesa-gesa." menerangkan si pemuda.
Dia lalu menyerahkan kantong perbekalan itu pa-
da Gento. Dengan hati diliputi tanda tanya Gento
menerimanya.
"Ini milik sahabatku Ambini. Bagaimana
barang gadis itu bisa ketinggalan disini?" ujar
Gento setengah bertanya.
"Aku tidak tahu bagaimana barang teman-
mu bisa ketinggalan. Seperti yang kukatakan ba-
rang tersangkut diatas pohon." jawab Lambang
Pambudi menirukan cara pemuda itu bicara. Gen-
to tentu saja tak dapat menahan senyum. Tapi
kemudian perhatiannya tertuju pada kantong
bekal. Dia memeriksa salah satu sisinya. Setelah
membaca isi pesan ini wajah pemuda itu jadi be-
rubah pucat.
"Celaka, Ambini berada dalam bahaya be-
sar. Tapi siapa orangnya yang berani melakukan
tindakan sepengecut itu. Dia mengundangku un-
tuk datang ke Kuil Setan. Sedangkan tempatnya
saja aku tak tahu." gumam Gento. Sejenak dia
memandang ke arah Lambang Pambudi dengan
tatapan menyelidik. Dia lalu ajukan pertanyaan.
"Sahabatku, ketika kau sampai disini apakah ti-
dak melihat seseorang."
Pemuda yang duduk di atas kuda geleng-
kan kepala. "Tak ada siapapun disini." jawab
Lambang Pambudi tegas.
Jawaban itu membuat Gento mengusap
wajahnya. Dia merasa kini urusan semakin rumit
berbelit. Siapa yang menculik Ambini dia tidak
tahu. Padahal saat ini dia sedang mencari pembunuh murid Guru Lanang Pamekasan dan juga
pembunuh Lara Murti.
"Apa yang kau pikirkan sahabatku." tanya
Lambang Pambudi begitu melihat Gento terdiam
cukup lama.
"Aku sedang memikirkan pembunuh keka-
sihmu." jawab Gento.
Lambang Pambudi melengak kaget. "Ba-
gaimana kau bisa mengetahui kekasihku Lara
Murti terbunuh?" tanya si pemuda heran.
"Rasanya hal itu tak perlu ku jelaskan. Ta-
pi terus-terang saat ini aku merasa seperti berada
di dalam lingkaran setan. Bukan setan benaran
tapi setan berupa manusia keji pengecut. Sean-
dainya saja aku mampu menemukan pembunuh
pengecut itu, kelak akan kuhadiahkan kepalanya
padamu."
"Aku merasa berterima kasih kau mau
membantu, Gento. Terus-terang seandainya saja
aku memiliki ilmu serta kepandaian silat sehebat
dirimu aku pasti akan melakukan pembalasan
sampai seribu kali. Sayang aku hanya pemuda
lemah, tolol dan tak punya kebisaan apa-apa.
Saat kekasihku dibunuh orang, diperlakukan se-
cara keji aku juga tidak bisa melindungi dan
membalas kematiannya." ujar Lambang Pambudi
dengan suara tersendat. Sejenak pemuda itu seka
air matanya. Kemudian dia melanjutkan. "Menu-
rut Dewa Angin Guntur beliau baru saja membu-
nuh Bayu Gendala. Pemuda tengik yang hampir
membuatku celaka waktu itu. Aku sendiri merasa
yakin pasti dia orangnya yang telah berlaku keji
kepada Lara Murti. Mungkin hanya dia yang da-
pat menghancurkan Lara Murti. Jahanam itu in-
gin sekali aku mencabik-cabik mayatnya yang
busuk sampai lumat!" kata pemuda ini sambil ke-
palkan kedua tinjunya.
"Kau percaya dia pembunuhnya?" Gento
Guyon ajukan pertanyaan.
"Mengapa tidak? Semua bukti sudah tak
kuragukan lagi." jawab Lambang Pambudi sengit.
Gento gelengkan kepala.
"Kau sendiri bagaimana?" Pemuda itu balik
bertanya.
"Aku... aku tak dapat mengambil kesimpu-
lan secepat dirimu. Karena terkadang dalam hi-
dup ini aku melihat orang begitu pandai berpura-
pura. Bisa jadi seseorang yang terlihat baik se-
sungguhnya dia menyimpan kekejian dibalik ke-
baikannya itu. Tidak tertutup kemungkinan pula
seseorang yang terlihat jahat, sebenarnya dia
memiliki hati dan sifat mulia sebagai manusia.
Hidup ini sangat membingungkan, mereka yang
waras banyak bertingkah seperti orang gila. Cuma
kurasa kita tak usah merepotkan diri dengan iku-
tan menjadi gila. Bukankah begitu? Ha ha ha."
sahut murid si kakek gendut Gentong Ketawa di-
iringi derai tawa.
"Ah, tak kusangka wawasan mu begini
luas, sobat. Sayang hari sudah siang. Pertemuan
ini menimbulkan kesan tersendiri di hatiku. Tapi
aku tak bisa bicara lebih lama denganmu. Masih
banyak urusan yang harus kuselesaikan. Aku
mohon pamit, pergi dulu." Selesai bicara Lambang
Pambudi menarik tali kekang kuda. Namun be-
lum lagi kudanya bergerak Gento berseru.
"Tunggu...!"
Lambang Pambudi urungkan niat dan
langsung menoleh. "Masih ada yang hendak kau
tanyakan?"
"Kau hendak kemana?"
Lambang Pambudi tersenyum.
"Aku ini tidak jauh bedanya dengan seo-
rang budak. Bila majikan menyuruhku melaku-
kan sesuatu, biarpun tengah malam buta tugas
harus kulakukan. Saat ini aku hendak ke selatan
menghubungi kerabat Dewa Angin Guntur. Mere-
ka belum tahu tentang kabar duka ini."
Gento manggut-manggut, namun jauh di
dalam lubuk hatinya dia merasakan suatu pera-
saan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Se-
mentara itu tanpa menoleh lagi Lambang Pambu-
di langsung memacu kuda tunggangannya
Gento menarik nafas setelah meletakkan
kantong perbekalan milik Ambini dibelakang
punggungnya. Kini pikirannya terbagi dua. Ha-
ruskah dia menyusul Ambini ke Kuil Setan atau
meneruskan usahanya mencari pembunuh Lara
Murti? Bagi Gento keselamatan Ambini sangat
penting. Tapi mencari pembunuh Lara Murti yang
sebenarnya adalah suatu hal yang tak dapat di-
abaikan. Apalagi mengingat dia telah berjanji pa-
da nenek Selasih Jingga untuk membantu men
jernihkan kemelut yang tengah melanda dirinya.
"Lambang Pambudi...!" Gento tepuk ke-
ningnya. "Dia mengaku tak pandai ilmu silat. Tapi
kulihat dia sangat pintar menunggang kuda. Dia
mengatakan hendak ke selatan. Kurasa alangkah
baik jika aku menyusulnya. Bukan mustahil
pembunuh itu menjadikannya sebagai korban be-
rikutnya!" fikir Gento. Tanpa menunggu lebih la-
ma lagi pemuda ini segera menyusul ke arah per-
ginya Lambang Pambudi.
8l
DELAPAN
Malam itu suasana gelap pekat. Tidak ter-
lihat cahaya bintang maupun rembulan. Langit
tertutup mendung tebal, walaupun tidak ada tan-
da-tanda hujan akan segera turun. Namun udara
saat itu terasa dingin menusuk. Seakan tidak
menghiraukan dinginnya udara, sosok nenek tua
berpakaian hitam itu duduk bersimpuh di depan
sebuah pelita yang nyaris padam.
Agaknya ada suatu beban batin yang amat
berat menjadi ganjalan dihati si nenek. Terbukti
sejak tadi dia terus meratap tiada henti. Sambil
meratap si nenek menyeka pipinya yang kempot.
Kedua matanya nampak memerah, bagian pelu-
puk mata membengkak dan nenek tua ini nam-
pak sangat kelelahan sekali. Tak lama suara isak
tangis si nenek berubah perlahan hingga kemu-
dian terhenti sama sekali. Wajah yang keriput basah oleh air mata mendongak ke langit, dua tan-
gan yang hanya tinggal berupa kulit pembalut tu-
lang diangkat, lalu bibirnya berucap.
"Gusti Allah, begini berat beban batin yang
harus ku tanggungkan. Aku tahu diriku manusia
berlumur dosa. Tapi Tuhan disepanjang sisa
usiaku, keampunan selalu kupohonkan kepada-
mu. Sekarang sudahkah semua dosaku telah kau
ampuni? Atau kau tidak pernah dapat memaaf-
kan aku? Aku percaya rahmat Mu selalu kau lim-
pahkan padaku. Tuhan... aku memohon kepada-
mu, jika kelanjutan hidupku ini hanya akan
membawa keburukan bagi diriku, aku minta kau
mencabut nyawaku sekarang juga. Tapi jika akhir
dari perjalanan hidup ini membawa kebaikan bagi
diriku juga orang lain ku mohon berilah aku pe-
tunjuk. Sebaik-baiknya petunjuk yang pernah
kau berikan pada umat mu yang terdahulu juga
yang terkemudian. Tuhan, berilah aku jalan, serta
limpahkanlah ketenangan jiwa dan kedamaian
hati. Ya Tuhan tunjukkanlah jalan itu, satu jalan
yang membuat aku ridho atas segala cobaan yang
kau berikan kepadaku!" kata si nenek dengan su-
ara tersendat-sendat.
Selagi diri si nenek dalam keadaan penuh
kepasrahan diri, tiba-tiba terdengar suara tawa
bergelak. Suara itu seakan datang dari jarak ra-
tusan mil. Belum lagi hilang rasa kaget si nenek,
dibelakang orang tua itu muncul seorang pemuda
berpakaian serba hitam memakai topeng kayu
menunggang seekor kuda. Dalam kagetnya si nenek bangkit berdiri, memutar langkah. Hingga ki-
ni dia berhadap-hadapan dengan sosok penung-
gang kuda. "Topeng itu? Bukankah topeng yang
dipakai orang ini sama persis dengan topeng milik
anakku?" batin si nenek semakin bertambah ka-
get. Belum lagi sempat nenek itu ajukan perta-
nyaan, orang yang memakai topeng kayu datang
dengan menunggang kuda langsung bersenan-
dung.
Terlalu lama memendam dendam, dalam ji-
waku bersemi rasa kebencian.
Sekarang aku berada di hadapanmu untuk
tunjukkan satu jalan
Jalan hitam dari kematian yang engkau
minta.
Nenek tua....
Hari ini segalanya harus dibayar impas.
Agar semua dendam berkarat dapat terobat.
Engkau tidak punya pilihan lain
Di saat masa lalu telah kau jalani.
Semuanya mengingatkan pada nista dan
darah orang yang kau korbankan.
Korban telah banyak berjatuhan.
Genangan darah orang tak berdosa mem-
buahkan laknat bagimu.
Dulu begitu banyak Roh kau berangkatkan
sebelum masanya
Padahal sepasang tanganmu tidak punya
kuasa atas jiwa mereka.
Selasih Jingga!
Jari Perontok Nyawa adalah gelarmu
Aku tahu hidup tidak pernah mundur ke be-
lakang
Tapi apa yang terjadi saat ini adalah bagian
dari masa lalu mu
Sekarang....
Kepadamu akan ku lampiaskan dendam
Seandainya kau punya seribu nyawa,
Kau tidak akan pernah kubiarkan lolos dari
tanganku!
Tengkuk si nenek mendadak berubah jadi
dingin mendengar senandung yang diucapkan
oleh orang yang duduk diatas kuda itu. Wajah
orang tua itu nampak pucat. Segala apa yang di-
katakan si pemuda mengingatkannya pada semua
yang telah dia lakukan di masa lalu. Walaupun
begitu si nenek tetap berlaku tenang. Dia ajukan
pertanyaan. "Orang yang datang di malam gelap.
Sembunyikan wajah di balik topeng curian. Siapa
dirimu ini yang sebenarnya?" tanya si nenek tegas
namun suaranya bergetar.
Orang yang wajahnya tertutup topeng kayu
tidak menjawab, sebaliknya malah tertawa dingin.
Tawanya kemudian terhenti. Sepasang mata diba-
lik topeng memandang ke arah nenek Selasih
Jingga penuh kebencian.
"Tua bangka? Jika ku jelaskan kepadamu,
kurasa otakmu sudah sulit mengingat. Tapi tidak
mengapa, sekarang kau dengarlah baik-baik. Aku
datang ke hadapanmu ini adalah untuk menuntut
balas atas kematian orang tuaku!" tegas orang di
atas kuda.
Mendengar ucapan orang itu nenek Selasih
Jingga dengan tenang menjawab. "Memang kua-
kui di masa muda aku banyak melakukan kejaha-
tan. Korban yang jatuh di tanganku tak dapat lagi
ku hitung. Sedang diantara mereka yang tewas,
mungkin hanya sekedar mempertahankan diri.
Jadi harap kau mau menjelaskan siapa orang tu-
amu?"
"Tua bangka keparat, kau pasti masih ingat
dengan suami istri yang bergelar Sepasang Hari-
mau Terbang?"
Nenek Selasih Jingga berjingkrak mundur
mendengar nama yang disebutkan oleh pemuda
bertopeng. Sepasang Harimau Terbang, julukan
itu tentu tidak akan pernah lekang dari ingatan-
nya. Dua pendekar sakti yang telah membunuh
suaminya hingga anaknya kehilangan ayah untuk
selamanya. Nenek Selasih terdiam, wajahnya be-
rubah murung. Terbayang olehnya tentang segala
kejadian yang berlangsung lebih kurang dua pu-
luh tahun yang silam.
***
Pagi itu Selasih jingga datang ke sebuah
bangunan sederhana di puncak bukit Karang
Haur. Ketika dia sampai di tempat itu suasana
rumah yang dijambanginya dalam keadaan sunyi
Tidak menunggu lebih lama dan dengan si-
kap tak sabar perempuan berusia empat puluh
tahun itu langsung berteriak. "Sepasang Harimau
Terbang. Aku Jari Perontok Nyawa datang untuk
menagih hutang nyawa suamiku. Cepat kau ke-
luar, atau kau ingin aku membakar rumahmu
ini?"
Sunyi tak ada jawaban
"Sepasang Harimau Terbang, aku tidak
punya waktu untuk menunggu lebih lama. Jika
kau tidak mau keluar, aku yang masuk ke da-
lam!" teriak perempuan berpakaian serba hitam
itu dengan suara lantang. Dia menunggu sejenak
lamanya, sedangkan sepasang matanya yang
memancarkan amarah memandang tajam keba-
gian pintu depan yang tertutup. Kemudian pintu
terbuka, dua sosok tubuh berkelebat keluar, di-
lain kejab di depan Selasih Jingga berdiri tegak
seorang laki-laki gagah, usia kurang lebih tiga pu-
luh lima tahun, wajah tampan berpakaian loreng
terbuat dari kulit harimau. Sedangkan disamping
laki-laki itu berdiri seorang perempuan cantik,
berpakaian sama dengan rambut digelung ke
atas. Baik laki-laki itu maupun perempuan yang
bersama dikenal oleh Selasih Jingga sebagai Se-
pasang Harimau Terbang.
"Bagus, kau mau datang menemuiku.
Hemm... tidak kulihat anak kalian? Di manakah
dia?" tanya Selasih Jingga disertai seringai dingin.
"Bocah itu tidak tahu apa-apa. Jangan kau
berani mengusiknya. Urusanmu adalah dengan
kami, bukan dengan bocah itu!"
"Hem, begitu? Sonapati, mungkin ucapan
mu ada benarnya. Tapi aku lebih suka membabat
rumput sampai ke akar-akarnya!" dengus Selasih
Jingga geram.
"Kau pasti datang untuk menuntut balas
atas kematian suamimu, Pragola. Bukankah begi-
tu?" kata perempuan disebelah Sonapati. Perem-
puan itu adalah istri Sonapati sendiri bernama
Seroja.
"Kau tidak salah. Aku memang sengaja da-
tang untuk menuntut balas atas kematian Pragola
suamiku!" sahut Selasih Jingga dingin.
"Pragola mati karena ulahnya sendiri. Dia
kami ketahui telah menghancurkan perguruan
Kipas Merak. Padahal ketua perguruan Kipas Me-
rak masih terhitung adik kandungku!" ujar Sona-
pati.
"Manusia keparat. Apapun alasanmu, kau
tidak layak menghukum Pragola. Segala kejaha-
tannya menjadi tanggungan ku karena dia adalah
suamiku. Aku yang pantas menentukan apakah
dia bersalah atau tidak!" teriak Selasih Jingga.
"Kau manusia biang racun, bagaimana bisa
menilai suamimu bersalah atau tidak!! Hidupmu
sendiri bergelimang dosa dan kami tidak yakin
kau tega menghukum Pragola!" sahut Seroja sen-
git.
"Perempuan tengik. Berani kau menghina-
ku? Kubunuh kau!" teriak Selasih Jingga kalap.
Baru saja perempuan ini selesai berucap, tubuh-
nya berkelebat ke arah Seroja. Dua tangan meng-
hantam ke tubuh lawan hingga menimbulkan deru angin disertai menebarnya hawa panas yang
langsung menyambar ke arah Seroja. Perempuan
yang diserang maklum betapa berbahayanya se-
rangan yang dilancarkan oleh lawan. Sehingga ke-
tika merasakan adanya sambaran angin ke arah-
nya dia berkelebat, melompat ke atas dan menye-
rang kepala Selasih Jingga dengan sepuluh jari
terpentang siap menghantam bagian ubun-ubun.
Pukulan yang dilancarkan Selasih Jingga
menghantam tanah dibagian halaman disertai
dengan suara ledakan berdentum. Sebaliknya pe-
rempuan berpakaian serba hitam itu cepat me-
lompat mundur ke belakang selamatkan kepa-
lanya dari cakaran lawan.
Masing-masing serangan tidak mengenai
sasaran. Selasih Jingga kertakkan rahang. Dua
tangan dalam keadaan terkembang kemudian di-
putar sebat, hawa dingin menyebar, sinar hitam
dan biru berpijar. Sedangkan telapak tangan Se-
lasih Jingga saat itu telah berubah menghitam
sampai sebatas pangkal lengan. Melihat peruba-
han yang terjadi pada kedua tangan lawannya,
Sonapati berteriak ditujukan pada Seroja. "Istri-
ku, hati-hatilah. Perempuan keparat itu hendak
menggunakan ilmu Jari Perontok Nyawa!"
"Aku sudah tahu, kakang. Sudah lama aku
mendengar keganasan ilmunya. Sekarang aku in-
gin menjajal sampai dimana kehebatannya!" sa-
hut Seroja.
"Pergunakan jurus Harimau Mengguncang
Bumi!" teriak Sonapati.
Tiba-tiba tubuh laki-laki itu berkelebat me-
lewati Selasih Jingga. Begitu dia jejakkan kaki,
posisinya kini telah berdampingan dengan is-
trinya. Pasangan suami istri ini kemudian secara
bersama-sama pentangkan kedua tangannya ke
depan. Dua kaki ditekuk. Tangan kiri diangkat
begitu rupa, sedangkan tangan kanan ditarik ke
belakang seperti gerakan seekor harimau yang
siap mencakar lawannya.
Setelah itu segalanya berlangsung dengan
sangat cepat. Sepasang Harimau Terbang kini
berputar. Sonapati melompat ke atas, sedangkan
istrinya berkelebat ke depan menyerang lawan-
nya. Selasih Jingga terkejut ketika melihat kenya-
taan kedua lawannya melakukan serangan gencar
dari atas dan bawah. Serangan dari atas dilaku-
kan Sonapati, mengincar bagian dada dan kepala
perempuan itu. Sedangkan serangan dari bawah
dilancarkan oleh Seroja. Dua serangan hebat di-
lakukan dalam waktu bersamaan membuat Sela-
sih Jingga hanya dapat mengelak dan menangkis
kedua serangan itu tanpa sempat melepas puku-
lannya sendiri.
Wuuut!
Breeet! Breeet!
"Ukkh!"
Selasih Jingga menjerit kesakitan bercam-
pur kaget ketika melihat bagaimana pakaian di-
bagian perut robek besar, tembus sampai keba-
gian kulit sampai ke daging, darah mengucur. Se-
lasih Jingga memaki panjang pendek. Dia melompat mundur. Tapi belum lagi perempuan ini sem-
pat memperbaiki posisinya, kedua lawan telah
mencecarnya lagi dengan cakaran-cakaran ganas
yang sangat berbahaya.
"Hmm, bagus majulah lebih mendekat!" te-
riak Selasih Jingga geram. Empat tangan me-
nyambar ganas ke seluruh bagian tubuhnya siap
mencabik perempuan itu menjadi serpihan dag-
ing. Selasih Jingga mendengus, tubuh ditarik ke
belakang, sepuluh jari tangan laksana kilat dijen-
tikkan kedua arah berturut-turut.
Zstttt!
"Awas!" teriak Seroja memberi aba-aba
Sonapati melompat ke samping selamatkan
diri begitu melihat lima larik sinar merah meng-
hantam tubuhnya. Dia selamat, tapi justru is-
trinya hanya tidak sempat selamatkan diri dari
serangan Selasih Jingga, sungguhpun dia menco-
ba menangkis lima sinar maut yang melesat dari
jari lawannya. Seroja menjerit keras ketika tiga
sinar merah menghantam tubuhnya. Perempuan
itu terjengkang dengan dada dan perut berlumu-
ran darah.
"Istriku!" teriak Sonapati begitu, melihat is-
trinya menjadi korban serangan lawan. Dia me-
lompat mendekati istrinya. Ketika laki-laki ini me-
lihat Seroja tidak berkutik lagi sadarlah dia bah-
wa jiwa Seroja tak dapat diselamatkan lagi
"Hraaaak... manusia jahanam! Kau harus
menebus kematian istriku!" teriak Sonapati seperti orang kesurupan.
Selasih Jingga tersenyum mengejek.
"Simpanlah mimpimu, kurasa lebih baik
kau menyusul istrimu!" sahut perempuan itu si-
nis.
"Keparat kurang ajar!" maki Sonapati.
Laksana kilat lalu tubuhnya melesat ke
udara, berkelebat cepat mendekati lawan tangan
dan kaki menyambar melepaskan serangan be-
runtun.
Sejenak lamanya Selasih Jingga dibuat ter-
cekat. Dia sempat terdesak mundur. Tapi begitu
perempuan ini merubah jurus-jurus silatnya, kini
keadaan menjadi berbalik. Sonapati terpaksa me-
lompat menjauh dari lawannya. Justru kesempa-
tan ini dimanfaatkan oleh Selasih Jingga untuk
melepaskan pukulan Jari Perontok Nyawa. Meli-
hat sinar merah membersit lalu berkelebat me-
nyerang ke arahnya, Sonapati dalam kagetnya se-
gera melepaskan pukulan menangkis serangan
lawan. Tapi betapa terkejutnya laki-laki itu ketika
melihat pukulan yang dilepaskannya sama sekali
tak dapat menahan serangan lawan. Malah lima
sinar yang memancar dari ujung jemari lawannya
menembus benteng pertahanannya. Masih tak
percaya dengan kenyataan yang terjadi Sonapati
kembali menghantam ke arah sinar-sinar itu. Ha-
silnya sama saja.
Tak dapat dihindari lagi kelima sinar itu
menembus tubuh Sonapati. Jeritan keras laksana
merobek langit. Sonapati jatuh terpelanting sam-
bil mendekap tubuhnya yang terluka parah. Serangan yang dilancarkan Selasih Jingga ternyata
tembus sampai kebagian punggung
"Hik hik hik! Ternyata jurus Harimau Ter-
bangmu sudah sangat usang. Kau boleh mencip-
takan jurus lainnya setelah berada di neraka!"
dengus Selasih Jingga sinis.
Sonapati mengerang lirih, mulutnya berge-
rak-gerak, tapi tak sepatah katapun yang terucap.
Tak lama kepala Sonapati pun terkulai, mata me-
lotot dan tewas penasaran.
"Ayah... ibu...!" satu suara terdengar. Sela-
sih Jingga tersentak, dengan cepat dia meman-
dang ke rumah dimana suara bocah tadi terden-
gar.
"Suara tadi, pasti anak Sepasang Harimau
Terbang. Tak usah tanggung bertindak. Akan ku-
bereskan dia agar kelak tidak menjadi malapetaka
bagi diriku sendiri!" selesai berkata begitu Selasih
Jingga segera berkelebat menuju pintu depan.
Dengan tergesa-gesa dia memeriksa setiap kamar
yang ada. Tapi bocah yang dicarinya tidak terli-
hat, lenyap entah kemana.
"Tidak mungkin! Dia pasti masih berada di
rumah ini?" desis perempuan itu heran. Selagi
matanya nyalang mencari kian kemari. Maka pa-
da saat itu dia mendengar suara pintu belakang
dibuka paksa. Selasih Jingga mengejar ke bela-
kang. Saat itu dia melihat satu sosok berkelebat
keluar sambil mendukung seorang bocah berusia
sekitar lima tahun.
"Bangsat penculik jangan lari!" teriak pe
rempuan itu sambil mengejar. Orang yang dikejar
ternyata lenyap. Selasih Jingga menjadi sangat
geram sekali.
"Bocah itu... siapa yang telah menyela-
matkannya?" batin Selasih Jingga dalam hati.
"Kemana aku harus mencari. Bagaimana pun dia
harus kubunuh. Tapi kurasa orang yang memba-
wanya memiliki ilmu kepandaian tidak rendah.
Sayang sekali!"
Karena masih penasaran Selasih Jingga kemu-
dian mengejar orang yang telah melarikan putra
Sepasang Harimau Terbang.
SEMBILAN
Dalam kegelapan malam yang hanya dite-
rangi cahaya pelita perlahan si nenek dongakkan
wajahnya ke langit. Wajah itu nampak muram,
sedih penuh penyesalan. Dia kemudian meman-
dang ke arah pemuda yang duduk diatas pung-
gung kuda dengan tatapan kosong.
"Jadi kau merupakan keturunan dari Se-
pasang Harimau Terbang?" tanya si nenek.
"Bagus kalau kau dapat mengingat siapa
aku. Sekarang apakah kau siap menyerahkan
nyawamu?" tanya pemuda berpakaian hitam ber-
topeng kayu sinis. Nenek Selasih Jingga terse-
nyum tipis. "Hidup dan mati bagiku sama saja,
anak muda. Tapi sebelum hal itu terjadi padaku
apakah aku boleh mengajukan beberapa perta-
nyaan kepadamu?"
Si pemuda bertopeng tertawa tergelak-
gelak. Suara tawanya yang dingin kemudian le-
nyap berganti dengan bentakan. "Kau hendak
bertanya apa? Aku pasti mengabulkan permin-
taan orang yang akan mati." kata si pemuda sinis.
Selasih Jingga menarik nafas, mencoba
menenangkan debaran jantungnya baru kemu-
dian, berkata. "Kulihat kau memakai topeng, sen-
gaja sembunyikan wajah agar tidak dikenali
orang. Tapi aku tahu pasti topeng itu adalah milik
anakku Bayu Gendala. Lalu kau mencurinya ke-
mudian kau menggunakan topeng saat berlaku
keji pada putri Dewa Angin Guntur setelah itu
kau membunuhnya dan meninggalkan topeng be-
rikut pedang. Hingga akhirnya Dewa Angin Gun-
tur menyangka anakku Bayu Gendala yang mem-
bunuh putrinya!"
"Ha ha ha! Ternyata walau sudah tua
otakmu, cukup cerdik Jari Perontok Nyawa. Aku
memang sudah mengatur kematian anakmu se-
demikian rupa. Agar kau dapat merasakan begi-
tulah pedihnya hatiku saat melihat kematian ke-
dua orang tuaku!"
"Hmm, aku tak akan heran. Aku dapat
memakluminya." kata si nenek dengan suara ber-
getar menahan sedih dan geram. Perempuan itu
kemudian melanjutkan ucapannya. "Sebelum di-
antara kita ada yang terbunuh di tempat ini mau-
kah kau mengatakan siapa namamu?"
"Kelak kau akan mengetahuinya setelah
rohmu meninggalkan ragamu, Ha ha ha." sahut
pemuda itu sinis.
"Kau tak mau mengenalkan nama, apakah
aku boleh melihat wajahmu?!" geram si nenek
"Konon kau punya kepandaian selangit,
mengapa kau tidak berusaha melihatnya sendiri?"
kata pemuda bertopeng penuh tantangan.
Wajah nenek Selasih Jingga berubah kelam
membesi. Sepasang matanya berkilat memancar-
kan amarah. Dalam hati si nenek berkata. "Gusti
Allah. Kurasa inilah batas penantian akhir hi-
dupku. Kau sudah memperlihatkan kebenaran
dan kuasa Mu. Kau sudah memperlihatkan segala
kesalahanku di masa lalu. Tapi aku juga tak mau
mati percuma di tangan pemuda itu. Aku tak in-
gin memasrahkan nyawa kepadanya. Karena hi-
dup dan mati ini sesungguhnya hanyalah kepu-
nyaan Mu!" ujar si nenek dengan perasaan terte-
kan. Sekilas dia menatap pemuda yang duduk di
atas kuda. Lalu dia berkata dengan suara keras.
"Kau sudah tahu aku adalah pembunuh orang
tuamu. Mengapa sekarang kau tidak segera men-
gambil tindakan?" berkata begitu si nenek diam-
diam salurkan tenaga dalamnya ke arah kedua
belah tangan. Di depan sana wajah di balik to-
peng menyeringai.
"Kecepatan seranganku tidak dapat kau
duga. Di selatan orang memberi ku julukan Setan
Penyambar Nyawa. Jika kau menghadapi aku
dengan ilmu rongsokan Jari Perontok Nyawa. Berarti kematianmu datangnya lebih cepat dari per-
hitunganmu. Nenek keparat lihat serangan...!" Se-
lesai berkata pemuda itu melesat dari atas pung-
gung kudanya. Dengan kecepatan sulit diikuti ka-
sat mata dia berkelebat ke arah si nenek. Selasih
Jingga terkesiap tak menyangka gerak serangan
lawan ternyata sangat cepat sekali. Si nenek cepat
berkelit sambil liukkan tubuhnya. Serangan lu-
put, tapi sempat menyambar robek pakaian di ba-
gian perut orang tua itu. Robeknya pakaian itu
saja sudah membuat si nenek terkejut setengah
mati.
Sementara itu gagalnya serangan membuat
pemuda bertopeng itu cepat balikkan tubuh, lalu
kembali lakukan serangan gencar yang mengarah
pada bagian kepala dan leher lawannya. Si nenek
huyungkan badannya ke kanan, lima jari tangan-
nya yang telah berubah menghitam cepat ditekuk
lalu dijentikkan ke arah lawannya.
Tees!
Terdengar lima suara letupan berturut-
turut. Lima larik sinar menderu di udara. Mele-
satnya lima larik sinar itu membuat udara diseki-
tarnya berubah dingin bukan main.
"Jari Perontok Nyawa!" seru si pemuda ber-
topeng. Menyadari dahsyat ilmu yang pernah
mencelakakan kedua orang tuanya itu, pemuda
bertopeng langsung batalkan serangan. Tubuhnya
melesat ke udara, berjumpalitan sebanyak dua
kali, kemudian meluncur deras di belakang la-
wannya. Lima sinar merah menghantam batu, batu besar yang menjadi sasaran meledak, amblas
lenyap tidak meninggalkan bekas. Si pemuda ber-
gidik ngeri. Tidak dapat dia bayangkan bagaimana
jika tubuhnya tadi yang menjadi sasaran seran-
gan.
Si pemuda bertopeng tak sempat lagi me-
mikirkan semua itu. Setelah jejakkan kakinya di
belakang Selasih Jingga dengan cepat sekali tan-
gannya dihantamkan kebagian punggung si ne-
nek.
Buuuk!
Hantaman yang keras membuat si nenek
jatuh tersungkur. Melihat lawannya roboh dia
lanjutkan serangan dengan melepaskan tendan-
gan. Tapi disaat seperti itu si nenek yang jatuh
menelungkup, mendadak berbalik menelentang.
Tanpa menghiraukan wajahnya yang berlumuran
darah dia menghantam.
Wuuuut.
Sinar merah laksana bara melesat dari
tangan si nenek, menebar hawa panas luar biasa
dan langsung menyambar kaki lawannya. Si pe-
muda walaupun sempat melompat selamatkan di-
ri tapi tidak sempat menarik kaki kanan yang di-
pergunakan untuk menendang. Ledakan dahsyat
menggelegar saat kaki pemuda bertopeng berben-
turan dengan pukulan lawannya.
Pemuda itu meraung hebat, tubuhnya
mencelat sejauh dua tombak tapi tidak mem-
buatnya terjatuh. Dia berdiri dengan kaki kiri, tu-
buhnya tergontai. Bagian kaki celana sampai sebatas lutut hangus mengepulkan asap hitam. Ka-
ki yang terkena hantaman bengkak menggem-
bung, hitam kemerahan.
Tanpa banyak fikir dia ludahi telapak tan-
gannya. Telapak tangan yang berlumur ludah dis-
apukan ke bagian kaki yang terluka. Hanya dalam
waktu singkat kaki yang bengkak telah kembali
seperti semula. Mulus tanpa meninggalkan cacat
sedikitpun. Si nenek yang terluka dibagian dalam
tercengang, dia mengusap matanya seakan tak
percaya dengan pandangan matanya sendiri.
"Sulit kupercaya. Pukulanku tak sanggup
membuat hancur kakinya? Padahal belum pernah
ada seorangpun yang sanggup menahan pukulan
Halilintar ku!" batin si nenek.
Sementara di depan sana pemuda berto-
peng yang sangat mendendam pada si nenek telah
memutar kedua tangannya dengan serangkaian
gerakan aneh yang sulit ditebak arahnya. Setelah
itu dengan cepat tangan kiri menyambar sesuatu
dibalik pinggangnya. Ketika tangan kiri digerak-
kan ke depan, maka berguling sinar putih menyi-
laukan mata yang ternyata bersumber dari pe-
dang di tangannya. Sekejap cahaya putih berta-
bur di udara disertai suara berdengung, seperti
sekumpulan lebah yang pindah sarang.
"Tua bangka pembunuh orang tuaku.
Mampuslah kau...!" teriak si pemuda. Dia berke-
lebat, pedang menyambar. Dalam waktu sekejap
tubuh si nenek sudah terkurung sinar putih me-
nyilaukan. Si nenek kerahkan seluruh kemampuan yang dia miliki. Dia menghindar sambil le-
paskan serangan dengan menggunakan sepuluh
jari tangannya. Beberapa kali serangan si nenek
nyaris menghantam lawannya.
Si pemuda bertopeng rupanya sadar betul
serangan jemari lawannya sangat berbahaya,
hingga dia lipat gandakan tenaga dalam sambil
memperhebat serangan.
Tusukan dan babatan bertubi-tubi dilan-
carkannya, tak lupa dia juga melepaskan tendan-
gan mautnya. Akibatnya si nenek jadi terdesak,
satu saat dia harus menghindari tendangan yang
mengarah ke pinggang. Tendangan ini sebenarnya
hanya tipuan saja, karena begitu si nenek meng-
hindar. Dengan cepat lawan menggunakan ke-
sempatan itu untuk menebaskan pedangnya ke
bagian lengan si nenek.
Mendapat serangan selicik itu si orang tua
terkesiap, dia coba selamatkan tangannya dari te-
basan pedang, namun terlambat. Tak pelak lagi
tangan si nenek putus terbabat pedang. Si nenek
menjerit keras, potongan tangan jatuh ke tanah,
menggelepar sebentar lalu diam. Darah meman-
car dari luka itu. Sambil menjerit kesakitan si ne-
nek menotok jalan darah di bagian pangkal len-
gannya.
Ternyata lawan tidak memberinya kesem-
patan lagi, dia segera tusukkan pedangnya ke da-
da si nenek.
Jresss!
"Haakh...!" Nenek Selasih Jingga menjerit
tertahan, sambil mendekap pedangnya si nenek
melangkah mundur. Tapi satu tendangan mem-
buat dia jatuh terjengkang. Perempuan itu terka-
par tidak bergerak lagi. Pemuda bertopeng menye-
ringai dingin. Menyangka lawannya telah tewas
dia segera meninggalkan lawannya. Tak lama pe-
muda ini telah melompat ke atas punggung ku-
danya. "Ha ha ha. Masih ada satu manusia lagi
yang harus kubereskan. Dewa Angin Guntur
tunggulah kedatanganku!" gumam si pemuda ber-
topeng perlahan. Dia lalu menggebrak kudanya,
kuda meringkik keras lalu mengambur lenyap da-
lam kegelapan.
SEPULUH
Tidak berselang lama setelah lenyapnya
pemuda bertopeng yang datang dengan menung-
gang kuda itu. Di tempat itu muncul si gondrong
Gento Guyon. Dia yang mendengar suara teriakan
serta bentakan seperti orang berkelahi ketika be-
rada di kejauhan tadi kini menjadi heran.
"Aneh, tadi aku jelas mendengar seperti
ada orang yang berteriak kesakitan. Bagaimana
mungkin setelah berada di sini aku hanya men-
dapatkan sebuah pelita. Setahuku tidak ada peli-
ta yang dapat bicara. Tapi....eh aku mendengar
ada suara orang mengerang?" gumam Gento. Dia
kemudian mencoba memastikan dari mana da-
tangnya suara erangan itu. Ternyata suara rintih
datang dari arah sebelah kirinya. Tanpa pikir
panjang pemuda ini melompat ke arah darimana
suara yang didengarnya itu berasal.
Walaupun suasana diliputi kegelapan ak-
hirnya Gento melihat sesosok tubuh dengan dada
ditembus pedang tergeletak tak berdaya di de-
pannya. Dalam gelap yang hanya diterangi cahaya
pelita juga bintang di langit Gento dapat melihat
wajah sosok itu. Wajah seorang nenek tua yang
sangat dikenalnya. Gento jatuhkan diri berlutut
disamping si nenek. Melihat keadaan si nenek
dengan wajah tegang dan mulut bergetar Gento
berseru. "Nenek Selasih Jingga. Apa yang telah
terjadi denganmu, nek. Maafkan aku karena telah
datang terlambat. Aku, aku pasti menolongmu.
Katakan siapa yang telah berbuat begini keji ter-
hadapmu nek?!"
Mata yang terpejam dan penuh penderitaan
itu membuka. Dalam pandangan si nenek sosok
Gento hanya merupakan bayangan samar yang
tidak begitu jelas. Sepasang mata itu mengerjab,
bibir yang sepucat kafan menggerimit sedangkan
kepala digelengkan.
"Tak mungkin kau bisa menolongku Gento.
Sudah menjadi takdirku harus mati seperti ini."
kata si nenek dengan suara tersendat. Dalam se-
tiap tarikan nafasnya ada darah yang menyembur
dari hidungnya. "Aku sudah melihat malaikat da-
tang menjemputku. Tapi aku merasa bahagia ka-
rena sudah tahu yang membunuh Lara Murti bu-
kan anakku. Bayu Gendala memang anak yang
tidak berarti, tapi dia masih darah dagingku sen-
diri...!"
Mendengar pengakuan si nenek, Gento
edarkan pandangannya. Tapi ternyata di tempat
itu memang tidak ada siapapun terkecuali mereka
sendiri. Penasaran Gento bertanya. "Jadi siapa
yang telah melakukan semua ini nek?"
"Seorang pemuda menunggang kuda coke-
lat. Aku tak dapat melihat wajah aku juga tak ta-
hu namanya. Karena dia memakai topeng kayu.
Topeng curian milik anakku."
"Kuda cokelat. Setahuku kuda itu milik
Lambang Pambudi. Mungkinkah dia orangnya?
Padahal selama ini aku tahu dia tak pandai ilmu
silat." Fikir Gento. Masih penasaran dia ajukan
pertanyaan. "Kau tak dapat melihat wajahnya,
apakah kau dapat mengatakan bagaimana pa-
kaiannya?"
Dengan bersusah payah nenek Selasih
Jingga menjawab. "Dia berpakaian hitam. Aku...
aku juga mendengar dia akan menjumpai Dewa
Angin Guntur."
Gento tersentak kaget. Semula dia mendu-
ga yang melukai si nenek adalah Lambang Pam-
budi. Tapi Lambang Pambudi tak pernah berpa-
kaian hitam. Pakaian pemuda itu berwarna putih.
Gento kemudian berfikir, masalah pakaian siapa-
pun bisa saja bertukar seribu kali. Dia tetap yakin
pasti Lambang Pambudi yang telah melakukan
kekejian itu pada si nenek. Kuda yang disebutkan
si nenek sama persis dengan kuda pemuda itu.
Lagi pula nenek itu mengatakan pemuda berto-
peng itu hendak menjumpai Dewa Angin Guntur.
Mungkin ada sesuatu yang hendak dilakukannya.
Tidak ada jalan lain Gento harus mengejar pemu-
da itu ke Perguruan Gunung Kramat.
Kini Gento memandang ke arah si nenek.
Perempuan itu nampaknya tidak akan dapat ber-
tahan lebih lama. Sambil memegang bahu nenek
Selasih Jingga dia berkata menghibur. "Nek ber-
tahanlah, kau jangan mati. Aku akan mengobati
lukamu."
Si nenek tersenyum, saat itu nafasnya ma-
kin melemah. "Kau... pemuda konyol yang pandai
menghibur. Aku tak mungkin hidup. Tapi kau
menjadi saksi atas kebenaran, bukan anakku
yang membunuh Lara Murti. Tolong jelaskan ini
pada Dewa Angin Guntur, aku... akh...!" Si nenek
tak dapat meneruskan ucapannya. Nafas terpu-
tus, kepalanya terkulai.
"Nenek, oh... Gusti Allah, dia pergi tidak bi-
lang padaku!" seru Gento dengan mata terbelalak.
Tangan yang menempel dibahu si nenek di-
goyangkan tapi orang tua itu diam tak bergerak.
"Huk... huk.... Semoga Tuhan mengampunimu
nek." kata si pemuda sambil tundukkan kepala.
Selagi Gento dalam keadaan seperti itu. Ti-
ba-tiba saja terdengar suara orang bicara di bela-
kangnya. "Perempuan tua itu paling tidak telah
memberikan satu petunjuk penting. Sekarang se-
telah dia mati mengapa kau duduk di situ bukan
malah pergi ke perguruan Gunung Kramat?"
Karena merasa mengenali suara orang,
maka Gento cepat menoleh. Orang yang baru bi-
cara tadi tersenyum lebar. Gento pun mendam-
prat. "Gendut, kemana saja engkau selama ini?
Setelah puas bermesraan dengan Ambini, kau
tinggalkan anak orang begitu saja. Kini aku yang
jadi repot karena gadis itu diculik oleh seseorang."
Si tinggi besar berbadan gendut luar biasa
unjukkan wajah kaget. Si kakek terdiam cukup
lama, sedangkan matanya memandang mendelik
seakan tak percaya dengan ucapan muridnya.
"Gege, apakah kau sungguh-sungguh den-
gan ucapanmu itu?" tanya si gendut Gentong Ke-
tawa.
"Apakah kau lihat tampangku seperti orang
bergurau?" sahut Gento serius.
"Tampangmu tak bisa kujadikan ukuran.
Tapi benarkah apa yang kau ucapkan itu? Astaga!
Aku sama sekali tidak meninggalkan Ambini, tapi
dia yang meninggalkan aku. Mungkin karena aku
sudah tua, tak pantas lagi berpasangan dengan-
nya, sehingga dia berbuat begitu!" kata si kakek
bersungut-sungut.
"Tentu saja. Cuma karena kau orang tua
yang tidak tahu malu. Selalu saja memaksakan
kehendak sendiri!"
Bukannya marah si gendut malah tergelak-
gelak.
"Berhentilah menghina orang tua ini. Seka-
rang kau katakan padaku gadis itu berada dimana?"
"Mana aku tahu ndut. Aku hanya dititipi
pesan. Orang yang menulis pesan itu mengatakan
dia membawa Ambini ke Kuil Setan."
Si kakek gendut berjingkrak kaget. "Kuil
Setan? Itu tempat Jin membuang anak dan tem-
patnya roh jahat. Gege kurasa ini bukan urusan
remeh. Kau harus waspada. Siapapun yang telah
menculik Ambini, dia pasti punya niat tidak baik
terhadapmu. Tapi... mengapa dia harus menculik
Ambini?" tanya si gendut heran.
Gento tersenyum, lalu berkata. "Mungkin
saja Ambini mengatakan pada penculik itu kalau
dia sudah punya kekasih. Si penculik merasa
terkesan, hingga dia mengundangku untuk dini-
kahkan di Kuil Setan!"
"Bocah edan. Persoalan itu tidak bisa dis-
epelekan. Ambini sekarang dalam bahaya besar.
Kita harus menolongnya!" kata si gendut tegas.
"Kau benar guru, tapi sebelum itu kita ha-
rus pergi ke perguruan gunung Keramat. Sesuai
keterangan nenek itu, aku yakin pemuda berto-
peng itu pasti Lambang Pambudi adanya." kata
Gento kemudian. Kali ini dia nampak serius seka-
li.
"Aku sendiri tak berani menduga semudah
itu. Seperti katamu, sebaiknya kita memang pergi
ke perguruan Gunung Keramat. Jika kita berang-
kat sekarang besok pagi kita sudah sampai ke sa-
na." jawab Gentong Ketawa. Lalu dengan satu ge-
rakan enteng si kakek berkelebat, tubuhnya seke-
jap saja sudah lenyap dalam kegelapan. Pendekar
Sakti Gento Guyon pun segera mengikuti tak jauh
di belakangnya.
***
Suasana duka masih menyelimuti pergu-
ruan Gunung Keramat. Bahkan pasangan suami
istri Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka lebih
banyak berdiam diri di depan rumahnya. Sedang-
kan para murid, sudah kembali pada tugas dan
kesibukan masing-masing.
Pagi itu Galuh Pitaloka sedang duduk di
depan rumahnya, ketika dia mendengar suara
langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya.
Dengan perasaan kaget perempuan setengah baya
namun masih tetap cantik ini memandang ke
arah datangnya suara kuda. Galuh Pitaloka ter-
cengang, kedua alis matanya terangkat naik keti-
ka melihat seorang pemuda berpakaian hitam
memakai topeng penutup wajah mengarahkan
kudanya ke arah perempuan itu. Melihat cara
orang menunggang kuda, sadarlah perempuan ini
orang yang berada diatas punggung kuda sengaja
hendak menabrakkan binatang tunggangannya ke
arah dirinya. Masih dalam keadaan heran juga
kaget Galuh Pitaloka melompat dari tempat du-
duknya, kemudian bergulingan hindari terjangan
kuda. Setelah bergulingan laksana kilat Galuh Pi-
taloka bangkit berdiri. Dia membalikkan tubuh-
nya, hingga kini Galuh Pitaloka dapat melihat ku-
da yang hampir menabraknya tadi.
Marah bercampur heran si perempuan
membentak. "Kurang ajar mencari mati. Siapa
kau? Bukankah kuda yang kau tunggangi itu
adalah milik Lambang Pambudi?"
Orang yang duduk di atas kuda tertawa
dingin. "Kau tidak salah. Kuda ini memang milik-
nya." sahut pemuda penunggang kuda. Menden-
gar nada suara pemuda itu Galuh Pitaloka ber-
jingkrak kaget.
"Kau... suaramu aku kenali. Mengapa kau
memakai topeng? Bukankah topeng itu adalah
milik Bayu Gendala?" tanya perempuan penuh
rasa heran.
"Bibi Galuh Pitaloka, bagus jika kau men-
genali suaraku. Segala yang terjadi hari ini tentu
diluar dugaanmu." kata si pemuda. Dia kemudian
tarik topengnya ke atas, hingga topeng itu seka-
rang bertengger di atas keningnya. Begitu topeng
dibuka maka terlihatlah seraut wajah yang tak
asing lagi bagi Galuh Pitaloka. Hanya seraut wa-
jah tampan itu sekarang tidak lagi memperli-
hatkan keluguannya, wajah yang sangat dia kenal
itu sekarang berubah dingin bengis dan seperti
menyimpan dendam kesumat.
"Lambang Pambudi, sungguh bibi tak men-
gerti dengan semua yang kau lakukan ini?"
"Ha ha ha! Dasar perempuan tolol. Apakah
kau tidak ingat dengan seorang perempuan tua
yang telah kau buat cacat tangan dan kakinya.
Perempuan malang itu berjuluk Setan Sumpit!"
Mendengar penjelasan Lambang Pambudi,
Galuh Pitaloka jadi melengak. Dia terdiam, otak-
nya dipacu untuk mengingat. Perlahan terbayang
olehnya wajah angker seorang nenek tua. Wajah
keji yang selalu menebar kejahatan di delapan
penjuru angin. Nenek itu pernah datang ke pergu-
ruan Gunung Keramat sekitar delapan betas ta-
hun lalu. Dia mencoba membakar perguruan,
mencuri beberapa kitab penting berisi pelajaran
ilmu silat. Belasan murid perguruan Gunung Ke-
ramat dibunuhnya. Tapi kemudian dia dan sua-
minya dengan dibantu oleh beberapa tokoh sakti
yang masih terhitung sahabatnya, mampu menja-
tuhkan Setan Sumpit. Dewa Angin Guntur, ke-
mudian membuntungi masing-masing sebelah
tangan dan kaki Setan Sumpit di tempat tinggal-
nya di daerah Kali Anget.
"Jadi apa hubunganmu dengan nenek ke-
parat itu, Pambudi?" tanya Galuh Pitaloka,
"Setan Sumpit adalah guruku. Aku adalah
Setan Penyambar Nyawa, muridnya!" dengus
Lambang Pambudi.
Bagai melihat setan perempuan itu delik-
kan matanya. Dia sungguh tidak menyangka ka-
lau selama ini telah tertipu. Sejak pertama pemu-
da itu terkenal begitu santun, lugu dan mengaku
tidak pandai ilmu silat. Kenyataannya? Galuh Pi-
taloka gelengkan kepala. Apapun, tujuan pemuda
itu dia sudah dapat memperkirakan apa yang
hendak dilakukannya.
"Lambang Pambudi, kau pasti diutus oleh
gurumu untuk menuntut balas atas cacat badan
yang dia alami bukan?"
"Ternyata otakmu cukup cerdik bibi. Du-
gaanmu tidak keliru. Demi baktiku pada orang
yang telah mencurahkan segalanya kepadaku,
aku bahkan rela mengesampingkan perasaanku
sendiri!"
"Jadi kau yang telah menodai putri ku?"
tanya Galuh Pitaloka.
Lambang Pambudi tertawa bergelak. Ta-
wanya lenyap mulut berucap. "Aku tidak me-
nyangkal tuduhan itu. Walaupun aku mencintai
Lara Murti. Tapi aku harus rela mengorbankan
nyawa dan kehormatannya. Terus-terang aku ju-
ga telah membunuh murid Guru Lanang Pameka-
san, bahkan orang tua itu juga kubunuh. Bukan
hanya itu saja, aku yang mengatur bagaimana
hingga pada akhirnya Bayu Gendala terbunuh di
tangan paman Dewa Angin Guntur."
"Manusia keji. Mengapa kau lakukan se-
mua itu?" hardik Galuh Pitaloka jadi sangat ma-
rah sekali.
"Ha ha ha. Bayu Gendala memang harus
mati, karena ibunya Selasih Jingga adalah orang
yang telah membunuh kedua orang tuaku." sahut
Lambang Pambudi dingin.
"Lalu mengapa kau tega menodai anakku?"
tanya perempuan itu dengan suara bergetar. Dia
memang hampir tidak dapat mengendalikan ke-
marahannya. Namun rasa keingintahuan yang
begitu besar membuatnya harus menahan diri.
Di depannya Lambang Pambudi dongakkan
wajahnya ke langit. Terlihat ada kesedihan mem-
bersit di matanya. Hanya semua itu berlangsung
sesaat saja, karena detik kemudian wajah si pe-
muda berubah dingin.
Sejenak lamanya dia pandangi Galuh Pita-
loka, lalu berucap. "Aku tahu dia mencintai ku,
aku juga begitu. Tapi ku rasakan tugas yang di-
bebankan guru kepadaku jauh lebih penting dari
urusan pribadiku sendiri. Aku diperintahkan un-
tuk melakukan pembalasan, kalau perlu sekeji-
kejinya. Jadi kau tak perlu menyesal karena se-
mua itu adalah kesalahanmu dan ketololan sua-
mimu sendiri!"
"Bocah keparat! Begitu caramu membalas
kebaikan orang? Aku telah mendengar semuanya.
Jika tidak kubunuh kau saat ini. Seumur hidup
aku tidak bisa tenteram!" satu suara berteriak
disertai berkelebatnya satu sosok tubuh dan me-
lesatnya sinar putih ke arah Lambang Pambudi.
Si pemuda cepat menoleh, tapi tetap berlaku te-
nang ketika melihat kilatan pedang menerabas
lehernya. Sambil tertawa panjang dia gerakkan
tubuhnya. Tak terduga pemuda itu melesat ke
udara, berjumpalitan ke belakang sambil meng-
hantam punggung lawan yang baru keluar dari
rumah.
Dessss!
Buuuk!
Hantaman keras membuat sosok yang me-
nyerang dengan pedang jatuh tersungkur. Sambil
menggerung dia bangkit berdiri. Ternyata orang
yang baru menyerang pemuda itu dengan pedang
bukan lain adalah Dewa Angin Guntur. Laki-laki
tua itu cepat balikkan badan. Di depan sana si
pemuda berdiri tegak dengan tangan disilangkan
ke depan dada.
Melihat kehebatan serta tenaga dalam yang
dimiliki lawan Dewa Angin Guntur tercengang.
Pemuda itu bukan saja mampu menghindari se-
rangan pedangnya, tapi mampu pula menyarang-
kan pukulan ke bagian punggung selagi dirinya
sendiri berusaha menyelamatkan diri dari seran-
gan senjata Dewa Angin Guntur. Kenyataan ini
dianggap oleh orang tua itu sebagai sebuah ke-
nyataan yang sulit untuk dipercaya.
"Kau mengaku bodoh, tidak punya kepinta-
ran apapun. Tapi ternyata kau memiliki ilmu ser-
ta kesaktian tinggi. Pemuda keparat, kau sung-
guh manusia yang pandai berpura-pura." teriak
Dewa Angin Guntur kalap.
"Ketua perguruan Gunung Keramat. Guru-
ku Setan Sumpit telah mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang dia miliki untuk menggembleng
diriku. Masa aku mau mempermalukan dirinya,
kalau cuma menghadapi dua manusia tolol seper-
ti kalian?" sahut Lambang Pambudi disertai se-
ringai mengejek.
"Tak pernah kusangka selama ini kami te-
lah membesarkan anak macan? Kau telah menipu
kami dengan segala keluguan mu yang palsu!"
"Ha ha ha. Itulah sebabnya aku mengata-
kan kalian adalah manusia tolol yang tidak tahu
membaca gelagat!"
"Kakang... mengapa banyak bicara. Mari ki-
ta ringkus pemuda penipu ini! Rasanya tidak te-
nang hatiku jika aku belum dapat mencincang
tubuhnya!" teriak Galuh Pitaloka yang sangat
berduka bila mengenang nasib buruk yang me-
nimpa anaknya.
"Kau benar! Menghadapi manusia seperti
dia tidak perlu banyak mulut! Kau menyingkirlah,
biar aku yang akan membunuhnya!" teriak Dewa
Angin Guntur. Habis berteriak laki-laki itu berke-
lebat ke arah lawan. Pedang di tangan kanan ber-
kelebat menyambar. Sedangkan tangan kiri mele-
paskan satu pukulan hebat.
Wuuut! Wuuus!
Sinar putih berkiblat, hawa dingin pukulan
menyambar. Serangan itu masing-masing me-
nyambar dada dan mata si pemuda, Lambang
Pambudi makfum betapa ganasnya kedua seran-
gan itu. Sambil melompat mundur dia pukulkan
kedua tangannya ke depan. Satu gelombang an-
gin melabrak pedang dan pukulan Dewa Angin
Guntur, membuat orang tua itu terdorong mun-
dur, sedangkan tangan yang dipukulkan dan pe-
dang di tangannya bergetar hebat.
SEBELAS
Dewa Angin Guntur terkejut bukan main.
Tapi dia adalah seorang tokoh yang sudah banyak
pengalaman dirimba persilatan. Karena itu begitu
hilang rasa kagetnya dia lipat gandakan tenaga
dalamnya ke bagian hulu pedang dan kaki. Sam-
bil merundukkan kepala Dewa Angin Guntur me-
lompat ke depan. Pedang di tangan laksana kilat
ditusukkan ke bagian leher lawannya. Serangan
yang dilakukannya ini hanya tipuan saja, karena
begitu lawan menghindar dengan menarik kepa-
lanya ke belakang, maka lawannya segera han-
tamkan tangan kirinya melepaskan pukulan Hali-
lintar. Cahaya putih menyambar melesat ke arah
Lambang Pambudi disertai memancarnya hawa
panas bukan kepalang. Pemuda itu dibuat terce-
kat, namun dia dengan cepat jatuhkan diri meng-
hindar dari pukulan lawannya. Begitu dia bergu-
lingan ke bawah, Dewa Angin Guntur sekali lagi
hantamkan pukulan mautnya.
"Keparat!" rutuk Lambang Pambudi. Pemu-
da ini walaupun masih berusaha menghindar tapi
tidak dapat selamatkan dirinya. Tidak pelak lagi
pukulan susulan yang dilepaskan lawannya
menghantam tubuh pemuda itu.
Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Pa-
kaian di depan dada dan perut hangus. Dia men-
jerit, sedangkan tangannya sibuk memadamkan
api yang berkobar membakar pakaiannya.
Di beberapa bagian tubuh pemuda itu me-
lepuh hitam, sakitnya bukan main. Sedangkan di
belakang pemuda itu terdengar suara ledakan ke-
ras menggelegar akibat pukulan Dewa Angin Guntur sebagian menghantam pagar bambu di hala-
man rumah itu.
"Bocah gila, kau tidak bakal lolos dari tan-
gan kami!" teriak orang tua itu. Seperti tadi den-
gan kecepatan laksana kilat Dewa Angin Guntur
kembali lancarkan serangan gencar ke arah si
pemuda. Pedang di tangan diputar sebat hingga
kini yang terlihat hanya kilatan sinar putih me-
nyilaukan mata yang mengurung lawan dari sega-
la penjuru arah. Masih dengan mengandalkan ke-
cepatan geraknya Lambang Pambudi dengan mu-
dah dapat menyelamatkan diri dari tusukan
maupun babatan pedang lawan. Tiba-tiba dia me-
lompat mundur. Dewa Angin Guntur terus men-
gejarnya, pedang di tangan dihantamkan keba-
gian kepala lawannya. Tapi justru pada saat itu si
pemuda mencabut pedang yang terselip di ping-
gangnya.
Selarik sinar putih berkiblat, bergerak ce-
pat ke atas menangkis tebasan pedang lawannya.
Traaang!
Tangkisan yang dilakukan Lambang Pam-
budi membuat lawannya terdorong mundur. Tan-
gan yang memegang pedang terasa nyeri bukan
main. Dewa Angin Guntur diam-diam terkejut tak
menyangka lawan memiliki tenaga dalam sehebat
itu juga sangat cepat dalam menggerakkan pe-
dangnya. Selagi orang tua ini dibuat tercengang
oleh kecepatan gerak pedang lawannya, Lambang
Pambudi memutar tubuhnya, sedangkan pedang
kini berkelebat menghantam tubuh Dewa Angin
Guntur. Laki-laki itu terkesiap, dari arah samping
menderu sinar putih yang memotong gerak senja-
ta si pemuda.
Traang!
Breeet!
Terdengar suara jeritan orang tua itu keti-
ka ujung pedang lawan merobek pakaiannya juga
menggores di bagian dada. Lambang Pambudi
menoleh, ternyata orang yang membuat seran-
gannya meleset tadi bukan lain adalah Galuh Pi-
taloka.
"Perempuan kurang ajar. Mengaku sebagai
golongan lurus tidak tahunya main keroyok!" ma-
ki si pemuda.
"Menghadapi manusia sepertimu tak perlu
memakai segala peradatan!" sahut Galuh Pitalo-
ka. Dia lalu berkata ditujukan pada suaminya.
"Kakang mari kita pesiangi pemuda keparat ini
bersama-sama!"
"Kau benar, aku juga sudah tidak sabar
membalaskan kematian anak kita!" Sahut Dewa
Angin Guntur. Kedua suami istri ini kemudian
terlihat seolah berebut saling mendahului. Dua
sinar pedang bertabur di udara, bergerak cepat ke
arah Lambang Pambudi dengan serangan gencar,
hebat dan mematikan.
Beberapa saat lamanya pemuda itu nam-
pak terdesak hebat. Dia sama sekali tidak mampu
membalas serangan kedua lawannya terkecuali
menangkis serangan mereka. Nampaknya Lam-
bang Pambudi tak mungkin dapat meloloskan diri
dari kepungan sinar pedang lawan. Malah kini
beberapa bagian tubuhnya kena dilukai lawan.
Tapi secara aneh, Lambang Pambudi memutar
tubuhnya. Pedang bergerak menangkis.
Trang! Traang!
Tiga pedang saling berbenturan membuat
Dewa Angin Guntur dan istrinya terdorong mun-
dur. Kesempatan ini dipergunakan Lambang
Pambudi untuk melesat ke atas. Begitu dia bera-
da di udara, laksana seekor elang yang menyam-
bar pedang di tangan diputar, dengan tubuh me-
nukik pedang dibabatkan ke dua arah sekaligus
Craas! Craas!
Suami istri ketua perguruan Gunung Ke-
ramat sama-sama menjerit dan sama pula men-
dekap perutnya. Mereka jatuh berlutut dengan
mata mendelik mulut ternganga seolah tak per-
caya dengan kenyataan yang mereka hadapi. De-
wa Angin Guntur mengerang, dia memeriksa pe-
rutnya yang mengucurkan darah. Ternyata luka
itu tidak seberapa dalam. Selagi laki-laki itu di-
buat tercengang. Dia mendengar jeritan istrinya.
Dewa Angin Guntur cepat berpaling ke
arah Galuh Pitaloka. Ternyata perempuan itu ja-
tuh menelungkup, diam tidak berkutik.
"Galuh istriku!" pekik Dewa Angin Guntur.
Terhuyung-huyung dia hendak menghampiri is-
trinya. Tapi gerakannya tertahan karena Lambang
Pambudi telah menghalangi langkahnya.
"Kau lebih beruntung karena lukamu tidak
begitu parah. Namun kau tak perlu risau orang
tua, sekejap lagi aku akan mengantarkanmu pada
istri tercinta! Ha ha ha!" kata Lambang Pambudi
sinis.
Mendidihlah darah orang tua ini. Dengan
mulut terkatup rapat dan pipi menggembung dia
mencoba menggerakkan pedangnya. Tapi tena-
ganya seakan lenyap. Dewa Angin Guntur terce-
kat. Di depan sana Lambang Pambudi tertawa
bergelak.
"Pedangku mengandung racun ganas. Tapi
aku masih berbaik hati dengan mempercepat
proses kematianmu!" Selesai berucap Lambang
Pambudi gerakkan pedang di tangan ke depan.
Dewa Angin Guntur sedapat mungkin berusaha
menghindar. Tapi celakanya dia sama sekali tak
dapat menggerakkan tubuhnya. Jiwa ketua per-
guruan Gunung Keramat benar-benar dalam an-
caman bahaya besar saat itu. Akan tetapi pada
detik yang sangat kritis ini dua bayangan berke-
lebat. Satu dari dua sosok yang datang bergerak
menyambar Dewa Angin Guntur. Sedangkan sa-
tunya lagi menangkis serangan pedang Lambang
Pambudi.
Traang!
Cahaya kuning dan pedang di tangan Lam-
bang Pambudi bentrok keras di udara, menim-
bulkan pijaran bunga api. Lambang Pambudi
sendiri menjerit keras pedang di tangan terpental
lepas, sedangkan tangan pemuda itu serasa lumpuh.
Dalam kagetnya Lambang Pambudi me
mandang ke depan. Di depannya sana telah ber-
diri tegak seorang pemuda gondrong bertelanjang
dada. Di tangan pemuda itu tergenggam sebuah
senjata berbentuk seperti gada berwarna kuning
mengkilat. Pemuda itu tersenyum sambil mengga-
ruk kepala. Tak jauh di sebelah kanan pemuda
itu seorang kakek berbadan gendut luar biasa
nampak sibuk menolong Dewa Angin Guntur
yang baru diselamatkannya dari luka di bagian
perut.
"Kau...?!" desis Lambang Pambudi.
Suaranya tercekat, karena pemuda itu
sangat dikenalnya.
"Ha ha ha. Ya... aku, Gento. Masa kau lu-
pa? Sedangkan yang disana itu Gentong Ketawa!"
menerangkan pemuda itu sambil tertawa.
"Tidak pernah ku menyangka kau mau
mencampuri urusanku!" kata pemuda itu sengit.
Gento tentu saja lebih jengkel lagi. "Kau
sahabat penipu sialan. Berpura-pura menjadi
orang tolol. Tidak tahunya kau manusia licik. Kau
fitnah orang lain untuk kepentinganmu sendiri!"
teriak Gento marah.
"Ha ha ha! Ternyata kau juga seorang pen-
dekar tolol yang dapat ku kelabuhi! Menyingkir-
lah!" hardik Lambang Pambudi bengis.
"Gento... mengapa banyak mulut. Kau urus
pemuda sialan itu, biar aku mengurus orang tua
ini!" kata Gentong Ketawa.
"Kalian orang bodoh yang mencari mati!"
kata Lambang Pambudi. Laksana kilat pemuda
itu melompat meraih pedangnya yang rompal di-
bagian ujungnya akibat membentur senjata di
tangan Gento.
"Bagus! Ternyata kau hendak melawan
tuan penolongmu!" ujar si pemuda sambil terse-
nyum sinis.
Tanpa bicara Lambang Pambudi menyerbu
ke arah Gento. Sadar Gento Guyon bukan manu-
sia yang dapat dianggap enteng. Lambang Pam-
budi pun mengerahkan jurus-jurus pedangnya
yang paling hebat. Gento memang sempat dibuat
tercekat melihat kehebatan serangan lawannya.
Siapapun tak menyangka Lambang Pambudi yang
terlihat lemah itu ternyata memiliki jurus-jurus
simpanan sehebat itu. Tapi Gento sama sekali ti-
dak dibuat keder. Dia yang merasa selama ini di-
tipu oleh pemuda itu mengerahkan tenaga dalam
penuh ke bagian hulu gada dalam genggamannya.
Senjata itu kini nampak semakin membesar dan
bertambah panjang pula. Di saat pedang di tan-
gan lawan menusuk dan membabat kaki dan pe-
rutnya, Gento gerakkan gada di tangannya.
Sinar kuning seperti kilauan emas berkib-
lat disertai suara bergelaksana bendungan yang
jebol. Kemudian dua senjata beradu keras hingga
menimbulkan suara ledakan menggelegar. Pedang
di tangan Lambang Pambudi hancur berkeping-
keping begitu membentur gada sakti, Penggada
Bumi. Akibatnya tidak hanya sampai disitu saja,
Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Gento me-
lompat sambil lakukan beberapa gerakan. Dilain
kejab gada itu menderu menghantam kepala la-
wan. Lambang Pambudi tentu saja tidak mau ke-
palanya hancur dihantam gada. Dengan cepat
masih dalam keadaan menelentang pemuda ini
hantamkan kedua tangannya ke arah gada.
Segulung angin menderu, lalu menghan-
tam senjata di tangan pemuda itu. Gada hanya
bergetar, malah kini semakin bertambah panjang
dan makin bertambah besar pula. Kalang kabut
Lambang Pambudi mencoba bergulingan ke
samping. Sayang gerakannya kalah cepat dengan
gerakan lawannya.
Tak ayal lagi gada itu menghantam dada si
pemuda. Terdengar suara tulang rusuk berderak
disertai jeritan Lambang Pambudi. Darah me-
nyembur dari mulut pemuda itu sedangkan ma-
tanya melotot, mulut ternganga lidah terjulur.
Lambang Pambudi berkelojotan sebentar, lalu di-
am tak berkutik. Gento menarik nafas pendek,
tenaga yang disalurkan ke senjatanya ditarik
kembali, sehingga gada sakti yang dapat membe-
sar dan mengecil itu kembali ke bentuk asalnya.
Sambil memasukkan senjata dibalik pinggang ce-
lananya, Gento pandangi mayat Lambang Pam-
budi sejenak.
"Pemuda ini lebih cerdik dari kancil," gu-
mamnya dengan wajah cemberut. Dia lalu meno-
leh ke arah gurunya. Gento melihat gendut Gen-
tong ketawa sedang membalut luka di perut Dewa
Angin Guntur.
"Guru... mari kita pergi!" kata pemuda itu
setelah datang menghampiri.
"Gento dan paman Gentong Ketawa, aku
merasa berhutang nyawa pada kalian. Maafkan
kekeliruan ku selama ini karena salah menduga."
kata Dewa Angin Guntur dengan suara perlahan.
Gento yang teringat pada nenek Selasih
Jingga berucap. "Paman sudah mendapatkan satu
pelajaran. Orang yang baik belum tentu baik ha-
tinya. Harap pernah melakukan kejahatan tidak
selamanya tenggelam dalam kesesatan."
Dewa Angin Guntur segera duduk. "Kau
benar, Gento. Selama ini aku terlalu picik. Aku
berdosa pada Selasih Jingga terlebih-lebih pada
anaknya." sesal Dewa Angin Guntur.
"Bagus jika kau mau menyadarinya." Gen-
tong Ketawa menimpali. "Sekarang kami harus
pergi dari sini. Kau uruslah jenazah istrimu." ujar
si kakek.
"Aku bersama murid-muridku akan men-
gurusnya." sahut Dewa Angin Guntur sambil
memandang ke arah sosok yang terbujur kaku di
depan sana dengan mata berkaca-kaca.
"Uruslah dengan baik paman, setelah em-
pat puluh hari kematiannya nanti kau harus ce-
pat cari pengganti agar tidak menjadi orang lin-
glung." celetuk Gento.
"Terlebih-lebih lagi supaya tidak kedingi-
nan! Ha ha ha!" timpal si gendut lalu tertawa ter-
gelak-gelak.
"Gendut edan, sudah tua otak masih saja
ngaco!" dengus Gento, tapi dia sendiri sambil berkelebat malah tertawa terbahak-bahak.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar