BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 10 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE TOPENG KEDUA


GENTO GUYON EPISODE TOPENG KEDUA

 SATU



Kegelapan baru saja menyelimuti daerah di 

sekitar puncak bukit itu. Tak berselang lama se-

cara perlahan purnama menampakkan diri dian-

tara ranting dan daunan. Di sebelah utara pun-

cak bukit terlihat satu-satu pemandangan aneh 

dimana satu sosok berpakaian merah terpendam 

tubuhnya sampai sebatas dada. Pakaian sosok ini 

hancur seperti dicabik-cabik binatang buas, ram-

but acak-acakan sedangkan di bagian dada, 

punggung, serta kepala nampak mengucurkan 

darah.

Dalam keadaan tubuh terpendam seperti 

itu nampaknya dia sama sekali tak dapat berge-

rak apalagi saat itu kedua tangannya yang ber-

warna hitam terikat dua lembar benang yang sulit 

diputuskan. Dia hanya dapat mengerang ketika 

merasakan tubuhnya yang terpendam mulai dari 

bagian dada ke bawah terasa panas laksana ter-

bakar. Celakanya sejak dirinya terpendam begitu 

rupa, dia sama sekali tak mampu menggerakkan 

tubuh juga memutus benang yang mengikat ke-

dua tangannya.

Padahal dua tangannya yang sakti selama 

ini dapat dipergunakan untuk menghancurkan


benda apa saja. Kini dua tangan sakti yang dia 

sendiri selalu menyebutnya dengan Tangan Sial 

seakan kehilangan keampuhannya. Dua utas be-

nang-benang yang dipergunakan untuk mengikat 

tangan seakan memiliki satu kekuatan yang san-

gat hebat. Bukan hanya itu saja, benang yang me-

lilit bagian tangan itu kini malah terbenam me-

nembus kulit dan daging. Sedangkan dari bagian 

luka nampak mengucurkan darah. Ini satu ke-

nyataan yang cukup mengejutkan bagi laki-laki 

yang menyandang julukan Si Tangan Sial itu. Be-

tapa tidak? Selama ini tangan itu tidak pernah 

mengalami cidera walau dia berusaha memotong-

nya dengan pedang atau menghancurkan sepa-

sang tangan itu dengan batu. 

Melihat kenyataan yang terjadi pada di-

rinya si orang tua paling tidak merasa putus asa 

atau menjadi ketakutan membayangkan kemung-

kinan buruk yang terjadi pada dirinya. Ternyata 

hal seperti itu tidak terjadi. Malah wajah Si Tan-

gan Sial tampak tegar luar biasa.

Untuk pertama kali setelah dirinya merasa 

gagal memutus benang yang melibat tangannya Si 

Tangan Sial kitarkan pandangan mata. Dia tidak 

melihat siapapun disitu terkecuali dirinya sendiri

"Makhluk keparat itu, sama sekali aku tak 

tahu apa yang diinginkannya. Dia mengaku seba-

gai saudaraku, padahal aku ingat betul sejak ter-

lahir aku merasa tidak punya saudara. Sekarang 

setelah membawaku ke tempat keparat ini tubuh-

ku malah dipendamnya!" Si orang tua sahabat


Gento Guyon merutuk dalam hati. Sejenak dia 

terdiam, kepala tertunduk, rasa panas di bagian 

tubuh yang terpendam makin menghebat, sakit-

nya tiada tara namun dia tidak lagi mengeluh 

apalagi merintih. Perlahan wajah yang tertunduk 

berlumuran darah mendongak ke langit. Langit 

terang kuning kemilau. Tiga beruang tadi menye-

rangku, pakaian dan tubuhku habis dicakarnya. 

Aku yakin makhluk lumpuh itu yang punya pe-

rintah, aku mengetahui kehebatan ucapannya. 

Jika dia berasal dari golongan sesat kehadirannya 

di rimba persilatan bisa membuat celaka banyak 

orang. Fikir Si Tangan Sial. 

Sekali lagi dia kitarkan pandangan ke selu-

ruh puncak bukit kapur. Hingga saat itu dimana 

udara dingin menyerang dan angin berhembus 

kencang orang yang memendamnya di dalam ta-

nah masih belum memperlihatkan tanda-tanda 

akan muncul. 

Sadar kesempatan untuk membebaskan 

diri masih terbuka luas, diam-diam Si Tangan Sial 

kerahkan tenaga dalam kebagian kedua belah 

tangannya. Tenaga sakti yang bersumber dari ba-

gian pusernya mengalir deras melalui dada, terus 

menjalar ke bagian tangan. Tak berselang lama 

kemudian kedua tangan disentakkan.

Breet!

Si Tangan Sial menjerit kesakitan. Benang 

yang melilit tangannya bukan putus tapi malah 

terbenam ke dalam daging, menimbulkan rasa 

nyeri dan sakit yang amat sangat. Darah mengucur. Si Tangan Sial mengumpat panjang pendek.

"Benang celaka! Aku tak bisa membetotnya 

hingga putus. Malah kini luka dipergelangan tan-

ganku tambah menghebat." Sekali lagi dia perha-

tikan tangannya yang terluka. Melihat banyaknya 

darah yang mengalir keluar, mendadak timbul ra-

sa takut di hati Si Tangan Sial. Dia takut kehilan-

gan tangannya. Padahal selama ini bertahun-

tahun dia selalu berusaha membuat celaka tan-

gannya sendiri. Sepasang tangan yang dia anggap 

sebagai pembawa malapetaka bagi dirinya. Sepa-

sang tangannya memang menyimpan kesaktian 

hebat secara alami, bahkan bila dia marah benda 

apa saja yang disentuhnya pasti hancur, layu 

atau terbakar termasuk juga yang pernah terjadi 

pada diri istrinya. Yang mengherankan mengapa 

kini sepasang tangan itu seakan tidak berdaya di-

bawa libatan selembar benang yang begitu tipis 

bahkan terkesan rapuh.

Kenyataan yang terjadi padanya ini adalah 

merupakan suatu kenyataan yang sangat sulit 

untuk dipercaya, hingga pada akhirnya Si Tangan 

Sial merasa letih sendiri

"Sampai kapan aku berada dalam keadaan 

seperti ini? Jika dulu aku ingin agar kedua tan-

ganku terlepas dari badanku, mengapa sekarang 

aku seperti merasa takut kehilangan. Tanpa tan-

gan aku kini baru bisa membayangkan betapa hi-

dup ini jadi semakin sulit." gumam si orang tua. 

Berkata begitu dia hendak menggaruk hidungnya. 

Tapi begitu sadar kedua tangannya dalam keadaan terikat niatnya urung malah Si Tangan Sial 

menyeringai kesakitan.

Di langit kini cahaya bulan terhalang seke-

lompok awan, suasana di puncak bukit berubah 

jadi temaram. Pada saat itulah satu sosok tubuh 

tampak melayang dan jatuh di depan Si Tangan 

Sial. 

Bluk!

Si orang tua yang tadinya tertunduk kini 

mengangkat wajah, dengan matanya yang beng-

kak menggembung karena terluka dia memperha-

tikan. Melihat siapa yang datang Si Tangan Sial 

merutuk dalam hati. "Manusia jahanam satu ini 

kedua kakinya lumpuh tapi dia dapat pergi ke-

mana-mana. Apa yang hendak dilakukannya pa-

daku? Aku mesti berhati-hati. Bukan mustahil 

dia berniat mencelakai aku."

"Ha ha ha, Tangan Sial. Sesuai dengan ju-

lukanmu ternyata sepanjang hidupmu nasib sial 

selalu membuntuti dirimu." berkata si kakek ber-

badan jerangkong berambut acak-acakan dipenu-

hi kapur disertai tawa terbahak-bahak.

"Jerangkong lumpuh apa maksudmu? 

Mengapa aku kau bawa kemari? Kau mengatakan 

aku ini saudaramu, terus-terang aku tak per-

caya."

Kakek jerangkong tatap Si Tangan Sial. Ada 

kilatan aneh dalam mata si kakek lumpuh. Satu 

seringai menghias bibirnya. Seringai lenyap, wa-

jahnya yang putih berselemot kapur berubah 

angker. Di tempatnya terkubur Si Tangan Sial


sama sekali tak bergeming, dia balas menatap si 

jerangkong dengan perasaan penuh marah.

"Kalau kau tak percaya aku ini saudaramu, 

keyakinanmu itu memang betul. Aku Begawan 

Panji Kwalat juga tak pernah merasa punya sau-

dara sepertimu. Walaupun begitu terus-terang 

kedatanganmu memang kutunggu. Belasan tahun 

aku mendekam disini, sekian lama aku mem-

buang waktu. Aku senang karena ternyata penan-

tian ku tidak sia-sia. Walau lumpuh kaki nasibku 

tidak pula seburuk dirimu. Ha ha ha!"

Walaupun Si Tangan Sial sudah menduga 

hal ini, namun tetap saja pengakuan si jerang-

kong membuatnya kaget. Si badan jerangkong 

bukan saudaranya. Kini dia mencoba mereka-

reka siapa adanya Begawan Panji Kwalat

Melihat caranya bergerak yang bukan den-

gan mempergunakan kaki maupun tangan me-

lainkan melayang, ilmu si jerangkong ini pastilah 

sangat tinggi. Mungkin juga beberapa kali lipat di 

atasnya. Ini dibuktikan dengan hanya memper-

gunakan benang saja kedua tangannya yang me-

miliki kekuatan sakti sudah dibuat tidak berdaya. 

Malah kedua tangan itu kini terluka.

"Begawan Panji Kwalat. Siapa dirimu aku 

tak tahu, sebagaimana yang pernah kukatakan 

aku bahkan tak mengenalmu. Diantara kita tak 

ada silang sengketa, mengapa kau memperlaku-

kan aku seperti ini, seolah aku ini adalah seorang 

musuh yang sangat kau benci?" tanya Si Tangan 

Sial


"Kaus memang bukan musuhku, bahkan 

diantara kita tidak ada saling sengketa. Agar kau 

tidak penasaran, kukatakan padamu kalau aku 

saat ini mempunyai urusan besar. Urusan ini 

hanya bisa terlaksana bila kau mau membantu-

ku." kata Begawan Panji Kwalat. Si Tangan Sial 

Semakin tidak mengerti saja kemana arah ucapan 

si jerangkong. Pada akhirnya sambil tersenyum 

sinis dia berkata. "Setelah aku kau perlakukan 

seperti ini kau beranggapan aku mau memban-

tumu, begitu? Ha ha ha. Kau jangan mimpi. Kau 

sudah menipuku dan kesalahan ini saja merupa-

kan kenyataan yang tak dapat ku maafkan. Jadi 

kuharap kau tak banyak menaruh harap pada-

ku."

Ucapan tegas Si Tangan Sial membuat Be-

gawan Panji Kwalat tertawa terkekeh-kekeh. Saat 

itu cahaya bulan sudah tidak terhalang awan lagi 

sehingga puncak bukit telah kembali berubah 

menjadi terang-benderang. Sekejab tawa si kakek 

terhenti, dari mulutnya terdengar suara mengge-

rung aneh. Dengan tenang dia dongakkan wajah-

nya memandang ke arah bulan. Mulut si jerang-

kong berucap layaknya orang melantunkan syair.

Sepanjang waktu aku menunggu kehadi-

rannya.

Sekarang dia berada dalam genggamanku. 

Akan kujadikan dia seorang utusan.

Dia akan menjadi budak yang patuh setia 

Peruntungan ku menyangkut kepentingan


besar

Jika yang aku mau telah kudapatkan.

Akan ku tempatkan muridku di sebuah kur-

si kekuasaan

Akan kubunuh para penentang

Bersama kekuasaan akan ku peluk rembu-

lan

Ha ha ha....

Muridku, 

Kekuasaan dan kedudukan semakin jelas 

bagimu

Kau akan robah dunia persilatan dengan 

warna darah 

Batu,

Muridku

Batu adalah muridku!

Suara si kakek jerangkong terhenti hingga 

disitu, kini dia kembali pandangi Si Tangan Sial.

Di tempatnya terpendam Si Tangan Sial 

sunggingkan senyum mengejek. "Jerangkong 

lumpuh, syair mu sungguh pilu menyedihkan. 

Tapi di telingaku kedengarannya seperti suara 

kere di pasar. Sayang aku tidak punya emas atau 

uang kepengan. Jadi syair mu hanya bisa ku-

bayar dengan kentut ku, apakah kau mau? Ha ha 

ha." kata Si Tangan Sial diiringi tawa bergelak. 

Kakek jerangkong mendengar ucapan Si Tangan 

Sial jadi sangat tersinggung. Baru saja dia mem-

buka mulut hendak mendamprat, Si Tangan Sial 

meneruskan ucapannya. "Saat itu aku telah kau


buat tidak berdaya. Jika kau punya rencana ka-

takan apa keinginanmu. Semuanya akan kuden-

gar, setelah itu apapun rencanamu kelak semua-

nya kuanggap sebagai angin, sebagai kentut. Ha 

ha ha."

Sepasang mata si jerangkong yang seolah 

tenggelam ke dalam rongga bergerak-gerak, ada 

benci dan geram terlihat disana. Sejauh itu dia te-

tap berlaku tenang.

"Apa yang kau katakan aku tak perduli. 

Satu tugas yang harus kau kerjakan kau mesti 

pergi ke kuil Setan!" tegas si jerangkong.

Si Tangan Sial jadi melengak kaget.

"Jerangkong keparat itu apa maunya aku 

disuruh pergi ke Kuil Setan?" Rutuk Si Tangan 

Sial. Wajahnya nampak berubah pucat, namun 

dia tetap berlaku tenang.

"Aku tahu kau mengenal seluk-beluk dae-

rah itu Tangan Sial. Kulihat wajahmu menunjuk-

kan rasa kaget, mulutmu boleh terkunci tapi ma-

tamu tak bisa menipuku." Begawan Panji Kwalat 

berkata disertai senyum. "Mungkin juga kau 

mengenal nama sebuah senjata hebat Bintang 

Penebar Petaka. Senjata dahsyat itu konon berada 

di tangan salah seorang penghuni kuil, disembu-

nyikan di suatu tempat yang hanya diketahui oleh 

para penghuni kuil." jelas si jerangkong.

Dalam kagetnya Si Tangan Sial tak mampu 

keluarkan suara, apalagi bicara. Baginya Kuil Se-

tan bukan sebuah tempat asing. Dulu dia pernah 

menetap di daerah ini, punya seorang sahabat


penghuni kuil, namun tak pernah mampu mene-

robos bagian dalam kuil itu. Selain kuil ini diseli-

muti kabut aneh, setiap dia hendak masuk ke da-

lam kuil tubuhnya seperti dilemparkan, seakan 

ada satu kekuatan yang tak terlihat yang men-

campakkannya. Apa yang terjadi padanya waktu 

itu masih belum seberapa. Malah beberapa tahun 

yang lalu banyak tokoh golongan hitam maupun 

putih tewas di tempat itu. Sekarang bagaimana 

mungkin dia menuruti perintah Begawan Panji 

Kwalat, apalagi jika disuruh mengambil Bintang 

Penebar Petaka.

"Begawan Panji Kwalat, seperti yang telah 

kukatakan, kau jangan bermimpi aku mau men-

gerjakan perintahmu. Bagiku lebih baik mati da-

ripada harus pergi ke Kuil Setan." Si Tangan Sial 

menjawab disertai senyum mencibir.

Sepasang mata angker si jerangkong yang 

memerah si bagian lingkaran tepinya membelalak 

lebar. Dia lalu berteriak. "Kematian yang kau min-

ta tak akan kuberikan, malah kau akan ku siksa

yang nantinya akan membuatmu menderita seu-

mur hidup. Pertama sekali aku akan mengambil 

kedua telingamu. Bukan melalui ucapanku yang 

manjur karena itu kuanggap terlalu enak bagimu. 

Telingamu akan ku potong, ku sayat kecil-kecil." 

Si jerangkong kemudian julurkan tangan sambil 

buntalan yang tergeletak di dalam lubang tidur-

nya. Dari buntalan itu dia mengeluarkan sebilah 

golok buntung tumpul karatan, mirip golok yang 

terendam di air asin. Melihat karatnya mata golok


Si Tangan Sial jadi miris sendiri. Setelah memper-

lihatkan golok si kakek melanjutkan. "Jika daun 

telingamu sudah ku cacah, baru kemudian ku po-

tong pula bukit hidungmu. Selesai hidung baru 

kucungkil kedua mata setelah itu bibir dan kulit 

tubuhmu baru ku kelupas, lalu kedua tangan. 

Puas aku mendengar suara jeritan mu baru ku 

potong lidahmu. Ha ha ha." 

Mendengar ucapan Begawan Panji Kwalat, 

Si Tangan Sial merasakan dadanya laksana mau 

meledak dibuncah amarah. Kedua pelipis berge-

rak-gerak sedangkan mata mencorong tajam.

"Begawan terkutuk! Daripada kau perlaku-

kan aku seperti itu lebih baik kau bunuh saja 

aku." kata Si Tangan Sial lantang.

Begawan Panji Kwalat gelengkan kepala 

disertai senyum.

"Aku tidak punya niat membunuh, nilai ji-

wamu terlalu mahal bagiku. Terkecuali nanti sete-

lah kau dapat menyelesaikan tugas-tugasmu. Ha 

ha ha."

"Kau jangan banyak berharap. Kau siksa 

sekalipun sampai mati aku tak sudi menjalankan 

perintahmu!" tegas Si Tangan Sial. Dalam kea-

daan seperti itu dia berharap ada yang datang 

menolong, dia bahkan tak lupa berdoa meminta 

pada Tuhan. Beberapa saat berlalu, tak ada per-

tolongan tak ada pula keajaiban. Dia coba meng-

gerakkan lengannya yang terikat. Sakitnya luar 

biasa. Malah rasa sakit makin menghebat tembus 

hingga kesumsum tulang. Si Tangan Sial meringis


kesakitan. Sebaliknya Begawan Panji Kwalat ma-

lah tertawa tergelak-gelak.

"Sekarang kau boleh bicara apa saja. Ingin 

kulihat sampai dimana ketabahan mu." kata si je-

rangkong Begawan Panji Kwalat sambil mengu-

lum senyum. Kemudian golok buntung karatan 

ditimangnya, lalu hulunya digenggam erat. Selan-

jutnya kakek itu meniup senjatanya sebanyak tiga 

kali. Pulang balik dari bagian ujung golok sampai 

ke hulu. Begitu ditiup golok yang tadinya berwar-

na kecoklatan kini berubah merah laksana baru 

habis dibakar.

"Wahai golok, senjata boleh mencuri di 

tempat tukang terasi. Kau sudah mendengar apa 

yang kukatakan tadi. Sekarang kau kerjakan pe-

rintahku. Potong bagian anggota tubuh manusia 

penuh kesialan itu. Lakukan perintahku, jangan 

berhenti sebelum mendapat aba-aba dariku!" Si 

jerangkong berkata ditujukan pada golok.

Sesuatu yang mengejutkanpun terjadi. 

Seakan memiliki nyawa golok yang telah berubah 

merah membara itu melesat meninggalkan tangan 

si jerangkong. Di udara golok berputar tiga kali 

dengan gerakan menggunting disertai suara ber-

dengung menyakitkan telinga. Setelah itu ujung 

golok menukik tajam ke bawah, bergerak mengi-

tari kepala Si Tangan Sial. Setelah itu mata golok 

yang tumpul dan panas luar biasa menempel di 

daun telinga kanan Si Tangan Sial. Mata golok 

bergerak maju mundur seperti gergaji. Si Tangan 

Sial menjerit kesakitan. Bukan karena akibat mata golok telah mengiris daun telinga. Jeritan si 

orang tua akibat begitu panasnya badan golok itu, 

hingga membuat daun telinga Si Tangan Sial me-

lepuh hangus menghitam. Si orang tua meronta, 

tapi gerakannya tertahan akibat sakit yang men-

dera lengannya.

"Begawan bangsat. Jauhkan benda celaka 

itu dari telingaku. Aku... aku...!" suara Si Tangan 

Sial terputus-putus.

"Tahan...!" Begawan Panji Kwalat berseru. 

Bersamaan dengan itu pula gerakan golok jadi 

terhenti. Si jerangkong sunggingkan senyum pe-

nuh kemenangan. Dia lalu membuka mulut. "Kau 

menyerah?! Sekarang katakan kesanggupan mu

untuk lakukan perintahku" katanya.

"Aku... hanya ingin mengatakan golok 

tumpul jahanam itu lebih pantas untuk menggo-

rok lehermu sendiri. Ha ha ha!" dengus Si Tangan 

Sial disertai tawa tergelak-gelak.

Jawaban ini tentu saja membuat Begawan 

Panji Kwalat jadi marah besar. Sekujur tubuhnya 

bergetar, dua tangan dikepalkan sedangkan gi-

ginya yang hitam mengeluarkan suara bergemele-

tukan. 

"Golok karatan!" seru Begawan Panji Kwa-

lat kalap. "Tangguhkan perintahku pertama. Se-

karang kau pukul dia, pukul tangannya yang ke-

ras!" Suara si jerangkong belum lagi lenyap, na-

mun pada saat itu golok telah melesat di udara la-

lu berputar menghantam kepala, wajah juga ke-

dua tangan si orang tua. Dalam keadaan terluka


akibat terlilit benang Si Tangan Sial benar-benar 

mengalami penderitaan yang sangat hebat. Pelipis 

mengucurkan darah, dada serta bagian punggung 

bengkak menggembung. Sedangkan bagian kepala 

laksana mau meledak. Darah menetes dari sudut 

bibir dan hidungnya. Si Tangan Sial merintih, na-

fas megap-megap dan orang tua ini akhirnya tak 

sadarkan diri.

Entah berapa lama orang tua ini dalam 

keadaan seperti itu, ketika dia siuman dia men-

dapati dirinya tidak lagi dalam keadaan terpen-

dam. Saat itu dia terbaring di depan si kakek je-

rangkong. Sedangkan ikatan benang sudah dile-

pas. Walau sakit sudah agak berkurang namun 

kedua tangannya masih terasa nyeri

Tangan Sial kerjabkan matanya. Di langit 

saat itu bulan telah bergeser ke sebelah barat. Si 

Tangan Sial mengeluh. Dia melirik ke samping

dimana si jerangkong lumpuh duduk di atas tum-

pukan kapur. Ingat dengan penipuan serta perla-

kuan yang terjadi atas dirinya mendadak sekujur 

tubuh Si Tangan Sial jadi menegang.

"Kupret jahanam ini harus kubunuh!" 

menggeram si orang tua dalam hati. Tanpa fikir 

panjang dia hantamkan tangan kanannya yang 

sakti ke dada Begawan Panji Kwalat. Apa yang 

terjadi kemudian membuat Si Tangan Sial jadi 

terkejut sendiri. Dia ternyata tak mampu mengge-

rakkan tangannya. Jangankan untuk memukul 

remuk dada lawannya, sedangkan untuk men-

gangkat sekalipun sulit bukan main. Seolah tangan itu telah berubah berat menjadi ratusan kati.

Begawan Panji Kwalat yang memiliki ber-

bagai macam kesaktian aneh itu kembali tertawa 

lebar. Senyum mengejek yang mentertawai keti-

dak berdayaannya. Rasanya seumur hidup baru 

kali ini Si Tangan Sial merasa dipermainkan 

orang. Diapun merutuk habis-habisan. 

"Apa yang bisa kau perbuat Tangan Sial? 

Kau mau membunuhku? Selama kau berada da-

lam kekuasaanku tak satupun yang dapat kau 

lakukan untuk menyelamatkan dirimu sendiri." 

berkata begitu si jerangkong keluarkan tiga ba-

tang jarum berpentol besar pada salah satu 

ujungnya. Jarum berwarna hitam itu kemudian 

diletakkan di bagian telapak tangan.

"Makhluk celaka ini hendak berbuat apa 

lagi padaku?" gumam Si Tangan Sial dalam hati. 

Di bawah sinar bulan yang mulai meredup dia te-

rus perhatikan gerak-gerik orang itu.

"Tiga benda ini akan memaksamu berbuat 

apa saja sesuai dengan kehendakku. Kau harus 

mengambil senjata itu di Kuil Setan. Bunuh siapa 

saja yang kau temui disana." tegas Begawan Panji 

Kwalat. Dia lalu melanjutkan ucapannya lagi. "Sa-

tu tugas lagi yang harus kau kerjakan, kau mesti 

membunuh kawanmu yang bernama Gento 

Guyon. Ingat, Gento harus kau bunuh dengan 

tangan saktimu!" tegas Begawan Panji Kwalat. 

Kejut Si Tangan Sial bukan alang kepalang 

mendengar ucapan si jerangkong. Anehnya dia 

kemudian malah tertawa terbahak-bahak. Kening


sang Begawan berkernyit, belum lagi rasa heran 

si jerangkong lenyap dengan tegas Si Tangan Sial 

berkata. "Rencanamu edan amat jerangkong sint-

ing. Dari pada aku membunuh Gento, lebih baik 

membunuhmu. Daripada aku melenyapkan nya-

wa pemuda konyol temanku itu lebih baik aku 

melenyapkanmu seribu kali. Kau sudah tua, 

otakmu jahat, kakimu lumpuh. Daripada menjadi 

penyakit bagi orang lain, bukankah lebih baik 

membunuh diri saja? Ha ha ha." 

Begawan Panji Kwalat merasa geram bukan 

main. Sambil menahan geram pula dia berteriak. 

"Berani membangkang perintahku berarti kau 

mencari penyakit. Sudah menjadi suratan nasib-

mu, sepanjang hidup kau selalu ditimpa kesialan. 

Kau berada dalam genggamanku, kau berada di

bawah perintahku. Jawabanmu kutolak, niatku 

tetap harus terlaksana!" Begitu usai bicara Bega-

wan ini melapalkan mantra-mantra, mulutnya 

komat-kamit perdengarkan suara racau tak jelas. 

Setelah itu dia baru meniup tiga buah jarum di 

telapak tangannya. Jarum lenyap dari tangan 

sang Begawan. Si Tangan Sial belalakkan mata 

begitu dia mendengar suara desing halus di de-

katnya. Bersamaan dengan itu pula si jerangkong 

keluarkan ucapan.

"Berdiri!" 

Seketika Si Tangan Sial bangkit berdiri. 

Tapi kemudian dia menjerit ketika merasakan tiga 

buah benda halus menembus bagian belakang 

leher dan kedua bahunya kiri kanan. Beberapa


saat kemudian hawa dingin langsung menyerang 

si orang tua jadi kelabakan. Hawa dingin terus 

menjalar kebagian otak, merasuk ke dalam sel-sel 

otak hingga membuat keadaan Si Tangan Sial jadi 

setengah sadar. 

"Sekarang kau pergilah! Laksanakan tu-

gasmu. Jangan pernah kembali sebelum kau ber-

hasil menyelesaikan semua tugas yang kuberikan 

padamu!" tegas Begawan Panji Kwalat.

Tancapan tiga buah jarum yang diberi na-

ma Jarum Penggendam Roh membuat Si Tangan 

Sial tak mampu lagi menggunakan otak dan fiki-

rannya. Tanpa bicara apa-apa dia langsung balik-

kan badan. Setelah itu berjalan meninggalkan 

puncak bukit kapur

Begawan Panji Kwalat pandangi kepergian 

Si Tangan Sial sambil tersenyum penuh arti.



DUA



Si gondrong bertelanjang dada Gento 

Guyon murid si gendut besar Gentong Ketawa 

sambil berlari memanggul sosok nenek tua bebe-

rapa kali menyempatkan diri untuk melihat ke be-

lakang. Dewa Angin Guntur dan murid-muridnya 

ternyata tidak mengejar sebagaimana yang dia 

sangkakan. Di satu tempat setelah melewati ti-

kungan jalan di bawah sebatang pohon berdaun 

rindang dia hentikan larinya. Gento lalu kitarkan


pandang mencari tempat yang aman. Ketika dia 

melihat sebuah gua kecil yang terletak tak jauh di 

sebelah kiri pohon diapun melangkah mengham-

piri.

Sampai di mulut gua yang ternyata tidak 

seberapa lebar Gento turunkan si nenek dari ba-

hunya. Setelah itu dia melangkah lagi ke depan, 

julurkan kepala ke dalam mulut gua sambil men-

gendus-endus.

"Gua ini baunya sungguh tidak nyaman. 

Mungkin ini tempat tinggal kampret. Tidak men-

gapa. Nenek itu walaupun manusia seperti aku 

tubuhnya sejak tadi juga menebar bau kampret." 

Gento mengomel dalam hati. Dia berpaling, me-

mandang ke arah, Gento melihat betapa wajah si 

nenek nampak lebih tua dari usia yang sebenar-

nya. Bahkan tatap matanya yang letih banyak 

menyimpan beban penderitaan hidup. 

"Nek...!" Gento menegur. Si nenek diam tak 

menjawab, matanya menerawang kosong seolah 

telah kehilangan semangat hidup. Gento heran, 

tapi juga tersenyum. Setelah itu baru mengusap 

wajahnya tiga kali. Dia mendekati si nenek, jari 

tangan digoyang pulang balik di depan mata si 

nenek. Perempuan tua yang bernama Selasih 

Jingga inipun tetap diam tak bergeming. "Nek di 

dalam gua gelap sekali. Baunya pesing lagi, jika 

kau tidak keberatan daripada bengong begitu ma-

sih bagus tiduran di dalam sana." celetuk Gento 

lagi.

Seakan baru terjaga dari tidurnya nenek


Selasih Jingga kedip-kedipkan kedua matanya. 

Beberapa saat dia diam terhenyak seperti orang 

bingung. Kemudian air matanya berderai, tangis-

nya terguguk seperti anak kecil. Melihat ini Gento 

jadi melongo, bingung lalu usap-usap batang hi-

dungnya. 

"Aneh nenek ini. Rasanya tak ada yang ke-

liru dalam ucapanku, mengapa dia jadi menangis 

begini?" kata Gento. Dia terdiam, otaknya berfikir 

barangkali si nenek menangis karena memikirkan 

rumahnya yang ludes terbakar. Merasa iba Gento. 

berkata menghibur. "Nek, saat ini jangan lagi kau 

tangisi rumahmu yang menjadi abu. Seribu ru-

mah apalagi pondok buruk seperti itu dapat kau 

buat bahkan aku kalau diperlukan bersedia 

membantu. Kau harus bersyukur pada Gusti Al-

lah karena telah memanjangkan umurmu. Jika 

nafas panjang, umur panjang segala sesuatunya

bisa dipikirkan kemudian nek, seribu rencana 

bahkan dapat dibuat. Sudahlah jangan menangis. 

Atau kau lapar nek? Aku bisa mengambilkan 

jambu untukmu"

Bukannya terhenti, tangis si nenek malah 

semakin menjadi. Gento jadi serba salah. Karena 

tidak tahu harus berbuat apa, maka Gento ikutan 

menangis. "Entah mengapa aku jadi ikut sedih. 

Hu hu hu hu, sebenarnya apa yang menyusahkan 

hatimu. Kalau kau mau berbagi kesusahan aku 

mau menerima biar aku jadi ikut susah." kata 

Gento

Entah mengapa si nenek mendadak jadi


hentikan tangisnya. Kini Gento jadi asyik menan-

gis sendiri. 

"Pemuda gondrong apa yang kau lakukan?" 

Sambil menyeka air matanya untuk pertama kali 

si nenek membuka mulut ajukan pertanyaan.

Gento jadi kaget, serentak dia memandang 

ke arah si nenek sambil kedip-kedipkan matanya.

"Kau telah berjasa besar selamatkan se-

lembar nyawa tua bangka tidak berguna ini. Aku 

berterima kasih atas budi pertolonganmu. Tapi 

rasa terima kasihku pasti bertambah besar jika 

kau membiarkan aku mati dicincang oleh murid-

murid Dewa Angin Guntur." kata si nenek seakan 

menyesali tindakan pertolongan yang dilakukan 

oleh Gento.

Murid Gentong Ketawa tentu saja jadi kaget 

dan tidak menyangka si nenek akan bicara seperti 

itu. Banyak orang berdosa di dunia ini yang ma-

sih inginkan umur panjang saat dirinya berada 

dalam ancaman bahaya besar. Tapi sebaliknya 

nenek berpakaian hitam ini malah memilih mati. 

Sungguh Gento jadi geleng-geleng kepala sendiri. 

"Nek... mengapa kau bicara seperti itu? Apa 

yang membuatmu merasa putus asa?" tanya Gen-

to.

Si nenek tarik nafas panjang. "Percuma 

aku hidup jika buah hatiku sudah dibunuh 

orang. Sebagai seorang ibu yang melahirkannya 

hatiku sangat menderita perasaanku jadi tergun-

cang." berkata si nenek dengan suara tersendat 

pilu.


Ucapan nenek Selasih Jingga membuat

Gento jadi terdiam. Dia jadi ingat sebelum meno-

long nenek itu dia melihat Dewa Angin Guntur 

dan murid-muridnya dengan dibantu puluhan 

penduduk dusun mengeroyok seorang pemuda 

berpakaian putih. Waktu itu dia hendak meno-

long, tapi dia menganggap pertolongannya tidak 

akan berguna mengingat pemuda itu dihujani 

berbagai senjata secara bertubi-tubi. Gento baru 

mengambil tindakan ketika si nenek yang sudah 

dalam keadaan tertotok ini hendak dicincang oleh 

murid-murid Dewa Angin Guntur. 

Sekarang Gento baru mengerti kiranya pe-

muda itu adalah putra si nenek. Tentu sekarang 

dia jadi maklum jika perempuan tua ini merasa 

hidupnya sudah tidak berguna lagi. Tapi Gento 

berfikir semua itu tidak akan terjadi jika tidak 

ada silang sengketa sebelumnya.

"Nek, ketua perguruan gunung Keramat 

dan muridnya tidak mungkin berlaku keji pada 

puteramu, jika tidak ada persoalan yang amat be-

sar. Konon turut yang aku dengar Dewa Angin 

Guntur adalah manusia yang bijaksana. Barang-

kali putra mu pernah melakukan sesuatu hingga 

membuat orang itu jadi sangat membencinya?"

"Kau benar," ujar si nenek. Kali ini dia su-

dah tidak lagi menangis. Setelah diam sejenak dia 

lalu melanjutkan. "Belum lama ini putri tunggal 

Dewa Angin Guntur dibunuh orang. Sebelum di-

bunuh dia diperlakukan secara keji. Putraku 

Bayu Gendala dituduh sebagai pelakunya karena


disamping mayat ditemukan dua bukti. Sebilah 

pedang menancap di dada Lara Murti, selain itu 

tak jauh dari korban ditemukan sebuah topeng 

kayu." Menerangkan si nenek dengan mata mene-

rawang entah kemana.

"Apa hubungan pedang serta topeng den-

gan anakmu nek?"

"Justru karena pedang dan topeng itu ada-

lah milik anakku, aku tak tahu bagaimana kedua 

benda itu bisa berada di tangan si pembunuh." 

ujar si nenek bingung.

"Kau yakin bukan anakmu yang membu-

nuh gadis itu?"

"Aku sangat yakin sekali. Aku tahu Bayu 

jatuh cinta pada Lara Murti. Dia memang pernah 

mengatakan akan menempuh segala macam cara 

untuk mendapatkan gadis itu. Tapi aku percaya 

dia tak akan sanggup melakukan hal itu karena 

aku tahu kesaktian serta ilmu silat jauh lebih 

rendah dibandingkan kesaktian yang dimiliki oleh 

Lara Murti. Gadis itu mempunyai tingkat kesak-

tian tiga tingkat di atas Bayu Gendala. Tak 

mungkin dia bisa menculik Lara Murti apalagi 

membuatnya celaka sampai dua kali." ujar si ne-

nek dengan mata berkaca-kaca. 

Gento berfikir jika benar apa yang dikata-

kan oleh si nenek, jelas yang membunuh Lara 

Murti bukan Bayu Gendala. Tapi mungkin seseo-

rang yang menyimpan dendam kesumat pada 

Bayu Gendala atau boleh jadi pada gadis itu pula. 

Gento jadi ingat pada kejadian di kebun bunga


beberapa hari yang lalu. Ketika itu seorang pe-

muda bertopeng menunggang kuda putih menye-

rang Lambang Pambudi. Serangan pemuda berto-

peng tidak begitu ganas, jurus-jurus pedangnya 

juga terkesan kaku. Mendapat serangan seperti 

itu saja Lambang Pambudi terkesan seperti tidak 

berdaya. Dia yang konon tidak pandai ilmu silat 

nyaris tewas ditembus pedang jika Gento dan Si 

Tangan Sial tidak cepat menolong.

Ingat akan semua kejadian itu Gento pun 

ajukan pertanyaan. "Nek, apakah anakmu sering 

memakai topeng dan menunggang kuda putih?"

Pertanyaan ini membuat si nenek ber-

jingkrak kaget dan surut dua langkah. Namun ge-

rakannya jadi tertahan karena pengaruh totokan 

kiranya masih menguasai dirinya. Lama si nenek 

menatap Gento dengan tatapan curiga juga ber-

campur heran. Akhirnya diapun anggukkan kepa-

la. 

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku pernah bertemu dengannya beberapa 

hari yang lalu." Selanjutnya Gento menceritakan 

segala sesuatunya yang terjadi di kebun bunga. 

Wajah si nenek mendadak berubah muram. "Jadi

kau percaya anakku telah membunuh Lara Mur-

ti?" tanya si nenek putus asa.

Gento menarik nafas, dongakkan kepala ke 

langit lalu tertawa tergelak-gelak. "Jangan terlalu 

cepat mengambil kesimpulan nek. Di dunia ini 

segala kemungkinan bisa saja terjadi. Anakmu

mungkin termakan fitnah orang, bisa jadi anak


mu memang seorang pembunuh. Jika benar se-

perti katamu gadis itu memiliki kesaktian tinggi. 

Setelah aku melihat jurus pedang anakmu aku ti-

dak bisa percaya anakmu yang melakukan pem-

bunuhan itu. Atau mungkin kau punya musuh 

lain nek. Coba ingat. Aku percaya sekarang kau 

adalah orang baik. Tapi siapa tahu dulu-dulu?!" 

kata Gento mendapat pertanyaan seperti itu si 

nenek nampak sedih, wajahnya semakin muram 

membayangkan rasa putus asa. Ingin rasanya dia 

mati saat itu juga, beruntung tubuhnya dalam 

keadaan tertotok, jika tidak mungkin dia telah 

menghantam remuk batok kepalanya sendiri sak-

ing tak sanggup menahan beban batin yang 

mengguncang perasaannya.

"Nek, jika kau tak berkenan mengatakan-

nya lebih baik tak usah jawab pertanyaan tololku. 

Aku tidak hendak memaksa, namun jika kau mau 

rasanya berterus terang akan lebih baik karena 

itu dapat mengurangi beban penderitaanmu. Se-

lain itu dengan berterus-terang mungkin aku da-

pat membantumu dalam menyelesaikan persoalan

ini." kata Gento bernada membujuk. Si nenek 

manggut-manggut, namun pada akhirnya dia 

mengakui. "Terus-terang dulunya aku memang 

bukan orang baik. Di waktu muda aku membuat 

kekacauan dimana-mana. dengan Ilmu Jari Pe-

rontok Nyawa aku malang melintang menebar ke-

jahatan. Aku bahkan tak segan menjatuhkan tan-

gan jahat pada siapa saja yang berani menentang 

kehendakku. Kejahatan yang pernah kulakukan


sedalam lautan selangit tembus. Setelah anakku 

terlahir dan suamiku tewas di tangan seseorang 

barulah aku menyadari semua perbuatanku itu. 

Aku sadar, insyaf dan timbul keinginan untuk 

membesarkan anak. Aku mengasingkan diri. Se-

jak kecil Bayu Gendala ku didik menjadi manusia 

baik-baik yang kelak kuharapkan dia dapat men-

jadi seorang pendekar penegak keadilan, meno-

long kaum yang lemah lagi tertindas dari tangan 

penguasa yang sewenang-wenang. Karenanya aku 

tak pernah menurunkan ilmuku yang sangat ber-

bahaya kepada Bayu terkecuali hanya jurus-jurus 

pedang sekedar untuk menjaga diri. Kenyataan 

yang terjadi dan apa yang kulihat dari anakku

sungguh membuat aku merasa segan untuk hi-

dup lebih lama." sesal si nenek dengan mata ber-

kaca-kaca.

Pengakuan tulus dari seorang ibu yang 

sangat menderita tekanan batin hebat ini sung-

guh membuat hati Gento jadi tergugah dan jadi 

merasa iba. Sekarang dia bisa mengerti mengapa 

Dewa Angin Guntur seolah tak bisa menerima 

pengakuannya yang jujur. Kiranya dulunya dia 

seorang perempuan berhati jahat.

"Nek, setiap manusia pasti, pernah mela-

kukan kesalahan. Hidup ini bukan. untuk disesali 

atau sekedar untuk mengenang masa lalu yang 

suram. Aku yakin jika kau sudah bertobat Tuhan 

pasti memaafkan dosa-dosamu. Dosa apa saja 

terkecuali syirik. Yang terpenting kau tidak men-

gulang lagi melakukan dosa yang sama. Jika itu


kau lakukan berarti sama halnya dengan menge-

jek Tuhan! Ha ha ha." kata Gento diiringi tawa. 

Si nenek manggut lagi, dalam hati merasa 

kagum mendengar ucapan Gento.

"Tak kusangka dibalik tampangmu yang 

sinting ternyata kau mempunyai pandangan yang 

luas. Tapi tolong kau bebaskan totokan ini dulu." 

Mendengar ucapan si nenek murid si gendut be-

sar Gentong Ketawa jadi melongo.

Gento menepuk keningnya. "Astaga, Nek! 

Aku sungguh tak mengira kau masih dalam kea-

daan tertotok." desis Gento. Dia lalu melangkah 

lebih mendekat lagi. "Di bagian tubuhmu yang 

mana kena ditotok Dewa Angin Guntur?"

"Punggung kiri dan leher sebelah kanan." 

menerangkan si nenek. 

Gento mengitari nenek itu, lalu berhenti se-

telah berada di bagian punggung si orang tua. Se-

telah dapat menemukan bagian yang kena toto-

kan, maka tanpa pikir panjang dia gerakkan ja-

rinya.

Desss!

Dua jari berkelebat menghantam bagian 

punggung dan leher sebelah kanan. Sesaat sete-

lah itu si nenek sudah dapat menggerakkan ke-

dua tangan bahkan seluruh tubuhnya. Si nenek 

saking gembira berjingkrak-jingkrak seperti orang 

menari. Gento jadi tertawa melihat kegembiraan 

si nenek. Sadar dirinya ditertawakan orang dan 

sadar pemuda itu telah menolongnya, si nenek ja-

tuhkan diri berlutut di depan Gento.


"Nek, rupanya dulu kau seorang penari he-

bat. Sekujur tubuhmu tadi kulihat terus bergerak

tak mau diam. Tapi... eeh... nek apa yang kau la-

kukan ini? Mengapa kau berlutut di hadapanku?" 

sergah Gento sempat surut mundur ke belakang 

dengan mata terbelalak mulut ternganga.

"Aku merasa terharu, aku merasa berteri-

ma kasih kau mau menolong tua bangka rongso-

kan ini. Aku merasa bersyukur karena kau mau 

mempercayai ucapanku, selain itu kau yang begi-

ni muda telah banyak memberi ku pandangan 

yang baik. Hingga aku tak mengambil jalan pin-

tas, mencari mati secara menyesatkan." ujar si 

nenek dengan suara serak terharu dan nafas 

kembang kempis.

Gento geleng kepala lalu tertawa pelan.

"Nek... nek. Jadi orang jangan berlebih-

lebihan. Kalau mau bersyukurlah pada Gusti Al-

lah. Aku ini bukan manusia yang selalu berjalan 

di atas garis yang lurus. Kebetulan saja aku ber-

temu denganmu dalam keadaan otak lagi lem-

pang. Coba kalau otakku lagi angot, ucapanku bi-

sa ngawur dan bisa membuatmu kalang kabut 

bahkan mungkin mati lebih cepat. Ha ha ha." ka-

ta pemuda itu seenaknya sambil tergelak-gelak. 

Mendengar ucapan Gento, si nenek yang sedang 

mengalami guncangan batin itu mau tak mau jadi 

ikut tertawa.

"Aku suka melihat gaya mu bicara. Sejak 

semula aku memang sudah menduga otakmu ti-

dak beres dan ada sedikit kelainan. Hik hik Hik."


kata si nenek menimpali.

"Terkadang malah lebih parah nek." celetuk 

Gento lagi-lagi dia mengumbar tawanya.

Si nenek manggut-manggut. "Kau sekarang 

hendak kemana?" tanya orang tua itu sambil me-

natap lawan bicaranya.

Tanpa fikir panjang Gento menjawab. "Aku 

akan menyelidik, siapa sebenarnya yang telah 

membunuh putri Dewa Angin Guntur. Jika pem-

bunuh itu tak kutemukan, maaf ada kemungki-

nan anakmu adalah pembunuhnya."

Nenek Selasih Jingga tarik nafas pendek. 

"Baiklah apapun yang terjadi nanti akan kuteri-

ma. Yang penting persoalan ini harus dijernihkan 

dulu." kata si nenek.

"Kau sendiri hendak kemana nek? Apakah 

ingin menyatroni perguruan Gunung Keramat?" 

sindir Gento.

Si nenek tersenyum tipis. "Aku sudah tua, 

biarlah semuanya berlalu menjadi kenangan pahit 

sekaligus pelajaran bagi orang yang mau mere-

nungkan kejadian ini. Sekarang aku mohon diri." 

berkata begitu si nenek langsung berkelebat pergi 

tinggalkan Gento seorang diri.

Sebelum orang tua itu lenyap Gento masih 

sempat berkata. "Nek, moga kau panjang umur. 

Moga kau menemukan jodoh pengganti suamimu 

yang hilang. Kelak jika kau jadi pengantin jangan 

lupa kau undang diriku. Aku yakin bila dirias wa-

jahmu jadi cantik kembali. Menjadi pengantin ko-

non merupakan sesuatu yang sangat berarti. Walau kau nantinya jadi pengantin kesiangan! Ha ha 

ha."

"Bocah sialan!" satu suara menyahuti la-

pat-lapat di kejauhan. Gento tersenyum.

"Dia sudah sangat tua, namun gerakannya 

masih cepat. Wajah keriput kulit tangan dan kaki 

putih dan masih mulus. Moga nenek itu cepat 

dapat jodoh, agar di akhir hayatnya dia tak kese-

pian. Kasihan kalau malam dia cuma berselimut 

angin. Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa se-

perti orang linglung.



TIGA



Dewa Angin Guntur memimpin murid-

muridnya kembali ke perguruan. Perasaan puas 

menghias di wajahnya. Dia berfikir walaupun Se-

lasih Jingga telah diselamatkan oleh seorang pe-

muda tidak dikenal. Paling tidak dia telah berhasil 

membunuh Bayu Gendala yang dia anggap telah 

melakukan kekejian sekaligus membunuh Lara 

Murti.

Sambil terus membedal kuda Dewa Angin 

Guntur kepalkan tinjunya. Dia merasa kesal dan

memendam marah pada si gondrong.

"Pemuda itu ilmunya sangat tinggi. Sayang 

dia telah berlaku tolol dengan memberikan perto-

longan pada perempuan jahat. Kalau saja dia ta-

hu siapa adanya Jari Perontok Nyawa, pasti nenek keparat itu akan dibunuhnya seribu kali." ge-

ram si orang tua. Dia diam sejenak, sementara ra-

tusan muridnya mengikuti tak jauh di belakang. 

Orang tua berambut putih berpakaian biru ini se-

lanjutnya berfikir, siapapun adanya pemuda itu 

dia tidak perduli. Nanti setelah masa berkabung 

berlalu dia bertekad untuk mencari Selasih Jing-

ga. Jika pemuda itu bersamanya dan tetap berada 

dipihaknya, Dewa Angin Guntur telah bertekad 

untuk membunuhnya pula.

Orang tua itu tersenyum, sementara mere-

ka sudah hampir memasuki Solotiga ketika tiba-

tiba saja kuda Dewa Angin Guntur meringkik ke-

ras. Kuda berhenti mendadak, sambil mengang-

kat kedua kaki depannya.

"Gendolo Putih ada apa?" seru Dewa Angin 

Guntur menyebut nama kuda yang menjadi tung-

gangannya. Bicara begitu dia raih leher kuda 

hingga tidak membuatnya terbanting.

Melihat kejadian itu muridnya segera 

menghambur berlarian ke depan menghampiri.

"Guru ada apa?" tanya salah satu dianta-

ranya.

Ketua perguruan Gunung Keramat tidak 

menjawab, dia memandang ke satu jurusan di-

mana dia melihat satu sosok berkelebat diantara 

puncak pepohonan.

Merasa curiga tak menunggu lebih lama 

Dewa Angin Guntur berkelebat mengejar. Sampai 

di salah satu cabang pohon dia berhenti, matanya 

jelalatan memandang ke setiap sudut. Senyum


tersungging di bibir kala dia melihat satu sosok 

tubuh mendekam tak jauh darinya dalam posisi 

memunggungi. Rupanya perhatian orang itu ter-

tuju pada murid-murid Dewa Angin Guntur.

"Orang yang mengintai perjalananku, siapa 

dirimu ini adanya? Gerak-gerikmu mencurigakan. 

Sebaliknya menghadaplah kehadapanku!" dengus 

Dewa Angin Guntur tegas.

Orang itu terkejut dan cepat memutar ba-

dan dan memandang langsung ke arah ketua per-

guruan Gunung Keramat. Dewa Angin Guntur 

tercekat ketika melihat sosok yang mendekam itu 

ternyata memakai topeng berpakaian putih pan-

jang menjela.

"Tak mungkin. Sungguh tak dapat kuper-

caya!" desis Dewa Angin Guntur. Selagi perasaan 

orang tua ini diliputi rasa kaget, sosok berpakaian 

putih bertopeng kayu itu hantamkan tangannya 

ke arah Dewa Angin Guntur sambil berkelebat 

pergi.

Wuuus!

Dua pukulan menderu menebarkan hawa 

panas luar biasa. Seakan baru tersadar apa yang 

terjadi si orang tua langsung melompat menghin-

dari pukulan. Di belakangnya terdengar suara le-

dakan berdentum, pohon rambas hangus terkena 

pukulan. Dewa Angin Guntur berhasil selamatkan 

diri. Tanpa fikir panjang dia langsung mengejar ke 

arah lenyapnya orang bertopeng tadi.

"Bangsat jangan lari!" teriak Dewa Angin 

Guntur


Kejar mengejar terjadi, namun ternyata 

orang yang dikejar lenyap. Dewa Angin Guntur 

hentikan langkah sambil kepalkan kedua tin-

junya. Seakan tak percaya dia pandangi ke juru-

san lenyapnya orang tadi. Mulutnya mendesis. 

"Rasanya tidak mungkin. Murid-muridku telah 

membunuhnya. Tak mungkin dia bisa hidup lagi, 

lalu siapa orang bertopeng tadi? Kulihat-topeng 

yang dipakainya sama persis dengan topeng yang 

sering dipakai Bayu Gendala. Mungkinkah...!" 

Dewa Angin Guntur tak lanjutkan ucapan. Dia 

raba pakaian di bagian perut, sepasang matanya 

terbelalak. Topeng itu tak ada, dia mencoba men-

gingat-ingat. Sekarang dia baru sadar kalau to-

peng itu tertinggal di halaman rumah Selasih 

Jingga, jatuh ketika dia berusaha menotok nenek 

itu.

"Aku tak percaya orang yang mati bisa hi-

dup lagi. Terlebih-lebih tubuhnya telah hancur 

seperti dicacah." Dewa Angin Guntur menggu-

mam sendiri. Masih merasa penasaran Dewa An-

gin Guntur lalu berbalik bergabung lagi dengan 

muridnya. Akan tetapi belum jauh dia melangkah 

pada waktu bersamaan berkelebat dua sosok 

bayangan, angin menyambar di depan si orang 

tua. Dewa Angin Guntur siap menghantam.

"Hei, tahan...!" satu suara berseru. Hanya 

sekejap di depan Dewa Angin Guntur berdiri te-

gak seorang gadis cantik berpakaian putih dan 

seorang kakek berbadan tinggi tambun berperut 

gendut berpakaian hitam tak terkancing.


"Paman gendut dan kau... bagaimana bisa 

muncul di tempat ini?" tanya Dewa Angin Guntur 

curiga.

Si gendut besar Gentong Ketawa serta ga-

dis berbaju putih yang bernama Ambini terse-

nyum.

Gentong Ketawa tertawa mengekeh. "Dewa 

Angin, aku sendiri menjadi heran mengapa kau 

membawa murid begini banyak, seolah kalian 

hendak menghadapi perang besar."

"Saya baru saja menyelesaikan urusan 

penting." jawab Dewa Angin Guntur singkat.

"Urusan penting... urusan penting 

hemm...!" Gentong Ketawa mengulang ucapannya. 

"Urusan penting apa?"

"Jawab dulu pertanyaanku tadi!" kata De-

wa Angin Guntur. 

Ambini melirik ke arah si kakek gendut. 

Gentong Ketawa kedipkan matanya. Dia maju se-

langkah ke depan Dewa Angin Guntur. Lalu dia 

menjawab. "Terus-terang kami sedang mengikuti 

seseorang, sayang kami kehilangan jejak. Dia 

memakai sebuah topeng, gerak-geriknya mencuri-

gakan. Tak dinyana kami bertemu denganmu dis-

ini." kata si gendut.

Mendengar penjelasan Gentong Ketawa, 

Dewa Angin Guntur langsung teringat pada orang 

tadi, "Apakah orang itu memakai pakaian serba 

putih?" tanya Dewa Angin Guntur dengan tatapan 

menyelidik. 

Ambini dan si gendut jadi tercengang. "Ba


gaimana kau bisa tahu, Dewa Angin? Apa kau ju-

ga bertemu dengan orang itu? Melihat tindak-

tanduknya aku jadi curiga bukan mustahil dia 

orangnya yang telah membunuh cucu sahabatmu 

itu." kata si gendut lagi. 

Dewa Angin Guntur diam membisu. "Aneh 

apakah aku telah keliru membunuh orang. Kura-

sa aku telah melakukan suatu tindakan tepat. 

Bayu Gendala jelas merupakan pembunuh putri

ku. Tapi mengapa kini muncul orang bertopeng 

lainnya? Apakah dia orang yang telah merenca-

nakan pembunuhan atas diri putri ku." gumam 

Dewa Angin Guntur jadi bingung 

"Apa maksud paman? Siapa, yang telah 

paman bunuh?" tanya Ambini.

Wajah Dewa Angin Guntur berubah mu-

rung. Dia kemudian menarik napas panjang baru 

berkata. "Beberapa hari yang lalu seseorang telah 

membunuh putri ku. Bukan hanya itu saja, sebe-

lum dibunuh dia memperlakukan Lara Murti se-

cara biadab. Rasanya sulit bagiku melupakan ke-

jadian mengenaskan itu. Hingga tanpa fikir pan-

jang aku bersama murid-muridku pergi menjum-

pai Bayu Gendala. Kemudian dia kubunuh. Ini 

pun bukan tanpa alasan. Pertama dia sering 

menggoda putri ku, beberapa hari sebelumnya 

pemuda itu bahkan bermaksud membunuh Lam-

bang Pambudi. Hal yang kedua membuat aku 

sangat yakin dia bertanggung jawab dalam keja-

dian ini karena muridku menemukan sebuah pe-

dang berikut topeng miliknya. Alasan-alasan ini


yang membuat aku yakin memang dia orangnya 

yang bertanggung jawab atas segala kekejian itu." 

jelas Dewa Angin Guntur 

"Dewa Angin, ada beberapa hal yang ku ra-

sakan janggal. Kau sebagai orang berilmu tinggi, 

punya pandangan luas dan sangat terpandang 

apakah tidak merasa terburu-buru dalam men-

gambil tindakan?" tanya si gendut disertai se-

nyum 

Mendengar pertanyaan itu Dewa Angin 

Guntur melengak kaget. Apa maksud pertanyaan 

itu? 

"Aku tak mengerti dengan pertanyaanmu 

itu?" tanya Dewa Angin Guntur heran. 

"Maksudku bukan apa-apa. Setelah meli-

hat kemunculan orang bertopeng tadi aku jadi cu-

riga tidak tertutup kemungkinan telah terjadi ke-

salahan dalam menjatuhkan tangan." kata si ka-

kek 

Di depannya Dewa Angin Guntur terdiam 

seolah sedang memikirkan apa yang baru saja di-

katakan oleh si gendut. Gentong Ketawa kemu-

dian melanjutkan. 

"Ketua perguruan Gunung Keramat menu-

rut penglihatanmu antara Bayu Gendala yang kau 

bunuh dan anakmu Lara Murti apakah ilmu ke-

pandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dibanding-

kan ilmu yang dimiliki anakmu?"

"Tentu saja anakku yang lebih tinggi. Bayu 

Gendala hanya pemuda yang suka pamer dan 

menyombongkan jurus-jurus pedangnya, padahal


ilmu kesaktian yang dia miliki jauh berada di ba-

wah anakku." jawab Dewa Angin Guntur tegas.

Si gendut Gentong Ketawa mendadak ter-

tawa lebar mendengar jawaban orang tua di de-

pannya.

"Paman gendut adakah ucapanku yang 

membuatmu merasa lucu?" tanya Dewa Angin 

Guntur merasa tersinggung.

Si gendut hentikan tawanya sambil menye-

ka air mata yang bergulir di pipinya yang tembem. 

"Ucapanmu tidak ada yang lucu, Dewa Angin. Ta-

pi ada satu hal yang tak pernah terpikirkan oleh-

mu, mungkin semua itu karena kau terlalu marah 

dan gelap mata melihat kematian putri tunggal-

mu. Hanya untuk menjadi bahan pertimbangan-

mu apakah mungkin anakmu yang mempunyai 

tingkat kepandaian tinggi dari Bayu Gendala da-

pat dicelakainya? Ha ha ha." 

Bukan main kagetnya Dewa Angin Guntur 

mendengar uraian yang disampaikan oleh Gen-

tong Ketawa. Bagaimana mungkin apa, yang dika-

takan si gendut. Tak pernah terfikirkan olehnya? 

Menyadari ketololannya sendiri wajah Dewa Angin 

Guntur berubah merah padam.



EMPAT



"Apa pun yang kau katakan, mungkin me-

mang ada benarnya paman. Saat itu aku tidak bisa berfikir lain, karena di samping mayat anakku 

ditemukan topeng kayu yang sering dipakai oleh 

Bayu Gendala. Dari semua bukti yang ditemukan 

ditambah beberapa kejadian sebelumnya apakah 

aku tidak boleh mengambil keputusan sendiri?" 

bertanya Dewa Angin Guntur setelah beberapa 

saat lamanya berdiam diri.

Si kakek gendut manggut-manggut, dia 

kembangkan jemari tangan, setelah itu si kakek 

menggoyangkan tangannya pulang balik dengan 

gerakan seperti orang mengipas. "Terlalu banyak 

kemungkinan yang tidak dapat diduga. Misalnya 

seperti orang bertopeng kayu berpakaian putih 

yang kami kejar itu." kata si kakek. Dia lalu bica-

ra ditujukan pada Dewa Angin Guntur. "Dewa 

Angin seperti apakah topeng yang dipakai oleh 

pemuda yang kau bunuh?"

Mendapat pertanyaan seperti itu ketua 

perguruan Gunung Keramat jadi bingung. Dia 

sendiri sudah melihat orang yang dimaksudkan 

kakek Gentong Ketawa. Walau tak sempat melihat 

wajahnya, tapi topeng yang dipakai orang yang 

mendekam diatas pohon baik buatannya, warna 

kayu maupun rupanya sama persis dengan to-

peng yang selalu dipakai oleh putra Selasih Jing-

ga alias Jari Perontok Sukma. 

Setelah berfikir, dengan mengesampingkan 

perasaannya sendiri, dia menjawab. "Topeng yang 

dipakai Bayu Gendala terbuat dari kayu, ringan 

berwarna putih. Bentuknya lucu, bagian alis 

mencuat ke atas, ada dua buah lubang di bagian


mata, bagian mulut membentuk senyum dan di 

bagian hidung terdapat sebuah lubang." 

"Yang paman terangkan adalah topeng 

yang sama seperti yang dipakai orang berpakaian 

putih itu," tukas Ambini. 

"Dan orang yang kalian maksudkan baru 

saja berlalu dari tempat ini!" ujar Dewa Angin 

Guntur akhirnya berterus-terang.

Ambini dan kakek gendut Gentong Ketawa 

terperanjat dan sempat bersurut mundur.

"Tidak pernah saya sangka!" berkata Ambi-

ni setelah dapat menenangkan perasaannya sen-

diri.

"Semuanya kini berubah menjadi teka-teki 

yang membingungkan." celetuk si kakek gendut. 

Sementara itu beberapa murid Dewa Angin Gun-

tur telah bermunculan mengelilingi gurunya. Ru-

panya mereka khawatir terjadi sesuatu yang tidak 

diinginkan mengingat Dewa Angin Guntur yang 

tadi mengejar sesuatu tidak kunjung muncul me-

nemui mereka.

"Apa maksudmu paman gendut. Jika kau 

terus-menerus membuatku bingung bisa jadi aku 

jadi menaruh curiga kepadamu." kata orang tua 

itu jadi tidak sabar. 

Mendengar ucapan orang, Gentong Ketawa 

hanya tersenyum saja. "Dewa Angin curiga pada 

orang lain saja, tapi jika kau berani menuduh 

jangan kira aku takut padamu." sahut si kakek 

pula membuat perasaan Ambini jadi tidak enak. 

"Sekarang kau dengar baik-baik. Saat ini


setelah melihat orang bertopeng tadi, aku mena-

ruh duga mungkin ada orang yang mendendam 

padamu." 

"Tidak mungkin, aku tidak punya musuh!" 

bantah Dewa Angin Guntur cepat.

Masih dengan tersenyum si kakek kembali 

berucap. "Musuh mungkin kau tidak punya Dewa 

Angin. Tapi dalam hidup tidak tertutup kemung-

kinan orang memiliki rasa benci. Jika penjelasan-

ku ini tidak dapat kau terima. Mungkin ada se-

seorang yang memendam dendam pada Bayu 

Gendala. Jika orang sudah kelewat benci pada se-

seorang, dia bisa melakukan apa saja untuk men-

celakakan orang yang sangat dibencinya terma-

suk juga mencuri topeng dan pedang milik Bayu 

Gendala topeng itu kemudian dipergunakan oleh 

orang itu, aku berani menjamin akibat dari semua 

kejahatannya pasti akan ditanggung oleh orang 

yang dibencinya."

Apa yang diterangkan oleh kakek gendut 

ini cukup mengena di hati Dewa Angin Guntur. 

Kalau memang bukan Bayu Gendala yang mem-

bunuh anaknya, lalu siapa? Bukan hanya itu sa-

ja, kematian murid Guru Lanang Pakekasan 

hingga sampai saat ini juga belum diketahui siapa 

yang membunuhnya. 

"Paman gendut, keteranganmu mungkin 

bisa kuterima. Tapi terlalu rumit untuk ku cerna. 

Seandainya Selasih Jingga waktu itu dapat ku-

tangkap dan tidak dilarikan oleh pemuda gon-

drong itu. Mungkin dari mulutnya bisa kukorek


keterangan ada berapa topeng yang dimiliki oleh 

Bayu Gendala. Sayang pemuda urakan itu telah 

membawanya pergi," geram si orang tua seakan 

menyesali

"Eh, Dewa Angin. Dapatkah kau terangkan 

bagaimana ciri-ciri pemuda itu?" tanya si kakek 

gendut. Ambini sendiri walau diam, tapi dia dapat 

menduga siapa adanya pemuda itu. "Pasti Gento!" 

Ambini membatin. Ingat akan Gento Guyon, hati 

dan perasaan Ambini tiba-tiba perasaan aneh. Di 

matanya Gento walaupun terkesan urakan tapi 

mempunyai daya tarik tersendiri bagi gadis ma-

napun. Bagi Ambini setelah bergaul sekian lama 

dengan Gento telah menumbuhkan satu kesan 

mendalam yang tidak mungkin dapat terlupakan. 

Kini setelah mendengar penjelasan Dewa Angin 

Guntur yang terkesan tidak suka, Ambini jadi 

khawatir takut terjadi kesalahpahaman. Tapi, dia 

tidak mungkin mencegah kakek gendut yang su-

dah terlanjur ajukan pertanyaan. 

"Pemuda itu berbadan tinggi semampai, 

badannya tegap, rambut, gondrong sebahu berte-

lanjang dada!" menerangkan Dewa Angin Guntur. 

"Apakah dia memakai celana? Eeh, mak-

sudku apakah dia bercelana hitam?"

"Ya, dia bercelana hitam kumuh dekil?" 

sembur ketua perguruan Gunung keramat den-

gan perasaan jengkel.

"Kalau celananya bulukan, bukan murid-

ku, mungkin pemuda itu pengemis dipasar Turi. 

Sedangkan muridku...!"


"Kek...!" Ambini bermaksud mencegah uca-

pan si kakek gendut begitu melihat wajah Dewa 

Angin Guntur berubah merah kelam. Si kakek 

menoleh dan memandang pada Ambini dengan 

perasaan heran. Justru pada saat itulah Dewa 

Angin Guntur keluarkan satu bentakan mengge-

ledek.

"Semua keteranganmu dapat kuterima, 

kau telah membuka jalan fikiranku yang buntu, 

gendut! Satu hal yang tidak bisa ku maafkan, jika 

bocah edan itu muridmu, berarti kau harus me-

nanggung dosa dari kesalahan yang telah dilaku-

kannya!"

Mendengar ucapan ketua perguruan Gu-

nung Keramat yang membuat pengang telinganya 

itu Gentong Ketawa sempat berjingkrak kaget 

"Eeh, bagaimana tutur katamu yang san-

tun kini berubah seperti itu Dewa Angin. Apa kau 

tidak takut pamanmu ini memasukkanmu ke da-

lam botol atau ke dalam perut. Ha ha ha! Dasar 

orang tua songong gendeng!" kata si kakek den-

gan mulut berubah cemberut. Wajah Dewa Angin 

Guntur berubah menegang, matanya merah ber-

kilat sedangkan sekujur tubuhnya berubah me-

negang. Melihat ini Ambini jadi khawatir, lalu dia 

berbisik pada si kakek gendut. "Kek, sebaiknya 

kita menyingkir. Jangan cari penyakit dengan me-

layani orang gila ini."

Bukannya turuti saran Ambini, sebaliknya 

kakek gendut dengan bobot lebih dari dua ratus 

kati ini malah tertawa tergelak-gelak. "Kau hendak berbuat apa Dewa Angin Guntur? Ingat Mer-

babu tidak jauh dari sini, kau berbuat kurang 

ajar padaku, apalagi berani menyentuh perut 

gendutku. Guruku Dewa Kincir Samudera pasti 

akan memencetmu sampai mejret. Jika kau ma-

sih punya kewarasan dan bisa mempergunakan 

fikiranmu sebaiknya kau pertimbangkan ucapan-

ku dengan baik!" ujar si kakek sambil terus um-

bar tawanya 

Mendengar disebutnya Dewa Kincir Samu-

dera, tokoh sakti setengah manusia setengah de-

wa itu, maka kemarahan Dewa Angin Guntur to-

koh paling disegani di daerah utara jadi surut. 

Dia sadar tokoh aneh yang lebih suka tinggal di 

atas gelombang lautan itu memiliki ilmu yang ti-

dak tertandingi. Konon tokoh misterius ini bisa 

berada dimana saja hanya dalam waktu sekedi-

pan mata. Jika benar Dewa Kincir Samudera ada-

lah gurunya Gentong Ketawa, berurusan dengan 

manusia satu ini walau pun belum tentu kalah 

tapi sama saja dengan mencari bencana.

"Paman gendut sialan!" dengus laki-laki itu 

sambil menahan kekesalannya. "Mengingat dan 

demi memandang nama besar Dewa Kincir Sa-

mudera, aku bisa memaafkan dirimu. Tapi den-

gan satu syarat, kau harus memerintahkan mu-

ridmu untuk menyerahkan Selasih Jingga pada-

ku. Kalau dia tidak mau kau dan muridku harus 

bisa menangkap orang bertopeng itu atau paling 

tidak mencari siapa yang telah membunuh anak-

ku dan juga cucu sahabatku!" tegas Dewa Angin


Guntur. 

"Walah, tugas si tua ini terasa semakin ber-

tambah berat saja. Tapi tidak mengapa karena 

kau mau memaafkan muridku. Dan aku sebagai 

gurunya tidak ikutan terbawa sengsara! Apa yang 

kau minta akan ku penuhi, kau boleh menunggu 

di rumah sambil uncang-uncang kaki. Ha ha ha!" 

kata Gentong Ketawa. Dia kemudian berpaling ke 

samping, lalu berkata ditujukan pada Ambini. 

"Kekasihmu si bocah kampret itu punya masalah 

karena ketololannya. Kalau kau sudah kau boleh 

ikut denganku. Urusan gila ini harus aku, sele-

saikan secepatnya. Tapi kalau kau mau memilih 

jalan sendiri aku tidak bisa melarang." 

Gadis cantik berpakaian serba putih itu 

terdiam dan berfikir. Dia lalu menjatuhkan pili-

hannya sendiri. "Kek sebaiknya aku pergi sendiri. 

Mungkin dengan begitu kita dapat menemukan 

pembunuh Lara Murti secepatnya." ujar Ambini. 

"Ha ha ha. Semakin tua kiranya diriku se-

makin dijauhi oleh gadis-gadis cantik," si gendut 

mengendus badannya sendiri. "Pantas tubuhku 

bau asam. Ha ha ha." kata si kakek. Sambil ter-

tawa dia memutar tubuh. Sebelum kakek ini pergi 

dia berkata ditujukan pada Ambini. "Kuharap kau 

bisa menjaga diri. Eeh, jika aku bertemu dengan 

bocah edan itu apa yang harus kukatakan pa-

danya." 

"Katakan saja apa yang kakek mau!" sahut 

Ambini lalu berkelebat pergi.

"Kalau begitu akan kukatakan padanya


bahwa kau rindu dan ingin bertemu." kata si ka-

kek. Sambil tertawa-tawa orang tua ini berkelebat 

lenyap dari hadapan Dewa Angin Guntur.

Ketua perguruan Gunung Keramat geleng-

kan kepala. "Orang tua sinting, tapi mempunyai 

ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan." 

gumamnya. Dia lalu memberi isyarat pada murid-

muridnya untuk melanjutkan perjalanan. 



LIMA



Di satu tempat di bawah kerindangan po-

hon sosok berpakaian putih memakai topeng 

kayu ini rebahkan tubuhnya. Dia letakkan bunta-

lan putih berbau busuk yang selalu dibawanya 

kemana saja dia pergi. Sejenak dia memandang 

lurus ke pucuk pohon. Berbagai beban fikiran 

berkecamuk di dalam benaknya. Dia menarik na-

fas, lalu menghembuskannya dalam-dalam.

"Pembunuh biadab itu jejaknya saja sulit 

kutemukan. Aku telah mencari." keluh si orang 

bertopeng. Sejenak dia memandang ke arah bun-

talan, sepasang mata dibalik topeng itu menda-

dak berkaca-kaca. Tanpa terasa air mata bergulir 

lalu terdengar suara isak tangis tertahan.

"Cucuku maafkan kakekmu ini. Pembunuh 

itu masih belum kutemukan. Aku sadar arwahmu 

pasti tidak tenang di alam sana." kata si orang 

bertopeng yang bukan lain adalah Guru Lanang

Pamekasan seorang diri.

Dia lalu mengambil sikap duduk, buntalan 

berisi potongan kepala cucunya yang telah mem-

busuk dipeluknya. Bau busuk menyengat sudah 

tak dia hiraukan. Puas memeluki potongan kepala 

sang cucu yang bernama Pattira Seta dia meman-

dang lurus ke depan. Di saat matanya menera-

wang kosong sedangkan fikiran dibalut duka dan 

dendam. Pada saat itu sayup-sayup terdengar su-

ara orang seperti sedang bersenandung.

Si kakek tercengang. Dalam hati dia mem-

batin. "Aneh. Di tempat sesunyi ini bagaimana 

ada penyair gila kesasar dan lantunkan senan-

dung di malam gelap? Matahari baru saja tengge-

lam, mungkin yang kudengar adalah suara setan 

penghuni lembah." katanya lagi. Dia tetap duduk 

diam di tempatnya, bersikap acuh namun telinga 

tetap dipasang baik-baik.

Suara orang bersenandung semakin ber-

tambah jelas.

Malam,

Ku rindukan selalu kedatanganmu

Saat hati terbalut dendam

Luka dendam di hatiku diatas segala.

Kesunyian

Ku sambut kehadiranmu dengan segala 

amarah

Karena luka di hatiku ini adalah luka yang 

tak kunjung tersembuhkan. 

Satu korban jatuh


Semua itu bukan batas penentuan. 

Akan kubunuh semua orang yang ikut tersa-

lah 

Hingga segala dendam menjadi impas!

Di tempat duduknya Guru Lanang Pame-

kasan jadi tercekat. Tengkuknya bukan rasa 

tengkuk lagi, tapi telah berubah dingin laksana 

gundukan es. Siapapun orangnya yang mengu-

capkan kata-kata seperti itu jelas dia menyimpan 

dendam kesumat pada seseorang. Begitu terlintas 

sesuatu dalam benaknya si kakek bangkit berdiri.

"Kurasa lebih baik aku menyelidik. Men-

dengar suaranya aku yakin dia berada di sekitar 

sini." Dengan cepat orang tua memakai topeng 

penutup wajah ini bangkit berdiri. Sambil menen-

teng bungkusan berisi kepala cucunya orang tua 

ini berkelebat tinggalkan tempat itu.

Tak berselang lama dia sampai di satu 

lembah. Dalam gelapnya malam dia mendekam di 

balik gundukan lembah di sudut selatan lembah. 

Mata dipentang, pendengaran dipasang baik-baik. 

Sunyi! Padahal tadi sumber suara jelas berasal 

dari situ.

"Aneh, aku yakin yang bersenandung tadi 

manusia, bukan setan atau roh gentayangan 

penghuni lembah."

Selagi matanya sibuk mencari-cari, mem-

perhatikan ke setiap pepohonan yang tumbuh 

subur di sekitar lembah, pada saat itu Guru La-

nang Pamekasan dikejutkan oleh terdengarnya


suara tawa bergelak. Bukan hanya itu saja seba-

tang pohon dimana suara tawa terdengar tergun-

cang keras.

"Manusia gila. Benar-benar tidak waras!" si 

kakek merutuk sambil memandang ke atas ke-

tinggian pohon dengan tatapan tak berkesip.

"Datangnya maut tak mengenal tempat dan 

waktu, juga tak dapat ditunda atau dimajukan. 

Malam ini akan ada jiwa melayang terbang ke ne-

raka. Dia datang padaku tanpa kuundang!" seru 

sosok di atas pohon. Dalam gelapnya malam di 

tengah kesunyian suara orang diatas pohon ba-

gaikan suara geledek yang menyambar telinga si 

kakek

Sosok hitam itu lakukan gerakan berputar 

sebanyak tiga kali.

Wuuuttt!

Sekejab tubuhnya lenyap dari pandangan 

mata. Guru Lanang Pamekasan jadi tercekat me-

lihat sosok diatas pohon mendadak raib.

"Kuya, kemana perginya bangsat gila ta-

di?!" membatin si kakek. Sekali lagi dia meman-

dang ke pohon. Sosok yang berada di sana tetap 

tak terlihat. Orang tua itu berfikir sejenak, dia 

langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres 

bakal terjadi. Tanpa sadar si kakek meraba hulu 

celurit besar yang tergantung di bagian pung-

gungnya.

Perlahan si kakek bangkit berdiri, matanya 

memandang ke setiap sudut kegelapan. Dalam 

hati dia membatin. "Dia pergi, aku takut dia pasti


mengetahui kehadiranku." 

Belum lagi Guru Lanang Pamekasan sem-

pat beranjak dari tempatnya. Dari balik batu be-

sar mendadak ada suara menegur.

"Kau mencariku orang tua?!"

"Heh...!" Dalam kejutnya si kakek cepat 

memutar tubuh balikkan badan. Tangan kanan 

bergerak mencabut senjata. Ketika balikkan ba-

dan si kakek jadi terperangah melihat sosok ber-

pakaian hitam dan berbaju putih dibagian dalam 

telah berdiri tegak disitu dengan bibir sungging-

kan senyum dingin menyeramkan. Yang lebih 

mengejutkan lagi orang ini juga memakai topeng 

sebagaimana dirinya sehingga diapun tak dapat 

mengenali orang itu.

Guru Lanang Pamekasan adalah seorang 

tokoh silat berkepandaian tinggi, memiliki ilmu 

meringankan tubuh sangat sempurna dan ahli 

pula dalam menggunakan celurit. Jika kehadiran 

sosok yang wajahnya tertutup topeng sampai ti-

dak dia ketahui, semua itu merupakan suatu per-

tanda sosok yang berdiri di depannya itu memiliki 

kesaktian tinggi.

"Siapa kau?!" tanya Guru Lanang Pameka-

san dengan sikap waspada.

"Jawabannya tanyakan pada cucumu itu!"

Guru Lanang Pamekasan kembali tercekat, 

mulut ternganga sedangkan dada bergemuruh 

hebat. 

"Cucuku? Jadi kau bangsatnya yang telah 

membunuh cucuku?" tanya si kakek dengan suara keras bergetar.

Di depannya sosok hitam bertopeng me-

nyeringai dingin. "Aku tak menghendaki antara 

manusia dengan manusia melakukan perjodohan. 

Jodoh hanya Tuhan yang boleh menentukan!" ka-

ta sosok bertopeng kayu sinis.

"Apa urusannya denganmu?" hardik si ka-

kek sengit.

"Pertanyaanmu baru terjawab setelah kau 

berada di alam roh. Sekarang ini sudah tiba wak-

tunya bagimu untuk menyusul arwah cucumu" 

kata sosok berpakaian hitam bertopeng. Sekejab 

dengan kecepatan laksana kilat. Sosok itu berge-

rak menyambar ke arah guru Lanang Pamekasan, 

dua tangan meluncur ke bagian wajah sedangkan 

kaki menghantam ke bagian perut serta dada. 

Dua serangan dahsyat yang dilakukan secara 

bersamaan, bukan serangan sembarangan, apala-

gi disertai menebarnya angin dingin. Si kakek wa-

lau sempat terkesiap namun dengan cepat me-

nyambut serangan itu dengan babatan celurit dari 

arah atas meluncur ke bawah.

Sinar putih berkiblat, hawa dingin luar bi-

asa memancar dari celurit. Mendapat sambutan 

yang tak kalah hebatnya orang itu kembali berge-

rak dan tarik serangannya. 

Wueeees!

Tangkisan yang dilakukan kakek itu hanya 

mengenai angin. Lawan raib bagaikan setan. Da-

lam kaget, tak menyangka lawan lolos dari serga-

pan senjatanya, kakek itu memutar tubuh sekali


gus gerakkan senjata di tangannya. Yang celaka 

dia tak melihat dimana posisi lawan. Sehingga se-

rangannya dilakukan secara serampangan. Di 

saat dilanda rasa bingung seperti itu dia merasa 

ada orang mencolek bahunya. Si kakek langsung 

melompat ke samping sambil babatkan senjata ke

belakang.

Wuuut!

"Ha ha ha. Seranganmu ngawur seperti 

orang mabuk. Kurasa kau mabuk karena bau bu-

suknya bangkai. Yang sangat disayangkan siapa 

aku kau tak akan pernah mengetahuinya. Aku 

tahu ilmumu sangat tinggi, disayangkan semua 

itu tak banyak artinya di hadapanku. Sekarang 

kau lihat kemari orang tua!" kata lawannya. Guru 

Lanang Pamekasan cepat palingkan wajahnya, 

memandang ke arah mana suara tadi terdengar.

Saat itu si kakek melihat satu kilatan ca-

haya pedang, cahaya angker yang kemudian ber-

kiblat ke arahnya dengan kecepatan laksana kilat. 

Sadar dirinya dalam ancaman bahaya besar, tak 

menunggu lagi Guru Lanang Pamekasan segera 

melepaskan pukulan Gerhana Langit-langit ke 

arah pedang, setelah itu dia melanjutkan seran-

gan dengan membabatkan celurit di tangannya.

Sinar hitam berkiblat disertai suara berge-

muruh keras, lalu terjadi suara ledakan berden-

tum. Orang yang diserang lenyap. Bukan hanya 

pukulan si kakek saja yang tidak mengenai sasa-

ran, sebaliknya serangan senjatanya juga cuma 

membabat angin,


"Aku di sini orang tua!" kembali terdengar 

suara di belakang si kakek. Dengan penuh kema-

rahan karena merasa dipermainkan orang, si ka-

kek membalikkan badan. Saat itulah satu kilatan 

cahaya putih menyambar lehernya. Si kakek ter-

kesiap, namun tak sempat selamatkan diri 

Craas!

Darah tersembur dari kepala si kakek yang 

nyaris tanggal. Tubuhnya terhuyung, lalu ambruk 

jatuh bergedebukan tak berkutik lagi. Sosok serba 

hitam, tersenyum dingin dan dengan cepat ting-

galkan tempat itu.



LIMA



Sejak berpisah dengan kakek gendut Gen-

tong Ketawa, hati Ambini selalu diliputi kegelisa-

han. Kini setelah melakukan perjalanan seorang 

diri fikiran gadis itu selalu teringat pada Gento. 

Entah dimana pemuda itu sekarang berada. Dia 

ingin mencari atau menemui pemuda itu, menga-

takan segala sesuatu yang didengarnya dari Dewa 

Angin Guntur. Tapi dia sendiri jadi bingung hen-

dak mencari kemana. Tak lama setelah memikir-

kan segala sesuatunya sambil berjalan, Ambini 

berteduh di bawah pohon di pinggir sungai. Panas 

matahari yang terik membakar membuatnya ingin 

membasuh muka. Ambini lalu julurkan kedua 

kakinya ke dalam air. Terasa sejuk. Dia lalu 

menggerakkan tangannya, mengambil air dengan

menggunakan telapak tangan sambil membasahi 

bagian wajah.

"Nyaman sekali," gumam si gadis sambil 

memercikkan air ke sekujur badan hingga pa-

kaiannya menjadi basah. Puas bermain air, gadis 

itu kembali duduk di bawah pohon. Kini terfikir 

olehnya untuk mencari orang bertopeng yang 

pernah lolos dari kejaran mereka.

"Gadis itu sungguh tragis sekali suratan 

nasibnya. Entah siapa yang begitu tega melaku-

kan perbuatan terkutuk itu. Jika benar Bayu 

Gendala yang telah membunuhnya, lalu siapa 

orang bertopeng itu? Topeng yang dipakainya sa-

ma persis dengan topeng milik Bayu Gendala. Bo-

leh jadi topeng pemuda itu sengaja dicuri oleh si 

pembunuh." kata Ambini.

Selagi si gadis tengah memikirkan segala 

sesuatunya, pada saat itu dia mendengar suara 

sesuatu yang bergemeretak dibelakangnya. Secara 

cepat si gadis menoleh memandang ke arah ter-

dengarnya suara. Ambini belalakkan mata begitu 

melihat siapa yang datang. Sekonyong-konyong 

dia melompat berdiri. Matanya berbinar, wajah-

nya berubah cerah. Dia hendak berlari menyong-

song kedatangan sosok berpakaian merah itu. 

Tapi gerakannya mendadak surut, dia tertegak di 

tempatnya. Wajah yang tadinya tegang kini beru-

bah heran. Penglihatannya memang tidak salah, 

benar yang berdiri tegak di depannya adalah Si 

Tangan Sial sahabatnya, juga merupakan sahabat 

Gento Guyon sekaligus gurunya. Tapi sosok yang


dilihatnya kali ini jauh berbeda dengan apa yang 

dilihatnya beberapa hari yang lalu.

"Paman Tangan Sial apa yang terjadi pa-

damu?" tanya Ambini suaranya bergetar pertanda 

dia tak dapat menutupi rasa kagetnya. Di depan-

nya sana Si Tangan Sial memandang pada si ga-

dis dengan tatapan matanya yang menerawang 

kosong. Ditatap dengan cara seperti itu si gadis 

cepat alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Da-

lam hati, dia berkata, "Entah apa yang telah ter-

jadi padanya? Kulihat wajah paman ini seperti 

pernah terluka disiksa orang pelupuk matanya 

membiru, pipinya ada parut bekas goresan, pa-

kaian hancur compang-camping. Pasti telah terja-

di sesuatu yang sangat hebat pada dirinya. 

Mungkinkah orang bertopeng itu yang punya pe-

kerjaan?"

"Ambini... aku rasa kenal, aku rasa pernah 

berjumpa denganmu. Bukankah kau sahabatnya. 

Gento Guyon, murid si kakek tambun Gentong 

Ketawa?" kata Si Tangan Sial. Suaranya satu-

satunya, seakan tertahan di tenggorokan. Ambini 

jadi tercekat dan mundur satu tindak ke bela-

kang.

"Paman Tangan Sial, bagaimana kau bisa 

lupa dengan sahabatmu sendiri?"

"Sahabatku, siapa sahabatku?" tanya Tan-

gan Sial seperti orang bingung. Mendengar perta-

nyaan orang tua itu Ambini semakin bertambah 

kaget. "Bukankah Gento sahabatmu juga?" 

Si Tangan Sial tercengang, dia hendak


mengatakan sesuatu. Tapi pada waktu bersamaan 

tengkuk dan kedua bahunya mendadak menjadi 

sakit. Rasa sakit yang disertai dengan menjalar-

nya hawa dingin luar biasa. Tubuh orang tua itu 

bergetar hebat. Dalam keadaan seperti itu lapat-

lapat seperti suara ngiangan nyamuk dia men-

dengar suara orang membisik dari sebuah jarak 

yang sangat jauh. "Kau tangkap gadis itu, tinggal-

kan pesan. Aku jamin urusan melenyapkan nya-

wa Gento Guyon menjadi satu persoalan yang 

mudah." suara lenyap Si Tangan Sial mengang-

guk.

"Mungkin orang itu sahabatku, bahkan 

siapa diriku sendiri aku hampir tak dapat men-

gingat!" kata Si Tangan Sial

"Siapa yang membuat dirimu berubah se-

perti ini?" tanya Ambini.

Si Tangan Sial gelengkan kepala.

"Aku tidak tahu, aku sudah lupa." jawab si 

orang tua. Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Aku 

ingin menangkapmu, aku ingin membawamu ke 

satu tempat ke Kuil Neraka!"

Kagetlah Ambini mendengar ucapan Si 

Tangan Sial. Dengan tegas gadis cantik jelita ini 

berkata. "Tangan Sial, siapapun yang telah mem-

peralatmu. Siapapun yang berdiri di belakangmu 

hingga membuatmu lupa ingatan begini rupa aku 

tak perduli. Tapi satu hal yang harus paman ke-

tahui, Kuil Neraka adalah tempat paling terlaknat 

di dunia persilatan ini. Aku tak mau ikut ke tem-

pat terkutuk itu!" teriak Ambini.


Si Tangan Sial sunggingkan seringai din-

gin. Matanya yang menerawang kosong meman-

dang ke arah si gadis beberapa saat lamanya. Me-

lihat pada wajah si gadis seakan timbul kesada-

ran si orang tua, tapi ada sesuatu yang membe-

rontak di tiga bagian tubuhnya, satu kekuatan 

yang membuatnya selalu menderita rasa sakit he-

bat bahkan melenyapkan kesadaran orang tua itu 

sendiri.

"Aku akan membawamu, aku bisa memak-

samu!" Berkata begitu Si Tangan Sial langsung 

menyergap ke depan dengan gerakan seperti 

orang yang hendak menangkap. Menyadari Si 

Tangan Sial tidak bisa dibuat sadar, maka Ambini 

segera berkelit dari sergapan lalu sambil merun-

duk dia berlari ke belakang ke arah mana si orang 

tua tadi menyerang. Si Tangan Sial begitu menya-

dari lawan dapat meloloskan diri segera berbalik. 

Laksana kilat tubuhnya berkelebat, dua tangan 

terjulur, satu mencengkeram leher dan satunya 

lagi mencekal tangan Ambini.

Gadis ini tidak tinggal diam, dia langsung 

menghantamkan kedua tangan lepaskan dua pu-

kulan beruntun. Di udara Si Tangan Sial sempat 

terdorong mundur, dengan tangan kiri yang me-

miliki kesaktian aneh sejak dirinya masih kecil 

orang tua ini menyambut pukulan Ambini. 

Wut! Wuut!

Laksana tersedot serangan yang dilancar-

kan si gadis seolah amblas lenyap begitu saja. Si 

gadis jadi tercekat, dia bantingkan tubuhnya, lalu


bergulingan ke samping. Sambil berguling-guling 

dia meraup sesuatu dari dalam kantong perbeka-

lannya. 

"Kupu-kupu biru, lumpuhkan orang itu!" 

Ambini keluarkan seruan keras bernada meme-

rintah, sedangkan tangan kanannya yang meraup 

sesuatu dari dalam kantong yang dihiasi sulaman 

kupu-kupu langsung dilontarkan ke udara. Ketika 

tangan terkembang di udara bertaburan puluhan 

kupu-kupu berwarna biru. Kupu-kupu langka 

yang memiliki belalai dapat menyengat dan men-

gandung racun mematikan ini begitu mendapat 

perintah seakan mengerti langsung menyerang Si 

Tangan Setan. Seperti diketahui orang tua itu 

memiliki kesaktian hebat hanya pada bagian ke-

dua tangannya saja, sedangkan bagian tubuhnya 

yang lain tidak memiliki kekebalan.

Ketika Si Tangan Sial melihat serangan pu-

luhan kupu-kupu biru tanpa fikir panjang orang 

tua ini langsung memutar kedua tangannya un-

tuk melindungi diri. Begitu kedua tangan diputar 

membentuk perisai diri, maka angin pun mende-

ru. Belasan kupu-kupu bermentalan terhantam 

tangan Si Tangan Sial. Sebagian diantaranya yang 

berhasil hinggap dan menusukkan belalainya di 

lengan orang tua itu sama sekali tidak menimbul-

kan akibat apa-apa. Binatang beracun ini lang-

sung diremas oleh Si Tangan Sial hingga hancur.

Ambini jadi tercengang melihat kehebatan 

tangan laki-laki itu. Dia lalu melepaskan dua sen-

jata anehnya berupa dua lingkaran pipih yang


sangat tajam pada setiap sisinya. Senjata ini seca-

ra berturut-turut disambitkan ke arah Si Tangan 

Sial. Terdengar suara berdesing disertai melesat-

nya kedua senjata itu membelah udara.

Si Tangan Sial tertawa terkekeh, dua tan-

gan langsung digerakkan menyambuti senjata la-

wannya. 

Ziiing! 

Tap! Tep!

Senjata kena ditangkap oleh Si Tangan Si-

al. Tanpa terduga dua senjata disatukan, setelah 

itu tangannya bergerak.

Kraak!

Senjata itupun hancur berkeping-keping. 

Sambil membuang senjata Si Tangan Sial melom-

pat ke depan. Ambini yang masih belum hilang 

rasa kagetnya melihat senjata dihancurkan lawan 

langsung lakukan gerakan berjumpalitan ke bela-

kang. Tapi walaupun gerakannya sangat cepat 

luar biasa, kedua kakinya masih kena disambar 

dan dicekal lawan. Begitu tercekal dia langsung 

lancarkan totokan

"Tangan Sial! Apa yang hendak kau laku-

kan padaku?!" hardik Ambini yang sekujur tu-

buhnya telah berubah kaku dalam keadaan terto-

tok. Si Tangan Sial menyeringai dingin. Dia men-

gangkat si gadis dan meletakkannya di bahu kiri. 

"Seperti yang sudah kukatakan, aku akan mem-

bawamu ke Kuil Setan!" sahut Si Tangan Sial ak-

hirnya. Dia menyentakkan kantong perbekalan 

milik Ambini, diatas kantong perbekalan itu, dia


guratkan sesuatu. Sebelum pergi dia gantungkan 

kantong perbekalan itu di salah satu cabang po-

hon yang gampang terlihat. 

"Tangan Sial, otakmu pasti sudah tergang-

gu, lepaskan aku!" teriak si gadis. Si Tangan Sial 

tertawa dingin sambil tinggalkan tempat itu.



TUJUH



Beberapa hari ini Lambang Pambudi me-

mang kurang tidur. Hal ini terlihat dari wajahnya 

yang pucat, mata kemerahan membayangkan ke-

letihan luar biasa. Pagi itu adalah hari ke empat 

setelah kematian kekasihnya. Dan sejak ditinggal 

kekasihnya Lambang Pambudi memang sudah ti-

dak dapat lagi hidup tenteram. Fikirannya kacau, 

hati dirundung duka dan kegelisahan. Dia me-

mang merasa amat kehilangan Lara Murti bahkan 

mungkin akan terus berduka atas kematiannya. 

Disayangkan diluar semua itu ada hal lain yang 

amat menekan perasaannya.

Kini setelah jauh meninggalkan perguruan 

Gunung Keramat, pemuda ini terus memacu ku-

danya ke arah selatan. Tak berselang lama dia 

sampai di pinggir sebuah sungai. Kuda terus di-

pacu menyeberangi sungai. Namun setelah bera-

da di seberang Lambang Pambudi hentikan kuda 

tunggangannya. Sepasang mata memandang ke 

depan dengan penuh rasa heran. Saat itu di atas

ranting pohon rindang tergantung sebuah kan-

tong perbekalan yang tidak jelas entah milik sia-

pa. Kantong berwarna putih yang pada salah satu 

sisinya terdapat sulaman bergambar kupu-kupu 

berwarna biru dan putih. Si pemuda putar kepala 

edarkan pandang. Tak terlihat tanda-tanda keha-

diran orang lain di tempat itu terkecuali dirinya 

sendiri. Dalam herannya Lambang Pambudi ber-

gerak mendekati. Kantong perbekalan itu kemu-

dian diambilnya. Selanjutnya kantong dibolak-

balik, Lambang Pambudi meneliti. Tiba-tiba sepa-

sang mata pemuda itu terbelalak karena kantong 

perbekalan itu berisi pesan.

"Kantong ini berisi pesan. Siapa pemilik 

kantong ini dan siapa pula yang telah meninggal-

kan pesan?" si pemuda jadi heran sendiri. Lam-

bang Pambudi lalu membaca dua baris kalimat 

yang tertera pada kantong tersebut. 

Kepada Gento Guyon, murid kakek edan 

Gentong Ketawa. Kehadiranmu kutunggu di Kuil 

Setan. Jika pada waktu yang telah ditentukan kau 

tidak muncul gadis yang bernama Ambini akan 

mati sia-sia.

Setelah membaca pesan Lambang Pambudi 

tersenyum. Inilah pertama kalinya Lambang 

Pambudi tersenyum setelah ditinggal Lara 

"Setan gila mana yang telah meninggalkan 

pesan ini untuk sahabatku Gento. Akan ku apa-

kan kantong ini? Kemana aku harus mencari pe-

muda itu. Untuk mencari dimana beradanya pen-

dekar seperti dia tentu tidak mudah." kata Lambang Pambudi. Lama pemuda itu tertegun diatas 

kudanya. Dia jadi ingat dengan pertolongan yang 

diberikan Gento di kebun bunga beberapa hari 

yang lalu. Lambang Pambudi gelengkan kepala. 

Selagi dia memutuskan untuk meletakkan kan-

tong perbekalan di tempat semula, pada waktu 

bersamaan dia mendengar suara siulan yang dis-

ertai dengan berkelebatnya satu sosok tubuh ke 

arah pemuda 

"Ha ha ha. Sudah lama kita tak bertemu. 

Apa yang kau lakukan disini?" tanya satu suara. 

Lambang Pambudi dengan cepat menoleh, me-

mandang ke arah datangnya suara. Dia jadi me-

lengak kaget ketika melihat seorang pemuda gon-

drong bertelanjang dada telah berdiri tegak diha-

dapannya sambil ulurkan tangan menyalami. 

"Senang aku bertemu denganmu, Gento." 

sahut Lambang Pambudi sambil menyambut ulu-

ran tangan Gento.

Sejenak mereka saling berpandangan. Gen-

to kernyitkan alisnya ketika melihat wajah saha-

batnya nampak pucat seperti tidak berdarah. Se-

mentara Lambang Pambudi alihkan perhatiannya 

ke arah kantong perbekalan yang dipegangnya. 

Gento sendiri akhirnya ikutan memandang ke 

arah kantong perbekalan itu. Begitu mengenali 

kantong dalam dekapan Lambang Pambudi dia 

jadi kaget. Seakan mengerti pemuda di depannya 

berkata. "Aku menemukan benda ini di ranting 

pohon. Ada pesan untukmu yang agaknya ditulis 

dengan tergesa-gesa." menerangkan si pemuda.


Dia lalu menyerahkan kantong perbekalan itu pa-

da Gento. Dengan hati diliputi tanda tanya Gento 

menerimanya.

"Ini milik sahabatku Ambini. Bagaimana 

barang gadis itu bisa ketinggalan disini?" ujar 

Gento setengah bertanya.

"Aku tidak tahu bagaimana barang teman-

mu bisa ketinggalan. Seperti yang kukatakan ba-

rang tersangkut diatas pohon." jawab Lambang 

Pambudi menirukan cara pemuda itu bicara. Gen-

to tentu saja tak dapat menahan senyum. Tapi 

kemudian perhatiannya tertuju pada kantong 

bekal. Dia memeriksa salah satu sisinya. Setelah 

membaca isi pesan ini wajah pemuda itu jadi be-

rubah pucat.

"Celaka, Ambini berada dalam bahaya be-

sar. Tapi siapa orangnya yang berani melakukan 

tindakan sepengecut itu. Dia mengundangku un-

tuk datang ke Kuil Setan. Sedangkan tempatnya 

saja aku tak tahu." gumam Gento. Sejenak dia 

memandang ke arah Lambang Pambudi dengan

tatapan menyelidik. Dia lalu ajukan pertanyaan. 

"Sahabatku, ketika kau sampai disini apakah ti-

dak melihat seseorang."

Pemuda yang duduk di atas kuda geleng-

kan kepala. "Tak ada siapapun disini." jawab 

Lambang Pambudi tegas.

Jawaban itu membuat Gento mengusap 

wajahnya. Dia merasa kini urusan semakin rumit 

berbelit. Siapa yang menculik Ambini dia tidak 

tahu. Padahal saat ini dia sedang mencari pembunuh murid Guru Lanang Pamekasan dan juga 

pembunuh Lara Murti.

"Apa yang kau pikirkan sahabatku." tanya 

Lambang Pambudi begitu melihat Gento terdiam 

cukup lama.

"Aku sedang memikirkan pembunuh keka-

sihmu." jawab Gento.

Lambang Pambudi melengak kaget. "Ba-

gaimana kau bisa mengetahui kekasihku Lara 

Murti terbunuh?" tanya si pemuda heran.

"Rasanya hal itu tak perlu ku jelaskan. Ta-

pi terus-terang saat ini aku merasa seperti berada 

di dalam lingkaran setan. Bukan setan benaran 

tapi setan berupa manusia keji pengecut. Sean-

dainya saja aku mampu menemukan pembunuh 

pengecut itu, kelak akan kuhadiahkan kepalanya 

padamu." 

"Aku merasa berterima kasih kau mau 

membantu, Gento. Terus-terang seandainya saja 

aku memiliki ilmu serta kepandaian silat sehebat 

dirimu aku pasti akan melakukan pembalasan 

sampai seribu kali. Sayang aku hanya pemuda 

lemah, tolol dan tak punya kebisaan apa-apa. 

Saat kekasihku dibunuh orang, diperlakukan se-

cara keji aku juga tidak bisa melindungi dan 

membalas kematiannya." ujar Lambang Pambudi 

dengan suara tersendat. Sejenak pemuda itu seka 

air matanya. Kemudian dia melanjutkan. "Menu-

rut Dewa Angin Guntur beliau baru saja membu-

nuh Bayu Gendala. Pemuda tengik yang hampir 

membuatku celaka waktu itu. Aku sendiri merasa


yakin pasti dia orangnya yang telah berlaku keji 

kepada Lara Murti. Mungkin hanya dia yang da-

pat menghancurkan Lara Murti. Jahanam itu in-

gin sekali aku mencabik-cabik mayatnya yang 

busuk sampai lumat!" kata pemuda ini sambil ke-

palkan kedua tinjunya.

"Kau percaya dia pembunuhnya?" Gento 

Guyon ajukan pertanyaan.

"Mengapa tidak? Semua bukti sudah tak 

kuragukan lagi." jawab Lambang Pambudi sengit. 

Gento gelengkan kepala.

"Kau sendiri bagaimana?" Pemuda itu balik 

bertanya.

"Aku... aku tak dapat mengambil kesimpu-

lan secepat dirimu. Karena terkadang dalam hi-

dup ini aku melihat orang begitu pandai berpura-

pura. Bisa jadi seseorang yang terlihat baik se-

sungguhnya dia menyimpan kekejian dibalik ke-

baikannya itu. Tidak tertutup kemungkinan pula 

seseorang yang terlihat jahat, sebenarnya dia 

memiliki hati dan sifat mulia sebagai manusia. 

Hidup ini sangat membingungkan, mereka yang 

waras banyak bertingkah seperti orang gila. Cuma 

kurasa kita tak usah merepotkan diri dengan iku-

tan menjadi gila. Bukankah begitu? Ha ha ha." 

sahut murid si kakek gendut Gentong Ketawa di-

iringi derai tawa.

"Ah, tak kusangka wawasan mu begini 

luas, sobat. Sayang hari sudah siang. Pertemuan 

ini menimbulkan kesan tersendiri di hatiku. Tapi 

aku tak bisa bicara lebih lama denganmu. Masih


banyak urusan yang harus kuselesaikan. Aku 

mohon pamit, pergi dulu." Selesai bicara Lambang 

Pambudi menarik tali kekang kuda. Namun be-

lum lagi kudanya bergerak Gento berseru.

"Tunggu...!"

Lambang Pambudi urungkan niat dan 

langsung menoleh. "Masih ada yang hendak kau 

tanyakan?"

"Kau hendak kemana?"

Lambang Pambudi tersenyum.

"Aku ini tidak jauh bedanya dengan seo-

rang budak. Bila majikan menyuruhku melaku-

kan sesuatu, biarpun tengah malam buta tugas 

harus kulakukan. Saat ini aku hendak ke selatan 

menghubungi kerabat Dewa Angin Guntur. Mere-

ka belum tahu tentang kabar duka ini."

Gento manggut-manggut, namun jauh di 

dalam lubuk hatinya dia merasakan suatu pera-

saan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Se-

mentara itu tanpa menoleh lagi Lambang Pambu-

di langsung memacu kuda tunggangannya 

Gento menarik nafas setelah meletakkan 

kantong perbekalan milik Ambini dibelakang 

punggungnya. Kini pikirannya terbagi dua. Ha-

ruskah dia menyusul Ambini ke Kuil Setan atau 

meneruskan usahanya mencari pembunuh Lara 

Murti? Bagi Gento keselamatan Ambini sangat 

penting. Tapi mencari pembunuh Lara Murti yang 

sebenarnya adalah suatu hal yang tak dapat di-

abaikan. Apalagi mengingat dia telah berjanji pa-

da nenek Selasih Jingga untuk membantu men


jernihkan kemelut yang tengah melanda dirinya.

"Lambang Pambudi...!" Gento tepuk ke-

ningnya. "Dia mengaku tak pandai ilmu silat. Tapi 

kulihat dia sangat pintar menunggang kuda. Dia 

mengatakan hendak ke selatan. Kurasa alangkah 

baik jika aku menyusulnya. Bukan mustahil 

pembunuh itu menjadikannya sebagai korban be-

rikutnya!" fikir Gento. Tanpa menunggu lebih la-

ma lagi pemuda ini segera menyusul ke arah per-

ginya Lambang Pambudi.

8l


DELAPAN



Malam itu suasana gelap pekat. Tidak ter-

lihat cahaya bintang maupun rembulan. Langit 

tertutup mendung tebal, walaupun tidak ada tan-

da-tanda hujan akan segera turun. Namun udara 

saat itu terasa dingin menusuk. Seakan tidak 

menghiraukan dinginnya udara, sosok nenek tua 

berpakaian hitam itu duduk bersimpuh di depan 

sebuah pelita yang nyaris padam.

Agaknya ada suatu beban batin yang amat 

berat menjadi ganjalan dihati si nenek. Terbukti 

sejak tadi dia terus meratap tiada henti. Sambil 

meratap si nenek menyeka pipinya yang kempot. 

Kedua matanya nampak memerah, bagian pelu-

puk mata membengkak dan nenek tua ini nam-

pak sangat kelelahan sekali. Tak lama suara isak 

tangis si nenek berubah perlahan hingga kemu-

dian terhenti sama sekali. Wajah yang keriput basah oleh air mata mendongak ke langit, dua tan-

gan yang hanya tinggal berupa kulit pembalut tu-

lang diangkat, lalu bibirnya berucap.

"Gusti Allah, begini berat beban batin yang 

harus ku tanggungkan. Aku tahu diriku manusia 

berlumur dosa. Tapi Tuhan disepanjang sisa 

usiaku, keampunan selalu kupohonkan kepada-

mu. Sekarang sudahkah semua dosaku telah kau 

ampuni? Atau kau tidak pernah dapat memaaf-

kan aku? Aku percaya rahmat Mu selalu kau lim-

pahkan padaku. Tuhan... aku memohon kepada-

mu, jika kelanjutan hidupku ini hanya akan 

membawa keburukan bagi diriku, aku minta kau 

mencabut nyawaku sekarang juga. Tapi jika akhir 

dari perjalanan hidup ini membawa kebaikan bagi 

diriku juga orang lain ku mohon berilah aku pe-

tunjuk. Sebaik-baiknya petunjuk yang pernah 

kau berikan pada umat mu yang terdahulu juga 

yang terkemudian. Tuhan, berilah aku jalan, serta 

limpahkanlah ketenangan jiwa dan kedamaian 

hati. Ya Tuhan tunjukkanlah jalan itu, satu jalan 

yang membuat aku ridho atas segala cobaan yang 

kau berikan kepadaku!" kata si nenek dengan su-

ara tersendat-sendat.

Selagi diri si nenek dalam keadaan penuh 

kepasrahan diri, tiba-tiba terdengar suara tawa 

bergelak. Suara itu seakan datang dari jarak ra-

tusan mil. Belum lagi hilang rasa kaget si nenek, 

dibelakang orang tua itu muncul seorang pemuda 

berpakaian serba hitam memakai topeng kayu 

menunggang seekor kuda. Dalam kagetnya si nenek bangkit berdiri, memutar langkah. Hingga ki-

ni dia berhadap-hadapan dengan sosok penung-

gang kuda. "Topeng itu? Bukankah topeng yang 

dipakai orang ini sama persis dengan topeng milik 

anakku?" batin si nenek semakin bertambah ka-

get. Belum lagi sempat nenek itu ajukan perta-

nyaan, orang yang memakai topeng kayu datang 

dengan menunggang kuda langsung bersenan-

dung.

Terlalu lama memendam dendam, dalam ji-

waku bersemi rasa kebencian.

Sekarang aku berada di hadapanmu untuk

tunjukkan satu jalan

Jalan hitam dari kematian yang engkau 

minta.

Nenek tua.... 

Hari ini segalanya harus dibayar impas.

Agar semua dendam berkarat dapat terobat.

Engkau tidak punya pilihan lain 

Di saat masa lalu telah kau jalani.

Semuanya mengingatkan pada nista dan 

darah orang yang kau korbankan.

Korban telah banyak berjatuhan.

Genangan darah orang tak berdosa mem-

buahkan laknat bagimu.

Dulu begitu banyak Roh kau berangkatkan 

sebelum masanya

Padahal sepasang tanganmu tidak punya 

kuasa atas jiwa mereka. 

Selasih Jingga! 

Jari Perontok Nyawa adalah gelarmu


Aku tahu hidup tidak pernah mundur ke be-

lakang

Tapi apa yang terjadi saat ini adalah bagian 

dari masa lalu mu

Sekarang....

Kepadamu akan ku lampiaskan dendam

Seandainya kau punya seribu nyawa,

Kau tidak akan pernah kubiarkan lolos dari 

tanganku!

Tengkuk si nenek mendadak berubah jadi 

dingin mendengar senandung yang diucapkan 

oleh orang yang duduk diatas kuda itu. Wajah 

orang tua itu nampak pucat. Segala apa yang di-

katakan si pemuda mengingatkannya pada semua 

yang telah dia lakukan di masa lalu. Walaupun 

begitu si nenek tetap berlaku tenang. Dia ajukan 

pertanyaan. "Orang yang datang di malam gelap. 

Sembunyikan wajah di balik topeng curian. Siapa 

dirimu ini yang sebenarnya?" tanya si nenek tegas 

namun suaranya bergetar.

Orang yang wajahnya tertutup topeng kayu 

tidak menjawab, sebaliknya malah tertawa dingin. 

Tawanya kemudian terhenti. Sepasang mata diba-

lik topeng memandang ke arah nenek Selasih 

Jingga penuh kebencian.

"Tua bangka? Jika ku jelaskan kepadamu, 

kurasa otakmu sudah sulit mengingat. Tapi tidak 

mengapa, sekarang kau dengarlah baik-baik. Aku 

datang ke hadapanmu ini adalah untuk menuntut 

balas atas kematian orang tuaku!" tegas orang di



atas kuda.

Mendengar ucapan orang itu nenek Selasih 

Jingga dengan tenang menjawab. "Memang kua-

kui di masa muda aku banyak melakukan kejaha-

tan. Korban yang jatuh di tanganku tak dapat lagi 

ku hitung. Sedang diantara mereka yang tewas, 

mungkin hanya sekedar mempertahankan diri. 

Jadi harap kau mau menjelaskan siapa orang tu-

amu?"

"Tua bangka keparat, kau pasti masih ingat 

dengan suami istri yang bergelar Sepasang Hari-

mau Terbang?" 

Nenek Selasih Jingga berjingkrak mundur 

mendengar nama yang disebutkan oleh pemuda 

bertopeng. Sepasang Harimau Terbang, julukan 

itu tentu tidak akan pernah lekang dari ingatan-

nya. Dua pendekar sakti yang telah membunuh 

suaminya hingga anaknya kehilangan ayah untuk 

selamanya. Nenek Selasih terdiam, wajahnya be-

rubah murung. Terbayang olehnya tentang segala 

kejadian yang berlangsung lebih kurang dua pu-

luh tahun yang silam.

***

Pagi itu Selasih jingga datang ke sebuah 

bangunan sederhana di puncak bukit Karang 

Haur. Ketika dia sampai di tempat itu suasana 

rumah yang dijambanginya dalam keadaan sunyi

Tidak menunggu lebih lama dan dengan si-

kap tak sabar perempuan berusia empat puluh


tahun itu langsung berteriak. "Sepasang Harimau 

Terbang. Aku Jari Perontok Nyawa datang untuk 

menagih hutang nyawa suamiku. Cepat kau ke-

luar, atau kau ingin aku membakar rumahmu 

ini?"

Sunyi tak ada jawaban

"Sepasang Harimau Terbang, aku tidak 

punya waktu untuk menunggu lebih lama. Jika 

kau tidak mau keluar, aku yang masuk ke da-

lam!" teriak perempuan berpakaian serba hitam 

itu dengan suara lantang. Dia menunggu sejenak 

lamanya, sedangkan sepasang matanya yang 

memancarkan amarah memandang tajam keba-

gian pintu depan yang tertutup. Kemudian pintu 

terbuka, dua sosok tubuh berkelebat keluar, di-

lain kejab di depan Selasih Jingga berdiri tegak 

seorang laki-laki gagah, usia kurang lebih tiga pu-

luh lima tahun, wajah tampan berpakaian loreng 

terbuat dari kulit harimau. Sedangkan disamping 

laki-laki itu berdiri seorang perempuan cantik, 

berpakaian sama dengan rambut digelung ke 

atas. Baik laki-laki itu maupun perempuan yang 

bersama dikenal oleh Selasih Jingga sebagai Se-

pasang Harimau Terbang.

"Bagus, kau mau datang menemuiku. 

Hemm... tidak kulihat anak kalian? Di manakah 

dia?" tanya Selasih Jingga disertai seringai dingin.

"Bocah itu tidak tahu apa-apa. Jangan kau 

berani mengusiknya. Urusanmu adalah dengan 

kami, bukan dengan bocah itu!"

"Hem, begitu? Sonapati, mungkin ucapan


mu ada benarnya. Tapi aku lebih suka membabat 

rumput sampai ke akar-akarnya!" dengus Selasih 

Jingga geram.

"Kau pasti datang untuk menuntut balas 

atas kematian suamimu, Pragola. Bukankah begi-

tu?" kata perempuan disebelah Sonapati. Perem-

puan itu adalah istri Sonapati sendiri bernama 

Seroja.

"Kau tidak salah. Aku memang sengaja da-

tang untuk menuntut balas atas kematian Pragola 

suamiku!" sahut Selasih Jingga dingin.

"Pragola mati karena ulahnya sendiri. Dia 

kami ketahui telah menghancurkan perguruan 

Kipas Merak. Padahal ketua perguruan Kipas Me-

rak masih terhitung adik kandungku!" ujar Sona-

pati.

"Manusia keparat. Apapun alasanmu, kau 

tidak layak menghukum Pragola. Segala kejaha-

tannya menjadi tanggungan ku karena dia adalah 

suamiku. Aku yang pantas menentukan apakah 

dia bersalah atau tidak!" teriak Selasih Jingga.

"Kau manusia biang racun, bagaimana bisa 

menilai suamimu bersalah atau tidak!! Hidupmu 

sendiri bergelimang dosa dan kami tidak yakin 

kau tega menghukum Pragola!" sahut Seroja sen-

git. 

"Perempuan tengik. Berani kau menghina-

ku? Kubunuh kau!" teriak Selasih Jingga kalap. 

Baru saja perempuan ini selesai berucap, tubuh-

nya berkelebat ke arah Seroja. Dua tangan meng-

hantam ke tubuh lawan hingga menimbulkan deru angin disertai menebarnya hawa panas yang 

langsung menyambar ke arah Seroja. Perempuan 

yang diserang maklum betapa berbahayanya se-

rangan yang dilancarkan oleh lawan. Sehingga ke-

tika merasakan adanya sambaran angin ke arah-

nya dia berkelebat, melompat ke atas dan menye-

rang kepala Selasih Jingga dengan sepuluh jari 

terpentang siap menghantam bagian ubun-ubun.

Pukulan yang dilancarkan Selasih Jingga 

menghantam tanah dibagian halaman disertai 

dengan suara ledakan berdentum. Sebaliknya pe-

rempuan berpakaian serba hitam itu cepat me-

lompat mundur ke belakang selamatkan kepa-

lanya dari cakaran lawan.

Masing-masing serangan tidak mengenai 

sasaran. Selasih Jingga kertakkan rahang. Dua 

tangan dalam keadaan terkembang kemudian di-

putar sebat, hawa dingin menyebar, sinar hitam 

dan biru berpijar. Sedangkan telapak tangan Se-

lasih Jingga saat itu telah berubah menghitam 

sampai sebatas pangkal lengan. Melihat peruba-

han yang terjadi pada kedua tangan lawannya, 

Sonapati berteriak ditujukan pada Seroja. "Istri-

ku, hati-hatilah. Perempuan keparat itu hendak 

menggunakan ilmu Jari Perontok Nyawa!"

"Aku sudah tahu, kakang. Sudah lama aku 

mendengar keganasan ilmunya. Sekarang aku in-

gin menjajal sampai dimana kehebatannya!" sa-

hut Seroja.

"Pergunakan jurus Harimau Mengguncang 

Bumi!" teriak Sonapati.


Tiba-tiba tubuh laki-laki itu berkelebat me-

lewati Selasih Jingga. Begitu dia jejakkan kaki, 

posisinya kini telah berdampingan dengan is-

trinya. Pasangan suami istri ini kemudian secara 

bersama-sama pentangkan kedua tangannya ke 

depan. Dua kaki ditekuk. Tangan kiri diangkat 

begitu rupa, sedangkan tangan kanan ditarik ke 

belakang seperti gerakan seekor harimau yang 

siap mencakar lawannya.

Setelah itu segalanya berlangsung dengan 

sangat cepat. Sepasang Harimau Terbang kini 

berputar. Sonapati melompat ke atas, sedangkan 

istrinya berkelebat ke depan menyerang lawan-

nya. Selasih Jingga terkejut ketika melihat kenya-

taan kedua lawannya melakukan serangan gencar 

dari atas dan bawah. Serangan dari atas dilaku-

kan Sonapati, mengincar bagian dada dan kepala 

perempuan itu. Sedangkan serangan dari bawah 

dilancarkan oleh Seroja. Dua serangan hebat di-

lakukan dalam waktu bersamaan membuat Sela-

sih Jingga hanya dapat mengelak dan menangkis 

kedua serangan itu tanpa sempat melepas puku-

lannya sendiri. 

Wuuut!

Breeet! Breeet! 

"Ukkh!"

Selasih Jingga menjerit kesakitan bercam-

pur kaget ketika melihat bagaimana pakaian di-

bagian perut robek besar, tembus sampai keba-

gian kulit sampai ke daging, darah mengucur. Se-

lasih Jingga memaki panjang pendek. Dia melompat mundur. Tapi belum lagi perempuan ini sem-

pat memperbaiki posisinya, kedua lawan telah 

mencecarnya lagi dengan cakaran-cakaran ganas 

yang sangat berbahaya.

"Hmm, bagus majulah lebih mendekat!" te-

riak Selasih Jingga geram. Empat tangan me-

nyambar ganas ke seluruh bagian tubuhnya siap 

mencabik perempuan itu menjadi serpihan dag-

ing. Selasih Jingga mendengus, tubuh ditarik ke 

belakang, sepuluh jari tangan laksana kilat dijen-

tikkan kedua arah berturut-turut. 

Zstttt! 

"Awas!" teriak Seroja memberi aba-aba

Sonapati melompat ke samping selamatkan 

diri begitu melihat lima larik sinar merah meng-

hantam tubuhnya. Dia selamat, tapi justru is-

trinya hanya tidak sempat selamatkan diri dari 

serangan Selasih Jingga, sungguhpun dia menco-

ba menangkis lima sinar maut yang melesat dari 

jari lawannya. Seroja menjerit keras ketika tiga 

sinar merah menghantam tubuhnya. Perempuan 

itu terjengkang dengan dada dan perut berlumu-

ran darah.

"Istriku!" teriak Sonapati begitu, melihat is-

trinya menjadi korban serangan lawan. Dia me-

lompat mendekati istrinya. Ketika laki-laki ini me-

lihat Seroja tidak berkutik lagi sadarlah dia bah-

wa jiwa Seroja tak dapat diselamatkan lagi 

"Hraaaak... manusia jahanam! Kau harus 

menebus kematian istriku!" teriak Sonapati seperti orang kesurupan.


Selasih Jingga tersenyum mengejek.

"Simpanlah mimpimu, kurasa lebih baik 

kau menyusul istrimu!" sahut perempuan itu si-

nis. 

"Keparat kurang ajar!" maki Sonapati.

Laksana kilat lalu tubuhnya melesat ke 

udara, berkelebat cepat mendekati lawan tangan 

dan kaki menyambar melepaskan serangan be-

runtun.

Sejenak lamanya Selasih Jingga dibuat ter-

cekat. Dia sempat terdesak mundur. Tapi begitu 

perempuan ini merubah jurus-jurus silatnya, kini 

keadaan menjadi berbalik. Sonapati terpaksa me-

lompat menjauh dari lawannya. Justru kesempa-

tan ini dimanfaatkan oleh Selasih Jingga untuk 

melepaskan pukulan Jari Perontok Nyawa. Meli-

hat sinar merah membersit lalu berkelebat me-

nyerang ke arahnya, Sonapati dalam kagetnya se-

gera melepaskan pukulan menangkis serangan 

lawan. Tapi betapa terkejutnya laki-laki itu ketika 

melihat pukulan yang dilepaskannya sama sekali 

tak dapat menahan serangan lawan. Malah lima 

sinar yang memancar dari ujung jemari lawannya 

menembus benteng pertahanannya. Masih tak 

percaya dengan kenyataan yang terjadi Sonapati 

kembali menghantam ke arah sinar-sinar itu. Ha-

silnya sama saja.

Tak dapat dihindari lagi kelima sinar itu 

menembus tubuh Sonapati. Jeritan keras laksana 

merobek langit. Sonapati jatuh terpelanting sam-

bil mendekap tubuhnya yang terluka parah. Serangan yang dilancarkan Selasih Jingga ternyata 

tembus sampai kebagian punggung

"Hik hik hik! Ternyata jurus Harimau Ter-

bangmu sudah sangat usang. Kau boleh mencip-

takan jurus lainnya setelah berada di neraka!" 

dengus Selasih Jingga sinis.

Sonapati mengerang lirih, mulutnya berge-

rak-gerak, tapi tak sepatah katapun yang terucap. 

Tak lama kepala Sonapati pun terkulai, mata me-

lotot dan tewas penasaran.

"Ayah... ibu...!" satu suara terdengar. Sela-

sih Jingga tersentak, dengan cepat dia meman-

dang ke rumah dimana suara bocah tadi terden-

gar.

"Suara tadi, pasti anak Sepasang Harimau 

Terbang. Tak usah tanggung bertindak. Akan ku-

bereskan dia agar kelak tidak menjadi malapetaka 

bagi diriku sendiri!" selesai berkata begitu Selasih 

Jingga segera berkelebat menuju pintu depan. 

Dengan tergesa-gesa dia memeriksa setiap kamar 

yang ada. Tapi bocah yang dicarinya tidak terli-

hat, lenyap entah kemana.

"Tidak mungkin! Dia pasti masih berada di 

rumah ini?" desis perempuan itu heran. Selagi 

matanya nyalang mencari kian kemari. Maka pa-

da saat itu dia mendengar suara pintu belakang 

dibuka paksa. Selasih Jingga mengejar ke bela-

kang. Saat itu dia melihat satu sosok berkelebat 

keluar sambil mendukung seorang bocah berusia 

sekitar lima tahun.

"Bangsat penculik jangan lari!" teriak pe


rempuan itu sambil mengejar. Orang yang dikejar 

ternyata lenyap. Selasih Jingga menjadi sangat 

geram sekali.

"Bocah itu... siapa yang telah menyela-

matkannya?" batin Selasih Jingga dalam hati. 

"Kemana aku harus mencari. Bagaimana pun dia 

harus kubunuh. Tapi kurasa orang yang memba-

wanya memiliki ilmu kepandaian tidak rendah. 

Sayang sekali!"

Karena masih penasaran Selasih Jingga kemu-

dian mengejar orang yang telah melarikan putra 

Sepasang Harimau Terbang. 



SEMBILAN



Dalam kegelapan malam yang hanya dite-

rangi cahaya pelita perlahan si nenek dongakkan 

wajahnya ke langit. Wajah itu nampak muram, 

sedih penuh penyesalan. Dia kemudian meman-

dang ke arah pemuda yang duduk diatas pung-

gung kuda dengan tatapan kosong.

"Jadi kau merupakan keturunan dari Se-

pasang Harimau Terbang?" tanya si nenek.

"Bagus kalau kau dapat mengingat siapa 

aku. Sekarang apakah kau siap menyerahkan 

nyawamu?" tanya pemuda berpakaian hitam ber-

topeng kayu sinis. Nenek Selasih Jingga terse-

nyum tipis. "Hidup dan mati bagiku sama saja, 

anak muda. Tapi sebelum hal itu terjadi padaku

apakah aku boleh mengajukan beberapa perta-

nyaan kepadamu?"

Si pemuda bertopeng tertawa tergelak-

gelak. Suara tawanya yang dingin kemudian le-

nyap berganti dengan bentakan. "Kau hendak 

bertanya apa? Aku pasti mengabulkan permin-

taan orang yang akan mati." kata si pemuda sinis.

Selasih Jingga menarik nafas, mencoba 

menenangkan debaran jantungnya baru kemu-

dian, berkata. "Kulihat kau memakai topeng, sen-

gaja sembunyikan wajah agar tidak dikenali 

orang. Tapi aku tahu pasti topeng itu adalah milik 

anakku Bayu Gendala. Lalu kau mencurinya ke-

mudian kau menggunakan topeng saat berlaku 

keji pada putri Dewa Angin Guntur setelah itu 

kau membunuhnya dan meninggalkan topeng be-

rikut pedang. Hingga akhirnya Dewa Angin Gun-

tur menyangka anakku Bayu Gendala yang mem-

bunuh putrinya!" 

"Ha ha ha! Ternyata walau sudah tua 

otakmu, cukup cerdik Jari Perontok Nyawa. Aku 

memang sudah mengatur kematian anakmu se-

demikian rupa. Agar kau dapat merasakan begi-

tulah pedihnya hatiku saat melihat kematian ke-

dua orang tuaku!" 

"Hmm, aku tak akan heran. Aku dapat 

memakluminya." kata si nenek dengan suara ber-

getar menahan sedih dan geram. Perempuan itu 

kemudian melanjutkan ucapannya. "Sebelum di-

antara kita ada yang terbunuh di tempat ini mau-

kah kau mengatakan siapa namamu?"


"Kelak kau akan mengetahuinya setelah 

rohmu meninggalkan ragamu, Ha ha ha." sahut 

pemuda itu sinis.

"Kau tak mau mengenalkan nama, apakah 

aku boleh melihat wajahmu?!" geram si nenek 

"Konon kau punya kepandaian selangit, 

mengapa kau tidak berusaha melihatnya sendiri?" 

kata pemuda bertopeng penuh tantangan.

Wajah nenek Selasih Jingga berubah kelam 

membesi. Sepasang matanya berkilat memancar-

kan amarah. Dalam hati si nenek berkata. "Gusti 

Allah. Kurasa inilah batas penantian akhir hi-

dupku. Kau sudah memperlihatkan kebenaran 

dan kuasa Mu. Kau sudah memperlihatkan segala 

kesalahanku di masa lalu. Tapi aku juga tak mau 

mati percuma di tangan pemuda itu. Aku tak in-

gin memasrahkan nyawa kepadanya. Karena hi-

dup dan mati ini sesungguhnya hanyalah kepu-

nyaan Mu!" ujar si nenek dengan perasaan terte-

kan. Sekilas dia menatap pemuda yang duduk di 

atas kuda. Lalu dia berkata dengan suara keras. 

"Kau sudah tahu aku adalah pembunuh orang 

tuamu. Mengapa sekarang kau tidak segera men-

gambil tindakan?" berkata begitu si nenek diam-

diam salurkan tenaga dalamnya ke arah kedua 

belah tangan. Di depan sana wajah di balik to-

peng menyeringai.

"Kecepatan seranganku tidak dapat kau 

duga. Di selatan orang memberi ku julukan Setan 

Penyambar Nyawa. Jika kau menghadapi aku 

dengan ilmu rongsokan Jari Perontok Nyawa. Berarti kematianmu datangnya lebih cepat dari per-

hitunganmu. Nenek keparat lihat serangan...!" Se-

lesai berkata pemuda itu melesat dari atas pung-

gung kudanya. Dengan kecepatan sulit diikuti ka-

sat mata dia berkelebat ke arah si nenek. Selasih 

Jingga terkesiap tak menyangka gerak serangan 

lawan ternyata sangat cepat sekali. Si nenek cepat 

berkelit sambil liukkan tubuhnya. Serangan lu-

put, tapi sempat menyambar robek pakaian di ba-

gian perut orang tua itu. Robeknya pakaian itu 

saja sudah membuat si nenek terkejut setengah 

mati.

Sementara itu gagalnya serangan membuat 

pemuda bertopeng itu cepat balikkan tubuh, lalu 

kembali lakukan serangan gencar yang mengarah 

pada bagian kepala dan leher lawannya. Si nenek 

huyungkan badannya ke kanan, lima jari tangan-

nya yang telah berubah menghitam cepat ditekuk 

lalu dijentikkan ke arah lawannya.

Tees!

Terdengar lima suara letupan berturut-

turut. Lima larik sinar menderu di udara. Mele-

satnya lima larik sinar itu membuat udara diseki-

tarnya berubah dingin bukan main.

"Jari Perontok Nyawa!" seru si pemuda ber-

topeng. Menyadari dahsyat ilmu yang pernah 

mencelakakan kedua orang tuanya itu, pemuda 

bertopeng langsung batalkan serangan. Tubuhnya 

melesat ke udara, berjumpalitan sebanyak dua 

kali, kemudian meluncur deras di belakang la-

wannya. Lima sinar merah menghantam batu, batu besar yang menjadi sasaran meledak, amblas 

lenyap tidak meninggalkan bekas. Si pemuda ber-

gidik ngeri. Tidak dapat dia bayangkan bagaimana 

jika tubuhnya tadi yang menjadi sasaran seran-

gan.

Si pemuda bertopeng tak sempat lagi me-

mikirkan semua itu. Setelah jejakkan kakinya di

belakang Selasih Jingga dengan cepat sekali tan-

gannya dihantamkan kebagian punggung si ne-

nek.

Buuuk!

Hantaman yang keras membuat si nenek 

jatuh tersungkur. Melihat lawannya roboh dia 

lanjutkan serangan dengan melepaskan tendan-

gan. Tapi disaat seperti itu si nenek yang jatuh 

menelungkup, mendadak berbalik menelentang. 

Tanpa menghiraukan wajahnya yang berlumuran 

darah dia menghantam.

Wuuuut.

Sinar merah laksana bara melesat dari 

tangan si nenek, menebar hawa panas luar biasa 

dan langsung menyambar kaki lawannya. Si pe-

muda walaupun sempat melompat selamatkan di-

ri tapi tidak sempat menarik kaki kanan yang di-

pergunakan untuk menendang. Ledakan dahsyat 

menggelegar saat kaki pemuda bertopeng berben-

turan dengan pukulan lawannya.

Pemuda itu meraung hebat, tubuhnya 

mencelat sejauh dua tombak tapi tidak mem-

buatnya terjatuh. Dia berdiri dengan kaki kiri, tu-

buhnya tergontai. Bagian kaki celana sampai sebatas lutut hangus mengepulkan asap hitam. Ka-

ki yang terkena hantaman bengkak menggem-

bung, hitam kemerahan.

Tanpa banyak fikir dia ludahi telapak tan-

gannya. Telapak tangan yang berlumur ludah dis-

apukan ke bagian kaki yang terluka. Hanya dalam 

waktu singkat kaki yang bengkak telah kembali 

seperti semula. Mulus tanpa meninggalkan cacat 

sedikitpun. Si nenek yang terluka dibagian dalam 

tercengang, dia mengusap matanya seakan tak 

percaya dengan pandangan matanya sendiri.

"Sulit kupercaya. Pukulanku tak sanggup 

membuat hancur kakinya? Padahal belum pernah 

ada seorangpun yang sanggup menahan pukulan 

Halilintar ku!" batin si nenek.

Sementara di depan sana pemuda berto-

peng yang sangat mendendam pada si nenek telah 

memutar kedua tangannya dengan serangkaian 

gerakan aneh yang sulit ditebak arahnya. Setelah 

itu dengan cepat tangan kiri menyambar sesuatu 

dibalik pinggangnya. Ketika tangan kiri digerak-

kan ke depan, maka berguling sinar putih menyi-

laukan mata yang ternyata bersumber dari pe-

dang di tangannya. Sekejap cahaya putih berta-

bur di udara disertai suara berdengung, seperti 

sekumpulan lebah yang pindah sarang.

"Tua bangka pembunuh orang tuaku. 

Mampuslah kau...!" teriak si pemuda. Dia berke-

lebat, pedang menyambar. Dalam waktu sekejap

tubuh si nenek sudah terkurung sinar putih me-

nyilaukan. Si nenek kerahkan seluruh kemampuan yang dia miliki. Dia menghindar sambil le-

paskan serangan dengan menggunakan sepuluh 

jari tangannya. Beberapa kali serangan si nenek 

nyaris menghantam lawannya.

Si pemuda bertopeng rupanya sadar betul 

serangan jemari lawannya sangat berbahaya, 

hingga dia lipat gandakan tenaga dalam sambil 

memperhebat serangan.

Tusukan dan babatan bertubi-tubi dilan-

carkannya, tak lupa dia juga melepaskan tendan-

gan mautnya. Akibatnya si nenek jadi terdesak, 

satu saat dia harus menghindari tendangan yang 

mengarah ke pinggang. Tendangan ini sebenarnya 

hanya tipuan saja, karena begitu si nenek meng-

hindar. Dengan cepat lawan menggunakan ke-

sempatan itu untuk menebaskan pedangnya ke 

bagian lengan si nenek.

Mendapat serangan selicik itu si orang tua 

terkesiap, dia coba selamatkan tangannya dari te-

basan pedang, namun terlambat. Tak pelak lagi 

tangan si nenek putus terbabat pedang. Si nenek 

menjerit keras, potongan tangan jatuh ke tanah, 

menggelepar sebentar lalu diam. Darah meman-

car dari luka itu. Sambil menjerit kesakitan si ne-

nek menotok jalan darah di bagian pangkal len-

gannya.

Ternyata lawan tidak memberinya kesem-

patan lagi, dia segera tusukkan pedangnya ke da-

da si nenek.

Jresss!

"Haakh...!" Nenek Selasih Jingga menjerit


tertahan, sambil mendekap pedangnya si nenek 

melangkah mundur. Tapi satu tendangan mem-

buat dia jatuh terjengkang. Perempuan itu terka-

par tidak bergerak lagi. Pemuda bertopeng menye-

ringai dingin. Menyangka lawannya telah tewas 

dia segera meninggalkan lawannya. Tak lama pe-

muda ini telah melompat ke atas punggung ku-

danya. "Ha ha ha. Masih ada satu manusia lagi 

yang harus kubereskan. Dewa Angin Guntur 

tunggulah kedatanganku!" gumam si pemuda ber-

topeng perlahan. Dia lalu menggebrak kudanya, 

kuda meringkik keras lalu mengambur lenyap da-

lam kegelapan.



SEPULUH



Tidak berselang lama setelah lenyapnya 

pemuda bertopeng yang datang dengan menung-

gang kuda itu. Di tempat itu muncul si gondrong 

Gento Guyon. Dia yang mendengar suara teriakan 

serta bentakan seperti orang berkelahi ketika be-

rada di kejauhan tadi kini menjadi heran.

"Aneh, tadi aku jelas mendengar seperti 

ada orang yang berteriak kesakitan. Bagaimana 

mungkin setelah berada di sini aku hanya men-

dapatkan sebuah pelita. Setahuku tidak ada peli-

ta yang dapat bicara. Tapi....eh aku mendengar 

ada suara orang mengerang?" gumam Gento. Dia 

kemudian mencoba memastikan dari mana da-

tangnya suara erangan itu. Ternyata suara rintih

datang dari arah sebelah kirinya. Tanpa pikir 

panjang pemuda ini melompat ke arah darimana 

suara yang didengarnya itu berasal.

Walaupun suasana diliputi kegelapan ak-

hirnya Gento melihat sesosok tubuh dengan dada 

ditembus pedang tergeletak tak berdaya di de-

pannya. Dalam gelap yang hanya diterangi cahaya 

pelita juga bintang di langit Gento dapat melihat 

wajah sosok itu. Wajah seorang nenek tua yang 

sangat dikenalnya. Gento jatuhkan diri berlutut 

disamping si nenek. Melihat keadaan si nenek 

dengan wajah tegang dan mulut bergetar Gento 

berseru. "Nenek Selasih Jingga. Apa yang telah 

terjadi denganmu, nek. Maafkan aku karena telah 

datang terlambat. Aku, aku pasti menolongmu. 

Katakan siapa yang telah berbuat begini keji ter-

hadapmu nek?!"

Mata yang terpejam dan penuh penderitaan 

itu membuka. Dalam pandangan si nenek sosok 

Gento hanya merupakan bayangan samar yang 

tidak begitu jelas. Sepasang mata itu mengerjab, 

bibir yang sepucat kafan menggerimit sedangkan 

kepala digelengkan.

"Tak mungkin kau bisa menolongku Gento. 

Sudah menjadi takdirku harus mati seperti ini." 

kata si nenek dengan suara tersendat. Dalam se-

tiap tarikan nafasnya ada darah yang menyembur 

dari hidungnya. "Aku sudah melihat malaikat da-

tang menjemputku. Tapi aku merasa bahagia ka-

rena sudah tahu yang membunuh Lara Murti bu-

kan anakku. Bayu Gendala memang anak yang


tidak berarti, tapi dia masih darah dagingku sen-

diri...!"

Mendengar pengakuan si nenek, Gento 

edarkan pandangannya. Tapi ternyata di tempat 

itu memang tidak ada siapapun terkecuali mereka 

sendiri. Penasaran Gento bertanya. "Jadi siapa 

yang telah melakukan semua ini nek?"

"Seorang pemuda menunggang kuda coke-

lat. Aku tak dapat melihat wajah aku juga tak ta-

hu namanya. Karena dia memakai topeng kayu. 

Topeng curian milik anakku."

"Kuda cokelat. Setahuku kuda itu milik 

Lambang Pambudi. Mungkinkah dia orangnya? 

Padahal selama ini aku tahu dia tak pandai ilmu 

silat." Fikir Gento. Masih penasaran dia ajukan 

pertanyaan. "Kau tak dapat melihat wajahnya, 

apakah kau dapat mengatakan bagaimana pa-

kaiannya?"

Dengan bersusah payah nenek Selasih 

Jingga menjawab. "Dia berpakaian hitam. Aku... 

aku juga mendengar dia akan menjumpai Dewa 

Angin Guntur."

Gento tersentak kaget. Semula dia mendu-

ga yang melukai si nenek adalah Lambang Pam-

budi. Tapi Lambang Pambudi tak pernah berpa-

kaian hitam. Pakaian pemuda itu berwarna putih. 

Gento kemudian berfikir, masalah pakaian siapa-

pun bisa saja bertukar seribu kali. Dia tetap yakin 

pasti Lambang Pambudi yang telah melakukan 

kekejian itu pada si nenek. Kuda yang disebutkan 

si nenek sama persis dengan kuda pemuda itu.


Lagi pula nenek itu mengatakan pemuda berto-

peng itu hendak menjumpai Dewa Angin Guntur. 

Mungkin ada sesuatu yang hendak dilakukannya. 

Tidak ada jalan lain Gento harus mengejar pemu-

da itu ke Perguruan Gunung Kramat. 

Kini Gento memandang ke arah si nenek. 

Perempuan itu nampaknya tidak akan dapat ber-

tahan lebih lama. Sambil memegang bahu nenek 

Selasih Jingga dia berkata menghibur. "Nek ber-

tahanlah, kau jangan mati. Aku akan mengobati 

lukamu."

Si nenek tersenyum, saat itu nafasnya ma-

kin melemah. "Kau... pemuda konyol yang pandai 

menghibur. Aku tak mungkin hidup. Tapi kau 

menjadi saksi atas kebenaran, bukan anakku 

yang membunuh Lara Murti. Tolong jelaskan ini 

pada Dewa Angin Guntur, aku... akh...!" Si nenek 

tak dapat meneruskan ucapannya. Nafas terpu-

tus, kepalanya terkulai.

"Nenek, oh... Gusti Allah, dia pergi tidak bi-

lang padaku!" seru Gento dengan mata terbelalak. 

Tangan yang menempel dibahu si nenek di-

goyangkan tapi orang tua itu diam tak bergerak. 

"Huk... huk.... Semoga Tuhan mengampunimu 

nek." kata si pemuda sambil tundukkan kepala.

Selagi Gento dalam keadaan seperti itu. Ti-

ba-tiba saja terdengar suara orang bicara di bela-

kangnya. "Perempuan tua itu paling tidak telah 

memberikan satu petunjuk penting. Sekarang se-

telah dia mati mengapa kau duduk di situ bukan 

malah pergi ke perguruan Gunung Kramat?"


Karena merasa mengenali suara orang, 

maka Gento cepat menoleh. Orang yang baru bi-

cara tadi tersenyum lebar. Gento pun mendam-

prat. "Gendut, kemana saja engkau selama ini? 

Setelah puas bermesraan dengan Ambini, kau 

tinggalkan anak orang begitu saja. Kini aku yang 

jadi repot karena gadis itu diculik oleh seseorang."

Si tinggi besar berbadan gendut luar biasa 

unjukkan wajah kaget. Si kakek terdiam cukup 

lama, sedangkan matanya memandang mendelik 

seakan tak percaya dengan ucapan muridnya.

"Gege, apakah kau sungguh-sungguh den-

gan ucapanmu itu?" tanya si gendut Gentong Ke-

tawa.

"Apakah kau lihat tampangku seperti orang 

bergurau?" sahut Gento serius.

"Tampangmu tak bisa kujadikan ukuran. 

Tapi benarkah apa yang kau ucapkan itu? Astaga! 

Aku sama sekali tidak meninggalkan Ambini, tapi 

dia yang meninggalkan aku. Mungkin karena aku 

sudah tua, tak pantas lagi berpasangan dengan-

nya, sehingga dia berbuat begitu!" kata si kakek 

bersungut-sungut. 

"Tentu saja. Cuma karena kau orang tua 

yang tidak tahu malu. Selalu saja memaksakan 

kehendak sendiri!"

Bukannya marah si gendut malah tergelak-

gelak.

"Berhentilah menghina orang tua ini. Seka-

rang kau katakan padaku gadis itu berada dimana?"


"Mana aku tahu ndut. Aku hanya dititipi 

pesan. Orang yang menulis pesan itu mengatakan 

dia membawa Ambini ke Kuil Setan."

Si kakek gendut berjingkrak kaget. "Kuil 

Setan? Itu tempat Jin membuang anak dan tem-

patnya roh jahat. Gege kurasa ini bukan urusan 

remeh. Kau harus waspada. Siapapun yang telah 

menculik Ambini, dia pasti punya niat tidak baik 

terhadapmu. Tapi... mengapa dia harus menculik 

Ambini?" tanya si gendut heran.

Gento tersenyum, lalu berkata. "Mungkin 

saja Ambini mengatakan pada penculik itu kalau 

dia sudah punya kekasih. Si penculik merasa 

terkesan, hingga dia mengundangku untuk dini-

kahkan di Kuil Setan!"

"Bocah edan. Persoalan itu tidak bisa dis-

epelekan. Ambini sekarang dalam bahaya besar. 

Kita harus menolongnya!" kata si gendut tegas.

"Kau benar guru, tapi sebelum itu kita ha-

rus pergi ke perguruan gunung Keramat. Sesuai 

keterangan nenek itu, aku yakin pemuda berto-

peng itu pasti Lambang Pambudi adanya." kata 

Gento kemudian. Kali ini dia nampak serius seka-

li. 

"Aku sendiri tak berani menduga semudah 

itu. Seperti katamu, sebaiknya kita memang pergi 

ke perguruan Gunung Keramat. Jika kita berang-

kat sekarang besok pagi kita sudah sampai ke sa-

na." jawab Gentong Ketawa. Lalu dengan satu ge-

rakan enteng si kakek berkelebat, tubuhnya seke-

jap saja sudah lenyap dalam kegelapan. Pendekar


Sakti Gento Guyon pun segera mengikuti tak jauh 

di belakangnya.

***

Suasana duka masih menyelimuti pergu-

ruan Gunung Keramat. Bahkan pasangan suami 

istri Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka lebih 

banyak berdiam diri di depan rumahnya. Sedang-

kan para murid, sudah kembali pada tugas dan 

kesibukan masing-masing.

Pagi itu Galuh Pitaloka sedang duduk di 

depan rumahnya, ketika dia mendengar suara 

langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya. 

Dengan perasaan kaget perempuan setengah baya 

namun masih tetap cantik ini memandang ke 

arah datangnya suara kuda. Galuh Pitaloka ter-

cengang, kedua alis matanya terangkat naik keti-

ka melihat seorang pemuda berpakaian hitam 

memakai topeng penutup wajah mengarahkan 

kudanya ke arah perempuan itu. Melihat cara 

orang menunggang kuda, sadarlah perempuan ini 

orang yang berada diatas punggung kuda sengaja 

hendak menabrakkan binatang tunggangannya ke 

arah dirinya. Masih dalam keadaan heran juga 

kaget Galuh Pitaloka melompat dari tempat du-

duknya, kemudian bergulingan hindari terjangan 

kuda. Setelah bergulingan laksana kilat Galuh Pi-

taloka bangkit berdiri. Dia membalikkan tubuh-

nya, hingga kini Galuh Pitaloka dapat melihat ku-

da yang hampir menabraknya tadi.


Marah bercampur heran si perempuan 

membentak. "Kurang ajar mencari mati. Siapa 

kau? Bukankah kuda yang kau tunggangi itu 

adalah milik Lambang Pambudi?" 

Orang yang duduk di atas kuda tertawa 

dingin. "Kau tidak salah. Kuda ini memang milik-

nya." sahut pemuda penunggang kuda. Menden-

gar nada suara pemuda itu Galuh Pitaloka ber-

jingkrak kaget.

"Kau... suaramu aku kenali. Mengapa kau 

memakai topeng? Bukankah topeng itu adalah 

milik Bayu Gendala?" tanya perempuan penuh 

rasa heran.

"Bibi Galuh Pitaloka, bagus jika kau men-

genali suaraku. Segala yang terjadi hari ini tentu 

diluar dugaanmu." kata si pemuda. Dia kemudian 

tarik topengnya ke atas, hingga topeng itu seka-

rang bertengger di atas keningnya. Begitu topeng 

dibuka maka terlihatlah seraut wajah yang tak 

asing lagi bagi Galuh Pitaloka. Hanya seraut wa-

jah tampan itu sekarang tidak lagi memperli-

hatkan keluguannya, wajah yang sangat dia kenal 

itu sekarang berubah dingin bengis dan seperti 

menyimpan dendam kesumat.

"Lambang Pambudi, sungguh bibi tak men-

gerti dengan semua yang kau lakukan ini?"

"Ha ha ha! Dasar perempuan tolol. Apakah 

kau tidak ingat dengan seorang perempuan tua 

yang telah kau buat cacat tangan dan kakinya. 

Perempuan malang itu berjuluk Setan Sumpit!"

Mendengar penjelasan Lambang Pambudi,


Galuh Pitaloka jadi melengak. Dia terdiam, otak-

nya dipacu untuk mengingat. Perlahan terbayang 

olehnya wajah angker seorang nenek tua. Wajah 

keji yang selalu menebar kejahatan di delapan

penjuru angin. Nenek itu pernah datang ke pergu-

ruan Gunung Keramat sekitar delapan betas ta-

hun lalu. Dia mencoba membakar perguruan, 

mencuri beberapa kitab penting berisi pelajaran 

ilmu silat. Belasan murid perguruan Gunung Ke-

ramat dibunuhnya. Tapi kemudian dia dan sua-

minya dengan dibantu oleh beberapa tokoh sakti 

yang masih terhitung sahabatnya, mampu menja-

tuhkan Setan Sumpit. Dewa Angin Guntur, ke-

mudian membuntungi masing-masing sebelah 

tangan dan kaki Setan Sumpit di tempat tinggal-

nya di daerah Kali Anget.

"Jadi apa hubunganmu dengan nenek ke-

parat itu, Pambudi?" tanya Galuh Pitaloka,

"Setan Sumpit adalah guruku. Aku adalah 

Setan Penyambar Nyawa, muridnya!" dengus 

Lambang Pambudi.

Bagai melihat setan perempuan itu delik-

kan matanya. Dia sungguh tidak menyangka ka-

lau selama ini telah tertipu. Sejak pertama pemu-

da itu terkenal begitu santun, lugu dan mengaku 

tidak pandai ilmu silat. Kenyataannya? Galuh Pi-

taloka gelengkan kepala. Apapun, tujuan pemuda 

itu dia sudah dapat memperkirakan apa yang 

hendak dilakukannya.

"Lambang Pambudi, kau pasti diutus oleh 

gurumu untuk menuntut balas atas cacat badan


yang dia alami bukan?"

"Ternyata otakmu cukup cerdik bibi. Du-

gaanmu tidak keliru. Demi baktiku pada orang 

yang telah mencurahkan segalanya kepadaku, 

aku bahkan rela mengesampingkan perasaanku 

sendiri!"

"Jadi kau yang telah menodai putri ku?" 

tanya Galuh Pitaloka.

Lambang Pambudi tertawa bergelak. Ta-

wanya lenyap mulut berucap. "Aku tidak me-

nyangkal tuduhan itu. Walaupun aku mencintai 

Lara Murti. Tapi aku harus rela mengorbankan 

nyawa dan kehormatannya. Terus-terang aku ju-

ga telah membunuh murid Guru Lanang Pameka-

san, bahkan orang tua itu juga kubunuh. Bukan 

hanya itu saja, aku yang mengatur bagaimana 

hingga pada akhirnya Bayu Gendala terbunuh di 

tangan paman Dewa Angin Guntur."

"Manusia keji. Mengapa kau lakukan se-

mua itu?" hardik Galuh Pitaloka jadi sangat ma-

rah sekali.

"Ha ha ha. Bayu Gendala memang harus 

mati, karena ibunya Selasih Jingga adalah orang 

yang telah membunuh kedua orang tuaku." sahut 

Lambang Pambudi dingin.

"Lalu mengapa kau tega menodai anakku?" 

tanya perempuan itu dengan suara bergetar. Dia 

memang hampir tidak dapat mengendalikan ke-

marahannya. Namun rasa keingintahuan yang 

begitu besar membuatnya harus menahan diri.

Di depannya Lambang Pambudi dongakkan


wajahnya ke langit. Terlihat ada kesedihan mem-

bersit di matanya. Hanya semua itu berlangsung 

sesaat saja, karena detik kemudian wajah si pe-

muda berubah dingin.

Sejenak lamanya dia pandangi Galuh Pita-

loka, lalu berucap. "Aku tahu dia mencintai ku, 

aku juga begitu. Tapi ku rasakan tugas yang di-

bebankan guru kepadaku jauh lebih penting dari 

urusan pribadiku sendiri. Aku diperintahkan un-

tuk melakukan pembalasan, kalau perlu sekeji-

kejinya. Jadi kau tak perlu menyesal karena se-

mua itu adalah kesalahanmu dan ketololan sua-

mimu sendiri!"

"Bocah keparat! Begitu caramu membalas 

kebaikan orang? Aku telah mendengar semuanya. 

Jika tidak kubunuh kau saat ini. Seumur hidup 

aku tidak bisa tenteram!" satu suara berteriak 

disertai berkelebatnya satu sosok tubuh dan me-

lesatnya sinar putih ke arah Lambang Pambudi. 

Si pemuda cepat menoleh, tapi tetap berlaku te-

nang ketika melihat kilatan pedang menerabas 

lehernya. Sambil tertawa panjang dia gerakkan 

tubuhnya. Tak terduga pemuda itu melesat ke 

udara, berjumpalitan ke belakang sambil meng-

hantam punggung lawan yang baru keluar dari 

rumah.

Dessss! 

Buuuk!

Hantaman keras membuat sosok yang me-

nyerang dengan pedang jatuh tersungkur. Sambil 

menggerung dia bangkit berdiri. Ternyata orang


yang baru menyerang pemuda itu dengan pedang 

bukan lain adalah Dewa Angin Guntur. Laki-laki 

tua itu cepat balikkan badan. Di depan sana si 

pemuda berdiri tegak dengan tangan disilangkan 

ke depan dada.

Melihat kehebatan serta tenaga dalam yang 

dimiliki lawan Dewa Angin Guntur tercengang. 

Pemuda itu bukan saja mampu menghindari se-

rangan pedangnya, tapi mampu pula menyarang-

kan pukulan ke bagian punggung selagi dirinya 

sendiri berusaha menyelamatkan diri dari seran-

gan senjata Dewa Angin Guntur. Kenyataan ini 

dianggap oleh orang tua itu sebagai sebuah ke-

nyataan yang sulit untuk dipercaya.

"Kau mengaku bodoh, tidak punya kepinta-

ran apapun. Tapi ternyata kau memiliki ilmu ser-

ta kesaktian tinggi. Pemuda keparat, kau sung-

guh manusia yang pandai berpura-pura." teriak 

Dewa Angin Guntur kalap.

"Ketua perguruan Gunung Keramat. Guru-

ku Setan Sumpit telah mengerahkan seluruh ke-

mampuan yang dia miliki untuk menggembleng 

diriku. Masa aku mau mempermalukan dirinya, 

kalau cuma menghadapi dua manusia tolol seper-

ti kalian?" sahut Lambang Pambudi disertai se-

ringai mengejek.

"Tak pernah kusangka selama ini kami te-

lah membesarkan anak macan? Kau telah menipu 

kami dengan segala keluguan mu yang palsu!"

"Ha ha ha. Itulah sebabnya aku mengata-

kan kalian adalah manusia tolol yang tidak tahu


membaca gelagat!"

"Kakang... mengapa banyak bicara. Mari ki-

ta ringkus pemuda penipu ini! Rasanya tidak te-

nang hatiku jika aku belum dapat mencincang 

tubuhnya!" teriak Galuh Pitaloka yang sangat 

berduka bila mengenang nasib buruk yang me-

nimpa anaknya.

"Kau benar! Menghadapi manusia seperti 

dia tidak perlu banyak mulut! Kau menyingkirlah, 

biar aku yang akan membunuhnya!" teriak Dewa 

Angin Guntur. Habis berteriak laki-laki itu berke-

lebat ke arah lawan. Pedang di tangan kanan ber-

kelebat menyambar. Sedangkan tangan kiri mele-

paskan satu pukulan hebat.

Wuuut! Wuuus!

Sinar putih berkiblat, hawa dingin pukulan 

menyambar. Serangan itu masing-masing me-

nyambar dada dan mata si pemuda, Lambang 

Pambudi makfum betapa ganasnya kedua seran-

gan itu. Sambil melompat mundur dia pukulkan 

kedua tangannya ke depan. Satu gelombang an-

gin melabrak pedang dan pukulan Dewa Angin 

Guntur, membuat orang tua itu terdorong mun-

dur, sedangkan tangan yang dipukulkan dan pe-

dang di tangannya bergetar hebat. 



SEBELAS



Dewa Angin Guntur terkejut bukan main.

Tapi dia adalah seorang tokoh yang sudah banyak 

pengalaman dirimba persilatan. Karena itu begitu 

hilang rasa kagetnya dia lipat gandakan tenaga 

dalamnya ke bagian hulu pedang dan kaki. Sam-

bil merundukkan kepala Dewa Angin Guntur me-

lompat ke depan. Pedang di tangan laksana kilat 

ditusukkan ke bagian leher lawannya. Serangan 

yang dilakukannya ini hanya tipuan saja, karena 

begitu lawan menghindar dengan menarik kepa-

lanya ke belakang, maka lawannya segera han-

tamkan tangan kirinya melepaskan pukulan Hali-

lintar. Cahaya putih menyambar melesat ke arah 

Lambang Pambudi disertai memancarnya hawa 

panas bukan kepalang. Pemuda itu dibuat terce-

kat, namun dia dengan cepat jatuhkan diri meng-

hindar dari pukulan lawannya. Begitu dia bergu-

lingan ke bawah, Dewa Angin Guntur sekali lagi 

hantamkan pukulan mautnya.

"Keparat!" rutuk Lambang Pambudi. Pemu-

da ini walaupun masih berusaha menghindar tapi 

tidak dapat selamatkan dirinya. Tidak pelak lagi 

pukulan susulan yang dilepaskan lawannya 

menghantam tubuh pemuda itu.

Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Pa-

kaian di depan dada dan perut hangus. Dia men-

jerit, sedangkan tangannya sibuk memadamkan 

api yang berkobar membakar pakaiannya.

Di beberapa bagian tubuh pemuda itu me-

lepuh hitam, sakitnya bukan main. Sedangkan di 

belakang pemuda itu terdengar suara ledakan ke-

ras menggelegar akibat pukulan Dewa Angin Guntur sebagian menghantam pagar bambu di hala-

man rumah itu.

"Bocah gila, kau tidak bakal lolos dari tan-

gan kami!" teriak orang tua itu. Seperti tadi den-

gan kecepatan laksana kilat Dewa Angin Guntur 

kembali lancarkan serangan gencar ke arah si 

pemuda. Pedang di tangan diputar sebat hingga 

kini yang terlihat hanya kilatan sinar putih me-

nyilaukan mata yang mengurung lawan dari sega-

la penjuru arah. Masih dengan mengandalkan ke-

cepatan geraknya Lambang Pambudi dengan mu-

dah dapat menyelamatkan diri dari tusukan 

maupun babatan pedang lawan. Tiba-tiba dia me-

lompat mundur. Dewa Angin Guntur terus men-

gejarnya, pedang di tangan dihantamkan keba-

gian kepala lawannya. Tapi justru pada saat itu si 

pemuda mencabut pedang yang terselip di ping-

gangnya.

Selarik sinar putih berkiblat, bergerak ce-

pat ke atas menangkis tebasan pedang lawannya. 

Traaang! 

Tangkisan yang dilakukan Lambang Pam-

budi membuat lawannya terdorong mundur. Tan-

gan yang memegang pedang terasa nyeri bukan 

main. Dewa Angin Guntur diam-diam terkejut tak 

menyangka lawan memiliki tenaga dalam sehebat 

itu juga sangat cepat dalam menggerakkan pe-

dangnya. Selagi orang tua ini dibuat tercengang 

oleh kecepatan gerak pedang lawannya, Lambang 

Pambudi memutar tubuhnya, sedangkan pedang 

kini berkelebat menghantam tubuh Dewa Angin


Guntur. Laki-laki itu terkesiap, dari arah samping 

menderu sinar putih yang memotong gerak senja-

ta si pemuda.

Traang! 

Breeet! 

Terdengar suara jeritan orang tua itu keti-

ka ujung pedang lawan merobek pakaiannya juga 

menggores di bagian dada. Lambang Pambudi 

menoleh, ternyata orang yang membuat seran-

gannya meleset tadi bukan lain adalah Galuh Pi-

taloka. 

"Perempuan kurang ajar. Mengaku sebagai 

golongan lurus tidak tahunya main keroyok!" ma-

ki si pemuda. 

"Menghadapi manusia sepertimu tak perlu 

memakai segala peradatan!" sahut Galuh Pitalo-

ka. Dia lalu berkata ditujukan pada suaminya. 

"Kakang mari kita pesiangi pemuda keparat ini 

bersama-sama!"

"Kau benar, aku juga sudah tidak sabar 

membalaskan kematian anak kita!" Sahut Dewa 

Angin Guntur. Kedua suami istri ini kemudian 

terlihat seolah berebut saling mendahului. Dua 

sinar pedang bertabur di udara, bergerak cepat ke 

arah Lambang Pambudi dengan serangan gencar, 

hebat dan mematikan.

Beberapa saat lamanya pemuda itu nam-

pak terdesak hebat. Dia sama sekali tidak mampu 

membalas serangan kedua lawannya terkecuali 

menangkis serangan mereka. Nampaknya Lam-

bang Pambudi tak mungkin dapat meloloskan diri


dari kepungan sinar pedang lawan. Malah kini 

beberapa bagian tubuhnya kena dilukai lawan. 

Tapi secara aneh, Lambang Pambudi memutar 

tubuhnya. Pedang bergerak menangkis.

Trang! Traang!

Tiga pedang saling berbenturan membuat 

Dewa Angin Guntur dan istrinya terdorong mun-

dur. Kesempatan ini dipergunakan Lambang 

Pambudi untuk melesat ke atas. Begitu dia bera-

da di udara, laksana seekor elang yang menyam-

bar pedang di tangan diputar, dengan tubuh me-

nukik pedang dibabatkan ke dua arah sekaligus

Craas! Craas!

Suami istri ketua perguruan Gunung Ke-

ramat sama-sama menjerit dan sama pula men-

dekap perutnya. Mereka jatuh berlutut dengan 

mata mendelik mulut ternganga seolah tak per-

caya dengan kenyataan yang mereka hadapi. De-

wa Angin Guntur mengerang, dia memeriksa pe-

rutnya yang mengucurkan darah. Ternyata luka 

itu tidak seberapa dalam. Selagi laki-laki itu di-

buat tercengang. Dia mendengar jeritan istrinya.

Dewa Angin Guntur cepat berpaling ke 

arah Galuh Pitaloka. Ternyata perempuan itu ja-

tuh menelungkup, diam tidak berkutik.

"Galuh istriku!" pekik Dewa Angin Guntur. 

Terhuyung-huyung dia hendak menghampiri is-

trinya. Tapi gerakannya tertahan karena Lambang 

Pambudi telah menghalangi langkahnya.

"Kau lebih beruntung karena lukamu tidak 

begitu parah. Namun kau tak perlu risau orang


tua, sekejap lagi aku akan mengantarkanmu pada 

istri tercinta! Ha ha ha!" kata Lambang Pambudi 

sinis.

Mendidihlah darah orang tua ini. Dengan 

mulut terkatup rapat dan pipi menggembung dia 

mencoba menggerakkan pedangnya. Tapi tena-

ganya seakan lenyap. Dewa Angin Guntur terce-

kat. Di depan sana Lambang Pambudi tertawa 

bergelak.

"Pedangku mengandung racun ganas. Tapi 

aku masih berbaik hati dengan mempercepat 

proses kematianmu!" Selesai berucap Lambang 

Pambudi gerakkan pedang di tangan ke depan. 

Dewa Angin Guntur sedapat mungkin berusaha 

menghindar. Tapi celakanya dia sama sekali tak 

dapat menggerakkan tubuhnya. Jiwa ketua per-

guruan Gunung Keramat benar-benar dalam an-

caman bahaya besar saat itu. Akan tetapi pada 

detik yang sangat kritis ini dua bayangan berke-

lebat. Satu dari dua sosok yang datang bergerak 

menyambar Dewa Angin Guntur. Sedangkan sa-

tunya lagi menangkis serangan pedang Lambang 

Pambudi. 

Traang!

Cahaya kuning dan pedang di tangan Lam-

bang Pambudi bentrok keras di udara, menim-

bulkan pijaran bunga api. Lambang Pambudi 

sendiri menjerit keras pedang di tangan terpental 

lepas, sedangkan tangan pemuda itu serasa lumpuh.

Dalam kagetnya Lambang Pambudi me

mandang ke depan. Di depannya sana telah ber-

diri tegak seorang pemuda gondrong bertelanjang 

dada. Di tangan pemuda itu tergenggam sebuah 

senjata berbentuk seperti gada berwarna kuning 

mengkilat. Pemuda itu tersenyum sambil mengga-

ruk kepala. Tak jauh di sebelah kanan pemuda 

itu seorang kakek berbadan gendut luar biasa 

nampak sibuk menolong Dewa Angin Guntur 

yang baru diselamatkannya dari luka di bagian 

perut.

"Kau...?!" desis Lambang Pambudi.

Suaranya tercekat, karena pemuda itu 

sangat dikenalnya. 

"Ha ha ha. Ya... aku, Gento. Masa kau lu-

pa? Sedangkan yang disana itu Gentong Ketawa!" 

menerangkan pemuda itu sambil tertawa.

"Tidak pernah ku menyangka kau mau 

mencampuri urusanku!" kata pemuda itu sengit.

Gento tentu saja lebih jengkel lagi. "Kau 

sahabat penipu sialan. Berpura-pura menjadi 

orang tolol. Tidak tahunya kau manusia licik. Kau 

fitnah orang lain untuk kepentinganmu sendiri!" 

teriak Gento marah.

"Ha ha ha! Ternyata kau juga seorang pen-

dekar tolol yang dapat ku kelabuhi! Menyingkir-

lah!" hardik Lambang Pambudi bengis.

"Gento... mengapa banyak mulut. Kau urus 

pemuda sialan itu, biar aku mengurus orang tua 

ini!" kata Gentong Ketawa.

"Kalian orang bodoh yang mencari mati!" 

kata Lambang Pambudi. Laksana kilat pemuda


itu melompat meraih pedangnya yang rompal di-

bagian ujungnya akibat membentur senjata di 

tangan Gento.

"Bagus! Ternyata kau hendak melawan 

tuan penolongmu!" ujar si pemuda sambil terse-

nyum sinis.

Tanpa bicara Lambang Pambudi menyerbu 

ke arah Gento. Sadar Gento Guyon bukan manu-

sia yang dapat dianggap enteng. Lambang Pam-

budi pun mengerahkan jurus-jurus pedangnya 

yang paling hebat. Gento memang sempat dibuat 

tercekat melihat kehebatan serangan lawannya. 

Siapapun tak menyangka Lambang Pambudi yang 

terlihat lemah itu ternyata memiliki jurus-jurus 

simpanan sehebat itu. Tapi Gento sama sekali ti-

dak dibuat keder. Dia yang merasa selama ini di-

tipu oleh pemuda itu mengerahkan tenaga dalam 

penuh ke bagian hulu gada dalam genggamannya. 

Senjata itu kini nampak semakin membesar dan 

bertambah panjang pula. Di saat pedang di tan-

gan lawan menusuk dan membabat kaki dan pe-

rutnya, Gento gerakkan gada di tangannya.

Sinar kuning seperti kilauan emas berkib-

lat disertai suara bergelaksana bendungan yang 

jebol. Kemudian dua senjata beradu keras hingga 

menimbulkan suara ledakan menggelegar. Pedang 

di tangan Lambang Pambudi hancur berkeping-

keping begitu membentur gada sakti, Penggada 

Bumi. Akibatnya tidak hanya sampai disitu saja, 

Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Gento me-

lompat sambil lakukan beberapa gerakan. Dilain


kejab gada itu menderu menghantam kepala la-

wan. Lambang Pambudi tentu saja tidak mau ke-

palanya hancur dihantam gada. Dengan cepat 

masih dalam keadaan menelentang pemuda ini 

hantamkan kedua tangannya ke arah gada.

Segulung angin menderu, lalu menghan-

tam senjata di tangan pemuda itu. Gada hanya 

bergetar, malah kini semakin bertambah panjang 

dan makin bertambah besar pula. Kalang kabut 

Lambang Pambudi mencoba bergulingan ke 

samping. Sayang gerakannya kalah cepat dengan 

gerakan lawannya.

Tak ayal lagi gada itu menghantam dada si 

pemuda. Terdengar suara tulang rusuk berderak 

disertai jeritan Lambang Pambudi. Darah me-

nyembur dari mulut pemuda itu sedangkan ma-

tanya melotot, mulut ternganga lidah terjulur. 

Lambang Pambudi berkelojotan sebentar, lalu di-

am tak berkutik. Gento menarik nafas pendek, 

tenaga yang disalurkan ke senjatanya ditarik 

kembali, sehingga gada sakti yang dapat membe-

sar dan mengecil itu kembali ke bentuk asalnya. 

Sambil memasukkan senjata dibalik pinggang ce-

lananya, Gento pandangi mayat Lambang Pam-

budi sejenak.

"Pemuda ini lebih cerdik dari kancil," gu-

mamnya dengan wajah cemberut. Dia lalu meno-

leh ke arah gurunya. Gento melihat gendut Gen-

tong ketawa sedang membalut luka di perut Dewa 

Angin Guntur.

"Guru... mari kita pergi!" kata pemuda itu


setelah datang menghampiri.

"Gento dan paman Gentong Ketawa, aku 

merasa berhutang nyawa pada kalian. Maafkan 

kekeliruan ku selama ini karena salah menduga." 

kata Dewa Angin Guntur dengan suara perlahan.

Gento yang teringat pada nenek Selasih 

Jingga berucap. "Paman sudah mendapatkan satu 

pelajaran. Orang yang baik belum tentu baik ha-

tinya. Harap pernah melakukan kejahatan tidak 

selamanya tenggelam dalam kesesatan."

Dewa Angin Guntur segera duduk. "Kau 

benar, Gento. Selama ini aku terlalu picik. Aku 

berdosa pada Selasih Jingga terlebih-lebih pada 

anaknya." sesal Dewa Angin Guntur.

"Bagus jika kau mau menyadarinya." Gen-

tong Ketawa menimpali. "Sekarang kami harus 

pergi dari sini. Kau uruslah jenazah istrimu." ujar 

si kakek.

"Aku bersama murid-muridku akan men-

gurusnya." sahut Dewa Angin Guntur sambil 

memandang ke arah sosok yang terbujur kaku di 

depan sana dengan mata berkaca-kaca.

"Uruslah dengan baik paman, setelah em-

pat puluh hari kematiannya nanti kau harus ce-

pat cari pengganti agar tidak menjadi orang lin-

glung." celetuk Gento.

"Terlebih-lebih lagi supaya tidak kedingi-

nan! Ha ha ha!" timpal si gendut lalu tertawa ter-

gelak-gelak.

"Gendut edan, sudah tua otak masih saja 

ngaco!" dengus Gento, tapi dia sendiri sambil berkelebat malah tertawa terbahak-bahak.


                        TAMAT














0 komentar:

Posting Komentar