GENTO GUYON EPISODE TOPENG
SATU
Di sebelah utara Solotigo tepatnya di dae-
rah Banyubiru terdapat sebuah bukit kapur yang
dikelilingi hutan lebat. Biarpun di daerah ini ba-
nyak berkeliaran binatang buruan, tapi tak seo-
rangpun penduduk yang tinggal di sekitar hutan
itu berani mencari buruan di sana. Konon kabar-
nya di tengah hutan di bagian bukit berdiam satu
mahluk angker yang selalu mengeluarkan suara
lolongan aneh sepanjang malam. Yang mena-
kutkan lagi, bila suara lolong itu terdengar bi-
asanya selalu disertai dengan guncangan keras
laksana gempa. Guncangan yang merayap hingga
jauh memasuki dusun-dusun terdekat. Jadi tidak
mengherankan bila penduduk di daerah itu dice-
kam rasa takut sepanjang masa.
Walau hutan Banyubiru tak pernah dijarah
manusia dan ditakuti oleh kalangan dunia persi-
latan, namun di pagi itu di kala kegelapan dan
kabut masih menyelimuti kawasan hutan dan se-
kitarnya, terlihat satu bayangan berkelebat me-
masuki kawasan hutan di sebelah timur. Melihat
caranya berlari yang demikian cepat, jelas bukan
manusia sembarangan. Paling tidak dia memiliki
ilmu lari cepat dan juga ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa. Di samping itu sosok ser-
ba putih ini kelihatannya memang tidak menghi-
raukan suasana di sekelilingnya yang terasa
sunyi mencekam. Beberapa saat lamanya dia me
nyusup di antara pepohonan besar, semak belu-
kar lalu mendaki tebing batu yang curam. Tak
berselang lama sosok berpakaian serba putih ini
sampai di kaki sebuah bukit kapur yang memutih
bagaikan gundukan es.
Sosok ini hentikan langkah dan ternyata
dia adalah seorang kakek tua berambut bersor-
ban warna putih berjenggot panjang menjulai
berpipi menonjol dan bermata cekung. Sepasang
matanya yang menjorok ke dalam mencorong ta-
jam. Di punggung kakek berbadan tinggi semam-
pai terselip sebuah senjata melengkung berupa
celurit besar dengan rangka terbuat dari kulit ha-
rimau.
Beberapa kejap lamanya si kakek berdiri
tegak di situ, sepasang mata memandang kea-
daan di sekelilingnya. Kemudian dia memandang
ke atas bukit. Puncak bukit kapur dicekam kesu-
nyian. Si kakek jadi tidak enak hati gelisah sendi-
ri. Sudah puluhan tahun dia tak pernah me-
nyambangi orang yang hendak dijumpainya hari
ini. Apakah orang itu masih hidup hingga saat ini
mengingat usianya yang sudah lanjut sekali. Ka-
laupun masih hidup, bagaimana dia harus me-
mulai segala pembicaraan?
"Tidak ada alasan bagiku untuk mengu-
capkan kata-kata dusta. Dia pasti tahu segala se-
suatunya!" gumam si kakek seorang diri. Sekali
lagi dia kitarkan pandangan matanya ke segenap
penjuru sudut. Setelah memastikan tidak ada
orang lain yang mengikutinya tidak lama kemudian dia segera mendaki bukit kapur itu.
Dengan mengerahkan segala kekuatan dan
ilmu meringankan tubuh yang dia miliki, orang
tua inipun sudah hampir mencapai puncak bukit,
tapi pada saat itu dari bagian puncak bukit ada
cahaya putih seperti kilat menyambar ke arah si
kakek. Terkejut kakek baju putih coba sela-
matkan diri dengan merundukkan tubuhnya
hingga sama rata dengan tonjolan batu yang ter-
dapat di sebelah atasnya.
Geleger!
Sambaran kilat yang datang secara tak ter-
duga itu menghantam batu, menimbulkan suara
ledakan menggelegar. Batu hancur bertaburan
menjadi serpihan puing yang berhamburan ke se-
luruh penjuru arah. Guncangan keras yang di-
timbulkan oleh suara ledakan membuat si kakek
nyaris terpental dan jatuh kembali ke kaki bukit.
Masih beruntung ketika tubuhnya terguling-
guling dia sempat menyambar akar tetumbuhan
merambat yang tumbuh di lereng itu, hingga dia
selamat dari bencana yang tak terduga.
Dengan hati kecut dan perasaan tegang si
kakek coba menghindari batu-batu yang mengge-
lundung ke arahnya. Sekali waktu dia meman-
dang ke atas bukit, tenaga dalam dikerahkan ke
bagian kaki, tangan melakukan gerakan men-
gayun. Setelah itu kaki kiri dijejakkan ke salah
satu batu yang mencuat di bagian lereng bukit.
Dessss!
Hentakan yang keras membuat tubuh si
kakek melesat ke atas bukit, berjumpalitan tiga
kali baru kemudian jejakkan kakinya di bagian
pedataran puncak bukit kapur tersebut. Si kakek
sejenak lamanya kitarkan pandangan ke setiap
penjuru arah. Tidak ada yang terlihat, juga ter-
masuk orang yang hendak dia temui. Tiga kali si
kakek memperhatikan dia pun akhirnya berkata.
"Mungkinkah dia sudah berpulang? Dua
puluh tahun yang lalu ketika aku menyamban-
ginya usianya memang sudah sangat lanjut." Si
kakek terdiam sejenak, berpikir. Dia menoleh ke
belakang, hancuran batu-batu masih berserakan.
"Sinar putih yang membelah dan menghancurkan
batu tadi mustahil datang dari langit. Jelas sinar
berasal dari salah satu pukulan sakti seseorang.
Kakek itu atau...?!" Si kakek berpakaian serba
putih geleng-gelengkan kepala. "Mungkin dia me-
mang sudah tiada, mungkin memang ada orang
lain yang tinggal di tempat ini. Tapi aku tahu Be-
gawan Panji Kwalat tak punya murid," kata si ka-
kek dalam hati.
Melihat suasana yang sepi, timbul keingi-
nan di hati orang tua ini untuk menyelidik. Akan
tetapi baru saja niatnya hendak dilakukan, pada
detik itu juga mendadak terdengar suara desah
nafas seseorang, suara desah nafas disertai den-
gan bergeraknya satu gundukan kapur yang be-
rada tak jauh di depannya. Gundukan kapur ter-
sibak. Si kakek yang belum juga hilang rasa he-
rannya kini malah jadi kaget, karena di balik
gundukan itu ternyata muncul satu sosok beram
but riap-riapan, berwajah dan bertubuh kurus
kering macam jerangkong. Sekujur tubuh orang
yang baru muncul dari timbunan kapur itu tam-
pak memutih. Hanya matanya saja yang cekung
berkeriapan tiada henti.
Jika semula kakek berpakaian serba hitam
unjukkan wajah kaget, maka kini wajahnya beru-
bah gembira. "Begawan Panji Kwalat, aku Guru
Lanang Pamekasan datang menyambangimu!"
berkata begitu si kakek rangkapkan jemari tangan
di depan dada, lalu membungkuk dengan sikap
penuh rasa hormat. Anehnya sosok kurus kering
macam jerangkong terkesan acuh, bersikap seo-
lah di tempat itu seperti tak ada orang lain. Dia
malah gerakkan kedua tangan, kaki dijulurkan
sedangkan tubuhnya yang kurus kering mengge-
liat dengan sikap seperti orang baru bangun ti-
dur. Yang mengejutkan sekonyong-konyong si ka-
kek keluarkan suara raungan keras melengking,
sejalan dengan terdengarnya raungan itu, maka
bagian puncak bukit kapur bergetar, getaran se-
makin lama berubah menjadi guncangan hebat
yang membuat Guru Lanang Pamekasan jatuh
terbanting. Bukan hanya itu saja, begitu terhem-
pas tubuhnya melesat di udara, lalu terbanting
lagi. Hal seperti ini terjadi berulang-ulang.
Wajah kakek ini berubah pucat, nyawanya
laksana terbang, perut mulas, dada sakit dan ke-
pala laksana mau pecah. "Celaka... dia rupanya
tak berkenan menerima kehadiranku." batin Guru
Lanang Pamekasan dalam hati. Otaknya bekerja
dengan cepat, mencari cara bagaimana agar di-
rinya dapat bertahan dari guncangan. Selagi dia
mencoba menghunjamkan kedua kaki serta tan-
gannya ke dalam tanah, pada saat itu pula lolon-
gan sosok jerangkong yang dipanggil 'Begawan
Panji Kwalat' terhenti. Masih dengan sikap seperti
itu dia lalu berucap dengan alunan suara seperti
orang bersair.
Hidup ratusan tahun membawa sesal tak
berkesudahan
Air mata bertukar dengan cucuran darah
Siang dan malam datang silih berganti
Manusia saling bunuh perturutkan nafsu
Hidup, akh aku sudah bosan hidup.
Aku letih menghitung hari
Tuhan ya Tuhan, akan ke mana aku mem-
bawa langkah diri
Aku tidak ingin berkata, tak ingin bicara
Lidahku keji penuh petaka
Aku tak salah bicara!
Sosok berbadan kurus macam jerangkong
hentikan ucapannya, diam sejenak sambil meng-
hitung jemari tangannya sendiri. Setelah itu ter-
dengar suara keluhanya yang perlahan. "Sudah
semakin dekat, bertambah dekat aku jadi muak
melihatnya!"
"Begawan Panji Kwalat, apa maksudmu?"
tanya Guru Lanang Pamekasan yang merasa kesal karena dirinya diacuhkan.
Mendengar suara kakek baju putih si ka-
kek bertubuh jerangkong unjukkan sikap seperti
orang terkejut. Dia menoleh ke arah Guru Lanang
Pamekasan. Sejenak lamanya mereka saling ber-
tatap pandang. Sampai kemudian sepasang mata
Begawan Panji Kwalat meredup, kehilangan ca-
haya.
"Aku masih ingat dirimu. Saat ini buat apa
kau jauh-jauh datang ke mari Guru Lanang Pa-
mekasan?" tanya Manusia Kutuk Sumpah.
Guru Lanang Pemekasan terdiam sejenak,
dia hendak mengatakan tujuan yang sebenarnya
tapi jadi ragu.
"Keraguan tak pernah menyelesaikan satu
masalah. Aku tahu apa tujuanmu datang dari
Madura. Kau ingin menjodohkan muridmu den-
gan anak seorang sahabat lamamu. Bukankah
begitu?" ujar si kakek jerangkong.
Guru Lanang Pamekasan yang maklum
akan kesaktian yang dimiliki oleh orang tua itu
anggukkan kepala.
"Engkau benar orang tua. Satu hal yang
ingin aku ketahui apakah sahabatku itu tidak
mengingkari janjinya yang dulu?" tanya Guru La-
nang Pamekasan.
Mendapat pertanyaan seperti itu si kakek
jerangkong diam sejenak. Mata dipejamkan, se-
dangkan telapak tangan kanan diletakkan di de-
pan matanya yang tertutup, mulut berkomat-
kamit lalu tangan tadi ditiup.
Dengan mata terpejam pula dia memperha
tikan tangan yang baru ditiup. Guru Lanang Pa-
mekasan coba ikut memperhatikan bagian tela-
pak tangan itu. Dia jadi kaget ketika melihat di
bagian telapak tangan si badan jerangkong nam-
pak memerah seperti bersimbah darah.
"Peruntungan muridmu cukup baik, tapi
takdirnya sangat buruk. Sahabatmu tak pernah
mengingkari janji. Tapi aku melihat satu rintan-
gan besar yang berakhir dengan sebuah kesedi-
han bagi semua pihak." kata Manusia Kutuk
Sumpah.
Dia lalu turunkan tangannya, mata kemba-
li terbuka sedangkan kepala bergoyang.
"Sahabatku Begawan Panji Kwalat. Da-
patkah kau jelaskan lebih terinci makna dari se-
mua ucapanmu tadi. Aku datang dari jauh ingin
minta satu kejelasan, bukan sesuatu yang tersa-
mar." ujar Guru Lanang Pamekasan.
"Aku si Kutuk Sumpah. Aku tak boleh bi-
cara mendahului takdir. Apapun kejadiannya
yang akan berlaku nanti sebaiknya jalani saja.
Urusanmu adalah persoalan yang menyangkut
kesedihan, persoalanmu adalah menyangkut ma-
salah nyawa. Kau tahu setiap sumpah dan uca-
panku yang tidak ku suka akan berakibat menge-
rikan bagi seseorang. Aku tidak boleh bicara sem-
barangan. Harap kau mau mengerti!"
Guru Lanang Pamekasan nampak kecewa
sekali mendengar penjelasan Begawan Panji Kwa-
lat. Walau begitu tentu dia tidak berani memban-
tah apa yang dikatakan oleh si tubuh jerangkong.
Oleh karena itu dia cuma diam saja.
"Guru Lanang Pamekasan, apa yang aku
katakan itu bisa saja berubah. Karena diriku bu-
kan Tuhan. Tapi terus terang mengenai dirimu
kau harus berhati-hati. Karena maut bisa men-
gincarmu dan datang dari arah yang tidak dis-
angka-sangka." kata Begawan Panji Kwalat me-
nambahkan.
Semakin bertambah tegang saja perasaan
kakek tua bersenjata celurit ini mendengar uca-
pan kakek jerangkong di depannya. Kini dengan
perasaan bingung dia pandangi Begawan Panji
Kwalat, mulutnya yang tertutup membuka hen-
dak mengatakan sesuatu. Tapi ketika sosok yang
duduk bersimbah di atas tanah kapur gerakkan
telunjuknya di bagian leher Guru Lanang Pame-
kasan, maka tidak sepatah katapun dapat teru-
capkan. Malah kakek itu merasakan lehernya se-
perti dicekik.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku
telah kuanggap cukup. Sekarang kau pergilah da-
ri hadapanku. Lakukan apa yang hendak kau la-
kukan!" ujar Begawan Panji Kwalat.
"Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputu-
sanmu aku tentu tak berani membantah, tapi sa-
habatku apakah kau tetap memendam diri sela-
manya di tempat ini? Kau tidak hendak mening-
galkan bukit ini sekedar untuk mencari kesenan-
gan menghibur hati?" tanya Guru Lanang Pame-
kasan.
"Kesenangan dan kepalsuan dunia ini telah
aku dapatkan puluhan tahun yang lalu." Begawan
Panji Kwalat menyahuti. Setelah terdiam sejenak
dia kemudian melanjutkan. "Sedangkan mengenai
diriku saat ini aku hendak menjumpai seseorang
yang sudah lama kutunggu. Orang itu masih ter-
hitung saudaraku sendiri. Tapi jika dia tak datang
ke mari dalam waktu satu pekan mendatang, bisa
jadi aku yang akan mencarinya." jelas si kakek je-
rangkong.
"Siapakah saudaramu itu?" tanya Guru
Lanang Pamekasan.
"Namanya Wirya Sena. Sejak kecil sampai
sekarang hidupnya penuh kemalangan. Dia me-
miliki sepasang tangan, tapi kedua tangannya tak
pernah membawa keberuntungan." jelas si kakek
dengan wajah muram membayangkan kesedihan.
"Aku turut merasa prihatin mendengar-
nya!"
"Aku tahu ucapanmu hanya basa-basi."
berkata Begawan Panji Kwalat disertai seringai
aneh.
Guru Lanang Pamekasan jadi tersipu malu
sendiri. Dia lalu berkata. "Sahabatku, terima ka-
sih atas petunjuk yang kau berikan. Sekarang
aku mohon diri!"
"Guru Lanang Pamekasan, tidak tahu aku
mau berkata apa. Sekali lagi aku cuma dapat
berpesan agar kau pandai-pandai menjaga diri!"
Begawan Panji Kwalat mengingatkan.
Si kakek anggukkan kepala. Setelah men-
jura pada kakek jerangkong, dia berkelebat meninggalkan puncak bukit kapur. Sepanjang jalan
Guru Lanang Pamekasan terus saja berpikir men-
gapa Begawan Panji Kwalat bicara seperti itu? Ra-
sanya selama dalam perjalanan dia merasa di-
rinya tidak pernah diikuti oleh siapapun.
DUA
Disaksikan oleh belasan pasang mata, pe-
muda berpakaian serba putih itu terus memain-kan jurus-jurus pedangnya yang paling diandalkan. Pedang berkelebat memancarkan cahaya pu-
tih berkilauan, menderu keempat penjuru arah
disertai suara angin berkesiuran. Semua orang
yang melihat pertunjukan jurus-jurus pedang
yang dimainkan si pemuda jadi berdecak penuh
rasa kagum.
Setelah berlangsung belasan jurus si pe-
muda hentikan gerakan pedangnya. Senjata di-
masukkan ke dalam rangka dengan gerakan di-
buat cepat sedemikian rupa hingga kembali men-
gundang decak rasa kagum bagi orang-orang yang
menyaksikan pertunjukkan silat yang dilakukan
si pemuda.
"Kalian sudah sama menyaksikan keheba-
tan jurus pedang yang kumiliki. Jika mau me-
nyaksikan yang lebih hebat lagi, silahkan datang
ke tempat ini kira-kira tiga purnama mendatang!"
ujar si pemuda penuh rasa percaya diri dan ke-
sombongan. Dia lalu menurunkan topeng yang
bertengger di atas kepalanya. Begitu topeng kayu
berwarna putih dipasang di bagian wajah, maka
terlihatlah bentuk wajah topeng dengan hidung
mancung, pipi tembem dan bibir tersenyum. Se-
lanjutnya pemuda ini melangkah mendekati kuda
berbulu putih yang berada tak jauh dari keru-
muman orang ramai. Sekali pemuda ini melaku-
kan gerakan di lain kejap dia telah duduk di atas
punggung kudanya. Sebelum pergi tinggalkan
tempat itu, sekali lagi dia menoleh ke arah para
pengagumnya.
"Pertunjukkan pedang sudah usai. Kalian
sudah tahu perkembangan jurus-jurus pedangku
maju pesat. Aku orang paling hebat di daerah ini.
Kelak aku akan merajai dunia persilatan, nan-
tinya aku akan menjadi seorang jago pedang tan-
pa tanding!" kata si pemuda sambil menepuk da-
danya.
"Kami percaya kau pemuda hebat Bayu
Gendala. Bukankah ibumu Selasih Jingga berge-
lar Jari Perontok Nyawa adalah manusia yang
sangat disegani sejak dulu? Nama besarnya per-
nah menggegerkan dunia persilatan, tidak meng-
herankan jika anaknya juga mewarisi ilmu hebat
dari orangtuanya." kata salah seorang dari yang
hadir.
"Aku percaya kau pasti menjadi seorang ja-
go pedang yang tak tertandingi." menimpali yang
lainnya.
Bayu Gendala manggut-manggut, bibir di
balik topeng tersenyum puas dan penuh kebang
gaan diri. Setelah itu dia memacu kudanya mene-
lusuri jalan besar berbatu. Tak lama setelah dia
sampai di tikungan jalan mendadak Bayu Genda-
la hentikan kudanya begitu melihat seorang gadis
cantik tengah memetik bunga sambil bersenan-
dung.
Dia kenal betul gadis ini adalah puteri seo-
rang ketua perguruan besar yang mempunyai
pengaruh luas sampai ke kerajaan, murid dan
pengikutnya cukup banyak tersebar hampir di se-
luruh tanah Jawa. Konon menurut yang pernah
didengarnya gadis jelita berpakaian merah yang
bernama Lara Murti ini telah mempunyai kekasih
pujaan hati. Nama pemuda yang berhasil melu-
ruhkan hati Lara Murti kalau dia tak salah ingat
adalah Lambang Pambudi. Seorang pemuda tam-
pan, tapi lemah tidak memiliki ilmu apa-apa. Pe-
muda seperti itu tidak ada artinya bagi Bayu
Gendala.
Dia sendiri beberapa kali bertemu dengan
gadis ini dan terus terang sudah jatuh hati sejak
pandangan pertama, namun agaknya terlalu sulit
baginya untuk mendekati gadis ini mengingat si-
kap yang ditunjukkan si gadis terhadapnya selalu
sinis jauh dari yang diharapkan.
"Aku tidak boleh mudah putus asa untuk
mengambil hati dan mendapatkannya. Boleh jadi
hari ini dia tidak suka, siapa tahu nanti, jika aku
bersabar mungkin saja aku bisa menyuntingnya!"
pikir Bayu Gendala.
Dia lalu pura-pura terbatuk. Gadis yang
sedang memetik bunga tersentak kaget. Kranjang
rotan yang berada di tangan kirinya nyaris terja-
tuh. Agaknya dia terlalu larut dalam senandung
nyanyiannya sendiri sehingga dia tak mendengar
derap kuda dan kehadiran orang di tepi kebun
bunga itu.
Sejenak lamanya dia pandangi pemuda
bertopeng putih yang duduk di atas punggung
kuda. Senyum sinisnya terkembang membuat
Bayu Gendala jadi salah tingkah.
"Hei, apakah aku boleh menemanimu? Aku
bisa membantumu memetik bunga yang kau su-
kai." kata Bayu Gendala menawarkan diri. Se-
nyum sinis Lara Murti semakin melebar.
"Aku tidak membutuhkan uluran tangan-
mu. Aku bisa memetik bunga di kebun ayahku ini
sendiri. Kau pemuda yang suka pamer ilmu ke-
pandaian sebaiknya pergi dari hadapanku. Lebih
baik kau mempertunjukkan kehebatan jurus-
jurus pedangmu di tempat lain!" dengus si gadis.
Bayu Gendala sesungguhnya kaget, tak
menyangka Lara Murti pernah melihat dirinya
memperagakan jurus-jurus pedangnya di tempat
keramaian. Tapi karena pada dasarnya dia adalah
orang yang penuh rasa percaya diri dan bermuka
tebal, maka dia menanggapinya dengan terse-
nyum.
"Aku merasa beruntung jika kau pernah
melihat permainan pedangku. Tapi kedatanganku
ke sini walau cuma kebetulan namun membekal
sebuah maksud baik. Aku sudah sering melihat
mu, aku merasa kagum melihat kecantikanmu.
Dan yang pasti aku telah jatuh cinta pada saat
pertama kali melihatmu!" kata Bayu Gendala ber-
terus terang.
Ucapan si pemuda membuat wajah si gadis
bersemu merah. Dia merasa tersinggung menden-
gar kata-kata Bayu Gendala yang dianggapnya
sangat keterlaluan itu. Dengan mata melotot Lara
Murti membentak. "Pemuda bertopeng, aku tahu
siapa dirimu. Aku tahu juga siapa ibumu. Jika itu
keinginanmu apakah kau tak malu dengan dirimu
sendiri?" sembur si gadis.
Sejenak Bayu Gendala terkesan bingung,
namun entah mengapa mendadak dia tertawa ter-
gelak-gelak. Belum lagi tawanya lenyap, dia ber-
kata. "Diriku tak ada yang harus dipermalukan.
Malah aku bangga dengan segala apa yang aku
miliki. Menurutku rasanya aku pantas menjadi
pendampingmu. Kau seorang putri ketua pergu-
ruan besar, sedangkan ilmu kepandaianku kura-
sa tidak berada di bawahmu!"
"Pemuda sinting. Tidak tahu betapa ting-
ginya langit. Siapa sudi menerima cintamu? Bah-
kan gadis lain sekalipun pasti tidak sudi menjadi
kekasih pemuda congkak sepertimu!" hardik Lara
Murti sengit.
Bayu Gendala, pemuda yang selalu menge-
nakan topeng bila bepergian ke mana-mana ini
tertawa lebar. Walau jauh di dalam hati dia mulai
merasa tersinggung mendengar kata-kata pedas
yang diucapkan Lara Murti.
Sampai sejauh itu dia masih sanggup me-
nekan amarahnya sendiri. Malah kini dengan le-
mah lembut dia berkata. "Lara Murti hari ini kau
bisa mengatakan begitu, tapi siapa tahu lain kali
kau berubah pikiran. Aku pasti senang meneri-
mamu! Ha... ha... ha."
Lara Murti semakin naik darah mendengar
ucapan pemuda yang dianggapnya tidak tahu so-
pan santun ini. Keranjang rotan yang berisi kem-
bang diletakkan di atas rerumpunan bunga, den-
gan tangan terkepal penuh kegeraman dia me-
langkah lebar dekati Bayu Gendala yang duduk
enakan di atas punggung kudanya. Begitu jarak-
nya hanya tinggal satu setengah tombak dia hen-
tikan langkah, mulut mendamprat.
"Jangan kau berpikir yang tidak-tidak. Jika
sekarang aku mengatakan tak sudi kepadamu,
selamanya juga tetap tidak sudi! Sekarang pergi-
lah, jangan kau paksa aku turunkan tangan keji
kepadamu." hardik Lara Murti.
Bukannya cepat pergi sebagaimana yang
diharapkan oleh si gadis, sebaliknya Bayu Genda-
la yang senang memakai topeng untuk menutupi
wajahnya itu malah tertawa tergelak-gelak. Lara
Murti jadi tidak sabar, rasa kesal dan kemara-
hannya semakin memuncak. Dia berpikir apakah
harus turunkan tangan keras agar membuat
Bayu Gendala mengerti atau tidak. Tapi kemu-
dian ternyata dia memilih untuk menahan kema-
rahannya. Belum lagi sempat Lara Murti berucap,
di depan sana Bayu Gendala yang baru saja hentikan tawa langsung berkata.
"Aku tahu kau sudah punya kekasih, La-
ra...! Tapi pemuda lemah seperti Lambang Pam-
budi buat apa bagimu. Jangankan melindungimu,
menolong dirinya sendiri saat terancam bahaya
aku yakin dia tidak sanggup. Seperti yang kuka-
takan tadi, aku mencintaimu. Aku tak enak ma-
kan, tak enak tidur jika belum melihat wajahmu!"
kata Bayu Gendala tetap bersemangat.
"Bangsat tak tahu malu, kau makan puku-
lanku ini!" geram Lara Murti. Laksana kilat dia
melompat ke depan, bergerak ke atas sedangkan
tangannya lakukan gerakan menampar ke bagian
telinga Bayu Gendala yang tidak tertutup topeng.
Demikian cepatnya gerakan si gadis hingga mem-
buat Bayu Gendala jadi tersentak kaget. Tapi dia
cepat selamatkan telinga dari tamparan dengan
merundukkan kepala hingga sama rata dengan
punggung kuda. Tamparan Lara Murti mengenai
tempat kosong, dia hantamkan kakinya ke ping-
gul Bayu Gendala. Si pemuda berseru keras begi-
tu merasakan sambaran angin dingin terasa men-
cucuk pinggulnya. Sekali lagi dia terpaksa angkat
bagian kakinya ke samping. Tendangan keras
menghantam punggung kuda. Binatang itu me-
ringkik, lalu lari menghambur menjauh dari Lara
Murti.
"Kampret!" rutuk Bayu Gendala yang ham-
pir saja terpelanting jatuh dari atas punggung
kuda. Sementara binatang itu sudah berlari men-
jauh. Dari kejauhan Lara Murti mendengar suara
Bayu Gendala yang ditujukan kepadanya. "Gadis
cantik dambaan hatiku. Sampai kapanpun aku
tetap akan menunggumu. Jika kau tak dapat ku-
perlakukan dengan baik, mungkin suatu saat
akan kutempuh cara lain. Ha... ha... ha!" Suara
tawa si pemuda semakin menjauh dan lenyap. Di
tempatnya berdiri Lara Murti yang jengkel hanya
dapat kepal-kepalkan kedua tangannya sambil
membanting kaki.
Tak jauh dari si gadis berdiri, entah dari-
mana datangnya berdiri tegak seorang pemuda
tampan berpakaian putih berwajah polos seperti
pemuda dusun biasa. Pemuda itu memegangi ke-
ranjang bunga milik Lara Murti, sementara tatap
matanya memandang lurus ke arah perginya
Bayu Gendala dengan tatapan tak berkesip.
"Pemuda tengik kurang ajar. Bertemu seka-
li lagi dengannya pasti kuhajar habis dia!" rutuk
Lara Murti.
"Tak perlu gusar, tak usah dihajar. Suatu
saat dia akan mati dengan sendirinya." menyahuti
pemuda berbaju putih berpakaian sederhana itu.
Lara Murti tentu saja jadi kaget mendengar uca-
pan orang, sehingga diapun cepat menoleh, lebih
terkejut lagi begitu mengenali siapa pemuda yang
berdiri di kebun bunga itu.
"Kakang Lambang Pambudi? Bagaimana
kau tahu-tahu muncul di sini?" tanya si gadis.
Dia lalu melangkah bergegas menghampiri. Sete-
lah berhadapan Lara Murti hentikan langkah, se-
dangkan tatap matanya memandang tajam pada
si pemuda dengan segenap kerinduan yang ada.
Pemuda itu tersenyum. "Hanya kebetulan saja
aku lewat di taman bunga ini. Semula aku datang
ke perguruan Gunung Kramat. Ayahmu mengata-
kan kau ada di sini, lalu aku pun menyusulmu."
ujar si pemuda, suaranya lembut penuh sikap
santun.
"Maafkan aku kakang. Aku sampai tak ta-
hu kedatanganmu gara-gara pemuda tengik sia-
lan tadi!" dengus si gadis, rupanya masih kesal bi-
la mengingat apa yang dikatakan Bayu Gendala.
"Dia mengganggumu? Atau bermaksud ku-
rang ajar padamu?" tanya Lambang Pambudi. Ada
rasa cemburu dalam nada ucapannya.
"Kakang tak usah risau, jika dia berani ber-
tindak macam-macam pasti kubuntungi tangan
kakinya." tegas Lara Murti.
"Aku percaya kau pandai menjaga diri. Kau
memiliki ilmu kepandaian hebat. Apalagi kau
memiliki jurus Cahaya Fajar, ilmu andalan yang
belum ada tandingannya hingga sampai saat ini.
Nama besar perguruan Gunung Kramat disegani
oleh banyak pihak, bahkan tokoh-tokoh ternama
dunia persilatan pun mengakuinya. Siapa berani
bertindak gegabah terhadapmu." puji Lambang
Pambudi. Si gadis merasa tersanjung, sementara
si pemuda melanjutkan ucapannya. "Aku sendiri
hanya pemuda biasa, tidak punya kepandaian
atau ilmu yang bisa diandalkan. Aku lemah, se-
mua ini terkadang membuat aku merasa malu
dan jadi tak berarti di hadapanmu!"
Hati Lara Murti jadi terenyuh mendengar
kata-kata polos yang diucapkan oleh Lambang
Pambudi. Pemuda satu ini selain tutur katanya
yang lemah lembut tapi juga rendah hati. Mung-
kin semua ini yang membuat ayah dan ibunya
menyukai si pemuda. Dia sendiri memang sudah
merasa tertarik pada Lambang Pambudi sejak si
pemuda diterima bekerja sebagai penghubung an-
tara perguruan dan utusan keluarga. Konon
Lambang Pambudi tidak pernah belajar segala
bentuk ilmu silat. Pernah ayah si gadis mengajar-
kan barang sejurus dua jurus ilmu silat, tapi sete-
lah diajari Lambang Pambudi jadi lupa.
Satu hal yang mengagumkan bagi Lara
Murti adalah mengenai kejujuran Lambang Pam-
budi, kejujuran inilah yang membuat rasa cinta di
hati Lara Murti semakin bertambah besar.
"Akh... sudahlah kakang. Walaupun kau
tidak punya kepandaian apa-apa, tapi aku sangat
mencintaimu," ujar Lara Murti dengan perasaan
terharu.
"Lalu bagaimana dengan pemuda itu tadi?"
tanya si pemuda sambil melirik ke arah Lara Mur-
ti.
Si gadis tersenyum, dia menggenggam ke-
dua tangan Lambang Pambudi lebih erat lagi, ha-
tinya bergetar perasaannya melayang dalam ca-
krawala bertaburan segala keindahan.
Dengan segenap perasaan Lara Murti ber-
kata tegas. "Tak usah kau hiraukan dia kakang.
Aku tak pernah berpikir tentang pemuda lain. Ha
ti dan diriku hanya untukmu seorang."
Lambang Pambudi balas meremas jemari
tangan gadis yang amat dicintainya. "Aku berte-
rima kasih atas segala perhatian yang telah kau
berikan. Semoga Tuhan merestui cinta kita. Tapi
Lara... ada hal lain yang terasa mengganjal pera-
saanku," berucap si pemuda dengan perasaan re-
sah.
Sepasang alis mata si gadis terangkat naik.
Ditatapnya Lambang Pambudi dengan segenap
perasaan yang ada. "Apa yang hendak kau kata-
kan sebaiknya katakan saja. Tak usah malu!" ujar
si gadis.
"Nantinya aku akan berterus terang pada-
mu."
"Mengapa kau tidak mengatakannya seka-
rang?" tanya Lara Murti.
"Kelak kau akan tahu sendiri. Sudahlah
jangan kita persoalkan masalah itu, sebaiknya ki-
ta pulang sekarang!" berkata Lambang Pambudi
sambil menarik tangan Lara Murti. Si gadis segera
mengikuti apa yang diinginkan oleh pemuda itu.
TIGA
Kilat menyambar, petir menggelegar. Di
langit sana mendung tebal kian menghitam. Tidak
lama kemudian hujan turun begitu derasnya. Pa-
da saat itu di tengah-tengah derasnya curahan
hujan satu sosok berpakaian serba hitam memakai ikat kepala warna hitam berlari cepat meng-
hampiri sebuah rumah besar yang sudah tidak
terpakai.
Dalam keadaan pakaian dan tubuh basah
kuyup pemuda ini berteduh di bagian pendopo
depan rumah tua di mana banyak bagian atapnya
yang terbuat dari atap nipah bocor berlubang be-
sar.
"Sial, seharusnya aku menunggu Guru La-
nang Pamekasan. Mestinya aku ikuti dia ke Ba-
nyubiru. Dengan begitu aku bisa ikut tahu apa
kira-kira isi ramalan Manusia Kutuk Sumpah."
kata si pemuda seakan menyesali dirinya sendiri.
"Coba kalau aku mau menunggunya di luar hutan
Banyubiru tadi, kurasa nasibku lebih beruntung.
Aku tidak salah jalan atau tersesat sampai tiga
kali." Pemuda berpakaian hitam beralis tebal me-
mandang ke langit melalui atap rumah yang bo-
long. Dia berpikir sejenak sambil membuka ba-
junya yang basah. Baju itu kemudian diletakkan-
nya di atas sandaran kursi butut berwarna hitam.
Dia kemudian mengeringkan badannya yang ke-
kar dengan telapak tangan. Setelah itu mengambil
baju kering dengan warna yang sama dari kan-
tong perbekalan.
Rapi berpakaian si pemuda yang membekal
dua buah celurit di sisi pinggang kiri kanan du-
duk di atas balai-balai bambu yang kotor berde-
bu. Tatap matanya memandang ke depan, ke ba-
gian halaman yang mulai ditumbuhi rerumputan
liar.
"Aku tidak tahu apakah perguruan Gunung
Keramat masih jauh dari sini atau malah sebalik-
nya. Tapi jika aku datang mendahului guru, aku
khawatir paman Dewa Angin Guntur dan bibi
Mawar Selatan tak kenal padaku. Sejak kecil dan
setelah terpisah selama belasan tahun aku tak
pernah lagi bertemu dengan mereka. Seandainya
kakekku Guru Lanang Pamekasan tak membawa-
ku ke Madura, kurasa sejak dulu aku bisa selalu
bersama dengan adik Lara. Entah seperti apa dia
sekarang. Dulu ketika aku dan dia masih sama-
sama kecil, adik Lara selain lincah juga lucu. Wa-
jahnya menggemaskan. Mungkin sekarang dia te-
lah tumbuh dewasa, menjadi seorang gadis cantik
berkulit putih sesuai dengan keadaan tubuhnya
di masa kecil." kata si pemuda. Dia jadi senyum-
senyum sendiri membayangkan betapa perte-
muan dan perjodohan antara dirinya dan Lara
Murti menjadi sesuatu yang sangat menyenang-
kan. Tapi mungkinkah hati dan perasaan Lara
Murti tidak pernah berubah, mengingat di antara
mereka telah terpisah selama belasan tahun. Lagi
pula perjanjian perjodohan itu telah berlangsung
lama. Semua atas kesepakatan antara kakeknya
dengan paman Dewa Angin Guntur serta bibi
Mawar Selatan. Sedangkan waktu itu baik dirinya
maupun Lara Murti tak tahu apa-apa?
"Hem, mudah-mudahan setelah terpisah
jarak dan waktu sekian lama segala sesuatunya
tidak berubah!" gumam si pemuda dalam hati.
Si pemuda yang bernama Patira dan meru
pakan cucu tunggal Guru Lanang Pamekasan
mengusap wajahnya yang dingin. Hujan masih
tercurah dengan derasnya. Sementara senja telah
berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti
alam sekitarnya. Di saat Patira Seta mulai berpi-
kir untuk melanjutkan perjalanan, maka di saat
itu dari arah belakang si pemuda terdengar suara
gemeretak seperti suara ranting kering patah ka-
rena terinjak beban yang sangat berat. Walaupun
suara itu terdengar begitu pelan, namun telinga
Patira yang sudah sangat terlatih menangkap
adanya gelagat yang tidak beres, sehingga dengan
cepat dia memutar tubuh dan palingkan wajah ke
belakang.
Tidak ada sesuatupun yang terlihat, tak
ada mahluk yang bergerak. Walau suasana telah
menjadi gelap, namun mata pemuda ini cukup
awas untuk menangkap sekaligus melihat benda
apapun yang bergerak.
"Aneh," Patira Seta bergumam dalam hati.
"Ada suara tapi tak terlihat orangnya. Setan atau
hantukah yang coba mengintaiku dari kegelapan?
Aku yakin pasti hantunya perempuan. Jika pe-
rempuan sangat kebetulan sekali. Malam begini
dingin, berdua-dua bicara dengan perempuan
tentu keadaannya menjadi lain!" Patira Seta ter-
senyum, menertawakan ucapannya sendiri.
Di saat si pemuda sedang dalam keadaan
seperti itulah mendadak sontak terdengar suara
siulan yang datang dari arah sampingnya. Dalam
keadaan terkejut besar Patira Seta cepat berpaling
ke arah datangnya siulan. Di saat itu dia melihat
satu bayangan dalam kegelapan berkelebat cepat
dengan gerakan laksana kilat ke arah si pemuda.
Di bagian depan sosok yang melesat ke arahnya
terlihat satu kilatan cahaya putih memanjang. Ki-
latan cahaya putih itu jelas terpancar dari sebuah
senjata akibat pengerahan tenaga dalam penuh,
tapi Patira Seta tak sempat berpikir apakah senja-
ta yang bergerak mendahului penyerangnya beru-
pa golok atau pedang.
Dalam keadaan gugup karena belum hilang
rasa kejutnya Patira Seta berusaha berkelit
menghindari tebasan senjata sedapat yang dia
mampu lakukan. Tapi sayangnya secepat dan se-
hebat apapun gerakan menghindar yang dilaku-
kannya ternyata sambaran sinar putih itu da-
tangnya lebih cepat dari yang dia perhitungkan.
Tak ampun lagi sinar itupun menyambar putus
batang leher Patira Seta. Kepalanya jatuh berge-
debukan, menggelinding dan berhenti di legukan
tanah yang tergenang air. Darah menyebur dari
batang leher yang telah kehilangan kepala itu.
Tubuh tanpa kepala oleng, limbung lalu tersung-
kur. Darah menggenang, tubuh tanpa kepala ber-
kelojotan kemudian diam untuk selamanya.
Sosok penyerang dalam kegelapan itu pan-
dangi mayat korbannya sejenak. Bibirnya sung-
gingkan senyum puas, senjata yang baru diper-
gunakan menebas kepala korbannya dibersihkan
di atas baju Patira Seta. Tanpa bicara apa-apa lagi
setelah menyarungkan senjatanya orang itu pergi.
Malam terus bergulir, sementara hujan sudah
mereda. Di sana-sini mulai terdengar suara kodok
saling bersahut-sahutan.
Kilat menyambar, petir menggemuruh di
kejauhan. Di saat kegelapan tersibak cahaya pu-
tih kemilau akibat sambaran kilat tadi terlihat lagi
satu sosok lain berpakaian serba putih mengena-
kan sorban putih yang menutupi rambut pan-
jangnya yang juga telah memutih. Kakek berjeng-
got panjang menjulai terus melangkah lebar me-
masuki pendopo, tapi dia jadi tertegun ketika me-
lihat sesuatu berbentuk bulat seperti kelapa ter-
golek di bawah cucuran atap.
Setengah tertegun bercampur keraguan si
kakek pandangi sosok bulat itu. Sekali lagi kilat
menyambar, si kakek berwajah cekung dengan
mata mencorong ke dalam rongga terkesiap. Begi-
tu melihat dan mengenali sosok yang tergeletak
dalam genangan air itu dia merasa jantungnya
seolah berhenti berdenyut, sekujur tubuh beru-
bah kaku, mata membeliak, mulut ternganga na-
mun tak satu katapun yang terucap.
Setelah berlangsung sekian lama, dalam
kejutnya si orang tua segera menarik nafas. Satu
teriakan menyayat pilu meluncur keluar dari mu-
lutnya yang tertutup kumis lebat.
"Patira Seta cucuku...!"
Seiring dengan suara teriakan si kakek
yang bukan lain adalah Guru Lanang Pamekasan
jatuhkan diri berlutut di samping benda bulat
yang bukan lain adalah penggalan kepala cu
cunya sendiri.
Menyaksikan keadaan cucunya yang demi-
kian mengenaskan, seandainya saja dia bukan
orang tua yang sudah tergembleng luar dalam
tentu si kakek sudah jatuh pingsan.
Tapi dia mencoba bersikap lebih tabah
menghadapi musibah besar ini. Dengan jemari
tangan bergetar dan mata bersimbah air mata dia
mengambil potongan kepala Patira Seta. Darah
bercampur air hujan masih menetes dari luka po-
tongan leher. Dalam gelap si kakek coba pandangi
potongan kepala cucunya. Wajah Patira Seta
nampak memucat, putih seperti kafan, sedangkan
matanya membelalak lebar, lidah terjulur pan-
jang, mulut terbuka memperlihatkan gigi yang
berlumuran darah membeku. Jika bukan Guru
Lanang Pamekasan orangnya, melihat pemandan-
gan mengerikan seperti ini pasti sudah jatuh
pingsan, sungguhpun potongan kepala itu adalah
cucunya sendiri.
Si kakek menangis terguguk, tubuhnya
terguncang, tengkuk terasa dingin seperti beru-
bah menjadi es. Sejenak lamanya dia tenggelam
dalam kesedihan perasaan sedih yang secara per-
lahan berubah jadi amarah. Amarah serta den-
dam yang ditujukan pada pembunuh muridnya.
"Mengapa harus berakhir begini? Aku
membawamu jauh ke mari, menyeberangi selat
Meduro adalah untuk dijodohkan dengan putri
sahabatku. Sungguh tak kunyana, sungguh tak
pernah kuduga, sebelum niat itu kesampaian kau
dibunuh orang. Patira Seta... jika kau ikuti aku
punya mau dan turut pergi ke puncak bukit ka-
pur, mungkin tak akan berakhir seperti ini!" kata
si kakek seakan menyesalkan. Sekali lagi dia
pandangi wajah Patira Seta, melihat keadaan
sang cucu yang mengenaskan perasannya seperti
tersayat-sayat.
Beberapa saat Guru Lanang Pamekasan
terdiam, sekujur tubuhnya menggeletar hebat,
bukan karena sengatan dinginnya udara malam,
melainkan karena gejolak dendam amarah yang
terasa menggelegak menyesakkan dada.
"Aku tak terima kejadian seperti ini! Ba-
gaimana pun harus kucari pembunuh muridku.
Bila bertemu kucincang tubuhnya, kujadikan po-
tongan kecil baru kubakar hingga tidak bersisa."
pekik si kakek. Dalam keadaan kalut dan dilanda
kesedihan yang demikian hebat Guru Lanang
Pamekasan sudah tidak lagi mampu berpikir jer-
nih. Otaknya terasa sulit diajak berpikir. Beru-
langkali dia coba memaksa memacu otaknya, ha-
silnya malah pusing, pandangannya jadi gelap.
Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup
mengingat, bahwa kedatangannya ke tanah Jawa
hanya Dewa Angin Guntur saja yang tahu. Sela-
manya dia tidak punya musuh, lalu mungkinkah
semua ini telah direncanakan oleh sahabatnya
itu? Rasanya sangat mustahil tidak ada alasan
yang kuat bagi Dewa Angin Guntur untuk mela-
kukan kekejian itu. Jadi siapa yang punya peker-
jaan terkutuk itu? Guru Lanang Pamekasan
menggeleng, pikiran buntu, semuanya terasa ser-
ba gelap.
"Akan kubalas! Siapapun yang membunuh
muridku, ke lubang neraka sekalipun pasti akan
kukejar!" geram Guru Lanang Pamekasan.
Dalam suasana hati sedemikian rupa dia
tak mampu berpikir panjang, dia bahkan tak
sempat lagi memikirkan jasad muridnya yang ter-
golek di depan mata. Selanjutnya dia bangkit ber-
diri, sambil menenteng kepala cucunya dia meng-
hambur, berlari cepat menuju perguruan Gunung
Keramat.
EMPAT
Empat sosok yang baru datang sama terte-
gak diam, kaki mereka jadi kaku, tengkuk menja-
di dingin sedangkan mata terbeliak lebar seolah
tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Beberapa saat berlalu tak satupun dari ke empat
orang yang datang berani membuka mulut, kalaupun keberanian itu ada tapi tak tahu apa yang
harus mereka ucapkan. Masing-masing mata
memandang lurus ke arah sosok setengah membusuk yang tergeletak di lantai pendopo depan
rumah tua. Yang mengerikan selain tubuh tanpa
kepala itu sudah demikian rusaknya. Bagian pe-
rutnya yang pecah dipenuhi belatung. Lalat be-
terbangan, sedangkan ceceran daging, potongan
tulang lengan dan juga bagian kaki berserakan di
sekitar si mayat.
"Sulit kupercaya jika tidak melihatnya sen-
diri. Aku yakin mayat ini habis dijarah binatang
buas. Akh kematian... dia memang pasti akan
menghampiri setiap orang, tapi jika dengan cara
seperti ini sulit untuk bisa kuterima!" Orang yang
bicara seperti itu adalah seorang kakek berpa-
kaian hitam dengan baju tak berkancing, berwa-
jah bulat, berkening lebar, mata sipit, pipi tem-
bem sedangkan bukit hidungnya sama rata den-
gan pipi. Si gendut besar dengan bobot lebih dari
dua ratus kati ini bukan lain adalah Gentong Ke-
tawa.
"Aku sendiri jadi heran, jika bagian tubuh-
nya ada, lalu kepalanya amblas ke mana? Apa
mungkin kepala orang ini dilarikan oleh pembu-
nuhnya? Aneh...!" menimpali pemuda bertelan-
jang dada, berambut gondrong berwajah tampan
yang berdiri tegak di samping si kakek. Dia bukan
lain adalah Gento Guyon.
Tak jauh dari samping Gento gadis cantik
berpakaian putih berambut panjang gelengkan
kepala. Melihat keadaan si mayat dia jadi tak ta-
hu mau bicara apa.
"Kita sama tak tahu siapa yang terbunuh
ini, kita juga tidak tahu siapa yang membunuh-
nya. Menurutku sebaiknya kita melakukan penye-
lidikan. Kalau aku tak salah mengingat di sebelah
selatan dekat Solotigo terdapat perguruan Gu-
nung Keramat. Mungkin kita atau sebagian dari
kita bisa mencari tahu tentang kejadian ini." kata
laki-laki setengah baya yang berada di belakang
gadis berpakaian putih. Orang ini berpakaian
warna merah, wajahnya selalu murung. Yang te-
rasa aneh dalam diri laki-laki berumur empat pu-
luhan ini kedua tangannya sampai sebatas pang-
kal lengan berwarna hitam pekat. Karena keane-
han serta kesaktian dahsyat yang terkandung di
kedua tangan ini dia dijuluki Si Tangan Sial. Se-
dangkan gadis berpakaian putih itu bernama Am-
bini puteri almarhum Raden Ponco Sugiri, untuk
lebih jelas mengenai riwayat Ambini (baca Gento
Guyon episode Bayar Nyawa). Beberapa saat ber-
lalu, ke empatnya saling berpandangan.
"Tangan Sial." Gento Guyon membuka mu-
lut sambil memandang ke arah orang tua berpa-
kaian merah. "Maksudmu kau dan guruku si
gendut ini yang pergi ke perguruan Gunung Ke-
ramat. Sedangkan aku dan Ambini pergi ke lain
tempat. Kurasa yang muda berpasangan dengan
yang muda sedangkan yang tuaan dan sudah sa-
ma peot keriput berpasangan sesamanya. Semua
ini kuanggap cukup adil bukan?! Ha... ha... ha!"
Wajah si kakek gendut berubah jadi merah
jengah, bibir cemberut, tapi kemudian sambil ter-
tawa-tawa dia berucap. "Kami yang sudah tua
memang harus tahu diri. Cuma harus kau ingat
Gege, jangan merasa diri kecakepan. Tampang
seperti orang edan begitu jangan merasa Ambini
suka padamu! Bukan hanya Ambini saja, kurasa
nenek pikun pun tak sudi padamu. Ha... ha...
ha!"
"Aku tahu sebenarnya guru iri melihat aku
dan Ambini selalu jalan bersama. Sedangkan kau
berjalan berduaan dengan Tangan Sial apa enak-
nya? Aku jadi curiga di antara kalian jangan-
jangan memang ada kelainan." celetuk Gento me-
nimpali.
"Pendekar edan, bicara jangan seenaknya
sendiri. Kalau aku tidak senang kutampar nanti
mulutmu." dengus Si Tangan Sial.
"Aku tahu tanganmu yang selalu membawa
kesialan itu suka kegatalan tak mau diam. Tapi
kurasa lebih bagus sebelum kau menampar diri-
ku kau hantam dulu kepalamu dengan kedua
tangan celaka itu." kata Gento menimpali.
"Sudahlah! Mengapa kita justru ribut
membicarakan segala sesuatu yang tidak bergu-
na." sergah Ambini yang sejak tadi lebih banyak
berdiam diri mendengarkan pembicaraan orang.
"Saat ini sebaiknya kita pergi menyelidik siapa
sebenarnya orang yang terbunuh ini!"
"Aku setuju, tapi aku harus pergi dengan
sahabat Gento. Sedangkan si gendut boleh pergi
dengan Ambini." berkata begitu Tangan Sial meli-
rik ke arah Gento dan Ambini. Wajah si gadis wa-
lau sekilas tapi jelas membayangkan rasa kecewa.
Sedangkan Gento Guyon menyeringai. "Tangan
Sial. Aku sih mau saja, biarpun perasaanku jadi
gerah bila ikut denganmu. Demi guruku juga me-
nyangkut kebahagiannya tidak jadi apa." kata
Gento sambil tersenyum-senyum.
Mata si kakek mendelik. "Eeh, bocah edan
apa maksudmu?" tanya Gentong Ketawa jadi sa-
lah tingkah.
"Mungkin muridmu hendak mengatakan
kau yang sudah tua bangka tak tahu diri dan ti-
dak punya perasaan dengan muda. Ha... ha... ha!"
kata Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.
"Bangsat pembawa sial, jangan sembaran-
gan kau bicara. Nanti kupecahkan Batok Kepala-
mu!" teriak Gentong Ketawa berang. Tidak perduli
dengan kemarahan orang Si Tangan Sial terus sa-
ja tertawa.
Dalam kesempatan itu Gento melompat ke
belakang, tangan berkelebat mencekal lengan Si
Tangan Sial. Setelah itu dia berkata ditujukan
pada gurunya. "Gendut, jangan kau ambil perduli
dengan segala ucapannya, hatiku tak seburuk
yang dia sangkakan. Aku mohon pamit, pergi
dengan membawa tua bangka rongsokan sial ini
jauh darimu. Tapi ingat, jangan kau berani berla-
ku jahil pada gadisku Ambini. Kau colek saja dia,
apalagi jika sampai gugur rambutnya barang se-
helai, kupuntir telingamu kiri kanan sampai co-
pot!" ujar si pemuda. Dia kemudian beralih pan-
dang pada Ambini. Sebelum bicara dia kedipkan
matanya dua kali. Ambini delikkan mata, tapi di-
am-diam jantungnya berdesir. "Ambini kakangmu
ini pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Kalau kerbau
bunting itu bertingkah yang bukan-bukan bisa
jadi penyakit ayannya lagi angot. Tak usah segan,
tidak usah ragu. Kau jitak saja kepalanya tiga kali
kujamin otaknya bisa benar kembali. Ha... ha...
ha!" berkata begitu Gento menarik Si Tangan Sial
dan pergi dari tempat itu.
"Pemuda sinting, siapa sudi jadi kekasih-
mu!" dengus Ambini dengan yang perasaan jen-
gah.
"Murid geblek. Kelak aku pasti akan meng-
hukummu!" kakek gendut besar Gentong Ketawa
ikut mendamprat. Dengan perasaan jengkel dia
pandangi Ambini. Tapi si kakek jadi kaget begitu
melihat si gadis memperhatikan dirinya dengan
tatapan ganjil.
"Ada apa rupanya? Apa kau melihat ada
yang aneh dalam diriku?" tanya si kakek.
"Apakah benar yang dikatakan Gento tadi,
kau mempunyai penyakit ayan?" bertanya si gadis
tanpa menghiraukan pertanyaan Gentong Ketawa.
Mendengar si kakek jadi tercengang dan tepuk
keningnya sendiri. "Aduh biung. Muridku itu bo-
cah edan, mengapa harus kau dengar segala oce-
hannya? Aku sendiri selamanya tetap dalam ke-
warasan." jawab si kakek. Setelah terdiam sejenak
dia lalu menambahkan. "Jika pun ada yang tidak
beres pasti terjadi pada diri Gege. Sedangkan aku
dalam keadaan sehat selalu lahir batin, luar da-
lam. Ha... ha... ha!"
Ambini jadi melongo, heran melihat sikap
si kakek gendut yang tidak gampang ditebak.
LIMA
Rumah besar berpagar bambu tempat ting-
gal keluarga ketua perguruan Gunung Keramat
dan keluarganya masih kelihatan sunyi. Lima
pondok panjang yang ditempati oleh ratusan mu-
rid perguruan Gunung Keramat yang letaknya ti-
dak begitu berjauhan dengan bangunan keluarga
juga masih sepi sekali. Di bagian belakang gedung
keluarga, di luar pagar bambu di mana keluarga
Dewa Angin Guntur berada, Lambang Pambudi si
pemuda tampan yang dikenal sangat jujur dan
berbudi tinggi nampak sibuk merawat kuda milik
calon mertuanya.
Memang sejak pemuda ini bekerja sebagai
utusan di perguruan itu dalam waktu hanya be-
berapa bulan saja Dewa Angin Guntur maupun
istrinya Galuh Pitaloka yang dikenal dengan julu-
kan Mawar Selatan langsung menaruh simpati
pada pemuda lugu yang mengaku tidak mempu-
nyai kepandaian silat ini. Apalagi Lambang Pam-
budi adalah pemuda yang rajin, ringan tangan
dan mau melakukan pekerjaan apa saja. Di
samping tutur katanya yang lembut dan juga ke-
jujurannya pemuda ini sangat pandai mengambil
hati orang lain.
Mungkin inilah yang membuat Dewa Angin
Guntur jadi menaruh perhatian besar terhadap-
nya, sehingga timbul keinginan di hati ketua per-
guruan Gunung Keramat untuk menjodohkan
Lambang Pambudi dengan putri tunggalnya Lara
Murti. Apalagi mengingat Lara Murti sendiri sebe-
narnya menaruh hati pada si pemuda. Gayung
bersambut, segala sesuatunya berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
Sementara itu matahari mulai menampak-
kan diri di ufuk timur. Si pemuda baru saja hen-
dak membersihkan kandang kuda ketika dia me-
lihat berkelebatnya satu bayangan putih yang
langsung melewati pintu pagar depan. Sampai di
halaman depan sosok yang datang hentikan lang-
kah. Ternyata dia adalah seorang kakek tua ber-
sorban putih, berpakaian serba putih berjenggot
panjang menjulai. Di punggungnya membekal se-
buah celurit besar dengan rangka terbuat dari ku-
lit harimau. Sejenak lamanya dari bagian luar pa-
gar belakang Lambang Pambudi pandangi kakek
itu. Ternyata memang tidak mengenal siapa
adanya si kakek. Satu hal yang luput dari perha-
tiannya, di tangan kanan si kakek menenteng se-
suatu yang menebarkan bau busuk luar biasa.
Belum lagi hilang rasa heran di hati si pemuda
melihat kehadiran kakek asing ini, mendadak
sontak terdengar suara teriakan menggelegar.
"Sahabatku Dewa Angin Petir! Aku saha-
batmu Guru Lanang Pamekasan datang menyam-
bangi. Harap kau sudi menerima kehadiranku
untuk membicarakan satu urusan penting!"
"Celaka! Siapa dia? Suara teriakannya saja
sudah membuat telingaku mau copot," desis
Lambang Pambudi sambil tutupi kedua telin
ganya. Terpikir oleh pemuda ini untuk mengham-
piri si kakek baju putih, namun niatnya menda-
dak jadi urung begitu dia melihat ada satu sosok
serba biru berkelebat melewati pintu depan.
Orang ini bukan lain adalah Dewa Angin Guntur
sendiri.
"Kakang Guru Lanang Pamekasan?!" seru
sosok berpakaian biru berambut putih panjang
menjela dan putih mengkilat ini. Dia memburu,
kembangkan kedua tangannya siap merangkul
Guru Lanang Pamekasan. Tapi langkahnya men-
dadak jadi terhenti, gerakan tubuh tertahan se-
dangkan matanya mendelik ketika secara tak
sengaja dia melihat potongan kepala di tangan
kakek itu.
"Sahabatku apa yang telah terjadi? Poton-
gan kepala itu milik siapa?" tanya Dewa Angin
Guntur jelas tak mampu menutupi rasa kejutnya.
Orang tua ini raba tengkuknya yang mendadak
berubah seperti gundukan es. Tubuhnya sempat
tergetar, tapi matanya tetap tak pernah beralih
dari potongan kepala di tangan si Guru Lanang
Pamekasan.
Sejenak lamanya yang ditanya terdiam da-
lam kebisuan, hanya tatap matanya yang menco-
rong tajam merayapi wajah Dewa Angin Guntur
dengan tatapan aneh tapi mengandung kecuri-
gaan.
"Kakang, bukankah... bukankah yang kau
bawa itu adalah potongan kepala Patira Seta, cu-
cumu yang kau bawa ke tanah Madura belasan
tahun yang lalu?" tanya Dewa Angin Guntur sete-
lah berpikir keras dan coba mengenali bagian wa-
jah kepala orang.
Guru Lanang Pamekasan menyeringai din-
gin, pertanyaan sahabatnya hanya membuat hati
si kakek menjadi semakin pedih, sementara ama-
rah dan dendam yang membakar menyesakkan
dadanya tak tahu harus dia lampiaskan pada sia-
pa.
"Kakang Guru Lanang Pamekasan. Apapun
yang telah terjadi, aku tahu bagaimana pera-
saanmu saat ini. Akan tetapi kurasa sebaiknya ki-
ta bicarakan segala persoalan di dalam." ujar De-
wa Angin Guntur dengan perasaan tidak enak.
Dia tahu sejak tadi Guru Lanang Pamekasan te-
rus memperhatikan dirinya dengan tatapan curi-
ga. Seakan mata itu menuduh dialah yang telah
membunuh cucunya.
"Baiklah, aku jadi tidak sabar untuk me-
numpahkan semua uneg-uneg yang mengganjal
di hatiku ini!" dengus Guru Lanang Pamekasan.
Potongan kepala Patira Seta yang mulai membu-
suk diletakkannya di atas bangku kayu yang bi-
asa dipergunakan duduk di malam hari. Dewa
Angin Guntur dengan segenap hati dipenuhi tan-
da tanya segera memutar tubuh, lalu melangkah
memasuki rumahnya dengan diikuti oleh Guru
Lanang Pamekasan.
Sampai di dalam ruangan tamu yang luas
dengan lantai berlapiskan tembikar hijau Dewa
Angin Guntur mempersilahkan tamunya duduk.
Dia sendiri-sendiri masuk ke dalam sekejap den-
gan diikuti tatap mata Guru Lanang Pamekasan.
Dalam hati dia berkata. "Aku tahu, aku jadi curi-
ga, bisa jadi dia yang menghadang cucuku karena
pikirannya berubah mengenai masalah perjodo-
han itu. Mengapa harus batalkan niat dengan
membunuh, mengapa tidak secara baik-baik saja
kalau benar mau menolak?"
Pikiran si kakek menerawang, mencoba
membaca setiap kemungkinan yang ada. Pada
akhirnya dia hanya dapat gelengkan kepala, tak
percaya dengan segala kemungkinan yang sempat
terpikirkan.
Selagi hati dan pikiran si kakek dibuncah
kebimbangan, di ruangan itu Dewa Angin Guntur
muncul lagi dengan diiringi oleh seorang perem-
puan berumur sekitar empat puluhan. Walau
usianya terbilang tidak muda lagi tapi wajahnya
yang bulat lonjong masih terlihat cantik, dengan
rambut disanggul dan pakaian biru membuat dia
nampak anggun.
Hanya dengan sekali melihat Guru Lanang
Pamekasan segera tahu bahwa perempuan itu
pastilah Galuh Pitaloka, bergelar Mawar Selatan
dan merupakan istri Dewa Angin Guntur.
"Istriku, kau tentu masih mengenal kakang
Guru Lanang Pamekasan. Kedatangannya sudah
sama kita ketahui, tapi aku turut merasa berduka
karena telah terjadi sesuatu yang tidak pernah ki-
ta sangkakan!" berkata ketua perguruan Gunung
Keramat sambil memandang pada istri dan tamunya silih berganti.
Dia sendiri kemudian duduk di depan
Guru Lanang Pamekasan, sementara Galuh Pita-
loka setelah menjura hormat, lalu duduk di samp-
ing suaminya.
"Kakang Guru, menurut suamiku kakang
datang membawa kabar duka. Saya jadi kaget ju-
ga tidak percaya ketika kakang Guru sampai ke
mari konon menurut suami saya malah menen-
teng kepala cucu sendiri. Bagaimanakah keja-
diannya?" tanya perempuan itu sambil menelan
ludah membasahi tenggorokannya yang menda-
dak terasa kering. Dia sendiri sebenarnya sempat
kaget ketika menerima kabar dari tanah Madura
tentang maksud kedatangan orang tua itu. Dulu
mereka memang secara bergurau pernah me-
nyinggung bahkan bermaksud menjodohkan pu-
trinya dengan cucu Guru Lanang Pamekasan. Pe-
ristiwanya telah berlangsung belasan tahun, keti-
ka baik Lara Murti maupun Patira Seta sama ma-
sih kecil. Tapi karena pengucapan itu dilakukan
dalam suasana bergurau, maka baik Galuh Pita-
loka maupun Dewa Angin Guntur sudah sama-
sama lupa.
Beberapa malam sebelum kedatangan
Guru Lanang Pamekasan, kedua suami istri yang
memiliki nama besar dan pengaruh sangat luas
ini tidak dapat tidur nyenyak. Mereka tak tahu
apa alasan mereka nanti jika harus menolak dan
membatalkan perjodohan. Karena sebenarnya La-
ra Murti dalam waktu tidak lama lagi segera akan
menikah dengan Lambang Pambudi, pemuda
yang sangat dipercaya yang kelak diharapkan da-
pat memberikan cucu pada mereka. Tapi apa
yang kemudian terjadi di hari ini sungguh amat
mengejutkan pasangan suami istri ini.
Cukup lama Guru Lanang Pamekasan ter-
diam mendengar pertanyaan Galuh Pitaloka.
Hanya sepasang matanya saja yang mencorong
tajam memandang suami istri itu silih berganti.
Sampai akhirnya setelah gemuruh di dadanya be-
rangsur mereda dan amarahnya berhasil ditekan.
Dengan suara pelan serak dia membuka mulut
berucap. "Seperti yang sudah sama kita ketahui,
kedatanganku ke mari adalah untuk lebih mem-
perjelas duduk soal tentang perjodohan dulu. Aku
sengaja membawa cucuku, Patira Seta agar anta-
ra dia dan Lara Murti dapat lebih mengenal seca-
ra lebih dekat lagi. Karena aku maklum, walau
dulu mereka akrab, tapi perjalanan waktu yang
sekian lamanya tentu membuat banyak perkem-
bangan baru yang terjadi dalam hati mereka." je-
las Guru Lanang Pamekasan secara tegas. Dia
kemudian menceritakan kepergiannya ke bukit
kapur juga tentang pertemuannya dengan Manu-
sia Kutuk Sumpah. Tak lupa dia juga mencerita-
kan tentang cucunya yang dia suruh menunggu
di luar hutan Banyubiru. Sang murid ternyata ti-
dak menunggu, melainkan mencoba menempuh
perjalanan seorang diri menuju perguruan Gu-
nung Keramat. Selesai si kakek berbaju putih
menceritakan segala sesuatunya dia menyeka air
mata yang bergulir menuruni kedua pipinya yang
cekung. Agaknya dia perasaan duka itu masih
menyelimuti hati dan jiwanya mengenang nasib
cucu sang cucu yang malang. Baik Dewa Angin
Guntur maupun Galuh Pitaloka istrinya tentu da-
pat merasakan segala penderitaan serta pukulan
batin yang sangat berat yang dialami oleh sahabat
mereka. Sehingga cukup lama juga suasana di
dalam ruangan itu dicekam kebisuan. Dalam di-
amnya Dewa Angin Guntur mencoba memikirkan
siapa adanya gerangan orang yang telah membu-
nuh Patira Seta, cucu tunggal Guru Lanang Pa-
mekasan. Rasanya selama ini dia tidak punya
musuh. Bahkan seluruh penduduk Solotigo men-
genalnya dengan baik, mereka menaruh hormat
pada dirinya. Bukan hanya mereka, tokoh-tokoh
baik golongan putih maupun aliran hitam merasa
segan apalagi bila hendak membuat urusan den-
gannya.
Siapapun yang membunuh Patira Seta pas-
ti memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, musta-
hil manusia biasa. Karena bagaimana pun Patira
Seka sejak kecil mendapat gemblengan dari ka-
keknya. Sedangkan Guru Lanang Pamekasan se-
lain berilmu tinggi juga mempunyai jurus hebat
belum lagi ditambah dengan kelihayannya dalam
menggunakan celurit. Tapi siapa dia? Dalam di-
amnya pula Dewa Angin Guntur jadi ingat dengan
pemuda bertopeng, putera Selasih Jingga yang
dikenal dengan julukan Jari Perontok Nyawa. Me-
nurut Lara Murti pemuda yang suka membang
gakan jurus-jurus pedangnya itu sering menggoda
putrinya. Secara tidak bermalu dia juga bahkan
pernah mengutarakan rasa cintanya pada Lara
Murti.
"Mungkinkah dia?" pikir Dewa Angin Gun-
tur.
"Kejadian ini sulit ditebak. Di samping ikut
bersedih saya juga berjanji akan mencari pembu-
nuh keji itu kakang Guru." ujar Galuh Pitaloka.
"Aku merasa senang sekaligus berterima
kasih mendengarnya. Tapi aku ingin tahu, apa-
kah kedatanganku ke mari selain kalian adalah
orang luar yang mendengarnya?" tanya Guru La-
nang Pamekasan.
Baik Dewa Angin Guntur maupun Galuh
Pitaloka sama terheran begitu mendengar perta-
nyaan sahabatnya. Karena tak mengerti arah per-
tanyaan orang polos saja Galuh Pitaloka menya-
huti. "Saya rasa tidak ada yang tahu, tapi entah
jika orang lain ikut mencuri dengar."
"Aku curiga pelakunya orang dekat." cetus
Guru Lanang Pamekasan sambil mengusap jang-
gutnya.
"Apa?" sergah suami istri itu hampir ber-
samaan.
"Jadi kakang menuduh kami?" kata Dewa
Angin Guntur dengan mata terbelalak kaget. "Ka-
kang sudah tahu hitam putihnya hati kami, tidak
mungkin kami bertindak seculas itu!" kata ketua
perguruan Gunung Keramat.
Guru Lanang Pamekasan tersenyum, se
nyum terpaksa yang menimbulkan kesan kepedi-
han yang mendalam.
"Kita lihat saja nanti. Aku tak mau meru-
sak hubungan baik kita selama ini dengan tudu-
han membabi buta." ujar si kakek.
Walaupun pasangan suami istri itu sempat
tersinggung dan merasa tidak enak mendengar
ucapan Guru Lanang Pamekasan, tapi mereka
maklum dengan suasana hati sahabatnya saat
itu. Dalam keadaan dilanda kesedihan hebat, di-
tambah dendam dan amarah orang biasanya mu-
dah lupa dan dapat melakukan apa saja di luar
kontrol. Tapi Galuh Pitaloka kemudian punya
pendapat lain.
"Kakang Guru, Begawan panji Kwalat itu
apamukah?" Perempuan itu ajukan pertanyaan.
Guru Lanang Pamekasan diam sesaat
sambil kerutkan alisnya mendengar pertanyaan
itu. Kemudian dia menjawab.
"Begawan Panji Kwalat adalah sahabatku.
Mengapa?"
"Kudengar puluhan tahun dia berdiam di
hutan Banyubiru, ilmunya tinggi, setiap katanya
selalu menjadi kenyataan. Lalu apa saja yang di-
lakukannya di tempat sesunyi itu?" tanya Dewa
Angin Guntur pula.
"Apa yang dilakukannya aku tak tahu. Tapi
kurasa tidak layak mencurigai manusia seperti
dia. Dalam hidup dia paling takut melakukan ke-
salahan, apalagi berbuat dosa?" jawab si kakek
seakan tidak senang mendengar pertanyaan itu.
Dewa Angin Guntur manggut-manggut. Se-
telah itu dia berkata. "Kakang sebelum melaku-
kan penyelidikan, sebaiknya setelah selesai men-
guburkan kepala Patira Seta kakang istirahat saja
dulu di rumah kami."
"Betul, kakang Guru pasti lelah setelah
menempuh perjalanan jauh." Galuh Pitaloka me-
nimpali ucapan suaminya.
Di luar dugaan si kakek menggelengkan
kepala. "Aku tidak bisa membuang waktu. Bagai-
mana aku bisa berdiam diri jika kebahagiaan
yang kuharap malah malapetaka yang datang.
Arwah cucuku pasti tidak tenang di alam saja jika
pembunuh jahanam itu tidak dapat kutemukan
secepatnya!" dengus si kakek. Dia lalu bangkit
berdiri, sebelum pergi dia pandangi suami istri itu
sekali lagi. Baru kemudian berucap. "Kepala cu-
cuku tak pernah berkubur sebelum aku berhasil
mencacah tubuh bangsat pembunuh itu!" Selesai
bicara Guru Lanang Pamekasan segera tinggalkan
ruangan, di halaman dia memungut kepala cu-
cunya dari atas bangku, lalu berkelebat mening-
galkan halaman rumah sahabatnya.
Dewa Angin Guntur menarik nafas pendek.
Sedangkan istrinya hanya dapat mengangkat ba-
hu sambil memijit kepalanya yang mendadak te-
rasa pusing.
ENAM
Cukup lama perempuan berpakaian ungu
berambut putih itu memanjatkan doa, memohon
ampun pada Gusti Allah. Setelah itu dia menutup
doanya dengan menyapukan kedua telapak tan-
gan ke seluruh wajah. Kemudian dia melipat kain
lusuh yang dijadikan alas duduk. Si nenek bang-
kit berdiri, kemudian meluruskan punggungnya
yang agak bongkok. Tak lama setelah itu si nenek
meninggalkan balai-balai bambu yang terletak di
ruang tengah rumahnya yang sederhana. Ketika
si nenek kembali ke ruangan depan, dilihatnya
sang anak masih duduk di atas bangku terbuat
dari jalinan kulit rotan butut. Sebuah topeng
berwarna putih tergeletak di sampingnya. Se-
dangkan tangan kirinya tak mau diam dan terus
menggerakkan pedang putih mengkilap kesayan-
gannya. Gerakkan pedang batu terhenti begitu si
nenek sampai di depannya. Perempuan tua seten-
gah bungkuk berpipi kempot yang selalu nampak
murung itu lalu duduk tidak berjauhan dari anak
yang sangat dia kasihi. Sebentar dia memperhati-
kan topeng kayu pula yang selalu dipakai anak-
nya ke manapun dia pergi. Orang tua itu menarik
nafas, menghembuskannya kembali sampai tun-
tas, seakan dia mencoba mengusir segenap beban
penderitaan batin yang selama ini menghimpit ji-
wa dan perasaannya.
"Bayu Gendala." berucap si nenek setelah
perhatikan wajah anaknya barang beberapa je-
nak, pemuda itu menoleh dan memandang tajam
pada sang ibu.
"Ada lagi yang hendak ibu tanyakan?"
tanya si pemuda.
"Begitulah," suara si nenek bernama Sela-
sih Jingga bergelar Jari Perontok Nyawa terdengar
perlahan, lembut namun tertekan. "Untuk ketiga
kalinya ibu harus mengingatkan padamu agar
kau mau membatalkan niatmu untuk menda-
patkan Lara Murti, ibu sangat tidak setuju apalagi
jika kau harus menempuh cara keji dan kotor."
Bayu Gendala berjingkat kaget, dia pan-
dangi ibunya dengan tatap mata seakan tidak
percaya. Dari tatap matanya jelas si pemuda me-
rasa tidak senang mendengar penegasan sang
ibu.
"Aneh!" Bayu Gendala berucap. "Ibu tak
seperti orang tua yang lain. Orang tua yang seha-
rusnya merasa senang bila melihat anaknya jatuh
cinta pada seorang gadis. Semula aku yakin ibu
akan merestui niatku untuk mempersunting Lara
Murti, puteri ketua perguruan Gunung Keramat.
Tapi kenyataannya ibu sangat mengecewakan
aku...!" ujar si pemuda dengan perasaan marah.
Selasih Jingga si nenek tua angkat tangan-
nya. "Kau dengar anakku, kau harus tahu bahwa
Lara Murti itu puteri orang terpandang, punya
kedudukan, harta, juga merupakan orang keper-
cayaan kerajaan. Sedangkan dirimu siapa? Apa
yang dapat kau banggakan untuk merebut perhatian seorang gadis?" tanya ibunya mencoba mem-
beri pengertian dan berusaha membuka jalan pi-
kiran anaknya agar bisa memahami kenyataan
yang ada.
Di luar dugaan Bayu Gendala malah terta-
wa tergelak-gelak. Suara tawanya terhenti dan di-
apun berkata. "Bagiku tidak malu untuk menga-
kui kemelaratan kita. Tapi ibu... aku memiliki il-
mu kepandaian, aku memiliki jurus-jurus pedang
yang handal. Dibandingkan dengan kekasihnya,
pemuda tolol itu dia tidak mempunyai kebecusan
apapun. Kelak, jika dia merintangi niatku, aku
pasti menyingkirkannya!" dengus Bayu Gendala
sinis.
Si nenek gelengkan kepala. Dia semakin
prihatin mendengar ucapan sang anak. Apa yang
dikatakan Bayu Gendala terasa benar menusuk
perasannya. Tapi walaupun hatinya begitu sedih
dan perasaan laksana ditusuk sembilu dia masih
bisa bicara dengan sabar.
"Anakku, belahan jantung tumpuan hara-
panku. Terus terang segala ilmu yang telah kutu-
runkan padamu, bila dibandingkan dengan apa
yang dimiliki oleh Dewa Angin Petir, apalagi to-
koh-tokoh serta dedengkot nomor satu dunia per-
silatan tidak ada apa-apanya. Perbedaannya se-
perti jari tangan yang dicelupkan ke dalam lau-
tan. Ilmu kepandaianmu baru seujung kuku. Jadi
sebelum terlambat ibu ingatkan lagi kau tidak
usah membanggakan ilmu atau pamer jurus di
depan orang lain. Semua itu bisa mencelakakan
dirimu sendiri."
Semakin tidak suka saja Bayu Gendala
mendengar nasehat ibunya. Dia berpikir, ibunya
mengatakan jurus silat yang dia miliki masih ren-
dah. Padahal menurut yang dia dengar ibunya
memiliki ilmu simpanan yang sangat hebat. Bah-
kan dulu nama besarnya pernah menggegerkan
dunia persilatan. "Ibuku terlalu pelit memberikan
ilmunya. Ini tidak boleh terjadi. Jika saja aku
berhasil mewarisi ilmu Jari Perontok Nyawa, bu-
kan saja bisa mendapatkan Lara Murti dengan
cara yang mudah. Tapi juga jika Dewa Angin
Guntur membangkang, aku bisa menghancurkan
perguruan Gunung Keramat hingga sama rata
dengan tanah." batin Bayu Gendala.
Sejurus dia terdiam, setelah itu dia beru-
cap. "Ibu, jika ibu mengatakan ilmuku cetek, ti-
dak sebanding dengan kepandaian yang dimiliki
oleh orang lain, apakah ibu tidak malu punya
anak berkepandaian rendah, apakah ibu juga ti-
dak merasa terhina bila aku ditertawakan orang?"
pancing si pemuda penasaran.
"Ibu tidak akan malu walau menjadi orang
biasa sekalipun. Yang terpenting kau selalu hidup
di jalan yang di ridhoi Gusti Allah." jawab ibunya.
Bayu Gendala malah merasa tidak puas.
"Begini bu, aku ingin ibu menurunkan ilmu Jari
Perontok Nyawa. Konon kehebatan ilmu itu tak
perlu diragukan lagi. Bukankah begitu bu?"
Rasa takut akan permintaan sang anak
yang selama ini sangat dirisaukannya meledak
sudah. Si nenek tidak tahu bagaimana anaknya
bisa mengetahui dia mempunyai ilmu simpanan
hebat. Padahal selama ini hal itu selalu diraha-
siakan nya, bahkan masa lalu menyangkut kehi-
dupan pribadinya sendiri selalu dipendam jauh di
lubuk hati.
"Anakku, mengenai ilmu yang kau tanya-
kan itu ibu sudah lama membuangnya. Ilmu Jari
Perontok Nyawa sangat berbahaya dan ganas. Ibu
tak ingin jatuh lagi korban yang tidak berdosa."
kilah si nenek. Dan apa yang diucapkannya ini
sebenarnya adalah sebuah kebohongan belaka.
"Benarkah begitu ibu? Benarkah suatu il-
mu bisa lenyap begitu saja, padahal dia telah me-
nyatu dalam darah dan daging ibu selama pulu-
han tahun." tanya Bayu Gendala seakan tak per-
caya.
"Bisa saja jika orang yang memilikinya me-
rasa tidak membutuhkan ilmu itu lagi." jawab Se-
lasih Jingga dengan mimik bersungguh-sungguh.
"Akh, kalau begitu aku sangat kecewa se-
kali." desah si pemuda dengan muka murung.
Sang ibu menyentuh bahu kanan Bayu Gendala.
"Segala macam ilmu menjadi tidak berguna
malah bisa menjadi biang racun yang mencelaka-
kan orang lain jika diri kita dikuasai nafsu angka-
ra murka, anakku. Kau harus mengerti orang
yang tidak berilmu atau memiliki kesaktian apa-
pun, hidupnya malah lebih bersih terhindar dari
segala macam perbuatan maksiat serta dosa!"
"Cukup ibu!" sergah Bayu Gendala, dia
menepiskan tangan ibunya dari bahu. Setelah itu
dia bangkit berdiri. Topeng kayu putih diambil-
nya, topeng dikenakan. "Aku muak dengan segala
macam nasehat. Yang kubutuhkan saat ini ada-
lah ilmu serta kesaktian hebat! Aku ingin menda-
patkan Lara Murti, aka ingin menjadikannya se-
bagai istriku. Mengenai caranya? Ha... ha... ha!" si
pemuda tertawa, lalu melangkah lebar mengham-
piri kudanya yang tertambat di pohon waru di ba-
gian halaman depan.
"Anakku, kembalilah. Bagaimanapun me-
reka bukan tandinganmu!" sergah si nenek. Dia
mencoba bangkit mengejar anaknya. Tapi menda-
dak nafasnya jadi sesak dan dadanya mendenyut
sakit. Akhirnya dia hanya berdiri tertegun sambil
memandangi anaknya.
Di atas punggung kuda Bayu Gendala me-
lanjutkan ucapannya tadi yang sempat terputus.
"Aku akan dapatkan gadis itu dengan caraku
sendiri. Terserah ibu mau berkata apa?!" Selesai
bicara Bayu Gendala menggebrak kudanya.
Hanya sekelebatan saja kuda telah raib dari pan-
dangan si nenek.
Di depan rumah Selasih Jingga pegangi
dadanya dengan tangan kiri. Dengan tangan ka-
nan dia mengambil tabung bambu kecil yang ter-
selip di balik pakaiannya. Penutup tabung dibu-
ka, dua butir isinya yang berwarna merah lang-
sung ditelan. Setelah itu dia masukkan tabung
bambu hitam ke tempat semula.
Dia menunggu beberapa saat, reaksi obat
yang ditelannya mulai bekerja. Tidak berapa lama
setelah itu wajahnya yang putih, memucat laksa-
na kafan berubah memerah kembali. Keringat
dingin bercucuran, si nenek menarik nafas pan-
jang. Rasa sesak dan sakit di dadanya hilang su-
dah. Dengan langkah terhuyung si nenek kembali
duduk ke tempatnya semula, di atas kursi yang
terbuat dari anyaman rotan yang sudah butut.
"Kalau saja dulu aku tidak menjalani hidup
seperti itu, mungkin setua ini tidak akan begini.
Aku yakin racun akibat pukulan ganas Manusia
Kutuk Sumpah masih bersarang di dadaku. Sa-
lahku sendiri, saat itu aku terlalu memaksa." ke-
luh si nenek meratapi nasibnya sendiri.
Membayangkan semua yang pernah dila-
kukan di masa lalu membuat si nenek kucurkan
air mata.
"Gusti Allah, aku mohon maafmu. Segala
kesalahan itu adalah kesalahanku sendiri. Ya Tu-
han... tapi kini aku takut terjadi sesuatu yang ti-
dak diinginkan pada buah hatiku. Tuhan jika pun
aku harus memikul semua dosa. Janganlah kau
limpahkan sebagian dosa yang pernah kuperbuat
pada anakku. Dalam hal ini dia tidak tahu apa-
pun." rintih si nenek membuat tangisnya makin
terguguk.
TUJUH
Lambang Pambudi menggebah kudanya
memasuki kawasan kebun bunga yang luas. Ke-
datangannya kali ini tidak disertai siapapun, ter-
masuk juga Lara Murti kekasihnya. Sejak kehadi-
ran Guru Lanang Pamekasan di perguruan Gu-
nung Keramat, tugas-tugas kekasihnya memang
semakin bertambah berat. Baik tugas yang me-
nyangkut masalah perguruan maupun yang ada
hubungannya dengan rumah tangga. Ayah dan
ibunya sendiri sangat jarang berada di rumah,
mereka sibuk mencari pembunuh Patira Seta cu-
cu Guru Lanang Pamekasan yang terbunuh bebe-
rapa waktu lalu secara keji oleh seseorang yang
tidak dikenal.
Karena itu kini urusan memetik bunga
yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lambang
Pambudi. Beberapa saat kemudian setelah mema-
suki kebun bunga yang sunyi pemuda itu segera
melompat turun dari punggung kudanya.
Setelah turun dari atas punggung kuda,
Lambang Pambudi mengambil keranjang rotan
yang biasa dipergunakan untuk menyimpan bun-
ga yang sudah dipetik. Seperti biasa si pemuda
tanpa merasa curiga langsung memulai peker-
jaannya. Baru saja beberapa kuntum bunga segar
yang dipetiknya, pada saat itu terdengar suara te-
riakan menggelegar yang disertai dengan terdengarnya derap langkah kuda. Terkejut Lambang
Pambudi, hingga keranjang rotan di tangannya
nyaris terlepas. Seketika dia pun memandang ke
arah terdengarnya suara bentakan. Si pemuda ja-
di bertambah kaget begitu melihat tak jauh di de-
pannya di atas punggung kuda putih berdiri tegak
seorang pemuda berpakaian putih memakai to-
peng kayu.
"Jahanam ini?" menggeram si pemuda da-
lam hati. Akan tetapi dia tetap berdiri tegak di
tempatnya.
Di depannya dengan gerakan sedemikian
rupa si pemuda bertopeng yang bukan lain adalah
Bayu Gendala melompat turun dari atas kudanya.
"Pemuda tolol, aku tahu kau kekasih Lara
Murti, sekaligus calon suami gadis itu. Tapi terus
terang jika kau sayangkan nyawamu, sebaiknya
kau batalkan niatmu untuk menjadikan dia seba-
gai istrimu!" hardik Bayu Gendala.
"Mengapa?" tanya Lambang Pambudi, se-
mentara tatap matanya memandang tajam pada si
pemuda bertopeng dengan sinar mata sulit ditaf-
sirkan. Bayu Gendala tertawa tergelak-gelak. Lak-
sana kilat tangannya bergerak ke arah pinggang,
di lain kesempatan dia telah menghunus pedang.
Tawa si pemuda lenyap, sementara ujung pedang
yang putih mengkilat telah menempel ketat di ba-
gian leher Lambang Pambudi. "Perlu kau tahu
manusia geblek, kau tak layak menjadi pendamp-
ing Lara Murti karena kau manusia lemah tak
memiliki kebecusan apa-apa." jelas Bayu Gendala
sinis. Dia pun semakin menekankan pedang itu
lebih keras hingga ujungnya menembus kulit leh-
er Lambang Pambudi. Ada darah yang menetes,
luka kecil akibat tusukan pedang perih bukan
main. Wajah pemuda itu tampak pucat, kening-
nya mengernyit menahan sakit. Melihat hal ini
Bayu Gendala menjadi sangat senang sekali. Ka-
lau perlu dia harus membuat Lambang Pambudi
ketakutan setengah mati.
"Ku mohon... ku mohon kau tarik pedang-
mu, jauhkan dari leherku. Kita masih dapat bica-
ra baik-baik." kata Lambang Pambudi dengan su-
ara bergetar terbata-bata.
"Ha... ha... ha. Bagus jika kau masih ingin
hidup." kata Bayu Gendala, walaupun dia bicara
begitu namun pedang tidak juga dijauhkan dari
leher pemuda yang sangat dibencinya. Dia kemu-
dian meneruskan ucapannya. "Terus terang aku
inginkan Lara Murti, aku ingin menjadikan dia
sebagai istriku. Kurasa hanya aku yang pantas
menjadi pendampingnya."
Untuk pertama kalinya Lambang Pambudi
sunggingkan seringai sinis. Setelah itu baru aju-
kan pertanyaan. "Apakah Lara mencintaimu? Jika
dia memang cinta padamu, aku yang bodoh ini
bersedia mengalah."
"Hem, cinta bisa menyusul di kemudian
hari. Yang paling penting dia harus menjadi istri-
ku dulu." dengus Bayu Gendala.
"Apa yang kau katakan itu hanya akan
membuatnya sangat menderita. Lagipula belum
tentu kedua orang tuanya mau meluluskan kein-
ginanmu!" ujar Lambang Pambudi. Walaupun ka-
ta-kata itu diucapkan dengan sangat perlahan sa-
ja, tapi bagi Bayu Gendala tidak jauh bedanya ba-
gai sebuah tamparan keras dan juga sebuah per-
nyataan yang menusuk menyakitkan telinga. Pe-
dang ditarik ke belakang, tangan kiri bergerak ce-
pat.
Plaak!
Satu tamparan yang keras mendarat di pi-
pi, bagian pipi kanan Lambang Pambudi jadi me-
merah, tubuhnya sempat terhuyung bahkan
hampir terbanting akibat kerasnya tamparan itu.
dengan penuh kegeraman tapi seakan tak kuasa
membalas perbuatan si pemuda bertopeng, Lam-
bang Pambudi usap-usap pipinya.
"Berani mati kau bicara seperti itu!" geram
Bayu Gendala. "Jika aku tidak membunuhmu ha-
ri ini semua itu karena aku masih memiliki rasa
kemanusiaan, tapi jika kau menghalangi renca-
naku. Aku pasti tidak segan-segan memenggal
kepalamu!" tegas si pemuda.
"Aku tak takut mati, aku tak butuh rasa
belas kasihmu. Kalau kau mau bunuh-bunuh sa-
ja. Aku merasa lebih baik mati daripada hidup
dan melihat Lara Murti berdampingan dengan
orang lain!" teriak Lambang Pambudi. Rupanya
setelah mendapat perlakuan begitu rupa, kini ke-
beraniannya jadi timbul. Sebagaimana halnya
dengan manusia lain, walau dia terlihat lemah
dan takut menghadapi sesuatu, tapi dalam keadaan terpaksa bisa berubah menjadi nekad. Inilah
yang terjadi pada Lambang Pambudi.
Keberanian yang muncul seketika menim-
bulkan amarah dan kebencian di hati Bayu Gen-
dala. Tanpa pikir panjang pemuda itu ayunkan
pedang ke arah kepala Lambang Pambudi. Dalam
kejutnya dengan mata terbelalak sedapat yang dia
lakukan pemuda ini mengelak, jatuhkan diri lalu
bergulingan. Walaupun begitu bagian rambutnya
masih sempat diterabas mata pedang.
"Masih bisa menghindar. Ha... ha... ha. In-
gin kulihat, ingin kulihat!" seru si pemuda. Dia
kemudian memutar pedang di tangannya, setelah
itu tubuhnya melesat ke depan, pedang berkele-
bat menderu menghantam dada Lambang Pam-
budi.
Tidak ada lagi kesempatan bagi pemuda ini
buat menghindar karena sinar pedang mengu-
rung jalan geraknya. Dalam keadaan nyawanya
terancam bahaya besar, dia hendak lakukan se-
suatu. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara
teriakan disertai berkelebatnya dua sosok bayan-
gan. Di depan bayangan tadi mendahului berkele-
bat dua larik sinar, satu berwarna putih menebar
hawa panas luar biasa, satunya lagi berupa sinar
hitam menebarkan hawa dingin laksana es.
"Asmara celaka, sudah merebut kekasih
orang hendak membunuh secara membabi buta!
Bangsat!" mendumel salah satu dari dua orang
yang datang.
Suara bentakan lenyap, dua sinar menderu
sebat, satu menghantam kepala Bayu Gendala
sedangkan satunya menghantam bagian perut.
Pemuda ini tentu jadi kaget besar. Tanpa pikir
panjang dia batalkan serangan, lalu berjumpali-
tan ke belakang. Tapi tak urung dua sinar tadi
menyambar bagian bajunya hingga hangus go-
song. Bukan hanya itu saja, Bayu Gendala juga
merasakan sebagian wajahnya menjadi dingin,
sedangkan bagian perut terasa panas laksana
terbakar.
Tak mau mendapat masalah besar, tanpa
pikir panjang begitu ledakan berdentum mengge-
muruh di udara dua kali berturut-turut, sambil
menyeringai kesakitan dia melompat ke atas
punggung kuda dan melarikan diri selagi masih
ada kesempatan.
"Hei kampret bertopeng jangan lari!" teriak
satu suara. Dia bermaksud hendak mengejar. Ta-
pi pada saat itu terdengar seruan lain.
"Jangan dikejar!"
Orang yang hendak melakukan pengejaran
terpaksa hentikan langkah sambil mengomel tak
berketentuan. Dia ternyata adalah seorang pemu-
da berambut gondrong, bertelanjang dada. Ketika
dia menoleh ternyata yang bicara tadi adalah
Lambang Pambudi.
"Mengapa kau melarangku?" tanya si gon-
drong yang bukan lain adalah Gento Guyon sam-
bil bersungut-sungut.
"Orang berbudi, aku berterima kasih kepa-
damu dan pada orang tua itu. Tapi kuharap jangan dikejar, pemuda tadi pikiran sedang sakit.
Sebaiknya jangan sakiti dia!"
"Tangan Sial. Kau dengar betapa baiknya
orang ini. Sudah tahu kepalanya hampir mengge-
linding diterabas pedang. Masih juga dia bisa
memaafkan orang yang hendak membunuhnya!"
kata Gento cemberut.
"Ha... ha... ha! Sobatku, kemuliaan seseo-
rang ditentukan oleh tindakannya. Jika dia bisa
memaafkan musuh, apalagi bisa menjadikannya
sebagai sahabatnya. Ini termasuk perbuatan yang
sangat dianjurkan oleh Yang Maha Kuasa." sahut
Si Tangan Sial.
"Hebat. Sejak kapan kau pintar berkhut-
bah, menasehati orang. Kau sendiri sejak dulu se-
lalu mengutuk kemalangan yang menimpa hi-
dupmu. Bahkan kau mengutuk sepasang tan-
ganmu sendiri. Padahal tangan itu pemberian
Gusti Allah. Bagaimana ini? Apakah semua itu
bukan berarti kau tidak punya rasa terima kasih
pada Tuhan! Ha... ha... ha." dengus Gento disertai
senyum mencibir.
Sejenak lamanya si orang tua berpakaian
serba merah jadi kelabakan tak tahu harus ber-
kata apa. Hal ini membuat tawa Gento semakin
bertambah keras.
DELAPAN
Hanya beberapa saat setelah itu secara
aneh Si Tangan Sial ikutan tertawa. Gento Guyon
jadi terdiam, mulut melongo heran. Sedangkan
Lambang Pambudi sejak tadi jadi tercengang me-
lihat tingkah kedua penolongnya yang dianggap
mempunyai perilaku aneh ini.
"Tangan Sial, apa yang kau tertawakan?"
tanya Gento penasaran.
Orang tua itu terus saja tertawa tak hirau-
kan pertanyaan orang sampai akhirnya dia jadi
capai sendiri. Sejenak dia memperhatikan Gento,
lalu tatap matanya beralih pada Lambang Pam-
budi. Setelah itu dia baru berkata ditujukan pada
Gento. "Dulu aku memang begitu, tapi sekarang
setelah bertemu denganmu tidak lagi. Mungkin
karena berkawan denganmu otakku jadi ikutan
miring, sehingga aku jadi lupa dengan persoalan-
ku sendiri! Ha... ha... ha!"
"Kakek sial. Bergurau sih boleh saja, tapi
jangan kelewatan. Nanti orang-orang beranggapan
aku tidak waras benaran. Aku bisa malu." dengus
si pemuda.
"Sekarang kau baru tahu rasa siapa aku.
Eeh... tapi sobatku, kita punya teman baru men-
gapa kau tak bertegur sapa?" mengingatkan si
orang tua.
Gento menepuk keningnya. "Aku sampai
lupa, semua ini gara-gara kau." Lalu Gento memutar badan dan menghadap langsung ke arah
Lambang Pambudi. Sebentar dia memperhatikan
pemuda itu, lalu berucap. "Maafkan kami, bu-
kannya aku tak menghiraukanmu. Semua karena
kawanku sedang angot penyakit gilanya, sehingga
aku terpaksa melayani ucapannya yang melantur.
Oh ya siapa namamu?" tanya Gento unjukkan
tampang serius.
Lambang Pambudi tersenyum sambil
bungkukkan badan menjura hormat, setelah te-
gak dia menjawab. "Namaku Lambang Pambudi.
Aku merasa berhutang nyawa padamu dan juga
pada orang tua itu. Aku hanya dapat berterima
kasih tak dapat membalas kebaikan kalian."
"Eeh, masalah nyawa jangan kau bilang
berhutang padaku apalagi pada pemuda edan itu.
Nyawa urusan Gusti Allah, sedangkan kami
hanya membantumu dari perbuatan jahat ku-
nyuk bertopeng tadi." sergah Tangan Sial.
"Tangan Sial, sekali lagi kuingatkan kau
jangan bicara seenakmu sendiri. Salah-salah ku-
getok kepalamu!" rutuk Gento sambil delikkan
mata. Si Tangan Sial malah tertawa lebar.
"Ah, kalian orang berbudi tinggi. Harap
jangan bertengkar. Aku takut kalian berbaku
hantam di sini!" kata Lambang Pambudi benar-
benar unjukkan wajah ketakutan.
"Oh tentu saja tidak. Kami ini tadi sebe-
narnya hanya bergurau. Oh ya sebenarnya siapa
pemuda bertopeng tadi?" tanya Gento.
Lambang Pambudi sebenarnya merasa
enggan untuk menceritakan siapa adanya Bayu
Gendala. Akan tetapi demi mengingat pertolongan
yang telah dilakukan Gento dan Si Tangan Sial
juga setelah melihat kenyataan agaknya mereka
adalah orang baik-baik, maka Lambang Pambudi
pun berkata. "Pemuda bertopeng tadi adalah pu-
tra Selasih Jingga. Dia datang padaku sengaja
mencari perkara. Karena aku disuruhnya men-
jauhi kekasihku sendiri." ujar Lambang Pambudi,
pemuda ini lalu menceritakan segala sesuatunya
pada Gento dan Si tangan Sial.
Ketika Lambang Pambudi selesai menutur-
kan segala sesuatunya dengan wajah menunjuk-
kan wajah tidak senang Si Tangan Sial berucap.
"Manusia tak tahu diri. Enak saja dia hendak me-
rebut kekasih orang. Kau sendiri mengapa tak
mengambil sikap tegas?"
Lambang Pambudi gelengkan kepala. Wa-
jahnya kuyu menunjukkan ketidak berdaya.
"Dia memiliki jurus pedang hebat, sedang
aku tidak punya kepandaian apa-apa. Mana
mungkin aku sanggup menghadapinya." jawab si
pemuda perlahan.
"Ah, kasihan sekali." celetuk Gento tanpa
sadar. Dia lalu memandang pada Tangan Sial.
"Sahabatku, menurutmu apakah pemuda tadi
mempunyai jurus-jurus pedang yang luar biasa?"
tanya Gento.
Si Tangan Sial tersenyum. "Rasanya sih bi-
asa saja. Mungkin hanya suara teriakan dan ken-
tutnya saja yang hebat. Ha... ha... ha." menyahut
Si Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.
Lambang Pambudi gelengkan, kepala meli-
hat tingkah laku orang tua dan pemuda itu.
Setelah berpikir sejenak, pemuda berpa-
kaian serba putih ini kemudian ajukan perta-
nyaan. "Aku tak tahu bagaimana, tapi bolehkah
aku tahu siapa nama kalian?"
"Ah, betul, kami sampai lupa. Aku sendiri
bernama Gento Guyon. Sedangkan temanku na-
manya entah siapa. Orang memanggilnya Si Tan-
gan Sial, karena kedua tangannya selalu memba-
wa kesialan." kata Gento.
Lambang Pambudi manggut-manggut. "Ka-
lian sebenarnya hendak ke mana?" tanya si pe-
muda.
Tanpa ragu-ragu Gento menceritakan sega-
la sesuatunya termasuk juga tentang penemuan
mayat tanpa kepala di sebuah rumah tua bebera-
pa hari yang lalu.
"Oh mengerikan sekali. Tapi kurasa aku bi-
sa sedikit menceritakan tentang mayat tanpa ke-
pala yang engkau temukan itu. Aku yakin itu ada-
lah mayat Patira Seta murid sekaligus cucu saha-
bat calon mertuaku. Beberapa hari yang lalu dia
pernah datang ke perguruan Gunung Keramat.
Beberapa hari yang lalu dia pernah datang ke
perguruan Gunung Keramat. Tapi kemudian kuli-
hat dia pergi lagi dengan membawa kepala cu-
cunya untuk mencari si pembunuh keji. Kini
bahkan Dewa Angin Guntur dan istrinya ikut
membantu menemukan jejak sang pembunuh."
"Siapa Dewa Angin Guntur?" tanya Si Tan-
gan Sial.
"Dewa Angin Guntur ketua perguruan Gu-
nung Keramat." menerangkan Lambang Pambudi.
"Calon mertuamu?" ujar Gento menyambu-
ti.
Dengan malu-malu Lambang Pambudi
anggukan kepala.
Gento berpaling pada sahabatnya. "Tangan
Sial, berarti guruku dan Ambini telah sampai ke
sana. Kebetulan sekali, pemuda ini, siapa nama-
mu?"
"Lambang Pambudi." jawab si pemuda.
"Kebetulan sekali Lambang Pambudi ting-
gal di perguruan itu. Bagaimana jika kita ikut
bersamanya?" tanya Gento.
Si Tangan Sial cibirkan mulutnya. "Aku ta-
hu kau pasti sudah rindu pada Ambini, atau
mungkin juga kau cemburu karena gadis itu ber-
sama gurumu, si gendut sinting. Mengaku saja,
mengapa harus malu-malu? Ha... ha... ha."
"Mungkin... mungkin juga aku rindu. Tapi
terus terang aku punya firasat yang tidak menge-
nakkan."
"Mengenakkan bagi gurumu, tak menge-
nakkan bagi dirimu sendiri. Bukankah itu lawa-
tannya?" ejek Si Tangan Sial ketus.
"Ha... ha... ha, bagus kalau kau sudah ta-
hu. Berdua denganmu kurasakan memang tidak
enak, tampangmu membosankan untuk dipan-
dang apalagi bila melihat kedua tanganmu. Gosong hitam seperti kayu terbakar, masih bagus
lagi memandang kebun bunga ini!" kata si pemu-
da sambil tertawa tergelak-gelak.
Selagi pemuda ini tertawa dan Si Tangan
Sial unjukkan tampang cemberut pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara raungan
keras. Gento Guyon jadi tercekat, sedangkan
Lambang Pambudi sempat bersurut langkah, wa-
jah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Di de-
pannya sana Si Tangan Sial memandang tajam ke
arah datangnya suara raungan. Sekian lama me-
nunggu tidak terlihat ada orang yang muncul.
Sementara raungan aneh tadi telah lenyap keti-
ganya menunggu dengan berbagai ganjalan di ha-
tinya.
Tak lama kemudian terdengar suara orang
bicara seperti orang yang menyenandungkan bait-
bait syair.
Sekian sama menunggu, menantikan sau-
dara yang hilang.
Menanti kedatangan saudara yang malang
Usia si tua banyak terbuang
Kini si anak malang telah datang
Bersama sahabat yang gilanya bukan kepa-
lang
Oh dunia...
Kau janjikan seribu keindahan dan mimpi.
Hingga membuat manusia lupa segala, hi-
lang pula jati diri
Dalam penantian aku sendiri
Dalam kemalangan dia juga sendiri
Aku datang padamu wahai saudara
Lepaskan rindu dendam yang sekian lama
tidak bersua!
Suara orang bersair kemudian lenyap, mu-
rid Gentong Ketawa dan Tangan Sial saling pan-
dang. Gento mencoba memahami arti ucapan su-
ara orang tadi. Dia kemudian tersenyum. "Aku
tahu manusia paling sial di dunia ini adalah diri-
mu, Tangan Sial. Aneh... ternyata kau punya
saudara! Mengapa kau tak pernah bilang pada-
ku?"
"Mana aku tahu aku punya saudara. Kura-
sa dia orang gila yang kesasar." sahut Si Tangan
Sial. Dia hendak tertawa, tapi urung. Kini orang
tua itu malah menoleh ke arah Lambang Pambu-
di, dia jadi heran karena dia tidak melihat pemu-
da lugu yang tidak mengerti ilmu silat itu sudah
tidak ada lagi di tempatnya.
"Gento... pemuda itu...?!" desis si orang
tua. Serentak Gento pun menoleh, memandang ke
arah mana Lambang Pambudi berdiri. Dia jadi
kaget karena pemuda itu raib.
"Ke mana dia? Jangan-jangan dimakan se-
tan!" kata Gento. Si Tangan Sial dan Gento kitar-
kan pandangannya ke segenap penjuru tempat.
Lambang Pambudi tetap tak terlihat seolah pe-
muda itu lenyap amblas ke dalam bumi. Justru
pada saat itu dan arah suara tadi datang berkele-
bat satu sosok bayangan hitam ke arah mereka.
Lalu....
Pluuk!
Sosok itu jatuh di atas tanah di antara
Gento dan Si Tangan Sial berdiri. Dua pasang ma-
ta sama melotot, memandang ke arah yang sama
dengan mulut ternganga.
Di depan mereka kini duduk seorang laki-
laki tua berpakaian hitam, berambut putih wa-
jahnya yang cekung kelihatan memutih tertutup
kapur. Begitu juga dengan rambut, tangan serta
kakinya semua tampak memutih. Hanya saja se-
pasang kaki si kakek tampak mengecil dan tidak
berkembang secara wajar, mungkin cacat kaki ini
sudah dialaminya sejak kecil.
Melihat keadaan fisik orang tua ini, pera-
saan si pemuda iba ada geli juga ada. Malah da-
lam hati dia berkata.
"Orang tua butut rongsokan ini mungkin
bukan orang waras. Air ada di mana-mana dia
malah memilih mandi kapur!"
"Bocah geblek, sekali lagi kau mengatai
aku orang yang tidak waras kupendam dirimu ke
dalam bumi!" hardik si badan jerangkong. Murid
kakek gendut Gentong Ketawa tentu saja jadi me-
lengak. Dia bahkan sampai melangkah mundur.
Bagaimana sosok jerangkong itu bisa menebak isi
hatinya? Sebaliknya Si Tangan Sial terus mem-
perhatikan orang itu.
"Orang tua, siapa dirimu? Aku Si Tangan
Sial bukannya bermaksud mau usil. Tapi kurasa
mengajukan pertanyaan bukanlah dosa!" berkata
orang tua itu dengan suara dibuat sesopan
mungkin.
Si kakek jerangkong yang semula sempat
memperhatikan Gento, kini memutar kepala. Dia
memandangi Si Tangan Sial dengan tatap ma-
tanya yang aneh, hingga yang dipandang terpaksa
pejamkan matanya. Tak terduga si kakek jerang-
kong tiba-tiba menangis menggerung, suaranya
sedih berhiba-hiba. Tapi sungguh aneh begitu
tangis si kakek tambah memilukan Gento ikutan
pula menangis, begitu juga halnya dengan Si Tan-
gan Sial. Malah orang tua berpakaian merah itu
duduk menjelepok, kakinya berkelesetan sedang-
kan dua tangan dibanting dan dipukulkan ke ta-
nah. Setiap pukulan yang dilakukan tanpa sadar
ini mengeluarkan suara bergemuruh disertai den-
gan ledakan berdentum. Malah pukulan Si Tan-
gan Sial menimbulkan lubang besar, hangus
menghitam.
Di depannya sana antara Si Tangan Sial
dan kakek jerangkong, tangis Gento juga semakin
mengguguk. Tapi dalam keadaan terhanyut oleh
tangisan orang, otaknya masih dapat bekerja. Dia
mengerahkan segala daya dan pikiran agar jangan
sampai terpengaruh tangisan orang. Berulang-
ulang hal itu dilakukannya, sayang usahanya ini
hanya sia-sia.
"Kampret gundul, bagaimana si jerangkong
ini bisa mempengaruhi kesadaran orang. Jangan-
jangan dia hantu, atau setan yang gemar menan-
gis dan bersair. Akh... aku tak mau larut dalam
kegilaan seperti ini." batin si pemuda sambil terus
memutar otak mencari jalan agar tidak terus ter-
hanyut dalam tangis dan kepedihan orang. Seje-
nak dia memandang ke arah Si Tangan Sial.
Meskipun air matanya masih bercucuran, meski-
pun kesedihan masih menyelimuti perasaannya
tapi Gento sempat tersenyum melihat sahabatnya.
"Kampret sial itu tangisnya malah lebih hebat,
mana pakai mengamuk segala lagi. Tanah di sana
sini dibuatnya berlubang, aku jadi ingat Si Pema-
cul Iblis. Hampir setiap tanah dilubanginya." ru-
tuk si pemuda. (Mengenai riwayat Pemacul iblis
baca Episode Tanah Kutukan).
Akan halnya Si Tangan Sial, orang tua itu
sendiri sebenarnya sudah berusaha melepaskan
diri dari pengaruh tangis kakek jerangkong. Akan
tetapi untuk diketahui, Si Tangan Sial tidak me-
miliki tingkat tenaga dalam tinggi. Sedangkan ke-
saktian dahsyat yang terkandung pada kedua be-
lah tangannya memang sudah merupakan ba-
waan sejak lahir. Sehingga walaupun saat itu dia
kerahkan tenaga dalam bahkan kucurkan kerin-
gat, tetap saja dia terus ikut menangis.
Kembali pada murid Gentong Ketawa yang
sudah sampai pada puncak kejengkelannya. Di
saat dirinya merasa putus asa karena tak mampu
melenyapkan pengaruh suara tangis orang, men-
dadak dia ingat sesuatu. Dia berpikir karena
mendengar maka dia terpengaruh, karena itu
Gentopun segera menutup indera pendengaran-
nya dengan pengerahan tenaga dalam. Seperti
yang telah dia duga, pengaruh suara si kakek je-
rangkong yang membuatnya ikutan menangis
mendadak lenyap. Sambil bersungut-sungut dia
seka air matanya. Kejap kemudian dia bangkit
berdiri sambil mengumbar tawa.
"Tangan Sial, rupanya kau sudah ikut jadi
gila, menangis tidak karuan kejuntrungannya.
Daripada menangis lebih baik tertawa sambil me-
nari. Kau boleh ikutan, teruskan tangismu sambil
memukul tanah. Suara ledakan itu bagaikan sua-
ra gendang bertalu-talu." berkata begitu sambil
tertawa-tawa Gento lakukan gerakan menari.
Pinggulnya melenggang lenggok, kedua tangan di-
gerakkan dengan lemah gemulai.
SEMBILAN
Begitu melihat Gento Guyon kini mulai
menari sambil tertawa, maka si kakek jerangkong
hentikan tangisnya. Tangis terhenti, Si Tangan
Sial langsung hentikan tangis pula. Si kakek je-
rangkong kini pandangi Gento.
"Pemuda ini selain konyol ternyata sangat
cerdik." batin si kakek. Lalu dia berseru. "Henti-
kan tawa hentikan tari! Sekarang kau duduk!"
Sekonyong-konyong gerakan Gento terhen-
ti, tawanya lenyap meskipun mulutnya masih ter-
buka. Diam-diam pemuda ini jadi terperanjat saat
merasakan ada satu kekuatan yang tidak terlihat
menekan bahunya kiri kanan. Ketika dia coba
bertahan, maka lututnya jadi goyah. Sekujur tu-
buhnya bergetar.
"Celaka, kakek jerangkong ini ternyata bu-
kan manusia sembarangan. hanya dengan beru-
cap saja dia mampu memaksa orang lain berbuat
sesuai dengan kehendaknya!" keluh si pemuda.
"Duduk!" sekali lagi si kakek berseru.
Laksana dibanting Gento jatuh terhenyak
dengan punggung lebih dulu jatuh ke tanah. Sa-
kit yang dia rasakan tidak seberapa dibanding
dengan rasa kaget juga malu yang harus dia
tanggungkan.
"Orang tua, dari tadi kau belum menjawab
pertanyaan sahabatku itu. Siapa dirimu ini yang
sebenarnya?" tanya Gento setelah mengusap wa-
jahnya yang sempat berubah merah.
"Heh," terdengar suara mendengus dari hi-
dung si kakek. Dia kemudian palingkan wajah ke
arah Si Tangan Sial. Beberapa saat dua pasang
mata bertemu pandang. Melihat tatapan mata si
kakek jerangkong yang dingin namun berwibawa,
entah mengapa membuat perasaan orang tua ini
jadi tidak enak. "Aku Begawan Panji Kwalat. Aku
saudaramu. Sekarang aku ingin membawamu ke
hutan Banyu Biru. Ada beberapa hal yang ingin
kusampaikan padamu. Karena itu kau harus
ikut!" tegas si kakek jerangkong.
Mendengar Ucapan Begawan Panji Kwalat,
Si Tangan Sial tentu saja jadi terheran-heran.
Seumur hidup dia merasa tidak punya saudara.
Bagaimana mungkin kakek jerangkong itu mengaku dia saudaranya?
"Kakek, aku Tangan Sial merasa tak punya
saudara. Mungkin kau salah alamat, mungkin ju-
ga kau salah berucap?" ujar Si Tangan Sial sambil
melirik ke arah Gento seakan minta pendapat.
Mengetahui makna lirikan itu Gento enak
saja menyeletuk. "Sahabat Tangan Sial, walau ki-
ta berkawan aku sendiri tak tahu asal usulmu.
Boleh jadi kau malu untuk mengakui kakek
pengkor lumpuh itu saudaramu. Untuk urusan
kakek itu denganmu aku sih tak mau ikut cam-
pur tangan, bukan karena apa. Aku takut jadi
orang kwalat. Lagipula apa kau tidak mendengar
gelarannya Begawan Panji Kwalat. Jika dia sam-
pai kubuat marah lalu mengutukku jadi batu.
Apa iya kau bisa menolongku!" kata si pemuda la-
lu palingkan muka ke arah lain.
"Bocah geblek, kau harus percaya aku ti-
dak punya saudara. Boleh jadi dia hendak meni-
puku. Aku... aku...!"
"Urusan kita tidak ada hubungannya den-
gan pemuda konyol itu, Tangan Sial. Jika kau
ikut denganku, di bukit Waton Kapur nanti sega-
lanya baru bisa kujelaskan. Nasehat dan keteran-
gan yang ku berikan menyangkut urusan yang
sangat besar, yang pasti ada sangkut pautnya
dengan kejadian besar beberapa tahun menda-
tang!" kata Begawan Panji Kwalat, suaranya ma-
sih tetap tenang dan sabar.
"Kejadian apa?" tanya Gento. Si kakek je-
rangkong tidak langsung menjawab, tapi perhatikan Gento beberapa jenak lamanya. Sepasang
mata si kakek mendelik besar. Dia gelengkan ke-
pala. "Aku telah melihat rentang waktu tersamar
dalam tabir gaib. Kau juga salah satu orang yang
ikut terlibat dalam kejadian besar itu." kata Be-
gawan Panji Kwalat.
"Aku? Ah, engkau bisa saja kek." kata Gen-
to sambil tersenyum.
"Aku bicara sebuah kenyataan yang terjadi
di masa yang akan datang. Terserah apapun
tanggapanmu!" Si kakek jerangkong kemudian
bergerak mendekat ke arah Si Tangan Sial. Satu
gerakan yang sulit dipercaya. Bagaimana tidak?
Si kakek lumpuh ini bergerak bukan dengan se-
pasang tangannya atau melompat-lompat. Tapi
tubuhnya mengambang di udara dengan kedua
kaki dalam keadaan bersila.
"Penjelasan kau dapatkan nanti. Sekarang
kau ikut denganku dulu!" berkata begitu Begawan
Panji Kwalat sambar krah baju belakang Si Tan-
gan Sial. Karena masih belum percaya si kakek
lumpuh itu adalah saudaranya. Si Tangan Sial
tentu tak mau dirinya dibawa orang begitu saja.
Sehingga tanpa pikir panjang dia pun hantamkan
salah satu tangannya yang sangat berbahaya itu.
Tapi begitu tangan kiri bergerak, Begawan Panji
Kwalat segera pula berseru. "Tangan Bencana,
jangan kau turuti perintahnya. Diam... diam..!"
Seketika tangan yang siap memukul itu
terhenti di udara. Di lain kejap Si Tangan Sial me-
rasa tubuhnya terbetot, ikut melayang mengikuti
si kakek lumpuh. Dalam takutnya orang tua itu
berteriak.
"Gento... tolong... Gento bantu aku...!"
Melihat sahabatnya dilarikan orang murid
kakek Gentong Ketawa tentu saja tidak tinggal di-
am. Dia mencoba mengejar. Tapi dia jadi tersen-
tak kaget begitu merasakan sekujur tubuhnya tak
dapat digerakkan. "Apa yang telah dilakukan ka-
kek jerangkong tadi kepadaku?" keluh si pemuda.
Belum lagi rasa kagetnya lenyap, di kejauhan sa-
na Begawan Panji Kwalat berucap.
"Anak muda, uruslah dirimu sendiri. Satu
hal yang tidak boleh kau lupakan, yang terlihat
lemah belum tentu bodoh. Apapun yang kau la-
kukan nanti semuanya ada di depan mata."
Gento tak tahu apa maksud ucapan Manu-
sia Kutuk Sumpah. Saat itu rasa kesal dan marah
menyelimuti perasaannya. Dia kemudian menge-
rahkan tenaga dalamnya, mula-mula disalurkan
ke bagian kaki. Kedua kaki lalu digerakkan. Ter-
nyata kedua kaki dapat digerakkan. Merasa ter-
bebas dari pengaruh suara aneh orang dia segera
bangkit berdiri.
Saat berdiri berpikir olehnya untuk menge-
jar Manusia Kutuk Sumpah. Rupanya dia takut
terjadi sesuatu pada Si Tangan Sial. Tapi kemu-
dian dia urungkan niat. Kini yang terpikir olehnya
adalah tentang Lambang Pambudi. Pemuda lugu
yang konon tak pandai ilmu silat.
"Ke mana perginya pemuda itu? Mengapa
dia menghilang secepat itu. Padahal dia tidak
memiliki ilmu dan kesaktian apapun." batin Gen-
to. Sejenak dia terdiam, berpikir dan teringat
olehnya tentang ucapan Begawan Panji Kwalat.
"Urus diri sendiri. Yang terlihat belum ten-
tu bodoh, semuanya ada di depan mata." Gento
mengulang ucapan Begawan Panji Kwalat. "Teka
teki gila apalagi ini?" gerutu si pemuda sambil
memijit keningnya.
Karena tak kunjung temukan jawaban, si
pemuda sambil mendumel segera tinggalkan ke-
bun bunga.
Di balik pagar yang mengelilingi lima pon-
dok panjang si kakek gendut Gentong Ketawa
mengintai. Dia melihat puluhan murid-murid per-
guruan Gunung Keramat sedang berlatih ilmu si-
lat di bawah pengawasan seorang gadis cantik
berpakaian serba merah. Di belakang si kakek,
Ambini nampak gelisah. Sebaliknya si kakek gen-
dut malah bersikap tenang-tenang saja.
"Kalau kita hendak bertamu mengapa se-
perti maling begini? Bukankah lebih baik kita da-
tang langsung ke rumah besar itu?" kata Ambini
dengan suara perlahan.
"Kau betul, tapi aku sendiri tidak kenal
dengan pemilik perguruan ini. Lebih baik kita
menunggu barang beberapa jenak lamanya." ja-
wab si kakek sambil menarik nafas dan jauhkan
wajahnya dari pagar bambu. Baru saja si orang
tua hendak memutar badan menghadap langsung
ke arah Ambini dari arah samping melesat dua
sosok bayangan biru ke arah si kakek dan juga
Ambini.
"Dua tamu tidak diundang, berani melaku-
kan tindakan tidak terpuji dengan mengintip
orang yang sedang latihan, kupecahkan kepala
kalian!" hardik salah satu dari orang yang baru
datang. Bersamaan dengan itu pula si kakek gen-
dut merasakan ada sambaran angin deras meng-
hantam kepalanya.
"Walah bisa mati aku...!" gerutu si kakek.
Dengan gerakan cepat dia gulingkan diri di atas
tanah. Sementara di belakangnya Ambini sudah
melompat menjauh hindari pukulan yang dilan-
carkan orang itu. Baik Ambini maupun Gentong
Ketawa sama-sama dapat menyelamatkan diri. Bi-
la dia memandang ke depannya, di depan sana te-
lah berdiri tegak seorang laki-laki berambut putih
panjang menjela, sepasang alis orang ini berwar-
na putih perak. Sedangkan di sampingnya tam-
pak pula seorang perempuan berumur empat pu-
luhan berwajah bulat yang walaupun usianya su-
dah tidak muda lagi, tapi sisa kecantikan di kala
muda masih terbayang jelas di wajahnya. Sama
seperti laki-laki itu, dia juga memakai pakaian
serba biru, hanya di bagian rambutnya yang pan-
jang digelung dihiasi dengan bunga mawar putih.
Gentong Ketawa yang baru saja bangkit
berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang
kotor memperhatikan orang yang baru saja me-
nyerang mereka. Melihat penampilan serta dan-
danan perempuan itu, walau belum pernah ber-
temu tapi segera kenali ciri-ciri orang.
Si kakek lalu tersenyum unjukkan sikap
bersahabat. "Kalau tak salah penglihatanku bu-
kankah nisanak orangnya yang bergelar Mawar
Selatan, tokoh di daerah utara ini yang dulu na-
ma besarnya sempat menggemparkan dunia per-
silatan? Dan Kisanak ini pastilah Dewa Angin
Guntur, suami dari Galuh Pitaloka." ucap Gen-
tong Ketawa. Laki-laki dan perempuan yang ber-
diri tegak di depan si kakek sama melengak kaget
dan tak pernah menyangka orang tua bertampang
jenaka berbadan besar bukan main mengenali diri
mereka. Sejenak lamanya suami istri ini saling
berpandangan. Orang tua berambut putih yang
memang Dewa Angin Guntur adanya melangkah
dua tindak ke depan.
"Orang tua siapa dirimu ini adanya? Siapa
pula gadis yang bersamamu. Kalian datang tidak
sebagaimana lazimnya orang yang bertamu ke
rumah orang ada kepentingan apakah?" tanya
Dewa Angin Guntur bertubi-tubi. Mendapat per-
tanyaan seperti itu Gentong Ketawa sempat me-
longo. Tapi karena kedatangannya bukan mem-
bawa maksud jahat, maka diapun akhirnya men-
jawab.
"Sahabat mudaku itu bernama Ambini, pu-
tri seorang Raden dari Wonogiri." menerangkan si
kakek sambil melirik pada Ambini. Gadis itu ang-
gukkan kepala. "Sedangkan aku sendiri Gentong
Ketawa!" kata si kakek gendut lagi.
Begitu si kakek menyebutkan namanya,
Dewa Angin Guntur maupun Galuh Pitaloka alias
Mawar Selatan sempat keluarkan seruan kaget.
Suami istri itu sama memandang ke arah si gen-
dut dengan tatapan tak percaya.
"Aku tidak pernah menyangka saat ini ten-
gah berhadapan dengan tokoh dunia persilatan
dari Merbabu. Gentong Ketawa... satu nama besar
yang sudah tersohor di delapan penjuru angin.
Kami ketua perguruan Gunung Keramat hari ini
merasa sangat beruntung sekali." ujar Dewa An-
gin Guntur.
"Ah... engkau terlalu berlebihan Dewa An-
gin Guntur. Padahal kalian sendiri adalah dua
dari tokoh yang memiliki nama besar, pengaruh
luas. Bahkan kudengar murid-murid perguruan
Gunung Keramat ini tersebar hampir di seluruh
pelosok tanah Jawa." puji si kakek.
Orang tua berambut putih tersenyum. "Apa
yang paman dengar itu terlalu dilebih-lebihkan.
Kami hanya manusia biasa," kata Dewa Angin
Guntur.
"Tidak seperti yang paman katakan, kami
ini sesungguhnya adalah orang biasa." Galuh Pi-
taloka menimpali pula.
"Sudah menjadi kebiasaan orang berbudi
berilmu tinggi. Mereka begitu pintar menyembu-
nyikan kehebatan segala apa yang mereka miliki
dengan bersikap santun, bukankah begitu kakek
gendut?!" kata Ambini membuat kakek Gentong
Ketawa terkekeh-kekeh dan pasangan suami istri
itu jadi salah tingkah.
"Kau benar Ambini. Sebenarnya hari ini ki
talah yang merasa beruntung karena bertemu
dengan mereka." kata si kakek gendut berbobot
lebih dari dua ratus kati ini sambil menekap mu-
lutnya yang kembali hendak tertawa.
Beberapa saat kemudian suasana dicekam
kebisuan. Teringat oleh si kakek tentang maksud
dan tujuan mereka datang ke perguruan ini.
Sehingga dia berkata. "Dewa Angin Guntur
dan Galuh Pitaloka, sebelumnya aku mohon maaf
karena kedatangan kami ke sini pasti sangat ti-
dak kalian duga...."
"Paman Gentong Ketawa, lupakan segala
peradatan dan sikap basa-basi. Jika memang ada
sesuatu yang amat penting yang ingin paman
sampaikan kami siap mendengarkannya."
Gentong Ketawa melirik ke arah Ambini.
"Sebaiknya kau saja yang bicara Ambini!" pinta
orang tua itu.
Si gadis yang tidak menyangka kakek gen-
dut mengerjainya merasa serba salah. Dia terdiam
sejenak, bingung tak tahu harus memulai dari
mana. Dia sadar bagaimanapun saat ini dia se-
dang berhadapan dengan dua tokoh utara yang
sangat disegani, sehingga dia harus hati-hati
mengatakan segala sesuatunya agar jangan sam-
pai keliru. Barulah setelah gadis cantik jelita ini
dapat menenangkan perasaannya dia membuka
mulut. "Paman Dewa Angin Guntur dan bibi Ga-
luh Pitaloka. Beberapa hari yang lalu ketika kami
melakukan perjalanan di malam buta, di sebuah
rumah tua yang sudah tidak terpakai kami menjumpai sosok mayat yang sudah membusuk tanpa
kepala. Orang itu diperkirakan terbunuh sekitar
tiga hari sebelumnya. Yang membuat kami heran
kepala mayat hilang." kata Ambini, dia kemudian
menerangkan ciri-ciri si mayat.
Dewa Angin Guntur dan istrinya saling
pandang, wajah mereka menampakkan rasa pri-
hatin yang mendalam.
Galuh Pitaloka kemudian bicara mewakili
sang suami. "Mendengar ciri-ciri yang dikatakan
Ambini, kami punya jawaban yang pasti bahwa
mayat yang kalian temukan itu pastilah mayat
Patira Seta, cucu sahabat kami yang dibunuh se-
cara misterius oleh seseorang. Adapun potongan
kepala yang kalian tanyakan dibawa oleh Guru
Lanang Pamekasan, kakek pemuda malang itu
sendiri. Saat ini kami pun sedang berusaha men-
cari pembunuh keparat itu. Sayang kami belum
menemukan titik terang."
"Kami tak mengira dia cucu sahabatmu."
ucap si kakek gendut. "Aku punya dugaan ba-
rangkali sahabatmu itu punya musuh yang me-
mendam dendam berkarat, sehingga cucunya di-
bunuh orang dengan cara yang amat keji." Gen-
tong Ketawa memberi tanggapan.
Wajah Dewa Angin Guntur sempat berubah
menampakkan rasa tidak suka, sedang paras Ga-
luh Pitaloka bersemu merah.
"Paman Gentong kurasa mengatakan suatu
pendapat yang keliru. Untuk kalian ketahui, sa-
habatku itu baru saja datang dari Madura. Kedatangannya ke sini adalah untuk menjodohkan cu-
cunya pada putri tunggalku. Di tanah Jawa ini
dulu dia pernah menetap lama, tapi aku yakin
sekali dia tidak punya musuh."
"Tidak punya musuh tapi cucunya dibunuh
orang. Berarti pembunuhnya pasti punya mak-
sud-maksud tertentu...!" sahut si kakek.
Ambini menimpali. "Yang dibunuh cu-
cunya, bukan kakeknya. Aku punya dugaan sang
pembunuh pasti tak menghendaki perjodohan itu
jadi terlaksana," ujar si gadis.
Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka
saling pandang. Gadis yang datang bersama ka-
kek Gentong Ketawa itu selain cantik agaknya
memiliki otak yang sangat cerdik. Selama bebera-
pa hari setelah kejadian belum pernah terpikirkan
oleh mereka sampai sejauh itu. Kemungkinan
yang dikatakan Ambini mungkin ada kebenaran-
nya. Tapi siapa yang melakukannya? Mengingat
Patira Seta memiliki ilmu serta kepandaian silat
tinggi, mustahil pembunuhan itu dilakukan oleh
manusia biasa. Paling tidak dia harus memiliki
kecepatan dalam menggunakan senjata, atau bo-
leh jadi kepandaiannya beberapa tingkat di atas
Patira Seta.
Sampai saat ini Dewa Angin Guntur tak bi-
sa menduga lain. Mustahil cucu Guru Lanang
Pamekasan dibunuh murid perguruan Gunung
Keramat, apalagi Lambang Pamudi. Pemuda lugu
itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Dewa
Angin Guntur lalu ingat pada Lara Murti. Ingat
pada putrinya yang sedang melatih murid pergu-
ruan orang tua ini jadi ingat pada Bayu Gendala.
"Lara berulang kali mengatakan pemuda
itu sering mengganggunya. Dia bahkan berani
mengutarakan perasaannya padahal dia tahu
anakku hendak kunikahkan dengan Lambang
Pambudi. Pemuda keparat putra Selasih Jingga
ini kudengar bahkan hampir membunuh Lam-
bang Pambudi dua hari lalu di perkebunan bun-
ga. Mestinya sudah kutangkap atau kuhajar dia,
tapi aku tak mau melakukan tindakan gegabah
sebelum kudapatkan bukti yang kuat untuk
menghukumnya." geram orang tua itu.
"Dewa Angin Guntur," suara Gentong Ke-
tawa memecah kebisuan yang kaku. "Mengingat
masalah ini pelik dan rumit. Aku yang sudah tua
bangka ini jadi ikut lancang dan ingin pula me-
nemukan biang racun yang membuat sahabatmu
jadi ikut berduka. Jika kau tak merasa risih, aku
dan Ambini akan mencari pembunuh cucu saha-
batmu dengan cara kami sendiri."
Mendengar penjelasan si kakek tentu sua-
mi istri ketua perguruan Gunung Keramat jadi
gembira.
"Niat baikmu kami hargai paman. Kami se-
nang mendengarnya!" kata Galuh Pitaloka.
"Begitu juga aku. Atas nama perguruan se-
belumnya aku mengucapkan terima kasih." ujar
Dewa Angin Guntur. Dia melirik ke arah istrinya.
Seakan mengerti makna lirikan itu Galuh Pitaloka
tersenyum.
"Paman dan Ambini menurutku sebelum
pergi ada baiknya kalian masuk dulu ke rumah
kami. Aku membuatkan minuman untuk kalian!"
ujar perempuan itu menawarkan.
Ambini gelengkan kepala kakek. Gentong
Ketawa ragu-ragu, tapi kemudian dia tertawa.
"Kopi dan gula batu, atau teh tubruk memang
enak. Tapi kalah enak dengan tuak keras. Hanya
di rumah orang sebersih kalian kurasa apa yang
aku sebutkan belakangan tidak ada. Jadi kami
mohon pamit saja! Ha... ha... ha!" berkata begitu
si gendut besar sambar tangan Ambini. Di lain ke-
jap kedua orang itu telah lenyap dari hadapan
Dewa Angin Guntur.
"Luar biasa. Badannya begitu besar, tapi
gerakannya begitu cepat dan ringan sekali. Jika
tidak melihatnya sendiri rasanya sangat sulit un-
tuk bisa kupercaya!" gumam Galuh Pitaloka me-
rasa takjub.
"Orang tua seberat dan sebesar itu, mem-
punyai gerakan yang sangat ringan. Sungguh di
atas langit masih ada langit!" timpal Dewa Angin
Guntur. "Aku berharap tugas kita semakin ber-
tambah ringan, jika paman Gentong Ketawa dan
temannya mau membantu kita."
Galuh Pitaloka anggukkan kepala. Dua
pemimpin perguruan Gunung Keramat lalu ting-
galkan tempat itu. Sementara di balik serumpun
semak belukar sepasang mata yang ikut menden-
gar semua pembicaraan dan mengawasi mereka
sejak tadi sambil tersenyum sinis menyelinap
tinggalkan perguruan Gunung Keramat.
SEPULUH
Malam itu Selasih Jingga nenek tua berba-
dan setengah bungkuk benar-benar tak dapat
memejamkan mata sedikitpun. Padahal malam te-
lah larut, sementara udara dingin terasa mencu-
cuk sampai ke tulang. Karena perasaannya terus
menerus diwarnai kegelisahan orang tua itu lalu
bangkit dan duduk di bibir balai bambu. Selasih
Jingga diam sejenak seolah sedang memikirkan
sesuatu. Mendadak dia tersentak kaget begitu
mendengar suara benda jatuh. Dengan hati ber-
debar si nenek bangkit lalu mendatangi ke arah
mana suara tadi berasal. Ternyata yang jatuh
adalah sebuah kendi air. Si nenek belalakkan ma-
ta, perasaannya semakin tak karuan. Dipandan-
ginya kendi tanah itu yang telah hancur berkep-
ing-keping. Sementara air di dalam kendi itu tam-
pak menggenang memenuhi lantai.
"Alamat buruk, firasat tidak baik." gumam
si nenek. Dia berjongkok memunguti pecahan
kendi, kemudian meletakkan puing kendi di atas
meja bundar.
Selagi nenek Selasih Jingga bangkit berdiri
pada saat hampir bersamaan mendadak terden-
gar pekikan suara burung gagak. Suara burung
itu terdengar persis di atas rumahnya. Si nenek
tercekat, dia meraba tengkuknya yang mendadak
berubah sangat dingin sekali. "Alamat celaka! Ti-
dak mungkin ada gagak berkeliaran pada malam-
malam begini. Ini adalah satu pertanda buruk
yang tidak dapat dibantah!" desis si nenek dengan
suara tercekat.
Suara burung yang didengarnya kemudian
lenyap. Si orang tua entah mengapa teringat pada
anaknya, sehingga dia segera menuju ke ruangan
depan di mana Bayu Gendala tidur di situ. Nenek
Selasih Jingga jadi kaget ketika melihat tempat ti-
dur pemuda itu dalam keadaan kosong. Cemas
dan bingung si nenek segera menuju ke pintu de-
pan. Pintu dalam keadaan setengah terbuka.
Orang tua ini julurkan kepala keluar, perasaan-
nya berubah menjadi lega ketika dia mendengar
suara orang bersenandung. Senandung kesedihan
dari orang yang merindukan kekasih.
"Dalam keadaan seperti itu tak mungkin
aku mendekati, atau membujuknya. Kasihan dia,
nasib hidupnya begitu buruk. Akupun tak mung-
kin melamarkan Bayu pada Lara Murti. Perbe-
daan antara kami tidak bedanya seperti langit
dengan bumi, semoga Gusti Allah memberi petun-
juk padanya. Semoga dia mau mengerti!" kata si
nenek dengan mata berkaca-kaca. Pintu kemu-
dian ditutupkan, setelah itu dia kembali mere-
bahkan diri di tempat tidurnya. Mungkin si nenek
merasa yakin kalau orang yang bersenandung ta-
di adalah anaknya, Bayu Gendala.
Sementara itu pada waktu yang hampir
bersamaan di perguruan Gunung Keramat suasana terasa lebih mencekam lagi. Seluruh murid
perguruan yang tinggal di lima pondok panjang
sudah terlelap dibuai mimpi, sedangkan di rumah
induk yang ditempati oleh keluarga ketua pergu-
ruan Gunung Keramat juga dalam suasana sunyi.
Sementara di bagian samping rumah besar
itu satu sosok tubuh nampak mendekam di balik
gerumul tanaman bunga matahari. Cukup lama
juga sosok serba putih itu memperhatikan kea-
daan di sekelilingya. Sampai kemudian sosok itu
bangkit berdiri. Begitu bangkit dia berjalan men-
gendap-endap mendekati daun jendela kamar
yang ditempati oleh Lara Murti. Pintu jendela ter-
nyata dalam keadaan terkunci. Sosok berpakaian
serba putih dan memakai topeng kayu putih
menggumamkan sesuatu seperti tengah membaca
mantra. Setelah itu kedua tangan diangkat, ba-
gian telapak tangan ditiup sebanyak tiga kali, lalu
tangan digosokkan satu sama lain. Begitu tangan
beradu, terlihat asap tebal berbau aneh mengepul
di udara. Bergulung-gulung, sebagian masuk ke
alam kamar melalui celah jendela disertai bau ha-
rum aneh sedangkan sebagian lagi membubung
tinggi di udara sampai akhirnya lenyap ditiup an-
gin.
Sosok berpakaian serba putih itu menye-
ringai, dua tangan lalu ditempelkan ke daun jen-
dela yang tepat diperkirakan di bagian kuncinya.
Wuuus!
Jendela hangus menghitam meninggalkan
sepuluh jari tangan. Dengan cepat sekali jendela
dibuka. Asap berbau harum yang ternyata men-
gandung sirep jahat yang membuat orang dapat
tertidur pulas telah membuat penghuni kamar ti-
dak menyadari ada bahaya besar yang sedang
mengancamnya.
Begitu melihat Lara Murti dalam keadaan
pulas seperti itu, maka sosok berpakaian putih
memakai topeng itu langsung melompat masuk.
Dia mendekati ranjang. Satu totokan dilakukan di
bagian perut serta dada gadis itu. Baru kemudian
Lara Murti dipanggulnya. Semua yang terjadi ber-
langsung dengan sangat cepat sekali. Di lain ke-
jap orang ini telah meninggalkan kamar sambil
memanggul Lara Murti di bahu kanannya. Dia
kemudian berlari menjauh dari perguruan itu,
hingga sampai di satu tempat yang cukup aman
orang ini hentikan larinya. Lara Murti segera ditu-
runkan dari bahunya dan direbahkan dengan po-
sisi menelentang. Beberapa saat lamanya orang
bertopeng pandangi gadis yang masih belum sa-
darkan diri itu. Sesungging senyum menghias bi-
birnya.
"Malam ini segala malapetaka itu bermula.
Dendamku tak akan impas walaupun aku bisa
melenyapkan seribu nyawa. Gadis ini terpaksa
kujadikan korban, perantara dari segala kemara-
hanku yang tidak pernah padam. Dia harus me-
rasakan penderitaan hebat yang pernah kurasa-
kan dulu. Ha... ha... ha!" kata sosok berpakaian
putih dengan nafas memburu bercampur amarah
dan nafsu. Dia kemudian jatuhkan diri berlutut di
samping si gadis. Tangan kanannya berkelebat.
Bret!
Pakaian Lara Murti robek di bagian dada.
Seperti dirasuki setan orang ini mencabik-cabik
pakaian si gadis, hingga keadaan Lara Murti nya-
ris telanjang. Perlakuan yang kasar ini tentu
membuat si gadis terjaga dan jadi terkejut besar
begitu menyadari dirinya telah berada di lain
tempat. Lebih terkejut lagi ketika melihat pa-
kaiannya dalam keadaan tak karuan. Lara Murti
memekik keras, dia mencoba menggerakkan ka-
kinya sambil menghantamkan tangan kanan ke
bagian dada sosok bertopeng. Tapi dia jadi terke-
jut sendiri begitu menyadari kaki dan tangannya
sulit digerakkan.
"Siapa kau! Lepaskan jahanam terkutuk!
Lepaskan aku!" pekik si gadis. Akan tetapi suara
makiannya hanya sampai sebatas tenggorokan
saja. Sementara orang bertopeng putih telah ber-
hasil melakukan perbuatan paling terkutuk pada
dirinya.
Lara Murti hanya dapat menangis tanpa
suara. Air mata bercucuran tiada henti, tubuhnya
didera rasa sakit yang sangat hebat. Dalam kea-
daan seperti itu Lara Murti berusaha mengum-
pulkan tenaga dalam untuk membebaskan toto-
kan. Usahanya itu ternyata berhasil, dia berusaha
melompat bangkit berdiri. Sosok bertopeng meng-
halangi dengan menekan kepalanya.
"Manusia durjana, kubunuh kau!" pekik si
gadis. Dengan perasaan hancur gadis ini meraih
topeng yang dipakai orang yang telah meno-
dainya, sedangkan tangan kanan dihantamkan ke
bagian dada orang itu. Angin menderu disertai
berkiblatnya sinar biru ke arah sosok yang telah
menghancurkan dirinya. Tapi sosok berpakaian
serba putih itu cepat ambil tindakan penyelama-
tan dengan jatuhkan diri di samping si gadis
hingga pukulan ganas itu hanya menghantam re-
ranting dan daun pepohonan. Ranting dan daun
hangus gosong. Sosok bertopeng mencabut pe-
dang, pedang diayunkan tepat searah jantung.
Bersamaan dengan itu pula topeng terenggut le-
pas.
"Kau...!" desis si gadis dengan mata terbela-
lak dan mulut ternganga lebar. Kelengahan yang
hanya sekejap ini langsung dipergunakan oleh
orang itu, ujung pedang berkelebat menghunjam
dada si gadis. Dia menjerit. Darah menyembur,
sejenak lamanya dengan mata yang semakin
mengabur dia pandangi sosok itu. Bibirnya berge-
rak lemah, mengucapkan kata-kata yang tidak je-
las. Sosok berpakaian serba putih nampak berge-
rak menjauh, terus melangkah mundur seperti
ketakutan sampai akhirnya dia membalikkan
badan dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pagi keesokan harinya perguruan Gunung
Keramat menjadi gempar dengan ditemukannya
jenazah Lara Murti oleh salah seorang murid per-
guruan yang saat itu sedang mengambil air di tepi
telaga di mana bencana itu menimpa diri putri ke-
tua perguruan mereka. Semua murid-murid perguruan ini menjadi sangat sedih melihat kematian
Lara Murti yang mengenaskan, Lara Murti yang
sangat baik selama ini sudah mereka anggap se-
bagai saudara tua mereka sendiri. Kini tiba-tiba
gadis itu dinodai secara keji dan dibunuh pula,
siapa yang tidak berduka. Dalam kedukaan itu
terbersit pula rasa dendam amarah pada sang
pembunuh. Apalagi mereka di samping pedang
yang dipergunakan untuk membunuh juga me-
nemukan sebuah topeng kayu. Topeng itu sudah
sangat mereka kenal, siapa pemiliknya rasanya
mereka juga sudah tahu. Sebab beberapa kali me-
reka melihat pemuda pemilik topeng tersebut
menggoda Lara Murti. Selain itu si pemuda berto-
peng yang bukan lain adalah Bayu Gendala ini
juga pernah mengancam Lara Murti akan mela-
kukan cara apapun untuk mendapatkannya.
"Jahanam itu kalau diijinkan oleh guru, ra-
sanya aku ingin memenggal kepalanya saat ini ju-
ga!" kata salah seorang pemuda yang berkumpul
dengan saudara seperguruan yang lain di bagian
halaman rumah duka.
Di dalam ruangan Lambang Pambudi begi-
tu melihat kematian kekasihnya yang sangat
mengenaskan nampak mengalami guncangan he-
bat. Berulangkali dia tak sadarkan diri. Beberapa
murid perguruan yang juga larut dalam kesedi-
han nampak tengah berusaha menghiburnya.
Sedangkan Galuh Pitaloka nampak me-
rangkul mayat Lara Murti erat-erat. Dia tidak
perduli darah dari luka si gadis mengalir membasahi sebagian pakaiannya. Melihat keadaan
anaknya yang mengenaskan tokoh utara yang ga-
gah ini nampak cucurkan air mata. Sekujur tu-
buhnya mengkirik, jantungnya serasa mau mele-
dak, tubuh lemas lunglai. Galuh Pitaloka mera-
tap, tak sanggup menyaksikan keadaan anak ga-
disnya tewas begitu rupa.
Di belakangnya Dewa Angin Guntur nam-
pak pejamkan matanya. Walaupun orang tua ini
nampak lebih tabah, tak urung hatinya sempat
terguncang juga menyaksikan kematian putri sa-
tu-satunya yang sangat dia kasihi. Walaupun ke-
pedihan itu mendera batin Si orang tua, dia ma-
sih dapat bersikap lebih tegar. Beberapa saat se-
telah Dewa Angin Guntur dapat menenangkan pi-
kiran dan mengumpulkan segenap kekuatan ba-
tin yang sempat tercerai berai akibat musibah be-
sar itu dia segera melangkah ke tengah ruangan
di mana pedang dan topeng putih itu tergeletak.
Pedang yang berlumuran darah di selipkannya di
pinggang sebelah kiri. Setelah itu dia memungut
topeng kayu berwarna putih. Dengan mata merah
berkilat penuh rasa benci ditatapnya topeng itu
beberapa kejap lamanya. Tubuh si orang tua ber-
getar hebat. Wajah merah kelam, bibir bergeleme-
letukan sedangkan larang keluarkan suara berge-
lemetukan. Mendidih darah Dewa Angin Guntur
terbakar amarah. Dia lalu berkata dengan suara
menggeledek.
"Pemilik topeng keparat ini aku sudah
mengenalnya. Aku tidak bisa menerima kenya
taan ini. Aku harus menentukan satu kematian
yang paling menyakitkan bagi dirinya. Dia tidak
akan kubunuh begitu saja, terlalu enak baginya.
Dia harus merasakan penderitaan hebat sebelum
kematian menjemputnya!" Sejenak lamanya dia
pandangi Lambang Pambudi dan juga Galuh Pita-
loka yang sedang membaringkan jenazah Lara
Murti "Pambudi, kau bantu mengurus jenazah
anakku. Kuburkan dia secara layak. Perintahkan
beberapa muridku untuk membuatkan kubur di
halaman depan." tegas Dewa Angin Guntur.
"Apapun perintah ayah akan saya kerja-
kan. Tapi ayah... saya mohon ayah bisa menghu-
kum pemuda itu dengan seberat-beratnya." pinta
Lambang Pambudi. Orang tua itu anggukkan ke-
pala.
Dia lalu memandang ke arah istrinya. "Is-
triku, jika upacara penguburan putri kita selesai,
engkau boleh menyusul. Kau akan melihat ba-
gaimana aku menghabisi pemuda bangsat itu!"
berkata begitu dengan menanggung guncangan
batin yang sangat berat Dewa Angin Guntur sege-
ra tinggalkan ruangan itu.
Di bagian halaman depan ratusan murid-
nya telah menunggu. Dengan bersenjata lengkap.
Sebagian di antara mereka bahkan ada pula yang
menunggang kuda.
Dewa Angin Guntur segera melompat ke
atas punggung kuda berbulu hitam. Tak lama
kemudian ratusan murid Gunung Keramat segera
menuju ke arah timur Solotigo.
Melewati beberapa dusun jumlah rombon-
gan semakin bertambah besar. Rupanya kematian
Lara Murti cepat sekali tersebar dari mulut ke
mulut. Dan ini mengundang rasa simpati di hati
mereka sehingga tanpa diminta mereka segera
menggabungkan diri dengan murid-murid Gu-
nung Keramat.
SEBELAS
Di dalam rumahnya Selasih Jingga alias
Jari Perontok Nyawa nampaknya mondar-mandir
dalam kegelisahan. Sesekali dia memandang ke
arah Bayu Gendala, di lain waktu si nenek don-
gakkan kepalanya ke atas. Dia menarik nafas, la-
lu memandang keluar lewat jendela samping.
"Ibu ada apa? Ibu kulihat seperti orang
bingung?" tanya Bayu Gendala yang merasa serba
salah melihat sikap ibunya.
Orang tua itu diam tertegun, setelah itu dia
menoleh dan memandang pada pemuda di de-
pannya dengan tatapan penuh selidik.
"Kau ke mana saja malam tadi?" tanya si
nenek curiga.
Mendapat pertanyaan itu Bayu Gendala ke-
rutkan keningnya seperti heran. Tapi kemudian
dia tersenyum sinis. "Aku tidak pergi ke mana-
pun. Aku berada di sebelah timur pekarangan
rumah kita. Memang ada apa bu?" tanya Bayu
Gendala sambil memandangi ibunya.
"Ibu merasakan ada sesuatu yang aneh,
ibu juga mendapat firasat buruk tentang dirimu."
jawab ibunya sambil mencoba menutupi galau di
hatinya.
"Ha... ha... ha, ibu ada-ada saja. Segala
macam firasat ibu percaya. Mengenai Lara Murti
ibu tenang saja. Jika aku tidak bisa mendapatkan
cintanya, siapapun tidak akan memilikinya,
mungkin juga termasuk orang tuanya sendiri."
Mendengar ucapan pemuda itu nenek Sela-
sih Jingga belalakkan matanya. "Apa maksudmu
anakku? Jangan sekalipun kau berani berbuat
nekad? Kau harus ingat, kau harus eling anakku
siapa dirimu itu?!"
Bayu Gendala gelengkan kepala. "Diriku
adalah anak dari seorang ibu yang malang. Ibu
yang tidak pernah punya keberanian menghadapi
kenyataan hidup." dengus si pemuda. "Aku tahu
ada sesuatu yang ibu sembunyikan dariku. Sesu-
atu yang mungkin menyangkut kejadian buruk
yang pernah ibu lakukan di masa lalu." kata Bayu
Gendala.
"Bayu Gendala anakku. Tega sekali kau
berkata seperti itu pada ibumu?!" jerit nenek Se-
lasih Jingga. Perempuan itu lalu tekad wajahnya
dengan kedua tangan. Air mata si nenek bergulir
melewati celah-celah jemari tangannya. Bayu
Gendala sama sekali tidak perduli, sedikitpun ti-
dak ada rasa iba di hatinya melihat ibunya me-
nangis. Malah dia kemudian berkata menyesali.
"Aku muak hidup dalam keadaan seperti
sekarang ini. Di depanku ibu selalu berpura-pura.
Katakan terus terang ibu, jika ibu adalah orang
baik orang jujur sebagaimana yang kulihat saat
ini mengapa ibu takut menghadapi mereka, men-
gapa sedari kecil hingga ku menjadi besar ibu se-
lalu mengurung diri di dalam rumah ini. Menga-
pa?!" tanya pemuda itu.
Nenek tua itu turunkan kedua tangannya,
dia pandangi kedua Bayu Gendala dengan sorot
mata seakan tak percaya. Hatinya diam-diam me-
rintih, mungkin semua itu terjadi akibat kejaha-
tan yang pernah dilakukannya di masa yang lalu.
"Mengapa ibu diam?" suara si pemuda
kembali memecah keheningan. Belum lagi nenek
Selasih Jingga sempat menjawab. Pada saat itu
pula terdengar suara teriakan menggeledek yang
datang dari arah bagian depan rumah tinggal me-
reka.
"Selasih Jingga! Mana anakmu! Suruh dia
keluar mempertanggungjawabkan segala dosa
terkutuknya!" kata satu suara.
Di dalam rumah nenek Selasih Jingga jadi
kaget, begitu juga halnya dengan Bayu Gendala.
Ibu dan anak saling pandang, tapi mereka seperti
disentakkan langsung melompat mendekati dind-
ing bambu. Dari balik dinding mereka mengintai
keluar. Kejut di hati si nenek bukan olah-olah be-
gitu dia melihat rumahnya telah dikepung oleh ra-
tusan murid perguruan Gunung Keramat. Bukan
hanya itu saja, di samping murid-murid pergu-
ruan ikut tergabung pula puluhan penduduk dari
beberapa dusun. Mereka semua memegang senja-
ta berbagai jenis. Wajah membayangkan keberin-
gasan dan dendam, di antara para pendatang ini
bahkan ada yang memegang obor yang siap di-
nyalakan bila dibutuhkan. Si nenek tahu arti se-
mua itu.
"Apa yang telah kau lakukan, Bayu? Men-
gapa mereka datang ke mari?" tanya perempuan
itu dengan suara pelan bergetar. Bayu Gendala
yang dibuat bingung melihat kemunculan ketua
perguruan Gunung Keramat dan juga muridnya
jadi gugup.
"Aku... aku tidak tahu. Aku merasa belum
pernah melakukan apapun!" sergah si pemuda
mencoba meyakinkan ibunya. Dalam keadaan te-
gang begitu rupa Selasih Jingga alias Jari Peron-
tok Nyawa dapat melihat satu kejujuran terpancar
di mata anaknya.
"Selasih Jingga! Serahkan anakmu untuk
menerima hukuman setimpal dariku. Bayu Gen-
dala telah menodai dan membunuh anakku seca-
ra keji. Sekarang dia harus menerima hukuman
dariku!" kata satu suara. Bila nenek Selasih Jing-
ga maupun Bayu Gendala mengintip ke arah da-
tangnya suara, ternyata yang berteriak itu adalah
Dewa Angin Guntur, ketua perguruan Gunung
Keramat.
"Anakku, aku tahu kau berkata jujur. Tapi
orang-orang di luar sana mustahil percaya den-
gan keteranganmu. Kau larilah dari pintu bela-
kang, selamatkan dirimu. Jangan sekalipun fiki
ran diriku."
"Tapi ibu...!" Bayu Gendala nampak ragu-
ragu, mungkin juga tidak tega melihat nasib bu-
ruk yang menimpa ibunya.
"Kuingatkan lagi, jangan kau pikirkan
ibumu!" tegas si nenek masih dengan suara per-
lahan. Merasa tidak punya jalan lain, Bayu Gen-
dala anggukkan kepala. Dia melangkah mendeka-
ti pintu belakang. Sementara itu dari luar sana
kembali terdengar suara teriakan.
"Selasih Jingga tua bangka keparat! Aku
tahu kau berada di dalam sana, aku tahu kau
mendengar. Cepat keluar! Serahkan anak itu! Ini
kesempatan terakhir yang kuberikan padamu. Ji-
ka kau tak mau keluar rumah ini akan kubakar.
Kau dan anakmu bisa terbakar hidup-hidup!"
Dalam keadaan seperti itu di mana suara
teriakan tidak sabar mulai terdengar di sana-sini,
Jari Perontok Nyawa sudah tidak dapat lagi
menggunakan akal sehatnya. Dengan cepat dia
melesat melewati pintu depan. Hanya beberapa
saat saja dia sudah berdiri tegak di depan Dewa
Angin Guntur. Laki-laki berambut putih itu mem-
perhatikan si nenek sekejap, dia lalu mengambil
pedang berlumur darah dari pinggangnya, kemu-
dian dari balik pakaian dia juga mengeluarkan
sebuah benda yang ternyata adalah sebuah to-
peng kayu berwarna putih. Melihat kedua benda
ini nyawa si nenek laksana terbang. Tubuhnya
bergetar kehilangan tenaga sedangkan wajah yang
keriput berubah seputih kertas.
"Kau tentu mengenali kedua benda ini, Se-
lasih?" berkata Dewa Angin Guntur dengan suara
keras menyentak. "Pedang anakmu ini kutemu-
kan tertancap di bagian jantung, sedangkan to-
peng ini tergeletak di samping mayat Lara Murti
putriku. Untuk kau ketahui, sebelum membunuh
anakmu telah berlaku keji terhadap anakku. Se-
karang mana anakmu, cepat kau serahkan pada-
ku!" teriak laki-laki berambut putih ini sudah ti-
dak sabar.
Walaupun si nenek merasa tidak berdaya
melihat bukti-bukti yang ditunjukkan Dewa Angin
Guntur namun dia masih juga berusaha memberi
penjelasan. "Aku akui topeng dan pedang itu ada-
lah milik anakku Bayu Gendala. Tapi aku tak
percaya anakku yang telah berbuat keji bahkan
membunuh anakmu. Demi Tuhan aku berani
menjaminnya!" kata si nenek bersungguh-
sungguh.
"Dia berdusta!" teriak murid-murid Dewa
Angin Guntur.
"Dia juga harus dibakar hidup-hidup!" te-
riak puluhan penduduk yang ikut bergabung
dengan mereka.
Laki-laki itu memberi isyarat agar murid-
nya diam. Setelah itu dia baru berkata, "Jari Pe-
rontok Nyawa, aku tahu sekarang kau sudah ber-
taubat. Aku tahu kau tidak melakukan kejahatan
lagi. Akan tetapi harus kau ingat segala kekejian
dan keganasanmu di masa lalu tidak mudah kau
hapuskan dari ingatan orang. Aku tidak akan
mengusikmu, karena tidak kubunuh pun kau
pasti akan mati dengan sendirinya. Tapi kuperin-
gatkan sekali lagi Bayu Gendala harus kau serah-
kan padaku. Jika kau punya tujuan baik dan be-
nar-benar telah insyaf, kau harus tunjukkan iti-
kad baik dengan tidak membelanya. Dengan begi-
tu aku baru bisa percaya!" hardik Dewa Angin
Guntur.
"Mengenai anak itu silahkan cari sendiri.
Dia sudah besar dan bisa menentukan jalan hi-
dupnya! Hanya sekali lagi kutegaskan, sebagai
ibu aku tahu dia tidak melakukan perbuatan se-
bagaimana yang kau tuduhkan."
"Tua bangka gila, apakah bukti yang ku-
bawa tidak cukup jelas bagimu?!" teriak si orang
tua kalap.
"Mungkin... mungkin... topeng dan pedang
itu sengaja dipergunakan seseorang untuk menu-
tupi perbuatannya." kata si nenek.
Percuma saja dia memberi penjelasan. De-
wa Angin Guntur dengan cepat segera memberi
isyarat. Belasan orang menyalakan obor, begitu
obor menyala langsung dilemparkan ke atap ru-
mah si nenek. Orang tua ini menjerit kaget. Da-
lam pada itu dari pintu belakang berkelebat satu
sosok tubuh melewati kobaran api yang mulai
membakar di sana-sini.
"Jahanam itu lari ke mari!" teriak belasan
murid Dewa Angin Guntur yang berjaga-jaga di
belakang.
"Jangan biarkan dia meloloskan diri!" te
riak ketua perguruan Gunung Keramat. Di bela-
kang saja Bayu Gendala yang gagal melarikan diri
dari kepungan lawan segera melolos senjatanya.
Dia telah bertekad untuk membuka jalan darah
demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Sekejap saja dentring beradunya senjata tajam
memenuhi udara. Teriakan geram terdengar pula
di sana-sini. Nenek Selasih Jingga tentu saja ter-
kejut bukan main melihat anaknya dikeroyok be-
gitu rupa. Dia ingin membantu, tapi jadi ragu-
ragu. Pada saat dirinya lengah, Dewa Angin Gun-
tur tiba-tiba berkelebat melompatinya. Satu toto-
kan menghantam punggungnya hingga nenek Se-
lasih Jingga jadi kaku tertotok seperti patung.
DUA BELAS
Mengapa kau perlakukan aku seperti ini,
Dewa Angin Guntur!" teriak si nenek kaget.
"Urusanku dengan anakmu harus kube-
reskan dulu. Setelah itu mengenai dirimu terse-
rah keputusanku nanti!" dengus Dewa Angin
Guntur. Orang tua ini lalu berkelebat menuju ke
arah Bayu Gendala yang sedang dikeroyok oleh
murid-muridnya juga penduduk yang ikut serta
dengan mereka. Melihat kemunculan Dewa Angin
Guntur, Bayu Gendala yang langsung menghan-
tamnya dengan pukulan tangan kosong bertubi-
tubi membuat pemuda ini semakin terdesak he-
bat. Tadi saja sebelum tokoh sakti itu turun tangan dia hanya dapat mematahkan serangan ganas
yang datang bertubi-tubi dari seluruh penjuru
arah. Bayu Gendala yang sebenarnya memiliki
tingkat kepandaian hampir sama dengan murid
perguruan Gunung Keramat kini terpaksa harus
mengerahkan segenap kekuatan yang dia miliki.
Pedang diputar mengeluarkan suara menderu,
benturan yang terjadi membuat murid-murid De-
wa Angin Guntur terdorong mundur, pedang di
tangan mereka bahkan ada yang terpental. Tapi
laksana badai mereka kembali menyerang. Kini
Bayu Gendala mulai terdesak. Beberapa pedang
lawan bahkan berhasil melukai tubuhnya. Darah
mengucur membasahi pakaian si pemuda. Sema-
kin lama pertahanan Bayu semakin melemah,
kembali puluhan pedang menghantam tubuhnya.
Bahkan telinga, hidung serta bibir Bayu tanggal
diterabas pedang yang datang tiada kunjung hen-
ti.
"Kini giliranku...!" satu suara berteriak. La-
lu satu bayangan berkelebat. Para pengeroyok
berlompatan mundur, satu tangan menghantam
kepala dan satunya lagi menjebol ke bagian perut.
Braak!
Breet!
"Akh... ibuuu... akh...!" Bayu Gendala men-
jerit keras begitu kepalanya rengkah dihantam
Dewa Angin Guntur. Bukan hanya itu saja, isi pe-
rut si pemuda terburai berhamburan keluar. Se-
mua ini disaksikan oleh Selasih Jingga. Si nenek
menjerit, meraung histeris melihat nasib buruk
yang terjadi pada putranya.
Tidak sampai di situ saja rupanya, begitu
melihat Bayu Gendala jatuh tergelimpang murid-
murid perguruan Gunung Keramat dengan berin-
gas langsung mencincang tubuhnya.
"Tidak! Jangan... ku mohon jangan laku-
kan itu padanya! Dia tidak bersalah!" teriak si ne-
nek dengan perasa pilu seperti tersayat-sayat.
Siapapun pasti tidak tega melihat kematian
anaknya, apalagi dalam keadaan se mengerikan
itu, terlebih-lebih dia sendiri merasa tidak punya
kekuatan apa-apa untuk menolong.
"Guru, sebaiknya kita habisi saja tua
bangka jahat ini sekalian. Agar kelak tidak men-
jadi biang bencana!" kata salah seorang murid
Dewa Angin Guntur. Kemudian tanpa menunggu
jawaban gurunya mereka yang baru saja menyin-
cang Bayu Gendala hingga keadaan mayatnya se-
perti daging dicacah, mereka serentak berbalik,
kemudian berlari menghambur ke arah si nenek
dengan senjata terhunus.
"Selasih Jingga, apapun yang terjadi pada
anakmu dan dirimu pada hari ini anggap saja
semua ini merupakan balasan berikut bunganya
dari segala kejahatan yang pernah kau lakukan di
masa lalu!" kata Dewa Angin Guntur tanpa mau
atau berusaha mencegah niat para muridnya juga
para penduduk yang ikut serta untuk menghabisi
si nenek.
Dalam keadaan hati diliputi kegundahan
yang mendalam, si nenek yang semula bersikap
pasrah saja melihat tindakan brutal yang dilaku-
kan Dewa Angin Guntur dan para muridnya kini
bertekad untuk membalaskan kematian sang
anak.
"Dewa Angin Guntur, ternyata kekejaman-
mu dan kekejaman para muridmu melebihi iblis!
Aku tidak terima!" teriak si nenek. Dia lalu kerah-
kan tenaga dalam untuk membebaskan pengaruh
totokan lawan. Tadi dia jadi terkejut sendiri begitu
menyadari pengaruh totokan tidak dapat dipu-
nahkan. Malah tenaga dalam yang dipergunakan
untuk melenyapkan totokan kini berbalik menye-
rang dadanya. Si nenek menyeringai kesakitan,
sedangkan Dewa Angin Guntur tertawa terbahak-
bahak.
"Sampai mati pun kau tak mungkin bisa
membebaskan totokanku!" seru si laki-laki.
Sementara itu jarak antara si nenek den-
gan puluhan murid Dewa Angin Guntur yang
hendak mencincangnya semakin bertambah de-
kat. Nampaknya jiwa si nenek tidak mungkin da-
pat diselamatkan lagi. Karena sudah merasa tidak
melakukan tindakan apapun untuk menyela-
matkan diri, si nenek jadi putus asa. Mata dipe-
jamkan siap menerima kematian. Tapi pada saat
itu pula mendadak sontak terdengar suara meng-
gemuruh seperti air bah yang menjebolkan ben-
dungan. Angin deras menyambar menghantam
para murid perguruan Gunung Keramat. Belasan
pemuda berpelantingan jatuh tumpang tindih tak
berketentuan. Walaupun mereka tidak sampai
tewas, tapi banyak di antaranya yang menderita
luka dalam. Dewa Angin Guntur terkejut besar.
Dia secepatnya memandang ke arah datangnya
hembusan angin keras tadi di mana membuat di-
rinya sempat terhuyung.
"Manusia keparat, siapapun yang berani
mencampuri urusanku harap mau menunjukkan
diri!" teriak si orang tua.
Sebagai jawaban terdengar suara siulan
tak berkejuntrungannya. Setelah itu terdengar
pula suara tawa bekakan. Suara tawa itu seakan
datang dari empat penjuru arah, seolah orang
yang tertawa ada empat orang.
Dewa Angin Guntur maklum siapapun
orangnya yang telah menggagalkan niat murid-
muridnya pasti memiliki kesaktian yang tinggi.
Tapi dia tak perduli, siapapun adanya yang berani
mencampuri urusannya berarti dia merupakan
musuh yang harus dibunuh. Apalagi bila mengin-
gat orang itu nampaknya membela bekas tokoh
sesat yang dulu sering melakukan berbagai ma-
cam kejahatan.
"Kuingatkan sekali lagi, walau kau punya
ilmu memindahkan suara harap tunjukkan diri!"
Dewa Angin Guntur kembali berseru.
"Ha... ha... ha! Sungguh tidak sedap pe-
mandangan hari ini. Aku melihat orang yang
mengaku dirinya sebagai orang gagah tidak ta-
hunya telah berlaku tolol pengecut bahkan tega
hendak membunuh orang yang sudah tidak ber-
daya. Sungguh tanpa akal sehat manusia itu suka melakukan tindakan yang lebih keji bahkan
lebih jahat dari binatang!" kata satu suara. Seir-
ing dengan terdengarnya suara yang sempat
membuat wajah dan telinga Dewa Angin Guntur
jadi panas memerah dari balik pohon besar berke-
lebat satu bayangan ke arah mereka.
Beberapa saat kemudian di depan si nenek
Selasih Jingga telah berdiri dengan sikap melin-
dungi seorang pemuda tampan berambut gon-
drong sebahu. Pemuda itu bertelanjang dada,
sambil bertolak pinggang dia harus saja tertawa
berhehahehe.
Dengan mata mendelik Dewa Angin Guntur
memandangi pemuda itu. Semula dia menyangka
orang yang menggagalkan niat murid-muridnya
adalah seorang tokoh sakti sebagaimana dirinya.
Tapi tidak dikira ternyata hanyalah seorang pe-
muda yang tidak dikenal yang agaknya miring
otaknya. Karena itu diapun membentak.
"Pemuda kurang ajar, siapa dirimu. Berani
mati kau mencampuri urusanku?" hardik Dewa
Angin Guntur. Sementara itu murid-muridnya ju-
ga penduduk yang tergabung dengannya sudah
mengepung si pemuda. Merasa dikepung begitu
rupa, pemuda ini malah tersenyum. Dia lalu men-
jawab pertanyaan orang tua itu.
"Namaku Gento Guyon. Aku sama sekali
bukan bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi
sebagai manusia yang dihormati hendaknya eng-
kau berpikir apakah tindakan yang paman laku-
kan tidak keliru dengan membiarkan murid
muridmu hendak membunuh nenek itu!"
"Dulu dia adalah seorang iblis yang memi-
liki kejahatan selangit tembus." sahut Dewa Angin
Guntur sengit.
"Yang paman katakan adalah dulu. Dan
sekarang dia tidak melakukan kejahatan lagi,
mengapa paman hendak membunuhnya?!" tanya
Gento heran.
"Penyesalan yang dilakukannya boleh jadi
hanya topeng belaka. Karena itu aku tidak per-
caya padanya bahkan ingin sekali menghabisi pe-
rempuan ini sekarang juga!" tegas Dewa Angin
Guntur.
"Apakah dia pernah bersalah padamu?"
tanya murid Gentong Ketawa sambil mengusap
wajahnya.
Ditanya seperti itu ketua perguruan Gu-
nung Keramat terdiam. Tapi kemudian dia men-
jawab. "Secara langsung memang tidak, tapi
anaknya telah menodai putriku. Bukan hanya itu
saja. Dia bahkan telah membunuhnya!" dengus si
laki-laki tua.
"Anak muda, apa yang dikatakannya bisa
jadi tidak benar. Anakku memiliki ilmu kepan-
daian yang tidak seberapa tinggi. Bagaimana
mungkin bisa berlaku jahat pada Lara Murti?!"
kata nenek Selasih Jingga.
"Perempuan keparat! Dua bukti masih be-
lum kau anggap cukup bagimu! Kau hendak
membelanya hah?!" hardik Dewa Angin Guntur
menjadi marah.
"Aku tidak membelanya. Aku hanya tidak
percaya anakku telah membunuh putrimu!" sahut
Selasih Jingga.
"Sebaiknya habisi saja nenek keparat dan
pemuda sinting itu guru!" kata salah seorang di
antara muridnya sudah tidak sabar.
"Pemuda tolol, kau sudah mendengar ka-
rena kesalahan anaknya. Muridku juga jadi in-
ginkan nyawanya. Jika kau tidak mau cari pe-
nyakit, sebaiknya menyingkirlah sejauh mung-
kin!" perintah Dewa Angin Guntur tegas. Menden-
gar ucapan Dewa Angin Guntur, murid kakek
Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak. Begitu
tawanya lenyap, pemuda ini berkata.
"Orang tua, kutugaskan padamu, mengenai
kematian anakmu aku punya pendapat lain. Bisa
jadi anaknya nenek ini memang pelakunya, tapi
boleh jadi bukan dia orangnya. Pemuda itu kini
telah kalian jadikan perkedel. Melihat hal itu aku
sendiri tidak tega. Lalu mengapa nenek ini harus
menanggung dosa anaknya. Padahal aku merasa-
kan seperti ada sesuatu yang tidak beres sedang
terjadi!" kata Gento.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya Dewa Angin
Guntur dengan kening berkerut juga penasaran.
Gento Guyon berpikir sejenak, lalu berkata.
"Aku berjanji akan menyelidiki semua kejadian
yang menimpa anakmu. Beri aku sedikit waktu
untuk mengungkapkannya. Jika nantinya terbuk-
ti memang anaknya yang melakukan semua per-
buatan itu, maka terserah apa yang hendak kau
lakukan kepadanya!" kata si pemuda.
"Bocah kampret sialan. Kau pikir dirimu
siapa? Bagaimana kau bisa berpendapat lain, pa-
dahal bukti-bukti sudah jelas. Lagipula mengapa
kau membelanya?" hardik Dewa Angin Guntur
sengit.
"Bukti tidak selamanya mengungkapkan
kejadian yang benar. Aku tidak membelanya. Aku
hanya minta sedikit waktu untuk mengung-
kapkan sesuatu dengan sebenar-benarnya."
"Tidak bisa. Aku tidak mau membiarkan
perempuan itu lolos dari tanganku!" kata si orang
tua tegas.
"Orang tua... hendaknya kau mau bersabar
diri. Jika kau menyerangku akan banyak nan-
tinya korban yang tidak berdosa yang berjatuhan.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku minta waktu
dua pekan, kelak aku akan datang ke tempatmu!"
ujar si pemuda.
"Guru jangan dengar apa katanya. Kita bu-
nuh saja dia!" teriak murid-muridnya sudah tidak
sabar.
"Aku sependapat, cepat lakukan!!" teriak
Dewa Angin Guntur. Dia kemudian memberi aba-
aba dengan anggukan kepala. Detik itu juga dari
seluruh penjuru arah murid-murid perguruan
Gunung Keramat menyerbu ke depan menyerang
si nenek juga Gento.
"Kampret! Aku harus menyingkir!" rutuk si
pemuda. Dia lalu hantamkan kedua tangannya
delapan kali berturut-turut ke delapan penjuru
arah. Begitu hawa panas berkiblat disertai deru
angin bergulung-gulung yang langsung menyam-
bar para penyerangnya, maka Gento pergunakan
kesempatan itu sebaik mungkin. Dia menyambar
tubuh si nenek, lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu.
Puluhan orang menjerit dan berpentalan
roboh. Dewa Angin Guntur melihat pemuda itu
melarikan Si nenek berteriak keras sambil meng-
hantam dengan satu pukulan mematikan.
"Kau tidak akan kubiarkan lolos!" hardik
Dewa Angin Guntur.
Di depan sana tanpa menoleh Gento terge-
lak-gelak sambil menghantam ke belakang me-
nyaributi pukulan ketua perguruan Gunung Ke-
ramat.
Buuum!
Satu ledakan menggelegar di udara. Tanah
terguncang keras, debu mengepul menutupi pe-
mandangan, sedangkan Dewa Angin Guntur tam-
pak terhuyung. Begitu pemandangan jadi biasa
kembali, maka Gento dan si nenek telah lenyap
dari tempat itu.
"Keparat sial! Bocah itu kelak akan mene-
rima hukuman berat dariku!" geram si orang tua
sambil kepalkan tinjunya. Dengan perasaan ke-
cewa dia memerintahkan muridnya untuk kemba-
li ke perguruan. Mereka yang sempat roboh dan
terluka bangkit terus berdiri. Sambil mengikuti
gurunya mereka terus menggerendeng sepanjang
jalan. Dewa Angin Guntur diam tidak menanggapi. Dia malah memacu kudanya hingga berlari le-
bih cepat, jauh meninggalkan murid-muridnya.
-TAMAT-
SEGERA TERBIT!!
TOPENG KEDUA
0 komentar:
Posting Komentar