BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 10 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE TOPENG


GENTO GUYON EPISODE TOPENG

 SATU


Di sebelah utara Solotigo tepatnya di dae-

rah Banyubiru terdapat sebuah bukit kapur yang 

dikelilingi hutan lebat. Biarpun di daerah ini ba-

nyak berkeliaran binatang buruan, tapi tak seo-

rangpun penduduk yang tinggal di sekitar hutan 

itu berani mencari buruan di sana. Konon kabar-

nya di tengah hutan di bagian bukit berdiam satu 

mahluk angker yang selalu mengeluarkan suara 

lolongan aneh sepanjang malam. Yang mena-

kutkan lagi, bila suara lolong itu terdengar bi-

asanya selalu disertai dengan guncangan keras 

laksana gempa. Guncangan yang merayap hingga 

jauh memasuki dusun-dusun terdekat. Jadi tidak 

mengherankan bila penduduk di daerah itu dice-

kam rasa takut sepanjang masa.

Walau hutan Banyubiru tak pernah dijarah 

manusia dan ditakuti oleh kalangan dunia persi-

latan, namun di pagi itu di kala kegelapan dan 

kabut masih menyelimuti kawasan hutan dan se-

kitarnya, terlihat satu bayangan berkelebat me-

masuki kawasan hutan di sebelah timur. Melihat 

caranya berlari yang demikian cepat, jelas bukan 

manusia sembarangan. Paling tidak dia memiliki 

ilmu lari cepat dan juga ilmu meringankan tubuh 

yang sangat luar biasa. Di samping itu sosok ser-

ba putih ini kelihatannya memang tidak menghi-

raukan suasana di sekelilingnya yang terasa 

sunyi mencekam. Beberapa saat lamanya dia me


nyusup di antara pepohonan besar, semak belu-

kar lalu mendaki tebing batu yang curam. Tak 

berselang lama sosok berpakaian serba putih ini 

sampai di kaki sebuah bukit kapur yang memutih 

bagaikan gundukan es.

Sosok ini hentikan langkah dan ternyata 

dia adalah seorang kakek tua berambut bersor-

ban warna putih berjenggot panjang menjulai 

berpipi menonjol dan bermata cekung. Sepasang 

matanya yang menjorok ke dalam mencorong ta-

jam. Di punggung kakek berbadan tinggi semam-

pai terselip sebuah senjata melengkung berupa 

celurit besar dengan rangka terbuat dari kulit ha-

rimau.

Beberapa kejap lamanya si kakek berdiri 

tegak di situ, sepasang mata memandang kea-

daan di sekelilingnya. Kemudian dia memandang 

ke atas bukit. Puncak bukit kapur dicekam kesu-

nyian. Si kakek jadi tidak enak hati gelisah sendi-

ri. Sudah puluhan tahun dia tak pernah me-

nyambangi orang yang hendak dijumpainya hari 

ini. Apakah orang itu masih hidup hingga saat ini 

mengingat usianya yang sudah lanjut sekali. Ka-

laupun masih hidup, bagaimana dia harus me-

mulai segala pembicaraan?

"Tidak ada alasan bagiku untuk mengu-

capkan kata-kata dusta. Dia pasti tahu segala se-

suatunya!" gumam si kakek seorang diri. Sekali 

lagi dia kitarkan pandangan matanya ke segenap 

penjuru sudut. Setelah memastikan tidak ada 

orang lain yang mengikutinya tidak lama kemudian dia segera mendaki bukit kapur itu.

Dengan mengerahkan segala kekuatan dan 

ilmu meringankan tubuh yang dia miliki, orang 

tua inipun sudah hampir mencapai puncak bukit, 

tapi pada saat itu dari bagian puncak bukit ada 

cahaya putih seperti kilat menyambar ke arah si 

kakek. Terkejut kakek baju putih coba sela-

matkan diri dengan merundukkan tubuhnya 

hingga sama rata dengan tonjolan batu yang ter-

dapat di sebelah atasnya.

Geleger!

Sambaran kilat yang datang secara tak ter-

duga itu menghantam batu, menimbulkan suara 

ledakan menggelegar. Batu hancur bertaburan 

menjadi serpihan puing yang berhamburan ke se-

luruh penjuru arah. Guncangan keras yang di-

timbulkan oleh suara ledakan membuat si kakek 

nyaris terpental dan jatuh kembali ke kaki bukit. 

Masih beruntung ketika tubuhnya terguling-

guling dia sempat menyambar akar tetumbuhan 

merambat yang tumbuh di lereng itu, hingga dia 

selamat dari bencana yang tak terduga.

Dengan hati kecut dan perasaan tegang si 

kakek coba menghindari batu-batu yang mengge-

lundung ke arahnya. Sekali waktu dia meman-

dang ke atas bukit, tenaga dalam dikerahkan ke 

bagian kaki, tangan melakukan gerakan men-

gayun. Setelah itu kaki kiri dijejakkan ke salah 

satu batu yang mencuat di bagian lereng bukit. 

Dessss!

Hentakan yang keras membuat tubuh si


kakek melesat ke atas bukit, berjumpalitan tiga 

kali baru kemudian jejakkan kakinya di bagian 

pedataran puncak bukit kapur tersebut. Si kakek 

sejenak lamanya kitarkan pandangan ke setiap 

penjuru arah. Tidak ada yang terlihat, juga ter-

masuk orang yang hendak dia temui. Tiga kali si 

kakek memperhatikan dia pun akhirnya berkata.

"Mungkinkah dia sudah berpulang? Dua 

puluh tahun yang lalu ketika aku menyamban-

ginya usianya memang sudah sangat lanjut." Si 

kakek terdiam sejenak, berpikir. Dia menoleh ke 

belakang, hancuran batu-batu masih berserakan. 

"Sinar putih yang membelah dan menghancurkan 

batu tadi mustahil datang dari langit. Jelas sinar 

berasal dari salah satu pukulan sakti seseorang. 

Kakek itu atau...?!" Si kakek berpakaian serba 

putih geleng-gelengkan kepala. "Mungkin dia me-

mang sudah tiada, mungkin memang ada orang 

lain yang tinggal di tempat ini. Tapi aku tahu Be-

gawan Panji Kwalat tak punya murid," kata si ka-

kek dalam hati.

Melihat suasana yang sepi, timbul keingi-

nan di hati orang tua ini untuk menyelidik. Akan 

tetapi baru saja niatnya hendak dilakukan, pada 

detik itu juga mendadak terdengar suara desah 

nafas seseorang, suara desah nafas disertai den-

gan bergeraknya satu gundukan kapur yang be-

rada tak jauh di depannya. Gundukan kapur ter-

sibak. Si kakek yang belum juga hilang rasa he-

rannya kini malah jadi kaget, karena di balik 

gundukan itu ternyata muncul satu sosok beram


but riap-riapan, berwajah dan bertubuh kurus 

kering macam jerangkong. Sekujur tubuh orang 

yang baru muncul dari timbunan kapur itu tam-

pak memutih. Hanya matanya saja yang cekung 

berkeriapan tiada henti.

Jika semula kakek berpakaian serba hitam 

unjukkan wajah kaget, maka kini wajahnya beru-

bah gembira. "Begawan Panji Kwalat, aku Guru 

Lanang Pamekasan datang menyambangimu!" 

berkata begitu si kakek rangkapkan jemari tangan 

di depan dada, lalu membungkuk dengan sikap 

penuh rasa hormat. Anehnya sosok kurus kering 

macam jerangkong terkesan acuh, bersikap seo-

lah di tempat itu seperti tak ada orang lain. Dia 

malah gerakkan kedua tangan, kaki dijulurkan 

sedangkan tubuhnya yang kurus kering mengge-

liat dengan sikap seperti orang baru bangun ti-

dur. Yang mengejutkan sekonyong-konyong si ka-

kek keluarkan suara raungan keras melengking, 

sejalan dengan terdengarnya raungan itu, maka 

bagian puncak bukit kapur bergetar, getaran se-

makin lama berubah menjadi guncangan hebat 

yang membuat Guru Lanang Pamekasan jatuh 

terbanting. Bukan hanya itu saja, begitu terhem-

pas tubuhnya melesat di udara, lalu terbanting 

lagi. Hal seperti ini terjadi berulang-ulang.

Wajah kakek ini berubah pucat, nyawanya 

laksana terbang, perut mulas, dada sakit dan ke-

pala laksana mau pecah. "Celaka... dia rupanya 

tak berkenan menerima kehadiranku." batin Guru 

Lanang Pamekasan dalam hati. Otaknya bekerja


dengan cepat, mencari cara bagaimana agar di-

rinya dapat bertahan dari guncangan. Selagi dia 

mencoba menghunjamkan kedua kaki serta tan-

gannya ke dalam tanah, pada saat itu pula lolon-

gan sosok jerangkong yang dipanggil 'Begawan 

Panji Kwalat' terhenti. Masih dengan sikap seperti 

itu dia lalu berucap dengan alunan suara seperti 

orang bersair.

Hidup ratusan tahun membawa sesal tak 

berkesudahan

Air mata bertukar dengan cucuran darah

Siang dan malam datang silih berganti

Manusia saling bunuh perturutkan nafsu

Hidup, akh aku sudah bosan hidup.

Aku letih menghitung hari

Tuhan ya Tuhan, akan ke mana aku mem-

bawa langkah diri

Aku tidak ingin berkata, tak ingin bicara

Lidahku keji penuh petaka

Aku tak salah bicara!

Sosok berbadan kurus macam jerangkong 

hentikan ucapannya, diam sejenak sambil meng-

hitung jemari tangannya sendiri. Setelah itu ter-

dengar suara keluhanya yang perlahan. "Sudah 

semakin dekat, bertambah dekat aku jadi muak 

melihatnya!"

"Begawan Panji Kwalat, apa maksudmu?" 

tanya Guru Lanang Pamekasan yang merasa kesal karena dirinya diacuhkan.


Mendengar suara kakek baju putih si ka-

kek bertubuh jerangkong unjukkan sikap seperti 

orang terkejut. Dia menoleh ke arah Guru Lanang 

Pamekasan. Sejenak lamanya mereka saling ber-

tatap pandang. Sampai kemudian sepasang mata 

Begawan Panji Kwalat meredup, kehilangan ca-

haya.

"Aku masih ingat dirimu. Saat ini buat apa 

kau jauh-jauh datang ke mari Guru Lanang Pa-

mekasan?" tanya Manusia Kutuk Sumpah.

Guru Lanang Pemekasan terdiam sejenak, 

dia hendak mengatakan tujuan yang sebenarnya 

tapi jadi ragu.

"Keraguan tak pernah menyelesaikan satu 

masalah. Aku tahu apa tujuanmu datang dari 

Madura. Kau ingin menjodohkan muridmu den-

gan anak seorang sahabat lamamu. Bukankah 

begitu?" ujar si kakek jerangkong.

Guru Lanang Pamekasan yang maklum

akan kesaktian yang dimiliki oleh orang tua itu 

anggukkan kepala.

"Engkau benar orang tua. Satu hal yang 

ingin aku ketahui apakah sahabatku itu tidak 

mengingkari janjinya yang dulu?" tanya Guru La-

nang Pamekasan.

Mendapat pertanyaan seperti itu si kakek 

jerangkong diam sejenak. Mata dipejamkan, se-

dangkan telapak tangan kanan diletakkan di de-

pan matanya yang tertutup, mulut berkomat-

kamit lalu tangan tadi ditiup.

Dengan mata terpejam pula dia memperha


tikan tangan yang baru ditiup. Guru Lanang Pa-

mekasan coba ikut memperhatikan bagian tela-

pak tangan itu. Dia jadi kaget ketika melihat di 

bagian telapak tangan si badan jerangkong nam-

pak memerah seperti bersimbah darah.

"Peruntungan muridmu cukup baik, tapi 

takdirnya sangat buruk. Sahabatmu tak pernah 

mengingkari janji. Tapi aku melihat satu rintan-

gan besar yang berakhir dengan sebuah kesedi-

han bagi semua pihak." kata Manusia Kutuk 

Sumpah.

Dia lalu turunkan tangannya, mata kemba-

li terbuka sedangkan kepala bergoyang.

"Sahabatku Begawan Panji Kwalat. Da-

patkah kau jelaskan lebih terinci makna dari se-

mua ucapanmu tadi. Aku datang dari jauh ingin 

minta satu kejelasan, bukan sesuatu yang tersa-

mar." ujar Guru Lanang Pamekasan.

"Aku si Kutuk Sumpah. Aku tak boleh bi-

cara mendahului takdir. Apapun kejadiannya 

yang akan berlaku nanti sebaiknya jalani saja. 

Urusanmu adalah persoalan yang menyangkut 

kesedihan, persoalanmu adalah menyangkut ma-

salah nyawa. Kau tahu setiap sumpah dan uca-

panku yang tidak ku suka akan berakibat menge-

rikan bagi seseorang. Aku tidak boleh bicara sem-

barangan. Harap kau mau mengerti!"

Guru Lanang Pamekasan nampak kecewa 

sekali mendengar penjelasan Begawan Panji Kwa-

lat. Walau begitu tentu dia tidak berani memban-

tah apa yang dikatakan oleh si tubuh jerangkong.


Oleh karena itu dia cuma diam saja.

"Guru Lanang Pamekasan, apa yang aku 

katakan itu bisa saja berubah. Karena diriku bu-

kan Tuhan. Tapi terus terang mengenai dirimu 

kau harus berhati-hati. Karena maut bisa men-

gincarmu dan datang dari arah yang tidak dis-

angka-sangka." kata Begawan Panji Kwalat me-

nambahkan.

Semakin bertambah tegang saja perasaan 

kakek tua bersenjata celurit ini mendengar uca-

pan kakek jerangkong di depannya. Kini dengan 

perasaan bingung dia pandangi Begawan Panji 

Kwalat, mulutnya yang tertutup membuka hen-

dak mengatakan sesuatu. Tapi ketika sosok yang 

duduk bersimbah di atas tanah kapur gerakkan 

telunjuknya di bagian leher Guru Lanang Pame-

kasan, maka tidak sepatah katapun dapat teru-

capkan. Malah kakek itu merasakan lehernya se-

perti dicekik.

"Apa yang hendak kau tanyakan padaku 

telah kuanggap cukup. Sekarang kau pergilah da-

ri hadapanku. Lakukan apa yang hendak kau la-

kukan!" ujar Begawan Panji Kwalat.

"Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputu-

sanmu aku tentu tak berani membantah, tapi sa-

habatku apakah kau tetap memendam diri sela-

manya di tempat ini? Kau tidak hendak mening-

galkan bukit ini sekedar untuk mencari kesenan-

gan menghibur hati?" tanya Guru Lanang Pame-

kasan.

"Kesenangan dan kepalsuan dunia ini telah


aku dapatkan puluhan tahun yang lalu." Begawan 

Panji Kwalat menyahuti. Setelah terdiam sejenak 

dia kemudian melanjutkan. "Sedangkan mengenai 

diriku saat ini aku hendak menjumpai seseorang 

yang sudah lama kutunggu. Orang itu masih ter-

hitung saudaraku sendiri. Tapi jika dia tak datang 

ke mari dalam waktu satu pekan mendatang, bisa 

jadi aku yang akan mencarinya." jelas si kakek je-

rangkong.

"Siapakah saudaramu itu?" tanya Guru 

Lanang Pamekasan.

"Namanya Wirya Sena. Sejak kecil sampai 

sekarang hidupnya penuh kemalangan. Dia me-

miliki sepasang tangan, tapi kedua tangannya tak 

pernah membawa keberuntungan." jelas si kakek 

dengan wajah muram membayangkan kesedihan.

"Aku turut merasa prihatin mendengar-

nya!"

"Aku tahu ucapanmu hanya basa-basi." 

berkata Begawan Panji Kwalat disertai seringai 

aneh.

Guru Lanang Pamekasan jadi tersipu malu 

sendiri. Dia lalu berkata. "Sahabatku, terima ka-

sih atas petunjuk yang kau berikan. Sekarang 

aku mohon diri!"

"Guru Lanang Pamekasan, tidak tahu aku 

mau berkata apa. Sekali lagi aku cuma dapat 

berpesan agar kau pandai-pandai menjaga diri!" 

Begawan Panji Kwalat mengingatkan.

Si kakek anggukkan kepala. Setelah men-

jura pada kakek jerangkong, dia berkelebat meninggalkan puncak bukit kapur. Sepanjang jalan 

Guru Lanang Pamekasan terus saja berpikir men-

gapa Begawan Panji Kwalat bicara seperti itu? Ra-

sanya selama dalam perjalanan dia merasa di-

rinya tidak pernah diikuti oleh siapapun.



DUA


Disaksikan oleh belasan pasang mata, pe-

muda berpakaian serba putih itu terus memain-kan jurus-jurus pedangnya yang paling diandalkan. Pedang berkelebat memancarkan cahaya pu-

tih berkilauan, menderu keempat penjuru arah 

disertai suara angin berkesiuran. Semua orang 

yang melihat pertunjukan jurus-jurus pedang 

yang dimainkan si pemuda jadi berdecak penuh 

rasa kagum.

Setelah berlangsung belasan jurus si pe-

muda hentikan gerakan pedangnya. Senjata di-

masukkan ke dalam rangka dengan gerakan di-

buat cepat sedemikian rupa hingga kembali men-

gundang decak rasa kagum bagi orang-orang yang 

menyaksikan pertunjukkan silat yang dilakukan 

si pemuda.

"Kalian sudah sama menyaksikan keheba-

tan jurus pedang yang kumiliki. Jika mau me-

nyaksikan yang lebih hebat lagi, silahkan datang 

ke tempat ini kira-kira tiga purnama mendatang!" 

ujar si pemuda penuh rasa percaya diri dan ke-

sombongan. Dia lalu menurunkan topeng yang

bertengger di atas kepalanya. Begitu topeng kayu 

berwarna putih dipasang di bagian wajah, maka 

terlihatlah bentuk wajah topeng dengan hidung 

mancung, pipi tembem dan bibir tersenyum. Se-

lanjutnya pemuda ini melangkah mendekati kuda 

berbulu putih yang berada tak jauh dari keru-

muman orang ramai. Sekali pemuda ini melaku-

kan gerakan di lain kejap dia telah duduk di atas 

punggung kudanya. Sebelum pergi tinggalkan 

tempat itu, sekali lagi dia menoleh ke arah para 

pengagumnya.

"Pertunjukkan pedang sudah usai. Kalian 

sudah tahu perkembangan jurus-jurus pedangku 

maju pesat. Aku orang paling hebat di daerah ini. 

Kelak aku akan merajai dunia persilatan, nan-

tinya aku akan menjadi seorang jago pedang tan-

pa tanding!" kata si pemuda sambil menepuk da-

danya.

"Kami percaya kau pemuda hebat Bayu 

Gendala. Bukankah ibumu Selasih Jingga berge-

lar Jari Perontok Nyawa adalah manusia yang 

sangat disegani sejak dulu? Nama besarnya per-

nah menggegerkan dunia persilatan, tidak meng-

herankan jika anaknya juga mewarisi ilmu hebat 

dari orangtuanya." kata salah seorang dari yang 

hadir.

"Aku percaya kau pasti menjadi seorang ja-

go pedang yang tak tertandingi." menimpali yang 

lainnya.

Bayu Gendala manggut-manggut, bibir di 

balik topeng tersenyum puas dan penuh kebang


gaan diri. Setelah itu dia memacu kudanya mene-

lusuri jalan besar berbatu. Tak lama setelah dia 

sampai di tikungan jalan mendadak Bayu Genda-

la hentikan kudanya begitu melihat seorang gadis 

cantik tengah memetik bunga sambil bersenan-

dung.

Dia kenal betul gadis ini adalah puteri seo-

rang ketua perguruan besar yang mempunyai 

pengaruh luas sampai ke kerajaan, murid dan 

pengikutnya cukup banyak tersebar hampir di se-

luruh tanah Jawa. Konon menurut yang pernah 

didengarnya gadis jelita berpakaian merah yang 

bernama Lara Murti ini telah mempunyai kekasih 

pujaan hati. Nama pemuda yang berhasil melu-

ruhkan hati Lara Murti kalau dia tak salah ingat

adalah Lambang Pambudi. Seorang pemuda tam-

pan, tapi lemah tidak memiliki ilmu apa-apa. Pe-

muda seperti itu tidak ada artinya bagi Bayu 

Gendala.

Dia sendiri beberapa kali bertemu dengan 

gadis ini dan terus terang sudah jatuh hati sejak 

pandangan pertama, namun agaknya terlalu sulit 

baginya untuk mendekati gadis ini mengingat si-

kap yang ditunjukkan si gadis terhadapnya selalu 

sinis jauh dari yang diharapkan.

"Aku tidak boleh mudah putus asa untuk 

mengambil hati dan mendapatkannya. Boleh jadi 

hari ini dia tidak suka, siapa tahu nanti, jika aku 

bersabar mungkin saja aku bisa menyuntingnya!" 

pikir Bayu Gendala.

Dia lalu pura-pura terbatuk. Gadis yang


sedang memetik bunga tersentak kaget. Kranjang 

rotan yang berada di tangan kirinya nyaris terja-

tuh. Agaknya dia terlalu larut dalam senandung 

nyanyiannya sendiri sehingga dia tak mendengar 

derap kuda dan kehadiran orang di tepi kebun 

bunga itu.

Sejenak lamanya dia pandangi pemuda 

bertopeng putih yang duduk di atas punggung 

kuda. Senyum sinisnya terkembang membuat 

Bayu Gendala jadi salah tingkah.

"Hei, apakah aku boleh menemanimu? Aku 

bisa membantumu memetik bunga yang kau su-

kai." kata Bayu Gendala menawarkan diri. Se-

nyum sinis Lara Murti semakin melebar.

"Aku tidak membutuhkan uluran tangan-

mu. Aku bisa memetik bunga di kebun ayahku ini 

sendiri. Kau pemuda yang suka pamer ilmu ke-

pandaian sebaiknya pergi dari hadapanku. Lebih 

baik kau mempertunjukkan kehebatan jurus-

jurus pedangmu di tempat lain!" dengus si gadis.

Bayu Gendala sesungguhnya kaget, tak 

menyangka Lara Murti pernah melihat dirinya 

memperagakan jurus-jurus pedangnya di tempat 

keramaian. Tapi karena pada dasarnya dia adalah 

orang yang penuh rasa percaya diri dan bermuka 

tebal, maka dia menanggapinya dengan terse-

nyum.

"Aku merasa beruntung jika kau pernah 

melihat permainan pedangku. Tapi kedatanganku 

ke sini walau cuma kebetulan namun membekal 

sebuah maksud baik. Aku sudah sering melihat


mu, aku merasa kagum melihat kecantikanmu. 

Dan yang pasti aku telah jatuh cinta pada saat 

pertama kali melihatmu!" kata Bayu Gendala ber-

terus terang.

Ucapan si pemuda membuat wajah si gadis 

bersemu merah. Dia merasa tersinggung menden-

gar kata-kata Bayu Gendala yang dianggapnya 

sangat keterlaluan itu. Dengan mata melotot Lara 

Murti membentak. "Pemuda bertopeng, aku tahu 

siapa dirimu. Aku tahu juga siapa ibumu. Jika itu 

keinginanmu apakah kau tak malu dengan dirimu 

sendiri?" sembur si gadis.

Sejenak Bayu Gendala terkesan bingung, 

namun entah mengapa mendadak dia tertawa ter-

gelak-gelak. Belum lagi tawanya lenyap, dia ber-

kata. "Diriku tak ada yang harus dipermalukan. 

Malah aku bangga dengan segala apa yang aku 

miliki. Menurutku rasanya aku pantas menjadi 

pendampingmu. Kau seorang putri ketua pergu-

ruan besar, sedangkan ilmu kepandaianku kura-

sa tidak berada di bawahmu!"

"Pemuda sinting. Tidak tahu betapa ting-

ginya langit. Siapa sudi menerima cintamu? Bah-

kan gadis lain sekalipun pasti tidak sudi menjadi 

kekasih pemuda congkak sepertimu!" hardik Lara 

Murti sengit.

Bayu Gendala, pemuda yang selalu menge-

nakan topeng bila bepergian ke mana-mana ini 

tertawa lebar. Walau jauh di dalam hati dia mulai 

merasa tersinggung mendengar kata-kata pedas 

yang diucapkan Lara Murti.


Sampai sejauh itu dia masih sanggup me-

nekan amarahnya sendiri. Malah kini dengan le-

mah lembut dia berkata. "Lara Murti hari ini kau

bisa mengatakan begitu, tapi siapa tahu lain kali 

kau berubah pikiran. Aku pasti senang meneri-

mamu! Ha... ha... ha."

Lara Murti semakin naik darah mendengar 

ucapan pemuda yang dianggapnya tidak tahu so-

pan santun ini. Keranjang rotan yang berisi kem-

bang diletakkan di atas rerumpunan bunga, den-

gan tangan terkepal penuh kegeraman dia me-

langkah lebar dekati Bayu Gendala yang duduk 

enakan di atas punggung kudanya. Begitu jarak-

nya hanya tinggal satu setengah tombak dia hen-

tikan langkah, mulut mendamprat. 

"Jangan kau berpikir yang tidak-tidak. Jika 

sekarang aku mengatakan tak sudi kepadamu, 

selamanya juga tetap tidak sudi! Sekarang pergi-

lah, jangan kau paksa aku turunkan tangan keji 

kepadamu." hardik Lara Murti.

Bukannya cepat pergi sebagaimana yang 

diharapkan oleh si gadis, sebaliknya Bayu Genda-

la yang senang memakai topeng untuk menutupi 

wajahnya itu malah tertawa tergelak-gelak. Lara 

Murti jadi tidak sabar, rasa kesal dan kemara-

hannya semakin memuncak. Dia berpikir apakah 

harus turunkan tangan keras agar membuat 

Bayu Gendala mengerti atau tidak. Tapi kemu-

dian ternyata dia memilih untuk menahan kema-

rahannya. Belum lagi sempat Lara Murti berucap, 

di depan sana Bayu Gendala yang baru saja hentikan tawa langsung berkata. 

"Aku tahu kau sudah punya kekasih, La-

ra...! Tapi pemuda lemah seperti Lambang Pam-

budi buat apa bagimu. Jangankan melindungimu, 

menolong dirinya sendiri saat terancam bahaya 

aku yakin dia tidak sanggup. Seperti yang kuka-

takan tadi, aku mencintaimu. Aku tak enak ma-

kan, tak enak tidur jika belum melihat wajahmu!" 

kata Bayu Gendala tetap bersemangat.

"Bangsat tak tahu malu, kau makan puku-

lanku ini!" geram Lara Murti. Laksana kilat dia 

melompat ke depan, bergerak ke atas sedangkan 

tangannya lakukan gerakan menampar ke bagian 

telinga Bayu Gendala yang tidak tertutup topeng. 

Demikian cepatnya gerakan si gadis hingga mem-

buat Bayu Gendala jadi tersentak kaget. Tapi dia 

cepat selamatkan telinga dari tamparan dengan 

merundukkan kepala hingga sama rata dengan 

punggung kuda. Tamparan Lara Murti mengenai 

tempat kosong, dia hantamkan kakinya ke ping-

gul Bayu Gendala. Si pemuda berseru keras begi-

tu merasakan sambaran angin dingin terasa men-

cucuk pinggulnya. Sekali lagi dia terpaksa angkat 

bagian kakinya ke samping. Tendangan keras 

menghantam punggung kuda. Binatang itu me-

ringkik, lalu lari menghambur menjauh dari Lara 

Murti.

"Kampret!" rutuk Bayu Gendala yang ham-

pir saja terpelanting jatuh dari atas punggung 

kuda. Sementara binatang itu sudah berlari men-

jauh. Dari kejauhan Lara Murti mendengar suara


Bayu Gendala yang ditujukan kepadanya. "Gadis 

cantik dambaan hatiku. Sampai kapanpun aku 

tetap akan menunggumu. Jika kau tak dapat ku-

perlakukan dengan baik, mungkin suatu saat 

akan kutempuh cara lain. Ha... ha... ha!" Suara 

tawa si pemuda semakin menjauh dan lenyap. Di 

tempatnya berdiri Lara Murti yang jengkel hanya 

dapat kepal-kepalkan kedua tangannya sambil 

membanting kaki.

Tak jauh dari si gadis berdiri, entah dari-

mana datangnya berdiri tegak seorang pemuda 

tampan berpakaian putih berwajah polos seperti 

pemuda dusun biasa. Pemuda itu memegangi ke-

ranjang bunga milik Lara Murti, sementara tatap 

matanya memandang lurus ke arah perginya 

Bayu Gendala dengan tatapan tak berkesip.

"Pemuda tengik kurang ajar. Bertemu seka-

li lagi dengannya pasti kuhajar habis dia!" rutuk 

Lara Murti.

"Tak perlu gusar, tak usah dihajar. Suatu 

saat dia akan mati dengan sendirinya." menyahuti 

pemuda berbaju putih berpakaian sederhana itu. 

Lara Murti tentu saja jadi kaget mendengar uca-

pan orang, sehingga diapun cepat menoleh, lebih 

terkejut lagi begitu mengenali siapa pemuda yang 

berdiri di kebun bunga itu.

"Kakang Lambang Pambudi? Bagaimana 

kau tahu-tahu muncul di sini?" tanya si gadis. 

Dia lalu melangkah bergegas menghampiri. Sete-

lah berhadapan Lara Murti hentikan langkah, se-

dangkan tatap matanya memandang tajam pada


si pemuda dengan segenap kerinduan yang ada. 

Pemuda itu tersenyum. "Hanya kebetulan saja 

aku lewat di taman bunga ini. Semula aku datang 

ke perguruan Gunung Kramat. Ayahmu mengata-

kan kau ada di sini, lalu aku pun menyusulmu." 

ujar si pemuda, suaranya lembut penuh sikap 

santun.

"Maafkan aku kakang. Aku sampai tak ta-

hu kedatanganmu gara-gara pemuda tengik sia-

lan tadi!" dengus si gadis, rupanya masih kesal bi-

la mengingat apa yang dikatakan Bayu Gendala.

"Dia mengganggumu? Atau bermaksud ku-

rang ajar padamu?" tanya Lambang Pambudi. Ada 

rasa cemburu dalam nada ucapannya.

"Kakang tak usah risau, jika dia berani ber-

tindak macam-macam pasti kubuntungi tangan 

kakinya." tegas Lara Murti.

"Aku percaya kau pandai menjaga diri. Kau 

memiliki ilmu kepandaian hebat. Apalagi kau 

memiliki jurus Cahaya Fajar, ilmu andalan yang 

belum ada tandingannya hingga sampai saat ini. 

Nama besar perguruan Gunung Kramat disegani 

oleh banyak pihak, bahkan tokoh-tokoh ternama 

dunia persilatan pun mengakuinya. Siapa berani 

bertindak gegabah terhadapmu." puji Lambang 

Pambudi. Si gadis merasa tersanjung, sementara 

si pemuda melanjutkan ucapannya. "Aku sendiri 

hanya pemuda biasa, tidak punya kepandaian 

atau ilmu yang bisa diandalkan. Aku lemah, se-

mua ini terkadang membuat aku merasa malu 

dan jadi tak berarti di hadapanmu!"


Hati Lara Murti jadi terenyuh mendengar 

kata-kata polos yang diucapkan oleh Lambang 

Pambudi. Pemuda satu ini selain tutur katanya 

yang lemah lembut tapi juga rendah hati. Mung-

kin semua ini yang membuat ayah dan ibunya

menyukai si pemuda. Dia sendiri memang sudah 

merasa tertarik pada Lambang Pambudi sejak si 

pemuda diterima bekerja sebagai penghubung an-

tara perguruan dan utusan keluarga. Konon 

Lambang Pambudi tidak pernah belajar segala 

bentuk ilmu silat. Pernah ayah si gadis mengajar-

kan barang sejurus dua jurus ilmu silat, tapi sete-

lah diajari Lambang Pambudi jadi lupa.

Satu hal yang mengagumkan bagi Lara 

Murti adalah mengenai kejujuran Lambang Pam-

budi, kejujuran inilah yang membuat rasa cinta di 

hati Lara Murti semakin bertambah besar.

"Akh... sudahlah kakang. Walaupun kau 

tidak punya kepandaian apa-apa, tapi aku sangat 

mencintaimu," ujar Lara Murti dengan perasaan 

terharu.

"Lalu bagaimana dengan pemuda itu tadi?" 

tanya si pemuda sambil melirik ke arah Lara Mur-

ti.

Si gadis tersenyum, dia menggenggam ke-

dua tangan Lambang Pambudi lebih erat lagi, ha-

tinya bergetar perasaannya melayang dalam ca-

krawala bertaburan segala keindahan.

Dengan segenap perasaan Lara Murti ber-

kata tegas. "Tak usah kau hiraukan dia kakang. 

Aku tak pernah berpikir tentang pemuda lain. Ha


ti dan diriku hanya untukmu seorang."

Lambang Pambudi balas meremas jemari 

tangan gadis yang amat dicintainya. "Aku berte-

rima kasih atas segala perhatian yang telah kau 

berikan. Semoga Tuhan merestui cinta kita. Tapi 

Lara... ada hal lain yang terasa mengganjal pera-

saanku," berucap si pemuda dengan perasaan re-

sah.

Sepasang alis mata si gadis terangkat naik. 

Ditatapnya Lambang Pambudi dengan segenap 

perasaan yang ada. "Apa yang hendak kau kata-

kan sebaiknya katakan saja. Tak usah malu!" ujar 

si gadis.

"Nantinya aku akan berterus terang pada-

mu."

"Mengapa kau tidak mengatakannya seka-

rang?" tanya Lara Murti.

"Kelak kau akan tahu sendiri. Sudahlah 

jangan kita persoalkan masalah itu, sebaiknya ki-

ta pulang sekarang!" berkata Lambang Pambudi 

sambil menarik tangan Lara Murti. Si gadis segera 

mengikuti apa yang diinginkan oleh pemuda itu.



TIGA



Kilat menyambar, petir menggelegar. Di 

langit sana mendung tebal kian menghitam. Tidak 

lama kemudian hujan turun begitu derasnya. Pa-

da saat itu di tengah-tengah derasnya curahan 

hujan satu sosok berpakaian serba hitam memakai ikat kepala warna hitam berlari cepat meng-

hampiri sebuah rumah besar yang sudah tidak 

terpakai.

Dalam keadaan pakaian dan tubuh basah 

kuyup pemuda ini berteduh di bagian pendopo 

depan rumah tua di mana banyak bagian atapnya 

yang terbuat dari atap nipah bocor berlubang be-

sar.

"Sial, seharusnya aku menunggu Guru La-

nang Pamekasan. Mestinya aku ikuti dia ke Ba-

nyubiru. Dengan begitu aku bisa ikut tahu apa 

kira-kira isi ramalan Manusia Kutuk Sumpah." 

kata si pemuda seakan menyesali dirinya sendiri. 

"Coba kalau aku mau menunggunya di luar hutan 

Banyubiru tadi, kurasa nasibku lebih beruntung. 

Aku tidak salah jalan atau tersesat sampai tiga 

kali." Pemuda berpakaian hitam beralis tebal me-

mandang ke langit melalui atap rumah yang bo-

long. Dia berpikir sejenak sambil membuka ba-

junya yang basah. Baju itu kemudian diletakkan-

nya di atas sandaran kursi butut berwarna hitam. 

Dia kemudian mengeringkan badannya yang ke-

kar dengan telapak tangan. Setelah itu mengambil 

baju kering dengan warna yang sama dari kan-

tong perbekalan.

Rapi berpakaian si pemuda yang membekal 

dua buah celurit di sisi pinggang kiri kanan du-

duk di atas balai-balai bambu yang kotor berde-

bu. Tatap matanya memandang ke depan, ke ba-

gian halaman yang mulai ditumbuhi rerumputan 

liar.


"Aku tidak tahu apakah perguruan Gunung 

Keramat masih jauh dari sini atau malah sebalik-

nya. Tapi jika aku datang mendahului guru, aku 

khawatir paman Dewa Angin Guntur dan bibi 

Mawar Selatan tak kenal padaku. Sejak kecil dan 

setelah terpisah selama belasan tahun aku tak 

pernah lagi bertemu dengan mereka. Seandainya 

kakekku Guru Lanang Pamekasan tak membawa-

ku ke Madura, kurasa sejak dulu aku bisa selalu 

bersama dengan adik Lara. Entah seperti apa dia 

sekarang. Dulu ketika aku dan dia masih sama-

sama kecil, adik Lara selain lincah juga lucu. Wa-

jahnya menggemaskan. Mungkin sekarang dia te-

lah tumbuh dewasa, menjadi seorang gadis cantik 

berkulit putih sesuai dengan keadaan tubuhnya 

di masa kecil." kata si pemuda. Dia jadi senyum-

senyum sendiri membayangkan betapa perte-

muan dan perjodohan antara dirinya dan Lara 

Murti menjadi sesuatu yang sangat menyenang-

kan. Tapi mungkinkah hati dan perasaan Lara 

Murti tidak pernah berubah, mengingat di antara 

mereka telah terpisah selama belasan tahun. Lagi 

pula perjanjian perjodohan itu telah berlangsung 

lama. Semua atas kesepakatan antara kakeknya 

dengan paman Dewa Angin Guntur serta bibi 

Mawar Selatan. Sedangkan waktu itu baik dirinya 

maupun Lara Murti tak tahu apa-apa?

"Hem, mudah-mudahan setelah terpisah 

jarak dan waktu sekian lama segala sesuatunya 

tidak berubah!" gumam si pemuda dalam hati.

Si pemuda yang bernama Patira dan meru


pakan cucu tunggal Guru Lanang Pamekasan 

mengusap wajahnya yang dingin. Hujan masih 

tercurah dengan derasnya. Sementara senja telah 

berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti 

alam sekitarnya. Di saat Patira Seta mulai berpi-

kir untuk melanjutkan perjalanan, maka di saat 

itu dari arah belakang si pemuda terdengar suara 

gemeretak seperti suara ranting kering patah ka-

rena terinjak beban yang sangat berat. Walaupun 

suara itu terdengar begitu pelan, namun telinga 

Patira yang sudah sangat terlatih menangkap 

adanya gelagat yang tidak beres, sehingga dengan 

cepat dia memutar tubuh dan palingkan wajah ke 

belakang.

Tidak ada sesuatupun yang terlihat, tak 

ada mahluk yang bergerak. Walau suasana telah 

menjadi gelap, namun mata pemuda ini cukup 

awas untuk menangkap sekaligus melihat benda 

apapun yang bergerak.

"Aneh," Patira Seta bergumam dalam hati. 

"Ada suara tapi tak terlihat orangnya. Setan atau 

hantukah yang coba mengintaiku dari kegelapan? 

Aku yakin pasti hantunya perempuan. Jika pe-

rempuan sangat kebetulan sekali. Malam begini 

dingin, berdua-dua bicara dengan perempuan 

tentu keadaannya menjadi lain!" Patira Seta ter-

senyum, menertawakan ucapannya sendiri.

Di saat si pemuda sedang dalam keadaan 

seperti itulah mendadak sontak terdengar suara 

siulan yang datang dari arah sampingnya. Dalam 

keadaan terkejut besar Patira Seta cepat berpaling


ke arah datangnya siulan. Di saat itu dia melihat 

satu bayangan dalam kegelapan berkelebat cepat 

dengan gerakan laksana kilat ke arah si pemuda. 

Di bagian depan sosok yang melesat ke arahnya 

terlihat satu kilatan cahaya putih memanjang. Ki-

latan cahaya putih itu jelas terpancar dari sebuah 

senjata akibat pengerahan tenaga dalam penuh, 

tapi Patira Seta tak sempat berpikir apakah senja-

ta yang bergerak mendahului penyerangnya beru-

pa golok atau pedang.

Dalam keadaan gugup karena belum hilang 

rasa kejutnya Patira Seta berusaha berkelit 

menghindari tebasan senjata sedapat yang dia 

mampu lakukan. Tapi sayangnya secepat dan se-

hebat apapun gerakan menghindar yang dilaku-

kannya ternyata sambaran sinar putih itu da-

tangnya lebih cepat dari yang dia perhitungkan. 

Tak ampun lagi sinar itupun menyambar putus 

batang leher Patira Seta. Kepalanya jatuh berge-

debukan, menggelinding dan berhenti di legukan 

tanah yang tergenang air. Darah menyebur dari 

batang leher yang telah kehilangan kepala itu. 

Tubuh tanpa kepala oleng, limbung lalu tersung-

kur. Darah menggenang, tubuh tanpa kepala ber-

kelojotan kemudian diam untuk selamanya.

Sosok penyerang dalam kegelapan itu pan-

dangi mayat korbannya sejenak. Bibirnya sung-

gingkan senyum puas, senjata yang baru diper-

gunakan menebas kepala korbannya dibersihkan 

di atas baju Patira Seta. Tanpa bicara apa-apa lagi 

setelah menyarungkan senjatanya orang itu pergi.


Malam terus bergulir, sementara hujan sudah 

mereda. Di sana-sini mulai terdengar suara kodok 

saling bersahut-sahutan.

Kilat menyambar, petir menggemuruh di 

kejauhan. Di saat kegelapan tersibak cahaya pu-

tih kemilau akibat sambaran kilat tadi terlihat lagi 

satu sosok lain berpakaian serba putih mengena-

kan sorban putih yang menutupi rambut pan-

jangnya yang juga telah memutih. Kakek berjeng-

got panjang menjulai terus melangkah lebar me-

masuki pendopo, tapi dia jadi tertegun ketika me-

lihat sesuatu berbentuk bulat seperti kelapa ter-

golek di bawah cucuran atap.

Setengah tertegun bercampur keraguan si 

kakek pandangi sosok bulat itu. Sekali lagi kilat 

menyambar, si kakek berwajah cekung dengan 

mata mencorong ke dalam rongga terkesiap. Begi-

tu melihat dan mengenali sosok yang tergeletak 

dalam genangan air itu dia merasa jantungnya 

seolah berhenti berdenyut, sekujur tubuh beru-

bah kaku, mata membeliak, mulut ternganga na-

mun tak satu katapun yang terucap.

Setelah berlangsung sekian lama, dalam 

kejutnya si orang tua segera menarik nafas. Satu 

teriakan menyayat pilu meluncur keluar dari mu-

lutnya yang tertutup kumis lebat.

"Patira Seta cucuku...!"

Seiring dengan suara teriakan si kakek 

yang bukan lain adalah Guru Lanang Pamekasan 

jatuhkan diri berlutut di samping benda bulat 

yang bukan lain adalah penggalan kepala cu


cunya sendiri.

Menyaksikan keadaan cucunya yang demi-

kian mengenaskan, seandainya saja dia bukan 

orang tua yang sudah tergembleng luar dalam 

tentu si kakek sudah jatuh pingsan.

Tapi dia mencoba bersikap lebih tabah 

menghadapi musibah besar ini. Dengan jemari 

tangan bergetar dan mata bersimbah air mata dia 

mengambil potongan kepala Patira Seta. Darah 

bercampur air hujan masih menetes dari luka po-

tongan leher. Dalam gelap si kakek coba pandangi 

potongan kepala cucunya. Wajah Patira Seta 

nampak memucat, putih seperti kafan, sedangkan 

matanya membelalak lebar, lidah terjulur pan-

jang, mulut terbuka memperlihatkan gigi yang 

berlumuran darah membeku. Jika bukan Guru 

Lanang Pamekasan orangnya, melihat pemandan-

gan mengerikan seperti ini pasti sudah jatuh 

pingsan, sungguhpun potongan kepala itu adalah 

cucunya sendiri.

Si kakek menangis terguguk, tubuhnya 

terguncang, tengkuk terasa dingin seperti beru-

bah menjadi es. Sejenak lamanya dia tenggelam 

dalam kesedihan perasaan sedih yang secara per-

lahan berubah jadi amarah. Amarah serta den-

dam yang ditujukan pada pembunuh muridnya.

"Mengapa harus berakhir begini? Aku 

membawamu jauh ke mari, menyeberangi selat 

Meduro adalah untuk dijodohkan dengan putri 

sahabatku. Sungguh tak kunyana, sungguh tak 

pernah kuduga, sebelum niat itu kesampaian kau


dibunuh orang. Patira Seta... jika kau ikuti aku 

punya mau dan turut pergi ke puncak bukit ka-

pur, mungkin tak akan berakhir seperti ini!" kata 

si kakek seakan menyesalkan. Sekali lagi dia 

pandangi wajah Patira Seta, melihat keadaan 

sang cucu yang mengenaskan perasannya seperti 

tersayat-sayat.

Beberapa saat Guru Lanang Pamekasan 

terdiam, sekujur tubuhnya menggeletar hebat, 

bukan karena sengatan dinginnya udara malam, 

melainkan karena gejolak dendam amarah yang 

terasa menggelegak menyesakkan dada.

"Aku tak terima kejadian seperti ini! Ba-

gaimana pun harus kucari pembunuh muridku. 

Bila bertemu kucincang tubuhnya, kujadikan po-

tongan kecil baru kubakar hingga tidak bersisa." 

pekik si kakek. Dalam keadaan kalut dan dilanda 

kesedihan yang demikian hebat Guru Lanang 

Pamekasan sudah tidak lagi mampu berpikir jer-

nih. Otaknya terasa sulit diajak berpikir. Beru-

langkali dia coba memaksa memacu otaknya, ha-

silnya malah pusing, pandangannya jadi gelap. 

Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup 

mengingat, bahwa kedatangannya ke tanah Jawa 

hanya Dewa Angin Guntur saja yang tahu. Sela-

manya dia tidak punya musuh, lalu mungkinkah 

semua ini telah direncanakan oleh sahabatnya 

itu? Rasanya sangat mustahil tidak ada alasan 

yang kuat bagi Dewa Angin Guntur untuk mela-

kukan kekejian itu. Jadi siapa yang punya peker-

jaan terkutuk itu? Guru Lanang Pamekasan


menggeleng, pikiran buntu, semuanya terasa ser-

ba gelap.

"Akan kubalas! Siapapun yang membunuh 

muridku, ke lubang neraka sekalipun pasti akan 

kukejar!" geram Guru Lanang Pamekasan.

Dalam suasana hati sedemikian rupa dia 

tak mampu berpikir panjang, dia bahkan tak 

sempat lagi memikirkan jasad muridnya yang ter-

golek di depan mata. Selanjutnya dia bangkit ber-

diri, sambil menenteng kepala cucunya dia meng-

hambur, berlari cepat menuju perguruan Gunung 

Keramat.



EMPAT



Empat sosok yang baru datang sama terte-

gak diam, kaki mereka jadi kaku, tengkuk menja-

di dingin sedangkan mata terbeliak lebar seolah 

tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Beberapa saat berlalu tak satupun dari ke empat 

orang yang datang berani membuka mulut, kalaupun keberanian itu ada tapi tak tahu apa yang 

harus mereka ucapkan. Masing-masing mata 

memandang lurus ke arah sosok setengah membusuk yang tergeletak di lantai pendopo depan 

rumah tua. Yang mengerikan selain tubuh tanpa 

kepala itu sudah demikian rusaknya. Bagian pe-

rutnya yang pecah dipenuhi belatung. Lalat be-

terbangan, sedangkan ceceran daging, potongan 

tulang lengan dan juga bagian kaki berserakan di

sekitar si mayat.

"Sulit kupercaya jika tidak melihatnya sen-

diri. Aku yakin mayat ini habis dijarah binatang 

buas. Akh kematian... dia memang pasti akan 

menghampiri setiap orang, tapi jika dengan cara 

seperti ini sulit untuk bisa kuterima!" Orang yang 

bicara seperti itu adalah seorang kakek berpa-

kaian hitam dengan baju tak berkancing, berwa-

jah bulat, berkening lebar, mata sipit, pipi tem-

bem sedangkan bukit hidungnya sama rata den-

gan pipi. Si gendut besar dengan bobot lebih dari 

dua ratus kati ini bukan lain adalah Gentong Ke-

tawa.

"Aku sendiri jadi heran, jika bagian tubuh-

nya ada, lalu kepalanya amblas ke mana? Apa 

mungkin kepala orang ini dilarikan oleh pembu-

nuhnya? Aneh...!" menimpali pemuda bertelan-

jang dada, berambut gondrong berwajah tampan 

yang berdiri tegak di samping si kakek. Dia bukan 

lain adalah Gento Guyon.

Tak jauh dari samping Gento gadis cantik 

berpakaian putih berambut panjang gelengkan 

kepala. Melihat keadaan si mayat dia jadi tak ta-

hu mau bicara apa.

"Kita sama tak tahu siapa yang terbunuh 

ini, kita juga tidak tahu siapa yang membunuh-

nya. Menurutku sebaiknya kita melakukan penye-

lidikan. Kalau aku tak salah mengingat di sebelah 

selatan dekat Solotigo terdapat perguruan Gu-

nung Keramat. Mungkin kita atau sebagian dari 

kita bisa mencari tahu tentang kejadian ini." kata


laki-laki setengah baya yang berada di belakang 

gadis berpakaian putih. Orang ini berpakaian 

warna merah, wajahnya selalu murung. Yang te-

rasa aneh dalam diri laki-laki berumur empat pu-

luhan ini kedua tangannya sampai sebatas pang-

kal lengan berwarna hitam pekat. Karena keane-

han serta kesaktian dahsyat yang terkandung di 

kedua tangan ini dia dijuluki Si Tangan Sial. Se-

dangkan gadis berpakaian putih itu bernama Am-

bini puteri almarhum Raden Ponco Sugiri, untuk 

lebih jelas mengenai riwayat Ambini (baca Gento 

Guyon episode Bayar Nyawa). Beberapa saat ber-

lalu, ke empatnya saling berpandangan.

"Tangan Sial." Gento Guyon membuka mu-

lut sambil memandang ke arah orang tua berpa-

kaian merah. "Maksudmu kau dan guruku si 

gendut ini yang pergi ke perguruan Gunung Ke-

ramat. Sedangkan aku dan Ambini pergi ke lain 

tempat. Kurasa yang muda berpasangan dengan 

yang muda sedangkan yang tuaan dan sudah sa-

ma peot keriput berpasangan sesamanya. Semua 

ini kuanggap cukup adil bukan?! Ha... ha... ha!"

Wajah si kakek gendut berubah jadi merah 

jengah, bibir cemberut, tapi kemudian sambil ter-

tawa-tawa dia berucap. "Kami yang sudah tua 

memang harus tahu diri. Cuma harus kau ingat 

Gege, jangan merasa diri kecakepan. Tampang 

seperti orang edan begitu jangan merasa Ambini 

suka padamu! Bukan hanya Ambini saja, kurasa 

nenek pikun pun tak sudi padamu. Ha... ha... 

ha!"


"Aku tahu sebenarnya guru iri melihat aku 

dan Ambini selalu jalan bersama. Sedangkan kau 

berjalan berduaan dengan Tangan Sial apa enak-

nya? Aku jadi curiga di antara kalian jangan-

jangan memang ada kelainan." celetuk Gento me-

nimpali.

"Pendekar edan, bicara jangan seenaknya 

sendiri. Kalau aku tidak senang kutampar nanti 

mulutmu." dengus Si Tangan Sial.

"Aku tahu tanganmu yang selalu membawa 

kesialan itu suka kegatalan tak mau diam. Tapi 

kurasa lebih bagus sebelum kau menampar diri-

ku kau hantam dulu kepalamu dengan kedua 

tangan celaka itu." kata Gento menimpali.

"Sudahlah! Mengapa kita justru ribut 

membicarakan segala sesuatu yang tidak bergu-

na." sergah Ambini yang sejak tadi lebih banyak 

berdiam diri mendengarkan pembicaraan orang. 

"Saat ini sebaiknya kita pergi menyelidik siapa 

sebenarnya orang yang terbunuh ini!"

"Aku setuju, tapi aku harus pergi dengan 

sahabat Gento. Sedangkan si gendut boleh pergi 

dengan Ambini." berkata begitu Tangan Sial meli-

rik ke arah Gento dan Ambini. Wajah si gadis wa-

lau sekilas tapi jelas membayangkan rasa kecewa. 

Sedangkan Gento Guyon menyeringai. "Tangan 

Sial. Aku sih mau saja, biarpun perasaanku jadi 

gerah bila ikut denganmu. Demi guruku juga me-

nyangkut kebahagiannya tidak jadi apa." kata 

Gento sambil tersenyum-senyum.

Mata si kakek mendelik. "Eeh, bocah edan


apa maksudmu?" tanya Gentong Ketawa jadi sa-

lah tingkah.

"Mungkin muridmu hendak mengatakan 

kau yang sudah tua bangka tak tahu diri dan ti-

dak punya perasaan dengan muda. Ha... ha... ha!" 

kata Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.

"Bangsat pembawa sial, jangan sembaran-

gan kau bicara. Nanti kupecahkan Batok Kepala-

mu!" teriak Gentong Ketawa berang. Tidak perduli 

dengan kemarahan orang Si Tangan Sial terus sa-

ja tertawa.

Dalam kesempatan itu Gento melompat ke 

belakang, tangan berkelebat mencekal lengan Si 

Tangan Sial. Setelah itu dia berkata ditujukan 

pada gurunya. "Gendut, jangan kau ambil perduli 

dengan segala ucapannya, hatiku tak seburuk 

yang dia sangkakan. Aku mohon pamit, pergi 

dengan membawa tua bangka rongsokan sial ini 

jauh darimu. Tapi ingat, jangan kau berani berla-

ku jahil pada gadisku Ambini. Kau colek saja dia, 

apalagi jika sampai gugur rambutnya barang se-

helai, kupuntir telingamu kiri kanan sampai co-

pot!" ujar si pemuda. Dia kemudian beralih pan-

dang pada Ambini. Sebelum bicara dia kedipkan 

matanya dua kali. Ambini delikkan mata, tapi di-

am-diam jantungnya berdesir. "Ambini kakangmu 

ini pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Kalau kerbau 

bunting itu bertingkah yang bukan-bukan bisa 

jadi penyakit ayannya lagi angot. Tak usah segan, 

tidak usah ragu. Kau jitak saja kepalanya tiga kali 

kujamin otaknya bisa benar kembali. Ha... ha...


ha!" berkata begitu Gento menarik Si Tangan Sial 

dan pergi dari tempat itu.

"Pemuda sinting, siapa sudi jadi kekasih-

mu!" dengus Ambini dengan yang perasaan jen-

gah.

"Murid geblek. Kelak aku pasti akan meng-

hukummu!" kakek gendut besar Gentong Ketawa 

ikut mendamprat. Dengan perasaan jengkel dia 

pandangi Ambini. Tapi si kakek jadi kaget begitu 

melihat si gadis memperhatikan dirinya dengan 

tatapan ganjil.

"Ada apa rupanya? Apa kau melihat ada 

yang aneh dalam diriku?" tanya si kakek.

"Apakah benar yang dikatakan Gento tadi, 

kau mempunyai penyakit ayan?" bertanya si gadis 

tanpa menghiraukan pertanyaan Gentong Ketawa. 

Mendengar si kakek jadi tercengang dan tepuk 

keningnya sendiri. "Aduh biung. Muridku itu bo-

cah edan, mengapa harus kau dengar segala oce-

hannya? Aku sendiri selamanya tetap dalam ke-

warasan." jawab si kakek. Setelah terdiam sejenak 

dia lalu menambahkan. "Jika pun ada yang tidak 

beres pasti terjadi pada diri Gege. Sedangkan aku 

dalam keadaan sehat selalu lahir batin, luar da-

lam. Ha... ha... ha!"

Ambini jadi melongo, heran melihat sikap 

si kakek gendut yang tidak gampang ditebak.



LIMA


Rumah besar berpagar bambu tempat ting-

gal keluarga ketua perguruan Gunung Keramat 

dan keluarganya masih kelihatan sunyi. Lima 

pondok panjang yang ditempati oleh ratusan mu-

rid perguruan Gunung Keramat yang letaknya ti-

dak begitu berjauhan dengan bangunan keluarga 

juga masih sepi sekali. Di bagian belakang gedung 

keluarga, di luar pagar bambu di mana keluarga 

Dewa Angin Guntur berada, Lambang Pambudi si 

pemuda tampan yang dikenal sangat jujur dan 

berbudi tinggi nampak sibuk merawat kuda milik 

calon mertuanya.

Memang sejak pemuda ini bekerja sebagai 

utusan di perguruan itu dalam waktu hanya be-

berapa bulan saja Dewa Angin Guntur maupun 

istrinya Galuh Pitaloka yang dikenal dengan julu-

kan Mawar Selatan langsung menaruh simpati 

pada pemuda lugu yang mengaku tidak mempu-

nyai kepandaian silat ini. Apalagi Lambang Pam-

budi adalah pemuda yang rajin, ringan tangan 

dan mau melakukan pekerjaan apa saja. Di 

samping tutur katanya yang lembut dan juga ke-

jujurannya pemuda ini sangat pandai mengambil 

hati orang lain.

Mungkin inilah yang membuat Dewa Angin 

Guntur jadi menaruh perhatian besar terhadap-

nya, sehingga timbul keinginan di hati ketua per-

guruan Gunung Keramat untuk menjodohkan


Lambang Pambudi dengan putri tunggalnya Lara 

Murti. Apalagi mengingat Lara Murti sendiri sebe-

narnya menaruh hati pada si pemuda. Gayung 

bersambut, segala sesuatunya berjalan sesuai 

dengan yang diharapkan.

Sementara itu matahari mulai menampak-

kan diri di ufuk timur. Si pemuda baru saja hen-

dak membersihkan kandang kuda ketika dia me-

lihat berkelebatnya satu bayangan putih yang 

langsung melewati pintu pagar depan. Sampai di 

halaman depan sosok yang datang hentikan lang-

kah. Ternyata dia adalah seorang kakek tua ber-

sorban putih, berpakaian serba putih berjenggot 

panjang menjulai. Di punggungnya membekal se-

buah celurit besar dengan rangka terbuat dari ku-

lit harimau. Sejenak lamanya dari bagian luar pa-

gar belakang Lambang Pambudi pandangi kakek 

itu. Ternyata memang tidak mengenal siapa 

adanya si kakek. Satu hal yang luput dari perha-

tiannya, di tangan kanan si kakek menenteng se-

suatu yang menebarkan bau busuk luar biasa. 

Belum lagi hilang rasa heran di hati si pemuda 

melihat kehadiran kakek asing ini, mendadak 

sontak terdengar suara teriakan menggelegar.

"Sahabatku Dewa Angin Petir! Aku saha-

batmu Guru Lanang Pamekasan datang menyam-

bangi. Harap kau sudi menerima kehadiranku 

untuk membicarakan satu urusan penting!"

"Celaka! Siapa dia? Suara teriakannya saja 

sudah membuat telingaku mau copot," desis 

Lambang Pambudi sambil tutupi kedua telin


ganya. Terpikir oleh pemuda ini untuk mengham-

piri si kakek baju putih, namun niatnya menda-

dak jadi urung begitu dia melihat ada satu sosok 

serba biru berkelebat melewati pintu depan. 

Orang ini bukan lain adalah Dewa Angin Guntur 

sendiri.

"Kakang Guru Lanang Pamekasan?!" seru 

sosok berpakaian biru berambut putih panjang 

menjela dan putih mengkilat ini. Dia memburu, 

kembangkan kedua tangannya siap merangkul 

Guru Lanang Pamekasan. Tapi langkahnya men-

dadak jadi terhenti, gerakan tubuh tertahan se-

dangkan matanya mendelik ketika secara tak 

sengaja dia melihat potongan kepala di tangan 

kakek itu.

"Sahabatku apa yang telah terjadi? Poton-

gan kepala itu milik siapa?" tanya Dewa Angin 

Guntur jelas tak mampu menutupi rasa kejutnya. 

Orang tua ini raba tengkuknya yang mendadak 

berubah seperti gundukan es. Tubuhnya sempat 

tergetar, tapi matanya tetap tak pernah beralih 

dari potongan kepala di tangan si Guru Lanang 

Pamekasan.

Sejenak lamanya yang ditanya terdiam da-

lam kebisuan, hanya tatap matanya yang menco-

rong tajam merayapi wajah Dewa Angin Guntur 

dengan tatapan aneh tapi mengandung kecuri-

gaan.

"Kakang, bukankah... bukankah yang kau 

bawa itu adalah potongan kepala Patira Seta, cu-

cumu yang kau bawa ke tanah Madura belasan


tahun yang lalu?" tanya Dewa Angin Guntur sete-

lah berpikir keras dan coba mengenali bagian wa-

jah kepala orang.

Guru Lanang Pamekasan menyeringai din-

gin, pertanyaan sahabatnya hanya membuat hati 

si kakek menjadi semakin pedih, sementara ama-

rah dan dendam yang membakar menyesakkan 

dadanya tak tahu harus dia lampiaskan pada sia-

pa.

"Kakang Guru Lanang Pamekasan. Apapun 

yang telah terjadi, aku tahu bagaimana pera-

saanmu saat ini. Akan tetapi kurasa sebaiknya ki-

ta bicarakan segala persoalan di dalam." ujar De-

wa Angin Guntur dengan perasaan tidak enak. 

Dia tahu sejak tadi Guru Lanang Pamekasan te-

rus memperhatikan dirinya dengan tatapan curi-

ga. Seakan mata itu menuduh dialah yang telah 

membunuh cucunya.

"Baiklah, aku jadi tidak sabar untuk me-

numpahkan semua uneg-uneg yang mengganjal 

di hatiku ini!" dengus Guru Lanang Pamekasan. 

Potongan kepala Patira Seta yang mulai membu-

suk diletakkannya di atas bangku kayu yang bi-

asa dipergunakan duduk di malam hari. Dewa 

Angin Guntur dengan segenap hati dipenuhi tan-

da tanya segera memutar tubuh, lalu melangkah 

memasuki rumahnya dengan diikuti oleh Guru 

Lanang Pamekasan.

Sampai di dalam ruangan tamu yang luas 

dengan lantai berlapiskan tembikar hijau Dewa 

Angin Guntur mempersilahkan tamunya duduk.


Dia sendiri-sendiri masuk ke dalam sekejap den-

gan diikuti tatap mata Guru Lanang Pamekasan. 

Dalam hati dia berkata. "Aku tahu, aku jadi curi-

ga, bisa jadi dia yang menghadang cucuku karena 

pikirannya berubah mengenai masalah perjodo-

han itu. Mengapa harus batalkan niat dengan 

membunuh, mengapa tidak secara baik-baik saja 

kalau benar mau menolak?"

Pikiran si kakek menerawang, mencoba 

membaca setiap kemungkinan yang ada. Pada 

akhirnya dia hanya dapat gelengkan kepala, tak 

percaya dengan segala kemungkinan yang sempat 

terpikirkan.

Selagi hati dan pikiran si kakek dibuncah 

kebimbangan, di ruangan itu Dewa Angin Guntur 

muncul lagi dengan diiringi oleh seorang perem-

puan berumur sekitar empat puluhan. Walau 

usianya terbilang tidak muda lagi tapi wajahnya 

yang bulat lonjong masih terlihat cantik, dengan 

rambut disanggul dan pakaian biru membuat dia 

nampak anggun.

Hanya dengan sekali melihat Guru Lanang 

Pamekasan segera tahu bahwa perempuan itu 

pastilah Galuh Pitaloka, bergelar Mawar Selatan 

dan merupakan istri Dewa Angin Guntur.

"Istriku, kau tentu masih mengenal kakang 

Guru Lanang Pamekasan. Kedatangannya sudah 

sama kita ketahui, tapi aku turut merasa berduka 

karena telah terjadi sesuatu yang tidak pernah ki-

ta sangkakan!" berkata ketua perguruan Gunung 

Keramat sambil memandang pada istri dan tamunya silih berganti.

Dia sendiri kemudian duduk di depan 

Guru Lanang Pamekasan, sementara Galuh Pita-

loka setelah menjura hormat, lalu duduk di samp-

ing suaminya.

"Kakang Guru, menurut suamiku kakang 

datang membawa kabar duka. Saya jadi kaget ju-

ga tidak percaya ketika kakang Guru sampai ke 

mari konon menurut suami saya malah menen-

teng kepala cucu sendiri. Bagaimanakah keja-

diannya?" tanya perempuan itu sambil menelan 

ludah membasahi tenggorokannya yang menda-

dak terasa kering. Dia sendiri sebenarnya sempat 

kaget ketika menerima kabar dari tanah Madura 

tentang maksud kedatangan orang tua itu. Dulu 

mereka memang secara bergurau pernah me-

nyinggung bahkan bermaksud menjodohkan pu-

trinya dengan cucu Guru Lanang Pamekasan. Pe-

ristiwanya telah berlangsung belasan tahun, keti-

ka baik Lara Murti maupun Patira Seta sama ma-

sih kecil. Tapi karena pengucapan itu dilakukan 

dalam suasana bergurau, maka baik Galuh Pita-

loka maupun Dewa Angin Guntur sudah sama-

sama lupa.

Beberapa malam sebelum kedatangan 

Guru Lanang Pamekasan, kedua suami istri yang 

memiliki nama besar dan pengaruh sangat luas 

ini tidak dapat tidur nyenyak. Mereka tak tahu 

apa alasan mereka nanti jika harus menolak dan 

membatalkan perjodohan. Karena sebenarnya La-

ra Murti dalam waktu tidak lama lagi segera akan


menikah dengan Lambang Pambudi, pemuda 

yang sangat dipercaya yang kelak diharapkan da-

pat memberikan cucu pada mereka. Tapi apa 

yang kemudian terjadi di hari ini sungguh amat 

mengejutkan pasangan suami istri ini.

Cukup lama Guru Lanang Pamekasan ter-

diam mendengar pertanyaan Galuh Pitaloka. 

Hanya sepasang matanya saja yang mencorong 

tajam memandang suami istri itu silih berganti. 

Sampai akhirnya setelah gemuruh di dadanya be-

rangsur mereda dan amarahnya berhasil ditekan. 

Dengan suara pelan serak dia membuka mulut 

berucap. "Seperti yang sudah sama kita ketahui, 

kedatanganku ke mari adalah untuk lebih mem-

perjelas duduk soal tentang perjodohan dulu. Aku 

sengaja membawa cucuku, Patira Seta agar anta-

ra dia dan Lara Murti dapat lebih mengenal seca-

ra lebih dekat lagi. Karena aku maklum, walau 

dulu mereka akrab, tapi perjalanan waktu yang 

sekian lamanya tentu membuat banyak perkem-

bangan baru yang terjadi dalam hati mereka." je-

las Guru Lanang Pamekasan secara tegas. Dia 

kemudian menceritakan kepergiannya ke bukit 

kapur juga tentang pertemuannya dengan Manu-

sia Kutuk Sumpah. Tak lupa dia juga mencerita-

kan tentang cucunya yang dia suruh menunggu 

di luar hutan Banyubiru. Sang murid ternyata ti-

dak menunggu, melainkan mencoba menempuh 

perjalanan seorang diri menuju perguruan Gu-

nung Keramat. Selesai si kakek berbaju putih 

menceritakan segala sesuatunya dia menyeka air


mata yang bergulir menuruni kedua pipinya yang 

cekung. Agaknya dia perasaan duka itu masih 

menyelimuti hati dan jiwanya mengenang nasib 

cucu sang cucu yang malang. Baik Dewa Angin 

Guntur maupun Galuh Pitaloka istrinya tentu da-

pat merasakan segala penderitaan serta pukulan 

batin yang sangat berat yang dialami oleh sahabat 

mereka. Sehingga cukup lama juga suasana di 

dalam ruangan itu dicekam kebisuan. Dalam di-

amnya Dewa Angin Guntur mencoba memikirkan 

siapa adanya gerangan orang yang telah membu-

nuh Patira Seta, cucu tunggal Guru Lanang Pa-

mekasan. Rasanya selama ini dia tidak punya 

musuh. Bahkan seluruh penduduk Solotigo men-

genalnya dengan baik, mereka menaruh hormat 

pada dirinya. Bukan hanya mereka, tokoh-tokoh 

baik golongan putih maupun aliran hitam merasa 

segan apalagi bila hendak membuat urusan den-

gannya.

Siapapun yang membunuh Patira Seta pas-

ti memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, musta-

hil manusia biasa. Karena bagaimana pun Patira 

Seka sejak kecil mendapat gemblengan dari ka-

keknya. Sedangkan Guru Lanang Pamekasan se-

lain berilmu tinggi juga mempunyai jurus hebat 

belum lagi ditambah dengan kelihayannya dalam 

menggunakan celurit. Tapi siapa dia? Dalam di-

amnya pula Dewa Angin Guntur jadi ingat dengan 

pemuda bertopeng, putera Selasih Jingga yang 

dikenal dengan julukan Jari Perontok Nyawa. Me-

nurut Lara Murti pemuda yang suka membang


gakan jurus-jurus pedangnya itu sering menggoda 

putrinya. Secara tidak bermalu dia juga bahkan 

pernah mengutarakan rasa cintanya pada Lara 

Murti.

"Mungkinkah dia?" pikir Dewa Angin Gun-

tur.

"Kejadian ini sulit ditebak. Di samping ikut 

bersedih saya juga berjanji akan mencari pembu-

nuh keji itu kakang Guru." ujar Galuh Pitaloka.

"Aku merasa senang sekaligus berterima 

kasih mendengarnya. Tapi aku ingin tahu, apa-

kah kedatanganku ke mari selain kalian adalah 

orang luar yang mendengarnya?" tanya Guru La-

nang Pamekasan.

Baik Dewa Angin Guntur maupun Galuh 

Pitaloka sama terheran begitu mendengar perta-

nyaan sahabatnya. Karena tak mengerti arah per-

tanyaan orang polos saja Galuh Pitaloka menya-

huti. "Saya rasa tidak ada yang tahu, tapi entah 

jika orang lain ikut mencuri dengar."

"Aku curiga pelakunya orang dekat." cetus 

Guru Lanang Pamekasan sambil mengusap jang-

gutnya.

"Apa?" sergah suami istri itu hampir ber-

samaan.

"Jadi kakang menuduh kami?" kata Dewa 

Angin Guntur dengan mata terbelalak kaget. "Ka-

kang sudah tahu hitam putihnya hati kami, tidak 

mungkin kami bertindak seculas itu!" kata ketua 

perguruan Gunung Keramat. 

Guru Lanang Pamekasan tersenyum, se


nyum terpaksa yang menimbulkan kesan kepedi-

han yang mendalam.

"Kita lihat saja nanti. Aku tak mau meru-

sak hubungan baik kita selama ini dengan tudu-

han membabi buta." ujar si kakek.

Walaupun pasangan suami istri itu sempat 

tersinggung dan merasa tidak enak mendengar 

ucapan Guru Lanang Pamekasan, tapi mereka 

maklum dengan suasana hati sahabatnya saat 

itu. Dalam keadaan dilanda kesedihan hebat, di-

tambah dendam dan amarah orang biasanya mu-

dah lupa dan dapat melakukan apa saja di luar 

kontrol. Tapi Galuh Pitaloka kemudian punya 

pendapat lain.

"Kakang Guru, Begawan panji Kwalat itu 

apamukah?" Perempuan itu ajukan pertanyaan.

Guru Lanang Pamekasan diam sesaat 

sambil kerutkan alisnya mendengar pertanyaan 

itu. Kemudian dia menjawab.

"Begawan Panji Kwalat adalah sahabatku. 

Mengapa?"

"Kudengar puluhan tahun dia berdiam di 

hutan Banyubiru, ilmunya tinggi, setiap katanya 

selalu menjadi kenyataan. Lalu apa saja yang di-

lakukannya di tempat sesunyi itu?" tanya Dewa 

Angin Guntur pula.

"Apa yang dilakukannya aku tak tahu. Tapi 

kurasa tidak layak mencurigai manusia seperti 

dia. Dalam hidup dia paling takut melakukan ke-

salahan, apalagi berbuat dosa?" jawab si kakek 

seakan tidak senang mendengar pertanyaan itu.


Dewa Angin Guntur manggut-manggut. Se-

telah itu dia berkata. "Kakang sebelum melaku-

kan penyelidikan, sebaiknya setelah selesai men-

guburkan kepala Patira Seta kakang istirahat saja 

dulu di rumah kami."

"Betul, kakang Guru pasti lelah setelah 

menempuh perjalanan jauh." Galuh Pitaloka me-

nimpali ucapan suaminya.

Di luar dugaan si kakek menggelengkan 

kepala. "Aku tidak bisa membuang waktu. Bagai-

mana aku bisa berdiam diri jika kebahagiaan 

yang kuharap malah malapetaka yang datang. 

Arwah cucuku pasti tidak tenang di alam saja jika 

pembunuh jahanam itu tidak dapat kutemukan 

secepatnya!" dengus si kakek. Dia lalu bangkit 

berdiri, sebelum pergi dia pandangi suami istri itu 

sekali lagi. Baru kemudian berucap. "Kepala cu-

cuku tak pernah berkubur sebelum aku berhasil 

mencacah tubuh bangsat pembunuh itu!" Selesai 

bicara Guru Lanang Pamekasan segera tinggalkan 

ruangan, di halaman dia memungut kepala cu-

cunya dari atas bangku, lalu berkelebat mening-

galkan halaman rumah sahabatnya.

Dewa Angin Guntur menarik nafas pendek. 

Sedangkan istrinya hanya dapat mengangkat ba-

hu sambil memijit kepalanya yang mendadak te-

rasa pusing.


ENAM



Cukup lama perempuan berpakaian ungu 

berambut putih itu memanjatkan doa, memohon 

ampun pada Gusti Allah. Setelah itu dia menutup 

doanya dengan menyapukan kedua telapak tan-

gan ke seluruh wajah. Kemudian dia melipat kain 

lusuh yang dijadikan alas duduk. Si nenek bang-

kit berdiri, kemudian meluruskan punggungnya 

yang agak bongkok. Tak lama setelah itu si nenek 

meninggalkan balai-balai bambu yang terletak di 

ruang tengah rumahnya yang sederhana. Ketika 

si nenek kembali ke ruangan depan, dilihatnya 

sang anak masih duduk di atas bangku terbuat 

dari jalinan kulit rotan butut. Sebuah topeng 

berwarna putih tergeletak di sampingnya. Se-

dangkan tangan kirinya tak mau diam dan terus 

menggerakkan pedang putih mengkilap kesayan-

gannya. Gerakkan pedang batu terhenti begitu si 

nenek sampai di depannya. Perempuan tua seten-

gah bungkuk berpipi kempot yang selalu nampak 

murung itu lalu duduk tidak berjauhan dari anak 

yang sangat dia kasihi. Sebentar dia memperhati-

kan topeng kayu pula yang selalu dipakai anak-

nya ke manapun dia pergi. Orang tua itu menarik

nafas, menghembuskannya kembali sampai tun-

tas, seakan dia mencoba mengusir segenap beban 

penderitaan batin yang selama ini menghimpit ji-

wa dan perasaannya.

"Bayu Gendala." berucap si nenek setelah


perhatikan wajah anaknya barang beberapa je-

nak, pemuda itu menoleh dan memandang tajam 

pada sang ibu.

"Ada lagi yang hendak ibu tanyakan?" 

tanya si pemuda.

"Begitulah," suara si nenek bernama Sela-

sih Jingga bergelar Jari Perontok Nyawa terdengar 

perlahan, lembut namun tertekan. "Untuk ketiga 

kalinya ibu harus mengingatkan padamu agar 

kau mau membatalkan niatmu untuk menda-

patkan Lara Murti, ibu sangat tidak setuju apalagi 

jika kau harus menempuh cara keji dan kotor."

Bayu Gendala berjingkat kaget, dia pan-

dangi ibunya dengan tatap mata seakan tidak 

percaya. Dari tatap matanya jelas si pemuda me-

rasa tidak senang mendengar penegasan sang 

ibu.

"Aneh!" Bayu Gendala berucap. "Ibu tak 

seperti orang tua yang lain. Orang tua yang seha-

rusnya merasa senang bila melihat anaknya jatuh 

cinta pada seorang gadis. Semula aku yakin ibu 

akan merestui niatku untuk mempersunting Lara 

Murti, puteri ketua perguruan Gunung Keramat. 

Tapi kenyataannya ibu sangat mengecewakan 

aku...!" ujar si pemuda dengan perasaan marah.

Selasih Jingga si nenek tua angkat tangan-

nya. "Kau dengar anakku, kau harus tahu bahwa 

Lara Murti itu puteri orang terpandang, punya 

kedudukan, harta, juga merupakan orang keper-

cayaan kerajaan. Sedangkan dirimu siapa? Apa 

yang dapat kau banggakan untuk merebut perhatian seorang gadis?" tanya ibunya mencoba mem-

beri pengertian dan berusaha membuka jalan pi-

kiran anaknya agar bisa memahami kenyataan 

yang ada.

Di luar dugaan Bayu Gendala malah terta-

wa tergelak-gelak. Suara tawanya terhenti dan di-

apun berkata. "Bagiku tidak malu untuk menga-

kui kemelaratan kita. Tapi ibu... aku memiliki il-

mu kepandaian, aku memiliki jurus-jurus pedang 

yang handal. Dibandingkan dengan kekasihnya, 

pemuda tolol itu dia tidak mempunyai kebecusan 

apapun. Kelak, jika dia merintangi niatku, aku 

pasti menyingkirkannya!" dengus Bayu Gendala 

sinis.

Si nenek gelengkan kepala. Dia semakin 

prihatin mendengar ucapan sang anak. Apa yang 

dikatakan Bayu Gendala terasa benar menusuk 

perasannya. Tapi walaupun hatinya begitu sedih 

dan perasaan laksana ditusuk sembilu dia masih 

bisa bicara dengan sabar.

"Anakku, belahan jantung tumpuan hara-

panku. Terus terang segala ilmu yang telah kutu-

runkan padamu, bila dibandingkan dengan apa 

yang dimiliki oleh Dewa Angin Petir, apalagi to-

koh-tokoh serta dedengkot nomor satu dunia per-

silatan tidak ada apa-apanya. Perbedaannya se-

perti jari tangan yang dicelupkan ke dalam lau-

tan. Ilmu kepandaianmu baru seujung kuku. Jadi 

sebelum terlambat ibu ingatkan lagi kau tidak 

usah membanggakan ilmu atau pamer jurus di 

depan orang lain. Semua itu bisa mencelakakan


dirimu sendiri."

Semakin tidak suka saja Bayu Gendala 

mendengar nasehat ibunya. Dia berpikir, ibunya 

mengatakan jurus silat yang dia miliki masih ren-

dah. Padahal menurut yang dia dengar ibunya 

memiliki ilmu simpanan yang sangat hebat. Bah-

kan dulu nama besarnya pernah menggegerkan 

dunia persilatan. "Ibuku terlalu pelit memberikan 

ilmunya. Ini tidak boleh terjadi. Jika saja aku 

berhasil mewarisi ilmu Jari Perontok Nyawa, bu-

kan saja bisa mendapatkan Lara Murti dengan 

cara yang mudah. Tapi juga jika Dewa Angin 

Guntur membangkang, aku bisa menghancurkan 

perguruan Gunung Keramat hingga sama rata 

dengan tanah." batin Bayu Gendala.

Sejurus dia terdiam, setelah itu dia beru-

cap. "Ibu, jika ibu mengatakan ilmuku cetek, ti-

dak sebanding dengan kepandaian yang dimiliki 

oleh orang lain, apakah ibu tidak malu punya 

anak berkepandaian rendah, apakah ibu juga ti-

dak merasa terhina bila aku ditertawakan orang?" 

pancing si pemuda penasaran.

"Ibu tidak akan malu walau menjadi orang 

biasa sekalipun. Yang terpenting kau selalu hidup 

di jalan yang di ridhoi Gusti Allah." jawab ibunya.

Bayu Gendala malah merasa tidak puas. 

"Begini bu, aku ingin ibu menurunkan ilmu Jari 

Perontok Nyawa. Konon kehebatan ilmu itu tak 

perlu diragukan lagi. Bukankah begitu bu?"

Rasa takut akan permintaan sang anak 

yang selama ini sangat dirisaukannya meledak


sudah. Si nenek tidak tahu bagaimana anaknya 

bisa mengetahui dia mempunyai ilmu simpanan 

hebat. Padahal selama ini hal itu selalu diraha-

siakan nya, bahkan masa lalu menyangkut kehi-

dupan pribadinya sendiri selalu dipendam jauh di 

lubuk hati.

"Anakku, mengenai ilmu yang kau tanya-

kan itu ibu sudah lama membuangnya. Ilmu Jari 

Perontok Nyawa sangat berbahaya dan ganas. Ibu 

tak ingin jatuh lagi korban yang tidak berdosa." 

kilah si nenek. Dan apa yang diucapkannya ini 

sebenarnya adalah sebuah kebohongan belaka.

"Benarkah begitu ibu? Benarkah suatu il-

mu bisa lenyap begitu saja, padahal dia telah me-

nyatu dalam darah dan daging ibu selama pulu-

han tahun." tanya Bayu Gendala seakan tak per-

caya.

"Bisa saja jika orang yang memilikinya me-

rasa tidak membutuhkan ilmu itu lagi." jawab Se-

lasih Jingga dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Akh, kalau begitu aku sangat kecewa se-

kali." desah si pemuda dengan muka murung.

Sang ibu menyentuh bahu kanan Bayu Gendala.

"Segala macam ilmu menjadi tidak berguna 

malah bisa menjadi biang racun yang mencelaka-

kan orang lain jika diri kita dikuasai nafsu angka-

ra murka, anakku. Kau harus mengerti orang 

yang tidak berilmu atau memiliki kesaktian apa-

pun, hidupnya malah lebih bersih terhindar dari 

segala macam perbuatan maksiat serta dosa!"

"Cukup ibu!" sergah Bayu Gendala, dia


menepiskan tangan ibunya dari bahu. Setelah itu 

dia bangkit berdiri. Topeng kayu putih diambil-

nya, topeng dikenakan. "Aku muak dengan segala 

macam nasehat. Yang kubutuhkan saat ini ada-

lah ilmu serta kesaktian hebat! Aku ingin menda-

patkan Lara Murti, aka ingin menjadikannya se-

bagai istriku. Mengenai caranya? Ha... ha... ha!" si 

pemuda tertawa, lalu melangkah lebar mengham-

piri kudanya yang tertambat di pohon waru di ba-

gian halaman depan.

"Anakku, kembalilah. Bagaimanapun me-

reka bukan tandinganmu!" sergah si nenek. Dia 

mencoba bangkit mengejar anaknya. Tapi menda-

dak nafasnya jadi sesak dan dadanya mendenyut 

sakit. Akhirnya dia hanya berdiri tertegun sambil 

memandangi anaknya.

Di atas punggung kuda Bayu Gendala me-

lanjutkan ucapannya tadi yang sempat terputus. 

"Aku akan dapatkan gadis itu dengan caraku 

sendiri. Terserah ibu mau berkata apa?!" Selesai 

bicara Bayu Gendala menggebrak kudanya. 

Hanya sekelebatan saja kuda telah raib dari pan-

dangan si nenek.

Di depan rumah Selasih Jingga pegangi 

dadanya dengan tangan kiri. Dengan tangan ka-

nan dia mengambil tabung bambu kecil yang ter-

selip di balik pakaiannya. Penutup tabung dibu-

ka, dua butir isinya yang berwarna merah lang-

sung ditelan. Setelah itu dia masukkan tabung 

bambu hitam ke tempat semula.

Dia menunggu beberapa saat, reaksi obat


yang ditelannya mulai bekerja. Tidak berapa lama 

setelah itu wajahnya yang putih, memucat laksa-

na kafan berubah memerah kembali. Keringat 

dingin bercucuran, si nenek menarik nafas pan-

jang. Rasa sesak dan sakit di dadanya hilang su-

dah. Dengan langkah terhuyung si nenek kembali 

duduk ke tempatnya semula, di atas kursi yang 

terbuat dari anyaman rotan yang sudah butut.

"Kalau saja dulu aku tidak menjalani hidup 

seperti itu, mungkin setua ini tidak akan begini. 

Aku yakin racun akibat pukulan ganas Manusia 

Kutuk Sumpah masih bersarang di dadaku. Sa-

lahku sendiri, saat itu aku terlalu memaksa." ke-

luh si nenek meratapi nasibnya sendiri.

Membayangkan semua yang pernah dila-

kukan di masa lalu membuat si nenek kucurkan 

air mata. 

"Gusti Allah, aku mohon maafmu. Segala 

kesalahan itu adalah kesalahanku sendiri. Ya Tu-

han... tapi kini aku takut terjadi sesuatu yang ti-

dak diinginkan pada buah hatiku. Tuhan jika pun 

aku harus memikul semua dosa. Janganlah kau 

limpahkan sebagian dosa yang pernah kuperbuat 

pada anakku. Dalam hal ini dia tidak tahu apa-

pun." rintih si nenek membuat tangisnya makin 

terguguk.



TUJUH


Lambang Pambudi menggebah kudanya 

memasuki kawasan kebun bunga yang luas. Ke-

datangannya kali ini tidak disertai siapapun, ter-

masuk juga Lara Murti kekasihnya. Sejak kehadi-

ran Guru Lanang Pamekasan di perguruan Gu-

nung Keramat, tugas-tugas kekasihnya memang 

semakin bertambah berat. Baik tugas yang me-

nyangkut masalah perguruan maupun yang ada 

hubungannya dengan rumah tangga. Ayah dan 

ibunya sendiri sangat jarang berada di rumah, 

mereka sibuk mencari pembunuh Patira Seta cu-

cu Guru Lanang Pamekasan yang terbunuh bebe-

rapa waktu lalu secara keji oleh seseorang yang 

tidak dikenal.

Karena itu kini urusan memetik bunga 

yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat 

sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lambang 

Pambudi. Beberapa saat kemudian setelah mema-

suki kebun bunga yang sunyi pemuda itu segera 

melompat turun dari punggung kudanya.

Setelah turun dari atas punggung kuda, 

Lambang Pambudi mengambil keranjang rotan 

yang biasa dipergunakan untuk menyimpan bun-

ga yang sudah dipetik. Seperti biasa si pemuda 

tanpa merasa curiga langsung memulai peker-

jaannya. Baru saja beberapa kuntum bunga segar 

yang dipetiknya, pada saat itu terdengar suara te-

riakan menggelegar yang disertai dengan terdengarnya derap langkah kuda. Terkejut Lambang 

Pambudi, hingga keranjang rotan di tangannya 

nyaris terlepas. Seketika dia pun memandang ke 

arah terdengarnya suara bentakan. Si pemuda ja-

di bertambah kaget begitu melihat tak jauh di de-

pannya di atas punggung kuda putih berdiri tegak 

seorang pemuda berpakaian putih memakai to-

peng kayu.

"Jahanam ini?" menggeram si pemuda da-

lam hati. Akan tetapi dia tetap berdiri tegak di 

tempatnya.

Di depannya dengan gerakan sedemikian 

rupa si pemuda bertopeng yang bukan lain adalah 

Bayu Gendala melompat turun dari atas kudanya.

"Pemuda tolol, aku tahu kau kekasih Lara 

Murti, sekaligus calon suami gadis itu. Tapi terus 

terang jika kau sayangkan nyawamu, sebaiknya 

kau batalkan niatmu untuk menjadikan dia seba-

gai istrimu!" hardik Bayu Gendala.

"Mengapa?" tanya Lambang Pambudi, se-

mentara tatap matanya memandang tajam pada si 

pemuda bertopeng dengan sinar mata sulit ditaf-

sirkan. Bayu Gendala tertawa tergelak-gelak. Lak-

sana kilat tangannya bergerak ke arah pinggang, 

di lain kesempatan dia telah menghunus pedang. 

Tawa si pemuda lenyap, sementara ujung pedang 

yang putih mengkilat telah menempel ketat di ba-

gian leher Lambang Pambudi. "Perlu kau tahu 

manusia geblek, kau tak layak menjadi pendamp-

ing Lara Murti karena kau manusia lemah tak 

memiliki kebecusan apa-apa." jelas Bayu Gendala


sinis. Dia pun semakin menekankan pedang itu 

lebih keras hingga ujungnya menembus kulit leh-

er Lambang Pambudi. Ada darah yang menetes, 

luka kecil akibat tusukan pedang perih bukan 

main. Wajah pemuda itu tampak pucat, kening-

nya mengernyit menahan sakit. Melihat hal ini 

Bayu Gendala menjadi sangat senang sekali. Ka-

lau perlu dia harus membuat Lambang Pambudi 

ketakutan setengah mati.

"Ku mohon... ku mohon kau tarik pedang-

mu, jauhkan dari leherku. Kita masih dapat bica-

ra baik-baik." kata Lambang Pambudi dengan su-

ara bergetar terbata-bata.

"Ha... ha... ha. Bagus jika kau masih ingin 

hidup." kata Bayu Gendala, walaupun dia bicara 

begitu namun pedang tidak juga dijauhkan dari 

leher pemuda yang sangat dibencinya. Dia kemu-

dian meneruskan ucapannya. "Terus terang aku 

inginkan Lara Murti, aku ingin menjadikan dia 

sebagai istriku. Kurasa hanya aku yang pantas 

menjadi pendampingnya." 

Untuk pertama kalinya Lambang Pambudi

sunggingkan seringai sinis. Setelah itu baru aju-

kan pertanyaan. "Apakah Lara mencintaimu? Jika 

dia memang cinta padamu, aku yang bodoh ini 

bersedia mengalah."

"Hem, cinta bisa menyusul di kemudian 

hari. Yang paling penting dia harus menjadi istri-

ku dulu." dengus Bayu Gendala.

"Apa yang kau katakan itu hanya akan 

membuatnya sangat menderita. Lagipula belum


tentu kedua orang tuanya mau meluluskan kein-

ginanmu!" ujar Lambang Pambudi. Walaupun ka-

ta-kata itu diucapkan dengan sangat perlahan sa-

ja, tapi bagi Bayu Gendala tidak jauh bedanya ba-

gai sebuah tamparan keras dan juga sebuah per-

nyataan yang menusuk menyakitkan telinga. Pe-

dang ditarik ke belakang, tangan kiri bergerak ce-

pat. 

Plaak!

Satu tamparan yang keras mendarat di pi-

pi, bagian pipi kanan Lambang Pambudi jadi me-

merah, tubuhnya sempat terhuyung bahkan 

hampir terbanting akibat kerasnya tamparan itu. 

dengan penuh kegeraman tapi seakan tak kuasa 

membalas perbuatan si pemuda bertopeng, Lam-

bang Pambudi usap-usap pipinya.

"Berani mati kau bicara seperti itu!" geram 

Bayu Gendala. "Jika aku tidak membunuhmu ha-

ri ini semua itu karena aku masih memiliki rasa 

kemanusiaan, tapi jika kau menghalangi renca-

naku. Aku pasti tidak segan-segan memenggal 

kepalamu!" tegas si pemuda.

"Aku tak takut mati, aku tak butuh rasa 

belas kasihmu. Kalau kau mau bunuh-bunuh sa-

ja. Aku merasa lebih baik mati daripada hidup 

dan melihat Lara Murti berdampingan dengan 

orang lain!" teriak Lambang Pambudi. Rupanya 

setelah mendapat perlakuan begitu rupa, kini ke-

beraniannya jadi timbul. Sebagaimana halnya 

dengan manusia lain, walau dia terlihat lemah 

dan takut menghadapi sesuatu, tapi dalam keadaan terpaksa bisa berubah menjadi nekad. Inilah 

yang terjadi pada Lambang Pambudi.

Keberanian yang muncul seketika menim-

bulkan amarah dan kebencian di hati Bayu Gen-

dala. Tanpa pikir panjang pemuda itu ayunkan 

pedang ke arah kepala Lambang Pambudi. Dalam 

kejutnya dengan mata terbelalak sedapat yang dia 

lakukan pemuda ini mengelak, jatuhkan diri lalu 

bergulingan. Walaupun begitu bagian rambutnya 

masih sempat diterabas mata pedang.

"Masih bisa menghindar. Ha... ha... ha. In-

gin kulihat, ingin kulihat!" seru si pemuda. Dia 

kemudian memutar pedang di tangannya, setelah 

itu tubuhnya melesat ke depan, pedang berkele-

bat menderu menghantam dada Lambang Pam-

budi.

Tidak ada lagi kesempatan bagi pemuda ini 

buat menghindar karena sinar pedang mengu-

rung jalan geraknya. Dalam keadaan nyawanya 

terancam bahaya besar, dia hendak lakukan se-

suatu. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara 

teriakan disertai berkelebatnya dua sosok bayan-

gan. Di depan bayangan tadi mendahului berkele-

bat dua larik sinar, satu berwarna putih menebar 

hawa panas luar biasa, satunya lagi berupa sinar 

hitam menebarkan hawa dingin laksana es.

"Asmara celaka, sudah merebut kekasih 

orang hendak membunuh secara membabi buta! 

Bangsat!" mendumel salah satu dari dua orang 

yang datang.

Suara bentakan lenyap, dua sinar menderu


sebat, satu menghantam kepala Bayu Gendala 

sedangkan satunya menghantam bagian perut. 

Pemuda ini tentu jadi kaget besar. Tanpa pikir 

panjang dia batalkan serangan, lalu berjumpali-

tan ke belakang. Tapi tak urung dua sinar tadi 

menyambar bagian bajunya hingga hangus go-

song. Bukan hanya itu saja, Bayu Gendala juga 

merasakan sebagian wajahnya menjadi dingin, 

sedangkan bagian perut terasa panas laksana 

terbakar.

Tak mau mendapat masalah besar, tanpa 

pikir panjang begitu ledakan berdentum mengge-

muruh di udara dua kali berturut-turut, sambil 

menyeringai kesakitan dia melompat ke atas 

punggung kuda dan melarikan diri selagi masih 

ada kesempatan.

"Hei kampret bertopeng jangan lari!" teriak 

satu suara. Dia bermaksud hendak mengejar. Ta-

pi pada saat itu terdengar seruan lain.

"Jangan dikejar!" 

Orang yang hendak melakukan pengejaran 

terpaksa hentikan langkah sambil mengomel tak 

berketentuan. Dia ternyata adalah seorang pemu-

da berambut gondrong, bertelanjang dada. Ketika 

dia menoleh ternyata yang bicara tadi adalah 

Lambang Pambudi.

"Mengapa kau melarangku?" tanya si gon-

drong yang bukan lain adalah Gento Guyon sam-

bil bersungut-sungut.

"Orang berbudi, aku berterima kasih kepa-

damu dan pada orang tua itu. Tapi kuharap jangan dikejar, pemuda tadi pikiran sedang sakit. 

Sebaiknya jangan sakiti dia!"

"Tangan Sial. Kau dengar betapa baiknya 

orang ini. Sudah tahu kepalanya hampir mengge-

linding diterabas pedang. Masih juga dia bisa 

memaafkan orang yang hendak membunuhnya!" 

kata Gento cemberut.

"Ha... ha... ha! Sobatku, kemuliaan seseo-

rang ditentukan oleh tindakannya. Jika dia bisa 

memaafkan musuh, apalagi bisa menjadikannya 

sebagai sahabatnya. Ini termasuk perbuatan yang 

sangat dianjurkan oleh Yang Maha Kuasa." sahut 

Si Tangan Sial.

"Hebat. Sejak kapan kau pintar berkhut-

bah, menasehati orang. Kau sendiri sejak dulu se-

lalu mengutuk kemalangan yang menimpa hi-

dupmu. Bahkan kau mengutuk sepasang tan-

ganmu sendiri. Padahal tangan itu pemberian 

Gusti Allah. Bagaimana ini? Apakah semua itu 

bukan berarti kau tidak punya rasa terima kasih 

pada Tuhan! Ha... ha... ha." dengus Gento disertai 

senyum mencibir.

Sejenak lamanya si orang tua berpakaian 

serba merah jadi kelabakan tak tahu harus ber-

kata apa. Hal ini membuat tawa Gento semakin 

bertambah keras.



DELAPAN


Hanya beberapa saat setelah itu secara 

aneh Si Tangan Sial ikutan tertawa. Gento Guyon 

jadi terdiam, mulut melongo heran. Sedangkan 

Lambang Pambudi sejak tadi jadi tercengang me-

lihat tingkah kedua penolongnya yang dianggap 

mempunyai perilaku aneh ini.

"Tangan Sial, apa yang kau tertawakan?" 

tanya Gento penasaran.

Orang tua itu terus saja tertawa tak hirau-

kan pertanyaan orang sampai akhirnya dia jadi 

capai sendiri. Sejenak dia memperhatikan Gento, 

lalu tatap matanya beralih pada Lambang Pam-

budi. Setelah itu dia baru berkata ditujukan pada 

Gento. "Dulu aku memang begitu, tapi sekarang 

setelah bertemu denganmu tidak lagi. Mungkin 

karena berkawan denganmu otakku jadi ikutan 

miring, sehingga aku jadi lupa dengan persoalan-

ku sendiri! Ha... ha... ha!"

"Kakek sial. Bergurau sih boleh saja, tapi 

jangan kelewatan. Nanti orang-orang beranggapan 

aku tidak waras benaran. Aku bisa malu." dengus 

si pemuda.

"Sekarang kau baru tahu rasa siapa aku. 

Eeh... tapi sobatku, kita punya teman baru men-

gapa kau tak bertegur sapa?" mengingatkan si 

orang tua.

Gento menepuk keningnya. "Aku sampai 

lupa, semua ini gara-gara kau." Lalu Gento memutar badan dan menghadap langsung ke arah 

Lambang Pambudi. Sebentar dia memperhatikan 

pemuda itu, lalu berucap. "Maafkan kami, bu-

kannya aku tak menghiraukanmu. Semua karena 

kawanku sedang angot penyakit gilanya, sehingga 

aku terpaksa melayani ucapannya yang melantur. 

Oh ya siapa namamu?" tanya Gento unjukkan 

tampang serius.

Lambang Pambudi tersenyum sambil 

bungkukkan badan menjura hormat, setelah te-

gak dia menjawab. "Namaku Lambang Pambudi. 

Aku merasa berhutang nyawa padamu dan juga 

pada orang tua itu. Aku hanya dapat berterima 

kasih tak dapat membalas kebaikan kalian."

"Eeh, masalah nyawa jangan kau bilang 

berhutang padaku apalagi pada pemuda edan itu. 

Nyawa urusan Gusti Allah, sedangkan kami 

hanya membantumu dari perbuatan jahat ku-

nyuk bertopeng tadi." sergah Tangan Sial.

"Tangan Sial, sekali lagi kuingatkan kau 

jangan bicara seenakmu sendiri. Salah-salah ku-

getok kepalamu!" rutuk Gento sambil delikkan 

mata. Si Tangan Sial malah tertawa lebar.

"Ah, kalian orang berbudi tinggi. Harap 

jangan bertengkar. Aku takut kalian berbaku 

hantam di sini!" kata Lambang Pambudi benar-

benar unjukkan wajah ketakutan.

"Oh tentu saja tidak. Kami ini tadi sebe-

narnya hanya bergurau. Oh ya sebenarnya siapa 

pemuda bertopeng tadi?" tanya Gento.

Lambang Pambudi sebenarnya merasa


enggan untuk menceritakan siapa adanya Bayu 

Gendala. Akan tetapi demi mengingat pertolongan 

yang telah dilakukan Gento dan Si Tangan Sial 

juga setelah melihat kenyataan agaknya mereka 

adalah orang baik-baik, maka Lambang Pambudi 

pun berkata. "Pemuda bertopeng tadi adalah pu-

tra Selasih Jingga. Dia datang padaku sengaja 

mencari perkara. Karena aku disuruhnya men-

jauhi kekasihku sendiri." ujar Lambang Pambudi, 

pemuda ini lalu menceritakan segala sesuatunya 

pada Gento dan Si tangan Sial.

Ketika Lambang Pambudi selesai menutur-

kan segala sesuatunya dengan wajah menunjuk-

kan wajah tidak senang Si Tangan Sial berucap. 

"Manusia tak tahu diri. Enak saja dia hendak me-

rebut kekasih orang. Kau sendiri mengapa tak 

mengambil sikap tegas?"

Lambang Pambudi gelengkan kepala. Wa-

jahnya kuyu menunjukkan ketidak berdaya.

"Dia memiliki jurus pedang hebat, sedang 

aku tidak punya kepandaian apa-apa. Mana 

mungkin aku sanggup menghadapinya." jawab si 

pemuda perlahan.

"Ah, kasihan sekali." celetuk Gento tanpa 

sadar. Dia lalu memandang pada Tangan Sial. 

"Sahabatku, menurutmu apakah pemuda tadi 

mempunyai jurus-jurus pedang yang luar biasa?" 

tanya Gento.

Si Tangan Sial tersenyum. "Rasanya sih bi-

asa saja. Mungkin hanya suara teriakan dan ken-

tutnya saja yang hebat. Ha... ha... ha." menyahut


Si Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.

Lambang Pambudi gelengkan, kepala meli-

hat tingkah laku orang tua dan pemuda itu.

Setelah berpikir sejenak, pemuda berpa-

kaian serba putih ini kemudian ajukan perta-

nyaan. "Aku tak tahu bagaimana, tapi bolehkah 

aku tahu siapa nama kalian?"

"Ah, betul, kami sampai lupa. Aku sendiri 

bernama Gento Guyon. Sedangkan temanku na-

manya entah siapa. Orang memanggilnya Si Tan-

gan Sial, karena kedua tangannya selalu memba-

wa kesialan." kata Gento.

Lambang Pambudi manggut-manggut. "Ka-

lian sebenarnya hendak ke mana?" tanya si pe-

muda.

Tanpa ragu-ragu Gento menceritakan sega-

la sesuatunya termasuk juga tentang penemuan 

mayat tanpa kepala di sebuah rumah tua bebera-

pa hari yang lalu.

"Oh mengerikan sekali. Tapi kurasa aku bi-

sa sedikit menceritakan tentang mayat tanpa ke-

pala yang engkau temukan itu. Aku yakin itu ada-

lah mayat Patira Seta murid sekaligus cucu saha-

bat calon mertuaku. Beberapa hari yang lalu dia 

pernah datang ke perguruan Gunung Keramat. 

Beberapa hari yang lalu dia pernah datang ke 

perguruan Gunung Keramat. Tapi kemudian kuli-

hat dia pergi lagi dengan membawa kepala cu-

cunya untuk mencari si pembunuh keji. Kini 

bahkan Dewa Angin Guntur dan istrinya ikut 

membantu menemukan jejak sang pembunuh."


"Siapa Dewa Angin Guntur?" tanya Si Tan-

gan Sial.

"Dewa Angin Guntur ketua perguruan Gu-

nung Keramat." menerangkan Lambang Pambudi.

"Calon mertuamu?" ujar Gento menyambu-

ti.

Dengan malu-malu Lambang Pambudi 

anggukan kepala.

Gento berpaling pada sahabatnya. "Tangan 

Sial, berarti guruku dan Ambini telah sampai ke 

sana. Kebetulan sekali, pemuda ini, siapa nama-

mu?"

"Lambang Pambudi." jawab si pemuda.

"Kebetulan sekali Lambang Pambudi ting-

gal di perguruan itu. Bagaimana jika kita ikut 

bersamanya?" tanya Gento.

Si Tangan Sial cibirkan mulutnya. "Aku ta-

hu kau pasti sudah rindu pada Ambini, atau 

mungkin juga kau cemburu karena gadis itu ber-

sama gurumu, si gendut sinting. Mengaku saja, 

mengapa harus malu-malu? Ha... ha... ha."

"Mungkin... mungkin juga aku rindu. Tapi 

terus terang aku punya firasat yang tidak menge-

nakkan."

"Mengenakkan bagi gurumu, tak menge-

nakkan bagi dirimu sendiri. Bukankah itu lawa-

tannya?" ejek Si Tangan Sial ketus.

"Ha... ha... ha, bagus kalau kau sudah ta-

hu. Berdua denganmu kurasakan memang tidak 

enak, tampangmu membosankan untuk dipan-

dang apalagi bila melihat kedua tanganmu. Gosong hitam seperti kayu terbakar, masih bagus 

lagi memandang kebun bunga ini!" kata si pemu-

da sambil tertawa tergelak-gelak.

Selagi pemuda ini tertawa dan Si Tangan 

Sial unjukkan tampang cemberut pada waktu 

bersamaan mendadak terdengar suara raungan 

keras. Gento Guyon jadi tercekat, sedangkan 

Lambang Pambudi sempat bersurut langkah, wa-

jah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Di de-

pannya sana Si Tangan Sial memandang tajam ke 

arah datangnya suara raungan. Sekian lama me-

nunggu tidak terlihat ada orang yang muncul. 

Sementara raungan aneh tadi telah lenyap keti-

ganya menunggu dengan berbagai ganjalan di ha-

tinya.

Tak lama kemudian terdengar suara orang

bicara seperti orang yang menyenandungkan bait-

bait syair.

Sekian sama menunggu, menantikan sau-

dara yang hilang.

Menanti kedatangan saudara yang malang 

Usia si tua banyak terbuang 

Kini si anak malang telah datang

Bersama sahabat yang gilanya bukan kepa-

lang

Oh dunia...

Kau janjikan seribu keindahan dan mimpi.

Hingga membuat manusia lupa segala, hi-

lang pula jati diri

Dalam penantian aku sendiri


Dalam kemalangan dia juga sendiri

Aku datang padamu wahai saudara

Lepaskan rindu dendam yang sekian lama 

tidak bersua!

Suara orang bersair kemudian lenyap, mu-

rid Gentong Ketawa dan Tangan Sial saling pan-

dang. Gento mencoba memahami arti ucapan su-

ara orang tadi. Dia kemudian tersenyum. "Aku 

tahu manusia paling sial di dunia ini adalah diri-

mu, Tangan Sial. Aneh... ternyata kau punya 

saudara! Mengapa kau tak pernah bilang pada-

ku?"

"Mana aku tahu aku punya saudara. Kura-

sa dia orang gila yang kesasar." sahut Si Tangan 

Sial. Dia hendak tertawa, tapi urung. Kini orang 

tua itu malah menoleh ke arah Lambang Pambu-

di, dia jadi heran karena dia tidak melihat pemu-

da lugu yang tidak mengerti ilmu silat itu sudah 

tidak ada lagi di tempatnya.

"Gento... pemuda itu...?!" desis si orang 

tua. Serentak Gento pun menoleh, memandang ke 

arah mana Lambang Pambudi berdiri. Dia jadi 

kaget karena pemuda itu raib.

"Ke mana dia? Jangan-jangan dimakan se-

tan!" kata Gento. Si Tangan Sial dan Gento kitar-

kan pandangannya ke segenap penjuru tempat. 

Lambang Pambudi tetap tak terlihat seolah pe-

muda itu lenyap amblas ke dalam bumi. Justru 

pada saat itu dan arah suara tadi datang berkele-

bat satu sosok bayangan hitam ke arah mereka.


Lalu.... 

Pluuk!

Sosok itu jatuh di atas tanah di antara 

Gento dan Si Tangan Sial berdiri. Dua pasang ma-

ta sama melotot, memandang ke arah yang sama 

dengan mulut ternganga.

Di depan mereka kini duduk seorang laki-

laki tua berpakaian hitam, berambut putih wa-

jahnya yang cekung kelihatan memutih tertutup 

kapur. Begitu juga dengan rambut, tangan serta 

kakinya semua tampak memutih. Hanya saja se-

pasang kaki si kakek tampak mengecil dan tidak 

berkembang secara wajar, mungkin cacat kaki ini 

sudah dialaminya sejak kecil.

Melihat keadaan fisik orang tua ini, pera-

saan si pemuda iba ada geli juga ada. Malah da-

lam hati dia berkata. 

"Orang tua butut rongsokan ini mungkin 

bukan orang waras. Air ada di mana-mana dia 

malah memilih mandi kapur!"

"Bocah geblek, sekali lagi kau mengatai 

aku orang yang tidak waras kupendam dirimu ke 

dalam bumi!" hardik si badan jerangkong. Murid 

kakek gendut Gentong Ketawa tentu saja jadi me-

lengak. Dia bahkan sampai melangkah mundur. 

Bagaimana sosok jerangkong itu bisa menebak isi 

hatinya? Sebaliknya Si Tangan Sial terus mem-

perhatikan orang itu.

"Orang tua, siapa dirimu? Aku Si Tangan 

Sial bukannya bermaksud mau usil. Tapi kurasa 

mengajukan pertanyaan bukanlah dosa!" berkata


orang tua itu dengan suara dibuat sesopan 

mungkin.

Si kakek jerangkong yang semula sempat 

memperhatikan Gento, kini memutar kepala. Dia 

memandangi Si Tangan Sial dengan tatap ma-

tanya yang aneh, hingga yang dipandang terpaksa 

pejamkan matanya. Tak terduga si kakek jerang-

kong tiba-tiba menangis menggerung, suaranya

sedih berhiba-hiba. Tapi sungguh aneh begitu 

tangis si kakek tambah memilukan Gento ikutan 

pula menangis, begitu juga halnya dengan Si Tan-

gan Sial. Malah orang tua berpakaian merah itu 

duduk menjelepok, kakinya berkelesetan sedang-

kan dua tangan dibanting dan dipukulkan ke ta-

nah. Setiap pukulan yang dilakukan tanpa sadar 

ini mengeluarkan suara bergemuruh disertai den-

gan ledakan berdentum. Malah pukulan Si Tan-

gan Sial menimbulkan lubang besar, hangus 

menghitam.

Di depannya sana antara Si Tangan Sial 

dan kakek jerangkong, tangis Gento juga semakin 

mengguguk. Tapi dalam keadaan terhanyut oleh 

tangisan orang, otaknya masih dapat bekerja. Dia 

mengerahkan segala daya dan pikiran agar jangan 

sampai terpengaruh tangisan orang. Berulang-

ulang hal itu dilakukannya, sayang usahanya ini 

hanya sia-sia.

"Kampret gundul, bagaimana si jerangkong 

ini bisa mempengaruhi kesadaran orang. Jangan-

jangan dia hantu, atau setan yang gemar menan-

gis dan bersair. Akh... aku tak mau larut dalam


kegilaan seperti ini." batin si pemuda sambil terus 

memutar otak mencari jalan agar tidak terus ter-

hanyut dalam tangis dan kepedihan orang. Seje-

nak dia memandang ke arah Si Tangan Sial. 

Meskipun air matanya masih bercucuran, meski-

pun kesedihan masih menyelimuti perasaannya 

tapi Gento sempat tersenyum melihat sahabatnya. 

"Kampret sial itu tangisnya malah lebih hebat, 

mana pakai mengamuk segala lagi. Tanah di sana 

sini dibuatnya berlubang, aku jadi ingat Si Pema-

cul Iblis. Hampir setiap tanah dilubanginya." ru-

tuk si pemuda. (Mengenai riwayat Pemacul iblis 

baca Episode Tanah Kutukan).

Akan halnya Si Tangan Sial, orang tua itu 

sendiri sebenarnya sudah berusaha melepaskan 

diri dari pengaruh tangis kakek jerangkong. Akan 

tetapi untuk diketahui, Si Tangan Sial tidak me-

miliki tingkat tenaga dalam tinggi. Sedangkan ke-

saktian dahsyat yang terkandung pada kedua be-

lah tangannya memang sudah merupakan ba-

waan sejak lahir. Sehingga walaupun saat itu dia 

kerahkan tenaga dalam bahkan kucurkan kerin-

gat, tetap saja dia terus ikut menangis.

Kembali pada murid Gentong Ketawa yang 

sudah sampai pada puncak kejengkelannya. Di 

saat dirinya merasa putus asa karena tak mampu 

melenyapkan pengaruh suara tangis orang, men-

dadak dia ingat sesuatu. Dia berpikir karena 

mendengar maka dia terpengaruh, karena itu 

Gentopun segera menutup indera pendengaran-

nya dengan pengerahan tenaga dalam. Seperti


yang telah dia duga, pengaruh suara si kakek je-

rangkong yang membuatnya ikutan menangis 

mendadak lenyap. Sambil bersungut-sungut dia 

seka air matanya. Kejap kemudian dia bangkit 

berdiri sambil mengumbar tawa.

"Tangan Sial, rupanya kau sudah ikut jadi 

gila, menangis tidak karuan kejuntrungannya. 

Daripada menangis lebih baik tertawa sambil me-

nari. Kau boleh ikutan, teruskan tangismu sambil 

memukul tanah. Suara ledakan itu bagaikan sua-

ra gendang bertalu-talu." berkata begitu sambil 

tertawa-tawa Gento lakukan gerakan menari. 

Pinggulnya melenggang lenggok, kedua tangan di-

gerakkan dengan lemah gemulai.



SEMBILAN



Begitu melihat Gento Guyon kini mulai 

menari sambil tertawa, maka si kakek jerangkong 

hentikan tangisnya. Tangis terhenti, Si Tangan 

Sial langsung hentikan tangis pula. Si kakek je-

rangkong kini pandangi Gento.

"Pemuda ini selain konyol ternyata sangat 

cerdik." batin si kakek. Lalu dia berseru. "Henti-

kan tawa hentikan tari! Sekarang kau duduk!" 

Sekonyong-konyong gerakan Gento terhen-

ti, tawanya lenyap meskipun mulutnya masih ter-

buka. Diam-diam pemuda ini jadi terperanjat saat 

merasakan ada satu kekuatan yang tidak terlihat 

menekan bahunya kiri kanan. Ketika dia coba


bertahan, maka lututnya jadi goyah. Sekujur tu-

buhnya bergetar.

"Celaka, kakek jerangkong ini ternyata bu-

kan manusia sembarangan. hanya dengan beru-

cap saja dia mampu memaksa orang lain berbuat 

sesuai dengan kehendaknya!" keluh si pemuda. 

"Duduk!" sekali lagi si kakek berseru.

Laksana dibanting Gento jatuh terhenyak 

dengan punggung lebih dulu jatuh ke tanah. Sa-

kit yang dia rasakan tidak seberapa dibanding 

dengan rasa kaget juga malu yang harus dia 

tanggungkan.

"Orang tua, dari tadi kau belum menjawab 

pertanyaan sahabatku itu. Siapa dirimu ini yang 

sebenarnya?" tanya Gento setelah mengusap wa-

jahnya yang sempat berubah merah.

"Heh," terdengar suara mendengus dari hi-

dung si kakek. Dia kemudian palingkan wajah ke 

arah Si Tangan Sial. Beberapa saat dua pasang 

mata bertemu pandang. Melihat tatapan mata si 

kakek jerangkong yang dingin namun berwibawa, 

entah mengapa membuat perasaan orang tua ini 

jadi tidak enak. "Aku Begawan Panji Kwalat. Aku 

saudaramu. Sekarang aku ingin membawamu ke 

hutan Banyu Biru. Ada beberapa hal yang ingin 

kusampaikan padamu. Karena itu kau harus 

ikut!" tegas si kakek jerangkong.

Mendengar Ucapan Begawan Panji Kwalat, 

Si Tangan Sial tentu saja jadi terheran-heran. 

Seumur hidup dia merasa tidak punya saudara. 

Bagaimana mungkin kakek jerangkong itu mengaku dia saudaranya?

"Kakek, aku Tangan Sial merasa tak punya 

saudara. Mungkin kau salah alamat, mungkin ju-

ga kau salah berucap?" ujar Si Tangan Sial sambil 

melirik ke arah Gento seakan minta pendapat.

Mengetahui makna lirikan itu Gento enak 

saja menyeletuk. "Sahabat Tangan Sial, walau ki-

ta berkawan aku sendiri tak tahu asal usulmu. 

Boleh jadi kau malu untuk mengakui kakek 

pengkor lumpuh itu saudaramu. Untuk urusan 

kakek itu denganmu aku sih tak mau ikut cam-

pur tangan, bukan karena apa. Aku takut jadi 

orang kwalat. Lagipula apa kau tidak mendengar 

gelarannya Begawan Panji Kwalat. Jika dia sam-

pai kubuat marah lalu mengutukku jadi batu. 

Apa iya kau bisa menolongku!" kata si pemuda la-

lu palingkan muka ke arah lain.

"Bocah geblek, kau harus percaya aku ti-

dak punya saudara. Boleh jadi dia hendak meni-

puku. Aku... aku...!"

"Urusan kita tidak ada hubungannya den-

gan pemuda konyol itu, Tangan Sial. Jika kau 

ikut denganku, di bukit Waton Kapur nanti sega-

lanya baru bisa kujelaskan. Nasehat dan keteran-

gan yang ku berikan menyangkut urusan yang 

sangat besar, yang pasti ada sangkut pautnya 

dengan kejadian besar beberapa tahun menda-

tang!" kata Begawan Panji Kwalat, suaranya ma-

sih tetap tenang dan sabar.

"Kejadian apa?" tanya Gento. Si kakek je-

rangkong tidak langsung menjawab, tapi perhatikan Gento beberapa jenak lamanya. Sepasang 

mata si kakek mendelik besar. Dia gelengkan ke-

pala. "Aku telah melihat rentang waktu tersamar 

dalam tabir gaib. Kau juga salah satu orang yang 

ikut terlibat dalam kejadian besar itu." kata Be-

gawan Panji Kwalat.

"Aku? Ah, engkau bisa saja kek." kata Gen-

to sambil tersenyum.

"Aku bicara sebuah kenyataan yang terjadi 

di masa yang akan datang. Terserah apapun 

tanggapanmu!" Si kakek jerangkong kemudian 

bergerak mendekat ke arah Si Tangan Sial. Satu 

gerakan yang sulit dipercaya. Bagaimana tidak? 

Si kakek lumpuh ini bergerak bukan dengan se-

pasang tangannya atau melompat-lompat. Tapi 

tubuhnya mengambang di udara dengan kedua 

kaki dalam keadaan bersila.

"Penjelasan kau dapatkan nanti. Sekarang 

kau ikut denganku dulu!" berkata begitu Begawan 

Panji Kwalat sambar krah baju belakang Si Tan-

gan Sial. Karena masih belum percaya si kakek 

lumpuh itu adalah saudaranya. Si Tangan Sial 

tentu tak mau dirinya dibawa orang begitu saja. 

Sehingga tanpa pikir panjang dia pun hantamkan 

salah satu tangannya yang sangat berbahaya itu. 

Tapi begitu tangan kiri bergerak, Begawan Panji 

Kwalat segera pula berseru. "Tangan Bencana, 

jangan kau turuti perintahnya. Diam... diam..!"

Seketika tangan yang siap memukul itu 

terhenti di udara. Di lain kejap Si Tangan Sial me-

rasa tubuhnya terbetot, ikut melayang mengikuti


si kakek lumpuh. Dalam takutnya orang tua itu 

berteriak.

"Gento... tolong... Gento bantu aku...!"

Melihat sahabatnya dilarikan orang murid 

kakek Gentong Ketawa tentu saja tidak tinggal di-

am. Dia mencoba mengejar. Tapi dia jadi tersen-

tak kaget begitu merasakan sekujur tubuhnya tak 

dapat digerakkan. "Apa yang telah dilakukan ka-

kek jerangkong tadi kepadaku?" keluh si pemuda. 

Belum lagi rasa kagetnya lenyap, di kejauhan sa-

na Begawan Panji Kwalat berucap.

"Anak muda, uruslah dirimu sendiri. Satu 

hal yang tidak boleh kau lupakan, yang terlihat 

lemah belum tentu bodoh. Apapun yang kau la-

kukan nanti semuanya ada di depan mata."

Gento tak tahu apa maksud ucapan Manu-

sia Kutuk Sumpah. Saat itu rasa kesal dan marah 

menyelimuti perasaannya. Dia kemudian menge-

rahkan tenaga dalamnya, mula-mula disalurkan 

ke bagian kaki. Kedua kaki lalu digerakkan. Ter-

nyata kedua kaki dapat digerakkan. Merasa ter-

bebas dari pengaruh suara aneh orang dia segera 

bangkit berdiri.

Saat berdiri berpikir olehnya untuk menge-

jar Manusia Kutuk Sumpah. Rupanya dia takut 

terjadi sesuatu pada Si Tangan Sial. Tapi kemu-

dian dia urungkan niat. Kini yang terpikir olehnya 

adalah tentang Lambang Pambudi. Pemuda lugu 

yang konon tak pandai ilmu silat.

"Ke mana perginya pemuda itu? Mengapa 

dia menghilang secepat itu. Padahal dia tidak


memiliki ilmu dan kesaktian apapun." batin Gen-

to. Sejenak dia terdiam, berpikir dan teringat 

olehnya tentang ucapan Begawan Panji Kwalat.

"Urus diri sendiri. Yang terlihat belum ten-

tu bodoh, semuanya ada di depan mata." Gento 

mengulang ucapan Begawan Panji Kwalat. "Teka 

teki gila apalagi ini?" gerutu si pemuda sambil 

memijit keningnya.

Karena tak kunjung temukan jawaban, si 

pemuda sambil mendumel segera tinggalkan ke-

bun bunga.

Di balik pagar yang mengelilingi lima pon-

dok panjang si kakek gendut Gentong Ketawa 

mengintai. Dia melihat puluhan murid-murid per-

guruan Gunung Keramat sedang berlatih ilmu si-

lat di bawah pengawasan seorang gadis cantik 

berpakaian serba merah. Di belakang si kakek, 

Ambini nampak gelisah. Sebaliknya si kakek gen-

dut malah bersikap tenang-tenang saja.

"Kalau kita hendak bertamu mengapa se-

perti maling begini? Bukankah lebih baik kita da-

tang langsung ke rumah besar itu?" kata Ambini 

dengan suara perlahan.

"Kau betul, tapi aku sendiri tidak kenal 

dengan pemilik perguruan ini. Lebih baik kita 

menunggu barang beberapa jenak lamanya." ja-

wab si kakek sambil menarik nafas dan jauhkan 

wajahnya dari pagar bambu. Baru saja si orang 

tua hendak memutar badan menghadap langsung 

ke arah Ambini dari arah samping melesat dua 

sosok bayangan biru ke arah si kakek dan juga


Ambini.

"Dua tamu tidak diundang, berani melaku-

kan tindakan tidak terpuji dengan mengintip 

orang yang sedang latihan, kupecahkan kepala 

kalian!" hardik salah satu dari orang yang baru 

datang. Bersamaan dengan itu pula si kakek gen-

dut merasakan ada sambaran angin deras meng-

hantam kepalanya.

"Walah bisa mati aku...!" gerutu si kakek. 

Dengan gerakan cepat dia gulingkan diri di atas 

tanah. Sementara di belakangnya Ambini sudah 

melompat menjauh hindari pukulan yang dilan-

carkan orang itu. Baik Ambini maupun Gentong 

Ketawa sama-sama dapat menyelamatkan diri. Bi-

la dia memandang ke depannya, di depan sana te-

lah berdiri tegak seorang laki-laki berambut putih 

panjang menjela, sepasang alis orang ini berwar-

na putih perak. Sedangkan di sampingnya tam-

pak pula seorang perempuan berumur empat pu-

luhan berwajah bulat yang walaupun usianya su-

dah tidak muda lagi, tapi sisa kecantikan di kala 

muda masih terbayang jelas di wajahnya. Sama 

seperti laki-laki itu, dia juga memakai pakaian 

serba biru, hanya di bagian rambutnya yang pan-

jang digelung dihiasi dengan bunga mawar putih. 

Gentong Ketawa yang baru saja bangkit 

berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang 

kotor memperhatikan orang yang baru saja me-

nyerang mereka. Melihat penampilan serta dan-

danan perempuan itu, walau belum pernah ber-

temu tapi segera kenali ciri-ciri orang.


Si kakek lalu tersenyum unjukkan sikap 

bersahabat. "Kalau tak salah penglihatanku bu-

kankah nisanak orangnya yang bergelar Mawar 

Selatan, tokoh di daerah utara ini yang dulu na-

ma besarnya sempat menggemparkan dunia per-

silatan? Dan Kisanak ini pastilah Dewa Angin 

Guntur, suami dari Galuh Pitaloka." ucap Gen-

tong Ketawa. Laki-laki dan perempuan yang ber-

diri tegak di depan si kakek sama melengak kaget 

dan tak pernah menyangka orang tua bertampang 

jenaka berbadan besar bukan main mengenali diri 

mereka. Sejenak lamanya suami istri ini saling 

berpandangan. Orang tua berambut putih yang 

memang Dewa Angin Guntur adanya melangkah 

dua tindak ke depan.

"Orang tua siapa dirimu ini adanya? Siapa 

pula gadis yang bersamamu. Kalian datang tidak 

sebagaimana lazimnya orang yang bertamu ke 

rumah orang ada kepentingan apakah?" tanya 

Dewa Angin Guntur bertubi-tubi. Mendapat per-

tanyaan seperti itu Gentong Ketawa sempat me-

longo. Tapi karena kedatangannya bukan mem-

bawa maksud jahat, maka diapun akhirnya men-

jawab.

"Sahabat mudaku itu bernama Ambini, pu-

tri seorang Raden dari Wonogiri." menerangkan si 

kakek sambil melirik pada Ambini. Gadis itu ang-

gukkan kepala. "Sedangkan aku sendiri Gentong 

Ketawa!" kata si kakek gendut lagi.

Begitu si kakek menyebutkan namanya, 

Dewa Angin Guntur maupun Galuh Pitaloka alias


Mawar Selatan sempat keluarkan seruan kaget. 

Suami istri itu sama memandang ke arah si gen-

dut dengan tatapan tak percaya.

"Aku tidak pernah menyangka saat ini ten-

gah berhadapan dengan tokoh dunia persilatan 

dari Merbabu. Gentong Ketawa... satu nama besar 

yang sudah tersohor di delapan penjuru angin. 

Kami ketua perguruan Gunung Keramat hari ini 

merasa sangat beruntung sekali." ujar Dewa An-

gin Guntur.

"Ah... engkau terlalu berlebihan Dewa An-

gin Guntur. Padahal kalian sendiri adalah dua 

dari tokoh yang memiliki nama besar, pengaruh 

luas. Bahkan kudengar murid-murid perguruan 

Gunung Keramat ini tersebar hampir di seluruh 

pelosok tanah Jawa." puji si kakek.

Orang tua berambut putih tersenyum. "Apa 

yang paman dengar itu terlalu dilebih-lebihkan. 

Kami hanya manusia biasa," kata Dewa Angin 

Guntur.

"Tidak seperti yang paman katakan, kami 

ini sesungguhnya adalah orang biasa." Galuh Pi-

taloka menimpali pula.

"Sudah menjadi kebiasaan orang berbudi 

berilmu tinggi. Mereka begitu pintar menyembu-

nyikan kehebatan segala apa yang mereka miliki 

dengan bersikap santun, bukankah begitu kakek 

gendut?!" kata Ambini membuat kakek Gentong

Ketawa terkekeh-kekeh dan pasangan suami istri 

itu jadi salah tingkah.

"Kau benar Ambini. Sebenarnya hari ini ki


talah yang merasa beruntung karena bertemu 

dengan mereka." kata si kakek gendut berbobot 

lebih dari dua ratus kati ini sambil menekap mu-

lutnya yang kembali hendak tertawa.

Beberapa saat kemudian suasana dicekam 

kebisuan. Teringat oleh si kakek tentang maksud 

dan tujuan mereka datang ke perguruan ini.

Sehingga dia berkata. "Dewa Angin Guntur 

dan Galuh Pitaloka, sebelumnya aku mohon maaf 

karena kedatangan kami ke sini pasti sangat ti-

dak kalian duga...."

"Paman Gentong Ketawa, lupakan segala 

peradatan dan sikap basa-basi. Jika memang ada 

sesuatu yang amat penting yang ingin paman 

sampaikan kami siap mendengarkannya."

Gentong Ketawa melirik ke arah Ambini. 

"Sebaiknya kau saja yang bicara Ambini!" pinta 

orang tua itu.

Si gadis yang tidak menyangka kakek gen-

dut mengerjainya merasa serba salah. Dia terdiam 

sejenak, bingung tak tahu harus memulai dari 

mana. Dia sadar bagaimanapun saat ini dia se-

dang berhadapan dengan dua tokoh utara yang 

sangat disegani, sehingga dia harus hati-hati 

mengatakan segala sesuatunya agar jangan sam-

pai keliru. Barulah setelah gadis cantik jelita ini 

dapat menenangkan perasaannya dia membuka 

mulut. "Paman Dewa Angin Guntur dan bibi Ga-

luh Pitaloka. Beberapa hari yang lalu ketika kami 

melakukan perjalanan di malam buta, di sebuah 

rumah tua yang sudah tidak terpakai kami menjumpai sosok mayat yang sudah membusuk tanpa 

kepala. Orang itu diperkirakan terbunuh sekitar 

tiga hari sebelumnya. Yang membuat kami heran 

kepala mayat hilang." kata Ambini, dia kemudian 

menerangkan ciri-ciri si mayat.

Dewa Angin Guntur dan istrinya saling 

pandang, wajah mereka menampakkan rasa pri-

hatin yang mendalam.

Galuh Pitaloka kemudian bicara mewakili 

sang suami. "Mendengar ciri-ciri yang dikatakan 

Ambini, kami punya jawaban yang pasti bahwa 

mayat yang kalian temukan itu pastilah mayat 

Patira Seta, cucu sahabat kami yang dibunuh se-

cara misterius oleh seseorang. Adapun potongan 

kepala yang kalian tanyakan dibawa oleh Guru 

Lanang Pamekasan, kakek pemuda malang itu 

sendiri. Saat ini kami pun sedang berusaha men-

cari pembunuh keparat itu. Sayang kami belum 

menemukan titik terang."

"Kami tak mengira dia cucu sahabatmu." 

ucap si kakek gendut. "Aku punya dugaan ba-

rangkali sahabatmu itu punya musuh yang me-

mendam dendam berkarat, sehingga cucunya di-

bunuh orang dengan cara yang amat keji." Gen-

tong Ketawa memberi tanggapan. 

Wajah Dewa Angin Guntur sempat berubah 

menampakkan rasa tidak suka, sedang paras Ga-

luh Pitaloka bersemu merah.

"Paman Gentong kurasa mengatakan suatu 

pendapat yang keliru. Untuk kalian ketahui, sa-

habatku itu baru saja datang dari Madura. Kedatangannya ke sini adalah untuk menjodohkan cu-

cunya pada putri tunggalku. Di tanah Jawa ini 

dulu dia pernah menetap lama, tapi aku yakin 

sekali dia tidak punya musuh."

"Tidak punya musuh tapi cucunya dibunuh 

orang. Berarti pembunuhnya pasti punya mak-

sud-maksud tertentu...!" sahut si kakek.

Ambini menimpali. "Yang dibunuh cu-

cunya, bukan kakeknya. Aku punya dugaan sang 

pembunuh pasti tak menghendaki perjodohan itu 

jadi terlaksana," ujar si gadis.

Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka

saling pandang. Gadis yang datang bersama ka-

kek Gentong Ketawa itu selain cantik agaknya 

memiliki otak yang sangat cerdik. Selama bebera-

pa hari setelah kejadian belum pernah terpikirkan 

oleh mereka sampai sejauh itu. Kemungkinan 

yang dikatakan Ambini mungkin ada kebenaran-

nya. Tapi siapa yang melakukannya? Mengingat 

Patira Seta memiliki ilmu serta kepandaian silat 

tinggi, mustahil pembunuhan itu dilakukan oleh 

manusia biasa. Paling tidak dia harus memiliki 

kecepatan dalam menggunakan senjata, atau bo-

leh jadi kepandaiannya beberapa tingkat di atas 

Patira Seta.

Sampai saat ini Dewa Angin Guntur tak bi-

sa menduga lain. Mustahil cucu Guru Lanang 

Pamekasan dibunuh murid perguruan Gunung 

Keramat, apalagi Lambang Pamudi. Pemuda lugu 

itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Dewa 

Angin Guntur lalu ingat pada Lara Murti. Ingat


pada putrinya yang sedang melatih murid pergu-

ruan orang tua ini jadi ingat pada Bayu Gendala. 

"Lara berulang kali mengatakan pemuda 

itu sering mengganggunya. Dia bahkan berani 

mengutarakan perasaannya padahal dia tahu 

anakku hendak kunikahkan dengan Lambang 

Pambudi. Pemuda keparat putra Selasih Jingga 

ini kudengar bahkan hampir membunuh Lam-

bang Pambudi dua hari lalu di perkebunan bun-

ga. Mestinya sudah kutangkap atau kuhajar dia, 

tapi aku tak mau melakukan tindakan gegabah 

sebelum kudapatkan bukti yang kuat untuk 

menghukumnya." geram orang tua itu.

"Dewa Angin Guntur," suara Gentong Ke-

tawa memecah kebisuan yang kaku. "Mengingat 

masalah ini pelik dan rumit. Aku yang sudah tua 

bangka ini jadi ikut lancang dan ingin pula me-

nemukan biang racun yang membuat sahabatmu 

jadi ikut berduka. Jika kau tak merasa risih, aku 

dan Ambini akan mencari pembunuh cucu saha-

batmu dengan cara kami sendiri."

Mendengar penjelasan si kakek tentu sua-

mi istri ketua perguruan Gunung Keramat jadi 

gembira.

"Niat baikmu kami hargai paman. Kami se-

nang mendengarnya!" kata Galuh Pitaloka.

"Begitu juga aku. Atas nama perguruan se-

belumnya aku mengucapkan terima kasih." ujar 

Dewa Angin Guntur. Dia melirik ke arah istrinya. 

Seakan mengerti makna lirikan itu Galuh Pitaloka 

tersenyum.


"Paman dan Ambini menurutku sebelum 

pergi ada baiknya kalian masuk dulu ke rumah 

kami. Aku membuatkan minuman untuk kalian!" 

ujar perempuan itu menawarkan.

Ambini gelengkan kepala kakek. Gentong 

Ketawa ragu-ragu, tapi kemudian dia tertawa. 

"Kopi dan gula batu, atau teh tubruk memang 

enak. Tapi kalah enak dengan tuak keras. Hanya 

di rumah orang sebersih kalian kurasa apa yang 

aku sebutkan belakangan tidak ada. Jadi kami 

mohon pamit saja! Ha... ha... ha!" berkata begitu 

si gendut besar sambar tangan Ambini. Di lain ke-

jap kedua orang itu telah lenyap dari hadapan 

Dewa Angin Guntur.

"Luar biasa. Badannya begitu besar, tapi 

gerakannya begitu cepat dan ringan sekali. Jika 

tidak melihatnya sendiri rasanya sangat sulit un-

tuk bisa kupercaya!" gumam Galuh Pitaloka me-

rasa takjub.

"Orang tua seberat dan sebesar itu, mem-

punyai gerakan yang sangat ringan. Sungguh di 

atas langit masih ada langit!" timpal Dewa Angin 

Guntur. "Aku berharap tugas kita semakin ber-

tambah ringan, jika paman Gentong Ketawa dan 

temannya mau membantu kita."

Galuh Pitaloka anggukkan kepala. Dua 

pemimpin perguruan Gunung Keramat lalu ting-

galkan tempat itu. Sementara di balik serumpun 

semak belukar sepasang mata yang ikut menden-

gar semua pembicaraan dan mengawasi mereka 

sejak tadi sambil tersenyum sinis menyelinap

tinggalkan perguruan Gunung Keramat.




SEPULUH



Malam itu Selasih Jingga nenek tua berba-

dan setengah bungkuk benar-benar tak dapat 

memejamkan mata sedikitpun. Padahal malam te-

lah larut, sementara udara dingin terasa mencu-

cuk sampai ke tulang. Karena perasaannya terus 

menerus diwarnai kegelisahan orang tua itu lalu 

bangkit dan duduk di bibir balai bambu. Selasih 

Jingga diam sejenak seolah sedang memikirkan 

sesuatu. Mendadak dia tersentak kaget begitu 

mendengar suara benda jatuh. Dengan hati ber-

debar si nenek bangkit lalu mendatangi ke arah 

mana suara tadi berasal. Ternyata yang jatuh 

adalah sebuah kendi air. Si nenek belalakkan ma-

ta, perasaannya semakin tak karuan. Dipandan-

ginya kendi tanah itu yang telah hancur berkep-

ing-keping. Sementara air di dalam kendi itu tam-

pak menggenang memenuhi lantai.

"Alamat buruk, firasat tidak baik." gumam

si nenek. Dia berjongkok memunguti pecahan 

kendi, kemudian meletakkan puing kendi di atas 

meja bundar.

Selagi nenek Selasih Jingga bangkit berdiri 

pada saat hampir bersamaan mendadak terden-

gar pekikan suara burung gagak. Suara burung 

itu terdengar persis di atas rumahnya. Si nenek 

tercekat, dia meraba tengkuknya yang mendadak


berubah sangat dingin sekali. "Alamat celaka! Ti-

dak mungkin ada gagak berkeliaran pada malam-

malam begini. Ini adalah satu pertanda buruk 

yang tidak dapat dibantah!" desis si nenek dengan 

suara tercekat.

Suara burung yang didengarnya kemudian 

lenyap. Si orang tua entah mengapa teringat pada 

anaknya, sehingga dia segera menuju ke ruangan 

depan di mana Bayu Gendala tidur di situ. Nenek 

Selasih Jingga jadi kaget ketika melihat tempat ti-

dur pemuda itu dalam keadaan kosong. Cemas 

dan bingung si nenek segera menuju ke pintu de-

pan. Pintu dalam keadaan setengah terbuka. 

Orang tua ini julurkan kepala keluar, perasaan-

nya berubah menjadi lega ketika dia mendengar 

suara orang bersenandung. Senandung kesedihan 

dari orang yang merindukan kekasih.

"Dalam keadaan seperti itu tak mungkin 

aku mendekati, atau membujuknya. Kasihan dia, 

nasib hidupnya begitu buruk. Akupun tak mung-

kin melamarkan Bayu pada Lara Murti. Perbe-

daan antara kami tidak bedanya seperti langit 

dengan bumi, semoga Gusti Allah memberi petun-

juk padanya. Semoga dia mau mengerti!" kata si 

nenek dengan mata berkaca-kaca. Pintu kemu-

dian ditutupkan, setelah itu dia kembali mere-

bahkan diri di tempat tidurnya. Mungkin si nenek 

merasa yakin kalau orang yang bersenandung ta-

di adalah anaknya, Bayu Gendala.

Sementara itu pada waktu yang hampir 

bersamaan di perguruan Gunung Keramat suasana terasa lebih mencekam lagi. Seluruh murid 

perguruan yang tinggal di lima pondok panjang 

sudah terlelap dibuai mimpi, sedangkan di rumah 

induk yang ditempati oleh keluarga ketua pergu-

ruan Gunung Keramat juga dalam suasana sunyi.

Sementara di bagian samping rumah besar 

itu satu sosok tubuh nampak mendekam di balik 

gerumul tanaman bunga matahari. Cukup lama 

juga sosok serba putih itu memperhatikan kea-

daan di sekelilingya. Sampai kemudian sosok itu 

bangkit berdiri. Begitu bangkit dia berjalan men-

gendap-endap mendekati daun jendela kamar 

yang ditempati oleh Lara Murti. Pintu jendela ter-

nyata dalam keadaan terkunci. Sosok berpakaian 

serba putih dan memakai topeng kayu putih 

menggumamkan sesuatu seperti tengah membaca 

mantra. Setelah itu kedua tangan diangkat, ba-

gian telapak tangan ditiup sebanyak tiga kali, lalu 

tangan digosokkan satu sama lain. Begitu tangan 

beradu, terlihat asap tebal berbau aneh mengepul 

di udara. Bergulung-gulung, sebagian masuk ke 

alam kamar melalui celah jendela disertai bau ha-

rum aneh sedangkan sebagian lagi membubung 

tinggi di udara sampai akhirnya lenyap ditiup an-

gin.

Sosok berpakaian serba putih itu menye-

ringai, dua tangan lalu ditempelkan ke daun jen-

dela yang tepat diperkirakan di bagian kuncinya.

Wuuus!

Jendela hangus menghitam meninggalkan 

sepuluh jari tangan. Dengan cepat sekali jendela


dibuka. Asap berbau harum yang ternyata men-

gandung sirep jahat yang membuat orang dapat 

tertidur pulas telah membuat penghuni kamar ti-

dak menyadari ada bahaya besar yang sedang 

mengancamnya.

Begitu melihat Lara Murti dalam keadaan 

pulas seperti itu, maka sosok berpakaian putih 

memakai topeng itu langsung melompat masuk. 

Dia mendekati ranjang. Satu totokan dilakukan di 

bagian perut serta dada gadis itu. Baru kemudian 

Lara Murti dipanggulnya. Semua yang terjadi ber-

langsung dengan sangat cepat sekali. Di lain ke-

jap orang ini telah meninggalkan kamar sambil 

memanggul Lara Murti di bahu kanannya. Dia 

kemudian berlari menjauh dari perguruan itu, 

hingga sampai di satu tempat yang cukup aman 

orang ini hentikan larinya. Lara Murti segera ditu-

runkan dari bahunya dan direbahkan dengan po-

sisi menelentang. Beberapa saat lamanya orang 

bertopeng pandangi gadis yang masih belum sa-

darkan diri itu. Sesungging senyum menghias bi-

birnya.

"Malam ini segala malapetaka itu bermula. 

Dendamku tak akan impas walaupun aku bisa 

melenyapkan seribu nyawa. Gadis ini terpaksa 

kujadikan korban, perantara dari segala kemara-

hanku yang tidak pernah padam. Dia harus me-

rasakan penderitaan hebat yang pernah kurasa-

kan dulu. Ha... ha... ha!" kata sosok berpakaian 

putih dengan nafas memburu bercampur amarah 

dan nafsu. Dia kemudian jatuhkan diri berlutut di


samping si gadis. Tangan kanannya berkelebat. 

Bret!

Pakaian Lara Murti robek di bagian dada. 

Seperti dirasuki setan orang ini mencabik-cabik 

pakaian si gadis, hingga keadaan Lara Murti nya-

ris telanjang. Perlakuan yang kasar ini tentu 

membuat si gadis terjaga dan jadi terkejut besar 

begitu menyadari dirinya telah berada di lain 

tempat. Lebih terkejut lagi ketika melihat pa-

kaiannya dalam keadaan tak karuan. Lara Murti 

memekik keras, dia mencoba menggerakkan ka-

kinya sambil menghantamkan tangan kanan ke 

bagian dada sosok bertopeng. Tapi dia jadi terke-

jut sendiri begitu menyadari kaki dan tangannya 

sulit digerakkan.

"Siapa kau! Lepaskan jahanam terkutuk! 

Lepaskan aku!" pekik si gadis. Akan tetapi suara 

makiannya hanya sampai sebatas tenggorokan 

saja. Sementara orang bertopeng putih telah ber-

hasil melakukan perbuatan paling terkutuk pada 

dirinya.

Lara Murti hanya dapat menangis tanpa 

suara. Air mata bercucuran tiada henti, tubuhnya 

didera rasa sakit yang sangat hebat. Dalam kea-

daan seperti itu Lara Murti berusaha mengum-

pulkan tenaga dalam untuk membebaskan toto-

kan. Usahanya itu ternyata berhasil, dia berusaha 

melompat bangkit berdiri. Sosok bertopeng meng-

halangi dengan menekan kepalanya.

"Manusia durjana, kubunuh kau!" pekik si 

gadis. Dengan perasaan hancur gadis ini meraih


topeng yang dipakai orang yang telah meno-

dainya, sedangkan tangan kanan dihantamkan ke 

bagian dada orang itu. Angin menderu disertai 

berkiblatnya sinar biru ke arah sosok yang telah 

menghancurkan dirinya. Tapi sosok berpakaian 

serba putih itu cepat ambil tindakan penyelama-

tan dengan jatuhkan diri di samping si gadis 

hingga pukulan ganas itu hanya menghantam re-

ranting dan daun pepohonan. Ranting dan daun 

hangus gosong. Sosok bertopeng mencabut pe-

dang, pedang diayunkan tepat searah jantung. 

Bersamaan dengan itu pula topeng terenggut le-

pas.

"Kau...!" desis si gadis dengan mata terbela-

lak dan mulut ternganga lebar. Kelengahan yang 

hanya sekejap ini langsung dipergunakan oleh 

orang itu, ujung pedang berkelebat menghunjam 

dada si gadis. Dia menjerit. Darah menyembur, 

sejenak lamanya dengan mata yang semakin 

mengabur dia pandangi sosok itu. Bibirnya berge-

rak lemah, mengucapkan kata-kata yang tidak je-

las. Sosok berpakaian serba putih nampak berge-

rak menjauh, terus melangkah mundur seperti 

ketakutan sampai akhirnya dia membalikkan 

badan dan berkelebat meninggalkan tempat itu.

Pagi keesokan harinya perguruan Gunung 

Keramat menjadi gempar dengan ditemukannya 

jenazah Lara Murti oleh salah seorang murid per-

guruan yang saat itu sedang mengambil air di tepi 

telaga di mana bencana itu menimpa diri putri ke-

tua perguruan mereka. Semua murid-murid perguruan ini menjadi sangat sedih melihat kematian 

Lara Murti yang mengenaskan, Lara Murti yang 

sangat baik selama ini sudah mereka anggap se-

bagai saudara tua mereka sendiri. Kini tiba-tiba 

gadis itu dinodai secara keji dan dibunuh pula, 

siapa yang tidak berduka. Dalam kedukaan itu 

terbersit pula rasa dendam amarah pada sang 

pembunuh. Apalagi mereka di samping pedang 

yang dipergunakan untuk membunuh juga me-

nemukan sebuah topeng kayu. Topeng itu sudah 

sangat mereka kenal, siapa pemiliknya rasanya 

mereka juga sudah tahu. Sebab beberapa kali me-

reka melihat pemuda pemilik topeng tersebut 

menggoda Lara Murti. Selain itu si pemuda berto-

peng yang bukan lain adalah Bayu Gendala ini 

juga pernah mengancam Lara Murti akan mela-

kukan cara apapun untuk mendapatkannya.

"Jahanam itu kalau diijinkan oleh guru, ra-

sanya aku ingin memenggal kepalanya saat ini ju-

ga!" kata salah seorang pemuda yang berkumpul 

dengan saudara seperguruan yang lain di bagian 

halaman rumah duka.

Di dalam ruangan Lambang Pambudi begi-

tu melihat kematian kekasihnya yang sangat 

mengenaskan nampak mengalami guncangan he-

bat. Berulangkali dia tak sadarkan diri. Beberapa 

murid perguruan yang juga larut dalam kesedi-

han nampak tengah berusaha menghiburnya.

Sedangkan Galuh Pitaloka nampak me-

rangkul mayat Lara Murti erat-erat. Dia tidak 

perduli darah dari luka si gadis mengalir membasahi sebagian pakaiannya. Melihat keadaan 

anaknya yang mengenaskan tokoh utara yang ga-

gah ini nampak cucurkan air mata. Sekujur tu-

buhnya mengkirik, jantungnya serasa mau mele-

dak, tubuh lemas lunglai. Galuh Pitaloka mera-

tap, tak sanggup menyaksikan keadaan anak ga-

disnya tewas begitu rupa.

Di belakangnya Dewa Angin Guntur nam-

pak pejamkan matanya. Walaupun orang tua ini 

nampak lebih tabah, tak urung hatinya sempat 

terguncang juga menyaksikan kematian putri sa-

tu-satunya yang sangat dia kasihi. Walaupun ke-

pedihan itu mendera batin Si orang tua, dia ma-

sih dapat bersikap lebih tegar. Beberapa saat se-

telah Dewa Angin Guntur dapat menenangkan pi-

kiran dan mengumpulkan segenap kekuatan ba-

tin yang sempat tercerai berai akibat musibah be-

sar itu dia segera melangkah ke tengah ruangan 

di mana pedang dan topeng putih itu tergeletak. 

Pedang yang berlumuran darah di selipkannya di 

pinggang sebelah kiri. Setelah itu dia memungut 

topeng kayu berwarna putih. Dengan mata merah 

berkilat penuh rasa benci ditatapnya topeng itu 

beberapa kejap lamanya. Tubuh si orang tua ber-

getar hebat. Wajah merah kelam, bibir bergeleme-

letukan sedangkan larang keluarkan suara berge-

lemetukan. Mendidih darah Dewa Angin Guntur 

terbakar amarah. Dia lalu berkata dengan suara 

menggeledek. 

"Pemilik topeng keparat ini aku sudah 

mengenalnya. Aku tidak bisa menerima kenya


taan ini. Aku harus menentukan satu kematian 

yang paling menyakitkan bagi dirinya. Dia tidak 

akan kubunuh begitu saja, terlalu enak baginya. 

Dia harus merasakan penderitaan hebat sebelum 

kematian menjemputnya!" Sejenak lamanya dia 

pandangi Lambang Pambudi dan juga Galuh Pita-

loka yang sedang membaringkan jenazah Lara 

Murti "Pambudi, kau bantu mengurus jenazah 

anakku. Kuburkan dia secara layak. Perintahkan 

beberapa muridku untuk membuatkan kubur di 

halaman depan." tegas Dewa Angin Guntur.

"Apapun perintah ayah akan saya kerja-

kan. Tapi ayah... saya mohon ayah bisa menghu-

kum pemuda itu dengan seberat-beratnya." pinta 

Lambang Pambudi. Orang tua itu anggukkan ke-

pala.

Dia lalu memandang ke arah istrinya. "Is-

triku, jika upacara penguburan putri kita selesai, 

engkau boleh menyusul. Kau akan melihat ba-

gaimana aku menghabisi pemuda bangsat itu!" 

berkata begitu dengan menanggung guncangan 

batin yang sangat berat Dewa Angin Guntur sege-

ra tinggalkan ruangan itu.

Di bagian halaman depan ratusan murid-

nya telah menunggu. Dengan bersenjata lengkap. 

Sebagian di antara mereka bahkan ada pula yang 

menunggang kuda.

Dewa Angin Guntur segera melompat ke 

atas punggung kuda berbulu hitam. Tak lama 

kemudian ratusan murid Gunung Keramat segera 

menuju ke arah timur Solotigo.

Melewati beberapa dusun jumlah rombon-

gan semakin bertambah besar. Rupanya kematian 

Lara Murti cepat sekali tersebar dari mulut ke 

mulut. Dan ini mengundang rasa simpati di hati 

mereka sehingga tanpa diminta mereka segera 

menggabungkan diri dengan murid-murid Gu-

nung Keramat.




SEBELAS



Di dalam rumahnya Selasih Jingga alias 

Jari Perontok Nyawa nampaknya mondar-mandir 

dalam kegelisahan. Sesekali dia memandang ke 

arah Bayu Gendala, di lain waktu si nenek don-

gakkan kepalanya ke atas. Dia menarik nafas, la-

lu memandang keluar lewat jendela samping.

"Ibu ada apa? Ibu kulihat seperti orang 

bingung?" tanya Bayu Gendala yang merasa serba 

salah melihat sikap ibunya.

Orang tua itu diam tertegun, setelah itu dia 

menoleh dan memandang pada pemuda di de-

pannya dengan tatapan penuh selidik.

"Kau ke mana saja malam tadi?" tanya si 

nenek curiga.

Mendapat pertanyaan itu Bayu Gendala ke-

rutkan keningnya seperti heran. Tapi kemudian 

dia tersenyum sinis. "Aku tidak pergi ke mana-

pun. Aku berada di sebelah timur pekarangan 

rumah kita. Memang ada apa bu?" tanya Bayu 

Gendala sambil memandangi ibunya.


"Ibu merasakan ada sesuatu yang aneh, 

ibu juga mendapat firasat buruk tentang dirimu." 

jawab ibunya sambil mencoba menutupi galau di 

hatinya.

"Ha... ha... ha, ibu ada-ada saja. Segala 

macam firasat ibu percaya. Mengenai Lara Murti 

ibu tenang saja. Jika aku tidak bisa mendapatkan 

cintanya, siapapun tidak akan memilikinya, 

mungkin juga termasuk orang tuanya sendiri."

Mendengar ucapan pemuda itu nenek Sela-

sih Jingga belalakkan matanya. "Apa maksudmu 

anakku? Jangan sekalipun kau berani berbuat 

nekad? Kau harus ingat, kau harus eling anakku 

siapa dirimu itu?!"

Bayu Gendala gelengkan kepala. "Diriku 

adalah anak dari seorang ibu yang malang. Ibu 

yang tidak pernah punya keberanian menghadapi 

kenyataan hidup." dengus si pemuda. "Aku tahu 

ada sesuatu yang ibu sembunyikan dariku. Sesu-

atu yang mungkin menyangkut kejadian buruk 

yang pernah ibu lakukan di masa lalu." kata Bayu 

Gendala.

"Bayu Gendala anakku. Tega sekali kau 

berkata seperti itu pada ibumu?!" jerit nenek Se-

lasih Jingga. Perempuan itu lalu tekad wajahnya 

dengan kedua tangan. Air mata si nenek bergulir 

melewati celah-celah jemari tangannya. Bayu 

Gendala sama sekali tidak perduli, sedikitpun ti-

dak ada rasa iba di hatinya melihat ibunya me-

nangis. Malah dia kemudian berkata menyesali.

"Aku muak hidup dalam keadaan seperti


sekarang ini. Di depanku ibu selalu berpura-pura. 

Katakan terus terang ibu, jika ibu adalah orang 

baik orang jujur sebagaimana yang kulihat saat 

ini mengapa ibu takut menghadapi mereka, men-

gapa sedari kecil hingga ku menjadi besar ibu se-

lalu mengurung diri di dalam rumah ini. Menga-

pa?!" tanya pemuda itu.

Nenek tua itu turunkan kedua tangannya, 

dia pandangi kedua Bayu Gendala dengan sorot 

mata seakan tak percaya. Hatinya diam-diam me-

rintih, mungkin semua itu terjadi akibat kejaha-

tan yang pernah dilakukannya di masa yang lalu.

"Mengapa ibu diam?" suara si pemuda 

kembali memecah keheningan. Belum lagi nenek 

Selasih Jingga sempat menjawab. Pada saat itu 

pula terdengar suara teriakan menggeledek yang 

datang dari arah bagian depan rumah tinggal me-

reka.

"Selasih Jingga! Mana anakmu! Suruh dia 

keluar mempertanggungjawabkan segala dosa 

terkutuknya!" kata satu suara.

Di dalam rumah nenek Selasih Jingga jadi 

kaget, begitu juga halnya dengan Bayu Gendala. 

Ibu dan anak saling pandang, tapi mereka seperti 

disentakkan langsung melompat mendekati dind-

ing bambu. Dari balik dinding mereka mengintai 

keluar. Kejut di hati si nenek bukan olah-olah be-

gitu dia melihat rumahnya telah dikepung oleh ra-

tusan murid perguruan Gunung Keramat. Bukan 

hanya itu saja, di samping murid-murid pergu-

ruan ikut tergabung pula puluhan penduduk dari


beberapa dusun. Mereka semua memegang senja-

ta berbagai jenis. Wajah membayangkan keberin-

gasan dan dendam, di antara para pendatang ini 

bahkan ada yang memegang obor yang siap di-

nyalakan bila dibutuhkan. Si nenek tahu arti se-

mua itu.

"Apa yang telah kau lakukan, Bayu? Men-

gapa mereka datang ke mari?" tanya perempuan 

itu dengan suara pelan bergetar. Bayu Gendala 

yang dibuat bingung melihat kemunculan ketua 

perguruan Gunung Keramat dan juga muridnya 

jadi gugup.

"Aku... aku tidak tahu. Aku merasa belum 

pernah melakukan apapun!" sergah si pemuda 

mencoba meyakinkan ibunya. Dalam keadaan te-

gang begitu rupa Selasih Jingga alias Jari Peron-

tok Nyawa dapat melihat satu kejujuran terpancar 

di mata anaknya.

"Selasih Jingga! Serahkan anakmu untuk 

menerima hukuman setimpal dariku. Bayu Gen-

dala telah menodai dan membunuh anakku seca-

ra keji. Sekarang dia harus menerima hukuman 

dariku!" kata satu suara. Bila nenek Selasih Jing-

ga maupun Bayu Gendala mengintip ke arah da-

tangnya suara, ternyata yang berteriak itu adalah 

Dewa Angin Guntur, ketua perguruan Gunung 

Keramat.

"Anakku, aku tahu kau berkata jujur. Tapi 

orang-orang di luar sana mustahil percaya den-

gan keteranganmu. Kau larilah dari pintu bela-

kang, selamatkan dirimu. Jangan sekalipun fiki


ran diriku."

"Tapi ibu...!" Bayu Gendala nampak ragu-

ragu, mungkin juga tidak tega melihat nasib bu-

ruk yang menimpa ibunya.

"Kuingatkan lagi, jangan kau pikirkan 

ibumu!" tegas si nenek masih dengan suara per-

lahan. Merasa tidak punya jalan lain, Bayu Gen-

dala anggukkan kepala. Dia melangkah mendeka-

ti pintu belakang. Sementara itu dari luar sana 

kembali terdengar suara teriakan.

"Selasih Jingga tua bangka keparat! Aku 

tahu kau berada di dalam sana, aku tahu kau 

mendengar. Cepat keluar! Serahkan anak itu! Ini 

kesempatan terakhir yang kuberikan padamu. Ji-

ka kau tak mau keluar rumah ini akan kubakar. 

Kau dan anakmu bisa terbakar hidup-hidup!"

Dalam keadaan seperti itu di mana suara 

teriakan tidak sabar mulai terdengar di sana-sini, 

Jari Perontok Nyawa sudah tidak dapat lagi 

menggunakan akal sehatnya. Dengan cepat dia 

melesat melewati pintu depan. Hanya beberapa 

saat saja dia sudah berdiri tegak di depan Dewa 

Angin Guntur. Laki-laki berambut putih itu mem-

perhatikan si nenek sekejap, dia lalu mengambil 

pedang berlumur darah dari pinggangnya, kemu-

dian dari balik pakaian dia juga mengeluarkan 

sebuah benda yang ternyata adalah sebuah to-

peng kayu berwarna putih. Melihat kedua benda 

ini nyawa si nenek laksana terbang. Tubuhnya 

bergetar kehilangan tenaga sedangkan wajah yang 

keriput berubah seputih kertas.


"Kau tentu mengenali kedua benda ini, Se-

lasih?" berkata Dewa Angin Guntur dengan suara 

keras menyentak. "Pedang anakmu ini kutemu-

kan tertancap di bagian jantung, sedangkan to-

peng ini tergeletak di samping mayat Lara Murti 

putriku. Untuk kau ketahui, sebelum membunuh 

anakmu telah berlaku keji terhadap anakku. Se-

karang mana anakmu, cepat kau serahkan pada-

ku!" teriak laki-laki berambut putih ini sudah ti-

dak sabar.

Walaupun si nenek merasa tidak berdaya 

melihat bukti-bukti yang ditunjukkan Dewa Angin 

Guntur namun dia masih juga berusaha memberi 

penjelasan. "Aku akui topeng dan pedang itu ada-

lah milik anakku Bayu Gendala. Tapi aku tak 

percaya anakku yang telah berbuat keji bahkan 

membunuh anakmu. Demi Tuhan aku berani 

menjaminnya!" kata si nenek bersungguh-

sungguh.

"Dia berdusta!" teriak murid-murid Dewa 

Angin Guntur.

"Dia juga harus dibakar hidup-hidup!" te-

riak puluhan penduduk yang ikut bergabung 

dengan mereka.

Laki-laki itu memberi isyarat agar murid-

nya diam. Setelah itu dia baru berkata, "Jari Pe-

rontok Nyawa, aku tahu sekarang kau sudah ber-

taubat. Aku tahu kau tidak melakukan kejahatan 

lagi. Akan tetapi harus kau ingat segala kekejian 

dan keganasanmu di masa lalu tidak mudah kau 

hapuskan dari ingatan orang. Aku tidak akan


mengusikmu, karena tidak kubunuh pun kau 

pasti akan mati dengan sendirinya. Tapi kuperin-

gatkan sekali lagi Bayu Gendala harus kau serah-

kan padaku. Jika kau punya tujuan baik dan be-

nar-benar telah insyaf, kau harus tunjukkan iti-

kad baik dengan tidak membelanya. Dengan begi-

tu aku baru bisa percaya!" hardik Dewa Angin 

Guntur.

"Mengenai anak itu silahkan cari sendiri. 

Dia sudah besar dan bisa menentukan jalan hi-

dupnya! Hanya sekali lagi kutegaskan, sebagai 

ibu aku tahu dia tidak melakukan perbuatan se-

bagaimana yang kau tuduhkan."

"Tua bangka gila, apakah bukti yang ku-

bawa tidak cukup jelas bagimu?!" teriak si orang 

tua kalap.

"Mungkin... mungkin... topeng dan pedang 

itu sengaja dipergunakan seseorang untuk menu-

tupi perbuatannya." kata si nenek.

Percuma saja dia memberi penjelasan. De-

wa Angin Guntur dengan cepat segera memberi 

isyarat. Belasan orang menyalakan obor, begitu 

obor menyala langsung dilemparkan ke atap ru-

mah si nenek. Orang tua ini menjerit kaget. Da-

lam pada itu dari pintu belakang berkelebat satu 

sosok tubuh melewati kobaran api yang mulai 

membakar di sana-sini.

"Jahanam itu lari ke mari!" teriak belasan 

murid Dewa Angin Guntur yang berjaga-jaga di 

belakang.

"Jangan biarkan dia meloloskan diri!" te


riak ketua perguruan Gunung Keramat. Di bela-

kang saja Bayu Gendala yang gagal melarikan diri 

dari kepungan lawan segera melolos senjatanya. 

Dia telah bertekad untuk membuka jalan darah 

demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya. 

Sekejap saja dentring beradunya senjata tajam 

memenuhi udara. Teriakan geram terdengar pula 

di sana-sini. Nenek Selasih Jingga tentu saja ter-

kejut bukan main melihat anaknya dikeroyok be-

gitu rupa. Dia ingin membantu, tapi jadi ragu-

ragu. Pada saat dirinya lengah, Dewa Angin Gun-

tur tiba-tiba berkelebat melompatinya. Satu toto-

kan menghantam punggungnya hingga nenek Se-

lasih Jingga jadi kaku tertotok seperti patung.



DUA BELAS



Mengapa kau perlakukan aku seperti ini, 

Dewa Angin Guntur!" teriak si nenek kaget. 

"Urusanku dengan anakmu harus kube-

reskan dulu. Setelah itu mengenai dirimu terse-

rah keputusanku nanti!" dengus Dewa Angin 

Guntur. Orang tua ini lalu berkelebat menuju ke 

arah Bayu Gendala yang sedang dikeroyok oleh 

murid-muridnya juga penduduk yang ikut serta 

dengan mereka. Melihat kemunculan Dewa Angin 

Guntur, Bayu Gendala yang langsung menghan-

tamnya dengan pukulan tangan kosong bertubi-

tubi membuat pemuda ini semakin terdesak he-

bat. Tadi saja sebelum tokoh sakti itu turun tangan dia hanya dapat mematahkan serangan ganas 

yang datang bertubi-tubi dari seluruh penjuru 

arah. Bayu Gendala yang sebenarnya memiliki 

tingkat kepandaian hampir sama dengan murid 

perguruan Gunung Keramat kini terpaksa harus 

mengerahkan segenap kekuatan yang dia miliki. 

Pedang diputar mengeluarkan suara menderu, 

benturan yang terjadi membuat murid-murid De-

wa Angin Guntur terdorong mundur, pedang di 

tangan mereka bahkan ada yang terpental. Tapi 

laksana badai mereka kembali menyerang. Kini 

Bayu Gendala mulai terdesak. Beberapa pedang 

lawan bahkan berhasil melukai tubuhnya. Darah 

mengucur membasahi pakaian si pemuda. Sema-

kin lama pertahanan Bayu semakin melemah, 

kembali puluhan pedang menghantam tubuhnya. 

Bahkan telinga, hidung serta bibir Bayu tanggal 

diterabas pedang yang datang tiada kunjung hen-

ti.

"Kini giliranku...!" satu suara berteriak. La-

lu satu bayangan berkelebat. Para pengeroyok 

berlompatan mundur, satu tangan menghantam 

kepala dan satunya lagi menjebol ke bagian perut.

Braak!

Breet!

"Akh... ibuuu... akh...!" Bayu Gendala men-

jerit keras begitu kepalanya rengkah dihantam 

Dewa Angin Guntur. Bukan hanya itu saja, isi pe-

rut si pemuda terburai berhamburan keluar. Se-

mua ini disaksikan oleh Selasih Jingga. Si nenek 

menjerit, meraung histeris melihat nasib buruk


yang terjadi pada putranya.

Tidak sampai di situ saja rupanya, begitu 

melihat Bayu Gendala jatuh tergelimpang murid-

murid perguruan Gunung Keramat dengan berin-

gas langsung mencincang tubuhnya.

"Tidak! Jangan... ku mohon jangan laku-

kan itu padanya! Dia tidak bersalah!" teriak si ne-

nek dengan perasa pilu seperti tersayat-sayat. 

Siapapun pasti tidak tega melihat kematian 

anaknya, apalagi dalam keadaan se mengerikan

itu, terlebih-lebih dia sendiri merasa tidak punya 

kekuatan apa-apa untuk menolong.

"Guru, sebaiknya kita habisi saja tua 

bangka jahat ini sekalian. Agar kelak tidak men-

jadi biang bencana!" kata salah seorang murid 

Dewa Angin Guntur. Kemudian tanpa menunggu 

jawaban gurunya mereka yang baru saja menyin-

cang Bayu Gendala hingga keadaan mayatnya se-

perti daging dicacah, mereka serentak berbalik, 

kemudian berlari menghambur ke arah si nenek 

dengan senjata terhunus. 

"Selasih Jingga, apapun yang terjadi pada 

anakmu dan dirimu pada hari ini anggap saja 

semua ini merupakan balasan berikut bunganya 

dari segala kejahatan yang pernah kau lakukan di 

masa lalu!" kata Dewa Angin Guntur tanpa mau 

atau berusaha mencegah niat para muridnya juga 

para penduduk yang ikut serta untuk menghabisi 

si nenek.

Dalam keadaan hati diliputi kegundahan 

yang mendalam, si nenek yang semula bersikap


pasrah saja melihat tindakan brutal yang dilaku-

kan Dewa Angin Guntur dan para muridnya kini 

bertekad untuk membalaskan kematian sang 

anak.

"Dewa Angin Guntur, ternyata kekejaman-

mu dan kekejaman para muridmu melebihi iblis! 

Aku tidak terima!" teriak si nenek. Dia lalu kerah-

kan tenaga dalam untuk membebaskan pengaruh 

totokan lawan. Tadi dia jadi terkejut sendiri begitu 

menyadari pengaruh totokan tidak dapat dipu-

nahkan. Malah tenaga dalam yang dipergunakan 

untuk melenyapkan totokan kini berbalik menye-

rang dadanya. Si nenek menyeringai kesakitan, 

sedangkan Dewa Angin Guntur tertawa terbahak-

bahak.

"Sampai mati pun kau tak mungkin bisa 

membebaskan totokanku!" seru si laki-laki.

Sementara itu jarak antara si nenek den-

gan puluhan murid Dewa Angin Guntur yang 

hendak mencincangnya semakin bertambah de-

kat. Nampaknya jiwa si nenek tidak mungkin da-

pat diselamatkan lagi. Karena sudah merasa tidak 

melakukan tindakan apapun untuk menyela-

matkan diri, si nenek jadi putus asa. Mata dipe-

jamkan siap menerima kematian. Tapi pada saat 

itu pula mendadak sontak terdengar suara meng-

gemuruh seperti air bah yang menjebolkan ben-

dungan. Angin deras menyambar menghantam 

para murid perguruan Gunung Keramat. Belasan 

pemuda berpelantingan jatuh tumpang tindih tak 

berketentuan. Walaupun mereka tidak sampai


tewas, tapi banyak di antaranya yang menderita 

luka dalam. Dewa Angin Guntur terkejut besar. 

Dia secepatnya memandang ke arah datangnya 

hembusan angin keras tadi di mana membuat di-

rinya sempat terhuyung.

"Manusia keparat, siapapun yang berani 

mencampuri urusanku harap mau menunjukkan 

diri!" teriak si orang tua. 

Sebagai jawaban terdengar suara siulan 

tak berkejuntrungannya. Setelah itu terdengar 

pula suara tawa bekakan. Suara tawa itu seakan 

datang dari empat penjuru arah, seolah orang 

yang tertawa ada empat orang.

Dewa Angin Guntur maklum siapapun 

orangnya yang telah menggagalkan niat murid-

muridnya pasti memiliki kesaktian yang tinggi. 

Tapi dia tak perduli, siapapun adanya yang berani 

mencampuri urusannya berarti dia merupakan 

musuh yang harus dibunuh. Apalagi bila mengin-

gat orang itu nampaknya membela bekas tokoh 

sesat yang dulu sering melakukan berbagai ma-

cam kejahatan.

"Kuingatkan sekali lagi, walau kau punya 

ilmu memindahkan suara harap tunjukkan diri!" 

Dewa Angin Guntur kembali berseru.

"Ha... ha... ha! Sungguh tidak sedap pe-

mandangan hari ini. Aku melihat orang yang 

mengaku dirinya sebagai orang gagah tidak ta-

hunya telah berlaku tolol pengecut bahkan tega 

hendak membunuh orang yang sudah tidak ber-

daya. Sungguh tanpa akal sehat manusia itu suka melakukan tindakan yang lebih keji bahkan 

lebih jahat dari binatang!" kata satu suara. Seir-

ing dengan terdengarnya suara yang sempat 

membuat wajah dan telinga Dewa Angin Guntur 

jadi panas memerah dari balik pohon besar berke-

lebat satu bayangan ke arah mereka.

Beberapa saat kemudian di depan si nenek 

Selasih Jingga telah berdiri dengan sikap melin-

dungi seorang pemuda tampan berambut gon-

drong sebahu. Pemuda itu bertelanjang dada, 

sambil bertolak pinggang dia harus saja tertawa 

berhehahehe.

Dengan mata mendelik Dewa Angin Guntur 

memandangi pemuda itu. Semula dia menyangka 

orang yang menggagalkan niat murid-muridnya 

adalah seorang tokoh sakti sebagaimana dirinya. 

Tapi tidak dikira ternyata hanyalah seorang pe-

muda yang tidak dikenal yang agaknya miring 

otaknya. Karena itu diapun membentak.

"Pemuda kurang ajar, siapa dirimu. Berani 

mati kau mencampuri urusanku?" hardik Dewa 

Angin Guntur. Sementara itu murid-muridnya ju-

ga penduduk yang tergabung dengannya sudah 

mengepung si pemuda. Merasa dikepung begitu 

rupa, pemuda ini malah tersenyum. Dia lalu men-

jawab pertanyaan orang tua itu.

"Namaku Gento Guyon. Aku sama sekali 

bukan bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi 

sebagai manusia yang dihormati hendaknya eng-

kau berpikir apakah tindakan yang paman laku-

kan tidak keliru dengan membiarkan murid


muridmu hendak membunuh nenek itu!"

"Dulu dia adalah seorang iblis yang memi-

liki kejahatan selangit tembus." sahut Dewa Angin 

Guntur sengit.

"Yang paman katakan adalah dulu. Dan 

sekarang dia tidak melakukan kejahatan lagi, 

mengapa paman hendak membunuhnya?!" tanya 

Gento heran.

"Penyesalan yang dilakukannya boleh jadi 

hanya topeng belaka. Karena itu aku tidak per-

caya padanya bahkan ingin sekali menghabisi pe-

rempuan ini sekarang juga!" tegas Dewa Angin 

Guntur.

"Apakah dia pernah bersalah padamu?" 

tanya murid Gentong Ketawa sambil mengusap 

wajahnya.

Ditanya seperti itu ketua perguruan Gu-

nung Keramat terdiam. Tapi kemudian dia men-

jawab. "Secara langsung memang tidak, tapi 

anaknya telah menodai putriku. Bukan hanya itu 

saja. Dia bahkan telah membunuhnya!" dengus si 

laki-laki tua.

"Anak muda, apa yang dikatakannya bisa 

jadi tidak benar. Anakku memiliki ilmu kepan-

daian yang tidak seberapa tinggi. Bagaimana 

mungkin bisa berlaku jahat pada Lara Murti?!" 

kata nenek Selasih Jingga.

"Perempuan keparat! Dua bukti masih be-

lum kau anggap cukup bagimu! Kau hendak 

membelanya hah?!" hardik Dewa Angin Guntur 

menjadi marah.


"Aku tidak membelanya. Aku hanya tidak 

percaya anakku telah membunuh putrimu!" sahut 

Selasih Jingga.

"Sebaiknya habisi saja nenek keparat dan 

pemuda sinting itu guru!" kata salah seorang di 

antara muridnya sudah tidak sabar.

"Pemuda tolol, kau sudah mendengar ka-

rena kesalahan anaknya. Muridku juga jadi in-

ginkan nyawanya. Jika kau tidak mau cari pe-

nyakit, sebaiknya menyingkirlah sejauh mung-

kin!" perintah Dewa Angin Guntur tegas. Menden-

gar ucapan Dewa Angin Guntur, murid kakek 

Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak. Begitu 

tawanya lenyap, pemuda ini berkata.

"Orang tua, kutugaskan padamu, mengenai 

kematian anakmu aku punya pendapat lain. Bisa 

jadi anaknya nenek ini memang pelakunya, tapi 

boleh jadi bukan dia orangnya. Pemuda itu kini 

telah kalian jadikan perkedel. Melihat hal itu aku 

sendiri tidak tega. Lalu mengapa nenek ini harus 

menanggung dosa anaknya. Padahal aku merasa-

kan seperti ada sesuatu yang tidak beres sedang 

terjadi!" kata Gento.

"Eeh, apa maksudmu?" tanya Dewa Angin 

Guntur dengan kening berkerut juga penasaran.

Gento Guyon berpikir sejenak, lalu berkata. 

"Aku berjanji akan menyelidiki semua kejadian 

yang menimpa anakmu. Beri aku sedikit waktu 

untuk mengungkapkannya. Jika nantinya terbuk-

ti memang anaknya yang melakukan semua per-

buatan itu, maka terserah apa yang hendak kau


lakukan kepadanya!" kata si pemuda.

"Bocah kampret sialan. Kau pikir dirimu 

siapa? Bagaimana kau bisa berpendapat lain, pa-

dahal bukti-bukti sudah jelas. Lagipula mengapa 

kau membelanya?" hardik Dewa Angin Guntur 

sengit.

"Bukti tidak selamanya mengungkapkan 

kejadian yang benar. Aku tidak membelanya. Aku 

hanya minta sedikit waktu untuk mengung-

kapkan sesuatu dengan sebenar-benarnya."

"Tidak bisa. Aku tidak mau membiarkan 

perempuan itu lolos dari tanganku!" kata si orang 

tua tegas.

"Orang tua... hendaknya kau mau bersabar 

diri. Jika kau menyerangku akan banyak nan-

tinya korban yang tidak berdosa yang berjatuhan. 

Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku minta waktu 

dua pekan, kelak aku akan datang ke tempatmu!" 

ujar si pemuda.

"Guru jangan dengar apa katanya. Kita bu-

nuh saja dia!" teriak murid-muridnya sudah tidak 

sabar.

"Aku sependapat, cepat lakukan!!" teriak 

Dewa Angin Guntur. Dia kemudian memberi aba-

aba dengan anggukan kepala. Detik itu juga dari 

seluruh penjuru arah murid-murid perguruan 

Gunung Keramat menyerbu ke depan menyerang 

si nenek juga Gento.

"Kampret! Aku harus menyingkir!" rutuk si 

pemuda. Dia lalu hantamkan kedua tangannya 

delapan kali berturut-turut ke delapan penjuru


arah. Begitu hawa panas berkiblat disertai deru 

angin bergulung-gulung yang langsung menyam-

bar para penyerangnya, maka Gento pergunakan 

kesempatan itu sebaik mungkin. Dia menyambar 

tubuh si nenek, lalu berkelebat tinggalkan tempat 

itu.

Puluhan orang menjerit dan berpentalan 

roboh. Dewa Angin Guntur melihat pemuda itu 

melarikan Si nenek berteriak keras sambil meng-

hantam dengan satu pukulan mematikan.

"Kau tidak akan kubiarkan lolos!" hardik 

Dewa Angin Guntur.

Di depan sana tanpa menoleh Gento terge-

lak-gelak sambil menghantam ke belakang me-

nyaributi pukulan ketua perguruan Gunung Ke-

ramat.

Buuum!

Satu ledakan menggelegar di udara. Tanah 

terguncang keras, debu mengepul menutupi pe-

mandangan, sedangkan Dewa Angin Guntur tam-

pak terhuyung. Begitu pemandangan jadi biasa 

kembali, maka Gento dan si nenek telah lenyap 

dari tempat itu.

"Keparat sial! Bocah itu kelak akan mene-

rima hukuman berat dariku!" geram si orang tua 

sambil kepalkan tinjunya. Dengan perasaan ke-

cewa dia memerintahkan muridnya untuk kemba-

li ke perguruan. Mereka yang sempat roboh dan 

terluka bangkit terus berdiri. Sambil mengikuti 

gurunya mereka terus menggerendeng sepanjang 

jalan. Dewa Angin Guntur diam tidak menanggapi. Dia malah memacu kudanya hingga berlari le-

bih cepat, jauh meninggalkan murid-muridnya.


                            -TAMAT-


SEGERA TERBIT!! 

TOPENG KEDUA




















0 komentar:

Posting Komentar