Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE MISTERI GOA MALAIKAT

matjenuh


MISTERI GOA MALAIKAT

Oleh Barata

Cetakan Pertama

Penerbit Wirautama, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengutip atau Memproduksi

Dalam Bentuk Apapun

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Barata

Serial Pendekar Cambuk Naga

Dalam Episode :

Misteri Goa Malaikat

128 Hal,; 12.18 Cm.; 01.1290.50.3


SATU


1

PENDEKAR Pusar Bumi, atau Lanang 

seta, segera mencabut pedangnya setelah 

tiga utusan Bukit Badai menyerangnya 

bertubi-tubi dengan senjata kampak 

panjangnya.

"Sreet..!"Pedang Wisa Kobra keluar 

dari sarungnya. Terdengar bunyi denging 

yang datar, namun sangat menyakitkan 

gendang telinga. Ketiga utusan dari 

Penguasa Bukit Badai meloncat tinggi, 

bersalto ke belakang bersama. Salah 

seorang berseru kepada kedua temannya:

"Cari daun, sumbatkan pada telinga 

kita!"

Gerakan ketiga utusan Bukit Badai 

itu memang gesit dan cekatan. Sambil 

tubuhnya kembali ke tanah, tangan mereka 

sudah berhasil menyambut dedaunan dan 

segera menyumpal Lubang telinganya. 

Bunyi denging yang dikeluarkan dari 

pedang Wisa Kobra berkurang.

"Seraaang...!" salah seorang 

memberi komando kepada yang lain. Mereka 

maju serentak dengan gerakan tubuh bagai 

meluncur mirip peluru. Masing-masing 

mengacungkan kampak panjang yang 

menyerupai tombak pendek itu. Ketiganya


menyerang Pendekar Pusar Bumi dengan 

ganasnya.

Tanpa bicara sepatah kata pun, Pen-

dekar Pusar Bumi siap menghadang 

serangan tiga arah: kiri, kanan dan 

depan. Ketika kampak panjang berjarak 

satu hasta dari tubuhnya, ia segera 

mengibaskan pedang Wisa Kobranya dengan 

gerakan memutar cepat, tangan keduanya 

memegangi gagang pedang Wisa Kobra. 

Kokoh dan gerakannya sangat cepat. 

"Trang... trang... trang...!" Dalam 

satu kali tebasan beruntun itu, kampak 

panjang terpotong, masing-masing 

menjadi dua bagian. Tetapi ketiga tubuh 

yang meluncur itu masih hendak menerjang

Lanang seta. Maka segera ia menjatuhkan 

badan ke tanah, berguling tiga kali 

dengan cepat. Pada waktu itulah pedang 

Wisa Kobra diayunkan ke atas dan berhasil 

merobek ketiga perut lawan.

"Aaakh...!" ketiganya berteriak 

serempak. Tanpa dikomando lagi, 

ketiganya kelojotan dalam sekaratnya. 

Perut mereka robek, isinya berhamburan 

keluar. Salah seorang ada yang mencoba 

bertahan, memegang usus dan isi perutnya 

yang lain, memaksakan diri untuk dapat 

memasukkan isi perutnya lagi. Namun 

sebelum pekerjaan itu ia kerjakan dengan


baik, nafasnya tersentak-sentak, lalu ia 

sendiri diam tak berkutik lagi.

Pendekar Pusar Bumi segera memasuk-

kan pedangnya ke sarung pedang yang 

berada di punggung. Ia berdiri dengan 

tegap. Memandang ketiga mayat lawannya 

dengan senyum sinis. Rambutnya yang pan-

jang diikat kulit macan tutul itu masih 

dipermainkan angin senja. Ia masih 

tertegun memandangi mayat musuhnya yang 

dedel duel itu.

Mendadak ia terlempar ke depan, 

nyaris menjatuhi ketiga mayat itu. 

Sebuah pukulan jarak jauh begitu hebat 

menghentakkan punggungnya. Pendekar 

Pusar Bumi segera membelalakkan mata, 

menatap dengan garang namun tidak kasar. 

Ia baru saja berdiri dengan sebelah kaki, 

ketika tiba-tiba tubuhnya terasa disapu 

oleh hembusan angin yang sangat kencang, 

bagai badai yang melanda dan mampu 

merobohkan gedung sekokoh apa pun.

Pendekar Pusar Bumi 

terguling-guling tak tentu arah. 

Kemudian segera menghentakkan salah satu 

kakinya, dan melejitlah ia ke udara 

sambil memasang kesigapan. Begitu 

kakinya kembali menapak ke tanah, ia 

disambut oleh seribu jarum berwarna 

hitam yang melesat ke arahnya. Karuan


saja pendekar tampan itu melejitkan 

tubuhnya kembali dengan gerakan tangan 

terentang dan mengguling ke kiri 

beberapa kali. Pedang Wisa Kobra segera 

dicabutnya begitu kakinya menyentuh 

tanah. Ia bersiap menghadapi serangan 

gelap.

"Siapa yang pengecut itu? 

Keluarlah! Mungkin kita butuh 

berkenalan!" seru Pendekar Pusar Bumi. 

Kedua tangannya memegangi gagang pedang, 

siap untuk menebas apa pun yang 

menyerangnya. Matanya melotot, namun 

tidak kasar. Tajam, bagai mampu memotong 

dahan yang dipandangnya. Tapi di balik 

ketajaman mata itu, tampak suatu 

genangan bening yang meneduhkan.

Angin senja bertiup lembut. 

Penyerang gelap yang ditunggu belum mau 

menampakkan diri. Lanangseta masih 

menunggu. la sempat terkejut melihat 

beberapa tanaman yang mendadak menjadi 

kering karena dihunjam jarum-jarum 

hitam, yang tadi nyaris menembusi 

badannya.

"Sobat! Keluarlah kalau kau ingin 

mengenalku!" seru Lanangseta kembali.

Kemudian dari balik semak belukar 

yang berduri tajam itu, muncullah 

sesosok tubuh gemulai. Senyumnya mekar


dari bibir yang merah merekah. Ia 

melangkah bagai tanpa menghiraukan duri 

menggores kulit tubuhnya yang mulus. Ia 

amat tenang dipandang Lanangseta dengan 

mata membelalak dan mulut melongo. Dia 

bahkan ingin tertawa waktu Lanangseta 

menurunkan pedangnya yang terangkat dan 

mengusap lehernya yang berkeringat. 

"Kau...? Perempuan...?" Lanangseta 

terkesima melihat kecantikan perempuan 

berpakaian serba hijau itu. Rambut 

panjang perempuan itu ditekuk ke atas, 

menjadikan satu sanggul yang indah, 

namun masih bersisa beberapa jengkal 

bagian ujung rambut itu. Dan sisa rambut 

itu dibiarkan berjuntai ke bawah dengan 

lemas, bagai seikat ekor kuda semberani. 

Perempuan itu sangat anggun. Matanya 

yang indah dan bening dan bergaris hitam 

pada tepian kelopaknya itu sangat 

mengagumkan. Hidungnya mancung, sedikit 

mencuat ke atas, namun sangat indah. Ia 

mengenakan giwang bermata merah delima. 

Juga mengenakan kalung emas berliontin 

batu zamrud Hijau, bening. Ia mengenakan 

pakaian potongan lelaki: celana pangsi 

dari bahan halus berenda benang emas, dan 

baju lengan panjang terbuat dari bahan 

yang sama, juga berenda emas di 

tepiannya. Baju itu tidak dikancingkan,


sehingga terlihat kain penutup dada yang 

berwarna hijau transparan. Ia mengenakan 

sabuk berukuran empat jari berwarna 

kuning emas. Di bagian tengahnya 

terdapat batu-batu kecil berwarna hitam 

bening.

Lanangseta belum mau berkedip. Rugi 

berkedip sedetik pun. Jari-jemarinya 

yang lentik dan indah itu mempunyai 

kuku-kuku yang bersih. Tidak terlalu 

panjang, namun bentuk kukunya itu jelas 

sekali kalau sering dirawat. Sekerat 

cincin bermata merah delima, sama dengan 

kalungnya. Cincin itu sangat tipis, 

namun justru itu yang membuat indahnya 

lentik jemarinya. Sesekali pandangan 

Lanangseta tertuju ke cincin, namun 

lebih sering tertuju ke bagian dada yang 

berlapis kain tipis, sehingga 

menampakkan betul lekuk belahan dadanya, 

dan menampakkan betul permukaan kedua 

‘bukitnya' itu. Sesekali memang darah 

Lanangseta berdesir, tapi ia selalu 

mencoba untuk meredakan sesuatu yang 

melonjak-lonjak dalam dirinya.

"Siapa kau sebenarnya?" itulah 

suara Lanangseta setelah mulutnya terasa 

kelu beberapa saat. Perempuan itu hanya 

tersenyum tipis. Sangat tipis. Pandangan 

matanya tertuju pada mayat-mayat yang


robek perutnya itu. Ia kelihatan tenang, 

langkah kakinya amat berwibawa ketika ia 

memeriksa ketiga mayat itu. Dan waktu ia 

berpaling kembali memandang Lanangseta, 

sorotan matanya itu sangat mendesirkan 

hati yang dipandang. Begitu berwibawa 

dan mencerminkan ketegasan dan 

keberaniannya yang luar biasa.

"Ohh... dia begitu anggun dan 

meng-etarkan," kata Lanangseta di dalam 

hati.

"Jangan memuji...!" tiba-tiba 

perempuan bagai bidadari itu berkata 

dengan suaranya yang amat lembut, enak 

sekali didengarnya.

"Memuji? Siapa yang memujimu?"

Perempuan itu memandang keadaan 

sekeliling dengan tenang. Ia juga 

berkata, "Kau tadi mengatakan aku begitu 

anggun dan menggetarkan!"

"Gila! Dia bisa mendengar suara 

batinku," gumam Lanangseta dalam hati. 

Tiba-tiba perempuan itu berkata dengan 

sedikit mengangkat alisnya yang tebal 

tapi teratur rapi.

"Memang. Tapi tidak berarti aku 

gila, seperti katamu tadi."

"Aku tidak berkata apa-apa," 

Lanangseta mencoba mengelak.


Perempuan itu menyunggingkan senyum 

tipis, namun justru menambah pesona di 

wajah ayunya.

"Kau mengatakan aku gila. Kau! heran 

bahwa aku bisa mendengar suara batinmu."

Pendekar Pusar Bumi mendesah lirih, 

merasa malu. Ia kini percaya bahwa 

perempuan punya ilmu tinggi itu tak bisa 

dibohongi. Ia bukan barang mainan yang 

pantas buat hiburan. Dan... tiba-tiba 

pada saat itu, perempuan itu berkata 

lirih, "Cobalah mempermainkan aku kalau 

kau ingin kehilangan nyawa dan ragamu!"

"Tutuplah telinga hatimu," ujar La-

nangseta setelah tertegun beberapa saat 

ketika perempuan itu ganti 

memandanginya. "Jika kau tidak menutup 

pintu hatimu, aku tidak bisa bicara 

dengan santai denganmu."

“Kau membutuhkan itu?"

"Ya. Aku ingin bicara dengan santai 

denganmu. Kita perlu saling kenal. Bukan 

saling mencurigai dan menyelidiki!"

Sungging senyum sinis yang tipis 

mekar di ujung bibir. Lagi-lagi 

Lanangseta mengeluh dan mendesah melihat 

senyuman yang indah itu.

“Kau telah melanggar memasuki 

wilayahku. Kau telah membunuh ketiga 

anak buahku, dan kau.."


"Aku minta maaf. Aku tidak tahu ini 

wilayah siapa." Lanangseta menyahut 

dengan cepat. Tangan kanannya masih 

memegangi pedang. Lalu ia buru-buru 

menyarungkan pedang itu.

"Kalau kau mau menjelaskan, mungkin 

aku bisa mempertimbangkan kesalahanku," 

kata Lanangseta lagi.

"Bukan kau, tapi aku yang harus 

mempertimbangkan kesalahanmu!" 

perempuan anggun itu bicara lebih keras 

lagi. "Bukit Badai adalah wilayah 

kami, Ayahku yang menjadi penguasa Bukit 

Badai ini. Siapa pun tak boleh menginjak 

wilayah ini, sebab ini wilayah yang 

suci." 

"Suci?" 

“Ya. Bagi kami, ini wilayah yang 

suci. Sebab di sinilah, nenek moyang 

kami, yang menurunkan kami selama ini, 

hilang tanpa jasad, sehingga Bukit Badai 

ini merupakan makam leluhur kami yang 

perlu dijaga dan disucikan. Kami tidak 

mengijinkan setiap orang seenaknya 

menginjak-injak makam leluhur kami."

"Makam...?" gumam Lanangseta. Ia 

memandang sekeliling. "Makam sebesar 

ini? Ah... ini mengada-ada. Makam masa 

sebesar bukit begini?!"


Perempuan itu berjalan, lebih 

mendekati Lanangseta. Ia memandang 

dengan tajam, tak berkedip, tak juga 

menjemukan diterima Lanangseta.

"Apalagi kau tadi kami lihat keluar 

dari mulut goa. Itu goa larangan bagi 

kami. Itu goa keramat, juga suci. Tak 

seorang pun boleh keluar masuk seenaknya 

di goa Malaikat itu. Mengerti?!" 

hardiknya.

"Goa Malaikat?! Yang mana goanya? 

Aku tadi hanya keluar dari sebuah lorong, 

semacam lobang sumur yang letaknya mi-

ring bagai mulut goa."

"Itulah Goa Malaikat! Jangan kau 

masuk ke sana lagi!" perempuan itu 

berkata tegas, sedikit membelalak, dan 

mata itu semakin indah saja 

dipandangnya. Lanangseta sempat 

berdecak kagum. Tangan perempuan itu 

dengan berani menampar pelan pipi 

Lanangseta. "Plak...!"

"Dengar kata-kataku! Jangan 

berpikiran usil!"

Tamparan itu tidak menyakitkan. La-

nangseta merasa tak perlu marah. Hanya 

saja dia berpikir, bagaimana caranya 

supaya bisa ditampar lagi seperti tadi. 

Dan tiba-tiba perempuan itu menamparnya 

lagi. "Plaak...!" Lanangseta kaget. "Eh,


betul-betul ditampar lagi?" pikirnya 

heran.

Lanangseta mengusap pipi yang 

ditampar. Sedikit menyengat, tapi enak. 

Dihati berdesir indah. Ada kesan 

tersendiri dalam dua kali tamparan itu. 

Lanangseta tersenyum bagai mengucapkan 

kata terima kasih terhadap kedua 

tamparan tersebut. Namun, perempuan itu 

tiba-tiba melangkah pergi tanpa bicara 

apa pun. Lanangseta mengejar, melompat 

dan melayang melalui atas kepala 

perempuan tersebut, dan berdiri di depan 

perempuan berpakaian hijau muda.

"Ada yang lupa kau katakan," ujar 

Lanangseta.

Perempuan itu mengerutkan alisnya 

yang tebal namun berbentuk indah.

"Kau belum menyebutkan namamu," 

sambung Lanangseta.

"Aku tidak punya nama," jawabnya 

ketus.

"Jadi bagaimana kalau aku bertemu 

denganmu dan ingin memanggilmu?"

“Tak perlu memanggil!" sambil 

berkata begitu, ia melangkah ke arah 

lain. Lanangseta diam sebentar, lalu 

mengejarnya lagi.

"Tunggu...!"


Perempuan itu tiba-tiba melesat 

dalam satu gerakan terbang seperti 

kunang-kunang hendak menghilang. 

Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia ikut 

melesat dan tahu-tahu sudah berada di

depan perempuan itu.

"Aku butuh mengetahui namamu."

"Untuk apa, hah?" ia menghardik. 

Matanya melebar sedikit.

Lanangseta terkagum sejenak, 

kemudian menjawab, "Untuk kucocokkan 

kepada siapa pun yang tahu riwayat Bukit 

Badai dan Goa Malaikat, apakah benar kau 

termasuk keturunan leluhur yang kau 

bilang tadi hilang di sini itu."

"Membosankan!" ucapnya tandas. 

Kemudian perempuan itu menghentakkan 

kakinya dan melambung ke atas. Ia sampai 

di dahan pohon. Memandang Lanangseta 

sebentar dengan senyum sinis, lalu 

melayang dari dahan ke dahan. Lanangseta 

tak mau kalah upaya. Ia juga mampu 

melesat dan nangkring di dahan yang 

menjadi sasaran perempuan itu 

berikutnya. Sehingga, mau tak mau mereka 

berada dalam satu dahan pohon.

"Apa susahnya hanya menyebut satu 

nama saja," kata Lanangseta. Perempuan 

itu tidak menjawab. Melesat lagi bagai 

seekor burung kutilang yang terbang ke


pohon lain. Lanangseta mengejar, dan 

berhasil dalam satu dahan lagi.

“Kau jangan membuatku marah dalam 

hati. Sebutkan, siapa namamu!"

"Tanyakan saja pada orang di sekitar 

sini, atau siapa saja!"

"Aku ingin mendengar dari mulutmu!"

"Brengsek...!!" Perempuan itu 

menyerang dengan satu pukulan. 

Lanangseta kaget, dan melayang jatuh 

begitu tangan perempuan anggun itu 

menghentak di dadanya. Untung ilmu 

peringan tubuh dapat digunakan 

sewaktu-waktu, sehingga Lanangseta tak 

mengalami cedera begitu jatuh dari atas 

pohon. Hanya kepalanya sedikit pusing 

karena terbentur akar pohon yang besar.

Ia melihat perempuan itu melesat 

bagai kilasan cahaya berwarna hijau. 

Lanangseta penasaran sekali. Segera ia 

memburunya dengan menggunakan jurus 

Lindung Bumi. Tubuhnya amblas ke tanah 

dan tak terlihat lagi.

Perempuan itu menyangka Lanangseta 

sudah pergi. Ia segera turun dari 

dahan-dahan pohon. Lalu berjalan tenang. 

Namun mendadak ia nyaris terpekik kaget, 

karena dalam dalam tanah yang ada di 

depannya itu muncullah Lanangseta dengan 

terlebih dulu menghamburkan tanah


tersebut. Lanangseta menyunggingkan 

senyum canda ketika melihat perempuan 

itu terkejut. Wajahnya begitu manis 

dalam keadaan kaget. Lanang tertawa 

pelan.

"Cuma ingin tahu nama saja sampai 

harus begini?"

"Aku tidak punya nama!" hardik 

perempuan itu.

"Mustahil!" 

"Minggir!" 

"Sebutkan dulu...." 

"Minggir...!!" bentaknya lebih 

keras. Lanangseta menggeleng. Kemudian 

tanpa ragu-ragu lagi perempuan itu 

melancarkan pukulan ke arah dada 

Lanangseta dengan gerakan sedikit 

membungkuk, membuat tipuan. Lanangseta 

terpental ke belakang karena tak sempat 

menangkis pukulan yang cukup gesit itu. 

Dalam keadaan limbung begitu, kaki 

perempuan itu menendangnya kuat-kuat, 

sehingga Lanangseta memekik tertahan, 

memegangi perutnya yang mulas.

Perempuan itu membiarkan Lanangseta 

menyeringai kesakitan. Ia tidak 

menyerang lagi, tapi melesat dalam satu 

loncatan yang cepat untuk menghilang. 

Tapi agak-nya Lanangseta tak mau 

kehilangan perempuan itu sebelum


mendengar siapa namanya. Lanangseta 

segera menyusul dengan satu loncatan 

yang tak kalah cepatnya. Ia bersalto 

beberapa kali di udara sehingga 

tahu-tahu sudah berdiri di depan 

perempuan itu. Perempuan itu 

menghempaskan nafas, penuh kejengkelan. 

Namun agaknya ia masih mencoba untuk 

menahan emosinya.

"Keras kepala...!" geram perempuan 

itu dengan memancarkan pandangan yang 

tajam meneduhkan, sama dengan pandangan 

mata Lanangseta. Sebenarnya perempuan 

itu mengakui kehebatan ilmu Lanangseta, 

juga mengakui pancaran sinar mata Lanang 

yang tajam dan meneduhkan. Hanya saja, ia 

pantang mengungkapkan kata-kata untuk 

itu semua. .Ia hanya menggeram dalam 

kejengkelan dan Lanangseta belum mau 

menyerah.

“Tolong... sebutkan namamu. Aku 

sangat membutuhkannya." Lanangseta 

berbicara dengan pelan dan serius. 

Perempuan itu hanya mendesis.

"Kau sudah punya kekasih. Untuk apa 

mengenal namaku."

Lanangseta terbengong sesaat. "Dari 

mana dia tahu kalau aku sudah mencintai 

Sekar Pamikat?" pikir Lanangseta, dan 

tiba-tiba ia membungkam pikirannya



sendiri setelah disadari bahwa perempuan 

itu jago mendengar suara hati orang lain. 

Buktinya kali ini ia tersenyum sinis.

Pasti dia telah mengetahui pikiran 

Lanangseta baru saja itu. Karenanya, 

Lanangseta menjadi punya gagasan untuk 

memanfaatkan keahlian perempuan anggun 

itu. Ia berkata di dalam hatinya, 

"Sebenarnya perempuan ini lebih cantik 

dari Sekar Pamikat..."

"Ada reaksi yang terlihat di wajah 

anggun yang cantik itu, yakni seulas 

senyum tersipu yang sangat tipis. 

Perempuan itu berusaha menyembunyikan 

senyuman tipisnya, namun mata Lanangseta 

lebih tangkas menangkap arti senyuman 

itu. Kemudian ia berkata dalam hati lagi, 

"Kalau saja... perempuan ini mau 

menyebutkan namanya, mungkin aku dapat 

tergoda dan takut mengigau 

memanggil-manggil namanya. Wah, bisa 

kacau kalau sampai didengar Sekar 

Pamikat..."

Senyum itu semakin nyata, mekar di 

ujung bibir yang tipis, merekah dan cukup 

sensual. Lanangseta buru-buru berkata 

dalam hati, "Ah, sebaiknya kubatalkan 

saja untuk mengetahui namanya. Baiklah, 

kutinggalkan saja perempuan ini dari 

pada nanti jadi runyam segalanya...."


"Pentingkah namaku bagi dirimu?" 

tiba-tiba perempuan itu bertanya 

demikian. Ia terpancing. Ia menampakkan 

tanda-tanda sengaja memberikan namanya.

"Tidak," jawab Lanangseta, tetapi 

dalam hatinya segera berkata, 

"Mudah-mudahan dia tak jadi menyebutkan 

namanya."

Perempuan itu mendengar kata hati 

Lanangseta, lalu ia berkata dengan suara 

lirih, namun matanya tertuju ke arah 

lain:

"Namaku..." dia berhenti, agak 

ragu. Lalu menyambungnya lagi dengan 

bibir gemetar:"... Kirana Sari..."

Dan seketika itu juga terdengar 

suatu ledakan di angkasa: "Glegaar...!" 

Angin bertiup kencang, petir 

menyambar-nyambar tanpa setetes pun 

hujan. Langit bagai terbelah oleh nyala 

api yang menggores tajam. Awan hitam dan 

putih bergolak. Lanangseta gemetar, 

memandang ke atas, tertegun pada awan 

yang bergolak-golak bagai dipermainkan 

topan dahsyat. Bumi pun terasa 

bergoncang samar-samar. Nyala merah 

bagai membakar langit, nyala mmerah itu 

menjadi setiap terdengar ledakan di 

langit, di sela-sela gumpalan mega hitam 

yang mengamuk mengerikan. Tubuh


Lanangseta sendiri nyaris tumbang karena 

tiupan angin yang begitu kuat. Sedangkan 

Kirana Sari pun terpaksa menundukkan 

kepala, bagai menahan diri dari hempasan 

badai yang datang dengan tiba-tiba.

Lanangseta sangat heran dengan 

kejadian alam yang secara tiba-tiba itu. 

Ia memandang Kirana Sari, ingin bertanya 

ada apa sebenarnya sehingga langit 

menjadi terbakar dan awan hitam 

menggulung-gulung bagai pusaran pembawa 

maut.

"Kirana Sari... ada..."

Belum sempat Pendekar Pusar Bumi 

meneruskan kalimatnya, tiba-tiba 

goncangan bumi semakin terasa kuat. 

Pohon tumbang di beberapa tempat. Badai 

semakin kuat, mengerikan. Gelegar di 

angkasa benar-benar bagai memecahkan 

langit. Mendung hitam menyatu dengan 

awan putih, menjadi satu pusaran maut. 

Petir semakin merajalela bergerak gila 

di angkasa. Loncatan api yang 

menimbulkan suara ledakan semakin 

bertambah banyak. Lanangseta sempat 

jatuh terduduk karena dihempas badai 

setan, yang begitu kuat dan mampu 

mematahkan batang pohon sebesar 10 

pelukan manusia. Gemuruh suara pohon 

rubuh sangat mengerikan. Kirana Sari


hanya diam, menutup mulutnya 

rapat-rapat, memandang Lanangseta 

dengan rasa iba. Kemudian ia mengulurkan 

tangannya kepada Lanangseta yang nyaris 

terseret badai ke arah selatan. 

Lanangseta menyambut uluran tangan 

perempuan anggun itu. Dengan kuat 

perempuan itu menarik Lanangseta 

sehingga lelaki tampan itu tak jadi 

terbawa arus badai. Mereka diam dengan 

saling berpegangan. Namun sesungguhnya 

perempuan itulah yang memegangi 

Lanangseta dan menahannya kuat-kuat agar 

jangan sampai pemuda yang baru 

dikenalnya itu terpelanting dan terbawa 

arus badai yang sangat kencang itu.

Beberapa saat kemudian, amukan alam 

berhenti. Angin perbukitan menjadi 

semilir. Namun banyak pepohonan yang 

rusak total. Bumi bagai habis dilandai 

gempa yang begitu dahsyat. Lanangseta 

terbengong-bengong memandang kekacauan 

itu.

Ia masih dipegangi oleh Kirana Sari. 

Perempuan itu berbisik lirih, namun 

bernada jelas dan tegas:

"Tinggalkan Bukit Badai ini, dan 

jangan sebut lagi namaku."

Lanangseta merasa heran. Ia ingin 

bicara, tapi tangan Kirana Sari segera


menutup mulut yang sudah terlanjur 

terganga itu.

"Jangan sebut lagi namaku. Ingat 

itu. Sekali pun kau ada di depanku, 

jangan sebut namaku."

“Kenapa?"

“Kau telah mengalami akibatnya jika 

nama itu disebutkan seseorang."

Kerutan dahi Lanangseta semakin ta-

jam. "Jadi, badai dan petir yang mengamuk 

tadi akibat dari namamu yang 

disebutkan?"

Kirana Sari mengangguk.

"Hebat! Tapi gila ini.,.! Gila 

sekali! Masa menyebutkan nama saja 

sampai membuat bumi dan seisi alam 

menjadi berantakan begini?!"

“Kalau kau ingin selamat, jangan 

sebutkan namaku. Kau tadi telah 

menyebutkannya setelah aku menyebutkan 

namaku. Dan kau tahu amukan alam semakin 

menggila, bukan?" Kirana Sari menjauh, 

memandang kehancuran beberapa pohon di 

sekitarnya. Lalu terdengar suaranya yang 

masih bernada tegas dan berwibawa.

"Itulah sebabnya aku tak pernah me-

nyebutkan namaku kepada siapa pun. Jika 

keadaan tidak memaksa sekali, aku tak mau 

memberikan namaku kepada seseorang. 

Karena nama itu adalah nama yang dipakai


oleh leluhurku untuk menghancurkan 

sebuah pulau beserta gunung-gunungnya di 

laut selatan. Pulau itu, cukup besar. 

Lebih besar dari Pulau Jawa ini. Tapi 

karena dihuni oleh sekelompok 

orang-orang maksiat, dipimpin oleh 

seorang ratu yang amat jahat, maka 

leluhurku menghancurkannya dengan ilmu 

tersebut, yang kini menjadi namaku. Jadi 

kuminta, jangan lagi kau sebutkan 

namaku."

"Jadi, bagaimana jika aku ingin 

memanggilmu suatu saat nanti?"

"Panggillah di dalam hatimu, aku 

pasti mendengarnya. Tapi kurasa itu tak 

perlu, karena kita tak akan bertemu lagi. 

Kau harus pergi dan jangan kembali lagi 

kemari!”

***

2

ANEHNYA, bukan Lanangseta yang 

pergi lebih dulu, melainkan Kirana Sari 

yang melangkah meninggalkan Lanangseta. 

Sebelumnya ia sempat berkata untuk yang 

terakhir kalinya:


"Pergilah, jangan bertahan! Ilmumu 

memang hebat, tapi kau tak akan sanggup 

menghadapi kekuatan kami, orang-orang 

Bukit Badai ini. Kau telah membunuh tiga 

anak buahku, kuampuni itu, asal kau cepat 

pergi dan jangan menginjak makam leluhur 

kami ini. Bila nanti masih kulihat kau 

berada di wilayah Bukit Badai, kau akan 

kubunuh!"

Itulah kata-kata terakhir, sebelum 

ia melangkah 7 kali, untuk kemudian 

melesat bagai bayangan sinar hijau. 

Lanangseta ingin memperpanjang 

percakapan, tapi benar-benar tak ada 

kesempatan lagi. Ia mengejarnya, ah... 

gagal. Perempuan dengan nama Kirana Sari 

itu hilang bagai ditelan bumi. 

Lanangseta menyesal. Kecewa sekali. Tapi 

bekas wajahnya yang anggun, cantik dan 

menggetarkan hati itu masih melekat 

dalam benak Lanangseta.

Sambil melangkah menuju mulut goa, 

tempat ia tadi keluar, Lanangseta 

bergumam sendiri dalam hati, 

menyebut-nyebut nama Kirana Sari yang 

unik, tapi mengagumkan. Sesekali 

Lanangseta ingin mencoba menyebutkan 

nama itu lewat mulutnya, tapi ia 

membatalkan niat itu, ia tak ingin 

memancing kemarahan Kirana Sari, yang


menurutnya bisa-bisa akan membunuhnya 

dengan sadis. Dalam hati pula, La-

nangseta mengakui kehebatan ilmu dan 

tenaga dalam yang dimiliki Kirana Sari. 

Ilmu yang langka dan memukau lawan. Tapi, 

bagaimanapun ia tak yakin kalau ia dapat 

dikalahkan Kirana Sari.

"Aneh..." gumamnya sendirian. 

"Padahal tujuanku keluar dari goa untuk 

mencari kemungkinan membawa Ekayana yang 

terluka di punggung itu, tapi kenapa 

justru terbuai oleh kehebatan Ki... eh, 

tak jadi. Kehebatan dia, maksudku," 

Lanangseta tertawa sendiri, karena ia 

nyaris menyebutkan nama Kirana Sari 

lewat mulutnya. Untung ia segera ingat.

Goa yang dikatakan sebagai Goa 

Malaikat itu bermulut kecil. Menyerupai 

mulut sumur dalam posisi miring. 

Lanangseta keluarnya saja hams 

merangkak, demikian juga masuknya 

kembali. Apapun yang dikatakan Kirana 

tadi, ia sama sekali tidak percaya. 

"Ini bukan goa! Apalagi dikatakan 

goa suci, uuh... ngibul!" Ia bicara 

sendiri sambil merangkak masuk mulut 

goa.

Beberapa saat kemudian ia mencapai 

tempat yang luas. Ia berdiri. 

Langit-langit goa hampir menyentuh


rambut kepalanya. Ia melangkah, lebih ke 

dalam lebih lebar dan lebih tinggi 

langit-langitnya. Sinar matahari masih 

sempat menerangi bagian dalam goa yang 

sudah selebar balairung. Memang 

cahayanya remang-remang, tapi La-

nangseta hapal ke arah mana ia tadi 

meningalkan adik kembarnya: Ekayana yang 

terluka bersama teman-teman lainnya. Ka-

lau saja Ekayana tidak terluka akibat pe-

dang beracun orang Sendang Bangkai 

(dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai), 

mungkin ia tak perlu repot-repot keluar 

dari goa dulu. Mungkin ia lebih baik 

beristirahat dulu di dalam goa bersama 

teman-temannya dan kekasihnya: Sekar 

Pamikat atau si Dewi Cambuk Naga itu. 

Tetapi, agaknya keadaan tidak 

memungkinkan. Ia harus segera membawa 

keluar Ekayana, adik kembarnya itu, 

membawanya pulang ke Pesanggrahan 

Cendana Manik untuk meminta pengobatan 

dari ayahnya yang telah lanjut usia itu.

Jalanan di dalam goa terpecah 

menjadi dua arah, ke kiri dan ke kanan. 

Lanangseta ingat, tadi ia meninggalkan 

Ekayana dan yang lainnya di lorong yang 

kiri. Maka, ia pun melangkah ke lorong 

yang kiri. Tapi beberapa langkah


kemudian, ia berhenti dengan 

terheran-heran.

"Buntu?! Ah, kok jadi buntu begini? 

Rasa-rasanya tadi lorong ini amat 

panjang dan aku meninggalkan saudara 

kembarku di pertengahan lorong ini. Tapi 

sekarang... baru beberapa langkah dari 

persimpangan lorong, kenapa sudah jadi 

buntu begini?!"

Lanangseta yang dikenal dengan nama 

Pendekar Pusar Bumi itu masih tertegun 

beberapa saat. Lalu ia memeriksa dinding 

yang seakan membatasi dan menutup lorong 

itu. Oh, ternyata dinding tersebut 

berlumut, lembab dan kekar.

"Ini bukan ciptaan baru. Ini memang 

sudah lama. Jadi bukannya ada orang usil 

menutup jalan ini, tapi memang aku yang 

tersasar arah..." Lalu ia meninggalkan 

lorong itu.

Pendekar Pusar Bumi berbalik arah. 

Ia tiba di persimpangan lorong. Cahaya 

matahari menyinar temaram dari mulut goa 

yang kecil itu. Ia segera menuju ke 

lorong kanan. Dengan hati-hati ia 

melangkah dan meneliti keadaan 

sekitarnya dengan pan-danganmata 

sebisa-bisanya. Tetapi ia kembali 

ternenti, karena lorong itu bahkan lebih 

pendek dari yang kiri tadi. Ia tak dapat



melanjutkan ke mana-mana. Ia terbengong 

dan clingak-clinguk keheranan.

"Apakah aku salah masuk?" pikirnya. 

"Tapi mana mungkin aku salah masuk? Tadi 

aku keluar dari sini. Jelas persimpangan 

lorong yang berbatu pada ujungnya itu 

kuingat betul. Dan waktu aku keluar, aku 

dengan merangkak ke mulut goa itu yang 

semakin sempit. Juga begitu keluar, aku 

menghadap pada sebuah pohon besar yang 

berakar mirip dinding sebuah rumah. Dan 

kalau sekarang aku keluar lagi, maka aku 

tetap akan menghadap ke arah pohon itu. 

Tapi... kenapa jalan lorong keduanya 

menjadi buntu?" Lanangseta melangkah. 

Matanya mengawasi dengan cermat apa saja 

yang ada di samping kanan-kirinya. Ia 

mendesah, tak ada jalan lain. Hanya ada 

dua lorong itu, tapi semuanya buntu.

"Gila!" geramnya. Ia kembali ke 

lorong kiri, meneliti dinding yang 

seakan menjadi penghalang lorong itu. Ia 

memukul-mukulnya, tapi dinding itu tetap 

kokoh. Padat berisi, bukan berongga di 

dalamnya. Berarti memang tidak ada jalan 

di balik dinding tersebut.

"Lantas aku tadi keluar dari mana? 

Apakah ada mulut goa lainnya yang sama 

dengan mulut goa ini? Apakah aku memang 

sudah salah masuk?"


Lanangseta merayap kembali keluar 

dari mulut goa. Dia tak jadi 

memberitahukan kepada teman-temannya 

bahwa di situ ada tempat untuk keluar 

dari goa. Ia masih merasa perlu untuk 

meneliti keadaan sekitarnya, 

kalau-kalau ada mulut goa yang lain, yang 

sama dengan goa tersebut. Waktu itu, 

Matahari sudah mulai terbenam. Sebentar 

lagi akan menghilang dari permukaan 

bumi. Lanangseta bergerak lebih cepat 

meneliti keadaan sekitar mulut goa. 

Beberapa saat kemudian, ia menghempaskan 

nafas panjang. "Aaah... memang tak ada 

lobang lain kecuali mulut goa itu. Aku 

tidak salah masuk. Tapi mengapa kedua 

lorongnya menjadi buntu?! Mengapa?!" 

Lanangseta jengkel sendiri. Ia segera 

masuk lagi ke dalam mulut goa yang kecil 

itu dengan merangkak. Ia memeriksa 

sekali lagi kedua lorong tersebut, oh... 

masih tetap buntu.

"Aneh...!" gumamnya. Ia duduk di 

lantai goa yang lembab. Otaknya pusing 

memikirkan keanehan tersebut atau memang 

kekeliruan yang belum disadari. Yang 

jelas, suatu keanehan telah terjadi pada 

saat itu.

Mulut goa itu tiba-tiba tertutup 

sendiri. Mulanya ada suara gemuruh,


kemudian Lanangseta berlari ke mulut 

goa. Dan ia melihat mulut goa itu telah 

penuh dengan bebatuan serta tanah panas. 

Ia mencoba merayap untuk mencegah 

timbunan bebatuan itu, tapi gagal. Goa 

telah tertutup rapat dan batuan yang 

menimbunnya bagai mencair, lengket, lalu 

mengeras. Tak bergeming sedikit pun 

walau dipukul kuat-kuat.

"Setan...! Ini pasti perbuatan 

Kirana,"u capnya dalam hati. Lanangseta 

menggeram gemas. Ia kembali mundur dan 

mencapai permukaan goa yang lebar. Ia 

berdiri dalam gelap pekat tanpa seberkas 

sinar pun. Hatinya sangat dongkol, dan ia 

segera mencabut pedang Wisa Kobranya 

yang bergagang kepala ular kobra.

Ia mulai merayap lagi ke arah mulut 

goa, lalu dengan sebisa-bisanya, dalam 

posisi merangkak begitu, ia 

menghunjamkan pedang Wisa Kobra ke arah 

bebatuan yang menutup mulut goa. 

"Prak... prak...!"

Bebatuan masih utuh. Lecet pun 

tidak, mungkin. Gelap. Tak tahu batuan 

itu lecet atau tidak, yang jelas pada 

saat itu Pendekar Pusar Bumi merasa tidak 

mempunyai kekuatan apa-apa. Pedangnya 

yang kesohor dapat memotong gunung, 

ternyata tak berkutik dan tak berfungsi


sedikit pun. Pedang itu bagai tidak 

mempunyai kekuatan apa-apa lagi.

"Celaka..,!" gerutunya. Ia mencoba 

sekali lagi untuk membobol penutup goa 

dengan pedangnya, namun yang terjadi 

hanya kilatan cahaya yang gemercik. 

Batuan itu tetap kokoh, padat. Tak 

bergerak sedikit pun.

Gelap begitu pekat. Lanangseta tak 

dapat melihat. Ia duduk bersandar pada 

salah satu dinding goa. Ia memikirkan 

jalan keluar bagi dirinya sendiri. 

Bagaimana ia dapat menolong Ekayana dan

yang lainnya kalau dirinya sendiri 

terkurung dalam kegelapan yang 

membosankan itu? Tiba-tiba timbul 

gagasan untuk menggunakan ilmu Wiwaha 

Moksa yang selama ini menjadi 

andalannya. Ia segera bangkit, 

merenggangkan kedua kaki, menghadap 

pintu goa yang telah tertutup.

Lalu tangannya kedua-duanya 

mengeras, mengumpulkan tenaga di telapak 

tangan. Dalam satu konsentrasi yang 

tinggi, ia berseru "Wiwaha Moksaaa...!" 

seraya menggerakkan tangan ke depan.

"Blaar...!"

Kilatan cahaya hijau bening 

tersebar dari kedua tangannya yang 

terbuka ke depan. Kilatan cahaya bening


itu mengenai bebatuan yang menjadi 

penutup! mulut goa. Tapi, bebatuan itu 

tidak bergerak sedikit pun. Masih tetap 

kokoh dan padat menutup mulut goa. Sekali 

lagi ia mencoba dan mencobanya terus, 

tapi tak pernah tercapai. Tubuhnya 

menjadi lemas, terlalu lelah. Ia tak 

ingin mencoba lagi, paling tidak untuk 

waktu dekat ini. Ia biarkan dirinya duduk 

dan bersandar sambil memikirkan cara 

lain untuk dapat keluar dari mulut goa 

itu.

Sementara itu, di tempat lain, 

Andini mengisak dalam tangisnya. Hatinya 

merasa bingung dan sedih melihat 

Ekayana, kekasihnya tak dapat bergerak. 

Tubuhnya semula lemas, lalu menjadi kaku 

sekujur tubuh. Ia hanya dapat 

menggerakkan bola matanya dan 

berkedip-kedip. Ia tak dapat bicara 

apapun. Tubuhnya telungkup di tanah 

dengan berlembarkan baju Gopo.

"Sudah sejauh ini, Lanangseta belum 

muncul juga," gumam Sekar Pamikat dalam 

kegelisahannya. Ia ikut memandang iba 

kepada keadaan Ekayana atau Pendekar 

Maha Pedang yang bagai sebatang gedebong

pisang tergeletak di tanah. Luka di 

punggung makin memborok, mengobarkan bau 

busuk.



"Sama seperti kisahku dulu," gumam 

Ludiro, pengawal setia dari Sekar 

Pamikat. "Sebentar lagi pasti punggung 

ini akan menjadi busuk seluruhnya. 

Kemudian tubuh dan kepalanya juga akan 

menjadi busuk."

"Dan dia akan mati?" Gopo menyahut 

dalam bentuk pertanyaan. Ludiro mau 

menjawab yang sesungguhnya, namun Andini 

telah berseru lebih dulu:

"Tidak! Dia tidak akan mati!"

Gopo yang bertubuh tinggi, besar 

bagai raksasa itu nyaris terlonjak 

kaget. Andini, gadis manja itu, dengan 

berani berdiri menghadap Gopo dan 

berkata, "Kalau dia mati, kau juga harus 

ikut mati!"

"Apa urusannya?" Gopo bersungut 

sungut.

"Kau yang menggendongnya dari 

Sendang Bangkai tadi! Dan mungkin akibat 

kau membawanya lari tanpa hati-hati, 

lalu tubuhnya terbanting-banting di 

pundakmu, membuat lukanya menjadi lebar 

dan memborok begini!"

"Enak saja! Bukannya berterima

kasih, malah menyalahkan!" Gopo melengos 

sambil bersungut-sungut.

"Aku tidak sudi berterimakasih sama 

kamu!"


"Dasar, bawel!" bentak Gopo dengan 

geram.

Andini jengkel sekali, ia segera 

menendang Gopo dengan satu kaki. 

Akibatnya dia sendiri yang jatuh 

terjungkal ke belakang. "Biadab...!" 

seru Andini yang manja. Ia bergegas 

bangkit dan hendak menyerang Gopo.

Tapi Sekar Pamikat menengahi 

perselisihan itu, lalu berkata dengan 

tegas di depan Andini:

"Kemanjaanmu dan kepicikanmu tidak 

akan menyelesaikan masalah ini, Andini."

Andini meredakan emosi. Kepada 

Sekar Pamikat, ia memang sangat sungkan. 

Ia menghargai Sekar Pamikat, sekali pun 

ia sebenarnya mampu melawan Sekar 

Pamikat, tapi itu tidak diinginkan. 

Kepada Sekar Pamikat ia lebih banyak 

menampakkan kemanjaannya:

“Ekayana kekasihku, dia sakit 

begitu. Lantas apakah aku tidak boleh 

bersedih dan panik?"

"Bersedih yang wajar-wajar saja. 

Bersedih dengan emosi itu namanya 

kepicikan. Dan kepicikan seorang manusia 

dapat membunuh dirinya sendiri dari 

dalam. Percayalah, mati di tangan musuh 

itu lebih enak dari pada mati karena 

kepicikannya sendiri."


“Bagaimana kalau saya pergi 

menyusul Pendekar Pusar Bumi, Putri?" 

tanya Ludiro yang agaknya bosan dengan 

perselisihan Andini yang manja itu.

"Jangan kamu, Paman..." Sekar Pami-

kat memperhatikan luka sabetan pedang 

beracun itu. Ah, mengenaskan sekali. 

Jijik, dan ngeri. Luka itu sepanjang satu 

jengkal, tapi mempunyai lobang yang 

menguak mengobarkan bau busuk. Darah 

masih membasah dan bercampur dengan 

lendir yang menjijikan. Sekar Pamikat 

sempat bertanya kepada Ludiro.

"Apakah, dulu kau pun terluka begini 

parah, Paman?"

"Ya. Seperti yang pernah saya 

ceritakan, luka akibat goresan pedang 

beracun itu membuat lengan saya menjadi 

busuk, dan saya tak dapat bergerak 

apa-apa. Tapi, waktu itu ada tetesan 

darah dari atas pohon, dan ternyata 

tetasan darah Andini yang terluka karena 

senjata rahasia saya. Darah itulah yang 

menawarkan racun, bahkan membuat kering 

luka-luka itu dengan sangat ajaib." 

(dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai).

Mendengar penuturan Ludiro itu, An-

dini segera mencabut golok milik Gopo, 

lalu menggoreskan pada lengannya.


"Andini...!!" seru Gopo yang 

membuat Andini tergerak kaget akibat 

suara Gopo itu. Tapi ia nekad mengiris 

lengannya sendiri. Setelah lengannya 

berdarah, ia teteskan darah itu padaluka 

di punggung Pendekar Maha Pedang.

"Tolol...!" gerutu Gopo yang segera 

mengambil goloknya kembali, yang tadi 

dilemparkan begitu saja oleh Andini.

Ternyata, setelah ditunggu beberapa 

lama, luka di punggung Ekayana masih saja 

ternganga dan membusuk. Darah Andini 

tidak dapat menetralisir racun yang 

mengganas di daging tubuh Ekayana. 

Andini sendiri telah dibalut lengannya 

oleh Sekar Pamikat memakai sobekan kain 

baju Andini sendiri.

"Kau lihat, betapa kepicikan itu 

dapat mencelakakan diri sendiri, bukan? 

Kau gegabah, tidak memakai perhitungan, 

main iris lengan begitu saja. Nyatanya, 

luka kekasihmu tidak sembuh, dan kau 

telah terlanjur terluka...."

"Kalau begitu," Andini 

bersungut-sungut seperti anak kecil, 

"Ludiro bohong! Dia bukan sembuh dari 

darahku!"

"Tidak. Aku tidak bohong!" bantah 

Ludiro.


“Lalu, kenapa luka di tubuh Ekayana 

tidak sembuh seperti luka-lukamu dulu? 

Padahal borok itu juga telah terkena 

tetesan darahku."

Sekar Pamikat selesai mengikat luka 

Andini yang memang tidak berbahaya itu. 

Ia bicara sambil memeriksa mata Ekayana 

yang ternyata masih bisa berkedip.

"Dulu, yang terluka paman Ludiro. 

Lalu terkena tetesan darahmu. Darahmu 

itu akibat luka terkena senjata rahasia 

milik paman Ludiro. Senjata itu beracun 

juga. Jadi, darahmu waktu itu bercampur 

dengan racun milik paman Ludiro. 

Sedangkan di tubuh paman sendiri, racun 

itu sudah membaur dengan darah 

dagingnya. Jadi, ketika ia terkena 

tetesan darahmu yang mengandung racun 

senjata paman Ludiro itu, membuat suatu 

bentuk cairan lain yang mampu menawarkan 

luka-luka di tubuh paman. Berbeda 

keadaannya dengan luka yang sekarang 

diderita Ekayana ini..." tutur Sekar 

Pamikat menjelaskan kepada 'anak kecil.’

“Tapi... saya perhatikan dari tadi, 

perkembangan luka ini tidak seganas 

waktu saya dulu, Putri. Dulu, saya dalam 

waktu yang sangat singkat, borok itu 

telah menjalar di sekujur lengan. Tetapi 

sekarang, luka ini tidak begitu cepat


menjalarnya. Lamban, walau memang makin 

melebar..."

Memang, sekarang kenyataan itu 

diketahui betul oleh Ludiro. Borok di 

punggung Ekayana memang melebar, tapi 

tidak sepesat luka-lukanya dulu. Namun 

demikian, luka tersebut jelas tetap 

berbahaya. Jika terlambat tanpa 

pengobatan, tidak mustahil lagi jika 

seluruh tubuh Ekayana akan memborok dan 

membusuk semua. Inilah yang dicemaskan 

mereka. Hampir setiap orang telah 

mencoba dengan saranya sendiri untuk 

mengobati luka tersebut, tapi tak ada 

yang berhasil. Luka itu cukup aneh dan 

mengerikan.

Karenanya rencana mereka semula 

adalah membawa Ekayana pulang ke 

Pesanggrahan Cendana Manik, dan 

menyerahkan luka itu kepada ayahnya yang 

juga ayah Lanangseta. Tetapi ternyata 

lorong goa itu cukup panjang dan 

berliku-liku, sehingga untuk 

memperingan beban, mereka beristirahat 

dulu beberapa saat, sementara Lanangseta 

mencari jalan menuju luar goa.

Mereka tidak tahu apa yang telah 

dialami oleh Lanangseta saat itu.

Penantian membuat kejenuhan dan se-

makin menegangkan saja rasanya. Sekar


Pamikat akhirnya berangkat atas 

persetujuan yang lainnya, untuk mencari 

jalan menuju luar goa.

"Jika Lanangseta datang, suruh dia 

menungguku, jangan menyusul. Nanti 

malahan kacau lagi," pesan Sekar 

Pamikat. Ludiro yang menerima pesan itu 

mengangguk dengan perasaan kesal mengapa 

bukan dia yang ditugaskan mencari lobang 

keluar atau mencari Lanangseta sekalian. 

Tapi, pikirannya segera tenang setelah 

ia menemukan tendensi dari kepergian 

Sekar Pamikat. Barangkali gadis cantik 

kekasih Lanangseta itu tidak tahan 

terhadap bau busuk dari luka itu. Atau 

bisa jadi karena ia ingin menemui 

Lanangseta di suatu tempat yang sepi, 

yang cuma milik mereka berdua dengan 

sejuta kemesraan dan rindunya? Sebab 

itu, Ludiro segera membuang kekesalan 

hatinya.

Tapi, dapatkah Ludiro membuang 

kekesalan hatinya akibat ulah kemanjaan 

Andini dengan kekasaran Gopo? Seperti 

yang dihadapi saat ini, Andini 

membentak-bentak Gopo karena tak mau 

menghapus darah yang meleleh di kanan 

kiri punggung Ekayana.

"Aku jijik dengan darah begituan!" 

kata Gopo.


"Sombong!" ketus Andini. "Begitu 

saja jijik, tapi sama dirinya sendiri 

yang seperti itu tidak jijik."

Gopo menggeram. "Jangan keterlaluan 

bicara denganku, ya?!"

"Nyatanya kamu memang sok bersih!" 

debat Andini.

"Kenapa tidak kau sendiri yang 

membersihkan darah membusuk itu? Kenapa 

harus aku? Kamu kan yang menjadi 

kekasihnya. Harusnya kamulah yang 

membersihkan darah itu, sebagai tanda 

kesetiaan kepada kekasih! Tolol!"

"Aku geli! Aku tak tega!"

"Sama saja! Aku juga begitu! 

Goblok...!"

Sekar Pamikat tak tahu, bahwa 

seperginya dari mereka, Andini berkelahi 

dengan Gopo gara-gara jijik dan geli. 

Gopo diserang dengan suatu pukulan jarak 

jauh. Lelaki bertubuh besar seperti 

raksasa brewok itu terpental beberapa 

langkah dari tempatnya. Gopo marah. Ia 

berteriak keras, mengeluarkan tenaga 

dalamnya yang dapat disalurkan dari 

suara. Hal itu membuat Andini bagai 

ditabrak banteng lewat. Ia 

terguling-guling dan jatuh menindih 

Ludiro yang sedang berusaha bangkit 

akibat hempasan suara dan nafas Gopo.


“Kau memang perlu dihajar, Gopo...! 

Hiaaaat...!"

Ludiro menendang tangan Andini 

hingga Andini menyeringai merasa 

kesemutan. Ludiro berdiri di depan 

Andini ketika Gopo maju hendak menyerang 

Andini. Melihat Ludiro berdiri dan 

bertolak pinggang, Gopo menjadi tak 

enak. Ia berhenti. Andini semakin 

bandel, ingin menyerang. Tapi dengan 

satu gerakan kaki Ludiro yang melintang, 

Andini jatuh tersungkur.

"Kita di sini hanya empat orang. 

Satu terluka, jangan membuat yang tiga 

menjadi gila!" bentak Ludiro yang 

bertubuh agak pendek dari Andini, tapi 

kelihatan berotot. "Untuk apa kalian 

saling berselisih? Untuk disebut sebagai 

jago? Untuk dikatakan paling unggul?"

Andini cemberut sewaktu dipandang 

Ludiro, ia buang muka. Dan Gopo sudah 

sejak tadi berjalan pelan, menjauhi 

Ludiro. Tapi Ludiro masih kelihatan 

kesal.

"Bodoh, sekali tempo boleh-boleh 

saja. Tapi jangan dipelihara sepanjang 

masa," Ludiro berkata kepada Andini.

"Dia yang kelewatan!" bantah 

Andini.


"Semua kelewatan! Termasuk goa ini! 

Ini goa apa sampai-sampai mau keluar saja 

kita kebingungan? Iya, kan?"

"Kurasa ini goa tempat kita 

menemukan lumut bercahaya dulu," ujar 

Gopo dari kejauhan.

"Bukan! Aku dapat merasakan hawanya 

lain," kata Ludiro.

"Gopo melangkah, makin lama makin 

jauh menyusuri lorong. Ludiro segera 

berseru:

"Mau ke mana kau, Gopo?"

"Aku mau mencari lumut bercahaya. 

Aku akan memakannya supaya tubuhku 

menjadi kebal, seperti tubuhmu, Ludiro!"

"Kembali!" bentak Andini.

Gopo hanya berpaling sebentar, 

kemudian melangkah lagi. Pungggungnya 

yang tanpa baju terlihat bagai menutup 

pemandangan lorong. Ia melangkah tanpa 

peduli Andini berseru kepadanya dan 

meminta ia kembali. Ia sudah dibuai oleh 

khayalan lumut bercahaya yang dulu 

pernah mereka temukan, tapi mereka 

mengiranya tanaman beracun.

Nyala api dari ikat pinggang yang 

dibakar masih menerangi suasana dalam 

lorong goa itu. Letaknya memang sedikit 

jauh dari tubuh Ekayana yang telungkup di 

tanah, tetapi Ludiro baru menyadarinya


bahwa nyala api itu tidak kunjung padam 

dari tadi. Padahal hanya sebuah ikat 

pinggang kecil milik Ekayana yang 

dibakar, namun nyalanya bagai abadi, tak 

kan kunjung padam. Aneh. Dan baru 

disadari oleh Ludiro bahwa goa itu pasti 

menyimpan banyak keanehan. Cukup 

misterius.

Ya, memang misterius. Sekar Pamikat 

pun mengatakan dalam hatinya demikian. 

Sebab ketika ia patah semangat mencari 

Lanangseta dan mencari mulut goa, ia 

ingin kembali kepada teman-temannya, 

tempat di mana mereka semua berkumpul. 

Anehnya, ia merasa tersesat beberapa 

kali, dan akhirnya kebingungan. Ada 

beberapa lorong dan persimpangannya, 

tapi ia tidak menemukan di mana jalan 

yang menuju tempat teman-temannya 

berkumpul. Ia sudah mencobanya 

berputar-putar mencari jalan menuju 

teman-temannya, tetapi rasanya ia hanya 

berjalan dari masa ke masa, berjalan dari 

tempat satu ke tempat lain. Ia berjalan 

terus tanpa menemukan kebun-tuan, tapi 

juga tidak sampai pada tujuan.

"Misterius sekali goa ini," 

pikirnya. Matanya yang sudah terbiasa 

dalam gelap itu mencoba mencari setitik 

sinar, yaitu sinar api yang ada di antara



teman-temannya. Namun setitik sinar itu 

tidak ia peroleh. Gelap, remang. Itu 

saja. Dan anehnya, sejak tadi ia juga 

tidak berjumpa dengan mahluk apapun; 

binatang, tanaman, manusia, hantu... 

tidak ada!

Hanya saja, tahu-tahu ia menemukan 

tangga menuju ke bawah. Tangga batu 

berlapis-lapis, dan lebarnya sekitar 

tiga tom-bak. "Ada ruangan di bawah sana. 

Sayang gelap..." pikir Sekar Pamikat. Ia 

mau turun, tapi masih bimbang. 

Mungkinkah di bawah sana ada Lanangseta, 

kekasihnya?

***

3

LANANGSETA yang terkurung di 

persimpangan lorong itu ternyata telah 

tertidur beberapa saat lamanya. Ketika 

ia bangun, ia merasakan badannya amat 

segar. Tapi keadaan di sekitarnya masih 

gelap pekat. Pedang masih tergenggam di 

tangan kirinya, sementara itu tangan 

kanannya mencoba meraba kalau-kalau


sesuatu ada di depannya. Ternyata 

kosong. Ia tetap sendirian.

Sekarang benak dan otaknya bekerja 

keras, bagaimana caranya untuk dapat 

lolos dari kurungan memuakkan itu. Ia 

sedang berpikir, ketika tahu-tahu pintu 

goa bermulut kecil yang tertutup 

bebatuan padat itu bergerak. Ada suara 

gemuruh terdengar samar-samar. 

Lanangseta segera lari dan berhenti di 

hadapan pintu goa yang tertutup. Suara 

gemuruh itu makin lama semakin panjang 

dan membuat pintu goa tersebut bergerak 

nyata. Membuka sedikit. Ada sinar masuk, 

sinar matahari.

Oh ternyata hari sudah pagi.

Namun mulut Lanangseta masih 

ternganga bengong. Bebatuan yang tadi 

menutup jalan ke luar dari goa itu bagai 

sedang dihisap sesuatu dari dalam tanah. 

Perlahan-lahan bebatuan yang tak mampu 

ditembus pedang Wisa Kobra itu bergerak 

turun. Semakin lebar celah sinar masuk, 

semakin nyata keadaan di luar, dan kini 

bebatuan tersebut telah lenyap ke dasar 

bumi. Pintu goa terbuka lebar, tapi tetap 

selebar kemarin, yaitu selebar mulut 

su-mur. Sinar terang masuk. Lanangseta 

tersenyum lega.


Di ufuk sana, terlihat matahari 

muncul dari balik cakrawala. Tubuh 

Lanangseta bagaikan mandi cahaya 

matahari pagi. Mendadak ia termenung dan 

manggut-manggut.

"Sekarang aku tahu, Jelas sudah. 

Pintu goa itu akan tertutup jika tak ada 

sinar matahari sama sekali. Tapi akan 

terbuka jika ada sinar matahari walau 

hanya setitik," gumamnya sendirian. Ia 

masih manggut-manggut kagum.

Sinar matahari menembus permukaan 

dinding yang ada pada lorong kiri.

Lanangseta terkejut melihat dinding itu 

pun bagai tenggelam ke bawah, seakan ada 

yang menyedotnya dari dalam tanah. Makin 

lama makin rendah, lalu rata dengan 

tanah, bahkan tidak terlihat lagi bagian 

atasnya. Lalu terlihatlah jalan lorong 

tempat Lanangseta datang dari mulanya. 

Lorong itulah yang akan membawanya 

menemui teman-temannya, Gopo, Ludiro, 

Andini, Ekayana dan Sekar Pamikat 

kekasihnya.

"O, oh... pantas aku sempat 

kebingungan. Ternyata kemarin sore 

jalanan itu telah tertutup sendiri 

akibat matahari telah condong ke barat 

dan ia tak dapat sinarnya. Jadi, jika tak 

memperoleh sinar matahari, maka ia akan


menutup sendiri. Tetapi jika ada sinar 

matahari menembusnya, dinding itu akan 

bergerak sendiri, tidak menjadi 

penghalang jalan menuju lorong itu lagi. 

O, o, oh... pantas, pantas!"

Pendekar Pusar Bumi yang baru 

memahami sedikit rahasia goa ini, merasa 

terheran-heran bukan kepalang. Kini ia 

segera pergi menyusuri lorong yang akan 

membawanya ke tempat Ekayana. Dalam 

beberapa saat saja, dia telah bertemu 

dengan Ludiro.

Ludiro menjelaskan apa adanya 

ten-tang kepergian Sekar Pamikat dan 

Gopo yang sejak tadi belum kembali juga. 

Lanangseta mendesah kesal.

"Lanangseta...? Ke mana saja Anda 

pergi?" tegur Ludiro bernada menyalahkan 

Lanangseta. Lalu, Lanangseta 

menjelaskan pengalamannya secara 

singkat.

Andini mendekat.dan berkata, 

"Lukanya semakin busuk..."

Lanangseta mendesah setelah ia tahu 

luka di punggung Ekayana benar-benar 

busuk dan mengeluarkan belatung. Tetapi 

luka itu tidak mengganas seperti yang 

dialami Ludiro. Memang menjadi lebar, 

tapi cukup lamban. Hanya beberapa jarum 

saja luka itu melebar ke kanan-kiri dan


sekitarnya. Hal itu menurut Ludiro 

karena Ekayana mempunyai ketahanan tubuh 

yang luar biasa. Coba kalau ketahanan 

tubuh Ekayana seperti ketahanan tubuhnya 

yang lemah pada waktu itu, tentu saja 

luka yang memborok itu akan cepat melebar 

seluruh badan.

"Angkat Ekayana... aku menemukan 

jalan ke luar," ujar Lanangseta dengan 

tegas.

"Tetapi, bagaimana dengan 

Sekar...?" kata Andini. Lanangseta bagai 

disengat batang hidungnya. Ia teringat 

Sekar Pamikat kekasihnya itu.

“Kemana dia?”

Ludiro menjelaskan apa adanya 

tentang kepergian Sekar Pamikat dan Gopo 

yang sejak tadi belum kembali juga. 

Lanangseta mendesah kesal.

"Brengsek! Dia memang suka bikin 

peraturan sendiri! Dia tidak tahu kalau 

goa ini mempunyai banyak rahasia, dan 

menyimpan banyak misteri. Hah...! Kemana 

arah perginya tadi?" Lanangseta 

kelihatan jengkel terpendam.

"Gopo ke sana," ujar Andini dengan 

manja seakan anak kecil yang sedang 

mengadu kepada ayahnya. "Kalau Sekar ke 

sana," Andini menunjuk arah yang 

berlawanan. Lanangseta menjadi amat


kesal. Mereka pergi berlainan arah. 

Padahal jika mereka terlambat ke luar, 

bisa-bisa mereka terjebak lagi di dalam 

goa itu.

"Bawa dulu Ekayana ke luar sebelum 

jebakan itu bekerja kembali," 

perintahnya kepada Ludiro.

Tubuh agak pendek yang kekar itu 

mengangkat Ekayana dengan berat dan 

kerepotan. Akhirnya Lanangseta yang 

membantu menggotong Ekayana. Mereka 

berjalan kearah mulut gua.

"Gopo bagaimana?" tanya Andini 

cemas.

"Bawa dulu Ekayana ke luar, nanti 

biar kucari mereka, asal Ekayana sudah 

berada di luar. Daripada goa ini tertutup 

lagi, dan Ekayana belum berada di luar, 

maka kita akan bermalam lagi di sini!" 

tutur Lanangseta agak dongkol dengan 

gaya Andini yang manja itu.

Gadis berbaju merah muda dengan tahi 

lalat di bawah bibir bagian ujung itu 

mengangguk. Lalu ia mengikuti dari 

belakang setiap gerakan Lanangseta yang 

mengangkat tubuh saudara kembarnya 

bernama Ludiro. Mereka akhirnya tiba di 

mulut goa. Andini kelihatan lega begitu 

melihat cahaya matahari. Tapi ia sempat 

mengeluh,


"Kok sempit...?"

Kata-katanya itu tidak ada yang 

menanggapi. Lanangseta bergerak lebih 

dulu, merayap mundur menuju luar goa. 

Sambil merayap mundur, ia mengangkat 

tubuh Ekayana yang tak pernah berkutik 

lagi itu, sedangkan Ludiro mengangkat 

bagian lainnya. Dengan susah payah, 

akhirnya Ekayana memang berhasil 

dikeluarkan dari mulut goa yang sempit.

Pada saat itu, pagi masih dibilang 

segar. Udaranya amat cerah. Andini 

merentangkan tangannya lebar-lebar, 

menghirup udara pagi yang menyegarkan 

paru-paru.

"Hati-hati, jangan melawan 

orang-orang Bukit Badai. Kalau mereka 

datang, katakan kalian sedang dalam 

perjalanan hendak meninggalkan Bukit 

Badai."

Setelah meninggalkan pesan begitu, 

Lanangseta masuk kembali ke mulut goa 

yang sempit, ia akan mencari Gopo dan 

Sekar Pamikat. Namun baru saja ia 

memasukkan sebagian badannya, ke mulut 

goa, tiba-tiba Andini menjerit tegang.

“Lihat...! Luka itu bergerak di 

punggung Ekayana!"

Ludiro menggumamkan kata 

terkejutnya, dan bersuara lirih,


"Astaga...! Sekarang saatnya luka 

itu mengganas! Oh, menjalar ke seluruh 

punggung...! Gawat!"

Lanangseta tak jadi masuk ke dalam 

goa. Ia segera menghampiri tubuh adiknya 

dan memandang dengan mata terbelalak. 

Luka yang memborok dan berbelatung itu 

bergerak cepat, melebar ke seluruh 

punggung. Nyaris menutup seluruh 

permukaan punggung. Sebentar lagi pasti

bagian pinggangnya juga akan membusuk.

"Seperti inilah waktu itu luka yang 

ada di lenganku. Bergerak cepat, 

membusukkan lengan dalam tempo singkat."

"Iblis...!!" geram Lanangseta dalam 

kebingungan. Pikirannya bimbang, antara 

membawa lari tubuh Ekayana ke 

Pesanggrahan Cendana Manik, atau mencari 

Sekar Pamikat lebih dulu baru pergi ke 

sana? Tapi mencari Sekar Pamikat dan Gopo 

jelas merupakan pekerjaan yang cukup 

memakan waktu lama. Goa itu penuh lorong 

rahasia, dan mungkin juga jebakan yang 

dapat mematikan. Ia harus hati-hati. 

Tapi jika ia membawa lari Ekayana ke 

Pesanggrahan Cendana Manik untuk 

diserahkan ayahnya, apakah cukup waktu 

untuk itu? Apakah borok tersebut tidak 

akan menjadi semakin lebar dan membawa 

kematian Ekayana sebelum mencapai


Pesanggrahan Cendana Manik yang 

terbilang sangat jauh dari tempat 

tersebut? Jangan-jangan Ekayana tewas 

dalam perjalanan ke sana.

Tiba-tiba,, terdengar suara Ludiro 

bagai menemukan sesuatu. Andini tegang 

dengan linangan air matanya. Ia menatap 

Ludiro dan bertanya:

"Cara pengobatannya kau tahu?!"

"Bukan cara pengobatannya! Yang 

penting, masukkan kembali Ekayana ke 

dalam goa itu."

"Kau gila! Kau tahu sendiri betapa 

susahnya mengeluarkan tubuh Ekayana dari 

mulut goa itu. Sekarang mau kau masukkan 

lagi? Gila...!" Lanangseta menggerutu 

dan bersungut-sungut.

Kata Ludiro dengan tegas, “Yang 

penting masukkan kembali tubuh ini ke 

dalam goa. Lekas!"

"Jelaskan dulu!"

"Nanti kujelaskan!" bentak Ludiro 

dengan berani. Lanangseta berpendapat, 

kalau bukan hal penting, pasti Ludiro 

tidak akan berani membentaknya. Sebab 

itu, Lanangseta menurut apa kata Ludiro. 

Kendati dengan susah payah, namun 

akhirnya tubuh Ekayana bisa kembali 

berada di dalam goa tadi. Ludiro bahkan


meminta agar tubuh Ekayana dibawa masuk 

lebih dalam lagi.

Napas mereka terengah-engah. 

Lanangseta bersimbah keringat, demikian 

juga Ludiro. Ekayana ditengkurapkan lagi 

pada tanah yang telah dilapisi baju Gopo 

oleh Andini. Kesepian merayapi mereka 

sejenak. Kemudian terdengar suara 

Lanangseta menggumam:

"Apa maksudmu dengan begini? Bikin 

susah saja...!

“Lihat luka itu... Luka itu tidak 

bergerak lagi, kan?"

Semua mata tertuju pada luka 

memborok di punggung Ekayana. Mereka 

memperhatikan beberapa saat dengan mulut 

saling terkatup bisu. Dan mereka 

sama-sama menyadari bahwa luka tersebut 

memang tidak bergerak lagi. Tidak 

secepat waktu di luar. Pinggang Ekayana 

masih utuh, borok masih tetap dalam

ukuran semula.

Suara Ludiro menjelaskan bagai 

seorang guru, "Jadi, luka ini akan 

menjadi ganas apabila berada di luar goa. 

Terkena angin, atau terkena matahari, 

atau... entah apa. Yang jelas, jika luka 

itu tetap berada di dalam goa ini, ia 

tidak begitu ganas. Lihat saja, tadi ia 

merayap bagai hendak memangsa seluruh


tubuh Ekayana, tapi sekarang ia bagai 

diam saja, kan? Coba kalau Ekayana masih 

berada di luar, tentu sekarang ini 

pinggangnya sudah membusuk."

Gumam Lanangseta dan Andini nyaris 

bersamaan. Andini mengusap-usap wajah 

Ekayana dengan perasaan sedih. Suara 

Lanangseta memecah kebisuan yang 

berlangsung selama beberapa helaan nafas 

itu.

"Atau memang goa ini yang mempunyai 

khasiat tertentu terhadap luka beracun 

seperti itu?"

Ludiro mengangguk, "Bisa jadi 

begitu."

Lanangseta menghempaskan nafas. La-

lu berkata: "Kalau begitu, aku akan 

keluar sebentar untuk mencari kayu 

bakar. Kita tinggal di sini dulu beberapa 

saat, sampai kita menemukan cara 

penyembuhan untuk Ekayana."

"Biar aku saja yang mencari kayu 

untuk api unggun di sini, kau 

beristirahatlah," ujar Ludiro. 

Lanangseta tak jadi bergerak pergi 

karena Ludiro sudah mendului.

Andini berwajah sayu. Tangisnya 

berhenti karena kelegaan, begitu 

mengetahui borok membusuk itu tak sempat 

mengganas. Lanangseta sendiri sempat


merasa kasihan kepada Andini. Ia lama 

ditinggalkan Ekayana. Ia pasti rindu 

kepada kekasihnya, tapi begitu mereka 

bertemu dalam keadaan musibah seperti 

itu. Masih beruntung dirinya, yang 

kemarin sudah sempat becanda sebentar 

dengan Sekar Pamikat, bahkan sempat 

mencium gadis itu di dalam kegelapan goa. 

Tapi, sekarang ke mana gadis itu? Sekar 

Pamikat dan Gopo mengapa menghilang 

bersamaan? Secara kebetulan atau memang 

sudah direncana Pikiran Lanangseta 

memang suka begitu. Dan ketika hal itu 

dikatakan kepada Andini, gadis berkulit 

kuning itu berkata pelan, "Tega-teganya 

kau punya praduga seperti itu. Sekar 

tidak akan berbuat sesuatu kepada Gopo, 

karena dia dan Gopo semula bermusuhan. 

Dia maksudku Gopo itu, adalah 

tawanannya. Masih terhitung tawanannya. 

Dan...."

Tiba-tiba mereka mendengar suara 

Ludiro memekik sayup-sayup. "Kulumatkan 

kepalamuuu...!!"

Lanangseta dan Andini berwajah 

tegang, saling pandang lalu menatap ke 

arah menuju jalan ke luar goa.

"Ada apa itu? Tampaknya Ludiro 

menemui kesukaran," ucap Andini lirih.



Lanangseta mengangguk, dan bangkit 

berdiri.

"Pasti orang-orang utusan Penguasa 

Bukit Badai...!" Setelah bicara begitu, 

Pen-ekar Pusar Bumi pergi meninggalkan 

Andini. Beberapa langkah kemudian baru 

ia berpaling dan berseru, "Jaga Ekayana. 

Jaga pula keadaan di dalam goa ini...!" 

Andini hanya mengangguk, dan Lanangseta 

cepat menuju ke luar, karena agaknya 

Ludiro semakin seru bertarung melawan 

beberapa orang.

Memang, Ludiro nyaris kewalahan 

menghadapi tujuh orang bersenjata. 

Mereka ganas-ganas, dan hampir tak 

memberi kesempatan berbicara kepada 

Ludiro. Tahu-tahu menyerang dan salah 

satu berusaha masuk goa. Orang yang 

bersenjata pedang lengkung mirip pedang 

Arab itu yang berusaha menerobos masuk 

goa. Ketika itu Ludiro sempat 

mengibaskan kaki kanannya kuat-kuat 

dengan hentakkan menyamping. Pipi orang 

itu terkena tendangan menyamping, dan ia 

terpental, kepalanya membentur 

bebatuan. Dengan satu gerakan cepat 

orang itu menebaskan pedangnya ke arah 

kepala Ludiro. Cepat Ludiro menangkap 

tangan tersebut dengan memiringkan badan 

ke arah leher lawan, lalu dengan gerakan


gesit, ia berhasil melemparkan orang itu 

ke depan melalui dorongan punggungnya.

Orang itu melayang dan menjatuhi 

beberapa temannya.

"Apa mau kalian sebenarnya, hah?!" 

bentak Ludiro yang masih belum mengerti 

mengapa ia tiba-tiba diserang.

"Jangan banyak bacot!" bentak 

seorang bersenjata piringan bergerigi. 

"Kalian telah membunuh adik kami dalam 

upaya masuk ke goa ini, dan sekarang 

kami: Delapan Bersaudara Maut menuntut 

balas atas kematian adik kami yang bungsu 

itu. Terimalah kematianmu sekarang juga, 

heaaaat...!!"

Piring bergerigi itu menyerusuk ke 

leher Ludiro. Dengan gesit Ludiro mampu 

mengelak. Piringan bergerigi yang 

mempunyai tempat pegangan di bagian 

tengahnya itu dapat berputar dengan 

sangat cepat walau hanya di sentil oleh 

sebuah jari tangan pemegangnya. Piringan 

itu berhasil dielakkan Ludiro, dan 

membentur batang pohon sebesar paha 

Gopo. Batang pohon itu terpotong 

seketika dengan sangat rapi.

"Aku tidak kenal siapa kalian!" seru

Ludiro sambil melancarkan pukulan ke 

arah muka orang itu. Setelah pukulannya 

terkena telak di dagu, segera Ludiro



mengirimkan tendangan beruntun ke dada, 

wajah, dada dan wajah lagi, sampai orang 

itu terjengkang ke belakang. Kaki Ludiro 

belum sempat turun karena sebuah rantai 

berujung bola duri melayang ke arah 

kakinya. 

"Breet...!"

Bola berduri di ujung cambuk rantai 

itu mengenai betis Ludiro. Tapi 

duri-durinya justru menjadi rontok 

seketika. Kaki Ludiro tidak tergores 

sedikit pun. Akibatnya, sebelum kaki 

Ludiro itu turun ke tanah, salah satu 

kakinya sudah menghentak kuat dan 

membuat ia melayang dalam keadaan 

berguling. Jurus itu sempat mengenai 

kepala orang bersenjata rantai berduri, 

tepat pada ubun-ubunnya, tumit kaki 

Ludiro menghantam bagi sebuah palu 

godam.

Prok...! Terdengar suara kepala 

orang itu bagai sebutir kelapa dipecah. 

Orang itu kelojotan dan limbung kian ke 

mari, lalu rubuh dengan kepala berdarah. 

Sementara tiga orang lainnya menyerbu 

Ludiro yang tiga lagi berusaha masuk ke 

mulut goa. Tapi gerakan tangan Ludiro 

sungguh cepat, tahu-tahu sebuah senjata 

Mata Pisau Beracun melayang tak dapat 

diikuti oleh pandangan mata. Senjata


rahasia itu menancap tepat di tengkuk 

kepala salah seorang yang hendak masuk ke 

mulut goa. Orang itu memekik keras,

membuat dua temannya berhenti seketika 

dan tercengang melihat orang itu roboh 

serta menggelepar-gelepar sebentar 

sebelum mengejang mati.

"Jahanam, kauuu...!" Kedua orang 

yang mengaku bersaudara itu melayang 

menerjang Ludiro dengan senjata 

trisulanya. Ludiro yang diserang tiga 

orang sebelumnya, tak sempat menghindari 

senjata tersebut.

Ludiro hanya memekik, 

"Hiyaaaaattt...!" Ia mengeraskan 

seluruh otot tubuhnya ketika semua 

senjata menghunjam dirinya. Ada yang 

patah seketika, ada yang tidak, hanya 

terpental ke belakang. Yang jelas, tak 

satu pun dari senjata mereka ada yang 

melukai tubuh Ludiro. Mereka berlima 

akhirnya mundur beberapa langkah, 

mengatur jarak, memasang strategi.

Ludiro sempat menghempaskan nafas, 

kecapekan. Lalu ia berkata, “Percayalah, 

kalian salah sangka. Aku tidak pernah 

membunuh saudara kalian. Kecuali hari 

ini," seraya Ludiro menuding kedua mayat 

saudara mereka.



Orang yang kumisnya paling tebal 

berbisik kepada yang kepalanya botak. 

Entah apa yang mereka bisikkan, 

kemudiaan tiba-tiba mereka menyerbu 

masuk ke dalam goa, sementara yang tiga 

lainnya merintangi Ludiro dengan 

serangan berganda. Mereka meloncat dan 

menyerang Ludiro satu demi satu, namun 

sebenarnya yang menyerang hanya satu 

orang, yaitu yang paling akhir meloncat. 

Otomatis pandangan dan kesigapan Ludiro 

telah dikacaukan oleh dua serangan 

tipuan itu, sehingga akibatnya Ludiro 

pun terpental ke belakang terkana 

tendangan lawan pada keningriya. Agak 

pusing juga. Dan hal itu membuat Ludiro 

tak sempat mencegah dua orang yang 

berkumis tebal yang berkepala botak, 

masuk ke dalam goa.

Tapi rupanya, di depan goa itu telah 

berdiri seorang pendekar berambut 

panjang, berbadan kekar, dengan pedang 

di punggungnya. Begitu yang berkumis 

tebal mendekat, sebuah tangan kekar 

menghentakkan dadanya sampai yang 

dipukul terbatuk-batuk. Pukulan 

Lanangseta begitu kuat, bahkan orang 

berkumis tebal itu memuntahkan darah 

kental walau hanya beberapa tetes. 

Sedangkan yang berkepala botak segera


menyerang Lanangseta dengan senjata 

cakra tajam. Ia cukup gesit menggunakan 

senjata cakra yang sekali waktu dapat 

meluncur sendiri dari tangkainya. Tetapi 

Lanangseta percuma menyandang gelar 

pendekar jika ia tak dapat berkelit ke 

belakang, dan membiarkan senjata itu 

berlalu di depan hidungnya. Kemudian 

tangannya menebas ke samping dan 

mengenai iga orang berkepala botak yang 

tampak paling sangar itu. Pukulan La-

nangseta cukup keras, sehingga orang itu 

terbungkuk sakit. Dan pada saat itulah 

Lanangseta meloncat ke atas sambil 

melancarkan tendangan ke jidat lawannya. 

Orang itu sempat terdongak, dan lehernya 

disambut oleh tendangan Lanangseta 

berikutnya. Begitu kuat tendangan itu, 

sampai terdengar bunyi: 

"Ngeekk...!" Lalu orang itu pun 

terguling-guling.

Pendekar Pusar Bumi tidak mau pergi 

dari depan pintu goa itu. Ia berdiri 

tegap, bagai menanti serangan 

berikutnya, dari siapa saja. Lalu, ia 

tersenyum ketika kedua musuhnya bergerak 

dengan irama serupa. Mereka tidak lagi 

menggunakan senjata, namun menggunakan 

tangan kosong. Tentu mereka sedang 

memainkan jurus andalan mereka.


Gerakannya begitu seragam indah. Kaki 

terbuka keduanya, tangan menyilang di 

dada, dan kini terbuka ke samping 

semuanya, lalu salah satu kaki dari 

mereka ditarik ke belakang, dan kedua 

tangan yang berkembang itu ditarik ke 

belakang semua, setelah itu dihentakkan 

ke depan secara bersamaan. 

"Heaaaah...!!"

"Blegaar..!"Lanangseta menghindari 

sinar biru tua yang keluar dari keempat 

tangan mereka. Dengan sekali loncat, 

Lanangseta dapat melancarkan pukulan 

jarak jauhnya ke arah kedua orang 

tersebut. Sementara itu, sinar biru tua 

meluncur menghantam batu besar yang ada 

di samping kiri mulut goa. Batu itu 

tiba-tiba hilang. Serpihannya pun tak 

ada. Lanangseta tak sempat mengagumi 

pukulan hebat itu, sebab sekarang ia 

sedang sibuk membalas kedua orang itu 

hingga keduanya berguling-guling nyaris 

membentur pohon besar.

Tanpa disadari oleh Lanangseta, 

rupanya ada salah seorang dari ketiga 

orang yang melawan Ludiro itu melesat ke 

belakang Lanangseta. Dari arah belakang 

Lanangseta ia juga bergerak 

mempermainkan jurus serupa dengan yang 

dipermainkan oleh dua orang tadi. Dan


dengan gerakan lincah dia menarik kedua 

tangannya sampai ke pinggang dalam 

keadaan terbuka, lalu ia melancarkan 

pukulan tenaga dalamnya seperti yang 

dilancarkan oleh kedua orang tadi. Sinar 

biru tua meluncur cepat tertuju pada 

tubuh Lanangseta. Tapi sebelum sinar itu 

menghantam punggung Lanangseta, 

tiba-tiba sinar itu berhenti. Berhenti 

total dan masih berujud sinar biru tua. 

Pada saat itu, orang tersebut memekik 

keras. Dadanya robek seketika, bahkan 

nyaris terpotong menjadi dua bagian. 

Lanangseta segera berbalik ke belakang. 

Dan matanya tertegun melihat Kirana Sari 

mencabik-cabik tubuh orang itu dengan 

sebatang ranting kering. Lanangseta 

sadar ada sinar biru tua berhenti di 

depannya. Ia bergeser tepat pada saat 

sinar itu melesat lagi, bagai meneruskan 

perjalanannya. Kecepatan sinar sangat 

luar biasa, sehingga tahu-tahu orang 

yang berkumis tebal itu terpekik 

tertahan, kemudian sirna tanpa bekas.

Andai saja Kirana Sari tidak muncul, 

pasti sinar biru tua itu akan meluncur 

menghantam Lanangseta dari belakang, dan 

nasibnya akan sama dengan orang berku mis 

tebal. Sirna selama-lamanya. Beruntung 

sekali kemunculan Kirana Sari begitu


tepat, sehingga ia masih bisa 

diselamatkan oleh perempuan anggun yang 

berilmu tinggi itu.

"Awas...!" seru Kirana tiba-tiba. 

Lanangseta sigap, ia membalik ke 

belakang dan sebuah senjata cakra 

melayang ke arahnya. Dengan gesit ia 

mencabut pedang Wisa Kobra, lalui 

menebas senjata cakra itu. 

"Trang...!" Senjata itu terpotong 

menjadi dua bagian. Ujung potongannya 

masih melesat terus dan berhasil 

dihindari Lanangseta. Tetapi di belakang 

Lanangseta berdiri Kirana Sari dalam 

jarak tertentu. Ujung potongan senjata 

cakra itu melesat ke arah Kirana Sari. 

Dengan gerakan yang melingkar ke 

samping, kaki Kirana berhasil menendang 

ujung senjata yang berbahaya itu. 

Tendangannya begitu kuat dan tepat 

sehingga senjata tersebut berbalik arah. 

Lanangseta meloncat menghindari ujung 

senjata cakra, dan begitu lolos tidak 

mengenai tubuh Lanangseta, maka senjata 

itu bagai kembali kepada pemiliknya. 

Orang berkepala botak yang memiliki sen-

jata itu sangat tercengang. Ia tak sempat 

menghindar sehingga ujung senjata itu 

menghantam matanya. Ia terbawa tenaga


dorong senjata tersebut sehingga ikut 

tertancap di pohon besar.

"Siapa mereka sebenarnya? Mengapa 

mereka menyerang kami tiba-tiba?" tanya 

Lanangseta kepada Kirana Sari.

"Mereka, orang-orang Tebing Neraka. 

Mereka selalu berusaha keras untuk dapat 

memasuki goa Malaikat." jawab Kirana 

dengan mata memandang tenang pada 

pertempuran Ludiro dengan dua orang 

musuhnya.

"Mengapa mereka ingin memasuki goa 

Malaikat itu? Ada apa di dalam goa 

tersebut? Harta? Atau..."

"Setelah selesai urusan ini, jangan 

lupa, cepat pergi..." seraya Kirana 

melecit bagai sebuah sinar hijau. 

Lanangseta menggeragap sebentar. Ia 

sempat berseru:

"Kirana Sari...! Tunggu...!"

Badai datang dengan tiba-tiba 

begitu Lanangseta menyebut nama Kirana 

Sari. Petir menyambar-nyambar di 

angkasa, dan langit bagai terbakar, 

banyak warna pijar. Awan hitam 

bergulung-gulung mengerikan. Bumi pun 

goncang. Lanangseta menyesal 

mengucapkan nama Kirana Sari. Ternyata 

mempunyai kekuatan yang amat ampuh jika 

diucapkan oleh siapa saja.


Badai begitu kencang. Lanangseta 

terhuyung-huyung. Sedangkan Ludiro 

merendahkan badan untuk menjaga 

keseimbangan tubuhnya agar tidak 

dihempaskan badai. Tetapi kedua musuhnya 

yang tengah menyerang serentak itu 

menjadi terbawa angin. Dihempaskan 

dengan kuat dan kepalanya membentur 

pohon. Begitu kuatnya hempasan dan 

benturan tersebut sehingga terdengarlah 

suara: 

"Praaak...!" Dari arah musuh itu

suara berbunyi. Ludiro menyeringai, 

menyipitkan mata, dan ia dapat 

mengetahui bahwa kepala kedua musuhnya 

itu secara serentak membentur batang po-

hon dengan keras. Lalu keduanya 

tergeletak di tanah dengan kelojotan 

beberapa saat, dan tak berkutik untuk 

selamanya.

"Cari pegangan...!" teriak 

Lanangseta yang sudah berhasil 

berpegangan akar pohon. Ludiro 

kebingungan. Tubuhnya yang terasa kecil 

itu sangat mengkhawatirkan. Ia nyaris 

tak berani bergerak sedikitpun. Ia bagai 

sedang menancapkan kedua kakinya ke bumi 

kuat-kuat dan menahan amukan angin badai 

yang begitu dahsyat. Sementara itu,


Lanangseta mendengar pula suara seruan 

seorang perempuan: 

"Lanaaang...!"

Mata Lanangseta terbelalak kaget, 

namun tak sempat melebar karena hembusan 

angin membuat perih di bola mata.

"Andini...! Jaga dirimu...!"

Andini kewalahan menahan diri dari 

hempasan angin kencang itu. Ia masih 

berdiri di depan mulut goa dengan 

berpegangan pada tanaman semak berduri. 

Tetapi agaknya tanaman itu tidak kuat 

menahan hempasan angin sekuat itu. 

Sebuah pohon tumbang seketika. Lalu 

tubuh Andini melayang karena tanaman 

yang dipegangnya jebol seakar-akarnya. 

Andini sempat berseru, 

"Aaauuww...!"

"Andini...?! Cari pegangan lain, 

lekas...?!"

Seruan Lanang tak didengar oleh An-

dini.! Tapi ketika kedua tangannya 

terentang, tiba-tiba ia masuk dalam 

celah pohon, dan kedua tangannya itu 

dapat menjadi penghalang. Kedua tangan 

Andini meme-gang erat kedua celah pohon, 

sehingga tubuhnya tak ikut terlempar 

bagai benang menerobos lubang jarum.

Ketika keadaan alam menjadi reda 

kembali, nafas Ludiro terengah-engah. Ia


sempat menghampiri Lanangseta dan 

berkata: "Kenapa Andini harus keluar 

dari dalam goa?"

"Mana aku tahu!" jawab Lanangseta, 

lalu keduanya menurunkan Andini yang 

tersangkut di antara celah pohon.

"Ilmu apa yang kau pakai tadi, 

Lanang...?!" tanya Andini.

* * *

4

UNTUK menghindari pertanyaan 

Andini, Lanang mengalihkan perhatian. 

Ia memandang mayat-mayat yang 

bergelimpangan itu. Ia bicara lirih 

bagai ditujukan untuk dirinya sendiri, 

"Mereka sangat bernafsu untuk memasuki 

goa Malaikat ini. Ada apa sebenarnya, 

ya?"

"Lanang...." tegur Andini yang 

ternyata tak bisa dikecohkan begitu 

saja. "Ilmu apa yang kau pakai tadi? 

Namanya saja, aku ingin dengar."

Lanangseta kebingungan. Kalau ia 

menyebutkan Kirana Sari, pasti akan 

terjadi amukan badai dahsyat yang


bagaikan menjelang hari kiamat tiba. Ia 

berusaha menghindari pertanyaan Andini, 

namun tak pernah berhasil. Bahkan gadis 

manja yang juga cerewet itu bertanya:

“Lalu siapa yang bicara denganmu di 

sebelah sana tadi? Siapa perempuan itu?"

Pertanyaan Andini kali ini bernada 

penuhselidik setengah mencurigai. 

Lanangseta hanya berkata, "Dia putri 

penguasa Bukit Badai ini." 

"Siapa namanya?"

Sekali lagi Lanangseta bingung 

menjawabnya. Tetapi kecurigaan Andini 

semakin jelas. Gadis centil itu berkata:

"Siapa nama gadis itu? Kenapa kau 

tak mau menyebutkannya? Kau serong ya? 

Akan kuadukan kepada Sekar kalau kau 

mendua hati."

"Andini, ini bukan urusanmu. Kau 

harus..."

"Harus mengetahui siapa nama gadis 

itu!" sahutnya cepat. Andini cemberut. 

Ia jadi menampakkan kecemburuannya.

"Lupakan tentang perempuan itu. 

Ayo, kita masuk ke goa. Kita tak baik 

terlalu lama meninggalkan Ekayana."

“Tidak! Aku harus tahu nama 

perempuan itu!" Andini berkeras hati. 

Lanangseta agak kelabakan.


Tiba-tiba Ludiro berseru dengan 

mengagetkan, "Hai, lihat! Mayat-mayat 

itu menghilang. Hilang sendiri!"

Lanangseta dan Andini membelalakkan 

mata. Tetapi Andini yang kelihatan 

paling terkejut. Ia bahkan bergeser 

merapatkan badan ke tubuh Lanangseta dan 

berpegangan lengan pendekar ganteng itu. 

En-tah sengaja atau memang dalam keadaan 

ketakutan sekali, yang jelas Andini 

merasa senang jika dapat berpegangan 

lengan Lanangseta. Mereka tak 

henti-hentinya berdecak menyaksikan 

mayat-mayat itu hilang sendiri.

"Kau menggunakan ilmu simpananmu 

lagi, ya?" bisik Andini.

Untuk menghilangkan 

desakan-desakan yang membingungkan, 

Lanangseta segera membawa masuk Andini 

ke dalam goa. Mulanya Andini mengancam 

tidak ingin masuk ke dalam goa jika tidak 

diberitahu siapa nama perempuan itu. 

Tetapi setelah Lanangseta dan Ludiro 

membiarkan dia diluar goa, akhirnya ia 

masuk sendiri dengan merangkak-rangkak 

seperti waktu ia keluar tadi.

Sesuatu yang amat mengejutkan 

membuat Lanangseta menjadi pucat 

wajahnya. Tempat di mana Ekayana 

tertelungkup tadi, sekarang telah


kosong. Yang ada hanya kain baju Gopo, 

yang tadi dipakai sebagai alas tidur 

tubuh Ekayana. Ludiro sendiri menjadi 

gemetar ketika mengetahui jasad Ekayana 

telah hilang dari tempatnya.

"Ke mana dia?!" Lanangseta 

kelihatan sangat tegang.

Ludiro tak dapat bicara. Matanya 

membelalak kian-kemari. Ketika Andini 

sampai kepada mereka, Andini ikut 

terkejut dan segera menjerit:

"Ekayaanaaa...?! Kemana dia, 

Lanang? Kemana?!"

Suasana menjadi panik. Lanangseta 

tak ingin kehilangan saudara kembarnya. 

Ia segera mengambil pedang Wisa Kobra, 

lalu menggeserkan kuat-kuat pada dinding 

goa. Percikan api diterima oleh sebilah 

kayu kering, dan kayu itupun terbakar. 

Dengan menggunakan kayu berapi itu, 

Lanangseta melangkah cepat menyusuri 

lorong mencari Ekayana. Sementara itu, 

Ludiro juga mencarinya ke tempat 

berlawanan arah dengan kepergian 

Lanangseta. Andini menangis, mengikuti 

Lanangseta dari belakang sambil 

memanggil-manggil Ekayana. Tetapi 

ternyata tak satu pun sobekan kain atau 

percikan darahnya yang meninggalkan 

bekas. Ekayana bagai hilang tanpa bekas.


"Mungkinkah dia tadi ikut ke luar, 

lalu ikut terhempas badai mengerikan 

itu?!" kata Andini dengan tangisnya yang 

semakin menjengkelkan Lanangseta.

"Ini kesalahanmu!" bentak Pendekar 

Pusar Bumi yang memiliki wajah serta 

ciri-ciri sama dengan Ekayana. "Kubilang 

tadi, jangan tinggalkan dia! Jaga dia! 

Tapi kamu malah ke luar dari goa! 

Apa-apaan itu?! Kau pikir tindakanmu 

sudah benar dan pasti menguntungkan? 

Untuk dirimu sendiri belum tentu 

menguntungkan, apalagi untuk diri orang 

lain!" Lanang mengomel tanpa peduli 

tangis Andini yang terisak-isak.

Kegeraman dan kejengkelan menyumbat 

di dada, membuat pernafasan Lanangseta 

terasa sesak. Andini memegangi tangan 

Lanangseta, namun tanpa peduli 

menyinggung perasaan atau tidak, Lanang-

seta mengibaskan tangan Andini.

"Kau hanya bisa menyalahkan aku!" 

seru Andini dalam tangisnya. "Kau 

sendiri terlalu lamban bergerak, 

terlalu...."

“Terlalu apa? Apa yang terlalu, 

hah?!" bentak Lanangseta karena 

dongkolnya. Andini yang cengeng dan 

manja semakin menyerukan tangis. Kesal 

sekali Lanangseta.


Ia sudah melangkah terlalu jauh, 

menyusuri lorong panjang, namun ia tidak 

menemukan secuil pun jejak Ekayana.

Sewaktu ia kembali lagi ke tempat 

semula, Ludiro datang dari arah depan. Ia 

juga membawa obor kayu bakar dan 

kelihatan kebingungan.

“Tak ada tanda-tanda ke mana 

perginya," kata Ludiro sambil angkat 

bahu.

"Aku juga tidak menemukan 

tanda-tanda apa pun." Lalu, Pendekar 

Pusar Bumi itu menghela nafas 

dalam-dalam, mencari ketenangan.

“Lalu bagaimana nasibnya? Bagaimana 

keadaan Ekayana?!" Andini merengek. 

Lanangseta menjawab dengan kesal:

"Tanyakan pada dirimu sendiri! Kau 

yang bertanggungjawab. Kau yang kuserahi 

tanggungjawab menjaganya, tapi kau tak 

mau memberikan perhatian, apalagi 

bertanggungjawab sepenuhnya!" 

Lanangseta menggeram. Gemas sekali! Ia 

telah kehilangan Sekar Pamikat, haruskah 

ia kehilangan saudara kembarnya. 

Anggaplah Sekar Pamikat tidak terlalu 

berbahaya, karena ia masih bisa berjalan 

dan dalam keadaan sehat, tetapi 

bagaimana dengan Ekayana? Ia dalam


keadaan terluka parah dan tak mampu 

bergerak sedikit pun.

"Kita cari ke luar goa," ujar 

Andini.

"Tak mungkin ia bisa ke luar 

sendiri. Bergerak saja tak mampu apalagi 

berjalan ke luar dari goa," kata Ludiro.

"Tapi siapa tahu...?"

"Siapa tahu kau yang 

melenyapkannya, begitu?" sahut 

Lanangseta dengan sinis. Andini 

terbelalak dituduh sebagai orang yang 

dengan sengaja melenyapkan Ekayana. Ia 

menjadi marah. Ia berseru dengan ketus:

"Jaga bicaramu, Lanang! Jangan 

terlalu membakar kemarahanku yang sudah 

sakit atas peristiwa ini!"

"Nyatanya waktu kutinggal ke luar, 

dia masih dalam keadaan parah. Tapi 

begitu kau ke luar, lalu masuk lagi, dia 

sudah tak ada. Kau punya cukup waktu 

untuk melenyapkannya dengan Lebur Ragamu 

itu!"

"Fitnah!" bentak Andini tak kontrol 

diri. "Aku mencintai Ekayana. Sangat 

mencintai! Bagaimana mungkin aku akan 

menggunakan ilmu Lebur Raga untuknya? 

Bagaimana mungkin aku akan setega itu?!"

"Kenapa tidak? Mungkin kau punya 

pemikiran lain. Aku tahu, kau orang


cerdas. Hanya kemanjaan yang membuat kau 

seperti orang bodoh."

"Lanangseta...!" bentak Andini. 

Ludiro tegang dan bingung. Andini 

berkata dengan sengit, "Sekali lagi kau 

menuduhku begitu, lebih baik kita 

tentukan siapa yang harus mati. Aku sudah 

kehilangan dia, tapi kau justru 

menuduhku yang bukan-bukan! Apakah itu 

menandakan bahwa kau punya otak yang 

sebesar biji kapas?!

"Tuduhanku beralasan dan masuk 

akal," kata Lanangseta merendahkan 

suara. Ludiro berlagak membuat api 

unggun dari kumpulan kayu yang sempat 

dibawanya masuk. Ketegangan masih 

meliputi mereka berdua. Lanang berkata 

lagi dengan nada suara rendah:

"Kau tentunya bisa berfikir, betapa 

menyedihkan keadaan Ekayana. Kau kasihan 

kepadanya, yang hidup tidak, mati pun 

tidak. Lalu kau ambil kebijaksanaan 

untuk membunuhnya. Kau gunakan ilmu 

Lebur Raga, di mana raga Ekayana akan 

berubah menjadi asap dan setelah itu tak 

akan kembali lagi. Mungkin kau pakai itu 

dengan dasar untuk memperingan beban 

penderitaan Ekayana!"

"Tidak! Sudah kubilang, otakmu 

memang sebesar biji kapas! Tak mungkin


aku menggunakan ilmu itu untuk hal-hal 

demikian. Itu sama saja mendahului 

kehendak Hyang Widi. Itu dilarang oleh 

guruku... Juga oleh keluargaku!"

"Lalu ke mana dia sekarang...!!" 

bentak Lanangseta yang diliputi rasa 

panik dan menjengkelkan.

"Mana aku tahu! Aku tadi ke luar 

untuk memberi bantuan kepada kau dan 

Ludiro. Sebab kudengar mereka ada tujuh 

orang. Dan... dan aku tidak akan 

menyangka kalau Ekayana bisa hilang 

begini..." Andini menangis. Lanangseta 

menghempaskan nafas, menenangkah diri 

sendiri. Ia me-biarkan gadis manja itu 

menangis sesukanya. Ia sendiri merasa 

pusing memikirkan keanehan tersebut.

"Goa apa ini sebenarnya?! gumamnya 

beberapa saat setelah ia termenung lama. 

"Segalanya serba misterius! Uhh... 

kemana pula Sekar Pamikat dan Gopo? 

Mengapa mereka tidak muncul-muncul dari 

tadi?"

Lanang bicara sendiri, tanpa peduli 

ada, yang mendengarnya atau tidak. 

Tetapi beberapa saat kemudian, Ludiro 

berkata dengan hati-hati:

"Bagaimana kalau kucari mereka, 

sekaligus mencari Ekayana. Kau setuju?"


Lanangseta memandang lelaki yang 

terhitung tua, namun masih segesit anak 

muda. Di wajahnya terbentang rasa duka 

dan penyesalan. Lanangseta tahu, bahwa 

Ludiro merasa bertanggungjawab jika 

sampai terjadi sesuatu atas diri Sekar 

Pamikat. Sebab itu, Ludiro yang punya 

rasa pengabdian begitu tinggi dan sangat 

setia itu dibiarkan pergi mencari Sekar 

Pamikat yang agaknya sudah dalam 

keganjilan. Sebelum Ludiro pergi, ia 

sempat berkata kepada Lanangseta:

"Mudah-mudahan tak ada orang lain 

yang masuk goa ini, sehingga tak akan 

menimbulkan masalah baru sebelum mereka 

kita temukan."

Lanang tanggap terhadap kata-kata 

Ludiro itu. Ia pun menyahut, 

"Baiklah... aku akan berjaga-jaga 

di mulut goa!"

"Aku bagaimana?!" tanya Andini yang 

masih menghabiskan sisa isak tangisnya.

"Ikutlah Ludiro," jawab Lanangseta.

"Apakah aku tidak sebaiknya ikut 

menjaga mulut goa?"

"Mulut sekecil itu apakah harus 

dijaga dua orang?" kata Lanangseta 

sambil beranjak meninggalkan mereka. 

Ludiro melangkah dengan membawa obor 

kayu dan beberapa potong kayu sebagai


persediaan. Andini sempat bingung 

sejenak. Lanang bagai tidak 

menghiraukannya, dan Ludiro juga tidak 

mengajaknya. Tapi akhirnya ia melangkah 

mengikuti Ludiro.

Sambil menjaga mulut goa, 

Lanangseta masih sempat meneliti tiap 

dinding goa tersebut. Pikirannya masih 

belum dapat berhenti bertanya-tanya: 

"Mengapa orang-orang tadi sangat 

bernafsu untuk masuk ke goa ini?" Sejak 

kemarin lusa Lanangseta masuk ke goa

Malaikat itu, ia tidak menemukan barang 

berharga satu pun. Jangankan emas, perak 

pun tak ada. Paling tidak hanya tempat 

itu. Ya, tempat yang sangat strategis 

bagi persembunyian atau bagi tempat 

untuk melatih ilmu kanuragan yang 

dirahasiakan. Paling tidak tempat itu 

dapat dipakai buat menyembunyikan barang 

hasil rampokan dengan aman dan tanpa 

takut dicurigai seseorang. Hanya itu 

yang bisa mereka harapkan. Untuk meng-

harapkan lebih dari itu tak ada.

Nyatanya dari kemarin lusa 

Lanangseta hanya dapat menemukan 

segudang masalah yang menjengkelkan 

baginya. Paling-paling beberapa 

keajaiban yang mengagumkan, itu pun tak 

seberapa banyak. Namun demikian, memang


goa itu mengandung misteri yang cukup 

membingungkan. Ini sering dialami 

Lanangseta, dan bahkan baru saja ia 

benar-benar dibuat jengkel dengan 

hilangnya Ekayana. Kalau memang ada 

orang yang mengambilnya, lantas siapa 

orang itu? Sejak kapan berada di sini, 

dan apa perlunya mereka atau orang itu 

masuk ke goa yang menjenuhkan ini? 

Mungkinkah benar goa tersebut adalah 

sebagian dari makam leluhur Kirana Sari?

Pemeriksaan dinding tak menemukan 

hasil apa pun. Lanangseta duduk di 

persimpangan lorong, menghadap pada 

mulut goa yang selebar lobang sumur itu. 

Pikirannya masih menerawang dan 

menimbulkan kejolak hati sedih, heran, 

dan kagum terhadap kenyataan yang telah 

dialami. Terlebih jika ia ingat Kirana 

Sari. Oh, benar-benar sosok anggun yang 

menyimpan banyak misteri juga perempuan 

itu.

"Kemunculannya sangat tak diduga. 

Tapi ia tidak mempunyai keterbukaan 

terhadapku. Aku yakin dia menyembunyikan 

sesuatu yang amat penting bagi dunia 

persilatan, maupun bagi kehidupan di 

Bukit Badai ini," kata Lanangseta dalam 

hati. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan 

batinnya berkata:


"Kurasa Kirana tahu rahasia goa ini. 

Dan... ah, mengapa tak kuceritakan 

kepadanya tentang kehilangan Ekayana dan 

Sekar Pamikat? Kurasa aku bisa meminta 

bantuannya, dan dia mau membantuku. Aku 

yakin itu. Ah, Kirana... Kirana..." 

keluh Lanangseta. "Andai kau berada di 

sini, mungkin aku bisa menemukan kembali 

Ekayana dan yang lainnya."

Tiba-tiba mulut goa yang terang 

menjadi buram. Ada bayangan berdiri di 

sana. Bayangan sosok manusia yang 

agaknya sedang mengamat-amati goa 

tersebut. Lanangseta berdiri, pedang 

Wisa Kobra dicabut dari sarungnya. Ia 

siap menghadapi siapa pun yang masuk. Ia 

siap untuk mengusirnya. Namun tiba-tiba 

keremangan itu menjadikan suatu 

kegelapan. Hanya sekejap, tapi sempat 

membuat Lanangseta tergeragap dan 

mempersiapkan pedang Wisa Kobranya.

Ketika mulut goa yang bagai bundaran 

terang itu kembali seperti semula, tanpa 

penghalang, ada cahaya masuk, Lanangseta 

menjadi lega. Rupanya orang yang tadi 

berdiri di depan mulut goa telah pergi. 

Barangkali orang itu sangsi dan tidak 

mengira kalau lobang seperti sumur 

miring itu adalah mulut goa Malaikat.


Pendekar Pusar Bumi menyarungkan 

pedangnya kembali. Karena ia sudah 

mendekat ke arah mulut goa itu, maka ia 

pun kembali hendak duduk di persimpangan 

lorong. Tetapi betapa terkejutnya 

Lanangseta begitu ia membalikkan badan, 

ternyata di depannya dalam jarak dua 

tombak berdiri seorang perempuan cantik, 

anggun dan mengenakan pakaian serba 

hijau terang.

Lanangseta terpekik tertahan, 

nyaris menyebutkan nama. Tapi untung ia 

ingat bahwa ia tak boleh sembarangan 

menyebutkan nama Kirana Sari itu. Ia 

buru-buru menutup mulutnya yang telah 

menganga, dan sedikit merasa malu karena 

perempuan anggun yang penuh misteri itu 

tersenyum menertawakan kekagetan 

Lanang.

"Kau...? Begitu cepat kau masuk 

tanpa kuketahui," kata Lanangseta.

"Orang bandel seperti kamu, mana 

bisa menjaga kewaspadaan," ujar Kirana 

Sari dengan suaranya yang empuk, enak 

didengar, namun mengandung bobot 

kewibawaan yang besar.

"Untuk apa kau ke mari?" tanya 

Lanangseta.

"Untuk apa kau memanggilku?"


"Siapa?" Lanangseta heran. "Siapa 

yang memanggilmu?"

Perempuan bermata tajam namun 

meneduhkan dan enak di pandang itu 

melangkah, meneliti dinding goa. Sambil 

seakan acuh tak acuh, ia berkata jelas:

"Aku mendengar kata hatimu 

memanggilku dua kali..."

Pendekar Pusar Bumi termenung 

beberapa saat, mengingat-ingat sesuatu. 

Dan ia pun tersenyum dalam kekaguman, 

setelah ia ingat bahwa baru saja, 

beberapa saat tadi, ia mengeluh dengan 

menyebut nama Kirana dua kali. Rupanya 

keluhan itu di-dengar oleh Kirana, dan ia 

segera datang. 

"Wow...! Alangkah hebatnya ilmu 

yang digunakan Kirana. Orang menyebut 

namanya dalam hati pun ia akan datang 

karena mendengarnya. Hebat. Sekali lagi, 

hebat!" gumam Lanang di hatinya, dan 

ternyata kata hati itu pun sempat di 

dengar Kirana.

"Kau, membutuhkan aku. Aku mende-

ngar keluhanmu, dan aku datang," ucapnya 

dengan tegas. "Tapi jika kau tidak 

membutuhkan aku lagi, baiklah, aku akan 

kembali ke tempatku."

"Tunggu...! Tunggu sebentar...." 

Lanang mencegah dengan berdiri di


hadapan Kirana. Kirana memandangnya 

dalam jarak dekat. Begitu dekat Walau 

dalam keremangan, tapi matanya yang 

bertepian hitam itu dapat melihat jelas 

segala lekuk ketampanan wajah pendekar 

muda perkasa itu.

"Aku masih membutuhkan kamu, 

Kir..." tangan Kirana buru-buru menutup 

mulut Lanangseta yang hampir saja 

menyebutkan namanya. Anehnya, jemari 

tangan yang lentik itu tidak mau pergi 

juga dari bibir Lanangseta, sekalipun 

Lanangseta sudah berbicara kembali.

"Aku minta izin untuk beberapa saat 

tinggal di goa ini."

"Ini goa suci. Goa Malaikat. Tak 

boleh ada yang masuk ke dalam kenyataan 

goa ini." Kirana bicara dengan nada 

berbisik.

Lanangseta bagai mengimbangi 

bisikan itu.

"Aku tahu, tapi adikku hilang di 

sini. Ia dalam keadaan terluka, dan... 

tahu-tahu setelah kami menyelesaikan 

pertempuran dengan tujuh orang Tebing 

Neraka tadi, eh... dia hilang. Padahal 

dia dalam keadaan terluka parah, serta 

tak dapat bergerak sedikit pun. Aku perlu 

waktu untuk mencarinya. Tolong izinkan 

aku mencari..."


"Juga kekasihmu yang hilang?"

Lanangseta agak terperanjat 

mendengar pemenggalan kata akibat 

serobotan suara Kirana. Ia hanya 

mengangguk. Dan ketika itu, jemari 

Kirana yang menempel di bibir Lanangseta 

dilepaskan. Ia bagai menghindari tatapan 

mata Lanangseta. Ia berjalan menjauh, 

kini memandang mulut goa.

"Kau tak mau menolongku?" Lanang 

mendekatinya.

"Aku tak punya hutang budi padamu. 

Wajar kan kalau aku menolak keinginanmu 

itu?" ucapnya lirih. Lanang jadi kikuk. 

Perempuan anggun itu kalau bicara 

terang-terangan. Ah, tapi itu memang 

sikapnya, pikir Lanang.

"Kau memang punya hak untuk menolak. 

Dari situ aku tahu, sampai di mana batas 

kemanusiaanmu."

Kirana berpaling begitu mendengar 

ucapan Lanangseta itu. Di wajahnya tak 

ada senyum, padahal Lanangseta sangat 

mengharapkannya. Kemudian dengan pesona 

anggun yang menggetarkan hati, bibir 

sensual yang merekah itu bergerak-gerak 

indah.

"Kurasa ia sudah bukan lagi menjadi 

milikmu."


"Siapa?" Lanangseta terkejut 

sekali.

"Kekasihmu itu."

Bagai ada segumpal sekam yang 

menyumbat tenggorokan dan pernafasan 

Pendekar Pusar Bumi. Ia menelan ludah 

beberapa kali, tangannya gemetar dan 

wajahnya menjadi pucat.

"Aku... aku tidak mengerti mengapa 

kau bicara begitu. Apa maksudnya, aku 

juga tidak mengerti."

"Kekasihmu, akan menjadi milik goa 

Malaikat ini. Karena dia telah masuk 

dalam kenyataan goa ini."

Dahi pendekar tampan itu berkerut 

tajam. "Aku masih kurang jelas. Tolong 

sekali lagi kau jelaskan supaya aku bisa 

memakluminya."

"Kalau kau tidak bisa memakluminya, 

apakah kau akan marah?" pancing Kirana 

dengan sikap tenang.

"Akan kuhancurkan goa ini!" jawab 

Lanangseta tegas.

"Apa kau sanggup?"

"Pasti!"

Kirana menyunggingkan senyum, ia 

berpaling. Tapi dengan berani, 

sepertinya tak sadar, Lanangseta segera 

meraih dagu Kirana dan memalingkan wajah 

anggun yang tengah tersenyum itu. Tentu


saja hal itu membuat Kirana kaget dan 

tersinggung. Ia segera menampar tangan 

Lanangseta.

"Lancang...!"

"Aku...oh, maaf... aku hanya ingin 

menikmati senyumanmu. Dari tadi 

kutunggu, begitu kau tersenyum, kau 

lantas mau buang muka. Oh, itu tak bisa. 

Aku gemas...!"

Wajah itu memerah. Merah dadu. Bagai

menahan malu. Namun kini sengaja ia 

menyunggingkan senyum buat Lanangseta.

Aneh...! Kok jadi begitu?

* * *

5

LANANGSETA alias Pendekar Pusar 

Bumi, segera membawa Kirana masuk 

melalui lorong kiri. Lalu mereka 

berhenti di tempat hilangnya Ekayana. Di 

sana hanya ada selembar kain baju Gopo 

yang bekas dipakai alas tidur Ekayana. 

Lanangseta telah menceritakan secara 

terperinci tentang mengapa mereka berada 

di goa itu dan bagaimana sekarang keadaan


teman-temannya. Sebab itu Kirana 

berkata:

"Kalian bahkan lebih tahu dari 

kami."

"Kurasa tidak. Tentang jalan lorong 

menuju Sendang Bangkai, memang pernah 

kami lewati, tapi kalau disuruh 

mengulang kembali, mungkin kami tak akan 

mampu."

Kirana mengambil kain baju Gopo, ia 

mengamati beberapa saat. Sementara itu, 

Lanangseta mepcoba berkesimpulan:

"Apakah Ekayana adikku juga akan 

menjadi milik goa ini?"

Kirana menggeleng, lalu meletakkan 

kembali kain baju milik Gopo. Ia berkata 

dengan tanpa memandang Lanang:

"Tidak. Ia akan kembali."

"Tapi bukankah tadi kau bilang, 

bahwa siapa yang memasuki goa ini, akan 

menjadi milik goa ini?"

"Siapa yang memasuki kenyataan goa 

ini. Kenyataan!" Kirana mengulang. 

Lanangseta berkerut dahi. 

"Kau bingung?"

Lanang mengangguk Polos. Kirana 

tersenyum tipis. Dan Lanang melebarkan 

mata, ingin melihat lebih jelas lagi 

senyuman itu. Kirana agaknya membiarkan 

pendekar tampan itu menikmati


senyumannya. Kemudian ia berkata sambil 

melangkah kembali, menuju persimpangan 

lorong:

"Kalian hanya masuk dalam lapisan 

goa Malaikat, Bukan di dalam kenyataan 

goa ini."

Lanang manggut-manggut sambil 

ber-alan di belakang Kirana. Kirana 

sendiri segera melanjutkan 

perkataannya:

"Tapi kekasihmu. Sekar Pamikat, 

telah masuk ke dalam kenyataan goa ini 

dan menjadi milik goa ini."

"Artinya?"

"Sekar yang akan mewarisi isi goa 

ini." "Harta karun? Perhiasan dan uang 

emas?"

Kirana menggeleng dengan anggun. 

"Entah. Aku belum pernah tahu, dan belum 

pernah mendengar cerita dari orang 

tuaku, apakah goa ini menyimpan emas dan 

harta berharga, atau tidak. Tapi yang 

jelas, goa ini menyimpan pusaka leluhur 

kami, yang kadang belum pernah kami 

pahami selama ini."

"Jadi... maksudmu, Sekar Pamikat 

akan menjadi...."

"Seorang resi, atau begawan 

perempuan yang... tentu cantik, bukan?"


"Gila!" geram Lanangseta kelihatan 

tegang. Kirana memperhatikan dengan 

tenang dan berwibawa. Lanangseta 

mendesah dan gelisah.

"Kau bohong!"

"Tidak. Keluargaku tidak 

diperbolehkan berbohong dengan 

sungguh-sungguh. Kalau berbohong secara 

main-main, memang tak apa."

"Berarti kau kali ini main-main!" 

desak Lanangseta.

"Apakah kau merasa kupermainkan? 

Kalau memang begitu, yah... anggap saja 

keteranganku itu main-main. Tapi nanti 

kau harus menyadari, bahwa garis 

kehidupan manusia tak pernah ada yang 

mempermainkan. Semuanya bergaris tegas, 

jelas dan bersifat terbuka. Hanya 

kadangkala manusia tidak pernah mau 

mengakui keterbukaan sang nasib. Itulah 

sebabnya manusia sering menyampingkan 

firasat-firasat hidupnya."

Pendekar Pusar Bumi tak dapat mena-

han kegelisahannya. Kelihatan jelas 

sekali. Dan Kirana yang lembut namun 

berwibawa itu masih mau menjelaskan:

"Memang Goa Malaikat ini punya 

banyak misteri dan teka-teki, tapi siapa 

orangnya yang mampu memecahkan misteri 

itu? Keluargaku sendiri sampai sekarang


masih dalam upaya memecahkan apa 

sebenarnya yang ada di dalam goa ini."

"Jadi kau tidak tahu ke mana Ekayana 

pergi?"

Kirana menggeleng lagi. "Tidak. 

Yang kutahu dia akan kembali lagi. Dia 

tidak seperti Sekar Pamikat."

"Dan kau bisa mengetahui hal itu 

secara pasti dari mana?" desak 

Lanangseta.

"Ada caranya sendiri. Di rumahku, 

ada sebuah cermin. Apabila cermin itu 

buram tak dapat dipakai untuk berkaca, 

itu pertanda ada seseorang yang telah 

masuk ke dalam kenyataan goa ini. Selama 

ini, dari aku kecil sampai sedewasa ini, 

baru sekarang terjadi cermin kami 

buram!"

"Bagaimana kau bisa memastikan 

kalau orang yang masuk kedalam goa yang 

sebenarnya itu adalah Sekar Pamikat?"

"Hanya seorang perempuan yang dapat 

masuk ke dalam ruang semadi. Konon, di 

ruang semadi itulah Eyang Nyai tinggal 

sampai saat ini belum pernah menampakkan 

diri. Tapi jika hanya berada di sekitar 

ruang itu, siapa pun bisa. Dan kau bilang 

tadi, hanya ada dua perempuan, yaitu 

Sekar Pamikat dan Andini. Tapi yang 

hilang Sekar Pamikat, bukan?"


Pendekar Pusar Bumi manggut-manggut 

dalam gumamnya. Kegelisahannya sudah 

mulai reda, walau tidak hilang. Tetapi 

kesedihannya, semakin tampak jelas.

"Itulah sebabnya goa ini dikatakan 

sebagai goa suci, karena, menurut cerita 

leluhurku, Eyang Nyai bermukim di sini. 

Dan Eyang Nyai itu sebenarnya nenek 

canggahku...."

Kirana mulai sadar kalau 

kata-katanya sudah tidak diperhatikan 

lagi oleh Lanangseta. Karena itu ia 

merubah pembicaraan, menjadi suatu 

nasihat untuk membangkitkan gairah hidup 

Lanangseta:

"Hidup itu punya resiko 

sendiri-sendiri. Resiko itu akan menjadi 

sangat berat bagi kita, jika terlalu 

dihayati. Suatu pengorbanan, 

penderitaan dan kesedihan, mau tak mau 

harus terjadi pada diri kita. Jika tidak 

terjadi, kita sama saja dengan mati. Yang 

penting bagi manusia adalah, bagaimana 

cara mengatasi setiap resiko hidupnya. 

Sebab hidup itu juga ibarat segenggam 

gelas kaca, yang akan pecah jika tidak 

hati-hati membawanya...."

Lanangseta mendengar, namun ia 

tetap diam. Ia masih membayangkan sejauh 

itukah riwayat kehidupan Sekar Pamikat?


Sepahit inikah hatinya di dalam hidup 

tanpa Sekar Pamikat?

"Aku harus segera pulang..." kata 

Kirana datar. Lanang baru sadar dari 

lamunan. Ia buru-buru meraih tangan 

Kirana tanpa ragu-ragu.

“Lalu bagaimana dengan aku?"

"Pergilah sebelum aku membunuhmu," 

jawabnya datar.

"Apakah kau yakin, kau akan bisa 

membunuhku?" 

“Yakin."

"Baiklah, sekarang juga kau dapat 

melakukannya."

Kirana menatapnya dengan lembut, 

tapi punya makna ketegasan. "Bunuhlah 

aku sekarang juga. Aku tidak akan segera 

pergi sebelum bertemu dengan yang 

lainnya."

Kirana diam saja. Hanya 

memandangnya tak berkedip. Pandangan itu 

penuh ar-ti, namun sukar diterjemahkan 

maknanya.

"Bunuhlah," kata Lanang dalam 

desah. Ia semakin mendekatkan leher, 

seakan memberikan kesempatan Kirana 

untuk mencekiknya. Tapi, dalam hatinya 

ia yakin, bahwa Kirana tak akan sanggup. 

Sebab itu, ia sengaja membiarkan jarak 

wajahnya begitu dekat dengan wajah


Kirana. Dan perempuan anggun itu masih 

tetap memandanginya tanpa berkedip.

"Lakukanlah niatmu..." bisik 

Lanangseta.

Kirana membisik, "Kau... harus 

bertarung dulu denganku."

"Baiklah, mari kita bertarung di 

luar," tantang Pendekar Pusar Bumi.

"Belum saatnya. Tunggu sampai kau 

membandel sekali lagi, baru kita 

bertarung satu lawan satu...."

Kirana selalu menghindar, dan 

lama-lama Lanangseta bosan sendiri. 

Pegangan tangan Lanang masih erat di 

tangan Kirana. Kirana sendiri 

membiarkannya, bahkan kini ia memandang 

pergelangan tangannya yang digenggam 

Lanangseta. Tangan itu bergerak 

perlahan-lahan, seperti ingin meronta 

lepas dari genggaman Lanangseta, namun 

juga seperti sedang dipermainkan.

"Kau ingin kulepaskan?" Kirana 

mengangguk, tetap tenang, bagai tak 

punya perasaan apa-apa. Lanang 

menggodanya dengan pertanyaan: "Kenapa 

kau ingin kulepaskan?" 

"Sudah hampir sore. Sebentar 

lagi...." 

"Goa ini tertutup, Begitu, bukan?" 

sahut Lanangseta.


Kirana tampak heran dan berkerut 

dahi samar-samar.

"Apakah... apakah goa ini setiap 

sore akan tertutup?"

"Apakah kau belum tahu?"

Kirana menggeleng. Kini ganti 

Lanangseta yang merasa heran. Mungkin 

juga tidak setiap orang bisa memergoki 

goa ini tertutup dan terbuka sendiri. 

Kemudian Lanangseta menjelaskan apa yang 

dilihatnya tentang batu-batu penutup 

yang bergerak sendiri jika tanpa 

matahari atau jika matahari bersinar 

pertama kalinya. Kirana tampak asing 

dengan kisah itu. Dan ia mengaku belum 

pernah mendengar cerita dari orang 

tuanya tentang sinar matahari itu.

"Aneh..." gumam Lanangseta. 

"Berarti kau benar-benar tidak memahami 

seluk-beluk goa ini, ya?"

"Memang. Malahan aku belum pernah 

mendengar tentang sinar yang dapat 

membuka tembok dan pintu goa."

Lanangseta manggut-manggut. Dan ti-

ba-tiba ia mempunyai gagasan sendiri. Ia 

memandang kalung kirana.

"Aku... hemmm... Boleh aku meminjam 

kalungmu?"


Kirana menggeleng tegas. "Kalung 

ini tak boleh lepas dari leherku. Ini 

pemberian nenek."

"Baiklah. Tapi izinkan aku 

mempermainkannya sebentar. Sangat 

sebentar."

"Untuk apa?"

"Nanti kau akan tahu sendiri."

Karena bersifat mendesak dan membu-

at Kirana penasaran, akhirnya ia 

mengizinkan Lanangseta mempermainkan 

kalung berliontin batu zamrud. Pada 

tepian batu itu terdapat lapisan semacam 

intan atau kristal bening. Lanangseta 

menyuruh Kirana berdiri di dekat pintu 

masuk goa. Kirana heran, tapi karena rasa 

ingin tahu, ia tetap berdiri mengikuti 

perintah Lanangseta. Tubuhnya tersiram 

cahaya matahari. Lanangseta 

mempermainkan kalung itu dengan sangat 

hati-hati. Sesekali tangan atau 

jemarinya sempat menyentuh payudara 

Kirana yang menonjol itu, namun agaknya 

Lanangseta tidak bermaksud nakal, 

sehingga Kirana membiarkan. Kalung itu 

bergemerlapan diterpa cahaya matahari. 

Pelan dan sangat hati-hati sekali, 

Lanangseta menggerak-gerakkan kalung 

tersebut, lalu salah satu pantulan 

cahayanya mengenai dinding lorong


sebelah kanan. Dinding lorong kanan itu 

tak pernah terkena pantulan matahari. 

Tetapi sekarang, kalung Kirana dapat 

mematulkan cahaya matahari kendati hanya 

seberkas kecil, seukuran jarum jahit.

Dan tiba-tiba, terdengar suara 

bergemuruh. Dinding lorong itu 

bergerak-gerak. Kirana kaget dan 

terheran-heran melihat dinding itu 

bergerak turun, bagai ada yang 

menariknya ke dasar bumi.

“Dinding itu...? Astaga... dinding 

itu terbuka sendiri," gumam Kirana dalam 

kekaguman.

"Kalung ini yang membukanya. Bukan 

karena kalung ini sakti, tapi karena 

cahaya matahari memantul, dan pantulan 

sinarnya itu mengenai dinding lorong 

itu. Jika ia terkena pantulan sinar 

matahari, maka dinding tersebut akan 

terbuka sendiri, seperti yang kau lihat 

sekarang ini...."

Kirana tak habis pikir, bahwa 

ternyata pendekar tampan yang ada di 

dekatnya itu benar-benar mempunyai otak 

yang cukup cerdas. Semuanya memang di 

luar dugaan bagi Kirana. Bukan hanya 

kecerdasan Lanangseta, tapi apa yang ada 

di balik dinding lorong itu pun menjadi 

hal yang di luar dugaan.


Lorong itu sudah tanpa dinding lagi. 

Tetapi ada cahaya berbinar-binar terang 

dari dalam lorong tersebut. Kirana 

segera berlari menuju lorong tersebut. 

Lalu Lanang menyusulnya. Keduanya 

sama-sama terbelalak, sama-sama 

terbengong dengan mata tak berkedip. 

Mereka melihat setumpuk perhiasan dan 

emas-emas dalam bentuk gumpalan batu. 

Jumlahnya tidak sedikit. Bahkan 

menggunung setinggi setengah badan 

Lanangseta.

"Emas...?!" Lanangseta memekik 

tertahan, takut didengar orang. Kirana 

masih tertegun sampai beberapa saat.

"Rupanya inilah yang menjadi 

incaran orang-orang itu."

Kirana menggumam panjang, ia 

memegang sebongkah emas dalam bentuk 

batu kasar. Ia mengamatinya sejenak, 

lalu berkata lirih:

"Orang tuaku pun belum tentu 

mengetahui hal ini.

"Ini semua milik keluargamu, Ki... 

eh, nggakjadi!"

Kirana tersenyum geli melihat 

Lanangseta tak jadi menyebutkan namanya.

Terdengar suara gemuruh lagi. 

Lanangseta terperanjat.


"Lekas keluar dari lorong ini! Pintu 

akan tertutup dalam beberapa helaan 

nafas lagi, sebab ia sudah tidak terkena 

pantulan sinar matahari...!"

Kirana buru-buru meloncat ketika 

dari dasar bumi muncul 

bongkahan-bongkahan bebatuan yang sudah 

terakit menjadi satu bidang dinding 

tebal. Lanangseta segera mengikuti 

Kirana. Dan mereka berada di luar lorong 

setelah lorong itu tertutup rapat 

seperti semula, bagai tak ada jalan 

menuju ke dalaman lorong.

Kirana masih belum hilang rasa kagum 

dan terpana. Lanang segera menyadarkan 

Kirana dengan kata-kata:

"Sudaaah...! Suatu saat kau dan 

keluargamu dapat mengambil semua emas 

itu. Kau sudah tahu cara membukanya, 

kan?"

"Kalau tidak keduluan kamu, kan?"

Lanang menggeleng dalam senyuman. 

"Tidak mungkin. Sebab itu barang bukan 

milikku. Jadi aku merasa tak punya hak 

untuk mengambil dan memilikinya. 

Percayalah, rahasia ini tak akan bocor."

Kirana tersenyum. Lanangseta baru 

akan menikmati senyuman itu, tiba-tiba 

mereka dikejutkan oleh suara denting 

senjata beradu. Makin lama semakin


terdengar jelas dari ramai. Suara-suara 

teriakan menggema sampai di dalam goa. 

Lanangseta dan Kirana sama-sama terkejut 

dan saling bertanya-tanya dalam hati: 

"Siapa yang bertarung di luar goa?"

"Pasti orang-orang Tebing Neraka," 

gumam Kirana. Lalu keduanya keluar dari 

mulut goa. Lanang lebih dulu berada di 

luar, baru Kirana menyusul. Tetapi pada 

saat itu, Lanangseta bagai terpaku di 

tempat dan tercengang. Ia melihat 

seorang pendekar muda, dengan ikat 

kepala dari kulit macan tutul sedang 

bertarung melawan satu barisan 

orang-orang ganas. Mulut Lanangseta 

gemetar ketika ia berkata:

"Itu... itu Ekayana, adik 

kembarku...?!"

"O, pantas. Kalian memang sukar 

dibedakan, kalau saja adikmu tidak 

mengenakan celana lebih panjang dari 

kamu," kata Kirana dengan tenang.

Keheranan masih meliputi pikiran 

Lanangseta.

"Ajaib sekali! Ia dalam keadaan 

sehat, tanpa cacat atau luka sedikit pun 

di punggungnya. Ajaib! Benar-benar 

ajaib!"

"Ya, ajaib! Kita hanya menjadi 

penonton pertarungan satu melawan


seribu, itu memang sangat ajaib," sindir 

Kirana. Kemudian Lanangseta tertawa. Dan 

tanpa ragu-ragu lagi ia melesat cepat 

bagai anak kijang hutan. Sekali lagi ia 

meloncat tinggi, lalu jatuh tepat di 

samping Ekayana yang tengah sibuk 

menangkis serangan lawan dengan 

pedangnya. Ekayana sempat kaget 

sebentar, lalu menengok ke arah 

Lanangseta.

"Hei...!" sapa Ekayana pendek 

dengan senyum girang.

"Hei, sudah sembuh?"

"Sudah! Mereka menolongku," sambil 

berkata demikian, Ekayana Seta 

menghadapi serangan lawan, menangkis dan 

menghindar, Demikian juga Lanangseta, 

sambil mengibaskan pedang Wisa Kobra ia 

masih bisa ngobrol dengan adik 

kembarnya:

"Mereka siapa, maksudmu?"

"Para orang tua penghuni goa itu."

Para orang tua? Berarti lebih dari 

satu orang tua. Padahal selama ini 

Lanangseta merasa tak pernah menjumpai 

satu orang pun di dalam goa, kecuali 

orang-orang yang dikenalnya. Tapi segera 

Lanangseta memahami, mungkin yang 

dimaksud Ekayana adalah leluhur keluarga 

Kirana, entah dalam bentuk roh halus,


atau memang mereka masih hidup sampai 

saat ini.

"Andini di mana?" tanya Ekayana.

"Mencarimu bersama Ludiro. Mereka 

masih di dalam goa. Eh... kenapa kau 

terlibat utusan dengan orang-orang ini?"

"Mereka memaksaku untuk menunjukkan 

letak goa Malaikat. Aku tidak tahu, dan 

memang tidak tahu. Tapi mereka tidak 

percaya, bahkan menyerangku."

"Yang kita huni itulah Goa Malaikat. 

Kalau begitu, mari kita selesaikan 

secepatnya permainan ini, nanti kita 

cari Andini bersama-sama...!" Kemudian 

setelah Ekayana mengangguk, Lanangseta 

pun berteriak keras, melayang ke udara 

dan membabatkan pedangnya ke arah lawan. 

Sekali tebas, dua tiga kepala yang 

terkena.

Orang-orang Tebing Neraka itu 

ganas-ganas. Jumlahnya puluhan orang 

yang datang ketika itu. Agaknya pimpinan 

mereka benar-benar tahu, bahwa di goa 

Malaikat itu tersimpan banyak emas, 

sehingga ia memerintahkan seluruh 

orang-orangnya untuk menguasai goa 

Malaikat. Jika memang begitu, lalu siapa 

pemimpin mereka sebenarya? Mengapa 

sampai mengetahui betapa berharganya Goa 

Malaikat itu?


Kirana Sari sengaja tidak turun 

tangan. Ia berdiri di depan mulut goa 

sambil menyaksikan pertarungan dua 

pendekar kembar melawan sejumlah 

orang-orang Tebing Neraka. Dalam hati, 

Kirana Sari mengakui kehebatan kedua 

pendekar tampan itu. Ekayana dipuji atas 

permainan pedangnya yang cukup bagus dan 

mengagumkan. Pedang itu dapat berputar 

cepat, mengelilingi tubuhnya, dan 

berguna sebagai pelindung tubuh.

'Trang...! Trang...! Tang...!"

Hanya suara itu yang terdengar dari 

setiap tebasan senjata lawan ke arah 

tubuh Ekayana. Yang mengagumkan lagi, 

sekali Ekayana menebaskan pedangnya, dua 

tiga orang menjadi patung seketika. 

Artinya diam mendadak dalam gerakan pada 

waktu itu. Kemudian satu persatu bagian 

tubuhnya yang terpotong itu jatuh, dan 

matilah mereka. Seperti saat ini, 

Ekayana mengayunkan beberapa kali 

pedangnya ke arah lawan. Orang itu masih 

sempat tersenyum, sebelum tangannya 

tahu-tahu terlepas, jatuh. Disusul 

dengan kupingnya, pahanya, lalu 

kepalanya menggelinding sendiri pada 

saat Ekayana sudah menewaskan dua orang 

lainnya.


Itulah kehebatan ilmu pedang Ekaya-

na. Sayang Kirana belum mengetahui bahwa 

Ekayana itu memang bergelar Pendekar 

Maha Pedang. Memang berbeda dengan 

saudara kembarnya Pendekar Pusar Bumi. 

Kalau pendekar yang satu itu memang 

cekatan, namun permainan pedangnya tak 

sehebat Ekayana. Tetapi keampuhan pedang 

itu sendiri cukup mengagumkan. 

Lanangseta seolah-olah bertugas 

merontokkan persenjataan lawan. Jenis 

senjata apa saja yang tertebas pedang 

Wisa Kobranya, langsung patah menjadi 

beberapa bagian, tergantung berapa kali 

pedang itu menebas senjata tersebut. Hal 

ini membuat orang-orang Tebing Neraka 

menjadi kelabakan. Namun ilmu silat dan 

tenaga dalam orang-orang itu juga tak 

dapat diremehkan. Yang paling berbahaya 

adalah pukulan tenaga dalam jarak jauh, 

yang mengeluarkan nyala sinar biru tua. 

Pukulan itu dapat membuat orang yang 

terkena menjadi sirna tanpa bekas. Untuk 

sementara, tugas Kirana adalah menahan 

setiap ada serangan sinar biru tua. Ia 

menahan dari jarak jauh, dan apabila 

posisi kedua pendekar itu tidak dalam 

satu arah dengan sinar biru tua, maka 

melepaskan sinar tersebut. Jika mengenai 

teman mereka sendiri, maka hilanglah


teman mereka, jika mengenai pohon, maka 

hilanglah pohon itu.

"Serang terusss...!" seru salah 

seorang yang bertugas menjadi komandan 

tempur mereka. "Ingat, rebut goa 

Malaikat dan hancurkan 

penghalangnya...!!"

Kirana tersenyum tipis. Sayang Pen-

dekar Pusar Bumi saat itu tidak 

melihatnya. Pendekar Pusar Bumi sedang 

memperagakan jurus Lindung Buminya. Ia 

amblas ke tanah, tahu-tahu muncul di 

bawah kaki beberapa lawannya. Lalu 

dengan cepat pedang Wisa Kobra merobek 

perut dan bagian tubuh lawan lainnya. 

Berulangkali ia menggunakan jurus itu 

dan selalu berhasil. Tapi, orang-orang 

Tebing Neraka semakin bertambah banyak 

saja rasanya. Ru-panya kali ini adalah 

penyerangan total dari orang-orang 

Tebing Neraka.

Tiba-tiba sebuah tangan meraih 

leher Kirana dari belakang. Kirana 

mengibaskan orang itu, dan orang itu 

terpental jauh sekali, tinggi dan jatuh 

tepat di bebatuan dengan kepala duluan. 

Mengerikan sekali kematiannya. Kemudian 

Kirana merasa perlu turun tangan untuk 

mempercepat mengalahkan orang-orang 

ambisius itu. Gerakannya begitu lincah


namun kelihatannya ringan. Ia seperti 

ogah-ogahan bertempur, tapi yang menjadi 

korban pukulannya tidak sedikit. Hanya 

saja, tiba-tiba orang Tebing Neraka itu 

beralih arah ke Kirana. Ada yang 

berteriak,. 

"Awas, jangan sampai terluka...!" 

Ada juga yang berseru sambil menyerang,

"Aku dulu yang memakainya! Aku dulu...!"

Kirana masih bertarung dengan gaya 

malas-malasan, namun sebenarnya ia 

mempunyai gerakan yang sangat cepat dan 

hebat. Satu kali ia memukul lawannya, 

tiga orang di belakang orang yang dipukul 

dapat terjungkal bersamaan. Tetapi, 

mereka menyerang dengan tujuan lain. 

Mereka tidak bermaksud membunuh, tapi 

memakai tubuh Kirana lebih dulu baru akan 

mem-bunuhnya. Karena itu, mereka yang 

menyerang Kirana sengaja menyimpan 

senjata mereka. Tubuh mulus dan sintal 

itu, sangat sayang jika sampai terluka.

Bahkan dari mereka hanya ada yang 

berusaha mencium Kirana. Tetapi yang 

diperoleh selalu pukulan hebat dan telak 

yang membuat mereka menggelepar, lalu 

mati.

Sementara Pendekar Pusar Bumi masih 

senang menggunakan jurus Lindung 

Buminya, amblas, menyerang, amblas,


menyerang... begitu seterusnya. 

Sedangkan Pendekar Maha Pedang, bagai 

sedang memotong agar-agar untuk suatu 

hidangan. Ia menggerakkan pedangnya ke 

kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, dan 

pada umumnya lawan yang terkena sabetan 

pedangnya tidak merasa sakit. Bahkan ada 

yang tidak sadar kalau dirinya sudah 

terpotong menjadi tiga bagian. Tahu-tahu 

sewaktu ia ingin berlari mengejar 

keroyokan tubuh Kirana, anggota tubuhnya 

sendiri telah berantakan, dan ia pun mati 

dengan nyaman.

Pada waktu itu, Kirana melesat 

tinggi melampaui kepala mereka. Ketika 

ia menginjakkan kakinya ke tanah, 

seorang bertubuh kekar dan bermata 

jalang segera menyergapnya. Kirana 

menjatuhkan diri di rerumputan. Orang 

itu memeluknya dengan kuat dan berusaha 

mencium Kirana. Lanangseta sempat 

melihat adegan Kirana hampir diperkosa 

orang itu. Ia segera melejit, melambung 

ke atas, dan membabat orang-orang yang 

hendak ikut berguling-guling dengan 

Kirana.

Tubuh Kirana telah berada di bawah 

dan tangan orang kekar itu mulai bekerja 

ke mana-mana. Namun tiba-tiba tubuh


orang kekar itu terpental ke atas, ia 

sempat bersalto sambil berteriak: 

"Aaaakhh...!" Ia dapat jatuh dalam 

posisi berdiri, namun sekujur tubuhnya 

telah penuh dengan ratusan jarum hitam. 

Wajahnya rusak dihunjam sekitar 50 

jarum, belum sekujur tubuh lainnya. Dan 

tiba-tiba orang itu menjadi kering. 

Makin lama makin kering kerontang, 

sampai akhirnya ia tak ubahnya seperti 

besi bekas yang tergeletak penuh karat.

Kini nafsu birahi mereka sirna, yang 

ada hanya niat membunuh Kirana. Tapi 

Kirana sendiri telah siap siaga dengan 

senyum sinisnya yang menggemaskan setiap 

orang. Dan pada saat itu, terdengarlah 

suara seorang perempuan dari mulut goa 

yang berteriak-teriak menghadapi lawan. 

Lanangseta sempat melirik, dan ternyata 

perempuan itu adalah Andini:, yang sibuk 

menghadapi sekitar tujuh orang. Tentu 

orang-orang itu berusaha hendak masuk ke 

dalam goa, tapi sudah dihadang oleh 

Andini yang tidak tahu menahu 

masalahnya.

Lanangseta meloncat, dan berguling 

di udara bagai sebuah baling-baling.

Ketika ia turun, ia telah berada di 

belakang Pendekar Maha Pedang.


"Gadismu muncul...!" kata 

Lanangseta.

"Ya, aku sudah melihatnya baru 

saja," jawab Ekayana seraya berkelit ke 

kiri menghindari tombak bermata tiga. 

Lalu ia meliukkan badan sambil 

menebaskan pedangnya ke perut lawan. Ia 

masih sempat berkata, "Dia pasti akan 

terkejut jika melihatku."

"Sebaiknya temui dia sambil kau

babat mereka yang menyerang Andini. Biar 

di sini aku yang mengurus."

"Ide yang bagus...!" katanya sambil 

tersenyum, Dan ia pun melesat ke atas, 

bersalto beberapa kali. Pedangnya sempat 

menyambar batok kepala lawan, sehingga 

orang itu terbelah kepalanya bagai 

semangka tanpa biji.

"Eka...?!" Andini terbelalak meman-

dang Ekayana.

"Awas belakangmu! teriak Ekayana.

Andini menggerakkan satu kakinya ke 

belakang, 

"wess...!" Tendangannya dapat 

dihindari lawan, namun orang itu menjadi 

memar wajahnya karena terkena angin 

tendangan Andini. Ekayana berguling ke 

bawah sambil menebaskan pedang pada kaki 

lawan. Dan ketika itu pula jerit 

kesakitan membahana dengan histeris.


Lalu dengan beberapa gerakkan jurus 

ringan, Ekayana berhasil menumbangkan 

lima orang lawan dengan tiga gerakan yang 

cukup mematikan. Sedangkan Andini 

mengibaskan rambutnya yang panjang dan 

mengenai wajah musuhnya, maka orang itu 

pun menjerit kesakitan, wajahnya bagai 

terkelupas tanpa ampun lagi. Pedang 

Ekayana yang akhirnya menghentikan 

pernafasan orang itu. Andini sempat 

memeluk Ekayana kekasihnya. Ia sangat 

rindu. Namun ia terpaksa mau diajak 

berguling-gulingan oleh Ekayana, karena 

dua tombak meluncur cepat ke arah mereka.

Sambil berpelukan dalam berguling, 

Andini sempat menyabut beberapa daun dan 

rumput. Ia menebarkan dalam satu 

gerakkan, dan rumput serta daun itu pun 

melesat cepat ke arah dua orang yang 

melemparkan tombak tadi. Orang itu 

mengerang kesakitan dan untuk kemudian 

tubuhnya tak berkutik lagi dengan darah 

yang membanjir dari tiap-tiap bagian 

tubuh yang terkena rumput itu.

Ekayana dan Andini masih berguling 

beberapa kali, lalu berhenti karena 

tertahan oleh sebuah batu besar.

"Aku rindu kamu...!" kata Andini.

"Kau pikir hanya kamu yang bisa 

rindu?" Ekayana tertawa bersama Andini.


Pada saat itu, seorang lawan hendak 

membabat Ekayana dan Andini, namun La-

nangseta mengetahuinya dan segera 

menendang sebutir batu. Batu itu 

melayang dan mengenai kepala orang itu. 

Kemudian dengan sangat mengagumkan 

kepala orang itu pecah seketika terkena 

batu yang diten-dang Pendekar Pusar 

Bumi.

Bertepatan dengan itu, Lanangseta 

juga melihat dua orang akan membokong 

Kirana. Lanangseta tak mempunyai 

kesempatan seperti tadi, karena kini 

empat orang menutup jalannya. Maka di 

luar kesadaran, Lanangseta berteriak:

"Kirana Sari!! Awas belakangmu...!"

Tak ayal lagi badai pun datang 

dengan cepat. Lanangseta tercengang dan 

menyadari ucapannya. Ia telah menyebut 

nama Kirana Sari. Ia buru-buru mencari 

tempat untuk berpegangan. Badai 

mengamuk. Petir menggelegar di angkasa. 

Langit bagai terbakar. Merah membara. 

Awan hitam bergolang, bergulung-gulung. 

Sebatang pohon tumbang seketika, pohon 

berukuran kecil. Tumbangnya pohon itu 

sempat menjatuhi tubuh seorang lawan 

hingga orang itu tergencet. Lanangseta 

segera bergabung dengan Ekayana dan 

Andini. Mereka tertahan batu besar.


Sementara itu, orang-orang Tebing Neraka 

sibuk dan kebingungan menghadapi 

hempasan badai yang begitu kuat dan 

gencar. Satu persatu mereka mulai 

terhempas, terpelanting dan bahkan yang 

bertubuh kurus sekalipun sempat melayang 

tinggi, lalu jatuh tertancap tonggak 

pohon. Mereka benar-benar kacau. Banyak 

kepala yang saling beradu dengan keras. 

Banyak juga yang tulangnya patah karena 

bagai diadu dengan batang pohon atau 

batu. Sementara itu, Lanangseta dan 

Ekayana sempat melindungi Andini. Gadis 

itu dipepetkan dengan batu besar, lalu 

ditutup oleh kedua tubuh mereka.

Pada waktu itu, gadis manja masih 

sempat bertanya: "Aku tahu, nama 

perempuan itu Kirana Sari, kan? Aku 

mendengar kau menyebutkannya ta...."

"Diam!" bentak Lanangseta dengan 

kasar dan keras. Tapi Andini sudah 

terlanjur mengucapkan nama itu, sehingga 

badai pun datang lagi dan semakin hebat. 

Bumi bergoncang bertambah mengerikan. 

Gelegar petir di angkasa bertalu-talu, 

bagai terjadi ledakan gunung 

bertubi-tubi. Percikan api di langit 

seperti tarian ular. Mengerikan sekali. 

Saat itu, orang-orang Tebing Neraka 

semakin kocar-kacir dan terpental ke



mana-mana dengan nasib ditanggung 

masing-masing. Andini sangat ketakutan. 

Ekayana tetap tenang, seperti kakaknya. 

Sedangkan Kirana sendiri, hanya diam di 

bawah sebuah pohon, menundukkan kepala, 

memusatkan konsentrasi pada kaki agar 

menapak kuat di tanah. Sampai beberapa 

saat lamanya alam menjadi murka, seakan 

kiamat sedang terjadi dalam bentuk 

gejala-gejala dini. Pedang Wisa Kobra 

nyaris terlepas, namun berhasil diraih 

kembali, kemudian buru-buru 

disarungkan. Deru angin bagai rombongan 

pasukan berkuda lewat di samping telinga 

mereka.

Kemudian kian lama, kian mereda. Dan 

akhirnya sepi.

Angin semilir. Ledakan di angkasa 

hilang. Langit menjadi cerah kembali. 

Bumi tidak lagi bergoyang. Dan 

orang-orang Tebing Neraka sudah tak

bersuara lagi. Ada yang mati tertimpa 

pohon, ada yang mati terbentur pohon atau 

batu. Ada yang mati karena kepalanya 

beradu dengan tombak teman sendiri 

sehingga seperti tusukan sate. Ada pula 

yang terbang entah ke mana dan mati dalam 

keadaan bagaimana.

Yang jelas, semua sudah reda. Semua 

menjadi sepi. Lanangseta muncul dari


balik batu besar. Ia memandang Kirana 

yang berdiri dengan tenang sambil 

memandang kerusakan alam di 

sekelilingnya. Ekayana dan Andini masih 

berangkulan ketika muncul dari balik 

batu besar. Lanangseta berjalan 

mendekati Kirana.

"Kau terluka?" tanya Lanangseta.

Kirana menjawab dengan acuh tak 

acuh, "Periksalah sendiri...."

Saat itu, Andini dan Ekayana 

berjalan mendekat. Lanang bicara kepada 

Kirana, "Itu adikku dan kekasihnya, 

Andini."

"Pergilah kalian," kata Kirana 

tanpa ekspresi apa pun.

Andini dan Ekayana sempat kecewa 

mendengar ucapan Kirana. Andini ingin 

membalas dengan kata-kata sinis, tapi 

dengan cepat tangan Lanangseta 

membungkam mulutnya. Ia berbisik saat 

Kirana menjauhi mereka, berlagak 

memeriksa korban yang bergelimpangan 

itu.

"Jangan melawan dia! Kumohon jan-

gan! Demi keselamatanku sendiri. Ta-

hu...?!"

Pendekar Maha Pedang memandang 

Lanangseta dengan tatapan mata yang 

penuh tuntutan. Lanangseta tahu, bahwa


Ekayana ingin membantu kakaknya kalau 

memang ada urusan dengan perempuan itu. 

Namun Lanangseta buru-buru mengedipkan 

mata dan berbisik lagi:

"Sekarang kalian telah bertemu kem-

bali. Pergilah cepat. Ekayana kalau 

perlu kembali dulu ke Cendana Manik, ajak 

serta Andini, biar ayah tahu siapa calon 

istrimu itu. Turutilah kata-kataku ini."

Ekayana menghela nafas 

panjang-panjang. Lanangseta menambahkan 

kata:

"Nanti aku akan menyusul menemuimu, 

entah di Cendana Manik, atau ke Kerajaan 

Sebrang. Aku pasti menemui kalian."

Mau tak mau Ekayana mengangguk. 

"Baiklah. Jaga dirimu sebaik mungkin."

“Ya. Dan aku meninggalkan tempat ini 

setelah aku bertemu dengan Ludiro, dan 

Gopo."

"Bagaimana dengan Sekar Pamikat?"

"Dia akan menjadi penguasa bukit 

ini. Sudahlah, nanti kuceritakan panjang 

lebar setelah kita jumpa di sana...."

Akhirnya, dengan langkah-langkah 

berat, Ekayana serta Andini meninggalkan 

Pendekar Pusar Bumi. Andini sesekali 

menengok ke belakang kendati sudah jauh 

melangkah. Ia masih melontarkan nada 

sedihnya, "Kasihan Lanangseta...."


"Ia dapat mengurus diri sendiri," 

ujar Ekayana.

"Oya... sebenarnya apa yang terjadi 

pada dirimu? Kenapa kau hilang dan 

tahu-tahu sudah bertarung dalam keadaan 

sehat, tanpa bekas luka lagi...."

Ekayana tersenyum. "Ceritanya 

panjang, Dini. Yang jelas, aku 

diselamatkan oleh orang tua yang ada di 

dalam goa itu. Aku disembuhkan dengan 

cara yang tidak kuketahui. Hanya yang 

kuingat, tahu-tahu aku sudah berada di 

bawah pohon, lalu kedatangan orang-orang 

Tebing Neraka itu. Ah, nanti kuceritakan 

lebih panjang lagi setibanya di rumah. 

Sekarang sebaik-nya kita ke Pesanggrahan 

Cendana Manik, menemui ayah. Tentu Ayah 

ingin melihat seperti apa kecantikan 

calon menantunya itu..." Andini tertawa 

manja dan mempererat pelukannya.

Sementara itu, Pendekar Pusar Bumi 

atau Lanangseta, masih tertegun 

menyaksikan banyak mayat di sekitar 

depan Goa Malaikat. Ia melihat sosok 

tubuh perempuan anggun yang punya daya 

pesona tersendiri itu berdiri di mulut 

goa. Lanang segera menghampirinya. Ia 

berhenti didepan Kirana. Mereka saling 

tatap beberapa saat. Angin berhembus 

semilir, mempermainkan rambut mereka,


mempermainkan mata mereka yang sama-sama 

tajam namun meneduhkan.

"Maaf, aku tadi tak sengaja 

menyebutkan namamu," kata Lanangseta. 

Kirana membuang pandangan ke cakrawala.

"Kenapa kau tak ikut pergi dengan 

mereka?" katanya datar.

"Aku menagih janji."

Sekejap cepat Kirana berpaling 

menatap Lanangseta. "Janji? Janji apa 

aku padamu?"

"Kau akan membunuhku."

Kirana menghela nafas. "Apa kau 

masih membandel ingin tinggal di tanah 

kami ini?!"

"Aku harus tinggal beberapa saat 

lagi, karena dua temanku, Ludiro dan Gopo 

belum ke luar dari Goa. Mereka tersesat 

dan aku akan mencarinya sampai ketemu."

"Waktumu sudah habis!" ketus perem-

puan anggun itu.

"Biar. Aku tidak peduli."

"Keras kepala!" Kirana menyipitkan 

mata. Tapi cantik. "Lama-lama habis 

sudah kesabaranku! Kau benar-benar bisa 

kubunuh!" tandasnya.

Tiba-tiba terdengar gemuruh di 

belakang Kirana. Oh, matahari telah 

tenggelam, dan goa itu tertutup sendiri 

secara otomatis. Ia bagai kehabisan


tenaga surya. Kirana tertegun melihat 

goa itu tertutup sendiri dengan rapat. Ia 

segera berpaling kepada Lanangseta, 

seakan berkata: 

"Goa menutup sendiri." Namun pada 

saat itu Lanangseta hanya menyunggingkan 

senyum dan mengangkat bahunya sambil 

membuka kedua tangan. Lalu ia berkata:

"Mau tak mau harus kutunggu sampai 

goa itu terbuka lagi. Lalu akan kucari 

temanku di dalam sana...."

"Tidak!" bantah Kirana.

"Aku akan nekad."

"Kau harus pergi."

“Kau sajalah yang pergi," Lanang 

bagai malas.

Tiba-tiba Kirana melancarkan 

serangannya melalui tendangan kaki kanan 

yang menyamping. 

"Wess...!" Lanangseta berhasil 

menghindari tendangan itu. Tapi dalam 

langkah berikutnya, kaki kiri Kirana 

mengayun ke depan, menendang kuat-kuat, 

dan mengenai dada Lanangseta. "

Buuk...!"

"Huugh...!" Lanangseta mengaduh, 

membungkukkan badan sambil memegangi 

dadanya. Ia menahan sakit dengan 

bersandar pada sebuah batu besar. Kirana


segera menghampiri dengan wajah kaku, 

tanpa ekspresi.

"Menyingkirlah sebelum aku 

membunuhmu!"

Jawab Pendekar Pusar Bumi, 

"Bunuhlah sebelum aku menyingkir...."

Kirana menghempaskan nafas, kesal 

dan gemas. Wajahnya jadi kelihatan manis 

menggemaskan.

"Bunuhlah...!" kata Pendekar Pusar 

Bumi.

Dengan ketus Kirana berkata, "Cabut 

pedangmu! Kita benar-benar bertarung 

secara kesatria!"

"Baik...!" Lanangseta mencabut 

pedangnya. 

"Sreet...!" Lalu berkata pelan, 

"Aku telah siap!"

"Aku belum!" jawab Kirana ketus dan 

tandas.

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin bertarung secara 

ksatria, tapi tanpa kutahu nama 

musuhku."

"Jadi kau butuh namaku?"

"Kalau kau mau bertarung denganku, 

sebutkan namamu!"

Lanangseta cengar-cengir. "Namaku, 

Lanangseta...!"


Kirana memandang ke langit yang 

suram. "Sepi. Tak ada badai, tak ada 

petir, tak ada apa-apa. Hem... sebuah 

nama tanpa arti!" ejeknya.

Lanang tersenyum sinis. "Kau sudah 

tahu namaku. Mari kita bertarung, dan kau 

harus membunuhku."

Kirana diam saja. Ia berusaha untuk 

tetap tenang.

"Ayo, bertarung dan bunuhlah aku!"

Lama-lama Kirana berpaling dan 

memandang mata Lanangseta dalam-dalam. 

Ia berkata bagai bisikan:

"Apakah aku akan sanggup 

membunuhmu?"

"Kenapa tidak?"

Kirana menggeleng lemah. Ia 

memandang jauh ke cakrawala dan berkata 

lirih, "Aku lupa, bagaimana cara 

membunuh orang yang kucintai..." 

Lanangseta tertegun. Kirana memandang 

lembut. Kemudian Kirana membiarkan 

tangan Lanangseta meraih pundaknya. Ia 

bahkan merebahkan kepala di dada 

Pendekar Pusar Bumi.

Sore pun redup, beralih keremangan 

petang. Tapi ada sinar bulan di sela-sela 

mega. Sinar kirana yang membias 

menerangi sosok insan yang sedang 

merebahkan kepalanya di dada seorang


pendekar tampan. Insan itu amat lembut, 

namun juga anggun dan menggetarkan hati 

lelaki. Kirana Sari!

Ia mencintai Pendekar Pusar Bumi. 

Tetapi benarkah ia akan menjadi kekasih 

pendekar itu?


                              TAMAT

 



 

0 komentar:

Posting Komentar