Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide,
hanya kebetulan belaka
SETAN GILA DARI LERENG UNGARAN
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apa-
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Setan Gila Dari Lereng Ungaran
SATU
"Gunung mau meledak! Langit mau runtuh! Bi-
ar saja bumi retak! Apa betul padang pasir ini tiada ba-
tasnya?..." celoteh Umbara Komang nyaring. Ia duduk
menunggangi kudanya yang berjalan tenang. Hampa-
ran pasir membentang di hadapannya seperti tanpa
batas. Sejauh mata memandang Umbara Komang tidak
melihat apa-apa kecuali bukit-bukit berdiri samar di
kejauhan.
"Kiamat sekalipun aku tidak gentar!" Suaranya
makin parau terdengar. Manakala matahari keriput.
Keringatnya sudah lengket dengan debu dan pasir.
Manakala matahari terus mencorot mengundang pa-
nas, dan hembusan angin semakin kencang menebar-
kan debu-debu menerpa tubuhnya. Sering kali ia me-
lindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya
dari terpaan pasir debu.
Perjalanannya mengarungi padang pasir yang
sangat luas itu bagaikan sebatang jarum yang terka-
tung-katung di dasar lautan. Dia sendiri tidak tahu
akan ke mana tujuannya. Umbara Komang hanya du-
duk tenang, tertawa oleh langkah-langkah kudanya.
Lelaki berpenyakit senewen ini sudah tidak ingat apa
yang telah terjadi sebelumnya. Yang ia rasakan hanya-
lah rasa sakit serta nyeri di sekujur tubuhnya. Pada
hal beberapa jam yang lalu Umbara Komang ikut ber-
tempur membantu orang-orang kerajaan. Dan ia juga
sempat mengenal erat dengan seorang pendekar yang
sangat berilmu tinggi. Bersama seorang Pendekar Pen-
gelana Sakti, ia ikut bertempur bahu membahu me-
lumpuhkan seorang tokoh kosen dari golongan hitam
(Untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa mengi-
kuti dalam cerita: Bidadari Kuil Neraka).
Kalaupun sekarang ia terkatung-katung sendi-
rian mengarungi hamparan padang pasir, itu kemaua-
nnya sendiri. Setelah mereka berhasil menjatuhkan to-
koh sesat itu, ia sengaja memisahkan diri. Atas dasar
kemauannya, siapa pun tidak ada yang dapat mengha-
langinya.
Dalam perjalanannya ia selalu mengingat sosok
tubuh kekar seorang pendekar muda yang dianggap-
nya seperti 'dewa'. Yang begitu gigih berjuang bahkan
sempat menyelamatkan nyawanya. Hanya itu yang dia
ingat. Sekarang pikirannya hanya tertuju pada hampa-
ran pasir yang tidak pernah berhenti menyebarkan pa-
sir debu.
Dari ketinggian sosok kuda itu tidak lebih se-
perti sebuah titik yang bergeser sedikit demi sedikit
dengan meninggalkan jejak pada dataran pasir. Jejak-
jejak itu membentuk sebuah garis yang memanjang
mengikuti ke mana langkah kaki kuda bergerak maju
di bawah mencorotnya sinar terik.
"Sial! Aku tadi hanya bergurau...! Kenapa jadi
sungguhan!" gerutu Umbara Komang menatap langit
yang tadi biru, kini tiba-tiba saja berubah keruh. Awan
bergumpul-gumpal bergerak demikian cepat seakan-
akan benar-benar hendak ambruk.
"Celaka! Langit mau runtuh, di sini tidak ada
tempat untuk berlindung...." Umbara Komang ketaku-
tan. Dan saat itu suasana berubah gelap. Angin men-
deru-deru kencang melanda dataran pasir. Mengoyak-
kan seluruh permukaan dataran itu.
Kuda yang ditunggangi Umbara Komang me-
ringkik keras sambil kedua kaki depannya terangkat
ke atas menyepak-nyepak. Bulu-bulu yang tumbuh di
sepanjang lehernya bergerak-gerak tertiup angin yang
sangat kencang. Umbara Komang sendiri setengah ma-
ti mengimbangi tubuhnya di atas punggung kudanya.
Ia berusaha keras memegang tali kekang. Sementara
kuda yang ditunggangi itu terombang ambing terbawa
oleh gerakan angin yang mendorong begitu deras.
Belum habis ia berusaha mengimbangi tubuh-
nya dari amukan kuda yang ditungganginya, menda-
dak kuda itu terbanting ke samping. Sedangkan Um-
bara Komang sendiri ikut terbanting berdegum di ta-
nah dengan sangat keras. Angin menderu-deru bagai-
kan badai.
Pasir debu menerpa tubuhnya semakin deras.
Ia tidak sanggup membuka matanya. Umbara Komang
hanya tetap berpegangan pada tali kekang. Dan ia
sendiri tidak mengerti kenapa angin yang bertiup san-
gat kencang itu mampu menerbangkan tubuhnya. Un-
tung saja ia berpegangan kuat pada tali kekang. Me-
mang tidak dapat diatasi lagi. Angin yang menderu-
deru kencang itu mampu mendorong tubuh Umbara
Komang bersama kudanya sehingga bergulingan di da-
taran berpasir.
Manakala langit makin gelap tertutup awan hi-
tam yang merambat di cakrawala. Debu-debu beter-
bangan memenuhi seluruh dataran itu. Membuat mata
Umbara Komang semakin rapat terkatup. Untuk ber-
nafas saja demikian sesak. Ia seperti mati konyol di-
buatnya. Dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa.
Sementara tubuhnya kini mulai terombang
ambing terdorong oleh hembusan angin. Dari kejauhan
nampak tubuhnya mengapung-apung di atas permu-
kaan dataran padang pasir. Untung saja ia berpegan-
gan erat pada kekang yang menjerat di leher kudanya.
Kalau tidak tentu Umbara Komang sudah terbawa ha-
nyut oleh angin yang maha ganas itu. Didengarnya pu-
la deru angin makin kencang. Bergemuruh laksana ri-
buan jarum yang menerpa di tubuhnya.
Sesaat ia membuka matanya. Bukan main Umbara Komang terkejut. Di hadapannya nampak pusa-
ran angin berwarna hitam kecoklatan bergulung-
gulung. Pusaran angin itu memporak-porandakan se-
luruh tanah berpasir yang dilaluinya. Umbara Komang
memekik nyaring saat pusaran angin itu kian mende-
kat menerjang. Tubuh serta kudanya tidak dapat ber-
tahan lagi. Dan ketika pusaran angin itu melandanya,
tahu-tahu saja keduanya bagai tersedot masuk dalam
gulungan angin yang berwarna hitam kecoklatan.
Keduanya berputar-putar semakin tinggi dalam
pusaran angin. Teriakan Umbara Komang dan ringkik
kuda terdengar nyaring dari ketinggian. Keduanya
nampak seperti sosok-sosok kecil yang melayang-
layang dalam pusaran angin. Dan lagi pusaran angin
itu membawanya semakin jauh. Sesaat kemudian, su-
asana berubah tenang kembali. Gemuruh angin masih
terdengar meskipun sayup-sayup. Pusaran angin telah
berlalu. Namun dari kejauhan masih nampak bagai
sebuah tiang yang menjulang ke atas. Di mana di
atasnya masih bergumpal awan-awan hitam berteba-
ran. Lalu tak lama tiang hitam itu menghilang entah ke
mana. Langit kembali membiru bersama sinar mataha-
ri yang terik mencorot ke bumi. Pada dataran padang
pasir membekas jejak-jejak pusaran angin yang baru
saja lewat. Jejak-jejak itu memanjang berliku-liku ba-
gai sebuah galian memanjang sepanjang dataran itu.
Tapi lebih mirip lagi jejak-jejak seperti bekas seekor
ular raksasa.
Seperti apapun jejak-jejak pusaran angin itu,
bagi Umbara Komang tidak lain bagaikan maut yang
merenggut nyawanya. Baginya memang terlalu awam
untuk melintasi dataran itu. Dan ia tidak menduga
sama sekali kalau ia akan menghadapi badai angin
yang demikian dahsyatnya.
Itulah sebabnya banyak orang dari kalangan
manapun tidak berani melintasi dataran tersebut. Ka-
rena sering terjadi hal-hal yang tak terduga seperti ini.
Begitu tolol Umbara Komang melintasi dataran itu
sendirian yang akhirnya harus menempuh bahaya be-
resiko berat. Bagaimana pun Umbara Komang harus
menerima nasibnya.
Seperti yang sudah-sudah, belum pernah ada
terdengar segelintir nyawa yang bisa selamat dari ama-
rah pusaran angin. Dibawa berputar-putar setinggi
langit itu saja sudah sampai pingsan. Apalagi sampai
terbanting dari ketinggian? Itu yang diketahui oleh ba-
nyak orang.
Bagaimana dengan nasib Umbara Komang?
Mungkinkah ia bernasib sama seperti korban-korban
lainnya? Sampai detik ini belum dapat diketahui. Ba-
dai pusaran angin membawanya semakin tinggi dan
menjauh.
Umbara Komang sendiri sudah tidak sadarkan
diri. Tubuhnya hanya mengikuti dan berputar dalam
badai angin yang membawanya pergi. Sebenarnya ba-
dai pusaran angin yang ganas itu tidak sedahsyat tadi.
Setelah melewati dataran padang pasir badai pusaran
angin kian melemah. Tubuh Umbara Komang dan ku-
danya yang hanyut di dalamnya tidak lagi terombang
ambing tinggi. Keduanya makin perlahan turun. Perla-
han pula badai pusaran angin bergemuruh. Warnanya
tidak lagi hitam. Awan di atasnya bergerak berpenca-
ran. Lalu tempat itu menjadi terang dengan seketika.
Bersamaan itu pula badai pusaran angin hilang.
Mendadak saja tubuh Umbara Komang beserta
kudanya jatuh ke bawah. Keduanya meluncur deras ke
bawah. Sedang di bawahnya telah menunggu sebuah
dataran baru yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Dataran yang menghijau itu tidak lain dari se-
buah lembah pembatas dataran berpasir. Ke lembah
tersebut mereka terjatuh Kuda yang memiliki bobot le-
bih berat dari Umbara Komang meluncur lebih dulu.
Kuda itu meringkik-ringkik saat tubuhnya ja-
tuh menerobos rimbunnya dedaunan. Terdengar pula
derak cabang pohon yang patah akibat benturan. Lalu
sebuah deguman bergedebuk sangat nyaring pada
permukaan tanah.
Saat itu pun tubuh Umbara Komang mulai ja-
tuh menerobos dedaunan. Tubuhnya meluncur terus
ke bawah, dan berkali-kali membentur cabang-cabang
pohon yang tumbuh di sana sini. Tapi untuk terakhir
kali, tidak terdengar deguman sosok tubuh yang mem-
bentur permukaan tanah. Dasar lembah yang banyak
ditumbuhi pepohonan sebesar-besar raksasa nampak
sunyi. Akar-akar pohon yang merambat tak beraturan
bergetar perlahan. Tidak terhitung pula betapa ting-
ginya pohon-pohon yang memenuhi lembah itu.
Sosok Umbara Komang tersangkut lemas pada
cabang pohon yang agak besar. Matanya membiru aki-
bat benturan cabang pohon yang berada di atas. Di
bawahnya, di atas permukaan tanah berumput terku-
lai pula sosok seekor kuda terbalik dengan tulang
punggung yang patah. Sehingga bentuk kuda itu tidak
karuan lagi. Pada tubuh kuda itu banyak menancap
pohon-pohon onak yang bergerombol di sekitarnya.
Kuda yang malang itu tewas mengerikan. Kepa-
lanya nampak berkelojotan sambil menyemburkan da-
rah yang keluar dari sederetan giginya yang terkatup
rapat. Untuk kemudian diam tak bergeming. Puluhan
meter di atasnya, tubuh Umbara Komang masih ter-
gantung di atas cabang pohon. Tubuh lelaki itu pun
sama diamnya. Dedaunan yang berada di atas berjatu-
han ke bumi akibat terobosan tubuh Umbara Komang.
Bersamaan dengan itu pun burung-burung yang ber-
sarang di atas pohon beterbangan menimbulkan suara
bergemericit meriuhkan suasana lembah. Kepak-kepak
sayap mereka menandakan bahwa mereka berpindah
tempat ke pohon lainnya.
Sampai segerombolan orang berdatangan ke
tempat itu, Umbara Komang belum juga sadar dari
pingsannya. Orang-orang itu nampak bertelanjang da-
da semua. Dan hampir rata-rata bersenjatakan tombak
maupun panah. Mereka langsung mengelilingi bangkai
kuda yang tergeletak di tanah. Dua orang di antaranya
yang membawa golok melangkah ke tengah dan lang-
sung mencabut dari pinggang mereka.
Tanpa diperintah lagi kedua orang itu memo-
tong-motong tubuh kuda itu menjadi beberapa bagian.
Yang lain menampani potongan-potongan daging itu.
Setiap potongan masih mengeluarkan darah segar.
Membuat mereka makin bersemangat memutus-
mutuskan bagian tubuh kuda.
Sebenarnya mereka tidak tahu kalau di atas
sana masih ada sosok tubuh tersangkut pada cabang
pohon yang sangat tinggi. Karena darah yang menetes
dari atas semakin deras. Mereka semua yang berada di
bawah kalang kabut menoleh ke atas. Dan yang mere-
ka lihat memang sosok tubuh seorang lelaki tersang-
kut.
"Rezeki besar! Binatang apalagi yang ada di
atas sana?"
"Nampaknya seperti orang hutan. Ia pun sama
mampusnya seperti kuda ini," jawab salah seorang te-
mannya. Gerombolan itu menengadah ke atas semua.
"Melihat dari darahnya pastilah bangkai itu
masih segar!"
"Bangkai apapun di sana, ambil saja.... Toh kita
memang tengah kekurangan makanan... Ayo beberapa
orang naik ke atas untuk mengambilnya!" perintah se-
seorang yang bermuka garang ditumbuhi berewok.
Maka dua orang sekaligus memanjat ke atas pohon.
Mereka dengan mudah dapat naik ke atas dengan ce-
pat. Karena hampir di sekeliling batang pohon raksasa
itu banyak akar-akar merambat sampai ke atas. Jadi
mereka berdua tidak menemui kesulitan apapun. Se-
lain itu mereka memang sudah terbiasa melakukan hal
yang seperti itu. Gerak-gerik mereka bagaikan dua
ekor kera yang sangat lincah.
Orang-orang yang berada di bawah hampir se-
lesai memotongi tubuh kuda yang kini tinggal bagian
tubuh plontos tanpa kaki dan kepala. Pemimpin mere-
ka yang seram penuh berewok masih menatap ke atas
memandangi kedua orang yang melompat-lompat
mendekati cabang pohon di mana Umbara Komang
tersangkut. Setelah berada pada cabang itu, keduanya
mengernyitkan alis.
"Rowok Tunggel! Dia bukan binatang ataupun
orang hutan!" teriak salah seorang orang yang disebut
Rowok Tunggel kurang jelas mendengar.
"Bicaralah yang keras! Aku tidak mendengar
suaramu...!" jawab Rowok Tunggel dari bawah.
"Dia bukan binatang apapun! Tapi manusia
yang terluka!" teriak orang di atas itu lebih keras. Ro-
wok Tunggel keheranan seperti tidak percaya dengan
ucapan anak buahnya. Nampak pula dua orang itu
mendekati sosok tubuh yang tersangkut.
"Manusia?... Kalau sudah mampus tinggalkan
saja, tapi jika masih hidup...." teriak Rowok Tunggel
belum habis.
"Orang ini masih hidup!" jawaban dari atas po-
hon.
"Bawa turun ke sini!" perintah Rowok Tunggel.
Setelah itu menggerutu....
"Edan.... Iblis mana yang telah melemparkan
orang itu sedemikian tingginya. Aku jadi heran, sejak
tadi mengitari tempat ini tidak mendengar suara apa-
apa. Kenapa sekarang ada sosok seseorang yang terlu-
ka. Dan lagi bangkai kuda ini seperti terjatuh dari lan-
git." Rowok Tunggel menunggu kedua orang anak
buahnya turun membawa tubuh Umbara Komang dari
atas pohon.
*
**
DUA
Wintara hanya tersenyum menatap orang-orang
yang melambaikan tangannya. Belasan kuda berikut
lengkap dengan para penunggangnya melepaskan ke-
pergian seorang Pendekar Pengelana Sakti. Salah seo-
rang lelaki bersama seorang gadis duduk di atas pelan
dalam satu kuda melambai-lambaikan tangannya,
"Selamat jalan pendekar... Aku berterima kasih
sekali padamu!" teriak lelaki itu
"Jangan sungkan-sungkan kalau mau singgah
di Rogojembangan. Kami semua akan menyambut
dengan tangan terbuka...!" teriaknya lagi. Wintara
nyengir, sebelah tangannya membalas lambaian tan-
gan mereka. Ia pun nampak gagah menunggangi see-
kor kuda putih.
"Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi, Ra-
den... Cepatlah kembali ke kota, tentunya kalian harus
cepat-cepat menikah." jawab Wintara. Gadis yang du-
duk di depan lelaki itu tersenyum malu. Kuda yang
mereka tunggangi menyepak-nyepak seakan-akan ikut
menyalami kepergian Pendekar Kelana Sakti itu. Lalu
tempat itu menjadi sunyi. Lambaian tangan dari bela-
san orang melemah turun. Mereka semua menatap ke
pergian seekor kuda putih yang ditunggangi Wintara.
Kuda itu membawanya pergi menjauh dari belasan ku-
da yang masih berdiri di situ.
Mereka belum beranjak sebelum Wintara betul-
betul hilang dari pandangan mata. Lama kelamaan so-
sok kuda putih itu makin mengecil dan hilang bagai di-
telan bumi. Wintara menghela kudanya kuat-kuat,
maka kuda putih melaju cepat diiringi dengan derap
langkah yang menyapu dataran tanah perbukitan.
Dilaluinya semak-semak kering yang berderet
di sepanjang jalan yang menurun ke bawah. Jalan itu
berliku-liku menuju ke sebuah tanah subur. Dan Win-
tara sendiri sudah berada jauh dari tanah Rogojem-
bangan. Manakala kuda putih yang ditungganginya
makin cepat berlari. Tanah yang dilaluinya mulai nam-
pak menghijau ditumbuhi rerumputan.
Saat matahari mulai tenggelam, barulah ia tiba
di salah satu desa. Meskipun tidak begitu ramai, desa
itu nampak banyak dilalui orang. Kebanyakan dari
orang-orang itu hanyalah penduduk asli. Wintara
menghentikan kudanya tepat di depan sebuah gapura
yang berdiri di mulut desa.
Dan ia menjadi terkejut sekali saat ia melihat
beberapa penduduk berlarian masuk ke dalam rumah.
Wintara semakin penasaran. Ia turun dari kudanya
dan menuntun memasuki desa. Kedua matanya me-
mandangi orang-orang yang berlarian memasuki gu-
buknya.
Apa yang membuat mereka takut. Wintara sen-
diri semakin tidak mengerti. Sejak kehadirannya di de-
sa itu semua orang belingsatan berlarian sembunyi.
Dua orang penduduk desa yang semula duduk-duduk
berbincang langsung melompat ketika melihat Wintara
melangkah mendekati mereka. Keduanya berlarian
masuk dan mengunci pintu gubuk sampai berderak.
Wintara menatap heran.
Dalam sekejap saja desa itu menjadi sunyi.
Wintara memandangi sekeliling desa. Ia tidak me-
nyangka sama sekali kalau akan mengalami perlakuan
seperti ini. Pastilah mereka takut akan kehadirannya.
"Hooooiiiii...! Para penduduk desa...! Kenapa
kalian semua bersembunyi!" Wintara berteriak-teriak.
Suaranya menggelegar dan menggetarkan seisi kam-
pung. Ia pun menambatkan kudanya pada sebatang
pohon, lalu....
"Kalau kalian tidak mau keluar, aku tidak akan
pergi dari sini...! Keluarlah!"
Tidak ada jawaban. Suasana desa nampak sepi
bagai mati.
Pendekar Kelana Sakti memandang berkeliling
mengawasi tiap-tiap gubuk. Semua pintu nampak ter-
tutup rapat. Wintara membuang nafasnya kuat-kuat.
Lalu berjalan melangkah melewati tiap-tiap muka ha-
laman gubuk. Langkah-langkah Wintara membuat jan-
tung pemilik gubuk yang dilaluinya berdegup ketaku-
tan.
Sementara hari mulai merambat gelap. Tanpa
seorang pun yang berani memasang pelita. Ringkik
kuda putih yang tertambat pada batang pohon sesekali
terdengar. Wintara masih berjalan mengitari desa itu.
"Aku bukan sebangsa setan atau jin sekalipun!
Kenapa kalian semua takut!" Pada suasana gelap dan
sunyi suara Wintara bergema.
"Baik! Aku akan tetap di sini sampai kalian ke-
luar semua!" bentak Wintara. Ia pun duduk di sebuah
balai dekat kuda putihnya tertambat.
Dalam hatinya Wintara mengutuk orang-orang
kampung. Jelas-jelas kedatangannya ke desa itu tidak
ada maksud apa-apa. Ia hanya kebetulan lewat dan
harus kemalaman di situ. Dan berharap ada seseorang
yang bersedia memberikan tempat untuk nya barang
semalaman. Tapi kenyataannya yang ia terima sung-
guh di luar dugaan. Semua orang kampung berlarian
sembunyi ketika melihat kedatangannya. Pastilah telah
terjadi sesuatu di desa ini, pikir Wintara. Belum habis
pikirannya menerawang, mendengar derit pintu bam-
bu. Segera saja Wintara menoleh ke arah suara. Gu-
buk itu tepat di hadapannya. Pintu bambu semakin
terbuka lebar berderit. Lalu seorang anak perempuan
kecil keluar dengan membawa sebuah pelita. Anak be-
rumur enam tahun itu melangkah menuju tiang gu-
buk, di mana pada tiang itu tergantung sebuah cem-
por.
Dengan susah payah bocah itu berjingkat-
jingkat menyalakan lampu cempor. Sudah tentu usa-
hanya itu akan sia-sia. Karena lampu cempor yang ter-
gantung di tiang jauh lebih tinggi dari jangkauannya.
Wintara yang melihat usaha bocah berumur
enam tahun itu beranjak dari balai. Mana mungkin
anak sekecil itu sanggup melakukannya? Dan yang
pasti akan berbahaya untuk anak kecil itu. Kenapa ti-
dak orang tuanya saja yang menyalakannya.
Bocah kecil itu langsung berbalik dengan
menggigil ketakutan setelah melihat Wintara berada di
dekatnya.
"Cah ayu.... Kau hendak menyalakan pelita itu,
bukan?" Wintara tersenyum. Tapi anak perempuan itu
malah mundur ketakutan. Pendekar Kelana Sakti ber-
jongkok menghadapi. Ia menatap kedua bola mata
yang berapi-api penuh keberanian. Dan Wintara pun
berusaha seramah mungkin agar anak itu tidak ber-
prasangka buruk.
"Jangan takut, paman akan membantumu me-
nyalakannya.... Kau bersedia?" Wintara mengelus-elus
kedua lengan yang gemetar. Anak itu diam membisu.
Tapi di wajahnya menunjukkan perasaan yang amat
takut sekali.
"Ke marilah, paman akan menunjukkan bagai-
mana caranya...." Wintara menarik perlahan anak itu
ke dalam pangkuannya. Lampu kecil dalam gengga-
man gadis itu masih meletup-letup menyala. Maka
nampaklah wajah yang amat dekil dan kusam. Wintara
mengangkat tubuh kecil itu.
"Siapa namamu, Cah ayu...?" tanya Wintara
sambil membantu lengan kecil itu menjulurkan pelita
yang menyala ke arah sumbu lampu cempor pada
tiang gubuk.
Lampu cempor langsung menyala menerangi
muka gubuk. Gadis kecil itu masih dalam gendongan
Wintara. ia menatap dengan sorot mata yang kehera-
nan. Wintara membalasnya dengan senyuman. Men-
dadak saja....
"Siluman jahil! Lepaskan anak itu!" Tiba-tiba
terdengar bentakan dari arah belakang. Wintara segera
menoleh, tahu-tahu seseorang menyerang dengan
membabatkan golok ke arahnya.... Wintara yang dalam
keadaan menggendong seorang bocah sempat bergeser
ke samping. Maka sabetan golok pun terhindar. Dalam
keadaan seperti itu pun Wintara sempat membalas se-
rangan. "Bug!" Telak sekali tendangan itu bersarang di
pinggang. Penyerang itu langsung ambruk merintih-
rintih kesakitan.
"Siluman keparat! Masih kurang puaskah kau
menghirup darah orang-orang kampung ini? Sampai
berapa banyak lagi korban yang kau inginkan!" Penye-
rang itu bersiap lagi mengangkat goloknya.
"Bicaramu ngawur, Sobat! Apakah rupa ku
sangat menakutkan, sehingga kau menduga aku ini ib-
lis menghisap darah? Bicaralah yang tenang dan baik-
baik," ujar Wintara. Gadis kecil dalam gendongannya
memeluk erat leher pendekar itu.
"Tenanglah, Cah ayu.... Kau tak perlu takut...."
bisik Wintara.
"Siluman laknat! Dia hanya seorang bocah yang
tidak tahu apa-apa! Kalau saja kau membawanya, aku
akan mengadu jiwa dengan mu!" Kali ini serangannya
lebih garang. Babatan goloknya berkelebat ke sana ke
mari. Wintara yang masih menggendong anak perem-
puan itu tidak sempat menurunkannya.
Tapi ia cukup tangkas berkelit menghindari ba-
batan-babatan golok. Sekali babatan golok menyambar
di kepalanya, Wintara cukup menangkis dengan kedua
jarinya, maka...."Trak!" Golok itu patah dua. Pemilik-
nya sendiri sampai terbengong-bengong.
"Kau hanya dikuasai perasaan emosi mu, so-
bat. Aku yakin kau adalah salah seorang penduduk
yang berjiwa ksatria. Hanya sayang kau salah menem-
patkan perasaanmu."
"Ciis! Kau hanya berpura-pura siluman! Kenapa
berbasa basi segala, siluman tengik macam kau me-
mang harus diberantas!" Orang itu maju lagi. Golok
buntungnya meski tinggal separuh masih nampak ta-
jam berkilat. Dan berkelebat bersama teriakannya yang
menggelegar. Wintara tenang menghantam lengan itu
sampai goloknya terpental jauh. Detik itu pula tendan-
gan Wintara maju ke depan... "Des!" Melemparkan
orang itu terbanting ke tanah. Tapi ia cepat bangkit
menatap ke arah Wintara dengan pandangan nanar
menahan sakit.
"Pergilah dan jangan sampai membuat bocah
ini ketakutan!" bentak Wintara. Orang itu setelah me-
rangkak beberapa langkah, ia melarikan diri.
"Nah, kau sekarang tidak perlu takut lagi, Cah
ayu."
"Namaku: Dwi Langsih, Paman... Dan aku ya
kin, paman bukanlah siluman jahat." ketus bocah kecil
dalam gendongan Wintara.
"Bagaimana kau bisa yakin, Dwi Langsih...?"
tanya Wintara dan ia menurunkan gadis kecil itu. Dwi
Langsih meletakkan pelita kecil ke atas tanah.
"Kalau paman mau membunuhnya, paman bisa
melakukan semudah paman mematahkan golok dari
tangan Kang Birun...." jawabnya tegas.
"Ah! Ternyata kau gadis cilik yang cerdik, Dwi
Langsih." Wintara mengelus-elus rambut Dwi Langsih.
Bocah itu hanya tersenyum.
"Langsih.... Langsih.... Kau bicara dengan sia-
pa? Sudahkah engkau menyalakan lampu
cempor?" Keduanya menoleh ke dalam gubuk.
Dan terlihatlah seorang nenek berjalan tertatih-tatih
sambil meraba-raba. Langkahnya yang perlahan itu
menuju ke luar.
"Kita kedatangan tamu, Nek... Tamu yang luar
biasa," jawab Dwi Langsih menuntun nenek buta ke-
luar gubuk. Nenek buta menghentikan langkahnya. Ia
tidak berani keluar melewati pintu.
"Kau terlalu gegabah, Langsih. Saat matahari
tenggelam kau tidak boleh menerima tamu sembaran-
gan. Kau tahu, siluman jahat itu selalu datang pada
saat-saat begini."
"Tapi dia bukan siluman, Nek... Paman ini
hanya membantu menyalakan lampu cempor di tiang
itu." Dwi Langsih menjelaskan.
"Dia juga menghajar Kang Birun yang telah ku-
rang ajar terhadap paman ini. Nenek tak perlu takut."
"Apa yang diucapkan Dwi Langsih terlalu berle-
bihan, Nek... Aku hanya seorang pengelana yang kebe-
tulan lewat di desa ini." Wintara ikut bersuara.
"Oh...." Nenek buta mengangguk. Tubuhnya
yang bungkuk melangkah maju. Kedua lengannya
menggapai-gapai seperti ingin menyentuh pengelana
itu. Dwi Langsih membantunya. Maka telapak tangan-
nya pun dapat meraba baju kulit binatang yang dike-
nakan Wintara.
"Ma-masuklah.... Tidak baik berlama-lama di
luar." kata nenek buta. Ia pun dituntun ke dalam
kembali oleh Dwi Langsih. Wintara mengikuti melang-
kah di belakang. "Langsih, sediakan air minum buat
paman. Kau harus sopan melayani tamu." Nenek itu
dituntun mendekati sebuah balai lalu ia pun duduk di
situ.
Tanpa dipersilahkan Wintara langsung duduk
pada kursi yang tersandar di bilik. Dwi Langsih menu-
angkan segelas air kemudian menyodorkannya pada
Wintara. Lelaki itu menerimanya.
"Kenapa Kang Birun sampai bentrok dengan
pengelana itu, Langsih?" tanya nenek buta dengan su-
ara parau. Kelopak matanya yang tertutup rapat seo-
lah-olah menatap tajam ke arah Wintara. Dwi Langsih
belum jauh dari sisi Wintara.
"Semua salah Kang Birun, Nek. Kang Birun
menuduh paman ini siluman jahat. Malah Kang Birun
menyerang lebih dulu. Untung saja paman seorang
yang berilmu tinggi... Kang Birun dibuatnya merang-
kak," jawab Dwi Langsih.
"Pantas saja Kang Birun mengiranya siluman.
Karena pengelana ini sangat asing di desa ini. Kau
sendirikan tahu...? Siluman jahat memang setiap kali
mengambil korban di sini. Lagipula semua anak isteri
Kang Birun telah habis menjadi korban siluman itu.
Pantaslah dia menjadi kalap sekali melihat orang as-
ing." kata nenek buta yang nampak mulai merebahkan
tubuhnya di atas balai.
“Aku rasa bukan hanya dia yang menganggap
aku siluman. Semua orang kampung ini merasa takut
dan bersembunyi ketika melihat kehadiranku, menga-
pa demikian, Nek?" Wintara bertanya heran. Nenek bu-
ta seperti tersenyum dan berpaling ke arah suara Win-
tara.
"Menurut kabar, siluman itu dapat berganti-
ganti rupa. Wajarlah kalau mereka merasa takut ter-
hadap orang asing yang memasuki kampung ini."
Begitu ganaskah siluman itu?"
"Tentu saja! Semua korbannya seperti kehabi-
san darah dengan batok kepala yang berlubang sebe-
sar telapak tangan. Tapi syukurlah... Aku yang sudah
renta ini belum pernah menemuinya, hanya aku kha-
watir terhadap cucuku Dwi Langsih...."
*
* *
TIGA
Nenek buta menceritakan keadaan korban ke-
ganasan siluman dengan sungguh-sungguh. Padahal
kedua matanya buta. Tapi ia bisa membeberkan semua
yang terjadi seperti ia melihatnya sendiri.
"Untung siluman itu belum berpaling kepada
kami, entah esok atau lusa pastilah kami menjadi kor-
bannya..." nenek buta terbaring rebah seolah menera-
wang ke atas atap. Semuanya tetap gelap. Dwi Langsih
melangkah mendekat, lalu memijit-mijit tubuh keriput
itu yang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam.
"Apakah kepala kampung sama sekali tidak me-
lakukan tindakan. Sebenarnya kalau seluruh pendu-
duk kampung bersatu, aku rasa mereka bisa mengata-
si kesulitan." Ucapan Wintara pelan, tapi cukup mem-
buat nenek buta berpaling lagi ke arahnya. Orang
orang kampung sama sekali tidak mempunyai nyali.
Apalagi kepala kampung, dia tidak pernah mau perdu-
li. Pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki di tum-
pukan hartanya," kata nenek itu.
"Bicara nenek terlalu kencang. Nanti terdengar
orang," kata Dwi Langsih berhenti memijit.
"Mana ada orang yang berani berkeliaran di
saat begini! Kau pun harus segera tidur, Langsih. Ti-
dak baik anak sekecil kau ikut campur pembicaraan
orang tua." Suara nenek itu parau sekali. Dwi Langsih
nunduk terdiam, ia melangkah lesu ke sudut ruangan
yang sudah tersedia sebuah tikar untuknya berebah.
Wintara memandangi keluguan gadis kecil itu.
Sekarang gadis kecil itu telungkup di atas tikar. Seben-
tar saja dengkurnya sudah mengalun menyusul.
Lelaki pengelana masih duduk bersandar pada
bangku kayu. Air dalam gelas bambu masih utuh.
Wintara meletakannya di atas meja sebelahnya. Tu-
buhnya sudah nampak letih betul, dan ia memang per-
lu beristirahat.
"Maaf, anak muda. Aku tidak memiliki perse-
diaan tikar. Kau bisa tidur di kursi itu bukan...?" kata
nenek itu acuh. Tubuhnya tetap terlentang. Mulutnya
menganga perlihatkan gusinya yang mengkilat tanpa
sebutir gigi.
"Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Nek... Ma-
lah aku telah mengganggu ketenangan di sini. Besok
pun pagi-pagi sekali aku harus pergi dari kampung
ini."
"Kenapa harus buru-buru? Tidak inginkah kau
mengungkap malapetaka ini?"
*
* *
Suasana malam di pedalaman yang dipenuhi
hutan belukar, di mana pohon-pohon berdiri tegar ba-
gai raksasa nampak ramai. Orang-orang bertelanjang
dada banyak berdatangan memenuhi suatu tempat.
Empat api unggun yang meletup-letup sejak tadi sore
sudah menyala. Sekeliling tempat itu penuh sesak
dengan manusia-manusia bertelanjang dada. Seper-
tinya mereka tengah menunggu sesuatu.
Di tengah-tengah kerumunan itu terlentang so-
sok tubuh penuh luka memar. Tubuh itu terlentang di
atas tumpukan gedebong-gedebong pisang yang dis-
usun rapi. Di bawahnya bertaburan bara-bara api yang
menggarang sosok tubuh terlentang itu.
Setumpukan daging yang sudah terpotong-
potong membukit beralasan pelepah-pelepah daun pi-
sang berada pada tiap-tiap api unggun. Beberapa
orang pun siap membakar daging-daging itu. Dan se-
mua orang yang mengerumuni tempat itu seperti tidak
sabar menunggu kenikmatan daging bakar. Tiba-tiba
saja keriuhan itu mendadak berhenti. Dalam suasana
sepi itu terdengar beberapa orang meniup terompet da-
ri tanduk, juga terdengar suara genderang yang berta-
lu-talu. Tanda aba-aba itu bersumber dari atas pohon.
Tapi semua orang yang mengerumuni tempat
itu seperti mengerti akan aba-aba yang menguman-
dang itu. Maka dengan serempak kerumunan itu lang-
sung bergeser. Dari keluangan itu muncullah beberapa
orang melangkah cepat. Mereka langsung menuju ke
tengah lapangan di mana sosok tubuh tergarang di
atas susunan gedebong pisang.
"Semuanya sudah dipersiapkan?" Suara Rowok
Tunggel memecah kesunyian. Seseorang yang berdiri di
sebelahnya menganggukkan kepala. Dua orang lagi
yang ada di belakangnya berjalan mendekati sosok
terlentang itu.
"Balur seluruh tubuhnya dengan daun-daun ja-
rak. Dan juga sediakan darah anjing hutan secepat-
nya." Kedua orang itu menuruti perintah Rowok Tung-
gel.
"Siapa pun orang ini kita harus berusaha me-
nyelamatkannya. Kalau saja orang ini bisa hidup, itu
berarti warga pedalaman lereng Ungaran bertambah
satu." kata Rowok Tunggel sambil melangkah ke arah
dua orang itu. Di hadapannya sebuah pendulangan
besar tersedia berisi cairan kental berwarna merah.
Rowok Tunggel mencelupkan kedua lengannya ke da-
lam pendulangan. Maka begitu ia menarik ke luar
kembali, kedua lengannya telah berlumuran darah anj-
ing hutan.
Semua mata yang memandang mengelilingi
menyaksikan Rowok Tunggel membasuh mukanya
dengan darah. Wajah yang penuh berewok makin tam-
pak menyeramkan. Lalu ia membalur seluruh tubuh-
nya dengan sisa-sisa darah yang masih tersisa di ke-
dua lengannya. Dua orang yang tadi ikut membantu
segera menyingkir. Membiarkan Rowok Tunggel berdiri
sendiri menghadap sosok yang terlentang itu Orang-
orang yang berdiri berkeliling tempat itu serempak
membacakan mantra saat Rowok Tunggel mengangkat
kedua lengannya ke atas. Maka terdengarlah seperti
raungan harimau yang memenuhi seisi pedalaman.
Mereka yang sesungguhnya penduduk suku pedala-
man Lereng Ungaran memang tengah mengadakan
'Upacara Penyembuhan' terhadap seseorang yang di-
temuinya tersangkut di atas pohon.
Dalam 'Upacara Penyembuhan' itu tidak diper-
kenankan seorang perempuan ataupun anak-anak
menghadirinya. Namun begitu mereka tidak boleh me-
nampakkan diri sama sekali. Andaikata ada salah seo-
rang perempuan ataupun anak kecil sempat turun ke
tempat upacara, maka dukun yang memimpin
'Upacara Penyembuhan 'seperti Rowok Tunggel, tidak
bisa menyelamatkan pasiennya. Itulah sebabnya me-
reka yang hadir hanya kaum lelaki. Mereka nampak
mengeluarkan serentetan rapalan mantra. Makin lama
mantra-mantra itu keras dan cepat. Tubuh mereka
bergerak-gerak mengeluarkan suara yang beraturan.
Rowok Tunggel sendiri berteriak-teriak nyaring me-
nyaingi raungan para pengikutnya.
Sesaat kemudian Rowok Tunggel mengangkat
pendulangan yang berisi darah anjing hutan. Dan saat
ia berjalan berkeliling membawa pendulangan itu, se-
mua pengikutnya membacakan mantra sekuat-
kuatnya. Sehingga seperti teriakan-teriakan yang me-
nyayat.
"Bres... Bres... Bres...!" Rowok Tunggel menyi-
ram berkali-kali sosok yang ditutupi dengan dedaunan
jarak.
Seluruh cairan darah tertumpahan habis, den-
gan begitupun rapalan mantra berangsur-angsur per-
lahan. Untuk kemudian menghilang membuat seisi pe-
dalaman nampak sunyi. Semua orang yang berderet
menatap dengan pandangan dalam. Dan tiba-tiba saja
orang-orang itu menyingkir menjauh. Rowok Tunggel
mendadak melesat ke atas. Tubuhnya berjumpalitan di
udara. Ketika ia turun ke tanah, mulutnya menyem-
burkan sesuatu.
"Bruuuus... Blaaaaar!" Bara api yang mengga-
rang sosok terlentang itu mendadak berkobar. Api
menjilat-jilat gedebong-gedebong pisang. Sekitar tem-
pat itu menyengat hawa panas.
Tapi begitu Rowok Tunggel menyembur lagi, api
yang tadi berkobar-kobar mendadak padam. Lalu
orang-orang kembali berkerumun sambil melanjutkan
mengeluarkan rapalan mantra.
Daun-daun jarak yang menutupi sosok tubuh
terlentang berjatuhan ke tanah. Rapalan mantra ma-
kin santer terdengar. Saat itu pun sosok terlentang itu
mendadak bangkit...
"Wuaaaaa...! Panas! Panaaaas!" Ia langsung
berjingkat-jingkat di atas susunan gedebong-gedebong
pisang. Bekas-bekas luka memar sudah tidak nampak
lagi. Sosok itu melompat ke bawah memandang bara
api yang mengepulkan asap hitam.
"Bangsat! Api apa ini!" hardiknya. Suaranya
tenggelam dalam keriuhan orang-orang yang memba-
cakan mantra. Dia memandang berkeliling.
"Kalian kira aku ini daging panggang? Wuah-
wuah... Rupanya aku terjebak oleh segerombolan silu-
man pemakan daging!"
"Bukan! Kami bukan bangsa siluman! Tapi su-
ku pedalaman bangsa Bajor yang menyelamatkan an-
da!" Rowok Tunggel melangkah mendekat.
"Rupa kalian begitu buruk. Pastilah kalian
penghuni neraka! Yah...! Tidak salah Pasti aku sudah
berada di neraka... ahh, nasib." Sosok itu duduk nge-
deprok. Rowok Tunggel memandang aneh, ia merasa
ada sesuatu yang ganjil.
"Anda telah sembuh dari kematian, dan juga
bukan berada di neraka." "Bohong! Buktinya api nera-
ka banyak sekali bertebaran di sini." katanya sambil
menunjuk ke arah bara api dan keempat api unggun
yang berada di setiap sudut. Orang-orang yang berada
di situ menahan senyum. Tempat itu mulai ramai.
Kaum perempuan dan anak-anak banyak yang berda-
tangan. Mereka berani ke tempat itu karena 'Upacara
Penyembuhan' telah selesai. Dan menganggap Rowok
Tunggel berhasil menyembuhkan pasiennya.
"Semua perkiraan anda salah. Kami cuma seke-
lompok kecil suku pedalaman bangsa Bajor. Yang kau
sebut api neraka itu hanyalah beberapa unggun seba-
gai penerang. Sewaktu kami berburu, anda kami te-
mukan tersangkut tak sadarkan diri. Kalau saja kami
terlambat menemukan anda, mungkin anda benar-
benar telah berada di neraka." Rowok Tunggel menje-
laskan. Sosok itu bergidik lalu bangkit.
"Jangan menakut-nakuti aku. Tahukah kalian,
aku pernah bertarung melawan raksasa angin juga ba-
dai pasir... Cuma aku tidak ingat siapa yang menang
dan yang kalah." ucap sosok itu sambil menunjukkan
mimik muka yang sedih. Sudah tentu hal itu menjadi
bahan tertawaan orang-orang yang berada di sekeli-
lingnya. Bagaimana tidak. Ucapannya yang selalu
ngawur dan tidak masuk di akal sehat itu cukup
menggelitik perut mereka.
Siapa yang akan percaya akan ucapannya itu?
Segala menyebut-nyebut pernah bertempur melawan
raksasa angin, badai pula... Anak kecil pun tidak akan
percaya. Rowok Tunggel sendiri hampir tidak tahan
melepaskan tawanya. Dari situ ia mempunyai kesim-
pulan, bahwa orang yang mereka selamatkan tidak lain
orang yang menderita sakit ingatan. Namun begitu ia
tidak menyesal menyelamatkannya.
Rowok Tunggel memberikan aba-aba kepada
orang-orang agar segera tidak menertawakannya lagi.
"Kalau memang anda pernah bertarung dengan
semua itu, tentunya anda masih ingat dari mana anda
berasal dan juga tentunya mempunyai nama, bu-
kan...."
"Oh, tentu saja punya, dong... Mula-mula aku
memang tidak punyai nama, tapi setelah bertemu de-
wa, ia memberi ku nama Siluman Baik. Senang sekali
aku mendapatkan nama itu. Namun tak lama 'Dewa'
mengganti sebutan itu menjadi: Umbara Komang. Ku-
pikir lebih bagus daripada menyandang nama Siluman
Baik." kata sosok sinting yang tak lain dari Umbara
Komang. Rowok Tunggel manggut-manggut.
"Lalu di mana kampung halamanmu?!"
Belum Umbara Komang menjawab, terdengar
terompet nyaring bersahutan di atas ketinggian sebuah
pohon. Orang-orang yang mendengar suara itu lang-
sung lari berserabutan. Tempat itu jadi kalang kabut
seketika. Masing-masing menaiki tangga yang menuju
ke atas ke gubuk mereka.
Rowok Tunggel dan Umbara Komang merasa
terkejut dengan keadaan yang hiruk pikuk itu. Dukun
Suku Bajor berusaha untuk menenangkan suasana,
tapi bagaimana mereka bisa tenang! Orang-orang itu
tetap berlarian menuju tangga tali saling berebutan.
Mendengar suara terompet tadi, bukan berarti
Rowok Tunggel tidak mengetahui arti aba-aba yang
merupakan tanda bahaya. Tapi bagi Umbara Komang
ia hanya berdiri tenang-tenang saja...
"Tentunya itu suara panggilan Malaikat. Tuhan
untuk menghukum kita... He he he... Rasain! Kalian
memang pantas dihukum, siluman-siluman jahil!" te-
riak Umbara Komang. Rowok Tunggel tidak memper-
dulikan ocehannya.
"Heii... Siluman Bewok! Kenapa kau tidak lari
seperti siluman-siluman itu?" Umbara Komang mena-
rik lengan Rowok Tunggel.
"Tolol! Kau harus menyelamatkan diri!" Bersa-
maan dengan itu Rowok Tunggel melemparkan tubuh
Umbara Komang ke atas.
Tiba-tiba saja tubuh itu melayang dan hinggap
dia antara cabang pohon. "Diam di situ!" bentak Rowok
Tunggel.
Sementara itu orang-orang masih berhambu-
ran. Banyak anak-anak yang tertinggal memanjat
tangga tali. Sedangkan di belakang mereka seekor singa meraung-raung melangkah mengincar mangsanya
yang berlarian menyelamatkan diri. Para lelaki berge-
layutan menyambar anak-anak mereka yang berada di
bawah. Jerit tangis ketakutan membisingkan telinga.
Bersamaan dengan itu pula raungan singa menggetar-
kan jantung orang-orang yang berada di situ.
Rowok Tunggel melompat menghadapi singa
yang melangkah makin dekat. Dengan sebatang tom-
bak ia berusaha menghalaunya. Tapi bagi singa yang
tengah kelaparan tidaklah berarti apa-apa. Singa itu
menunjukkan giginya yang putih mengkilat setajam
mata pisau.
*
**
Belasan anak panah beserta beberapa tombak
meluncur deras dari atas pohon. Menghujani tepat ke
tubuh singa yang siap menerkam Rowok Tunggel. Sin-
ga itu seperti kelabakan menghadapi hujan senjata-
senjata itu. Namun tidak satu pun yang dapat melu-
kainya. Raungannya makin keras. Anak-anak panah
makin deras pula menghujani.
Sementara makhluk liar itu sibuk mengamuk
mengatasi anak-anak panah, Rowok Tunggel tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melempari satu
persatu para anak kecil maupun orang-orang dewasa
ke atas gubuk di atas pohon. Gubuk-gubuk mereka
memang sengaja didirikan di atas pohon, dan itu me-
mang salah satu kebudayaan suku pedalaman Bangsa
Bajor.
Melihat mangsa-mangsanya beterbangan ke
atas, singa itu tidak lagi memperdulikan serangan-
serangan dari atas. Lagi pula panah dan ujung tombak
tidak cukup kuat untuk menembus kulitnya yang alot
laksana karet... Dengan raungan yang sangat menye-
ramkan makhluk itu melompat menerjang.
Sekalipun Rowok Tunggel sibuk menyela-
matkan para anak buahnya, tapi perhatiannya tidak
pernah lepas dari sosok makhluk ganas yang kini me-
nerjang ke arahnya. Maka saat kedua kaki makhluk
berkuku runcing menyambar, Rowok Tunggel merun-
duk ke bawah. Terjangannya luput. Namun sosok
makhluk itu masih mendapatkan sasaran lain, yaitu
seorang lelaki yang berdiri di belakang Rowok Tunggel.
Lelaki itu berteriak-teriak dengan tubuh yang
mulai terkoyak oleh kuku-kuku runcing. Dan saat gi-
ginya yang runcing menggerogoti bagian perut, orang
itu mati dengan seketika.
Meskipun tindakan Rowok Tunggel terlambat,
ia tidak membiarkan makhluk ganas itu menggerogoti
mangsanya. Dengan terjangan yang sangat dahsyat la-
ki-laki berewok segera melompat ke punggung. Sebelah
tangannya mencekik leher. Singa itu meraung meron-
ta-ronta. Pergumulan sengit tak terelakan lagi. Bebera-
pa pukulan Rowok Tunggel menghantam ke tulang ru-
suk, namun makhluk ganas membalasnya dengan ca-
karan-cakaran yang merobek di paha Rowok Tunggel.
Sedikitnya Rowok Tunggel merasa kewalahan
mengatasinya, ia merasa lebih baik menghadapi pulu-
han orang dari pada seekor singa jantan seperti seka-
rang ini. Tenaga seekor singa lebih kuat dari pada seo-
rang pendekar sakti manapun. Rowok Tunggel sendiri
harus terbanting dari punggung makhluk ganas itu.
Padahal seluruh tenaganya telah dikerahkan untuk
mematahkan tulang lehernya. Dan singa itu makin ter-
giur saat melihat mangsanya jatuh berdegum di tanah.
Puluhan pasang mata menyaksikan makhluk itu me-
nerjang disertai raungan yang dahsyat. Mereka sudah
menduga Rowok Tunggel pasti tidak akan sanggup
menghindari terjangan yang begitu cepat.
Detik itu sekelebat bayangan melesat dari atas
pohon meluncur ke bawah. Semua orang yang berada
di atas pohon tidak menyangka, kalau sosok bayangan
itu adalah seorang yang dianggap kurang waras. Siapa
lagi kalau bukan Umbara Komang!
Kedua tinju Umbara Komang menghantam te-
lak ke tulang rusuk... "Kraaak!" Makhluk itu terbanting
ke samping. Sebelumnya kuku-kuku yang runcing
sempat menyerempet ke dada Rowok Tunggel. Laki-laki
berewok ini tidak percaya Umbara Komang bisa mela-
kukannya. Kedua matanya sempat terbelalak saat sin-
ga itu bangkit menerjang ke arah Umbara Komang
yang berdiri tenang menantang.
Tenang sekali Umbara Komang menyambut
dengan mengangkat sebelah tinjunya. Meskipun perla-
han tapi cukup membuat makhluk itu meraung me-
lengking. Hantaman itu tepat mengenai tenggorokan.
Saat itu pula Umbara Komang menambahkan hanta-
mannya ke bagian kepala. Kali ini kedua lengannya
disertai dengan tenaga penuh... "Praaak!" Batok kepala
makhluk itu berderak.
Raungannya makin lemah. Sesaat kemudian
tubuhnya berdiri limbung. Umbara Komang bermak-
sud melancarkan serangan lagi, tapi makhluk itu ke-
buru ambruk ke tanah dengan batok kepala yang re-
muk. Suasana tempat itu kembali sunyi. Hanya letup-
letup api unggun yang mengisi kebisuan itu. Beberapa
pasang mata menatap tidak percaya dari ketinggian
sebatang pohon. "Apakah dia juga salah satu penghuni
neraka?" Umbara Komang menendang tubuh singa
yang sudah tak bernyawa. Tendangan itu pun sangat
luar biasa! Mampu menggeser bangkai binatang itu
sampai di hadapan Rowok Tunggel. Lelaki berewok su-
lit menjawabnya. Dia hanya kagum akan kehebatan
Umbara Komang.
"Sudah kukatakan, bahwa kita ini bukan di ne-
raka, Siluman Umbara Komang. Makhluk itu seekor
binatang buas pemakan daging. Untung kau telah
mengatasinya... Tidak kusangka kau demikian hebat!
Pantas ketika aku melemparkan dirimu ke atas pohon
terasa sekali tubuhmu begitu ringan."
"Aku bukan Siluman Umbara Komang. Cukup
Umbara Komang saja! Tidak pakai embel-embel!"
"Umbara Komang!" Rowok Tunggel mengulangi.
"Ya, begitu. Kedengarannya merdu." Umbara
Komang melipat tangannya di dada.
"Sekarang nasib kami tergantung padamu...
Secara tidak langsung kuserahkan jabatanku untuk
menguasai Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Kau memi-
liki kepandaian yang sangat hebat, aku bersama yang
lainnya akan mengabdi sampai akhir hayat," Rowok
Tunggel menunduk seperti menyembah.
"Sudilah kiranya kau memimpin kami di sini...."
Melihat Rowok Tunggel menyembah-nyembah Umbara
Komang, orang-orang yang berada di atas pohon ber-
loncatan ke bawah. Mereka semua turun sampai tidak
ada yang tersisa. Hanya kaum perempuan dan anak-
anak yang tetap tinggal di atas gubuk. Para lelaki itu
berbaris di belakang Rowok Tunggel. Mereka pun men-
gikuti apa yang dilakukan Rowok Tunggel.
"Aku tidak mau memimpin para siluman. Lagi
pula siapa yang sudi tinggal di neraka jahanam. Aku
mau pergi saja!" cetus Umbara Komang.
"Kami akan tetap mengikutimu, Umbara Ko-
mang," jawab Rowok Tunggel.
"E, Ehhh... Badung. Kalau memang mau mema-
tuhi perintahku, coba sediakan makanan untukku.
Dari tadi perutku sudah keroncongan," katanya men-
guji.
"Kalau cuma itu permintaanmu kami akan
memenuhinya sekarang juga," kata Rowok Tunggel, ia
pun memberi aba-aba dengan kedipan matanya kepa-
da dua orang yang berlutut di sampingnya. Dan kedua
orang itu pun melangkah menuju api unggun di mana
di situ telah tersedia setumpukan daging. Umbara Ko-
mang mengawasi kedua orang itu. Hidungnya kem-
bang kempis mencium bau amis. Apalagi setelah dua
orang itu mulai membakar daging-daging itu. Perut
Umbara Komang makin melilit.
"Hebat! Rupanya kalian sengaja memper-
siapkan untukku." kata Umbara Komang tersenyum.
Rowok Tunggel mengangguk, lalu ia memberi aba-aba
lagi dengan tepukan tangan. Maka seluruh orang yang
berdiri di sekelilingnya berjalan memutar membuat
lingkaran. Kemudian mereka duduk bersila mengelilin-
gi Umbara Komang dan Rowok Tunggel yang saling
berhadapan.
Wangi daging bakar makin santer membuat
duduk Umbara Komang tidak tenang. Sebentar-
sebentar ia menoleh ke arah api unggun. Beberapa pe-
rempuan nampak turun dari atas pohon di mana tem-
pat tinggal mereka. Tiga perempuan itu masing-masing
membawa dua gelondong bambu yang berisikan tuak.
Rowok Tunggel menyambutnya saat mereka tiba di si-
tu.
"Selama menunggu daging bakar, kita bisa me-
nikmati tuak... Silahkan diminum Umbara Komang."
kata Rowok Tunggel ketika seorang perempuan menye-
rahkan dua gelondong bambu itu.
"Aha ha ha ha... Terima kasih! Terima kasih...!
Aku suka sekali. Wuah... harumnya... Baru kali ini aku
menemukan tuak sewangi ini." Umbara Komang me-
nunggingkan gelondongan bambu itu ke mulutnya.
Suasana pedalaman yang gelap itu kembali terang. Wangi daging bakar menyebar dimana-mana.
Orang-orang yang duduk bersila berkeliling itu ramai
membicarakan kehebatan Umbara Komang. Sedikitnya
mereka mengharap agar laki-laki senewen itu mau
memimpin Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Selama ini
Rowok Tunggel memang memimpin mereka. Dan seka-
rang mereka menganggap Umbara Komang jauh lebih
sakti dari Rowok Tunggel. Rowok Tunggel sendiri beru-
saha membujuknya agar Umbara Komang mau me-
mimpin mereka.
Umbara Komang mendapat jatah daging bakar
lebih dulu. Jatahnya lebih banyak daripada yang dibe-
rikan kepada Rowok Tunggel. Kedua orang yang selesai
membakar daging itu berjalan membagikannya pada
orang-orang yang duduk bersila melingkar.
Rakus sekali Umbara Komang menggerogoti
daging bakar. Kelucuan yang nampak itu membuat pa-
ra perempuan dan anak-anak yang berada di atas po-
hon tertawa tergelak-gelak. Merekapun segera turun
membawakan tuak untuk para suaminya. Mereka dan
anak-anaknya juga mendapat bagian.
Daging ini sebenarnya tidak enak, lumayan un-
tuk dijadikan isi perut di saat lapar begini...." Umbara
Komang menyantap rakus.
"Ya-ya memang lumayan. Bagi kami sudah ter-
biasa mengisi perut selama ada yang bisa dimakan...
Masih kurang? jawab Rowok Tunggel sekaligus mena-
warkan.
"Kalau masih ada, boleh!" jawabnya cepat. "Eh,
Rowok Tunggel sedari tadi aku tidak melihat kuda mi-
likku... Kau taruh mana dia...." sambungnya lagi.
"Maaf, Umbara Komang. Yang kau makan itu
adalah kudamu." Rowok Tunggel tidak berani mena-
tap. Mendengar itu, daging bakar di mulut Umbara
Komang keluar lagi.
"Apa?... Aduh gusti...! Kuda itu pemberian seo-
rang raden! Kalian benar-benar siluman keparat!" Um-
bara Komang menghardik marah.
"Terpaksa Umbara Komang!... Terpaksa! Kami
menemukannya telah mati sekarat di saat kami berbu-
ru. Begitu juga dengan kau. Sama sekaratnya dengan
kuda milik mu." Rowok Tunggel gemetar menjelaskan-
nya. Rasa takutnya bukan karena Komang memiliki
ilmu setinggi langit, tapi karena Umbara Komang seka-
rang menjabat sebagai pemimpin Suku Pedalaman Ba-
jor. Rowok Tunggel hanyalah orang kecil di bawah Um-
bara Komang. Karena dia tidak memiliki ilmu yang
langka dikuasai orang.
"Ah! Aku baru ingat! Pastilah angin raksasa dan
badai pasir telah mengalahkan aku di saat bertempur!
Hiii... Ngerinya! Jangan-jangan angin raksasa dan ba-
dai pasir akan datang ke sini! Wuaaaaa... Aku takut!"
Tiba-tiba saja Umbara Komang lari menjauh. Gera-
kannya yang gerabak gerubuk membuat orang-orang
di sekitarnya menjadi terkejut. "Aku tidak mau lagi
bertemu dengan dua laknat itu. Hiiii! Siapa pun tidak
ada yang sanggup mengatasi mereka!" Lari Umbara
Komang makin cepat.
"Umbara Komang...! Tunggu...!" Rowok Tunggel
menyusul. Begitu juga dengan lainnya.
Tempat itu jadi riuh oleh derap langkah yang
serabutan. Mereka semua mengejar sang pemimpin
baru. Umbara Komang tidak memperdulikan orang-
orang yang berlari mengejar di belakangnya. Malah ia
mempercepat larinya dengan ilmu peringan tubuh. Ba-
gi Rowok Tunggel, ia bisa mengimbangi dengan kecepa-
tan larinya. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti me-
reka di belakang cukup kewalahan. Untuk itulah Ro-
wok Tunggel memberi tanda agar mereka bisa mengi-
kuti.
"Siluman-siluman brengsek! Apa-apaan mengi-
kutiku! Pergi! Bikin susah saja!"
"Sekarang kau ketua kami, Umbara Komang!
Bagaimana pun kami harus ikut kau!"
*
* *
"Ni Klesung Rangit...! Ni Klesung Rangit...!" te-
riak salah satu orang yang mengerumuni gubuk kecil
itu. Semua mata mengarah pada pintu bambu yang
tertutup rapat. Orang-orang semakin ramai berdatan-
gan ke tempat itu. Dan menyaksikan sosok mayat ter-
geletak di depan pintu bambu tersebut. Sosok itu jasad
Kang Birun. Tubuhnya biru seperti kehabisan darah
dengan kepala berlubang sebesar telapak tangan. Bau
amis seperti busuk menyengat.
"Pastilah Ni Klesung Rangit dan cucunya Dwi
Langsih sudah tewas seperti Kang Birun... Karena se-
jak tadi kita berteriak-teriak mereka tidak keluar juga."
Penduduk yang lain menimpali.
"Ni Klesung Rangit...! Apakah kalian baik-baik
saja?" Mereka berteriak lagi. Di antara kerumunan itu
berdiri sosok kepala kampung, Ki Sangga Wana. Ia
menatap tajam gubuk itu. Pikirannya sama dengan pa-
ra penduduk lainnya. Ia sudah menduga kalau terjadi
sesuatu atas diri Ni Klesung Rangit dan cucunya. Ia
pun sudah membayangkan kematian mereka pasti se-
rupa dengan yang dialami Kang Birun. Kehabisan da-
rah dengan batok kepala berlubang. Tapi mendadak
saja semua mata mereka terbelalak dengan mulut
menganga. Betapa tidak. Pintu bambu itu berderit ter-
buka. Dari dalamnya keluar seorang nenek buta ter-
bungkuk-bungkuk dituntun oleh anak perempuan be-
rumur lima tahun. Namun setelah melihat sosok
mayat yang tergeletak di depan pintu, anak perempuan
itu berlari ke belakang nenek buta, ketakutan.
"Syukurlah kau tidak kurang satu apapun, Ni
Klesung Rangit... Kami sudah khawatir terhadap ka-
lian...." ujar Ki Sangga Wana sang kepala kampung.
*
* *
LIMA
Wajah Ni Klesung Rangit berubah kecut, sebe-
lah lengannya yang keriput memeluk Dwi Langsih yang
masih memalingkan wajahnya di belakang nenek buta.
"A-ada apa, Ki Sangga Wana...?" tanya Ni Kle-
sung Rangit tergagap. Ia kenal betul dengan suara
orang yang berdiri di hadapannya.
"Kang Birun tewas disantap siluman itu, Ni...
Mayatnya tergeletak di sini. Apakah...." Kata-kata Ki
Sangga Wana belum habis, dari gubuk itu keluar sosok
Wintara. Ia langsung berdiri di belakang Ni Klesung
Rangit. Ia juga tersentak kaget menatap sosok menge-
rikan terkapar di hadapan pintu.
Yang lebih heboh lagi terhadap orang-orang
kampung. Mereka berjingkat kabur setelah melihat
Wintara keluar dari gubuk.
Sejak kemarin sore mereka memang takut akan
kehadiran Wintara di kampung itu. Apalagi sekarang
telah jatuh korban. Rasa takut mereka makin bertam-
bah. Tapi Wintara tetap tenang menatap Ki Sangga
Wana.
"Pemuda asing... Aku cenderung kaulah yang
melakukan ini. Tentunya kaulah yang selalu mengam-
bil korban dari penduduk desa ini! Sekarang perbuatan busukmu sudah ketahuan. Kau harus menebus
dengan nyawa anjingmu!" Ki Sangga Wana mencabut
keris dari pinggangnya. Nampak sekali keris itu me-
mancar sinar keemasan. Meskipun Ni Klesung Rangit
tak dapat melihat, ia sudah dapat menduga apa yang
bakal terjadi. Maka ia melangkah menghalangi.
"Sabar... Sabar...! Kalian sudah salah menu-
duh. Wintara bukanlah bangsa siluman yang kita ta-
kuti selama ini. Ia hanya seorang pengelana yang kebe-
tulan singgah di sini. Kalian saja yang berpikiran bu-
ruk." sergah Ni Klesung Rangit.
"Betul. Paman Wintara bukan orang jahat." Dwi
Langsih ikut membela.
"Lalu apa artinya mayat Kang Birun tergeletak
di depan gubukmu? Pantas saja kalian tidak dapat me-
lihat rupa siluman itu, karena kalian buta semua!" Ki
Sangga Wana geram. Kerisnya yang mencereng terhu-
nus ke atas.
"Begitu burukkah rupa ku...? Sehingga kau ya-
kin akan ketololan kedua insan ini! Ni Klesung Rangit
memang buta. Tapi begitu yakin akan ketajaman mata
hatinya. Daripada kalian yang sebenarnya melek tapi
memiliki pikiran yang sangat rendah!" jawab Wintara
tenang.
"Bangsat!" Tentu saja Ki Sangga Wana menjadi
sangat marah. Kerisnya meluncur di depan. Desiran
anginnya membersit. Wintara yang sudah terlanjur
menghadapi melesatkan tubuhnya ke atas. Keris Ki
Sangga Wana terus berkelebat mengikuti.
"Paman... Jangan berkelahi!" pekik Dwi Lang-
sih.
"Tenang, Langsih. Wintara pasti bisa mengatasi
kecongkakan Ki Sangga Wana!" bentak Ni Klesung
Rangit. Dwi Langsih mendadak merungkut.
Orang-orang kampung menyaksikan bagaimana
Wintara berkelit menghindari setiap tusukan keris
yang menjurus mematikan. Mereka tidak berkedip ba-
rang sekejap pun. Dan mengharap setiap tusukan ke-
ris menancap di tubuh lawan Ki Sangga Wana Saat itu
Ki Sangga Wana benar-benar mengerahkan seluruh
kemampuannya, dan ternyata kepala desa itu memang
hebat. Setiap serangannya nyaris melukai Wintara.
Pendekar Kelana Sakti masih menimbang-nimbang
agar ia tetap berkepala dingin. Setiap gerakannya terli-
hat selalu menghindar.
"Ha ha ha ha... Kau takut menghadapi keris pe-
rakku, siluman. Sebentar lagi perut mu akan robek!"
bentak Ki Sangga Wana, tusukan kerisnya menyambar
bagian muka. Wintara harus cepat merunduk. Bersa-
maan itu pula tendangan Ki Sangga Wana menjurus
deras. Disertai dengan sebuah bentakan, Wintara
mengangkat lengannya ke atas. Bukan main kerasnya
benturan tendangan itu. Kiranya kepala kampung itu
bukan sosok kosong tanpa ilmu. Melihat dari jurus-
jurus yang dilancarkannya, Wintara sudah bisa men-
gukur. Namun hal itu bukanlah berarti Ki Sangga Wa-
na berada di atas kemampuan Pendekar Kelana Sakti.
"Mampus keparat sialan!" Keris perak menusuk
berkali-kali. Wintara lincah mengelak. Tindakannya itu
seperti mengejek.
"Aku bukannya takut mati, Ki... Tapi masih
sayang dengan nyawaku yang hanya selembar." kata
Wintara sambil menepis tusukan-tusukan keris.
"Jangan hanya mengelak! Tunjukkan semua
kebolehan mu, penghuni neraka!" Bersamaan dengan
ucapannya, Ki Sangga Wana lancarkan tinjunya den-
gan telak. Kalau hanya sebuah tinju, Wintara tidak
perlu mengelak. Ia sengaja membiarkan tinju itu men-
genai dadanya. Tapi sesaat kemudian tubuh Ki Sangga
Wana mencelat ke belakang. Pekikannya nyaring saat
tubuhnya berdegum di tanah. Tapi ia siap bangkit
mengarahkan kerisnya lagi. Amarahnya sudah meluap,
mukanya nampak memerah.
Begitu melihat Ki Sangga Wana maju mener-
jang, Wintara sempat melihat langkah-langkah yang
gemetar. Ia pun sudah menduga kalau kepala kam-
pung sudah terluka akibat terbanting tadi. Namun se-
dikitnya Wintara cukup mengerti akan kekerasan hati
Ki Sangga Wana. Semuanya hanya menunjukkan sifat
kesombongan. Mungkin karena hanya dia yang beril-
mu tinggi di desa itu.
Tusukan-tusukan kerisnya serba ngelantur dan
tak terarah. Dan ternyata Wintara cukup bosan me-
layaninya. Sekali ia bergeser ke samping kakinya me-
nyapu ke bawah...
"Sreeeet... Blaaaak!" Untuk kedua kalinya Ki
Sangga Wana terbanting. Keris dalam genggamannya
terlepas. Dan dia sendiri tidak dapat bangkit lagi. Mu-
lutnya menyeringai menahan sakit.
"Aku cukup menghargai ketangkasan mu, Ki
Sangga Wana. Tapi sayang... Kepandaian disertai den-
gan kesombongan tidak akan sejalan. Bagaimana kau
bisa mengalahkan siluman yang selalu mendatangi de-
sa ini? Kalau kau sendiri tidak dapat membedakan-
nya.. Aku memang orang asing di sini. Untuk itu
maafkanlah atas kekurangajaran ku tadi." Wintara
memandangi Ki Sangga Wana kepayahan berusaha
bangkit.
"Aku dapat melihat dari sinar matamu, bahwa
kau sendiri pun menyesalinya. Tak apa, Ki. Aku bisa
menjadi bulan-bulan orang."
Ki Sangga Wana tidak bermaksud mendengar
ucapan Wintara. Dirinya merasa malu sekali di hada-
pan orang-orang kampung. Itu pun lebih bagus! Un-
tung lawannya itu tidak sungguh-sungguh menghadapinya. Ki Sangga Wana sendiri harus mengakui akan
kesalahannya. Tidak semestinya ia bertindak se kasar
itu. Apalagi ia seorang kepala kampung. Tapi semua
itu bisa dimaklumi oleh Wintara. Desa itu memang se-
dang kalut. Jadi ia cukup mengerti dengan perasaan
orang-orang kampung. Hanya saja Wintara masih ti-
dak mengerti mengenai adanya siluman jahat yang se-
lalu mengambil korban. Diam-diam Wintara menyusun
rencana untuk membuktikan kekalutan yang selama
ini menjadi keresahan penduduk desa.
"Rasanya tidak pantas lagi kalau aku berlama-
lama di sini. Aku tidak ingin membuat seluruh orang
kampung panik. Anggap saja kalian tidak pernah meli-
hat kehadiran ku." Setelah berkata begitu, Wintara me-
langkah mendekati Ni Klesung Rangit yang masih ber-
pegangan pada cucunya. Orang-orang kampung tidak
ada yang berani mengeluarkan suara. Ki Sangga Wana
mengelus-elus pinggangnya yang nyeri. Ia tidak tahu
apa yang mesti diucapkan terhadap pendekar itu.
"Terima kasih atas pelayanan mu semalam, Ni
Klesung. Seperti yang telah aku katakan, aku harus
meninggalkan desa ini sedini mungkin." Wintara mem-
beri salam Ni Klesung Rangit menggapai-gapaikan ke-
dua tangannya. Wintara membiarkan Ni Klesung Ran-
git menyentuh baju bulunya.
"Kau mau ke mana Wintara? Tetap tinggallah di
sini. Jangan diambil hati perlakuan orang-orang kam-
pung ini. Sekarang mereka sudah yakin bahwa kau
bukanlah siluman jahat. Dengarlah kataku Wintara...."
Ni Klesung Rangit menahan.
"Paman Wintara mau ke mana? Tetap saja di
sini menemani Langsih. Kalau paman pergi, paman ti-
dur di mana...?"
Suara Dwi Langsih polos. Wintara jongkok lalu
mencubit pipi Dwi Langsih. "Paman harus pergi, Langsih. Dan juga kau tak perlu khawatir. Paman bisa tidur
di mana saja. Cuma satu pesanku, jagalah nenek baik-
baik. Suatu saat paman pasti datang lagi menemui-
mu...." Wintara tersenyum. Ia pun bangkit melangkah
mundur. Lalu ia menatap Ki Sangga Wana.
"Tanpa kau usir pun aku akan pergi, selamat
tinggal, Ki... Mudah-mudahan kau menjaga desa ini."
Kata-kata Wintara cukup pedas. Tapi Ki Sangga Wana
tidak berani menyahut. Ni Klesung Rangit bersama cu-
cunya tidak bisa menahan. Wintara berjalan tenang
meninggalkan keramaian. Kuda putihnya masih ter-
tambat menunggu.
Kuda itu menyepak-nyepak kaki depannya saat
Wintara mengelus bulu-bulu yang tumbuh di sepan-
jang leher.
Cepat sekali tubuh Wintara melompat ke pung-
gung kuda. Sebentar saja ia sudah menghela kudanya
dengan suara yang lantang. Derap kuda pun menderu-
deru meninggalkan desa itu. Orang-orang kampung
mulai berdatangan memenuhi gubuk Ni Klesung Ran-
git. Ki Sangga Wana sudah dapat berjalan meskipun
terpincang-pincang. "Kau benar, Ni... Anak muda itu
seharusnya tetap tinggal di desa ini. Dia seorang pen-
dekar sakti. Satu-satunya orang yang bisa melindungi
kita, kini sudah pergi. Kita sudah tidak punya harapan
lagi." Ki Sangga Wana menyesali tindakannya.
"Nasi sudah menjadi bubur. Kau telah menghi-
nanya, Ki Sangga Wana. Mana mau pendekar itu ber-
paling lagi kepada kita! yang mesti mencari jalan ke-
luarnya." jawab Ni Klesung Rangit. Ia menggeser tubuh
cucunya. Dwi Langsih mengerti akan maksud nenek-
nya, maka ia menuntun masuk kembali ke dalam gu-
buk. Pintu bambu di banting keras-keras. "Orang-
orang tidak tahu diuntung!" Suara parau itu terdengar
dari dalam gubuk.
Ki Sangga Wana menatap penduduk kampung
yang mengerubungi mayat Kang Birun. Kejadian seper-
ti itu sudah tujuh kali berturut-turut
menggemparkan desa. Namun sampai saat ini
mereka belum tahu siapa adanya siluman yang meng-
hantui desanya.
"Saudara-saudara sebaiknya kita cepat mengu-
burkan mayat Kang Birun. Kasihan, ia sudah tidak
punya sanak saudara lagi, kini ia pun menyusul mere-
ka...." kata Ki Sangga Wana memecah kerumunan itu.
Serempak pula para penduduk kampung itu
mengangkat jasad Kang Birun. Darah
masih berceceran ketika tubuh tanpa nyawa itu
di bawa pergi. Ki Sangga Wana mengikuti rombongan
itu. Beberapa penduduk kampung mengiringi lang-
kahnya.
"Sudah tujuh orang yang menjadi korban, Ki.
Kalau kita selamanya berdiam diri, lama-kelamaan
penduduk kampung ini habis semua." kata salah seo-
rang yang mengikuti Ki Sangga Wana.
"Itu memang sudah ku pikirkan, tapi siapa
yang sanggup melawan siluman keparat itu. Melihat
kematian dari para korban, tentulah siluman itu san-
gat ganas dan tak mengenal ampun. Satu-satunya ja-
lan kita harus meninggalkan kampung ini." jawab Ki
Sangga Wana.
"Itu bukan satu tindakan yang benar, Ki. Ba-
gaimanapun kita harus tinggal di sini. Bukankah desa
ini dulu tempat yang aman? Kita harus menyelidi-
kinya, mengapa desa ini terancam malapetaka."
Ki Sangga Wana diam seribu bahasa. Ia terus
melangkah mengikuti rombongan yang membawa ja-
sad Kang Birun. Bagi seorang kepala kampung me-
mang serba salah. Masalah apapun akan menjadi
tanggung jawab yang serius. Apalagi macam pembunuhan yang terjadi berturut-turut seperti ini. Sudah
tentu sebagai kepala kampung ia merasa panik. Ia su-
dah tidak bisa menenangkan warganya lagi. Setiap ma-
lam penduduk desa dilanda ketakutan. Pernah ada
seorang dukun mengatakan bahwa mereka harus
menggantungkan sebuah penangkal di atas pintu. Na-
mun usaha itu sia-sia saja. Malam itu kedapatan seo-
rang penduduk tewas dengan keadaan yang serupa
dengan Kang Birun. Esok malamnya pun, dukun itu
sendiri yang menjadi korban. Mereka bisa bilang apa.
Siapa yang bisa mengatasi pembunuh yang sama seka-
li tidak diketahui rupanya... Cuma tujuh orang yang
bisa tahu. Ketujuh orang itu pun kini telah terbujur
dalam liang kubur,
Beberapa orang yang menggali lubang untuk
jasad Kang Birun telah selesai, di tempat itu pula
mayat itu dimandikan serta dibekali serentetan doa
sebagai penghantar upacara pemakaman. Jauh dari
keramaian di balik semak-semak yang merimbun, so-
sok kuda putih bersama seorang penunggangnya men-
gawasi tanpa diketahui oleh siapapun. Penunggang
kuda itu sejak tadi mengawasi.
Sampai orang-orang kampung selesai mengu-
burkan mayat Kang Birun dan bubar meninggalkan
tempat itu, sosok yang di atas punggung kuda tetap
diam di balik semak.
"Kalian boleh mengira aku benar-benar me-
ninggalkan kampung ini. Bagaimana pun aku tidak bi-
sa tinggal diam. Nasib kalian sangat mengenaskan.
Mungkin dengan pura-pura pergi begini, aku bisa me-
nyelidiki Siluman apa kiranya yang menghantui desa
ini." kata Wintara dalam hati. Kedua matanya menero-
bos semak-semak menatap kepergian penduduk kam-
pung dari tanah pemakaman. Ia masih di situ sampai
tanah pekuburan betul-betul sepi.
*
* *
ENAM
Saat itu juga Sangga Wana menuruti kehendak
para penduduk kampung. Mereka bermaksud akan
berjaga malam secara bergiliran. Seluruh lelaki desa
itu dipecah menjadi dua bagian. Dua kelompok itu ber-
jaga-jaga tiap dua malam sekali. Sangga Wana menye-
tujui usul warganya, dengan harapan dapat memergoki
pelaku pembunuh yang secara berturut-turut datang
menghebohkan. Malam itu pun semenjak kematian
Kang Birun, kampung itu tidak nampak sepi lagi se-
perti sebelumnya. Sangga Wana memberi tugas pada
tiap-tiap orang, untuk menjaga rumah-rumah pendu-
duk berkeliling. Kepala kampung itu sendiri ikut repot
pentang mata. Suasana malam itu jadi ramai. Tiap-tiap
di halaman muka rumah dinyalakan pelita. Dari ke-
jauhan nampak berkelap-kelipan orang-orang yang
berjalan simpang siur memenuhi pelataran desa.
Semua mata memandang berkeliling mengawasi
ke segala sudut. Tempat-tempat yang biasanya gelap
kini dipasangi pelita. Mereka begitu bersemangat
meskipun udara cukup dingin. Sangga Wana nampak
berjalan mondar mandir.
"Sampai saat ini masih tenang-tenang saja, Ki.
Jangan-jangan siluman itu sudah tahu kalau kita ten-
gah mengepungnya di sini." Salah seorang warga da-
tang melapor. "Biar saja. Tapi kita harus tetap waspa-
da! Bagaimana keadaan di Utara dan Barat? Dari tadi
aku belum mendengar laporannya." kata Sangga Wa-
na.
"Aku lihat mereka tengah berjaga-jaga. Yang
lain berkeliling mengawasi tiap-tiap gubuk. Aku rasa
tidak ada apa-apa di sana." "Syukurlah! Aku harapkan
demikian untuk seterusnya."
Kembali Sangga Wana berkeliling mengawasi
tiap pelosok. Penduduk kampung pun sama gesitnya
mengawasi. Mereka siap dengan senjata yang tajam
mengkilap. Semak-semak yang dianggap mencuriga-
kan, habis terbabat. Apalagi mendengar suara-suara
aneh. Mereka langsung mengepung.
Bulan sabit menggantung di langit se bentar te-
rang sebentar gelap tertutup awan yang bergerak ter-
tiup angin. Suara binatang malam mengerik mengisi
suasana malam yang demikian dingin mencekam. Pada
tengah malam itu penduduk kampung sudah terlelap
dalam tidurnya. Hanya orang-orang yang tengah berja-
ga di luar yang masih mendengar pembicaraan mere-
ka. Sangga Wana sendiri sudah merasa lelah. Setengah
malaman ia berkeliling dan kini matanya mulai sepat.
Sangga Wana menghentikan langkahnya tepat
di depan gubuk Ni Klesung Rangit. Dua orang yang
mengawalnya ikut berhenti. Mereka berdua terus men-
gikuti ketika Sangga Wana duduk di balai yang ada di
depan gubuk.
"Ni Klesung Rangit, kami numpang beristirahat
sebentar di sini. Maaf kalau kami mengganggu." kata
Sangga Wana menghadap ke bilik. Tidak ada jawaban
kecuali suara dengkur yang saling susul. Pelita yang
tergantung di tiang menerangi tempat itu. Dan mereka
bertiga cukup santai duduk-duduk di atas balai.
"Sayang pendekar sakti itu telah pergi! Aku pun
sampai lupa menanyakan namanya." Sangga Wana
menghela nafasnya. Tubuhnya tersandar ke bilik.
Tapi aku sempat mendengar Dwi Langsih me-
manggil pendekar itu dengan nama: Wintara. Yah!
Mungkin namanya Wintara." jawab orang yang duduk
di sebelahnya.
"Padahal kalau kita mengijinkan ia tinggal di
sini, pendekar itu pasti mau." Orang yang satu lagi
ikut menimpali. Wajah Sangga Wana mendadak kecut.
"Yaaah aku memang salah tindak. Dan aku ti-
dak habis pikir, kenapa mayat Kang Birun tergeletak di
sini saat pengelana itu menginap di gubuk Ni Klesung
Rangit. Siapa yang tidak sengit! Kampung kita selalu
terjadi pembunuhan yang tidak masuk di akal sehat."
"Mungkin siluman itu sengaja mengkambing hi-
tamkan Wintara."
"Bisa jadi, Ki...."
Sangga Wana diam seribu bahasa. Kedua ma-
tanya memandang di kejauhan pada orang-orang kam-
pung yang bersiap siaga. Diam-diam ia menyesali keja-
dian tadi siang. Pikirannya melayang jauh, ia tidak lagi
mendengar dua orang yang duduk di sebelahnya ber-
cakap-cakap. Tapi mendadak saja lamunannya buyar.
Pintu bambu berderit panjang. Ketiga orang
yang duduk di balai langsung menoleh ke arah itu. Dwi
Langsih gadis lima tahunan keluar dari gubuknya.
namun setelah melihat ketiga orang yang duduk di
muka gubuk itu, ia tidak jadi melangkah.
"Langsih, ada apa malam-malam berani ke-
luar...?" tegur Sangga Wana. Dwi Langsih ketakutan.
Dua orang yang duduk di samping Sangga Wana ter-
senyum.
"Ada apa? Kok diam saja?" sapanya. "Langsih
mau buang air...." jawab gadis kecil itu.
"Ohhh... Kok sendirian. Kenapa tidak minta di-
antar Ni Klesung."
"E-e-e... Be-be-beliau...." Dwi Langsih tergagap.
"Kau anak yang baik. Tentunya kau tidak ingin
mengganggu tidur nenekmu, bukan? He he he he...
Tak apa. Paman justru mau mengantarkan kamu."
"Antarkan Langsih, Kunto. Jangan lupa mem-
bawa obor." perintah Sangga Wana. Seorang penga-
walnya yang bernama Kunto beranjak bangun dan
menyalakan obor dari bambu. Lalu lelaki itu menggen-
dong Dwi Langsih.
"Bersama Paman Kunto kau akan aman...." ka-
ta Sangga Wana lagi. Kunto membawa Dwi Langsih.
Sebentar saja mereka hilang dari pandangan Sangga
Wana yang menggeleng-geleng menatapnya.
Pintu gubuk tetap terbuka. Sangga Wana
bangkit berjalan dan menutup pintu bambu itu. Ia ti-
dak berani menatap ke dalam. Makin malam udara
makin dingin. Ketiga orang yang di atas balai mengu-
sap-usap kedua lengannya.
"Dingin?" sapa Ki Sangga Wana pada seorang
pengawalnya.
"I-iya, Ki... Mungkin kalau kita bawa berjalan-
jalan rasa dingin ini akan hilang."
jawab orang itu. "Kita tunggu Kunto. Setelah itu
kita berkeliling lagi." Sangga Wana menyodorkan kotak
bakaunya. Pengawal itu langsung membuka dan mem-
buat satu linting daun kawung. Ki Sangga Wana sendi-
ri ikut melinting.
"Sebaiknya Ki Sangga Wana tidak usah pentang
mata begini. Penduduk kampung cukup banyak yang
berjaga malam...." kata pengawalnya sambil menyulut
lintingan bakau.
Lalu ia menghembuskan asapnya kuat-kuat.
"Mana bisa begitu, Dun. Kita sudah sepakat
untuk berjaga secara bergiliran. Lagipula aku bertang-
gungjawab atas desa ini." Mardun terdiam mendengar
ucapan Ki Sangga Wana. Pikirannya melayang pada
anak istrinya di rumah. Mungkinkah mereka dapat ter-
tidur lelap tanpa dilanda ketakutan? Sementara sang
suami keluar selama satu malam berjaga berkeliling
dengan para penduduk lainnya. Bagaimanapun Mar-
dun tetap khawatir akan keselamatan keluarganya di
rumah.
"Lama betul Kunto mengantar Dwi Langsih. Pa-
dahal tempat buang air tidak jauh dari sini." ujar Ki
Sangga Wana. Mardun terkesiap.
"Coba kau susul mereka, Dun. Biar aku di sini
menjaga Ni Klesung Rangit." Mardun tidak bisa meno-
lak perintah kepala kampung. Ia membetulkan kain
sarungnya kemudian bangkit berdiri.
"Baik, Ki. Aku pun mulai khawatir pada mere-
ka." Mardun melangkah meninggalkan Ki Sangga Wa-
na yang masih duduk di balai. Langkahnya cepat ber-
lalu. Ia berpapasan dengan rekan-rekan sekampung
yang juga melaksanakan tugas di malam itu. Goloknya
terseron erat di pinggang.
Tanpa sebuah obor ia bisa melihat jalan ke
pinggir kali. Karena sepanjang jalan memang banyak
didirikan tiang-tiang yang digantungi sebuah lampu
pelita. Jalan menuju ke sana agak sedikit sulit. Di sa-
na sini banyak ditumbuhi semak-semak dan pepoho-
nan. Daun-daun pisang mulai nampak dibasahi oleh
embun. Manakala angin terus menerus berhembus
menusuk tulang. Mardun yang telanjang kaki terus
melangkah. Pelita yang berderet di atas tiang meneran-
gi jalannya. Letup api pelita bergoyang-goyang tertiup
angin. Mendadak saja angin berhembus kencang men-
deru-deru. Namun sebenarnya angin kencang itu
hanya dirasakan oleh Mardun.
Lelaki itu jadi ketakutan setengah mati. Lang-
kah-langkahnya jadi kian lambat. Pendengarannya se-
rasa berdenging nyaring memecahkan gendang telinga.
Kedua mata Mardun terbelalak saat ia melihat
sosok tubuh melompat-lompat mengelilinginya. Sosok
tubuh itu nampak kurus kering berkulit hitam dengan
rambut putih seperti kapas. Rongga matanya nampak
besar memerah. Mardun berdiri gemetar melihat sosok
menyeramkan itu.
Dengan mengeluarkan suara yang sangat aneh,
sosok itu menerjang. Mardun tidak sempat menghin-
dari sergapan yang demikian cepatnya. Tahu-tahu saja
lengan hitam bergerak menghantam keras di atas ba-
tok kepala. Darah pun menyembur bagai air mancur.
Dan sosok hitam itu tidak membiarkan darah terge-
nang. Mardun sendiri tidak sempat berteriak lagi saat
nyawanya hampir putus.
Tubuh Mardun masih kelojotan. Saat itupun te-
lapak tangan legam menghantam sampai kelima ja-
rinya menembus pada batok kepala itu. Kulit serta
rambutnya terkelupas. Dari situ sosok mengerikan
menyedot habis darah dan isi kepala Mardun.
*
* *
"Wuaaaaaa...!" Jeritan itu mengagetkan seluruh
penduduk kampung yang tengah berjaga-jaga. Terle-
bih-lebih pada diri Ki Sangga Wana. Ia langsung bang-
kit dari atas balai. Seluruh peronda malam pating se-
rabut berlarian ke arah suara teriakan. Ki Sangga Wa-
na cepat memburu menyusul mereka.
"Cepat, Ki! Aku mendengarnya dari arah pinggir
kali... Cepat!"
"Astaga...! Mardun dan Kunto ada di sana!" pe-
kik kepala kampung. Larinya cepat menyusul orang-
orang yang berlarian ke arah kali. Semuanya menero-
bos pohon tanpa peduli. Senjata-senjata mereka siap
mengacung.
"Cepat! Siluman laknat itu pasti di sana! teriak
salah seorang yang berlari paling depan. Mereka memang sedang menunggu-nunggu kesempatan itu. Se-
karanglah saatnya menunjukkan kemarahan mereka.
Tapi sesampainya di pinggir kali mereka semua ben-
gong melompong bercampur ngeri. Mereka tidak meli-
hat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah.
"Kunto apa yang terjadi?" tanya Ki Sangga Wa-
na sesampainya pada kerumunan itu. "Entahlah... Aku
menemukannya tergeletak di sini." jawab Kunto keta-
kutan. Ki Sangga Wana maju ke tengah mendekati se-
sosok mayat. Mengerikan sekali. Tubuh Mardun nam-
pak biru dan di atas kepalanya berlubang sebesar tela-
pak tangan.
"Kita terlalu lengah. Mardun korban yang kede-
lapan. Cepat menyebar...! Siluman itu pasti masih ada
di sekitar sini!" Ki Sangga Wana memberi perintah.
"Kita berpencar. Awas jangan terpisah dengan
yang lain...." Mereka menyebar.
"Kalau ketemu langsung saja cincang!" teriak
mereka ramai. Beberapa orang tetap tinggal bersama
Ki Sangga Wana membereskan mayat Mardun. Dwi
Langsih ketakutan. Ia memegangi ujung baju Kunto.
Melihat itu Ki Sangga Wana mengelus-elus rambut
kemudian menggendongnya.
"Kau tidak perlu takut, Langsih. Penduduk
kampung sedang mencari siluman itu. Malam ini pasti
tertangkap." bujuk Sangga Wana. Dwi Langsih diam.
Kunto ikut menggotong mayat Mardun. Mereka mem-
bawanya ke perkampungan.
"Mungkin nenekmu sudah cemas menunggu...
Kau sendiri tidak apa-apa, bukan? Dwi Langsih meng-
geleng. Ia tetap dalam gendongan Ki Sangga Wana
yang melangkah cepat menuju keramaian.
Keadaan desa jadi gaduh. Orang-orang yang
tengah pulas tertidur mendadak bangun dan keluar
dari gubuknya masing-masing. Mereka semua ketakutan. Istri Mardun langsung pingsan setelah mendengar
kabar dari para penjaga malam.
"Langsih...! Langsih...!" Ni Klesung Langit me-
langkah menggapai-gapai kedua tangannya. Semua
orang tidak perduli. Tapi saat Ki Sangga Wana meli-
hatnya, ia langsung melangkah menemuinya.
"Langsih tidak apa-apa, Ni... Ia bersama ku."
kata Ki Sangga Wana menurunkan Dwi Langsih. Bocah
itu meluruk lari memeluk nenek buta Ni Klesung Ran-
git.
"Neeeeek...!"
"Kepala kampung tak tahu diuntung! Kau ham-
pir saja mencelakakan cucuku!" hardik Ni Klesung
Rangit. Mendengar perkataan yang demikian, Ki Sang-
ga Wana naik pitam.
"Justru kau yang sengaja mencelakakan cucu
mu sendiri, Ni Klesung Rangit. Kau membiarkan cu-
cumu keluar malam sendirian. Bagaimana kalau sam-
pai terjadi sesuatu padanya? Apakah kau juga akan
menyalahkan aku?" Ki Sangga Wana membentak.
Bibir Ni Klesung Rangit bergetar menampakkan
kemarahan yang luar biasa. Kedua matanya yang buta
tertutup rapat oleh kelopak mata, seperti melotot hen-
dak keluar dari rongganya.
*
* *
TUJUH
Setelah menggeram Ni Klesung Rangit menarik
lengan Dwi Langsih.
"Kembali ke gubuk, Langsih! Jangan mencam-
puri urusan para pahlawan yang sok jago. Chis!" Ni
Klesung membuang ludah di hadapan Ki Sangga Wa-
na. Kepala kampung itu berusaha acuh meskipun ia
merasa terhina. Penduduk kampung memaklumi akan
perangai Ni Klesung Rangit. Mereka hanya memperha-
tikan sampai nenek dan cucu itu masuk ke dalam gu-
buknya. Setelah itu pun mereka sibuk kembali menca-
ri-cari sosok yang mencurigakan.
Semua penduduk keluar dari gubuknya. Mere-
ka berkumpul dalam satu lapangan yang cukup besar.
Semuanya bergidik setelah melihat mayat Mardun. Me-
reka menimbulkan suara yang sangat ribut dan mem-
bisingkan. Apalagi semua keluarga Mardun yang tidak
rela akan kematiannya.
"Kalian tenang! Tenang!" Ki Sangga Wana beru-
saha menenangkan mereka, namun para penduduk
kampung makin kalang kabut.
"Kalau kalian begini terus bagaimana kita bisa
mendapatkan siluman itu? Diam! Kalian bisa tenang
atau tidak!"
Bagaimana pun bentakan kepala kampung tak
digubrisnya. Para penduduk makin takut dan semakin
ribut. Penjaga-penjaga malam berkeliling bersiap-siap
dengan senjata. Lampu-lampu obor dinyalakan mem-
buat kampung itu menjadi terang seketika. Sampai
saat itu mereka belum menemukan apa-apa. Tapi
mendadak saja mereka kaget semua.
"Rowok Tunggel kau tidak perlu mengikutiku!
Pergi! Pergi! Kau sudah menyembelih kudaku...!" Tiba-
tiba saja terdengar seorang berteriak-teriak. Orang-
orang kampung terlolong melihat seseorang berlari
kencang. Di belakangnya seorang lelaki telanjang dada
mengejarnya.
"Aku tidak mau! Kalian siluman jahat!" teriak
lelaki yang berlari di depan. Mereka tidak lain dari
Umbara Komang dan Rowok Tunggel. Mereka berdua
tidak menyadari kalau saat itu sudah memasuki per-
kampungan orang. Umbara Komang sendiri tersentak
kaget disambar petir saat melihat orang-orang yang
berkerumun di hadapannya. Apalagi orang-orang itu
mengacung-acungkan senjata mereka.
"Mati aku! Rupanya aku terkepung." Umbara
Komang menghentikan larinya. Rowok Tunggel masih
jauh tertinggal. Melihat begitu banyak orang menga-
cungkan senjata, Umbara Komang berlari ke arah lain.
Tapi justru tindakannya itu membuat orang-orang
kampung jadi curiga. Maka...
"Kepung mereka! Dan tangkap mereka hidup-
hidup!" perintah kepala kampung. Lalu semua orang
yang ada di situ langsung menyerbu Umbara Komang.
Begitu juga dengan Rowok Tunggel. Ia tidak mengerti,
tahu-tahu saja puluhan orang bersenjata mengha-
dangnya. Mereka memang tidak langsung menyerang,
tapi cukup membuat Rowok Tunggel jadi panik. Ma-
kanya begitu orang-orang itu mendekat, Rowok Tung-
gel melancarkan hantaman-hantaman kepada orang
yang menghalangi langkahnya.
Ki Sangga Wana sang kepala kampung sampai
turun tangan. Dia sengaja tidak mengeluarkan keris.
Karena dengan tangan kosong pun ia bisa menahan
serangan-serangan Rowok Tunggel yang selalu menja-
tuhkan orang-orang kampung.
Sebenarnya dalam hal ini Rowok Tunggel mem-
bela diri dari kepungan puluhan orang. Tapi Ki Sangga
Wana telah mengira orang asing itu bermaksud kurang
baik dan bersangkutan dengan kematian Mardun dan
korban-korban sebelumnya.
Untuk itulah Ki Sangga Wana mengerahkan se-
luruh tenaganya menghalangi setiap gerakan-gerakan
Rowok Tunggel. Menghadapi orang yang cukup memi-
liki ilmu, Rowok Tunggel sulit menyingkirkan orang
orang yang datang menghadang. Sampai mereka saling
berhadapan, lelaki telanjang dada itu seperti kewala-
han.
Hantaman-hantaman Ki Sangga Wana hampir
mengenai bagian kepala dan dadanya. Rowok Tunggel
berusaha menghindarinya walaupun sekeras apa han-
taman itu. Laki-laki telanjang dada itu harus melompat
ke sana ke mari menghindari babatan-babatan senjata
yang membabi buta mengarah ke tubuhnya. Manakala
serangan-serangan Ki Sangga Wana begitu gencar
mengikuti ke mana Rowok Tunggel bergerak.
Gerakan Ki Sangga Wana sangat cepat, begitu
juga dengan Rowok Tunggel yang sudah menyadari
adanya seseorang yang mengikuti. Tapi ia tidak perdu-
li. Ia lebih ngeri menghadapi orang-orang yang bersen-
jata. Saat itulah ia tidak sempat lagi menghindari pu-
kulan Ki Sangga Wana yang menghantam membuatnya
jatuh. Sudah tentu semua orang kampung yang meli-
hat lelaki itu jatuh langsung mengepung. Senjata-
senjata mereka siap merencah. Tapi sebelum senjata-
senjata itu menghujani, Rowok Tunggel salto ke bela-
kang. Nafasnya tersengal-sengal masih menahan sakit
akibat hantaman Ki Sangga Wana tadi.
"Tunggu! Aku menyerah! Aku menyerah!" Ro-
wok Tunggel mundur-mundur, tapi ia masih sanggup
menepiskan beberapa senjata yang mencecar ke arah-
nya.
"Kalian ini siapa? Kenapa kalian tiba-tiba saja
menyerang?" Rowok Tunggel melompat mundur.
"Jangan banyak bicara! Ringkus saja manusia
busuk itu!" Orang-orang kampung semakin gencar
menyerang. Ki Sangga Wana melepaskan jurus-jurus
maut mematahkan pertahanan Rowok Tunggel.
"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak kepala kam-
pung penuh semangat.
Sementara itu orang-orang yang mengepung
Umbara Komang berpentalan satu demi satu. Bersa-
maan dengan itu pula teriakan Umbara Komang meng-
gelegar. Nampak jelas sekali gerakan-gerakan kedua
lengan Umbara Komang yang menghantam jatuh la-
wan-lawannya. Orang-orang yang telah jatuh itu tak
dapat bangkit lagi, karena mereka semuanya menga-
lami patah tulang.
Senjata-senjata mereka tidak berarti sama se-
kali. Umbara Komang dapat dengan mudah menghin-
dar dan membalas serangan.
"Kebetulan! Kebetulan sekali aku dapat mene-
mukan gudang siluman! Hua ha ha ha... Aku paling
gatel melihat siluman-siluman tengik macam begini.
Heaaaaa!" Umbara Komang memutar sebelah lengan-
nya maka empat orang sekaligus bergulingan sambil
menjerit karena tulang kaki mereka terkilir.
"Biar langit runtuh! Biar bumi bergoncang!...
Aku tidak takut!" Umbara Komang teriak-teriak. Sua-
ranya berbareng dengan teriakan orang-orang yang ja-
tuh bergulingan. Dan ia cukup puas akan tindakan-
nya. Tawanya terkekeh-kekeh.
"Rasain! Biar kalian pada pedok! Pada pencot!
Hih! Hih!" Lelaki senewen itu memandangi orang-orang
itu dengan sapuan kakinya yang memutar berkali-kali.
Kontan semua lawannya meringis sambil berjingkat-
jingkat. Sebentar saja para pengeroyoknya itu berku-
rang banyak, dan mereka jadi ragu-ragu untuk maju
lagi.
Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi
amukan Umbara Komang. Laki-laki senewen itu selalu
dapat membalas di saat mereka melancarkan seran-
gan. Sampai saat itu pun senjata-senjata mereka yang
tajam berkilat tidak mampu menyentuhnya. Gerakan
Umbara Komang yang nampak asal asalan itu justru
membawa maut bagi orang yang coba-coba mendekat.
Semuanya dibuat tunggang langgang.
Di lain pihak, Rowok Tunggel nampak berlari-
lari menghindari kejaran Ki Sangga Wana dan kepun-
gan orang-orang kampung. "Wuaaa... Rowok Tunggel.
Gara-gara kau, aku jadi ikut-ikut sial!" kata Umbara
Komang yang melihat lelaki telanjang dada itu berlari
ke arahnya.
"Sekarang kau seorang pemimpin. Bagaimana
pun kau tidak bisa meninggalkan kami di Pedalaman
Lereng Ungaran!" jawab Rowok Tunggel. Tidak henti-
hentinya ia menoleh ke belakang. Ki Sangga Wana mu-
lai mencabut kerisnya.
"Jangan banyak omong! Awas di belakang mu
biang siluman akan menikam." bentak Umbara Ko-
mang, ia cepat menarik tubuh Rowok Tunggel. Keris Ki
Sangga Wana berkelebat nyaris merobek pinggang.
"Hati-hati, Komang. Orang yang satu ini luar
biasa!"
*
* *
Ah! Peduli amat!" jawab Umbara Komang. Tu-
sukan-tusukan keris dihadapinya. Tubuhnya yang len-
tur bergerak ke sana ke mari seakan mengejek. Sudah
tentu membuat Ki Sangga Wana makin kalap. Orang-
orang kampung yang bermaksud datang membantu
kepala kampung itu dihadapi oleh Rowok Tunggel.
Tanpa Ki Sangga Wana, lelaki telanjang dada itu dapat
menghalau para pengeroyok. Ia masih belum mengerti
kenapa orang-orang kampung bertindak membabi buta
macam itu.
Tapi bagi Rowok Tunggel yang berpikiran pan-
jang, ia sengaja betul-betul tidak menyakiti orang
orang itu. Setiap hantamannya membuat mereka ter-
guling atau mundur. Kalau Rowok Tunggel mau, ia bi-
sa merebut senjata mereka dan menghabisi mereka sa-
tu persatu.
Bagi Umbara Komang lain lagi. Laki-laki sene-
wen itu tidak pandang bulu. Siapapun yang datang
melancarkan serangan padanya, ia tidak segan-segan
membalas dengan hantaman yang paling dahsyat. Un-
tuk itulah Ki Sangga Wana harus kewalahan mengha-
dapinya. Tapi bagi seorang kepala kampung pantang
untuk menyerah atau mundur. Ia semakin gigih me-
lancarkan babatan-babatan serta tusukan keris. Um-
bara Komang yang sendiri tadi melayani hanya memu-
tar-mutar kedua lengan dengan sesekali berlompat.
Dan mendadak sekali tubuh Ki Sangga Wana ter-
huyung ke belakang. Dadanya terasa sakit dan ia tidak
tahu kapan hantaman itu datang. Yang lebih menge-
jutkan lagi, keris milik Ki Sangga Wana telah berpin-
dah tangan pada Umbara Komang. "Hak hak hak
hak...! Kau pikir senjata butut ini mampu melumpuh-
kan kesaktianku? Jangan mimpi, Biang Siluman! Ka-
lau bukan angin raksasa dan badai pasir tidak ada
yang bisa mengalahkan ku! Kau baru jadi biang silu-
man sudah sok main keroyok. Nih! Kukembalikan sen-
jata taik kucingmu!" Umbara Komang melemparkan
keris itu ke hadapan Ki Sangga Wana yang masih he-
ran. Keris itu menancap tepat di atas permukaan ta-
nah. "Ayo ambil! Aku tidak butuh pusaka butut! Hak
hak hak hak...!" tawa Umbara Komang menggelak-
gelak. Perutnya sampai tergoyang-goyang.
Ki Sangga Wana hanya memandangi laki-laki
bertingkah aneh itu. Ia seperti tidak percaya ketika
melihat Umbara Komang berlalu dengan acuh. Kenapa
orang ini tidak menghisap darahnya? Atau melubangi
kepala Ki Sangga Wana?
"Hai, Siluman senewen! Kau pikir bisa pergi be-
gitu saja? Tinggalkan dulu nyawamu di sini!" bentak Ki
Sangga Wana. Ia mengejar dengan langkah yang san-
gat cepat menyusul Umbara Komang berjalan tenang.
"Mampus!" Ki Sangga Wana menerjang dengan
tusukan keris. Tanpa menoleh Umbara Komang sudah
mencium adanya serangan gelap dari arah belakang.
Maka ia segera bergeser ke samping. Ki Sangga
Wana mengarahkan kerisnya ke tempat kosong. Ber-
samaan dengan gerakan itu Umbara Komang melan-
carkan hantamannya... "Bug!" Ki Sangga Wana yang
hampir jatuh tambah ngusruk mencium tanah.
Umbara Komang mengekeh. Bibirnya mencibir
monyong dengan kedua mata yang terbelalak. Kepala
kampung itu meringis berusaha bangkit.
"Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang!
Sekali lagi kau menyebutku siluman, lidahmu akan ku
tarik ke luar! Jangan plintat plintut begitu! Aku lagi se-
rius!" Lelaki senewen itu tolak pinggang berjalan men-
gelilingi Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu balas
menatap dengan geram. Lalu dengan teriakan lantang
ia julurkan ujung kerisnya yang setajam mata pedang.
Sinar keemasan membersit ke arah lelaki yang berjalan
mengelilinginya. Tapi secepat kilat pula Umbara Ko-
mang dapat menangkap pergelangan tangan Ki Sangga
Wana. Bahkan melintirnya... "Aaaaarght!" Keris ber-
warna keperakan terlepas.
Mendadak saja Umbara Komang melepaskan
cengkramannya. Bibirnya yang rada monyong men-
ganga lebar. Ki Sangga Want yang nampak meringis
sempat tersentak kaget. Cepat-cepat ia meraih keris-
nya yang tergeletak di tanah. Mengapa tidak? Dari
arah lain puluhan orang bertelanjang dada berlarian
memasuki desa itu. Mereka bersenjatakan panah dan
golok terhunus sepanjang lengan.
"Rowok Tunggel...! Umbara Komang...! Kami da-
tang!" teriak orang-orang itu.
Melihat Rowok Tunggel terkepung macam itu,
tentunya orang-orang telanjang dada tidak tinggal di-
am. Sebagian dari orang-orang yang bersenjata parang
maju mengempur. Yang lain menyebarkan anak-anak
panah.
"Jangan...! Jangan serang mereka!" teriak Ro-
wok Tunggel. Ia menerobos kepungan orang-orang
kampung. Tapi teriakan itu tidak didengar sama sekali.
Keadaan makin riuh. Teriakan Rowok Tunggel tengge-
lam dalam kegaduhan malam itu. Rowok Tunggel cu-
kup mengerti kemarahan orang-orang suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Tapi dengan cara seperti itu tentunya
akan banyak memakan korban. Manakala anak-anak
panah melesat deras seperti air hujan meluruk ke arah
para penduduk kampung yang mulai sadar akan keda-
tangan puluhan tamu tak di undang.
Di balik dentingan senjata beradu dan desiran
angin, batang-batang anak panah. Sosok tubuh me-
layang berjumpalitan di udara. Kedua lengannya sigap
menangkapi batang-batang anak panah. Sosok itu be-
gitu cekatan dan cukup berani menentang derasnya
hujan panah. Rowok Tunggel
yang melihatnya langsung mengikuti cara itu.
Tubuhnya segera melesat dan harus melompat-lompat
menyambar tiap-tiap batang anak panah. Melihat ke-
munculan Rowok Tunggel, mereka mengurangi seran-
gan anak panah. Mereka tidak ingin lelaki telanjang
dada itu kena sasaran.
*
* *
DELAPAN
Dua lelaki masih berjumpalitan, kedua lengan
mereka sigap menyambar lesatan-letatan anak panah.
Saat itu pun mereka saling pandang. Diam-diam Ro-
wok Tunggel menatap kagum terhadap seorang pemu-
da yang mengenakan baju bulu binatang. Dan begitu
keduanya hinggap di tanah. Pasukan telanjang dada
menghentikan serangan panahnya.
Orang-orang itu mendekati Rowok Tunggel.
Penduduk kampung tidak ada yang berani mendekat.
Kecuali Ki Sangga Wana. Rupanya ia masih mengenali
pemuda yang baru datang itu. Ia segera melompat me-
ninggalkan Umbara Komang. Lelaki senewen itu tidak
mau kalah cepat. Tubuhnya yang lentur berjumpalitan
mendahului langkah-langkah Ki Sangga Wana. Dan
tahu-tahu saja mendarat di hadapan pemuda yang
mengenakan baju bulu binatang.
"Dewa!" Suara Umbara Komang keras menyapa.
Orang yang disebut dewa tidak lain Wintara adanya.
Pendekar Kelana Sakti itu seakan tidak percaya meli-
hat Umbara Komang kini berdiri di hadapannya.
"Ha ha ha ha... Dunia betul-betul sempit. Da-
lam keadaan seperti ini pun kita bisa ketemu lagi...."
Umbara Komang langsung memeluk Wintara.
"Aku pikir kau sudah terkubur hidup-hidup
oleh badai pasir!" tawa Wintara menggelegak. Mereka
berpelukan. Ki Sangga Wana maupun orang-orang
kampung keheranan.
"Tidak salah! Tidak salah apa yang kau kata-
kan, Dewa! Kalau saja Rowok Tunggel tidak keburu
menyelamatkan aku, mungkin sudah jadi setan gen-
tayangan." Suara Umbara Komang lepas.
"Mana mungkin kau bisa jadi setan gentayan
gan! Kalau jadi setan gila, aku baru yakin... Ha ha ha
ha ha...!" "Ha ha ha ha ha...!"
"Anak muda." teguran Rowok Tunggel meng-
hentikan tawa mereka. "Untung kau cepat datang.
Orang-orangku dan penduduk desa ini nyaris berpe-
rang. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang telah
terjadi di sini. Tiba-tiba saja mereka menghadang dan
menyerang kami...." tutur Rowok Tunggel.
"Bagaimana kami tidak menyerang. Kalian ber-
dua datang di tengah malam begini, gasak gerusuk se-
lagi kampung ini tengah terjadi sesuatu. Coba saja li-
hat, semua penduduk masih merasa ketakutan." Ki
Sangga Wana membela diri.
"Apalagi yang terjadi di sini, Ki?" tanya Wintara.
"Malam ini telah jatuh seorang korban." jawab
kepala kampung itu cepat.
"Korban yang sama seperti Kang Birun?" Winta-
ra meyakinkan. Ki Sangga Wana mengangguk. Bersa-
maan dengan itu pula mayat Mardun diusung ke tem-
pat terang. Penduduk kampung ikut mengiringi. Rowok
Tunggel mengeryitkan alis memandang iring-iringan
itu. Umbara Komang dan Wintara ikut melihat. Bagi
Wintara sudah tidak heran lagi melihat korban kehabi-
san darah dengan kepala bolong sebesar telapak tan-
gan. Tapi,
"Astaga...! Tunggu dulu!" Rowok Tunggel mena-
han iring-iringan itu. Maka orang-orang yang mengu-
sung mayat Mardun berhenti penuh ketakutan. Apala-
gi saat Rowok Tunggel mendekat. Kedua matanya tidak
berkedip. Malah membelalak.
"Sudah berapa orang yang tewas seperti ini?"
tanya Rowok Tunggel dengan suara gemetar. Ia tidak
berani menyentuh mayat itu.
"Untuk malam ini genap delapan orang! Silu-
man penghisap darah itu memang selalu mengambil
korban di sini. Itu yang membuat kami kalut." Ki
Sangga Wana yang menjawab.
"Ini bukan perbuatan siluman atau sebangsa
setan lainnya." Rowok Tunggel yakin sekali. Wintara
dan Ki Sangga Wana menatap tajam. Mereka menung-
gu ucapan Rowok Tunggel.
"Kalau kalian percaya, ini perbuatan seseorang
yang tengah menggenapi ilmunya. Dengan darah dan
isi kepala baru bisa sempurna. Delapan nyawa belum
cukup menyempurnakan 'Ilmu Gelugut Manik'...." tu-
tur Rowok Tunggel.
"Harus berapa nyawa lagi yang perlu di ambil
dari desa ini!" Ki Sangga Wana geram setelah menden-
gar penjelasan laki-laki berewok telanjang dada.
"Orang itu masih membutuhkan empat nyawa
lagi."
Mendengar ucapan Rowok Tunggel, orang-
orang kampung merinding dan semakin ciut. Bagai-
mana pun ucapan itu menghantui setiap orang. Sam-
pai saat ini siluman tersebut belum juga ditemui, da-
tang dan perginya selalu meninggalkan korban. Siapa
yang bisa mengatasinya.
Sementara itu Ni Klesung dan Dwi Langsih
mendengar kegaduhan itu dari dalam gubuknya. Me-
reka memang belum bisa memejamkan mata sejak ke-
gaduhan itu
"Nek, Paman Wintara datang lagi ke sini. Pasti-
lah siluman itu akan tertangkap." Dwi Langsih yang
sudah mengenali suara Wintara yakin akan kedatan-
gan Pendekar Kelana Sakti. Wajahnya berseri.
"Hus! Anak kecil tahu apa! Tidur sana!" bentak
Ni Klesung Rangit. Gadis kecil itu mengkerut langsung
beranjak ke sudut ruangan.
"Sampai kapan pun mereka tidak akan sanggup
menangkap siluman itu!"
Di luar keadaan semakin ramai. Apalagi ditam-
bah dengan puluhan orang-orang bersenjata panah.
Membuat tempat itu penuh sesak. Penduduk kampung
yang terluka di seret ke pinggir. Untunglah tidak sam-
pai korban nyawa.
"Terus terang 'Ilmu Gelugut Manik' salah satu
ilmu kesempurnaan tingkat tinggi yang dimiliki Suku
Pedalaman Bangsa Bajor. Tapi sampai saat ini belum
ada orang yang sanggup menguasainya." kata Rowok
Tunggel.
"Nampaknya kau tahu persis siapa pelaku
pembunuhan ini, Sobat. Apa yang membuat kau begitu
yakin?" Ki Sangga Wana penasaran.
"Karena aku dan orang-orang itu para penghuni
Lereng Ungaran. Boleh dibilang penduduk asli Suku
Pedalaman Bangsa Bajor." Rowok Tunggel menjawab
mantap.
"Kalau begitu...." Ki Sangga Wana menerjang
lagi. Kerisnya siap menikam. Tapi cepat Wintara me-
nahan.
"Sabar, Ki... Kita tidak boleh asal tuduh. Semua
yang diucapkannya hanyalah penjelasan." Wintara
berdiri di tengah-tengah. Umbara Komang nyengir. La-
lu...
"Rowok Tunggel bukan siluman! Tapi dia seo-
rang dukun yang hebat. Ilmu yang dikuasainya hanya
bisa menyembuhkan orang-orang sekarat."
"Benar! Dan sekarang yang memimpin kami
adalah Umbara Komang. Untuk itulah aku mengejar-
nya, karena dia lari dari sumpah Suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Orang yang telah disumpah menjadi
pemimpin tak boleh mengelak."
"Kau dengar, Ki... Aku rasa sekarang sudah je-
las persoalannya." Wintara menepuki punggung Ki
Sangga Wana. Amarahnya belum juga reda.
"Orang-orang kampung yang terluka biarlah
kami yang akan mengobati. Kalau hanya patah tulang
atau terkilir, kami bisa mengatasi."
"Kumpulkan saja mereka yang terluka. Mudah-
mudahan saja sobat kita ini bisa menyembuhkannya."
tutur Wintara. Ki Sangga Wana menatap penduduk
kampung yang penuh ketakutan itu. Lalu setelah ia
memberi aba-aba. Beberapa orang yang nampak segar
bugar membantu mengumpulkan teman-temannya
yang terluka. Banyak juga yang terluka dan menge-
rang-ngerang menahan sakit.
Rowok Tunggel sendiri memilih orang-orangnya
dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Enam orang yang
betul-betul dianggapnya bisa mengobati luka patah
atau sejenisnya. Keenam orang itu menunjukkan sikap
yang bersahabat. Penduduk kampung tidak takut lagi.
Mereka menuruti apapun perintah keenam orang pili-
han Rowok Tunggel.
"Yang lain boleh kembali ke gubuk, tidak akan
terjadi apa-apa lagi di sini...." perintah Rowok Tunggel.
"Karena pembunuh itu hanya memerlukan satu nyawa
setiap malamnya."
"Turuti saja perintahnya. Rowok Tunggel selalu
berkata benar." sumbar Umbara Komang. Kata-kata
itu ditujukan pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung
itu hanya diam. Keputusannya ada pada tiap-tiap pen-
duduk desa. Nyatanya mereka tidak ada yang mau
menuruti, mungkin dikarenakan masih ketakutan.
Rowok Tunggel tak bisa berbuat banyak. Wintara men-
dekati kepala kampung...
"Untuk sementara biarkan saja orang-orang pe-
dalaman tinggal di sini. Aku rasa ada baiknya. Desa ini
butuh pertolongan orang banyak."
"Mereka akan tinggal di mana? Jumlah mereka
begitu banyak. Mana mungkin bisa menampung orang
sebanyak ini." jawab Ki Sangga Wana.
"Kami sudah terbiasa hidup di alam terbuka.
Kalau tidak keberatan, biarkan saja kami berkeliaran
di sini...." Rowok Tunggel menimpali. Entah karena apa
tiba-tiba saja ia ingin menetap di desa itu. Mungkin
karena salah seorang yang menyempurnakan 'Ilmu Ge-
lugut Manik' selalu mengambil korban di situ. Yang ia
ketahui "Ilmu Gelugut Manik' hanyalah ilmu yang be-
rasal dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Sejenis ilmu
sesat. Dia sendiri tidak mau menguasai ilmu itu. Dulu
memang banyak para tetua suku Bajor yang mengua-
sai ilmu itu. Tapi menurut sepengetahuannya 'Ilmu
Gelugut Manik' sudah punah beberapa puluh tahun
yang lalu, karena seluruh tetua itu sadar akan ilmu
yang tidak dibenarkan. Maka mereka pun bunuh diri.
Yang pada sekarang tinggal generasi Rowok Tunggel.
"Untuk mereka boleh tinggal berkeliaran di
luar. Tapi aku tidak." Tiba-tiba saja Umbara Komang
menyela.
"Kenapa... Bukankah sekarang kau ketua Suku
Pedalaman Bangsa Bajor? Kau harus memimpin mere-
ka." jawab Wintara.
"Aduh, Dewa... Aku paling tidak tahan kantuk
dan lapar. Bagaimana aku bisa bertahan hidup di luar
sepanjang hari." Umbara Komang hampir menangis.
"Pendekar macam apa kau ini. Terhadap badai
angin dan pasir kau tahan. Masa hanya begadang be-
berapa malam saja kau tidak sanggup. Jangan khawa-
tir Umbara Komang, aku akan menemanimu... Juga
bapak kepala kampung akan bersama-sama kita
menghadapi siluman itu." Wintara memberi semangat.
"Benar, Umbara Komang... Kau sebagai ketua
kami semestinya bertindak, jangan sampai 'Ilmu Gelu-
gut Manik' tercipta. Kalau sampai orang itu menguasai
ilmu itu, maka kita semua tidak akan lagi dapat mengatasinya." ujar Rowok Tunggel.
"Terserah kalian saja! Pokoknya aku tidak mau
sampai kelaparan." jawab Umbara Komang. Wintara
tersenyum. Ia merangkulnya berjalan menghadap Ki
Sangga Wana.
"Namanya Umbara Komang. Maafkan saja ka-
lau bicaranya rada ngaco. Kadang-kadang otaknya ra-
da miring." Wintara memperkenalkan sahabat lamanya
itu pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu tidak
ragu-ragu lagi.
"Lalu kau sendiri siapa, Anak muda. Ilmu yang
kau miliki sangat luar biasa!" tanya Rowok Tunggel.
Saat itu suasana desa sudah tenang kembali. Yang
terdengar hanya kasak kusuk beberapa penduduk
kampung dan erangan orang-orang yang terluka.
"Aku hanya seorang pengelana. Namaku Winta-
ra. Anda Rowok Tunggel, bukan? Ilmu peringan tu-
buhmu pun sangat hebat."
“Sekarang kalian menjadi tamu-tamu kami ini.
Adalah wajar kalau kami bermaksud menjamu kalian."
kata Ki Sangga Wana.
"Itu bisa menyusul. Yang penting kita urus du-
lu mayat itu." sela Wintara.
Penduduk kampung memang sudah mengurusi
jenasah Mardun. Meskipun tidak dibungkus dengan
kafan, kain sarung pun bisa digunakan. Mayat itu di
letakkan di tempat yang lebih terang. Terdengar pula
beberapa orang membacakan doa. Para penduduk Su-
ku Pedalaman Bangsa Bajor hanya terdiam meman-
dangi adat itu.
"Biar saja orang-orang itu yang mengurus, toh
kita menguburkannya besok. Lagi pula tanah pema-
kaman jauh dari sini. Bukankah katamu tadi siluman
itu tidak bakal datang lagi? Sebaiknya kalian datang ke
rumah ku. Mungkin ada satu rencana yang akan dibicarakan." Ki Sangga Wana mengundang. Ketiga orang
itu tidak bisa menolak, mereka pun mengikuti lang-
kah-langkah kepala kampung.
Rumah gedung itu terletak tidak jauh dari situ.
Meskipun dengan beberapa lampu gembreng, bangu-
nan berwarna serba putih itu nampak terang. Setelah
Ki Sangga Wana mengetuk pintu berkali-kali, maka pe-
rempuan setengah tua keluar membukakan. Perem-
puan itu tidak lain istri Ki Sangga Wana. Ia terheran-
heran melihat suaminya pulang dengan tiga orang ber-
pakaian sangat lusuh. Terlebih-lebih saat melihat Ro-
wok Tunggel yang wajahnya hampir tertutup oleh be-
rewok. Terhadap lelaki yang tidak mengenakan baju,
istri Ki Sangga Wana merinding.
Ruangan tamu cukup besar, isinya pun dileng-
kapi dengan perabotan yang bagus-bagus. Mungkin
hanya Ki Sangga Wana orang terkaya di desa itu. Ma-
kanya ia terpilih menjadi kepala kampung.
Lapat-lapat tercium bau kemenyan. Umbara
Komang yang sedari tadi mencium bau itu mengendus-
endus hidung. Wintara sedari tadi pun sudah merasa.
Hanya Rowok Tunggel yang nampak tenang-tenang sa-
ja.
Rupanya bau kemenyan itu berasal dari salah
satu yang diterangi dengan sebuah lampu pelita.
Asapnya masih mengepul keluar. Bara api di pendu-
paan masih marong. Ki Sangga Wana memasuki ruan-
gan itu. Ketiga orang yang dibawanya mengikuti ma-
suk ke dalam ruangan. Maka mereka melihat setum-
pukan sesajen yang mengampar di sekitar pendupaan.
Mendadak saja Ki Sangga Wana menendangi sesajen
berupa macam-macam makanan. Pendupaan itu sam-
pai pecah belah berantakan. Wintara tetap tidak men-
gerti. Tapi ia cepat menahan amukan Ki Sangga Wana.
"Penangkal-penangkal ini tidak ada gunanya
sama sekali. Aku bodoh mengotori tempat ini dengan
segala macam barang penangkal!" gerutu Ki Sangga
Wana.
*
* *
SEMBILAN
Selesai mengubur jenasah Mardun, penduduk
kampung kembali ke desa. Orang-orang yang terluka
semalam juga ikut. Rasa sakit pada luka-luka mereka
hilang seketika. Malah mereka mulai mengikat tali per-
sahabatan dengan para anggota Suku Pedalaman
Bangsa Bajor. Akrab sekali kelihatannya. Satu sama
lain saling menceritakan pengalaman. Ternyata orang-
orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor amatlah menye-
nangkan.
Selain ramah, mereka juga ringan tangan. Ke-
banyakan dari mereka giat membantu meringankan
beban para penduduk desa. Ki Sangga Wana tidak me-
nyangka sebelumnya. Ada juga yang coba-coba meng-
goda para gadis desa. Lucu juga! Tapi wajar kalau hal
itu terjadi di kalangan anak muda.
Ki Sangga Wana dan keluarganya tidak perlu
repot menyambut Wintara dan kawan-kawannya. Anak
perawannya yang dua orang sibuk membuat hidangan.
Dan ketika mereka keluar membawakan hidangan,
Umbara Komang menyambar lebih dahulu.
Rumah-rumah penduduk nampak ramai. Se-
muanya berada di luar duduk-duduk di atas balai di
depan gubuk mereka. Hanya ada satu gubuk yang
nampak sepi dan pintunya masih terkunci. Pandangan
Rowok Tunggel mengarah ke situ. Dan sejak tadi ia di
am saja.
"Saudara Rowok Tunggel ada apa?" tegur Ki
Sangga Wana yang mulai merasa kevakuman Rowok
Tunggel.
"Apakah gubuk itu tidak ada penghuninya, Ki.
Sejak tadi kuperhatikan tidak ada orang yang keluar
masuk dari situ." jawab Rowok Tunggel tanpa menoleh.
"Oh... Ada! Seorang nenek buta dan cucunya.
Sebenarnya mereka orang baik-baik. Mungkin karena
usianya yang sudah tua dan pikun, hal itu membuat
penduduk kampung menjadi kurang suka." Ki Sangga
Wana menjelaskan.
"Semua orang tua renta pasti pikun. Kau pun
akan seperti itu kelak." sahut istrinya yang duduk di
sebelah Ki Sangga Wana.
"Menurutku Ni Klesung Rangit tidak pikun. Ta-
pi ia terlalu berhati-hati. Hanya kita selalu salah taf-
sir." Wintara menimpali. Tapi mendengar ucapan Win-
tara, Rowok Tunggel bagai disambar petir.
"Siapa katamu, Ni Klesung Rangit...?" Rowok
Tunggel mengulangi ucapan Wintara. "Ya! Ni Klesung
Rangit!" Mendadak saja Rowok Tunggel bangkit. Ma-
tanya membinar seolah-olah telah menemukan sesua-
tu yang sangat berharga. Umbara Komang sampai ka-
get.
"Kalau betul ia Ni Klesung Rangit, pastilah ber-
sama seorang anak kecil." Rowok Tunggel masih mera-
sa kurang yakin.
"Dia memang bersama seorang cucu perem-
puan bernama Dwi Langsih." Istri Ki Sangga Wana ikut
menjelaskan. Maka entah karena apa ia keluar dari te-
ras rumah besar itu. Wintara tidak sempat menahan.
Kecepatan lari Rowok Tunggel bagaikan angin menuju
ke arah gubuk kecil kediaman Ni Klesung Rangit.
"Ibuuuu...! Langsih...!" Rowok Tunggel langsung
membuka pintu gubuk itu sampai berderak. Deritnya
terdengar nyaring. Tindakan itu menjadi perhatian se-
luruh orang-orang yang berada di desa itu. Wintara
dan Umbara Komang menghampiri Rowok Tunggel
yang berdiri diam terpaku. Orang-orang kam-
pung maupun para Suku Pedalaman Bangsa Bajor
berdatangan ke tempat itu.
"Ibu... Anakku... Di mana kalian...?" suara Ro-
wok Tunggel parau.
Kedua matanya berputar mengawasi tiap-tiap
sudut ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk
itu. Kecuali perabotan yang berserakan di tanah.
"Be-benarkah mereka tinggal di sini...?" tanya
Rowok Tunggel setelah Ki Sangga Wana datang ke
tempat itu. Ki Sangga Wana tidak langsung menjawab
sebab ia menatap langsung ke atas melihat atap jerami
yang jebol. Tapi tak lama...
"Semalam ia masih tinggal di sini, bahkan kami
sempat bentrok. Mustahil kalau kepergiannya tidak di-
ketahui oleh siapa pun."
"Atapnya jebol! Mungkin seseorang telah mem-
bawanya pergi." kata Wintara setelah memperhatikan
tempat itu. Rowok Tunggel melihat ke atas. Atap itu
memang ternganga lebar.
"Benarkah Ni Klesung Rangit dan Dwi Langsih
keluargamu dari Suku Pedalaman bangsa Bajor? Kalau
benar bagaimana mungkin bisa berada di sini?" Winta-
ra jadi penasaran. Rowok Tunggel berbalik menghadap
Wintara.
"Dunia kita sempit, Wintara. Tidak mungkin
ada orang lain yang memiliki ibu dan anak bernama Ni
Klesung Rangit dan Dwi Langsih. Tidak mungkin ada
kesamaan. Aku yakin mereka bagian dari hidupku."
"Kenapa kalian sampai terpisah?"
"Pertanyaan itu memang menyakitkan. Dan aku
tidak bisa melupakannya. Peristiwa itu terjadi dua ta-
hun yang lalu. Di mana kami selalu berkumpul hidup
di pedalaman. Ni Klesung Rangit adalah orang tertua
Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ia memimpin suku
kami sebagaimana layaknya para tetua terdahulu. Il-
mu pengobatan yang dimilikinya sangat luar biasa.
Sampai-sampai aku pun diwarisinya. Tapi setelah aku
betul-betul menguasai ilmu pengobatan, Ni Klesung
Rangit pergi mengunjungi makam para tetua Bangsa
Bajor. Ia membawa anakku Dwi Langsih yang baru be-
rumur tiga tahun. Mulai hari itu mereka tidak kembali.
Kami semua mengira mereka telah menjadi mangsa
binatang buas. Namun kami tidak menemukan tanda-
tanda apapun sewaktu mencari mereka. Istriku sampai
meninggal karena memikirkan Langsih." Rowok Tung-
gel selesai menceritakan perihal Ni Klesung Rangit.
Semua orang terdiam. Ada banyak pertanyaan di be-
nak Wintara dan Ki Sangga Wana. Tapi mereka tidak
mengutarakannya pada Rowok Tunggel dalam keadaan
demikian.
*
* *
Matahari tepat mencorot di atas kepala. Jauh
dari keramaian desa, tepatnya di perbukitan yang
mengelilingi desa. Dua sosok tubuh nampak duduk di
bawah rindangnya pepohonan. Sejak tadi Dwi Langsih
sudah mengucurkan keringat. Ni Klesung Rangit pun
nampak demikian. Kulitnya yang kurus keriput sampai
legam mengkilat terkena sinar matahari. Bibir mereka
mengering.
"Nek,... Kenapa kita harus meninggalkan desa,
bukankah di sana ada Paman Wintara? Lagipula perut
Langsih sudah keroncongan."
"Bocah cerewet! Tidak bisakah kau diam saja!
Nanti aku carikan makanan!" bentak Ni Klesung Ran-
git. Seperti biasa bila nenek membentak, Dwi Langsih
langsung mengkerut takut.
"Siapa yang meninggalkan desa? Nanti pun kita
akan kembali lagi ke sana. Orang-orang keparat itu
yang membuat kita harus menyingkir sementara. Win-
tara itu sama keparatnya dengan mereka." gerutu Ni
Klesung Rangit.
Dwi Langsih cemberut. Paman Wintara orang
baik. Mengapa nenek bilang Paman Wintara keparat?
Dalam hati Langsih mendongkol.
Keduanya menatap desa itu dari kejauhan.
Sayup-sayup terdengar keramaian di sana. Nampak
pula orang-orang yang berjalan simpang siur di sekitar
desa. Gelak anak-anak desa menghalau kerbau, juga
gurau para gadis yang menertawakan para pemuda
Suku Pedalaman Bangsa Bajor.
Sumpah serapah Ni Klesung Rangit tidak henti-
hentinya mengutuk. Matanya yang buta seakan mena-
tap tajam ke arah keramaian itu. Dwi Langsih sesekali
melirik. Melihat Ni Klesung Rangit diam bagai patung,
ia makin ngeri. Ia tidak lagi berani tanya ini itu. Sebab
takut kena bentak bagaikan sengatan lebah.
Mereka masih tetap di situ sampai matahari
mulai terbenam. Dwi Langsih nampak begitu kelelahan
seharian penuh hanya berdiam di situ. Rambut kusut
Ni Klesung Rangit berderai-derai tertiup angin. Saat itu
pun ia menyeringai mengeluarkan geram yang amat
menakutkan. Berbareng dengan geraman itu, Ni Kle-
sung Rangit bangkit. Dia langsung menyeret tubuh
Dwi Langsih menyandarkannya pada batang pohon di
mana mereka berteduh. Jari-jari tangannya yang keri-
put menjambak rambut gadis kecil itu.
"Diam di sini! Aku akan menemui orang-orang
keparat itu. Mengerti! Setelah aku kembali pasti mem-
bawa makanan untuk mu." Suara Ni Klesung Rangit
menakutkan. Dia menarik angkin yang melilit di ping-
gangnya.
Dengan angkin itu Ni Klesung Rangit mengikat
tubuh Dwi Langsih pada batang pohon. Dwi Langsih
berontak. Tapi tenaga nenek buta itu kuat bagai len-
gan-lengan raksasa yang mencengkram.
"Aku tidak mau diikat begini, Nek... Aku tidak
mau!" Gadis kecil itu terus meronta-ronta, tapi...
"Plaaak!" Ni Klesung Rangit menampar.
"Kalau tidak diikat begini, kau pasti bakal ka-
bur! Dengar, Langsih! Kau harus patuh padaku. Dan
jangan coba-coba berteriak selama aku belum kemba-
li!"
"Aku patuh... Aku akan patuh, Nek. Tapi jan-
gan diikat begini...."
"Diam!"
*
* *
Meskipun hari telah gelap desa itu masih tetap
nampak ramai. Selain lampu-lampu obor yang mene-
rangi tiap-tiap gubuk mereka membuat juga beberapa
api unggun di tengah-tengah pelataran desa. Beberapa
ternak terpaksa dikorbankan untuk makan malam
orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ki Sangga
Wana yang mengeluarkan biaya semua itu. Dan ia
mempunyai banyak ternak.
Tidak jauh dari keramaian itu, tepatnya di de-
pan bekas gubuk Ni Klesung Rangit, Rowok Tunggel
bersama Ki Sangga Wana sibuk membuat cairan hitam
yang berasal dari kerak dapur. Wintara pun berada di
situ. Ia hanya memperhatikan cara kerja Rowok Tunggel. Umbara Komang sibuk menghadapi hidangan
yang disuguhkan oleh kedua anak perawan Ki Sangga
Wana. Kedua gadis itu selalu tertawa cekikikan karena
tingkah laki-laki senewen itu memang cukup menggeli-
tik perut.
Istri Ki Sangga Wana beserta perempuan-
perempuan lain ikut membantu menumbuki kerak-
kerak dapur sampai halus. Bubuk-bubuk hitam dis-
erahkan pada Rowok Tunggel yang langsung mencam-
purnya dengan darah binatang. Cairan hitam semakin
kental menggumpal dalam satu tempat yang besar.
"Cukup! Cukup banyak! Bawalah cairan itu pa-
da orang-orang kampung. Suruh mereka mencoreng
muka dengan ini. Jangan sampai di antara mereka ada
yang tidak mencoreng muka. Bayi pun harus menggu-
nakannya." pesan Rowok Tunggel sambil menyerahkan
cairan berwarna hitam ke tangan Ki Sangga Wana.
Melihat Ki Sangga Wana menerima sesuatu dari
Rowok Tunggel, Umbara Komang langsung berjingkat.
Kedua tangannya langsung masuk ke dalam cairan
kental itu.
"Ini bukan makanan, Umbara Komang. Sudah
terlanjur. Corengkan saja di muka mu." kata Ki Sangga
Wana. Wintara hanya tersenyum. Ia menggeleng-geleng
kepala.
"Apa ini? Baunya busuk sekali." Umbara Ko-
mang melihat kedua telapak tangannya hitam. Ki
Sangga Wana tidak perduli ia terus melangkah mem-
bawa cairan kental berwarna hitam ke arah para pen-
duduk yang telah berkumpul.
"Itu kerak dapur yang dicampur dengan darah
binatang." jawab Wintara.
"Hiiiy...!" Umbara Komang mendelik. Ia lang-
sung menyeka cairan yang melekat di kedua tangan
pada bajunya.
Sementara itu Ki Sangga Wana berjalan berke-
liling memerintahkan penduduk kampung agar menco-
reng muka mereka dengan cairan hitam itu. Semua
orang-orang itu menurut. Berbagai macam mereka
mencoreng muka. Dari anak-anak, bayi, laki, perem-
puan, nenek-nenek sampai aki-aki. Meskipun cara itu
agak aneh tapi mereka tidak ada satupun yang meno-
lak.
Begitu juga dengan orang-orang Suku Pedala-
man Bangsa Bajor, mereka ikut mencoreng muka den-
gan cairan itu.
"Lucu! Mereka takut terhadap siluman, malah
mereka sendiri menyamar seperti siluman." Umbara
Komang nyengir menertawakan orang-orang kampung.
Tapi tiba-tiba saja ia melompat kaget, ketika dua orang
anak Ki Sangga Wana mendekatinya. mereka sengaja
menakut-nakuti saat muka mereka telah di corengi
cairan hitam. Umbara Komang sampai jatuh terduduk.
Maka meledaklah tawa orang-orang yang berada di gu-
buk itu.
"Kalian nampak seperti para penghuni neraka."
Lelaki senewen menggerutu. Wajah kedua gadis itu
pun merah padam.
Langit makin gelap manakala angin bertiup
kencang. Api unggun menari-nari menimbulkan suara
letupan. Suasana mencekam sunyi. Saat ketegangan
mulai merambat pada tiap-tiap jantung manusia. Para
penduduk kampung sengaja berdiam di luar, mereka
berkumpul di pelataran itu. Semua orang sudah mem-
bayangkan bakal ada satu peristiwa lagi pada malam
itu. Yakin akan kedatangan siluman yang mengambil
korban di desanya, untuk itu mereka tidak memejam-
kan mata.
Anak-anak kecil memeluki ibunya dengan pe-
nuh ketakutan. Beberapa bayi tengah menyusui sambil sesenggukan seakan-akan bahaya yang akan men-
jemput. Tangis mereka kadang terdengar di kesunyian.
"Usahakan bayi-bayi itu agar tenang, Ki... Sua-
ra tangis mereka akan mempengaruhi. Dan juga untuk
orang-orang kampung jangan banyak bicara." bisik
Rowok Tunggel di sebelah Ki Sangga Wana. Kepala
kampung itu langsung bangkit dan mendekati para pe-
rempuan yang tengah menyusui bayinya. Ia mengata-
kan apa yang diperintahkan Rowok Tunggel. Wintara
dan Umbara Komang diam bersandar pada bilik gu-
buk. Matanya terus mengawasi tiap-tiap pelosok.
*
* *
SEPULUH
Puluhan pasang mata mendadak kaget saat
melihat sosok tubuh kurus terbungkuk memasuki mu-
lut desa. Sosok buta itu cukup dikenal di mata pendu-
duk kampung. Dan hampir semua orang menyebutkan
namanya ketika sosok itu mulai nampak jelas. 'Ni Kle-
sung Rangit'... Suara mereka tidak keluar seakan ter-
sangkut dalam tenggorokan. Sedangkan nenek buta itu
terus melangkah memasuki desa.
Rowok Tunggel tidak percaya pada pengliha-
tannya sendiri. Bibirnya bergetar menatap kehadiran
Ni Klesung Rangit di tengah malam begini. Perasaan
yang dialami Rowok Tunggel sama halnya dengan
orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Mereka
masih kenal betul dengan sosok Ni Klesung Rangit,
meskipun sekarang nampak lebih renta dan buta. Me-
reka pun menjadi tegang saat Rowok Tunggel melang-
kah mendekati sosok nenek buta.
"Bu... Aku tahu ibu menetap di sini, kenapa
kau harus pergi meninggalkan aku lagi? Mana Dwi
Langsih...?" Ternyata Ni Klesung Rangit benar adanya
orang tua Rowok Tunggel. Nenek buta menyeringai.
"Rowok Tunggel! Kau memang anakku. tapi
jangan harap aku merasa bahagia dengan pertemuan
ini. Pergilah jauh-jauh dari sini..." jawab Ni Klesung
Rangit.
"Apa yang akan ibu lakukan, justru aku men-
cari ibu dan anakku agar kita bisa berkumpul lagi se-
perti dulu."
"Aku sudah menganggap diriku sudah mati,
Rowok Tunggel. Kau sudah tidak punya ibu lagi." Ni
Klesung Rangit terus melangkah.
"Kenapa ibu bilang begitu? Mana Dwi Langsih?"
Pertemuan yang amat mengecewakan ini men-
jadi perhatian banyak orang. Rowok Tunggel tidak me-
nyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Wintara
dan Ki Sangga Wana menatap iba. Mereka tidak bisa
mencampuri urusan keluarga kecil itu.
"Dwi Langsih akan tetap menemaniku! Kau ti-
dak akan mendapatkannya, Rowok
Tunggel! Karena...." Bersamaan dengan itu, Ni
Klesung Rangit memutar sebelah tangannya... "Bug!"
Cukup telak menghantam tubuh Rowok Tunggel. Lela-
ki telanjang dadu itu terhuyung ke belakang. "Kau pun
akan ku kirim ke akherat bersama mereka!" Nenek bu-
ta itu meneruskan ucapannya. Nenek buta maju lagi
menyerang, tentu saja Rowok Tunggel tidak berani
membalas. Melihat itu, orang-orang Suku Pedalaman
Bangsa Bajor tidak tinggal diam. Mereka maju serem-
pak menghalangi serangan-serangan Ni Klesung Rangit
yang di arahkan pada Rowok Tunggel yang setengah
mati menghindarinya.
Tapi malah berakibat fatal. Ni Klesung Rangit
mengamuk. Gerakannya yang berkelebat bagai angin
menjatuhkan orang-orang itu satu persatu. Sekali han-
tam ada yang batok kepalanya pecah atau perut mere-
ka terbeset cakaran yang runcing bagai mata pisau.
Usaha mereka hanya mengantarkan nyawa dengan
percuma.
"Ni Klesung Rangit, kami ini orang-orangmu...
Jangan bertindak seperti ini!" teriak dari salah seo-
rang. Ni Klesung Rangit menjawab sengit...
"Aku akan memberi muka terhadap kalian ka-
lau kalian segera pergi meninggalkan desa ini. Aku ti-
dak ingin niatku setengah-setengah, sudah kepalang
tanggung! Aku hampir menguasai 'Ilmu Gelugut Ma-
nik'!" Selesai berucap begitu Ni Klesung melancarkan
tendangan sekuatnya... "Breeees!" Kaki yang kurus ba-
gai tiang galah menembus sampai ke tulang belakang.
Darah menyembur. Penduduk kampung yang melihat-
nya memekik penuh ngeri.
Tentu saja Wintara dan Ki Sangga Wana tidak
bisa membiarkan korban semakin berjatuhan. Kedua-
nya melesat berjumpalitan di udara menyelamatkan
orang-orang yang nyaris tewas di tangan Ni Klesung
Rangit. Saat itu pun Umbara Komang menyusul me-
nunjukkan kebolehannya. Sekali menghentakkan ke-
dua kakinya ia sudah menghadapi nenek buta yang
tengah mengamuk.
Wintara sendiri tidak tahu kapan datangnya
Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah melancar-
kan serangan. Ni Klesung Rangit yang buta itu bagai
memiliki seribu pasang mata. Setiap serangan Umbara
Komang, dapat dihindarinya.
"Semuanya mundur...! Mundur...!" teriak Ki
Sangga Wana. Mendengar komando itu, kontan orang-
orang kampung maupun para penduduk Suku Bangsa
Bajor berlari menyelamatkan diri. Rowok Tunggel su
dah bangkit. Bagaimana pun ia tidak tega me lihat
ibunya yang renta itu dikeroyok oleh Wintara dan ka-
wan-kawan.
Umbara Komang sudah tidak dapat menahan
amarahnya lagi. Maka ia bertindak cepat melancarkan
serangan, tapi sebelum hantaman itu mengena, Rowok
Tunggel menggagalkannya. Wintara cukup mengerti.
Makanya ia pun segera menghalangi Umbara Komang
saat ia berniat membalas serangan Rowok Tunggel.
Dalam keadaan seperti itu Ni Klesung Rangit ti-
dak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melancarkan se-
rangan pada Ki Sangga Wana yang berdiri sendiri den-
gan keris perak terhunus. Kepala kampung gelagapan,
tahu-tahu saja sebuah hantaman melanda bagian ke-
pala. Lelaki itu sampai jatuh kelojotan. Pandangannya
berkunang-kunang seperti mau pecah. Wintara cepat
memutar tubuhnya, ia cepat menangkis hantaman Ni
Klesung Rangit yang hampir memecahkan batok kepa-
la Ki Sangga Wana.
"Jangan kira aku tidak tahu siapa diri mu,
Pendekar Kelana Sakti. Aku tidak gentar dengan nama
besarmu! Heaaat!" bentak Ni Klesung Rangit. Tubuh
bungkuk kurus itu melompat menerjang. Wintara yang
sudah bersiap-siap menyambut dengan pukulan kedua
telapak tangan... "Blaaaar!" Keduanya terlempar pada
arah yang berlawanan. Ni Klesung Rangit bergulingan,
Wintara pun bergulingan tapi ia cepat salto ke depan
bersiap menyerang lagi.
Umbara Komang yang selalu ganas ikut mener-
jang. Ni Klesung Rangit memang belum sempat bang-
kit. Namun Rowok Tunggel cepat datang menghalangi
langkah-langkah mereka. Lengannya berputar-putar
menepis hantaman Wintara dan Umbara Komang.
"Tahan, Sobat!" teriak Rowok Tunggel. Wintara
dan Umbara Komang menghentikan serangan. Tapi
apa yang mereka lihat, Ni Klesung Rangit menghantam
Rowok Tunggel dari arah belakang... "Blaaaar!" Rowok
Tunggel ambruk ke tanah dengan menyemburkan da-
rah dari mulutnya. Ia cepat berbalik menatap nanar ke
arah nenek buta.
Saat itu pun Ni Klesung Rangit melancarkan
serangan lagi dengan tidak tanggung-tanggung. Winta-
ra maupun Umbara Komang tidak sempat menarik tu-
buh Rowok Tunggel yang menerima hantaman keras di
dadanya. Ketiganya sampai terpelanting bergulingan.
"Sudah kubilang Rowok Tunggel! Kau pun akan
mampus bareng dengan pendekar-pendekar busuk
itu." kata Ni Klesung Rangit dengan suara parau me-
nyeramkan.
Bersamaan itu lengan kurusnya menepis keris
perak yang dilemparkan Ki Sangga Wana.
"Keparat! Yang kuperlukan memang menghisap
habis darahmu, Ki Sangga Wana!"
Lesatan tubuh kurus bungkuk itu sungguh ce-
pat. Kedua lengannya siap menghantam. Untunglah Ki
Sangga Wana cepat menjatuhkan diri dan berguling ke
samping... "Deeeerrr!" Dua hantaman itu hanya men-
genai tanah. Namun akibatnya sangat dahsyat sekali,
kedua telapak tangan itu sampai melesak ke tanah.
Rowok Tunggel tak dapat bangkit lagi. Beberapa
tulang rusuknya patah. Umbara Komang membawanya
agak jauh dari situ. sementara Wintara datang meng-
hadapi Ni Klesung Rangit. Ia berusaha melindungi Ki
Sangga Wana yang terancam bahaya. Tendangan serta
pukulannya sengaja ia arahkan mengenai lengan-
lengan kurus Ni Klesung Rangit.
Sudah tentu nenek buta itu merasa di per-
mainkan. Maka setelah ia menghadapi beberapa han-
taman keras dari Wintara, ia segera menghimpun te-
naga baru. Dengan suara teriakan yang menggelegar
kedua telapak tangannya maju mendorong ke depan.
Di luar dugaan, Wintara hanya diam mengha-
dapi hantaman itu dengan dadanya. "Blaaar!" Terden-
gar pekikan nyaring, tapi bukan pekikan berasal dari
mulut Wintara. Ni Klesung Rangit mundur terhuyung.
Dirasakan tulang-tulang lengannya menghantam batu
karang.
Wintara sendiri hanya berdiri tegak dengan da-
da yang mengepul. Tubuh itu tetap diam tak bergem-
ing. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah kental. Ben-
turan hantaman itu begitu dahsyat, mengundang Um-
bara Komang maju menyerang. Terjangan Umbara
Komang kali ini lebih hebat. Ketika tubuhnya melesat,
kedua lengannya berputar menimbulkan suara yang
bergemuruh bagai kitiran angin. Ni Klesung Rangit
yang baru saja berdiri tegak, tersentak kaget mendapat
beberapa hantaman yang bersarang di punggung serta
perut. Tak urung lagi tubuh renta itu jatuh kelojotan di
tanah sambil menyembur darah.
"Komang...! Jangan bunuh dia! Dia ibuku...!"
Rowok Tunggel teriak-teriak. Umbara Komang memang
menghentikan serangannya, ia hanya berdiri menatap
Ni Klesung Rangit yang berusaha bangkit. Wintara su-
dah merasa pulih dari rasa sakitnya. Keduanya merasa
serba salah. Para penduduk desa pun sudah tidak sa-
baran ingin melihat bagaimana para pendekar sakti itu
menamatkan sosok renta yang ternyata selama ini bi-
kin rusuh desanya. Darah membanjir di mulut Ni Kle-
sung Rangit. Seluruh tubuhnya nampak bergetar keti-
ka ia bangkit berdiri. Kesepuluh jarinya meregang ka-
ku. Wajahnya begitu menyeramkan saat ia menyerin-
gai bagai setan. Mendadak saja kedua kelopak ma-
tanya membelalak lebar. Kedua bola matanya merah
seperti darah. Bersamaan dengan itupun kulit keri-
putnya bergelora bagai air mendidih. Berubah menjadi
hitam sehitam arang. mengeluarkan suara lebih parau
mirip suara binatang.
"Ki Sangga Wana...! Perintahkan semua orang
jangan mengeluarkan suara! Dan juga coreng hitam di
wajah mereka jangan sampai hilang...!" Rowok Tunggel
berteriak lagi. Kali ini ia menyeret tubuhnya sendiri ke
arah kerumunan orang-orang kampung. Semua yang
dikatakan Rowok Tunggel benar. Ni Klesung Rangit
yang sudah membuka matanya tidak dapat melihat
mereka. Mungkin pengaruh kerak dapur yang dicoreng
ke muka membuat mereka tidak nampak dalam pen-
glihatan Ni Klesung Rangit. Ia hanya dapat melihat be-
berapa sosok orang yang tadi menyerangnya.
"Jangan ada yang mengeluarkan suara kalau
ingin selamat. Ni Klesung Rangit sudah tidak dapat di-
kendalikan. Sekarang ia betul-betul memerlukan darah
dan isi kepala!" Rowok Tunggel memperingati para
penduduk dengan suara lantang.
Ni Klesung Rangit yang sudah tidak karuan ru-
panya itu memang tidak dapat melihat kerumunan
orang-orang yang dilanda ketakutan. Tapi ia bisa men-
dengar suara-suara teriakan ngeri yang riuh di sekitar
pelataran desa. Wintara maupun Umbara Komang ce-
pat berlari melindungi orang-orang itu.
"Rowok Tunggel keparat! Anak tak berbudi! Ru-
panya kau telah memecahkan rahasia 'Ilmu Gelugut
Manik' hebat! Aku tidak segan-segan lagi untuk mem-
bunuhmu!" Ni Klesung Rangit melangkah perlahan. Se-
tiap langkahnya hampir tidak menyentuh tanah. Ma-
tanya yang semerah darah menatap dua pendekar
yang siap melindungi penduduk desa maupun orang-
orang Suku Pedalaman bangsa Bajor.
"Aku hanya perlu satu nyawa setiap malamnya.
Tapi untuk malam ini terpaksa sekali aku harus mem-
bantai kalian semua. Terutama pendekar-pendekar
keparat seperti kalian yang mesti dibikin mampus le-
bih dulu!" Ucapan itu terarah pada Wintara dan Umba-
ra Komang.
"Siluman keriput! Kalau penyakit jengek mu be-
lum sembuh jangan banyak mulut!" hardik Umbara
Komang. Ki Sangga Wana melangkah dengan geram,
tapi Wintara cepat menahannya.
"Hak hak hak hak hak...!" Ni Klesung Rangit
mengekeh. Selesai tertawa tubuh hitam itu melesat
menyambar ketiga orang yang berdiri paling depan.
Siapa lagi kalau bukan Wintara, Umbara Komang dan
Ki Sangga Wana. Ketiganya hampir jatuh bergulingan.
Namun bagi Wintara dan Umbara Komang sangatlah
mudah untuk bangkit kembali, keduanya langsung
bergerak menghalangi serangan Ni Klesung Rangit
yang mengarah pada Ki Sangga Wana. Terasa sekali
hantaman mereka beradu.
Wintara yang sudah kepalang maju melancar-
kan pukulan berkali-kali. Begitu juga dengan Umbara
Komang beberapa tendangannya mendesak pertaha-
nan Ni Klesung Rangit.
Menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi
sangatlah sulit bagi Ni Klesung Rangit. Hantaman-
hantaman mereka yang selalu bergantian datang ham-
pir sukar untuk dihindari. Sosok hitam itu terpaksa
sekali berjumpalitan di udara. Dengan begitu seran-
gan-serangan Wintara dan Umbara Komang dapat di-
elakkan. Sesekali pula Ni Klesung Rangit melepaskan
hantaman dahsyat ke arah mereka. Saat mereka me-
nangkis maka timbullah suara yang membledar nyar-
ing. Umbara Komang berjingkat-jingkat menahan sakit
di lengannya. Tubuh Wintara sampai melintir.
Wintara kertakan gigi saat menyambut seran-
gan Ni Klesung Rangit. Tendangannya mendesak men-
genai perut. Juga hantamannya yang cepat dapat bersarang di mukanya. Mendapat hantaman-hantaman
yang begitu dahsyat, Ni Klesung Rangit mundur bebe-
rapa langkah. Umbara Komang menerjang tidak mem-
beri kesempatan. Tapi mendadak pula Ni Klesung Ran-
git mengangkat sebelah tangannya. Dari tiap-tiap
ujung jarinya mengeluarkan sejenis serat yang lang-
sung membelit di tubuh Umbara Komang.
Tingkat akhir 'Ilmu Gelugut Manik' yang hampir
sempurna. Umbara Komang berusaha berontak dari
belitan serat-serat yang alot bagai kawat. Sementara Ni
Klesung Rangit makin terkekeh. Wintara pun tidak lu-
put dari serangan serat-serat itu. Tapi saat serat-serat
berdatangan membelit tubuh, Wintara menghentakkan
kedua telapak tangan disertai dengan hentakan nafas
panjang... "Hraaaaa!" Serat-serat itu seperti berbalik
menyerang tuannya. Ni Klesung Rangit sendiri kelaba-
kan menghadapi serat-serat yang alot bagai kawat. Un-
tung saja ia cepat menggeser tubuhnya ke samping.
*
* *
SEBELAS
Dan Ni Klesung Rangit dapat mengetahui saat
Ki Sangga Wana datang menyerang dari arah lain, ma-
ka ia pun mengangkat lengannya lagi. Seperti apa yang
dialami Umbara Komang, tubuh Ki Sangga Wana ter-
belit serat-serat. 'Gelugut Manik' yang kian lama kian
mengkerut melilit tubuh.
Umbara Komang menghempaskan seluruh te-
naganya. Teriakannya menggelegar lantang, maka se-
luruh serat-serat yang melilit di tubuhnya putus terpo-
tong-potong. Di tubuh Umbara Komang membekas se
perti sayatan-sayatan pisau yang mengeluarkan darah.
Malang bagi Ki Sangga Wana. Ia tidak bisa me-
lepaskan diri dari belitan yang semakin mengkerut
membelit. Umbara Komang sudah berusaha sekuat te-
naga melepaskan belitan-belitan yang alot laksana ka-
wat. Juga beberapa penduduk kampung berdatangan
ikut membantu melepaskan belitan itu. Malang tak
dapat dibuang! Ki Sangga Wana harus menerima na-
sibnya. Belian-belitan serat Gelugut Manik mencerai
beraikan tubuh Ki Sangga Wana menjadi belasan po-
tong.
Pekik kengerian pun menggelegar. Apalagi dari
keluarga Ki Sangga Wana. Semuanya meluruk mende-
kati potongan-potongan tubuh tanpa jijik. Saat itu
Wintara sibuk mengatasi serat-serat 'Gelugut Manik'
yang terus berdatangan menyerang. Berkali-kali pula
Wintara mengerahkan tenaga dalam mengenyahkan
serat-serat yang datang tiada henti. Membuat serat-
serat itu berserabutan memenuhi pelataran desa.
"Pendekar ingusan! Ilmu apa yang kau miliki
itu, hah!" Suara Ni Klesung Rangit seperti kehabisan
tenaga. Ia merasakan hawa dingin yang menerpa selu-
ruh kulit hitamnya. Melumerkan semua serat-serat
yang muncul dari kelima ujung jari.
Belum Wintara menjawab, mendadak Umbara
Komang menerjang. Menghadapi tenaga dalam Wintara
saja ia sudah gedubukan, apalagi mendapat serangan
Umbara Komang yang datangnya secara tiba-tiba ini.
Ni Klesung Rangit memekik dengan tubuh yang ter-
banting keras ke tanah.
Laki-laki senewen penuh luka bekas lilitan se-
rat itu terus mencecar tubuh Ni Klesung Rangit yang
masih bergulingan. Tendangan maupun hantaman
membuat sosok hitam mencelat ke sana ke mari. Da-
rah pun hamburan dari mulut Ni Klesung Rangit, setiap hantaman Umbara Komang mengena telak. Dan
pada hantaman yang dilancarkan Wintara, tubuh Ni
Klesung Rangit mencelat tidak kepalang tanggung.
Meskipun dalam keadaan parah, sosok hitam
itu masih bisa mengimbangi tubuh. lentingan tubuh-
nya berjumpalitan gesit di udara. Diam-diam Ni Kle-
sung Rangit pergi menjauh.
"Hak hak hak hak... Malam ini kalian ku beri
ampun! Darah kalian tak kubutuhkan karena aku ma-
sih punya darah simpanan yang lebih segar dari darah
kalian...!" Suara itu makin hilang ditelan keramaian
malam. Sekejap saja tubuh Ni Klesung Rangit melesat
pergi entah ke mana.
"Kejar dia, Wintara! Cepat kejar! Dwi Langsih
ada padanya! Dia pasti membunuhnya untuk dijadikan
korban malam ini! Cepat! Selamatkan Langsih anak-
ku!" teriak Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Ko-
mang saling pandang. Mereka baru sadar kalau Ni Kle-
sung Rangit membutuhkan satu nyawa dalam satu
malam. Ia perlu darah dan isi kepala seseorang. Seka-
rang Dwi Langsih berada di tangannya. Pastilah Ni Kle-
sung Rangit akan membunuh gadis kecil yang masih
suci itu. Tersadar dari mimpi buruk, Wintara dan Um-
bara Komang segera berlari menyusul sosok hitam Ni
Klesung Rangit.
"Cepat, Wintara. Sebelum Ni Klesung Rangit
menguasai penuh 'Ilmu Gelugut Manik' kalian harus
cepat bertindak!" Rowok Tunggel terus berteriak. Sua-
ranya masih dapat didengar meskipun dua pendekar
sakti itu telah menjauh hilang di kegelapan malam.
Keduanya sama-sama mempertajam penglihatan. Se-
bab dalam keadaan gelap begitu sukarlah untuk me-
nentukan ke mana arah kepergian Ni Klesung Rangit.
"Larinya begitu cepat padahal ia sudah terluka.
Pastilah ia mengikuti ke mana arah angin berhembus,"
ujar Wintara.
"Siluman licik! Pantas bau badannya tidak ter-
cium oleh ku!" sahut Umbara Komang. Keduanya
membelok berlari searah dengan arus angin. Wintara
paling depan. Umbara Komang berusaha mengimbangi
dengan kecepatan larinya. Mereka melintasi
hutan yang menuju ke arah bukit. Batang-
batang pohon berderet. Dari situ pula nampak titik pu-
tih bergerak-gerak semakin jauh.
"Itu dia! Rambutnya kelihatan...!" Rambut Ni
Klesung Rangit memang seputih kapas. Mereka dapat
melihat meskipun dalam keadaan gelap seperti itu.
"Awasi terus dan jangan sampai kita kehilangan
jejak!" Wintara mempercepat larinya. Sosok mereka
berdua berkelebat dan sukar diikuti oleh pandangan
mata.
*
* *
Dalam keadaan terikat begitu Dwi Langsih ti-
dak dapat memejamkan matanya. Udara malam yang
sangat dingin membuat dirinya gemetaran. Tenggoro-
kannya telah kering dan dirasakannya keluh. Pandan-
gannya mulai kabur dengan seluruh rambut yang ku-
sut. Sedangkan tali ikatan yang membelit di tubuhnya
tetap kuat. Batang pohon tempat ia bersandar terikat
terasa dingin.
Dwi Langsih tidak mengeluarkan suara saat so-
sok hitam melompat ke hadapannya.
Pandangannya yang kabur mengabaikan sosok
kurus hitam dengan rambut bergerak-gerak kaku lak-
sana kapas. Dua titik merah menyala mewarnai kedua
rongga mata sosok hitam itu. Dan terasa perih saat so-
sok hitam mencengkram kedua lengan gadis berusia
lima tahun. Dwi Langsih memekik menahan sakit.
"Cucuku... Malam ini aku tidak mendapat kor-
ban. Pendekar-pendekar sialan itu menghalangi. Dan
memang benar apa kata mu itu. Mereka memang he-
bat! Maafkan aku Langsih. Sebenarnya aku sayang pa-
da mu...." Suara Ni Klesung Rangit parau menyeram-
kan. Dwi Langsih semakin gemetar menatap sosok
yang amat menakutkan.
"Kau bukan nenek ku... Kau bukan Ni Klesung
Rangit...."
"Apapun yang kau katakan, aku memerlukan
korban satu nyawa sekarang. Berkorbanlah demi ne-
nekmu ini, Langsih... Demi kesempurnaan 'Ilmu Gelu-
gut Manik'..." Mulut Ni Klesung Rangit menganga lebar
dan mengarah tepat pada ubun-ubun gadis kecil yang
terikat tanpa daya. Kedua mata yang nyala memerah
itu makin membesar saat gigi-gigi runcing menyentuh
batok kepala Dwi Langsih... "Aaaaarght!" Langsih men-
jerit sekuatnya. Dan saat itu pun mendadak saja tu-
buh Ni Klesung Rangit seperti membentur benda yang
amat keras...
"Breeesss" Sosok hitam itu bergulingan ke
samping. Saat ia bangkit, Ni Klesung dapat melihat
dua sosok bertubuh kekar. Sosok Wintara dan Umbara
Komang.
"Sudah jelas 'Ilmu Gelugut Manik' adalah ilmu
yang sesat, kenapa kau begitu tega mengorbankan cu-
cumu sendiri... Tidak ku sangka hatimu sungguh be-
jat, Ni...!"
"Keparat kau selalu mencampuri urusan
orang!" Ni Klesung menghardik.
"Siapa yang akan tinggal diam kalau melihat
seorang bocah tewas di tangan seorang nenek peyot
macam kau. Ha ha ha ha...." sahut Umbara Komang.
"Manusia gila, kukira sudah mampus oleh jerat
'Gelugut Manik' ku."
"Chis! Segala serat macam benang jahit tidak
mampu menewaskan aku. Tulang-tulangku cukup
kuat untuk dicerai beraikan."
"Pendekar ingusan! Jangan coba-coba mele-
paskan bocah itu!" Ni Klesung Rangit melangkah maju
saat Wintara mencoba melepaskan ikatan angkin yang
melilit di tubuh Dwi Langsih. Umbara Komang melom-
pat menghalangi langkah sosok hitam.
"He he he he, rupa kita sama-sama buruk. Tapi
sayang nasibmu lebih buruk dari ku." Umbara Komang
mengejek. Bersamaan dengan itu tangannya melayang.
Cepat Ni Klesung Rangit menepis. Namun serangan
Umbara Komang tidak berhenti sampai di situ.
Wintara tidak sempat membuka ikutan Dwi
Langsih, karena Ni Klesung Rangit cepat lari ke arah-
nya. Serangan-serangan Umbara Komang tidak diper-
dulikan, membuat lelaki senewen itu bertambah gusar.
Dan ia dapat menyerang dengan leluasa saat Ni Kle-
sung Rangit menghadapi Wintara. "Beg!" Sosok hitam
itu hampir ngusruk ke tanah. Bahkan ia setengah mati
menghindari serangan-serangan Wintara yang bergu-
lung-gulung.
Umbara Komang sendiri tersentak kaget, kare-
na tahu-tahu saja Ni Klesung Rangit membalas seran-
gan. Dua kali berturut-turut cakaran sosok hitam itu
mengenai wajah Umbara Komang. Kalau saja Wintara
tidak cepat membantu, mungkin sobat gilanya itu su-
dah terkena tendangan Ni Klesung Rangit.
Menghadapi gerakan-gerakan Ni Klesung Rangit
yang begitu cepat, Wintara maupun Umbara Komang
hampir kehabisan akal. Mereka tidak menyangka ka-
lau 'Ilmu Gelugut Manik' amatlah dahsyat. Padahal Ni
Klesung Rangit menguasai ilmu itu baru separuhnya.
Nyatanya sekarang mereka malah berbalik repot
menghadapi amukan Ni Klesung Rangit. Kini kedua te-
lapak tangan Ni Klesung Rangit mulai berputar. Untuk
itu kedua pendekar ini perlu hati-hati. Karena setiap
gerakannya dari kesepuluh ujung jari Ni Klesung Ran-
git bertebaran serat-serat yang sudah kita ketahui ke-
dahsyatannya.
Bagi kedua pendekar yang cukup awas ini, me-
reka hanya melompat ke atas menghindari terjangan
serat-serat 'Gelugut Manik'. Mereka berjumpalitan ke
sana ke mari. Manakala serat-serat itu makin berham-
buran menyerang. Suara tawa Ni Klesung Rangit men-
gekeh menyaksikan mereka setengah mati meloloskan
diri dari serat 'Gelugut Manik’.
Kembali Wintara mengeluarkan tenaga hawa
dingin. Kedua telapak tangannya mengepak-ngepak ke
depan menyambut sambaran-sambaran jerat 'Gelugut
Manik'. Serat-serat itu bagai terkena angin topan. Se-
rat, 'Gelugut Manik' berpentalan dibarengi dengan te-
naga pukulan yang bergemuruh.
"Pendekar ingusan sialan! Kita akan mati ba-
reng!" jerit Ni Klesung Rangit. Dari hidung dan telin-
ganya mengalir darah. Wintara tidak dapat mendengar
apa yang di ucapkan Ni Klesung Rangit. Sebab dia
sendiri hampir kehabisan tenaga. Keringat dingin mu-
lai mengucur membasahi seluruh tubuhnya. Makin
lama pukulan hawa dingin yang dikerahkannya makin
mengendur.
Saat itu pun Umbara Komang datang menye-
rang. Sekali lompat ia sudah berada di hadapan Ni
Klesung Rangit. Mengetahui adanya Umbara Komang
datang menyerang, Ni Klesung Rangit langsung berba-
lik menghadapi Umbara Komang. Namun hantaman
Umbara Komang yang sangat keras menghantam dada
tidak sempat dihindari. Saat itu pun kesepuluh jari hi-
tam Ni Klesung Rangit cepat mengeluarkan serat yang
datang langsung melilit di tubuh Umbara Komang.
Dengan geram Wintara datang menerjang. Han-
taman-hantamannya sengaja diarahkan pada lengan-
lengan Ni Klesung Rangit. Namun sosok hitam itu sea-
kan tidak merasakan hantaman-hantaman Wintara,
Sementara Umbara Komang kalang kabut meronta-
ronta dari lilitan serat 'Gelugut Manik'. Makin keras
Wintara mengarahkan hantamannya. Ni Klesung Ran-
git menyemburkan darah untuk kesekian kalinya. Na-
mun ia masih saja mengeluarkan serat-serat itu seba-
gai senjata andalannya. Lilitan di tubuh Umbara Ko-
mang makin tebal. Dirasakan pula oleh Umbara Ko-
mang lilitan itu semakin mengkerut bagai mengiris-
ngiris tubuhnya. Wintara sudah berupaya melepaskan
segala macam pukulan untuk menghentikan serangan
Ni Klesung Rangit. Usahanya itu hanya sia-sia belaka.
Di luar dugaan, Umbara Komang melesat ke
atas. Ia tidak perduli tubuhnya terlilit serat 'Gelugut
Manik' yang makin kencang. Meskipun ia tidak dapat
melancarkan serangan, Umbara Komang berlari men-
gelilingi Ni Klesung Rangit. Membuat sosok hitam Ni
Klesung Rangit ikut terbelit oleh senjatanya sendiri.
Seluruh tubuh Umbara Komang mengeluarkan
darah dari setiap belitan serat. Sekalipun ia menge-
rahkan tenaganya. Belitan serat 'Gelugut Manik' tidak
dapat dilepaskannya. Terasa sekali serat yang alot ba-
gai kawat itu menggerogoti daging yang melekat di tu-
buh Umbara Komang.
Ni Klesung Rangit sendiri menjerit-jerit beron-
tak dari belitan senjatanya. Ia tidak dapat menghenti-
kan serat 'Gelugut Manik' yang terus menerus keluar
dari kesepuluh jarinya. Apalagi Wintara melancarkan
hantaman dengan bertubi-tubi.
"Dewa toloooong... Aaaaarght!" jeritan Umbara
Komang, tubuhnya telah memerah bercampur darah.
"Kerahkan seluruh tenaga dalam mu Umbara!"
Wintara menghimpun pukulan hawa dinginnya. Umba-
ra Komang kelojotan menahan sakit yang tak terkira.
"Hraaaa...!" Wintara menghentakkan kedua te-
lapak tangannya ke depan mengarah pada Umbara
Komang... "Bledaaar!" Sosok Umbara Komang mencelat
jauh. Bersamaan dengan itu seluruh belitan serat han-
cur bagaikan ribuan batang jarum yang berhamburan.
Tubuh Umbara Komang jatuh diam bersimbah darah.
Wintara cepat menghampiri tubuh itu. Sosok Umbara
Komang tetap diam tak bergeming.
"Wuaaaaa...!" Terdengar jeritan panjang dari
mulut Ni Klesung Rangit. Tubuhnya telah penuh den-
gan serat 'Gelugut Manik'. Wintara menatap ngeri saat
serat-serat itu mengkerut melumatkan tubuh Ni Kle-
sung Rangit. Jeritannya berhenti tatkala tubuh hitam
menjadi potongan-potongan daging segar.
*
* *
Istri Ki Sangga Wana maupun kedua anak pe-
rawannya menangisi sosok yang terpisah-pisah. Malam
itu Ki Sangga Wana mengalami kematian yang sangat
mengerikan. Potongan-potongan tubuhnya telah ter-
kumpul menjadi satu dalam bungkusan selembar kain.
Tak ada seorang pun yang berani melihat tubuh han-
cur Ki Sangga Wana.
Rowok Tunggel masih bersandar menahan sakit
pada tulang rusuknya. Orang-orang Suku Pedalaman
Bangsa Bajor banyak mengerubungi. Beberapa orang
nampak tengah mengobati luka-luka Rowok Tunggel.
Sedangkan penduduk kampung hanya terdiam membi-
su menatap pada keluarga Ki Sangga Wana.
Api unggun masih menyala menerangi pelata
ran desa. Suasana itu tidak lebih seperti medan pe-
rang. Beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pela-
taran. Kebanyakan mayat-mayat itu dari penduduk
Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Penduduk kampung
itu sendiri hanya satu dua orang yang menjadi korban.
Bagi Suku Pedalaman Bangsa Bajor, kematian
adalah hal yang biasa. Mereka lebih mementingkan
orang-orang yang terluka. Namun bagi penduduk
kampung, mereka harus meraung-raung menangisi
mayat para keluarganya. Rowok Tunggel memaklumi
akan hal itu. Ia seperti menyesali peristiwa yang me-
landa desa. Apalagi yang menjadi topik persoalan ada-
lah ibunya. Ni Klesung Rangit... Entah perasaan apa
yang ada di dalam Rowok Tunggel. Namun nyatanya
para penduduk kampung desa itu malah ikut merawat
luka-lukanya. Dan Rowok Tunggel tak dapat menolak
uluran tangan mereka.
Saat itu di mulut desa telah muncul orang yang
sangat dinanti-nantikan. Wintara dengan lunglai me-
mapah tubuh Umbara Komang yang telah berlumuran
darah. Di sampingnya seorang gadis kecil ikut melang-
kah memegangi ujung baju bulu Wintara. Mereka me-
langkah menuju kerumunan di pelataran. Langkah-
langkah Wintara yang cukup menggetarkan itu menja-
di perhatian penduduk kampung. Orang-orang itu ber-
serabutan mendekati Wintara. Mereka mengiringi bagai
menyambut seorang pahlawan perang. Rowok Tunggel
berjingkat bangkit ikut berlari menyusul para pendu-
duk yang datang mengerubungi Wintara.
"Itu ayahmu, Langsih. Sudah dua tahun ia me-
rindukan kamu." Orang-orang kampung memberi jalan
pada Rowok Tunggel yang menerobos kerumunan. Dia
langsung memeluk Dwi Langsih erat-erat. Gadis kecil
itu diam tak mengerti.
"Maafkan aku, Rowok Tunggel... Aku tak dapat
menyelamatkan ibumu. Ia termakan oleh ilmunya sen-
diri." kata Wintara menatap Rowok Tunggel penuh ha-
ru.
"Tak ada yang perlu ku maafkan, Pendekar he-
bat... Ni Klesung Rangit memang harus mengorbankan
dirinya sendiri. Hanya itu jalan satu-satunya." jawab
Rowok Tunggel. Pelukannya makin erat merengkuh
Dwi Langsih.
"Bagaimana keadaan sobat Umbara Komang?
Nampaknya ia begitu parah." tanya Rowok Tunggel.
Wintara tidak menjawab. Kedua matanya menatap ke
bawah pada Umbara Komang yang diam dalam papa-
han Wintara. Tapi Wintara mendadak kaget. Ia melihat
sebelah mata Umbara Komang mendelik...
"Apakah kita sudah sampai di desa?"
Suara Umbara Komang lancar. "Sompret! Kau
mengerjai aku!" Wintara melepaskan papahannya.
Umbara Komang jatuh berdegum di tanah. "Ha ha ha
ha ha...!" Ia malah tertawa ngakak.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar