Jumat, 10 Januari 2025

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE SETAN GILA DARI LERENG UNGARAN

matjenuh

 

Cerita ini adalah fiktif.

Persamaan nama, tempat dan ide, 

hanya kebetulan belaka

SETAN GILA DARI LERENG UNGARAN

Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991 

Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apa-

pun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti

dalam episode: Setan Gila Dari Lereng Ungaran


SATU


"Gunung mau meledak! Langit mau runtuh! Bi-

ar saja bumi retak! Apa betul padang pasir ini tiada ba-

tasnya?..." celoteh Umbara Komang nyaring. Ia duduk 

menunggangi kudanya yang berjalan tenang. Hampa-

ran pasir membentang di hadapannya seperti tanpa 

batas. Sejauh mata memandang Umbara Komang tidak 

melihat apa-apa kecuali bukit-bukit berdiri samar di 

kejauhan.

"Kiamat sekalipun aku tidak gentar!" Suaranya 

makin parau terdengar. Manakala matahari keriput. 

Keringatnya sudah lengket dengan debu dan pasir. 

Manakala matahari terus mencorot mengundang pa-

nas, dan hembusan angin semakin kencang menebar-

kan debu-debu menerpa tubuhnya. Sering kali ia me-

lindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya 

dari terpaan pasir debu.

Perjalanannya mengarungi padang pasir yang 

sangat luas itu bagaikan sebatang jarum yang terka-

tung-katung di dasar lautan. Dia sendiri tidak tahu 

akan ke mana tujuannya. Umbara Komang hanya du-

duk tenang, tertawa oleh langkah-langkah kudanya. 

Lelaki berpenyakit senewen ini sudah tidak ingat apa 

yang telah terjadi sebelumnya. Yang ia rasakan hanya-

lah rasa sakit serta nyeri di sekujur tubuhnya. Pada 

hal beberapa jam yang lalu Umbara Komang ikut ber-

tempur membantu orang-orang kerajaan. Dan ia juga 

sempat mengenal erat dengan seorang pendekar yang 

sangat berilmu tinggi. Bersama seorang Pendekar Pen-

gelana Sakti, ia ikut bertempur bahu membahu me-

lumpuhkan seorang tokoh kosen dari golongan hitam 

(Untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa mengi-

kuti dalam cerita: Bidadari Kuil Neraka).



Kalaupun sekarang ia terkatung-katung sendi-

rian mengarungi hamparan padang pasir, itu kemaua-

nnya sendiri. Setelah mereka berhasil menjatuhkan to-

koh sesat itu, ia sengaja memisahkan diri. Atas dasar 

kemauannya, siapa pun tidak ada yang dapat mengha-

langinya.

Dalam perjalanannya ia selalu mengingat sosok 

tubuh kekar seorang pendekar muda yang dianggap-

nya seperti 'dewa'. Yang begitu gigih berjuang bahkan 

sempat menyelamatkan nyawanya. Hanya itu yang dia 

ingat. Sekarang pikirannya hanya tertuju pada hampa-

ran pasir yang tidak pernah berhenti menyebarkan pa-

sir debu.

Dari ketinggian sosok kuda itu tidak lebih se-

perti sebuah titik yang bergeser sedikit demi sedikit 

dengan meninggalkan jejak pada dataran pasir. Jejak-

jejak itu membentuk sebuah garis yang memanjang 

mengikuti ke mana langkah kaki kuda bergerak maju 

di bawah mencorotnya sinar terik.

"Sial! Aku tadi hanya bergurau...! Kenapa jadi 

sungguhan!" gerutu Umbara Komang menatap langit 

yang tadi biru, kini tiba-tiba saja berubah keruh. Awan 

bergumpul-gumpal bergerak demikian cepat seakan-

akan benar-benar hendak ambruk.

"Celaka! Langit mau runtuh, di sini tidak ada 

tempat untuk berlindung...." Umbara Komang ketaku-

tan. Dan saat itu suasana berubah gelap. Angin men-

deru-deru kencang melanda dataran pasir. Mengoyak-

kan seluruh permukaan dataran itu.

Kuda yang ditunggangi Umbara Komang me-

ringkik keras sambil kedua kaki depannya terangkat 

ke atas menyepak-nyepak. Bulu-bulu yang tumbuh di 

sepanjang lehernya bergerak-gerak tertiup angin yang 

sangat kencang. Umbara Komang sendiri setengah ma-

ti mengimbangi tubuhnya di atas punggung kudanya.


Ia berusaha keras memegang tali kekang. Sementara 

kuda yang ditunggangi itu terombang ambing terbawa 

oleh gerakan angin yang mendorong begitu deras.

Belum habis ia berusaha mengimbangi tubuh-

nya dari amukan kuda yang ditungganginya, menda-

dak kuda itu terbanting ke samping. Sedangkan Um-

bara Komang sendiri ikut terbanting berdegum di ta-

nah dengan sangat keras. Angin menderu-deru bagai-

kan badai.

Pasir debu menerpa tubuhnya semakin deras. 

Ia tidak sanggup membuka matanya. Umbara Komang 

hanya tetap berpegangan pada tali kekang. Dan ia 

sendiri tidak mengerti kenapa angin yang bertiup san-

gat kencang itu mampu menerbangkan tubuhnya. Un-

tung saja ia berpegangan kuat pada tali kekang. Me-

mang tidak dapat diatasi lagi. Angin yang menderu-

deru kencang itu mampu mendorong tubuh Umbara 

Komang bersama kudanya sehingga bergulingan di da-

taran berpasir.

Manakala langit makin gelap tertutup awan hi-

tam yang merambat di cakrawala. Debu-debu beter-

bangan memenuhi seluruh dataran itu. Membuat mata 

Umbara Komang semakin rapat terkatup. Untuk ber-

nafas saja demikian sesak. Ia seperti mati konyol di-

buatnya. Dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa.

Sementara tubuhnya kini mulai terombang 

ambing terdorong oleh hembusan angin. Dari kejauhan 

nampak tubuhnya mengapung-apung di atas permu-

kaan dataran padang pasir. Untung saja ia berpegan-

gan erat pada kekang yang menjerat di leher kudanya. 

Kalau tidak tentu Umbara Komang sudah terbawa ha-

nyut oleh angin yang maha ganas itu. Didengarnya pu-

la deru angin makin kencang. Bergemuruh laksana ri-

buan jarum yang menerpa di tubuhnya.

Sesaat ia membuka matanya. Bukan main Umbara Komang terkejut. Di hadapannya nampak pusa-

ran angin berwarna hitam kecoklatan bergulung-

gulung. Pusaran angin itu memporak-porandakan se-

luruh tanah berpasir yang dilaluinya. Umbara Komang 

memekik nyaring saat pusaran angin itu kian mende-

kat menerjang. Tubuh serta kudanya tidak dapat ber-

tahan lagi. Dan ketika pusaran angin itu melandanya, 

tahu-tahu saja keduanya bagai tersedot masuk dalam 

gulungan angin yang berwarna hitam kecoklatan.

Keduanya berputar-putar semakin tinggi dalam

pusaran angin. Teriakan Umbara Komang dan ringkik 

kuda terdengar nyaring dari ketinggian. Keduanya 

nampak seperti sosok-sosok kecil yang melayang-

layang dalam pusaran angin. Dan lagi pusaran angin 

itu membawanya semakin jauh. Sesaat kemudian, su-

asana berubah tenang kembali. Gemuruh angin masih 

terdengar meskipun sayup-sayup. Pusaran angin telah 

berlalu. Namun dari kejauhan masih nampak bagai 

sebuah tiang yang menjulang ke atas. Di mana di 

atasnya masih bergumpal awan-awan hitam berteba-

ran. Lalu tak lama tiang hitam itu menghilang entah ke 

mana. Langit kembali membiru bersama sinar mataha-

ri yang terik mencorot ke bumi. Pada dataran padang 

pasir membekas jejak-jejak pusaran angin yang baru 

saja lewat. Jejak-jejak itu memanjang berliku-liku ba-

gai sebuah galian memanjang sepanjang dataran itu. 

Tapi lebih mirip lagi jejak-jejak seperti bekas seekor 

ular raksasa.

Seperti apapun jejak-jejak pusaran angin itu, 

bagi Umbara Komang tidak lain bagaikan maut yang 

merenggut nyawanya. Baginya memang terlalu awam 

untuk melintasi dataran itu. Dan ia tidak menduga 

sama sekali kalau ia akan menghadapi badai angin 

yang demikian dahsyatnya.

Itulah sebabnya banyak orang dari kalangan



manapun tidak berani melintasi dataran tersebut. Ka-

rena sering terjadi hal-hal yang tak terduga seperti ini. 

Begitu tolol Umbara Komang melintasi dataran itu 

sendirian yang akhirnya harus menempuh bahaya be-

resiko berat. Bagaimana pun Umbara Komang harus 

menerima nasibnya.

Seperti yang sudah-sudah, belum pernah ada 

terdengar segelintir nyawa yang bisa selamat dari ama-

rah pusaran angin. Dibawa berputar-putar setinggi 

langit itu saja sudah sampai pingsan. Apalagi sampai 

terbanting dari ketinggian? Itu yang diketahui oleh ba-

nyak orang.

Bagaimana dengan nasib Umbara Komang? 

Mungkinkah ia bernasib sama seperti korban-korban 

lainnya? Sampai detik ini belum dapat diketahui. Ba-

dai pusaran angin membawanya semakin tinggi dan 

menjauh.

Umbara Komang sendiri sudah tidak sadarkan 

diri. Tubuhnya hanya mengikuti dan berputar dalam 

badai angin yang membawanya pergi. Sebenarnya ba-

dai pusaran angin yang ganas itu tidak sedahsyat tadi. 

Setelah melewati dataran padang pasir badai pusaran 

angin kian melemah. Tubuh Umbara Komang dan ku-

danya yang hanyut di dalamnya tidak lagi terombang 

ambing tinggi. Keduanya makin perlahan turun. Perla-

han pula badai pusaran angin bergemuruh. Warnanya 

tidak lagi hitam. Awan di atasnya bergerak berpenca-

ran. Lalu tempat itu menjadi terang dengan seketika. 

Bersamaan itu pula badai pusaran angin hilang.

Mendadak saja tubuh Umbara Komang beserta 

kudanya jatuh ke bawah. Keduanya meluncur deras ke 

bawah. Sedang di bawahnya telah menunggu sebuah 

dataran baru yang banyak ditumbuhi pepohonan.

Dataran yang menghijau itu tidak lain dari se-

buah lembah pembatas dataran berpasir. Ke lembah


tersebut mereka terjatuh Kuda yang memiliki bobot le-

bih berat dari Umbara Komang meluncur lebih dulu.

Kuda itu meringkik-ringkik saat tubuhnya ja-

tuh menerobos rimbunnya dedaunan. Terdengar pula 

derak cabang pohon yang patah akibat benturan. Lalu 

sebuah deguman bergedebuk sangat nyaring pada 

permukaan tanah.

Saat itu pun tubuh Umbara Komang mulai ja-

tuh menerobos dedaunan. Tubuhnya meluncur terus 

ke bawah, dan berkali-kali membentur cabang-cabang 

pohon yang tumbuh di sana sini. Tapi untuk terakhir 

kali, tidak terdengar deguman sosok tubuh yang mem-

bentur permukaan tanah. Dasar lembah yang banyak 

ditumbuhi pepohonan sebesar-besar raksasa nampak 

sunyi. Akar-akar pohon yang merambat tak beraturan 

bergetar perlahan. Tidak terhitung pula betapa ting-

ginya pohon-pohon yang memenuhi lembah itu.

Sosok Umbara Komang tersangkut lemas pada 

cabang pohon yang agak besar. Matanya membiru aki-

bat benturan cabang pohon yang berada di atas. Di 

bawahnya, di atas permukaan tanah berumput terku-

lai pula sosok seekor kuda terbalik dengan tulang 

punggung yang patah. Sehingga bentuk kuda itu tidak 

karuan lagi. Pada tubuh kuda itu banyak menancap 

pohon-pohon onak yang bergerombol di sekitarnya.

Kuda yang malang itu tewas mengerikan. Kepa-

lanya nampak berkelojotan sambil menyemburkan da-

rah yang keluar dari sederetan giginya yang terkatup 

rapat. Untuk kemudian diam tak bergeming. Puluhan 

meter di atasnya, tubuh Umbara Komang masih ter-

gantung di atas cabang pohon. Tubuh lelaki itu pun 

sama diamnya. Dedaunan yang berada di atas berjatu-

han ke bumi akibat terobosan tubuh Umbara Komang. 

Bersamaan dengan itu pun burung-burung yang ber-

sarang di atas pohon beterbangan menimbulkan suara


bergemericit meriuhkan suasana lembah. Kepak-kepak 

sayap mereka menandakan bahwa mereka berpindah 

tempat ke pohon lainnya.

Sampai segerombolan orang berdatangan ke 

tempat itu, Umbara Komang belum juga sadar dari 

pingsannya. Orang-orang itu nampak bertelanjang da-

da semua. Dan hampir rata-rata bersenjatakan tombak 

maupun panah. Mereka langsung mengelilingi bangkai 

kuda yang tergeletak di tanah. Dua orang di antaranya 

yang membawa golok melangkah ke tengah dan lang-

sung mencabut dari pinggang mereka.

Tanpa diperintah lagi kedua orang itu memo-

tong-motong tubuh kuda itu menjadi beberapa bagian. 

Yang lain menampani potongan-potongan daging itu. 

Setiap potongan masih mengeluarkan darah segar. 

Membuat mereka makin bersemangat memutus-

mutuskan bagian tubuh kuda.

Sebenarnya mereka tidak tahu kalau di atas 

sana masih ada sosok tubuh tersangkut pada cabang 

pohon yang sangat tinggi. Karena darah yang menetes 

dari atas semakin deras. Mereka semua yang berada di 

bawah kalang kabut menoleh ke atas. Dan yang mere-

ka lihat memang sosok tubuh seorang lelaki tersang-

kut.

"Rezeki besar! Binatang apalagi yang ada di 

atas sana?"

"Nampaknya seperti orang hutan. Ia pun sama

mampusnya seperti kuda ini," jawab salah seorang te-

mannya. Gerombolan itu menengadah ke atas semua.

"Melihat dari darahnya pastilah bangkai itu 

masih segar!"

"Bangkai apapun di sana, ambil saja.... Toh kita 

memang tengah kekurangan makanan... Ayo beberapa

orang naik ke atas untuk mengambilnya!" perintah se-

seorang yang bermuka garang ditumbuhi berewok.


Maka dua orang sekaligus memanjat ke atas pohon. 

Mereka dengan mudah dapat naik ke atas dengan ce-

pat. Karena hampir di sekeliling batang pohon raksasa 

itu banyak akar-akar merambat sampai ke atas. Jadi 

mereka berdua tidak menemui kesulitan apapun. Se-

lain itu mereka memang sudah terbiasa melakukan hal 

yang seperti itu. Gerak-gerik mereka bagaikan dua 

ekor kera yang sangat lincah.

Orang-orang yang berada di bawah hampir se-

lesai memotongi tubuh kuda yang kini tinggal bagian 

tubuh plontos tanpa kaki dan kepala. Pemimpin mere-

ka yang seram penuh berewok masih menatap ke atas 

memandangi kedua orang yang melompat-lompat 

mendekati cabang pohon di mana Umbara Komang 

tersangkut. Setelah berada pada cabang itu, keduanya 

mengernyitkan alis.

"Rowok Tunggel! Dia bukan binatang ataupun 

orang hutan!" teriak salah seorang orang yang disebut 

Rowok Tunggel kurang jelas mendengar.

"Bicaralah yang keras! Aku tidak mendengar 

suaramu...!" jawab Rowok Tunggel dari bawah.

"Dia bukan binatang apapun! Tapi manusia 

yang terluka!" teriak orang di atas itu lebih keras. Ro-

wok Tunggel keheranan seperti tidak percaya dengan 

ucapan anak buahnya. Nampak pula dua orang itu 

mendekati sosok tubuh yang tersangkut.

"Manusia?... Kalau sudah mampus tinggalkan 

saja, tapi jika masih hidup...." teriak Rowok Tunggel 

belum habis.

"Orang ini masih hidup!" jawaban dari atas po-

hon.

"Bawa turun ke sini!" perintah Rowok Tunggel. 

Setelah itu menggerutu....

"Edan.... Iblis mana yang telah melemparkan 

orang itu sedemikian tingginya. Aku jadi heran, sejak

tadi mengitari tempat ini tidak mendengar suara apa-

apa. Kenapa sekarang ada sosok seseorang yang terlu-

ka. Dan lagi bangkai kuda ini seperti terjatuh dari lan-

git." Rowok Tunggel menunggu kedua orang anak 

buahnya turun membawa tubuh Umbara Komang dari 

atas pohon.

*

**

DUA



Wintara hanya tersenyum menatap orang-orang 

yang melambaikan tangannya. Belasan kuda berikut 

lengkap dengan para penunggangnya melepaskan ke-

pergian seorang Pendekar Pengelana Sakti. Salah seo-

rang lelaki bersama seorang gadis duduk di atas pelan 

dalam satu kuda melambai-lambaikan tangannya,

"Selamat jalan pendekar... Aku berterima kasih 

sekali padamu!" teriak lelaki itu

"Jangan sungkan-sungkan kalau mau singgah 

di Rogojembangan. Kami semua akan menyambut 

dengan tangan terbuka...!" teriaknya lagi. Wintara 

nyengir, sebelah tangannya membalas lambaian tan-

gan mereka. Ia pun nampak gagah menunggangi see-

kor kuda putih.

"Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi, Ra-

den... Cepatlah kembali ke kota, tentunya kalian harus 

cepat-cepat menikah." jawab Wintara. Gadis yang du-

duk di depan lelaki itu tersenyum malu. Kuda yang 

mereka tunggangi menyepak-nyepak seakan-akan ikut 

menyalami kepergian Pendekar Kelana Sakti itu. Lalu 

tempat itu menjadi sunyi. Lambaian tangan dari bela-

san orang melemah turun. Mereka semua menatap ke


pergian seekor kuda putih yang ditunggangi Wintara. 

Kuda itu membawanya pergi menjauh dari belasan ku-

da yang masih berdiri di situ.

Mereka belum beranjak sebelum Wintara betul-

betul hilang dari pandangan mata. Lama kelamaan so-

sok kuda putih itu makin mengecil dan hilang bagai di-

telan bumi. Wintara menghela kudanya kuat-kuat, 

maka kuda putih melaju cepat diiringi dengan derap 

langkah yang menyapu dataran tanah perbukitan.

Dilaluinya semak-semak kering yang berderet 

di sepanjang jalan yang menurun ke bawah. Jalan itu 

berliku-liku menuju ke sebuah tanah subur. Dan Win-

tara sendiri sudah berada jauh dari tanah Rogojem-

bangan. Manakala kuda putih yang ditungganginya 

makin cepat berlari. Tanah yang dilaluinya mulai nam-

pak menghijau ditumbuhi rerumputan.

Saat matahari mulai tenggelam, barulah ia tiba 

di salah satu desa. Meskipun tidak begitu ramai, desa 

itu nampak banyak dilalui orang. Kebanyakan dari 

orang-orang itu hanyalah penduduk asli. Wintara 

menghentikan kudanya tepat di depan sebuah gapura 

yang berdiri di mulut desa.

Dan ia menjadi terkejut sekali saat ia melihat 

beberapa penduduk berlarian masuk ke dalam rumah. 

Wintara semakin penasaran. Ia turun dari kudanya 

dan menuntun memasuki desa. Kedua matanya me-

mandangi orang-orang yang berlarian memasuki gu-

buknya.

Apa yang membuat mereka takut. Wintara sen-

diri semakin tidak mengerti. Sejak kehadirannya di de-

sa itu semua orang belingsatan berlarian sembunyi. 

Dua orang penduduk desa yang semula duduk-duduk 

berbincang langsung melompat ketika melihat Wintara 

melangkah mendekati mereka. Keduanya berlarian 

masuk dan mengunci pintu gubuk sampai berderak.


Wintara menatap heran.

Dalam sekejap saja desa itu menjadi sunyi. 

Wintara memandangi sekeliling desa. Ia tidak me-

nyangka sama sekali kalau akan mengalami perlakuan 

seperti ini. Pastilah mereka takut akan kehadirannya.

"Hooooiiiii...! Para penduduk desa...! Kenapa 

kalian semua bersembunyi!" Wintara berteriak-teriak. 

Suaranya menggelegar dan menggetarkan seisi kam-

pung. Ia pun menambatkan kudanya pada sebatang 

pohon, lalu....

"Kalau kalian tidak mau keluar, aku tidak akan 

pergi dari sini...! Keluarlah!"

Tidak ada jawaban. Suasana desa nampak sepi 

bagai mati.

Pendekar Kelana Sakti memandang berkeliling 

mengawasi tiap-tiap gubuk. Semua pintu nampak ter-

tutup rapat. Wintara membuang nafasnya kuat-kuat. 

Lalu berjalan melangkah melewati tiap-tiap muka ha-

laman gubuk. Langkah-langkah Wintara membuat jan-

tung pemilik gubuk yang dilaluinya berdegup ketaku-

tan.

Sementara hari mulai merambat gelap. Tanpa 

seorang pun yang berani memasang pelita. Ringkik 

kuda putih yang tertambat pada batang pohon sesekali 

terdengar. Wintara masih berjalan mengitari desa itu.

"Aku bukan sebangsa setan atau jin sekalipun! 

Kenapa kalian semua takut!" Pada suasana gelap dan 

sunyi suara Wintara bergema.

"Baik! Aku akan tetap di sini sampai kalian ke-

luar semua!" bentak Wintara. Ia pun duduk di sebuah 

balai dekat kuda putihnya tertambat.

Dalam hatinya Wintara mengutuk orang-orang 

kampung. Jelas-jelas kedatangannya ke desa itu tidak 

ada maksud apa-apa. Ia hanya kebetulan lewat dan 

harus kemalaman di situ. Dan berharap ada seseorang


yang bersedia memberikan tempat untuk nya barang 

semalaman. Tapi kenyataannya yang ia terima sung-

guh di luar dugaan. Semua orang kampung berlarian 

sembunyi ketika melihat kedatangannya. Pastilah telah 

terjadi sesuatu di desa ini, pikir Wintara. Belum habis 

pikirannya menerawang, mendengar derit pintu bam-

bu. Segera saja Wintara menoleh ke arah suara. Gu-

buk itu tepat di hadapannya. Pintu bambu semakin 

terbuka lebar berderit. Lalu seorang anak perempuan 

kecil keluar dengan membawa sebuah pelita. Anak be-

rumur enam tahun itu melangkah menuju tiang gu-

buk, di mana pada tiang itu tergantung sebuah cem-

por.

Dengan susah payah bocah itu berjingkat-

jingkat menyalakan lampu cempor. Sudah tentu usa-

hanya itu akan sia-sia. Karena lampu cempor yang ter-

gantung di tiang jauh lebih tinggi dari jangkauannya.

Wintara yang melihat usaha bocah berumur 

enam tahun itu beranjak dari balai. Mana mungkin 

anak sekecil itu sanggup melakukannya? Dan yang 

pasti akan berbahaya untuk anak kecil itu. Kenapa ti-

dak orang tuanya saja yang menyalakannya.

Bocah kecil itu langsung berbalik dengan 

menggigil ketakutan setelah melihat Wintara berada di 

dekatnya.

"Cah ayu.... Kau hendak menyalakan pelita itu, 

bukan?" Wintara tersenyum. Tapi anak perempuan itu 

malah mundur ketakutan. Pendekar Kelana Sakti ber-

jongkok menghadapi. Ia menatap kedua bola mata 

yang berapi-api penuh keberanian. Dan Wintara pun 

berusaha seramah mungkin agar anak itu tidak ber-

prasangka buruk.

"Jangan takut, paman akan membantumu me-

nyalakannya.... Kau bersedia?" Wintara mengelus-elus 

kedua lengan yang gemetar. Anak itu diam membisu.



Tapi di wajahnya menunjukkan perasaan yang amat 

takut sekali.

"Ke marilah, paman akan menunjukkan bagai-

mana caranya...." Wintara menarik perlahan anak itu 

ke dalam pangkuannya. Lampu kecil dalam gengga-

man gadis itu masih meletup-letup menyala. Maka 

nampaklah wajah yang amat dekil dan kusam. Wintara 

mengangkat tubuh kecil itu.

"Siapa namamu, Cah ayu...?" tanya Wintara 

sambil membantu lengan kecil itu menjulurkan pelita 

yang menyala ke arah sumbu lampu cempor pada 

tiang gubuk.

Lampu cempor langsung menyala menerangi 

muka gubuk. Gadis kecil itu masih dalam gendongan 

Wintara. ia menatap dengan sorot mata yang kehera-

nan. Wintara membalasnya dengan senyuman. Men-

dadak saja....

"Siluman jahil! Lepaskan anak itu!" Tiba-tiba 

terdengar bentakan dari arah belakang. Wintara segera 

menoleh, tahu-tahu seseorang menyerang dengan 

membabatkan golok ke arahnya.... Wintara yang dalam 

keadaan menggendong seorang bocah sempat bergeser 

ke samping. Maka sabetan golok pun terhindar. Dalam 

keadaan seperti itu pun Wintara sempat membalas se-

rangan. "Bug!" Telak sekali tendangan itu bersarang di 

pinggang. Penyerang itu langsung ambruk merintih-

rintih kesakitan.

"Siluman keparat! Masih kurang puaskah kau 

menghirup darah orang-orang kampung ini? Sampai 

berapa banyak lagi korban yang kau inginkan!" Penye-

rang itu bersiap lagi mengangkat goloknya.

"Bicaramu ngawur, Sobat! Apakah rupa ku 

sangat menakutkan, sehingga kau menduga aku ini ib-

lis menghisap darah? Bicaralah yang tenang dan baik-

baik," ujar Wintara. Gadis kecil dalam gendongannya


memeluk erat leher pendekar itu.

"Tenanglah, Cah ayu.... Kau tak perlu takut...." 

bisik Wintara.

"Siluman laknat! Dia hanya seorang bocah yang 

tidak tahu apa-apa! Kalau saja kau membawanya, aku 

akan mengadu jiwa dengan mu!" Kali ini serangannya 

lebih garang. Babatan goloknya berkelebat ke sana ke 

mari. Wintara yang masih menggendong anak perem-

puan itu tidak sempat menurunkannya.

Tapi ia cukup tangkas berkelit menghindari ba-

batan-babatan golok. Sekali babatan golok menyambar 

di kepalanya, Wintara cukup menangkis dengan kedua 

jarinya, maka...."Trak!" Golok itu patah dua. Pemilik-

nya sendiri sampai terbengong-bengong.

"Kau hanya dikuasai perasaan emosi mu, so-

bat. Aku yakin kau adalah salah seorang penduduk 

yang berjiwa ksatria. Hanya sayang kau salah menem-

patkan perasaanmu."

"Ciis! Kau hanya berpura-pura siluman! Kenapa 

berbasa basi segala, siluman tengik macam kau me-

mang harus diberantas!" Orang itu maju lagi. Golok 

buntungnya meski tinggal separuh masih nampak ta-

jam berkilat. Dan berkelebat bersama teriakannya yang 

menggelegar. Wintara tenang menghantam lengan itu 

sampai goloknya terpental jauh. Detik itu pula tendan-

gan Wintara maju ke depan... "Des!" Melemparkan 

orang itu terbanting ke tanah. Tapi ia cepat bangkit 

menatap ke arah Wintara dengan pandangan nanar 

menahan sakit.

"Pergilah dan jangan sampai membuat bocah 

ini ketakutan!" bentak Wintara. Orang itu setelah me-

rangkak beberapa langkah, ia melarikan diri.

"Nah, kau sekarang tidak perlu takut lagi, Cah 

ayu."

"Namaku: Dwi Langsih, Paman... Dan aku ya


kin, paman bukanlah siluman jahat." ketus bocah kecil 

dalam gendongan Wintara.

"Bagaimana kau bisa yakin, Dwi Langsih...?" 

tanya Wintara dan ia menurunkan gadis kecil itu. Dwi 

Langsih meletakkan pelita kecil ke atas tanah.

"Kalau paman mau membunuhnya, paman bisa 

melakukan semudah paman mematahkan golok dari 

tangan Kang Birun...." jawabnya tegas.

"Ah! Ternyata kau gadis cilik yang cerdik, Dwi 

Langsih." Wintara mengelus-elus rambut Dwi Langsih. 

Bocah itu hanya tersenyum.

"Langsih.... Langsih.... Kau bicara dengan sia-

pa? Sudahkah engkau menyalakan lampu

cempor?" Keduanya menoleh ke dalam gubuk. 

Dan terlihatlah seorang nenek berjalan tertatih-tatih 

sambil meraba-raba. Langkahnya yang perlahan itu 

menuju ke luar.

"Kita kedatangan tamu, Nek... Tamu yang luar 

biasa," jawab Dwi Langsih menuntun nenek buta ke-

luar gubuk. Nenek buta menghentikan langkahnya. Ia 

tidak berani keluar melewati pintu.

"Kau terlalu gegabah, Langsih. Saat matahari 

tenggelam kau tidak boleh menerima tamu sembaran-

gan. Kau tahu, siluman jahat itu selalu datang pada 

saat-saat begini."

"Tapi dia bukan siluman, Nek... Paman ini 

hanya membantu menyalakan lampu cempor di tiang 

itu." Dwi Langsih menjelaskan.

"Dia juga menghajar Kang Birun yang telah ku-

rang ajar terhadap paman ini. Nenek tak perlu takut."

"Apa yang diucapkan Dwi Langsih terlalu berle-

bihan, Nek... Aku hanya seorang pengelana yang kebe-

tulan lewat di desa ini." Wintara ikut bersuara.

"Oh...." Nenek buta mengangguk. Tubuhnya 

yang bungkuk melangkah maju. Kedua lengannya


menggapai-gapai seperti ingin menyentuh pengelana 

itu. Dwi Langsih membantunya. Maka telapak tangan-

nya pun dapat meraba baju kulit binatang yang dike-

nakan Wintara.

"Ma-masuklah.... Tidak baik berlama-lama di 

luar." kata nenek buta. Ia pun dituntun ke dalam 

kembali oleh Dwi Langsih. Wintara mengikuti melang-

kah di belakang. "Langsih, sediakan air minum buat 

paman. Kau harus sopan melayani tamu." Nenek itu 

dituntun mendekati sebuah balai lalu ia pun duduk di 

situ.

Tanpa dipersilahkan Wintara langsung duduk 

pada kursi yang tersandar di bilik. Dwi Langsih menu-

angkan segelas air kemudian menyodorkannya pada 

Wintara. Lelaki itu menerimanya.

"Kenapa Kang Birun sampai bentrok dengan 

pengelana itu, Langsih?" tanya nenek buta dengan su-

ara parau. Kelopak matanya yang tertutup rapat seo-

lah-olah menatap tajam ke arah Wintara. Dwi Langsih 

belum jauh dari sisi Wintara.

"Semua salah Kang Birun, Nek. Kang Birun 

menuduh paman ini siluman jahat. Malah Kang Birun 

menyerang lebih dulu. Untung saja paman seorang 

yang berilmu tinggi... Kang Birun dibuatnya merang-

kak," jawab Dwi Langsih.

"Pantas saja Kang Birun mengiranya siluman. 

Karena pengelana ini sangat asing di desa ini. Kau 

sendirikan tahu...? Siluman jahat memang setiap kali 

mengambil korban di sini. Lagipula semua anak isteri 

Kang Birun telah habis menjadi korban siluman itu. 

Pantaslah dia menjadi kalap sekali melihat orang as-

ing." kata nenek buta yang nampak mulai merebahkan 

tubuhnya di atas balai.

“Aku rasa bukan hanya dia yang menganggap 

aku siluman. Semua orang kampung ini merasa takut

dan bersembunyi ketika melihat kehadiranku, menga-

pa demikian, Nek?" Wintara bertanya heran. Nenek bu-

ta seperti tersenyum dan berpaling ke arah suara Win-

tara. 

"Menurut kabar, siluman itu dapat berganti-

ganti rupa. Wajarlah kalau mereka merasa takut ter-

hadap orang asing yang memasuki kampung ini." 

Begitu ganaskah siluman itu?" 

"Tentu saja! Semua korbannya seperti kehabi-

san darah dengan batok kepala yang berlubang sebe-

sar telapak tangan. Tapi syukurlah... Aku yang sudah 

renta ini belum pernah menemuinya, hanya aku kha-

watir terhadap cucuku Dwi Langsih...."

*

* *

TIGA


Nenek buta menceritakan keadaan korban ke-

ganasan siluman dengan sungguh-sungguh. Padahal 

kedua matanya buta. Tapi ia bisa membeberkan semua 

yang terjadi seperti ia melihatnya sendiri.

"Untung siluman itu belum berpaling kepada 

kami, entah esok atau lusa pastilah kami menjadi kor-

bannya..." nenek buta terbaring rebah seolah menera-

wang ke atas atap. Semuanya tetap gelap. Dwi Langsih 

melangkah mendekat, lalu memijit-mijit tubuh keriput 

itu yang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam.

"Apakah kepala kampung sama sekali tidak me-

lakukan tindakan. Sebenarnya kalau seluruh pendu-

duk kampung bersatu, aku rasa mereka bisa mengata-

si kesulitan." Ucapan Wintara pelan, tapi cukup mem-

buat nenek buta berpaling lagi ke arahnya. Orang


orang kampung sama sekali tidak mempunyai nyali. 

Apalagi kepala kampung, dia tidak pernah mau perdu-

li. Pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki di tum-

pukan hartanya," kata nenek itu.

"Bicara nenek terlalu kencang. Nanti terdengar 

orang," kata Dwi Langsih berhenti memijit.

"Mana ada orang yang berani berkeliaran di 

saat begini! Kau pun harus segera tidur, Langsih. Ti-

dak baik anak sekecil kau ikut campur pembicaraan 

orang tua." Suara nenek itu parau sekali. Dwi Langsih

nunduk terdiam, ia melangkah lesu ke sudut ruangan 

yang sudah tersedia sebuah tikar untuknya berebah.

Wintara memandangi keluguan gadis kecil itu. 

Sekarang gadis kecil itu telungkup di atas tikar. Seben-

tar saja dengkurnya sudah mengalun menyusul.

Lelaki pengelana masih duduk bersandar pada 

bangku kayu. Air dalam gelas bambu masih utuh. 

Wintara meletakannya di atas meja sebelahnya. Tu-

buhnya sudah nampak letih betul, dan ia memang per-

lu beristirahat.

"Maaf, anak muda. Aku tidak memiliki perse-

diaan tikar. Kau bisa tidur di kursi itu bukan...?" kata 

nenek itu acuh. Tubuhnya tetap terlentang. Mulutnya 

menganga perlihatkan gusinya yang mengkilat tanpa 

sebutir gigi.

"Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Nek... Ma-

lah aku telah mengganggu ketenangan di sini. Besok 

pun pagi-pagi sekali aku harus pergi dari kampung 

ini."

"Kenapa harus buru-buru? Tidak inginkah kau 

mengungkap malapetaka ini?"

*

* *


Suasana malam di pedalaman yang dipenuhi 

hutan belukar, di mana pohon-pohon berdiri tegar ba-

gai raksasa nampak ramai. Orang-orang bertelanjang 

dada banyak berdatangan memenuhi suatu tempat. 

Empat api unggun yang meletup-letup sejak tadi sore 

sudah menyala. Sekeliling tempat itu penuh sesak 

dengan manusia-manusia bertelanjang dada. Seper-

tinya mereka tengah menunggu sesuatu.

Di tengah-tengah kerumunan itu terlentang so-

sok tubuh penuh luka memar. Tubuh itu terlentang di 

atas tumpukan gedebong-gedebong pisang yang dis-

usun rapi. Di bawahnya bertaburan bara-bara api yang 

menggarang sosok tubuh terlentang itu.

Setumpukan daging yang sudah terpotong-

potong membukit beralasan pelepah-pelepah daun pi-

sang berada pada tiap-tiap api unggun. Beberapa 

orang pun siap membakar daging-daging itu. Dan se-

mua orang yang mengerumuni tempat itu seperti tidak 

sabar menunggu kenikmatan daging bakar. Tiba-tiba 

saja keriuhan itu mendadak berhenti. Dalam suasana 

sepi itu terdengar beberapa orang meniup terompet da-

ri tanduk, juga terdengar suara genderang yang berta-

lu-talu. Tanda aba-aba itu bersumber dari atas pohon.

Tapi semua orang yang mengerumuni tempat 

itu seperti mengerti akan aba-aba yang menguman-

dang itu. Maka dengan serempak kerumunan itu lang-

sung bergeser. Dari keluangan itu muncullah beberapa 

orang melangkah cepat. Mereka langsung menuju ke 

tengah lapangan di mana sosok tubuh tergarang di 

atas susunan gedebong pisang.

"Semuanya sudah dipersiapkan?" Suara Rowok 

Tunggel memecah kesunyian. Seseorang yang berdiri di 

sebelahnya menganggukkan kepala. Dua orang lagi 

yang ada di belakangnya berjalan mendekati sosok 

terlentang itu.


"Balur seluruh tubuhnya dengan daun-daun ja-

rak. Dan juga sediakan darah anjing hutan secepat-

nya." Kedua orang itu menuruti perintah Rowok Tung-

gel.

"Siapa pun orang ini kita harus berusaha me-

nyelamatkannya. Kalau saja orang ini bisa hidup, itu 

berarti warga pedalaman lereng Ungaran bertambah 

satu." kata Rowok Tunggel sambil melangkah ke arah 

dua orang itu. Di hadapannya sebuah pendulangan 

besar tersedia berisi cairan kental berwarna merah. 

Rowok Tunggel mencelupkan kedua lengannya ke da-

lam pendulangan. Maka begitu ia menarik ke luar 

kembali, kedua lengannya telah berlumuran darah anj-

ing hutan.

Semua mata yang memandang mengelilingi 

menyaksikan Rowok Tunggel membasuh mukanya 

dengan darah. Wajah yang penuh berewok makin tam-

pak menyeramkan. Lalu ia membalur seluruh tubuh-

nya dengan sisa-sisa darah yang masih tersisa di ke-

dua lengannya. Dua orang yang tadi ikut membantu

segera menyingkir. Membiarkan Rowok Tunggel berdiri 

sendiri menghadap sosok yang terlentang itu Orang-

orang yang berdiri berkeliling tempat itu serempak 

membacakan mantra saat Rowok Tunggel mengangkat 

kedua lengannya ke atas. Maka terdengarlah seperti 

raungan harimau yang memenuhi seisi pedalaman. 

Mereka yang sesungguhnya penduduk suku pedala-

man Lereng Ungaran memang tengah mengadakan 

'Upacara Penyembuhan' terhadap seseorang yang di-

temuinya tersangkut di atas pohon.

Dalam 'Upacara Penyembuhan' itu tidak diper-

kenankan seorang perempuan ataupun anak-anak 

menghadirinya. Namun begitu mereka tidak boleh me-

nampakkan diri sama sekali. Andaikata ada salah seo-

rang perempuan ataupun anak kecil sempat turun ke


tempat upacara, maka dukun yang memimpin 

'Upacara Penyembuhan 'seperti Rowok Tunggel, tidak 

bisa menyelamatkan pasiennya. Itulah sebabnya me-

reka yang hadir hanya kaum lelaki. Mereka nampak 

mengeluarkan serentetan rapalan mantra. Makin lama 

mantra-mantra itu keras dan cepat. Tubuh mereka 

bergerak-gerak mengeluarkan suara yang beraturan. 

Rowok Tunggel sendiri berteriak-teriak nyaring me-

nyaingi raungan para pengikutnya.

Sesaat kemudian Rowok Tunggel mengangkat 

pendulangan yang berisi darah anjing hutan. Dan saat 

ia berjalan berkeliling membawa pendulangan itu, se-

mua pengikutnya membacakan mantra sekuat-

kuatnya. Sehingga seperti teriakan-teriakan yang me-

nyayat.

"Bres... Bres... Bres...!" Rowok Tunggel menyi-

ram berkali-kali sosok yang ditutupi dengan dedaunan 

jarak.

Seluruh cairan darah tertumpahan habis, den-

gan begitupun rapalan mantra berangsur-angsur per-

lahan. Untuk kemudian menghilang membuat seisi pe-

dalaman nampak sunyi. Semua orang yang berderet 

menatap dengan pandangan dalam. Dan tiba-tiba saja 

orang-orang itu menyingkir menjauh. Rowok Tunggel 

mendadak melesat ke atas. Tubuhnya berjumpalitan di 

udara. Ketika ia turun ke tanah, mulutnya menyem-

burkan sesuatu.

"Bruuuus... Blaaaaar!" Bara api yang mengga-

rang sosok terlentang itu mendadak berkobar. Api 

menjilat-jilat gedebong-gedebong pisang. Sekitar tem-

pat itu menyengat hawa panas.

Tapi begitu Rowok Tunggel menyembur lagi, api 

yang tadi berkobar-kobar mendadak padam. Lalu 

orang-orang kembali berkerumun sambil melanjutkan 

mengeluarkan rapalan mantra.


Daun-daun jarak yang menutupi sosok tubuh 

terlentang berjatuhan ke tanah. Rapalan mantra ma-

kin santer terdengar. Saat itu pun sosok terlentang itu 

mendadak bangkit...

"Wuaaaaa...! Panas! Panaaaas!" Ia langsung 

berjingkat-jingkat di atas susunan gedebong-gedebong 

pisang. Bekas-bekas luka memar sudah tidak nampak 

lagi. Sosok itu melompat ke bawah memandang bara 

api yang mengepulkan asap hitam.

"Bangsat! Api apa ini!" hardiknya. Suaranya 

tenggelam dalam keriuhan orang-orang yang memba-

cakan mantra. Dia memandang berkeliling.

"Kalian kira aku ini daging panggang? Wuah-

wuah... Rupanya aku terjebak oleh segerombolan silu-

man pemakan daging!"

"Bukan! Kami bukan bangsa siluman! Tapi su-

ku pedalaman bangsa Bajor yang menyelamatkan an-

da!" Rowok Tunggel melangkah mendekat.

"Rupa kalian begitu buruk. Pastilah kalian 

penghuni neraka! Yah...! Tidak salah Pasti aku sudah 

berada di neraka... ahh, nasib." Sosok itu duduk nge-

deprok. Rowok Tunggel memandang aneh, ia merasa 

ada sesuatu yang ganjil.

"Anda telah sembuh dari kematian, dan juga 

bukan berada di neraka." "Bohong! Buktinya api nera-

ka banyak sekali bertebaran di sini." katanya sambil 

menunjuk ke arah bara api dan keempat api unggun 

yang berada di setiap sudut. Orang-orang yang berada 

di situ menahan senyum. Tempat itu mulai ramai. 

Kaum perempuan dan anak-anak banyak yang berda-

tangan. Mereka berani ke tempat itu karena 'Upacara 

Penyembuhan' telah selesai. Dan menganggap Rowok 

Tunggel berhasil menyembuhkan pasiennya.

"Semua perkiraan anda salah. Kami cuma seke-

lompok kecil suku pedalaman bangsa Bajor. Yang kau


sebut api neraka itu hanyalah beberapa unggun seba-

gai penerang. Sewaktu kami berburu, anda kami te-

mukan tersangkut tak sadarkan diri. Kalau saja kami 

terlambat menemukan anda, mungkin anda benar-

benar telah berada di neraka." Rowok Tunggel menje-

laskan. Sosok itu bergidik lalu bangkit.

"Jangan menakut-nakuti aku. Tahukah kalian, 

aku pernah bertarung melawan raksasa angin juga ba-

dai pasir... Cuma aku tidak ingat siapa yang menang 

dan yang kalah." ucap sosok itu sambil menunjukkan 

mimik muka yang sedih. Sudah tentu hal itu menjadi 

bahan tertawaan orang-orang yang berada di sekeli-

lingnya. Bagaimana tidak. Ucapannya yang selalu 

ngawur dan tidak masuk di akal sehat itu cukup 

menggelitik perut mereka.

Siapa yang akan percaya akan ucapannya itu? 

Segala menyebut-nyebut pernah bertempur melawan 

raksasa angin, badai pula... Anak kecil pun tidak akan 

percaya. Rowok Tunggel sendiri hampir tidak tahan 

melepaskan tawanya. Dari situ ia mempunyai kesim-

pulan, bahwa orang yang mereka selamatkan tidak lain 

orang yang menderita sakit ingatan. Namun begitu ia 

tidak menyesal menyelamatkannya.

Rowok Tunggel memberikan aba-aba kepada 

orang-orang agar segera tidak menertawakannya lagi.

"Kalau memang anda pernah bertarung dengan 

semua itu, tentunya anda masih ingat dari mana anda 

berasal dan juga tentunya mempunyai nama, bu-

kan...."

"Oh, tentu saja punya, dong... Mula-mula aku 

memang tidak punyai nama, tapi setelah bertemu de-

wa, ia memberi ku nama Siluman Baik. Senang sekali 

aku mendapatkan nama itu. Namun tak lama 'Dewa' 

mengganti sebutan itu menjadi: Umbara Komang. Ku-

pikir lebih bagus daripada menyandang nama Siluman


Baik." kata sosok sinting yang tak lain dari Umbara 

Komang. Rowok Tunggel manggut-manggut.

"Lalu di mana kampung halamanmu?!"

Belum Umbara Komang menjawab, terdengar 

terompet nyaring bersahutan di atas ketinggian sebuah 

pohon. Orang-orang yang mendengar suara itu lang-

sung lari berserabutan. Tempat itu jadi kalang kabut 

seketika. Masing-masing menaiki tangga yang menuju 

ke atas ke gubuk mereka.

Rowok Tunggel dan Umbara Komang merasa 

terkejut dengan keadaan yang hiruk pikuk itu. Dukun 

Suku Bajor berusaha untuk menenangkan suasana, 

tapi bagaimana mereka bisa tenang! Orang-orang itu 

tetap berlarian menuju tangga tali saling berebutan.

Mendengar suara terompet tadi, bukan berarti 

Rowok Tunggel tidak mengetahui arti aba-aba yang 

merupakan tanda bahaya. Tapi bagi Umbara Komang 

ia hanya berdiri tenang-tenang saja...

"Tentunya itu suara panggilan Malaikat. Tuhan 

untuk menghukum kita... He he he... Rasain! Kalian 

memang pantas dihukum, siluman-siluman jahil!" te-

riak Umbara Komang. Rowok Tunggel tidak memper-

dulikan ocehannya.

"Heii... Siluman Bewok! Kenapa kau tidak lari 

seperti siluman-siluman itu?" Umbara Komang mena-

rik lengan Rowok Tunggel.

"Tolol! Kau harus menyelamatkan diri!" Bersa-

maan dengan itu Rowok Tunggel melemparkan tubuh 

Umbara Komang ke atas.

Tiba-tiba saja tubuh itu melayang dan hinggap 

dia antara cabang pohon. "Diam di situ!" bentak Rowok 

Tunggel.

Sementara itu orang-orang masih berhambu-

ran. Banyak anak-anak yang tertinggal memanjat 

tangga tali. Sedangkan di belakang mereka seekor singa meraung-raung melangkah mengincar mangsanya 

yang berlarian menyelamatkan diri. Para lelaki berge-

layutan menyambar anak-anak mereka yang berada di 

bawah. Jerit tangis ketakutan membisingkan telinga. 

Bersamaan dengan itu pula raungan singa menggetar-

kan jantung orang-orang yang berada di situ.

Rowok Tunggel melompat menghadapi singa 

yang melangkah makin dekat. Dengan sebatang tom-

bak ia berusaha menghalaunya. Tapi bagi singa yang 

tengah kelaparan tidaklah berarti apa-apa. Singa itu 

menunjukkan giginya yang putih mengkilat setajam 

mata pisau.

*

**

Belasan anak panah beserta beberapa tombak 

meluncur deras dari atas pohon. Menghujani tepat ke 

tubuh singa yang siap menerkam Rowok Tunggel. Sin-

ga itu seperti kelabakan menghadapi hujan senjata-

senjata itu. Namun tidak satu pun yang dapat melu-

kainya. Raungannya makin keras. Anak-anak panah 

makin deras pula menghujani.

Sementara makhluk liar itu sibuk mengamuk 

mengatasi anak-anak panah, Rowok Tunggel tidak 

menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melempari satu 

persatu para anak kecil maupun orang-orang dewasa 

ke atas gubuk di atas pohon. Gubuk-gubuk mereka 

memang sengaja didirikan di atas pohon, dan itu me-

mang salah satu kebudayaan suku pedalaman Bangsa 

Bajor.

Melihat mangsa-mangsanya beterbangan ke

atas, singa itu tidak lagi memperdulikan serangan-

serangan dari atas. Lagi pula panah dan ujung tombak 

tidak cukup kuat untuk menembus kulitnya yang alot


laksana karet... Dengan raungan yang sangat menye-

ramkan makhluk itu melompat menerjang.

Sekalipun Rowok Tunggel sibuk menyela-

matkan para anak buahnya, tapi perhatiannya tidak 

pernah lepas dari sosok makhluk ganas yang kini me-

nerjang ke arahnya. Maka saat kedua kaki makhluk 

berkuku runcing menyambar, Rowok Tunggel merun-

duk ke bawah. Terjangannya luput. Namun sosok 

makhluk itu masih mendapatkan sasaran lain, yaitu 

seorang lelaki yang berdiri di belakang Rowok Tunggel.

Lelaki itu berteriak-teriak dengan tubuh yang 

mulai terkoyak oleh kuku-kuku runcing. Dan saat gi-

ginya yang runcing menggerogoti bagian perut, orang 

itu mati dengan seketika.

Meskipun tindakan Rowok Tunggel terlambat, 

ia tidak membiarkan makhluk ganas itu menggerogoti 

mangsanya. Dengan terjangan yang sangat dahsyat la-

ki-laki berewok segera melompat ke punggung. Sebelah 

tangannya mencekik leher. Singa itu meraung meron-

ta-ronta. Pergumulan sengit tak terelakan lagi. Bebera-

pa pukulan Rowok Tunggel menghantam ke tulang ru-

suk, namun makhluk ganas membalasnya dengan ca-

karan-cakaran yang merobek di paha Rowok Tunggel.

Sedikitnya Rowok Tunggel merasa kewalahan 

mengatasinya, ia merasa lebih baik menghadapi pulu-

han orang dari pada seekor singa jantan seperti seka-

rang ini. Tenaga seekor singa lebih kuat dari pada seo-

rang pendekar sakti manapun. Rowok Tunggel sendiri 

harus terbanting dari punggung makhluk ganas itu. 

Padahal seluruh tenaganya telah dikerahkan untuk 

mematahkan tulang lehernya. Dan singa itu makin ter-

giur saat melihat mangsanya jatuh berdegum di tanah. 

Puluhan pasang mata menyaksikan makhluk itu me-

nerjang disertai raungan yang dahsyat. Mereka sudah 

menduga Rowok Tunggel pasti tidak akan sanggup


menghindari terjangan yang begitu cepat.

Detik itu sekelebat bayangan melesat dari atas 

pohon meluncur ke bawah. Semua orang yang berada 

di atas pohon tidak menyangka, kalau sosok bayangan 

itu adalah seorang yang dianggap kurang waras. Siapa 

lagi kalau bukan Umbara Komang!

Kedua tinju Umbara Komang menghantam te-

lak ke tulang rusuk... "Kraaak!" Makhluk itu terbanting 

ke samping. Sebelumnya kuku-kuku yang runcing 

sempat menyerempet ke dada Rowok Tunggel. Laki-laki 

berewok ini tidak percaya Umbara Komang bisa mela-

kukannya. Kedua matanya sempat terbelalak saat sin-

ga itu bangkit menerjang ke arah Umbara Komang 

yang berdiri tenang menantang.

Tenang sekali Umbara Komang menyambut 

dengan mengangkat sebelah tinjunya. Meskipun perla-

han tapi cukup membuat makhluk itu meraung me-

lengking. Hantaman itu tepat mengenai tenggorokan. 

Saat itu pula Umbara Komang menambahkan hanta-

mannya ke bagian kepala. Kali ini kedua lengannya 

disertai dengan tenaga penuh... "Praaak!" Batok kepala 

makhluk itu berderak.

Raungannya makin lemah. Sesaat kemudian 

tubuhnya berdiri limbung. Umbara Komang bermak-

sud melancarkan serangan lagi, tapi makhluk itu ke-

buru ambruk ke tanah dengan batok kepala yang re-

muk. Suasana tempat itu kembali sunyi. Hanya letup-

letup api unggun yang mengisi kebisuan itu. Beberapa 

pasang mata menatap tidak percaya dari ketinggian 

sebatang pohon. "Apakah dia juga salah satu penghuni 

neraka?" Umbara Komang menendang tubuh singa 

yang sudah tak bernyawa. Tendangan itu pun sangat 

luar biasa! Mampu menggeser bangkai binatang itu 

sampai di hadapan Rowok Tunggel. Lelaki berewok su-

lit menjawabnya. Dia hanya kagum akan kehebatan


Umbara Komang.

"Sudah kukatakan, bahwa kita ini bukan di ne-

raka, Siluman Umbara Komang. Makhluk itu seekor 

binatang buas pemakan daging. Untung kau telah 

mengatasinya... Tidak kusangka kau demikian hebat! 

Pantas ketika aku melemparkan dirimu ke atas pohon 

terasa sekali tubuhmu begitu ringan."

"Aku bukan Siluman Umbara Komang. Cukup 

Umbara Komang saja! Tidak pakai embel-embel!"

"Umbara Komang!" Rowok Tunggel mengulangi.

"Ya, begitu. Kedengarannya merdu." Umbara 

Komang melipat tangannya di dada.

"Sekarang nasib kami tergantung padamu... 

Secara tidak langsung kuserahkan jabatanku untuk 

menguasai Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Kau memi-

liki kepandaian yang sangat hebat, aku bersama yang 

lainnya akan mengabdi sampai akhir hayat," Rowok 

Tunggel menunduk seperti menyembah.

"Sudilah kiranya kau memimpin kami di sini...." 

Melihat Rowok Tunggel menyembah-nyembah Umbara 

Komang, orang-orang yang berada di atas pohon ber-

loncatan ke bawah. Mereka semua turun sampai tidak 

ada yang tersisa. Hanya kaum perempuan dan anak-

anak yang tetap tinggal di atas gubuk. Para lelaki itu 

berbaris di belakang Rowok Tunggel. Mereka pun men-

gikuti apa yang dilakukan Rowok Tunggel.

"Aku tidak mau memimpin para siluman. Lagi 

pula siapa yang sudi tinggal di neraka jahanam. Aku 

mau pergi saja!" cetus Umbara Komang.

"Kami akan tetap mengikutimu, Umbara Ko-

mang," jawab Rowok Tunggel.

"E, Ehhh... Badung. Kalau memang mau mema-

tuhi perintahku, coba sediakan makanan untukku. 

Dari tadi perutku sudah keroncongan," katanya men-

guji.


"Kalau cuma itu permintaanmu kami akan 

memenuhinya sekarang juga," kata Rowok Tunggel, ia 

pun memberi aba-aba dengan kedipan matanya kepa-

da dua orang yang berlutut di sampingnya. Dan kedua 

orang itu pun melangkah menuju api unggun di mana 

di situ telah tersedia setumpukan daging. Umbara Ko-

mang mengawasi kedua orang itu. Hidungnya kem-

bang kempis mencium bau amis. Apalagi setelah dua 

orang itu mulai membakar daging-daging itu. Perut 

Umbara Komang makin melilit. 

"Hebat! Rupanya kalian sengaja memper-

siapkan untukku." kata Umbara Komang tersenyum. 

Rowok Tunggel mengangguk, lalu ia memberi aba-aba 

lagi dengan tepukan tangan. Maka seluruh orang yang 

berdiri di sekelilingnya berjalan memutar membuat 

lingkaran. Kemudian mereka duduk bersila mengelilin-

gi Umbara Komang dan Rowok Tunggel yang saling 

berhadapan.

Wangi daging bakar makin santer membuat 

duduk Umbara Komang tidak tenang. Sebentar-

sebentar ia menoleh ke arah api unggun. Beberapa pe-

rempuan nampak turun dari atas pohon di mana tem-

pat tinggal mereka. Tiga perempuan itu masing-masing 

membawa dua gelondong bambu yang berisikan tuak. 

Rowok Tunggel menyambutnya saat mereka tiba di si-

tu.

"Selama menunggu daging bakar, kita bisa me-

nikmati tuak... Silahkan diminum Umbara Komang." 

kata Rowok Tunggel ketika seorang perempuan menye-

rahkan dua gelondong bambu itu.

"Aha ha ha ha... Terima kasih! Terima kasih...! 

Aku suka sekali. Wuah... harumnya... Baru kali ini aku 

menemukan tuak sewangi ini." Umbara Komang me-

nunggingkan gelondongan bambu itu ke mulutnya.

Suasana pedalaman yang gelap itu kembali terang. Wangi daging bakar menyebar dimana-mana. 

Orang-orang yang duduk bersila berkeliling itu ramai 

membicarakan kehebatan Umbara Komang. Sedikitnya 

mereka mengharap agar laki-laki senewen itu mau 

memimpin Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Selama ini 

Rowok Tunggel memang memimpin mereka. Dan seka-

rang mereka menganggap Umbara Komang jauh lebih 

sakti dari Rowok Tunggel. Rowok Tunggel sendiri beru-

saha membujuknya agar Umbara Komang mau me-

mimpin mereka.

Umbara Komang mendapat jatah daging bakar 

lebih dulu. Jatahnya lebih banyak daripada yang dibe-

rikan kepada Rowok Tunggel. Kedua orang yang selesai 

membakar daging itu berjalan membagikannya pada 

orang-orang yang duduk bersila melingkar.

Rakus sekali Umbara Komang menggerogoti 

daging bakar. Kelucuan yang nampak itu membuat pa-

ra perempuan dan anak-anak yang berada di atas po-

hon tertawa tergelak-gelak. Merekapun segera turun 

membawakan tuak untuk para suaminya. Mereka dan 

anak-anaknya juga mendapat bagian.

Daging ini sebenarnya tidak enak, lumayan un-

tuk dijadikan isi perut di saat lapar begini...." Umbara 

Komang menyantap rakus.

"Ya-ya memang lumayan. Bagi kami sudah ter-

biasa mengisi perut selama ada yang bisa dimakan... 

Masih kurang? jawab Rowok Tunggel sekaligus mena-

warkan.

"Kalau masih ada, boleh!" jawabnya cepat. "Eh, 

Rowok Tunggel sedari tadi aku tidak melihat kuda mi-

likku... Kau taruh mana dia...." sambungnya lagi.

"Maaf, Umbara Komang. Yang kau makan itu 

adalah kudamu." Rowok Tunggel tidak berani mena-

tap. Mendengar itu, daging bakar di mulut Umbara 

Komang keluar lagi.


"Apa?... Aduh gusti...! Kuda itu pemberian seo-

rang raden! Kalian benar-benar siluman keparat!" Um-

bara Komang menghardik marah.

"Terpaksa Umbara Komang!... Terpaksa! Kami 

menemukannya telah mati sekarat di saat kami berbu-

ru. Begitu juga dengan kau. Sama sekaratnya dengan 

kuda milik mu." Rowok Tunggel gemetar menjelaskan-

nya. Rasa takutnya bukan karena Komang memiliki 

ilmu setinggi langit, tapi karena Umbara Komang seka-

rang menjabat sebagai pemimpin Suku Pedalaman Ba-

jor. Rowok Tunggel hanyalah orang kecil di bawah Um-

bara Komang. Karena dia tidak memiliki ilmu yang 

langka dikuasai orang.

"Ah! Aku baru ingat! Pastilah angin raksasa dan 

badai pasir telah mengalahkan aku di saat bertempur! 

Hiii... Ngerinya! Jangan-jangan angin raksasa dan ba-

dai pasir akan datang ke sini! Wuaaaaa... Aku takut!" 

Tiba-tiba saja Umbara Komang lari menjauh. Gera-

kannya yang gerabak gerubuk membuat orang-orang 

di sekitarnya menjadi terkejut. "Aku tidak mau lagi 

bertemu dengan dua laknat itu. Hiiii! Siapa pun tidak 

ada yang sanggup mengatasi mereka!" Lari Umbara 

Komang makin cepat.

"Umbara Komang...! Tunggu...!" Rowok Tunggel 

menyusul. Begitu juga dengan lainnya.

Tempat itu jadi riuh oleh derap langkah yang 

serabutan. Mereka semua mengejar sang pemimpin 

baru. Umbara Komang tidak memperdulikan orang-

orang yang berlari mengejar di belakangnya. Malah ia 

mempercepat larinya dengan ilmu peringan tubuh. Ba-

gi Rowok Tunggel, ia bisa mengimbangi dengan kecepa-

tan larinya. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti me-

reka di belakang cukup kewalahan. Untuk itulah Ro-

wok Tunggel memberi tanda agar mereka bisa mengi-

kuti.


"Siluman-siluman brengsek! Apa-apaan mengi-

kutiku! Pergi! Bikin susah saja!"

"Sekarang kau ketua kami, Umbara Komang! 

Bagaimana pun kami harus ikut kau!"

*

* *

"Ni Klesung Rangit...! Ni Klesung Rangit...!" te-

riak salah satu orang yang mengerumuni gubuk kecil 

itu. Semua mata mengarah pada pintu bambu yang 

tertutup rapat. Orang-orang semakin ramai berdatan-

gan ke tempat itu. Dan menyaksikan sosok mayat ter-

geletak di depan pintu bambu tersebut. Sosok itu jasad 

Kang Birun. Tubuhnya biru seperti kehabisan darah 

dengan kepala berlubang sebesar telapak tangan. Bau

amis seperti busuk menyengat.

"Pastilah Ni Klesung Rangit dan cucunya Dwi 

Langsih sudah tewas seperti Kang Birun... Karena se-

jak tadi kita berteriak-teriak mereka tidak keluar juga." 

Penduduk yang lain menimpali.

"Ni Klesung Rangit...! Apakah kalian baik-baik 

saja?" Mereka berteriak lagi. Di antara kerumunan itu 

berdiri sosok kepala kampung, Ki Sangga Wana. Ia 

menatap tajam gubuk itu. Pikirannya sama dengan pa-

ra penduduk lainnya. Ia sudah menduga kalau terjadi 

sesuatu atas diri Ni Klesung Rangit dan cucunya. Ia 

pun sudah membayangkan kematian mereka pasti se-

rupa dengan yang dialami Kang Birun. Kehabisan da-

rah dengan batok kepala berlubang. Tapi mendadak 

saja semua mata mereka terbelalak dengan mulut 

menganga. Betapa tidak. Pintu bambu itu berderit ter-

buka. Dari dalamnya keluar seorang nenek buta ter-

bungkuk-bungkuk dituntun oleh anak perempuan be-

rumur lima tahun. Namun setelah melihat sosok


mayat yang tergeletak di depan pintu, anak perempuan 

itu berlari ke belakang nenek buta, ketakutan.

"Syukurlah kau tidak kurang satu apapun, Ni 

Klesung Rangit... Kami sudah khawatir terhadap ka-

lian...." ujar Ki Sangga Wana sang kepala kampung.

*

* *

LIMA



Wajah Ni Klesung Rangit berubah kecut, sebe-

lah lengannya yang keriput memeluk Dwi Langsih yang 

masih memalingkan wajahnya di belakang nenek buta.

"A-ada apa, Ki Sangga Wana...?" tanya Ni Kle-

sung Rangit tergagap. Ia kenal betul dengan suara 

orang yang berdiri di hadapannya.

"Kang Birun tewas disantap siluman itu, Ni... 

Mayatnya tergeletak di sini. Apakah...." Kata-kata Ki 

Sangga Wana belum habis, dari gubuk itu keluar sosok 

Wintara. Ia langsung berdiri di belakang Ni Klesung 

Rangit. Ia juga tersentak kaget menatap sosok menge-

rikan terkapar di hadapan pintu.

Yang lebih heboh lagi terhadap orang-orang 

kampung. Mereka berjingkat kabur setelah melihat 

Wintara keluar dari gubuk.

Sejak kemarin sore mereka memang takut akan 

kehadiran Wintara di kampung itu. Apalagi sekarang 

telah jatuh korban. Rasa takut mereka makin bertam-

bah. Tapi Wintara tetap tenang menatap Ki Sangga 

Wana.

"Pemuda asing... Aku cenderung kaulah yang 

melakukan ini. Tentunya kaulah yang selalu mengam-

bil korban dari penduduk desa ini! Sekarang perbuatan busukmu sudah ketahuan. Kau harus menebus 

dengan nyawa anjingmu!" Ki Sangga Wana mencabut 

keris dari pinggangnya. Nampak sekali keris itu me-

mancar sinar keemasan. Meskipun Ni Klesung Rangit 

tak dapat melihat, ia sudah dapat menduga apa yang 

bakal terjadi. Maka ia melangkah menghalangi.

"Sabar... Sabar...! Kalian sudah salah menu-

duh. Wintara bukanlah bangsa siluman yang kita ta-

kuti selama ini. Ia hanya seorang pengelana yang kebe-

tulan singgah di sini. Kalian saja yang berpikiran bu-

ruk." sergah Ni Klesung Rangit.

"Betul. Paman Wintara bukan orang jahat." Dwi 

Langsih ikut membela.

"Lalu apa artinya mayat Kang Birun tergeletak 

di depan gubukmu? Pantas saja kalian tidak dapat me-

lihat rupa siluman itu, karena kalian buta semua!" Ki 

Sangga Wana geram. Kerisnya yang mencereng terhu-

nus ke atas.

"Begitu burukkah rupa ku...? Sehingga kau ya-

kin akan ketololan kedua insan ini! Ni Klesung Rangit 

memang buta. Tapi begitu yakin akan ketajaman mata 

hatinya. Daripada kalian yang sebenarnya melek tapi 

memiliki pikiran yang sangat rendah!" jawab Wintara 

tenang.

"Bangsat!" Tentu saja Ki Sangga Wana menjadi 

sangat marah. Kerisnya meluncur di depan. Desiran 

anginnya membersit. Wintara yang sudah terlanjur 

menghadapi melesatkan tubuhnya ke atas. Keris Ki 

Sangga Wana terus berkelebat mengikuti.

"Paman... Jangan berkelahi!" pekik Dwi Lang-

sih.

"Tenang, Langsih. Wintara pasti bisa mengatasi 

kecongkakan Ki Sangga Wana!" bentak Ni Klesung 

Rangit. Dwi Langsih mendadak merungkut.

Orang-orang kampung menyaksikan bagaimana


Wintara berkelit menghindari setiap tusukan keris 

yang menjurus mematikan. Mereka tidak berkedip ba-

rang sekejap pun. Dan mengharap setiap tusukan ke-

ris menancap di tubuh lawan Ki Sangga Wana Saat itu 

Ki Sangga Wana benar-benar mengerahkan seluruh 

kemampuannya, dan ternyata kepala desa itu memang 

hebat. Setiap serangannya nyaris melukai Wintara. 

Pendekar Kelana Sakti masih menimbang-nimbang 

agar ia tetap berkepala dingin. Setiap gerakannya terli-

hat selalu menghindar.

"Ha ha ha ha... Kau takut menghadapi keris pe-

rakku, siluman. Sebentar lagi perut mu akan robek!" 

bentak Ki Sangga Wana, tusukan kerisnya menyambar 

bagian muka. Wintara harus cepat merunduk. Bersa-

maan itu pula tendangan Ki Sangga Wana menjurus 

deras. Disertai dengan sebuah bentakan, Wintara 

mengangkat lengannya ke atas. Bukan main kerasnya 

benturan tendangan itu. Kiranya kepala kampung itu 

bukan sosok kosong tanpa ilmu. Melihat dari jurus-

jurus yang dilancarkannya, Wintara sudah bisa men-

gukur. Namun hal itu bukanlah berarti Ki Sangga Wa-

na berada di atas kemampuan Pendekar Kelana Sakti.

"Mampus keparat sialan!" Keris perak menusuk 

berkali-kali. Wintara lincah mengelak. Tindakannya itu

seperti mengejek.

"Aku bukannya takut mati, Ki... Tapi masih 

sayang dengan nyawaku yang hanya selembar." kata 

Wintara sambil menepis tusukan-tusukan keris.

"Jangan hanya mengelak! Tunjukkan semua 

kebolehan mu, penghuni neraka!" Bersamaan dengan 

ucapannya, Ki Sangga Wana lancarkan tinjunya den-

gan telak. Kalau hanya sebuah tinju, Wintara tidak 

perlu mengelak. Ia sengaja membiarkan tinju itu men-

genai dadanya. Tapi sesaat kemudian tubuh Ki Sangga 

Wana mencelat ke belakang. Pekikannya nyaring saat


tubuhnya berdegum di tanah. Tapi ia siap bangkit 

mengarahkan kerisnya lagi. Amarahnya sudah meluap, 

mukanya nampak memerah.

Begitu melihat Ki Sangga Wana maju mener-

jang, Wintara sempat melihat langkah-langkah yang 

gemetar. Ia pun sudah menduga kalau kepala kam-

pung sudah terluka akibat terbanting tadi. Namun se-

dikitnya Wintara cukup mengerti akan kekerasan hati 

Ki Sangga Wana. Semuanya hanya menunjukkan sifat 

kesombongan. Mungkin karena hanya dia yang beril-

mu tinggi di desa itu.

Tusukan-tusukan kerisnya serba ngelantur dan 

tak terarah. Dan ternyata Wintara cukup bosan me-

layaninya. Sekali ia bergeser ke samping kakinya me-

nyapu ke bawah...

"Sreeeet... Blaaaak!" Untuk kedua kalinya Ki 

Sangga Wana terbanting. Keris dalam genggamannya 

terlepas. Dan dia sendiri tidak dapat bangkit lagi. Mu-

lutnya menyeringai menahan sakit.

"Aku cukup menghargai ketangkasan mu, Ki 

Sangga Wana. Tapi sayang... Kepandaian disertai den-

gan kesombongan tidak akan sejalan. Bagaimana kau 

bisa mengalahkan siluman yang selalu mendatangi de-

sa ini? Kalau kau sendiri tidak dapat membedakan-

nya.. Aku memang orang asing di sini. Untuk itu 

maafkanlah atas kekurangajaran ku tadi." Wintara 

memandangi Ki Sangga Wana kepayahan berusaha 

bangkit.

"Aku dapat melihat dari sinar matamu, bahwa 

kau sendiri pun menyesalinya. Tak apa, Ki. Aku bisa 

menjadi bulan-bulan orang."

Ki Sangga Wana tidak bermaksud mendengar 

ucapan Wintara. Dirinya merasa malu sekali di hada-

pan orang-orang kampung. Itu pun lebih bagus! Un-

tung lawannya itu tidak sungguh-sungguh menghadapinya. Ki Sangga Wana sendiri harus mengakui akan 

kesalahannya. Tidak semestinya ia bertindak se kasar 

itu. Apalagi ia seorang kepala kampung. Tapi semua 

itu bisa dimaklumi oleh Wintara. Desa itu memang se-

dang kalut. Jadi ia cukup mengerti dengan perasaan 

orang-orang kampung. Hanya saja Wintara masih ti-

dak mengerti mengenai adanya siluman jahat yang se-

lalu mengambil korban. Diam-diam Wintara menyusun 

rencana untuk membuktikan kekalutan yang selama 

ini menjadi keresahan penduduk desa.

"Rasanya tidak pantas lagi kalau aku berlama-

lama di sini. Aku tidak ingin membuat seluruh orang 

kampung panik. Anggap saja kalian tidak pernah meli-

hat kehadiran ku." Setelah berkata begitu, Wintara me-

langkah mendekati Ni Klesung Rangit yang masih ber-

pegangan pada cucunya. Orang-orang kampung tidak

ada yang berani mengeluarkan suara. Ki Sangga Wana 

mengelus-elus pinggangnya yang nyeri. Ia tidak tahu 

apa yang mesti diucapkan terhadap pendekar itu.

"Terima kasih atas pelayanan mu semalam, Ni 

Klesung. Seperti yang telah aku katakan, aku harus 

meninggalkan desa ini sedini mungkin." Wintara mem-

beri salam Ni Klesung Rangit menggapai-gapaikan ke-

dua tangannya. Wintara membiarkan Ni Klesung Ran-

git menyentuh baju bulunya.

"Kau mau ke mana Wintara? Tetap tinggallah di 

sini. Jangan diambil hati perlakuan orang-orang kam-

pung ini. Sekarang mereka sudah yakin bahwa kau 

bukanlah siluman jahat. Dengarlah kataku Wintara...." 

Ni Klesung Rangit menahan.

"Paman Wintara mau ke mana? Tetap saja di 

sini menemani Langsih. Kalau paman pergi, paman ti-

dur di mana...?"

Suara Dwi Langsih polos. Wintara jongkok lalu 

mencubit pipi Dwi Langsih. "Paman harus pergi, Langsih. Dan juga kau tak perlu khawatir. Paman bisa tidur 

di mana saja. Cuma satu pesanku, jagalah nenek baik-

baik. Suatu saat paman pasti datang lagi menemui-

mu...." Wintara tersenyum. Ia pun bangkit melangkah 

mundur. Lalu ia menatap Ki Sangga Wana.

"Tanpa kau usir pun aku akan pergi, selamat 

tinggal, Ki... Mudah-mudahan kau menjaga desa ini." 

Kata-kata Wintara cukup pedas. Tapi Ki Sangga Wana 

tidak berani menyahut. Ni Klesung Rangit bersama cu-

cunya tidak bisa menahan. Wintara berjalan tenang 

meninggalkan keramaian. Kuda putihnya masih ter-

tambat menunggu.

Kuda itu menyepak-nyepak kaki depannya saat 

Wintara mengelus bulu-bulu yang tumbuh di sepan-

jang leher.

Cepat sekali tubuh Wintara melompat ke pung-

gung kuda. Sebentar saja ia sudah menghela kudanya 

dengan suara yang lantang. Derap kuda pun menderu-

deru meninggalkan desa itu. Orang-orang kampung 

mulai berdatangan memenuhi gubuk Ni Klesung Ran-

git. Ki Sangga Wana sudah dapat berjalan meskipun 

terpincang-pincang. "Kau benar, Ni... Anak muda itu 

seharusnya tetap tinggal di desa ini. Dia seorang pen-

dekar sakti. Satu-satunya orang yang bisa melindungi 

kita, kini sudah pergi. Kita sudah tidak punya harapan 

lagi." Ki Sangga Wana menyesali tindakannya.

"Nasi sudah menjadi bubur. Kau telah menghi-

nanya, Ki Sangga Wana. Mana mau pendekar itu ber-

paling lagi kepada kita! yang mesti mencari jalan ke-

luarnya." jawab Ni Klesung Rangit. Ia menggeser tubuh 

cucunya. Dwi Langsih mengerti akan maksud nenek-

nya, maka ia menuntun masuk kembali ke dalam gu-

buk. Pintu bambu di banting keras-keras. "Orang-

orang tidak tahu diuntung!" Suara parau itu terdengar 

dari dalam gubuk.



Ki Sangga Wana menatap penduduk kampung 

yang mengerubungi mayat Kang Birun. Kejadian seper-

ti itu sudah tujuh kali berturut-turut

menggemparkan desa. Namun sampai saat ini 

mereka belum tahu siapa adanya siluman yang meng-

hantui desanya.

"Saudara-saudara sebaiknya kita cepat mengu-

burkan mayat Kang Birun. Kasihan, ia sudah tidak 

punya sanak saudara lagi, kini ia pun menyusul mere-

ka...." kata Ki Sangga Wana memecah kerumunan itu.

Serempak pula para penduduk kampung itu 

mengangkat jasad Kang Birun. Darah 

masih berceceran ketika tubuh tanpa nyawa itu 

di bawa pergi. Ki Sangga Wana mengikuti rombongan 

itu. Beberapa penduduk kampung mengiringi lang-

kahnya.

"Sudah tujuh orang yang menjadi korban, Ki. 

Kalau kita selamanya berdiam diri, lama-kelamaan 

penduduk kampung ini habis semua." kata salah seo-

rang yang mengikuti Ki Sangga Wana.

"Itu memang sudah ku pikirkan, tapi siapa 

yang sanggup melawan siluman keparat itu. Melihat 

kematian dari para korban, tentulah siluman itu san-

gat ganas dan tak mengenal ampun. Satu-satunya ja-

lan kita harus meninggalkan kampung ini." jawab Ki 

Sangga Wana.

"Itu bukan satu tindakan yang benar, Ki. Ba-

gaimanapun kita harus tinggal di sini. Bukankah desa 

ini dulu tempat yang aman? Kita harus menyelidi-

kinya, mengapa desa ini terancam malapetaka."

Ki Sangga Wana diam seribu bahasa. Ia terus 

melangkah mengikuti rombongan yang membawa ja-

sad Kang Birun. Bagi seorang kepala kampung me-

mang serba salah. Masalah apapun akan menjadi 

tanggung jawab yang serius. Apalagi macam pembunuhan yang terjadi berturut-turut seperti ini. Sudah 

tentu sebagai kepala kampung ia merasa panik. Ia su-

dah tidak bisa menenangkan warganya lagi. Setiap ma-

lam penduduk desa dilanda ketakutan. Pernah ada 

seorang dukun mengatakan bahwa mereka harus 

menggantungkan sebuah penangkal di atas pintu. Na-

mun usaha itu sia-sia saja. Malam itu kedapatan seo-

rang penduduk tewas dengan keadaan yang serupa 

dengan Kang Birun. Esok malamnya pun, dukun itu 

sendiri yang menjadi korban. Mereka bisa bilang apa. 

Siapa yang bisa mengatasi pembunuh yang sama seka-

li tidak diketahui rupanya... Cuma tujuh orang yang 

bisa tahu. Ketujuh orang itu pun kini telah terbujur 

dalam liang kubur,

Beberapa orang yang menggali lubang untuk 

jasad Kang Birun telah selesai, di tempat itu pula 

mayat itu dimandikan serta dibekali serentetan doa 

sebagai penghantar upacara pemakaman. Jauh dari 

keramaian di balik semak-semak yang merimbun, so-

sok kuda putih bersama seorang penunggangnya men-

gawasi tanpa diketahui oleh siapapun. Penunggang 

kuda itu sejak tadi mengawasi.

Sampai orang-orang kampung selesai mengu-

burkan mayat Kang Birun dan bubar meninggalkan 

tempat itu, sosok yang di atas punggung kuda tetap 

diam di balik semak.

"Kalian boleh mengira aku benar-benar me-

ninggalkan kampung ini. Bagaimana pun aku tidak bi-

sa tinggal diam. Nasib kalian sangat mengenaskan. 

Mungkin dengan pura-pura pergi begini, aku bisa me-

nyelidiki Siluman apa kiranya yang menghantui desa 

ini." kata Wintara dalam hati. Kedua matanya menero-

bos semak-semak menatap kepergian penduduk kam-

pung dari tanah pemakaman. Ia masih di situ sampai 

tanah pekuburan betul-betul sepi.

*

* *

ENAM


Saat itu juga Sangga Wana menuruti kehendak 

para penduduk kampung. Mereka bermaksud akan 

berjaga malam secara bergiliran. Seluruh lelaki desa 

itu dipecah menjadi dua bagian. Dua kelompok itu ber-

jaga-jaga tiap dua malam sekali. Sangga Wana menye-

tujui usul warganya, dengan harapan dapat memergoki 

pelaku pembunuh yang secara berturut-turut datang 

menghebohkan. Malam itu pun semenjak kematian 

Kang Birun, kampung itu tidak nampak sepi lagi se-

perti sebelumnya. Sangga Wana memberi tugas pada 

tiap-tiap orang, untuk menjaga rumah-rumah pendu-

duk berkeliling. Kepala kampung itu sendiri ikut repot 

pentang mata. Suasana malam itu jadi ramai. Tiap-tiap 

di halaman muka rumah dinyalakan pelita. Dari ke-

jauhan nampak berkelap-kelipan orang-orang yang 

berjalan simpang siur memenuhi pelataran desa.

Semua mata memandang berkeliling mengawasi 

ke segala sudut. Tempat-tempat yang biasanya gelap 

kini dipasangi pelita. Mereka begitu bersemangat 

meskipun udara cukup dingin. Sangga Wana nampak 

berjalan mondar mandir.

"Sampai saat ini masih tenang-tenang saja, Ki. 

Jangan-jangan siluman itu sudah tahu kalau kita ten-

gah mengepungnya di sini." Salah seorang warga da-

tang melapor. "Biar saja. Tapi kita harus tetap waspa-

da! Bagaimana keadaan di Utara dan Barat? Dari tadi 

aku belum mendengar laporannya." kata Sangga Wa-

na.

"Aku lihat mereka tengah berjaga-jaga. Yang


lain berkeliling mengawasi tiap-tiap gubuk. Aku rasa 

tidak ada apa-apa di sana." "Syukurlah! Aku harapkan 

demikian untuk seterusnya."

Kembali Sangga Wana berkeliling mengawasi 

tiap pelosok. Penduduk kampung pun sama gesitnya 

mengawasi. Mereka siap dengan senjata yang tajam 

mengkilap. Semak-semak yang dianggap mencuriga-

kan, habis terbabat. Apalagi mendengar suara-suara 

aneh. Mereka langsung mengepung.

Bulan sabit menggantung di langit se bentar te-

rang sebentar gelap tertutup awan yang bergerak ter-

tiup angin. Suara binatang malam mengerik mengisi 

suasana malam yang demikian dingin mencekam. Pada 

tengah malam itu penduduk kampung sudah terlelap 

dalam tidurnya. Hanya orang-orang yang tengah berja-

ga di luar yang masih mendengar pembicaraan mere-

ka. Sangga Wana sendiri sudah merasa lelah. Setengah 

malaman ia berkeliling dan kini matanya mulai sepat.

Sangga Wana menghentikan langkahnya tepat 

di depan gubuk Ni Klesung Rangit. Dua orang yang 

mengawalnya ikut berhenti. Mereka berdua terus men-

gikuti ketika Sangga Wana duduk di balai yang ada di 

depan gubuk.

"Ni Klesung Rangit, kami numpang beristirahat 

sebentar di sini. Maaf kalau kami mengganggu." kata 

Sangga Wana menghadap ke bilik. Tidak ada jawaban 

kecuali suara dengkur yang saling susul. Pelita yang 

tergantung di tiang menerangi tempat itu. Dan mereka 

bertiga cukup santai duduk-duduk di atas balai.

"Sayang pendekar sakti itu telah pergi! Aku pun 

sampai lupa menanyakan namanya." Sangga Wana 

menghela nafasnya. Tubuhnya tersandar ke bilik.

Tapi aku sempat mendengar Dwi Langsih me-

manggil pendekar itu dengan nama: Wintara. Yah! 

Mungkin namanya Wintara." jawab orang yang duduk


di sebelahnya.

"Padahal kalau kita mengijinkan ia tinggal di 

sini, pendekar itu pasti mau." Orang yang satu lagi 

ikut menimpali. Wajah Sangga Wana mendadak kecut.

"Yaaah aku memang salah tindak. Dan aku ti-

dak habis pikir, kenapa mayat Kang Birun tergeletak di 

sini saat pengelana itu menginap di gubuk Ni Klesung 

Rangit. Siapa yang tidak sengit! Kampung kita selalu 

terjadi pembunuhan yang tidak masuk di akal sehat."

"Mungkin siluman itu sengaja mengkambing hi-

tamkan Wintara." 

"Bisa jadi, Ki...."

Sangga Wana diam seribu bahasa. Kedua ma-

tanya memandang di kejauhan pada orang-orang kam-

pung yang bersiap siaga. Diam-diam ia menyesali keja-

dian tadi siang. Pikirannya melayang jauh, ia tidak lagi 

mendengar dua orang yang duduk di sebelahnya ber-

cakap-cakap. Tapi mendadak saja lamunannya buyar.

Pintu bambu berderit panjang. Ketiga orang 

yang duduk di balai langsung menoleh ke arah itu. Dwi 

Langsih gadis lima tahunan keluar dari gubuknya. 

namun setelah melihat ketiga orang yang duduk di 

muka gubuk itu, ia tidak jadi melangkah.

"Langsih, ada apa malam-malam berani ke-

luar...?" tegur Sangga Wana. Dwi Langsih ketakutan. 

Dua orang yang duduk di samping Sangga Wana ter-

senyum.

"Ada apa? Kok diam saja?" sapanya. "Langsih 

mau buang air...." jawab gadis kecil itu.

"Ohhh... Kok sendirian. Kenapa tidak minta di-

antar Ni Klesung."

"E-e-e... Be-be-beliau...." Dwi Langsih tergagap.

"Kau anak yang baik. Tentunya kau tidak ingin 

mengganggu tidur nenekmu, bukan? He he he he... 

Tak apa. Paman justru mau mengantarkan kamu."


"Antarkan Langsih, Kunto. Jangan lupa mem-

bawa obor." perintah Sangga Wana. Seorang penga-

walnya yang bernama Kunto beranjak bangun dan 

menyalakan obor dari bambu. Lalu lelaki itu menggen-

dong Dwi Langsih.

"Bersama Paman Kunto kau akan aman...." ka-

ta Sangga Wana lagi. Kunto membawa Dwi Langsih. 

Sebentar saja mereka hilang dari pandangan Sangga 

Wana yang menggeleng-geleng menatapnya.

Pintu gubuk tetap terbuka. Sangga Wana 

bangkit berjalan dan menutup pintu bambu itu. Ia ti-

dak berani menatap ke dalam. Makin malam udara 

makin dingin. Ketiga orang yang di atas balai mengu-

sap-usap kedua lengannya.

"Dingin?" sapa Ki Sangga Wana pada seorang 

pengawalnya.

"I-iya, Ki... Mungkin kalau kita bawa berjalan-

jalan rasa dingin ini akan hilang."

jawab orang itu. "Kita tunggu Kunto. Setelah itu 

kita berkeliling lagi." Sangga Wana menyodorkan kotak 

bakaunya. Pengawal itu langsung membuka dan mem-

buat satu linting daun kawung. Ki Sangga Wana sendi-

ri ikut melinting.

"Sebaiknya Ki Sangga Wana tidak usah pentang 

mata begini. Penduduk kampung cukup banyak yang 

berjaga malam...." kata pengawalnya sambil menyulut 

lintingan bakau.

Lalu ia menghembuskan asapnya kuat-kuat.

"Mana bisa begitu, Dun. Kita sudah sepakat 

untuk berjaga secara bergiliran. Lagipula aku bertang-

gungjawab atas desa ini." Mardun terdiam mendengar 

ucapan Ki Sangga Wana. Pikirannya melayang pada 

anak istrinya di rumah. Mungkinkah mereka dapat ter-

tidur lelap tanpa dilanda ketakutan? Sementara sang 

suami keluar selama satu malam berjaga berkeliling


dengan para penduduk lainnya. Bagaimanapun Mar-

dun tetap khawatir akan keselamatan keluarganya di 

rumah.

"Lama betul Kunto mengantar Dwi Langsih. Pa-

dahal tempat buang air tidak jauh dari sini." ujar Ki 

Sangga Wana. Mardun terkesiap.

"Coba kau susul mereka, Dun. Biar aku di sini 

menjaga Ni Klesung Rangit." Mardun tidak bisa meno-

lak perintah kepala kampung. Ia membetulkan kain 

sarungnya kemudian bangkit berdiri.

"Baik, Ki. Aku pun mulai khawatir pada mere-

ka." Mardun melangkah meninggalkan Ki Sangga Wa-

na yang masih duduk di balai. Langkahnya cepat ber-

lalu. Ia berpapasan dengan rekan-rekan sekampung 

yang juga melaksanakan tugas di malam itu. Goloknya 

terseron erat di pinggang.

Tanpa sebuah obor ia bisa melihat jalan ke 

pinggir kali. Karena sepanjang jalan memang banyak 

didirikan tiang-tiang yang digantungi sebuah lampu 

pelita. Jalan menuju ke sana agak sedikit sulit. Di sa-

na sini banyak ditumbuhi semak-semak dan pepoho-

nan. Daun-daun pisang mulai nampak dibasahi oleh 

embun. Manakala angin terus menerus berhembus 

menusuk tulang. Mardun yang telanjang kaki terus 

melangkah. Pelita yang berderet di atas tiang meneran-

gi jalannya. Letup api pelita bergoyang-goyang tertiup 

angin. Mendadak saja angin berhembus kencang men-

deru-deru. Namun sebenarnya angin kencang itu 

hanya dirasakan oleh Mardun.

Lelaki itu jadi ketakutan setengah mati. Lang-

kah-langkahnya jadi kian lambat. Pendengarannya se-

rasa berdenging nyaring memecahkan gendang telinga.

Kedua mata Mardun terbelalak saat ia melihat 

sosok tubuh melompat-lompat mengelilinginya. Sosok 

tubuh itu nampak kurus kering berkulit hitam dengan


rambut putih seperti kapas. Rongga matanya nampak 

besar memerah. Mardun berdiri gemetar melihat sosok 

menyeramkan itu.

Dengan mengeluarkan suara yang sangat aneh, 

sosok itu menerjang. Mardun tidak sempat menghin-

dari sergapan yang demikian cepatnya. Tahu-tahu saja 

lengan hitam bergerak menghantam keras di atas ba-

tok kepala. Darah pun menyembur bagai air mancur. 

Dan sosok hitam itu tidak membiarkan darah terge-

nang. Mardun sendiri tidak sempat berteriak lagi saat 

nyawanya hampir putus.

Tubuh Mardun masih kelojotan. Saat itupun te-

lapak tangan legam menghantam sampai kelima ja-

rinya menembus pada batok kepala itu. Kulit serta 

rambutnya terkelupas. Dari situ sosok mengerikan 

menyedot habis darah dan isi kepala Mardun.

*

* *

"Wuaaaaaa...!" Jeritan itu mengagetkan seluruh 

penduduk kampung yang tengah berjaga-jaga. Terle-

bih-lebih pada diri Ki Sangga Wana. Ia langsung bang-

kit dari atas balai. Seluruh peronda malam pating se-

rabut berlarian ke arah suara teriakan. Ki Sangga Wa-

na cepat memburu menyusul mereka.

"Cepat, Ki! Aku mendengarnya dari arah pinggir 

kali... Cepat!"

"Astaga...! Mardun dan Kunto ada di sana!" pe-

kik kepala kampung. Larinya cepat menyusul orang-

orang yang berlarian ke arah kali. Semuanya menero-

bos pohon tanpa peduli. Senjata-senjata mereka siap 

mengacung.

"Cepat! Siluman laknat itu pasti di sana! teriak 

salah seorang yang berlari paling depan. Mereka memang sedang menunggu-nunggu kesempatan itu. Se-

karanglah saatnya menunjukkan kemarahan mereka. 

Tapi sesampainya di pinggir kali mereka semua ben-

gong melompong bercampur ngeri. Mereka tidak meli-

hat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah.

"Kunto apa yang terjadi?" tanya Ki Sangga Wa-

na sesampainya pada kerumunan itu. "Entahlah... Aku 

menemukannya tergeletak di sini." jawab Kunto keta-

kutan. Ki Sangga Wana maju ke tengah mendekati se-

sosok mayat. Mengerikan sekali. Tubuh Mardun nam-

pak biru dan di atas kepalanya berlubang sebesar tela-

pak tangan.

"Kita terlalu lengah. Mardun korban yang kede-

lapan. Cepat menyebar...! Siluman itu pasti masih ada 

di sekitar sini!" Ki Sangga Wana memberi perintah.

"Kita berpencar. Awas jangan terpisah dengan 

yang lain...." Mereka menyebar.

"Kalau ketemu langsung saja cincang!" teriak 

mereka ramai. Beberapa orang tetap tinggal bersama 

Ki Sangga Wana membereskan mayat Mardun. Dwi 

Langsih ketakutan. Ia memegangi ujung baju Kunto. 

Melihat itu Ki Sangga Wana mengelus-elus rambut 

kemudian menggendongnya.

"Kau tidak perlu takut, Langsih. Penduduk 

kampung sedang mencari siluman itu. Malam ini pasti 

tertangkap." bujuk Sangga Wana. Dwi Langsih diam. 

Kunto ikut menggotong mayat Mardun. Mereka mem-

bawanya ke perkampungan.

"Mungkin nenekmu sudah cemas menunggu... 

Kau sendiri tidak apa-apa, bukan? Dwi Langsih meng-

geleng. Ia tetap dalam gendongan Ki Sangga Wana 

yang melangkah cepat menuju keramaian.

Keadaan desa jadi gaduh. Orang-orang yang 

tengah pulas tertidur mendadak bangun dan keluar 

dari gubuknya masing-masing. Mereka semua ketakutan. Istri Mardun langsung pingsan setelah mendengar 

kabar dari para penjaga malam.

"Langsih...! Langsih...!" Ni Klesung Langit me-

langkah menggapai-gapai kedua tangannya. Semua 

orang tidak perduli. Tapi saat Ki Sangga Wana meli-

hatnya, ia langsung melangkah menemuinya.

"Langsih tidak apa-apa, Ni... Ia bersama ku." 

kata Ki Sangga Wana menurunkan Dwi Langsih. Bocah 

itu meluruk lari memeluk nenek buta Ni Klesung Ran-

git.

"Neeeeek...!"

"Kepala kampung tak tahu diuntung! Kau ham-

pir saja mencelakakan cucuku!" hardik Ni Klesung 

Rangit. Mendengar perkataan yang demikian, Ki Sang-

ga Wana naik pitam.

"Justru kau yang sengaja mencelakakan cucu 

mu sendiri, Ni Klesung Rangit. Kau membiarkan cu-

cumu keluar malam sendirian. Bagaimana kalau sam-

pai terjadi sesuatu padanya? Apakah kau juga akan 

menyalahkan aku?" Ki Sangga Wana membentak.

Bibir Ni Klesung Rangit bergetar menampakkan 

kemarahan yang luar biasa. Kedua matanya yang buta 

tertutup rapat oleh kelopak mata, seperti melotot hen-

dak keluar dari rongganya.

*

* *

TUJUH



Setelah menggeram Ni Klesung Rangit menarik 

lengan Dwi Langsih.

"Kembali ke gubuk, Langsih! Jangan mencam-

puri urusan para pahlawan yang sok jago. Chis!" Ni


Klesung membuang ludah di hadapan Ki Sangga Wa-

na. Kepala kampung itu berusaha acuh meskipun ia 

merasa terhina. Penduduk kampung memaklumi akan 

perangai Ni Klesung Rangit. Mereka hanya memperha-

tikan sampai nenek dan cucu itu masuk ke dalam gu-

buknya. Setelah itu pun mereka sibuk kembali menca-

ri-cari sosok yang mencurigakan.

Semua penduduk keluar dari gubuknya. Mere-

ka berkumpul dalam satu lapangan yang cukup besar. 

Semuanya bergidik setelah melihat mayat Mardun. Me-

reka menimbulkan suara yang sangat ribut dan mem-

bisingkan. Apalagi semua keluarga Mardun yang tidak 

rela akan kematiannya.

"Kalian tenang! Tenang!" Ki Sangga Wana beru-

saha menenangkan mereka, namun para penduduk 

kampung makin kalang kabut.

"Kalau kalian begini terus bagaimana kita bisa 

mendapatkan siluman itu? Diam! Kalian bisa tenang 

atau tidak!"

Bagaimana pun bentakan kepala kampung tak 

digubrisnya. Para penduduk makin takut dan semakin 

ribut. Penjaga-penjaga malam berkeliling bersiap-siap 

dengan senjata. Lampu-lampu obor dinyalakan mem-

buat kampung itu menjadi terang seketika. Sampai 

saat itu mereka belum menemukan apa-apa. Tapi 

mendadak saja mereka kaget semua.

"Rowok Tunggel kau tidak perlu mengikutiku! 

Pergi! Pergi! Kau sudah menyembelih kudaku...!" Tiba-

tiba saja terdengar seorang berteriak-teriak. Orang-

orang kampung terlolong melihat seseorang berlari 

kencang. Di belakangnya seorang lelaki telanjang dada 

mengejarnya.

"Aku tidak mau! Kalian siluman jahat!" teriak 

lelaki yang berlari di depan. Mereka tidak lain dari 

Umbara Komang dan Rowok Tunggel. Mereka berdua


tidak menyadari kalau saat itu sudah memasuki per-

kampungan orang. Umbara Komang sendiri tersentak 

kaget disambar petir saat melihat orang-orang yang 

berkerumun di hadapannya. Apalagi orang-orang itu 

mengacung-acungkan senjata mereka.

"Mati aku! Rupanya aku terkepung." Umbara 

Komang menghentikan larinya. Rowok Tunggel masih 

jauh tertinggal. Melihat begitu banyak orang menga-

cungkan senjata, Umbara Komang berlari ke arah lain. 

Tapi justru tindakannya itu membuat orang-orang 

kampung jadi curiga. Maka...

"Kepung mereka! Dan tangkap mereka hidup-

hidup!" perintah kepala kampung. Lalu semua orang 

yang ada di situ langsung menyerbu Umbara Komang. 

Begitu juga dengan Rowok Tunggel. Ia tidak mengerti, 

tahu-tahu saja puluhan orang bersenjata mengha-

dangnya. Mereka memang tidak langsung menyerang, 

tapi cukup membuat Rowok Tunggel jadi panik. Ma-

kanya begitu orang-orang itu mendekat, Rowok Tung-

gel melancarkan hantaman-hantaman kepada orang 

yang menghalangi langkahnya.

Ki Sangga Wana sang kepala kampung sampai 

turun tangan. Dia sengaja tidak mengeluarkan keris. 

Karena dengan tangan kosong pun ia bisa menahan 

serangan-serangan Rowok Tunggel yang selalu menja-

tuhkan orang-orang kampung.

Sebenarnya dalam hal ini Rowok Tunggel mem-

bela diri dari kepungan puluhan orang. Tapi Ki Sangga 

Wana telah mengira orang asing itu bermaksud kurang 

baik dan bersangkutan dengan kematian Mardun dan 

korban-korban sebelumnya.

Untuk itulah Ki Sangga Wana mengerahkan se-

luruh tenaganya menghalangi setiap gerakan-gerakan 

Rowok Tunggel. Menghadapi orang yang cukup memi-

liki ilmu, Rowok Tunggel sulit menyingkirkan orang


orang yang datang menghadang. Sampai mereka saling 

berhadapan, lelaki telanjang dada itu seperti kewala-

han.

Hantaman-hantaman Ki Sangga Wana hampir 

mengenai bagian kepala dan dadanya. Rowok Tunggel 

berusaha menghindarinya walaupun sekeras apa han-

taman itu. Laki-laki telanjang dada itu harus melompat 

ke sana ke mari menghindari babatan-babatan senjata 

yang membabi buta mengarah ke tubuhnya. Manakala 

serangan-serangan Ki Sangga Wana begitu gencar 

mengikuti ke mana Rowok Tunggel bergerak.

Gerakan Ki Sangga Wana sangat cepat, begitu 

juga dengan Rowok Tunggel yang sudah menyadari 

adanya seseorang yang mengikuti. Tapi ia tidak perdu-

li. Ia lebih ngeri menghadapi orang-orang yang bersen-

jata. Saat itulah ia tidak sempat lagi menghindari pu-

kulan Ki Sangga Wana yang menghantam membuatnya 

jatuh. Sudah tentu semua orang kampung yang meli-

hat lelaki itu jatuh langsung mengepung. Senjata-

senjata mereka siap merencah. Tapi sebelum senjata-

senjata itu menghujani, Rowok Tunggel salto ke bela-

kang. Nafasnya tersengal-sengal masih menahan sakit 

akibat hantaman Ki Sangga Wana tadi.

"Tunggu! Aku menyerah! Aku menyerah!" Ro-

wok Tunggel mundur-mundur, tapi ia masih sanggup 

menepiskan beberapa senjata yang mencecar ke arah-

nya.

"Kalian ini siapa? Kenapa kalian tiba-tiba saja 

menyerang?" Rowok Tunggel melompat mundur.

"Jangan banyak bicara! Ringkus saja manusia 

busuk itu!" Orang-orang kampung semakin gencar 

menyerang. Ki Sangga Wana melepaskan jurus-jurus 

maut mematahkan pertahanan Rowok Tunggel.

"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak kepala kam-

pung penuh semangat.


Sementara itu orang-orang yang mengepung 

Umbara Komang berpentalan satu demi satu. Bersa-

maan dengan itu pula teriakan Umbara Komang meng-

gelegar. Nampak jelas sekali gerakan-gerakan kedua 

lengan Umbara Komang yang menghantam jatuh la-

wan-lawannya. Orang-orang yang telah jatuh itu tak 

dapat bangkit lagi, karena mereka semuanya menga-

lami patah tulang.

Senjata-senjata mereka tidak berarti sama se-

kali. Umbara Komang dapat dengan mudah menghin-

dar dan membalas serangan.

"Kebetulan! Kebetulan sekali aku dapat mene-

mukan gudang siluman! Hua ha ha ha... Aku paling 

gatel melihat siluman-siluman tengik macam begini. 

Heaaaaa!" Umbara Komang memutar sebelah lengan-

nya maka empat orang sekaligus bergulingan sambil 

menjerit karena tulang kaki mereka terkilir.

"Biar langit runtuh! Biar bumi bergoncang!... 

Aku tidak takut!" Umbara Komang teriak-teriak. Sua-

ranya berbareng dengan teriakan orang-orang yang ja-

tuh bergulingan. Dan ia cukup puas akan tindakan-

nya. Tawanya terkekeh-kekeh.

"Rasain! Biar kalian pada pedok! Pada pencot! 

Hih! Hih!" Lelaki senewen itu memandangi orang-orang 

itu dengan sapuan kakinya yang memutar berkali-kali. 

Kontan semua lawannya meringis sambil berjingkat-

jingkat. Sebentar saja para pengeroyoknya itu berku-

rang banyak, dan mereka jadi ragu-ragu untuk maju 

lagi.

Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi 

amukan Umbara Komang. Laki-laki senewen itu selalu 

dapat membalas di saat mereka melancarkan seran-

gan. Sampai saat itu pun senjata-senjata mereka yang 

tajam berkilat tidak mampu menyentuhnya. Gerakan 

Umbara Komang yang nampak asal asalan itu justru


membawa maut bagi orang yang coba-coba mendekat. 

Semuanya dibuat tunggang langgang.

Di lain pihak, Rowok Tunggel nampak berlari-

lari menghindari kejaran Ki Sangga Wana dan kepun-

gan orang-orang kampung. "Wuaaa... Rowok Tunggel. 

Gara-gara kau, aku jadi ikut-ikut sial!" kata Umbara 

Komang yang melihat lelaki telanjang dada itu berlari 

ke arahnya.

"Sekarang kau seorang pemimpin. Bagaimana 

pun kau tidak bisa meninggalkan kami di Pedalaman 

Lereng Ungaran!" jawab Rowok Tunggel. Tidak henti-

hentinya ia menoleh ke belakang. Ki Sangga Wana mu-

lai mencabut kerisnya.

"Jangan banyak omong! Awas di belakang mu 

biang siluman akan menikam." bentak Umbara Ko-

mang, ia cepat menarik tubuh Rowok Tunggel. Keris Ki 

Sangga Wana berkelebat nyaris merobek pinggang.

"Hati-hati, Komang. Orang yang satu ini luar 

biasa!"

*

* *

Ah! Peduli amat!" jawab Umbara Komang. Tu-

sukan-tusukan keris dihadapinya. Tubuhnya yang len-

tur bergerak ke sana ke mari seakan mengejek. Sudah 

tentu membuat Ki Sangga Wana makin kalap. Orang-

orang kampung yang bermaksud datang membantu 

kepala kampung itu dihadapi oleh Rowok Tunggel. 

Tanpa Ki Sangga Wana, lelaki telanjang dada itu dapat 

menghalau para pengeroyok. Ia masih belum mengerti 

kenapa orang-orang kampung bertindak membabi buta 

macam itu.

Tapi bagi Rowok Tunggel yang berpikiran pan-

jang, ia sengaja betul-betul tidak menyakiti orang


orang itu. Setiap hantamannya membuat mereka ter-

guling atau mundur. Kalau Rowok Tunggel mau, ia bi-

sa merebut senjata mereka dan menghabisi mereka sa-

tu persatu.

Bagi Umbara Komang lain lagi. Laki-laki sene-

wen itu tidak pandang bulu. Siapapun yang datang 

melancarkan serangan padanya, ia tidak segan-segan 

membalas dengan hantaman yang paling dahsyat. Un-

tuk itulah Ki Sangga Wana harus kewalahan mengha-

dapinya. Tapi bagi seorang kepala kampung pantang 

untuk menyerah atau mundur. Ia semakin gigih me-

lancarkan babatan-babatan serta tusukan keris. Um-

bara Komang yang sendiri tadi melayani hanya memu-

tar-mutar kedua lengan dengan sesekali berlompat. 

Dan mendadak sekali tubuh Ki Sangga Wana ter-

huyung ke belakang. Dadanya terasa sakit dan ia tidak 

tahu kapan hantaman itu datang. Yang lebih menge-

jutkan lagi, keris milik Ki Sangga Wana telah berpin-

dah tangan pada Umbara Komang. "Hak hak hak 

hak...! Kau pikir senjata butut ini mampu melumpuh-

kan kesaktianku? Jangan mimpi, Biang Siluman! Ka-

lau bukan angin raksasa dan badai pasir tidak ada 

yang bisa mengalahkan ku! Kau baru jadi biang silu-

man sudah sok main keroyok. Nih! Kukembalikan sen-

jata taik kucingmu!" Umbara Komang melemparkan 

keris itu ke hadapan Ki Sangga Wana yang masih he-

ran. Keris itu menancap tepat di atas permukaan ta-

nah. "Ayo ambil! Aku tidak butuh pusaka butut! Hak 

hak hak hak...!" tawa Umbara Komang menggelak-

gelak. Perutnya sampai tergoyang-goyang.

Ki Sangga Wana hanya memandangi laki-laki 

bertingkah aneh itu. Ia seperti tidak percaya ketika 

melihat Umbara Komang berlalu dengan acuh. Kenapa 

orang ini tidak menghisap darahnya? Atau melubangi 

kepala Ki Sangga Wana?


"Hai, Siluman senewen! Kau pikir bisa pergi be-

gitu saja? Tinggalkan dulu nyawamu di sini!" bentak Ki 

Sangga Wana. Ia mengejar dengan langkah yang san-

gat cepat menyusul Umbara Komang berjalan tenang.

"Mampus!" Ki Sangga Wana menerjang dengan 

tusukan keris. Tanpa menoleh Umbara Komang sudah 

mencium adanya serangan gelap dari arah belakang.

Maka ia segera bergeser ke samping. Ki Sangga 

Wana mengarahkan kerisnya ke tempat kosong. Ber-

samaan dengan gerakan itu Umbara Komang melan-

carkan hantamannya... "Bug!" Ki Sangga Wana yang 

hampir jatuh tambah ngusruk mencium tanah.

Umbara Komang mengekeh. Bibirnya mencibir 

monyong dengan kedua mata yang terbelalak. Kepala 

kampung itu meringis berusaha bangkit.

"Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang! 

Sekali lagi kau menyebutku siluman, lidahmu akan ku 

tarik ke luar! Jangan plintat plintut begitu! Aku lagi se-

rius!" Lelaki senewen itu tolak pinggang berjalan men-

gelilingi Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu balas 

menatap dengan geram. Lalu dengan teriakan lantang 

ia julurkan ujung kerisnya yang setajam mata pedang. 

Sinar keemasan membersit ke arah lelaki yang berjalan 

mengelilinginya. Tapi secepat kilat pula Umbara Ko-

mang dapat menangkap pergelangan tangan Ki Sangga 

Wana. Bahkan melintirnya... "Aaaaarght!" Keris ber-

warna keperakan terlepas.

Mendadak saja Umbara Komang melepaskan 

cengkramannya. Bibirnya yang rada monyong men-

ganga lebar. Ki Sangga Want yang nampak meringis 

sempat tersentak kaget. Cepat-cepat ia meraih keris-

nya yang tergeletak di tanah. Mengapa tidak? Dari 

arah lain puluhan orang bertelanjang dada berlarian 

memasuki desa itu. Mereka bersenjatakan panah dan 

golok terhunus sepanjang lengan.


"Rowok Tunggel...! Umbara Komang...! Kami da-

tang!" teriak orang-orang itu.

Melihat Rowok Tunggel terkepung macam itu, 

tentunya orang-orang telanjang dada tidak tinggal di-

am. Sebagian dari orang-orang yang bersenjata parang 

maju mengempur. Yang lain menyebarkan anak-anak 

panah.

"Jangan...! Jangan serang mereka!" teriak Ro-

wok Tunggel. Ia menerobos kepungan orang-orang 

kampung. Tapi teriakan itu tidak didengar sama sekali. 

Keadaan makin riuh. Teriakan Rowok Tunggel tengge-

lam dalam kegaduhan malam itu. Rowok Tunggel cu-

kup mengerti kemarahan orang-orang suku Pedalaman 

Bangsa Bajor. Tapi dengan cara seperti itu tentunya 

akan banyak memakan korban. Manakala anak-anak 

panah melesat deras seperti air hujan meluruk ke arah 

para penduduk kampung yang mulai sadar akan keda-

tangan puluhan tamu tak di undang.

Di balik dentingan senjata beradu dan desiran 

angin, batang-batang anak panah. Sosok tubuh me-

layang berjumpalitan di udara. Kedua lengannya sigap 

menangkapi batang-batang anak panah. Sosok itu be-

gitu cekatan dan cukup berani menentang derasnya 

hujan panah. Rowok Tunggel

yang melihatnya langsung mengikuti cara itu. 

Tubuhnya segera melesat dan harus melompat-lompat 

menyambar tiap-tiap batang anak panah. Melihat ke-

munculan Rowok Tunggel, mereka mengurangi seran-

gan anak panah. Mereka tidak ingin lelaki telanjang 

dada itu kena sasaran.

*

* *


DELAPAN


Dua lelaki masih berjumpalitan, kedua lengan 

mereka sigap menyambar lesatan-letatan anak panah. 

Saat itu pun mereka saling pandang. Diam-diam Ro-

wok Tunggel menatap kagum terhadap seorang pemu-

da yang mengenakan baju bulu binatang. Dan begitu 

keduanya hinggap di tanah. Pasukan telanjang dada 

menghentikan serangan panahnya.

Orang-orang itu mendekati Rowok Tunggel. 

Penduduk kampung tidak ada yang berani mendekat. 

Kecuali Ki Sangga Wana. Rupanya ia masih mengenali 

pemuda yang baru datang itu. Ia segera melompat me-

ninggalkan Umbara Komang. Lelaki senewen itu tidak 

mau kalah cepat. Tubuhnya yang lentur berjumpalitan 

mendahului langkah-langkah Ki Sangga Wana. Dan 

tahu-tahu saja mendarat di hadapan pemuda yang 

mengenakan baju bulu binatang.

"Dewa!" Suara Umbara Komang keras menyapa. 

Orang yang disebut dewa tidak lain Wintara adanya. 

Pendekar Kelana Sakti itu seakan tidak percaya meli-

hat Umbara Komang kini berdiri di hadapannya.

"Ha ha ha ha... Dunia betul-betul sempit. Da-

lam keadaan seperti ini pun kita bisa ketemu lagi...." 

Umbara Komang langsung memeluk Wintara.

"Aku pikir kau sudah terkubur hidup-hidup 

oleh badai pasir!" tawa Wintara menggelegak. Mereka 

berpelukan. Ki Sangga Wana maupun orang-orang 

kampung keheranan.

"Tidak salah! Tidak salah apa yang kau kata-

kan, Dewa! Kalau saja Rowok Tunggel tidak keburu 

menyelamatkan aku, mungkin sudah jadi setan gen-

tayangan." Suara Umbara Komang lepas.

"Mana mungkin kau bisa jadi setan gentayan


gan! Kalau jadi setan gila, aku baru yakin... Ha ha ha 

ha ha...!" "Ha ha ha ha ha...!"

"Anak muda." teguran Rowok Tunggel meng-

hentikan tawa mereka. "Untung kau cepat datang. 

Orang-orangku dan penduduk desa ini nyaris berpe-

rang. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang telah 

terjadi di sini. Tiba-tiba saja mereka menghadang dan 

menyerang kami...." tutur Rowok Tunggel.

"Bagaimana kami tidak menyerang. Kalian ber-

dua datang di tengah malam begini, gasak gerusuk se-

lagi kampung ini tengah terjadi sesuatu. Coba saja li-

hat, semua penduduk masih merasa ketakutan." Ki 

Sangga Wana membela diri.

"Apalagi yang terjadi di sini, Ki?" tanya Wintara.

"Malam ini telah jatuh seorang korban." jawab 

kepala kampung itu cepat.

"Korban yang sama seperti Kang Birun?" Winta-

ra meyakinkan. Ki Sangga Wana mengangguk. Bersa-

maan dengan itu pula mayat Mardun diusung ke tem-

pat terang. Penduduk kampung ikut mengiringi. Rowok 

Tunggel mengeryitkan alis memandang iring-iringan 

itu. Umbara Komang dan Wintara ikut melihat. Bagi 

Wintara sudah tidak heran lagi melihat korban kehabi-

san darah dengan kepala bolong sebesar telapak tan-

gan. Tapi,

"Astaga...! Tunggu dulu!" Rowok Tunggel mena-

han iring-iringan itu. Maka orang-orang yang mengu-

sung mayat Mardun berhenti penuh ketakutan. Apala-

gi saat Rowok Tunggel mendekat. Kedua matanya tidak 

berkedip. Malah membelalak.

"Sudah berapa orang yang tewas seperti ini?" 

tanya Rowok Tunggel dengan suara gemetar. Ia tidak 

berani menyentuh mayat itu.

"Untuk malam ini genap delapan orang! Silu-

man penghisap darah itu memang selalu mengambil


korban di sini. Itu yang membuat kami kalut." Ki 

Sangga Wana yang menjawab.

"Ini bukan perbuatan siluman atau sebangsa 

setan lainnya." Rowok Tunggel yakin sekali. Wintara 

dan Ki Sangga Wana menatap tajam. Mereka menung-

gu ucapan Rowok Tunggel.

"Kalau kalian percaya, ini perbuatan seseorang 

yang tengah menggenapi ilmunya. Dengan darah dan 

isi kepala baru bisa sempurna. Delapan nyawa belum 

cukup menyempurnakan 'Ilmu Gelugut Manik'...." tu-

tur Rowok Tunggel.

"Harus berapa nyawa lagi yang perlu di ambil 

dari desa ini!" Ki Sangga Wana geram setelah menden-

gar penjelasan laki-laki berewok telanjang dada.

"Orang itu masih membutuhkan empat nyawa 

lagi."

Mendengar ucapan Rowok Tunggel, orang-

orang kampung merinding dan semakin ciut. Bagai-

mana pun ucapan itu menghantui setiap orang. Sam-

pai saat ini siluman tersebut belum juga ditemui, da-

tang dan perginya selalu meninggalkan korban. Siapa 

yang bisa mengatasinya.

Sementara itu Ni Klesung dan Dwi Langsih 

mendengar kegaduhan itu dari dalam gubuknya. Me-

reka memang belum bisa memejamkan mata sejak ke-

gaduhan itu

"Nek, Paman Wintara datang lagi ke sini. Pasti-

lah siluman itu akan tertangkap." Dwi Langsih yang 

sudah mengenali suara Wintara yakin akan kedatan-

gan Pendekar Kelana Sakti. Wajahnya berseri.

"Hus! Anak kecil tahu apa! Tidur sana!" bentak 

Ni Klesung Rangit. Gadis kecil itu mengkerut langsung 

beranjak ke sudut ruangan.

"Sampai kapan pun mereka tidak akan sanggup 

menangkap siluman itu!"


Di luar keadaan semakin ramai. Apalagi ditam-

bah dengan puluhan orang-orang bersenjata panah. 

Membuat tempat itu penuh sesak. Penduduk kampung 

yang terluka di seret ke pinggir. Untunglah tidak sam-

pai korban nyawa.

"Terus terang 'Ilmu Gelugut Manik' salah satu 

ilmu kesempurnaan tingkat tinggi yang dimiliki Suku 

Pedalaman Bangsa Bajor. Tapi sampai saat ini belum 

ada orang yang sanggup menguasainya." kata Rowok 

Tunggel.

"Nampaknya kau tahu persis siapa pelaku 

pembunuhan ini, Sobat. Apa yang membuat kau begitu 

yakin?" Ki Sangga Wana penasaran.

"Karena aku dan orang-orang itu para penghuni 

Lereng Ungaran. Boleh dibilang penduduk asli Suku 

Pedalaman Bangsa Bajor." Rowok Tunggel menjawab 

mantap.

"Kalau begitu...." Ki Sangga Wana menerjang 

lagi. Kerisnya siap menikam. Tapi cepat Wintara me-

nahan.

"Sabar, Ki... Kita tidak boleh asal tuduh. Semua 

yang diucapkannya hanyalah penjelasan." Wintara 

berdiri di tengah-tengah. Umbara Komang nyengir. La-

lu...

"Rowok Tunggel bukan siluman! Tapi dia seo-

rang dukun yang hebat. Ilmu yang dikuasainya hanya 

bisa menyembuhkan orang-orang sekarat."

"Benar! Dan sekarang yang memimpin kami 

adalah Umbara Komang. Untuk itulah aku mengejar-

nya, karena dia lari dari sumpah Suku Pedalaman 

Bangsa Bajor. Orang yang telah disumpah menjadi 

pemimpin tak boleh mengelak."

"Kau dengar, Ki... Aku rasa sekarang sudah je-

las persoalannya." Wintara menepuki punggung Ki 

Sangga Wana. Amarahnya belum juga reda.


"Orang-orang kampung yang terluka biarlah 

kami yang akan mengobati. Kalau hanya patah tulang 

atau terkilir, kami bisa mengatasi."

"Kumpulkan saja mereka yang terluka. Mudah-

mudahan saja sobat kita ini bisa menyembuhkannya." 

tutur Wintara. Ki Sangga Wana menatap penduduk 

kampung yang penuh ketakutan itu. Lalu setelah ia 

memberi aba-aba. Beberapa orang yang nampak segar 

bugar membantu mengumpulkan teman-temannya 

yang terluka. Banyak juga yang terluka dan menge-

rang-ngerang menahan sakit.

Rowok Tunggel sendiri memilih orang-orangnya 

dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Enam orang yang 

betul-betul dianggapnya bisa mengobati luka patah 

atau sejenisnya. Keenam orang itu menunjukkan sikap 

yang bersahabat. Penduduk kampung tidak takut lagi. 

Mereka menuruti apapun perintah keenam orang pili-

han Rowok Tunggel.

"Yang lain boleh kembali ke gubuk, tidak akan 

terjadi apa-apa lagi di sini...." perintah Rowok Tunggel. 

"Karena pembunuh itu hanya memerlukan satu nyawa 

setiap malamnya."

"Turuti saja perintahnya. Rowok Tunggel selalu 

berkata benar." sumbar Umbara Komang. Kata-kata 

itu ditujukan pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung 

itu hanya diam. Keputusannya ada pada tiap-tiap pen-

duduk desa. Nyatanya mereka tidak ada yang mau 

menuruti, mungkin dikarenakan masih ketakutan. 

Rowok Tunggel tak bisa berbuat banyak. Wintara men-

dekati kepala kampung...

"Untuk sementara biarkan saja orang-orang pe-

dalaman tinggal di sini. Aku rasa ada baiknya. Desa ini 

butuh pertolongan orang banyak."

"Mereka akan tinggal di mana? Jumlah mereka 

begitu banyak. Mana mungkin bisa menampung orang


sebanyak ini." jawab Ki Sangga Wana.

"Kami sudah terbiasa hidup di alam terbuka. 

Kalau tidak keberatan, biarkan saja kami berkeliaran 

di sini...." Rowok Tunggel menimpali. Entah karena apa 

tiba-tiba saja ia ingin menetap di desa itu. Mungkin 

karena salah seorang yang menyempurnakan 'Ilmu Ge-

lugut Manik' selalu mengambil korban di situ. Yang ia 

ketahui "Ilmu Gelugut Manik' hanyalah ilmu yang be-

rasal dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Sejenis ilmu 

sesat. Dia sendiri tidak mau menguasai ilmu itu. Dulu 

memang banyak para tetua suku Bajor yang mengua-

sai ilmu itu. Tapi menurut sepengetahuannya 'Ilmu 

Gelugut Manik' sudah punah beberapa puluh tahun 

yang lalu, karena seluruh tetua itu sadar akan ilmu 

yang tidak dibenarkan. Maka mereka pun bunuh diri. 

Yang pada sekarang tinggal generasi Rowok Tunggel.

"Untuk mereka boleh tinggal berkeliaran di 

luar. Tapi aku tidak." Tiba-tiba saja Umbara Komang 

menyela.

"Kenapa... Bukankah sekarang kau ketua Suku 

Pedalaman Bangsa Bajor? Kau harus memimpin mere-

ka." jawab Wintara.

"Aduh, Dewa... Aku paling tidak tahan kantuk 

dan lapar. Bagaimana aku bisa bertahan hidup di luar 

sepanjang hari." Umbara Komang hampir menangis.

"Pendekar macam apa kau ini. Terhadap badai 

angin dan pasir kau tahan. Masa hanya begadang be-

berapa malam saja kau tidak sanggup. Jangan khawa-

tir Umbara Komang, aku akan menemanimu... Juga 

bapak kepala kampung akan bersama-sama kita 

menghadapi siluman itu." Wintara memberi semangat.

"Benar, Umbara Komang... Kau sebagai ketua 

kami semestinya bertindak, jangan sampai 'Ilmu Gelu-

gut Manik' tercipta. Kalau sampai orang itu menguasai 

ilmu itu, maka kita semua tidak akan lagi dapat mengatasinya." ujar Rowok Tunggel.

"Terserah kalian saja! Pokoknya aku tidak mau 

sampai kelaparan." jawab Umbara Komang. Wintara 

tersenyum. Ia merangkulnya berjalan menghadap Ki 

Sangga Wana.

"Namanya Umbara Komang. Maafkan saja ka-

lau bicaranya rada ngaco. Kadang-kadang otaknya ra-

da miring." Wintara memperkenalkan sahabat lamanya 

itu pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu tidak 

ragu-ragu lagi.

"Lalu kau sendiri siapa, Anak muda. Ilmu yang 

kau miliki sangat luar biasa!" tanya Rowok Tunggel. 

Saat itu suasana desa sudah tenang kembali. Yang 

terdengar hanya kasak kusuk beberapa penduduk 

kampung dan erangan orang-orang yang terluka.

"Aku hanya seorang pengelana. Namaku Winta-

ra. Anda Rowok Tunggel, bukan? Ilmu peringan tu-

buhmu pun sangat hebat."

“Sekarang kalian menjadi tamu-tamu kami ini. 

Adalah wajar kalau kami bermaksud menjamu kalian." 

kata Ki Sangga Wana.

"Itu bisa menyusul. Yang penting kita urus du-

lu mayat itu." sela Wintara.

Penduduk kampung memang sudah mengurusi 

jenasah Mardun. Meskipun tidak dibungkus dengan 

kafan, kain sarung pun bisa digunakan. Mayat itu di 

letakkan di tempat yang lebih terang. Terdengar pula 

beberapa orang membacakan doa. Para penduduk Su-

ku Pedalaman Bangsa Bajor hanya terdiam meman-

dangi adat itu.

"Biar saja orang-orang itu yang mengurus, toh 

kita menguburkannya besok. Lagi pula tanah pema-

kaman jauh dari sini. Bukankah katamu tadi siluman 

itu tidak bakal datang lagi? Sebaiknya kalian datang ke 

rumah ku. Mungkin ada satu rencana yang akan dibicarakan." Ki Sangga Wana mengundang. Ketiga orang 

itu tidak bisa menolak, mereka pun mengikuti lang-

kah-langkah kepala kampung.

Rumah gedung itu terletak tidak jauh dari situ. 

Meskipun dengan beberapa lampu gembreng, bangu-

nan berwarna serba putih itu nampak terang. Setelah 

Ki Sangga Wana mengetuk pintu berkali-kali, maka pe-

rempuan setengah tua keluar membukakan. Perem-

puan itu tidak lain istri Ki Sangga Wana. Ia terheran-

heran melihat suaminya pulang dengan tiga orang ber-

pakaian sangat lusuh. Terlebih-lebih saat melihat Ro-

wok Tunggel yang wajahnya hampir tertutup oleh be-

rewok. Terhadap lelaki yang tidak mengenakan baju, 

istri Ki Sangga Wana merinding.

Ruangan tamu cukup besar, isinya pun dileng-

kapi dengan perabotan yang bagus-bagus. Mungkin 

hanya Ki Sangga Wana orang terkaya di desa itu. Ma-

kanya ia terpilih menjadi kepala kampung.

Lapat-lapat tercium bau kemenyan. Umbara 

Komang yang sedari tadi mencium bau itu mengendus-

endus hidung. Wintara sedari tadi pun sudah merasa. 

Hanya Rowok Tunggel yang nampak tenang-tenang sa-

ja.

Rupanya bau kemenyan itu berasal dari salah 

satu yang diterangi dengan sebuah lampu pelita. 

Asapnya masih mengepul keluar. Bara api di pendu-

paan masih marong. Ki Sangga Wana memasuki ruan-

gan itu. Ketiga orang yang dibawanya mengikuti ma-

suk ke dalam ruangan. Maka mereka melihat setum-

pukan sesajen yang mengampar di sekitar pendupaan. 

Mendadak saja Ki Sangga Wana menendangi sesajen 

berupa macam-macam makanan. Pendupaan itu sam-

pai pecah belah berantakan. Wintara tetap tidak men-

gerti. Tapi ia cepat menahan amukan Ki Sangga Wana.

"Penangkal-penangkal ini tidak ada gunanya

sama sekali. Aku bodoh mengotori tempat ini dengan 

segala macam barang penangkal!" gerutu Ki Sangga 

Wana.

*

* *

SEMBILAN



Selesai mengubur jenasah Mardun, penduduk 

kampung kembali ke desa. Orang-orang yang terluka 

semalam juga ikut. Rasa sakit pada luka-luka mereka 

hilang seketika. Malah mereka mulai mengikat tali per-

sahabatan dengan para anggota Suku Pedalaman 

Bangsa Bajor. Akrab sekali kelihatannya. Satu sama 

lain saling menceritakan pengalaman. Ternyata orang-

orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor amatlah menye-

nangkan.

Selain ramah, mereka juga ringan tangan. Ke-

banyakan dari mereka giat membantu meringankan 

beban para penduduk desa. Ki Sangga Wana tidak me-

nyangka sebelumnya. Ada juga yang coba-coba meng-

goda para gadis desa. Lucu juga! Tapi wajar kalau hal 

itu terjadi di kalangan anak muda.

Ki Sangga Wana dan keluarganya tidak perlu 

repot menyambut Wintara dan kawan-kawannya. Anak 

perawannya yang dua orang sibuk membuat hidangan. 

Dan ketika mereka keluar membawakan hidangan, 

Umbara Komang menyambar lebih dahulu.

Rumah-rumah penduduk nampak ramai. Se-

muanya berada di luar duduk-duduk di atas balai di 

depan gubuk mereka. Hanya ada satu gubuk yang 

nampak sepi dan pintunya masih terkunci. Pandangan 

Rowok Tunggel mengarah ke situ. Dan sejak tadi ia di

am saja.

"Saudara Rowok Tunggel ada apa?" tegur Ki 

Sangga Wana yang mulai merasa kevakuman Rowok 

Tunggel.

"Apakah gubuk itu tidak ada penghuninya, Ki. 

Sejak tadi kuperhatikan tidak ada orang yang keluar 

masuk dari situ." jawab Rowok Tunggel tanpa menoleh.

"Oh... Ada! Seorang nenek buta dan cucunya. 

Sebenarnya mereka orang baik-baik. Mungkin karena 

usianya yang sudah tua dan pikun, hal itu membuat 

penduduk kampung menjadi kurang suka." Ki Sangga 

Wana menjelaskan.

"Semua orang tua renta pasti pikun. Kau pun 

akan seperti itu kelak." sahut istrinya yang duduk di 

sebelah Ki Sangga Wana.

"Menurutku Ni Klesung Rangit tidak pikun. Ta-

pi ia terlalu berhati-hati. Hanya kita selalu salah taf-

sir." Wintara menimpali. Tapi mendengar ucapan Win-

tara, Rowok Tunggel bagai disambar petir.

"Siapa katamu, Ni Klesung Rangit...?" Rowok 

Tunggel mengulangi ucapan Wintara. "Ya! Ni Klesung 

Rangit!" Mendadak saja Rowok Tunggel bangkit. Ma-

tanya membinar seolah-olah telah menemukan sesua-

tu yang sangat berharga. Umbara Komang sampai ka-

get.

"Kalau betul ia Ni Klesung Rangit, pastilah ber-

sama seorang anak kecil." Rowok Tunggel masih mera-

sa kurang yakin.

"Dia memang bersama seorang cucu perem-

puan bernama Dwi Langsih." Istri Ki Sangga Wana ikut 

menjelaskan. Maka entah karena apa ia keluar dari te-

ras rumah besar itu. Wintara tidak sempat menahan. 

Kecepatan lari Rowok Tunggel bagaikan angin menuju 

ke arah gubuk kecil kediaman Ni Klesung Rangit.

"Ibuuuu...! Langsih...!" Rowok Tunggel langsung


membuka pintu gubuk itu sampai berderak. Deritnya 

terdengar nyaring. Tindakan itu menjadi perhatian se-

luruh orang-orang yang berada di desa itu. Wintara 

dan Umbara Komang menghampiri Rowok Tunggel

yang berdiri diam terpaku. Orang-orang kam-

pung maupun para Suku Pedalaman Bangsa Bajor 

berdatangan ke tempat itu.

"Ibu... Anakku... Di mana kalian...?" suara Ro-

wok Tunggel parau.

Kedua matanya berputar mengawasi tiap-tiap 

sudut ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk 

itu. Kecuali perabotan yang berserakan di tanah.

"Be-benarkah mereka tinggal di sini...?" tanya 

Rowok Tunggel setelah Ki Sangga Wana datang ke 

tempat itu. Ki Sangga Wana tidak langsung menjawab 

sebab ia menatap langsung ke atas melihat atap jerami 

yang jebol. Tapi tak lama...

"Semalam ia masih tinggal di sini, bahkan kami 

sempat bentrok. Mustahil kalau kepergiannya tidak di-

ketahui oleh siapa pun."

"Atapnya jebol! Mungkin seseorang telah mem-

bawanya pergi." kata Wintara setelah memperhatikan 

tempat itu. Rowok Tunggel melihat ke atas. Atap itu 

memang ternganga lebar.

"Benarkah Ni Klesung Rangit dan Dwi Langsih 

keluargamu dari Suku Pedalaman bangsa Bajor? Kalau 

benar bagaimana mungkin bisa berada di sini?" Winta-

ra jadi penasaran. Rowok Tunggel berbalik menghadap 

Wintara.

"Dunia kita sempit, Wintara. Tidak mungkin 

ada orang lain yang memiliki ibu dan anak bernama Ni 

Klesung Rangit dan Dwi Langsih. Tidak mungkin ada 

kesamaan. Aku yakin mereka bagian dari hidupku." 

"Kenapa kalian sampai terpisah?" 

"Pertanyaan itu memang menyakitkan. Dan aku


tidak bisa melupakannya. Peristiwa itu terjadi dua ta-

hun yang lalu. Di mana kami selalu berkumpul hidup 

di pedalaman. Ni Klesung Rangit adalah orang tertua 

Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ia memimpin suku 

kami sebagaimana layaknya para tetua terdahulu. Il-

mu pengobatan yang dimilikinya sangat luar biasa. 

Sampai-sampai aku pun diwarisinya. Tapi setelah aku 

betul-betul menguasai ilmu pengobatan, Ni Klesung 

Rangit pergi mengunjungi makam para tetua Bangsa 

Bajor. Ia membawa anakku Dwi Langsih yang baru be-

rumur tiga tahun. Mulai hari itu mereka tidak kembali. 

Kami semua mengira mereka telah menjadi mangsa 

binatang buas. Namun kami tidak menemukan tanda-

tanda apapun sewaktu mencari mereka. Istriku sampai 

meninggal karena memikirkan Langsih." Rowok Tung-

gel selesai menceritakan perihal Ni Klesung Rangit. 

Semua orang terdiam. Ada banyak pertanyaan di be-

nak Wintara dan Ki Sangga Wana. Tapi mereka tidak 

mengutarakannya pada Rowok Tunggel dalam keadaan 

demikian.

*

* *

Matahari tepat mencorot di atas kepala. Jauh 

dari keramaian desa, tepatnya di perbukitan yang 

mengelilingi desa. Dua sosok tubuh nampak duduk di 

bawah rindangnya pepohonan. Sejak tadi Dwi Langsih 

sudah mengucurkan keringat. Ni Klesung Rangit pun 

nampak demikian. Kulitnya yang kurus keriput sampai 

legam mengkilat terkena sinar matahari. Bibir mereka 

mengering.

"Nek,... Kenapa kita harus meninggalkan desa, 

bukankah di sana ada Paman Wintara? Lagipula perut 

Langsih sudah keroncongan."


"Bocah cerewet! Tidak bisakah kau diam saja! 

Nanti aku carikan makanan!" bentak Ni Klesung Ran-

git. Seperti biasa bila nenek membentak, Dwi Langsih 

langsung mengkerut takut.

"Siapa yang meninggalkan desa? Nanti pun kita 

akan kembali lagi ke sana. Orang-orang keparat itu 

yang membuat kita harus menyingkir sementara. Win-

tara itu sama keparatnya dengan mereka." gerutu Ni 

Klesung Rangit.

Dwi Langsih cemberut. Paman Wintara orang 

baik. Mengapa nenek bilang Paman Wintara keparat? 

Dalam hati Langsih mendongkol.

Keduanya menatap desa itu dari kejauhan. 

Sayup-sayup terdengar keramaian di sana. Nampak 

pula orang-orang yang berjalan simpang siur di sekitar 

desa. Gelak anak-anak desa menghalau kerbau, juga 

gurau para gadis yang menertawakan para pemuda 

Suku Pedalaman Bangsa Bajor.

Sumpah serapah Ni Klesung Rangit tidak henti-

hentinya mengutuk. Matanya yang buta seakan mena-

tap tajam ke arah keramaian itu. Dwi Langsih sesekali 

melirik. Melihat Ni Klesung Rangit diam bagai patung, 

ia makin ngeri. Ia tidak lagi berani tanya ini itu. Sebab 

takut kena bentak bagaikan sengatan lebah.

Mereka masih tetap di situ sampai matahari 

mulai terbenam. Dwi Langsih nampak begitu kelelahan 

seharian penuh hanya berdiam di situ. Rambut kusut 

Ni Klesung Rangit berderai-derai tertiup angin. Saat itu 

pun ia menyeringai mengeluarkan geram yang amat 

menakutkan. Berbareng dengan geraman itu, Ni Kle-

sung Rangit bangkit. Dia langsung menyeret tubuh 

Dwi Langsih menyandarkannya pada batang pohon di 

mana mereka berteduh. Jari-jari tangannya yang keri-

put menjambak rambut gadis kecil itu.

"Diam di sini! Aku akan menemui orang-orang


keparat itu. Mengerti! Setelah aku kembali pasti mem-

bawa makanan untuk mu." Suara Ni Klesung Rangit 

menakutkan. Dia menarik angkin yang melilit di ping-

gangnya.

Dengan angkin itu Ni Klesung Rangit mengikat 

tubuh Dwi Langsih pada batang pohon. Dwi Langsih 

berontak. Tapi tenaga nenek buta itu kuat bagai len-

gan-lengan raksasa yang mencengkram.

"Aku tidak mau diikat begini, Nek... Aku tidak 

mau!" Gadis kecil itu terus meronta-ronta, tapi... 

"Plaaak!" Ni Klesung Rangit menampar.

"Kalau tidak diikat begini, kau pasti bakal ka-

bur! Dengar, Langsih! Kau harus patuh padaku. Dan 

jangan coba-coba berteriak selama aku belum kemba-

li!"

"Aku patuh... Aku akan patuh, Nek. Tapi jan-

gan diikat begini...." 

"Diam!"

*

* *

Meskipun hari telah gelap desa itu masih tetap 

nampak ramai. Selain lampu-lampu obor yang mene-

rangi tiap-tiap gubuk mereka membuat juga beberapa 

api unggun di tengah-tengah pelataran desa. Beberapa 

ternak terpaksa dikorbankan untuk makan malam 

orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ki Sangga 

Wana yang mengeluarkan biaya semua itu. Dan ia 

mempunyai banyak ternak.

Tidak jauh dari keramaian itu, tepatnya di de-

pan bekas gubuk Ni Klesung Rangit, Rowok Tunggel 

bersama Ki Sangga Wana sibuk membuat cairan hitam 

yang berasal dari kerak dapur. Wintara pun berada di 

situ. Ia hanya memperhatikan cara kerja Rowok Tunggel. Umbara Komang sibuk menghadapi hidangan 

yang disuguhkan oleh kedua anak perawan Ki Sangga 

Wana. Kedua gadis itu selalu tertawa cekikikan karena 

tingkah laki-laki senewen itu memang cukup menggeli-

tik perut.

Istri Ki Sangga Wana beserta perempuan-

perempuan lain ikut membantu menumbuki kerak-

kerak dapur sampai halus. Bubuk-bubuk hitam dis-

erahkan pada Rowok Tunggel yang langsung mencam-

purnya dengan darah binatang. Cairan hitam semakin 

kental menggumpal dalam satu tempat yang besar.

"Cukup! Cukup banyak! Bawalah cairan itu pa-

da orang-orang kampung. Suruh mereka mencoreng 

muka dengan ini. Jangan sampai di antara mereka ada 

yang tidak mencoreng muka. Bayi pun harus menggu-

nakannya." pesan Rowok Tunggel sambil menyerahkan 

cairan berwarna hitam ke tangan Ki Sangga Wana.

Melihat Ki Sangga Wana menerima sesuatu dari 

Rowok Tunggel, Umbara Komang langsung berjingkat. 

Kedua tangannya langsung masuk ke dalam cairan 

kental itu.

"Ini bukan makanan, Umbara Komang. Sudah 

terlanjur. Corengkan saja di muka mu." kata Ki Sangga 

Wana. Wintara hanya tersenyum. Ia menggeleng-geleng 

kepala.

"Apa ini? Baunya busuk sekali." Umbara Ko-

mang melihat kedua telapak tangannya hitam. Ki 

Sangga Wana tidak perduli ia terus melangkah mem-

bawa cairan kental berwarna hitam ke arah para pen-

duduk yang telah berkumpul.

"Itu kerak dapur yang dicampur dengan darah 

binatang." jawab Wintara.

"Hiiiy...!" Umbara Komang mendelik. Ia lang-

sung menyeka cairan yang melekat di kedua tangan 

pada bajunya.


Sementara itu Ki Sangga Wana berjalan berke-

liling memerintahkan penduduk kampung agar menco-

reng muka mereka dengan cairan hitam itu. Semua 

orang-orang itu menurut. Berbagai macam mereka 

mencoreng muka. Dari anak-anak, bayi, laki, perem-

puan, nenek-nenek sampai aki-aki. Meskipun cara itu 

agak aneh tapi mereka tidak ada satupun yang meno-

lak.

Begitu juga dengan orang-orang Suku Pedala-

man Bangsa Bajor, mereka ikut mencoreng muka den-

gan cairan itu.

"Lucu! Mereka takut terhadap siluman, malah 

mereka sendiri menyamar seperti siluman." Umbara 

Komang nyengir menertawakan orang-orang kampung. 

Tapi tiba-tiba saja ia melompat kaget, ketika dua orang 

anak Ki Sangga Wana mendekatinya. mereka sengaja 

menakut-nakuti saat muka mereka telah di corengi 

cairan hitam. Umbara Komang sampai jatuh terduduk. 

Maka meledaklah tawa orang-orang yang berada di gu-

buk itu. 

"Kalian nampak seperti para penghuni neraka." 

Lelaki senewen menggerutu. Wajah kedua gadis itu 

pun merah padam.

Langit makin gelap manakala angin bertiup 

kencang. Api unggun menari-nari menimbulkan suara 

letupan. Suasana mencekam sunyi. Saat ketegangan 

mulai merambat pada tiap-tiap jantung manusia. Para 

penduduk kampung sengaja berdiam di luar, mereka 

berkumpul di pelataran itu. Semua orang sudah mem-

bayangkan bakal ada satu peristiwa lagi pada malam 

itu. Yakin akan kedatangan siluman yang mengambil 

korban di desanya, untuk itu mereka tidak memejam-

kan mata.

Anak-anak kecil memeluki ibunya dengan pe-

nuh ketakutan. Beberapa bayi tengah menyusui sambil sesenggukan seakan-akan bahaya yang akan men-

jemput. Tangis mereka kadang terdengar di kesunyian.

"Usahakan bayi-bayi itu agar tenang, Ki... Sua-

ra tangis mereka akan mempengaruhi. Dan juga untuk 

orang-orang kampung jangan banyak bicara." bisik 

Rowok Tunggel di sebelah Ki Sangga Wana. Kepala 

kampung itu langsung bangkit dan mendekati para pe-

rempuan yang tengah menyusui bayinya. Ia mengata-

kan apa yang diperintahkan Rowok Tunggel. Wintara 

dan Umbara Komang diam bersandar pada bilik gu-

buk. Matanya terus mengawasi tiap-tiap pelosok.

*

* *

SEPULUH


Puluhan pasang mata mendadak kaget saat 

melihat sosok tubuh kurus terbungkuk memasuki mu-

lut desa. Sosok buta itu cukup dikenal di mata pendu-

duk kampung. Dan hampir semua orang menyebutkan 

namanya ketika sosok itu mulai nampak jelas. 'Ni Kle-

sung Rangit'... Suara mereka tidak keluar seakan ter-

sangkut dalam tenggorokan. Sedangkan nenek buta itu 

terus melangkah memasuki desa.

Rowok Tunggel tidak percaya pada pengliha-

tannya sendiri. Bibirnya bergetar menatap kehadiran 

Ni Klesung Rangit di tengah malam begini. Perasaan 

yang dialami Rowok Tunggel sama halnya dengan 

orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Mereka 

masih kenal betul dengan sosok Ni Klesung Rangit, 

meskipun sekarang nampak lebih renta dan buta. Me-

reka pun menjadi tegang saat Rowok Tunggel melang-

kah mendekati sosok nenek buta.


"Bu... Aku tahu ibu menetap di sini, kenapa 

kau harus pergi meninggalkan aku lagi? Mana Dwi 

Langsih...?" Ternyata Ni Klesung Rangit benar adanya 

orang tua Rowok Tunggel. Nenek buta menyeringai. 

"Rowok Tunggel! Kau memang anakku. tapi 

jangan harap aku merasa bahagia dengan pertemuan 

ini. Pergilah jauh-jauh dari sini..." jawab Ni Klesung 

Rangit.

"Apa yang akan ibu lakukan, justru aku men-

cari ibu dan anakku agar kita bisa berkumpul lagi se-

perti dulu."

"Aku sudah menganggap diriku sudah mati,

Rowok Tunggel. Kau sudah tidak punya ibu lagi." Ni 

Klesung Rangit terus melangkah.

"Kenapa ibu bilang begitu? Mana Dwi Langsih?"

Pertemuan yang amat mengecewakan ini men-

jadi perhatian banyak orang. Rowok Tunggel tidak me-

nyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Wintara 

dan Ki Sangga Wana menatap iba. Mereka tidak bisa 

mencampuri urusan keluarga kecil itu.

"Dwi Langsih akan tetap menemaniku! Kau ti-

dak akan mendapatkannya, Rowok

Tunggel! Karena...." Bersamaan dengan itu, Ni 

Klesung Rangit memutar sebelah tangannya... "Bug!" 

Cukup telak menghantam tubuh Rowok Tunggel. Lela-

ki telanjang dadu itu terhuyung ke belakang. "Kau pun 

akan ku kirim ke akherat bersama mereka!" Nenek bu-

ta itu meneruskan ucapannya. Nenek buta maju lagi 

menyerang, tentu saja Rowok Tunggel tidak berani 

membalas. Melihat itu, orang-orang Suku Pedalaman 

Bangsa Bajor tidak tinggal diam. Mereka maju serem-

pak menghalangi serangan-serangan Ni Klesung Rangit 

yang di arahkan pada Rowok Tunggel yang setengah 

mati menghindarinya.

Tapi malah berakibat fatal. Ni Klesung Rangit


mengamuk. Gerakannya yang berkelebat bagai angin 

menjatuhkan orang-orang itu satu persatu. Sekali han-

tam ada yang batok kepalanya pecah atau perut mere-

ka terbeset cakaran yang runcing bagai mata pisau. 

Usaha mereka hanya mengantarkan nyawa dengan 

percuma.

"Ni Klesung Rangit, kami ini orang-orangmu... 

Jangan bertindak seperti ini!" teriak dari salah seo-

rang. Ni Klesung Rangit menjawab sengit...

"Aku akan memberi muka terhadap kalian ka-

lau kalian segera pergi meninggalkan desa ini. Aku ti-

dak ingin niatku setengah-setengah, sudah kepalang 

tanggung! Aku hampir menguasai 'Ilmu Gelugut Ma-

nik'!" Selesai berucap begitu Ni Klesung melancarkan 

tendangan sekuatnya... "Breeees!" Kaki yang kurus ba-

gai tiang galah menembus sampai ke tulang belakang. 

Darah menyembur. Penduduk kampung yang melihat-

nya memekik penuh ngeri.

Tentu saja Wintara dan Ki Sangga Wana tidak 

bisa membiarkan korban semakin berjatuhan. Kedua-

nya melesat berjumpalitan di udara menyelamatkan 

orang-orang yang nyaris tewas di tangan Ni Klesung 

Rangit. Saat itu pun Umbara Komang menyusul me-

nunjukkan kebolehannya. Sekali menghentakkan ke-

dua kakinya ia sudah menghadapi nenek buta yang 

tengah mengamuk.

Wintara sendiri tidak tahu kapan datangnya 

Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah melancar-

kan serangan. Ni Klesung Rangit yang buta itu bagai 

memiliki seribu pasang mata. Setiap serangan Umbara 

Komang, dapat dihindarinya.

"Semuanya mundur...! Mundur...!" teriak Ki 

Sangga Wana. Mendengar komando itu, kontan orang-

orang kampung maupun para penduduk Suku Bangsa 

Bajor berlari menyelamatkan diri. Rowok Tunggel su


dah bangkit. Bagaimana pun ia tidak tega me lihat 

ibunya yang renta itu dikeroyok oleh Wintara dan ka-

wan-kawan.

Umbara Komang sudah tidak dapat menahan 

amarahnya lagi. Maka ia bertindak cepat melancarkan 

serangan, tapi sebelum hantaman itu mengena, Rowok 

Tunggel menggagalkannya. Wintara cukup mengerti. 

Makanya ia pun segera menghalangi Umbara Komang 

saat ia berniat membalas serangan Rowok Tunggel.

Dalam keadaan seperti itu Ni Klesung Rangit ti-

dak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melancarkan se-

rangan pada Ki Sangga Wana yang berdiri sendiri den-

gan keris perak terhunus. Kepala kampung gelagapan, 

tahu-tahu saja sebuah hantaman melanda bagian ke-

pala. Lelaki itu sampai jatuh kelojotan. Pandangannya

berkunang-kunang seperti mau pecah. Wintara cepat 

memutar tubuhnya, ia cepat menangkis hantaman Ni 

Klesung Rangit yang hampir memecahkan batok kepa-

la Ki Sangga Wana.

"Jangan kira aku tidak tahu siapa diri mu, 

Pendekar Kelana Sakti. Aku tidak gentar dengan nama 

besarmu! Heaaat!" bentak Ni Klesung Rangit. Tubuh 

bungkuk kurus itu melompat menerjang. Wintara yang 

sudah bersiap-siap menyambut dengan pukulan kedua 

telapak tangan... "Blaaaar!" Keduanya terlempar pada 

arah yang berlawanan. Ni Klesung Rangit bergulingan, 

Wintara pun bergulingan tapi ia cepat salto ke depan 

bersiap menyerang lagi.

Umbara Komang yang selalu ganas ikut mener-

jang. Ni Klesung Rangit memang belum sempat bang-

kit. Namun Rowok Tunggel cepat datang menghalangi 

langkah-langkah mereka. Lengannya berputar-putar 

menepis hantaman Wintara dan Umbara Komang.

"Tahan, Sobat!" teriak Rowok Tunggel. Wintara 

dan Umbara Komang menghentikan serangan. Tapi


apa yang mereka lihat, Ni Klesung Rangit menghantam 

Rowok Tunggel dari arah belakang... "Blaaaar!" Rowok 

Tunggel ambruk ke tanah dengan menyemburkan da-

rah dari mulutnya. Ia cepat berbalik menatap nanar ke 

arah nenek buta.

Saat itu pun Ni Klesung Rangit melancarkan 

serangan lagi dengan tidak tanggung-tanggung. Winta-

ra maupun Umbara Komang tidak sempat menarik tu-

buh Rowok Tunggel yang menerima hantaman keras di 

dadanya. Ketiganya sampai terpelanting bergulingan.

"Sudah kubilang Rowok Tunggel! Kau pun akan 

mampus bareng dengan pendekar-pendekar busuk 

itu." kata Ni Klesung Rangit dengan suara parau me-

nyeramkan.

Bersamaan itu lengan kurusnya menepis keris 

perak yang dilemparkan Ki Sangga Wana.

"Keparat! Yang kuperlukan memang menghisap 

habis darahmu, Ki Sangga Wana!"

Lesatan tubuh kurus bungkuk itu sungguh ce-

pat. Kedua lengannya siap menghantam. Untunglah Ki 

Sangga Wana cepat menjatuhkan diri dan berguling ke 

samping... "Deeeerrr!" Dua hantaman itu hanya men-

genai tanah. Namun akibatnya sangat dahsyat sekali, 

kedua telapak tangan itu sampai melesak ke tanah.

Rowok Tunggel tak dapat bangkit lagi. Beberapa 

tulang rusuknya patah. Umbara Komang membawanya 

agak jauh dari situ. sementara Wintara datang meng-

hadapi Ni Klesung Rangit. Ia berusaha melindungi Ki 

Sangga Wana yang terancam bahaya. Tendangan serta 

pukulannya sengaja ia arahkan mengenai lengan-

lengan kurus Ni Klesung Rangit.

Sudah tentu nenek buta itu merasa di per-

mainkan. Maka setelah ia menghadapi beberapa han-

taman keras dari Wintara, ia segera menghimpun te-

naga baru. Dengan suara teriakan yang menggelegar


kedua telapak tangannya maju mendorong ke depan.

Di luar dugaan, Wintara hanya diam mengha-

dapi hantaman itu dengan dadanya. "Blaaar!" Terden-

gar pekikan nyaring, tapi bukan pekikan berasal dari 

mulut Wintara. Ni Klesung Rangit mundur terhuyung. 

Dirasakan tulang-tulang lengannya menghantam batu 

karang.

Wintara sendiri hanya berdiri tegak dengan da-

da yang mengepul. Tubuh itu tetap diam tak bergem-

ing. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah kental. Ben-

turan hantaman itu begitu dahsyat, mengundang Um-

bara Komang maju menyerang. Terjangan Umbara 

Komang kali ini lebih hebat. Ketika tubuhnya melesat, 

kedua lengannya berputar menimbulkan suara yang 

bergemuruh bagai kitiran angin. Ni Klesung Rangit 

yang baru saja berdiri tegak, tersentak kaget mendapat 

beberapa hantaman yang bersarang di punggung serta 

perut. Tak urung lagi tubuh renta itu jatuh kelojotan di 

tanah sambil menyembur darah.

"Komang...! Jangan bunuh dia! Dia ibuku...!" 

Rowok Tunggel teriak-teriak. Umbara Komang memang 

menghentikan serangannya, ia hanya berdiri menatap 

Ni Klesung Rangit yang berusaha bangkit. Wintara su-

dah merasa pulih dari rasa sakitnya. Keduanya merasa 

serba salah. Para penduduk desa pun sudah tidak sa-

baran ingin melihat bagaimana para pendekar sakti itu 

menamatkan sosok renta yang ternyata selama ini bi-

kin rusuh desanya. Darah membanjir di mulut Ni Kle-

sung Rangit. Seluruh tubuhnya nampak bergetar keti-

ka ia bangkit berdiri. Kesepuluh jarinya meregang ka-

ku. Wajahnya begitu menyeramkan saat ia menyerin-

gai bagai setan. Mendadak saja kedua kelopak ma-

tanya membelalak lebar. Kedua bola matanya merah 

seperti darah. Bersamaan dengan itupun kulit keri-

putnya bergelora bagai air mendidih. Berubah menjadi


hitam sehitam arang. mengeluarkan suara lebih parau 

mirip suara binatang.

"Ki Sangga Wana...! Perintahkan semua orang 

jangan mengeluarkan suara! Dan juga coreng hitam di 

wajah mereka jangan sampai hilang...!" Rowok Tunggel 

berteriak lagi. Kali ini ia menyeret tubuhnya sendiri ke 

arah kerumunan orang-orang kampung. Semua yang 

dikatakan Rowok Tunggel benar. Ni Klesung Rangit 

yang sudah membuka matanya tidak dapat melihat 

mereka. Mungkin pengaruh kerak dapur yang dicoreng 

ke muka membuat mereka tidak nampak dalam pen-

glihatan Ni Klesung Rangit. Ia hanya dapat melihat be-

berapa sosok orang yang tadi menyerangnya.

"Jangan ada yang mengeluarkan suara kalau 

ingin selamat. Ni Klesung Rangit sudah tidak dapat di-

kendalikan. Sekarang ia betul-betul memerlukan darah 

dan isi kepala!" Rowok Tunggel memperingati para 

penduduk dengan suara lantang.

Ni Klesung Rangit yang sudah tidak karuan ru-

panya itu memang tidak dapat melihat kerumunan 

orang-orang yang dilanda ketakutan. Tapi ia bisa men-

dengar suara-suara teriakan ngeri yang riuh di sekitar 

pelataran desa. Wintara maupun Umbara Komang ce-

pat berlari melindungi orang-orang itu.

"Rowok Tunggel keparat! Anak tak berbudi! Ru-

panya kau telah memecahkan rahasia 'Ilmu Gelugut 

Manik' hebat! Aku tidak segan-segan lagi untuk mem-

bunuhmu!" Ni Klesung Rangit melangkah perlahan. Se-

tiap langkahnya hampir tidak menyentuh tanah. Ma-

tanya yang semerah darah menatap dua pendekar 

yang siap melindungi penduduk desa maupun orang-

orang Suku Pedalaman bangsa Bajor.

"Aku hanya perlu satu nyawa setiap malamnya. 

Tapi untuk malam ini terpaksa sekali aku harus mem-

bantai kalian semua. Terutama pendekar-pendekar


keparat seperti kalian yang mesti dibikin mampus le-

bih dulu!" Ucapan itu terarah pada Wintara dan Umba-

ra Komang.

"Siluman keriput! Kalau penyakit jengek mu be-

lum sembuh jangan banyak mulut!" hardik Umbara 

Komang. Ki Sangga Wana melangkah dengan geram, 

tapi Wintara cepat menahannya.

"Hak hak hak hak hak...!" Ni Klesung Rangit 

mengekeh. Selesai tertawa tubuh hitam itu melesat 

menyambar ketiga orang yang berdiri paling depan. 

Siapa lagi kalau bukan Wintara, Umbara Komang dan 

Ki Sangga Wana. Ketiganya hampir jatuh bergulingan. 

Namun bagi Wintara dan Umbara Komang sangatlah 

mudah untuk bangkit kembali, keduanya langsung 

bergerak menghalangi serangan Ni Klesung Rangit 

yang mengarah pada Ki Sangga Wana. Terasa sekali 

hantaman mereka beradu.

Wintara yang sudah kepalang maju melancar-

kan pukulan berkali-kali. Begitu juga dengan Umbara 

Komang beberapa tendangannya mendesak pertaha-

nan Ni Klesung Rangit.

Menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi 

sangatlah sulit bagi Ni Klesung Rangit. Hantaman-

hantaman mereka yang selalu bergantian datang ham-

pir sukar untuk dihindari. Sosok hitam itu terpaksa 

sekali berjumpalitan di udara. Dengan begitu seran-

gan-serangan Wintara dan Umbara Komang dapat di-

elakkan. Sesekali pula Ni Klesung Rangit melepaskan 

hantaman dahsyat ke arah mereka. Saat mereka me-

nangkis maka timbullah suara yang membledar nyar-

ing. Umbara Komang berjingkat-jingkat menahan sakit 

di lengannya. Tubuh Wintara sampai melintir.

Wintara kertakan gigi saat menyambut seran-

gan Ni Klesung Rangit. Tendangannya mendesak men-

genai perut. Juga hantamannya yang cepat dapat bersarang di mukanya. Mendapat hantaman-hantaman 

yang begitu dahsyat, Ni Klesung Rangit mundur bebe-

rapa langkah. Umbara Komang menerjang tidak mem-

beri kesempatan. Tapi mendadak pula Ni Klesung Ran-

git mengangkat sebelah tangannya. Dari tiap-tiap 

ujung jarinya mengeluarkan sejenis serat yang lang-

sung membelit di tubuh Umbara Komang.

Tingkat akhir 'Ilmu Gelugut Manik' yang hampir 

sempurna. Umbara Komang berusaha berontak dari 

belitan serat-serat yang alot bagai kawat. Sementara Ni 

Klesung Rangit makin terkekeh. Wintara pun tidak lu-

put dari serangan serat-serat itu. Tapi saat serat-serat 

berdatangan membelit tubuh, Wintara menghentakkan 

kedua telapak tangan disertai dengan hentakan nafas 

panjang... "Hraaaaa!" Serat-serat itu seperti berbalik 

menyerang tuannya. Ni Klesung Rangit sendiri kelaba-

kan menghadapi serat-serat yang alot bagai kawat. Un-

tung saja ia cepat menggeser tubuhnya ke samping.

*

* *

SEBELAS


Dan Ni Klesung Rangit dapat mengetahui saat 

Ki Sangga Wana datang menyerang dari arah lain, ma-

ka ia pun mengangkat lengannya lagi. Seperti apa yang 

dialami Umbara Komang, tubuh Ki Sangga Wana ter-

belit serat-serat. 'Gelugut Manik' yang kian lama kian 

mengkerut melilit tubuh.

Umbara Komang menghempaskan seluruh te-

naganya. Teriakannya menggelegar lantang, maka se-

luruh serat-serat yang melilit di tubuhnya putus terpo-

tong-potong. Di tubuh Umbara Komang membekas se


perti sayatan-sayatan pisau yang mengeluarkan darah.

Malang bagi Ki Sangga Wana. Ia tidak bisa me-

lepaskan diri dari belitan yang semakin mengkerut 

membelit. Umbara Komang sudah berusaha sekuat te-

naga melepaskan belitan-belitan yang alot laksana ka-

wat. Juga beberapa penduduk kampung berdatangan 

ikut membantu melepaskan belitan itu. Malang tak 

dapat dibuang! Ki Sangga Wana harus menerima na-

sibnya. Belian-belitan serat Gelugut Manik mencerai 

beraikan tubuh Ki Sangga Wana menjadi belasan po-

tong.

Pekik kengerian pun menggelegar. Apalagi dari 

keluarga Ki Sangga Wana. Semuanya meluruk mende-

kati potongan-potongan tubuh tanpa jijik. Saat itu 

Wintara sibuk mengatasi serat-serat 'Gelugut Manik' 

yang terus berdatangan menyerang. Berkali-kali pula 

Wintara mengerahkan tenaga dalam mengenyahkan 

serat-serat yang datang tiada henti. Membuat serat-

serat itu berserabutan memenuhi pelataran desa.

"Pendekar ingusan! Ilmu apa yang kau miliki 

itu, hah!" Suara Ni Klesung Rangit seperti kehabisan 

tenaga. Ia merasakan hawa dingin yang menerpa selu-

ruh kulit hitamnya. Melumerkan semua serat-serat 

yang muncul dari kelima ujung jari.

Belum Wintara menjawab, mendadak Umbara 

Komang menerjang. Menghadapi tenaga dalam Wintara 

saja ia sudah gedubukan, apalagi mendapat serangan 

Umbara Komang yang datangnya secara tiba-tiba ini. 

Ni Klesung Rangit memekik dengan tubuh yang ter-

banting keras ke tanah.

Laki-laki senewen penuh luka bekas lilitan se-

rat itu terus mencecar tubuh Ni Klesung Rangit yang 

masih bergulingan. Tendangan maupun hantaman 

membuat sosok hitam mencelat ke sana ke mari. Da-

rah pun hamburan dari mulut Ni Klesung Rangit, setiap hantaman Umbara Komang mengena telak. Dan 

pada hantaman yang dilancarkan Wintara, tubuh Ni 

Klesung Rangit mencelat tidak kepalang tanggung.

Meskipun dalam keadaan parah, sosok hitam 

itu masih bisa mengimbangi tubuh. lentingan tubuh-

nya berjumpalitan gesit di udara. Diam-diam Ni Kle-

sung Rangit pergi menjauh.

"Hak hak hak hak... Malam ini kalian ku beri 

ampun! Darah kalian tak kubutuhkan karena aku ma-

sih punya darah simpanan yang lebih segar dari darah 

kalian...!" Suara itu makin hilang ditelan keramaian 

malam. Sekejap saja tubuh Ni Klesung Rangit melesat 

pergi entah ke mana.

"Kejar dia, Wintara! Cepat kejar! Dwi Langsih 

ada padanya! Dia pasti membunuhnya untuk dijadikan 

korban malam ini! Cepat! Selamatkan Langsih anak-

ku!" teriak Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Ko-

mang saling pandang. Mereka baru sadar kalau Ni Kle-

sung Rangit membutuhkan satu nyawa dalam satu 

malam. Ia perlu darah dan isi kepala seseorang. Seka-

rang Dwi Langsih berada di tangannya. Pastilah Ni Kle-

sung Rangit akan membunuh gadis kecil yang masih 

suci itu. Tersadar dari mimpi buruk, Wintara dan Um-

bara Komang segera berlari menyusul sosok hitam Ni 

Klesung Rangit.

"Cepat, Wintara. Sebelum Ni Klesung Rangit 

menguasai penuh 'Ilmu Gelugut Manik' kalian harus 

cepat bertindak!" Rowok Tunggel terus berteriak. Sua-

ranya masih dapat didengar meskipun dua pendekar 

sakti itu telah menjauh hilang di kegelapan malam. 

Keduanya sama-sama mempertajam penglihatan. Se-

bab dalam keadaan gelap begitu sukarlah untuk me-

nentukan ke mana arah kepergian Ni Klesung Rangit.

"Larinya begitu cepat padahal ia sudah terluka. 

Pastilah ia mengikuti ke mana arah angin berhembus,"


ujar Wintara.

"Siluman licik! Pantas bau badannya tidak ter-

cium oleh ku!" sahut Umbara Komang. Keduanya 

membelok berlari searah dengan arus angin. Wintara 

paling depan. Umbara Komang berusaha mengimbangi 

dengan kecepatan larinya. Mereka melintasi

hutan yang menuju ke arah bukit. Batang-

batang pohon berderet. Dari situ pula nampak titik pu-

tih bergerak-gerak semakin jauh.

"Itu dia! Rambutnya kelihatan...!" Rambut Ni 

Klesung Rangit memang seputih kapas. Mereka dapat 

melihat meskipun dalam keadaan gelap seperti itu.

"Awasi terus dan jangan sampai kita kehilangan 

jejak!" Wintara mempercepat larinya. Sosok mereka 

berdua berkelebat dan sukar diikuti oleh pandangan 

mata.

*

* *

Dalam keadaan terikat begitu Dwi Langsih ti-

dak dapat memejamkan matanya. Udara malam yang 

sangat dingin membuat dirinya gemetaran. Tenggoro-

kannya telah kering dan dirasakannya keluh. Pandan-

gannya mulai kabur dengan seluruh rambut yang ku-

sut. Sedangkan tali ikatan yang membelit di tubuhnya 

tetap kuat. Batang pohon tempat ia bersandar terikat 

terasa dingin.

Dwi Langsih tidak mengeluarkan suara saat so-

sok hitam melompat ke hadapannya.

Pandangannya yang kabur mengabaikan sosok 

kurus hitam dengan rambut bergerak-gerak kaku lak-

sana kapas. Dua titik merah menyala mewarnai kedua 

rongga mata sosok hitam itu. Dan terasa perih saat so-

sok hitam mencengkram kedua lengan gadis berusia


lima tahun. Dwi Langsih memekik menahan sakit.

"Cucuku... Malam ini aku tidak mendapat kor-

ban. Pendekar-pendekar sialan itu menghalangi. Dan 

memang benar apa kata mu itu. Mereka memang he-

bat! Maafkan aku Langsih. Sebenarnya aku sayang pa-

da mu...." Suara Ni Klesung Rangit parau menyeram-

kan. Dwi Langsih semakin gemetar menatap sosok 

yang amat menakutkan.

"Kau bukan nenek ku... Kau bukan Ni Klesung 

Rangit...."

"Apapun yang kau katakan, aku memerlukan 

korban satu nyawa sekarang. Berkorbanlah demi ne-

nekmu ini, Langsih... Demi kesempurnaan 'Ilmu Gelu-

gut Manik'..." Mulut Ni Klesung Rangit menganga lebar 

dan mengarah tepat pada ubun-ubun gadis kecil yang 

terikat tanpa daya. Kedua mata yang nyala memerah 

itu makin membesar saat gigi-gigi runcing menyentuh 

batok kepala Dwi Langsih... "Aaaaarght!" Langsih men-

jerit sekuatnya. Dan saat itu pun mendadak saja tu-

buh Ni Klesung Rangit seperti membentur benda yang 

amat keras...

"Breeesss" Sosok hitam itu bergulingan ke 

samping. Saat ia bangkit, Ni Klesung dapat melihat 

dua sosok bertubuh kekar. Sosok Wintara dan Umbara 

Komang.

"Sudah jelas 'Ilmu Gelugut Manik' adalah ilmu 

yang sesat, kenapa kau begitu tega mengorbankan cu-

cumu sendiri... Tidak ku sangka hatimu sungguh be-

jat, Ni...!"

"Keparat kau selalu mencampuri urusan 

orang!" Ni Klesung menghardik.

"Siapa yang akan tinggal diam kalau melihat 

seorang bocah tewas di tangan seorang nenek peyot 

macam kau. Ha ha ha ha...." sahut Umbara Komang.

"Manusia gila, kukira sudah mampus oleh jerat


'Gelugut Manik' ku."

"Chis! Segala serat macam benang jahit tidak 

mampu menewaskan aku. Tulang-tulangku cukup 

kuat untuk dicerai beraikan."

"Pendekar ingusan! Jangan coba-coba mele-

paskan bocah itu!" Ni Klesung Rangit melangkah maju 

saat Wintara mencoba melepaskan ikatan angkin yang 

melilit di tubuh Dwi Langsih. Umbara Komang melom-

pat menghalangi langkah sosok hitam.

"He he he he, rupa kita sama-sama buruk. Tapi 

sayang nasibmu lebih buruk dari ku." Umbara Komang 

mengejek. Bersamaan dengan itu tangannya melayang. 

Cepat Ni Klesung Rangit menepis. Namun serangan 

Umbara Komang tidak berhenti sampai di situ.

Wintara tidak sempat membuka ikutan Dwi 

Langsih, karena Ni Klesung Rangit cepat lari ke arah-

nya. Serangan-serangan Umbara Komang tidak diper-

dulikan, membuat lelaki senewen itu bertambah gusar. 

Dan ia dapat menyerang dengan leluasa saat Ni Kle-

sung Rangit menghadapi Wintara. "Beg!" Sosok hitam 

itu hampir ngusruk ke tanah. Bahkan ia setengah mati 

menghindari serangan-serangan Wintara yang bergu-

lung-gulung.

Umbara Komang sendiri tersentak kaget, kare-

na tahu-tahu saja Ni Klesung Rangit membalas seran-

gan. Dua kali berturut-turut cakaran sosok hitam itu 

mengenai wajah Umbara Komang. Kalau saja Wintara 

tidak cepat membantu, mungkin sobat gilanya itu su-

dah terkena tendangan Ni Klesung Rangit.

Menghadapi gerakan-gerakan Ni Klesung Rangit 

yang begitu cepat, Wintara maupun Umbara Komang 

hampir kehabisan akal. Mereka tidak menyangka ka-

lau 'Ilmu Gelugut Manik' amatlah dahsyat. Padahal Ni 

Klesung Rangit menguasai ilmu itu baru separuhnya. 

Nyatanya sekarang mereka malah berbalik repot


menghadapi amukan Ni Klesung Rangit. Kini kedua te-

lapak tangan Ni Klesung Rangit mulai berputar. Untuk 

itu kedua pendekar ini perlu hati-hati. Karena setiap 

gerakannya dari kesepuluh ujung jari Ni Klesung Ran-

git bertebaran serat-serat yang sudah kita ketahui ke-

dahsyatannya.

Bagi kedua pendekar yang cukup awas ini, me-

reka hanya melompat ke atas menghindari terjangan 

serat-serat 'Gelugut Manik'. Mereka berjumpalitan ke 

sana ke mari. Manakala serat-serat itu makin berham-

buran menyerang. Suara tawa Ni Klesung Rangit men-

gekeh menyaksikan mereka setengah mati meloloskan 

diri dari serat 'Gelugut Manik’.

Kembali Wintara mengeluarkan tenaga hawa 

dingin. Kedua telapak tangannya mengepak-ngepak ke 

depan menyambut sambaran-sambaran jerat 'Gelugut 

Manik'. Serat-serat itu bagai terkena angin topan. Se-

rat, 'Gelugut Manik' berpentalan dibarengi dengan te-

naga pukulan yang bergemuruh.

"Pendekar ingusan sialan! Kita akan mati ba-

reng!" jerit Ni Klesung Rangit. Dari hidung dan telin-

ganya mengalir darah. Wintara tidak dapat mendengar 

apa yang di ucapkan Ni Klesung Rangit. Sebab dia 

sendiri hampir kehabisan tenaga. Keringat dingin mu-

lai mengucur membasahi seluruh tubuhnya. Makin 

lama pukulan hawa dingin yang dikerahkannya makin 

mengendur.

Saat itu pun Umbara Komang datang menye-

rang. Sekali lompat ia sudah berada di hadapan Ni 

Klesung Rangit. Mengetahui adanya Umbara Komang 

datang menyerang, Ni Klesung Rangit langsung berba-

lik menghadapi Umbara Komang. Namun hantaman 

Umbara Komang yang sangat keras menghantam dada 

tidak sempat dihindari. Saat itu pun kesepuluh jari hi-

tam Ni Klesung Rangit cepat mengeluarkan serat yang


datang langsung melilit di tubuh Umbara Komang.

Dengan geram Wintara datang menerjang. Han-

taman-hantamannya sengaja diarahkan pada lengan-

lengan Ni Klesung Rangit. Namun sosok hitam itu sea-

kan tidak merasakan hantaman-hantaman Wintara, 

Sementara Umbara Komang kalang kabut meronta-

ronta dari lilitan serat 'Gelugut Manik'. Makin keras 

Wintara mengarahkan hantamannya. Ni Klesung Ran-

git menyemburkan darah untuk kesekian kalinya. Na-

mun ia masih saja mengeluarkan serat-serat itu seba-

gai senjata andalannya. Lilitan di tubuh Umbara Ko-

mang makin tebal. Dirasakan pula oleh Umbara Ko-

mang lilitan itu semakin mengkerut bagai mengiris-

ngiris tubuhnya. Wintara sudah berupaya melepaskan 

segala macam pukulan untuk menghentikan serangan 

Ni Klesung Rangit. Usahanya itu hanya sia-sia belaka.

Di luar dugaan, Umbara Komang melesat ke 

atas. Ia tidak perduli tubuhnya terlilit serat 'Gelugut 

Manik' yang makin kencang. Meskipun ia tidak dapat 

melancarkan serangan, Umbara Komang berlari men-

gelilingi Ni Klesung Rangit. Membuat sosok hitam Ni 

Klesung Rangit ikut terbelit oleh senjatanya sendiri.

Seluruh tubuh Umbara Komang mengeluarkan 

darah dari setiap belitan serat. Sekalipun ia menge-

rahkan tenaganya. Belitan serat 'Gelugut Manik' tidak 

dapat dilepaskannya. Terasa sekali serat yang alot ba-

gai kawat itu menggerogoti daging yang melekat di tu-

buh Umbara Komang.

Ni Klesung Rangit sendiri menjerit-jerit beron-

tak dari belitan senjatanya. Ia tidak dapat menghenti-

kan serat 'Gelugut Manik' yang terus menerus keluar 

dari kesepuluh jarinya. Apalagi Wintara melancarkan 

hantaman dengan bertubi-tubi.

"Dewa toloooong... Aaaaarght!" jeritan Umbara 

Komang, tubuhnya telah memerah bercampur darah.


"Kerahkan seluruh tenaga dalam mu Umbara!" 

Wintara menghimpun pukulan hawa dinginnya. Umba-

ra Komang kelojotan menahan sakit yang tak terkira.

"Hraaaa...!" Wintara menghentakkan kedua te-

lapak tangannya ke depan mengarah pada Umbara 

Komang... "Bledaaar!" Sosok Umbara Komang mencelat 

jauh. Bersamaan dengan itu seluruh belitan serat han-

cur bagaikan ribuan batang jarum yang berhamburan. 

Tubuh Umbara Komang jatuh diam bersimbah darah. 

Wintara cepat menghampiri tubuh itu. Sosok Umbara 

Komang tetap diam tak bergeming.

"Wuaaaaa...!" Terdengar jeritan panjang dari 

mulut Ni Klesung Rangit. Tubuhnya telah penuh den-

gan serat 'Gelugut Manik'. Wintara menatap ngeri saat 

serat-serat itu mengkerut melumatkan tubuh Ni Kle-

sung Rangit. Jeritannya berhenti tatkala tubuh hitam 

menjadi potongan-potongan daging segar.

*

* *

Istri Ki Sangga Wana maupun kedua anak pe-

rawannya menangisi sosok yang terpisah-pisah. Malam 

itu Ki Sangga Wana mengalami kematian yang sangat 

mengerikan. Potongan-potongan tubuhnya telah ter-

kumpul menjadi satu dalam bungkusan selembar kain. 

Tak ada seorang pun yang berani melihat tubuh han-

cur Ki Sangga Wana.

Rowok Tunggel masih bersandar menahan sakit 

pada tulang rusuknya. Orang-orang Suku Pedalaman 

Bangsa Bajor banyak mengerubungi. Beberapa orang 

nampak tengah mengobati luka-luka Rowok Tunggel. 

Sedangkan penduduk kampung hanya terdiam membi-

su menatap pada keluarga Ki Sangga Wana.

Api unggun masih menyala menerangi pelata


ran desa. Suasana itu tidak lebih seperti medan pe-

rang. Beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pela-

taran. Kebanyakan mayat-mayat itu dari penduduk 

Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Penduduk kampung 

itu sendiri hanya satu dua orang yang menjadi korban.

Bagi Suku Pedalaman Bangsa Bajor, kematian 

adalah hal yang biasa. Mereka lebih mementingkan 

orang-orang yang terluka. Namun bagi penduduk 

kampung, mereka harus meraung-raung menangisi 

mayat para keluarganya. Rowok Tunggel memaklumi 

akan hal itu. Ia seperti menyesali peristiwa yang me-

landa desa. Apalagi yang menjadi topik persoalan ada-

lah ibunya. Ni Klesung Rangit... Entah perasaan apa 

yang ada di dalam Rowok Tunggel. Namun nyatanya 

para penduduk kampung desa itu malah ikut merawat 

luka-lukanya. Dan Rowok Tunggel tak dapat menolak 

uluran tangan mereka.

Saat itu di mulut desa telah muncul orang yang 

sangat dinanti-nantikan. Wintara dengan lunglai me-

mapah tubuh Umbara Komang yang telah berlumuran 

darah. Di sampingnya seorang gadis kecil ikut melang-

kah memegangi ujung baju bulu Wintara. Mereka me-

langkah menuju kerumunan di pelataran. Langkah-

langkah Wintara yang cukup menggetarkan itu menja-

di perhatian penduduk kampung. Orang-orang itu ber-

serabutan mendekati Wintara. Mereka mengiringi bagai 

menyambut seorang pahlawan perang. Rowok Tunggel 

berjingkat bangkit ikut berlari menyusul para pendu-

duk yang datang mengerubungi Wintara.

"Itu ayahmu, Langsih. Sudah dua tahun ia me-

rindukan kamu." Orang-orang kampung memberi jalan 

pada Rowok Tunggel yang menerobos kerumunan. Dia 

langsung memeluk Dwi Langsih erat-erat. Gadis kecil 

itu diam tak mengerti. 

"Maafkan aku, Rowok Tunggel... Aku tak dapat


menyelamatkan ibumu. Ia termakan oleh ilmunya sen-

diri." kata Wintara menatap Rowok Tunggel penuh ha-

ru.

"Tak ada yang perlu ku maafkan, Pendekar he-

bat... Ni Klesung Rangit memang harus mengorbankan 

dirinya sendiri. Hanya itu jalan satu-satunya." jawab 

Rowok Tunggel. Pelukannya makin erat merengkuh 

Dwi Langsih.

"Bagaimana keadaan sobat Umbara Komang? 

Nampaknya ia begitu parah." tanya Rowok Tunggel. 

Wintara tidak menjawab. Kedua matanya menatap ke 

bawah pada Umbara Komang yang diam dalam papa-

han Wintara. Tapi Wintara mendadak kaget. Ia melihat 

sebelah mata Umbara Komang mendelik...

"Apakah kita sudah sampai di desa?"

Suara Umbara Komang lancar. "Sompret! Kau 

mengerjai aku!" Wintara melepaskan papahannya. 

Umbara Komang jatuh berdegum di tanah. "Ha ha ha 

ha ha...!" Ia malah tertawa ngakak.



                            TAMAT





0 komentar:

Posting Komentar