Rabu, 27 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE DOSA YANG TERSEMBUNYI (TDS)

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 SATU


SI PINCANG MANTILO


KELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua 

kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah. 

Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu 

memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa 

dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang 

paling disayanginya dan tengah hamil itu tidak ditemukan. 

Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak 

satupun mengetahui dimana beradanya atau kemana 

perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas 

perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan 

mereka juga akan melarikan diri. Kelelawar Pemancung 

Roh tidak bodoh. 

"Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur 

melarikan diri, pasti dalam benak sebelas perempuan ini 

juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung Roh 

memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masing-

masing. Lalu pintu dikuncinya dari luar. Di depan pintu 

yang terakhir dikuncinya Kelelawar Pemancung Roh ber-

pikir. “Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh 

kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar 

biasa yang menjaga kawasan Teluk. Kalau perempuan itu 

memang melarikan diri, puluhan kelelawar pasti akan men-

cegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang 

Malam belum meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti ber-

sembunyi di satu tempat. Dimana...?


Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang 

ada kolam dan kursi besar. Duduk sendirian di kursi batu 

di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat itu ingat 

pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi 

memberitahu padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si 

nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan ke dalam Goa Air 

Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti 

dia harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari 

bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng 

masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar 

Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu 

membunuh Wiro baru kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto 

Gendeng dulu menyusul muridnya 

"Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala 

bayi, membunuh anak-anakku. Jahanam itu juga 

menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia 

pasti masih berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus 

kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau sang guru? Apakah 

dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku 

menyelesaikan dendam hari ini?" 

Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya 

sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat 

tendangan Wiro namun saat itu dia tidak merasa sakit 

sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian 

yang dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut 

kembali. Inilah kehebatan makhluk aneh penguasa Teluk 

Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan ikat kepala 

sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu 

berkelahi dengan Wiro. 

"Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang 

bisa dijadikan senjata luar biasa ampuh! Cahayanya bisa 

membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk 

gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa. 

Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro 

Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini 

memang miiiknya, agaknya senjata akan makan tuan. Aku 

bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil menyeringai


Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di 

kepalanya. Lalu kembali dia menimbang-nimbang. 

“Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak 

berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi 

Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan 

menunggu kematiannya. Biar dendengkotnya aku habisi 

lebih dulu." 

Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil 

melangkah tinggalkan tempat itu dia memaki dirinya 

sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak 

kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam. 

Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak 

karuan begini rupa. 

HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa 

lama setelah Kelelawar Pemancung Roh meninggalkan 

ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia 

bersandar di dinding, pegangi dadanya yang sakit lalu 

menyeka darah yang setengah mengering di dagunya. Dari 

balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat. 

Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu 

segera ditelannya. Lalu dia tegak bersandar ke dinding. 

Memperhatikan seputar ruangan. 

"Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar 

Pemancung Roh untuk masuk dan keluar ke pantai. 

Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik 

turunkan kursi batu begini berat...." Wiro palingkan pan-

dangannya ke arah kolam batu yang tertutup gelagar kayu. 

Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa me-

nembus sampai ke dasar. Apa isi kolam ini? Mengapa di-

tutup begini rupa? Kolam tempat mandi Kelelawar Pe-

mancung Roh?" 

Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut 

matanya menangkap gerakan seseorang di sampingnya. 

Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di 

balik dinding. Dari sosoknya yang kecil jelas dia bukan 

Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat mengejar. Dia


hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu 

bagian dinding lorong batu tergantung sebuah lukisan. 

Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar 

dalam keadaan bugil. 

Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah 

menikmatinya. Namun sebenarnya saat itu dia tengah me-

masang telinga. Dia mendengar suara nafas orang. Wiro 

tersenyum. Garuk-garuk kepalanya. 

“Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah 

hidup dan tersenyum padaku jelas tak bisa bernafas." Ucap 

sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan turun-

kan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba 

dari balik lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di 

balik lukisan itu ada satu ruangan kosong sedikit lebih kecil 

dari ukuran sebuah lemari. 

"Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro. 

Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincang-

pincang malah mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut 

pucat ketika entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu Wiro 

sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda 

pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan. 

Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga 

pemuda ini. 

“Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda 

itu berteriak kesakitan sambil berusaha menarik tangan 

Wiro. 

“Siapa mau membunuhmu?!” Wiro masih belum lepas-

kan jewerannya. 

“Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi. 

Pasti kau juga mau membunuhku..." 

"Aku membunuh mereka karena mereka mau mem-

bunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?" 

“Ti... tidak. Aduh, ampun..." 

"Pincang, siapa namamu? Apa tugasmu di tempat ini?" 

Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya. 

Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki. 

Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak


yakin Wiro tidak bermaksud jahat padanya baru dia mau 

menjawab. 

“Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang 

Pemimpin." 

“Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau 

aku bertanya jangan sekali berani berdusta! Katakan di 

mana Sang Pemimpinmu berada”. 

“Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini. 

Sudah kabur..." 

"Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana 

perginya. Jangan coba berdusta. Bisa-bisa kubetot dua 

telingamu, kujadikan seperti telinga kelelawar...." 

"Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin 

hanya bersamadi di Teluk. Atau pergi ke Bukit Jati." 

"Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada 

di sini. Berarti dia pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan 

ke sana.” 

"Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan 

jalan ke Bukit Jati itu. Sang Pemimpin akan membunuhku 

seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi. 

Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku 

jauh lebih tidak berharga baginya dibanding dengan 

kelelawar bayi itu." 

"Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang 

belum tentu kejadiannya, atau mati di tanganku saat ini 

juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak meng-

gebuk kepala Mantilo. 

Si pincang ketakutan setengah mati. 

"Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...." 

"Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu? Kenapa makhluk 

kampret itu suka pergi ke sana." 

"Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek 

bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono..." 

Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung 

lorong terdengar suara teriakan-teriakan perempuan di-

sertai suara pintu digedor. 

"Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran


pintu. Siapa mereka? Apa yang terjadi?" tanya Wiro. 

"Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin 

membunuh anak-anak mereka lalu mengunci mereka di 

dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada 

dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar." 

"Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu." 

"Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istri-

istri lainnya tidak tahu kemana perginya...." 

"Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama 

Bintang Malam." pikir Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke 

Goa Air Biru." 

"Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang 

Pemimpin itu tidak perlu ditolong lebih dulu. Saya 

mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak 

menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu 

tidak memberitahu dimana beradanya istrinya yang satu itu 

maka semua mereka akan diceburkan ke dalam kolam 

Ikan Dajal." 

“Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan me-

nolong orang lain. Pasti mereka perempuan-perempuan 

cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum. 

Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. “Tadi kau 

menyebut kolam Ikan Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku 

melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu hitam. Letak-

nya di depan kursi batu di ruangan sana... 

"Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan 

Dajal adalah kolam maut. Jika seseorang diceburkan ke 

sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap 

habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja 

orang itu hanya akan tinggal tulang belulang. Sebelumnya 

ada seorang nenek aneh hendak diceburkan Sang Pe-

mimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda. 

Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap 

entah ke mana." 

Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo. 

"Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke 

dalam kolam Ikan Sundal?"


"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..." 

"Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu 

diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin 

nenek itu tidak dicemplungkan ke dalam kolam?" 

"Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang 

suguhan yang diceburkan ke dalam kolam, saya yang 

selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang 

teman. Namanya Habili. Saya tidak tahu dia berada di 

mana sekarang.” 

Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang ber-

nama Mantilo itu mungkin benar. Tapi mungkin pula 

Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si 

nenek ke dalam kolam maut lalu menyurun Habili mem-

bersihkan kolam. 

Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro. 

Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan 

Bintang Malam, Kelelawar Pemancung Roh memiliki nyawa 

pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang tidak 

pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk 

yang seumur hidup selalu berada dalam air dan tidak 

punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah. 

"Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam 

itu!" Wiro kepalkan tinju. "Mantilo. Sebelum kita menolong 

sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu memusnah-

kan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba 

lari!" 

***


DUA


MIMPI DUA GADIS CANTIK


SEJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur 

Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman 

Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama 

Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya 

sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh 

Pelangi Indah. Ketua Kelompok Bumi Hitam. 

Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan 

tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar 

tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci 

pakaian sambil bercengkerama. Ketika rombongan teman-

temannya pergi Rembulan sengaja mencari tempat duduk 

yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar 

wajahnya terlipat di atas pangkuan. 

Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung 

di tepi pancuran itu ketika tiba-tiba dia nendengar ada 

langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah 

tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan 

cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang 

bukan siapa-siapa melainkan Pelangi Indah, sahabat dan 

Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak mengena-

kan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan di-

kenakannya. 

"Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk 

menyendiri, termenung di tempat ini. Sudah lama kau ber-

kelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang ada di


dalam pikiran dan hatimu?" 

Rembulan tersipu. 

“Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada 

yang hendak kau jelaskan padaku.” 

Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat 

pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya. 

"Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan. 

"Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, ter-

menung seperti memikirkan sesuatu?" 

"Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung 

diri. Hanya saja...." 

"Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah. 

"Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak 

panas. Tempat ini, agaknya satu-satunya tempat yang 

paling tepat untuk duduk menyejukkan diri." 

“Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?" 

Ujar Pelangi Indah. 

"Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi 

Hitam berada di tempat ini, lantas siapa yang menjaga 

tempat kediaman kita?" 

Pelangi Indah tertawa. 

"Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi 

harap mau berterus-terang padaku. Jika ada kegelisahan 

atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa me-

nolong." 

Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita 

Pelangi indah. 

"Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu 

besar terhadapku. Sebenarnya ini hanya satu hal kecil saja. 

Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau mencerita-

kan pada Ketua." 

"Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada 

dalam kitab pegangan kita. Antara Hitam Dan Putih. Di situ 

ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah kecil. 

Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, 

bahkan melupakannya. Manusia lupa bahwa mereka ter-

antuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil, bukan batu


besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku 

Ketuamu?" 

Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam 

sejenak dia berkata. 

"Tadi malam..." 

"Tadi malam kenapa? Ada apa?" tanya Pelangi Indah 

ketika dilihatnya Rembulan ragu-ragu meneruskan ucapan. 

"Aku bermimpi." 

"Aahh.... Apa mimpimu? Suatu yang bagus? Suatu yang 

indah?" 

"Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng 

yang beberapa waktu lalu berada di sini?" 

Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya 

yang halus dan bagus memotes selembar daun pepohonan 

di dekatnya, lalu kembali duduk di samping Rembulan. 

"Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan 

orang yang telah menolong kita begitu besar. Jadi kau 

bermimpi tentang dirinya?" 

"Benar Ketua." 

"Bagaimana mimpimu itu?" 

"Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di 

tangan kanannya dia memegang ikat kepala kain sutera 

hitam berbatu yang menurut Ketua telah diberikan pada-

nya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang ber-

ubah kelam. Lalu ada satu makhluk besar bercahaya 

seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, me-

nembus kegelapan dan menyambar pemuda itu. Wiro per-

gunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi diri 

dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu 

menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat 

kepala kain sutera lalu terbang dan lenyap di langit gelap. 

Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh 

terguling ke dalam sebuah jurang. Suara jeritannya yang 

keras dan panjang terasa seolah masih bergaung di 

telinga....” 

Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah me-

mandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua


seperti tengah memikirkan sesuatu. 

"Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya 

tuturkan?" Bertanya Rembulan. 

"Aneh..." Ucap Pelangi Indah. 

“Mimpiku aneh menurut Ketua?" 

"Mimpimu dan mimpiku." 

"Rupanya Ketua juga bermimpi?" 

Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama 

dengan mimpimu." 

Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan. 

"Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku 

bermimpi dua malam yang lalu dan kau baru tadi malam." 

Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rem-

bulan dan dalam hatinya Ketua Kelompok Bumi Hitam ini 

berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa yang 

membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri. 

Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau ber-

keadaan seperti ini." 

"Ketua...." 

“Hemmm?" 

“Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam 

bahaya?'" 

"Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi mem-

beritahu bahwa ikat kepala kain sutra yang ditempeli batu 

Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari 

tangan Wiro." 

"Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu 

musuh mengalahkan lalu merampas ikat kepala kain 

sutera hitam?" Ujar Rembulan pula. 

“Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada 

yang lebih tinggi. Ujar-ujar mengatakan Di atas lagit masih 

ada langit. Ini membuat seseorang berilmu tinggi tidak 

boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, 

bersikap rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan." 

"Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu. 

Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan 

pula.


Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu 

berada satu langkah di depan kebenaran. Harap camkan 

itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu memperlakukan 

kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?" 

Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu 

ingat ucapan dan nasihat Ketua." 

Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah 

mendekati pancuran, membasahi dua tangannya lalu 

mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang 

cantik itu tampak segar dan lebih cantik. Kemudian Pelangi 

Indah balikkan badan ke arah Rembulan. 

"Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu 

bahwa dia dan gurunya akan menuju Teluk Akhirat. 

Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan 

musuh yang dihadapinya pasti bukan lain Kelelawar 

Pemancung Roh." 

Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang 

ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka 

dia cepat berkata. 

"Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212. 

Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya 

rasanya semua budi besarnya itu tidak akan terbalas. 

Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku 

akan ke Teluk Akhirat untuk melihat keadaannya. Jika 

memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha 

menolong." 

Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata. 

"Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari 

menjadi lamunannya. Kini dia hendak bertindak men-

dahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan men-

jadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus 

terang padanya agar tidak kedahuluan?" 

“Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi 

orang. Wiro telah berjasa besar bagi Kelompok Bumi 

Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang 

paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak me-

nyerahkan Kalung Srigala Perak itu seumur hidup aku akan


tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS 

sebelumnya berjudul "Srigala Perak") 

"Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju 

Teluk Akhirat? Kalau begitu aku mohon restumu." 

"Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat 

wajah Rembulan berubah karena putus harapan. “Aku 

sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat." 

"Ketua bisa mewakilkan padaku." 

"Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam 

ada padaku. Jadi aku harus turun tangan sendiri. Selama 

aku pergi kau menjadi wakilku di sini." 

Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya 

terdengar perlahan ketika berucap. “Aku menurut apa kata 

Ketua.” 

Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu ber-

kata. “Rembulan, perasaan kita bisa saja sama. Namun 

sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku Ketua. 

Kuharap kau bisa mengerti..." 

Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata 

bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar per-

cakapan Pelangi Indah, perlahan-lahan menggeser kakinya. 

Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului 

Ketua. Jika kemudian hari Ketua menghukumku karena 

telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak 

bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asal-

kan dapat bertemu dengan dia, apa lagi bisa menolongnya. 

Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari 

lebih cepat dari jalan biasa." 

Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan 

tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu 

berkelebat pergi. 

***


TIGA


MUSNAHNYA IKAN DAJAL


PENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang 

Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan 

kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia 

tidak melihat benda apapun di dalam kolam walau airnya 

jernih bening. 

"Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku 

tidak melihat apa-apa.” Kata murid Sinto Gendeng sambil 

menatap Mantilo. 

“Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa 

menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya, 

ikan maut itu ada di dalam kolam batu ini." 

"Perlu aku buktikan dulu,” kata Wiro. Dia melangkah 

mendekati kolam. Ketika dilihatnya Mantilo berjalan ke 

arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau berbuat 

apa?” 

"Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu 

penutup kolam.” jawab Mantilo. 

"Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani me-

nipu!” 

Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu 

jarinya dia menekan kuat-kuat sebuah tombol di lengan 

kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu penutup 

kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari 

atas kursi batu. “Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam. 

Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat


sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pe-

mimpin menutup bagian atas kolam." 

Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah 

maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam. 

"Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pe-

mancung Roh ada pada satu makhluk yang tidak pernah 

menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah 

tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan 

Ikan Dajal ini. Kelelawar Pemancung Roh pasti amblas ke-

kuatannya." 

Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak ter-

duga dan dalam kecepatan luar biasa, satu makhluk putih 

besar sekali melisat keluar kolam. 

“Wuttt" 

Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana 

golok besar menebas, membeset di atas kepalanya. 

Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan 

melompat ke belakang. Dia sampai terjengkang di lantai 

batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung ada 

bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepala-

nya kena disambar dan dibabat putus! Dinginlah tengkuk 

sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak berdarah. 

Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha men-

jauhkan Wiro dari tepi kolam. 

“Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro 

garuk-garuk kepala lalu bangkit berdiri. Mantilo kembali 

memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi pemuda 

pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro 

mengangkat tangannya ke atas dan perlahan-lahan se-

batas siku ke bawah tangan itu berubah menjadi seperti 

perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu men-

dadak terasa panas sekali. 

Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam 

kolam. 

"Wusss!" 

Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana di-

terangi kilatan petir. Udara panas luar biasa membuat


Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu 

“Byaaarrr!" 

Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas. 

Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit 

lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah di-

guyur air panas. 

Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang 

menggergaji tidak berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Ber-

ganti dengan suara seperti belasan kerbau melenguh ber-

samaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau 

daging terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro me-

lihat bagaimana dari dalam kolam perlahan-lahan meng-

apung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan 

kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa 

besarnya. Hampir seluruh tubuh ikan ini yang tadinya ber-

warna putih kini menggembung merah terkelupas dan 

mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal me-

rupakan rongga kosong hangus. Mulut ikan ini terbuka 

lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring besar se-

tajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam me-

ngucur tiada henti dari mulut makhluk ini. 

"Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang ber-

nama Ikan Dajal. Mudah mudahan Eyang Sinto belum 

menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah 

dilahapnya, kualat aku seumur-umur." 

Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo 

berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di 

tempat itu. 

"Sialan!" maki Wiro. 

Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu 

mau menuju kemana. Sementara itu di kejauhan kembali 

terdengar suara teriakan-teriakan serta gedoran pintu. 

Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih 

terus berusaha keluar dari dalam kamar yang dikunci. 

Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikir-

pikir apakah akan menolong perempuan itu lebih dulu baru 

mencari jalan ke Goa Air Biru.


“Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar 

paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan 

aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin 

keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali 

ke lorong yang ada lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh 

dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya terang di depan-

nya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di 

antara semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di 

satu tempat. jauh dari pantai. 

Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru. 

Dimana letaknya?" 

Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro men-

dengar suara menguik riuh di atas kepalanya. Murid Sinto 

Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh kelelawar 

beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal 

ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. 

Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar 

Pemancung Roh itu pasti akan menyerbunya dengan 

ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama 

kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang. 

"Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku 

sambil menguik. Apa artinya ini?" pikir murid Sinto 

Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu ber-

putar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah 

terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi 

tetap tak bergerak di tempatnya. 

Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro. 

berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali 

terbang ke arah timur. Demikian sampai tiga kali. Wiro 

menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud 

binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat 

kelelawar melakukan hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai 

tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia berlari meng-

ikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur. 

Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai ber-

kurang, berganti dengan pohon-pohon lain. Di satu tempat 

kelelawar yang terbang di udara kembali membuat gerakan


berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit 

kecil membentang dari barat ke arah timur. Bukit ini 

tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari besar serta 

bentuknya telah berumur puluhan tahun. 

"Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke 

bukit ini. Sekarang di mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu 

bagaimana aku harus berterima kasih pada binatang-

binatang itu?" 

Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahan-

lahan turun merendah melewati sebuah pohon kelapa yang 

putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi satu kelelawar 

itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu 

keluar lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak 

belukar, sesaat setelah itu keluar kembali. 

Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha mem-

beritahu bahwa Wiro harus masuk ke balik semak belukar 

itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua puluh 

kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya 

Wiro segera mendatangi, menguak semak belukar dan 

terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru. 

"Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap 

Wiro sambil memandang ke udara. Dia hanya bisa 

melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap ber-

sahabat denganku, tidak akan aku membunuh kawan-

kawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi. 

Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang 

lalu melesat lenyap ke arah utara. 

***


EMPAT


WULANDAYU


SATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air 

Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang 

berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki 

Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam 

cegukan batu, sepasang mata terpejam. 

“Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu. 

sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah 

membawa Sinto Gendeng ke tempat ini. Mungkin anak-

anak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto 

Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindah-

kannya ke tempat lain.” Kelelawar Pemancung Roh menge-

lilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam cegukan batu. 

“Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau 

juga tidak sedang tidur. Buka dua matamu dan jawab per-

tanyaanku!” Suara keras Kelelawar Pemancung Roh meng-

gaung dalam cegukan batu. 

Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan 

dalam kerangkeng besi membuka dua matanya. Dua bola 

mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar 

Pemancung Roh. 

“Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya. 

Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana 

agaknya murid murtad ini mendapatkannya?” Ki Sepuh


berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan. 

“Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir 

kali kau datang ke sini. Hari ini kau muncul. Katakan apa 

penyebabnya." 

"Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan! 

Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah 

Kelelawar Pemancung Roh penguasa Teluk Akhirat! Bukan 

Damar Soka!" 

Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut 

pada namamu sendiri. Kau takut pada baying-bayangmu 

sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu selalu 

mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa 

melupakan masa silam. Apa lagi dengan selangit dosa 

seperti dirimu.” 

"Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang 

mulut, saat ini juga akan kutarik ke dua kakimu sampai 

lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam 

kerangkeng besi celaka itu!” 

Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan. 

"Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan 

kediamanku. Pertama seorang nenek bernama Sinto 

Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala 

bayi membawa nenek itu ke dalam goa ini..." 

"Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?" 

tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau 

cari?' 

"Istriku. Bintang Malam." 

"Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di 

sini?" 

Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang 

aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya ber-

gumam beberapa kali. 

"Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang 

itu pernah berada di tempat ini. Lekas kau beri tahu ke 

mana keduanya dipindahkan? Siapa yang memindahkan?" 

“Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat 

ini."


"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung 

Roh menggelegar. Dia melangkah ke hadapan Ki Sepuh, 

memegang rantai besi yang menjulai dari langit-langit batu 

ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali 

kutendang tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu 

akan putus. Apa itu yang kau inginkan?" 

"Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu. 

Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah 

tidur. Kematian akan membuatku tidur nyenyak. Ha... ha... 

ha…" 

Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang 

rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut 

bergerak. Bagian berbentuk mata gergaji taiam yang 

melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging 

lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau 

rasa sakit bukan alang kepalang tapi dengan menggigit 

bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak sampai 

berteriak. 

Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada 

rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh 

Tumbal Buwono yang mengenakan jubah biru besar 

gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak 

lama. Memandang ke langit-langit cegukan, memperhati-

kan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki Sepuh 

pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk 

beberapa kali agar Kelelawar Pemancung Roh tidak men-

dengar suara hembusan nafas dua orang yang mendekam 

di dalam jubah gombrongnya. 

Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya 

berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng 

setengah mati menahan air kencingnya agar tidak ter-

pancar. 

Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu. 

"Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa 

di tempat ini. Tapi aku tahu kau berdusta! Kalau aku bisa 

membuktikan aku akan kembali untuk memutus lehermu!" 

"Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku


akan mengucapkan terima kasih adamu. Damar Soka.” 

Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar 

Pemancung Roh melompat ke hadapan Ki Sepuh. Tangan 

kanannya diulurkan. 

“Srett!" 

Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah 

menjadi cakar besi bergelimang darah! 

"Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai 

perutku, silahkan. Makin cepat kau membunuhku lebih 

enak rasanya." 

"Tua bangka jahanam!" 

Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar 

berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk 

tinggi besar ini tidak melakukan apa-apa. 

Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai. 

Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai 

batu hingga tempat itu bergetar, air telaga bergoyang ber-

gemericik. Dengan rahang menggembung penguasa Teluk 

Akhirat berkata. 

“Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas 

terakhir kehidupanmu!" 

"Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di 

dalam arwah, aku pasti akan bertemu dengan Wulandayu, 

ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan pesan, 

pasti akan kusampaikan padanya." 

Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak 

keras mendengar disebutnya nama Wulandayu oleh si 

kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya 

sendiri lalu sambil tiada hentinya merutuk dia tinggalkan 

Goa Air Biru. 

Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan 

suara. 

"Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya 

boleh keluar sekarang?" 

"Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa 

mati pengap aku di dalam sini." Sinto Gendeng ikut bicara. 

"Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku mem


beritahu bahwa kalian boleh keluar." 

Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki 

panjang pendek. 

“Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu 

masih belum pergi jauh dari tempat ini.” 

"Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang 

bisa aku kancing. Tapi aku tidak menjamin bisa 

mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!" 

Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto 

Gendeng itu. Dia berkata. “Kalau tadi aku tidak men-

ceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan tidak 

berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, 

Kelelawar Pemancung Roh pasti dapat mencium bau 

kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di 

dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh 

menceburkan dirimu dalam telaga. " 

Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. 

“Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing 

rapat-rapat!” 

“Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam 

bersuara. 

“Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka 

mulut. Apa yang kau ingin tanyakan?" 

"Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh 

yang bernama Wulandayu itu mati dibunuh oleh Kelelawar 

Pemancung Roh sendiri." 

Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama 

ini selalu berusaha disembunyikan oleh murid murtad itu. 

Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang 

mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal 

dunia. Tewas secara aneh. Mungkin dibunuh oleh 

Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan 

mungkin akan segera menemui ajal pula. Orang itu adalah 

diriku sendiri!" 

“Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri." 

Ujar Bintang Malam pula. 

"Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di


minta Ki Sepuh Buwono lalu bercerita. “Semasa mudanya 

Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan orang-

orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, 

mengganggu anak istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu 

dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya berulang kali 

menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya 

tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari 

akhirnya dia aku usir dari pertapaan. Suatu malam dia 

kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan mabuk berat 

dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke 

dalam dirinya, dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas 

bukan seperti ibunya. Tapi seolah-olah perempuan itu 

adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan 

luar biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan 

ibunya. Ketika ibu dan anak sadar apa yang terjadi Damar 

Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan 

nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka 

menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat 

sumpah dan kutuk itu sosok Damar Soka berubah seperti 

ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan 

menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan 

mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu 

makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu. 

Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk 

apa itu adanya. Setelah peristiwa itu Damar Soka 

melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika 

dia kembali menemuiku kelihatannya dia sudah menjadi 

orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai murid. 

Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta 

beberapa ilmu terlarang padaku. Aku hanya nemberikan 

satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah ilmu 

itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku 

menolak. Diriku lalu diperlakukannya seperti yang kau 

saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan kesaktianku 

disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini." 

Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar 

cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam


bungkam namun hatinya nenyumpah habis-habisan. 

“Kek, bagaimana kalau...." 

"Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang 

Malam lalu berbisik. 

"Ada orang datang...." 

***


LIMA


KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING


DUGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluar-

nya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung 

Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan 

saja dia berusaha mengingat-ingat semua percakapan 

dengan si kakek yang membuatnya marah setengah mati, 

tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan 

batu. Ada sesuatu yang semula tidak mencurigakan, yang 

setelah berada di luar goa membuat dia berpikir dua kali. 

"Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering 

antara telaga dan cegukan tempat tua bangka keparat itu 

duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada makhluk 

apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda 

sepertinya ada satu benda besar dikeluarkan dari dalam 

telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu cegukan dinding." 

Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak 

seekor kelelawarpun kelihatan berkeliaran. Mereka tidak 

menemui ajal semua. Apa yang terjadi? Di mana kelelawar 

penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar 

Pemancung Roh terbagi. Namun kemudian kembali 

ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga. 

"Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam. 

Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini 

kepalkan dua junya. Lalu dengan cepat dia balikkan badan, 

bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru. 

Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono


merasa tercekat ketika melihat kemunculan Kelelawar 

Pemancung Roh untuk kedua kalinya. 

“Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia 

tahu..." 

Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air 

yang mulai mengering di lantai batu masih kentara. Dia 

ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh. 

“Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang 

bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat 

ini!" 

"Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum 

buta. Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini?!" 

"Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia me-

langkah ke belakang si kakek dan menarik ke atas jubah 

biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya 

memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok 

Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Dengan amarah me-

luap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, 

jambak rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua 

orang ini di hadapan Ki Sepuh. Sinto Gendeng terkapar, 

memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah 

keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan 

wajah pucat. 

Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk 

sudah datang. Tadi tak ada kecurigaan dalam dirinya. 

Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang 

yang kusembunyikan dalam jubahku? Aku tidak takut mati. 

Tapi bagaimana nasib dua orang ini?" 

“Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika 

aku melepas nyawa, kutukku akan bersatu dengan kutuk 

ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan 

menemui ajal dalam seribu sengsara!" 

"Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami 

berdua! Hai! Aku tidak takut kau bunuh. Aku berjanji tidak 

akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau membebas-

kan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari 

dalam goa sekarang juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.


"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini 

tidak ada harganya bagiku, apa lagi nyawa kalian berdua! 

Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku 

menghabisi tua bangka tak berguna ini!" 

Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh 

tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah. 

Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu 

Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi gagal. 

"Dukkk!" 

Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak 

di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang 

memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja 

membuat hancur dan melesak dada si kakek, tapi juga 

membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu 

sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah 

menyembur mengerikan. Bintang Malam terpekik tubuhnya 

bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali 

berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habis-

habisan. 

Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki 

Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut 

mencelat karena tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian 

bawah kerangkeng yang berbentuk mata gergaji besar dan 

tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher 

itu hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan. 

Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang 

menyembur dari leher yang tcrsisa membasahi lantai batu! 

Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal 

leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam. 

"Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling 

enak. Kalian akan kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!" 

Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang 

Malam menjerit tiada henti. Setengah berlari Kelelawar 

Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air Biru. 

Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan 

suara menggembor dan hentikan langkah ketika di depan 

sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian serba


putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak meng-

hadang. Di tangan kanan pemuda ini memegang sebilah 

kapak bermata dua memancarkan cahaya menyilaukan. 

Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancar-

kan warna seputih perak. Di luar goa saat itu udara mulai 

redup karena sang surya sebentar lagi akan tenggelam. 

"Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh. 

"Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan 

padaku ikat kepala kain sutera hitam yang melingkar di 

keningmu!” Pemuda di mulut goa membentak lalu me-

langkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh. 

Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata 

dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak. 

"Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan 

tidak mau menyerahkan ikat kepala kain sutera, kau mau 

berbuat apa?! Ha... ha... ha!" 

"Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!" 

Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan 

suara mendengus. 

"Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa! 

Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan 

kau pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk 

menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadi-

kan tameng menghadapi semua seranganmu! Ha... ha... 

ha... ha!" 

Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah 

Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan 

memaki dalam hati. Dia terpaksa berhenti empat langkah 

di hadapan Kelelawar Pemancung Roh. 

"Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala 

gurumu dan perempuan celaka ini satu sama lain!" 

"Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi 

merutuk. Keadaannya tidak menguntungkan. Ketika 

dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah 

mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu 

hal luar biasa. 

Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang terkapar di lantai batu secara aneh tiba-tiba bergerak ke atas. 

Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu 

melesat ke arah Kelelawar Pemancung Roh yang tegak 

membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan 

Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih 

mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar 

Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya 

Dia menoleh. Terlambat! 

"Dukkk!" 

Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk 

keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok 

tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi 

besar terpelanting ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang 

Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia terhuyunq-

huyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat 

ke depan. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan 

tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua sinar putih 

menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa 

Air Biru laksana neraka. 

”Wuuutt!" 

"Craass!" 

"Wusss!" 

Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke 

dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke 

lantai dalam keadaan hangus mengepulkan asap. Kepala-

nya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di lantai hitam 

hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga. 

Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata 

Srigala masih melingkar di keningnya dan kelihatan merah 

membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss ketika ber-

sentuhan dengan air telaga. 

***


ENAM


ORANG DI ATAS BIDUK


WIRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang 

pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan 

Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke 

mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah 

tenggelam. Udara mulai kelam. Wiro mencari tempat yang 

baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya. 

Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan 

pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja 

dimulai dengan makian. 

“Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia 

kematian makhluk jahanam itu? Kalau makhluk yang men-

jadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi 

kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam 

itu." 

"Kira-kira begitu Eyang.” Jawab Pendekar 212. "Di 

tempat kediamannya aku menemukan seekor ikan raksasa 

bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang tidak 

pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah. 

Makhluk itu sudah kubinasakan." 

"Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu 

oleh Kelelawar Pemancung Roh." Ucap Sinto Gendeng. 

"Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku? 

Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas 

dengan ilmu totokan bernama Totokan Tiga Lapis Jalan 

Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan 

celaka ini. Lekas kau pergunakan kapak saktimu..." 

Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang 

Malam berucap dengan wajah memperlihatkan rasa kaget 

dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk ke 

pantai. 

“Lihat...!" 

Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 paling-

kan kepala. 

"Edan!" rutuk si nenek 

"Gila bagaimana mungkin!” ujar Wiro. 

"Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa 

dibunuh!" 

"Berarti..." Wiro menggaruk kepala. “Ikan Dajal itu bukan 

makhluk yang meminjamkan nyawa pada Kelelawar 

Pemancung Roh!" 

Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang 

menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar 

Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyung-

huyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng 

kepalanya sendiri Wiro memperhatikan. 

“Astaga!” Pendekar 212 keluarkan seruan pendek. 

"Apa yang ada di benakmu Anak Setan?!" tanya Sinto 

Gendeng. 

“Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang me-

lilit di kutungan kepala Kelelawar Pemancung Roh?" 

Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum 

buta." 

"Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn 

itu...." 

"Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya? Kau 

curi?" 

"Tidak Nek, seseorang memberikan padaku." 

"Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang 

perempuan yang memberikan padamu. Cantik?" 

“Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera 

mengambil benda itu."


"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku 

mencium ada bahaya di sekitar sini. Lihat saja apa yang 

akan terjadi..." 

"Tapi batu sakti itu Nek." 

“Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji 

kambing yang mengkilap!" 

Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak 

ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tapi Sinto Gendeng 

kembali mempenngatkan. 

"Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!" 

Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju 

ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepala-

nya diletakkan di atas leher. Lalu sambil menekan kepala 

itu dia lanjutkan langkah. 

"Dia menuju ke laut. Ada apa? Apa yang hendak di-

lakukannya''' ujar Wiro. Lalu dia ingat keterangan Mentari 

Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air. 

Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh 

mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Se-

telah tubuhnya masuk sebatas dada di kejauhan terdengar 

suara aneh berulang kali. 

"Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..." 

"Suara apa itu? Sinto Gendeng membuka mulut sambil 

memutar bola mata. Wiro dan Bintang Malam memandang 

berkeliling. 

Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan 

pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari 

mulutnya keluar suara tawa bergelak. Suara tawa ini baru 

berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar Pemancung 

Roh tenggelam ke bawah air laut. 

"Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh 

benar-benar hidup kembaii?" Bintang Malam bertanya. 

"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut 

Sinto Gendeng. 

“Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut. 

Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar 

Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari


mulutnya berulang kali dia menyemburkan air laut. Tiba-

tiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di atasnya 

duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan 

pakaian serba hitam. Orang di atas biduk tidak mengayuh, 

malah rangkapkan dua tangan di depan dada. Tapi biduk 

itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembul-

nya kepala Kelelawar Pemancung Roh. Di antara 

hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar 

suara riak air laut memecah dipapas biduk. Dia palingkan 

kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh mem-

perhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, 

tiba-tiba salah satu tangan yang mendekap di dada ber-

gerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu sakti yang me-

lingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas. 

Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia 

sempat berbuat sesuatu, biduk telah berputar lalu melesat 

ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala Kelelawar 

Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari per-

mukaan laut. Semua kejadian itu disaksikan oleh Wiro. 

Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran. 

"Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas 

biduk itu?" Sinto Gendeng bertanya. 

"Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro ber-

usaha membebaskan totokan di tubuh Sinto Gendeng. Dia 

bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu 

tak bisa dimusnahkan. 

Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, 

agaknya kau harus mencari Kalajengking Putih...." 

"Kalajengking Putih? Buat apa Eyang?" 

"Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang 

bisa memusnahkan totokan di tubuhku." 

Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh. 

“Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu 

dia masih bisa kudukung di atas bahu. Kini dalam keadaan 

lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku harus meng-

gendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana 

aku akan mencarinya?'


Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama 

Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas 

perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh. 

Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal 

Buwono. Kerangkeng besi dihancurkan dengan kapak 

sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu di-

kubur di tepi pantai. 

Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti 

sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di 

antar pulang ke desanya. Perempuan yang tengah hamil 

muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto 

Gendeng pergi. 

“Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya. 

"Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang 

lain-lain. Ada apa dia ingin ikut bersamamu..." 

“Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk 

kepala. 

"Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah 

melihat orang bunting secantik dia, bukan? Jangan-jangan 

kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya hingga dia 

kecantel padamu? Apapun yang terjadi dengan Kelelawar 

Pemancung Roh, perempuan itu sudah bisa disebut 

sebagai seorang janda." 

“Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata 

Wiro pula. 

“Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar 

belum bisa menerima ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu. 

Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku 

tahu ini pengalaman baru bagimu. Hik... hik... hik!" 

"Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa 

dengan perempuan itu." kata Wiro mengulang sumpah. 

Sang guru hanya ganda tertawa. 


                            TAMAT 


Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng 

selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA



-------------------------------------------------



ADRIAN MAPALADKA EPISODE  MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II


SATU


Perawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan 

perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya 

agak dower. Apalagi ketika ia berkomat-kamit 

merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan. 

Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan 

wajahnya terlihat khusuk. 

Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya 

pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan 

seksama. Ia mengenal Mbah Sarijo dari seorang 

kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat, 

dan sering berhasil menolong pasien-pasiennya. Ada yang 

minta naik angkat secepatnya, perjodohan, rizki yang 

banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang 

masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari 

letnan polisi itu kali ini. Mbah Sarijo langsung menyang-

gupinya tanpa ragu sedikit pun. 

Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang 

katanya untuk mengadakan kontak batin antara dirinya 

dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan bagi 

Letnan Hendri itu bukan masalah sulit. 

Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda 

kalau orang tua itu akan menyudahi kekhusukannya. Entah 

apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa me-

mastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar 

makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi


perbuatannya, juga kalau memang ia pelaku pembunuhan 

beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar makhluk 

itu menghentikan aksinya. 

Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh 

tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari 

kontak batin. Sukmanya melayang-layang meninggalkan 

raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti 

anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu 

agar tidak mengganggunya dalam bentuk apapun selama 

ia dalam keadaan demikian. 

Sukmanya yang tengah melayang-layang itu mem-

bawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah 

gemerlapan. Semua penjaga istana terdiri dari wanita-

wanita berpakaian keraton jaman dahulu kala. 

Setelah berbasa-basi dengan salah seorang penjaga, ia 

menanyakan siapa gerangan pemilik istana itu. 

"Putri Dayang Sari… " sahut penjaga yang ditanya. 

"Beliau telah mengetahui kedatangan juga maksudmu 

ke sini. Oleh sebab itu Beliau memerintahkan agar kau 

selekasnya pulang. Tidak perlu mencampuri urusan 

Beliau." 

“Apa maksud perkataannya itu?” 

"Tidak usah banyak tanya. Pergilah sebelum Beliau 

murka!" bentak penjaga berwajah cantik itu galak. 

"Aku tidak akan pergi sebelum Beliau menjelaskan, ada 

persoalan apa sebenarnya, dan menjaga ia keluyuran 

mengganggu manusia. Sebaiknya kalianlah yang me-

nyingkir. Beri aku jalan!" sentak Mbah Sarijo tak kalah 

galak. 

Ia bermaksud menerjang penjaga itu dan hendak me-

nerobos masuk ke dalam, tapi tiba-tiba saja terasa angin 

kencang yang bergulung-gulung datang dari dalam istana 

menerjang sukma orang tua itu dengan hebatnya. Meski-

pun sukma Mbah Sarijo berusaha melawan dan melepas-

kan diri, tetap saja ia terhempas jauh sekali. Bersamaan 

dengan itu lapat-lapat terdengar satu suara yang meng-

iringi kepergiannya.


"Jangan campuri urusanku, atau kau akan celaka. Ini 

peringatan buatmu. Lain kali kau akan celaka." 

"Aaaa...!" 

Letnan Hendri terkejut ketika melihat tubuh Mbah Sarijo 

terhempas ke belakang, hampir menabraknya. Nafas orang 

tua itu terengah-engah dan sepasang matanya melotot 

lebar. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa 

sakit sekali. 

"Ada apa. Mbah? Apa yang terjadi?" tanya letnan polisi 

itu sambil membantu si orang tua duduk. 

Mbah Sarijo tidak langsung menjawab. Ia mengatur 

nafasnya yang masih terengah-engah. Kemudian perlahan-

lahan dipandanginya pria itu sambil menggeleng lemah. 

"Maafkan Bapak. Nak. Bapak tidak bisa menolong 

kalian. Kekuatan wanita itu dahsyat sekali." ucapnya pelan. 

"Wanita? Wanita yang mana Bapak maksudkan?" 

"Makhluk yang telah mengganggu gadis itu..." 

"Jadi makhluk siluman itu wanita?” 

Mbah Sarijo mengangguk. “Namanya Putri Dayang Sari." 

lanjutnya. 

"Putri Dayang Sari?" ulang Letnan Hendri seraya men-

desis. "Ada apa sebenarnya? Apa yang dia inginkan dari 

Saraswati?" 

Mbah Sarijo menggeleng pelan. “Bapak tidak sempat 

mengetahuinya. Hanya saja sepertinya ia mempunyai 

masalah pnbadi. Orang tua itu kembali terdiam sejurus 

lamanya sebelum kembali bicara. “Percayalah Nak. 

Makhluk ini sangat kuat, dan tidak sembarang orang yang 

mampu menghadapinya. Hati-hati. Bapak tidak bisa me-

lindungi kekasihmu itu." 

"Sebentar, Pak. Tadi Bapak katakan tidak sembarang 

orang mampu menghadapinya kan? Itu berarti bukan tidak 

ada yang mampu menghadapinya. Menurut Bapak siapa 

kira-kira orang yang mampu menghadapinya?" 

Mbah Sarijo menggeleng lemah “Entahlah Bapak tidak 

tahu." 

Jawaban itu sama sekali tidak ingin didengarnya.


Semula ia begitu antusias saat bertanya, seolah 

menemukan secercah harapan untuk menerobos masuk 

ke penyelesaian masalah. Tapi kini menjadi mentah 

kembali. Lalu apa yang kini bisa diperbuatnya untuk 

menyelamatkan Saraswati? 

*** 

“Putri Dayang Sari?" Itu bukan pertanyaan yang 

membutuhkan jawaban. Setidaknya ketika melihat wajah 

gadis itu berkerut seperti inengingat-ingat sesuatu ketika 

Letnan Hendri baru saja menceritakan pertemuannya 

dengan Mbah Sarijo. 

"Kenapa? Apakah kau pernah mendengar tentang nama 

itu sebelumnya?" tanya letnan polisi itu acuh tak acuh. 

"Sepertinya begitu tapi... Ah. iya!" serunya. "Aku pernah 

mendengar sekilas tentang riwayat nama tu. Waktu itu 

kami sedang KKN di sekitar Wilayah Tasikmalaya, sebelum 

kepergianku ke Amerika. Kami mengunjungi seseorang 

yang ahli soal sejarah Pasundan. Kalau tidak salah nama-

nya Pak Kartasasmita. Menurut beliau Putri Dayang Sari 

adalah putri seorang raja yang sejaman dengan Kerajaan 

Galuh di daerah Ciamis. Tapi kami tidak bertanya panjang 

lebar soal keberadaan dan sejarah hidup Putri itu." 

sambung Christine. 

“Bisakah kau mengantarkanku ke tempat beliau?" 

“Bisa saja. Kapan?" 

"Sekarang juga boleh!" sambut Letnan Hendri antusias. 

Gadis itu tersenyum. “Antusias sekali. Aku mau nanya 

satu hal, yaitu seandainya yang terancam nyawanya saat 

ini adalah orang lain, apakah Mas Hendri akan secemas 

ini?" 

"Menolong orang adalah kewajiban kita bersama, dan 

disamping itu masalah ini menjadi tanggung jawabku." 

sahut Hendri diplomatis. 

"Begitukah? Apakah tidak ada pendorong lainnya. Misal-

nya karena Mbak Saras itu kekasih Mas?"


“Kamu ini jangan suka macam-macam." 

Christine tersenyum. "Aku sempat tanya sama tante, apa 

Mas sudah punya pacar belum. Beliau menunjuk pada 

Mbak Saras. Gagal sudah niat orang tua kita untuk men-

jodohkan kita," lanjutnya terkikik kecil. 

“Itu karena kau tidak menyukaiku," sahut Hendri asal 

jadi. 

“Kata siapa?” 

"Lho, memang begitu, kan?” 

"Itu tidak benar. Sebagai seorang abang, aku menyukai-

mu, tapi sebagai seorang pria, aku tidak menyintaimu," 

sahut Christine blak-blakan. 

Hendri tidak perlu menimpali pernyataan itu, karena ia 

pun mempunyai perasaan yang sama, yaitu cuma meng-

anggap Christine sebagai adiknya. 

"Bagaimana? Kau bisa mengantarkanku ke tempat 

orang itu?" 

“Bisa saja tapi tidak sekarang atau besok. Hm, mungkin 

lusa. Soalnya besok aku harus bertemu dengan se-

seorang." 

"Apakah penting sekali?" desak Hendri. 

"Seandainya kau sudah janji bertemu dengan Mbak 

Saras, apakah kau ingin diganggu?" 

"O, pacar?" 

“Ah pokoknya no comment!” elak Christine. “Jangan 

coba-coba menginvestigasi aku, ya." 

Letnan Hendri tersenyum tipis. Ia tidak tertarik sama 

sekali untuk mencampuri urusan adik sepupunya itu. Yang 

ada di dalam benaknya adalah bagaimana menyelamatkan 

Saras dari incaran makhluk yang hendak merenggut jiwa-

nya dan ia ingin menuntaskan persoalan itu secepatnya, 

sebab lebih cepat suatu persoalan diselesaikan akan lebih 

baik. Dan sayangnya Christine tidak bisa diajak kompromi, 

karena bagaimanapun gadis itu bisa mengelak bahwa ia 

juga punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu. Itu 

masalah privacy, yang membuat Hendri jadi uring-uringan 

sendiri.


Tapi apakah memang begitu sikap Christine terhadap 

persoalan yang dihadapi saudara sepupunya itu? Sebenar-

nya tidak. Minatnya bahkan cukup besar untuk nimbrung 

dalam masalah yang dang dihadapi Hendri hanya saja 

dalam hal ini ia punya cara tersendiri, dan tak ingin caranya 

itu campurtangani oleh abang sepupunya itu. 

Sepulang Hendri dari rumahnya, ia menelepon salah 

seorang kawan dekatnya dan berjanji untuk bertemu di 

suatu tempat. 

*** 

Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul enam 

sore lewat beberapa menit. Wajahnya masih biasa saja, 

sebab kesepakatan mereka adalah jam enam lewat lima 

belass menit. Ia rnelirik ke kiri dan kanan, masih belum 

terlihat orang yang sedang dinanti. Kemudian coba me-

longok ke dalam melalui kaca tembus pandang, dimana 

dua orang pria sedang ngobrol dengan santai di antara 

sekian banyak barang-barang antik yang dipajang. 

Tak berapa lama sebuah sedan putih memasuki tempat 

parkir di depan toko itu, dan seraut wajah cantik dengan 

tubuh langsing keluar dari pintunya. 

Mereka berpelukan sambil mencium pipi kanan kiri 

sesaat, sebelum gadis yang baru datang itu membaca 

tulisan di atas toko yang terpampang agak besar. 

“DAN – ANG, toko barang-barang antik. Well, kenapa 

kau mengajakku bertemu di tempat seperti ini? Apakah 

sekalian akan membeli barang-barang antik?" 

“Bukankah kau butuh referensi tentang kejadian heboh 

belakangan ini? Nah, aku akan mengenalkanmu pada 

pemilik toko ini," jelas gadis yang tadi menunggu. 

"Pinky, apakah yang kau maksudkan pemilik toko ini 

seorang paranormal?" 

“Entahlah, tapi ia tidak suka disebut begitu. Eh, ingat 

waktu dulu kita pernah KKN di daerah Tasikmalaya? Kita 

mampir ke rumah seseorang. Pemiliknya bernama Karta sasmita? Nah, pemilik toko ini adalah putranya." 

"Benarkah?" Bola mata Christine bersinar cerah. 

“Kebetulan sekali!" 

"Nah, tunggu apa lagi? Ayo, mari kuperkenalkan kau 

padanya." ajak Pinky. 

Sebenarnya ketika pertama kali mendengar cerrita 

Hendri tentang persoalan yang sedang dihadapinya. 

Christine sudah mulai mereka-reka dan menghubung-

hubungkan masalah itu dengan pengetahuan yang dimiliki-

nya. Ini masalah alam gaib dan ia menyukainya. Kebetulan 

sahabat dekatnya pun memiliki kesenangan yang sama, 

sehingga Pinky langsung mengajaknya bertemu di tempat 

ini saat Christine mendiskusikan masalah yang sedang 

dihadapi saudara sepupunya itu. 

Pinky sendiri kebetulan adalah salah seorang kolektor 

benda benda antik, dan sekaligus langganan setia pemilik 

toko ini. Ia juga mengetahui kelebihan pemilik toko ini 

tentang sejarah masa lalu dan pengetahuannya tentang 

ilmu gaib. Jadi klop sudah, dan ia tidak perlu pusing 

memikirkan bagaimana caranya membantu Christine. 

“Kenalkan ini Anjar kawan lamaku,” kata Danang 

setelah Pinky memperkenalkan sahabatnya. "Oke, Pinky, 

apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu saat ini? 

Pinky menjelaskan kalau sebenarnya Christine ingin 

menanyakan beberapa hal yang bersangkutan dengan 

persoalan alam gaib yang ada hubungannya dengan 

kejadian yang belakangan ini terjadi. Sebenarnya Christine 

berusaha untuk tidak berterus-terang bahwa persoalan itu 

sebenarnya menyangkut tugas yang sedang diemban 

abang sepupunya, karena ia sendiri beranggapan kalau itu 

termasuk juga masalah yang sedang dihadapinya, tapi 

Pinky keburu melanjutkan keterangannya. 

"Kebetulan masalah ini sedang ditangani abang 

sepupunya yang bertugas di kepolisian, jadi kalau kita bisa 

membantu rasanya akan lebih baik." 

Danang dan Anjai saling berpandangan. Mereka sama-

sama mengetahui satu nama polisi yang menjadi pimpinan


dalam menguak misteri pembunuhan itu. 

"Siapa nama abang sepupu Anda itu?" tanya Danang. 

“Hendri." 

“Letnan Hendri?"' 

“Betul. Apakah Anda pernah mengenalnya?" sahut 

Christine balik bertanya. 

Danang melirik sekilas pada Anjar sebelum menggeleng 

pelan sekali. "Ah, tidak. Hanya saja namanya sering dimuat 

di koran dan kebetulan aku sering mengikuti berita pem-

bunuhan yang sedang usutnya itu. Baiklah, kita kembali 

pada pembicaraan sebelumnya. Masalah apa yang Anda 

ingin ketahui? Kalau sekiranya bisa saya bantu, maka akan 

saya bantu." 

“Abang sepupu saya itu pernah mendatangi seorang 

paranormal untuk menyelidiki kasus itu dari sisi yang lain, 

dan hanya menemukan jejak berupa sebuah nama yaitu 

Putri Dayang Sari. Kemudian saya teringat, dulu pernah 

mendengar nama itu dari cerita ayah Anda waktu kami 

masih KKN. Yang jadi masalah, mengapa atau barangkali 

lebih tepatnya, apakah nama itu dan cerita ayah Anda 

berkaitan dengan peristiwa pembunuhan itu? Kalau 

memang benar, lalu apa motivasmya, dan bagaimana cara 

efektif untuk menuntaskan masalah ini?" 

Danang menghela nafas sejenak sebelum mengangguk. 

Menurutku kisah itu memang berhubungan dengan 

peristiwa pembunuhan yang sedang diusut abang sepupu 

Anda, dan motifnya pun jelas, yaitu balas dendam. Atau 

tepatnya dendam pribadi atas kesalahan yang telah 

diperbuat Putri Dayang Sari.'' Kemudian Danang menjelas-

kan secara smgkat dan jelas kronologis permasalahan 

yang diyakininya kuat sebagai alasan mengapa peristiwa 

pembunuhan itu bisa terjadi. 

Christine mengangguk-angguk. "Ya, walaupun rasanya 

sulit diterima akal, tapi saya mempercayai kalau alam gaib 

memang sulit diterima akal. Tapi selang waktu antara 

jamannya dengan saat ini cukup jauh, lalu kalau memang 

itu balas dendam, kenapa mesti dilakukan saat ini?


Kenapa tidak dari dulu?" 

"Balas dendam itu telah dilakukanya dari dulu. 

Kebetulan kami berdua telah menelitinya. Kira-kira dua 

ratus tahun lalu, ada legenda tentang pembantaian 

berturut-turut yang terjadi di daerah Tasikmalaya bagian 

selatan, tepatnya di daerah pesisir. Lalu seratus tahun lalu, 

juga ada legenda yang sama di daerah Bogor bagian Timur. 

Dan cerita legenda itu menunjuk pada satu nama, yaitu 

Putri Dayang Sari. Itu dua legenda yang kami dengar, 

lainnya belum. Dan agaknya peristiwa itu berlangsung 

setiap masa seratus tahun. Kemudian aku mulai meng-

hitung, sejak masa legenda itu terjadi di daerah Bogor 

sampai sekarang maka telah memasuki masa seratus 

tahun." jelas Danang. 

Christine kembali mengangguk-angguk. "Apakah tidak 

ada cara yang efektif untuk menghentikannya?" 

Menurut legenda kejadian itu akan terus berlangsung, 

dan tak pernah terhenti kecuali...” 

“Kecuali apa? kejar Christine. 

“Hanya keturunan Wanara Bodas yang mampu 

menghentikannya,” sahut Danang. "Yang jadi nasalah, kita 

tidak tahu siapa dan di mana keturunan Wanara Bodas 

saat ini." 

Keempatnya saling membisu, tapi berkutat dalam 

pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Christine seperti 

menyadari salah satu keterangan Danang yang luput dari 

perhatiannya. 

“Soal korbannya” katanya kemudian. “Kalau benar itu 

perbuatan Putri Dayang Sari, mestinya ia tak sembarangan 

memilih. Hanya mereka yang berkhianat saja kepada 

kekasihnya?” lanjutnya seperti ingin menegaskan statemen 

itu. 

Danang mengangguk. "Betul dan sangat kebetulan 

sekali karena abang sepupu Anda menangani kasus ini, 

coba teliti dan amati diantara daftar nama-nama korban, 

telusuri kisah asmaranya. Barangkali ini hal yang luput dari 

perhatian.”


“Hendri pernah merjelaskan kalau pelaku pembunuhan 

itu adalah orang-orang terdekat korban," sahut Christine. 

Secara hokum, mungkin saja jasad mereka yang 

melakukan, tapi sebenarnya hasrat dan dorongan untuk 

membunuh itu telah menguasai seluruh jiwa raga pelaku 

pembunuhan yang telah tertangkap itu." 

"Jadi maksud Anda metode yang digunakan Putri 

Dayang Sari adalah menggunakan orang terdekat korban 

untuk melakukan pembunuhan?" 

'"Tepat sekali!" 

"Lantas kriteria orang terdekat mana yang perlu 

dicurigai, mengingat setiap korban tidak hanya memiliki 

satu orang terdekat?" 

"Kita ambil contoh begini: Si A memiliki kekasih yang 

setia, namanya si B, tapi karena suatu sebab akhirnya si A 

nyeleweng pada si C. Dalam hal ini kemungkinan korban 

yang dipilih adalah si A, maka Putri Dayang Sari akan 

merasuk ke dalam jasad si C untuk membunuh si A." 

Christine mengangguk-angguk mengerti. Seandainya ia 

mempcrcayai keterangan Danang, maka ia mulai 

mengaitkan praduga itu kepada kejadian yang menimpa 

Saraswati. Gadis itu kini tengah menjadi incaran Putri 

Dayang Sari, dalam hal ini ia menjadi si A, dan Hendri 

menjadi si B, lalu siapakah yang menjadi si C? Apakah 

Saraswati mengkhianati cinta Hendri? 

***


DUA


Sepulang Christine dan Pinky. Anjar tidak langsung 

pulang dari situ bahkan Danang memmtanya untuk 

mengintip di tokonya. Ada sesuatu yang hendak 

dibicarakannya dengan sobatnya itu, dan untuk itulah ia 

minta agar Anjar datang ke sini. 

"Apa yang hendak kau bicaraikan?” tanya Anjar. 

"Kau masih ingin menyelamatkan Saraswati?” 

"Tentu saja. Hanya aku bingung karena tidak tahu bagai-

mana caranya,” sahut Anjar lesu. “ 

Barangkali aku bisa sedikit membantu." 

"Benarkah?" tanya Anjar seperti tak percaya dengan 

pendengarannya, sebab kata itulah yang ingin didengarnya 

dari mulut Danang. 

Danang mengangguk "Tapi tentu saja kau harus mau 

bekerja sama." 

"Tentu. Tentu saja. Tapi bagaimana caranya? Bukankah 

kau katakan bahwa niat Putri Dayang Sari tidak bisa di-

halangi oleh apa dan siapa pun?" 

"Benar. Tapi kaupun dengar tadi perkataanku, yaitu ada 

pengecualian." 

"Maksudmu?" 

"Keturunan Wanara Bodas mampu menghalangi 

niatnya!" jelas Danang. 

Anjar mengangguk, tapi wajahnya bukan gembira melainkan kelihatan lesu. "Tapi... di mana kita bisa menemu-

kan keturunannya?" 

"Kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?" 

Ketika dilihatnya sobatnya itu menggelengkan kepala. 

Danang melanjutkan "Itu karena ceritamu via telepon. Kau 

mengatakan melihat Saraswati dikelilingi cahaya yang 

berputar-putar melingkarinya, dan lenyap meninggalkan 

gadis itu ketika kau hadir di sana." 

Anjar mengangguk. "Betul. Dan aku sendiri bingung, 

padahal kulihat sepertinya Saraswati sedang diancam 

sesuatu." 

"Ya, dan aku yakin itu adalah Putri Dayang Sari yang 

datang untuk membunuhnya. Dan tahukah kau mengapa 

dia kabur begitu melihat kehadiranmu?" 

"Mana aku tahu. Aku tidak melakukan apapun kecuali 

berteriak mencegahnya," 

"Nah, itu dia! Putri Dayang Sari tidak takut pada siapa 

pun, dan siapa pun yang berusaha mencegah niatnya akan 

dibunuhnya. Mestinya dia pun membunuhmu saat itu.” 

Anjar melongo. Semula ia tidak memikirkannya, tapi 

setelah Danang memaparkannya, ia bisa hanyut dalam 

pikiran sobatnya itu. Kenapa hal itu tidak diamatinya? 

Kalau mau, tentu Putri Dayang Sari bisa menghabisi nyawa 

Saraswati saat itu. Ia toh tidak punya kekuatan gaib untuk 

membantu gadis itu selain berteriak. Apa Putri Dayang Sari 

kaget dengan teriakannya lalu kabur? 

"Ada sesuatu yang ditakutinya dari dirimu," kata Danang 

akhirnya menyimpulkan. 

"Takut? Katamu dia takut padaku? Yang benar saja. 

Nang. Memangnya aku punya ilmu apa?" 

Entahlah. Cuma ada dua factor, pertama: kau 

mempunyai sesuatu yang ditakutinya, dan yang kedua: ada 

kemungkinan kau keturunan Wanara Bodas." 

"Ini lebih lucu. Bapakku seorang pedagang, dan kakekku 

dari pihak bapak cuma petani. Ibuku cuma orang biasa, 

dan begitu pula kedua orangtuanya." 

"Apa kau kira Wanara Bodas itu keturunan ningrat?


Ingat, ia cuma orang biasa yang lugu lagi jujur. Lagipula ber 

abad-abad telah berlalu dan keturunannyapun telah 

beranak-pinak. Mungkin agak sulit menelusurinya, tapi 

yang jelas hanya ada dua ktor yang membuat Putri Dayang 

Sari cuma takut ada dua hal, seperti yang kukatakan tadi." 

Anjar kembali termangu. Dia tidak punya ilmu gaib atau 

yang semacam itu. Tidak punya senjata pusaka, bahkan 

sepengetahuannya, tidak memiliki saudara yang pandai 

soal ilmu-ilmu gaib. Jadi, apakah ia termasuk faktor yang 

kedua, seperti yang dikatakan Danang, yaitu keturunan 

Wanara Bodas? 

“Begini saja. Bagaimana kalau sekali lagi kita buktikan?" 

"Buktikan bagaimana?" 

Danang membisikkan sesuatu ke telinga sobatnya itu. 

dan terlihat Anjar langsung mengangguk setuju. 

*** 

Ia sudah janji pada Saraswati untuk menjenguknya 

malam ini, padahal masih ada tugas yang mesti 

dikerjakannya. Tapi entah mengapa, sejak hubungannya 

makin akrab dengan gadis itu rasanya tugas menjadi 

nomor dua dibanding kepentingannya terhadap gadis itu. 

Ini mengherankan, sebab selumnya ia termasuk orang yag 

gila kerja. Bahkan rela mengorbankan waktu santai demi 

menuntaskan pekerjaan. Apakah itu berarti cinta lebih 

dominan atas segalanya dalam hidupnya? Apakah ia betul-

betul mencintai gadis itu? 

Sejauh ini memang terlihat adanya lampu hijau dari 

Saraswati terhadap dirinya. Kalaupun ada yang membuat-

nya belum merasa puas, karena gadis itu belum menyata-

kan persetujuannya lewat kata-kata kalau ia pun menyintai 

pria itu. 

Tapi Hendri berusaha untuk sabar. Ia yakin, jawaban itu 

hanya tinggal menunggu waktu saja, karena ketika ditanya 

apakah Saraswati sudah punya kekasih atau belum, gadis 

itu tidak mau menjawabnya. Dan saat ajakan kencannya di


terima. ia coba meyakinkan dirinya kalau gadis itu masih 

sendiri. Kemudian ketika melihat kehadiran Anjar di rumah 

sakit menungguinya. Saraswati mengatakan kalau pria itu 

cuma salah seorang kawannya. Dan hal yang membuat 

Hendri tidak curiga adalah karena sikap keduanya yang 

biasa-biasa saja saat bertemu, persis seperti layaknya 

teman. 

Mobil jipnya berhenti di tempat parkir di sudut kanan 

halaman depan rumah sakit itu. Dan ketika keluar dari 

pintu mobil, udara dingin langsung menyambarnya. Hendri 

merapatkan jaket kulitnya, kemudian diam sejenak mem-

perhatikan keadaan sekelilingnya. Di ruang gawat darurat 

dilihatnya banyak orang berkumpul dan sebuah mobil 

ambulan terlihat masih dipakir dan lampu kap-nya masih 

menyala. Perlahan ia melangkahkan kaki ke sana. 

"Korban pembunuhan." sahut salah seorang menjelas-

kan ketika ia coba bertanya. “Mengerikan sekali! Lehernya 

robek. dan dada kirinya bolong." 

"Kapan terjadinya peristiwa itu?" tanya Hendri mulai 

curiga. 

Orang itu gelengkan kepala. 

Hendri masuk ke dalam. Ia memperlihatkan kartu 

identitasnya ketika seorang pcrawat melarangnya masuk. 

Setelah melihat kondisi korban, ia memastikan, seperti 

juga dokter jaga yang menangani korban: bahwa orang itu 

sudah mati! Tak ada yang bisa dilakukan untuk 

menolongnya. 

Tidak ada yang mungetahui apa penyebab kematian 

korban yang jelas ia terbunuh, entah oleh seseorang atau 

sesuatu. Tapi Hendri mempunyai dugaan kuat kalau itu 

adalah korban yang kesekian dari kasus pembunuhan yang 

sedang ditanganinya. 

Ketika keluar dan Unit Gawat Darurat itu ia berpapasan 

dengan seorang gadis yang memandangnya dengan tajam. 

Hendri sempat bergidik ngeri saat kedua pasang mata 

mereka bertemu. Gadis itu bertubuh sedang dengan tinggi 

sekitar 170-an centimeter dan mengenakan jeans ketat


serta sweater putih. Rambutnya panjang sepunggung dan 

dikuncir sederhana. Wajahnya manis dengan sepasang 

mata bulat serta hidung yang agak mancung. Bibirnya agak 

lebar dan sedikit tebal dibalut gincu merah menyala. 

Cuma sekitar setengah menit sebelum gadis itu berbalik 

dan berjalan santai meninggalkan pria itu. Hendri merasa 

ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga reflek saja ia 

mengikuti langkah gadis itu dari belakang. 

Gadis yang belum pernah dilihat apalagi dikenalnya itu 

terus melangkah menyusuri koridor, kemudian me-

nyeberangi selokan kecil menuju ke bawah dua batang 

pohon rindang yang saling berdekatan. Di bawah kedua 

pohon itu terdapat dua buah tempat duduk yang terbuat 

dari semen. Hendri menduga gadis itu akan berteduh di 

bawahnya, namun dugaannya keliru karena gadis itu 

ternyata menyelinap ke balik salah satu batang pohon 

seperti sedang bersembunyi dalam permainan petak 

umpet. 

Kecurigaan Hendri semakin menjadi. Dihampirinya gadis 

itu, namun ketika di sana tidak dilihatnya siapa pun. Gadis 

itu menghilang seperti ditelan bumi. 

"Mustahil!" keluhnya tak percaya. Di dekat pohon itu ada 

tembok setinggi dua meter, dan kalau gadis itu melompat, 

ia pasti melihat. Sedangkan bila gadis itu keluar dari 

persembunyiannya, ia pun yakin bisa melihatnya karena 

sejak tadi ia tidak berpaling sedikit pun dari memperhati-

kan gadis itu. “Ke mana dia?" 

Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding ketika mem-

bayangkan yang bukan-bukan tentang gadis itu. Setankah? 

Kuntilanak? Atau barangkali siluman wanita? Bagaimana 

caranya dia bisa raib begitu saja tanpa diketahui? 

Pusing memikirkan gadis itu dan tak menemukan 

jawaban. Hendri berbalik dan melanjutkan niatnya semula 

untuk menjenguk Saraswati. Tapi baru saja bergerak satu 

langkah, pundak kanannya ditepuk seseorang dari 

belakang. Tepukan itu bukan saja mengejutkan, tapi juga 

menggoncangkan pikirannya." Seperti ada aliran listrik


yang mengalir ke tubuhnya dan membuatnya merinding. 

Tak lama berselang ia merasa aneh sendiri karena 

pikirannya melayang entah ke mana dan tubuhnya terasa 

ringan saat kakinya melangkah tanpa diniatkannya. 

Tatapannya kosong, meski begitu ia bisa melihat dengan 

jelas apa yang berada di sekelilingnya. 

"Gadis itu sedang tertidur lelap,” kata seorang perawat 

yang mengenalinya ketika Hendri telah berada di ambang 

pintu kamar di mana Saraswati ditempatkan. 

Ia tidak mempedulikannya. Tidak mengeluar sepatah 

katapun, bahkan tersenyumpun tidak. Perawat itu merasa 

tidak enak hati, dan dengan bingung ia berlalu. Hendri 

melirik sekilas padanya, kemudian menutup pintu 

perlahan-lahan. Ia berdiri mematung sambil memperhati-

kan Saraswati yang seedang tertidur pulas. Kemudian 

perlahan tangannya meraih stop kontak lampu, lalu... klik! 

Lampu ruangan itu seketika padam. Tapi bersamaan 

dengan itu tiba-tiba saja dua sosok tubuh membuka pintu 

dan ikut masuk ke dalam. Pria itu cepat menoleh, dan kini 

terlihat sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya 

biru kehijau-hijauan. 

"Hm, kalian rupanya,” desis Hendri dengan suara parau, 

mirip suara perempuan. "Pergilah dan jangan mencampuri 

urusanku." 

Kedua sosok yang ikut menyelinap ke dalam kamar itu 

tidak lain dari Danang dan Anjar. Danang terlihat biasa 

saja, tapi Anjar agak terkejut melihat sorot mata Hendri, 

juga dengan vokal suaranya yang aneh. 

"Kami tidak akan pergi sebelum kau pun pergi," sahut 

Danang tenang. 

"Aku peringatkan sekali lagi, ini bukan urusan kalian. 

Kalau tidak mau celaka, pergilah!" 

"Bagaimana pun kami tidak akan pergi dan membiarkan 

kau melakukan aksi kejimu. Ini harus dihentikan karena 

sudah keterlaluan." sahut Danang berani. 

Hendri tidak langsung menjawab. Pandangannya dialih-

kan pada Anjar, membuat pria itu bergidik ngeri. Jarak


mereka cuma sekitar dua meter. Kalau makhluk itu 

macam-macam, ia sulit untuk mengelak dari ancamannya. 

"Kau!" kata Hendri pada Anjar. “Apa urusanmu ikut 

campur? Tidakkah kau merasa benci terhadap gadis ini 

karena dia telah mengkhianatimu?" 

Anjar merasa tidak tahu harus menjawab apa. 

Ketakutan masih mengisi hatinya Dia terdiam sejurus 

lamanya. 

"Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu 

jangan campuri urusanku. Pergilah dan ajak temanmu itu." 

Dia tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pergi!" 

tukas Danang. 

"Diam kau! Ini tidak ada urusannya dcnganmu." Begitu 

selesai ucapannya. Hendri melesat cepat menyerang 

Danang. Kelima jari tangannya mengembang lebar dan dari 

telapak tangannya itu menderu angin kuat berhawa panas. 

Danang yang sejak tadi telah bersiap, ragu-ragu untuk 

menangkis. Dia tidak yakin kekuatannya mampu 

mengimbangi sosok makhluk gaib yang menyusup ke 

tubuh Hendri. Tapi selang waktunya cuma sepersekian 

detik, dan ia langsung memutuskan untuk mengelak 

dengan menundukkan kepala. Telapak tangan kirinya 

bertumpu di lantai dan kaki kanannya melayang ke perut 

Hendri. Tapi yang terjadi kemudian diluar perkiraannya 

karena telapak tangan Hendri langsung menampar kakinya 

setelah itu tubuhnya melenting ke atas, dan bersamaan 

dengan itu sebelah kakinya menghajar punggung Danang 

membuat pria itu menjerit kesakitan dan tubuhnya 

terdorong maju serta kepalanya membentur tembok. 

Anjar terkejut melihat gerakan sekilas itu. Dilihatnya 

Danang merintih kesakitan, sementara Hendri berdiri tegak 

di dekat pintu, masih dengan orot matanya yang 

berkilauan. 

“Kuperingatkan sekali lagi, pergilah dan jangan campuri 

urusanku." kata Hendri mengancam. 

Anjar yang sedang membantu kawannya itu untuk ber-

diri menjadi geram. Meskipun ia tidak memiliki kemampu


an batin seperti Danang, tapi mendengar ancaman Hendri 

yang sepertinya meremehkan mereka maka mau tidak 

mau keberaniannya bangkit. Dibalasnya pandangan mata 

letnan polisi itu dengan tajam. 

“Jangan lawan pandangan matanya!" ingat Danang, tapi 

Anjar tidak mempedulikannya. 

"Siapa kau sebenarnya? Apakah benar kau Putri Dayang 

Sari?" 

“Bagus. Kau sudah mengetahuinya, bukan? Nah, 

sekarang pergilah!" 

“Tidak semudah itu kau mengusir kami." Anjar diam 

sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya saat ini, 

meskipun ragu-ragu akhirnya diungkapkannya juga. “Tidak-

kah kau merasa malu melakukan kejahatan di depan 

keturunan Wanara Bodas?" 

Cahaya dalam sepasang mata Hendri seolah sedikit 

membesar ketika mendengar kata-kata Anjar tadi. Tapi 

belum lagi sempat ia bicara terdengar suara Saraswati 

yang baru saja bangun dan tidurnya. 

"Ada apa? Mengapa ruangan menjadi gelap? Siapa 

kalian ini?" 

Ketiga pria itu diam membisu. Tapi Danang dan Anjar 

tidak lagi melihat cahaya hijau kebiru-biruan dalam 

sepasang mata Hendri, maka dengan sedikit keberanian ia 

menghampiri stop kontak, sesaat kemudian lampu 

ruangan menyala. 

Yang pertama dilihat Saraswati adalah Danang, yang 

berdiri di dekatnya. Ia agak lupa, meski merasa pernah 

melihat wajah pria itu. Kemudian beralih pada Anjar dan 

wajahnya seketika ditekuk. 

“Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sinis. 

"Aku..." Anjar melirik pada Hendri, dan pria itu masih 

diam membisu. Aku dan Danang cuma ingin menjenguk-

mu.” lanjutnya. 

"Terima kasih. Tapi malam pasti sudah larut dan aku 

ingin istirahat." sahut Saraswati sambil membuang muka. 

Anjar kembali melirik pada Hendri, dan pria itu masih


tetap belum bereaksi. Sementara perlahan Danang meng-

hampirinya, dan memberi isyarat padanya untuk keluar dari 

ruangan itu. Meskipun ragu-ragu toh akhirnya ia mengikuti 

langkah sahabatnya itu. 

"Aku tidak ingin pulang selama siluman itu masih 

berkeliaran di sini." kata Anjar bersikeras saat mereka 

telah berada di luar. 

Danang mengangguk. "Tapi tidak ada lagi yang bisa kita 

kerjakan di sini.” Entah mengapa, justru ia yang merasa 

kesal melihat sikap Saraswati terhadap sahabatnya itu. 

"Apa maksudmu tidak ada lagi? Siluman itu masih 

bercokol di sana, dan tiap saat nyawa Saraswati terancam 

bahaya!" Suara Anjar agak keras, dan wajahnya tiba-tiba 

berubah tegang. 

Tapi dia telah pergi, dan yang kini kita lihat adalah 

Hendri yang aslinya,” jelas Danang. 

“Aku tetap tidak peduli!" tukas Anjar. Aku memang tidak 

bisa menghalangimu untuk pergi tapi aku tetap akan 

berada di sini mengawasi mereka." lanjutnya berkeras. 

Danang menghela nafas sambil angkat bahu. “Yaah, 

kalau begitu maumu apa boleh buat." katanya pasrah. 

"Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mati-matian 

membela gadis itu padahal sikapnya terhadapmu sungguh 

menyakitkan. Gadis seperti itu tidak layak mendapatkan 

cintamu, dan juga tidak layak dipertahankan." 

Anjar tidak menjawab Kalau menuruti akalnya apa yang 

dikatakan sobatnya itu memang benar. Tapi dalam hal ini 

perasaannya tidak menyetujui. Boleh-boleh saja ia 

mengatakan kalau falsafah cinta yang dianutnya adalah 

keseimbangan antara akal dan perasaan, tapi seperti juga 

kebanyakan orang bicara itu lebih mudah daripada 

melakukannya. Karena dalam kenyataannya, ia tidak 

begitu mudah melupakan Saraswati dalam ingatan dan 

hatinya. 

Tengah keduanya duduk sambil membisu mendadak 

seorang gadis menghampiri dari arah belakang.


TIGA


Danang yang lebih dulu reflek menoleh ke belakang 

sebelum Anjar mengikuti. Posisi mereka langsung 

bersiap untuk menghadapi serangan, membuat 

gadis yang baru muncul itu bingung tidak mengerti. 

"Lho, ada apa? Aku melihat kalian berdua dari belakang 

dan coba meyakinkan kaLau kalian memang orang yang 

kuduga. Apakah tidak mengenaliku lagi? Aku Christine, 

yang kemarin bertemu dengan kalian." 

Anjar menghela nalas lega karena mengira gadis itu 

adalah Putri Dayang Sari yang akan menyerang mereka 

dari belakang. Sebaliknya Danang tidak langsung percaya. 

Diamatinya gadis itu dengan seksama, dan setelah merasa 

yakin kalau gadis itu memang Christine, barulah ia 

menghela nafas lega sambil tersenyum. 

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" 

"Kami... sedang menjenguk teman." sahut Anjar. "Kau 

sendiri?" 

"Aku mau menjenguk Mbak Saras. Tadinya mau 

bersama Mas Hendri, tapi kebetulan beliau telah lebih dulu 

pergi." jelas Christine. 

"Mbak Saras?" Dahi Anjar berkernyit, pura-pura tidak 

mengenal nama itu meskipun ia sudah menduga siapa 

yang dimaksud Christine. "Siapa dia?" 

"Beliau adalah kekasih Mas Hendri, sahut Christine


polos. "Aku tidak menceritakan sepenuhnya ketika kita 

bertemu. Sebenarnya Mbak Saras itu mendapat teror dari 

makhluk yang menamakan dirinya Putri Dayang Sari." 

"Mengapa kau yakin kalau teror itu dilakukan Putri 

Dayang Sari?" Kali ini Danang yang bertanya. 

"Seperti yang pernah kujelaskan. Mas Hendri pernah 

menanyakan hal ilu pada seorang paranormal, dan 

jawaban yang diterima cuma satu nama tadi yang telah 

kusebutkan." 

Danang mengangguk, pura-pura mengerti. Memangnya 

ada persoalan apa sehingga gadis bernama Saras itu 

sampai menjadi incaran Putri Dayang Sari?" 

"Justru itu yang membuatku bingung. Kalau meng-

konfirmasikan keterangan Anda dengan situasi mereka, 

mestinya ada diantara mereka yang berkhianat, dan bila 

kebenaran cerita Anda itu terbukti sehingga Mbak Saras 

yang menjadi incaran Putri Dayang Sari, berarti dia yang 

mengkhianati cinta Mas Hendri." papar Christine. 

Anjar merasa miris hatinya mendengar kesimpulan yang 

diuraikan gadis itu, karena terus-terang, sebagian uraian 

itu benar meski ujung kesimpulannya, sama sekali tidak 

bisa dipertanggungjawabkan. 

"Lantas menurutmu apakah benar Saras itu berkhianat, 

dan kalau benar, apakah kau sudah menyelidikinya?" tanya 

Danang terus bersandiwara untuk mengorek keterangan 

dari gadis itu. 

"Itu yang hendak kubicarakan dengan Mas Hendri 

malam ini." sahut Christine. "Tapi aku telah berusaha 

mengorek keterangan dari koleganya Mbak Saras, dan 

ternyata salah seorang diantara mereka membenarkan. 

Hanya saja aku tidak mendapatkan keterangan tentang 

namanya, tapi yang jelas bukan Mas Hendri." 

"Menurutmu sendiri bagaimana? Percayakah dengan 

cerita itu?" 

"Entahlah, tapi sepertinya meyakinkan sekali. Aku 

menelepon media massa tempat Mbak Saras bekerja dan 

pura-pura menanyakan tentang dirinya. Ketika yang


menjawab teleponku mengatakan bahwa Mbak Saras 

berada di rumah sakit, iscng-iseng aku bertanya apakah 

orangtua atau kekasihnya sudah diberitahu? Orang itu 

mengatakan kalau mereka tidak bisa menghubungi orang 

tuanya tapi kekasihnya telah diberitahu. Aku bertanya lebih 

lanjut, kekasihnya yang mana? Yang di kepolisian atau 

yang mana? Orang itu cuma tertawa dan mengatakan 

kalau kekasih Mbak Saras itu orang sipil dan seorang 

pengusaha. Aku tidak bisa bertanya lebih lanjut karena 

orang itu memutuskan pembicaraan sebab ada telepon 

masuk katanya," jelas Christine secara rinci. 

Danang mcngangguk-angguk, sementara Anjar diam 

membisu. 

"O, ya! Mengapa kalian tidak ikut saja denganku agar 

kita bisa bicara panjang lebar dengan mereka," ajak 

Christine. 

"Kukira itu bukan ide yang bagus." sahut Danang. "Kita 

tidak ingin Saras tersinggung, bukan?" sahut Danang. 

"Ah, iya. Aku mengerti." Christine mengangguk. 

"Oke, malam sepertinya terus merambat." kata Danang 

seraya melirik arlojinya, kemudian memberi syarat pada 

Anjar. "Kami mesti kembaii. Kapan-kapan kita ngobrol lagi 

panjang lebar. Mari." 

"Ng, tunggu sebentar!" tahan Christine. "Menurut Anda. 

Bagaimana kira-kira nasib yang akan menimpa Mbak 

Saras? Apakah tidak ada cara lain untuk melindunginya 

dari ancaman makhluk itu?" 

Danang tidak langsung menjawab. tapi memperhatikan 

gadis itu beberapa saat. “Menurutmu perlukah 

mengasihani seseorang yang berhati dua seperti Saras 

itu?" 

"Ng, aku...entahlah. Tapi aku cenderung memandangnya 

dari segi kemanusiaan.” 

Danang mengangguk kemudian angkat bahu 

"Sementara ini aku belum mendapatkan jawabannya. Tapi 

bila sudah kutemukan kau pasti kuberitahu. Mari." sahut 

Danang seraya mengajak Anjar untuk segera angkat kaki.


Christine mengangguk. “Terima kasih." katanya masih 

belum beranjak dari tempatnya dan memperhatikan 

langkah-langkah kedua pria itu. 

Baru ketika dilihatnya kedua pria itu telah agak jauh, ia 

beranjak dan tempat itu. 

Adapun Anjar sepertinya enggan untuk meninggalkan 

rumati sakit itu, dan bersikeras untuk tetap berada di sini 

mengawasi Saraswati. Baru setelah Danang menjelaskan 

kalau mereka cuma pura-pura pergi agar Christine tidak 

mencurigai dan setelah itu kembali lagi ke dalam serta 

bersembunyi di tempat yang aman. Anjar agak tenang. 

*** 

Selama berada di ruangan itu, tak banyak yang 

bicarakan Christine mengenai diri Saraswati. Tentu saja ia 

menjaga perasaan gadis itu agar tidak tersinggung. Tapi 

ketika pulang dari rumah sakit, saat mereka berada dalam 

satu mobil. Christine coba mengorek keterangan. 

"Apakah Mas yakin kalau Mbak Saraswati mencintai 

Mas?" tanyanya setelah diajaknya Hendri ngobrol berputar-

putar soal diri Saraswati. 

"Kenapa tidak?" 

"Mas yakin?" 

"Dia memang tidak, atau katakanlah belum 

mengucapkan kata itu. tapi sebagai orang yang telah 

sama-sama dewasa persoalan cinta kan tidak selalu harus 

diucapkan. Ungkapan lewat sikap itu lebih utama." 

"Mas sudah menyelidiki latar belakangnya?" 

"Latar belakang bagaimana maksud kamu?" 

"Yaaah, keluarganya, masa lalunya atau apakah dia 

sudah punya pacar atau belum setelah ketemu Mas." 

Hendri tersenyum. Sejak kecil dia memang sudah akrab 

dengan Christine, dan sampai mereka dewasa pun 

keakraban itu belum sirna. Keduanya memang selalu 

terbuka terhadap masalah masing-masing dan tidak ada 

yang dirahasiakan.


"Kamu ini macam-macam saja. Aku memang polisi, tapi 

bukan berarti setiap orang yang dekat denganku harus 

kuselidiki keadaannya sampai ke tai kukunya.” 

"E, maksudku bukan begitu lho, Mas. Ini ada kaitannya 

dengan beliau." 

"Kaitan bagaimana?" 

"Gini, nih!" Christine menceritakan secara singkat dan 

jelas percakapannya dengan Danang soal siapa saja yang 

menjadi incaran korban Putri Dayang Sari. "Coba deh Mas 

ingat-ingat keadaan korban. Barangkali hal itu bisa 

membantu." ujar Christine mengakhiri ceritanya. 

Hendri terdiam beberapa saat lamanya. Dahinya 

berkerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat keadaan 

korbannya satu persatu. 

“Kalau Mas belum menemukan data itu, ada baiknya 

diselidiki untuk membuktikan kebenarannya," tambah 

Christine. 

"Siapa Danang yang kau sebut itu?" tanya Hendri 

setelah diam beberapa saat lamanya. 

"Mas ingat tempo hari aku mau ngajak keTasikmalaya 

untuk menemui seseorang? Nah. Danang itu adalah putra 

beliau. Kebetulan sekali salah seorang temanku kenal 

dengannya, dan sekalian saja aku bertemu dengannya." 

jelas Christine. 

"Kau yakin dengan dugaannya itu?" 

"Sejauh ini entah mengapa, aku merasa yakin." 

Jawaban Christine itu kembali membuat Hendri terdiam. 

Agaknya ia berusaha mengaitkan keterangan sepupunya 

itu dengan data-data tentang korban yang ada dalam 

benaknya. 

"Maya." desisnya. Belakangan aku mengetahui, 

maksudku kami menemukan bukti-bukt kuat kalau Boy 

yang membunulnya.” 

"Boy itu siapa? 

Hendri tidak langsung menjawab. Dipandanginya 

sepupunya itu sesaat sebelum memfokuskan perhatian 

pada jalan di depan mereka. Mobil berbelok ke kiri dan


melewati jalan yang agak kecil Hendri memang sengaja 

mengambil jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumah. 

"Mas belum menjawab pertanyaanku? Apakah ada yang 

dirahasiakan?" tanya Christine. 

"Maya itu tadinya pacarku..." jawab Hendri beberapa 

saat kemudian. "Tapi setelah aku memergoki mereka 

sedang berduaan tanpa mereka nengetahuinya, aku mulai 

mengatur jarak.” 

Christine mengangguk. 

Aku mengira Maya adalah tipe gadis setia, tapi nyatanya 

bukan sekali dua kali aku memergoki mereka sedang ber-

duaan, dan itu membuatku kecewa..." 

"Maaf ya, Mas. Aku kok jadi terpikir begini: saat Mas me-

mintanya untuk jadi umpan, apakah..." Christine tidak me-

neruskan ucapannya karena dilihatnya sorot mata Hendri 

ketika menatapnya menunjukkan api amarah. 

"Sori," ucapnya pendek. "Ada baiknya Mas memang me-

meriksa data pribadi korban yang lain, plus kalau perlu me-

meriksa data Mbak Saras. Minimal Mas tidak perlu kecewa 

lagi untuk kesekian kalinya." 

Apa yang dikatakan Christine memang masuk di akal-

nya, dan Hendri berencana dalam hatinya untuk me-

nyelidiki hal itu. 

Sementara Hendri kemudian menyelidiki hal itu. 

Christine sendiri melakukan penyelidikan tentang ke-

beradaan Saras. Hendri mengatakan bahwa Saras pernah 

membawanya ke tempat orangtuanya, dan Christine mulai 

melakukan penyelidikan ke tempat itu, baru kemudian ia 

mendekati kolega-kolega Saraswati di kantornya, dan hasil 

dari penyelidikannya itu membawa langkah kakinya ke 

sebuah toko buku. 

“Selamat sore. Bisa saya bertemu dengan pemilik toko 

ini?” tanyanya pada seorang pria yang sedang melayani 

dua orang pembeli. 

"Ya, ada perlu apa kira-kira?" sahut Kusno balik ber-

tanya. 

Ada keperluan pribadi. Saya Christine, mungkin beliau


pernah mendengarnya." 

“Sebentar, ya." Kusno melayani kedua pembeli itu, baru 

kemudian masuk ke dalam, dan tak berapa lama Anjar 

keluar dari ruangan yang tadi dimasuki Kusno. Wajahnya 

tidak begitu kaget ketika melihat kehadiran gadis itu. 

"Hai!" sapa Christine. Anda pasti tidak lupa dengan saya, 

bukan?" 

Anjar tersenyum sambil menggeleng. “Tentu saja. Ada 

sesuatu yang bisa saya bantu?" 

"Kelihatannya begitu, tapi... saya ingin membicarakan 

sesuatu yang sifatnya empat mata." sahut gadis itu sambil 

mengerling ke arah Kusno. 

“O. begitu. Baiklah. Mari ikut saya ke dalam." ajak Anjar, 

membawa tamunya ke sebuah ruangan kecil. Di situ cuma 

ada sebuah meja berikut kursinya serta dua buah kursi di 

depan meja itu. Dan yang lainnya adalah lemari arsip serta 

kulkas kecil. 

"Silahkan duduk.” kata Anjar seraya membuka isi kulkas 

dan mengeluarkan dua gelas kecil air mineral dan meletak-

kannya di atas meja, sementara ia sendiri duduk di 

belakang meja itu. "Sambil diminum, apa kira-kira yang 

bisa saya bantu?" 

"Terima kasih." Christine menyeruput sedikit air mineral, 

dan sekilas memandang pria di hadapannya itu. Sepasang 

matanya agak sipit dan dahinya lebar menandakan kalau 

pria ini pintar. Secara keseluruhan wajahnya tidak me-

ngecewakan. Postumya pun tidak tinggi tapi bukan berarti 

pendek. Untuk ukuran rata-rata orang kita dia termasuk 

golongan sedang. 

“Saya ingin menanyakan hal yang barangkali sifatnya 

pribadi, kalau Anda tidak keberatan..." 

“Soal yang mana?" 

“Apakah Anda mengenal Saraswati?" 

“Saraswati yang wartawati itu?" 

“Betul." 

“Ng, ya tentu saja. Kami teman baik." 

“Sekedar teman?'


Anjar tersenyum. "Ya, sekedar teman. Apakah ada se-

suatu yang aneh?" 

“Memang, sebab Mbak Saras mengatakan kalau anda 

pernah menjadi kekasihnya. 

“Benarkah?" Anjar pura-pura kaget. 

“Hubungan kami belakangan ini akrab sekali, dan kami 

suka cerita hal-hal yang sifatnya pribadi." lanjut Christine. 

“O, jadi Saraswati berkata begitu kepada Anda? Hm, 

kalau memang benar begitu saya termasuk orang yang 

beruntung. Yang jadi masalah, mengapa ia tidak berterus-

terang pada saya waktu dulu bahwa ia menganggap saya 

sebagai kekasihnya” kata Anjar pura-pura bingung. 

"Mengapa Anda berpura-pura begitu?" 

"Pura-pura? Mengapa saya tidak boleh mengikuti se-

andainya lawan bicara saya pun berpura-pura mengetahui 

sesuatu yang dia sendiri tidak yakin akan kebenarannya?" 

"Anda menuduh saya berpura-pura? Dalam soal apa?" 

"Nona, ketahuilah. Saraswati tidak akan pernah ber-

cerita pada siapa pun soal rahasia pribadinya. Saya kenal 

betul wataknya. Dan dia tidak akan pernah mau terbuka 

pada orang yang baru dikenalnya. Berapa lama Anda me-

ngenalnya? Belum ada satu tahun. Itu melebihi waktu per-

kenalan saya dengannya, dan sejauh itu sedikit sekali ia 

mau menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada saya." 

Christine agak gelagapan mendengar tuduhan itu, tapi 

sebisa-bisanya ia menjawab. "Anda tidak bisa meyakini hal 

itu sebab sifat seseorang bisa saja berubah karena suatu 

sebab. Mungkin selama ini dia tidak mempercayai Anda 

seratus persen." 

"Kalau Anda menyangka kami pernah berhubungan 

cinta, lalu apakah ada orang mencintai lawan jenisnya 

tanpa ada saling percaya?" 

Christine kembaii gelagapan. Untuk beberapa saat ia 

tidak tahu harus bicara apa. 

“Baiklah. Aku hargai usaha anda, dan tidak perlu ber-

belit-belit segala. Apa sebenarnya yang Anda ingin 

ketahui?" tanya Anjar.


Christine menghela nafas. "Aku cuma tidak ingin per-

soalan ini berlarut-larut. Secepatnya dicari titik terangnya 

maka akan lebih baik." 

 "Lantas apa yang Anda inginkan?" 

"Pembunuh itu." sahut Christine tegas. "Aku mem-

percayai cerita legenda yang diceritakan teman Anda. 

Kalau benar Putri Dayang Sari membunuh korbannya me-

lalui orang keliga, maka perlu kita ketahui, siapa gerangan 

orang ketiga yang akan dijadikan alat untuk membunuh 

Mbak Saraswati." 

"Anda sungguh-sungguh ingin tahu orangnya?" 

"Tentu saja!" 

Anjar tersenyum. "Anda orang yang polos, dan saya 

khawatir bila diceritakan maka akan sampai pada orang 

ketiga itu." 

"Saya berjanji unluk tutup mulut sahut.” Christine sambil 

mengangkat dua jarinya. 

Anjar menghela nafas sesaat. "Ya, Saraswati memang 

mantan kekasih saya..." sahutnya berat. "'Saya tahu per-

selingkuhannya dengan Hendri sebelum dia mengeluarkan 

pernyataan bahwa hubungan kami bubar." 

"Jadi... jadi, dengan kata lain, bila apa yang diceritakan 

teman Anda itu benar maka Putri Dayang Sari akan meng-

gunakan Mas Hendri untuk membunuh Mbak Saras?" 

tanya Christine kaget. 

"Kalau Anda mempercayainya, maka berhati-hatilah. 

Dalam keadaan telah dimasuki roh Putri Dayang Sari maka 

ia akan membunuh siapa saja yang menghalangi niatnya." 

Christine diam sejenak, sebelum memandangi wajah 

pria itu dalam-dalam "Apakah Anda pun merasa yakin 

dengan kebenaran cerita itu?" tanyanya ragu. 

Anjar tersenyum. "Yakin? Tentu saja. Kenapa tidak? 

Kami telah melihatnya sendiri." 

"Ka... kalian, maksud Anda bersama teman Anda itu?" 

Anjar mengangguk. 

"Mengapa kalian tidak menceritakan hal ini ketika di 

pertemuan pertama kita?"


"Kami merasa orang Timur, dan tidak layak men-

ceritakan sesuatu kepada seseorang yang punya hubungan 

baik dengan orang yang hendak diceritakan." jelas Anjar. 

"Lagipula pada saat itu kami belum merasa yakin apakah 

Anda percaya atau tidak dengan cerita itu. Salah-salah 

nantinya kami akan dituduh memfitnah." 

Christine kembali terdiam, masih sulit mempercayai 

cerita itu, meski di sisi yang lain ia bisa membenarkannya. 

"Anda katakan kalian pernah melihatnya sendiri, di 

mana?" 

"Ingatkah Anda ketika kita bertemu di rumah sakit?" Dan 

ketika dilihatnya gadis itu mengangguk. Anjar melanjutkan 

“Di situ kami betul-betul melihat sepupumu itu hendak 

membunuh Saraswati. Aku tidak bisa membiarkannya, se-

hingga kami coba menghalangi." 

Christine bergidik ngeri. "Lalu?" 

"Saraswati keburu sadar, lalu lampu kunyalakan, dan se-

telah itu Saraswati mengusir kami keluar, dan akhirnya ber-

temu dengan Anda." 

"Jadi waktu itu alasannya bohong?" 

Anjar tersenyum mengangguk. 

"Ya, aku bisa mengerti." Christine ikut mengangguk. "Kini 

persoalannya semakin terang, meski tetap saja bingung 

apa yang mesti dilakukan untuk mencegah Hendri mem-

bunuh Saraswati." 

"Kami akan berusaha terus mengawasinya." 

"Mengawasi siapa?" 

"Saraswati." 

Christine kembali memandang wajah pria itu lekat-lekat. 

"Apakah Anda masih mencintainya?" tanyanya tiba-tiba, 

karena pikiran itupun datangnya tiba-tiba. 

Anjar tersenyum, dan tidak langsung menjawab. Ia 

menyeruput air mineral, lalu diam seperti berpikir sebelum 

balas memandang gadis itu. "Sedikit sekali yang kuketahui 

tentang cinta. Kalau kukatakan masih cinta, mungkin ber-

tentangan dengan akalku yang selalu mengingatkanku 

bahwa hubungan kami sudah putus, dan tidak perlu


cengeng mengharapkan dicintai atau ngotot mencintai, 

sebab itu tiada guna dan hanya melemahkan perasaan." 

"Lalu mengapa kelihatannya Anda menaruh perhatian 

besar terhadap keselamatan Saraswati?" 

"Itulah susahnya. Aku masih saja merasa kalau kami 

teman dekat, dan sebagai teman dekat aku seperti punya 

kewajiban untuk membantunya." 

"Anda tidak jujur dengan perasaan Anda." tuduh 

Christine sambil tersenyum. 

"Tidak jujur, ya?" ulang Anjar tersenyum geli. 

"Seandainya benar, maka ketidakjujuranku itu tidak 

akan membawa kemujuran buatku, dan seandainya aku di-

anggap bicara jujur maka dunia mentertawakanku. Hm, 

pilihan sulit. bukan?" 

Christine tidak tahu harus menjawab apa, hanya saja ia 

bisa merasakan kalau Anjar sedang nenghadapi dilema. 

Mungkin perasaan kecewa akibat penyelewengan kekasih-

nya masih belum sirna dalam hatinya, dan menurutnya itu 

wajar saja, karena toh pria itu bukan robot. Ia manusia 

normal yang memiliki hati nurani, perasaan, dan memori 

akal. Sehingga bila melintas wajah gadis itu dalam 

benaknya, memori segera bekerja mengenang kisah-kisah 

mereka, tapi berakhir dengan "sad ending" karena 

menyadari cerita telah berlalu. 

*** 

Anjar membuatnya bergidik saat berdekatan dengan 

Hendri. Baginya sepupunya itu seperti bom waktu yang bisa 

meledak sewaktu-waktu. Atau jangan-jangan ia bisa 

melenceng dari target, sehingga orang lain yang menjadi 

korban. 

"Kamu kenapa?" tanya Hendri ketika malam ini mereka 

sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit di mana 

Saraswati dirawat. 

"Nggak kenapa-kenapa?" 

“Kok dari tadi diam saja?"


Gadis itu tersenyum. 

"Ada yang dipikirkan?" 

"Setiap manusia yang masih bernyawa tentu saja ada 

yang dipikirkan.” 

“Maksudku ada yang serius sehingga menyita begitu 

banyak perhatian.” 

Christine kembaii tersenyum. 

"Ada apa? Ceritakanlah. Atau ada sesuatu yang 

dirahasiakan?" 

"Nggaaak. Aku cuma memikirkan nasib Mbak Saras. Apa 

Mas kira-kira punya penyelesaian tentang masalah yang 

dihadapinya?" 

"Sementara ini aku cuma bisa menjaganya dari segala 

kemungkinan yang terburuk." 

"Menjaga?" gumam Christine dalam hati. Mana 

mungkin, sebab justru dia yang perlu dijaga untuk tidak 

melakukan hal yang tidak diinginkan. Tapi...ah, bagaimana 

caranya untuk memberi peringatan pada sepupunya ini? 

Sejauh ini ia belum punya cara yang tepat untuk 

mengungkapkannya. 

"Eh, tahun ini Mas sudah ambil cuti belum?" 

"Belum, dan rasanya tidak sempat." 

"Mas sudah bekerja kelewat ekstra, dan ada baiknya 

mengambil cuti. Aku punya brosur tentang wisata ke 

Selandia Baru. Kayaknya suasana di sana menyenangkan 

deh." 

"Hendri tersenyum. Kamu ini ada-ada saja. Memangnya 

ke sana cukup naik becak atau bis kota. Lagipula ngapain 

kita menghambur-hamburkanu ang ke negeri orang 

sementara di negeri sendiri pun masih banyak obyek wsata 

yang tidak kalah indahnya." 

"Ya, boleh saja. Mas kan belum pernah ke Danau Toba. 

Bagaimana kalau kita pergi ke sana?" 

"Menarik juga, tapi aku tidak sempat. Dan sampai detik 

ini belum terpikirkan untuk minta cuti," sahut Hendri 

menegaskan, dan sekaligus mengecewakan lawan 

bicaranya.


Christine kembali terdiam. Entah apa yang mesti 

ditawarkannya untuk menjauhkan Hendri dari Saraswati? 

"Mas..." 

"Hm. Ada apa?" 

"Mas mencintai Mbak Saras?" 

"Mengapa hal itu kau tanya kan lagi?" 

"Sekedar ingin tahu saja." 

Hendri tidak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya. 

Mestikah pertanyaan seperti itu dijawabnya? Apakah itu 

bukan pertanyaan yang kanak-kanakan? Melihat 

perhatiannya yang begitu besar terhadap Saraswati 

mestinya Christine bisa menduga apakah ia mencintai 

Saiaswati atau tidak. 

“Anggap saja benar." akhirnya Christine sendiri yang 

menjawab pertanyaannya. "Ini seandainya, ya!' lanjutnya 

menekankan, takut sepupunya itu tersinggung. 

"Seandainya Mbak Saras itu sudah punya kekasih sebelum 

berhubungan dengan Mas, bagaimana?" 

"Kenapa kamu berpikir begiitu?" 

“Hanya ingin tahu reaksi Mas saja," sahut gadis itu 

enteng. "Jaman sekarang ini sulit lho mencari gadis yang 

baik, eh maksudku gadis yang betul-betul setia dan jujur." 

'"Setahuku Saraswati tidak pernah menyinggung soal itu, 

dan gelagatnya pun menunjukkan kalau dia belum punya 

kekasih." 

"Mas jangan salah, lho! Wanita bisa menyembunyikan 

rahasianya dengan rapih.” 

"Kenapa? Kamu menduga dia sudah punya kekasih?" 

"Aku tidak menduga begitu, hanya mencari hubungan 

antara rahasia pribadi Mbak Saras dengan ancaman yang 

sedang dihadapinya. Eh, Mas sudah mencari informasi 

tentang korban-korban yang lain belum?" 

"Sudah." sahut Hendri lesu. 

“Bagaimana hasilnya?" kejar Christine antusias. 

"Dugaanmu memang benar." 

"Jadi memang ada hubungannya dengan cinta segitiga?" 

Hendri mengangguk.


"Semuanya?" 

"Semuanya.” sahut pria itu menegaskan. 

"Nah, apa Mas tidak mencari tahu tentang rahasia 

pribadi Mbak Saras? Kalau memang teori itu benar, dan 

kini Mbak Saras mendapat ancaman, mestinya ada cinta 

segitiga diantara kalian. Dan yang menjadi korban adalah 

dia yang diperebutkan sedangkan yang menjadi ancaman 

adalah pihak yang terakhir menjalin hubungan." 

"Menurutmu siapa orang itu?" 

Christine angkat bahu. Ia sengaja tidak mau berterus-

terang. Selain janji dengan Anjar, juga menjaga perasaan 

sepupunya ini. 

Sebenarnya Christine takut juga bila apa yang dikatakan 

Anjar itu benar terjadi saat mereka berada di kamar 

Saraswati. Bagaimana bila tiba-tiba roh Putri Dayang Sari 

datang dan menyusup ke dalam tubuh Hendri, maka dia 

akan langsung membunuh Saraswati tanpa siapa pun bisa 

menghalangi. Kalau Christine coba-coba menolong, bukan 

tidak mungkin ia juga akan ikut menjadi korban benkutnya. 

Tapi untunglah hal itu tidak terjadi sampai mereka 

pulang dari rumah sakit itu bertiga. Sebenarnya sore tadi 

pun Saraswati sudah diperbolehkan pulang, hanya saja 

Hendri memintanya untuk menunggu sampai malam, 

karena begitu tugasnya di kantor selesai, ia akan 

menjemput gadis itu. Dan Saraswati hanya menurut saja. 

"Mbak sungguh-sungguh sudah merasa lebih baik?" 

tanya Christine yang duduk di jok belakang mobil kijang 

yang dikemudikan Hendri. 

Saraswati melirik sekilas, kemudian mengangguk. 

"Gimana? Nggak ada rencana untuk istirahat dulu, atau 

mau langsung bekerja?" 

"Dalam soal kerja, prestasi Saraswati hanya bisa 

ditandingi oleh orang-orang Jepang. Dia itu gila kerja." kata 

Hendri memberi komentar. “Baginya tiada waktu yang 

terbuang selain diisi dengan kerja." 

"Itu tidak benar," tangkis Saraswati. "Jangan dengarkan 

pendapat ngawur itu. Aku toh manusia biasa yang butuh


makan, tidur, istirahat serta rekreasi." 

Christine tertawa kecil. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti 

ketika mendengar suara mendesis Hendri. 

“Ada sebuah jip yang mengikuti kita sejak keluar dari 

rumah sakit." 

Kedua gadis itu reflek menoleh ke belakang, dan 

ternyata apa yang dikatakan Hendri memang benar. 

Sebuah jip dalam jarak kurang lebih seratus meter 

mengikuti mereka. Tapi benarkah jip itu mengikuti mereka? 

Jangan-jangan hanya searah saja dengan jalan yang 

mereka tempuh sebab selain mobil jip itu masih ada 

beberapa mobil serta motor yang berada di belakang 

mereka. 

"Kenapa kau yakin jip itu mengikuti kita?" 

"Aku mengenalinya sejak diparkir di rumah sakit." sahut 

Hendri tetap bersikap tenang. “Begitu kita keluar, maka jip 

itupun ikut keluar dan aku terus mengamatinya lewat kaca 

spion. Jip itu memang mengikuti kita.” sambungnya yakin. 

"Siapa kira-kira, ya?" tanya Saraswati. 

Saraswati masih terus menoleh dan mengamati jip di 

belakang mereka dengan seksama. 

“Sepertinya aku kenal...” ujarnya ragu-ragu. 

“Aku memang pernah mengenalnya. Jip itu milik 

temanmu.” tukas Hendri. 

“Temanku?" 

"Ya, yang bernama…. Anjar, kalau tidak salah," sahut 

Hendri. "Aku pernah melihatnya memakai jip itu saat 

datang ke rumah sakit menjengukmu, dan aku hapal betul 

mobil itu." 

“Brengsek!” umpat Saraswati. "Mau apa dia mengikuti 

kita? Coba hentikan mobil ini, kita tunggu dia dan biar 

kutanyakan apa maunya?" dengusnya geram. 

"Jangan sekarang. Nanti saja bila sudah berada di 

tempat yang lalu lintasnya agak sepi.” sahut Hendri 

mengingatkan 

Sebagai seorang polisi tentu saja dia merasa curiga. 

Bukan saja soal mengapa mereka dikuntit jip itu, tapi soal


keberadaan Anjar yang oleh Saraswati dikatakan 

temannya. Sesungguhnya Hendri tidak percaya begitu saja. 

Hanya dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu. 

Kalau memang Saraswati mcngataikan pria itu adalah 

temannya, Hendri tidak mau rewel untuk membantahnya. 

Baginya itu tidak perlu. 

Dua puluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat 

yang suasana lalu lintasnya sepi. Namun jip itu tidak 

terlihat di belakang mereka. Saraswati gondok bukan main. 

"Coba tolong berhenti. Kita tunggu sebentar di sini.” 

katanya. 

Hendri mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Begitu 

mobil berhenti. Saraswati langsung keluar, diikuti oleh 

Christine. Sementara Hendri tetap berada di belakang 

kemudi. 

"Memangnya siapa, Mbak?" tanya Christine pura-pura 

tidak mengerti. 

"Cuma seorang teman." 

"Kok kayaknya Mbak begitu sewot?" 

"Teman yang menjengkelkan." lanjut Saraswati. 

“Apa dia memang sering mengganggu?" 

Saraswati diam tak menjawab. 

Christine mengangguk sendiri. "Terkadang memang ada 

teman yang sangat menjengkelkan, dan saya pun pernah 

mengalaminya. Tapi biasanya mereka punya alasan. Entah 

sekedar mempermainkan, bercanda, atau punya motif 

tertentu yang alasannya cukup kuat, misalnya dia naksir 

pada kita, lalu merasa cemburu melihat kita berdua 

dengan pria lain..." Ia tidak melanjutkan ucapannya ketika 

Saraswati memandangnya dengan sorot mata tajam. 

"Menurut kamu bagaimana?" tanya Saraswati dengan 

nada datar. Pertanyaan itu sebenarnya tidak meng-

harapkan jawaban, hanya sekedar ingin mengetahui apa 

yang ada di benak Christine soal ucapannya tadi. Tapi 

agaknya Christine cukup cerdik, karena ia langsung melihat 

kalau itu suatu peluang baik untuk melanjutkan sesuatu 

yang ingin diketahuinya tentang wartawati ini.


"Melihat profil Mbak, rasanya tidak mungkin dia mau 

bercanda." 

"Jadi?" 

"Jadi, ya dia pasti punya alasan tertentu. Dan jangan 

tanya padaku alasan apa, yang jelas pasti Mbak yang lebih 

tahu." 

Saraswati tidak bereaksi. 

"Saya pernah punya sahabat, cantik dan menarik, juga 

cerdas. Dia punya seorang kekasih dengan pekerjaan, eh 

usaha yang telah mapan. Orangnya tampan, dan... menurut 

saya menarik. Suatu ketika teman saya itu bertemu pria 

lain, dan entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa tertarik 

dengan pria itu. Mungkin juga karena mereka sering ber-

sama-sama, mungkin pula ada urusan yang membuat 

mereka sering bertemu. Teman saya itu meninggalkan 

kekasihnya yang lama, yang saya tahu mencintainya 

dengan tulus. Saya tidak mengerti, mengapa teman saya 

itu meninggalkannya, sebab kalau melihat ketampanan 

maka kekasihnya tidak kalah tampan, melihat kekayaan, 

justru kekasihnya lebih kaya, melihat kepribadian ke-

kasihnya itu bukan termasuk pria buruk. Heran, bukan? 

Saya sendiri sebagai seorang wanita tidak mengerti, 

kriteria apa yang dibuat teman saya itu sehingga me-

ninggalkan kekasihnya? Apakah itu yang disebut cinta? 

Lalu kalau benar, apa gunanya cinta tanpa kesetiaan?" 

Christine tidak peduli ketika bercerita itu Saraswati me-

mandangnya kembali dengan sorot mata tajam. Dia malah 

sengaja terus bercerita untuk membangkitkan emosi 

Saraswati. 

"Siapa teman kamu itu?" tanya Saraswati curiga. 

"Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena 

temanku banyak sekali. Disa jadi Mbak tidak mengenal-

nya." 

Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba ter-

dengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa 

kalau bulu kuduk mereka merinding seketika. 

“Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita


masuk saja." ajaknya dengan nada dengan dan terus mem-

buka pintu mobil, sementara Christine akhirnya pun meng-

ikuti. 

"Kita langsung pulang saja. Hen.” katanya lagi. Tapi pria 

itu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk mencium 

kemudi. 

"Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk 

lengan pria itu. 

Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian me-

noleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika 

melihat sepasang mata pria itu memancarkan cahaya hijau 

kebiru-biruan. 

“Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget. 

Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa 

yang dikhawatirkannya kini telah terbukti. Putri Dayang Sari 

telah datang dan menyusup ke tubuh saudara sepupunya 

itu. 

"Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya 

membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu. 

Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya 

begitu saja dan meyakinkan dulu apa yang terjadi dengan 

pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya 

mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya. 

Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencang-

kencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok 

Hendri telah berdiri di hadapan mereka dalam jarak sekitar 

empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan secepat 

kilat. 

"Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria 

itu dengan suara parau, mirip dengan suara wanita. 

Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan. 

Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine. 

"Hendri, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi padamu? 

Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?" 

Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah 

kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak 

tahu harus ke mana ketika punggung mereka menempel


ke bodi mobil. 

"Siapa sebenarnya kau? Apa yang kau inginkan?" tanya 

Christine memberanikan diri. 

Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan per-

hatiannya sedikit pun. 

"Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine. 

Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian 

kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka 

beradu pandang. Ketakutannya begitu kuat menyusup ke 

dalam hati, dan semangatnya seperti terbang entah ke 

mana. 

Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan per-

hatian pada Saraswati sambil terus melangkah mendekati. 

"Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram. 

Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan 

Hendri melesat ke arah lehernya, ia merunduk menghindar. 

Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah 

dada pria itu. Cuma terdengar suara gedebug pelan namun 

tidak mampu menggoyahkan pria itu. Sebaliknya Hendri 

kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk men-

cekik leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat 

yang lega. Saraswati melompat ke kanan, bermaksud 

menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya 

yang menghantam salah satu lutut kaki bagian belakang 

gadis itu. 

Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung me-

nerkam, dan dalam keadaan begitu ia masih sempat meng-

hindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha bangun 

meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh, 

dan belum siap menghadapi serangan pria itu yang cepat 

dan ganas. 

Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri 

gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher 

korban, dan kali ini Saraswati kembali coba berkelit. Dia 

tidak mau mengambil resiko dengan menangkis karena 

dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser 

ke belakang, Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati


coba menjatuhkan diri, namun sebelah lengannya kena di-

cekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa, 

karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam 

cengkramannya. 

“Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria 

itu yang kini telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan 

entah bagaimana bisa begitu siap menghunjam leher 

Saraswati. “Aku akan menghajarmu dengan kayu ini," 

Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangan-

nya, dan perlahan mendekati pria itu. 

Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata meng-

ancam. 

"Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan meng-

hajarmu!” bentaknya seraya terus mendekat dengan hati-

hati. 

Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman 

gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher 

Saraswati yang sudah tidak berdaya. 

Dengan memompakan keberaniannya Christine lang-

sung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk 

sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu 

sampai patah. Bukan cuma itu, ia kembali menggeram 

marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram 

leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai 

tersungkur ke belakang. 

“Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi 

halangi, maka kau akan mati lebih dulu!” ancam pria itu 

dengan suaranya yang parau. 

Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak mem-

perdulikan keadaannya, juga ancaman pria itu. Kembaii dia 

meraih sepotong kayu yang lebih besar yang terdapat di 

sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar 

saudara sepupunya itu. 

“Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu 

seraya menghempaskan tubuh Saraswati dan bersiap 

menghadapi serangan Christine. 

Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu,


maka saat itu pula meluncur sebuah jip yang langsung 

berhenti di dekat mereka pada jarak tiga meter. Lampu 

mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu 

sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan 

sebelah tangan. 

"Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat meng-

hajar kepalanya. Pria itu terhuyung-huyung ke belakang 

untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun darah dari 

kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit. 

Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuh-

nya saja. 

"Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah 

seorang pengendara jip yang tak lain dari Anjar dan 

sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari mobil 

begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine, 

sementara Danang membantu Saraswati. 

Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan 

marah sekali. Sorot matanya bersinar terang, seperti 

mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban 

yang satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang 

cukup berat, tidak seperti korban-korban yang lain. Korban 

kali ini harus tertunda beberapa lama, dan selatu terhalang 

setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali 

ini agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi. 

Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja 

sebagai tumbal dari pekerjaannya yang sulit. 

"Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka 

jangan salahkan kalau kalian pun harus mati sia-sia." 

***


LIMA


Hendri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu. 

Di antara keempat orang itu yang dipandangnya 

paling lemah adalah Christine yang saat itu berada 

dekat dengan Anjar. Dia telah mengetahui kalau Danang 

mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu juga 

halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini 

agak lemah, tapi dia pasti sedikit banyak mampu 

memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali 

tidak diketahuinya, yang jelas dia menyadari kalau pemuda 

itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti temannya. 

Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara 

keempat orang itu berada dalam posisi yang saling 

berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas. 

"Anjar, awas...” teriak Danang memperingatkan ketika 

Hendri melompat menerkamnya. 

Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara 

dia siap-siap menyambut serangan lawan. Begitu kedua 

tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan 

berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan 

sambil menjatuhkan diri ke tanah, kedua kakinya me-

nendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri 

terpental ke belakang. 

Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan 

tadi. Dengan gusar ia cepat bangkit dan berbalik serta 

kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran.


Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari 

arah samping ia melayangkan tendangan ke perut lawan. 

Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya 

pada saat melayang itu kemudian langsung berbalik sambil 

mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara Danang 

yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan 

antara telapak kakinya dengan lutut lawan tadi menyilang-

kan kedua tangan menutupi wajah dan bagian dadanya. 

Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada 

saat itu Anjar tidak bergerak cepat dengan mengayunkan 

tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin sobatnya 

itu kena dicakar oleh Hendri. 

Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat 

tendangan Anjar. Sepasang matanya memandang buas ke 

arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda 

yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak 

bisa dibuat main-main. 

Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya 

dengan Anjar. Dua kali tendangannya tadi kuat sekali, dan 

kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-tulangnya akan 

patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak 

merasa kesakitan. 

“Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi." 

Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi 

serangan mahluk itu berikutnya 

"Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo, 

meski belum sampai Dan III." 

“Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah 

melompat menerkam mereka berdua. Kali ini gerakannya 

semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu 

hebat. 

Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu, 

dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk meng-

hindar, ia terus menerkam Anjar, lawan yang dianggap 

telah mempermainkannya. 

Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan 

lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempat


an sedikit pun untuk bernafas. Kedua tangan lawan ber-

kelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya, sehingga 

ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan 

untung-untungan ia coba menangkap pergelangan tangan 

lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri untuk mem-

banting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan 

tangannya langsung ditangkap oleh tangan lawan yang 

sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali tubuhnya 

terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah. 

Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu 

dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan 

pahanya justru yang dihajar lebih dulu oleh lawan saat 

Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba. 

Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum 

sempat bangun. Pemuda itu terkesiap lalu bergulingan, 

namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil me-

ringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang 

menghindari serangan lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia 

mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang panjang 

dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri 

yang gerakannya semakin cepat saja langsung melompat 

ke arahnya, padahal posisi Anjar sama sekali tidak 

menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan ter-

tatih-tatih, Danang memberanikan diri melompat dan me-

meluk Hendri dari arah belakang. 

“Hiih!” Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh 

Danang ke tanah sampai terdengar suara bergedebum se-

perti nangka jatuh, kemudian secepat kilat mengangkat se-

belah kakinya untuk menginjak dada lawan. 

"Jahanam!” Anjar menggeram marah. Tanpa mempeduli-

kan keselamatnya dia menyeruduk lawan seperti banteng 

mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran 

karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibat-

nya sungguh fatal bagi Anjar karena seketika itu juga 

makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai 

kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya. 

"Anjaaaar…!” teriak Danang dan Saraswati hampir ber


samaan ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Anjar. 

Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke 

belakang lawan. 

"Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak 

Danang pada Saraswati saat gadis itu berlari mengejar 

tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah kujang 

dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang ber-

siap hendak membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya. 

Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan 

semua kemampuan yang dimilikinya untuk melawan 

mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi 

menyelamatkan Saraswati dari incaran mahluk itu, tapi 

bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar 

mereka tidak terbunuh lebih dulu. 

Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar 

yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih dan 

dari kedua pinggangnya mengucur darah segar. 

"Anjar, kau tidak apa-apa bukan? Kau tidak apa-apa, 

kan?!" 

Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh 

tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan 

kedua pinggangnya terasa nyeri sekali. Saraswati me-

ngeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu, dan 

merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk me-

nutupi luka yang satu lagi. 

“Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi 

dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju 

pemuda itu. Selesai mengikat kedua luka di pinggang 

pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala 

Anjar di alas pahanya. 

"Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!" 

isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua 

kelopak mata. "Maafkan aku, maafkan aku, Sayang." 

lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu. 

Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan 

pandangannya agak sedikit kabur dan sukmanya seperti 

hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri men


dengar isak tangis gadis itu. 

“A--Aku minta maaf...” katanya dengan suara berat dan 

perlahan. 

"Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut 

Saraswati cepat. 

"Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. Ta-

Tapi... aku punya alasan….. karena Hendri ada dalam fo... 

foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak... 

gara-gara itu..." 

"Kau...?!”Saraswati tersentak kaget, dan itu mem-

buktikan bahwa ia belum melihat jelas siapa orang yang 

kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang 

itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri? 

Kenapa? Kenapa tidak kau beritahukan padaku?!" 

Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum. 

Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang. 

Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi 

ada dalam genggamannya terpental dekat kaki Saraswati. 

Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh 

darah. Pemuda itu meringis kesakitan dan merobek baju 

untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila. 

Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya 

mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang 

mendengar. 

"Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi 

sumpahku. Kalian mahluk-mahluk nista, tak pantas hidup 

lebih lama. Bersiaplah untuk mati." 

Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan. 

Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari 

yang kini memiliki kuku yang panjang dan runcing. Dengan 

sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua 

tanpa mengalami kesulitan. 

Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika 

melihat perubahan pada diri Danang. Sebenarnya tidak 

tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerak-

kan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di se-

keliling tubuhnya yang semakin lama semakin kencang.


Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti me-

lawan dengan sorot tmta setajam pisau. Siapa pun 

sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh 

terjadi pada Danang, hanya mereka tidak bisa menjelaskan 

selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh Putri 

Dayang Sari. 

"Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu 

tidak akan bisa berbuat banyak terhadapku." Dan Putri 

Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika tubuhnya 

melompat laksana kilat menerkam lawan. 

Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat 

tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang di-

lakukan keduanya begitu cepat sehingga mereka seperti 

gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan 

hantam. 

Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika ter-

dengar teriakan Danang, bersamaan dengan tubuhnya 

yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima 

meter. Masih sempat terlihat luka di bagian dadanya yang 

memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan lawan. 

Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil men-

jerit-jerit kesakitan. Anjar dan Saraswati yang coba men-

dekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya tanpa 

disengaja. 

"Danang, kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?" 

Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati 

khawatir. Dilihatnya Danang amat menderita sekali. 

"Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus 

kelojotan seperti cacing dibakar. 

"Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak 

Anjar pada Saraswati. 

Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi 

langkahnya dihadang Hendri. 

"Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya 

dengan sorot mata mengancam, dan perlahan mendekati 

gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti, 

bahkan perlahan mundur mendekai Anjar.


"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya 

senjata Danang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya, 

dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian 

parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada 

Putri Dayang Sari. 

“Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku 

yang mati atau kau yang bakal mampus" dengusnya 

dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan 

kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara 

yang parau dengan nada tinggi. "Oh, nenek moyangku 

Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata 

pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis ter-

kutuk ini!" 

Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan 

matanya seperti tidak berkedip memandang pemuda di 

hadapannya. 

Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti 

itu. Ia sendiri tidak yakin kalau lawan akan menggigil ke-

takutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara Bodas. 

Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk 

menyelamatkan diri, maka untuk itu ia harus berspekulasi. 

Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil 

melihat perubahan mimik lawan. Tapi hal itu hanya 

sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri 

Dayang Sari yang melecehkan. 

"Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku 

dengan senjata rongsokan itu? Ketahuilah sesungguhnya 

Wanara Bodas tidak pernah memiliki senjata apapun 

selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang 

kau menakutiku dengan benda itu.” 

Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya 

kalau kenyataannya akan begitu. Dan mana mungkin ia 

tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari kalau 

pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku 

tentang Wanara Bodas dibanding lawan. 

Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi 

untuk menyelamatkan diri


“Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari 

yang ada dalam raga Letnan Hendri. Kedua tangan dengan 

kuku kuku runcing yang tadi sempat diturunkan, kembali 

diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan 

cahaya hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu 

mendadak bertiup angin kencang di sekitar mereka. 

Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini ter-

tutup kabut tebal, disusul menggelegarnya suara petir. 

Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahan-

dahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya 

dan menerbangkannya ke segala arah bersama dengan 

debu-debu tanah serta kerikil-kerikil. 

Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar 

kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara 

Christine perlahan-lahan mendekati mereka. Sedangkan 

Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang, 

merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa 

menduga dari mana datangnya kekuatan itu. Bisa jadi 

tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk 

membunuh mereka dalam sekali tepuk. 

Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya 

kekhawatiran itupun dirasakan oleh roh Putri Dayang Sari. 

Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat 

mereka, meski belum bisa memastikan dan mana 

datangnya. 

Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit, 

dan membelah bumi diikuti oleh suara guntur yang 

menggelegar. 

"Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba 

saja berteriak keras sekali dengan tubuh mengejang 

seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi. 

"Anjar? Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa 

denganmu?" 

Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin 

tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus 

berteriak. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang 

mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan


melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang 

berada di dekatnya. 

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin 

kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak ber-

diri di tempatnya semula dengan sepasang mata me-

mandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang meng-

iris jantung. 

"Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat 

sampai di mana kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang 

Sari terus melompat menerkam lawan diiringi teriakan yang 

menggetarkan bulu roma. 

Anjar membalas dengan menghantamkan telapak 

tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin 

laksana badai topan yang langsung menghantam lawan. 

Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya ter-

pental jungkir balik ke belakang sambil mengeluarkan jerit 

kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Anjar 

melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar 

lawan. 

Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang 

mengancam. Ia mengibaskan sebelah tangan sebelum 

kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap 

hitam tebal menyelimuti tubuhnya dalam radius kira-kira 

dua meter lebih. 

"Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan 

telapak tangan kirinya ke depan. Angin badai yang 

didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu 

sampai tidak bersisa. Tapi lawan tidak terlihat. Raib seperti 

ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya sambil melirik 

ke segala arah lewat sudut matanya. 

Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar mem-

buat lingkaran di tanah berdiameter satu meter setengah 

lewat ujung kujang yang masih dalam genggamannya. 

Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat 

buah garis yang sating berpotongan. Tiap ruang dalam 

potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar sesuatu 

yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung


kujang ditancapkannya tepat di tengah-tengah lingkaran 

hingga melesak lebih dari separuh panjang senjata itu. 

“Hiih!” Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti 

dilanda gempa tak lama setelah senjata itu dibenamkan ke 

bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis yang diguratkan 

dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari 

dalam tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke 

segala penjuru. 

Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu. 

Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula 

ketika gerakan-gerakan di bawah permukaan tanah itu 

menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu 

kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit 

kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar, 

yang disusul melesatnya bayangan hitam ke arahnya. 

Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik 

cepat dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah 

tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum pelan 

dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke 

belakang. Samar-samar terlihat bayangan perempuan 

berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi 

itu. 

“Keluar!" bentak Anjar sambil lepaskan pukulan yang 

ketiga ke arah lawan. 

Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu 

tertiup angin. Sementara bayangan perempuan yang tadi 

terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke atas, lalu 

dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri 

di hadapan Anjar pada jarak sekitar tujuh meter. 

Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas. 

Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan 

mengenakan pakaian keraton jaman dahulu yang terbuat 

dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya 

sampai menyentuh tanah. 

Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan 

pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran. 

"Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki


ajian Tapak Angin," katanya pelan, namun tetap bisa di-

dengar oleh mereka yang berada di situ. “Mengapa? 

Mengapa kau lakukan ini padaku?" 

“Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku 

tidak bisa membiarkanmu berbuat sekehendak hatimu." 

sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau 

hampir saja membunuh cucuku." 

Paras wanita itu semakin heran saja mendengar 

jawaban Anjar. “Cucumu? Bagainana mungkin?" 

"Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku 

telah menikah dengan putri Begawan Sapta Waringin, dan 

punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat me-

lahirkan putra kami," jelas Anjar. 

Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian 

tersenyum lalu tertawa halus "Hi hi hi...! Malang benar 

nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan diriku, 

tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap ke-

bahagiaan." 

Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali me-

mandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan 

amarah. 

"Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja 

dengan lelaki lain. Kau pengkhianat, dan tidak sepenuh 

hati mencintaiku. Di mulut kau katakan mencintaiku, tapi 

hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan 

sampai sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan 

membela anak cucumu." dengus Putri Dayang Sari. 

"Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya 

sedang disusupi roh Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka 

dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka tidak 

punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak 

kenal denganmu. Mengapa kau lampiaskan dendammu 

kepada mereka?" 

"Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran 

pada orang-orang yang berhati buruk dan tidak mengenal 

cinta yang lulus." 

"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah yang


kau perbuat terhadapku bisa dikatakan baik?" 

"Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggir-

lah! Aku akan tetap menghabisi mereka." 

"Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus 

memberi palajaran padamu." Dan agaknya Wanara Bodas 

tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan dan meng-

hantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di 

tengah lingkaran sampai melesak ke dalam bumi. Ber-

samaan dengan itu pula terdengar guncangan hebat yang 

disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar 

tempat itu. 

Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong 

tubuh Danang. Sementara Christine yang semula hendak 

menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang 

masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru mem-

bawanya ke tempat yang aman. 

Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam. 

Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil 

mengayunkan selendang tipis. Senjatanya itu kelihatan 

remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter. Tapi 

begitu menyentuh lawan langsung membelit dan mem-

bungkus tubuh Anjar seperti mumi dan membuatnya ber-

putar laksana gasing. Yang lebih mengherankan, 

selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada 

habis-habisnya. 

"Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memper-

lakukanmu seperti ini. Tapi karena engkau menghalangi 

niatku, aku tidak punya pilihan." 

Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan 

membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti 

semula. Tapi kalau Putri Dayang Sari mengira sudah 

mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka, 

sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat. 

Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan 

tiba-tiba melesat ke atas, masih dalam keadaan berputar. 

Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang 

menggelegar seperti menghantam tubuh itu. Anjar


berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur 

berantakan. 

Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya 

tipis, tapi itu bukan senjata main-main. Senjata keramat itu 

bekerja seperti karet, semakin diikat kuat maka ia akan 

menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama 

ini tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara 

Bodas bukan saja bisa melepaskan diri, bahkan meng-

hancurkan senjatanya itu. 

Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar ber-

gerak cepat sekali seolah hendak menangkap ujung 

cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan. 

Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak. 

Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan meng-

hantamnya tanpa ampun. Untuk sedetik terdengar jeritnya 

tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan debu 

halus. 

Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi 

tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukan-

nya lama sekali tanpa mempedulikan keadaan di se-

keliling. 

Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian 

aneh lagi di tempat ini. Ia hanya mendiamkan saja sambil 

memandangi pemuda itu dengan mata tidak berkedip. 

Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang. 

Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan me-

mudar sehingga terlihat bulan yang menyembul, perlahan 

menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi acap 

terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara 

angin malam bertiup sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu 

membangkitkan keberanian Saraswati. Perlahan ia bangkit 

berdiri dan mendekati Anjar. 

"Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut. 

Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati 

sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot 

matanya normal seperti biasa. 

"Kamu tidak apa-apa?"


Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng. 

"Sungguh kamu tidak apa-apa?" 

"Aku baik-baik saja..." 

Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling 

pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga 

Saraswati karena sejak tadi hatinya terasa diaduk-aduk 

oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan me-

numpahkan kekhawatirannya sejak tadi. 

"Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisik-

nya lembut. 

"Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi 

yang perlu kau takutkan," bujuk Anjar. 

Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi 

wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau 

cucu Wanara Bodas, dan..." 

Anjar tersenyum. “Aku sendiri baru tahu setelah 

kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu 

sudah pergi, beberapa saat sebelum kau menghampiriku." 

Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah 

aman Tapi aku tetap masih merasa takut..." 

"Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita 

semua merasakan ketakutan itu. Tapi saat ini keadaan 

sudah aman.” sahut Anjar sambil melirik Hendri yang 

masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine. 

"Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri 

tidak apa-apa. Sebentar lagipun dia akan sadar." lanjutnya 

seraya melangkah mendekati Danang. 

"Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda 

itu terhenti dan menoleh padanya. Melihat itu Saraswati 

tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain menunduk-

kan kepala bingung bercampur malu. 

“Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya. 

“Aku... Aku..." 

Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu. 

"Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa. 

Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar 

dengan sendirinya..."


“Bukan itu maksudku!” tukas Saraswati. 

Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri 

untuk membalas pandangan pemuda itu. 

“Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain 

teman kau salah besar, katanya menegaskan "Bagai-

manapun aku…..aku masih...” 

Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk 

pemuda itu menempel di bibirnya. “Sudahlah. Nanti saja 

kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih penting. Aku 

harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan 

leluhurku tadi sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu 

membawanya ke rumah sakit." 

“Tapi..." 

Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri 

sobatnya yang masih meringis kesakitan. Anjar duduk ber-

sila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya 

berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang 

dengan tanah dalam genggamannya sambil mengusap-

usapnya dengan halus. 

"Bagaimana?” tanyanya setelah beberapa saat 

kemudian. "Apa ada perubahan?" 

"Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak 

terasa lagi, dan nyerinya perlahan-lahan mulai reda. 

Bagaimana dengan lukamu sendiri?" 

“Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan. 

Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah mem-

bantuku mati-matian." Anjar tersenyum dan kali ini 

mengusap-usap punggung sahabatnya itu. “Aku tidak tahu 

harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja 

kau tewas, aku akan menyesal seumur hidupku." 

"Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku, 

dan sudah sepatutnya aku menolong bila kau mengalami 

kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak 

sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang 

Anjar, sebelum menoleh pada Letnan Hendri yang sedang 

ditunggui Christine. Pria itu agaknya belum sadarkan diri. 

“Kita harus melihat keadaannya.” lanjut Danang seraya


bangkit berdiri menghampiri. 

“Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan 

enggan untuk mengikuti. Sebentar lagi juga siuman." 

"Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu.” sahut 

Danang tak mempedulikan ucapan Anjar. 

Ada beberapa faktor yang membuatnya harus meng-

hampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama 

manusia ia harus menolong mereka yang membutuhkan; 

kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara Anjar 

dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut 

ia berada di dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada 

baiknya ia membicarakan sesuatu dengan letnan polisi itu 

seputar masalah yang menimpa dirinya. 

Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah 

sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi 

juga karena Saraswati ikut menahannya. Lagipula Danang 

lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan ketimbang 

dirinya. 

“Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku...” ucap 

Saras lirih. 

"Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil 

tersenyum kecil. 

Saras menoleh padanya. “Aku minta maaf..." 

"Aku juga salah..." 

"Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita. 

Sekali lagi aku minta maaf..." 

"Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras 

membiarkan saja. "Aku sudah memaafkanmu. Bahkan aku 

sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu 

dengan Letnan Hendri...” 

“Jangan teruskan!” tukas Saras. “Aku tidak mau kau 

menganggap aku punya hubungan serius dalam soal 

asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku 

akan bicara padanya.” lanjutnya seraya melirik ke arah 

Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah siuman dan 

sedang ngobrol dengan Danang. 

Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu me


langkah ke sana. Anjar melihat Saras menarik lengan pria 

itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa 

saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti 

oleh Danang dan Christine. 

Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu 

masih pucat, dan sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam 

kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan dan 

kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya, 

tapi yang bisa diduga barangkali itu sesuatu yang 

mengecewakannya. 

Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di 

hadapan Anjar. 

“Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat 

kita semua menjadi tegang. Tapi syukurlah semua sudah 

berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega.” 

Anjar mengangguk. “Ya, aku berharap ini tidak akan ter-

ulang kembali. Tentu saja kita berharap setelah ini akan 

lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil 

keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya 

tidak bersalah.” 

Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba 

mencerna kata kata lawan bicaranya. Untuk siapakah kata-

kata itu ditujukan? Untuk dirinya atau mereka semua? 

Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti 

ia juga tidak mau berlama-lama setelah pembicaraannya 

dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan ia 

mesti bisa menerima keputusan itu. 

"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu." 

katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya 

dengan diriku " 

"Sama-sama.” sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan 

apa yang bisa kulakukan." 

"Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkan-

sungkan datang kepadaku. Aku akan berusaha menolong 

dengan sekuat kemampuanku.” 

"Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku 

butuh bantuanmu."


"Soal apa?" 

Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di 

telinganya. Belum lama aku baca di koran salah seorang 

korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya 

bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai 

tertuduh. Maukah Anda membebaskannya?" Kalimat ter-

akhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga lapat-lapat 

Saraswati bisa mendengarnya. 

Letnan polisi itu mengernyitkan dahi. 

"Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik 

lagi sehingga yang lainnya bisa mendengarkan, ia bukan 

apa-apaku, dan sama sekali belum pernah kukenal. 

Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh 

dihukum." 

Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum 

mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan.” katanya. 

"Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut 

Anjar sebelum Hendri dan Christine berbalik meninggalkan 

mereka menuju mobil. 

Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan 

mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia 

ingin tahu apa yang dibicarakan Anjar saat berbisik tadi 

pada Hendri. 

“Apakah hal itu perlu?" 

“Sekedar ingin tahu saja." 

"Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang. 

"Kau kenal dengan gadis bernama Maya?” 

"Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya 

kenapa?" 

"Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus 

pembunuhannya?" 

"Seorang pemuda bernama Boy." 

“Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan 

pemuda itu." 

"Lho, memangnya kenapa? Apakah dia masih ada 

hubungan saudara denganmu?" 

"Sama sekali tidak!"


"Lalu?" 

“Karena dia tidak bersalah?" 

"Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang 

kau sendiri tidak mengenalnya?" 

“Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu? Orang yang 

kau jepret itu adalah Hendri. Fakta itu tidak bisa 

dibohongi.” sahut Anjar. 

"Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng 

lemah sambil mendecah karena sulit baginya untuk 

mempercayai hal itu. Betapa tidak? Hendri yang 

dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang 

berbeda. Mengapa dia mesti mengarang cerita? 

"Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta 

menunjukkan kalau Boy itulah pelakunya." lanjut Saraswati 

untuk memuaskan rasa penasarannya. 

"Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari 

tidak salah. Orang yang dikhianati selamat, yang 

berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah 

pembunuhnya. Foto itu menunjukkan kalau Hendri yang 

sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha 

membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa 

langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat, 

sedangkan Boy adalah orang yang dikhinati.” jelas Anjar. 

"Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri 

berhubungan dengan Maya, tapi aku tidak 

mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia 

mengkambing hitamkan Boy?" 

“Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka 

maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang." 

ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan 

Danang. 

Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang 

yang diikuti munculnya kilat yang memandang seperti 

hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya 

suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya 

cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya 

gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa


sebuah rumah tua yang memang sudah rusak berat, dan 

membuatnya hancur berantakan! 



                                TAMAT


--------------------------------------------------


SERIAL JONI KUCAI EPISODE  JONI CARI PENGALAMAN III



TIGA


Setelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk 

memandang sekelilingnya Menunggu bus lainnya 

yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus, 

tiba-tiba sebuah sepeda motor datang menghampiri. 

Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan 

jaket. 

"Mau ke mana, Dik? Mari saya antar!" kata si lelaki 

sambil tersenyum tampangnya ramah. "Ah, nggak terima 

kasih." 

"Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih 

tujuan adik nanti saya antar." 

"Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi." 

"Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa 

Jonipun lalu membonceng motor itu. 

“Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus 

pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas 

aspal!" kata si lelaki sambil tancap gas. Sepeda motornya 

melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa peduli diri 

Joni yang ketakutan setengah mati. 

"Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagai-

mana?" teriak Joni ketakutan. 

"Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!" 

“Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas, 

siapa? Tapi kan sakit. Lagi pula kalau sampai jatuh biaya 

rumah sakit mahal, kasihan Emak saya."


"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!" 

kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si 

lelaki terdengar, di antara suara jerit ketakutan Joni. 

"Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya 

bisa pingsan nih!" teriak Joni. 

"Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal 

jangan lupa tetap pegangan agar kamu nggak jatuh!" 

"Bagaimana mungkin bisa!" 

"Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar 

lagi kita bakal sampai kok." 

"Sampai?" 

"Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya 

juga sudah kelihatan." 

"Mana?” 

"Itu..!" 

"O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni 

tak sabar lagi. Meskipun motor belum berhenti Joni sudah 

melompat dari atas boncengan mirip Rambo. Hup! Tapi 

saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesa-

gesa akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal! 

"Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki 

pengendara motor itu wajahnya berubah memucat. 

"Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah 

melompat? Untung saja kaki kamu nggak patah, kepala 

kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!" 

"Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya 

tulang saya patah!” kata Joni sambil meringis kesakitan. 

"Apa? Patah? Gawat! Kenapa urusan jadi begini? Wah, 

wah, ini sih alamat aku yang bakal kena menanggung 

ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin 

nampak pucat. 

"Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos 

ojeg motornya deh. Saya nggak minta bayaran, sungguh. 

Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi 

dulu ya..!" kata si lelaki pada Joni yang ternyata adalah 

seorang tukang ojeg motor. Karena menduga Joni 

mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia


tancap gas, kabur meninggalkan Joni yang berdiri bengong. 

"Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos 

naik motor itu? Minta ampun! Uang dari mana? Untung 

saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni tidak dapat 

membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya 

tidak mempunyai uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni 

diambil untuk ganti membayar ongkos. Bila semua itu 

sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya 

minta ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi 

sesak, matanya jadi berkunang-kunang, dan akhirnya Joni 

jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat yang 

agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan 

kena sinar matahari! 

Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang 

terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari 

pingsannya tubuh Joni berada diatas sebuah tempat tidur 

yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar yang 

cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni 

memandang, ia telah tahu kalau dirinya bukan berada 

dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah di 

mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi 

penasaran bertanya-tanya sendiri dalam hati. Atau.. 

apakah ini yang dinamakan alam akherat? Mendadak bulu 

Joni berdiri, rasa takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni ber-

teriak-teriak. 

“Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih 

kepingin hidup lama di dunia. lagipula aku belum pernah 

kena SDSB! Jadi…..tolonglah aku Tuhan! Aku belum mau 

matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga 

mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan. 

"Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar. 

Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang!” 

tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang meng-

hampiri. Ketika Joni menolehkan kepalanya memandang 

ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri setengah 

baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum 

ramah.


"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh 

benar, jadi jangan kamu banyak bergerak dulu." timbal 

yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu. 

"Di mana saya? Di mana saya? Apakah saya ini sudah 

berada di akherat?" tanya Joni, matanya masih nampak 

beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang 

seputar ruangan kamar itu. 

Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum. 

"Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami, 

bukan di akherat!" kata si ibu sambil tersenyum. 

"Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir 

jalan dalam keadaan pingsan. Lalu kami membawanya 

kemari!" timpal si bapak. 

"Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya? 

Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat 

melupakan budi kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja 

Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!" 

“Hus, kami belum mati, Nak! 

"Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak 

dan Ibu mendapat paha dari Tuhan." 

"Hus, pahala!" 

“Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!" 

“Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita 

sebagai manusia hidup wajib harus saling tolong 

menolong?" 

"Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu 

mau menolong diri saya sekali lagi?" 

“Tentu saja mau, Nak. Menolong apa? tanya si ibu. 

Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil 

ccngar-cengir. 

"Oh, kamu lapar? Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu 

ambilkan makanan!” kata si ibu yang rupanya mengerti 

dengan isyarat yang dilakukan Joni. 

Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil 

membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. 

"Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya. 

Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."


"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah 

ada di suatu tempat yang sama sekali sulit untuk 

mendapatkan makanan!" 

"Ah, yang benar Jon?" 

"Benar." 

"Di mana itu?" 

"Di Somalia." 

"Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia." 

“Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat 

Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak 

bakal kekurangan sandang dan pangan, iya kan Jon?" 

"Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah 

sekarang ini sudah banyak yang berubah jadi lapangan 

golf!" 

"Apa tidak hebat!" 

"Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli 

aja mampu kok!” 

"Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?" 

“Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?" 

"Tapi apa. Jon?" 

“Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa. 

Rejeki kan nggak boleh ditolak!" 

Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta 

jantung. Buktinya sudah dikasih sepiring malah minta 

tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan. 

Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala 

dibuatnya! 

"Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak 

sekali..." bisik si bapak dan istrinya. Tentu saja tidak 

sampai didengar Joni. 

"Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah 

kita bisa gawat. Persediaan beras kita bisa cepat habis!" 

timpal istrinya. 

"Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal 

di rumah kita, percaya deh, rumah kita bakal kejual!" 

Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih 

memandang ke kiri-ke kanan. Sepertinya Joni sedang mencari sesuatu. 

"Cari apa. Jon?' tanya si ibu. 

"Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai 

makan saya harus cuci mulut dengan buah." 

"Buah? Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah 

kaleng!” 

"Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?" 

"Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?" 

"Bukan mau-mau lagi!" 

"Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu 

buahnya habis, yang ada tinggal kalengnya. Mau?" 

"Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata 

Joni. Wajahnya kelihatan kecewa, tapi yang namanya Joni 

kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian 

wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi. 

"Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak 

suami perempuan setengah baya itu. 

"Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau 

nama yang dibuat-buat. Asli dari pemberian orang tua saya. 

Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!" 

"Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan 

sesuatu terhadap dirimu, bolehkan?" 

"Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan 

saya bisa menjawabnya. Mau Soal Ekonomi, Politik, Sastra, 

sampai soal buntut yang banyak digemari dan membuat 

orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya 

nggak sanggup jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret 

kayak air ledeng yang suka macet." 

"Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau 

bapak tanyakan, sebenarnya kamu ini anak siapa?" 

"Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya." 

"Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa? 

Juga nama ibu kamu." 

"Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu 

nama Bapak dan Emak saya, tapi saya kenal betul dengan 

mereka." 

"Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu


itu?" 

Joni menggelengkan kepalanya. 

"Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu, 

apalah artinya sebuah nama." 

"Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya 

kamu ini mau ke mana dan dari mana?" 

"Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau 

ke depan dan dari belakang." jawab Joni membuat 

pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar 

jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang. 

"Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa, 

sehingga kami menemukan kamu dalam keadaan 

pingsan?" 

"Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman 

saya. Tapi dasar brengsek, tukang ojeg motor yang saya 

tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa 

kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh." 

"Ya, bapak tahu itu." 

"Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?" 

"Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?" 

"Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu. 

Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu." 

"Tempat tinggalnya?" 

“Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya 

nggak tahu di mana tempat tinggal paman saya itu. Cuma 

yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu merah, 

nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko 

China!" 

"Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari 

alamat pamanmu itu, Jon." 

"Lho, kenapa?" 

“Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos 

polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung." 

"Ah, masa. Pak?" 

“Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak 

bakal bisa menjumpai tempat tinggal pamanmu." 

"Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"


"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya 

kamu pulang saja. Atau kamu tanyakan kembali pada 

kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu. 

Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi 

mencari alamat tempat tinggal pamanmu itu." 

"Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung." 

"Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu 

tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu." 

Joni menggelengkan kepala. 

"Takut, Bu." 

"Takut? Kenapa? Apakah bapakmu galak tehadap 

dirimu?" 

"Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak 

bakal mau menjawab meskipun saya menanyakannya 

sampai mulut saya berbusa.” 

“Apakah bapakmu itu bisu?” 

"Saya kurang tahu. Dulu sih nggak." 

"Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih? Menurut dugaan 

ibu, pasti kamu bohong mengenai soal bapakmu itu. Tidak 

mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya tidak mau 

menjawab." 

"Ibu nggak percaya?" 

"Tidak." 

"Saya juga tidak percaya, Jon." 

"Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang 

Bapak saya itu bisa menjawab pertanyaan saya, saya yakin 

Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener, deh. Malah 

Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong 

besar!" 

“Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!" 

“Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati 

ditanya bisa menjawab." 

"Apa??? Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal 

dunia, Jon???!” teriak keduanya. Pasangan suami istri 

setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat 

seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat 

duduknya masing-masing saking kagetnya.


Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu 

terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak. 

"Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?" 



                              TAMAT























0 komentar:

Posting Komentar