SATU
SI PINCANG MANTILO
KELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua
kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah.
Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu
memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa
dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang
paling disayanginya dan tengah hamil itu tidak ditemukan.
Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak
satupun mengetahui dimana beradanya atau kemana
perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas
perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan
mereka juga akan melarikan diri. Kelelawar Pemancung
Roh tidak bodoh.
"Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur
melarikan diri, pasti dalam benak sebelas perempuan ini
juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung Roh
memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masing-
masing. Lalu pintu dikuncinya dari luar. Di depan pintu
yang terakhir dikuncinya Kelelawar Pemancung Roh ber-
pikir. “Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh
kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar
biasa yang menjaga kawasan Teluk. Kalau perempuan itu
memang melarikan diri, puluhan kelelawar pasti akan men-
cegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang
Malam belum meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti ber-
sembunyi di satu tempat. Dimana...?
Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang
ada kolam dan kursi besar. Duduk sendirian di kursi batu
di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat itu ingat
pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi
memberitahu padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si
nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan ke dalam Goa Air
Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti
dia harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari
bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng
masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar
Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu
membunuh Wiro baru kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto
Gendeng dulu menyusul muridnya
"Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala
bayi, membunuh anak-anakku. Jahanam itu juga
menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia
pasti masih berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus
kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau sang guru? Apakah
dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku
menyelesaikan dendam hari ini?"
Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya
sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat
tendangan Wiro namun saat itu dia tidak merasa sakit
sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian
yang dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut
kembali. Inilah kehebatan makhluk aneh penguasa Teluk
Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan ikat kepala
sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu
berkelahi dengan Wiro.
"Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang
bisa dijadikan senjata luar biasa ampuh! Cahayanya bisa
membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk
gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa.
Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro
Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini
memang miiiknya, agaknya senjata akan makan tuan. Aku
bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil menyeringai
Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di
kepalanya. Lalu kembali dia menimbang-nimbang.
“Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak
berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi
Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan
menunggu kematiannya. Biar dendengkotnya aku habisi
lebih dulu."
Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil
melangkah tinggalkan tempat itu dia memaki dirinya
sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak
kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam.
Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak
karuan begini rupa.
HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa
lama setelah Kelelawar Pemancung Roh meninggalkan
ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia
bersandar di dinding, pegangi dadanya yang sakit lalu
menyeka darah yang setengah mengering di dagunya. Dari
balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat.
Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu
segera ditelannya. Lalu dia tegak bersandar ke dinding.
Memperhatikan seputar ruangan.
"Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar
Pemancung Roh untuk masuk dan keluar ke pantai.
Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik
turunkan kursi batu begini berat...." Wiro palingkan pan-
dangannya ke arah kolam batu yang tertutup gelagar kayu.
Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa me-
nembus sampai ke dasar. Apa isi kolam ini? Mengapa di-
tutup begini rupa? Kolam tempat mandi Kelelawar Pe-
mancung Roh?"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut
matanya menangkap gerakan seseorang di sampingnya.
Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di
balik dinding. Dari sosoknya yang kecil jelas dia bukan
Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat mengejar. Dia
hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu
bagian dinding lorong batu tergantung sebuah lukisan.
Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar
dalam keadaan bugil.
Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah
menikmatinya. Namun sebenarnya saat itu dia tengah me-
masang telinga. Dia mendengar suara nafas orang. Wiro
tersenyum. Garuk-garuk kepalanya.
“Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah
hidup dan tersenyum padaku jelas tak bisa bernafas." Ucap
sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan turun-
kan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba
dari balik lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di
balik lukisan itu ada satu ruangan kosong sedikit lebih kecil
dari ukuran sebuah lemari.
"Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro.
Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincang-
pincang malah mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut
pucat ketika entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu Wiro
sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda
pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan.
Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga
pemuda ini.
“Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda
itu berteriak kesakitan sambil berusaha menarik tangan
Wiro.
“Siapa mau membunuhmu?!” Wiro masih belum lepas-
kan jewerannya.
“Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi.
Pasti kau juga mau membunuhku..."
"Aku membunuh mereka karena mereka mau mem-
bunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?"
“Ti... tidak. Aduh, ampun..."
"Pincang, siapa namamu? Apa tugasmu di tempat ini?"
Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya.
Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki.
Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak
yakin Wiro tidak bermaksud jahat padanya baru dia mau
menjawab.
“Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang
Pemimpin."
“Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau
aku bertanya jangan sekali berani berdusta! Katakan di
mana Sang Pemimpinmu berada”.
“Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini.
Sudah kabur..."
"Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana
perginya. Jangan coba berdusta. Bisa-bisa kubetot dua
telingamu, kujadikan seperti telinga kelelawar...."
"Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin
hanya bersamadi di Teluk. Atau pergi ke Bukit Jati."
"Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada
di sini. Berarti dia pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan
ke sana.”
"Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan
jalan ke Bukit Jati itu. Sang Pemimpin akan membunuhku
seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi.
Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku
jauh lebih tidak berharga baginya dibanding dengan
kelelawar bayi itu."
"Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang
belum tentu kejadiannya, atau mati di tanganku saat ini
juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak meng-
gebuk kepala Mantilo.
Si pincang ketakutan setengah mati.
"Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...."
"Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu? Kenapa makhluk
kampret itu suka pergi ke sana."
"Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek
bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono..."
Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung
lorong terdengar suara teriakan-teriakan perempuan di-
sertai suara pintu digedor.
"Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran
pintu. Siapa mereka? Apa yang terjadi?" tanya Wiro.
"Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin
membunuh anak-anak mereka lalu mengunci mereka di
dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada
dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar."
"Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu."
"Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istri-
istri lainnya tidak tahu kemana perginya...."
"Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama
Bintang Malam." pikir Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke
Goa Air Biru."
"Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang
Pemimpin itu tidak perlu ditolong lebih dulu. Saya
mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak
menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu
tidak memberitahu dimana beradanya istrinya yang satu itu
maka semua mereka akan diceburkan ke dalam kolam
Ikan Dajal."
“Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan me-
nolong orang lain. Pasti mereka perempuan-perempuan
cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum.
Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. “Tadi kau
menyebut kolam Ikan Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku
melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu hitam. Letak-
nya di depan kursi batu di ruangan sana...
"Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan
Dajal adalah kolam maut. Jika seseorang diceburkan ke
sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap
habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja
orang itu hanya akan tinggal tulang belulang. Sebelumnya
ada seorang nenek aneh hendak diceburkan Sang Pe-
mimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda.
Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap
entah ke mana."
Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo.
"Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke
dalam kolam Ikan Sundal?"
"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..."
"Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu
diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin
nenek itu tidak dicemplungkan ke dalam kolam?"
"Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang
suguhan yang diceburkan ke dalam kolam, saya yang
selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang
teman. Namanya Habili. Saya tidak tahu dia berada di
mana sekarang.”
Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang ber-
nama Mantilo itu mungkin benar. Tapi mungkin pula
Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si
nenek ke dalam kolam maut lalu menyurun Habili mem-
bersihkan kolam.
Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro.
Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan
Bintang Malam, Kelelawar Pemancung Roh memiliki nyawa
pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang tidak
pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk
yang seumur hidup selalu berada dalam air dan tidak
punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah.
"Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam
itu!" Wiro kepalkan tinju. "Mantilo. Sebelum kita menolong
sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu memusnah-
kan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba
lari!"
***
DUA
MIMPI DUA GADIS CANTIK
SEJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur
Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman
Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama
Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya
sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh
Pelangi Indah. Ketua Kelompok Bumi Hitam.
Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan
tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar
tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci
pakaian sambil bercengkerama. Ketika rombongan teman-
temannya pergi Rembulan sengaja mencari tempat duduk
yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar
wajahnya terlipat di atas pangkuan.
Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung
di tepi pancuran itu ketika tiba-tiba dia nendengar ada
langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah
tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan
cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang
bukan siapa-siapa melainkan Pelangi Indah, sahabat dan
Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak mengena-
kan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan di-
kenakannya.
"Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk
menyendiri, termenung di tempat ini. Sudah lama kau ber-
kelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang ada di
dalam pikiran dan hatimu?"
Rembulan tersipu.
“Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada
yang hendak kau jelaskan padaku.”
Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat
pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya.
"Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan.
"Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, ter-
menung seperti memikirkan sesuatu?"
"Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung
diri. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah.
"Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak
panas. Tempat ini, agaknya satu-satunya tempat yang
paling tepat untuk duduk menyejukkan diri."
“Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?"
Ujar Pelangi Indah.
"Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi
Hitam berada di tempat ini, lantas siapa yang menjaga
tempat kediaman kita?"
Pelangi Indah tertawa.
"Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi
harap mau berterus-terang padaku. Jika ada kegelisahan
atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa me-
nolong."
Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita
Pelangi indah.
"Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu
besar terhadapku. Sebenarnya ini hanya satu hal kecil saja.
Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau mencerita-
kan pada Ketua."
"Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada
dalam kitab pegangan kita. Antara Hitam Dan Putih. Di situ
ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah kecil.
Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil,
bahkan melupakannya. Manusia lupa bahwa mereka ter-
antuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil, bukan batu
besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku
Ketuamu?"
Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam
sejenak dia berkata.
"Tadi malam..."
"Tadi malam kenapa? Ada apa?" tanya Pelangi Indah
ketika dilihatnya Rembulan ragu-ragu meneruskan ucapan.
"Aku bermimpi."
"Aahh.... Apa mimpimu? Suatu yang bagus? Suatu yang
indah?"
"Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng
yang beberapa waktu lalu berada di sini?"
Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya
yang halus dan bagus memotes selembar daun pepohonan
di dekatnya, lalu kembali duduk di samping Rembulan.
"Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan
orang yang telah menolong kita begitu besar. Jadi kau
bermimpi tentang dirinya?"
"Benar Ketua."
"Bagaimana mimpimu itu?"
"Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di
tangan kanannya dia memegang ikat kepala kain sutera
hitam berbatu yang menurut Ketua telah diberikan pada-
nya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang ber-
ubah kelam. Lalu ada satu makhluk besar bercahaya
seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, me-
nembus kegelapan dan menyambar pemuda itu. Wiro per-
gunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi diri
dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu
menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat
kepala kain sutera lalu terbang dan lenyap di langit gelap.
Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh
terguling ke dalam sebuah jurang. Suara jeritannya yang
keras dan panjang terasa seolah masih bergaung di
telinga....”
Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah me-
mandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua
seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya
tuturkan?" Bertanya Rembulan.
"Aneh..." Ucap Pelangi Indah.
“Mimpiku aneh menurut Ketua?"
"Mimpimu dan mimpiku."
"Rupanya Ketua juga bermimpi?"
Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama
dengan mimpimu."
Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan.
"Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku
bermimpi dua malam yang lalu dan kau baru tadi malam."
Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rem-
bulan dan dalam hatinya Ketua Kelompok Bumi Hitam ini
berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa yang
membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri.
Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau ber-
keadaan seperti ini."
"Ketua...."
“Hemmm?"
“Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam
bahaya?'"
"Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi mem-
beritahu bahwa ikat kepala kain sutra yang ditempeli batu
Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari
tangan Wiro."
"Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu
musuh mengalahkan lalu merampas ikat kepala kain
sutera hitam?" Ujar Rembulan pula.
“Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada
yang lebih tinggi. Ujar-ujar mengatakan Di atas lagit masih
ada langit. Ini membuat seseorang berilmu tinggi tidak
boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu,
bersikap rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan."
"Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu.
Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan
pula.
Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu
berada satu langkah di depan kebenaran. Harap camkan
itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu memperlakukan
kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?"
Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu
ingat ucapan dan nasihat Ketua."
Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah
mendekati pancuran, membasahi dua tangannya lalu
mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang
cantik itu tampak segar dan lebih cantik. Kemudian Pelangi
Indah balikkan badan ke arah Rembulan.
"Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu
bahwa dia dan gurunya akan menuju Teluk Akhirat.
Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan
musuh yang dihadapinya pasti bukan lain Kelelawar
Pemancung Roh."
Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang
ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka
dia cepat berkata.
"Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212.
Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya
rasanya semua budi besarnya itu tidak akan terbalas.
Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku
akan ke Teluk Akhirat untuk melihat keadaannya. Jika
memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha
menolong."
Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata.
"Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari
menjadi lamunannya. Kini dia hendak bertindak men-
dahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan men-
jadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus
terang padanya agar tidak kedahuluan?"
“Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi
orang. Wiro telah berjasa besar bagi Kelompok Bumi
Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang
paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak me-
nyerahkan Kalung Srigala Perak itu seumur hidup aku akan
tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS
sebelumnya berjudul "Srigala Perak")
"Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju
Teluk Akhirat? Kalau begitu aku mohon restumu."
"Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat
wajah Rembulan berubah karena putus harapan. “Aku
sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat."
"Ketua bisa mewakilkan padaku."
"Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam
ada padaku. Jadi aku harus turun tangan sendiri. Selama
aku pergi kau menjadi wakilku di sini."
Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya
terdengar perlahan ketika berucap. “Aku menurut apa kata
Ketua.”
Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu ber-
kata. “Rembulan, perasaan kita bisa saja sama. Namun
sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku Ketua.
Kuharap kau bisa mengerti..."
Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata
bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar per-
cakapan Pelangi Indah, perlahan-lahan menggeser kakinya.
Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului
Ketua. Jika kemudian hari Ketua menghukumku karena
telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak
bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asal-
kan dapat bertemu dengan dia, apa lagi bisa menolongnya.
Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari
lebih cepat dari jalan biasa."
Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan
tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu
berkelebat pergi.
***
TIGA
MUSNAHNYA IKAN DAJAL
PENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang
Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan
kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia
tidak melihat benda apapun di dalam kolam walau airnya
jernih bening.
"Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku
tidak melihat apa-apa.” Kata murid Sinto Gendeng sambil
menatap Mantilo.
“Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa
menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya,
ikan maut itu ada di dalam kolam batu ini."
"Perlu aku buktikan dulu,” kata Wiro. Dia melangkah
mendekati kolam. Ketika dilihatnya Mantilo berjalan ke
arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau berbuat
apa?”
"Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu
penutup kolam.” jawab Mantilo.
"Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani me-
nipu!”
Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu
jarinya dia menekan kuat-kuat sebuah tombol di lengan
kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu penutup
kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari
atas kursi batu. “Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam.
Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat
sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pe-
mimpin menutup bagian atas kolam."
Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah
maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam.
"Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pe-
mancung Roh ada pada satu makhluk yang tidak pernah
menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah
tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan
Ikan Dajal ini. Kelelawar Pemancung Roh pasti amblas ke-
kuatannya."
Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak ter-
duga dan dalam kecepatan luar biasa, satu makhluk putih
besar sekali melisat keluar kolam.
“Wuttt"
Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana
golok besar menebas, membeset di atas kepalanya.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan
melompat ke belakang. Dia sampai terjengkang di lantai
batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung ada
bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepala-
nya kena disambar dan dibabat putus! Dinginlah tengkuk
sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak berdarah.
Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha men-
jauhkan Wiro dari tepi kolam.
“Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro
garuk-garuk kepala lalu bangkit berdiri. Mantilo kembali
memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi pemuda
pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro
mengangkat tangannya ke atas dan perlahan-lahan se-
batas siku ke bawah tangan itu berubah menjadi seperti
perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu men-
dadak terasa panas sekali.
Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam
kolam.
"Wusss!"
Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana di-
terangi kilatan petir. Udara panas luar biasa membuat
Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu
“Byaaarrr!"
Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas.
Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit
lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah di-
guyur air panas.
Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang
menggergaji tidak berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Ber-
ganti dengan suara seperti belasan kerbau melenguh ber-
samaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau
daging terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro me-
lihat bagaimana dari dalam kolam perlahan-lahan meng-
apung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan
kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa
besarnya. Hampir seluruh tubuh ikan ini yang tadinya ber-
warna putih kini menggembung merah terkelupas dan
mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal me-
rupakan rongga kosong hangus. Mulut ikan ini terbuka
lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring besar se-
tajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam me-
ngucur tiada henti dari mulut makhluk ini.
"Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang ber-
nama Ikan Dajal. Mudah mudahan Eyang Sinto belum
menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah
dilahapnya, kualat aku seumur-umur."
Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo
berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di
tempat itu.
"Sialan!" maki Wiro.
Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu
mau menuju kemana. Sementara itu di kejauhan kembali
terdengar suara teriakan-teriakan serta gedoran pintu.
Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih
terus berusaha keluar dari dalam kamar yang dikunci.
Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikir-
pikir apakah akan menolong perempuan itu lebih dulu baru
mencari jalan ke Goa Air Biru.
“Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar
paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan
aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin
keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali
ke lorong yang ada lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh
dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya terang di depan-
nya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di
antara semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di
satu tempat. jauh dari pantai.
Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru.
Dimana letaknya?"
Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro men-
dengar suara menguik riuh di atas kepalanya. Murid Sinto
Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh kelelawar
beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal
ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar
Pemancung Roh itu pasti akan menyerbunya dengan
ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama
kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang.
"Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku
sambil menguik. Apa artinya ini?" pikir murid Sinto
Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu ber-
putar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah
terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi
tetap tak bergerak di tempatnya.
Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro.
berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali
terbang ke arah timur. Demikian sampai tiga kali. Wiro
menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud
binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat
kelelawar melakukan hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai
tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia berlari meng-
ikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur.
Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai ber-
kurang, berganti dengan pohon-pohon lain. Di satu tempat
kelelawar yang terbang di udara kembali membuat gerakan
berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit
kecil membentang dari barat ke arah timur. Bukit ini
tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari besar serta
bentuknya telah berumur puluhan tahun.
"Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke
bukit ini. Sekarang di mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu
bagaimana aku harus berterima kasih pada binatang-
binatang itu?"
Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahan-
lahan turun merendah melewati sebuah pohon kelapa yang
putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi satu kelelawar
itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu
keluar lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak
belukar, sesaat setelah itu keluar kembali.
Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha mem-
beritahu bahwa Wiro harus masuk ke balik semak belukar
itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua puluh
kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya
Wiro segera mendatangi, menguak semak belukar dan
terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru.
"Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap
Wiro sambil memandang ke udara. Dia hanya bisa
melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap ber-
sahabat denganku, tidak akan aku membunuh kawan-
kawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi.
Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang
lalu melesat lenyap ke arah utara.
***
EMPAT
WULANDAYU
SATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air
Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang
berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki
Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam
cegukan batu, sepasang mata terpejam.
“Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu.
sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah
membawa Sinto Gendeng ke tempat ini. Mungkin anak-
anak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto
Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindah-
kannya ke tempat lain.” Kelelawar Pemancung Roh menge-
lilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam cegukan batu.
“Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau
juga tidak sedang tidur. Buka dua matamu dan jawab per-
tanyaanku!” Suara keras Kelelawar Pemancung Roh meng-
gaung dalam cegukan batu.
Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan
dalam kerangkeng besi membuka dua matanya. Dua bola
mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar
Pemancung Roh.
“Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya.
Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana
agaknya murid murtad ini mendapatkannya?” Ki Sepuh
berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan.
“Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir
kali kau datang ke sini. Hari ini kau muncul. Katakan apa
penyebabnya."
"Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan!
Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah
Kelelawar Pemancung Roh penguasa Teluk Akhirat! Bukan
Damar Soka!"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut
pada namamu sendiri. Kau takut pada baying-bayangmu
sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu selalu
mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa
melupakan masa silam. Apa lagi dengan selangit dosa
seperti dirimu.”
"Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang
mulut, saat ini juga akan kutarik ke dua kakimu sampai
lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam
kerangkeng besi celaka itu!”
Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan.
"Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan
kediamanku. Pertama seorang nenek bernama Sinto
Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala
bayi membawa nenek itu ke dalam goa ini..."
"Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?"
tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau
cari?'
"Istriku. Bintang Malam."
"Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di
sini?"
Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang
aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya ber-
gumam beberapa kali.
"Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang
itu pernah berada di tempat ini. Lekas kau beri tahu ke
mana keduanya dipindahkan? Siapa yang memindahkan?"
“Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat
ini."
"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung
Roh menggelegar. Dia melangkah ke hadapan Ki Sepuh,
memegang rantai besi yang menjulai dari langit-langit batu
ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali
kutendang tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu
akan putus. Apa itu yang kau inginkan?"
"Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu.
Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah
tidur. Kematian akan membuatku tidur nyenyak. Ha... ha...
ha…"
Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang
rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut
bergerak. Bagian berbentuk mata gergaji taiam yang
melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging
lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau
rasa sakit bukan alang kepalang tapi dengan menggigit
bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak sampai
berteriak.
Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada
rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh
Tumbal Buwono yang mengenakan jubah biru besar
gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak
lama. Memandang ke langit-langit cegukan, memperhati-
kan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki Sepuh
pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk
beberapa kali agar Kelelawar Pemancung Roh tidak men-
dengar suara hembusan nafas dua orang yang mendekam
di dalam jubah gombrongnya.
Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya
berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng
setengah mati menahan air kencingnya agar tidak ter-
pancar.
Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu.
"Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa
di tempat ini. Tapi aku tahu kau berdusta! Kalau aku bisa
membuktikan aku akan kembali untuk memutus lehermu!"
"Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku
akan mengucapkan terima kasih adamu. Damar Soka.”
Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar
Pemancung Roh melompat ke hadapan Ki Sepuh. Tangan
kanannya diulurkan.
“Srett!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah
menjadi cakar besi bergelimang darah!
"Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai
perutku, silahkan. Makin cepat kau membunuhku lebih
enak rasanya."
"Tua bangka jahanam!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar
berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk
tinggi besar ini tidak melakukan apa-apa.
Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai.
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai
batu hingga tempat itu bergetar, air telaga bergoyang ber-
gemericik. Dengan rahang menggembung penguasa Teluk
Akhirat berkata.
“Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas
terakhir kehidupanmu!"
"Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di
dalam arwah, aku pasti akan bertemu dengan Wulandayu,
ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan pesan,
pasti akan kusampaikan padanya."
Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak
keras mendengar disebutnya nama Wulandayu oleh si
kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya
sendiri lalu sambil tiada hentinya merutuk dia tinggalkan
Goa Air Biru.
Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan
suara.
"Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya
boleh keluar sekarang?"
"Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa
mati pengap aku di dalam sini." Sinto Gendeng ikut bicara.
"Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku mem
beritahu bahwa kalian boleh keluar."
Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki
panjang pendek.
“Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu
masih belum pergi jauh dari tempat ini.”
"Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang
bisa aku kancing. Tapi aku tidak menjamin bisa
mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!"
Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto
Gendeng itu. Dia berkata. “Kalau tadi aku tidak men-
ceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan tidak
berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing,
Kelelawar Pemancung Roh pasti dapat mencium bau
kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di
dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh
menceburkan dirimu dalam telaga. "
Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
“Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing
rapat-rapat!”
“Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam
bersuara.
“Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka
mulut. Apa yang kau ingin tanyakan?"
"Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh
yang bernama Wulandayu itu mati dibunuh oleh Kelelawar
Pemancung Roh sendiri."
Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama
ini selalu berusaha disembunyikan oleh murid murtad itu.
Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang
mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal
dunia. Tewas secara aneh. Mungkin dibunuh oleh
Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan
mungkin akan segera menemui ajal pula. Orang itu adalah
diriku sendiri!"
“Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri."
Ujar Bintang Malam pula.
"Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di
minta Ki Sepuh Buwono lalu bercerita. “Semasa mudanya
Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan orang-
orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi,
mengganggu anak istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu
dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya berulang kali
menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya
tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari
akhirnya dia aku usir dari pertapaan. Suatu malam dia
kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan mabuk berat
dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke
dalam dirinya, dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas
bukan seperti ibunya. Tapi seolah-olah perempuan itu
adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan
luar biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan
ibunya. Ketika ibu dan anak sadar apa yang terjadi Damar
Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka
menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat
sumpah dan kutuk itu sosok Damar Soka berubah seperti
ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan
menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan
mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu
makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu.
Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk
apa itu adanya. Setelah peristiwa itu Damar Soka
melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika
dia kembali menemuiku kelihatannya dia sudah menjadi
orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai murid.
Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta
beberapa ilmu terlarang padaku. Aku hanya nemberikan
satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah ilmu
itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku
menolak. Diriku lalu diperlakukannya seperti yang kau
saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan kesaktianku
disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini."
Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar
cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam
bungkam namun hatinya nenyumpah habis-habisan.
“Kek, bagaimana kalau...."
"Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang
Malam lalu berbisik.
"Ada orang datang...."
***
LIMA
KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING
DUGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluar-
nya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung
Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan
saja dia berusaha mengingat-ingat semua percakapan
dengan si kakek yang membuatnya marah setengah mati,
tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan
batu. Ada sesuatu yang semula tidak mencurigakan, yang
setelah berada di luar goa membuat dia berpikir dua kali.
"Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering
antara telaga dan cegukan tempat tua bangka keparat itu
duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada makhluk
apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda
sepertinya ada satu benda besar dikeluarkan dari dalam
telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu cegukan dinding."
Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak
seekor kelelawarpun kelihatan berkeliaran. Mereka tidak
menemui ajal semua. Apa yang terjadi? Di mana kelelawar
penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar
Pemancung Roh terbagi. Namun kemudian kembali
ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga.
"Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam.
Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini
kepalkan dua junya. Lalu dengan cepat dia balikkan badan,
bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru.
Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono
merasa tercekat ketika melihat kemunculan Kelelawar
Pemancung Roh untuk kedua kalinya.
“Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia
tahu..."
Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air
yang mulai mengering di lantai batu masih kentara. Dia
ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh.
“Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang
bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat
ini!"
"Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum
buta. Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini?!"
"Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia me-
langkah ke belakang si kakek dan menarik ke atas jubah
biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya
memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok
Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Dengan amarah me-
luap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek,
jambak rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua
orang ini di hadapan Ki Sepuh. Sinto Gendeng terkapar,
memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah
keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan
wajah pucat.
Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk
sudah datang. Tadi tak ada kecurigaan dalam dirinya.
Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang
yang kusembunyikan dalam jubahku? Aku tidak takut mati.
Tapi bagaimana nasib dua orang ini?"
“Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika
aku melepas nyawa, kutukku akan bersatu dengan kutuk
ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan
menemui ajal dalam seribu sengsara!"
"Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami
berdua! Hai! Aku tidak takut kau bunuh. Aku berjanji tidak
akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau membebas-
kan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari
dalam goa sekarang juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.
"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini
tidak ada harganya bagiku, apa lagi nyawa kalian berdua!
Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku
menghabisi tua bangka tak berguna ini!"
Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh
tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah.
Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu
Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi gagal.
"Dukkk!"
Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak
di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang
memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja
membuat hancur dan melesak dada si kakek, tapi juga
membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu
sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah
menyembur mengerikan. Bintang Malam terpekik tubuhnya
bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali
berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habis-
habisan.
Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki
Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut
mencelat karena tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian
bawah kerangkeng yang berbentuk mata gergaji besar dan
tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher
itu hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan.
Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang
menyembur dari leher yang tcrsisa membasahi lantai batu!
Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal
leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam.
"Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling
enak. Kalian akan kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!"
Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang
Malam menjerit tiada henti. Setengah berlari Kelelawar
Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air Biru.
Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan
suara menggembor dan hentikan langkah ketika di depan
sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian serba
putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak meng-
hadang. Di tangan kanan pemuda ini memegang sebilah
kapak bermata dua memancarkan cahaya menyilaukan.
Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancar-
kan warna seputih perak. Di luar goa saat itu udara mulai
redup karena sang surya sebentar lagi akan tenggelam.
"Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh.
"Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan
padaku ikat kepala kain sutera hitam yang melingkar di
keningmu!” Pemuda di mulut goa membentak lalu me-
langkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh.
Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata
dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak.
"Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan
tidak mau menyerahkan ikat kepala kain sutera, kau mau
berbuat apa?! Ha... ha... ha!"
"Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!"
Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan
suara mendengus.
"Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa!
Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan
kau pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk
menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadi-
kan tameng menghadapi semua seranganmu! Ha... ha...
ha... ha!"
Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan
memaki dalam hati. Dia terpaksa berhenti empat langkah
di hadapan Kelelawar Pemancung Roh.
"Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala
gurumu dan perempuan celaka ini satu sama lain!"
"Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi
merutuk. Keadaannya tidak menguntungkan. Ketika
dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah
mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu
hal luar biasa.
Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang terkapar di lantai batu secara aneh tiba-tiba bergerak ke atas.
Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu
melesat ke arah Kelelawar Pemancung Roh yang tegak
membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan
Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih
mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar
Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya
Dia menoleh. Terlambat!
"Dukkk!"
Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk
keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok
tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi
besar terpelanting ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang
Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia terhuyunq-
huyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat
ke depan. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan
tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua sinar putih
menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa
Air Biru laksana neraka.
”Wuuutt!"
"Craass!"
"Wusss!"
Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke
dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke
lantai dalam keadaan hangus mengepulkan asap. Kepala-
nya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di lantai hitam
hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga.
Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata
Srigala masih melingkar di keningnya dan kelihatan merah
membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss ketika ber-
sentuhan dengan air telaga.
***
ENAM
ORANG DI ATAS BIDUK
WIRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang
pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan
Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke
mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah
tenggelam. Udara mulai kelam. Wiro mencari tempat yang
baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya.
Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan
pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja
dimulai dengan makian.
“Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia
kematian makhluk jahanam itu? Kalau makhluk yang men-
jadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi
kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam
itu."
"Kira-kira begitu Eyang.” Jawab Pendekar 212. "Di
tempat kediamannya aku menemukan seekor ikan raksasa
bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang tidak
pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah.
Makhluk itu sudah kubinasakan."
"Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu
oleh Kelelawar Pemancung Roh." Ucap Sinto Gendeng.
"Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku?
Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas
dengan ilmu totokan bernama Totokan Tiga Lapis Jalan
Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan
celaka ini. Lekas kau pergunakan kapak saktimu..."
Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang
Malam berucap dengan wajah memperlihatkan rasa kaget
dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk ke
pantai.
“Lihat...!"
Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 paling-
kan kepala.
"Edan!" rutuk si nenek
"Gila bagaimana mungkin!” ujar Wiro.
"Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa
dibunuh!"
"Berarti..." Wiro menggaruk kepala. “Ikan Dajal itu bukan
makhluk yang meminjamkan nyawa pada Kelelawar
Pemancung Roh!"
Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang
menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar
Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyung-
huyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng
kepalanya sendiri Wiro memperhatikan.
“Astaga!” Pendekar 212 keluarkan seruan pendek.
"Apa yang ada di benakmu Anak Setan?!" tanya Sinto
Gendeng.
“Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang me-
lilit di kutungan kepala Kelelawar Pemancung Roh?"
Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum
buta."
"Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn
itu...."
"Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya? Kau
curi?"
"Tidak Nek, seseorang memberikan padaku."
"Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang
perempuan yang memberikan padamu. Cantik?"
“Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera
mengambil benda itu."
"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku
mencium ada bahaya di sekitar sini. Lihat saja apa yang
akan terjadi..."
"Tapi batu sakti itu Nek."
“Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji
kambing yang mengkilap!"
Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak
ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tapi Sinto Gendeng
kembali mempenngatkan.
"Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!"
Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju
ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepala-
nya diletakkan di atas leher. Lalu sambil menekan kepala
itu dia lanjutkan langkah.
"Dia menuju ke laut. Ada apa? Apa yang hendak di-
lakukannya''' ujar Wiro. Lalu dia ingat keterangan Mentari
Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air.
Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh
mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Se-
telah tubuhnya masuk sebatas dada di kejauhan terdengar
suara aneh berulang kali.
"Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..."
"Suara apa itu? Sinto Gendeng membuka mulut sambil
memutar bola mata. Wiro dan Bintang Malam memandang
berkeliling.
Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan
pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari
mulutnya keluar suara tawa bergelak. Suara tawa ini baru
berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar Pemancung
Roh tenggelam ke bawah air laut.
"Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh
benar-benar hidup kembaii?" Bintang Malam bertanya.
"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut
Sinto Gendeng.
“Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut.
Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar
Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari
mulutnya berulang kali dia menyemburkan air laut. Tiba-
tiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di atasnya
duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan
pakaian serba hitam. Orang di atas biduk tidak mengayuh,
malah rangkapkan dua tangan di depan dada. Tapi biduk
itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembul-
nya kepala Kelelawar Pemancung Roh. Di antara
hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar
suara riak air laut memecah dipapas biduk. Dia palingkan
kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh mem-
perhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk,
tiba-tiba salah satu tangan yang mendekap di dada ber-
gerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu sakti yang me-
lingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas.
Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, biduk telah berputar lalu melesat
ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala Kelelawar
Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari per-
mukaan laut. Semua kejadian itu disaksikan oleh Wiro.
Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran.
"Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas
biduk itu?" Sinto Gendeng bertanya.
"Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro ber-
usaha membebaskan totokan di tubuh Sinto Gendeng. Dia
bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu
tak bisa dimusnahkan.
Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan,
agaknya kau harus mencari Kalajengking Putih...."
"Kalajengking Putih? Buat apa Eyang?"
"Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang
bisa memusnahkan totokan di tubuhku."
Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh.
“Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu
dia masih bisa kudukung di atas bahu. Kini dalam keadaan
lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku harus meng-
gendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana
aku akan mencarinya?'
Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama
Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas
perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh.
Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal
Buwono. Kerangkeng besi dihancurkan dengan kapak
sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu di-
kubur di tepi pantai.
Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti
sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di
antar pulang ke desanya. Perempuan yang tengah hamil
muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto
Gendeng pergi.
“Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya.
"Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang
lain-lain. Ada apa dia ingin ikut bersamamu..."
“Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk
kepala.
"Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah
melihat orang bunting secantik dia, bukan? Jangan-jangan
kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya hingga dia
kecantel padamu? Apapun yang terjadi dengan Kelelawar
Pemancung Roh, perempuan itu sudah bisa disebut
sebagai seorang janda."
“Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata
Wiro pula.
“Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar
belum bisa menerima ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu.
Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku
tahu ini pengalaman baru bagimu. Hik... hik... hik!"
"Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa
dengan perempuan itu." kata Wiro mengulang sumpah.
Sang guru hanya ganda tertawa.
TAMAT
Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng
selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA
-------------------------------------------------
ADRIAN MAPALADKA EPISODE MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
SATU
Perawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan
perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya
agak dower. Apalagi ketika ia berkomat-kamit
merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan.
Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan
wajahnya terlihat khusuk.
Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya
pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan
seksama. Ia mengenal Mbah Sarijo dari seorang
kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat,
dan sering berhasil menolong pasien-pasiennya. Ada yang
minta naik angkat secepatnya, perjodohan, rizki yang
banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang
masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari
letnan polisi itu kali ini. Mbah Sarijo langsung menyang-
gupinya tanpa ragu sedikit pun.
Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang
katanya untuk mengadakan kontak batin antara dirinya
dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan bagi
Letnan Hendri itu bukan masalah sulit.
Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda
kalau orang tua itu akan menyudahi kekhusukannya. Entah
apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa me-
mastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar
makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi
perbuatannya, juga kalau memang ia pelaku pembunuhan
beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar makhluk
itu menghentikan aksinya.
Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh
tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari
kontak batin. Sukmanya melayang-layang meninggalkan
raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti
anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu
agar tidak mengganggunya dalam bentuk apapun selama
ia dalam keadaan demikian.
Sukmanya yang tengah melayang-layang itu mem-
bawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah
gemerlapan. Semua penjaga istana terdiri dari wanita-
wanita berpakaian keraton jaman dahulu kala.
Setelah berbasa-basi dengan salah seorang penjaga, ia
menanyakan siapa gerangan pemilik istana itu.
"Putri Dayang Sari… " sahut penjaga yang ditanya.
"Beliau telah mengetahui kedatangan juga maksudmu
ke sini. Oleh sebab itu Beliau memerintahkan agar kau
selekasnya pulang. Tidak perlu mencampuri urusan
Beliau."
“Apa maksud perkataannya itu?”
"Tidak usah banyak tanya. Pergilah sebelum Beliau
murka!" bentak penjaga berwajah cantik itu galak.
"Aku tidak akan pergi sebelum Beliau menjelaskan, ada
persoalan apa sebenarnya, dan menjaga ia keluyuran
mengganggu manusia. Sebaiknya kalianlah yang me-
nyingkir. Beri aku jalan!" sentak Mbah Sarijo tak kalah
galak.
Ia bermaksud menerjang penjaga itu dan hendak me-
nerobos masuk ke dalam, tapi tiba-tiba saja terasa angin
kencang yang bergulung-gulung datang dari dalam istana
menerjang sukma orang tua itu dengan hebatnya. Meski-
pun sukma Mbah Sarijo berusaha melawan dan melepas-
kan diri, tetap saja ia terhempas jauh sekali. Bersamaan
dengan itu lapat-lapat terdengar satu suara yang meng-
iringi kepergiannya.
"Jangan campuri urusanku, atau kau akan celaka. Ini
peringatan buatmu. Lain kali kau akan celaka."
"Aaaa...!"
Letnan Hendri terkejut ketika melihat tubuh Mbah Sarijo
terhempas ke belakang, hampir menabraknya. Nafas orang
tua itu terengah-engah dan sepasang matanya melotot
lebar. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa
sakit sekali.
"Ada apa. Mbah? Apa yang terjadi?" tanya letnan polisi
itu sambil membantu si orang tua duduk.
Mbah Sarijo tidak langsung menjawab. Ia mengatur
nafasnya yang masih terengah-engah. Kemudian perlahan-
lahan dipandanginya pria itu sambil menggeleng lemah.
"Maafkan Bapak. Nak. Bapak tidak bisa menolong
kalian. Kekuatan wanita itu dahsyat sekali." ucapnya pelan.
"Wanita? Wanita yang mana Bapak maksudkan?"
"Makhluk yang telah mengganggu gadis itu..."
"Jadi makhluk siluman itu wanita?”
Mbah Sarijo mengangguk. “Namanya Putri Dayang Sari."
lanjutnya.
"Putri Dayang Sari?" ulang Letnan Hendri seraya men-
desis. "Ada apa sebenarnya? Apa yang dia inginkan dari
Saraswati?"
Mbah Sarijo menggeleng pelan. “Bapak tidak sempat
mengetahuinya. Hanya saja sepertinya ia mempunyai
masalah pnbadi. Orang tua itu kembali terdiam sejurus
lamanya sebelum kembali bicara. “Percayalah Nak.
Makhluk ini sangat kuat, dan tidak sembarang orang yang
mampu menghadapinya. Hati-hati. Bapak tidak bisa me-
lindungi kekasihmu itu."
"Sebentar, Pak. Tadi Bapak katakan tidak sembarang
orang mampu menghadapinya kan? Itu berarti bukan tidak
ada yang mampu menghadapinya. Menurut Bapak siapa
kira-kira orang yang mampu menghadapinya?"
Mbah Sarijo menggeleng lemah “Entahlah Bapak tidak
tahu."
Jawaban itu sama sekali tidak ingin didengarnya.
Semula ia begitu antusias saat bertanya, seolah
menemukan secercah harapan untuk menerobos masuk
ke penyelesaian masalah. Tapi kini menjadi mentah
kembali. Lalu apa yang kini bisa diperbuatnya untuk
menyelamatkan Saraswati?
***
“Putri Dayang Sari?" Itu bukan pertanyaan yang
membutuhkan jawaban. Setidaknya ketika melihat wajah
gadis itu berkerut seperti inengingat-ingat sesuatu ketika
Letnan Hendri baru saja menceritakan pertemuannya
dengan Mbah Sarijo.
"Kenapa? Apakah kau pernah mendengar tentang nama
itu sebelumnya?" tanya letnan polisi itu acuh tak acuh.
"Sepertinya begitu tapi... Ah. iya!" serunya. "Aku pernah
mendengar sekilas tentang riwayat nama tu. Waktu itu
kami sedang KKN di sekitar Wilayah Tasikmalaya, sebelum
kepergianku ke Amerika. Kami mengunjungi seseorang
yang ahli soal sejarah Pasundan. Kalau tidak salah nama-
nya Pak Kartasasmita. Menurut beliau Putri Dayang Sari
adalah putri seorang raja yang sejaman dengan Kerajaan
Galuh di daerah Ciamis. Tapi kami tidak bertanya panjang
lebar soal keberadaan dan sejarah hidup Putri itu."
sambung Christine.
“Bisakah kau mengantarkanku ke tempat beliau?"
“Bisa saja. Kapan?"
"Sekarang juga boleh!" sambut Letnan Hendri antusias.
Gadis itu tersenyum. “Antusias sekali. Aku mau nanya
satu hal, yaitu seandainya yang terancam nyawanya saat
ini adalah orang lain, apakah Mas Hendri akan secemas
ini?"
"Menolong orang adalah kewajiban kita bersama, dan
disamping itu masalah ini menjadi tanggung jawabku."
sahut Hendri diplomatis.
"Begitukah? Apakah tidak ada pendorong lainnya. Misal-
nya karena Mbak Saras itu kekasih Mas?"
“Kamu ini jangan suka macam-macam."
Christine tersenyum. "Aku sempat tanya sama tante, apa
Mas sudah punya pacar belum. Beliau menunjuk pada
Mbak Saras. Gagal sudah niat orang tua kita untuk men-
jodohkan kita," lanjutnya terkikik kecil.
“Itu karena kau tidak menyukaiku," sahut Hendri asal
jadi.
“Kata siapa?”
"Lho, memang begitu, kan?”
"Itu tidak benar. Sebagai seorang abang, aku menyukai-
mu, tapi sebagai seorang pria, aku tidak menyintaimu,"
sahut Christine blak-blakan.
Hendri tidak perlu menimpali pernyataan itu, karena ia
pun mempunyai perasaan yang sama, yaitu cuma meng-
anggap Christine sebagai adiknya.
"Bagaimana? Kau bisa mengantarkanku ke tempat
orang itu?"
“Bisa saja tapi tidak sekarang atau besok. Hm, mungkin
lusa. Soalnya besok aku harus bertemu dengan se-
seorang."
"Apakah penting sekali?" desak Hendri.
"Seandainya kau sudah janji bertemu dengan Mbak
Saras, apakah kau ingin diganggu?"
"O, pacar?"
“Ah pokoknya no comment!” elak Christine. “Jangan
coba-coba menginvestigasi aku, ya."
Letnan Hendri tersenyum tipis. Ia tidak tertarik sama
sekali untuk mencampuri urusan adik sepupunya itu. Yang
ada di dalam benaknya adalah bagaimana menyelamatkan
Saras dari incaran makhluk yang hendak merenggut jiwa-
nya dan ia ingin menuntaskan persoalan itu secepatnya,
sebab lebih cepat suatu persoalan diselesaikan akan lebih
baik. Dan sayangnya Christine tidak bisa diajak kompromi,
karena bagaimanapun gadis itu bisa mengelak bahwa ia
juga punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu. Itu
masalah privacy, yang membuat Hendri jadi uring-uringan
sendiri.
Tapi apakah memang begitu sikap Christine terhadap
persoalan yang dihadapi saudara sepupunya itu? Sebenar-
nya tidak. Minatnya bahkan cukup besar untuk nimbrung
dalam masalah yang dang dihadapi Hendri hanya saja
dalam hal ini ia punya cara tersendiri, dan tak ingin caranya
itu campurtangani oleh abang sepupunya itu.
Sepulang Hendri dari rumahnya, ia menelepon salah
seorang kawan dekatnya dan berjanji untuk bertemu di
suatu tempat.
***
Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul enam
sore lewat beberapa menit. Wajahnya masih biasa saja,
sebab kesepakatan mereka adalah jam enam lewat lima
belass menit. Ia rnelirik ke kiri dan kanan, masih belum
terlihat orang yang sedang dinanti. Kemudian coba me-
longok ke dalam melalui kaca tembus pandang, dimana
dua orang pria sedang ngobrol dengan santai di antara
sekian banyak barang-barang antik yang dipajang.
Tak berapa lama sebuah sedan putih memasuki tempat
parkir di depan toko itu, dan seraut wajah cantik dengan
tubuh langsing keluar dari pintunya.
Mereka berpelukan sambil mencium pipi kanan kiri
sesaat, sebelum gadis yang baru datang itu membaca
tulisan di atas toko yang terpampang agak besar.
“DAN – ANG, toko barang-barang antik. Well, kenapa
kau mengajakku bertemu di tempat seperti ini? Apakah
sekalian akan membeli barang-barang antik?"
“Bukankah kau butuh referensi tentang kejadian heboh
belakangan ini? Nah, aku akan mengenalkanmu pada
pemilik toko ini," jelas gadis yang tadi menunggu.
"Pinky, apakah yang kau maksudkan pemilik toko ini
seorang paranormal?"
“Entahlah, tapi ia tidak suka disebut begitu. Eh, ingat
waktu dulu kita pernah KKN di daerah Tasikmalaya? Kita
mampir ke rumah seseorang. Pemiliknya bernama Karta sasmita? Nah, pemilik toko ini adalah putranya."
"Benarkah?" Bola mata Christine bersinar cerah.
“Kebetulan sekali!"
"Nah, tunggu apa lagi? Ayo, mari kuperkenalkan kau
padanya." ajak Pinky.
Sebenarnya ketika pertama kali mendengar cerrita
Hendri tentang persoalan yang sedang dihadapinya.
Christine sudah mulai mereka-reka dan menghubung-
hubungkan masalah itu dengan pengetahuan yang dimiliki-
nya. Ini masalah alam gaib dan ia menyukainya. Kebetulan
sahabat dekatnya pun memiliki kesenangan yang sama,
sehingga Pinky langsung mengajaknya bertemu di tempat
ini saat Christine mendiskusikan masalah yang sedang
dihadapi saudara sepupunya itu.
Pinky sendiri kebetulan adalah salah seorang kolektor
benda benda antik, dan sekaligus langganan setia pemilik
toko ini. Ia juga mengetahui kelebihan pemilik toko ini
tentang sejarah masa lalu dan pengetahuannya tentang
ilmu gaib. Jadi klop sudah, dan ia tidak perlu pusing
memikirkan bagaimana caranya membantu Christine.
“Kenalkan ini Anjar kawan lamaku,” kata Danang
setelah Pinky memperkenalkan sahabatnya. "Oke, Pinky,
apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu saat ini?
Pinky menjelaskan kalau sebenarnya Christine ingin
menanyakan beberapa hal yang bersangkutan dengan
persoalan alam gaib yang ada hubungannya dengan
kejadian yang belakangan ini terjadi. Sebenarnya Christine
berusaha untuk tidak berterus-terang bahwa persoalan itu
sebenarnya menyangkut tugas yang sedang diemban
abang sepupunya, karena ia sendiri beranggapan kalau itu
termasuk juga masalah yang sedang dihadapinya, tapi
Pinky keburu melanjutkan keterangannya.
"Kebetulan masalah ini sedang ditangani abang
sepupunya yang bertugas di kepolisian, jadi kalau kita bisa
membantu rasanya akan lebih baik."
Danang dan Anjai saling berpandangan. Mereka sama-
sama mengetahui satu nama polisi yang menjadi pimpinan
dalam menguak misteri pembunuhan itu.
"Siapa nama abang sepupu Anda itu?" tanya Danang.
“Hendri."
“Letnan Hendri?"'
“Betul. Apakah Anda pernah mengenalnya?" sahut
Christine balik bertanya.
Danang melirik sekilas pada Anjar sebelum menggeleng
pelan sekali. "Ah, tidak. Hanya saja namanya sering dimuat
di koran dan kebetulan aku sering mengikuti berita pem-
bunuhan yang sedang usutnya itu. Baiklah, kita kembali
pada pembicaraan sebelumnya. Masalah apa yang Anda
ingin ketahui? Kalau sekiranya bisa saya bantu, maka akan
saya bantu."
“Abang sepupu saya itu pernah mendatangi seorang
paranormal untuk menyelidiki kasus itu dari sisi yang lain,
dan hanya menemukan jejak berupa sebuah nama yaitu
Putri Dayang Sari. Kemudian saya teringat, dulu pernah
mendengar nama itu dari cerita ayah Anda waktu kami
masih KKN. Yang jadi masalah, mengapa atau barangkali
lebih tepatnya, apakah nama itu dan cerita ayah Anda
berkaitan dengan peristiwa pembunuhan itu? Kalau
memang benar, lalu apa motivasmya, dan bagaimana cara
efektif untuk menuntaskan masalah ini?"
Danang menghela nafas sejenak sebelum mengangguk.
Menurutku kisah itu memang berhubungan dengan
peristiwa pembunuhan yang sedang diusut abang sepupu
Anda, dan motifnya pun jelas, yaitu balas dendam. Atau
tepatnya dendam pribadi atas kesalahan yang telah
diperbuat Putri Dayang Sari.'' Kemudian Danang menjelas-
kan secara smgkat dan jelas kronologis permasalahan
yang diyakininya kuat sebagai alasan mengapa peristiwa
pembunuhan itu bisa terjadi.
Christine mengangguk-angguk. "Ya, walaupun rasanya
sulit diterima akal, tapi saya mempercayai kalau alam gaib
memang sulit diterima akal. Tapi selang waktu antara
jamannya dengan saat ini cukup jauh, lalu kalau memang
itu balas dendam, kenapa mesti dilakukan saat ini?
Kenapa tidak dari dulu?"
"Balas dendam itu telah dilakukanya dari dulu.
Kebetulan kami berdua telah menelitinya. Kira-kira dua
ratus tahun lalu, ada legenda tentang pembantaian
berturut-turut yang terjadi di daerah Tasikmalaya bagian
selatan, tepatnya di daerah pesisir. Lalu seratus tahun lalu,
juga ada legenda yang sama di daerah Bogor bagian Timur.
Dan cerita legenda itu menunjuk pada satu nama, yaitu
Putri Dayang Sari. Itu dua legenda yang kami dengar,
lainnya belum. Dan agaknya peristiwa itu berlangsung
setiap masa seratus tahun. Kemudian aku mulai meng-
hitung, sejak masa legenda itu terjadi di daerah Bogor
sampai sekarang maka telah memasuki masa seratus
tahun." jelas Danang.
Christine kembali mengangguk-angguk. "Apakah tidak
ada cara yang efektif untuk menghentikannya?"
Menurut legenda kejadian itu akan terus berlangsung,
dan tak pernah terhenti kecuali...”
“Kecuali apa? kejar Christine.
“Hanya keturunan Wanara Bodas yang mampu
menghentikannya,” sahut Danang. "Yang jadi nasalah, kita
tidak tahu siapa dan di mana keturunan Wanara Bodas
saat ini."
Keempatnya saling membisu, tapi berkutat dalam
pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Christine seperti
menyadari salah satu keterangan Danang yang luput dari
perhatiannya.
“Soal korbannya” katanya kemudian. “Kalau benar itu
perbuatan Putri Dayang Sari, mestinya ia tak sembarangan
memilih. Hanya mereka yang berkhianat saja kepada
kekasihnya?” lanjutnya seperti ingin menegaskan statemen
itu.
Danang mengangguk. "Betul dan sangat kebetulan
sekali karena abang sepupu Anda menangani kasus ini,
coba teliti dan amati diantara daftar nama-nama korban,
telusuri kisah asmaranya. Barangkali ini hal yang luput dari
perhatian.”
“Hendri pernah merjelaskan kalau pelaku pembunuhan
itu adalah orang-orang terdekat korban," sahut Christine.
Secara hokum, mungkin saja jasad mereka yang
melakukan, tapi sebenarnya hasrat dan dorongan untuk
membunuh itu telah menguasai seluruh jiwa raga pelaku
pembunuhan yang telah tertangkap itu."
"Jadi maksud Anda metode yang digunakan Putri
Dayang Sari adalah menggunakan orang terdekat korban
untuk melakukan pembunuhan?"
'"Tepat sekali!"
"Lantas kriteria orang terdekat mana yang perlu
dicurigai, mengingat setiap korban tidak hanya memiliki
satu orang terdekat?"
"Kita ambil contoh begini: Si A memiliki kekasih yang
setia, namanya si B, tapi karena suatu sebab akhirnya si A
nyeleweng pada si C. Dalam hal ini kemungkinan korban
yang dipilih adalah si A, maka Putri Dayang Sari akan
merasuk ke dalam jasad si C untuk membunuh si A."
Christine mengangguk-angguk mengerti. Seandainya ia
mempcrcayai keterangan Danang, maka ia mulai
mengaitkan praduga itu kepada kejadian yang menimpa
Saraswati. Gadis itu kini tengah menjadi incaran Putri
Dayang Sari, dalam hal ini ia menjadi si A, dan Hendri
menjadi si B, lalu siapakah yang menjadi si C? Apakah
Saraswati mengkhianati cinta Hendri?
***
DUA
Sepulang Christine dan Pinky. Anjar tidak langsung
pulang dari situ bahkan Danang memmtanya untuk
mengintip di tokonya. Ada sesuatu yang hendak
dibicarakannya dengan sobatnya itu, dan untuk itulah ia
minta agar Anjar datang ke sini.
"Apa yang hendak kau bicaraikan?” tanya Anjar.
"Kau masih ingin menyelamatkan Saraswati?”
"Tentu saja. Hanya aku bingung karena tidak tahu bagai-
mana caranya,” sahut Anjar lesu. “
Barangkali aku bisa sedikit membantu."
"Benarkah?" tanya Anjar seperti tak percaya dengan
pendengarannya, sebab kata itulah yang ingin didengarnya
dari mulut Danang.
Danang mengangguk "Tapi tentu saja kau harus mau
bekerja sama."
"Tentu. Tentu saja. Tapi bagaimana caranya? Bukankah
kau katakan bahwa niat Putri Dayang Sari tidak bisa di-
halangi oleh apa dan siapa pun?"
"Benar. Tapi kaupun dengar tadi perkataanku, yaitu ada
pengecualian."
"Maksudmu?"
"Keturunan Wanara Bodas mampu menghalangi
niatnya!" jelas Danang.
Anjar mengangguk, tapi wajahnya bukan gembira melainkan kelihatan lesu. "Tapi... di mana kita bisa menemu-
kan keturunannya?"
"Kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?"
Ketika dilihatnya sobatnya itu menggelengkan kepala.
Danang melanjutkan "Itu karena ceritamu via telepon. Kau
mengatakan melihat Saraswati dikelilingi cahaya yang
berputar-putar melingkarinya, dan lenyap meninggalkan
gadis itu ketika kau hadir di sana."
Anjar mengangguk. "Betul. Dan aku sendiri bingung,
padahal kulihat sepertinya Saraswati sedang diancam
sesuatu."
"Ya, dan aku yakin itu adalah Putri Dayang Sari yang
datang untuk membunuhnya. Dan tahukah kau mengapa
dia kabur begitu melihat kehadiranmu?"
"Mana aku tahu. Aku tidak melakukan apapun kecuali
berteriak mencegahnya,"
"Nah, itu dia! Putri Dayang Sari tidak takut pada siapa
pun, dan siapa pun yang berusaha mencegah niatnya akan
dibunuhnya. Mestinya dia pun membunuhmu saat itu.”
Anjar melongo. Semula ia tidak memikirkannya, tapi
setelah Danang memaparkannya, ia bisa hanyut dalam
pikiran sobatnya itu. Kenapa hal itu tidak diamatinya?
Kalau mau, tentu Putri Dayang Sari bisa menghabisi nyawa
Saraswati saat itu. Ia toh tidak punya kekuatan gaib untuk
membantu gadis itu selain berteriak. Apa Putri Dayang Sari
kaget dengan teriakannya lalu kabur?
"Ada sesuatu yang ditakutinya dari dirimu," kata Danang
akhirnya menyimpulkan.
"Takut? Katamu dia takut padaku? Yang benar saja.
Nang. Memangnya aku punya ilmu apa?"
Entahlah. Cuma ada dua factor, pertama: kau
mempunyai sesuatu yang ditakutinya, dan yang kedua: ada
kemungkinan kau keturunan Wanara Bodas."
"Ini lebih lucu. Bapakku seorang pedagang, dan kakekku
dari pihak bapak cuma petani. Ibuku cuma orang biasa,
dan begitu pula kedua orangtuanya."
"Apa kau kira Wanara Bodas itu keturunan ningrat?
Ingat, ia cuma orang biasa yang lugu lagi jujur. Lagipula ber
abad-abad telah berlalu dan keturunannyapun telah
beranak-pinak. Mungkin agak sulit menelusurinya, tapi
yang jelas hanya ada dua ktor yang membuat Putri Dayang
Sari cuma takut ada dua hal, seperti yang kukatakan tadi."
Anjar kembali termangu. Dia tidak punya ilmu gaib atau
yang semacam itu. Tidak punya senjata pusaka, bahkan
sepengetahuannya, tidak memiliki saudara yang pandai
soal ilmu-ilmu gaib. Jadi, apakah ia termasuk faktor yang
kedua, seperti yang dikatakan Danang, yaitu keturunan
Wanara Bodas?
“Begini saja. Bagaimana kalau sekali lagi kita buktikan?"
"Buktikan bagaimana?"
Danang membisikkan sesuatu ke telinga sobatnya itu.
dan terlihat Anjar langsung mengangguk setuju.
***
Ia sudah janji pada Saraswati untuk menjenguknya
malam ini, padahal masih ada tugas yang mesti
dikerjakannya. Tapi entah mengapa, sejak hubungannya
makin akrab dengan gadis itu rasanya tugas menjadi
nomor dua dibanding kepentingannya terhadap gadis itu.
Ini mengherankan, sebab selumnya ia termasuk orang yag
gila kerja. Bahkan rela mengorbankan waktu santai demi
menuntaskan pekerjaan. Apakah itu berarti cinta lebih
dominan atas segalanya dalam hidupnya? Apakah ia betul-
betul mencintai gadis itu?
Sejauh ini memang terlihat adanya lampu hijau dari
Saraswati terhadap dirinya. Kalaupun ada yang membuat-
nya belum merasa puas, karena gadis itu belum menyata-
kan persetujuannya lewat kata-kata kalau ia pun menyintai
pria itu.
Tapi Hendri berusaha untuk sabar. Ia yakin, jawaban itu
hanya tinggal menunggu waktu saja, karena ketika ditanya
apakah Saraswati sudah punya kekasih atau belum, gadis
itu tidak mau menjawabnya. Dan saat ajakan kencannya di
terima. ia coba meyakinkan dirinya kalau gadis itu masih
sendiri. Kemudian ketika melihat kehadiran Anjar di rumah
sakit menungguinya. Saraswati mengatakan kalau pria itu
cuma salah seorang kawannya. Dan hal yang membuat
Hendri tidak curiga adalah karena sikap keduanya yang
biasa-biasa saja saat bertemu, persis seperti layaknya
teman.
Mobil jipnya berhenti di tempat parkir di sudut kanan
halaman depan rumah sakit itu. Dan ketika keluar dari
pintu mobil, udara dingin langsung menyambarnya. Hendri
merapatkan jaket kulitnya, kemudian diam sejenak mem-
perhatikan keadaan sekelilingnya. Di ruang gawat darurat
dilihatnya banyak orang berkumpul dan sebuah mobil
ambulan terlihat masih dipakir dan lampu kap-nya masih
menyala. Perlahan ia melangkahkan kaki ke sana.
"Korban pembunuhan." sahut salah seorang menjelas-
kan ketika ia coba bertanya. “Mengerikan sekali! Lehernya
robek. dan dada kirinya bolong."
"Kapan terjadinya peristiwa itu?" tanya Hendri mulai
curiga.
Orang itu gelengkan kepala.
Hendri masuk ke dalam. Ia memperlihatkan kartu
identitasnya ketika seorang pcrawat melarangnya masuk.
Setelah melihat kondisi korban, ia memastikan, seperti
juga dokter jaga yang menangani korban: bahwa orang itu
sudah mati! Tak ada yang bisa dilakukan untuk
menolongnya.
Tidak ada yang mungetahui apa penyebab kematian
korban yang jelas ia terbunuh, entah oleh seseorang atau
sesuatu. Tapi Hendri mempunyai dugaan kuat kalau itu
adalah korban yang kesekian dari kasus pembunuhan yang
sedang ditanganinya.
Ketika keluar dan Unit Gawat Darurat itu ia berpapasan
dengan seorang gadis yang memandangnya dengan tajam.
Hendri sempat bergidik ngeri saat kedua pasang mata
mereka bertemu. Gadis itu bertubuh sedang dengan tinggi
sekitar 170-an centimeter dan mengenakan jeans ketat
serta sweater putih. Rambutnya panjang sepunggung dan
dikuncir sederhana. Wajahnya manis dengan sepasang
mata bulat serta hidung yang agak mancung. Bibirnya agak
lebar dan sedikit tebal dibalut gincu merah menyala.
Cuma sekitar setengah menit sebelum gadis itu berbalik
dan berjalan santai meninggalkan pria itu. Hendri merasa
ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga reflek saja ia
mengikuti langkah gadis itu dari belakang.
Gadis yang belum pernah dilihat apalagi dikenalnya itu
terus melangkah menyusuri koridor, kemudian me-
nyeberangi selokan kecil menuju ke bawah dua batang
pohon rindang yang saling berdekatan. Di bawah kedua
pohon itu terdapat dua buah tempat duduk yang terbuat
dari semen. Hendri menduga gadis itu akan berteduh di
bawahnya, namun dugaannya keliru karena gadis itu
ternyata menyelinap ke balik salah satu batang pohon
seperti sedang bersembunyi dalam permainan petak
umpet.
Kecurigaan Hendri semakin menjadi. Dihampirinya gadis
itu, namun ketika di sana tidak dilihatnya siapa pun. Gadis
itu menghilang seperti ditelan bumi.
"Mustahil!" keluhnya tak percaya. Di dekat pohon itu ada
tembok setinggi dua meter, dan kalau gadis itu melompat,
ia pasti melihat. Sedangkan bila gadis itu keluar dari
persembunyiannya, ia pun yakin bisa melihatnya karena
sejak tadi ia tidak berpaling sedikit pun dari memperhati-
kan gadis itu. “Ke mana dia?"
Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding ketika mem-
bayangkan yang bukan-bukan tentang gadis itu. Setankah?
Kuntilanak? Atau barangkali siluman wanita? Bagaimana
caranya dia bisa raib begitu saja tanpa diketahui?
Pusing memikirkan gadis itu dan tak menemukan
jawaban. Hendri berbalik dan melanjutkan niatnya semula
untuk menjenguk Saraswati. Tapi baru saja bergerak satu
langkah, pundak kanannya ditepuk seseorang dari
belakang. Tepukan itu bukan saja mengejutkan, tapi juga
menggoncangkan pikirannya." Seperti ada aliran listrik
yang mengalir ke tubuhnya dan membuatnya merinding.
Tak lama berselang ia merasa aneh sendiri karena
pikirannya melayang entah ke mana dan tubuhnya terasa
ringan saat kakinya melangkah tanpa diniatkannya.
Tatapannya kosong, meski begitu ia bisa melihat dengan
jelas apa yang berada di sekelilingnya.
"Gadis itu sedang tertidur lelap,” kata seorang perawat
yang mengenalinya ketika Hendri telah berada di ambang
pintu kamar di mana Saraswati ditempatkan.
Ia tidak mempedulikannya. Tidak mengeluar sepatah
katapun, bahkan tersenyumpun tidak. Perawat itu merasa
tidak enak hati, dan dengan bingung ia berlalu. Hendri
melirik sekilas padanya, kemudian menutup pintu
perlahan-lahan. Ia berdiri mematung sambil memperhati-
kan Saraswati yang seedang tertidur pulas. Kemudian
perlahan tangannya meraih stop kontak lampu, lalu... klik!
Lampu ruangan itu seketika padam. Tapi bersamaan
dengan itu tiba-tiba saja dua sosok tubuh membuka pintu
dan ikut masuk ke dalam. Pria itu cepat menoleh, dan kini
terlihat sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya
biru kehijau-hijauan.
"Hm, kalian rupanya,” desis Hendri dengan suara parau,
mirip suara perempuan. "Pergilah dan jangan mencampuri
urusanku."
Kedua sosok yang ikut menyelinap ke dalam kamar itu
tidak lain dari Danang dan Anjar. Danang terlihat biasa
saja, tapi Anjar agak terkejut melihat sorot mata Hendri,
juga dengan vokal suaranya yang aneh.
"Kami tidak akan pergi sebelum kau pun pergi," sahut
Danang tenang.
"Aku peringatkan sekali lagi, ini bukan urusan kalian.
Kalau tidak mau celaka, pergilah!"
"Bagaimana pun kami tidak akan pergi dan membiarkan
kau melakukan aksi kejimu. Ini harus dihentikan karena
sudah keterlaluan." sahut Danang berani.
Hendri tidak langsung menjawab. Pandangannya dialih-
kan pada Anjar, membuat pria itu bergidik ngeri. Jarak
mereka cuma sekitar dua meter. Kalau makhluk itu
macam-macam, ia sulit untuk mengelak dari ancamannya.
"Kau!" kata Hendri pada Anjar. “Apa urusanmu ikut
campur? Tidakkah kau merasa benci terhadap gadis ini
karena dia telah mengkhianatimu?"
Anjar merasa tidak tahu harus menjawab apa.
Ketakutan masih mengisi hatinya Dia terdiam sejurus
lamanya.
"Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu
jangan campuri urusanku. Pergilah dan ajak temanmu itu."
Dia tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pergi!"
tukas Danang.
"Diam kau! Ini tidak ada urusannya dcnganmu." Begitu
selesai ucapannya. Hendri melesat cepat menyerang
Danang. Kelima jari tangannya mengembang lebar dan dari
telapak tangannya itu menderu angin kuat berhawa panas.
Danang yang sejak tadi telah bersiap, ragu-ragu untuk
menangkis. Dia tidak yakin kekuatannya mampu
mengimbangi sosok makhluk gaib yang menyusup ke
tubuh Hendri. Tapi selang waktunya cuma sepersekian
detik, dan ia langsung memutuskan untuk mengelak
dengan menundukkan kepala. Telapak tangan kirinya
bertumpu di lantai dan kaki kanannya melayang ke perut
Hendri. Tapi yang terjadi kemudian diluar perkiraannya
karena telapak tangan Hendri langsung menampar kakinya
setelah itu tubuhnya melenting ke atas, dan bersamaan
dengan itu sebelah kakinya menghajar punggung Danang
membuat pria itu menjerit kesakitan dan tubuhnya
terdorong maju serta kepalanya membentur tembok.
Anjar terkejut melihat gerakan sekilas itu. Dilihatnya
Danang merintih kesakitan, sementara Hendri berdiri tegak
di dekat pintu, masih dengan orot matanya yang
berkilauan.
“Kuperingatkan sekali lagi, pergilah dan jangan campuri
urusanku." kata Hendri mengancam.
Anjar yang sedang membantu kawannya itu untuk ber-
diri menjadi geram. Meskipun ia tidak memiliki kemampu
an batin seperti Danang, tapi mendengar ancaman Hendri
yang sepertinya meremehkan mereka maka mau tidak
mau keberaniannya bangkit. Dibalasnya pandangan mata
letnan polisi itu dengan tajam.
“Jangan lawan pandangan matanya!" ingat Danang, tapi
Anjar tidak mempedulikannya.
"Siapa kau sebenarnya? Apakah benar kau Putri Dayang
Sari?"
“Bagus. Kau sudah mengetahuinya, bukan? Nah,
sekarang pergilah!"
“Tidak semudah itu kau mengusir kami." Anjar diam
sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya saat ini,
meskipun ragu-ragu akhirnya diungkapkannya juga. “Tidak-
kah kau merasa malu melakukan kejahatan di depan
keturunan Wanara Bodas?"
Cahaya dalam sepasang mata Hendri seolah sedikit
membesar ketika mendengar kata-kata Anjar tadi. Tapi
belum lagi sempat ia bicara terdengar suara Saraswati
yang baru saja bangun dan tidurnya.
"Ada apa? Mengapa ruangan menjadi gelap? Siapa
kalian ini?"
Ketiga pria itu diam membisu. Tapi Danang dan Anjar
tidak lagi melihat cahaya hijau kebiru-biruan dalam
sepasang mata Hendri, maka dengan sedikit keberanian ia
menghampiri stop kontak, sesaat kemudian lampu
ruangan menyala.
Yang pertama dilihat Saraswati adalah Danang, yang
berdiri di dekatnya. Ia agak lupa, meski merasa pernah
melihat wajah pria itu. Kemudian beralih pada Anjar dan
wajahnya seketika ditekuk.
“Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sinis.
"Aku..." Anjar melirik pada Hendri, dan pria itu masih
diam membisu. Aku dan Danang cuma ingin menjenguk-
mu.” lanjutnya.
"Terima kasih. Tapi malam pasti sudah larut dan aku
ingin istirahat." sahut Saraswati sambil membuang muka.
Anjar kembali melirik pada Hendri, dan pria itu masih
tetap belum bereaksi. Sementara perlahan Danang meng-
hampirinya, dan memberi isyarat padanya untuk keluar dari
ruangan itu. Meskipun ragu-ragu toh akhirnya ia mengikuti
langkah sahabatnya itu.
"Aku tidak ingin pulang selama siluman itu masih
berkeliaran di sini." kata Anjar bersikeras saat mereka
telah berada di luar.
Danang mengangguk. "Tapi tidak ada lagi yang bisa kita
kerjakan di sini.” Entah mengapa, justru ia yang merasa
kesal melihat sikap Saraswati terhadap sahabatnya itu.
"Apa maksudmu tidak ada lagi? Siluman itu masih
bercokol di sana, dan tiap saat nyawa Saraswati terancam
bahaya!" Suara Anjar agak keras, dan wajahnya tiba-tiba
berubah tegang.
Tapi dia telah pergi, dan yang kini kita lihat adalah
Hendri yang aslinya,” jelas Danang.
“Aku tetap tidak peduli!" tukas Anjar. Aku memang tidak
bisa menghalangimu untuk pergi tapi aku tetap akan
berada di sini mengawasi mereka." lanjutnya berkeras.
Danang menghela nafas sambil angkat bahu. “Yaah,
kalau begitu maumu apa boleh buat." katanya pasrah.
"Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mati-matian
membela gadis itu padahal sikapnya terhadapmu sungguh
menyakitkan. Gadis seperti itu tidak layak mendapatkan
cintamu, dan juga tidak layak dipertahankan."
Anjar tidak menjawab Kalau menuruti akalnya apa yang
dikatakan sobatnya itu memang benar. Tapi dalam hal ini
perasaannya tidak menyetujui. Boleh-boleh saja ia
mengatakan kalau falsafah cinta yang dianutnya adalah
keseimbangan antara akal dan perasaan, tapi seperti juga
kebanyakan orang bicara itu lebih mudah daripada
melakukannya. Karena dalam kenyataannya, ia tidak
begitu mudah melupakan Saraswati dalam ingatan dan
hatinya.
Tengah keduanya duduk sambil membisu mendadak
seorang gadis menghampiri dari arah belakang.
TIGA
Danang yang lebih dulu reflek menoleh ke belakang
sebelum Anjar mengikuti. Posisi mereka langsung
bersiap untuk menghadapi serangan, membuat
gadis yang baru muncul itu bingung tidak mengerti.
"Lho, ada apa? Aku melihat kalian berdua dari belakang
dan coba meyakinkan kaLau kalian memang orang yang
kuduga. Apakah tidak mengenaliku lagi? Aku Christine,
yang kemarin bertemu dengan kalian."
Anjar menghela nalas lega karena mengira gadis itu
adalah Putri Dayang Sari yang akan menyerang mereka
dari belakang. Sebaliknya Danang tidak langsung percaya.
Diamatinya gadis itu dengan seksama, dan setelah merasa
yakin kalau gadis itu memang Christine, barulah ia
menghela nafas lega sambil tersenyum.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
"Kami... sedang menjenguk teman." sahut Anjar. "Kau
sendiri?"
"Aku mau menjenguk Mbak Saras. Tadinya mau
bersama Mas Hendri, tapi kebetulan beliau telah lebih dulu
pergi." jelas Christine.
"Mbak Saras?" Dahi Anjar berkernyit, pura-pura tidak
mengenal nama itu meskipun ia sudah menduga siapa
yang dimaksud Christine. "Siapa dia?"
"Beliau adalah kekasih Mas Hendri, sahut Christine
polos. "Aku tidak menceritakan sepenuhnya ketika kita
bertemu. Sebenarnya Mbak Saras itu mendapat teror dari
makhluk yang menamakan dirinya Putri Dayang Sari."
"Mengapa kau yakin kalau teror itu dilakukan Putri
Dayang Sari?" Kali ini Danang yang bertanya.
"Seperti yang pernah kujelaskan. Mas Hendri pernah
menanyakan hal ilu pada seorang paranormal, dan
jawaban yang diterima cuma satu nama tadi yang telah
kusebutkan."
Danang mengangguk, pura-pura mengerti. Memangnya
ada persoalan apa sehingga gadis bernama Saras itu
sampai menjadi incaran Putri Dayang Sari?"
"Justru itu yang membuatku bingung. Kalau meng-
konfirmasikan keterangan Anda dengan situasi mereka,
mestinya ada diantara mereka yang berkhianat, dan bila
kebenaran cerita Anda itu terbukti sehingga Mbak Saras
yang menjadi incaran Putri Dayang Sari, berarti dia yang
mengkhianati cinta Mas Hendri." papar Christine.
Anjar merasa miris hatinya mendengar kesimpulan yang
diuraikan gadis itu, karena terus-terang, sebagian uraian
itu benar meski ujung kesimpulannya, sama sekali tidak
bisa dipertanggungjawabkan.
"Lantas menurutmu apakah benar Saras itu berkhianat,
dan kalau benar, apakah kau sudah menyelidikinya?" tanya
Danang terus bersandiwara untuk mengorek keterangan
dari gadis itu.
"Itu yang hendak kubicarakan dengan Mas Hendri
malam ini." sahut Christine. "Tapi aku telah berusaha
mengorek keterangan dari koleganya Mbak Saras, dan
ternyata salah seorang diantara mereka membenarkan.
Hanya saja aku tidak mendapatkan keterangan tentang
namanya, tapi yang jelas bukan Mas Hendri."
"Menurutmu sendiri bagaimana? Percayakah dengan
cerita itu?"
"Entahlah, tapi sepertinya meyakinkan sekali. Aku
menelepon media massa tempat Mbak Saras bekerja dan
pura-pura menanyakan tentang dirinya. Ketika yang
menjawab teleponku mengatakan bahwa Mbak Saras
berada di rumah sakit, iscng-iseng aku bertanya apakah
orangtua atau kekasihnya sudah diberitahu? Orang itu
mengatakan kalau mereka tidak bisa menghubungi orang
tuanya tapi kekasihnya telah diberitahu. Aku bertanya lebih
lanjut, kekasihnya yang mana? Yang di kepolisian atau
yang mana? Orang itu cuma tertawa dan mengatakan
kalau kekasih Mbak Saras itu orang sipil dan seorang
pengusaha. Aku tidak bisa bertanya lebih lanjut karena
orang itu memutuskan pembicaraan sebab ada telepon
masuk katanya," jelas Christine secara rinci.
Danang mcngangguk-angguk, sementara Anjar diam
membisu.
"O, ya! Mengapa kalian tidak ikut saja denganku agar
kita bisa bicara panjang lebar dengan mereka," ajak
Christine.
"Kukira itu bukan ide yang bagus." sahut Danang. "Kita
tidak ingin Saras tersinggung, bukan?" sahut Danang.
"Ah, iya. Aku mengerti." Christine mengangguk.
"Oke, malam sepertinya terus merambat." kata Danang
seraya melirik arlojinya, kemudian memberi syarat pada
Anjar. "Kami mesti kembaii. Kapan-kapan kita ngobrol lagi
panjang lebar. Mari."
"Ng, tunggu sebentar!" tahan Christine. "Menurut Anda.
Bagaimana kira-kira nasib yang akan menimpa Mbak
Saras? Apakah tidak ada cara lain untuk melindunginya
dari ancaman makhluk itu?"
Danang tidak langsung menjawab. tapi memperhatikan
gadis itu beberapa saat. “Menurutmu perlukah
mengasihani seseorang yang berhati dua seperti Saras
itu?"
"Ng, aku...entahlah. Tapi aku cenderung memandangnya
dari segi kemanusiaan.”
Danang mengangguk kemudian angkat bahu
"Sementara ini aku belum mendapatkan jawabannya. Tapi
bila sudah kutemukan kau pasti kuberitahu. Mari." sahut
Danang seraya mengajak Anjar untuk segera angkat kaki.
Christine mengangguk. “Terima kasih." katanya masih
belum beranjak dari tempatnya dan memperhatikan
langkah-langkah kedua pria itu.
Baru ketika dilihatnya kedua pria itu telah agak jauh, ia
beranjak dan tempat itu.
Adapun Anjar sepertinya enggan untuk meninggalkan
rumati sakit itu, dan bersikeras untuk tetap berada di sini
mengawasi Saraswati. Baru setelah Danang menjelaskan
kalau mereka cuma pura-pura pergi agar Christine tidak
mencurigai dan setelah itu kembali lagi ke dalam serta
bersembunyi di tempat yang aman. Anjar agak tenang.
***
Selama berada di ruangan itu, tak banyak yang
bicarakan Christine mengenai diri Saraswati. Tentu saja ia
menjaga perasaan gadis itu agar tidak tersinggung. Tapi
ketika pulang dari rumah sakit, saat mereka berada dalam
satu mobil. Christine coba mengorek keterangan.
"Apakah Mas yakin kalau Mbak Saraswati mencintai
Mas?" tanyanya setelah diajaknya Hendri ngobrol berputar-
putar soal diri Saraswati.
"Kenapa tidak?"
"Mas yakin?"
"Dia memang tidak, atau katakanlah belum
mengucapkan kata itu. tapi sebagai orang yang telah
sama-sama dewasa persoalan cinta kan tidak selalu harus
diucapkan. Ungkapan lewat sikap itu lebih utama."
"Mas sudah menyelidiki latar belakangnya?"
"Latar belakang bagaimana maksud kamu?"
"Yaaah, keluarganya, masa lalunya atau apakah dia
sudah punya pacar atau belum setelah ketemu Mas."
Hendri tersenyum. Sejak kecil dia memang sudah akrab
dengan Christine, dan sampai mereka dewasa pun
keakraban itu belum sirna. Keduanya memang selalu
terbuka terhadap masalah masing-masing dan tidak ada
yang dirahasiakan.
"Kamu ini macam-macam saja. Aku memang polisi, tapi
bukan berarti setiap orang yang dekat denganku harus
kuselidiki keadaannya sampai ke tai kukunya.”
"E, maksudku bukan begitu lho, Mas. Ini ada kaitannya
dengan beliau."
"Kaitan bagaimana?"
"Gini, nih!" Christine menceritakan secara singkat dan
jelas percakapannya dengan Danang soal siapa saja yang
menjadi incaran korban Putri Dayang Sari. "Coba deh Mas
ingat-ingat keadaan korban. Barangkali hal itu bisa
membantu." ujar Christine mengakhiri ceritanya.
Hendri terdiam beberapa saat lamanya. Dahinya
berkerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat keadaan
korbannya satu persatu.
“Kalau Mas belum menemukan data itu, ada baiknya
diselidiki untuk membuktikan kebenarannya," tambah
Christine.
"Siapa Danang yang kau sebut itu?" tanya Hendri
setelah diam beberapa saat lamanya.
"Mas ingat tempo hari aku mau ngajak keTasikmalaya
untuk menemui seseorang? Nah. Danang itu adalah putra
beliau. Kebetulan sekali salah seorang temanku kenal
dengannya, dan sekalian saja aku bertemu dengannya."
jelas Christine.
"Kau yakin dengan dugaannya itu?"
"Sejauh ini entah mengapa, aku merasa yakin."
Jawaban Christine itu kembali membuat Hendri terdiam.
Agaknya ia berusaha mengaitkan keterangan sepupunya
itu dengan data-data tentang korban yang ada dalam
benaknya.
"Maya." desisnya. Belakangan aku mengetahui,
maksudku kami menemukan bukti-bukt kuat kalau Boy
yang membunulnya.”
"Boy itu siapa?
Hendri tidak langsung menjawab. Dipandanginya
sepupunya itu sesaat sebelum memfokuskan perhatian
pada jalan di depan mereka. Mobil berbelok ke kiri dan
melewati jalan yang agak kecil Hendri memang sengaja
mengambil jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumah.
"Mas belum menjawab pertanyaanku? Apakah ada yang
dirahasiakan?" tanya Christine.
"Maya itu tadinya pacarku..." jawab Hendri beberapa
saat kemudian. "Tapi setelah aku memergoki mereka
sedang berduaan tanpa mereka nengetahuinya, aku mulai
mengatur jarak.”
Christine mengangguk.
Aku mengira Maya adalah tipe gadis setia, tapi nyatanya
bukan sekali dua kali aku memergoki mereka sedang ber-
duaan, dan itu membuatku kecewa..."
"Maaf ya, Mas. Aku kok jadi terpikir begini: saat Mas me-
mintanya untuk jadi umpan, apakah..." Christine tidak me-
neruskan ucapannya karena dilihatnya sorot mata Hendri
ketika menatapnya menunjukkan api amarah.
"Sori," ucapnya pendek. "Ada baiknya Mas memang me-
meriksa data pribadi korban yang lain, plus kalau perlu me-
meriksa data Mbak Saras. Minimal Mas tidak perlu kecewa
lagi untuk kesekian kalinya."
Apa yang dikatakan Christine memang masuk di akal-
nya, dan Hendri berencana dalam hatinya untuk me-
nyelidiki hal itu.
Sementara Hendri kemudian menyelidiki hal itu.
Christine sendiri melakukan penyelidikan tentang ke-
beradaan Saras. Hendri mengatakan bahwa Saras pernah
membawanya ke tempat orangtuanya, dan Christine mulai
melakukan penyelidikan ke tempat itu, baru kemudian ia
mendekati kolega-kolega Saraswati di kantornya, dan hasil
dari penyelidikannya itu membawa langkah kakinya ke
sebuah toko buku.
“Selamat sore. Bisa saya bertemu dengan pemilik toko
ini?” tanyanya pada seorang pria yang sedang melayani
dua orang pembeli.
"Ya, ada perlu apa kira-kira?" sahut Kusno balik ber-
tanya.
Ada keperluan pribadi. Saya Christine, mungkin beliau
pernah mendengarnya."
“Sebentar, ya." Kusno melayani kedua pembeli itu, baru
kemudian masuk ke dalam, dan tak berapa lama Anjar
keluar dari ruangan yang tadi dimasuki Kusno. Wajahnya
tidak begitu kaget ketika melihat kehadiran gadis itu.
"Hai!" sapa Christine. Anda pasti tidak lupa dengan saya,
bukan?"
Anjar tersenyum sambil menggeleng. “Tentu saja. Ada
sesuatu yang bisa saya bantu?"
"Kelihatannya begitu, tapi... saya ingin membicarakan
sesuatu yang sifatnya empat mata." sahut gadis itu sambil
mengerling ke arah Kusno.
“O. begitu. Baiklah. Mari ikut saya ke dalam." ajak Anjar,
membawa tamunya ke sebuah ruangan kecil. Di situ cuma
ada sebuah meja berikut kursinya serta dua buah kursi di
depan meja itu. Dan yang lainnya adalah lemari arsip serta
kulkas kecil.
"Silahkan duduk.” kata Anjar seraya membuka isi kulkas
dan mengeluarkan dua gelas kecil air mineral dan meletak-
kannya di atas meja, sementara ia sendiri duduk di
belakang meja itu. "Sambil diminum, apa kira-kira yang
bisa saya bantu?"
"Terima kasih." Christine menyeruput sedikit air mineral,
dan sekilas memandang pria di hadapannya itu. Sepasang
matanya agak sipit dan dahinya lebar menandakan kalau
pria ini pintar. Secara keseluruhan wajahnya tidak me-
ngecewakan. Postumya pun tidak tinggi tapi bukan berarti
pendek. Untuk ukuran rata-rata orang kita dia termasuk
golongan sedang.
“Saya ingin menanyakan hal yang barangkali sifatnya
pribadi, kalau Anda tidak keberatan..."
“Soal yang mana?"
“Apakah Anda mengenal Saraswati?"
“Saraswati yang wartawati itu?"
“Betul."
“Ng, ya tentu saja. Kami teman baik."
“Sekedar teman?'
Anjar tersenyum. "Ya, sekedar teman. Apakah ada se-
suatu yang aneh?"
“Memang, sebab Mbak Saras mengatakan kalau anda
pernah menjadi kekasihnya.
“Benarkah?" Anjar pura-pura kaget.
“Hubungan kami belakangan ini akrab sekali, dan kami
suka cerita hal-hal yang sifatnya pribadi." lanjut Christine.
“O, jadi Saraswati berkata begitu kepada Anda? Hm,
kalau memang benar begitu saya termasuk orang yang
beruntung. Yang jadi masalah, mengapa ia tidak berterus-
terang pada saya waktu dulu bahwa ia menganggap saya
sebagai kekasihnya” kata Anjar pura-pura bingung.
"Mengapa Anda berpura-pura begitu?"
"Pura-pura? Mengapa saya tidak boleh mengikuti se-
andainya lawan bicara saya pun berpura-pura mengetahui
sesuatu yang dia sendiri tidak yakin akan kebenarannya?"
"Anda menuduh saya berpura-pura? Dalam soal apa?"
"Nona, ketahuilah. Saraswati tidak akan pernah ber-
cerita pada siapa pun soal rahasia pribadinya. Saya kenal
betul wataknya. Dan dia tidak akan pernah mau terbuka
pada orang yang baru dikenalnya. Berapa lama Anda me-
ngenalnya? Belum ada satu tahun. Itu melebihi waktu per-
kenalan saya dengannya, dan sejauh itu sedikit sekali ia
mau menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada saya."
Christine agak gelagapan mendengar tuduhan itu, tapi
sebisa-bisanya ia menjawab. "Anda tidak bisa meyakini hal
itu sebab sifat seseorang bisa saja berubah karena suatu
sebab. Mungkin selama ini dia tidak mempercayai Anda
seratus persen."
"Kalau Anda menyangka kami pernah berhubungan
cinta, lalu apakah ada orang mencintai lawan jenisnya
tanpa ada saling percaya?"
Christine kembaii gelagapan. Untuk beberapa saat ia
tidak tahu harus bicara apa.
“Baiklah. Aku hargai usaha anda, dan tidak perlu ber-
belit-belit segala. Apa sebenarnya yang Anda ingin
ketahui?" tanya Anjar.
Christine menghela nafas. "Aku cuma tidak ingin per-
soalan ini berlarut-larut. Secepatnya dicari titik terangnya
maka akan lebih baik."
"Lantas apa yang Anda inginkan?"
"Pembunuh itu." sahut Christine tegas. "Aku mem-
percayai cerita legenda yang diceritakan teman Anda.
Kalau benar Putri Dayang Sari membunuh korbannya me-
lalui orang keliga, maka perlu kita ketahui, siapa gerangan
orang ketiga yang akan dijadikan alat untuk membunuh
Mbak Saraswati."
"Anda sungguh-sungguh ingin tahu orangnya?"
"Tentu saja!"
Anjar tersenyum. "Anda orang yang polos, dan saya
khawatir bila diceritakan maka akan sampai pada orang
ketiga itu."
"Saya berjanji unluk tutup mulut sahut.” Christine sambil
mengangkat dua jarinya.
Anjar menghela nafas sesaat. "Ya, Saraswati memang
mantan kekasih saya..." sahutnya berat. "'Saya tahu per-
selingkuhannya dengan Hendri sebelum dia mengeluarkan
pernyataan bahwa hubungan kami bubar."
"Jadi... jadi, dengan kata lain, bila apa yang diceritakan
teman Anda itu benar maka Putri Dayang Sari akan meng-
gunakan Mas Hendri untuk membunuh Mbak Saras?"
tanya Christine kaget.
"Kalau Anda mempercayainya, maka berhati-hatilah.
Dalam keadaan telah dimasuki roh Putri Dayang Sari maka
ia akan membunuh siapa saja yang menghalangi niatnya."
Christine diam sejenak, sebelum memandangi wajah
pria itu dalam-dalam "Apakah Anda pun merasa yakin
dengan kebenaran cerita itu?" tanyanya ragu.
Anjar tersenyum. "Yakin? Tentu saja. Kenapa tidak?
Kami telah melihatnya sendiri."
"Ka... kalian, maksud Anda bersama teman Anda itu?"
Anjar mengangguk.
"Mengapa kalian tidak menceritakan hal ini ketika di
pertemuan pertama kita?"
"Kami merasa orang Timur, dan tidak layak men-
ceritakan sesuatu kepada seseorang yang punya hubungan
baik dengan orang yang hendak diceritakan." jelas Anjar.
"Lagipula pada saat itu kami belum merasa yakin apakah
Anda percaya atau tidak dengan cerita itu. Salah-salah
nantinya kami akan dituduh memfitnah."
Christine kembali terdiam, masih sulit mempercayai
cerita itu, meski di sisi yang lain ia bisa membenarkannya.
"Anda katakan kalian pernah melihatnya sendiri, di
mana?"
"Ingatkah Anda ketika kita bertemu di rumah sakit?" Dan
ketika dilihatnya gadis itu mengangguk. Anjar melanjutkan
“Di situ kami betul-betul melihat sepupumu itu hendak
membunuh Saraswati. Aku tidak bisa membiarkannya, se-
hingga kami coba menghalangi."
Christine bergidik ngeri. "Lalu?"
"Saraswati keburu sadar, lalu lampu kunyalakan, dan se-
telah itu Saraswati mengusir kami keluar, dan akhirnya ber-
temu dengan Anda."
"Jadi waktu itu alasannya bohong?"
Anjar tersenyum mengangguk.
"Ya, aku bisa mengerti." Christine ikut mengangguk. "Kini
persoalannya semakin terang, meski tetap saja bingung
apa yang mesti dilakukan untuk mencegah Hendri mem-
bunuh Saraswati."
"Kami akan berusaha terus mengawasinya."
"Mengawasi siapa?"
"Saraswati."
Christine kembali memandang wajah pria itu lekat-lekat.
"Apakah Anda masih mencintainya?" tanyanya tiba-tiba,
karena pikiran itupun datangnya tiba-tiba.
Anjar tersenyum, dan tidak langsung menjawab. Ia
menyeruput air mineral, lalu diam seperti berpikir sebelum
balas memandang gadis itu. "Sedikit sekali yang kuketahui
tentang cinta. Kalau kukatakan masih cinta, mungkin ber-
tentangan dengan akalku yang selalu mengingatkanku
bahwa hubungan kami sudah putus, dan tidak perlu
cengeng mengharapkan dicintai atau ngotot mencintai,
sebab itu tiada guna dan hanya melemahkan perasaan."
"Lalu mengapa kelihatannya Anda menaruh perhatian
besar terhadap keselamatan Saraswati?"
"Itulah susahnya. Aku masih saja merasa kalau kami
teman dekat, dan sebagai teman dekat aku seperti punya
kewajiban untuk membantunya."
"Anda tidak jujur dengan perasaan Anda." tuduh
Christine sambil tersenyum.
"Tidak jujur, ya?" ulang Anjar tersenyum geli.
"Seandainya benar, maka ketidakjujuranku itu tidak
akan membawa kemujuran buatku, dan seandainya aku di-
anggap bicara jujur maka dunia mentertawakanku. Hm,
pilihan sulit. bukan?"
Christine tidak tahu harus menjawab apa, hanya saja ia
bisa merasakan kalau Anjar sedang nenghadapi dilema.
Mungkin perasaan kecewa akibat penyelewengan kekasih-
nya masih belum sirna dalam hatinya, dan menurutnya itu
wajar saja, karena toh pria itu bukan robot. Ia manusia
normal yang memiliki hati nurani, perasaan, dan memori
akal. Sehingga bila melintas wajah gadis itu dalam
benaknya, memori segera bekerja mengenang kisah-kisah
mereka, tapi berakhir dengan "sad ending" karena
menyadari cerita telah berlalu.
***
Anjar membuatnya bergidik saat berdekatan dengan
Hendri. Baginya sepupunya itu seperti bom waktu yang bisa
meledak sewaktu-waktu. Atau jangan-jangan ia bisa
melenceng dari target, sehingga orang lain yang menjadi
korban.
"Kamu kenapa?" tanya Hendri ketika malam ini mereka
sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit di mana
Saraswati dirawat.
"Nggak kenapa-kenapa?"
“Kok dari tadi diam saja?"
Gadis itu tersenyum.
"Ada yang dipikirkan?"
"Setiap manusia yang masih bernyawa tentu saja ada
yang dipikirkan.”
“Maksudku ada yang serius sehingga menyita begitu
banyak perhatian.”
Christine kembaii tersenyum.
"Ada apa? Ceritakanlah. Atau ada sesuatu yang
dirahasiakan?"
"Nggaaak. Aku cuma memikirkan nasib Mbak Saras. Apa
Mas kira-kira punya penyelesaian tentang masalah yang
dihadapinya?"
"Sementara ini aku cuma bisa menjaganya dari segala
kemungkinan yang terburuk."
"Menjaga?" gumam Christine dalam hati. Mana
mungkin, sebab justru dia yang perlu dijaga untuk tidak
melakukan hal yang tidak diinginkan. Tapi...ah, bagaimana
caranya untuk memberi peringatan pada sepupunya ini?
Sejauh ini ia belum punya cara yang tepat untuk
mengungkapkannya.
"Eh, tahun ini Mas sudah ambil cuti belum?"
"Belum, dan rasanya tidak sempat."
"Mas sudah bekerja kelewat ekstra, dan ada baiknya
mengambil cuti. Aku punya brosur tentang wisata ke
Selandia Baru. Kayaknya suasana di sana menyenangkan
deh."
"Hendri tersenyum. Kamu ini ada-ada saja. Memangnya
ke sana cukup naik becak atau bis kota. Lagipula ngapain
kita menghambur-hamburkanu ang ke negeri orang
sementara di negeri sendiri pun masih banyak obyek wsata
yang tidak kalah indahnya."
"Ya, boleh saja. Mas kan belum pernah ke Danau Toba.
Bagaimana kalau kita pergi ke sana?"
"Menarik juga, tapi aku tidak sempat. Dan sampai detik
ini belum terpikirkan untuk minta cuti," sahut Hendri
menegaskan, dan sekaligus mengecewakan lawan
bicaranya.
Christine kembali terdiam. Entah apa yang mesti
ditawarkannya untuk menjauhkan Hendri dari Saraswati?
"Mas..."
"Hm. Ada apa?"
"Mas mencintai Mbak Saras?"
"Mengapa hal itu kau tanya kan lagi?"
"Sekedar ingin tahu saja."
Hendri tidak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya.
Mestikah pertanyaan seperti itu dijawabnya? Apakah itu
bukan pertanyaan yang kanak-kanakan? Melihat
perhatiannya yang begitu besar terhadap Saraswati
mestinya Christine bisa menduga apakah ia mencintai
Saiaswati atau tidak.
“Anggap saja benar." akhirnya Christine sendiri yang
menjawab pertanyaannya. "Ini seandainya, ya!' lanjutnya
menekankan, takut sepupunya itu tersinggung.
"Seandainya Mbak Saras itu sudah punya kekasih sebelum
berhubungan dengan Mas, bagaimana?"
"Kenapa kamu berpikir begiitu?"
“Hanya ingin tahu reaksi Mas saja," sahut gadis itu
enteng. "Jaman sekarang ini sulit lho mencari gadis yang
baik, eh maksudku gadis yang betul-betul setia dan jujur."
'"Setahuku Saraswati tidak pernah menyinggung soal itu,
dan gelagatnya pun menunjukkan kalau dia belum punya
kekasih."
"Mas jangan salah, lho! Wanita bisa menyembunyikan
rahasianya dengan rapih.”
"Kenapa? Kamu menduga dia sudah punya kekasih?"
"Aku tidak menduga begitu, hanya mencari hubungan
antara rahasia pribadi Mbak Saras dengan ancaman yang
sedang dihadapinya. Eh, Mas sudah mencari informasi
tentang korban-korban yang lain belum?"
"Sudah." sahut Hendri lesu.
“Bagaimana hasilnya?" kejar Christine antusias.
"Dugaanmu memang benar."
"Jadi memang ada hubungannya dengan cinta segitiga?"
Hendri mengangguk.
"Semuanya?"
"Semuanya.” sahut pria itu menegaskan.
"Nah, apa Mas tidak mencari tahu tentang rahasia
pribadi Mbak Saras? Kalau memang teori itu benar, dan
kini Mbak Saras mendapat ancaman, mestinya ada cinta
segitiga diantara kalian. Dan yang menjadi korban adalah
dia yang diperebutkan sedangkan yang menjadi ancaman
adalah pihak yang terakhir menjalin hubungan."
"Menurutmu siapa orang itu?"
Christine angkat bahu. Ia sengaja tidak mau berterus-
terang. Selain janji dengan Anjar, juga menjaga perasaan
sepupunya ini.
Sebenarnya Christine takut juga bila apa yang dikatakan
Anjar itu benar terjadi saat mereka berada di kamar
Saraswati. Bagaimana bila tiba-tiba roh Putri Dayang Sari
datang dan menyusup ke dalam tubuh Hendri, maka dia
akan langsung membunuh Saraswati tanpa siapa pun bisa
menghalangi. Kalau Christine coba-coba menolong, bukan
tidak mungkin ia juga akan ikut menjadi korban benkutnya.
Tapi untunglah hal itu tidak terjadi sampai mereka
pulang dari rumah sakit itu bertiga. Sebenarnya sore tadi
pun Saraswati sudah diperbolehkan pulang, hanya saja
Hendri memintanya untuk menunggu sampai malam,
karena begitu tugasnya di kantor selesai, ia akan
menjemput gadis itu. Dan Saraswati hanya menurut saja.
"Mbak sungguh-sungguh sudah merasa lebih baik?"
tanya Christine yang duduk di jok belakang mobil kijang
yang dikemudikan Hendri.
Saraswati melirik sekilas, kemudian mengangguk.
"Gimana? Nggak ada rencana untuk istirahat dulu, atau
mau langsung bekerja?"
"Dalam soal kerja, prestasi Saraswati hanya bisa
ditandingi oleh orang-orang Jepang. Dia itu gila kerja." kata
Hendri memberi komentar. “Baginya tiada waktu yang
terbuang selain diisi dengan kerja."
"Itu tidak benar," tangkis Saraswati. "Jangan dengarkan
pendapat ngawur itu. Aku toh manusia biasa yang butuh
makan, tidur, istirahat serta rekreasi."
Christine tertawa kecil. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti
ketika mendengar suara mendesis Hendri.
“Ada sebuah jip yang mengikuti kita sejak keluar dari
rumah sakit."
Kedua gadis itu reflek menoleh ke belakang, dan
ternyata apa yang dikatakan Hendri memang benar.
Sebuah jip dalam jarak kurang lebih seratus meter
mengikuti mereka. Tapi benarkah jip itu mengikuti mereka?
Jangan-jangan hanya searah saja dengan jalan yang
mereka tempuh sebab selain mobil jip itu masih ada
beberapa mobil serta motor yang berada di belakang
mereka.
"Kenapa kau yakin jip itu mengikuti kita?"
"Aku mengenalinya sejak diparkir di rumah sakit." sahut
Hendri tetap bersikap tenang. “Begitu kita keluar, maka jip
itupun ikut keluar dan aku terus mengamatinya lewat kaca
spion. Jip itu memang mengikuti kita.” sambungnya yakin.
"Siapa kira-kira, ya?" tanya Saraswati.
Saraswati masih terus menoleh dan mengamati jip di
belakang mereka dengan seksama.
“Sepertinya aku kenal...” ujarnya ragu-ragu.
“Aku memang pernah mengenalnya. Jip itu milik
temanmu.” tukas Hendri.
“Temanku?"
"Ya, yang bernama…. Anjar, kalau tidak salah," sahut
Hendri. "Aku pernah melihatnya memakai jip itu saat
datang ke rumah sakit menjengukmu, dan aku hapal betul
mobil itu."
“Brengsek!” umpat Saraswati. "Mau apa dia mengikuti
kita? Coba hentikan mobil ini, kita tunggu dia dan biar
kutanyakan apa maunya?" dengusnya geram.
"Jangan sekarang. Nanti saja bila sudah berada di
tempat yang lalu lintasnya agak sepi.” sahut Hendri
mengingatkan
Sebagai seorang polisi tentu saja dia merasa curiga.
Bukan saja soal mengapa mereka dikuntit jip itu, tapi soal
keberadaan Anjar yang oleh Saraswati dikatakan
temannya. Sesungguhnya Hendri tidak percaya begitu saja.
Hanya dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu.
Kalau memang Saraswati mcngataikan pria itu adalah
temannya, Hendri tidak mau rewel untuk membantahnya.
Baginya itu tidak perlu.
Dua puluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat
yang suasana lalu lintasnya sepi. Namun jip itu tidak
terlihat di belakang mereka. Saraswati gondok bukan main.
"Coba tolong berhenti. Kita tunggu sebentar di sini.”
katanya.
Hendri mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Begitu
mobil berhenti. Saraswati langsung keluar, diikuti oleh
Christine. Sementara Hendri tetap berada di belakang
kemudi.
"Memangnya siapa, Mbak?" tanya Christine pura-pura
tidak mengerti.
"Cuma seorang teman."
"Kok kayaknya Mbak begitu sewot?"
"Teman yang menjengkelkan." lanjut Saraswati.
“Apa dia memang sering mengganggu?"
Saraswati diam tak menjawab.
Christine mengangguk sendiri. "Terkadang memang ada
teman yang sangat menjengkelkan, dan saya pun pernah
mengalaminya. Tapi biasanya mereka punya alasan. Entah
sekedar mempermainkan, bercanda, atau punya motif
tertentu yang alasannya cukup kuat, misalnya dia naksir
pada kita, lalu merasa cemburu melihat kita berdua
dengan pria lain..." Ia tidak melanjutkan ucapannya ketika
Saraswati memandangnya dengan sorot mata tajam.
"Menurut kamu bagaimana?" tanya Saraswati dengan
nada datar. Pertanyaan itu sebenarnya tidak meng-
harapkan jawaban, hanya sekedar ingin mengetahui apa
yang ada di benak Christine soal ucapannya tadi. Tapi
agaknya Christine cukup cerdik, karena ia langsung melihat
kalau itu suatu peluang baik untuk melanjutkan sesuatu
yang ingin diketahuinya tentang wartawati ini.
"Melihat profil Mbak, rasanya tidak mungkin dia mau
bercanda."
"Jadi?"
"Jadi, ya dia pasti punya alasan tertentu. Dan jangan
tanya padaku alasan apa, yang jelas pasti Mbak yang lebih
tahu."
Saraswati tidak bereaksi.
"Saya pernah punya sahabat, cantik dan menarik, juga
cerdas. Dia punya seorang kekasih dengan pekerjaan, eh
usaha yang telah mapan. Orangnya tampan, dan... menurut
saya menarik. Suatu ketika teman saya itu bertemu pria
lain, dan entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa tertarik
dengan pria itu. Mungkin juga karena mereka sering ber-
sama-sama, mungkin pula ada urusan yang membuat
mereka sering bertemu. Teman saya itu meninggalkan
kekasihnya yang lama, yang saya tahu mencintainya
dengan tulus. Saya tidak mengerti, mengapa teman saya
itu meninggalkannya, sebab kalau melihat ketampanan
maka kekasihnya tidak kalah tampan, melihat kekayaan,
justru kekasihnya lebih kaya, melihat kepribadian ke-
kasihnya itu bukan termasuk pria buruk. Heran, bukan?
Saya sendiri sebagai seorang wanita tidak mengerti,
kriteria apa yang dibuat teman saya itu sehingga me-
ninggalkan kekasihnya? Apakah itu yang disebut cinta?
Lalu kalau benar, apa gunanya cinta tanpa kesetiaan?"
Christine tidak peduli ketika bercerita itu Saraswati me-
mandangnya kembali dengan sorot mata tajam. Dia malah
sengaja terus bercerita untuk membangkitkan emosi
Saraswati.
"Siapa teman kamu itu?" tanya Saraswati curiga.
"Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena
temanku banyak sekali. Disa jadi Mbak tidak mengenal-
nya."
Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba ter-
dengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa
kalau bulu kuduk mereka merinding seketika.
“Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita
masuk saja." ajaknya dengan nada dengan dan terus mem-
buka pintu mobil, sementara Christine akhirnya pun meng-
ikuti.
"Kita langsung pulang saja. Hen.” katanya lagi. Tapi pria
itu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk mencium
kemudi.
"Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk
lengan pria itu.
Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian me-
noleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika
melihat sepasang mata pria itu memancarkan cahaya hijau
kebiru-biruan.
“Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget.
Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa
yang dikhawatirkannya kini telah terbukti. Putri Dayang Sari
telah datang dan menyusup ke tubuh saudara sepupunya
itu.
"Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya
membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu.
Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya
begitu saja dan meyakinkan dulu apa yang terjadi dengan
pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya
mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya.
Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencang-
kencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok
Hendri telah berdiri di hadapan mereka dalam jarak sekitar
empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan secepat
kilat.
"Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria
itu dengan suara parau, mirip dengan suara wanita.
Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan.
Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine.
"Hendri, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi padamu?
Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?"
Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah
kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak
tahu harus ke mana ketika punggung mereka menempel
ke bodi mobil.
"Siapa sebenarnya kau? Apa yang kau inginkan?" tanya
Christine memberanikan diri.
Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan per-
hatiannya sedikit pun.
"Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine.
Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian
kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka
beradu pandang. Ketakutannya begitu kuat menyusup ke
dalam hati, dan semangatnya seperti terbang entah ke
mana.
Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan per-
hatian pada Saraswati sambil terus melangkah mendekati.
"Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram.
Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan
Hendri melesat ke arah lehernya, ia merunduk menghindar.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah
dada pria itu. Cuma terdengar suara gedebug pelan namun
tidak mampu menggoyahkan pria itu. Sebaliknya Hendri
kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk men-
cekik leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat
yang lega. Saraswati melompat ke kanan, bermaksud
menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya
yang menghantam salah satu lutut kaki bagian belakang
gadis itu.
Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung me-
nerkam, dan dalam keadaan begitu ia masih sempat meng-
hindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha bangun
meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh,
dan belum siap menghadapi serangan pria itu yang cepat
dan ganas.
Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri
gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher
korban, dan kali ini Saraswati kembali coba berkelit. Dia
tidak mau mengambil resiko dengan menangkis karena
dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser
ke belakang, Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati
coba menjatuhkan diri, namun sebelah lengannya kena di-
cekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa,
karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam
cengkramannya.
“Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria
itu yang kini telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan
entah bagaimana bisa begitu siap menghunjam leher
Saraswati. “Aku akan menghajarmu dengan kayu ini,"
Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangan-
nya, dan perlahan mendekati pria itu.
Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata meng-
ancam.
"Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan meng-
hajarmu!” bentaknya seraya terus mendekat dengan hati-
hati.
Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman
gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher
Saraswati yang sudah tidak berdaya.
Dengan memompakan keberaniannya Christine lang-
sung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk
sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu
sampai patah. Bukan cuma itu, ia kembali menggeram
marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram
leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai
tersungkur ke belakang.
“Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi
halangi, maka kau akan mati lebih dulu!” ancam pria itu
dengan suaranya yang parau.
Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak mem-
perdulikan keadaannya, juga ancaman pria itu. Kembaii dia
meraih sepotong kayu yang lebih besar yang terdapat di
sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar
saudara sepupunya itu.
“Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu
seraya menghempaskan tubuh Saraswati dan bersiap
menghadapi serangan Christine.
Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu,
maka saat itu pula meluncur sebuah jip yang langsung
berhenti di dekat mereka pada jarak tiga meter. Lampu
mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu
sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan
sebelah tangan.
"Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat meng-
hajar kepalanya. Pria itu terhuyung-huyung ke belakang
untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun darah dari
kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit.
Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuh-
nya saja.
"Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah
seorang pengendara jip yang tak lain dari Anjar dan
sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari mobil
begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine,
sementara Danang membantu Saraswati.
Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan
marah sekali. Sorot matanya bersinar terang, seperti
mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban
yang satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang
cukup berat, tidak seperti korban-korban yang lain. Korban
kali ini harus tertunda beberapa lama, dan selatu terhalang
setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali
ini agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi.
Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja
sebagai tumbal dari pekerjaannya yang sulit.
"Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka
jangan salahkan kalau kalian pun harus mati sia-sia."
***
LIMA
Hendri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu.
Di antara keempat orang itu yang dipandangnya
paling lemah adalah Christine yang saat itu berada
dekat dengan Anjar. Dia telah mengetahui kalau Danang
mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu juga
halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini
agak lemah, tapi dia pasti sedikit banyak mampu
memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali
tidak diketahuinya, yang jelas dia menyadari kalau pemuda
itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti temannya.
Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara
keempat orang itu berada dalam posisi yang saling
berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas.
"Anjar, awas...” teriak Danang memperingatkan ketika
Hendri melompat menerkamnya.
Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara
dia siap-siap menyambut serangan lawan. Begitu kedua
tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan
berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan
sambil menjatuhkan diri ke tanah, kedua kakinya me-
nendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri
terpental ke belakang.
Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan
tadi. Dengan gusar ia cepat bangkit dan berbalik serta
kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran.
Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari
arah samping ia melayangkan tendangan ke perut lawan.
Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya
pada saat melayang itu kemudian langsung berbalik sambil
mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara Danang
yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan
antara telapak kakinya dengan lutut lawan tadi menyilang-
kan kedua tangan menutupi wajah dan bagian dadanya.
Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada
saat itu Anjar tidak bergerak cepat dengan mengayunkan
tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin sobatnya
itu kena dicakar oleh Hendri.
Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat
tendangan Anjar. Sepasang matanya memandang buas ke
arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda
yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak
bisa dibuat main-main.
Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya
dengan Anjar. Dua kali tendangannya tadi kuat sekali, dan
kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-tulangnya akan
patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak
merasa kesakitan.
“Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi."
Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi
serangan mahluk itu berikutnya
"Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo,
meski belum sampai Dan III."
“Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah
melompat menerkam mereka berdua. Kali ini gerakannya
semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu
hebat.
Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu,
dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk meng-
hindar, ia terus menerkam Anjar, lawan yang dianggap
telah mempermainkannya.
Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan
lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempat
an sedikit pun untuk bernafas. Kedua tangan lawan ber-
kelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya, sehingga
ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan
untung-untungan ia coba menangkap pergelangan tangan
lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri untuk mem-
banting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan
tangannya langsung ditangkap oleh tangan lawan yang
sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali tubuhnya
terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah.
Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu
dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan
pahanya justru yang dihajar lebih dulu oleh lawan saat
Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba.
Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum
sempat bangun. Pemuda itu terkesiap lalu bergulingan,
namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil me-
ringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang
menghindari serangan lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia
mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang panjang
dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri
yang gerakannya semakin cepat saja langsung melompat
ke arahnya, padahal posisi Anjar sama sekali tidak
menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan ter-
tatih-tatih, Danang memberanikan diri melompat dan me-
meluk Hendri dari arah belakang.
“Hiih!” Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh
Danang ke tanah sampai terdengar suara bergedebum se-
perti nangka jatuh, kemudian secepat kilat mengangkat se-
belah kakinya untuk menginjak dada lawan.
"Jahanam!” Anjar menggeram marah. Tanpa mempeduli-
kan keselamatnya dia menyeruduk lawan seperti banteng
mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran
karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibat-
nya sungguh fatal bagi Anjar karena seketika itu juga
makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai
kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya.
"Anjaaaar…!” teriak Danang dan Saraswati hampir ber
samaan ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Anjar.
Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke
belakang lawan.
"Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak
Danang pada Saraswati saat gadis itu berlari mengejar
tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah kujang
dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang ber-
siap hendak membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya.
Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan
semua kemampuan yang dimilikinya untuk melawan
mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi
menyelamatkan Saraswati dari incaran mahluk itu, tapi
bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar
mereka tidak terbunuh lebih dulu.
Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar
yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih dan
dari kedua pinggangnya mengucur darah segar.
"Anjar, kau tidak apa-apa bukan? Kau tidak apa-apa,
kan?!"
Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh
tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan
kedua pinggangnya terasa nyeri sekali. Saraswati me-
ngeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu, dan
merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk me-
nutupi luka yang satu lagi.
“Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi
dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju
pemuda itu. Selesai mengikat kedua luka di pinggang
pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala
Anjar di alas pahanya.
"Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!"
isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua
kelopak mata. "Maafkan aku, maafkan aku, Sayang."
lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu.
Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan
pandangannya agak sedikit kabur dan sukmanya seperti
hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri men
dengar isak tangis gadis itu.
“A--Aku minta maaf...” katanya dengan suara berat dan
perlahan.
"Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut
Saraswati cepat.
"Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. Ta-
Tapi... aku punya alasan….. karena Hendri ada dalam fo...
foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak...
gara-gara itu..."
"Kau...?!”Saraswati tersentak kaget, dan itu mem-
buktikan bahwa ia belum melihat jelas siapa orang yang
kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang
itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri?
Kenapa? Kenapa tidak kau beritahukan padaku?!"
Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum.
Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang.
Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi
ada dalam genggamannya terpental dekat kaki Saraswati.
Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh
darah. Pemuda itu meringis kesakitan dan merobek baju
untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila.
Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya
mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang
mendengar.
"Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi
sumpahku. Kalian mahluk-mahluk nista, tak pantas hidup
lebih lama. Bersiaplah untuk mati."
Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan.
Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari
yang kini memiliki kuku yang panjang dan runcing. Dengan
sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua
tanpa mengalami kesulitan.
Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika
melihat perubahan pada diri Danang. Sebenarnya tidak
tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerak-
kan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di se-
keliling tubuhnya yang semakin lama semakin kencang.
Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti me-
lawan dengan sorot tmta setajam pisau. Siapa pun
sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh
terjadi pada Danang, hanya mereka tidak bisa menjelaskan
selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh Putri
Dayang Sari.
"Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu
tidak akan bisa berbuat banyak terhadapku." Dan Putri
Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika tubuhnya
melompat laksana kilat menerkam lawan.
Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat
tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang di-
lakukan keduanya begitu cepat sehingga mereka seperti
gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan
hantam.
Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika ter-
dengar teriakan Danang, bersamaan dengan tubuhnya
yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima
meter. Masih sempat terlihat luka di bagian dadanya yang
memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan lawan.
Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil men-
jerit-jerit kesakitan. Anjar dan Saraswati yang coba men-
dekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya tanpa
disengaja.
"Danang, kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?"
Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati
khawatir. Dilihatnya Danang amat menderita sekali.
"Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus
kelojotan seperti cacing dibakar.
"Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak
Anjar pada Saraswati.
Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi
langkahnya dihadang Hendri.
"Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya
dengan sorot mata mengancam, dan perlahan mendekati
gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti,
bahkan perlahan mundur mendekai Anjar.
"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya
senjata Danang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya,
dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian
parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada
Putri Dayang Sari.
“Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku
yang mati atau kau yang bakal mampus" dengusnya
dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan
kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara
yang parau dengan nada tinggi. "Oh, nenek moyangku
Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata
pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis ter-
kutuk ini!"
Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan
matanya seperti tidak berkedip memandang pemuda di
hadapannya.
Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti
itu. Ia sendiri tidak yakin kalau lawan akan menggigil ke-
takutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara Bodas.
Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk
menyelamatkan diri, maka untuk itu ia harus berspekulasi.
Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil
melihat perubahan mimik lawan. Tapi hal itu hanya
sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri
Dayang Sari yang melecehkan.
"Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku
dengan senjata rongsokan itu? Ketahuilah sesungguhnya
Wanara Bodas tidak pernah memiliki senjata apapun
selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang
kau menakutiku dengan benda itu.”
Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya
kalau kenyataannya akan begitu. Dan mana mungkin ia
tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari kalau
pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku
tentang Wanara Bodas dibanding lawan.
Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi
untuk menyelamatkan diri
“Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari
yang ada dalam raga Letnan Hendri. Kedua tangan dengan
kuku kuku runcing yang tadi sempat diturunkan, kembali
diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan
cahaya hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu
mendadak bertiup angin kencang di sekitar mereka.
Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini ter-
tutup kabut tebal, disusul menggelegarnya suara petir.
Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahan-
dahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya
dan menerbangkannya ke segala arah bersama dengan
debu-debu tanah serta kerikil-kerikil.
Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar
kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara
Christine perlahan-lahan mendekati mereka. Sedangkan
Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang,
merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa
menduga dari mana datangnya kekuatan itu. Bisa jadi
tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk
membunuh mereka dalam sekali tepuk.
Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya
kekhawatiran itupun dirasakan oleh roh Putri Dayang Sari.
Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat
mereka, meski belum bisa memastikan dan mana
datangnya.
Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit,
dan membelah bumi diikuti oleh suara guntur yang
menggelegar.
"Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba
saja berteriak keras sekali dengan tubuh mengejang
seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi.
"Anjar? Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa
denganmu?"
Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin
tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus
berteriak. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang
mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan
melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang
berada di dekatnya.
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin
kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak ber-
diri di tempatnya semula dengan sepasang mata me-
mandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang meng-
iris jantung.
"Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat
sampai di mana kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang
Sari terus melompat menerkam lawan diiringi teriakan yang
menggetarkan bulu roma.
Anjar membalas dengan menghantamkan telapak
tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin
laksana badai topan yang langsung menghantam lawan.
Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya ter-
pental jungkir balik ke belakang sambil mengeluarkan jerit
kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Anjar
melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar
lawan.
Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang
mengancam. Ia mengibaskan sebelah tangan sebelum
kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap
hitam tebal menyelimuti tubuhnya dalam radius kira-kira
dua meter lebih.
"Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan
telapak tangan kirinya ke depan. Angin badai yang
didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu
sampai tidak bersisa. Tapi lawan tidak terlihat. Raib seperti
ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya sambil melirik
ke segala arah lewat sudut matanya.
Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar mem-
buat lingkaran di tanah berdiameter satu meter setengah
lewat ujung kujang yang masih dalam genggamannya.
Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat
buah garis yang sating berpotongan. Tiap ruang dalam
potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar sesuatu
yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung
kujang ditancapkannya tepat di tengah-tengah lingkaran
hingga melesak lebih dari separuh panjang senjata itu.
“Hiih!” Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti
dilanda gempa tak lama setelah senjata itu dibenamkan ke
bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis yang diguratkan
dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari
dalam tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke
segala penjuru.
Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu.
Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula
ketika gerakan-gerakan di bawah permukaan tanah itu
menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu
kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit
kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar,
yang disusul melesatnya bayangan hitam ke arahnya.
Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik
cepat dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah
tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum pelan
dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke
belakang. Samar-samar terlihat bayangan perempuan
berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi
itu.
“Keluar!" bentak Anjar sambil lepaskan pukulan yang
ketiga ke arah lawan.
Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu
tertiup angin. Sementara bayangan perempuan yang tadi
terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke atas, lalu
dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri
di hadapan Anjar pada jarak sekitar tujuh meter.
Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas.
Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan
mengenakan pakaian keraton jaman dahulu yang terbuat
dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya
sampai menyentuh tanah.
Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan
pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran.
"Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki
ajian Tapak Angin," katanya pelan, namun tetap bisa di-
dengar oleh mereka yang berada di situ. “Mengapa?
Mengapa kau lakukan ini padaku?"
“Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku
tidak bisa membiarkanmu berbuat sekehendak hatimu."
sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau
hampir saja membunuh cucuku."
Paras wanita itu semakin heran saja mendengar
jawaban Anjar. “Cucumu? Bagainana mungkin?"
"Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku
telah menikah dengan putri Begawan Sapta Waringin, dan
punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat me-
lahirkan putra kami," jelas Anjar.
Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian
tersenyum lalu tertawa halus "Hi hi hi...! Malang benar
nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan diriku,
tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap ke-
bahagiaan."
Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali me-
mandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan
amarah.
"Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja
dengan lelaki lain. Kau pengkhianat, dan tidak sepenuh
hati mencintaiku. Di mulut kau katakan mencintaiku, tapi
hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan
sampai sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan
membela anak cucumu." dengus Putri Dayang Sari.
"Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya
sedang disusupi roh Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka
dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka tidak
punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak
kenal denganmu. Mengapa kau lampiaskan dendammu
kepada mereka?"
"Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran
pada orang-orang yang berhati buruk dan tidak mengenal
cinta yang lulus."
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah yang
kau perbuat terhadapku bisa dikatakan baik?"
"Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggir-
lah! Aku akan tetap menghabisi mereka."
"Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus
memberi palajaran padamu." Dan agaknya Wanara Bodas
tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan dan meng-
hantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di
tengah lingkaran sampai melesak ke dalam bumi. Ber-
samaan dengan itu pula terdengar guncangan hebat yang
disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar
tempat itu.
Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong
tubuh Danang. Sementara Christine yang semula hendak
menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang
masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru mem-
bawanya ke tempat yang aman.
Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil
mengayunkan selendang tipis. Senjatanya itu kelihatan
remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter. Tapi
begitu menyentuh lawan langsung membelit dan mem-
bungkus tubuh Anjar seperti mumi dan membuatnya ber-
putar laksana gasing. Yang lebih mengherankan,
selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada
habis-habisnya.
"Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memper-
lakukanmu seperti ini. Tapi karena engkau menghalangi
niatku, aku tidak punya pilihan."
Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan
membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti
semula. Tapi kalau Putri Dayang Sari mengira sudah
mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka,
sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat.
Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan
tiba-tiba melesat ke atas, masih dalam keadaan berputar.
Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang
menggelegar seperti menghantam tubuh itu. Anjar
berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur
berantakan.
Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya
tipis, tapi itu bukan senjata main-main. Senjata keramat itu
bekerja seperti karet, semakin diikat kuat maka ia akan
menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama
ini tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara
Bodas bukan saja bisa melepaskan diri, bahkan meng-
hancurkan senjatanya itu.
Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar ber-
gerak cepat sekali seolah hendak menangkap ujung
cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan.
Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak.
Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan meng-
hantamnya tanpa ampun. Untuk sedetik terdengar jeritnya
tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan debu
halus.
Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi
tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukan-
nya lama sekali tanpa mempedulikan keadaan di se-
keliling.
Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian
aneh lagi di tempat ini. Ia hanya mendiamkan saja sambil
memandangi pemuda itu dengan mata tidak berkedip.
Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang.
Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan me-
mudar sehingga terlihat bulan yang menyembul, perlahan
menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi acap
terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara
angin malam bertiup sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu
membangkitkan keberanian Saraswati. Perlahan ia bangkit
berdiri dan mendekati Anjar.
"Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut.
Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati
sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot
matanya normal seperti biasa.
"Kamu tidak apa-apa?"
Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng.
"Sungguh kamu tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja..."
Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling
pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga
Saraswati karena sejak tadi hatinya terasa diaduk-aduk
oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan me-
numpahkan kekhawatirannya sejak tadi.
"Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisik-
nya lembut.
"Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi
yang perlu kau takutkan," bujuk Anjar.
Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi
wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau
cucu Wanara Bodas, dan..."
Anjar tersenyum. “Aku sendiri baru tahu setelah
kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu
sudah pergi, beberapa saat sebelum kau menghampiriku."
Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah
aman Tapi aku tetap masih merasa takut..."
"Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita
semua merasakan ketakutan itu. Tapi saat ini keadaan
sudah aman.” sahut Anjar sambil melirik Hendri yang
masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine.
"Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri
tidak apa-apa. Sebentar lagipun dia akan sadar." lanjutnya
seraya melangkah mendekati Danang.
"Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda
itu terhenti dan menoleh padanya. Melihat itu Saraswati
tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain menunduk-
kan kepala bingung bercampur malu.
“Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya.
“Aku... Aku..."
Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa.
Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar
dengan sendirinya..."
“Bukan itu maksudku!” tukas Saraswati.
Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri
untuk membalas pandangan pemuda itu.
“Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain
teman kau salah besar, katanya menegaskan "Bagai-
manapun aku…..aku masih...”
Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk
pemuda itu menempel di bibirnya. “Sudahlah. Nanti saja
kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih penting. Aku
harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan
leluhurku tadi sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu
membawanya ke rumah sakit."
“Tapi..."
Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri
sobatnya yang masih meringis kesakitan. Anjar duduk ber-
sila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya
berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang
dengan tanah dalam genggamannya sambil mengusap-
usapnya dengan halus.
"Bagaimana?” tanyanya setelah beberapa saat
kemudian. "Apa ada perubahan?"
"Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak
terasa lagi, dan nyerinya perlahan-lahan mulai reda.
Bagaimana dengan lukamu sendiri?"
“Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan.
Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah mem-
bantuku mati-matian." Anjar tersenyum dan kali ini
mengusap-usap punggung sahabatnya itu. “Aku tidak tahu
harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja
kau tewas, aku akan menyesal seumur hidupku."
"Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku,
dan sudah sepatutnya aku menolong bila kau mengalami
kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak
sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang
Anjar, sebelum menoleh pada Letnan Hendri yang sedang
ditunggui Christine. Pria itu agaknya belum sadarkan diri.
“Kita harus melihat keadaannya.” lanjut Danang seraya
bangkit berdiri menghampiri.
“Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan
enggan untuk mengikuti. Sebentar lagi juga siuman."
"Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu.” sahut
Danang tak mempedulikan ucapan Anjar.
Ada beberapa faktor yang membuatnya harus meng-
hampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama
manusia ia harus menolong mereka yang membutuhkan;
kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara Anjar
dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut
ia berada di dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada
baiknya ia membicarakan sesuatu dengan letnan polisi itu
seputar masalah yang menimpa dirinya.
Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah
sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi
juga karena Saraswati ikut menahannya. Lagipula Danang
lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan ketimbang
dirinya.
“Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku...” ucap
Saras lirih.
"Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil
tersenyum kecil.
Saras menoleh padanya. “Aku minta maaf..."
"Aku juga salah..."
"Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita.
Sekali lagi aku minta maaf..."
"Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras
membiarkan saja. "Aku sudah memaafkanmu. Bahkan aku
sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu
dengan Letnan Hendri...”
“Jangan teruskan!” tukas Saras. “Aku tidak mau kau
menganggap aku punya hubungan serius dalam soal
asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku
akan bicara padanya.” lanjutnya seraya melirik ke arah
Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah siuman dan
sedang ngobrol dengan Danang.
Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu me
langkah ke sana. Anjar melihat Saras menarik lengan pria
itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa
saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti
oleh Danang dan Christine.
Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu
masih pucat, dan sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam
kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan dan
kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya,
tapi yang bisa diduga barangkali itu sesuatu yang
mengecewakannya.
Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di
hadapan Anjar.
“Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat
kita semua menjadi tegang. Tapi syukurlah semua sudah
berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega.”
Anjar mengangguk. “Ya, aku berharap ini tidak akan ter-
ulang kembali. Tentu saja kita berharap setelah ini akan
lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil
keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya
tidak bersalah.”
Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba
mencerna kata kata lawan bicaranya. Untuk siapakah kata-
kata itu ditujukan? Untuk dirinya atau mereka semua?
Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti
ia juga tidak mau berlama-lama setelah pembicaraannya
dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan ia
mesti bisa menerima keputusan itu.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya
dengan diriku "
"Sama-sama.” sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan
apa yang bisa kulakukan."
"Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkan-
sungkan datang kepadaku. Aku akan berusaha menolong
dengan sekuat kemampuanku.”
"Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku
butuh bantuanmu."
"Soal apa?"
Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di
telinganya. Belum lama aku baca di koran salah seorang
korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya
bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai
tertuduh. Maukah Anda membebaskannya?" Kalimat ter-
akhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga lapat-lapat
Saraswati bisa mendengarnya.
Letnan polisi itu mengernyitkan dahi.
"Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik
lagi sehingga yang lainnya bisa mendengarkan, ia bukan
apa-apaku, dan sama sekali belum pernah kukenal.
Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh
dihukum."
Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum
mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan.” katanya.
"Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut
Anjar sebelum Hendri dan Christine berbalik meninggalkan
mereka menuju mobil.
Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan
mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia
ingin tahu apa yang dibicarakan Anjar saat berbisik tadi
pada Hendri.
“Apakah hal itu perlu?"
“Sekedar ingin tahu saja."
"Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang.
"Kau kenal dengan gadis bernama Maya?”
"Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya
kenapa?"
"Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus
pembunuhannya?"
"Seorang pemuda bernama Boy."
“Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan
pemuda itu."
"Lho, memangnya kenapa? Apakah dia masih ada
hubungan saudara denganmu?"
"Sama sekali tidak!"
"Lalu?"
“Karena dia tidak bersalah?"
"Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang
kau sendiri tidak mengenalnya?"
“Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu? Orang yang
kau jepret itu adalah Hendri. Fakta itu tidak bisa
dibohongi.” sahut Anjar.
"Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng
lemah sambil mendecah karena sulit baginya untuk
mempercayai hal itu. Betapa tidak? Hendri yang
dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang
berbeda. Mengapa dia mesti mengarang cerita?
"Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta
menunjukkan kalau Boy itulah pelakunya." lanjut Saraswati
untuk memuaskan rasa penasarannya.
"Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari
tidak salah. Orang yang dikhianati selamat, yang
berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah
pembunuhnya. Foto itu menunjukkan kalau Hendri yang
sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha
membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa
langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat,
sedangkan Boy adalah orang yang dikhinati.” jelas Anjar.
"Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri
berhubungan dengan Maya, tapi aku tidak
mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia
mengkambing hitamkan Boy?"
“Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka
maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang."
ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan
Danang.
Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang
yang diikuti munculnya kilat yang memandang seperti
hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya
suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya
cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya
gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa
sebuah rumah tua yang memang sudah rusak berat, dan
membuatnya hancur berantakan!
TAMAT
--------------------------------------------------
SERIAL JONI KUCAI EPISODE JONI CARI PENGALAMAN III
TIGA
Setelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk
memandang sekelilingnya Menunggu bus lainnya
yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus,
tiba-tiba sebuah sepeda motor datang menghampiri.
Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan
jaket.
"Mau ke mana, Dik? Mari saya antar!" kata si lelaki
sambil tersenyum tampangnya ramah. "Ah, nggak terima
kasih."
"Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih
tujuan adik nanti saya antar."
"Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi."
"Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa
Jonipun lalu membonceng motor itu.
“Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus
pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas
aspal!" kata si lelaki sambil tancap gas. Sepeda motornya
melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa peduli diri
Joni yang ketakutan setengah mati.
"Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagai-
mana?" teriak Joni ketakutan.
"Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!"
“Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas,
siapa? Tapi kan sakit. Lagi pula kalau sampai jatuh biaya
rumah sakit mahal, kasihan Emak saya."
"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!"
kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si
lelaki terdengar, di antara suara jerit ketakutan Joni.
"Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya
bisa pingsan nih!" teriak Joni.
"Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal
jangan lupa tetap pegangan agar kamu nggak jatuh!"
"Bagaimana mungkin bisa!"
"Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar
lagi kita bakal sampai kok."
"Sampai?"
"Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya
juga sudah kelihatan."
"Mana?”
"Itu..!"
"O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni
tak sabar lagi. Meskipun motor belum berhenti Joni sudah
melompat dari atas boncengan mirip Rambo. Hup! Tapi
saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesa-
gesa akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal!
"Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki
pengendara motor itu wajahnya berubah memucat.
"Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah
melompat? Untung saja kaki kamu nggak patah, kepala
kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!"
"Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya
tulang saya patah!” kata Joni sambil meringis kesakitan.
"Apa? Patah? Gawat! Kenapa urusan jadi begini? Wah,
wah, ini sih alamat aku yang bakal kena menanggung
ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin
nampak pucat.
"Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos
ojeg motornya deh. Saya nggak minta bayaran, sungguh.
Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi
dulu ya..!" kata si lelaki pada Joni yang ternyata adalah
seorang tukang ojeg motor. Karena menduga Joni
mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia
tancap gas, kabur meninggalkan Joni yang berdiri bengong.
"Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos
naik motor itu? Minta ampun! Uang dari mana? Untung
saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni tidak dapat
membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya
tidak mempunyai uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni
diambil untuk ganti membayar ongkos. Bila semua itu
sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya
minta ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi
sesak, matanya jadi berkunang-kunang, dan akhirnya Joni
jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat yang
agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan
kena sinar matahari!
Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang
terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari
pingsannya tubuh Joni berada diatas sebuah tempat tidur
yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar yang
cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni
memandang, ia telah tahu kalau dirinya bukan berada
dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah di
mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi
penasaran bertanya-tanya sendiri dalam hati. Atau..
apakah ini yang dinamakan alam akherat? Mendadak bulu
Joni berdiri, rasa takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni ber-
teriak-teriak.
“Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih
kepingin hidup lama di dunia. lagipula aku belum pernah
kena SDSB! Jadi…..tolonglah aku Tuhan! Aku belum mau
matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga
mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan.
"Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar.
Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang!”
tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang meng-
hampiri. Ketika Joni menolehkan kepalanya memandang
ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri setengah
baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum
ramah.
"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh
benar, jadi jangan kamu banyak bergerak dulu." timbal
yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu.
"Di mana saya? Di mana saya? Apakah saya ini sudah
berada di akherat?" tanya Joni, matanya masih nampak
beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang
seputar ruangan kamar itu.
Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum.
"Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami,
bukan di akherat!" kata si ibu sambil tersenyum.
"Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir
jalan dalam keadaan pingsan. Lalu kami membawanya
kemari!" timpal si bapak.
"Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya?
Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat
melupakan budi kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja
Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!"
“Hus, kami belum mati, Nak!
"Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak
dan Ibu mendapat paha dari Tuhan."
"Hus, pahala!"
“Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!"
“Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita
sebagai manusia hidup wajib harus saling tolong
menolong?"
"Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu
mau menolong diri saya sekali lagi?"
“Tentu saja mau, Nak. Menolong apa? tanya si ibu.
Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil
ccngar-cengir.
"Oh, kamu lapar? Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu
ambilkan makanan!” kata si ibu yang rupanya mengerti
dengan isyarat yang dilakukan Joni.
Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil
membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
"Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya.
Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."
"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah
ada di suatu tempat yang sama sekali sulit untuk
mendapatkan makanan!"
"Ah, yang benar Jon?"
"Benar."
"Di mana itu?"
"Di Somalia."
"Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia."
“Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat
Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak
bakal kekurangan sandang dan pangan, iya kan Jon?"
"Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah
sekarang ini sudah banyak yang berubah jadi lapangan
golf!"
"Apa tidak hebat!"
"Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli
aja mampu kok!”
"Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?"
“Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?"
"Tapi apa. Jon?"
“Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa.
Rejeki kan nggak boleh ditolak!"
Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta
jantung. Buktinya sudah dikasih sepiring malah minta
tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan.
Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala
dibuatnya!
"Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak
sekali..." bisik si bapak dan istrinya. Tentu saja tidak
sampai didengar Joni.
"Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah
kita bisa gawat. Persediaan beras kita bisa cepat habis!"
timpal istrinya.
"Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal
di rumah kita, percaya deh, rumah kita bakal kejual!"
Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih
memandang ke kiri-ke kanan. Sepertinya Joni sedang mencari sesuatu.
"Cari apa. Jon?' tanya si ibu.
"Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai
makan saya harus cuci mulut dengan buah."
"Buah? Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah
kaleng!”
"Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?"
"Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?"
"Bukan mau-mau lagi!"
"Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu
buahnya habis, yang ada tinggal kalengnya. Mau?"
"Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata
Joni. Wajahnya kelihatan kecewa, tapi yang namanya Joni
kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian
wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi.
"Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak
suami perempuan setengah baya itu.
"Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau
nama yang dibuat-buat. Asli dari pemberian orang tua saya.
Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!"
"Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan
sesuatu terhadap dirimu, bolehkan?"
"Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan
saya bisa menjawabnya. Mau Soal Ekonomi, Politik, Sastra,
sampai soal buntut yang banyak digemari dan membuat
orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya
nggak sanggup jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret
kayak air ledeng yang suka macet."
"Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau
bapak tanyakan, sebenarnya kamu ini anak siapa?"
"Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya."
"Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa?
Juga nama ibu kamu."
"Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu
nama Bapak dan Emak saya, tapi saya kenal betul dengan
mereka."
"Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu
itu?"
Joni menggelengkan kepalanya.
"Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu,
apalah artinya sebuah nama."
"Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya
kamu ini mau ke mana dan dari mana?"
"Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau
ke depan dan dari belakang." jawab Joni membuat
pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar
jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang.
"Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa,
sehingga kami menemukan kamu dalam keadaan
pingsan?"
"Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman
saya. Tapi dasar brengsek, tukang ojeg motor yang saya
tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa
kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh."
"Ya, bapak tahu itu."
"Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?"
"Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?"
"Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu.
Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu."
"Tempat tinggalnya?"
“Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya
nggak tahu di mana tempat tinggal paman saya itu. Cuma
yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu merah,
nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko
China!"
"Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari
alamat pamanmu itu, Jon."
"Lho, kenapa?"
“Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos
polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung."
"Ah, masa. Pak?"
“Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak
bakal bisa menjumpai tempat tinggal pamanmu."
"Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"
"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya
kamu pulang saja. Atau kamu tanyakan kembali pada
kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu.
Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi
mencari alamat tempat tinggal pamanmu itu."
"Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung."
"Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu
tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu."
Joni menggelengkan kepala.
"Takut, Bu."
"Takut? Kenapa? Apakah bapakmu galak tehadap
dirimu?"
"Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak
bakal mau menjawab meskipun saya menanyakannya
sampai mulut saya berbusa.”
“Apakah bapakmu itu bisu?”
"Saya kurang tahu. Dulu sih nggak."
"Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih? Menurut dugaan
ibu, pasti kamu bohong mengenai soal bapakmu itu. Tidak
mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya tidak mau
menjawab."
"Ibu nggak percaya?"
"Tidak."
"Saya juga tidak percaya, Jon."
"Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang
Bapak saya itu bisa menjawab pertanyaan saya, saya yakin
Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener, deh. Malah
Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong
besar!"
“Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!"
“Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati
ditanya bisa menjawab."
"Apa??? Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal
dunia, Jon???!” teriak keduanya. Pasangan suami istri
setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat
seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat
duduknya masing-masing saking kagetnya.
Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu
terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak.
"Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?"
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar