Rabu, 27 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE BINTANG MALAM (TDS)

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 WIRO SABLENG EPISODE BINTANG MALAM



SATU


SEPULUH MATI BERBARENGAN


KETIKA Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang 

batu kembali kagetnya seperti disambar geledek. 

Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di 

atas jalur-jalur kayo besi penutup kolam tak ada lagi! 

"Jahanam!" Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil 

kepalkan dua tinjunya hingga mengeluarkan suara 

berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu! 

Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari 

tempat ini. Tak ada jalur kayu yang patah. Tak ada tulang 

belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak memangsa-

nya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!" 

Kelelawar Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda 

pincang muncul. Rapatkan dua tangan di atas kepala, 

memberi hormat seraya bungkukkan tubuh. 

"Pincang! Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada 

di sini?!" 

"Tahu sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang. 

"Kau lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya 

lumpuh. Dia tak mungkin kabur dari sini! Berarti ada yang 

membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa yang kau 

ketahui! Apa yang kau lihat?!" 

"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak 

mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak tadi saya 

berada di ruang belakang."


"Kalau bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat 

ini pasti ada pengkhianat di sini! Pincang! Panggil Tuyul 

Orok!" 

"Maaf Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar 

ketiduran ibunya. Dalam keadaan cidera. Dia tak mampu 

berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus memanggil-

nya juga?" 

"Kalau begitu panggil semua kelelawar bintang satu. 

Suruh mereka menghadapku sekarang juga!" 

Si pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di 

kursi batu. Menunggu dengan penuh rasa tidak sabar. Tak 

lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi 

dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke 

tempat itu. Berdiri berjejer, rapatkan tangan di atas kepala 

dan membungkuk berikan hormat pada Sang Pemimpin. 

Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung 

dengan cepat. 

"Kalian cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian 

yang lain?!" 

Salah seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu 

tindak, letakkan dua tangan di atas kepala baru menjawab. 

"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara 

kami telah dibantai di Teluk oleh seorang pemuda 

berambut gondrong berpakaian serba putih." 

Kelelawar Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu, 

bangkit berdiri. Matanya yang sipit membuka lebar. 

"Tidak bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki 

pemuda gondrong itu?!" 

"Kami tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan 

memancarkan cahaya putih yang panasnya sepuluh kali 

sinar matahari." 

"Omong kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung 

Roh. "Di atas kolam itu tadi menggeletak seorang nenek. 

Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek sudah lenyap!


Apa yang kalian ketahui? Kalian melihat apa?!" 

Diam. Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawan-

kawannya tidak membuka suara. Beberapa diantara 

mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin 

segera maklum ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh 

kelelawar kepala bayi yang merupakan anak-anaknya itu 

menyembunyikan sesuatu. 

"Semua kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian 

mengetahui sesuatu. Kalian melihat sesuatu! Lekas ada 

yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian 

bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!" 

Masih diam. Tak ada yang bergerak atau membuka 

mulut. 

"Baik. Kalian memilih mati percuma!" 

Sang Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan 

perlahan-lahan diangkat ke atas. Di antara para kelelawar 

kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang 

terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya 

rapatkan tangan di atas kepala, membungkuk. Suaranya 

agak gemetar karena takut. 

"Mohon maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya 

menjalankan perintah." 

"Perintah? Perintah apa? Perintah siapa?!" 

"Perintah Tuyul Orok." 

Kelelawar Pemancung Roh kerenyitkan kening dan 

pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi yang berdiri di 

depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada 

sembilan kelelawar lainnya. 

Sambil meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar 

Kelelawar Pemancung Roh bergumam. 

"Hemmm... Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di 

tempat ini!" Lalu makhluk bertubuh tinggi besar ini 

membentak. "Lekas terangkan apa yang terjadi!" 

"Kami… kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki


Bukit Jati." 

Bukit Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa 

jauh di utara Teluk Akhirat tempat kediaman Kelelawar 

Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini 

bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar 

disebutnya Bukit Jati. 

"Di bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu 

kalian tinggalkan?" 

"Kami memasukkannya ke dalam Goa Air Biru." 

"Jahanam gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber 

air minumku! Kalian berani membawanya kesana!" 

"Mohon maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya 

menjalankan perintah." 

"Kapan Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu 

pada kalian?" 

"Sewaktu dirinya dalam cidera berat, didukung oleh 

ibunya menuju kamar ketiduran." 

Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke 

lantai. Ruangan batu itu bergetar. Air di dalam kolam 

menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam 

melompat sampai beberapa kali. 

"Tuyul Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan 

kalian. Hanya perintahku yang wajib kalian laksanakan! 

Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!" 

"Mohon maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar 

berkepala bayi berucap berbarengan. 

"Tolol! Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus 

mampus semua!" 

Kelelawar Pemancung Roh angkat dua tangannya ke 

atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa Kematian. 

Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan, 

saling berangkulan satu sama lain. 

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki berlari men-

datangi. Sesaat kemudian delapan perempuan muda


berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan 

diri di depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan 

ratap permohonan. 

"Sang Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami. 

Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan mereka." 

Sesaat Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi 

delapan perempuan yang kesemuanya adalah istri-istri 

paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang 

garang. Menyusul suara tawa bergelak. 

"Kelihatannya semua ini seperti sudah diatur! 

Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan tempat 

ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan 

Seribu Hawa Kematian!" 

"Sang Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami, 

kami rela ikut mati bersama mereka." Perempuan yang 

berlutut paling depan berikan jawaban. 

Kelelawar Pemancung Roh menggereng marah. "Baik, 

kalau itu mau kalian! Buka mata kalian lebar-lebar! 

Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata 

begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah 

sepuluh kelelawar kepala bayi. Tangan dan kakinya ber-

gerak tiada henti. 

"Bukkk!" 

"Praaak!" 

"Duuukkk!" 

"Praakk!" 

Sepuluh kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh 

mereka mencelat lalu jatuh di lantai batu dalam keadaan 

tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau 

kepala pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada 

henti. Jeritan mereka bertambah keras ketika menyaksikan 

bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang 

adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian 

secara mengerikan seperti itu. Sepuluh sosok hancur tak


bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap. 

"Tinggalkan tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti 

itu?!" 

Delapan perempuan mudaa masih menjerit. Salah 

seorang diantaranya berteriak. 

"Terkutuk kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas 

dirimu! Kau membunuh anakmu sendiri!" 

"Plaak!" 

Satu tamparan kerass membuat perempuan itu melintir 

dan jatuh terkapar di lantai batu. Pingsan dengan mulut 

pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali masing-

masing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman 

mereka yang pingsan meninggalkan tempat itu. 

"Setan semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar 

Pemancung Roh. Dia hendak duduk di kursi batu tapi tidak 

jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani melangkahi 

kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu! 

Dimana kalian berdua saat ini?!" 

Habis memaki dan merutuk begitu makhluk ini, 

melangkah cepat ke dinding kiri ruangan. Di situ ada 

sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang 

berhubungan dengan satu bangunan di bawah tanah. 

Dimana terdapat belasan kamar. 

***


DUA


PERKELAHIAN DI BAWAH TANAH


KLELAWAR Pemancung Roh berjalan cepat menuju 

bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia 

membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan 

membuat dia tidak mau menempuh, lorong yang 

membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar 

tidur selusin istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan 

makhluk penguasa Teluk Akhirat ini ternyata benar. Seperti 

diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia 

memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar 

bersama Bintang Malam, salah seorang dari dua belas 

istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari 

pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung 

menggebuk dengan pukulan tangan kanan. 

Jotosan yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh 

ke dada Pendekar 212 demikian hebatnya. Tidak beda 

dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan 

kati! Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng 

terkapar megap-megap di dalam kolam yang terdapat di 

kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh 

ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada 

yang mencekik hingga dia sulit bernafas. 

Selagi Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam 

kolam Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan 

Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan


ini. 

"Perempuan celaka! Pasti kau yang memberikan obat 

penangkal racun Seribu Hawa Kematian pada pemuda itu! 

Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun 

Seribu Hawa Kematian!" 

"Sang Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak 

mengenal pemuda itu. Dia masuk...." 

"Plaakk!" 

Satu tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang 

Malam terpekik dan terbanting jatuh di lantai. Sudut bibir 

sebelah kiri pecah. Darah mengucur. 

"Kau berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada 

yang melihat kau bicara dengan dia di pantai! Akui semua 

perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh 

makhluk tidak berguna ini!" 

Sekali lompat Kelelawar Pemancung Roh telah men-

cekik leher Tuyul Orok yang ada di atas tempat tidur. 

Bintang Malam terpekik. 

"Jangan! Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu. 

"Akui perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau 

tidak dia dan juga dirimu akan menerima kematian yang 

sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher kalian!" 

"Sang Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa. 

Aku...." 

Mata sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar. 

Rahangnya menggembung. Seringai setan menyungging di 

mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul 

Orok bergerak. 

"Kreekkk!" 

Daging dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur. 

Bintang Malam menjerit keras. 

Kelelawar Pemancung Roh keluarkan suara mendengus 

lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang Malam. 

"Sekarang giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh


seraya melangkah mendekati Bintang Malam. Tangan 

kanan diulurkan. 

"Tidak! Jangan! Ampun...." Perempuan itu hanya bisa 

berteriak dengan muka pucat, sepasang mata mendelik. 

Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan 

Kelelawar Pemancung Roh berkelebat. 

Sesaat lagi lima jari tangan yang kukuh akan 

mencengkeram leher Bintang Malam, tiba-tiba dari 

samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!" 

Kelelawar Pemancung Roh melenguh pendek. 

Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas. Tubuhnya 

terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak 

diperdulikan. Bayangan putih kembali berkelebat. 

Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya sambil 

membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis. 

"Bukkk!" 

Dua lengan beradu keras. 

Kelelawar Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan 

hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat mengimbangi 

diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancar-

kan serangan jatuh terduduk tli lantai. 

Bintang Malam kembali terpekik. Dia berusaha 

mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul Orok terkapar. 

"Anakku!" ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan 

hendak memegang Tuyul Orok yang telah menemui ajal 

dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun 

kembali sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat 

menyentuh tubuh anaknya, sosok Tuyul Orok mengepul, 

berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan 

mata. Bintang Malam memekik sekali lagi. 

Kelelawar Pemancung Roh menggereng. Melangkah 

mendekati Bintang Malam. 

"Lari! Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro. 

Dalam bingungnya perempuan hamil itu masih terus


menjerit. 

"Tidak ada tempat lari bagimu perempuan celaka!" 

teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia lepaskan satu 

pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam 

menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian. 

Pukulan ini memiliki daya jebol dan menghancur luar biasa 

dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai terkena, 

maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi 

ratusan serpihan kecil! 

Melihat bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto 

Gendeng yang menderita luka dalam cukup parah akibat 

jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan 

pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. 

"Wusss!" 

Serangkum angin laksana satu gelombang raksasa 

menderu menghantam ujung sinar hitam pukulan 

Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan 

tubuh Bintang Malam. 

Satu letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu 

dua pukulan sakti saling bertumbukan. Tempat itu 

diselimuti asap berwarna kelabu. 

Bintang Malam menjerit. 

Sosok tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar 

ke dinding. Tangan kanannya terkulai, sakit dan untuk 

sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar 212 

Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan 

kanan yang serasa remuk. Darah makin banyak meleleh 

dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut sakit. 

Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu. 

Terhuyung-huyung Kelelawar Pemancung Roh me-

langkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya. 

Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati 

Menginjak Bumi, dia hunjamkan kaki kanannya ke kepala 

Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh 

Wiro berputar. Kaki kanannya melesat ke atas. Kelelawar 

Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya serangan 

kilat itu tapi tak sempat mengelak. 

"Bukkk!" 

"Kraaakk!" 

Jeritan Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di 

seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke dinding. Dua 

tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak 

menyeringai. 

"Pendekar 212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta 

kesaktian! Seumur hidup kau tak bisa membunuhku! 

Sekarang terima kematianmu!" 

Begitu berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar 

Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng, kumpulkan sisa 

tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di 

depan sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri 

bertolak pinggang. Kepala setengah didongakkan. Se-

pasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini men-

delik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup 

menyedot panjang dan dalam. 

Murid Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu 

hawa luar biasa dahsyat menyedot tubuhnya ke depan. Dia 

berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada. 

Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas! 

"Gila! Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk 

Wiro. Sedotan hawah aneh membuat dia tak bisa bernafas. 

Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya, hidung 

dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau 

bertanggalan. Jantungnya laksana mau copot! Dalam 

keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke arah Kelelawar 

Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar 

hebat seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan 

hidung Kelelawar Pemancung Roh. Inilah ilmu yang


dinamakan Seribu Hawa Penyedot Roh. 

Makhluk tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam 

menghirup dia juga mampu keluarkan tawa bergelak. Dua 

tangannya kemudian diangkat ke atas. 

"Sreekk!" 

"Sreekk!" 

Sepuluh jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah 

menjadi sepuluh cakar besi, panjang runcing mengerikan 

karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan 

merah. Darah! 

Di saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat 

dihindari itu Wiro berteriak keras kerahkan seluruh tenaga 

dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul ke 

depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau 

membuat leleh seantero ruangan. Air kolam bergemericik 

seperti mendidih. 

"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung 

Roh Makhluk ini cepat tekuk lutut dan rundukkan kepala. 

"Wuss!" 

Pukulan Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepala-

nya, membakar sebagian rambutnya yang kasar awut-

awutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di 

belakang sana. 

"Keparat jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. 

Gerakan dua tangannya di percepat. Satu ke dada, yang 

lain ke perut Wiro. 

"Jebol jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto 

Gendeng dalam hati. Tangan kirinya cepat menyelinap ke 

balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut Naga 

Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara 

sepuluh jari tangan lawan sudah berada dekat sekali. 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro menyentuh 

sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak, 

bukan batu hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda


apa? Wiro sentakkan benda itu dari pinggangnya. Ternyata 

benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu 

yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa 

waktu lalu. 

Wiro ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi 

Hitam itu. "Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di 

kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu 

kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa 

menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu." 

Tidak menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat 

kepala yang terbuat dari kain sutera hitam di tangan kirinya 

ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya pelangi 

menderu dari batu hitam yang menempel di kain. 

Kelelawar Pemancung Roh bukan saja kesilauan tapi 

seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya 

hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur. 

Dua tangan yang tadi hendak mencakar ganas ke dada 

dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk melindungi 

sepasang matanya. 

Serangan yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari 

ikat kepala kain sutera ternyata bukan hanya berupa sinar 

menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara 

menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tiba-

tiba melesat keluar kepala seekor srigala putih bermata 

merah. Besar kepala binatang jejadian ini dua kali ukuran 

kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung 

panjang, lalu dengan mulut menganga melompat 

menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh. 

Sesaat Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap. 

Namun dilain kejap dia membentak keras. 

"Makhluk jahanam! Kembali ke asalmu!" 

Sambil membentak Kelelawar Pemancung Roh 

hantamkan kepalannya ke kepala srigala jejadian. 

Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala


jejadian ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit 

setinggi langit. Keningnya robek ditoreh taring srigala 

jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat 

tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung 

sosok tinggi besarnya berputar. Wiro cepat mengejar tapi 

sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh telah lenyap 

dari tempat itu. 

Wiro memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada 

lagi di tempat itu. 

"Celaka! Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk 

jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga tidak melihat sosok 

mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas 

tempat tidur. 

Tiba-tiba Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi 

dengan mata melotot tangan kirinya. 

"Astaga!" Sang pendekar terkejut besar. 

Kain ikat kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan 

kirinya dan dipergunakan untuk menyerang Kelelawar 

Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang, 

selinapkan tangan mencari-cari 

"Sialan! Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat 

kepala sutera hitam pemberian Pelangi Indah!" Wiro 

memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri. 

Bukan saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar 

Pemancung Roh, tapi benda sakti pemberian Ketua 

Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan! 

Wiro melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang 

dikatakan Bintang Malam dia membelok ke kiri lalu 

berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah 

hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam 

besarnya. 

***


TIGA


KAKEK DALAM KERANGKENG BESI


SEPERTI diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar 

Pemancung Roh memasuki ruangan yang ada kolam 

ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam 

keadaan lumpuh tidak mungkin si nenek melarikan diri. 

Pasti ada yang menolongnya keluar dari tempat itu. Sesuai 

pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang 

kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul 

Orok, bersama sembilan temannya kelelawar muka bayi 

tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru. 

Sinto Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam 

keadaan tertotok di atas jalur-jalur kayu besi di perrnukaan 

kolam buka dua matanya yang terpejam ketika mendengar 

suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu 

itu. 

"Makhluk-makhluk jahanam," desis si nenek begitu 

melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar bermuka bayi. Di 

ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam. 

"Mau apa mereka…. Mau menggerogoti tubuhku?" 

Sepuluh makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup 

kolam, mengelilingi sosok Sinto Gendeng. Untuk kesekian 

kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga 

dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai 

dua kali untuk mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh

dari sepasang matanya. Pertama ketika, berhadapan


dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia 

ditinggal sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnah-

kan Ikan Dajal di dalam kolam sebelum ikan itu nanti 

dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan 

mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua mata-

nya bergetar saja tak bisa dilakukannya. Masih untung dia 

dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke berbagai 

jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok 

tubuhnya. Totokan yang dilakukan agaknya bukan totokan 

biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan walau 

telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak 

bisa mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya 

hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak dapat dikeluarkan. 

"Kalian mau apa?!" hardik Sinto Gendeng. 

Tak ada satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan 

jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu menggigit dan 

mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai 

mengangkat tubuhnya, setengah terseret setengah di-

terbangkan, Sinto Gendeng kembali membentak. 

"Makhluk celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!" 

Tetap tak ada yang menjawab. 

Ketika akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka 

di tepi pantai, dibawa ke arah utara, nenek ini masih belum 

bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar 

bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat 

jahat untuk mencelakai. 

Karena sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya 

dengan kaki di sebelah depan maki Sinto Gendeng dapat 

memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang 

ditempuh bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk. 

Mereka melewati sebuah pohon kelapa buntung bekas 

disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang 

berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret 

memasuki goa batu berwarna biru. Sepanjang lantai goa


terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di tempat itu 

terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi 

Sinto Gendeng mulai merasa-rasa bahwa sepuluh 

kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud jahat 

terhadapnya. 

Di ujung lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat 

telaga ini Sinto Gendeng jadi menggerendeng dalam hati. 

"Sialan! Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan 

dalam telaga. Disuruh mandi!" Si neriek mendadak ter-

diam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di 

dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal mem-

bantai diriku seperti Ikan Dajal di kolam batu." Si nenek 

langsung berteriak keras. 

"Tahan! Tunggu! Turunkan aku di sini!" 

Sepuluh kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi 

memenuhi perintah. Ternyata si nenek tidak diceburkan ke 

dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu 

masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan 

cukup besar di dinding batu. 

Dua mata Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan 

satu pemandangan luar biasa di depannya, hingga tidak 

menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah 

meletakkan tubuhnya di lantai batu. 

Di dalam cegukan besar di dinding batu, hanya dua 

langkah dari tubuhnya digeletakkan duduk seorang kakek 

berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi 

satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias 

sepasang matanya yang berwarna kebiru-biruan, bening 

tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi mengenakan 

jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai 

batu. Yang luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek. 

Mulai dari bagian atas sampai ke leher, kepalanya 

terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat. 

Bagian atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang


dikaitkan pada sebuah gelang besi yang menyembul di 

langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi 

jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya 

dapat menjulurkan kaki, menggerakkan ke dua tangan. 

Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu dilakukan 

lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng 

besi,yang menjepit lehernya berbentuk mata gergaji, besar 

dan amat tajam. Pada leher si kakek kelihatan guratan-

guratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian 

kelihatannya masih baru. 

"Gusti Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan 

manusia satu ini?!" membatin Sinto Gendeng. 

Anehnya walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si 

kakek tampak tenang, malah tersenyurn kecil sewaktu 

melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya. 

Sepuluh kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di 

atas kepala lalu berbarangan berkata. “Ki Sepuh Tumbal 

Buwono, terima salam hormat kami untukmu." 

Kakek berjubah biru gombrong kedipkan mata. 

Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas terdengar ketika 

dia keluarkan ucapan. 

"Sepuluh kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau 

antar ke hadapanku? Udara di tempat ini mendadak 

menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau 

nenek ini?" 

Sepuluh kelelawar muka bayi tak berani menjawab, 

hanya saling pandang satu sama lain. 

Sinto Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu 

mendengar ucapan si kakek. Tapi dia diam saja karena 

ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala 

bayi. 

Salah seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas 

kepala, membungkuk lalu berkata. 

"Ki Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak


tahu siapa adanya nenek ini. Kami hanya menjalankan 

perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa 

dirinya ke sini." 

"Kalau begitu siapa yang memberikan perintah?" 

Bertanya si kakek. 

"Tuyul Orok." 

"Tuyul Orok?" 

"Putera Sang Pemimpin dengan seorang perempuan 

bernama Bintang Malam." 

Orang tua bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam 

sejenak, seperti tengah berpikir dan mengingat-ingat. Lalu 

tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya 

kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi 

yang mencengkeram kepalanya sampai ke leher. 

"O ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai 

mengangguk segala!" kata Sinto Gendeng dalam hati. 

"Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang mengazabnya 

seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak 

seperti ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di 

kepalanya!" 

Salah seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur 

hormat letakkan dua tangan di atas kepala. 

"Ki Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalan-

kan. Kami mohon diri." 

Sepuluh kelelawar muka bayi melangkah mundur. 

"Tunggu!" Kakek rambut putih berkata sambil angkat 

tangan kirinya. "Sebelum pergi ada sesuatu yang harus 

kalian lakukan." 

"Mohon Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami 

laksanakan," ujar kelelawar kepala bayi yang barusan 

minta diri. 

"Ceburkan nenek bau pesing itu ke dalam telaga!" 

Sepuluh kelelawar muka bayi tercengang, sama 

keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng sendiri berseru


kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah, 

memandang mengancam pada sepuluh kelelawar muka 

bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu 

mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk 

tak karuan. 

***


EMPAT


SINTO GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA


KARENA tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka 

bayi bergerak lakukan perintah, Ki Sepuh Tumbal 

Buwono menegur. 

"Sepuluh kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku. 

Mengapa tidak dilaksanakan?" 

"Ki Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang 

tadi selalu bicara mewakili teman-temannya akhirnya 

menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan 

perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang 

Pemimpin. Jika sampai dicemari...." 

Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa. 

"Kalian anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang 

Pemimpin perlu diberi minuman istimewa. Kini dia 

mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya 

dia merasa beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke 

dalam telaga atau kalian yang aku ceburkan sebagai 

gantinya!" 

Sinto Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka 

bayi ketakutan mendengar ancaman si kakek. Padahal 

jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja 

dari duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau 

lehernya putus digorok besi yang melingkari lehernya, 

menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.


Nyatanya, sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak 

bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto Gendeng. 

"Hai! Awas kalau kalian berani...." Sinto Gendeng 

berteriak. 

Tubuh si nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu 

dilempar. Byuurr! 

"Kampret kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Ter-

telentang di dalam telaga dia menunggu. Sebentar lagi 

tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang 

buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakut-

kannya tidak terjadi. "Eh...?" Sinto Gendeng putar sepasang 

matanya. 

Telaga di dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar 

memiliki kedalaman sampai sepuluh kaki. Namun inilah 

keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja 

orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di 

permukaan telaga. Begitu juga dengan tubuh Sinto 

Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini 

mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti 

juga ditelan perasaan heran dan aneh. Tubuhnya terasa 

sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek. 

Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka 

bayi tak ada lagi di tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya 

kakek jubah biru gombrong duduk memandang ke arahnya 

sambil senyum-senyum. 

"Tua bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyum-

senyum terus. Jangan-jangan bangsa kakek-kakek ganjen!" 

Ucap Sinto Gendeng dalam hati. 

Di bagian dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang 

menjadi tempat masuknya aliran air baru. Di sebelah atas 

air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua 

saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air 

mengalir menuju bangunan dibawah tanah tempat 

kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air mengalir


terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau 

yang melekat di pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama-

lama menjadi bersih. 

Sinto Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada 

dalam telaga. Keluar sendiri tentu saja tidak bisa. Dua 

kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya 

dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih 

jubah biru yang duduk di dalam cegukan batu hanya 

senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk 

mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini 

tak bisa melakukan hal itu karena lehernya terjerat 

kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan tangan, 

tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada 

dalam telaga. Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri. 

Tapi ditunggu sampai sekian lama tak ada tanda-tanda dia 

bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik 

ke arah si kakek. 

"Orang tua berjubah biru! Pertama kali kau telah 

menghinaku, dengan menceburkan diriku ke dalam telaga. 

Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di 

dalam telaga ini?” 

"Ah, rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam 

air sejuk. Kau ingin naik sekarang?" 

"Kalau kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?" 

tukas Sinto Gendeng. Si nenek kemudian gigit bibirnya 

sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak 

untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, 

kakiku sebelah bawah dalam keadaan lumpuh. Dua 

tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di 

sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong 

mengeluarkan aku dari dalam telaga?" 

Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. 

"Disini hanya kita berdua. Tak ada orang lain." 

Menerangkan Ki Sepuh Tumbal Buwono.


"O ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!" 

"Nek, kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang 

seseorang. Aku bisa minta bantuannya mengeluarkan kau 

dari dalam telaga." 

"Siapa? Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran. 

Tubuhnya mulai menggigil kedinginan karena terlalu lama 

di dalam air. 

"Sabar saja. Sebentar lagi pasti muncul..."' jawab Ki 

Sepuh. "Sekarang orang itu sedang kebingungan. Aku 

harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia 

bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat." 

"Siapa orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng 

bertanya. 

"Salah seorang istri Kelelawar Pemancung Roh." 

"Mengapa berlaku totol menolong istri makhluk jahanam 

itu?!" 

"Perempuan itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya 

adalah korban-korban tak berdaya yang perlu ditolong." 

"Hemmm begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang 

sudah kedinginan setengah mati kau biarkan. Ki Sepuh, 

kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap 

burung di udara, burung dalam celana dilepaskan." 

Ki Sepuh Tumbal Buwono tersenyum. 

"Nek, kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi. 

Ujar-ujar yang aku dengar tidak begitu bunyinya." 

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek 

gendeng. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa. 

*** 

BINTANG Malam lari sambil tiada hentinya menangis. 

Sengsara derita hidupnya selama sepuluh tahun menjadi 

istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan. 

Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat


membebaskan diri. Namun selalu sia-sia. Hanya bunuh diri 

saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita 

mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau 

Tuyul Orok berujud bukan seperti manusia, tapi bagai-

manapun juga dia adalah anak darah daging yang 

dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak 

yang malang itu. Dibunuh oleh ayahnya sendiri! 

Dalam larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil 

itu tidak tahu mau menuju kemana. Dia berlari sepanjang 

lorong yang akan membawanya ke tepi pantai. Biasanya 

begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan 

kelelawar dan pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang 

berputar-putar mengelilinginya. Mereka telah mendapat 

perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi 

siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang 

punya niat melarikan diri maka makhluk-makhluk itu sudah 

diberi wewenang untuk membunuh. 

Sekali ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga 

puluh kelelawar kepala bayi termasuk anaknya telah 

menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung 

Roh, dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng. 

Lalu masih ada puluhan kelelawar anak buah Kelelawar 

Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian. 

Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar 

seratusan. Saat itu kelelawar-kelelawar yang masih hidup 

itu hanya terbang kian kemari di atas pantai. Belasan ekor 

diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada 

yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu 

makhluk ini memandang dengan mata menyorot merah 

dan keluarkan suara beringas, kini semua memperhatikan 

dengan pandangan sayu. 

Bintang Malam tidak sempat memikirkan mengapa 

binatang-binatang itu kini berada dalam keadaan seperti 

itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat


itu. Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul 

Orok digendongnya, dilarikan dari pantai dibawa ke dalam 

kamar di dalam bangunan di bawah tanah. 

"Ibu, kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu. 

Masuk ke dalam Goa Air Biru di kaki Bukit Jati. Disitu ada 

seseorang yang bisa menolong Ibu...." Ucapan Tuyul Orok 

terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro 

terasa sesak dan jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang 

Malam saat itu tidak memperhatikan apa yang diucapkan 

anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, meng-

gendong Tuyul Orok, berusaha sampai ke tempat 

kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau sang 

anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh 

oleh ayahnya sendiri! 

Begitu ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang 

Bintang Malam segera lari ke arah utara, menuju Bukit Jati. 

Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan juga 

pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak 

tahu dimana beradanya goa yang konon airnya merupakan 

satu-satunya sumber air minum Kelelawar Pemancung 

Roh. 

Ketika sang surya condong ke barat, megap-megap 

kehabisan nafas Bintang Malam sampai di kaki Bukit Jati. 

Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak 

kuasa lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari. 

"Gusti Allah...." Bintang Malam menyebut nama Tuhan. 

"Kalau Kau ambil nyawaku saat ini juga aku ikhlas Ya 

Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini. Sepuluh 

tahun...." 

Ucapan Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di 

telinganya mengiang satu suara. 

"Perempuan malang, berdirilah. Kuatkan kakimu. 

Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus langkah ke arah 

kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa


yang hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga 

langkah di belakang pohon itu ada semak belukar. Masuk 

ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus sampai kau 

menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke 

dalam goa, ikuti jalan berbatu biru yang diapit dua jalur 

aliran air biru. Di ujung goa ada sebuah telaga. Kau akan 

menemukan diriku di seberang telaga air biru." 

Bintang Malam bangkit berdiri sambil mengusap 

telinganya. Perempuan ini memandang berkeliling. 

"Ada orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku 

hanya aku dan Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu 

mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku 

masuk ke Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar 

Pemancung Roh. Dia pasti tengah berusaha mencariku. 

Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian meng-

habisiku di tempat itu!" 

Bintang Malam bingung, hatinya merasa ragu. 

"Bintang Malam, buang semua keraguan dihatimu. 

Lekas berjalan kesini...." Suara mengiang kembali 

memasuki telinga. 

"Anakku mengatakan ada orang di dalam goa yang akan 

menolongku. 

Siapa?" Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam 

hati. “Kalau aku menjawab dengan ilmu mengirimkan 

suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung 

Roh." Semakin bingung perempuan ini. 

"Bintang Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam 

jika berada di luar sana." 

"Ya Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, 

selamatkan diriku sampai ke dalam goa." Setelah 

memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah 

mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki 

Bukit Jati ke arah kanan. Di satu tempat dia menemui 

pohon kelapa yang disambar petir. Seperti petunjuk suara


tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan 

semak belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya 

Bintang Malam menerobos masuk memasuki semak 

belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui 

mulut goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam 

goa ada satu jalan kecil dari batu biru, diapit dua aliran air 

berwarna biru. Bintang Malam melangkah sepanjang jalan 

batu ini. 

Beberapa puluh langkah memasuki goa benar saja, 

Bintang Malam menemui sebuah telaga cukup besar. 

Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat 

sosok seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di 

dalam satu cegukan besar di dinding batu. Bintang Malam 

membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya 

langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si 

kakek. Kepala berada dalam kerangkeng besi, kulit 

sepucat mayat, mata cekung berwarna biru. Perempuan ini 

letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut 

menahan takut. Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat 

sewaktu melihat dan baru menyadari bahwa di dalam 

telaga di depannya mengambang sesosok tubuh. 

***


LIMA


KALAJENGKING PUTIH


DI DALAM telaga Sinto Gendeng memandang tak 

berkesip pada perempuan yang baru masuk ke 

dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah 

takut. 

"Ki Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang 

bakal menolong diriku keluar dari dalam telaga?" Sinto 

Gendeng berseru. 

Ki Sepuh perhatikan perut Bintang Malam yang buncit 

lalu angkat tangan kanannya, dilambaikan ke perempuan 

itu. 

"Bintang Malam, kau tak usah takut. Kau berada di 

tempat yang aman. Kemari mendekat...." 

"Orang tua, kau... kaukah yang tadi mengirimkan suara 

pada saya?" Bintang Malam beranikan diri bertanya. 

"Benar, anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita 

tentang dirimu padaku...." 

"Maksud Kakek, Tuyul Orok?" 

"Ya." 

"Anak itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh 

Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya sendiri." 

Sepasang mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam. 

Bibirnya bergetar. "Durjana, betul-betul durjana." 

Perlahan-lahan si kakek buka matanya. 

"Bintang Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku


akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum kau kutolong 

harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari 

dalam telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku 

sebelah belakang." 

Sinto Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki 

Sepuh itu. Matanya yang cekung berputar melirik. 

Bintang Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto 

Gendeng, belum mau beranjak melakukan apa yang 

dikatakan Ki Sepuh. 

"Kau tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan 

menggigit. Pegang saja kakinya, tarik ke sini." Kata-kata itu 

diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian Sinto 

Gendeng tetap saja memaki panjang pendek. 

"Kakek edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja 

bilang aku cukup jinak, tidak menggigit!" 

Ki Sepuh tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang 

Malam untuk segera mengeluarkan Sinto Gendeng dari 

dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah 

hamil muda itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia 

pegang dua kaki Sinto Gendeng. 

"Nek, maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku 

tidak kuat. Lagi pula aku dalam keadaan hamil. Aku 

terpaksa, menarik kakimu." 

Sinto Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara. 

Cepat keluarkan aku dari dalam telaga. Bagaimana 

caranya terserah kamu!" 

Walau tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup 

susah bagi Bintang Malam menariknya, membawanya ke 

belakang Ki Sepuh. 

"Aduh, tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata 

Bintang Malam. 

"Daging dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang 

berat," ujar Ki Sepuh. Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagi-

lagi membuat Sinto Gendeng mengomel.


Sesuai yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si 

kakek, Bintang Malam angkat ke atas jubah gombrong Ki 

Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam 

jubah. 

"Hai! Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini! 

Mengapa aku dimasukkan ke dalam jubah bau apak ini!! 

Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak 

senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng ber-

teriak. 

"Itu tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat." 

Berkata Ki Sepuh. 

Sinto Gendeng memaki. 

“Aku tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah 

menolongmu sebisaku. Aku tak punya kekuatan apa-apa. 

Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting 

cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!” 

Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh 

Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat kemudian terdengar 

ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa arti 

dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama 

disini. Dan ada satu syarat! Asal kau tidak kentut saja! 

Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!” 

Aku janji tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji." 

"Janji apa?" tanya Sinto Gendeng. 

"Asal kau tidak kencing!" jawab si kakek. 

Sinto Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan. 

"Kau kakek-kakek lucu!" 

"Kau juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?" 

"Aku tak akan memberitahu sebelum tahu banyak 

tentang dirimu!" Jawab Sinto Gendeng. 

"Begitu? Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau 

sudah tahu namaku. Jadi tak perlu ditanyakan lagi. 

Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?" 

"Manusia edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu


padamu! Buat apa!" 

Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa 

tahu kau naksir padaku. Ingin tahu apa aku masih 

sendirian atau bagaimana." 

"Amit-amit jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku 

tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin baik!" 

"Nah tepat dugaanku!" 

"Dugaan apa?" tanya Sinto Gendeng. 

"Kalau seorang nenek mulai memuji seorang kakek, 

berarti si nenek ada hati pada si kakek. Bukan begitu? 

Aduh...!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa yang kau 

lakukan?!" 

"Sekali lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi 

punggungmu!" 

Bintang Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi 

tertawa melihat kelakuan dan mendengar bicara sepasang 

kakek nenek itu. 

"Ba... baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo 

tanyakan apa yang hendak kau ketahui." 

"Kawasan Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar 

Pemancung Roh. Kau berada di tempat ini. Dalam keadaan 

di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa 

kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng...." 

"Nah Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku 

tidak akan menggigit punggungmu atau pinggulmu. Ha... 

ha... ha!" 

"Tua bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan 

Kelelawar Pemancung Roh!" 

"Dia muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja 

tapi membuat kejut bukan alang kepalang pada Sinto 

Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan, 

saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika 

kakek ini memang benar guru Kelelawar Pemancung Roh 

musuh besarnya itu, bukankah berarti saat itu sama saja


dia berada dalam sarang harimau? 

Bintang Malam sendiri memang pernah mendengar 

kabar tentang seorang penghuni aneh di Goa Air Biru. Tapi 

dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah 

bicara padanya. 

"Nek, kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu 

tadi itu saja?" Ki Sepuh menegur. 

Dengan suara bergetar Sinto Gendeng berkata. 

"Ketahuilah, muridmu itulah yang telah membuat aku 

lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu 

Hawa Kematian." 

"Tidak heran." Sahut si kakek. 

"Eh, apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng. 

"Aku saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang 

lain." 

Sinto Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam 

terbelalak. 

"Kek, jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus 

kepalamu dengan kerangkeng besi ini?" 

"Sejak lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya 

sengsara...." 

"Mengapa dia melakukan kekejaman begini keji 

terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam. 

"Ya, ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng. 

"Dia memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang. 

Aku menolak. Ketika dia memaksa sambil mengancam 

akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya. 

Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia 

minta yang empat lainnya. Ketika aku menolak, kepalaku 

dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku 

menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu pada-

nya. Lebih baik dia membunuhku dari melihat dia men-

celakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan tak ada 

gunanya. Semua sudah terjadi."


"Murid terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng. 

"Selama lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana 

kau makan, bagaimana kau minum Kek?" tanya Bintang 

Malam. 

"Ya, bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?" 

Sinto Gendeng menyambung pertanyaan Bintang Malam. 

"Aku tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan 

murid terkutuk itu setiap hari dua kali datang ke sini untuk 

menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu. Aku tak 

pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar 

sebagai keringat. Aku juga tak pernah buang air besar. 

Kalau aku kencing dan buang air besar pasti tempat ini 

sudah kotor dan busuk." 

"Aneh..." ucap Bintang Malam. 

"Luar biasa," ujar Sinto Gendeng. 

"Nek, Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat 

kau lumpuh tentu ada sebabnya. Silang sengketa apa yang 

ada diantara kalian?" 

"Empat puluh tahun lalu aku bersama orang-orang 

Kerajaan menumpas kaum pemberontak di kawasan 

selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada 

sangkut paut darah dengan Kelelawar Pemancung Roh aku 

habisi. Salah seorang diantaranya adalah ayah 

kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat. 

Kakek rambut putih, apapun yang dibuat muridmu, apapun 

yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut bertanggung 

jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau 

tidak bisa mendidiknya!" 

Ki Sepuh menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk 

ucapanmu itu. Aku telah menerima hukuman atas 

kebodohanku sendiri." 

"Kek, dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa mem-

bebaskan diri?" tanya Bintang Malam. 

"Kelelawar Pemancung Roh memiliki ilmu yang


membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku tahu nama 

ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah 

satu diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya. 

Dengan ilmu itu dia telah menyedot seluruh tenaga dalam, 

hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya mem-

punyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat 

dua tanganku, menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa 

berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima tahun dirangket 

seperti ini aku jarang sekali bisa tidur..." 

"Muridmu yang jahanam itu pasti juga telah menotok 

jalan darahku hingga, aku tidak bisa menggerakkan dua 

tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam 

untuk membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin 

kau tahu caranya agar aku bisa bebas?" 

"Nek, dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan 

yang disebut Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Kabarnya 

jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan 

itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa 

senjata tertentu yang mampu memusnahkan totokan itu." 

"Mungkin tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto 

Gendeng. 

"Mungkin tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup 

sakti, pada waktu dirimu ditotok pasti sudah menolak 

totokan." 

"Sialan!" Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu men-

dengar ucapan Ki Sepuh. 

"Selain Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan 

Kalajengking Putih yang bisa membebaskan dirimu dari 

totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan tambahan. 

"Kalajengking Putih? Edan! Baru sekali ini aku 

mendengar ada Kalajengking berwarna putih. Dimana bisa 

ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang 

bisa menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu 

Hawa Kematian?"


"Kelelawar Pemancung Roh satu-satunya orang yang 

memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia mencurinya dari 

aku." 

"Obat apa? Bagaimana bentuknya? Dimana 

disimpannya?" 

"Obatnya semacam cairan yang dibuat dari minyak 

bunga matahari langka. Yang tumbuh menghadap mata-

hari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu 

bulan gelap...." 

"Jadi bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto 

Gendeng. 

"Bukan," jawab Ki Sepuh lalu meneruskan 

keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan sama saja 

dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari." 

Sepasang mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanam-

kan ucapan si kakek dalam benaknya. 

"Mengenai cairan bunga matahari yang ada pada murid-

mu itu. Kau tahu dimana dia menyimpannya?" 

“Minyak itu disimpan dalam telur penyu yang sudah 

kering. Dimana murid murtad itu menyimpannya aku tidak 

tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana” 

"Ada yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di 

puncak Pegunungan Dieng...." 

"Betul," membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu 

lalu waktu musim kemarau yang sangat panjang, pernah 

terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga 

matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah 

semuanya bersama pepohonan lain." 

"O ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa 

sembuh dari kelumpuhan celaka ini!" keluh Sinto Gendeng 

dalam hati. 

"Ki Sepuh...." 

"Diam, jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong 

ucapan Sinto Gendeng. "Aku mendengar suara orang


mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk 

ke dalam jubahku di samping si nenek." 

"Kek...." 

"Aku sudah tahu siapa yang datang...." Ucap Sinto 

Gendeng. 

"Jangan bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di 

samping si nenek. Jangan ada yang bicara. Jangan ada 

yang bergerak. Usahakan menahan nafas!" 

Mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa 

banyak membantah lagi Bintang Malam segera menyelinap 

masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek. 


                                  TAMAT 


SEGERA TERBIT : 


DOSA YANG TERSEMBUNYI



--------------------------------------------------


ADRIAN MAPALADKA EPISODE  MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI



SATU


MALAM semakin larut ketika lolongan anjing 

terdengar untuk yang kesekian kalinya. Entah dari 

mana datangnya. Suasana tetasa sepi mencekam. 

Hanya sesekali terdengar suara gemerisik dedaunan yang 

tertiup angin. Sementara gemericik air sungai di kolong 

jembatan itu meski sayup-sayup tapi berkesinambungan. 

Hujan, telah lama tidak turun, sehingga volume air ber-

kurang. Permukaan air sungai itu terlihat turun sekitar 

setengah meter. 

Lolongan anjing kembali terdengar. Tapi pemilik gubuk 

kardus yang berada di kolong jembatan itu tidak peduli. Ia 

tidak menangkap firasat apa-apa. Mungkin karena hatinya 

telah beku, sehingga ketidak peduliannya pada apapun 

semakin menggunung. Baginya anjing itu mau melolong 

ratusan kalipun tidak akan membawa perubahan hidup 

untuknya. 

"Yang kita butuhkan saat ini adalah sebungkus nasi 

dengan lauk-pauknya," gumamnya lemas. "Perutku lapar 

sekali. Tapi malam-malam begini mau cari makanan di 

mana?" Dielus-elusnya kucing hitam yang berada dalam 

pelukannya sejaktadi. Ia berharap dengan mengelus-elus 

hewan itu siapa tahu rasa laparnya bisa berkurang. Kucing 

adalah hewan jinak yang apabila dielus-elus maka ia akan


semakin anteng. Tapi kali ini tidak. Hewan itu gelisah. 

Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Sepasang matanya 

tajam mengawasi ke segala arah. Sementara kedua 

telinganya tegak berdiri, seolah hendak menangkap suara 

sekecil apapun yang mencurigakan. 

"Iya, ya. Aku tahu, kau pun pasti lapar. Tahan sajalah. 

Besok kita cari makanan sebanyak-banyaknya biar perut 

kita kenyang. Sekarang selain lapar aku juga ngantuk. 

Mending kita tidur saja," katanya sambil menguap lebar. 

Kucing itu tidak peduli. Kegelisahannya semakin 

bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah. 

Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian 

dengan tiba-tiba ia berontak dan melompat dari pelukan 

majikannya. 

"Eeeh, mau ke mana kau? Ayo, sini!" Reflek ia bangun 

dan bermaksud mengejar. Tapi saat itu juga terdengar 

teriakan seseorang dari arah depan. 

Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya 

lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih 

dalam jarak yang berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari 

sekencang-kencangnya, bahkan nyaris beberapa kali 

terjatuh seperti dikejar-kejar setan. 

"Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriak-

nya dengan suara agak serak. Dari jarak dekat terlihat di 

wajahnya ada bekas luka cakar yang masih baru. Tubuhnya 

yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang 

sama. Si Gembel yang masih mematung di tempatnya 

masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempeduli-

kan saat pria kurus itu, terJerembab di dekatnya. 

"To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku. 

Tolong...." 

"Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk 

memandang ke segala arah, dan tidak melihat apa serta 

siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.


"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan mem-

bunuhku." Pria kurus itu meraih tangannya. Tubuhnya 

gemetar ketakutan. 

"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin mem-

bunuhmu. Ah, sudahlah! Jangan ngomong macam-macam." 

Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya 

yang tadi kabur entah ke mana. 

Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar, 

berusaha meyakinkan si Gembel. "Seseorang ingin 

membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku. Tolong-

lah." 

"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula 

kalau memang ada yang mau membunuhmu, apa yang 

bisa kubantu? Paling-paling aku kabur supaya orang itu 

tidak sekalian membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!" 

Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon 

asam. Hijau kebiru-biruan. Persis mata kucing dalam 

kegelapan. 

"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!" 

cegah si pria itu seraya menarik tangannya. 

"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauh-

jauhnya dari sini. Mana mungkin si Manis akan mem-

bunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja 

dia mencakarmu. He, apa tadi kau telah membuat si Manis 

kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak mem-

pedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya 

atau tidak. Perlahan didekatinya pohon asam itu sambil 

memanggil-manggil si Manis. 

Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya 

tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan 

cahaya hijau kebiru-biruan. Dan itu membuat si Gembel 

terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya sekarang 

bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan 

lepas begitu saja.


"Si... siapa kau?!" tanyanya dengan suara gagap 

ketakutan melihat si Manis benar-benar berwujud seorang 

wanita muda yang berparas cukup manis. 

Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot 

matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang 

berada di belakang si Gembel. Tenang dan perlahan 

dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus 

kabur. Sikap wanita itu masih tenang, demikiah pula 

langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang aneh. 

Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah, 

dan tahu-tahu telah melayang ke hadapan pria yang 

sedang dikejarnya. 

"Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris 

kebingungan kemudian berbalik arah. Tapi ke mana saja ia 

melangkah wanita itu selalu telah berada di hadapannya. 

Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam 

tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan 

diri. 

"Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau 

tidak mengenaliku? Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku 

Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?" 

Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan. 

Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak ter-

lihat perubahan pada mimik wajahnya mendengar kata-

kata pria yang mengaku bernama Burhan itu. 

"Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini? 

Setan apa yang telah merasuki tubuhmu? Lestari, aku 

Burhan, kekasihmu. Apakah kau tidak mengenaliku? 

Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!" 

bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya. 

Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti 

semula, tidak terlihat sedikit pun perubahan pada mimik 

wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya yang 

berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan diangkat


nya sebelah tangan, dan Burhan jelas melihat kelima jari-

jari wanita itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam, 

siap dihunjamkah ke tubuhnya. 

"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah 

menjadi jerit kesakitan yang panjang saat kelima kuku-

kuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di arah 

jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka 

tampak di telapak tangannya yang tergenggam jantung 

korban yang dipenuh darah. 

Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil 

sekujur tubuhnya. Keinginan untuk kabur secepatnya dari 

tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya seperti 

terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan 

sedikit pun. Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya 

yang berlumuran darah ke atas, dan pada saat yang 

bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari 

kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya. 

Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan 

semangatnya terbang entah ke mana. 

"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang? Ya Tuhan, 

tolonglah hambaMu ini. Aku belum mau mati. Aku belum 

mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah 

hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang 

memuncak ia berdo'a, sesuatu yang selama ini tidak 

pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti 

yang entah dari mana datangnya, muncul menghalau 

makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin. 

Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain, 

tapi yang penting ternyata do'anya terkabul. Ketika 

perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu 

tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel 

celingukan, mencari-cari dengan pandangannya ke 

sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir 

kalau-kalau makhluk wanita itu bersembunyi di suatu


tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia 

lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari 

sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu. 

*** 

Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama 

beberapa wartawan cetak maupun elektronik, juga tidak 

ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat 

Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi. 

"Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas 

kejadian ini, dan sejauh mana usaha polisi untuk 

mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan 

pulpen dan notes di tangan.. 

Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan 

berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang 

wartawati itu sejenak, kemudian pada wartawan lainnya 

yang siap mencatat dan merekam jawabannya. 

"Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguh-

sungguh akan menangkap pelakunya untuk diajukan ke 

pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang 

berlaku...." 

"Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa 

kira-kira pelaku pembunuhan itu?" tanya seorang 

wartawan. 

"Kami akan berusaha sungguh-sungguh." 

"Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain. 

"Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu 

tidak objektif sebab kami sedang mengumpulkan bukti 

sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan dan 

keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjuk-

kan bahwa kita dalam mencurigai dan menuduh seseorang 

menggunakan prosedur yang telah ditetapkan perangkat 

hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan


polisi itu mengakhiri jawabannya dan menghindar dari 

kerumunan para wartawan. Meski satu atau dua wartawan 

masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaan-

pertanyaan yang usil, namun dengan lihai ia menolak. 

Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling 

tempat itu dengan teliti. 

Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya 

agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan 

yang tengah dilakukannya. Namun ketika wartawati yang 

pertama kali mengajukan pertanyaan itu mengikutinya, ia 

memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba 

mencegah untuk membiarkannya saja. 

"Pertanyaan apa itu? Kau memancing yang lainnya 

untuk menanyakan hal-hal yang sulit untuk kujawab," 

katanya setelah wartawati itu mendekat. 

"Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada 

petugas yang bertanggung jawab dalam suatu masalah?" 

Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek. 

"Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan 

terlalu dibesar-besarkan." 

"Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka 

tidak mendapat informasi yang jelas, dan selalu was-was 

kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang. Ini 

akan menimbulkan dampak yang tidak baik." 

Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam 

pada si wartawati. "Saras, kali ini aku bicara kepada 

seorang teman bukan kepada wartawati, oke?" 

"Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya, 

sampai sejauh mana informasi yang telah kau kumpulkan 

dalam kasus pembunuhan ini?" 

"Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi 

kita bisa melihatnya dari poin-poin yang penting. Seperti 

kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku masih tetap 

kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum


menemukan motif, apa yang membuat mereka melakukan 

hal seperti itu." 

Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi, 

kemudian matanya memperhatikan keadaan di sekeliling 

tempat itu, sebelum kembali memandang tawan bicaranya. 

"Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah 

kukatakan tempo hari?" 

"Soal apa?" 

"Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?" 

Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun 

diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu 

mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras 

menawarkan alternatif, kalau pembunuhan itu ada 

kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu 

melecehkannya dan menganggapnya irrasional sehingga 

membuat Saras kesal dan marah. 

"Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu 

itu?" 

"Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban 

pertama tewas di tebing terjal, tidak jauh dari lokasi ada 

pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...." 

"Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di 

sungai, dan lokasi itu jauh dari pohon asam," tukas letnan 

polisi itu. 

"Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali 

dia tewas, kan? Dan sampai sekarang belum terungkap," 

jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga, 

keempat, kelima, bahkan sampai korban yang sekarang. 

Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing, 

walaupun itu cuma sekedar antara permukaan sungai dan 

permukaan tanah di atasnya pada ketinggian dua atau tiga 

meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak 

terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak 

berusaha untuk memancing si pelaku yang sebenarnya?"


"Memasang jebakan maksudmu?" 

"Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan." 

"Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari 

sisi yang lain." 

"Apa maksudmu?" 

"Ini bukanlah rangkaian pembunuhan yang 

direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang 

yang belum jelas motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak 

lama pun akan terungkap." 

"Dengan menangkap pelaku yang sementara ini 

menunjukkan bukti-bukti kuat?" 

"Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki 

maka si pelaku sudah jelas melakukan pembunuhan. 

Apalagi yang mau dicari? Saras, kita tidak perlu berpikir 

yang macam-macam, dan menarik garis terlalu jauh untuk 

mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah dibekali ilmu 

khusus untuk mengusut masalah semacam ini." 

"Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?" 

"Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksud-

kan? Setiap korban yang jatuh, maka beberapa pihak 

dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling 

bisa untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian 

bukti dikumpulkan, lalu semua digabungkan dan fakta 

membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam 

pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?" 

"Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka 

pelaku pembunuhan merasa yakin kalau mereka tidak 

merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk 

membunuh. Mereka tidak mengetahui dari mana bukti ter-

kumpul sehingga mereka tersudut menjadi tersangka...." 

"Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak 

untuk didakwa sebagai tersangka," tukas letnan polisi itu. 

"Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata 

mereka yang jujur? Tidak bisakah kau melihat mereka


melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak 

berdusta?" 

"Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela 

nafas, kemudian melirik anak buahnya. Sebagian dari 

mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua 

insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka 

mengalihkan perhatian. 

"Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan 

kalau polisi harus selalu mengandalkan bukti-bukti dalam 

segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati nurani, 

kan?" 

"Syukurlah kalau kau telah mengerti...." 

"Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna fakta-

fakta serta bukti-bukti yang ada? Fakta selalu terlihat kalau 

cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan korban 

pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika 

korban mencapai angka seratus, maka seratus orang 

pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan 

pembunuhan dengan metoda yang sama. Apakah ini tidak 

menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir? 

Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya 

yang mengomandani mereka. Apakah kau cukup puas 

dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiar-

kan anggota lainnya terus berkeliaran mencari mangsa? 

Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap 

dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar per-

masalahan sampai tuntas sehingga tidak ada lagi korban 

baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?" Kata-

kata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat 

bercampur dengan perasaan jengkel, sehingga nadanya 

agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi itu kembali 

melirik pada mereka. 

Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasan-

alasan yang diungkapkan Saras, atau memikirkan apa yang


sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka berdua. 

Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata 

anak buahnya tentang hubungan mereka, bukan lagi 

antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai 

seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejar-

Nya, dan sebaliknya. Tapi hubungan itu seperti 

berkembang ke arah lain. 

Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang 

bertugas meliput berita-berita kriminal. Dan dalam 

menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan 

dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab 

terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang 

oknum polisi itu adalah Letnan Hendri, perwira polisi 

berusia tiga puluh empat tahun yang masih berstatus 

bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang 

cukup tinggi, di mana dan kapan saja dalam situasi yang 

berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib yang ramai 

diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara 

kedua insan itu ada hubungan bilateral yang cukup intim. 

Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka 

pembicaraan formil ditiadakan, dan keduanya 

berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat, 

sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang ter-

lontar begitu saja tanpa sungkan-sungkan. Seperti 

kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu me-

nanggapi masukan yang dilemparkannya seputar masalah 

yang sedang mereka hadapi. 

Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu 

sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau 

begitu kita cari tempat yang nyaman untuk membicarakan-

nya. Dalam suasana yang tidak diliputi ketegangan." 

"Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias. 

"Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah 

delapan malam?"


Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng 

geli. 

"Apakah ini ajakan kencan?" 

"Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri 

mengangkat bahu dengan kedua telapak tangan terbuka. 

"Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku." 

"Oke. Terserahmu saja." 

"Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan 

notes dan pulpen ke dalam tas yang disandangnya. Tanpa 

banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu diiringi 

tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya. 

***


DUA


KNJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan 

pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno 

padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko 

sehingga orang kepercayaannya itu terpaksa datang ke 

rumahnya untuk menitipkan laporan. 

Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di 

meja. Pukul sebelas malam. 

"Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau 

lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk. 

"Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang 

angkat. Ke mana?" tanya wanita itu. 

"He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada 

mesin mobil. Untung ketahuan. Coba kalau dipakai untuk 

perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan berabe. Eh, jadi 

nggak besok berangkat?" sahut Anjar. 

"Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh, 

Jar. Kali ini nggak bisa lagi...." 

"Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal 

dengan kamu." 

"Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi 

tugasku belum bisa ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?" 

Anjar terdiam.


"Jar?" 

"Ya, ada apa?" 

"Kamu nggak marah, kan? Aduh, tolong deh. Aku minta 

maaf yang sebesar-besarnya. Liputanku kali ini hampir 

mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya 

begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan. 

"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?" 

"He-euh!" 

"Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi 

kamu...." 

"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu. 

"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan 

selamat." 

"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya 

saja aku berpikir bahwa pekerjaan itu terlalu, berbahaya 

bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau minta di-

tempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?" 

"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?" 

Saraswati ketawa cekikikan. 

Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli 

ataukah tidak. Pada dasarnya ia mengetahui kalau Saras-

wati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-lelakian, tapi 

ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai 

lelaki. Kalau kebetulan mereka nonton film, maka anak itu 

suka film action, yang berbau mesiu, perkelahian, dan 

petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah 

yang kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan 

bangga menunjukkan foto-fotonya, baik dalam seragam 

karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika 

berarung jeram bersama kawan-kawan prianya. 

Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang 

feminim. Saras merasa hal itu menggelikan buatnya. Ia 

merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia 

terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan


kelemahan, sesuatu yang tidak disukai, bahkan tidak 

pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara kepada-

nya. 

"Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar 

mengalihkan pembicaraan. "Yang ngangkat Katmi. Dia 

bilang seseorang menjemputmu." 

"Kenapa? Kamu mau jadi wartawan juga coba-coba 

ngorek aku?" 

Anjar bisa membayangkan bola mata wanita itu 

mendelik, dan bibirnya tersenyum mengejek. Tapi meski 

dalam mimik apapun, bahkan dalam mimik yang terburuk 

pun ia menilai kalau face Saraswati tetap cantik. Hidung-

nya yang kecil dan mancung, bola matanya agak menyipit 

mirip Claudia Schiffer namun memiliki sorot yang tajam bila 

memandang lawan bicara, kemudian sepasang alisnya 

yang teba1 menunjukkan kemauannya yang kuat dan 

keras. Belum lagi ditambah sepasang bibirnya yang sen-

sual, dan selalu merah merekah meski jarang disapu gincu. 

"Aku mudah percaya pada orang lain, dan sifat itu tidak 

cocok untuk menjadi wartawan." Didengarnya hela nafas 

Saraswati, halus sekali sebelum menjawab. 

"Letnan Hendri. la menjemputku untuk membicarakan 

kasus yang sedang ditanganinya," sahut Saiaswati singkat. 

"Sejak kapan kamu menjadi konsultannya?" 

"Aku menangkap kesan sinis, tapi okelah, tidak 

mengapa. Aku berusaha memaklumi kecemburuanmu. 

Hubungan kami saling membutuhkan. Dia butuh masukan 

dariku dalam menjalankan tugasnya, begitupun aku butuh 

komentarnya sebagai seorang yang bertanggung jawab 

dalam kasus yang sedang kuliput. Hanya itu. Terasa ada 

tekanan dalam dua kata terakhir yang diucapkannya, 

berharap Anjar mempercayainya. 

"Kuharap memang begitu...” 

"Jangan keterlaluan, Jar. Kau tahu aku wartawati, dan


tiap saat berhubungan dengan banyak orang, entah pria 

atau wanita bahkan banci sekali pun. Tidak ada alasan 

untuk cemburu buta." 

Anjar diam saja. Ia sudah sering mendengar alasan 

seperti itu. Saraswati menjawabnya dengan sederhana. 

Mungkin saja logikanya bisa menerima, tapi entah 

mengapa hatinya tidak. Dan mengemukakan perasaan di 

depan Saraswati seperti membenturkan kepala ke tembok. 

"Jar, kamu masih mendengarkan?" 

"Ya. Suaranya pelan, seperti menggumam. 

"Kuharap aku tidak perlu lagi mengulang-ulang 

penjelasanku, bukan? Kau mesti percaya padaku," tekan 

Saraswati. 

Anjar kembali terdiam. Nun jauh di seberang telepon 

sana, Saraswati sedang menduga-duga apa yang sedang 

dipikirkan Anjar. Perbedaan mereka cukup besar. Dia tipe 

gadis independen dan cuek, sedang Anjar agak perasa, 

dan melakukan sesuatu penuh pertimbangan dan pe-

mikiran. Wajar saja kalau Saraswati harus menekankan 

beberapa kali agar Anjar percaya dengan kata-katanya 

sebab menyadari mungkin saja Anjar tidak mem-

percayainya. Minimal di dalam hati. 

"Gimana kabar kamu? Sehat? Oke, sekali lagi aku minta 

maaf, ya? Mungkin lain waktu kita bisa bersama-sama 

mengunjungi orangtuamu. Bye!" 

Anjar meletakkan gagang telepon setelah mendengar 

suara klik di seberang sana. Termangu beberapa saat, ber-

gelut dengan pikirannya. Pantaskah ia mencurigai Saras-

wati? Hubungan mereka telah berlangsung tiga tahun, dan 

selama itu baik-baik saja. Ia bisa memahami tugas gadis 

itu, dan menepiskan jauh-jauh kecemburuann dalam hati-

nya bila membayangkan Saraswati berdekatan dengan 

orang-orang yang menjadi sumber beritanya. Tapi dengan 

yang satu ini perasaannya berbeda. Seperti ada sesuatu


yang ganjil! 

"Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua 

minggu yang lalu Kusno melihat Saraswati dan seorang 

polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran. 

"Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan 

polisi itu sempat memegang-megang tangannya Mbak 

Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya 

wajah Anjar menjadi keruh, seperti memendam kesal. 

"Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa 

yang saya ceritakan ya memang begitu. Tidak ditambah-

tambahi," lanjutnya. 

Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian 

menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan 

berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian 

dari tugas Saraswati. "Nggak ada apa-apa. Masak cuma 

pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam? Lagi 

pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya 

kesal? Kok berani-beraninya cemburu? Apalagi kalau 

sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan mendam-

pratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru 

merasakan puber. 

Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensik-

lopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar 

tidak sempat mengantarkan karena ketika toko tutup ke-

betulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul 

di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan 

hari ini. Sepulang dari sana Kusno melaporkan kalau 

Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu itu 

sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya 

melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih 

dari itu, entah bagaimana perasaan Anjar. 

Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang 

selalu ada di meja tugasnya, sedang tersenyum padanya. 

Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya


terasa tidak full. 

Gadis itu duduk dengan gelisah sambil meremas handy-

talky di tangannya. Sementara cahaya bulan menerangi 

sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan kaos T-shirt 

putih dibalut sweater coklat. Sementara sepasang kakinya 

dibalut jeans agak ketat dan telapak kakinya dibungkus 

sepatu kets putih. Rambutnya yang panjang dan pirang, 

mungkin dicat pirang, dibiarkan lepas menutupi sebagian 

punggungnya. Dari terpaan bias cahaya rembulan terlihat 

kalau wajah gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu 

cukup manis. 

"Maya, kamu nggak apa-apa, kan?" Terdengar suara dari 

handy-talky di tangannya. 

"Ya," Gadis itu menyahut pendek seraya menoleh ke 

belakang, di balik belukar semak bambu yang tumbuh 

rimbun tidak jauh dari tempatnya duduk. 

"Cobalah berusaha tenang. Jangan khawatir, kami akan 

selalu melindungimu." Suara di handy talky itu kembali 

terdengar. Gadis itu mengangguk. 

Selang beberapa saat suara dari handy-talky itu kembali 

terdengar. 

"Sekarang kamu berjalan. Melangkah pelan saja. Kami 

akan tetap mengikuti dan menjagamu." 

Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menapaki 

ruas jalan berbatu selebar dua meter menuju arah selatan 

dan membelakangi cahaya rembulan. 

Suasana di tempat itu memang suram. Seandainya saja 

tak ada cahaya bulan, mungkin akan menjadi tempat yang 

cukup menyeramkan. Dari tempat duduknya tadi kira-kira 

lima puluh meter ke utara, terdapat sebuah gubuk tua yang 

kelihatannya sudah tidak berpenghuni. Tapi kadang-

kadang suka juga diisi oleh para gelandangan yang datang 

dan keluar silih berganti. Dan di belakang gubuk itu, sekitar 

dua puluh meter terlihat sebatang pohon asam yang besar.


Keadaan ini sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh 

Saraswati. 

Mereka telah mencapai kata sepakat, dan Letnan 

Hendri mulai mengatur siasat sesuai masukan yang di-

perolehnya dari Saraswati. Mereka akan menjebak pelaku 

utama pembunuhan sadis yang belakangan ini cukup 

gencar mencari korban. 

"Sukarelawan itu harus berusia muda. Minimal di bawah 

dua puluh tiga tahun. Jangan tanya kenapa," kata 

Saraswati di sela-sela masukan yang diberikannya pada 

letnan polisi itu. "Akupun telah mengukur jarak lokasi satu 

korban dengan korban lainnya. Tidak ada yang lebih dari 

lima sampai tujuh kilometer....'' 

"Sampai seteliti itu kau mengukurnya," tukas Letnan 

Hendri, entah memuji atau meledek. 

Saraswati tidak mempedulikannya. "Gubuk yang tidak 

terpakai, pohon asam, dan tebing terjal, meski cuma tebing 

sungai," tambahnya, "Semua itu telah kucatat dengan 

rapih. Kita harus berhasil menangkapnya!" lanjutnya 

optimis. 

"Seyakin itukah perkiraanmu?" Sebelum gadis itu 

melotot marah karena merasa disepelekan, letnan polisi itu 

buru-buru menambahkan. "Maksudku kau berpraduga 

bahwa pelaku kejahatan ini makhluk halus. Lalu apakah 

kau sudah menyiapkan sesuatu untuk menangkalnya? 

Maksudku, untuk mengalahkannya dan sekaligus me-

ringkusnya?" 

"Aku tidak mutlak mengatakan bahwa itu perbuatan 

makhluk gaib, karena aku tidak percaya makhluk gaib bisa 

membunuh orang. Hanya saja aku masih bisa percaya bila 

makhluk gaib ikut andil di dalamnya, dengan cara 

mempengaruhi seseorang, dan seseorang itu kuyakin 

makhluk kasar seperti kita, maka sudah barang tentu bisa 

kalian tangkap," tegas Saraswati.


Letnan Hendri tidak banyak bicara lagi. Sedikit banyak ia 

percaya dengan argumen gadis itu, kalau tidak mana 

mungkin ia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa 

seorang anak buahnya untuk dijadikan umpan. Semula ia 

memilih pria, tapi Saraswati menganjurkan agar umpan itu 

wanita saja, dengan pertimbangan dari sekian banyak 

korban yang jatuh kebanyakan wanita. 

Sementara itu waktu terus merambat pelan tapi pasti. 

Makhluk yang mereka tunggu-tunggu belum juga terlihat 

batang hidungnya. Maya mulai gelisah. Meskipun semula ia 

merasa tegar dan berani, namun dalam suasana begini 

mau tidak mau rasa takut itu muncul juga perlahan 

menusuk keberaniannya. 

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam ketika 

terdengar lolongan anjing, yang entah dari mana 

datangnya. Lokasi tempat ini boleh dikatakan di ujung kota, 

tapi bukan berarti dekat dengan daerah hutan. Sehingga 

tidak tepat dikatakan kalau suara itu lolorigan serigala, 

sebab dikatakan berirama panjang tidak, pendek juga 

bukan. Hanya saja iramanya memang aneh. 

Maya semakin bergidik ngeri. Matanya liar memandang 

ke sekeliling tempat saat angin bertiup agak kencang. 

Udara malam yang dingin terasa semakin dingin saja. 

Ranting-ranting pepohonan bergerak-gerak seperti tangan-

tangan makhluk aneh yang hendak menggapainya. Ia 

berjalan lambat, sambil sesekali melirik ke rerimbunan 

semak untuk meyakinkan kalau keselamatannya terjamin 

oleh Letnan Hendri beserta anak buahnya. 

Lolongan anjing kembali terdengar. Gadis itu tersirap 

darahnya saat seekor tikus melintas cepat di depannya. 

Nyaris ia menjerit ketakutan. 

Gerak refleknya menghindar saat tikus tadi melintas 

diantisipasi oleh Letnan Hendri. 

"Kamu di sini dulu. Aku mau mengambil jarak yang lebih


dekat dengannya," perintahnya pada Saraswati tanpa 

meminta persetujuan cewek itu dan terus bergerak cepat 

merunduk menyusuri semak dan merendengi langkah 

Maya dalam jarak kurang lebih sebelas meter. 

Maya menghentikan langkah ketika mendengar suara 

langkah kaki dari arah sampingnya. Reflek ia menoleh. 

"Apakah itu Anda, Letnan?" tanyanya melalui handy talky. 

Tak ada sahutan. Gadis itu mengulangi pertanyaannya. 

Untuk yang kedua kali tidak juga terdengar sahutan. Ia 

sedikit panik. Matanya tajam mengawasi semak-semak di 

sebelah kirinya. Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya 

kilat membelah angkasa, diikuti oleh suara gemuruh yang 

merambat perlahan. Lagi-lagi gadis itu kaget dibuatnya. 

Hatinya sudah tidak tenang. Keberanian yang ada hanya 

tinggal seperempat. Apalagi ketika ia sempat melihat 

bayangan hitam di balik pohon asam yang ada di sebelah 

kirinya. Setahunya Letnan Hendri dan yang lain berada di 

sisi sebelah kanannya. Lalu sosok siapakah itu? ltukah 

yang sedang mereka tunggu-tunggu? 

"Letnan, Andakah yang berada di balik pohon asam itu?" 

bisiknya pelan sekali lewat handy-talky. "Letnan, jawablah. 

Andakah itu?" tanyanya sekali lagi setelah menunggu 

sesaat tidak juga ada jawaban. 

Sementara sosok yang sedang diperhatikannya seolah 

tanpa berkedip mulai bergerak. Pelan mendekatinya. 

Kedua kakinya meski menapak di atas permukaan tanah, 

tapi rasanya seperti melayang. Bahkan Maya belum 

sempat memutuskan, apakah ia mampu memberanikan 

diri menghadapinya ataukah kabur saja ketika sosok itu 

telah berada di dekatnya dalam jarak hanya tiga meter. 

"Kau?!" seru Maya kaget, kemudian menghela nafas 

lega ketika bola matanya menangkap jelas sosok tubuh di 

hadapannya. "Kukira siapa. Kenapa menakut-nakuti 

begitu?"


Pria bertubuh jangkung dengan potongan rambut 

pendek serta badan yang atletis itu diam saja. Hanya se-

pasang matanya yang memandang gadis itu dengan sorot 

aneh. 

Perlahan pria itu semakin mendekat. Tiba-tiba per-

hatiannya tertuju pada handy-talky yang ada dalam geng-

gaman Maya. Saat itu terdengar suara Saraswati yang me-

nanyakan keadaannya. 

"Aku baik-baik saja..." Belum lagi selesai kalimatnya, pria 

itu mendadak merampas handy-talky itu dengan kasar dan 

membuangnya jauh-jauh. Kemudian tangan kirinya me-

nampar sebelah pipi gadis itu membuat Maya terhuyung-

huyung ke samping, hampir jatuh. Tamparan itu keras 

sekali, membuat pipinya terasa perih dan kepalanya pusing 

seketika. Ia merasa ada darah yang menetes di sudut 

bibirnya. 

Belum lagi ia sempat menyadari situasi, pria itu tiba-tiba 

melompat dan mencekik lehernya dengan sekuat tenaga. 

"Kau harus mati. Pengkhianat sepertimu harus mati!" 

Suaranya menggeram dan serak, dibarengi perasaan benci 

dan dendam serta nafsu untuk membunuh. 

Maya baru menyadari ada kelainan pada pria yang 

dikenalnya dengan baik itu. Sepasang matanya berkilau 

mengeluarkan cahaya hijau kebiru-biruan dan menakut-

kan. Suara yang keluar dari tenggorokannya pun aneh. 

Bukan suara yang dikenalnya, tapi suara orang lain yang 

mirip suara wanita! 

Saraswati buru-buru bertindak setelah melihat kejadian 

itu ketika melihat kalau Letnan Hendri yang entah di mana 

saat ini, belum juga memberikan pertolongan. Pada saat 

yang bersamaan, lima anak buah Letnan Hendri pun 

serentak mengepung tempat itu. Salah seorang dari 

mereka melepaskan tembakan peringatan. 

Makhluk itu terkejut. Matanya liar memandang ke


sekeliling. Tiga pria berada di belakang dan samping kanan 

kirinya. Sementara dua pria lainnya beserta seorang wanita 

berada di depannya. Wanita yang tidak lain dari Saraswati 

itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia yang sejak tadi 

telah siap dengan tustelnya segera membidik makhluk itu. 

"Aaargh...!" Makhluk yang berwujud manusia itu 

menggeram buas seraya menghalangi wajahnya dengan 

tangan dengan reflek dilepaskannya leher Maya yang 

sedang dicekik, dan lompat menerjang Saraswati. 

"Berhenti! Atau kami tembak?!" teriak salah seorang 

polisi. Namun makhluk itu tidak menghiraukannya dan 

terus mencoba menyerang Saraswati. Merasa peringatan 

itu diabaikan salah seorang polisi langsung melepaskan 

tembakan. Makhluk itu meraung kesakitan ketika bahu 

kanannya diterjang timah panas. Matanya nyureng 

memandang polisi yang tadi melepaskan, seolah hendak 

mengancam. Entah merasa takut, atau karena posisinya 

tidak menguntungkan, tiba-tiba saja makhluk itu melesat 

ke depan, melompati Saraswati kemudian menghilang di 

kegelapan malam dengan gerakan yang amat cepat. 

"Dua orang ikut saya, lainnya memberikan pertolongan 

pada Maya!" ajak sang polisi yang tadi melepaskan 

tembakan, kemudian terus berlari mengejar makhluk tadi 

diikuti oleh kedua kawannya. 

Keadaan Maya agak kritis. Wajahnya agak membiru 

karena kekurangan oksigen saat dicekik tadi. Bukan cuma 

itu, tapi dari lehernya pun mengucurkan darah. Besar 

kemungkinarmya kuku-kuku makhluk tadi menghunjam 

lehernya saat mencekik. Salah seorang polisi buru-buru 

menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan 

ambulan, sementara polisi yang seorang lagi memberikan 

pertolongan pertama terhadap korban. 

Lima belas menit kemudian ambulan muncul. Pada saat 

yang bersamaan, Letnan Hendri muncul beserta tiga anak


buahnya yang tadi mengejar makhluk itu. Setelah 

memeriksa keadaan Maya sebelum diangkut oleh 

ambulan, Saraswati mendekatinya dengan mata mendelik 

tajam. 

"Seandainya aku tahu siapa Anda, aku tidak akan 

pernah mau dijadikan umpan," sindirnya sinis. 

"Apa maksudmu?" 

"Anda telah mengecewakan gadis itu dan membuatnya 

terluka. Mana tanggung jawab Anda? ' 

Letnan polisi itu menghela nafas sesak seraya 

mengangguk. "Yaaah, aku tahu. Tapi aku telah berusaha 

sebisanya...." 

"Sebisanya?" dengus Saraswati sinis. "Gadis itu me-

manggil-manggil lewat handy-talky, tapi aku tidak 

mendengar jawaban Anda. Itukah yang Anda maksudkan 

berusaha sebisanya?" tuding Saraswati, masih dengan 

nada sinis dan bersikap formil dengan menyebut Anda 

kepada letnan polisi itu. 

"Benarkah? Ah, aku sudah menduganya." Letnan Hendri 

gelengkan kepala menyesal. "Waktu aku berusaha men-

dekatinya dalam jarak yang lebih dekat, handy-talky itu 

terjatuh. Aku berusaha mencarinya, dan saat kutemukan 

terdengar letusan pistol. Aku buru-buru menghampiri gadis 

itu, tapi sekilas kulihat sekelebatan bayangan melewatiku, 

maka kuputuskan untuk mengejar orang itu yang kuyakin 

makhluk yang sedang kita tunggu. Tapi sayang, aku 

kehilangan jejaknya. Dan ketika kembali aku bertemu 

dengan tiga anak buahku," lanjutnya menjelaskan. 

Saraswati memandangi pria itu sejurus lamanya, seolah 

hendak mencari kebenaran lewat tatapan matanya, 

kemudian perlahan ia berbalik. "Ya, sudahlah. Kalau begitu 

aku pulang lebih dulu," katanya terus melangkah. 

"Biar kuantar," sahut Letnan Hendri menawarkan diri 

seraya memburunya.


"Ng... kurasa tidak perlu aku lelah sekali," tolak 

Saraswati setelah berpikir sebentar. Biasanya bila pria itu 

menawarkan diri untuk mengantarnya, ia tidak bisa 

menolak saat pria itu mampir ke rumahnya. "Lagipula aku 

akan mencuci film sebentar, sebab besok aku harus 

mengirimkan laporan." 

"Film?" Dahi letnan polisi itu berkerut. "Jadi kau berhasil 

mengambil gambarnya?" Dan ketika dilihatnya wanita itu 

mengangguk, ia melanjutkan. "Kalau begitu atas nama 

hukum aku minta kau menyerahkan film itu padaku." 

"Tentu saja, tapi nanti setelah aku mencucinya. Kau 

tentu akan mendapatkan beberapa lembar." 

"Biar pihak kepolisian yang akan menanganinya. Serah-

kan film itu padaku," kata Letnan Hendri menegaskan. 

"Apakah aku mendengar adanya paksaan?" sindir 

Saraswati. "Film dalam kameraku belum habis dan aku 

mungkin saja memerlukan film-film sisanya untuk hal-hal 

lain. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan 

kepolisian. Ini hak milik pribadi, dan kalau polisi memang 

menginginkan gambar makhluk itu mestinya dari awal 

telah menyiapkan segala sesuatu dan kalaupun aku mau 

memberikan pada kalian beberapa lembar hasil fotoku, itu 

karena kemurahan hatiku saja. Jadi, jangan coba 

memaksakan kehendak dalam hal ini!" tegas Saraswati 

cepat dengan nada ketus kemudian terus melangkah pergi.


TIGA


HAMPIR dini hari Saras tiba di rumah. Tubuhnya letih 

sekali. Kalau saja tidak ingat akan tugasnya, ingin 

rasanya ia langsung ke ranjang dan tidur sepuasnya. 

Tapi atasannya meminta ia agar selekasnya menyampai-

kan laporan tentang tugas yang selama ini diembannya. 

Dan foto yang tadi dijepretnya tentang makhluk itu pasti 

akan menjadi spektakuler. Bukti otentik atas tulisan-tulisan 

yang selama ini dibuatnya tentang pelaku pembunuhan 

berantai yang belakangan ini marak terjadi sehingga 

menimbulkan keresahan masyarakat. 

Setelah memproses negatif film di kamar gelap di salah 

satu sudut kamarnya, Saraswati dikagetkan oleh suara 

kaleng yang ditendang keras dekat kamar itu. Ia tertegun 

sejenak, coba mendengar dengan seksama. Tidak ada apa-

apa. Tapi saat mulai hendak memeriksa hasil foto yang 

masih direndam dalam larutan kimia, kembali terdengar 

suara aneh. Kali ini ia mendengar suara beberapa buah 

kerikil yang dibenturkan ke tembok. Merasa curiga, Saras-

wati keluar dari kamar itu setelah menggantungkan be-

berapa lembar foto yang masih basah dan belum sempat 

diamati hasilnya. 

Ia memeriksa ruang depan, tapi tidak terlihat hal men-

curigakan. Kemudian ke belakang mengamati keadaan


dapur dan pintu belakang, juga tidak mendapati hal-hal 

yang aneh. Demikian pula ruangan kamar tidurnya, masih 

tetap dalam keadaan sebelum ditinggalkannya. Tapi ketika 

kembali ke depan, ia melihat kain hordeng jendela 

melambai-lambai di tiup angin, dan jendela terbuka lebar. 

Untuk beberapa saat ia tercekat kaget, dan jantungnya ber-

detak lebih kencang. Perlahan gadis itu mundur dan meng-

ambil pisau yang berada di laci meja tempat ia biasa 

mengetik, kemudian dengan memberanikan diri ia 

memeriksa keadaan jendela itu dengan seksama. Tidak 

terlihat hal-hal yang mencurigakan. Perlahan ditutupnya 

jendela, lalu menguncinya. Mungkin saat meninggalkan 

rumah ia lupa mengunci jendela-jendela itu. 

Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tiba-tiba 

saja lampu padam, dan saat membalikkan tubuhnya ter-

lihat sesosok tubuh berdiri persis dalam jarak kurang lebih 

empat meter di hadapannya. Yang membuat gadis itu 

bergidik ketakutan adalah sepasang mata yang menyorot 

tajam memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan, seperti 

mata seekor kucing dalam kegelapan. 

"Si-siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya 

coba memberanikan diri. "Jangan coba-coba mendekat 

atau..." 

Saraswati mengangkat sebelah tangan menunjukkan 

pisau, tapi sesosok tubuh itu seperti tidak peduli dan 

melangkah pelan mendekatinya. Wanita itu merapat ke 

jendela. 

"Berhenti! Aku tidak main-main. Kalau kau coba-coba 

mendekat maka pisau ini akan bicara!" gertaknya. Dan 

Saraswati benar-benar mengayunkan pisau di tangannya 

ketika sosok itu terus mendekat, tak mempedulikan 

ancamannya. Pergelangan tangannya kena ditangkap dan 

langsung dipelintir oleh makhluk itu. Tenaganya kuat luar 

biasa, dan Saraswati tidak bisa membiarkan begitu saja


tulangnya patah. Dengan bekal ilmu bela diri karate yang 

pernah dipelajarinya sewaktu masih di SMA, tubuhnya 

jumpalitan mengikuti arah lengannya yang dipelintir dan 

masih sempat mengirimkan satu tendangan ke muka 

makhluk itu. 

Ia merasa gerakannya cepat dan kuat, namun tidak 

disangka-sangka ternyata makhluk itu mampu menangkap 

pergelangan kakinya, dan sebelum gadis itu sempat 

berbuat apa-apa, tubuhnya melayang deras menghajar 

sofa. Pisau di tangannya terlepas, entah ke mana. Tulang 

belakangnya terasa sakit sekali. Dan sebelum ia sempat 

bangun, makhluk itu telah berdiri di hadapannya, kedua 

tangannya mencekik lehernya dengan kuat sampai gadis 

itu sulit untuk bernafas. Saraswati berusaha melepaskan 

diri. Kedua kakinya menendang ke ulu hati makhluk itu 

dengan sekuat tenaga. Tapi makhluk itu cuma bergeming 

sedikit. Tidak keluar keluh kesakitan dari mulutnya. 

Saraswati jadi putus asa, dan merasa kali ini ajalnya pasti 

tiba. Mendadak saat itu telepon berdering. 

Makhluk itu terkejut. Reflek ia menoleh ke arah 

datangnya suara, dan tanpa sadar cekikannya sedikit 

mengendor. Saraswati seperti mendapat peluang. Dengan 

sekuat tenaga ia menepiskan kedua tangan makhluk itu 

sambil kembali menendang dengan sekuat tenaga. 

Makhluk itu terhuyung dua langkah ke belakang sambil 

mengeluarkan suara menggeram marah. Merasa tidak 

mampu menghadapi seorang diri Saraswati berteriak 

sekuat-kuatnya dan berharap tetangga-tetangganya ber-

datangan memberikan pertolongan. Ia berusaha bangkit 

dan berlari ke arah pintu. Tapi makhluk itu tidak memberi 

kesempatan. Tangan kanannya melayang menampar 

sebelah pipi gadis itu dan membuat Saraswati kembali 

terjungkal. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, makhluk itu 

telah menjambak rambutnya, dan kembali menghempas


kannya ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah 

berantakan. 

Saraswati tidak mampu lagi mengadakan perlawanan. 

Seluruh tubuhnya terasa remuk. Pandangannya berkunang-

kunang sebelum akhirnya gelap. Ingatannya berangsur-

angsur terbang entah ke mana. Hanya saja lapat-lapat ia 

mendengar suara-suara ribut yang entah dari mana 

datangnya sebelum akhirnya telinganya tidak mendengar 

suara apapun. 

Yang pertama kali dilihatnya ketika siuman adalah 

wajah Anjar. Pria itu tersenyum padanya. Ia merasakan 

usapan tangannya mengusap-usap lengannya. Kepalanya 

masih terasa sakit, begitu juga dengan tubuhnya. Ada 

selang infus yang dihubungkan dengan sebelah lengannya, 

sementara beberapa perban menghiasi lehernya. 

"Kau merasa lebih baik?" sapa Anjar. 

"Yah, kukira begitu." Suaranya terdengar lemah, dan 

tenggorokannya terasa kering dan sakit saat pita suaranya 

bergetar. 

"Hampir lima belas jam kau tidak sadarkan diri. Apa 

yang terjadi? Tetanggamu mengatakan seseorang masuk 

ke dalam rumah dan menyerangmu. Orang itu melarikan 

diri setelah beberapa orang berdatangan ke rumahmu." 

Saraswati terdiam. Ia coba mengingat kejadian itu, tapi 

kepalanya terasa sakit sekali, dan entah mengapa 

jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa ketakutan 

yang membayanginya saat mengingat kejadian dini hari 

tadi. Sosok makhluk itu, dengan sepasang matanya yang 

buas memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Itu jelas 

bukan maling, karena yang diincar adalah dirinya. Apakah 

makhluk itu mengadakan pembalasan terhadapnya karena 

Saraswati berhasil memotret dan mengambil gambarnya? 

"Menurutku itu bukan pekerjaan seorang pencuri. Aku 

sempat memeriksa keadaan rumahmu, dan rasanya tidak


ada barang-barangmu yang hilang. Letnan Hendri pun 

sempat melihat ke sana setelah kau dibawa ke rumah 

sakit. Kami ngobrol sebentar, dan aku melihat wajahnya 

penuh dengan kekhawatiran. Apakah kau punya musuh?" 

Saraswati diam tak menjawab. Untuk saat ini rasanya ia 

tidak ingin membicarakan tentang makhluk itu pada 

siapapun. 

"Atau barangkali makhluk yang kau buru itu ingin 

memperkenalkan diri secara langsung?" 

Gadis itu memandang pria itu di hadapannya dengan 

seksama. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin juga ia 

tidak memikirkan apa-apa. Cuma sedikit heran, mengapa 

Anjar punya kesimpulan seperti itu. 

"Makhluk itu sudah terkenal buas, dan korban yang 

ditimbulkannya pun sudah cukup banyak. Aku 

mengkhawatirkan keselamatanmu, oleh karena itu 

hentikanlah memburunya. Tidak perlu ia diusik lagi," lanjut 

Anjar. 

Saraswati tetap membisu. Ia masih merasakan sakit di 

tenggorokannya bila pita suaranya bergetar, lagipula ia 

belum berminat mendiskusikan hal itu pada Anjar. Dari 

awal pria itu memang sudah tidak setuju dengan apa yang 

diliputnya belakangan ini. Tapi bagi Saraswati hal itu 

membuatnya semakin penasaran. Semakin misterius suatu 

masalah, maka makin tertantang jiwa petualangannya. 

Tidak peduli apakah hal itu akan membahayakan jiwanya. 

"Aku bisa mengerti kalau kau merasa penasaran bila hal 

itu tidak dituntaskan," lanjut Anjar seperti biasa membaca 

apa yang sedang bergulat dalam pikiran gadis itu. "Tapi ini 

menyangkut masalah yang bisa mencelakakanmu. Masih 

untung kau bisa selamat, tapi entah bagaimana di lain 

waktu. Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat 

pasti akan jatuh juga. Begitu juga denganmu meski kau 

berusaha untuk menjaga diri darinya, tapi suatu saat naas


itu akan menimpamu. Dan terus-terang aku tidak ingin hal 

seperti ini terjadi lagi padamu." 

Saraswati memejamkan mata. Ia tidak ingin mendengar 

kata-kata pria itu lebih lanjut. Bujukan yang berusaha 

menghalangi niatnya. Bukan kata-kata seperti itu yang saat 

ini ingin didengarnya. Apapun dan siapa pun yang berusaha 

menghalangi niatnya, sungguh ia tidak mau mendengar-

kan. 

"Aku lelah sekali. Kalau tidak keberatan bolehkah aku 

tidur dulu...?" pintanya dengan suara lemah. 

Anjar menghela nafas, kemudian bangkit berdiri. 

"Baiklah. Silahkan istirahat, dan tidur yang nyenyak," 

katanya seraya meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia 

membuka pintu, Anjar membalikkan badan. "O, ya. Aku 

lupa. Tadi Letnan Hendri ke sini, tapi kau belum siuman. 

Dia titip bunga mawar itu," tunjuknya pada rangkaian 

mawar yang ada di atas kepala tempat tidur, dan di 

sebelah mawar itu terdapat sekuntum melati dalam vas 

bening. "Dan melati itu dariku. Selamat beristirahat. 

"Setelah itu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi. 

Saraswati bisa merasakan kekesalan, dan kekecewaan 

dalam sikap dan intonasi kalimat Anjarr yang belakangan. 

Dan ia bisa memakluminya. Anjar menyayanginya, dan 

kadang-kadang ia merasa rasa sayangnya itu terlalu 

berlebihan. Sampai-sampai membatasi ruang geraknya 

dalam melakukan banyak hal yang selama ini sudah 

terbiasa dilakukannya. Dulu saat refreshing bersama 

koleganya yang kebanyakan pria, dengan mengadakan 

acara panjat tebing, Anjar berusaha melarangnya dengan 

alasan membahayakan jiwanya. Pernah juga saat ia coba--

coba mengikuti olahraga arung jeram di Aceh, lagi-lagi 

Anjar berusaha mencegah dengan alasan yang sama. 

Bahkan saat ia hendak meliput berita tentang suasana 

terakhir di Timor Timur yang sedang dilanda kemelut, Anjar


mati-matian mencegahnya, dan minta agar ia ditugaskan 

ke tempat lain saja. 

Saraswati merasa tidak pernah menyembunyikan 

identitas dirinya sejak pertama kali mereka bertemu di toko 

buku TEMPO, milik Anjar. Waktu itu ia sedang mencari 

buku-buku yang berhubungan dengan dunia mistik. Mereka 

berkenalan. Ia mengaku dirinya wartawan, dan buku-buku 

yang dicarinya dibutuhkan sebagai pembanding, masukan, 

atau apalah namanya untuk melengkapi laporan dan 

sekaligus penyelidikannya tentang suatu kasus aneh yang 

sedang ditanganinya. 

Sepintas saja Anjar mengetahui kalau gadis yang ber-

wawasan luas itu tomboi. Belakangan ketika mereka makin 

sering bertemu, ia mengetahui kalau aktifitas gadis itu 

seabrek-abrek. Dari mulai bangun pagi lalu olahraga, ter-

masuk diantaranya mengangkat barbel, lalu pergi ke 

kantor mengendarai motor trail. Selama dua kali dalam 

seminggu ia menyempatkan diri latihan karate, kemudian 

sebulan dua kali tiap akhir pekan ia hiking di gunung, atau 

kalau tidak bermain-main ke pantai. Lalu kalau ada cuti 

selama seminggu lebih, ia pergunakan untuk berpetualang 

menjelajahi tempat-tempat yang telah masuk dalam daftar 

agendanya. Sehingga boleh dikatakan, sedikit sekali waktu 

yang tersisa untuk Anjar, untuk berdua-duaan. Dan dari 

semula Anjar sudah siap menerima konsekwensi itu. 

Mereka telah sepakat untuk tidak saling mengganggu 

kesibukan masing-masing, oleh karena itu sulit bagi 

Saraswati untuk bisa menerima perasaan sentimentil pria 

itu tentang keselamatan jiwanya dalam menjalankan tugas 

yang disukai dan diminatinya, meski dengan alasan kasih 

sayang sekalipun! 

Hal sebaliknya pun dirasakan oleh Anjar. Meski 

menyadari eksistensi gadis itu, dan semua keberadaan 

yang ada dalam dirinya, tetap saja ia berharap suatu saat


Saraswati akan berubah. Minimal lebih feminim dan lebih 

romantis, hal yang teramat jarang sekali dilakukan gadis 

itu. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mencintai gadis 

seperti itu, yang menjadikan ia sebagai kekasih nomor dua 

setelah tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas yang dilakukan 

gadis itu. 

Anjar menyayanginya, dan tidak ingin ia mem-

pertaruhkan nyawa demi menjalankan tugas, atau sekedar 

memenuhi hasrat kepenasaran. Tapi percuma saja bila 

ketidakinginannya itu diungkapkan lewat omongan atau 

larangan. Saraswati pasti menolak, seolah Anjar telah 

memveto kebebasannya, terlalu mencampuri urusan 

pribadi, dan lain sebagainya. Kalau cuma karena ketidak 

sesuaian pendapat tentang beberapa masalah, bukan 

berarti jalan keluarnya mereka harus putus. Anjar me-

nyadari betul kalau hubungan mereka bukan seperti ABG, 

oleh karena itu ia berpikir, bagaimana caranya me-

nyelesaikan persoalan itu. 

"Saya cari jalan yang mudah saja, Bang. Kalau tidak 

putus, ya cari dukun pelet yang ampuh," sahut Kusno 

ketika Anjar meminta pendapat padanya tentang bagai-

mana caranya menundukkan pacar yang keras kepala. 

"Dukun, memang kamu kira akan menyelesaikan 

masalah?" semprot Anjar setelah ketawanya reda. 

"Lho, hal seperti itu sering berhasil, Bang!" bela Kusno. 

"Berhasil apanya? Kamu jarang baca koran dan majalah, 

sih. Banyak diantara dukun jaman sekarang itu palsu. 

Mereka cuma mengejar uang, dan hawa nafsu. Pernah 

dengar tentang dukun cabul, nggak?" 

"Ya, jangan dukun yang begituan, dong! Abang pasti 

lebih tahu. Lihat-lihat dulu dukunnya. Eh, bicara tentang 

dukun saya jadi teringat teman abang yang punya profesi 

itu. Dulu dia sering ke sini, kan? Saya pernah dikasih 

ajimat, lho dan ternyata manjur!" Kusno terkekeh.


"Siapa? Danang?" 

"Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat 

yang diberikan Danang, tapi Anjar tidak begitu serius 

mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang 

kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya? 

Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan. 

Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus 

kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang 

menjual barang-barang antik. Disamping itu ia pun ahli 

kebatinan, dan sering mendapat pasien yang berhubungan 

dengan hal-hal mistik. 

Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD. 

Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawan-

kawan lain ngeri mendatangi tempat-tempat yang angker, 

Danang malah sebaliknya. Ia betah nongkrong berjam-jam 

di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai 

tempat yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya 

yang terkilir, masuk angin, pusing, dan sebagainya ia bisa 

menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu 

dari tubuh kawannya itu, dan sembuh. 

Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya 

ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut 

kedatangannya dengan gembira. 

"Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku, 

tapi karena kau yang datang tentu mana bisa kutinggalkan 

begitu saja," katanya setelah mempersilahkan sobatnya itu 

duduk. “Gimana? Ada kemajuan dalam usahamu?" 

"Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit 

padamu, dan sekaligus minta bantuan, kalau tidak 

keberatan." 

"Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya 

Danang seraya mengeluarkan air es dari kulkas, dan 

menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya. 

Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh


Saraswati sampai kepada kejadian yang menimpa gadis 

itu. "Aku datang kepadamu karena ada kecenderungan 

yang sama seperti yang disimpulkan oleh Saraswati," 

tambahnya, "Bahwa peristiwa itu menyangkut sesuatu yang 

gaib, dan pelakunya adalah makhluk gaib. Bagaimana 

menurutmu?" 

Danang menyandarkan punggungnya di sofa sambil 

menghela nafas. "Ya." Ia mengangguk pelan. "Akupun 

mengikuti perkembangan berita itu, dan tidak 

menyalahkan kesimpulan Saraswati. Pelaku pembunuhan 

beruntun itu memang didalangi makhluk halus." 

"Jadi kau mengetahuinya juga?" 

Danang mengangguk. "Ceritanya panjang, tapi 

kusingkatkan saja. Menurut literatur yang pernah kubaca, 

juga dari legenda masyarakat tempat asal cerita itu, 

bermula dari sebuah kerajaan yang berada dalam 

kekuasaan Kerajaan Galuh. Sang Prabu mempunyai 

seorang putri yang bernama Dayang Sari. Sang Putri 

mempunyai kekasih bernama Wanara Bodas. Pada suatu 

hari, salah seorang panglima Sang Prabu yang bernama 

Taji Saluyu agaknya terpikat oleh Putri Dayang Sari yang 

digambarkan cantik jelita, maka dengan segala daya dan 

upaya ia berusaha merayu Sang Putri sampai akhirnya 

terpikat. Putri Dayang Sari benar-benar kepincuk olehnya 

sampai melupakan cinta Wanara Bodas yang tulus. Tapi 

agaknya Taji Saluyu ini seorang playboy, sebab pada hari 

naasnya itu ia kepergok sedang main gila dengan salah 

seorang selir Sang Prabu yang masih belia. Putri Dayang 

Sari benar-benar terhenyak dan tak percaya dengan apa 

yang dilihatnya. Dia betul-betul sakit hati dan merasa 

dikhianati. Sebaliknya, Taji Saluyu entah karena merasa 

malu atau takut aibnya terbongkar, dia tega membunuh 

kedua wanita itu, lalu menimpakan kesalahan kepada 

Wanara Bodas..."


Anjar mengangguk-angguk mendengarkan cerita 

sobatnya itu. "Lalu apa hubungannya cerita itu dengan 

peristiwa yang terjadi belakang ini?" 

"Kuat dugaanku kalau roh Dayang Sari bangkit dan 

melakukan balas dendam." 

"Balas dendam? Kepada siapa? Keturunan Taji Saluyu?" 

tebak Anjar. 

"Bukan." Danang gelengkan kepala. "Dayang Sari 

merasa alangkah sakitnya mereka yang dikhianati. Seperti 

Wanara Bodas yang dikhianatinya, juga seperti ia dikhianati 

Taji Saluyu. Ia membuat perhitUngan kepada pasangan-

pasangan yang suka berkhianat." 

"Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" 

"Sebab Dayang Sari sempat membuat peringatan 

dengan darahnya sebelum ajalnya datang, bahwa ia benci 

dikhianati, dan ia akan menuntut balas kepada si 

pengkhianat sepanjang masa. Dalam literature diceritakan 

bahwa korban pertamanya adalah Taji Saluyu," jelas 

Danang. 

"Lalu..." Anjar diam sejenak. 

"Apa? Kau ingin tanya mengapa Dayang Sari sampai 

mencelakakan Saraswati?" 

Anjar diam tak menjawab. Ia khawatir bila dugaan 

Danang benar. Motif pembunuhan itu adalah seperti 

hukuman. Hukuman bagi salah seorang pasangan yang 

mengkhianati pasangannya. Dan kalau Saraswati sampai 

terancam jiwanya oleh makhluk itu berarti.... 

"Curiga boleh saja, tapi sebaiknya diselidiki lebih dulu," 

kata Danang seperti biasa membaca pikiran sobatnya itu. 

"Itukan baru dugaanku saja. Apakah kau mencurigai orang 

ketiga dalam hubungan kalian?" 

"Entahlah, apakah aku pantas curiga atau tidak. Tapi 

sepertinya Saraswati akrab dengan seorang polisi yang 

sering bertemu dengannya."


"Ada baiknya juga bila kau selidiki hubungan mereka." 

"Memata-matai?" Anjar gelengkan kepala. "Aku tidak 

bisa melakukannya. Itu seperti perbuatan remaja yang baru 

pertama mengenal cinta dan takut kehilangan kekasihnya." 

"Setidaknya kau boleh mencari bukti." 

Anjar terdiam beberapa saat lamanya, kemudian 

memandangi sobatnya itu sejurus lamanya. "Bukti 

bagaimana maksudmu?" 

"Ya, apa saja. Surat, tulisan, hadiah kalau memang ada. 

Banyak, kan? Apalagi saat ini Saraswati sedang berada di 

rumah sakit, kau bisa masuk ke rumahnya. Eh, jangan 

salah! Aku bukan mengajarimu untuk jadi maling." 

Saran Danang rasanya bisa diterima. Kebetulan ketika 

mereka sedang kasmaran tempo hari, Saraswati pernah 

memberikan sebuah kunci rumahnya dengan harapan 

Anjar bisa bebas keluar masuk rumahnya. Dan kunci itu 

masih disimpannya sampai saat ini meski belum pernah 

sekalipun digunakannya. 

***


TIGA hari setelah pertemuannya dengan Danang, Anjar 

menjenguk Saraswati di rumah sakit. Menurut 

keterangan dokter, sore hari nanti gadis itu sudah 

boleh keluar dari rumah sakit. 

Letnan Hendri telah berada di ruangan itu saat Anjar 

masuk. Mereka kelihatan ngobrol serius ketika sebelumnya 

Anjar mengintip lewat jendela kaca dan ia tidak ingin 

langsung mengganggu. Baru setelah letnan polisi itu berdiri 

dan memandang keluar lewat jendela yang lain ia 

memberanikan diri masuk. 

"Sudah lama?" sapanya. 

Letnan Hendri melihat arlojinya. "Kira-kira lima belas 

menit. Dokter mengatakan kalau Saraswati diperbolehkan 

pulang sore ini." 

"Ya, saya telah diberitahu tadi." Anjar meletakkan 

bungkusan berisi buah-buahan di meja dekat tempat tidur 

sebelum menghampiri gadis itu. 

"Bagaimana keadaanmu? Sudah agak mendingan?" 

"Yaah," sahut Saraswati pendek, kelihatan tidak begitu 

bersemangat. 

Anjar melirik sekilas pada letnan polisi itu, dan yang 

dilirik agaknya mengerti kemudian segera angkat kaki. 

"Sebaiknya kau harus banyak istirahat, bahkan kalau


perlu mintalah cuti," katanya sebelum menutup pintu. 

Saraswati cuma tersenyum. Matanya masih melirik ke 

arah pintu meskipun sudah tertutup. 

"Letnan Hendri menaruh perhatian besar padamu...." 

Saraswati mengalihkan perhatian pada Anjar yang mem-

belakanginya, mengambil sebuah apel kemudian me-

ngupaskannya kecil-kecil untuk disuapkan pada gadis itu. 

"Aku masih kenyang, nanti saja." 

"Baiklah." Dengan perasaan kecewa Anjar meletakkan 

apel itu kembali ke meja, lalu melangkah ke jendela yang 

mengarah keluar. Keduanya terdiam sesaat lamanya 

sebelum pria itu kembali bicara. 

"Langit agak gelap, mungkin siang nanti akan turun 

hujan," katanya seperti bicara pada diri sendiri, lalu 

menoleh pada gadis itu. "Kau ingat ketika pertemuan kita 

yang pertama kali? Waktu itu hari sedang hujan dan kau 

masuk ke dalam tokoku...." 

"Maaf, Anjar. Aku sedang tidak berselera untuk ber-

nostalgia," tukas gadis itu. 

Pria itu tersenyum, perlahan menghampiri gadis itu 

setelah menyeret sebuah kursi dan duduk persis di bibir 

ranjang. "Baiklah, apa yang saat ini kau suka? Pem-

bicaraan tentang persoalan yang sedang kau liput, atau 

tentang Letnan Hendri?" 

Sepasang bola mata gadis itu agak melebar ketika 

wajahnya menyiratkan kegarangan. 

"Oke, oke! Jangan marah dulu. Aku toh datang ke sini 

untuk menjenguk dan sekaligus menghiburmu. Dulu ketika 

aku sakit nenek sering menghiburku dengan menceritakan 

dongeng-dongeng. Eit, jangan potong dulu!" tukas Anjar 

ketika gadis itu hendak menyela. "Nah, kali ini aku akan 

mendongeng untukmu tentang seorang putri raja bernama 

Dayang Sari. Tersebutlah kisah Putri Dayang Sari mem-

punyai seorang kekasih yang amat mencintainya dengan


setulus hati. Pria itu bernama Wanara Bodas. Ia seorang 

pria biasa-biasa saja, juga sikapnya terhadap wanita. 

Berbeda dengan Taji Saluyu, salah seorang pembantu 

dekat Sang Raja. Ia seorang pria perayu dan amat 

romantis, sehingga Dayang Sari kepincut padanya dan me-

remehkan Wanara Bodas. Tapi suatu hari ia menemukan 

Taji Saluyu sedang main gila dengan salah seorang selir 

Sang Raja. Putri. Dayang Sari geram bukan main. Ia merasa 

dikhianati. Sebaliknya Taji Saluyu merasa khawatir 

perbuatannya itu dilaporkan kepada Sang Raja, maka 

iapun membunuh kedua wanita itu untuk menghilangkan 

jejak…..” 

"Cukup! Tidak perlu diteruskan!" teriak Saraswati. 

Anjar langsung terdiam. Dipandanginya gadis itu untuk-

beberapa saat larnanya. 

Saraswati sendiri merasa kalau ia agak keterlaluan. 

Selama ini belum pernah ia membentak begitu lantang 

kepada Anjar. Perlahan ia memalingkan wajahnya. 

"Kenapa, Saras? Ada apa denganmu?" 

"Tidak ada apa-apa. Aku cuma tidak ingin kau 

memperlakukanku seperti anak kecil," sahutnya tanpa 

menoleh. 

"Bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi mengapa aku 

mencium bau pengkhianatan dalam hatimu." 

Gadis itu kembali bepaling, dan kini sepasang matanya 

memandang tajam pada pria itu. "Apa yang kau 

maksudkan?"' 

"Bau pengkhianatan," tegas Anjar seraya bangkit dari 

duduk dan membelakangi gadis itu saat melangkah tenang 

ke jendela. "Sabtu, 2 Juni: Kujemput kau di restoran. 5 

Juni: Aku senang kau mau datang ke rumahku dan ber-

kenalan dengan kedua orang tuaku. 10 Juni: tidak apa 

kalau kau belum bisa memutuskan, tapi ketahuilah aku 

mencintaimu. 17 Juni: Aku senang kau mau menerima


ajakanku untuk nonton." Anjar menghela nafas sesaat. 

"Aku tidak tahu tulisan siapa itu, yang jelas aku tidak 

pernah melihat tulisanmu seperti itu." 

"K…Kau...!" 

"Sepanjang bulan Juni banyak sekali catatan-catatan," 

tukas Anjar tak peduli apa yang hendak diucapkan gadis 

itu. "Demikian pula pada bulan Juli, Agustus, dan 

September. Kemudian aku melihat banyak sekali hadiah 

yang disembunyikan dalam lemari. Tak perlu disebutkan 

hadiah-hadiahnya, tapi aku tertarik pada tulisan yang 

menempel di hadiah itu, seperti: My Dear, Saras. Untuk 

Sarasku. Mudah-mudahan Sayangku senang, dan lain 

sebagainya. Dan diakhir kalimat selalu tertulis: H-e-n-d-r-i," 

lanjut Anjar mengeja kata terakhir yang diucapkannya. 

"Cukup! Kau sungguh keterlaluan!" semprot Saraswati 

garang. "Lancang sekali kau membuka-buka buku diary 

dan lemariku. Tidak kusangka kau akan melakukan 

perbuatan rendah itu," cibirnya sinis. 

Anjar membalikkan tubuh. Wajahnya datar, seolah tak 

mempedulikan kejengkelan gadis itu. "Perbuatan rendah? 

Kau seorang wartawati, pasti bisa mendefinisikan dua kata 

itu dan apa saja yang termasuk katagorinya. Apakah 

seorang wanita yang telah mempunyai kekasih kemudian 

berselingkuh dengan pria lain termasuk dalam katagori 

dua kata itu?" 

Hela nafas gadis itu terasa panas, seolah hendak 

membakar tubuh Anjar hidup-hidup. Untuk sesaat ia tak 

tahu apa yang harus dikatakannya selain mendelik garang 

pada pria itu. 

"Saras, tenanglah. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kalau 

ada persoalan mestinya kan bisa dibicarakan...." 

"Apakah sebaiknya nasehat untuk dirimu saja? Tidak 

ada angin tidak ada hujan, kau masuk ke rumahku 

kemudian membongkar privacyku, ada apa denganmu?"


"Ada apa? Apakah kau kira aku ini makhluk bernyawa 

yang tidak memiliki perasaan? Atau barangkali kau ber-

harap perasaanku memang tidak ada? Apakah kau 

mengira aku tidak merasakan perubahan sikapmu ter-

hadapku belakangan ini, atau tepatnya sejak bulan Juni?" 

"Cukup! Kau mengada-ada dan mengarang suatu 

pembelaan untuk melegalisir apa yang telah kau perbuat 

atas hak privacyku. Sekarang pergilah. Diantara kita sudah 

tidak ada apa-apa lagi. Kau bebas tidak perlu khawatir dan 

was-was memikirkanku, sebaliknya akupun bebas 

melakukan apa saja yang sudah biasa kulakukan sebelum 

bertemu denganmu!" tegas Saraswati. 

Anjar tersenyum. "Aku benar, jadi sebenarnya memang 

keputusan seperti itu yang kau inginkan. Baiklah, diantara 

kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi sebelum aku pergi 

dari kamar ini, juga pergi dari hatimu, ingatlah: dongeng 

yang kuceritakan tadi suatu legenda yang ada kaitannya 

dengan liputanmu tentang makhluk gaib itu. Dan satu hal 

terpenting, kau harus pandai jaga diri, sebab kali ini 

giliranmu! Waspadalah terhadap orang terdekatmu." 

"Bila benar itu pasti kau!" tuduhnya enteng. 

"Mungkin saja," angguk Anjar seenteng tuduhan gadis 

itu, kemudian angkat bahu. "Tapi apakah aku mempunyai 

wajah pembunuh? Lalu apa motifnya? Karena cemburu? 

Hm, itu terlalu sepele. Aku yakin sepenuhnya Anjar 

bukanlah tipe pria seperti itu. Aku bukanlah seorang idealis 

dalam bercinta, tapi realis. Bila seorang wanita sudah tidak 

menyukaiku, maka aku akan mencari wanita yang 

menyukaiku, sebab aku yakin dunia ini masih banyak 

makhluk dari jenis wanita. Yang cantik banyak, yang baik 

tersedia, dan yang setia pun ada. Mungkin ini agak 

menyimpang dari hukum kebiasaan manusia tentang 

percintaan karena mereka beranggapan cinta adalah milik 

mutlak perasaan. Tapi bagiku soal cinta adalah


keseimbangan antara perasaan dan akal," lanjut Anjar 

mengakhiri kalimatnya dan langsung menutup pintu tanpa 

mempedulikan jawaban gadis itu. 

Betapapun, dan apapun yang diucapkannya kepada 

Saraswati tetap saja Anjar tidak bisa membohongi diri 

sendiri. Ia memang mencintai gadis itu, dan keputusan 

yang telah mereka jatuhkan bersama tentang hubungan 

yang selama ini dibina teramat menyakitkan. Meski begitu 

ia berusaha untuk konsekwen dengan apa yang telah 

diucapkannya, sebab terlalu mengikuti perasaan bisa 

mencelakakan diri sendiri. 

"Aku sudah bisa menduganya," komentar Danang ketika 

mereka kembali bertemu sore ini. Anjar merasa enggan 

pulang ke rumah, juga enggan ke toko, dan entah mengapa 

kakinya begitu kuat mengajaknya ke tempat sahabatnya 

itu. "Apa kau merasa menyesal telah bertemu denganku 

sehingga kau mengambil keputusan seperti itu yang 

kemudian berakibat fatal dengan berakhirnya hubungan 

kalian?" 

Anjar tidak langsung menjawab. Perlahan disulutnya 

sebatang rokok, kemudian mempermainkan asapnya. 

"Apakah kau yakin ia akan menjadi korban?" tanyanya 

sambil memandang sobatnya itu seolah tidak mempeduli-

kan pertanyaan Danang tadi. 

"Kenapa? Kau khawatir?" 

"Entahlah. Aku cuma tidak ingin dia menjadi korban..." 

sahut Anjar agak gelisah. "Kalau ada sesuatu yang bisa 

kulakukan untuk mencegahnya." 

Danang terdiam, menarik nafas agak panjang sebelum 

bicara. "Apakah itu berarti kau masih mencintainya? Atau 

kau ingin menolong sekedar rasa kemanusiaan?" 

"Aku teringat ceritamu. Menurutmu seandainya Wanara 

Bodas mengetahui kalau Taji Saluyu akan membunuhnya 

apakah ia mau menolong?"


"Sayang sekali. Menurutku Wanara Bodas tidak berpikir 

ke arah itu. Logikanya mengatakan kalau Taji Saluyu akan 

mencintai dan melindungi Dayang Sari. Dan menurutkupun 

itu masuk di akal”. 

"Memang. Tapi saat ini situasinya sedikit berbeda. 

Akupun percaya kalau Letnan Hendri tidak akan 

membunuh Saraswati. Tapi bila roh Dayang Sari menyusup 

ke dalam raganya, apakah ia mampu menahannya? Ironis 

sekali kan? Dan aku tidak sanggup membayangkannya." 

"Mengapa kau begitu yakin kalau roh Dayang Sari akan 

menyusup ke dalam raga Letnan polisi itu?” 

"Pada liputannya yang terakhir, Saraswati berhasil 

memotret wajah makhluk itu. Sudah menjadi kebiasaannya 

untuk mencuci film dari jepretan kameranya. Dan saat aku 

menggeledah rumahnya, aku sempat masuk ke kamar 

gelapnya, kemudian melihat hasil fotonya...." 

"Jadi...?!" tukas Danang kaget seperti telah mengetahui 

kelanjutan kalimat sobatnya itu. 

"Betul! Foto yang dijepret Saraswati adalah letnan polisi 

itu," sahut Anjar menjelaskan. 

Danang tercenung seperti memikirkan sesuatu. 

Kemudian setelah itu dipandanginya wajah Anjar sejurus 

lamanya. "Apakah... kau menyimpan foto itu?" 

Anjar mengangguk. "Aku tidak mempunyai maksud apa-

apa. Entahlah apakah yang kulakukan itu salah atau benar. 

Mungkin saja Saraswati mencintai letnan polisi itu, dan bila 

ia sempat mengetahui, atau memang sudah melihatnya, ia 

tentu akan sangat kecewa. Aku cuma tidak ingin ia 

kecewa...."Danang tersenyum sambil gelengkan kepala. 

"Kadang-kadang sulit bagiku untuk mengerti cara 

berpikirmu. Di jaman sekarang ini orang menghalalkan 

segala cara untuk mencapai tujuannya, dan bila ada lawan 

menghadang, ia akan berusaha menjegalnya mati-matian. 

Tapi yang kau lakukan justru menutupi kelemahan lawan


untuk melanggengkan hubungan lawanmu dengan 

kekasihmu...." 

"Mantan," tukas Anjar meralat. 

"Apapun nama yang kau berikan aku yakin Saraswati 

masih tetap berada di hatimu." 

"Setidaknya aku tidak berada lagi di hatinya." 

Keduanya terdiam untuk beberapa saat lamanya 

sebelum Anjar kembali bicara. 

"Bagaimana menurutmu? Apakah tidak berlebihan bila 

aku berniat membantunya?" 

"Itu terserahmu. Sebagai teman aku berusaha 

mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku." 

Danang angkat bahu. "Hanya saja kuperingatkan, jangan 

berharap terlalu banyak kalau kau mampu mengatasi 

persoalan ini." 

"Aku berhadapan dengan dunia yang berbeda, dan oleh 

karena kutahu kau mengerti lebih banyak dariku soal-soal 

seperti itu maka aku minta dukunganmu." 

"Seperti yang telah kukatakan, aku akan mendukung 

dan membantumu sekuat kemampuanku." 

"Terima kasih, Nang. Sekarang apakah kau punya ide 

langkah apa yang pertama kali harus kita lakukan?" 

Danang bangkit berdiri kemudian memberi isyarat pada 

sobatnya itu untuk mengikutinya ke sebuah kamar. 

Danang duduk bersila di atas hamparan permadani kecil 

dan menghadap ke salah satu tembok pada jarak sekitar 

dua meter. Sementara Anjar duduk di belakangnya agar 

menyerong sadikit ke kanan. Suasana ruangan begitu 

temaram dan hanya diterangi cahaya lampu lima watt 

warna biru. 

Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh 

sahabatnya itu, sebab hal seperti ini belum pernah 

dilihatnya. Hanya saja Anjar pernah membaca dan 

mendengar bila suasana seperti ini maka seseorang akan


berhubungan dengan makhluk dari dunia yang berbeda, 

dari dimensi lain. Apakah itu artinya Danang mengajaknya 

untuk berhubungan dengan makhluk halus? Atau lebih 

tepatnya dengan Dayang Sari? Apakah ia punya kekuatan 

untuk melakukan hal itu? 

Ruangan itu hanya memiliki ventilasi kecil yang ditutupi 

oleh kawat nyamuk sehingga udara terasa pengap dan 

sedikit panas. Kalau saja Danang sampai membakar 

kemenyan mungkin ia tidak akan tahan berlama-lama di 

sini. Tapi syukur saja kawannya itu tidak melakukannya. 

Suasana masih terasa hening. Ia tidak berani meng-

ganggu Danang meski untuk suatu pertanyaan seperti, apa 

yang sedang dilakukannya? Tapi perlahan terasa ruangan 

itu dipenuhi hawa magis. Ia sulit menjelaskannya dengan 

kata-kata, ataukah mungkin itu cuma perasaannya saja? 

Atau barangkali ilusi mata? Yang jelas ia melihat ada 

semacam kabut yang datang dari arah ventilasi memenuhi 

isi ruangan. Tidak menyesakkan nafas, juga tidak-

memerihkan mata. Kabut itu bergulung di lantai 

membentuk ketinggian sekitar dua jengkal. Tak lama 

kemudian terdengar suara koor yang sayup-sayup 

terdengar, seperti datang dari kejauhan, ditingkahi suara 

gending yang mengalun lambat. Kabut yang menggumpal 

di lantai bergoyang-goyang seperti riak ombak. 

Suasana seperti itu berlangsung kurang lebih sepuluh 

menit, sebelum ia dikagetkan oleh sebuah sinar kecil yang 

melesat cepat ke dalam ruangan melewati ventilasi. 

Berputar-putar di atas kepala mereka kemudian meng-

gantung di hadapan Danang. Anjar bisa memastikan kalau 

sinar yang memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan itu 

cuma sebesar kelereng yang paling besar. 

Tidak terdengar olehnya percakapan, kalaupun sinar itu 

bisa bicara. Yang jelas tidak berapa lama kemudian sinar 

itu bergulung-gulung sebelum akhirnya kembali melesat


keluar. 

Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut 

yang tadi menggenangi lantai ruangan. Dan bersamaan 

dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat 

terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya 

kembali tidak terdengar. 

Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih 

belum mengerti apa yang telah terjadi ketika Danang 

membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya 

masih tetap dalam posisi duduk menyila. 

"Kau telah melihatnya tadi, kan? Roh Dayang Sari telah 

datang menemui kita." 

"Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar 

hijau kebiru-biruan itu yang dimaksudkan Danang? Apakah 

wujud roh memang begitu? Hal itu masih tanda tanya 

besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik 

kalimat berikut yang dilontarkan sahabatnya itu. 

"Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia 

akan melakukannya. Sumpahnya tak bisa dicabut, dan 

rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai kapan." 

Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangka-

prasangka yang ada dalam benaknya. 

"Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati 

pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya. 

Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia 

menyarankan agar kita tidak ikut campur dalam urusan-

nya." 

"Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya 

Anjar akhirnya. 

"Bisa kedua-duanya." 

"Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengan-

nya?" 

Danang mengangguk. 

"Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan


nya untuk mencabut sumpahnya sendiri, sebab ia tidak 

bersumpah kepada siapapun sehingga apabila sumpah itu 

dicabut, tidak ada yang merasa kecewa dan dirugikan?" 

"Kau tidak mengerti. Sumpah seperti itu disaksikan 

langit dan bumi, dan seluruh makhluk yang ada di 

dalamnya. Kepada merekalah ia bersumpah. Selagi dunia 

ini masih ada, maka sumpahnya masih tetap akan berlaku. 

Lagipula, tidak ada gunanya mendebatkan soal itu sebab 

bagaimanapun ia akan tetap melaksanakan apa yang telah 

menjadi keputusannya." 

Anjar kembali terdiam. Diam-diam ia bergidik ngeri 

membayangkan nasib yang akan menimpa Saraswati kalau 

benar ia menjadi incaran roh Dayang Sari. Lalu apa yang 

bisa dilakukannya untuk mencegah hal itu terjadi? Minta 

bantuan pada Danang? 

"Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mencegahnya," 

kata Danang angkat bahu seperti mengerti jalan pikiran 

sahabatnya itu. 

"Apakah... bila kau memaksakan diri akan... mem-

bahayakan jiwamu?" tanya Anjar ragu. 

"Bisa saja terjadi." 

Anjar mengeluh dalam hati. Apa yang kini harus 

diperbuatnya? Di satu sisi ia tak ingin Saraswati celaka, 

tapi di sisi yang lain ia pun tidak menghendaki Danang 

celaka karena terpaksa harus membantunya. Lagipula ia 

tidak punya hak untuk memaksa sahabatnya itu membantu 

persoalannya. 

"Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan 

Saraswati, Nang?" 

"Entahlah. Jika saja ia tidak melanjutkan 

penyelewengannya, mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi 

jangan salah, kemungkinan itu tetap sebuah kemungkinan 

yang berarti bisa salah, bisa juga benar. Seandainyapun 

setelah itu ia kembali lagi padamu juga bukan merupakan


jaminan kalau ia akan selamat." 

"Suatu pilihan yang sulit," desah Anjar menghela nafas 

berat. Apa yang mesti dilakukannya? Menguntit ke mana 

langkah Saraswati sehingga sebisa mungkin menyelamat-

kannya, atau membiarkan segala sesuatu terjadi dengan 

sendirinya. Kalaupun ia hidup ataupun tewas sebagai 

korban, toh nanti takdir yang akan bicara. 

***


LIMA


WAKTU telah menunjukkan pukul sepuluh malam 

ketika ia tiba di rumah. Di halaman depan tengah 

terparkir sebuah motor trail. Ia tahu betul, itu 

adalah motor Saraswati.Tapi ada apa gadis itu malam-

malam ke rumahnya? 

Tiba di ambang pintu dilihatnya gadis itu sedang ngobrol 

dengan Kusno. Sambil texsenyum ia duduk di hadapan 

gadis itu. 

"Sudah lama?" 

"Kurang lebih dua jam yang lalu," sahut Saraswati tanpa 

ekspresi. 

"Seharusnya kamu istirahat di rumah." Anjar melihat 

kalau leher gadis itu masih dibalut perban meskipun ada 

syal dari rajutan wol yang melilit di situ. 

"Mestinya begitu, tapi karena keperluannya mendesak 

aku memaksakan diri ke sini," sahut gadis itu masih 

dengan nada datar sambil melirik pada Kusno. 

Yang dilirik seperti mengerti dan langsung, angkat kaki 

ke belakang. 

"Saya permisi dulu, Bang. Tadi sedang membetulkan 

saluran air di kamar mandi. Belum kelar. Mari, Mbak." 

Anjar mengangguk kecil, sedang Saraswati diam saja tak 

bereaksi.


"Tidak perlu setegang itu. Ada apa? Katakan saja." 

"Aku minta foto-foto yang kau ambil dari rumahku 

dikembalikan. Tidak ada gunanya bagimu!" tandasnya 

dengan sorot mata tajam perwujudan rasa sinis di hatinya. 

"Foto yang mana?" Anjar pura-pura tidak mengerti. 

"Foto-foto yang sedang kukeringkan di kamar gelap!" 

"O, itu? Ya, aku mengerti. Tapi mengapa kau begitu 

yakin kalau aku yang mengambil foto-foto itu?" 

"Tidak usah berbelit-belit! Kembalikan saja dan aku 

segera angkat kaki dari sini." 

"Bagaimana mungkin kau meminta sesuatu dari 

seseorang yang kau sendiri tidak mempunyai bukti kalau 

orang itu telah mengambilnya dari tempatmu?" 

"Anjar, jangan bermain-main! Aku memerlukan foto-foto 

itu. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan kau?" 

Anjar menggelengkan kepala sambil tersenyum. 

"Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin seorang warta-

wati sepertimu menulis sebuah berita tanpa mengadakan 

investigasi yang teliti, kemudian mencap kalau berita yang 

ditulisnya adalah benar. Dimana letak tanggung jawabmu 

terhadap pembaca?" 

"Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan foto-foto itu. 

Lekas, berikan saja foto-foto itu atau...." 

"Atau apa? Kau ingin melaporkannya ke Pak Polisi?" 

Nada bicara Anjar agak sinis ketika mengucapkan dua kata 

terakhir. 

"Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, dan dengan seenak-

nya membongkar-bongkar arsip-arsip rahasia yang me-

nyangkut masalah privacy. Itu suatu pelanggaran serius." 

Anjar tertawa kecil "Kau belum paham juga kalau aku 

amat teliti dalam bekerja? Siapa yang akan mempercayai 

ceritamu itu? Barang-barang masih berada di tempatnya 

kecuali foto-foto itu, dan jangan katakan kalau aku yang 

mengambilnya, sebab kau akan kecewa karena tidak bisa


membuktikannya. Ingat, orang lain bisa masuk ke tempat-

mu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak 

punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumah-

mu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah 

kau hendak membuat pernyataan bahwa aku telah me-

rampas kunci rumahmu? Silahkan laporkan kepada polisi!" 

Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang 

tajam sekali. Entah mengandung kebencian ataukah 

dendam. Atau mungkin kedua-duanya. 

"Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada 

hubungan apa-apa lagi...." 

"Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas 

Anjar. "Berarti dengan kata lain kau hendak menjadikan 

aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak 

dikenal?" 

"Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak 

melunak. "Mengingat hubungan kita yang pernah ada, 

maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku." 

"Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku 

melakukan sesuatu yang terbaik untukmu. Jangan ber-

prasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah menuduh 

aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulaku-

kan untukmu adalah demi kebaikanmu sendiri." 

"Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan 

saja foto-foto itu kepadaku." 

"Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar ter-

dengar lebih serius. "Kau sedang menghadapi sesuatu 

yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku menolong-

mu...." 

"Kau akan sangat menolong bila mengembalikan foto-

foto itu padaku." 

"Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan 

membuatmu panik." 

"Dari mana kau tahu? Kau bukan Tuhan yang bisa


mengetahui apa yang akan terjadi nanti." 

"Memang betul. Tapi apakah kau belum melihat isi foto-

foto itu?" 

"Yang kutahu aku amat membutuhkannya!"" tegas gadis 

itu. 

"Meskipun kau belum mengetahui isi foto itu?" 

"Sudahlah, Jar. Aku tidak mau terus berdebat dengan-

mu. Kembalikan foto-foto itu. Tidak ada gunanya bagimu. 

Kau akan sangat menolongku bila mengembalikan foto-

foto itu," ulang Saraswati. 

Anjar terdiam. Ia jadi ragu apakah Saraswati mengetahui 

isi foto itu atau tidak. Kalau memang ia mengetahuinya, 

berarti ia bermaksud menyembunyikan seseorang yang 

berada datam foto-foto itu. Tapi kalau ia tidak mengetahui-

nya, Anjar bisa membayangkan kalau gadis itu akan sangat 

panik nantinya. 

"Foto itu tidak ada padaku. Kau sia-sia datang ke sini 

kalau cuma karena itu!" tegasnya. Ia telah mengambil 

keputusan tidak akan menyerahkan fotofoto itu pada 

Saraswati. 

"Jadi kau tidak mau mengembalikannya?!" 

"Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apakah 

pendengaranmu juga ikut terganggu akibat makhluk itu?" 

Saraswati mendengus sinis seraya bangkit berdiri. 

"Baiklah. Kalau kau tidak mau menyerahkannya secara 

baik-baik maka aku akan memperkarakan masalah ini. 

Selamat tinggal." Gadis itu terus berlalu keluar. Dan tak 

berapa lama terdengar raungan motornya meninggalkan 

halaman rumah. 

Dengan membawa perasaan jengkel yang memuncak 

sampai ke ubun-ubunnya, Saraswati melajukan motornya 

dengan kecepatan tinggi. Ia betul-betul sebal melihat 

tingkah Anjar. Meskipun tak ada bukti, tapi ia merasa yakin 

kalau Anjar yang telah mengambil foto-foto itu dari rumah


nya. Kalau bukan, lalu siapa?" Anjar telah membongkar 

lemari rahasia yang menyimpan arsip-arsip hubungannya 

dengan Letnan Hendri. Dan bukan tidak mungkin pria itu 

telah menggeledah seluruh isi rumahnya termasuk kamar 

gelap di mana foto-foto itu sedang dikeringkannya sebelum 

makhluk terkutuk itu datang dan menganiayanya. 

Seekor kelelawar terbang cepat melintas di depan persis 

dekat wajahnya. Saraswati kaget bukan main dan reflek 

memalingkan muka sambil memejamkan mata. 

"Binatang keparat!" gerutunya geram. Tapi belum lagi 

habis rasa kagetnya, mendadak melintas seekor kucing 

yang menyeberangi jalan. Ia yang sudah begitu kesal, tidak 

mempedulikannya dan langsung menabrak hewan itu. Tapi 

ajaib, kucing itu tiba-tiba saja menghilang. Raib entah ke 

mana. 

Gadis itu merasa heran, dan melambatkan laju 

motornya sebelum berhenti sama sekali. Ia yakin betul 

dengan pandangan matanya kalau kucing tadi persis 

berada di depan ban, dan menurut perhitungan, hewan 

tadi pasti tergilas. Tapi aneh, karena ia sama sekali tidak 

melihat bangkai kucing itu. 

Ketika melirik jam tangannya waktu menunjukkan pukul 

sebelas lewat beberapa menit. Ia tidak sedang berada di 

tengah hutan, tapi sebaliknya bpeada di tengah kota. 

Namun suasana sepi tempat itu persis seperti kota mati. 

Tak satupun sejak tadi ia berpapasan dengan pengendara 

motor lain ataupun mobil. Ini sungguh aneh! Karena meski 

larut malam sekalipun daerah ini tetap ramai. Ia 

mengingat-ingat, malam apa sekarang? Benar, malam 

Jum'at. Entah Kliwon, Legi, atau Pahing, ia tidak tahu. Tapi 

apakah ada hubungannya? 

Suara anjing terdengar melolong dari kejauhan. Entah 

mengapa bulu kuduknya merinding. Ada perasaan ngeri 

yang tiba-tiba saja merayap ke tubuhnya. Saraswati


menstarter motor. Tak menyala! Ia mencoba sekali lagi, 

tapi tetap tidak ada tanda-tanda kalau motornya mau 

bergerak. Ia berusaha mendorongnya, tapi entah mengapa 

motor itu terasa berat sekali. Seolah tidak mau bergeser 

sedikit pun dari tempatnya. 

"Brengsek! Ada apa dengan motor ini?" umpatnya geram 

setelah memeriksa busi, platina dan lain sebagainya. 

Bahkan bensinnya pun terisi penuh. Rem berfungsi baik. 

Lalu apa yang menjadi masalah? 

Belum lagi ia menemukan jawaban, mendadak ter-

dengar suara gending dari kejauhan, yang perlahan-lahan 

mendekat. Ini mengherankannya, karena ia tidak melihat 

ada tanda-tanda orang yang sedang hajatan di sekitar situ. 

Dari mana datangnya suara itu? 

Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, dan rasa takut 

semakin menjadi-jadi menyelimuti hatinya. Pertanda apa 

ini? Atau barangkali ia sedang bermimpi? Tapi... ah, tidak. 

Ini kenyataan. Pada saat itu terlihat cahaya terang dari 

depan, perlahan mendekatinya, membuatnya silau. Reflek 

ia memejamkan mata. Tapi ketika ia hendak membukanya 

lagi, cahaya itu te!ah berada di dekatnya, berputar-putar 

mengelilingi sambil menimbulkan suara bising yang 

memekakkan telinga. Di antara suara bising itu terdengar 

lapat-lapat satu suara yang memanggilnya berulang-ulang. 

"Saraswati... Saraswati...!" 

"Siapa itu? Siapa yang memanggilku?!" teriak gadis itu 

berputar-putar mencari arah datangnya suara. 

"Saraswati.... Kau penghianat. Kau pengkhianat...!" 

"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan?" 

"Saraswati... pengkhianat. Pengkhianat harus mati! 

Pengkhianat harus mati!" Jantungnya seperti berhenti ber-

detak, dan tubuhnya terasa melayang dengan ringan ketika 

cahaya yang mengelilinginya dengan cepat semakin men-

dekat. Terasa udara panas yang menyengat kulit, dan paru


parunya sesak untuk bernafas. Dan dengan satu sentakan 

keras, terasa sesuatu mencekik lehernya dengan kuat 

sekali. Meski gadis itu mati-matian mempertahankan diri, 

tapi tetap saja ia tidak mampu berbuat satu apapun untuk 

menghindar dari sesuatu yang mencekiknya. 

Lapat-lapat sebelum kesadarannya hilang sama sekali 

terdengar olehnya suara teriakan yang mengguntur. 

"Jangaaan…!!" 

Ia tidak mengetahui berapa lama berada di sini. Namun 

ketika terjaga, suasananya berubah total. Seluruh ruangan 

terlihat putih bersih. Ketika melirik ke samping, terlihat 

seraut wajah yang dibencinya. Seketika itu juga ia 

memalingkan muka. 

"Syukurlah kau te!ah sadar," ucap Anjar lega. "Hampir 

dua puluh empat jam kau tidak sadarkan diri. Tidak perlu 

banyak bicara, karena ada sedikit kerusakan pada 

tenggorokanmu. Dokter mengatakan bahwa kau masih 

perlu dirawat agak lama di sini. Akupun menganjurkan 

begitu. Aku sudah menghubungi pimpinan redaksimu. 

Siang tadi beliau datang ke sini menjengukmu, tapi kau 

belum siuman." 

Saraswati diam saja. Dia melirik lengannya yang di-

hubungkan dengan tabung infus. Seandainya pun ia 

leluasa berbicara, rasanya enggan untuk menimpali 

ocehan pria ini. 

"Sepulangnya kau dari rumahku," sambung Anjar, "Aku 

merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi 

padamu, maka secepatnya kau kuikuti. Ternyata benar 

saja. Aku bersyukur bisa datang tepat pada waktunya." 

Gadis itu kembali memalingkan muka, menatap pria itu 

seolah hendak minta penjelasan apa yang telah terjadi 

pada dirinya. Tapi dilihatnya pria itu bukannya memberikan 

jawaban, malah bangkit berdiri memunggunginya. 

"Aku tahu kau tidak menginginkan kehadiranku di sini.


Tidak apa. Aku permisi dulu." katanya melangkah tenang 

menuju pintu. Tapi sebelum keluar ia sempat menoleh." 

Barangkali kau membutuhkan kehadiran Letnan Hendri 

untuk menghiburmu. Aku telah menghubunginya sejak jam 

delapan tadi pagi. Tapi tidak bertemu langsung dengannya. 

Seseorang yang mengangkat telepon mengatakan kalau ia 

sedang pergi, maka aku titip berita saja bahwa kau berada 

di sini. Mudah-mudahan dia mau datang menjengukmu. 

Selamat malam. Selamat istirahat." Setelah itu ia terus 

berlalu, tak peduli ketika Saraswati berusaha mengangkat 

sebelah lengannya sebagai isyarat untuk menahannya 

sesaat. 

Saraswati hanya bisa memandangi punggung pria itu 

sebelum pintu tertutup. Ia menghela nafas berat. 

Pikirannya berkecamuk ditambah lagi kepalanya agak sakit 

seperti terkena benturan keras. Berdenyut-denyut. Apa 

yang telah terjadi padanya malam itu? Ia merasa maut 

telah begitu dekat dengannya, sebelum teriakan keras itu 

membuyarkan segalanya. Siapa yang berteriak itu? 

Anjarkah? Apakah ia sengaja datang untuk menolongnya? 

Untuk apa? Setelah mengetahui perselingkuhannya 

dengan Letnan Hendri, apa pedulinya lagi terhadap dirinya? 

Anjar pasti merasa sakit hati, lalu apa gunanya dia 

menolong? 

Ia tidak tahu apakah hubungannya dengan letnan polisi 

itu pantas disebut perselingkuhan? Mereka tidak melaku-

kan hal-hal yang diluar batas, tapi memang, ia merasa 

tertarik dengan pria itu. Letnan Hendri terlihat lebih gagah 

dan berwibawa. Dan kebersamaan mereka selama ini 

membuat kedua hati semakin terpaut erat. Tetapi bukan 

berarti ia melupakan Anjar. Semula ia tidak membenci pria 

itu, sampai ketika dianggapnya Anjar terlalu lancang meng-

acak-acak rahasia pribadinya. Dan menurutnya hal itu 

sudah melewati batas, dan menumbuhkan kebencian. Tapi


benarkah ia begitu benci pada pria yang pernah dicintai-

nya? Pernah? Kalau ada perkataan itu berarti definisinya 

saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi 

pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi 

mencintai Anjar? 

Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu di-

ketuk. Seorang pria berseragam polisi masuk ke dalam. 

Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum 

manis begitu wajah mereka berpapasan. 

"Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?" 

tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis 

itu. 

Saraswati tersenyum kecil, dan berusaha menggeleng 

lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah teng-

gorokannya yang masih diperban. 

"Kenapa? Kau mengalami peristiwa mengerikan itu 

lagi?" 

Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa 

sakit sekali. Pita suaranya seperti tak mau bergetar. 

"Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah mem-

beritahukan kondisimu padaku. Aku menyesal sekali tak 

ada saat kejadian itu menimpamu." 

Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu 

yang muram. Ada bias dendam dan kebencian yang me-

nyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan ke-

kecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak 

mampu menolong gadis itu. 

"Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya 

setelah beberapa saat membisu. "Pagi tadi aku mengurus 

korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam 

setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang 

dilakukannya sama seperti sebelumnya." 

Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh 

minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama


sekali tidak menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki per-

masalahan sampai tuntas, meski ia sendiri hampir saja 

menjadi korban. 

"Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..." 

lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...." 

Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata 

terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya? Bukankah 

itu gadis yang mereka jadikan umpan untuk menjebak 

pelaku pembunuhan itu? 

"Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum 

lagi membaik. Aku sungguh menyesal tidak menjaganya 

dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam 

permasalahan ini." 

Berdosa? Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya, 

tapi Saraswati pun merasakan hal yang sama. Bukankah 

ide itu berasal darinya? Hanya saja memang bukan ia yang 

memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan ber-

sedia menjadi umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan 

Hendri sampai memilihnya. 

"Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu 

kita dalam menuntaskan masalah ini," lanjut letnan polisi 

itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya. 

"Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!" 

Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak meng-

godanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di 

benak gadis itu. 

"Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu. 

Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang 

pintu. Saraswati mengerutkan dahi. Ia sama sekali belum 

pernah melihat wajah itu sebelumnya. 

"Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian," 

kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan 

Saraswati, kemudian memberi isyarat pada si gadis yang 

berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam. "Kami


datang berdua ke sini. Ini Christine, sepupuku. Pagi tadi ia 

baru datang dari Amerika. Christine kuliah pada jurusan 

Anthropologi, dan khususnya pada budaya bangsa-bangsa 

Timur." 

Letnan Hendri memperkenalkan keduanya. 

Saraswati merasakan jabatan tangan gadis itu yang 

hangat dan erat, penuh persahabatan. Diamatinya sekilas. 

Wajahnya mirip bintang film kenamaan: Paramitha Rusady, 

tapi Christine memiliki kelebihan pada tinggi badannya. 

"Mas Hendri banyak cerita tentang Anda pada saya, dan 

menurut saya tidak berlebihan bila ia mengatakan Anda 

cantik. Kenyataannya memang demikian," puji gadis itu. "Ia 

juga cerita tentang masalah yang ditanganinya belakangan 

ini, yang dalam hal ini Anda pun meliputnya. Dan terus 

terang, saya ikut tertarik mengamati perkembangannya." 

Saraswati curna bisa tersenyum. 

Saraswati baru pertama kali kenal dengan gadis itu, pun 

namanya. Karena selama ini Letnan Hendri sama sekali 

tidak pernah menyinggungnya. Pria itu pun jarang bercerita 

tentang saudara-saudaranya. Jadi pengetahuan Saraswati 

tentang keluarganya sangat minim. Ia sendiri tidak tahu 

apakah mesti percaya atau tidak kalau Christine ini betul 

sepupunya Letnan Hendri. Dan ia merasa hal itu belum 

perlu, sebab ia sendiri tidak tahu apakah di hatinya ada 

perasaan cemburu atau tidak melihat kehadiran Christine. 


                            TAMAT 


SEGERA TERBIT : 


MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG 

SARI II


--------------------------------------------------


SERIAL JONI KUCAI 1

EPISODE JONI CARI PENGALAMAN II



SATU


Jon!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar 

suara yang memanggil dirinya. 

"He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil 

dirinya itu adalah teman baiknya, Midun. 

"Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun. 

"Aku sedang melamun." 

"He, apa yang kamu lamunkan?" 

"Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku 

khawatir nanti kamu ikut-ikutan." 

"Ikut-ikutan apa?" 

"Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi 

orang kaya." 

"Ah, kamu Jon. Kukira apa? Masa cuma melamun aja 

aku iri." 

"He, siapa tahu." 

"Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu 

sepi? Ke mana emakmu?" 

"Emakku sedang pulang kampung." 

"Kamu nggak diajak?" 

"Kamu ini bagaimana sih, Dun? Kalau aku diajak sama 

Emakku, mana mungkin kau bisa bicara sama aku saat 

ini?" 

"Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?" 

"Ya, begitulah." 

"Wah, kamu asyik dong bisa bebas." 

"Seharusnya begitu."


"Kok seharusnya?" 

"Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini 

nggak punya uang, mana mungkin bisa. Kau kan sendiri 

tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai uang." 

"Sudah pasti." 

"Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin 

aku bisa melakukan sesuatu." 

"Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?" 

"Ngasih. Lima juta." 

"Lima juta?" 

"Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding." 

"Maksudmu?" 

"Aku cuma diberi uang lima ribu perak." 

"Untuk berapa hari?" 

"Katanya sih untuk beberapa hari." 

"Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal 

membuat kamu kelaparan." 

“Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari 

Emak pergi aku sudah nggak punya uang." 

"Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih! 

Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?" 

"Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!" 

“Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?" 

"Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku 

sedang melamun, bagaimana caranya jadi orang kaya?" 

"Dan lamunanmu itu berhasil?" 

Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya 

semakin nampak murung. 

"Aku punya saran," 

Joni memandang sahabatnya itu. 

"Apa saranmu?" 

"Sebaiknya kau menyusul emakmu saja." 

"Ke kampung? Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan 

kaki kesana?” 

"Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh." 

Joni menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.


Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja." 

"Di mana tempat tinggal pamanmu itu? Apa kau tahu 

alamatnya?" 

"Tahu." 

"Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini, 

sebaiknya kau lekas pergi ke tempat tinggal pamanmu!" 

"Tapi bagaimana kalau Emakku pulang? Past! Emak 

bakal mencari-cariku?" 

"Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu 

emakmu, bahwa kau pergi ke rumah pamanmu." 

"Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima 

kasih. Tapi….??" 

"Tapi apa lagi?" 

"Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan 

menjaganya? Aku khawatir nanti ada barang-barang 

berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi, 

pasti Emak bakal marah sekali!" 

"Barang berharga? Memangnya emakmu banyak 

memiliki barang berharga? Setahuku di dalam rumahmu 

nggak ada apa-apa kecuali cuma tempat tidur reotmu itu!" 

"Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak 

memiliki barang simpanan yang harganya tak ternilai. 

Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku 

dibanding dengan kekayaan milik Emakku!" 

"Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih 

keturunan raja minyak dari Arab?" 

"Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang 

kaya cuma pura-pura miskin." 

"Pura-pura apa miskin beneran?" 

"Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa 

dibelinya buat kandang ayam, tahu. Kamu nggak percaya? 

Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di 

Jakarta itu punya siapa?" 

"Punya Emakmu?" 

"Gila! Punya Pemerintah, goblok!" 

"Oh, aku kira punya emakmu." 

"Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.


Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa 

meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah." 

"Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diam-

diam emakmu banyak memiliki harta simpanan Jon." 

"Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilang-

bilang sama orang lain lagi ya, nanti bisa bahaya. Rumahku 

bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya celaka!" 

"Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain." 

"Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu 

cuma kamu aja! Lain orang nggak ada yang tahu. Mereka 

cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang nggak 

punya." 

"Nggak tahunya Kong Melarat." 

"Hus, Konglomerat!" 

Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara per-

caya dan tidak percaya. Apa benar emak si Joni banyak 

memiliki kekayaan? Setahu Madun, selama ini emak si Joni 

adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya miskin 

dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya 

Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan 

semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni 

sendiri, sepulang temannya itu Joni tertawa terbahak-

bahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang 

itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu 

sudah reot, sehingga menimbulkan suara cukup gaduh. 

"Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun 

percaya kalau Emak punya simpanan berharga dalam 

rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa, 

selain punya diriku dan gubuk reot ini!" 

***


DUA


JONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun 

dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk di-

pejamkan. Itu sebabnya sedari tadi Joni cuma ter-

lentang saja di atas tempat tidur sambil matanya me-

mandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak 

berlapis. Menyebabkan genteng rumahnya yang banyak 

berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau hujan 

rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang 

telah pecah dan rengat. 

Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hati-

nya sedih. Dari mana ia bisa memperoleh uang untuk 

memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu? 

"Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya 

rejeki yang banyak. Jangan cuma pas-pasan untuk makan 

aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua gara-gara 

pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua 

orang sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak 

bakal senang betul hatinya. Karena dengan begitu Emak 

pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah 

nasib Emak dan diri saya!" 

Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai 

telinganya mendengar suara ketokan. 

"Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke 

arah pintu.


"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati 

Joni curiga. Ia tidak segera membuka pintu rumahnya, 

karena suara yang didengarnya itu tidak dikenalnya. Suara 

seorang lelaki. 

"Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?" 

"Saya!" 

"Saya siapa?" 

"Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu 

ini saya dobrak!" 

"Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti 

Emak saya marah!" 

"Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi 

sama emakrnu, saya sih tidak" 

"Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka. 

Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya. 

Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di 

hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh besar 

bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar 

tawanya. 

"Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa 

dipersilahkan langsung menerobos masuk dan duduk. 

Joni bengong seperti sapi ompong. 

"Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang 

mengaku seorang rampok. 

"Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang 

kampung!" 

"Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi 

barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada 

perabotnya." 

"Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin." 

"Rumah orang miskin? Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak 

percaya. Soalnya di Jakarta ini banyak sekali orang kaya 

yang pura-pura miskin." 

"Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benar-

benar miskin. Sungguh saya nggak bohong dan nggak pura-

pura." 

"Jadi sungguh kamu miskin beneran?"


“Ya " 

"Kasihan." 

"Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang 

kasihan sama diri saya dan Emak saya." 

"Begitu?" 

"Ya, begitu." 

"Kalau begitu, mereka itu semua tolol!" 

"Kok, kamu bisa bilang begitu?" 

"Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi 

sama kamu yang pura-pura miskin!" 

"Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh." 

"Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi 

terhadap diri saya, jangan coba-coba. Nanti rambutmu 

yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang 

lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?” 

"Tempat simpanan apa? Setahu saya Emak nggak punya 

simpanan. Sungguh, ada juga Emak saya suka menyimpan 

di Wc….!" 

"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu 

semua oranq juga punya." 

"Jadi...?" 

"Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik 

emakmu itu. Saya kasih waktu lima menit. Lewat dari lima 

menit, nyawamu melayang." 

"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake 

melayang segala." 

"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!" 

"Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di 

kasih waktu sepuluh taun juga saya nggak bisa 

mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu 

Emak nggak punya simpanan apa-apa pasti kamu salah 

alamat. Lha, orang miskin kok di rampok." 

"Jadi benar kamu orang miskin? Emakmu tidak punya 

simpanan barang berharga?" 

"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak 

penasaran. Paling-paling yang kamu temukan cuma 

kecoa!"


"Brengsek!" 

"Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih? 

Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang 

kaya mana orang miskin. Jangan main sikat aja. Untung 

belum jatuh kroban nyawa." 

''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas 

kaya." 

"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya 

juga pingin." 

"Kamu juga pingin kaya?" 

Joni menganggukkan kepala, 

"Wah, kalau begitu kita sama dong." 

"Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan." 

"Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak 

punya simpanan apa-apa, saya permisi." 

"He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?" 

"Pulang." 

"Pulang? Kok buru-buru? Ngak minum teh dulu?" 

"Terimakasih." 

"Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang 

mengaku rampok itu bergegas pergi, tapi baru beberapa 

langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni. 

"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan 

emakmu punya simpanan yang berharga kasih tahu saya 

ya!" 

"Beres. He, nggak. Enak aja!" 

Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang 

menatapnya sambil geleng-geleng kepala. 

"Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang 

punya duit, langsung main samperin!" gerutu Joni dengan 

hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak aman. 

Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar 

bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika 

tidak ingin dirinya mati konyol. Didorong oleh rasa 

takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan 

rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni 

justeru sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal


pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau tidak salah 

pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan 

raya, tak jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada 

lampu merah, sedang disebelah kirinya yang Joni ingat ada 

toko! 

Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya 

secara tepat, apakah pamannya itu tinggal di Bandung, di 

Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali tidak tahu. 

Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat 

tinggal pamannya itu. 

"Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus, 

Jadi sekarang ini aku harus naik bus!" kata Joni dalam hati. 

Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik? Ketika 

ada sebuah bus yang lewat Joni mempehatikan dengan 

hati ragu. 

"Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak 

kondektur bus. Padahal penumpang yang ada di dalam bus 

itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden. 

"Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si 

kondektur lagi memaksa Joni naik. Tapi Joni menolak 

sambil mengelengkan kepala. 

"Mau ke mana Dik? Senen!" tanya si kondektur sama 

Joni setengah memaksa. 

Joni menggelengkan kepalanya lagi. 

"Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur 

matanya melotot. 

"Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!" 

"Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si 

kondektur marah-marah. 

Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali 

ini busnya tidak begitu padat dengan penumpang. 

"Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni. 

"Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni. 

“Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si 

kondektur sewot. Joni tersenyum, diapun lalu naik bus itu. 

Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni 

harus berdiri sambil menggelantungan seperti Tarzan.


Tidak berapa lama setelah bus berjalan. 

Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa 

menagih ongkos. 

“Ongkos.... ?" kata si Kondektur. 

"Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum. 

"Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang. 

"Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni. 

Membuat mata si Kondektur terbelalak. 

"Nggak punya uang? Jadi...?" 

"Numpang Oom. Dekat aja kok." 

"Betul dekat?" 

"Ya, Oom." 

"Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki. 

Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong 

hampir saja Joni jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi 

karena melihat badan si Kondektur yang cukup besar dan 

tampangnya seram, hati Joni jadi ciut. 

"Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu 

Joni setelah diturunkan dari bus. Tapi percuma, makian 

Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah 

menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi 

terlakan si Kondektur. 

"Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!" 



                           TAMAT







0 komentar:

Posting Komentar