Seorang gadis berpakaian merah berkelebat enteng dan tahu-tahu dia sudah berada dalam kalangan
pertempuran. Dara berambut pendek, diikat ke belakang, berwajah jelita, memegang sebuah tongkat rotan
berkeluk di tangan kanannya.
Dugaan murid Embah Jagatnata dari Gunung Kelud ternyata tidak meleset. Gadis berpakaian merah itu
adalah Kemaladewi, murid Dewa Tongkat.
Walau heran bagaimana gadis ini tahu-tahu bisa muncul di tempat itu namun Mahesa Kelud merasa
gembira karena dia bakal mendapatkan satu pertolongan pada saat nyawanya terancam begitu rupa.
Dengan bantuan Kemaladewi dia akan mampu menghadapi para pengeroyok.
Tapi, selintas kekhawatiran juga muncul dalam hati Mahesa Kelud. Kalau kepandaian Kemaladewi berada
di bawah Ismaya berarti bukan bantuan yang didapatnya melainkan dia harus pula memperhatikan
keselamatan gadis tersebut, terutama dari serangan ganas Resi Mintaraya dan Gandabrajasura.
Apa yang dikhawatirkan Mahesa Kelud rupanya diam-diam terbaca oleh Mintaraya. Maka dia segera
berteriak. “Kurung dua orang itu, jangan sampai lolos!”
Gandabrajasura tertawa cengar-cengir melihat kedatangan Kemaladewi. “Gadis cantik!” katanya. “Lebih
baik kau minggirlah, tonton saja dari jauh. Jika pemuda ini sudah mampus nanti, kau bisa ikut aku ke
Ujung Kulon, gadis semacammu ini sangat pantas untuk jadi tukang urutku!”
Mendengar ucapan tersebut muka si gadis menjadi merah. “Kunyuk gendut!” balasnya memaki.
“Tampangmu yang buruk itu cukup pantas untuk berkenalan dengan tongkatku!” Bersamaan dengan itu
Kemaladewi menerjang ke muka mengirimkan serangan ujung tongkat berkeluknya ke dada
Gandabrajasura.
Dengan masih tertawa cengar-cengir Gandabrajasura menangkis serangan Kemaladewi dengan sapu
lidinya disertai sikap yang memandang enteng. Tapi dia menjadi sangat terkejut ketika sebelum sapu
lidinya membentur ujung tongkat, tahu-tahu senjata lawannya berbalik dengan ujung berkeluk lainnya
menyambar ke lehernya sangat cepat.
Manusia gemuk ini cepat menundukkan kepalanya dan terpaksa pula melompat ke belakang karena saat
itu Kemaladewi melancarkan satu tendangan kaki kiri ke arah dadanya. Kini Gandabrajasura tidak mau
main-main lagi. Senjatanya diputar sebat.
Apa yang dicemaskan Mahesa Kelud memang menjadi kenyataan. Di samping harus terus
mempertahankan diri terhadap ketiga pengeroyoknya, juga pemuda ini harus bantu melindungi
Kemaladewi. Dengan demikian posisi Mahesa Kelud semakin sulit.
Dia tidak dapat melakukan lagi serangan-serangan. Yang dapat diperbuatnya hanyalah mengeluarkan
jurus-jurus khusus dari ilmu “Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin” untuk mempertahankan diri. Namun
sampai berapa lama ia mampu bertahan sedemikian rupa...?
Serangan ketiga pengeroyok semakin gencar. Salah satu ujung berkeluk dari tongkat berkeluk di tangan
Kemaladewi sudah terbabat puntung oleh senjata lawan. Detik demi detik kedua muda-mudi ini semakin
kepepet. Mereka dipaksa mundur ke pintu kuil.
“Mintaraya! Selesaikanlah dulu urusanmu denganku!” terdengar suara yang keras menggema dari arah
puncak gunung sebelah selatan.
Sesaat kemudian di tempat terjadinya pertempuran hidup mati itu muncullah seorang tua berpakaian
hitam-hitam yang rambutnya dikuncir ke atas. Ketika dia berteriak tadi dia masih berada jauh di bagian
sana sebelum gema suaranya lenyap di puncak gunung itu orangnya sudah sampai! Dari sini dapat
diketahui betapa luar biasanya tenaga dalam serta cepatnya ilmu lari manusia ini!
Meskipun Mahesa Kelud pernah dan hanya bertemu sekilas saja dengan orang ini namun dari suara dan
pakaian serta rambutnya si pemuda segera mengenali orang tersebut tiada lain adalah Ki Balangnipa
adanya, guru Raden Mas Tirta dan Jaka Luwak!
Melihat kedatangan seorang yang luar biasa ini, yang telah menyebut namanya dengan suara lantang
menggetar. Mintaranya menghentikan serangannya dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Gandabrajasura yang disusul oleh Ismaya melakukan hal yang sama sedang Mahesa Kelud serta
Kemaladewi menghindar ke bagian lain.
“Tamu tidak diundang, siapa kau?!” tanya Resi Mintaraya membentak.
Orang yang ditanya menyeringai buruk. Kedua rongga matanya yang sangat cekung sungguh
menggidikkan untuk dipandang. “Namaku Ki Balangnipa.” Katanya.
“Apa maksudmu datang mengotori tempatku?” membentak lagi Mintaraya.
“Jika aku kau katakan datang mengotori tempatmu, baiklah Mintaraya. Nanti tempat ini akan aku tolong
cuci dengan darahmu.” Ki Balangnipa kemudian tertawa bekakakan.
“Apa maksudmu Balangnipa?”
“Maksudku adalah kau harus serahkan nyawamu kepadaku karena kau telah membunuh muridku yang
bernama Tirta! Kepala Balatentara Banten.”
“Hemmmm...jadi kau gurunya manusia ular berkepala dua itu huh! Jika muridnya berhati kunyuk tentu
gurunya berhati monyet!”
Ki Balangnipa tidak menjadi marah dengan caci maki itu. Malah sebaliknya dia tertawa bekakakan. Dia
kemudian berpaling kepada Mahesa Kelud dan menuding dengan jari telunuk tangan kirinya.
“Pemuda rendah! jangan kira aku datang untuk menolongmu!”
Mahesa tak menyahut dan Ki Balangnipa meneruskan: “Kaulah manusia yang menyebabkan aku
membunuh murid sendiri! Kau juga seorang cecunguk Banten yang dekat dengan Hasanuddin. Ini berarti
kau harus mampus di tanganku!”
“Ki Balangnipa...” kata Mahesa Kelud.
“Eh kau sudah tahu namaku?! Ayo teruskan apa yang kau mau katakan!”
“Jika kau membunuh murid sendiri maka itu adalah tanggungjawabmu! Mengapa membawa-bawa orang
lain?!” ujar Mahesa.
“Jangan bicara keren tapi pura-pura bodoh anak muda! Kalau aku sudah putuskan nyawamu harus
diserahkan padaku, tak ada satu manusiapun yang sanggup menghalangi!” Ki Balangnipa berpaling
kepada Resi Mintaraya kembali. “Nah Mintaraya, sudah saatnya kau menyerahkan roh busukmu itu! Mari!”
Mintaraya, Mahesa Kelud dan yang lainnya sangat terkejut ketika melihat dengan tiba-tiba dan cepat sekali
Ki Balangnipa membuka baju hitamnya lalu dengan pakaian tersebut di tangan yang dipergunakannya
sebagai senjata, diapun menyerang kehadapan Mintaraya!
Sebenarnya apalah artinya sebuah baju. Namun tidak demikian dengan baju milik Ki Balangnipa si orang
sakti dari Gunung Gede.
Disamping baju hitam ini jika dikebutkan akan mengeluarkan bau apak yang menyesakkan jalannya
pernafasan maka angin pukulan yang keluar dari pakaian tersebut juga mengandung hawa jahat yang bisa
melumpuhkan tenaga lawan! Sedangkan setiap ujung pakaian dapat pula merupakan alat penotok jalan
darah yang ampuh!
Diserang sedemikian rupa Mintaraya tak tinggal diam. Tubuhnya berkelebat sedang tombak garpu serta
pedangnya turut pula bekerja. Dengan tombak garpu di tangan kiri sang resi bermaksud menangkis,
menusuk dan merenggutkan sampai robek senjata lawan, sedang dengan pedang di tangan kanan dia
membabat deras dari samping!
Tapi sudah diketahui bersama bahwa Ki Balangnipa bukanlah manusia sembarangan. Dia biarkan saja
bagian yang lancip dari tombak garpu menyerang sebelah bawah pakaian hitamnya, disaat yang sama
kedua lengan pakaiannya laksana dua ekor ular menyambar cepat siap untuk melilit pergelangan tangan
kiri Resi Mintaraya!
Hal yang luar biasa ini membuat Mintaraya menjadi ragu-ragu meneruskan serangan. Cepat-cepat
diturunkannya tombak garpu dan senjata ini kini ditusukkan kepada lawan. Bersamaan dengan itu
pedangnya terus dibabatkan. Perubahan serangan Mintaraya karena sangat cepat maka hampir sukar
dilihat.
Namun anehnya menghadapi serangan tersebut Ki Balangnipa mengeluarkan suara tertawa bekakakan.
Suara tertawanya kemudian hilang, diganti dengan bentakan keras dan sedetik kemudian sebelum
senjata-senjata lawannya mengenai tubuhnya, dia sudah melesat ke udara tinggi sekali, kemudian laksana
seekor burung rajawali menyambar anak ayam dia menukik ke bawah seraya mengebutkan baju hitamnya
ke kepala Resi Mintaraya!
“Plak!”
Baju hitam itu mendarat tepat dimukanya Mintaraya. Sang resi terlempar ke belakang. Nafasnya menyesak
oleh bau apak sedangkan saat itu dirasakannya pula tenaga dalamnya menjadi mengendor. Ketika dicoba
tenaga dalam itu dialirkan kemukanya maka ternyata aliran yang bergerak kini dayanya sudah berkurang
seperempatnya!
Pada waktu dimulainya pertempuran seru antara kedua manusia berilmu tinggi itu maka Mahesa dan
Kemaladewi serta dilain pihak Gandabrajasura dan Ismaya seakan-akan terlupa pada pertempuran
mereka. Untuk beberapa lamanya keempat orang ini berdiri tak bergerak-gerak memperhatikan kedua
orang yang berkelahi itu.
Yang pertama sekali menyadari adalah Gandabrajasura. Melihat kehebatan Ki Balangnipa, dia memaklumi
walau bagaimAnapun saudara seperguruannya tak akan dapat melayani. Kalaupun bisa mungkin hanya
dalam sepuluh atau limabelas jurus saja.
Untuk membantu Mintaraya, manusia gemuk ini harus berfikir dua kali. Dan saat itu dilihatkannya
bagaimana Ki Balangnipa berhasil memukul kepala Mintaraya dengan pakaiannya. Ini membuat
Gandabrajasura menjadi ciut nyalinya. Daripada membuat urusan dengan orang sakti luar biasa itu,
sebaiknya siang-siang angkat kaki dari situ.
Beginilah rendahnya hati Gandabrajasura. Meskipun tahu kakak seperguruannya dalam bahaya besar
namun jangankan membantu bahkan bertekad hendak kabur!
Ketika dia sudah bersiap-siap untuk lari tiba-tiba ia teringat kepada Kemaladewi. Gadis ini sangat cantik
dan menarik perhatiannya. “Sayang kalau ditinggalkan begitu saja.” Pikirnya yang memang seorang laki-
laki yang doyan perempuan!
Sementara semua orang tanpa sadar turut asyik menyaksikan perkelahian antara Mintaraya dan Ki
Balangnipa maka melompatlah Gandabrajasura kehadapan Kemaladewi. Dua jari tangan kirinya menotok
dada gadis itu. Tubuh Kemaladewi menjadi kaku dan terhuyung-huyung yang segera dIpanggul di atas
bahu kanannya oleh Gandabrajasura lalu secepat kilat melarikan diri.
Mahesa Kelud terkejut. Untung saja dalam keterkejutannya pemuda ini tidak bertindak kesusu. Mengetahui
Kemaladewi dilarikan musuh, cepat-cepat ia menerjang kehadapan Ismaya.
Pemuda ini yang juga berada dalam keadaan terkejut serta lengah dengan mudah ditotok oleh Mahesa
lalu dipanggul di bahu kiri. Serentak dengan itu dia segera lari mengejar Gandabrajasura.
“Orang muda jangan lari seenaknya! Tinggalkan nyawamu di sini!” terdengar seruan Ki Balangnipa yang
saat itu tengah bertempur dengan Mintaraya.
Dia hendak memburu namun serangan dahsyat dari Mintaraya membuat dia mengurungkan niatnya.
Sambil menangkis serangan Mintaraya, Ki Balangnipa mempergunakan tangan kirinya untuk mengeruk
tiga buah senjata rahasia dari balik pinggang celananya. Tiga benda putih berentuk bintang menyilaukan
melesat ke arah Mahesa Kelud.
Pemuda ini yang tahu dirinya sedang diserang oleh lawan dari belakang, tanpa menoleh dengan cepat
mengayunkan pedang merahnya ke belakang.
“Tring...tring..tring!” ketiga senjata Ki Balangnipa mental berpelantingan…..
********************
DUA
Ketika dia sampai di kaki Gunung Halimun sebelah barat langit kelihatan mendung. Guruh mengguntur
sedangkan kilat menyambar di kejauhan. Hujan rintik-rintik mulai turun.
Gandabrajasura hentikan larinya, dia memandang berkeliling. Tak ada satu tempatpun yang dipakai untuk
bernaung jika seandainya hujan turun. Namun matanya yang tajam akhirnya melihat sebuah dangau di
tengah sawah yang luas.
Laki-laki ini dengan membawa beban Kemaladewi di bahu kanannya segera lari ke sana. Namun setengah
jalan hujan lebatpun turunlah tiada terkirakan.
Lari di atas pematang sawah yang kecil dan licin itu bukan suatu hal yang mudah apalagi membawa beban
manusia seperti yang dialami Gandabrajasura saat itu. Tapi dengan ilmu mengentengkan tubuh yang
sudah tinggi, maka manusia bertubuh gemuk pendek ini di bawah hujan lebat terus saja lari dengan
seenaknya menuju tengah sawah di mana terletak dangau tujuannya!
Dangau itu tidak terlalu besar tapi cukup untuk mereka berdua lagi pula atapnya yang terbuat dari daun-
daun kelapa kering tidak pula tiris. Gandabrajasura membaringkan Kemaladewi di lantai dangau yang
terbuat dari bambu. Pakaian mereka basah kuyup.
Laki-laki ini merasakan tubuh dingin namun hanya sebentar saja. Begitu kedua matanya memandang ke
paras dan tubuh gadis berbaju merah itu maka rangsangan nafsu berkobar memanaskan darahnya!
Dilepaskannya totokan yang melumpuhkan tubuh gadis itu dan sebagai gantinya ditotoknya bagian yang
lain dari badan Kemaladewi. Kini meski tubuhnya tetap kaku lumpuh namun si gadis sudah sadar serta
mengeluarkan suara.
Begitu dia membuka kedua matanya dan melihat manusia gemuk berhidung pesek di sampingnya maka
mengertilah Kemaladewi apa yang telah terjadi dengan dirinya. “Manusia rendah, lepaskan aku!” teriaknya.
“Manisku,” kata Gandabrajasura sambil tersenyum dan mengusap pipi Kemaladewi dengan tangan
kanannya. “Tak usah memaki dan tak usah berteriak. Aku tidak akan berbuat apa-apa terhadapmu,
sayang. Aku akan bahagiakanmu sayang. Setiap manusia, setiap gadis sepertimu ini senantiasa inginkan
kebahagiaan dan kesenangan hidup, bukan?”
“Tidak, lepaskan aku atau kupecahkan kepalamu!” Kemaladewi hendak berontak tapi tangan serta kakinya
terasa berat dan kaku.
“Aduh manisku. Hendak memecahkan kepalaku?” manusia itu tertawa berkekehan dan tangannya terus
mengusap pipi serta rambut si gadis. “Masakan dengan aku laki-laki yang hendak mempersuntingmu jadi
istriku berlaku segalak itu?”
“Manusia monyet! Siapa yang sudi jadi istrimu?” maki Kemaladewi.
“Kalau kau tak sudi, yaaah... jadi gundikku pun aku tak keberatan! Mau...?!”
“Cis! Lepaskan totokanmu! Kalau tidak...”
“Kalau tidak, bagaimana?!”
“Guruku akan mematahkan batang lehermu!”
“Oh, siapakah gurumu manis?”
“Dewa Tongkat dari Lembah Rotan!” Jawab Kemaladewi. Dengan menyebutkan nama gurunya diharapkan
laki-laki itu akan menjadi takut dan melepaskannya.
Sebaliknya Gandabrajasura tertawa lagi berkekehan. “Ah, Si Dewa Tongkat,” katanya. “Beberapa tahun
yang lalu pernah terjadi perselisihan antara kami di selatan. Ternyata gurumu hanya seorang tua yang
seperti anak-anak yang masih ingusan!”
Apa yang dikatakan oleh laki-laki itu memang benar. Dalam satu perkelahian beberapa tahun yang silam
Gandabrajasura pernah mengalahkan Si Dewa Tongkat yakni setelah bertempur hampir dua ratus jurus.
Dewa Tongkat karena malu maka menyembunyikan diri di Lembah Rotan tanpa keluar-keluar.
Di sini dia memperdalam segala ilmu kepandaiannya dengan harapan suatu saat dia akan berhadapan
dengan Gandabrajasura kembali guna menebus kekalahannya. Tapi setelah dijajaki oleh Mahesa Kelud
dalam pertempuran di puncak Gunung Halimun, pemuda ini yang juga telah berhadapan dengan Si Dewa
Tongkat bisa mengukur bahwa kemampuan Si Dewa Tongkat satu tingkat masih kalah dari
Gandabrajasura.
Dari dangau itu pemandangan tertutup oleh lebatnya air hujan. Karena sudah merasa dirinya cukup aman
dan menduga bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa dia telah melarikan Kemaladewi ke
sana maka Gandabrajasura pun mulai dengan nafsu kebinatangannya.
Mula-mula diciumnya kedua mata si gadis yang bercahaya dan menarik hatinya. Ciumannya naik ke
kening, turun ke pipi terus ke pangkal leher dan turun lagi. Yang bisa dibuat Kemaladewi hanya memaki
dan berteriak sampai suaranya menjadi serak dan Gandabrajasura sama sekali tidak mengacuhkan hal itu.
Hidungnya yang pesek kembang kempis oleh nafsu. Seumur hidupnya baru sekali ini Gandabrajasura
melihat keindahan seorang gadis. Kalaupun sebelumnya dia pernah melihat yang sedemikian maka semua
itu adalah perempuan yang sudah berumur.
Penuh nafsu laki-laki itu mendekap tubuh Kemaladewi sepuas hatinya. Jari-jari tangannya menggila ke
pinggang, ke perut, dan... sebelum gadis yang suci itu mengalami penghinaan yang lebih memalukan lagi
maka hukuman Tuhan pun datanglah…..!
********************
TIGA
Pada saat manusia terkutuk itu melampiaskan nafsu setannya maka pada saat itu pulalah Gandabrajasura
merasakan pergelangan kaki kanannya dicekal oleh jari-jari tangan yang kuat! Sebelum dia bisa berbuat
sesuatu, tarikan yang sangat keras pada pergelangan kakinya itu membuat tubuhnya terlempar mental ke
luar dangau!
Dengan jungkir balik manusia itu masih sanggup jatuh berdiri di atas kedua kakinya di tengah sawah.
Tubuhnya amblas sampai sepinggang di dalam lumpur. Pakaian serta mukanya kotor oleh muncratan air
lumpur.
Dengan cepat dia merancah ke tepi pematang. Di bawah lebatnya hujan dengan cepat Gandabrajasura
menjatuhkan dirinya ke samping. Dia mencabut senjatanya yaitu seikat lidi. Sambil melompat ke atas dia
melancarkan serangan ke arah lawan yang menendangnya tadi.
Berhadap-hadapan kini Gandabrajasura dapat mengenali siapa lawannya yaitu tak lain dari pada Mahesa
Kelud! Laki-laki ini tahu bahwa si pemuda berilmu tinggi. Karenanya tanpa banyak bicara dia segera
menyerang! Maka terjadilah pertempuran yang hebat di atas pematang sawah yang kecil serta licin itu dan
di bawah deras lebatnya hujan!
Kalau menghadapi Mintaraya, Mahesa mempunyai peluang yang banyak untuk merobohkan resi itu maka
kini melayani adik seperguruan sang resi tidak terlalu sukar bagi si pemuda. Pedang merahnya bersiut. Air
hujan yang turun di atas mereka berlesatan kian kemari karena derasnya sambaran-sambaran pedang
tersebut!
Lima jurus berlalu maka Gandabrajasura mulai kewalahan. Sapu lidi yang di tangannya makin lama makin
pendek terbabat senjata lawan.
Akhirnya, sebelum sampai sepuluh jurus bahu kiri Gandabrajasura sudah kena tersayat ujung pedang.
Laki-laki itu mengeluh tinggi. Darah mengalir deras sedang dari lukanya itu mengalir hawa panas ke
seluruh tubuhnya yang membuat dia menjadi huyung kelangsangan.
Dengan segala kekuatan yang masih ada Gandabrajasura berusaha bertahan namun cuma sanggup
sampai dua jurus! Suara lolongan kesakitan yang membelah udara keluar dari mulut manusia ini ketika
pedang Mahesa Kelud membabat perutnya!
Gandabrajasura terjajar ke belakang sambil memegangi perutnya yang robek besar dan ususnya
berbusaian. Kakinya terpeleset di atas pematang yang licin. Tak ampun tubuhnya tergelimpang ke dalam
sawah berlumpur. Sesaat kemudian nyawanyapun melayang meninggalkan tubuhnya!
Mahesa Kelud melompat ke atas dangau. Meskipun dia tidak berani memandang tubuh Kemaladewi dalam
keadaan hampir tiada tertutup pakaian itu namun dia harus meneliti di bagian mana si gadis telah ditotok.
Ternyata dibagian kiri buah dadanya.
“Saudari, harap maafkan,” kata Mahesa.
Dengan jari telunjuk tangan Mahesa kemudian melepaskan totokan di tubuh gadis itu. Kemudian dia
berpaling memandang ke tempat lain. Kemaladewi bangun dan cepat membereskan pakaiannya.
“Kau tidak apa-apa saudari?” tanya Mahesa.
“Tidak,” jawab Kemaladewi, suaranya perlahan.
Ketika Mahesa memutar tubuhnya dilihatnya butiran-butiran air mata pada kedua mata yang bening di
hadapannya.
“Kakak, untung kau tak terlambat...” sedu Kemaladewi. Gadis itu di luar kesadarannya kemudian memeluk
si pemuda, sambil menyandarkan kepalanya ke dada Mahesa yang bidang dan menangis sesenggukan.
Untuk beberapa lamanya Mahesa Kelud hanya dapat berdiri di atas lantai dangau itu tanpa bergerak-
gerak. Akhirnya dia berkata: “Lupakanlah apa yang telah terjadi...!”
“Aku berhutang segala-galanya padamu, kakak, jiwa, kehormatan dan...”
“Lupakan saja hal itu, saudari. Tuhan yang telah menolongmu, bukan aku. Karena itu bersyukurlah
kepadaNya,” kata Mahesa Kelud pula.
Perlahan-lahan Kemaladewi melepaskan rangkulannya. Dia menjadi malu sendiri. Dengan pura-pura
menyeka air mata dia menutupi mukanya yang kemerah-merahan dengan kedua tangan. Hujan masih
turun dengan lebat. Kemala duduk di lantai dangau.
“Kakak...”
“Ya?”
“Kau datang sendirian?”
“Berdua bersama pemuda bernama Ismaya.”
“Pemuda yang mengeroyok kita di puncak Gunung Halimun?
“Benar.”
“Mana dia sekarang?”
“Ku lempar ke kolong dangau dengan tubuh tertotok.”
“Kau sengaja menangkapnya hidup-hidup. Ada urusan apakah?” tanya Kemaladewi pula.
Mahesa tak segera menjawab. Setelah berpikir-pikir sejurus akhirnya diterangkannya juga segala apa
yang terjadi yaitu mulai dari penghianatan Raden Mas Tirta.
“Kalau begitu kau harus cepat-cepat kembali ke Banten untuk menolong sahabatmu itu keluar dari
penjara.” Kata Kemaladewi. Suaranya agak lain sedikit.
“Betul, jika hujan mulai berhenti kita meneruskan perjalanan. Saudari...”
“Ah, kau selalu memanggilku dengan sebutan saudari... saudari. Namaku Kemaladewi. Kau boleh
memanggilku dengan sebutan Kemala atau Dewi.” Ujar si gadis pula.
Mahesa Kelud tersenyum. Kemala tersenyum pula dan alangkah manis senyuman gadis itu. Mahesa
membandingkan Kemaladewi dengan Wulansari, dan harus diakui Kemaladewi lebih cantik sedikit
dibanding Wulansari yang memiliki kulit lebih putih.
“Kemala, bagaimana kau bisa sampai ke tempat resi tersebut?” bertanya Mahesa.
Si gadis memandang ke arah kejauhan, coba menembus lebatnya air hujan dan baru menjawab. “Tak
lama sesudah aku meninggalkan Lembah Rotan, aku meminta izin kepada guru untuk mengunjungi nenek
di desa yang letaknya tak jauh dari sini. Di tengah hutan kulihat seorang lelaki bertubuh gemuk pendek
tengah berlari sangat cepat dan dia memiliki ilmu yang tinggi. Manusia ini adalah laki-laki yang hampi-
hampir merusak kehormatanku itu, yang mengeroyok kita! Kau tahu, sifatku ialah selalu saja ingin tahu
urusan orang lain...”
“Dan selalu juga ingin mengganggu orang lain!” menimpali Mahesa Kelud.
Si gadis tertawa merdu sampai kedua pipinya menjadi merah. Dia meneruskan:
“Lantas kuikuti orang ini kemana perginya. Ternyata dia menuju ke puncak Gunung Halimun. Aku jadi
terkejut sekali ketika di sana menemuimu dan tengah bertempur melawan seorang resi dan seorang
pemuda. Aku bersembunyi dan mengintai terus. Kemudian ketika kulihat manusia gemuk tadi membantu
mengeroyok hatiku jadi mangkel!”
“Kenapa mangkel?” tanya Mahesa.
Si gadis terdiam. “Karena... hmm... karena aku tidak senang melihat perkelahian yang tidak adil.”
Jawabnya kemudian.
“Begitu? Terus...?”
“Terus, ahh kau tahu sendiri terusannya.” Kata si gadis pula dengan senyum simpul.
Cukup lama baru hujan berhenti. Tapi saat itu hari sudah hampir senja. “Kalau kita berangkat sekarang.
Kita akan kemalaman di jalan,” berkata Kemaladewi. “Dan di sekitar sini hanya hutan belantara saja yang
ada.”
“Tapi jika di sini ada sawah, pasti terdapat rumah penduduk. Kita bisa bermalam di sana.”
“Aku tak suka bermalam di rumah penduduk yang tidak dikenal. Mereka suka bicara usil, apalagi jika
datang bersama laki-laki.”
Mahesa tersenyum. “Lalu kau mau tidur di mana malam ini?” tanya Mahesa pula.
“Eh, di mana ya...? tanya si gadis pula sambil celingak-celinguk lucu membuat Mahesa tertawa.
“Ah, kenapa jauh-jauh di sinipun bisa!” katanya kemudian.
“Dan aku sendiri tidur di mana?” tanya Mahesa.
“Laki tak boleh tidur!” menukas si gadis.
“Mengapa?!”
“Mereka harus mengawal, harus berjaga-jaga!”
“Hemmm...kalau begitu alangkah enaknya menjadi perempuan. Tidur pun dikawal...”
“Jika kau tak sudi mengawalku di dangau ini biarlah kau menjadi perempuan. Pergi tidur sana dan aku
yang akan mengawal!” dengan sikap lucu dan mata yang dibesar-besarkan Kemaladewi berdiri dihadapan
Mahesa, bertolak pinggang.
Mahesa tertawa bergelak. “Kau ini ada-ada saja Kemala. Siapa sudi jadi perempuan! Memangnya aku
banci apa...?”
Kedua orang itu sama-sama tertawa dan Kemala kemudian duduk kembali ke tempatnya. Gadis itu
memulai pembicaraan pula. “Sebagai pembantu Kepala Pengawal Istana Banten tentu kau hidup senang
bukan?!”
“Manusia selalu berpendapat demikian,” jawab Mahesa Kelud. “Tapi ketahuilah bahwa tidak selamanya
pangkat tinggi dan harta yang berlimpah akan memberikan kebahagiaan atau kesenangan pada
seseorang. Aku hanya sementara di Banten. Bila tugasku membawa Ismaya selesai dan Raden Mas
Ekawira dikeluarkan dari penjara, aku akan meninggalkan kerajaan itu!”
“Lalu kemana kau akan pergi?” tanya si gadis.
“Entahlah, aku masih belum tahu,” jawab Mahesa berdusta. “Kau tentu maklum orang-orang dunia
persilatan semacam kita ini, pergi kemana saja sepembawa kakinya. Mengembara mencari pengalaman.”
“Aku juga sangat ingin mengembara,” menerangkan Kemaladewi. “Namun guru senantiasa tidak memberi
izin. Kata beliau masih belum waktunya. Berkali-kali hal itu diucapkannya. Kadang-kadang aku menjadi
kecewa...”
“Kalau aku jadi gurumu,” kata Mahesa pula. “Untuk selama-lamanya aku tak akan pernah mengizinkan kau
meninggalkan Lembah Rotan itu!”
“Hehh... memangnya kenapa?!”
“Habis bila di luaran suka cari urusan, suka ganggu orang, suka permainkan orang... sebagai guru tentu
aku akan terus-terusan meninggalkan pertapaan guna turun tangan menyelesaikan urusanmu!”
“Ah... untunglah kau tidak jadi guruku!” ujar Kemaladewi.
Gadis itu tanpa malu-malu kemudian membaringkan badannya di lantai dangau. Dia memandang ke atas,
sedangkan Mahesa menyandarkan punggungnya ke tiang dangau.
“Perutmu tidak lapar?” tanya Mahesa.
“Memang lapar, tapi aku seorang yang tidak banyak makan, aku sanggup tahan lapar sampai satu hari
satu malam!”
“Gadis seusiamu ini biasanya paling doyan makan!” tukas Mahesa.
“Tidak selamanya! Jika terlalu banyak makan bisa gembrot!”
“Tapi kurasa enak jadi orang gembrot, kalau tidur ngak perlu kasur lagi
“Ihh... kau bicaranya usil!” potong Kemaladewi.
“Usil bagaimana?” tukas Mahesa. “Buktinya tubuhmu belum lagi gembrot tapi saat ini kau sudah tidur
tanpa kasur!”
Si gadis membalikkan tubuhnya dan mencubit betis pemuda. “Kau nakal!” katanya.
Mahesa mengaduh kesakitan, Kemaladewi tertawa geli.
Setelah bercakap-cakap tentang banyak hal, larut malam baru Kemala tertidur. Mahesa duduk bersila lalu
bersandar ke tiang dangau. Semalam itu dia berjaga-jaga tanpa memicingkan mata sekejappun.
Keesokan harinya belum lagi matahari terbit Kemaladewi sudah menggeliat dan bangun. Gadis ini
mengusap parasnya lalu tersenyum kepada Mahesa. “Kulihat kau tidak berjaga-jaga semalam tapi duduk
sambil ngorok!”
“Kau ini bicara enak saja. Orang sudah kecapaian semalam suntuk tanpa tidur dibilang ngorok! Sudah cuci
mukamu sana!”
Kemala tertawa geli. Dia melompat turun dari dangau. Di kolong dangau diantara kegelapan terlihatlah
tubuh Ismaya yang tertotok lumpuh terbaring di atas tanah bencah.
Dengan air embun yang menempel di batang-batang dan daun-daun padi Kemaladewi kemudian mencuci
mukanya. Tak lama sesudah itu kedua orang tersebut segera meninggalkan tempat itu. Mereka berlari
beriringan di pematang sawah. Mahesa di sebelah muka memanggul tubuh Ismaya sedang si gadis
berbaju merah mengikuti di belakang.
Di satu persimpangan jalan Mahesa menghentikan larinya. Dia berpaling kepada Kemala dan berkata:
“Kemala, kurasa kita harus berpisah di sini. Kau tempuhlah jalan sebelah kanan karena jalan itu lebih
dekat ke Lembah Rotan!”
Si gadis tidak menjawab melainkan menundukkan kepalanya. Setelah beberapa kemudian baru dia
membuka mulut dan ini pun dilakukannya dengan masih menundukkan kepala: “Kakak...” hanya itulah
yang diucapkannya. Suaranya sendu serta bergetar.
Mahesa menurunkan tubuh Ismaya dari bahunya lalu melangkah mendekati Kemaladewi. Gadis ini
memutar tubuhnya. Mahesa menjadi keheranan. Dipegangnya bahu Kemaladewi kemudian dibalikkannya
tubuh gadis itu. Pada saat mereka saling berhadap-hadapan maka Mahesa Kelud dapat melihat
bagaimana kedua mata Kemaladewi berkaca-kaca.
“Ada apa Kemala?” tanya pemuda ini.
Si gadis menggelengkan kepalanya. Air mata mengucur membasahi pipinya.
“Kau sakit mungkin?” ujar Mahesa kemudian.
“Tidak, kakak...” jawab Kemala. Suaranya perlahan sekali.
“Kalau begitu kau tentu letih?”
“Juga tidak...” jawab Kemaladewi. Dan di dalam hatinya gadis ini berkata. “Ah, Mahesa...tak tahukah
bahwa bagiku sungguh berat berpisah denganmu? Tidak mengertikah dikau betapa sejak aku melihatmu
pertama kali aku begitu tertarik, aku begitu suka... aku begitu mencintamu...?” Kemaladewi mulai terisak-
isak.
Mahesa Kelud kini maklum. Jika seorang gadis bersikap sedemikian rupa pasti ada sesuatu yang
disembunyikannya, yang tak berani diucapkannya dengan terus terang dan Mahesa cukup maklum pula
perasaan apakah itu!
Mahesa Kelud menjadi terharu dan kasihan terhadap gadis itu. Terus terang saja dia suka pada gadis itu.
Tapi cukup sekedar suka, rasa suka sebagaimana dirasai oleh seorang sahabat terhadap lainnya.
Terus terang pula harus diakuinya bahwa Kemala seorang gadis jelita yang setiap pemuda pasti akan
jatuh hati. Terpikat serta tertawan pada pandangan pertama. Tapi apakah yang dapat dilakukan terhadap
gadis tersebut. Terutama atas apa yang dirasakan Kemaladewi terhadapnya?
Bayangan Wulansari muncul di hadapannya. Walau bagaimana pun dia tak dapat meninggalkan gadis itu
karena dalam hidupnya Wulansarilah gadis pertama yang dicintai dan juga yang terakhir. Tak mungkin dia
akan mengingkari janji meskipun janji itu tiada terucapkan dengan kata-kata, hanya dipateri oleh
pandangan mata dan sikap perbuatan.
Mahesa mengeluarkan sehelai sapu tangan putih dan menyeka air mata yang membasahi pipi
Kemaladewi. Kemudian dengan menetapkan hatinya berkatalah pemuda ini,
“Kemala adikku. Jika kau tak mau berpisah di sini baiklah kuantarkan sampai Lembah Rotan...”
“Adikku,” kata-kata itu terngiang lama sekali di kedua telinga Kemaladewi. “Dia menyebutku adik... adik
dalam arti apa?”
Saat itu dilihatnya Mahesa sudah memanggul tubuh Ismaya kembali dan menganggukkan kepala seraya
tersenyum padanya memberi tanda untuk melanjutkan perjalanan. Kemaladewi mengusap mukanya,
membetulkan letak rambutnya dan ketika Mahesa melangkah diapun mengikuti…..
********************
EMPAT
Menjelang tengah hari langit kelihatan mendung. Mentari hilang lenyap di telan awan tebal berwarna hitam
kelabu. Sebentar-sebentar udara menjadi terang benderang oleh sambaran kilat. Dan anak telinga kedua
manusia itu serasa mau pecah oleh gemuruhnya suara guntur yang diiringi oleh hujan yang sangat lebat.
Saat itu Mahesa Kelud dan Kemaladewi berada di satu daerah bergunung-gunung terletak kira-kira di
tengah-tengah perjalanan antara Lembah Rotan dan Gunung Halimun. Sebenarnya jalan itu hampir tak
pernah ditempuh oleh manusia karena banyak binatang buasnya yaitu harimau kumbang dan babi hutan.
Namun mereka sengaja melintas mengambil jalan ini sebab lebih singkat.
“Celaka, di mana kita berteduh?” kata Mahesa sambil memandang Kemaladewi yang saat itu menggigil
kedinginan oleh udara pegunungan ditambah pula angin keras dan disiram air hujan.
“Kakak! Itu ada goa!” kata Kemaladewi sambil menunjuk ke sebuah batu besar.
Dari tempatnya berdiri Mahesa memang tidak dapat melihat mulut goa karena terhalang oleh batu besar
namun dari tempat si gadis, jelas bisa terlihat sebagian dari mulut goa. Tanpa pikir panjang lagi kedua
orang ini pun berlari menuju ke sana.
Goa itu bermulut lebar tetapi tingginya hanya sampai sebatas pinggang. Dengan merunduk-runduk
Mahesa dan Kemaladewi masuk. Mahesa meletakkan tubuh Ismaya di lantai goa.
“Kakak...” terdengar suara Kemaladewi.
“Heh?” gumam Mahesa. “Ada apa?”
“Kurasa goa ini berpenghuni. Lihat ke dalam sana, ada sinar terang...!”
Mahesa menurutkan pandangan si gadis ke dalam goa dan apa yang dikatakan Kemaladewi memang
benar. Samar-samar kelihatan seperti ada kilasan cahaya.
“Sebaiknya coba kuselidiki!” kata Kemaladewi.
Mahesa Kelud memegang lengan gadis itu. “Tidak, kau tunggu di sini, biar aku yang menyelidik.”
“Hati-hatilah!”
“Kau juga hati-hati.” Jawab Mahesa.
Beberapa kemudian dari dalam goa terdengarlah suara Mahesa Kelud: “Kemala, kemarilah!”
Dengan merunduk-runduk gadis itu masuk ke dalam goa. Semakin ke dalam semakin terang dan akhirnya
dia sampai di mana Mahesa Kelud saat itu berdiri yaitu di hadapan sebuah ruangan empat persegi kecil.
Di tengah ruangan ini terletak sebuah batu hitam datar dan di pinggir sebelah kiri dari batu datar menyala
sebuah pelita. Sebenarnya tidak pantas disebut pelita karena benda yang menimbulkan nyala api itu
adalah sebatang kayu kering berwarna merah yang aneh sekali.
Kayu itu agaknya tidak habis-habis dimakan oleh nyala api. Ruangan kecil empat persegi ini bersih sekali.
Udaranya hangat. Diam-diam Mahesa Kelud teringat pada goa tempat kediaman gurunya Si Suara Tanpa
Rupa, tapi goa ini jauh lebih besar dari yang dilihatnya saat ini.
“Pasti ini adalah tempatnya seorang suci dan sakti,” kata Mahesa berbisik.
Kemaladewi mengangguk. Si pemuda kemudian memegang gadis itu. “Mari...” katanya mengajak pergi.
Namun sebelum mereka keluar, di lorong goa yang mendaki terlihat sesosok bayangan melangkah turun.
Orang yang datang ini berjubah putih dan hanya mempunyai satu kaki. Untuk berjalan dia
mempergunakan bantuan sebuah tongkat. Ketika orang ini sampai di hadapan Mahesa dan Kemaladewi
ternyata dia adalah seorang nenek-nenek yang punya paras angker.
Kulit mukanya, demikian juga kulit kedua tangan serta kaki kirinya yang tersembul di balik jubah berwarna
hitam dan liat berkilat, sungguh berlawanan dengan jubah putih yang dikenakannya. Warna putih yang
seharusnya terdapat di sekitar kedua bola matanya sebaliknya berwarna merah laksana api menyorot
menyala!
Hidungnya kecil tinggi dan bengkok, persis seperti paruh burung betet. Manusia angker ini tidak
mempunyai alis mata. Bibirnya yang sebelah bawah sangat tebal dan mengelantir turun ke dagunya.
Tahu bahwa mereka berhadapan dengan penghuni goa, Mahesa dan Kemaladewi segera menjura.
Mahesa berkata, “Nenek, harap dimaafkan. Kami terpaksa berteduh di tempatmu ini karena hujan...!”
Si nenek menyeringai dan terlihat bahwa dia cuma punya satu gigi yaitu di sebelah muka atas. Dalam
menyeringai itu parasnya jadi tambah angker. Ketika dia berkata, maka suaranya terdengar kecil tinggi dan
menggigil seperti orang kedinginan.
“Manusia-manusia yang tak tahu diri, kalian telah mengotori tempatku! Telah mengotori pertapaanku!”
Mahesa dan Kemaladewi menjura sekali lagi.
“Harap dimaafkan, nenek. Sama sekali kami tidak bermaksud untuk mengotori tempat sucimu ini. Kami
kehujanan di jalan dan...”
“Sudah... sudah!” bentak si nenek. “Kalian siapa?”
“Saya Mahesa Kelud dan ini Kemaladewi.” Menerangkan Mahesa.
“Kalian suami isteri?!” tanya si nenek.
“Bukan,” jawab Mahesa pula sedang Kemaladewi pipinya tampak merah karena pertanyaan itu.
Si nenek tertawa melengking. Bulu tengkuk Kemaladewi jadi merinding.
“Kalau begitu kalian adalah sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta? hi...hi...hi! Gila, manusia gila,
semua gila cinta! Dengar orang-orang muda, bila hari ini kalian mencinta maka esok atau lusa kalian akan
mampus oleh cinta! Gila! Bodoh! Jika kalian diperkuda oleh cinta!”
Mahesa hendak membuka mulut tapi si nenek sudah membentak: “Kalian tahu dengan siapa kalian tengah
berhadapan?!”
“Sesungguhnya kami memang tidak tahu. Jika kau tidak keberatan menerangkannya...” ujar Mahesa pula.
Si nenek bertampang angker tertawa cekikikan lama sekali. Karena ngeri Kemaladewi memegang tangan
Mahesa Kelud dan berdiri merapat kepada pemuda itu.
“Namaku Sitaraga...” katanya, lalu dia cekikikan kembali. “Tapi jarang manusia yang tahu nama asliku itu.
Kalian lihat...” Si nenek menunjuk ke bagian bawah dari tubuhnya yang sebelah kanan.
“Kakiku buntung... itulah sebabnya orang menjulukiku dengan Iblis Buntung! Hi...hi...hi...! orang-orang
muda, menurut kalian pantaskah nama gelaran yang diberikan orang kepadaku itu?!”
Baik Mahesa maupun Kemala tidak menjawab karena kalau dikatakan “tidak”, mungkin si nenek marah
apalagi bila di jawab “ya”.
“Hai, jawab...! mengapa kalian diam saja?” bentak Si Iblis Buntung seraya mengibaskan tongkatnya di
muka kedua orang itu.
Mahesa dan Kemala mundur beberapa tindak karena sambaran tongkat menimbulkan angin yang keras
tajam.
“Kami tidak tahu, nenek,” kata Mahesa pula akhirnya.
“Tidak tahu ?! mengapa tidak tahu, huhh?!”
Kedua orang itu diam lagi dan Sitaraga kembali tertawa cekikikan. Kali ini lebih lama dari yang tadi.
Mahesa teringat pada Si Nenek Iblis di muara Ngalor Ngidul yang memenjarakannya di goa batu dulu, tapi
agaknya Si Iblis Buntung ini jauh lebih seram bahkan mungkin juga lebih sakti atau mungkin pula mereka
bersaudara? Dua orang saudara seperguruan.
Tawa seram Si Iblis Buntung berhenti. “Pemuda, siapa laki-laki yang tertotok di mulut goaku?” tanyanya.
“Namanya Ismaya, nenek!” menerangkan Mahesa. Kemudian pemuda ini menerangkan selengkapnya
perihal diri Ismaya.
“Hua...hua...hua! jadi kau monyetnya Sultan Banten?! Kau tahu. Aku benci setengah mati pada Sultanmu
itu!” kata Iblis Buntung alias Sitaraga.
“Dia enak-enak jadi raja, jadi Sultan, duduk di kursi empuk, segala sesuatunya tinggal tahu saja. Tapi
rakyat Banten banyak yang dibiarkan dalam kemiskinan! Melarat!”
“Aku sendiri juga benci padanya, nenek.”
“Heh!” Iblis Buntung kerenyitkan keningnya yang tidak beralis. “Kalau kau benci mengapa jadi kaki
tangannya?!”
“Aku sama sekali tidak jadi kaki tangannya. Maksudku ke sana untuk menghambakan diri agar sedikit
banyak bisa memberikan bantuan, meskipun mungkin bantuan yang tidak berarti bagi rakyat Banten. Aku
membantu Raden Mas Ekawira, itu sudah kuterangkan padamu tadi.”
“Aneh!” kata Iblis Buntung pula. “Mengapa kau benci Sultan itu?!”
“Dia seorang yang kurang bijaksana. Mudah terhasut oleh fitnah yang tidak mau diselidikinya terlebih dulu
sehingga orang salah dipuji sanjungnya sedangkan yang benar dihukum dijebloskannya ke dalam
penjara!”
Si Iblis Buntung tertawa untuk kesekian kalinya. “Itu tidak aneh! Sudah biasa! Itu namanya di dunia hai
anak-anak muda! Kalian minggirlah!” katanya memerintah seraya mengibaskan tongkatnya…..
********************
LIMA
Mahesa Kelud dan Kemaladewi menghindar ke samping. Waktu si nenek lewat di muka mereka tubuh
manusia ini berbau tidak enak, seperti bau mayat!
Iblis Buntung masuk ke ruang empat persegi. Dia melirik tajam ke arah Mahesa Kelud dan Kemaladewi
lalu tertawa seperti tadi. Kemudian dengan ujung tongkatnya dipukul-pukulnya salah satu sudut dari
ruangan itu.
Dan betapa heran serta terkejutnya Mahesa bersama Kemala ketika sesudah dipukul begitu rupa maka
salah satu dinding yakni dinding batu sebelah kanan membuka ke samping! Si nenek melirik lagi kepada
kedua muda-mudi tersebut dan ketika melihat bagaimana Mahesa serta Kemala berdiri dengan terheran-
heran maka tertawa pulalah dia!
Di belakang dinding batu yang terbuka itu kelihatan satu ruangan lain yang besar dan bersih. Di tengah
ruangan ini terletak sebuah batu panjang ditutupi sehelai kain putih, agaknya inilah tempat tidur Si Iblis
Buntung. Di kepala tempat tidur, merapat ke dinding ada selapis batu hitam yang berlubang-lubang
berbentuk petak tak ubahnya sebuah rak dari kayu!
Di dalam petak-petak itu terdapat berbagai macam benda. Ada botol-botol, ada potongan kayu berbagai
bentuk dan warna, ada daun-daun yang sudah kering, ada batu-batu dan lain sebagainya yang merupakan
benda tak dikenal oleh kedua orang itu!
Si nenek masuk ke ruangan tersebut kemudian berpaling pada Kemala dan Mahesa.
“Kalian masuklah!” katanya. “Hi... hi ...hi, kalian jadi tamuku! Masuk, silahkan masuk!”
Kemaladewi ragu-ragu tapi Mahesa menarik tangannya dan masuk ke ruangan empat persegi kecil di
mana terletak pelita kayu.
“Terus ke sini, terus ke sini!” kata Iblis Buntung.
Mahesa dan Kemala masuk ke ruangan besar di mana Si Iblis Buntung berada.
“Duduk!”
Kedua orang itu duduk di lantai yang bersih dan berkilat.
Dari pojok ruangan Iblis Buntung mengambil sebuah benda hitam pekat berbentuk teko. Kemudian
mengambil lagi tiga buah benda lainnya yakni cangkir-cangkir dari tanah liat hitam.
“Sebagai tuan rumah, aku harus menyuguhi minuman pada kalian! Hi... hi ...hi!”
“Jangan nek, tak usah susah-susah,” kata Kemala. Inilah yang pertama kalinya si gadis bersuara.
“Ah, kau tak usah malu-malu gadis manis! Tak usah malu-malu! Atau mungkin kalian takut aku akan
memberi minuman racun? Hi...hi...hi...?”
“Kami sama sekali tidak menaruh prasangka yang bukan-bukan, nek,” menjawab Mahesa tapi pemuda ini
diam-diam juga menyangsikan akan kebenaran kata-kata yang diucapkannya itu.
Si Iblis Buntung tertawa gembira. “Bagus kalau begitu, bagus! Aku akan buatkan teh panas untuk kalian!
Udara dingin-dingin begini sedap sekali minum teh hangat, apalagi memakai daun teh hasil buatanku dan
aku pula yang menghidangkannya! Hi... hi... hi...!”
Dengan teko tanah liat di tangan, Iblis Buntung melangkah ke ruangan kecil. Bagian bawah teko diputar-
putarkannya di atas nyala api pelita beberapa kali kemudian dari dalam teko keluar asap mengepul dan
terdengar suara seperti air mendidih. Si nenek tertawa dulu, baru kembali ke ruangan besar.
Mahesa dan Kemala selalu mengikuti gerak-gerik perbuatan manusia ini dengan mata masing-masing.
Mereka meskipun tidak percaya seratus persen pada manusia angker ini tapi juga tidak pernah menduga
bahwa apa yang tengah dikerjakan oleh si nenek saat itu adalah satu perbuatan jahat yang sangat terkutuk
yang bakal merusak kehidupan masa depan mereka berdua
Siapa adanya manusia angker ini memang hanya beberapa orang saja yang tahu. Dan beberapa orang
inilah yang memberikan gelaran Iblis Buntung kepada Sitaraga berhubung mereka sangat membenci
terhadap nenek. Gelaran tersebut memang tepat sekali karena sesungguhnya Sitaraga adalah seorang
manusia bermuka setan, berhati iblis.
Dari dalam petak-petak batu di dinding, Iblis Buntung mengambil segenggam daun kering berwarna coklat
tua yang kemudian dimasukkannya ke dalam teko tanah liat, sesudah itu diaduknya dengan sebatang kayu
kecil bersih. Pekerjaan ini juga dilakukan sambil terus tertawa-tawa.
Bau teh hangat yang harum memenuhi ruangan tersebut. Di hadapan Mahesa dan Kemala, Sitaraga
meletakkan ke tiga cangkir tanah liat kemudian satu demi satu cangkir itu diisi dengan teh hangat. Dia
menyandarkan tongkatnya ke dinding di belakangnya lalu duduk di lantai yang bersih.
Setelah memandangi kedua muda-mudi yang duduk di mukanya berkatalah Si Iblis Buntung,
“Mari, ayo kalian cicipi tehku! Pasti enak! Satu teguk saja pasti kalian tentu akan menjadi hangat dan
segar! Ayo!”
Iblis Buntung mengambil salah satu cangkir tersebut kemudian menyodorkannya kepada Kemaladewi. Si
gadis menerima cangkir tanah liat itu tapi tidak segera meneguk isinya. Iblis Buntung menyodorkan cangkir
kedua kepada Mahesa dan cangkir ketiga untuk dirinya sendiri.
“Ayo, minumlah!” kata si nenek pula.
Mahesa mendekatkan cangkir tanah liat ke mulutnya, memperhatikan minuman yang hangat itu sejurus.
Memang bentuknya tak ubah seperti air teh, bahkan baunya pun seperti air teh pula, hangat sedap.
Tanpa ragu-ragu Mahesa kemudian meneguk minuman itu satu kali. Melihat hal ini Kemaladewi baru
berani minum sebaliknya Si Iblis Buntung menurunkan cangkir di tangan kanannya.
“Heh, bagaimana rasanya?!” tanyanya.
“Tehmu enak sekali, nenek,” ujar Kemaladewi.
“Harum dan menyegarkan!” sambung Mahesa.
Si Iblis Buntung tertawa mengekeh. Gembira agaknya dia menerima puji-pujian itu.
Tapi dibalik tertawanya yang seperti gembira itu dia menyembunyikan sesuatu yang busuk serta jahat. Dia
memandang ke dalam kedua cangkir orang-orang dihadapannya. Saat itu minuman dalam cangkir tersebut
sudah berkurang setengahnya.
“Mari kutambah teh kalian!” kata Iblis Buntung dan sebelum Mahesa dan Kemala menolak, kedua cangkir
itu sudah diisinya kembali penuh-penuh.
“Hi...hi...! Ayo minum lagi!”
Cangkir-cangkir di mana teh itu diletakkan tidak besar sehingga beberapa teguk saja isinya pun habis. Lagi
pula teh yang dibuat Si Iblis Buntung harus diakui kedua orang itu memang enak, darah mereka menjadi
panas, tubuh jadi hangat serta segar. Maka ketika perempuan tua itu menyilahkan mereka untuk minum
lagi, tanpa malu-malu Mahesa Kelud dan Kemaladewi meneguk minuman itu kembali.
Sitaraga mengambil tongkatnya lalu berdiri. “Kalian duduklah dahulu. Aku akan pergi ke hutan untuk
mengambil beberapa jenis ubi.”
“Tapi agaknya hari masih hujan, nenek!” kata Mahesa Kelud pula.
“Ah, aku sudah biasa ditimpa hujan!” jawab Sitaraga lalu tertawa.
Dia melangkah terbungkuk-bungkuk meninggalkan ruangan tersebut. Suara tongkatnya terdengar
berkelatak-keletuk di sepanjang lorong goa, makin lama makin jauh, akhirnya lenyap sama sekali.
Mahesa mengambil cangkir teh lalu meneguk untuk ketiga kalinya. Kemudian ia bersandar ke dinding.
Pandangan matanya meredup dan tubuhnya terasa enteng.
“Aku mendengar seperti ada bunyi-bunyian merdu sekali,” kata Mahesa. Pemuda ini suaranya begitu
perlahan seperti orang bicara ketika mengantuk.
Kemaladewi memandang pula ke langit-langit ruangan lalu mengangguk. “Ya, aku juga. Merdu sekali...”
ujarnya.
Mahesa Kelud memutar kepalanya, memandang pada gadis di sampingnya. “Kau cantik sekali, Kemala...”
dengan tangan kanannya pemuda ini memegang dagu Kemala.
Darahnya mengalir cepat, degupan jantungnya lebih keras. Sesuatu rangsangan yang tak pernah
dirasakannya kini menggelora dalam dirinya. Hal yang sama juga dialami oleh Kemaladewi. Gadis itu
tersenyum dan balas membelai pipi Mahesa Kelud.
“Kakak...” bisiknya seraya merapatkan tubuhnya ke badan Mahesa. “Dingin sekali rasanya, peluklah aku,
kakak...!”
Mahesa memeluk gadis itu. Masing-masing terasa tambah hangat. Dan tidak sampai disitu saja,
rangsangan yang menguasai Mahesa membuat dia berbuat lebih berani lagi. Dipegangnya kedua pipi
Kemaladewi lalu diciumnya seluruh muka gadis itu.
Nafas Kemaladewi memburu. Dadanya turun naik. Ditariknya leher si pemuda dan ketika paras mereka
saling berdekatan dikecupnya bibir Mahesa Kelud. “Mahesa, kekasihku...”
“Kemala, buah hatiku,” bisik Mahesa Kelud.
Ciumannya datang bertubi-tubi dan setiap ciuman ini dibalas oleh Kemaladewi. Pelukan mereka semakin
erat, semakin erat. Tubuh mereka sama-sama keringatan.
“Tidakkah kau merasa panas, kakak?” bertanya Kemaladewi.
Mahesa mencium leher gadis itu sampai Kemala tertawa kegelian.
“Memang panas...” kata Mahesa.
“Boleh kubukakan bajumu...?”
Mahesa mengangguk. Begitulah di luar kesadarannya Kemaladewi melakukan hal-hal yang tidak
sewajarnya mesti terjadi dan seberani itu.
“Aku juga panas, Mahesa...”
“Ya, kekasihku, tapi biarlah kudukung kau ke atas tempat tidur sana. Kau mau...?”
“Oh kakak, dukunglah. Kemanapun kau bawa aku akan pergi, aku milikmu...”
“Dan aku milikmu.”
Keduanya berkecupan dahulu kemudian baru Mahesa membawa Kemaladewi ke atas batu panjang
berbentuk tepat tidur dan dialasi kain putih di tengah ruangan. Keduanya berbaring di sana.
Kemaladewi memejamkan kedua matanya. Dia tidak membantah sama sekali.
Di luar hujan semakin deras dan udara di pegunungan tambah dingin. Di dalam ruangan tersebut kedua
makhluk tersebut merasa betapa hangatnya tubuh mereka masing-masing.
Mereka bicara, saling kecup, saling peluk, mereka tertawa, saling belai dan saling rayu penuh kemesraan.
Dan kalau sudah begini segala sesuatunya pun terjadilah.
Terjadi di luar kesadaran dan kemauan mereka. Terjadi karena ramuan obat daun perangsang nafsu birahi
yang telah dimasukkan oleh si nenek berhati iblis bermuka setan ke dalam minuman mereka!
Hujan sudah lama berhenti dan senja sudah berganti dengan malam namun kedua insan itu masih juga
bermesra-mesraan dengan segala apa yang dapat mereka lakukan. Ketika malam berganti pula dengan
pagi mereka masih juga dalam keadaan seperti itu. Tubuh mereka tiada terasa penat, mata sama sekali
tidak mengantuk dan sebaliknya kobaran nafsu semakin menggelora!
Sungguh hebat sekali daya kerja daun obat perangsang itu! Ketika satu hari lagi berlalu maka barulah
mereka mulai sadarkan diri. Tapi tentu saja ini semua sudah serba terlambat…..
********************
ENAM
Yang pertama sekali sadarkan diri adalah Mahesa Kelud. Waktu itu dia berbaring menelentang
memandang ke langit-langit batu di atas. Tangan kirinya terletak di bawah kepala Kemaladewi. Tubuhnya
keringatan.
Pemuda ini mengusap mukanya beberapa kali dan berpikir-pikir berada di mana dia berada kira-kira saat
ini. Kemudian dia ingat. Dia berada dalam sebuah goa. Dan sebelum itu?
Sebelum dia bersama Kemaladewi dan Ismaya tawanannya, kehujanan di pegunungan liar. Mereka
menemui sebuah goa dan masuk ke dalam goa ini... lalu datang penghuni goa, seorang nenek-nenek
bertampang angker... kemudian mereka dijamu minum teh. Kemudian si nenek pergi... kemudian...
Pada saat yang sama Kemaladewi pun sadarkan diri dan menjadi terang ingatannya karena rangsangan
obat jahat yang menguasai dirinya berangsur-angsur mulai lenyap.
Mahesa merasakan tangan kirinya yang di bawah kepala si gadis sakit. Dia coba mengangkat tangan itu
tapi berat, tertahan oleh kepala Kemaladewi. Hal ini membuat dia memalingkan kepala dan si pemuda
terheran-heran ketika melihat kepala Kemala dekat sekali dengan kepalanya! Perlahan-lahan ditariknya
tangannya, lalu bangun.
Dalam bangun inilah untuk pertma kali dilihatnya bagaimana tubuh Kemala tanpa tertutup sehelai benang
pun! Dan Mahesa Kelud lebih-lebih terkejutnya ketika menyadari dirinyapun berada dalam keadaan yang
sama!
Pemuda ini melompat dari atas tidur batu itu. Begitu dilihat pakaiannya bertebaran di lantai segera
disambarnya dan dia lari dari ruangan tersebut! Pedangnya masih tergeletak di lantai tidak
diperdulikannya.
Kemaladewi tidak kurang terkejutnya. Matanya membeliak besar dan seruan tertahan menyumbat di
kerongkongannya. Pakaian merahnya dilihat terhampar di dekat dinding. Sambil menutup auratnya gadis
ini lari mengambil pakaiannya itu dan memakainya dengan cepat.
Ketika Mahesa kembali ke ruangan itu dengan langkah gontai karena tubuhnya serasa bayang-bayang
didapatinya Kemaladewi duduk bersimpuh di sudut sambil menutupi mukanya dan menangis menyayat
hati.
Si pemuda mengepalkan kedua tinjunya dan memandang ke atas batu panjang yang kain putih
penutupnya kusut acak-acakan. Di sanalah segala sesuatunya terjadi!
Mahesa melangkah mengambil pedangnya lalu mendekati Kemaladewi. “Kemala...” kata pemuda ini.
Suaranya lain sekali. “Kau sadar apa yang telah terjadi dengan kita?”
Si gadis menjawab pertanyaan tersebut dengan tangisan lebih keras. Untuk beberapa lamanya Mahesa
terdiam, namun di dalam dadanya berkobar dendam yang maha besar. Dendam mana belum tentu bisa
lenyap sekalipun dia berhasil mencincang tubuh manusia penyebab bencana yaitu Si Sitaraga alias Iblis
Buntung!
Setelah menguatkan hatinya maka berkatalah kembali pemuda ini. “Kemala, apapun yang telah terjadi
sama sekali di luar kesadaran kita, bukan kehendak kita. Kita telah tertipu oleh perempuan iblis itu.
Karenanya mari kita tinggalkan goa ini dan cari Si Iblis Buntung itu. Hanya itu yang bisa kita lakukan.”
Kemaladewi menurunkan tangannya. Matanya sembab karena menangis dan dia tidak berani memandang
pada si pemuda. Dia berdiri sambil menopangkan tangan kirinya ke dinding. Masih menangis dia
melangkah meninggalkan ruangan itu dan Mahesa mengikuti dari belakang…..
********************
Lima hari lima malam lamanya mereka menyelidiki seluruh pelosok daerah pegunungan itu namun
manusia yang mereka cari tiada bertemu bahkan jejaknya pun tiada kelihatan! Dalam mencari mereka
hampir tidak pernah bicara dan jika pandangan mereka saling bertemu, masing-masing sama-sama
menundukkan kepala atau memandang ke jurusan lain dengan hati hancur luluh.
Keduanya kembali ke goa dengan lemah lunglai tapi dengan kobaran dendam yang semakin menyala-
nyala! Mereka berharap akan memergoki Si Iblis Buntung di goa itu tapi satu-satunya manusia yang
menyambut kedatangan mereka adalah tubuh tertotok Ismaya.
Sampai di dalam goa Mahesa Kelud tidak dapat menahan perasaannya lagi. Terlebih ketika dilihatnya teko
dan cangkir-cangkir kosong itu. Benda-benda itu dengan sekali tendang saja hancur bermentalan!
“Kemala! Keluarlah dari sini! Biar kuhancurkan tempat terkutuk ini!” seru Mahesa. Kedua matanya
kemerah-merahan sedang suaranya keras lantang menggetarkan.
Si gadis tak berani berkata apa-apa. Dia cepat meninggalkan ruangan tersebut dan Mahesa dengan
kepalan-kepalan mengandung aji karang sewu yang dahsyat, mengamuk seperti orang gila, memukuli
dinding-dinding, menendangnya sampai hancur berantakan.
Tempat tidur dari batu dan juga rak dari batu di dinding turut menjadi korban dari kemarahan pemuda yang
tiada terkendalikan ini. Dari ruangan besar Mahesa berpindah ke ruangan kecil.
Mula-mula ditendangnya batu tempat meletakkan pelita kayu. Batu hacur, pelita mental dan apinya padam!
Dinding-dinding ruangan ini kemudian mendapat giliran.
Seluruh isi goa ini kini hanya merupakan keping-keping kehancuran belaka. Mahesa sendiri pakaiannya
robek-robek dan penuh debu. Banyak puing-puing batu yang hancur menimpa tubuhnya. Tiba-tiba
terdengar suara Kemaladewi dari mulut goa.
“Mahesa! Sudahlah! Hentikan, tak ada gunanya!”
Mahesa Kelud keluar dari dalam goa. “Walau bagaimanapun kita harus temukan manusia durjana itu!”
katanya dihadapan Kemaladewi tanpa berani memandang gadis itu.
Matanya kemudian membentur tubuh Ismaya dan kini baru disadarinya bahwa urusan dengan Sultan
Hasanudin belum lagi selesai. Pemuda ini menggeram dalam hati. Urusan yang satu belum lagi terlaksana
datang lagi urusan yang lebih besar, lebih gila!
“Kemala,” kata Mahesa pula. “Masih ada kemungkinan manusia iblis itu akan kembali ke sini. Kita
bersembunyi di sekitar sini dan apabila sampai tiga hari tidak muncul, kita terpaksa harus pergi.
“Kau untuk sementara kembali ke Lembah Rotan. Jangan ceritakan kejadian ini pada gurumu. Aku akan ke
Banten membawa Ismaya. Selesai urusanku di sana aku akan mencari sampai dapat manusia keparat itu!”
“Kita harus tangkap manusia itu hidup-hidup, Mahesa... biar aku yang tebas batang lehernya dan
membelah kepalanya!” kata Kemaladewi. “Dan kau harus kembali dalam waktu yang singkat Mahesa. Aku
khawatir jika aku...”
Kemaladewi tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia kembali menangis terisak-isak.
Mereka menunggu sampai tiga hari, tapi Si Iblis Buntung tidak muncul…..!
Beberapa hari kemudian.
Dari puncak bukit itu kelihatan Lembah Rotan. Pondok terapung Si Dewa Tongkat berada di tengah-tengah
danau.
Mahesa memandang ke arah pondok yang pintu serta jendelanya tertutup lalu berkata: “Kita berpisah di
sini Kemala, ingat pesanku. Jangan sampai gurumu mengetahui hal ini...!”
“Kau... kau pasti datang bukan Mahesa?”
Pemuda itu mengangguk perlahan.
“Jika selesai urusanku di Banten dan jika sampai tiga bulan kau belum juga berhasil menemukan Si Iblis
Buntung, kau harus kembali cepat-cepat ke sini Mahesa... kau dengar...?”
“Ya...”
“Hanya ada satu jalan untuk menutupi malu besar ini Mahesa, kau harus mengawini aku!” kata
Kemaladewi dengan kedua mata berkaca-kaca.
“Kawin! Kau harus mengawini aku, harus!” kata-kata itu mengiang lama sekali di kedua telinga Mahesa
Kelud.
Dia harus kawin akibat dari perbuatan yang dilakukannya di luar kesadarannya, dengan alasan untuk
menutupi malu! Menggigil tubuh pemuda ini! Bagaimana dia bisa kawin dengan perempuan yang dia tidak
cintai?!
Meskipun dia telah melakukan hal terkutuk itu? Bagaimana mungkin dia kawin dengan Kemala bila dia
harus meninggalkan Wulansari yang dikasihinya? Bisakah dia mengkhianati cinta gadis itu karena alasan
dia bertanggung jawab terhadap perbuatannya atas Kemaladewi?
“Tidak, bukan aku yang harus bertanggung jawab. Tapi nenek keparat itu, Si Iblis Buntung jahanam itu!”
“Mahesa!”
Si pemuda diam.
“Kau harus kembali. Kau harus mengawini aku. Bukan saja karena perbuatan yang telah kita lakukan tapi
juga demi anak kita yang akan kukandung nanti. Dan juga karena aku mencintaimu...”
Kalau saja saat ini membentang lautan api luas bergejolak di hadapannya mungkin Mahesa Kelud
menghambur membuang diri. Apa yang dikatakan Kemaladewi adalah satu kenyataan.
Tapi satu kenyataan yang harus pula dibantahnya, akhirnya pemuda ini membuka mulut: “Baiklah, Kemala!
Hal ini akan kita bicarakan nanti lebih lanjut...” dan sebelum gadis itu mengatakan sesuatu, Mahesa Kelud
sudah lari menuruni bukit dengan tubuh Ismaya di bahu kanannya.
Kemaladewi mengikuti pemuda itu dengan pandangan mata yang berkaca-kaca. Ketika Mahesa Kelud
sudah lama menghilang di kejauhan baru Kemaladewi bergerak dari sana…..
********************
TUJUH
Setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan pada hari ke empat sejak dia meninggalkan Lembah
Rotan maka sampailah Mahesa Kelud di Kotaraja Banten. Pengawal-pengawal tak ada yang berani
menghalanginya pemuda ini bersama tawanannya, yang boleh dikatakan hampir dua minggu lamanya
berada dalam keadaan tertotok, langsung masuk ke dalam istana di mana saat itu kebetulan sekali Sultan
Hasanuddin mengadakan pertemuan dengan patih Sumapraja serta pejabat-pejabat tinggi istana lainnya.
Sultan serta semua yang hadir di situ tentu saja terkejut melihat kedatangan Mahesa Kelud memanggul
sesosok tubuh manusia yang berada dalam keadaan menyedihkan.
Mahesa menghempaskan tubuh Ismaya di atas permadani di hadapan Sultan. “Sultan,” katanya. “Sebelum
manusia bernama Ismaya ini disuruh bicara, lebih dahulu harap dibebaskan Raden Mas Ekawira dan
dibawa ke sini!”
Sultan memandang pada tubuh Ismaya yang tergeletak di ujung kakinya. Pandangannya kemudian
dialihkan kepada Mahesa lalu dilambaikan tangannya memberi tanda. Empat orang pengawal segera
meninggalkan ruangan tersebut.
Tak lama kemudian keempatnya kembali beserta Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal Istana agak
kurus kini dan parasnya juga pucat. Namun dia tertawa lebar ketika melihat Mahesa Kelud.
“Mahesa!” serunya gembira. “Aku tahu kau pasti kembali dengan manusia ini!” Ekawira melirik tajam pada
Sultan lalu berkata pada Mahesa. “Lepaskan totokannya! Lebih cepat kebenaran kita singkapkan akan
lebih baik.”
Mahesa Kelud menjambak rambut Ismaya dan menegakan tubuh pemuda itu, lalu menotok pada bagian
punggung serta dadanya. Perlahan-lahan Ismaya membuka kedua matanya.
Pandangan mata pemuda itu sangat kuyu, parasnya pucat seperti mayat, pakaiannya robek-robek serta
kotor. Kedua bola mata yang terletak dalam mata yang kini begitu cekung itu berputar sebentar dan
Ismaya maklum di mana ia berada pada saat itu.
Tanpa melepaskan jambakannya Mahesa Kelud berkata: “Ismaya, siapakah kau adanya kami di sini
sekalian sudah tahu! Jika kau mau bicara jujur dan memberikan keterangan tentang pengkhianatan Tirta
serta Jaka Luwak maka ada harapan hukuman yang bakal dijatuhkan padamu diringankan. Tapi jika kau
bungkam seribu bahasa atau berikan keterangan palsu, tubuhmu akan kukuliti seperti seekor kambing!”
Mulut pemuda itu tampak bergerak-gerak. Empat belas hari dia ditawan dan ditotok serta selama empat
belas hari itu pula dia tidak pernah makan ataupun minum!
Namun untung Mahesa telah menotoknya di dua bagian sehingga seluruh peredaran darahnya terhenti
dan sel-sel dalam tubuhnya tidak bekerja. Waktu totokannya dilepaskan kembali dia hanya merasakan
tubuhnya sangat letih dan perutnya perih, tak ubahnya seperti seorang habis bangun tidur.
Karena Ismaya tidak memberikan jawaban maka sambil berdiri bertanyalah Sultan Hasanuddin. “Orang
muda, apa yang kau ketahui tentang Raden Mas Tirta dan pembantunya Jaka Luwak?! Benar keduanya
mengkhianati Banten?!”
“Benar Sultan...” jawab Ismaya. “Keduanya mula-mula bersekutu dengan Prabu Pajajaran untuk
menghancurkan Banten dari dalam. Sesudah itu dengan maksud untuk mencari keuntungan berlipat
ganda mereka mengkhianati pula Sang Prabu!”
“Lalu apa yang kau ketahui tentang kedua orang ini!?” tanya Sultan pula seraya menunjuk Ekawira dan
Mahesa Kelud.
“Mereka...keduanya adalah kalau tidak salah...orang-orang yang menolongku waktu dikeroyok oleh Raden
Mas Tirta dan Jaka Luwak...”
“Ada hubungan apa antara kau dan keduanya sampai mereka turun tangan menolongmu?!” tanya Sultan
pula dan kali ini seraya berdiri dari kursi kebesarannya.
Ismaya memandang sebentar pada Mahesa Kelud dan Ekawira lalu menjawab: “Mengapa mereka
menolong saya, ini satu hal yang tidak saya mengerti, Sultan. Tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa
dengan sang prabu, jika itu yang ingin Sultan ketahui!”
Perlahan-lahan Sultan duduk kembali ke singgasananya, “Pengawal!” katanya kemudian. “Masukkan dia
ke dalam penjara!”
Empat pengawal yang tadi membawa Ekawira kini segera mengelilingi Ismaya. Pemuda ini terkejut.
“Sultan! Saya sudah memberikan keterangan yang jujur! Mengapa saya harus masuk penjara?!”
“Untuk manusia semacammu ini selayaknya dihukum pancung!” sahut Sultan. “Aku bermurah hati untuk
mengurungmu hanya sepuluh tahun!”
Ismaya hendak membuka mulutnya. Tapi Sultan Hasanuddin melambaikan tangannya dan keempat
pengawal tadi segera mengiringi pemuda Pajajaran ini dari sana.
Sultan menyeka mukanya yang keringatan dengan sehelai sapu tangan. Mahesa Kelud menganggukkan
kepalanya pada Ekawira dan yang belakangan ini segera buka mulut angkat bicara.
“Sultan, kini kebenaran yang sesungguhnya sudah disingkapkan. Fitnah dan kepalsuan sudah terbongkar.
Semua yag hadir di sini sudah pula sama mengetahui siapa yang seharusnya dicap pengkhianat, siapa-
siapa yang seharusnya disebut penjilat dan tukang putar balikkan kenyataan serta siapa-siapa manusianya
yang patut dinamakan binatang-binatang ular kepala dua itu! Atau mungkin bagi Sultan masih belum
jelas...?!” Nada Ekawira waktu bicara itu jelas membayangkan rasa mengejek.
“Semuanya sudah jelas bagiku, Raden Mas Ekawira,” sahut sang Sultan dengan paras kemerahan. “Aku
akui bahwa aku telah membuat kekeliruan. Mulai hari ini, disaksikan oleh Patih dan pejabat-pejabat tinggi
kerajaan kau ku angkat menjadi Kepala Balatentara Banten! Dan kau Mahesa, kuserahkan jabatan Kepala
Pengawal Istana.”
Ekawira tertawa. “Sultan, kau mungkin lupa! Tapi aku tidak. Ingat apa yang kau katakan pada saat
sahabatku Mahesa Kelud hendak meninggalkan istana ini untuk mencari Ismaya tempo hari?
“Saat itu aku berkata bila nanti Mahesa kembali membawa Ismaya dan membentangkan kebenaran bahwa
kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat maka pada saat itulah aku akan melepaskan segala jabatan yang
telah diberikan kepadaku!” pemuda itu diam sejurus lalu meneruskan,
“Menyesal sekali, Sultan. Aku tak dapat menerima jabatan yang kau anugrahkan itu. Hari ini Jabatan
sebagai Kepala Pengawal Istana kuserahkan kembali kepadamu.!”
“Raden Mas Ekawira...?” kata Sultan pula. Tapi kalimatnya ini cepat dipotong oleh Ekawira.
“Sebutan Raden Mas itu... adalah juga anugerahmu, Sultan. Karenanya harus pula kukembalikan
kepadamu. Aku dilahirkan dengan nama Ekawira, tanpa gelaran Raden Mas!”
Sangat merah muka sang Sultan mendengar ucapan pemuda itu. Sesungguhnya kata-kata Ekawira lebih
dari satu tempelakan baginya. Diam-diam sang Sultan menyesali dirinya.
“Dimas Ekawira,” terdengar suara Patih Sumapraja. Tidak dapatkah kau tarik kembali kata-katamu dulu
itu? Kurasa tentu dapat!”
“Orang lain mungkin dapat, Paman Patih,” sahut Ekawira dengan senyum. “Tapi walau buruk-buruk begini,
aku bukan macamnya manusia yang suka menjilat air ludah yang sudah disemburkan. Aku berasal dari
kalangan rendah dan biarlah kembali ke kalangan rendah.”
Sesungguhnya Paman Patih juga dapat merasakan betapa kecewanya hati pemuda itu atas tindakan
keliru sang Sultan. Tapi apa mau dikata.
Ekawira berpaling pada Mahesa Kelud. “Bagaimana denganmu, Dimas?” tanyanya.
“Sultan,” berkata Mahesa. Terima kasih atas anugerah pangkat yang diberikan padaku. Cuma menyesal
sekali, aku tak dapat menerimanya.”
Suasana di dalam ruangan itu terasa sunyi untuk beberapa lamanya. Kesunyian dipecahkan oleh suara
Ekawira: “Sultan, karena sahabatku tidak pula dapat menerima jabatan yang diberikan kepadanya, maka
kami kira sudah saatnya bagi kami untuk meminta diri.”
Pemuda ini menjura di hadapan Sultan. Perbuatan ini diikuti oleh Mahesa Kelud yang kemudian mereka
sama-sama pula memberi hormat pada Patih Sumapraja dan pejabat-pejabat tinggi lainnya.
Ketika mereka sampai di pintu maka berserulah Sultan. “Ekawira! Mahesa! Kembalilah!”
Namun jawaban yang diterima oleh sang Sultan hanyalah lambaian tangan dan senyuman kedua pemuda
itu.
Di luar istana cukup cerah. Kedua pemuda ini berjalan berdampingan. “Mahesa, kemanakah kau akan
melanjutkan perjalanan?!”
“Belum dapat dipastikan,” jawab Mahesa. Tapi ingatannya tertuju kepada Kemaladewi. “Kau sendiri
hendak kemana, kakang?”
“Sudah sejak lama aku bermaksud untuk mengembara, mencari pengalaman dan mencari guru-guru sakti.
Kurasa inilah saat yang baik untuk memulainya.”
“Kakang, kau pernah dengar tentang manusia bernama Simo Gembong?” tanya Mahesa.
Ekawira gelengkan kepala.
“Atau tahukah tentang pedang sakti bernama Samber Nyawa?”
“Ahh...kalau pedang sakti itu, hanyalah merupakan kisah isapan jempol belaka, Dimas...”
“Tapi kau pernah dengar?”
“Ya, katanya ada di sebuah pulau. Tapi entah pulau apa.”
Dengan demikian sudah dua orang yang memberi keterangan kepada Mahesa tentang pedang sakti yang
dicarinya itu. Pertama Sentot Bangil atau Pendekar Budiman, kakek Wulansari dan kedua Ekawira.
Keduanya sama-sama menerangkan pedang tersebut berada di suatu pulau.
Mereka sampai di luar kota. Pada satu persimpangan jalan di sinilah mereka mengambil arah masing-
masing. Keduanya saling berangkulan, sama-sama menjura, melambaikan tangan dan berpisah.
Ekawira merasa sangat terharu. Memang sedih juga melepaskan seorang sahabat, apalagi sahabat yang
banyak jasanya seperti Mahesa Kelud itu…..
********************
DELAPAN
Dua bulan lebih lamanya Mahesa Kelud mengitari daerah barat terutama sekitar pegunungan di mana
terletak goa Si Iblis Buntung dan telah berulang kali pula pemuda ini datang ke goa yang hancur lebur
akibat amukannya tempo hari namun manusia biang bencana yang dicarinya itu tidak kunjung bertemu.
Sitaraga alas Iblis Buntung lenyap tak tentu rimbanya, hilang tanpa meninggalkan jejak!
Sementara itu Mahesa Kelud ingat pula akan kata-kata Kemaladewi yaitu bila tiga bulan tidak berhasil
mencari dan menemui Si Iblis Buntung maka ia harus kembali ke Lembah Rotan. Pemuda ini kertakan
giginya.
Dia akui bahwa dia telah melakukan hubungan di luar kawin dengan gadis ini sampai berulang kali selama
dua hari dua malam berturut-turut yang mana pasti akan menyebabkan si gadis hamil! Tapi itu semua
akibat rangsangan teh terkutuk Si Iblis Buntung sehingga baik dia maupun Kemaladewi jadi lupa daratan
tak sadar diri!
Haruskah dia mengawini gadis itu? Kalau dia kabulkan permintaan Kemaladewi, lantas bagaimana dengan
Wulansari? Dia terlalu mencintai gadis yang seorang diri ini. Baginya Wulansari adalah sebagian dari
kehidupannya dan tak akan sanggup dia meninggalkan gadis tersebut apalagi meninggalkannya untuk
kawin dengan gadis lain!
Wulansari sendiri tentu akan kecewa dan menderita batin seumur hidupnya jika ditinggalkan. Mahesa
maklum bagaimana tulus dan sucinya kasih sayang Wulansari, bagaimana setia dan jujurnya gadis itu!
Akhirnya bulatlah tekad pemuda ini walau apapun yang terjadi, walau akibat apapun yang akan
ditanggungnya nanti, walau cap atau nama apa yang diberikan nanti kepadanya, namun dia tetap tak akan
mengabulkan permintaan Kemaladewi. Tak sampai hati untuk mengkhianati Wulansari. Kalau perlu segala
itu semua akan bersedia ditebus dengan jiwa raganya…..
********************
Kita tinggalkan dulu murid Embah Jagatnata itu. Kita kembali ke puncak Gunung Halimun.
Waktu Mahesa Kelud memboyong Ismaya dan mengejar Gandabrajasura yang melarikan Kemaladewi
maka Ki Balangnipa yang saat itu tengah bertempur mati-matian menghadapi Resi Mintaraya segera
mengirimkan tiga senjata rahasianya untuk menghalangi Mahesa. Namun dengan sekali putaran pedang
sakti di tangannya, Mahesa dapat membuat mental ketiga senjata rahasia yang mengandung racun sangat
berbahaya itu.
Sesudah Mahesa meninggalkan puncak Gunung Halimun maka pertempuran diantara kedua orang sakti
tersebut yakni Ki Balangnpa dan Resi Mintaraya berjalan semakin seru! Namun dalam jurus demi jurus
semakin kentara bahwa ilmu kepandaian Resi Mintaraya masih beberapa tingkat di bawah Ki Balangnipa.
Meski resi dari Pajajaran ini mempergunakan dua senjata yaitu tombak besi berbentuk garpu dan pedang
namun dia tak berdaya menghadapi senjata lawannya yaitu berupa pakaian hitam yang mengebut kian
kemari dengan segala kedahsyatannya.
Sudah beberapa kali Mintaraya terpaksa harus menerima pukulan hebat senjata Ki Balangnipa dan setiap
senjata anehnya tersebut mengenai tubuh atau mukanya maka tenaga dalamnya serasa mengendor, ilmu
silatnya jadi kacau tak menentu. Dan akhirnya ketika ujung baju hitam menyambar mukanya dengan tepat
sekali, Mintaraya terpelanting ke belakang dari lubang hidung dan kedua matanya keluar darah!
Meski kini dia tak dapat melihat namun dengan mempergunakan perasaan dan pendengarannya,
Mintaraya dapat mengetahui di mana musuhnya berada. Resi ini segera menyerang dengan hebat. Namun
dalam keadaan normal saja dia sudah tidak sanggup menghadapi lawannya, apalagi dalam keadaan
sudah terluka parah itu!
Hantaman senjata lawan datang bertubi-tubi. Tubuh Mintaraya roboh dan terguling kian kemari. Dalam
keadaan sangat menyedihkan akhirnya resi sakti ini meregang nyawa!
Ki Balangnipa mengenakan baju hitamnya kembali. Dipandangnya mayat Mintaraya sejurus lalu dengan
cepat meninggalkan tempat itu.
Di dalam kepalanya masih banyak rencana-rencana maut yang akan dilaksanakannya. Diantaranya
mengejar Mahesa Kelud dan pergi ke Banten untuk mencabut nyawa sepuluh orang yang dikasihani
Sultan yaitu sesuai dengan sumpahnya tempo hari sewaktu dia terpaksa harus membunuh muridnya
sendiri, Jaka Luwak…..!
********************
Karena dia sudah bertekad bulat untuk tidak pergi ke Lembah Rotan maka Mahesa Kelud meneruskan
perjalanannya ke arah timur. Dalam perjalanan ini mendadak sontak dia menghitung-hitung dan menyadari
bahwa pengembaraannya sejak meninggalkan tempat gurunya Si Suara Tanpa Rupa sudah berjalan
sebelas bulan, jadi hampir satu tahun!
Ini berarti dia harus segera kembali ke tempat gurunya itu. Maka Mahesa pun mengeluarkan ilmu lari “kaki
angin”nya. Tubuhnya melesat ke muka, larinya boleh dibilang seperti tidak menjejak tanah dan cepatnya
bukan main!
Namun mendekati sebuah daerah berawa-rawa, pemuda ini terpaksa hentikan larinya ketika kedua
telinganya yang tajam menangkap suara cambukan-cambukan yang amat dahsyat dibarengi dengan suara
tertawaan bekakakan tiada hentinya. Rasa ingin tahun membuat pemuda ini segera mendekat ke arah
datangnya suara cambukan-cambukan dan suara tertawa tersebut.
Dia menyelinap di balik sebuah batu dan menyibakkan semak-semak di hadapannya. Apa yang dilihatnya
sangat mengejutkan.
Di atas tanah miring di mana di bagian bawahnya terdapat sebuah rawa-rawa besar menggeletak tubuh
seorang tua renta berambut putih terbungkus oleh sebuah jerat terbuat dari sejenis tali aneh yang tak
mudah untuk diputuskan! Di lereng tanah miring itu berdiri seorang pemuda belia yang tiada henti-hentinya
menghantamkan cambuk ke tubuh si orang tua yang tiada berdaya!
Setiap kali cambuk itu menghantam tubuh si orang tua yang terbungkus oleh jala maka setiap itu pula
kelihatan asap mengepul! Kulit tubuh orang tua yang malang ini menjadi hangus melepuh!
Sungguh luar biasa kehebatan cambuk tersebut dan lebih luar biasa lagi adalah si orang tua itu. Meskipun
dia menderita sehebat itu namun tiada sedikitpun terdengar suara keluh kesakitan ataupun erangan dari
mulutnya!
Melihat penyiksaan yang kejam ini Mahesa Kelud menjadi geram. Dia segera melompat dari
persembunyiannya, menyerang si pemuda dari samping dengan sebat merampas cambuk itu.
Tapi sungguh luar biasa. Tanpa menoleh sedikitpun pemuda itu menggerakkan tangannya yang
memegang cambuk dan tahu-tahu ujung cambuk dengan sangat cepatnya menyerang ke kepala Mahesa
Kelud!
Tak ayal lagi Mahesa menundukkan kepala, tapi seperti mempunyai mata dan seperti sudah menduga
lebih dahulu ujung cambuk turun menyambar ke bawah. Mau tak mau Mahesa Kelud membuang diri ke
tanah. Waktu dia bergulingan di tanah, cambuk itu masih terus mengikutinya, untung saja Mahesa
bertindak cepat.
Murid Embah Jagatnata ini maklum bahwa yang harus dilakukannya ialah merampas senjata lawan
sebelum dia kena hantam. Dari gurunya Si Suara Tanpa Rupa Mahesa bukan saja mendapatkan pelajaran
tentang berbagai kegunaan dan keampuhan macam-macam senjata tapi diajar juga mengetahui
kelemahan dari masing-masing senjata itu!
Satu diantaranya adalah cambuk. Untuk perkelahian jarak jauh memang cambuk sangat ampuh sekali
apalagi cambuk sakti luar biasa seperti yang di tangan si pemuda yang menjadi lawan Mahesa saat itu.
Namun kelemahan cambuk, tak peduli apakah cambuk biasa ataupun cambuk sakti ialah tidak akan
berdaya apa-apa dalam pertempuran atau perkelahian jarak dekat!
Karenanya waktu cambuk lawan datang melesat kembali menyerang kepalanya, Mahesa segera
merunduk, bersamaan dengan itu dia menjumput segenggam pasir dan melemparkannya ke arah lawan.
Meskipun hanyalah pasir-pasir belaka namun karena dilemparkan dengan menggunakan tenaga dalam
maka pasir-pasir itu mendesing di udara dan dapat membutakan mata.
Kini tertawa bekakakan si pemuda hilang. Lebih-lebih ketika tiada diduganya Mahesa tahu-tahu secepat
kilat sudah berada di hadapannya dan mengirimkan pukulan “karang sewu” yang dahsyat! Dia mengelak
ke samping namun sudah ditunggu oleh tendangan kaki kiri Mahesa!
Dengan penasaran pemuda ini memukulkan gagang cambuknya ke kepala Mahesa namun saat itu tangan
kanan Mahesa Kelud sudah menyambar dengan cepat ke arah pertengahan cambuk sedang tangan
kirinya menjotos ke sambungan siku! Karena pemuda tersebut berusaha menyelamatkan sikunya maka
kesempatan ini dipergunakan oleh Mahesa untuk menarik cambuk!
Si pemuda mengamuk hebat ketika cambuknya kena dirampas. Dari mulutnya keluar suara mengaum
seperti seekor macan terluka, Mahesa Kelud memutar cambuknya di atas kepala. Senjata pemuda itu
kemudian dipakainya untuk menghantam pemiliknya sendiri.
Si pemuda berusaha menghindar tapi tidak berhasil. Ujung tombak telah menghantam dadanya, bajunya
robek, kulit dadanya mengepul dan hangus! Tubuhnya tertatih ke muka tapi kemudian dengan buas
menyerang kembali!
“Pemuda asing... pemuda asing!” terdengar satu suara
Tanpa menoleh Mahesa maklum yang berkata adalah orang tua renta berambut putih yang melingkar di
dalam jala.
“Jangan bunuh lawanmu! Jangan bunuh dia! Dia adalah muridku, aku sendiri yang akan menghukumnya!
Totok tubuhnya! Jangan bunuh!”
Si pemuda kelihatan geram sekali. Sementara Mahesa Kelud kembali memutar cambuknya di atas kepala
lalu melancarkan serangan tipuan ke arah pemuda itu.
Ketika lawannya merunduk, Mahesa dengan kesigapan luar biasa memutar cambuk dan tahu-tahu kini
gagang senjata itu yang melesat ke dada kanan lawan. Tanpa suara si pemuda roboh ke tanah tiada bisa
bergerak lagi karena tubuhnya sekaligus sudah kena totok!
Mahesa Kelud melangkah mendekati orang tua yang berada di dalam jala. Pakaian orang tua itu penuh
dengan robekan-robekan sedang kulit tubuhnya hangus.
Mahesa berlutut. Dengan kedua tangannya pemuda ini coba memutuskan jala. Namun meskipun dia
sudah mengerahkan tenaga dalamnya, jala itu tetap tidak bisa diputuskan.
“Orang tua!” kata Mahesa. “Mungkin kau bisa memberi petunjuk bagaimana membuka jala ini?!”
“Jala ini bukan jala biasa, anak muda. Kalau tidak tentu aku sejak tadi bisa membebaskan diri...” jawab si
orang tua.
Mahesa ingat akan aji pukulan “karang sewu”. Dengan pukulan ini mungkin dia bisa menghancurkan jala
tersebut. Namun sudah barang tentu si orang tua sendiri akan menderita bahkan akan terluka parah
karena pukulan itu!
Mahesa jadi serba bingung. Akhirnya dinyalakannya api, lalu dengan sebatang ranting yang terbakar
dicobanya untuk memutuskan tali-tali jala. Tapi sia-sia saja! Tali-tali jala tersebut sukar sekali diputuskan!
“Pemuda,” kata si orang tua dengan nada putus asa. “Kulihat agaknya di balik punggungmu ada sebilah
pedang. Coba pergunakan senjata itu. Mudah-mudahan berhasil.”
Mahesa Kelud baru ingat akan senjata mustikanya itu. Mendengar kata-kata si orang tua segera
dikeluarkannya pedang sakti tersebut! Dan benar saja! Dengan mempergunakan ujung pedang yang
runcing tajam maka tali-tali jala tidak berdaya lagi mempertahankan diri alias dibikin putus-putus!
Sesaat kemudian si orang tua berambut putih itu pun bebaslah dari dalam jala. Begitu keluar dia segera
duduk bersila di tanah, mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh bagian tubuh dan mengatur peredaran
darahnya. Beberapa saat berlalu dan pekerjaan itupun selesai. Tubuhnya kelihatan menjadi segar.
Kedua matanya memandang kepada Mahesa Kelud. “Pemuda, kau siapa?” tanyanya.
“Namaku Mahesa Kelud. Aku kebetulan lewat di sini dan mendengar suara cambukan-cambukan dan
suara tertawa. Aku terkejut melihat apa yang terjadi di sini! Dan jadi tidak mengerti kalau kau katakan
bahwa pemuda itu adalah muridmu... mengapa dia berbuat begitu padamu?!”
“Mahesa, sesuatu telah terjadi dengan dia. Tapi biar aku ceritakan nanti! Lebih cepat murid durhaka itu
dikirim ke neraka lebih baik!”
Si orang tua, yang bernama Namajeni mendekati muridnya, dilepaskannya totokan si murid. Begitu
pemuda tersebut sadarkan diri membentaklah dia. “Langlang! Bangun! Terimalah hukumanmu!”
Langlangseta memandang ganas kepada gurunya lalu tertawa bekakakan. “orang tua keparat!” makinya.
“Kupatahkan batang lehermu!” Bersamaan dengan itu dia menerjang ke muka mengirimkan serangan
dahsyat.
Tapi Namajeni bukan guru percuma. Tubuhnya berkelebat dan “bukk!” Tendangan kaki kanannya mampir
di dada sang murid!
Langlangseta jatuh dduk di tanah tapi segera bangun. Dan ketika bangun di tangannya sudah tergenggam
sebilah keris berlekuk tujuh berwarna hitam! Keris ini adalah pemberian gurunya sendiri!
“Ha... ha... ha...!” tawa Langlangseta. “Orang tua gila! Kau lihat keris ini?!” dengan senjata pemberianmu ini
aku akan menghabisi kau punya nyawa! Mampuslah!” untuk kedua kalinya si murid menyerang.
Namun seperti tadi begitu serangannya berhasil dielakkan maka Namajeni balas melancarkan tendangan.
Kali ini tendangannya bersarang di uluhati si murid.
Langlangseta mengeluarkan suara seperti orang mau muntah, tubuhnya jatuh, terguling ke bawah dan
masuk ke dalam rawa-rawa. Sedikit demi sedikit tubuh pemuda itu amblas dihisap oleh lumpur maut untuk
akhirnya lenyap sama sekali tiada bekas!
Namajeni berpaling kepada Mahesa. “Itu hukuman bagi seorang murid durhaka!” desisnya. “Kau tentu
heran mengapa aku berlaku demikian dan mengapa muridku bertindak kejam gila kepadaku, bukan? Aku
akan ceritakan.
“Mahesa, Langlangseta kudidik sejak berumur tujuhbelas tahun. Kepadanya kemudian kuceritakan bahwa
tak jauh dari sini ada sebuah goa didiami oleh manusia halus yang sakti. Siapa saja boleh menuntut ilmu
kepadanya tapi begitu mendapatkan ilmu orang tersebut akan menjadi gila dan membunuh semau hatinya.
“Muridku tak kuat iman, meskipun telah kularang diam-diam dia kabur dan pergi ke goa setan. Hanya
seminggu dia di sana, dia sudah dibekali senjata ampuh luar biasa yaitu jala tadi dan cambuk. Dia kembali
membawa senjata itu ke kediamanku dalam keadaan gila.
“Aku tidak menduga kalau dia akan menyerangku dan tahu-tahu aku sudah kena dijeratnya di dalam jala.
Dari pertapaanku aku diseretnya hingga ke sini, didera tiada henti. Dia bermaksud akan melemparkan aku
ke dalam rawa setelah lebih dahulu menganiaya aku. Untung kau datang! Dan ini membuat aku berhutang
nyawa kepadamu, Mahesa!”
“Lupakan tentang segala hutang-hutang itu orang tua, aku senang sudah dapat menolongmu.”
Namajeni mengambil jala dan cambuk yang tergeletak di tanah lalu melemparkannya ke dalam rawa.
“Karena ini adalah senjata-senjata setan maka biarlah kembali kepada setan!” katanya.
Sebenarnya Mahesa merasa sayang dibuangnya dua senjata ampuh itu, tapi untuk melarang dia tidak
berani.
“Mahesa, melihat kepada ilmu silatmu dan kepada pedang yang kau miliki nyatalah bahwa kau bukan
murid seorang sembarangan. Siapakah nama gurumu?”
“Kalau mengenai guru, sesungguhnya aku memiliki banyak guru, orang tua. Salah satu diantaranya adalah
Si Suara Tanpa Rupa...”
“Suara Tanpa Rupa?! Pantas... pantas muridnya begini sakti! Akhirnya orang sakti itu telah memutuskan
untuk mengambil murid. Kau beruntung jadi muridnya Mahesa! Dia seorang sakti luar biasa tapi jarang
mau menampakkan diri dan karena itulah dia dijuluki Si Suara Tanpa Rupa!”
Setelah menatap paras pemuda itu seketika maka berkata pula Namajeni. “Mahesa, ketika aku berada
dalam jeratan jala dan disiksa tadi, sesungguhnya aku sudah berniat di dalam hati. Jika ada orang yang
menolongku, maka kepadanya aku akan memberikan petunjuk untuk mendapatkan sebuah senjata sakti...”
“Ah... orang tua,” ujar Mahesa. “Aku menolongmu tanpa mengharapkan pamrih apa-apa.”
“Aku tahu, tapi itu sudah menjadi niatku! Dan kau harus terima Mahesa! Aku sendiri di waktu muda pernah
berusaha untuk mendapatkan senjata itu, tapi sampai tujuh kali kucoba selalu gagal! Kau mungkin
berjodoh, Mahesa.
Cuma menyesal senjata tersebut letaknya tak bisa kuberitahukan sekarang. Jika kau mau bersabar,
datanglah setahun di muka ke sini. Aku akan tunggu kau di dekat rawa ini. Bukan aku mengecilkan arti
pedang saktimu tadi, tapi senjata yang kukatakan itu mungkin tidak akan kalah dengan senjata merahmu!”
********************
SEMBILAN
“Bukan aku mengecilkan atau meremehkan pedang merahmu itu Mahesa,” kata Namajeni pula, “Tapi nanti
akan kubuktikan sendiri kelak bahwa senjata sakti yang akan kutunjukkan tempatnya itu kepadamu tidak
akan kalah kehebatannya dengan pedangmu tersebut. Nah Mahesa, kau mau datang ke sini pada waktu
yang kujanjikan itu...?”
Mahesa Kelud berpikir-pikir seketika.
Si orang tua berkata: “Hanya dengan menunjukkan tempat senjata sakti itulah kurasa aku bisa membalas
jasamu pemuda, atau lebih tepatnya hutang nyawa...”
“Jika aku boleh tanya orang tua, mengapa kau sendiri tidak berusaha untuk memilikinya?”
Namajeni tertawa. “Aku sudah ketuaan, terlalu tua!” katanya. “Senjata-senjata sakti macam demikian harus
dimiliki pemuda gagah perkasa berhati mulia serta penolong sesama umat manusia.
“Aku yang sudah tua ini mana bisa mengembara membuat kebaikan. Paling-paling aku hanya turun
pertapaan sekali-kali saja bila didesak oleh keadaan. Selebihnya tentu aku lebih baik mengeram di tempat
kediamanku...”
“Tapi kau bisa berikan senjata itu kepada muridmu.”
“Aku cuma punya satu murid sejak muridku yang pertama hilang tak tentu rimbanya. Dan murid yang satu
tadi kau sudah saksikan sendiri manusia macam bagaimana adanya...”
“Siapakah nama muridmu yang hilang itu?” tanya Mahesa ingin tahu.
“Kusuma. Jika dia masih hidup tentu dia akan sebesarmu saat ini!” Namajeni mengangkat bahunya lalu
bertanya, “Bagaimana, kau bersedia...?”
“Baiklah Namajeni. Tahun di muka aku akan datang ke sini...”
“Bagus!” kata orang tua itu dengan hati gembira dan puas. Dia menganggukkan kepala dan memutar
tubuh.
“Tunggu sebentar, orang tua,” kata Mahesa.
“Ya, ada pertanyaanmu atau sesuatu yang kurang jelas?” tanya Namajeni.
“Oleh guruku waktu hendak turun gunung aku diberi dua buah tugas,” menerangkan Mahesa. “Tugas
pertama mencari seorang bernama Simo Gembong. Tugas selanjutnya mencari Pedang Samber Nyawa.
Mungkin kau bisa memberi sedikit keterangan...”
Namajeni memandang ke langit putih bersih di atasnya. Dia berpikir-pikir. Kemudian kepalanya yang
menengadah diturunkan kembali dan dia memandang pada pemuda yang di hadapannya.
“Tentang manusia Simo Gembong itu tak banyak yang kuketahui kecuali bahwa dia di masa mudanya
seorang doyan perempuan dan berhati kejam. Dia sakti sekali. Sampai saat ini dia menghilang belasan
tahun lewat, sebegitu jauh tak pernah kudengar adanya satu pendekarpun dalam dunia persilatan yang
berhasil atau sanggup mengalahkannya...”
“Dapatkah kau menerangkan atau menduga kira-kira di mana manusia itu kini berada?”
“Ini satu pertanyaan yang sulit untuk dijawab, Mahesa,” Sahut Namajeni. “Dia hilang lenyap begitu saja
seperti gaib, entah masih hidup entah sudah mati.”
“Sebelum dia menghilang,” kata Mahesa. “Di mana yang terakhir sekali dia terlihat?”
Namajeni mengusap rambutnya yang berwarna putih. “Kalau aku tak salah di daerah Jawa Timur sana,
tapi ini aku tidak pasti. Terangnya di tanah Jawa inilah karena daerah pengembaraannya boleh dikatakan
tidak menyeberang dari daratan Jawa. Di mana dia berada saat ini... hanya Yang Satu dapat mengetahui.”
Kata orang tua itu sambil menunjuk ke atas langit.
“Terima kasih, Namajeni. Bagaimana dengan Pedang Samber Nyawa itu?”
“Ini lagi satu pertanyaan yang sulit ku jawab secara pasti,” jawab Namajeni. Dia diam sebentar lalu
meneruskan. “Ketika aku masih kecil kuketahui orang-orang sakti di dunia persilatan sudah lama
membicarakan tentang pedang sakti tersebut.
“Kemudian pedang ini berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Siapa yang memiliki pedang tersebut
maka dia merajai, menjagoi dunia persilatan.
“Seperti gaibnya Simo Gembong, demikian pula lenyapnya Pedang Samber Nyawa. Tak satu orang pun
mengetahui kepada siapa memegang senjata itu atau di mana beradanya sekarang.”
“Jadi Pedang Samber Nyawa itu benar-benar ada, orang tua?”
“Benar.”
“Ada kemungkinan bahwa manusia Simo Gembong itu sendiri yang memilikinya dan menghilang bersama
senjata tersebut?”
“Mungkin sekali,” kata Namajeni.
“Orang tua, kau pernah dengar atau kenal dengan seorang gagah dijuluki Pendekar Budiman?” tanya
Mahesa.
Sebagaimana diketahui nama asli dari orang yang ditanyakan pemuda ini adalah Sentot Bangil, kakek
Wulansari yang sekaligus merupakan pula guru gadis itu dan guru Mahesa.
“Mengapa tidak?” sahut Namajeni. “Pendekar Budiman satu nama yang tak asing lagi dalam kalangan
persilatan. Orang gagah itu sering mengembara dan menolong manusia-manusia lemah yang kesulitan
serta tertindas. Ada apa kau tanyakan dia, Mahesa...?”
“Menurut Pendekar Budiman almarhum...”
Kulit kening Namajeni kelihatan mengernyit. Sebelum Mahesa Kelud meneruskan kalimatnya orang tua ini
sudah memotong dengan cepat. “Pendekar Budiman almarhum katamu? Jadi orang gagah itu sudah
menutup mata?”
Mahesa Kelud menganggukkan kepalanya. Lalu menuturkan tentang riwayat kematian pendekar tersebut
yaitu dibunuh oleh Suto Nyamat, Bupati Madiun.
“Keparat si Suto Nyamat itu!” maki Namajeni penuh geram. Jari-jari tangannya mengepal membentuk tinju.
Kemudian Mahesa menerangkan. “Dalam waktu yang singkat cucu Pendekar Budiman itu aku dengar
akan menuntut kematian kakeknya...”
“Itu musti!” kata Namajeni. “Manusia macam Suto Nyamat tak pantas dibiarkan hidup lebih lama, harus
segera mampus!”
“Sebelum gugurnya, Pendekar Budiman pernah menerangkan bahwa Pedang Sambar Nyawa itu
tersembunyi di satu pulau...”
“Pulau apa? Di mana?” Tanya Namajeni.
“Inilah satu hal yang dia tidak ketahui. Tapi dari keterangan orang tua, aku benar-benar yakin bahwa
pedang itu masih ada di atas bumi ini...”
Orang tua itu tersenyum.
“Kalau gurumu sudah menugaskan harus mencari pedang tersebut, kau sebenarnya harus sudah yakin
semenjak dahulu bahwa Pedang Samber Nyawa benar-benar ada!”
Mendengar kata-kata ini Mahesa Kelud jadi malu pada dirinya sendiri, pada kebodohan cara berpikirnya.
Dia menjura di hadapan Namajeni. “Terima kasih atas semua keteranganmu, orang tua. Aku minta diri
sekarang.”
“Aku juga berterima kasih. Ingat bahwa aku masih berhutang besar kepadamu, Mahesa. Karenanya
jangan lupa untuk datang ke tempat ini tahun dimuka.”
“Aku tidak akan lupa,” jawab Mahesa Kelud. Dia menjura sekali lagi lalu meninggalkan tempat itu.
Namajeni berdiri di tempatnya memperhatikan sampai Mahesa Kelud menghilang diantara rapatnya
batang-batang pepohonan dan semak belukar.
“Pemuda gagah.” Katanya dalam hati. “Kalau tak ada dia pasti aku sudah mati konyol di tangan murid
sendiri! Semoga Tuhan memberkatinya...!”
Orang tua itu memutar tubuh tapi langkahnya terhenti ketika telinganya yag tajam menangkap suara
gemerisik di samping kirinya. Ketika dia memadang dengan cepat ke samping jurusan sana, dilihatnya
sesosok tubuh menusia berpakaian putih-putih tengah lari meninggalkan semak-semak lebat tempat di
mana rupanya dia bersembunyi sebelumnya.
“Hai, siapa kau!?” tanya Namajeni berseru. Dia lari memburu. Orang yang berpakaian putih-putih
mempercepat larinya.
“Berhenti!” teriak Namajeni.
Orang itu terus lari. Melihat kepada potongan tubuhnya, meskipun dari belakang Namajeni dapat
memastikan bahwa orang tersebut adalah seorang pemuda. Disuruh berhenti tidak mau maka Namajeni
menjadi curiga dan penasaran.
Apa yang dibuat pemuda itu bersembunyi di balik semak-semak dan mengapa kemudian dia melarikan
diri. Dengan menggertakan gerahamnya, Namajeni mengeluarkan ilmu lari yang diandalkan dan mengejar.
Pemuda itu larinya cepat sekali. Sukar bagi si orang tua untuk memperdekat jaraknya. Namajeni mejadi
semakin dongkol. Larinya tambah dipercepat tapi sia-sia saja. Si pemuda rupanya memiliki ilmu lari cepat
yang lebih hebat.
Si orang tua tidak putus asa. Kelihaian pemuda itu membuat hasratnya lebih besar untuk terus mengejar.
Di satu daerah penurunan tiba-tiba dari balik batang beringin besar melompat sesosok tubuh berpakaian
putih-putih pula dan menghadang larinya si pemuda yang tengah dikejar oleh Namajeni!
Pemuda yang lari ini terkejut dan menghentikan larinya. Dia berpaling ke belakang, dilihatnya Namajeni
sudah berada didekatnya pula, jadi kini dia terjepit di tengah-tengah. Namun demikian tiada kelihatan rasa
cemas atau takut di parasnya yang masin muda remaja dan cakap itu bahkan dia tersenyum!
Adapun orang yang keluar dari balik pohon beringin dan menghadang di tengah jalan tiada lain dari pada
Mahesa Kelud adanya. Waktu dia bicara dan minta diri kepada Namajeni tadi sesungguhnya pemuda yang
bertelingan dan berperasaan tajam ini sudah mengetahui bahwa tak jauh dari sana, di balik serumpun
semak belukar lebat tengah sembunyi seorang tak dikenal dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Sesudahnya dia berlalu dari hadapan Namajeni, tak berapa jauh kemudian pemuda ini memutar larinya.
Ketika pemuda asing ini melarikan diri maka Mahesa sudah siap menghadangnya di tengah jalan!
Namajeni sendiri jadi terheran-heran melihat bahwa orang yang keluar dari balik pohon beringin itu adalah
Mahesa Kelud, pemuda yang mana telah menolongnya dan bicara dengan dia. Namun kedua mata orang
tua itu segera berputar kepada pemuda asing di hadapannya.
“Orang asing!” bentak Namajeni. “Siapa kau? Apa yang kau lakukan di balik semak-semak sana tadi?!”
Pemuda itu tak menjawab melainkan tersenyum.
Ini membuat Namajeni tambah gusar. “Jawab!” teriaknya.
“Dia pasang kuping mendengarkan pembicaraan kita, Namajeni!” ujar Mahesa Kelud.
“Ya... ya... itu pasti! Apa perlunya mendengarkan pembicaraan orang lain?!” tanya Namajeni seraya maju
satu langkah.
“Aku hanya kebetulan lewat, orang tua,” jawab pemuda itu. Suaranya halus dan merdu seperti suara
perempuan.
Mahesa Kelud meneliti pemuda ini. Kulitnya halus dan kuning, terlalu halus bagi kulit seorang laki-laki.
Parasnya cakap dan ia menggunakan saputangan besar yang diikatkan ke kepalanya. Paras dan suaranya
seperti seorang perempuan. Matanya hitam dan bercahaya.
Mahesa Kelud berpikir-pikir di mana rasanya kira-kira dia pernah berjumpa dengan manusia ini. Tapi tak
bisa diingatnya. Menurut taksiran pemuda ini berumur tak lebih dari duapuluh tahun.
“Kebetulan lewat katamu, huh?!” hardik Mahesa.
Pemuda asing itu memandang kepadanya, tersenyum sedikit lalu cepat-cepat memandang kembali
kepada Namajeni, seperti seorang yang tak sanggup beradu pandang lama-lama dengan Mahesa Kelud.
“Pemuda asing!” bentak Mahesa Kelud penasaran. “Kalau ditanya dan diajak bicara jangan celingak-
celinguk macam anak monyet baru lahir!”
Si pemuda asing anehnya tertawa geli mendengar ucapan Mahesa Kelud itu. Bahkan tertawanya pun
merdu seperti tertawanya seorang gadis! Baik Mahesa maupun Namajeni semakin penasaran.
“Apa perlu mendengarkan percakapan kami?!” tanya Mahesa.
Tanpa memandang pada Mahesa Kelud pemuda ini menjawab: “Siapa bilang aku mendengarkan
percakapan kalian! Sudah kukatakan aku hanya kebetulan lewat. Apa kalian tidak percaya?!”
“Siapa percaya pada manusia yang suka bersembunyi?!” tukas Mahesa.
“Kau memang mungkin kebetulan lewat,” ujar Namajeni dengan senyum mengejek. “Kemudian kau
kebetulan bersembunyi, lalu kebetulan memasang telinga, kebetulan mendengarkan percakapan kami.
Segalanya serba kebetulan, bukan?!”
“Terserah apapun kalian berdua akan katakan,” berkata pemuda itu. “Aku tdak bermaksud apa-apa...”
“Mengapa kau lari ketika disuruh berhenti?” potong Namajeni.
Sebenarnya sebagian dari rasa gusar dan marahnya sudah agak hilang oleh perilaku dan tutur kata yang
sopan dari pemuda berparas cakap ini. Tapi itu tidak diperlihatkannya.
“Mengapa aku lari...?” ujar pemuda itu sambil memadang kepada Namajeni. “Itu disebabkan karena kau
mengejar aku, orang tua.” Jawabnya.
“Pemuda konyol!” kata Namajeni dengan menyembunyikan rasa gelinya. “Terhadap kami berdua kau yang
masih terlalu muda jangan bicara bergurau! Mungkin ada seseorang yang menyuruh kau memata-matai
kami berdua hehh? Jawab!”
“Sama sekali tidak.”
“Kau mempunyai maksud jahat teradap kami?”
“Itu juga tidak!” jawab si pemuda.
Namajeni mulutnya kelihatan komat-kamit. “Baiklah anak muda banci...”
“Aku bukan banci!” kata pemuda itu setengah berteriak. Parasnya yang berkulit licin jadi merah sekali.
Agaknya marah sangat ketika dia dikatakan “pemuda banci”!
“Kalau kau bukan banci pasti kau akan mengaku terus terang!” ujar Mahesa Kelud.
“Apa yang harus kuakui?” kata pemuda itu pula dengan memelototkan matanya pada Mahesa Kelud, tapi
kemudian cepat-cepat memandang ke jurusan lain.
“Bahwa kau membawa suatu maksud yang tersembunyi dalam mendengarkan apa yang kami bicarakan!”
Pemuda asing itu tampaknya mulai kesal. “Sudahlah.” Katanya. “Aku tak mau bicara lebih lama dengan
kalian!” dia berpaling kepada Mahesa. “Kisanak minggirlah, jangan menghadang jalanku...”
“Eh, sudah berlaku yang bukan-bukan terhadapku dan orang tua itu kau hendak pergi begitu saja? Beri
keterangan dulu, baru kau bisa pergi dengan aman...!” kata Mahesa pula.
Pemuda itu memencongkan mulutnya sehingga parasnya jadi lucu kelihatan oleh Mahesa. “Sekali lagi aku
katakan kepada kalian berdua... aku tidak membawa maksud jahat dan tersembunyi kepada kalian. Aku
tidak mau cari urusan. Nah, beri aku jalan...!”
“Tunggu dulu!” kata Namajeni. “Kau telah berlaku tidak sopan terhadap kami dan kulihat kau mempunyai
sedikit ilmu kepandaian yang diandalkan. Mari main-main barang sejurus dua jurus!”
********************
SEPULUH
Tadi kalian katakan aku pemuda banci! Sekarang kalian hendak mengeroyok aku! Apa tidak malu?!”
“Siapa bilang kami akan mengeroyokmu?!” sahut Namajeni. “Dengar anak muda, jika kau dapat bertahan
sampai tiga jurus, kau kuijinkan meninggalkan tempat ini dengan aman!”
“Kalau tidak?” tanya si pemuda pula.
“Maka kau harus beri keterangan siapa kau, apa maksudmu bersembunyi dan mendengarkan percakapan
kami?!”
Pemuda itu tertawa mendengar ucapan Namajeni. Dia berkata: “Sudahlah orang tua, aku bukan anak kecil
lagi yang sudi diajak main-main oleh kau! Cari saja anak lain yang pantas untuk main-main dengan kau. Di
sekitar sini ada desa dan pasti ada banyak anak kecil!”
Gusarlah Namajeni mendengar olok-olok tersebut. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia melompat ke muka
dan melancarkan pukulan tangan kiri ke arah dada si pemuda.
Melihat ini si pemuda tersebut segera menghentikan langkahnya dan melompat cepat ke samping
sehingga pukulan Namajeni hanya mengenai tempat kosong!
Orang tua itu terkejut melihat serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawan.
“Jurus pertama, orang tua.” Ejek si pemuda sambil menyeringai.
Mahesa Kelud yang berdiri di dekat sana dan memperhatikan gerakan yang dibuat pemuda itu waktu
mengelak tadi segera maklum bahwa meskipun masih muda tapi orang asing tersebut memiliki ilmu silat
yang tak bisa dianggap remeh.
Namajeni menyerang lagi. Kali ini tubuhnya seperti melayang. Tangan dan kaki terpentang mengirimkan
serangan ke empat bagian tubuh yang lemah dari lawannya.
Tapi kali ini juga pemuda berkulit kuning dan berparas cakap seperti perempuan itu dengan gerakan yang
lihay sekali dapat mengelakkan serangan tersebut! Namajeni berdiri tak bergerak dengan hati penasaran.
Kedua matanya melotot memandang lawannya.
“Orang tua, ayo... mengapa berdiri mematung?! Kau masih punya kesempatan satu jurus lagi! Majulah!”
tantang pemuda ini.
Namajeni semakin penasaran. Tubuhnya berkelebat dan mengeluarkan angin bersiuran. Melihat serangan
yang ganas ini, pemuda asing itu maklum bahwa si orang tua mengeluarkan dan menyerangnya dengan
ilmu silat yang hebat.
Dengan cepat dia bergerak. Tubuhnya berkelebat. Tendangan Namajeni lewat di dekat pinggangnya.
Sambil membungkuk dan meloncat dia berhasil pula mengelakkan tinju kiri yang menjurus ke mukanya!
Muka orang tua itu kelihatan merah, bukan karena keletihan, tapi karena malu, sebab dia tidak dapat
merobohkan lawannya yang masih muda belia dan tadi dianggap enteng. Padahal dia sudah
menghabiskan tiga jurus yang dijanjikannya.
Namajeni bertolak pinggang. “Orang muda! Siapa kau sebenarnya, siapa gurumu hehh?!”
“Ini bukan saatnya untuk bertanya jawab, orang tua,” sahut si pemuda. “Ingat janjimu?!”
Bukan main mangkelnya hati Namajeni, tapi apa mau dikata, dia sudah terlanjur berjanji dan janji itu harus
ditepati. “Baik anak muda, kau boleh pergi sekarang,” katanya.
Kemudian untuk menutupi rasa malunya dia menambahkan: “Masih untung kau kuberi sedikit rasa
kasihan. Kalau saja aku berniat jahat, mungkin dalam tiga jurus tadi salah satu dari tulang-tulang tubuhmu
sudah ku buat patah.”
“Terima kasih atas kebaikan hatimu, orang tua!” kata pemuda itu dengan tertawa.
Dia memutar tubuh hendak berlalu. Tapi di hadapannya sudah berdiri Mahesa Kelud. Murid Embah
Jagatnata ini memandang tajam kepadanya.
“Eh, apa-apaan ini? Mengapa menghadang jalanku?! Minggirlah!”
Mahesa Kelud meraba dagunya. Kedua matanya masih memandang tajam membuat pemuda cakap di
depannya memutar ke jurusan lain.
“Tunggu!” kata Mahesa
“Apa maumu?!”
“Sebelum kau pergi kau harus melayani aku sejurus dua karena terhadapku kau juga telah berlaku kurang
ajar!”
“Dengar saudara,” kata pemuda berparas cakap. “Orang tua itu telah membuat perjanjian bahwa aku bisa
pergi dengan aman bila dapat bertahan tiga jurus! Nyatanya dia memang tak sanggup merobohkan aku. Ini
kau cari urusan baru! Jika kau tidak senang kau bisa cari urusan dan baku jotos dengan orang tua itu!”
Mahesa melangkah cepat ketika pemuda itu hendak berlalu, tapi apa yang menjadi niatnya dibatalkan
ketika melihatnya Namajeni memberi isyarat. Pemuda berbaju putih sesaat kemudian lenyap dari tempat
tersebut Mahesa Kelud dan Namajeni saling pandang.
“Pemuda aneh, tapi berilmu tinggi!” kata Namajeni seakan-akan pada dirinya sendiri. “Dilihat pada
parasnya yang cakap itu memang tak bisa dipercaya kalau dia adalah seorang yang berhati busuk atau
bermaksud jahat dengan kita. Tapi entahlah...” Namajeni mengangkat bahu.
“Aku sendiri rasa-rasa pernah melihat pemuda itu sebelumnya,” menerangkan Mahesa Kelud. “Tapi lupa
entah di mana...!”
Untuk kedua kalinya Mahesa dan Namajeni saling menjura dan berpisah. Mahesa Kelud meneruskan
perjalanannya sedangkan Namajeni kembali ke pertapaannya…..
********************
Sebelumnya telah dituturkan bagaimana Jaliteng, kakak seperguruannya Wulasari, murid Si Cakar Setan,
setelah kepepet dan hampir menemui ajalnya di tangan Sumo Parereg yang memang berotak miring
tengah mengamuk setelah melihat kematian muridnya yaitu Warok Kate. Sebagaimana diketahui Warok
Kate mati dibunuh oleh Wulansari di tempat kediamannya, sebagai pelepasan dendam atas dibunuhnya
guru gadis ini (Si Cakar Setan) oleh Warok Kate.
Sepanjang jalan, apa dan siapa saja yang ditemui Sumo Paregreg diserangnya. Pohon-pohon dipukul dan
ditendangnya hingga tumbang. Setiap orang yang dilihat diserangnya lalu dibunuh. Korban bertebaran di
mana-mana.
Saat itu datanglah Jaliteng. Suling Maut alias Sumo Parereg menuduh bahwa pemuda inilah yang telah
membunuh muridnya
Tanpa banyak tanya lagi dia menyerang Jaliteng. Meski murid Si Cakar Setan bukan seorang berilmu
rendah namun menghadapi Sumo Paregreg yang ganas dan berilmu tinggi maka dalam beberapa jurus
saja dia sudah kena kepepet bahkan pasti akan segera meregang nyawa!
Disaat yang kritis menegangkan itulah datang pertolongan yang tak pernah diduga oleh Jaliteng. Seorang
nenek-nenek muncul di tempat tersebut. Mukanya kuning bergurat-gurat coklat seperti harimau, tubuhnya
bongkok dan mengenakan jubah biru gelap!
Jaliteng tak pernah sebelumnya melihat atau mengenal perempuan tua aneh ini. Dan dia jadi terheran-
heran ketika menyaksikan bagaimana senjata tongkat besi di tangan si nenek menolongnya dan
menyerang Sumo Paregreg. Diam-diam Jaliteng merasa sangat bersyukur dan berterima kasih atas
bantuan itu.
Jelas dilihat oleh pemuda ini bagaimana terkejutnya Sumo Paregreg waktu meihat si nenek. Ternyata
kemudian nenek-nenek ini adalah tokoh silat pantai utara yang dijuluki Harimau Betina, sesuai dengan
parasnya yang keriputan dan coreng-moreng kuning coklat seperti kepala seekor harimau!
Rasa takut Sumo Paregreg memang beralasan karena sudah bertempur beberapa jurus saja orang sakti
berotak miring itu segera terdesak bahkan senjatanya yaitu seruling hitam yang terbuat dari besi, dibikin
patah hancur oleh tongkat sakti Si Harimau Betina! Dia bicara-bicara dan saling bentak antara kedua orang
tersebut Jaliteng dapat mengetahui bahwa rupanya sebelum itu antara kedua orang sakti tersebut
memang sudah ada perselisihan yang belum terselesaikan.
Karena maklum bahwa dia tidak dapat melayani Si Harimau Betina maka sebelum dirinya mendapat
celaka lebih jauh, cepat-cepat Sumo Paregreg mengambil langkah seribu alias melarikan diri. Jaliteng
yang berada dalam keadaan antara ingat dan tiada didukung oleh Si Harimau Betina dan dilarikannya ke
pertapaan yang terletak di satu goa di Pantai Utara…..
********************
Di tengah jalan, untuk mengurangi rasa sakit yang diderita Jaliteng, nenek sakti itu telah mengobati
seperlunya dan menotok tubuhnya. Sesampainya di pertapaannya beberapa hari kemudian, Si Harimau
Betina menyandarkan Jaliteng ke dinding goa lalu melepaskan totokan di tubuh pemuda tersebut.
Perlahan-lahan Jaliteng membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa sakit dan lemah. Kepalanya tidak
bergerak, hanya dua bola matanya memandang berputar.
Dia tidak tahu di mana dia berada saat itu. Kemudian pandangannya membentur tubuh seorang nenek
yang duduk di atas sebuah batu hitam di pojok kiri.
“Di mana aku...? nenek... kau siapa?”
Harimau Betina menggerakkan tubuhnya sedikit. “Jangan banyak tanya dulu dan jangan bicara. Tubuhmu
masih lemah dan sakit...” katanya.
Kemudian dia berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Ketika dia kembali di tangan kanannya ada sebuah
cangkir tanah liat berisi air hitam pekat
Separoh dari air aneh itu dicipratkan ke seluruh bagian tubuh Jaliteng, terutama tempat-tempat yang
terluka hebat oleh pukulan-pukulan Sumo Paregreg tempo hari. Sisanya diberikan kepada Jaliteng untuk
diminum.
Pemuda ini yang tahu bahwa nenek bermuka seram itu bukan seorang jahat tapi tengah menolongnya,
tanpa ragu-ragu segera meminum air di dalam cangkir. Pada tegukan terakhir Jaliteng merasakan
tubuhnya menjadi segar.
Kemudian dirasakannya kedua kelopak matanya berat. Dia mengantuk hingga menguap sampai akhirnya
di luar kesadarannya, pemuda itu tertidur pulas.
Walau dia bangun, hari sudah malam. Hawa dalam goa agak dingin. Si nenek tak ada di tempat itu.
Jaliteng merasa kesehatannya sudah pulih kembali, cuma tubuhnya masih terasa lemah. Dia berdiri.
Pada saat inilah Si Harimau Betina muncul di ruangan itu. Jaliteng yang tahu peradatan, tahu dengan
siapa dia berhadapan dan tahu pula bahwa nenek-nenek bermuka kuning bergaris-garis coklat itulah yang
telah menolong serta menyelamatkan nyawanya, segera menjura.
Nenek itu tersenyum meski senyumnya ini tidak dapat memupus guratan-guratan mukanya yang seram.
“Kau sudah baik?”
Jaliteng mengangguk. “Obatmu manjur sekali nenek, terima kasih. Kalau saya boleh tanya, siapakah
gerangan nenek yang baik hati ini...?”
Harimau Betina tidak segera menjawab. Dia memberi isyarat agar si pemuda duduk di lantai goa sedang
dia sendiri duduk bersila di atas batu licin dan menyandarkan tongkat besinya ke dinding di sampingnya.
“Pemuda, kau punya nama siapa?”
“Jaliteng...”
“Kau murid Si Cakar Setan hehh...?”
Pemuda itu terkejut mendapatkan pertanyaan ini. “Betul!” jawabnya, “Darimana nenek tahu...?”
Si Harimau Betina menggerak-gerakkan kaki kirinya ke lantai. Meski gerakan ini perlahan sekali dan
dilakukan oleh kaki yang keriput serta kecil kurus namun Jaliteng dapat merasakan bagaimana lantai serta
dinding goa dia duduk bersandar turut bergerak oleh gerakan-gerakan kaki tersebut!
Jaliteng tidak heran melihat ini. Dia sudah saksikan sendiri sebelumnya bagaimana perempuan tua
tersebut membuat Si Seruling Maut kalang kabut melarikan diri, padahal dia sendiri (Jaliteng) tidak
sanggup menghadapi orang sakti berotak miring itu!
Si nenek mengusap mukanya yang kuning belang coklat. “Aku sudah duga...” katanya. “Bahwa kau murid
Si Cakar Setan. Gurumu adalah sobat baikku. Beberapa bulan yang lewat aku mendapat kabar angin
bahwa dia dibunuh orang. Betul...?”
“Betul sekali, nenek,” jawab Jaliteng.
“Aku bermaksud untuk datang ke tempat kediamannya dan sekaligus mencari Sumo Paregreg yang
membikin urusan padaku. Tahu-tahu di tengah jalan aku bertemu dengan manusia itu dan gilanya dia
tengah hendak menghabisi nyawamu!”
“Kalau saja nenek tidak datang saat itu, pasti saya sudah meregang nyawa. Saya menghaturkan ribuan
terima kasih, nenek.”
Harimau Betina tertawa. “Ajal di tangan Tuhan, Jaliteng,” katanya. “Sudahkah kau ketahui dan kau cari
siapa manusia yang telah membunuh gurumu itu?”
“Saya mendapatkan keterangan dan juga bukti-bukti bahwa guru saya dibunuh oleh seorang pemuda
bernama Mahesa Kelud.” Jawab Jaliteng. Air mukanya berubah kaku sedang tangannya dikepalkan.
“Ketika nenek menolong saya, saya tengah dalam pengembaraan mencari manusia keparat itu dan juga
sekaligus mencari adik seperguruan saya yaitu Wulansari...”
Si Harimau Betina mengangguk-angguk kepalanya. “Kau harus cari sampai dapat pembunuh gurumu itu.
Kalau tidak percuma kau hidup dan percuma jadi murid sahabatku!”
“Memang itu sudah menjadi tekad saya, nenek.”
“Tapi kau harus ingat, Jaliteng. Kalau itu pembunuh berhasil menewaskan gurumu, ini suatu tanda bahwa
dia seorang yang berilmu tinggi. Sulit bagimu untuk membalas sakit hati dan dendam kesumat...”
“Itu saya sadari sekali, nenek. Mohon petunjukmu...” kata Jaliteng pula.
“Petunjuk... ya petunjuk... tapi tidak hanya cukup petunjuk belaka! Kau harus belajar lebih banyak ilmu silat
sehingga pada suatu ketika kau benar-benar sudah sanggup untuk menghadapi pembunuh gurumu itu!
Kau harus tinggal di sini bersamaku, harus jadi muridku!”
Betapa gembiranya Jaliteng mendengar kata-kata tersebut. Dia maklum si nenek bukan manusia
sembarangan tapi seorang yang berilmu kepandaian sangat tinggi, lebih tinggi dari gurunya almarhum!
Karenanya buru-buru pemuda ini berlutut di hadapan Si Harimau Betina.
Demikianlah, mulai hari itu Jaliteng diangkat menjadi murid oleh si nenek.
>>>>> T A M A T <<<<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar