SATU
SELAMA menjadi pembantu Raden Mas
Ekawira sudah beberapa kali Mahesa Kelud ikut
bersama Kepala Pengawal Istana ini menumpas
pasukan-pasukan Pajajaran yang membuat keo-
naran di sekitar perbatasan. Mahesa menunjuk-
kan kehebatan yang mengagumkan. Namanya se-
gera dikenal luas di kalangan prajurit Banten. Bo-
leh dikatakan dalam setiap peperangan di perba-
tasan dialah yang menjadi titik terang kemenan-
gan. Pihak Pajajaran bila mendengar bahwa Ma-
hesa Kelud turut ambil bagian dalam satu medan
pertempuran, pagi-pagi segera mengundurkan di-
ri. Raden Mas Ekawira semakin senang terhadap
pemuda digjaya ini. Namun demikian sejak bebe-
rapa waktu belakangan ini terjadi hal-hal yang ti-
dak dapat dimengerti oleh Raden Mas Ekawira
dan Mahesa Kelud. Berkali-kali mereka mendapat
kabar bahwa di satu desa di perbatasan musuh
tengah menyerang ketika mereka datang ke sana
ternyata tidak terjadi apa-apa. Tapi pada waktu
yang bersamaan desa yang lain dihancurkan. Ke-
tika mereka datang ke desa itu tentu saja sudah
terlambat. Bila malam tiba, pos-pos pertahanan
rahasia pihak Banten yang biasanya sulit diketa-
hui musuh tahu-tahu diserang dan dibikin sama
rata dengan tanah! Kerugian- kerugian dan keka-
lahan-kekalahan yang tak dimengerti ini berjalan
terus sedang Kepala Bala tentara Banten, Raden
Mas Tirta, agaknya tidak memperdulikan peristi-
wa itu dan segala pertanggungan jawab diserah-
kan kepada Raden Mas Ekawira, padahal sebe-
narnya wewenang dan tugas Ekawira hanya seki-
tar istana dan paling luas daerah dalam kota. Un-
tuk maju ke medan pertempuran pasukan harus
dipimpin langsung oleh Raden Mas Tirta. Namun
sebagai orang bawahan bila diberi tugas oleh ata-
san Raden Mas Ekawira tak pernah menolak. Apa
lagi mengingat dia mempunyai seorang pembantu
yang hebat dan dapat diandalkan yaitu Mahesa
Kelud. Namun demikian kekalahan-kekalahan be-
lakangan ini benar-benar tidak dimengertinya.
Pada suatu hari mereka baru saja menum-
pas satu pasukan besar musuh yang terdiri dari
lima ratus orang di tapal batas sebelah selatan.
Dalam perjalanan kembali ke kotaraja mereka
berpapasan dengan dua orang utusan. Yang satu
utusan Sultan Banten yang membawa perintah
agar Raden Mas Ekawira datang menghadap saat
itu juga. Sedang utusan kedua menerangkan
bahwa musuh telah menyerang lagi tapal batas
sebelah tenggara.
Raden Mas Ekawira berpaling pada Mahesa
Kelud. "Mahesa, kau pimpinlah pasukan ke dae-
rah yang diserang itu. Aku sendiri dengan bebe-
rapa prajurit akan kembali ke kotaraja."
Maka berpisahlah kedua orang itu di sana.
Mahesa Kelud membawa dua ratus prajurit me-
nuju ke tenggara sedang Raden Mas Ekawira me-
nuju ke kotaraja langsung menghadap Sultan di
istana. Entah mengapa dalam perjalanan kembali
ini Raden Mas Ekawira merasa hatinya berdebar
dan tidak enak.
Ketika dia memasuki istana, hatinya sema-
kin tidak enak. Beberapa orang perwira dan peja-
bat tinggi kerajaan memandang kepadanya den-
gan pandangan tidak enak, bahkan ada pula yang
bermuka masam atau bermimik mengejek. Sultan
sendiri air mukanya membayangkan kemarahan.
Raden Mas Ekawira segera menjura memberi
hormat. Kepala Pengawal Istana ini membuka
mulut hendak bertanya tapi tidak jadi karena saat
itu lebih dahulu Sultan Hasanuddin sudah berka-
ta dengan suara lantang.
"Manusia cecunguk! Manusia ular kepala
dua! Dasar manusia turunan rendah, sudah dibe-
ri pangkat dan kedudukan tinggi masih saja hen-
dak berkhianat!"
Bukan main terkejutnya Raden Mas Ekawi-
ra mendengar makian ini sehingga kalau saat itu
menyambar petir di depan hidungnya tidaklah
sampai sedemikian rupa terkejutnya Kepala Pen-
gawal Istana ini!
"Sultan Yang Mulia," kata Raden Mas Eka-
wira dengan berusaha menguasai perasaannya
"Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud
ucapan Sultan itu."
"Kau hendak berkura-kura dalam perahu,
hendak pura-pura tidak tahu huh?! Rahasiamu
tuduh terbongkar, kedokmu sudah terbuka! Kau
adalah pengkhianat besar! Musuh dalam selimut.
Perananmu yang menjadi kaki tangan Prabu Se-
dah selama ini sudah kami ketahui!"
"Sultan Yang Mulia, ini benar-benar suatu
hal yang tidak terduga. Sejak Sultan memberi
pangkat yang tinggi kepada saya, saya rasa tidak
secuil pengkhianatan pun pernah saya lakukan
apalagi sampai menjadi kaki tangan Raja Pajaja-
ran berkhianat terhadap Sultan dan kerajaan.
Sultan tahu sendiri bahwa sayalah yang berkali-
kali memimpin pasukan Banten. Ini semua atas
kepercayaan Sultan sendiri. Berkali-kali saya me-
numpas musuh. Tahu-tahu sekarang saya ditu-
duh pengkhianat besar, dicap musuh dalam seli-
mut, dikatakan ular kepala dua! Apakah...."
"Sudah tutup mulutmu, manusia bunglon!"
bentak Sultan Banten. "Kau berusaha menyang-
kal tapi apakah kau bisa menolak bukti ini?!"
Bersamaan dengan itu Sultan Hasanuddin me-
lemparkan segulung kertas yang ujungnya be-
rumbai-rumbai ke hadapan Raden Mas Ekawira.
Ketika Raden Mas Ekawira mengambil gulungan
kertas itu maka Sultan membentak lagi: "Bacalah
olehmu! Aku ingin tahu apa yang kau akan kata-
kan nanti!"
Dengan tangan gemetar Raden Mas Ekawi-
ra membuka gulungan kertas yang ternyata ada-
lah sepucuk surat. Betapa terkejut dan membela-
laknya kedua mata laki-laki ini ketika membaca
surat yang ternyata ditandatangani oleh Prabu
Sedah, Raja Pajajaran dan ditujukan kepadanya!
Adimas R.M. Ekawira,
Peranan dan bantuanmu selama ini kepada
Pajajaran tidak mengecewakan dan merupakan
jasa yang sangat besar. Seperti yang kau terang-
kan dalam suratmu yang terakhir bahwa pasukan
Banten semakin lama semakin lemah, maka kuki-
ra sudah saatnya bagi kita untuk melakukan hal
sebagaimana yang sudah kita rencanakan.
Usahakan untuk membawa pasukan Ban-
ten sebanyak-banyaknya dan menyeberang ke pi-
hak kami. Kita akan melakukan penyerangan me-
nentukan bersama-sama. Percayalah kita pasti
berhasil. Banten akan sama rata dengan tanah.
Mengenai keinginanmu untuk menjadi Patih Paja-
jaran dan memegang kuasa di Banten, tak usah
khawatir. Kami dapat menyetujuinya. Menunggu
kabar.
tertanda,
PRABU SEDAH
Raja Pajajaran
Berpercikan keringat dingin di seluruh tu-
buh Raden Mas Ekawira. Jari-jari tangannya ge-
metar sehingga surat itu terlepas dan jatuh ke
lantai. Lututnya goyah dan hatinya seperti diba-
kar. Darahnya mendidih. Tulang rahangnya ber-
tonjolan sedang gerahamnya bergemeletukan.
Kemudian meledaklah suaranya: "Fitnah! Sultan,
ini adalah fitnah busuk belaka! Demi Tuhan seru
sekalian alam, saya berani bersumpah Sultan,
bahwa saya sama sekali tidak mempunyai hu-
bungan apapun dengan Prabu Sedah dari Pajaja-
ran! Ini pasti fitnah kotor, fitnah busuk belaka!"
Sultan tertawa bergelak, air mukanya
membayangkan keseraman. "Kau kira kami bodoh
huh?! Tanda tangan itu adalah tanda tangan asli
Prabu Sedah sedang surat itu ditujukan kepada-
mu! Tak usah menyangkal karena sama saja kau
seperti orang gila yang meminta tanduk kepada
kucing!" Sultan Banten melambaikan tangannya
kepada para pengawal: "Penjarakan dia!" perin-
tahnya.
Lemaslah sekujur tubuh Raden Mas Eka-
wira. "Sultan saya...."
"Tutup mulut!" hardik Sultan. "Mulai hari
ini kau dipecat dari jabatanmu! Gelar Raden
Masmu tidak berhak kau pakai lagi! Dan kalian
para pengawal, jangan lupa untuk menukar pa-
kaiannya dengan pakaian biasa! Dia tidak pantas
lagi mengenakan pakaian kebesaran itu! Dia
pengkhianat busuk!"
Sesudah Ekawira dibawa ke penjara maka
atas kehendak Sultan saat itu juga diadakan si-
dang darurat. Ketika sidang hampir selesai maka
berkatalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara
Banten. "Sultan sepanjang pengetahuan saya,
Ekawira pengkhianat itu mempunyai seorang
pembantu bernama Mahesa Kelud. Kalau Ekawira
menjadi pengkhianat tentu pembantunya demi-
kian pula. Dan ketahuilah Sultan, pembantunya
ini entah datang dari mana dan diambilnya begitu
saja, mungkin dia adalah mata-mata Pajajaran
yang telah menghasut Ekawira sehingga sudah
barang tentu dia lebih berbahaya daripada Ekawi-
ra sendiri!"
Berapi-api kedua mata Sultan Banten
mendengar keterangan ini. "Raden Mas Tirta. Se-
bagai Kepala Balatentara Banten kuperintahkan
kepadamu untuk menangkap manusia keparat
itu! Dimana dia sekarang?!"
"Menurut laporan di tapal batas sebelah
tenggara Sultan. Tengah memimpin sekelompok
pasukan."
"Cepat kau pergi ke sana dan tangkap dia!
Tarik mundur pasukan kita!"
"Siap, Sultan," jawab Raden Mas Tirta. Dia
menjura dan berlalu.
DUA
MAHESA KELUD tengah membawa pasu-
kan kembali ke kotaraja setelah menumpas mu-
suh di bagian tenggara perbatasan ketika serom-
bongan pasukan dibawah pimpinan Raden Mas
Tirta muncul di hadapannya. Mahesa segera me-
narik tali kekang kuda dan menjura kepada Kepa-
la Balatentara Banten itu dan bertanya "Raden
Mas Tirta, mau kemanakah?!"
Jawaban Raden Mas Tirta adalah satu ben-
takan kasar. "Pengkhianat! Atas perintah Sultan
kau kami tangkap sekarang juga! Pengawal, lucuti
senjatanya!"
Kedua mata Mahesa Kelud membelalak be-
sar. Prajurit-prajurit yang di belakangnya saling
berpandangan dan terheran. Beberapa pengawal
segera melucuti senjata Mahesa Kelud yaitu be-
rupa sebuah pedang yang tergantung di sisi ki-
rinya. Pedang ini adalah pedang biasa yang dibe-
rikan oleh Ekawira kepadanya. Pedang pemberian
gurunya si Suara Tanpa Rupa disembunyikannya
baik-baik di balik punggung. Tanpa mengacuhkan
pengawal yang melucuti senjatanya itu Mahesa
bertanya, "Raden Mas Tirta apa agaknya yang te-
lah terjadi? Mana kakang Ekawira?!"
"Sudah tutup mulutmu Mahesa! Bangsat
yang kau tanyakan itu sudah diseret ke dalam
penjara dan kau kaki tangannya akan segera me-
nyusul!" Jawab Raden Mas Tirta.
Tak mengerti Mahesa mengapa dia dikata-
kan pengkhianat padahal barusan saja dia habis
menghancurkan dan mengusir pasukan musuh
yang menyusup dan mengacau di perbatasan!
Dan yang lebih membuat dia tidak enak lagi ialah
keterangan Raden Mas Tirta bahwa Raden Ekawi-
ra sudah ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara
dan dia akan segera pula menyusul. Saat itu mau
saja dia mengamuk karena geramnya, tapi sadar
bahwa dia tidak pernah membuat kesalahan ter-
hadap kerajaan apalagi berkhianat, maka tidak
seharusnya dia melakukan itu. Buat apa melawan
kalau dia adalah seorang yang benar dan jujur?
Jika dia melawan hanya akan memberatkan tu-
duhan yang bukan-bukan saja kepadanya. Dis-
amping itu Mahesa Kelud diam-diam memaklumi
bahwa telah terjadi ketidak beresan di istana, di-
rinya dan diri Raden Mas Ekawira telah difitnah
oleh seseorang. Entah musuh dari luar entah dari
kalangan dalam sendiri!
Demikianlah, tanpa banyak bicara lagi Ma-
hesa Kelud menurut dan dia digiring ke istana
dengan pengawalan yang sangat ketat sekali ka-
rena Raden Mas Tirta khawatir pemuda itu akan
melarikan diri di tengah jalan.
Di hadapan Sultan, Mahesa Kelud menju-
ra. "Sultan, kesalahan apakah yang telah aku
perbuat sampai aku dituduh pengkhianat dan
hendak dipenjarakan?!"
"Kau manusia rendah tak usah banyak
tanya. Jika tuanmu seorang pengkhianat, kau se-
bagai hamba sahayanya tentu sama saja! Pen-
gawal, bawa dia ke penjara!" seru Sultan Banten
memerintah.
"Sultan, sebaiknya...."
"Pengawal!" teriak Sultan memotong kata-
kata Mahesa Kelud. Empat orang pengawal ber-
senjatakan tombak kemudian datang untuk
membawa Mahesa Kelud. Tangan-tangan yang
kuat memegang lengannya. Namun ketika hendak
dibawa betapa terkejutnya keempat pengawal itu
karena tubuh si pemuda tak ubah laksana tiang
besar bangunan istana yang tidak bisa digeser ba-
rang sedikitpun! Tanpa mengacuhkan keterkeju
tan keempat pengawal itu Mahesa berkata kepada
Sultan Banten.
"Sultan, jika kau tuduh aku dan Raden
Mas Ekawira sebagai pengkhianat, demi Tuhan
aku bersumpah bahwa kami tidak pernah mela-
kukan pengkhianatan macam apapun! Kuharap
Sultan suka melepaskan Raden Mas Ekawira dan
mengusut perkara ini kembali. Aku tak ingin me-
lakukan kekerasan, tapi bilamana Sultan tidak
mau mempercayai kata-kata saya yang jujur ini,
saya terpaksa melakukannya...!"
"Lihat! Dasar manusia berbudi rendah! Bi-
caranya pun kurang ajar dan menantang!" seru
satu suara dari samping. Tanpa menoleh Mahesa
Kelud tahu bahwa yang berkata itu adalah Raden
Mas Tirta.
Sultan sendiri tidak mengacuhkan ucapan
Mahesa Kelud tadi malahan membentak kepada
para pengawal: "Seret dia, lekas!"
Untuk kedua kalinya keempat pengawal itu
menarik lengan si pemuda tapi tetap saja tubuh
Mahesa Kelud tidak bergerak barang sedikitpun.
Sultan mulai merasa ada yang tidak beres demi-
kian juga Patih Sumapraja. Dilain pihak Raden
Mas Tirta memaklumi bahwa Mahesa Kelud ten-
gah memperlihatkan satu kesaktiannya.
"Sultan," kata Mahesa Kelud. "Jangan sa-
lahkan aku kalau saat ini terpaksa harus mela-
kukan kekerasan!" Pemuda ini membentak.
Keempat pengawal yang berdiri di kiri kanannya
menjerit dan mental jauh! Terguling di lantai!
Raden Mas Tirta, Sultan dan Patih terkejut
bukan main. "Keparat! Kau berani melawan Sul-
tan? Rupanya kau sudah bosan hidup manusia
rendah! Rasakanlah!" damprat Raden Mas Tirta.
Dihunusnya keris pusakanya yang berkeluk tujuh
dan dengan senjata itu dia menyerang Mahesa
Kelud. Serentak dengan gerakan Kepala Balaten-
tara Banten ini maka beberapa hulubalang Sultan
yang berkepandaian silat kelas utama segera me-
nyerang pula! Mahesa Kelud membentak lagi. Tu-
buhnya berkelebat. Raden Mas Tirta mengelua-
rkan seruan tertahan. Lengan kanannya yang
memegang keris tergetar hebat, bahkan senja-
tanya hampir saja terlepas ketika satu pukulan
dahsyat menghantam lengannya! Tiga orang hu-
lubalang Sultan melompat mundur sedang dua
orang lainnya sudah roboh melingkar pingsan di
lantai! Sungguh hebat gerakan "air bah membobol
tanggul baja" yang telah dilakukan oleh Mahesa
Kelud tadi sehingga dalam satu gebrakan saja dia
berhasil membuat pengurungnya berantakan! Se-
belum semua orang habis dari rasa terkejut me-
reka maka tubuh Mahesa Kelud sudah lenyap!
"Raden Mas Tirta! Kerahkan pasukan! Cari
dan tangkap manusia keparat itu!" perintah Sul-
tan.
Raden Mas Tirta memasukkan kerisnya ke
dalam sarung kembali. Dia baru menyadari kalau
lengannya yang tadi terpukul kini dilihatnya
bengkak dan berwarna merah membiru!
Kemanakah larinya Mahesa Kelud sehingga
dalam sekejapan mata saja pemuda ini hilang le-
nyap seperti gaib? Sesungguhnya dia tidak pergi
jauh. Begitu berhasil merobohkan para penge-
royoknya, pemuda ini melompat lewat jendela. Se-
tibanya di halaman samping istana dia terus hen-
dak melompati tembok tinggi tapi mendadak dia
teringat kepada Raden Mas Ekawira yang telah
dipenjarakan. Serta merta pemuda ini membatal-
kan niatnya. Kedua kakinya menjejak tanah dan
laksana seekor burung tubuhnya melayang ke
atas wuwungan atap istana lalu bersembunyi dis-
ini. Dari atas wuwungan dapat dilihatnya bagai-
mana di bawah sana terjadi kesibukan-
kesibukan. Puluhan pengawal dikumpulkan. Ke-
mudian kelihatan Raden Mas Tirta menunggangi
kuda putih menuju ke Timur diikuti kira-kira li-
ma puluh prajurit pengawal bersenjata lengkap
yang juga menunggangi kuda. Mahesa tersenyum.
Pemuda ini sudah maklum kemana tujuan orang-
orang itu. Tak lain ialah tempat kediaman Raden
Mas Ekawira karena menyangka bahwa Mahesa
Kelud telah lari menuju ke sana! Kemudian terli-
hat pula beberapa kelompok pasukan meninggal-
kan istana, memencar ke delapan penjuru.
Inilah saatnya bagi Mahesa untuk turun
dari wuwungan itu. Kebetulan di bagian belakang
dilihatnya seorang pengawal berdiri dengan tom-
bak di tangan. Mahesa berlari di atas wuwungan
istana dan melompat turun. Sebelum pengawal
tadi habis terkejutnya ketika melihat sesosok tu-
buh seperti burung saja layaknya melayang turun
dari atas atap istana, tahu-tahu rambutnya su-
dah dijambak orang!
"Prajurit! Kalau kau tidak mau mati konyol
jangan berteriak! Beritahu dimana Raden Mas
Ekawira dipenjarakan, cepat!" kata Mahesa Kelud.
"Aduh... aku... kau siapa? Heh....?!"
Mahesa menampar mulut prajurit itu sam-
pai berdarah. "Kau mau terangkan atau tidak?!"
Prajurit itu merintih kesakitan tapi menja-
wab juga dengan ketakutan. "Ikuti lorong itu..."
katanya seraya menunjuk ke sebuah gang di ba-
gian belakang istana. "Membelok ke kiri, lalu ke
kanan. Itulah penjara dimana Raden...." Mahesa
tak perlu menunggu sampai prajurit ini mengak-
hiri keterangannya. Dengan dua jari tangan ki-
rinya ditotoknya pangkal leher si prajurit sehingga
orang ini menjadi berdiri kaku tak bergerak seper-
ti patung. Dia berlari cepat menuju ke mulut
gang. Tapi dari dalam gang mendadak muncul
dua orang pengawal yang sedang meronda. Pen-
gawal-pengawal ini kenal baik dengan Mahesa Ke-
lud dan tahu bahwa dia adalah pembantu Raden
Mas Ekawira yang sekarang dipenjara. Tapi meli-
hat sikap si pemuda saat itu, kedua pengawal itu
menjadi curiga.
"Saudara, kau mau kemanakah?!" tanya
salah seorang dari mereka.
"Sobat, kalian dengarlah..." kata Mahesa
dan tahu-tahu tubuhnya melompat cepat maka
kedua pengawal itupun menjadi patung-patung
hidup karena mereka telah kena ditotok dengan
lihay kali oleh si pemuda. Mahesa membelok ke
kiri, lalu di sebelah sana membelok lagi ke kanan
dan terlihatlah deretan-deretan bangunan ber-
dinding tebal yang bagian mukanya diberi jeruji-
jeruji besi sebesar lengan. Di hadapan salah satu
bangunan itu kelihatan berdiri dua orang pen-
gawal. Mahesa berlari menuju ke sana karena dia
yakin disinilah Raden Mas Ekawira ditahan.
Pengawal-pengawal itu sedang memalang-
kan tombak mereka satu sama lain sedang tan-
gan yang lain siap mencabut pedang. "Mahesa Ke-
lud, kau mau apa ke sini?!" Agaknya keduanya
belum tahu akan kehebohan yang terjadi di ista-
na.
"Raden Mas Ekawira ditawan di sini?!"
tanya Mahesa. Dia melangkah lebih dekat. "Be-
nar. Ada apa?"
"Kalau begitu kalian minggirlah!" Pemuda
itu menggerakkan kedua lengannya dan kedua
pengawal terpelanting roboh ke samping, tergul-
ing di lantai gang dan pingsan!
"Mahesa, kau datang!" terdengar seruan
dari dalam penjara dan Raden Mas Ekawira me-
munculkan diri di balik jeruji-jeruji besi. Tanpa
menunggu lebih lama, dengan mempergunakan
aji "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam je-
ruji-jeruji besi penjara sehingga bobol dan jeruji
itu patah berantakan. Saking terkejutnya Raden
Mas Eka sampai berdiri menganga dan membela-
lak, tak percaya ada pukulan tangan yang demi-
kian hebatnya. "Dimas...."
"Kakang, lekaslah sebelum pengawal-
pengawal lainnya mengetahui."
Karena terkejut dan tidak percaya itu, Ra-
den Mas Ekawira hampir lupa kalau saat itu se-
benarnya dia berada dalam penjara. Mendengar
kata-kata Mahesa Kelud tadi baru dia sadar lalu
cepat-cepat menyeruak di antara patahan jeruji-
jeruji besi. Sementara di bagian depan istana dan
di dalam istana terjadi kesibukan-kesibukan ma-
ka dengan mudah Mahesa serta Ekawira melari-
kan diri dengan melompat tembok belakang ista-
na. Mereka mengambil jalan memutar dan mele-
wati bagian kota yang masih ditumbuhi oleh po-
hon-pohon rapat serta semak belukar lebat. Me-
reka sengaja mengambil jalan ini agar tidak ber-
papasan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang
tengah mencari-cari mereka sehingga tidak perlu
membuat urusan.
Sambil lari Mahesa Kelud berkata: "Gila
sekali tindakan Sultan! Apakah buta matanya se-
hingga tidak tahu lagi siapa kita ini adanya? Kita
berdua dicap pengkhianat, padahal beberapa
waktu yang lalu, belum lagi ada setengah hari ki-
ta bersama-sama telah menumpas musuh-musuh
Kerajaan!"
"Fitnah adimas! Fitnah! Pasti ada yang
memfitnah kita. Kalau tidak Sultan tidak akan
bertindak sebodoh itu!" sahut Ekawira yang saat
itu hanya mengenakan pakaian sederhana saja
karena sebelum dijebloskan ke penjara sebagai-
mana yang telah diperintahkan oleh Sultan, pakaian kebesarannya harus ditukar terlebih dahu-
lu!
"Kakang Ekawira, apakah kau bisa mendu-
ga siapa adanya manusia biang racun yang men-
jadi tukang fitnah itu?"
"Ada beberapa orang yang kucurigai. Tapi
dugaanku berat pada...."
Ekawira tidak meneruskan kata-katanya
karena melihat Mahesa Kelud yang berlari di se-
belah mukanya melambaikan tangan memberi
isyarat lalu menghentikan larinya.
"Ada apa, dimas?" tanya Ekawira berbisik.
"Dengar baik-baik, ada suara orang saling
bentak," balas Mahesa Kelud dengan berbisik pu-
la.
Kedua orang itu melangkah ke arah da-
tangnya suara lalu menyeruak di balik semak-
semak. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika
melihat Raden Mas Tirta bersama seorang pemu-
da tampan tengah mengeroyok seorang laki-laki
berpakaian sederhana yang saat itu sudah men-
dapat luka di beberapa bagian tubuhnya akibat
tusukan-tusukan keris Raden Mas Tirta.
Bagaimana kepala Balatentara Banten ini
bisa berada di tempat itu? Ketika Raden Mas Tirta
bersama lima puluh prajurit sampai ke tempat
kediaman Ekawira ternyata Mahesa Kelud yang
mereka cari tidak ada di sana. Tempat kediaman
tersebut mereka obrak-abrik dan mereka bakar.
Saat itu datanglah seorang penunggang kuda
yang tak lain dari Jaka Luwak adanya. Pemuda
itu membisikkan sesuatu pada Raden Mas Tirta
lalu Kepala Balatentara ini berseru pada anak
buahnya: "Kalian cari terus bangsat rendah itu.
Aku akan pergi ke tempat lain untuk menyelesai-
kan satu urusan penting!"
Jaka Luwak mengajak Raden Mas Tirta ke
suatu tempat dimana telah menunggu Ismaya,
yaitu mata-mata Pajajaran yang jadi penghubung
antara Kepala Balatentara Banten itu dengan
Prabu Sedah. Keduanya turun dari kuda meng-
hampiri Ismaya.
"Bagaimana? Mana barang-barang hadiah
yang dijanjikan itu?!" tanya Raden Mas Tirta.
"Raden Mas, kata Sang Prabu harap bersa-
bar dahulu sampai bulan depan. Sang Prabu...."
"Sang Prabu sialan!" bentak Raden Mas Tir-
ta. "Sudah tiga bulan aku menunggu dan selalu
dijejali dengan janji-janji melulu. Sudah ratusan
bahkan ribuan prajurit Banten yang kutipu sam-
pai mereka bisa ditumpas oleh Pajajaran dan ma-
sih menyuruh tunggu! Kalau barang-barang ber-
harga saja Rajamu tidak sanggup memberikan
bagaimana dia akan mengangkat aku menjadi Pa-
tih?!"
"Kurasa mungkin bangsat bernama Ismaya
ini yang mengantongi hadiah-hadiah yang diki-
rimkan Sang Prabu kepadamu, adimas," "kata
Jaka Luwak.
"Memang aku juga menduga demikian!
Manusia rendah ini tidak dapat dipercaya. Kare-
nanya harus mampus saat ini juga!" Serentak
dengan itu Raden Mas Tirta mencabut keris pu-
sakanya dan menyerang Ismaya. Jaka Luwak ti-
dak tinggal diam. Dengan tangan kosong dia maju
ke muka, membantu adik seperguruannya.
TIGA
ISMAYA bukan seorang pemuda berkepan-
daian rendah, kalau tidak percuma saja dia men-
jadi mata-mata Pajajaran. Bertempur dengan Ra-
den Mas Tirta satu lawan satu belum tentu dia
akan kalah meski sampai seribu juruspun. Tapi
menghadapi dua saudara seperguruan itu sekali-
gus, memang terasa sangat berat baginya. Teru-
tama menghadapi Jaka Luwak, meskipun pemu-
da ini cuma bertangan kosong tapi lebih berba-
haya dari Raden Mas Tirta yang bersenjatakan ke-
ris. Pukulan-pukulan tangan kanan dan kiri Jaka
Luwak datang bertubi-tubi, angin pukulannya te-
rasa dingin menggidikkan sedang keris di tangan
Raden Mas Tirta datang menyambar-nyambar.
Sudah beberapa kali Ismaya mengeluarkan pekik
kesakitan karena kena ditusuk oleh keris itu.
Yang membuat mata-mata Pajajaran ini mudah
terdesak dan yang membuatnya tak habis menye-
sali diri adalah karena saat itu dia tidak memba-
wa senjata sama sekali!
Mengetahui bahwa dia tak akan bisa mela-
rikan diri ataupun menghadapi kedua lawannya
itu maka setelah menderita, tusukan-tusukan keris Raden Mas Tirta mengamuklah Ismaya. Ilmu
silat tangan kosongnya yang paling diandalkan
yaitu yang bernama: "setan mabok" dikeluarkan-
nya. Dia bersedia bahkan sudah bertekad bulat
untuk mengadu nyawa asalkan saja dia sebelum
meregang nyawa sanggup merobohkan pula salah
seorang pengeroyoknya. Tubuh pemuda itu berke-
lebat cepat. Namun cuma dua jurus dia bisa
mengimbangi kedua pengeroyoknya. Ketika Raden
Mas Tirta memutar kerisnya dengan cepat sedang
Jaka Luwak mengeluarkan ilmu silat "burung ga-
ruda mengamuk" maka kembali Ismaya dibikin
tidak berdaya dan terdesak hebat.
"Manusia-manusia rendah berhati bejat!"
maki Ismaya. Suaranya keras, tapi bernada kepu-
tusasaan. "Mula-mula kalian mengkhianati Sul-
tan Hasanuddin dan kini hendak mengkhianati
Prabu Pajajaran! Aku tidak takut mampus di tan-
gan kalian tapi guruku pasti akan datang untuk
mematahkan batang leher kalian!"
"Ha... ha! Sudah tahu mau mampus masih
hendak bermulut besar!" ejek Raden Mas Tirta
dengan tertawa bergelak. Kepala Balatentara Ban-
ten yang tak lebih dari manusia ular kepala dua
ini mengirimkan tusukan deras ke leher Ismaya.
Si pemuda karena saat itu tengah mengelakkan
pukulan maut Jaka Luwak yang menyerang da-
danya tidak sanggup mengelakkan keris! Pada de-
tik ujung keris itu tinggal seujung rambut lagi
akan menembus leher Ismaya maka dari samping
berkelebat sesosok tubuh dan tahu-tahu sebuah
keris ungu telah menangkis keris di tangan Raden
Mas Tirta. Bunga api berpijar. Bukan main terke-
jutnya ke tiga orang yang tengah bertempur itu.
Raden Mas Tirta sampai mengeluarkan seruan
tertahan. Tangannya yang memegang senjata te-
rasa pedas dan cepat-cepat dia melompat ke bela-
kang.
"Anjing pengkhianat! Kau rupanya huh?!"
bentak Raden Mas Tirta dengan beringas ketika
melihat bahwa orang yang telah menangkis senja-
tanya tadi tidak lain dari pada Ekawira adanya!
Dan darah Kepala Balatentara Banten ini tambah
mendidih ketika melihat pula siapa yang berdiri
saat itu disamping Ekawira. "Bagus! Dicari-cari
kau sembunyi, sekarang datang sendiri mengan-
tar nyawa! Kangmas Jaka Luwak inilah dia dua
manusia busuk pengkhianat kerajaan! Mari kita
pecahkan kepala mereka!"
"Keparat rendah!" maki satu suara yang
tak lain dari pada Ismaya. Pemuda itu berdiri
dengan terhuyung-huyung. Bajunya penuh robe-
kan-robekan dan basah oleh darah. "Kalianlah
manusia-manusia racun biang pengkhianat!"
"Setan alas! Kau minggir dan mampuslah!"
teriak Raden Mas Tirta. Tendangannya meluncur
ke pinggang pemuda itu. Dalam keadaan tak ber-
daya Ismaya mencoba mengelak namun tak
urung pinggangnya masih kena tersambar. Pe-
muda ini terguling ke tanah tiada sadarkan diri
Waktu terjadi pengeroyokan tadi Mahesa
Kelud yang bermata tajam segera memaklumi
bahwa sesungguhnya Jaka Luwak memiliki ilmu
kepandaian beberapa tingkat lebih tinggi dari pa-
da Raden Mas Tirta. Maka dengan cepat Mahesa
berseru: "Kakang Ekawira, kau hadapilah manu-
sia Tirta keparat itu. Aku akan melayani kaki tan-
gan manusia busuk ini!"
Maka tanpa banyak bicara lagi terjadilah
pertempuran yang seru antara keempat orang itu.
Raden Mas Tirta berhadapan dengan Ekawira se-
dang Jaka Luwak dengan Mahesa Kelud. Perkela-
hian antara Raden Mas Tirta dan Ekawira berja-
lan seimbang karena tingkat kepandaian mereka
memang tidak banyak berbeda lagi pula kedua-
duanya sama-sama memegang keris.
Jaka Luwak yang menganggap enteng pe-
muda tandingannya jadi terkejut ketika dua kali
berturut-turut serangan mautnya berhasil dielak-
kan oleh lawannya dengan menggerakkan tubuh
sedikit saja. Dengan penasaran Jaka Luwak men-
girimkan lagi tiga serangan berantai yang hebat.
Namun hasilnya tetap nihil bahkan pada jurus
kelima ketika pukulannya ditangkis dengan ben-
turan lengan oleh lawan, Jaka Luwak terkejut dan
mundur beberapa tindak! Tangannya yang beradu
dengan lengan lawan tergetar hebat dan bengkak
merah kebiruan! Menyadari bahwa lawannya le-
bih tinggi ilmu silat dan tenaga dalamnya dari
yang dimiliki sendiri maka dengan cepat Jaka
Luwak mengeluarkan senjata yang sangat dian-
dalkannya yaitu berupa sebuah cambuk rantai
besi. Antara jarak tiap-tiap mata rantai dipasangi
dua buah besi kecil berbentuk mata kail. Sekali
kaitan-kaitan besi itu menembus kulit lawan ma-
ka daging serta urat-urat akan sanggup ditarik
sampai berbusaian keluar! Di dalam tangan Jaka
Luwak yang hebat, senjata itu dapat berubah
menjadi semacam tongkat keras yang bisa dipakai
menotok jalan darah lawan dan bisa pula lepas
sebagaimana cambuk kulit biasa!
Meskipun Mahesa Kelud agak heran meli-
hat senjata aneh lawannya itu namun diparasnya
sama sekali tiada kelihatan rasa ngeri. Dia me-
nunggu dengan tenang, kedua kakinya terpentang
memasang kuda-kuda. Jaka Luwak melompat
melancarkan serangan pertama. Cambuk berduri
di tangan kanannya membabat ke arah leher Ma-
hesa Kelud. Tubuh Mahesa tidak bergerak sedi-
kitpun. Pada saat cambuk tersebut hanya tinggal
seperempat jengkal saja lagi tiba-tiba berkelebat-
lah tubuh pemuda itu. Mahesa merunduk. Senja-
ta lawan lewat di atas kepalanya.
Serentak dengan itu pemuda ini mengge-
rakkan tangan kirinya untuk memukul lengan
lawan. Jaka Luwak yang sudah tahu bahwa tena-
ga dalam lawannya lebih tinggi bahkan tadi sudah
merasakannya sendiri sampai lengannya bengkak
biru dengan cepat menghindarkan diri ke bela-
kang. Namun tidak pernah diduganya, gerakan-
nya tersebut sudah diperhitungkan oleh Mahesa
Kelud! Ketika dia melompat, lawannya mengait
kaki kirinya. Tubuh Jaka Luwak terpelanting ke-
ras. Untung saja dia sudah memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi. Dengan memper-
gunakan ilmu tersebut murid Ki Balangnipa dari
Gunung Gede ini jungkir balik menjauhi dan me-
nyabetkan cambuk berdurinya ke pinggang lawan
ketika Mahesa coba memburunya.
Sesaat kemudian Jaka Luwak sudah berdi-
ri dengan mengertakkan geraham penuh geram.
Lawannya bukan orang sembarangan. Sangat se-
dikit sekali harapan baginya untuk bisa menga-
lahkan. Tapi mengingat saat itu dia berada ber-
sama adik seperguruannya sendiri yaitu Raden
Mas Tirta maka adalah sangat memalukan bila
dia menundukkan kelemahan tak mampu mem-
bereskan lawan. Apalagi mengingat dia bersenja-
takan cambuk berduri yang sangat diandalkan itu
sedang lawannya hanya bertangan kosong!
Ketika murid Ki Balangnipa itu menyerang
kembali, maka gerakannya jauh lebih cepat dan
penuh keganasan! Tubuhnya berkelebat kian ke-
mari mengeluarkan angin deras. Cambuk berdu-
rinya datang bertubi-tubi sedang tangan kiri dan
kedua kakinya tidak tinggal diam, turut pula me-
lancarkan serangan-serangan mematikan! Semua
kehebatan itu dihadapi oleh Mahesa Kelud den-
gan tenang.
"Jika kamu masih memiliki ilmu simpanan,
keluarkanlah!"
Semakin panas hati Jaka Luwak menden-
gar ejekan ini. Namun segala kemarahannya itu
tak dapat dilampiaskannya karena lawannya den-
gan sangat mudah selalu saja berhasil mengelak
kan setiap serangannya bahkan balas menyerang
dan mendesak!
Pertempuran antara Raden Mas Tirta dan
Ekawira sudah berjalan hampir lima puluh jurus
sedang antara Mahesa dengan Jaka Luwak juga
tak lebih dari itu. Kalau Raden Mas Ekawira be-
nar-benar harus mengeluarkan seluruh kepan-
daiannya untuk menghadapi Raden Mas Tirta
maka bagi Mahesa Kelud yang melayani Jaka Lu-
wak tinggal menunggu waktu saja karena pemuda
ini sudah maklum bahwa ilmunya lebih tinggi. Se-
lama turun gunung boleh dikatakan baru kali in-
ilah Jaka Luwak bertempur sampai lima puluh
jurus. Napasnya meskipun belum mengendur tapi
sudah tidak teratur. Saat yang ditunggu oleh Ma-
hesa Kelud tiba. Gerakannya berubah dengan
mendadak dan dalam satu gebrakan saja maka
mentallah tubuh Jaka Luwak! Pemuda ini tergul-
ing di tanah, cambuk berdurinya seperti direng-
gutkan oleh setan, hampir tiada terasa, terlepas
dari tangannya dan berada dalam genggaman
Mahesa Kelud! Kedua tangan murid Embah Ja-
gatnata ini bergerak dan seperti merenggut-
renggut benang saja layaknya. Mahesa memutus-
mutuskan mata-mata rantai cambuk berduri itu!
Pukulan yang dihadiahkan Mahesa yang
membuat lawannya terpental dan terguling di ta-
nah tadi adalah pukulan "batu karang" yang di-
dapatnya dari Karang Sewu di gua Iblis tempo ha-
ri! Mahesa terkejut ketika melihat meskipun den-
gan tertatih-tatih Jaka Luwak masih dapat bangun dan berdiri sesudah menerima pukulan itu!
Mahesa telah membuktikan, jangan tubuh manu-
sia, dinding karang yang atos dan tebal sekalipun
hancur kena hantam pukulan Karang Sewu ter-
sebut!
Meskipun dia masih bisa berdiri namun se-
sungguhnya tubuh di bagian dalam Jaka Luwak
sudah terluka hebat. Dadanya sangat sakit seper-
ti tulang dada dan iga-iganya melesak ke dalam,
napas menyesak laksana orang bengek. Mahesa
tidak menunggu lebih lama. Tubuhnya berkele-
bat. Dua jari tangan kirinya tahu-tahu sudah me-
notok pangkal leher Jaka Luwak. Pemuda dari Pa-
jajaran ini roboh ke tanah tak sadarkan dirinya.
Jika dia mau, dengan mudah Mahesa mena-
matkan riwayat musuh besar Kerajaan Banten
itu, namun itu tidak dilakukannya. Dia ingin me-
nangkap Jaka Luwak hidup-hidup untuk diseret
ke hadapan Sultan Hasanuddin guna memper-
tanggung jawabkan segala perbuatannya dan juga
sebagai saksi hidup pengkhianatan Raden Mas
Tirta terhadap Banten! Dia berpaling memperha-
tikan pertempuran antara Raden Mas Ekawira
dengan Raden Mas Tirta.
Seperti dinyatakan diatas ketinggian ilmu
kedua orang itu hampir tidak berbeda karenanya
pertempuran boleh dikatakan berjalan seimbang.
Namun robohnya Jaka Luwak, kakak sepergu-
ruannya, sedikit banyak mempengaruhi Raden
Mas Tirta. Semangatnya berkurang, nyalinya
menciut dan ini membuat gerakannya dalam perkelahian itu menjadi kaku dan mulai kacau. Hal
ini memberikan peluang baik bagi lawannya.
Ekawira tak menyia-nyiakan kesempatan terse-
but. Dia mempercepat gerakannya. Raden Mas
Tirta menjerit ketika keris ungu di tangan Ekawi-
ra menusuk lengannya dan berdarah!
Sesudah mendapat tusukan ini maka daya
tahan Kepala Balatentara Banten yang berkhianat
dan bersifat ular kepala dua itu semakin berku-
rang. Satu tusukan lagi kemudian bersarang di
bahunya. Dalam satu bentrokan senjata yang
dahsyat akhirnya keris Raden Mas Tirta terlepas
mental! Laki-laki ini melompat mundur. Mukanya
pucat pasi. Keringat dingin sebesar butiran-
butiran jagung memercik di keningnya. Raden
Mas Ekawira dengan keris terhunus di tangan
melompat ke muka.
"Kakang Ekawira! Jangan bunuh dia! Dia
harus diseret hidup-hidup ke hadapan Sultan!"
seru Mahesa Kelud. "Bawa kuda-kuda kita kema-
ri," kata Mahesa Kelud. "Ketiga kunyuk-kunyuk
ini harus kita hadapkan kepada Sultan dengan
segera!".
Ekawira mengangguk! Tak lama sesudah
Kepala Pengawal Istana Banten itu pergi Mahesa
Kelud cepat-cepat melompat ke samping ketika
dari belakang datang menyambar suatu benda
yang mengeluarkan angin bersiuran, mendesing
ke arahnya. Sebelum dia dapat melihat benda apa
yang menyambar itu tahu-tahu seorang tua ber-
muka putih, berjubah biru berdiri kira-kira lima
belas langkah di hadapannya!
"Orang tua! Kaukah yang menyerangku?!"
tanya Mahesa dengan gusar.
EMPAT
SEBAGAI jawab, orang tua berjubah biru
itu mengebutkan lengan pakaiannya sebelah ka-
nan. Dari ujung lengan jubah ini menyambarlah
angin pukulan yang keras dan tajam ke arah Ma-
hesa Kelud! Meskipun dia tahu bahwa pukulan
tenaga dalam itu tidak bisa dianggap sembaran-
gan namun untuk sekedar menjajaki sampai di-
mana kehebatan lawan tak diundang ini maka
Mahesa Kelud mengangkat tangan kanannya.
Dua aliran tenaga dalam yang hebat saling berte-
mu dan bentrokan di tengah jalan lalu sama-
sama buyar!
Si jubah biru tidak kelihatan terkejut bah-
kan sebaliknya dia tertawa buruk dan mementang
mulut: "Bagus orang muda! Rupanya kau punya
sedikit ilmu untuk diandalkan huh?!"
Kedua kaki si jubah biru bergerak. Bersa-
maan dengan itu tubuhnya berkelebat menyam-
bar ke arah Mahesa. Diserang secara ganas se-
demikian rupa murid Embah Jagatnata dari gu-
nung Kelud ini segera hindarkan diri ke samping
seraya melipat siku coba menyodok tulang-tulang
iga lawannya. Mau tak mau orang tua tersebut
cepat menarik pulang tangan kanannya dan ganti
menyerang dengan tangan kiri! Kecepatan peru-
bahan gerakan ini memang luar biasa sekali!
Mahesa menjejakkan kaki ke tanah, tu-
buhnya naik setengah langkah dan ini mengaki-
batkan terjadinya bentrokan antara siku dengan
lengan!
Mahesa Kelud terhuyung-huyung ke samp-
ing kiri. Tulang sikunya terasa sakit sedang si ju-
bah biru hanya merasakan lengannya tergetar.
Dalam bentrokan ini Mahesa Kelud bisa menarik
kesimpulan bahwa tenaga dalamnya kalah tinggi
dengan tenaga dalam lawan! Satu hal yang tak bi-
sa dimengerti pemuda ini yaitu mengapa waktu
saling bentrokan tenaga dalam jarak jauh tadi dia
bisa membuat buyar tenaga dalam lawannya. Pe-
muda ini tidak tahu kalau si jubah biru waktu itu
hanya mengeluarkan tiga perempat bagian saja
dari keseluruhan tenaga dalam yang dimilikinya!
"Orang tua asing!" kata Mahesa Kelud se-
raya melompat keluar dari kalangan. "Antara kau
dan aku tak ada urusan apa-apa bahkan baru
kali ini bertemu. Mengapa kau menyerang aku?!"
Si jubah biru mengeluarkan tertawa berge-
lak. Dia menunjuk pada Ismaya. "Pemuda baju
putih itu adalah murid sahabatku dan kau telah
mencelakainya...."
"Bukan aku! Tapi kedua orang inilah!" po-
tong Mahesa sambil menunjuk pada Raden Mas
Tirta dan Jaka Luwak.
"Kalian orang-orang Banten memang tu-
kang berdusta kelas satu! Walau bagaimanapun
aku cukup alasan untuk mematahkan batang le-
hermu!"
"Hmm..." gumam Mahesa Kelud. "Sudah
murid sahabatnya ditolong masih berani memaki!
Bukannya bilang terima kasih! Kalau pemuda
yang hendak kau tolong itu musuh jahat dari Pa-
jajaran tentunya kau bilang musuh yang harus
dienyahkan pula!"
Merah padam air muka si jubah biru. Ama-
rahnya naik ke kepala. Dia menerkam ke hada-
pan Mahesa Kelud dan perkelahian serupun ter-
jadi kembali! Dilihat dari tenaga dalam maka la-
wan Mahesa Kelud ini yaitu Resi Mintaraya dari
gunung Halimun memang lebih tinggi. Sedang da-
lam ilmu mengentengi tubuh keduanya boleh di-
katakan seimbang. Ditinjau dari kedua hal terse-
but dapat dipastikan bahwa lambat laun Mahesa
Kelud akan kena didesak dan tak sanggup mem-
pertahankan diri. Namun pemuda murid Embah
Jagatnata ini mempunyai beberapa hal yang men-
jadi dasar keuntungan baginya.
Pertama dia masih muda berarti dia me-
nang dalam tenaga lahir. Kedua gerakan-
gerakannya jauh lebih gesit. Dan ketiga, apa yang
membuat Resi Mintaraya harus berhati-hati da-
lam menghadapi ini pemuda ialah karena Mahesa
memiliki aji pukulan "karang sewu"! Pada saat
pertama kali Mahesa mengeluarkan ilmu pukulan
tersebut. Resi Mintaraya tiada menduga sama se-
kali bahwa pukulan ini sangat berbahaya untuk
ditangkis. Dia tahu bahwa tenaga dalam lawan
nya lebih rendah dari yang dimilikinya. Karena itu
dia tidak ragu-ragu menyambut serangan Mahesa
dengan pukulan pula! Namun betapa terkejutnya
sang Resi ketika tubuhnya terjajar beberapa tin-
dak sedang jari-jari tangan kanannya terkelupas
kulitnya!
Resi dari Pajajaran ini sudah berumur lebih
dari enam puluh-lima tahun. Sudah banyak pen-
galaman dalam menghadapi musuh-musuh tang-
guh dari pelbagai daerah dan tingkatan. Namun
adalah tidak terduga sama sekali kalau hari ini
dia akan berhadapan dengan seorang musuh
yang memiliki ilmu pukulan demikian tangguh-
nya! Dan musuh yang seorang ini kenyataannya
adalah pemuda belia pula! Mintaraya memperce-
pat gerakannya. Tubuhnya laksana bayang-
bayang namun setiap kali dia harus menarik atau
membatalkan serangannya ataupun melompat
mengelak karena lawannya terus menerus melan-
carkan tangkisan dan serangan balasan dengan
ilmu pukulan atau tendangan yang mengandung
aji "karang sewu" Dengan sendirinya gemaslah
sang Resi ini. Tapi untuk berbuat hal-hal yang di-
luar kesanggupannya yaitu merobohkan Mahesa
sudah barang tentu tidak pula mudah bisa dila-
kukannya!
Karena kedua-duanya sama-sama berke-
pandaian tinggi, dalam waktu singkat lima belas
jurus sudah berlalu tiada terasa. Dan pada saat
itulah Raden Mas Ekawira muncul membawa dua
ekor kuda. Sudah barang tentu Kepala Pengawal
Istana Banten ini menjadi terkejut sekali ketika
dia datang ke situ menemui Mahesa Kelud den-
gan bertempur hebat dengan seorang tua berju-
bah biru bermuka putih. Ekawira mengerenyitkan
keningnya. Dia rasa-rasa pernah melihat atau
bertemu dengan orang tua ini. Dia berpikir-pikir
dan akhirnya baru ingat bahwa manusia inilah
yang dulu melarikan tubuh Unang Gondola yaitu
lawan Raden Mas Tirta dalam sayembara pertan-
dingan merebut pangkat sebagai Kepala Balaten-
tara Banten! Waktu itu Unang Gondola sudah
menang tapi tahu-tahu muncul seorang pemuda
lain ke atas panggung yang juga berniat untuk
mengikuti sayembara itu tapi terlambat. Pemuda
ini tidak lain daripada Tirta. Tirta memang lebih
tinggi ilmunya. Setelah bertempur puluhan jurus
dia berhasil merobohkan Unang Gondola. Kepada
Sultan Banten kemudian Tirta menerangkan
bahwa Unang Gondola tak lain adalah seorang
utusan rahasia Raja Pajajaran, musuh besar Ban-
ten yang menyusup! Dengan segera Sultan Ban-
ten memerintahkan untuk menangkap Unang
Gondola! Namun pada saat itu entah dari mana
datangnya melesatlah sesosok tubuh berjubah bi-
ru ke atas panggung dan membopong membawa
lari Unang Gondola. Ketika Tirta dan pengawal-
pengawal istana menyerbu orang tua baju biru itu
mengeluarkan senjata rahasia berupa kepulan
asap putih tebal yang menyelimuti panggung dan
sekitarnya. Ketika asap menipis, si Jubah biru
bersama Unang Gondola sudah lenyap!
"Mahesa!" seru Ekawira. "Hati-hati! Orang
tua ini licik, aku akan bantu kau!"
Sebagai seorang kesatria sejati Mahesa ti-
dak mau mengeroyok seorang lawan. Seandainya
dia terdesak saat itu bantuan Ekawira belum ten-
tu mau diterimanya, apalagi dia masih sanggup
mengimbangi lawan.
"Tak usah Kakang Ekawira," jawab Mahesa
Kelud. "Aku masih sanggup melayani orang tua
keblinger ini. Cuma kau berjaga-jagalah kalau
benar dia licik tentu dia akan melarikan diri!"
"Pemuda sombong! Mulutmu terlalu besar!
Sebelum kupecahkan kepalamu aku tak akan
meninggalkan tempat ini!" kata Resi Mintaraya
dengan suara lantang. Ilmu silatnya bersamaan
dengan itu berubah cepat dan ganas. Namun te-
tap saja dia tak berhasil mendesak lawannya ka-
rena Mahesa senantiasa mempertahankan diri
dengan tangkisan dan pukulan-pukulan "karang
sewu" yang berbahaya. Mintaraya mengertakkan
gerahamnya tiada henti karena geram. Kalau saja
saat itu tidak ada orang ketiga yaitu Raden Mas
Ekawira maka sudah sejak lama dia mengelua-
rkan senjatanya yakni sebuah ruyung. Sebagai
seorang sakti dari gunung Halimun yang sudah
dikenal di kalangan dunia persilatan terutama di
daerah selatan namanya tentu akan luntur jika
dia menghadapi lawannya dengan senjata sedang
si pemuda sendiri bertangan kosong!
Namun si orang tua yang cerdik ini men-
dapat akal. Sambil terus menghadapi Mahesa dia
tiada hentinya mencaci maki memanaskan Eka-
wira.
"Perwira tinggi anjing Sultan Banten!" ka-
tanya. "Apa kau berlepas tangan saja membiarkan
kawanmu ini akan kupecahkan kepalanya?! Ayo
majulah! Biar roh busuk manusia ini mendapat
kawan untuk pergi minggat ke neraka!"
Dengan memaki habis-habisan seperti itu
Resi Mintaraya bermaksud memanaskan hati dan
menaikkan darah Ekawira sehingga akhirnya Ke-
pala Pengawal Istana tersebut turut menyerbu
mengeroyoknya. Dan jika ini terjadi maka Minta-
raya mempunyai cukup alasan untuk mengelua-
rkan ruyungnya! Tapi celakanya Ekawira tetap
berdiri dengan tenang di tempatnya tanpa terpen-
garuh sama sekali oleh caci maki edan itu. Sang
Resi tiada habis-habisnya mengutuk dalam hati.
Dia tahu bahwa Mahesa tak akan sanggup men-
galahkannya namun maklum pula bahwa dia
sendiri tak berdaya untuk merobohkan si pemu-
da. Tak ada jalan lain!
Mintaraya menggerakkan tangan kirinya ke
dalam saku jubah. "Awas senjata rahasia!" se-
runya. Bersamaan dengan itu dari tangannya me-
lesat sebutir benda putih berbentuk bola. Di uda-
ra benda tersebut kemudian pecah kelihatan asap
putih yang sangat tebal berbau amis menyelimuti
daerah seluas hampir sepuluh tembok persegi!
Mahesa Kelud tak dapat melihat apa-apa. Dia me-
lompat jauh ke belakang menghindarkan diri. Ra-
den Mas Ekawira yang berada agak jauh dari kalangan pertempuran masih dapat melihat bagai-
mana Resi Mintaraya hendak melarikan diri se-
dang di atas bahu kirinya terpanggul tubuh Is-
maya.
"Orang tua licik! Jangan harap kau bisa
melarikan diri!" bentak Ekawira. Dia mencabut
keris ungunya dan menyerbu. Namun walau ba-
gaimana pun tingkat kepandaian Kepala Pengawal
Istana ini masih jauh di bawah sang Resi. Meski-
pun dengan memanggul tubuh Ismaya, namun
sekali saja berkelebat maka terdengarlah jeritan
Ekawira. Keris ungu terlepas mental dari tangan
pemuda itu sedang lengannya sendiri yang kena
tendangan terasa sakit bukan main! Ketika Mahe-
sa Kelud lari ke tempat itu Resi Mintaraya sudah
lenyap!
Raden Mas Ekawira berpaling pada Mahe-
sa. Hatinya kecewa karena tak dapat menghalangi
si orang tua yang melarikan diri. "Aku lupa men-
gatakan padamu bahwa manusia itu memiliki il-
mu asap yang ampuh...."
"Siapakah dia?" tanya Mahesa.
"Namanya Mintaraya. Seorang Resi dari Pa-
jajaran yang kalau aku tidak salah diam di gu-
nung Halimun! Dia guru Unang Gondola alias
Kuntawirya." Ekawira kemudian menerangkan
kepada Mahesa tentang kisah sayembara mempe-
rebutkan jabatan Kepala Balatentara Banten du-
lu. Sementara itu asap putih yang berbau amis
sedikit demi sedikit mulai punah.
Tiba-tiba. "Mahesa. Lihat!"
Mahesa Kelud memutar kepalanya dengan
cepat ke arah yang ditunjuk Ekawira. Dan apa
yang dilihatnya kemudian sungguh mengerikan.
Tubuh Raden Mas Tirta sudah berpindah tempat.
Dia menggeletak di tanah sedang kepalanya pe-
cah, darah dan otak berhamburan!
"Rupanya masih sempat juga Resi terkutuk
itu membalaskan dendam muridnya..." kata Eka-
wira.
Apakah yang telah terjadi dengan Raden
Mas Tirta? Sewaktu berhasil memanggul tubuh
Ismaya maka sebelum lari Resi Mintaraya masih
sempat menendang kepala Raden Mas Tirta yang
menggeletak pingsan di tanah. Hal ini dilakukan-
nya adalah untuk membalaskan dendam murid-
nya yang dulu dipecundangi oleh Tirta. Sekaligus
dia juga membalaskan sakit hati Prabu Pajajaran
serta rakyat Pajajaran karena kalau tidak gara-
gara Tirta tentu Unang Gondola alias Kuntawirya
berhasil mendapatkan jabatan Kepala Balatentara
Banten dan tentu pula saat itu Banten sudah di-
kuasai oleh Pajajaran!
LIMA
BETAPA hebohnya seluruh isi istana ketika
Kepala Pengawal Istana Ekawira yang dinyatakan
lari dari penjara bersama pembantunya Mahesa
Kelud kini memasuki istana dan meletakkan dua
sosok tubuh di hadapan Sultan! Yang Pertama
adalah tubuh orang yang diketahui sebagai Kepa-
la Balatentara Banten yaitu Raden Mas Tirta dan
kini tubuh itu berada dalam keadaan kaku tegang
serta kepala pecah dan tanpa nyawa tentunya!
Yang kedua adalah sosok tubuh Jaka Lawak,
yang berada dalam pingsan dan kaku karena dito-
tok jalan darahnya oleh Mahesa Kelud.
Sultan dan Patih Sumapraja memandang
dengan melotot pada Ekawira dan Mahesa Kelud
ganti berganti, demikian juga pejabat-pejabat
tinggi dan para hulubalang istana.
Akhirnya Sultan membuka mulut juga.
"Ekawira!" kata Sultan dengan suara lan-
tang. "Kau telah melarikan diri dari penjara...."
"Sultan yang Mulia!" memotong Mahesa Ke-
lud. Suaranya tak kurang lantang. "Lupakanlah
dulu soal larinya Raden Mas Ekawira. Biarkan dia
memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya ten-
tang siapa sebenarnya Raden Mas Tirta dan ma-
nusia Jaka Luwak ini!"
Sultan merasa gusar karena ucapannya di-
potong. Namun dia berkata juga. "Apa yang kau
ingin terangkan?!"
Raden Mas Ekawira pun menuturkan sega-
la apa yang diketahuinya mengenai pengkhiana-
tan Kepala Balatentara Banten ini. Selesai men-
dengar keterangan tersebut jelas kelihatan peru-
bahan pada air muka Sultan. Namun dia tidak
mau mempercayai begitu saja. Maka berkatalah
Mahesa Kelud.
"Sayang saksi hidup manusia bernama Is
maya itu sudah dibawa kabur oleh Resi Minta-
raya. Tapi Sultan, manusia yang satu ini pun bisa
bicara dan memberi kesaksian!" Sesudah berkata
demikian maka Mahesa melepaskan totokan urat
darah pada dada Jaka Luwak.
Terdengar suara erangan keluar dari mulut
murid Ki Balangnipa tersebut. Mahesa menjam-
bak rambutnya dan sekaligus menarik laki-laki
itu ke atas sehingga kini Jaka Luwak jadi berdiri
lurus-lurus di hadapan Sultan Banten. Muka la-
ki-laki ini sangat pucat tak ubahnya seperti muka
mayat! Kedua bola matanya berputar memandang
berkeliling.
"Jaka Luwak!" kata Sultan Banten dengan
suara keras. "Apa benar kau serta Raden Mas Tir-
ta telah bersekutu dengan Pajajaran untuk meng-
hancurkan Banten?!"
Kedua bola mata Jaka Luwak yang tadi
memandang berkeliling kini tertuju dengan kuyu
kepada Sultan Hasanuddin. Tapi pemuda ini ti-
dak memberikan jawaban. Bahkan kedua bibir-
nya pun tetap terkatup rapat, hanya jakun-jakun
di tenggorokannya saja yang kelihatan turun
naik.
"Jawab!" bentak Mahesa Kelud seraya me-
nyentakkan jambakannya pada rambut Jaka Lu-
wak. Murid ki Balangnipa itu meringis kesakitan.
"Mahesa..." desisnya. "Jika aku harus mati
di tangan kalian anjing-anjing Banten maka ma-
sih ada orang yang akan membalaskan sakit hati-
ku...."
Mahesa Kelud menampar pipi pemuda itu.
Bibirnya pecah dan berdarah. Jika saja dirinya di
bagian dalam tidak terluka hebat akibat pukulan
"karang sewu" Mahesa tadi, maka saat itu sudah
pasti Jaka Luwak mengadu jiwa menyerang murid
Embah Jagatnata tersebut. Namun karena tak
berdaya maka segala kegeramannya ditahan,
meskipun rasa geram itu seakan-akan kobaran
api yang membakar seluruh tubuhnya.
"Jawab!" bentak Mahesa untuk kesekian
kalinya.
"Jika kau memberi keterangan dengan be-
nar dan jujur, aku bersedia menjanjikan keringa-
nan hukuman bagimu, Jaka Luwak," berkata Sul-
tan. Suaranya kali ini tidak sekeras tadi dan ber-
nada membujuk.
Jaka Luwak berpikir-pikir, jika dia mem-
buka mulut memberikan keterangan kemudian
dipenjara maka mungkin ada harapan dia akan
dapat melarikan diri. Tapi mengingat luka di da-
lam yang tengah dideritanya itu, dia menyangsi-
kan apakah umurnya masih lama atau hanya
tinggal beberapa saat saja lagi. Akhirnya setelah
dipikir masak-masak Jaka Luwak membuka mu-
lut juga memberikan keterangan. Hal ini adalah
suatu yang lumrah. Seseorang, sekalipun sudah
tahu bahwa nyawa atau umurnya tidak berapa
lama lagi namun tetap berusaha melakukan se-
suatu yang dirasakannya bisa menyelamatkan
nyawa memperpanjang umur! Tapi satu hal yang
tidak terduga terjadi ketika pemuda itu baru saja
hendak membuka mulut untuk memberikan kete-
rangan. Dari jendela samping melesat tiga butir
benda aneh berbentuk bintang dengan warna pu-
tih perak menyilaukan ke arah kepala, tenggoro-
kan dan dada Jaka Luwak!
Semua orang terkejut bukan main. Dalam
keadaan yang kritis itu Mahesa melambaikan
tangan kirinya maksudnya dengan kekuatan te-
naga dalam hendak membikin mental tiga benda
berbentuk bintang itu yang tak lain dari senjata
rahasia adanya. Namun karena serangan maut
itu dilakukan dengan tiba-tiba dan sangat tak
terduga, dari tiga hanya dua yang sanggup dibikin
mental oleh Mahesa yaitu yang mengarah kepala
serta tenggorokan. Senjata rahasia ketiga yang
menghajar dada Jaka Luwak pada bagian mana
sebelumnya dia telah kena hantaman pukulan
"karang sewu!" Senjata rahasia tersebut menem-
bus dagingnya, hilang menyusup ke dalam tubuh
dan menyambar jantungnya!
Tubuh Jaka Luwak kelojotan seketika. Da-
rah kental keluar dari mulutnya. Dan ketika Ma-
hesa melepaskan jambakan tangan kirinya pada
rambut pemuda itu maka tubuh Jaka Luwak pun
roboh ke lantai istana. Nyawanya melayang!
Bersamaan dengan itu dari luar jendela
terdengar suara yang keras lantang. "Orang-orang
Banten! Kalau hari ini aku terpaksa harus mem-
bunuh muridku sendiri, ingat baik-baik bahwa
peristiwa ini hanya bisa ditutup setelah aku
membunuh sepuluh manusia-manusia paling di
kasihi oleh Sultan Banten!"
Sementara semua orang terkejut menden-
gar suara itu maka Mahesa Kelud dan Raden Mas
Ekawira sudah melompat lewat jendela. Sampai di
halaman samping kedua pendekar ini masih sem-
pat melihat seorang laki-laki berpakaian hitam-
hitam berambut panjimu yang dikuncir ke atas
tengah melompati tembok istana. Mahesa dan
Ekawira memburu tapi sesampainya mereka di
luar tembok manusia berpakaian hitam-hitam itu
sudah lenyap seperti gaib ditelan bumi! Pada ta-
nah sekitar sana sama sekali tidak kelihatan be-
kas-bekas jejak kaki. Ini cukup menjadi pertanda
bagi kedua pendekar tersebut betapa luar bi-
asanya ketinggian ilmu mengentengi tubuh si ba-
ju hitam!
"Percuma mengejarnya," kata Mahesa. "Kita
kembali ke istana."
Raden Mas Ekawira mengangguk. "Manu-
sia itu pasti Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak dan
Tirta!"
Ketika mereka masuk ke halaman samping
baru kedua orang ini melihat bagaimana dekat
jendela bergeletakan mayat empat orang pengawal
istana! Ekawira mengenakkan gerahamnya. Dia
masuk ke istana kembali bersama Mahesa lewat
jendela.
"Menyesal sekali, Sultan," kata Raden Mas
Ekawira begitu dia sampai di hadapan Sultan.
"Pembunuh Jaka Luwak berhasil melarikan diri!
Dia adalah Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak sendiri!"
Untuk beberapa lamanya ruangan besar Is-
tana Banten itu berada dalam kesunyian, tak ada
satu orangpun bicara bahkan yang bergerak pun
juga tidak. Beberapa saat berselang baru Sultan
membuka mulutnya, memerintahkan kepada
pengawal-pengawal. "Pengawal! Seret dua mayat
ini dari hadapanku!"
Empat orang prajurit pengawal istana sege-
ra menjalankan perintah tersebut. Bekas-bekas
darah yang menodai lantai marmar diseka sampai
bersih.
"Sultan," Patih Banten Sumapraja membu-
ka mulut memecah kesunyian. "Apa yang akan ki-
ta lakukan sekarang?" tanyanya.
Sultan Banten memandang kepada Mahesa
Kelud kemudian berpaling pada Raden Mas Eka-
wira. "Ekawira. Kebenaran keteranganmu menge-
nai pengkhianatan Tirta yang dibantu oleh Jaka
Luwak masih disangsikan."
"Sultan," kata Ekawira dengan suara geme-
tar menahan perasaannya yang bergejolak. "Jika
kami benar-benar pengkhianat busuk, apa per-
lunya kami datang kesini? Bukankah itu sama
saja dengan minta ditangkap kembali bahkan
mungkin akan dipancung?!"
"Tapi Ekawira, kedatanganmu kesini ber-
sama Mahesa Kelud dengan membawa mayat
Tirta serta Jaka Luwak yang dalam terluka parah
bukan mustahil pula untuk memutar balik kenya-
taan. Membalikkan tuduhan! Dengan demikian
kalian berdua sekaligus mengharapkan pula un-
tuk mendapat balas jasa berupa pangkat atau ke-
dudukan tinggi!"
Jika Mahesa Kelud masih bisa menenang-
kan dirinya dari hawa amarah dalam mendengar
kata-kata Sultan Hasanuddin itu maka lain hal-
nya dengan Ekawira. Tubuhnya menggigil. Da-
rahnya mendidih. Untung dia masih bisa berkepa-
la dingin. Kalau saja bukan Sultan Banten yang
bicara demikian terhadapnya, pasti dia sudah
menerjang ke muka dan menyobek mulutnya!
Sultan melambaikan tangan kirinya. "Pen-
gawal! Tangkap kedua orang ini! Jebloskan ke da-
lam penjara di bawah tanah!"
"Tunggu dulu!" kata Mahesa Kelud seraya
maju ke muka. Suaranya lantang membuat dela-
pan orang pengawal yang hendak bergerak ke
arah mereka jadi tertahan langkah. "Sultan, apa-
kah tidak ada lagi kebenaran dan keadilan di
Banten ini?! Apakah kebenaran dan keadilan yang
nyata akan putus demikian saja oleh fitnah serta
tuduhan busuk yang tidak terbukti? Kami bukan
bicara sombong atau ingin menonjolkan jasa, tapi
apakah perbuatan baik yang kami lakukan demi
menyelamatkan Kerajaan Banten beserta seluruh
rakyat termasuk Sultan sendiri dibalas dengan
tindakan yang sedemikian rendahnya?!"
ENAM
UNTUK beberapa lamanya Sultan terdiam
mendengar kata-kata murid Embah Jagatnata itu.
Ia seperti mencari-cari sesuatu untuk menda-
patkan sebuah akal. Kemudian:
"Hanya ada satu jalan bagi kalian," kata
sang Sultan. "Jika kalian benar-benar ingin mem-
buktikan bahwa kalian bukan pengkhianat-
pengkhianat Banten dan bahwa kalian benar-
benar telah menyelamatkan kerajaan, maka salah
seorang dari kalian harus dapat menangkap Is-
maya hidup-hidup dan membawanya ke hada-
panku!"
Mahesa dan Ekawira saling berpandangan.
Kemudian bertanyalah Mahesa Kelud. "Mengapa
hanya salah seorang dari kami yang ditugaskan
untuk menangkap Ismaya? Mengapa tidak ber-
dua?"
"Salah seorang dari kalian harus tetap
tinggal di sini, dipenjarakan sebagai jaminan!" ja-
wab Sultan Banten pula.
"Kalau memang itu menjadi keputusan
Sultan, meski mungkin suatu keputusan yang ke-
liru, baiklah. Saya yang akan pergi mencari ma-
nusia Ismaya itu dan menyeretnya ke sini!"
Tidak bisa!" tukas Ekawira. "Saya yang
akan pergi!"
"Jangan bodoh kakang!" balik menukas
Mahesa Kelud. "Aku tidak bermaksud merendah-
kan ketinggian ilmumu. Tapi sudah dapat dipas-
tikan bahwa Ismaya akan berada di tempatnya
Resi Mintaraya. Di gunung Halimun. Di sana pasti ada pula Unang Gondola serta mungkin ditam-
bah dengan beberapa orang murid Resi Sakti ter-
sebut...!"
"Jika demikian kau sendiri pun belum ten-
tu akan sanggup Mahesa!" kata Ekawira.
"Betul, tapi inilah satu hal yang akan aku
coba demi membukakan mata manusia-manusia
dalam istana ini akan kebenaran yang nyata!" ja-
wab Mahesa. Oleh kata-katanya ini kelihatan be-
tapa air muka Sultan Hasanuddin menjadi me-
rah.
Ekawira berpaling pada sultan. "Sultan
Banten," katanya dengan nada penuh keyakinan.
"Sebelum para pengawal menjebloskanku ke da-
lam penjara di bawah tanah, maka dengarlah ini
baik-baik. Jika Mahesa Kelud nanti kembali
membawa Ismaya dan membentangkan kebena-
ran bahwa kami bukanlah pengkhianat-
pengkhianat maka pada saat itu juga aku akan
melepaskan segala jabatan yang pernah diberikan
kepadaku!" Pemuda ini berpaling kepada bebera-
pa orang prajurit yang sesungguhnya adalah
anak-anak buahnya sendiri. "Lakukanlah perin-
tah Sultanmu!" katanya.
Empat orang pengawal maju dengan seren-
tak. Meskipun mereka merasa tidak senang mela-
kukan hal itu, menangkap atasan mereka sendiri
namun di hadapan Sultan sikap ketidak senan-
gan mereka tersebut tidak mereka perlihatkan.
Sesudah Ekawira bersama pengawal-
pengawal tersebut menghilang di balik pintu besar maka berkatalah Mahesa Kelud. "Sultan, saya
akan kembali membawa Ismaya! Dan nantikanlah
saat-saat kenyataan bahwa sesungguhnya segala
tindakanmu ini adalah keliru!" Pemuda ini memu-
tar tubuhnya. Sekali dia berkelebat maka dia pun
hilang dari pemandangan.
* * *
Gunung Halimun, tempat dimana diketa-
hui Resi Mintaraya berdiam tidak dekat dari Ban-
ten, jauh di selatan pedalaman. Jalan ke sana su-
kar dan banyak rintangan. Hutan lebat boleh di-
katakan menghadang pemuda itu terus-terusan.
Dan daerah yang nanti bakal dilalui Mahesa Ke-
lud itu adalah daerah Pajajaran sehingga bukan
tidak mungkin pula pemuda itu akan terlibat da-
lam peristiwa-peristiwa yang tak terduga di ten-
gah perjalanannya!
Pada hari kedua, untuk kesekian kalinya
Mahesa Kelud memasuki hutan lagi. Pohon-pohon
besar tumbuh rapat. Rata-rata batang-batang po-
hon diselimuti oleh lumut hijau. Semak belukar
merimbun menghalangi perjalanan, pukulan yang
dikenakan oleh Mahesa banyak robek-robek ter-
kait ranting-ranting. Udara dalam hutan terasa
lembab. Di satu bagian di mana pohon-pohon dan
semak belukar tidak begitu rapat lagi pemuda ini
menemui jalan agaknya memang bagian itu sering
dilalui orang. Tanpa ragu-ragu si pemuda segera
menempuh jalan tersebut. Namun belum lama dia
mengikuti jalan ini dia menjadi terkejut ketika
mendengar suara beradunya senjata dan suara
bentakan-bentakan.
Dari jalan biasa Mahesa kini berlari dan
dalam waktu singkat dia pun sampai ke tempat di
mana saat itu terjadi pertempuran hebat. Lima
orang laki-laki berpakaian prajurit Banten tengah
mengeroyok seorang gadis cantik berbaju dan
bercelana panjang merah! Lima orang prajurit ini
masing-masing bersenjatakan pedang sedang si
gadis melayaninya dengan tongkat rotan berben-
tuk aneh. Tongkat ini pada kedua ujungnya ber-
keluk dan di tangan si gadis merupakan suatu
senjata yang hebat berbahaya. Namun demikian
ketinggian ilmu silat gadis ini agaknya tidak be-
rarti karena kelima orang lawannya adalah praju-
rit-prajurit Banten berkepandaian cukup tinggi
sehingga Mahesa dapat melihat dengan jelas
bahwa gadis cantik berbaju merah dan berkulit
putih mulus ini berada dalam keadaan terdesak
serta berbahaya keselamatannya. Anehnya si ga-
dis sendiri senantiasa tertawa-tawa. Sedang pada
tangan kirinya kelihatan lima buah topi kain yang
tak lain dari pada topi-topi kelima prajurit Banten
tersebut!
"Gadis nakal!" bentak salah seorang dari
kelima prajurit itu. "Sebentar lagi tubuhmu yang
indah ini akan tersayat-sayat oleh senjata-senjata
kami! Kecuali kalau kamu bersedia berlutut dan
minta ampun!"
"Prajurit gelo!" kata si gadis dengan terta
wa. Suaranya merdu sekali. "Kalianlah yang ha-
rus berlutut di hadapanku. Kalau tidak tongkat
rotanku ini akan memecahkan tempurung-
tempurung lutut kalian!" Bersamaan dengan itu
tubuh si gadis laksana seekor burung menukik ke
bawah dan tongkat rotannya menyambar ke lutut
lima prajurit tersebut! Serangan ini memang he-
bat dan berbahaya serta menggunakan jurus yang
aneh! Jika prajurit-prajurit tersebut tidak memili-
ki ilmu silat yang lumayan maka sekurang-
kurangnya salah seorang dari mereka pasti sudah
kena dicelakai!
Meskipun gadis berbaju merah itu memiliki
ilmu tongkat yang patut dikagumi serta gesit ge-
rakannya dan ilmu mengentengi tubuhnya tidak
pula rendah, namun dikeroyok lima seperti itu
mau tidak mau dia jadi mati kutu dan terdepak!
Pada jurus-jurus selanjutnya Mahesa melihat ba-
gaimana si gadis baju merah kini membuat gera-
kan-gerakan yang memungkinkan kepadanya un-
tuk sewaktu-waktu dapat melarikan diri! Namun
lawan-lawannya tidak bodoh dan detik demi detik
keselamatan si gadis semakin besar terancam!
Parasnya yang jelita dan berkulit putih itu kini
kelihatan merah sedang keringat membasahi ke-
ningnya. Lawan sama sekali tidak memberikan
kesempatan untuk lari kepadanya!
Mahesa Kelud tidak tega melihat kalau si
gadis sampai mendapat celaka. Namun dia tidak
pula ingin mencari permusuhan dengan kelima
prajurit Banten tersebut meskipun sampai saat
itu hatinya tetap saja masih mengkal terhadap
Sultan. Mahesa Kelud melompat ke muka seraya
berseru: "Saudara-saudara, harap tahan dulu!"
Akan tetapi kelima orang prajurit itu yang
rupanya tengah berada dalam keadaan marah se-
kali tidak memperdulikan seruan Mahesa. Bah-
kan sebaliknya mereka juga menyerang pemuda
ini karena menyangka Mahesa adalah kawan atau
saudara seperguruan dari si gadis!
Lagipula prajurit-prajurit ini sebegitu jauh
tidak pernah tahu tentang hubungan Mahesa
dengan Kerajaan Banten dan baru kali ini berte-
mu. Ini disebabkan karena sebagai prajurit-
prajurit penjaga perbatasan mereka jarang ke ko-
taraja.
Salah seorang dari prajurit ini memba-
batkan pedangnya ke bahu Mahesa Kelud. Pemu-
da ini mengelak cepat dan hampir tiada terlihat
tangan kanannya bergerak maka tahu-tahu pe-
dang si prajurit terlepas dan sudah berpindah
tangan! Bukan saja prajurit yang kena dirampas
senjatanya, tapi juga keempat kawan-kawannya
menjadi sangat terkejut. Tanpa dikomandokan
maka mereka berhenti menyerang. Kesempatan
ini di lain pihak dipergunakan oleh gadis baju me-
rah untuk melarikan diri dari situ dengan sece-
pat-cepatnya! Kelima prajurit coba mengejar na-
mun sia-sia saja. Si gadis baju merah sudah le-
nyap di balik pohon rapat dan semak belukar le-
bat. Mereka kembali ke tempat pertempuran itu
dengan amarah meluap.
Yang tertua diantara mereka melintangkan
pedang di muka dada dan berkata: "Orang muda!
Tindakanmu sungguh ceroboh sekali! Kau tahu
siapa gadis itu dan dengan siapa kau telah mem-
buat urusan?!"
"Tentang gadis cantik itu memang aku ti-
dak kenal. Namun siapa kalian cukup kumaklumi
dari pakaian-pakaian kalian," jawab Mahesa Ke-
lud.
Jika saja dia tidak melihat bagaimana sa-
lah seorang kawannya dirampas pedangnya den-
gan sangat mudah dalam satu gebrakan yang cu-
kup memberi bukti bahwa Mahesa adalah pemu-
da berilmu tinggi, maka prajurit paling tua itu
mungkin sudah memberi aba-aba kepada keem-
pat prajurit lainnya untuk menyerbu! Amarahnya
ditahan dengan sedapat-dapatnya. Kawan-
kawannya yang lain juga tidak berani bertindak
gegabah.
"Siapa gadis baju merah itu dan mengapa
sampai kalian mengeroyoknya?"
"Pemuda, jika terang kau tidak ada sang-
kut paut dengan gadis itu mengapa memban-
tunya?!" balas bertanya si prajurit.
Mahesa tersenyum. "Bukankah sangat dis-
ayangkan kalau kulitnya yang putih serta licin itu
sampai tergores oleh senjata-senjata kalian? Apa-
lagi kalau sampai daging tubuhnya mendapat lu-
ka-luka parah!"
"Tapi itu adalah akibat yang harus ditang-
gungnya sendiri! Dia gadis kurang ajar! Murid siDewa Tongkat!"
"Murid Dewa Tongkat? Hem... baru kali ini
aku dengar manusia bergelar demikian.... Apa
yang telah diperbuatnya terhadap kalian?"
"Kami tengah meronda sepanjang hutan
ini. Antara Banten dan Pajajaran sudah sejak la-
ma terjadi permusuhan. Tiba-tiba dari atas pohon
melompat satu bayangan merah dan tahu-tahu
topi-topi yang ada di atas kepala kami lenyap! Se-
saat kemudian dihadapan kami berdiri seorang
gadis remaja dengan tertawa cekikikan! Apa yang
membuat kami menjadi sangat marah dan terhina
ialah bahwa gadis inilah yang telah berlaku ku-
rang ajar, mengambil topi kami! Dari pakaian ser-
ta tongkat yang ada di tangan kanannya segera
kuketahui bahwa dia adalah murid Dewa Tong-
kat. Karenanya aku dan kawan-kawan tidak mau
berlaku kasar dan meminta agar topi kami yang
diambilnya dikembalikan! Tapi si gadis kurang
ajar membentak dan memaki kami bahkan ke-
mudian menyerang! Nah, pantaslah kalau manu-
sia kurang ajar seperti dia kau tolong?! Disamping
topi kami dibawa lari pula! Ini benar-benar satu
penghinaan bagi kami, bahkan bagi Kerajaan!"
Dalam hatinya Mahesa Kelud tertawa geli
mendengar keterangan prajurit tersebut. Dia ber-
kata: "Tindakan si gadis memang tidak pantas.
Tapi kalau dilihat kepada umurnya, dia agaknya
masih berjiwa kanak-kanak...."
"Kanak-kanak?! Kalau dia murid seorang
sakti, sudah memiliki ilmu tinggi dan sudah remaja seperti itu apa masih bisa disebut anak-
anak?!" tukas si prajurit.
"Saudara-saudara sekalian," kata Mahesa
kemudian. "Memang aku salah. Salah karena ti-
dak tahu bahwa gadis itu telah membuat suatu
penghinaan terhadap kalian. Tapi dari pada kita
bicara berbantahan di sini, jika kalian tahu di
mana tempat kediaman Dewa Tongkat itu, antar-
kanlah aku ke sana. Aku akan mintakan kembali
topi-topi kalian."
"Orang muda, jangan bicara sinting! Dewa
Tongkat seorang pertapa yang tak senang dida-
tangi tempatnya, apalagi jika untuk membuat
urusan! Dia tak akan perduli siapa yang salah
dan pasti akan berdiri di pihak muridnya! Kabar-
nya manusia ini bersifat cepat pemarah!"
"Jangan khawatir. Jika terjadi apa-apa aku
yang akan menghadapi si Dewa Tongkat sedang
kalian berlima bisa melayani gadis baju merah
itu," kata Mahesa Kelud pula.
Prajurit yang berdiri di hadapan Mahesa
memandang pada kawan-kawannya. "Anak mu-
da," dia berkata kemudian, "Aku dan kawan-
kawan memang telah melihat kelihayanmu. Tapi
terhadap si Dewa Tongkat kau jangan main-main.
Kau mengandalkan kepandaian apakah maka be-
rani menghadapinya?"
"Aku hanya mengandalkan bahwa kau dan
kawan-kawanmu berada di pihak yang benar,
yang telah dikurangajari oleh muridnya! Si Dewa
Tongkat tentu namanya akan buruk di dalam dunia persilatan jika kita datang dengan baik-baik
sebaliknya dia turun tangan berpihak kepada mu-
ridnya yang terang-terangan salah!"
Akhirnya kelima prajurit itu pun pergilah.
Tempat kediaman Dewa Tongkat ialah di satu
lembah. Tepat di pertengahan lembah ini terdapat
sebuah danau penuh ditumbuhi oleh rotan. Kare-
na itulah lembah tersebut dinamakan orang Lem-
bah Rotan. Dewa Tongkat sudah puluhan tahun
tinggal di Lembah Rotan sehingga dari ilmu silat
yang diwarisi dari gurunya dia kemudian mencip-
takan sendiri sejenis ilmu tongkat rotan yang
memang patut dikagumi. Kalau tidak percuma sa-
ja dia mendapat gelar "Dewa Tongkat."
Lewat tengah hari baru keenam orang ter-
sebut sampai ke tempat tujuan mereka. Suasana
sekitar Lembah Rotan tampak tenang-tenang saja
dan diliputi kedamaian. Udara sekitar situ terasa
sejuk segar. Keenamnya mendekati danau yang
penuh dengan pohon-pohon rotan. Persis di ten-
gah-tengah danau kelihatanlah sebuah pondok
mungil yang keseluruhannya mulai dari lantai
sampai dinding dan atap terbuat dari rotan. Ba-
gian bawah dari pondok itu dilapisi dengan rotan
sebesar-besar betis sehingga pondok tersebut tak
ubahnya seperti sebuah rumah di atas rakit yang
bisa dibawa ke setiap bagian danau.
Jika pondok rotan tersebut kebetulan be-
rada di tepi danau maka mudah saja bagi seseo-
rang untuk mendatanginya, tapi tidak demikian
bila sedang berada di bagian tengah danau. Jika
orang mengambil jalan air yaitu berenang maka
dia akan mendapat celaka karena di dalam danau
penuh dengan ular-ular air sepanjang-panjang
lengan. Untuk melompat begitu saja juga tidak
mungkin karena jarak sangat jauh. Seorang be-
rilmu paling atas dengan kepandaian mengenten-
gi tubuh yang luar biasa sekali pun juga tak akan
bisa membuat lompatan sejauh itu yakni kira-kira
seratus tombak! Satu-satunya jalan untuk pergi
tersebut adalah dengan pertolongan batang-
batang rotan, melompat dari satu batang ke ba-
tang lainnya seperti seekor monyet! Dan kalau
bukan orang yang punya ilmu tinggi tentu hal ter-
sebut sukar pula dilakukan.
Keenam orang itu berhenti di tepi danau.
Mereka dapat melihat puluhan ular-ular air men-
gambang di atas danau. Mereka tidak mengerti
bagaimana Dewa Tongkat dan muridnya dapat di-
am di pondok rotan tanpa diganggu oleh binatang
tersebut. Mahesa dan kelima prajurit ini tidak
mengetahui bahwa si Dewa Tongkat melumuri
bagian bawah dari pondoknya dengan sejenis obat
mengandung racun sehingga ular-ular air terse-
but tidak berani datang mendekat.
Mahesa Kelud memandang ke pondok ro-
tan di tengah danau. Pintu dan jendela tertutup
Pemuda itu maklum bahwa untuk pergi ke sana
hanyalah dengan berayun-ayun dari satu batang
rotan ke batang rotan lainnya. Baginya itu bukan
suatu kesukaran tapi apakah hal tersebut dapat
pula dilakukan oleh kelima prajurit Banten, agak
disangsikannya.
"Saudara-saudara," kata Mahesa, "Satu-
satunya jalan untuk dapat pergi ke pondok itu
hanyalah dengan pertolongan batang-batang ro-
tan, melompatinya satu demi satu sampai ke ba-
tang rotan yang terdekat dengan pondok. Lain ja-
lan adalah sia-sia. Kalian bisa melakukannya?"
Kelima prajurit itu sama berdiam diri tanpa
mereka tak menyanggupi. Kemudian yang paling
tua berkata: "Kita berteriak saja dari sini. Memin-
ta supaya gadis itu keluar dan mengembalikan
topi-topi kami!"
Sebenarnya, dengan jalan berteriak itu be-
rarti menunjukkan kelemahan yaitu tak sanggup
mendatangi sendiri pondok si Dewa Tongkat. Na-
mun setelah berpikir-pikir sejurus akhirnya Ma-
hesa menyetujui juga. Maka mementang mulutlah
si prajurit tadi: "Gadis baju merah! Kami datang
dengan maksud baik! Harap kau suka mengem-
balikan topi-topi kami!"
Mereka menunggu. Sejurus kemudian pin-
tu pondok rotan kelihatan terbuka dan dua orang
keluar.
TUJUH
ORANG pertama tak lain adalah dari si
Dewa Tongkat sendiri. Manusia ini berumur seki-
tar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dan ting-
gi sekali! Ini membuat dia tak ubahnya seperti
tonggak! Rambut di kepalanya pendek dan jarang
serta berwarna putih. Dewa Tongkat mengenakan
pakaian putih ringkas yang di bagian dadanya
terbuka sehingga jika kita berdiri dekat-dekat bisa
dihitung tulang-tulang iganya yang menonjol. Di
pinggang melilit sebuah sabuk kulit besar dan
pada sabuk ini tergantunglah sebuah tongkat ro-
tan sebesar betis yang kedua ujungnya berkeluk.
Dewa Tongkat berdiri di muka pintu pondoknya
dengan melipat kedua tangan di muka dada. Di
sampingnya tegak orang kedua yaitu si gadis baju
merah murid tunggalnya yang bernama Kemala-
dewi.
"Orang-orang liar mana yang kesasar ke si-
ni dan berteriak macam monyet lapar?!" tanya
Dewa Tongkat. Suaranya keras sekali dan meng-
gema ke seluruh lembah tanda dalam bicara itu
dia telah mempergunakan tenaga dalamnya yang
tinggi dan hebat. Diam-diam kelima prajurit Ban-
ten jadi merinding bulu tengkuk mereka.
"Dewa Tongkat!" seru Mahesa Kelud. Dia
kini yang bicara menjawab kata-kata si orang tua
sakti. Tak lupa pula pemuda ini mempergunakan
tenaga dalamnya yang tinggi sehingga suaranya
pun bergema di seluruh pelosok lembah. Kelima
prajurit itu jadi bergetar gendang-gendang telinga
mereka. Si Dewa Tongkat mengernyitkan kening
tanda dia tak dapat menekan perasaan terkejut
ketika mendengar suara yang keras tajam Mahesa
Kelud itu. "Kami datang membawa perdamaian
dan persahabatan. Harap dimaafkan jika kami
mengganggu ketenteraman lembahmu! Tapi ketahuilah, muridmu telah mencuri sesuatu dari ke-
lima prajurit Banten ini. Kami datang untuk me-
mintanya kembali!"
Kemaladewi, murid Dewa Tongkat menga-
takan sesuatu pada gurunya. Sang guru kemu-
dian berkata: "Siapa pun yang hendak membuat
urusan dengan muridku dipersilahkan datang
sendiri ke sini! Tapi jika tidak sanggup, maka se-
baiknya siang-siang tinggalkan lembah ini. Jika
kalian keras kepala ada baiknya bila kusuruh ka-
lian meninggalkan kepala masing-masing di sini!"
"Dewa Tongkat, kalau persoalan kecil ini
hendak kau besar-besarkan sesungguhnya akan
membuat namamu menjadi buruk saja. Mana ada
guru bijaksana membela muridnya yang kurang
ajar, menghina prajurit-prajurit Kerajaan serta
mencuri topi?!" sahut Mahesa Kelud pula.
"Orang muda! Kau bicara terlalu berani!
Kau mengandalkan ilmu kepandaian apakah?!
Apa hubunganmu dengan lima manusia kacung
Istana itu?! Berapa ringgit kau disuapnya mau
ikut-ikutan ke sini untuk mengambil topi-topi
tengik itu?!"
"Sebagai seorang yang dihormati oleh tokoh
dunia persilatan seharusnya kau memberikan
contoh yang baik! Apa tidak malu membela murid
demikian rupa?! Mengambil milik orang lain wa-
lau bagaimana pun tidak berharganya milik itu
tetap namanya mencuri! Akan luntur nama to-
koh-tokoh dunia persilatan lainnya jika terlalu
banyak murid-murid mereka menjadi maling!"
Mendengar ini maka marahlah si Dewa
Tongkat. Kedua kakinya bersitekan pada lantai
rakit kemudian tubuhnya melayang ke muka lak-
sana anak panah lepas dari busur. Untuk sampai
ke tepi danau dia hanya mempergunakan dua ba-
tang rotan sebagai tempat berayun. Tak lama se-
sudah dia menginjakkan kaki di tepi danau maka
muridnya, Kemaladewi, juga sampai di sana dan
berdiri di sebelahnya. Kelima prajurit merasa gen-
tar melihat manusia kurus tinggi ini. Mahesa
sendiri yang bertubuh tegap dan tinggi hanya
sampai seleher Dewa Tongkat.
Sebagai orang yang tahu diri, bagaimana
pun beringasnya dia bersahut-sahutan kata den-
gan si Dewa Tongkat namun di hadapan orang
tua ini Mahesa Kelud segera menjura. "Dewa
Tongkat," katanya. "Sebagai orang luar sebenar-
nya aku tidak pantas untuk ikut campur dalam
urusan ini. Tapi apa mau dikata aku sudah terli-
bat padahal maksudku adalah untuk memisah.
Aku tidak tahu kalau muridmu telah memper-
mainkan lima prajurit ini dan melarikan topi-topi
mereka! Walau bagaimana pun yang sudah berla-
lu bisa dilupakan. Aku harap muridmu sudi men-
gembalikan topi prajurit-prajurit ini." Mahesa Ke-
lud melirik pada Kemaladewi dan saat itu baru
dia menyadari kalau si gadis baju merah sudah
sejak tadi memperhatikannya. Pada detik pan-
dangan mata mereka saling bertemu membayan-
glah warna kemerahan pada kedua pipi si gadis
yang tadi putih dan licin. Si gadis mengatupkan
bibirnya rapat-rapat dan memandang ke tempat
lain.
"Eh, orang muda, tadi kau bicara begitu
berani, begitu gegabah! Sekarang berhadap-
hadapan denganku mengapa merendah! Nyalimu
mulai kecut huh?!" bentak Dewa Tongkat pula.
"Dewa Tongkat, siang-siang kami sudah
beritahukan bahwa kedatangan kami membawa
persahabatan dan perdamaian. Kalau tadi aku bi-
cara agak keras dan kasar adalah karena kau
yang lebih tua telah memulainya lebih dahulu!"
Dewa Tongkat menyapu kelima prajurit
yang di hadapannya dengan pandangan mata
menyorot. "Tikus-tikus Kerajaan, jika kalian in-
ginkan topi-topi tengik itu kembali majulah berli-
ma sekaligus! Layani aku barang beberapa jurus!
Jika kalian berhasil mengalahkanku dalam tiga
jurus topimu akan kembali!"
Sudah barang tentu kelima prajurit itu ti-
dak berani menyambut tantangan si orang tua
sakti. Maka meledaklah tertawa si Dewa Tongkat.
"Manusia-manusia kintel berani-berani datang
kemari, pergilah kalian!" katanya. Bersamaan
dengan itu dia melambaikan tangan kanannya.
Apa yang terjadi benar-benar mengagumkan. Ke-
lima prajurit itu ada yang mental, berguling bah-
kan ada yang jungkir balik ketika kena disapu
oleh hantaman angin dahsyat yang keluar dari
tangan Dewa Tongkat! Mahesa memandang pada
mereka yang bergelimpangan di tanah dan kemu-
dian berdiri dengan nanar. Pukulan tenaga dalam
si Dewa Tongkat luar biasa namun Mahesa mak-
lum itu hanya pukulan yang dilakukan untuk ti-
dak mencelakai lawan. Jika tenaga dalam itu diisi
dengan aji kekuatan lain, pasti kelima prajurit
tersebut sudah mati konyol semua. Melihat ini
Mahesa mengerti bahwa si Dewa Tongkat tidaklah
sejahat sebagaimana mulutnya yang kasar dan
keras!
Orang tua itu berpaling dan menyeringai
kepada Mahesa. Kedua tangannya sudah beru-
lang lagi di muka dada. "Pemuda, kau masih in-
ginkan topi itu, barangkali?"
"Benar Dewa Tongkat. Aku telah salah tu-
run tangan dan merugikan kelima prajurit itu,"
jawab Mahesa.
Si orang tua mengambil tongkatnya yang
tersangkut pada sabuk besar di pinggangnya.
"Mari kulihat, apa kepalamu cukup keras untuk
menerima pukulan tongkatku ini! Jika kau bisa
bertahan sampai tiga jurus kau menang dan topi-
topi busuk itu akan kukembalikan! Mulailah!"
Sebelum Mahesa Kelud membuat gerakan
tiba-tiba Kemaladewi maju ke muka. "Guru," ujar
gadis, ini dengan suara yang merdu. "Untuk
menghadapi pemuda yang datang minta digebuk
ini mengapa guru harus mengotorkan tangan? Bi-
ar murid yang beri sedikit pelajaran padanya!"
Dewa Tongkat tertawa. "Bagus, bikin melin-
tir dia dalam tiga jurus, Kemala!"
Gadis itu mengeluarkan rotan berkeluknya.
Tongkat rotan ini sama panjangnya dengan yang
di tangan sang guru namun lebih kecil, tak ada
setengahnya. "Pemuda, keluarkan senjatamu!"
tantang Kemaladewi dengan suara yang tinggi dan
kerlingan mata tajam menyambar.
Saat itu, satu-satunya senjata yang dibawa
oleh Mahesa ialah "Pedang Dewa" pemberian gu-
runya si Suara Tanpa Rupa. Namun dia tidak
mau mengeluarkan senjata itu begitu saja karena
memang pedang tersebut tidak boleh dipakai
sembarangan. Sekedar untuk tidak mengecewa-
kan hati lawannya Mahesa Kelud kemudian me-
matahkan sebatang rotan!
Diam-diam si Dewa Tongkat jadi terkejut.
Mematahkan sebatang rotan bukan satu hal yang
mudah, tidak seperti mematahkan kayu atau
ranting pohon karena rotan bersifat lemas dan
liat! Tapi kini disaksikannya sendiri bagaimana
pemuda itu mematahkan rotan seperti dia mema-
tahkan sebuah ranting kering saja! Hati si Dewa
Tongkat jadi tertarik pada pemuda ini.
Dengan tongkat rotan panjang tiga jengkal
di tangan kanannya maka berkatalah Mahesa,
"Nah. Saudari, sebagai tuan rumah kau silahkan
memulai duluan."
Kemaladewi tertawa. Gadis ini memang
berhati periang, lucu dan suka menggoda orang.
Dia menggerakkan kaki kanannya sedikit, meng-
geser kaki kiri dan memutar tongkat berkeluk di
tangannya. Ujung yang berkeluk tongkat si gadis
menyambar ke dada Mahesa. Jika serangan ini
dielakkan maka ujung tongkat yang berkeluk
akan melesat secepat kilat ke arah leher. Bagian
yang berkeluk akan merenggutkan batang leher
lawan yang mana bisa mengakibatkan tanggalnya
tulang leher dari persendiannya atau sekurang-
kurangnya mengalami keremukan!
Tapi anehnya, diserang demikian Mahesa
Kelud sama sekali tidak mengelak bahkan meng-
gerakkan tubuh atau menangkis pun tidak! Ke-
maladewi menjadi ragu-ragu untuk meneruskan
serangannya. Di samping sebenarnya dia memang
tidak tega untuk menciderai pemuda yang semen-
jak tadi telah menarik hatinya, maka dia juga me-
rasa berhutang budi karena waktu diserang lima
prajurit Mahesa Keludlah yang telah menolong-
nya. Mau tak mau Kemala memiringkan tongkat
rotannya dan senjata itu melesat ke samping, ti-
dak jadi menghantam dada si pemuda.
Jika si Dewa Tongkat melihat adanya keti-
dak beresan dalam serangan yang dilancarkan
muridnya itu maka lain halnya dengan Mahesa.
Pemuda ini tersenyum, meski dia tidak tahu apa
yang menjadi alasan namun memaklumi bahwa
lawannya tidak mau melukainya.
"Saudari, seranglah yang benar. Kalau ti-
dak tongkatmu akan kurampas dalam tiga jurus!"
kata Mahesa Kelud pula.
Ucapan pemuda ini disambut si gadis den-
gan tertawa cekikikan. Tongkatnya berputar se-
perti titiran, menyambar kian ke mari untuk ke-
mudian merasuk tajam ke arah pinggang Mahesa
Kelud dengan sangat tiba-tiba! Untuk kedua kalinya Mahesa tidak mengelak atau pun menang-
kis. Rotan yang di tangannya disorongkannya ke
muka sembarangan saja. Dengan lengan kirinya
Kemaladewi memukul tongkat lawan. Sebelum
terpukul Mahesa cepat meninggikan tangannya
dan pada saat yang sama pula tongkat berkeluk
lawannya melesat ke kaki.
Dewa Tongkat kini puas melihat permainan
muridnya. Dia sudah memastikan bahwa dalam
jurus itu juga bagian yang berkeluk dari tongkat
rotan akan mengait pergelangan kaki kiri si pe-
muda! Akibatnya Mahesa akan terlempar ke uda-
ra setinggi beberapa tongkat. Tapi orang tua ini
jadi terkesiap ketika melihat bagaimana hal yang
sebaliknya kini terjadi. Tongkat panjang lurus
yang cuma tiga jengkal dan lebih kecil di tangan
si pemuda telah mengait bagian yang berkeluk
dari tongkat muridnya dan sedetik kemudian sen-
jata Kemaladewi melayang ke udara. Seperti besi
berani yang bertemu dengan besi biasa maka de-
mikianlah kemudian Mahesa mempergunakan
ujung tongkat rotannya yang diputar siam untuk
menempel senjata lawan lalu menyambutnya
dengan tangan kiri!
Rahang-rahang Dewa Tongkat kelihatan
bertonjolan sedang Kemaladewi sendiri berdiri
tanpa bergerak. Bibirnya yang kecil terkatup ra-
pat-rapat, pipinya yang montok berwarna kema-
rahan karena malu! Lawannya telah menjanjikan
akan merampas senjatanya dalam tiga jurus, tapi
nyatanya pemuda itu hanya memerlukan satu jurus! Namun di samping malu anehnya Kemalade-
wi juga merasa puas karena dia tak sampai melu-
kai si pemuda yang sangat menarik hatinya itu!
Mulut si Dewa Tongkat kelihatan komat-
kamit. Hatinya menggeram. Betapakah tidak! Ke-
maladewi sudah lebih dari lima tahun dididik dan
diajarinya ilmu silat permainan tongkat dan kini
tahu-tahu di hadapan mata kepalanya sendiri si
murid dikalahkan lawan cuma dalam dua jurus!
Hati guru mana yang tidak jadi gemas?! Tapi
meskipun demikian diam-diam guru sakti ini ha-
rus pula memuji kelihayan si pemuda, hatinya
tambah tertarik dan besarlah keinginannya untuk
mencoba sendiri Mahesa Kelud.
Sambil batuk-batuk Dewa Tongkat maju ke
muka. "Anak muda," katanya. "Kau berhasil men-
galahkan muridku. Ini membuat sudah sepantas-
nya dia mengembalikan topi-topi tengik itu. Ke-
mala, kembalikan topi tersebut!"
Dari balik pakaiannya si gadis mengelua-
rkan lima buah topi lalu melemparkannya ke ha-
dapan lima orang prajurit. Sesudah masing-
masing mereka mendapatkan topi kembali maka
membentaklah Dewa Tongkat. "Kalian tunggu apa
lagi?! Ayo pergi dari sini, kecuali pemuda ini!"
Dibentak demikian lima prajurit Banten
tersebut segera angkat kaki. Mereka lupa untuk
minta diri pada Mahesa, bahkan mengucapkan
terima kasih pun tidak!
Sesudah kelima prajurit tersebut mening-
galkan lembah maka berkatalah si Dewa Tongkat.
"Pemuda, terus terang saja hatiku tidak puas me-
lihat kekalahan muridku. Mari kita main-main
sebentar. Jika kau bisa mempertahankan diri
sampai tiga jurus memang kau pemuda gagah!"
Orang tua ini tidak menunggu jawaban
Mahesa lagi, dia menyerang dengan cepat. Tong-
kat rotannya yang sebesar betis membabat ke
muka mengeluarkan angin yang dingin dan hebat.
Mahesa Kelud tahu dengan siapa dia berhadapan,
karenanya tidak berani berlaku sebagaimana dia
tadi melayani si gadis. Jika orang tua ini mempu-
nyai gelar "Dewa Tongkat" tentu ilmunya tinggi
sekali. Sambil mengelak dengan mempergunakan
jurus ilmu pedang "Dewa Tongkat Dari Delapan
Penjuru Angin" Mahesa mengirimkan satu tusu-
kan tajam tepat ke pertengahan dada lawan. Me-
lihat ini Dewa Tongkat memutar tongkatnya se-
demikian rupa sehingga ujung berkeluk yang per-
tama dimaksudkannya untuk menyampok senjata
Mahesa sedang ujung kedua untuk menyambar
leher pemuda itu!
Mahesa harus mengakui kehebatan ilmu
tongkat si orang tua. Meskipun dia hanya bersen-
jatakan sebatang rotan yang panjangnya cuma ti-
ga jengkal namun dengan mempergunakan jurus-
jurus ilmu pedang ajaran gurunya si Suara Tanpa
Rupa maka dia tidak perlu khawatir akan dika-
lahkan dalam satu gebrakan saja. Bahkan tiga ju-
rus! Demikianlah sambil membungkuk melipat
kaki kiri pemuda ini mempergunakan batang
tongkat di tangannya untuk memukul bagian tengah senjata Dewa Tongkat sedang kaki kanannya
dipakai untuk mengirimkan tendangan dahsyat
ke selangkangan lawan!
Melihat ini cepat-cepat si Dewa Tongkat
melompat ke atas. Tendangan Mahesa lewat se-
dang Mahesa sendiri pada saat tongkat rotannya
hampir beradu dengan senjata lawan cepat-cepat
menurunkan tongkatnya karena dia maklum te-
naga dalam lawannya lebih tinggi dari yang dimi-
likinya. Si Dewa Tongkat melihat ini segera dipu-
kulkan ke bawah namun saat itu lawannya sudah
berguling menyelamatkan diri. Tongkat memukul
tanah, akibatnya tanah itu terbongkar dan berlo-
bang besar!
Ketika dia memutar tubuh maka Mahesa
Kelud sudah berdiri beberapa langkah di hada-
pannya. Pandangan mata Dewa Tongkat menyorot
dan juga kagum. Jurus yang dikeluarkannya tadi
adalah jurus yang tersulit dari ilmu tongkat cip-
taannya. Jarang ada manusia sanggup mengelak
bahkan juga balas menyerang membuat dia men-
jadi sibuk!
"Jurus kedua, anak muda! Hati-hatilah,"
memperingatkan si Dewa Tongkat. Tongkatnya
dipegang di bagian ujung dan diputar sampai
mengeluarkan suara menderu. Daun-daun pepo-
honan sekitar sana melambai-lambai, ikat kepala
dan pakaian Mahesa Kelud sendiri juga turut me-
lambai sedang tubuhnya terasa dingin oleh sam-
baran angin, tapi rasa dingin itu cuma seketika
karena dari balik punggungnya Mahesa Kelud
kemudian merasa adanya aliran hawa panas. Ini
tak lain adalah hawa panas yang keluar secara
aneh dari pedang sakti pemberian gurunya Suara
Tanpa Rupa yang diselipkannya di belakang
punggung!
Tahu bahwa lawannya tidak bisa dibikin
roboh dengan hawa dingin tongkat rotannya maka
tidak menunggu lebih lama si Dewa Tongkat sege-
ra menyerbu. Serangannya gencar bertubi-tubi.
Tubuh Mahesa Kelud untuk beberapa lamanya
terkurung oleh sambaran-sambaran dahsyat
tongkat besar lawannya. Kemaladewi yang berdiri
menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat
cemas. Karena jika gurunya sudah mengeluarkan
ilmu tongkat yang dinamai "kincir maut' itu berar-
ti cepat atau lambat tubuh si pemuda pasti akan
kena digebuk dan hancur remuk!
Jika si gadis cemas sedang si Dewa Tong-
kat gembira bahwa sebentar lagi dia akan sang-
gup merobohkan lawannya maka tidaklah demi-
kian dengan Mahesa Kelud. Pemuda ini tetap te-
nang. Dia tahu bahwa dirinya sudah kena diku-
rung. Dengan mengeluarkan satu bentakan keras
membelah udara maka berkelebatlah tubuhnya.
Tongkat rotan di tangannya bergerak hampir tak
kelihatan, berputar berlawanan dengan arah pu-
taran tongkat lawan. Inilah jurus yang dinamai
"seratus pedang mengamuk". Salah satu ilmu si-
lat yang merupakan bagian dari permainan Pe-
dang Dewa Delapan Penjuru Angin yang sangat
diandalkan dan baru pertama kali pula dicoba
oleh pemuda tersebut meskipun tidak dengan
mempergunakan Pedang Dewa itu sendiri. Tong-
kat di tangan Mahesa Kelud seakan-akan beru-
bah dari satu menjadi seratus banyaknya! Dan
dalam beberapa saat saja maka buyarlah seran-
gan-serangan tongkat berkeluk yang tadi begitu
dahsyat dari si Dewa Tongkat!
Kini jurus yang ketiga atau jurus terakhir.
Jika dalam jurus ini Dewa Tongkat tidak
dapat mengalahkan si pemuda maka betapa ma-
lunya, kemana akan ditaruh mukanya? Apa lagi
saat itu turut pula menyaksikan murid tunggal-
nya!
Dewa Tongkat untuk ketiga kalinya meru-
bah cara memegang senjatanya. Tongkat berke-
luknya kini dipegang di bagian tengah, dipergu-
nakan sebagai sebuah toya. Ketika dia menyerang
maka nyatalah bahwa serangannya lebih ganas
dan hebat dari pada jurus pertama ataupun ke-
dua tadi. Mahesa Kelud berlaku hati-hati. Dia ha-
rus memperhitungkan setiap gerakan yang di-
buatnya, kalau tidak kepalanya akan kena terpu-
kul atau lehernya terkait senjata lawan bahkan
mungkin lambungnya kena disodok sampai pe-
cah! Dalam menghadapi serangan-serangan gen-
car lawannya maka ilmu "Pedang Dewa Delapan
Penjuru Angin" benar-benar memberikan perto-
longan pada pemuda itu. Namun demikian saat
itu si Dewa Tongkat telah mengeluarkan salah sa-
tu dari ilmu simpanannya yang sangat lihay! Se-
rangan tongkat yang diperbuat seperti toya itu
cepatnya bukan main, tidak terduga dan yang
paling hebat ialah karena kebanyakan dari seran-
gan-serangan tersebut hanyalah berupa tipuan
belaka! Kalau saja Mahesa tidak berlaku tenang
dan bertindak sangat hati-hati pasti dia kena di-
celakai. Di samping itu si pemuda terpaksa pula
mempergunakan tangan kirinya untuk mengirim-
kan pukulan "karang sewu" karena dia maklum
bila si Dewa Tongkat sudah mengeluarkan ilmu
simpanannya maka Ilmu "Pedang Dewa" yang be-
lum sepenuhnya dikuasainya apalagi tanpa me-
megang pedang saktinya tidak sanggup dia
menghadapinya.
Bentakan dahsyat keluar dari mulut si De-
wa Tongkat! Mahesa merasakan tangan kanannya
tergetar dan sesaat kemudian disadarinya senja-
tanya sudah terlepas dari tangan! Tongkat itu
mental ke udara namun tidak mau dikalahkan
demikian saja. Biarlah tongkat tersebut terlepas
dan mental namun dia harus dapat pula memberi
hajaran pada lawan. Tangan kirinya bergerak
mengirimkan jotosan "karang sewu" disusul den-
gan tendangan kaki kanan! Dewa Tongkat mem-
babatkan senjatanya ke kaki dan menangkis pu-
kulan Mahesa dengan lengan. Namun kedua se-
rangan ini hanyalah tipuan belaka! Pada saat
yang sama tahu-tahu tinju kanan Mahesa menye-
linap ke dada kiri orang tua itu, tak sanggup di-
elakkan! Mahesa sendiri ketika tahu bahwa se-
rangannya bakal mengenai sasaran dia menjadi
ragu-ragu. Pemuda yang bijaksana ini maklum
bagaimana akan malunya si Dewa Tongkat bila di
hadapan muridnya sendiri dia kena dipukul oleh
lawan seorang pemuda belia lagi pula sebenarnya
terhadap si guru sakti dia tidak ada permusuhan
apa-apa. Kalau tadi mereka bertengkar gara-gara
topi maka itu pun sudah diselesaikan! Agar jan-
gan sampai mengecewakan atau menimbulkan
kemarahan pada diri lawan maka Mahesa sengaja
membuat pukulannya menjadi meleset! Dia me-
lompat menjauh dan sambil melompat menyam-
bar tongkatnya yang melayang ke bawah dengan
tangan kiri lalu berdiri dan menjura di hadapan si
orang tua sakti.
"Dewa Tongkat," ujar Mahesa Kelud pula.
"Ilmu tongkatmu hebat sekali sampai senjataku
terlepas. Aku mengaku kalah!"
Kata-kata merendah dari pemuda ini mem-
buat si orang tua hatinya seperti diguyur air se-
juk. Dia tahu bahwa tadi si pemuda kalau mau
pasti berhasil memukul dadanya. Juga pemuda
itu dapat pula menyambut senjatanya sehingga di
hadapan muridnya tindakan yang sengaja menga-
lah dari Mahesa membuat dia sebagai orang tua
tidak kehilangan muka.
Dewa Tongkat mendehem-dehem beberapa
kali lalu berkata: "Pemuda, kau hebat dan gagah
sekali. Siapa namamu?"
"Mahesa Kelud."
"Kau berasal dari mana dan siapa guru-
mu?"
"Aku cuma seorang pemuda gunung dan
mengenai guruku sekalipun diterangkan mungkin
kau tidak kenal, orang tua," jawab Mahesa.
Dewa Tongkat maklum kalau Mahesa Ke-
lud tidak mau memberikan keterangan tentang
asal usulnya serta gurunya. Dengan ramah orang
tua itu berkata: "Pemuda gagah. Kuharap kau ti-
dak menjadi gusar atas perbuatan murid serta di-
riku sendiri...."
"Hal yang sama juga kuharapkan kepada
kalian berdua," sahut Mahesa.
"Kalau begitu antara kita tidak ada lagi
apa-apa. Mari mampir minum teh ke pondokku,
Mahesa," kata Dewa Tongkat penuh keramahan.
"Terima kasih," jawab si pemuda dengan
menjura. "Sebenarnya aku sendiri sedang ada
urusan penting di pedalaman. Lain kali aku ber-
janji untuk bertandang ke pondokmu...."
"Kalau aku boleh tanya, urusan apakah
yang kau maksudkan itu?"
"Sedikit urusan pribadi, Dewa Tongkat,"
jawab Mahesa dengan tersenyum. "Aku minta diri
sekarang," katanya kemudian. Dia menjura dua
kali, kepada si Dewa Tongkat dan pada Kemala-
dewi.
Meskipun Mahesa Kelud sudah lama pergi
namun kedua mata Kemaladewi masih saja me-
mandang ke jurusan di mana lenyapnya pemuda
itu. Gadis ini baru sadar akan dirinya ketika ter-
dengar suara gurunya berkata di sampingnya.
"Pemuda itu gagah dan tinggi ilmunya."
Paras Kemaladewi menjadi semu merah
"Muridku," kata Dewa Tongkat pula. "Mari
kit kembali ke pondok."
Sesampainya di pondok rotan berkatalah
Kemaladewi. "Guru, sudah lama murid tidak me-
nyambangi nenek di desa. Jika diizinkan murid
bermaksud untuk pergi sekarang."
Dewa Tongkat agak terkejut mendengar ka-
ta-kata muridnya itu, tapi memang sudah lama
sekali Kemaladewi tidak mengunjungi neneknya
yang tinggal di sebuah desa jauh dari Lembah Ro-
tan.
"Jika kau memang sudah rindu pada ne-
nekmu, pergilah. Hati-hati di jalan dan jangan
mengganggu orang! Bisa berabe kalau aku terus-
terusan harus turun tangan!"
Kemaladewi tersenyum. Hatinya gembira
diperbolehkan pergi. Dia segera menjura memberi
hormat dan mohon diri kepada sang guru.
DELAPAN
SETELAH jauh meninggalkan Banten, da-
lam sebuah hutan baru Resi Mintaraya menurun-
kan tubuh Ismaya dari bahunya. Pemuda itu dis-
andarkannya ke sebuah pohon. Sebelum mele-
paskan totokan Ismaya, sang Real memeriksa du-
lu luka-luka bekas senjata tajam pada tangan
pemuda ini, juga, bekas-bekas jotosan lawan wak-
tu Ismaya dikeroyok oleh Raden Mas Tirta dan
Jaka Luwak. Ternyata luka-luka serta bekas pu-
kulan tersebut tidak berapa berbahaya. Sesudah
mengobati seperlunya baru Mintaraya mele-
paskan totokan di tubuh Ismaya
Pemuda yang tersandar ke batang pohon
ini membuka kedua matanya dan terheran-heran
mendapati dirinya berada dalam sebuah hutan
serta jadi lebih heran lagi waktu melihat di hada-
pannya tegak seorang berjubah biru, bermuka
putih, yang sama sekali tidak dikenalnya. "Orang
tua, kau siapa?" tanya Ismaya.
"Tak usah khawatir. Kita sama-sama dari
Pajajaran. Aku Resi Mintaraya dari gunung Hali-
mun."
Mengetahui hal ini segera Ismaya berdiri
dan menjura. Setelah menerangkan apa yang te-
lah terjadi dan di perbatasan Banten maka Resi
Mintaraya berkata. "Kau harus ikut ke gunung
Halimun bersamaku. Di sana kau akan mendapat
tambahan ilmu silat seperlunya bersama murid-
muridku yang lain guna mempersiapkan gempu-
ran besar-besaran terhadap Banten!"
Ismaya menjura sekali lagi. Hatinya senang
sekali mengetahui bahwa dia diambil murid oleh
Resi Sakti yang namanya sudah dikenal di selu-
ruh penjuru Kerajaan Pajajaran itu! Kedua orang
tersebut tak lama kemudian segera meneruskan
perjalanan.
Empat hari kemudian barulah tampak
puncak gunung Halimun di kejauhan. Lewat ten-
gah hari kedua orang yang berlari itu sudah mencapai lereng. Tempat pertapaan Resi Mintaraya
terletak di puncak gunung Halimun sebelah ba-
rat, yaitu sebuah kuil yang terbuat dari batu mar-
mar putih lantai dan dindingnya serta seng atap-
nya.
Jika melihat setan seribu muka yang san-
gat mengerikan rasanya tidaklah demikian terke-
jutnya kedua orang tersebut, terutama Resi Min-
taraya. Betapakah tidak! Ketika Mintaraya sampai
ke pelataran muka kuil kelihatan dua sosok tu-
buh terkapar di tanah. Keduanya adalah murid-
nya sendiri! Ketika diteliti ternyata mereka sudah
tidak bernapas lagi! Seperti harimau terluka maka
menggerenglah sang Resi. "Kuntawirya!" serunya
memanggil muridnya yang paling tua Kuntawirya
adalah nama sebenarnya dari Unang Gondola.
Pemuda ini sengaja memakai nama palsu yaitu
Unang Gondola ketika dia menyusup ke Banten
tempo hari dan mengikuti sayembara perebutan
kedudukan Kepala Balatentara Banten! "Kunta-
wirya!" teriak Resi Mintaraya sekali lagi dengan
suara menggeledek menggetarkan puncak gunung
Halimun, menggidikkan Ismaya. "Di mana kau...
Wirya?!" Namun tetap saja tak ada suara jawa-
ban.
Resi ini segera masuk ke dalam kuil dan
langkahnya terhenti dengan serta merta. Kedua
kakinya seperti dipakukan ke lantai kuil. Di ha-
dapannya, di sudut sana, dekat sebuah pendu-
paan besar duduk tersandar muridnya yang pal-
ing tua yaitu Kuntawirya. Muka pemuda ini pucat
pasi laksana mayat. Pakaiannya di bagian dada
penuh dengan darah. Pemuda ini mengerang se-
dang kedua matanya tertutup. Dari mulutnya
yang menganga mengalir darah kental berbuku-
buku! Sungguh mengerikan!
Mintaraya lari dan berlutut di hadapan
muridnya. Dipegangnya kedua bahu pemuda itu,
lalu diguncang-guncangnya. "Wirya! Kuntawirya!
Apa yang terjadi dengan kau dan saudara-
saudaramu?! Wirya!" Jawaban sang murid hanya-
lah suara erangan. Sang Resi sadar bahwa mu-
ridnya terluka hebat. Diperhatikannya kulit dada
Kuntawirya yang matang biru, darah yang berbu-
ku-buku dan memaklumi bahwa meski bagaima-
na pun nyawa muridnya ini tak bisa ketolongan
lagi! Namun demikian dicobanya juga mengalir-
kan tenaga dalam memberi sedikit kekuatan se-
kedar untuk dapat bicara. "Kuntawirya! Dengar,
ini aku gurumu! Siapa yang melakukan ini se-
mua, siapa?! Kunta! Jawab! Jawab!"
Suara erangan si murid terhenti, kedua
matanya terbuka tapi pemandangan pemuda ini
sudah sangat kabur sehingga tidak sanggup lagi
melihat apa-apa. "Kuntawirya, siapa yang mela-
kukan perbuatan durjana ini? Manusia mana?!"
"Guru..." desis Kuntawirya. Suaranya per-
lahan sekali, hampir tidak kedengaran. Dan
hanya sepatah kata itu sajalah yang sanggup di-
ucapkannya karena sedetik kemudian nyawanya
melayang bersama dengan suara erangannya
yang terakhir!
Darah Mintaraya mendidih. Kedua tangan-
nya terkepal! Kegeramannya tiada terperikan le-
bih-lebih karena dia tidak tahu dan tak dapat ke-
terangan sedikitpun siapa yang membunuh ketiga
orang muridnya itu!
"Bangsat! Jahanam! Manusia mana yang
melakukan perbuatan terkutuk ini! Siapa?!" te-
riaknya memaki-maki.
Dan adalah tidak terduga sama sekali ka-
lau saat itu tiba-tiba saja ucapan-ucapan lan-
tangnya itu mendapat jawaban dari belakang se-
buah arca besar di sisi kanan ruangan. "Minta-
raya... akulah yang membunuh ketiga orang mu-
ridmu itu! Aku datang ke kuil ini untuk mencari-
mu, tapi murid-muridmu menyerang mengantar-
kan nyawa!"
Resi Mintaraya terkejut, demikian juga Is-
maya. Sang Resi kemudian menghantamkan tinju
kanannya yang terkepal ke muka seraya berseru:
"Manusia atau setan keluarlah! Jangan bersem-
bunyi di balik arca!"
Arca besar yang terbuat dari batu itu han-
cur berantakan. Dan di belakang sana kelihatan-
lah berdiri seorang pemuda yang tak lain dari
Mahesa Kelud adanya! Pemuda ini karena men-
gambil jalan memotong telah sampai ke puncak
gunung Halimun lebih dahulu dari Resi Mintaraya
dan Ismaya. Ketika dia tiba di kuil dua orang pe-
muda muncul menemui dan membentak dengan
keras. Kedua orang ini tak lain dari pada murid-
murid Resi Mintaraya. Mahesa Kelud segera me
nanyakan tentang guru mereka. Murid-murid
Mintaraya ini tidak mau memberi keterangan
bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bertubi-tubi dengan menaruh kecurigaan terha-
dap Mahesa Kelud.
Diam-diam kemudian Mahesa mengetahui
bahwa Mintaraya bersama Ismaya belum sampai
ke sana. Karenanya pemuda ini segera minta diri.
Maksudnya dia akan bersembunyi dan menunggu
kedatangan sang Resi bersama Ismaya di bagian
yang lain dari puncak gunung. Namun sebelum
dia berlalu tahu-tahu kedua orang murid Minta-
raya menyerangnya dengan tiba-tiba. Meskipun
Mahesa berusaha untuk mengelakkan pertempu-
ran ini karena memang dia ke sana bukan untuk
mencari urusan dengan mereka melainkan untuk
menangkap hidup-hidup Ismaya, tapi sudah terla-
lu kasip. Sesudah sepuluh jurus berlalu Mahesa
berhasil mendesak kedua lawannya dan sebelum
habis lima belas jurus kedua murid Resi Minta-
raya ini roboh! Pada saat itulah muncul pemuda
ketiga yakni Unang Gondola alias Kuntawirya.
Melihat bagaimana kedua adik seperguruannya
terkapar tanpa nyawa maka Kuntawirya segera
mengamuk menyerang Mahesa Kelud. Maka ter-
jadilah pertempuran seru!
Untuk sepuluh jurus lamanya Kuntawirya
masih sanggup mengimbangi ilmu silat lawannya.
Namun sesudah itu dia mulai terdesak. Walau
bagaimana pun Mahesa Kelud memang bukan
tandingan Kuntawirya. Murid Resi Mintaraya itu
terdesak dan mundur terus ke dalam kuil. Pemu-
da ini sengaja mundur ke sana karena dia ber-
maksud untuk bisa mengambil salah satu senjata
yang berada di dalam kuil. Namun sebelum mak-
sudnya kesampaian jotosan tangan kanan lawan-
nya yang mengandung aji "karang sewu" telah
menghantam dadanya! Kuntawirya mental dan
terbanting, melosoh ke lantai tersandar ke dind-
ing! Dalam keadaan seperti itu darah keluar me-
nyembur dari mulutnya! Jangankan untuk mene-
ruskan perkelahian, untuk berdiri bangunpun
Kuntawirya tidak sanggup lagi!
Mahesa kemudian segera meninggalkan
kuil. Waktu dia berlari menuruni puncak gunung
mencari tempat persembunyian yang baik menan-
tikan kedatangan Resi Mintaraya mendadak di
bawahnya terlihat dua orang tengah berlari cepat
menuju puncak gunung! Pasti kedua manusia ini
adalah Resi Mintaraya serta Ismaya, pikir Mahe-
sa. Segera si pemuda kembali ke dalam kuil dan
bersembunyi di balik sebuah arca besar. Ketika
Resi Mintaraya sampai ke sana dan berteriak
memaki seperti orang gila maka menyahutlah
pemuda itu.
Melihat siapa yang berdiri di depannya
menggeramlah Mintaraya. "Anjing Banten! Kau
rupanya! Hari ini juga kucincang tubuhmu sam-
pai lumat!" Mintaraya menyambar sebuah pedang
yang tergantung di dinding dan dengan senjata ini
dia segera menyerbu Mahesa Kelud.
Sungguh hebat serangan Resi ini karena
tangan kiri serta tendangannya turut pula beker-
ja. Mahesa meloncat ke samping. Sambaran pe-
dang lewat hanya satu jengkal di muka hidung-
nya! Namun yang lebih berbahaya bagi Mahesa
Kelud adalah pukulan tangan kiri sang Resi. Ka-
lau arca batu yang besar sanggup dihancurkan-
nya berkeping-keping dengan pukulan jarak jauh
maka bisa dibayangkan bagaimana jika pukulan
tersebut mampir di tubuh manusia! Meskipun
Mahesa sudah digembleng oleh beberapa orang
guru sakti namun untuk menerima begitu saja
pukulan lawan dia tidak mau bertindak gegabah!
Sebelum Resi Mintaraya menyerang untuk
kedua kalinya, Mahesa Kelud cepat menjangkau
sebatang tombak yang tersandar di sudut ruan-
gan. Pedang dan tombak pun berkecamuklah.
Tubuh Mintaraya hampir tidak kelihatan yang
tampak hanya bayangan biru pakaiannya dan gu-
lungan sinar putih pedangnya! Dengan tombak di
tangan Mahesa Kelud mengeluarkan jurus-jurus
ilmu "Pedang Delapan Penjuru Angin". Sampai
dua puluh lima jurus di muka pemuda ini dapat
mengimbangi ilmu silat sang Resi bahkan dengan
menyertai serangan-serangan dengan pukulan
tangan kiri yang mengandung aji "karang sewu"
Mahesa berhasil mendesak Mintaraya. Namun da-
lam jurus ketiga puluh, ketika Mintaraya menge-
luarkan permainan pedang yang dinamainya "raja
pedang mengamuk" maka lumpuhlah setiap se-
tiap serangan Mahesa Kelud bahkan pemuda ini
kini yang kena didesak. Pedang Mintaraya bersiut
sambar menyambar. Meskipun Mahesa kemudian
mengeluarkan jurus yang diandalkan yang dipela-
jarinya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa yakni
jurus yang dinamai "seratus pedang mengamuk"
namun tetap saja dia tak berdaya untuk mem-
bendung serangan lawan. Dari sini Mahesa bisa
menjajaki bahwa kepandaian Resi dari Pajajaran
ini sekitar dua tingkat lebih tinggi dari kepan-
daian si Dewa Tongkat yang pernah dihadapinya
di Lembah Rotan beberapa hari lalu!
Mahesa terdesak ke dekat pendupaan be-
sar. "Trang!" Mata pedang beradu keras dengan
batang tombak! Senjata di tangan Mahesa Kelud
patah dua! Pemuda ini cepat mundur menjauhi
lawan. Waktu Resi Mintaraya memburunya den-
gan satu serangan berantai. Mahesa melempar-
kan kedua patahan tongkat ke arah sang Resi.
Patahan yang pertama melesat miring ke arah da-
da Mintaraya sedang yang kedua melesat dengan
bagian runcing mengarah bawah perutnya! Siapa
pun adanya orang yang diserang seperti ini dan
bagaimana pun lihay serta tingginya ilmu yang
dimilikinya namun akan sia-sia jika dia coba me-
nyelamatkan diri dengan jalan mengelak atau me-
lompat. Daya lesat patahan-patahan tombak itu
cepatnya bukan main karena dilempar dengan te-
naga lahir dan tenaga dalam. Jika dielakkan den-
gan melompat ke samping, maka tombak yang
menyerang miring akan tetap membentur tubuh
yaitu pada bagian tulang-tulang iga atau seku-
rang-kurangnya menyambar bahu! Jika dielakkan
dengan jalan melompat ke atas maka patahan
tombak yang menyerang lurus ada kemungkinan
akan menghantam bagian berbahaya di bawah
perut kalau tidak akan menancap di salah satu
paha! Kalaupun seseorang dengan segala keli-
hayannya masih bisa mengelakkan serangan
tombak sebelah bawah maka ini berarti dia me-
nyerahkan perutnya untuk dihantam mentah-
mentah oleh patahan tombak yang menyerang
miring!
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
diri dari patahan-patahan tombak tersebut ha-
nyalah dengan mempergunakan segala kemam-
puan yang ada, menangkisnya! Resi Mintaraya
yang sudah banyak pengalaman dalam ilmu silat
juga memaklumi hal ini. Pedang putih di tangan-
nya diputar sedemikian rupa. "Trang... trang!" Ke-
dua patahan tombak patah lagi dan mental ke
langit-langit kuil. Satu di antaranya menancap di
langit-langit tersebut!
Tanpa senjata tak akan mungkin bagi Ma-
hesa Kelud menghadapi Resi yang sakti ini. Kare-
nanya Mahesa segera mencabut pedang dewa
yang tersisip di punggungnya. Namun baru saja
tangannya bergerak Mintaraya sudah menyerbu
secepat kilat. Mahesa melompat ke samping. Pe-
dang lawan lewat tapi di saat yang sama tendan-
gan kaki kanan Mintaraya datang tiada terduga.
Dalam saat yang sedemikian sulitnya itu Mahesa
segera mendorong pendupaan besar setinggi ping-
gang yang terbuat dari batu di sampingnya. Ini
adalah suatu hal yang tidak dinyana oleh sang
Resi. Tak ada kesempatan lagi untuk menarik pu-
lang tendangannya. Akibatnya kaki dan batu
pendupaan beradulah!
Resi Mintaraya merasakan kaki kanannya
sakit bukan main. Ini menambah menggelegak
amarahnya saja sedang pendupaan yang diten-
dangnya tadi hancur berantakan! Kesempatan ini
dipergunakan di lain pihak oleh Mahesa Kelud
untuk mencabut pedang saktinya! Begitu "Pedang
Dewa" keluar dari sarungnya, maka kelihatanlah
sinar merah keluar dari senjata tersebut yang
menyilaukan mata, merambas ke setiap sudut da-
ri kuil! Meskipun sang Resi terkejutnya bukan
main melihat pedang di tangan lawan, namun ra-
sa terkejutnya itu tiada diperlihatkan
"Jika ini pemuda bukannya murid seorang
sakti luar biasa, mustahil dia bisa memiliki pe-
dang dahsyat ini." kata Mintaraya dalam hatinya.
"Atau mungkin ini sebuah senjata curian?!" Sang
Resi tak bisa bertanya-tanya dalam hati lebih la-
ma karena saat itu Mahesa Kelud sudah melom-
pat ke arahnya!
SEMBILAN
MESKIPUN serangan lawan dapat dielak-
kannya namun angin panas yang menyambar ke-
luar dari pedang bersinar merah itu memerihkan
mata dan menyengat kulit tubuhnya! Sang Resi
jadi bergidik. Pedang putihnya dipegang erat-erat
dan dengan cepat ilmu pedangnya dirubah. Gu-
lungan sinar putih dari pedang Mahesa Kelud
sambung menyambung di udara laksana dua ekor
naga yang tengah berkelahi! Kalau tadi Mintaraya
bisa mendesak dan menyerang pemuda itu secara
gencar maka setelah pedang "Dewa" berada di
tangan Mahesa suasana jadi berubah. Ilmu silat
dan tenaga dalam serta pengalaman memang Ma-
hesa lebih rendah, namun pedang sakti yang di
tangannya membantu pemuda ini dalam banyak
hal karena bukan Mahesa, tapi pedang itulah
yang seperti membimbing tangannya, bergerak
sebat kian kemari! Sudah bermacam tipu dan
berbagai serangan yang jitu dikeluarkan oleh sang
Resi, namun pedang di tangan lawannya seperti
mempunyai mata selalu saja dapat menangkis.
Dan setiap senjata mereka saling beradu Minta-
raya merasakan betapa tangannya tergetar serta
panas sedang mata pedang putih kelihatan gom-
pal! Dalam tiga jurus kemudian Mahesa Kelud
sudah berada di atas angin kembali dan mende-
sak lawannya ke sudut kuil!
Melihat kehebatan senjata lawannya, sang
Resi penasaran bukan main. Tangan kirinya ber-
gerak. Mahesa sambil menyerang berlaku waspa-
da karena dalam terdesak demikian Resi yang li-
cik ini mungkin akan mengeluarkan senjata raha-
sia. Tapi apa yang dikeluarkan Mintaraya dari ba-
lik jubah birunya ternyata adalah sebuah cambuk
kulit berwarna sangat hitam. Kehebatan senjata
ini ialah bisa dibuat seperti sebuah tongkat baja
yang keras untuk dipakai menghantam tubuh la-
wan sehingga berpatahan tulang-tulangnya! Na-
mun dapat pula dibuat lemas sedemikian rupa
untuk melilit dan merampas senjata lawan! Dan
memang inilah yang menjadi maksud Resi Minta-
raya yaitu hendak merampas pedang sakti di tan-
gan Mahesa Kelud. Dia maklum bahwa senjata itu
berbahaya sekali. Jika dia berhasil merampasnya
maka dalam satu dua gebrakan saja pasti dia da-
pat membabat putus leher si pemuda! Di samping
kehebatan-kehebatan di atas, juga cambuk angin
dingin yang tajam merasuk dan menusuk ke tu-
lang-tulang sungsum sehingga lawan yang masih
tanggung-tanggung memiliki tenaga dalam pasti
akan menggigil sekujur tubuhnya!
Dengan pedang putih membabat dari ba-
wah sedang cambuk diputar di udara maka me-
nyerbulah Resi Mintaraya. Mahesa Kelud melom-
pat ke atas dengan cepat. Pedang lawan lewat di
selangkangannya. Dengan kaki kiri pemuda ini
coba menendang sambungan siku Mintaraya tapi
pedang putih lawan membalik menyambar tulang
keringnya membuat Mahesa Kelud terpaksa me-
narik pulang kakinya kembali dan di saat yang
sama melompat ke bagian lain untuk mengelak-
kan sambaran cambuk hitam. Meskipun pemuda
ini berhasil melewatkan sambaran cambuk na-
mun sambaran angin dingin dan tajam yang ke-
luar dari senjata tersebut membuat sekujur tu-
buhnya menjadi dingin! Beberapa detik lamanya
pemuda ini jadi menggigil. Cepat-cepat dia kerah-
kan tenaga dalamnya namun sebelum itu terjadi
tahu-tahu dari gagang pedang "Dewa" yang di
tangan kanannya mengalir hawa panas yang me-
lumpuhkan dan mengusir hawa dingin jahat yang
menguasai tubuh Mahesa saat itu! Inilah kesak-
tian dan kehebatannya pedang merah pusaka si
Suara Tanpa Rupa itu!
Ketika melihat Mahesa Kelud tertegun be-
berapa detik lamanya. Resi Mintaraya menduga
bahwa pemuda ini sudah lumpuh oleh angin pu-
kulan cambuknya. Segera dia membacokkan pe-
dangnya ke kepala Mahesa Kelud. Namun pada
detik itu pula pedang merah di tangan si pemuda
menusuk pesat ke muka, tepat ke pusar Minta-
raya! Mau tak mau pedangnya yang hendak dipa-
kai membacok kepala lawan terpaksa diperguna-
kan untuk mengambil pedang merah tersebut!
Untuk kesekian kalinya terdengar suara nyaring
beradunya senjata itu dan untuk kesekian kalinya
pula pedang putih Mintaraya menjadi gompal ma-
tanya!
Saat itu mereka bertempur sudah sembilan
puluh jurus lebih! Dengan pedang putihnya Min-
taraya memusatkan segala serangan gencar ber-
tubi-tubi sedang cambuk di tangan kiri di samp-
ing untuk mempengaruhi tenaga dalam lawan ju-
ga senantiasa mengincar untuk melilit dan me-
rampas pedang sakti Mahesa Kelud. Demikianlah,
waktu Mahesa harus menangkis sebuah samba-
ran senjata lawan maka Mintaraya memperguna
kan kesempatan ini untuk menempel pedang Ma-
hesa Kelud! Serentak dengan itu cambuk hitam
datang meliuk dan melilit pertengahan pedang
merah. Dengan mengandalkan tenaga dalamnya
yang lebih tinggi sang Resi yakin dia akan dapat
merampas senjata pemuda itu. Namun betapa
terkejutnya ketika baik tangan kiri maupun tan-
gan kanannya terasa sangat panas! Tenaga dalam
yang dialirkannya lewat pedang putih, demikian
juga hawa dingin yang dikerahkannya melalui
cambuk hitam lumpuh semuanya bahkan kini
seperti didorong oleh sesuatu kekuatan dahsyat
berbalik menyerang dirinya sendiri! Inilah doron-
gan hawa panas yang keluar secara ajaib dari pe-
dang "Dewa" yang sakti di tangan Mahesa!
Sebelum dirinya mendapat celaka, Resi Pa-
jajaran ini sambil mengeluarkan seruan tinggi
melompat ke belakang beberapa langkah. Namun
kerugian tetap ada pada pihaknya. Sebelum lilitan
cambuk pada pedangnya lepas Mahesa mengge-
rakkan senjata itu sedikit dan "cris!" Cambuk hi-
tam yang sangat dibanggakan oleh Mintaraya pu-
tus dua!
"Laknat terkutuk!" maki Mintaraya dan
menerkam ke muka dengan kalap. Namun inilah
kesalahan besar yang dibuatnya. Kekalapan me-
nyebabkan dia tidak memperhitungkan langkah
serta posisi lawan. Maka ketika pedang merah
menyambar ke dadanya. Resi ini hanya mampu
miringkan tubuhnya. "Bret!" Jubah birunya robek
besar di bagian bahu! Masih untung kulitnya tidak terluka. Namun hawa panas perih membuat
dia terpaksa menjauhi lawan untuk mengerahkan
tenaga dalam mengusir hawa panas jahat senjata
Mahesa!
Tahu bahwa pemuda ini sukar dirobohkan,
lagi pula saat itu tak ada orang luar yang me-
nyaksikan pertempuran maka tanpa malu-malu
Resi Mintaraya berseru: "Ismaya! Bantu aku!"
Mendengar ini Ismaya segera menjangkau
sebuah golok panjang dan sebilah keris di dinding
kuil. Mintaraya juga memegang sebuah senjata
baru di tangan kirinya yakni sebatang tombak
yang ujungnya berbentuk garpu! Maka kini terja-
dilah pertempuran dua lawan satu! Empat senjata
dahsyat berkelebat mengurung sebuah pedang
sakti! Betapa pun tingginya ilmu Mahesa Kelud
namun masih tetap lebih rendah dari Mintaraya.
Betapa pun saktinya pedang di tangan pemuda
tersebut namun menghadapi empat senjata seka-
ligus memberikan pengaruh yang berat juga!
Mahesa tahu bahwa untuk dikalahkan be-
gitu saja oleh kedua orang lawannya memang ti-
dak mungkin. Namun baginya ini merupakan sa-
tu kesukaran karena dia harus menangkap Is-
maya hidup-hidup! Dalam satu gebrakan hebat
Mahesa berhasil membabat sampai puntung keris
di tangan kiri Ismaya. Begitu kehilangan senja-
tanya, Ismaya segera menjangkau senjata baru
dari dinding kuil. "Jika begini terus-terusan, bisa
berabe," pikir Mahesa. Dipercepatnya putaran
tangannya. Pedang sakti bersinar merah turut pula memberikan gerakan bimbingan. Pemuda ini
berhasil mendesak kedua pengeroyoknya ke luar
kuil! Di pelataran ini di mana terkapar mayat ke-
dua murid Mintaraya, pertempuran berjalan lebih
seru karena ruang gerak jadi lebih luas! Pakaian
ketiga orang itu, terutama Mahesa dan Mintaraya
sudah basah oleh keringat. Dari empat senjata
lawan yang dihadapi pemuda itu maka yang pal-
ing berbahaya ialah tombak berbentuk garpu di
tangan kiri Resi Mintaraya. Senjata ini senantiasa
dipakai untuk menusuk ke depan dan bagian-
bagian yang diserang adalah tempat berbahaya
seperti muka, tenggorokan, dada, atau bagian
bawah perut!
Yang membuat murid Embah Jagatnata
dari gunung Kelud ini menjadi mengkal ialah ka-
rena terhadap Ismaya dia tidak bisa menyerang
dengan sepenuh hati sebab dia takut pemuda ini
akan luka parah dan menemui ajalnya sedang
Ismaya harus ditangkapnya hidup-hidup untuk
diseret ke Banten sebagai saksi hidup atas
pengkhianatan Tirta dan juga sebagai jaminan
untuk dibebaskannya Raden Mas Ekawira dari
penjara!
Pertempuran memasuki jurus yang kesera-
tus lima puluh kini! Sebelumnya sudah berkali-
kali Mahesa mendesak kedua lawannya namun
berkali-kali pula dia harus mundur. Mengapa
Mahesa tidak sanggup memereteli lawan-
lawannya saat itu cukup dapat dimaklumi.
Selain Resi Mintaraya memang seorang
sakti kelas tinggi juga ilmu "Dewa Pedang Dari
Depan Penjuru Angin" belum keseluruhannya di-
kuasai Mahesa sedang penggemblengan yang di-
terimanya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa juga
belum selesai!
Dalam suasana berkecamuk itu tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa bekekehan: "He... he...
he... he... ada apa di sini? Ada apa di sini? Ka-
kakku Mintaraya, agaknya hari ini kau bertemu
dengan lawan yang lihay!"
Mahesa tidak berani memalingkan kepala
untuk melihat siapa yang bicara itu. Sebaliknya
ketika mendengar suara yang tinggi kecil tadi ma-
ka berserilah air muka Mintaraya. Dia juga tidak
menoleh tapi dia sudah dapat memastikan siapa
adanya yang bicara.
"Gandabraja!" serunya. "Kebetulan kau da-
tang! Ayo jangan berpangku tangan bantu aku
untuk mencincang bangsat ingusan ini!"
Orang yang baru datang ini bertubuh ge-
muk dan pendek. Keningnya lebar, berambut tipis
dan hidungnya sangat pesek, hampir sama rata
dengan pipinya yang gemuk! Namanya Ganda-
bradjasura, dari Ujung Kulon dan adalah adik se-
perguruan Resi Mintaraya! Sebagai adik sepergu-
ruan maka kepandaian Gandabradjasura adalah
satu tingkat lebih rendah dari Mintaraya, jadi ma-
sih satu tingkat dari Dewa Tongkat!
Gandabradja bukan seorang Resi kare-
nanya dia tidak mengenakan jubah seperti kakak
seperguruannya. Kedatangan Gandabraja ke pun
cak gunung Halimun itu ialah untuk menyam-
bangi saudara seperguruannya dan manusia ini
jadi terheran-heran ketika sampai di sana mene-
mui Mintaraya tengah bertempur melawan seo-
rang pemuda gagah yang bersenjatakan sebuah
pedang mustika sakti! Jika pemuda tersebut tidak
berilmu sangat tinggi niscaya kakak sepergu-
ruannya dan tidak akan bertempur dengan jalan
mengeroyok! Di samping itu Gandabraja sudah
melihat pula dua mayat terkapar di pelataran kuil
yang tak lain dari pada murid-murid saudaranya
sendiri!
Mendengar ucapan Mintaraya tadi, maka
Gandabraja pun melompat ke dalam kalangan
pertempuran. Di tangan kanannya tergenggam
senjata aneh yaitu seikat sapu lidi! Tapi meskipun
cuma seikat sapu lidi, bahayanya tidak kalah
dengan tombak berbentuk garpu di tangan kiri
Mintaraya. Bila kena tergebuk, kulit tubuh akan
menjadi hancur berkeriput sedang bila kena mata
pasti membutakan!
Dengan ikut campur nya Gandabraja maka
Mahesa segera maklum bahwa dalam waktu sing-
kat dia pasti tak akan berdaya. Pemuda ini mem-
bentak: "Orang-orang tua tidak tahu diri! Apa ti-
dak malu melakukan pengeroyokan?!"
"Tutup mulutmu! Sebentar lagi kau akan
mampus!" hardik Mintaraya.
"Eh, saudaraku Mintaraya..." ujar Ganda-
braja. "Biar saja dia mengumbar bacot! Kalau su-
dah mampus toh tidak bisa bicara? He... he...
he...!"
Mahesa menggertakkan gerahamnya. Tu-
buhnya berkelebat dan kini tampak hanya meru-
pakan bayang-bayang saja terbungkus oleh sinar
merah. Meski tahu bahwa dirinya akan mudah
dikalahkan namun untuk lari dari sana adalah
suatu pantangan bagi Mahesa, apalagi jika Is-
maya tidak pula dapat dibekuknya! Kalau pun dia
harus mati saat itu maka dia akan mati sebagai
seorang kesatria meskipun mungkin terdapat rasa
penyesalan berhubung sampai saat itu dua tugas
gurunya Embah Jagatnata yakni mencari pedang
bernama "Samber Nyawa" dan mencari manusia
bernama Simo Gembong belum dapat dilaksana-
kannya!
Dengan pedang sakti di tangan Mahesa
hanya bisa bertahan sampai lima belas jurus. Ju-
rus-jurus kemudiannya pemuda ini mulai terde-
sak hebat. Pedang Mintaraya sudah merobekkan
pakaian di bagian dadanya sedang sapu lidi Gan-
dabraja telah menggebuk paha kirinya. Pakaian-
nya di bagian itu hancur dan kulit tubuhnya me-
rah lecet, sakitnya bukan main
"Kita desak dia ke dalam kuil!" kata Minta-
raya. "Biar manusia ini mampus di sana disaksi-
kan oleh mayat muridku yang tertua!"
Gandabrajasura terkejut mendengar uca-
pan kakak seperguruannya itu. "Apa?! Jadi Kun-
tawirya juga dibunuh oleh keparat ini?! Kalau be-
gitu memang dia harus cepat-cepat mampus!" dan
manusia gemuk berhidung pesek ini menghantamkan sapu lidinya dengan ganas.
Keroyokan ke tiga orang itu membuat Ma-
hesa Kelud kini benar-benar terdesak dan dia di-
paksa mundur ke pintu kuil. Senjata-senjata la-
wan menderu-deru siap menggebuk tubuhnya
dan ini hanya tinggal waktu saja.
"Celaka! Apa yang harus aku perbuat!" ke-
luh Mahesa dalam hati. Gagang Pedang Dewa di-
pegangnya erat-erat. Tenaga dalam disalurkan
penuh. Cahaya merah berkiblat menggidikkan.
Tapi para pengeroyok yang berada di atas angin
sama sekali tidak merasa jerih. Di saat-saat yang
sangat kritis itu tiba-tiba terdengar seseorang
berseru nyaring
"Kakak bertahanlah! Jangan khawatir! Aku
segera membantumu!"
"Tuhan masih menolongku! Siapa orang
itu. Aku rasa-rasa kenal suaranya!" kata Mahesa
Kelud. Semangatnya timbul kembali. Pedang De-
wa dikiblatkannya ke atas. Cahaya merah menderu berbentuk setengah lingkaran!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar