Jumat, 29 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE MALAPETAKA DI PUNCAK HALIMUN

MALAPETAKA DI PUNCAK HALIMUN

 SATU


SELAMA menjadi pembantu Raden Mas 

Ekawira sudah beberapa kali Mahesa Kelud ikut 

bersama Kepala Pengawal Istana ini menumpas 

pasukan-pasukan Pajajaran yang membuat keo-

naran di sekitar perbatasan. Mahesa menunjuk-

kan kehebatan yang mengagumkan. Namanya se-

gera dikenal luas di kalangan prajurit Banten. Bo-

leh dikatakan dalam setiap peperangan di perba-

tasan dialah yang menjadi titik terang kemenan-

gan. Pihak Pajajaran bila mendengar bahwa Ma-

hesa Kelud turut ambil bagian dalam satu medan 

pertempuran, pagi-pagi segera mengundurkan di-

ri. Raden Mas Ekawira semakin senang terhadap 

pemuda digjaya ini. Namun demikian sejak bebe-

rapa waktu belakangan ini terjadi hal-hal yang ti-

dak dapat dimengerti oleh Raden Mas Ekawira 

dan Mahesa Kelud. Berkali-kali mereka mendapat 

kabar bahwa di satu desa di perbatasan musuh 

tengah menyerang ketika mereka datang ke sana 

ternyata tidak terjadi apa-apa. Tapi pada waktu 

yang bersamaan desa yang lain dihancurkan. Ke-

tika mereka datang ke desa itu tentu saja sudah 

terlambat. Bila malam tiba, pos-pos pertahanan 

rahasia pihak Banten yang biasanya sulit diketa-

hui musuh tahu-tahu diserang dan dibikin sama 

rata dengan tanah! Kerugian- kerugian dan keka-

lahan-kekalahan yang tak dimengerti ini berjalan 

terus sedang Kepala Bala tentara Banten, Raden


Mas Tirta, agaknya tidak memperdulikan peristi-

wa itu dan segala pertanggungan jawab diserah-

kan kepada Raden Mas Ekawira, padahal sebe-

narnya wewenang dan tugas Ekawira hanya seki-

tar istana dan paling luas daerah dalam kota. Un-

tuk maju ke medan pertempuran pasukan harus 

dipimpin langsung oleh Raden Mas Tirta. Namun 

sebagai orang bawahan bila diberi tugas oleh ata-

san Raden Mas Ekawira tak pernah menolak. Apa 

lagi mengingat dia mempunyai seorang pembantu 

yang hebat dan dapat diandalkan yaitu Mahesa 

Kelud. Namun demikian kekalahan-kekalahan be-

lakangan ini benar-benar tidak dimengertinya.

Pada suatu hari mereka baru saja menum-

pas satu pasukan besar musuh yang terdiri dari 

lima ratus orang di tapal batas sebelah selatan. 

Dalam perjalanan kembali ke kotaraja mereka 

berpapasan dengan dua orang utusan. Yang satu 

utusan Sultan Banten yang membawa perintah 

agar Raden Mas Ekawira datang menghadap saat 

itu juga. Sedang utusan kedua menerangkan 

bahwa musuh telah menyerang lagi tapal batas 

sebelah tenggara.

Raden Mas Ekawira berpaling pada Mahesa 

Kelud. "Mahesa, kau pimpinlah pasukan ke dae-

rah yang diserang itu. Aku sendiri dengan bebe-

rapa prajurit akan kembali ke kotaraja."

Maka berpisahlah kedua orang itu di sana. 

Mahesa Kelud membawa dua ratus prajurit me-

nuju ke tenggara sedang Raden Mas Ekawira me-

nuju ke kotaraja langsung menghadap Sultan di


istana. Entah mengapa dalam perjalanan kembali 

ini Raden Mas Ekawira merasa hatinya berdebar 

dan tidak enak.

Ketika dia memasuki istana, hatinya sema-

kin tidak enak. Beberapa orang perwira dan peja-

bat tinggi kerajaan memandang kepadanya den-

gan pandangan tidak enak, bahkan ada pula yang 

bermuka masam atau bermimik mengejek. Sultan 

sendiri air mukanya membayangkan kemarahan. 

Raden Mas Ekawira segera menjura memberi 

hormat. Kepala Pengawal Istana ini membuka 

mulut hendak bertanya tapi tidak jadi karena saat 

itu lebih dahulu Sultan Hasanuddin sudah berka-

ta dengan suara lantang.

"Manusia cecunguk! Manusia ular kepala 

dua! Dasar manusia turunan rendah, sudah dibe-

ri pangkat dan kedudukan tinggi masih saja hen-

dak berkhianat!"

Bukan main terkejutnya Raden Mas Ekawi-

ra mendengar makian ini sehingga kalau saat itu 

menyambar petir di depan hidungnya tidaklah 

sampai sedemikian rupa terkejutnya Kepala Pen-

gawal Istana ini!

"Sultan Yang Mulia," kata Raden Mas Eka-

wira dengan berusaha menguasai perasaannya 

"Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud 

ucapan Sultan itu."

"Kau hendak berkura-kura dalam perahu, 

hendak pura-pura tidak tahu huh?! Rahasiamu 

tuduh terbongkar, kedokmu sudah terbuka! Kau 

adalah pengkhianat besar! Musuh dalam selimut.


Perananmu yang menjadi kaki tangan Prabu Se-

dah selama ini sudah kami ketahui!"

"Sultan Yang Mulia, ini benar-benar suatu 

hal yang tidak terduga. Sejak Sultan memberi 

pangkat yang tinggi kepada saya, saya rasa tidak 

secuil pengkhianatan pun pernah saya lakukan 

apalagi sampai menjadi kaki tangan Raja Pajaja-

ran berkhianat terhadap Sultan dan kerajaan. 

Sultan tahu sendiri bahwa sayalah yang berkali-

kali memimpin pasukan Banten. Ini semua atas 

kepercayaan Sultan sendiri. Berkali-kali saya me-

numpas musuh. Tahu-tahu sekarang saya ditu-

duh pengkhianat besar, dicap musuh dalam seli-

mut, dikatakan ular kepala dua! Apakah...."

"Sudah tutup mulutmu, manusia bunglon!" 

bentak Sultan Banten. "Kau berusaha menyang-

kal tapi apakah kau bisa menolak bukti ini?!" 

Bersamaan dengan itu Sultan Hasanuddin me-

lemparkan segulung kertas yang ujungnya be-

rumbai-rumbai ke hadapan Raden Mas Ekawira. 

Ketika Raden Mas Ekawira mengambil gulungan 

kertas itu maka Sultan membentak lagi: "Bacalah 

olehmu! Aku ingin tahu apa yang kau akan kata-

kan nanti!"

Dengan tangan gemetar Raden Mas Ekawi-

ra membuka gulungan kertas yang ternyata ada-

lah sepucuk surat. Betapa terkejut dan membela-

laknya kedua mata laki-laki ini ketika membaca 

surat yang ternyata ditandatangani oleh Prabu

Sedah, Raja Pajajaran dan ditujukan kepadanya!


Adimas R.M. Ekawira,

Peranan dan bantuanmu selama ini kepada 

Pajajaran tidak mengecewakan dan merupakan 

jasa yang sangat besar. Seperti yang kau terang-

kan dalam suratmu yang terakhir bahwa pasukan 

Banten semakin lama semakin lemah, maka kuki-

ra sudah saatnya bagi kita untuk melakukan hal 

sebagaimana yang sudah kita rencanakan.

Usahakan untuk membawa pasukan Ban-

ten sebanyak-banyaknya dan menyeberang ke pi-

hak kami. Kita akan melakukan penyerangan me-

nentukan bersama-sama. Percayalah kita pasti 

berhasil. Banten akan sama rata dengan tanah. 

Mengenai keinginanmu untuk menjadi Patih Paja-

jaran dan memegang kuasa di Banten, tak usah 

khawatir. Kami dapat menyetujuinya. Menunggu 

kabar.

tertanda, 

PRABU SEDAH 

Raja Pajajaran

Berpercikan keringat dingin di seluruh tu-

buh Raden Mas Ekawira. Jari-jari tangannya ge-

metar sehingga surat itu terlepas dan jatuh ke 

lantai. Lututnya goyah dan hatinya seperti diba-

kar. Darahnya mendidih. Tulang rahangnya ber-

tonjolan sedang gerahamnya bergemeletukan. 

Kemudian meledaklah suaranya: "Fitnah! Sultan, 

ini adalah fitnah busuk belaka! Demi Tuhan seru


sekalian alam, saya berani bersumpah Sultan, 

bahwa saya sama sekali tidak mempunyai hu-

bungan apapun dengan Prabu Sedah dari Pajaja-

ran! Ini pasti fitnah kotor, fitnah busuk belaka!"

Sultan tertawa bergelak, air mukanya 

membayangkan keseraman. "Kau kira kami bodoh 

huh?! Tanda tangan itu adalah tanda tangan asli 

Prabu Sedah sedang surat itu ditujukan kepada-

mu! Tak usah menyangkal karena sama saja kau

seperti orang gila yang meminta tanduk kepada 

kucing!" Sultan Banten melambaikan tangannya 

kepada para pengawal: "Penjarakan dia!" perin-

tahnya.

Lemaslah sekujur tubuh Raden Mas Eka-

wira. "Sultan saya...."

"Tutup mulut!" hardik Sultan. "Mulai hari 

ini kau dipecat dari jabatanmu! Gelar Raden 

Masmu tidak berhak kau pakai lagi! Dan kalian 

para pengawal, jangan lupa untuk menukar pa-

kaiannya dengan pakaian biasa! Dia tidak pantas 

lagi mengenakan pakaian kebesaran itu! Dia 

pengkhianat busuk!"

Sesudah Ekawira dibawa ke penjara maka 

atas kehendak Sultan saat itu juga diadakan si-

dang darurat. Ketika sidang hampir selesai maka 

berkatalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara 

Banten. "Sultan sepanjang pengetahuan saya, 

Ekawira pengkhianat itu mempunyai seorang 

pembantu bernama Mahesa Kelud. Kalau Ekawira 

menjadi pengkhianat tentu pembantunya demi-

kian pula. Dan ketahuilah Sultan, pembantunya


ini entah datang dari mana dan diambilnya begitu 

saja, mungkin dia adalah mata-mata Pajajaran 

yang telah menghasut Ekawira sehingga sudah 

barang tentu dia lebih berbahaya daripada Ekawi-

ra sendiri!"

Berapi-api kedua mata Sultan Banten 

mendengar keterangan ini. "Raden Mas Tirta. Se-

bagai Kepala Balatentara Banten kuperintahkan 

kepadamu untuk menangkap manusia keparat 

itu! Dimana dia sekarang?!"

"Menurut laporan di tapal batas sebelah 

tenggara Sultan. Tengah memimpin sekelompok 

pasukan."

"Cepat kau pergi ke sana dan tangkap dia! 

Tarik mundur pasukan kita!"

"Siap, Sultan," jawab Raden Mas Tirta. Dia 

menjura dan berlalu.



DUA



MAHESA KELUD tengah membawa pasu-

kan kembali ke kotaraja setelah menumpas mu-

suh di bagian tenggara perbatasan ketika serom-

bongan pasukan dibawah pimpinan Raden Mas 

Tirta muncul di hadapannya. Mahesa segera me-

narik tali kekang kuda dan menjura kepada Kepa-

la Balatentara Banten itu dan bertanya "Raden 

Mas Tirta, mau kemanakah?!"

Jawaban Raden Mas Tirta adalah satu ben-

takan kasar. "Pengkhianat! Atas perintah Sultan


kau kami tangkap sekarang juga! Pengawal, lucuti 

senjatanya!"

Kedua mata Mahesa Kelud membelalak be-

sar. Prajurit-prajurit yang di belakangnya saling 

berpandangan dan terheran. Beberapa pengawal 

segera melucuti senjata Mahesa Kelud yaitu be-

rupa sebuah pedang yang tergantung di sisi ki-

rinya. Pedang ini adalah pedang biasa yang dibe-

rikan oleh Ekawira kepadanya. Pedang pemberian 

gurunya si Suara Tanpa Rupa disembunyikannya 

baik-baik di balik punggung. Tanpa mengacuhkan 

pengawal yang melucuti senjatanya itu Mahesa 

bertanya, "Raden Mas Tirta apa agaknya yang te-

lah terjadi? Mana kakang Ekawira?!"

"Sudah tutup mulutmu Mahesa! Bangsat 

yang kau tanyakan itu sudah diseret ke dalam 

penjara dan kau kaki tangannya akan segera me-

nyusul!" Jawab Raden Mas Tirta.

Tak mengerti Mahesa mengapa dia dikata-

kan pengkhianat padahal barusan saja dia habis 

menghancurkan dan mengusir pasukan musuh 

yang menyusup dan mengacau di perbatasan! 

Dan yang lebih membuat dia tidak enak lagi ialah 

keterangan Raden Mas Tirta bahwa Raden Ekawi-

ra sudah ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara 

dan dia akan segera pula menyusul. Saat itu mau 

saja dia mengamuk karena geramnya, tapi sadar 

bahwa dia tidak pernah membuat kesalahan ter-

hadap kerajaan apalagi berkhianat, maka tidak 

seharusnya dia melakukan itu. Buat apa melawan 

kalau dia adalah seorang yang benar dan jujur?


Jika dia melawan hanya akan memberatkan tu-

duhan yang bukan-bukan saja kepadanya. Dis-

amping itu Mahesa Kelud diam-diam memaklumi 

bahwa telah terjadi ketidak beresan di istana, di-

rinya dan diri Raden Mas Ekawira telah difitnah 

oleh seseorang. Entah musuh dari luar entah dari 

kalangan dalam sendiri!

Demikianlah, tanpa banyak bicara lagi Ma-

hesa Kelud menurut dan dia digiring ke istana 

dengan pengawalan yang sangat ketat sekali ka-

rena Raden Mas Tirta khawatir pemuda itu akan 

melarikan diri di tengah jalan.

Di hadapan Sultan, Mahesa Kelud menju-

ra. "Sultan, kesalahan apakah yang telah aku 

perbuat sampai aku dituduh pengkhianat dan 

hendak dipenjarakan?!"

"Kau manusia rendah tak usah banyak 

tanya. Jika tuanmu seorang pengkhianat, kau se-

bagai hamba sahayanya tentu sama saja! Pen-

gawal, bawa dia ke penjara!" seru Sultan Banten 

memerintah.

"Sultan, sebaiknya...."

"Pengawal!" teriak Sultan memotong kata-

kata Mahesa Kelud. Empat orang pengawal ber-

senjatakan tombak kemudian datang untuk 

membawa Mahesa Kelud. Tangan-tangan yang 

kuat memegang lengannya. Namun ketika hendak 

dibawa betapa terkejutnya keempat pengawal itu 

karena tubuh si pemuda tak ubah laksana tiang 

besar bangunan istana yang tidak bisa digeser ba-

rang sedikitpun! Tanpa mengacuhkan keterkeju


tan keempat pengawal itu Mahesa berkata kepada 

Sultan Banten.

"Sultan, jika kau tuduh aku dan Raden 

Mas Ekawira sebagai pengkhianat, demi Tuhan 

aku bersumpah bahwa kami tidak pernah mela-

kukan pengkhianatan macam apapun! Kuharap 

Sultan suka melepaskan Raden Mas Ekawira dan 

mengusut perkara ini kembali. Aku tak ingin me-

lakukan kekerasan, tapi bilamana Sultan tidak 

mau mempercayai kata-kata saya yang jujur ini, 

saya terpaksa melakukannya...!"

"Lihat! Dasar manusia berbudi rendah! Bi-

caranya pun kurang ajar dan menantang!" seru 

satu suara dari samping. Tanpa menoleh Mahesa 

Kelud tahu bahwa yang berkata itu adalah Raden 

Mas Tirta.

Sultan sendiri tidak mengacuhkan ucapan 

Mahesa Kelud tadi malahan membentak kepada 

para pengawal: "Seret dia, lekas!"

Untuk kedua kalinya keempat pengawal itu 

menarik lengan si pemuda tapi tetap saja tubuh 

Mahesa Kelud tidak bergerak barang sedikitpun. 

Sultan mulai merasa ada yang tidak beres demi-

kian juga Patih Sumapraja. Dilain pihak Raden 

Mas Tirta memaklumi bahwa Mahesa Kelud ten-

gah memperlihatkan satu kesaktiannya.

"Sultan," kata Mahesa Kelud. "Jangan sa-

lahkan aku kalau saat ini terpaksa harus mela-

kukan kekerasan!" Pemuda ini membentak. 

Keempat pengawal yang berdiri di kiri kanannya 

menjerit dan mental jauh! Terguling di lantai!


Raden Mas Tirta, Sultan dan Patih terkejut 

bukan main. "Keparat! Kau berani melawan Sul-

tan? Rupanya kau sudah bosan hidup manusia 

rendah! Rasakanlah!" damprat Raden Mas Tirta. 

Dihunusnya keris pusakanya yang berkeluk tujuh 

dan dengan senjata itu dia menyerang Mahesa 

Kelud. Serentak dengan gerakan Kepala Balaten-

tara Banten ini maka beberapa hulubalang Sultan 

yang berkepandaian silat kelas utama segera me-

nyerang pula! Mahesa Kelud membentak lagi. Tu-

buhnya berkelebat. Raden Mas Tirta mengelua-

rkan seruan tertahan. Lengan kanannya yang 

memegang keris tergetar hebat, bahkan senja-

tanya hampir saja terlepas ketika satu pukulan 

dahsyat menghantam lengannya! Tiga orang hu-

lubalang Sultan melompat mundur sedang dua 

orang lainnya sudah roboh melingkar pingsan di 

lantai! Sungguh hebat gerakan "air bah membobol 

tanggul baja" yang telah dilakukan oleh Mahesa 

Kelud tadi sehingga dalam satu gebrakan saja dia 

berhasil membuat pengurungnya berantakan! Se-

belum semua orang habis dari rasa terkejut me-

reka maka tubuh Mahesa Kelud sudah lenyap!

"Raden Mas Tirta! Kerahkan pasukan! Cari 

dan tangkap manusia keparat itu!" perintah Sul-

tan. 

Raden Mas Tirta memasukkan kerisnya ke 

dalam sarung kembali. Dia baru menyadari kalau 

lengannya yang tadi terpukul kini dilihatnya 

bengkak dan berwarna merah membiru!

Kemanakah larinya Mahesa Kelud sehingga


dalam sekejapan mata saja pemuda ini hilang le-

nyap seperti gaib? Sesungguhnya dia tidak pergi 

jauh. Begitu berhasil merobohkan para penge-

royoknya, pemuda ini melompat lewat jendela. Se-

tibanya di halaman samping istana dia terus hen-

dak melompati tembok tinggi tapi mendadak dia 

teringat kepada Raden Mas Ekawira yang telah 

dipenjarakan. Serta merta pemuda ini membatal-

kan niatnya. Kedua kakinya menjejak tanah dan 

laksana seekor burung tubuhnya melayang ke 

atas wuwungan atap istana lalu bersembunyi dis-

ini. Dari atas wuwungan dapat dilihatnya bagai-

mana di bawah sana terjadi kesibukan-

kesibukan. Puluhan pengawal dikumpulkan. Ke-

mudian kelihatan Raden Mas Tirta menunggangi 

kuda putih menuju ke Timur diikuti kira-kira li-

ma puluh prajurit pengawal bersenjata lengkap 

yang juga menunggangi kuda. Mahesa tersenyum. 

Pemuda ini sudah maklum kemana tujuan orang-

orang itu. Tak lain ialah tempat kediaman Raden 

Mas Ekawira karena menyangka bahwa Mahesa 

Kelud telah lari menuju ke sana! Kemudian terli-

hat pula beberapa kelompok pasukan meninggal-

kan istana, memencar ke delapan penjuru.

Inilah saatnya bagi Mahesa untuk turun 

dari wuwungan itu. Kebetulan di bagian belakang 

dilihatnya seorang pengawal berdiri dengan tom-

bak di tangan. Mahesa berlari di atas wuwungan 

istana dan melompat turun. Sebelum pengawal 

tadi habis terkejutnya ketika melihat sesosok tu-

buh seperti burung saja layaknya melayang turun


dari atas atap istana, tahu-tahu rambutnya su-

dah dijambak orang!

"Prajurit! Kalau kau tidak mau mati konyol 

jangan berteriak! Beritahu dimana Raden Mas 

Ekawira dipenjarakan, cepat!" kata Mahesa Kelud.

"Aduh... aku... kau siapa? Heh....?!"

Mahesa menampar mulut prajurit itu sam-

pai berdarah. "Kau mau terangkan atau tidak?!"

Prajurit itu merintih kesakitan tapi menja-

wab juga dengan ketakutan. "Ikuti lorong itu..." 

katanya seraya menunjuk ke sebuah gang di ba-

gian belakang istana. "Membelok ke kiri, lalu ke 

kanan. Itulah penjara dimana Raden...." Mahesa 

tak perlu menunggu sampai prajurit ini mengak-

hiri keterangannya. Dengan dua jari tangan ki-

rinya ditotoknya pangkal leher si prajurit sehingga 

orang ini menjadi berdiri kaku tak bergerak seper-

ti patung. Dia berlari cepat menuju ke mulut 

gang. Tapi dari dalam gang mendadak muncul 

dua orang pengawal yang sedang meronda. Pen-

gawal-pengawal ini kenal baik dengan Mahesa Ke-

lud dan tahu bahwa dia adalah pembantu Raden 

Mas Ekawira yang sekarang dipenjara. Tapi meli-

hat sikap si pemuda saat itu, kedua pengawal itu 

menjadi curiga.

"Saudara, kau mau kemanakah?!" tanya 

salah seorang dari mereka.

"Sobat, kalian dengarlah..." kata Mahesa 

dan tahu-tahu tubuhnya melompat cepat maka 

kedua pengawal itupun menjadi patung-patung 

hidup karena mereka telah kena ditotok dengan


lihay kali oleh si pemuda. Mahesa membelok ke 

kiri, lalu di sebelah sana membelok lagi ke kanan 

dan terlihatlah deretan-deretan bangunan ber-

dinding tebal yang bagian mukanya diberi jeruji-

jeruji besi sebesar lengan. Di hadapan salah satu 

bangunan itu kelihatan berdiri dua orang pen-

gawal. Mahesa berlari menuju ke sana karena dia 

yakin disinilah Raden Mas Ekawira ditahan.

Pengawal-pengawal itu sedang memalang-

kan tombak mereka satu sama lain sedang tan-

gan yang lain siap mencabut pedang. "Mahesa Ke-

lud, kau mau apa ke sini?!" Agaknya keduanya 

belum tahu akan kehebohan yang terjadi di ista-

na.

"Raden Mas Ekawira ditawan di sini?!" 

tanya Mahesa. Dia melangkah lebih dekat. "Be-

nar. Ada apa?"

"Kalau begitu kalian minggirlah!" Pemuda 

itu menggerakkan kedua lengannya dan kedua 

pengawal terpelanting roboh ke samping, tergul-

ing di lantai gang dan pingsan!

"Mahesa, kau datang!" terdengar seruan 

dari dalam penjara dan Raden Mas Ekawira me-

munculkan diri di balik jeruji-jeruji besi. Tanpa 

menunggu lebih lama, dengan mempergunakan 

aji "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam je-

ruji-jeruji besi penjara sehingga bobol dan jeruji 

itu patah berantakan. Saking terkejutnya Raden 

Mas Eka sampai berdiri menganga dan membela-

lak, tak percaya ada pukulan tangan yang demi-

kian hebatnya. "Dimas...."


"Kakang, lekaslah sebelum pengawal-

pengawal lainnya mengetahui."

Karena terkejut dan tidak percaya itu, Ra-

den Mas Ekawira hampir lupa kalau saat itu se-

benarnya dia berada dalam penjara. Mendengar 

kata-kata Mahesa Kelud tadi baru dia sadar lalu 

cepat-cepat menyeruak di antara patahan jeruji-

jeruji besi. Sementara di bagian depan istana dan 

di dalam istana terjadi kesibukan-kesibukan ma-

ka dengan mudah Mahesa serta Ekawira melari-

kan diri dengan melompat tembok belakang ista-

na. Mereka mengambil jalan memutar dan mele-

wati bagian kota yang masih ditumbuhi oleh po-

hon-pohon rapat serta semak belukar lebat. Me-

reka sengaja mengambil jalan ini agar tidak ber-

papasan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang 

tengah mencari-cari mereka sehingga tidak perlu 

membuat urusan.

Sambil lari Mahesa Kelud berkata: "Gila 

sekali tindakan Sultan! Apakah buta matanya se-

hingga tidak tahu lagi siapa kita ini adanya? Kita 

berdua dicap pengkhianat, padahal beberapa 

waktu yang lalu, belum lagi ada setengah hari ki-

ta bersama-sama telah menumpas musuh-musuh 

Kerajaan!"

"Fitnah adimas! Fitnah! Pasti ada yang 

memfitnah kita. Kalau tidak Sultan tidak akan 

bertindak sebodoh itu!" sahut Ekawira yang saat 

itu hanya mengenakan pakaian sederhana saja 

karena sebelum dijebloskan ke penjara sebagai-

mana yang telah diperintahkan oleh Sultan, pakaian kebesarannya harus ditukar terlebih dahu-

lu!

"Kakang Ekawira, apakah kau bisa mendu-

ga siapa adanya manusia biang racun yang men-

jadi tukang fitnah itu?"

"Ada beberapa orang yang kucurigai. Tapi 

dugaanku berat pada...."

Ekawira tidak meneruskan kata-katanya 

karena melihat Mahesa Kelud yang berlari di se-

belah mukanya melambaikan tangan memberi 

isyarat lalu menghentikan larinya.

"Ada apa, dimas?" tanya Ekawira berbisik.

"Dengar baik-baik, ada suara orang saling 

bentak," balas Mahesa Kelud dengan berbisik pu-

la.

Kedua orang itu melangkah ke arah da-

tangnya suara lalu menyeruak di balik semak-

semak. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika 

melihat Raden Mas Tirta bersama seorang pemu-

da tampan tengah mengeroyok seorang laki-laki 

berpakaian sederhana yang saat itu sudah men-

dapat luka di beberapa bagian tubuhnya akibat 

tusukan-tusukan keris Raden Mas Tirta.

Bagaimana kepala Balatentara Banten ini 

bisa berada di tempat itu? Ketika Raden Mas Tirta 

bersama lima puluh prajurit sampai ke tempat 

kediaman Ekawira ternyata Mahesa Kelud yang 

mereka cari tidak ada di sana. Tempat kediaman 

tersebut mereka obrak-abrik dan mereka bakar. 

Saat itu datanglah seorang penunggang kuda 

yang tak lain dari Jaka Luwak adanya. Pemuda


itu membisikkan sesuatu pada Raden Mas Tirta 

lalu Kepala Balatentara ini berseru pada anak 

buahnya: "Kalian cari terus bangsat rendah itu. 

Aku akan pergi ke tempat lain untuk menyelesai-

kan satu urusan penting!"

Jaka Luwak mengajak Raden Mas Tirta ke 

suatu tempat dimana telah menunggu Ismaya, 

yaitu mata-mata Pajajaran yang jadi penghubung 

antara Kepala Balatentara Banten itu dengan 

Prabu Sedah. Keduanya turun dari kuda meng-

hampiri Ismaya.

"Bagaimana? Mana barang-barang hadiah 

yang dijanjikan itu?!" tanya Raden Mas Tirta.

"Raden Mas, kata Sang Prabu harap bersa-

bar dahulu sampai bulan depan. Sang Prabu...."

"Sang Prabu sialan!" bentak Raden Mas Tir-

ta. "Sudah tiga bulan aku menunggu dan selalu 

dijejali dengan janji-janji melulu. Sudah ratusan 

bahkan ribuan prajurit Banten yang kutipu sam-

pai mereka bisa ditumpas oleh Pajajaran dan ma-

sih menyuruh tunggu! Kalau barang-barang ber-

harga saja Rajamu tidak sanggup memberikan 

bagaimana dia akan mengangkat aku menjadi Pa-

tih?!"

"Kurasa mungkin bangsat bernama Ismaya 

ini yang mengantongi hadiah-hadiah yang diki-

rimkan Sang Prabu kepadamu, adimas," "kata 

Jaka Luwak.

"Memang aku juga menduga demikian! 

Manusia rendah ini tidak dapat dipercaya. Kare-

nanya harus mampus saat ini juga!" Serentak


dengan itu Raden Mas Tirta mencabut keris pu-

sakanya dan menyerang Ismaya. Jaka Luwak ti-

dak tinggal diam. Dengan tangan kosong dia maju 

ke muka, membantu adik seperguruannya.



TIGA



ISMAYA bukan seorang pemuda berkepan-

daian rendah, kalau tidak percuma saja dia men-

jadi mata-mata Pajajaran. Bertempur dengan Ra-

den Mas Tirta satu lawan satu belum tentu dia 

akan kalah meski sampai seribu juruspun. Tapi 

menghadapi dua saudara seperguruan itu sekali-

gus, memang terasa sangat berat baginya. Teru-

tama menghadapi Jaka Luwak, meskipun pemu-

da ini cuma bertangan kosong tapi lebih berba-

haya dari Raden Mas Tirta yang bersenjatakan ke-

ris. Pukulan-pukulan tangan kanan dan kiri Jaka 

Luwak datang bertubi-tubi, angin pukulannya te-

rasa dingin menggidikkan sedang keris di tangan 

Raden Mas Tirta datang menyambar-nyambar. 

Sudah beberapa kali Ismaya mengeluarkan pekik 

kesakitan karena kena ditusuk oleh keris itu. 

Yang membuat mata-mata Pajajaran ini mudah 

terdesak dan yang membuatnya tak habis menye-

sali diri adalah karena saat itu dia tidak memba-

wa senjata sama sekali!

Mengetahui bahwa dia tak akan bisa mela-

rikan diri ataupun menghadapi kedua lawannya 

itu maka setelah menderita, tusukan-tusukan keris Raden Mas Tirta mengamuklah Ismaya. Ilmu 

silat tangan kosongnya yang paling diandalkan 

yaitu yang bernama: "setan mabok" dikeluarkan-

nya. Dia bersedia bahkan sudah bertekad bulat 

untuk mengadu nyawa asalkan saja dia sebelum 

meregang nyawa sanggup merobohkan pula salah 

seorang pengeroyoknya. Tubuh pemuda itu berke-

lebat cepat. Namun cuma dua jurus dia bisa 

mengimbangi kedua pengeroyoknya. Ketika Raden 

Mas Tirta memutar kerisnya dengan cepat sedang 

Jaka Luwak mengeluarkan ilmu silat "burung ga-

ruda mengamuk" maka kembali Ismaya dibikin 

tidak berdaya dan terdesak hebat.

"Manusia-manusia rendah berhati bejat!" 

maki Ismaya. Suaranya keras, tapi bernada kepu-

tusasaan. "Mula-mula kalian mengkhianati Sul-

tan Hasanuddin dan kini hendak mengkhianati 

Prabu Pajajaran! Aku tidak takut mampus di tan-

gan kalian tapi guruku pasti akan datang untuk 

mematahkan batang leher kalian!"

"Ha... ha! Sudah tahu mau mampus masih 

hendak bermulut besar!" ejek Raden Mas Tirta 

dengan tertawa bergelak. Kepala Balatentara Ban-

ten yang tak lebih dari manusia ular kepala dua 

ini mengirimkan tusukan deras ke leher Ismaya. 

Si pemuda karena saat itu tengah mengelakkan 

pukulan maut Jaka Luwak yang menyerang da-

danya tidak sanggup mengelakkan keris! Pada de-

tik ujung keris itu tinggal seujung rambut lagi 

akan menembus leher Ismaya maka dari samping 

berkelebat sesosok tubuh dan tahu-tahu sebuah


keris ungu telah menangkis keris di tangan Raden 

Mas Tirta. Bunga api berpijar. Bukan main terke-

jutnya ke tiga orang yang tengah bertempur itu. 

Raden Mas Tirta sampai mengeluarkan seruan 

tertahan. Tangannya yang memegang senjata te-

rasa pedas dan cepat-cepat dia melompat ke bela-

kang.

"Anjing pengkhianat! Kau rupanya huh?!" 

bentak Raden Mas Tirta dengan beringas ketika 

melihat bahwa orang yang telah menangkis senja-

tanya tadi tidak lain dari pada Ekawira adanya! 

Dan darah Kepala Balatentara Banten ini tambah 

mendidih ketika melihat pula siapa yang berdiri 

saat itu disamping Ekawira. "Bagus! Dicari-cari 

kau sembunyi, sekarang datang sendiri mengan-

tar nyawa! Kangmas Jaka Luwak inilah dia dua 

manusia busuk pengkhianat kerajaan! Mari kita 

pecahkan kepala mereka!"

"Keparat rendah!" maki satu suara yang 

tak lain dari pada Ismaya. Pemuda itu berdiri 

dengan terhuyung-huyung. Bajunya penuh robe-

kan-robekan dan basah oleh darah. "Kalianlah 

manusia-manusia racun biang pengkhianat!"

"Setan alas! Kau minggir dan mampuslah!" 

teriak Raden Mas Tirta. Tendangannya meluncur 

ke pinggang pemuda itu. Dalam keadaan tak ber-

daya Ismaya mencoba mengelak namun tak 

urung pinggangnya masih kena tersambar. Pe-

muda ini terguling ke tanah tiada sadarkan diri

Waktu terjadi pengeroyokan tadi Mahesa 

Kelud yang bermata tajam segera memaklumi


bahwa sesungguhnya Jaka Luwak memiliki ilmu 

kepandaian beberapa tingkat lebih tinggi dari pa-

da Raden Mas Tirta. Maka dengan cepat Mahesa 

berseru: "Kakang Ekawira, kau hadapilah manu-

sia Tirta keparat itu. Aku akan melayani kaki tan-

gan manusia busuk ini!"

Maka tanpa banyak bicara lagi terjadilah 

pertempuran yang seru antara keempat orang itu. 

Raden Mas Tirta berhadapan dengan Ekawira se-

dang Jaka Luwak dengan Mahesa Kelud. Perkela-

hian antara Raden Mas Tirta dan Ekawira berja-

lan seimbang karena tingkat kepandaian mereka 

memang tidak banyak berbeda lagi pula kedua-

duanya sama-sama memegang keris.

Jaka Luwak yang menganggap enteng pe-

muda tandingannya jadi terkejut ketika dua kali 

berturut-turut serangan mautnya berhasil dielak-

kan oleh lawannya dengan menggerakkan tubuh 

sedikit saja. Dengan penasaran Jaka Luwak men-

girimkan lagi tiga serangan berantai yang hebat. 

Namun hasilnya tetap nihil bahkan pada jurus 

kelima ketika pukulannya ditangkis dengan ben-

turan lengan oleh lawan, Jaka Luwak terkejut dan 

mundur beberapa tindak! Tangannya yang beradu 

dengan lengan lawan tergetar hebat dan bengkak 

merah kebiruan! Menyadari bahwa lawannya le-

bih tinggi ilmu silat dan tenaga dalamnya dari 

yang dimiliki sendiri maka dengan cepat Jaka 

Luwak mengeluarkan senjata yang sangat dian-

dalkannya yaitu berupa sebuah cambuk rantai 

besi. Antara jarak tiap-tiap mata rantai dipasangi


dua buah besi kecil berbentuk mata kail. Sekali 

kaitan-kaitan besi itu menembus kulit lawan ma-

ka daging serta urat-urat akan sanggup ditarik 

sampai berbusaian keluar! Di dalam tangan Jaka 

Luwak yang hebat, senjata itu dapat berubah 

menjadi semacam tongkat keras yang bisa dipakai 

menotok jalan darah lawan dan bisa pula lepas 

sebagaimana cambuk kulit biasa!

Meskipun Mahesa Kelud agak heran meli-

hat senjata aneh lawannya itu namun diparasnya 

sama sekali tiada kelihatan rasa ngeri. Dia me-

nunggu dengan tenang, kedua kakinya terpentang 

memasang kuda-kuda. Jaka Luwak melompat 

melancarkan serangan pertama. Cambuk berduri 

di tangan kanannya membabat ke arah leher Ma-

hesa Kelud. Tubuh Mahesa tidak bergerak sedi-

kitpun. Pada saat cambuk tersebut hanya tinggal 

seperempat jengkal saja lagi tiba-tiba berkelebat-

lah tubuh pemuda itu. Mahesa merunduk. Senja-

ta lawan lewat di atas kepalanya.

Serentak dengan itu pemuda ini mengge-

rakkan tangan kirinya untuk memukul lengan 

lawan. Jaka Luwak yang sudah tahu bahwa tena-

ga dalam lawannya lebih tinggi bahkan tadi sudah 

merasakannya sendiri sampai lengannya bengkak 

biru dengan cepat menghindarkan diri ke bela-

kang. Namun tidak pernah diduganya, gerakan-

nya tersebut sudah diperhitungkan oleh Mahesa 

Kelud! Ketika dia melompat, lawannya mengait 

kaki kirinya. Tubuh Jaka Luwak terpelanting ke-

ras. Untung saja dia sudah memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi. Dengan memper-

gunakan ilmu tersebut murid Ki Balangnipa dari 

Gunung Gede ini jungkir balik menjauhi dan me-

nyabetkan cambuk berdurinya ke pinggang lawan 

ketika Mahesa coba memburunya.

Sesaat kemudian Jaka Luwak sudah berdi-

ri dengan mengertakkan geraham penuh geram. 

Lawannya bukan orang sembarangan. Sangat se-

dikit sekali harapan baginya untuk bisa menga-

lahkan. Tapi mengingat saat itu dia berada ber-

sama adik seperguruannya sendiri yaitu Raden 

Mas Tirta maka adalah sangat memalukan bila 

dia menundukkan kelemahan tak mampu mem-

bereskan lawan. Apalagi mengingat dia bersenja-

takan cambuk berduri yang sangat diandalkan itu 

sedang lawannya hanya bertangan kosong!

Ketika murid Ki Balangnipa itu menyerang 

kembali, maka gerakannya jauh lebih cepat dan 

penuh keganasan! Tubuhnya berkelebat kian ke-

mari mengeluarkan angin deras. Cambuk berdu-

rinya datang bertubi-tubi sedang tangan kiri dan 

kedua kakinya tidak tinggal diam, turut pula me-

lancarkan serangan-serangan mematikan! Semua 

kehebatan itu dihadapi oleh Mahesa Kelud den-

gan tenang.

"Jika kamu masih memiliki ilmu simpanan, 

keluarkanlah!"

Semakin panas hati Jaka Luwak menden-

gar ejekan ini. Namun segala kemarahannya itu 

tak dapat dilampiaskannya karena lawannya den-

gan sangat mudah selalu saja berhasil mengelak


kan setiap serangannya bahkan balas menyerang 

dan mendesak!

Pertempuran antara Raden Mas Tirta dan 

Ekawira sudah berjalan hampir lima puluh jurus 

sedang antara Mahesa dengan Jaka Luwak juga 

tak lebih dari itu. Kalau Raden Mas Ekawira be-

nar-benar harus mengeluarkan seluruh kepan-

daiannya untuk menghadapi Raden Mas Tirta 

maka bagi Mahesa Kelud yang melayani Jaka Lu-

wak tinggal menunggu waktu saja karena pemuda 

ini sudah maklum bahwa ilmunya lebih tinggi. Se-

lama turun gunung boleh dikatakan baru kali in-

ilah Jaka Luwak bertempur sampai lima puluh 

jurus. Napasnya meskipun belum mengendur tapi 

sudah tidak teratur. Saat yang ditunggu oleh Ma-

hesa Kelud tiba. Gerakannya berubah dengan 

mendadak dan dalam satu gebrakan saja maka 

mentallah tubuh Jaka Luwak! Pemuda ini tergul-

ing di tanah, cambuk berdurinya seperti direng-

gutkan oleh setan, hampir tiada terasa, terlepas 

dari tangannya dan berada dalam genggaman 

Mahesa Kelud! Kedua tangan murid Embah Ja-

gatnata ini bergerak dan seperti merenggut-

renggut benang saja layaknya. Mahesa memutus-

mutuskan mata-mata rantai cambuk berduri itu!

Pukulan yang dihadiahkan Mahesa yang 

membuat lawannya terpental dan terguling di ta-

nah tadi adalah pukulan "batu karang" yang di-

dapatnya dari Karang Sewu di gua Iblis tempo ha-

ri! Mahesa terkejut ketika melihat meskipun den-

gan tertatih-tatih Jaka Luwak masih dapat bangun dan berdiri sesudah menerima pukulan itu! 

Mahesa telah membuktikan, jangan tubuh manu-

sia, dinding karang yang atos dan tebal sekalipun 

hancur kena hantam pukulan Karang Sewu ter-

sebut!

Meskipun dia masih bisa berdiri namun se-

sungguhnya tubuh di bagian dalam Jaka Luwak 

sudah terluka hebat. Dadanya sangat sakit seper-

ti tulang dada dan iga-iganya melesak ke dalam, 

napas menyesak laksana orang bengek. Mahesa 

tidak menunggu lebih lama. Tubuhnya berkele-

bat. Dua jari tangan kirinya tahu-tahu sudah me-

notok pangkal leher Jaka Luwak. Pemuda dari Pa-

jajaran ini roboh ke tanah tak sadarkan dirinya. 

Jika dia mau, dengan mudah Mahesa mena-

matkan riwayat musuh besar Kerajaan Banten 

itu, namun itu tidak dilakukannya. Dia ingin me-

nangkap Jaka Luwak hidup-hidup untuk diseret 

ke hadapan Sultan Hasanuddin guna memper-

tanggung jawabkan segala perbuatannya dan juga 

sebagai saksi hidup pengkhianatan Raden Mas 

Tirta terhadap Banten! Dia berpaling memperha-

tikan pertempuran antara Raden Mas Ekawira 

dengan Raden Mas Tirta.

Seperti dinyatakan diatas ketinggian ilmu 

kedua orang itu hampir tidak berbeda karenanya 

pertempuran boleh dikatakan berjalan seimbang. 

Namun robohnya Jaka Luwak, kakak sepergu-

ruannya, sedikit banyak mempengaruhi Raden 

Mas Tirta. Semangatnya berkurang, nyalinya 

menciut dan ini membuat gerakannya dalam perkelahian itu menjadi kaku dan mulai kacau. Hal 

ini memberikan peluang baik bagi lawannya. 

Ekawira tak menyia-nyiakan kesempatan terse-

but. Dia mempercepat gerakannya. Raden Mas 

Tirta menjerit ketika keris ungu di tangan Ekawi-

ra menusuk lengannya dan berdarah! 

Sesudah mendapat tusukan ini maka daya 

tahan Kepala Balatentara Banten yang berkhianat 

dan bersifat ular kepala dua itu semakin berku-

rang. Satu tusukan lagi kemudian bersarang di 

bahunya. Dalam satu bentrokan senjata yang 

dahsyat akhirnya keris Raden Mas Tirta terlepas 

mental! Laki-laki ini melompat mundur. Mukanya 

pucat pasi. Keringat dingin sebesar butiran-

butiran jagung memercik di keningnya. Raden 

Mas Ekawira dengan keris terhunus di tangan 

melompat ke muka.

"Kakang Ekawira! Jangan bunuh dia! Dia 

harus diseret hidup-hidup ke hadapan Sultan!" 

seru Mahesa Kelud. "Bawa kuda-kuda kita kema-

ri," kata Mahesa Kelud. "Ketiga kunyuk-kunyuk 

ini harus kita hadapkan kepada Sultan dengan 

segera!".

Ekawira mengangguk! Tak lama sesudah 

Kepala Pengawal Istana Banten itu pergi Mahesa 

Kelud cepat-cepat melompat ke samping ketika 

dari belakang datang menyambar suatu benda 

yang mengeluarkan angin bersiuran, mendesing 

ke arahnya. Sebelum dia dapat melihat benda apa 

yang menyambar itu tahu-tahu seorang tua ber-

muka putih, berjubah biru berdiri kira-kira lima


belas langkah di hadapannya!

"Orang tua! Kaukah yang menyerangku?!" 

tanya Mahesa dengan gusar.


EMPAT



SEBAGAI jawab, orang tua berjubah biru 

itu mengebutkan lengan pakaiannya sebelah ka-

nan. Dari ujung lengan jubah ini menyambarlah 

angin pukulan yang keras dan tajam ke arah Ma-

hesa Kelud! Meskipun dia tahu bahwa pukulan 

tenaga dalam itu tidak bisa dianggap sembaran-

gan namun untuk sekedar menjajaki sampai di-

mana kehebatan lawan tak diundang ini maka 

Mahesa Kelud mengangkat tangan kanannya. 

Dua aliran tenaga dalam yang hebat saling berte-

mu dan bentrokan di tengah jalan lalu sama-

sama buyar!

Si jubah biru tidak kelihatan terkejut bah-

kan sebaliknya dia tertawa buruk dan mementang 

mulut: "Bagus orang muda! Rupanya kau punya 

sedikit ilmu untuk diandalkan huh?!" 

Kedua kaki si jubah biru bergerak. Bersa-

maan dengan itu tubuhnya berkelebat menyam-

bar ke arah Mahesa. Diserang secara ganas se-

demikian rupa murid Embah Jagatnata dari gu-

nung Kelud ini segera hindarkan diri ke samping 

seraya melipat siku coba menyodok tulang-tulang 

iga lawannya. Mau tak mau orang tua tersebut 

cepat menarik pulang tangan kanannya dan ganti


menyerang dengan tangan kiri! Kecepatan peru-

bahan gerakan ini memang luar biasa sekali!

Mahesa menjejakkan kaki ke tanah, tu-

buhnya naik setengah langkah dan ini mengaki-

batkan terjadinya bentrokan antara siku dengan 

lengan!

Mahesa Kelud terhuyung-huyung ke samp-

ing kiri. Tulang sikunya terasa sakit sedang si ju-

bah biru hanya merasakan lengannya tergetar. 

Dalam bentrokan ini Mahesa Kelud bisa menarik 

kesimpulan bahwa tenaga dalamnya kalah tinggi 

dengan tenaga dalam lawan! Satu hal yang tak bi-

sa dimengerti pemuda ini yaitu mengapa waktu 

saling bentrokan tenaga dalam jarak jauh tadi dia 

bisa membuat buyar tenaga dalam lawannya. Pe-

muda ini tidak tahu kalau si jubah biru waktu itu 

hanya mengeluarkan tiga perempat bagian saja 

dari keseluruhan tenaga dalam yang dimilikinya!

"Orang tua asing!" kata Mahesa Kelud se-

raya melompat keluar dari kalangan. "Antara kau 

dan aku tak ada urusan apa-apa bahkan baru 

kali ini bertemu. Mengapa kau menyerang aku?!"

Si jubah biru mengeluarkan tertawa berge-

lak. Dia menunjuk pada Ismaya. "Pemuda baju 

putih itu adalah murid sahabatku dan kau telah 

mencelakainya...."

"Bukan aku! Tapi kedua orang inilah!" po-

tong Mahesa sambil menunjuk pada Raden Mas 

Tirta dan Jaka Luwak.

"Kalian orang-orang Banten memang tu-

kang berdusta kelas satu! Walau bagaimanapun


aku cukup alasan untuk mematahkan batang le-

hermu!"

"Hmm..." gumam Mahesa Kelud. "Sudah 

murid sahabatnya ditolong masih berani memaki! 

Bukannya bilang terima kasih! Kalau pemuda 

yang hendak kau tolong itu musuh jahat dari Pa-

jajaran tentunya kau bilang musuh yang harus 

dienyahkan pula!"

Merah padam air muka si jubah biru. Ama-

rahnya naik ke kepala. Dia menerkam ke hada-

pan Mahesa Kelud dan perkelahian serupun ter-

jadi kembali! Dilihat dari tenaga dalam maka la-

wan Mahesa Kelud ini yaitu Resi Mintaraya dari 

gunung Halimun memang lebih tinggi. Sedang da-

lam ilmu mengentengi tubuh keduanya boleh di-

katakan seimbang. Ditinjau dari kedua hal terse-

but dapat dipastikan bahwa lambat laun Mahesa 

Kelud akan kena didesak dan tak sanggup mem-

pertahankan diri. Namun pemuda murid Embah 

Jagatnata ini mempunyai beberapa hal yang men-

jadi dasar keuntungan baginya.

Pertama dia masih muda berarti dia me-

nang dalam tenaga lahir. Kedua gerakan-

gerakannya jauh lebih gesit. Dan ketiga, apa yang 

membuat Resi Mintaraya harus berhati-hati da-

lam menghadapi ini pemuda ialah karena Mahesa 

memiliki aji pukulan "karang sewu"! Pada saat 

pertama kali Mahesa mengeluarkan ilmu pukulan 

tersebut. Resi Mintaraya tiada menduga sama se-

kali bahwa pukulan ini sangat berbahaya untuk 

ditangkis. Dia tahu bahwa tenaga dalam lawan


nya lebih rendah dari yang dimilikinya. Karena itu 

dia tidak ragu-ragu menyambut serangan Mahesa 

dengan pukulan pula! Namun betapa terkejutnya 

sang Resi ketika tubuhnya terjajar beberapa tin-

dak sedang jari-jari tangan kanannya terkelupas 

kulitnya!

Resi dari Pajajaran ini sudah berumur lebih 

dari enam puluh-lima tahun. Sudah banyak pen-

galaman dalam menghadapi musuh-musuh tang-

guh dari pelbagai daerah dan tingkatan. Namun 

adalah tidak terduga sama sekali kalau hari ini 

dia akan berhadapan dengan seorang musuh 

yang memiliki ilmu pukulan demikian tangguh-

nya! Dan musuh yang seorang ini kenyataannya 

adalah pemuda belia pula! Mintaraya memperce-

pat gerakannya. Tubuhnya laksana bayang-

bayang namun setiap kali dia harus menarik atau 

membatalkan serangannya ataupun melompat 

mengelak karena lawannya terus menerus melan-

carkan tangkisan dan serangan balasan dengan 

ilmu pukulan atau tendangan yang mengandung 

aji "karang sewu" Dengan sendirinya gemaslah 

sang Resi ini. Tapi untuk berbuat hal-hal yang di-

luar kesanggupannya yaitu merobohkan Mahesa 

sudah barang tentu tidak pula mudah bisa dila-

kukannya!

Karena kedua-duanya sama-sama berke-

pandaian tinggi, dalam waktu singkat lima belas 

jurus sudah berlalu tiada terasa. Dan pada saat 

itulah Raden Mas Ekawira muncul membawa dua 

ekor kuda. Sudah barang tentu Kepala Pengawal


Istana Banten ini menjadi terkejut sekali ketika 

dia datang ke situ menemui Mahesa Kelud den-

gan bertempur hebat dengan seorang tua berju-

bah biru bermuka putih. Ekawira mengerenyitkan 

keningnya. Dia rasa-rasa pernah melihat atau 

bertemu dengan orang tua ini. Dia berpikir-pikir 

dan akhirnya baru ingat bahwa manusia inilah 

yang dulu melarikan tubuh Unang Gondola yaitu 

lawan Raden Mas Tirta dalam sayembara pertan-

dingan merebut pangkat sebagai Kepala Balaten-

tara Banten! Waktu itu Unang Gondola sudah 

menang tapi tahu-tahu muncul seorang pemuda 

lain ke atas panggung yang juga berniat untuk 

mengikuti sayembara itu tapi terlambat. Pemuda 

ini tidak lain daripada Tirta. Tirta memang lebih 

tinggi ilmunya. Setelah bertempur puluhan jurus 

dia berhasil merobohkan Unang Gondola. Kepada 

Sultan Banten kemudian Tirta menerangkan 

bahwa Unang Gondola tak lain adalah seorang 

utusan rahasia Raja Pajajaran, musuh besar Ban-

ten yang menyusup! Dengan segera Sultan Ban-

ten memerintahkan untuk menangkap Unang 

Gondola! Namun pada saat itu entah dari mana 

datangnya melesatlah sesosok tubuh berjubah bi-

ru ke atas panggung dan membopong membawa 

lari Unang Gondola. Ketika Tirta dan pengawal-

pengawal istana menyerbu orang tua baju biru itu 

mengeluarkan senjata rahasia berupa kepulan 

asap putih tebal yang menyelimuti panggung dan 

sekitarnya. Ketika asap menipis, si Jubah biru 

bersama Unang Gondola sudah lenyap!


"Mahesa!" seru Ekawira. "Hati-hati! Orang 

tua ini licik, aku akan bantu kau!"

Sebagai seorang kesatria sejati Mahesa ti-

dak mau mengeroyok seorang lawan. Seandainya 

dia terdesak saat itu bantuan Ekawira belum ten-

tu mau diterimanya, apalagi dia masih sanggup 

mengimbangi lawan.

"Tak usah Kakang Ekawira," jawab Mahesa 

Kelud. "Aku masih sanggup melayani orang tua 

keblinger ini. Cuma kau berjaga-jagalah kalau 

benar dia licik tentu dia akan melarikan diri!"

"Pemuda sombong! Mulutmu terlalu besar! 

Sebelum kupecahkan kepalamu aku tak akan 

meninggalkan tempat ini!" kata Resi Mintaraya 

dengan suara lantang. Ilmu silatnya bersamaan 

dengan itu berubah cepat dan ganas. Namun te-

tap saja dia tak berhasil mendesak lawannya ka-

rena Mahesa senantiasa mempertahankan diri 

dengan tangkisan dan pukulan-pukulan "karang 

sewu" yang berbahaya. Mintaraya mengertakkan 

gerahamnya tiada henti karena geram. Kalau saja 

saat itu tidak ada orang ketiga yaitu Raden Mas 

Ekawira maka sudah sejak lama dia mengelua-

rkan senjatanya yakni sebuah ruyung. Sebagai 

seorang sakti dari gunung Halimun yang sudah 

dikenal di kalangan dunia persilatan terutama di 

daerah selatan namanya tentu akan luntur jika 

dia menghadapi lawannya dengan senjata sedang 

si pemuda sendiri bertangan kosong!

Namun si orang tua yang cerdik ini men-

dapat akal. Sambil terus menghadapi Mahesa dia


tiada hentinya mencaci maki memanaskan Eka-

wira.

"Perwira tinggi anjing Sultan Banten!" ka-

tanya. "Apa kau berlepas tangan saja membiarkan 

kawanmu ini akan kupecahkan kepalanya?! Ayo 

majulah! Biar roh busuk manusia ini mendapat 

kawan untuk pergi minggat ke neraka!"

Dengan memaki habis-habisan seperti itu 

Resi Mintaraya bermaksud memanaskan hati dan 

menaikkan darah Ekawira sehingga akhirnya Ke-

pala Pengawal Istana tersebut turut menyerbu 

mengeroyoknya. Dan jika ini terjadi maka Minta-

raya mempunyai cukup alasan untuk mengelua-

rkan ruyungnya! Tapi celakanya Ekawira tetap 

berdiri dengan tenang di tempatnya tanpa terpen-

garuh sama sekali oleh caci maki edan itu. Sang 

Resi tiada habis-habisnya mengutuk dalam hati. 

Dia tahu bahwa Mahesa tak akan sanggup men-

galahkannya namun maklum pula bahwa dia 

sendiri tak berdaya untuk merobohkan si pemu-

da. Tak ada jalan lain!

Mintaraya menggerakkan tangan kirinya ke 

dalam saku jubah. "Awas senjata rahasia!" se-

runya. Bersamaan dengan itu dari tangannya me-

lesat sebutir benda putih berbentuk bola. Di uda-

ra benda tersebut kemudian pecah kelihatan asap 

putih yang sangat tebal berbau amis menyelimuti 

daerah seluas hampir sepuluh tembok persegi! 

Mahesa Kelud tak dapat melihat apa-apa. Dia me-

lompat jauh ke belakang menghindarkan diri. Ra-

den Mas Ekawira yang berada agak jauh dari kalangan pertempuran masih dapat melihat bagai-

mana Resi Mintaraya hendak melarikan diri se-

dang di atas bahu kirinya terpanggul tubuh Is-

maya.

"Orang tua licik! Jangan harap kau bisa 

melarikan diri!" bentak Ekawira. Dia mencabut 

keris ungunya dan menyerbu. Namun walau ba-

gaimana pun tingkat kepandaian Kepala Pengawal 

Istana ini masih jauh di bawah sang Resi. Meski-

pun dengan memanggul tubuh Ismaya, namun 

sekali saja berkelebat maka terdengarlah jeritan 

Ekawira. Keris ungu terlepas mental dari tangan 

pemuda itu sedang lengannya sendiri yang kena 

tendangan terasa sakit bukan main! Ketika Mahe-

sa Kelud lari ke tempat itu Resi Mintaraya sudah 

lenyap!

Raden Mas Ekawira berpaling pada Mahe-

sa. Hatinya kecewa karena tak dapat menghalangi 

si orang tua yang melarikan diri. "Aku lupa men-

gatakan padamu bahwa manusia itu memiliki il-

mu asap yang ampuh...."

"Siapakah dia?" tanya Mahesa.

"Namanya Mintaraya. Seorang Resi dari Pa-

jajaran yang kalau aku tidak salah diam di gu-

nung Halimun! Dia guru Unang Gondola alias 

Kuntawirya." Ekawira kemudian menerangkan 

kepada Mahesa tentang kisah sayembara mempe-

rebutkan jabatan Kepala Balatentara Banten du-

lu. Sementara itu asap putih yang berbau amis 

sedikit demi sedikit mulai punah.

Tiba-tiba. "Mahesa. Lihat!"


Mahesa Kelud memutar kepalanya dengan 

cepat ke arah yang ditunjuk Ekawira. Dan apa 

yang dilihatnya kemudian sungguh mengerikan. 

Tubuh Raden Mas Tirta sudah berpindah tempat. 

Dia menggeletak di tanah sedang kepalanya pe-

cah, darah dan otak berhamburan!

"Rupanya masih sempat juga Resi terkutuk 

itu membalaskan dendam muridnya..." kata Eka-

wira.

Apakah yang telah terjadi dengan Raden 

Mas Tirta? Sewaktu berhasil memanggul tubuh 

Ismaya maka sebelum lari Resi Mintaraya masih 

sempat menendang kepala Raden Mas Tirta yang 

menggeletak pingsan di tanah. Hal ini dilakukan-

nya adalah untuk membalaskan dendam murid-

nya yang dulu dipecundangi oleh Tirta. Sekaligus 

dia juga membalaskan sakit hati Prabu Pajajaran 

serta rakyat Pajajaran karena kalau tidak gara-

gara Tirta tentu Unang Gondola alias Kuntawirya 

berhasil mendapatkan jabatan Kepala Balatentara 

Banten dan tentu pula saat itu Banten sudah di-

kuasai oleh Pajajaran!


LIMA



BETAPA hebohnya seluruh isi istana ketika 

Kepala Pengawal Istana Ekawira yang dinyatakan 

lari dari penjara bersama pembantunya Mahesa 

Kelud kini memasuki istana dan meletakkan dua 

sosok tubuh di hadapan Sultan! Yang Pertama


adalah tubuh orang yang diketahui sebagai Kepa-

la Balatentara Banten yaitu Raden Mas Tirta dan 

kini tubuh itu berada dalam keadaan kaku tegang 

serta kepala pecah dan tanpa nyawa tentunya! 

Yang kedua adalah sosok tubuh Jaka Lawak, 

yang berada dalam pingsan dan kaku karena dito-

tok jalan darahnya oleh Mahesa Kelud.

Sultan dan Patih Sumapraja memandang 

dengan melotot pada Ekawira dan Mahesa Kelud 

ganti berganti, demikian juga pejabat-pejabat 

tinggi dan para hulubalang istana.

Akhirnya Sultan membuka mulut juga. 

"Ekawira!" kata Sultan dengan suara lan-

tang. "Kau telah melarikan diri dari penjara...."

"Sultan yang Mulia!" memotong Mahesa Ke-

lud. Suaranya tak kurang lantang. "Lupakanlah 

dulu soal larinya Raden Mas Ekawira. Biarkan dia 

memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya ten-

tang siapa sebenarnya Raden Mas Tirta dan ma-

nusia Jaka Luwak ini!"

Sultan merasa gusar karena ucapannya di-

potong. Namun dia berkata juga. "Apa yang kau 

ingin terangkan?!"

Raden Mas Ekawira pun menuturkan sega-

la apa yang diketahuinya mengenai pengkhiana-

tan Kepala Balatentara Banten ini. Selesai men-

dengar keterangan tersebut jelas kelihatan peru-

bahan pada air muka Sultan. Namun dia tidak 

mau mempercayai begitu saja. Maka berkatalah 

Mahesa Kelud. 

"Sayang saksi hidup manusia bernama Is


maya itu sudah dibawa kabur oleh Resi Minta-

raya. Tapi Sultan, manusia yang satu ini pun bisa 

bicara dan memberi kesaksian!" Sesudah berkata 

demikian maka Mahesa melepaskan totokan urat 

darah pada dada Jaka Luwak.

Terdengar suara erangan keluar dari mulut 

murid Ki Balangnipa tersebut. Mahesa menjam-

bak rambutnya dan sekaligus menarik laki-laki 

itu ke atas sehingga kini Jaka Luwak jadi berdiri 

lurus-lurus di hadapan Sultan Banten. Muka la-

ki-laki ini sangat pucat tak ubahnya seperti muka 

mayat! Kedua bola matanya berputar memandang 

berkeliling.

"Jaka Luwak!" kata Sultan Banten dengan 

suara keras. "Apa benar kau serta Raden Mas Tir-

ta telah bersekutu dengan Pajajaran untuk meng-

hancurkan Banten?!"

Kedua bola mata Jaka Luwak yang tadi 

memandang berkeliling kini tertuju dengan kuyu 

kepada Sultan Hasanuddin. Tapi pemuda ini ti-

dak memberikan jawaban. Bahkan kedua bibir-

nya pun tetap terkatup rapat, hanya jakun-jakun 

di tenggorokannya saja yang kelihatan turun 

naik.

"Jawab!" bentak Mahesa Kelud seraya me-

nyentakkan jambakannya pada rambut Jaka Lu-

wak. Murid ki Balangnipa itu meringis kesakitan.

"Mahesa..." desisnya. "Jika aku harus mati 

di tangan kalian anjing-anjing Banten maka ma-

sih ada orang yang akan membalaskan sakit hati-

ku...."


Mahesa Kelud menampar pipi pemuda itu. 

Bibirnya pecah dan berdarah. Jika saja dirinya di 

bagian dalam tidak terluka hebat akibat pukulan 

"karang sewu" Mahesa tadi, maka saat itu sudah 

pasti Jaka Luwak mengadu jiwa menyerang murid 

Embah Jagatnata tersebut. Namun karena tak 

berdaya maka segala kegeramannya ditahan, 

meskipun rasa geram itu seakan-akan kobaran 

api yang membakar seluruh tubuhnya.

"Jawab!" bentak Mahesa untuk kesekian 

kalinya.

"Jika kau memberi keterangan dengan be-

nar dan jujur, aku bersedia menjanjikan keringa-

nan hukuman bagimu, Jaka Luwak," berkata Sul-

tan. Suaranya kali ini tidak sekeras tadi dan ber-

nada membujuk.

Jaka Luwak berpikir-pikir, jika dia mem-

buka mulut memberikan keterangan kemudian 

dipenjara maka mungkin ada harapan dia akan 

dapat melarikan diri. Tapi mengingat luka di da-

lam yang tengah dideritanya itu, dia menyangsi-

kan apakah umurnya masih lama atau hanya 

tinggal beberapa saat saja lagi. Akhirnya setelah 

dipikir masak-masak Jaka Luwak membuka mu-

lut juga memberikan keterangan. Hal ini adalah 

suatu yang lumrah. Seseorang, sekalipun sudah 

tahu bahwa nyawa atau umurnya tidak berapa 

lama lagi namun tetap berusaha melakukan se-

suatu yang dirasakannya bisa menyelamatkan 

nyawa memperpanjang umur! Tapi satu hal yang 

tidak terduga terjadi ketika pemuda itu baru saja


hendak membuka mulut untuk memberikan kete-

rangan. Dari jendela samping melesat tiga butir 

benda aneh berbentuk bintang dengan warna pu-

tih perak menyilaukan ke arah kepala, tenggoro-

kan dan dada Jaka Luwak!

Semua orang terkejut bukan main. Dalam 

keadaan yang kritis itu Mahesa melambaikan 

tangan kirinya maksudnya dengan kekuatan te-

naga dalam hendak membikin mental tiga benda 

berbentuk bintang itu yang tak lain dari senjata 

rahasia adanya. Namun karena serangan maut 

itu dilakukan dengan tiba-tiba dan sangat tak 

terduga, dari tiga hanya dua yang sanggup dibikin 

mental oleh Mahesa yaitu yang mengarah kepala 

serta tenggorokan. Senjata rahasia ketiga yang 

menghajar dada Jaka Luwak pada bagian mana 

sebelumnya dia telah kena hantaman pukulan 

"karang sewu!" Senjata rahasia tersebut menem-

bus dagingnya, hilang menyusup ke dalam tubuh 

dan menyambar jantungnya!

Tubuh Jaka Luwak kelojotan seketika. Da-

rah kental keluar dari mulutnya. Dan ketika Ma-

hesa melepaskan jambakan tangan kirinya pada 

rambut pemuda itu maka tubuh Jaka Luwak pun 

roboh ke lantai istana. Nyawanya melayang!

Bersamaan dengan itu dari luar jendela 

terdengar suara yang keras lantang. "Orang-orang 

Banten! Kalau hari ini aku terpaksa harus mem-

bunuh muridku sendiri, ingat baik-baik bahwa 

peristiwa ini hanya bisa ditutup setelah aku 

membunuh sepuluh manusia-manusia paling di


kasihi oleh Sultan Banten!"

Sementara semua orang terkejut menden-

gar suara itu maka Mahesa Kelud dan Raden Mas 

Ekawira sudah melompat lewat jendela. Sampai di 

halaman samping kedua pendekar ini masih sem-

pat melihat seorang laki-laki berpakaian hitam-

hitam berambut panjimu yang dikuncir ke atas 

tengah melompati tembok istana. Mahesa dan 

Ekawira memburu tapi sesampainya mereka di 

luar tembok manusia berpakaian hitam-hitam itu 

sudah lenyap seperti gaib ditelan bumi! Pada ta-

nah sekitar sana sama sekali tidak kelihatan be-

kas-bekas jejak kaki. Ini cukup menjadi pertanda 

bagi kedua pendekar tersebut betapa luar bi-

asanya ketinggian ilmu mengentengi tubuh si ba-

ju hitam!

"Percuma mengejarnya," kata Mahesa. "Kita 

kembali ke istana."

Raden Mas Ekawira mengangguk. "Manu-

sia itu pasti Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak dan 

Tirta!"

Ketika mereka masuk ke halaman samping 

baru kedua orang ini melihat bagaimana dekat 

jendela bergeletakan mayat empat orang pengawal 

istana! Ekawira mengenakkan gerahamnya. Dia 

masuk ke istana kembali bersama Mahesa lewat 

jendela.

"Menyesal sekali, Sultan," kata Raden Mas 

Ekawira begitu dia sampai di hadapan Sultan. 

"Pembunuh Jaka Luwak berhasil melarikan diri! 

Dia adalah Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak sendiri!"

Untuk beberapa lamanya ruangan besar Is-

tana Banten itu berada dalam kesunyian, tak ada 

satu orangpun bicara bahkan yang bergerak pun 

juga tidak. Beberapa saat berselang baru Sultan 

membuka mulutnya, memerintahkan kepada 

pengawal-pengawal. "Pengawal! Seret dua mayat 

ini dari hadapanku!"

Empat orang prajurit pengawal istana sege-

ra menjalankan perintah tersebut. Bekas-bekas 

darah yang menodai lantai marmar diseka sampai 

bersih.

"Sultan," Patih Banten Sumapraja membu-

ka mulut memecah kesunyian. "Apa yang akan ki-

ta lakukan sekarang?" tanyanya.

Sultan Banten memandang kepada Mahesa 

Kelud kemudian berpaling pada Raden Mas Eka-

wira. "Ekawira. Kebenaran keteranganmu menge-

nai pengkhianatan Tirta yang dibantu oleh Jaka 

Luwak masih disangsikan."

"Sultan," kata Ekawira dengan suara geme-

tar menahan perasaannya yang bergejolak. "Jika 

kami benar-benar pengkhianat busuk, apa per-

lunya kami datang kesini? Bukankah itu sama 

saja dengan minta ditangkap kembali bahkan 

mungkin akan dipancung?!"

"Tapi Ekawira, kedatanganmu kesini ber-

sama Mahesa Kelud dengan membawa mayat

Tirta serta Jaka Luwak yang dalam terluka parah 

bukan mustahil pula untuk memutar balik kenya-

taan. Membalikkan tuduhan! Dengan demikian


kalian berdua sekaligus mengharapkan pula un-

tuk mendapat balas jasa berupa pangkat atau ke-

dudukan tinggi!"

Jika Mahesa Kelud masih bisa menenang-

kan dirinya dari hawa amarah dalam mendengar 

kata-kata Sultan Hasanuddin itu maka lain hal-

nya dengan Ekawira. Tubuhnya menggigil. Da-

rahnya mendidih. Untung dia masih bisa berkepa-

la dingin. Kalau saja bukan Sultan Banten yang 

bicara demikian terhadapnya, pasti dia sudah 

menerjang ke muka dan menyobek mulutnya!

Sultan melambaikan tangan kirinya. "Pen-

gawal! Tangkap kedua orang ini! Jebloskan ke da-

lam penjara di bawah tanah!"

"Tunggu dulu!" kata Mahesa Kelud seraya 

maju ke muka. Suaranya lantang membuat dela-

pan orang pengawal yang hendak bergerak ke 

arah mereka jadi tertahan langkah. "Sultan, apa-

kah tidak ada lagi kebenaran dan keadilan di 

Banten ini?! Apakah kebenaran dan keadilan yang 

nyata akan putus demikian saja oleh fitnah serta 

tuduhan busuk yang tidak terbukti? Kami bukan 

bicara sombong atau ingin menonjolkan jasa, tapi 

apakah perbuatan baik yang kami lakukan demi 

menyelamatkan Kerajaan Banten beserta seluruh 

rakyat termasuk Sultan sendiri dibalas dengan 

tindakan yang sedemikian rendahnya?!"



ENAM


UNTUK beberapa lamanya Sultan terdiam 

mendengar kata-kata murid Embah Jagatnata itu. 

Ia seperti mencari-cari sesuatu untuk menda-

patkan sebuah akal. Kemudian:

"Hanya ada satu jalan bagi kalian," kata 

sang Sultan. "Jika kalian benar-benar ingin mem-

buktikan bahwa kalian bukan pengkhianat-

pengkhianat Banten dan bahwa kalian benar-

benar telah menyelamatkan kerajaan, maka salah 

seorang dari kalian harus dapat menangkap Is-

maya hidup-hidup dan membawanya ke hada-

panku!"

Mahesa dan Ekawira saling berpandangan. 

Kemudian bertanyalah Mahesa Kelud. "Mengapa 

hanya salah seorang dari kami yang ditugaskan 

untuk menangkap Ismaya? Mengapa tidak ber-

dua?"

"Salah seorang dari kalian harus tetap 

tinggal di sini, dipenjarakan sebagai jaminan!" ja-

wab Sultan Banten pula.

"Kalau memang itu menjadi keputusan 

Sultan, meski mungkin suatu keputusan yang ke-

liru, baiklah. Saya yang akan pergi mencari ma-

nusia Ismaya itu dan menyeretnya ke sini!"

Tidak bisa!" tukas Ekawira. "Saya yang 

akan pergi!" 

"Jangan bodoh kakang!" balik menukas 

Mahesa Kelud. "Aku tidak bermaksud merendah-

kan ketinggian ilmumu. Tapi sudah dapat dipas-

tikan bahwa Ismaya akan berada di tempatnya 

Resi Mintaraya. Di gunung Halimun. Di sana pasti ada pula Unang Gondola serta mungkin ditam-

bah dengan beberapa orang murid Resi Sakti ter-

sebut...!"

"Jika demikian kau sendiri pun belum ten-

tu akan sanggup Mahesa!" kata Ekawira.

"Betul, tapi inilah satu hal yang akan aku 

coba demi membukakan mata manusia-manusia 

dalam istana ini akan kebenaran yang nyata!" ja-

wab Mahesa. Oleh kata-katanya ini kelihatan be-

tapa air muka Sultan Hasanuddin menjadi me-

rah.

Ekawira berpaling pada sultan. "Sultan 

Banten," katanya dengan nada penuh keyakinan. 

"Sebelum para pengawal menjebloskanku ke da-

lam penjara di bawah tanah, maka dengarlah ini 

baik-baik. Jika Mahesa Kelud nanti kembali 

membawa Ismaya dan membentangkan kebena-

ran bahwa kami bukanlah pengkhianat-

pengkhianat maka pada saat itu juga aku akan 

melepaskan segala jabatan yang pernah diberikan 

kepadaku!" Pemuda ini berpaling kepada bebera-

pa orang prajurit yang sesungguhnya adalah 

anak-anak buahnya sendiri. "Lakukanlah perin-

tah Sultanmu!" katanya.

Empat orang pengawal maju dengan seren-

tak. Meskipun mereka merasa tidak senang mela-

kukan hal itu, menangkap atasan mereka sendiri 

namun di hadapan Sultan sikap ketidak senan-

gan mereka tersebut tidak mereka perlihatkan.

Sesudah Ekawira bersama pengawal-

pengawal tersebut menghilang di balik pintu besar maka berkatalah Mahesa Kelud. "Sultan, saya 

akan kembali membawa Ismaya! Dan nantikanlah 

saat-saat kenyataan bahwa sesungguhnya segala 

tindakanmu ini adalah keliru!" Pemuda ini memu-

tar tubuhnya. Sekali dia berkelebat maka dia pun 

hilang dari pemandangan.

* * *

Gunung Halimun, tempat dimana diketa-

hui Resi Mintaraya berdiam tidak dekat dari Ban-

ten, jauh di selatan pedalaman. Jalan ke sana su-

kar dan banyak rintangan. Hutan lebat boleh di-

katakan menghadang pemuda itu terus-terusan. 

Dan daerah yang nanti bakal dilalui Mahesa Ke-

lud itu adalah daerah Pajajaran sehingga bukan 

tidak mungkin pula pemuda itu akan terlibat da-

lam peristiwa-peristiwa yang tak terduga di ten-

gah perjalanannya!

Pada hari kedua, untuk kesekian kalinya 

Mahesa Kelud memasuki hutan lagi. Pohon-pohon 

besar tumbuh rapat. Rata-rata batang-batang po-

hon diselimuti oleh lumut hijau. Semak belukar 

merimbun menghalangi perjalanan, pukulan yang 

dikenakan oleh Mahesa banyak robek-robek ter-

kait ranting-ranting. Udara dalam hutan terasa 

lembab. Di satu bagian di mana pohon-pohon dan 

semak belukar tidak begitu rapat lagi pemuda ini 

menemui jalan agaknya memang bagian itu sering 

dilalui orang. Tanpa ragu-ragu si pemuda segera 

menempuh jalan tersebut. Namun belum lama dia


mengikuti jalan ini dia menjadi terkejut ketika 

mendengar suara beradunya senjata dan suara 

bentakan-bentakan.

Dari jalan biasa Mahesa kini berlari dan 

dalam waktu singkat dia pun sampai ke tempat di 

mana saat itu terjadi pertempuran hebat. Lima 

orang laki-laki berpakaian prajurit Banten tengah 

mengeroyok seorang gadis cantik berbaju dan 

bercelana panjang merah! Lima orang prajurit ini 

masing-masing bersenjatakan pedang sedang si 

gadis melayaninya dengan tongkat rotan berben-

tuk aneh. Tongkat ini pada kedua ujungnya ber-

keluk dan di tangan si gadis merupakan suatu 

senjata yang hebat berbahaya. Namun demikian 

ketinggian ilmu silat gadis ini agaknya tidak be-

rarti karena kelima orang lawannya adalah praju-

rit-prajurit Banten berkepandaian cukup tinggi 

sehingga Mahesa dapat melihat dengan jelas 

bahwa gadis cantik berbaju merah dan berkulit 

putih mulus ini berada dalam keadaan terdesak 

serta berbahaya keselamatannya. Anehnya si ga-

dis sendiri senantiasa tertawa-tawa. Sedang pada 

tangan kirinya kelihatan lima buah topi kain yang 

tak lain dari pada topi-topi kelima prajurit Banten 

tersebut!

"Gadis nakal!" bentak salah seorang dari 

kelima prajurit itu. "Sebentar lagi tubuhmu yang 

indah ini akan tersayat-sayat oleh senjata-senjata 

kami! Kecuali kalau kamu bersedia berlutut dan 

minta ampun!"

"Prajurit gelo!" kata si gadis dengan terta


wa. Suaranya merdu sekali. "Kalianlah yang ha-

rus berlutut di hadapanku. Kalau tidak tongkat 

rotanku ini akan memecahkan tempurung-

tempurung lutut kalian!" Bersamaan dengan itu 

tubuh si gadis laksana seekor burung menukik ke 

bawah dan tongkat rotannya menyambar ke lutut 

lima prajurit tersebut! Serangan ini memang he-

bat dan berbahaya serta menggunakan jurus yang 

aneh! Jika prajurit-prajurit tersebut tidak memili-

ki ilmu silat yang lumayan maka sekurang-

kurangnya salah seorang dari mereka pasti sudah 

kena dicelakai!

Meskipun gadis berbaju merah itu memiliki 

ilmu tongkat yang patut dikagumi serta gesit ge-

rakannya dan ilmu mengentengi tubuhnya tidak 

pula rendah, namun dikeroyok lima seperti itu 

mau tidak mau dia jadi mati kutu dan terdepak! 

Pada jurus-jurus selanjutnya Mahesa melihat ba-

gaimana si gadis baju merah kini membuat gera-

kan-gerakan yang memungkinkan kepadanya un-

tuk sewaktu-waktu dapat melarikan diri! Namun 

lawan-lawannya tidak bodoh dan detik demi detik 

keselamatan si gadis semakin besar terancam! 

Parasnya yang jelita dan berkulit putih itu kini 

kelihatan merah sedang keringat membasahi ke-

ningnya. Lawan sama sekali tidak memberikan 

kesempatan untuk lari kepadanya!

Mahesa Kelud tidak tega melihat kalau si 

gadis sampai mendapat celaka. Namun dia tidak 

pula ingin mencari permusuhan dengan kelima 

prajurit Banten tersebut meskipun sampai saat


itu hatinya tetap saja masih mengkal terhadap 

Sultan. Mahesa Kelud melompat ke muka seraya 

berseru: "Saudara-saudara, harap tahan dulu!"

Akan tetapi kelima orang prajurit itu yang 

rupanya tengah berada dalam keadaan marah se-

kali tidak memperdulikan seruan Mahesa. Bah-

kan sebaliknya mereka juga menyerang pemuda 

ini karena menyangka Mahesa adalah kawan atau 

saudara seperguruan dari si gadis!

Lagipula prajurit-prajurit ini sebegitu jauh 

tidak pernah tahu tentang hubungan Mahesa 

dengan Kerajaan Banten dan baru kali ini berte-

mu. Ini disebabkan karena sebagai prajurit-

prajurit penjaga perbatasan mereka jarang ke ko-

taraja.

Salah seorang dari prajurit ini memba-

batkan pedangnya ke bahu Mahesa Kelud. Pemu-

da ini mengelak cepat dan hampir tiada terlihat 

tangan kanannya bergerak maka tahu-tahu pe-

dang si prajurit terlepas dan sudah berpindah 

tangan! Bukan saja prajurit yang kena dirampas 

senjatanya, tapi juga keempat kawan-kawannya 

menjadi sangat terkejut. Tanpa dikomandokan 

maka mereka berhenti menyerang. Kesempatan 

ini di lain pihak dipergunakan oleh gadis baju me-

rah untuk melarikan diri dari situ dengan sece-

pat-cepatnya! Kelima prajurit coba mengejar na-

mun sia-sia saja. Si gadis baju merah sudah le-

nyap di balik pohon rapat dan semak belukar le-

bat. Mereka kembali ke tempat pertempuran itu 

dengan amarah meluap.


Yang tertua diantara mereka melintangkan 

pedang di muka dada dan berkata: "Orang muda! 

Tindakanmu sungguh ceroboh sekali! Kau tahu 

siapa gadis itu dan dengan siapa kau telah mem-

buat urusan?!"

"Tentang gadis cantik itu memang aku ti-

dak kenal. Namun siapa kalian cukup kumaklumi 

dari pakaian-pakaian kalian," jawab Mahesa Ke-

lud.

Jika saja dia tidak melihat bagaimana sa-

lah seorang kawannya dirampas pedangnya den-

gan sangat mudah dalam satu gebrakan yang cu-

kup memberi bukti bahwa Mahesa adalah pemu-

da berilmu tinggi, maka prajurit paling tua itu 

mungkin sudah memberi aba-aba kepada keem-

pat prajurit lainnya untuk menyerbu! Amarahnya 

ditahan dengan sedapat-dapatnya. Kawan-

kawannya yang lain juga tidak berani bertindak 

gegabah.

"Siapa gadis baju merah itu dan mengapa 

sampai kalian mengeroyoknya?"

"Pemuda, jika terang kau tidak ada sang-

kut paut dengan gadis itu mengapa memban-

tunya?!" balas bertanya si prajurit.

Mahesa tersenyum. "Bukankah sangat dis-

ayangkan kalau kulitnya yang putih serta licin itu 

sampai tergores oleh senjata-senjata kalian? Apa-

lagi kalau sampai daging tubuhnya mendapat lu-

ka-luka parah!"

"Tapi itu adalah akibat yang harus ditang-

gungnya sendiri! Dia gadis kurang ajar! Murid siDewa Tongkat!"

"Murid Dewa Tongkat? Hem... baru kali ini 

aku dengar manusia bergelar demikian.... Apa 

yang telah diperbuatnya terhadap kalian?"

"Kami tengah meronda sepanjang hutan 

ini. Antara Banten dan Pajajaran sudah sejak la-

ma terjadi permusuhan. Tiba-tiba dari atas pohon 

melompat satu bayangan merah dan tahu-tahu 

topi-topi yang ada di atas kepala kami lenyap! Se-

saat kemudian dihadapan kami berdiri seorang 

gadis remaja dengan tertawa cekikikan! Apa yang 

membuat kami menjadi sangat marah dan terhina 

ialah bahwa gadis inilah yang telah berlaku ku-

rang ajar, mengambil topi kami! Dari pakaian ser-

ta tongkat yang ada di tangan kanannya segera 

kuketahui bahwa dia adalah murid Dewa Tong-

kat. Karenanya aku dan kawan-kawan tidak mau 

berlaku kasar dan meminta agar topi kami yang 

diambilnya dikembalikan! Tapi si gadis kurang 

ajar membentak dan memaki kami bahkan ke-

mudian menyerang! Nah, pantaslah kalau manu-

sia kurang ajar seperti dia kau tolong?! Disamping 

topi kami dibawa lari pula! Ini benar-benar satu 

penghinaan bagi kami, bahkan bagi Kerajaan!"

Dalam hatinya Mahesa Kelud tertawa geli 

mendengar keterangan prajurit tersebut. Dia ber-

kata: "Tindakan si gadis memang tidak pantas. 

Tapi kalau dilihat kepada umurnya, dia agaknya 

masih berjiwa kanak-kanak...."

"Kanak-kanak?! Kalau dia murid seorang 

sakti, sudah memiliki ilmu tinggi dan sudah remaja seperti itu apa masih bisa disebut anak-

anak?!" tukas si prajurit.

"Saudara-saudara sekalian," kata Mahesa 

kemudian. "Memang aku salah. Salah karena ti-

dak tahu bahwa gadis itu telah membuat suatu 

penghinaan terhadap kalian. Tapi dari pada kita 

bicara berbantahan di sini, jika kalian tahu di 

mana tempat kediaman Dewa Tongkat itu, antar-

kanlah aku ke sana. Aku akan mintakan kembali 

topi-topi kalian."

"Orang muda, jangan bicara sinting! Dewa 

Tongkat seorang pertapa yang tak senang dida-

tangi tempatnya, apalagi jika untuk membuat 

urusan! Dia tak akan perduli siapa yang salah 

dan pasti akan berdiri di pihak muridnya! Kabar-

nya manusia ini bersifat cepat pemarah!"

"Jangan khawatir. Jika terjadi apa-apa aku 

yang akan menghadapi si Dewa Tongkat sedang 

kalian berlima bisa melayani gadis baju merah 

itu," kata Mahesa Kelud pula.

Prajurit yang berdiri di hadapan Mahesa 

memandang pada kawan-kawannya. "Anak mu-

da," dia berkata kemudian, "Aku dan kawan-

kawan memang telah melihat kelihayanmu. Tapi 

terhadap si Dewa Tongkat kau jangan main-main. 

Kau mengandalkan kepandaian apakah maka be-

rani menghadapinya?"

"Aku hanya mengandalkan bahwa kau dan 

kawan-kawanmu berada di pihak yang benar, 

yang telah dikurangajari oleh muridnya! Si Dewa 

Tongkat tentu namanya akan buruk di dalam dunia persilatan jika kita datang dengan baik-baik 

sebaliknya dia turun tangan berpihak kepada mu-

ridnya yang terang-terangan salah!"

Akhirnya kelima prajurit itu pun pergilah. 

Tempat kediaman Dewa Tongkat ialah di satu 

lembah. Tepat di pertengahan lembah ini terdapat 

sebuah danau penuh ditumbuhi oleh rotan. Kare-

na itulah lembah tersebut dinamakan orang Lem-

bah Rotan. Dewa Tongkat sudah puluhan tahun 

tinggal di Lembah Rotan sehingga dari ilmu silat 

yang diwarisi dari gurunya dia kemudian mencip-

takan sendiri sejenis ilmu tongkat rotan yang 

memang patut dikagumi. Kalau tidak percuma sa-

ja dia mendapat gelar "Dewa Tongkat."

Lewat tengah hari baru keenam orang ter-

sebut sampai ke tempat tujuan mereka. Suasana 

sekitar Lembah Rotan tampak tenang-tenang saja 

dan diliputi kedamaian. Udara sekitar situ terasa 

sejuk segar. Keenamnya mendekati danau yang 

penuh dengan pohon-pohon rotan. Persis di ten-

gah-tengah danau kelihatanlah sebuah pondok 

mungil yang keseluruhannya mulai dari lantai 

sampai dinding dan atap terbuat dari rotan. Ba-

gian bawah dari pondok itu dilapisi dengan rotan 

sebesar-besar betis sehingga pondok tersebut tak 

ubahnya seperti sebuah rumah di atas rakit yang 

bisa dibawa ke setiap bagian danau.

Jika pondok rotan tersebut kebetulan be-

rada di tepi danau maka mudah saja bagi seseo-

rang untuk mendatanginya, tapi tidak demikian 

bila sedang berada di bagian tengah danau. Jika


orang mengambil jalan air yaitu berenang maka 

dia akan mendapat celaka karena di dalam danau 

penuh dengan ular-ular air sepanjang-panjang 

lengan. Untuk melompat begitu saja juga tidak 

mungkin karena jarak sangat jauh. Seorang be-

rilmu paling atas dengan kepandaian mengenten-

gi tubuh yang luar biasa sekali pun juga tak akan 

bisa membuat lompatan sejauh itu yakni kira-kira 

seratus tombak! Satu-satunya jalan untuk pergi 

tersebut adalah dengan pertolongan batang-

batang rotan, melompat dari satu batang ke ba-

tang lainnya seperti seekor monyet! Dan kalau 

bukan orang yang punya ilmu tinggi tentu hal ter-

sebut sukar pula dilakukan.

Keenam orang itu berhenti di tepi danau. 

Mereka dapat melihat puluhan ular-ular air men-

gambang di atas danau. Mereka tidak mengerti 

bagaimana Dewa Tongkat dan muridnya dapat di-

am di pondok rotan tanpa diganggu oleh binatang 

tersebut. Mahesa dan kelima prajurit ini tidak 

mengetahui bahwa si Dewa Tongkat melumuri 

bagian bawah dari pondoknya dengan sejenis obat 

mengandung racun sehingga ular-ular air terse-

but tidak berani datang mendekat.

Mahesa Kelud memandang ke pondok ro-

tan di tengah danau. Pintu dan jendela tertutup 

Pemuda itu maklum bahwa untuk pergi ke sana

hanyalah dengan berayun-ayun dari satu batang 

rotan ke batang rotan lainnya. Baginya itu bukan 

suatu kesukaran tapi apakah hal tersebut dapat 

pula dilakukan oleh kelima prajurit Banten, agak


disangsikannya.

"Saudara-saudara," kata Mahesa, "Satu-

satunya jalan untuk dapat pergi ke pondok itu 

hanyalah dengan pertolongan batang-batang ro-

tan, melompatinya satu demi satu sampai ke ba-

tang rotan yang terdekat dengan pondok. Lain ja-

lan adalah sia-sia. Kalian bisa melakukannya?"

Kelima prajurit itu sama berdiam diri tanpa 

mereka tak menyanggupi. Kemudian yang paling 

tua berkata: "Kita berteriak saja dari sini. Memin-

ta supaya gadis itu keluar dan mengembalikan 

topi-topi kami!"

Sebenarnya, dengan jalan berteriak itu be-

rarti menunjukkan kelemahan yaitu tak sanggup 

mendatangi sendiri pondok si Dewa Tongkat. Na-

mun setelah berpikir-pikir sejurus akhirnya Ma-

hesa menyetujui juga. Maka mementang mulutlah 

si prajurit tadi: "Gadis baju merah! Kami datang 

dengan maksud baik! Harap kau suka mengem-

balikan topi-topi kami!"

Mereka menunggu. Sejurus kemudian pin-

tu pondok rotan kelihatan terbuka dan dua orang 

keluar.


TUJUH



ORANG pertama tak lain adalah dari si 

Dewa Tongkat sendiri. Manusia ini berumur seki-

tar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dan ting-

gi sekali! Ini membuat dia tak ubahnya seperti 

tonggak! Rambut di kepalanya pendek dan jarang


serta berwarna putih. Dewa Tongkat mengenakan 

pakaian putih ringkas yang di bagian dadanya 

terbuka sehingga jika kita berdiri dekat-dekat bisa 

dihitung tulang-tulang iganya yang menonjol. Di 

pinggang melilit sebuah sabuk kulit besar dan 

pada sabuk ini tergantunglah sebuah tongkat ro-

tan sebesar betis yang kedua ujungnya berkeluk. 

Dewa Tongkat berdiri di muka pintu pondoknya 

dengan melipat kedua tangan di muka dada. Di 

sampingnya tegak orang kedua yaitu si gadis baju 

merah murid tunggalnya yang bernama Kemala-

dewi.

"Orang-orang liar mana yang kesasar ke si-

ni dan berteriak macam monyet lapar?!" tanya 

Dewa Tongkat. Suaranya keras sekali dan meng-

gema ke seluruh lembah tanda dalam bicara itu 

dia telah mempergunakan tenaga dalamnya yang 

tinggi dan hebat. Diam-diam kelima prajurit Ban-

ten jadi merinding bulu tengkuk mereka.

"Dewa Tongkat!" seru Mahesa Kelud. Dia 

kini yang bicara menjawab kata-kata si orang tua

sakti. Tak lupa pula pemuda ini mempergunakan 

tenaga dalamnya yang tinggi sehingga suaranya 

pun bergema di seluruh pelosok lembah. Kelima 

prajurit itu jadi bergetar gendang-gendang telinga 

mereka. Si Dewa Tongkat mengernyitkan kening 

tanda dia tak dapat menekan perasaan terkejut 

ketika mendengar suara yang keras tajam Mahesa 

Kelud itu. "Kami datang membawa perdamaian 

dan persahabatan. Harap dimaafkan jika kami 

mengganggu ketenteraman lembahmu! Tapi ketahuilah, muridmu telah mencuri sesuatu dari ke-

lima prajurit Banten ini. Kami datang untuk me-

mintanya kembali!"

Kemaladewi, murid Dewa Tongkat menga-

takan sesuatu pada gurunya. Sang guru kemu-

dian berkata: "Siapa pun yang hendak membuat 

urusan dengan muridku dipersilahkan datang 

sendiri ke sini! Tapi jika tidak sanggup, maka se-

baiknya siang-siang tinggalkan lembah ini. Jika 

kalian keras kepala ada baiknya bila kusuruh ka-

lian meninggalkan kepala masing-masing di sini!"

"Dewa Tongkat, kalau persoalan kecil ini 

hendak kau besar-besarkan sesungguhnya akan 

membuat namamu menjadi buruk saja. Mana ada 

guru bijaksana membela muridnya yang kurang 

ajar, menghina prajurit-prajurit Kerajaan serta 

mencuri topi?!" sahut Mahesa Kelud pula.

"Orang muda! Kau bicara terlalu berani! 

Kau mengandalkan ilmu kepandaian apakah?! 

Apa hubunganmu dengan lima manusia kacung 

Istana itu?! Berapa ringgit kau disuapnya mau 

ikut-ikutan ke sini untuk mengambil topi-topi 

tengik itu?!"

"Sebagai seorang yang dihormati oleh tokoh 

dunia persilatan seharusnya kau memberikan 

contoh yang baik! Apa tidak malu membela murid 

demikian rupa?! Mengambil milik orang lain wa-

lau bagaimana pun tidak berharganya milik itu 

tetap namanya mencuri! Akan luntur nama to-

koh-tokoh dunia persilatan lainnya jika terlalu 

banyak murid-murid mereka menjadi maling!"


Mendengar ini maka marahlah si Dewa 

Tongkat. Kedua kakinya bersitekan pada lantai 

rakit kemudian tubuhnya melayang ke muka lak-

sana anak panah lepas dari busur. Untuk sampai 

ke tepi danau dia hanya mempergunakan dua ba-

tang rotan sebagai tempat berayun. Tak lama se-

sudah dia menginjakkan kaki di tepi danau maka 

muridnya, Kemaladewi, juga sampai di sana dan 

berdiri di sebelahnya. Kelima prajurit merasa gen-

tar melihat manusia kurus tinggi ini. Mahesa 

sendiri yang bertubuh tegap dan tinggi hanya 

sampai seleher Dewa Tongkat.

Sebagai orang yang tahu diri, bagaimana 

pun beringasnya dia bersahut-sahutan kata den-

gan si Dewa Tongkat namun di hadapan orang 

tua ini Mahesa Kelud segera menjura. "Dewa 

Tongkat," katanya. "Sebagai orang luar sebenar-

nya aku tidak pantas untuk ikut campur dalam 

urusan ini. Tapi apa mau dikata aku sudah terli-

bat padahal maksudku adalah untuk memisah. 

Aku tidak tahu kalau muridmu telah memper-

mainkan lima prajurit ini dan melarikan topi-topi 

mereka! Walau bagaimana pun yang sudah berla-

lu bisa dilupakan. Aku harap muridmu sudi men-

gembalikan topi prajurit-prajurit ini." Mahesa Ke-

lud melirik pada Kemaladewi dan saat itu baru 

dia menyadari kalau si gadis baju merah sudah 

sejak tadi memperhatikannya. Pada detik pan-

dangan mata mereka saling bertemu membayan-

glah warna kemerahan pada kedua pipi si gadis 

yang tadi putih dan licin. Si gadis mengatupkan


bibirnya rapat-rapat dan memandang ke tempat 

lain.

"Eh, orang muda, tadi kau bicara begitu 

berani, begitu gegabah! Sekarang berhadap-

hadapan denganku mengapa merendah! Nyalimu 

mulai kecut huh?!" bentak Dewa Tongkat pula.

"Dewa Tongkat, siang-siang kami sudah 

beritahukan bahwa kedatangan kami membawa 

persahabatan dan perdamaian. Kalau tadi aku bi-

cara agak keras dan kasar adalah karena kau 

yang lebih tua telah memulainya lebih dahulu!"

Dewa Tongkat menyapu kelima prajurit 

yang di hadapannya dengan pandangan mata 

menyorot. "Tikus-tikus Kerajaan, jika kalian in-

ginkan topi-topi tengik itu kembali majulah berli-

ma sekaligus! Layani aku barang beberapa jurus! 

Jika kalian berhasil mengalahkanku dalam tiga 

jurus topimu akan kembali!"

Sudah barang tentu kelima prajurit itu ti-

dak berani menyambut tantangan si orang tua 

sakti. Maka meledaklah tertawa si Dewa Tongkat. 

"Manusia-manusia kintel berani-berani datang 

kemari, pergilah kalian!" katanya. Bersamaan 

dengan itu dia melambaikan tangan kanannya. 

Apa yang terjadi benar-benar mengagumkan. Ke-

lima prajurit itu ada yang mental, berguling bah-

kan ada yang jungkir balik ketika kena disapu 

oleh hantaman angin dahsyat yang keluar dari 

tangan Dewa Tongkat! Mahesa memandang pada 

mereka yang bergelimpangan di tanah dan kemu-

dian berdiri dengan nanar. Pukulan tenaga dalam


si Dewa Tongkat luar biasa namun Mahesa mak-

lum itu hanya pukulan yang dilakukan untuk ti-

dak mencelakai lawan. Jika tenaga dalam itu diisi 

dengan aji kekuatan lain, pasti kelima prajurit 

tersebut sudah mati konyol semua. Melihat ini 

Mahesa mengerti bahwa si Dewa Tongkat tidaklah 

sejahat sebagaimana mulutnya yang kasar dan 

keras!

Orang tua itu berpaling dan menyeringai 

kepada Mahesa. Kedua tangannya sudah beru-

lang lagi di muka dada. "Pemuda, kau masih in-

ginkan topi itu, barangkali?"

"Benar Dewa Tongkat. Aku telah salah tu-

run tangan dan merugikan kelima prajurit itu," 

jawab Mahesa.

Si orang tua mengambil tongkatnya yang 

tersangkut pada sabuk besar di pinggangnya. 

"Mari kulihat, apa kepalamu cukup keras untuk 

menerima pukulan tongkatku ini! Jika kau bisa 

bertahan sampai tiga jurus kau menang dan topi-

topi busuk itu akan kukembalikan! Mulailah!"

Sebelum Mahesa Kelud membuat gerakan 

tiba-tiba Kemaladewi maju ke muka. "Guru," ujar 

gadis, ini dengan suara yang merdu. "Untuk 

menghadapi pemuda yang datang minta digebuk 

ini mengapa guru harus mengotorkan tangan? Bi-

ar murid yang beri sedikit pelajaran padanya!"

Dewa Tongkat tertawa. "Bagus, bikin melin-

tir dia dalam tiga jurus, Kemala!"

Gadis itu mengeluarkan rotan berkeluknya. 

Tongkat rotan ini sama panjangnya dengan yang


di tangan sang guru namun lebih kecil, tak ada 

setengahnya. "Pemuda, keluarkan senjatamu!" 

tantang Kemaladewi dengan suara yang tinggi dan 

kerlingan mata tajam menyambar.

Saat itu, satu-satunya senjata yang dibawa 

oleh Mahesa ialah "Pedang Dewa" pemberian gu-

runya si Suara Tanpa Rupa. Namun dia tidak 

mau mengeluarkan senjata itu begitu saja karena 

memang pedang tersebut tidak boleh dipakai 

sembarangan. Sekedar untuk tidak mengecewa-

kan hati lawannya Mahesa Kelud kemudian me-

matahkan sebatang rotan!

Diam-diam si Dewa Tongkat jadi terkejut. 

Mematahkan sebatang rotan bukan satu hal yang 

mudah, tidak seperti mematahkan kayu atau 

ranting pohon karena rotan bersifat lemas dan 

liat! Tapi kini disaksikannya sendiri bagaimana 

pemuda itu mematahkan rotan seperti dia mema-

tahkan sebuah ranting kering saja! Hati si Dewa 

Tongkat jadi tertarik pada pemuda ini.

Dengan tongkat rotan panjang tiga jengkal 

di tangan kanannya maka berkatalah Mahesa, 

"Nah. Saudari, sebagai tuan rumah kau silahkan 

memulai duluan."

Kemaladewi tertawa. Gadis ini memang 

berhati periang, lucu dan suka menggoda orang. 

Dia menggerakkan kaki kanannya sedikit, meng-

geser kaki kiri dan memutar tongkat berkeluk di 

tangannya. Ujung yang berkeluk tongkat si gadis 

menyambar ke dada Mahesa. Jika serangan ini 

dielakkan maka ujung tongkat yang berkeluk


akan melesat secepat kilat ke arah leher. Bagian 

yang berkeluk akan merenggutkan batang leher 

lawan yang mana bisa mengakibatkan tanggalnya 

tulang leher dari persendiannya atau sekurang-

kurangnya mengalami keremukan!

Tapi anehnya, diserang demikian Mahesa 

Kelud sama sekali tidak mengelak bahkan meng-

gerakkan tubuh atau menangkis pun tidak! Ke-

maladewi menjadi ragu-ragu untuk meneruskan 

serangannya. Di samping sebenarnya dia memang 

tidak tega untuk menciderai pemuda yang semen-

jak tadi telah menarik hatinya, maka dia juga me-

rasa berhutang budi karena waktu diserang lima 

prajurit Mahesa Keludlah yang telah menolong-

nya. Mau tak mau Kemala memiringkan tongkat 

rotannya dan senjata itu melesat ke samping, ti-

dak jadi menghantam dada si pemuda.

Jika si Dewa Tongkat melihat adanya keti-

dak beresan dalam serangan yang dilancarkan 

muridnya itu maka lain halnya dengan Mahesa. 

Pemuda ini tersenyum, meski dia tidak tahu apa 

yang menjadi alasan namun memaklumi bahwa 

lawannya tidak mau melukainya.

"Saudari, seranglah yang benar. Kalau ti-

dak tongkatmu akan kurampas dalam tiga jurus!" 

kata Mahesa Kelud pula.

Ucapan pemuda ini disambut si gadis den-

gan tertawa cekikikan. Tongkatnya berputar se-

perti titiran, menyambar kian ke mari untuk ke-

mudian merasuk tajam ke arah pinggang Mahesa 

Kelud dengan sangat tiba-tiba! Untuk kedua kalinya Mahesa tidak mengelak atau pun menang-

kis. Rotan yang di tangannya disorongkannya ke 

muka sembarangan saja. Dengan lengan kirinya 

Kemaladewi memukul tongkat lawan. Sebelum 

terpukul Mahesa cepat meninggikan tangannya 

dan pada saat yang sama pula tongkat berkeluk 

lawannya melesat ke kaki.

Dewa Tongkat kini puas melihat permainan 

muridnya. Dia sudah memastikan bahwa dalam 

jurus itu juga bagian yang berkeluk dari tongkat 

rotan akan mengait pergelangan kaki kiri si pe-

muda! Akibatnya Mahesa akan terlempar ke uda-

ra setinggi beberapa tongkat. Tapi orang tua ini 

jadi terkesiap ketika melihat bagaimana hal yang 

sebaliknya kini terjadi. Tongkat panjang lurus 

yang cuma tiga jengkal dan lebih kecil di tangan 

si pemuda telah mengait bagian yang berkeluk 

dari tongkat muridnya dan sedetik kemudian sen-

jata Kemaladewi melayang ke udara. Seperti besi

berani yang bertemu dengan besi biasa maka de-

mikianlah kemudian Mahesa mempergunakan 

ujung tongkat rotannya yang diputar siam untuk 

menempel senjata lawan lalu menyambutnya 

dengan tangan kiri!

Rahang-rahang Dewa Tongkat kelihatan 

bertonjolan sedang Kemaladewi sendiri berdiri 

tanpa bergerak. Bibirnya yang kecil terkatup ra-

pat-rapat, pipinya yang montok berwarna kema-

rahan karena malu! Lawannya telah menjanjikan 

akan merampas senjatanya dalam tiga jurus, tapi 

nyatanya pemuda itu hanya memerlukan satu jurus! Namun di samping malu anehnya Kemalade-

wi juga merasa puas karena dia tak sampai melu-

kai si pemuda yang sangat menarik hatinya itu!

Mulut si Dewa Tongkat kelihatan komat-

kamit. Hatinya menggeram. Betapakah tidak! Ke-

maladewi sudah lebih dari lima tahun dididik dan 

diajarinya ilmu silat permainan tongkat dan kini 

tahu-tahu di hadapan mata kepalanya sendiri si 

murid dikalahkan lawan cuma dalam dua jurus! 

Hati guru mana yang tidak jadi gemas?! Tapi 

meskipun demikian diam-diam guru sakti ini ha-

rus pula memuji kelihayan si pemuda, hatinya 

tambah tertarik dan besarlah keinginannya untuk 

mencoba sendiri Mahesa Kelud.

Sambil batuk-batuk Dewa Tongkat maju ke 

muka. "Anak muda," katanya. "Kau berhasil men-

galahkan muridku. Ini membuat sudah sepantas-

nya dia mengembalikan topi-topi tengik itu. Ke-

mala, kembalikan topi tersebut!"

Dari balik pakaiannya si gadis mengelua-

rkan lima buah topi lalu melemparkannya ke ha-

dapan lima orang prajurit. Sesudah masing-

masing mereka mendapatkan topi kembali maka 

membentaklah Dewa Tongkat. "Kalian tunggu apa 

lagi?! Ayo pergi dari sini, kecuali pemuda ini!"

Dibentak demikian lima prajurit Banten 

tersebut segera angkat kaki. Mereka lupa untuk 

minta diri pada Mahesa, bahkan mengucapkan 

terima kasih pun tidak!

Sesudah kelima prajurit tersebut mening-

galkan lembah maka berkatalah si Dewa Tongkat.


"Pemuda, terus terang saja hatiku tidak puas me-

lihat kekalahan muridku. Mari kita main-main 

sebentar. Jika kau bisa mempertahankan diri 

sampai tiga jurus memang kau pemuda gagah!"

Orang tua ini tidak menunggu jawaban 

Mahesa lagi, dia menyerang dengan cepat. Tong-

kat rotannya yang sebesar betis membabat ke 

muka mengeluarkan angin yang dingin dan hebat. 

Mahesa Kelud tahu dengan siapa dia berhadapan, 

karenanya tidak berani berlaku sebagaimana dia 

tadi melayani si gadis. Jika orang tua ini mempu-

nyai gelar "Dewa Tongkat" tentu ilmunya tinggi 

sekali. Sambil mengelak dengan mempergunakan 

jurus ilmu pedang "Dewa Tongkat Dari Delapan 

Penjuru Angin" Mahesa mengirimkan satu tusu-

kan tajam tepat ke pertengahan dada lawan. Me-

lihat ini Dewa Tongkat memutar tongkatnya se-

demikian rupa sehingga ujung berkeluk yang per-

tama dimaksudkannya untuk menyampok senjata 

Mahesa sedang ujung kedua untuk menyambar 

leher pemuda itu!

Mahesa harus mengakui kehebatan ilmu 

tongkat si orang tua. Meskipun dia hanya bersen-

jatakan sebatang rotan yang panjangnya cuma ti-

ga jengkal namun dengan mempergunakan jurus-

jurus ilmu pedang ajaran gurunya si Suara Tanpa 

Rupa maka dia tidak perlu khawatir akan dika-

lahkan dalam satu gebrakan saja. Bahkan tiga ju-

rus! Demikianlah sambil membungkuk melipat 

kaki kiri pemuda ini mempergunakan batang 

tongkat di tangannya untuk memukul bagian tengah senjata Dewa Tongkat sedang kaki kanannya 

dipakai untuk mengirimkan tendangan dahsyat 

ke selangkangan lawan!

Melihat ini cepat-cepat si Dewa Tongkat 

melompat ke atas. Tendangan Mahesa lewat se-

dang Mahesa sendiri pada saat tongkat rotannya 

hampir beradu dengan senjata lawan cepat-cepat 

menurunkan tongkatnya karena dia maklum te-

naga dalam lawannya lebih tinggi dari yang dimi-

likinya. Si Dewa Tongkat melihat ini segera dipu-

kulkan ke bawah namun saat itu lawannya sudah 

berguling menyelamatkan diri. Tongkat memukul 

tanah, akibatnya tanah itu terbongkar dan berlo-

bang besar!

Ketika dia memutar tubuh maka Mahesa 

Kelud sudah berdiri beberapa langkah di hada-

pannya. Pandangan mata Dewa Tongkat menyorot 

dan juga kagum. Jurus yang dikeluarkannya tadi 

adalah jurus yang tersulit dari ilmu tongkat cip-

taannya. Jarang ada manusia sanggup mengelak 

bahkan juga balas menyerang membuat dia men-

jadi sibuk!

"Jurus kedua, anak muda! Hati-hatilah," 

memperingatkan si Dewa Tongkat. Tongkatnya 

dipegang di bagian ujung dan diputar sampai 

mengeluarkan suara menderu. Daun-daun pepo-

honan sekitar sana melambai-lambai, ikat kepala 

dan pakaian Mahesa Kelud sendiri juga turut me-

lambai sedang tubuhnya terasa dingin oleh sam-

baran angin, tapi rasa dingin itu cuma seketika 

karena dari balik punggungnya Mahesa Kelud


kemudian merasa adanya aliran hawa panas. Ini 

tak lain adalah hawa panas yang keluar secara 

aneh dari pedang sakti pemberian gurunya Suara 

Tanpa Rupa yang diselipkannya di belakang 

punggung!

Tahu bahwa lawannya tidak bisa dibikin 

roboh dengan hawa dingin tongkat rotannya maka 

tidak menunggu lebih lama si Dewa Tongkat sege-

ra menyerbu. Serangannya gencar bertubi-tubi. 

Tubuh Mahesa Kelud untuk beberapa lamanya 

terkurung oleh sambaran-sambaran dahsyat 

tongkat besar lawannya. Kemaladewi yang berdiri 

menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat 

cemas. Karena jika gurunya sudah mengeluarkan 

ilmu tongkat yang dinamai "kincir maut' itu berar-

ti cepat atau lambat tubuh si pemuda pasti akan 

kena digebuk dan hancur remuk!

Jika si gadis cemas sedang si Dewa Tong-

kat gembira bahwa sebentar lagi dia akan sang-

gup merobohkan lawannya maka tidaklah demi-

kian dengan Mahesa Kelud. Pemuda ini tetap te-

nang. Dia tahu bahwa dirinya sudah kena diku-

rung. Dengan mengeluarkan satu bentakan keras 

membelah udara maka berkelebatlah tubuhnya. 

Tongkat rotan di tangannya bergerak hampir tak 

kelihatan, berputar berlawanan dengan arah pu-

taran tongkat lawan. Inilah jurus yang dinamai 

"seratus pedang mengamuk". Salah satu ilmu si-

lat yang merupakan bagian dari permainan Pe-

dang Dewa Delapan Penjuru Angin yang sangat 

diandalkan dan baru pertama kali pula dicoba


oleh pemuda tersebut meskipun tidak dengan 

mempergunakan Pedang Dewa itu sendiri. Tong-

kat di tangan Mahesa Kelud seakan-akan beru-

bah dari satu menjadi seratus banyaknya! Dan 

dalam beberapa saat saja maka buyarlah seran-

gan-serangan tongkat berkeluk yang tadi begitu 

dahsyat dari si Dewa Tongkat!

Kini jurus yang ketiga atau jurus terakhir.

Jika dalam jurus ini Dewa Tongkat tidak 

dapat mengalahkan si pemuda maka betapa ma-

lunya, kemana akan ditaruh mukanya? Apa lagi 

saat itu turut pula menyaksikan murid tunggal-

nya!

Dewa Tongkat untuk ketiga kalinya meru-

bah cara memegang senjatanya. Tongkat berke-

luknya kini dipegang di bagian tengah, dipergu-

nakan sebagai sebuah toya. Ketika dia menyerang 

maka nyatalah bahwa serangannya lebih ganas 

dan hebat dari pada jurus pertama ataupun ke-

dua tadi. Mahesa Kelud berlaku hati-hati. Dia ha-

rus memperhitungkan setiap gerakan yang di-

buatnya, kalau tidak kepalanya akan kena terpu-

kul atau lehernya terkait senjata lawan bahkan 

mungkin lambungnya kena disodok sampai pe-

cah! Dalam menghadapi serangan-serangan gen-

car lawannya maka ilmu "Pedang Dewa Delapan 

Penjuru Angin" benar-benar memberikan perto-

longan pada pemuda itu. Namun demikian saat 

itu si Dewa Tongkat telah mengeluarkan salah sa-

tu dari ilmu simpanannya yang sangat lihay! Se-

rangan tongkat yang diperbuat seperti toya itu


cepatnya bukan main, tidak terduga dan yang 

paling hebat ialah karena kebanyakan dari seran-

gan-serangan tersebut hanyalah berupa tipuan 

belaka! Kalau saja Mahesa tidak berlaku tenang 

dan bertindak sangat hati-hati pasti dia kena di-

celakai. Di samping itu si pemuda terpaksa pula 

mempergunakan tangan kirinya untuk mengirim-

kan pukulan "karang sewu" karena dia maklum 

bila si Dewa Tongkat sudah mengeluarkan ilmu 

simpanannya maka Ilmu "Pedang Dewa" yang be-

lum sepenuhnya dikuasainya apalagi tanpa me-

megang pedang saktinya tidak sanggup dia 

menghadapinya.

Bentakan dahsyat keluar dari mulut si De-

wa Tongkat! Mahesa merasakan tangan kanannya 

tergetar dan sesaat kemudian disadarinya senja-

tanya sudah terlepas dari tangan! Tongkat itu 

mental ke udara namun tidak mau dikalahkan 

demikian saja. Biarlah tongkat tersebut terlepas 

dan mental namun dia harus dapat pula memberi 

hajaran pada lawan. Tangan kirinya bergerak 

mengirimkan jotosan "karang sewu" disusul den-

gan tendangan kaki kanan! Dewa Tongkat mem-

babatkan senjatanya ke kaki dan menangkis pu-

kulan Mahesa dengan lengan. Namun kedua se-

rangan ini hanyalah tipuan belaka! Pada saat 

yang sama tahu-tahu tinju kanan Mahesa menye-

linap ke dada kiri orang tua itu, tak sanggup di-

elakkan! Mahesa sendiri ketika tahu bahwa se-

rangannya bakal mengenai sasaran dia menjadi 

ragu-ragu. Pemuda yang bijaksana ini maklum


bagaimana akan malunya si Dewa Tongkat bila di 

hadapan muridnya sendiri dia kena dipukul oleh 

lawan seorang pemuda belia lagi pula sebenarnya 

terhadap si guru sakti dia tidak ada permusuhan 

apa-apa. Kalau tadi mereka bertengkar gara-gara 

topi maka itu pun sudah diselesaikan! Agar jan-

gan sampai mengecewakan atau menimbulkan 

kemarahan pada diri lawan maka Mahesa sengaja 

membuat pukulannya menjadi meleset! Dia me-

lompat menjauh dan sambil melompat menyam-

bar tongkatnya yang melayang ke bawah dengan 

tangan kiri lalu berdiri dan menjura di hadapan si 

orang tua sakti.

"Dewa Tongkat," ujar Mahesa Kelud pula. 

"Ilmu tongkatmu hebat sekali sampai senjataku 

terlepas. Aku mengaku kalah!"

Kata-kata merendah dari pemuda ini mem-

buat si orang tua hatinya seperti diguyur air se-

juk. Dia tahu bahwa tadi si pemuda kalau mau 

pasti berhasil memukul dadanya. Juga pemuda 

itu dapat pula menyambut senjatanya sehingga di 

hadapan muridnya tindakan yang sengaja menga-

lah dari Mahesa membuat dia sebagai orang tua 

tidak kehilangan muka.

Dewa Tongkat mendehem-dehem beberapa 

kali lalu berkata: "Pemuda, kau hebat dan gagah 

sekali. Siapa namamu?"

"Mahesa Kelud."

"Kau berasal dari mana dan siapa guru-

mu?" 

"Aku cuma seorang pemuda gunung dan


mengenai guruku sekalipun diterangkan mungkin 

kau tidak kenal, orang tua," jawab Mahesa.

Dewa Tongkat maklum kalau Mahesa Ke-

lud tidak mau memberikan keterangan tentang 

asal usulnya serta gurunya. Dengan ramah orang 

tua itu berkata: "Pemuda gagah. Kuharap kau ti-

dak menjadi gusar atas perbuatan murid serta di-

riku sendiri...."

"Hal yang sama juga kuharapkan kepada 

kalian berdua," sahut Mahesa.

"Kalau begitu antara kita tidak ada lagi 

apa-apa. Mari mampir minum teh ke pondokku, 

Mahesa," kata Dewa Tongkat penuh keramahan.

"Terima kasih," jawab si pemuda dengan 

menjura. "Sebenarnya aku sendiri sedang ada 

urusan penting di pedalaman. Lain kali aku ber-

janji untuk bertandang ke pondokmu...."

"Kalau aku boleh tanya, urusan apakah 

yang kau maksudkan itu?"

"Sedikit urusan pribadi, Dewa Tongkat," 

jawab Mahesa dengan tersenyum. "Aku minta diri 

sekarang," katanya kemudian. Dia menjura dua 

kali, kepada si Dewa Tongkat dan pada Kemala-

dewi.

Meskipun Mahesa Kelud sudah lama pergi 

namun kedua mata Kemaladewi masih saja me-

mandang ke jurusan di mana lenyapnya pemuda 

itu. Gadis ini baru sadar akan dirinya ketika ter-

dengar suara gurunya berkata di sampingnya. 

"Pemuda itu gagah dan tinggi ilmunya."

Paras Kemaladewi menjadi semu merah


"Muridku," kata Dewa Tongkat pula. "Mari 

kit kembali ke pondok."

Sesampainya di pondok rotan berkatalah 

Kemaladewi. "Guru, sudah lama murid tidak me-

nyambangi nenek di desa. Jika diizinkan murid 

bermaksud untuk pergi sekarang."

Dewa Tongkat agak terkejut mendengar ka-

ta-kata muridnya itu, tapi memang sudah lama

sekali Kemaladewi tidak mengunjungi neneknya 

yang tinggal di sebuah desa jauh dari Lembah Ro-

tan. 

"Jika kau memang sudah rindu pada ne-

nekmu, pergilah. Hati-hati di jalan dan jangan 

mengganggu orang! Bisa berabe kalau aku terus-

terusan harus turun tangan!"

Kemaladewi tersenyum. Hatinya gembira 

diperbolehkan pergi. Dia segera menjura memberi 

hormat dan mohon diri kepada sang guru.



DELAPAN



SETELAH jauh meninggalkan Banten, da-

lam sebuah hutan baru Resi Mintaraya menurun-

kan tubuh Ismaya dari bahunya. Pemuda itu dis-

andarkannya ke sebuah pohon. Sebelum mele-

paskan totokan Ismaya, sang Real memeriksa du-

lu luka-luka bekas senjata tajam pada tangan 

pemuda ini, juga, bekas-bekas jotosan lawan wak-

tu Ismaya dikeroyok oleh Raden Mas Tirta dan


Jaka Luwak. Ternyata luka-luka serta bekas pu-

kulan tersebut tidak berapa berbahaya. Sesudah 

mengobati seperlunya baru Mintaraya mele-

paskan totokan di tubuh Ismaya

Pemuda yang tersandar ke batang pohon 

ini membuka kedua matanya dan terheran-heran 

mendapati dirinya berada dalam sebuah hutan 

serta jadi lebih heran lagi waktu melihat di hada-

pannya tegak seorang berjubah biru, bermuka 

putih, yang sama sekali tidak dikenalnya. "Orang 

tua, kau siapa?" tanya Ismaya. 

"Tak usah khawatir. Kita sama-sama dari 

Pajajaran. Aku Resi Mintaraya dari gunung Hali-

mun."

Mengetahui hal ini segera Ismaya berdiri 

dan menjura. Setelah menerangkan apa yang te-

lah terjadi dan di perbatasan Banten maka Resi 

Mintaraya berkata. "Kau harus ikut ke gunung 

Halimun bersamaku. Di sana kau akan mendapat 

tambahan ilmu silat seperlunya bersama murid-

muridku yang lain guna mempersiapkan gempu-

ran besar-besaran terhadap Banten!" 

Ismaya menjura sekali lagi. Hatinya senang 

sekali mengetahui bahwa dia diambil murid oleh 

Resi Sakti yang namanya sudah dikenal di selu-

ruh penjuru Kerajaan Pajajaran itu! Kedua orang 

tersebut tak lama kemudian segera meneruskan 

perjalanan.

Empat hari kemudian barulah tampak 

puncak gunung Halimun di kejauhan. Lewat ten-

gah hari kedua orang yang berlari itu sudah mencapai lereng. Tempat pertapaan Resi Mintaraya 

terletak di puncak gunung Halimun sebelah ba-

rat, yaitu sebuah kuil yang terbuat dari batu mar-

mar putih lantai dan dindingnya serta seng atap-

nya.

Jika melihat setan seribu muka yang san-

gat mengerikan rasanya tidaklah demikian terke-

jutnya kedua orang tersebut, terutama Resi Min-

taraya. Betapakah tidak! Ketika Mintaraya sampai 

ke pelataran muka kuil kelihatan dua sosok tu-

buh terkapar di tanah. Keduanya adalah murid-

nya sendiri! Ketika diteliti ternyata mereka sudah 

tidak bernapas lagi! Seperti harimau terluka maka 

menggerenglah sang Resi. "Kuntawirya!" serunya 

memanggil muridnya yang paling tua Kuntawirya 

adalah nama sebenarnya dari Unang Gondola. 

Pemuda ini sengaja memakai nama palsu yaitu 

Unang Gondola ketika dia menyusup ke Banten 

tempo hari dan mengikuti sayembara perebutan 

kedudukan Kepala Balatentara Banten! "Kunta-

wirya!" teriak Resi Mintaraya sekali lagi dengan 

suara menggeledek menggetarkan puncak gunung 

Halimun, menggidikkan Ismaya. "Di mana kau... 

Wirya?!" Namun tetap saja tak ada suara jawa-

ban.

Resi ini segera masuk ke dalam kuil dan 

langkahnya terhenti dengan serta merta. Kedua 

kakinya seperti dipakukan ke lantai kuil. Di ha-

dapannya, di sudut sana, dekat sebuah pendu-

paan besar duduk tersandar muridnya yang pal-

ing tua yaitu Kuntawirya. Muka pemuda ini pucat


pasi laksana mayat. Pakaiannya di bagian dada 

penuh dengan darah. Pemuda ini mengerang se-

dang kedua matanya tertutup. Dari mulutnya 

yang menganga mengalir darah kental berbuku-

buku! Sungguh mengerikan!

Mintaraya lari dan berlutut di hadapan 

muridnya. Dipegangnya kedua bahu pemuda itu, 

lalu diguncang-guncangnya. "Wirya! Kuntawirya! 

Apa yang terjadi dengan kau dan saudara-

saudaramu?! Wirya!" Jawaban sang murid hanya-

lah suara erangan. Sang Resi sadar bahwa mu-

ridnya terluka hebat. Diperhatikannya kulit dada 

Kuntawirya yang matang biru, darah yang berbu-

ku-buku dan memaklumi bahwa meski bagaima-

na pun nyawa muridnya ini tak bisa ketolongan 

lagi! Namun demikian dicobanya juga mengalir-

kan tenaga dalam memberi sedikit kekuatan se-

kedar untuk dapat bicara. "Kuntawirya! Dengar, 

ini aku gurumu! Siapa yang melakukan ini se-

mua, siapa?! Kunta! Jawab! Jawab!"

Suara erangan si murid terhenti, kedua 

matanya terbuka tapi pemandangan pemuda ini 

sudah sangat kabur sehingga tidak sanggup lagi 

melihat apa-apa. "Kuntawirya, siapa yang mela-

kukan perbuatan durjana ini? Manusia mana?!"

"Guru..." desis Kuntawirya. Suaranya per-

lahan sekali, hampir tidak kedengaran. Dan 

hanya sepatah kata itu sajalah yang sanggup di-

ucapkannya karena sedetik kemudian nyawanya 

melayang bersama dengan suara erangannya 

yang terakhir!


Darah Mintaraya mendidih. Kedua tangan-

nya terkepal! Kegeramannya tiada terperikan le-

bih-lebih karena dia tidak tahu dan tak dapat ke-

terangan sedikitpun siapa yang membunuh ketiga 

orang muridnya itu!

"Bangsat! Jahanam! Manusia mana yang 

melakukan perbuatan terkutuk ini! Siapa?!" te-

riaknya memaki-maki.

Dan adalah tidak terduga sama sekali ka-

lau saat itu tiba-tiba saja ucapan-ucapan lan-

tangnya itu mendapat jawaban dari belakang se-

buah arca besar di sisi kanan ruangan. "Minta-

raya... akulah yang membunuh ketiga orang mu-

ridmu itu! Aku datang ke kuil ini untuk mencari-

mu, tapi murid-muridmu menyerang mengantar-

kan nyawa!"

Resi Mintaraya terkejut, demikian juga Is-

maya. Sang Resi kemudian menghantamkan tinju 

kanannya yang terkepal ke muka seraya berseru: 

"Manusia atau setan keluarlah! Jangan bersem-

bunyi di balik arca!"

Arca besar yang terbuat dari batu itu han-

cur berantakan. Dan di belakang sana kelihatan-

lah berdiri seorang pemuda yang tak lain dari 

Mahesa Kelud adanya! Pemuda ini karena men-

gambil jalan memotong telah sampai ke puncak 

gunung Halimun lebih dahulu dari Resi Mintaraya 

dan Ismaya. Ketika dia tiba di kuil dua orang pe-

muda muncul menemui dan membentak dengan 

keras. Kedua orang ini tak lain dari pada murid-

murid Resi Mintaraya. Mahesa Kelud segera me


nanyakan tentang guru mereka. Murid-murid 

Mintaraya ini tidak mau memberi keterangan 

bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang 

bertubi-tubi dengan menaruh kecurigaan terha-

dap Mahesa Kelud.

Diam-diam kemudian Mahesa mengetahui 

bahwa Mintaraya bersama Ismaya belum sampai 

ke sana. Karenanya pemuda ini segera minta diri. 

Maksudnya dia akan bersembunyi dan menunggu 

kedatangan sang Resi bersama Ismaya di bagian 

yang lain dari puncak gunung. Namun sebelum 

dia berlalu tahu-tahu kedua orang murid Minta-

raya menyerangnya dengan tiba-tiba. Meskipun 

Mahesa berusaha untuk mengelakkan pertempu-

ran ini karena memang dia ke sana bukan untuk 

mencari urusan dengan mereka melainkan untuk 

menangkap hidup-hidup Ismaya, tapi sudah terla-

lu kasip. Sesudah sepuluh jurus berlalu Mahesa 

berhasil mendesak kedua lawannya dan sebelum 

habis lima belas jurus kedua murid Resi Minta-

raya ini roboh! Pada saat itulah muncul pemuda 

ketiga yakni Unang Gondola alias Kuntawirya. 

Melihat bagaimana kedua adik seperguruannya 

terkapar tanpa nyawa maka Kuntawirya segera 

mengamuk menyerang Mahesa Kelud. Maka ter-

jadilah pertempuran seru!

Untuk sepuluh jurus lamanya Kuntawirya 

masih sanggup mengimbangi ilmu silat lawannya. 

Namun sesudah itu dia mulai terdesak. Walau 

bagaimana pun Mahesa Kelud memang bukan 

tandingan Kuntawirya. Murid Resi Mintaraya itu


terdesak dan mundur terus ke dalam kuil. Pemu-

da ini sengaja mundur ke sana karena dia ber-

maksud untuk bisa mengambil salah satu senjata 

yang berada di dalam kuil. Namun sebelum mak-

sudnya kesampaian jotosan tangan kanan lawan-

nya yang mengandung aji "karang sewu" telah 

menghantam dadanya! Kuntawirya mental dan 

terbanting, melosoh ke lantai tersandar ke dind-

ing! Dalam keadaan seperti itu darah keluar me-

nyembur dari mulutnya! Jangankan untuk mene-

ruskan perkelahian, untuk berdiri bangunpun 

Kuntawirya tidak sanggup lagi!

Mahesa kemudian segera meninggalkan 

kuil. Waktu dia berlari menuruni puncak gunung 

mencari tempat persembunyian yang baik menan-

tikan kedatangan Resi Mintaraya mendadak di 

bawahnya terlihat dua orang tengah berlari cepat 

menuju puncak gunung! Pasti kedua manusia ini 

adalah Resi Mintaraya serta Ismaya, pikir Mahe-

sa. Segera si pemuda kembali ke dalam kuil dan 

bersembunyi di balik sebuah arca besar. Ketika 

Resi Mintaraya sampai ke sana dan berteriak 

memaki seperti orang gila maka menyahutlah 

pemuda itu.

Melihat siapa yang berdiri di depannya 

menggeramlah Mintaraya. "Anjing Banten! Kau 

rupanya! Hari ini juga kucincang tubuhmu sam-

pai lumat!" Mintaraya menyambar sebuah pedang 

yang tergantung di dinding dan dengan senjata ini 

dia segera menyerbu Mahesa Kelud.

Sungguh hebat serangan Resi ini karena


tangan kiri serta tendangannya turut pula beker-

ja. Mahesa meloncat ke samping. Sambaran pe-

dang lewat hanya satu jengkal di muka hidung-

nya! Namun yang lebih berbahaya bagi Mahesa 

Kelud adalah pukulan tangan kiri sang Resi. Ka-

lau arca batu yang besar sanggup dihancurkan-

nya berkeping-keping dengan pukulan jarak jauh 

maka bisa dibayangkan bagaimana jika pukulan 

tersebut mampir di tubuh manusia! Meskipun 

Mahesa sudah digembleng oleh beberapa orang 

guru sakti namun untuk menerima begitu saja 

pukulan lawan dia tidak mau bertindak gegabah!

Sebelum Resi Mintaraya menyerang untuk 

kedua kalinya, Mahesa Kelud cepat menjangkau 

sebatang tombak yang tersandar di sudut ruan-

gan. Pedang dan tombak pun berkecamuklah. 

Tubuh Mintaraya hampir tidak kelihatan yang 

tampak hanya bayangan biru pakaiannya dan gu-

lungan sinar putih pedangnya! Dengan tombak di 

tangan Mahesa Kelud mengeluarkan jurus-jurus 

ilmu "Pedang Delapan Penjuru Angin". Sampai 

dua puluh lima jurus di muka pemuda ini dapat 

mengimbangi ilmu silat sang Resi bahkan dengan 

menyertai serangan-serangan dengan pukulan 

tangan kiri yang mengandung aji "karang sewu" 

Mahesa berhasil mendesak Mintaraya. Namun da-

lam jurus ketiga puluh, ketika Mintaraya menge-

luarkan permainan pedang yang dinamainya "raja 

pedang mengamuk" maka lumpuhlah setiap se-

tiap serangan Mahesa Kelud bahkan pemuda ini 

kini yang kena didesak. Pedang Mintaraya bersiut


sambar menyambar. Meskipun Mahesa kemudian 

mengeluarkan jurus yang diandalkan yang dipela-

jarinya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa yakni 

jurus yang dinamai "seratus pedang mengamuk" 

namun tetap saja dia tak berdaya untuk mem-

bendung serangan lawan. Dari sini Mahesa bisa 

menjajaki bahwa kepandaian Resi dari Pajajaran 

ini sekitar dua tingkat lebih tinggi dari kepan-

daian si Dewa Tongkat yang pernah dihadapinya 

di Lembah Rotan beberapa hari lalu!

Mahesa terdesak ke dekat pendupaan be-

sar. "Trang!" Mata pedang beradu keras dengan 

batang tombak! Senjata di tangan Mahesa Kelud 

patah dua! Pemuda ini cepat mundur menjauhi 

lawan. Waktu Resi Mintaraya memburunya den-

gan satu serangan berantai. Mahesa melempar-

kan kedua patahan tongkat ke arah sang Resi. 

Patahan yang pertama melesat miring ke arah da-

da Mintaraya sedang yang kedua melesat dengan 

bagian runcing mengarah bawah perutnya! Siapa 

pun adanya orang yang diserang seperti ini dan 

bagaimana pun lihay serta tingginya ilmu yang 

dimilikinya namun akan sia-sia jika dia coba me-

nyelamatkan diri dengan jalan mengelak atau me-

lompat. Daya lesat patahan-patahan tombak itu 

cepatnya bukan main karena dilempar dengan te-

naga lahir dan tenaga dalam. Jika dielakkan den-

gan melompat ke samping, maka tombak yang 

menyerang miring akan tetap membentur tubuh 

yaitu pada bagian tulang-tulang iga atau seku-

rang-kurangnya menyambar bahu! Jika dielakkan


dengan jalan melompat ke atas maka patahan 

tombak yang menyerang lurus ada kemungkinan 

akan menghantam bagian berbahaya di bawah 

perut kalau tidak akan menancap di salah satu 

paha! Kalaupun seseorang dengan segala keli-

hayannya masih bisa mengelakkan serangan 

tombak sebelah bawah maka ini berarti dia me-

nyerahkan perutnya untuk dihantam mentah-

mentah oleh patahan tombak yang menyerang 

miring!

Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan 

diri dari patahan-patahan tombak tersebut ha-

nyalah dengan mempergunakan segala kemam-

puan yang ada, menangkisnya! Resi Mintaraya 

yang sudah banyak pengalaman dalam ilmu silat 

juga memaklumi hal ini. Pedang putih di tangan-

nya diputar sedemikian rupa. "Trang... trang!" Ke-

dua patahan tombak patah lagi dan mental ke 

langit-langit kuil. Satu di antaranya menancap di 

langit-langit tersebut!

Tanpa senjata tak akan mungkin bagi Ma-

hesa Kelud menghadapi Resi yang sakti ini. Kare-

nanya Mahesa segera mencabut pedang dewa 

yang tersisip di punggungnya. Namun baru saja 

tangannya bergerak Mintaraya sudah menyerbu 

secepat kilat. Mahesa melompat ke samping. Pe-

dang lawan lewat tapi di saat yang sama tendan-

gan kaki kanan Mintaraya datang tiada terduga. 

Dalam saat yang sedemikian sulitnya itu Mahesa 

segera mendorong pendupaan besar setinggi ping-

gang yang terbuat dari batu di sampingnya. Ini


adalah suatu hal yang tidak dinyana oleh sang 

Resi. Tak ada kesempatan lagi untuk menarik pu-

lang tendangannya. Akibatnya kaki dan batu 

pendupaan beradulah!

Resi Mintaraya merasakan kaki kanannya 

sakit bukan main. Ini menambah menggelegak 

amarahnya saja sedang pendupaan yang diten-

dangnya tadi hancur berantakan! Kesempatan ini 

dipergunakan di lain pihak oleh Mahesa Kelud 

untuk mencabut pedang saktinya! Begitu "Pedang 

Dewa" keluar dari sarungnya, maka kelihatanlah 

sinar merah keluar dari senjata tersebut yang 

menyilaukan mata, merambas ke setiap sudut da-

ri kuil! Meskipun sang Resi terkejutnya bukan 

main melihat pedang di tangan lawan, namun ra-

sa terkejutnya itu tiada diperlihatkan

"Jika ini pemuda bukannya murid seorang 

sakti luar biasa, mustahil dia bisa memiliki pe-

dang dahsyat ini." kata Mintaraya dalam hatinya. 

"Atau mungkin ini sebuah senjata curian?!" Sang 

Resi tak bisa bertanya-tanya dalam hati lebih la-

ma karena saat itu Mahesa Kelud sudah melom-

pat ke arahnya!



SEMBILAN



MESKIPUN serangan lawan dapat dielak-

kannya namun angin panas yang menyambar ke-

luar dari pedang bersinar merah itu memerihkan 

mata dan menyengat kulit tubuhnya! Sang Resi


jadi bergidik. Pedang putihnya dipegang erat-erat 

dan dengan cepat ilmu pedangnya dirubah. Gu-

lungan sinar putih dari pedang Mahesa Kelud 

sambung menyambung di udara laksana dua ekor 

naga yang tengah berkelahi! Kalau tadi Mintaraya 

bisa mendesak dan menyerang pemuda itu secara 

gencar maka setelah pedang "Dewa" berada di 

tangan Mahesa suasana jadi berubah. Ilmu silat 

dan tenaga dalam serta pengalaman memang Ma-

hesa lebih rendah, namun pedang sakti yang di 

tangannya membantu pemuda ini dalam banyak 

hal karena bukan Mahesa, tapi pedang itulah 

yang seperti membimbing tangannya, bergerak 

sebat kian kemari! Sudah bermacam tipu dan 

berbagai serangan yang jitu dikeluarkan oleh sang 

Resi, namun pedang di tangan lawannya seperti 

mempunyai mata selalu saja dapat menangkis.

Dan setiap senjata mereka saling beradu Minta-

raya merasakan betapa tangannya tergetar serta 

panas sedang mata pedang putih kelihatan gom-

pal! Dalam tiga jurus kemudian Mahesa Kelud 

sudah berada di atas angin kembali dan mende-

sak lawannya ke sudut kuil!

Melihat kehebatan senjata lawannya, sang 

Resi penasaran bukan main. Tangan kirinya ber-

gerak. Mahesa sambil menyerang berlaku waspa-

da karena dalam terdesak demikian Resi yang li-

cik ini mungkin akan mengeluarkan senjata raha-

sia. Tapi apa yang dikeluarkan Mintaraya dari ba-

lik jubah birunya ternyata adalah sebuah cambuk 

kulit berwarna sangat hitam. Kehebatan senjata


ini ialah bisa dibuat seperti sebuah tongkat baja 

yang keras untuk dipakai menghantam tubuh la-

wan sehingga berpatahan tulang-tulangnya! Na-

mun dapat pula dibuat lemas sedemikian rupa 

untuk melilit dan merampas senjata lawan! Dan 

memang inilah yang menjadi maksud Resi Minta-

raya yaitu hendak merampas pedang sakti di tan-

gan Mahesa Kelud. Dia maklum bahwa senjata itu 

berbahaya sekali. Jika dia berhasil merampasnya 

maka dalam satu dua gebrakan saja pasti dia da-

pat membabat putus leher si pemuda! Di samping 

kehebatan-kehebatan di atas, juga cambuk angin 

dingin yang tajam merasuk dan menusuk ke tu-

lang-tulang sungsum sehingga lawan yang masih 

tanggung-tanggung memiliki tenaga dalam pasti 

akan menggigil sekujur tubuhnya!

Dengan pedang putih membabat dari ba-

wah sedang cambuk diputar di udara maka me-

nyerbulah Resi Mintaraya. Mahesa Kelud melom-

pat ke atas dengan cepat. Pedang lawan lewat di 

selangkangannya. Dengan kaki kiri pemuda ini 

coba menendang sambungan siku Mintaraya tapi 

pedang putih lawan membalik menyambar tulang 

keringnya membuat Mahesa Kelud terpaksa me-

narik pulang kakinya kembali dan di saat yang 

sama melompat ke bagian lain untuk mengelak-

kan sambaran cambuk hitam. Meskipun pemuda 

ini berhasil melewatkan sambaran cambuk na-

mun sambaran angin dingin dan tajam yang ke-

luar dari senjata tersebut membuat sekujur tu-

buhnya menjadi dingin! Beberapa detik lamanya


pemuda ini jadi menggigil. Cepat-cepat dia kerah-

kan tenaga dalamnya namun sebelum itu terjadi 

tahu-tahu dari gagang pedang "Dewa" yang di 

tangan kanannya mengalir hawa panas yang me-

lumpuhkan dan mengusir hawa dingin jahat yang 

menguasai tubuh Mahesa saat itu! Inilah kesak-

tian dan kehebatannya pedang merah pusaka si 

Suara Tanpa Rupa itu!

Ketika melihat Mahesa Kelud tertegun be-

berapa detik lamanya. Resi Mintaraya menduga 

bahwa pemuda ini sudah lumpuh oleh angin pu-

kulan cambuknya. Segera dia membacokkan pe-

dangnya ke kepala Mahesa Kelud. Namun pada 

detik itu pula pedang merah di tangan si pemuda 

menusuk pesat ke muka, tepat ke pusar Minta-

raya! Mau tak mau pedangnya yang hendak dipa-

kai membacok kepala lawan terpaksa diperguna-

kan untuk mengambil pedang merah tersebut! 

Untuk kesekian kalinya terdengar suara nyaring 

beradunya senjata itu dan untuk kesekian kalinya 

pula pedang putih Mintaraya menjadi gompal ma-

tanya!

Saat itu mereka bertempur sudah sembilan 

puluh jurus lebih! Dengan pedang putihnya Min-

taraya memusatkan segala serangan gencar ber-

tubi-tubi sedang cambuk di tangan kiri di samp-

ing untuk mempengaruhi tenaga dalam lawan ju-

ga senantiasa mengincar untuk melilit dan me-

rampas pedang sakti Mahesa Kelud. Demikianlah, 

waktu Mahesa harus menangkis sebuah samba-

ran senjata lawan maka Mintaraya memperguna


kan kesempatan ini untuk menempel pedang Ma-

hesa Kelud! Serentak dengan itu cambuk hitam 

datang meliuk dan melilit pertengahan pedang 

merah. Dengan mengandalkan tenaga dalamnya 

yang lebih tinggi sang Resi yakin dia akan dapat 

merampas senjata pemuda itu. Namun betapa 

terkejutnya ketika baik tangan kiri maupun tan-

gan kanannya terasa sangat panas! Tenaga dalam 

yang dialirkannya lewat pedang putih, demikian 

juga hawa dingin yang dikerahkannya melalui 

cambuk hitam lumpuh semuanya bahkan kini 

seperti didorong oleh sesuatu kekuatan dahsyat 

berbalik menyerang dirinya sendiri! Inilah doron-

gan hawa panas yang keluar secara ajaib dari pe-

dang "Dewa" yang sakti di tangan Mahesa! 

Sebelum dirinya mendapat celaka, Resi Pa-

jajaran ini sambil mengeluarkan seruan tinggi 

melompat ke belakang beberapa langkah. Namun 

kerugian tetap ada pada pihaknya. Sebelum lilitan 

cambuk pada pedangnya lepas Mahesa mengge-

rakkan senjata itu sedikit dan "cris!" Cambuk hi-

tam yang sangat dibanggakan oleh Mintaraya pu-

tus dua!

"Laknat terkutuk!" maki Mintaraya dan 

menerkam ke muka dengan kalap. Namun inilah 

kesalahan besar yang dibuatnya. Kekalapan me-

nyebabkan dia tidak memperhitungkan langkah 

serta posisi lawan. Maka ketika pedang merah 

menyambar ke dadanya. Resi ini hanya mampu 

miringkan tubuhnya. "Bret!" Jubah birunya robek 

besar di bagian bahu! Masih untung kulitnya tidak terluka. Namun hawa panas perih membuat 

dia terpaksa menjauhi lawan untuk mengerahkan 

tenaga dalam mengusir hawa panas jahat senjata 

Mahesa!

Tahu bahwa pemuda ini sukar dirobohkan, 

lagi pula saat itu tak ada orang luar yang me-

nyaksikan pertempuran maka tanpa malu-malu 

Resi Mintaraya berseru: "Ismaya! Bantu aku!"

Mendengar ini Ismaya segera menjangkau 

sebuah golok panjang dan sebilah keris di dinding 

kuil. Mintaraya juga memegang sebuah senjata 

baru di tangan kirinya yakni sebatang tombak 

yang ujungnya berbentuk garpu! Maka kini terja-

dilah pertempuran dua lawan satu! Empat senjata 

dahsyat berkelebat mengurung sebuah pedang 

sakti! Betapa pun tingginya ilmu Mahesa Kelud 

namun masih tetap lebih rendah dari Mintaraya. 

Betapa pun saktinya pedang di tangan pemuda 

tersebut namun menghadapi empat senjata seka-

ligus memberikan pengaruh yang berat juga!

Mahesa tahu bahwa untuk dikalahkan be-

gitu saja oleh kedua orang lawannya memang ti-

dak mungkin. Namun baginya ini merupakan sa-

tu kesukaran karena dia harus menangkap Is-

maya hidup-hidup! Dalam satu gebrakan hebat 

Mahesa berhasil membabat sampai puntung keris 

di tangan kiri Ismaya. Begitu kehilangan senja-

tanya, Ismaya segera menjangkau senjata baru 

dari dinding kuil. "Jika begini terus-terusan, bisa 

berabe," pikir Mahesa. Dipercepatnya putaran 

tangannya. Pedang sakti bersinar merah turut pula memberikan gerakan bimbingan. Pemuda ini 

berhasil mendesak kedua pengeroyoknya ke luar 

kuil! Di pelataran ini di mana terkapar mayat ke-

dua murid Mintaraya, pertempuran berjalan lebih 

seru karena ruang gerak jadi lebih luas! Pakaian 

ketiga orang itu, terutama Mahesa dan Mintaraya 

sudah basah oleh keringat. Dari empat senjata 

lawan yang dihadapi pemuda itu maka yang pal-

ing berbahaya ialah tombak berbentuk garpu di 

tangan kiri Resi Mintaraya. Senjata ini senantiasa 

dipakai untuk menusuk ke depan dan bagian-

bagian yang diserang adalah tempat berbahaya 

seperti muka, tenggorokan, dada, atau bagian 

bawah perut!

Yang membuat murid Embah Jagatnata 

dari gunung Kelud ini menjadi mengkal ialah ka-

rena terhadap Ismaya dia tidak bisa menyerang 

dengan sepenuh hati sebab dia takut pemuda ini 

akan luka parah dan menemui ajalnya sedang 

Ismaya harus ditangkapnya hidup-hidup untuk 

diseret ke Banten sebagai saksi hidup atas 

pengkhianatan Tirta dan juga sebagai jaminan 

untuk dibebaskannya Raden Mas Ekawira dari 

penjara!

Pertempuran memasuki jurus yang kesera-

tus lima puluh kini! Sebelumnya sudah berkali-

kali Mahesa mendesak kedua lawannya namun 

berkali-kali pula dia harus mundur. Mengapa 

Mahesa tidak sanggup memereteli lawan-

lawannya saat itu cukup dapat dimaklumi.

Selain Resi Mintaraya memang seorang


sakti kelas tinggi juga ilmu "Dewa Pedang Dari 

Depan Penjuru Angin" belum keseluruhannya di-

kuasai Mahesa sedang penggemblengan yang di-

terimanya dari gurunya si Suara Tanpa Rupa juga 

belum selesai!

Dalam suasana berkecamuk itu tiba-tiba 

terdengarlah suara tertawa bekekehan: "He... he... 

he... he... ada apa di sini? Ada apa di sini? Ka-

kakku Mintaraya, agaknya hari ini kau bertemu 

dengan lawan yang lihay!"

Mahesa tidak berani memalingkan kepala 

untuk melihat siapa yang bicara itu. Sebaliknya 

ketika mendengar suara yang tinggi kecil tadi ma-

ka berserilah air muka Mintaraya. Dia juga tidak 

menoleh tapi dia sudah dapat memastikan siapa 

adanya yang bicara. 

"Gandabraja!" serunya. "Kebetulan kau da-

tang! Ayo jangan berpangku tangan bantu aku 

untuk mencincang bangsat ingusan ini!"

Orang yang baru datang ini bertubuh ge-

muk dan pendek. Keningnya lebar, berambut tipis 

dan hidungnya sangat pesek, hampir sama rata 

dengan pipinya yang gemuk! Namanya Ganda-

bradjasura, dari Ujung Kulon dan adalah adik se-

perguruan Resi Mintaraya! Sebagai adik sepergu-

ruan maka kepandaian Gandabradjasura adalah 

satu tingkat lebih rendah dari Mintaraya, jadi ma-

sih satu tingkat dari Dewa Tongkat!

Gandabradja bukan seorang Resi kare-

nanya dia tidak mengenakan jubah seperti kakak 

seperguruannya. Kedatangan Gandabraja ke pun


cak gunung Halimun itu ialah untuk menyam-

bangi saudara seperguruannya dan manusia ini 

jadi terheran-heran ketika sampai di sana mene-

mui Mintaraya tengah bertempur melawan seo-

rang pemuda gagah yang bersenjatakan sebuah 

pedang mustika sakti! Jika pemuda tersebut tidak 

berilmu sangat tinggi niscaya kakak sepergu-

ruannya dan tidak akan bertempur dengan jalan 

mengeroyok! Di samping itu Gandabraja sudah 

melihat pula dua mayat terkapar di pelataran kuil 

yang tak lain dari pada murid-murid saudaranya 

sendiri!

Mendengar ucapan Mintaraya tadi, maka 

Gandabraja pun melompat ke dalam kalangan 

pertempuran. Di tangan kanannya tergenggam 

senjata aneh yaitu seikat sapu lidi! Tapi meskipun 

cuma seikat sapu lidi, bahayanya tidak kalah 

dengan tombak berbentuk garpu di tangan kiri 

Mintaraya. Bila kena tergebuk, kulit tubuh akan 

menjadi hancur berkeriput sedang bila kena mata 

pasti membutakan!

Dengan ikut campur nya Gandabraja maka 

Mahesa segera maklum bahwa dalam waktu sing-

kat dia pasti tak akan berdaya. Pemuda ini mem-

bentak: "Orang-orang tua tidak tahu diri! Apa ti-

dak malu melakukan pengeroyokan?!"

"Tutup mulutmu! Sebentar lagi kau akan 

mampus!" hardik Mintaraya.

"Eh, saudaraku Mintaraya..." ujar Ganda-

braja. "Biar saja dia mengumbar bacot! Kalau su-

dah mampus toh tidak bisa bicara? He... he...


he...!"

Mahesa menggertakkan gerahamnya. Tu-

buhnya berkelebat dan kini tampak hanya meru-

pakan bayang-bayang saja terbungkus oleh sinar 

merah. Meski tahu bahwa dirinya akan mudah 

dikalahkan namun untuk lari dari sana adalah 

suatu pantangan bagi Mahesa, apalagi jika Is-

maya tidak pula dapat dibekuknya! Kalau pun dia 

harus mati saat itu maka dia akan mati sebagai 

seorang kesatria meskipun mungkin terdapat rasa 

penyesalan berhubung sampai saat itu dua tugas 

gurunya Embah Jagatnata yakni mencari pedang 

bernama "Samber Nyawa" dan mencari manusia 

bernama Simo Gembong belum dapat dilaksana-

kannya!

Dengan pedang sakti di tangan Mahesa 

hanya bisa bertahan sampai lima belas jurus. Ju-

rus-jurus kemudiannya pemuda ini mulai terde-

sak hebat. Pedang Mintaraya sudah merobekkan 

pakaian di bagian dadanya sedang sapu lidi Gan-

dabraja telah menggebuk paha kirinya. Pakaian-

nya di bagian itu hancur dan kulit tubuhnya me-

rah lecet, sakitnya bukan main

"Kita desak dia ke dalam kuil!" kata Minta-

raya. "Biar manusia ini mampus di sana disaksi-

kan oleh mayat muridku yang tertua!"

Gandabrajasura terkejut mendengar uca-

pan kakak seperguruannya itu. "Apa?! Jadi Kun-

tawirya juga dibunuh oleh keparat ini?! Kalau be-

gitu memang dia harus cepat-cepat mampus!" dan 

manusia gemuk berhidung pesek ini menghantamkan sapu lidinya dengan ganas.

Keroyokan ke tiga orang itu membuat Ma-

hesa Kelud kini benar-benar terdesak dan dia di-

paksa mundur ke pintu kuil. Senjata-senjata la-

wan menderu-deru siap menggebuk tubuhnya 

dan ini hanya tinggal waktu saja.

"Celaka! Apa yang harus aku perbuat!" ke-

luh Mahesa dalam hati. Gagang Pedang Dewa di-

pegangnya erat-erat. Tenaga dalam disalurkan 

penuh. Cahaya merah berkiblat menggidikkan. 

Tapi para pengeroyok yang berada di atas angin 

sama sekali tidak merasa jerih. Di saat-saat yang 

sangat kritis itu tiba-tiba terdengar seseorang 

berseru nyaring

"Kakak bertahanlah! Jangan khawatir! Aku 

segera membantumu!"

"Tuhan masih menolongku! Siapa orang 

itu. Aku rasa-rasa kenal suaranya!" kata Mahesa 

Kelud. Semangatnya timbul kembali. Pedang De-

wa dikiblatkannya ke atas. Cahaya merah menderu berbentuk setengah lingkaran!



                        TAMAT


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar