BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE NAGA MERAH


matjenuh khairil

 

Seri Pendekar Rajawali Sakti

Karya : Teguh S

dalam episode Naga Merah

Penerbit Cintamedia Jakarta

NAGA MERAH oleh Teguh S. Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Henky

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopy

atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh S.

Serial Pendekar Rajawali Sakti

dalam episode:

Naga Merah

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


SATU


Desa Jatiwangi tidak seperti biasanya. Umbul-umbul dan

macam-macam hiasan bertebaran di seluruh desa. Tampak

semarak sekali. Keceriaan tercermin di setiap wajah

penduduknya Berbondong-bondong mereka menuju

panggung hiburan yang ada di setiap sudut desa.

Sebenarnya bukan hanya penduduk desa Jatiwangi saja

yang kelihatan ceria penuh kegembiraan. Desa-desa di

sekitarnya pun juga tidak luput dari suasana ceria itu. Tidak

sedikit orang dari desa tetangga yang tumplek di desa yang

penuh dengan panggung hiburan. Tentu saja kegembiraan

ini juga sangat dirasakan oleh Kepala Desa Jati wangi.

Ki Rangkuti tersenyum bangga menyaksikan warga

desanya bergembira. Sepasang bola matanya berbinar-binar

merayapi sekelilingnya. Kepala desa yang sudah berumur

lanjut tapi masih terlihat gagah itu, duduk didampingi dua

orang tamu istimewa yang diundang khusus. Yang duduk di

sebelah kanannya adalah seorang laki-laki berumur sekitar

empatpuluh tahun. Wajahnya masih kelihatan tampan dan

gagah. Di punggungnya bertengger sebilah pedang

bergagang emas. Senjata itulah yang membuat dirinya

dikenal sebagai Dewa Pedang Emas.

Sedangkan yang duduk di sebelah kiri Ki Rangkuti,

seorang tua berambut putih. Pakaiannya pun serba putih

bersih. Matanya bercahaya menandakan seorang yang arif

bijaksana. Kelihatannya dia tidak menyandang senjata

sebuah pun. Semua orang pasti akan mengenalnya. Laki-

laki tua berpenampilan penuh wibawa ini dikenal dengan

nama Bayangan Malaikat.

Pada saat itu tiba-tiba seorang laki-laki muda dengan

tombak panjang di tangan menghampiri. Pandangan mata

Ki Rangkuti langsung tertuju padanya.


"Ada apa, Darmasaka?" tanya Ki Rangkuti.

"Ada seorang wanita tua ingin bertemu, Ayah," sahut

Darmasaka yang ternyata putra kepala desa itu.

"Siapa dia?" tanya Ki Rangkuti sambil mengernyitkan

alisnya Sepengetahuannya dia tidak pernah mengundang

tamu seorang perempuan.

"Dia tidak mau menyebutkan namanya. Katanya Ayah

pasti sudah mengenalnya," sahut Darmasaka.

"Hm...," Ki Rangkuti bergumam.

"Apakah dia menyandang senjata?" tanya Dewa Pedang

Emas.

'Tidak," sahut Darmasaka cepat Pakaiannya serba biru,

dan hanya membawa tongkat berkepala ular"

"Dia menunggang kuda putih dengan garis hitam pada

lehernya?" tanya Bayangan Malaikat.

"Benar!" jawab Darmasaka.

'Tidak salah lagi, pasti si Ular Betina," gumam

Dewa.Pedang Emas.

"Kau mengundangnya juga, Rangkuti?" tanya Bayangan

Malaikat menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi diam saja.

Ki Rangkuti yang sejak tadi sudah menduga siapa yang

datang, hanya menggeleng perlahan. Dia tidak menyangka

sama sekali kalau si Ular Betina akan datang tanpa

diundang. Sementara Darmasaka hanya memandang tidak

mengerti. Hatinya bertanya-tanya melihat perubahan pada

wajah Ayahnya yang seperti tidak menyukai kehadiran

perempuan tua yang berjuluk Ular Betina itu.

Saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar suara ringkikan

dan derap kaki kuda. Tampak seekor kuda putih yang



ditunggangi seorang perempuan tua berpakaian serba biru

memasuki halaman rumah kepala desa yang luas. Kuda itu

berhenti tepat di depan serambi depan, tempat empat orang

laki laki itu berdiri.

Perempuan tua yang tidak lain adalah si Ular Betina.

Dengan tangkas dan ringan sekali dia melompat dari

kudanya, seolah ingin memamerkan ilmu meringankan

tubuh yang indah pada keempat laki-laki di depannya.

Manis sekali kakinya menjejak tanah setelah berputar di

udara dua kali.

"Kau mengadakan pesta besar, kenapa tidak

mengundangku, Rangkuti?" suara si Ular Betina kecil,

namun terdengar nyaring tinggi.

"Maafkan kelalaianku, Ular Betina," sahut Ki Rangkuti

pelan penuh wibawa. 'Tidak seorang pun dari orang-

orangku mengetahui di mana tempat tinggalmu. "

"Hik hik hik..," si Ular Betina tertawa kecil. "Aku tidak

mempersoalkan orang-orangmu, Rangkuti. Aku datang ke

sini hanya ingin menikmati pesta besarmu." Ki Rangkuti

menarik napas panjang dan berat.

Ada sedikit kelegaan di dadanya. Jika kedatangan si Ular

Betina hanya sekedar menikmati pesta, tidak ada masalah

baginya. Hanya yang dikhawatirkan kedatangan

perempuan tua itu bisa menghancurkan semua rencana

yang sudah disiapkannya berbulan-bulan dengan penuh

perhitungan.

"Kau tidak mempersilakan aku duduk di kursi undangan,

Rangkuti?" kata si Ular Betina.

"Silakan. Pilihlah tempat di mana kau suka," Ki

Rangkuti merentangkan kedua tangannya.


Sambil tertawa mengikik kecil, si Ular Betina melangkah

menaiki beranda rumah itu. Dia kemudian duduk di

samping Dewa Pedang Emas. Ki Rangkuti masih berdiri

meskipun ketiga tamunya sudah duduk di tempat masing-

masing. Masih ada delapan bangku lagj yang kosong.

Berarti belum semua undangan yang hadir. Padahal

rencananya hari ini adalah puncak semua pesta besar yang

telah terlaksana.

Ki Rangkuti memberi isyarat pada Darmasaka untuk

mendekat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, putra

kepala desa itu maju mendekati ayahnya. Dia mengangguk

kecil pada ketiga tamu undangan Ki Rangkuti. Darmasaka

berdiri di samping ayahnya membelakangi Bayangan

Malaikat.

"Kau urus kuda Ular Betina dengan baik, kemudian

tambahkan satu kursi lagi di sini," kata Ki Rangkuti

memerintah.

"Baik, Ayah," sahut Darmasaka. Darmasaka langsung

melangkah menghampiri kuda putih milik si Ular Betina.

Kemudian dituntunnya ke belakang. Dua kuda lainnya

milik Bayangan Malaikat dan Dewa Pedang Emas, telah

tertambat di sana.

"Benar-benar anak yang berbakti, Rangkuti," kata Ular

Betina setelah Darmasaka lenyap di belakang rumah.

Ki Rangkuti hanya tersenyum, lalu duduk di kursinya

sendiri. Hatinya masih belum bisa tenang dengan kehadiran

si Ular Betina yang tidak diundang itu. Dia belum bisa

memperkirakan maksud kedatangan si Ular Betina yang

sebenarnya. Harinya hanya berharap benar-benar Ular

Betina hanya ingin menikmati pesta besar di Desa Jatiwangi

ini


Tidak lama berselang, datang satu per satu undangan.

Dari penampilan mereka, jelas kalau semuanya adalah

tokoh-tokoh sakti kaum rimba persilatan. Mereka semua

adalah laki laki, kecuali si Ular Betina saja. Mereka duduk

pada tempatnya masing-masing, menghadap panggung

besar yang berdiri di tengah halaman rumah kepala desa ini.

Para penduduk pun sudah mulai berdatangan memenuhi

halaman sekitar panggung. Dalam waktu yang tidak lama,

halaman rumah Kepala Desa Jatiwangi penuh sesak

dipenuhi manusia. Mereka semua ingin menyaksikan

puncak acara pesta besar itu.

***

Pesta apa sebenarnya yang tengah berlangsung di desa

Jatiwangi? Sebenarnya bukan pesta merayakan sesuatu, tapi

Ki Rangkuti mengadakan pesta ini untuk menyambut

berdirinya Padepokan Jatiwangi yang baru didirikan,

dengan mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan.

Tampak pada bagian kanan panggung, berdiri berjajar

puluhan anak-anak muda yang mengenakan seragam

kuning keemasan. Mereka semua menggenggam tombak

panjang. Merekalah murid pertama Padepokan Jatiwangi

Pada barisan depan, duduk lima orang guru pengajar. Dari

penampilan kelima orang itu, dapat diukur kalau mereka

memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.

Suara riuh penuh sorak-sorai seketika berhenti ketika

terdengar suara gong dipukul tiga kali. Ki Rangkuti berdiri

dengan sikap penuh wibawa. Langkahnya pelan dan tegap

menuju ke panggung. Semua mata memandang ke arah

laki-laki tua yang penuh daya pancar pesona itu. Ki

Rangkuti berdiri tegak di tengah-tengah panggung. Sebentar

matanya menyapu ke arah warga desanya.


"Saudara-saudara sekalian, saya gembira pada hari yang

sangat bersejarah bagi seluruh warga Desa Jatiwangi.

Berkat restu Yang Maha Kuasa jualah maksud luhur kita

semua bisa tercapai hari ini. Pada hari yang bahagia ini,

saya selaku Kepala Desa Jatiwangi akan meresmikan

berdirinya satu-satunya Padepokan Jatiwangi di desa yang

kita cintai ini," pelan dan teratur kata-kata Ki Rangkuti,

namun terdengar menggema ke seluruh pelosok.

Semua mata masih tertuju pada laki-laki yang penuh

wibawa ini. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.

"Pada hari ke tujuh bulan Sanga, saya atas nama seluruh

warga Desa Jatiwangi meresmikan berdirinya

Padepokan Jatiwangi!"

Suara sorak-sorai dan tepuk tangan meriah terdengar

menggemuruh begitu Ki Rangkuti menyelesaikan kata-

katanya Dengan gegap-gempita semua orang yang hadir

menyambut berdirinya Padepokan Jatiwangi yang hanya

satu-satunya di desa ini.

Ki Rangkuti hanya tersenyum gembira menerima

sambutan hangat seluruh warga desanya. Dadanya terasa

hampir pecah menyaksikan sambutan yang tidak pernah

terbayangkan sebelumnya. Rencana mendirikan Padepokan

Jatiwangi ternyata berjalan lancar tanpa sedikit pun

mendapat gangguan yang berarti. Ki Rangkuti baru bisa

bernapas lega sebentar, ketika tiba-tiba sebuah bayangan

hitam berkelebat cepat ke arah panggung.

Suara-suara menggumam terkejut terdengar begitu

bayangan hitam tadi sudah berada di atas panggung.

Ternyata seorang.perempuan tua dengan wajah penuh

keriput sudah berdiri tegak di depan Ki Rangkuti. Tangan

kanannya menggenggam sebatang tongkat hitam yang


meliuk-liuk bagai ular. Bagian kepala tongkat itu bulat tidak

rata

"Iblis Tongkat Hitam...," gumam Ki Rangkuti begitu

mengenali perempuan yang berdiri di depannya.

"Hik hik hik..., rasanya tidak mudah mendirikan satu

padepokan. Aku datang hanya ingin tahu, apakah Desa

Jatiwangi sudah pantas memiliki padepokan silat?" suara

Iblis Tongkat Hitam terdengar pelan, namun penuh dengan

ejekan yang menyakitkan.

"Rasanya aku tidak mengundangmu, Iblis Tongkat

Hitam. Satu kehormatan besar bagiku kau berkenan

hadir pada peresmian berdirinya Padepokan Jatiwangi,"

kata Ki Rangkuti.

"Aku tidak suka acara ramah-tamah. Aku datang ke sini

untuk menguji pantas tidaknya Padepokan Jatiwangi

berdiri!" dengus Iblis Tongkat Hitam.

Panas kuping Ki Rangkuti mendengarnya. Tapi sebagai

guru besar Padepokan, sekaligus Kepala Desa Jatiwangi,

dia harus bisa mengendalikan diri. Belum sempat ia

menjawab tantangan itu, tiba-tiba Dar-masaka melompat

ringan. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan ayahnya.

"Ijinkan aku yang memberi pelajaran kepada perempuan

yang tidak tahu sopan-santun ini, Ayah," kata Darmasaka.

"Hati-hatilah. Dia sangat licik dan tinggi tingkat

kepandaiannya," kata Ki Rangkuti bijaksana.

Darmasaka membalikkan tubuhnya. Kemudian dia

melangkah tiga tindak ke depan. Ki Rangkuti menuruni

panggung, kembali ke tempat duduknya semula. Meskipun

bibirnya menyunggingkan senyum, tapi khawatir juga

dengan keselamatan putranya. Dia tahu kalau Iblis Tongkat


Hitam bukanlah lawan Darmasaka. Itulah sulitnya jadi

guru besar padepokan. Dia harus bisa menahan segala

bentuk perasaan. Kebijaksanaan selalu menyertai dalam

setiap sikap dan tindakannya.

"He, bocah! Untuk apa kau berdiri di situ?" bentak Iblis

Tongkat Hitam sengit.

"Aku akan membungkam mulutmu yang jelek!" dengus

Darmasaka ketus

"Hik hik hik..., sebaiknya kau turun. Aku tak mau

mengotori tangan dengan bocah bau kencur macam-12

mu," ejek Iblis Tongkat Hitam.

"Kami tidak mengundangmu datang ke sini. Aku Juga

malas mengusirmu seperti anjing kalau kau tidak lekas-lekas

minggat!" balas Darmasaka tidak kalah sengitnya.

"Bocah setan! Tajam sekali mulutmu!" geram Iblis

Tongkat Hitam.

"Lebih tajam lagi ujung tombakku!" "Setan! Mampus

kau!"

Iblis Tongkat Hitam tidak bisa lagi menahan amarahnya

mendengar kata-kata Darmasaka yang menyakitkan.

Seketika saja dia melompat sambil men-gebutkan tongkat

hitamnya yang meliuk-liuk bagai ular. Angin sambaran

tongkat itu menderu keras di atas kepala Darmasaka yang

merunduk. Dan bersamaan dengan itu, ujung tombak

Darmasaka menyodok ke arah perut lawan.

Iblis Tongkat Hitam menarik kembali tongkatnya, dan

dengan kecepatan bagai kilat dikebutkan ke bawah.

Darmasaka tidak mau mengambil resiko dengan

membenturkan tombaknya dengan tongkat hitam itu. Buru-

buru ditarik tombaknya pulang. Iblis Tongkat Hitam


menggeram sengit karena serangan pertamanya gagal total,

bahkan hampir-hampir kecolongan.

Sorak-sorai bergemuruh mengelu-elukan Darmasaka

yang berhasil mengimbangi serangan pertama dari Iblis

Tongkat Hitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua

berbaju hitam itu semakin geram. Segera dia menyiapkan

serangan yang kedua. Matanya memerah penuh amarah

menatap Darmasaka yang hampir saja membuatnya malu.

Kali ini Iblis

Tongkat Hitam tidak lagi menganggap enteng lawannya.

Meskipun masih muda, Darmasaka memiliki ilmu silat

yang cukup tinggi juga.

'Terima seranganku, bocah!" teriak Iblis Tongkat Hitam.

Darmasaka menarik tubuhnya menghindari sodokan

tongkat hitam perempuan tua itu. Pemuda itu langsung

berputar ke belakang. Tapi sodokan tongkat hitam yang

gagal diteruskan dengan kebutan ke arah dada. Dengan satu

lentingan indah, anak muda itu berhasil keluar dari

serangan beruntun Iblis Tongkat Hitam.

Baru saja ditapakkan kakinya di papan panggung,

mendadak Iblis Tongkat Hitam kembali menyerang dengan

mengibaskan tongkat hitam ke arah iga. Darmasaka yang

baru saja menjejakkan kakinya, tidak bisa lagi mengelak.

Terpaksa ditangkisnya tongkat hitam itu dengan

tombaknya.

Trak!

Darmasaka terpental dua tindak ke belakang Matanya

membeliak melihat tombaknya patah jadi dua. Sambil

menggeram kesal, dibuangnya tombak patah itu ke luar

panggung. Sementara Iblis Tongkat Hitam berdiri tegak

dengan sikap jumawa. Tawanya mengikik kecil mengejek


lawannya. Suara-suara riuh dari bawah panggung memberi

dorongan semangat pada Darmasaka.

"Ayo, keluarkan lagi senjatamu. Aku tidak pernah

melawan orang tanpa senjata!" seru Iblis Tongkat Hitam.

Sret!

Tanpa sungkan-sungkan lagi Darmasaka mencabut

pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Senjata

itu berkilatan tertimpa sinar matahan. Iblis Tongkat Hitam

hanya mengikik menyaksikan hal itu. Baginya sebatang

pedang bukanlah hal yang patut diperhitungkan. Sudah

terlalu banyak lawan yang menggunakan pedang disikat

habis olehnya.

"Majulah. Kuberi kau kesempatan menyerang," kata Iblis

tongkat Hitam meremehkan.

"Phuih!" Darmasaka meludah sengit.

Sambil mengeluarkan teriakan panjang, Darmasaka

melompat deras seraya mengibaskan pedangnya ke arah

leher lawannya. Masih dengan suara mengikik, Iblis

Tongkat Hitam hanya menarik sedikit bagian lehernya ke

belakang, dan ujung pedang Darmasaka lewat begitu saja di

depan leher Iblis Tongkat Hitam.

Mendapati serangan pertamanya gagal, Darmasaka cepat

membelokkan arah pedangnya ke kaki lawan tanpa

menariknya lagi. Iblis Tongkat Hitam menaikkan sedikit

kaki kanannya, dan pedang itu lewat di bawah telapak

kalanya. Darmasaka kembali melancarkan serangan tanpa

henti, namun Iblis Tongkat Hitam dengan mudahnya

mampu mengelak.

Sementara itu di serambi depan rumah Kepala Desa

Jatiwangi, Ki Rangkuti memperhatikan jalannya

pertarungan dengan mata tidak berkedip. Hatinya semakin


diliputi kecemasan melihat putranya tidak dapat lagi

mengendalikan hawa amarah Dalam beberapa gebrakan

lagi, Darmasaka diramalkan akan kalah.

Dan baru saja Ki Rangkuti berkata begitu dalam hati

Tiba-tiba Iblis Tongkat Hitam memekik keras.

Tongkat hitamnya berkelebat cepat mengarah kepala

Darmasaka. Gerakan yang cepat dan tiba-tiba ini sangat

mengejutkan anak muda itu. Tidak mungkin lagi untuk

menghindar. Terpaksa disambutnya dengan menangkis.

Trak!

Tangan Darmasaka bergetar keras ketika pedangnya

menangkis tongkat hitam yang mengancam kepalanya. Dan

belum sempat dia menguasai diri, mendadak....

"Lepas!"

Iblis Tongkat Hitam melayangkan kakinya menghantam

pergelangan tangan Darmasaka yang menggenggam

pedang. Darmasaka tersentak kaget. Mendadak saja

pergelangan tangannya terasa nyeri, seperti remuk. Dia

tidak tahu lagi ke mana pedangnya mencelat.

Belum sempat Darmasaka berpikir lebih jauh, satu

tendangan keras kembali menghantam dadanya dengan

telak. Darmasaka terjengkang ambruk ke luar panggung,

dan jatuh di depan kaki ayahnya sendiri. Dari sudut bibir

anak muda itu mengalir darah segar. Dia berusaha bangkit

berdiri, tapi tangan Ki Rangkuti lebih cepat menahan

pundaknya.

"Semadilah, kau terluka dalam," kata Ki Rangkuti.

"Perempuan iblis itu, Ayah...," Darmasaka akan protes.

"Kau sudah kalah. Anggap saja semua ini sebagai

pelajaran. Nah! Bersemadilah," potong Ki Rangkuti tegas.


Darmasaka beringsut bangun, lalu duduk bersila.

Dia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.

Kedua kelopak matanya terpejam. Dadanya masih terasa

sakit, dan napasnya juga jadi sesak.

Sementara itu di atas panggung, Iblis Tongkat Hitam

berdiri pongah. Sikapnya jelas-jelas menunjukkan tantangan

bagi siapa saja yang berani melawannya. Matanya

memerah, sangat tajam menatap Ki Rangkuti yang masih

duduk tenang di kursinya.

"Biarkan aku yang mengenyahkan iblis itu, Rangkuti,"

kata Dewa Pedang Emas setengah berbisik.

"Jangan. Kau tamuku. Tidak pantas turun tangan," Ki

Rangkuti menolak halus tanpa menyinggung perasaan

Dewa Pedang Emas. "Lagipula dia bukan lawanmu. Kau

masih jauh di atas tingkat kepandaiannya."

Dewa Pedang Emas tidak membantah. Memang benar

apa yang dikatakan Ki Rangkuti tadi. Dalam tiga jurus saja

dia mampu menundukkan Iblis Tongkat Hitam. Dulu pun

iblis itu pernah dikalahkannya hanya dalam satu gebrakan

saja. Dan dilihat dari caranya bertarung melawan

Darmasaka, tampaknya belum ada perubahan dari jurus-

jurusnya. Entah kalau dia menyimpannya untuk

menghadapi lawan yang berat

"Siapa lagi jago-jago Jatiwangi? Apakah nyali kalian

hanya sebesar tahi ayam?" Iblis Tongkat Hitam menantang

dengan pongahnya.

"Aku lawanmu, iblis jelek!"

Dari deretan kursi depan di samping panggung,

melompat seorang laki-laki berpakaian serba putih yang

ketat Dua kali dia berputar di udara, kemudian dengan

manis kedua kakinya menapak di papan panggung. Iblis



Tongkat Hitam terkekeh melihat lawannya yang kali ini

tampak lebih tua dari Darmasaka.

Bukan itu saja kelebihannya. Tanpa memperdengarkan

suara sedikitpun dalam melompat, tahu-tahu sudah berada

di atas panggung tanpa terdengar suara. Pertanda kalau dia

memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari

Darmasaka.

"Ijinkan aku bermain-main sedikit dengan Iblis Tongkat

Hitam, Kakang Rangkuti?"

"Silakan, Mahesa Jalang," sahut Ki Rangkuti seraya

merentangkan tangan kanannya ke depan.

Mahesa Jalang menggeser kakinya mendekati Iblis

Tongkat Hitam. Dia berhenti setelah jaraknya kira-kira satu

batang tombak lagi di depan perempuan tua berpakaian

longgar serba hitam itu.

"Berikan aku sedikit pelajaran, nenek tua," Mahesa

Jalang menjura hormat.

"Hik hik hik...," Iblis Tongkat Hitam jadi risih juga

dengan sikap Mahesa Jalang yang penuh aturan dan tata-

krama. "Jangan kau sungkan-sungkan. Keluarkan semua

kesaktianmu!"

"Bersiaplah!"

***


DUA


Mahesa Jalang menjura sekali lagi, kemudian dengan

cepat digeser kakinya maju. Begitu cepatnya bergerak,

kedua tapak kakinya sepertinya tidak menyentuh papan

panggung lagi. Kedua tangannya berkelebat cepat ke kiri

dan ke kanan serta ke depan.

Iblis Tongkat Hitam sesaat tertegun melihat jurus yang

digunakan Mahesa Jalang. Gerakan-gerakannya tidak

beraturan, seperti orang mabuk saja layaknya. Tapi

ketertegunan Iblis Tongkat Hitam berubah menjadi rasa

terkejut yang amat sangat, karena tiba-tiba •saja tangan

kanan Mahesa Jalang nyelonong ke arah dadanya.

"Uts!"

Iblis Tongkat Hitam langsung memiringkan tubuhnya ke

kanan, sehingga tangan Mahesa Jalang lewat di

sampingnya. Belum juga perempuan tua itu membenahi

posisinya, mendadak kaki Mahesa Jalang terangkat cepat

mengarah ke perut. Iblis Tongkat Hitam cepat

membabatkan tongkatnya melindungi perut.

Tentu saja Mahesa Jalang tidak mau mengambil resiko.

Buru-buru ditarik kakinya kembali. Bukan disitu saja Iblis

Tongkat Hitam bergerak. Selagi tongkatnya terayun ke

bawah, dengan cepat tangan kirinya menyentak ke depan.

Bet!

Mahesa Jalang tersentak seraya menarik kepalanya ke

belakang menghindari tangan kiri yang mengancam

kepalanya. Hanya beberapa helai rambut saja kepalan

tangan kiri Iblis Tongkat Hitam melayang di depan

mukanya.

"Awas kepala!" seru Mahesa Jalang tiba-tiba.


Secepat lalat tangan kanannya bergerak ke arah kepala

lawan. Iblis Tongkat Hitam merunduk sedikit, namun

tangan yang hampir mencapai atas kepala itu secara tiba-

tiba turun dengan deras. Dan meluruk cepat ke arah perut.

Buk!

"Uhk!"

Iblis Tongkat Hitam terbungkuk terdorong dua langkah

ke belakang. Bibirnya meringis merasakan mual dan nyeri

pada perutnya, terkena sodokan keras tangan Mahesa

Jalang.

"Setan!" geram Iblis Tongkat Hitam.

Sorak-sorai menggemuruh mengelu-elukan Mahesa

Jalang. Mulut-mulut usil kembali mengejek Iblis Tongkat

Hitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua itu jadi

semakin geram. Segera saja diputar tongkatnya dengan

cepat. Tongkat hitam itu berputar deras bagai baling-baling.

Suara angin menderu-deru bagai angin topan. Panggung

besar dan kokoh itu berderak-derak seakan-akan hendak

runtuh.

Menghadapi serangan yang dahsyat ini, Mahesa Jalang

langsung mengerahkan ilmu kesaktiannya. Dia tidak ingin

menghadapinya hanya dengan jurus-jurus yang

mengandalkan kecepatan gerak dan pengerahan tenaga

dalam. Dia tahu kalau Iblis Tongkat Hitam sudah

mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang cukup ting$.

Mahesa Jalang mengepalkan tangan kanannya, lalu

dirapatkan dengan telapak tangan kiri di pinggang kanan.

Cepat sekali dia memindahkan posisi tangannya ke

pinggang kiri. Lalu perlahan-lahan naik sampai ke dada

kiri.

"Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.


Seketika itu juga tubuhnya melenting deras ke arah Iblis

Tongkat Hitam yang sudah melintangkan tongkatnya ke

depan. Satu ledakan keras terjadi ketika kedua tangan

Mahesa Jalang membentur tengah-tengah tongkat hitam.

Trak!

"Akh!" Iblis Tongkat Hitam memekik tertahan.

"Uhk!" Mahesa Jalang melenguh pendek.

Dua tubuh yang berbenturan tadi, terdorong ke belakang

sejauh dua batang tombak. Iblis Tongkat Hitam limbung

beberapa saat, kemudian kembali berdiri tegak. Matanya

membeliak merah setelah tahu tongkat hitamnya patah jadi

dua bagian.

Teriakan-teriakan kembali terdengar menggemuruh dari

para penduduk yang gembira melihat Mahesa Jalang

berhasil mematahkan tongkat Iblis Tongkat Hitam.

"Bocah setan! Kau harus mati di tanganku!" dengus Iblis

Tongkat Hitam geram.

Selesai berkata demikian, langsung disiapkan ilmu

kesaktiannya yang lain. Sedangkan Mahesa Jalang kembali

menyiapkan aji 'Karang Kati'. Dua orang di atas panggung

itu kembali saling berhadapan dengan niat ingin

menjatuhkan satu sama lain. Keadaan kembali jadi hening,

menunggu akhir adu kesaktian itu

"Aji 'Tapak Api'!" teriak Iblis Tongkat Hitam.

"Aji 'Karang Kati'!" Mahesa Jalang tidak mau kalah.

Hampir bersamaan mereka melompat ke udara. Masing-

masing mendorong kedua tangan ke depan. Tampak kedua

telapak tangan Iblis Tongkat Hitam berubah menjadi merah

membara. Tepat pada satu titik, dua pasang tangan itu

bertemu di udara. Kembali ledakan keras disertai percikan


bola-bola api, terdengar menggema saat dua pasang telapak

tangan beradu.

Iblis Tongkat Hitam terpental ke belakang. Teriakan

keras melengking keluar dari mulutnya. Keras pula

tubuhnya terbanting di pinggir panggung. Tampak dari

mulut dan hidungnya merembes darah segar.

Sementara itu Mahesa Jalang melenting dan berputar

dua kali di udara, lalu dengan manis mendarat tepat di

tengah-tengah panggung. Matanya tajam memandang

tubuh terbungkus baju hitam yang ter-golek di pinggir

panggung besar yang kokoh ini. Tubuh Iblis Tongkat Hitam

menelungkup tidak bergerak-gerak. Seorang murid dari

Padepokan Jatiwangi menghampiri dan memeriksa keadaan

Iblis Tongkat Hitam.

"Mati," katanya agak pelan.

Suara bergemuruh kembali terdengar menyambut

kemenangan Mahesa Jalang. Begitu mendengar kema-tian

Iblis Tongkat Hitam, Mahesa Jalang melangkah ke tepi

panggung. Tapi baru saja akan turun, mendadak terdengar

suara tawa menggelegar. Disusul melompatnya sesosok

tubuh dari tengah-tengah penonton.

Begitu cepatnya sosok tubuh itu melompat, tahu-tahu

sudah berdiri di atas panggung. Mahesa Jalang

membalikkan tubuhnya. Dia tahu kalau kemenangan ini

tentu akan mendapatkan tantangan lagi dari tokoh-tokoh

sakti rimba persilakan. Dan semuanya sudah diperkirakan

sebelumnya.

***

"Buto Dungkul...," gumam Mahesa Jalang mengetahui

siapa yang kini berdiri dengan sikap menantang di tengah-

tengah panggung.


"Belum saatnya kau turun gelanggang, Mahesa Jalang, "

ujar Buto Dungkul. Suaranya berat dan serak.

Mahesa Jalang memiringkan kepalanya mengamati laki-

laki yang hanya mengenakan cawat saja. Di tangan

kanananya tergenggam sebuah gada penuh duri-duri tajam

yang besar. Tubuh Buto Dungkul juga tinggi besar bagai

raksasa. Dadanya penuh dengan bulu-bulu hitam.

Keadaannya sangat kotor, persis manusia hutan yang baru

keluar dari pengasingan.

Bagi tokoh-tokoh sakti rimba persilatan, nama Buto

Dungkul tidak asing lagi. Dia sudah terkenal sebagai

manusia rimba belantara yang menguasai Hutan Gading.

Hutan Ubat yang berada tidak jauh dari Desa Jabwangi ini

Sudah tak terhitung lagi manusia yang mati di tangannya.

Buto Dungkul tidak memiliki satu jenis ilmu silat pun. Tapi

tenaganya sangat besar dan kuat, melebihi tenaga manusia

biasa.

Kelebihan yang paling utama dari tubuhnya adalah kebal

terhadap segala jenis racun. Kulit tububnya sekeras baja,

sukar ditembus senjata tajam. Cara bertarungnya juga aneh,

tidak mengikuti aturan jurus-jurus silat Serampangan dan

hanya mengandalkan kekuatan otot serta kekebalan tubuh

saja.

"Kau sudah mengingkari janji, Mahesa Jalang. Sekarang

aku datang untuk menagih janjimu," kata Buto Dungkul.

Mahesa Jalang hanya bergumam kecil. Dia memang

pernah berjanji pada manusia raksasa ini untuk mengadu

jiwa. Tiga tahun yang lalu, ketika masih bertugas sebagai

pengantar barang-barang dari satu desa ke desa yang lain,

dia pernah melewati Hutan Gading. Di situ Mahesa Jalang

bertarung melawan Buto Dungkul yang ingin merampas

semua barang-barang yang ada di atas pedati. Enam orang


yang ikut waktu itu tewas secara mengerikan di tangan

manusia raksasa ini.

Mahesa Jalan bisa menandingi, bahkan sempat melukai

Buto Dungkul. Tapi keadaan dirinya juga tidak kalah kritis.

Mereka kemudian mengadakan satu perjanjian untuk

melanjutkan pertarungan dalam waktu tiga tahun

mendatang. Dan setelah tiga tahun ini rupanya Buto

Dungkul datang untuk menagih janji. Mahesa Jalang bukan

lupa akan janjinya, tapi niatnya akan dipenuhi setelah

Padepokan Jatiwangi berdiri resmi.

"Buto Dungkul, saat ini bukan waktu yang tepat untuk

menyelesaikan persoalan pribadi," kata Mahesa Jalang.

"Ha ha ha.... Kau gentar menghadapiku, Mahesa

Jalang?"

"Waktu yang kita janjikan masih tujuh hari lagi. Aku

akan datang tepat pada waktunya nanti ke Hutan Gading!"

"Kau kira aku salah menghitung, heh? Hari ini tepat kau

harus memenuhi janjimu!"

Mahesa Jalang tidak mengerti dengan cara perhitungan

hari Buto Dungkul. Dalam perhitungannya sendiri,

sebenarnya masih tujuh hari lagi, tapi kenapa Buto Dungkul

menganggap hari ini perjanjian itu harus terlaksana?

"Rangkuti! Kau yang jadi saksi perjanjian itu. Bagaimana

bunyinya?" Buto Dungkul menatap Ki Rangkuti.

Sebentar Ki Rangkuti menarik napas panjang. Memang

pada waktu itu dia ada di sana. Dialah yang mengusulkan

supaya diadakan satu perjanjian.

Kebetulan saat itu ia sedang berburu di tepian Hutan

Gading, dan mendengar suara pertarungan. Namun ketika

tiba di tempat kejadian, dua orang yang bertarung sudah


tergeletak dalam keadaan kritis. Tapi masing-masing orang

itu tidak mau mengakui kekalahannya. Lalu Ki Rangkuti

pun mengusulkan agar diadakan suatu perjanjian untuk

mengulang pertempuran itu. Mereka pun akhirnya setuju.

Sejak kejadian itulah Mahesa Jalang tinggal di Desa

Jatiwangi. Dia merasa berhutang budi pada Ki Rangkuti

yang tanpa sengaja telah menyelamatkan nyawanya.

Memang saat itu Buto Dungkul sudah bisa bangkit kembali

sementara Mahesa Jalang masih tergeletak lemah tanpa

daya.

"Perjanjian itu berbunyi, tiga tahun berselang,

pertarungan kalian dilanjutkan sampai ada yang tewas.

Waktunya ditetapkan tujuh hari sebelum bulan purnama

ketiga," lantang suara Ki Rangkuti menyebutkan isi

perjanjian antara Mahesa Jalang dengan Buto Dungkul.

"Kau dengar itu, Mahesa Jalang?" Buto Dungkul kembali

menatap Mahesa Jalang.

"Aku tahu!" sahut Mahesa Jalang.

"Nah! Bukankah tujuh hari lagi bulan purnama ketiga?

Berarti hari ini kau harus menepati janjimu!"

Mahesa Jalang tidak bisa berkata lain leigi. Sungguh mati

dia tidak ingat kalau bulan purnama ketiga yang ditetapkan

dikurangi tujuh hari. Kalau begitu, memang tepat hari ini

harus bertarung untuk memenuhi janji dengan manusia

raksasa itu.

"Kau sudah menyalahi janji, Mahesa Jalang. Seharusnya

kau datang tepat begitu matahari terbit. Jangan salahkan

aku kalau kedatanganku merusak acara besar di sini."

Ki Rangkuti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia

memang tidak bisa menyalahkan Buto Dungkul. Dan

seharusnyalah Mahesa Jalang harus menepati janji datang


ke Hutan Gading tepat ketika matahari terbit. Ki Rangkuti

tidak bisa mencegah lagi, panggung yang sedianya untuk

pertunjukan adu ketangkasan murid-muridnya dengan

beberapa padepokan yang diundang, jadi arena pertarungan

pelaksanaan perjanjian.

Malah sejak awal acara peresmian Padepokan Jatiwangi

sudah dirusak dengan munculnya Iblis Tongkat Hitam.

Kejadian seperti ini memang sudah diperhitungkan oleh Ki

Rangkuti dan lima orang pembantunya di padepokan. Kini

salah seorang pembantu utamanya harus melaksanakan

janji yang dibuatnya sendiri.

"Bersiaplah kau, Mahesa Jalang!" seru Buto Dungkul

tiba-tiba.

Manusia raksasa itu berteriak menggelegar sambil

memutar-mutar gadanya yang besar berduri di atas kepala.

Sungguh besar tenaga yang dimilikinya. Gada sebesar paha

orang dewasa itu menderu-deru menimbulkan suara angin

menggemuruh memekakkan telinga. Dengan gada yang

diputar-putar di atas kepala, Buto Dungkul berlari berat ke

arah Mahesa Jalang.

Suara menderu berat terdengar keras di samping Mahesa

Jalang. Gada besar berduri itu melayang cepat mengarah ke

kepala laki-laki gagah berpakaian serba putih itu. Hanya

sedikit saja Mahesa Jalang menarik kepalanya ke belakang,

gada itu lewat di depan mukanya. Angin keras yang bertiup

dari gada itu membuat tubuh Mahesa Jalang agak

terdorong.

Sret!

Mahesa Jalang menarik pedangnya sambil melangkah

mundur dua tindak. Pedang bercahaya keperakan itu

berkelebat cepat membabat bagian perut Buto Dungkul.


Sabetan pedang disertai pengerahan tenaga dalam cukup

tinggi itu tak dapat lagi dielakkan Buto Dungkul.

Duk!

Mata pedang perak menghantam keras perut buncit dari

manusia raksasa itu. Tangan Mahesa Jalang bergetar hebat.

Hampir saja pedangnya terlempar dari genggamananya.

Mahesa Jalang membelalak lebar melihat perut Buto

Dungkul tidak terluka sedikitpun oleh sabetan pedangnya.

Bukan cuma Mahesa Jalang yang keheranan melihat

kekebalan kulit Buto Dungkul, tapi semua orang yang hadir

juga jadi melongo. Sementara itu Buto Dungkul

menggeram keras bagai gorila lapar. Gada besar penuh duri

diayunkan seperti hendak meremukkan tubuh Mahesa

Jalang.

"Uts!"

Mahesa Jalang melompat mundur saat gada Buto

Dungkul nyaris menghantam tubuhnya. Begitu derasnya

hantaman gada sebesar paha manusia dewasa itu, sehingga

ketika menghantam papan panggung, langsung jebol

berantakan. Panggung berukuran besar itu bergetar hebat

seolah akan rubuh.

"Gila! Orang apa gorila tuh!" seru salah seorang hadirin.

Mahesa Jalang kembali mengarahkan pedangnya, yang

kali ini mengancam leher Buto Dungkul. Kibasan pedang

yang hampir bersamaan degan hancurnya panggung, tidak

bisa dielakkan manusia raksasa itu. Mata pedang dari perak

itu tepat membabat leher Buto Dungkul.

Lagi-lagi Mahesa Jalang terpental begitu pedangnya

menghantam leher Buto Dungkul. Sabetan keras disertai

pengerahan tenaga dalam penuh membuat pedang Mahesa

Jalang patah jadi dua bagian. Dan dia sendiri terpental


sejauh satu batang tombak ke belakang. Mahesa Jalang

bergulingan di atas panggung, dan segera berdiri.

"Setan!" dengan kesal Mahesa Jalang melemparkan

pedangnya yang buntung.

Buto Dungkul menggeleng-gelengkan kepalanya

sebentar. Leher yang terbabat pedang tidak sedikit pun

mengalami luka. Kulitnya benar-benar sekeras baja, tidak

mempan oleh senjata tajam. Padahal Mahesa Jalang sudah

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

"Ghraaaghhh...! Mampus kau sekarang, Mahesa Jalang!"

Buto Dungkul menggeram bagai guruh.

Mahesa Jalang yang kini tidak lagi menggengam senjata,

segera mengerahkan kesaktiannya. Tidak tanggung-

tanggung lagi, langsung dikerahkan aji 'Karang Kati' yang

menjadi ilmu andalannya.

Begitu Mahesa Jalang selesai mempersiapkan ajiannya,

Buto Dungkul menghantamkan gadanya dengan cepat

sambil menggeram hebat Gada besar penuh duri tajam itu

melayang deras bagai gunung runtuh. Mahesa Jalang

melompat sambil menapak senjata mengerikan itu dengan

tangannya yang sudah mengerahkan Aji 'Karang Kati'.

"Akh...!" Mahesa Jalang memekik keras begitu

tangannya membentur gada Buto Dungkul.

Bersamaan dengan pekikan keras itu, terdengar suara

ledakan dahsyat Tubuh Mahesa Jalang terlontar deras dan

terbanting ke luar panggung. Darah segar muncrat keluar

dari mulutnya begitu tubuhnya menghantam tanah dengan

kerasnya.

Sedangkan Buto Dungkul menggeram-geram sambil

memutar-mutar gada besarnya. Suara angin menderu-deru

keluar dari putaran gada di atas kepala manusia raksasa itu.


Semua orang yang berada di sekitar pannggung, bergegas

mundur penuh kengerian. Tak ada lagi sorak-sorai atau

decak kekaguman. Yang terlihat hanya wajah-wajah

ketakutan dan kengerian menyaksikan manusia raksasa

berdiri dengan tegar sambil memutar-mutar gadanya di atas

kepala.

Mahesa Jalang bangkit berdiri. Dengan ujung lengan

bajunya disekanya darah yang mengotori mulut. Dia

hampir tidak percaya kalau Aji 'Karang Kati' tidak bisa

melukai Buto Dungkul, apa lagi membunuhnya. Mahesa

Jalang benar-benar putus asa menghadapi kehebatann

manusia liar ini. Sungguh tidak diduga sama sekali dalam

waktu tiga tahun telah begitu hebat.

"Ilmu setan apa yang dipakainya?" gumam Mahesa

Jalang bertanya pada dirinya sendiri.

"Mahesa Jalang, keluarkan semua kesaktianmu. Kita

bertarung sampai ada yang mati!" keras menggelegar suara

Buto Dungkul.

"Phuih!" Mahesa Jalang menyemburkan ludahnya.

Seketika dikempos tenaganya, dan melayang kembali ke

atas panggung. Tubuhnya ringan bagai kapas, menjejak

papan panggung tanpa menimbulkan suara sedikitpun juga.

Segera disiapkan kembali Aji 'Karang Kati'. Kali ini Mahesa

Jalang mengerahkan seluruh kekuatannya dan dipusatkan

pada kedua telapak tangannya.

"Aji 'Karang Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya segera melenting

menerjang Buto Dungkul. Manusia raksasa itu

mengibaskan gadanya berusaha menghantam tubuh

Mahesa Jalang yang meluncur deras ke arahnya. Mahesa


Jalang menurunkan tubuhnya sedikit, dan gada Buto

Dungkul lewat di atas tubuhnya sedikit.

Dalam waktu yang bersamaan, kedua telapak tangan

Mahesa Jalang menerpa dada manusia raksasa itu. Suara

ledakan dahsyat kembali terdengar. Tubuh Mahesa Jalang

terlontar lagi ke belakang dengan derasnya. Sementara Buto

Dungkul hanya terdorong dua langkah saja. Dia masih

tetap berdiri tegak meskipun mulutnya sedikit meringis.

Tubuh Mahesa Jalang kembali terbanting keras di

panggung. Papan panggung yang tebal dan kuat itu tergetar,

kemudian hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Mahesa

Jalang. Guru kelima Padepokan Jati-wangi itu bergulingan

setelah menghantam papan panggung di tanah. Mahesa

Jalang baru berhenti bergulir begitu sampai di pinggir.

"Hoek!" kembali dia memuntahkan darah segar dari

mulutnya.

Mahesa Jalang merasakan seluruh tubuhnya seperti

remuk. Rasa nyeri menggerogoti seluruh tulang-tulang

tubuhnya. Dengan susah-payah dia berusaha bangkit

berdiri. Namun belum juga sempat berdiri, mendadak lantai

panggung itu bergetar hebat.

"Graaahhh...!" Buto Dungkul menggeram keras.

Kakinya yang besar dan berat berlari kencang ke arah

Mahesa Jalang yang belum juga bangkit. Buto Dungkul

berlari kencang sambil mengayun-ayunkan gadanya. Dan

dengan keras dihantamkan ke punggung Mahesa Jalang.

"Aaakh...!" Mahesa Jalang menjerit melengking tinggi.

Darah langsung muncrat dari punggungnya yang

terbelah. Buto Dungkul mengangkat tubuh Mahesa Jalang

yang telah tewas dengan sebelah tangannya. Dia memutar-

mutar tubuh itu, sehingga darah berceceran kemana-mana.


Dengan satu geraman mengguruh, Buto Dungkul

melemparkan tubuh Mahesa Jalang ke tengah-tengah para

murid Padepokan Jati-wangi.

Tubuh Mahesa Jalang yang sudah tidak bernyawa lagi

itu meluncur deras, dan jatuh tepat di tengah-tengah murid-

muridnya sendiri. Seketika itu juga Desa Jatiwangi geger

dengan gugurnya Mahesa Jalang di tangan manusia raksasa

itu. Suara-suara penuh kengerian mendengung memenuhi

sekitar panggung. Buto Dungkul berdiri tegak menyandang

gada berdurinya. Matanya merah menyala menatap Ki

Rangkuti yang kini berdiri dari kursinya.

"Rangkuti, giliranmu tiga purnama lagi!" seru Buto

Dungkul menggelegar.

Ki Rangkuti belum bisa berkata apa-apa, Buto Dungkul

sudah berbalik dan melangkah menuruni panggung. Orang-

orang pun segera menyingkir ketika manusia raksasa itu

akan lewat. Ki Rangkuti masih menatap kepergian Buto

Dungkul yang semakin jauh dengan langkah-langkah lebar

dan berat

***


TIGA


Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepi

lengang. Beberapa obor masih tampak menyala terang di

beberapa tempat. Halaman rumah kepala desa pun tampak

senyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali di

beranda depan. Tampak Ki Rangkuti duduk termenung

didampingi oleh Dewa Pedang Emas dan Bayangan

Malaikat. Dua sahabat yang belum juga meninggalkan

tempat meskipun perayaan peresmian berdirinya

Padepokan Jabwangi sudah berakhir sore tadi.

Sementara tamu-tamu undangan lainnya sudah

beristirahat di kamar masing-masing yang telah disediakan

oleh Ki Rangkuti. Sejak sore tadi ketiga orang itu duduk di

beranda depan tanpa banyak kata yang terucap dari

mulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatu

yang berat.

"Aku lihat kau tidak lagi gembira sejak kematian Mahesa

Jalang, Rangkuti. Apakah kau memikirkan kata-kata Buto

Dungkul?" Dewa Pedang Emas membuka suara pelan.

Ki Rangkuti menarik napas panjang. Bola matanya

menatap kedua sahabatnya bergantian.

"Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu,

Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat.

"Ya," desah Ki Rangkuti berat. " Aku harus berhadapan

dengannya tiga bulan mendatang kalau Mahesa Jalang

tewas."

"Perjanjian nekad!" dengus Dewa Pedang Emas.

"Aku melakukannya karena terpaksa, aku hanya ingin

menyelamatkan nyawa Mahesa Jalang waktu itu."


"Seharusnya kau biarkan saja Mahesa Jalang mati saat

itu juga. Toh akhirnya dia pun harus mati di tangan Buto

Dungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah menyesalkan

sikap Ki Rangkuti.

"Aku tidak menyesali perjanjian itu," sahut Ki Rangkuti.

"Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa Pedang

Emas.

"Aku memikirkan permintaan Buto Dungkul."

"Permintaan apa?"

"Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalam

pertarungan nanti. Dia hanya ingin mengalahkan aku saja."

"Kalau cuma itu, kenapa jadi dipikirkan?"

"Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi beban

pikiranku sekarang, Buto Dungkul meminta putriku kalau

aku kalah."

Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejut

setengah mati. Rasanya mereka saat itu mendengar ledakan

petir yang amat dahsyat. Tidak diduga sama sekali Ki

Rangkuti mempunyai perjanjian yang berat sekali.

Mereka semua tahu bagaimana hebatnya Buto Dugkul.

Rasanya sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liar

itu. Mereka bertiga saja belum tentu bisa menandingi

meskipun secara bersamaan menyerang. Benar-benar

perjanjian edan!

"Sekar Telasih sudah tahu perjanjian itu?" tanya Dewa

Pedang Emas

"Belum," sahut Ki Rangkuti lesu.

"Aku tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimu

tahu mengenai perjanjian itu? Benar-benar sembrono sekali

kau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat menyesalkan.


Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan kata-kata

sahabatnya. Diakui kalau tindakannya sungguh ceroboh.

Padahal tidak ada untungnya sama sekali menolong

Mahesa Jalang waktu itu. Dia juga tidak kenal sebelumnya.

Mungkin karena jiwa kependekarannya saja yang tergerak

untuk menolong siapa saja yang membutuhkan meskipun

harus mengorbankan apa yang dicintainya.

"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Tiga purnama

bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri,

Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.

"Aku belum bisa memikirkannya," sahut Ki Rangkuti.

"Sebaiknya kau menyempurnakan ilmu-ilmu andalanmu.

Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihat

kehancuranmu," kata Bayangan Malaikat.

'Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati," ucap Ki

Rangkuti terharu.

"Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu, apakah pedangku

ini bisa merobek kulitnya," kata Dewa Pedang Emas.

Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuh

rasa haru. Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa.

Kesediaan dua sahabatnya membantu memecahkan

kesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakan-

akan jadi kelu. Mungkin inilah arti persahabatan sejati.

Senang sama dirasa, susah sama dipikul. Meskipun nyawa

taruhannya tidak membuat persahabatan jadi retak.

Dewa Pedang Emas menepuk pundak Ki Rang-kuti,

kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintu

masuk rumah besar itu. Tidak lama kemudian Bayangan

Malaikat menyusul untuk berisirahat. Kini di beranda

depan itu tinggal Ki Rangkuti duduk termenung sendirian.

Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang.


Bagaimana mungkin menyerahkan Sekar Telasih pada

manusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutan

belantara?

Saat Ki Rangkuti tengah termenung, tiba-tiba secercah

sinar meluncur deras ke arahnya, dan tepat membentur

tengah-tengah meja batu pualam putih di depannya. Laki-

laki tua yang masih kelihatan gagah itu terkejut hingga

terlonjak berdiri. Seberkas sinar yang meluncur deras itu

ternyata sebuah anak panah kecil yang terbuat dari bahan

logam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti mengedarkan

matanya ke sekeliling menerobos kegelapan malam.

'Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanya

kegelapn saja yang menyelimuti sekitarnya. Tidak ada

suara-suara ganjil terdengar, kecuali desah angin dan

gemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti mengalihkan

pandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.

"Hmmm...," bibirnya bergumam panjang begitu i ielihat

ada gulungan daun lontar terikat pada batang nak panah

itu.

Gulungan daun lontar yang diikat dengan pita berwarna

merah darah. Ki Rangkuti melepaskannya dari anak panah

itu. Matanya jadi melebar begitu membaca tulisan yang

tertera pada daun lontar itu.

"Setan!" geramnya sambil meremas daun lontar itu

hingga hancur lumat

Ki Rangkuti langsung melompat ke luar dari beranda.

Dua kali berputar di udara, lalu dengan manisnya menjejak

tanah. Dia berdiri bertolak pinggang dengan bola mata

nyalang beredar ke sekelilingnya. TUdak ada seorang pun

yang terlihat Keadaan sekeliling tetap sunyksepi, bahkan

binatang-binatang malam pun seolah enggan untuk

memperdengarkan suara.


Cukup lama juga Ki Rangkuti berdiri di atas reruntuhan

panggung yang terletak persis di tengah-tengah halaman

rumahnya. Dia seperti tidak peduli dengan hembusan angin

malam yang dingin menusuk kulit. Hatinya panas dan

geram menerima surat tantangan dari seorang yang tidak

dikenal sama sekali. Kemarahan Ki Rangkuti memuncak.

Kalimat yang tertulis tidak banyak, tapi cukup membuat

hati Kepala Desa Jatiwangi itu jadi panas. Di dalam

benaknya masih tertera hangat kata-kata "Serahkan Sekar

Telasih, kau akan terbebas dari perjanjian gila. Tidak ada

yang bisa menandingi Buto Dungkul selain aku." Ini sama

saja satu tantangan yang meremehkan kemampuan Ki

Rangkuti. Pantas saja Kepala Desa Jatiwangi ini jadi panas.

Belum pernah dia menerima tantangan yang begitu

meremehkan dan menghina.

"Keluar kau. Biar kuhancurkan batok kepalamu!" geram

Ki Rangkuti agak keras.

Tetap sepi, tidak ada yang menyahut. Hanya desiran

angin saja yang membawa suara Ki Rangkuti menyebar ke

segala penjuru.

"Kalau kau laki-laki jantan, tunjukkan batang

hidungmu!" seru Ki Rangkuti lagi.

Tetap saja tidak ada sahutan, keadaan tetap sepi. Ki

Rangkuti mendengus kesal. Dengan kaki terhentak, dia

melangkah kembali ke beranda rumahnya yang diterangi

empat buah pelita di tiap pojoknya. Dengan kesal

dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Matanya langsung

menatap anak panah berwarna merah yang masih tertancap

di tengah-tengah meja.

Batu pualam putih alas meja itu kerasnya melebihi batu

biasa. Dan mata anak panah itu mampu tembus ke dalam

tanpa sedikit pun merusak bagian lainnya. Dari situ saja


sudah dapat diukur ketinggian ilmu tenaga dalam yang

dimiliki si pelempar.

"Siapakah si pelempar panah kecil itu? Dan apa

maksudnya meminta putriku? Darimana dia tahu aku

punya persoalan dengan Buto Dungkul?" Ki Rangkuti jadi

bertanya-tanya sendiri.

***

Kegemparan kembali terjadi pagi ini. Sepuluh orang

murid Padepokan Jatiwangi yang kepandaianuya baru

seumur jagung kedapatan tewas dengan dada tertancap

anak panah kecil berwarna merah. Sepuluh orang yang

tewas itu semalam mendapat tugas jaga di sekitar

padepokan.

Geraham Ki Rangkuti bergemeletuk menahan •jeram.

Matanya memerah melihat sepuluh orang mayat muridnya.

Satu persatu wajah-wajah muridnya dan empat guru

pengajar yang tersisa di padepokan, dipandanginya.

Desahan napas berat terdengar keras.

"Siapa yang pertama melihat?" tanya Ki Rangkuti.

Suaranya terdengar dalam dan berat.

"Saya, Ki," sahut salah seorang dari keempat guru

pengajar.

"Pandu," gumam Ki Rangkuti. "Hanya kau sendiri yang

pertama melihat?"

"Bersama sepuluh orang murid," sahut Pandu.

"Ceritakan apa yang terjadi?"

"Saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya dan

sepuluh orang lainnya mendapatkan mereka sudah tewas,"

sahut Pandu menjelaskan.


"Ada di antara kalian yang mendengar sesuatu tadi

malam?"

Semua menggelengkan kepalanya.

"Edan!" geram Ki Rangkuti gusar.

Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan mereka semua.

Orang yang melakukan ini pasti memiliki tingkat

kepandaian yang sangat tinggi, sehingga tidak seorang pun

bisa mengetahui dan mendengar apa-apa. Mungkinkah

orang itu memiliki aji sirep, sehingga mereka semua jadi

terlelap tidurnya bagai mati?

"Kuburkan mereka sekarang juga," perintah Ki Rangkuti.

Semua murid Padepokan Jatiwangi membungkuk

hormat. Ki Rangkuti berbalik dan melangkah meninggalkan

halaman padepokan yang berada tidak jauh dari rumah

kediamannya. Langkahnya lebar dan cepat keluar dari

tembok padepokan

Ki Rangkuti memandangi beberapa penduduk yang

berkerumun ingin menyaksikan kematian sepuluh murid

Padepokan Jatiwangi. Laki-laki tua itu terus melangkah

menuju rumah kediamannya. Dia baru berhenti ketika

melihat Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat berdiri

di depan beranda rumahnya. Kedua sahabat itu

menghampiri.

"Aku dengar, sepuluh orang muridmu tewas. Benarkah

itu?" tanya Dewa Pedang Emas

"Ya, benar. Semalam," jawab Ki Rangkuti

"Mustahil! Kita baru beranjak dari beranda menjelang

pagi. Dan kau sendiri kelihatannya tidak tidur semalaman.

Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?" Bayangan Malaikat

menggeleng-gelengkan kepalanya setengah tidak percaya.


"Aku sendiri tidak tahu. Bencana apa yang akan

menimpa desaku?" Ki Rangkuti mengeluh.

Mereke bertiga terdiam. Ki Rangkuti melangkah menuju

ke beranda. Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat

mengikuti dari belakang. Mereka kembali duduk di beranda

menghadapi meja marmer yang tengah-tengahnya bolong.

Dewa Pedang Emas meraba lubang di tengah-tengah meja

itu.

"Dia melemparkan ini semalam," kata Ki Rangkuti

seraya mengeluarkan anak panah kecil berwarna merah

yang tergeletak di atas meja.

"Hebat...," gumam Dewa Pedang Emas menggeleng-

gelengkan kepalanya.

"Kapan ini terjadi?" tanya Bayangan Malaikat.

'Tidak lama sesudah kalian masuk "

Dewa Pedang Emas berdecak kagum.

"Aku rasa ada orang yang tidak senang atas berdirinya

Padepokan Jatiwangi," Bayangan Malaikat menduga-duga.

"Kejadian seperti ini selalu terjadi pada padepokan silat

yang baru berdiri. Ini merupakan salah satu ujian bagi

Padepokan Jatiwangi," sambung Dewa Pedang Emas.

Ki Rangkuti hanya tersenyum tipis. Dugaan-dugaan

yang dikeluarkan kedua sahabatnya hanya didengarkan

saja. Dalam pikirannya berkecamuk permasalahan yang

saling tumpang-tindih. Semua dugaan itu memang ada

benarnya kalau orang yang melemparkan anak panah kecil

berwarna merah ini tidak menyertai surat penghinaan.

Bunyi surat itu yang membuat Ki Rangkuti punya pikiran

lain.


Orang itu bukan hanya ingin merampas Sekar Telasih.

Tapi juga ingin menghancurkan Padepokan Jatiwangi yang

seumur jagung itu. Siapapun orangnya, yang jelas dia

mempunyai kepandaian yang tinggi. Dia dapat beraksi

tanpa diketahui seorangpun! Sedangkan malam tadi, tidak

kurang dari sebelas orang tokoh-tokoh sakti rimba

persilatan menginap di rumah kepala desa itu. Tidak satu

pun dari mereka mengetahuinya.

***

Satu persatu para undangan meninggalkan Desa

Jatiwangi hari itu juga. Hanya Dewa Pedang Emas dan

Bayangan Malaikat saja yang masih tinggal. Sebagai

sahabat, mereka bertekad untuk membantu kesulitan yang

kini sedang dihadapi Ki Rangkuti. Bagi mereka nyawa

tidaklah penting. Persahabatan sejatilah yang paling penting

dalam hidup ini.

Pada masa mudanya dulu Ki Rangkuti adalah seorang

pendekar yang selalu malang-melintang dalam rimba

persilatan. Tidak heran kalau memiliki banyak musuh, atau

orang-orang yang tidak senang dan menaruh dendam

padanya. Hal ini sangat disadari oleh Ki Rangkuti maupun

kedua sahabatnya.

Pada masa tuanya Ki Rangkti memilih menetap di desa

kelahirannya. Lebih-lebih setelah mempunyai istri dan

anak. Tekadnya untuk meninggalkan kehidupan yang

penuh kekerasan benar-benar dijalankan selama bertahun-

tahun. Tapi sekarang ini Kepala Desa Jatiwangi itu mau

tidak mau harus menghadapi dan terjun kembali dalam

kehidupannya yang dulu. Kehidupan yang selalu dilumuri

darah dan kematian. Wusss!

"Awas...!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berteriak.


Secercah sinar merah tiba-tiba berkelebat cepat ke arah

Ki Rangkuti. Tiga orang yang berdiri di tengah-tengah

halaman yang luas itu serentak berlompatan

menyelamatkan diri. Ki Rangkuti yang menjadi sasaran

sinar merah itu melenting berputar di udara dua kali. Sinar

merah itu lewat di dalam putaran tubuh Ki Rangkuti.

Baru saja lakiJaki tua yang masih kelihatan gagah itu

menapak di tanah, kembali berkelebat sinar merah

mengancam dirinya. Secepat kilat Ki Rangkuti

menggerakkan tangannya, dan.... Tap!

Tangkas sekali dia menangkap kelebatan sinar merah itu.

Ki Rangkuti berdiri tegak di tengah-tengah halaman

rumahnya. Sementara Dewa Pedang Emas berada agak

jauh di kiri. Bayangan Malaikat jaraknya sekitar tiga

tombak di kanan. Ki Rangkuti melihat genggaman

tangannya yang menangkap sinar merah tadi.

"Panah merah...," desisnya begitu melihat sebatang anak

panah kecil berwarna merah darah di telapak tangannya.

Anak panah merah itu terbungkus oleh daun lontar yang

diikat pita merah. Ki Rangkuti langsung melepaskan pita

merah yang mengikat daun lontar itu. Sementara kedua

sahabatnya sudah mendekati dan berdiri di samping kiri

dan kanan.

"Rangkuti, kutunggu kau di Lembah Bunga Bangkai

tepat tengah malam ini," gumam Dewa Pedang Emas yang

ikut membaca tulisan di sehelai daun lontar.

"Kau kenal dengan senjata itu?" tanya Bayangan

Malaikat.

Ki Rangkuti tidak segera menjawab. Sejak pertama kali

didapatkan senjata anak panah kecil merah ini, otaknya

selalu berputar mengingat-ingat. Barangkali saja dia pernah


bentrok dengan orang yang biasa menggunakan senjata ini.

Tapi rasa-rasanya belum pernah kenal dengan senjata ini

sebelumnya.

"Kehidupan pendekar memang selalu dikelilingi musuh.

Bisa saja orang itu murid dari salah satu musuhmu," kata

Dewa Pedang Emas.

"Mungkin juga, aku tidak pernah melihat senjata jenis ini

sebelumnya," sahut Ki Rangkuti setengah bergumam.

"Sekarang bagaimana? Kau akan penuhi tantangan itu?"

tanya Dewa Pedang Emas lagi.

"Bagaimana dengan Buto Dungkul?" Bayangan Malaikat

seolah mengingatkan.

"Itu urusan belakangan," sahut Ki Rangkuti.

Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat saling

berpandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahu.

Persoalan yang dihadapi Ki Rangkuti saat ini memang tidak

ringan. Satu persoalan belum juga tuntas, sudah datang lagi

persoalan lain.

"Kami akan mendampingimu nanti malam," kata Dewa

Pedang Emas 'Terima kasih."

***


EMPAT


Malam gelap yang dingin menyelimuti seluruh Lembah

Bunga Bangkai. Angin bertiup sedikit keras menyebarkan

aroma tidak sedap. Sepanjang hari di lembah ini selalu

tercium bau seperti bangkai. Dan setiap setahun sekali di

lembah ini selalu tumbuh sejenis bunga yang menyebarkan

bau busuk selama tujuh hari. Itulah sebabnya lembah ini

dinamakan Lembah Bunga Bangkai. Tidak ada seorang pun

yang bersedia tinggal di situ. Masuk ke daerah sekitar

lembah ini pun enggan.

Ki Rangkuti berdiri tepat di tengah-tengah batu besar

menantang sang dewi malam yang berada tepat di tengah-

tengah atas kepala. Sudut ekor matanya melirik Dewa

Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yang bersembunyi

agak jauh dari tempatnya berdiri.

"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik,

menggema ke seluruh dataran Lembah Bunga Bangkai ini.

Ki Rangkuti memiringkan sedikit kepalanya, mencoba

mencari arah suara tawa tadi. Belum juga dapat

menentukan arahnya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan

merah keluar dari gerumbul semak belukar di depan laki-

laki tua itu.

"Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti terkejut begitu mengetahui

siapa yang kini berdiri di depannya.

"Hik hik hik..., kau masih ingat aku, Pendekar Jari Baja?

Lama sekali kita tidak pernah lagi bertemu," perempuan tua

yang masih kelihatan garis-garis kecantikannya itu

menyebut julukan Ki Rangkuti.

Memang pada masa mudanya dulu, ketika malang-

melintang dalam rimba persilatan, Ki Rangkuti punya

julukan Pendekar Jari Baja. Karena dia punya satu jurus


yang membuat kesepuluh jari-jari tangannya sekuat baja.

"Tidak ada lawan yang mampu menandingi jurus yang

dinamakan 'Sepuluh Jari Baja' itu.

"Hm..., kau membawa kedua sahabatmu. Kenapa

mereka bersembunyi seperti tikus? Undanglah mereka ke

sini agar bisa jadi saksi pada malam ini," kata Nyi Rongkot

setengah bergumam.

Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yang

mendengar semua kata-kata itu jadi terkejut juga. Tidak

disangka sama sekali kalau Nyi Rongkot mengetahui

kehadiran mereka di Lembah Bunga Bangkai ini.

Merasa kehadirannya sudah diketahui, kedua o-rang itu

keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka melangkah

menghampiri dan berhenti setelah jaraknya dengan Ki

Rangkuti sekitar tiga batang tombak lagi. Nyi Rongkot

mengikik kecil melihat kedua sahabat Ki Rangkuti sudah

menampakkan diri.

"Apa maksudmu meminta aku datang ke sini, Nyi

Rongkot?" tanya Ki Rangkuti.

"Aku hanya meminta anakku," sahut Nyi Rongkot.

Ki Rangkuti mendengus keras mendengar jawaban yang

memang sudah diduga sebelumnya ketika perempuan itu

muncul. Sedangkan Dewa Pedang Emas dan Bayangan

Malaikat terkejut sekali mendengarnya. Dia tidak tahu

maksud kata-kata Nyi Rongkot barusan. Mereka memang

sudah mengetahui siapa perempuan berbaju serba merah

ini.

Nyi Rongkot masih terhitung saudara sepupu Ki

Rangkuti. Dulu ketika sama-sama masih muda, mereka

tidak pernah akur dalam setiap langkah. Di samping itu,

jalan hidup mereka berdua memang saling bertentangan. Ki


Rangkuti dikenal sebagai Pendekar Jari Baja yang berjalan

lurus. Sedangkan Nyi Rongkot sampai sekarang masih

malang-melintang dengan julukan Ular Betina. Itulah

sebabnya kenapa pada waktu puncak acara peresmian

Padepokan Jatiwangi, Ki Rangkuti kelihatan tidak

menyukai kehadiran Nyi Rongkot.

"Dia bukan anakmu, Nyi Rongkot! Dia tidak pernah

kenal siapa ibunya yang sebenarnya. Kau mencampakkan

begitu saja saat dia memerlukan kasih-sayang seorang ibu.

Apakah pantas kau meminta dan mengakuinya sebagai

anak? Tidak! Sekar Telasih bukan anakmu! Dia anakku!

Aku yang merawat dan membesarkannya sejak masih bayi

merah!" Ki Rangkuti membeberkan semuanya dengan suara

keras dan tegas.

"Aku hanya menitipkan Sekar Telasih padamu. Bukan

untuk mengakuinya sebagai anak!" dengus Nyi Rongkot

alias Ular Betina.

"Apapun namanya kau telah membuang anakmu sendiri.

Darah dagingmu!" sentak Ki Rangkuti gusar.

"Rangkuti! Suka atau tidak, kau harus mengembalikan

anakku!" geram Nyi Rongkot.

'Tidak!"

Nyi Rongkot menggeram marah. Matanya menyala-

nyala menatap tajam pula. Sementara dua orang yang

berdiri di belakang Ki Rangkuti perlahan-lahan melangkah

mundur menjauh. Mereka tidak ingin ikut campur dalam

urusan yang bersifat pribadi ini.

Dewa Pedang Emas menggeser kakinya mendekati

Bayangan Malaikat Sepasang bola matanya tetap terarah

pada Nyi Rongkot yang berdiri tegak di depan Ki Rangkuti.


Beberapa saat lamanya suasana di Lembah Bunga Bangkai

ini jadi sepi senyap.

"Kau mengetahui persoalan itu, Bayangan Malaikat?"

tanya Dewa Pedang Emas berbisik.

"Tidak Aku sendiri agak terkejut juga mendengarnya!"

sahut Bayangan Malaikat terus-terang.

"Tidak kusangka kalau Sekar Telasih anak Ular Betina,"

Dewa Pedang Emas setengah bergumam.

"Segalanya bisa terjadi dalam dunia ini," sahut Bayangan

Malaikat

"Ya, dan kita tidak mungkin mencampurinya."

"Benar, sebaiknya kita hanya menjadi saksi saja."

Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat duduk di

bawah pohon yang besar dan rindang. Dua pasang mata

tetap tertuju ke depan dengan telinga terpasang lebar

mendengarkan semua pembicaraan yang sudah

menghangat.

Sementara itu Nyi Rongkot menyumpah-nyumpah kesal

karena Ki Rangkuti masih tetap tidak ingin menyerahkan

Sekar Telasih. Begitu marahnya ia sehingga seluruh otot-

otot lengannya menegang bersembulan. Wajahnya semakin

memerah-saga menahan kemarahan. Sedangkan Ki

Rangkuti yang me-48 ngenal persis watak saudara

sepupunya ini sudah bersiap-siap jika Nyi Rongkot main

kekerasan.

"Aku beri kesempatan sekali lagi, Rangkuti! Pilih salah

satu, serahkan Sekar Telasih atau kau mati!" kata Nyi

Rongkot mengancam.

"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak!" sahut Ki Rangkuti

tegas.


"Kau memilih mampus, Rangkuti!" geram Nyi Rongkot.

"Itu lebih baik, berarti kau sengaja membiarkan Sekar

Telasih jatuh ke tangan Buto Dungkul!" sinis suara Ki

Rangkuti

"Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahak

mendengar perkataan Ki Rangkuti. "Dasar, kakek tua

jompo! Sudah pikun masih sok jual laga. Apakah kau tidak

ingat dengan surat pertamaku, heh?"

"Setan demit! Rupanya kau bersekutu dengan manusia

liar itu!" geram Ki Rangkuti menyadari apa yang telah

terjadi selama ini.

"Hik hik hik...!" Nyi Rongkot hanya tertawa mengikik

"Kubunuh kau iblis!" geram Ki Rangkuti "Kau tidak

akan mampu, Rangkuti...."

"Yeaaah...!"

***

Ki Rangkuti yang sudah muak melihat tingkah saudara

sepupunya ini langsung melompat menyerang. Kedua

tangannya bergerak cepat mengarah ke bagianbagian tubuh

Nyi Rongkot begitu kalanya menjejak tanah. Mendapat

serangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam

membuat Nyi Rongkot berkelit sambil mengebutkan

tongkat berbentuk ularnya.

Pertarungan dua saudara yang bertentangan itu

berlangsung cepat dengan menggunakan jurus-jurus maut

dan berbahaya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama,

pertarungan sudah berjalan tidak kurang dari sepuluh jurus.

Namun sampai saat ini belum ada yang kelihatan terdesak.

Pertarungan masih berjalan seimbang dan cepat.


"Kau melihat ada kejanggalan dalam pertarungan itu,

Bayangan Malaikat?" tanya Dewa Pedang Emas.

"Ini bisa berbahaya kalau Rangkuti tidak cepat

menyadarinya," gumam Bayangan Malaikat.

Cara bertarung Ular Betina yang ogah-ogahan itu

rupanya juga disadari oleh Ki Rangkuti. Hal ini bukannya

membuat Ki Rangkuti jadi enggan, tapi malah semakin

bernafsu untuk menjatuhkan lawan. Dia merasa kalau ulah

Ular Betina yang tidak sungguh-sungguh hanya

meremehkan dirinya saja.

Pada satu ketika, tangan kanan Ki Rangkuti menerobos

masuk ke arah dada Ular Betina. Begitu cepatnya sodokan

tangan itu, sehingga membuat perempuan tua itu jadi

terkejut. Buru-buru diangkat tongkatnya dan disilangkan ke

dada.

"Uts!"

Ki Rangkuti yang sudah mengetahui kehebatan tongkat

ular Nyi Rongkot, segera menarik tangannya kembali. Dia

tahu kalau tongkat itu mengandung racun yang sangat

mematikan. Hanya pemiliknya saja yang kebal terhadap

racun tongkat maut itu.

Begitu menarik tangannya pulang, secepat kilat Ki

Rangkuti mengangkat kakinya, mengibas ke arah pinggang.

Nyi Rongkot menarik tongkatnya ke samping menjaga

pinggangnya dari sepakan kaki lawan. Lagi-lagi serangan Ki

Rangkuti gagal total sebelum mencapai tujuan.

"Keluarkan keris Pancanagamu, Rangkuti!" seru Nyi

Rongkot.

Selesai berkata begitu, Nyi Rongkot mengibaskan ujung

tongkatnya mengarah ke dada lawan. Begity cepatnya

kibasan itu, sehingga membuat Ki Rangkuti tidak bisa lagi


menghindar. Jalan satu-satunya adalah menangkis. Padahal

dia sekarang dalam keadaan kosong tanpa senjata. Secepat

kilat Ki Rangkuti mencabut kerisnya yang berlekuk lima.

Tring!

Dua senjata beradu keras tepat di depan dada Ki

Rangkuti. Bunga-bunga api memercik begitu dua senjata

beradu. Pada saat itu juga Ki Rangkuti merasakan

tangannya bergetar kesemutan. Buru-buru dia melompat

mundur tiga langkah.

"Hik hik hik...!" Nyi Rongkot terkikik dengan tongkat

menyilang di depan dada.

Bola matanya berbinar melihat keris hitam legam

tergenggam di tangan Ki Rangkuti. Tatapannya tertuju

pada ujung keris yang berlekuk lima. Dari ujung-ujungnya

yang runcing mengepulkan asap hitam yang sangat bau

menyengat hidung. Tidak ada seorang pun yang sanggup

bertahan lama mencium bau busuk yang terpancar dari

keris Pancanaga itu.

Nyi Rongkot menghirup dalam-dalam uap busuk yang

tersebar di selatarnya. Cuping hidungnya kem-bang-kempis

seolah tengah menikmati bau yang harum menyegarkan.

Jelas sekali kalau dia begitu kesenangan menghirup bau

busuk yang keluar dari keris Pancanaga milik Ki Rangkuti.

Sementara dua orang yang duduk di bawah pohon,

mulai mengerahkan hawa murni untuk menghalau bau

busuk yang semakin lama semakin menyengat hidung.

Kalau mereka orang biasa atau hanya memiliki tingkat

kepandaian pas-pasan, mungkin sudah sejak tadi muntah-

muntah dan pingsan. Dan begitu melihat Nyi Rongkot

seperti kenikmatan menghirup udara busuk, mata mereka

jadi terbelalak seperti tidak percaya dengan penglihatan

sendiri.


"Gila! Bagaimana mungkin dia bisa tahan oleh asap

Pancanaga?" dengus Ki Rangkuti keheranan melihat Nyi

Rongkot sedikitpun tidak terpengaruh oleh uap berbau

busuk itu.

"Ah..., segar sekali rasanya," desah Nyi Rongkot sambil

menghirup udara yang berbau busuk dalam-dalam.

"Hesss..., hih!" Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam,

lalu menghembuskannya dengan kuat

Bersamaan dengan itu, secepat kilat dia melompat sambil

menghunus kerisnya. Uap hitam mengepul tebal keluar dari

kelima lekukan keris berwarna hitam kelam itu. Nyi

Rongkot memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan Tusukan

keris itu lewat sedikit di depan dadanya. Lalu dengan cepat

dihentakkan tongkatnya menghalau keris Pancanaga.

Trak!

"Akh!" Ki Rangkuti memekik tertahan.

Tanpa dapat dicegah lagi, keris dalam genggamannya

terpental tinggi ke udara. Dan pada saat itu, meluncur

sebuah bayangan menyambar keris Pan-canaga, yang

melayang deras ke angkasa. Ki Rangkuti melenting dua kali

berputar di udara, lalu mendarat dengan kala sempoyongan

sejauh dua tombak dari Ular Betina itu.

Nyi Rongkot yang melihat ada sebuah bayangan

meluncur deras menyambar keris Pancanaga, langsung

melesat cepat mengejar bayagan itu. Ujung tongkatnya

terhunus mengarah ke bayangan yang sudah menyambar

keris hitam di udara.

Buk!

"Ikh!" Nyi Rongkot terpekik


Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya meluruk deras ke

bawah. Namun dengan manis sekali mampu menjejak

tanah dengan kedua kakinya Bayangan itu juga menukik

deras turun ke bawah. Nyi Rongkot menggeram hebat

dengan bola mata memerah nyalang.

"Setan!"

***

Seorang laki-laki muda dan tampan berdiri tegak di

antara dua tokoh sakti yang tadi bertarung sengit. Di tangan

kanannya tergenggam keris hitam Pancanaga. Tampak di

punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala

rajawali. Dengan baju rompi putih, sudah dapat dikenali

siapa pemuda tampan gagah itu. Dia, Pendekar Rajawali

Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti atau Rangga, menatap Nyi

Rongkot sebentar, lalu beralih pada Ki Rangkuti yang

berdiri sambil memegangi tangan kanannya sendiri.

Tampak darah mengucur dari jari-jari tangannya. Luka di

tangannya terjadi akibat hentakan keras disertai tenaga

dalam yang cukup sempurna dari tongkat ular Nyi Rongkot

tadi.

"Kau terkena racun berbahaya, Paman," kata Rangga

sambil melangkah menghampiri.

Ki Rangkuti membiarkan saja tangannya dipegang oleh

Pendekar Rajawali Sakti itu. Jari-jari tangan Rangga

bergerak cepat menotok sekitar pergelangan tangan yang

mulai membiru kehitaman. Lalu di serahkan keris

Pancanaga pada Ki Rangkuti. Tentu saja laki-laki tua itu

jadi keheranan dengan sikap anak muda yang jelas-jelas

berpihak kepadanya.



"Keluarkan darah yang mengandung racun. Gunakan

pisau biasa," kata Rangga.

Belum sempat Ki Rangkuti mengucapkan apa-apa,

Pendekar Rajawali Sakti sudah meninggalkannya. Rangga

melangkah menghampiri Nyi Rongkot yang menyumpah-

nyumpah karena serangannya gagal akibat campur tangan

anak muda yang kini sudah berdiri di depannya.

"Setan belang! Minggir! Jangan coba-coba campuri

urusanku!" bentak Nyi Rongkot geram.

"Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidak

berlaku kejam," sahut Rangga kalem.

"Buka matamu lebar-lebar, bocah. Siapa di antara aku

dan dia yang paling kejam?!" sinis suara Nyi Rongkot

"Aku sudah tahu semua, dan sudah berada di sini

sebelum kalian semua datang. Tidak sepatutnya kau

menuntut dengan cara begitu. Pertumpahan darah bukan

penyelesaian yang terbaik," tenang sekali Rangga berkata.

"Edan! Monyet buntung! Sebutkan gurumu! Lancang

sekali kau berkhotbah di depanku. Apa matamu sudah buta,

sehingga tidak melihat siapa yang ada di depanmu, heh?!"

merah-padam muka Nyi Rongkot

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang tenang. Sangat

tepat menusuk jantung. Rangga tahu siapa yang berdiri di

depannya ini. Dia seorang tokoh tua yang pilih tanding.

Tapi jelas Rangga tidak bisa melihat kekejaman berlangsung

di depan matanya.

"Aku tahu siapa kau. Perempuan tua yang berjuluk Ular

Betina. Perempuan yang tidak mau mengakui darah

dagingnya sendiri. Apakah pantas setelah kau menyerahkan

anakmu sendiri, lalu kau meminta kembali dengan cara

paksa? Membunuh sepuluh orang yang tidak berdosa! Dan


sekarang, kau hampir membunuh orang yang mengurus dan

membesarkan anakmu. Semua orang pasti akan

mengutukmu, Nyi Rongkot!"

"Bedegul! Berani kau jerkata begitu padaku!" "Anak kecil

pun akan mengatakan begitu padamu."

"Setan! Kau harus mampus!" Selesai memaki, Nyi

Rongkot berteriak nyaring. Tongkatnya dikebutkan dengan

cepat sambil melompat menenang Pendekar Rajawali Sakti.

Kemarahan yang sudah meluap membuat Ular Betina itu

langsung menyerang dengan jurus-jurus maut.

Tongkat berbentuk ular berkelebatan cepat menimbulkan

suara angin menderu-deru di selatar tubuh Pendekar

Rajawali Sakti. Setiap kibasannya mengandung hawa

dingin menusuk tulang. Hawa yang mengandung uap racun

dahsyat mematikan. Tapi semuanya tidaklah berarti sama

sekali bagi Pendekar Rajawali Sakti yang kebal terhadap

segala jenis racun.

Dalam tubuh Rangga sudah mengandung zat penangkal

segala jenis racun yang sudah menyatu dalam aliran

darahnya. Duapuluh tahun tinggal di Lembah Bangkai,

selama itu pula hanya memakan jamur yang mengandung

khasiat penawar segala jenis racun. (Baca Serial Pendekar

Rajawali Sakti dalam kisah Iblis Lembah Tengkorak).

Ular Betina semakin mengkelap melihat lawannya tidak

terpengaruh sama sekali dengan uap racun yang keluar dari

tongkat saktinya. Biasanya tidak ada seorang lawan pun

yang sanggup melayani kalau jurus 'Tongkat Beracun'

sudah keluar dalam sepuluh jurus. Tapi kini sudah lebih

dari sepuluh jurus Pendekar Rajawali Sakti itu masih

mampu menandinginya. Bahkan tidak sedikit pun kelihatan

terdesak. Malahan tidak jarang memberikan serangan

balasan yang cukup berbahaya.


"Mampus kau, hih!" dengus Nyi Rongkot geram.

Seketika diputar tongkatnya dengan cepat dari bawah ke

atas. Rangga hanya menundukkan kepalanya sedikit, dan

tongkat itu mendesing di atas kepalanya. Begitu

serangannya lewat menerpa angin, Nyi Rongkot cepat

menarik tongkatnya sedikit, dan dengan kecepatan kilat

ditusukkan tepat ke arah dada Rangga.

Pendekar muda ini memiringkan tubuhnya ke kanan.

Ujung tongkat itu lewat di depan dadanya. Dengan jarinya

disentil tepat pada ujung tongkat yang runcing. Nyi

Rongkot terkejut karena dari ujung tongkat sampai pangkal

lengannya bergetar ketika ujung tongkatnya tersentil.

"Kurang ajar, hih!" Nyi Rongkot mengumpat sambil

cepat-cepat menarik kembali tongkatnya.

Tepat ketika Nyi Rongkot menarik pulang tongkat

ularnya, kaki Rangga melayang deras ke atas. Buk! Tanpa

dapat dicegah lagi, kibasan kaki yang cepat bagai geledek

itu menghantam dadanya. Nyi Rongkot mengeluh pendek.

Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Cepat

digerakkan tangannya untuk menghilangkan rasa sesak

yang menyelimuti dadanya.

Rangga berdiri tegak bertolak pinggang. Bibirnya

tersenyum tipis mengejek. Nyi Rongkot mendengus geram>

langsung menyilangkan tongkatnya di depan dada.

Kemudian dengan cepat diputarnya tongkat itu bagai

baling-baling. Suara angin menderu-deru bagai hendak ada

badai topan.

Dengan tiba-tiba perempuan tua itu menghantam ujung

tongkatnya ke tanah. Lalu secepat kilat dia memindahkan

ujung tongkat ke dalam genggaman. Pelan-pelan tangannya

mengangkat tongkat itu.


"Naga Merah...!" teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.

Bersamaan dengan terdengarnya teriakan itu, mendadak

tongkat sakti Ular Betina berubah jadi seekor ular berwarna

merah menyala. Rangga tersentak kaget, dan langsung

melompat mundur sejauh satu batang tombak. Ular di

tangan Nyi Rongkot meliuk-liuk dengan suara mendesis-

desis. Dari mulutya keluar asap kemerahan seirama dengan

suara desisannya.

"Celaka! Anak muda itu bisa mati!" sentak Ki Rangkuti

yang kini sudah didampingi oleh dua sahabatnya.

"Jarang sekali Nyi Rongkot mengeluarkan ilmu 'Naga

Merah'nya," gumam Dewa Pedang Emas.

"Kita harus mencegah sebelum terlambat," kata

Bayangan Malaikat.

"Mustahil! Ilmu 'Naga Merah' tidak bisa ditarik sebelum

mendapatkan korban," dengus Ki Rangkuti.

Dua orang yang berdiri mengapit Ki Rangkuti terdiam.

Mereka memang sudah mendengar kehebatan ilmu 'Naga

Merah'. Kalau Nyi Rongkot sudah mengeluarkannya, sulit

untuk ditarik kembali sebelum jatuh korban. Mereka hanya

terdiam memandang iba pada Pendekar Rajawali Sakti.

***

Sambil melompat cepat, Nyi Rongkot melepaskan

tongkatnya yang sudah berubah jadi ular berwarna merah

darah. Ular itu meluncur cepat mengarah ke dada Pendekar

Rajawali Sakti. Hanya dengan memiringkan tubuhnya

sedikit ke samping, ular itu lewat di depan dada. Namun

belum juga Rangga merubah posisinya, kaki Nyi Rongkot

melayang deras.

Buk!


Rangga tidak bisa berkelit lagi. Punggungnya terhajar

tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam.

Tiga langkah Pendekar Rajawali Sakti itu terdorong ke

depan. Lalu dengan cepat dia berputar sambil

mengembangkan kedua tangannya ke samping. Kedua

tangan membentang lebar, bergerak cepat diikuti geseran

kaki yang menyuruk tanah.

Wut, wut!

Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan kedua tangannya

bergantian. Begitu cepatnya kibasan tangan yang disertai

gerakan tubuh yang lincah, membuat Nyi Rongkot sedikit

kerepotan menghindari serangan jurus 'Sayap Rajawali

Membelah Mega'.

Pada saat perempuan tua itu kerepotan menghindari

kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba mulutnya

mendesis bagai ular. Dan tiba-tiba saja berkelebat sebuah

bayangan merah panjang ke arah Pendekar Rajawali sakti.

Ular yang meliuk-liuk melayang bagai kilat, langsung

menyambar tubuh Rangga.

Serangan yang datang tiba-tiba tanpa diduga itu

menyebabkan Pendekar Rajawali Sakti sedikit terperangah.

Buru-buru dimiringkan tubuhnya sambil mengibaskan

tangan kanannya. Ular merah jelmaan tongkat Nyi

Rongkot, meliuk membentuk putaran, dengan kepala

meluruk deras ke arah pundak. Cras!

"Akh!" Rangga memekik tertahan.

Pundak sebelah kiri tak dapat lagi dilindungi. Ular merah

itu berhasil menancapkan giginya dan merobek pundak

Pendekar Rajawali Sakti. Darah segar langsung mengucur

deras. Rangga segera menghantam tubuh ular itu. Tapi

gerakan yang selalu meliuk-liuk, membuat hantamannya

hanya mengenai angin kosong.



"Hiyaaa!"

Mendadak Ular Betina berteriak nyaring. Bagai anak

panah lepas dari busur, tubuhnya meluncur deras dengan

kedua telapak tangan terbuka. Rangga yang sibuk oleh

serangan ular merah, terkejut melihat dua telapak tangan

berwarna merah meluncur deras ke arahnya.

Buru-buru dia melompat ke udara, namun gerakannya

terhambat karena ular merah kembali menyerang dari atas

kepala. Rangga mengibaskan tangan larinya ke atas,

sehingga pertahanan dadanya jadi terbuka lebar.

Buk!

"Aaakh...!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terlontar sejauh dua

batang tombak ke belakang. Kedua telapak tangan Nyi

Rongkot yang mengerahkan ilmu 'Naga Merah', berhasil

bersarang telak di dada Pendekar Rajawali Sakti. Deras

sekali tubuh Rangga meluncur, dan terbanting ke tanah.

Dua tapak tangan berwarna merah tergambar di dada.

Rangga memuntahkan darah kental kehitaman dari

mulutnya ketika telah mampu bangun. Seluruh bagian

rongga dadanya terasa nyeri dan sesak, Sebentar digerak-

gerakkan tangannya menghimpun hawa mumi di dalam

tubuhnya, lalu berdiri tegak dengan mata menatap tajam

Nyi Rongkot. Ular merah membelit tangan kanan

perempuan tua itu.

"Dadaku..., ukh!" Rangga mengeluh. Dadanya terasa

nyeri dan sesak sekali. Sepertinya seluruh tulang-tulang

dadanya remuk. Hawa murni yang dialirkan ke rongga

dada membuatnya kembali memuntahkan darah kental

kehitaman. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah


bergelut dengan rasa nyeri di dada, mendadak Nyi Rongkot

sudah melompat bagai kilat menyerang lagi.

"Mampus kau, bocah setan!" teriak Nyi Rongkot.

Rangga berkelit sambil mengempos ilmu meringankan

tubuhnya. Kemudian dia berlari-lari kencang mengelilingi

Ular Betina itu. Sambil berlari berkeliling, Pendekar

Rajawali Sakti mengeluarkan jurus andalan yang terakhir,

yaitu 'Seribu Rajawali'.

Sungguh luar biasa, tubuh Pendekar Rajawali Sakti

bagaikan berjumlah seribu orang banyaknya mengepung

lawan. Nyi Rongkot tampak tenang-tenang saja

menghadapi kepungan seribu orang Pendekar Rajawali

Sakti.

"He he he...," Nyi Rongkot malah tertawa terkekeh.

"Yeah!"

Satu jeritan keras terdengar melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, kedua tangan Nyi Rongkot

terangkat ke atas. Ular Merah bergerak cepat memutari

kedua tangan yang jari-jemarinya bergerak-gerak. Tampak

kedua tangan Ular Betina itu seperti dikelilingi sinar merah.

"Bubar...!" teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.

Seketika itu juga dari gulungan sinar merah di tangan

Ular Betina itu, memijar percikan bola-bola api ke segala

penjuru. Bola-bola api itu langsung menghantam satu

persatu tubuh dari pecahan Pendekar Rajawali Sakti. Satu

persatu bayangan tubuh itu lenyap dengan cepat. Dan

akhirnya tinggal satu saja yang tinggal.

"Bedebah!" dengus Rangga geram. "He he he..., ilmu

andalan apa yang bisa kau keluarkan bocah setan?" ejek Nyi

Rongkot terkekeh.

"Lihat ini, iblis betina!" rungut Rangga. Sret!


Seketika itu juga tagan kanan Pendekar Rajawali Sakti

menarik pedang pusaka dari warangkanya. Sinar biru

menyilaukan membias menerangi sekitarnya. Nyi Rongkot

mundur dua langkah ke belakang ketika melihat pamor

Pedang Rajawali Sakti.

"Rasakan Pedang Rajawali Sakti, iblis betina!" teriak

Rangga keras.

"Yeaaah...!"

Rangga menerjang bagai kilat sambil mengayun-ayunkan

pedang pusakanya. Sinar biru menyilaukan berkelebat cepat

mengurung tubuh Ular Betina. Pertarungan dua tokoh sakti

kembali berlangsung cepat dan berbahaya. Masing-masing

telah mengeluarkan ilmu andalannya yang paling dahsyat.

Sinar merah berkilau berkelebat menjadi satu, saling

sambar. Tubuh kedua tokoh sakti itu bagai lenyap ditelan

dua sinar yang berkelebat cepat. Sinar biru yang memancar

dari Pedang Rajawali Sakti, semakin lama semakin berkilau

menyilaukan mata.

Tampak kedua mata Nyi Rongkot mulai berair terkena

pancaran sinar Pedang Rajawali Sakti. Pandangannya

menjadi buram tak mampu melihat jelas. Sekuat tenaga dia

berusaha mengimbangi ilmu pedang

Rajawali Sakti Kejadian yang hampir sama juga dialami

oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sinar merah ilmu 'Naga

Merah' menyalatkan matanya.

Pada suatu saat, tiba-tiba Ular Betina berteriak nyaring.

Kemudian tubuhnya melambung tinggi ke udara. Pendekar

Rajawali Sakti ikut melayang deras mengejar. Ular Betina

melepaskan ular merah jelmaan tongkat saktinya. Ular itu

meluncur deras ke arah Rangga.

Wut!


Pendekar Rajawai Sakti mengecutkan pedangnya,

membabat kepala ular yang menganga lebar. Namun

sabetan pedang itu hanya menyambar angin, dengan lincah

sekali ular merah meliukkan tubuhnya menghindari babatan

pedang Rajawali Sakti. Pada saat yang bersamaan, kaki Nyi

Rongkot terangkat dan....

Buk!

"Akh!" Pendekar Rajawali Sakti memekik tertahan.

Tubuhnya langsung meluruk deras ke bawah.

"Hiyaaa...!" Nyi Rongkot mengejar sambil mendorong

kedua tangannya ke depan.

"Aaa...!" Rangga berteriak nyaring.

Kedua telapak tangan Nyi Rongkot yang merah berhasil

telak memukul punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Tak

ampun lagi Rangga jatuh keras di tanah. Tubuhnya

bergulingan membentur batu besar Pedang Rajawali Sakti

terlepas dari genggamannya. Bagian dada dan punggung

tergambar sepasang telapak tangan berwarna merah

menyala.

Manis sekali Ular Betina mendarat di tanah. Kedua

tangannya segera terangkat tinggi-tinggi. Sinar merah

menyala dari kedua telapak tangannya. Lalu dengan cepat

mengebut ke depan. Dua bias sinar merah meluncur deras

ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih menggeletak di

tanah.

Rangga menjerit-jerit ketika sinar merah menggulung

tubuhnya. Dia menggeliat-geliat di tanah dengan seluruh

tubuh terbalut warna merah. Pohon-pohon dan batu hancur

berantakan diterjang tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang

bergulingan sambil berteriak-teriak keras. Cahaya merah

menyala masih mengurung dirinya.


"Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahak.

"Mampus kau, bocah setan!"

"Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara raungan

menggelegar.

Mendadak satu bayangan besar dan hitam melesat cepat

menukik dari atas. Nyi Rongkot terkejut ketika tiba-tiba

merasakan sapuan angin bagai topan mengarah ke

tubuhnya. Secepat kilat dia melompat menghindari sapuan

deras itu. Nyi Rongkot berputar dua kali di udara, tubuhnya

agak limbung saat kakinya menjejak tanah. Angin bagai

badai topan yang hampir melontarkan tubuhnya lewat

hanya beberapa jengkal saja

Mata Nyi Rongkot membelalak lebar setelah melihat

seekor rajawali raksasa melayang-layang di atas tanah

dengan kecepatan tinggi. Suaranya menggelegar

memekakkan telinga seakan ingin meruntuhkan Lembah

Bunga Bangkai ini. Nyi Rongkot segera menuding ular

merah yang bergerak-gerak di tanah dengan jari

telunjuknya. Seketika itu juga sinar merah meluncur

langsung menerpa ular merah itu.

"Hsss...!" desisan keras terdengar.

Tiba-tiba saja ular yang tadinya sebesar tongkat, berubah

membesar. Setelah tubuhnya mencapai sebesar batang

pohon kelapa, langsung menyerang burung rajawali sakti.

Itulah ilmu tingkat akhir 'Naga Merah'. Ular itu menjadi

besar seperti seekor naga berwarna merah menyala. Lidah-

lidah api menyembur dari lubang hidung dan mulutnya.

"Khraaagh...!" rajawali memekik keras.

Seketika tubuhnya melesat ke udara, lalu kembali

menukik deras ke arah kepala naga. Semburan api keluar


saat cakar-cakar rajawali raksasa hampir mencapai kepala

naga merah itu.

Secepat kilat burung raksasa itu berkelit dari sambaran

api. Langsung meluruk menghantam tubuh naga merah.

Ular naga merah itu menggerung dahsyat begitu paruh

burung rajawali raksasa menyobek kulit tubuhnya. Belum

sempat balas menyerang, tahu-tahu cakar burung raksasa

itu sudah mencengkeram kuat. Sayap yang lebar mengepak

kencang menimbulkan

suara angin yang keras

menderu.

Nyi Kongkot yang

melihat ular naga jelmaan

tongkat saktinya terangkat

naik, segera melompat

menerjang burung rajawali

raksasa. Kedua tangannya

yang berwarna merah,

didorong ke depan.

Secercah sinar merah

meluncur deras ke arah

burung raksasa itu.

Tepat pada saat itu,

burung rajawali itu melemparkan ular naga yang sebesar

batang pohon kelapa ke arah Nyi Rongkot. Cepat sekali dia

menukik turun sehingga sinar merah yang dilepaskan Nyi

Rongkot tidak mengenai sasaran. Sayap rajawali raksasa

yang besar, mengibas dan....

"Aaakh!" Nyi Rongkot terpekik.

Dalam keadaan tubuh masih di udara, Ular Betina tidak

bisa berkelit. Dengan telak sayap rajawali itu menghantam

tubuhnya. Nyi Rongkot terpelanting keras jatuh ke tanah.


Bersamaan dengan itu, ular naga ciptaannya juga meluruk

menghantam tubuhnya. Nyi Rongkot meraung keras sambil

menggelimpang keluar dari himpitan badan ular yang besar

dan berat.

"Graaahg...!" rajawali raksasa memekik nyaring.

Bagai kilat tubuhnya melesat menyambar tubuh

Pendekar Rajawali Sakti dan pedang pusaka yang

menggeletak di tanah. Tubuh Rangga serta pedang pusaka

itu dicengkeram dengan jari-jari kalanya. Hanya sekejap

mata saja burung rajawali raksasa itu telah membumbung

tinggi ke angkasa.

***


LIMA


Nyi Rongkot menggeram sambil berusaha bangun. Ular

naga merah jelmaan tongkat sakti miliknya sudah kembali

ke bentuk asalnya. Kibasan sayap burung rajawali raksasa

membuat seluruh tubuhnya nyeri. Seluruh tulang-tulang

tubuhnya bagaikan remuk Tertatih-tatih dihampiri tongkat

saktinya yang menggeletak di tanah.

Mata perempuan tua itu memandang ke sekitar Lembah

Bunga Bangkai. Kegelapan masih menyelimuti sekitarnya.

Kabut tebal bergulung-gulung membuat udara betambah

dingin. Lagi-lagi dia menggeram begitu menyadari Ki

Rangkun dan kedua sahabatnya sudah tidak kelihatan lagi

batang hidungnya.

"Sial, dasar pengecut!" dengus Nyi Rongkot.

Merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lembah

yang selalu menyebarkan bau busuk ini, perempuan tua itu

mengayunkan kakinya pergi. Digunakannya ilmu

meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja

sudah tidak tampak lagi tertelan kabut tebal.

Ular betina itu tidak tahu kalau Ki Rangkuti masih

belum jauh dari tempat pertarungan tadi. Ki Rangkuti yang

didampingi dua sahabatnya bersembunyi di balik batu besar

agak jauh dari arena pertarungan ketika Nyi Rongkot

mengeluarkan ilmu 'Naga Merah'. Mereka tidak ingin mati

konyol terkena keganasan ilmu 'Naga Merah'.

"Luar biasa...," gumam Dewa Pedang Emas menggeleng-

gelengkan kepalanya.

"Dunia persilatan bakal hancur kalau tidak ada yang bisa

menandingi ilmu 'Naga Merah'." sambung Bayangan

Malaikat


"Pedang Emasku juga belum tentu bisa menandinginya,"

ujar Dewa Pedang Emas jujur.

"Ya. Sepuluh orang seperti kita pun belum tentu bisa

menandingi kehebatan ilmu itu," sambung Bayangan

Malaikat.

Tiba-tiba kedua orang itu terdiam. Mata mereka

langsung menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi hanya

terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Merasa

dirinya dipandangi, Kepala Desa Jatiwangi itu menoleh

sambil menarik napas panjang.

"Aku yakin, anak muda itu pasti Pendekar Rajawali

Sakti," pelan suara Ki Rangkuti terdengar.

"Apakah dia mati?" tanya Bayangan Malaikat yang

sudah tahu siapa anak muda itu ketika telah mengeluarkan

pedang berwarna biru berkilau

"Entahlah," desah Ki Rangkuti.

"Aku juga telah mendengar sepak terjang Pendekar

Rajawali Sakti. Ternyata berita yang kudengar bukan isapan

jempol belaka," Dewa Pedang Emas bergumam.

"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rangkuti.

Tanpa banyak bicara lagi mereka segera melangkah

meninggalkan Lembah Bunga Bangkai. Mereka berjalan

biasa tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak ada

yang bicara sampai tiba di luar batas lembah yang berbau

busuk itu.

"Sebentar!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berhenti

melangkah.

"Ada apa?" tanya Ki Rangkuti seraya berhenti

melangkah.


"Apa tidak sebaiknya kita datangi saja manusia liar Buto

Dungkul?" Dewa Pedang memberi usul.

"Jangan!" sergah Bayangan Malikat. "Keselamatan Sekar

Telasih lebih penting daripada manusia liar itu."

"Benar. Apapun yang terjadi, Sekar Telasih tidak boleh

jatuh ke tangan Buto Dungkul. Apa lagi sampai dibawa Nyi

Rongkot, meskipun ibu kandungnya sendiri," Ki Rangkuti

menyetujui kata-kata Bayangan Malaikat

"Jangan-jangan Ular Betina langsung ke Desa

Jatiwangi," gumam Ki Rangkuti.

"Celaka! Kita harus cepat ke sana sebelum terlambat!"

seru Bayangan Malaikat

"Kalian berdua saja ke sana, aku akan ke Hutan

Gading," kata Dewa Pedang Emas.

"Mau apa kau ke sana?" tanya Ki Rangkuti.

"Aku ingin coba kehebatan manusia liar itu," sahut

Dewa Pedang Emas.

"Gila! Apa kau sudah tidak pikir dua kali, Dewa Pedang

Emas?" ujar Bayangan Malaikat kaget

"Aku belum pernah punya persoalan dengan Buto

Dungkul. Kini, aku akan membuat persoalan dengannya.

Hal ini untuk memecahkan perhatiannya ter-70 hadapmu,

Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.

"Kau akan sia-sia, Dewa Pedang Emas," kata Ki

Rangkuti terharu.

'Tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Aku akan

tersenyum puas meskipun hanya mencederai sedikit saja."

Bayangan Malaikat akan membuka mulut hendak

mencegah kenekatan Dewa Pedang Emas, tapi cepat


dikatupkan lagi mulutnya. Dewa Pedang Emas sudah

memberi isyarat dengan menggoyang-goyangkan telapak

tangannya.

"Pergilah. Mudah-mudahan kalian bisa menyelamatkan

Sekar Telasih," kata Dewa Pedang Emas.

Setelah berkata demikian, Dewa Pedang Emas segera

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap

mata saja ia sudah berlari meninggalkan kedua sahabatnya.

Cukup tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,

sehingga dalam waktu yang singkat, hanya terlihat titik

punggungnya saja di kejauhan. Ki Rangkuti mendesah berat

setelah bayangan tubuh Dewa Pedang Emas tidak terlihat

lagi.

"Nekad! Aku tidak yakin dia mampu mengalahkan Buto

Dungkul," dengus Bayangan Malaikat setengah bergumam.

"Kita doakan semoga selamat," sahut Ki Rangkuti. "Ayo,

kita harus cepat sebelum terlambat!"

"Mari."

***

Bagaimana dengan nasib Pendekar Rajawali Sakti yang

dapat dikalahkan oleh Ular Betina? Burung Rajawali

raksasa membawanya pergi, langsung menuju ke Lembah

Bangkai tempat Rangga yang kini bergelar Pendekar

Rajawali Sakti digembleng selama duapuluh tahun. (Baca

Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Iblis Lembah

Tengkorak).

Burung Rajawali Sakti itu memandangi tubuh Rangga

yang tergolek pingsan di atas batu pipih di dalam goa

Lembah Bangkai. Di dadanya tergambar dua tapak tangan

berwarna merah, burung raksasa itu menggeleng-gelengkan

kepalanya sebentar, kemudian paruhnya ditotok ke


beberapa bagian tubuh Rangga. Sedangkan pedang pusaka

Rajawali Sakti tergeletak di sampingnya.

Kemudian dengan cakarnya digenggamnya tubuh

Rangga. Suaranya terdengar lirih. Sayapnya terkepak, dan

tubuhnya yang besar terangkat naik. Burung rajawali

raksasa itu membawa Rangga masuk lebih ke dalam goa

besar yang pengap dan gelap.

Sampai pada satu relung yang luas, burung rajawali itu

berhenti. Rangga diletakkan di atas tanah berpasir dan

berbatu-batu kerikil. Di sebelahnya tampak sebuah kolam

berisi air yang berwarna kebiru-biruan bergolak mendidih.

Suaranya terdengar gemuruh disertai letupan-letupan kecil.

"Arggghk!" burung rajawali raksasa mengeluarkan suara

lirih.

Dengan paruhnya dia menggusur tubuh Rangga

mendekati kolam mendidih. Air muncrat ke atas ketika

tubuh Rangga tercebur ke dalam kolam. Rangga langsung

tenggelam bersamaan dengan menggelegaknya air.

Suaranya semakin terdengar bergemuruh keras. Seketika itu

juga permukaan air menjadi berubah-ubah warnanya.

Agak lama juga Rangga tenggelam di dalam kolam

mendidih itu. Kemudian perlahan-lahan permukaan air

kolam itu menjadi tenang. Setenang kolam biasa dan tidak

lagi bergolak mendidih. Perlahan-lahan Rangga muncul

terangkat ke permukaan. Tampak seluruh tubuhnya

berkilau bagai tersiram cahaya. Aneh! Pakaiannya pun jadi

lebih bersih dan terang warnanya.

Beberapa saat Rangga terapung-apung di permukaan

kolam. Kemudian perlahan-lahan bergerak ke tepi. Kelopak

mata pendekar muda itu masih terpejam apat Sampai di

tepi, perlahan-lahan tubuhnya terangkat naik, lalu melayang

ke luar dari kolam yang kini jadi tenang.


Begitu Rangga sudah berada di atas batu pipih di

samping kolam, air kolam kembali bergolak mendidih. Dan

warnanya yang semula jernih, kini kembali jadi biru

bercahaya. Burung rajawali raksasa berjalan menghampiri.

Paruhnya kembali bergerak cepat me-notok bagian-bagian

tubuh Rangga.

"Oooh...!" Rangga menggerak-gerakkan kepalanya.

Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka. Dia segera

bangkit duduk ketika melihat burung rajawali raksasa ada di

sampingnya. Sebentar Rangga menge darkan

pandangannya. Bibirnya tersenyum setelah mengenali

tempat itu.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,"

ucap Rangga berbisik.

Burung rajawali raksasa itu berkaokan gembira. Dia

mendesak desakkan kepalanya. Rangga memeluk,

membelai-belai penuh kasih. Ingatannya kembali pada

pertarungannya melawan Ular Betina. Setinggi-tingginya

ilmu pasti masih ada yang lebih tinggi lagi. Batinnya

berkata sendiri.

Rangga memandangi burung rajawali raksasa yang

berjalan lambat mendekati dinding goa itu. Dengan paruh,

didorongnya sebuah batu yang menonjol. Batu itu

terdorong masuk ke dalam. Tampak sebuah rongga yang

cukup besar di dinding. Paruh burung rajawali raksasa itu

masuk ke dalam, sebentar ke luar kembali. Kini di ujung

paruhnya terjepit sebuah buku kumal berwarna merah.

Rajawali raksasa itu kembali menghampiri Rangga dan

menyerahkan buku di paruhnya.

Rangga membolak-balikkan buku itu. Dibukanya

selembar demi selembar. Ternyata buku itu berisi dua

macam ilmu yang belum pernah dipelajarinya. Yang


pertama ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan yang kedua

ilmu kesaktian 'Cakra Buana Sukma'.

"Hm, satu ilmu yang dipecah jadi dua bagian," gumam

Rangga. "Aku harus bisa menguasai dan menyatukan

kembali."

"Kraaagh...!"

"Ah, kau setuju aku menyatukan kedua ilmu itu?"

rajawali itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Beri aku

petunjuk, Rajawali Sakti."

"Argh!"

"Baiklah. Mungkin kau tidak mengerti ilmu ini. Aku

akan mempelajarinya sendiri."

Rajawali itu mengepak-ngepakkan sayapnya. Kedua bola

matanya berbinar-binar, sepertinya bisa mengerti apa yang

diucapkan Rangga.

"Aku akan memulainya sekarang!"

***


ENAM


Sementara itu di Desa Jatiwangi, suasananya tampak

tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ki

Rangkuti dan Bayangan Malaikat berjalan cepat menuju ke

rumah Kepala Desa Jatiwangi itu. Suasana rumah yang

tampak sunyi membuat jantung laki laki tua yang masih

kelihatan gagah itu jadi berdetak cepat. Tidak ada

seorangpun yang kelihatan di sana.

Tapi kekhawatirannya yang sekejap itu hilang ketika

melihat seorang gadis cantik muncul di depan pintu. Gadis

itu melangkah ke luar menghampiri kedua laki-laki yang

memang sedang menuju ke sana. Di pintu muncul lagi

seorang pemuda tampan yang juga langsung ke luar. Satu

lengannya terbalut kain putih yang rapi. Dialah Darmasaka,

putra kepala desa.

"Sekar Telasih...," desah Ki Rangkuti begitu gadis cantik

itu sudah berdiri di depannya.

"Ayah dari mana saja semalam?" tanya Sekar Telasih

manja.

Ki Rangkuti tidak segera menjawab. Tangannya

merangkul bahu gadis itu. Kemudian dia melangkah

menuju ke beranda depan. Di belakangnya Darmasaka

berjalan di samping Bayangan Malaikat.

Mereka berempat duduk melingkari meja marmer putih.

Agak lama juga tidak ada yang bicara. Sedangkan mata

Bayangan Malaikat tidak lepas menatap wajah Ki Rangkuti.

Meskipun bibir Kepala Desa Jatiwangi itu tersenyum, tapi

Bayangan Malaikat bisa merasakan keperihan di dalam

hatinya

"Kelihatannya Ayah baru saja bertarung?" Darma-saka

menatap ayahnya dengan penuh selidik


"Ya...," desah Ki Rangkuti pelan.

"Dengan siapa?" tanya Sekar Telasaih.

"Musuh," sahut Ki Rangkuti berat.

Memang berat rasanya menceritakan semua dengan

benar. Lebih-lebih saat matanya menatap wajah Sekar

Telasih. Tidak mungkin dia sanggup untuk mengatakan

kalau gadis itu bukan anak kandungnya sendiri. Beberapa

kali Ki Rangkuti menarik napas panjang dan

menghembuskannya dengan berat

Darmasaka dan Sekar Telasih yang mengetahui ayahnya

punya persoalan berat, hanya saling pandang. Mereka

sama-sama mengangkat bahu dan menatap ayahnya.

Mendapat pandangan penuh selidik dari kedua anaknya, Ki

Rangkuti semakin kelihatan gelisah. Matanya menatap

Bayangan Malaikat seolah meminta dukungan.

"Sebaiknya kau ceritakan terus terang," kata Bayangan

Malaikat

"Ada apa sebenarnya, Paman?" tanya Darmasaka.

"Paman tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Hanya

Ayahmu sendiri yang tahu," sahut Bayangan Malaikat

"Ada apa, Ayah? Kalau persoalannya sangat berat,

mungkin bisa kami bantu," desak Sekar Telasih.

"Berat. Berat sekali," desah Ki Rangkuti. "Persoalannya

menyangkut dirimu."

"Aku?" Sekar Telasih menatap Ki Rangkuti seolah-olah

tidak percaya.

"Kuharap kau bisa menerima dengan tabah, anakku,"

lirih suara Ki Rangkuti.


"Ada apa dengan diriku, Ayah? Katakan!" desak Sekar

Telasih. Mendadak saja perasaannya jadi tidak enak.

Baru juga Ki Rangkuti hendak membuka mulut,

mendadak mereka dikejutkan oleh suara tawa mengikik.

Suara tawa yang menggema seolah-olah datang dari segala

penjuru. Ki Rangkuti cepat melompat ke luar diikuti oleh

Bayangan Malaikat.

Begitu kaM mereka menjejak tanah, berkelebat sinar-

sinar merah mengarah pada Ki Rangkuti dan Bayangan

Malaikat. Mereka berlompatan menghindari sinar-sinar

merah yang membias dari beberapa batang anak panah

kecil. Senjata-senjata rahasia itu datang bagaikan hujan

deras, mengancam jiwa dua laki-laki yang berjumpalitan

menghindar.

Sementara Darmasaka sudah meloloskan pedangnya

yang terbuat dari bahan perak mumi. Sekar Telasih yang

berdiri di sampingnya juga sudah bersiap-siap dengan kipas

baja. Namun mereka masih berdiri di depan beranda

rumah, tidak lepas memandangi dua laki laki tua yang sibuk

berjumpalitan menghindari serbuan itu.

Mendadak Bayangan Malaikat berteriak nyaring.

Kemudian rubuhnya melambung tinggi ke udara.

Tangan kanannya berputar cepat langsung mendorong ke

satu arah. Suara ledakan terdengar keras, saat secercah sinar

hijau meluncur deras dari tangan kanannya. Hampir

bersamaan, berkelebat sebuah bayangan merah dari tempat

terjadinya ledakan.

Hujan anak panah kecil merah seketika berhenti. Kini di

depan Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat yang sudah

turun kembali, berdiri seorang perempuan tua dengan

tongkat berbentuk ular di tangan. Perempuan tua itu

menatap tajam Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat



bergantian. Suara tawanya mengikik kecil begitu matanya

memandang Sekar Telasih yang berdiri di samping

Darmasaka.

"Rangkuti! Apakah dia anakku?" Nyi Rongkot menunjuk

Sekar Telasih.

"Apa...?" Sekar Telasih terlongong.

"Hik hik hik..., tidak kusangka, kau cantik sekali," Nyi

Rongkot terkikik sambil melangkah mendekati gadis itu.

"Nyi Rongkot!" bentak Ki Rangkuti.

"Kau tidak bisa mencegahku, Rangkuti. Aku akan

mengambil anakku," kata Nyi Rongkot terus saja

melangkah menghampiri Sekar Telasih.

Begitu Nyi Rongkot sudah dekat, Darmasaka melompat

ke depan menghadang. Pedangnya melintang di depan

dada. Dia mengenali betul perempuan tua yang datang

tanpa diundang ketika pesta peresmian Padepokan

Jatiwangi. Kini perempuan tua itu datang lagi dan hendak

membawa adiknya. Bahkan mengakui

Sekar Telasih, sebagai anaknya. Tentu saj5 Darmasakl

jadi muak.

"Minggir kau anak muda!" bentak Nyi Rongkot "Kau

yang harus enyah dari sini!" balas Darmasaka ketus.

"Bedebah!"

Nyi Rongkot mengibaskan tongkat ular saktinya. Begitu

cepatnya bergerak, sehingga Darmasaka tidak bisa lagi

berkelit. Dia segera mengangkat pedangnya untuk

menangkis tongkat ular itu.

Trak!



Dua senjata beradu keras. Dan pedang Darmasaka

terpental jatuh ke udara. Darmasaka sendiri terdorong

mundur tiga tindak

Anak muda itu meringis sambil menguru-urut

pergelangan tangannya yang menjadi kesemutan. Belum

juga disadari apa yang baru terjadi, tiba-tiba Nyi Rongkot

sudah melompat bagai kilat sambil mengayunkan kakinya.

Buk! Darmasaka yang memang masih jauh tingkat

kepandaiannya tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kaki

kanan Nyi Rongkot telak menghantam dadanya.

Darmasaka tidak bisa lagi mengeluarkan suara.

Tubuhnya meluncur deras menghantam tiang penyangga

serambi rumah. Tiang sebesar paha manusia dewasa itu

hancur berantakan kena terjangan tubuh Darmasaka. Anak

muda itu jatuh bergulingan dan tak bergerak lagi. Dari

mulut dan lubang hidung mengalir darah kental kehitaman.

Tampak dadanya hangus hitam melesak ke dalam.

"Iblis!" geram Ki Rangkuti begitu mengetahui putra

tunggalnya tewas terkena jurus 'Sengatan Ular Sendok'.

"Hik hik hik...," Nyi Rongkot terkikik.

Sekar Telasih membeliak melihat kekejaman perempuan

tua yang mengaku ibunya ini. Mulutnya ternganga lebar

memandangi mayat Dramasaka yang tergeletak di serambi

depan rumah.

"Kubunuh kau, iblis!" geram Ki Rangkuti.

Laki-laki tua itu berteriak melengking sambil melompat

menerjang.

Trak!

Dua senjata beradu keras, sehingga menimbulkan pijaran

bunga api. Ki Rangkuti yang sudah dikuasai amarah, tidak


peduli lagi dengan tangannya yang seketika nyeri

kesemutan. Dia segera mengirimkan tendangan geledek.

Nyi Rongkot memiringkan tubuhnya sedikit, dan tendangan

geledek itu hanya lewat di samping pinggangnya. Pada saat

yang bersamaan, tongkat ular sakti dikibaskan Nyi

Rongkot.

"Akh!" Ki Rangkuti memekik tertahan.

Ujung tongkat ular itu menghantam pergelangan tangan

kanannya yang menggenggam keris. Hantaman keras

disertai pengerahan tenaga dalam itu membuat keris di

tangan Ki Rangkuti terpental tinggi ke angkasa. Secepat

kilat Bayangan Malaikat melompat mengejar keris yang

mengeluarkan bau bangkai itu.

Pada saat yang kritis, Nyi Rongkot menyambar tubuh

Sekar Telasih. Cepat sekali dia menotok jalan darah gadis

itu hingga pingsan lemas. Sekar Telasih yang belum

berpengalaman dalam dunia persilatan, tidak dapat berbuat

apa-apa. Tubuhnya kini sudah berada dalam gendongan

Nyi Rongkot di pundak.

"Sekar...!" Ki Rangkuti berteriak nyaring. Nyi Rongkot

sudah lebih dulu mencelat bagai kilat. Dalam sekejap mata

saja tubuhnya tidak terlihat lagi. Ki Rangkuti jatuh lemas

terduduk di tanah. Kedua tangannya terkepal memukul-

mukul tanah di depannya. Bayangan Malaikat yang sudah

turun membawa keris pusaka Ki Rangkuti, menghampiri

Kepala Desa Jabwangi itu. Dia langsung duduk berlutut di

depannya. Tangannya terulur menyerahkan keris hitam

yang memancarkan bau busuk tidak sedap. Bayangan

Malaikat sendiri sudah hampir tidak tahan lagi. Dadanya

seperti akan pecah menahan napas


"Aku akan mengejarnya!" dengus Ki Rangkuti

menggeram sambil menyarungkan kerisnya kembali di

pinggarlg.

"Bagaimana dengan Darmasaka?" Bayangan Malaikat

mengingatkan.

'Oh!"

Ki Rangkuti langsung bangkit dan berlari menghampiri

tubuh Darmasaka yang menggeletak tak bernyawa lagi. Dia

memeluk mayat itu dan menangis. Bayangan Malaikat

hanya bisa menarik napas panjang, tidak tahu harus berbuat

apa

'Tunggu pembalasanku, Rongkot...!" teriak Ki Rangkuti

keras.

***

Nyi Rongkot berlari cepat bagaikan terbang saja

layaknya. Di pundak kanannya terpondong rubuh ramping

dengan rambut hitam panjang terurai melambai-lambai.

Dilihat dari arah yang dituju, jelas kalau dia menuju ke

Hutan Gading. Hutan tempat Buto Dungkul tinggal.

Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki

perempuan tua yang bergelar Ular Betina itu, sehingga yang

terlihat hanya bayang-bayang merah saja berkelebatan di

antara pepohonan. Ketika tiba di tepi Hutan Gading,

mendadak terdengar suara bentakan keras disertai

pengerahan tenaga dalam.

"Berhenti!"

Nyi Rongkot langsung berhenti. Matanya merah nyalang

menatap seorang laki-laki yang berdiri menghadang di

depan. Laki-laki yang berumur sekitar limapuluh tahun,

namun masih kelihatan gagah dan tampan itu menghunus


sebuah tombak bermata tiga. Pakaiannya berwarna biru dan

ketat memetakan bentuk tubuhnya yang kekar atletis.

"Singa Lodra...," desis Nyi Rongkot mengenali laki-laki

yang menghadang di depannya.

"Tinggalkan Sekar Telasih di sini, Ular Betina!" dingin

dan datar suara Singa Lodra.

"Hik, rupanya kau juga menginginkan gadis ini, Singa

Lodra. Dia sudah berada di tanganku, tidak seorang pun

yang bisa menghalangi maksudku!" Nyi Rongkot membalas

tidak kalah dinginnya.

"Kau benar-benar manusia iblis! Tega-teganya kau

gunakan darah dagingmu sendiri hanya untuk memenuhi

nafsu iblismu!" dengus Singa Lodra.

"Minggirlah, Singa Lodra. Aku tidak ada urusan

denganmu. Sekar Telasih anakku, aku bebas

memperlakukan sekehendak hatiku sendiri, tahu!"

"Sekar Telasih muridku, dan aku wajib membela

nyawanya!"

"Hik hik hik..., rupanya kau sudah bosan hidup, Singa

Lodra," Nyi Rongkot terkikik

"Kau yang harus mampus, iblis!" Setelah berkata

demikian, Singa Lodra segera memutar tongkat mata tiga.

Begitu cepat gerakannya, sehingga tombak itu bagaikan

baling-baling berputar memperdengarkan suara angin

menggemuruh. Makin lama angin di selatar tempat itu

makin keras.

Daun-daun mulai berguguran, dan pohon-pohon sudah

ada yang tumbang. Batu-batu kerikil berlom-patan diterjang

badai yang terjadi akibat putaran tombak mata tiga itu.


Sungguh dahsyat ilmu yang dimiliki laki-laki ini. Hutan

Gading bagaikan diamuk badai yang amat hebat,

"Hik hik hik..., ilmu' Tongkat Mata Badai' mu tidak

akan mampu menghalangi niatku, Singa Lodra!" Nyi

Rongkot malah tertawa lebar. Tidak sedikit pun bergeser

dari tempatnya berdiri.

Mendadak Singa Lodra berteriak melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berkelebat cepat dengan

ujung tongkat terhunus ke depan. Nyi Rongkot

memiringkan tubuhnya sedikit. Dan tongkat mata tiga itu

lewat di samping tubuhnya. Secepat kilat dihantamkan

tongkat ular saktinya memapas tombak lawan.

Trak!

Benturan dua senjata terjadi amat keras sehingga

menimbulkan percikan api. Nyi Rongkot mendengus

merasakan tangannya yang kaku saat tongkat ular saktinya

beradu. Begitu juga yang dialamai Singa Lodra. Dia sampai

terdorong dan tombak mata tiganya hampir lepas dari

pegangan.

Cepat sekali Singa Lodra memutar tombak mata tiga.

Kati ini di kibaskan ke arah kaki lawan. Namun Nyi

Rongkot hanya menaikkan satu kakinya sedikit dan

menjejak batang tombak itu. Tubuhnya melenting ke udara,

berputar dua kali. Tongkat ular sakti dikibaskan ke arah

kepala Singa Lodra.

"Uts!"

Singa Lodra merunduk sedikit, tongkat ular sakti lewat

menerpa angin di atas kepalanya. Cepat dibalasnya dengan

menyodok tombak mata tiga ke perut Nyi Rongkot Kali ini

ujung tombaknya juga hanya mengenai angin. Nyi Rongkot


dengan manis mendarat di belakang Singa Lodra. Kakinya

langsung terayun deras menghajar punggung.

Buk!

Singa Lodra yang terlambat berbalik, tidak bisa lagi

menghindar. Punggung Singa Lodra kena hantam

tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam.

Kalau bukan Singa Lodra, mungkin sudah remuk tulang-

tulang pungggungnya. Singa Lodra hanya terdorong dua

tindak saja ke depan. Bergegas diputar tubuhnya sambil

mengibaskan tombaknya.

Nyi Rongkot menyilangkan tongkat ular saktinya

menangkis kibasan tombak itu. Kembali dua senjata beradu

keras. Tombak mata tiga terpental ke samping. Secepat kilat

Ular Betina itu menyodok tongkatnya ke arah dada Singa

Lodra. Untung laki-laki itu masih bisa membuang diri dan

bergulingan di tanah, sehingga sodokan maut tongkat ular

sakti bisa dihindari.

Namun belum juga bisa bangkit, Nyi Rongkot sudah

menyerang kembali. Singa Lodra terus bergulingan di tanah

menghindari tusukan dan sabetan tongkat ular sakti yang

mengincar tubuhnya. Pada satu kesempatan, Singa Lodra

menangkis dengan tombak mata tiganya. Secepat kilat dia

melenting bangun ketika tongkat ular sakti terangkat agak

jauh dari tubuhnya.

"Hup!"

Tangan kiri Singa Lodra berkelebat cepat. Seketika

meluncur sinar-sinar biru dari tangan kirinya. Nyi Rongkot

berlompatan jungkir balik seraya mengebut-kan tongkatnya.

Sinar-sinar biru berupa jarum beracun itu terus mencecar

bagai hujan datangnya. Nyi rongkot berjumpalitan di udara

menghindari terjangan senjata rahasia Singa Lodra.


"Setan! Mampus kau, hih!" geram Nyi Rongkot.

Secepat kilat diputarnya tongkat ular saktinya, lalu

dilemparkan ke tanah. Dalam sekejap saja tongkat itu

berubah menjadi seekor ular berwarna merah. Kedua

tangan Nyi Rongkot pun menjadi merah. Dia melepaskan

tubuh Sekar Telasih dari pondongannya. Tubuh ramping itu

jatuh keras bergulingan di tanah.

"'Naga Merah'...," desis Singa Lodra terkejut.

Bergegas dia melompat sejauh dua batang tombak ke

belakang. Matanya membelalak lebar melihat ular merah

meliuk-liuk di tanah. Kepalanya terangkat ke atas

menyemburkan ludah disertai asap berwarna merah. Asap

yang mengandung racun sangat berbahaya dan mematikan.

Bergidik juga Singa Lodra saat menyadari Ular Betina

sudah mengeluarkan ilmu simpanannya yang sukar

ditandingi itu.

Singa Lodra tidak menduga kalau Nyi Rongkot bisa

mengeluarkan ilmu 'Naga Merah' meskipun dalam keadaan

terdesak. Dia tahu kalau Ular Betina memiliki satu ilmu

simpanan yang sukar ditandingi, karenanya dia tidak

memberi kesempatan sedikit pun. Tapi kenyataannya lain.

Nyi Rongkot masih bisa mengeluarkan ilmu andalannya

meskipun dalam keadaan sulit sekali pun.

"Hik hik hik...! Aku akan mengampuni kelancang-anmu,

Singa Lodra. Asal kau cepat-cepat enyah dari sini!" dingin

menyeramkan suara Nyi Rongkot

"Phuih! Kau kira aku takut dengan ilmu setanmu!"

dengus Singa Lodra.

"Sebut nama leluhurmu sebelum mati, Singa Lodra!"

Singa Lodra segera bersiap-siap ketika Nyi Rongkot

mengangkat kedua tangannya. Dengan satu jeritan


melengking tinggi, Ular Betina itu melompat cepat. Dan

ular merah di tanah pun juga melayang cepat bagai anak

panah lepas dari busur.

Singa Lodra mengebutkan tombaknya ke arah ular

merah, dan tangan kirinya mengibas tangan Ular Betina.

Kibasan tongkat dapat dihindari ular merah.

Di lain hal Nyi Rongkot membiarkan tangan kirinya

beradu, tapi tangan kanannya langsung masuk ke dada.

Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga

Singa Lodra tidak mampu lagi menghindar. Telak sekali

dadanya kena hajar tangan kanan Nyi Rongkot yang

memerah. Bersamaan dengan itu, ular merah juga berhasil

menggigit paha karian Singa Lodra.

"Aaakh...!" Singa Lodra menjerit keras.

Tubuhnya terlontar deras ke belakang, dan jatuh keras di

tanah. Darah segar mengucur dari paha kanan yang koyak.

Ular merah membelit kaki kanannya. Buas sekali ular

merah mematuk dan menggigit, mengoyak tubuh Singa

Lodra.

"Hik hik hik...!" Nyi Rongkot tertawa mengikik.

Singa Lodra kelojotan di tanah. Darah mengucur deras

dari beberapa bagian tubuhnya yang koyak. Begitu kepala

ular merah menembus dadanya, Singa Lodra menjerit

melengking tinggi. Sebentar menggelepar, lalu diam tak

bergerak-gerak lagi.

Nyi Rongkot mengulurkan tangannya ke depan, dan ular

merah itu melayang menghampirinya. Begitu berada di

tangan perempuan yang berjuluk Ular Betina itu, ular

merah berubah kembali menjadi tongkat berbentuk ular.


Lagi-lagi Ular Betina tertawa mengikik. Kakinya terayun

menghampiri Sekar Telasih yang masih tergeletak lemas di

tanah. Setelah meletakkan tubuh gadis itu di punggung, Nyi

Rongkot langsung berlari menembus Hutan Gading dengan

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup

sempurna.

"Hik hik hik...!"

***


TUJUH


Nyi Rongkot atau si Ular Betina menghentikan larinya

ketika mendengar suara pertarungan di tengah-tengah

Hutan Gading. Sebentar dimiringkan kepalanya mencoba

untuk mencari arah sumber suara pertarungan itu. Kakinya

kembali terayun setelah dapat memastikan arah suara itu.

Matanya mengernyit saat melihat kelebatan-kele-batan

sinar keemasan. Tampak dua orang sedang bertarung

menggunakan senjata masing-masing. Dari ayunan berat

disertai suara gemuruh, dapat diketahui salah satu dari yang

bertarung itu adalah si manusia liar Buto Dungkul.

Sedangkan yang menggenggam pedang mengeluarkan

cahaya keemasan adalah Dewa Pedang Emas. Sejak

semalam hingga pagi ini mereka sudah bertarung puluhan

jurus. Namun belum ada yang tampak terdesak. Masing-

masing melancarkan serangan yang cukup berbahaya dan

mematikan. Nyi rongkot menurunkan tubuh Sekar Telasih

dari pon-dongannya.

"Hm..., Dewa Pedang Emas. Benar-benar nama yang

patut diperhitungkan oleh Buto Dungkul," gumam Nyi

Rongkot.

Perkiraan Nyi Rongkot memang tepat. Dalam beberapa

jurus kemudian, tampak Buto Dungkul terdesak terus-

menerus. Pantas saja kalau mendapat julukan Dewa Pedang

Emas. Permainan jurus-jurus pedangnya sungguh lihai dan

cepat Pedang dari emas itu berkelebatan berada di

tangannya. Cepat, sehingga yang terlihat hanya berupa

sinar keemasan bergulung-gulung mengurung Buto

Dungkul.

Pada satu kesempatan baik, pedang emas berkelebat

cepat membabat pundak Buto Dungkul. Gerakan yang


begitu cepat dan tiba-tiba tidak dapat dihindari lagi. Pundak

kiri si manusia liar itu terkena sabetan pedang emas.

"Ha ha ha...!" Buto Dungkul tertawa terbahak-bahak.

Dewa Pedang Emas melompat mundur tiga tindak ke

belakang. Matanya membeliak lebar, hampir tidak percaya

dengan penglihatannya sendiri. Jelas-jelas mata pedangnya

membabat pundak si manusia liar itu, tapi tidak sedikit pun

ada luka goresan di sana. Bahkan dari ujung pedang sampai

pangkal lengannya, Dewa Pedang Emas merasakan getaran

yang amat dahsyat.

"Gila! Pedang emasku tidak mempan," dengus Dewa

Pedang Emas.

Dewa Pedang Emas berteriak nyaring. Dikebutkan

pedangnya kuat-kuat lalu dia melompat menerjang. Buto

Dungkul masih tetap tergelak tanpa menghiraukan cahaya

keemasan yang berkilat mengarah dadanya.

"Mampus kau, setan!" geram Dewa Pedang Emas. Trak!

Dewa Pedang Emas membabat si manusia liar Buto

Dungkul dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

Seketika tubuh Dewa Pedang Emas terpental ke belakang

begitu pedangnya menghantam sasaran. Sedangkan si

manusia liar Buto Dungkul masih terbahak-bahak berdiri

tegar.

"Setan! Dmu apa yang dipakainya?" geram Dewa

Pedang Emas begitu melihat mata pedangnya gompal.

Tidak sedikitpun ada luka di dada si manusia liar ini. Dia

berdiri congkak bertolak pinggang. Tubuhnya yang tinggi

besar berguncang-guncang karena tawanya terus tergelak.

Sementara itu Nyi Rongkot yang menyaksikan hanya

tersenyum-senyum. Lain halnya dengan Dewa Pedang. Dia


tampak kebingungan menghadapi lawan begini tangguh,

tidak mempan oleh senjata pusaka yang sangat

diandalkannya.

'Terpaksa, aku harus gunakan paku-paku emas," gumam

Dewa Pedang Emas.

Dia melemparkan pedang emasnya yang gompal besar

pada matanya yang tajam. Segera dia bersiap-siap

mengeluarkan jurus 'Seribu Paku Emas'. Sambil berteriak

nyaring, Dewa Pedang Emas bergerak cepat melontarkan

paku-paku emas yang menjadi senjata rahasianya yang

sangat diandalkan.

Aneh! Si manusia liar Buto Dungkul tidak sedikitpun

bergeming. Paku-paku emas meluncur deras menghantam

dubuh tinggi besar bagai raksasa itu. Lagi-lagi Dewa

Pedang Emas terbeliak lebar. Paku-paku emas yang

dilontarkan dengan menggunakan jurus 'Seribu Paku Emas',

tidak sedikit pun melukai lawannya. Paku-paku emas yang

mengandung racun dahsyat, rontok begitu saja setelah

menghantam tubuh Buto Dungkul.

"Habiskan semua ilmu yang kau miliki bocah!" ejek Buto

Dungkul jumawa.

"Bedebah!" geram Dewa Pedang Emas jengkel

"Kenapa bengong? Apa kau sudah tidak punya lagi ilmu

kesaktian?"

Dewa Pedang Emas tidak menyahut Otaknya berpikir

keras mencari cara untuk mengalahkan si manusia raksasa

ini. Matanya melirik Nyi Rongkot, si Ular Betina yang

berdiri tersenyum-senhum. Hati Dewa Pedang Emas jadi

panas saat matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramping

menggeletak dekat kaki si Ular Betina.


"Iblis! Rupanya dia sudah berhasil menculik Sekar

Telasih. Hm, bagaimana nasib Rangkuti dan Bayangan

Malaikat? Apakah mereka sudah tewas?" Dewa Pedang

Emas bertanya-tanya sendiri dengan hati geram.

"Cukup waktumu untuk berpikir, Dewa Pedang Emas.

Bersiaplah untuk ke neraka!" sentak Buto Dungkul.

Begitu selesai berkata, gada besar penuh duri dikebut-

kebutkan di atas kepala. Suara angin men-deru-deru

memekakkan telinga. Begitu besar tenaga yang dimiliki si

manusia liar itu, sehingga dalam seketika saja tempat itu

seperti dilanda badai topan yang amat dahsyat.

Secepat kilat Buto Dungkul berlari sambil mengayunkan

gada besar berdurinya. Dewa Pedang Emas melompat ke

samping menghindari sambaran gada yang sebesar pahanya

sendiri. Bumi bergetar begitu gada itu menghantam tempat

Dewa Pedang berdiri tadi.

"Graaagh...!" Buto Dungkul meraung dahsyat.

Kembali diayunkan gadanya kuat-kuat. Kembali Dewa

Pedang Emas melompat, namun kali ini kaki Buto Dungkul

terayun cepat hampir bersamaan dengan ayunan gada.

Dewa Pedang Emas yang terlalu memusatkan perhatian

pada senjata lawan, tidak menyangka kalau kaki Buto

Dungkul melayang.

Buk!

Keras sekati kaki manusia liar yang bagai raksasa itu

menghantam pinggang Dewa Pedang Emas. Tak ayal lagi

tubuh Dewa Pedang Emas terjungkal menyuruk tanah.

Belum sempat memperbaiki diri, gada besar berduri telah

terayun deras ke arahnya.

"Aaakh...!" Dewa Pedang Emas menjerit keras.


Kaki kirinya langsung remuk kena hantam gada Buto

Dungkul. Darah muncrat dari kaki yang hancur. Buto

Dungkul kembali mengayunkan gadanya.

Prak!

Kali ini Dewa Pedang Emas tidak bisa lagi bersuara.

Kepalanya langsung hancur terkena hantaman keras gada

berduri Buto Dungkul. Tubuh Dewa Pedang Emas

menggeletak tak bernyawa lagi.

Buto Dungkul kembali tertawa tergelak. Tawanya

langsung berhenti begitu tubuhnya berbalik. Gada besar

penuh duri dipanggul di pundak. Matanya yang merah

besar menatap tajam pada Nyi Rongkot

"Kau sudah datang, Rongkot?" suara Buto Dungkul

terdengar berat menggelegar.

"Aku datang membawa hadiah untukmu," Nyi Rongkot

menunjuk Sekar Telasih yang masih tegeletak lemas di

tanah.

"Sekar Telasih...!" mata Buto Dungkul berbinar.

Buru-buru dia melangkah menghampiri

'Tunggu!" cegah Nyi Rongkot

Buto Dungkul menghentikan langkahnya seketika. Jarak

antara dia dengan Sekar Telasih tinggal empat langkah lagi.

Matanya langsung menatap Nyi Rongkot yang berdiri tepat

di depannya di samping Sekar Telasih yang menggeletak di

tanah. Kembali ditatapnya gadis itu. Keningnya agak

berkerut.

"Dia..., dia mati...?" suaranya agak parau serak.

'Tidak. Cuma pingsan," sahut Nyi Rongkot



"Lalu, kenapa kau menghalangiku?" Buto Dungkul

menatap Ular Betina itu dengan pandangan tajam tidak

mengerti.

"Belum saatnya kau menyentuh putriku."

"Rongkot! Kau sudah berjanji akan menyerahkan Sekar

Telasih padaku. Kau sudah kuberi Kitab Naga Merah. Dan

kau sudah menguasainya, kenapa masih juga

menghalangiku?"

"Masih ada satu syarat lagi yang belum kau laksanakan."

"Membunuh si tua-bangka Rangkuti? Ha ha ha....

Dengan sebelah mata saja aku bisa mengirimnya ke

neraka!"

"Kenapa tidak kau lakukan?"

'Tidak! Aku harus taat pada janjiku sendiri. Belum

waktunya aku membunuh si tua keparat itu!"

"Kalau begitu, kau juga belum waktunya menyentuh

putriku."

"Kau licik, Rongkot!" dengus Buto Dungkul.

"Lebih licik lagi dirimu, Buto Dungkul. Kau sudah

kuberi ilmu kekebalan tubuh, masih juga menginginkan

putriku."

"Huh!" Buto Dungkul hanya mendengus.

"Nah! Sambil menunggu waktu perjanjianmu, selama itu

aku tidak mengijinkan kau mengganggu Sekar Telasih.

"Baiklah," desah Buto Dungkul pasrah.

Nyi Rongkot tersenyum puas. Kemudian dia kembali

memondong tubuh Sekar Telasih di atas pundaknya.

Kakinya mulai terayun melangkah di dampingi si manusia

liar Buto Dungkul. Mereka melangkah terus lebih masuk ke


dalam Hutan Gading yang lebat tak pernah terjamah

manusia. Hutan yang selalu dijauhi para penduduk di

selatarnya.

***

Sementara itu Ki Rangkuti termenung di beranda depan

rumahnya. Di depannya duduk Bayangan Malaikat Sejak

acara penguburan Darmasaka, Ki Rangkuti terlihat lebih

banyak diam termenung. Memang berat rasanya kehilangan

putra tunggal yang sedang dipersiapkan untuk menjadi

seorang pendekar. Lebih-lebih sekarang ini dia juga

kehilangan anak angkat, seorang gadis cantik yang diurus

sejak masih bayi.

Belum lagi dia harus mempersiapkan diri untuk

menghadapi tantangan Buto Dungkul yang kebal terhadap

segala jenis senjata pusaka. Bayangan Malaikat yang

mengetahui persis persoalan yang tengah dihadapi

sahabatnya, tidak bisa meninggalkannya sendirian. Ke

mana Ki Rangkuti pergi, dia selalu mendampingi. Mereka

memang benar-benar sahabat sejati.

"Sudah ada berita tentang Dewa Pedang Emas?" tanya

Ki Rangkuti tiba-tiba seraya mengangkat kepalanya.

Pandangan matanya sayu tanpa gairah hidup.

"Belum," sahut si Bayangan Malaikat "Tapi aku sudah

mengirim beberapa orang murid pilihan Padepokan

Jatiwangi untuk memeriksa sekitar Hutan Gading."

"Berapa orang yang kau kirim?"

"Hanya sepuluh."

Ki Rangkuti mendesah panjang.



"Aku tidak mau mengambil resiko kehilangan banyak

orang. Hutan itu sangat berbahaya, masih untung kalau

tidak bertemu si manusia liar."

"Terima kasih."

"Jangan berterima kasih padaku Aku hanya

melaksanakan apa yang kumampu saja," Bayangan

Malaikat merendah.

Ki Rangkuti tersenyum kecut. Namun senyumnya

mendadak hilang ketika matanya melihat sepuluh orang

berkuda datang. Mereka langsung turun dari kuda masing-

masing setelah sampai di depan rumah Kepala Desa

Jatiwangi itu.

Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat serentak berdiri lalu

berjalan ke luar beranda menghampiri sepuluh orang yang

datang itu. Mereka adalah murid-murid Padepokan

Jatiwangi. Yang berjalan paling depan, laki laki tinggi tegap

berkumis tebal. Dia salah satu guru pengajar olah

kanuragan

"Bagaimana, Sayuri?" tanya Ki Rangkuti tidak sabar.

"Kami hanya menemukan mayatnya saja, Ki," sahut

Sayuri yang jadi pemimpin dalam pencarian Dewa Pedang

Emas di samping sebagai guru pengajar olah kanuragan di

Padepokan JaEwangi.

"Maksudmu...?" Ai Rangkuti tidak bisa lagi melanjutkan

pertanyaannya.

"Dewa Pedang Emas tewas di tengah Hutan Gading."

"Jagat Dewa Batara...," Ki Rangkuti mengeluh lirih.

Sebentar dia mendongakkan kepalanya, kemudian

berpaling pada Bayangan Malaikat Tampak sepasang bola

matanya berkaca-kaca. Ki Rangkuti benar-benar terpukul


mendengar kematian sahabat karibnya. Sahabat sejati,

tewas membela kemurnian persahabatan. Dewa Pedang

Emas mempertaruhkan nyawa demi kehormatan

sahabatnya, Ki Rangkuti.

"Bagaimana dengan Sekar Telasih?" tanya Bayangan

Malaikat

"Kami tidak menemukan Nini Sekar Telasih. Hanya ini,"

Sayuri menyerahkan kain warna biru muda.

Ki Rangkuti mengambil kain ikat kepala yang biasa

dikenakan Sekar Telasih. Kepala Desa Jatiwangi yang

bekas seorang pendekar itu tidak dapat lagi

menyembunyikan kesedihannya. Dia berbalik dan

melangkah masuk ke dalam rumah. Air matanya tidak bisa

lagi ditahan. Kain ikat kepala Sekar Telasih diciuminya

beberapa kali..

Bayangan Malaikat dan sepuluh orang lainnya hanya

bisa memandang dengan perasaan sedih. Belum pernah

mereka melihat Ki Rangkuti begitu sedih sampai

menitikkan air mata. Kejadian yang menimpa Ki Rangkuti

benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Setegar-

tegamya dia, hancur juga hatinya kehilangan orang-orang

yang dicintai secara beruntun.

"Kau tidak menemukan mayat Nini Sekar?" tanya

Bayangan Malaikat setengah berbisik.

"Tidak. Hanya itu yang saya temukan," sahut Sayuti.

'Tidak menemukan jejak?" Sayuti menggelengkan

kepalanya.

"Hhh...." Bayangan Malaikat menarik napas panjang.



"Di sekitar tempat itu kelihatannya bekas terjadi

pertempuran. Di situ juga saya menemukan ikat kepala

Nini Sekar Telasih."

"Baiklah, terima kasih," ucap Bayangan Malaikat "Aku

percayakan padamu mengatur penjagaan untuk keamanan

desa ini."

Sayuti membungkuk sedikit, lalu mengajak yang lain

meninggalkan tempat itu. Mereka menuntun kuda masing-

masing kembali ke padepokan. Bayangan Malaikat masih

berdiri cukup lama di depan beranda rumah. Sebentar

ditarik napasnya dalam-dalam, kemudian kakinya terayun

hendak pergi.

Baru saja dia melangkah tiga tindak, telinganya

mendengar suara langkah kaki di belakang. Bayangan

Malaikat berhenti dan menoleh. Keningnya agak berkerut

melihat Ki Rangkuti berjalan ke luar dengan pakaian

lengkap seorang pendekar. Pakaian putih-putih yang ketat

membentuk tubuhnya yang kekar.

Sebilah pedang tergantung di pinggang.

"Kau akan ke mana?" tanya Bayangan Malaikat setelah

Ki Rangkuti berada di depannya.

"Membunuh iblis-iblis itu!" sahut Ki Rangkuti dingin.

"Pikirkan dulu, Rangkuti. Aku tidak menyangsikan

kesaktianmu, tapi mereka berdua bukanlah orang-orang

yang bisa dianggap remeh. Aku tidak ingin kehilangan lagi

seorang sahabat Tinggal kau satu-satunya sahabatku di

dunia ini, Rangkuti," Bayangan Malaikat mencoba

meredakan rasa dendam di hati Kepala Desa Jatiwangi itu.

"Mereka telah merampas orang-orang yang kucintai!"


"Aku mengerti, aku tahu. Aku juga bisa merasakan apa

yang kau rasakan sekarang. Tapi cobalah kau bertindak

dengan kepala dingin. Jangan turuti hawa dendam dan

amarahmu. Aku yakin Sekar Telasih tidak dibunuh. Dia

pasti masih hidup."

"Mereka harus mati. Nyawa anakku harus mereka

tebus!"

"Darmasaka mati membela kebenaran. Kau harus

bangga punya putra yang berjiwa pendekar. Salah besar

kalau kau menyesali kematiannya. Sebaliknya kau harus

bangga, Rangkuti. Darmasaka mati karena membela

kehormatanmu!"

Ki Rangkuti terdiam. Kata-kata Bayangan Malaikat tepat

mengena pusat hatinya. Dia memang harus bangga dengan

Darmasaka yang mati sebagai pendekar. Tidak gentar

menghadapi musuh meskipun tahu tingkatannya jauh lebih

tinggi. Putranya tidak mati secara sia-sia. Dia mati karena

membela kehormatan keluarga.

"Sempurnakan dulu ilmu 'Pukulan Karang Baja' mu.

Aku rasa waktu tiga purnama cukup untukmu

menyempurnakan ilmu itu," kata Bayangan Malaikat.

Ki Rangkuti menatap Bayangan Malaikat dengan mata

sayu. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan

sesuatu. Namun tidak ada kata-kata yang terucapkan. Tiba-

tiba ia merangkul sahabatnya dengan ketat Bayangan

Malaikat menepuk-nepuk punggung Ki Rangkuti.

"Aku akan selalu berada di sampingmu, Sobat," bisik

Bayangan Malaikat

"Kau benar-benar sahabat sejatiku," balas Ki Rangkuti

lirih.



"Sudahlah, aku sendiri akan menyempurnakan ilmu

'Bayangan Maut'. Kita bisa bersatu mengalahkan mereka."

Ki Rangkuti tersenyum penuh haru. Memang dalam

persahabatan ditemui banyak ujian. Kejadian seperti inilah

merupakan satu ujian berat dalam persahabatan. Kalau

perlu nyawa akan dikorbankan demi persahabatan yang

murni dan sejati.

Mereka berpelukan hangat agak lama. Kemudian

Bayangan Malaikat melepaskan pelukan perlahan-lahan.

Sesaat mereka hanya saling pandang saja. Kemudian pelan-

pelan melangkah menuju ke rumah besar yang kini tampak

sepi senyap.

"Aku akan menyediakan kamar khusus untukmu

bersemedi," kata Ki Rangkuti.

'Terima kasih. Ilmu 'Bayangan Maut' tidak bisa dilatih di

dalam kamar. Aku akan berlatih di pinggiran desa setiap

malam hari," sahut Bayangan Malaikat "Maaf, aku lupa."

Bayangan Malaikat hanya tersenyum tipis.

"Kau yakin Sekar Telasih tidak apa-apa?" tanya Ki

Rangkuti masih memikirkan keselamatan anak angkatnya

itu.

"Aku yakin. Meskipun Ular Betina berada di jalan yang

sesat, tidak mungkin mencelakakan anaknya sendiri."

"Yah, itu kalau tidak bersama Buto Dungkul," desah Ki

Rangkuti berat

"Jangan terlalu dipikirkan, biarpun dia liar, masih bisa

taat pada janji. Kau ingat perjanjian Mahesa Jalang, 'kan?"

"Ya."

"Nah! Itu satu bukti kalau Buto Dungkul selalu mentaati

perjanjiannya."


Agak sedikit tenang hati Ki Rangkuti. Namun belum

seluruhnya begitu. Bagaimanapun juga, dia masih

memikirkan keselamatan nyawa Sekar Telasih. Gadis itu

belum tahu seluk-beluk orang-orang rimba persilatan.

Meskipun sudah mendapat gemblengan dalam berbagai

ilmu olah kanuragan, tapi tingkatannya jelas masih kalah

jauh bila dibandingkan dengan Buto Dungkul dan si Ular

Betina.

***


DELAPAN


Tiga purnama hampir menjelang. Sementara itu di

Lembah Bangkai, Pendekar Rajawali Sakti tengah menguji

ilmu yang baru dipelajari dari kitab yang diberikan burung

rajawali raksasa. Dia puas melihat hasil dari ilmu 'Pedang

Pemecah Sukma'. Dengan pedang rajawali sakti, dia dapat

menghancurkan batu karang sebesar gunung sekalipun

hanya dengan menggoreskan ujungnya saja.

Kehebatan pedang itu adalah mampu membabat benda

tanpa memperlihatkan bekas sabetan. Tapi di dalam benda

itu hancur. Rangga sudah mencobanya pada sebatang

pohon besar. Dari luar pohon itu nampak habis ditebas, tapi

tidak berapa lama kemudian daun-daunnya berguguran

semua, dan seluruh batangnya menjadi kering seperti habis

terbakar saja.

Kini Pendekar Rajawali Sakti itu tengah memusatkan

seluruh konsentrasinya pada ilmu 'Cakra Buana Sukma'.

Kedua bola matanya lurus menatap pohon ara yang besar

dan tinggi. Perlu tiga orang dewasa untuk bisa melingkari

batang pohon itu dengan tangan saling bertaut Tangan

kanannya menggenggam pedang sampai ke ujung.

Kemudian kembali lagi, dan berhenti tepat di tengah-

tengah.

'"Cakra Buana Sukma'....'" teriak Rangga keras.

Seketika itu juga dari seluruh batang pedang yang

memancarkan sinar biru berkilau, sinar itu berkumpul jadi

satu. Secepat kilat sinar itu menggumpal menerjang lurus ke

depan. Seleret sinar biru memanjang membentur pohon ara

yang tinggi besar itu. Seluruh pohon itu diliputi sinar biru

dari pangkal akar sampai ke puncaknya.

"Yeaaah!" Rangga berteriak nyaring melengking.


Suara ledakan dahsyat terdengar, bersamaan dengan

hancurnya pohon itu. Dan sinar biru yang menggumpal

berieret panjang pun lenyap. Kini Pedang Rajawali Sakti

kembali seperti biasa, memancarkan cahaya biru berkilau.

"Kraaargh!" burung rajawali raksasa mengibas-ngibaskan

sayapnya sambil melonjak-lonjak.

Rangga menoleh sambil tersenyum. Kepala burung itu

terangguk-angguk dengan bola mata bulat berbinar-binar.

Rangga memasukkan pedang pusaka ke dalam sarungnya.

Dia melangkah dengan bibir tersungging senyuman

menghampiri burung raksasa itu. Tangannya terkembang,

dan kepala rajawali itu menyorong ke depan. Pendekar

Rajawali Sakti memeluk kepala burung rajawali itu dengan

penuh kasih sayang.

"Bagaimana penilaianmu?" tanya Rangga setelah

melepaskan pelukannya.

Burung rajawali raksasa itu mengangguk-anggukkan

kepalanya. Rangga tersenyum puas karena burung sakti itu

telah menyatakan kepuasannya melihat dua ilmu dahsyat

telah dapat dikuasai Rangga dalam waktu kurang dari tiga

purnama.

"Sebaiknya aku segera keluar dari lembah ini," kata

Rangga.

"Argh!" Rajawali Ku mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dia merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua

kakinya. Rangga dengan sigap melompat ringan dan

hinggap di punggung rajawali raksasa itu. Sekejap saja

burung itu mengepakkan sayapnya. Melesat terbang tinggi

ke angkasa sambil berkaokan. Rangga memandang ke

bawah, yang terlihat dibawahnya permukaan bumi yang

hijau dan berbukit bukit


"Agak rendah sedikit, Rajawali'" teriak Rangga.

"Argh!"

Rajawali raksasa itu merendahkan terbangnya. Kini

Rangga dapat melihat ke bawah lebih jelas lagi. Sinar

matahari sore seperti berada tepat di punggungnya. Hangat

dan indah dipandang mata. Rangga mengernyitkan alisnya

saat melihat Desa Jatiwangi berada tepat di bawahnya.

Tampak desa itu kelihatannya sepi seperti tidak

berpenduduk saja.

'Turun di tepi hutan itu, Rajawali!" tenak Rangga sambil

menunjuk Hutan Gading.

"Argh!"

Rajawali raksasa menukik menuju ke Hutan Gading

yang ditunjuk Rangga. Ringan sekali tubuh Pendekar

Rajawali Raksasa itu melompat turun dari punggung

burung raksasa setelah mendarat di tepian Hutan Gading

yang sepi. Rangga sebentar mengamati sekitarnya.

'Terima kasih. Kau boleh kembali," kata Rangga.

"Argh!"

Rangga menepuk-nepuk kepala Rajawali yang merunduk

ke depan. Kemudian burung raksasa itu kembali melesat ke

angkasa memperdengarkan suaranya yang serak

melengking tinggi. Rangga mengamati kepergian burung

raksasa itu sampai hilang di balik awan. Kembali dia

mengamati ke sekelilingnya. Matanya langsung menatap ke

arah Desa Jatiwangi yang kelihatan jelas dari tempat tinggi

seperti ini.

"Aku harus ke desa itu. Mudah-mudahan tidak terjadi

apa-apa di sana," gumam Rangga.


Namun baru saja hendak melangkah, mendadak

telinganya yang tajam mendengar langkah kaki orang.

Langkah kaki yang masih terdengar jauh. Rangga

celingukan sebentar, kemudian tubuhnya melesat ringan.

Dalam sekejap saja sudah nangkring di atas pohon.

Matanya langsung menatap lurus ke arah suara langkah

kaki yang semakin dekat terdengar.

Tampak seorang berjalan ke arahnya. Pakaiannya serba

putih. Dan tidak ada satu senjata pun tampak di tubuhnya.

Dia berjalan pelan satu-satu, namun jelas kalau orang itu

menggunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun begitu,

telinga Rangga yang sudah terlatih baik, masih juga dapat

mendengar suara langkahnya yang ringan hampir tidak

menapak tanah.

"Bayangan Malaikat..," gumam Rangga begitu

mengenali orang yang berjalan ke arahnya.

Memang benar, orang itu adalah Bayangan Malaikat.

Dia berjalan sendirian menuju ke tepi Hutan Gading.

Rangga memperhatikan terus setiap gerak langkah

Bayangan Malaikat dari atas pohon.

"Mau apa dia ke Hutan Gading?" pikir Rangga dalam

hati.

Bayangan Malaikat berjalan melewati pohon yang di

atasnya bertengger Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa sadar

kalau dirinya diamati sejak tadi, Bayangan Malaikat terus

berlalu menembus Hutan Gading.

Rangga yang tadi penasaran, ingin tahu maksud

Bayangan Malaikat ke hutan yang sangat ditakuti seluruh

penduduk desa di sekitarnya. Dia melompat ringan dari

satu pohon ke pohon lainnya. Tidak sedikit pun suara yang

ditimbulkan. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti sungguh

ringan bagai kapas.


Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan keningnya.

Bayangan Malaikat berlompatan menyelinap dari balik

pohon satu ke pohon lainnya. Sepertinya dia takut terlihat

oleh siapa pun. Tentu saja kelakuan Bayangan Malaikat ini

semakin menarik perhatian Rangga. Terus saja dibuntutinya

dari atas pohon. Matanya tajam bagai mata rajawali

mengamati setiap gerakan Bayangan Malaikat

"Berhenti...?" Rangga jadi bertanya tanya saat melihat

Bayangan Malaikat berhenti di tengah hutan.

Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang ke

sekelilingnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar

tempat ini. Bayangan Malaikat juga berdiri di balik sebuah

batu besar memandang ke depan. Matanya lurus menatap

sebuah gundukan tanah di bawah pohon rindang.

"Kuburan siapa itu?" tanya Rangga dalam hati.

Belum juga Rangga bisa menjawab, matanya langsung

melihat pada Bayangan Malaikat. Orang berpakaian serba

putih itu melangkah menghampiri gundukan tanah yang

dikelilingi batu-batuan yang bertata rapi. Sebentar dia

berdiri mematung di samping kuburan, lalu berlutut

"Dewa Pedang Emas, sudah tiba saatnya untuk

membalas sakit harimu. Malam nanti di tempat ini Ki

Rangkuti akan menyabung nyawa membela kehormatan

keluarganya. Aku juga tidak akan tinggal diam untuk

membalaskan dendam hatimu," bisik Bayangan Malaikat

pelan.

"Dewa Pedang Emas...?!" Rangga terkejut "Siapa yang

membunuhnya?" Pendekar Rajawali Sakti segera melayang

turun, dan hinggap di belakang Bayangan Malaikat Tentu

saja kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba itu

membuat Bayangan Malaikat kaget bukan main. Dia

sampai terlompat sejauh dua batang tombak. Bayangan


Malaikat menarik napas panjang begitu mengetahui siapa

yang datang.

"Maaf, aku mengejutkanmu, Paman," ucap Rangga

"Ah, tidak," sahut Bayangan Malaikat seraya melangkah

mendekat

"Apakah ini makam Dewa Pedang Emas?" tanya Rangga

menatap kuburan di depannya.

"Benar," sahut Bayangan Malaikat

"Bagaimana kejadiannya? Kenapa sampai dikuburkan di

Hutan Gading ini?"

"Dia bertarung dengan manusia liar Buto Dungkul tiga

purnama yang lalu," Bayangan Malaikat menceritakan.

Rangga Mendengarkan cerita Bayangan Malaikat

dengan penuh perhatian. Tidak sedikitpun memotong cerita

itu sampai selesai. Diceritakan pula kalau tengah malam

nanti akan terjadi pertarungan antara Ki Rang-kuti

melawan Buto Dungkul.

Pendekar Rajawali Sakti kini semakin mengerti duduk

persoalannya. Bukan saja Buto Dungkul yang akan

dihadapi Ki Rangkuti nanti, tapi juga Ular Betina yang

telah berhasil membawa lari Sekar Telasih. Rangga

memang belum pernah bertemu dengan Buto Dungkul, tapi

mendengar cerita Bayangan Malaikat, dia sudah bisa

memperkirakan seperti apa orang yang bernama Buto

Dungkul itu.

"Hm, jadi Paman ke sini mendahului Ki Rangkuti?"

gumam Rangga seolah bertanya dalam hati.

"Benar. Aku hanya ingin mencegah terjadinya

kecurangan. Mereka orang-orang yang licik dan curang.

Aku yakin, Dewa Pedang Emas bisa tewas karena


kecurangan. Rasanya kalau baru menghadapi Buto

Dungkul saja, Dewa Pedang Emas tidak akan sampai

tewas. Pasti ada campur tangan Ular Betina!" suara

Bayangan Malaikat terdengar penuh rasa benci dan

dendam.

"Di mana pertarungan itu dilaksanakan?" tanya Rangga.

"Di sini!"

***

Pada saat yang sama, di tempat tinggal Buto Dungkul,

Nyi Rongkot menikmati angin sejuk di depan goa.

Sementara di dalam goa yang sangat tersembunyi, Sekar

Telasih duduk beralaskan daun-daun kering. Agak jauh di

depannya, manusia liar Buto Dungkul asyik menikmati

daging menjangan bakar.

Keadaan Sekar Telasih tidak kekurangan satu apa-apa.

Hanya raut wajahnya saja yang tidak mencerminkan

kegembiraan, matanya sayu tanpa sinar gairah kehidupan.

Hatinya terpukul sekali manakala mengetahui dirinya

bukan anak Ki Rangkuti, tapi anak perempuan iblis yang

berjuluk Ular Betina.

Dan sekarang nasibnya ditentukan dengan pertarungan

antara ayah angkatnya dengan Buto Dungkul.

Sekar Telasih bergidik begitu matanya melirik Buto

Dungkul yang lebih mirip raksasa daripada manusia.

Haruskah dia mendampingi hidup laki-laki menyeramkan

ini? Hidup terpencil di dalam hutan rimba yang ganas?

Sungguh tidak terpikirkan sama sekali dalam hidupnya.

Sekar Telasih membenci Nyi Rongkot yang membawa

dirinya untuk diserahkan pada manusia yang menyeramkan

ini. Kalau saja dia mampu, ingin rasanya membunuh kedua

orang itu. Bahkan kalau mungkin melarikan diri.


"Lari...!" sentak Sekar Telasih dalam hati. "Lari.... Aku

harus bisa lari dari tempat ini. Tapi, bagaimana caranya?"

Sekar Telasih memutar otak, mencari cara untuk bisa

meloloskan diri dari tempat kotor ini. Bibirnya yang selalu

merah merekah menyunggingkan senyum begitu matanya

melirik Buto Dungkul. Satu rencana mendadak mengalir

begitu saja dalam benaknya.

"Raksasa ini memang kuat dan sakti, tapi aku yakin dia

bodoh. Tindakannya hanya mengandalkan kekuatan tanpa

mampu berpilar," gumam Sekar Telasih dalam hati.

Sekar Telasih bangkit berdiri. Mata Buto Dungkul

menatapnya tidak berkedip. Dalam pandangannya, gadis

itu bagaikan bidadari baru turun dari kahyangan. Dada

Buto Dungkul berdebar-debar ketika Sekar Telasih

tersenyum manis padanya, lebih-lebih saat gadis itu

melangkah menghampiri.

"Kakang...," lembut sekali suara Sekar Telasih.

"Kau..., kau memanggilku, cah ayu?" Buto Dungkul

seperti tidak percaya dengan pendengarannya.

"Iya, memangnya aku bicara dengan siapa?" makin

manis senyum Sekar Telasih.

"He he he...," Buto Dungkul gembira karena Sekar

Telasih bersedia bicara dengannya. Lama sekali ditunggu-

tunggu saat seperti ini.

"Sudah berapa lama aku di sini, ya?" Sekar Telasih

seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Hampir tiga purnama Dan besok kau sudah jadi milikku

sepenuhnya," sahut Buto Dungkul gembira.

"Rasanya lama ya, menunggu sampai besok...?" gumam

Sekar Telasih.


"Mak..., maksudmu?" Buto Dungkul jadi tergagap. Dia

menelan ludahnya menahan napsu birahi.

"Yaaah..., kenapa harus menunggu sampai besok?

Kenapa tidak sekarang saja?"

"Apa...?"

"Aku bersedia jadi istrimu, Kakang."

"Kau..., kau mau ya...," saking nafsunya Buto Dungkul

jadi susah bicara.

"Iya, sekarang juga aku bersedia jadi istrimu."

Begitu gembiranya Buto Dungkul, sampai dia melompat

dan menubruk Sekar Telasih. Gadis itu menjerit kecil. Dia

tidak mampu lagi melepaskan pelukan manusia liar itu.

Sekar Telasih meronta coba melepaskan diri.

'Tunggu, Kakang. Jangan kasar begini, ah!" rajuk Sekar

Telasih manja.

"He he he..., aku senang kau mau jadi istriku. Aku

gembira!"

"Iya, tapi jangan begini dong, sakit!"

Buto Dungkul melepaskan pelukannya. Matanya liar

menatap wajah Sekar Telasih yang cantik memerah saga.

Rasanya sudah tidak sabar lagi menunggu sampai besok.

Sambil menahan rasa jijik dan takut, Sekar Telasih berusaha

sekuat tenaga untuk tetap tersenyum dan berlaku manis.

Dia tidak ingin rencana yang memenuhi benaknya jadi

berantakan.

"Kau ingin merasakan tubuhku, 'kan?" pancing Sekar

Telasih.

"He he he...," Buto Dungkul terkekeh.


"Jangan!" Sekar Telasih mencegah tangan Buto Dungkul

yang mau menjambret bajunya.

"Kau tadi menawarkan, kenapa sekarang menolak?"

Buto Dungkul tidak sabaran

"Maksudku jangan di sini."

"Kenapa?"

"Ada ibu," Sekar Telasih menekan suaranya. Hatinya

perih menyebut ibu pada Nyi Rongkot. Sungguh mati dia

tidak ingin mengakui sedikitpun perempuan yang

melahirkan dirinya.

"He he he..., kau malu?"

Sekar Telasih mengangguk.

"Lalu di mana?"

"Cari tempat yang aman dan tenang. Aku suka tempat di

pinggir sungai. Kau tahu tempatnya?"

Si manusia liar Buto Dungkul terkekeh kesenangan.

Kembali dia memeluk tubuh ramping gadis itu dan

memutar-mutarnya sambil tertawa gembira. Sekar Telasih

memekik-mekik minta diturunkan. Dia ngeri berada dalam

pelukan manusia raksasa ini.

"Ayo kita ke tempat yang kau inginkan!" ajak Buto

Dungkul setelah menurunkan tubuh gadis itu.

Sekar Telasih tersenyum. Dibiarkannya saja tangannya

digenggam manusia raksasa itu. Mereka kemudian

melangkah ke luar goa. Nyi Rongkot mengerutkan

keningnya melihat Sekar Telasih kelihatan berseri-seri

berjalan bergandengan tangan dengan Buto Dungkul.

Mereka seperti tidak melihat dirinya yang berdiri menatap

penuh keheranan.



"Buto Dungkul akan ke mana kau?" teriak Nyi Rongkot

"He he he..., bersenang-senang!" sahut Buto Dungkul

terus saja melangkah.

Sekar Telasih tidak sedikitpun menoleh. Dia terus

melangkah di samping manusia raksasa ini. Langkah

kakinya agak cepat dan sedikit berlari mengimbangi

langkah kaki Buto Dungkul yang lebar-lebar. Mereka terus

berjalan menembus kelebatan Hutan Gading. Dalam benak

Sekar Telasih terus berputar mengatur rencana untuk bisa

membodohi si manusia liar ini.

Sampai pada jalan yang sulit dan agak menanjak, Sekar

Telasih membiarkan dirinya dipondong. Sama sekali dia

tidak memandang wajah seram yang memondongnya.

Gadis itu minta diturunkan ketika sampai pada sebuah

sungai yang jernih dengan aimya yang tenang mengalir.

Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah air terjun kecil

mengalunkan lagu indah memercik.

"Aku mau mandi dulu, biar segar," kata Sekar Telasih

sambil melangkah mendekati tepian sungai.

Buto Dungkul mengikutinya dari belakang. Bibirnya

menyeringai dengan bola mata liar melalap tubuh ramping

gadis itu. Sejak keluar dari goa tadi dia sudah tidak lagi bisa

menahan diri. Tapi dia tidak ingin gadis cantik itu jadi takut

dan membencinya lagi. Dia harus bisa menahan diri sampai

Sekar Telasih benar-benar rela menyerahkan diri dan

tubuhnya.

"Kau mau mandi, Kakang?" Sekar Telasih menawarkan.

"He he he...," Buto Dungkul terkekeh sambil

menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Huh! Pantas badanmu bau, mungkin telah bertahun-

tahun tidak pernah kena air," dengus Sekar Telasih dalam

hati.

Sekar Telasih berdiri di atas batu yang menjorok ke

sungai. Sebentar dipandanginya arus sungai yang tenang

dan tidak terlalu keras. Kemudian dia menoleh pada Buto

Dungkul yang berdiri agak jauh.

"Selamat tinggal, orang jelek!" dengus Sekar Telasih

pelan.

Seketika tubuhnya melayang dan terjun ke dalam sungai.

Tubuh gadis itu terus masuk ke dalam air. Buto Dungkul

berlari mengejar. Dia berlutut di atas batu tempat Sekar

Telasih tadi berdiri. Kepalanya menjulur melihat sungai

yang menelan tubuh ramping gadis cantik itu.

Tidak kelihatan sama sekali di mana Sekar Telasih

berada. Buto Dungkul jadi kebingungan, matanya liar

mencari-cari Sekar Telasih. Hatinya mulai diliputi

kecemasan karena sama sekali Sekar Telasih tidak muncul-

muncul.

"Jangan-jangan dia.... Ah! Tidak, tidak mungkin dia

bunuh diri!" Buto Dungkul bergumam sendirian.

Dia berdiri bertolak pinggang memandangi sekitar sungai

di depannya. Dari ujung sampai ke ujung lainnya tidak

terlihat adanya Sekar Telasih. Kecemasan dalam diri Buto

Dungkul semakin menjadi-jadi. Dia berlarian menyusuri

tepian sungai. Namun tidak juga menemukan gadis itu.

"Celaka! Nyi Rongkot harus tahu Bodoh! Kenapa aku

membiarkannya mandi di sini? Kenapa tidak di dalam goa

saja? Aku bisa mengambilkan air sebanyak yang diperlukan.

Bodoh!" Buto Dungkul memaki-maki dirinya sendiri.


Bergegas dia berlari kencang menerjang lebatnya hutan,

kembali menuju goa tempat tinggalnya selama ini.

Suaranya menggelegar bagai guntur memanggil-manggil

Nyi Rongkot Belum juga mencapai goa, tiba-tiba Nyi

Rongkot sudah muncul di depannya.

"Ada apa? Kelihatannya kau kebingungan," tanya Nyi

Rongkot

"Anakmu...," sahut Buto Dungkul.

"Ada apa dengan Sekar?"

"Dia hilang di sungai "

Nyi Rongkot langsung melompat cepat begitu

mendengar Sekar Telasih hilang di sungai. Buto

Dungkul langsung berlari mengikuti. Dalam waktu yang

singkat saja mereka sudah mencapai tepian sungai. Dua

pasang mata beredar mencari kalau-kalau melihat tubuh

Sekar Telasih.

"Bagaimana mungkin bisa terjadi?" tanya Nyi Rongkot.

Buto Dungkul menceritakan semuanya, mulai dari

dalam goa sampai ke tepian sungai ini. Sedikit pun dia tidak

merasakan dirinya bersalah, namun dalam nada suaranya

terdengar nada kecemasan. Buto Dungkul cemas kalau-

kalau Sekar Telasih tewas terbawa arus sungai. Dia tidak

mau gadis itu mati sebelum sempat dijamah dan

dinikmatinya.

"Bodoh!" geram Nyi Rongkot begitu Buto Dungkul

selesai bercerita.

"Lho...!" tentu saja Buto Dungkul terkejut melihat Nyi

Rongkot kelihatan begitu marah sekali.

"Dasar otak udang! Dia menipumu, goblok!" dengus Nyi

Rongkot


"Apa...?!"

"Dia pura-pura baik padamu supaya bisa keluar dari goa.

Rupanya dia tahu kalau kau tidak bisa berenang. Makanya

mengajakmu ke sini. Huh! Aku tidak mau tahu lagi, kau

harus mencarinya sendiri kalau masih menginginkan Sekar

Telasih!" sungut Nyi Rongkot

"Setaaan...!" Buto Dungkul meraung keras dan

menggelegar.

Dia benar-benar marah sekarang karena telah ditipu

mentah-mentah oleh seorang gadis cantik. Buto Dungkul

mengamuk membabi-buta menghajar batubatu, dan pohon-

pohon di sekitar sungai dengan gadanya.

"Sekar Telasih tidak ketemu kalau ngamuk begitu!" kata

Nyi Rongkot.

"Akan kubunuh dia, Rongkot! Kubunuh dia...!"

***

Malam semakin larut. Sekitar Hutan Gading telah

terselimuti kabut tebal. Angin bertiup agak keras

menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Sebelum

tengah malam tadi, Ki Rangkuti telah berdiri tegak menanti

datangnya Buto Dungkul. Sementara, agak jauh dari tempat

itu tampak Bayangan Malaikat dan Pendekar Rajawali

Sakti bersembunyi di balik batu besar. Mata mereka tetap

tertuju pada Ki Rangkuti yang tidak menyadari kalau

tengah diawasi oleh sahabatnya.

Tepat ketika bulan berada di atas kepala, Buto Dungkul

datang bersama Nyi rongkot. Mereka berdiri sejauh kira-

kira dua batang tombak di depan Ki Rangkuti. Laki-laki tua

berpakaian serba putih itu mengerutkan keningnya karena

dua orang itu tidak membawa Sekar Telasih


"Mana anakku?" tanya Ki Rangkuti.

"Anak setan itu telah kabur!" dengus Nyi rongkot.

"Rongkot!" bentak Ki Rangkuti geram. "Kalau terjadi

apa-apa terhadap Sekar Telasih, aku bersumpah akan

membunuhmu!"

"Hik hik hik.... Kau akan mati sebelum membunuhku,

Rangkuti." '

"Setan alas! Iblis!" geram Ki Rangkuti.

Seketika itu juga Ki Rangkuti melompat bagai kilat

seraya mencabut pedang yang tergantung di pinggang.

Seleret cahaya keperakan melesat cepat membentuk

lingkaran panjang menusuk ke arah Nyi Rongkot. Serangan

mendadak itu dengan cepat dielakkan Ular Betina. Dia

hanya memiringkan sedikit tubuhnya, sehingga tusukan

pedang Ki Rangkuti hanya menemui tempat kosong.

Bersamaan dengan itu, Buto Dungkul mengayunkan

gadanya bagai geledek. Ki Rangkuti membuang dirinya dan

bergulingan di tanah. Bergegas dia bangkit berdiri. Gada

besar penuh duri menghantam tanah sampai bergetar

seperti terjadi gempa.

"Kau berurusan denganku, Rangkuti!" bentak Buto

Dungkul menggelegar suaranya.

Bersamaan dengan menghilangnya suara bentakan itu,

Buto Dungkul kembali mengayunkan gadanya dengan

kekuatan penuh. Ki Rangkuti melompat ke samping, sambil

mengibaskan pedangnya menghantam pergelangan tangan

Buto Dungkul yang menggenggam gada.

Gerakan Buto Dungkul yang lambat tidak mungkin

menghindari sabetan pedang itu. Deras sekali sabetan

pedang Ki Rangkuti itu, namun pedang itu malah terpental


lagi seperti membabat karet kenyal. Ki Rangkuti melompat

mundur. Tangannya seketika terasa kaki kesemutan. Benar-

benar kebal manusia liar ini.

"Ha ha ha..., keluarkan semua senjatamu, Rangkuti!"

Buto Dungkul tertawa jumawa.

Ki Rangkuti segera mengeluarkan ilmu 'Pukulan Karang

Baja' setelah membuang pedangnya yang gompal. Ki

Rangkuti berteriak nyaring dan segera mengirimkan

serangan dengan ilmunya itu. Tetapi Buto Dungkul malah

tetap berdiri tegak membiarkan tubuhnya jadi sasaran. Dia

begitu yakin dengan ilmu kebal yang dimilikinya.

"Modar!" bentak Ki Rangkuti menggelegar.

Satu ledakan keras terjadi begitu kedua tangan Ki

Rangkuti membentur dada Buto Dungkul. Tubuh Ki

Rangkuti terpelanting sejauh dua batang tombak.

Sedangkan Buto Dungkul masih berdiri tegak tertawa

terbahak-bahak. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah

itu segera bangkit berdiri. Matanya membeliak lebar

menyaksikan lawan tidak mempan dengan ilmu 'Pukulan

Karang Baja' yang sudah disempurnakan selama tiga bulan

ini.

"Ambil pedangmu," tiba-tiba telinga Ki Rangkuti

mendengar suara bisikan halus namun jelas.

Ki Rangkuti menoleh ke kanan dan ke lari. Tidak ada

yang terlihat, kecuali Nyi Rongkot yang berdiri agak jauh.

Rasanya kalau Ular Betina yang membisikinya, tidak

mungkin Masih dalam kebingungan, datang lagi suara

bisikan halus.

"Jangan buang waktu. Ambil pedangmu, gunakan ilmu

peringan tubuh. Arahkan sasaran pada mata dan ubun-

ubun."


"Siapa pun orangnya, pasti bermaksud baik," bisik Ki

Rangkuti.

Segera dia melompat dan menyambar pedangnya yang

menggeletak di tanah. Dengan menggunakan ilmu peringan

tubuh, segera dilakukan serangan disertai jurus-jurus

pedang yang cepat ke arah mata dan ubun-ubun Buto

Dungkul.

Tampaknya serangan Ki Rangkuti ini membuat Buto

Dungkul menjadi kelabakan. Setengah mati dia berusaha

melindungi daerah mata dan ubun-ubunnya dari serbuan

yang cepat bagai kilat. Memang sulit juga bagi Ki Rangkuti

untuk dapat menancapkan pedangnya ke mata dan ubun-

ubun lawan. Gada besar penuh duri selalu menghalau

setiap kali ujung pedang Ki Rangkuti menuju sasaran.

Sementara itu Nyi Rongkot rupanya juga mendengar

bisikan halus yang diterima Ki Rangkuti. Dia segera

mengerahkan ilmu pemecah suara dan pembeda gerak.

Dalam sekejap saja dia telah bisa mengetahui ada orang lain

di sekitar tempat ini. Mendadak tubuhnya mencelat ke arah

batu besar tempat Bayangan Malaikat dan Pendekar

Rajawali Sakti bersembunyi.

Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga

melompat ke arah Nyi Rongkot. Satu benturan keras terjadi

di udara. Dua tokoh sakti itu terlontar dan jatuh ke tanah

bergulingan. Mereka segera bangkit berdiri berhadapan.

Melihat Pendekar Rajawali Sakti telah berhadapan dengan

lawannya, Bayangan Malaikat pun melompat keluar.

"Bantu Ki Rangkuti, Paman," kata Rangga agak keras.

"Pusatkan perhatian pada mata dan ubun-ubun Buto

Dungkul!"

"Setan! Rupanya kau yang membisiki Rangkuti!" geram

Nyi Rongkot


"Dan kau lawanku, iblis betina!" dengus Rangga.

"Phuih!"

Nyi Rongkot langsung memutar tongkat ular saktinya.

Sinar merah segera bergulung-gulung, lalu dengan cepat

dihantamkan ujung tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga

tongkat berubah menjadi ular berwarna merah menyala.

"Naga Merah...!" Nyi

Rongkot berteriak keras.

Bersamaan dengan itu,

tangannya menuding ular

yang meliuk-liuk di tanah.

Dari ujung jarinya

meluncur sinar merah

yang langsung

membungkus ular itu.

Dalam sekejap saja ular

itu berubah menjadi

seekor naga merah.

Rupanya Nyi Rongkot

langsung mengeluarkan

ilmu andalannya setelah tahu siapa yang dihadapinya kini.

Dia tidak lagi memandang enteng Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga segera mencabut pedang saktinya. Sinar biru

berkilau langsung memancar menerangi sekitarnya.

Secepatnya dikerahkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'.

Sinar biru pedang itu segera bergulung-gulung menjadi satu.

Sementara itu jelmaan ular naga yang sebesar pohon kelapa

telah menyerang bagai kilat.

Rangga menghunus pedangnya sehingga sinar biru

berkelebat cepat menghajar ular naga itu. Tampak ular naga

merah seperti diselimuti sinar biru yang berkilau di seluruh


tubuhnya. Naga itu menggeliat-geliat seraya

menyemburkan api dari mulutnya.

"Yeaaah...!" Nyi Rongkot berteriak melengking dengan

tubuh melenting sambil mengirimkan pukulan 'Naga

Merah' ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"

Rangga mengangkat tangan kirinya yang tergulung sinar

biru. Begitu disentakkan tangannya, sinar biru langsung

meluncur cepat ke arah Ular Betina yang berada di udara.

Dari kedua telapak tangannya yang memerah juga

meluncur sinar merah. Dua sinar bertemu di udara, dan

saling mendorong. Pelan-pelan tubuh Nyi Rongkot turun

dan menjejak tanah kembali. Jarak mereka tinggal satu

tombak lagi.

"'Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga yang merasa

kewalahan juga menghadapi dua makhluk maut ini.

Seketika itu juga Rangga menempelkan telapak tangan

kirinya ke batang pedangnya, lalu digosok-gosokkan dan

berhenti di tengah-tengah pedang. Sinar biru kini semakin

banyak menggumpal menyelimuti tubuh ular naga merah.

Sedangkan dari telapak tangan kiri yang menempel pada

tengah-tengah pedang, keluar sinar biru yang makin

menggumpal ke arah sinar merah milik Ular Betina.

***

Agak lama juga kedua tokoh sakti itu mengadu

kekuatan. Namun sedikit demi sedikit sinar merah mulai

terdesak. Seluruh tubuh dan wajah Ular Betina telah basah

oleh keringat. Tangan dan kakinya mulai bergetar menahan

ilmu 'Cakra Buana Sukma'.

Pelan-pelan Rangga mulai merenggangkan telapak kiri

dengan pedangnya. Kemudian ujung pedang yang terus


mengeluarkan sinar biru, mengarah pada naga merah yang

menggeliat-geliat dan terus menyemburkan api dari

mulutnya.

'Yeah!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.

Seketika dikebutkan pedangnya ke atas. Ular naga merah

sebesar pohon kelapa itu terangkat, melayang deras

mengikuti tarikan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Secepat

kilat Rangga mengerahkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'.

Pedang pusaka itu dikebutkan, dan....

Cras!

"Aaaargh...!"

Ular naga merah meraung menggelegar. Dengan keras

tubuhnya terbanting ke tanah. Sebentar menggelepar-

gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan ular

naga merah itu berubah wujud kembali ke asalnya. Kini

yang menggeletak di tanah hanya sebatang tongkat

berbentuk ular.

Rangga langsung menempelkan kembali pedangnya ke

telapak tangan kiri. Kakinya mulai terayun melangkah

mendekati Nyi Rongkot. Si Ular Betina yang mulai kejang-

kejang, kini tersentuh sinar biru pada telapak tangannya.

Perlahan-lahan sinar biru menyelimuti seluruh tangan. Kaki

Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah semakin dekat

"Aaakh...!" Nyi Rongkot menjerit keras ketika seluruh

tubuhnya terselimuti sinar biru.

Tepat ketika tinggal selangkah lagi, dengan cepat

Pendekar Rajawali Sakti mengelebatkan pedangnya. Tanpa

ampun lagi pedang pusaka Rajawali Sakti itu menghantam

dada Ular Betina. Rangga langsung melompat ke belakang.

Dia mencabut kembali ilmu 'Cakra Buana Sukma' yang

dipadukan dengan ilmu


'Pedang Pemecah Sukma'. Begitu pedang Rajawali Sakti

masuk dalam sarungnya, sinar biru langsung hilang dari

pandangan.

Tubuh Ular Betina menggeletak di tanah dekat

tongkatnya yang telah menjadi tepung. Rangga berdiri

memperhatikan tubuh Nyi Rongkot yang mulai lumer.

Perlahan tapi pasti, tubuh perempauan tua itu menjadi

onggokan abu hitam. Pendekar Rajawali Sakti menarik

napas panjng. Matanya langsung beralih pada Ki Rangkuti

dan Bayangan Malaikat yang tengah berhadapan dengan si

manusia liar Buto Dungkul. Tampaknya pertarungan masih

berjalan seimbang.

Secepat kilat dia melompat sambil merentangkan kedua

tangannya. Pendekar Rajawali Sakti kini mengerahkan

jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sedangkan Ki

Rangkuti dan Bayangan Malaikat langsung melompat

mundur. Rangga segera menyerang dengan jurus

andalannya dengan cepat ke arah Buto Dungkul.

"Grrr...!" Buto Dungkul menggeram berat.

Dadanya yang penuh duri tajam berkelebatan mengincar

tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun gerakan pendekar

muda ini sangat lincah. Tidak sedikitpun gada itu dapat

menyentuh tubuhnya. Bahkan beberapa kali tangan Rangga

berhasil bersarang telak di tubuh manusia liar itu.

Buto Dungkul beberapa kali terjajar sambil mengeram

marah. Kedau bola matanya makin merah menyala. Tiba-

tiba Rangga melenting tinggi ke udara, lalu dalam sekejap

merubah jurusnya menjadi 'Rajawab Menukik Menyambar

Mangsa'. Kedua kaki Rangga bergerak cepat dan berputar.

"Aaargh!" Buto Dungkul meraung keras.


Dua kali kaki Rangga menghantam kepalaa si manusia

liar itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan

kanannya melunak ke depan sambil melompat. Rangga

kembali merubah jurusnya jadi 'Cakar Rajawali'. Jari-jari

tangannya menegang keras dan kaku. Buto Dungkul yang

masih merasakan sakit pada kepalanya, tidak bisa lagi

mengelak. Dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti

langsung mencoblos matanya.

Lagi-lagi Buto Dungkul meraung keras. Dua biji mata

mencelat keluar bersamaan dengan ditariknya kembali jari-

jari Pendekar Rajawali Sakti. Kaki Rangga langsung

melayang deras menghantam dada Buto Dungkul. Tubuh

Rangga melambung tinggi ke udara. Kembali diubah

jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tangan

kanan Rangga terkepal melunak ke arah ubun-ubun kepala

si manusia liar Buto Dungkul.

Prak!

Buto Dungkul meraung keras. Tubuhnya limbung

beberapa saat Batok kepalanya hancur. Keras sekali tubuh si

manusia raksasa itu terbanting ke tanah. Sebentar

berkelejotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.

Rangga berdiri mematung memandangi tubuh Buto

Dungkul yang menggeletak tak bernyawa lagi. Dia menoleh

begitu mendengar langkah-langkah kaki menghampiri

Rangga membalikkan tubuhnya. Kedua orang itu berdiri

dengan jarak sekitar setengah batang tombak lagi.

"Terima kasih, kau te...," belum habis Ki Rangkuti

menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara

panggilan keras.

"Ayah...!"


Hampir bersamaan mereka menoleh. Tampak seorang

gadis berlari-lari dengan pakaian tidak karuan.

"Sekar Telasih...!" seru Ki Rangkuti.

Laki laki tua yang tegap itu langsung berlari

menyongsong anak angkatnya. Mereka bertemu dan

berpelukan hangat Bayangan Malaikat menyaksikannya

dengan mata berkaca-kaca. Mereka sampai lupa pada

Pendekar Rajawali Sakti. Ketika sadar, tidak lagi mereka

dapati pendekar muda digdaya di tempatnya.

"Ke mana dia?" tanya Ki Rangkuti.

Bayangan Malaikat juga kebingungan, tidak tahu harus

menjawab apa. Dia sendiri sampai tidak memperhatikan

dan tidak mengetahui kapan Pendekar Rajawali Sakti itu

pergi.

"Siapa, Ayah?" tanya Sekar Telasih.

"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Rangkuti.

"Aku yakin dia tidak memerlukan ucapan apa-apa. Hm,

benar-benar seorang pendekar sejati," kata Bayangan

Malaikat agak bergumam.

"Apakah dia yang membunuh kedua orang itu?" tanya

Sekar Telasih.

"Ya, nanti Ayah ceritakan."

Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian melangkah

pergi meninggalkan Hutan Gading ini. Dalam

perjalanannya Sekar Telasih menceritakan bagaimana ia

bisa meloloskan diri. Dia tidak tahu jalan pulang, lalu

mendengar suara pertarungan serta melihat kilatan kilatan

sinar saling sambar. Sayang sekali, kedatangannya setelah

pertarungan selesai, jadi tidak bisa menyaksikan.


"Ayah mau menceritakan semuanya, 'kan?" desak Sekar

Telasih.

"Tentu, lapi tidak di sini."

"Janji?"

"Janji!"

Sekar Telasih tersenyum manis. Kakinya terayun ringan

bagai tidak memiliki beban apa-apa lagi. Dia seperti baru

terbebas dari sebuah belenggu yang hampir menghancurkan

seluruh hidupnya. Sedangkan Ki Rangkuti masih

memikirkan Pendekar Rajawali Sakti yang datang dan pergi

secara misterius. Namun hatinya dengan tulus

mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.


                               SELESAI


Sinopsis :

"Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti sangat terkejut melihat

siapa yang berdiri di depannya.

"Hik hik hik... lama kita tidak berjumpa, Ki. Aku datang

mau mengambil anakku!"

"Sekar Telasih bukan anakmu!"

Nyi Rongkot menggerang marah. Sembilan belas tahun

dia mencari anaknya, bagaimanapun kini dia harus merebut





0 komentar:

Posting Komentar