BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE PRAHARA GADIS TUMBAL


matjenuh khairil


SATU


Udara malam terasa panas. Angin seolah-olah enggan 

bertiup. Langit merah merona bagai membakar. Tanda 

malam ini akan turun hujan lebat. Keadaan yang seperti 

tak bersahabat ini, tidak membuat Rangga gundah 

Pendekar Rajawali Sakti ini tampak duduk tenang, ber-

sandar pada sebuah batu besar dan beralaskan re-

rumputan tebal bagai permadani terhampar 

Matanya menerawang jauh, menatap sebuah desa 

yang terlihat sepi dan tenang. Menurut seorang pencari 

kayu yang ditemui tadi siang, desa itu bernama Pasir 

Batang Tampak rumah rumah penduduk yang hanya 

diterangi pelita dari buah Jarak, berjajar rapi sepanjang 

jalan utama desa itu. Pandangan Rangga terhenti pada 

sebuah rumah yang lebih besar dan lebih terang daripada 

rumah rumah lainnya. Empat buah obor terpancang di 

setiap sudut pekarangan depan. 

Lewat pintu dan jendela yang terbuka, terlihat bagian 

dalam rumah yang ramai dan terang benderang. Mungkin 

rumah itu milik seorang saudagar kaya atau Kepala Desa 

yang tengah mengadakan pesta. Beberapa orang teriihat 

berjaga-jaga di sekelilingnya 

Dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang hampir 

benar Rumah besar yang kini jadi perhatiannya itu, milik 

Kepala Desa Pasir Batang. Tapi di sana bukan sedang 

mengadakan pesta, melainkan semacam sidang. Beberapa 

pemuka dan tokoh terpandang desa Pasir Batang ber-

kumpul atas undangan Ki Brajananta, Kepala Desa Pasir 

Batang. 

Di ruangan yang cukup luas itu, Ki Brajananta duduk 

dengan penuh wibawa. Matanya agak sayu memandangi 

tamu-tamu. Seorang laki-laki tua berpakaian serba puth 

duduk di sampingnya. Dialah Ki Gandara, seorang guru


besar Padepokan Pasir Batang. Wajahnya bersih cerah 

memantulkan kewibawaan. Di depan mereka masih ada 

enam orang lagi. 

"Tujuh hari lagi bulan purnama yang ke tujuh," kata Ki 

Brajananta perlahan, agak bergumam. 

Enam orang yang duduk di depan Ki Brajananta 

memandang ke arahnya. Mereka telah mampu menebak 

arah pembicaraan itu. Suaru pembicaraan yang selalu ada 

setiap tujuh purnama. 

"Tujuh hari bukan waktu yang lama, sedang kita belum 

siap apa-apa," kata Ki Brajananta lagi. 

"Hal ini telah berlangsung lama, Ki. Mengapa Ki 

Brajananta murung dan gelisah?" tanya Sawung Bulu yang 

duduk tepat di hadapan Kepala Desa Pasir Batang itu. 

"Apa kau tak tahu, Sawung Bulu? Untuk purnama kali 

ini, Dewi Purmitalah yang harus dipersembahkan!" Bangka 

Putung menyelak 

"Benar begitu, Ki?" Sawung Bulu terkejut sekali. Mata-

nya melotot dan menyala tajam. 

Ki Brajananta mengangguk lemah. 

"Hhh...!" Sawung Bulu mendesah panjang. 

Semua mata menatap Ki Brajananta dan Sawung Bulu 

bergantian. Mereka semua tahu bahwa Dewi Purmita putri 

tunggal Ki Brajananta adalah kekasih Sawung Bulu, murid 

andalan Padepokan Pasir Batang. 

"Ini tidak boleh terjadi! Kita harus melawan!" tiba-tiba 

Sawung Bulu berkata keras. 

"Sawung Bulu!" Sangkala tak kalah keras, sambil berdiri 

dia menggebrak meja. Mukanya merah. Matanya tajam 

menatap keponakannya. Sawung Bulu balas menatap 

tajam pula. 

Darah Sawung Bulu mendidih. Hatinya berontak ketika 

mendengar Dewi Purmita akan dijadikan korban per-

sembahan bagi siluman yang menamakan din, Raja Dewa 

Angkara. 

Sebenarnya bukan hanya desa Pasir Batang saja yang 

dilanda kegelisahan macam ini. Sebelumnya, suatu desa


yang bersebelahan dengan desa Pasir Batang, pernah 

mencoba menentang tradisi pengorbanan satu gadis 

perawan setiap tujuh purnama. Tetapi akibatnya, desa itu 

hancur rata dengan tanah. Tak seorang pun dibiarkan 

hidup. Gadis-gadis perawan lenyap tanpa bekas. Kejadian 

itu membuat desa-desa lain di sekitar kaki gunung 

Balakambang, berpikir seribu kali jika berani menentang 

kehendak Raja Dewa Angkara. 

Kata kata Sawung Bulu yang dilandasi oleh hari panas 

dan gejolak darah muda itu, memang membuat semua 

orang yang hadir di situ terkejut Lebih lebih Sangkala, 

paman Sawung Bulu. Tak terkecuali Ki Gandara, guru 

sekaligus pengganti orang tua Sawung Bulu. Tetapi sikap-

nya sangat tenang. Matanya hanya menatap tajam pada 

murid kesayangannya itu. 

"Aku akan menantang si keparat Raja Dewa Angkara 

itu! Kalau dia mampu mengalahkanku, maka aku baru rela 

Dewi Purmita menjadi korban persembahan!" lantang dan 

tegas suara Sawung Bulu. 

"Edan! Apa kau sudah gila, Sawung Bulu?" Sangkala 

mendehem. 

"Justru aku waras, maka aku berani menantang!" sahut 

Sawung Bulu tetap tegas suaranya. 

"Jadi, kau anggap kami-kami ini tidak waras, heh?!" 

"Aku tidak mengatakan begitu, Paman." 

Sawung Bulu mengalihkan pandangan pada gurunya. 

Sementara Sangkala kembali duduk setelah tangannya 

ditarik lembut oleh Rangkuti yang sejak tadi duduk diam di 

sebelah Sangkala. 

"Kau tahu, apa akibatnya menentang Raja Dewa 

Angkara?" masih terdengar lembut, tenang, dan ber-

wibawa suara Ki Gandara. 

"Aku tahu, Ki," sahut Sawung Bulu. "Aku rela melepas-

kan nyawa demi kebenaran." 

"Aku bangga mendengarnya, Sawung Bulu. Hanya saja 

kau salah menempatkan sikap satriamu." 

Semua hening. Sawung Bulu perlahan kembali duduk


Rasanya semua sungkan kalau Ki Gandara sudah ikut 

bicara. Tak ada suara yang terdengar. 

"Tak pemah aku memberi pelajaran tentang pemikiran 

yang pendek dan mementingkan din sendiri. Kau bisa 

menentang Raja Dewa Angkara. Tapi, cobalah pikirkan 

akibat yang lebih luas. Bukan kau saja yang akan terbunuh, 

bahkan seluruh penduduk desa ini akan musnah akibat 

kecerobohanmu. Ingat, Sawung Bulu. Kau dan kita semua 

berdiri demi kepentingan penduduk desa Pasir Batang 

yang kita cintai," ujar Ki Gandara dengan penuh wibawa. 

"Tapi, Ki...!" Sawung Bulu coba membantah. 

"Kau tidak rela Dewi Purmita jadi korban persem-

bahan?" potong Ki Gandara. 

Sawung Bulu hanya menatap saja. Hatinya memang 

tidak rela kekasihnya Jadi korban persembahan iblis itu. 

"Lihatlah Ki Brajananta, Sawung Bulu. Dewi Purmita itu 

putri beliau. Sudah tentu kasih sayang dan cintanya 

melebihimu. Dia pun tak rela putrinya jadi korban per-

sembahan, seperti halnya orang-orang tua lain yang anak 

gadisnya jadi korban. Kita semua tak rela, sedih, dan ingin 

berontak Namun keselamatan penduduk Pasir Batang di 

atas segala-galanya. Kita masih punya kekuatan dengan 

mengekang hawa marah, walaupun sakit Kau mengerti 

Sawung Bulu?" panjang lebar Ki Gandara memberikan 

pengertian kepada muridnya yang tengah dilanda emosi 

Sawung Bulu terdiam. Dirundukkan kepalanya. Kata-

kata lembut dan penuh wibawa itu menyentuh perasaan-

nya. Hatinya merasa kerdil berhadapan dengan Ki 

Gandara. Sungguh picik mata hatinya jika tidak bisa 

melihat keadaan sekitar. Tetapi hatinya tetap merintih dan 

menangis. Sawung Bulu tak rela dan ingin berontak, tetapi 

akibatnya seluruh penduduk Pasir Batang akan merasakan 

murka Raja Dewa Angkara. 

Sawung Bulu semakin tak bergairah mengikuti pem-

bicaraan ini. Pikirannya kalut dan hanya tertuju pada Dewi 

Purmita tercinta. Tujuh hari lagi gadis itu akan jadi korban 

persembahan Raja Dewa Angkara. Malam pun merambat


semakin larut. Pembicaraan terus berlangsung walau 

tersendat sendat. 

*** 

Rangga menggeKatkan tubuhnya beberapa kali. 

Matahari yang menyorot hangat dari ufuk Timur, mem-

bangunkannya dari tidur nyenyak malam tadi. Matanya 

langsung menatap ke depan, ke arah desa Pasir Batang. 

Dengan ilmu Pembilah Suara, dia telah mendengar semua 

pembicaraan di rumah Ki Brajananta semalam. 

Pendekar Rajawab Sakti lalu berdiri, dan kembali meng-

geliatkan tubuhnya. Dia menguap lebar sambil menggosok-

gosokkan matanya. Setelah merapikan pakaian, Pendekar 

Rajawali Sakti melangkah menuju ke jalan utama desa 

Pasir Batang. 

"Tujuh hari lagi... hm. Bukan waktu yang lama," gumam 

Rangga sambil melangkah. 

Beberapa penduduk sudah mulai menuju ladang 

mereka. Pagi ini kehidupan di desa Pasir Batang berjalan 

normal seperti tidak akan terjadi apa-apa. Mereka seperti 

sudah terbiasa menghadapi peristiwa persembahan 

korban untuk Raja Dewa Angkara. Peristiwa yang sudah 

bertahun-tahun berlangsung. sehingga menjadi tradisi yang 

tak terelakkan lagi. 

"Uh... Lapar juga. Semalam aku nggak makan! Di mana 

ada kedai makan, ya?" Rangga bergumam sendiri sambil 

menepuk-nepuk perutnya Matanya jelalatan mencari-cari 

kalau kalau ada kedai makan yang buka di pagi buta 

begini. 

Agak kesal juga dia, sepanjang jalan yang dilewati tak 

nampak juga kedai makan Sedangkan perutnya terus 

berkeruyuk minta diisi. Rangga menggerutu sendirian. 

"Maaf. Pak. Bisa bertanya?" Rangga mencegat seorang 

laki-laki setengah baya yang berpapasan denganriya. 

"Oh, iya. Boleh, Den," laki-laki setengan baya itu meng-

amati Rangga dari ujung kepala sampai ke ujung rambut


"Apa ada kedai makan di desa ini, Pak?" tanya Rangga. 

"O, ada. Ada, Den. Itu di ujung tikungan jalan ini, tepat 

di bawah pohon kenari." 

"Terima kasih, Pak." 

"Sama-sama." 

Rangga menganggukkan kepalanya, lalu bergegas 

menuju ujung tikungan jalan. Dia tak menyadari kalau laki-

laki setengah baya yang ditanyainya tadi, masih terpaku 

memperhatikan. Seseorang datang mendekati laki-laki 

setengah baya itu. Sedang Rangga masih terus melangkah. 

"Siapa anak muda itu, Pak Bolang?" 

"Oh!" laki-laki setengah baya yang ternyata bernama 

Pak Bolang itu terkejut "Bikin kaget saja kau. Ujang!" 

"Kelihatannya dia bukan orang desa kita ya, Pak?" 

Ujang setengah bergumam. 

"Iya, seperti pengembara," sahut Pak Bolang. 

"Cari siapa dia?" 

"Kedai makan," sahut Pak Bolang. "Ah, sudahlah! Nanti 

kesiangan kita ke ladang." 

Kedua laki-laki itu melangkah beriringan. 

"Tujuh hari lagi, purnama ya, Pak!" Ujang berkata 

setelah lama terdiam 

"Iya, purnama yang ke tujuh," balas Pak Bolang pelan. 

"Siapa ya, yang kira-kira jadi korban persembahan 

nanti?" 

"Yang jelas bukan keluargaku. Aku tidak punya anak 

gadis lagi. Semuanya sudah menikah," Pak Bolang merasa 

bersyukur karena tak ada seorang pun dari keluarganya 

yang jadi korban 

"Lama-lama bisa habis gadis-gadis di desa ini." 

"Ya sudah, jangan dipikirkan, Jang! Kita sih bekerja 

saja..." ucap Pak Bolang berjalan pergi. 

Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti duduk meng-

hadap meja yang penuh dengan makanan dan minuman 

Makannya tenang, tapi sudut matanya sejak tadi memper-

hatikan dua pemuda yang duduk tak jauh dari mejanya. 

Mereka adalah murid-murid Padepokan Pasir Batang Yang


mengenakan pakaian serba putih dan ketat, tak Iain 

adalah Sawung Bulu. Sedangkan satunya mengenakan 

baju ketat pula berwama kuning gading Di pinggang 

masing-masing terselip sebuah tongkat pendek, dengan 

cincin emas di tengahnya. Rangga memang tak kenal 

mereka. Namun pembicaraan dua pemuda itu sangat 

menarik perhatiannya. 

"Apa pun yang terjadi, aku harus gagalkan upacara iblis 

itu!" suara Sawung Bulu agak tertekan. "Kau boleh tak 

menyetujui tekadku, Badara. Tapi aku perlu teman untuk 

menumpas Raja Dewa Angkara." 

"Kau sudah bicara pada guru?" tanya Badara. 

"Percuma, ayahmu tak akan pemah menyetujui. Apalagi 

Pamanku. Jelas dia menentang keras!" 

"Memang sulit menyetujui niat baikmu, Sawung. Aku 

yakin semua orang tidak akan mendukungmu." 

"Mereka terlalu pasrah pada nasib. Padahal, jika kita 

mau bersatu, iblis itu takkan berpikir dua kali pada desa 

kita. Toh, mereka juga manusia biasa seperti kita. Apa yang 

harus ditakuti?" 

"Raja Dewa Angkara sangat sakti. Lawan kaki tangan-

nya saja, seluruh murid Padepokan belum tentu menang. 

Kau ingat peristiwa di desa Kenanga? Desa itu memiliki 

juga Padepokan yang terkenal dengan orang-orang yang 

berilmu bnggi Tetapi dalam satu malam saja, desa itu 

hancur karena menentang korban persembahan gila itu! 

Apalagi kita yang hanya mengandalkan Ayahanda Guru 

Gandara? Aku rasa sia-sia saja usahamu, Sawung..." 

Sawung Bulu menarik nafas panjang. Dan memang ada 

benarnya juga kata-kata Badara itu. 

Akankah desa Pasir Batang harus hancur juga, hanya 

karena satu orang merasa tidak rela kekasihnya dijadikan 

korban persembahan Raja Dewa Angkara? Hanya satu 

orang yang diselamatkan, tapi mengorbankan seluruh 

penduduk desa. Tidak! Sawung Bulu menggelengkan 

kepalanya. 

Sawung Bulu tak ingin seluruh penduduk menjadi


korban. Tetapi dia juga tak rela Dewi Purmita kekasihnya-

itu jadi korban. Sawung Bulu benar-benar seperti makan 

buah simalakama. Serba salah. 

"Aku mengerti perasaanmu, Sawung. Bukan kau saja 

yang merasakan itu. Tapi ini sudah menjadi kehendak Raja 

Dewa Angkara. Tak seorang pun yang berani menentang-

nya. Sadarlah itu, Sawung," kembali Badara mencoba 

menyadarkan saudara seperguruannya ini. 

"Aku tetap akan menentang Aku akan berjalan atas 

namaku sendiri, dan tidak akan melibatkan seorang pun 

baik dari Padepokan maupun penduduk desa ini!" 

Walau dengan hati bimbang, Sawung Bulu tetap pada 

pendiriannya. Tekadnya sudah bulat. Apa pun yang akan 

terjadi, dia harus menghadapi si iblis Raja Dewa Angkara! 

"Sa...." 

Badara belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba se-

buah tombak menancap tepat di tengah-tengah meja 

mereka. Dengan serentak kedua murid Padepokan Pasir 

Batang ini melompat kaget. Semua yang ada di kedai 

makan itu terkejut pula. Mereka kenal betul dengan 

tombak itu. 

Bagi mereka yang bernyali kecil, langsung kabur ke 

luar. Di kedai makan itu memang rata-rata hanya 

penduduk biasa. Maka dengan sekejap kedai makan 

menjadi sepi. Sawung Bulu menatap tajam pada tombak 

hltam Itu. 

"Celaka, Raja Dewa Angkara sudah tahu," gumam 

Badara dengan wajah agak pucat 

Rangga masih duduk di tempatnya. Dia makin tertarik 

ingin mengetahui kelanjutannya. Matanya tidak lepas me-

mandang dua pemuda yang masih menatap tombak hitam 

itu. Walau terlihat tampan dan gagah, tetapi mereka 

gemetar juga. 

"Sawung Bulu...," suara Badara bergetar. 

"Pergilah!" tegas Sawung Bulu. Namun nadanya sedlkit 

bergetar. 

Badara yang semula tak ingin ikut campur beranjak


pergi. Kakinya baru saja melangkah dua tindak tiba-tiba 

sebatang tombak kembali meluncur dan menancap tepat 

di ujung kakinya. Badara melompat kaget 

"Kau sudah membuat malapetaka, Sawung Bulu!" 

Badara agak kesal. 

Tombak kedua yang datang menghalangi langkahnya, 

sudah diraba maksudnya. Tak ada pilihan lain. Dia sudah 

terlibat secara tak langsung dalam kemelut ini. Tak 

mungkin Raja Dewa Angkara melepaskan satu nyawa pun. 

"Terpaksa harus dihadapi bersama," lenguh Badara. 

"Maaf, Badara!" ucap Sawung Bulu. 

"Lupakan!" sahut Badara. 

"Bagus!" tiba-tiba terdengar suara berat menggelegar. 

"Murid-murid Padepokan Pasir Batang rupanya punya nyali 

juga!" 

Rasa terkejut kedua murid Padepokan Pasir Batang 

belum lagi hilang, mendadak dari atap kedai makan ber-

lompatan empat orang berpakaian serba hitam dengan 

gambar bunga bangkai di dada, berwarna merah. Di 

tengahnya terselip juga gambar seekor kalajengking 

berwarna emas. 

Empat orang yang dikenal sebagai anggota Raja Dewa 

Angkara itu, berdiri mengelilingi Sawung Bulu dan Badara. 

Wajah mereka tertutup selembar kain hitam, kecuali 

bagian mata. Masing-masing menggenggam dua trisula. 

Suaru penampilan yang menggetarkan. 

"Raja Dewa Angkara berkenan memaafkan, jika kalian 

lekas meminta maaf," kata salah seorang yang mengena-

kan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung 

kaki. 

"Kenapa bukan iblis itu sendiri yang datang? Aku tak 

perlu dengan cacing-cacing macam kalian!" dengus 

Sawung Bulu. Baginya tak ada pilihan lain kecuali 

meneruskan segala niat menentang iblis itu. 

"He...he...he..., gurumu saja belum tentu mampu 

mengalahkan salah seorang dari kami." 

"Iblis! Kubunuh kau!" geram Badara mendengar ayah


nya dihina. Hatinya panas seketika. 

Tanpa banyak bicara lagi, Badara langsung melompat 

sambil mencabut tongkat pendeknya. Dia menyerang 

dengan jurus-jurus andalan kepada orang yang mengejek 

ayahnya. Melihat keadaan itu, Sawung Bulu tak mau 

ketinggalan. Pertarungan kini berjalan satu lawan dua 

orang. 

***


DUA


Melewati jurus kelima dua murid Padepokan Pasir Batang 

makin terdesak Tingkat kepandaian mereka memang jauh 

di bawah anak buah Raja Dewa Angkara. Rangga yang 

sejak tadi memperhatikan pertarungan mereka, dapat me-

mastikan kalau dalam dua atau tiga jurus lagi, Sawung 

Bulu dan Badara dapat dikalahkan. 

Dugaan Rangga memang tepat. Dua jurus berlangsung, 

Badara menjerit keras. Tubuhnya limbung, darah mengucur 

deras dari dadanya yang sobek. Belum sempat Badara 

menguasai diri, sebuah tendangan keras menghantam 

kepalanya. Tidak ampun lagi, Badara terjengkang ambruk 

Kepalanya pecah 

"Kejam! Iblis!" geram Sawung Bulu ketika melihat putra 

tunggal Ki Gandara tewas. 

Pada saat Sawung Bulu lengah, mendadak sebuah 

tendangan keras mendarat di dadanya. Murid utama 

Padepokan Pasir Batang itu terjengkang dua depa. Dada-

nya terasa sesak, matanya berkunang-kunang. Sawung 

Bulu belum dapat mengatur posisi, tiba-tiba salah seorang 

lawan menerjang dengan ujung tombak terhunus. 

Sawung Bulu yang memang sudah tidak berdaya, hanya 

pasrah menerima nasib. Serangan orang berpakaian serba 

hitam itu sangat cepat. Dan ketika ujung tombak telah 

berada seujung rambut lagi membelah dada Sawung Bulu, 

sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat cepat menyambar 

murid utama Padepokan Pasir Batang itu 

Tubuh Sawung Bulu lenyap begitu saja. Tombak yang 

hampir membelah dadanya menerobos tempat kosong. Hal 

ini membuat empat orang berpakaian serba hitam itu 

terkejut Mereka saling berpandangan satu sama lainnya 

"Kadal! Siapa berani main-main dengan Raja Dewa 

Angkara!" bentak salah seorang dari mereka.


Tidak ada sahutan sama sekali. Mata mereka beredar 

ke sekeliling. Tidak ada seorang pun di dalam kedai makan 

ini. Hanya meja kursi saja yang terfihat berantakan tidak 

tentu arahnya. 

"Huh! Kepala Desa Pasir Batang harus bertanggung 

jawab!" dengus orang itu lagi 

"Sebaiknya segera kita laporkan hal ini pada Raja Dewa 

Angkara," kata lainnya mengusulkan. 

"Baiklah! Ayo kita pergi!" 

Empat orang anak buah Raja Dewa Angkara itu pun 

dengan cepat mencelat Sekejap mata saja mereka tak 

teriihat lagi bayangannya. Kini kedai makan itu kembali 

sepi. Tidak ada orang lagi di sana kecuali mayat Badara 

yang menggeletak mandi darah. 

Dalam waktu yang tak lama, muncul Ki Gandara diikuti 

pemuka pemuka Desa Pasir Batang dan beberapa pen-

duduk di pintu kedai makan. Ki Gandara tampak terkejut 

melihat putranya menggeletak dengan kepala pecah. 

Sangkala, Bagaspata, Rawusangkan, dan dua orang lain-

nya, seperti terkunci mulutnya. Mereka sangat terkejut 

melihat mayat Badara dan dua tombak berwarna hitam 

pekat yang masih tertancap di tengah-tengah meja dan di 

tanah dekat tubuh Badara. 

"Mana Sawung Bulu?" tiba-tiba Sangkala ingat ke-

ponakannya 

"Tadi... tadi ada di sini, Gusti," jawab seorang penduduk 

yang tadi juga ada di kedai ini. Bicaranya tergagap. 

Muka Sangkala berubah merah pada. Matanya liar 

merayapi sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda Sawung 

Bulu ada di sekitar sini. Sementara itu Ki Gandara 

memeriksa mayat putranya. Kefihatan sekalii dua bola 

matanya berkaca-kaca menahan tangis. 

"Siapa yang berbuat ini?" tanya Sangkala pada 

penduduk yang menjawab tadi. 

"Orang-orang Raja Dewa Angkara, Gusti," sahut 

penduduk itu lagi. 

"Berapa orang mereka?" tanya Bagaspati.


"Empat Semuanya mengenakan topeng" 

"Lalu, siapa di antara kalian yang melihat Sawung 

Bulu?" tanya Rawusangkan. Matanya menatap satu per-

satu penduduk yang sudah banyak berkumpul di depan 

kedai. 

Semua orang tidak ada yang membuka mulut. Kepala 

mereka perlahan tertunduk. Memang tidak ada seorang 

pun yang melihat, ke mana Sawung Bulu pergi. Apalagi 

melihat kepergian empat anak buah Raja Dewa Angkara 

yang begitu cepat melesat Mereka memang hanya 

penduduk biasa yang awam terhadap ilmu silat 

Kl Gandara berdiri. Matanya merayapi lima orang 

pemuka desa, lalu memandang satu-satu wajah penduduk 

Desa Pasir Batang yang tertunduk. Sebentar guru besar 

Padepokan Pasir Batang menarik nafas panjang. Tangan-

nya memberi isyarat kepada mund-muridnya untuk meng-

angkat mayat Badara. Segera empat orang murid 

Padepokan Pasir Batang bergerak 

"Apa yang kita khawatirkan selama ini sudah jadi 

kenyataan," pelan suara Ki Gandara bergumam. 

"Maafkan anak ponakan saya, Ki," ucap Sangkala 

menyesali perbuatan Sawung Bulu. 

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya telah 

terjadi. Entah kapan waktunya, malapetaka akan datang ke 

desa ini," masih terdengar pelan suara Ki Gandara. 

"Saya yang akan mewakili meminta maaf pada Raja 

Dewa Angkara," kata Sangkala merasa bertanggung jawab. 

"Percuma saja, Sangkala. Raja Dewa Angkara tidak 

memandang satu dua orang. Kini yang harus bertanggung 

jawab adalah kita semua." 

Seketaka semua terdiam. Wajah-wajah pucat ter 

gambar jelas. Semua mengerti maksud kata-kata Ki 

Gandara. Pada saatnya nanti, desa Pasir Batang akan 

lenyap seperti Desa Kenanga. Pertentangan sudah dibuka. 

Korban pertama telah jatuh. Mereka tinggal menunggu 

nasib 

Sangkala menyesali diri karena tidak bisa meredam


darah muda keponakannya. Kini semuanya terlambat. 

Mau tidak mau seluruh penduduk Desa Pasir Batang 

harus menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara. Ke-

hancuran sudah terbayang di mata seluruh penduduk. 

Rasanya saat ini nyawa telah lenyap dari badan. Satu per 

satu mereka melangkah pergi dengan wajah tertunduk 

lesu. Tidak ada semangat hidup. Sepertinya tinggal tunggu 

waktu saja malaikat maut datang ke Desa Pasir Batang 

*** 

Malam baru saja menjelang. Keadaan Desa Pasir 

Batang benar benar seperti mati. Tak ada seorang pun 

yang keluar rumah. Mereka takut maut lebih dulu men-

jemput. Sementara itu di salah satu kamar rumah Kepala 

Desa, Dewi Purmita tengah menangis dalam pelukan 

ibunya. Ki Brajananta hanya dapat berdiri dengan wajah 

murung. Kejadian pagi tadi telah membuat seluruh 

penduduk Desa Pasir Batang putus asa. Hal ini sangat 

disesalkan Ki Brajananta. 

"Sudahlah, Purmita. Semuanya sudah terjadi, tidak 

perlu ditangisi lagi." lembut suara ibunya. 

Dewi Purmita mengangkat kepalanya. Seluruh wajah-

nya basah oleh air mata. Sebentar ditatap wajah ibunya, 

lalu beralih ke ayahnya. 

"Apakah Kakang Sawung Bulu sudah ditemukan. 

Ayah?" tanya Dewi Punnita lirih. 

"Belum," sahut Ki Brajananta pelan. 

"Kenapa Kakang Sawung Bulu sampai berbuat senekad 

itu?" 

"Dia tidak rela kau dijadikan korban persembahan, 

anakku," Subragen yang menwab 

Dewi Purmita memandang ibunya, lalu dipeluk ibunya 

yang sudah setengah baya itu. Dia telah tahu kalau dirinya 

bakal dijadikan korban persembahan. Semua itu telah 

diutarakan kepada Sawung Bulu. Jelas saja Sawung Bulu 

merasa tidak rela kekasihnya jadi korban. Ketidakrelaan itu


telah dibuktikan dengan peristiwa tadi pagi. 

"Saya rela dijadikan korban persembahan, asal 

penduduk desa ini hidup tentram... " semakin lirih suara 

Dewi Purmita. 

"Purmita, anakku...," Sutiragen terharu mendengarnya. 

"Sebaiknya Ayah mengirim utusan untuk meminta maaf 

atas kejadian tadi pagi. Saya bersedia jadi korban pada 

waktunya nanti," kata Dewi Purmita seraya menghapus air 

matanya. 

Ki Brajananta tidak dapat berkata kata lagi. Mulutnya 

terkunci. Dia hanya berdiri mematung menatap anak 

gadisnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak rela putrinya jadi 

korban persembahan. Tetapi dia tidak dapat membantah 

lagi. Nyawa seluruh penduduk desa taruhannya. Yang jelas 

dia harus pasrah menerima nasib. 

Dewi Purmita pun demikian. Pasrah. Baginya, hidup 

sudah tidak ada gunanya lagi. Apalagi Sawung Bulu sampai 

kini lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya. 

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Semua mata 

menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ki Brajananta 

melangkah dan segera membukanya. Kiranya seorang 

wanita tua yang mengetuk tadi. 

"Tamu-tamu telah datang, Gusti," kata wanita tua itu 

membungkuk hormat 

Ki Brajananta memandang Dewi Purmita sebentar, 

kemudian melangkah ke luar. Langkahnya kelihatan lesu 

menuju ruangan pendopo. Di ruangan itu, Ki Gandara, 

Sangkala, Bagaspati, Rawusangkan, Wratama, dan 

Paralaya, telah menunggu. Mereka serentak berdiri ketika 

Ki Brajananta muncul. 

"Silakan duduk," kata Ki Brajananta seraya duduk 

Enam orang pemuka Desa Pasir Batang itu bersama-

sama duduk melingkari sebuah meja marmer. Sesaat 

suasana hening. Tidak ada yang membuka suara lebih 

dulu. Mata mereka semua memandang Kepala Desa yang 

kelihatan murung tanpa gairah. 

"Sudah ada khabar tentang Sawung Bulu?" tanya Ki


Brajananta memecah keheningan. 

"Belum," sahut Wratama yang ditugaskan untuk men-

cari Sawung Buhx 

"Apa tidak mungkin Sawung Bulu dibawa ke..." Paralaya 

tidak melanjutkan kalimatnya. 

"Tidak!" selak Sangkala Cepat "Raja Dewa Angkara 

tidak pernah membawa korban seorang laki-laki ke sarang-

nya." 

"Menurut pemilik kedai dan Pak Bolang, pagi tadi desa 

kita kedatangan seorang pengembara," kata Rawu-

sangkan. 

"Pengembara...?" Ki Gandara mengerutkan keningnya. 

"Kau tanyakan ciri-cirinya?" 

"Ya," Jawab Rawusangkan. 

"Bagaimana ciri-cirinya? tanya Sangkala. 

"Orangnya masih muda, kulitnya kuning langsat. Ada 

pedang bergagang ukiran kepala burung di punggungnya," 

Rawusangkan coba menyebutkan ciri-ciri pengembara itu. 

"Pakai baju rompi?" tebak Ki Gandara. 

"Benar, Ki" sahut Rawusangkan cepat. 

"Tidak salah lagi," gumam Ki Gandara. 

Semua mata memandang Ki Gandara 

"Ki Gandara kenal dia?" tanya Ki Brajananta. 

"Dari ciri-cirinya mirip Pendekar Rajawali Sakti," pelan 

suara Ki Gandara seperti kurang yakia 

"Pendekar Rajawali Sakti...?!" hampir berbarengan 

mereka semua menyebut nama itu. 

Siapa yang tidak kenal nama Pendekar Rajawali Sakti? 

Seorang tokoh sakti yang baru muncul, tapi sudah meng-

gegerkan seluruh rimba persilatan. Bukan hanya tokoh 

tokoh golongan putih yang merasa sungkan dan kagum. 

Tokoh-tokoh golongan hitam pun merasa enggan bila 

berhadapan dengannya. Sudah banyak tokoh golongan 

hitam yang tewas di tangan pendekar ini. Jurus rangkaian 

'Rajawali Sakti'nya sangat sulit dicari tandingannya pada 

jaman ini. 

"Apa dia ada di kedai pagi itu, Rawusangkan?" tanya Ki


Gandara. 

"Benar, Ki." sahut Rawusangkan cepat 

"Hm..., tidak mustahil dia yang menolong Sawung Bulu," 

gumam Ki Gandara. 

Sesaat suasana kembali sunyi. Semua yang ada di situ 

terpusat pikirannya pada Pendekar Rajawali Sakti yang 

muncul di Desa Pasir Batang ini. Kemunculan yang tiba-

tiba, di saat seluruh pemuka dan penduduk desa dicekam 

kegelisahan. 

Sangkala yang sejak tadi memperhatikan guru besar 

Padepokan Pasir Batang itu. melihat ada sedikit cahaya di 

mata Ki Gandara. Dalam hati Sangkala juga berharap 

dugaan Ki Gandara benar. Biar bagaimana pun dia sangat 

mencintai keponakannya itu. Sejak kecil Sawung Bulu 

dirawat dan dididiknya di Padepokan Pasir Batang bersama 

Ki Gandara. 

Ketika mereka tengah khusuk bersama pikiran masing 

masing tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Ki 

Brajananta segera berdiri dan melangkah ke luar. Ki 

Gandara dan yang lainnya mengikuti dari belakang Dan 

betapa terhenyaknya mereka ketika melihat mayat-mayat 

bergelimpangan di halaman depan rumah kepala desa. 

Mayat-mayat itu adalah para penjaga rumah ini. 

Mereka terbantai oleh orang-orang berpakaian serba 

hitam. Dan kini Ki Brajananta dan yang lainnya, dikejutkan 

oleh kehadiran seorang pemuda yang tengah bertarung 

melawan empat orang berpakaian serba hitam. Per-

tarungan yang cepat disertai jurus-jurus silat tingkat tinggl, 

membuat orang yang ada di situ sulit mengenali siapa 

pemuda itu. 

"Siapa dia, Ki?" tanya Rawusangkan yang berdiri di 

samping Ki Gandara. 

"Sepertinya dia..., Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki 

Gandara ragu-ragu 

"Kalau begitu, kita harus membantunya, Ki!" seru Ki 

Brajananta. 

"Jangan!" Ki Gandara langsung mencegah Wratama dan


Paralaya yang teriihat akan bergerak 

Mereka segera mengurungkan niatnya. 

"Dia tidak perlu dibantu dan bisa mengatasinya 

sendiri," kata Ki Gandara. Matanya tidak lepas mengamati 

pertarungan itu 

Begitu Ki Gandara setesai berkata, mendadak ter-

dengar jeritan panjang disusul oleh rubuhnya seorang yang 

berpakaian serba hitam. Kemudian menyusul seorang lagi 

yang tiba-tiba mencelat ke atas disertai jeritan memilukan, 

lalu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kepalanya hancur 

ketika menimpa bumi. Dua orang lagi yang masih hidup, 

mencelat ke belakang sejauh dua tombak. Kini jelaslah, 

siapa laki-laki muda yang bertarung melawan empat orang 

yang tampaknya anak buah Raja Dewa Angkara. Dugaan Ki 

Gandara memang tidak meleset. Laki-laki muda itu adalah 

Pendekar Rajawali Sakti yang telah menjatuhkan dua 

lawannya dengan jurus 'Cakar Rajawali'. 

"Anak muda! Campur tanganmu akan berakibat fatal!" 

dengus salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti. 

"Lebih fatal lagi jika kalian masih mengganggu Desa 

Pasir Batang ini!" tegas dan lantang suara Pendekar 

Rajawali Sakti. 

"Setan! Kau harus mampus!" 

Kembali mereka bertarung. Dua orang yang berpakaian 

serba hitam yang masih tersisa itu kini menyerang dengan 

lebih cepat dan berbahaya. Kini Pendekar Rajawali Sakti 

mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. 

Tubuhnya jadi ringan dengan kedua kaki tidak lagi me-

napak tanah. Pendekar muda itu mengontrol diri agar tidak 

melayang terlalu tinggi. Hanya kedua tangannya saja yang 

bergerak cepat mengibas ke arah bagian-bagian tubuh 

lawan yang mematikan. 

"Awas, kepala!" teriak Rangga atau Pendekar Rajawali 

Sakti tiba-tiba. 

Tangan kanannya menyampok kepala salah seorang 

lawannya. Orang itu terkejut, cepat-cepat ditarik kepalanya 

ke belakang. Tak terduga sama sekali, tangan Rangga


dengan cepat berputar arah dan langsung mengibas ke 

arah perut 

"Aaakh...!" orang itu menjerit kesakitan. 

Kibasan tangan kanan Rangga tepat menyobek perut-

nya, sehingga ususnya berhamburan ke luar. Sebentar saja 

orang itu mampu bertahan. Dan kebka kaki Rangga men-

darat di dada orang itu, tanpa ampun lagi tubuhnya ter-

jengkang dan ambruk ke tanah. Mati. Darah mengucur 

deras dari perutnya yang menganga lebar. 

Melihat temannya tewas, sisanya yang tinggal seorang 

itu mencelat kabur. Rangga tidak berusaha mengejar orang 

itu. Dia berdiri saja mengawasi mayat-mayat yang ber-

gelimpangan mandi darah. Sepuluh mayat penjaga pun ter-

bujur tak tentu arah di tempat itu. 

Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika telinganya 

mendengar langkah langkah kaki menghampiri. Jumlah 

mereka tujuh orang. Dua orang yang berjalan di depan 

kelihatannya lebih tua daripada yang lainnya. 

"Sungguh tak menyangka, Tuan berkenan singgah di 

desa kami," kata Ki Brajananta setelah berdiri di depan 

Rangga. 

"Maaf jika kedatanganku mengganggu tuan-tuan 

sekalian," Rangga membungkuk hormat 

"Tidak, sama sekali tidak. Justru kedatangan Tuan 

Pendekar sangat kami butuhkan," kata Ki Gandara gembira 

dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti di desa ini 

"Jika Tuan Pendekar tidak keberatan, singgahlah 

barang sebentar di gubukku." kata Ki Brajananta. 

"Terima kasih," Rangga mau menolak. 

"Kami akan senang jika Tuan Pendekar bersedia 

menolong penduduk Desa Pasir Batang," kata Sangkala. 

Rangga terdiam. Matanya mengamati satu per satu 

wajah-wajah di depannya, lalu tersenyum mengangguk 

Segera saja Ki Brajananta mempersilahkan Pendekar 

Rajawali Sakti untuk masuk ke dalam rumahnya. Rangga 

berjalan diapit oleh Ki Brajananta dan Ki Gandara. 

Sedangkan Sangkala dan yang lainnya mengurus mayat


mayat untuk segera dikuburkan. 

*** 

"Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Rangga 

setelah duduk menghadapi meja marmer. 

Ki Brajananta yang duduk tepat di depan Pendekar 

Rajawali Sakti itu menatap Ki Gandara. Guru Besar 

Padepokan Pasir Batang ini mengerti tatapan kepala desa 

itu. Sejenak ditariknya napas panjang 

"Sebenarnya bukan hanya Desa Pasir Batang yang 

tertimpa malapetaka seperti ini. Desa-desa lain di sekitar 

lereng Gunung Babkambang juga mengalami nasib yang 

sama. Kejadian ini sudah ada sejak sepuluh tahun yang 

lalu. Dan tidak seorang pun yang bisa melepaskan diri dari 

cengkeraman Raja Dewa Angkara," pelan tapi jelas suara 

Ki Gandara. 

"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga. 

"Dia seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. 

Setiap tujuh purnama, kami diharuskan menyerahkan 

korban persembahan berupa seorang gadis remaja," sahut 

Ki Brajananta. 

"Selain itu, kami juga diharuskan memberi upeti yang 

sangat menjerat," sambung Ki Gandara. 

"Mereka sangat kejam. Satu orang saja berani 

menentang, akibatnya satu desa dihancurkan. Kami tidak 

ingin mengalami nasib yang sama dengan Desa Kenanga. 

Tetapi, semuanya sudah terlambat. Salah seorang anak 

kami sudah membuka pintu pertentangan. Kami tidak tahu 

lagi harus berbuat apa. Raja Dewa Angkara pasti akan 

membumi hanguskan desa ini," lirih suara Ki Brajananta. 

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Jiwa 

ksatrianya segera timbul melihat kesengsaraan. Telinganya 

tidak bisa mendengar jeritan penindasan. Darah pendekar-

nya segera bergolak mendidih. 

"Kapan persembahan dilaksanakan?" tanya Rangga- 

"Enam hari lagi," jawab Ki Brajananta.


"Hm, enam hari lagi. Bukan waktu yang lama," gumam 

Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ini sebenarnya sudah 

tahu hal itu melalui ilmu 'Pembilah Suara'. Namun dia tidak 

ingin dikatakan lancang karena telah menguping pem-

bicaraan orang lain. Jadi pertanyaan tadi hanya untuk 

basa-basi saja. 

"Sekarang tidak perlu lagi ada korban persembahan 

karena pertentangan telah dibuka. Desa Pasir Batang akan 

hancur, dan gadis-gadis akan diboyong Raja Dewa Angkara. 

Semua laki-laki, orang tua, dan anak-anak akan tewas," Ki 

Brajananta seperti mengeluh putus asa. 

Rangga menatap kepala desa itu tajam. Sungguh mati 

dia tidak mengira akan seburuk itu keadaannya. 

"Korban sudah mulai berjatuhan. Dan selama enam 

hari ini korban akan berlangsung terus, sampai seluruh 

penduduk desa habis terbantai," lagi-lagi Ki Brajananta 

mengeluh. 

"Hal itu tidak akan terjadi, Ki," tegas suara Rangga 

terdengar. 

Ki Brajananta mengangkat kepalanya. Ada secercah 

harapan terbetik dari sinar matanya. Sedangkan Ki 

Gandara tampak tersenyum. Dia percaya kalau nama besar 

Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong. 

"Sampai bulan purnama nanti, aku akan tinggal di Desa 

Pasir Batang ini. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa 

berkenan melindungi seluruh penduduk desa ini," kata 

Rangga lagi. 

"Ah, senang sekali kami mendengamya. Sudah lama 

kami berharap bisa bebas dari cengkeraman iblis itu," 

desah Ki Brajananta. 

Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri. 

"Akan ke mana, Tuan Pendekar?" tanya Ki Brajananta 

melihat Rangga berdiri. 

"Lihat-lihat keadaan," sahut Rangga terus saja me-

langkah. 

Ki Brajananta dan Ki Gandara mengikuti. Mereka ber-

papasan dengan Sangkala yang akan masuk


"Sangkala, temani Tuan Pendekar melihat-lihat 

keadaan desa." kata Ki Gandara. 

"Baik, Ki," Sangkala tersenyum seraya mengangguk-

angguk. 

"Terima kasih," ucap Rangga terus saja melangkah. 

Sangkala berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. 

Mereka mellntasi halaman rumah kepala desa yang luas, 

lalu menyusuri jalan utama Desa Pasir Batang. Sampai 

jauh meninggalkan rumah kepala desa, belum ada yang 

berbicara. 

"Sebenarnya akan ke manakah, Tuan?" tanya Sangkala 

membuka pembicaraan dengan hormat dan sopan. 

Rangga menghentikan langkahnya. Dia berbalik meng-

hadap pada Sangkala. Telinganya gatal jika dipanggil 

dengan sebutan tuan. Rangga menepuk pundak laki-laki 

yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Hanya 

saja wajah Sangkala yang dipenuhi cambang dan kumis 

lebat, membuat seperti kelihatan lebih tua dari usia yang 

sebenarnya. 

"Sebaiknya, kau panggil saja aku Rangga," kata Rangga 

merendah 

"Ah, mana berani saya...." 

"Aku hanya pengembara miskin. Tidak pantas dipanggjl 

tuan," cepat-cepat Rangga memotong 

"Baiklah, jika tu..., eh! Kau menginginkan begitu." 

"Nah, jika begitu kan lebih enak Oh, ya. Dengan apa 

aku harus memanggilmu?" 

"Cukup Sangkala saja." 

"Baiklah, Sangkala. Kau tahu di mana tempat Raja 

Dewa Angkara?" tanya Rangga kembali meneruskan 

langkahnya. 

"Tepatnya aku tidak tahu. Tetapi menurut kabar dia 

tinggal di puncak Gunung Balakambang," jawab Sangkala. 

"Pernah ada yang ke sana?" 

"Tidak. Tidak ada yang berani sampai ke puncak. Para 

penduduk yang mencari kayu bakar, hanya sampai lereng 

saja. Itu pun tidak berani masuk sampai ke dalam hutan."


"Kau pernah bertemu dengan orangnya." 

"Tidak ada yang pernah melihat Raja Dewa Angkara. 

Tetapi orang-orangnya rata-rata memiliki kepandaian yang 

cukupan. Aku rasa, sepuluh orang seperti aku saja belum 

mampu menandingi satu dari mereka," Sangkala 

merendah. 

"Lalu, untuk apa Raja Dewa Angkara meminta korban 

seorang gadis?" tanya Rangga lagi. Bibirnya tersenyum 

mendengar kerendahan hati Sangkala. 

"Entahlah," sahut Sangkala. "Setiap korban per-

sembahan diambil sendiri oleh kaki tangan Raja Dewa 

Angkara, lalu dibawa ke puncak Gunung Balakambang. 

Tidak ada yang tahu, bagaimana nasib mereka di sana. 

Selama ini gadis-gadls yang dijadikan korban tidak ada 

yang kembali dalam keadaan hidup. Mayatnya saja tidak 

pernah ditemukan lagi." 

"Berapa orang kelompok mereka?" 

"Tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap tujuh purnama 

mereka datang dengan jumlah sepuluh orang. Tidak kurang 

dan tidak lebih." 

"Mereka selalu mengenakan pakaian serba hitam?" 

"Benar. Itu ciri mereka. Tidak ada seorang pun yang 

dapat dikenali wajahnya karena selalu mengenakan topeng 

hitam." 

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya 

berkerut dalam, menandakan tengah berpikir keras. 

Keterangan dari Sangkala tidak jauh berbeda dengan apa 

yang dikatakan Ki Brajananta maupun Ki Gandara. Tetapi 

semua masih membingungkan karena belum ada titik 

terang yang pasti untuk menghadapi kelompok Raja Dewa 

Angkara. 

"Di mana kau tinggal?" tanya Rangga. 

"Di Padepokan Pasir Batang," sahut Sangkala. 

"Sudah berkeluarga?" 

Sangkala mengangguk, sambil tersipu. 

"Sebaiknya kau pulang saja, tentu istrimu sudah 

menunggu sejak tadi," kata Rangga.


"Tapi...," Sangkala jadi bingung. Tidak mungkin Rangga 

ditinggal sendirian. Perintah Ki Gandara tidak berani 

dilalaikan begitu saja. 

"Sudah cukup aku melihat-lihat keadaan desa ini. Lagi 

pula malam sudah larut Aku yang akan mengatakannya 

nanti pada gurumu," kata Rangga bisa mengerti 

kebimbangan Sangkala. 

"Baiklah kalau begitu," sahut Sangkala senang. Dia 

memang sudah lelah dan mengantuk Dan lagi, sejak tadi 

pikirannya selalu tertuju pada anak dan istrinya yang tentu 

tengah menunggu cemas. 

Rangga menepuk pundak Sangkala sebelum berlalu 

melanjutkan langkahnya lagi. Sebentar Sangkala berdiri 

diam di tempatnya, lalu bergegas kembali menuju ke 

padepokan. Langkahnya cepat, ingin segera tiba di rumah. 

***


TIGA


Rangga berdiri tegak memandang ke puncak Gunung 

Balakambang yang terselimub kabut Di belakangnya jauh 

tampak Desa Pasir Batang Rangga menoleh kebka 

merasakan ada langkah kaki mendekati. Bibirnya ter-

senyum melihat Sawung Bulu telah duduk di batu. Rangga 

menghampiri. 

"Ada yang dipikirkan?" tanya Rangga. 

"Ya," sahut Sawung Bulu mendesah. 

Rangga mengambil tempat di samping Sawung Bulu. 

Mereka bersama sama memandang puncak Gunung 

Balakambang Sementara di kaki lereng, jauh di bawah 

sana kelihatan Desa Pasir Batang yang tampak sepi bagai 

tidak berpenghuni. 

"Aku tidak mengerti mengapa kau menolongku 

kemarin," Sawung Bulu bergumam pelan. 

"Aku menolong, karena kau perlu ditolong," sahut 

Rangga seenaknya 

"Seharusnya bukan aku, tapi penduduk desa itu," 

Sawung Bulu memandang ke arah Desa Pasir Batang 

"Rasanya aku lebih baik mati daripada melihat kehancuran 

orang-orang yang kucintai." 

Rangga diam mendengarkan. Sejak dibawanya ke sini, 

baru kali inilah Sawung Bulu mau berkata. Dia selalu 

murung, seperti ada yang sedang dipikirkan. 

Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, hal apa yang dipikir-

kan Sawung Bulu. Semalam dia mendapat banyak 

keterangan, juga pagi tadi dari beberapa penduduk Desa 

Pasir Batang. 

Sama sekali Rangga tidak menyangka Sawung Bulu 

yang berbuat nekad tanpa memperhitungkan resikonya. 

Siapa yang rela kalau kekasihnya dijadikan korban



persembahan iblis? Hanya saja tindakan Sawung Buhl yang 

gegabah dan terlalu menurutkan darah muda. Kini semua 

telah terjadi. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang tinggal 

menunggu nasib. 

"Aku tidak tahu, apakah mereka iblis-iblis yang datang 

dari neraka, atau manusia sakti yang mengumbar hawa 

nafsu. Mereka begitu tangguh dan sulit dicari tandingan-

nya," Sawung Bulu sedah mengeluh. 

"Mereka manusia biasa yang bisa mati," kata Rangga. 

"Kau tahu mereka?" Sawung Bulu agak terkejut. 

"Ya, tiga orang dari lawanmu kemarin, telah mati," 

sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri. 

"Kau membunuh mereka?" makin terkejut Sawung 

Bulu. Matanya merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti 

seperti tidak percaya pada pendengarannya. 

"Bukan aku, tapi Yang Maha Kuasa yang berkenan," 

sahut Rangga merendah. 

"Kapan kau membunuh mereka?" tanya Sawung Bulu 

seolah menyelidik 

"Semalam, di depan rumah kepala desa. Tapi aku 

terlambat..." 

"Teriambat, maksudmu?" potong Sawung Bulu dengan 

nada cemas. 

"Mereka berhasil membunuh tidak kurang dari sepuluh 

orang." 

"Lalu?" 

"Aku sempat bicara dengan Ki Brajananta, Ki Gandara, 

dan beberapa orang lainnya. Tampaknya mereka semua 

memang ingin lepas dari cengkeraman Raja Dewa 

Angkara." 

"Ah, seandainya saja Yang Maha Kuasa berkenan mem-

beriku kekuatan. Aku rela berkorban nyawa untuk mem-

bebaskan mereka," lirih suara Sawung Bulu. 

Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri. Kakinya 

terayun menuju ke Desa Pasir Batang. 

"Mau ke mana?" tanya Sawung Bulu. 

Rangga hanya menunjuk ke arah desa tanpa men


jawab. 

"Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri. 

"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu," 

cegah Rangga. 

"Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!" 

dengus Sawung Bulu. 

"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi 

keamanan dan keselamatan semua orang yang kau cintai." 

Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera 

diurungkan niatnya. Dia percaya kalau pemuda yang se-

baya dengannya itu bukan orang sembarangan. Buktinya, 

tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya 

dalam satu malam saja. 

"Siapa kau sebenamya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin 

tahu. 

"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga 

Secepat dia menjawab, secepat itu pula dia mencelat 

Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu 

saja pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat 

mengagumi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali 

Sakti yang sempurna itu. 

"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Buhi ber-gumam 

menyebut nama itu beberapa kali. 

Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih meng-

gumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya dia 

tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu pernah di-

dengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba 

persilatan dari golongan putih yang kerap datang ke 

Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar Rajawali Sakti 

selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang 

sangat tinggi ilmu kesaktiannya. 

"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung 

Bulu bertanya tanya sendiri. 

***


Di ruang pendopo utama Padepokan Pasir Batang, Ki 

Gandara tengah berbincang-bincang dengan Sangkala. 

Beberapa murid padepokan teriihat berjaga-jaga dengan 

senjata terhunus. Sudah dua hari ini Ki Gandara me-

merintahkan murid-muridnya untuk selalu siaga di sekitar 

padepokan. 

"Kau tidak melihat Pendekar Rajawali Sakti hari ini, 

Sangkala?" tanya Ki Gandara. 

"Tadi pagi saya masih melihatnya, tapi sampai sore 

begini tidak kelihatan lagi," sahut Sangkala. 

"Bagaimana keadaan desa?" 

"Belum ada kejadian apa-apa Tapi Ki Brajananta 

kelihatannya terus gelisah." 

"Ya, aku sendiri juga gelisah," Ki Gandara mengakui 

terus terang. 

"Ki...." 

"Hm, ada apa?" 

"Apa Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Raja 

Dewa Angkara?" tanya Sangkala ragu-ragu nadanya. 

Ki Gandara tidak segera menjawab. Matanya kosong 

menatap lurus ke depan, ke arah puncak Gunung 

Balakambang. Memang terlalu riskan hanya mengandalkan 

nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri baru men-

dengar namanya saja. Belum melihat secara langsung 

sepak terjangnya menghadapi tokoh tokoh sakti aliran 

hitam. 

Memang semalam Pendekar Rajawali Sakti telah mem-

buktikan dengan merobohkan tiga orang dari Raja Dewa 

Angkara. Tetapi itu hanya kaki tangannya saja. Ki Gandara 

sendiri mungkin juga mampu menghadapinya. Bahkan 

Sangkala juga masih bisa menandingi. Jadi hal itu belum 

jadi jaminan Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan 

Raja Dewa Angkara. 

"Maaf, kalau kata kataku membuat gundah," kata 

Sangkala merasa tidak enak juga melihat Ki Gandara 

berubah murung. 

"Tidak Kata-katamu ada benarnya juga. Kita memang


tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Pendekar 

Rajawali Sakti. Raja Dewa Angkara sulit diukur tingkat 

kepandaiannya. Sepuluh tahun telah ditancapkan kukunya 

untuk menguasai seluruh desa-desa di lereng Gunung 

Balakambang, tanpa ada seorang pun yang dapat meng-

hentikan perbuatannya." 

Sangkala merayapi sekitamya. Tatapan matanya 

langsung terpaku pada puncak Gunung Balakambang. 

"Sudah banyak tokoh rimba persilatan dari golongan 

putih mencoba untuk membasmi mereka, tapi sampai 

sekarang tidak ada yang berhasil. Bahkan mereka hanya 

tinggal namanya saja," Ki Gandara kembali melanjutkan. 

"Kau ingat perisbwa di Desa Kenanga, Sangkala?" 

"Iya, Ki," sahut Sangkala pelan. 

"Tidak kurang dari sepuluh tokoh sakti rimba persilatan 

membantu, tapi mereka semua tewas di tangan Raja Dewa 

Angkara. Juga Pendekar Ruyung Emas, yang nyata-nyata 

berada setingkat di atasku pun tewas." 

Sangkala membisu. Memang sulit mengukur tingkat 

kepandaian Raja Dewa Angkara. Dia bisa mengerti kenapa 

Ki Gandara sampai gundah begini. Tentunya dia sudah 

menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menandingi 

kesaktian Raja Dewa Angkara. 

Pada saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar teriakan-

teriakan melengking dari bagian Timur padepokan. Ki 

Gandara segera melompat seraya mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh. Dalam sekejap saja, dia sudah berada 

di luar pendopo. Sangkala menyusul. 

"Raja Dewa Angkara...," desis Ki Gandara ketika melihat 

murid-mundnya tengah bertarung melawan sekitar sepuluh 

orang berpakaian serba hitam. 

Dalam waktu yang singkat, murid-murid Padepokan 

Pasir Batang sudah bertumbangan mandi darah. Melihat 

kenyataan ini, Sangkala segera melompat sambil 

mengempos tenaga dalamnya. Gerakannya ringan, sekejap 

saja dia telah terjun dalam pertarungan. Sangkala tidak 

sungkan-sungkan lagi untuk mencabut pedangnya, me


nerjang orang-orang Raja Dewa Angkara. 

Begitu Sangkala masuk dalam arena, seorang dari 

mereka segera menghadang. Sangkala terpaksa harus 

meng-hadapinya. Pedangnya berkelebat cepat disertai 

pengerahan tenaga dalam. Sangkala memang ahli dalam 

ilmu pedang. Lebih-lebih saat dikeluarkan jurus-jurus 

pedang andalannya. 

Pedang perak yang menjadi kebanggaan seperti tak 

berujud lagi Yang nampak hanya sinar keperakan 

mengurung lawan 

Trang! Trang! 

Beberapa kali pedang Sangkala berbenturan dengan 

tombak hitam lawannya, sehingga dirasakan tangannya 

seperti kesemutan. Sangkala sadar kalau tenaga dalamnya 

masih di bawah lawan Menyadari hal ini, dia berusaha 

untuk tidak sering-sering berbenturan senjata. 

Sementara itu korban dari pihak murid Padepokan 

Pasir Batang sudah banyak Ki Brajananta pun kini tengah 

menghadapi dua lawan. Sangkala tidak bisa lagi meng-

alihkan perhatiannya pada yang lain. Serangan-serangan 

lawan terasa makin menghebat Bahkan sambaran-

sambaran tombaknya terasa panas menyengat kulit. 

"Uts!" Sangkala memiringkan tubuhnya ke samping 

menghindari sodokan tombak lawan. 

Ujung tombak itu lewat sejauh beberapa helai rambut 

di depan dada. Sungguh dahsyat angin sambaran tombak 

itu. Sangkala sampai bergerak mundur dua tindak ter-

dorong angin sambaran tombak itu. Begitu keras dan 

panas anginnya 

Trang! 

Sangkala terpaksa membabat ujung tombak yang 

begitu cepat berbalik setelah serangan pertamanya gagal. 

Lagi-lagi Sangkala terdorong mundur dua tindak ke 

belakang. Jari-jari tangannya terasa kaku seketika. Hampir 

saja pedangnya terlepas dari genggaman. 

"Setan!" dengus Sangkala ketika mengetahui mata 

pedangnya gompal.


Rasa terkejut Sangkala belum lagi hilang, mendadak 

ujung tombak lawan sudah kembali mengarah ke dadanya. 

Dia segera memiringkan tubuhnya, tapi terlambat. 

Cras...! 

Tak terduga sama sekali orang itu memutar tombaknya 

dan berhasil melukai pundak kiri Sangkala. Darah keluar 

dari pundak yang sobek cukup dalam dan lebar. Sangkala 

meringis kesakitan, lalu dengan cepat melompat sejauh 

dua tombak lebih. Jari-jari tangannya segera menotok 

beberapa jalan darah di pundaknya Seketika itu juga darah 

berhenti mengalir. 

"He... he... he... Pintu neraka sudah terbuka untukmu, 

sobat," orang itu terkekeh pongah. 

"Jangan besar kepala dulu, iblis!" dengus Sangkala 

geram. "Aku masih mampu mencabut nyawamu!" 

"Tikus sudah masuk jebakan masih juga bisa berlagak!" 

"Terima Jurus 'Pedang Ekor Naga'ku," bentak Sangkala 

gusar. 

Sehabis berkata demikian, dengan cepat Sangkala 

melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya kembali 

berkelebat lebih cepat Suara bersiutan terdengar dari 

setiap kelebatan pedangnya. Ujung pedang Sangkala 

bagaikan ekor naga yang murka terusik ketenangannya. Di-

kempos seluruh tenaga dalamnya untuk menandingi 

tenaga dalam lawan. 

Namun semua serangan Sangkala yang dahsyat dan 

mematikan, tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan 

tiba-tiba saja kaki lawan berhasil mendarat di dadanya. 

Sangkala terjengkang ke belakang. Dadanya mendadak 

sesak, napasnya tersengal. Matanya berkunang-kunang 

"Mampus kau, hiyaaa..!" orang itu berteriak keras. 

Sangkala yang dalam posisi sulit, tidak mampu lagi 

untuk mengelakkan ujung tombak yang datang deras 

mengarah ke dadanya. Dia pasrah seandainya harus mati 

di ujung tombak hitam itu. namun kebka ujung tombak 

hampir menyentuh kulitnya, mendadak... 

Trang!


Secercah sinar biru menyilaukan menghantam tombak 

hitam itu. Sangkala membeliak kaget, ketika melihat 

tombak itu tiba-tiba terpotong jadi dua. Rasa kagetnya 

belum lagi hilang sekonyong-konyong orang yang menjadi 

lawannya itu terjengkang ke belakang beberapa batang 

tombak jauhnya. 

Disusul dengan munculnya sebuah bayangan, disertai 

kilatan sinar biru menyilaukan mata. 

Cras! 

Tanpa mengeluarkan suara lagi, orang berpakaian 

serba hitam itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan. 

Bayangan itu tidak berhenti. Dia berkelebat dengan 

kilatan-kilatan sinar biru terarah pada orang-orang yang 

berpakaian serba hitam. Sungguh dahsyat, setiap kibasan 

sinar biru itu berkelebat, segera satu orang lawan ter-

jungkal mandi darah. Mati. 

Ki Gandara cepat melompat mundur dari kancah per-

tarungan. dia sudah berhasil merobohkan dua lawan. 

Orang tua yang masih kelihatan gagah itu segera meng-

hampiri Sangkala. 

"Mundur!" teriak Ki Gandara keras. 

Seketika itu juga murid-murid Padepokan Pasir Batang 

berlompatan mundur. Namun beberapa di antaranya yang 

tidak sempat mundur, terjungkal tertembus tombak hitam. 

Ki Gandara menahan geram melihat lebih dan separuh 

muridnya tewas bergelimpangan. 

Sementara itu bayangan yang selalu diikuti kelebatan 

sinar biru, tidak menghiraukan tenakan Ki Gandara. Dia 

terus saja berkelebat mencari nyawa. Kini orang-orang ber-

pakaian serba hitam tinggal berjumlah lima orang saja. 

Mereka mengurung rapat kelebatan bayangan itu. Tetapi 

bayangan itu masih belum terlihat jelas juga. Seluruh 

tubuhnya seperti terselimut sinar biru yang sesekali men-

cuat menyambar lawan. 

"Tinggalkan tempat ini, cepat!" 

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar. Seketika 

itu juga lima orang berpakaian serba hitam itu mencelat



kabur dari Padepokan Pasir Batang. Namun salah seorang 

dari mereka harus menerima nasib. Dia rupanya terlambat 

kabur. 

Sinar biru menyilaukan itu sangat cepat menghantam-

nya. Dan dengan satu teriakan menyayat, orang itu ter-

jungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia me-

regang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. " 

Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul 

dengan munculnya sosok tubuh berpakaian rompi berdiri 

dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar dari dada 

mayat yang terbelah hampir purus itu. 

"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara. Ber-

gegas guru besar Padepokan Pasir Batang itu meng-

hampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan 

Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali 

keluar, karena totokan yang sifatnya hanya sementara 

sudah tidak bekerja lagi. 

"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya 

memperhatikan luka di pundak kiri Sangkala. "Hanya luka 

luar," sahut Sangkala. Rangga alias Pendekar Rajawali 

Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap 

pundak yang terluka itu. Lalu bibirnya tersenyum sambil 

menarik tangannya lagi 

"Hanya luka biasa," kata Rangga. 

"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat 

menolong, mungkin aku hanya tinggal nama." 

Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu 

mayat yang berpakaian serba hitam. Dia jongkok, lalu 

tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh 

wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih 

terpampang Wajah seorang wanita. 

Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya 

mayat yang kedua, dan direnggut topengnya. 

Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan 

rambut tergulung rapih. Ki Gandara yang juga merasa 

penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya. 

Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya


adalah wanita. 

"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa 

menyembunyikan rasa terkejut dan herannya. 

Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang 

Raja Dewa Angkara adalah wanita berparas cantik 

Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu 

orang saja, kini benar benar terkesima. Sungguh tak 

diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh seorang 

wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam 

Sangkala tiba-tiba tersentak Padahal dia sempat 

mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak 

bisa membedakan suara laki-laki dengan suara 

perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara 

laki-laki. Bukan suara halus seorang perempuan. Apakah 

wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara? 

"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara. 

"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka," 

kata Rangga. 

"Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka 

mati," sahut Ki Gandara. 

Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya 

untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam 

keadaan letih, tidak ada yang membantah perintah itu. 

Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih 

tersisa, melaksanakan perintah guru besarnya. Ki Gandara 

mengajak Rangga ke pendopo, sementara Sangkala minta 

ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di 

depan pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung 

menatap ke arah puncak Gunung Balakambang. Ki 

Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga meng-

arah ke puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal 

itu. 

"Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun istana-

nya," kata Ki Gandara setengah bergumam. 

"Sudah ada yang pemah ke sana?" tanya Rangga. 

"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada 

beberapa pendekar mencoba ke sana, tapi mereka selalu


tewas sebelum mencapai tujuan." 

"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas. 

"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang 

berkepandaian lumayan tinggi. Gunung itu selalu dijaga 

ketat Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah men-

coba ke sana," Ki Gandara menjelaskan. 

"Aku akan coba ke sana," kata Rangga. 

"Sebaiknya. jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki 

Gandara mencoba mencegah. 

"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke 

akar-akarnya, Ki. Aku tidak bisa hanya menunggu di sini, 

menanti cacing-cacing tak berguna." 

"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendak-

nya berpikirlah matang matang untuk pergi ke sana." 

Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam 

kata kata Ki Gandara. Bagaimana pun juga orang tua ini 

merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh 

penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap 

maksud kata kata itu. Memang, dalam saat saat seperti ini 

tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir Batang. 

Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat 

menghancurkan seluruh desa. Kapan waktunya, memang 

belum bisa diduga. 

Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun 

menuju pintu gerbang padepokan. Dia terus berjalan 

melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya dipenuhi 

oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk 

Desa Pasir Batang ini. Persoalan yang tidak mudah di-

hadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga melangkah 

menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang 

memang berada di tengah tengah desa. Tidak jauh dari 

sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu dijaga oleh 

beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan 

sekitarnya yang tampak sepi. 

Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan 

menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan 

pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu


melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh 

mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata 

rajawali, masih bisa melihat bayangan itu menghilang di 

balik sebuah rumah. 

Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan 

sekeliling sudah remang-remang Malam sebentar lagi 

menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap 

rumah tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya 

sehingga tidak ada sedikit pun suara terdengar ketika 

kakinya hinggap di atap rumah itu. 

"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam 

dalam hati. 

Matanya masih sempat menangkap bayangan itu. 

Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap 

rumah lainnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar 

Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger di atas 

atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu 

masih berkelebat menuju ke arah Rangga yang tengah 

bersembunyi. 

"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati. 

Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga, 

Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali 

bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang 

milk Wratama. Gerakannya cukup ringan dan cepat 

Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan 

tinggi. 

Rangga masih bertengger di atas atap meskipun 

Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga 

segera mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' yang di-

arahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini 

rupanya sekahgus dijadikan rumah penginapan satu-

satunya yang ada di Desa Pasir Batang ini. Apa yang dapat 

didengar Rangga? 

***


EMPAT


Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut 

ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang 

ada di tempat ini. Kakinya terus melangkah masuk Di 

dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong 

yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk 

menginap. Semua pintu nya tertutup rapat Wratama baru 

berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong. 

Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan 

pelan dia mulai mengetuk pintu kamar di depannya. Tidak 

terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari 

pada semula. Matanya tetap mengamati sekehhngnya 

"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar. 

Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia 

melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya. 

Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga 

keadaan kamar menjadi remang-remang. Mata Wratama 

langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok tubuh 

ramping tergolek di atasnya. 

"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya 

sosok tubuh ramping itu. Suaranya halus lembut bagai 

butuh perindu. 

"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat 

Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika Wratama 

duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik 

dengan bibir merah merekah menyunggingkan senyum. 

Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai 

melewati bahu. Kain sutra halus berwarna merah muda 

melilit di tubuhnya 

Wratama menelan rudah saat bola matanya me-

nangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah 

hendak berontak keluar dari balik kainnya. Seperti sengaja, 

wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga belahan kain


yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang 

terbungkus kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip 

memandanginya 

"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada 

Wratama yang akan memeluknya. 

"Kenapa? Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja 

ingin memeluk. 

"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita 

itu. 

"Keadaan di Padepokan Pasir Batang, maksudmu?" 

Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya 

dipenuhi nafsu birahi, sehingga Wratama hanya menelan 

ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak tadi 

telah bermain-main di paha yang putih terbuka 

"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan 

hanya enam dari Raja Dewa Angkara," kata Wratama. 

"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar 

terkejut mendengar enam orang dari Raja Dewa Angkara 

tewas. 

"Ada seorang pendekar sakti yang membantu." 

"Siapa dia?" 

"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga 

orang Raja Dewa Angkara di halaman rumah kepala desa." 

Sesaat suasana hening. 

"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu. 

"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya 

sebuah pedang yang bisa memancarkan sinar biru." 

Kembali tak terdengar suara. 

"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk 

membicarakan hal itu, kan?" Wratama sudah tidak sabaran 

lagi. 

Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama sudah 

memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat 

wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang 

menggelegak dalam dada. Kini di kamar itu hanya ter-

dengar desah nafas memburu disertai erangan dan 

rintihan yang membangkitkan gairah.


Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang 

dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara 

suara yang didengarnya terakhir membuat gelisah dirinya 

sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon yang berada 

tepat di depan jendela kamar itu. 

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas 

dengan mata sedikit membelalak. Jelas sekali dari 

tempatnya bertengger, teriihat dua tubuh menyatu rapat di 

atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan, 

memang terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang 

terjadi di dalam kamar dapat terlihat jelas meski hanya 

diterangi oleh sebuah pelita kecil. 

"Siapa wanita itu? Apakah salah seorang dari Raja 

Dewa Angkara?" Rangga bertanya-tanya dalam hati. 

Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat menduga-

duga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak 

sanggup untuk melihat terus ke dalam kamar. Hanya 

sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali 

melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk 

birahi, dadanya seketika berdetak lebih keras dari biasa-

nya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi 

berkeringat 

Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon. 

Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya ber-

tahan dalam ketersiksaannya. Padahal sejak tadi dia ingin 

pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar, ternyata 

Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat. 

Sedang wanita itu duduk di sampingnya. 

Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat 

jelas kalau dia tidak mengenakan selembar kain pun pada 

tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat lekuk-

lekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu 

mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek 

tak berdaya. 

"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati. 

Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti 

sudah kembali berada di atas atap lagi. Sebentar dia


menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah mengenakan 

pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai 

makan yang sekaligus tempat penginapan. Gerakannya 

lincah dan ringan, sulit diikuti oleh mata biasa. Namun bagi 

Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan. 

Sambil mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah 

Mega’, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti ke mana 

wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak 

semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali 

Sakti sangat ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit 

pun. 

"Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam hati. 

Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu 

kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini 

tubuh wanita itu sebentar menghilang, sebentar kemudian 

terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat mem-

buat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin 

kalau wanita itu salah seorang dari Raja Dewa Angkara. 

"Hm, Wratama..., apa hubungannya dia dengan Raja 

Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga bertanya dalam hati. 

Namun belum lag! sempat mendapat jawaban, 

mendadak... 

"Uts!" 

Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah 

tombak hitam meluncur deras ke arah tubuhnya. Belum 

lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah 

deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain 

dari segala penjuru mata angin. 

"Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara 

menghindari serangan gelap yang datang bagai hujan. 

Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar 

nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini 

meluncur dari segala arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat 

sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan untuk menarik 

napas sedikit pun! Bahkan untuk menjejakkan kaki di 

tanah saja, tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja 

Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang mengerahkan jurus


'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak 

tadi tubuhnya tercincang. 

*** 

Keadaan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak 

memungkinkan untuk lolos. Serangan gelap itu semakin 

gencar datangnya. Beberapa kali ujung tombak hampir 

mengenai tubuhnya. Rangga jadi sengit. Sambil berteriak 

melengking, dia melompat lebih tinggi seraya mencabut 

pedangnya. 

Sret, Cring! 

Seketika keadaan di dalam hutam lereng Gunung 

Balakambang jadi terang benderang oleh sinar pedang 

yang biru kemilauan. Dengan senjata pusaka, itu. Rangga 

mengamuk bagai banteng luka. Sinar biru bergulung-

gulung menyelimuti tubuhnya. Beberapa batang tombak 

dan anak panah rontok berhamburan sebelum mencapai 

sasaran. 

"Ke luar kalian!" teriak Rangga. Suaranya menggelegar 

karena disertai pengerahan tenaga dalam yang luar biasa. 

Begitu hebatnya suara Pendekar Rajawali Sakti itu, 

sehingga daun-daun berguguran. Batu-batu kerikil ber-

lompatan terkena getaran suaranya. Dan lebih hebat lagi, 

pengaruh tenakan itu membuat serangan tombak dan 

anak panah berhenti mendadak 

Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar di 

udara dua kali, sambil memasukkan kembali pedang 

pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Dia hinggap 

dengan manis di atas sebuah dahan pohon yang cukup 

tinggi. Bagaikan mata rajawali, matanya merayapi sekitar-

nya. Terlihatlah tubuh-tubuh berseragam kain hitam ber-

sembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak 

"Harus diberi pelajaran manusia-manusia iblis ini!" 

dengus Rangga dalam hati. 

Tangannya bergerak cepat merampas daun-daun 

pohon di sekitamya. Sambil mengerahkan tenaga dalam,


dilemparkannya daun-daun itu ke arah orang-orang yang 

berpakaian serba hitam. Daun-daun yang semula lemas 

tak berguna, kini bagaikan senjata rahasia ampuh yang 

meluncur deras melebihi kecepatan anak panah yang 

lepas dari busurnya. 

Seketika terdengar suara jerit kesakitan saling susul. 

Kemudian tidak kurang dari enam orang berpakaian serba 

hitam bertumbangan. Daun-daun yang dilontarkan 

Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terbuat dari logam 

keras, menancap di dada mereka. 

"Mampus kau, iblis-iblis keparat!" desis Rangga dengan 

nada geram. 

Kembali tangannya merampas daun-daun, lalu di-

lemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat 

Dan terdengarlah jeritan menyayat disusul tumbangnya 

beberapa tubuh berpakaian serba hitam. 

Desisan Rangga rupanya terdengar oleh mereka. Maka 

sebatang tombak pun meluncur deras ke arah Rangga. 

Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya 

cepat menangkap tombak itu. Tanpa membuang waktu 

lagi, tubuhnya meluruk cepat ke arah si pelempar tadi. 

"Akh!" pelempar tombak itu terkejut 

Segera digulingkan tubuhnya ke samping Kaki 

Pendekar Rajawali Sakti hanya menjejak tanah kosong. 

Namun belum sempat bergerak, tiba-tiba seseorang mem-

bokong dengan tombak terhunus ke arah Pendekar 

Rajawali Sakti. 

"Ih!" Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan 

tombak yang ada di tangannya. 

Trak! 

Dua tombak hitam beradu keras. Tanpa membuang 

waktu lagi, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun keras, 

dan..., Buk! Telapak kakinya tepat mendarat di dada 

penyerangnya. Orang itu terjengkang beberapa langkah ke 

belakang. 

Pendekar Rajawali Sakti melemparkan tombak di 

tangannya. Tombak itu meluncur deras, dan tepat meng


hujam di dada pembokong tadi. Jerit menyayat terdengar 

bersamaan dengan ambruknya orang itu Belum lagi 

Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik nafas, mendadak 

datang dua serangan dari arah samping kanan dari jarinya 

Hanya dengan menggeser selangkah ke belakang, dua 

ujung tombak mengenai sasaran kosong Sambil menarik 

badan ke belakang, Pendekar Rajawali Sakti menangkap 

dua tombak itu, lalu mengangkatnya ke atas. Dua tubuh 

melayang deras dan... Trak! Kepala dua orang itu beradu 

keras. 

Tanpa mengeluarkan suara lagi, dua orang berpakaian 

serba hitam itu ambruk dengan kepala pecah. Rangga 

menoleh pada orang yang kini tidak bersenjata. Orang yang 

pertama menyerangnya ketika di atas pohon. Tampak 

orang itu mundur dengan bola mata jelalatan ke kanan dan 

ke kiri. 

Rangga membuang tombak yang ada di tangan 

kanannya. Kemudian dia menghunus satu tombak lainnya 

dengan tangan kiri. Kakinya bergerak perlahan mendekati 

satu orang itu. 

"Huh! Ayo kita bertarung tanpa senjata!" dengus 

Rangga. Tangan kirinya membuang tombak ke samping. 

Rangga berdin tegak dengan sikap menantang. Orang 

yang seluruh tubuhnya terbalut kain hitam, berhenti 

mundur. Dia seperti menyadari kalau dia sendiri yang 

masih hidup. Lalu dengan satu teriakan melengking, tubuh-

nya mencelat menerjang Pendekar Rajawali Sakti 

Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya, 

maka serangan itu lewat di depannya. Secepat kilat tangan 

Rangga menjulur, dan menotok pundak orang itu. Namun 

tidak diduga sama sekali, totokannya dapat dihindari 

dengan manis. Orang itu menjatuhkan tubuhnya sambil 

mengayunkan kakinya. 

Dengan cepat Rangga menurunkan tangannya. Dan 

kaki lawanpun membentur tangan Rangga yang teraliri 

kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Rangga men-

duga kaki itu akan patah namun kenyataannya.... Orang itu


malah memutar tubuhnya setengah miring, lalu kakinya 

kembali terayun mengarah ke iga. 

"Hebat," gumam Rangga memuji tenaga dalam lawan 

yang mampu mengim ngj tenaga dalamnya. 

Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, dan kaki 

itu lewat beberapa helai rambut di samping iganya. Rangga 

kembali mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak 

lawan. Dia sengaja mengincar bagian tubuh dengan 

totokan saja. Dia ingin orang ini hidup tanpa terluka. 

Gerakan Rangga yang cepat, kali ini sulit dihindari. 

Dengan rasa terpaksa, orang itu menangkis tangan 

Rangga. Namun cepat pula Rangga memutar tangannya. 

Dan.... 

"Ah!" orang itu mendesah kaget 

Mendadak tangan kirinya lemas lunglai. Belum lagi 

hilang rasa terkejutnya. Jari tangan Rangga sudah kembali 

bergerak cepat Kini bagian bahu dan dada orang itu kena 

totokan yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Tanpa 

dapat dihindari lagi, tubuh yang mengenakan pakaian 

serba hitam itu jatuh lunglai. 

"Hup...!" Rangga cepat-cepat menyangga tubuh yang 

lemas tak bertenaga itu. 

Tanpa membuang uang waktu lagi, Pendekar Rajawali 

Sakti langsung memanggulnya. Sebentar diedarkan 

pandangan berkeliling, lalu mengempos tubuhnya. Sekejap 

mata saja tubuh Rangga sudah mencelat ke angkasa. 

Dengan kaki menjejak pada ujung ujung dahan pohon, 

Pendekar Rajawali Sakti bagai terbang meninggalkan 

tempat itu. 

*** 

Rangga melemparkan kayu ke atas api unggun. Cahaya 

api jadi bertambah terang dan menghangatkan sekitar goa. 

Dua kali Rangga menambahkan kayu, kemudian dihampiri-

nya tubuh ramping terbalut kain hitam yang menggeletak di 

atas daun-daun kering Rangga merenggut topeng dari kain



hitam yang menutupi seluruh kepala orang Itu. 

Tampak seraut wajah cantik dengan bola mata bulat 

indah terbias oleh cahaya api. Rambutnya tergulung ke 

atas cukup rapi. Bibimya bergerak-gerak seolah hendak 

mengatakan sesuatu, namun tidak ada sedikit pun suara 

yang ke luar. Hanya bola matanya saja yang liar mem-

belalak lebar menatap tajam wajah Pendekar Rajawali 

Sakti. 

"Melati..." desis Sawung Bulu yang berada di belakang 

Rangga. 

"Kau kenal dia?" tanya Rangga seraya menoleh. 

Sawung Bulu menggeser, matanya merayapi wajah 

cantik yang tergolek lemah. 

"Tidak salah, dia Melati. Aku masih ingat betul!" seru 

Sawung Bulu mengenali wajah wanita itu. 

Sawung Bulu menjulurkan tangannya dan membalikkan 

kepala wanita itu. Disibakkan rambut yang menjuntai di 

samping kepala wanita itu. Tampak pada belakang 

telinganya, terdapat bulatan hitam sebesar kuku jari. 

Sawung Bulu kembali membalikkan kepala itu, matanya 

merayapi wajah yang putih kemerahan. 

"Dia..., dia Melati!" seru Sawung Bulu pasti. 

Rangga menatap Sawung Bulu dan wanita itu ber-

gantian. 

"Dia anak Kepala Desa Karang Sewu. Letaknya di 

sebelah Barat Desa Pasir Batang Tiga tahun lalu Melati 

dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara," 

Sawung Bulu menjelaskan. 

Rangga menggerakkan jari-jarinya menotok dua kali 

pada bagian leher wanita yang dikenal Sawung Bulu ber-

nama Melati. Sebentar wanita itu menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Lalu bola matanya menatap tajam pada Rangga 

dan Sawung Bulu bergantian. 

"Bebaskan aku. Kita bertarung sampai mati!" dengus 

wanita itu dingin. 

Rangga meraba dada wanita itu. 

"Setan! Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak wanita itu


geram. Dia berusaha menggeliatkan tubuhnya, tapi 

pengaruh totokan Pendekar RajawaB Sakti sangat kuat 

"Dalam tubuhnya mengalir sejenis racun yang bisa 

mempengaruhi jiwanya," Rangga bergumam. 

"Apakah bisa disembuhkan?" tanya Sawung Bulu. 

"Entahlah. Aku harus tahu dulu racun jerus apa yang 

bersarang di tubuhnya. Yang jelas dia sekarang tidak tahu 

lagi siapa dirinya," sahut Rangga. 

Rangga kembali menggerakkan jari-jari tangan untuk 

menotok leher wanita itu. Seketika wanita itu diam lemas. 

Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti meng-

henyakkan tubuhnya bersandar ke dinding goa. Sementara 

Sawung Bulu duduk di samping wanita itu. 

"Apakah racun itu mematikan, Rangga?" tanya Sawung 

Bulu. 

"Tidak," sahut Rangga. "Racun itu hanya mempengaruhi 

jiwa dan pikiran. Hmm... apakah dia punya ilmu sflat?" 

Sawung Bulu menggeleng 

"Setahuku, Melati tidak pernah belajar ilmu silat." 

"Aneh, kepandaiannya cukup tinggi. Mustahil dalam 

waktu tiga tahun saja, bisa memiliki kepandaian silat yang 

cukup tinggi." gumam Rangga. 

"Aku rasa karena pengaruh racun itu," Sawung Bulu 

menduga-duga 

"Mungkin," desah Rangga. 

Sawung Bulu terdiam sejenak dicoba untuk mereka-

reka hal yang tengah dialaminya kini. Memang sulit di-

percaya kalau korban-korban persembahan untuk Raja 

Dewa Angkara dijadikan semacam laskar wanita. Dalam 

waktu singkat saja, wanita-wanita yang selama hidupnya 

buta terhadap ilmu olah kanuragan, tiba-tiba menjadi orang 

yang tangguh. 

Sedangkan di benak Pendekar Rajawali Sakti tengah 

berpikir tentang jenis ramuan yang digunakan oleh Raja 

Dewa Angkara itu Banyak diketahuinya tentang jenis-jenis 

racun dan ilmu ilmu pengobatan. Tapi untuk racun jenis ini. 

rasanya belum pernah dipelajarinya. Atau mungkin ia lupa?



Rangga terus mencoba membuka ingatannya tentang 

segala jenis racun dan ramuan ramuan yang didapatnya 

dari buku-buku warisan Pendekar Rajawali Sakti (Baca: 

Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah 

Tengkorak) 

Rangga menggeser duduknya mendekati wanita yang 

masih tergolek lemas itu. Sawung Bulu menggeser duduk-

nya memberi tempat Kembali jari-jari tangan Pendekar 

Rajawali Sakti itu bergerak membebaskan totokan pada 

leher wanita itu. 

"Nyawamu ada di tanganku. Aku bisa membunuhmu 

semudah aku membalikkan tangan," suara Rangga dibuat 

dingin 

"Huh! Kau kira aku takut mendengar ancaman mu?" 

wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati ini ter-

senyum mengejek 

'Terserah kau ingin bilang apa. Yang jelas kau sendiri 

tidak kenal lagi siapa dirimu yang sebenamya," suara 

Rangga terdengar tenang "Siapa namanya tadi?" lanjut 

Rangga diarahkan pada Sawung Bulu 

"Melati," sahut Sawung Bulu. 

"Dengar, Melati. Jiwamu sedang dipengaruhi oleh 

kekuatan iblis! Aku ingin membebaskanmu dari pengaruh 

itu. Berbuatlah wajar dan b'dak melakukan hal hal yang 

dapat merugikan dirimu sendiri. Pengaruh ibhs itu tak akan 

lenyap tanpa kau sendiri yang bersedia melepaskannya." 

Melati hanya mencibir penuh ejekan 

"Bantu aku, Sawung," kata Rangga. 

Rangga mengangkat tubuh Melati dibantu Sawung 

Bulu. Mereka mendudukkannya dekat api. Tanpa banyak 

bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti membuka pakaian 

atas Melati. 

"Kurang ajar! Kubunuh kau!" sentak Melati geram. 

Seketika wajah Melati merah padam menahan malu 

dan geram. Sawung Bulu sampai tak berkedip memandang 

bagian dada Melati yang membulat indah dan terbuka 

lebar. Sangat jelas teriihat karena dia berada tepat di


depannya. Tangannya yang memegangi pundak Melati, jadi 

berkeringat gemetaran. Beberapa kali Sawung Bulu 

menelan hidah membasahi teng gorokan yang mendadak 

kering. 

Rangga tidak mempeduhkan makian Melati. Terus 

dibukanya bagian belakang tubuh wanita itu, kemudian 

duduk bersila. Kedua tangannya terbuka dan diletakkan di 

punggung yang putih mulus. Sedikit Rangga bergetar begitu 

merasakan halusnya kulit punggung Melati. Secepatnya 

Pendekar Rajawali Sakti itu menekan perasaannya yang 

mendadak bergejolak 

Kelopak mata Rangga terpejam. Dikerahkan hawa 

murni dalam tubuhnya, dan disalurkannya ke telapak 

tangan yang menempel erat di punggung Melab 

"Lepaskan tanganmu, Sawung," kata Rangga sambil 

membuka matanya. 

Sawung Bulu melepaskan tangannya dari pundak 

Melati. Dia benngsut ke samping agak menjauh. Namun 

matanya tidak mau lepas menatap bukit indah yang 

terbuka. 

Ketika hawa mumi yang tersalur dalam telapak tangan 

Rangga menyentuh kulit punggung Melati, tiba-tiba wanita 

itu mengejang kaku. Semakin lama tubuh Rangga semakin 

kuat bergetar. Asap putih mengepul tipis dari punggung 

Melati. Dan saat Rangga mendengus keras, Melati 

berdahak 

"Hoek!" 

Dari mututnya ke luar cairan kuning kehijauan yang 

kental. Dua kali Melati berdahak, dua kali pula cairan itu 

meluncur dari mulutnya. Rangga masih menyalurkan hawa 

murni ke tubuh wanita itu. Kini keringat telah menganak 

sungai di wajah dan di tubuh Rangga. 

"Aaa...!" tiba-tiba Melati menjerit keras. 

Rangga menarik tangannya bersamaan dengan ter-

kulainya wanita itu ke pelukan Rangga. Sebentar Pendekar 

Rajawali Sakti menarik napas panjang lalu ditutupinya lagi 

tubuh yang polos terbuka. Tangannya agak bergetar ketika


memakaikan baju Melati kembali. 

Masih sedikit gemetar, jari-jari tangan Rangga menyeka 

darah yang merembes ke luar dari sudut bibir Melati. Dia 

menggeser tubuhnya, dan dibiarkan wanita itu tergolek di 

tangan lembab dalam goa. Melati tergolek dengan dada 

bergerak teratur. Baju hitamnya sudah kembali rapih 

seperti semula membungkus tubuh yang ramping indah. 

"Bagaimana?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat. 

"Masih perlu waktu. Pengaruh iblis terlalu kuat ter-

tanam pada aliran darahnya," jawab Rangga sambil me-

mindahkan tubuh Melati kembali ke atas tumpukan daun-

daun kering. 

Rangga menghenyakkan tubuhnya kembali dan ber-

sandar di dinding goa. Matanya tetap memandang pada 

wanita yang kini tergolek bagai tidur pulas. Kepala Rangga 

menggeleng-geleng dengan kening agak ber kerut 

"Berbahaya sekali...," gumam Rangga pelan. "Apanya 

yang berbahaya?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat. 

Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti. 

"Aku tidak bisa membantunya dengan menyalurkan 

hawa murni," sahut Rangga pelan 

"Lalu...?" 

"Satu-satunya jalan hanya Raja Dewa Angkara yang 

bisa memulihkan." 

"Maksudmu, obat pemunahnya hanya pada Raja Dewa 

Angkara?" 

"Ya, hanya dia yang tahu jenisnya. Hanya dia pula yang 

bisa menyembuhkannya. Aku tidak tahu, apakah berbentuk 

pil atau cairan. Atau mungkin dan kekuatan bathin." 

Sawung Bulu mendesah panjang. Dia sudah bisa 

paham maksud kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. 

Satu-satunya cara adalah melenyapkan Raja Dewa 

Angkara. Susahnya, iblis itu mempengaruhi wanita-wanita 

yang diserahkan untuk korban persembahan melalui 

kekuatan gaib dan kebathinan. Jika hanya ramuan saja, 

masih bisa dicari jenis ramuan pemunahnya. 

Sedangkan, sepertinya Pendekar Rajawali Sakti sendiri


sudah mengetahul penyebab gangguan jiwa pada wanita 

ini. Hanya saja dia tidak ingin menyebutkannya. Sawung 

Bulu bisa menangkap rahasia yang tersembunyi dari 

cahaya mata Pendekar Rajawali Sakti. 

***


LIMA


Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki 

mendekati mulut goa. Bergegas dia melompat mendekati 

mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak 

belukar yang menutupi mulut goa kecil ini. 

"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga. 

Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah 

masuk Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik 

dinding mulut goa. Dilemparkannya dua ekor kelinci ke 

dekat api unggun yang masih menyala kecil. 

"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak ber-

gumam. 

"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut 

Sawung Bulu terus melangkah. 

Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah 

bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian 

leher ke atas saja yang bisa digerakkan. Pengaruh totokan 

Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga tidak bisa 

lepas kalau tidak ditolong orang lain. 

Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti 

kelinci-kelinci buruannya, dan memanggangnya di atas api 

Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium, 

membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah 

mendekati Melati, lalu duduk di samping wanita itu. 

"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga. 

"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir. 

Rangga hanya tersenyum, laki bangkit mendekati 

Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang mem-

buat perutnya jadi tidak sabaran. Rangga mencomot 

daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya 

kepada Melati. 

"Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung 

Bulu menyodorkan sepotong daging yang sudah matang. 

Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa


makan dalam keadaan tertotok seperti itu? Perutnya 

memang lapar sekali, tapi pengaruh iblis yang menguasai 

jiwanya lebih memilih lapar daripada menerima kebaikan 

Sawung Bulu. 

Sawung Bulu menoleh pada Rangga yang tengah 

menikmati makan paginya. Sinar matanya menyiratkan 

agar Rangga mau membebaskan totokan pada tubuh 

Melati. 

"Sudahlah, dia tidak akan mati jika hanya dua tiga hari 

tidak makan," kata Rangga seperti mengetahui arti tatapan 

Sawung Bulu 

Sawung Buhl mencuil sedikit daging kelinci, lalu 

disuapkannya ke mulut Melati. Tetapi wanita itu malah 

membuang mukanya ke samping. Sinar matanya me-

mancarkan kebencian yang amat sangat. Sawung Bulu 

hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Bahunya 

terangkat sedikit Kemudian dimakannya sendiri daging 

panggang itu 

Sebenarnya Sawung Bulu merasa kasihan melihat 

Melati tersiksa seperti itu. Tapi dia tidak berani mele-

paskan totokan di tubuhnya. Dalam keadaan seperti 

sekarang ini, Melati sangat berbahaya bila terlepas dari 

pengaruh totokan. 

"Kau pasti kenal betul dengan Wratama," kata Rangga 

yang tiba-tiba ingat dengan kejadian semalam di kedai 

makan sekaligus tempat penginapan itu. 

"Wratama...? Tentu saja aku kenal. Ada apa dengan-

nya?" tanya Sawung Bulu. 

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu ke-

dudukannya di Desa Pasir Batang." 

"Wratama orang kepercayaan Ki Brajananta. 

Kedudukannya tidak beda dengan wakil kepala desa," 

Sawung Bulu menjelaskan 

"Dia juga murid Padepokan Pasir Batang?" 

"Bukan. Wratama pernah jadi punggawa kerajaan. 

Entah kenapa dia keluar, lalu belajar ilmu kesaktian pada 

seorang pertapa di Gunung Kidul. Dia datang ke Desa Pasir


Batang sekitar sebelas tahun lalu." 

"Ada keluarganya di sana?" 

"Wratama masih keponakan Ki Brajananta. Ayahnya 

adik sepupu Ki Brajananta yang dulu juga menjabat Kepala 

Desa Pasir Batang." 

"Hm, kau tahu nama pertapa itu?" tanya Rangga. 

"Kalau tidak salah namanya Eyang Parang Jati. Beliau 

sudah mangkat sehari setelah Wratama meninggalkannya. 

Khabarnya dia mangkat setelah menurunkan seluruh 

llmunya pada Wratama yang jadi pewaris tunggal." 

"Kau tahu, sampai di mana tingkat kepandaiannya?" 

tanya Rangga lagi. Dia semakin tertarik untuk mengetahui 

latar belakang kehidupan Wratama. 

"Sayang sekali, aku belum perah melihat Wratama 

menggunakan ilmunya. Dia seperti tidak memiliki satu 

kepandaian pun." 

Rangga tercenung sejenak. Memang kelihatannya 

Wratama hanya seperti orang biasa yang awam terhadap 

ilmu olah kanuragan atau ilmu-ilmu kesaktian. Sikap dan 

pembawaannya tenang, dan tidak banyak bicara. Wratama 

ibarat pemuda lemah yang biasa hidup bagai seorang 

pangeran manja dikelilingi puluhan pengawaL Penampilan-

nya pun rapih dan perlente. 

Memang tidak ada yang bisa menduga kalau Wratama 

memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Setiap orang 

pasti menyangka dia seorang pemuda lemah. Rangga 

sendiri semula menduga begitu Tapi semuanya pupus 

setelah dilihatnya langsung Wratama tengah mengerahkan 

ilmu peringan tubuh. Yang menjadi pertanyaaan sekarang, 

apa hubungannya Wratama dengan Raja Dewa Angkara? 

"Aku akan ke luar sebentar," kata Rangga seraya 

bangkit berdiri. "Kau di sini saja, ingat jangan coba-coba 

membebaskan dia dari totokanku." 

Sawung Bulu hanya mengangguk Dia sudah percaya 

penuh pada kemampuan Pendekar Rajawali Sakti ini 

Sedikit pun tidak ada lagi keraguan di hatinya.


*** 

Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke 

tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa 

suara sedikit pun. Sebentar saja sudah terlihat berada di 

balik tembok rumah Wratama. 

Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan 

sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam 

di belahan bumi bagian barat. Bulan yang menggantikan-

nya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam. Rangga 

melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk 

menuju atap. 

"Uts!" 

Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kaki-

nya akan menapak atap. Seberkas sinar keperakan 

meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih 

berada di udara, kembah sinar keperakan meluncur deras 

mengancam dirinya 

Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun 

Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar 

keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat 

cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke 

atas atap. 

"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui 

sebuah ruyung kecil berada di genggamannya. 

Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia. 

Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar 

keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat 

cepat menangkap salah satu sinar. 

"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah 

ruyung kecil berada di genggamannya dari perak murni. 

Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya. 

Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas 

dilihatnya sesosok tubuh berpakaian warna gelap ber-

kelebat di antara pepohonan. 

Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah 

sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar


Rajawali Sakti meluruk, tahu-tahu sudah ada di depan 

orang itu. 

"Wratama!" sentak Rangga. 

Orang berpakaian gelap itu memang benar Wratama. 

Dia tampak terkejut ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti 

sudah berdiri menghadang. Tiba-tiba tangannya bergerak 

cepat, dan dua buah sinar keperakan berkelebat meluncur 

ke arah Rangga 

Tap! Tap! 

Rangga menggerakkan tangannya dengan cepat. Dua 

sinar keperakan kembali meluncur berbalik ke arah si 

pemiliknya. Wratama melompat menghindari senjatanya 

sendiri. Dua ruyung perak itu meluruk melewati ujung 

bawah kakinya, dan menancap ke pohon di belakangnya. 

Lemparan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan 

tenaga dalam maha dahsyat membuat pohon yang ter-

tancap ruyung terbelah dua Suara gemuruh terdengar dari 

pohon yang terbelah bagai terbelah oleh kampak. Pohon 

pun tumbang Wratama yang tidak menyangka akan se-

hebat itu serangan balik Pendekar Rajawab Sakti, hanya 

terkesiap saja. 

"Hm, rupanya nama besar Pendekar Rajawali Sakti 

hanya nama kosong!" sinis suara Wratama penuh nada 

ejekan. 

"Kau pantas jadi orang panggung, Wratama. Hebat 

sekali permainan sandiwaramu," Rangga balas mengejek 

"He he he...!" Wratama tertawa terbahak-bahak 

"Tertawalah sepuasmu. Malam ini kedok busukmu tak 

akan berguna lagi kau pamerkan!" terasa dingin suara 

Rangga. 

"Hebat..! Ancamanmu sungguh hebat untuk menakut-

nakuti bocah ingusan. Tidak kusangka gelandangan hina 

rendah berani memakai nama pendekar besar. He he he.... 

Kau pikir dengan memakai nama Pendekar Rajawali Sakti 

aku akan gentar? Seribu Pendekar Rajawali Sakti datang 

ke sini, aku tidak akan mundur satu langkah pun!" 

"Sombong!" dengus Rangga muak


Sret! 

Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak 

kecil dari ballk bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam 

pekat dengan ujung runcing berwarna merah. Dari ujung 

tombak itu memancar sinar bagai api yang slap berkobar-

kobar membakar apa saja yang terkena. 

Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah. 

Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa 

pamor tombak itu. Pamor itu memancarkan hawa panas 

menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang. 

"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri, 

pendekar edan!" dengus Wratama mengejek 

Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus 

pembukaan 'Cakar Rajawali'. Seketika saja jari-jari tangan-

nya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan itu, 

Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke 

seluruh tubuhnya. Hawa panas dari pamor tombak itu 

demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan 

hawa murni untuk mengimbanginya. 

"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak 

Wratama. 

"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis. 

"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa 

senjata!" 

"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh 

akal busukmu yang bcik!" dengus Rangga. 

"Setan!" geram Wratama. 

Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluar-

kan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat 

cepat sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah 

saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri ketika 

ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah 

dadanya. 

Sinar merah membara berkelebat di depan dada 

Rangga. Hawa panas terasa menerpa. Rangga mengangkat 

tangan kanannya dan menyentil ujung tombak itu. Namun 

tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan tenaga


sentilan Itu untuk memutar tombaknya. Cepat sekali 

gerakan tombak itu berputar. Rangga sampai terkelap 

matanya, lalu dengan cepat dilentingkan tubuhnya ber-

putar ke belakang. Ujung tombak yang memancarkan sinar 

merah panas itu berkelebat di sekitar tubuh Pendekar 

Rajawali Sakti yang berputaran ke belakang. Menyadari 

lawannya tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali 

Sakti jadi geram. Ujung jari tangannya menotok ujung 

tombak yang datang mengarah dada. 

Ketika ujung tombak sedikit goyang, secepat kilat 

Rangga melentingkan tubuhnya sejauh dua batang 

tombak, lalu dengan manis mendarat kembali di tanah. 

Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Wratama 

mengetahui kelemahan jurus Cakar Rajawali, sehingga 

tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Rangga untuk 

membalas. 

"He... he... he...," Wratama terkekeh melihat lawannya 

seperti kebingungan. 

Dalam beberapa gebrak saja, Wratama sudah dapat 

melihat keunggulan dan kelemahan jurus 'Cakar Rajawali'. 

Dilihatnya bagian dada Rangga selalu kosong. Maka 

dengan cepat dada itu diincamya, sementara dibiarkan 

ujung tombaknya dijadikan sasaran jari-jari yang kaku 

mengeras bagai baja. Tidak sedikit pun Wratama memberi 

kesempatan pada Rangga untuk memainkan jari-jari 

tangannya yang sangat berbahaya 

"Hanya jurus mainan bocah kau pamerkan padaku," 

ejek Wratama. 

"Hmmm...," Rangga bergumam. 

Matanya tetap tajam menatap lawannya. Kedua 

tangannya direntangkan ke samping. Dia telah siap dengan 

jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Jurus andalan yang 

kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Cepat sekali 

kedua tangan Rangga bergerak mengibas, bagai sepasang 

sayap seekor rajawali. Dan kini kaki Rangga tidak lagi 

menapak tanah. 

"He... he... he..., permainan sihir yang buruk!" ejek



Wratama. 

Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak 

Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun 

tidak kalah cepat. Digerak-gerakkan tombaknya ke kanan 

dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga. 

Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan 

Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak ber-

pengaruh apa-apa. Bahkan beberapa kali Wratama ber-

hasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya. 

Pendekar Rajawali Sakti merungkatkan serangannya. 

Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah 

sambil mengibaskan kedua tangannya mengincar bagian-

bagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih 

kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar 

Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan 

mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan 

Rangga, sehingga serangan-se-rangan itu dapat dlpatahkan 

di tengah Jalan 

"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam 

hati. 

Menyadan kalau jurus 'Sayap Rajawali Membelah 

Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat 

tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi 

Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga 

makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak meluruk 

mengincar kepala lawan. 

Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa 

kali harus jatuh bangun menghindari terjangan kaki 

Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala. Desiran 

angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa 

mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi agar 

tubuhnya tidak goyah. 

Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai 

topan. Beberapa pohon sudah bertumbangan terkena 

sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-daun 

berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki 

pendekar muda itu.


Pendekar Rajawali Sakti bagai bertarung dari segala 

arah. Sebentar di bawah, sebentar menyerang dari atas. 

Hal ini membuat Wratama kebingungan menghadapi 

serangan itu. Sampai saat ini Wratama belum mendapat-

kan celah kosong kelemahan jurus itu. 

"Mampus kau...!" teriak Rangga tiba-tiba. 

"Akh!" Wratama terkejut 

Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke 

udara, dan meluruk kembali dengan kaki mengarah ke 

bawah. Kedua kakinya bergerak cepat sehingga yang 

teriihat hanya bayangannya saja. Wratama sangat terkejut 

Cepat-cepat diangkat senjata tombak pendek itu. 

Wut! Wut! Wut! 

Wratama mengebutkan tombaknya berputar me-

lindungi kepala. Dugaannya, Rangga pasti mengincar 

kepala. Tapi temyata meleset. Sulit dilihat dengan mata 

biasa, tiba tiba saja Rangga sudah berdiri di depannya, dan 

bagai kilat kaki kanannya menghantam. 

"Aaakh...!" Wratama menjerit tinggi. Kaki kanan 

Pendekar Rajawali Sakti telak men darat di dada Wratama. 

Tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' 

disertai pengerahan tenaga dalam yang hebat membuat 

tubuh Wratama teriontar deras ke belakang. Tubuh itu 

terus meluncur menghantam pohon besar hingga hancur 

berkeping-keping Tidak berhenti sampai di situ, tubuh 

Wratama terus meluncur menumbangkan pohon-pohon 

lainnya. 

Tubuh Wratama baru berhenti setelah menghantam 

sebuah baru besar yang menimbulkan suara gemuruh. 

Belum lagi tubuh Wratama menyentuh bumi, tiba-tiba 

Rangga meluruk deras, dan.... 

"Aaa...!" kembali Wratama menjerit melengking. Tangan 

Rangga mengibas, bagaikan sebilah pedang, membabat 

buntung tangan kiri Wratama. Darah muncrat deras dari 

pangkal lengan yang buntung. Rangga segera merampas 

tombak dari tangan kanan Wratama, lalu ditekannya dada 

Wratama dengan lututnya. Ujung tombak menempel ketat


di leher Wratama. 

"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak 

lagi peduli dengan rasa nyeri pada pangkal lengannya yang 

buntung itu. 

Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati 

Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama. 

Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping 

terkena tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar 

Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga. 

Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya, 

Wratama masih hidup. 

Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya 

mampu meringis. Dadanya terasa remuk dan nyeri. 

Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya. 

Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai 

merembes ke luar dari leher Wratama. 

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahak-

bahak 

Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama ter-

tawa tergelak, padahal keadaan jiwanya terancam maut 

"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher 

yang tergores membiru. 

Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam 

yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat 

ditotoknya beberapa bagian di sekitar leher Wratama yang 

sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti menjalar. 

"Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokan-

mu tidak akan berpengaruh apa apa pada racun tombak-

ku." kata Wratama seraya terkekeh 

"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus 

diadili seluruh penduduk Desa Pasir Batang dulu!" dengus 

Rangga. 

"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima 

akibatnya dari Raja Dewa Angkara!" 

"Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut 

Rangga. 

"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak


ada seorang pun yang bisa menghalangi Raja Dewa 

Angkara!" 

Rangga kian geram. Warna biru dari racun tombak 

hitam itu terus menjalar ke seluruh tubuh Wratama. 

Rangga segera berdiri dan membiarkan Wratama 

mengoceh di akhir hidupnya 

"Dengar, pendekar bodoh! Kehadiranmu di desa ini 

hanya sia sia saja. Raja Dewa Angkara tak dapat dihalangi. 

Mati pun aku akan tersenyum. Sudah lama aku mengingin-

kan kehancuran desa ini! Aku puas dapat membalas sakit 

hati ayahku. Aku puas..., ha ha ha...!" Wratama terus meng-

oceh seperti orang gila. 

"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga. 

"Dia raja dari segala raja dewa-dewa di Kahyangan. Dia 

yang menguasai seluruh manusia di bumi ini!" makin tidak 

karuan ocehan Wratama. 

Rangga akan bertanya lagi, tetapi Wratama telah 

kejang-kejang Seluruh tubuhnya sudah berwarna biru. 

Setelah memuntahkan darah kental kehitaman, Wratama 

diam tak bergerak Mati Rangga mendesah berat 

Ocehan-ocehan Wratama yang kelihatannya ngawur, 

membuat Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya. Sepuluh 

tahun Raja Dewa Angkara merajalela mencengkeram desa-

desa di sekitar lereng Gunung Balakambang. Tentu ada 

maksud tertentu selain menyebarkan pengaruh iblis 

dengan menghancurkan desa-desa satu persatu 

Maksud yang tersehibung dari segala tindakan iblis 

Raja Dewa Angkara yang diwujudkan lewat teror! Rangga 

bergumam beberapa kali. Dicemanya kembali semua kata 

kata Wratama tadi. Kata-kata yang kedengarannya tidak 

beraturan tapi mengandung arti yang dalam meski masih 

diliputi tanda tanya besar. Kesimpulan Rangga, kejadian 

yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini berlatar 

belakang dendam masa lalu. 

"Hm..., Sawung Bulu pemah cerita kalau Wratama itu 

anak bekas kepala desa. Dan dia juga perah jadi punggawa 

kerajaan. Sedangkan tadi dalam ocehannya, Wratama


sempat berkata kalau dia puas telah bisa membalas sakit 

hati ayahnya. Ada apa di balik semua ini?" Rangga bertanya 

tanya dalam hati. 

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak, lalu 

secepat kilat melompat meninggalkan tempat itu. Dalam 

sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat 

lagi ditelan kegelapan malam. 

***


ENAM


Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang 

terbuat dari kayu jati tebal itu sehingga retak bagian 

tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget. Berita 

kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat 

merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya 

menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot 

Dua orang gadis cantik yang sejak tadi duduk di 

sampingnya, segera minggat. Rawusangkan tajam me-

natap Bagaspati dan Paralaya. Kedua orang itu hanya ter-

tunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka 

bisa memakluml kalau Rawusangkan begitu marah men-

dengar Wratama tewas, sebab dia adalah adik satu-

satunya. 

"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya 

Rawusangkan. 

"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati. 

Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik 

yang duduk di samping Paralaya. Wanita yang dilihat 

Rangga berada dalam kamar penginapan bersama 

Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum 

merekah. 

"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata 

Rara Inten dengan suara halus lembut 

"Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu 

sangkan. Dia terkejut juga manakala Rara lnten menyebut-

kan orang yang membunuh adiknya. 

"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas, 

sementara Pendekar Rajawali Sakti berdiri di dekatnya. 

Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten. 

Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak 

sekali kalau sedang gelisah karena Wratama bisa tewas di 

tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja. Rahasia 

Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil


akan gagal rencana yang dibangunnya selama sepuluh 

tahun ini. 

Rawusangkan berhenti melangkah di depan jendela 

yang terbuka lebar. Angin malam langsung menerpa 

tubuhnya. Matanya tajam memandang lurus ke arah lereng 

Gunung Balakambang. Sepuluh tahun Rawusangkan me-

niupkan Raja Dewa Angkara sebagai suatu momok yang 

menakutkan bagj semua penduduk desa-desa di sekitar 

lereng Gunung Balakambang. 

"Malam ini juga kalian harus ke Desa Pasir Batang. 

Hancurkan desa itu! Bunuh siapa saja yang berani 

melawan!" tegas suara Rawusangkan yang memerintah 

tanpa membalikkan badannya. 

"Tapi, Kakang. Bukankah bulan purnama masih dua 

hari lagi? Tidak mungkin Desa Pashr Batang dihancurkan 

sebelum waktunya," Bagaspati mengingatkan. 

Rawusangkan berbalfk, matanya .yang merah menyala 

memandang Bagaspati. Rahangnya terkatup rapat dengan 

gigi bergemeletuk menahan geram. 

"Ini perintahku! Perintah Raja Dewa Angkara pantang 

ditentang!" keras suara Rawusangkan. 

Bagaspati bungkam, tidak berani membantah lagl 

Membantah perintah Rawusangkan alias Raja Dewa 

Angkara berarti maut Bagj Rawusangkan, mencabut nyawa 

tidak sesulit membalikkan telapak tangan. Begitu mudah, 

tanpa menghiraukan nyawa siapa yang akan dicabutnya. 

"Tunggu apa lagi? Laksanakan perintahku, cepat!" 

bentak Rawusangkan. 

Bagaspati menoleh pada Paralaya, lalu dua orang itu 

beranjak pergi. Rawusangkan memandang Rara lnten yang 

masih duduk di tempatnya. Dihampirinya wanita cantik 

yang masih menggairahkan ini. 

"Kau pun harus segera berangkat, Rara lnten," kata 

Rawusangkan. 

Rara lnten hanya tersenyum, lalu berdiri tapi tidak ber-

lalu dari situ. Bibirnya bak delima merekah, terus 

menyunggingkan senyum penuh menggoda. Rara lnten


memutari meja, dihampirinya Rawusangkan. Dengan 

kemanjaan dan daya pikarnya, digelayutkan tangannya di 

leher Rawusangkan. Bola matanya berputar-putar merayapi 

wajah tampak yang berada dekat dengan wajahnya. Sangat 

dekatnya, sehingga desah irama nafasnya menerpa hangat 

pada kulit wajah Rawusangkan. 

Rawusangkan melepaskan pelukan Rara lnten pada 

lehernya lalu mundur dua tindak. Pandangan matanya 

tidak lagi setajam tadi. Kecantikan dan daya pikat Rara 

lnten membuat dingin hatinya. Kemarahannya berangsur-

angsur surut 

Desahan keras terdengar ketika Rara lnten mulai me-

lepas pakaiannya satu persatu. Mendadak Rawusangkan 

merasakan dadanya sesak. Tubuh indah yang kini polos 

tanpa selembar benang yang melekat membuat dadanya 

bergemuruh. Rara lnten melenggang gemulai menuju ke 

kamar yang pintunya terbuka sedikit Tangannya men-

dorong pintu dan terus melangkah masuk. Dibiarkannya 

pintu terbuka lebar Dengan gerakan lembut, dibaringkan 

tubuhnya yang polos di pembaringan. Kepalanya menoleh, 

memandang Rawusangkan yang masih berdiri me-

mandangnya. 

"Marilah, Kakang. Kita nimati malam ini berdua. 

Biarkan mereka bergelimang darah dan amarah," lembut 

suara Rara lnten terdengar. 

Rawusangkan melangkah menuju kamar. Tangannya 

segera menutup pintu setelah kakinya melewati ambang 

pintu. Sebentar saja di dalam kamar hanya terdengar 

desah nafas disertai rintihan mengerang lirih dan men-

dirikan bulu roma. 

*** 

Desa Paste Batang malam itu tampak tenang Lam pu 

pefita kelap kelip di rumah rumah penduduk yang 

lenggang. Namun ketenangan itu tidak dapat dinikmati 

oleh Ki Gandara yang duduk termenung di tangga pendopo


Padepokan Pasir Batang. Pikirannya masih terpusat pada 

Wratama yang tewas mengerikan di halaman belakang 

rumahnya. 

Sementara Sangkala yang berdiri di depannya agak ke 

samping, tidak habis mengerti dengan sikap Wratama yang 

bersekutu dengan Raja Dewa Angkara. Sedankan Rangga 

berdiri bersandar pada tiang pendopo, memperhatikan dua 

orang yang sedang digeluti pikiran masing masing. 

Menurut cerita Ki Gandara, ayah Wratama mati ter-

bunuh saat masih menjabat kepala desa. Kematiannya 

membuat Wratama seperti kehilangan tongkat pegangan 

dan kendali hidup. Sejak itulah dia menghilang beberapa 

tahun lamanya. Kabar terakhir didapat, Wratama telah jadi 

punggawa kerajaan. Tapi itu tidak lama, karena Wratama 

kalah dalam adu ilmu dengan seorang pertapa tua dari 

Gunung Kidul. Sejak itu Wratama berguru pada pertapa tua 

itu. Semua yang diceritakan Ki Gandara sama persis 

dengan cerita Sawung Bulu. 

Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa yang mem-

bunuh ayah Wratama? Sampai sekarang tidak ada yang 

tahu. Hingga Wratama muncul di desa ini sebelas tahun 

yang lalu, keterangan tentang pembunuh orang tuanya 

masih gelap. Setahun setelah Wratama kembah ke Desa 

Pasir Batang, terjadi kegemparan dengan munculnya nama 

Raja Dewa Angkara. 

"Aku tidak menduga sama sekali kalau kejadian Ini 

buntut dari peristiwa dua puluh tahun lalu," gumam Ki 

Gandara pelan. 

Peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu itu 

rupanya terpendam dalam benak Wratama menjadi 

dendam. Pada waktu itu usianya sekitar lima belas tahun 

"Apakah Wratama mengira pembunuh ayahnya ada di 

desa ini, Kl?" tanya Sangkala'. 

"Entahlah," desah Ki Gandara. "Sejak kematian 

Ardareja, Brajananta menggantikan kedudukannya sampai 

sekarang. Dua sepupu itu memang selalu berselisih. Jalan 

hidup mereka berlawanan sekali. Ardareja menggunakan



kekuasaan dan kekayaan untuk memuaskan nafsunya." 

Rangga kian tertarik mendengarnya. Dia mendekat dan 

duduk di samping Ki Gandara. Otaknya langsung bekerja 

mencerna dan merangkai setiap cerita yang pernah terjadi 

di Desa Pasir Batang. 

"Ardareja selalu memaksakan kehendaknya bila meng-

inginkan seorang gadis yang menarik hatinya. Bukan saja 

gadis-gadis Desa Pasir Batang yang jadi korban nafsu 

setannya. Gadis-gadis desa Iain pun tidak lepas dari 

perhatiannya. Meskipun sudah mempunyai tiga istri, 

Ardareja masih saja mencari gadis-gadis cantik. Belum lagi 

tindakannya yang selalu menyengsarakan rakyat" 

"Selain Wratama, siapa lagi anaknya?" tanya Rangga. 

"Sebenamya Wratama punya kakak laki-laki. Tetapi 

sejak lahir anak itu diambil oleh seorang pengembara yang 

adiknya jadi korban nafsu Ardareja." 

"Siapa pengembara itu?" tanya Rangga lagi. 

"Pengembara itu dikenal dengan nama Raja Obat," 

sahut Ki Gandara. "Dia seorang tokoh sesat Tapi sejak dia 

menculik bayi pertama Ardareja, namanya tidak pernah 

terdengar lagi." 

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini jelas 

sudah kalau peristiwa yang terjadi sepuluh tahun ini, 

didasari oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kejadian 

berantai yang tak berkesudahan. Kejadian yang dilumuri 

dendam buta tanpa sasaran yang pasti. 

Tiba-tiba Rangga teringat dengan Rawusangkan, 

Bagaspati, dan Paralaya. Seluruh penduduk Desa Pasir 

Batang menganggapnya sebagai sesepuh dan tetua desa. 

Tapi kedudukannya belum jelas bagi Rangga. 

"Ki Gandara dapat menjelaskan tentang Rawusangkan, 

Bagaspati, dan Paralaya?" pinta Rangga. 

Ki Gandara tidak segera menyahuti, tapi hanya 

menatap Pendekar Rajawali Sakti itu dengan tatapan tak 

mengerti. 

"Terus terang, aku curiga pada mereka bertiga," kata 

Rangga bisa mengerti arti pandangan Ki Gandara.



"Mereka orang-orang terpandang di desa ini, dan desa-

desa lainnya di sekitar lereng Gunung Balakambang," kata 

Sangkala dengan nada seakan tidak senang dengan 

kecurigaan Rangga itu. 

"Apakah mereka berasal dari desa ini juga?" 

Rangga tidak peduli dengan kebdaksukaan Sangkala 

pada pertanyaannya tadi. 

"Tidak!" lagi-lagi Sangkala yang menyahut 

"Aneh, sungguh aneh," Rangga bergumam "Bagaimana 

mungkin orang yang tidak diketahui asal usulnya bisa jadi 

panutan dan sesepuh desa? Bukankah ini satu hal yang 

tidak wajar?" 

Ki Gandara dan Sangkala tersentak seperti baru ter-

sadar dari sebuah mimpi buruk yang panjang. Kata-kata 

Rangga yang bernada seperti pertanyaan itu membuat dua 

orang terpandang di Desa Pasir Batang ini terdiam seribu 

bahasa. Kata-kata itu sungguh tepat menyentuh sudut hati 

mereka yang paling dalam. 

Kecurigaan itu memang beralasan. Tidak seorang pun 

penduduk desa ini yang tahu asal-usul tiga orang itu. 

Apaiagi mereka datang bertepatan dengan munculnya 

Wratama di desa ini Dan setahun kemudian terjadilah 

kegemparan di seluruh desa di lereng Gunung Bala-

kambang. 

Saat mereka diam tercekam oleh pikiran masing 

masing, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan 

tenakan dari arah Timur Desa Pasir Batang. Ketiga orang 

itu terdongak dan terkejut melihat kilauan api yang mem-

besar seketika. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera 

melompat bagai kilat melewati tembok padepokan yang 

tinggi. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti telah 

lenyap dari pandangan mata. 

"Kumpulkan anak-anak, atur penjagaan!' perintah Ki 

Gandara. 

"Ki..!" 

Suara Sangkala terputus karena Ki Gandara telah lebih 

cepat melompati tembok yang mengelilingi padepokan.


Sangkala kebingungan. Bergegas dia berteriak memanggil 

semua murid padepokan Pasir Batang. Segera murid-murid 

padepokan diperintahkan berjaga-jaga di sekitar 

padepokan, dan sebagian mengikutinya menuju luar desa. 

Sementara itu di bagian Timur Desa Pasir Batang 

terlihat kobaran api yang makin lama makin besar. Suara 

suara gaduh dan jerit-jerit kematian makin ramai ter-

dengar. Malam yang semula tenang, berubah seketika 

menjadi hiruk-pikuk yang memilukan 

*** 

Segerombolan orang berpakaian serba hitam meng-

amuk membantai siapa saja yang teriihat. Mereka tidak 

memandang baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan 

anak-anak pun mereka bunuh. Tanpa betas kasihan sama 

sekali. Dalam waktu sekejap saja sudah banyak mayat 

bergelimpangan memenuhi jalan Desa Pasir Batang 

Beberapa rumah terbakar, bahkan beberapa di antaranya 

sudah roboh rata dengan tanah. 

"Setan! Biadab!" dengus Rangga yang baru tiba di 

tempat kerusuhan itu. 

Seketika saja darah Pendekar Rajawali Sakti bergolak 

mendidih. 

Sret! 

Pedang pusaka yang terhunus telah tercabut oleh 

Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya biru pun membias seolah 

ingin mengalahkan sinar api yang mengganas melahap 

rumah-rumah penduduk. 

Tanpa mempedulikan lagi kalau orang-orang yang me-

lakukan kebiadaban itu di luar kesadarannya sendiri, 

Rangga melompat sambil mengibaskan pedang pusaka 

Rajawali Sakti. Sinar biru berkelebat cepat diiringi teriakan 

yang tinggi. Dua orang berpakaian serba hitam langsung 

roboh terkena sambarannya. 

"Kepung! Bunuh dia!" tiba-tiba terdengar teriakan keras 

memberi perintah.


Baru saja hilang suara perintah itu, enam orang ber-

pakaian serba hitam segera mengepung Pendekar Rajawali 

Sakti. Hal ini membuat Rangga kian geram. Sambil 

mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia 

bergerak cepat mengibaskan pedang pusakanya. 

"Minggir, kalian tidak sadar! Minggir!" teriak Rangga 

keras. 

Pedang terus berputar berkeliling menangkis hujaman 

tombak hitam yang datang dari segala arah. Tombak 

tombak itu segera patah jadi dua terkena sabetan pedang 

Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat kaki-kakinya 

bergerak seraya jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah 

utama lawan lawannya Dalam satu gebrakan saja, empat 

orang yang mengepungnya roboh kena totokan di bagian 

tubuhnya. 

Sengaja Rangga tidak membunuh. Dia hanya membuat 

lawan lawannya lemas tak bertenaga. Gerakan-gerakan 

kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan lincah, 

sehingga seakan-akan melayang di atas tanah. Sementara 

pedangnya berkelebat, tangan kirinya mengincar jalan 

darah lawan. 

"Jangan bunuh mereka!" teriak Rangga ketika melihat 

beberapa murid Padepokan Pasir Batang berdatangan 

hendak membunuh orang-orang yang sudah tak berdaya 

terkena totokan. 

Mendengar teriakan itu, murld-murid Padepokan Pasir 

Batang segera berhenti. Mereka hanya membuat lingkaran 

dipimpin oleh Sangkala, melindungi penduduk yang 

berlarian mencari selamat. 

"Rangga, mengapa kau tidak bunuh mereka?" tanya Ki 

Gandara ketika melompat ke dekat Rangga. 

"Mereka tidak berdosa, Ki. Nanti aku jelaskan!" jawab 

Rangga. 

Ki Gandara tidak bisa bertanya lagi karena sebatang 

tombak meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat di-

miringkan tubuhnya menghindari ancaman ujung tombak 

itu. Dengan satu tipuan yang manis, tangan kirinya terulur


menotok bagian pundak orang yang menyerangnya. 

Seketika lemas dan jatuhlah orang itu. Ki Gandara 

mengikuti anjuran Pendekar Rajawali Sakti untuk membuat 

lumpuh saja lawan lawan mereka. 

Dalam waktu yang tak lama, separuh dari jumlah lawan 

telah roboh lemas tak bertenaga. Sisanya yang berjumlah 

kira-kira dua puluh orang segera memusatkan perhatian 

pada dua orang tangguh ini. Mereka seperti tidak peduh 

lagi dengan penduduk yang telah terlindung aman di 

belakang murid-murid Padepokan Pasir Batang. 

Dalam keadaan yang kacau seperti ini, Pendekar 

Rajawali Sakti masih bisa memperhatikan dua orang yang 

kelihatannya lebih menonjol daripada yang lain. Meskipun 

pakaian mereka sama, tapi dari gerakan-gerakannya dapat 

dibedakan. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat 

memusatkan perhatian lebih lama lagi karena terhalang 

oleh yang lain. Serangan serangan mereka makin meng-

hebat, namun satu dua orang masih bisa dilumpuhkan. 

"Mundur...! " tiba-tiba terdengar teriakan keras. 

Mendengar komando itu, seketika orang-orang ber-

pakaian serba hitam berlompatan. Gerakan mereka cepat 

dan ringan, sebentar saja mereka telah hilang di kegelapan 

malam. Rangga memasukkan pedangnya kembali ke 

sarungnya di punggung. Nyala api yang melahap rumah-

rumah penduduk masih membuat keadaan terang 

Tiba-tiba Ki Brajananta datang tergopoh-gopoh meng-

hampiri. Napasnya masih memburu terengah-engah meski-

pun sudah berdiri di depan Pendekar Raja wah Sakti. 

"Dewi Purmita..., putriku...," terputus-putus Ki Braja-

nanta berkata. 

'Tenang, Ki. Apa yang terjadi dengan putrimu?" tanya 

Rangga. 

"Putriku..., putriku diculik!" sahut Ki Brajananta masih 

tersengal. 

"Setan!" Sangkala mengeram. Giginya bergemelutuk 

menahan marah 

"Ki Gandara, tolong jaga mereka. Jangan ada yang


dilepaskan totokannya," kata Rangga. 

"Kau akan ke mana?" tanya Ki Gandara. 

"Aku harus segera ke sana! Mereka terlalu berbahaya 

jika dibiarkan hidup!" sahut Rangga. 

"Sangkala, kau ikut temani," perintah Ki Gandara. 

'Tidak usah, Ki. Sebaiknya Sangkala menjemput 

Sawung Bulu di goa baru dekat sungai. Ada seorang lagi 

dari mereka! Kalian semua pasti mengenalinya." 

Ki Gandara akan berkata, tiba-tiba Pendekar Rajawali 

Sakti telah lenyap. Ki Gandara bergumam memuji 

kesempurnaan ilmu meringankan tubuh pendekar muda 

itu. 

"Bagaimana, Ki?" tanya Sangkala. 

"Sebaiknya kau segera menemui Sawung Bulu. Bawa 

empat orang untuk menemanimu. Jika telah bertemu, kau 

bersama Sawung Bulu ikuti pendekar itu. Biarkan empat 

orang murid kita membawa orang di katakan pendekar itu," 

kata Ki Gandara. 

"Baik, Ki!" sahut Sangkala. 

Bersama empat orang yang ditunjuk Sangkala, mereka 

segera bergerak ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara 

itu Ki Gandara memerintahkan murid muridnya untuk 

membawa tawanan mereka yang kini tak berdaya. 

Sedangkan Ki Brajananta memerintahkan penduduk yang 

masih hidup untuk mengurus mayat-mayat yang ber-

gelimpangan. 

"Adik Brajananta, kita tidak bisa tinggal diam di sini," 

kata Ki Gandara. 

"Maksud Kakang?" tanya Ki Brajananta. 

"Kita harus ke Gunung Balakambang." 

"Untuk apa? Bukankah pendekar itu ingin menye-

lesaikannya sendni?" 

"Apa kau tidak ingin mengetahui siapa Raja Dewa 

Angkara sebenarnya? Apakah kau tidak khawatir dengan 

keselamatan putrimu?" Ki Gandara jadi gusar juga. 

Ki Brajananta tersentak, lalu cepat-cepat melangkah. Ki 

Gandara tersenyum dengan gelengan kepala beberapa


kali. Dia menggerundel dalam hati melihat kelakuan Ki 

Brajananta yang tidak berubah sejak muda dulu. Selalu 

harus dipecut dulu sebelum bertindak. Tidak heran kalau 

selaku kepala desa dia tidak bisa bertindak tegas, mudah 

dipengaruhi orang lain. 

Kelemahan inilah yang membuat Raja Dewa Angkara 

mudah menguasai Desa Pasir Batang. 

***


TUJUH


"Sawung Bulu, di mana kau...!" 

Teriakan yang keras dan menggema itu membuat 

Sawung Bulu tersentak kaget. Bergegas dia bangun dari 

tidurannya Teriakan itu terdengar sangat dekat dan 

berulang-ulang. Dia kenal dengan suara itu. 

"Paman Sangkala...," desis Sawung Bulu. "Bagaimana 

mungkin dia tahu aku ada di sini?" 

Sawung Bulu sedikit ragu-ragu untuk ke luar goa. 

Matanya sempat melirik Melati yang masih tergolek lemas 

di atas hamparan dedaunan. Rupanya Melati juga men-

dengar suara itu, namun karena pengaruh totokan pada 

tubuhnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. 

"Sawung Bulu...!" 

Terdengar lagi suara panggilan yang keras. Pelan-pelan 

Sawung Bulu mendekati mulut goa. Tangannya menyibak-

kan sedikit semak-semak rimbun yang menutupi mulut 

goa. Jelas terlihat Sangkala bersama empat orang lainnya 

berdiri di depan mulut goa dengan mata beredar mencari-

carl 

"Paman.... Paman Sangkala" panggil Sawung Bulu 

sambil menguakkan semak-semak. 

Sangkala langsung menoleh dan berlari ketika melihat 

Sawung Bulu muncul dari rimbunan semak. Sesaat mereka 

saling bertatapan, lalu berpelukan hangat. 

"Aku tak mengira kau masih hidup, Sawung Bulu," kata 

Sangkala penuh rasa haru. 

"Pendekar Rajawali Sakti telah menyelamatkan hidup-

ku, Paman," sahut Sawung Bulu sambil melepaskan 

pelukannya. 

Kembali mereka saling tatap, penuh rasa haru. 

"Bagaimana Paman bisa tahu aku ada di sini?" tanya 

Sawung Bulu. 

"Pendekar yang menolongmu memberitahuku," sahut


Sangkala. 

"Maksud Paman, Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung 

Buhl belum yakin. 

"Benar." 

"Lalu, di mana dia sekarang?" 

"Ke puncak Gunung Balakambang." 

"Celaka!" Sawung Bulu terkejut Wajahnya seketika 

menyiratkan kecemasan. "Ayo, Paman. Kita harus bantu 

dia!" 

"Tunggu dulu, Sawung. Aku juga akan ke sana, tapi aku 

harus membawa dulu orang yang bersamamu di sini." 

Sawung Bulu menepuk keningnya sendiri. Dia teringat 

Melati yang masih tergolek lemas di dalam goa. Cepat-

cepat Sawung Bulu mengajak pamannya ke dalam goa 

batu ini 

Betapa terkejutnya Sangkala ketika melihat Melati 

terbaring lemas di atas tumpukan daun-daun kering 

Pakaian hitam ketat masih membungkus tubuh yang 

ramping. 

"Melati...," desis Sangkala setengah tidak percaya. 

"Benar, Paman. Dia Melati putri Kepala Desa Karang 

Sewu," Sawung Bulu membenarkan. 

"Bagaimana mungkin? Bukankah sudah dijadikan 

korban persembahan tiga tahun yang lalu?" Sangkala 

masih belum percaya. 

"Tidak salah Paman. Tiga tahun yang lalu Melati 

memang dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa 

Angkara." 

Sawung Bulu menjelaskan semuanya yang didapat dari 

Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lupa juga tentang kekuatan 

yang mempengaruhi semua korban korban persembahan, 

sehingga mereka tidak ingat akan diri masing masing Raja 

Dewa Angkara juga menjadikan gadis-gadis itu sebagai 

iaskar yang tangguh. 

Sangkala mendengarkan dengan penuh perhatian. 

Pantas saja Pendekar Rajawali Sakti melarang membunuh 

Iaskar Raja Dewa Angkara yang telah mengganas mem


bantai penduduk desa. Rupanya memang orang-orang itu 

tidak berdosa, yang jiwanya dalam pengaruh kekuatan Raja 

Dewa Angkara. 

"Hm..., siapa Raja Dewa Angkara itu sebenarnya?" 

Sangkala seolah bertanya pada dirinya sendiri 

"Orang-orang yang selama ini kita hormati, Paman," 

sahut Sawung Bulu 

"Maksudmu?" tanya Sangkala tidak mengerti. 

"Rawusangkan, Wratama, Bagaspati, dan Paralaya. 

Merekalah yang menamakan diri sebagai Raja Dewa 

Angkara." 

Bagai disambar petar rasanya Sangkala saat ini. Bola 

matanya menatap tajam Sawung Bulu. Dia masih belum 

percaya dengan pendengarannya sendiri. Apakah Sawung 

Buki tidak main-main? Mereka adalah orang-orang yang 

sangat dihormati, karena mereka orang kerajaan yang 

menguasai seluruh desa di sekitar lereng Gunung 

Balakambang. 

Lebih-lebih Rawusangkan yang sampai saat ini 

sebenarnya masih menjabat patih. Juga Bagaspati dan 

Paralaya yang merupakan punggawa pilihan. Sedangkan 

Wratama bekas punggawa yang sudah beralih jadi tabib 

yang sangat terkenal.. Tetapi untuk Wratama sendiri, 

Sangkala tak ambil peduli. Orangnya telah tewas di tangan 

Pendekar Rajawali Sakti. Menurut Pendekar itu pula, 

Wratama adalah salah satu dari orang-orang Raja Dewa 

Angkara. Hanya yang masih belum dipercaya adalah ketiga 

orang itu. 

"Aku sendiri hamptr tidak percaya kalau mereka berada 

di belakang layar selama ini. Tetapi setelah kubuktikan 

dengan mata kepalaku sendiri, baru aku bisa percaya," 

kata Sawung Bulu. 

"Bagaimana kau bisa tahu semua ini?" tanya Sangkala 

ingin tahu. 

"Dengan itu," Sawung Bulu menunjuk seonggok baju 

hitam yang tergeletak di pojok gua. 

Sangkala menghampiri baju itu, dan mengambilnya.


Baju itu sama persis dengan yang dikenakan Melati, serta 

orang-orang Raja Dewa Angkara lainnya. 

Sangkala memandang keponakannya untuk minta 

penjelasan. 

'Tadi pagi ketika berburu, aku menemukan beberapa 

mayat yang seluruhnya mengenakan baju hitam. Saat 

itulah akalku berjalan. Kulepaskan salah satu baju mayat 

itu yang masih utuh. Dengan baju itu aku menyamar 

sehingga dapat menyusup ke sarang Raja Dewa Angkara," 

Sawung Bulu menjelaskan. 

"Lalu, apa yang kau dapat dari sana?" tanya Sangkala. 

"Raja Dewa Angkara menggunakan kekuatan bathin 

untuk mempengaruhi gadis-gadis korban persembahan 

untuknya sekaligus menjadikan mereka laskar yang 

tangguh dan perkasa." 

Sangkala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam 

hati memuji kecerdikan keponakannya ini. 

"Yang jadi biang keladi semua ini adalah Rara Inten." 

"Rara lnten...?!" Sangkala terkejut. "Bukankah Rara 

lnten istri ketiga Ki Ardareja?" 

"Benar, Paman. Selama ini kita tidak mengetahui kalau 

Rara lnten mempelajari ilmu kekuatan bathin. Rara lnten 

pun tahu betul semua peristiwa yang terjadi dua puluh 

tahun yang lalu. Ketika dia tahu kalau Rawusangkan 

sebenarnya adalah kakak Wratama, anak istri pertama Ki 

Ardareja, maka dengan kekuatan bathin itulah jiwa mereka 

dipengaruhi. Tak ketinggalan dua punggawa kepercayaan 

Rawusangkan ikut dipengaruhi kekuatan bathin itu." 

"Hm...," Sangkala mengguman dengan kepala ter-

angguk-angguk. 

"Sebenarnya pula Rara lnten yang membunuh Ki 

Ardareja. Dia menunggu saat yang tepat untuk melancar-

kan fitnah. Dipengaruhilah Wratama dan Rawusangkan 

dengan mengatakan kalau yang membunuh ayah mereka 

adalah Ki Brajananta." 

"Kenapa Rara lnten melakukan semua itu?" tanya 

Sangkala.


"Rara lnten mencintai Ki Brajananta, namun cintanya 

tak pemah kesampaian. Dia dendam dan melarikan diri 

ketika bayi pertama Ki Ardareja hilang. Kemudian dia 

menyepi di puncak Gunung Balakambang sambil mem-

pelajari semua ilmu-ilmu kebathinan dari buku-buku 

peninggalan kakeknya." 

"Ya, aku tahu itu. Ki Gandara pernah cerita kalau kakek 

Rara lnten seorang ahli kebathinan di samping jadi tabib. 

Hm..., tidak mustahil kalau Wratama dan Rawusangkan 

tidak mengenalnya. Yang pasti Rara lnten sekarang sudah 

tua," pelan suara Sangkala terdengar. 

"Paman salah duga. Rara lnten masih kelihatan muda 

dan cantik," selak Sawung Bulu. 

"Oh...!" 

"Dengan ramuan ramuan yang dikuasainya, Rara lnten 

bisa membuat dirinya jadi awet muda dan tetap kelihatan 

cantik." 

Sangkala menggeleng-gelengkan kepalanya, setengah 

tidak percaya. Tapi dalam dunia ketabiban, hal itu mungkin 

saja bisa terjadi. Tidak mustahil, sebelum meninggal kakek 

Rara lnten menurunkan ilmu-ilmunya pada sebuah buku 

yang kini sudah dikuasai betul oleh Rara lnten. 

"Menakjubkan," gumam Sangkala. "Apa yang dicari 

Rara lnten sebenarnya?" 

"Menguasai seluruh rimba persilatan." 

"Edan!" 

*** 

Sementara itu di puncak Gunung Balakambang, Rara 

lnten tergolek di pembaringan. Butir-butir keringat masih 

mem-basahi tubuh yang hanya ditutupi selembar kain sutra 

tipis biru muda. Lampu pelita yang menerangi kamar 

menembus kain sutra tipis, sehingga bayangan lekuk-lekuk 

tubuh indah tergambar di baliknya. 

Sepasang bola mata Rara lnten yang indah menatap 

Rawusangkan yang berdiri membelakanginya di depan


jendela. Dia beringsut sambil melilitkan kain sutra biru 

muda ke tubuhnya, lahi duduk bersandar membiarkan 

bagian pahanya tersingkap. Cahaya api pelita membias 

menjilati paha yang putih mulus itu. 

"Apa yang kau pandangi, Rawusangkan?" tanya Rara 

lnten dengan suara halus lembut 

Rawusangkan menoleh dan tersenyum. 

"Kau kelihatan murung dan tidak bergairah sekali 

malam ini Ada apa?" masih terdengar lembut suara Rara 

lnten. 

"Entahlah," desah Rawusangkan. "Rasanya hatiku tidak 

enak malam ini." 

"Kau sudah tidak sabar menunggu Dewi Purmita?" Rara 

Inten menebak 

Rawusangkan hanya tersenyum saja. Bayangan Dewi 

Purmita mendadak berkelebat di matanya. 

"Sabarlah. Tidak lama lagi dia akan tunduk padamu. 

Kau bisa menjadikannya kelinci cantik mainanmu. 

Lagi-lagi Rawusangkan hanya tersenyum hambar Dia 

memang tak sabar menunggu Dewi Purmita. Tetapi ada hal 

Iain yang mengganggu pikirannya. Kemunculan Pendekar 

Rajawali Sakti di Desa Pasir Batang inilah yang menjadi 

beban pikirannya. 

Tidak sedikit gadis-gadis Iaskar Raja Dewa Angkara 

tewas di tangan pendekar itu. Dan malam ini seperti ada 

firasat kalau pendekar itu akan menghalangj gerakan Raja 

Dewa Angkara. Tidak biasanya, anak buahnya begitu lama 

menjalankan tugas membumihanguskan satu desa saja. 

Rara Inten beringsut turun dari pembaringan. Langkah-

nya gemulai menghampiri Rawusangkan yang masih di 

tempatnya. Wanita itu langsung mebngkarkan tangannya 

ke leher Rawusangkan. 

Tanpa maksud menyinggung perasaan Rara Inten, 

Rawusangkan melepaskan pelukan di lehernya. Tentu saja 

wanita itu makin heran dengan sikap Rawusangkan yang 

tidak seperti biasanya. Tadi dia pun sangat kecewa karena 

Rawusangkan tidak dapat memuaskan dirinya di atas


ranjang. Kini dia menolak meskipun dengan cara halus. 

"Kau kelihatan lain sekali malam ini. Apa yang kau 

pikirkan?" tanya Rara Inten. 

"Hhh...," Rawusangkan mendesah panjang "Tidak 

biasanya mereka menjalankan tugas begini lama." 

"Ah, barangkali saja mereka mendapat halangan," Rara 

Inten mencoba untuk menenangkan kegalauan hati laki-

laki ini. 

"Halangan itu yang kini jadi beban pikiranku." 

Rara Inten merayapi wajah Rawusangkan. Kekuatan 

bathinnya langsung bekerja menerobos ke dinding hati laki-

laki ini melalui sinar matanya. Rara Inten melangkah 

mundur dua tindak Seketika wajahnya berubah agak 

menegang. 

Pelan-pelan mata Rara Inten terpejam. Kepalanya 

sedikit terdongak Lalu dibuka lagi matanya, dan segera 

menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Raut 

wajahnya makin jelas kelihatan menegang. 

"Setan!" dengus Rara Inten tiba-tiba. 

"Ada apa?" tanya Rawusangkan. 

"Cepat berpakaian, kumpulkan semua anak-anak!" 

tegas suara Rara Inten. 

Rawusangkan tidak membantah. Bergegas dirapikan 

pakaiannya, lalu melangkah menghampiri pintu. Rara Inten 

menoleh 

Rawusangkan belum sempat sampai pintu, mendadak 

terdengar suara ketukan beruntun. Kedengarannya seperti 

terburu-buru. Bergegas Rawusangkan membukanya. 

Tampak Bagaspati berdiri dengan peluh bercucuran di 

vvajahnya. 

"Celaka..., celaka Kakang," terputus-putus suara 

Bagaspati. 

"Apa yang terjadi?" tanya Rawusangkan. 

"Aku tidak butuh laporanmu. Cepat kumpulkan anak-

anak, setan keparat itu sudah dekat!" potong Rara lnten. 

Bagaspati menelan ludahnya ketika melihat Rara Inten 

hanya terbungkus sutra tipis pada tubuhnya. Bayangan



lekuk-lekuk tubuh indah itu menggijurkannya. 

Rawusangkan mendorong Bagaspati, dan segera 

menutup pintu. Sementara Rara Inten memungut pakaian-

nya yang teronggok di lantai kamar beralaskan anyaman 

bambu halus. Tenang sekali mengenakan pakaiannya. 

Pakaian serba hitam yang ketat memetakan bentuk tubuh-

nya yang ramping indah. Dengan langkah tenang, dia ke 

luar kamar. 

Belum sempat Rara Inten mencapai pintu ke luar 

rumahnya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut diikuti jeritan-

jeritan perkelahian. Denting senjata beradu terdengar 

beberapa kali. 

"Huh!" Rara Inten mendengus. 

Sekali hentak saja, tubuhnya meluncur deras ke luar 

dari rumah yang paling besar cfi antara rumah rumah lain 

cfi puncak Gunung Balakambang Dijejakkan kakinya di 

tanah dengan manis. Seketika rahang Rara Inten 

menggeletuk saat melihat kilauan sinar biru di antara 

ujung-ujung batang tombak hitam yang mengurung 

"Setan!" geram Rara Inten saat mengetahui beberapa 

anak buahnya rubuh terkena totokan. 

Dalam beberapa gebrakan saja sekitar dua puluh orang 

berpakaian serba hitam menggeletak dengan totokan pada 

jalan darahnya. Pendekar Rajawali Sakti sengaja untuk 

tidak melukai, apalagi membunuh mereka. Hati 

kependekarannya tidak mengijinkan membantai orang-

orang yang tengah dipengaruhi jiwanya 

Kian lama serangan-serangan mereka kian tajam dan 

berbahaya dan datang dari segala arah. Bagai air bah yang 

siap menghanyutkan. Pendekar Rajawali Sakti tampak 

sedikit kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya begitu 

sempit. Dalam keadaan yang terdesak, Pendekar Rajawali 

Sakti sempat melihat sesosok tubuh berdiri agak Jauh, 

tengah menggerak-gerakkan tangannya. 

"Hm..., rupanya dia yang menggerakkan gadis-gadis ini," 

gumam Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dalam hati. 

Gelombang kekuatan bathin mulai dapat dirasakan.



Kian lama kian kuat Rangga mulai merapal ajian Bayu 

Braja, satu ajian yang dapat menimbulkan angin topan 

yang sangat dahsyat 

"Tidak!" tiba-tiba Rangga tersentak. Segera dicabutnya 

lagi ajian itu. 

Ajian 'Bayu Braja' yang sangat dahsyat ini dapat 

berakibat fatal bagi mereka yang tidak berdosa. Mereka 

dapat terhempas ke pohon-pohon atau batu-batu cadas! 

Sedangkan bagi yang memiliki tenaga dalam cukup, akan 

semakin parah jika mencoba melawan kekuatan ajian ini 

Bisa bisa mereka akan tewas dengan luka dalam yang 

sangat parah. 

"Hiya...!" 

Tiba-tiba Rangga berteriak kuat Secepat kilat dirubah 

jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sambil 

memutar pedangnya, Rangga melompat tinggi ke udara 

Namun tampaknya lawan lawan tidak membiarkannya 

loJos. Seperti ada yang memberi komando serentak 

dilemparkan tombak-tombak itu ke arah Pendekar Rajawali 

Sakti. 

Melihat beberapa tombak meluncur ke arahnya 

secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya. 

Tombak-tombak hitam pekat itu patah terbabat pedang 

pusaka Rajawali Sakti. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti 

berputar di udara, lalu meluruk cepat ke arah sosok tubuh 

ramping berpakaian serba hitam. 

Kaki-kaki Rangga bergerak cepat meluruk tepat di atas 

kepala sosok yang tak Iain adalah Rara lnten. Begitu cepat 

dan mendadaknya serangan itu, sehingga Rara lnten 

kelabakan. Dihempaskan tubuhnya, lalu bergulingan di 

tanah menghindarl terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang 

dahsyat. 

"Bedebah! Setan keparat!" umpat Rara lnten seraya 

melenting, dan berdiri lagi dengan kokoh. 

Rangga menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. 

Dimasukkan pedang pusaka ke dalam sarung di punggung-

nya. Kedua kakinya terbentang lebar. Sepasang bola


matanya memandang tajam ke arah lawan. 

"Angkara murkamu sudah berakhir. Raja Dewa 

Angkara," dingin suara Rangga. 

"Nama besarmu yang berakhir, Pendekar Rajawali 

Sakti," suara Rara lnten tidak kalah dingjn. 

"Lihat, orang-orangmu sudah tidak bersenjata lagi. Aku 

dapat membunuh mereka semudah membalikkan tangan. 

Tetapi mereka tidak berdosa. Kau harus bertanggung 

jawab!" keras suara Rangga. 

"Mereka bukan orang-orang yang takut mati, dan aku 

belum kalah!" sahut Rara Intea 

Selesai berkata demikian, mendadak Rara lnten men-

dorong kedua tangannya yang terbuka ke depan. Secercah 

sinar merah meluncur deras dari kedua telapak tangannya 

Begitu pesatnya, sehingga membuat Pendekar Rajawali 

Sakti terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari. 

"Hih!" 

Rangga terpaksa segera mengerahkan aji 'Bayu Braja', 

tapi terlambat Sinar merah itu cepat membentur dadanya. 

Tak pelak lagi, tubuh pendekar muda itu terjengkang ke 

belakang sekitar tiga batang tombak jauhnya. 

"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental dari 

mulutnya 

Akibat terhantam oleh sinar merah Rara lnten, men-

dadak tubuh Rangga terserang hawa panas. Cepat-cepat 

digerakkan kedua tangannya ke atas, lalu turun sampai di 

depan dada. Kakinya dipentang lebar ke samping dengan 

lutut ditekuk. Pendekar Rajawali Sakti lalu mengerahkan 

hawa mumi untuk mengusir hawa panas itu. 

Sebentar saja hawa murni itu lenyap dari tubuhnya. 

Rangga mengepalkan tangan kiri dan diletakkan persis di 

tengah-tengah telapak tangan yang terbuka. Pelan-pelan 

(digeser tangannya ke kanan, lalu didorong lagi ke kiri. 

Itulah pembukaan jurus 'Pukuian Maut Paruh Rajawali'. 

Rangga yang sudah muak dengan kekejaman Raja 

Dewa Angkara, tidak segan segan lagi menumpasnya. 

Langsung dikerahkannya jurus andalan keempat dari


rangkaian jurus maut 'Rajawali Sakti'. Begitu dibuka jurus 

itu, seketika saja kedua kepalan tangannya berubah merah 

menyala 

"Huh! Ilmu setan apa yang dikeluarkannya?" dengus 

Rara Inten. 

Wanita itu sebenarnya terkejut juga melihat Pendekar 

Rajawali Sakti tidak cedera terkena ajian mautnya. Biasa-

nya, tak ada seorang pun yang sanggup berdiri lagi jika ter-

kena ajian 'Tapak Dewi Maut.' 

''Tampaknya ilmu yang dimiliki sangat berbahaya. Hm..., 

aku harus menandinginya dengan aji 'Kala Seribu'," gumam 

Rara lnten. 

Segera saja Rara lnten merapalkan ajian maut itu. 

Setelah selesai merapal seketika kuku-kuku jarinya 

berubah berwarna hijau menyala. Rara lnten yang telah 

merasa mendapat lawan tangguh, segera mengambil 

inisiatif menyerang lebih dulu. Dan dengan cepat kedua 

tangannya dihentakkan ke depan. 

"Hiya...!" 

"Ya...l" 

Teriakan teriakan keras terdengar saling sahut. Dari 

jari-jari tangan Rara lnten meluncur sinar-sinar hijau yang 

membentuk menyerupai binatang kalajengking yang 

sangat banyak. Ajian ini sangat di bangga banggakan Rara 

lnten. Lawan yang terkena dalam sekejap pasti tewas 

dengan tubuh penuh hibang, bagai habis tersengat ribuan 

kalajengking. 

Tapi, apakah ajian itu mampu menandingi jurus 

'Pukuan Maut Paruh Rajawali', yang sekaligus dibarengi 

dengan pengerahan aji 'Bayu Braja'? 

Kini kedua tokoh sakti berbeda aliran sudah saling 

menyerang. Mereka kerahkan sekuruh kesaktian masing-

masing. Dua ilmu kesaktian yang berbeda aliran kini ber-

temu. Sementara semua orang yang saat itu menyaksikan, 

hanya dapat menahan nafas. 

Ki Gandara, Ki Brajananta, Sangkala, dan Sawung Bulu, 

pun telah datang ke puncak Gunung Balakambang. Mereka


datang tepat ketika dua tokoh sakti itu saling berhadapan. 

Mata mereka tidak berkedip menyaksikan pertarungan itu. 

Dua kelompok yang saling bermusuhan itu terpusat penuh 

perhatiannya pada Pendekar Rajawali Sakti dan Rara lnten. 

***


DELAPAN


Secercah sinar hijau meluruk deras ke arah Pendekar 

Rajawali Sakti Pada saat yang sama, pendekar muda itu 

menghentakkan tangannya. Seberkas cahaya merah 

meluruk membendung serangan aji 'Kala Seribu' yang 

dilepaskan Rara Inten. Cahaya merah itu mengandung 

hawa panas luar biasa disertai hembusan angin deras 

menderu bagai terjadi badai topan seketika 

Dua sinar berbeda saling berbenturan di udara. 

Kekuatan itu saling mendorong dan saling mengungguli. 

Hawa panas menyebar menusuk kulit, membuat orang-

orang di sekitar tempat itu mengerahkan tenaga dalam 

untuk menghindari hawa panas yang menyengat Ditambah 

lagi dengan hembusan angin keras bagai topan. 

"Kalian berdua, cari Dewi Purmita," kata Ki Gandara 

pada Sawung Bulu dan Sangkala. 

Ki Gandara melihat kesempatan baik untuk mem-

bebaskan Dewi Purmita. Tanpa mengucapkan satu kata 

pun, dua murid tangguh Padepokan Pasir Batang itu pun 

segera bergerak menyelinap cepat. Gerakan yang disertai 

pengerahan ilmu meringankan tubuh itu tidak diketahui 

sama sekali oleh orang-orang Raja Dewa Angkara. Mereka 

terlalu terpaku pada pertarungan adu ilmu tingkat tinggi 

itu. 

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti mulai meng-

geser kakinya sedikit demi sedikit maju ke depan. Rara 

Inten juga melangkah maju sambil terus melepaskan aji 

'Kala Seribu'. Wajah wajah mereka telah kelihatan merah 

menegang. Hingga tiba waktunya, secara bersamaan 

kedua tokoh itu berteriak nyaring sambil melompat cepat 

ke depan. 

Ledakan keras menggelegar memekakkan telinga ter-

jadi ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara. 

Rara Inten terdorong keras ke belakang, hingga punggung


nya membentur baru karang. Sementara itu Pendekar 

Rajawali Sakti terjengkang deras membentur pepohonan 

hingga tumbang 

"Uhk, hoek...'" 

Hampir bersamaan kedua tokoh sakti itu memuntah-

kan darah kental kehitaman. Hampir bersamaan pula 

mereka segera bangkit kembali. Rangga menyeka darah 

yang mengalir dari sudut bibirnya. Matanya merah tajam 

menatap lurus Rara Inten. Rara Inten tak mau kalah. 

Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan mata menyala 

penuh kebencian. 

"Keluarkan senjatamu, bangsat!" dengus Rara Inten, 

geram. 

Selesai berkata demikian, Rara Inten mencabut 

senjatanya berupa tongkat pendek berwarna hitam dari 

batik bajunya. Tongkat itu memiliki ujung yang bermata 

merah membara. Pamomya sungguh dahsyat memancar-

kan sinar merah menyala. 

Sret! 

Rangga tidak segan-segan lagi mencabut. 

Pedang pusakanya Seketika kegelapan malam yang 

menyelimuti puncak Gunung Balakambang menjadi terang 

benderang oleh sinar biru kemilau yang meman car dari 

pedang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menyilangkan 

pedangnya di depan dada. Matanya tetap tajam menatap 

lurus ke depan. 

Dengan satu teriakan, Rara lnten menerjang sambil 

mengibaskan tongkat pendeknya. Rangga hanya memiring-

kan tubuhnya sedikit ke kiri. Pedangnya berkelebat cepat 

menghalau ujung mata tongkat pendek yang mengancam 

iga. 

Trang! Dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran 

api dahsyat Rangga yang mengira senjata lawan akan 

patah, tersentak kaget Dengan gerakan yang cepat tidak 

terduga, Rara lnten memutar tongkat pendeknya. 

Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka ujung 

tongkat itu berkelebat di depan lehemya Pada saat yang


bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti terayun mem-

babat ke arah perut lawan. Rara lnten yang tengah me-

musatkan pada serangannya, terkejut karena tidak 

menyangka Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit sambil 

melancarkan serangan balasaa 

Dengan cepat dUentingkan tubuhnya menghindari 

sabetan pedang pada perutnya. Dua kali berputar di udara, 

kemudian kembali meluruk dengan ujung tombak 

terhunus. Melihat begitu cepatnya serangan datang, 

Rangga melompat sambil membabatkan pedang ke bawah 

Trang! 

Lagi-lagi dua senjata beradu keras. Rangga berputar 

melewati kepala Rara lnten, dan menjejak manis di tanah. 

Baru saja akan berbalik, sekonyong-konyong Rara lnten 

sudah berputar seraya mengelebatkan tongkat pendeknya. 

Cras! 

"Akh!" Rangga berseru tertahan. 

Ujung tongkat berwama merah menyala itu langsung 

menggores pangkal lengan kiri Pendekar Rajawali Sakti. 

Darah segar mengalir deras dari luka goresan yang cukup 

panjang dan dalam. Rangga melompat mundur dua 

langkah ke belakang. 

Sesaat dilihat luka pada pangkal lengannya. Geraham-

nya bergemeletuk menahan geram Segera ditotok 

beberapa jalan darah di sekitar lukanya. Seketika itu juga 

darah berhenti mengalir. Kembali matanya menatap tajam 

pada Rara lnten yang berdiri angkuh penuh ejekan. 

Rara lnten mengangkat tangan kirinya, lalu dibukanya 

kedok kain hitam tipis yang menutupi seluruh kepalanya. 

Kini terlihat seraut wajah cantik tersenyum mengejek. 

Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai lepas 

"Rara lnten...," desis Ki Brajananta terkejut begitu 

mengenali wajah wanita yang selama ini menjadi momok. 

"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas. Sama sekali 

tidak disangka kalau lawan yang dihadapinya seorang 

wanita cantik. 

"Rara Inten, tidak kusangka kau yang jadi biang keladi



kerusuhan ini!" dengus Ki Brajananta. 

Rara Inten hanya mendengus melirik laki-laki tua yang 

masih kelihatan gagah ini. Laki-laki yang dulunya dicintai-

nya setengah mati. Kini laki-laki itu sudah tua, tidak ber-

guna lagi bagi dirinya. Mendadak Rara Inten mengibaskan 

tangannya ke arah Ki Brajananta. 

Selarik sinar hijau meluncur deras. Sinar hijau yang ber-

bentuk seekor kala berbisa itu meluruk deras ke arah Ki 

Brajananta. 

"Awas...!" teriak Rangga. 

Terlambat! 

"Aaaakh...!" Ki Brajananta menjerit panjang 

Sinar hijau itu menghujam dalam di dada Ki 

Brajananta. Dia terjengkang ke belakang sejauh satu 

tombak. Tampak bagian dadanya berlubang, tembus 

sampai ke punggung. Ki Brajananta hanya menggeliat 

sebentar, kemudian tak bergerak-gerak lagi. 

"Iblis, kejam!" desis Rangga menggeram murka. 

Rara Inten hanya tertawa mengikik 

"Kubunuh kau, iblis!" geram Ki Gandara. 

Baru saja Ki Gandara hendak melompat, tiba-tiba ber-

kelebat tiga sosok berpakaian serba hitam menghadang 

Mereka segera membuka kedok hitam dari kain sutra tipls 

yang melekat pada wajah. Ki Gandara tersentak kaget saat 

mengenali wajah tiga orang yang kini berdiri menghadang 

di depannya 

"Kalian..., ternyata kalian manusia-manusia busuk!" 

geram Ki Gandara 

"Tidak lebih busuk daripadamu, Ki Gandara. Penghasut! 

Mencari muka dengan memperalat Ki Brajananta untuk 

membunuh ayahku!" sahut Rawusangkan dingin. 

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ki Gandara diiringi rasa 

geram. 

"Aku putra pertama Ardareja!" 

"Kau...?!" Ki Gandara seakan bdak percaya dengan 

pendengarannya 

Belum lagi hilang rasa terkejut dan rasa bdak percaya


nya, tiba-tiba Ki Gandara memekik tertahan. Dia kaget 

setengah mati karena secara tiba-tiba Rawusangkan sudah 

melompat menyerang. 

Buru-buru laki-laki tua itu menggeser tubuhnya ke 

samping. Tangan kanannya mengibas mematahkan 

serangan Rawusangkan. Dengan cepat Rawusangkan 

menarik tangannya menghindari benturan dengan tangan 

Ki Gandara. 

"Tunggu!" 

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disertai 

pengerahan tenaga dalam. 

Secepat itu pula Rawusangkan melompat mundur. 

Matanya mendelik melihat Sangkala dan Sawung Bulu 

membawa Dewi Purmita. Rawusangkan memandang pada 

Paralaya yang ditugaskan untuk menyembunyikan Dewi 

Purmita. Belum juga Paralaya membuka mulut, Sangkala 

telah lebih dulu berkata. 

"Rawusangkan, jiwamu sudah terpengaruh oleh Rara 

lnten. Dia itu istri ketiga ayahmu, yang juga membunuh 

ayahmu pula! Lihat ini, senjata yang digunakannya untuk 

membunuh Ki Ardareja!" 

Sangkala melempar sebatang tongkat sepanjang 

lengan berwarna hitam kelam dengan ujung merah. 

Senjata itu sama persis dengan yang dipegang Rara lnten. 

Rawusangkan memandang senjata yang tergeletak di 

tanah. Kemudian ditatapnya Sangkala. 

"Ayahmu dibunuh karena beliau tidak bersedia 

menceraikan ibumu yang saat itu kau berada dalam 

kandungannya. Rara lnten tidak mau ada bayi lahir selain 

dari dirinya. Ibumu pun perah akan dibunuhnya, tapi Ki 

Brajananta berhasil menyelamatkan. Dari situ timbul 

dendam. Dia memperalat dirimu dengan menjadikan kau 

Raja Dewa Angkara, sebagai pelampiasan keinginannya 

menghancurkan desa kelahiranmu sendiri!" 

"Bohong! Itu dusta!" pekik Rara lnten kalap. 

"Rara lnten, semua akal busukmu sudah terbongkar. 

Tidak ada gunanya lagi kau mengelak," dengus Sawung


Bulu. 

Rawusangkan memandang Rara lnten, kemudian 

matanya menatap orang-orang di sekelilingnya Dari sinar 

matanya, terlihat kebimbangan yang membias di wajahnya. 

"Ayah...," desis Dewi Purmita ketika matanya me-

nangkap tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi. 

Semua perhatian sekejap tertumpah pada gadis itu. 

Namun semuanya hanya sekejap saja, karena tiba-tiba 

Rara lnten mencelat ke arah Dewi Purmita dengan senjata 

terhunus. 

"Purmita, awas!" teriak Sawung Bulu. 

Seketika Sawung Bulu melompat mencoba 

menyelamatkan kekasihnya. Dia tidak peduli lagi dengan 

ujung tongkat yang bergerak cepat menghujam. 

"Aaakh...!" Sawung Bulu menjerit kesakitan ketika 

merasakan iganya sobek mengucurkan darah. 

Kejadian itu sangat cepat sekali, sehingga membuat 

orang-orang di selatarnya terpana. Tubuh Sawung Bulu 

jatuh meluruk. 

"Iblis," desis Rangga geram. 

Dengan satu teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali 

Sakti melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya 

pada Rara lnten. Secepat kilat Rara lnten berputar 

menangkis serangan mendadak dari Rangga. 

Trang! 

Kembali dua senjata sakti berbenturan keras. Namun 

kali ini Rara lnten tersentak. Tubuhnya terdorong tiga 

langkah ke belakang. Tangannya terasa kesemutan saat 

senjatanya membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti. 

Dalam keadaan marah yang meluap, Rangga me-

ngerahkan sehjruh tenaga dalam sambil mengeluarkan 

jurus andalan yang terakhir dari lima rangkaian jurus 

'Rajawab Sakti.' Jurus 'Rajawali Seribu' yang jarang 

digunakannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali. 

Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti berkelebat 

cepat ditimpafi dengan gerak kaki dan tubuh yang tidak 

kalah cepat pula. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar


Rajawali Sakti bagaikan terpecah-pecah menjadi seribu 

banyaknya. Semua orang yang menyaksikan menjadi 

tercengang melihat pendekar muda itu menjadi 

sedemikian banyak mengurung rapat Rara Inten. 

"Setan! Ilmu apa yang dikeluarkannya?" dengus Rara 

Inten. Dia jadi kelabakan menangkis setiap serangan yang 

datang sangat cepat dari segala penjuru. 

Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti kian 

lama kian tidak beraturan. Hal ini membuat bingung Rara 

Inten. Wanita ini sudah tidak bisa lagi membaca setiap 

gerakan dan arah tujuan jurus itu. Dia jadi senewen. Setiap 

akan menangkis pedang Pendekar Rajawali Sakti, sekejap 

saja pedang itu sudah berbelok arah. 

"Akh!" tiba-tiba Rara Inten memekik tertahan 

Betapa kagetnya Rara Inten ketika dengan cepat 

pedang Pendekar Rajawali Sakti menyodok iganya. Cepat-

cepat Rara Inten mengibaskan tongkat pendeknya untuk 

menangkis. Namun kali ini pun tertipu. Ternyata sodokan 

pedang itu malah menyabet turun ke bawah. Dan dengan 

kecepatan tinggi, pedang itu berputar arah menyamping. 

"Aaakh...!" Rara Inten menjerit keras. 

Tanpa bisa dicegah lagi, mata pedang Pendekar 

Rajawali Sakti merobek dadanya. Darah menyembur dari 

dada yang terbelah panjang dan dalam. Tubuh Rara Inten 

sempoyongan. Tetapi sebelum disadari apa yang terjadi, 

tiba-tiba pedang itu kembali berkelebat. 

Cras! 

Rara Inten tidak mampu lagi bersuara. Sebentar tubuh-

nya berdiri tegak, lalu rubuh dengan kepala terpisah dari 

badan. Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat 

bagaikan menebang batang pisang saja. Rangga me-

masukkan pedangnya kembali. 

Sebentar pendekar muda itu berdiri tegak memandang 

tubuh Rara Inten yang menggeletak tanpa kepala. Rangga 

mendesah panjang lalu menoleh ke arah Dewi Purmita 

yang menangis memeluk tubuh Sawung Bulu. Pendekar 

Rajawali Sakti segera menghampiri mereka, lalu jongkok di


samping Sawung Bulu. 

"Hm, hanya luka biasa," gumam Rangga setelah 

memeriksa luka di iga Sawung Bulu 

Rangga tersentak ketika mendengar suara teriakan 

marah yang datang dari arah belakang Ketika ia menoleh, 

terlihatlah Sangkala tengah menerjang Rawusangkan dan 

dua orang lainnya dengan trisula kembar di tangan. 

"Sangkala, jangan...!" teriak Rangga. 

Terlambat! Serangan Sangkala yang dipenuhi amarah 

meluap dalam dada tidak bisa dibendung lagi. Trisula 

kembar menyambar cepat menusuk dada Rawusangkan. 

Sebuah lagi dilemparkan ke arah Paralaya. 

"Aaakh...!" Rawusangkan yang tidak menyadari akan 

menerima serangan mendadak, tidak dapat mengelak lagi 

Tiga ujung trisula, senjata kebanggan Sangkala me-

nancap telak di dada Rawusangkan. Sedangkan trisula 

lainnya tepat menembus kepala Paralaya yang juga ter-

kejut tidak mampu lagi menghindar. 

Melihat dua orang temannya rubuh, Bagaspati 

langsung mengambil langkah seribu. Tak ada lagi yang 

dapat dijadikan pelindung kekuatannya Semuanya kini 

roboh tanpa nyawa. Tetapi baru saja Bagaspati berlari 

sejauh lima tombak, orang-orang berpakaian serba hitam 

sudah mengepungnya. Mereka serentak mencopot topeng 

hitam yang menutupi kepala masing-masing. 

Bagaspati yang sudah kehilangan nyali, jadi gemetaran 

Gadis-gadis yang selama ini diperbudak dan dipengaruhi 

jiwanya, semakin rapat mengepung. Mereka semua sadar 

seketika setelah Rara lnten tewas. Pengaruh kekuatan 

bathin Rara lnten lenyap saat itu juga. 

"Aaa...!" jeritan menyayat terdengar dari mulut Bagas-

pati. 

Gadis-gadis yang selama bertahun-tahun terjajah jiwa-

nya, bagaikan kesetanan mencincang tubuh Bagaspati. Se-

bagian lagi memburu Paralaya dan Rawusangkan. Maka 

tiga tubuh itu pun tiada ampun lagi tercincang bagai 

dendeng.


Sangkala, Ki Gandara, dan Pendekar Rajawali Sakti 

tidak dapat mencegahnya lagi. Mereka hanya menyaksikan 

dengan kengerian yang amat sangat Belum puas gadis-

gadis itu mencincang tubuh tiga laki-laki itu, mereka meng-

hampiri mayat Rara lnten, lalu mencincangnya. Beberapa 

gadis malah telah membakar rumah-rumah di Puncak 

Gunung Balakambang ini. 

''Tamat sudah riwayat Raja Dewa Angkara," gumam Ki 

Gandara. 

Laki-Iaki tua Guru Besar Padepokan Pasir Batang itu 

menoleh ke arah Rangga berdiri. Betapa tercengangnya dia 

ketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tak tertihat lagi. 

Matanya beredar mencari-cari, namun sia-sia. Ki Gandara 

menghampiri Sawung Bulu yang sudah berdiri dipapah 

Dewi Purmita. 

"Kau lihat di mana Pendekar RajawaB Sakti?" tanya Ki 

Gandara. 

"Tidak, Ki. Tadi..., tadi ada di sini," sahut Sawung Bulu. 

"Ah, sungguh luhur jiwanya. Memberantas kejahatan 

tanpa mengharapkan pamrih," gumam Ki Gandara. 

"Dia sudah pergi, Ki," kata Sangkala sambil mendekat 

"Kau lihat?" tanya Ki Gandara. 

"Ya, dia pergi ke arah Selatan," sahut Sangkala. 

Ki Gandara mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata-

nya kemudian menatap gadis-gadis yang sudah ber-

kerumun di depannya. Jumlah mereka tidak kurang dari 

lima puluh orang. Semuanya masih muda dan cantik. 

Tetapi sinar mata mereka mengharapkan perlindungan dari 

Ki Gandara. 

Matahari mulai menampakkan diri ketika mereka 

menuruni Gunung Balakambang. Ki Gandara berjalan di 

depan didampingi Sangkala. Mereka terdiam dengan 

pikiran masing-masing, namun tampak jelas kecerahan 

membias di wajah mereka. Kecerahan dan harapan baru 

semua warga Desa Pasir Batang. 



                          TAMAT

 



 

0 komentar:

Posting Komentar