BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE KITAB TAPAK GENI


matjenuh khairil

 

KITAB TAPAK GENI 

oleh Teguh S.

Cetakan pertama Penerbit 

Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Tony G.

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh S.

Serial Pendekar Rajawali Sakti 

dalam episode: Kitab Tapak Geni 

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Musim menuai hampir tiba. Sawah 

menguning terhampar sedap dipandang 

mata. Anak-anak bertelanjang dada 

berlarian sambil menjeritjerit 

mengusir burung-burung pengganggu padi 

mereka. Kegembiraan yang seharusnya 

datang manakala musim menuai padi 

hampir tiba. Seharusnya dunia yang 

ceria tergambar jelas saat itu. Tapi 

hanya manusia-manusia serakah dan 

tamak saja yang membuat dunia ini jadi 

murung bersimbah darah dan air mata.

Keceriaan anak-anak itu tidak 

dapat dirasakan oleh orang tua mereka. 

Para petani yang lelah sehabis 

mengolah sawah ladang, hanya bisa 

duduk lesu di dangau. Wajah mereka 

murung dengan tatapan sayu, memandangi 

sawah yang terhampar luas. Suasana 

yang amat kontras ini tidak luput dari 

perhatian seorang pemuda yang sejak 

tadi duduk di atas batu.

Pemuda itu berpakaian rompi 

dengan pedang tersampir di punggung. 

Matanya memandang ke arah anak-anak 

yang ceria, lalu beralih ke arah 

petani yang duduk di dangau-dangau 

dengan wajah lesu tanpa gairah. 

Beberapa di antaranya duduk 

berkelompok membicarakan sesuatu. 

Pemuda yang masih duduk di batu besar


itu, ternyata adalah Rangga. Rambutnya 

yang panjang seperti berkibar-kibar 

dipermainkan angin. Perhatiannya terus 

ke arah dangau-dangau, sementara air 

sungai yang mengalir di bawahnya terus 

saja beriak seperti tak peduli dengan 

suasana sekitarnya.

"Seharusnya mereka gembira karena 

sebentar lagi akan memetik hasil jerih 

payah mereka. Tapi, mengapa mereka 

seperti tidak gembira?" Rangga 

bergumam lirih.

Mata Pendekar Rajawali Sakti kini 

beralih memandangj wanita-wanita yang 

tengah mencuci di sungai, tidak jauh 

dari tempatnya. Wajah mereka juga 

tidak menggambarkan kegembiraan sama 

sekali. Tidak ada canda tawa 

sebagaimana layaknya. Bibir Rangga 

tersenyum ketika mendengar dua gadis 

berceloteh sambil melirik ke arahnya.

"Ratih, tampan juga ya?"

"Siapa?" tanya wanita muda 

berambut panjang yang ternyata bernama

Ratih.

"Itu tuh, yang duduk di batu."

Ratih menoleh ke arah Pendekar 

Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, 

Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti 

tengah menatap ke arahnya. Sesaat mata 

mereka bertemu. Cepat-cepat Ratih 

memalingkan wajahnya.

"Lho, kok wajahmu jadi merah?"


"Sudah, ah. Tidak usah bicara itu 

lagi, Komala."

"Naksir ya?" desak Komala 

menggoda.

Ratih hanya tersenyum tersipu. 

Dari sudut matanya, dilirik Rangga 

yang masih tetap memandangnya. 

Mendadak seluruh darahnya seperti 

membeku. Jantungnya berdebar lebih 

keras dari semula.

"Ah, dia memang tampan seperti 

seorang pangeran. Tapi..., apa iya 

sih, seorang pangeran mau pakai baju 

seperti itu?" Ratih berbisik dalam 

hati. Beberapa kali tatapannya tertuju 

pada Rangga lewat sudut ekor matanya.

Tanpa disadari, rupanya Komala 

memperhatikan sejak tadi. Dia hanya 

tersenyum melihat Ratih yang salah 

tingkah. Ratih memang gadis paling 

cantik di antara gadis-gadis lain di 

Desa Ganggang ini. Apalagi dia anak 

seorang kepala desa. Jelasnya, Ratih 

bagaikan sekuntum bunga mekar di 

antara bunga-bunga yang telah layu.

"Pulang, yuk. Lihatlah, matahari 

telah tinggi," ajak Ratih.

Komala mengangkat bahunya. 

Kemudian dijinjing keranjang 

cuciannya, dan beranjak mengikuti 

Ratih. Matanya sempat melirik ke arah 

Rangga duduk. Namun hatinya mendadak 

terkesiap ketika matanya tidak lagi 

melihat Rangga di sana. Komala segera


bergegas menyusul Ratih yang sudah 

berada di tepi sungai.

"Ratih..., Ratih, tunggu!" 

panggil Komala.

"Ada apa, sih?" tanya Ratih 

seraya berhenti melangkah.

"Dia tidak ada lagi."

"Siapa?" Ratih pura-pura. Tapi 

matanya segera menatap ke arah tempat 

duduk Rangga tadi. 

"Ah!"

Dua gadis itu jadi mclongo karena 

Rangga seperti lenyap ditelan sungai. 

Mata Ratih beredar berkeliling, tapi 

tidak ada tanda-tanda sama sekali 

kalau Rangga bersembunyi. Setelah 

yakin tidak ada, segera dia berbalik 

dan melangkah pergi. Komala 

mengikutinya dari belakang dengan 

langkah dipercepat.

Langkah mereka telah sampai di 

sebuah jalan desa yang menuju ke 

rumah. Mereka benar-benar mempercepat 

langkahnya bagai habis melihat setan 

saja. Tak ada kata-kata yang keluar 

dari mulut mereka. Semuanya bisu. Tapi 

tiba-tiba saja langkah mereka berhenti 

ketika mencapai tikungan jalan. Di 

sana, Rangga tengah berdiri 

membelakangi.

"Ratih...," Komala mengkeret 

ketakutan berlindung di belakang 

Ratih.


Ratih memandang punggung Rangga 

yang berdiri membelakanginya. Pelan-

pelan pemuda ini berbalik. Rangga 

kelihatannya sedikit terkejut ketika 

melihat ada dua gadis berdiri di 

belakangnya.

"Oh, maaf. Apakah aku menghalangi 

jalan kalian?" lembut dan sopan suara 

Rangga terdengar.

"Kalau merasa, silakan minggir," 

agak ketus suara Ratih menyahut.

Rangga hanya tersenyum saja. Dia 

melangkah mendekat dan berhenti 

sekitar tiga langkah di depan Ratih. 

Dalam hati, dikagumi juga kecantikan 

gadis ini Ratih sedikit risih 

dipandangi seperti itu. Dibenahi 

kainnya yang menutupi bagian bahu dan 

dadanya. Namun kain itu tidak bisa 

menyembunyikan kulit putihnya di 

bagian leher dan wajahnya.

"Aku baru datang ke desa ini. 

Kalau adik-adik tidak keberatan, boleh 

minta tolong?" masih terdengar lembut 

suara Rangga.

Ratih menoleh ke arah Komala.

"Apa nama desa ini?" tanya 

Rangga.

"Desa Ganggang," sahut Komala 

yang berangsur-angsur hilang rasa 

takutnya setelah mendengar suara 

Rangga yang lembut dan sopan.

"Maaf, kami harus segera pulang," 

celetuk Ratih.


Buru-buru ditarik tangan Komala, 

dan melangkah pergi. Rangga tidak 

mencegah, hanya dipandangi saja dua 

gadis itu yang telah berlalu. Matanya 

menatap lekat pada punggung Ratih yang 

sedikit terbuka.

"Hm...," Rangga menggumam tidak 

jelas.

Senja baru saja merayap turun 

ketika sepuluh ekor kuda berderap 

kencang membelah jalan yang berdebu. 

Kuda paling depan ditunggangi oleh se-

orang laki-laki dengan wajah penuh 

berewok dengan luka gores memanjang di 

pipi kanan. Pakaian yang dikenakan 

sangat indah dan mewah. Di bela-

kangnya, sembilan penunggang kuda 

berpakaian seragam mengikutinya.

Beberapa penduduk yang berada di 

jalan segera menepi seraya membungkuk 

ketika kuda-kuda itu lewat di 

depannya. Mereka terus berpacu cepat 

meninggalkan debu-debu yang 

berterbangan di belakangnya. Jelas 

kalau mereka tengah menuju ke rumah 

Kepala Desa Ganggang. Rumah itu berada 

di tengah-tengah desa, dan yang 

terbesar di antara rumah-rumah 

lainnya.

Laki-laki codet berewokan yang 

berada paling depan, segera melompat 

turun dari kudanya ketika tiba di 

depan rumah Kepala Desa Ganggang. 

Lompatannya cukup indah dan ringan,


menandakan ilmu peringan tubuhnya 

cukup tinggi.

"Ki Jagabaya...!" laki-laki codet 

itu berteriak menggelegar.

Bergegas seorang tua berambut dan 

berkumis putih keluar dari rumah besar 

itu bersamaan dengan turunnya 

kesembilan orang dari kuda masing-

masing. Orang tua itu terbungkuk-

bungkuk menghampiri para penunggang 

kuda yang telah berdiri angkuh 

bertolak pinggang.

"Oh, Tuan Parang Kati. Hamba 

tidak mengira tuan akan datang begini 

cepat," parau suara laki-laki tua yang 

ternyata bernama Ki Jagabaya. Dialah 

Kepala Desa Ganggang.

Laki-laki codet berewokan yang 

tinggi lagi angker itu hanya mendengus 

saja. Langkahnya berat mendekari Ki 

Jagabaya. Matanya lantas melirik ke 

sekitarnya. Segera saja beberapa 

penduduk menutup pintu dan jendela 

rumah mereka. Dalam sekejap saja 

keadaan desa menjadi sepi lengang.

"Baginda Prabu Salya 

memerintahkan agar desa ini segera 

membayar upeti sekarang juga!" bentak 

laki-laki codet berewokan yang bernama 

Parang Kati ini.

"Ah...," Ki Jagabaya ternganga 

mendengarnya. "Mana mungkin, Tuan. 

Mereka belum lagi panen, 

sedangkan...."


"Aku tidak peduli! Baginda Prabu 

Salya menghendaki sekarang juga kau 

mengumpulkan upeti!" Parang Kati 

memotong cepat dengan suaranya yang 

berat menggelegar.

"Tapi...."

"Mau coba-coba membangkang heh?!" 

bentak Parang Kati. "Hih!"

Tanpa memandang siapa yang 

dihadapinya, Parang Kati melayangkan 

tangannya.

Plak!

Ki Jagabaya memekik tertahan. 

Tubuh tua yang kurus renta itu 

sempoyongan, langsung ambruk dengan 

darah menetes dari sudut bibirnya.

Baru saja Ki Jagabaya akan 

bangkit, Parang Kati telah 

menendangnya. Kembali tubuh tua renta 

itu terjungkal terguling-guling sejauh 

dua batang tombak. Betapa kerasnya 

tendangan Parang Kati, membuat Ki 

Jagabaya menjadi sesak napas. Matanya 

berkunang-kunang dengan kepala pening 

seperti berputar.

"Ayah...!" tiba-tiba terdengar 

suara jeritan keras.

Ratih berlari kencang menghambur 

ke arah ayahnya yang menggeletak di 

tanah. Darah semakin deras mengucur 

dari sudut bibirnya. Gadis itu segera 

membantu ayahnya duduk. Dengan ujung 

baju, disekanya darah dari mulut 

ayahnya.


"Kejam!" Ratih mendengus geram. 

Matanya tajam menatap Parang Kati.

Melihat ada gadis cantik di 

depannya, Parang Kati tertegun dengan 

jakun turun naik. Lidahnya menjulur 

menjilati bibirnya sendiri yang tebal.

"He he he..., ternyata si tua 

bangka menyimpan mutiara yang 

mempesona," Parang Kati terkekeh 

seraya menelan ludahnya.

"Huh! Perampok! Kenapa tidak kau 

bunuh saja kami sekalian?" geram 

Ratih. Matanya semakin lebar 

membelalak tajam.

"Ah, rupanya kelinci cantik ini 

bisa galak juga," goda Parang Kati 

sambil terus terkekeh.

Sembilan orang yang berdiri di 

belakang Parang Kati pun ikut tertawa-

tawa melihat pemandangan yang justru 

tidak lucu itu. Mata mereka jelalatan 

penuh nafsu memandangi wajah cantik 

Ratih yang memasang wajah garang. Di 

mata mereka semua, wajah garang Ratih 

malah semakin cantik menggairahkan. 

Ditertawakan semacam itu, Ratih sema-

kin mengkelap marah.

"Ratih, jangan...," cegah Ki 

Jagabaya ketika putrinya bangkit.

"Huh! Mereka harus diberi 

pelajaran, Ayah!" dengus Ratih tidak 

dapat mengendalikan amarahnya.

"Ratih...!"


Gadis itu tidak lagi mempedulikan 

panggilan ayahnya. Dia telah melangkah 

mendekati Parang Kati. Tangannya 

meraih bagian bawah kain dan 

disingsingkannya. Parang Kati dan 

kesembilan orang lainnya sempat 

menahan napas ketika betis putih indah 

tersingkap. Dan betapa terbelalaknya 

mata mereka ketika melihat celana 

pangsi hitam melekat membungkus kaki 

yang indah itu.

Ratih membelitkan kainnya di 

pinggang. Selanjutnya tangannya 

bergerak ke atas menggulung rambutnya 

yang panjang. Pandangannya tajam 

kepada Parang Kati yang telah 

menganiaya ayahnya. Darah gadis cantik 

ini mendidih bergolak, sehingga tidak 

peduli lagi siapa yang dihadapinya. 

Padahal mereka adalah para punggawa 

Kerajaan Parakan.

Sret, cring!

Tiba-tiba saja Ratih mengeluarkan 

dua bilah pisau belati dari balik 

lipatan bajunya. Dua berkas sinar 

keperakan memantul dari mata belati 

yang terjilat cahaya matahari senja. 

Parang Kati terlonjak mundur dua 

langkah. Bukannya takut, tapi kaget 

juga melihat gadis cantik di depannya 

telah siap mengancam dengan dua bilah 

belati.


"Ratih, jangan. Hentikan, Nak," 

Ki Jagabaya tertatih-tatih mencoba 

menenangkan luapan emosi putrinya.

"Tidak, Ayah. Mereka bukan lagi 

manusia, tapi binatang! Mereka tidak 

pantas lagi hidup di dunia!" sahut 

Ratih tanpa menoleh.

Ki Jagabaya tahu benar akan sifat 

anaknya yang keras hati itu. Dia tidak 

mungkin lagi menghalanginya. Laki-laki 

tua renta itu hanya bisa berdiri 

diliputi perasaan cemas. Rasa cemas 

itu beralasan karena Parang Kati 

adalah orang kepercayaan Baginda Prabu 

Salya. Tentunya tingkat kepandaiannya 

perlu diperhitungkan pula.

Meskipun Ratih hanya seorang 

gadis desa, tapi sejak berusia lima 

tahun telah dididik berbagai ilmu olah 

kanuragan dan ilmu kesaktian oleh 

pamannya. Memang kebetulan sekali, 

pamannya adalah guru besar padepokan 

di Gunung Lawu.

"Tinggalkan desa ini, atau kalian 

semua mati seperti binatang!" ancam 

Ratih tidak main-main.

"He he he...," Parang Kati hanya 

terkekeh. Sikapnya menganggap enteng 

gadis cantik ini

"Phuih!" Ratih menyemburkan 

ludahnya penuh kebencian.

Semburan ludah yang disertai 

pengerahan tenaga dalam, meluncur 

deras menghantam wajah Parang Kati.


Sangat keras dan pedas, sampai-sampai 

Parang Kati terdongak. Seketika 

wajahnya memerah menahan geram.

"Setan! Kurobek mulutmu!" geram 

Parang Kati.

Dengan ujung baju, diseka ludah 

yang mampir di wajahnya. Dengan suatu 

dengusan berang, ditarik ikat 

pinggangnya yang ternyata sebuah 

pecut. 

Seluruh batang pecut sepanjang 

satu depa itu, dipenuhi duri-duri 

halus yang tajam. Pada ujungnya, 

terdapat rambut-rambut halus yang 

terkuncir bagai buntut kuda. 

Ctar!

***

Kehebatan cambuk saat menggeletar 

membelah udara, dapat dirasakan Ratih. 

Suaranya bagai guntur di siang bolong, 

tapi menimbulkan hawa dingin menusuk 

tulang. Gadis itu segera menggerakkan 

kedua tangannya menyilang di depan 

dada. Seketika dikerahkannya hawa 

murni untuk melawan hawa dingin yang 

kian menusuk.

"Hhh, hanya mainan domba kau 

pamerkan di sini," ejek Ratih memanasi

"Wewe Gombel! Rasakan cambuk 

saktiku!" dengus Parang Kati sengit.

Sehabis berkata demikian, Parang 

Kati berteriak nyaring sambil


mengebutkan cambuk saktinya. Suara 

yang menggelegar dan memekakkan 

telinga menggema beberapa kali. Ujung 

pecut yang mirip ekor kuda seketika 

menegang kaku.

Parang Kati sangat lihai 

memainkan cambuk itu. Seperti memiliki 

mata saja, ujung cambuk itu bergerak 

mengjncar bagian-bagian tubuh yang 

mematikan. Persis ular yang tengah 

mengincar mangsanya. Namun sampai 

lewat tiga jurus, belum seujung rambut 

pun cambuk itu menyentuh kulit gadis 

itu. Hal ini membuat Parang Kati 

gusar.

"Setan! Jangan menyesal kalau 

wajahmu yang cantik kurusak!" geram 

Parang Kati.

"Lakukanlah jika kau mampu, kebo 

dungu!" balas Ratih mengejek.

Makin panas telinga Parang Kati. 

Segera dikeluarkannya jurus 'Cambuk 

Maut', suatu jurus yang cukup 

berbahaya. Dari ujung cambuk 

bersemburan bunga-bunga api yang 

meletup-letup menyambar-nyambar ke 

arah Ratih.

Tapi kelihatannya gadis itu 

tenang saja menghindari setiap 

serangan yang mengincar nyawanya. Dua 

bilah pisau belati di tangannya 

berkelebatan mengacaukan setiap arah 

ujung cambuk lawan. Dan pada satu 

kesempatan, Ratih sengaja membiarkan


ujung cambuk itu menyabet ke arah 

dadanya. Trak!

Tanpa terduga ujung cambuk yang 

hampir menyabet dada, terjepit oleh 

dua bilah belatinya. Rupanya dengan 

cepat Ratih telah lebih dulu 

mengatupkan kedua belatinya. Parang 

Kati belingsatan mencoba menarik 

senjata andalan yang terjepit pada 

ujungnya itu. Bahkan kini jepitan itu 

semakin kuat dan rapat.

"Uh!" Parang Kati mengemposkan 

tenaga dalamnya sambil menarik cambuk 

andalannya.

Ratih yang tengah mengerahkan 

jurus 'Capit Baja' tidak memberi 

kesempatan lagi bagi lawannya untuk 

melepaskan senjata dari jepitan dua 

belati. 

"Ya...!"

Tiba-tiba saja gadis itu menjerit 

keras seraya melayangkan tubuhnya 

cepat, dengan kaki lurus ke depan. 

Begitu cepat gerakan Ratih, membuat 

Parang Kati terkesiap. Tidak ada waktu 

lagi untuk mengelak, karena jarak 

mereka memang hanya satu depa saja.

Parang Kati terpaksa melepaskan 

pegangan tangan kanannya pada cambuk, 

lalu dengan cepat menangkis kaki Ratih 

yang melayang mengincar kepala. Tapi 

rupanya, tendangan menggeledek tadi 

hanya tipuan saja. Saat tangan kanan 

Parang Kati terangkat, mendadak Ratih


menyentak ujung cambuk yang masih 

terjepit belatinya itu.

"Akh!" Parang Kati memekik 

tertahan.

Tangan kiri yang telah berfungsi 

memegang cambuknya, tersentak bagai 

ditarik seribu ekor gajah. Tubuh 

Parang Kati limbung seketika ke depan. 

Kesempatan ini digunakan Ratih dengan 

cepat. Dilepaskan jepitan dua 

belatinya, lalu tangan kanannya 

bergerak cepat bagai kilat.

"Ikh!"

Cras!

Parang Kati tersentak kaget Dia 

sudah berusaha menjatuhkan din, namun 

ujung belati Ratih telah lebih cepat 

merobek bahu kanannya. Darah pun 

mengalir dari luka yang cukup panjang. 

Parang Kati yang masih berguling-

gulingan di tanah, segera mencelat 

kembali berdiri dengan kokoh.

"Setan!" dengus Parang Kati 

geram.

Baru kali ini Parang Kati 

dicundangi seorang gadis muda yang 

cantik lagi menggiurkan. Wajah laki-

laki bercodet itu merah padam. Matanya 

membelalak lebar, merah menyala bagai 

hendak melahap tubuh Ratih yang 

berdiri penuh senyum ejekan.

"Serang! Cincang gadis edan itu!" 

perintah Parang Kati.


Seketika itu juga sembilan orang 

yang sejak tadi menonton saja, 

bergerak mengepung Ratih. Di tangan 

mereka masing-masing telah tergenggam 

sebilah pedang panjang berkilatan. 

Sementara itu Parang Kati membebat 

lukanya dengan sobekan bajunya 

sendiri. Mulutnya masih mendesis-desis 

menahan marah. Sungguh tak disangkanya 

kalau gadis yang dianggap remeh, 

ternyata mampu membuat malu di depan 

anak buahnya sendiri.

Trang, trang, trang!

Para prajurit Kerajaan Parakan 

telah mulai menyerang Ratih. Peluh 

mulai membasahi wajah cantik yang 

kemerahan. Dia memang harus menguras 

tenaga menghadapi sembilan prajurit 

pilihan itu. Ilmu pedang mereka memang 

boleh juga. Ilmu silat mereka pun 

rata-rata lumayan. Tidak heran kalau 

Ratih agak kewalahan juga 

menghadapinya.

Beberapa kali pedang para 

prajurit itu hampir merobek tubuhnya. 

Namun gadis jebolan Padepokan Gunung 

Lawu ini masih mampu menghindari 

setiap serangan yang mengepung rapat. 

Bahkan tidak jarang membalas dengan 

serangan yang mengejutkan. Dalam waktu 

yang tak lama, pertarungan yang tidak 

seimbang itu telah berjalan lebih dari 

lima jurus.


"Uh, tidak kusangka. Ternyata 

Jagabaya punya anak cantik yang begitu 

tangguh," bisik hati Parang Kati.

Namun kali ini Parang Kati dapat 

tersenyum kembali. Ternyata setelah 

lewat sepuluh jurus, Ratih tampak 

mulai kelelahan. Tenaganya telah 

terkuras ketika melawan Parang Kati 

tadi. Dan kini dia harus melawan 

sembilan prajurit. Lebih-lebih 

permainan pedang mereka cukup lihai 

dan berbahaya.

Sedikit demi sedikit Ratih mulai 

terdesak. Keringat semakin deras 

mengalir membasahi tubuhnya. Dengus 

napas gadis ini mulai terdengar keras 

dan memburu. Gerakan-gerakannya juga 

tidak selincah sebelumnya. Namun 

demikian pukulan dan tendangannya 

masih keras dan berbahaya. Sisa-sisa 

tenaganya terpaksa harus semakin 

dikuras lagi.

"Tidak tahu malu, mengeroyok 

seorang gadis!"

Tiba-tiba terdengar suara keras 

menggema, seakan-akan datang dari 

segala penjuru. Seketika itu juga 

pertarungan terhenti. Sembilan 

prajurit itu berlompatan mundur dua 

langkah.

"Tikus busuk! Siapa kau?!" teriak 

Parang Kati.

"Memalukan!" terdengar lagi suara 

keras menggema.


Parang Kati yakin kalau suara itu 

datang dari orang yang berada di satu 

tempat. Tapi suaranya datang dari 

semua penjuru angin. Pertanda pemilik 

suara itu seorang sakti yang memiliki 

tenaga dalam cukup sempurna. Siapakah 

orang yang mempunyai suara menggema 

itu?

***

DUA



Mendadak sebuah bayangan putih 

berkelebat cepat ke arah para 

prajurit. Begitu cepat bayangan itu, 

membuat para prajurit hanya dapat 

tertegun. Hanya sekedipan mata saja, 

tahu-tahu sembilan orang prajurit itu 

sudah tidak lagi memegang senjata.

Crab, crab....

Pedang-pedang itu tiba-tiba 

melayang dan menancap berjajar rapi di 

tanah. Parang Kati benar-benar 

terkesiap bingung. Matanya segera 

mendapatkan seorang laki-laki muda 

mengenakan baju rompi. Gagang pedang 

berbentuk kepala burung menyembul dari 

balik punggungnya. Dia berdiri tegak 

di atas dua batang pedang yang 

menancap di tanah.

"Oh...," Ratih mendesah ketika 

mengenali pemuda itu.



Memang, pemuda itu ternyata 

adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali 

Sakti. Ilmu peringan tubuhnya tidak 

disangsikan lagi sehingga dapat 

berdiri tegak di atas pedang yang 

menancap di tanah tanpa sedikit pun 

goyah.

Tanpa sadar Ratih tersenyum manis 

seorang diri. Kakinya bergerak 

mendekati ayahnya yang sejak tadi 

berdiri saja di depan tangga rumahnya. 

Di samping ayahnya Ratih berdiri, 

sambil matanya tidak lepas memandang 

Rangga. Dalam hati, diakui kehebatan 

ilmu meringankan tubuh pendekar muda 

ini.

"Jika kalian masih sayang dengan 

nyawa, tinggalkan desa ini segera!" 

tegas suara Rangga terdengar.

Parang Kati yang terkesiap dengan 

kehebatan Rangga, menjadi mengkeret 

nyalinya. Dengan cepat dia melompat ke 

punggung kudanya, diikuti sembilan 

orang prajurit Kerajaan Parakan. Tanpa 

berkata apa-apa lagi, sepuluh orang 

itu menggebah kuda mereka meninggalkan 

halaman rumah kepala desa.

Rangga melenting indah dari 

pedang yang masih tertancap itu, dan 

tepat berdiri di depan Ki Jagabaya dan 

putrinya. Pendekar Rajawali Sakti 

sedikit membungkukkan badannya memberi 

hormat, lalu berbalik hendak berlalu.

"Tunggu!" cegah Ratih buru-buru.


Rangga membalikkan tubuhnya lagi

"Siapa kau? Kenapa ikut campur 

urusanku?" tanya Ratih beruntun.

"Aku Rangga," sahut Rangga 

memperkenalkan diri. "Maaf, kalau kau 

tersinggung terhadap kelancanganku. 

Aku hanya tidak dapat melihat 

kekejaman dan kecurangan. Apalagi 

pengeroyokan terhadap seorang gadis."

"Kau kira aku suka menerima 

bantuanmu?" Ratih tersenyum sinis.

Rangga mengemyitkan alisnya. 

Tidak disangka, gadis cantik yang 

bertampang lemah lembut dapat juga 

berkata ketus. Pandangan Pendekar 

Rajawali Sakti beralih pada laki-laki 

tua yang berdiri agak ke belakang dari 

gadis cantik ini. Dalam sekali pandang 

saja, Rangga telah dapat menilai kalau 

laki-laki tua itu tidak kosong.

"Hm, rupanya dia tadi bersikap 

mengalah, mungkin ada pertimbangan 

lain," bisik hati Pendekar Rajawali 

Sakti.

Sedikit Rangga menganggukkan 

kepala, lalu berbalik lagi. Namun baru 

saja melangkah tiga tindak, laki-laki 

tua Kepala Desa Ganggang ini berseru 

mencegah.

"Hm, apa lagi?" agak segan juga 

Rangga membalikkan tubuhnya.

"Maafkan putriku, anak muda. Mata 

tuaku mungkin masih belum dapat 

ditipu. Kalau tidak salah lihat, kau


yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. 

Benar?" kata Ki Jagabaya seraya maju 

dua langkah.

Lagi-lagi Rangga mengernyitkan 

alisnya. Dia agak terkejut dengan

tebakan Ki Jagabaya yang tepat.

"Aku dapat mengenalimu dari 

gagang pedang yang kau sandang di 

punggung. Dan lebih yakin lagi, 

setelah kau mengeluarkan jurus 'Sayap 

Rajawali Membelah Mega' tadi," ujar Ki 

Jagabaya membuyarkan keheranan Rangga.

"Bagaimana bisa tahu kalau...," 

belum habis Rangga berkata, Ki 

Jagabaya menyelak.

"Nama besarmu yang membuat mata 

tuaku terbuka."

Sementara Ratih yang mendengar 

percakapan itu, tidak berkedip menatap 

pemuda tampan di depannya. Dia memang 

sering mendengar sepak terjang

Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak 

diduga sama sekali kalau masih muda 

dan tampan. Pantas dalam sekali gebrak 

saja, dengan mudah merebut pedang para 

prajurit yang berjumlah sembilan orang 

itu.

Wajah gadis itu seketika 

menyemburat merah dadu ketika tanpa 

sengaja matanya tertumbuk dengan mata 

Rangga. Cepat-cepat ditundukkan 

kepalanya. Entah kenapa, tiba-tiba 

saja Ratih merasakan detak jantungnya 

semakin keras. Dia benar-benar tidak


sanggup membalas tatapan mata Pendekar 

Rajawali Sakti itu.

"Kalau kau tidak keberatan, 

singgahlah di gubukku barang sejenak," 

ajak Ki Jagabaya merendah.

Rangga tidak segera menjawab. 

Matanya malah menatap Ratih kembali. 

Puas menatap Ratih, segera dia 

memandang ke sekelilingnya. Tampak 

beberapa jendela rumah penduduk mulai 

terbuka. Dan kepala-kepala yang semula 

bersembunyi, kini telah bermunculan 

dari balik jendela. Seolah-olah ingin 

melihat wajah pendekar muda yang mampu 

mengusir para prajurit Kerajaan 

Parakan yang terkenal bengis.

Ratih mendekati ayahnya, kemudian 

berbisik-bisik. Kepala Ki Jagabaya 

terangguk-angguk, kemudian bibirnya 

yang tertutup kumis putih tebal 

tersenyum-senyum. Rangga mengemyitkan 

alisnya. Menyesal dia tidak 

mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' 

sehingga tidak dapat mendengar bisikan 

gadis itu.

Selesai berbisik pada ayahnya, 

gadis itu segera berbalik masuk ke 

dalam rumah. Rangga hanya memandangi 

tanpa dapat mengerti maksud bisik-

bisik tadi. Ki Jagabaya menghampiri 

Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuh 

Ratih lenyap ditelan rumah yang paling 

besar di Desa Ganggang ini.


"Putriku akan menyiapkan makanan. 

Katanya, dia ingin minta maaf atas 

keketusannya di sini dan di sungai 

tadi," kata Ki Jagabaya pelan dan 

lembut

Rangga tersenyum geli, Pikirnya, 

gadis ini manja juga! Pendekar 

Rajawali Sakti hanya mengangkat 

pundaknya sambil melangkah mengikuti 

Ki Jagabaya. Beberapa kali kepala 

pendekar ini menggeleng memikirkan 

sikap Ratih yang sulit diterka 

kemauannya.

"Ah...," Rangga mendesah panjang.

***

Sepuluh ekor kuda berpacu cepat 

melintasi jalan berdebu. Jika dilihat 

dari pakaian seragam, jelas mereka 

adalah para prajurit Kerajaan Parakan 

yang dipimpin Punggawa Parang Kati. 

Dengan hati mangkel mereka memacu kuda 

bagai kesetanan. Hanya sekali gebrak 

saja pendekar muda itu mampu 

mengalahkan mereka.

Lebih-lebih Parang Kati. Dia 

begitu dendam dapat dipecundangi 

seorang gadis cantik yang seumur 

dengan anaknya. Kalau saja tidak 

muncul pendekar muda itu, mungkin 

telah nekad berhadapan sampai mati 

dengan gadis cantik itu. Baginya lebih 

baik mati daripada harus jadi


pecundang. Saat mereka memacu kuda 

demikian cepat, mendadak....

"Awas...!" teriak Parang Kati.

Seketika Parang Kati melompat 

dari punggung kudanya. Sebuah pohon 

besar tiba-tiba saja tumbang. Tidak 

ampun lagi, kuda Parang Kati dan 

beberapa prajurit yang kurang sigap 

melompat, tertimpa pohon itu. Lima 

ekor kuda dan empat orang prajurit 

langsung mati seketika. Lima orang 

prajurit yang selamat, segera turun 

dari kuda masing-masing. Sementara 

Parang Kati telah berdiri tegak dengan 

mata jelalatan mengawasi sekitarnya.

Sing...!

Tiba-tiba saja beberapa benda 

kecil berkilat keperakan meluruk deras 

ke arah Parang Kati dan lima prajurit.

Sret, trang!

Parang Kati dengan sigap menarik 

sebilah senjata trisula berwarna 

kuning keemasan. Beberapa benda 

keperakan itu berhasil dipatahkan di 

tengah jalan. Sedangkan lima prajurit 

itu berjumpalitan menghindari serangan 

gelap itu. Mereka memang para prajurit 

yang cukup andal. Dengan mudah 

senjata-senjata rahasia itu dapat 

dihindarkan.

Malahan dua di antara senjata itu 

berhasil ditangkap Parang Kati. 

Sebentar diamati benda yang kini ada 

di tangannya. Senjata rahasia yang


berbentuk bintang berujung enam. Di 

tengah-tengahnya terukir gambar 

sekuntum bunga mawar.

"Dewi Selaksa Mawar," desis 

Parang Kati.

Desisan yang agak keras itu 

didengar jelas oleh lima prajurit 

bawahannya. Saat itu pula wajah mereka 

menjadi tampak pucat. Sedangkan Parang 

Kati cepat mengeluarkan senjata 

andalannya, cambuk buntut kuda. Cambuk 

itu telah siap dalam genggaman tangan 

Parang Kati.

Melihat pimpinannya mengeluarkan 

senjata, kelima prajurit itu 

mengikutinya dengan mencabut trisula. 

Masing-masing menggenggam dua trisula. 

Senjata itu memang selalu tersembunyi 

di balik baju, dan baru dikeluarkan 

jika pedang telah lepas dari tangan.

Kenyataannya memang mereka tidak lagi 

mempunyai pedang. Kini posisi mereka 

dalam keadaan siap siaga dengan wajah 

menegang.

"Hi hi hi..., tikus-tikus busuk 

yang besar mulut! Baru menghadapi 

bocah bau kencur saja, lari tunggang 

langgang," terdengar suara kecil 

nyaring.

"Dewi Selaksa Mawar, keluar! 

Jangan hanya umbar bacot saja seperti 

burung beo! Tapi nyalimu seperti 

cacing tanah!" teriak Parang Kati 

geram.


"Hi hi hi...," terdengar lagi 

suara mengikik. Belum hilang suara 

tawa itu, tiba-tiba berkelebat sebuah

bayangan merah. Kira-kira berjarak 

tiga tombak di depan Parang Kati, 

bayangan itu berhenti berkelebat. Kini 

jelaslah yang ada hanya sesosok 

perempuan tua berambut merah bagai 

darah. Pakaiannya pun merah, sesuai 

dengan julukannya Dewi Selaksa Mawar.

"Mengapa kau hadang perjalanan 

kami?" tanya Parang Kati ketus.

"Karena aku ingin nyawa kalian 

semua!" tidak kalah dingin dan ketus 

suara Dewi Selaksa Mawar.

"Setan! Kami tidak punya urusan 

denganmu," dengus Parang Kati.

"Kalian semua anjing-anjing si 

tua bangka Kalasewu. Karena itu kalian 

semua harus mati di tanganku!"

"Siapa Kalasewu? Aku tidak 

kenal!" 

"Hi hi hi..., kalian memang 

picik." 

Merah padam wajah Parang Kati 

diejek terus menerus. Seingatnya, dia 

tidak pernah berurusan dengan Dewi 

Selaksa Mawar. Dan, siapa Kalasewu? 

Baru kali ini didengarnya nama itu. 

Dirinya adalah seorang punggawa 

kerajaan, jadi tidak tahu menahu 

dengan dunia persilatan.

Meskipun sehari-harinya Parang 

Kati berhadapan dengan tokoh-tokoh


rimba persilatan, tapi dia selalu 

menjaga jarak agar tidak berurusan 

secara pribadi. Bukannya gentar, tapi 

dia merasa enggan saja jika tidak 

menyangkut masalah kerajaan.

"Parang Kati. Namamu sebagai 

punggawa telah terkenal. Tapi tak 

kusangka ternyata matamu buta, tidak 

dapat membedakan orang," kata Dewi

Selaksa Mawar.

"Kata-katamu makin berbelit-belit 

tidak karuan," gumam Parang Kati yang 

tidak mengerti arah pembicaraan Dewi 

Selaksa Mawar.

"Huh! Dijelaskan juga percuma," 

dengus Dewi Selaksa Mawar. "Bersiaplah 

kalian untuk mati!"

Selesai berkata, Dewi Selaksa 

Mawar langsung mencelat. Parang Kati 

mengebutkan cambuknya menghadang 

gerakan wanita tua itu. Namun tanpa 

diduga sama sekali, ujung jari kaki 

Dewi Selaksa Mawar menekan ujung 

cambuk Parang Kati. Dan dengan 

indahnya melenting berputar di udara.

Angin kelebatan tubuhnya 

menimbulkan bau harum bunga mawar. 

Parang Kati terkejut. Dia pernah 

mendengar ilmu-ilmu tangguh perempuan 

tua ini. Bau harum mawar yang menyebar 

dari tubuhnya, menandakan perempuan 

tua itu langsung mengerahkan ilmu 

'Mawar Berbisa'. Suatu ilmu andalannya 

yang cukup berbahaya.


Dua kali Dewi Selaksa Mawar 

bersalto di udara, kemudian meluruk ke 

arah lima orang prajurit yang sejak 

tadi bersiaga. Begitu cepatnya gerakan 

Dewi Selaksa Mawar, membuat lima 

prajurit Kerajaan Parakan menjadi 

kelabakan. Mereka langsung menyebar 

mengurung tubuh perempuan tua 

berpakaian merah darah itu. Senjata-

senjata trisula berkelebatan mengarah 

ke tempat sasaran. Namun kelihatannya 

Dewi Selaksa Mawar bukanlah tandingan 

mereka. Meski dengan tangan kosong 

saja, lima prajurit itu tidak mampu 

mendesak. Wus!

Angin kebutan pukulan Dewi 

Selaksa Mawar begitu hebat sekali. 

Ketika bau harum mawar menyebar, 

bergegas lima prajurit melompat mundur 

dua langkah. Tetapi angin kebutan itu 

masih juga membuat mereka limbung 

sedikit.

"Modar!" teriak Dewi Selaksa 

Mawar.

Sambil berteriak demikian, tangan 

perempuan tua itu bergerak menyambar 

dua orang lawannya. Sangat cepat 

sambaran tangan Dewi Selaksa Mawar, 

sehingga dua prajurit itu tak mampu 

mengelak lagi.

Plak! Plak!

Dua prajurit terhantam pukulan 

tangan yang disertai ilmu 'Mawar 

Berbisa'. Dua orang yang terkena


sasaran itu terjengkang ke belakang 

sejauh dua batang tombak. Sebentar 

mereka menggeliat, lalu tewas tanpa 

menimbulkan suara lagi. Tampak di dada 

mereka tergambar bunga mawar berwarna 

merah menyala. Dari mulut dan hidung, 

mengucur darah kehitaman.

"Iblis...!" geram Parang Kati 

mertyaksikan ke-kejaman perempuan tua 

itu.

"Hi hi hi.., kalian sebentar lagi 

pasti menyusul ke neraka," Dewi 

Selaksa Mawar mengikik. 

"Bedebah! Rasakan cambuk 

saktiku!" geram Parang Kati.

"Hi hi hi..., kau memang pantas 

jadi kusir." 

"Yeaaah...!" Parang Kati melompat 

ganas sambil mengerahkan jurus 'Ekor 

Naga Weling'. Ujung cambuknya seketika 

menegang bagai ribuan jarum yang siap 

terbenam di tubuh lawan. Cekatan 

sekali tangannya mengebut-ngebutkan 

cambuk itu mengincar bagian tubuh Dewi 

Selaksa Mawar. Ke mana saja perempuan 

serba merah itu menghindar, ujung 

cambuk itu selalu memburu mengincar 

maut.

Lima jurus berlalu dengan cepat. 

Sepertinya Dewi Selaksa Mawar masih 

tangguh bagi Parang Kati. Beberapa 

kali ujung cambuk hampir menyentuh 

sasaran, tapi dengan manis dapat 

dihindari. Bahkan tidak jarang Dewi


Selaksa Mawar mem-berikan serangan 

balasan yang cukup dahsyat.

"Kalian jangan hanya bengong!

Serang iblis perempuan laknat ini!" 

teriak Parang Kati sengit melihat 

prajuritnya hanya mematung terkesiap 

menyaksikan pertarungan itu.

Bagai tersentak dari mimpi, tiga 

orang prajurit yang tersisa itu segera 

melompat mengeroyok Dewi Selaksa 

Mawar. Tiga prajurit yang memiliki 

kepandaian lumayan itu hanya dihadapi 

dengan kikikan suara tawa Dewi Selaksa 

Mawar. Kelihatan sekali kalau 

perempuan tua ini menganggap remeh 

lawan-lawannya.

"Hih! Aku tidak butuh kau!" 

sungut Dewi Selaksa Mawar tiba-tiba.

Belum lagi senyap kata-katanya, 

secepat kilat perempuan tua itu 

melontarkan tiga buah senjata 

rahasianya. Cahaya keperakan 

berkelebat cepat menyambar tiga 

prajurit itu.

Trak! Trak!

"Akh!"

Dua bintang berhasil ditangkis 

dengan baik, tapi sisanya langsung 

menerobos dada salah seorang prajurit 

yang naas itu. Seketika tubuhnya 

terjengkang ke belakang. Bintang 

bersegi enam yang mengandung racun 

ganas itu tertanam dalam hingga ke 

jantung. Tubuh orang itu menggelepar


sebentar, lalu diam tidak bergerak 

lagi. Seputar luka di dadanya 

perlahan-lahan membiru.

"Setan!" geram Parang Kati 

melihat seorang bawahannya terjungkal 

mati.

Kini tinggal tiga orang saja yang 

masih hidup. Hati Parang Kati mulai 

ciut juga. Bagaimana tidak, dari 

sembilan orang prajurit pilihan yang 

dibawanya, kini tinggal dua orang 

saja. Sedangkan dia sendiri belum 

tentu dapat menandingi kesaktian Dewi 

Selaksa Mawar.

Parang Kati memang geram 

menyaksikan kekalahan telak di 

pihaknya. Pertimbangannya, kalau masih 

nekad menghadapi iblis tua ini tidak 

mustahil nyawanya juga akan melayang.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Parang 

Kati berteriak nyaring. Dua kali 

kakinya menjejak tanah dengan keras 

dan sambil mengempos seluruh tenaga 

dalam dikerahkan ilmu meringankan 

tubuh. Dalam sekejap tubuh Parang Kati 

mencelat ke udara. Tangannya 

mengebutkan cambuk ke arah kepala Dewi 

Selaksa Mawar.

"Uts!" Dewi Selaksa Mawar 

menundukkan kepalanya sedikit. Maka 

ujung cambuk itu hanya lewat beberapa 

helai rambut di atas kepalanya.

Pada saat yang sama, dua orang 

prajurit cepat melompat dengan senjata


trisula terhunus. Mendapat serangan 

beruntun dari tiga arah ini, membuat 

perempuan tua serba merah itu menjadi 

sibuk juga. Cepat-cepat dijatuhkan 

tubuhnya ke belakang, dan bersalto 

tiga kali.

Kesempatan yang hanya sedetik ini 

dimanfaatkan Parang Kati untuk 

melarikan diri. Dia melesat dan 

bersalto tiga kali, lalu hinggap di 

punggung salah seekor kuda. Sekali 

sentak saja, kuda itu bergerak bagai 

anak panah lepas dari busur.

"Pengecut! Jangan lari kau!" 

dengus Dewi Selaksa Mawar.

Baru saja akan mengejar, dua 

prajurit yang mengetahui pimpinannya 

dapat meloloskan diri, langsung 

melompat menyerang. Dewi Selaksa Mawar 

kembali melenting menghindari serangan 

kembar yang berbahaya itu. Gerahamnya 

bergemelutuk menahan marah yang sangat 

terhadap dua prajurit yang berusaha 

melindungi pimpinannya itu.

"Uh! Monyet beledek!" dengus Dewi 

Selaksa Mawar.

Secepat kilat dilontarkan pukulan 

mautnya disertai pengerahan ilmu 

'Mawar Berbisa'. Bau harum mawar 

segera tersebar ketika kedua tangan 

Dewi Selaksa Mawar mendorong kuat ke 

depan. Dalam keadaan marah seperti 

ini, Dewi Selaksa Mawar tidak 

tanggung-tanggung lagi untuk


mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 

dalamnya. Hasilnya memang luar biasa.

Seberkas sinar merah melesat 

cepat ke arah dua orang prajurit 

Kerajaan Parakan. Serangan dahsyat itu 

tak dapat dihindari lagi. Dua orang 

itu hanya melolong tanpa mampu berbuat 

apa-apa.

"Akh!"

"Aaaa...!"

Dua jeritan panjang saling susul 

diikuti oleh terjengkangnya dua tubuh 

ke belakang sejauh empat depa. Tidak 

sedikit pun mereka menggelepar. Yang 

terlihat hanya darah yang mengucur 

dari mata, mulut, dan hidung, yang 

kental kehitaman. Sedangkan di dada 

tergambar sekuntum bunga mawar merah 

mengepulkan asap tipis kemerahan.

Dewi Selaksa Mawar cepat melesat 

ke udara. Dua kali bersalto, lalu 

kakinya menjejak kokoh di atas sebuah 

batu besar yang hanya satu di tempat 

itu. Matanya menatap ke arah Parang 

Kati pergi.

"Sial!" dengus Dewi Selaksa Mawar 

kesal.

Sekeliling telah sepi senyap 

seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya 

mayat-mayat yang bergelimpangan 

menandakan kalau di tempat itu baru 

saja terjadi pembantaian sembilan 

orang prajurit Kerajaan Parakan.


Sementara matahari telah kian 

condong ke arah Barat. Sinarnya yang 

mulai redup keemasan, terasa lembut 

menyapu permukaan mayapada ini. Namun 

keindahan dan kelembutan sang mentari 

tidak dapat dinikmati perempuan tua 

yang bernama Dewi Selaksa Mawar ini. 

Hatinya masih diliputi kekesalan 

karena satu orang lawannya berhasil 

meloloskan diri.

"Kalasewu, sampai ke neraka pun 

akan kukejar!" desis Dewi Selaksa 

Mawar.

Sebenamya apa yang terjadi 

terhadap perempuan serba merah ini? 

Mengapa begitu membenci orang yang 

bernama Kalasewu? Lalu apa hubungannya 

dengan prajurit Kerajaan Parakan? 

Hanya Dewi Selaksa Mawar saja yang 

tahu.

"Kubunuh kau, Kalasewu! 

Hiyaaa...!"

Dewi Selaksa Mawar kini mengamuk 

sendiri seperti orang gila. Tangannya 

menghantam batu besar yang dipijaknya. 

Suaranya menggelegar terdengar 

memekakkan telinga, bersamaan dengan 

hancurnya batu sebesar gubuk dangau 

itu. Kepingan-kepingannya berterbangan 

ke segala penjuru.

Dewi Selaksa Mawar masih berdiri 

tegak di tengah-tengah butiran batu 

yang dihancurkannya tadi. Debu masih 

mengepul di sekitarnya. Dengan tangan

tolak pinggang, dia menatap sang 

mentari yang secara pasti mulai 

tenggelam di balik peraduannya.

***

TIGA



Pagi baru saja merayapi bumi. 

Sinar matahari mulai memancar 

menerangi belahan Timur bumi. Napas 

kehidupan kembali bangkit setelah 

semalaman bagai mati dicekam kegelapan 

sang dewi malam. Pagi yang cerah itu 

kini terusik oleh derap langkah kuda 

yang dipacu bagai kesetanan.

Kuda hitam tegap berlari kencang 

menerjang apa saja yang menghalangi. 

Debu bergulung-gulung di belakangnya. 

Penunggangnya berpakaian kotor dan 

lusuh mendera kuda yang seolah-olah 

masih kurang cepat. Padahal, kuda 

tunggangannya itu telah mendengus-

dengus hampir mati kelelahan. Tampak 

dari wajahnya yang lecek dan penuh 

debu, sebuah guratan panjang di 

pipinya. Guratan itu menandakan kalau 

dia adalah Parang Kati.

"Hiya..., hiya...!"

Parang Kati terus mendera kudanya 

menuju kota praja Kerajaan Parakan. 

Semalaman dia berpacu tanpa henti, dan 

tak mempedulikan keadaan dirinya yang



kotor dan berbau. Apalagi terhadap 

kudanya yang hampir mati kelelahan 

didera terus menerus sepanjang malam 

hingga pagi ini.

"Buka pintu, cepat...!" teriak 

Parang Kati ketika di depannya 

terbentang pintu kokoh yang dijaga dua 

orang prajurit bersenjata lengkap.

Mengenali siapa yang datang, dua 

orang prajurit itu bergegas membuka 

pintu. Namun ketika pintu baru terbuka 

setengah, Parang Kati telah menerobos 

tanpa mengendorkan lari kudanya. Dua 

penjaga itu menjadi bingung melihat 

Parang Kati memasuki benteng kerajaan 

tidak seperti biasanya.

Tali kekang kuda tiba-tiba 

ditariknya, ketika telah tiba di depan 

pendopo utama istana Parakan. Seketika 

kuda berhenti seraya meringkik dan 

mengangkat kaki depannya. Parang Kati 

mencelat dan berputar dua kali di 

udara sebelum kakinya mencapai tanah.

Tanpa mempedulikan kudanya yang 

langsung tertunduk dengan mulut 

menganga, Parang Kati melangkah lebar 

memasuki pendopo utama. Seluruh 

tubuhnya yang masih kotor dan berbau 

tidak dihiraukannya lagi. Beberapa 

penjaga pintu pendopo menatapnya penuh 

keheranan. Tidak biasanya Parang Kati 

memasuki pendopo dalam keadaan seperti 

itu.


"Parang Kati...!" tiba-tiba 

sebuah bentakan keras menghentikan 

langkah Parang Kati.

Parang Kati segera berbalik. 

Seketika itu juga dijatuhkan tubuhnya 

untuk berlutut. Di depannya kini

berdiri seorang laki-laki tua dengan 

rambut seluruhnya berwarna putih. 

Kumisnya panjang dan putih pula.

Laki-laki bertubuh kurus tinggi 

dan berwajah dingin itu mengenakan 

baju biru dari bahan sutra halus. 

Matanya tajam tanpa ekspresi menatap 

wajah Parang Kati yang tertunduk 

berlutut di depannya. Raut wajahnya 

begitu pucat seperti tak pernah 

teralirkan darah kehidupan lagi

"Bangun," kata laki-laki tua itu. 

Suaranya terdengar dingin.

"Maafkan hamba, Ki Sanggamayit. 

Hamba menghadap dalam keadaan kotor," 

kata Parang Kati setelah bangkit 

berdiri.

"Kenapa kau masuk pendopo dalam 

keadaan begini?" tanya laki-laki tua 

yang ternyata bernama Ki Sanggamayit. 

Suaranya masih dingin datar. Tak ada 

sedikit pun tekanan dan ekspresi sama 

sekali.

"Hamba terburu-buru, Ki 

Sanggamayit. Hamba semalaman berkuda 

dari Desa Ganggang," lapor Parang 

Kati.


"Hm..., kau ditugaskan untuk 

menarik upeti dari desa itu, dan 

dikawal sembilan prajurit pilihan. 

Tapi sekarang kembali hanya seorang 

diri. Apa yang terjadi?"

"Ceritanya panjang, Ki," sahut 

Parang Kati. "Ceritakan."

Panjang lebar Parang Kati 

menceritakan kejadian di Desa Ganggang 

hingga tentang penghadangan yang 

dilakukan oleh Dewi Selaksa Mawar. 

Hanya dia sendiri yang mampu 

meloloskan diri.

Ki Sanggamayit masih diam 

tertegun meskipun Parang Kati telah 

selesai bercerita. Agak lama kesunyian 

menyelimuti mereka berdua. Terdengar 

desahan berat panjang dari hidung Ki 

Sanggamayit.

Kembali matanya tajam tanpa 

ekspresi memandang Parang Kati. Yang 

dipandang hanya tertunduk, takut untuk 

membalasnya.

"Apa kau tidak salah lihat?" 

tanya Ki Sanggamayit memecah 

keheningan.

"Maksud Ki Sanggamayit?" Parang 

Kati malah balik bertanya.

"Bodoh! Siapa lagi kalau bukan 

perempuan edan itu?" bentak Ki 

Sanggamayit.

"Oh, tid..., tidak, Ki. Hamba 

tidak salah lihat. Bahkan Dewi Selaksa


Mawar menyebut-nyebut nama Kalasewu," 

agak gugup Parang Kati menjawab.

"Monyet buntung!" Ki Sanggamayit 

terlonjak, sampai melompat ke belakang 

satu tindak ketika mendengar nama 

Kalasewu disebut-sebut.

Parang Kati semakin heran melihat

atasannya yang begitu terkejut 

mendengar ceritanya. Hidung Ki 

Sanggamayit kembang kempis seperti 

menahan marah. Wajah semakin terlihat 

pucat. Dua bola matanya berputar-putar 

memandang Parang Kati. Dia seolah-olah 

tidak percaya dengan ucapan laki-laki 

codet yang ada di depannya ini.

"Sebaiknya kau pulang sekarang. 

Biar kusampaikan sendiri berita ini 

pada Gusti Prabu," kata Ki Sanggamayit 

setelah agak reda emosinya.

Parang Kati membungkukkan 

badannya sedikit, sambil mundur tiga 

langkah. Ketika membalik, segera 

kakinya diayun lebar-lebar. Ki 

Sanggamayit memandangi dengan tatapan 

dingin. Dia baru beranjak setelah 

Parang Kati tak terlihat lagi.

***

Ki Sanggamayit duduk bertopang 

dagu di depan meja dari marmer putih 

mengkilat. Di hadapannya duduk dua 

orang yang sudah kelihatan tua. Mereka 

adalah Iblis Mata Satu, dan yang


mengenakan pakaian serba hitam adalah 

Setan Jerangkong. Dinamakan Setan 

Jerangkong karena tubuhnya kurus 

kering seperti tinggal tulang terbalut 

kulit saja.

Mereka bertiga memang dikenal 

sebagai Tiga Setan dari Neraka. Sepak 

terjangnya yang kejam tak kenal 

perikemanusiaan, sudah menjadi buah 

bibir di seluruh dunia persilatan. 

Mereka tidak segan-segan membunuh 

siapa saja yang berani berurusan.

"Sejak tadi kau kelihatan murung. 

Ada yang mengganggu pikiranmu, 

Sanggamayit?" Iblis Mata Satu 

memecahkan kesunyian.

Sanggamayit mengangkat kepalanya 

pelan-pelan. Matanya yang dingin 

terarah pada Iblis Mata Satu. Desah 

napasnya terdengar berat dan panjang.

"Aku tadi pagi lihat Parang Kati 

kembali seorang diri. Bukankah dia 

ditugaskan untuk menarik upeti ke Desa 

Ganggang? Lagi pula, aku tak melihat 

sembilan orang prajurit yang 

menyertainya. Adakah persoalan yang 

dibawanya sehingga kau jadi murung?" 

Setan Jerangkong kelihatan mendesak. 

"Persoalan lama," desah 

Sanggamayit berat. 

"Jelaskan. Persoalan apa?" desak 

Iblis Mata Satu.

Sanggamayit mendesah kembali, 

kemudian diceritakan semua yang


didengarnya dari Parang Kati. Setan 

Jerangkong dan Iblis Mata Satu 

mendengarkannya dengan serius, tanpa 

sedikit pun menyelak. Kelihatan sekali 

wajah mereka menjadi berubah ketika 

Dewi Selaksa Mawar disebut-sebut 

mencari Kalasewu. Seketika itu juga 

mereka teringat dengan peristiwa yang 

terjadi sekitar dua puluh tahun lalu.

Iblis Mata Satu dan Setan 

Jerangkong menatap tajam pada 

Sanggamayit. Lama juga kesepian 

menyelimuti ruangan luas ini. Tidak 

ada yang bersuara sedikit pun.

"Aku tidak menyangka, dia tahu 

kita semua ada di sini," gumam Iblis 

Mata Satu pelan.

"Dia bukan mencari kita, tapi 

Kalasewu," sergah Sanggamayit.

"Apa bedanya?" Setan Jerangkong 

seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Jelas ada bedanya?" dingin tajam 

Sanggamayit menyahuti. "Kita dikenal 

sebagai Tiga Setan Neraka. Sedang yang 

dicari Dewi Selaksa Mawar adalah 

Kalasewu."

"Haha ha...!" mendadak saja Iblis 

Mata Satu tertawa terbahak-bahak.

"Tidak ada yang lucu!" bentak 

Setan Jerangkong.

"Justru bagiku sangat lucu," 

sungut Iblis Mata Satu ketika berhenti 

tertawa. "Kalian mempersoalkan nama 

yang tidak pernah ada. Kalasewu atau


Tiga Setan Neraka, atau apa lagi 

namanya, tidak pernah ada. Kalau toh 

ada, orangnya adalah kita-kita juga."

"Terus terang saja, kau menuduh 

orangnya," dingin suara Sanggamayit

"Aku tidak mengatakan bahwa kau 

adalah Kalasewu."

'Tapi, kenapa kau berkata 

begitu?" 

"Dewi Selaksa Mawar mencari orang 

yang bernama Kalasewu. Sedangkan, yang 

diketahuinya adalah satu Kalasewu 

yaitu kau sendiri. Padahal, kita semua 

adalah Kalasewu!"

Sanggamayit terdiam. Kata-kata 

Iblis Mata Satu memang tidak salah. 

Dewi Selaksa Mawar hanya mengenal satu 

Kalasewu. Dan sekarang dia mencarinya 

untuk membalas dendam peristiwa dua 

puluh tahun yang lahi. Dendam yang 

telah dilupakan Sanggamayit.

"Sejak semula kau telah 

kuperingatkan. Masih juga buta untuk 

mendapatkannya. Dia memang cantik, 

tapi ular!" Iblis Mata Satu mengenang 

peristiwa dua puluh tahun yang lalu, 

saat mereka semua masih kelihatan muda 

dan gagah.

Sanggamayit belum bersuara. 

Memang, yang diperbuatnya waktu itu 

hanya dia sendiri yang tahu. Meskipun 

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong 

tahu, tapi hanya bagian luarnya saja. 

Yang mereka ketahui hanya masalah


asmara antara Sanggamayit dengan Dewi 

Selaksa Mawar. Anggapan mereka, 

Sanggamayit tertarik dengan Dewi 

Selaksa Mawar adalah karena kecantikan 

saja. Lain tidak.

Namun sesungguhnya, di balik 

asmara itu ada maksud-maksud dari 

Sanggamayit. Dan semua itu telah 

terlaksana dengan baik. Hanya saja, 

Sanggamayit tidak mengira kalau 

masalahnya menjadi panjang. Dua puluh 

tahun telah terlupakan, kini tiba-tiba 

muncul pada saat Tiga Setan Neraka 

berhasil mencapai tujuan, yakni 

menguasai Kerajaan Parakan dan 

menjadikan Prabu Salya sebagai raja 

boneka.

"Kurasa, sebaiknya kita 

tinggalkan istana Parakan ini. Aku

khawatir kedok kita terbongkar dengan 

kemunculan Dewi Selaksa Mawar, si pe-

rempuan gila itu!" kata Sanggamayit.

"He he he..., kau ingin menyia-

nyiakan kesempatan yang telah 

bertahun-tahun kita perjuangkan dengan 

darah dan keringat, Sanggamayit?" 

Iblis Mata Satu belum mengerti jalan 

pikiran Sanggamayit

"Urusan ini lebih penting 

daripada kekuasaan," selak Sanggamayit 

dingin.

"Bagaimana, Setan Jerangkong?" 

Iblis Mata satu meminta pendapat.



Setan Jerangkong hanya mengangkat 

bahu saja.

"Baiklah! Kita sudah berjanji 

untuk selalu bersama-sama, walaupun 

apa yang terjadi. Susah dan senang 

selalu bersama-sama. Sepuluh tahun 

lebih, rasanya sudah cukup kita 

menikmati kesenangan," kata Iblis Mata 

Satu.

"Aku berjanji, setelah urusan ini 

selesai, maka rencana semula harus 

dijalankan," ujar Sanggamayit

"He he he..., itu urusanmu. 

Kaulah yang berambisi ingin jadi 

raja," Iblis Mata Satu terkekeh 

panjang.

Sanggamayit hanya mendengus saja. 

Sementara Setan Jerangkong tersenyum-

senyum. Tak jelas arti senyum itu. 

Sanggamayit tidak peduli meskipun 

kedua saudara angkatnya ini seperti 

mengejek. Bisa jadi mengejek 

kebimbangan dan kegelisahannya dalam 

menghadapi kemunculan Dewi Selaksa 

Mawar yang tak pernah diduga dan 

diharapkannya sama sekali.

"Besok kita tinggalkan istana 

Parakan," ucap Sanggamayit

"Lalu, bagaimana urusan dengan 

Prabu Salya?" tanya Setan Jerangkong.

"Aku rasa Parang Kati dapat 

dipercaya," jawab Sanggamayit


"He he he..., bocah dungu begitu 

kau percaya," agak sinis suara Iblis 

Mata Satu.

Sanggamayit menatap dingin dan 

tajam ke arah Iblis Mata Satu. Dia 

tidak mengerti mengapa saudara 

angkatnya ini tidak pernah menyukai 

Parang Kati. Apa mungkin karena Parang 

Kati itu bekas perampok jalanan yang 

hanya memilild kepandaian jauh di 

bawah mereka beriiga? Atau ada sebab 

lain yang hanya diketahui Iblis Mata 

Satu saja?

"Sebaiknya kau temui adikmu, dan 

tekan dengan ancaman agar dia tidak 

berbuat sesuatu yang merugikan," kata 

Iblis Mata Satu memberi saran.

Sanggamayit hanya tersenyum 

tipis, lalu bangkit berdiri. 

Langkahnya ringan saat menuju ke pintu 

ruangan khusus ini. Hanya mereka 

bertiga saja yang boleh memasukinya. 

Iblis Mata Satu terkekeh-kekeh melihat 

Sanggamayit ke luar ruangan ini. 

Sementara Setan Jerangkong ikut 

bangkit berdiri setelah Sanggamayit 

tak terlihat lagi.

"Mau ke mana?" tanya Iblis .Mata 

Satu.

"Jalan-jalan," jawab Setan 

Jerangkong seenaknya sambil terus 

berlalu.

Iblis Mata Satu mengangkat 

bahunya sedikit, lalu juga keluar dari


ruangan itu. Dua orang penjaga 

membungkuk ketika Iblis Mata Satu 

melewati pintu. Laki-laki tua 

berpakaian serba putih itu terus me-

langkah pergi. Sementara malam telah 

semakin pekat membuai penghuni 

mayapada ini, untuk terus lelap dalam 

tidur bersama sapuan sang bayu.

***

Ketika matahari baru saja 

mengintip dari ufuk Timur, tampak tiga 

ekor kuda dan penunggangnya keluar 

dari pintu gerbang istana Parakan. 

Mereka adalah Tiga Setan Neraka. 

Gerakan mereka kelihatan tidak 

tergesa-gesa, seolah-olah kepergian 

mereka tidak ingin diketahui oleh 

siapa pun!

Mereka memacu kudanya tidak 

terlalu terburu-buru. Seolah-olah 

kepergian mereka tidak ingin diketahui 

oleh orang lain.

Ketika tiba di perbatasan 

kotapraja, segera mereka menggebah 

kuda dengan cepat. Kabut masih 

menyelimuti meskipun matahari telah 

mulai mengintip dengan sinar kemerahan 

yang memancar lembut dari balik 

pepohonan. Tiga ekor kuda terus dipacu 

ke arah matahari terbit.


"Bukankah ini jalan menuju Desa 

Ganggang?" Setan Jerangkong tiba-tiba 

memecah kebisuan mereka.

"Benar. Tujuan kita memang ke 

desa itu," sahut Sanggamayit

"Untuk apa ke sana?" tanya Setan 

Jerangkong.

"Hm, rupanya kau sekarang menjadi 

pelupa. Parang Kati melapor kalau desa 

ini mulai membangkang," Iblis Mata 

Satu menggumam.

"Kurasa tujuan kita bukan untuk 

mengurusi Desa Ganggang," Setan

Jerangkong kurang sependapat

"Dewi Selaksa Mawar mencegat di 

perbatasan desa. Barangkali saja masih 

ada di sana. Yaah, sekalian memberesi 

desa pembangkang itu," celetuk 

Sanggamayit.

"Huh! Buang-buang waktu saja!" 

dengus Setan Jerangkong.

'Tidak! Sama sekali tidak. Desa 

Ganggang diam-diam menyimpan dua 

pendekar tangguh. Dan ini berbahaya 

jika tidak cepat cepat diselesaikan," 

Sanggamayit menjelaskan.

"Ah, hanya pendekar ingusan. Aku 

rasa kita tak perlu turun tangan 

sendiri. Parang Kati saja yang goblok 

sampai dapat dipecundangi seperti 

itu!"

"Mungkin aku akan menganggap 

begitu terhadap Parang Kati jika dia 

tidak menyebutkan ciri-ciri pendekar


muda yang merampas pedang dari tangan 

para prajurit hanya dengan sekali 

gebrak saja."

"Sekali gebrak?!" Setan 

Jerangkong nampak terkejut

"Apa yang menarik dari pendekar 

itu?" tanya Iblis Mata Satu.

"Parang Kati menyebutkan kalau 

pendekar itu menyandang pedang di 

punggung yang bertangkai kepala 

burung. Bajunya rompi berwarna putih. 

Aku yakin kalian pasti mengenalinya," 

kata Sanggamayit.

"Pendekar Rajawali Sakti," gumam 

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong 

hampir bersamaan.

"Tepat!" sahut Sanggamayit cepat.

Iblis Mata Satu dan Setan 

Jerangkong terdiam. Sementara kuda 

yang mereka tunggangi menjadi lambat 

jalannya. Pikiran seluruh Tiga Setan 

Neraka kini tercurah pada Pendekar 

Rajawali Sakti. Siapa yang tak kenal 

dengan nama itu? Satu nama yang sangat 

disegani dan ditakuti hampir seluruh 

tokoh rimba persilatan, baik yang 

beraliran putih maupun hitam.

Kini Iblis Mata Satu dan Setan 

Jerangkong mengerti, kenapa 

Sanggamayit gelisah sedemikian rupa. 

Ternyata bukan hanya karena kemunculan 

Dewi Selaksa Mawar saja yang jadi 

beban pikirannya. Kemunculan Pendekar 

Rajawali Sakti yang membantu Desa


Ganggang dalam pembangkangan dapat 

menjadi sumber malapetaka besar bagi 

mereka. Tiga tokoh hitam ini tahu 

benar tentang sepak terjang Pendekar 

Rajawali Sakti yang tidak kenal 

kompromi terhadap tokoh-tokoh rimba 

persilatan beraliran hitam.

"Lalu siapa pendekar satu lagi?" 

tanya Setan Jerangkong.

"Putri Jagabaya, Kepala Desa 

Ganggang," jawab Sanggamayit.

"Sejak kapan si tua bangka 

Jagabaya punya anak?" gumam Setan 

Jerangkong seperti bertanya pada 

dirinya sendiri.

"Kita tak usah mempersoalkan dia 

anak siapa. Yang penting sekarang, 

lenyapkan siapa saja yang coba-coba 

menjadi penghalang!" dengus Iblis Mata 

Satu.

Bisu kembali menjalari mulut 

mereka di atas kuda tunggangan masing-

masing. Kini mereka telah memasuki 

Hutan Dandaka. Dengan jalan seperti 

ini, sore nanti mereka baru mencapai 

perbatasan Desa Ganggang yang berada 

di tepi Hutan Dandaka. Hutan yang 

sering dilalui manusia ini sudah tidak 

begitu lebat lagi. Jalan yang mereka 

lalui sekarang, seperti sengaja dibuat 

untuk jalan pintas desa-desa sekitar 

Hutan Dandaka menuju Kerajaan Parakan.

Saat mereka tiba di tengah hutan, 

sekonyong-konyong Sanggamayit


menghentikan kudanya. Iblis Mata Satu 

dan Setan Jerangkong yang berada di 

samping kanan dan kiri ikut berhenti. 

Tidak seperti biasanya, keadaan di 

tengah hutan ini sangat sepi dan 

sunyi. Bahkan sepertinya burung-burung 

enggan berkicau memamerkan suaranya 

yang merdu.

Tiga Setan Neraka memasang 

telinga lebih tajam. Menyadari suasana 

di tengah hutan tidak seperti 

biasanya, seketika itu juga mereka 

segera waspada. Tanpa ada suara 

sedikit pun, mereka melompat hampir 

berbarengan dari kuda masing-masing. 

Ringan sekali gerakan kaki-kaki 

mereka. Pertanda kalau ilmu 

meringankan tubuh mereka cukup tinggi, 

hampir mencapai kesempurnaan.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba 

terdengar suara tawa mengikik, 

menggema dari segala penjuru.

Belum lagi hilang suara tawa itu, 

mendadak sinar-sinar keperakan melesat 

cepat menyambar tiga orang itu. Begitu 

cepatnya, sehingga tiga orang itu 

terkejut setengah mati. Dalam sekejap 

saja mereka berlompatan menghindari 

sinar-sinar itu. 

Tap!

Sanggamayit melenting seraya 

menangkap salah satu sinar keperakan 

yang mengancam dirinya. Bahkan Iblis 

Mata Satu dan Setan Jerangkong pun


berhasil menangkap satu dari sekian 

banyak sinar yang berkilatan bagai 

hujan.

Kilatan sinar-sinar keperakan 

kini berhenti. Tiga Setan Neraka 

menjejakkan kakinya di tanah dengan 

manis. Gerakan mereka benar-benar 

ringan dan sedap dipandang mata.

"Dewi Selaksa Mawar...," desis 

Sanggamayit ketika mengetahui sinar-

sinar keperakan yang datang itu 

berbenruk bintang segi enam yang di 

tengah-tengahnya tergambar sekuntum 

bunga mawar.

"Hm..., rupanya dia sudah 

mengetahui kehadiran kita," gumam 

Setan Jerangkong.

"Hi hi hi..., tiga tikus got 

akhimya keluar juga dari sarang 

busuknya," terdengar suara mengikik 

bergema.

"Dewi Selaksa Mawar, keluar kau! 

Jangan main sembunyi-sembunyi seperti 

bocah ingusan!" teriak Iblis Mata 

Satu. Suaranya menggema ke sekitarnya 

karena disertai pengerahan tenaga 

dalam yang tinggi.

"Hi hi hi...!" kembali suara 

mengikik terdengar menggetarkan.

"Uh! Aku tidak suka main kucing-

kucingan begini!" dengus Setan 

Jerangkong sengit.

Sanggamayit yang mengetahui kalau 

Dewi Selaksa Mawar hanya menginginkan



dirinya seorang, hanya diam saja. 

Namun matanya tajam beredar ke 

sekeliling. Telinganya dipertajam 

dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah 

Suara'. Sedikit saja suara terdengar 

mencurigakan, matanya segera meng-

awasi ke arah suara itu. 

"Awas...!"

* * *

EMPAT



Tiga berkas sinar merah menyambar 

cepat ke arah Tiga Setan Neraka. 

Peringatan Sanggamayit yang lebih 

cepat, membuat Iblis Mata Satu dan 

Setan Jerangkong seketika melenting 

ketika sinar merah hampir mengancam 

diri mereka. Sanggamayit pun tak kalah 

sigap. Dia melompat dan berputar dua 

kali di udara. Sinar-sinar merah itu 

hanya menyambar sasaran kosong.

"Hiya...!"

Sanggamayit menjerit keras seraya 

mengerahkan jurus 'Pukulan Petir'. 

Kedua tangannya didorong ke depan 

dalam posisi tubuh masih di udara. 

Seketika dari kedua telapak tangan 

yang terbuka, meluncur dua kilatan 

sinar yang menyilaukan mata ke arah 

pohon besar. 

Memang tadi, Sanggamayit selintas 

melihat sumber datangnya dua sinar



merah adalah dari balik pohon itu. 

Seketika suara ledakan keras terdengar 

setelah kilatan sibar yang dilontarkan 

Sanggamayit menghantam pohon. Dalam 

sekejap saja pohon itu hancur 

berkeping-keping. Jelas kalau jurus 

'Pukulan Petir' tadi disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Sanggamayit kembali menjejak 

tanah. Matanya dingin memandang pohon 

yang kini hancur seperti baru saja 

diseruduk ribuan gajah. Asap yang 

mengepul akibat hantaman sinar pada 

pohon itu, mulai menipis dan akhirnya 

hilang sama sekali. Mata Sanggamayit 

terbelalak lebar ketika tidak mendapat 

apa yang diharapkan dari pohon yang 

hancur itu.

"Hebat...! Sayang, hanya 

membuang-buang tenaga percuma," 

terdengar suara keras penuh ejekan.

"Kadal!" dengus Sanggamayit 

geram.

Kembali dipasang telinganya 

dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah 

Suara'. Hati Sanggamayit benar-benar 

penasaran dipermainkan seperti kerbau 

dungu. Tapi hatinya sedikit cemas juga 

seandainya Dewi Selaksa Mawar telah 

mengalami kemajuan yang pesat dalam 

kesaktiannya.

Jelas sekali kalau Sanggamayit 

melihat sinar merah tadi bersumber 

dari balik pohon itu. Tapi setelah


pohon itu hancur, kenapa dia tidak ada 

di situ? Sementara Iblis Mata Satu dan 

Setan Jerangkong pun telah dengan ilmu 

'Pemecah Suara' mengamati suara-suara 

yang mencurigakan. Mata Tiga Setan 

Neraka jelalatan mencari-cari arah 

sumber suara tawa mengikik yang 

seperti datang dari segala penjuru 

mata angin.

"Setan! Ilmu apa yang 

digunakannya?" dengus Sanggamayit 

gusar.

Seluruh kemampuan dalam ilmu 

'Pemecah Suara' Sanggamayit telah 

dikeluarkan semaksimal mungkin, namun 

sumber suara tawa yang mengikik belum

dapat dipastikan dari arah mana 

datangnya.

Demikian pula yang dialami Iblis 

Mata Satu dan Setan Jerangkong. Mereka 

belum dapat menentukan di mana jati 

diri Dewi Selaksa Mawar berada. Dalam 

hati, diakui juga kehebatan ilmu 

'Pemindah Suara' yang dimiliki Dewi 

Selaksa Mawar.

Memang, tinggi rendah suatu ilmu 

dapat diukur dari cara seperti ini. 

Cara adu ilmu. Pada kenyataannya 

sekarang, ilmu 'Pemecah Suara' yang 

dimiliki Tiga Setan Neraka tidak mampu 

menandingi ilmu 'Pemindah Suara' Dewi 

Selaksa Mawar. Jelas kalau dari segi 

ilmu seperti ini, tingkat tenaga dalam 

Dewi Selaksa Mawar lebih tinggi


daripada Tiga Setan Neraka. Mungkin 

hampir mendekati titik kesempurnaan.

Namun dari segi ilmu semacam itu, 

belum bisa menjadi jaminan bagi Dewi 

Selaksa Mawar untuk mengalahkan Tiga 

Setan Neraka. Mereka ini rata-rata 

memiliki kelebihan yang dapat menjadi 

andalan. Tingkat kesaktian Tiga Setan 

Neraka memang tidak bisa dianggap 

enteng. Apalagi kalau sampai adu 

kesaktian pamungkas.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Iblis Mata 

Satu berteriak nyaring.

Seketika dia berbalik seraya 

tangan kanannya mendorong ke depan. 

Dan bersamaan dengan itu, seleret 

sinar merah juga meluncur deras ke 

arahnya. Dari tangan kanan Iblis Mata 

Satu pun keluar sinar hijau membentuk 

bulatan sebesar kepalan tangan manusia 

dewasa.

Yang terjadi selanjutnya adalah 

benturan dua sinar yang berbeda, serta 

menimbulkan suara ledakan yang amat 

dahsyat. Pada saat yang sama, 

Sanggamayit tidak ketinggalan dengan 

'Pukulan Petir’ nya. Lalu disusul oleh 

Setan Jerangkong yang menghantam 

dengan ilmu 'Cakra Buana' ke arah yang 

sama.

Kemilau kilat dan bulatan bagai 

bola api meluncur hampir bersamaan ke 

arah yang dituju Iblis Mata Satu. 

Suara ledakan dahsyat kembali


terdengar saat dua pukulan sakti jarak 

jauh menghantam sebuah batu besar di 

antara tiga pohon jati.

Bersamaan dengan itu, berkelebat 

sebuah bayangan merah keluar dari batu 

yang hancur terkena hantaman dua 

pukulan jarak jauh tadi. Bayangan 

merah tadi berjumpalitan di udara, 

kemudian meluruk deras ke arah 

Sanggamayit. Belum lagi sampai di 

tanah, bayangan itu kembali 

mengeluarkan sinar-sinar keperakan ke 

arah Sanggamayit.

"Bedegul, keparat!" geram 

Sanggamayit sambil berlompatan 

menghindari sinar-sinar yang mengancam 

dirinya.

Belum sempat Sanggamayit 

menjejakkan kakinya ke tanah, bayangan 

merah telah menyerang dengan ganas. 

Untunglah, pada saat yang tepat Setan 

Jerangkong melemparkan ranting kering 

ke arah kaki Sanggamayit Ketika 

ranting kering itu menyentuh ujung 

jari kakinya, segera tidak disia-

siakan kesempatan ini. Sanggamayit 

melesat dengan meminjam ranting tadi 

sebagai pijakan.

Serangan bayangan merah yang 

cepat bagai kilat itu gagal total. 

Sanggamayit bersalto dua kali di 

udara, kemudian dengan manis mendarat 

di tanah. Sementara wujud bayangan 

merah telah nampak jelas. Terlihat


Dewi Selaksa Mawar berdiri angkuh 

dengan wajah tegang menahan geram. Ma-

tanya tajam memandang Setan Jerangkong 

yang telah menolong Sanggamayit.

"Curang!" dengus Dewi Selaksa 

Mawar.

Tiga Setan Neraka tidak 

mempedulikan dengusan itu. Mereka 

segera menggeser dan berdiri berjajar. 

Sanggamayit berada di tengah-tengah.

"Sanggamayit, kembalikan kitab 

Tapak Geni padaku. Kau tidak berhak 

memilikinya!" ujar Dewi Selaksa Mawar.

"Kau salah sangka, Dewi Selaksa 

Mawar. Aku tidak mencuri kitab itu, 

apalagi memilikinya!" sahut 

Sanggamayit.

"Dusta! Kau curi kitab Tapak Geni 

dari serambi bilik semadi guruku. Kau 

gagal mendustainya, lalu mencuri kitab 

itu!" sentak Dewi Selaksa Mawar. "Aku 

sudah bersumpah untuk mencari kitab 

itu dan membunuhmu, Sanggamayit. 

Kaulah penyebab kematian guruku, 

setelah kau curi kitab Tapak Geni!"

Iblis Mata Satu dan Setan 

Jerangkong saling pandang. Mereka 

tidak tahu sama sekali kalau urusannya 

menyangkut sebuah kitab pusaka yang 

menyimpan berbagai macam ilmu-ilmu 

kesaktian Tapak Geni. Ternyata urusan 

antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa 

Mawar bukan sekedar urusan asmara


belaka, tapi lebih. rumit dari yang 

mereka sangka.

'Tidak ada yang memiliki benda 

ini selain kau, Sanggamayit!" bentak 

Dewi Selaksa Mawar sambil melemparkan 

sebuah ruyung kecil dari perak. "Gu-

ruku tewas karena benda keparat itu!"

Tiga Setan Neraka terkejut 

melihat senjata rahasia itu. Jelas 

sekali kalau senjata itu memang milik 

Sanggamayit. Ini dapat dikenali dari 

tangkainya yang terukir gambar kepala 

tengkorak manusia terbelah. Tak ada 

yang mempunyai ruyung perak semacam 

itu selain Sanggamayit.

"Hm..., aku kena fitnah," gumam 

Sanggamayit.

"Masih ingin mengelak dari 

tanggung jawab, Sanggamayit?" sinis 

suara Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tahu siapa yang berbuat 

curang seperti ini," lagi Sanggamayit 

bergumam.

"Siapa?" tanya Setan Jerangkong 

mendengar gumaman itu.

"Setan Arak," jawab Sanggamayit 

pasti.

"Kalau begitu, kau harus buktikan 

kalau kau tidak mencuri kitab itu," 

kata Iblis Mata Satu.

"Sulit," Sanggamayit menggeleng-

gelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu 

di mana Setan Arak tinggal. Dia tidak 

pernah menetap pada satu tempat"


Benar juga kata-kata Sanggamayit 

itu. Mencari Setan Arak sama juga 

mencari sebatang jarum di padang luas. 

Mereka semua tahu siapa sebenarnya 

Setan Arak. Dia adalah seorang tokoh 

rimba persilatan yang kejam, serta 

selalu menggunakan berbagai cara demi 

mencapai apa yang diinginkan.

Sebenamya, Setan Arak masih ada 

hubungan kerabat dengan Sanggamayit. 

Dua puluh tahun yang lalu, Setan Arak 

pernah berkunjung ke kediaman 

Sanggamayit selama satu minggu. Tapi, 

sepeninggal Setan Arak tiba-tiba saja 

guru Dewi Selaksa Mawar tewas. Saat 

itu bersamaan waktunya dengan aksi 

Tiga Setan Neraka merebut istana 

Kerajaan Parakan.

Rupanya, peristiwa yang telah 

terpendam dua puluh tahun itu baru 

terungkap sekarang. Namun sampai saat 

ini belum jelas penyelesaiannya. Setan 

Jerangkong dan Iblis Mata Satu belum 

bisa memutuskan siapa sebenarnya yang 

bersalah. Salah atau benar, yang jelas 

mereka berada di jalan yang salah.

"Memang sulit, karena Dewi 

Selaksa Mawar telah menjatuhkan 

tuduhan," gumam Iblis Mata Satu.

"Serang dia dari beberapa 

jurusan, lalu cepat pergi," kata 

Sanggamayit pelan.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata 

Satu mengangguk berbarengan. Mereka


cepat mengerti maksud Sanggamayit. 

Seketika itu juga mereka melompat 

menjauhi Sanggamayit

Melihat dua orang yang melompat 

itu telah mengambil posisi, Dewi 

Selaksa Mawar langsung memasang kuda-

kuda. Matanya menjadi sibuk 

memperhatikan tiga jurusan yang saling 

berjauhan letaknya. Dia sadar kalau 

lawan-lawan yang dihadapinya sekarang 

tidak bisa dianggap enteng.

Tiba-tiba Tiga Setan Neraka 

berteriak nyaring bersamaan. 

Wusss...!

***

Dewi Selaksa Mawar memutar 

tubuhnya dengan cepat melihat tiga 

orang itu telah melompat bersamaan. 

Cepat gerakan Tiga Setan Neraka, 

sehingga yang terlihat hanya 

bayangannya saja. Mereka berlompatan 

melewati atas kepala Dewi Selaksa 

Mawar.

Untuk menghindari serangan itu, 

Dewi Selaksa Mawar terpaksa 

menjatuhkan diri. Tubuhnya berguling-

guling, karena Tiga Setan Neraka 

langsung mencecar dengan pukulan-

pukulan jarak jauh. Debu-debu dan 

daun-daun kering berterbangan di 

sekitar tubuh Dewi Selaksa Mawar.


"Celaka!" desis Dewi Selaksa 

Mawar.

Dengan cepat, Dewi Selaksa Mawar 

menggunakan totokan jari telunjuknya 

ke tanah sebagai tolakan untuk 

melenting di udara. Tiga kali dia 

bersalto di udara, lalu turun. Namun 

baru saja kakinya menjejak tanah, Tiga 

Setan Neraka telah menyerang lagi 

dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang 

sangat berbahaya. Sungguh tidak 

disadari oleh Dewi Selaksa Mawar kalau 

semua serangan itu hanya untuk 

mengacaukan perhatiannya saja. Memang 

sengaja Tiga Setan Neraka tidak 

mengarahkan pada sasaran yang tepat, 

tapi cukup membuat repot lawannya itu.

Dewi Selaksa Mawar yang terlambat 

melenting kembali, menjadi tertegun 

beberapa saat. Ternyata, pukulan Tiga 

Setan Neraka hanya jatuh tepat pada 

ujung kakinya.

"Setan! Kalian mempermainkan 

aku!" geram Dewi Selaksa Mawar ketika 

menyadari kalau serangan-serangan itu 

hanya pura-pura saja.

Dalam ketertegunan yang hanya 

sejenak itu, dimanfaatkan Tiga Setan 

Neraka untuk kabur. Begitu cepat dan 

ringannya gerakan mereka, sehingga 

dalam sekejap bayangan tubuhnya telah 

tak terlihat lagi. Dewi menjadi 

bingung karena tidak tahu harus 

mengejar yang mana. Tiga Setan Neraka.


kabur ke arah tiga jurusan yang 

berbeda, namun tidak jelas masing-

masing mengarah ke jurusan mana.

Melihat hal ini, Dewi Selaksa 

Mawar menjerit sekuat-kuatnya untuk 

melampiaskan kejengkelan yang 

menggelegak dalam dada. Dia kesal 

sekali karena masih dapat terkecoh 

oleh Tiga Setan Neraka. Belum puas 

dengan pelampiasannya, Dewi Selaksa 

Mawar terus mengumbar nafsunya dengan 

memuntahkan semua aji 'Pukulan Batara 

Geni' sekuat-kuatnya.

"Hiya...! Yaaa...!"

Dari kedua tangannya terlontar 

sinar-sinar merah yang berkelebat 

menghantam batu-batu dan pepohonan di 

sekitarnya. Dewi Selaksa Mawar me-

ngerahkan seluruh kekuatan ilmu 

'Pukulan Batara Geni' yang dibarengi 

oleh rasa amarah yang luar biasa. 

Akibatnya memang menggetarkan. Batu-

batuan dan pepohonan hancur berantakan 

terkena pukulan dahsyat itu.

"Sanggamayit, kau harus mati di 

tanganku..., hiyaaa!" teriak Dewi 

Selaksa Mawar kalap.

Hutan Dandaka bagai diamuk ribuan 

gajah, hancur tidak karuan terkena 

jurus maut itu. Pohon-pohon 

bertumbangan, batu-batu hancur 

berantakan mengepulkan debu pekat. 

Puas melampiaskan kekesalannya, Dewi 

Selaksa Mawar jatuh tertunduk lemas.


Kepalanya lunglai bagai tak memiliki 

tulang leher. Dengus napasnya 

mengguruh, diikuti oleh dada dan bahu 

yang berguncang hebat menahan isak. 

Ya..., Dewi Selaksa Mawar menangis. 

Rasa marah, benci, kecewa, sakit hati, 

serta cinta, membuat batinnya bagai 

tertindih batu gunung yang amat besar 

dan berat.

Dua puluh tahun diperdalam ilmu-

ilmu kesaktiannya hanya untuk 

menghadapi Sanggamayit. Selama waktu 

itu pula dicarinya laki-laki itu. Tapi 

kini, setelah bertemu masih juga dapat 

diperdaya. Akan sia-siakah semua 

usahanya selama dua puluh tahun ini? 

Apakah wanita memang ditakdirkan 

selalu kalah oleh laki-laki? Tidak! 

Sanggamayit harus mati di tanganku! 

Batin Dewi Selaksa Mawar terus 

bergolak.

"Uh! Siapa kau?" Dewi Selaksa 

Mawar terkejut ketika mengangkat 

kepalanya.

Entah dari mana datangnya, tiba-

tiba saja di depannya telah berdiri 

seorang pemuda tampan. Bergegas Dewi 

Selaksa Mawar bangkit seraya menghapus 

air matanya. Tatapannya tajam bagai 

hendak menelan bulat-bulat pemuda di 

depannya itu. Dua langkah dia mundur 

ke belakang.

"Ada yang mengganggumu, Nek?" 

tanya suara lembut dan sopan.


"Siapa kau?" tanya Dewi Selaksa 

Mawar tidak menggubris pertanyaan anak 

muda itu. 

"Aku..., namaku Rangga."

***

"Mengapa Nenek menangis di tengah 

hutan seperti ini?" tanya Rangga alias 

Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa menghiraukan tatapan tajam 

Dewi Selaksa Mawar, pendekar muda ini 

duduk bersila di tanah. Pandangan 

matanya tetap lembut ke arah wajah tua 

keriput di depannya.

"Mungkin kehadiranku 

mengejutkanmu. Maaf, aku hanya sekedar 

lewat dan ingin beristirahat di sini," 

ujar Rangga merasa tidak mendapat 

tanggapan apa-apa dari lawan 

bicaranya.

Dewi Selaksa Mawar mengedarkan 

pandangannya ke sekeliling. 

Pemandangan hutan yang sebelumnya 

indah menyejukkan mata, kini porak 

poranda tidak karuan.

"Mau ke mana tujuanmu?" tanya 

Dewi Selaksa Mawar. Suaranya masih

belum ramah.

"Ke kotapraja," jawab Rangga 

kalem. Bibirnya menyungging senyum 

tipis.

"Untuk apa ke sana?"

"Mencari seseorang."


"Siapa?"

"Gusti Prabu Salya."

"Edan! Untuk apa kau mencari raja 

boneka?" agak kaget juga perempuan tua 

itu mendengar kejujuran Rangga.

"Raja boneka? Aku tidak mengerti 

maksudmu, Nek," Rangga mengamati wajah 

perempuan tua di depannya.

Dewi Selaksa Mawar menarik napas 

dalam-dalam sebentar, lalu duduk di 

depan Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Namun jaraknya masih cukup jauh, 

sekitar satu setengah batang tombak. 

Sedikit demi sedikit ketegangan di 

wajah Dewi Selaksa Mawar mulai 

berkurang. Perempuan itu telah dapat 

meraba kalau anak muda ini bukan orang 

sembarangan. Anak ini paling tidak 

memiiiki tingkat kepandaian yang 

tinggi, pikir Dewi Selaksa Mawar.

"Mau apa kau cari raja boneka 

itu, heh?" tanya Dewi Selaksa Mawar.

"Mau protes," sahut Rangga tegas.

"Protes...? Ha ha ha...!" Dewi 

Selaksa Mawar malah tertawa terbahak-

bahak.

"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang 

lucu?" tanya Rangga sedikit kurang 

senang.

"Dari desa mana asalmu, anak 

muda?" Dewi Selaksa Mawar berbalik 

bertanya.

"Desa Ganggang," jawab Rangga.


"Hm..., tidak jauh dari sini, 

hanya setengah hari perjalanan 

berkuda. Desa itu memang masih bagian 

wilayah Kerajaan Parakan," gumam Dewi 

Selaksa Mawar.

Rangga hanya berdiam diri dengan 

bola matanya tetap mengamati raut 

wajah keriput di depannya. Hatinya 

bertanya-tanya tentang maksud kata-

kata raja boneka.

"Percuma saja. Jangan kau 

teruskan niatmu, anak muda. Gusti 

Prabu Salya tidak bisa menentukan 

sendiri. Dia dikendalikan orang lain 

dalam memimpin tampuk pemerintahan," 

ujar Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tak mengerri maksudmu, Nek?" 

Rangga belum paham benar maksud 

perkataan Dewi Selaksa Mawar.

"Gusti Prabu Salya yang sekarang, 

bukanlah gusti prabu yang dulu. Segala 

tindakannya kini dikendalikan oleh 

tiga orang yang menamakan dirinya Tiga 

Setan Neraka. Semua yang terjadi di 

Kerajaan Parakan dan sekitarnya, 

sebenarnya bukan tanggung jawab Gusti 

Prabu Salya, tapi tanggung jawab tiga 

orang itu," Dewi Selaksa Mawar 

menjelaskan.

"Siapa Tiga Setan Neraka itu 

sebenarnya?" tanya Rangga semakin 

tertarik.

"Mereka adalah Iblis Mata Satu, 

Setan Jerangkong, dan Sanggamayit,"


Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya 

saat menyebut nama Sanggamayit "Mereka 

adalah tokoh rimba persilatan golongan 

hitam. Sepak terjangnya selalu 

merugikan. Mereka tidak segan-segan 

membunuh siapa saja yang coba-coba 

menghalangi niat mereka."

"Bagaimana mereka bisa menguasai 

Gusti Prabu Salya?" tanya Rangga.

"Sangat mudah, karena Sanggamayit 

anak dari salah satu selir raja 

Parakan yang terdahulu."

"Maksud Nenek, Ayah Gusti Prabu 

Salya?"

"Benar."

"Hm, jadi antara Gusti Prabu 

dengan Sanggamayit masih saudara 

tiri...," gumam Rangga mulai dapat 

mengerti duduk persoalannya.

'Tepat! Sanggamayit tahu kalau 

dirinya tidak bisa menjadi raja 

Parakan, karena hanya anak selir. 

Lalu, dia bersama dua saudara 

angkatnya berhasil menguasai kerajaan 

dengan menempatkan Gusti Prabu Salya 

tetap menjadi raja."

"Dan semua tampuk pemerintahan 

dikendalikan mereka," celetuk Rangga.

Dewi Selaksa Mawar menganggukkan 

kepalanya.

"Hal ini tidak boleh didiamkan," 

desis Rangga.

Bibir Dewi Selaksa Mawar 

tersenyum mendengar desisan itu.


Hatinya mulai sedikit terhibur. Dia 

sadar kalau hanya seorang diri, tidak 

mungkin dapat mengalahkan Tiga Setan 

Neraka. Dan sekarang ada orang lain 

yang akan memusnakan mereka bertiga 

meskipun dengan maksud dan tujuan 

berbeda. Dewi Selaksa Mawar semakin 

lebar senyumnya. Benaknya penuh dengan 

rencana-rencana untuk memanfaatkan 

kehadiran anak muda ini.

"Maaf, Nek Aku harus segera ke 

kotapraja," kata Rangga seraya 

berdiri.

"Untuk apa ke sana? Orang yang 

kau cari tidak ada lagi di sana," 

cegah Dewi Selaksa Mawar.

Rangga tercenung.

"Mereka baru saja dari sini. Aku 

telah berusaha menghalangi tujuan 

mereka, tapi aku kalah," ucap Dewi 

Selaksa Mawar menekan suaranya.

"Jadi, itu sebabnya kau mengamuk 

tadi?"

"Ya. Lebih baik aku mati dalam 

pertarungan daripada kalah menderita 

malu."

"Ke mana tujuan mereka?"

"Desa Ganggang."

Rangga tercengang mendengarnya. 

Mendadak hatinya cemas, karena desa 

itu tentu akan hancur lebur diamuk 

oleh Tiga Setan Neraka yang terkenal 

kejam dan ganas. Tidak mungkin Ratih 

dapat menandingi hanya seorang diri.


Tanpa berkata-kata lagi, Rangga 

cepat mencelat pergi. Dewi Selaksa 

Mawar tidak mencegah, tapi hanya 

tersenyum saja. Kemudian kakinya 

melangkah pelan mengikuti arah 

kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Dia berjalan dengan tujuan pasti, Desa 

Ganggang.

"Aku yakin anak muda itu pasti 

mampu menandingi Tiga Setan Neraka," 

gumam Dewi Selaksa Mawar.

***

LIMA



Rangga tercenung menyaksikan 

rumah Kepala Desa Ganggang berantakan. 

Dua mayat laki-laki yang biasa menjaga 

rumah ini telah menggeletak menjadi 

mayat di tangga pintu rumah yang 

hancur berantakan. Rangga terus menuju 

ke dalam melewati dua mayat itu. 

Matanya membelalak menyaksikan keadaan 

ruangan yang porak poranda seperti 

kapal pecah. Meja kursi pecah tak 

tentu arah. Darah berceceran di mana-

mana.

"Ratih...," desis Rangga tiba-

tiba ketika teringat gadis cantik 

putri kepala desa.

"Ooohhh...," tiba-tiba terdengar 

suara rintihan memelas dari salah satu 

kamar.


Pendekar Rajawali Sakti itu 

bergegas melangkah menuju kamar itu. 

Kedua bola matanya melebar bagai 

hendak loncat ke luar ketika melihat 

Ki Jagabaya tergeletak di antara 

puing-puing dari barang-barang yang 

hancur. Darah membanjiri sekitar 

tubuhnya. Dadanya terkoyak lebar 

seperti terkena sabetan senjata tajam.

"Ki...!" seru Rangga langsung 

menghampiri.

'Tolong..., tolong Ratih...," 

Brih dan terputus-putus suara Ki 

Jagabaya.

"Ratih! Di mana Ratih?" tanya 

Rangga begitu khawatir akan 

keselamatan Ratih. 

"Dia..., aaah...!"

"Ki..., Ki Jagabaya!" Rangga 

mengangkat kepala laki-laki tua itu. 

Didekatkan telinganya ke bibir Ki 

Jagabaya yang bergerak lemah.

"Katakan, Ki. Di mana Ratih?" 

desak Rangga.

"Di..., diculik...," makin lemah 

suara Ki Jagabaya.

"Siatja yang menculik?" 

'Ti..., ah!"

"Ki...!" Rangga menggoyang-

goyangkan tubuh Ki Jagabaya yang 

terkulai Iemas.

Rangga memandang wajah laki-laki 

tua Kepala Desa Ganggang yang telah 

pucat Tubuhnya telah terasa dingin dan


kaku. Pendekar Rajawali Sakti 

meletakkan tubuh kepala desa yang 

malang ini. Darah segar masih merembes 

dari dada yang terkoyak lebar.

Mata Pendekar Rajawali Sakti 

beredar ke sekeliling. Tidak ada 

keterangan yang berarti yang didapat 

di sini. Keadaannya sangat berantakan 

sekali. Pelan-pelan kakinya melangkah 

ke luar. Matanya kembali beredar ke 

sekeliling sambil terus melangkah 

menuju ke bagian belakang. Sesosok 

mayat wanita tergeletak di lantai 

papan rumah ini. Lehernya hampir putus 

terbabat senjata tajam.

Rangga menggeram menyaksikan 

kekejaman ini. Beberapa mayat masih 

ditemukan di sekitar rumah Ki Jagabaya 

ini. Semua dalam keadaan yang sangat 

menyedihkan. Bau anyir darah menyebar 

kemana-mana, terbawa tiupan angin 

senja sejuk sepoi-sepoi.

"Oh, tolong...," terdengar suara 

rintihan lirih.

Rangga menoleh. Tampak seorang 

laki-laki tua tengah mengerang 

kesakitan dekat pojok rumah. Sebelah 

tangannya buntung, dan perut robek 

hingga ususnya terburai. Rangga 

bergegas menghampiri laki-laki tua 

itu. Dia jongkok, lalu mengangkat ke-

pala orang itu yang masih bergerak 

lemah.


"Oh, tolong. Tolong selamatkan 

Nini Ratih," lirih suara laki-laki tua 

itu.

"Di mana Ratih?" tanya Rangga.

"Di..., diculik...."

"Siapa yang menculik?"

"Set..., Setan Arak."

Rangga tercengang ketika 

mendengar nama Setan Arak disebut. Dia 

ingin bertanya lagi, tapi laki-laki 

tua itu telah menghembuskan napasnya 

yang terakhir. Pelan-pelan diletakkan 

tubuh laki-laki tua itu, lalu bangkit 

berdiri sambil memandangi mayat yang 

masih baru itu.

Saat kaki Rangga melangkah ke 

depan rumah kepala desa, Rangga 

melihat sebuah guci arak dari tanah 

liat tergeletak di lantai beranda 

rumah. Di dekatnya tampak sebuah meja 

kecil terguling. Rangga menghampiri 

dan mengambil guci itu.

"Setan Arak, apa urusannya 

membantai keluarga Ki Jagabaya?" gumam 

Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu tiba-

tiba tersentak ketika telinganya 

mendengar desiran angin. Segera dia 

melompat ke luar. Sekelebat matanya 

masih menangkap bayangan hijau melesat 

turun dari atas genteng. Pendekar 

Rajawali Sakti pun mengempos tenaga, 

lalu melompat tinggi melewati atap.


Dua kali dia berputar di udara, lalu 

hinggap kembali di tanah.

"Hm, siapa dia?" bisik Rangga 

bertanya dalam hati.

Matanya yang setajam mata 

Rajawali, cepat melihat bayangan hijau 

yang masih berkelebat menembus 

lebatnya pepohonan. Walaupun sinar 

matahari senja itu sangat membantu 

bayangan hijau untuk cepat menyelinap, 

namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal 

itu tidaklah sulit untuk mengintainya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Rangga menjejak tanah seraya 

mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega'. Seketika tubuhnya 

menjadi ringan bagai kapas. Dalam 

sekejap Pendekar Rajawali Sakti 

melesat cepat menembus lebatnya 

pepohonan di bagian belakang rumah Ke-

pala Desa Ganggang ini. Gerakannya 

begitu ringan dan cepat seperti tidak 

menapak tanah lagi.

"Uh! Dia hanya berputar-putar 

saja!" dengus Rangga merasa telah tiga 

kali melewati jalan yang sama.

Pendekar RajawaB Sakti melenting 

tinggi, lalu hinggap di atas dahan 

pohon yang tinggi menjulang. Matanya 

nyalang memutari sekitarnya, dan 

tertumbuk pada kelebatan bayangan 

hijau kembali yang bergerak ke sebelah 

barat Rangga terus mengamati ke mana 

saja bayangan itu bergerak. Ternyata


bayangan itu tidak lagi berputar ke 

arah yang sama, melainkan menuju ke 

arah Utara.

"Mau ke mana dia? Bukankah arah 

itu menuju ke Bukit Batu Tiga?" Rangga 

bertanya-tanya dalam hati.

Segera saja Pendekar Rajawali 

Sakti itu mengerahkan jurus 'Sayap 

Rajawali Membelah Mega' dan dibarengi 

dengan ilmu 'Sayiti Angin'. Kini 

tubuhnya melayang ringan bagai 

selembar bulu halus. Seperti seekor 

burung, pendekar muda itu melenting 

dari satu ujung pohon ke ujung pohon 

lainnya. Namun demikian, matanya tidak 

lepas mengamati bayangan hijau yang 

berada cukup di depannya.

"Sampai di mana, aku akan 

mengikutinya! Penasaran juga, siapa 

sih dia?" otak Rangga terus berputar.

Sementara senja telah berganti 

malam. Situasi ini sangat 

menguntungkan bagi Pendekar Rajawali 

Sakti. Tubuhnya yang melayang dari 

satu pucuk pohon ke pucuk pohon yang 

lain, sulit terlihat oleh mata manusia 

biasa. Seorang tokoh sakti pun, 

mungkin hanya dapat melihat 

bayangannya saja yang berkelebatan. 

Suatu perpaduan ilmu kesaktian yang 

sangat sempurna.

Namun begitu, Rangga juga 

mengakui kelebihan ilmu meringankan 

tubuh yang dimiliki si bayangan hijau


itu. Meskipun Pendekar RajawaB Sakti 

telah memadukan dua ilmunya itu, tapi 

masih juga belum dapat mengejar 

bayangan tadi. Jaraknya memang semakin 

dekat saja, tapi memerlukan waktu yang 

cukup lama untuk dapat mengejar.

Pendekar RajawaB Sakti meluruk 

turun dari atas pohon ketika telah 

tiba di puncak Bukit Batu Tiga. Memang 

sesuai dengan namanya, tepat di 

tengah-tengah puncak bukit ini 

terdapat tiga buah batu yang bentuknya 

sama dengan posisi yang berjajar. Jika 

malam seperti ini, tiga batu itu bagai 

tiga raksasa yang selalu siap menjaga 

bukit ini. Bentuknya besar hitam, 

menjulang di antara pucuk-pucuk 

pepohonan.

Bola mata Pendekar Rajawali Sakti 

beredar ke sekeliling. Keadaan Bukit 

Batu Tiga ini telah gelap gulita. 

Kabut semakin tebal menyelimuti 

puncaknya, menambah pekat dan dingin 

di tempat itu.

"Ke mana dia? Mengapa menghilang 

di sini?" Rangga bertanya dalam hati.

Pelan-pelan kakinya terayun 

mendekati tiga batu besar yang 

menyerupai raksasa. Bola matanya terus 

mengamati keadaan sekitarnya. Suasana 

sunyi senyap menyelimuti sekitar 

puncak ini. Terasa lengang dan nyaris 

tanpa suara. Hanya desir angin saja 

yang terdengar lembut menerpa daun


telinga. Binatang malam pun seperti 

enggan memperdengarkan suaranya.

Rangga berhenti tepat di depan 

batu yang berada di tengah dari tiga 

batu besar yang berbentuk sama 

berjajar. Sebentar diamatinya batu 

hitam besar yang ada di depannya, lalu 

kembali mengamati ke sekeliling. 

Keadaan masih tetap sunyi kecuali 

desah angin malam yang dingin.

Saat Pendekar Rajawali Sakti 

dalam keadaan bingung, mendadak 

berkelebat cahaya keperakan ke 

arahnya. Hanya sedikit saja

dimiringkan tubuhnya, maka sinar itu 

hanya lewat di samping bahu, dan 

menancap di batu besar hitam pekat

"Uts!"

Belum sempat Rangga melirik benda 

yang tertancap itu, mendadak muncul 

kembali cahaya keperakan. Untunglah 

pendekar muda ini cepat menggeser 

kakinya ke kiri. Dengan gerakan 

tangkas, tangannya menangkap cahaya 

keperakan itu. 

"Ruyung perak...," desis Rangga 

pelan. Belum juga bibirnya kering, 

kembali sinar meluncur deras. Kali ini 

Pendekar Rajawali Sakti harus bersalto 

menghindari serangan gelap yang men-

dadak itu. Matanya yang tajam dapat 

cepat mengetahui sumber senjata-

senjata rahasia itu berasal. Segera


kedua tapak kakinya dihentakkan ke 

batu.

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu 

bagaikan sebatang anak panah lepas 

dari busur, meluncur deras ke arah

sinar-sinar keperakan itu muncul. 

Masih dalam keadaan melayang, pendekar 

muda ini melontarkan pukulan jarak 

jauh.

Tiga sosok tubuh berlompatan dari 

balik pohon besar yang hancur 

berantakan terkena pukulan jarak jauh 

dengan kekuatan tenaga dalam yang 

tinggi. Rangga berputar dua kali di 

udara sebelum kakinya menjejak tanah 

dengan manis. Tiga sosok tubuh itu 

juga mendarat dengan indah.

"Tidak percuma kau mendapat 

julukan Pendekar Rajawali Sakti," kata 

salah seorang yang berada di tengah 

dari tiga orang itu.

"Kaliankah yang berjuluk Tiga 

Setan Neraka?" tanya Rangga.

'Tidak salah!"

Rangga mengamati orang yang 

berada di tengah. Pakaiannya serba 

hijau. Dan wajahnya..., persis seperti 

mayat! Dingin, pucat, dan kaku, tanpa 

garis kehidupan. Memang ketioa orang 

itu adalah, Sanggamayit, Iblis Mata 

Satu, dan Setan Jerangkong. 

"Orang lain boleh gentar dengan 

julukan kalian. Tapi aku malah ingin


meminta nyawa kalian," terdengar 

dingin suara Rangga.

"He he he...," Iblis Mata Satu 

terkekeh. "Biarkan aku yang memberi 

pelajaran pada bocah sombong ini"

"Hati-hati," bisik Sanggamayit

Iblis Mata Satu menjawab dengan 

suara tawa terkekeh. Kakinya bergerak 

maju. Langkahnya baru terhenti setelah 

jaraknya dengan Pendekar Rajawali 

Sakti berkisar satu batang tombak.

"Majulah, serang aku!" dengus 

Iblis Mata Satu.

"Hm, sebaiknya kalian bertiga 

maju semua," ejek Rangga. 

"Tidak perlu! Salah seorang dari 

kami pun kau belum tentu dapat 

menandingi," Iblis Mata Satu tidak 

kalah meremehkan.

"Jangan menyesal kalau kau mati 

lebih dulu."

"He he he..., mulutmu rasanya 

perlu dibuat lebar lagi, bocah."

Selesai berkata demikian, Iblis 

Mata Satu segera mendorong tangan 

kanannya ke depan. Seberkas sinar 

merah meluncur deras dari telapak 

tangannya yang terbuka. Rangga hanya 

memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. 

Sinar itu hanya lewat begitu saja di 

sampingnya.

Belum lagi Rangga merobah 

posisinya, tangan kiri Iblis Mata Satu 

telah mendorong ke depan. Kilatan



sinar merah kembali meluncur deras. 

Rangga menarik tubuhnya ke kanan, 

namun dari arah kanan juga telah 

meluncur sinar merah.

Sadar kalau posisinya terjepit, 

Rangga langsung melesat ke udara. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi 

dikeluarkannya jurus 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega'. Bagai kilat tubuh 

Rangga meluncur ke arah Iblis Mata 

Satu. Tangannya mengepak cepat dan 

kuat bagai sepasang sayap rajawali.

"Bangsat!" umpat Iblis Mata Satu 

tidak menyangka kalau lawannya mampu 

menghindar, dan bahkan dengan cepat 

membalas serangannya.

Iblis Mata Satu menarik kakinya 

mundur dua tindak menghindari kibasan 

tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun 

belum sempat bertindak, tangan kiri 

pendekar muda itu telah berkelebat 

lagi menyapu ke arah dada. Iblis Mata 

Satu tidak ada pilihan lain, kecuali 

mengangkat tangannya menangkis kibasan 

tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. 

Trak!

Dua tangan beradu keras sehingga 

menimbulkan suara bagai kayu patah. 

Iblis Mata Satu melompat mundur sambil 

meringis menahan sakit Tangannya 

seperti remuk saat berbenturan tadi. 

Sementara Rangga telah bersiap-siap 

hendak menyerang kembali. Kedua 

tangannya terkembang bergerak cepat


menyerang lawan yang tengah merasakan 

sakit pada pergelangan tangannya.

Bet!

Sebatang ranting kering 

menghantam ujung jari tangan Rangga 

pada saat hampir mengenai dada Iblis 

Mata Satu. Cepat-cepat Rangga menarik 

tangannya. Kesempatan yang sedikit ini 

dimanfaatkan Iblis Mata Satu untuk 

mengirimkan tendangan mautnya. 

Untunglah pendekar satu ini cepat me-

lompat mundur menghindari tendangan 

maut lawan.

"Curang!" dengus Rangga geram.

"Dalam pertarungan tidak ada yang 

jujur," sinis suara Iblis Mata Satu. 

Pergelangan tangan kanannya tidak ada 

lagi terasa nyeri.

Rangga menggeram menatap dua 

orang yang tersenyum-senyum mengejek. 

Rangga tidak tahu, siapa di antara dua 

orang itu yang berlaku curang dengan 

melempar ranting pada saat Iblis Mata 

Satu hampir dapat dikalahkan.

"Maju kalian semua, keparat!" 

geram Rangga.

"He he he..., sudah kukatakan, 

melawan aku saja kau tidak bakalan 

mampu menandingi," ejek Iblis Mata 

Satu. Kata-katanya pelan dan teratur 

tapi sangat menusuk gendang telinga. 

Menyakitkan.

Berkerut geraham Rangga menahan 

marah. Dia benar-benar tidak menyukai


cara bertarung Tiga Setan Neraka. 

Untungnya mereka membokong hanya 

dengan ranting kering. Mungkin kalau 

pertarungan telah mencapai tingkat 

paling tinggi, bisa-bisa mereka 

menggunakan senjata rahasia untuk 

membokong. Rangga mendengus menyadari 

kecurangan dan kelicikan Tiga Setan 

Neraka yang menghalalkan segala cara.

"Hm, aku harus memperhatikan yang 

lain juga," gumam Rangga dalam hati.

"Mengapa diam saja bocah? Takut?" 

ejek Iblis Mata Satu.

"Phuih!" Rangga menyemburkan 

ludahnya ke tanah.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti 

mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega'. Dia yakin dengan jurus 

ini saja Iblis Mata Satu masih belum 

dapat menandingi. Memang, cara 

bertarung Tiga Setan Neraka tidak 

seperti tokoh-tokoh rimba persilatan 

lainnya. Oleh sebab itu, Rangga harus 

lebih waspada terhadap serangan gelap.

"Awas kepala!" teriak Rangga 

keras dan tiba-tiba.

"Uts!" Iblis Mata Satu merunduk 

ketika tangan kiri Rangga menyapu 

bagian kepalanya.

Tangan kiri Pendekar Rajawali 

Sakti hanya lewat beberapa helai 

rambut di atas kepala lawan. Namun 

dengan cepat, tangan kanan Rangga 

bergerak menyodok ke arah ulu hati.


Gerakan yang hampir bersamaan itu 

membuat Iblis Mata Satu terkesiap. 

Tanpa memikir dua kali, dilentingkan 

tubuhnya ke belakang.

Kesempatan inilah yang ditunggu 

Rangga. Ketika tubuh iblis Mata Satu 

berada di udara, secepat kilat dia 

meloncat dengan dua tangan terkembang 

ke samping. Lalu dengan cepat tubuhnya 

meluruk dengan kaki bergerak cepat 

seperti baling-baling menuju ke arah 

lawan.

Sedikit lagi kaki Rangga mengenai 

sasaran, mendadak seberkas sinar 

keperakan mengancam kakinya. Rangga 

yang sejak tadi mengawasi dua orang 

yang berdiri menyaksikan, dengan cepat 

merobah posisi tubuhnya. Dan....

Tring!

Pendekar Rajawali Sakti menyentil 

senjata rahasia yang dilepaskan 

Sanggamayit untuk menyelamatkan Iblis 

Mata Satu. Senjata itu pun kini 

berbalik arah dengan cepat ke 

pemiliknya. Tentu saja Sanggamayit 

menjadi terkejut. Buru-buru dikerahkan 

tangannya menangkap senjata rahasianya 

sendiri.

Pada saat yang bersamaan, Rangga 

berhasil menghantam Iblis Mata Satu 

dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut 

Paruh Rajawali'. Iblis Mata Satu yang 

posisinya kurang menguntungkan, segera


mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 

dalamnya untuk memapak serangan itu.

"Akh!" Iblis Mata Satu memekik 

tertahan. Seketika itu juga tubuhnya 

mencelat dan terhempas deras ke tanah. 

Dari mulutnya menyembur darah segar. 

Wajah Iblis Mata Satu meringis 

merasakan seluruh tubuhnya bagai remuk 

terhantam batu karang yang amat kokoh 

dan keras.

Sementara itu Pendekar Rajawali 

Sakti juga sempat terdorong dua 

langkah ke belakang. Sedikit dia 

terhuyung, namun dengan cepat kembali 

bersiap-siap menerima serangan. 

Beberapa saat ditunggu, tapi tak ada 

serangan yang datang dari pihak lawan. 

Matanya tajam menatap dua orang dari 

Tiga Setan Neraka yang masih berdiri 

di tempatnya. Sedangkan Iblis Mata 

Satu telah dapat bangkit lagi. Dari 

sudut bibirnya masih mengucur darah 

segar.

"Mundur kau, Iblis Mata Satu," 

pelan suara Sanggamayit, tapi cukup 

jelas terdengar.

Iblis Mata Satu hanya mendengus. 

Dia melirik sebenrar pada Pendekar 

Rajawali Sakti, lalu mundur mendekati 

dua saudara angkatnya. Dengan ujung 

lengan baju, disekanya darah yang 

merembes dari sudut bibirnya.


"Dia terlalu tangguh buatmu, jika 

kau lawan sendirian," kata Sanggamayit 

setengah berbisik.

"Ilmunya sungguh luar biasa. 

Untung kugunakan aji 'Lapis Karang 

Baja'," dengus Iblis Mata Satu.

"Kau terluka?" tanya Setan 

Jerangkong.

"Tidak. Hanya dadaku terasa sesak 

sedikit," jawab Iblis Mata Satu 

mengakui.

"Semadilah dahulu. Biar 

kugantikan," ujar Setan Jerangkong.

"Hati-hati," Iblis Mata Satu 

memperingatkan.

Setan Jerangkong hanya tersenyum 

tipis. Kemudian dia melompat dan turun 

tepat sekitar lima langkah di depan 

Pendekar Rajawali Sakti. Setan 

Jerangkong yang telah menilai 

pertarungan sebelumnya, tidak mau 

gegabah. Sikapnya memang masih 

meremehkan, namun sinar matanya tajam 

menusuk menandakan kesungguhan.

"Sudah kukatakan, majulah kalian 

bertiga!" ejek Rangga.

"Jangan banyak bacot! YeaahhJ" 

Setan Jerangkong yang kurus kering itu 

segera mengeluarkan jurus mautnya. 

Rangga hanya mengernyitkan alisnya 

sedikit melihat manusia yang lebih 

mirip tengkorak hidup ini menggerak-

gerakkan tangannya yang kurus kering.


'Tahan seranganku'" teriak Setan 

Jerangkong.

***

Rangga mulai dengan jurus 'Sayap 

Rajawali Membelah Mega' kembali. Kedua 

tangannya langsung merentang ke 

samping dan bergerak-gerak cepat. 

Bahkan setiap gerakannya kini 

menimbulkan suara menderu dan 

menyebarkan hawa panas yang kian lama 

kian menyengat kulit.

Gerakan tubuh Pendekar Rajawali 

Sakti sangat cepat dan lincah 

menghindari setiap serangan la-wan. 

Beberapa kibasannya kali ini hampir 

mengenai sasaran. Setan Jerangkong 

menyumpah-nyumpah geram menghadapi 

kenyataan, karena setiap serangannya 

selalu kandas. Bahkan dia hampir-

hampir tidak tahan lagi merasakan hawa 

panas yang keluar dari setiap kibasan 

tangan Pendekar Rajawali Sakti. 

Memang, pendekar satu ini mengerahkan 

jurus gabungan 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega' dengan hawa panas yang 

diambilnya dari jurus 'Pukulan Maut 

Paruh Rajawali”.

Tiba-tiba tubuh Rangga melenting 

ke atas, lalu dengan cepat merubah 

jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik 

Menyambar Mangsa'. Perubahan jurus


yang tiba-tiba ini membuat Setan 

Jerangkong kelabakan.

"Bedebah! Kadal busuk!" umpat 

Setan Jerangkong.

Secepat kilat, dibuang tubuhnya 

ke tanah, lalu bergulingan beberapa 

kali sebelum bangkit berdiri. Belum 

juga pijakan kakinya mantap, mendadak 

kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti 

melayang deras.

Plak!

Setan Jerangkong menangkis kaki 

itu dengan tangan kirinya. Dua langkah 

dia mundur ke belakang. Bibirnya 

meringis merasakan nyeri yang amat 

sangat pada pergelangan tangan kirinya 

yang berbenturan dengan kaki lawan.

"Awas kaki!" teriak Rangga tiba-

tiba. 

"Uts!"

Setan Jerangkong terlonjak karena 

dengan tiba-tiba sekali kaki Rangga 

menyapu ke arah kakinya. Dan sebelum 

tiba pada sasaran, dengan cepat 

Pendekar Rajawali Sakti merubah 

sasarannya menjadi ke arah perut 

Begitu cepatnya perubahan arah itu, 

sehingga Setan Jerangkong tidak sempat 

lagi mengelak.

Tapi....

"Kurang ajar!" dengus Rangga 

geram.

Tepat saat kakinya hampir 

menjejak perut Setan Jerangkong, tiba


tiba saja berkelebat bayangan hijau 

yang langsung menghantam dada Pendekar 

Rajawali Sakti hingga terdorong dan 

jatuh bergulingan di tanah.

Dengan sigap Rangga berdiri 

kembali. Dadanya terasa sesak, 

napasnya tersengal-sengal. Cepat cepat 

dikerahkan hawa murni ke dadanya. 

Dalam waktu yang tak lama, napasnya 

kembali normal seperti semula.

Rangga menatap tajam Sanggamayit 

yang kini berdiri di samping Setan 

Jerangkong. Sedangkan Iblis Mata Satu 

berada di samping Sanggamayit. Lawan 

Pendekar Rajawali Sakti kali ini bukan 

hanya tangguh, tapi juga licik!

Sret, trak, cring!

Hampir bersamaan, Tiga Setan 

Neraka mengeluarkan senjata andalan 

mereka masing-masing. 

Iblis Mata Satu kini menggenggam 

sepasang golok besar berkilatan. 

Sanggamayit kini telah siap dengan dua 

tongkat pendek yang memiliki rantai 

pada ujungnya. Masing-masing ujung 

rantai terdapat tiga bola besi baja 

berduri. Sedangkan Setan Jerangkong 

telah siap dengan sepasang pedang 

tipis panjang berwarna putih 

kemilauan. Iblis Mata Satu dan Setan 

Jerangkong melompat ke samping agak ke 

depan. Mereka terus bergeser ke 

samping kiri dan kanan Pendekar 

Rajawali Sakti.


"Hm.„," Rangga hanya bergumam 

melihat posisi lawan-lawannya yang 

telah mengepung dari tiga jurusan.

"Cabut senjatamu, bangsat!" 

teriak Sanggamayit keras.

Rangga berdiri tegak dan tenang. 

Matanya tetap tertuju pada 

Sanggamayit. Dia telah dapat menilai 

kalau ilmu Sanggamayit yang seperti 

mayat hidup ini jauh lebih tinggi 

daripada yang lainnya. Buktinya, tiga 

kali serangan mautnya gagal karena 

campur tangan Sanggamayit yang tepat 

pada waktunya.

"Jangan katakan aku kejam kalau 

kau mati tanpa senjata!" dengus 

Sanggamayit

"Majulah kalian!" dingin dan 

datar suara Rangga.

Baru saja Rangga selesai berkata, 

mendadak Setan Jerangkong berteriak 

nyaring sambil melompat. Dua pedang 

tipisnya berkelebat masing-masing 

mengarah ke leher dan perut lawan.

Rangga menggeser kakinya ke 

samping, namun dari arah lain Iblis 

Mata Satu juga langsung menyerang 

sambil membabatkan sepasang golok 

besarnya. Cepat-cepat Rangga mundur 

dua tindak ke belakang. Dua serangan 

yang datang secara bersamaan, lolos 

begitu saja.

Belum sempat Pendekar Rajawali 

Sakti dapat bernapas lega, datang lagi


serangan dari arah depan. Kali ini dia 

terpaksa melesat ke udara menghindari 

serangan mendadak lagi beruntun itu. 

Cukup dahsyat serangan senjata 

Sanggamayit. Begitu menghantam tanah, 

seketika tanah itu berlubang. 

Sementara, Pendekar Rajawali yang 

masih berada di udara melakukan 

gerakan memutar dua kali lalu mendarat 

di belakang Sanggamayit. Secepat kilat 

dilayangkan kaki kirinya ke arah 

punggung. 

Bet!

Iblis Mata Satu menyabetkan 

goloknya ke arah kaki Pendekar 

Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga 

menarik kakinya kembali. Sanggamayit 

sekarang giliran menyerang. Dia 

berbalik cepat sambil mengayunkan 

senjatanya. Suaranya mendesing terde-

ngar hebat Rangga menarik kepalanya ke 

belakang menghindari tiga bola berduri 

yang dihubungkan dengan rantai ke 

tongkat pendek di tangan Sanggamayit. 

Bola-bola berduri itu lewat sedikit di 

depan wajah Rangga.

"Mampus kau, bangsat'" dengus 

Setan Jerangkong tiba-tiba.

Suara mendesing datang dari arah 

kiri Pendekar Rajawali Sakti. Cepat 

sekali dia melompat ke kanan, dan 

pedang tipis Setan Jerangkong lewat 

begitu saja. Serangan-serangan maut 

datang silih berganti tanpa memberi


kesempatan sedikit pun bagi Pendekar 

Rajawali Sakti untuk bernapas. Satu 

serangan berhasil dielakkan, serangan 

lain muncul dari arah yang berbeda. 

Begitu seterusnya hingga dalam waktu 

yang singkat saja telah melewati lima 

jurus.

Meskipun lawan-lawannya 

menggunakan senjata, namun Pendekar 

Rajawali Sakti sama sekali tidak 

kelihatan terdesak. Setiap serangan 

lawan berhasil dielakkan dengan manis, 

bahkan sesekali dibalasnya serangan 

itu meski selalu kandas juga. Dalam 

hati, Rangga memuji kerja sama Tiga 

Setan Neraka yang saling mengisi dan 

membantu.

"Hik hik hik...!" tiba-tiba 

terdengar suara mengikik menggema.

Seketika pertarungan itu pun 

berhenti. Suara tawa tadi ternyata 

disertai pengerahan tenaga dalam yang 

tinggi sehingga membuat telinga terasa 

sakit Makin lama suara itu terdengar 

makin keras dan menyakitkan. Pendekar 

Rajawali Sakti segera mengerahkan 

tenaga dalamnya untuk menandingi suara 

tawa itu. Demikian pula yang dilakukan 

Tiga Setan Neraka.

"Huh! Siapa lagi ini?" tanya 

Rangga dalam hati sedikit sebal.

***


ENAM


Seorang laki-laki berpakaian 

compang-camping muncul dari balik 

rimbunan semak. Di pinggangnya 

tergantung sebuah guci arak. Juga 

tangannya yang tak lepas mencekik 

leher sebuah guci lagi. Sebentar-

sebentar dituangnya cairan arak ke 

mulutnya.

"Huh! Habis!" dengusnya sambil 

menggoyang-goyang guci arak yang telah 

kosong.

"Setan Arak," gumam Sanggamayit. 

'Tanpa diundang kau pun muncul juga di 

sini."

"Hik hik hik...," Setan Arak 

tertawa mengikik seraya menoleh ke 

arah Sanggamayit.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata 

Satu melompat bersamaan, lalu berdiri 

di samping kanan dan kiri Sanggamayit. 

Di tangan mereka masih tergenggam 

senjata. Sementara Rangga menatap 

tajam pada Setan Arak. Dia teringat 

laki-laki tua yang sekarat di rumah 

Kepala Desa Ganggang yang mengatakan 

kalau Setan Arak lah yang menculik 

Ratih. Tapi di mana Ratih sekarang 

berada? Dan kini, Setan Arak hanya 

sendirian saja.

"Kau punya urusan dengan mereka, 

anak muda?" tanya Setan Arak seraya 

menoleh pada Rangga


"Aku juga punya urusan denganmu, 

Setan Arak," sahut Rangga dingjn.

"He he he..., kita baru kali ini 

bertemu. Tidakkah kau salah ucap?"

"Di mana Ratih kau sembunyikan?" 

tanya Rangga spontan.

"Gadis cantik itu? Ada! Dia baik-

baik saja. Kau kekasihnya?"

Merah padam wajah Rangga melihat 

tingkah Setan Arak yang seperti tak 

berdosa saja.

"Kalau iya, kau mau apa? 

Tunjukkan, di mana Ratih kau 

sembunyikan?!"

"Sabar, anak muda. Aku justru ke 

sini ingin mencarimu. Gadismu itu 

tidak kurang suatu apa-pun. Hanya dia 

perlu sedikit istirahat untuk 

memulihkan...."

"Setan! Kau apakan dia?!" geram 

Rangga memutus kalimat Setan Arak.

"He he he...," Setan Arak hanya 

tertawa saja.

"Bedebah! Kau harus bayar mahal 

atas perbuatanmu!" geram Rangga makin 

memuncak kemarahannya.

Seketika itu juga Pendekar 

Rajawali Sakti melompat sambil 

mengirimkan jurus 'Pukulan Maut Paruh 

Rajawali” ke arah Setan Arak. Namun 

belum sempat Pendekar Rajawali Sakti 

menjatuhkan tangan, tiba-tiba 

terdengar teriakan keras mencegah.

"Kakang, jangan...!"


Rangga langsung menoleh. Tampak 

Ratih berlari keluar dari semak-semak 

tempat Setan Arak tadi muncul. Ratih 

segera menghampiri Rangga. Tentu saja 

Pendekar Rajawali Sakti ini menjadi 

bingung melihat keadaan Ratih yang 

seperti tidak terjadi apa-apa atas 

dirinya.

"Ratih, kau tidak apa-apa?" tanya 

Rangga.

"Tidak, Kakang. Kakek Setan Arak 

telah menolongku," sahut Ratih.

Rangga menatap Setan Arak yang 

masih terkekeh. Kakinya terayun 

mendekati dua anak muda itu. Bola mata 

Rangga memandang Ratih dan Setan Arak 

bergantian. Dia masih kurang percaya 

kalau laki-laki berpakaian compang-

camping ini telah menyelamatkan Ratih. 

Terngiang kembali kata-kata lemah dari 

laki-laki tua yang sekarat di pojok 

rumah Ki Jagabaya. Apakah telinganya 

yang kurang beres pada saat itu? Atau 

laki-laki tua itu yang salah lihat? 

Pikiran Rangga terus berputar.

"Seharusnya aku memang tidak 

pergi," pelan suara Rangga seperti 

menyesal.

"Mereka datang ketika Kakang 

belum lama pergi," sahut Ratih.

"Mereka? Mereka siapa?" desak 

Rangga.

Ratih menatap Tiga Setan Neraka. 

Rangga cepat mengerti bahwa tiga orang


itulah yang membantai keluarga gadis 

cantik ini. Geraham Pendekar Rajawali 

Sakti bergemelutuk seketika. Benar-

benar keji, membantai habis satu 

keluarga. Bahkan kini mereka menyebar 

fitnah!

"Maafkan kekhilafanku," ujar 

Rangga menatap Setan Arak

"He he he...," Setan Arak hanya 

terkekeh saja.

Rangga melangkah menghampiri Tiga 

Setan Neraka yang masih diam di 

tempat. Namun baru saja melangkah dua 

tindak, tangan Setan Arak me-rentang 

menghalangi.

"Kau tidak bisa melawan mereka 

dengan tangan kosong," kata Setan 

Arak.

Rangga menurunkan tangan Setan 

Arak dengan lembut sambil tersenyum 

tipis. Sama sekali dia tidak bermaksud 

meremehkan peringatan laki-laki kumal 

itu. Ucapannya memang benar, tanpa 

senjata rasanya sulit mengalahkan 

mereka bertiga. Tapi Rangga masih 

yakin dan ingin mencoba lagi dengan 

jurus-jurus andalannya.

Langkah kakinya terayun kembali 

menghampiri Tiga Setan Neraka yang 

telah bersiaga penuh. Semua percakapan 

tadi telah mereka dengar dengan jelas. 

Tidak dapat dipungkiri kalau Tiga 

Setan Nerakalah yang membantai hampir 

seluruh keluarga Ki Jagabaya dan


pekerja-pekerja di rumah itu. Hanya 

Ratih yang selamat karena ditolong 

oleh Setan Arak.

Sanggamayit memanfaatkan 

kemunculan Setan Arak dengan 

meletakkan guci arak di lantai. Hal 

ini dimaksudkan untuk mengelabui agar 

semua orang menyangka kalau perbuatan 

itu dilakukan oleh Setan Arak. 

Ternyata rencana jahatnya itu tidak 

berumur panjang. Maka kini Tiga Setan 

Neraka harus menghadapi segala 

kemungkinan yang akan terjadi.

***

"Kini saatnya kalian harus mati!" 

dengus Rangga sambil bersiap-siap 

membuka jurus terakhir dari rangkaian 

lima jurus 'Rajawali Sakti'.

Cepat sekali Pendekar Rajawali 

Sakti itu bergerak, sehingga seperri 

bertambah banyak saja. Inilah jurus 

'Seribu Rajawali'. Tubuh Pendekar 

Rajawali Sakti seperti berjumlah 

seribu.

Untuk beberapa saat, Tiga Setan 

Neraka menjadi tertegun melihat 

kenyataan itu. Seperti mereka telah 

terkepung oleh sekian banyak Pendekar 

Rajawali Sakti. Serentak mereka saling 

membelakangi dengan sikap berjaga-

jaga. Teriakan-teriakan keras tiba-

tiba saja terdengar membahana.


Belum lagi senyap suara-suara 

itu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti

yang kini seperri berjumlah seribu, 

menyerang dari segala penjuru. Tiga 

Setan Neraka menghalau setiap serangan 

yang datang bertubi-tubi itu. 

Sanggamayit mengkelebatkan senjatanya 

untuk membalas serangan lawan. Dia 

yakin betul kalau bandul besi baja 

berduri dari senjatanya itu telah 

mengenai tubuh Pendekar Rajawali 

Sakti. Ternyata meleset sama sekali. 

Bandul itu hanya menghantam bayangan 

kosong saja. Sanggamayit menjadi 

terkesiap.

"Lihat kakinya!" seru Sanggamayit 

setelah mampu konsentrasi kembali.

Sanggamayit kini mulai dapat 

menerka kelebihan dan kelemahan jurus 

milik Pendekar Rajawali Sakti. 

Mendengar peringatan itu, Setan 

Jerangkong langsung mengarahkan pedang 

kembarnya ke arah kaki lawan. Demikian 

pula dengan Iblis Mata Satu yang 

melakukan hal yang sama.

Sedangkan Sanggamayit yang lebih 

cerdik, hanya sesekali saja menyerang. 

Dia baru mau menyerang jika melihat 

sepasang kaki telah menjejak tanah. 

Sedangkan kaki-kaki lain tampak 

seperri ngambang di atas tanah. Kini 

dapat dibedakan, mana Pendekar 

Rajawali Sakti yang asli, dan mana 

yang palsu.


Tepat ketika sepasang kaki yang 

menjejak tanah berada di depannya, 

dengan cepat dilontarkan bandul 

besinya yang berduri tajam. Serangan-

serangannya beruntun bagai kilat 

menyambar ke arah kaki yang bergerak 

ke mana saja. Sanggamayit terus 

mencecar.

"Jangan pedulikan yang lain, 

bantu aku!" seru Sanggamayit.

Rangga tentu saja terkejut 

mendengar seruan itu. Berarti 

Sanggamayit telah mengetahui wujudnya 

yang asli. Dan benar saja, ketika 

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong 

membantu serangan Sanggamayit, 

mendadak ribuan Pendekar Rajawali 

Sakti menjadi lenyap. Kini yang ada 

hanya wujud aslinya saja yang tengah 

kewalahan menghindari serangan lawan 

yang datang dari tiga penjuru.

"Setan!" dengus Rangga sambil 

mencelat ke belakang sejauh satu 

batang tombak.

Sret!

Tepat saat kakinya menjejak 

tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah 

mencabut pedang pusaka dari sarungnya 

yang bertengger di punggung. Seketika 

cahaya biru berkilau menerangi 

sekitarnya. Pamor pedang pusaka 

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar 

membuat Tiga Setan Neraka terkesima. 

Begitu banyak senjata pusaka yang



mereka telah lihat, tapi rasanya baru 

kali ini mereka menyaksikan pedang 

pusaka yang memiliki pamor seperti 

itu.

Setan Jerangkong dan Iblis Mata 

Satu langsung menggeser kakinya 

melebar ke samping. Rangga yang kini 

berada di tengah-tengah berkonsentrasi 

penuh terhadap setiap gerakan tiga 

orang yang mengepungnya dari tiga 

jurusan. Kakinya bergerak memutar 

perlahan-lahan, matanya tajam menatap 

setiap orang yang mengepungnya sambil 

mempermainkan senjata.

Set, set, set!

Tiba-tiba Sanggamayit melepaskan 

senjata-senjata rahasia dengan cepat, 

dan meluncur deras ke arah Pendekar 

Rajawali Sakti. Dengan tangkas 

pendekar muda ini mengibaskan 

pedangnya, sehingga sinar biru 

berkelebatan seperti melindungi 

dirinya.

Cring, cring, cring!

Senjata rahasia yang berupa 

ruyung perak segera rontok berjatuhan 

di tengah jalan. Padahal tadi 

dilontarkan dengan kekuatan tenaga 

dalam yang kuat. Tak satu pun senjata 

rahasia Sanggamayit berhasil menemui 

sasaran. Tapi rupanya serangan itu 

hanya sebuah pancingan. Ketika Rangga 

sibuk memutar pedangnya untuk 

menghalau senjata rahasia beracun itu,


secepat kilat Sanggamayit melompat 

seraya mengayunkan senjata andalannya.

Rangga menarik kepalanya ke 

belakang menghindari sabetan bola-bola 

berduri. Dan belum sempat membenahi 

posisinya, mendadak berkelebat sebuah 

golok dari arah samping kanan. Golok 

Iblis Mata Satu itu mengarah ke kaki. 

Cepat-cepat Rangga menaikkan kaki 

kanannya, maka golok itu hanya lewat 

di bawah telapak kakinya saja.

"Mampus...!" dengus Setan 

Jerangkong sambil menghujam pedang 

tipisnya ke arah dada Pendekar 

Rajawali Sakti.

Masih dalam keadaan kaki kanan 

terangkat, Pendekar Rajawali Sakti 

memiringkan badannya ke kanan. Dan 

tusukan pedang itu hanya lewat sedikit 

di depan dada. Namun serangan yang 

gagal itu ternyata dibarengi oleh satu 

tendangan menggeledek ke arah 

punggung.

Posisi Rangga memang tidak 

menguntungkan. Dia terlambat untuk 

menghindar. Dengan telak tendangan 

Setan Jerangkong menghantam 

punggungnya. Rangga terdorong ke depan 

beberapa langkah, tapi dengan cepat 

diputar tubuhnya sambil mengibaskan 

pedang. Sinar biru berkelebat cepat 

bersamaan dengan berputarnya tubuh 

Pendekar Rajawali Sakti itu.

Trang!


Setan Jerangkong yang berada 

paling dekat, menangkis senjata 

bersinar biru itu. Pijaran bunga-bunga 

api meletik ketika dua senjata beradu 

keras. Rangga tersentak, karena 

tangannya seketika bergetar setelah 

senjatanya ditangkis Setan Jerangkong. 

Segera dia mundur dua langkah.

Yang dialami Setan Jerangkong 

lebih hebat lagi. Ujung mata pedang 

tipisnya gompal, dan hampir terlepas 

dari genggaman. Setan Jerangkong 

menyumpah-nyumpah karena seluruh jari 

tangannya menjadi terasa kaku.

"Kakang, awas...!" tiba-tiba 

Ratih menjerit keras.

Bersamaan dengan itu, dari arah 

samping kanan berkelebat tiga buah 

bola berduri dengan cepat Rangga tidak 

sempat menoleh lagi, segera diangkat 

pedangnya sambil menarik tubuhnya ke 

kiri.

Cring!

Rantai yang menghubungkan bola-

bola berduri dengan tongkat melilit 

mata pedang Rajawali Sakti. Rangga 

membetot senjatanya dengan pengerahan 

tenaga dalam, namun lilitan rantai 

bola baja itu kian kuat. Maka 

terjadilah tarik menarik dengan penge-

rahan tenaga dalam yang tinggi. Otot-

otot tangan Pendekar Rajawali Sakti 

bersembulan, terlapis kulit yang basah 

oleh keringat sehingga berkilatan.


Wajahnya tegang memerah, pertanda 

tengah mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya.

Demikian juga yang dialami 

Sanggamayit Wajahnya yang pucat bagai 

mayat, semakin pucat pasi saja. Kedua 

bola matanya kelihatan memutih. Yang 

ada hanya titik hitam kecil saja yang 

kelihatan berada di tengah-tengah dua 

bola matanya. Keringat membasahi 

seluruh tubuhnya. Adu tenaga dalam 

lewat dua jenis senjata yang menempel, 

terus berlangsung lama. Kelihatan 

sekali kalau kekuatan tenaga dalam 

kedua tokoh ini hampir seimbang. 

Mereka berdiri tegak dengan kedua kaki 

tertanam kokoh di atas tanah.

"Hm, ini kesempatan untukku," 

gumam Setan Jerangkong.

Secepat kilat, laki-laki kurus 

kering itu melompat. Pedang tipis di 

tangan kanannya berkelebat membabat 

leher Pendekar Rajawali Sakti. Dalam 

keadaan seluruh tenaga dan 

perhatiannya terpusat pada 

Sanggamayit, pendekar satu ini tidak 

bisa lagi mengelak dari bokongan itu.

Buk!

"Aaaakh...!" tiba-tiba saja Setan 

Jerangkong menjerit keras.

Begitu pedangnya tepat membabat 

leher Pendekar Rajawali Sakti, 

ternyata dirasakannya seperti 

menghantam segumpal karet keras saja.


Pedang tipisnya terlontar, sedangkan 

seluruh tangannya bagai dirubung 

berjuta-juta kala berbisa.

Setan Jerangkong terdorong sejauh 

satu tombak ke belakang. Bibirnya 

meringis, sambil tangan kirinya 

mengurut-urut tangan kanannya. 

Pedangnya yang terlontar jauh kini 

menancap pada sebatang pohon. Setan 

Jerangkong segera duduk bersila ketika 

dirasakan tubuhnya menjadi panas. 

Cepat-cepat disalurkan hawa murni ke 

seluruh jalan darahnya. Wajahnya 

kelihatan semakin memerah dengan 

keringat bercucuran deras. Setan 

Jerangkong terus bertarung melawan 

hawa panas yang kian menggila di dalam 

tubuhnya.

Apa sebenarnya yang terjadi pada 

Setan Jerangkong?

***

Pada waktu Setan Jerangkong 

melancarkan bokongan, ternyata 

Pendekar Rajawali Sakti tengah 

mengerahkan kekuatan jurus 'Seribu 

Rajawali' yang dibarengi dengan 

kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan 

yang berlipat ganda dari jurus 'Seribu 

Rajawali’ dan disertai tenaga dalam 

jurus 'Inti Bumi' memang sungguh 

dahsyat akibarnya.


Memang tubuh Pendekar Rajawali 

Sakti tidak berubah menjadi seribu 

jumlahnya, tapi kekuatan dalam 

tubuhnya sama dengan seribu Pendekar 

Rajawali Sakti yang tergabung menjadi 

satu. Dalam keadaan seperti itu, 

biasanya Pendekar Rajawali Sakti hanya 

mengambil inti-inti seluruh jurus 

andalan yang disertai dengan 

pengerahan ilmu kesaktian tenaga 

dalam.

Tidak mengherankan jika Setan 

Jerangkong yang terkena jurus gabungan 

itu menjadi terhenyak. Tubuh Rangga 

yang menjadi kebal terhadap segala 

senjata tajam itu, ternyata juga punya 

daya tolak yang amat besar disertai 

penyemburan hawa panas ke seluruh 

tubuh penyerangnya.

Sementara itu Sanggamayit mulai 

kelihatan terdesak kekuatannya. 

Semakin dikerahkan seluruh 

kekuatannya, semakin panas seluruh 

tubuhnya. Bahkan dari ubun-ubun 

kepalanya asap tipis mulai kelihatan 

mengepul. Wajah Sanggamayit kini malah 

berubah merah. Ini pertanda kalau dia 

telah mengerahkan seluruh tenaganya 

sampai pada tahap yang paling tinggi.

Bres...!

Tiba-tiba saja kedua kaki 

Sanggamayit melesak ke dalam tanah. 

Tubuhnya mulai bergetar. Titik hitam 

kecil pada bola matanya berputar-putar


bersamaan dengan tergeleng-gelengnya 

kepala Sanggamayit.

"Yeaaah...!" mendadak Rangga 

berteriak melengking sambil membetot 

pedang pusakanya yang terlilit senjata 

Sanggamayit.

"Aaaakh...!" Sanggamayit menjerit 

keras.

Bersamaan dengan terdengarnya 

jeritan keras itu, tangan kanan 

Sanggamayit tercabut dari pangkalnya. 

Darah pun segera menyembur dengan 

derasnya. Rangga menyentak pedangnya 

ke atas sehingga tangan yang masih 

menggenggam senjata tongkat pendek 

dengan rantai yang menghubungkan bola-

bola baja berduri itu terlempar ke 

udara. Darah menciprat ke mana-mana.

"Hih!" Sanggamayit menghentak 

tubuhnya.

Seketika kaki yang telah terbenam 

hingga ke lutut terangkat ke atas. 

Tubuh yang kini lengan kanannya 

buntung, melenting dan bersalto di 

udara. Sanggamayit limbung sebentar 

begitu kakinya menjejak tanah. Segera 

ditotok beberapa jalan darah di 

sekitar pangkal lengannya yang 

buntung. Darah berhenti mengalir pada 

saat itu juga.

Setan Jerangkong yang telah pulih 

kembali, terkejut melihat tangan kanan 

Sanggamayit buntung dari pangkalnya.


Begitu pula dengan Iblis Mata Satu 

yang tercengang beberapa saat.

"Bocah edan! Kau harus bayar 

mahal sebelah tanganku!" dengus 

Sanggamayit geram.

Setelah berkata demikian, secepat 

kilat Sanggamayit melompat tinggi dan 

menghilang di balik kegelapan malam. 

Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong 

segera mengikutinya sambil mengerahkan 

ilmu peringan tubuh. Rangga terkejut 

melihat tiga lawannya kabur dengan 

cepat sekali.

"Hey...!" teriak Rangga akan 

mengejar. Tapi... 

"Kakang...!" Ratih berteriak 

keras. Rangga mengurungkan niatnya. 

Matanya langsung tertuju pada Ratih 

yang berlari-lari menghampiri. 

Sementara Setan Arak berjalan 

sempoyongan di belakang gadis itu. 

Tampaknya seperti jalan biasa, padahal 

Setan Arak ini juga mengerahkan ilmu 

peringan tubuh, sehingga ketika Ratih 

tiba di depan Rangga, dia pun telah 

tiba pula. Pendekar Rajawali Sakti 

memasukkan pedang pusaka ke dalam 

sarungnya di punggung. Seketika 

kegelapan kembali menyelimuti puncak 

Bukit Baru Tiga ini.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" 

tanya Ratih. Suaranya terdengar 

bernada kecemasan.


Rangga hanya tersenyum sambil 

menggeleng.

"Aku tahu ke mana mereka pergi," 

kata Setan Arak pelan.

Rangga mengalihkan pandangannya 

pada laki-laki kumal di samping Ratih.

"Apakah mereka kembali ke istana 

Parakan, Kek?" tanya Ratih.

"Tidak," jawab Setan Arak.

"Lantas...?"

Setan Arak tidak segera menjawab 

malah melangkah pelan-pelan. Kepatanya 

lalu berpaling setelah langkahnya 

terayun sekitar sepuluh tindak.

"Ikuti aku!" katanya.

"Ayo, Kakang," ajak Ratih.

Rangga mengayunkan langkahnya di 

samping gadis cantik itu. Pikirannya

masih bercabang antara percaya dengan 

tidak terhadap Setan Arak. Laki-laki 

kumal itu memang tidak jelas 

golongannya. Dilihat dari julukannya, 

sepertinya dia dari golongan hitam. 

Namun dilihat dari tindak-tanduknya, 

sepertinya dari golongan putih. Memang 

aneh tokoh Setan Arak ini.

Sesekali Rangga menatap Ratih 

yang terus menerus memandangi wajah 

pendekar muda yang tampan dan sakti 

ini. Rangga paham betul sorot mata 

gadis ini. Hatinya mendadak gelisah. 

Dia tidak ingin ada seorang gadis 

jatuh cinta kepadanya. Ratih memang 

cantik dan mempunyai kepandaian yang


tidak rendah. Tapi Rangga bertekad 

untuk tidak mencintai dan dicintai 

seorang gadis pada saat 

pengembaraannya.

"Kelihatannya kau kenal betul 

dengannya," kata Rangga dengan nada 

bertanya. Matanya melirik Setan Arak 

yang berjalan di depan.

"lya," sahut Ratih.

Agak kaget juga Pendekar Rajawali 

Sakti mendengar jawaban yang singkat 

tapi tegas itu. Tidak disangka sama 

sekali kalau Ratih telah mengenal baik 

dengan Setan Arak.

"Kakek Setan Arak bukan orang 

lain bagiku. Sejak aku berusia lima 

tahun telah kenal baik dengannya," 

ungkap Ratih.

"Hm, berarti sejak kau masuk 

padepokan di Gunung Lawu," gumam 

Rangga.

"Benar," sahut Ratih. "Dari mana 

kau tahu?" 

"Ayahmu yang menceritakan." Ratih 

tersenyum tipis. Ada rona mendung 

terbias di wajahnya. Hanya sebentar, 

tapi Rangga telah menangkap 

kemendungan itu.

"Maaf, aku telah mengingatkan 

pada ayahmu," ucap Rangga setengah 

berbisik.

'Tidak. Tidak apa-apa," sahut 

Ratih lirih. Beberapa saat mereka 

membisu. Tanpa disadari ketiga orang



itu telah turun dari Bukit Batu Tiga. 

Kini mereka menyusuri tepian sungai 

yang mengalir cukup deras, 

memperdengarkan alunan suara gemercik 

air membentur bebatuan. Sungguh indah, 

tapi ketiga orang itu seperti tidak 

peduli. Pikiran mereka terus 

berkecamuk bermacam-macam kemungkinan 

yang akan terjadi.

"Kau mau bercerita tentang Setan 

Arak, Ratih?" pinta Rangga setelah 

cukup lama terdiam.

Ratih tersenyum manis, lalu 

mengangguk perlahan.

"Saat aku baru menginjak usia 

lima tahun...," Ratih memulai 

ceritanya.

***

"Aku diserahkan Ayah ke Padepokan 

Gunung Lawu. Disana, selain pamanku 

sendiri yang menjadi guru besar, juga 

ada beberapa tokoh sakti yang 

mengajarkan berbagai ilmu kepada 

murid-murid padepokan. Di sinilah 

untuk pertama kalinya aku mengenal 

ilmu olah kanuragan dari Kakek Setan 

Arak. Sampai aku berumur sepuluh tahun 

Kakek Setan Arak menjadi guruku. Dan 

sejak itulah dia tidak pemah terlihat 

lagi," Ratih sebentar menghentikan 

ceritanya.


"Lalu, siapa yang menggantikan 

kedudukannya?" tanya Rangga.

'Pamanku sendiri," sahut Ratih.

"Kau tahu, mengapa Setan Arak 

meninggalkan padepokan?"

"Tidak."

Rangga mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Ratih sekarang berusia 

sekitar dua puluh tahun. Jadi tidak 

mustahil ketika Setan Arak difitnah, 

dia telah berada di padepokan ini. 

Yang jelas, tuduhan mencuri kitab 

pusaka Tapak Geni milik Dewi Agni yang 

juga guru tunggal Dewi Selaksa Mawar, 

cuma fitnah belaka yang dilancarkan 

Tiga Setan Neraka.

Dari rangkaian cerita yang 

didapat, Pendekar Rajawali Sakti telah 

dapat mengambil beberapa kesimpulan. 

Dan semuanya bersumber dari tingkah 

polah Tiga Setan Neraka.

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti 

menghentikan langkahnya. Ditariknya 

tangan Ratih ke belakang. Sementara 

itu Setan Arak yang berjalan di depan 

juga menghentikan langkahnya. Dia 

menatap Rangga yang memegangi 

pergelangan tangan Ratih. Setan Arak 

mengegoskan kepalanya sedikit Rangga 

paham maksudnya, kemudian dituntunnya 

Ratih mendekati Setan Arak.

"Hanya satu...," bisik Rangga 

pelan "Ya. Tampaknya memiliki ilmu


meringankan tubuh yang cukup tinggi," 

sahut Setan Arak berbisik pelan.

"Bagaimana? Dibereskan?" tanya 

Rangga.

"Kalau tidak mengganggu, biarkan 

saja."

"Baiklah. Ayo jalan lagi."

"Kalian jangan terlalu jauh di 

belakang."

"Sialan!" umpat Rangga dalam 

hati.

Peringatan itu memang sarat 

dengan sindiran halus, tapi cukup 

nyelekit juga. Ratih pun segera 

melepaskan pegangan tangan pendekar 

tampan itu. Kepalanya tertunduk 

menyembunyikan rona merah pada 

wajahnya.

Ketiga orang itu kembali 

mengayunkan langkahnya. Kali ini 

mereka berjalan sejajar. Ratih berada 

di tengah. Rangga melangkah sambil 

mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' 

untuk menangkap setiap suara yang 

terdengar mencurigakan. Keningnya agak 

berkerut manakala mengetahui kalau 

orang yang mengikutinya itu memiliki 

ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. 

Suara orang itu hampir tidak 

tertangkap meskipun Rangga telah 

mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara'.

"Apa maksudnya dia mengikuti?" 

tanya Rangga dalam hati.


Ketika Rangga mengerahkan ilmu 

'Pembilah Suara' tingkat akhir, 

barulah dapat terdengar jelas suara-

suara langkah kaki ringan yang berada 

tepat di belakang. Rangga bergumam 

menghitung jarak. Hanya dua puluh 

tombak, bisiknya dalam hati. Jarak 

yang tidak terlalu jauh, tapi tidak 

dapat terdengar oleh ilmu 'Pembilah 

Suara' tingkat awal.

Orang yang membuntuti sepertinya 

memang memiliki tingkat kepandaian 

yang cukup tinggi. Mungkin seringkat 

dengan ilmu yang dimiliki Tiga Setan 

Neraka. Siapa dia sebenarnya? Apa 

maksudnya mengikuti?

"Teruslah berjalan bersama Ratih, 

Paman," kata Rangga pelan.

"Akan ke mana, kau?" tanya Setan 

Arak.

Rangga tidak menjawab malah 

mencelat cepat, dan tiba-tiba saja 

telah hilang dari pandangan mata. 

Tubuh Rangga bagaikan hilang tertelan 

bumi. Ratih sampai bengong celingukan 

Dia baru melangkah lagi setelah 

tangannya ditarik oleh Setan Arak.

Laki-laki tua kumal itu lalu 

merenggut dua batang bambu yang banyak 

berserakan di tepian sungai ini.

"Untuk apa bambu itu, Kek?" tanya 

Ratih.

"Diamlah, kita jalan terus," ujar 

Setan Arak.

Ratih langsung diam. Keningnya 

berkerut melihat Setan Arak berjalan 

sambil mengetuk-ngetukkan dua bambu 

mengikuti irama langkahnya, namun 

sedikit dibedakan. Ratih tersenyum 

ketika dapat memahami maksud laki-laki 

kumal ini. Rupanya dia ingin menipu 

orang yang menguntit dengan tetap 

mendengarkan langkah tiga pasang kaki. 

Boleh juga akalnya, pikir Ratih.

***

TUJUH



Dewi Selaksa Mawar benar-benar 

terkejut ketika tiba-tiba saja 

Pendekar Rajawali Sakti muncul di 

depannya. Dia melangkah ke belakang 

dua tindak. Sedangkan Pendekar 

Rajawali Sakti berdiri tegak bertolak 

pinggang. Matanya tajam menatap 

perempuan tua yang ditemuinya tengah 

menangis di Hutan Dandaka.

"Apa maksudmu mengikutiku?" tanya 

Rangga datar.

"Mengapa Setan Arak tidak kau 

bunuh sekalian, hah?!" Dewi Selaksa 

Mawar malah balik bertanya.

"Untuk apa? Dia tidak bersalah, 

kenapa harus dibunuh?"


"Dia yang mencuri kitab pusaka 

Tapak Geni!" ketus suara Dewi Selaksa 

Mawar.

"Kau salah sangka. Dia tidak 

mencuri kitab pusaka itu. Dia hanya 

kena fitnah! Setan Arak sama sekali 

tidak tahu tentang kitab Tapak Geni"

"Huh! Kau telah tertipu oleh 

sikap baik Setan Arak! Dia bersikap 

baik karena butuh tenagamu!"

Pendekar Rajawali Sakti itu 

mengerutkan keningnya. Dia masih belum 

mengerti kata-kata Dewi Selaksa Mawar. 

Otaknya kini berputar tujuh keliling 

memikirkan persoalan yang dihadapi 

betapa rumit. Penuh liku-liku.

"Dia itu punya dendam pribadi 

terhadap Tiga Setan Neraka, dan tidak 

mungkin menandingi mereka. Makanya dia 

mencuri kitab pusaka Tapak Geni untuk 

menandingi kesaktian Tiga Setan 

Neraka," ungkap Dewi Selaksa Mawar.

"Bisa kupercaya kata-katamu?" 

Rangga masih ragu-ragu.

"Bertahun-tahun aku mencari 

mereka berempat. Terus terang, aku 

sendiri belum tentu mampu menghadapi 

setan-setan itu. Aku merasa berdosa 

jika belum mendapatkan kitab pusaka 

Tapak Geni milik guruku. Sekarang aku 

mengharapkan bantuanmu, Pendekar 

Rajawali Sakti," Dewi Selaksa Mawar 

berkata terus terang.


"Di Hutan Dandaka kau tuduh 

Sanggamayit yang mencuri kitab itu. 

Dan sekarang beralih ke Setan Arak. 

Siapa sebenarnya yang mencuri kitab 

itu?"

"Satu di antara mereka berdua!"

Rangga tersentak mendengar 

jawaban yang tegas itu. Dewi Selaksa 

Mawar sendiri belum bisa memastikan,

apalagi dirinya yang baru beberapa 

hari saja terlibat masalah ini. Rangga 

benar-benar merasa seperti bola yang 

dilempar ke sana ke mari tanpa tujuan 

pasti.

Tujuan pertamanya adalah 

membebaskan penderitaan penduduk Desa 

Ganggang dari cengkeraman dan 

kekejaman orang-orang Kerajaan 

Parakan. Tapi kini persoalannya 

semakin luas lagi setelah bertemu 

dengan Dewi Selaksa Mawar. Beberapa 

macam persoalan yang saling tumpang 

tindih mulai muncul yang menyangkut 

orang-orang yang itu-itu juga. Sungguh 

mati Rangga tidak menyangka kalau 

harus terlibat dalam masalah pribadi 

orang-orang itu.

"Kapan kitab itu hilang?" tanya 

Rangga setelah lama berpikir.

"Kira-kira dua puluh tahun yang 

lalu," jawab Dewi Selaksa Mawar.

"Dua puluh tahun bukan waktu yang 

sebentar untuk mempelajari satu kitab! 

Orang yang mencuri kitab itu, pasti


telah menguasai betul isinya. Sedang-

kan orang-orang yang kau curigai tidak 

sedikit pun menggunakan ilmu Tapak 

Geni," Rangga mengungkapkan jalan 

pikirannya.

"Kau jangan melindungi mereka!" 

dengus Dewi Selaksa Mawar.

"Aku tidak bermaksud melindungi 

seorang pun. Dan lagi, aku tidak ada 

urusan dengan kitab Tapak Geni. Sedang 

aku mengejar Tiga Setan Neraka hanya 

untuk menghentikan kekejaman mereka, 

itu saja!" Rangga sedikit tersinggung.

"Lantas, kenapa kau berkata 

seperri itu?" 

"Aku hanya melihat kenyataan. 

Bagiku, menuduh seseorang tanpa bukti 

adalah dosa besar! Nah, sekarang coba 

buktikan tuduhanmu terhadap salah satu 

di antara mereka!"

"Ini!" Dewi Selaksa Mawar 

mengeluarkan sebuah ruyung perak dari 

lipatan bajunya.

"Ruyung perak...," gumam Rangga 

mengenali senjata rahasia yang jelas 

milik Sanggamayit

"Aku menemukan ini tertancap di 

dada guruku," Dewi Selaksa Mawar 

menerangkan.

"Kau tahu pemilik senjata rahasia 

ini?" tanya Rangga berusaha meyakinkan 

diri. 

"Sanggamayit." 

"Kau yakin dia pencurinya?"


Dewi Selaksa Mawar hanya diam. 

Memang sulit untuk menjawab pertanyaan 

itu. Senjata rahasia itu memang bisa 

merupakan bukti. Tapi tidak mustahil 

orang lain juga menggunakannya dengan 

maksud menghilangkan jejak. Sedangkah 

di Hutan Dandaka, Sanggamayit 

mengatakan kalau dirinya difitnah 

Setan Arak. Apakah memang benar si 

Setan Arak yang mencuri kitab Tapak 

Geni sekaligus membunuh guru Dewi 

Selaksa Mawar? Atau hanya akal bulus 

Sanggamayit saja?

Saat mereka terdiam dengan 

pikiran yang berkecamuk, mendadak 

terdengar jeritan nyaring. Suara 

senjata beradu pun terdengar beberapa 

kali. Rangga terlonjak ketika telah 

memastikan arah suara pertarungan itu. 

Tanpa menghiraukan perempuan tua di 

depannya, secepat kilat dia melompat 

menuju arah suara pertarungan.

"Huh! Ada-ada saja!" dengus Dewi 

Selaksa Mawar.

Sambil bersungut-sungut kesal, 

perempuan itu berlari sambil 

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

mengikuti Rangga. Gerakannya cepat dan 

ringan. Dalam sekejap telah jauh dari 

tempat ini.

***


Setan Arak bertarung mati-matian 

melawan Setan Jerangkong dan Iblis 

Mata Satu. Sementara Ratih terlihat 

tergeletak pingsan di depan kaki 

Sanggamayit. Rangga yang baru saja 

tiba, mengkerutkan gerahamnya menahan 

marah. Segera Rangga melompat membantu 

Setan Arak yang agak kewalahan 

menerima serangan beruntun dua dari 

Tiga Setan Neraka.

Tapi belum juga Rangga sampai di 

arena pertarungan, tiba-tiba....

"Akh!" Setan Arak memekik 

tertahan. Pedang Setan Jerangkong yang 

kini tinggal satu telah menggores dada 

Setan Arak. Darah segera merembes 

keluar dari luka yang memanjang. Si 

Kakek peminum arak ini mundur 

terhuyung sambil menekap dadanya yang 

terluka. Namun belum juga menguasai 

diri, mendadak satu tendangan 

dilepaskan Iblis Mata Satu telak 

mampir di kepala Setan Arak. Seketika 

terdengar jeritan keras yang keluar 

dari mulut kakek peminum itu. Tubuhnya 

terjengkang ke belakang, dan terhempas 

dengan kepala terlebih dulu mendarat 

di tanah. 

"Iblis, kejam!" geram Rangga. 

Sambil berteriak melengking tinggi, 

Rangga melayangkan kakinya seraya 

mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik 

Menyambar Mangsa'. Begitu cepat 

gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu,


sehingga Setan Jerangkong yang 

berjarak paling dekat terlihat 

kelabakan. Sedapatnya dikelebatkan 

pedangnya untuk menghalau serangan 

kilat itu.

Rangga menarik kakinya cepat, 

lalu menjejak tanah dengan ujung 

jarinya. Tubuhnya kembali mencelat ke 

udara. Gerakannya sangat cepat, dan 

tahu-tahu telah berada di atas kepala 

Setan Jerangkong. Setan Jerangkong pun 

tak kalah sigap. Diangkat pedang dan 

diputar-putarnya di atas kepala.

Kaki Pendekar Rajawali Sakti yang 

mengancam kepala lawan, tiba-tiba 

berbalik arah. Diturunkan tubuhnya 

sedikit di depan Setan Jerangkong, 

lalu dengan cepat kaki kanannya 

terhentak ke depan. Buk!

Setan Jerangkong terjajar ke 

belakang ketika dadanya terhantam 

tendangan keras Pendekar Rajawali 

Sakti. Seketika dia merasa sesak dan 

matanya berkunang-kunang. Belum sempat 

memperbaiki posisinya, Rangga telah 

melompat dengan mengerahkan jurus 

Pukulan Maut Paruh Rajawali' menyambar 

dada Setan Jerangkong.

"Aaaakh...!"

Setan Jerangkong menjerit keras. 

Pukulan telak disertai hawa panas yang 

menyebar membuat tubuh kurus kering 

itu terjajar ke belakang sejauh dua 

batang tombak. Kini Setan Jerangkong


tergeletak dengan darah mengalir dari 

sudut bibir dan hidungnya. Dadanya 

terlihat memerah, melesak ke dalam. 

Dia hanya menggeliat sebentar, lalu 

diam tak bergerak lagi. Mati.

Mendapatkan satu temannya mati, 

Sanggamayit menjadi lupa dengan Ratih 

yang tergeletak pingsan terkena 

totokan pada jalan darahnya. Sambil 

berteriak nyaring, dikebutkan senjata 

andalannya yang berupa tongkat pendek 

berantai dengan bola-bola baja berduri 

pada ujungnya. Satu tangannya yang 

buntung tidak menghalangi kelincahan 

dan kedahsyatan serangannya.

Pendekar Rajawali Sakti yang 

memuncak kemarahannya, segera 

meloloskan pedang pusakanya. Seketika 

cahaya biru berkilau menerangi arena 

pertarungan itu. Cahaya biru itu pun 

berkelebat cepat menangkis setiap 

serangan gencar dari Sanggamayit dan 

Iblis Mata Satu. Pijaran bunga-bunga 

api memercik setiap dua senjata ampuh 

berbenturan.

"Hiyaaaa...!" Iblis Mata Satu 

tidak lagi peduli dengan tenaga 

dalamnya yang jauh di bawah Pendekar 

Rajawali Sakti.

Iblis Mata Satu kini tidak segan-

segan lagi membenturkan golok 

kembarnya, meski tangannya menjadi 

kaku setelah berbenturan dengan pedang


yang memancarkan sinar biru kemilauan 

itu. Semua itu tidak dihiraukan lagi.

"Sanggamayit, aku lawanmu!" tiba-

tiba terdengar teriakan keras disusul 

berkelebatnya sebuah bayangan merah.

"Bagus! Kau muncul lagi, nenek 

peot!" dengus Sanggamayit ketika 

melihat Dewi Selaksa Mawar.

"Bersiaplah untuk mati, bangsat!"

Dewi Selaksa Mawar berteriak 

keras, lalu tubuhnya mencelat 

menyerang Sanggamayit. Melihat 

kedatangan Dewi Selaksa Mawar, hati 

Iblis Mata Satu ciut seketika. Dalam 

keadaan lengkap saja, Tiga Setan 

Neraka belum mampu menandingi Pendekar 

Rajawali Sakti. Dan kini, dia harus 

hadapi sendiri pendekar muda yang 

tinggi kesaktiannya itu.

Saat hatinya diliputi kegentaran, 

mendadak kaki Pendekar Rajawali Sakti 

melayang cepat ke arah dada Iblis Mata 

Satu yang hanya dapat ter-perangah. 

Cepat-cepat dia melompat mundur. Dan 

memang saat inilah yang dikehendaki 

Rangga. Ketika kakinya mendarat, 

segera dia melompat menerjang Iblis 

Mata Satu yang telah terpisah dari 

Sanggamayit.

Rangga langsung dengan jurus 

'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis 

Mata Satu yang telah gentar itu, 

menjadi kelabakan menerima serangan-

serangan gencar Pendekar Rajawali


Sakti. Setiap pukulan tangannya 

mengandung hawa panas yang menyengat 

luar biasa.

"Modar!" tiba-tiba Rangga 

berteriak keras.

Bersamaan dengan itu, tangan 

kanannya meluruk cepat ke arah dada 

lawan. Iblis Mata Satu memiringkan 

tubuhnya ke kanan menghindari sodokan 

itu. Namun tanpa diduga, kaki kiri 

Pendekar Rajawali Sakti terangkat 

deras menghantam punggung Iblis Mata 

Satu.

"Uhk!" Iblis Mata Satu terdorong 

keras ke depan.

Belum juga dia sempat menguasai 

diri, mendadak tangan kiri Pendekar 

Rajawali Sakti melayang ke arah 

kepalanya. Iblis Mata Satu merunduk 

cepat, dan pukulan yang mengandung 

hawa panas itu luput. Bahkan Iblis 

Mata Satu membalas dengan mengirimkan 

satu pukulan geledek ke arah lambung 

Pendekar Rajawali Sakti. Seketika 

tangan pendekar muda itu bergerak 

turun ke arah perut.

Trak!

Dua tangan yang masing-masing 

mengerahkan jurus saling beradu keras. 

Cepat-cepat Iblis Mata Satu menarik 

tangannya kembali yang terasa remuk 

tulang-tulangnya. Dan tepat pada saat 

yang sama, tangan kanan Pendekar 

Rajawali Sakti meluncur ke depan.



Buk!

Dan memang sungguh telak ketika 

tangan yang mengandung hawa panas dari 

jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' 

mendarat di dada Iblis Mata Satu. 

Laki-laki gemuk yang hanya mempunyai 

mata sebelah itu melenguh pendek. 

Tubuhnya terdorong tiga langkah ke 

belakang. Mendadak dirasakan dadanya 

menjadi sesak, sulit sekali bernapas. 

Hawa panas makin kuat menjalar ke 

seluruh tubuhnya.

Cepat-cepat Iblis Mata Satu 

mengerahkan hawa murni untuk mengusir 

hawa panas yang makin menyerang 

tubuhnya. Namun belum juga hawa murni 

tersalurkan, Pendekar Rajawali Sakti 

telah menyerang kembali.

"Hiyaaa...!"

"Aaaakh...!"

Iblis Mata Satu tidak dapat 

mengelak dari serangan kilat itu. 

Kembali dadanya terhantam dua telapak 

tangan yang mengandung hawa panas luar 

biasa. Tubuh Iblis Mata Satu terlontar 

jauh ke belakang.

Tubuh gemuk itu terhempas keras 

ke tanah. Pendekar Rajawali Sakti tak 

memberi kesempatan sedikit pun. Dia 

melompat mengejar, dan seketika 

kakinya mendarat tepat di tubuh Iblis 

Mata Satu.

Bres!



Kaki kanan Pendekar Rajawali 

Sakti menjejak dada yang memerah 

akibat terkena jurus 'Pukulan Maut 

Paruh Rajawali'. Kaki Rangga amblas ke 

dalam dada. Setelah Iblis Mata Satu 

tidak bergerak-gerak lagi, segera kaki 

yang tertanam dalam dada itu ditarik 

keluar. Dada itu hancur bagai terbakar 

hangus. Tidak ada darah yang keluar.

"Ratih...," Rangga mendesis 

teringat gadis cantik yang kini 

pingsan tertotok.

Kepalanya langsung menoleh ke 

arah tubuh ramping yang terbaring di 

tanah. Baru saja kakinya akan 

melangkah menghampiri, tiba-tiba 

telinganya mendengar rintihan lirih 

dari arah kanan. Dan betapa 

terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti 

ketika menoleh, dan mendapatkan Setan 

Arak tergolek dengan dada bersimbah 

darah dan kepala babak belur.

Rangga bergegas menghampiri Setan 

Arak yang merintih lirih. Tampak dada 

yang sobek panjang serta kepala dan 

wajahnya sebelah kiri rusak berat 

karena terhempas keras menggaruk tanah 

berbatu kerikil tajam.

"Paman...," Rangga membantu Setan 

Arak duduk bersandar pada sebuah batu 

besar.

"Selamatkan Ratih. Dia tertotok 

jalan darahnya oleh Sanggamayit,"

lirih dan tersendat-sendat suara Setan 

Arak.

Rangga mengalihkan pandangannya 

ke arah Ratih yang terbaring lemas. 

Ragu-ragu juga ia untuk menolong gadis 

itu, karena melihat keadaan Setan Arak 

yang memelas dan mengkhawatirkan

"Jangan pikirkan aku. Cepat kau 

tolong Ratih. Totokan itu dapat 

mematikan jalan darah selamanya!" 

dengus Setan Arak melihat Rangga ragu-

ragu.

Mendengar hal itu, Rangga 

bergegas melompat menghampiri Ratih. 

Matanya sempat melirik pada 

pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar 

dengan Sanggamayit yang kelihatan 

masih berimbang. Memang inilah 

kesempatan baginya untuk menyelamatkan 

jiwa Ratih.

***

Rangga membuka tiga totokan jalan 

darah di tubuh Ratih yang paling 

penting. Benar saja kata Setan Arak. 

Terlambat sedikit saja, nyawa gadis 

cantik itu tidak akan tertolong lagi. 

Dan lepas dari totokan itu, Ratih 

masih kelihatan lemah. Pengaruh 

totokan itu telah menyerap tenaganya 

terlalu banyak. Perlu waktu beberapa 

saat untuk memulihkannya kembali.


"Bagaimana keadaan Kakek Setan 

Arak?" tanya Ratih setelah pulih 

kondisinya.

"Dia masih hidup, tapi...," 

Rangga tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa dia? Apakah lukanya 

parah?" desak Ratih.

Rangga tidak menyahut. Dibantunya 

gadis itu berdiri, dan memapahnya 

menghampiri Setan Arak yang duduk 

bersandar di batu. Ratih terpekik saat 

melihat keadaan Setan Arak yang sangat 

mengerikan.

"Jangan!" cegah Rangga ketika 

Ratih akan menghambur. 'Tubuhnya penuh 

dialiri racun ganas.

Ratih hanya dapat menatap saja. 

Pelan-pelan dia mendekat dan bersimpuh 

di ujung kaki Setan Arak. Rangga 

mengikutinya, dan duduk menggeser ke 

samping mendekati Setan Arak.

"Kakek...," pelan dan lirih suara 

Ratih.

"Ratih..., kembalilah ke Gunung 

Lawu. Kau adalah pewaris tunggal 

padepokan. Pamanmu akan menurunkan 

semua ilmunya padamu. Dan kau juga 

harus mampu menguasai seluruh ilmu-

ilmuku yang telah kutuangkan dalam 

sebuah buku yang disimpan pamanmu. Aku 

percaya, kau akan menyempumakan semua 

yang kumiliki," pelan sekali suara 

Setan Arak.


Tak kuasa lagi Ratih menitikkan 

air matanya. Rangga hanya terdiam 

tidak mampu berbuat apa-apa. Racun 

pedang Setan Jerangkong telah menyebar 

luas ke seluruh jaringan darah dan 

urat syaraf. Bahkan mungkin telah 

menggumpal di jantung. Tidak mungkin 

lagi Setan Arak tertolong. Dibantu de-

ngan menyalurkan hawa murni juga 

percuma. Bisa-bisa malah mempercepat 

proses kematiannya!

"Satu lagi pesanku, Ratih. Tolong 

kembalikan kitab Tapak Geni pada 

pemiliknya," ujar Setan Arak.

Rangga terkejut mendengar ucapan 

itu.

"Kakek..., Kakek mencuri kitab 

itu?" Ratih seperti tidak percaya.

"Tidak! Aku tidak mencuri, 

melainkan menyelamatkannya dari tangan 

Sanggamayit. Aku ingin mengembalikan 

kitab ini, tapi pemiliknya telah 

tewas. Sedangkan murid tunggalnya, aku 

tidak tahu di mana berada."

"Siapa murid tunggal pemilik 

kitab itu?" tanya Ratih.

"Dewi Selaksa Mawar...,” makin 

lemah suara Setan Arak.

Rangga langsung menoleh ke arah 

Dewi Selaksa Mawar yang masih 

bertarung dengan Sanggamayit. Sampai 

puluhan jurus, kelihatan belum ada 

yang terdesak. 

"Di mana kitab itu?" tanya Ratih.


'Tanyakan pada pamanmu. Dia tahu 

di mana aku menyimpannya. Hanya dia 

yang ta...," Setan Arak tidak mampu 

lagi menyelesaikan kalimatnya.

Sebentar dia terbatuk-batuk, lalu 

dari mulutnya keluar darah kental 

kehitaman. Tubuhnya mengejang 

sebentar, lalu diam tak bergerak-gerak 

lagi. Ratih hanya bisa terisak. Dia 

tak berani memeluk tubuh laki-laki tua 

yang telah menurunkan sebagian ilmu 

kepadanya. Seluruh tubuh Setan Arak 

kini mengandung racun ganas yang 

menular. Hanya Rangga yang kebal 

terhadap racun itu.

Ratih menatap Rangga yang telah 

berdiri tegak memandang jalannya 

pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar 

dengan Sanggamayit. Pelan-pelan gadis 

itu juga berdiri, dan ikut menatap 

pertarungan itu. Beberapa saat mereka 

terdiam.

"Apa yang harus kita lakukan?" 

Ratih tiba-tiba memecah kebisuan itu.

"Biarkan mereka. Kita tidak punya 

urusan dengan mereka," sahut Rangga.

'Tapi, Dewi Selaksa Mawar tidak 

boleh mati."

"Dalam beberapa jurus lagi, dia 

akan mampu mendesak Sanggamayit."

"Mustahil! Sanggamayit terlalu 

sakti!" sergah Ratih.

Rangga hanya tersenyum. Ratih 

memang cukup tinggi ilmunya, tapi


belum mampu menilai tingkat kepandaian 

orang yang berada jauh di atasnya. 

Memang sulit menilai orang yang jauh 

lebih tinggi tingkat kepandaiannya.

***

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti 

memang benar. Setelah lewat sepuluh 

jurus, tampak Sanggamayit mulai 

terdesak. Lebih-lebih darah kembali 

mengucur dari pangkal lengannya yang 

buntung. Jelas cukup sulit bagi 

Sanggamayit bertarung seperti ini.

Beberapa kali tendangan dan 

pukulan bertenaga dalam tinggi yang 

dilancarkan Dewi Selaksa Mawar hampir 

mengenai tubuhnya. Sanggamayit memang 

masih dapat mengelak dari pukulan maut 

itu. Tapi dengan cepat pula Dewi 

Selaksa Mawar mengirimkan tendangan. 

Kembali laki-laki itu ber-kelit. Namun 

bersamaan dengan itu sebuah jotosan 

mengarah ke dada.

Buk!

Sanggamayit tidak mungkin untuk 

mengelak lagi. Dadanya telak menerima 

pukulan yang disertai tenaga dalam 

yang tinggi. Dua langkah tubuh laki-

laki itu terjajar ke belakang. Dadanya 

menjadi sesak, sulit untuk bernapas.

"Setan!" dengus Sanggamayit 

geram.


"Mampus kau, pencuri busuk!" 

teriak Dewi Selaksa Mawar keras.

Setelah berkata demikian, dengan 

cepat perempuan tua itu melompat 

dengan kaki kanan menjulur ke depan. 

Sanggamayit memiringkan tubuhnya 

menghindari serangan itu. Kaki Dewi 

Selaksa Mawar hanya lewat di samping 

Sanggamayit.

Belum sempat Dewi Selaksa Mawar 

menjejakkan kakinya ke tanah, secepat 

kilat tangan kiri Sanggamayit melayang 

ke arah dada. Dan....

Trap!

Cepat sekali Dewi Selaksa Mawar 

menangkap tangan kiri Sanggamayit yang 

hampir menghantam dadanya. Segera 

dicekal kuat pergelangan tangan itu, 

lalu dengan cepat Dewi Selaksa Mawar 

memutar tubuh, sehingga....

Bret!

"Akh!" Sanggamayit memekik 

tertahan.

Jari-jari tangan Dewi Selaksa 

Mawar berhasil merobek perut 

Sanggamayit. Dan itu pun masih 

dibarengi dengan sebuah tendangan yang 

mendarat di perut. Sanggamayit kembali 

memekik keras. Tubuhnya terdorong dua 

langkah ke belakang. Dengan sisa 

kekuatannya, disentakkan tangannya 

yang tercengkeram. Ketika lepas dari 

cengkeraman Dewi Selaksa Mawar, bagai


geledek senjata aneh Sanggamayit 

menderu ke arah dada lawan.

"Ih!"

Dewi Selaksa Mawar memiringkan 

tubuhnya ke kanan, maka serangan itu 

hanya lewat di depannya. Tapi belum 

benar posisinya, mendadak kaki kiri 

Sanggamayit melayang cepat. 

Buk! 

Dewi Selaksa Mawar melenguh 

sedikit. Punggungnya terasa sakit 

terkena hantam kaki kiri itu. 

Sebentar tubuh perempuan itu 

terhuyung.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak nyaring, 

Sanggamayit melompat seraya 

mengebutkan senjatanya. Serangan yang 

datang beruntun dan cepat itu, tidak 

dapat lagi dihindari Dewi Selaksa 

Mawar. Dengan nekad, disambutnya bola-

bola baja berduri. 

Tap! 

Dia berhasil mencekal rantai 

senjata itu.

Dua tokoh sakti itu saling tarik 

menarik dengan mengerahkan tenaga 

dalam. Dua pasang kaki terentang ke 

samping saling berhadapan. Dua pasang 

mata saling tatap. Tajam sekali. 

Tampak keringat mulai membasahi 

keduanya. Wajah mereka tegang.

Sementara itu Rangga yang sejak 

tadi memperhatikan, mengerutkan


keningnya. Dia telah mampu mengukur 

tingkat tenaga dalam Sanggamayit. 

Begitu pula dengan tingkat tenaga 

dalam Dewi Selaksa Mawar.

"Mereka bisa mati, Kakang," desah 

Ratih tanpa memalingkan wajahnya.

"Kau lihat saja," jawab Rangga 

belum berani memastikan.

"Bantu dia, Kakang. Aku khawatir 

Dewi Selaksa Mawar tewas!" Ratih 

menyarankan.

"Itu bukan perbuatan seorang 

pendekar," Rangga tersenyum kecut 

mendengar kata-kata Ratih.

Ratih tidak berkata-kata lagi. 

Dia menjadi malu sendiri karena 

memberi saran buruk terhadap Pendekar 

Rajawali Sakti yang jelas-jelas adalah 

seorang pendekar sejati. Dalam hati 

dia mengutuk dirinya sendiri yang 

tidak berpikir dulu sebelum berucap. 

Bodoh! Maki Ratih dalam hati.

Sementara itu pertarungan antara 

dua tokoh sakti tadi semakin 

menegangkan. Masing-masing telah 

mengerahkan seluruh kekuatannya. Wajah 

mereka semakin menegang berkeringat. 

Otot-otot bersembulan di tubuh mereka.

"Hih!" Dewi Selaksa Mawar 

mengempos lagi tenaga dalamnya untuk 

mendukung daya tahannya yang mulai 

mengendor.

Tapi ada yang dilakukan 

Sanggamayit sungguh di luar dugaan.


Disentakkan tangannya ke bawah, tepat 

pada saat Dewi Selaksa Mawar menambah 

kekuatannya. Dan, tanpa ampun lagi 

kaki Dewi Selaksa Mawar amblas ke 

dalam tanah sebatas lutut.

Rupanya Sanggamayit membaca kalau 

Dewi Selaksa Mawar tengah mengempos 

tenaga dalam tambahan. Dalam detik itu 

pula, dipinjamnya tenaga dalam lawan 

yang mengalir untuk mencelakakan 

lawannya sendiri. Kecerdikan itulah 

yang membuat Sanggamayit memenangkan 

adu tenaga dalam ini.

"Setan! Curang!" dengus Dewi 

Selaksa Mawar mengetahui kelicikan 

Sanggamayit.

Baru saja perempuan tua itu 

berhenti memaki, tiba-tiba Sanggamayit 

melepaskan senjatanya.

"Akh!" Dewi Sebksa Mawar terkejut

Dan betapa terkejut lagi, karena 

bersamaan dengan itu tubuh Sanggamayit 

telah melayang sambil melemparkan 

senjata-senjata rahasianya. Dewi 

Selaksa Mawar yang tidak mungkin dapat 

menghindar dengan cepat pula 

melontarkan senjata rahasianya. Sinar-

sinar keperakan berseliweran deras.

Crap, crap, crap! 

"Aaaakh...!"

Dua jeritan melengking terdengar 

hampir bersamaan. Tampak tubuh Dewi 

Selaksa Mawar dipenuhi ruyung-ruyung 

perak Sanggamayit. Sedangkan di tubuh


Sanggamayit, telah menancap bintang-

bintang perak bersegi enam. Tubuh yang 

berada di atas, seketika terhempas 

menimpa Dewi Selaksa Mawar.

Dua tubuh tokoh sakti itu sating 

berbenturan sehingga terdengar bunyi 

tulang-tulang patah. Mereka jatuh 

dengan posisi saling tindih belumuran 

darah. Tak ada yang bergerak-gerak 

bgi, tewas bersamaan. Memang tragis 

kematian mereka.

"Nekad!" kata Rangga setelah 

menyaksikan kejadian itu.

Ratih menoleh pendekar muda 

tampan yang berdiri di sampingnya.

***

Matahari mulai menampakkan 

sinarnya di ufuk Timur. Burung-burung 

bernyanyi merdu menyambut datangnya 

pagi. Rangga mengamati keadaan di 

sekitarnya. Empat sosok mayat 

bergelimpangan di sekitar tepian 

sungai ini.

Rangga mendesah panjang, lalu 

diayunkan langkahnya meninggalkan 

tempat itu. Dia seperti lupa kalau 

masih ada seorang gadis cantik yang 

sejak tadi memperhatikannya. Ratih 

menatap kepergian pendekar tampan itu 

dengan berbagai macam perasaan yang 

berkecamuk dalam dadanya.


"Kakang...," panggil Ratih agak 

bergetar suaranya,

Rangga menghentikan langkahnya, 

lalu menoleh. Ratih melangkah cepat 

menghampiri. Dia berhenti tepat di 

depan Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Beberapa saat mereka hanya terdiam dan 

saling tatap saja.

"Kakang akan ke mana?" tanya 

Ratih suaranya masih bergetar.

"Pergi," sahut Rangga singkat.

"Ke mana?" tanya Ratih lagi agak 

mendesak.

"Mengikuti langkah kakiku saja."

"Aku ikut!"

Rangga menatap gadis cantik di 

depannya. Pelan-pelan kepalanya 

menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi 

di dunia ini," pelan suara Ratih.

"Kau masih punya paman yang 

menunggu di Gunung Lawu," kata Rangga 

mengingatkan.

Ratih menggelengkan kepalanya.

"Ingat Ratih! Kau masih punya 

tugas penting!"

"Percuma. Satu-satunya pewaris 

kitab Tapak Geni telah meninggal. 

Untuk apa lagi aku harus kembali ke 

padepokan? Toh, paman masih sanggup 

mengurusnya sendiri."

"Kau ingin melalaikan amanat 

Setan Arak?"


Ratih terdiam. Matanya melirik 

Setan Arak yang terbujur kaku membiru 

di bebatuan. Sungguh dia tidak 

bermaksud mengecewakan pesan terakhir 

Setan Arak. Tapi..., hatinya telah 

terpikat oleh pendekar tampan di 

depannya ini. Ratih jadi bimbang juga.

"Seorang pendekar sejati, tidak 

akan mendahulukan kepentingan pribadi. 

Ingatlah, sejak kecil kau dipersiapkan 

untuk menjadi seorang pendekar wanita 

yang tangguh dan pilih tanding. Apakah 

kau akan mengkhianati jiwa pendekar 

yang telah tertanam dalam hatimu 

sendiri? Jangan, Ratih. Aku akan 

membencimu kalau kau tidak bisa 

membedakan jiwa pribadi dan jiwa 

pendekar," tegas dan lembut suara 

Rangga.

Ratih kembali diam tertunduk. 

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu 

langsung menyentuh sudut hatinya yang 

paling dalam. Pelan-pelan diangkat 

kepalanya, sepasang bola matanya yang 

indah langsung memandang tajam ke bola 

mata Rangga.

"Kau bersedia singgah ke 

Padepokan Gunung Lawu, Kakang?" 

terdengar nada berharap dari suara 

Ratih.

"Satu saat kelak," sahut Rangga 

tersenyum. 

"Kapan?"


"Kalau kau telah menguasai 

seluruh ilmu peninggalan Setan Arak 

dan Pamanmu."

"Hhhh..., apakah tidak terlalu 

lama?" Ratih mendesah lesu.

"Tidak! Aku akan datang menguji 

ilmu yang akan kau kuasai."

Ratih terdongak kaget. Tapi belum 

sempat membuka mulut, tiba-tiba saja 

Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap 

dari pandangan matanya. Tentu saja 

gadis ini kebingungan. Rangga mendadak 

lenyap bagai ditelan bumi.

"Kakang...!" panggil Ratih keras.

Tidak ada sahutan.

"Kakang, di mana kau?!"

"Aku akan datang mengujimu. 

Tunggulah!"

Ratih tertegun mendengar suara 

menggema di sekitarnya. Jelas itu 

suara Pendekar Rajawali Sakti. 

Sebentar gadis itu berdiri diam. 

Kemudian mendesah panjang sebelum 

kakinya terayun pergi meninggalkan 

tepian sungai.

"Kau hebat, Kakang. Tapi aku akan 

mengalahkanmu kelak!" gumam Ratih 

bertekad.



                              TAMAT





0 komentar:

Posting Komentar