SATU
PEMUDA YANG BARU SELESAI MANDI ITU
terkejut ketika melihat onggokan pakaiannya yang
terletak di atas batu di sisi sungai, lenyap !
Dia seorang pemuda cukup gagah, walau tak
terlalu tampan. Dadanya dihiasi dengan tatto bergam-
bar Naga yang menjulurkan ekornya ke atas dengan
kepala melingkar ke arah punggung dan mulut terbu-
ka menjulurkan lidah.
Siapa adanya pemuda ini sudah jelas, siapa lagi
kalau bukan si Dewa Linglung alias Nanjar. Siang itu
hari panas terik membuat dia tak tahan untuk mandi.
Ketika menemukan sungai berair jernih, tak ayal lagi
dia langsung membuka pakaian. Meletakkannya di
atas batu dan langsung terjun ke air.
Tentu saja dia terkejut ketika akan beranjak
naik setelah berendam dan membersihkan tubuh ta-
hu-tahu melihat pakaiannya telah lenyap.
Bukan hanya pakaiannya saja yang lenyap,
akan tetapi juga sebuah buntalan yang selalu diba-
wanya dan sebuah pedang yang disisipkan di celah
buntalan itu juga lenyap!
"Cecunguk dari mana siang-siang berani men-
curi pakaian orang?" sentak Nanjar, "Pakaianku tak ku
pikirkan, tetapi pedang Mustika Naga Merah itu..."
Nanjar palingkan kepala ke kiri-kanan memeriksa seki-
tar tempat itu. Hutan itu sunyi... yang terdengar cuma
suara burung-burung penghuni hutan itu. Tak ada
tanda-tanda mencurigakan.
Tapi Nanjar segera telah mengetahui ada orang
bersembunyi dibalik pohon. "Hm, kau mau main gila
denganku, cecunguk tengik!" desis Nanjar dalam hati.
Tiba-tiba lengannya terangkat ke arah depan.
Whuuuuk!
BRRAAAK!!
Pohon yang batangnya sebesar tiga kali tubuh
manusia itu hancur berdesak. Pohon itu adalah pohon
yang paling besar, di sekitar tempat itu. Akan tetapi
pohon besar itu bukanlah tempat yang dijadikan tem-
pat persembunyian sosok tubuh yang sudah diketahui
tempat bersembunyinya.
Yang dijadikan sasaran pukulan Nanjar justru
pohon yang berada di sebelah kanan pohon tempat
bersembunyi si pencuri.
Pohon besar itu roboh dengan memperdengar-
kan suara berkerosakan! Dan... detik itu sesosok
bayangan tubuh manusia melompat ke luar dari balik
batang pohon tempat dia bersembunyi, karena pohon
besar itu justru roboh ke arah tempat persembunyian-
nya.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu terden-
gar suara air menyibak! Dan sesosok bayangan tubuh
telanjang bulat melesat bagai anak panah. Tiba-tiba
terdengar suara bentakan dan satu teriakan kaget.
Namun suara itu lenyap tertutup oleh bunyi robohnya
batang pohon besar itu yang menimpa bumi, menimpa
dan mematahkan pula dahan-dahan pohon lainnya,
menimbulkan suara gaduh.
Sesaat suasana dalam hutan di tepi sungai itu
kembali sunyi. Akan tetapi segera dipecahkan oleh su-
ara tersentak seorang laki-laki.
"Hah!? cecungkuknya seorang perempuan?"
Itulah suara Nanjar. Apa yang terlihat dan ter-
jadi barusan itu demikian cepat. Karena tahu-tahu pa-
da jarak tiga tombak dari pohon yang roboh itu, tam-
pak Nanjar telah berdiri tegak di hadapan sesosok tu
buh yang tergeletak di dekat kakinya. Sedangkan pa-
kaian dan buntalan berikut sebuah pedang telah bera-
da di kedua lengannya.
Sosok tubuh yang tergeletak itu tak dapat ber-
gerak, karena dalam keadaan tertotok! Tapi sepasang
matanya membelalak memandang ke atas. Bukan me-
natap ke arah wajah Nanjar, tapi agak ke bawah kira-
kira tiga atau empat jengkal dari wajahnya.
Mendadak wajah dari sepasang mata yang
membelalak itu berubah merah, entah amat terkejut
entah karena terpukau. Yang jelas sosok tubuh yang
tak lain dari seorang wanita itu cepat-cepat pejamkan
matanya.
Nanjar baru sadar kalau dia dalam keadaan tak
berpakaian sama sekali.
"Celaka!" teriaknya dalam hati. Dan dia telah
berkelebat lenyap ke balik semak. Selang beberapa
saat dia telah melompat keluar lagi dengan berpakaian
rapi.
"Hahaha... sungguh aku tak mengira kalau ce-
cunguk yang mencuri pakaianku adalah seorang gadis
berparas cantik! Siapakah kau nona manis?"
Nanjar telah berdiri lagi di depan wanita itu.
Sementara si gadis itu yang tadinya amat ketakutan
juga sudah pasrah dengan nasib, jadi terheran karena
orang yang mempecundangi berkelebat pergi. Beberapa
kali dia mencoba lepaskan totokan akan tetapi sampai
pemuda itu muncul lagi dia tak berhasil melepaskan
diri dari pengaruh totokan pemuda itu.
Di samping kagum akan kegesitan serta tipuan
pemuda itu yang menjebaknya hingga dia keluar dari
tempat persembunyian, dia juga terkejut melihat kehe-
batan ilmu pukulan tenaga dalam si pemuda. Kenge-
rian kini membayang lagi di mata gadis itu, melihat
Nanjar telah muncul dan melompat mendekati dia.
Pertanyaan Nanjar cepat dijawabnya dengan
wajah sedikit memucat.
"Lepaskan dulu totokanmu, aku berjanji tak
akan melarikan diri... dan aku akan menjawab perta-
nyaan!"
"Hm, apakah kata-katamu bisa dipercaya?" sa-
hut Nanjar setelah terdiam sejurus. Diam-diam dia
memperhatikan wajah gadis itu. Wajah seorang gadis
yang berparas cukup cantik, akan tetapi wajahnya
tampak masih kekanak-kanakan. Paling tidak gadis itu
berusia enam belas tahun, pikir Nanjar.
Gadis itu anggukkan kepala menatap Nanjar,
akan tetapi ketika beradu tatap dengan Nanjar yang
juga tengah menatapnya, cepat-cepat dia menunduk
"Aku telah bersalah mempermainkan mu, bila
kau mengampuni jiwaku, silahkan menghukumku!
Aku akan menerimanya...!" berkata si gadis.
Kata-kata si gadis yang baru berangkat dewasa
itu membuat Nanjar tertegun. Kata-kata itu terdengar-
nya amat lirih dan bernada jujur, membuat hilang rasa
syak di hati Nanjar yang memastikan gadis itu bukan
berniat jahat.
"Bagus! kau harus pegang janjimu! saksinya..."
Nanjar putarkan kepala ke sekelilingnya. Tampak
olehnya seekor katak (kodok) yang mendekam di dekat
semak di sebelah kanan gadis itu. "Nah! kodok buduk
itu menjadi saksi atas ucapan janjimu!"
Si gadis palingkan kepala memandang ke sam-
pingnya. Dan tertatap seekor katak yang mendekam di
bawah rumpun. Ada sedikit senyuman di sudut bibir
gadis ini.
Dia mengangguk seraya berkata. "Aku tak akan
mengingkari janji ku. Nah, lekaslah kau buka toto
kanmu itu.. tuan pendekar!"
"Baik!" sahut Nanjar. Dia melangkah mendeka-
ti, lalu julurkan lengannya untuk membuka totokan di
tubuh gadis itu. Sementara si gadis mengatupkan ma-
tanya rapat-rapat tetapi lengan Nanjar yang terulur itu
mendadak terhenti. Bukannya segera membuka toto-
kan, malah Nanjar memperhatikan wajah si gadis.
"Gadis ini berparas cantik, kulit wajahnya pun halus,
menandakan dia seorang gadis yang terawat baik. Pa-
kaiannya dari bahan pakaian halus tentu harganya
pun mahal! Aneh! Mengapa dia berada di dalam hutan
ini? pikir Nanjar. Gadis itu seperti tak mengetahui
reaksi Nanjar yang menghentikan gerakan membuka
totokannya. Dia seperti pasrah menunggu terbukanya
totokan di tubuhnya.
Pipi Sang dara yang baru meningkat remaja itu
masih ranum, merah muda seperti buah apel yang ba-
ru masak. Dadanya membusung sekal dengan tubuh
yang padat berisi, menandakan gadis itu belum pernah
dijamah laki-laki.
"Aiiih, anak semanis ini mengapa bermain jauh-
jauh?" berkata Nanjar dalam hati. Entah dorongan ha-
srat yang bagaimana membuat Nanjar telah dekatkan
hidungnya menyentuh pipi si gadis. Aneh! si gadis se-
perti tak ada reaksi membuka matanya dengan "sen-
tuhan" itu.
Nanjar tersenyum sesaat, tapi segera gerakkan
lengannya membuka totokan di tubuh si gadis. Cuma
dengan beberapa kali sentuhan ujung jarinya yang di-
lakukan dengan cepat, dalam beberapa kejap saja ga-
dis itu telah merasakan totokan ditubuhnya telah ter-
buka.
Kedua kelopak matanya bergerak membuka,
dan secepat itu pula gadis itu telah melompat berdiri.
Akan tetapi terkejut dia karena tak melihat pemuda itu
berada di hadapannya. Dia menoleh kiri kanan, depan
dan belakang. Tapi tak dijumpai sosok tubuh si pemu-
da.
"He? kemana dia?" terkejut gadis ini. "aneh! se-
telah membebaskan aku, dia malah menghilang...!"
gumamnya pelahan. Kemasygulan jelas terlihat di wa-
jah gadis ini. Tapi dia tak segera beranjak dari tempat
itu. Bahkan bibirnya sunggingkan senyuman kecil. Ti-
ba-tiba dia telah berteriak nyaring.
"Tuan pendekar gagah! sembunyi di manakah
kau?"
Dia menanti reaksi dari suara teriakannya, tapi
yang ditunggu untuk berkelebat muncul ke hadapan-
nya tak kunjung datang. Beberapa kali dia berteriak
memanggil, namun tak ada tanda-tanda pemuda itu
bersembunyi disekitar tempat itu.
"Pendekar aneh! mengapa dia pergi begitu sa-
ja?" gerutu si gadis.
Tampaknya dia amat kecewa sekali, karena apa
yang telah diharapkannya sirna dengan seketika. Sete-
lah beberapa kali dia berkelebat memeriksa sekitar hu-
tan. Namun tak ada tanda-tanda pemuda itu berada di
tempat itu, si gadis ini lalu berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Gerakannya ringan dan amat lin-
cah, pertanda dia memiliki ilmu "ginkang" yang cukup
tinggi. Jelas murid seorang tokoh persilatan yang be-
rilmu tinggi pula.
Cuaca tampak semakin terang karena gadis itu
telah keluar dari hutan. Gadis ini enjot tubuhnya un-
tuk berlari cepat mendaki bukit. Diatas bukit itu dia
berdiri, memutarkan pandangannya ke segenap penju-
ru. Gadis ini masih penasaran untuk mencari Nanjar.
Siapa tahu dari atas bukit dia bisa melihat pemuda itu.
Akan tetapi tak ada sesosokpun bayangan yang
terlihat di sekitar bukit. Gadis ini menghela napas, ha-
tinya masygul bukan main. Tak terasa lengannya me-
raba pipinya. "Sentuhan" pada pipinya itu seperti ma-
sih terasa. Akan tetapi sesaat wajahnya telah berubah
bersemu merah. Setelah sekali lagi dia menghela na-
pas, tak lama kemudian tubuh gadis itupun berkelebat
lenyap dari atas Bukit....
DUA
Seorang kakek tak begitu tua, mengenakan ba-
ju rompi terbuat dari kulit ular dengan celana pangsi
warna hitam yang sudah kumal. Di punggungnya
menggemblok sebuah golok besar dengan gagang be-
rukir kepala Naga. Kakek ini duduk di dekat api un-
ggun. Sebelah lengannya mengipas-ngipas, sedang se-
belah lagi memegangi sebuah ranting kayu yang pada
bagian ujungnya terdapat daging ayam hutan yang te-
lah dikuliti.
Orang tua ini berwajah angker membayangkan
kekerasan hatinya. Rambutnya kecoklatan. Terkena
cahaya api unggun rambut kakek itu jadi berubah ke-
merahan. Dia mempunyai sorot mata yang tajam. Ku-
mis dan jenggot semrawut tak terurus menyatu dengan
cambang bauknya yang lebat.
Sebentar saja bau harum yang mengundang se-
lera, menebar ke sekitar hutan itu. Kakek ini sipitkan
matanya menatap panggang daging ayam hutan itu
seperti menaksir apakah panggangannya sudah cukup
matang atau belum. Hidungnya kembang kempis
membaui harumnya daging lezat itu. Tak lama dia
bangkit berdiri menghampiri sebuah batang kayu re-
bah. Lalu duduk dengan wajah tetap kaku tak me-
nampakkan secuil senyumpun.
Kejap selanjutnya dia telah menyantap daging
panggangnya dengan lahap. Makannya cepat dan ra-
kus. Baru beberapa saat saja daging panggang ayam
hutan yang besar itu telah tinggal separuhnya.
Mendadak dia berhenti mengunyah. Telinganya
bergerak-gerak. Agaknya dia telah mendengar suara
yang mencurigakan disekitar tempat itu.
Hebat pendengaran kakek ini! Ternyata dia te-
lah mengetahui adanya seorang yang mendatangi. Ka-
kek bertubuh kekar ini keluarkan suara mendengus
dihidung. Tubuhnya berkelebat ringan sekali. Sekejap
dia telah hinggap di atas dahan pohon besar. Dengan
sabar dia menanti munculnya orang yang akan mele-
wati tempat itu.
Kira-kira sepeminuman teh sesosok tubuh
muncul dari ujung jalan setapak. Ternyata Nanjar alias
Si Dewa Linglung. Buntalan kain yang selalu diba-
wanya menggemblok dipunggung. Kedua ujung bun-
talan kain itu memang agak panjang, juga ditambah
dengan beberapa sambungan. Hingga tak mengganggu
kedua lengannya yang bebas berlenggang kangkung,
karena buntalan itu terikat erat dibahunya
Karena Nanjar berjalan searah dengan arah an-
gin, dia tak mengendus harumnya panggang daging
ayam hutan yang dipanggang bahkan sudah dinikmati
si kakek brewok tinggi besar itu.
Akan tetapi dia dapat melihat adanya asap yang
tersembul dari balik semak belukar di hadapannya.
"Hm, ada orang di sebelah depan! apakah si ga-
dis bengal itu yang membuat api unggun?" berkata
Nanjar dalam hati. Sejenak dia merandek menahan
langkahnya. "Sebenarnya aku ingin tahu siapa gadis
tanggung itu, akan tetapi aku tak mau terlalu banyak
urusan. Urusanku sudah menumpuk begini! Pertama
kudengar desas-desus di beberapa tempat mulai ber-
munculan tokoh-tokoh golongan hitam. Mereka men-
gadakan pertemuan-pertemuan rahasia, entah untuk
tujuan apa? Kedua ada berita lagi munculnya seorang
tokoh Rimba Hijau yang menamakan dirinya si NAGA
SINTING! Si Naga Sinting itu aku tak mengetahui apa-
kah dia golongan hitam atau putih! Yang jelas dia
mencari-cari diriku. Anehnya aku tak merasa punya
urusan apa-apa dengan tokoh persilatan bernama Na-
ga Sinting itu, bahkan mendengar namanya pun baru
sekarang! Entah tujuan apa gerangan dia mencari-
ku?..."
Menduga bahwa di depan ada orang, walaupun
Nanjar belum bisa memastikan gadis itu adanya, na-
mun Nanjar telah bersikap waspada.
Dengan menahan napas, dia bergerak memutar
tubuh. Lalu dengan gerakan gesit tanpa menimbulkan
suara dia berkelebat lenyap ke balik semak belukar.
Ternyata Nanjar telah mengambil arah agak
berlawanan. Yaitu 90 derajat dari arah semula. Dengan
cara ini dia bergerak memutar dan akan muncul di se-
belah barat api unggun tadi. Hingga dia bisa mengintai
siapa orang yang membuat api unggun itu...
Akan tetapi di luar dugaan Nanjar, justru si ka-
kek brewok juga melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan Nanjar.
Nyaris saja kedua orang itu sama-sama berta-
brakan. Bukan saja Nanjar yang terkejut, akan tetapi
si kakek itupun terkejut bukan main melihat sesosok
bayangan nyaris membentur tubuhnya. Dengan per-
dengarkan suara teriakan kaget keduanya sama-sama
melompat.
Segera saja dua pasang mata sama-sama saling
tatap.
"Eh, siapakah kau orang tua?" tanya Nanjar.
"Huh! kau sendiri siapa?" balas bertanya dingin
si kakek.
Nanjar jadi garuk-garuk pantatnya sekalian
membenarkan celananya yang sering kedodoran itu.
"Aku tengah menguntit jejak seseorang yang mencuri-
gakan!" Nanjar berdusta. Dia memang sengaja tak ber-
terus terang, karena belum mengetahui jelas siapa
orang di hadapannya.
"Hm, kau mencurigai aku?" bentak si kakek
"Ah, sama sekali tidak! Orang yang kuikuti itu
berperawakan hampir sebaya denganku. Kau bertubuh
tinggi besar, mana mungkin aku mencurigai dirimu?"
sahut Nanjar dengan tertawa. Diam-diam dia menarik
napas lega karena orang itu, percaya dengan dustanya.
Takut orang segera bertanya lagi dan membuat dia re-
pot kalau menjawabnya, Nanjar cepat-cepat bertanya.
"Kau sendiri siapa paman? apakah kau juga
mengejar orang?" Yang ditanya tak segera menjawab.
Dia memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai
ke kaki. Nanjar sendiri memandang ke tubuhnya apa-
kah ada yang kurang? Nanjar cepat-cepat membetul-
kan pakaiannya yang gombrong. Salah satu kancing
bajunya memang salah lobang, hingga pusarnya keli-
hatan.
Dandanan Nanjar memang seleboran, hingga
tampaknya dia seperti seorang pemuda yang dungu.
Hal tersebut membuat hilang kecurigaannya.
"Hehehheh... namaku tak perlu kau mengeta-
hui, tapi aku bergelar si NAGA SINTING!" sahutnya se-
telah tertawa menyeringai memperlihatkan giginya
yang sudah keropos karena banyak dimakan ulat.
Mendengar gelar itu nyaris saja copot jantung
Nanjar saking terkejutnya. Karena justru orang itulah
yang dikabarkan mencari- cari dia!
Namun dengan tertawa mengakak menutupi
keterkejutannya, Nanjar berkata.
"Aneh! baru aku mendengar nama gelar begitu,
apakah kau orang tua memang benar-benar sinting?"
Pertanyaan Nanjar membuat si Naga Sinting jadi me-
lengak. Selama malang-melintang dalam pengemba-
raannya belum ada orang yang seberani pemuda itu
mengatakan dirinya sinting. Akan tetapi bocah ber-
tampang bego di depan matanya itu seenaknya saja
buka mulut.
Akan tetapi hal itu tak membuat si kakek baju
ular menjadi marah.
Bahkan dia perdengarkan tertawa gelak-gelak
seraya berkata.
"Gelarku memang demikian, terserah orang,
apakah dia akan menganggapku sinting atau tidak aku
tak perduli!"
"Eh, bocah bego! kau belum mengatakan siapa
namamu. Apakah kau juga punya gelar? Dari gerakan
melompat mu menghindari tabrakan tadi aku sudah
dapat mengetahui kalau kau memiliki ilmu kepan-
daian!" sambung Naga Sinting.
Nanjar berfikir sejenak, lalu menyahut.
"Aku. memang memiliki sedikit ilmu kepan-
daian.... Tapi, kepalaku pernah dikemplang orang. Be-
gitu kerasnya kemplangan itu membuat aku pingsan
tujuh hari tujuh malam. Ketika aku tersadar lagi, aku
tak dapat mengingat apa-apa lagi. Namaku sendiri aku
tak ingat, juga siapa guruku akupun tak mengeta-
hui..." Nanjar membual tak kepalang tanggung.
"Hohoho.. hahaha... lucu! sungguh amat lucu!
Pengalamanmu menarik sekali!" berkata Naga Sinting.
"Tampaknya kita berjodoh untuk bisa bertemu.
Bagaimana kalau aku menggelari kau si Pendekar Be-
go...?"
Pertanyaan Naga Sinting membuat Nanjar kre-
nyitkan keningnya. Tapi segera menyahut. "Bagus se-
kali! Jelas itu cocok buatku, selama ini aku memang
tak mempunyai gelar apa-apa!"
"Hahaha... kalau begitu kau bisa menjadi te-
man seperjalanan ku! Bukankah cocok, yang satu bego
dan yang satu sinting?" tertawa bergelak Naga Sinting,
seraya ulurkan tangannya untuk menjabat tangan
Nanjar.
"Hahaha.. terima kasih atas gelarmu itu, Naga
Sinting!" sahut Nanjar dengan tertawa pula. Akan teta-
pi terkejut Nanjar ketika tiba-tiba merasakan samba-
ran angin meluncur ke arahnya. Ternyata uluran tan-
gan Naga Sinting itu telah dibarengi dengan serangan
tenaga dalam.
Sebagai seorang pesilat yang sudah terlatih,
tentu sebelumnya sudah waspada pada setiap orang,
apalagi terhadap orang yang baru dikenalnya.
Nanjar membuka senyum, namun dengan ge-
rak reflek dia telah alirkan pula serangan balasan me-
lalui uluran tangannya menjabat tangan si Naga Sint-
ing itu.
Dua gempuran tenaga dalam segera akan terja-
di! Akan tetapi di detik itu tiba-tiba terdengar suara je-
ritan mencabik kelengangan.
Keduanya sama berpaling ke arah suara itu.
Sesaat kedua laki-laki ini saling berpandangan. Akan
tetapi di detik itu juga keduanya telah sama-sama ber-
kelebat memburu ke arah suara jeritan itu...
TIGA
Bukan main terkejutnya Naga Sinting dan Nan-
jar ketika melihat sesosok tubuh tergantung-gantung
pada seutas tambang yang menyangkut di sebuah ca-
bang pohon besar.
"Ada orang menggantung diri!" sentak Nanjar,
terkejut
"Agaknya barusan saja!" timpal Naga Sinting.
"Kita harus cepat menolongnya, sebelum ter-
lambat!"
Nanjar mendahului berkelebat. Naga Sinting
tak kalah cepat. Lengannya bergerak menyambar se-
buah ranting kering. Seraya melompat, lengannya
mengibas.... Tes! putuslah tambang yang menjerat leh-
er orang itu. Nanjar yang telah tiba di bawah pohon se-
gera rentangkan tangan untuk menyambutnya. Tak
membuang waktu segera Nanjar membaringkan tubuh
orang itu di atas rumput, lalu membuka tali yang men-
jerat lehernya
"Terlambat...!" berkata Nanjar dengan nada ke-
cewa. "dia telah mati!" Nanjar mengangkat kepalanya
dari dada orang itu setelah memeriksa dengan menem-
pelkan telinganya untuk mendengar denyut nadi si
korban. Naga Sinting perhatikan wajah orang dengan
seksama. Orang itu seorang laki-laki yang ditaksir be-
rusia 50 tahun.
Menilik dari pakaiannya laki-laki itu hanya
orang biasa. Entah apa yang menyebabkan laki-laki itu
membunuh diri? Sejenak keduanya saling pandang.
"Apakah kau tak mengenalnya?" tanya Naga
Sinting. Nanjar menggeleng.
"Apakah bukan orang yang kau curigai dan
tengah kau kuntit itu?"
"Entahlah!" sahut Nanjar cepat. "Jelas bukan!"
hatinya menyahut. Naga Sinting memang tak menge-
tahui kalau Nanjar cuma berdusta mengenai orang
yang dikuntitnya itu. Akan tetapi Nanjar jadi terheran,
mengapa bohongnya bisa kebetulan dengan peristiwa
ini?
Dari balik pakaian mayat itu ditemukan sebuah
lipatan kertas yang sudah lusuh. Ternyata sepucuk
surat. Nanjar segera membacanya. Isi surat itu ber-
bunyi demikian:
"Mungkin kematian agaknya lebih baik bagiku.
Karena aku berada di kedua belah pihak,
Tanpa aku bisa mengambil keputusan, pihak
manakah yang benar dan harus kubantu?
Semoga surat ini diketemukan oleh orang-orang
gagah penjunjung tinggi kebenaran!
Yang jelas Kerajaan berada dalam bahaya ke-
hancuran! Kericuhan di dalam keluarga istana cuma
akan menguntungkan pihak ketiga!
Semoga kalian orang gagah dapat menjernih-
kan kekeruhan itu!
Setidak-tidaknya menyelamatkan kerajaan dari
kehancuran!
Karena kehancuran kerajaan berarti akan
membuat kesengsaraan rakyat...!
Masih ada sepucuk surat lagi yang ku sembu-
nyikan di ujung lipatan bajuku"
Tertanda:
Senopati TANU WIJOYO
Tertegun Nanjar beberapa saat seusai membaca
surat wasiat itu.
"Ah, jadi yang membunuh diri ini seorang hamba Kerajaan!?" desis Nanjar, seraya menatap pada Na-
ga Sinting. Segera dia berikan surat itu kepada si ka-
kek baju ular, yang segera menerimanya.
Sedangkan Nanjar tak membuang waktu, cepat
dia memeriksa pakaian mayat itu. Benar saja seperti
apa yang diterangkan dalam surat itu. Pada ujung baju
mayat segera diketemukan sebuah lipatan kertas yang
sengaja dijahit di dalam lipatan kain. Terkejut Nanjar
setelah membaca surat yang kedua ini.
"Haih! pantas dia membunuh diri, karena dia
seperti menemukan buah Simalakama. Dimakan ba-
pak mati tidak dimakan ibu mati!" berkata Nanjar, lalu
melipat surat itu lagi.
Wajah Naga Sinting tampak berubah setelah se-
lesai membaca. Sekali jari-jarinya meremas, hancurlah
kertas itu.
"Eh, apakah isi surat yang satu itu?" tanyanya
seraya membanting bubuk surat dengan wajah beru-
bah mengelam.
"Sepucuk surat ancaman!" sahut Nanjar seraya
memberikan lipatan kertas itu pada Naga Sinting.
"Kau bacalah! aku akan membuat lubang un-
tuk menguburkan jenazah Senopati tua ini!"
Nanjar mencari-cari tempat yang cocok untuk
mengebumikan mayat, akan tetapi mendadak dia me-
rubah niatnya.
"Ah, apakah sebaiknya jenazah itu kubawa saja
ke Kota Raja? Kematiannya harus diketahui oleh
orang-orang istana!" berkata Nanjar dalam hati. Nanjar
menunggu sampai Naga Sinting selesai membaca.
"Bagaimana pendapatmu dengan surat anca-
man itu?" tanyanya, ketika melihat Naga Sinting telah
selesai membaca isi surat itu.
"Benar katamu! Senopati tua ini seperti menemukan buah simalakama! Dimakan ibu mati tidak di-
makan bapak mati. Surat ancaman ini menyulitkan dia
untuk mengambil keputusan! Akan tetapi walau ba-
gaimanapun aku menyalahkan sikapnya dengan men-
gambil keputusan membunuh diri seperti ini!"
Nanjar tak menjawab, akan tetapi manggut-
manggut membenarkan.
"Kita menghadapi masalah serius, sobat tua
Naga Sinting! Apakah tindakan yang akan kau laku-
kan?" berkata Nanjar.
"Ya! sebagai orang gagah tentu tak akan berpal-
ing muka membiarkan urusan yang bukan urusannya!
Aku tidak menganggap diriku sebagai orang gagah.
Akan tetapi hati nurani ku tak dapat memasabodoh-
kan kemelut kerajaan ini. Apalagi sampai membiarkan
urusan menjadi besar!" sahut Naga Sinting.
Diam-diam Nanjar menarik napas lega. Dari ka-
ta-kata itu Nanjar mengambil kesimpulan bahwa si
Naga Sinting itu bukan termasuk kategori tokoh sesat,
walaupun belum diketahui jelas dia orang golongan hi-
tam atau putih.
"Aku sependapat denganmu, sobat tua Naga
Sinting!" ujar Nanjar.
"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan?"
sambung Nanjar mengulang pertanyaannya. Sejenak
Naga Sinting terdiam. Wajahnya tampak semakin be-
rubah mengelam. Setelah menghela napas, dia berka-
ta.
"Sebenarnya aku punya urusan lain yang harus
kuselesaikan, tapi biarlah untuk sementara aku men-
gesampingkan urusan pribadiku, demi menyelesaikan
kemelut di kerajaan itu. Aku belum dapat mengambil
keputusan, langkah apa yang akan kulakukan! Bagai-
mana keputusanmu?"
"Mayat Senopati Tanu Wijoyo ini sebaiknya kita
bawa ke Kota Raja! Orang-orang kerajaan harus men-
getahui kematian Kepala Pasukan ini!" berkata Nanjar.
"Siapa yang akan mengantarnya sampai ke Ko-
ta Raja?" sambar Naga Sinting
"Haha.. kita tak akan mengantarnya sampai ke
Kota Raja! Cukup membawanya sampai perbatasan sa-
ja!" ujar Nanjar. Lalu dia segera utarakan rencananya.
"Bagus! He he he... otakmu cerdik juga, Pendekar Be-
go!" tertawa Naga Sinting. "Sebaiknya kita segera men-
gerjakannya sekarang juga!" Nanjar mengangguk. Lalu
beranjak menghampiri jenazah sang Senopati.
"Biarlah aku yang memanggulnya. Surat anca-
man ini kau simpan saja pendekar Bego! Siapa tahu
nanti ada gunanya!" berkata Naga Sinting. Nanjar ce-
pat menyambut lipatan kertas surat itu. Kali ini Naga
Sinting tak berniat melakukan serangan diam-diam
melalui lemparan benda itu.
Akan tetapi sekilas tampak sepasang mata Na-
ga Sinting berkilat seperti menyambar mata Nanjar.
Dua kilatan mata saling sambar. Namun cepat-cepat
Nanjar berkata. "Ha ha.. kau pun cerdik sobat tua Na-
ga Sinting!"
Setelah sesaat Nanjar benarkan celananya yang
merosot kedodoran, Nanjar segera berkelebat melom-
pat.
"Kita bertemu lagi di perbatasan Kota Raja se-
belah barat. Aku akan mencari kuda lebih dulu, sobat
Naga Sinting! Nah, sampai jumpa!" teriak Nanjar, se-
saat sebelum melompat lagi dari atas batu besar itu.
Tubuh si Dewa Linglung dalam beberapa kejapan saja
telah lenyap terhalang rimbunnya pepohonan.
Naga Sinting cuma tersenyum. Akan tetapi
pancaran matanya menandakan keterkejutan hatinya.
Saat beradu tatap tadi kakek ini rasakan satu kekua-
tan sinar yang balik menyambar sinar matanya. Hal itu
membuat Naga Sinting membathin dalam hati. "Bocah
bego itu tak boleh dianggap enteng... Aku yakin tenaga
dalamnya tak berada jauh di bawah ku! Siapakah dia
sebenarnya?" Akan tetapi Naga Siting segera mem-
buang perasaannya yang tidak-tidak. Sekali lengannya
bergerak, dia telah menyambar mayat Senopati Tanu
Wijaya. Setelah disampirkan di pundak kirinya, sedetik
kemudian dia berkelebat dari tempat itu...
EMPAT
Di sudut desa sebelah barat Kota Raja tampak
dua orang laki-laki menunggang kuda. Yang seorang
bertubuh gemuk dan yang seorang lagi justru sebalik-
nya, kurus kerempeng. Keduanya adalah dua orang
prajurit kerajaan.
"Bagus! aku tak berpayah-payah mencari ku-
da!" berkata Nanjar dalam hati. Entah kapan si Dewa
Linglung telah berada di ujung jalan desa itu, bersem-
bunyi di balik batang pohon besar.
Menampak kedua penunggang kuda itu, Nanjar
tersenyum. Tubuhnya berkelebat ke atas pohon. Se-
saat dia sudah nangkring di atas dahan pohon me-
nunggu kedua penunggang kuda itu lewat.
Agaknya yang ditunggu cuma berjalan santai
sambil bercakap-cakap.
"Eh, Simo! akhir-akhir ini banyak kudengar ke-
luhan dari penduduk.
Mereka sering didatangi orang-orang tak diken-
al yang menumpang menginap. Selain menginap, me
reka juga terkadang meminta makanan. Munculnya
tak diundang, perginya pun tak permisi. Menurut kete-
rangan penduduk mereka bertampang kasar-kasar, ju-
ga berpakaian aneh-aneh! Akan tetapi sejauh itu me-
reka tak mengganggu penduduk!" berkata si kurus
Laki-laki kawannya itu bernama Simo Gendut:
Sejenak dia merenung.
"Aku juga mendengar kabar itu. Kuduga mere-
ka orang-orang persilatan! Tetapi sejauh mereka tak
mengganggu penduduk, hal itu tak perlu kita risau-
kan!" sahut Simo Gendut seraya menjumpit sebatang
rokok kawung dari saku bajunya. Kemudian menyala-
kannya. Sesaat dia sudah menghisapnya dalam-dalam,
dan menghembuskan asap dengan mata meram melek.
"Pendapatmu ada benarnya. Tapi apakah tidak
lebih baik kalau kita menaruh kecurigaan?" ujar si ku-
rus. Laki-laki ini bernama Kempul.
"Maksudmu...?" menukas Simo Gendut.
"Maksudku apakah tak sebaiknya kita melapor
pada Tumenggung!" Simo Gendut tertawa, lalu mem-
banting rokok kawungnya yang mati.
"Kau ada-ada saja, Kempul! Keadaan di dalam
kota sedang genting!
Kanjeng Tumenggung tampaknya sedang pus-
ing mengurusi kemelut itu. Sudah berapa hari ini be-
liau sering bolak-balik menghadap kanjeng Adipati!
Entah kemelut apa aku tak mengetahui. Menurut beri-
ta dari mbok emban yang bekerja di gedung kanjeng
Tumenggung, beliau sering marah-marah.
Tak jarang si mbok emban sering mendengar
kanjeng Tumenggung bertengkar dengan istrinya..."
berkata Simo Gendut.
"Kemelut apa, ya?" Kempul mendesah seperti
bertanya pada dirinya sendiri. "Haha..sudahlah, Kem
pul! Jangan terlalu mengurusi hal yang bukan urusan
kita. Kita ini cuma prajurit! Kalau mendapat perintah,
yaaah! kita kerjakan. Kalau tidak, yaaahi! mengapa ki-
ta harus mencari-cari kesulitan sendiri?" ujar Simo
Gendut seraya menepuk pundak kawannya.
Si Kurus Kempul manggut-manggut. "Agaknya
benar katamu itu, Simo! Oh, ya aku pernah mendengar
percakapan dua orang perwira istana, kabarnya... kan-
jeng Senopati sering tidak hadir lebih beberapa kali
pertemuan, membuat kanjeng gusti Sultan marah-
marah! Dalam beberapa hari ini kanjeng Senopati juga
absen dalam menjalankan tugasnya..."
Kanjeng Senopati Tanu Wijoyo sudah puluhan
tahun mengabdi pada kerajaan. Bahkan semasa tam-
puk pemerintahan masih dipegang oleh ayah kanjeng
gusti Sultan, hingga sampai saat ini. Beliau sudah ter-
lalu tua untuk tetap memegang jabatan itu. Pantaslah
kalau sering absen! Kita selayaknya harus memaklumi
orang yang sudah seusia itu. Tenaga sudah berkurang,
mata mulai kurang awas, badanpun sering sakit-
sakitan. Sudah selayaknya kalau beliau mengundur-
kan diri. Kudengar beliaupun pernah mengajukan hal
pengunduran diri itu, akan tetapi kanjeng gusti Sultan
tak memperkenankannya!
Agaknya belum ada orang penggantinya yang
sesuai di hati kanjeng gusti Sultan..."
Simo Gendut mengakhiri kata-katanya dengan
mengeprak kuda.
"Sudahlah, panjang galah bisa diukur, akan te-
tapi panjangnya orang mengobrol? Wah bisa-bisa kita
kena damprat atasan! saat lagi kita harus mengganti-
kan berjaga di pintu barat Kota Raja!" berkata Simo
Gendut. Si kurus Kempul tertawa menyeringai, lalu
menyusul kawannya
Agaknya Simo Gendut seperti hendak mengajak
berpacu. Dia mempercepat lari kuda tunggangannya.
Karena larinya terlebih dulu tentu saja si kurus Kem-
pul tertinggal jauh beberapa tombak di belakangnya.
Beberapa saat saja pohon besar yang berada di tepi ja-
lan itu sudah terlewati
Tibalah giliran si prajurit kurus bernama Kem-
pul yang segera melewati pohon besar di tepi jalan itu.
Tepat di bawah pohon yang akan dilintasi mendadak
sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu Kempul kelu-
arkan suara tertahan. Sepasang matanya membeliak.
Sebelum dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu
tubuhnya telah tertotok kaku. Ternyata Nanjar telah
berada di atas kuda si Kurus ini, tetapi di belakang-
nya.
"Ha ha... gantian aku yang menunggang kuda,
sobat kurus!" berkata Nanjar. Sekali lengannya berge-
rak, tubuh si Prajurit itu terlempar dari atas kuda me-
layang ke semak belukar.
Nanjar keprak pantat kuda agar berlari lebih
cepat mengejar si gendut.
Bukan kepalang terkejutnya Simo Gendut keti-
ka mengetahui di pintu penjagaan sebelah barat Kota
Raja dia melihat seorang laki-laki brewok bertubuh
tinggi besar berdiri tegak menatap ke arahnya. Laki-
laki brewok itu memanggul sesosok tubuh dibahu ki-
rinya. Semakin terkejut si gendut ini ketika melihat
dua orang prajurit penjaga pintu tapal batas Kota Raja
yang siap digantikan, telah tergeletak di tanah.
Tanpa harus berpikir dua kali dia telah mena-
han lari kuda. Saat itu derap kuda di belakangnya
hampir mendekati. Simon Gendut angkat sebelah len-
gannya memberi isyarat berhenti.
"Tahan, Kempul! Lihatlah! siapa laki-laki itu?"
berkata Simo Gendut.
"Yang mana?" terdengar suara menyahut di be-
lakang. Si penunggang kuda yang juga telah menghen-
tikan kudanya itu merendengi kuda Simo Gendut. "Ma-
tamu ditaruh di..." Simo Gendut tak meneruskan kata-
katanya. Sepasang mata laki-laki gendut itu telah
membelalak karena melihat orang di sebelahnya bu-
kanlah si kurus Kempul.
"Hah!? Siapa ka..kau?" bentak si gendut seraya
lengannya bergerak mencekal hulu pedang. Akan teta-
pi lengan Nanjar telah mendahului bergerak menotok
tubuh si laki-laki gendut.
Nanjar segera memberi isyarat pada si laki-laki
brewok yang tak lain dari si Naga Sinting.
Selanjutnya.... tubuh Senopati Tanu Wijoyo
yang telah menjadi mayat itu diikatkan pada kuda si
kurus yang tadi dinaiki Nanjar. Kemudian tali les kuda
itu diikatkan pada pelana kuda Simo Gendut.
Selesai dengan pekerjaannya, Nanjar mendekati
Simo Gendut. Lengannya bergerak membuka totokan
di tubuh laki-laki gendut itu.
Wajah Simo Gendut pucat pias, tubuhnya ge-
metar. Peluh dingin mengucur deras membasahi tu-
buhnya. Akan tetapi Nanjar cepat berkata.
"Jangan takut, sobat gendut! Aku takkan mem-
bunuhmu! Kami bukan orang jahat! Kau bawalah
mayat ini ke Kadipaten! Kami menemukan mayat ini
menggantung di dahan pohon di hutan sebelah timur
sana!
Katakan pada Kanjeng Adipatimu, bahwa orang
ini bukan mati dibunuh. Akan tetapi dia mati membu-
nuh diri. Siapa adanya orang ini kami tak mengeta-
hui...
Selesai berkata Nanjar tepuk si gendut.
"Nah! cepat kau berangkat!" berkata Nanjar.
Tak berlaku ayal lagi Simo Gendut segera bedal ku-
danya untuk berlari kencang. Di pintu penjagaan tapal
batas itu dia sampai tak sempat menoleh lagi pada dua
prajurit yang tertelungkup tak bergerak. Entah mati
entah masih hidup. Pontang-panting si gendut mem-
bedal kudanya. Jantungnya serasa memukul-mukul
mengalami kejadian barusan. Entah siapa adanya
mayat orang ini? pikir Simo Gendut. Tapi dia tak ber-
pikir banyak, bukankah dia hanya seorang prajurit?
Mengapa harus memusingkan segala macam urusan?
Tak dibunuh pun, dia sudah bersyukur. Demikian pi-
kir Simo Gendut yang memang berfikiran dangkal.
Nanjar melompat menghampiri kedua prajurit
penjaga pintu tapal batas itu. Segera dia memerik-
sanya. Mendadak wajah Nanjar berubah seketika.
Langkahnya terhenti karena dilihatnya kedua prajurit
itu telah tewas dengan kepala rengat!
Sekali berkelebat si kakek brewok telah melom-
pat menghampiri Nanjar. Kedua pasang mata yang
sama-sama berkilat segera beradu lagi.
"Kau tentu mau mengatakan kenapa aku mem-
bunuhnya?" berkata Naga Sinting. Nanjar tak menja-
wab, kecuali menelan ludah.
"Mengapa kau melakukan itu?" akhirnya Nanjar
bertanya
"Hahaha.. mengapa harus dipusingkan dua
nyawa prajurit tak berarti ini? He he... Sudahlah! mari
kita pergi!" sahut Naga Sinting sambil tertawa.
Selesai berkata Naga Sinting mendahului berke-
labat. Terpaksa Nanjar segera menyusulnya. "Tunggu
aku Naga Sinting!" teriak Nanjar.
Sambil berlari cepat menyusul si brewok, dalam
hati Nanjar memaki.
"Haih! Naga Sinting! kau sungguh keterlaluan
menganggap nyawa orang begitu murah! Keadaan su-
dah runyam, tentu akan bertambah runyam saja!" Di-
am-diam Nanjar terkesiap juga. Sikap Naga Sinting itu
menandakan bahwa dia orang yang berhati kejam!
"Saat ini dia tak mengetahui siapa diriku. Akan tetapi
lambat laun dia pasti akan mengetahuinya! Aku harus
hati-hati dengan manusia sinting itu! Jangan-Jangan
hanya memancingku untuk membuat permusuhan
dengan orang-orang kerajaan...!"
LIMA
MUNCUL Simo Gendut di halaman gedung Ka-
dipaten membuat gempar prajurit-prajurit yang tengah
berkumpul di halaman, karena prajurit gendut itu
membawa sesosok tubuh yang tertelungkup terikat di
atas kuda.
Mereka menduga sosok tubuh itu adalah si ku-
rus Kempul. Akan tetapi bukan kepalang terkejutnya
ketika salah seorang perwira mengenali siapa adanya
sosok tubuh yang telah menjadi mayat itu.
Tak ayal lagi beberapa orang segera turunkan
jenazah itu dari atas kuda.
Beberapa orang berlari untuk memberi laporan
pada Adipati atas perintah perwira itu.
Simo Gendut habis diberondong oleh bermacam
pertanyaan. Akan tetapi laki-laki gendut itu tak men-
jawab. Dengan kepala tertunduk, dia melangkah men-
daki tangga undakan untuk menghadap Adipati
SURYO BAWON
Pucat pias wajah sang Adipati Suryo Bawon
mengetahui mayat yang dibawa prajuritnya adalah
mayat Senopati Tanu Wijoyo. Simo Gendut segera di-
tanyai mengenai kejadian itu. Dengan wajah pucat dan
tubuh gemetar si prajurit gendut itu segera mencerita-
kan apa yang terjadi dari awal sampai akhir tanpa ada
yang terlewat.
"Hm, siapakah kedua orang itu?" gumam Adi-
pati. Lengannya memilin-milin janggutnya yang cuma
sejumput. Sepasang matanya menatap keluar pendo-
po. Keterangan Simo Gendut mengenai ciri-ciri kedua
orang itu tak membuahkan ingatan pada kepala sang
Adipati. Dia tak mengenal siapa adanya kedua orang
itu. "Apakah kau yakin kalau Senopati Tanu Wijoyo
mati membunuh diri?" bertanya Suryo Bawon, seraya
berpaling pada Tumenggung Nara Sepuh yang juga te-
lah dipanggil menghadap.
"Melihat tanda bekas jeratan tali di leher Ki Ta-
nu Wijoyo rasanya memang kematiannya adalah akibat
gantung diri
Akan tetapi apakah beliau mati memang sen-
gaja menggantung diri, ataukah dibunuh orang dengan
mempergunakan cara itu hamba kurang mengetahui!"
menyahut Tumenggung Nara Sepuh
Adipati Suryo Bawon terdiam mendengar jawa-
ban Tumenggung Nara Sepuh. "Kejadian ini memang
aneh! Sejak beberapa hari yang lalu Ki Tanu Wijoyo
memang tak keluar dari gedungnya. Bahkan dia absen
tak menjalankan tugas seperti biasa. Dua orang utu-
san yang kukirim untuk menyampaikan surat menge-
nai diadakannya pertemuan di gedung Kadipaten ini
telah kembali pulang dengan wajah kecewa! Karena
pintu gedung tertutup, dan pengawal gedung menolak
menyampaikan surat itu, karena Ki Tanu Wijoyo telah
memberi pesan sebelumnya!" berkata Suryo Bawon.
"Hamba menduga Ki Tanu Wijoyo telah diculik
orang. Dan kematiannya tentu ada hubungannya den-
gan dua orang yang telah menemukan mayat Ki Tanu
Wijoyo itu!" Tumenggung ini membuka suara.
"Maksudmu kedua orang itulah yang menculik
dan membunuhnya?" sambar Adipati.
"Belum bisa dipastikan..! maksud hamba kedua
orang itu tentu ada hubungannya dengan kemelut da-
lam istana!" sahut Nara Sepuh cepat-cepat.
"Hm, keteranganmu hanya akan menambah
kabur urusan ini, dan terlalu jauh melantur, rayi Tu-
menggung!" berkata Adipati Suryo Bawon. Dia bangkit
berdiri, lalu bertepuk tangan dua kali. Pertanda perte-
muan telah diakhiri. Diperintahkan beberapa pengawal
untuk membawa jenazah itu ke gedung Senapati. Dan
sampaikan surat dariku kepada kanjeng Sultan!" ber-
kata Adipati kepada dua perwira yang juga berada di
pendopo itu. Sebelum masuk keruang kerjanya untuk
menulis surat.
"Daulat, kanjeng Gusti!" menyahut dua perwira
itu berbareng. Lalu keduanya bergegas keluar pendo-
po.
Tumenggung Nara Sepuh tanpa banyak bicara
lagi segera turut keluar dari ruangan. Wajahnya ber-
semu merah, hatinya agak mendongkol dengan kata-
kata Adipati. "Huh! lagi-lagi salah! Kalau setiap penda-
pat orang lain selalu disalahkan, buat apa mengada-
kan pertemuan dan mengundangku datang kemari?"
gerutu Tumenggung dalam hati.
Baru saja Tumenggung Nara Sepuh tiba di ba-
wah tangga, tiba-tiba dua orang prajurit memasuki
pintu gapura dengan wajah pucat. Keduanya melompat
dari atas kuda. Dan dengan napas tersengal-sengal sa-
lah seorang segera menghadap padanya.
"Ada apa lagi yang terjadi?" tanya Tumenggung.
Hatinya masih mendongkol. "Dua orang prajurit kadi-
paten yang berjaga di tapal batas, kami dapati telah
tewas!" menyahut prajurit itu dengan napas tersengal-
sengal.
"Hah!? ini benar-benar edan! Dalam satu hari
sudah tiga orang kehilangan nyawa!" tersentak sang
Tumenggung.
Akan tetapi Tumenggung Nara Sepuh yang se-
dang mendongkol hatinya tak ambil perduli dengan
semua itu. Segera dihampiri kuda tunggangannya. Tak
lama dia telah membedal kudanya untuk berlalu cepat
meninggalkan gedung Kadipaten.
Iring-iringan prajurit yang membawa jenazah
Senapati Tanu Wijoyo dalam kereta jenazah, dengan
dikawal oleh dua orang perwira kerajaan, membuat
penduduk Kota Raja berdatangan melihat.
"Siapakah yang meninggal?" bertanya seorang
laki-laki yang berada di antara kerumunan penduduk.
Laki-laki ini bertampang tolol. Berbaju dan bercelana
gombrong. Rambutnya pun gondrong tak terurus. Di
punggungnya menggemblok sebuah buntalan yang di-
tanya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topi
tudung, bermuka bulat, dengan sebaris kumis tipis di
atas bibir.
"Entahlah! Aku sendiri tak mengetahui!" sahut
si laki-laki bertudung tanpa menoleh.
Mendadak orang yang berada di sebelah laki-
laki bertudung itu berkata
"Apakah kalian tak mengetahui bahwa yang
meninggal adalah kanjeng Senopati Tanu Wijoyo?" laki-
laki yang berkata seseorang yang bertubuh keker.
Mengenakan baju warna kuning yang terbelah di ba-
gian tengah. Tampak bulu-bulu yang lebat, menghiasi
dadanya.
"Oooh..!?" Si pemuda bertampang tolol yang tak
lain dari Nanjar adanya, manggut-manggut,
"Apakah yang menyebabkan kematiannya?"
tanya Nanjar pura-pura tak mengetahui. Diam-diam
dia memperhatikan laki-laki baju kuning itu.
"Menurut seorang prajurit, katanya membunuh
diri dengan menjerat lehernya sendiri. Diketemukan
oleh dua orang laki-laki yang menyerahkannya pada
seorang prajurit yang membawanya ke gedung Kadipa-
ten!" sahut si laki-laki baju kuning.
"Bohong! Semua itu cuma bohong besar saja!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang berada di sebe-
lah kanan Nanjar menyambar bicara. Nanjar menoleh
pada laki-laki itu. Ternyata dia seorang laki-laki tua
berwajah bopeng. Usianya sekitar 40 tahun lebih. Si
laki-laki berbaju kuning pun menoleh juga ke bela-
kang.
"Dari mana kau tahu kalau berita itu bohong?"
tanya si laki-laki baju kuning, dengan kerutkan kening
menatap wajah orang itu.
"Aku telah melihat dengan mata kepalaku sen-
diri. Kedua orang yang menemukan mayat itu justru
dialah yang menculik kanjeng Senopati, juga mereka-
lah yang telah membunuhnya. Bahkan mereka telah
pula membunuh dua orang prajurit penjaga tapal ba-
tas. Pembunuhan yang kejam, karena kedua kepala
prajurit itu rengat! Satu prajurit lagi bernama Kempul,
telah jadi korban pula! Dia mati dengan kepala hancur!
Mayatnya dilemparkan ke tengah jalan! Dan kalian ta-
hu? Siapakah kedua orang pembunuh itu?
Hm, Mereka adalah orang-orangnya Raden Ka-
mandaka. Beliaulah yang lebih berhak atas kekuasaan
Kerajaan. Bukan Sultan yang sekarang ini! Karena
kanjeng Sultan yang sekarang ini cuma putra dari selir
baginda Sultan DAHA..! tutur si laki-laki muka bopeng.
"Lalu siapakah kanjeng Sultan yang sekarang
ini?" tanya Nanjar. Diam-diam Nanjar terkejut karena
orang ini enak saja membuka mulut. Apakah dia me-
mang benar mengetahui, semua kejadian? Dari mana
dia mengetahui dan siapa adanya orang ini? pikir Nan-
jar dalam hati. Namun inilah kesempatan untuk mela-
cak kemelut apa yang sebenarnya terjadi di Kota Raja
itu.
"Yang sekarang berkuasa adalah kanjeng Sul-
tan CARMANDALA!" sahut si laki-laki bopeng. Nanjar
manggut-manggut.
Sementara iring-iringan pembawa kereta jena-
zah telah lewat. Si laki-laki bopeng tahu-tahu telah
menyelinap pergi...
Nanjar celingukan mencari laki-laki itu. Segera
terlihat laki-laki itu yang berjalan cepat ke arah bela-
kang gedung. Nanjar cepat memburunya. Diam-diam
dia terus membuntuti.
Ketika tiba di ujung jalan mendadak laki-laki
itu berkelebat lenyap. Nanjar tersentak. Dia tak boleh
kehilangan jejak orang itu. Tak ayal lagi segera dia per-
gunakan gerakan melompatnya untuk menerobos me-
motong jalan melalui hutan pohon jati.
Nanjar gunakan jurus-jurus lompatan kera. Ge-
rakan melompat yang jarang dikuasai orang itu me-
mang sukar untuk diikuti mata. Karena setiap kali tu-
buhnya melompat dengan bergantung di dahan, detik
berikutnya sudah melesat lagi berpindah ke dahan be-
rikutnya. Dalam waktu singkat dia telah menerobos
hutan jati itu.
"Berhenti!" bentakan keras tiba-tiba merobek
udara. Sebuah bayangan sosok tubuh tahu-tahu telah
berkelebat menghadang si muka bopeng.
Tersentak kaget laki-laki ini melihat orang yang
menghadang, karena tak lain dari pemuda bertampang
tolol yang tadi berada di sebelahnya, ketika menonton
iring-iringan kereta pembawa jenazah.
"Heh!? kau..? Mau apa kau menghadangku?"
mulutnya membentak, tapi diam-diam hatinya terke-
jut. Karena dia tak menyangka si bocah tolol itu bukan
seperti dugaannya, tapi seorang yang punya isi!
"Haha... aku masih butuh penjelasan mu, so-
bat! Mengenai kedua orang pembunuh yang seperti
kau katakan tadi!" Sahut Nanjar dengan cengar-cengir.
Lengannya iseng mencabut rumput, lalu digunakan
untuk mengilik-ngilik telinganya.
"Apa yang kurang jelas?" bentak si laki-laki bo-
peng.
Diam-diam dia sudah menyiapkan serangan
maut. Hatinya mendongkol melihat sikap Nanjar yang
mirip orang tak memandang sebelah mata padanya.
"Haha... matamu yang kurang jelas!" sahut
Nanjar. "Apakah kau tak melihat bahwa aku adalah sa-
lah seorang dari dua orang yang kau katakan sebagai
pembunuh itu? Prajurit bernama Kempul itu cuma ku-
totok yang tak membuat bahaya jiwanya. Dan aku ta-
hu sendiri bahwa Senopati Tanu Wijaya memang telah
menghabisi nyawanya dengan menggantung diri! Dua
orang prajurit penjaga tapal batas yang mati dengan
kepala rengkah, aku tak mengetahui, karena aku tak
merasa membunuhnya!" berkata Nanjar.
Pucatlah seketika wajah si laki-laki bopeng. Ti-
ba-tiba dia membentak keras. "Kalau begitu kau harus
mampus!"
Bentakan itu disusul dengan meluncurnya tiga
larik sinar hijau ke arah Nanjar, ketika secepat kilat si
muka bopeng kibaskan lengannya.
Melihat datangnya serangan, Nanjar memang
telah waspada sejak semula. Kedua lengannya berge-
rak menyilang di depan dada. Sedang kepalanya dimi-
ringkan untuk menghindari serangan. Dan... Tep! tep!
Tampak tiga senjata rahasia berbentuk segi tiga
runcing telah terselip di sela-sela jari tangannya.
Melihat serangan mautnya yang digunakan un-
tuk menghabisi nyawa Nanjar sekaligus menemui ke-
gagalan, si muka bopeng melompat mundur dua lang-
kah.
Secepat kilat dia telah mencabut sepasang sen-
jata gaetan dari kedua pinggangnya, Nanjar cuma ter-
senyum.
"Siapakah kau sebenarnya, sobat? Dan siapa
yang mendalangi kau?" bertanya Nanjar dengan un-
jukkan senyum jumawa. Ketiga senjata rahasia itu di-
lemparkan ke semak belukar.
"Bocah sombong! kau tak perlu mengetahui
siapa aku! dan siapa orang di belakangku!" bentak si
muka bopeng. Dengan memperdengarkan teriakan
menggeledek laki-laki ini menerjang dengan sepasang
gaetannya.
Nanjar gerakkan sepasang lengannya mendo-
rong ke depan. Satu kekuatan hebat telah membuat
tubuh si laki-laki bopeng tertolak ke belakang. Tubuh-
nya terhuyung-huyung.
Baru saja Nanjar akan melompat untuk meno-
tok roboh lawannya, mendadak si muka bopeng per-
dengarkan teriakan panjang. Kedua senjata gaetannya
terlepas, dan tubuhnya roboh terjungkal. Disusul ber-
kelebatnya dua sosok tubuh. Terkejut Nanjar ketika
melihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata si laki-
laki baju kuning dan laki-laki bertudung yang tadi me-
nonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.
Memandang pada si muka bopeng. Laki-laki itu
telah tewas dengan leher dan kening tertancap dua
buah pisau belati.
Tampak di tangan si laki-laki baju kuning ma-
sih ada sisa sebuah belati lagi. Jelas si Baju kuning
itulah yang telah membunuh si muka bopeng.
Adapun si laki-laki bertudung masih tetap se-
perti tadi berdiri menjublak seperti arca.
ENAM
Siapakah anda, sobat-sobat? mengapa membu-
nuh dia?" bertanya Nanjar dengan menjura. Si laki-laki
bertudung kali ini perdengarkan suara seraya membu-
ka topi tudungnya.
"Manusia tak berharga itu kukira lebih tepat
mampus siang-siang dari pada hidup lebih lama!" sa-
hutnya. "Aku adalah, Raden Kamandaka sendiri, dan
kawanku ini pengawal pribadiku!"
"Ah! Sungguh aku yang bodoh ini tak mengeta-
hui kalau berhadapan dengan pangeran Kamandaka,
putra mahkota Kerajaan! maafkan hamba, raden..!"
berkata Nanjar dengan kembali membungkuk hormat.
"Sudahlah, tak usah banyak peradatan. Aku
belum lagi memegang tampuk pemerintahan. Apalagi
keadaan Kota Raja dalam keadaan seperti ini. Ternyata
belum lagi pemerintahan digantikan olehku, telah ba-
nyak manusia yang sengaja memancing kerusuhan
dengan perbuatan adu-domba!" berkata Raden Ka-
mandaka.
"Boleh aku mengetahui siapakah anda, pende-
kar muda? Walau tampangmu seperti orang bodoh, tapi aku mengetahui kalau kau adalah seorang pendekar
yang sengaja menyamar...!" bertanya Raden Kamanda-
ka.
"Ah, aku yang bodoh ini mana berani mengata-
kan diriku seorang pendekar? Namaku Nanjar, orang-
orang menjuluki aku si Dewa Linglung!" sahut Nanjar
dengan tertawa.
"Dewa Linglung?" sentak Raden Kamandaka
yang ternyata memang putra mahkota kerajaan itu.
"Apakah anda juga yang digelari si Pendekar Pedang
Mustika Naga Merah?" tanya Raden Kamandaka.
"Aiiih, itu hanya julukan yang diberikan orang
saja. Aku tak merasa menggunakan nama itu!" sahut
Nanjar dengan garuk-garuk pantatnya dan benarkan
celananya yang kedodoran.
Tiba-tiba Raden Kamandaka, rangkapkan ke-
dua lengannya, tubuhnya membungkuk menjura pada
Nanjar
"Nama gelar dan kehebatan serta sepak terjang
anda telah terdengar santar di wilayah utara. Sungguh
hari ini aku amat bergirang hati dapat berjumpa den-
gan anda, sobat pendekar Dewa Linglung!"
Hal itu ternyata dilakukan pula oleh laki-laki
baju kuning.
"Aku Warok Jingga menghaturkan hormat dan
salam perkenalan sobat pendekar Dewa Linglung!"
berkata laki-laki baju kuning seraya menjura
Akan tetapi buru-buru Nanjar mengangkat ke-
dua lengannya, dengan wajah berubah merah jengah.
"Haiih, jangan begitu, Raden..!" sentak Nanjar
terkejut. Gerakan mengangkat tangan itu ternyata
membuat Raden Kamandaka dan Warok Jingga jadi
melenggak. Karena serangkum angin telah menolak
tubuh mereka hingga mau tak keduanya mengangkat
lagi tubuhnya.
Akan tetapi wajah Raden Kamandaka tampak
berubah cerah. Dengan tertawa dia berkata.
"Terima kasih atas kesediaanmu membantu pi-
hak kerajaan, sobat Nanjar! Mari kita pergi dari sini.
Banyak hal yang harus kau ketahui mengenai kemelut
di Kota Raja saat ini!"
Nanjar tak banyak bertanya lagi. Dia angguk-
kan kepala seraya berkelebat mengikuti Raden Ka-
mandaka. Laki-laki bernama Warok Jingga itu menyu-
sul dan berlari-lari di sampingnya...
Nanjar menepuk-nepuk pundak Warok Jingga.
"Aha, tak disangka kita bisa bertemu lagi dan menjadi
kawan!" berkata Nanjar
Warok Jingga manggut-manggut dengan terse-
nyum menatap pemuda di sebelahnya pemuda yang
tadi berada di antara desakan orang-orang yang me-
nonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.
Keadaan di luar Candi sunyi senyap... Malam
merayap semakin larut. Warok Jingga duduk di tangga
candi sebelah dalam. Dia dalam keadaan siap siaga,
karena sebagai pengawal pribadi Raden Kamandaka
keselamatan putera mahkota kerajaan itu terletak di
pundaknya. Walaupun Raden Kamandaka sendiri me-
miliki ilmu kedigjayaan, tapi keadaan saat itu bagai api
dalam sekam. Beruntunglah kemunculan Nanjar agak
dini hingga membuat Raden Kamandaka dan Warok
Jingga dapat bernapas lega.
Di ruang dalam, Raden Kamandaka duduk ber-
cakap-cakap dengan Nanjar. Ruang tempat mereka
bercakap-cakap diterangi lampu sentir. Cahayanya tak
begitu terang. Tapi cukup untuk mereka bisa melihat
wajah masing-masing dalam penerangan yang samar-
samar itu.
Nanjar menunjukkan surat ancaman yang dis-
impannya disaku bajunya pada Raden Kamandaka.
"Inilah surat yang kutemukan di lipatan baju
Senopati Tanu Wijoyo!" berkata Nanjar "sayang surat
yang telah ditulis olehnya sendiri telah dihancurkan
oleh si Naga Sinting!"
"Naga Sinting?" sentak Raden Kamandaka se-
raya menerima surat itu dari tangan Nanjar. "Ya! aku
baru mengenalnya dua hari yang lalu. Dialah yang te-
lah membunuh kedua prajurit penjaga tapal batas itu!"
sahut Nanjar.
"Hm, surat ini cuma singkat saja! isinya men-
gancam Senopati Tanu Wijoyo agar turut membantu
"aku" mempersiapkan rencana pemberontakan. Yaitu
menyerang Istana. Karena Sultan Carmandala tak mau
mengudurkan diri dari tampuk pemerintahan!"
"Surat edan!" memakai Raden Kamandaka. Sul-
tan Carmandala sendiri sejak kedatanganku ke Kota
Raja telah bertatap muka padaku. Dan dia akan segera
mengundurkan diri bila aku menghendaki. Namun aku
menolak, dan mengatakan tak usah terburu-buru.
Anehnya orang istana menganggap kami berontak.
Dan yang lebih gila lagi adalah aku dianggap
akan mengadakan pemberontakan menyerang Istana!
Edan! benar-benar edan! Aku tak merasa telah menulis
surat apa-apa. Apalagi surat ancaman!" ujar Raden
Kamandaka dengan mata merah berkilat.
"Eh, ya siapa adanya si Naga Sinting itu? dan
orang macam apakah dia?" tiba-tiba Raden Kaman-
daka ajukan pertanyaan pada Nanjar.
"Aku sendiri belum memahami pribadinya. Ra-
den! apakah dia berada dipihak golongan putih atau
hitam aku masih meragukan!" sahut Nanjar. Kemudian
Nanjar menceritakan sejak awal pertemuannya dengan
si Naga Sinting itu, hingga mereka menjumpai Senopa-
ti Tanu Wijaya yang dia terlambat menolong jiwanya.
Yang tak diceritakan Nanjar adalah mengenai si
Naga Sinting yang mencari-cari dirinya. Bahkan si Na-
ga Sinting sampai saat ini tak mengetahui kalau Nan-
jarlah orang yang dicarinya.
Raden Kamandaka manggut-manggut, lalu me-
nyimpan surat ancaman itu ke saku bajunya. "Manu-
sia bergelar Naga Sinting itu patut juga dicurigai. Dan
kukira kau cukup waspada untuk tak mempercayainya
sepenuhnya bukan?" ujar Raden Kamandaka.
"Ya! Aku telah waspada sejak dini!" sahut Nan-
jar dengan beranjak berdiri. Oh, ya Raden! kukira ma-
lam sudah larut. Silahkan kau beristirahat. Biarlah
aku yang menjaga di luar candi!"
Nanjar beranjak mendekati Warok Jingga.
Mendengar suara langkah kaki di belakangnya Warok
Jingga menoleh.
"Hendak kemana sobat Nanjar? Silahkan anda
beristirahat, biar aku yang berjaga-jaga!" berkata Wa-
rok Jingga yang bergelar si Pisau Terbang itu. "Ah, si-
lahkan kau saja yang beristirahat, sobat Warok! mata-
ku belum mengantuk. Biar aku yang menggantikan
kau berjaga malam!" sahut Nanjar dengan tersenyum.
"Terima kasih sobat Nanjar! aku juga belum
mengantuk..!" sahut si Pisau Terbang.
"Kalau begitu kita berdua berjaga malam!" ujar
Nanjar seraya menepuk pundak Warok Jingga. Laki-
laki ini tersenyum mengangguk.
Nanjar beranjak kepintu candi sebelah timur.
Disana dia duduk menyandar di tembok. Sedangkan
Warok melangkah ke pintu sebelah barat.
TUJUH
Sementara itu keadaan di luar candi gelap-
gulita. Bulan tak menampakkan dirinya. Di dalam
Candi, Raden Kamandaka telah tertidur lelap berban-
talkan lengan. Nanjar alias si Dewa Linglung pun telah
terdengar suara dengkurnya. Cuma tinggal si laki-laki
bernama Warok Jingga yang masih belum memicing-
kan mata.
Diantara kepekatan malam itu ternyata sosok
bayangan hitam telah bermunculan di sekitar candi.
Gerakan mereka amat pelahan sehingga tak
menimbulkan suara sedikitpun. Semakin jelaslah ka-
lau sosok-sosok bayangan itu adalah sosok tubuh ma-
nusia yang mengenakan topeng dengan pakaian serba
hitam
Di lengan-lengan tampak mencekal senjata ta-
jam.
Saat itu si Pisau Terbang pelahan-lahan bang-
kit berdiri. Matanya memancar tajam keluar candi.
Agaknya dia telah mengetahui kedatangan sosok-sosok
tubuh yang mengurung candi. Pelahan dia menatap ke
arah Nanjar yang masih mendengkur terduduk di pin-
tu candi menyandar di tembok. Lalu dia menoleh ke
dalam, memandang ke arah Raden Kamandaka yang
juga telah tertidur pulas.
Wajah Warok Jingga tampak perlihatkan se-
nyum menyeringai. Tiba-tiba dia memberi isyarat den-
gan gerakan tangan keluar candi.
Aneh! Isyarat itu ternyata adalah tanda isyarat
agar sosok-sosok tubuh yang di luar candi segera ber-
gerak masuk.
Dengan gerak sebat tanpa menimbulkan suara
beberapa sosok tubuh berkelebatan mendekati pintu
candi.
Tiga orang dengan senjata terhunus menyelinap
masuk dari sisi pintu candi sebelah barat. "Cepat be-
reskan dia!" bisik Warok pada kedua sosok tubuh itu.
Keduanya mengangguk. Lalu cepat melompat ke dalam
ruangan. Selanjutnya dengan berindap-indap mende-
kati Raden Kamandaka yang masih tertidur pulas.
Empat sosok tubuh menyelinap ditembok-
tembok candi sebelah luar. Sementara Warok Jingga
segera pura-pura duduk lagi, seolah-olah dalam kea-
daan tertidur dan tak mengetahui apa yang terjadi.
Ketegangan semakin memuncak ketika dua so-
sok tubuh bertopeng itu telah mengangkat kelewang-
nya tinggi-tinggi untuk menghabisi nyawa Raden Ka-
mandaka. Kematian Raden Kamandaka telah berada di
lubang jarum, ketika kedua klewang itu dengan gera-
kan sebat meluncur ke arah leher dan dada sang putra
mahkota.
Mendadak Nanjar menguap... Lengannya berge-
rak seperti mau mengusir nyamuk. Di detik itulah tiba-
tiba kedua penyerang gelap yang siap mengantar nya-
wa Raden Kamandaka ke Akhirat, perdengarkan teria-
kan kaget dibarengi suara.. perdengarkan teriakan ka-
get dibarengi suara. Tingng! tingng! kedua klewang di
tangan penyerang itu mendadak terlepas dari tangan
mereka. Terpental keras hingga menancap di tembok
candi.
Belum lenyap terkejutnya, kedua sosok tubuh
itu tiba-tiba perdengarkan jeritan panjang. Dan seketi-
ka roboh terjungkal!
Raden Kamandaka tersentak kaget. Secepat ki-
lat dia telah melompat bangun. Dilihatnya dua sosok
tubuh berpakaian dan bertopeng hitam berkelojotan
meregang nyawa. Ternyata dua buah pisau belati telah
memanggang lehernya.
"Kurang ajar! Oh sukurlah Raden tak kenapa-
napa?!" teriak Warok Jingga. Secepat kilat dia telah
melompat menghampiri Raden Kamandaka.
Saat itu Nanjar telah melompat bangun. Men-
dadak tubuhnya berkelebat ke luar candi. Sedetik ke-
mudian terdengar suara jeritan saling susul. Empat
sosok tubuh roboh menggeletak di pintu candi
Tersentak Raden Kamandaka. Seketika dia te-
lah memburu ke luar, dengan dibarengi mencabut pe-
dangnya.
"Siapa mereka, sobat Nanjar?" sentak Raden
Kamandaka.
Nanjar muncul di pintu candi dengan mene-
puk-nepuk telapak tangannya.
"Ada cecunguk kurang ajar yang mengincar
nyawa kita, Raden! Harap kau berhati-hati!" berkata
Nanjar. Sepasang mata Nanjar menatap kea rah Warok
Jingga yang turut melompat ke luar menyusul Raden
Kamandaka.
"Syukur aku bertindak cepat! Kalau tidak entah
bagaimana nasib Raden!" berkata Warok Jingga seraya
melompat ke sisi pintu candi. Warok memeriksa empat
sosok tubuh yang telah tergeletak tak bernyawa.
"Tempat kita telah diketahui oleh manusia-
manusia yang mengingini jiwa kita, Raden. Kukira se-
baiknya malam ini kita tinggalkan tempat ini" ujar Wa-
rok Jingga.
Raden Kamandaka tak menyadari kalau Warok
Jingga adalah musuh dalam selimut, ular berbisa yang
setiap saat akan merengut jiwanya.
"Bagaimana pendapatmu, sobat Nanjar?" ber-
tanya Raden Kamandaka dengan wajah berubah tegang.
Nanjar menghela napas. "Keadaan di luar dan
di dalam kukira sama saja! Di luar banyak manusia ib-
lis yang juga tengah mengincar nyawa. Dan di dalam
pun ada ular berbisa yang harus dihancurkan kepa-
lanya, karena merupakan bahaya paling besar bagi ke-
selamatan Raden!" berkata Nanjar, seraya melirik pada
Warok Jingga. Seketika wajah laki-laki itu berubah
merah.
"Sobat Nanjar! Apakah tuduhan itu kau tuju-
kan pada ku?" bentak Warok Jingga seraya melangkah
mundur setindak.
"Hm, habis siapa lagi? Ha ha... aku tak mung-
kin bisa kau kelabui dengan tipu daya licikmu. Hm,
bukankah para penyerang itu adalah konco-koncomu
sendiri yang sengaja kau undang kemari untuk mem-
bunuh Raden Kamandaka dan aku?" berkata Nanjar
dengan senyum sinis.
Pucat pasi seketika wajah Warok Jingga. Tiba-
tiba di detik itu sepasang lengannya bergerak mengi-
bas...
Meluncurlah empat buah pisau terbang dengan
kecepatan luar biasa. Dua buah mengarah ke Nanjar,
sedangkan dua buah lagi meluncur ke arah Raden
Kamandaka.
Whuuuk!
Lengan Nanjar mengibas. Serangkum angin ke-
ras menghantam dua buah pisau yang meluncur deras
ke arah Raden Kamandaka. Sedangkan yang dua lagi
sukar untuk di tangkis oleh Nanjar. Terpaksa dia ja-
tuhkan dirinya bergulingan untuk mengelakkan sam-
baran pisau.
Cep! cep! Dua buah pisau terbang itu menan-
cap di tembok beberapa inci dari leher dan bahu Nanjar.
"Ular berbisa keparat!" membentak Nanjar se-
raya melompat. Akan tetapi Warok Jingga si Pisau Ter-
bang telah berkelebat melarikan diri...
"Iblis terkutuk! kau kira kau dapat melarikan
diri?" bentak Nanjar. Detik itu juga tubuh si Dewa Lin-
glung telah melesat mengejar buruannya
Lompatan tubuh Nanjar telah disambut dengan
serangan pisau terbang yang nyaris memanggang le-
hernya. Namun dengan gerakan jurus Kera Sakti
Menghantam Ombak, tiga pisau terbang terpental. Kali
ini Nanjar tak memberi hati lagi pada Warok Jingga.
Sekali berkelebat tubuhnya telah tiba di depan Warok
Jingga. Dan satu hantaman telak telah membuat laki-
laki itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya
terlempar lima tombak! Ketika itulah Raden Kamanda-
ka telah melompat keluar dari dalam candi.
"Jangan bunuh!" teriak Raden Kamandaka. Ta-
pi terlambat! Laki-laki bernama Warok Jingga itu telah
tewas dengan tulang dada remuk hangus, terkena pu-
kulan Naga Murka yang dilontarkan Nanjar karena
saking gemasnya pada manusia licik itu. Itulah jurus
yang diperoleh dari si Raja Siluman Naga.
"Mengapa Raden melarangku membunuh ma-
nusia licik ini?" bertanya Nanjar seraya melompat
menghampiri Raden Kamandaka.
"Dia... dia saudara angkatku, sobat Nanjar!"
sahut Raden Kamandaka dengan wajah muram.
"Ahh....!?" sentak Nanjar terkejut. "Maafkan aku
Raden, tapi..."
"Sudahlah! agaknya kematiannya memang pan-
tas, sebagai ganjaran atas pengkhianatannya...!" po-
tong Raden Kamandaka.
"Sebaiknya aku mengantarmu ke Kota Raja,
Raden! Situasi amat berbahaya!" Ujar Nanjar memberi
saran.
Sejenak Raden Kamandaka tercenung. Lalu
menghela napas, dan ujarnya.
"Tempat yang terbaik saat ini adalah di perta-
paan Telaga Bodas! Tempat menetap guruku. Karena
Kota Raja juga bukan merupakan tempat yang aman
bagiku! Golongan hitam telah menyebar di Kota Raja.
Ah, entah bagaimana nasib adikku, Sultan Carmanda-
la..." berkata Raden Kamandaka.
"Kalau tempat itu merupakan yang terbaik! Aku
bersedia mengawalmu, Raden. Mari kita segera be-
rangkat sebelum dini hari.
Raden Kamandaka anggukan kepala. Tak ada
pilihan lain lagi. Keselamatan juwanya adalah lebih
penting. Dengan adanya si Dewa Linglung di samping-
nya dia tak merasa khawatir akan adanya serangan ge-
lap yang setiap saat dapat merengut jiwanya.
Tak berapa lama keduanya segera tinggalkan
tempat itu. Kebisuan mencekam di malam yang dingin
yang juga telah membawa maut! Suara kepak saya ke-
lelawar sesekali meningkahi bunyi jengkerik malam ke-
tika dua sosok tubuh itu berkelebat menuju arah teng-
gara...
DELAPAN
Matahari baru saja tersembul dari balik gu-
nung, ketika sesosok tubuh berkelebat kea rah candi...
Siapa adanya sosok tubuh ini tak lain dari si gadis
Bengal yang pernah menggoda Nanjar, menyembunyi-
kan pakaiannya di dalam hutan pada sebuah tepian
sungai.
Terkejut gadis ini melihat beberapa mayat ber-
kaparan di muka candi. Ketika dia melompat untuk
memeriksa di bagian dalam, dua sosok mayat pun di-
jumpainya juga. "Hah!? Mayat-mayat siapakah ini? ke-
semuanya mengenakan pakaian hitam dan mengena-
kan topeng penutup wajah...!" berkata dia dalam hati.
Hatinya tersentak, karena dia tak mendapatkan orang
yang dicarinya.
"Celaka! kemanakah perginya kakang Kaman-
daka?, siapakah yang telah melakukan pembunuhan
ini?" sentak gadis ini dengan wajah pucat. Apakah
yang membuat dia terkejut adalah karena dia telah
melihat di antara mayat-mayat bertopeng itu dijumpai
mayat Warok Jingga. Dia kenal betul kalau Warok
Jingga adalah pengawal pribadi laki-laki bernama Ka-
mandaka, yaitu orang yang tengah dicarinya.
Dengan hati berdebar dia memeriksa setiap
mayat laki-laki bertopeng dengan membuka cadar yang
menutupi wajah-wajah mereka. Akan tetapi tak satu-
pun diantaranya adalah mayat Kamandaka.
Sejenak dia tertegun berdiri menjublak dengan
wajah muram. Setelah lama merenung, akhirnya dia
mendapat firasat dalam benaknya.
"Hm, jangan-jangan kakang Kamandaka kem-
bali ke pertapaan Telaga Bodas untuk menemui guru!
Keadaan Kota Raja sedang gawat! Tak mungkin kalau
dia pergi ke sana...!" pikirnya
Setelah merasa firasatnya tidak meleset, segera
gadis ini berkelebat tinggalkan candi yang penuh
mayat itu dengan hati mantap. Tujuannya adalah per-
tapaan Telaga Bodas.
Akan tetapi sang gadis tak mengetahui kalau
dirinya telah dibuntuti oleh bayangan sosok tubuh.
Siapa adanya orang yang menguntit itu tak lain dari siNaga Sinting!
Ketika melintasi sebuah bukit, mendadak gadis
ini terkesiap, karena sesosok tubuh tinggi besar entah
sejak kapan telah berdiri tegak di hadapannya meng-
halangi jalan. Gadis ini kerutkan keningnya. Sepasang
alisnya menukik dengan mata tajam menatap siapa la-
ki-laki tinggi besar itu.
"Heh!? siapakah kau orang tua? mengapa
menghalangi aku lewat?" bentak si gadis. Diam-diam
dia telah bersikap waspada dengan orang ini.
"Ho ho ho... bocah ayu! aku cuma ingin ber-
tanya, hendak kemanakah kau? Dan boleh aku menge-
tahui siapa namamu?" sahut Naga Sinting dengan ter-
tawa menyeringai.
"Apa urusannya dengan tujuanku? Aku tak
mengenal dirimu, mengapa enak saja kau menanyakan
namaku segala!" sahut ketus si gadis.
"Haha.. bocah ayu, wajahmu cantik tapi galak!
Baiklah kalau kau mau mengetahui siapa diriku, aku-
lah orangnya bergelar si Naga Sinting!"
"Hm, gelarmu saja sudah tak enak didengar,
tentu kau berniat tak baik terhadapku!" tukas si gadis.
"Haha... jangan khawatir, Cah ayu! kalau kau
tak mau beritahukan tujuanmu, tak apalah, apakah
kau juga tak mau memberitahukan siapa namamu?"
tertawa menyeringai si Naga Sinting. Sepasang ma-
tanya berkilat memandang sang gadis. Mata yang me-
nyorotkan hawa aneh. Membuat hati si gadis jadi agak
bergidik.
"Baik, aku akan memberitahukan siapa nama-
ku tapi segera kau menyingkir jangan menghalangi
orang lewat!"
"Hoho.. jangan khawatir, Naga Sinting tak per-
nah ingkar janji!" berkata Naga Sinting dengan memilin
kumisnya.
"Namaku Sri Widarti! Nah! segera kau me-
nyingkir!" selesai menyebutkan namanya gadis ini
langsung melangkah maju dua tindak untuk teruskan
perjalanannya.
"Eh, nanti dulu! mengapa kau harus terburu-
buru, nona Widarti? Kau belum sebutkan siapa kedua
orang tuamu dan siapa pula gurumu! Kulihat kau
punya ilmu kepandaian dan bukan seperti gadis bi-
asa!" Naga Sinting rentangkan lengannya menghadang.
"Orang tua ceriwis yang tak pegang janji! Me-
nyingkirlah!" membentak si gadis bernama Sri Widarti
itu. Tubuhnya berkelebat melompat ke depan. Dan ke-
palan tinjunya melayang ke arah dada si Naga Sinting.
Buk!
Hantaman telak pukulan Widarti mengenai sa-
saran. Akan tetapi gadis ini menjerit kesakitan, karena
kepalannya seperti menumbuk batu saja.
Sedangkan orang yang ditinjunya itu sedikit
pun tak bergeming berdiri tegak dengan tertawa me-
nyeringai.
"Hohoho... jurus serangan Tinju Dewa yang he-
bat!. Akan tetapi jurus yang kau pergunakan kurang
bertenaga penuh! Seharusnya kau barengi dengan me-
nyalurkan tenaga dalam penuh pada kepalan tangan-
mu, nona Widarti!" berkata Naga Sinting.
Gusarlah gadis itu, disamping kaget karena Na-
ga Sinting mengetahui nama jurus yang diperguna-
kannya. Akan tetapi dengan menggerung keras dia
kembali menerjang. Kali ini bukan saja tinjunya yang
melayang akan tetapi dibarengi dengan hantaman-
hantaman yang dahsyat.
Namun semua itu tidak membuat si Naga Sint-
ing bergeser dari tempatnya. Bahkan satu tenaga aneh
bagaikan sebuah dinding baja telah menghalangi tu-
buh laki-laki tinggi besar itu, hingga tak satu pun pu-
kulan Sri Widarti mengenai sasaran.
Karena jengkelnya Widarti telah menghunus
senjatanya. Itulah sepasang pedang pendek berujung
melengkung yang terselip di kedua pinggangnya.
Dengan sepasang senjata ini dia menerjang si
kakek brewok tinggi besar itu, dengan serangan-
serangan ganas!
Akan tetapi dengan perdengarkan tawa berge-
lak, Naga Sinting berkelebat lenyap. Dilain kejap tahu-
tahu sepasang pedang ditangan si gadis telah terlepas
dari tangannya. Kejap berikutnya sebelum Sri Widarti
mengetahui kelanjutannya, dia telah perdengarkan ke-
luhan. Seketika tubuhnya terasa kaku, dan jatuh
mengeloso di tanah.
Membelalak sepasang mata Sri Widarti karena
melihat si Naga Sinting telah berdiri di depannya, den-
gan wajah menyeringai.
Sepasang pedang pendeknya telah berada di
tangan kakek tinggi besar itu.
Pucat pias wajah Sri Widarti. Dalam keadaan
demikian putuslah harapannya. Peluh dingin mengu-
cur di sekujur tubuhnya, jantungnya berdetak keras.
Entah apakah yang bakal terjadi pada dirinya sekejap
lagi? Naga Sinting menyeringai. Lalu beranjak melang-
kah mendekati.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang
menyanyi dari arah kejauhan, membuat si Naga Sint-
ing jadi melengak dan menahan langkahnya:
"Kota Raja terancam bahaya,
cecunguk edan merajalela...
Mencari jejak dalang durjana
Malah berkawan ular berbisa
Ooolala..."
Kata-kata nyanyian itu bernada seperti syair
dinyanyikan berulang-ulang. Semakin lama semakin
dekat. Mendengar nyanyian itu mendadak wajah Naga
Sinting jadi berubah merah. Tiba-tiba dia membanting
sepasang pedang pendek di tangannya hingga menan-
cap amblas di tanah. Sekali lengannya mengibas, ter-
lepaslah totokan di tubuh gadis itu
Tentu saja membuat Sri Widarti jadi terheran.
Merasa totokan di tubuhnya telah punah, dia cepat
melompat berdiri. Akan tetapi detik itu satu bentakan
telah membuat dia menyurut mundur
"Ambil senjatamu itu, dan cepat kau minggat
dari sini!" Walaupun heran seribu heran melihat peru-
bahan sikap si kakek bergelar Naga Sinting itu, namun
Sri Widarti tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Segera dicabutnya sepasang pedang pendek yang ter-
tancap di tanah, kemudian tanpa menunggu perintah
dua kali dia telah berkelebat pergi dari tempat itu.
Suara nyanyian mendadak terhenti, karena se-
buah bayangan telah berkelebat ke hadapan pemuda
yang bernyanyi-nyanyi itu.
"Pendekar Bego! kiranya kau adanya? Hm, nya-
nyianmu bagus sekali! Apakah kau menyindir ku den-
gan kata-kata nyanyianmu?" berkata Naga Sinting
dengan wajah dingin. Sepasang matanya berkilat me-
natap pemuda itu yang tak lain adalah Nanjar adanya.
Sejak kejadian di pintu batas Kota Raja sebelah
timur yang menewaskan dua orang prajurit penjaga
pintu, Nanjar memang segera berpisah dengan Naga
Sinting, untuk mengatur rencana sendiri- sendiri da-
lam usahanya membantu pihak Kerajaan yang dalam
keadaan rawan. Disamping itu Nanjar merasa kurang
berkenan dengan sikap Naga Sinting yang telengas.
Tentu saja pertemuan yang kedua kalinya ini
membuat kedua pasang mata kembali beradu. Menga-
pa Nanjar tahu-tahu muncul di tempat ini? Bukankah
dia dalam rangka mengantar Raden Kamandaka ke
pertapaan Telaga Bodas?
Ternyata sebelum Nanjar mengantar sampai ke
tempat ke tujuan, telah berpapasan dengan seorang
berjubah abu-abu berkumis dan berjanggut panjang
putih menjuntai. Kakek yang juga berambut putih itu
ternyata adalah guru Raden Kamandaka sendiri yang
bernama KYAI MUNDING LAYA.
Baik dari raden Kamandaka yang putera mah-
kota itu sendiri maupun dari Kyai Munding Laya, sege-
ra diketahui kalau Raden Kamandaka mempunyai seo-
rang adik seperguruan wanita, bernama SRI WIDARTI.
Gadis bernama Sri Widarti itu seorang gadis
yang baru berusia belasan tahun dan belum cukup
dewasa. Gadis itu adalah adik tiri Raden Kamandaka.
Yaitu adik kandung Sultan CARMANDALA yang meme-
gang tampuk pemerintahan sementara di Kerajaan
WIRATA. Pengangkatan itu dikarenakan Raden Ka-
mandaka putra Sultan DAHA PAKERTI (terkenal den-
gan sebutan Sultan DAHA) belum menamatkan bergu-
runya di pertapaan Telaga Bodas. Yaitu pada Kyai
Munding Laya. Kyai Munding Laya adalah masih per-
nah kakek dengan Raden Kamandaka. Dia seorang tua
bijaksana yang pernah menjadi seorang penasihat Ke-
rajaan di Kerajaan Wirata, yang mengundurkan diri
serta mengasingkan diri menjadi seorang pertapa.
Tak dinyana kembalinya Raden Kamandaka ke
Kota Raja telah menjadi sebab terjadinya kemelut di is-
tana yaitu dengan munculnya para pengadu domba
dan tukang fitnah yang berusaha membuat kerusuhan
diantara kedua putra mahkota itu. Nanjar yang merasa
punya andil untuk turut mempertahankan keutuhan
kerajaan WIRATA, juga sebagai seorang pendekar yang
hampir seluruh hidupnya digunakan untuk menegak-
kan panji kebenaran, bersedia membantu pihak Kera-
jaan.
Demikianlah, Nanjar segera mohon diri untuk
mencari Sri Widarti yang ciri-cirinya telah diberitahu-
kan oleh Kyai Munding Laya.
SEMBILAN
Dua pasang mata kembali beradu tatap! Secara
tak sengaja justru Nanjar berjumpa dengan Naga Sint-
ing. Karena Nanjar memang berniat kembali ke Candi
untuk memeriksa, siapakah sebenarnya manusia-
manusia bertopeng yang telah diperalat oleh Warok
Jingga itu!
Tak dinyana kemunculannya justru telah
menggagalkan niat busuk Naga Sinting yang akan
mempermainkan seorang gadis. Dan secara kebetulan
gadis itu adalah Sri Widarti yang dicarinya. Sayang
Nanjar tak mengetahui apa yang terjadi, juga tak men-
getahui kalau Sri Widarti berada di tempat itu dan ba-
ru saja terlepas dari bahaya.
"Hei, pendekar Bego! apakah kau tak menden-
gar pertanyaanku?" bentakan Naga Sinting kembali
berkumandang, karena dia melihat Nanjar masih ber-
diri menjublak bagai patung.
"Oh, maaf sobat Naga Sinting! Aku memikirkan
peristiwa di Candi tua tadi malam, hingga aku lupa
menjawab pertanyaanmu!" sahut Nanjar dengan ga-
ruk-garuk pantat dan benarkan celananya yang lagi-
lagi kedodoran.
"Nyanyianku tadi tak bermaksud menyindir
mu. Apakah kau tak mengetahui kalau aku mempu-
nyai seorang kawan yang bernama Warok Jingga? Dia
itu justru saudara angkat Raden Kamandaka, putera
mahkota Kerajaan Wirata. Manusia itu ternyata seekor
ular berbisa yang licik! Seorang musuh dalam selimut
yang amat berbahaya! Karena diam-diam dia telah
memasang jebakan di sekitar Candi untuk membunuh
Raden Kamandaka. Beruntung kami masih bernasib
baik. Dan aku berhasil mengirim nyawa busuknya ke
Neraka!" berkata Nanjar dengan mempermainkan biji
kacang di genggaman tangannya. Biji kacang itulah
yang telah digunakan untuk menangkis serangan dua
penjahat bertopeng dan membuat terpental kedua pe-
dang mereka!
"Hm!" mendengus Naga Sinting. "Alasanmu be-
nar atau tidak aku tak ambil pusing! Tapi... kukira ha-
ri ini kau tak dapat mengelabui diriku lagi, pendekar
Bego! Aku telah mengetahui siapa kau sebenarnya!
Bukankah kau si DEWA LINGLUNG, yang juga berju-
lukan si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?"
Merasa sudah tak dapat mengelakkan diri lagi,
terpaksa Nanjar menjawab. "Kalau kau tak mengang-
gapku berdusta, benarlah apa yang kau katakan itu!
Tapi boleh aku mengetahui apakah maksudmu mena-
nyakan diriku?"
"Bagus! Puluhan pulau telah ku jajaki ratusan
kota dan ribuan desa telah kujelajahi, semua itu ada-
lah untuk mencarimu, Dewa Linglung!" berkata Naga
Sinting dengan suara keras. Wajahnya mendadak be-
rubah mengelam. Sepasang matanya menyorot bagai
kan cahaya api yang seperti mau membakar tubuh
Nanjar. "Semua itu karena kau telah memiliki Pedang
Mustika Naga Merah! karena pedang mustika itu
hanya aku yang berhak memilikinya!" Suara Naga Sint-
ing bagaikan menggelegarnya petir di angkasa. Mem-
buat Nanjar melangkah mundur dua tindak.
Wajah Nanjar menampakkan keterkejutan yang
amat luar biasa, mendengar kata-kata Naga Sinting.
Tapi dengan hati tegar, sebagai seorang pendekar yang
sudah cukup lama berkecimpung di dunia Rimba Hi-
jau, Nanjar bersikap tenang dan mengusir rasa terke-
jut itu dengan senyum jumawa.
"Naga Sinting! Bagi seorang pendekar, senjata
miliknya tak ubahnya dengan jiwanya sendiri. Pedang
ini telah berjodoh denganku. Dan dapat kumiliki seca-
ra tak sengaja! bahkan pedang mustika ini telah men-
jadi bagian dari hidup dan mati ku! Tentu saja aku
akan mempertahankan seperti mempertahankan jiwa-
ku sendiri!" Nanjar dengan suara tandas
"Bagus! DUA NAGA tak dapat hidup dalam satu
muara! Hari ini kalau tidak kau, tentu aku yang akan
memegang gelar Pendekar NAGA MERAH! Segera ber-
siaplah kau untuk menghadapiku!" bentak Naga Sint-
ing.
Tak ada pilihan lain, bagi Nanjar untuk meno-
lak tantangan si Naga Sinting. Dia segera lemparkan
buntalannya lalu meloloskan pedang pusakanya. Ca-
haya merah memancar tatkala pedang mustika itu ter-
cabut keluar dari kerangkanya, laksana seekor Naga
yang melingkar memancarkan cahaya merah tergeng-
gam di tangan si Dewa Linglung.
Nanjar melemparkan pedang pusakanya ke de-
pan, tepat menancap di tengah-tengah antara dia dan
si Naga Sinting. Kedua pasang mata itu kembali beradu tatap. Tanpa berkedip, Nanjar segera loloskan ba-
junya yang gombrong.
Lalu dilemparkan ke tanah. Kini tampak di ba-
gian dada di Dewa Linglung sebuah tatto bergambar
Naga. Lukisan tattoo yang amat mirip dengan pedang
Mustika Naga Merah itu sendiri.
"Kau tak menggunakan senjatamu itu, Dewa
Linglung?" berkata dingin Naga Sinting.
"Hm, bukankah kaupun tak bersenjata? Kita
sama-sama menggunakan tangan kosong. Jadi seim-
bang! Kalau kau berhasil membunuhku, pedang
mustika Naga Merah itu mutlak menjadi milikmu!"
Ujar Nanjar dengan sikap tenang.
Akan tetapi sepasang matanya, tetap menatap
pada Naga Sinting.
"Hohoho... aku puji sikap ksatria mu, Dewa
Linglung! Jarang aku berjumpa dengan seorang pen-
dekar sepertimu! Semoga kau tidak linglung seperti ju-
lukanmu!" tertawa dingin Naga Sinting.
Akan tetapi suara tertawanya lenyap bagai dis-
apu angin, tatkala dengan bentakan menggeledek ka-
kek berbaju ular yang telah menyiapkan serangannya,
segera menerjang Nanjar.
Dua serangan dahsyat menyambar ke arah
Nanjar. Uap biru dan kuning menderu membelah uda-
ra ketika si kakek baju ular hantamkan telapak tan-
gannya. Itulah jurus Uap Naga Edan Menyambar Petir.
Dua jurus maut yang dilancarkan si Naga Sinting un-
tuk menamatkan riwayat si Dewa Linglung
Akan tetapi dengan jurus Bangau Sakti Mengi-
baskan Awan dua serangan itu buyar.
Sebaliknya sambaran angin keras menggebu
menyambar ke arah Naga Sinting. Membuat laki-laki
brewok itu perdengarkan teriakan kaget, karena angin
panas bagaikan bara menyambar ke arah muka. Den-
gan silangkan lengan yang dibarengi jurus Kepalan
Dewa murka, sambaran angin panas itupun buyar, ka-
rena hawa sakti yang membekukan telah menolak
sambaran dahsyat itu.
Sebaliknya segulung uap yang bergumpal lak-
sana salju menyambar ke arah Nanjar.
Itulah jurus Uap Naga Salju Mengamuk! Terke-
siap Nanjar melihat dengan sekejap mata sambaran
angin panasnya telah berubah menjadi segumpal salju,
yang kini meluncur deras ke arahnya. Namun dengan
gerakan melompat dengan jurus Kera Sakti Melompati
Bukit, dia berhasil mengelakkan diri dari sambaran
uap salju itu.
Bhlarrr! terdengar suara menggelegar. Dan
tampak batu gunung yang berada di belakang Nanjar
pecah berhamburan. Hawa dingin segera menebar di
sekitar tempat itu.
"Hebat!" teriak Nanjar dengan kagum, tapi di-
am-diam hatinya bergidik. Jurus-jurus serangan Naga
Sinting amat luar biasa.
Selanjutnya jurus demi jurus terus berlalu. Per-
tarungan DUA NAGA itu terus berlanjut dengan seru
dan dahsyat. Hawa disekitar tempat itu sebentar panas
sebentar berubah dingin akibat terjadinya benturan-
benturan tenaga dalam yang mengandung hawa inti
api dan inti es.
Pada saat pertempuran itu tengah berlanjut,
sesosok tubuh diam-diam telah mengikuti jalannya
pertarungan dengan mata membelalak. Siapakah
orang ini? Ternyata tiada lain dari si gadis bernama Sri
Widarti yang kiranya belum berlalu dari tempat itu.
Tentu saja dia mengenali siapa adanya pemuda
lawan si Naga Sinting itu, karena pemuda itulah yang
telah digodanya dengan menyembunyikan pakaiannya
ketika pemuda itu tengah mandi di sungai.
"Ah, jadi pemuda itukah yang bergelar Dewa
Linglung? Juga bergelar si Pendekar Pedang Mustika
Naga Merah?" berkata dalam hati Sri Widarti.
Sejak pertemuan pertama di hutan di sisi sun-
gai itu, hati Sri Widarti telah tertarik pada Nanjar. Dia
merasa simpati dengan pemuda bertatto Naga di da-
danya itu. Tentu saja dia mengharapkan kemenangan
berada di pihak si Dewa Linglung
Pada saat itulah dua pukulan tenaga dalam
yang sama-sama di lepaskan kedua "Naga" itu telah
beradu
Blang!
Terdengar pekikan Nanjar yang dibarengi den-
gan pekikan si Naga Sinting.
Asap hitam membumbung di tempat beradunya
dua pukulan sakti itu.
Akan tetapi dua tubuh itu sama-sama terlem-
par bergulingan.
Sri Widarti terpekik melihat Nanjar terpelanting
beberapa tombak
Dan tanpa disadari dia telah melompat keluar
dari tempat persembunyiannya.
Namun Nanjar telah kembali melompat berdiri.
Wajahnya nampak berubah pucat. Dari sela bibirnya
menetes darah kental berwarna hitam. Sri Widarti
kembali mundur beberapa tindak. Ketika melihat pada
si Naga Sinting, kakek tinggi besar itu dalam keadaan
duduk bersila. Wajahnya juga pucat bagai tak berda-
rah. Dari bibir dan hidungnya meneteskan darah hi-
tam kental.
Akan tetapi sepasang matanya masih tetap me-
nyorot tajam menatap sang lawan yang berdiri gagah
dihadapannya.
Pada saat lengang yang mencekam penuh kete-
gangan itulah mendadak di kejauhan terdengar derap
suara kaki-kaki kuda disertai sorak surai gegap gempi-
ta. Debu mengepul tebal. Dan terlihat sepasukan
laskar berkuda dengan bendera hitam berlambang ke-
pala tengkorak bergerak bagaikan seekor ular yang
merayap menuruni bukit.
Tersentak kaget baik Nanjar maupun si Naga
Sinting. Juga Sri Widarti yang melihat kemunculan
laskar itu dari kejauhan.
"Laskar pemberontak!" Teriak Nanjar dan Naga
Sinting hampir berbarengan. Kedua "Naga" ini sejenak
saling tatap. Jelas pasukan laskar itu akan menyerang
Kota Raja. Apakah yang harus mereka lakukan? Mene-
ruskan pertarungan dengan membiarkan pasukan itu
memasuki Kota Raja, ataukah segera turun tangan
menghadang mereka? Membiarkan berarti keselama-
tan Kerajaan terancam hancur. Kehancuran Kerajaan
berarti membiarkan rakyat hidup tertindas dibawah
kekuasaan bangsa asing!
Keduanya sejenak terpaku saling tatap. Akan
tetapi tampak kini sorot mata Naga Sinting tak setajam
tadi. Dia menyeka darah yang mengalir di bibir dan hi-
dungnya. Lalu berkata.
"Agaknya terpaksa kita harus hentikan perta-
rungan, Dewa Linglung! Ambillah pedang Naga Merah
mu! Kelak setelah kita mengusir pemberontak laknat
itu, kita teruskan lagi pertarungan kita!"
"Aku setuju, Sobat Naga Sinting! Kepentingan
kerajaan lebih penting dari urusan pribadi, seperti
pernah kau katakan, bukan?" sahut Nanjar dengan
senyum pahit. Setelah menyeka darah kental yang me-
netes di bibirnya, Nanjar segera melompat untuk mencabut pedang Mustikanya.
Baru saja dia memasukkan ke dalam kerang-
kanya di balik baju di belakang punggung, Sri Widarti
telah melompat memburu ke arah dia.
"Kakak pendekar Dewa Linglung! Ah, kau tentu
terluka dalam... Apakah kau masih mengingat ku?" te-
riak Sri Widarti dengan wajah berseri gembira, tapi pe-
nuh kekhawatiran
"Aiii! gadis bengal kiranya kau? Tentu, aku ma-
sih mengingat mu! Bukankah kau si pencuri pakaian-
ku itu?" sentak Nanjar dengan terkejut karena baru
menyadari akan kehadiran Sri Widarti.
"Ah...! Sri Widarti tersipu dengan wajah beru-
bah merah
"Kau tentu bernama Sri Widarti!"
"He? Dari mana kau bisa mengetahui namaku?"
tanya gadis ini.
"Dari gurumu Kyai Munding Laya dan kakak
seperguruanmu Raden Kamandaka yang memberita-
hukan!" sahut Nanjar dengan tertawa. Akan tetapi ter-
tawa Nanjar lenyap. Wajahnya berubah agak memucat.
Kiranya dalam tertawa itu Nanjar merasakan dadanya
nyeri akibat luka dalam yang disebabkan terjadinya
benturan dua pukulan dengan Naga Sinting tadi. Ce-
pat-cepat Nanjar salurkan hawa murni untuk mengu-
sir uap racun yang mengeram ditubuhnya
Memandang ke arah Naga Sinting. Laki-laki
tinggi besar itupun tengah pejamkan mata untuk me-
nyalurkan hawa murni mengusir uap racun yang men-
gendap di tubuhnya.
"Bagaimana dengan luka dalammu, kakak pen-
dekar?" bertanya Widarti, ketika melihat keringat men-
galir deras di dahi pemuda itu.
"Jangan khawatir! Tidak terlalu parah! Mungkin
tidak separah si Naga Sinting!" sahut Nanjar seraya
melirik pada laki-laki baju ular itu.
Akan tetapi Naga Sinting telah melompat berdiri
dari duduk bersilanya. Wajahnya telah bersemu merah
kembali.
"Hohoho... jangan khawatir! luka dalamku pun
tidak separah yang kau duga, Dewa Linglung! Aku ma-
sih sanggup untuk meremukkan seratus kepala pem-
berontak-pemberontak kerajaan itu! Dan kalau umur-
ku panjang, kita teruskan lagi pertarungan kita!"
Selesai berkata, Naga Sinting tertawa gelak-
gelak. Lalu tubuhnya berkelebat lenyap. Sesaat telah
berada di ujung lamping bukit. Laki-laki ini menoleh
ke belakang seraya berteriak lantang.
"Aku berangkat terlebih dulu, Dewa Linglung!
Tanganku sudah gatal untuk mengirim nyawa-nyawa
manusia pemberontak keparat itu!"
Belum habis kata-katanya, orangnya sudah
berkelebat lenyap! Cuma sisa suaranya saja yang ma-
sih terdengar berkumandang.
"Manusia hebat! Sayang ambisinya untuk me-
rajai dunia persilatan terlalu menggebu-gebu! Aku
khawatir bila pedang mustika Naga Merah berhasil di-
kuasainya, justru akan membuat dia bertindak sewe-
nang-wenang dan menyalahgunakan pada jalan keba-
tilan!" berkata Nanjar dalam hati
SEPULUH
KOTA RAJA dalam keadaan berkabung, karena
baru dua hari sejak kematian Senopati Tanu Wijoyo te-
lah menyusul pula dengan kematian Tumenggung Na
ra Sepuh. Tumenggung ini kedapatan tewas di tempat
tidurnya dengan mulut berbusa. Di atas meja tampak
sebotol minuman keras dan sebungkus serbuk yang
tercecer isinya, yang ternyata adalah serbuk racun!
Tumenggung Nara Sepuh memang telah sejak bebera-
pa hari tidur pisah dengan istrinya
Ketika pagi hari sang istri akan membawakan
minuman dan sarapan pagi buat suaminya, dia men-
dapatkan sang suami telah tewas di tempat tidurnya!
Kematian dua orang abdi Kerajaan itu sangat
membuat terkejut Sultan CARMANDALA! Dia mulai
merasakan ada ketidak beresan di dalam istana. Patih
Gajah Lor yang dipanggil menghadap pun tidak mun-
cul! Penasehat Kerajaan tak menampakkan batang hi-
dungnya. Paniklah Sultan Carmandala. Segera dia
memanggil seorang perwira dan menitahkan membawa
suratnya untuk memanggil Adipati Suryo Bawon agar
segera menghadap.
Kemunculan Adipati Suryo Bawon agak mem-
buat lega hati Sultan Carmandala. Akan tetapi betapa
terkejutnya Sultan Carmandala ketika sang Adipati itu
tertawa gelak-gelak di hadapannya, seraya berkata.
"Hahaha... jangan terkejut Sultan! waktunya
sudah tiba! Sudah saatnya kau melepaskan kekuasaan
Kerajaan Wirata ke tanganku! Semua orang-orang ke-
rajaan telah tidak lagi menurut perintahmu! Bahkan
sebentar lagi pasukan laskar kerajaan Tartar segera
akan menguasai kerajaan ini! Dan perlu kau ketahui,
bahwa putra mahkota kerajaan Wirata, Raden Kaman-
daka telah kusuruh orang-orangku untuk membu-
nuhnya! Kini tinggal kematianmu saja yang sudah di-
ambang pintu! Hahaha... haha..."
Membelalak sepasang mata Sultan Carmandala
mendengar kata-kata Adipati Suryo Bawon
"Keparat! jadi kaulah yang telah berkhianat pa-
da Kerajaan?" membentak Sultan Carmandala dengan
rahang menggembung dan gigi gemeretuk menahan
kemarahan. Saat itu juga dia telah mencabut keris pu-
saka dari pinggangnya!
"Manusia berhati setan! Kau harus memper-
tanggung jawabkan pengkhianatan mu dengan darah
dan nyawamu!" bentak Sultan Carmandala.
"Ha ha ha... kau kini bagaikan seekor harimau
yang sudah tak bertaring dan bergigi lagi, Sultan!" ter-
tawa Suryo Bawon. "Pengawal! Habisi nyawa orang gila
ini!" Teriak Adipati Suryo Bawon.
Seketika saja lima prajurit kadipaten berlompa-
tan mengurung sang Sultan.
"Jahanam keparat!" memaki Sultan Carmanda-
la. tubuhnya berkelebatan, menghindari sambaran
tombak dan klewang yang akan merencah tubuhnya.
Tiga prajurit Kadipaten menjerit panjang. Dan roboh
terjungkal, dengan usus memburai terkoyak keris pu-
saka sang Sultan.
Dua orang lagi yang bersenjatakan klewang me-
lompat mundur. Akan tetapi puluhan prajurit ternyata
telah mengepung sekitar istana. Serentak mereka me-
nerjang sang Sultan dengan serangan-serangan maut.
Dengan segenap kepandaian yang ada, terpaksa dia
menghadapi serangan-serangan itu. Dua orang prajurit
kembali terjungkal roboh. Tiga batang tombak terlem-
par ke udara. Jerit kematian dan bentakan terdengar
riuh disertai bunyi beradunya senjata di ruang pendo-
po istana.
Dari ruang dalam istana muncul belasan praju-
rit istana. Melihat sang Sultan diserang oleh prajurit-
prajurit Kadipaten orang kerajaan sendiri, membuat
mereka terkejut. Tentu saja pengawal-pengawal istana
ini segera berlompatan dengan senjata terhumus un-
tuk menolongnya. Terjadilah pertempuran kecil di-
ruang pendopo istana.
Pada saat pertempuran itu tengah terjadi, Adi-
pati Suryo Bawon telah berkelebat dan menyelinap
masuk ke dalam kamar Sultan.
Suara jeritan seorang wanita terdengar dari
ruang dalam kamar itu.
Itulah suara jeritan terkejut sang permaisuri Ci-
trawati. Mendengar kegaduhan diruang pendopo dia
baru akan berlari keluar untuk melihat. Tapi sesosok
tubuh telah mendahului melompat masuk ke dalam
kamarnya.
Betapa terperanjatnya Dewi Citrawati melihat
siapa adanya laki-laki itu yang tak lain dari Adipati
Suryo Bawon.
"Hahaha... jangan takut, manis! Sudan lama
aku menggandrungi kau wong ayu! Kini saatnya telah
tiba. Sebentar lagi kekuasaan kerajaan Wirata akan ja-
tuh ke tanganku, bila pasukan Tar-tar yang memban-
tuku telah tiba! akulah yang bakal menjadi Sultan di
kerajaan ini. Kemarilah manisku! Kau pantas menjadi
permaisuri ku, kelak! Keadaan di luar sedang kacau,
Pemberontakan telah terjadi di kerajaan. Marilah, sege-
ra kau kubawa ke tempat yang aman...!" berkata Adi-
pati Suryo Bawon
"Manusia iblis! pengkhianat! Aku tak sudi
kau... ternyata seorang iblis bermuka manusia!" berte-
riak Dewi Citrawati. Dia akan menghambur ke pintu
tapi secepat kilat lengannya telah ditangkap oleh Suryo
Bawon. Detik berikutnya wanita itu keluarkan keluhan
dari mulutnya ketika dengan gerakan cepat, tangan
Adipati Suryo Bawon telah bergerak menotoknya!
Kejap selanjutnya tubuh Dewi Citrawati telah
berada dalam pondongan manusia durjana itu...
Dengan tertawa menyeringai Suryo Bawon
membawa tubuh Citrawati berkelebat keluar melalui
pintu belakang istana.
Pada saat itulah muncul Patih Gajah Lor meng-
hadang di pintu.
"Pengkhianat terkutuk! Lepaskan gusti Permai-
suri!" Membeliak sepasang mata Suryo Bawon melihat
sang Patih Gajah Lor menghalangi pintu dengan keris
di tangan.
"Hm, diberi pangkat dan harta, malah minta
mati!" bentak Suryo Bawon.
"Cuh! pangkat dan harta dari manusia terkutuk
yang merebut kekuasaan Kerajaan dengan mengan-
dalkan bantuan laskar asing sepertimu itu, sama hal-
nya dengan hidup ditengah bangkai! Manusia pengadu
domba! Iblis licik dalam selimut! Kiranya kaulah yang
telah menyebarkan fitnah dan surat ancaman edan itu!
Manusia semacammu selayaknya ditambus hidup-
hidup!" membentak Patih Gajah Lor dengan kemara-
han meluap-luap.
Detik itu juga dia telah melompat untuk mener-
jang Suryo Bawon. Akan tetapi adanya sang Permaisuri
ditangan laki-laki itu menyulitkan patih Gajah Lor un-
tuk menyerang dengan kerisnya, karena khawatir me-
lukai sang Dewi Citrawati.
Pada detik itulah tiba-tiba sesosok tubuh ber-
kelebat di belakang Adipati Suryo Bawon. Tiba-tiba la-
ki-laki pengkhianat itu menjerit kesakitan, karena se-
buah lengan telah menjambak rambutnya, hingga tu-
buhnya terangkat sampai kedua kakinya tak mengin-
jak tanah.
Akibatnya tubuh Dewi Citrawati berguling jatuh
terlepas dari pondongannya. Tahu-tahu... PRAK! Darah
merah putih memuncrat memercik diudara. Selanjut-
nya adalah tubuh Adipati Suryo Bawon telah jatuh
menggabruk dilantai seperti sebuah nangka masak
yang jatuh dari pohon. Apakah yang terlihat oleh patih
Gajah Lor? Adipati pengkhianat itu telah mati dengan
batok kepala hancur remuk! hampir tak berbentuk la-
gi. Dan sesosok tubuh tinggi besar telah berada di
tempat itu.
Siapa adanya orang ini tiada lain ialah si Naga
Sinting! Kemunculannya di Istana telah membuat pra-
jurit Kadipaten porak poranda. Mayat-mayat berteba-
ran akibat amukan manusia setengah raksasa ini!
"Cepat kau selamatkan permaisuri!" bentakan
menggeledek yang bernada perintah membuat patih
Gajah Lor seperti baru tersadar dari keterpakuannya.
Tanpa, sempat mengucapkan terima kasih lagi, segera
dia memondong tubuh Dewi Citrawati untuk diaman-
kan.
Sementara itu di dalam Kota Raja telah terjadi
kekalutan karena munculnya ratusan laskar asing
yang menyerbu. Pekik ketakutan, jerit kematian dan
suara hingar-hingar seperti membahana ketika seba-
gian laskar itu menyerbu istana.
Akan tetapi tiba-tiba ratusan pasukan itu se-
perti diterjang badai. Jerit kematian dan pekikan pan-
jang saling susul diiringi terlemparnya puluhan tubuh
ke udara. Apakah yang terjadi? Tampak dua orang la-
ki-laki, yang seorang adalah sesosok tubuh tinggi be-
sar bagai manusia setengah raksasa. Dan yang seo-
rang lagi adalah sesosok tubuh kekar berparas gagah,
dengan tubuh bagian atas terbuka, menampakkan se-
buah gambar tatto seekor Naga yang terlukis dida-
danya.
Siapakah adanya kedua orang itu? Dialah Nan
jar alias si Dewa Linglung, yang juga bergelar si pende-
kar pedang mustika Naga Merah atau si Pendekar
NAGA MERAH, sedangkan yang seorang lagi adalah si
kakek berbaju ular yang tak lain dari si Naga Sinting.
Keduanya bagaikan dua ekor NAGA yang mengamuk
memporak-porandakan barisan musuh!
Puluhan nyawa melayang bergelimpangan, yang
kemudian berlanjut menjadi ratusan jumlahnya! Seki-
tar Kota Raja penuh dengan mayat-mayat yang berge-
limpangan dari pihak laskar asing itu! Gempuran ke-
dua ekor "Naga" perkasa itu membuat sisa pasukan
kocar-kacir melarikan diri. Akan tetapi kedua "Naga"
itu tak memberi waktu sedikitpun pada mereka untuk
meloloskan diri.
Pengejaran terus dilakukan hingga sampai ke-
luar dari tapal batas wilayah Kota Raja. Panglima Kera-
jaan Tartar tewas ditangan Nanjar. Sedangkan empat
perwira lainnya tewas ditangan si Naga Sinting. Wa-
laupun masih ada juga sisanya yang berhasil melari-
kan diri
Ternyata bukan kedua "Naga" itu saja yang tu-
rut bertempur. Karena tiga sosok tubuh yang tak lain
dari Raden Kamandaka dan gurunya yaitu Kyai Mund-
ing Laya, juga ada seorang gadis muda yang menga-
muk bagaikan banteng ketaton. Dialah si gadis bengal
bernama Sri Widarti. Ketiganya menghantam pasukan
yang datang dari pintu utara, yang berakhir dengan
kemenangan yang gilang-gemilang.
Pertarungan sudah usai... Keadaan di Kota Raja
bagaikan sebuah kota hantu. Mayat bertebaran di se-
panjang jalan hingga sampai ke istana. Kemenangan
memang berada di pihak kerajaan Wirata. Akan tetapi,
sayang Sultan Carmandala kedapatan telah tewas ter-
bunuh. Dengan sedih, Raden Kamandaka memandangi
jenazah saudara tirinya. Kematian memang sudah di-
gariskan oleh yang Maha Kuasa. Tapi walau bagaima-
napun penyebab semua itu adalah karena ketamakan
serta kerakusan seorang manusia yang bermuka ma-
nusia tapi berhati iblis! Dialah Adipati Suryo Bawon.
Manusia itupun telah menerima ganjaran pula
atas segala perbuatannya...
Benarkah pertarungan sudah berakhir? Ternya-
ta tidak! Pertarungan itu masih ada! Akan tetapi bukan
pertarungan antara pihak kerajaan melawan pihak
musuh. Melainkan PERTARUNGAN DUA NAGA...! Di-
alah Nanjar si Pendekar Naga Merah kontra si Naga
Sinting!
Kedua laki-laki itu telah sama berhadapan. Tak
menunggu waktu lebih lama lagi pertarungan hebat
segera terjadi! Serang menyerang, hantam menghan-
tam, dengan serunya. Dua laki-laki itu seperti layak-
nya dua ekor Naga yang saling terkam saling terjang
dengan hantaman-hantaman dahsyat! Bukit batu itu
mengepulkan kabut yang menimbulkan hawa dingin
menggidikkan dan hawa panas bagaikan dalam kawah
gunung berapi!
Pada jurus ke dua puluh sembilan, tiba-tiba
terdengar teriakan panjang membelah udara. Tampak
tubuh Naga Sinting terlempar ke udara setinggi lima
tombak. Pekikan itu disusul dengan berkelebatnya se-
sosok tubuh di bawahnya yang berkelebat cepat untuk
menyangga tubuh yang segera akan terbanting ke ta-
nah. Itulah tubuh si Dewa Linglung.
Disaat tubuh Naga Sinting hampir menyentuh
bumi, dengan kecepatan kilat Nanjar berhasil menang-
kapnya. Selanjutnya tampak dua tubuh yang seperti
menjadi satu itu terguling-guling.
Akan tetapi kesigapan Nanjar untuk berbuat itu
telah menolong jiwa Naga Sinting dari kematian yang
tragis!
Dalam Pelukan si Dewa Linglung, naga Sinting
menggeliat disertai suara mengeluh. Laki-laki gagah in-
ipun membuka matanya.
"Kau...kau bocah Bego! Mengapa menolongku?"
membentak Naga Sinting! Akan tetapi bentakan itu
sudah mengendur suaranya. Sementara napasnya kian
memburu.
Bergumpal-gumpal darah kental menggelogok
dari mulut laki-laki setengah raksasa itu. Bila melihat
keadaan si Dewa Linglung, pemuda inipun dalam kea-
daan mengenaskan. Karena dari mulutnya mengelua-
rkan darah kental hitam, berarti dia telah terkena pu-
kulan mengandung racun yang dilontarkan si Naga
Sinting.
Akan tetapi Nanjar masih bisa menolong la-
wannya dari bahaya terhempas, pertanda luka dalam-
nya tak begitu parah.
"Haha... kakek Sinting! kau hebat! Siapa yang
menolongmu. Secara tak sengaja kau jatuh tepat diba-
wahku. Kalau aku tak cepat menyangga tubuhmu ten-
tu aku yang penyek tertimpa tubuhmu yang besar se-
perti gajah!" seloroh Nanjar. Namun dalam hati Nanjar
terharu, agaknya kematian si Naga Sinting sudah di
depan pintu.
Detak jantungnya terasa semakin cepat, dan
terkadang melemah. Tubuh yang berada dalam deka-
pannya pun mulai terasa dingin.
"Hohoho... kau mengibul, bocah bego! Atau kau
memang linglung?
Hehehe...heh... tapi kau hebat luar biasa, bocah
bego! Aku puas dan dapat mati meram, karena aku te-
lah berhasil membunuh musuh lebih dari seratus
nyawa! Hitung-hitung aku menebus dosa-dosaku se-
lama ini. Aku memang banyak memikul dosa selama
aku malang-melintang di... dunia Rimba... Hi...jau...!
Hehe... kau pendekar hebat, Dewa... Linglung!
Kau berhak memakai gelar si NAGA TUNGGAL! Ya, itu-
lah gelar yang amat ku dambakan selama petualan-
ganku!
Se... selamat... tingg...al Pendekar Na... ga...
Tung...gal"
Lepaslah nyawa Naga Sinting! Nanjar terpaku
tak bergeming menatap terharu pada kakek gagah itu
Menjelang matahari terbenam Pendekar Naga
Merah tinggalkan tempat itu...
T A M A T
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
https://matjenuhkhairil.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar