Sabtu, 18 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE PERTARUNGAN DUA NAGA

matjenuh

 

SATU

PEMUDA YANG BARU SELESAI MANDI ITU 

terkejut ketika melihat onggokan pakaiannya yang 

terletak di atas batu di sisi sungai, lenyap !

Dia seorang pemuda cukup gagah, walau tak 

terlalu tampan. Dadanya dihiasi dengan tatto bergam-

bar Naga yang menjulurkan ekornya ke atas dengan 

kepala melingkar ke arah punggung dan mulut terbu-

ka menjulurkan lidah.

Siapa adanya pemuda ini sudah jelas, siapa lagi 

kalau bukan si Dewa Linglung alias Nanjar. Siang itu 

hari panas terik membuat dia tak tahan untuk mandi. 

Ketika menemukan sungai berair jernih, tak ayal lagi 

dia langsung membuka pakaian. Meletakkannya di 

atas batu dan langsung terjun ke air.

Tentu saja dia terkejut ketika akan beranjak 

naik setelah berendam dan membersihkan tubuh ta-

hu-tahu melihat pakaiannya telah lenyap.

Bukan hanya pakaiannya saja yang lenyap, 

akan tetapi juga sebuah buntalan yang selalu diba-

wanya dan sebuah pedang yang disisipkan di celah 

buntalan itu juga lenyap!

"Cecunguk dari mana siang-siang berani men-

curi pakaian orang?" sentak Nanjar, "Pakaianku tak ku 

pikirkan, tetapi pedang Mustika Naga Merah itu..." 

Nanjar palingkan kepala ke kiri-kanan memeriksa seki-

tar tempat itu. Hutan itu sunyi... yang terdengar cuma 

suara burung-burung penghuni hutan itu. Tak ada 

tanda-tanda mencurigakan. 

Tapi Nanjar segera telah mengetahui ada orang 

bersembunyi dibalik pohon. "Hm, kau mau main gila 

denganku, cecunguk tengik!" desis Nanjar dalam hati.


Tiba-tiba lengannya terangkat ke arah depan. 

Whuuuuk! 

BRRAAAK!!

Pohon yang batangnya sebesar tiga kali tubuh 

manusia itu hancur berdesak. Pohon itu adalah pohon 

yang paling besar, di sekitar tempat itu. Akan tetapi 

pohon besar itu bukanlah tempat yang dijadikan tem-

pat persembunyian sosok tubuh yang sudah diketahui 

tempat bersembunyinya.

Yang dijadikan sasaran pukulan Nanjar justru 

pohon yang berada di sebelah kanan pohon tempat 

bersembunyi si pencuri.

Pohon besar itu roboh dengan memperdengar-

kan suara berkerosakan! Dan... detik itu sesosok 

bayangan tubuh manusia melompat ke luar dari balik 

batang pohon tempat dia bersembunyi, karena pohon 

besar itu justru roboh ke arah tempat persembunyian-

nya.

Bersamaan dengan robohnya pohon itu terden-

gar suara air menyibak! Dan sesosok bayangan tubuh 

telanjang bulat melesat bagai anak panah. Tiba-tiba 

terdengar suara bentakan dan satu teriakan kaget. 

Namun suara itu lenyap tertutup oleh bunyi robohnya 

batang pohon besar itu yang menimpa bumi, menimpa 

dan mematahkan pula dahan-dahan pohon lainnya, 

menimbulkan suara gaduh. 

Sesaat suasana dalam hutan di tepi sungai itu 

kembali sunyi. Akan tetapi segera dipecahkan oleh su-

ara tersentak seorang laki-laki. 

"Hah!? cecungkuknya seorang perempuan?"

Itulah suara Nanjar. Apa yang terlihat dan ter-

jadi barusan itu demikian cepat. Karena tahu-tahu pa-

da jarak tiga tombak dari pohon yang roboh itu, tam-

pak Nanjar telah berdiri tegak di hadapan sesosok tu


buh yang tergeletak di dekat kakinya. Sedangkan pa-

kaian dan buntalan berikut sebuah pedang telah bera-

da di kedua lengannya. 

Sosok tubuh yang tergeletak itu tak dapat ber-

gerak, karena dalam keadaan tertotok! Tapi sepasang 

matanya membelalak memandang ke atas. Bukan me-

natap ke arah wajah Nanjar, tapi agak ke bawah kira-

kira tiga atau empat jengkal dari wajahnya.

Mendadak wajah dari sepasang mata yang 

membelalak itu berubah merah, entah amat terkejut 

entah karena terpukau. Yang jelas sosok tubuh yang 

tak lain dari seorang wanita itu cepat-cepat pejamkan 

matanya. 

Nanjar baru sadar kalau dia dalam keadaan tak 

berpakaian sama sekali.

"Celaka!" teriaknya dalam hati. Dan dia telah 

berkelebat lenyap ke balik semak. Selang beberapa 

saat dia telah melompat keluar lagi dengan berpakaian 

rapi. 

"Hahaha... sungguh aku tak mengira kalau ce-

cunguk yang mencuri pakaianku adalah seorang gadis 

berparas cantik! Siapakah kau nona manis?"

Nanjar telah berdiri lagi di depan wanita itu. 

Sementara si gadis itu yang tadinya amat ketakutan 

juga sudah pasrah dengan nasib, jadi terheran karena 

orang yang mempecundangi berkelebat pergi. Beberapa 

kali dia mencoba lepaskan totokan akan tetapi sampai 

pemuda itu muncul lagi dia tak berhasil melepaskan 

diri dari pengaruh totokan pemuda itu. 

Di samping kagum akan kegesitan serta tipuan 

pemuda itu yang menjebaknya hingga dia keluar dari 

tempat persembunyian, dia juga terkejut melihat kehe-

batan ilmu pukulan tenaga dalam si pemuda. Kenge-

rian kini membayang lagi di mata gadis itu, melihat


Nanjar telah muncul dan melompat mendekati dia.

Pertanyaan Nanjar cepat dijawabnya dengan

wajah sedikit memucat. 

"Lepaskan dulu totokanmu, aku berjanji tak 

akan melarikan diri... dan aku akan menjawab perta-

nyaan!"

"Hm, apakah kata-katamu bisa dipercaya?" sa-

hut Nanjar setelah terdiam sejurus. Diam-diam dia 

memperhatikan wajah gadis itu. Wajah seorang gadis 

yang berparas cukup cantik, akan tetapi wajahnya 

tampak masih kekanak-kanakan. Paling tidak gadis itu 

berusia enam belas tahun, pikir Nanjar.

Gadis itu anggukkan kepala menatap Nanjar, 

akan tetapi ketika beradu tatap dengan Nanjar yang 

juga tengah menatapnya, cepat-cepat dia menunduk

"Aku telah bersalah mempermainkan mu, bila 

kau mengampuni jiwaku, silahkan menghukumku! 

Aku akan menerimanya...!" berkata si gadis. 

Kata-kata si gadis yang baru berangkat dewasa 

itu membuat Nanjar tertegun. Kata-kata itu terdengar-

nya amat lirih dan bernada jujur, membuat hilang rasa 

syak di hati Nanjar yang memastikan gadis itu bukan 

berniat jahat. 

"Bagus! kau harus pegang janjimu! saksinya..." 

Nanjar putarkan kepala ke sekelilingnya. Tampak 

olehnya seekor katak (kodok) yang mendekam di dekat 

semak di sebelah kanan gadis itu. "Nah! kodok buduk 

itu menjadi saksi atas ucapan janjimu!"

Si gadis palingkan kepala memandang ke sam-

pingnya. Dan tertatap seekor katak yang mendekam di 

bawah rumpun. Ada sedikit senyuman di sudut bibir 

gadis ini.

Dia mengangguk seraya berkata. "Aku tak akan 

mengingkari janji ku. Nah, lekaslah kau buka toto


kanmu itu.. tuan pendekar!"

"Baik!" sahut Nanjar. Dia melangkah mendeka-

ti, lalu julurkan lengannya untuk membuka totokan di 

tubuh gadis itu. Sementara si gadis mengatupkan ma-

tanya rapat-rapat tetapi lengan Nanjar yang terulur itu 

mendadak terhenti. Bukannya segera membuka toto-

kan, malah Nanjar memperhatikan wajah si gadis. 

"Gadis ini berparas cantik, kulit wajahnya pun halus, 

menandakan dia seorang gadis yang terawat baik. Pa-

kaiannya dari bahan pakaian halus tentu harganya 

pun mahal! Aneh! Mengapa dia berada di dalam hutan 

ini? pikir Nanjar. Gadis itu seperti tak mengetahui 

reaksi Nanjar yang menghentikan gerakan membuka 

totokannya. Dia seperti pasrah menunggu terbukanya 

totokan di tubuhnya.

Pipi Sang dara yang baru meningkat remaja itu 

masih ranum, merah muda seperti buah apel yang ba-

ru masak. Dadanya membusung sekal dengan tubuh 

yang padat berisi, menandakan gadis itu belum pernah 

dijamah laki-laki. 

"Aiiih, anak semanis ini mengapa bermain jauh-

jauh?" berkata Nanjar dalam hati. Entah dorongan ha-

srat yang bagaimana membuat Nanjar telah dekatkan 

hidungnya menyentuh pipi si gadis. Aneh! si gadis se-

perti tak ada reaksi membuka matanya dengan "sen-

tuhan" itu. 

Nanjar tersenyum sesaat, tapi segera gerakkan 

lengannya membuka totokan di tubuh si gadis. Cuma 

dengan beberapa kali sentuhan ujung jarinya yang di-

lakukan dengan cepat, dalam beberapa kejap saja ga-

dis itu telah merasakan totokan ditubuhnya telah ter-

buka.

Kedua kelopak matanya bergerak membuka, 

dan secepat itu pula gadis itu telah melompat berdiri.


Akan tetapi terkejut dia karena tak melihat pemuda itu 

berada di hadapannya. Dia menoleh kiri kanan, depan 

dan belakang. Tapi tak dijumpai sosok tubuh si pemu-

da.

"He? kemana dia?" terkejut gadis ini. "aneh! se-

telah membebaskan aku, dia malah menghilang...!" 

gumamnya pelahan. Kemasygulan jelas terlihat di wa-

jah gadis ini. Tapi dia tak segera beranjak dari tempat 

itu. Bahkan bibirnya sunggingkan senyuman kecil. Ti-

ba-tiba dia telah berteriak nyaring.

"Tuan pendekar gagah! sembunyi di manakah 

kau?"

Dia menanti reaksi dari suara teriakannya, tapi 

yang ditunggu untuk berkelebat muncul ke hadapan-

nya tak kunjung datang. Beberapa kali dia berteriak 

memanggil, namun tak ada tanda-tanda pemuda itu 

bersembunyi disekitar tempat itu.

"Pendekar aneh! mengapa dia pergi begitu sa-

ja?" gerutu si gadis.

Tampaknya dia amat kecewa sekali, karena apa 

yang telah diharapkannya sirna dengan seketika. Sete-

lah beberapa kali dia berkelebat memeriksa sekitar hu-

tan. Namun tak ada tanda-tanda pemuda itu berada di 

tempat itu, si gadis ini lalu berkelebat cepat mening-

galkan tempat itu. Gerakannya ringan dan amat lin-

cah, pertanda dia memiliki ilmu "ginkang" yang cukup 

tinggi. Jelas murid seorang tokoh persilatan yang be-

rilmu tinggi pula.

Cuaca tampak semakin terang karena gadis itu 

telah keluar dari hutan. Gadis ini enjot tubuhnya un-

tuk berlari cepat mendaki bukit. Diatas bukit itu dia 

berdiri, memutarkan pandangannya ke segenap penju-

ru. Gadis ini masih penasaran untuk mencari Nanjar. 

Siapa tahu dari atas bukit dia bisa melihat pemuda itu.


Akan tetapi tak ada sesosokpun bayangan yang 

terlihat di sekitar bukit. Gadis ini menghela napas, ha-

tinya masygul bukan main. Tak terasa lengannya me-

raba pipinya. "Sentuhan" pada pipinya itu seperti ma-

sih terasa. Akan tetapi sesaat wajahnya telah berubah 

bersemu merah. Setelah sekali lagi dia menghela na-

pas, tak lama kemudian tubuh gadis itupun berkelebat 

lenyap dari atas Bukit....

DUA

Seorang kakek tak begitu tua, mengenakan ba-

ju rompi terbuat dari kulit ular dengan celana pangsi 

warna hitam yang sudah kumal. Di punggungnya 

menggemblok sebuah golok besar dengan gagang be-

rukir kepala Naga. Kakek ini duduk di dekat api un-

ggun. Sebelah lengannya mengipas-ngipas, sedang se-

belah lagi memegangi sebuah ranting kayu yang pada 

bagian ujungnya terdapat daging ayam hutan yang te-

lah dikuliti. 

Orang tua ini berwajah angker membayangkan 

kekerasan hatinya. Rambutnya kecoklatan. Terkena 

cahaya api unggun rambut kakek itu jadi berubah ke-

merahan. Dia mempunyai sorot mata yang tajam. Ku-

mis dan jenggot semrawut tak terurus menyatu dengan 

cambang bauknya yang lebat.

Sebentar saja bau harum yang mengundang se-

lera, menebar ke sekitar hutan itu. Kakek ini sipitkan 

matanya menatap panggang daging ayam hutan itu 

seperti menaksir apakah panggangannya sudah cukup 

matang atau belum. Hidungnya kembang kempis 

membaui harumnya daging lezat itu. Tak lama dia


bangkit berdiri menghampiri sebuah batang kayu re-

bah. Lalu duduk dengan wajah tetap kaku tak me-

nampakkan secuil senyumpun.

Kejap selanjutnya dia telah menyantap daging 

panggangnya dengan lahap. Makannya cepat dan ra-

kus. Baru beberapa saat saja daging panggang ayam 

hutan yang besar itu telah tinggal separuhnya.

Mendadak dia berhenti mengunyah. Telinganya 

bergerak-gerak. Agaknya dia telah mendengar suara 

yang mencurigakan disekitar tempat itu. 

Hebat pendengaran kakek ini! Ternyata dia te-

lah mengetahui adanya seorang yang mendatangi. Ka-

kek bertubuh kekar ini keluarkan suara mendengus 

dihidung. Tubuhnya berkelebat ringan sekali. Sekejap 

dia telah hinggap di atas dahan pohon besar. Dengan 

sabar dia menanti munculnya orang yang akan mele-

wati tempat itu. 

Kira-kira sepeminuman teh sesosok tubuh 

muncul dari ujung jalan setapak. Ternyata Nanjar alias 

Si Dewa Linglung. Buntalan kain yang selalu diba-

wanya menggemblok dipunggung. Kedua ujung bun-

talan kain itu memang agak panjang, juga ditambah 

dengan beberapa sambungan. Hingga tak mengganggu 

kedua lengannya yang bebas berlenggang kangkung, 

karena buntalan itu terikat erat dibahunya

Karena Nanjar berjalan searah dengan arah an-

gin, dia tak mengendus harumnya panggang daging 

ayam hutan yang dipanggang bahkan sudah dinikmati 

si kakek brewok tinggi besar itu. 

Akan tetapi dia dapat melihat adanya asap yang 

tersembul dari balik semak belukar di hadapannya. 

"Hm, ada orang di sebelah depan! apakah si ga-

dis bengal itu yang membuat api unggun?" berkata 

Nanjar dalam hati. Sejenak dia merandek menahan



langkahnya. "Sebenarnya aku ingin tahu siapa gadis 

tanggung itu, akan tetapi aku tak mau terlalu banyak 

urusan. Urusanku sudah menumpuk begini! Pertama 

kudengar desas-desus di beberapa tempat mulai ber-

munculan tokoh-tokoh golongan hitam. Mereka men-

gadakan pertemuan-pertemuan rahasia, entah untuk 

tujuan apa? Kedua ada berita lagi munculnya seorang 

tokoh Rimba Hijau yang menamakan dirinya si NAGA 

SINTING! Si Naga Sinting itu aku tak mengetahui apa-

kah dia golongan hitam atau putih! Yang jelas dia 

mencari-cari diriku. Anehnya aku tak merasa punya 

urusan apa-apa dengan tokoh persilatan bernama Na-

ga Sinting itu, bahkan mendengar namanya pun baru 

sekarang! Entah tujuan apa gerangan dia mencari-

ku?..." 

Menduga bahwa di depan ada orang, walaupun 

Nanjar belum bisa memastikan gadis itu adanya, na-

mun Nanjar telah bersikap waspada.

Dengan menahan napas, dia bergerak memutar 

tubuh. Lalu dengan gerakan gesit tanpa menimbulkan 

suara dia berkelebat lenyap ke balik semak belukar.

Ternyata Nanjar telah mengambil arah agak 

berlawanan. Yaitu 90 derajat dari arah semula. Dengan 

cara ini dia bergerak memutar dan akan muncul di se-

belah barat api unggun tadi. Hingga dia bisa mengintai 

siapa orang yang membuat api unggun itu...

Akan tetapi di luar dugaan Nanjar, justru si ka-

kek brewok juga melakukan hal yang sama seperti 

yang dilakukan Nanjar. 

Nyaris saja kedua orang itu sama-sama berta-

brakan. Bukan saja Nanjar yang terkejut, akan tetapi 

si kakek itupun terkejut bukan main melihat sesosok 

bayangan nyaris membentur tubuhnya. Dengan per-

dengarkan suara teriakan kaget keduanya sama-sama


melompat.

Segera saja dua pasang mata sama-sama saling 

tatap.

"Eh, siapakah kau orang tua?" tanya Nanjar.

"Huh! kau sendiri siapa?" balas bertanya dingin 

si kakek. 

Nanjar jadi garuk-garuk pantatnya sekalian 

membenarkan celananya yang sering kedodoran itu. 

"Aku tengah menguntit jejak seseorang yang mencuri-

gakan!" Nanjar berdusta. Dia memang sengaja tak ber-

terus terang, karena belum mengetahui jelas siapa 

orang di hadapannya.

"Hm, kau mencurigai aku?" bentak si kakek

"Ah, sama sekali tidak! Orang yang kuikuti itu 

berperawakan hampir sebaya denganku. Kau bertubuh 

tinggi besar, mana mungkin aku mencurigai dirimu?" 

sahut Nanjar dengan tertawa. Diam-diam dia menarik 

napas lega karena orang itu, percaya dengan dustanya. 

Takut orang segera bertanya lagi dan membuat dia re-

pot kalau menjawabnya, Nanjar cepat-cepat bertanya.

"Kau sendiri siapa paman? apakah kau juga 

mengejar orang?" Yang ditanya tak segera menjawab. 

Dia memperhatikan Nanjar dari ujung rambut sampai 

ke kaki. Nanjar sendiri memandang ke tubuhnya apa-

kah ada yang kurang? Nanjar cepat-cepat membetul-

kan pakaiannya yang gombrong. Salah satu kancing 

bajunya memang salah lobang, hingga pusarnya keli-

hatan.

Dandanan Nanjar memang seleboran, hingga 

tampaknya dia seperti seorang pemuda yang dungu. 

Hal tersebut membuat hilang kecurigaannya. 

"Hehehheh... namaku tak perlu kau mengeta-

hui, tapi aku bergelar si NAGA SINTING!" sahutnya se-

telah tertawa menyeringai memperlihatkan giginya


yang sudah keropos karena banyak dimakan ulat.

Mendengar gelar itu nyaris saja copot jantung 

Nanjar saking terkejutnya. Karena justru orang itulah 

yang dikabarkan mencari- cari dia!

Namun dengan tertawa mengakak menutupi 

keterkejutannya, Nanjar berkata.

"Aneh! baru aku mendengar nama gelar begitu, 

apakah kau orang tua memang benar-benar sinting?" 

Pertanyaan Nanjar membuat si Naga Sinting jadi me-

lengak. Selama malang-melintang dalam pengemba-

raannya belum ada orang yang seberani pemuda itu 

mengatakan dirinya sinting. Akan tetapi bocah ber-

tampang bego di depan matanya itu seenaknya saja 

buka mulut.

Akan tetapi hal itu tak membuat si kakek baju 

ular menjadi marah.

Bahkan dia perdengarkan tertawa gelak-gelak 

seraya berkata.

"Gelarku memang demikian, terserah orang, 

apakah dia akan menganggapku sinting atau tidak aku 

tak perduli!" 

"Eh, bocah bego! kau belum mengatakan siapa 

namamu. Apakah kau juga punya gelar? Dari gerakan 

melompat mu menghindari tabrakan tadi aku sudah 

dapat mengetahui kalau kau memiliki ilmu kepan-

daian!" sambung Naga Sinting.

Nanjar berfikir sejenak, lalu menyahut.

"Aku. memang memiliki sedikit ilmu kepan-

daian.... Tapi, kepalaku pernah dikemplang orang. Be-

gitu kerasnya kemplangan itu membuat aku pingsan 

tujuh hari tujuh malam. Ketika aku tersadar lagi, aku 

tak dapat mengingat apa-apa lagi. Namaku sendiri aku 

tak ingat, juga siapa guruku akupun tak mengeta-

hui..." Nanjar membual tak kepalang tanggung.


"Hohoho.. hahaha... lucu! sungguh amat lucu! 

Pengalamanmu menarik sekali!" berkata Naga Sinting.

"Tampaknya kita berjodoh untuk bisa bertemu. 

Bagaimana kalau aku menggelari kau si Pendekar Be-

go...?"

Pertanyaan Naga Sinting membuat Nanjar kre-

nyitkan keningnya. Tapi segera menyahut. "Bagus se-

kali! Jelas itu cocok buatku, selama ini aku memang 

tak mempunyai gelar apa-apa!"

"Hahaha... kalau begitu kau bisa menjadi te-

man seperjalanan ku! Bukankah cocok, yang satu bego 

dan yang satu sinting?" tertawa bergelak Naga Sinting, 

seraya ulurkan tangannya untuk menjabat tangan 

Nanjar. 

"Hahaha.. terima kasih atas gelarmu itu, Naga 

Sinting!" sahut Nanjar dengan tertawa pula. Akan teta-

pi terkejut Nanjar ketika tiba-tiba merasakan samba-

ran angin meluncur ke arahnya. Ternyata uluran tan-

gan Naga Sinting itu telah dibarengi dengan serangan 

tenaga dalam.

Sebagai seorang pesilat yang sudah terlatih, 

tentu sebelumnya sudah waspada pada setiap orang, 

apalagi terhadap orang yang baru dikenalnya. 

Nanjar membuka senyum, namun dengan ge-

rak reflek dia telah alirkan pula serangan balasan me-

lalui uluran tangannya menjabat tangan si Naga Sint-

ing itu.

Dua gempuran tenaga dalam segera akan terja-

di! Akan tetapi di detik itu tiba-tiba terdengar suara je-

ritan mencabik kelengangan.

Keduanya sama berpaling ke arah suara itu. 

Sesaat kedua laki-laki ini saling berpandangan. Akan 

tetapi di detik itu juga keduanya telah sama-sama ber-

kelebat memburu ke arah suara jeritan itu...


TIGA

Bukan main terkejutnya Naga Sinting dan Nan-

jar ketika melihat sesosok tubuh tergantung-gantung 

pada seutas tambang yang menyangkut di sebuah ca-

bang pohon besar.

"Ada orang menggantung diri!" sentak Nanjar, 

terkejut

"Agaknya barusan saja!" timpal Naga Sinting. 

"Kita harus cepat menolongnya, sebelum ter-

lambat!"

Nanjar mendahului berkelebat. Naga Sinting 

tak kalah cepat. Lengannya bergerak menyambar se-

buah ranting kering. Seraya melompat, lengannya 

mengibas.... Tes! putuslah tambang yang menjerat leh-

er orang itu. Nanjar yang telah tiba di bawah pohon se-

gera rentangkan tangan untuk menyambutnya. Tak 

membuang waktu segera Nanjar membaringkan tubuh 

orang itu di atas rumput, lalu membuka tali yang men-

jerat lehernya

"Terlambat...!" berkata Nanjar dengan nada ke-

cewa. "dia telah mati!" Nanjar mengangkat kepalanya 

dari dada orang itu setelah memeriksa dengan menem-

pelkan telinganya untuk mendengar denyut nadi si 

korban. Naga Sinting perhatikan wajah orang dengan 

seksama. Orang itu seorang laki-laki yang ditaksir be-

rusia 50 tahun.

Menilik dari pakaiannya laki-laki itu hanya 

orang biasa. Entah apa yang menyebabkan laki-laki itu 

membunuh diri? Sejenak keduanya saling pandang. 

"Apakah kau tak mengenalnya?" tanya Naga 

Sinting. Nanjar menggeleng.

"Apakah bukan orang yang kau curigai dan


tengah kau kuntit itu?"

"Entahlah!" sahut Nanjar cepat. "Jelas bukan!" 

hatinya menyahut. Naga Sinting memang tak menge-

tahui kalau Nanjar cuma berdusta mengenai orang 

yang dikuntitnya itu. Akan tetapi Nanjar jadi terheran, 

mengapa bohongnya bisa kebetulan dengan peristiwa 

ini? 

Dari balik pakaian mayat itu ditemukan sebuah 

lipatan kertas yang sudah lusuh. Ternyata sepucuk 

surat. Nanjar segera membacanya. Isi surat itu ber-

bunyi demikian:

"Mungkin kematian agaknya lebih baik bagiku.

Karena aku berada di kedua belah pihak, 

Tanpa aku bisa mengambil keputusan, pihak 

manakah yang benar dan harus kubantu?

Semoga surat ini diketemukan oleh orang-orang 

gagah penjunjung tinggi kebenaran! 

Yang jelas Kerajaan berada dalam bahaya ke-

hancuran! Kericuhan di dalam keluarga istana cuma 

akan menguntungkan pihak ketiga!

Semoga kalian orang gagah dapat menjernih-

kan kekeruhan itu!

Setidak-tidaknya menyelamatkan kerajaan dari 

kehancuran!

Karena kehancuran kerajaan berarti akan

membuat kesengsaraan rakyat...!

Masih ada sepucuk surat lagi yang ku sembu-

nyikan di ujung lipatan bajuku"

Tertanda:

Senopati TANU WIJOYO 

Tertegun Nanjar beberapa saat seusai membaca 

surat wasiat itu. 

"Ah, jadi yang membunuh diri ini seorang hamba Kerajaan!?" desis Nanjar, seraya menatap pada Na-

ga Sinting. Segera dia berikan surat itu kepada si ka-

kek baju ular, yang segera menerimanya.

Sedangkan Nanjar tak membuang waktu, cepat 

dia memeriksa pakaian mayat itu. Benar saja seperti 

apa yang diterangkan dalam surat itu. Pada ujung baju 

mayat segera diketemukan sebuah lipatan kertas yang 

sengaja dijahit di dalam lipatan kain. Terkejut Nanjar 

setelah membaca surat yang kedua ini. 

"Haih! pantas dia membunuh diri, karena dia 

seperti menemukan buah Simalakama. Dimakan ba-

pak mati tidak dimakan ibu mati!" berkata Nanjar, lalu 

melipat surat itu lagi.

Wajah Naga Sinting tampak berubah setelah se-

lesai membaca. Sekali jari-jarinya meremas, hancurlah 

kertas itu.

"Eh, apakah isi surat yang satu itu?" tanyanya 

seraya membanting bubuk surat dengan wajah beru-

bah mengelam.

"Sepucuk surat ancaman!" sahut Nanjar seraya 

memberikan lipatan kertas itu pada Naga Sinting.

"Kau bacalah! aku akan membuat lubang un-

tuk menguburkan jenazah Senopati tua ini!"

Nanjar mencari-cari tempat yang cocok untuk 

mengebumikan mayat, akan tetapi mendadak dia me-

rubah niatnya. 

"Ah, apakah sebaiknya jenazah itu kubawa saja 

ke Kota Raja? Kematiannya harus diketahui oleh 

orang-orang istana!" berkata Nanjar dalam hati. Nanjar 

menunggu sampai Naga Sinting selesai membaca. 

"Bagaimana pendapatmu dengan surat anca-

man itu?" tanyanya, ketika melihat Naga Sinting telah 

selesai membaca isi surat itu. 

"Benar katamu! Senopati tua ini seperti menemukan buah simalakama! Dimakan ibu mati tidak di-

makan bapak mati. Surat ancaman ini menyulitkan dia 

untuk mengambil keputusan! Akan tetapi walau ba-

gaimanapun aku menyalahkan sikapnya dengan men-

gambil keputusan membunuh diri seperti ini!"

Nanjar tak menjawab, akan tetapi manggut-

manggut membenarkan.

"Kita menghadapi masalah serius, sobat tua 

Naga Sinting! Apakah tindakan yang akan kau laku-

kan?" berkata Nanjar. 

"Ya! sebagai orang gagah tentu tak akan berpal-

ing muka membiarkan urusan yang bukan urusannya! 

Aku tidak menganggap diriku sebagai orang gagah. 

Akan tetapi hati nurani ku tak dapat memasabodoh-

kan kemelut kerajaan ini. Apalagi sampai membiarkan 

urusan menjadi besar!" sahut Naga Sinting.

Diam-diam Nanjar menarik napas lega. Dari ka-

ta-kata itu Nanjar mengambil kesimpulan bahwa si 

Naga Sinting itu bukan termasuk kategori tokoh sesat, 

walaupun belum diketahui jelas dia orang golongan hi-

tam atau putih. 

"Aku sependapat denganmu, sobat tua Naga 

Sinting!" ujar Nanjar.

"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan?" 

sambung Nanjar mengulang pertanyaannya. Sejenak 

Naga Sinting terdiam. Wajahnya tampak semakin be-

rubah mengelam. Setelah menghela napas, dia berka-

ta.

"Sebenarnya aku punya urusan lain yang harus 

kuselesaikan, tapi biarlah untuk sementara aku men-

gesampingkan urusan pribadiku, demi menyelesaikan 

kemelut di kerajaan itu. Aku belum dapat mengambil 

keputusan, langkah apa yang akan kulakukan! Bagai-

mana keputusanmu?"


"Mayat Senopati Tanu Wijoyo ini sebaiknya kita 

bawa ke Kota Raja! Orang-orang kerajaan harus men-

getahui kematian Kepala Pasukan ini!" berkata Nanjar. 

"Siapa yang akan mengantarnya sampai ke Ko-

ta Raja?" sambar Naga Sinting

"Haha.. kita tak akan mengantarnya sampai ke 

Kota Raja! Cukup membawanya sampai perbatasan sa-

ja!" ujar Nanjar. Lalu dia segera utarakan rencananya. 

"Bagus! He he he... otakmu cerdik juga, Pendekar Be-

go!" tertawa Naga Sinting. "Sebaiknya kita segera men-

gerjakannya sekarang juga!" Nanjar mengangguk. Lalu 

beranjak menghampiri jenazah sang Senopati.

"Biarlah aku yang memanggulnya. Surat anca-

man ini kau simpan saja pendekar Bego! Siapa tahu 

nanti ada gunanya!" berkata Naga Sinting. Nanjar ce-

pat menyambut lipatan kertas surat itu. Kali ini Naga 

Sinting tak berniat melakukan serangan diam-diam 

melalui lemparan benda itu.

Akan tetapi sekilas tampak sepasang mata Na-

ga Sinting berkilat seperti menyambar mata Nanjar. 

Dua kilatan mata saling sambar. Namun cepat-cepat 

Nanjar berkata. "Ha ha.. kau pun cerdik sobat tua Na-

ga Sinting!"

Setelah sesaat Nanjar benarkan celananya yang 

merosot kedodoran, Nanjar segera berkelebat melom-

pat.

"Kita bertemu lagi di perbatasan Kota Raja se-

belah barat. Aku akan mencari kuda lebih dulu, sobat 

Naga Sinting! Nah, sampai jumpa!" teriak Nanjar, se-

saat sebelum melompat lagi dari atas batu besar itu. 

Tubuh si Dewa Linglung dalam beberapa kejapan saja 

telah lenyap terhalang rimbunnya pepohonan.

Naga Sinting cuma tersenyum. Akan tetapi 

pancaran matanya menandakan keterkejutan hatinya.


Saat beradu tatap tadi kakek ini rasakan satu kekua-

tan sinar yang balik menyambar sinar matanya. Hal itu 

membuat Naga Sinting membathin dalam hati. "Bocah 

bego itu tak boleh dianggap enteng... Aku yakin tenaga 

dalamnya tak berada jauh di bawah ku! Siapakah dia 

sebenarnya?" Akan tetapi Naga Siting segera mem-

buang perasaannya yang tidak-tidak. Sekali lengannya 

bergerak, dia telah menyambar mayat Senopati Tanu 

Wijaya. Setelah disampirkan di pundak kirinya, sedetik 

kemudian dia berkelebat dari tempat itu... 

EMPAT

Di sudut desa sebelah barat Kota Raja tampak 

dua orang laki-laki menunggang kuda. Yang seorang 

bertubuh gemuk dan yang seorang lagi justru sebalik-

nya, kurus kerempeng. Keduanya adalah dua orang 

prajurit kerajaan.

"Bagus! aku tak berpayah-payah mencari ku-

da!" berkata Nanjar dalam hati. Entah kapan si Dewa 

Linglung telah berada di ujung jalan desa itu, bersem-

bunyi di balik batang pohon besar.

Menampak kedua penunggang kuda itu, Nanjar 

tersenyum. Tubuhnya berkelebat ke atas pohon. Se-

saat dia sudah nangkring di atas dahan pohon me-

nunggu kedua penunggang kuda itu lewat.

Agaknya yang ditunggu cuma berjalan santai 

sambil bercakap-cakap. 

"Eh, Simo! akhir-akhir ini banyak kudengar ke-

luhan dari penduduk.

Mereka sering didatangi orang-orang tak diken-

al yang menumpang menginap. Selain menginap, me


reka juga terkadang meminta makanan. Munculnya 

tak diundang, perginya pun tak permisi. Menurut kete-

rangan penduduk mereka bertampang kasar-kasar, ju-

ga berpakaian aneh-aneh! Akan tetapi sejauh itu me-

reka tak mengganggu penduduk!" berkata si kurus 

Laki-laki kawannya itu bernama Simo Gendut: 

Sejenak dia merenung.

"Aku juga mendengar kabar itu. Kuduga mere-

ka orang-orang persilatan! Tetapi sejauh mereka tak 

mengganggu penduduk, hal itu tak perlu kita risau-

kan!" sahut Simo Gendut seraya menjumpit sebatang 

rokok kawung dari saku bajunya. Kemudian menyala-

kannya. Sesaat dia sudah menghisapnya dalam-dalam, 

dan menghembuskan asap dengan mata meram melek.

"Pendapatmu ada benarnya. Tapi apakah tidak 

lebih baik kalau kita menaruh kecurigaan?" ujar si ku-

rus. Laki-laki ini bernama Kempul. 

"Maksudmu...?" menukas Simo Gendut. 

"Maksudku apakah tak sebaiknya kita melapor 

pada Tumenggung!" Simo Gendut tertawa, lalu mem-

banting rokok kawungnya yang mati.

"Kau ada-ada saja, Kempul! Keadaan di dalam 

kota sedang genting! 

Kanjeng Tumenggung tampaknya sedang pus-

ing mengurusi kemelut itu. Sudah berapa hari ini be-

liau sering bolak-balik menghadap kanjeng Adipati! 

Entah kemelut apa aku tak mengetahui. Menurut beri-

ta dari mbok emban yang bekerja di gedung kanjeng 

Tumenggung, beliau sering marah-marah.

Tak jarang si mbok emban sering mendengar 

kanjeng Tumenggung bertengkar dengan istrinya..." 

berkata Simo Gendut.

"Kemelut apa, ya?" Kempul mendesah seperti 

bertanya pada dirinya sendiri. "Haha..sudahlah, Kem


pul! Jangan terlalu mengurusi hal yang bukan urusan 

kita. Kita ini cuma prajurit! Kalau mendapat perintah, 

yaaah! kita kerjakan. Kalau tidak, yaaahi! mengapa ki-

ta harus mencari-cari kesulitan sendiri?" ujar Simo 

Gendut seraya menepuk pundak kawannya. 

Si Kurus Kempul manggut-manggut. "Agaknya 

benar katamu itu, Simo! Oh, ya aku pernah mendengar 

percakapan dua orang perwira istana, kabarnya... kan-

jeng Senopati sering tidak hadir lebih beberapa kali 

pertemuan, membuat kanjeng gusti Sultan marah-

marah! Dalam beberapa hari ini kanjeng Senopati juga 

absen dalam menjalankan tugasnya..." 

Kanjeng Senopati Tanu Wijoyo sudah puluhan 

tahun mengabdi pada kerajaan. Bahkan semasa tam-

puk pemerintahan masih dipegang oleh ayah kanjeng 

gusti Sultan, hingga sampai saat ini. Beliau sudah ter-

lalu tua untuk tetap memegang jabatan itu. Pantaslah 

kalau sering absen! Kita selayaknya harus memaklumi 

orang yang sudah seusia itu. Tenaga sudah berkurang, 

mata mulai kurang awas, badanpun sering sakit-

sakitan. Sudah selayaknya kalau beliau mengundur-

kan diri. Kudengar beliaupun pernah mengajukan hal 

pengunduran diri itu, akan tetapi kanjeng gusti Sultan 

tak memperkenankannya!

Agaknya belum ada orang penggantinya yang 

sesuai di hati kanjeng gusti Sultan..." 

Simo Gendut mengakhiri kata-katanya dengan 

mengeprak kuda.

"Sudahlah, panjang galah bisa diukur, akan te-

tapi panjangnya orang mengobrol? Wah bisa-bisa kita 

kena damprat atasan! saat lagi kita harus mengganti-

kan berjaga di pintu barat Kota Raja!" berkata Simo 

Gendut. Si kurus Kempul tertawa menyeringai, lalu 

menyusul kawannya


Agaknya Simo Gendut seperti hendak mengajak 

berpacu. Dia mempercepat lari kuda tunggangannya. 

Karena larinya terlebih dulu tentu saja si kurus Kem-

pul tertinggal jauh beberapa tombak di belakangnya. 

Beberapa saat saja pohon besar yang berada di tepi ja-

lan itu sudah terlewati 

Tibalah giliran si prajurit kurus bernama Kem-

pul yang segera melewati pohon besar di tepi jalan itu. 

Tepat di bawah pohon yang akan dilintasi mendadak 

sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu Kempul kelu-

arkan suara tertahan. Sepasang matanya membeliak. 

Sebelum dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu 

tubuhnya telah tertotok kaku. Ternyata Nanjar telah 

berada di atas kuda si Kurus ini, tetapi di belakang-

nya.

"Ha ha... gantian aku yang menunggang kuda, 

sobat kurus!" berkata Nanjar. Sekali lengannya berge-

rak, tubuh si Prajurit itu terlempar dari atas kuda me-

layang ke semak belukar.

Nanjar keprak pantat kuda agar berlari lebih 

cepat mengejar si gendut.

Bukan kepalang terkejutnya Simo Gendut keti-

ka mengetahui di pintu penjagaan sebelah barat Kota 

Raja dia melihat seorang laki-laki brewok bertubuh 

tinggi besar berdiri tegak menatap ke arahnya. Laki-

laki brewok itu memanggul sesosok tubuh dibahu ki-

rinya. Semakin terkejut si gendut ini ketika melihat 

dua orang prajurit penjaga pintu tapal batas Kota Raja 

yang siap digantikan, telah tergeletak di tanah.

Tanpa harus berpikir dua kali dia telah mena-

han lari kuda. Saat itu derap kuda di belakangnya 

hampir mendekati. Simon Gendut angkat sebelah len-

gannya memberi isyarat berhenti.

"Tahan, Kempul! Lihatlah! siapa laki-laki itu?"


berkata Simo Gendut.

"Yang mana?" terdengar suara menyahut di be-

lakang. Si penunggang kuda yang juga telah menghen-

tikan kudanya itu merendengi kuda Simo Gendut. "Ma-

tamu ditaruh di..." Simo Gendut tak meneruskan kata-

katanya. Sepasang mata laki-laki gendut itu telah 

membelalak karena melihat orang di sebelahnya bu-

kanlah si kurus Kempul.

"Hah!? Siapa ka..kau?" bentak si gendut seraya 

lengannya bergerak mencekal hulu pedang. Akan teta-

pi lengan Nanjar telah mendahului bergerak menotok 

tubuh si laki-laki gendut.

Nanjar segera memberi isyarat pada si laki-laki 

brewok yang tak lain dari si Naga Sinting.

Selanjutnya.... tubuh Senopati Tanu Wijoyo 

yang telah menjadi mayat itu diikatkan pada kuda si 

kurus yang tadi dinaiki Nanjar. Kemudian tali les kuda 

itu diikatkan pada pelana kuda Simo Gendut.

Selesai dengan pekerjaannya, Nanjar mendekati 

Simo Gendut. Lengannya bergerak membuka totokan 

di tubuh laki-laki gendut itu.

Wajah Simo Gendut pucat pias, tubuhnya ge-

metar. Peluh dingin mengucur deras membasahi tu-

buhnya. Akan tetapi Nanjar cepat berkata.

"Jangan takut, sobat gendut! Aku takkan mem-

bunuhmu! Kami bukan orang jahat! Kau bawalah 

mayat ini ke Kadipaten! Kami menemukan mayat ini 

menggantung di dahan pohon di hutan sebelah timur 

sana! 

Katakan pada Kanjeng Adipatimu, bahwa orang 

ini bukan mati dibunuh. Akan tetapi dia mati membu-

nuh diri. Siapa adanya orang ini kami tak mengeta-

hui... 

Selesai berkata Nanjar tepuk si gendut.


"Nah! cepat kau berangkat!" berkata Nanjar. 

Tak berlaku ayal lagi Simo Gendut segera bedal ku-

danya untuk berlari kencang. Di pintu penjagaan tapal 

batas itu dia sampai tak sempat menoleh lagi pada dua 

prajurit yang tertelungkup tak bergerak. Entah mati 

entah masih hidup. Pontang-panting si gendut mem-

bedal kudanya. Jantungnya serasa memukul-mukul 

mengalami kejadian barusan. Entah siapa adanya 

mayat orang ini? pikir Simo Gendut. Tapi dia tak ber-

pikir banyak, bukankah dia hanya seorang prajurit? 

Mengapa harus memusingkan segala macam urusan? 

Tak dibunuh pun, dia sudah bersyukur. Demikian pi-

kir Simo Gendut yang memang berfikiran dangkal.

Nanjar melompat menghampiri kedua prajurit 

penjaga pintu tapal batas itu. Segera dia memerik-

sanya. Mendadak wajah Nanjar berubah seketika. 

Langkahnya terhenti karena dilihatnya kedua prajurit 

itu telah tewas dengan kepala rengat! 

Sekali berkelebat si kakek brewok telah melom-

pat menghampiri Nanjar. Kedua pasang mata yang 

sama-sama berkilat segera beradu lagi.

"Kau tentu mau mengatakan kenapa aku mem-

bunuhnya?" berkata Naga Sinting. Nanjar tak menja-

wab, kecuali menelan ludah. 

"Mengapa kau melakukan itu?" akhirnya Nanjar 

bertanya 

"Hahaha.. mengapa harus dipusingkan dua 

nyawa prajurit tak berarti ini? He he... Sudahlah! mari 

kita pergi!" sahut Naga Sinting sambil tertawa.

Selesai berkata Naga Sinting mendahului berke-

labat. Terpaksa Nanjar segera menyusulnya. "Tunggu 

aku Naga Sinting!" teriak Nanjar.

Sambil berlari cepat menyusul si brewok, dalam 

hati Nanjar memaki.


"Haih! Naga Sinting! kau sungguh keterlaluan 

menganggap nyawa orang begitu murah! Keadaan su-

dah runyam, tentu akan bertambah runyam saja!" Di-

am-diam Nanjar terkesiap juga. Sikap Naga Sinting itu 

menandakan bahwa dia orang yang berhati kejam! 

"Saat ini dia tak mengetahui siapa diriku. Akan tetapi 

lambat laun dia pasti akan mengetahuinya! Aku harus 

hati-hati dengan manusia sinting itu! Jangan-Jangan 

hanya memancingku untuk membuat permusuhan 

dengan orang-orang kerajaan...!"

LIMA

MUNCUL Simo Gendut di halaman gedung Ka-

dipaten membuat gempar prajurit-prajurit yang tengah 

berkumpul di halaman, karena prajurit gendut itu 

membawa sesosok tubuh yang tertelungkup terikat di

atas kuda. 

Mereka menduga sosok tubuh itu adalah si ku-

rus Kempul. Akan tetapi bukan kepalang terkejutnya 

ketika salah seorang perwira mengenali siapa adanya 

sosok tubuh yang telah menjadi mayat itu.

Tak ayal lagi beberapa orang segera turunkan 

jenazah itu dari atas kuda. 

Beberapa orang berlari untuk memberi laporan 

pada Adipati atas perintah perwira itu. 

Simo Gendut habis diberondong oleh bermacam 

pertanyaan. Akan tetapi laki-laki gendut itu tak men-

jawab. Dengan kepala tertunduk, dia melangkah men-

daki tangga undakan untuk menghadap Adipati 

SURYO BAWON

Pucat pias wajah sang Adipati Suryo Bawon 

mengetahui mayat yang dibawa prajuritnya adalah


mayat Senopati Tanu Wijoyo. Simo Gendut segera di-

tanyai mengenai kejadian itu. Dengan wajah pucat dan 

tubuh gemetar si prajurit gendut itu segera mencerita-

kan apa yang terjadi dari awal sampai akhir tanpa ada 

yang terlewat. 

"Hm, siapakah kedua orang itu?" gumam Adi-

pati. Lengannya memilin-milin janggutnya yang cuma 

sejumput. Sepasang matanya menatap keluar pendo-

po. Keterangan Simo Gendut mengenai ciri-ciri kedua 

orang itu tak membuahkan ingatan pada kepala sang 

Adipati. Dia tak mengenal siapa adanya kedua orang 

itu. "Apakah kau yakin kalau Senopati Tanu Wijoyo 

mati membunuh diri?" bertanya Suryo Bawon, seraya 

berpaling pada Tumenggung Nara Sepuh yang juga te-

lah dipanggil menghadap. 

"Melihat tanda bekas jeratan tali di leher Ki Ta-

nu Wijoyo rasanya memang kematiannya adalah akibat 

gantung diri

Akan tetapi apakah beliau mati memang sen-

gaja menggantung diri, ataukah dibunuh orang dengan 

mempergunakan cara itu hamba kurang mengetahui!" 

menyahut Tumenggung Nara Sepuh 

Adipati Suryo Bawon terdiam mendengar jawa-

ban Tumenggung Nara Sepuh. "Kejadian ini memang 

aneh! Sejak beberapa hari yang lalu Ki Tanu Wijoyo 

memang tak keluar dari gedungnya. Bahkan dia absen 

tak menjalankan tugas seperti biasa. Dua orang utu-

san yang kukirim untuk menyampaikan surat menge-

nai diadakannya pertemuan di gedung Kadipaten ini 

telah kembali pulang dengan wajah kecewa! Karena 

pintu gedung tertutup, dan pengawal gedung menolak 

menyampaikan surat itu, karena Ki Tanu Wijoyo telah 

memberi pesan sebelumnya!" berkata Suryo Bawon. 

"Hamba menduga Ki Tanu Wijoyo telah diculik


orang. Dan kematiannya tentu ada hubungannya den-

gan dua orang yang telah menemukan mayat Ki Tanu 

Wijoyo itu!" Tumenggung ini membuka suara.

"Maksudmu kedua orang itulah yang menculik 

dan membunuhnya?" sambar Adipati.

"Belum bisa dipastikan..! maksud hamba kedua 

orang itu tentu ada hubungannya dengan kemelut da-

lam istana!" sahut Nara Sepuh cepat-cepat.

"Hm, keteranganmu hanya akan menambah 

kabur urusan ini, dan terlalu jauh melantur, rayi Tu-

menggung!" berkata Adipati Suryo Bawon. Dia bangkit 

berdiri, lalu bertepuk tangan dua kali. Pertanda perte-

muan telah diakhiri. Diperintahkan beberapa pengawal 

untuk membawa jenazah itu ke gedung Senapati. Dan 

sampaikan surat dariku kepada kanjeng Sultan!" ber-

kata Adipati kepada dua perwira yang juga berada di 

pendopo itu. Sebelum masuk keruang kerjanya untuk 

menulis surat.

"Daulat, kanjeng Gusti!" menyahut dua perwira 

itu berbareng. Lalu keduanya bergegas keluar pendo-

po. 

Tumenggung Nara Sepuh tanpa banyak bicara 

lagi segera turut keluar dari ruangan. Wajahnya ber-

semu merah, hatinya agak mendongkol dengan kata-

kata Adipati. "Huh! lagi-lagi salah! Kalau setiap penda-

pat orang lain selalu disalahkan, buat apa mengada-

kan pertemuan dan mengundangku datang kemari?" 

gerutu Tumenggung dalam hati.

Baru saja Tumenggung Nara Sepuh tiba di ba-

wah tangga, tiba-tiba dua orang prajurit memasuki 

pintu gapura dengan wajah pucat. Keduanya melompat 

dari atas kuda. Dan dengan napas tersengal-sengal sa-

lah seorang segera menghadap padanya. 

"Ada apa lagi yang terjadi?" tanya Tumenggung.


Hatinya masih mendongkol. "Dua orang prajurit kadi-

paten yang berjaga di tapal batas, kami dapati telah 

tewas!" menyahut prajurit itu dengan napas tersengal-

sengal.

"Hah!? ini benar-benar edan! Dalam satu hari 

sudah tiga orang kehilangan nyawa!" tersentak sang 

Tumenggung.

Akan tetapi Tumenggung Nara Sepuh yang se-

dang mendongkol hatinya tak ambil perduli dengan 

semua itu. Segera dihampiri kuda tunggangannya. Tak 

lama dia telah membedal kudanya untuk berlalu cepat 

meninggalkan gedung Kadipaten.

Iring-iringan prajurit yang membawa jenazah 

Senapati Tanu Wijoyo dalam kereta jenazah, dengan 

dikawal oleh dua orang perwira kerajaan, membuat 

penduduk Kota Raja berdatangan melihat.

"Siapakah yang meninggal?" bertanya seorang 

laki-laki yang berada di antara kerumunan penduduk. 

Laki-laki ini bertampang tolol. Berbaju dan bercelana 

gombrong. Rambutnya pun gondrong tak terurus. Di 

punggungnya menggemblok sebuah buntalan yang di-

tanya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topi 

tudung, bermuka bulat, dengan sebaris kumis tipis di

atas bibir.

"Entahlah! Aku sendiri tak mengetahui!" sahut 

si laki-laki bertudung tanpa menoleh. 

Mendadak orang yang berada di sebelah laki-

laki bertudung itu berkata

"Apakah kalian tak mengetahui bahwa yang 

meninggal adalah kanjeng Senopati Tanu Wijoyo?" laki-

laki yang berkata seseorang yang bertubuh keker. 

Mengenakan baju warna kuning yang terbelah di ba-

gian tengah. Tampak bulu-bulu yang lebat, menghiasi 

dadanya.


"Oooh..!?" Si pemuda bertampang tolol yang tak 

lain dari Nanjar adanya, manggut-manggut,

"Apakah yang menyebabkan kematiannya?" 

tanya Nanjar pura-pura tak mengetahui. Diam-diam 

dia memperhatikan laki-laki baju kuning itu.

"Menurut seorang prajurit, katanya membunuh 

diri dengan menjerat lehernya sendiri. Diketemukan 

oleh dua orang laki-laki yang menyerahkannya pada 

seorang prajurit yang membawanya ke gedung Kadipa-

ten!" sahut si laki-laki baju kuning.

"Bohong! Semua itu cuma bohong besar saja!"

Tiba-tiba seorang laki-laki yang berada di sebe-

lah kanan Nanjar menyambar bicara. Nanjar menoleh 

pada laki-laki itu. Ternyata dia seorang laki-laki tua 

berwajah bopeng. Usianya sekitar 40 tahun lebih. Si 

laki-laki berbaju kuning pun menoleh juga ke bela-

kang. 

"Dari mana kau tahu kalau berita itu bohong?" 

tanya si laki-laki baju kuning, dengan kerutkan kening 

menatap wajah orang itu.

"Aku telah melihat dengan mata kepalaku sen-

diri. Kedua orang yang menemukan mayat itu justru 

dialah yang menculik kanjeng Senopati, juga mereka-

lah yang telah membunuhnya. Bahkan mereka telah 

pula membunuh dua orang prajurit penjaga tapal ba-

tas. Pembunuhan yang kejam, karena kedua kepala 

prajurit itu rengat! Satu prajurit lagi bernama Kempul, 

telah jadi korban pula! Dia mati dengan kepala hancur! 

Mayatnya dilemparkan ke tengah jalan! Dan kalian ta-

hu? Siapakah kedua orang pembunuh itu?

Hm, Mereka adalah orang-orangnya Raden Ka-

mandaka. Beliaulah yang lebih berhak atas kekuasaan 

Kerajaan. Bukan Sultan yang sekarang ini! Karena

kanjeng Sultan yang sekarang ini cuma putra dari selir


baginda Sultan DAHA..! tutur si laki-laki muka bopeng.

"Lalu siapakah kanjeng Sultan yang sekarang 

ini?" tanya Nanjar. Diam-diam Nanjar terkejut karena 

orang ini enak saja membuka mulut. Apakah dia me-

mang benar mengetahui, semua kejadian? Dari mana 

dia mengetahui dan siapa adanya orang ini? pikir Nan-

jar dalam hati. Namun inilah kesempatan untuk mela-

cak kemelut apa yang sebenarnya terjadi di Kota Raja 

itu.

"Yang sekarang berkuasa adalah kanjeng Sul-

tan CARMANDALA!" sahut si laki-laki bopeng. Nanjar 

manggut-manggut.

Sementara iring-iringan pembawa kereta jena-

zah telah lewat. Si laki-laki bopeng tahu-tahu telah 

menyelinap pergi...

Nanjar celingukan mencari laki-laki itu. Segera 

terlihat laki-laki itu yang berjalan cepat ke arah bela-

kang gedung. Nanjar cepat memburunya. Diam-diam 

dia terus membuntuti. 

Ketika tiba di ujung jalan mendadak laki-laki 

itu berkelebat lenyap. Nanjar tersentak. Dia tak boleh 

kehilangan jejak orang itu. Tak ayal lagi segera dia per-

gunakan gerakan melompatnya untuk menerobos me-

motong jalan melalui hutan pohon jati.

Nanjar gunakan jurus-jurus lompatan kera. Ge-

rakan melompat yang jarang dikuasai orang itu me-

mang sukar untuk diikuti mata. Karena setiap kali tu-

buhnya melompat dengan bergantung di dahan, detik 

berikutnya sudah melesat lagi berpindah ke dahan be-

rikutnya. Dalam waktu singkat dia telah menerobos 

hutan jati itu. 

"Berhenti!" bentakan keras tiba-tiba merobek 

udara. Sebuah bayangan sosok tubuh tahu-tahu telah 

berkelebat menghadang si muka bopeng.


Tersentak kaget laki-laki ini melihat orang yang 

menghadang, karena tak lain dari pemuda bertampang 

tolol yang tadi berada di sebelahnya, ketika menonton 

iring-iringan kereta pembawa jenazah.

"Heh!? kau..? Mau apa kau menghadangku?" 

mulutnya membentak, tapi diam-diam hatinya terke-

jut. Karena dia tak menyangka si bocah tolol itu bukan 

seperti dugaannya, tapi seorang yang punya isi! 

"Haha... aku masih butuh penjelasan mu, so-

bat! Mengenai kedua orang pembunuh yang seperti 

kau katakan tadi!" Sahut Nanjar dengan cengar-cengir. 

Lengannya iseng mencabut rumput, lalu digunakan 

untuk mengilik-ngilik telinganya.

"Apa yang kurang jelas?" bentak si laki-laki bo-

peng. 

Diam-diam dia sudah menyiapkan serangan 

maut. Hatinya mendongkol melihat sikap Nanjar yang 

mirip orang tak memandang sebelah mata padanya.

"Haha... matamu yang kurang jelas!" sahut 

Nanjar. "Apakah kau tak melihat bahwa aku adalah sa-

lah seorang dari dua orang yang kau katakan sebagai 

pembunuh itu? Prajurit bernama Kempul itu cuma ku-

totok yang tak membuat bahaya jiwanya. Dan aku ta-

hu sendiri bahwa Senopati Tanu Wijaya memang telah 

menghabisi nyawanya dengan menggantung diri! Dua

orang prajurit penjaga tapal batas yang mati dengan 

kepala rengkah, aku tak mengetahui, karena aku tak 

merasa membunuhnya!" berkata Nanjar.

Pucatlah seketika wajah si laki-laki bopeng. Ti-

ba-tiba dia membentak keras. "Kalau begitu kau harus 

mampus!"

Bentakan itu disusul dengan meluncurnya tiga 

larik sinar hijau ke arah Nanjar, ketika secepat kilat si 

muka bopeng kibaskan lengannya.


Melihat datangnya serangan, Nanjar memang 

telah waspada sejak semula. Kedua lengannya berge-

rak menyilang di depan dada. Sedang kepalanya dimi-

ringkan untuk menghindari serangan. Dan... Tep! tep! 

Tampak tiga senjata rahasia berbentuk segi tiga 

runcing telah terselip di sela-sela jari tangannya.

Melihat serangan mautnya yang digunakan un-

tuk menghabisi nyawa Nanjar sekaligus menemui ke-

gagalan, si muka bopeng melompat mundur dua lang-

kah.

Secepat kilat dia telah mencabut sepasang sen-

jata gaetan dari kedua pinggangnya, Nanjar cuma ter-

senyum. 

"Siapakah kau sebenarnya, sobat? Dan siapa 

yang mendalangi kau?" bertanya Nanjar dengan un-

jukkan senyum jumawa. Ketiga senjata rahasia itu di-

lemparkan ke semak belukar.

"Bocah sombong! kau tak perlu mengetahui 

siapa aku! dan siapa orang di belakangku!" bentak si 

muka bopeng. Dengan memperdengarkan teriakan 

menggeledek laki-laki ini menerjang dengan sepasang 

gaetannya.

Nanjar gerakkan sepasang lengannya mendo-

rong ke depan. Satu kekuatan hebat telah membuat 

tubuh si laki-laki bopeng tertolak ke belakang. Tubuh-

nya terhuyung-huyung.

Baru saja Nanjar akan melompat untuk meno-

tok roboh lawannya, mendadak si muka bopeng per-

dengarkan teriakan panjang. Kedua senjata gaetannya 

terlepas, dan tubuhnya roboh terjungkal. Disusul ber-

kelebatnya dua sosok tubuh. Terkejut Nanjar ketika 

melihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata si laki-

laki baju kuning dan laki-laki bertudung yang tadi me-

nonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.



Memandang pada si muka bopeng. Laki-laki itu 

telah tewas dengan leher dan kening tertancap dua 

buah pisau belati.

Tampak di tangan si laki-laki baju kuning ma-

sih ada sisa sebuah belati lagi. Jelas si Baju kuning 

itulah yang telah membunuh si muka bopeng. 

Adapun si laki-laki bertudung masih tetap se-

perti tadi berdiri menjublak seperti arca.

ENAM

Siapakah anda, sobat-sobat? mengapa membu-

nuh dia?" bertanya Nanjar dengan menjura. Si laki-laki 

bertudung kali ini perdengarkan suara seraya membu-

ka topi tudungnya.

"Manusia tak berharga itu kukira lebih tepat 

mampus siang-siang dari pada hidup lebih lama!" sa-

hutnya. "Aku adalah, Raden Kamandaka sendiri, dan 

kawanku ini pengawal pribadiku!"

"Ah! Sungguh aku yang bodoh ini tak mengeta-

hui kalau berhadapan dengan pangeran Kamandaka, 

putra mahkota Kerajaan! maafkan hamba, raden..!" 

berkata Nanjar dengan kembali membungkuk hormat.

"Sudahlah, tak usah banyak peradatan. Aku 

belum lagi memegang tampuk pemerintahan. Apalagi 

keadaan Kota Raja dalam keadaan seperti ini. Ternyata 

belum lagi pemerintahan digantikan olehku, telah ba-

nyak manusia yang sengaja memancing kerusuhan 

dengan perbuatan adu-domba!" berkata Raden Ka-

mandaka.

"Boleh aku mengetahui siapakah anda, pende-

kar muda? Walau tampangmu seperti orang bodoh, tapi aku mengetahui kalau kau adalah seorang pendekar 

yang sengaja menyamar...!" bertanya Raden Kamanda-

ka. 

"Ah, aku yang bodoh ini mana berani mengata-

kan diriku seorang pendekar? Namaku Nanjar, orang-

orang menjuluki aku si Dewa Linglung!" sahut Nanjar 

dengan tertawa. 

"Dewa Linglung?" sentak Raden Kamandaka 

yang ternyata memang putra mahkota kerajaan itu. 

"Apakah anda juga yang digelari si Pendekar Pedang 

Mustika Naga Merah?" tanya Raden Kamandaka. 

"Aiiih, itu hanya julukan yang diberikan orang 

saja. Aku tak merasa menggunakan nama itu!" sahut 

Nanjar dengan garuk-garuk pantatnya dan benarkan 

celananya yang kedodoran.

Tiba-tiba Raden Kamandaka, rangkapkan ke-

dua lengannya, tubuhnya membungkuk menjura pada 

Nanjar

"Nama gelar dan kehebatan serta sepak terjang 

anda telah terdengar santar di wilayah utara. Sungguh 

hari ini aku amat bergirang hati dapat berjumpa den-

gan anda, sobat pendekar Dewa Linglung!"

Hal itu ternyata dilakukan pula oleh laki-laki 

baju kuning.

"Aku Warok Jingga menghaturkan hormat dan 

salam perkenalan sobat pendekar Dewa Linglung!" 

berkata laki-laki baju kuning seraya menjura

Akan tetapi buru-buru Nanjar mengangkat ke-

dua lengannya, dengan wajah berubah merah jengah.

"Haiih, jangan begitu, Raden..!" sentak Nanjar 

terkejut. Gerakan mengangkat tangan itu ternyata 

membuat Raden Kamandaka dan Warok Jingga jadi 

melenggak. Karena serangkum angin telah menolak 

tubuh mereka hingga mau tak keduanya mengangkat


lagi tubuhnya.

Akan tetapi wajah Raden Kamandaka tampak 

berubah cerah. Dengan tertawa dia berkata.

"Terima kasih atas kesediaanmu membantu pi-

hak kerajaan, sobat Nanjar! Mari kita pergi dari sini. 

Banyak hal yang harus kau ketahui mengenai kemelut 

di Kota Raja saat ini!" 

Nanjar tak banyak bertanya lagi. Dia angguk-

kan kepala seraya berkelebat mengikuti Raden Ka-

mandaka. Laki-laki bernama Warok Jingga itu menyu-

sul dan berlari-lari di sampingnya...

Nanjar menepuk-nepuk pundak Warok Jingga. 

"Aha, tak disangka kita bisa bertemu lagi dan menjadi 

kawan!" berkata Nanjar

Warok Jingga manggut-manggut dengan terse-

nyum menatap pemuda di sebelahnya pemuda yang 

tadi berada di antara desakan orang-orang yang me-

nonton iring-iringan kereta jenazah di Kota Raja.

Keadaan di luar Candi sunyi senyap... Malam 

merayap semakin larut. Warok Jingga duduk di tangga 

candi sebelah dalam. Dia dalam keadaan siap siaga, 

karena sebagai pengawal pribadi Raden Kamandaka 

keselamatan putera mahkota kerajaan itu terletak di 

pundaknya. Walaupun Raden Kamandaka sendiri me-

miliki ilmu kedigjayaan, tapi keadaan saat itu bagai api 

dalam sekam. Beruntunglah kemunculan Nanjar agak 

dini hingga membuat Raden Kamandaka dan Warok 

Jingga dapat bernapas lega.

Di ruang dalam, Raden Kamandaka duduk ber-

cakap-cakap dengan Nanjar. Ruang tempat mereka 

bercakap-cakap diterangi lampu sentir. Cahayanya tak 

begitu terang. Tapi cukup untuk mereka bisa melihat 

wajah masing-masing dalam penerangan yang samar-

samar itu.


Nanjar menunjukkan surat ancaman yang dis-

impannya disaku bajunya pada Raden Kamandaka.

"Inilah surat yang kutemukan di lipatan baju 

Senopati Tanu Wijoyo!" berkata Nanjar "sayang surat 

yang telah ditulis olehnya sendiri telah dihancurkan 

oleh si Naga Sinting!" 

"Naga Sinting?" sentak Raden Kamandaka se-

raya menerima surat itu dari tangan Nanjar. "Ya! aku 

baru mengenalnya dua hari yang lalu. Dialah yang te-

lah membunuh kedua prajurit penjaga tapal batas itu!" 

sahut Nanjar.

"Hm, surat ini cuma singkat saja! isinya men-

gancam Senopati Tanu Wijoyo agar turut membantu 

"aku" mempersiapkan rencana pemberontakan. Yaitu 

menyerang Istana. Karena Sultan Carmandala tak mau 

mengudurkan diri dari tampuk pemerintahan!"

"Surat edan!" memakai Raden Kamandaka. Sul-

tan Carmandala sendiri sejak kedatanganku ke Kota 

Raja telah bertatap muka padaku. Dan dia akan segera 

mengundurkan diri bila aku menghendaki. Namun aku 

menolak, dan mengatakan tak usah terburu-buru. 

Anehnya orang istana menganggap kami berontak.

Dan yang lebih gila lagi adalah aku dianggap 

akan mengadakan pemberontakan menyerang Istana! 

Edan! benar-benar edan! Aku tak merasa telah menulis 

surat apa-apa. Apalagi surat ancaman!" ujar Raden 

Kamandaka dengan mata merah berkilat. 

"Eh, ya siapa adanya si Naga Sinting itu? dan 

orang macam apakah dia?" tiba-tiba Raden Kaman-

daka ajukan pertanyaan pada Nanjar.

"Aku sendiri belum memahami pribadinya. Ra-

den! apakah dia berada dipihak golongan putih atau 

hitam aku masih meragukan!" sahut Nanjar. Kemudian 

Nanjar menceritakan sejak awal pertemuannya dengan


si Naga Sinting itu, hingga mereka menjumpai Senopa-

ti Tanu Wijaya yang dia terlambat menolong jiwanya.

Yang tak diceritakan Nanjar adalah mengenai si 

Naga Sinting yang mencari-cari dirinya. Bahkan si Na-

ga Sinting sampai saat ini tak mengetahui kalau Nan-

jarlah orang yang dicarinya.

Raden Kamandaka manggut-manggut, lalu me-

nyimpan surat ancaman itu ke saku bajunya. "Manu-

sia bergelar Naga Sinting itu patut juga dicurigai. Dan 

kukira kau cukup waspada untuk tak mempercayainya 

sepenuhnya bukan?" ujar Raden Kamandaka. 

"Ya! Aku telah waspada sejak dini!" sahut Nan-

jar dengan beranjak berdiri. Oh, ya Raden! kukira ma-

lam sudah larut. Silahkan kau beristirahat. Biarlah 

aku yang menjaga di luar candi!"

Nanjar beranjak mendekati Warok Jingga. 

Mendengar suara langkah kaki di belakangnya Warok 

Jingga menoleh.

"Hendak kemana sobat Nanjar? Silahkan anda 

beristirahat, biar aku yang berjaga-jaga!" berkata Wa-

rok Jingga yang bergelar si Pisau Terbang itu. "Ah, si-

lahkan kau saja yang beristirahat, sobat Warok! mata-

ku belum mengantuk. Biar aku yang menggantikan 

kau berjaga malam!" sahut Nanjar dengan tersenyum.

"Terima kasih sobat Nanjar! aku juga belum 

mengantuk..!" sahut si Pisau Terbang.

"Kalau begitu kita berdua berjaga malam!" ujar 

Nanjar seraya menepuk pundak Warok Jingga. Laki-

laki ini tersenyum mengangguk.

Nanjar beranjak kepintu candi sebelah timur. 

Disana dia duduk menyandar di tembok. Sedangkan

Warok melangkah ke pintu sebelah barat.


TUJUH

Sementara itu keadaan di luar candi gelap-

gulita. Bulan tak menampakkan dirinya. Di dalam

Candi, Raden Kamandaka telah tertidur lelap berban-

talkan lengan. Nanjar alias si Dewa Linglung pun telah 

terdengar suara dengkurnya. Cuma tinggal si laki-laki 

bernama Warok Jingga yang masih belum memicing-

kan mata.

Diantara kepekatan malam itu ternyata sosok 

bayangan hitam telah bermunculan di sekitar candi.

Gerakan mereka amat pelahan sehingga tak 

menimbulkan suara sedikitpun. Semakin jelaslah ka-

lau sosok-sosok bayangan itu adalah sosok tubuh ma-

nusia yang mengenakan topeng dengan pakaian serba 

hitam 

Di lengan-lengan tampak mencekal senjata ta-

jam.

Saat itu si Pisau Terbang pelahan-lahan bang-

kit berdiri. Matanya memancar tajam keluar candi. 

Agaknya dia telah mengetahui kedatangan sosok-sosok 

tubuh yang mengurung candi. Pelahan dia menatap ke 

arah Nanjar yang masih mendengkur terduduk di pin-

tu candi menyandar di tembok. Lalu dia menoleh ke 

dalam, memandang ke arah Raden Kamandaka yang 

juga telah tertidur pulas.

Wajah Warok Jingga tampak perlihatkan se-

nyum menyeringai. Tiba-tiba dia memberi isyarat den-

gan gerakan tangan keluar candi. 

Aneh! Isyarat itu ternyata adalah tanda isyarat 

agar sosok-sosok tubuh yang di luar candi segera ber-

gerak masuk.

Dengan gerak sebat tanpa menimbulkan suara


beberapa sosok tubuh berkelebatan mendekati pintu 

candi.

Tiga orang dengan senjata terhunus menyelinap 

masuk dari sisi pintu candi sebelah barat. "Cepat be-

reskan dia!" bisik Warok pada kedua sosok tubuh itu. 

Keduanya mengangguk. Lalu cepat melompat ke dalam 

ruangan. Selanjutnya dengan berindap-indap mende-

kati Raden Kamandaka yang masih tertidur pulas.

Empat sosok tubuh menyelinap ditembok-

tembok candi sebelah luar. Sementara Warok Jingga 

segera pura-pura duduk lagi, seolah-olah dalam kea-

daan tertidur dan tak mengetahui apa yang terjadi.

Ketegangan semakin memuncak ketika dua so-

sok tubuh bertopeng itu telah mengangkat kelewang-

nya tinggi-tinggi untuk menghabisi nyawa Raden Ka-

mandaka. Kematian Raden Kamandaka telah berada di 

lubang jarum, ketika kedua klewang itu dengan gera-

kan sebat meluncur ke arah leher dan dada sang putra 

mahkota.

Mendadak Nanjar menguap... Lengannya berge-

rak seperti mau mengusir nyamuk. Di detik itulah tiba-

tiba kedua penyerang gelap yang siap mengantar nya-

wa Raden Kamandaka ke Akhirat, perdengarkan teria-

kan kaget dibarengi suara.. perdengarkan teriakan ka-

get dibarengi suara. Tingng! tingng! kedua klewang di 

tangan penyerang itu mendadak terlepas dari tangan

mereka. Terpental keras hingga menancap di tembok 

candi. 

Belum lenyap terkejutnya, kedua sosok tubuh 

itu tiba-tiba perdengarkan jeritan panjang. Dan seketi-

ka roboh terjungkal! 

Raden Kamandaka tersentak kaget. Secepat ki-

lat dia telah melompat bangun. Dilihatnya dua sosok 

tubuh berpakaian dan bertopeng hitam berkelojotan



meregang nyawa. Ternyata dua buah pisau belati telah 

memanggang lehernya. 

"Kurang ajar! Oh sukurlah Raden tak kenapa-

napa?!" teriak Warok Jingga. Secepat kilat dia telah 

melompat menghampiri Raden Kamandaka.

Saat itu Nanjar telah melompat bangun. Men-

dadak tubuhnya berkelebat ke luar candi. Sedetik ke-

mudian terdengar suara jeritan saling susul. Empat 

sosok tubuh roboh menggeletak di pintu candi

Tersentak Raden Kamandaka. Seketika dia te-

lah memburu ke luar, dengan dibarengi mencabut pe-

dangnya.

"Siapa mereka, sobat Nanjar?" sentak Raden 

Kamandaka.

Nanjar muncul di pintu candi dengan mene-

puk-nepuk telapak tangannya.

"Ada cecunguk kurang ajar yang mengincar 

nyawa kita, Raden! Harap kau berhati-hati!" berkata 

Nanjar. Sepasang mata Nanjar menatap kea rah Warok 

Jingga yang turut melompat ke luar menyusul Raden 

Kamandaka.

"Syukur aku bertindak cepat! Kalau tidak entah 

bagaimana nasib Raden!" berkata Warok Jingga seraya 

melompat ke sisi pintu candi. Warok memeriksa empat 

sosok tubuh yang telah tergeletak tak bernyawa.

"Tempat kita telah diketahui oleh manusia-

manusia yang mengingini jiwa kita, Raden. Kukira se-

baiknya malam ini kita tinggalkan tempat ini" ujar Wa-

rok Jingga.

Raden Kamandaka tak menyadari kalau Warok 

Jingga adalah musuh dalam selimut, ular berbisa yang 

setiap saat akan merengut jiwanya.

"Bagaimana pendapatmu, sobat Nanjar?" ber-

tanya Raden Kamandaka dengan wajah berubah tegang.

Nanjar menghela napas. "Keadaan di luar dan 

di dalam kukira sama saja! Di luar banyak manusia ib-

lis yang juga tengah mengincar nyawa. Dan di dalam 

pun ada ular berbisa yang harus dihancurkan kepa-

lanya, karena merupakan bahaya paling besar bagi ke-

selamatan Raden!" berkata Nanjar, seraya melirik pada 

Warok Jingga. Seketika wajah laki-laki itu berubah 

merah.

"Sobat Nanjar! Apakah tuduhan itu kau tuju-

kan pada ku?" bentak Warok Jingga seraya melangkah 

mundur setindak.

"Hm, habis siapa lagi? Ha ha... aku tak mung-

kin bisa kau kelabui dengan tipu daya licikmu. Hm, 

bukankah para penyerang itu adalah konco-koncomu 

sendiri yang sengaja kau undang kemari untuk mem-

bunuh Raden Kamandaka dan aku?" berkata Nanjar 

dengan senyum sinis.

Pucat pasi seketika wajah Warok Jingga. Tiba-

tiba di detik itu sepasang lengannya bergerak mengi-

bas...

Meluncurlah empat buah pisau terbang dengan 

kecepatan luar biasa. Dua buah mengarah ke Nanjar, 

sedangkan dua buah lagi meluncur ke arah Raden 

Kamandaka.

Whuuuk!

Lengan Nanjar mengibas. Serangkum angin ke-

ras menghantam dua buah pisau yang meluncur deras 

ke arah Raden Kamandaka. Sedangkan yang dua lagi 

sukar untuk di tangkis oleh Nanjar. Terpaksa dia ja-

tuhkan dirinya bergulingan untuk mengelakkan sam-

baran pisau. 

Cep! cep! Dua buah pisau terbang itu menan-

cap di tembok beberapa inci dari leher dan bahu Nanjar.

"Ular berbisa keparat!" membentak Nanjar se-

raya melompat. Akan tetapi Warok Jingga si Pisau Ter-

bang telah berkelebat melarikan diri...

"Iblis terkutuk! kau kira kau dapat melarikan 

diri?" bentak Nanjar. Detik itu juga tubuh si Dewa Lin-

glung telah melesat mengejar buruannya

Lompatan tubuh Nanjar telah disambut dengan 

serangan pisau terbang yang nyaris memanggang le-

hernya. Namun dengan gerakan jurus Kera Sakti 

Menghantam Ombak, tiga pisau terbang terpental. Kali 

ini Nanjar tak memberi hati lagi pada Warok Jingga. 

Sekali berkelebat tubuhnya telah tiba di depan Warok 

Jingga. Dan satu hantaman telak telah membuat laki-

laki itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya 

terlempar lima tombak! Ketika itulah Raden Kamanda-

ka telah melompat keluar dari dalam candi.

"Jangan bunuh!" teriak Raden Kamandaka. Ta-

pi terlambat! Laki-laki bernama Warok Jingga itu telah 

tewas dengan tulang dada remuk hangus, terkena pu-

kulan Naga Murka yang dilontarkan Nanjar karena 

saking gemasnya pada manusia licik itu. Itulah jurus 

yang diperoleh dari si Raja Siluman Naga.

"Mengapa Raden melarangku membunuh ma-

nusia licik ini?" bertanya Nanjar seraya melompat 

menghampiri Raden Kamandaka.

"Dia... dia saudara angkatku, sobat Nanjar!" 

sahut Raden Kamandaka dengan wajah muram.

"Ahh....!?" sentak Nanjar terkejut. "Maafkan aku 

Raden, tapi..."

"Sudahlah! agaknya kematiannya memang pan-

tas, sebagai ganjaran atas pengkhianatannya...!" po-

tong Raden Kamandaka.

"Sebaiknya aku mengantarmu ke Kota Raja,


Raden! Situasi amat berbahaya!" Ujar Nanjar memberi 

saran.

Sejenak Raden Kamandaka tercenung. Lalu 

menghela napas, dan ujarnya.

"Tempat yang terbaik saat ini adalah di perta-

paan Telaga Bodas! Tempat menetap guruku. Karena 

Kota Raja juga bukan merupakan tempat yang aman 

bagiku! Golongan hitam telah menyebar di Kota Raja. 

Ah, entah bagaimana nasib adikku, Sultan Carmanda-

la..." berkata Raden Kamandaka.

"Kalau tempat itu merupakan yang terbaik! Aku 

bersedia mengawalmu, Raden. Mari kita segera be-

rangkat sebelum dini hari.

Raden Kamandaka anggukan kepala. Tak ada 

pilihan lain lagi. Keselamatan juwanya adalah lebih 

penting. Dengan adanya si Dewa Linglung di samping-

nya dia tak merasa khawatir akan adanya serangan ge-

lap yang setiap saat dapat merengut jiwanya.

Tak berapa lama keduanya segera tinggalkan 

tempat itu. Kebisuan mencekam di malam yang dingin 

yang juga telah membawa maut! Suara kepak saya ke-

lelawar sesekali meningkahi bunyi jengkerik malam ke-

tika dua sosok tubuh itu berkelebat menuju arah teng-

gara...

DELAPAN

Matahari baru saja tersembul dari balik gu-

nung, ketika sesosok tubuh berkelebat kea rah candi... 

Siapa adanya sosok tubuh ini tak lain dari si gadis 

Bengal yang pernah menggoda Nanjar, menyembunyi-

kan pakaiannya di dalam hutan pada sebuah tepian 

sungai.


Terkejut gadis ini melihat beberapa mayat ber-

kaparan di muka candi. Ketika dia melompat untuk 

memeriksa di bagian dalam, dua sosok mayat pun di-

jumpainya juga. "Hah!? Mayat-mayat siapakah ini? ke-

semuanya mengenakan pakaian hitam dan mengena-

kan topeng penutup wajah...!" berkata dia dalam hati. 

Hatinya tersentak, karena dia tak mendapatkan orang 

yang dicarinya.

"Celaka! kemanakah perginya kakang Kaman-

daka?, siapakah yang telah melakukan pembunuhan 

ini?" sentak gadis ini dengan wajah pucat. Apakah 

yang membuat dia terkejut adalah karena dia telah 

melihat di antara mayat-mayat bertopeng itu dijumpai 

mayat Warok Jingga. Dia kenal betul kalau Warok 

Jingga adalah pengawal pribadi laki-laki bernama Ka-

mandaka, yaitu orang yang tengah dicarinya. 

Dengan hati berdebar dia memeriksa setiap 

mayat laki-laki bertopeng dengan membuka cadar yang 

menutupi wajah-wajah mereka. Akan tetapi tak satu-

pun diantaranya adalah mayat Kamandaka. 

Sejenak dia tertegun berdiri menjublak dengan 

wajah muram. Setelah lama merenung, akhirnya dia 

mendapat firasat dalam benaknya.

"Hm, jangan-jangan kakang Kamandaka kem-

bali ke pertapaan Telaga Bodas untuk menemui guru! 

Keadaan Kota Raja sedang gawat! Tak mungkin kalau 

dia pergi ke sana...!" pikirnya

Setelah merasa firasatnya tidak meleset, segera 

gadis ini berkelebat tinggalkan candi yang penuh 

mayat itu dengan hati mantap. Tujuannya adalah per-

tapaan Telaga Bodas. 

Akan tetapi sang gadis tak mengetahui kalau 

dirinya telah dibuntuti oleh bayangan sosok tubuh. 

Siapa adanya orang yang menguntit itu tak lain dari siNaga Sinting!

Ketika melintasi sebuah bukit, mendadak gadis 

ini terkesiap, karena sesosok tubuh tinggi besar entah 

sejak kapan telah berdiri tegak di hadapannya meng-

halangi jalan. Gadis ini kerutkan keningnya. Sepasang 

alisnya menukik dengan mata tajam menatap siapa la-

ki-laki tinggi besar itu.

"Heh!? siapakah kau orang tua? mengapa 

menghalangi aku lewat?" bentak si gadis. Diam-diam 

dia telah bersikap waspada dengan orang ini.

"Ho ho ho... bocah ayu! aku cuma ingin ber-

tanya, hendak kemanakah kau? Dan boleh aku menge-

tahui siapa namamu?" sahut Naga Sinting dengan ter-

tawa menyeringai.

"Apa urusannya dengan tujuanku? Aku tak 

mengenal dirimu, mengapa enak saja kau menanyakan 

namaku segala!" sahut ketus si gadis.

"Haha.. bocah ayu, wajahmu cantik tapi galak! 

Baiklah kalau kau mau mengetahui siapa diriku, aku-

lah orangnya bergelar si Naga Sinting!"

"Hm, gelarmu saja sudah tak enak didengar, 

tentu kau berniat tak baik terhadapku!" tukas si gadis.

"Haha... jangan khawatir, Cah ayu! kalau kau 

tak mau beritahukan tujuanmu, tak apalah, apakah 

kau juga tak mau memberitahukan siapa namamu?" 

tertawa menyeringai si Naga Sinting. Sepasang ma-

tanya berkilat memandang sang gadis. Mata yang me-

nyorotkan hawa aneh. Membuat hati si gadis jadi agak 

bergidik. 

"Baik, aku akan memberitahukan siapa nama-

ku tapi segera kau menyingkir jangan menghalangi 

orang lewat!"

"Hoho.. jangan khawatir, Naga Sinting tak per-

nah ingkar janji!" berkata Naga Sinting dengan memilin


kumisnya.

"Namaku Sri Widarti! Nah! segera kau me-

nyingkir!" selesai menyebutkan namanya gadis ini 

langsung melangkah maju dua tindak untuk teruskan 

perjalanannya.

"Eh, nanti dulu! mengapa kau harus terburu-

buru, nona Widarti? Kau belum sebutkan siapa kedua 

orang tuamu dan siapa pula gurumu! Kulihat kau 

punya ilmu kepandaian dan bukan seperti gadis bi-

asa!" Naga Sinting rentangkan lengannya menghadang. 

"Orang tua ceriwis yang tak pegang janji! Me-

nyingkirlah!" membentak si gadis bernama Sri Widarti 

itu. Tubuhnya berkelebat melompat ke depan. Dan ke-

palan tinjunya melayang ke arah dada si Naga Sinting.

Buk!

Hantaman telak pukulan Widarti mengenai sa-

saran. Akan tetapi gadis ini menjerit kesakitan, karena 

kepalannya seperti menumbuk batu saja.

Sedangkan orang yang ditinjunya itu sedikit

pun tak bergeming berdiri tegak dengan tertawa me-

nyeringai. 

"Hohoho... jurus serangan Tinju Dewa yang he-

bat!. Akan tetapi jurus yang kau pergunakan kurang 

bertenaga penuh! Seharusnya kau barengi dengan me-

nyalurkan tenaga dalam penuh pada kepalan tangan-

mu, nona Widarti!" berkata Naga Sinting. 

Gusarlah gadis itu, disamping kaget karena Na-

ga Sinting mengetahui nama jurus yang diperguna-

kannya. Akan tetapi dengan menggerung keras dia 

kembali menerjang. Kali ini bukan saja tinjunya yang 

melayang akan tetapi dibarengi dengan hantaman-

hantaman yang dahsyat.

Namun semua itu tidak membuat si Naga Sint-

ing bergeser dari tempatnya. Bahkan satu tenaga aneh


bagaikan sebuah dinding baja telah menghalangi tu-

buh laki-laki tinggi besar itu, hingga tak satu pun pu-

kulan Sri Widarti mengenai sasaran.

Karena jengkelnya Widarti telah menghunus 

senjatanya. Itulah sepasang pedang pendek berujung 

melengkung yang terselip di kedua pinggangnya. 

Dengan sepasang senjata ini dia menerjang si 

kakek brewok tinggi besar itu, dengan serangan-

serangan ganas!

Akan tetapi dengan perdengarkan tawa berge-

lak, Naga Sinting berkelebat lenyap. Dilain kejap tahu-

tahu sepasang pedang ditangan si gadis telah terlepas 

dari tangannya. Kejap berikutnya sebelum Sri Widarti 

mengetahui kelanjutannya, dia telah perdengarkan ke-

luhan. Seketika tubuhnya terasa kaku, dan jatuh 

mengeloso di tanah.

Membelalak sepasang mata Sri Widarti karena 

melihat si Naga Sinting telah berdiri di depannya, den-

gan wajah menyeringai.

Sepasang pedang pendeknya telah berada di 

tangan kakek tinggi besar itu.

Pucat pias wajah Sri Widarti. Dalam keadaan 

demikian putuslah harapannya. Peluh dingin mengu-

cur di sekujur tubuhnya, jantungnya berdetak keras. 

Entah apakah yang bakal terjadi pada dirinya sekejap 

lagi? Naga Sinting menyeringai. Lalu beranjak melang-

kah mendekati.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang 

menyanyi dari arah kejauhan, membuat si Naga Sint-

ing jadi melengak dan menahan langkahnya:

"Kota Raja terancam bahaya,

cecunguk edan merajalela...

Mencari jejak dalang durjana


Malah berkawan ular berbisa

Ooolala..."

Kata-kata nyanyian itu bernada seperti syair 

dinyanyikan berulang-ulang. Semakin lama semakin 

dekat. Mendengar nyanyian itu mendadak wajah Naga 

Sinting jadi berubah merah. Tiba-tiba dia membanting 

sepasang pedang pendek di tangannya hingga menan-

cap amblas di tanah. Sekali lengannya mengibas, ter-

lepaslah totokan di tubuh gadis itu

Tentu saja membuat Sri Widarti jadi terheran. 

Merasa totokan di tubuhnya telah punah, dia cepat 

melompat berdiri. Akan tetapi detik itu satu bentakan 

telah membuat dia menyurut mundur

"Ambil senjatamu itu, dan cepat kau minggat 

dari sini!" Walaupun heran seribu heran melihat peru-

bahan sikap si kakek bergelar Naga Sinting itu, namun 

Sri Widarti tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. 

Segera dicabutnya sepasang pedang pendek yang ter-

tancap di tanah, kemudian tanpa menunggu perintah 

dua kali dia telah berkelebat pergi dari tempat itu.

Suara nyanyian mendadak terhenti, karena se-

buah bayangan telah berkelebat ke hadapan pemuda 

yang bernyanyi-nyanyi itu.

"Pendekar Bego! kiranya kau adanya? Hm, nya-

nyianmu bagus sekali! Apakah kau menyindir ku den-

gan kata-kata nyanyianmu?" berkata Naga Sinting 

dengan wajah dingin. Sepasang matanya berkilat me-

natap pemuda itu yang tak lain adalah Nanjar adanya.

Sejak kejadian di pintu batas Kota Raja sebelah 

timur yang menewaskan dua orang prajurit penjaga 

pintu, Nanjar memang segera berpisah dengan Naga 

Sinting, untuk mengatur rencana sendiri- sendiri da-

lam usahanya membantu pihak Kerajaan yang dalam


keadaan rawan. Disamping itu Nanjar merasa kurang 

berkenan dengan sikap Naga Sinting yang telengas.

Tentu saja pertemuan yang kedua kalinya ini 

membuat kedua pasang mata kembali beradu. Menga-

pa Nanjar tahu-tahu muncul di tempat ini? Bukankah 

dia dalam rangka mengantar Raden Kamandaka ke

pertapaan Telaga Bodas? 

Ternyata sebelum Nanjar mengantar sampai ke 

tempat ke tujuan, telah berpapasan dengan seorang 

berjubah abu-abu berkumis dan berjanggut panjang 

putih menjuntai. Kakek yang juga berambut putih itu 

ternyata adalah guru Raden Kamandaka sendiri yang 

bernama KYAI MUNDING LAYA.

Baik dari raden Kamandaka yang putera mah-

kota itu sendiri maupun dari Kyai Munding Laya, sege-

ra diketahui kalau Raden Kamandaka mempunyai seo-

rang adik seperguruan wanita, bernama SRI WIDARTI.

Gadis bernama Sri Widarti itu seorang gadis 

yang baru berusia belasan tahun dan belum cukup 

dewasa. Gadis itu adalah adik tiri Raden Kamandaka. 

Yaitu adik kandung Sultan CARMANDALA yang meme-

gang tampuk pemerintahan sementara di Kerajaan 

WIRATA. Pengangkatan itu dikarenakan Raden Ka-

mandaka putra Sultan DAHA PAKERTI (terkenal den-

gan sebutan Sultan DAHA) belum menamatkan bergu-

runya di pertapaan Telaga Bodas. Yaitu pada Kyai 

Munding Laya. Kyai Munding Laya adalah masih per-

nah kakek dengan Raden Kamandaka. Dia seorang tua 

bijaksana yang pernah menjadi seorang penasihat Ke-

rajaan di Kerajaan Wirata, yang mengundurkan diri 

serta mengasingkan diri menjadi seorang pertapa. 

Tak dinyana kembalinya Raden Kamandaka ke 

Kota Raja telah menjadi sebab terjadinya kemelut di is-

tana yaitu dengan munculnya para pengadu domba


dan tukang fitnah yang berusaha membuat kerusuhan 

diantara kedua putra mahkota itu. Nanjar yang merasa 

punya andil untuk turut mempertahankan keutuhan 

kerajaan WIRATA, juga sebagai seorang pendekar yang 

hampir seluruh hidupnya digunakan untuk menegak-

kan panji kebenaran, bersedia membantu pihak Kera-

jaan.

Demikianlah, Nanjar segera mohon diri untuk 

mencari Sri Widarti yang ciri-cirinya telah diberitahu-

kan oleh Kyai Munding Laya.

SEMBILAN

Dua pasang mata kembali beradu tatap! Secara 

tak sengaja justru Nanjar berjumpa dengan Naga Sint-

ing. Karena Nanjar memang berniat kembali ke Candi 

untuk memeriksa, siapakah sebenarnya manusia-

manusia bertopeng yang telah diperalat oleh Warok 

Jingga itu!

Tak dinyana kemunculannya justru telah 

menggagalkan niat busuk Naga Sinting yang akan 

mempermainkan seorang gadis. Dan secara kebetulan 

gadis itu adalah Sri Widarti yang dicarinya. Sayang 

Nanjar tak mengetahui apa yang terjadi, juga tak men-

getahui kalau Sri Widarti berada di tempat itu dan ba-

ru saja terlepas dari bahaya.

"Hei, pendekar Bego! apakah kau tak menden-

gar pertanyaanku?" bentakan Naga Sinting kembali 

berkumandang, karena dia melihat Nanjar masih ber-

diri menjublak bagai patung.

"Oh, maaf sobat Naga Sinting! Aku memikirkan 

peristiwa di Candi tua tadi malam, hingga aku lupa


menjawab pertanyaanmu!" sahut Nanjar dengan ga-

ruk-garuk pantat dan benarkan celananya yang lagi-

lagi kedodoran.

"Nyanyianku tadi tak bermaksud menyindir 

mu. Apakah kau tak mengetahui kalau aku mempu-

nyai seorang kawan yang bernama Warok Jingga? Dia 

itu justru saudara angkat Raden Kamandaka, putera 

mahkota Kerajaan Wirata. Manusia itu ternyata seekor 

ular berbisa yang licik! Seorang musuh dalam selimut 

yang amat berbahaya! Karena diam-diam dia telah 

memasang jebakan di sekitar Candi untuk membunuh 

Raden Kamandaka. Beruntung kami masih bernasib 

baik. Dan aku berhasil mengirim nyawa busuknya ke 

Neraka!" berkata Nanjar dengan mempermainkan biji 

kacang di genggaman tangannya. Biji kacang itulah 

yang telah digunakan untuk menangkis serangan dua 

penjahat bertopeng dan membuat terpental kedua pe-

dang mereka!

"Hm!" mendengus Naga Sinting. "Alasanmu be-

nar atau tidak aku tak ambil pusing! Tapi... kukira ha-

ri ini kau tak dapat mengelabui diriku lagi, pendekar 

Bego! Aku telah mengetahui siapa kau sebenarnya! 

Bukankah kau si DEWA LINGLUNG, yang juga berju-

lukan si Pendekar Pedang Mustika Naga Merah?"

Merasa sudah tak dapat mengelakkan diri lagi, 

terpaksa Nanjar menjawab. "Kalau kau tak mengang-

gapku berdusta, benarlah apa yang kau katakan itu! 

Tapi boleh aku mengetahui apakah maksudmu mena-

nyakan diriku?"

"Bagus! Puluhan pulau telah ku jajaki ratusan 

kota dan ribuan desa telah kujelajahi, semua itu ada-

lah untuk mencarimu, Dewa Linglung!" berkata Naga 

Sinting dengan suara keras. Wajahnya mendadak be-

rubah mengelam. Sepasang matanya menyorot bagai


kan cahaya api yang seperti mau membakar tubuh 

Nanjar. "Semua itu karena kau telah memiliki Pedang 

Mustika Naga Merah! karena pedang mustika itu 

hanya aku yang berhak memilikinya!" Suara Naga Sint-

ing bagaikan menggelegarnya petir di angkasa. Mem-

buat Nanjar melangkah mundur dua tindak. 

Wajah Nanjar menampakkan keterkejutan yang 

amat luar biasa, mendengar kata-kata Naga Sinting. 

Tapi dengan hati tegar, sebagai seorang pendekar yang 

sudah cukup lama berkecimpung di dunia Rimba Hi-

jau, Nanjar bersikap tenang dan mengusir rasa terke-

jut itu dengan senyum jumawa.

"Naga Sinting! Bagi seorang pendekar, senjata 

miliknya tak ubahnya dengan jiwanya sendiri. Pedang 

ini telah berjodoh denganku. Dan dapat kumiliki seca-

ra tak sengaja! bahkan pedang mustika ini telah men-

jadi bagian dari hidup dan mati ku! Tentu saja aku 

akan mempertahankan seperti mempertahankan jiwa-

ku sendiri!" Nanjar dengan suara tandas 

"Bagus! DUA NAGA tak dapat hidup dalam satu 

muara! Hari ini kalau tidak kau, tentu aku yang akan 

memegang gelar Pendekar NAGA MERAH! Segera ber-

siaplah kau untuk menghadapiku!" bentak Naga Sint-

ing. 

Tak ada pilihan lain, bagi Nanjar untuk meno-

lak tantangan si Naga Sinting. Dia segera lemparkan 

buntalannya lalu meloloskan pedang pusakanya. Ca-

haya merah memancar tatkala pedang mustika itu ter-

cabut keluar dari kerangkanya, laksana seekor Naga 

yang melingkar memancarkan cahaya merah tergeng-

gam di tangan si Dewa Linglung.

Nanjar melemparkan pedang pusakanya ke de-

pan, tepat menancap di tengah-tengah antara dia dan 

si Naga Sinting. Kedua pasang mata itu kembali beradu tatap. Tanpa berkedip, Nanjar segera loloskan ba-

junya yang gombrong. 

Lalu dilemparkan ke tanah. Kini tampak di ba-

gian dada di Dewa Linglung sebuah tatto bergambar

Naga. Lukisan tattoo yang amat mirip dengan pedang 

Mustika Naga Merah itu sendiri.

"Kau tak menggunakan senjatamu itu, Dewa 

Linglung?" berkata dingin Naga Sinting.

"Hm, bukankah kaupun tak bersenjata? Kita 

sama-sama menggunakan tangan kosong. Jadi seim-

bang! Kalau kau berhasil membunuhku, pedang 

mustika Naga Merah itu mutlak menjadi milikmu!" 

Ujar Nanjar dengan sikap tenang. 

Akan tetapi sepasang matanya, tetap menatap 

pada Naga Sinting.

"Hohoho... aku puji sikap ksatria mu, Dewa 

Linglung! Jarang aku berjumpa dengan seorang pen-

dekar sepertimu! Semoga kau tidak linglung seperti ju-

lukanmu!" tertawa dingin Naga Sinting. 

Akan tetapi suara tertawanya lenyap bagai dis-

apu angin, tatkala dengan bentakan menggeledek ka-

kek berbaju ular yang telah menyiapkan serangannya,

segera menerjang Nanjar. 

Dua serangan dahsyat menyambar ke arah 

Nanjar. Uap biru dan kuning menderu membelah uda-

ra ketika si kakek baju ular hantamkan telapak tan-

gannya. Itulah jurus Uap Naga Edan Menyambar Petir. 

Dua jurus maut yang dilancarkan si Naga Sinting un-

tuk menamatkan riwayat si Dewa Linglung

Akan tetapi dengan jurus Bangau Sakti Mengi-

baskan Awan dua serangan itu buyar.

Sebaliknya sambaran angin keras menggebu 

menyambar ke arah Naga Sinting. Membuat laki-laki 

brewok itu perdengarkan teriakan kaget, karena angin


panas bagaikan bara menyambar ke arah muka. Den-

gan silangkan lengan yang dibarengi jurus Kepalan 

Dewa murka, sambaran angin panas itupun buyar, ka-

rena hawa sakti yang membekukan telah menolak 

sambaran dahsyat itu.

Sebaliknya segulung uap yang bergumpal lak-

sana salju menyambar ke arah Nanjar. 

Itulah jurus Uap Naga Salju Mengamuk! Terke-

siap Nanjar melihat dengan sekejap mata sambaran 

angin panasnya telah berubah menjadi segumpal salju, 

yang kini meluncur deras ke arahnya. Namun dengan 

gerakan melompat dengan jurus Kera Sakti Melompati 

Bukit, dia berhasil mengelakkan diri dari sambaran 

uap salju itu.

Bhlarrr! terdengar suara menggelegar. Dan 

tampak batu gunung yang berada di belakang Nanjar 

pecah berhamburan. Hawa dingin segera menebar di 

sekitar tempat itu.

"Hebat!" teriak Nanjar dengan kagum, tapi di-

am-diam hatinya bergidik. Jurus-jurus serangan Naga 

Sinting amat luar biasa.

Selanjutnya jurus demi jurus terus berlalu. Per-

tarungan DUA NAGA itu terus berlanjut dengan seru 

dan dahsyat. Hawa disekitar tempat itu sebentar panas 

sebentar berubah dingin akibat terjadinya benturan-

benturan tenaga dalam yang mengandung hawa inti 

api dan inti es. 

Pada saat pertempuran itu tengah berlanjut, 

sesosok tubuh diam-diam telah mengikuti jalannya 

pertarungan dengan mata membelalak. Siapakah 

orang ini? Ternyata tiada lain dari si gadis bernama Sri 

Widarti yang kiranya belum berlalu dari tempat itu.

Tentu saja dia mengenali siapa adanya pemuda 

lawan si Naga Sinting itu, karena pemuda itulah yang


telah digodanya dengan menyembunyikan pakaiannya 

ketika pemuda itu tengah mandi di sungai.

"Ah, jadi pemuda itukah yang bergelar Dewa 

Linglung? Juga bergelar si Pendekar Pedang Mustika 

Naga Merah?" berkata dalam hati Sri Widarti.

Sejak pertemuan pertama di hutan di sisi sun-

gai itu, hati Sri Widarti telah tertarik pada Nanjar. Dia 

merasa simpati dengan pemuda bertatto Naga di da-

danya itu. Tentu saja dia mengharapkan kemenangan 

berada di pihak si Dewa Linglung

Pada saat itulah dua pukulan tenaga dalam 

yang sama-sama di lepaskan kedua "Naga" itu telah 

beradu

Blang! 

Terdengar pekikan Nanjar yang dibarengi den-

gan pekikan si Naga Sinting. 

Asap hitam membumbung di tempat beradunya 

dua pukulan sakti itu.

Akan tetapi dua tubuh itu sama-sama terlem-

par bergulingan.

Sri Widarti terpekik melihat Nanjar terpelanting 

beberapa tombak

Dan tanpa disadari dia telah melompat keluar 

dari tempat persembunyiannya.

Namun Nanjar telah kembali melompat berdiri. 

Wajahnya nampak berubah pucat. Dari sela bibirnya 

menetes darah kental berwarna hitam. Sri Widarti 

kembali mundur beberapa tindak. Ketika melihat pada 

si Naga Sinting, kakek tinggi besar itu dalam keadaan 

duduk bersila. Wajahnya juga pucat bagai tak berda-

rah. Dari bibir dan hidungnya meneteskan darah hi-

tam kental.

Akan tetapi sepasang matanya masih tetap me-

nyorot tajam menatap sang lawan yang berdiri gagah


dihadapannya. 

Pada saat lengang yang mencekam penuh kete-

gangan itulah mendadak di kejauhan terdengar derap 

suara kaki-kaki kuda disertai sorak surai gegap gempi-

ta. Debu mengepul tebal. Dan terlihat sepasukan 

laskar berkuda dengan bendera hitam berlambang ke-

pala tengkorak bergerak bagaikan seekor ular yang 

merayap menuruni bukit.

Tersentak kaget baik Nanjar maupun si Naga 

Sinting. Juga Sri Widarti yang melihat kemunculan 

laskar itu dari kejauhan.

"Laskar pemberontak!" Teriak Nanjar dan Naga 

Sinting hampir berbarengan. Kedua "Naga" ini sejenak 

saling tatap. Jelas pasukan laskar itu akan menyerang 

Kota Raja. Apakah yang harus mereka lakukan? Mene-

ruskan pertarungan dengan membiarkan pasukan itu 

memasuki Kota Raja, ataukah segera turun tangan 

menghadang mereka? Membiarkan berarti keselama-

tan Kerajaan terancam hancur. Kehancuran Kerajaan 

berarti membiarkan rakyat hidup tertindas dibawah 

kekuasaan bangsa asing!

Keduanya sejenak terpaku saling tatap. Akan 

tetapi tampak kini sorot mata Naga Sinting tak setajam 

tadi. Dia menyeka darah yang mengalir di bibir dan hi-

dungnya. Lalu berkata.

"Agaknya terpaksa kita harus hentikan perta-

rungan, Dewa Linglung! Ambillah pedang Naga Merah 

mu! Kelak setelah kita mengusir pemberontak laknat 

itu, kita teruskan lagi pertarungan kita!"

"Aku setuju, Sobat Naga Sinting! Kepentingan 

kerajaan lebih penting dari urusan pribadi, seperti 

pernah kau katakan, bukan?" sahut Nanjar dengan 

senyum pahit. Setelah menyeka darah kental yang me-

netes di bibirnya, Nanjar segera melompat untuk mencabut pedang Mustikanya. 

Baru saja dia memasukkan ke dalam kerang-

kanya di balik baju di belakang punggung, Sri Widarti 

telah melompat memburu ke arah dia.

"Kakak pendekar Dewa Linglung! Ah, kau tentu 

terluka dalam... Apakah kau masih mengingat ku?" te-

riak Sri Widarti dengan wajah berseri gembira, tapi pe-

nuh kekhawatiran

"Aiii! gadis bengal kiranya kau? Tentu, aku ma-

sih mengingat mu! Bukankah kau si pencuri pakaian-

ku itu?" sentak Nanjar dengan terkejut karena baru 

menyadari akan kehadiran Sri Widarti.

"Ah...! Sri Widarti tersipu dengan wajah beru-

bah merah

"Kau tentu bernama Sri Widarti!" 

"He? Dari mana kau bisa mengetahui namaku?" 

tanya gadis ini.

"Dari gurumu Kyai Munding Laya dan kakak 

seperguruanmu Raden Kamandaka yang memberita-

hukan!" sahut Nanjar dengan tertawa. Akan tetapi ter-

tawa Nanjar lenyap. Wajahnya berubah agak memucat. 

Kiranya dalam tertawa itu Nanjar merasakan dadanya 

nyeri akibat luka dalam yang disebabkan terjadinya 

benturan dua pukulan dengan Naga Sinting tadi. Ce-

pat-cepat Nanjar salurkan hawa murni untuk mengu-

sir uap racun yang mengeram ditubuhnya

Memandang ke arah Naga Sinting. Laki-laki 

tinggi besar itupun tengah pejamkan mata untuk me-

nyalurkan hawa murni mengusir uap racun yang men-

gendap di tubuhnya.

"Bagaimana dengan luka dalammu, kakak pen-

dekar?" bertanya Widarti, ketika melihat keringat men-

galir deras di dahi pemuda itu.

"Jangan khawatir! Tidak terlalu parah! Mungkin



tidak separah si Naga Sinting!" sahut Nanjar seraya 

melirik pada laki-laki baju ular itu.

Akan tetapi Naga Sinting telah melompat berdiri 

dari duduk bersilanya. Wajahnya telah bersemu merah 

kembali.

"Hohoho... jangan khawatir! luka dalamku pun 

tidak separah yang kau duga, Dewa Linglung! Aku ma-

sih sanggup untuk meremukkan seratus kepala pem-

berontak-pemberontak kerajaan itu! Dan kalau umur-

ku panjang, kita teruskan lagi pertarungan kita!"

Selesai berkata, Naga Sinting tertawa gelak-

gelak. Lalu tubuhnya berkelebat lenyap. Sesaat telah 

berada di ujung lamping bukit. Laki-laki ini menoleh 

ke belakang seraya berteriak lantang.

"Aku berangkat terlebih dulu, Dewa Linglung! 

Tanganku sudah gatal untuk mengirim nyawa-nyawa 

manusia pemberontak keparat itu!"

Belum habis kata-katanya, orangnya sudah 

berkelebat lenyap! Cuma sisa suaranya saja yang ma-

sih terdengar berkumandang.

"Manusia hebat! Sayang ambisinya untuk me-

rajai dunia persilatan terlalu menggebu-gebu! Aku 

khawatir bila pedang mustika Naga Merah berhasil di-

kuasainya, justru akan membuat dia bertindak sewe-

nang-wenang dan menyalahgunakan pada jalan keba-

tilan!" berkata Nanjar dalam hati

SEPULUH

KOTA RAJA dalam keadaan berkabung, karena 

baru dua hari sejak kematian Senopati Tanu Wijoyo te-

lah menyusul pula dengan kematian Tumenggung Na


ra Sepuh. Tumenggung ini kedapatan tewas di tempat 

tidurnya dengan mulut berbusa. Di atas meja tampak 

sebotol minuman keras dan sebungkus serbuk yang 

tercecer isinya, yang ternyata adalah serbuk racun! 

Tumenggung Nara Sepuh memang telah sejak bebera-

pa hari tidur pisah dengan istrinya

Ketika pagi hari sang istri akan membawakan 

minuman dan sarapan pagi buat suaminya, dia men-

dapatkan sang suami telah tewas di tempat tidurnya!

Kematian dua orang abdi Kerajaan itu sangat 

membuat terkejut Sultan CARMANDALA! Dia mulai 

merasakan ada ketidak beresan di dalam istana. Patih 

Gajah Lor yang dipanggil menghadap pun tidak mun-

cul! Penasehat Kerajaan tak menampakkan batang hi-

dungnya. Paniklah Sultan Carmandala. Segera dia 

memanggil seorang perwira dan menitahkan membawa 

suratnya untuk memanggil Adipati Suryo Bawon agar 

segera menghadap.

Kemunculan Adipati Suryo Bawon agak mem-

buat lega hati Sultan Carmandala. Akan tetapi betapa 

terkejutnya Sultan Carmandala ketika sang Adipati itu 

tertawa gelak-gelak di hadapannya, seraya berkata. 

"Hahaha... jangan terkejut Sultan! waktunya 

sudah tiba! Sudah saatnya kau melepaskan kekuasaan 

Kerajaan Wirata ke tanganku! Semua orang-orang ke-

rajaan telah tidak lagi menurut perintahmu! Bahkan 

sebentar lagi pasukan laskar kerajaan Tartar segera 

akan menguasai kerajaan ini! Dan perlu kau ketahui, 

bahwa putra mahkota kerajaan Wirata, Raden Kaman-

daka telah kusuruh orang-orangku untuk membu-

nuhnya! Kini tinggal kematianmu saja yang sudah di-

ambang pintu! Hahaha... haha..."

Membelalak sepasang mata Sultan Carmandala 

mendengar kata-kata Adipati Suryo Bawon


"Keparat! jadi kaulah yang telah berkhianat pa-

da Kerajaan?" membentak Sultan Carmandala dengan 

rahang menggembung dan gigi gemeretuk menahan

kemarahan. Saat itu juga dia telah mencabut keris pu-

saka dari pinggangnya!

"Manusia berhati setan! Kau harus memper-

tanggung jawabkan pengkhianatan mu dengan darah 

dan nyawamu!" bentak Sultan Carmandala.

"Ha ha ha... kau kini bagaikan seekor harimau 

yang sudah tak bertaring dan bergigi lagi, Sultan!" ter-

tawa Suryo Bawon. "Pengawal! Habisi nyawa orang gila 

ini!" Teriak Adipati Suryo Bawon.

Seketika saja lima prajurit kadipaten berlompa-

tan mengurung sang Sultan.

"Jahanam keparat!" memaki Sultan Carmanda-

la. tubuhnya berkelebatan, menghindari sambaran 

tombak dan klewang yang akan merencah tubuhnya. 

Tiga prajurit Kadipaten menjerit panjang. Dan roboh 

terjungkal, dengan usus memburai terkoyak keris pu-

saka sang Sultan.

Dua orang lagi yang bersenjatakan klewang me-

lompat mundur. Akan tetapi puluhan prajurit ternyata 

telah mengepung sekitar istana. Serentak mereka me-

nerjang sang Sultan dengan serangan-serangan maut. 

Dengan segenap kepandaian yang ada, terpaksa dia 

menghadapi serangan-serangan itu. Dua orang prajurit 

kembali terjungkal roboh. Tiga batang tombak terlem-

par ke udara. Jerit kematian dan bentakan terdengar 

riuh disertai bunyi beradunya senjata di ruang pendo-

po istana.

Dari ruang dalam istana muncul belasan praju-

rit istana. Melihat sang Sultan diserang oleh prajurit-

prajurit Kadipaten orang kerajaan sendiri, membuat 

mereka terkejut. Tentu saja pengawal-pengawal istana


ini segera berlompatan dengan senjata terhumus un-

tuk menolongnya. Terjadilah pertempuran kecil di-

ruang pendopo istana. 

Pada saat pertempuran itu tengah terjadi, Adi-

pati Suryo Bawon telah berkelebat dan menyelinap 

masuk ke dalam kamar Sultan. 

Suara jeritan seorang wanita terdengar dari 

ruang dalam kamar itu.

Itulah suara jeritan terkejut sang permaisuri Ci-

trawati. Mendengar kegaduhan diruang pendopo dia 

baru akan berlari keluar untuk melihat. Tapi sesosok 

tubuh telah mendahului melompat masuk ke dalam 

kamarnya. 

Betapa terperanjatnya Dewi Citrawati melihat 

siapa adanya laki-laki itu yang tak lain dari Adipati 

Suryo Bawon. 

"Hahaha... jangan takut, manis! Sudan lama 

aku menggandrungi kau wong ayu! Kini saatnya telah 

tiba. Sebentar lagi kekuasaan kerajaan Wirata akan ja-

tuh ke tanganku, bila pasukan Tar-tar yang memban-

tuku telah tiba! akulah yang bakal menjadi Sultan di 

kerajaan ini. Kemarilah manisku! Kau pantas menjadi 

permaisuri ku, kelak! Keadaan di luar sedang kacau, 

Pemberontakan telah terjadi di kerajaan. Marilah, sege-

ra kau kubawa ke tempat yang aman...!" berkata Adi-

pati Suryo Bawon

"Manusia iblis! pengkhianat! Aku tak sudi 

kau... ternyata seorang iblis bermuka manusia!" berte-

riak Dewi Citrawati. Dia akan menghambur ke pintu 

tapi secepat kilat lengannya telah ditangkap oleh Suryo 

Bawon. Detik berikutnya wanita itu keluarkan keluhan 

dari mulutnya ketika dengan gerakan cepat, tangan 

Adipati Suryo Bawon telah bergerak menotoknya! 

Kejap selanjutnya tubuh Dewi Citrawati telah


berada dalam pondongan manusia durjana itu...

Dengan tertawa menyeringai Suryo Bawon 

membawa tubuh Citrawati berkelebat keluar melalui 

pintu belakang istana. 

Pada saat itulah muncul Patih Gajah Lor meng-

hadang di pintu.

"Pengkhianat terkutuk! Lepaskan gusti Permai-

suri!" Membeliak sepasang mata Suryo Bawon melihat 

sang Patih Gajah Lor menghalangi pintu dengan keris 

di tangan. 

"Hm, diberi pangkat dan harta, malah minta 

mati!" bentak Suryo Bawon.

"Cuh! pangkat dan harta dari manusia terkutuk 

yang merebut kekuasaan Kerajaan dengan mengan-

dalkan bantuan laskar asing sepertimu itu, sama hal-

nya dengan hidup ditengah bangkai! Manusia pengadu 

domba! Iblis licik dalam selimut! Kiranya kaulah yang 

telah menyebarkan fitnah dan surat ancaman edan itu! 

Manusia semacammu selayaknya ditambus hidup-

hidup!" membentak Patih Gajah Lor dengan kemara-

han meluap-luap.

Detik itu juga dia telah melompat untuk mener-

jang Suryo Bawon. Akan tetapi adanya sang Permaisuri 

ditangan laki-laki itu menyulitkan patih Gajah Lor un-

tuk menyerang dengan kerisnya, karena khawatir me-

lukai sang Dewi Citrawati.

Pada detik itulah tiba-tiba sesosok tubuh ber-

kelebat di belakang Adipati Suryo Bawon. Tiba-tiba la-

ki-laki pengkhianat itu menjerit kesakitan, karena se-

buah lengan telah menjambak rambutnya, hingga tu-

buhnya terangkat sampai kedua kakinya tak mengin-

jak tanah.

Akibatnya tubuh Dewi Citrawati berguling jatuh 

terlepas dari pondongannya. Tahu-tahu... PRAK! Darah


merah putih memuncrat memercik diudara. Selanjut-

nya adalah tubuh Adipati Suryo Bawon telah jatuh 

menggabruk dilantai seperti sebuah nangka masak 

yang jatuh dari pohon. Apakah yang terlihat oleh patih 

Gajah Lor? Adipati pengkhianat itu telah mati dengan 

batok kepala hancur remuk! hampir tak berbentuk la-

gi. Dan sesosok tubuh tinggi besar telah berada di 

tempat itu.

Siapa adanya orang ini tiada lain ialah si Naga 

Sinting! Kemunculannya di Istana telah membuat pra-

jurit Kadipaten porak poranda. Mayat-mayat berteba-

ran akibat amukan manusia setengah raksasa ini!

"Cepat kau selamatkan permaisuri!" bentakan 

menggeledek yang bernada perintah membuat patih 

Gajah Lor seperti baru tersadar dari keterpakuannya. 

Tanpa, sempat mengucapkan terima kasih lagi, segera 

dia memondong tubuh Dewi Citrawati untuk diaman-

kan.

Sementara itu di dalam Kota Raja telah terjadi 

kekalutan karena munculnya ratusan laskar asing 

yang menyerbu. Pekik ketakutan, jerit kematian dan 

suara hingar-hingar seperti membahana ketika seba-

gian laskar itu menyerbu istana.

Akan tetapi tiba-tiba ratusan pasukan itu se-

perti diterjang badai. Jerit kematian dan pekikan pan-

jang saling susul diiringi terlemparnya puluhan tubuh 

ke udara. Apakah yang terjadi? Tampak dua orang la-

ki-laki, yang seorang adalah sesosok tubuh tinggi be-

sar bagai manusia setengah raksasa. Dan yang seo-

rang lagi adalah sesosok tubuh kekar berparas gagah, 

dengan tubuh bagian atas terbuka, menampakkan se-

buah gambar tatto seekor Naga yang terlukis dida-

danya.

Siapakah adanya kedua orang itu? Dialah Nan


jar alias si Dewa Linglung, yang juga bergelar si pende-

kar pedang mustika Naga Merah atau si Pendekar

NAGA MERAH, sedangkan yang seorang lagi adalah si 

kakek berbaju ular yang tak lain dari si Naga Sinting. 

Keduanya bagaikan dua ekor NAGA yang mengamuk 

memporak-porandakan barisan musuh!

Puluhan nyawa melayang bergelimpangan, yang 

kemudian berlanjut menjadi ratusan jumlahnya! Seki-

tar Kota Raja penuh dengan mayat-mayat yang berge-

limpangan dari pihak laskar asing itu! Gempuran ke-

dua ekor "Naga" perkasa itu membuat sisa pasukan 

kocar-kacir melarikan diri. Akan tetapi kedua "Naga" 

itu tak memberi waktu sedikitpun pada mereka untuk 

meloloskan diri.

Pengejaran terus dilakukan hingga sampai ke-

luar dari tapal batas wilayah Kota Raja. Panglima Kera-

jaan Tartar tewas ditangan Nanjar. Sedangkan empat 

perwira lainnya tewas ditangan si Naga Sinting. Wa-

laupun masih ada juga sisanya yang berhasil melari-

kan diri 

Ternyata bukan kedua "Naga" itu saja yang tu-

rut bertempur. Karena tiga sosok tubuh yang tak lain 

dari Raden Kamandaka dan gurunya yaitu Kyai Mund-

ing Laya, juga ada seorang gadis muda yang menga-

muk bagaikan banteng ketaton. Dialah si gadis bengal 

bernama Sri Widarti. Ketiganya menghantam pasukan 

yang datang dari pintu utara, yang berakhir dengan 

kemenangan yang gilang-gemilang.

Pertarungan sudah usai... Keadaan di Kota Raja 

bagaikan sebuah kota hantu. Mayat bertebaran di se-

panjang jalan hingga sampai ke istana. Kemenangan 

memang berada di pihak kerajaan Wirata. Akan tetapi, 

sayang Sultan Carmandala kedapatan telah tewas ter-

bunuh. Dengan sedih, Raden Kamandaka memandangi


jenazah saudara tirinya. Kematian memang sudah di-

gariskan oleh yang Maha Kuasa. Tapi walau bagaima-

napun penyebab semua itu adalah karena ketamakan 

serta kerakusan seorang manusia yang bermuka ma-

nusia tapi berhati iblis! Dialah Adipati Suryo Bawon.

Manusia itupun telah menerima ganjaran pula 

atas segala perbuatannya...

Benarkah pertarungan sudah berakhir? Ternya-

ta tidak! Pertarungan itu masih ada! Akan tetapi bukan 

pertarungan antara pihak kerajaan melawan pihak 

musuh. Melainkan PERTARUNGAN DUA NAGA...! Di-

alah Nanjar si Pendekar Naga Merah kontra si Naga 

Sinting!

Kedua laki-laki itu telah sama berhadapan. Tak 

menunggu waktu lebih lama lagi pertarungan hebat 

segera terjadi! Serang menyerang, hantam menghan-

tam, dengan serunya. Dua laki-laki itu seperti layak-

nya dua ekor Naga yang saling terkam saling terjang 

dengan hantaman-hantaman dahsyat! Bukit batu itu 

mengepulkan kabut yang menimbulkan hawa dingin 

menggidikkan dan hawa panas bagaikan dalam kawah 

gunung berapi!

Pada jurus ke dua puluh sembilan, tiba-tiba 

terdengar teriakan panjang membelah udara. Tampak 

tubuh Naga Sinting terlempar ke udara setinggi lima 

tombak. Pekikan itu disusul dengan berkelebatnya se-

sosok tubuh di bawahnya yang berkelebat cepat untuk 

menyangga tubuh yang segera akan terbanting ke ta-

nah. Itulah tubuh si Dewa Linglung.

Disaat tubuh Naga Sinting hampir menyentuh 

bumi, dengan kecepatan kilat Nanjar berhasil menang-

kapnya. Selanjutnya tampak dua tubuh yang seperti 

menjadi satu itu terguling-guling.

Akan tetapi kesigapan Nanjar untuk berbuat itu


telah menolong jiwa Naga Sinting dari kematian yang 

tragis!

Dalam Pelukan si Dewa Linglung, naga Sinting 

menggeliat disertai suara mengeluh. Laki-laki gagah in-

ipun membuka matanya.

"Kau...kau bocah Bego! Mengapa menolongku?" 

membentak Naga Sinting! Akan tetapi bentakan itu 

sudah mengendur suaranya. Sementara napasnya kian 

memburu.

Bergumpal-gumpal darah kental menggelogok 

dari mulut laki-laki setengah raksasa itu. Bila melihat 

keadaan si Dewa Linglung, pemuda inipun dalam kea-

daan mengenaskan. Karena dari mulutnya mengelua-

rkan darah kental hitam, berarti dia telah terkena pu-

kulan mengandung racun yang dilontarkan si Naga 

Sinting. 

Akan tetapi Nanjar masih bisa menolong la-

wannya dari bahaya terhempas, pertanda luka dalam-

nya tak begitu parah.

"Haha... kakek Sinting! kau hebat! Siapa yang 

menolongmu. Secara tak sengaja kau jatuh tepat diba-

wahku. Kalau aku tak cepat menyangga tubuhmu ten-

tu aku yang penyek tertimpa tubuhmu yang besar se-

perti gajah!" seloroh Nanjar. Namun dalam hati Nanjar 

terharu, agaknya kematian si Naga Sinting sudah di 

depan pintu.

Detak jantungnya terasa semakin cepat, dan 

terkadang melemah. Tubuh yang berada dalam deka-

pannya pun mulai terasa dingin.

"Hohoho... kau mengibul, bocah bego! Atau kau 

memang linglung?

Hehehe...heh... tapi kau hebat luar biasa, bocah 

bego! Aku puas dan dapat mati meram, karena aku te-

lah berhasil membunuh musuh lebih dari seratus


nyawa! Hitung-hitung aku menebus dosa-dosaku se-

lama ini. Aku memang banyak memikul dosa selama 

aku malang-melintang di... dunia Rimba... Hi...jau...!

Hehe... kau pendekar hebat, Dewa... Linglung! 

Kau berhak memakai gelar si NAGA TUNGGAL! Ya, itu-

lah gelar yang amat ku dambakan selama petualan-

ganku!

Se... selamat... tingg...al Pendekar Na... ga... 

Tung...gal"

Lepaslah nyawa Naga Sinting! Nanjar terpaku 

tak bergeming menatap terharu pada kakek gagah itu

Menjelang matahari terbenam Pendekar Naga 

Merah tinggalkan tempat itu...



                                   T A M A T


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

https://matjenuhkhairil.wordpress.com


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar