BTemplates.com

Blogroll

Kamis, 16 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE PELARIAN ISTANA HANTU


matjenuh

 

PELARIAN ISTANA HANTU 

Oleh Aji Saka 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Penyunting : Puji S. 

Gambar Sampul : Soeryadi 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit 

Aji Saka 

Serial Dewa Arak 

dalam episode 20 : 

Pertarungan di Pulau Api 

128 hal ; 12 x 18 cm



1

Angin malam yang dingin berhembus meng-

gigilkan tulang. Malam ini memang lain dengan 

malam sebelumnya. Langit tampak gelap. Bulan 

sepotong yang tadi tampak di langit, seakan-

akan sudah tidak kuasa lagi untuk me-

nampakkan diri. Sang dewi malam kini ber-

sembunyi di balik awan tebal yang menghitam 

dan bergumpal-gumpal. 

Glarrr...! 

Suara keras menggelegar terdengar ketika 

halilintar menyambar, membelah angkasa. 

Untuk beberapa saat lamanya, suasana di per-

mukaan mayapada jadi terang benderang. Dan 

seiring terdengarnya suara menggelegar itu, 

titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi. Mula-

mula turun satu-satu dan lambat. Tapi lama-

kelamaan semakin cepat dan banyak. Dan 

sekarang, benar-benar hujan deras. 

Dan ketika halilintar kembali menyambar, 

suasana di mayapada yang menjadi terang 

benderang sekelebatan itu menampakkan 

sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang 

tengah mengendap-endap. Dia baru saja keluar 

dari dalam sebuah bangunan besar dan megah 

tapi terlihat tua. Sebuah pagar tembok tua dan 

tinggi mengelilingi bangunan yang berhalaman 

hias itu.


Glarrr...! 

Halilintar menyambar kembali, sehingga 

suasana di bumi menjadi terang benderang 

sekejap. Maka sosok berpakaian hitam itu 

terlihat kembali, namun nampak seperti 

ketakutan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke 

kiri, baru setelah itu berlari cepat menembus 

sergapan hujan lebat. 

Cepat bukan main gerakan sosok hitam itu 

ketika bergerak melintasi halaman yang becek 

karena tersiram hujan. Air berwarna keruh 

memercik ke sana kemari ketika kakinya 

menjejak tanah yang tergenang air. Dan masih 

dalam keadaan berlari, kepalanya menoleh ke 

kanan dan ke kiri. Tapi seperti sebelumnya, 

tidak ada sesuatu yang dilihatnya kecuali 

kegelapan malam. 

Kaki sosok hitam itu terus melangkah. Tak 

dipedulikan lagi curah hujan yang membasahi 

tubuh dan pakaiannya. Dia terus saja berlari, 

dan arahnya jelas menuju ke luar bangunan 

menyeramkan itu. 

Glarrr...! 

Untuk yang kesekian kalinya halilintar 

menyambar bumi, membuat suasana di persada 

sesaat terang benderang kembali. 

Mendadak langkah sosok hitam ini berhenti. 

Kalau saja suasana malam tidak gelap, keter-

kejutan hebat yang terpancar di wajahnya dapat 

terlihat. Meskipun begitu, dapat diketahui kalau 

sosok hitam itu dilanda keterkejutan yang amat 

sangat. Hal ini ditilik dari langkahnya yang


berhenti secara mendadak dan kedua kakinya 

yang gemetar keras. 

Entah kapan dan bagaimana caranya, pada 

pagar tembok tampak berdiri sambil bersandar 

sesosok tubuh berpakaian merah menyala. 

Kedua tangannya bersedakap. Sama sekali tak 

dihiraukannya hujan yang turun membasahi 

tubuh dan pakaiannya. 

Tapi hanya sesaat sosok tubuh itu terlihat. 

Begitu sinar terang halilintar lenyap, kembali 

hanya kegelapan saja yang terlihat oleh sosok 

tubuh itu. 

Belum sempat sosok hitam itu berbuat 

sesuatu, mendadak suasana di tempat itu jadi 

agak terang. Dan kali ini ternyata asal sinar 

terang itu dari sebuah benda sebesar kepalan 

tangan berwarna putih berkilauan yang dibawa 

sosok berbaju merah. Kemudian dengan sikap 

tenang, benda itu digantungkan di lehernya. 

Rupanya, pada kedua sisi benda berkilauan itu 

terdapat lubang kecil. Dan dari situlah tali 

kalung dimasukkan. 

Dengan adanya benda berkilauan di leher 

sosok tubuh berbaju merah yang bersandar di 

tembok, suasana di tempat itu jadi cukup terang. 

Dengan demikian kedua sosok tubuh itu jadi 

terlihat agak jelas. 

“Sungguh tidak kusangka kau berani me-

langgar pantangan ini, Raksagala,” kata sosok 

tubuh yang berpakaian merah menyala. 

Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi 

kurus, berkaki satu. Sementara kaki yang



sebelah lagi diganti dengan sebatang besi 

berujung runcing. 

“Maafkan aku, Paman Jonggirupaksi,” ucap 

sosok hitam yang ternyata adalah seorang 

pemuda berusia sekttar dua puluh tahun, ber-

badan lebar. 

Wajah pemuda yang dipanggil Raksagala ini 

sebenarnya cukup tampan. Tapi terlihat jadi 

menyeramkan karena kulit wajah itu begitu 

pucat. 

“Aku berjanji tidak akan mengulanginya,” 

lanjutnya. 

Suara Raksagala terdengar bergetar, dan ada 

nada kegentaran di dalamnya. 

“Hmh...!” kakek berkaki satu yang bernama 

Jonggirupaksi mendengus. “Tidak ada kata 

maaf, Raksagala! Dan kau tahu itu!” 

“Tidakkah ada pertimbangan lain, Paman?” 

Raksagala mencoba menawar. Meskipun bunyi 

ucapannya seperti tidak peduli, tapi nada suara 

nya jelas menyiratkan permohonan yang amat 

sangat. 

“Hm...,” hanya gumaman tak jelas yang 

menyambuti permintaan laki-laki berwajah 

pucat itu. 

“Kusadari kalau tindakanku ini salah, 

Paman,” sambung Raksagala buru-buru. “Tapi..., 

tidakkah Paman sudi memaafkan kesalahanku 

dengan memandang wajah guru?” 

“Cuhhh...!” Jonggirupaksi meludah ke tanah. 

“Andaikan gurumu sendiri yang bersalah, dia 

pun tak luput dari tanganku, Raksagala! Kau


kira aku takut pada gurumu? Lucu! Lucu 

sekali!” 

“Jadi, Paman...,” ada kecemasan dalam suara 

laki-laki berwajah pucat itu. 

“Ya,” potong Jonggirupaksi sambil meng-

anggukkan kepala. “Seharusnya kau menerima 

hukuman mati, Raksagala! Tapi, baiklah. 

Karena kau tidak ikut dalam perjanjian, maka 

aku bersedia membatalkannya. Meskipun 

begitu, kau tetap tidak lepas dari hukumanku!” 

“Hukuman apa yang akan Paman timpakan 

padaku?” tanya Raksagala ingin tahu. 

“Tidak berat,” sahut Jonggirupaksi kalem. 

“Aku hanya menginginkan sebelah tanganmu.” 

Wajah Raksagala berubah. 

“Sebelah tanganku?” ulang laki-laki ber-

wajah pucat itu dengan bibir bergetar. 

“Kenapa?” Jonggirupaksi malah balik ber-

tanya. “Hukuman itu sebenarnya terlalu ringan, 

Raksagala! Seharusnya, tidak hanya sebelah 

tanganmu saja yang kuinginkan. Tapi juga 

kakimu! Kau tahu bukan, apa hukumannya 

orang yang mencoba melarikan diri dari Istana 

Hantu? Siksaan mengerikan sampai mati!” 

Kini Raksagala sadar. Sepertinya tidak ada 

gunanya lagi ribut mulut dengan kakek berkaki 

satu ini. 

Sia-sia saja. Biar bagaimanapun, dia akan 

tetap menerima hukuman. Sesaat lamanya laki-

laki berwajah pucat ini berpikir keras. Apakah 

hukuman yang hendak dijatuhkan akan di-

terimanya saja, atau harus menentangnya? Tapi,


akibatnya akan lebih mengerikan baginya. 

Melawan penjaga Istana Hantu merupakan 

pantangan besar! Sudah dapat dipastikan kalau 

dirinya akan menerima siksaan yang begitu 

mengerikan apabila hal itu nekat dilakukannya! 

Selagi Raksagala berpikir keras, Jonggi-

rupaksi sudah melangkah menghampiri. Lambat 

dan tenang-tenang saja langkahnya. Tapi akibat 

yang ditimbulkan setiap langkahnya luar biasa! 

Semakin kakek berkaki satu itu mendekat, 

semakin kuat perasaan tegang yang melanda 

hati Raksagala! Dengan demikian perasaan 

bingung semakin melanda hatinya. 

Di saat hati Raksagala tengah dilanda 

kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara di 

telinganya. Suara yang hanya ditujukan 

padanya dengan menggunakan ilmu mengirim 

suara dari jauh. 

“Bersiap-siaplah, Raksagala. Begitu aku 

menyerangnya, cepat-cepatlah membantuku. 

Kita harus cepat..!” 

Seketika itu juga perasaan Raksagala tenang 

kembali. Suara yang terdengar seketika 

menimbulkan perasaan tenang di hatinya. Dia 

kenal betul, siapa pemilik suara itu. Gurunya! 

*** 

Dengan wajah dingin, Jonggirupaksi terus 

melangkah menghampiri Raksagala yang kini 

telah bersikap waspada. Laki-laki berwajah 

pucat itu kini telah bersiap-siap menyerang


kakek berkaki satu itu. 

Mendadak Jonggirupaksi menghentikan 

langkahnya, lalu menoleh ke samping kanan dan 

langsung bersikap waspada. Pada saat yang 

sama, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan 

menyambar ke arahnya, langsung mengirimkan 

serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun-

ubunnya. 

Dari sini saja sudah bisa diukur kelihaian 

kakek berkaki satu ini Meskipun tanpa melihat, 

dia bisa mengetahui serangan yang tertuju ke 

arahnya. Angin yang mendahului tibanya 

serangan itulah yang menjadi patokannya. 

Padahal, saat itu hujan masih cukup lebat dan 

angin pun berhembus mengiringi. Tapi berkat 

tingkat kepandaiannya yang tinggi, Jonggi-

rupaksi dapat membedakan angin sewajarnya 

dan angin serangan! 

Meskipun begitu, karena serangan yang 

tertuju ke arahnya tiba begitu cepat, tidak ada 

kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan 

serangan. Terpaksa Jonggirupaksi harus me-

nangkisnya. 

Plakkk, plakkk...! 

Terdengar benturan keras ketika dua pasang 

tangan yang sama-sama mengandung tenaga 

dalam tinggi berbenturan. Akibatnya hebat 

sekali. Tubuh kedua orang itu sama-sama 

terpental ke belakang beberapa tombak. 

Jonggirupaksi terhuyung-huyung, dan kedua 

tangannya terasa bergetar hebat. Jelas kalau 

orang yang menyerangnya memiliki tenaga


dalam tinggi. Sementara tubuh orang yang 

menyerangnya terpental balik, karena tubuhnya 

memang tengah berada di udara. 

Pada saat yang tepat, Raksagala bertindak. 

Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang, 

dan sesaat kemudian telah menggenggam 

sebilah golok. Dan secepat golok itu terhunus, 

secepat itu pula tubuhnya melompat menerjang 

Jonggirupaksi. Golok di tangannya cepat 

ditusukkan ke arah perut kakek berkaki satu. 

Singgg...! 

Suara berdesing nyaring mengiringi 

serangan golok itu. Dari sini saja sudah bisa 

diketahui kekuatan tenaga dalam yang 

terkandung dalam serangan Raksagala. 

Jonggirupaksi kaget bukan kepalang. Saat 

itu, tubuhnya tengah terhuyung-huyung. 

Tambahan lagi, dia hanya mempunyai sebelah 

kaki. Sementara kaki yang sebelah lagi hanya 

berupa sebatang besi panjang yang berujung 

runcing. Setidak-tidaknya, hal ini cukup meng-

ganggu gerakannya. 

Namun Jonggirupaksi memang tokoh luar 

biasa. Dengan sekali kaki besinya menekan 

tanah, dia berhasil mematahkan kekuatan yang 

membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan 

sekali enjot saja, tubuhnya sudah melayang ke 

atas melewati kepala Raksagala. 

Luar biasa! Semua itu dilakukan Jonggi-

rupaksi dalam waktu sekejap saja. Tak pelak 

lagi, serangan golok Raksagala hanya mengenai 

tempat kosong, lewat di bawah kaki buntung


Jonggirupaksi. 

Tapi sebelum kakek berkaki satu ini sempat 

mengirimkan serangan balasan pada Raksagala, 

sosok bayangan telah membokongnya lebih dulu 

dengan beberapa kibasan tangan. 

Singgg, singgg...! 

Suara berdesing nyaring terdengar ketika 

benda-benda berkilatan menyambar ke arah 

Jonggirupaksi. 

Kembali kakek berkaki satu ini mem-

pertunjukkan kelihaiannya. Memang, saat itu 

untuk mengelak sudah tidak memungkinkan 

lagi. Maka seketika tangannya terulur untuk 

menangkap semua serangan gelap yang menuju 

ke arahnya. 

Tap, tap, tappp...! 

Sungguh hebat! Benda berkilat yang 

mengancamnya ternyata berhasil dilumpuhkan. 

Tiga bilah pisau terbang yang tadi meng-

ancamnya, dua berhasil ditangkap. Sedangkan 

yang sebuah lagi ditangkap dengan mulutnya! 

Bersamaan dengan Jonggirupaksi melum-

puhkan serangan gelap itu, Raksagala mem-

babatkan goloknya ke arah perut. Laki-laki 

berkaki satu itu mencoba mengelak dengan 

menarik tubuhnya ke belakang. Namun 

gerakannya terlambat! Apalagi tubuhnya saat 

itu berada di udara, jadi sangat sulit untuk 

menghindar. 

Wuttt..! Crasss...! 

Jonggirupaksi menggigit bibirnya sendiri 

untuk menahan jeritan yang keluar dari



mulutnya. Perutnya kontan terobek lebar. Darah 

segar seketika memancur deras dari bagian yang 

terluka. 

Raksagala tidak menyia-nyiakan kesempatan 

lagi. Begitu tubuh Jonggirupaksi terlihat 

meluruk turun, bergegas diburunya dengan 

golok berlumuran darah yang tergenggam di 

tangan. 

Patut dipuji kelihaian Jonggirupaksi. 

Meskipun telah mengalami luka yang begitu 

parah, kedua kakinya masih sanggup mendarat 

di tanah. Namun demikian, tetap saja tubuhnya 

agak terhuyung-huyung. 

Baru saja kedua kaki Jonggirupaksi hinggap, 

golok Raksagala kembali meluncur deras ke 

arah dadanya. Maka akibatnya sudah bisa 

diduga! 

Blesss...! 

Darah segar memancur deras begitu golok 

Raksagala menghunjam dada Jonggirupaksi 

hingga tembus ke punggung. Ada keluhan 

tertahan keluar dari mulut kakek berkaki satu 

itu. Sesaat tubuhnya menegang, lalu ambruk di 

tanah begitu Raksagala mencabut goloknya. 

Jonggirupaksi tewas setelah menggelepar-

gelepar beberapa saat lamanya. Hujan yang kini 

tinggal rintik-rintik saja, menitik di tubuh kakek 

berkaki satu itu sambil membawa darah ke 

tanah. 

Raksagala menyeka goloknya yang ber-

lumuran darah, lalu memasukkan kembali ke 

dalam sarungnya.


Sesaat diperhartikannya mayat kakek 

berkaki satu itu sejenak. Kemudian tangannya 

terulur ke arah benda berkilauan yang ter-

gantung di leher Jonggirupaksi. Dan kini, benda 

itu telah berpindah ke tangannya. 

“Cepat kita tinggalkan tempat ini, 

Raksagala...!” ujar sosok yang tadi membokong 

Jonggirupaksi. 

Dalam keremangan sinar yang timbul dari 

benda itu, terlihat cukup jelas wajah dan 

perawakan sosok di samping Raksagala. Dia 

adalah seorang kakek bertubuh sedang, berusia 

sekitar enam puluh tahun. Namun sayang, 

matanya picak. Walaupun tidak mempunyai 

kumis, tapi jenggotnya cukup panjang dan 

berwarna putih. Pakaiannya berwarna abu-abu. 

Tanpa menunggu diperintah dua kali, 

Raksagala segera menjejakkan kakinya. Sesaat 

kemudian, tubuhnya melayang ke atas melewati 

pagar tembok tinggi bangunan menyeramkan 

itu. 

Sebelum tubuh Raksagala melewati pagar 

tembok itu, kakek bermata picak juga men-

jejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya 

melesat ke atas, menyusul laki-laki berwajah 

pucat yang menjadi muridnya. 

***


Air memercik keras ketika Raksagala dan kakek 

bermata picak mendaratkan kaki di tanah luar 

pagar tembok. Tanah di luar pagar tembok itu 

memang telah tergenang air hujan. 

Dan secepat berada di luar, secepat itu pula 

mereka melesat meninggalkan tempat itu. 

Hanya dalam beberapa langkah saja, Raksagala 

dan kakek bermata picak telah jauh mening-

galkan tempat itu. 

“Aku telah melakukan kesalahan yang amat 

besar, Raksagala,” kata kakek bermata picak itu 

setelah cukup jauh meninggalkan bangunan 

menyeramkan tadi. 

Suara kakek itu terdengar pelan, mirip 

desahan. Nada penyesalan yang amat sangat 

tersirat dalam ucapannya. Sementara, kakinya 

terus saja berlari. 

“Maksud, Guru?” tanya Raksagala seraya 

menoleh, menatap wajah gurunya. Tak lupa, 

seluruh kemampuan ilmu larinya dikerahkan 

untuk mengimbangi lari kakek bermata picak 

itu. 

“Hhh...!” kakek bermata picak menghela 

napas berat “Rupanya kau masih belum 

mengerti, Raksagala.” 

Raksagala menundukkan kepala mendengar 

adanya nada keluhan dalam ucapan gurunya.


“Maafkan aku, Guru,” ucap pemuda berwajah 

pucat itu pelan. “Aku telah mengecewakan hati 

Guru.” 

“Lupakanlah, Raksagala,” hibur kakek 

bermata picak seraya mengulapkan tangannya. 

Raksagala terdiam. Dan kini keheningan 

menyelimuti mereka. Yang terdengar kini 

hanyalah suara gemercikan genangan air yang 

terpijak kaki mereka. Sementara hujan telah 

reda. 

“Aku menyesal, Guru...,” pelan suara 

Raksagala memecahkan kesunyian yang terjadi 

di antara mereka. 

“Hm...,” hanya gumaman pelan yang 

menyambuti ucapan pemuda berwajah pucat itu. 

“Perbuatanku telah melibatkan Guru dengan 

kesulitan,” sambung Raksagala lagi, masih pelan 

suaranya. 

“Hhh...!” guru Raksagala itu menghela napas 

berat. “Kembali kau salah mengerti, Raksagala. 

Perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak merasa 

dilibatkan dalam kesulitan. Aku tidak takut 

mati, Raksagala! Aku juga tidak takut meng-

alami siksaan.” 

Kakek bermata picak itu menghentikan kata-

katanya sejenak, seraya menatap wajah murid-

nya. Tapi, Raksagala menundukkan kepala, tak 

berani menentang pandangan mata gurunya. 

Pemuda itu tetap menundukkan kepala sambil 

terus mengayunkan kaki. 

“Tapi perlu kau ketahui, Raksagala. Dengan 

telah keluarnya aku dari pagar tembok Istana



Hantu, berarti telah layak untuk mati! Aku 

telah melanggar sumpahku sendiri!” 

“Guru...!” 

Terdengar jerit keterkejutan dari mulut 

Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu menatap 

wajah gurunya dengan wajah semakin terlihat 

pucat. 

“Kurasa, sudah tiba saatnya bagimu untuk 

mengetahui semuanya, Raksagala. Termasuk 

namaku,” ujar kakek berpakaian abu-abu itu 

pelan. “Selagi aku masih hidup. Karena bila aku 

sudah tiada, kau tak akan pernah tahu semua 

ini sampai kapan pun. Kumulai dari namaku.” 

Raksagala diam terpaku. Memang sudah 

sejak lama, banyak pertanyaan bergayut di 

benaknya. Termasuk teka-teki tentang nama 

gurunya. Tapi, pertanyaan itu selalu dijawab 

gurunya dengan gelengan kepala. Kakek ber-

mata picak itu sama sekali tidak mau memberi 

tahu sedikit pun! 

“Namaku sebenarnya adalah Sawungrana,” 

jelas kakek berpakaian abu-abu itu memulai. 

Raksagala mencatat nama itu dalam hati. 

Gurunya ternyata mempunyai nama yang cukup 

gagah. “Aku adalah Ketua Perguruan Belut 

Putih. Nah, kurasa sudah cukup aku mem-

perkenalkan diri. Sekarang, pertanyaan yang 

selama ini bergayut di benakmu akan kujawab.” 

Kakek bermata picak yang ternyata bernama 

Sawungrana menghentikan kata-katanya 

sejenak. Di samping untuk mengambil napas, 

juga untuk mencari kata-kata yang tepat untuk


melanjutkan ceritanya. 

“Dulu kau sering bertanya, mengapa semua 

orang yang berada di dalam Istana Hantu tidak 

boleh keluar? Dan bila memaksakan diri keluar, 

lalu tertangkap, mengapa harus mendapat 

hukuman mati? Sekarang akan kujawab 

pertanyaan yang selama ini bergayut di 

benakmu. Namun pertanyaan tentang bangunan 

tua dan jelek yang dinamai Istana Hantu, aku 

tidak mengetahuinya.” 

Sawungrana menghentikan penuturannya 

sejenak dan mengambil napas untuk 

melanjutkan ceritanya. Sementara Raksagala 

menunggu kelanjutan penjelasan gurunya 

dengan perasaan tegang. Pemuda berwajah 

pucat itu sama sekali tidak berusaha menyelak 

cerita yang akan diutarakan gurunya. Satu hal 

kini telah diketahuinya, ternyata gurunya sama 

sekali tidak tahu, mengapa bangunan yang 

mereka tinggalkan itu bernama Istana Hantu. 

“Perlu kau ketahui, Raksagala. Semua orang 

yang berada di dalam Istana Hantu itu adalah 

orang-orang tersisih. Orang-orang yang telah 

terkalahkan. Aku seperti juga yang lainnya, 

datang ke tempat itu karena mendapat 

undangan. Undangan licik.” 

Sawungrana menghentikan ceritanya 

sejenak. Sambil masih terus berlari, tangan 

kakek bermata picak itu menyelinap ke balik 

pinggangnya. Sesaat kemudian, tangan itu 

kembali keluar bersama segulung kain kumal 

dalam genggaman.


“Inilah undangan itu, Raksagala,” kata 

Sawungrana seraya menyerahkan gulungan 

kain kumal itu pada Raksagala. Bergegas 

pemuda berwajah pucat itu menerimanya. 

“Bukalah dan baca isinya,” perintah 

Sawungrana mempersilakan. 

Tapi sesaat kemudian laki-laki tua itu sadar 

kalau tidak mungkin hal itu bisa dilakukan 

muridnya. Suasana memang agak terang karena 

sinar yang memancar dari benda berkilauan 

yang tergantung di leher Raksagala. Juga 

karena bulan telah tampak kembali, dan awan 

tebal dan hitam telah terusir pergi. Tapi, mana 

mungkin pemuda berwajah pucat itu mampu 

membaca gulungan kain tanpa menghentikan 

larinya? 

“Kita berhenti dulu di sana,” ucap 

Sawungrana. 

Telunjuk tangan kanan laki-laki tua itu 

menuding ke arah sebatang pohon yang berdiri 

kokoh dalam jarak sekitar lima tombak di 

hadapan mereka. 

Dalam sekejapan saja guru dan murid itu 

telah berada di dekat pohon yang ditunjuk 

Sawungrana. Bergegas mereka duduk di akar 

pohon yang melintang keluar dari dalam tanah. 

Tak dipedulikan sama sekali kalau akar pohon 

itu basah. Toh, pakaian kedua orang itu pun 

memang telah basah kuyup. 

Raksagala lalu membuka gulungan kain 

putih yang sudah tak jelas lagi warnanya. Dan 

dengan bantuan sinar yang terpancar dari benda


putih berkilauan di tangannya, dibacanya huruf-

huruf yang tertera di atas kain kumal itu. 

Sawungrana.... 

Kalau kau bukan seorang pengecut, aku 

akan mengundangmu untuk ikut serta dalam 

pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Ini adalah 

kesempatan untuk membuktikan, siapa di 

antara kita yang berhak mendapat julukan jago 

nomor satu. 

Penghuni Istana Hantu 

Raksagala menggulung kembali kain kumal 

itu, lalu menyerahkan pada gurunya. 

“Jadi..., Guru bukan penghuni Istana Hantu 

itu?” tanya Raksagala mulai mengerti. 

Memang tadi laki-laki berwajah pucat itu 

telah mendengar ucapan gurunya. Dikatakan, 

kakek itu adalah Ketua Perguruan Belut Putih. 

Tapi, tetap saja hal itu kurang dimengerti 

Raksagala. 

Sawungrana hanya menganggukkan kepala. 

Meskipun demikian, hal itu sudah cukup untuk 

menjawab pertanyaan muridnya. 

“Lalu..., mengapa Guru bisa menjadi 

penghuni istana itu?” desak Raksagala hati-hati. 

Perasaan penasaran itulah yang membuatnya 

berani mendesak gurunya. 

“Kami semua terikat janji,” pelan dan lemah 

sekali suara Sawungrana. 

Sementara Raksagala mendengar dengan


hati berdebar tegang. Sudah dapat dipastikan 

kalau rahasia yang selama ini menyelimuti 

Istana Hantu akan terungkap. 

“Sebelum terjadi pertarungan, kami telah 

dipaksa secara halus untuk bertarung. Siapa 

yang kalah, harus memenuhi satu permintaan 

sang pemenang,” jawab Sawungrana. Ada nada 

penyesalan yang amat sangat dalam suaranya. 

“Dipaksa secara halus?” tanya Raksagala 

masih belum mengerti. 

“Ya, dengan kata-kata ampuh. Kalau tidak 

menerima tantangan itu, kami dianggap 

pengecut,” Sawungrana menganggukkan kepala. 

“Bukan hanya itu saja. Kami pun disuruh 

mengaku kalah. Tentu saja semua yang hadir 

merasa penasaran. Maka semuanya pun 

menerima tantangan itu, dan dengan sendirinya 

berarti bersedia mengikuti taruhan itu.” 

Raksagala mengangguk pertanda mengerti. 

“Namun ternyata mereka memiliki 

kepandaian tinggi. Satu persatu tokoh persilatan 

aliran putih yang diundang dikalahkan....” 

“Guru juga dikalahkan?!” selak Raksagala 

ingin mengetahui. 

Sawungrana mengangguk membenarkan. 

“Dan sesuai perjanjian, mereka diharuskan 

memenuhi permintaan Penghuni Istana Hantu.” 

“Apa itu, Guru?” tanya Raksagala tidak 

sabar ketika melihat Sawungrana menghentikan 

ucapannya. 

“Kau tidak bisa menduganya, Raksagala?” 

Sawungrana malah balas bertanya.


Raksagala menggelengkan kepala. 

“Yahhh...! Seperti yang kau lihat pada 

diriku,” jawab kakek bermata picak itu akhir-

nya. 

“Maksud, Guru?” tanya Raksagala masih 

belum mengerti. 

“Satu anggota tubuh kami dibuat cacat, dan 

tidak boleh meninggalkan Istana Hantu.” 

“Dan guru mengingkarinya?” tanya 

Raksagala tidak percaya. 

Seketika wajah Sawungrana memerah 

mendengar pertanyaan pemuda berwajah pucat 

itu. 

“Aku bukanlah seorang pengecut, 

Raksagala!” sentak Sawungrana keras. “Tidak 

akan kuingkari janjiku sendiri!” 

“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala pelan. 

Diam-diam pemuda berwajah pucat ini 

memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh dirinya! 

Mana mungkin gurunya akan mengingkari janji. 

“Belasan tahun aku menetap di Istana 

Hantu, namun tak pernah sekali pun mencoba 

melarikan diri. Padahal kesempatan untuk itu 

beberapa kali terbuka.” 

“Lalu..., bagaimana caranya aku bisa berada 

di dalam sana, Guru?” tanya Raksagala lagi. 

“Kau kutemukan dalam perjalananku 

menuju Istana Hantu untuk memenuhi 

undangan. Saat itu, kau mungkin kurang lebih 

berusia empat tahun. Tubuhmu kurus kering 

karena kelaparan. Saat itu memang banyak desa 

yang dilanda kelaparan. Maklum saja, raja yang


memerintah terlalu lalim.” 

Raksagala tercenung. Sungguh tidak di-

sangka demikian menyedihkan nasibnya. 

Sampai-sampai tidak mengetahui orang yang 

telah melahirkannya ke dunia ini! 

“Sebenarnya untuk apa Penghuni Istana 

Hantu itu mengurung para tokoh persilatan di 

Istana Hantu, Guru?” tanya Raksagala setelah 

beberapa saat lamanya tercenung. 

“Aku juga tidak tahu, Raksagala,” jawab 

Sawungrana dengan suara berdesah. “Tapi 

menurut berita yang kudengar, hal itu 

dilakukan sebagai pembalasan dendam.” 

“Pembalasan dendam?! Jadi, guru dan tokoh-

tokoh persilatan aliran putih itu adalah 

musuhnya?!” 

Sawungrana menggeleng. 

“Penghuni Istana Hantu dikurung oleh 

seorang pendekar sakti. Puluhan tahun mereka 

tinggal di situ. Dan baru bisa keluar setelah 

pendekar itu meninggal dunia.” 

“Mengapa bisa begitu, Guru?” tanya 

Raksagala. “Mengapa harus menunggu pendekar 

itu meninggal?” 

“Pendekar itu tinggal di istana itu juga, 

Raksagala.” 

Raksagala mengangguk-anggukkan kepala. 

“Jadi, karena tidak bisa lagi membalas 

dendam pada pendekar itu, Penghuni Istana 

Hantu melampiaskan dendamnya pada seluruh 

pendekar. Begitu, Guru?!” 

“Kira-kira begitu,” jawab Sawungrana


perlahan. 

Raksagala terdiam. Sawungrana tidak 

melanjutkan ucapannya. Sehingga suasana di 

sekitar tempat itu jadi hening. 

“Untunglah ada dirimu, Raksagala!” desah 

Sawungrana memecahkan keheningan. “Kalau 

tidak, mungkin aku tidak tahu apa yang harus 

kulakukan selama berada dalam Istana Hantu. 

Dengan adanya dirimu, aku dapat menyibukkan 

diri membimbingmu. Dan tanpa sepengetahuan 

Penghuni Istana Hantu, aku telah menciptakan 

ilmu-ilmu baru dan semuanya telah kuwariskan 

kepadamu.” 

Sawungrana menghentikan penuturannya. 

Wajahnya tampak muram. Jelas ada sesuatu 

yang memberatkan dalam pikirannya. 

“Kini aku telah melanggar janjiku sendiri. 

Aku telah keluar dari Istana. Hantu. Aku tidak 

patut lagi hidup!” kata kakek berpakaian abu-

abu itu. 

“Guru...!” sentak Raksagala keras. Keter-

kejutan yang amat sangat membayang jelas di 

wajahnya. 

“Tapi aku puas, karena seluruh ilmu yang 

kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Kepandai-

anmu sudah lebih unggul bila dibanding diriku 

dulu. Bahkan tingkat kepandaianmu hampir 

menyamai tingkatku sekarang,” jelas Sawung-

rana tanpa mempedulikan jeritan muridnya. 

“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala lirih. 

“Sama sekali tidak kusangka kalau perbuatanku 

akan mengakibatkan hal seperti ini”


“Lupakanlah, Raksagala,” hibur Sawung-

rana. “Aku tidak menyalahkan tindakanmu. 

Bahkan diam-diam aku bersyukur, karena kau 

berani bertindak seperti ini” 

“Heh...?!” 

Raksagala terperanjat mendengar ucapan 

terakhir kakek bermata picak itu. Sepasang 

matanya menatap wajah gurunya penuh selidik, 

mencoba mencari kebenarannya. 

“Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, aku 

mempunyai firasat buruk. Aku yakin ada 

sesuatu yang terjadi dengan perguruan yang 

kutinggalkan. Oleh karena sekarang kau telah 

bebas, dan sama sekali tidak terikat dengan 

janji, maka kutugaskan pergi ke perguruanku 

untuk melihat-lihat keadaan di sana.” 

“Apa yang harus kulakukan bila telah tiba di 

sana, Guru?” 

“Membuktikan kebenaran firasatku. Apabila 

benar terjadi sesuatu, kau kutugaskan untuk 

membenahinya.” 

Setelah berkata demikian, kakek bermata 

picak ini lalu memberi sebatang tongkat 

berwarna hitam dan berukir dari balik bajunya. 

Pada bagian pangkalnya dihiasi batu-batu 

permata berbentuk bulat. 

“Dengan adanya tongkat ini, maka kau 

mempunyai wewenang penuh untuk mengatasi 

kemelut yang terjadi. Namun, itu jika memang 

ada.” 

Raksagala segera menerima tongkat yang 

diangsurkan gurunya.


“Apakah Guru tidak ikut pergi bersamaku ke 

sana?” tanya Raksagala, dengan suara serak. 

Sebuah pertanyaan yang bodoh sebenarnya. 

Karena kalau Sawungrana ikut ke sana, untuk 

apa kakek bermata picak itu memberi tongkat 

itu padanya? 

Sawungrana menggelengkan kepala. 

“Aku telah melanggar sumpahku sendiri, 

Raksagala. Dan hukumannya bagiku adalah 

mati!” 

Perlahan saja ucapan kakek bermata picak 

itu, tapi di dalamnya terkandung ketegasan 

yang tidak bisa dibantah lagi. 

“Guru...!” 

“Cepat pergi, Raksagala! Sebelum terlambat! 

Aku yakin mereka telah mengetahui kepergian 

kita...!” 

Namun belum juga Raksagala bergerak, tiba-

tiba.... 

“Ha ha ha...!” 

Sebuah tawa keras menyeramkan terdengar. 

Kakek bermata picak dan muridnya itu terkejut 

bukan main. Mereka sama-sama terjingkat 

kaget tak ubahnya disengat kalajengking. Suara 

tawa itu amat dikenal. Siapa lagi kalau bukan 

suara Penghuni Istana Hantu! 

***

Secepat Raksagala dan Sawungrana bangkit 

berdiri, secepat itu pula di hadapan mereka 

berdiri sesosok tubuh tinggi besar berpakaian 

merah dalam jarak sekitar empat tombak. 

Tanpa memperhatikan lebih jauh pun, 

Sawungrana dan Raksagala sudah bisa 

mengetahui sosok tubuh yang berdiri itu. Siapa 

lagi kalau bukan Penghuni Istana Hantu? 

“Cepat kau pergi, Raksagala! Biar aku yang 

akan menghadapinya...!” ujar Sawungrana 

sambil mendorong tubuh muridnya. 

“Tapi, Guru...,” Raksagala masih mencoba 

membantah. 

“Cepat..!” seru Sawungrana. Suaranya ter-

dengar lebih keras dari sebelumnya. 

Raksagala mendengar adanya tekanan yang 

tidak menghendaki adanya bantahan dalam 

nada suara gurunya. Maka meskipun dengan 

hati berat, laki-laki berwajah pucat ini lalu 

melesat meninggalkan tempat itu. 

“Jangan harap bisa lolos dari tanganku...!” 

Terdengar suara keras menggelegar, disusul 

berkelebatnya tubuh Penghuni Istana Hantu 

menyusul tubuh Raksagala yang telah melesat 

lebih dulu. Jelas sudah maksud laki-laki ber-

tubuh tinggi besar ini. Menghadang kepergian 

Raksagala!


Tapi hal itu sudah diperhitungkan Sawung-

rana. Maka begitu Penghuni Istana Hantu itu 

tampak bergerak, dia segera melesat memotong 

alur lompatan laki-laki bertubuh tinggi besar 

itu. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan 

kakek bermata picak. Kedua tangannya ber-

gerak cepat, melancarkan serangan bertubi-tubi 

ke arah pelipis. 

Penghuni Istana Hantu itu menggeram. Dia 

murka bukan kepalang melihat tindakannya 

dihalangi. Tanpa berpikir dua kali, segera 

ditangkisnya serangan yang tertuju ke arahnya. 

Plak, plak...! 

Terdengar suara berderak keras akibat 

berbentur-annya dua buah tangan yang sama-

sama mengandung tenaga dalam tinggi. 

Akibatnya memang cukup hebat Tubuh kedua 

orang itu sama-sama terjengkang ke belakang, 

karena memang sama-sama berada di udara. 

Meskipun begitu, baik Sawungrana maupun 

Penghuni Istana Hantu mematahkan kekuatan 

yang membuat tubuh satu sama lain terdorong. 

Dengan gerakan indah dan manis, mereka 

mendaratkan kaki di tanah. 

Sawungrana meringis karena sekujur 

tangannya terasa sakit-sakit. Dadanya pun 

sesak bukan main. Jelas kalau dalam benturan 

tadi, dia kalah tenaga. Sementara lawannya 

justru seperti tidak merasakan akibat benturan 

itu sama sekali. 

Penghuni Istana Hantu menggeram murka 

melihat Raksagala berhasil meloloskan diri.


Tubuh laki-laki berwajah pucat itu telah lenyap 

ditelan remangnya malam dan kerimbunan 

pepohonan, serta semak-semak lebat 

Kemurkaan laki-laki tinggi besar itu 

dilampiaskannya pada Sawungrana. Karena, 

dialah yang telah membuat Raksagala berhasil 

melarikan diri. 

Dalam keremangan sinar rembulan, tampak 

jelas wajah dan perawakan Penghuni Istana, 

Hantu. Raut wajahnya terlihat kasar. Ada dua 

buah luka bersilangan di wajahnya yang hanya 

ditumbuhi jenggot tanpa kumis. Pada bagian 

dahinya, terpampang tengkorak berbentuk 

kepala yang terikat di belakang kepala. Menilik 

dari bentuknya yang kecil, mungkin tengkorak 

kepala anak monyet 

“Tidak kusangka, ternyata kau adalah 

seorang pengecut, Sawungrana!” seru Penghuni 

Istana Hantu. Nada suaranya menyiratkan 

kesinisan yang tajam. “Kalau tidak menyaksikan 

sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. 

Sawungrana ternyata melanggar sumpahnya 

sendiri! Menjilat ludah yang telah dikeluar-

kannya! Ha ha ha...! Sudah bisa kubayangkan, 

betapa gemparnya dunia persilatan bila men-

dengar berita ini!” 

“Tutup mulutmu, Barong Segara...!” bentak 

Sawungrana keras. 

Kakek bermata picak ini marah bukan main 

mendengar ucapan yang dikeluarkan laki-laki 

bertubuh tinggi besar itu. 

“Aku bukan orang seperti itu, Barong


Segara!” lanjutnya. 

Laki-laki bertubuh tinggi besar yang 

ternyata bernama Barong Segara tersenyum 

mengejek. 

“Kau tidak bisa mungkir lagi, Sawungrana! 

Kini sudah jelas, kau adalah seorang yang 

memiliki watak hina! Menjilat ludah yang telah 

kau keluarkan sendiri!” 

“Aku sama sekali tidak bermaksud keluar 

dari Istana Hantu, Barong Segara,” sergah 

Sawungrana keras. 

“Ha ha ha...! Betapa gagahnya ucapan yang 

keluar dari mulutmu, Sawungrana! Mungkin 

kalau tidak kubuktikan sendiri, dapat kau tipu 

mentah-mentah. Tapi, biarlah. Kau kuberi 

kesempatan untuk lolos, Sawunyana. Kau boleh 

lolos dari sini, apabila berhasil mengalahkan 

aku. Ha ha ha...!” 

“Keparat..!” 

Sawungrana tidak bisa lagi menahan 

kemarahannya. Cepat laksana kilat, tubuhnya 

melesat menyerang. Tangan kanannya 

menyampok keras ke arah pelipis. Sementara 

tangan kiri berada di pinggang. 

Wuttt..! 

Angin keras berhembus mengawali tibanya 

serangan kakek bermata picak itu. Tapi Barong 

Segara hanya mendengus. Sambil tersenyum 

mengejek, kaki kanannya ditarik mundur ke 

belakang seraya mendoyongkan tubuhnya. 

Sehingga, serangan itu lewat sekitar satu 

jengkal di depan wajahnya. Rambut laki-laki


bertubuh tinggi besar itu sampai berkibaran 

keras ketika sampokan lawan lewat di depan 

wajahnya. 

Tapi, serangan Sawungrana tidak hanya 

sampai di situ saja. Begitu serangan tangan 

kanannya berhasil dielakkan, tangan kirinya 

kembali menyusul. Tangan kiri yang juga 

berbentuk cakar, menyampok dari bawah ke 

atas dagu. 

Kali ini Barong Segara tidak mengelak lagi. 

Segera ditangkisnya serangan itu dengan tangan 

kanan dari atas ke bawah. 

Plakkk...! 

Untuk yang kedua kalinya terjadi benturan 

antara dua buah tangan yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi. Suara 

berderak keras terdengar mengiringi terjadinya 

benturan itu. Sawungrana menyeringai. Sekujur 

tangannya terasa sakit dan nyeri bukan 

kepalang! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya 

agak terhuyung ke depan. 

Namun, tindakan Barong Segara tidak hanya 

sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung 

mencuat ke arah perut Sawungrana. Cepat 

bukan main gerakannya. 

Sawungrana terperanjat melihat serangan 

susulan yang begitu tiba-tiba. Meskipun begitu, 

kakek bermata picak ini berhasil membuktikan 

kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Segera 

kakinya dijejakkan ke tanah. Dan sesaat 

kemudian, tubuhnya sudah melambung ke atas, 

melewati kepala Penghuni Istana Hantu.


Sawungrana memang tidak percuma menjadi 

seorang ketua perguruan. Begitu tubuhnya 

berada di atas, kedua tangannya melancarkan 

serangan cepat dan bertubi-tubi ke arah ubun-

ubun lawan. 

Namun rupanya gerakan Penghuni Istana 

Hantu masih lebih cepat lagi. Tatkala terasa ada 

bahaya maut yang mengancam dari atas, kedua 

tangannya cepat disampokkan ke atas. 

Prattt..! 

Kembali terjadi benturan antara dua pasang 

tangan. Dengan sendirinya, Barong Segara 

berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. 

Tepat saat Barong Segara berhasil mem-

perbaiki sikap, kedua kaki Sawungrana men-

darat di tanah. Dan secara berbarengen, 

keduanya saling membalikkan tubuh dan ber-

hadapan kembali. Hanya sesaat satu sama lain 

saling tatap dengan sinar maut memancar dari 

sepasang mata masing-masing, dan sekejap 

kemudian sudah saling serang kembali. Hanya 

ada dua pilihan hagi mereka. Membunuh atau 

dibunuh! 

Hebat bukan main pertarungan antara 

kedua orang sakti itu. Suara menderu dan 

mendecit mengiringi setiap serangan mereka. 

Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan 

nyasar. Genangan air memercik tak tentu arah. 

Bahkan daun-daun ikut berguguran dari 

tangkainya. Malah beberapa batang pohon juga 

roboh. Suara bergemuruh mengiringi tumbang-

nya pepohonan itu.


Di jurus-jurus awal pertarungan memang 

berlangsung imbang. Kedua belah pihak saling 

melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus 

kelima puluh, Barong Segara mulai tampak 

unggul. Laki-laki tinggi besar ini mulai dapat 

mendesak Sawungrana. 

Lewat lima puluh jurus, keadaan Sawung-

rana kian mengkhawatirkan. Serangan-

serangannya tidak lagi bertubi-tubi seperti 

sebelumnya, bahkan lebih sering mengelak. 

Menangkis pun hanya sesekali. Karena setiap 

kali menangkis, tangannya terasa sakit-sakit 

dan dadanya sesak. 

Sebenarnya tidak aneh jika Sawungrana 

terdesak, sebab memang bukan tandingan 

Barong Segara. Baik dalam hal ilmu me-

ringankan tubuh, mutu ilmu silat maupun 

dalam hal tenaga dalam. Maka meskipun 

Sawungrana telah berusaha keras, tetap saja 

tidak mampu mengimbangi lawannya. 

“Hih...!” 

Sambil menggertakkan gigi, Sawungrana 

melempar tubuhnya ke belakang. Barong Segara 

sama sekali tidak mengejarnya. Dibiarkannya 

saja tindakan kakek bermata picak itu. Sudah 

bisa diduga kalau Sawungrana akan meng-

gunakan ilmu lainnya. 

Karena Barong Segara sama sekali tidak 

mengejarnya, maka Sawungrana tidak meng-

alami kesulitan untuk bersalto beberapa kali di 

udara sebelum akhirnya mendaratkan kedua 

kaki di tanah.


Dan begitu hinggap, di tangan Sawungrana 

telah tergenggam sebilah pedang terhunus. Dan 

secepat pedang itu berada di tangan, secepat itu 

pula Sawungrana memutar-mutarkannya di atas 

kepala. 

Nguuung...! 

Suara nyaring seperti ada sekelompok lebah 

mengamuk, mengiringi perputaran pedang itu. 

Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diper-

kirakan kekuatan tenaga dalam yang meng-

gerakkan pedang itu. 

*** 

Barong Segara tentu saja tidak tinggal diam. 

Begitu Sawungrana menghunus senjatanya, 

bergegas ilmu andalannya dikeluarkan. Cepat 

Penghuni Istana Hantu ini membentuk kuda-

kuda sejajar. Kedua tangannya dengan jari-jari 

terbuka saling bersilangan di depan dada. Tapi 

hanya sesaat saja hal itu dilakukan, karena 

sebentar kemudian jari-jari kedua tangannya 

perlahan-lahan dikepalkan. Terdengar suara 

berkerotokan nyaring, seperti ada tulang-tulang 

berpatahan ketika jari-jari tangan itu mengepal. 

Tidak hanya sampai di situ saja yang 

dilakukan Barong Segara. Setelah kedua 

tangannya mengepal, perlahan tapi penuh 

tenaga, kedua tangan itu ditarik ke pinggang. 

Kembali suara berkerotokan nyaring terdengar 

ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang. 

Tampak jelas, betapa kedua tangan itu



menggigil keras, pertanda telah dialiri tenaga 

dalam tinggi. 

Diiringi desahan napas dari mulut, Barong 

Segara mendorongkan kedua tangannya ke 

depan, perlahan-lahan tapi penuh tenaga. Suara 

berkerotokan keras terus terdengar mengiringi 

gerakan kedua tangan itu. 

Luar biasa! Begitu desahan napas Barong 

Segara lenyap, dan kedua tangan yang semula 

terletak di pinggang itu terjulur ke depan, 

sekujur tangan Penghuni Istana Hantu telah 

berubah warna menjadi hitam kelam! 

Sawungrana terperanjat melihat hal ini. 

Tanpa dibuktikan lagi pun sudah bisa diper-

kirakan kedahsyatan ilmu Penghuni Istana 

Hantu. Kakek bermata picak ini tahu kalau 

Barong Segara tidak tinggal diam begitu saja 

selama belasan tahun. Laki-laki bertubuh tinggi 

besar ini sudah pasti memperdalam ilmu-ilmu 

yang dimilikinya, sehingga sudah memperoleh 

kemajuan pesat. 

Maka Sawungrana tidak bertindak setengah-

setengah lagi. Tanpa mempedulikan perasaan 

malu karena bersenjata, sementara lawan hanya 

bertangan kosong, kakek bermata picak ini 

segera melompat menerjang. 

“Hiyaaa...!” 

Air-air di atas pohon dan daun-daun 

berjatuhan karena getaran akibat pekikan 

nyaring Sawungrana. 

Dan seiring teriakan itu, pedang di tangan-

nya diputar di atas kepala. Suara dengung keras


seperti ada ratusan ekor lebah tengah 

mengamuk terdengar mengiringi putaran 

pedang itu. 

Cepat bukan main putaran pedang 

Sawungrana sehingga batang pedang itu tidak 

nampak lagi. Yang terlihat kini hanyalah sinar 

kekuningan yang membentuk putaran seperti 

baling-baling. Dan mendadak saja, dari balik 

putaran itu mencuat serangan maut ke arah 

ubun-ubun Barong Segara. 

Cepat, mendadak, dan sama sekali tidak 

terduga serangan itu, karena muncul dari balik 

putaran sinar. Suara berdesing nyaring yang 

mengiringi serangan itu menandakan betapa 

kuatnya tenaga dalam yang terkandung di 

dalamnya. 

Tapi Barong Segara sama sekali tidak 

terkejut mendapat serangan mendadak seperti 

demikian. Kedua tangannya yang berwarna 

hitam kelam itu bergerak cepat di atas kepala. 

Menilik dari gelagatnya, seakan-akan Penghuni 

Istana Hantu ini ingin menangkis serangan 

pedang dengan tangan kosong. 

Sawungrana mengerutkan alisnya melihat 

hal itu. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, 

sudah bisa diterka apa yang akan dilakukan 

lawannya. Dan seketika itu pula berbagai 

macam perasaan berkecamuk di hatinya. Benar-

kah Penghuni Istana Hantu ini akan menangkis 

pedangnya dengan tangan kosong? Begitu 

saktikah sekarang laki-laki bertubuh tinggi 

besar ini? Atau begitu sombongnya, sehingga


berani menangkis dengan tangan kosong? 

Dugaan Sawungrana ternyata tidak salah! 

Barong Segara benar-benar menyambut tusukan 

pedangnya dengan pergelangan tangan kanan. 

Takkk...! 

Suara berderak keras seperti beradunya dua 

batang logam keras terdengar. Akibatnya benar-

benar hebat! Tubuh Sawungrana yang tengah 

berada di udara seketika terpental balik ke atas. 

Sementara Barong Segara sama sekali tidak 

bergeming! 

Sawungrana terkejut bukan main. Dan 

memang, ada berbagai macam perasaan yang 

mendera hatinya. Kekagetan pertama ketika 

melihat lawan yang memapak pedangnya, 

ternyata tidak mendapat luka sedikit pun. 

Sementara kekagetan lainnya, ketika merasa-

kan adanya daya tolak yang kuat luar biasa 

sehingga tubuhnya terpaksa seperti dilontarkan. 

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang 

sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit 

bagi Sawungrana untuk mematahkan daya 

dorong lontaran tubuhnya. Ringan dan enak saja 

tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, 

kemudian mendarat mantap dan tanpa suara di 

tanah. 

Tapi mendadak, mulut kakek bermata picak 

ini meringis begitu sakit yang amat sangat 

terasa menekan dadanya. Rasa sakit yang mau 

tak mau membuat kedua tangannya menekan 

perut. 

Beberapa saat lamanya Sawungrana


kebingungan. Dia hanya bisa menduga, dari 

mana timbulnya rasa sakit itu? Apakah tanpa 

diketahui tubuhnya telah terkena racun yang 

dilepaskan Barong Segara secara licik? Namun 

dia yakin betul kalau tidak ada satu serangan 

pun dari Barong Segara yang mengenainya. 

Ada satu hal lagi yang membuat kakek 

bermata picak ini yakin kalau dirinya tidak 

terkena racun. Dan itu diketahui sewaktu 

menarik napas. Ada rasa sakit yang mendera 

dadanya ketika melakukan hal itu. Sawungrana 

tahu apa artinya. Dia telah terluka dalam, dan 

bukan terkena racun. Tapi yang tidak habis 

dimengerti, kapan dia terkena serangan lawan? 

Ataukah dalam benturan terakhir tadi? Tapi bila 

karena benturan terakhir, bukan hanya dadanya 

saja yang terasa sesak bukan main. Yang jelas 

tangannya pun akan terasa bergetar. Setidak-

tidaknya, tangan yang menggenggam senjata 

akan lumpuh sejenak! 

“He he he...!” Barong Segara tertawa 

terkekeh-kekeh. 

Laki-laki berpakaian merah ini memang 

sejak tadi sama sekali tidak bergerak 

menyerang. Dia berdiam diri saja mem-

perhatikan semua tingkah Sawungrana. 

“Kenapa, Sawungrana? Sakit dadamu? He he 

he...!” 

“Keparat kau, Barong Segara...!” maki 

Sawungrana, keras. Wajah dan sepasang 

matanya merah membara. “Sungguh tidak 

kusangka, kau akan bertindak sepengecut ini.


Berlaku curang untuk meraih kemenangan!” 

“Tutup mulutmu, Anjing Buduk!” maki 

Barong Segara keras. 

Lenyap seketika itu juga seri di wajah laki-

laki bertubuh tinggi besar ini. Yang tinggal 

hanyalah kemarahan yang menggelegak. 

Penghuni Istana Hantu ini memang pantang 

dihina. 

“Aku tidak serendah itu! Jangan kau 

samakan aku dengan dirimu! Seorang pengecut, 

sehingga menjilat ludahnya sendiri yang telah 

jatuh ke tanah!” 

Wajah Sawungrana semakin memerah. Tapi 

kali ini bukan amarah, melainkan karena 

perasaan malu. Malu karena telah melanggar 

sumpahnya sendiri. 

“Kalau tidak karena bermain curang, 

mengapa kau mengetahui apa yang ku-

rasakan?!” bantah Sawungrana dengan suara 

mulai melunak, tapi nadanya berupa tuduhan. 

“Itulah kehebatan dari gabungan ilmu yang 

baru saja kuciptakan!” sahut Barong Segara, 

penuh kemenangan. “Kau mau tahu nama ilmu 

itu?!” 

Wajah Sawungrana berubah seketika. Jadi 

luka dalamnya bukan karena lawan bermain 

curang, melainkan karena kedahsyatan ilmu 

gabungan! Luar biasa! Sungguh sebuah ilmu 

yang amat berbahaya! 

Melihat kakek bermata picak itu sama sekali 

tidak menyambuti ucapannya, Barong Segara 

sama sekali tidak ambil pusing. Pertanyaan itu


diajukan memang bukan untuk mendapatkan 

jawaban. Maka tanpa mempedulikan Sawung-

rana mendengar atau tidak, Barong Segara 

menyambung ucapannya. 

“Kejadian yang menimpamu adalah akibat 

ilmu gabungan 'Tangan Penahan Gelombang 

Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'.” 

Ada seruan tertahan yang keluar dari mulut 

Sawungrana ketika mendengar penjelasan 

Penghuni Istana Hantu. Ilmu yang pertama 

memang belum dikenalnya. Tapi ilmu kedua 

yang disebut tadi, cukup diketahuinya. Dengan 

'Ilmu Tangan Pasir Besi', orang jadi memiliki 

tangan laksana baja! Hanya saja, latihan-

latihannya pun cukup berat Di antaranya, 

merendam tangan dalam pasir besi yang panas. 

Jadi, ternyata Barong Segara telah berhasil 

menguasai ilmu itu. 

“Serangan pedangmu kutahan dengan 'Ilmu 

Tangan Pasir Besi', sementara ilmu 'Tangan 

Penahan Gelombang Laut' langsung menyusup 

dan menghantam dadamu! Itu memang 

keistimewaannya! Dan ajalmu kini hanya 

tinggal menunggu waktu saja! Ha ha ha...!” 

“Keparat..! Sebelum waktu itu tiba, aku akan 

menyeretmu pergi bersamaku, Barong 

Segara...!” 

Setelah berkata demikian, Sawungrana 

melompat menerjang. Sementara Barong Segara 

sama sekali tidak mempedulikannya. Laki-laki 

bertubuh tinggi besar ini terus saja tertawa 

terbahak-bahak. Sepertinya, dia tidak merasa


cemas melihat serangan maut yang dilancarkan 

kakek bermata picak itu. 

Tapi baru juga setengah jalan, mendadak 

tubuh Sawungrana mengejang. Pedang di 

tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dari 

mulut, hidung, dan telinganya tiba-tiba mengalir 

cairan merah kental. Tubuhnya roboh di tanah. 

Sebentar dia menggelepar-gelepar, sejenak 

kemudian diam tidak bergerak lagi. 

“Ha ha ha...!” 

Barong Segara tertawa bergelak melihat 

tubuh lawannya yang sudah menjadi mayat. 

Kegembiraan yang amat sangat tampak mem-

bayang di wajahnya. 

“Hi hi hi..!” 

Mendadak suara tawa melengking nyaring 

terdengar menimpali. Jelas, suara itu berasal 

bukan dari mulut seorang lelaki. 

Tapi Barong Segara sama sekali tidak 

tampak terkejut mendengarnya. Bahkan tetap 

saja meneruskan tawanya. Tampak jelas kalau 

laki-laki bertubuh tinggi besar ini sama sekali 

tidak merasa terganggu. Maka kini di malam 

yang sepi itu terdengar dua jenis suara tawa 

yang memecahkan keheningan malam. 

“Cukup, Durgasari...!” sentak Barong Segara 

seraya menghentikan tawanya. 

Seketika itu juga suara tawa terkikih itu 

lenyap. “Lebih baik, lekas kau kejar murid si 

keparat ini..! Lenyapkan sebelum terlambat..!” 

Tidak terdengar sahutan dari pohon-pohon 

tinggi tempat asal suara itu. Hanya saja, setelah


Barong Segara menyelesaikan ucapannya, 

terdengar suara gemerisik pelan dari salah satu 

cabang pohon. Hanya sebentar saja, sesaat 

kemudian tidak terdengar lagi. 

Barong Segara mendengus, kemudian 

melesat pergi ke arah Istananya. Cepat bukan 

main gerakannya, sehingga yang terlihat 

hanyalah sekelebatan bayangan yang melesat 

cepat untuk kemudian menghilang di kegelapan 

malam. 

***


Angin kering membawa debu berhembus keras. 

Matahari memang sudah berada tepat di atas 

kepala. Sinarnya yang panas menyorot garang, 

seakan-akan ingin melelehkan semua yang ada 

di permukaan mayapada. 

“Keparat..!” 

Seorang pemuda berpakaian abu-abu dan 

berjenggot pendek berteriak memaki ketika 

angin yang membawa debu itu menyambar 

wajahnya. Akibatnya, salah satu matanya 

kemasukan debu. Maka, kontan pemuda itu 

mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengeluar-

kan debu yang tidak tahu diri sehingga matanya 

terasa perih. 

“He he he...!” 

Seorang pemuda sebaya yang berjalan 

bersamanya, hanya tertawa terkekeh. Seperti 

juga laki-laki berjenggot pendek itu, laki-laki 

yang tertawa itu berpakaian abu-abu. Bibirnya 

yang sumbing membuat wajahnya nampak lucu 

ketika tertawa. 

“Apa yang kau tertawakan, Patila?” tanya 

laki-laki berjenggot pendek itu geram. Nada 

suaranya menyiratkan perasaan tidak senang. 

Laki-laki berbibir sumbing yang ternyata 

bernama Patila tidak langsung menjawab. Dia 

masih sibuk menahan rasa geli yang melanda.



Karuan saja hal ini membuat laki-laki ber-

jenggot pendek itu semakin memuncak 

amarahnya. Untung sebelum amarahnya sempat 

meluap, Patila telah bisa menguasai diri. 

“Kelakuanmu yang membuatku geli, 

Satrana,” sahut laki-laki berbibir sumbing itu 

memberi tahu. “Hanya sebutir kecil debu saja 

telah membuatmu kalang kabut! Aku tidak bisa 

membayangkan kalau bukan debu yang 

menyambar ke arahmu, melainkan sebatang 

pedang!” 

“Ingin kutahu, siapa yang berani melakukan 

hal seperti itu padaku!” tandas laki-laki 

berjenggot pendek yang ternyata bernama 

Satrana. Nada kesombongan nampak jelas pada 

wajah, suara, dan sikapnya. 

Usai berkata demikian, Satrana membusung-

kan dadanya. Tidak hanya itu saja. Kedua 

tangannya langsung disedakapkan di depan 

dada. Sementara, wajahnya ditolehkan ke sana 

kemari dengan sikap angkuh. 

Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat 

tingkahnya kecuali Patila. Laki-laki berbibir 

sumbing itu menatap sambil menyunggingkan 

senyum mengejek. Maka wajahnya yang sudah 

buruk karena bibir cacat itu, jadi semakin 

terlihat mengerikan. 

Suasana di sekitar tempat itu memang sepi. 

Padahal, kedua laki-laki itu tengah berjalan di 

jalan utama Desa Kali Asem. Sebuah desa yang 

terhitung cukup besar dan berpenduduk cukup 

padat. Rumah penduduk memang banyak



terhampar di sana-sini, tapi sebagian besar 

terkunci rapat baik pintu maupun jendelanya! 

Jelas, ada sesuatu yang terjadi dengan desa itu. 

Rupanya Satrana belum puas dengan sikap-

nya yang seperti itu. Seraya mengangkat kepala, 

tangan kanannya ditepuk-tepukkan ke dada. 

Tampak kalau di dada kiri laki-laki berjenggot 

pendek ini tertera gambar seekor belut yang 

bersulamkan benang perak. Gambar yang sama 

pun tertera di dada kiri Patila. 

Kedua laki-laki, yang ternyata berasal dari 

satu perguruan ini terus melangkah. Dan 

gerakan kaki mereka baru terhenti ketika telah 

sampai di depan sebuah rumah berdinding batu. 

Tok, tok, tok...! 

Terdengar suara keras ketika Patila 

menggedorkan tangannya pada daun pintu yang 

tertutup rapat itu. 

“Wanara! Keluar kau...! Atau..., kubakar 

gubukmu ini..!” 

Tanpa khawatir terdengar oleh penghuni 

rumah lainnya, Satrana berteriak-teriak 

memanggil sambil terus menggedor-gedor daun 

pintu. Menilik dari sikapnya, jelas kalau dia 

sudah terbiasa bersikap begitu. 

Terdengar suara langkah tergesa-gesa dari 

dalam rumah itu. Sesaat kemudian, daun pintu 

itu pun terkuak dari dalam. Suara berderit yang 

cukup tajam mengiringi terbukanya pintu. 

“O, Den Satrana dan Den Patila kiranya...!” 

ucap seraut wajah tua bertubuh ringkih dan 

berpakaian putih.



Seulas senyum tampak tersungging di bibir 

laki-laki bernama Wanara yang tampak gemetar 

ketika mengucapkan nama kedua laki-laki kasar 

itu. Dia memang mengenal mereka yang 

merupakan murid-murid Perguruan Belut Putih. 

“Tidak usah banyak basa-basi, Wanara!” 

sergah Satrana keras. “Aku tidak ingin beramah 

tamah denganmu! Kami datang kemari atas 

perintah Ki Kalasura, ketua kami. Dan kau tahu 

bukan, apa maksudnya? Panggil Galuh kemari! 

Cepat..!” 

Seketika itu juga wajah laki-laki tua 

berpakaian putih itu memucat, Galuh adalah 

putrinya yang telah berusia hampir dua puluh 

tahun. Wajahnya memang cantik. Dia tahu, apa 

maksud Kalasura menyuruh kedua orang ini 

mengambil putrinya. Kalasura memiliki 

kebiasaan jelek, yakni mempermainkan wanita. 

“Tapi.... Tapi, Den... Galuh masih terlalu 

muda... Dan lagi....” 

“Kau mau memanggilnya secara baik-baik, 

atau kami akan mengambilnya secara paksa?” 

potong Satrana tidak sabar. Nada ancaman 

tampak jelas baik dalam suara maupun raut 

wajahnya. 

Ki Wanara tergagap. Perasaan gelisah yang 

amat sangat membayang jelas di wajahnya yang 

penuh keriput itu. Tapi, Patila dan Satrana 

sama sekali tidak tersentuh hatinya melihat laki 

laki tua berpakaian putih itu bingung karena 

perasaan takut. Justru sebaliknya, mereka 

malah menjadi kian meluap amarahnya.


“Tua bangka keparat! Kau rupanya sudah 

bosan hidup, ya? Berani-beraninya menentang 

kemauan kami!” 

Setelah berkata demikian, Satrana segera 

melayangkan tangannya ke arah pipi kakek 

berpakaian putih itu. Terlihat mantap dan 

cukup cepat gerakannya. 

Plakkk...! 

Telak dan keras sekali tangan kekar Satrana 

mendarat di pipi kanan Ki Wanara. Wajah 

kakek berpakaian putih itu bahkan sampai 

terpaling ke samping. Bukan hanya itu saja. 

Tubuhnya pun sampai terhuyung. Seketika ada 

cairan merah kental yang menitik di sudut-

sudut mulutnya. 

Kemudian tanpa mempedulikan kakek 

berpakaian putih itu lagi, Satrana segera 

melangkah masuk ke dalam rumah. Patila yang 

sejak tadi hanya tersenyum-senyum memper-

hatikan semua tingkah laku temannya, tanpa 

banyak bicara segera melangkah mengikuti. 

Tapi tak lupa, laki-laki berbibir sumbing yang 

tidak kalah galak dari rekannya melayangkan 

kakinya. 

Bukkk...! 

“Hugkh...!” 

Keluhan tertahan terdengar dari mulut Ki 

Wanara. Tendangan Patila memang keras bukan 

main! Apalagi tepat mengenai perutnya. 

Seketika itu pula tubuh kakek berpakaian putih 

ini terlipat ke depan. Kedua tangannya 

mendekap perut. Sementara, sepasang matanya


juga melotot. Jelas, kakek ini mengalami 

kesulitan bernapas akibat tendangan Patila. 

Seperti juga Satrana, Patila sama sekali 

tidak mempedulikan keadaan Ki Wanara. 

Mereka tahu, kakek berpakaian putih itu tidak 

akan tewas karena pukulan dan tendangan yang 

telah dikirimkan tadi. Memang, kedua serangan 

itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam 

sama sekali. Baik Patila maupun Satrana tahu, 

siapa Ki Wanara itu. Dia adalah seorang kakek 

ringkih yang tidak memiliki ilmu silat sedikit 

pun. Jadi seandainya dikerahkan tenaga dalam 

sedikit saja, bukan tidak mungkin kakek itu 

sudah pergi ke alam baka. 

Sesaat lamanya, Ki Wanara berdiam diri 

sambil memegangi perutnya yang terasa mules 

bukan main. Malahan juga pernapasannya 

tersumbat. Dan hal ini terjadi karena perasaan 

khawatirnya akan keselamatan Galuh, putrinya! 

Di saat Ki Wanara berusaha keras untuk 

memulihkan keadaannya, Satrana dan Patila 

sudah mulai melakukan pencarian ke kamar-

kamar. 

Brakkk...! 

Suara berderak keras terdengar mengiringi 

hancurnya daun pintu terdepan, begitu Satrana 

menendang. Dan secepat daun pintu itu sudah 

lenyap dari ambangnya, Patila segera bergerak 

masuk. 

“Galuh...! Lari...!” 

Ki Wanara yang sudah berhasil memulihkan 

diri, segera berteriak memperingatkan. Karuan


saja hal itu membuat Satrana yang sudah 

berada di dalam kamar, segera berlari keluar 

kembali. Sementara Patila yang sudah berada di 

depan pintu kamar yang satunya lagi, berhenti 

sejenak di depan pintu. Tak pelak lagi, kedua 

orang ini sama-sama berdiri di depan pintu 

seraya melayangkan pandang ke sana kemari, 

mencari-cari putri Ki Wanara. 

Mendadak keduanya mendengar langkah 

kaki yang bergemuruh dan cepat menghantam 

bumi. Seketika itu juga keduanya saling 

berpandangan. Dari saling adu pandang itu 

keduanya sepakat kalau asal suara itu adalah 

dari belakang. Tanpa melihat pun sudah bisa 

diduga, Galuh, wanita yang mereka cari-cari 

telah kabur! Maka tanpa membuang-buang 

waktu lagi, kedua orang itu segera bergerak 

mengejar. 

Ki Wanara tidak tinggal diam. Kakek yang 

sebenarnya sudah ringkih ini mendadak lebih 

gesit karena perasaan khawatir akan 

keselamatan putrinya. Cepat dia bergerak ke 

arah dinding rumah tempat senjata andalannya 

tergantung. Sebuah busur dengan sekantung 

anak panahnya. Ki Wanara memang sejak muda 

ahli memanah. Sudah tidak terhitung, binatang-

binatang yang telah ditembus anak panahnya. 

Dan kini kakek berpakaian putih ini terpaksa 

menggunakan senjata andalan itu untuk 

menyelamatkan putri tunggalnya. 

Dan secepat busur itu terpegang, secepat itu 

pula anak panahnya diselipkan. Tak tanggung


tanggung, tiga batang sekaligus dipasangnya. 

Twanggg...! 

Terdengar suara berdentang keras begitu 

anak-anak panah terlepas dari busurnya dan 

meluncur cepat ke arah Satrana dan Patila yang 

telah berlari ke belakang. 

Satrana dan Patila terkejut bukan main 

mendengar suara keras itu. Cepat mereka 

menoleh ke belakang, dan kontan memucat 

begitu melihat tiga batang anak panah tengah 

meluncur cepat ke arah mereka. 

Tidak ada pilihan lagi bagi Patila dan 

Satrana! Maka mereka pun segera melempar 

tubuh ke samping. Satrana ke samping kanan, 

sedangkan Patila ke samping kiri. Lalu tubuh 

mereka bergulingan sekali di lantai. 

Cappp, cappp...! 

Tiga batang anak panah itu menancap di 

daun pintu belakang ketika kedua sasaran yang 

ditujunya berhasil meloloskan diri. 

Tindakan Ki Wanara tidak berhenti sampai 

di situ saja. Begitu serangannya berhasil 

dielakkan, segera dipasangnya kembali anak 

panah lain pada busurnya. Dan.... 

Twanggg...! Twanggg...! 

Secepat anak panah pertama menyambar ke 

arah Satrana, secepat itu pula dipasangkan lagi 

anak panah lain dan langsung dijepretkan ke 

arah Patila. Kedua serangan itu berlangsung 

dalam sekejap saja. Dari pertunjukan ini saja, 

sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek 

berpakaian putih ini memainkan panah.


Kini Patila dan Satrana repot pontang-

panting menyelamatkan diri. Baru saja mereka 

bangkit, kembali serangan anak panah itu 

meluncur tiba. Maka kedua orang murid 

Perguruan Belut Putih itu cepat menggulingkan 

tubuhnya kembali. Dan bukan itu saja yang 

dilakukan mereka. Sambil bergulingan, 

dilancarkannya serangan balasan. Berupa pisau-

pisau terbang ke arah Ki Wanara. 

Singgg, singgg...! 

Seiring berhasil dielakkannya serangan 

kedua anak panah itu, serangan pisau-pisau 

terbang Patila dan Satrana meluncur ke arah 

kakek berpakaian putih. 

Ki Wanara terperanjat melihat serangan 

balasan yang tak terduga-duga itu. Cepat dia 

berusaha mengelak. Tapi.... 

Cappp, cappp...! 

“Akh...!” 

Ki Wanara memekik tertahan ketika dua 

bilah pisau terbang yang dilepaskan murid 

Perguruan Belut Putih itu berhasil mendarat di 

tubuhnya. Satu mendarat di pangkal lengan 

kanan, sedangkan yang satu lagi menghunjam di 

paha kiri. Tak pelak lagi, tubuh kakek 

berpakaian putih ini terguling roboh. 

Patila dan Satrana sama sekali tidak 

mempedulikan Ki Wanara lagi. Begitu tubuh 

kakek berpakaian putih itu tampak terguling, 

mereka bergegas bangkit dan berlari ke 

belakang melakukan pengejaran terhadap 

Galuh.


Brakkk..! 

Daun pintu itu hancur berkeping-keping 

ketika tangan Satrana menghajarnya. Dan 

begitu pintu terkuak, tubuh kedua orang murid 

Perguruan Belut Putih itu segera melesat 

keluar. 

“Itu dia...!” seru Patila sambil menudingkan 

telunjuk tangan kanannya ke depan. 

Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Satrana 

sudah melihatnya pula. Walaupun jarak wanita 

berpakaian biru langit itu telah berada sekitar 

dua puluh lima tombak di depan, tapi karena 

medan yang ditempuh berupa sebuah lapangan 

luas tanpa ada penghalang, membuat gadis itu 

tetap terlihat. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Satrana 

dan Patila segera bergerak mengejar. Sesaat 

kemudian, kejar-mengejar pun tidak bisa 

dihindari. 

Dan memang, hasil akhir kejar-kejaran ini 

sudah bisa ditebak. Yang dikejar hanyalah 

seorang wanita, sementara kedua orang 

pengejarnya adalah laki-laki kuat. 

Tambahan lagi, Galuh adalah seorang wanita 

lemah yang sama sekali tidak pernah berlatih 

ilmu silat. Sementara kedua pengejarnya 

memiliki kepandaian lumayan, dan juga


memiliki ilmu meringankan tubuh. Maka tak 

aneh, bila dalam waktu sebentar saja jarak 

mereka semakin bertambah dekat. 

Galuh berlari dengan perasaan bingung. 

Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, 

untuk melihat pengejarnya. Dan kebingungan-

nya semakin bertambah tatkala jarak kedua 

pengejarnya semakin bertambah dekat saja. 

Sebenarnya kalau saja keadaan biasa, tak 

mungkin gadis seperti Galuh akan sanggup 

berlari sejauh itu. Tapi karena perasaan takut 

yang mendera, gadis itu seperti mendapat 

tenaga tambahan saja. Tapi tetap saja, bantuan 

tenaga itu tetap tidak berarti apa-apa bila 

dibanding tenaga Satrana dan Patila. 

Kini jarak antara Galuh dan kedua orang 

pengejarnya tidak sampai lima tombak lagi. 

Kalau saja kedua orang itu bermaksud 

mencelakai, sudah sejak tadi gadis berpakaian 

biru langit ini menggeletak di tanah. Tapi 

karena telah mendapat pesan keras dari sang 

Ketua, sehingga mereka tidak berani bertindak 

lancang. 

Napas Galuh sudah hampir putus ketika 

melihat kerimbunan semak-semak di hadapan-

nya. 

“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi, Cah 

Ayu?” 

Satrana yang yakin kalau sebentar lagi akan 

mampu menangkap gadis berpakaian biru langit 

itu berseru mengejek walaupun dengan napas 

agak terengah. Jarak antara mereka memang


paling jauh tinggal tiga tombak lagi. 

Mendengar ucapan itu, Galuh semakin 

bingung sehingga tidak melihat adanya akar 

pohon yang menyembul ke tanah. 

Tukkk! 

“Aaaw...!” 

Seiring pekikan kagetnya, tubuh Galuh 

terjerembab. Suara berdebuk keras terdengar 

ketika tubuh gadis itu menghantam tanah. 

Menilik dari seringai pada mulutnya, bisa 

diperkirakan kalau dia merasa sakit. 

Tapi karena perasaan takut yang amat 

sangat terhadap dua orang murid Perguruan 

Belut Putin, membuatnya tidak mempedulikan 

perasaan sakit itu. Cepat Galuh bergerak 

bangkit. Tapi baru juga hendak berdiri, di 

hadapannya telah berdiri dua orang pengejarnya 

sambil tersenyum-senyum memuakkan. 

Wajah Galuh pucat seketika. Tapi meskipun 

demikian dia tidak putus asa. Segera tubuhnya 

berbalik dan berlari ke arah berlawanan dengan 

arah yang ditempuhnya semula. 

“Ha ha ha...! Betina liar itu ternyata bandel 

juga, Satrana...!” seru Patila pada Satrana. 

Sementara laki-laki berjenggot pendek itu 

hanya mengeluarkan suara tawa bergelak saja 

sambil menggerakkan kaki. Dan sesaat 

kemudian, dia telah berada di depan Galuh. 

Galuh semakin ketakutan begitu di 

hadapannya telah berdiri Satrana. Dengan rasa 

takut yang membayang jelas di wajahnya, 

tubuhnya berbalik dan berlari ke arah semula.


Tapi langkahnya langsung terhenti ketika 

pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh 

Patila. 

Kini Galuh tidak bisa ke mana-mana lagi. Di 

hadapannya sudah berdiri Patila. Sementara di 

belakangnya menghadang Satrana. Yang dapat 

dilakukannya kini hanya menggerakkan 

sepasang matanya ke kanan dan ke kiri mencari 

jalan untuk melarikan diri. 

Satrana dan Patila tertawa terkekeh-kekeh 

seraya melangkah menghampiri. Sudah dapat 

dipastikan kalau gadis berpakaian biru langit 

itu akhrirnya akan tertangkap oleh kedua orang 

murid Perguruan Belut Putih itu. Tapi.... 

“Baru kali ini kutemui ada dua orang lelaki 

perkasa tanpa tahu malu mengeroyok seorang 

wanita lemah...!” 

Pelan saja terdengar suara itu, tapi karena 

suasana yang cukup hening, sehingga terdengar 

jelas. Tentu saja ucapan yang sudah jelas-jelas 

sindiran itu membuat Satrana dan Patila 

mengalihkan pandangan ke arah asal suara. 

Seketika wajah mereka merah padam menahan 

geram. Keduanya tahu kalau ucapan itu 

ditujukan kepada mereka. 

Di sebelah kanan Galuh dalam jarak sekitar 

empat tombak, nampak berdiri seorang pemuda 

berwajah tampan. Pakaian yang berwarna hitam 

nampak membungkus tubuhnya yang tegap, 

kekar, dan berotot. Hanya sayangnya, wajah 

yang terlihat tampan itu mempunyai kulit yang 

begitu pucat. Sepertinya, pemuda itu sudah


lama tidak terkena sinar matahari. 

“Keparat..!” maki Satrana keras seraya 

menatap laki-laki berwajah pucat itu dengan 

pandangan mata beringas. Jelas kalau laki-laki 

berjenggot pendek ini merasa tersinggung bukan 

main mendengar sindiran itu. “Siapa kau, 

Kambing Sakit! Berani betul menghina kami! 

Tidak tahukah kau, siapa kami?!” 

Laki-laki berwajah pucat itu tersenyum getir. 

Sama sekali wajahnya yang pucat itu tidak 

menampakkan perubahan, sekalipun mendapat 

sambutan yang begitu kasar. 

“Aku Raksagala. Dan sama sekali tidak 

bermaksud menghina kalian! Aku hanya 

mengatakan yang sebenarnya. Dari tanda yang 

tertera di dada kiri kalian, sudah bisa ku-

perkirakan kalau kalian murid-murid Perguruan 

Belut Putih,” sahut laki-laki berwajah pucat 

yang ternyata Raksagala. Pemuda itu adalah 

pelarian dari Istana Hantu. Pucatnya wajah 

pemuda ini memang karena jarang terkena sinar 

matahari. Tidak tampak adanya benda bersinar 

di lehernya. Memang, pemuda itu telah 

menaruhnya dalam buntalan kain dan 

menyimpannya di punggung. 

“Kalau sudah tahu siapa kami, lantas 

mengapa tidak lekas menyingkir pergi?!” sahut 

Patila cepat memberi kesempatan. 

Hal ini bukan karena Patila bersikap murah 

hati. Tapi karena laki-laki berbibir sumbing ini 

melihat adanya sesuatu yang mengerikan pada 

laki-laki berwajah pucat itu. Entah karena


wajahnya, penampilannya, atau karena sorot 

matanya. Yang jelas, Patila tidak tahu dan 

merasa ngeri. 

Perasaan itu tidak hanya dialami Patila saja, 

tapi juga oleh Satrana dan Galuh! Itulah 

sebabnya, Satrana yang biasanya beringas dan 

tidak kenal ampun, tadi hanya mengeluarkan 

kata-kata kasar! Biasanya bila perbuatannya 

sedikit dirintangi orang, laki-laki berjenggot 

pendek ini langsung main pukul. 

“Justru karena tahu kalau kalian adalah 

murid Perguruan Belut Putih, maka aku jadi 

lebih berkewajiban untuk campur tangan!” 

tandas Raksagala. 

“Apa maksudmu?” tanya Satrana seraya 

mengerutkan kening. Ucapan laki-laki berwajah 

pucat itu membuatnya penasaran juga. 

“Aku telah mendapat wewenang penuh 

untuk menindak tegas setiap murid Perguruan 

Belut Putih yang menyeleweng!” tegas 

Raksagala. 

“Ha ha ha...!” 

Seperti sepakat saja, Satrana dan Patila 

tertawa berbareng karena tak kuasa menahan 

rasa geli yang nelanda begitu mendengar 

penegasan Raksagala. Tidak salahkah pen-

dengaran mereka? Laki-laki berwajah pucat itu 

mengatakan telah mendapat wewenang penuh? 

Dari siapa? Sedangkan mereka berdua 

melakukan setiap tindakan ini atas perintah 

ketua mereka yang bernama Kalasura. Dialah 

pimpinan tertinggi Perguruan Belut Putih. Lalu



sekarang, Raksagala mendapat wewenang 

penuh dari siapa? 

Kini rasa jerih mereka pun sirna. Raksagala 

ternyata bukan orang waras. Begitu kesimpulan 

mereka. Laki-laki berwajah pucat itu adalah 

seorang yang tidak patut ditakuti. 

“Kalau begitu, mampuslah kau...!” 

Sambil berkata demikian, Satrana melancar-

kan serangan ke arah Raksagala. Laki-laki 

berjenggot pendek ini memang berwatak 

telengas. Maka tidak aneh, sekali melancarkan 

serangan seluruh tenaga dalamnya langsung 

dikerahkan. Bukan itu saja. Serangan yang 

dituju pun begitu mematikan. 

Satrana membuka serangan dengan sebuah 

pukulan tangan kanan ke arah leher. Dari angin 

yang berkesiut cukup nyaring. bisa diduga kalau 

laki-laki berjenggot pendek ini memiliki tenaga 

dalam tinggi. 

Tapi orang yang diserang Satrana kali ini 

bukan orang sembarangan. Dia adalah 

Raksagala, murid terkasih Sawungrana, 

dedengkot Perguruan Belut Putih waktu itu. 

Maka, tentu saja serangan seperti itu sama 

sekali tidak berarti apa-apa buat laki-laki 

berwajah pucat ini. Sekali lihat saja, Raksagala 

sudah bisa mengetahui kalau jurus yang dipakai 

Satrana bukan jurus khas ilmu Perguruan Belut 

Putih. Jadi, bisa diperkirakan kalau laki-laki 

berjenggot pendek ini bukan murid pilihan. Dia 

kenal betul gerakan itu. Juga, ke mana lanjutan 

serangannya, dan bagaimana cara singkat



mematahkannya. 

“Hm...,” Raksagala menggumam pelan 

Enak saja kaki kanannya melangkah ke 

belakang. Tidak hanya itu saja. Bersamaan 

kakinya ditarik mundur, tangan kanannya 

bergerak menangkap. Dan.... 

Tappp...! 

Satrana terpekik kaget begitu dalam 

segebrakan saja tangannya sudah tertangkap 

lawan. Bahkan bukan hanya dia saja yang 

terkejut, rekannya pun terkejut bukan main 

melihat hal ini. Sedemikian saktikah laki-laki 

berwajah pucat itu? Bermacam-macam dugaan 

mulai tumbuh di hatinya, sampai-sampai Galuh 

yang bergerak menjauh tidak dipedulikannya. 

*** 

Semula Satrana terperanjat mengalami 

kejadian yang sama sekali tidak disangka-

sangka itu. Tapi hal itu hanya berlangsung 

sesaat saja. Karena dia kini sudah melancarkan 

serangan susulan. Kaki kanannya meluncur 

cepat ke arah dada Raksagala. Wuttt..! 

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini 

Raksagala sama sekali tidak menghindar. 

Sambil terus memengangi pergelangan tangan 

Satrana, Raksagala membiarkan dadanya 

dijadikan sasaran tendangan Maka, akibat 

selanjutnya sudah bisa diduga. 

Bukkk! 

“Akh...!”


Telak dan keras sekali tendangan yang 

dikirimkan Satrana menghantam sasarannya. 

Tapi sungguh aneh. Masalahnya justru 

Satranalah yang berteriak kesakitan. Mulutnya 

menyeringai memperlihatkan kalau dirinya 

dilanda rasa sakit yang luar biasa. 

Dan memang demikianlah kejadian yang 

sebenarnya. Laki-laki berjenggot pendek ini 

merasakan ujung kakinya bukan mengenai dada 

manusia, melainkan sebongkah besi baja yang 

amat keras. Akibatnya kaki yang membentur itu 

tulangnya seperti remuk. 

Raksagala yang ingin memberi pelajaran 

agar kedua orang itu kapok, tidak bertindak 

setengah-setengah. Jemarinya yang masih 

memegangi pergelangan tangan lawan perlahan 

bergerak meremas. Maka seketika itu juga 

Satrana melolong-lolong kesakitan, karena 

sekujur tulang pergelangan tangannya seperti 

hancur lebur. Keringat sebesar-besar biji jagung 

pun bertonjolan di wajahnya. 

Patila tentu saja tidak akan tinggal diam 

melihat rekannya tidak berdaya di tangan 

Raksagala. Cepat laksana kilat laki-laki berbibir 

sumbing itu melompat menerjang. Menyadari 

kalau Raksagala adalah seorang lawan tangguh, 

maka tanpa ragu-ragu lagi pedangnya langsung 

dicabut. 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring terdengar ketika 

Patila mengayunkan pedangnya, membacok ke 

arah leher.


Tapi seperti juga ketika menghadapi 

serangan Satrana, kali ini Raksagala melakukan 

hal yang sama. Dia sama sekali tidak bertindak 

apa-apa. Dibiarkannya saja serangan yang 

mengancam ke arah leher itu. 

Takkk! 

Suara keras seperti terjadi benturan antara 

dua logam keras terdengar, ketika mata pedang 

laki-laki berbibir sumbing itu telak dan keras 

sekali menghantam sasaran. Akibatnya, sama 

seperti yang dialami Satrana. Pedang itu justru 

terpental balik ketika mengenai leher 

Raksagala. Sepertinya yang dihantamnya bukan 

leher manusia, melainkan gumpalan karet 

keras. 

Bukan hanya itu saja yang dialami laki-laki 

berbibir sumbing. Sekujur tangannya bergetar 

hebat, sementara jemari tangan yang meng-

genggam pedang terasa seperti lumpuh. Bahkan 

hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman. 

Karuan saja hal ini membuat Patila terkejut 

bukan kepalang. Dan sebelum perasaan ter-

kejutnya hilang, tangan Raksagala telah ber-

gerak cepat menepak ke arah dada. Rekan 

Satrana ini berusaha sedapat-dapatnya 

mengelak, tapi.... 

Plakkk...! 

Pelan saja kelihatannya tangan Raksagala 

menepak sasaran, tapi akibat yang diterima 

Patila tidak sesederhana itu. Tubuhnya 

langsung terjengkang ke belakang seperti 

diseruduk kerbau liar. Ada suara keluhan


tertahan tersangkut di tenggorokannya. 

Berbareng terjengkangnya tubuh Patila, 

Raksagala mengayunkan kakinya ke arah perut 

Satrana. Menilik gerakannya, tidak pantas bila 

disebut sebuah tendangan. Karena, sama sekali 

tidak terlihat kekerasannya. Berbareng dengan 

ayunan kaki, laki-laki berwajah pucat ini segera 

melepas cekalannya. 

Tapi kenyataan yang terjadi betul-betul 

mengejutkan. Tubuh Satrana terpental ke 

belakang dan jatuh bergulingan di tanah ketika 

kaki murid Sawungrana itu tepat pada 

sasarannya. Anehnya, kedua orang itu jatuh di 

tempat yang berdekatan. 

Dengan sikap tenang yang mengagumkan, 

Raksagala menghampiri dua orang murid 

Perguruan Belut Putih yang tengah merangkak 

bangun. 

“Kali ini kalian kuampuni!” kata Raksagala 

penuh wibawa. “Anggap saja ini sebagai 

pelajaran! Tapi, ingat! Bila kujumpai kalian 

berbuat seperti ini lagi, jangan harap akan 

kuampuni!” 

Satrana dan Patila sama sekali tidak 

menyahuti ucapan laki-laki berwajah pucat itu. 

Hanya saja, sepasang mata mereka menyorot 

penuh dendam ke arah wajah Raksagala. 

“Cepat kalian menyingkir, sebelum 

pendirianku berubah...!” ujar Raksagala lagi. 

Tapi kali ini dengan nada lebih keras dari 

sebelumnya. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, Satrana


dan Patila segera bangkit berdiri, lalu berlari 

meninggalkan tempat itu. Gerakan mereka 

terlihat menggelikan. Maklum, rasa sakit yang 

mendera belum sepenuhnya lenyap. Seketika, 

kedua orang itu lari dengan langkah tertatih-

tatih. 

Raksagala mengikuti kepergian kedua orang 

itu dengan pandangan matanya. Baru setelah 

tubuh kedua orang itu lenyap ditelan jalan, 

perhatiannya beralih pada Galuh. Tanpa sadar 

gadis berpakaian biru itu melangkah mundur. 

Meskipun tahu kalau laki-laki berwajah pucat 

itu telah menolongnya, tapi dia masih takut. 

Tidak heran, sebab pengalaman yang diterima-

nya kali ini benar-benar membuatnya terpukul. 

“Tenanglah, Nisanak. Percayalah..., aku 

bukan orang jahat,” ujar Raksagala seraya 

tersenyum lebar. 

Laki-laki berwajah pucat ini bisa memaklumi 

ketakutan yang melanda hati gadis berpakaian 

biru langit itu. Jadi, dia tidak merasa 

tersinggung karenanya. 

Dan untuk tidak membuat Galuh lebih takut 

lagi, Raksagala tidak langsung bergerak 

menghampiri. Pemuda itu tetap berdiri diam di 

tempat semula. Sementara, sepasang matanya 

menatap tajam wajah gadis berpakaian biru 

langit itu. 

Diam-diam sebuah perasaan kagum 

menyelinap di dalam hati laki-laki berwajah 

pucat itu. Wajah Galuh ternyata begitu cantik. 

Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bibirnya


berbentuk indah, dan berwarna merah segar. 

Dadanya padat dan membusung, di balik 

pakaiannya yang berwarna biru langit. 

“Namaku Raksagala. Aku datang dari tempat 

yang amat jauh,” kata laki-laki berwajah pucat 

itu memperkenalkan diri. Dia tidak lagi peduli 

pada sikap diam yang ditunjukkan Galuh. 

“Kalau boleh kutahu, apa nama desa ini, 

Nisanak?” 

“Kali Asem...,” sahut Galuh setelah beberapa 

saat lamanya terdiam. 

Sikap Raksagala yang sopan dan tatapan 

matanya yang tidak liar, membuat keberanian 

gadis itu mulai timbul. Walaupun diakui, masih 

ada sedikit perasaan takut di hatinya melihat 

wajah Raksagala yang begitu pucat. Sepertinya, 

sama sekali tidak berdarah. Bahkan bukan 

hanya kulit wajahnya saja, tapi juga kulit 

tubuhnya. 

“Kali Asem...,” gumam Raksagala seraya 

mengerutkan keningnya. “Kalau begitu aku 

tidak salah alamat. Boleh bertanya sekali lagi, 

Nisanak?” 

Galuh menganggukkan kepala. 

“Benarkah di desa ini tempat Perguruan 

Belut Putih?” tanya Raksagala lagi. 

Memang sebelum meninggalkan gurunya, 

kakek bermata picak itu telah memberitahukan 

letak Perguruan Belut Putih. 

Seketika itu juga wajah Galuh yang semula 

sudah mulai tenang, memucat kembali. Tampak 

jelas kalau pertanyaan yang diajukan Raksagala


membuatnya takut. Dan ini tentu saja terlihat 

oleh Raksagala. Perasaan heran pun ber-

kecamuk dalam hatinya. Apa-lagi, ketika gadis 

berpakaian biru langit itu malah melangkah 

mundur ketakutan. 

“Tenanglah, Nisanak. Sudah kukatakan tadi, 

aku bukan orang jahat. Sebaliknya, malah aku 

membenci orang jahat seperti kedua orang yang 

telah mengganggumu tadi. O, ya. Siapa nama-

mu?” 

“Galuh...,” sahut gadis berpakaian biru langit 

itu. 

“Galuh? Sebuah nama yang bagus,” puji 

Raksagala. 

“Mengapa kau bisa berada di sini bersama 

mereka?” tanya Raksagala lagi. 

Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati 

Raksagala tatkala melihat tanggapan Galuh 

atas pertanyaan yang diajukannya. Gadis 

berpakaian biru langit itu malah berubah pucat 

wajahnya. Bukan hanya itu saja. Mendadak 

saja, dia berlari meninggalkannya. 

“Ayah....” 

Sempat terdengar oleh telinga Raksagala 

yang tajam, gumam kegelisahan yang keluar 

dari mulut Galuh. 

Melihat hal yang sama sekali tidak disangka 

ini, Raksagala menjadi kebingungan sejenak. 

Sepasang matanya menatap penuh ketidak-

mengertian pada sosok tubuh yang kian 

menjauh. Sama sekali tidak diketahuinya kalau 

pertanyaannya mengingatkan gadis itu akan


nasib ayahnya. 

Semula, Raksagala membiarkan Galuh terus 

berlari meninggalkannya. Tapi begitu teringat 

kalau ada kemungkinan kedua orang murid 

Perguruan Belut Putih tadi akan mencegat 

perjalanan Galuh, akhirnya diputuskan untuk 

mengikutinya. 

Raksagala kini mengikuti dari jarak yang 

agak jauh. Sengaja tidak berusaha membarengi, 

karena tidak ingin Galuh semakin ketakutan. 

Raksagala tahu, gadis berpakaian biru langit itu 

pasti masih merasa takut padanya. 

*** 

Galuh terus berlari mengerahkan seluruh 

kemampuan yang dimiliki. Perasaan khawatir 

yang amat sangat akan keselamatan ayahnya, 

membuat gadis berpakaian biru langit ini seperti 

tidak pemah merasa lelah. Padahal, napasnya 

sudah terengah-engah. 

Tak lama kemudian, rumahnya pun sudah 

terlihat jelas. Dan betapa gembira hati Galuh 

tatkala melihat sosok tubuh yang amat 

dikenalnya tengah melangkah tertatih-tatih 

keluar dari pintu yang sudah tidak berdaun lagi. 

Dia memang menuju rumahnya. 

“Ayah...!” 

Galuh tidak kuasa lagi menahan 

perasaannya. Gadis itu cepat berlari seraya 

mengembangkan kedua lengannya. Lega hatinya 

ketika melihat ayahnya ternyata selamat.


“Galuh...!” 

Ki Wanara berseru tak kalah keras. Aneh! 

Mendadak saja kakek berpakaian putih ini 

mampu berlari menyongsong kedatangan 

putrinya. Dalam cekaman perasaan gembira, 

kakek ini sampai melupakan rasa sakitnya. 

Tubuh ayah dan anak itu berpelukan erat di 

tengah-tengah jalan. Sementara Raksagala yang 

mengikuti sejak tadi dari kejauhan, segera 

melangkahkan kakinya berjalan biasa. 

“Kau tidak apa-apa, Galuh?” tanya Ki 

Wanara seraya melepaskan pelukan pada 

putrinya. Ditatapnya sekujur tubuh gadis 

berpakaian biru langit itu lekat-lekat untuk 

melihat sendiri keadaannya. 

“Tidak, Ayah,” Galuh menggelengkan kepala. 

“Ada orang yang telah menolongku.” 

“Ah...! Syukurlah kalau begitu!” sahut Ki 

Wanara gembira. “Mana orangnya...? Perkenal-

kanlah pada Ayah. Ayah ingin mengucapkan 

terima kasih padanya.” 

Ucapan ayahnya seketika membuat Galuh 

menyadari, betapa tidak pantas sikapnya tadi 

terhadap penolongnya. Ucapan terima kasih 

sebagai basa-basi saja tidak dilontarkan. 

“Diakah orangnya...?” tanya Ki Wanara lagi. 

Kakek berpakaian putih ini memang 

mengedarkan pandangannya begitu tidak 

mendengar jawaban dari mulut putrinya. 

Galuh menoleh ke arah yang ditunjukkan 

ayahnya. Dan seketika itu pula jantungnya 

berdetak kencang. Dugaan ayahnya ternyata


tepat. Orang yang tengah berjalan pelan menuju 

ke tempatnya adalah Raksagala, yang telah 

menolongnya. 

Perlahan-lahan kepala Galuh terangguk. 

“Mari kita hampiri dia....” 

Setelah berkata demikian, Ki Wanara segera 

meraih tangan Galuh. Dan dengan setengah 

memaksa, ditariknya tubuh anaknya mendekati 

Raksagala. Sementara, Raksagala yang tentu 

saja melihat hal itu, bergegas menghampiri. 

“Kaukah orang yang telah menyelamatkan 

putriku, Anak Muda?” tanya Ki Wanara setelah 

dekat, di depan Raksagala. 

“Ah...! Hanya kebetulan aku lewat saja, Ki. 

Lagi pula, sudah merupakan kewajiban bagi kita 

untuk saling tolong-menolong.” 

“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak 

Muda,” ucap kakek berpakaian putih itu. “Tapi 

saranku, cepatlah kau pergi dari sini.” 

“Hehhh...?! Kenapa begitu, Ki?” tanya, 

Raksagala heran mendengar saran yang 

dianggapnya aneh itu. 

“Ah...! Kau rupanya belum pemah 

mendengar tentang Perguruan Belut Putih, 

Anak Muda.” Nada suara kakek berpakaian 

putih itu bernada keluhan. 

“Memangnya, ada apa dengan perguruan itu, 

Ki?” tanya Raksagala ingin tahu. “Aku memang 

tengah mencari-cari perguruan itu.” 

“Kau?! Mencari-carinya? Untuk apa?!” tanya 

W Wanara agak keras dengan sikap mulai 

sedikit curiga.


Raksagala tahu kakek berpakaian putih ini 

mulai merasa curiga padanya. Dia yakin kalau 

tidak memberitahukan masalahnya, kecurigaan 

kakek ini akan semakin bertambah. Maka 

diputuskan untuk menceritakan sejujurnya. Lagi 

pula, sekali lihat saja bisa diketahuinya kalau 

kakek ini bukan orang berbahaya. Jadi, tidak 

ada yang perlu dikhawatirkan lagi. 

“Aku mendapat wewenang penuh dari 

guruku untuk mengatur dan mengarahkan 

Perguruan Belut Putih ke jalan yang benar. 

Karena, selama beberapa bulan belakangan ini 

dia selalu mendapat firasat buruk mengenai 

perguruannya,” jelas Raksagala sejujurnya. 

Ki Wanara mengerutkan alisnya. Sementara 

sepasang matanya menatap aneh ke arah wajah 

Raksagala. 

“Maafkan aku, Anak Muda. Bukannya aku 

tidak mempercayai ucapanmu. Tapi seingatku, 

tidak ada murid Perguruan Belut Putih yang 

mempunyai wajah sepertimu. Aku kenal betul 

wajah-wajah mereka.” 

“Aku memang tidak menjadi murid 

Perguruan Belut Putih secara langsung, Ki,” 

tambah Raksagala cepat memperbaiki ucapan 

sebelumnya. 

“Heh?!” dahi Ki Wanara berkemyit 

Laki-laki tua itu merasa bingung bukan main 

mendengar ucapan yang saling bertolak 

belakang itu. 

“Aku yang sudah menjadi tuli, atau kau yang 

memang mengada-ada, Anak Muda? Kalau aku


tidak salah dengar, kau mengaku sebagai murid 

Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi, kini kau 

malah menyangkal. Tidakkah itu membingung-

kan? Tolong jelaskan, Anak Muda.” 

Raksagala menarik napas panjang-panjang, 

lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia tidak 

langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah 

tercenung beberapa saat lamanya. 

“Kalau dipikir-pikir, memang sepertinya 

membingungkan, Ki,” kata Raksagala hati-hati. 

“Tapi, itulah kenyataannya. Aku memang 

menjadi murid Ketua Perguruan Belut Putih, 

namun bukan murid perguruan itu.” 

Semakin dalam kernyit yang timbul di dahi 

Ki Wanara. Rupanya sulit baginya untuk 

mencerna ucapan Raksagala. 

“Jadi..., kau ini murid gelap?” duga kakek 

berpakaian putih ini sekenanya. 

Raksagala terdiam, tidak langsung men-

jawab. Mendadak dia teringat benda pemberian 

gurunya. Maka, buru-buru dikeluarkannya. 

“Aku tidak tahu, bagaimana menjelas-

kannya, Ki. Tapi, guruku memberikan tongkat 

ini. Katanya, dengan tongkat ini di tanganku 

aku mempunyai wewenang penuh untuk 

membenahi semua kericuhan di Perguruan 

Belut Putih, jika memang-ada kerusuhan di 

sana.” 

“Ya, Tuhan..!” 

Terdengar seruan kaget dari mulut Ki 

Wanara. Sepasang mata kakek berpakaian putih 

itu menatap tanpa berkedip pada tongkat


pendek bergagang permata berkilauan itu. Raut 

wajah, maupun sorot matanya menyiratkan 

keterkejutan yang amat sangat. 

“Jadi.., jadi kau murid... Ki Sawungrana...?” 

Sepasang bibir yang semula hanya berkemik-

kemik akhirnya mampu melontarkan ucapan. 

“Kau.... Kau mengenal guruku, Ki?” kini 

ganti Raksagala yang merasa terkejut 

“Mengenalnya?” Ki Wanara tersenyum pahit 

“Tidak saja mengenalnya. Aku adalah pelayan 

kepercayaannya, dan merupakan orang yang 

paling dekat dengannya. Setiap ada masalah, 

akulah orangnya yang paling dulu diberi-

tahunya. Namaku Wanara. Apakah dia tidak 

pernah bercerita tentang diriku?” 

Raksagala menggeleng. 

“Guru amat tertutup. Dia tidak pernah 

bercerita apa-apa padaku,” sahut Raksagala 

setengah mengeluh. 

“Sungguh tidak kusangka. Padahal, dulu dia 

selalu terbuka pada orang yang dipercayanya,” 

desah Ki Wanara penuh rasa tidak percaya. 

Sementara Galuh yang sama sekali tidak tahu 

apa apa, hanya diam saja mendengarkan. 

“Bisa kau ceritakan di mana dia kini berada? 

Sudah lama sekali dia menghilang tanpa berita 

sepotong pun. Semula kuduga ada sesuatu yang 

terjadi pada dirinya. Itulah sebabnya aku pergi 

meninggalkan Perguruan Belut Putih dengan 

membawa Galuh yang baru berumur beberapa 

bulan. Syukurlah..., kalau dia masih hidup....” 

Raksagala menghela napas berat. Wajahnya

pun berubah murung. Pertanyaan mengenai 

gurunya itulah yang menyebabkannya demikian. 

Bagaimana keadaan gurunya kini? Bisakah 

pertarungan menghadapi Barong Segara yang 

lihai itu dimenangkannya? Berbagai macam 

pikiran berkecamuk di benak pemuda itu. 

Ki Wanara menunggu penuh kesabaran. 

Menilik dari sikap Raksagala yang mendadak 

berubah murung begitu ditanya tentang 

gurunya, dia yakin pasti ada berita buruk yang 

akan didengarnya. Dan kini hati kakek ber-

pakaian putih ini berdebar tegang. 

Karena tahu kalau kakek ini adalah orang 

kepercayaan gurunya, tanpa ragu-ragu lagi 

Raksagala pun menceritakan semua yang 

diketahuinya. 

“Entah bagaimana sekarang nasib beliau, 

aku tidak tahu...,” desah Raksagala mengakhiri 

ceritanya. “Aku murid durhaka yang hanya 

mementingkan diri sendiri” 

“Hentikan semua ucapan itu, Raksagala!” 

bentak Ki Wanara keras. “Aku pun akan berbuat 

hal yang serupa dengan Sawungrana jika 

mengalami hal itu. Dan semua orang yang 

berpikiran waras, dan tidak mementingkan diri 

sendiri pun pasti akan berbuat seperti yang 

dilakukan gurumu itu. Jadi, berhentilah 

menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu dengan 

selamatnya dirimu, aku yakin dia akan tenang 

di alam kuburnya!” Raksagala terdiam. 

“Sejak menghilangnya Ki Sawungrana, Per-

guruan Belut Putih mulai guncang. Masing



masing murid kepala, berebut ingin menjadi 

ketua. Perpecahan pun timbul, sehingga Ketua 

Perguruan Belut Putih berganti-ganti. Kini yang 

menjadi ketua adalah Kalasura, seorang yang 

memiliki watak tidak baik.” 

Ki Wanara menghentikan ceritanya sejenak 

untuk mengambil napas dan mencari kata-kata 

baru. 

“Di bawah pimpinannya, Perguruan Belut 

Putih dibawa ke jurang kehinaan. Segala macam 

kejahatan dihalalkan. Tidak hanya di desa ini 

saja. Tapi juga ke semua desa sekitarnya. Kini 

Perguruan Belut Putih jadi ditakuti semua 

orang.” 

“Apakah semua murid Perguruan Belut 

Putih telah menjadi jahat, Ki?” tanya Raksagala 

ingin tahu. 

“Entahlah...,” Ki Wanara menggelengkan 

kepalanya. “Tidak ada salahnya jika kau 

menyelidikinya, Raksagala.” 

Raksagala menganggukkan kepala mem-

benarkan. Tapi sesaat kemudian dahinya ber-

kernyit ketika teringat sesuatu yang mem-

buatnya agak heran. 

“Ada suatu hal yang membuatku heran, Ki?” 

tanpa ragu-ragu pemuda berwajah pucat ini 

mengutarakan ganjalan hatinya. 

“Katakanlah, Raksagala.” 

“Apakah Ki Sawungrana tidak mengajar-

kanmu ilmu silat?!” tanya Raksagala langsung. 

Memang, begitu tahu kalau kakek ber-

pakaian putih ini adalah orang kepercayaan


gurunya, Raksagala jadi heran kakek itu dapat 

dipecundangi oleh murid-murid rendahan Per-

guruan Belut Putih. 

“Aku yang tidak mau, Raksagala. Kau tahu, 

aku benci kekerasan....” 

“Ayah...! Lihat..!” 

Karuan saja teriakan keras Galuh membuat 

Ki Wanara dan Raksagala terkejut. Cepat 

mereka mengalihkan pandangan ke arah yang 

ditunjuk gadis itu. Dan memang, tampak 

segerombolan orang yang berpakaian abu-abu 

bergerak ke arah mereka. 

“Murid-murid Perguruan Belut Putih...,” 

desah Ki Wanara dan Raksagala berbarengan. 

Raksagala sadar, Ki Wanara dan Galuh 

bukan lawan mereka. Maka, dia segera 

melangkah maju, dan berdiri di depan dengan 

sikap melindungi mereka. Menilik dari gerak-

geriknya, Raksagala tahu kalau kedatangan 

orang-orang itu tidak bermaksud baik. Maka, dia 

bersikap waspada. 

Semakin lama jarak antara mereka semakin 

tampak dekat, Raksagala menghitung dengan 

pandangan matanya. Jumlah mereka tak kurang 

dari tiga puluh orang! Di antara mereka, tampak 

Satrana dan Patila. 

Tak lama kemudian, rombongan Perguruan 

Belut Putih itu pun sudah berada dalam jarak 

tiga tombak di hadapan Raksagala. 

“Inikah orang yang kalian maksudkan itu?” 

tanya seorang laki-laki bertubuh kurus kering 

seperti cecak. sambil menudingkan telunjuknya


pada Raksagala. 

Suaranya bernada menghina. Jelas, dia tidak 

memandang sebelah mata pun pada laki-laki 

berwajah pucat itu. 

Hampir berbareng Satrana dan Patila 

mengangguk. 

“Benar, Kakang Taraji,” sahut Patila. 

Laki-laki bertubuh kurus kering yang 

ternyata bernama Taraji merayapi sekujur 

wajah dan tubuh pemuda di hadapannya. 

“Ha ha ha...!” 

Mendadak Taraji tertawa bergelak. Tawanya 

benar-benar mengandung nada penghinaan. 

“Diam...!” 

Raksagala yang merasa tersinggung 

langsung membentak. Keras bukan main 

suaranya, karena disertai pengerahan tenaga 

dalam tinggi. Tanpa sadar, Taraji menghentikan 

tawanya. Rasa terkejut yang amat sangat 

membayang jelas di wajahnya. Dia merasakan 

guncangan keras pada dadanya seiring 

keluarnya bentakan dari mulut pemuda 

berwajah pucat itu. 

Bukan hanya Taraji saja yang terkejut. 

Semua murid Perguruan Belut Putih juga 

terkejut bukan main. Dada mereka bergetar 

hebat dan kuping pun terasa berdengung. Bukan 

hanya itu saja. Sepasang kaki mereka pun tanpa 

dapat dicegah, mendadak oleng. 

***


Kini Taraji baru percaya pada cerita Satrana 

dan Patila. Ternyata orang yang bernama 

Raksagala itu adalah lawan yang amat tangguh, 

dan bukan hanya bualan belaka. Kini telah 

dibuktikannya sendiri kekuatan tenaga dalam 

yang dimiliki pemuda berwajah pucat itu. Dalam 

hati, laki-laki bertubuh kurus kering itu 

mengakui kalau tenaga dalamnya sendiri belum 

tentu mampu menyamai tenaga dalam calon 

lawannya. 

Meskipun begitu, Taraji sama sekali tidak 

menampakkan keterkejutannya. Wataknya 

memang angkuh, dan selalu mengagungkan 

kemampuannya sendiri. Jadi mana mau dia 

memperlihatkan kegentarannya pada seorang 

pemuda yang dianggapnya baru kemarin sore? 

Apalagi di hadapan sekian banyak adik 

seperguruannya. 

“Keparat buduk!” maki Taraji keras. “Berani 

benar kau membentakku?! Apa kau sudah bosan 

hidup?” 

“Aku bukan hanya membentak saja. Tapi 

juga akan menghukummu dan semua murid 

Perguruan Belut Putih yang menyeleweng!” 

tandas Raksagala tegas. 

“Apa?!” Taraji membelalakkan sepasang 

matanya. “Apa aku tidak salah dengar?! Sudah


gilakah kau, Keparat?!” 

“Terserah apa tanggapanmu terhadapku, 

Taraji!” Raksagala mencoba bersikap tenang. 

“Tapi yang jelas, aku mempunyai wewenang 

penuh untuk mengurus Perguruan Behit Putih.” 

Setelah berkata demikian, Raksagala 

mencabut keluar tongkat pusaka pemberian 

gurunya. Dan secepat tongkat itu terlihat, 

secepat itu pola semua wajah murid Perguruan 

Belut Putih dilanda perasaan terkejut yang 

amat sangat. 

“Kau...?! Dari mana kau dapatkan benda 

itu?!” tanya Taraji gugup. 

Tentu saja laki-laki kurus itu mengenal 

tongkat di tangan Raksagala. Sewaktu 

Perguruan Belut Putih masih dipimpin Ki 

Sawungrana, dia telah menjadi murid tingkat 

dua. Waktu itu, usianya masih delapan belas 

tahun. Kini, dia berusia tiga puluh lima tahun 

lebih. Kedudukannya pun kini telah menjadi 

murid kepala. Dan Kalasura yang dulu menjadi 

murid kepala, kini telah menjadi Ketua 

Perguruan Belut Putih. Dan atas perintahnya, 

Taraji harus menangkap pengacau yang telah 

mencelakai Satrana dan Patila. 

“Aku mendapatkannya dari guruku. Dia 

adalah Ketua Perguruan Belut Putih yang 

sebenarnya. Namanya, Ki Sawungrana!” tegas 

dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut 

Raksagala. Dan memang hal itu disengaja, agar 

semua murid Perguruan Belut Putih mendengar 

ucapannya.


Pengaruh ucapan itu terbukti memang luar 

biasa. Kontan di antara murid-murid Perguruan 

Belut Putih terjadi kegaduhan. Memang ada di 

antaranya yang belum pernah melihat tongkat 

itu. Tapi, paling tidak telah mendengar ciri-

cirinya. Maka begitu melihatnya, mereka ter-

kejut bukan main. Seketika itu pula sebagian 

besar kepala murid Perguruan Belut Putih 

merunduk memberi hormat Hanya sebagian 

kecil saja yang tidak menundukkan kepala. Dan 

Taraji terhitung yang sebagian kecil itu. 

“Bohong! Kalian jangan terpengaruh cerita 

bohongnya! Tongkat pusaka itu hilang, dan 

sudah pasti pemuda ini yang mencurinya!” 

Taraji yang mencium gelagat tidak baik segera 

berusaha memojokkan Raksagala. 

Usaha yang dilakukan Taraji ternyata cukup 

membuahkan hasil. Kepala yang sebagian besar 

sudah tertunduk, kembali terangkat naik. Ya, 

apa yang dikatakan kakak seperguruan mereka, 

itu benar. Bukan tidak mungkin kalau 

Raksagala adalah pencurinya. 

Tapi Raksagala yang sudah melihat masih 

banyak murid Perguruan Belut Putih yang 

menghormati tongkat pusaka, mana mungkin 

diam saja? Segera tongkat itu diacungkan tinggi-

tinggi ke atas kepalanya. 

“Wahai semua murid Perguruan Belut Putih, 

dengarlah...! Ki Sawungrana telah memberi 

tongkat ini padaku. Dia memberi wewenang 

penuh padaku untuk membenahi semua 

penyelewengan yang terjadi di perguruan.


Kalian semua dengar?!” 

“Keparat!” maki Taraji begitu melihat 

kepala-kepala yang tadi terangkat, mulai 

tertunduk lagi. Tanpa membuang-buang waktu 

lagi, dia segera mengulapkan tangan pada sisa 

murid yang tidak menundukkan kepala. 

“Bunuh pencuri itu...! Dan ambil tongkat-

nya...!” perintah laki-laki bertubuh kurus kering 

itu. 

Sambil berkata demikian, tangan kanannya 

bergerak. 

Singgg...! 

Sinar berkilauan nampak berpendar ketika 

Taraji mencabut goloknya. Dan secepat senjata 

itu terhunus, secepat itu pula diayunkan ke 

leher Raksagala. 

Pada saat yang bersamaan, serangan murid-

murid Perguruan Belut Putih yang lain datang 

pula menyerbu. Di tangan mereka semua 

tergenggam senjata terhunus. 

Tapi Raksagala sama sekali tidak menjadi 

gugup melihat semua serangan itu. 

“Murid-murid Perguruan Belut Putih yang 

masih menghargai tongkat pusaka ini, lihatlah! 

Aku, mewakili Ki Sawungrana akan memberi 

hajaran pada mereka yang telah menyeleweng!” 

Ucapan itu membuat semua murid 

Perguruan Belut Putih mengangkat kepala. 

Mereka ingin tahu, bagaimana tindakan 

Raksagala yang menurut pengakuannya adalah 

wakil Ki Sawungrana! 

Melihat ucapannya didengar, Raksagala jadi


tambah semangat. Maka diputuskan untuk 

mempertunjukkan semua kelihaiannya. Dan 

begitu semua serangan datang, laki-laki ber-

wajah pucat itu segera bergerak mengelak. 

Lincah laksana kera, dan cepat laksana 

bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah 

hujan serangan lawan. 

Taraji dan adik-adik seperguruannya ter-

kejut bukan main melihat serangannya berhasil 

dielakkan. Tapi, tentu saja mereka tidak putus 

asa. Malah sebaliknya, mereka kian ganas 

menyerang. 

Raksagala yang memang sengaja ingin 

mempertunjukkan kelihaiannya, sengaja tidak 

melakukan perlawanan. Dia hanya mengelak 

terus-menerus. Dengan ilmu meringankan tubuh 

yang memang berada jauh di atas lawan-

lawannya, bukan merupakan hal sulit bagi laki-

laki berwajah pucat itu untuk menghindari 

serangan. 

Jurus demi jurus berlalu. Sehingga, tak 

terasa dua puluh lima juris telah terlewat. 

Namun selama itu, tidak ada satu pun serangan 

Taraji dan adik-adik seperguruannya yang 

mengenai sasaran. Jangankan mengenai, 

menyerempet pun tidak. 

“Cukup...!” 

Terdengar seruan keras dari mulut 

Raksagala. Dan begitu ucapannya selesai, 

gerakan laki-laki berwajah pucat ini tiba-tiba 

berubah. Tubuhnya berkelebat dengan 

kecepatan yang sukar diikuti mata tiap lawan


nya. Yang jelas, satu demi satu tubuh-tubuh 

murid Perguruan Belut Putih bertumbangan. 

Rintihan kesakitan terdengar mengiringi 

robohnya tubuh-tubuh itu ke tanah. Senjata-

senjata yang digenggam pun berpentalan tak 

tentu arah. 

Dalam sekejap saja, murid-murid Perguruan 

Belut Putih itu sudah tidak ada yang berdiri 

lagi. Semua telah roboh bergelimpangan di 

tanah sambil merintih-rintih. Kini hanya tinggal 

Taraji seorang diri yang masih mampu berdiri. 

Dan memang, Raksagala sengaja menyisa-

kannya. 

“Bagaimana, Taraji?! Masih tidak percaya 

kalau aku adalah murid Ki Sawungrana?!” tanya 

Raksagala lagi. Ada nada sindiran dalam 

suaranya. 

“Pencuri busuk! Kau bukan hanya mencuri 

tongkat pusaka kami, tapi juga ilmu-ilmu 

perguruan kami!” 

Dengan nada keras, Taraji terus memaki. 

Maksudnya untuk membuat murid-murid 

Perguruan Belut Putih yang belum menyerang 

untuk ikut membantu. 

“Kawan-kawan, serbu...!” 

Tapi Taraji kecelik. Tidak ada seorang pun 

teman-temannya yang mematuhi perintahnya. 

Mereka semua diam saja, berpura-pura tidak 

mendengar sama sekali. 

“Anjing kurap!” geram laki-laki bertubuh 

kurus kering ini. “Setelah pencuri busuk ini 

kubereskan, kalian semua akan mendapatkan


ganjaran!” 

Begitu kata-katanya selesai, Taraji segera 

melompat menerjang Raksagala. Golok di 

tangannya ditusukkan cepat ke arah dada laki-

laki berwajah pucat itu. Ada suara mendesing 

yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan. 

Raksagala diam-diam merasa geli mendengar 

penegasan Taraji. Sewaktu mengeroyok bersama 

adik-adik seperguruannya saja, dia tidak mampu 

merobohkan. Apalagi sekarang hanya seorang 

diri. 

Raksagala bersikap tenang. Ditunggunya 

sampai serangan itu bergerak semakin dekat. 

Dan ketika telah berada dalam jangkauan, baru 

dia bergerak. Enak saja tangannya diulurkan. 

Sepertinya tanpa mengeluarkan tenaga sama 

sekali, tapi hebatnya.... 

Tappp...! 

Mata golok Taraji yang terlihat mengkilap 

mempertunjukkan ketajaman, berhasil di-

tangkap Raksagala. Taraji kaget bukan main! 

Dan belum sempat berbuat sesuatu, laki-laki 

berwajah pucat itu cepat membetotnya. Keras 

bukan main gerakannya. Terdengar suara 

bergemeletuk ketika sambungan pergelangan 

bahu kanan Taraji terlepas. 

Taraji menggigit bibir keras-keras dalam 

upayanya menahan rasa sakit yang mendera. 

Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan 

di wajahnya. Tapi sedikit pun tidak ada keluhan 

yang keluar dari mulutnya. Keangkuhannyalah 

yang melarang dirinya mengeluh.


Tentu saja tidak hanya itu yang dialami 

Taraji. Seiring terlepasnya sambungan per-

gelangan bahu kanan, tubuhnya yang tengah 

berada di udara langsung tertarik ke depan. Di 

saat itulah, kaki kanan Raksagala meluncur 

cepat ke arah perut 

Bukkk...! 

“Hugkh...!” 

Kali ini Taraji tidak mampu menahan 

keluhan yang keluar. Tendangan itu meskipun 

terlihat pelan, ternyata keras bukan main. Rasa 

mual yang amat sangat seketika melanda 

sekujur badannya. Dan begitu Raksagala 

melepaskan cekalan pada goloknya, tubuh Taraji 

langsung roboh ke tanah. Suara berdebuk keras 

terdengar begitu tubuh itu menyentuh tanah. 

Taraji memang keras hati. Tanpa mem-

pedulikan rasa sakit, dia berusaha bangkit. Dan 

memang pada kenyataannya dia gagal. Seringai 

kesakitan tersungging di mulutnya ketika 

tubuhnya kembali terjatuh. 

*** 

Raksagala sama sekali tidak melakukan 

serangan lanjutan. Laki-laki berwajah pucat ini 

hanya menatap wajah Taraji lekat-lekat 

“Bagaimana, Taraji? Masih ingin melanjut-

kan lagi,” tanya Raksagala kalem. 

Namun Taraji sama sekali tidak menyahuti. 

Dia tengah sibuk mengusir rasa sakit yang 

melanda.


Tapi Raksagala sama sekali tidak merasa 

tersinggung karena pertanyaannya sama sekali 

tidak dijawab. Sesaat lamanya suasana yang 

semula hingar-bingar oleh dentang senjata 

beradu, jadi kembali sepi seperti semula. Kini 

yang terdengar hanyalah rintihan kesakitan dari 

mulut-mulut murid Perguruan Belut Putih yang 

terluka. 

“Hi hi hi...!” 

Mendadak terdengar suara tawa mengikik. 

Tawa yang kecil panjang tapi melengking 

nyaring itu mirip tikus mencicit. Tapi hebatnya, 

suara tawa itu mengandung pengaruh luar 

biasa! Akibatnya, telinga terasa berdengung 

sakit dan kedua kaki menggigil! 

Di antara mereka semua, hanya Raksagala 

saja yang sama sekali tidak terpengaruh tawa 

itu. Hal ini karena tingkat tenaga dalam laki-

laki berwajah pucat ini sudah amat tinggi. 

Hanya saja, tak urung wajahnya tampak 

memucat! Raksagala kenal betul, siapa pemilik 

suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan salah 

satu dari Penghuni Istana Hantu! Dan men-

dengar nada suaranya, laki-laki berwajah pucat 

itu tahu kalau yang datang adalah Durgasari. 

Belum lagi gema suara itu lenyap, sekitar 

tiga tombak di hadapan Raksagala telah berdiri 

seorang nenek berpakaian hijau. Rambutnya 

putih panjang terurai tak terurus. Di tangannya 

melilit sebuah gelang berwarna merah darah. 

Dan gelang yang sama pun menempel di daun 

telinganya. Sepasang matanya yang kecil dan


mcncorong kehijauan nampak jadi kian 

menyeramkan, karena terletak di raut wajah 

keriput berbentuk bulat telur. 

Meskipun sudah menduga sebelumnya, tapi 

tak urung Raksagala terperanjat juga melihat 

kehadiran salah seorang Penghuni Istana Hantu 

itu. 

“Jangan harap untuk bisa selamat setelah 

keluar dari Istana Hantu, Bocah Keparat!” tegas 

nenek berpakaian hijau itu keras. Suaranya 

terdengar melengking nyaring menyakitkan 

telinga. 

Raksagala sadar, kalau kali ini tidak bisa 

main-main lagi. Lawan yang dihadapinya sangat 

tangguh, sementara di sekitarnya banyak orang 

yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak ingin kalau 

mereka yang tidak tahu apa-apa akan menjadi 

korban bila terjadi pertarungan di situ. Maka 

laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak 

melesat dari situ. 

Cepat bukan main gerakan Raksagala. Hal 

ini tidak aneh, karena murid kesayangan 

Sawungrana ini telah mengerahkan seluruh 

kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. 

Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya 

sudah berada dalam jarak belasan tombak dari 

tempat semula. 

Cepatnya gerakan yang dilakukan 

Raksagala, tapi masih lebih cepat lagi gerakan 

Durgasari. Begitu melihat laki-laki berwajah 

pucat melesat, tubuh nenek berpakaian hijau ini 

langsung melenting ke depan. Setelah bersalto


beberapa kali di udara, kedua kakinya segera 

mendarat di tanah. Dan kini dia telah berada di 

depan Raksagala. 

“Sudah kukatakan, jangan harap bisa lolos 

dari tanganku!” tandas Durgasari tegas. Sorot 

mata maupun wajah nenek berpakaian hijau ini 

menyiratkan sinar kebengisan. 

“Aku tidak akan melarikan diri, Durgasari!” 

sahut Raksagala mantap seraya memanggil 

nama nenek berpakaian hijau itu. Padahal di 

Istana Hantu waktu itu dia biasa memanggilnya 

dengan sebutan Nyi Durgasari. “Tapi aku hanya 

mencari tempat yang lapang untuk bertarung!” 

“Alasan!” sergah Durgasari kasar. “Kau tidak 

berbeda dengan gurumu yang telah menjadi 

bangkai itu. Sama-sama pengecut!” 

Raksagala ternganga mendengar perkataan 

nenek itu. Bukan makiannya, tapi penjelasan 

nenek itu yang mengatakan gurunya telah men-

jadi bangkai. Sungguhpun dia telah mempunyai 

dugaan kuat kalau gurunya kemungkinan besar 

akan tewas, tapi tetap saja berita yang di-

dengarnya ini amat mengejutkan. 

“Kau kaget kalau gurumu telah menjadi 

bangkai! Kau tahu, nasib yang sama pun akan 

menimpamu!” 

Mendadak Raksagala meraung. Rasa 

penyesalan yang hebat langsung memukul 

hatinya. Kematian gurunya dianggap karena 

dirinya. Kalau saja dia tidak melarikan diri dan 

bersama-sama menghadapi musuh, mungkin 

Sawungrana tidak akan tewas. Raksagala


merasa telah berdosa besar, dan telah menjadi 

seorang pengecut! 

Dari perasaan bersalah yang menggelegak 

itu, menyeruak perasaan marah terhadap 

pembunuh gurunya. Pikirnya, salah seorang dari 

pembunuh itu kini berada di depannya! Sungguh 

suatu hal yang sangat kebetulan! 

Sambil berteriak keras, Raksagala melompat 

menerjang. Kedua tangannya yang terkembang 

membentuk cakar meluncur cepat dan bertubi-

tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar 

Durgasari. 

Raksagala memang telah mengeluarkan 

seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dalam 

serangan itu. Dia memang tidak ingin bertindak 

kepalang tanggung. Suara bersuitan yang cukup 

nyaring mengiringi tibanya serangan itu. 

“Hmh...!” 

Nenek berpakaian hijau itu hanya men-

dengus melihat serangan lawan. Sikapnya 

terlihat memandang rendah sekali. Baru ketika 

serangan itu menyambar dekat, tangannya 

bergerak memapak dengan sikap jari-jari tangan 

yang sama. 

Prattt..! 

Benturan keras terdengar begitu jari-jari 

tangan yang sama-sama mengandung kekuatan 

tenaga dalam tinggi berbenturan. Raksagala 

menyeringai. Tampak jelas kalau laki-laki 

berwajah pucat ini merasa kesakitan. Seluruh 

tangannya terasa bagai lumpuh, sehingga tak 

mampu digerakkan lagi. Apalagi jari-jari


tangannya! Sakit dan ngilu bukan main. Seolah-

olah, jari-jari tangannya tadi bukan berbenturan 

dengan jari-jari tangan seorang nenek-nenek, 

melainkan dengan sebatang logam yang amat 

kuat! 

“Hi hi hi...!” 

Durgasari hanya tertawa terkikih melihat 

seringai yang tampak di wajah Raksagala. 

Melihat dari sikapnya, jelas kalau benturan tadi 

sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi 

dirinya. 

Raksagala memang bukan seorang pengecut. 

Meskipun sudah diketahui kalau tenaga 

dalamnya tidak mampu menandingi tenaga 

dalam Durgasari, tapi bukan berarti harus 

menjadi gentar! Kata takut atau gentar tidak 

ada dalam kamus hidupnya. Maka tanpa kenal 

takut, dia kembali melompat menerjang. 

Sambil tertawa terkikih, Durgasari segera 

menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang 

ini sudah saling bertarung sengit. Raksagala 

bertarung seperti orang gila. Seluruh 

kemampuan yang dimiliki dikeluarkannya. Dia 

hanya mempunyai dua buah pilihan. Membunuh 

atau dibunuh! 

Tapi lawan yang dihadapinya adalah 

Durgasari yang merupakan salah seorang 

Penghuni Istana Hantu. Kepandaian nenek 

berpakaian hijau ini amat tinggi. Mungkin 

hanya selisih sedikit saja dengan Barong Segara. 

Jangankan Raksagala, gurunya sendiri pun 

belum tentu bisa mengalahkan nenek itu.


Itulah sebabnya, meskipun Raksagala telah 

menyerang kalang-kabut dengan seluruh 

kemampuannya, tetap saja tidak mampu 

mendesak Durgasari. Jangankan mendesak, 

tanda-tanda akan mendesak pun tidak juga 

terlihat. 

Hebat bukan main pertarungan antara 

kedua orang itu. Suara menderu dan mencicit 

menyemaraki pertarungan. Tanah terbongkar di 

sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara. 

Raksagala menggertakkan gigi. Seluruh 

kemampuannya telah dikerahkan sampai ke 

puncaknya, tapi ternyata tetap tak mampu juga 

mendesak lawannya. Padahal, tampak jelas 

kalau nenek berpakaian hijau itu sama sekali 

belum melancarkan serangan balasan. 

Durgasari hanya mengelak dan menangkis, 

sambil mengeluarkan tawa mengikik. Beberapa 

kali tubuh Raksagala terhuyung-huyung ke 

belakang, tatkala Durgasari menangkis 

serangannya. 

Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus 

telah lewat. Dan selama itu, Raksagala belum 

juga berhasil menyarangkan satu serangan pun 

di tubuh lawannya. 

“Hi hi hi...! Berhati-hatilah, Anak Muda! 

Sekarang aku akan balas menyerang!” 

Setelah berkata demikian, mendadak 

gerakan Durgasari berubah. Dia tidak lagi 

bersikap menunggu, tapi mulai melancarkan 

serangan. 

Serangan Durgasari dibuka lewat putaran


kedua tangannya di depan dada. Hebat bukan 

main! Dari kedua tangan yang berputaran itu, 

menyeruak angin keras yang mengandung daya 

tarik amat kuat. 

Raksagala terperanjat, sama sekali tidak 

disangka kalau ada ilmu yang mempunyai daya 

sedot seperti ini. Maka bergegas kedua kakinya 

ditekankan ke tanah untuk bertahan dari 

kekuatan yang akan menariknya ke depan. 

Di saat Raksagala memasang kuda-kuda 

kokoh agar tubuhnya tidak tertarik ke depan, 

Durgasari melompat menerjang. Jari-jari kedua 

tangannya nampak mengepal, kecuali jari 

telunjuk dan jari tengah yang mengejang kaku. 

Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah, nenek 

berpakaian hijau ini menyerang Raksagala. 

Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-

tubi ke arah ubun-ubun dan bawah hidung laki-

laki berwajah pucat. Memang, itu adalah dua 

buah jalan darah kematian! 

Raksagala terkejut bukan kepalang men-

dapat serangan susulan yang begitu mendadak. 

Diakui, perasaannya begitu gugup. Namun laki-

laki berwajah pucat itu masih sempat 

menyelamatkan selembar nyawanya. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi tubuhnya segera 

direndahkan seraya membentuk kuda-kuda 

bersilang. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan 

Raksagala. Pada saat yang tepat, tangan 

kanannya melakukan pukulan keras ke arah 

dada Durgasari.


Durgasari terkejut bukan main. Sungguh di 

luar dugaan kalau dalam keadaan terjepit 

seperti itu Raksagala mampu mengelak. Maka, 

semua serangannya hanya mengenai tempat 

kosong. Bahkan hebatnya, pemuda itu malah 

mampu balik mengancam dengan serangan yang 

mampu membuat isi dadanya hancur 

berantakan. 

Hebat dan berbahaya bukan main serangan 

yang dilancarkan Raksagala. Apalagi saat itu 

tubuh Durgasari tengah berada di udara. Yang 

lebih membahayakan lagi, serangan itu 

dilancarkan dalam jarak dekat! Lengkaplah 

sudah keadaan yang membuat nenek berpakaian 

hijau semakin berada dalam keadaan berbahaya. 

Pada kenyataannya Durgasari benar-benar 

seorang tokoh luar biasa. Dengan kesempatan 

yang sangat sempit itu, tangan kirinya segera 

digerakkan ke bawah untuk menangkis 

serangan lawan. Tapi karena tangan kirinya 

belum sempat ditarik pulang, maka yang 

membentur tangan Raksagala adalah sikutnya. 

Plakkk...! 

Tubuh kedua tokoh yang usianya berbeda 

jauh itu sama-sama terjajar ke belakang. Ini 

bukan berarti tenaga mereka berimbang. Tapi, 

karena kesempatan yang hanya sedikit itu 

membuat tenaga dalam Durgasari tidak 

sepenuhnya keluar dalam menangkis serangan. 

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, tidak 

sulit bagi Raksagala dan Durgasari untuk segera 

memperbaiki sikap.


Durgasari kini menggeram hebat Hampir 

saja dia tewas di tangan lawannya. Tentu saja 

ini karena kelalaiannya. Maka kini perempuan 

tua itu tidak memandang rendah lagi. Maka 

diputuskannya untuk mengerahkan seluruh 

kemampuan yang dimiliki. 

Sambil mengeluarkan pekik melengking 

nyaring, Durgasari kembali melancarkan 

serangan. Raksagala tahu tenaga dalam lawan 

jauh lebih tinggi darinya. Maka diputuskannya 

untuk menghindari serangan itu. Sesaat 

kemudian, kedua orang ini telah terlibat dalam 

pertarungan sengit. 

Tapi pertarungan kali ini berbeda dengan 

sebelumnya. Kini Durgasari telah memutuskan 

untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. 

Maka Raksagala-lah yang merasakan akibatnya. 

Tekanan-tekanan yang dilakukan nenek 

berpakaian hijau itu terasa semakin berat. 

Meskipun seluruh kemampuan yang dimilikinya 

telah dikerahkan, tetap saja dia terdesak dan 

terhimpit. 

Tidak sampai dua puluh lima jurus, 

Raksagala telah terdesak. Dan seiring semakin 

lamanya mereka bertempur, keadaan Raksagala 

semakin terdesak hebat Nasibnya benar-benar 

mengkhawatirkan. 

Menjelang jurus ketiga puluh, Raksagala 

mencabut goloknya. Dan dengan senjata andalan 

di tangan, dia kembali melakukan perlawanan 

gigih. 

Memang setelah Raksagala menggunakan


golok, keadaannya mulai membaik. Desakan-

desakan dan tekanan yang menghimpitnya, 

tidak begitu terasa lagi. 

Tapi itu berlangsung hanya lima puluh jurus 

saja. Dan begitu memasuki jurus kelima puluh 

satu, kembali Durgasari yang kini sudah bisa 

mengetahui permainan golok lawan, berhasil 

mendesaknya. 

Pada jurus yang kelima puluh satu, 

Durgasari melancarkan sebuah tendangan lurus 

ke arah pergelangan tangan kanan Raksagala. 

Pemuda berwajah pucat itu mencoba mengelak. 

Tapi.... 

Takkk! 

Telak dan keras sekali tendangan nenek 

berpakaian hijau itu mengenai sasaran. Tak 

pelak lagi, sambungan pergelangan tangan 

Raksagala terlepas saat itu juga. Golok di 

tangannya pun terlempar jauh. 

Raksagala tahu kalau keadaannya kini amat 

berbahaya. Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi, tubuhnya segera dilempar ke belakang dan 

bersalto beberapa kali di udara. Maksudnya 

sudah jelas, untuk memperbaiki kuda-kudanya. 

“Hmh...!” 

Durgasari mendengus. Nenek berpakaian 

hijau yang sudah kalap ini mana sudi 

membiarkan lawannya mendapatkan kesem-

patan lagi untuk memperbaiki kuda-kudanya? 

Begitu Raksagala melempar tubuh ke belakang, 

dia segera melompat memburu seraya 

mengirimkan serangan-serangan maut


Raksagala terkejut bukan main. Keadaannya 

kini benar-benar terhimpit. Tidak ada lagi 

kesempatan baginya untuk memperbaiki kuda-

kudanya. Maka begitu kedua kakinya menginjak 

tanah, tubuhnya langsung melenting ke 

belakang untuk mencari-cari kesempatan 

memperbaiki kuda-kudanya. 

Tapi Durgasari benar-benar tidak akan 

memberi kesempatan. Dia pun melompat 

memburu begitu kedua kakinya menjejak tanah. 

Adu kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. 

Raksagala terus-menerus melempar tubuhnya 

ke belakang sementara Durgasari terus 

melompat memburu ke depan. Namun, sampai 

berapa lama Raksagala bisa bertahan dikejar-

kejar seperti itu? 

Ki Wanara, murid-murid Perguruan Belut 

Putih yang memihak Raksagala, dan Galuh 

hanya memandang dengan sinar mata cemas. 

Walau tidak mampu melihat secara jelas karena 

cepatnya dua sosok yang tengah bertarung, tapi 

mereka dapat memperkirakan dari kelebatan 

bayangannya. Yang terdesak adalah kelebatan 

bayangan hitam. Dan itu adalah Raksagala. 

Sedangkan yang mendesak adalah kelebatan 

bayangan hijau. Dan itu adalah lawan 

Raksagala yang bernama Durgasari. 

Sementara itu, Taraji dan murid Perguruan 

Belut Putih lain sudah tidak nampak lagi di situ. 

Sejak Raksagala terlibat pertarungan, mereka 

semua memang sudah melarikan diri. 

Di antara para penonton itu, hanya Ki


Wanara seorang yang sudah bisa menduga 

penyebab Raksagala bertarung dengan nenek 

berpakaian hijau itu. Dia memang telah 

mengerti semua, setelah Raksagala men-

ceritakan sejelas-jelasnya. 

Akhirnya saat yang gawat bagi Raksagala 

pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu terjadi 

ketika tubuhnya tengah berada di udara. 

Durgasari melancarkan serangan maut bertubi-

tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. 

Raksagala terperanjat, apalagi disadari 

kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk 

mengelak atau menangkis serangan. Dia hanya 

bisa pasrah diri pada kenyataan sambil 

menunggu maut dengan sepasang mata ter-

belalak lebar. 

Di saat yang amat gawat itulah melesat 

cepat sesosok bayangan ungu memotong alur 

serangan Durgasari. 

Durgasari terkejut bukan main, tapi tak 

membatalkan serangannya. Akibatnya sudah 

bisa diduga.... 

Plakkk, plakkk, plakkk...! 

Suara berderak keras terdengar berkali-kali 

begitu kedua tangan Durgasari dan tangan sosok 

bayangan ungu itu berbenturan. Seketika itu 

juga, tubuh keduanya terpental balik ke 

belakang. Namun dengan gerakan manis dan 

indah, keduanya berhasil mematahkan daya 

lontar masing-masing. Dan kini satu sama lain 

sudah mendarat ringan dan mantap di tanah.


Durgasari menatap tajam sosok bayangan ungu 

yang befdiri di hadapannya. Namun demikian, 

hatinya berdebar tegang. Raut keterkejutan 

yang amat sangat tampak di wajahnya. Betapa 

tidak? Sosok bayangan ungu yang kekuatan 

tenaga dalamnya telah membuatnya terkejut, 

ternyata hanyalah seorang pemuda berusia 

sekitar dua puluh satu tahun. Tidak salahkah 

yang dirasakannya tadi? Benarkah kekuatan 

tenaga dalam pemuda berpakaian ungu itu 

demikian kuatnya? Atau tadi ada kesalahan 

dalam pengerahan tenaganya? 

Rasa penasaran membuat Durgasari mem-

perhatikan pemuda berpakaian ungu itu lekat-

lekat. Ada satu hal yang menarik perhatian 

nenek itu. Rambut pemuda itu ternyata tidak 

hitam seperti rambut pemuda pada umumnya. 

Tapi putih. Putih keperakan lagi! 

Nenek berpakaian hijau itu juga melihat 

adanya sebuah guci arak yang tersampir di 

punggung pemuda berpakaian ungu itu. 

“Hm.... Pemuda pemabukan!” ejek Durgasari 

dalam hati. 

Sementara itu, pemuda berpakaian ungu itu 

juga memandang nenek di depannya dengan 

kening agak berkerut. Sebab, sejak tadi nenek 

itu seperti orang bingung saja. Matanya melotot,


namun suaranya tak terdengar. 

“Siapa kau, Anak Muda Keparat?! Mengapa 

mencampuri urusanku?! Apa sudah bosan 

hidup?!” tanya Durgasari keras setelah puas 

mengamati pemuda yang telah menyelamatkan 

nyawa Raksagala. 

“Aku Arya, seorang pengelana. Maafkan bila 

aku telah mencampuri urusanmu. Tapi 

ketahuilah, aku tidak bermaksud demikian. Aku 

hanya tidak bisa berdiam diri melihat adanya 

kesewenang-wenangan di depan mataku!” 

Pemuda berpakaian ungu yang ternyata 

Arya alias Dewa Arak itu memang kebetulan 

lewat desa ini. Kemudian dia tertarik dengan 

pertarungan Raksagala melawan Durgasari. 

Langsung dihampirinya Ki Wanara yang sudah 

tidak ditemani Galuh. Gadis itu memang sejak 

tadi bersembunyi di rumahnya. 

Dewa Arak kemudian menanyakan sebab-

sebab pertarungan itu berlangsung. Setelah 

mendapat penjelasan dari Ki Wanara, barulah 

dia berani turun tangan. 

“Tidak usah berbasa-basi, Monyet Kecil! Kau 

tahu, tidak ada ampun bagi orang yang telah 

berani mencampuri urusan Durgasari! Tidak 

terkecuali kau! Jadi, tidak ada gunanya 

meminta maaf atau ampun sekalipun!” 

Dewa Arak tersenyum pahit. Dari sikap 

keras yang ditunjukkan nenek berpakaian hijau 

itu, sudah bisa diketahui kalau mengajaknya 

bicara tidak akan ada gunanya lagi. 

Pertarungan tidak mungkin bisa dielakkan.


Durgasari telah mengeluarkan kata-kata 

bernada tantangan. Dan bukan Dewa Arak 

namanya kalau nyalinya ciut hanya karena 

mendapat tantangan. 

Raksagala adalah seorang yang berwatak 

gagah dan ksatria. Yang mempunyai urusan 

dengan Durgasari adalah dirinya sendiri. Bukan 

pemuda berambut putih keperakan yang 

didengarnya bernama Arya. Maka begitu 

keadaan tampaknya sudah mulai memanas, dia 

melangkah maju. 

“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak! 

Tapi, apa yang dikatakan nenek itu benar. Kau 

sama sekali tidak mempunyai urusan dengan-

nya. Lebih baik, kau tidak usah mem-

pertaruhkan nyawa untuk membelaku,” ucap 

Raksagala pada Dewa Arak. 

Arya menoleh. Sepasang matanya menatap 

tajam wajah Raksagala. Dewa Arak adalah 

seorang yang cepat tanggap. Dia tahu, mengapa 

laki-laki berwajah pucat itu melarangnya. 

Raksagala tidak ingin dia tewas di tangan nenek 

berpakaian hijau itu. Hal ini membuat Arya 

merasa kagum. Dengan sendirinya, semakin 

besar keinginan di hatinya untuk menolong 

pemuda berpakaian hitam itu. 

“Maaf, Kisanak. Bukannya aku tidak suka 

menuruti nasihatmu. Tapi aku pantang menolak 

tantangan. Aku bukan seorang pengecut!” 

tandas Arya tegas. 

Mendengar jawaban Dewa Arak, Raksagala 

tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dengan


langkah lesu kakinya melangkah mundur. 

“Hati-hatilah, Kisanak,” ucap Raksagala. 

“Dia adalah lawan yang amat tangguh.” 

“Akan kuperhatikan nasihatmu,” sahut Dewa 

Arak membesarkan hati Raksagala. 

Baru saja Raksagala melangkah mening-

galkan Dewa Arak, Durgasari sudah mengirim-

kan serangan. 

Nenek berpakaian hijau itu membuka 

serangannya dengan memutar-mutarkan kedua 

tangannya di depan dada. 

Dewa Arak terperanjat ketika merasakan 

ada kekuatan aneh yang membetot tubuhnya. 

Otaknya yang memang cerdas langsung saja bisa 

menduga kalau lawannya memiliki sebuah ilmu 

yang mengandung tenaga membetot. Maka 

buru-buru dikerahkannya ilmu 'Pasak Bumi'. 

Kekuatan tenaga dalam langsung disalurkan 

pada kakinya, agar kuat berpijak seperti akar 

pohon besar. 

Usaha yang dilakukan Arya sama sekali 

tidak sia-sia. Berkat ilmu 'Pasak Bumi', 

kekuatan daya sedot itu sama sekali tidak 

berarti apa-apa. Memang ada angin keras yang 

berusaha membetotnya. Tapi berkat ilmu itu, 

betotan itu sama sekali tidak berarti apa-apa. 

Tapi Durgasari tidak kecewa melihat 

kenyataan ini. Dia memang tidak terlalu 

berharap usahanya akan membuahkan hasil. 

Toh, tadi telah dibuktikan sendiri kalau 

Raksagala pun sanggup memunahkan daya 

sedotnya.


Maka begitu Dewa Arak tampak sibuk 

mengerahkan tenaga untuk melawan betotan 

itu, segera dikirimkannya serangan. Kaki 

kanannya meluncur cepat ke arah leher, 

mengirimkan sebuah tendangan miring. Angin 

yang menderu keras mengiringi serangan itu. 

Arya yang memang sudah menduga hal itu 

sama sekali tidak gugup. Cepat kakinya 

melangkah ke belakang seraya merendahkan 

tubuhnya. Sehingga, serangan itu hanya 

mengenai tempat kosong, lewat sejengkal di atas 

kepalanya. 

Pada saat yang bersamaan, pemuda 

berambut putih keperakan ini menjumput guci 

araknya. Kemudian guci itu diangkat ke atas 

kepala. Dan.... 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu 

melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu 

juga, ada hawa hangat merayap di dalam 

perutnya. Kemudian, terus merayapi naik ke 

atas kepala secara perlahan-lahan. Sekejap saja 

tubuh Arya mulai meliuk-liuk. 

Durgasari menggeram begitu melihat 

serangannya berhasil dielakkan. Segera saja 

dikirimkannya serangan susulan berupa 

tendangan kaki kanan ke arah kepala Dewa 

Arak. Tentu saja ini karena sikap pemuda 

berambut putih keperakan itu tengah 

membentuk kuda-kuda rendah. Kalau Arya 

tengah berdiri, mungkin tendangan itu hanya 

mengenai pusarnya.


Cepat bukan main serangan susulan itu tiba. 

Mungkin hanya berbeda waktu sedikit saja 

dengan tendangan yang pertama kali. Walaupun 

begitu, Arya sama sekali tidak mengalami 

kesulitan untuk menangkalnya. Apalagi, 

pemuda berambut putih keperakan itu telah 

menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang mampu 

membuat gerakan yang bagaimanapun sulitnya. 

Masih dengan tubuh meliuk-liuk, Dewa Arak 

menggerakkan gucinya menangkis tendangan 

yang mengarah ke kepalanya. 

Banggg...! 

Suara berdentang keras terdengar ketika 

kaki Durgasari berbenturan dengan guci Dewa 

Arak. Seketika itu pula, tubuh kedua belah 

pihak sama-sama terhuyung ke belakang. 

Durgasari terhuyung dua langkah, sedangkan 

Dewa Arak hanya satu langkah. Jelas, kalau 

dalam adu tenaga Dewa Arak masih lebih kuat 

Durgasari menggeram. Kini tidak ada lagi 

keraguan dalam hatinya. Pemuda berambut 

putih keperakan ini adalah seorang lawan yang 

amat tangguh. Dan ini bisa diketahui dari 

kekuatan tenaga dalam lawan yang ternyata 

lebih kuat darinya. 

Hal ini tentu saja membuat Durgasari 

penasaran bukan kepalang. Masa dia harus 

mengaku kalah dengan seorang pemuda yang 

pantas menjadi cucunya? Pikiran ini membuat 

nenek berpakaian hijau itu mengerahkan 

seluruh kemampuannya. 

Tapi lawan yang dihadapi Durgasari kali ini


adalah Dewa Arak. Seorang yang meskipun 

masih muda, tapi telah memiliki tingkat 

kepandaian tak tertandingi. Bukan hanya itu 

saja. Pemuda berambut putih keperakan ini juga 

telah memiliki pengalaman bertanding yang 

tidak sedikit. Tak terhitung, sudah berapa kali 

Arya terlibat pertarungan dengan tokoh yang 

memiliki kepandaian menggiriskan. 

Maka meskipun Durgasari telah mengerah-

kan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak 

mampu mendesak Dewa Arak. Ilmu 'Belalang 

Sakti' benar-benar menjadikan Arya sebagai 

lawan yang teramat tangguh. 

Hebat bukan main akibat dari pertarungan 

antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki 

kepandaian tinggi ini. Angin menderu, mencicit, 

dan mengaung terdengar menyemaraki 

pertarungan itu. Bukan hanya itu saja. Tanah 

terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar. 

Debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan 

para penonton pun bergerak menjauhi arena 

pertarungan, karena khawatir terkena serangan 

nyasar. 

“Luar biasa...,” desah Raksagala penuh 

kagum. “Pemuda itu memiliki kepandaian yang 

amat tinggi. Ilmu silatnya pun aneh....” 

“Tidak perlu heran, Raksagala,” ucap Ki 

Wanara. “Pemuda itu adalah Dewa Arak...! Dia 

tadi menghampiriku, dan sempat memperkenal-

kan namanya. Begitu aku yakin kalau dia benar-

benar Dewa Arak, maka kuceritakan segalanya 

tentang dirimu.”


“Dewa Arak?” Raksagala mengerutkan 

alisnya. “Orang seusia dia sudah mempunyai 

julukan?!” 

“Jadi, kau belum pemah mendengar 

julukannya?” Ki Wanara yang kini ganti 

bertanya. 

Raksagala menggeleng. 

“Apakah julukan itu begitu terkenal, Ki?” 

Ki Wanara menggeleng-gelengkan kepala 

melihat keluguan Raksagala. Dia memang 

merasa heran mendengar Raksagala sama sekali 

belum mendengar julukan Dewa Arak. Tapi 

ketika teringat kalau Raksagala terkungkung 

selama belasan tahun di dalam sebuah 

bangunan yang bemama Istana Hantu, dia tidak 

merasa heran lagi. 

“Julukan itu bukan hanya terkenal saja, 

Raksagala. Tapi juga menggemparkan!” jawab 

Ki Wanara setengah memberi tahu. “Banyak 

sudah tokoh sakti aliran hitam yang tewas di 

tangannya.” 

“Ah...! Jadi, dia seorang pendekar, Ki?” 

Raksagala menudingkan telunjuknya ke arah 

Dewa Arak yang masih sibuk bertarung meng-

hadapi Durgasari. 

“Bukan hanya seorang pendekar saja, 

Raksagala. Dewa Arak adalah seorang pendekar 

besar! Sudah tidak terhitung kelaliman yang 

merajalela di persada ini dibasminya,” sahut Ki 

Wanara, menguatkan penuturan Raksagala. 

Raksagala terdiam. Ada perasaan kagum 

menyelinap di hatinya terhadap Dewa Arak.


Apalagi ketika melihat sendiri kalau berkali-kali 

Durgasari terhuyung-huyung setiap kali terjadi 

benturan antara mereka. Dari sini saja sudah 

bisa dinilai keunggulan Dewa Arak! Dan mau 

tak mau, hal ini membuatnya kagum setengah 

mati. 

Sementara itu di arena pertarungan, Dewa 

Arak semakin menunjukkan keunggulannya. 

Pertarungan memang sudah berlangsung lebih 

dari seratus jurus. Dan sekarang keadaan 

Durgasari sudah semakin mengkhawatirkan. 

Walau nenek berpakaian hijau itu sudah 

mengeluarkan senjata andalan yang berupa 

sebuah sabuk, tapi tetap saja tidak mampu 

menahan tekanan-tekanan Dewa Arak. 

Dewa Arak dengan menggunakan ilmu 

'Belalang Sakti' benar-benar menjadi seorang 

lawan yang amat berat bagi Durgasari. Kedua 

tangannya yang disertai ilmu 'Belalang Sakti', 

guci di tangannya, semburan-semburan araknya, 

gerakannya yang aneh, dan tenaganya yang 

seperti tidak pernah habis, merupakan kesatuan 

yang mampu menggilas habis semua perlawanan 

Durgasari. Robohnya nenek berpakaian hijau ini 

hanya tinggal menunggu saatnya saja. 

Hati Durgasari terpukul bukan kepalang 

menerima kenyataan ini. Rasanya bagaikan 

mimpi ketika menyadari kalau Dewa Arak 

memang lebih unggul darinya. Setiap serangan-

nya kandas sama sekali. Sedangkan setiap 

serangan yang dilancarkan lawan selalu 

membuatnya pontang-panting untuk menyelamatkan diri. 

Rasa penasaran, marah, dan terpukul mem-

buat Durgasari menjadi nekat. Nenek ber-

pakaian hijau ini jadi tidak mempedulikan 

keselamatan diri lagi. Dan kini perhatiannya 

hanya dipusatkan pada satu sisi saja. 

Menyerang! Tidak dipedulikannya lagi per-

tahanan dirinya. 

Memang dengan cara seperti ini, serangan 

serangan Durgasari jadi semakin dahsyat. 

Tekanan-tekanan setiap serangannya pun 

semakin berat. Tapi karena tindakannya itu, 

pertahanannya jadi lemah. Banyak celah kosong 

di sana sini bagi Dewa Arak untuk me-

masukkan serangan. 

Sebuah keuntungan bagi Durgasari, Arya 

sama sekali tidak berminat mencelakainya. 

Dewa Arak bertarung menghadapi nenek 

berpakaian hijau itu hanya karena tidak sudi 

dianggap pengecut. Sama sekali tidak ada 

maksud di hatinya untuk melukai nenek itu. 

Masalahnya, dia sama sekali tidak mempunyai 

urusan dengan Durgasari. 

Karena dasar pemikiran seperti itulah, Dewa 

Arak sama sekali tidak mau memanfaatkan 

kesempatan yang terpampang. Pemuda 

berambut putih keperakan ini hanya mengelak 

dan menangkis serangan lawan. Beberapa kali 

dicobanya memasukkan serangan, namun 

hatinya seketika kaget, ternyata nenek itu sama 

sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan pada 

saat yang bersamaan, lawannya itu


melancarkan serangan pula. Jelas kalau 

Durgasari hendak mengadu nyawa! 

Tentu saja Arya tidak ingin bertindak bodoh. 

Tidak diturutinya tindakan gila Durgasari. 

Maka buru-buru serangannya ditarik pulang 

seraya melompat menjauhkan diri dari serangan 

nenek berpakaian hijau itu. 

Kini keadaan jadi terbalik. Dalam 

pandangan mata orang yang belum memiliki 

tingkat kepandaian tinggi, tampaknya Dewa 

Arak terdesak. Buktinya sosok bayangan ungu 

itu berkali-kali bergerak menghindari setiap 

serangan yang dilancarkan sosok bayangan 

hijau. Hanya sekali-sekali saja sosok bayangan 

ungu itu menangkis serangan. 

“Apa maunya Dewa Arak ini?” gumam 

Raksagala dalam hati. 

Kepala pemuda berwajah pucat itu tampak 

menggeleng-geleng. Dia memang tidak mengerti, 

mengapa Dewa Arak malah jadi terdesak. 

Padahal, dia sendiri jelas-jelas melihat kalau 

pertahanan Durgasari berantakan dan terbuka 

di sana-sini. Tapi, kenapa Dewa Arak tidak 

memasukkan serangan ke sana? Pikiran-pikiran 

itu mengganggu benak Raksagala. 

“Apakah pemuda itu tidak mengetahuinya? 

Mustahil!” bantah hati murid Sawungrana ini. 

“Mengapa Raksagala?” Ki Wanara yang juga 

bingung melihat Dewa Arak terdesak, tak tahan 

untuk tidak bertanya. 

“Aku tidak mengerti maksud Dewa Arak itu, 

Ki,” kata Raksagala mengeluarkan ganjalan


hatinya. “Dewa Arak sepertinya tidak ingin 

memanfaatkan kesempatan yang banyak 

tercipta. Durgasari menyerang tanpa mem-

pedulikan bagian pertahanan lagi. Kalau saja 

Dewa Arak melancarkan serangan dan tidak 

hanya mengelak saja, rasanya tidak sulit untuk 

merobohkan, ataupun menewaskan nenek itu. 

Padahal tadi kulihat dia hampir berhasil 

menyarangkan serangannya, tapi malah ditarik 

kembali. Aneh...!” 

Ki Wanara mengerutkan dahinya, namun 

sebentar kemudian hatinya menjadi lega. Dewa 

Arak sama sekali tidak terdesak. Kini 

pandangannya kembali dilayangkan ke arah 

pertempuran. Ucapan keheranan Raksagala 

sama sekali tidak dipedulikannya. 

Di arena pertarungan, sepak terjang 

Durgasari semakin membabi buta. Nenek 

berpakaian hijau ini terus melancarkan 

serangan, tanpa mempedulikan pertahanan. 

Apalagi ketika menyadari kalau perlahan-lahan 

dia berhasil mendesak Dewa Arak. 

Ctarrr...! 

Sabuk di tangan Durgasari melecut mem-

perdengarkan ledakan nyaring yang memekak-

kan telinga. Kemudian dengan gerakan meliuk-

liuk seperti seekor ular, sabuk itu mematuk ke 

arah kepala Dewa Arak. 

Arya terperanjat ketika menyadari kalau 

dirinya berada dalam keadaan sulit. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera 

dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa


kali. 

Sementara Durgasari mana mungkin 

membiarkan lawannya lolos? Maka buru-buru 

nenek ini bergerak mengejar. Sabuk di 

tangannya, dan kakinya melancarkan serangan 

bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. 

Dewa Arak tidak punya cara lain lagi untuk 

mengelakkan diri terhadap serangan susulan 

yang cepat datangnya. Tubuhnya kembali 

bergulingan di tanah untuk menyelamatkan 

selembar nyawanya. Kini terjadilah tontonan 

yang menarik. Dewa Arak yang terus-menerus 

berguling untuk menyelamatkan diri, dan 

Durgasari yang terus mengejarnya dengan 

serangan-serangan maut. 

“Hih...!” 

Ctar...! 

Kembali sabuk di tangan Durgasari melecut 

ke arah tubuh Dewa Arak yang masih 

bergulingan. 

Kali ini Dewa Arak bertindak nekat. 

Disadarinya kalau tidak mungkin mengelak 

dengan cara seperti itu terus-menerus. Maka 

dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya, 

tubuhnya melenting ke atas. Sebuah perbuatan 

yang sangat berbahaya! 

Ctarrr...! 

Tanah langsung terbongkar ketika sabuk itu 

menghantam telak permukaan tanah. Debu pun 

mengepul tinggi ke udara. Tapi tubuh Dewa 

Arak sudah tidak tampak lagi di sana, karena 

telah melenting ke atas.


Tapi Durgasari memang sudah sejak tadi 

memperhitungkan hal itu. Maka begitu tubuh 

lawannya terlihat melenting, cepat-cepat 

dijegalnya. Tangan kirinya dengan jari-jari 

terbuka memapak tubuh yang tengah melenting 

dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sebuah 

serangan mematikan! 

Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Maka 

cepat tangan kirinya diangkat untuk menangkis. 

Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak 

menyampok ke arah pelipis lawan. 

Plakkk! Prakkk...! 

Dua buah bunyi yang berbeda, terdengar 

saling bersusulan. Bunyi pertama adalah bunyi 

benturan antara tangan kiri Dewa Arak dengan 

tangan kiri Durgasari. Sementara suara 

berderak yang kedua adalah ketika sampokan 

Dewa Arak mengenai sasaran. 

Durgasari memang sejak tadi sudah tidak 

mempedulikan pertahanan. Akibatnya, begitu 

Dewa Arak melancarkan serangan, dia tidak 

mampu mengelak. Yang ada di benaknya hanya 

satu, mengadu nyawa! 

Tanpa mengeluarkan suara keluhan apa pun, 

tubuh Durgasari terlempar, lalu jatuh berdebuk 

di tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat, 

kemudian diam tidak bergerak lagi di tanah. 

Arya terpaku melihat sosok tubuh lawannya 

yang kini telah menjadi mayat. Raut wajahnya 

memancarkan penyesalan yang amat sangat. 

Dan memang hatinya menyesal bukan main. Dia 

memang tidak ingin membunuh nenek itu,


sehingga sejak tadi hanya berusaha menjaga diri 

saja. Tapi keadaan terakhir kali, membuatnya 

tidak punya pilihan lagi. Pilihannya hanya dua. 

Membunuh atau dibunuh! Dan tentu saja dia 

memilih yang pertama. 

Melihat keunggulan Dewa Arak, Raksagala, 

dan Ki Wanara, segera bergerak menghampiri 

Dewa Arak. Di raut wajah mereka semua 

terpancar perasaan lega melihat Durgasari 

berhasil dibinasakan. 

Tapi seri kegembiraan di wajah mereka 

lenyap, dan kini berganti dengan raut 

kebingungan ketika melihat wajah Dewa Arak. 

Wajah pemuda berambut putih keperakan itu 

sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan, 

namun sebaliknya malah menyiratkan 

penyesalan. Karuan saja hal ini membuat 

mereka bingung. 

“Aku tidak bermaksud membunuhnya...,” 

keluh Arya. Pelan dan tak bersemangat 

suaranya. Jelas, ucapan itu keluar dari hati 

yang terpukul. 

Karuan saja ucapan itu membingungkan 

orang-orang yang berada di dekatnya. Tapi 

sesaat kemudian Raksagala mengerti, mengapa 

Dewa Arak tidak memanfaatkan banyak 

kesempatan yang ada. Rupanya Arya ternyata 

memang tidak ingin menurunkan tangan kejam 

pada lawannya. 

Ki Wanara tahu perasaan yang berkecamuk 

dalam hati Dewa Arak. Maka kakek berpakaian 

putih ini bergerak lebih mendekat lagi,



kemudian perlahan-lahan ditepuknya bahu 

Arya. 

“Lupakanlah hal itu, Dewa Arak. Kau sama 

sekali tidak bermaksud membunuhnya, bukan? 

Tapi Durgasari terlalu memojokkanmu, sehingga 

kau tidak punya pilihan lagi. Itu berarti bukan 

kau yang membunuhnya, tapi dirinya sendiri 

yang membuatmu terpaksa membunuhnya. “ 

Ki Wanara memberi nasihat sekenanya saja. 

Tapi kakek berpakaian putih ini sama sekali 

tidak menyadari kalau semua nasihatnya tepat 

sekali. 

“Tapi biar bagaimanapun..., dia tewas di 

tanganku, Ki,” bantah Arya seraya menatap 

wajah Ki Wanara. 

“Dia memang pantas untuk tewas, Dewa 

Arak,” sahut Ki Wanara lagi. 

Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian 

penuturan Raksagala tentang rencananya sejak 

dari Istana Hantu hingga sampai ke Desa Kali 

Asem. Semuanya sudah jelas. Tadi Ki Wanara 

juga telah bercerita demikian. Jadi, Dewa Arak 

memutuskan untuk membantu pemuda 

berwajah pucat itu, walaupun hal itu belum 

diutarakannya. 

Raksagala melangkah menghampiri murid-

murid Perguruan Belut Putih yang masih saja 

menunggu di depan rumah Ki Wanara dengan 

sabar. 

Begitu melihat Raksagala menghampiri, 

serentak mereka pun bergerak menghampiri. 

Salah seorang dari belasan murid Perguruan


Belut Putin itu melangkah maju begitu kedua 

belah pihak telah berhadapan dalam jarak tiga 

tombak. 

“Maaf, bukannya aku tidak percaya. Tapi 

benarkah kau urusan ketua kami, Kisanak,” 

tanya murid Perguruan Belut Putih yang 

ternyata bertindak sebagai juru bicara itu. Dia 

adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan 

berotot. Usianya mungkin tak kurang dari tiga 

puluh tahun. 

“Benar,” Raksagala menganggukkan kepala-

nya. “Aku adalah utusan Ki Sawungrana. 

Namaku Raksagala. Aku diutus untuk mem-

benahi semua kericuhan yang terjadi di 

Perguruan Belut Putih. Itu bila memang benar 

ada kerusuhan.” 

“Semua kericuhan itu memang benar ada, 

Raksagala,” tanpa ragu-ragu lagi laki-laki 

bertubuh kekar berotot ini menyebut Raksagala 

dengan namanya saja. “Perguruan Belut Putih 

sekarang diketuai oleh Kalasura, seorang murid 

kepala Perguruan Belut Putih juga. Tapi sayang, 

wataknya tidak baik. Banyak di antara kami 

yang menentang. Tapi dengan cara halus 

maupun kasar, dia berhasil menyingkirkannya. 

Kelompok Kalasura sangat kuat. Apalagi dia 

pun dibantu tokoh-tokoh aliran hitam.” 

Laki-laki bertubuh kekar berotot ini meng-

hentikan ceritanya untuk mengambil napas 

seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan 

ucapannya. Matanya menerawang jauh, seperti 

mengingat-ingat kejadian yang menimpa


perguruannya. 

“Banyak di antara murid Perguruan Belut 

Putih yang menentang, tapi berhasil dipatah-

kan. Terpaksa kami berdiam diri. Apalagi 

karena di pihak kami tidak ada lagi tokoh yang 

bisa diandalkan. Semua murid kepala 

Perguruan Belut Putih yang bersifat jujur telah 

tewas. Sementara di pihak Kalasura cukup 

banyak. Kini dengan adanya kau, Raksagala, 

kami siap menentang mereka kembali. Kita 

harus merubah Perguruan Belut Putih menjadi 

perguruan beraliran putih kembali! Kami yakin, 

masih banyak anggota Perguruan Belut Putih 

yang hanya terpaksa mengikuti kemauan 

Kalasura,” mantap dan penuh semangat ucapan 

laki-laki kekar berotot itu. 

Dan semua kepala rekan-rekannya yang 

berdiri di belakangnya terangguk begitu laki-

laki kekar berotot itu menghentikan ucapannya. 

Jelas, mereka semua setuju dengan keputusan 

yang diambil rekan mereka itu. 

“Kalau begitu, mari kita serbu mereka!” 

Raksagala memutuskan dengan penuh semangat 

“Kami ikut, Raksagala.” 

Raksagala menoleh begitu mendengar 

ucapan itu. Tampak Dewa Arak dan Ki Wanara 

tengah bergerak menghampiri mereka. 

“Kau...?!” 

Arya tersenyum lebar. Dia tahu kalau 

Raksagala merasa keberatan kalau dia ikut 

campur tangan. Dewa Arak tahu, pemuda 

berwajah pucat itu ingin menyelesaikan tugas


gurunya sendiri. 

“Kedatanganku yang secara kebetulan ke 

desa ini, dan setelah mendengar dari Ki Wanara 

kalau ada kesewenang-wenangan yang terjadi di 

Perguruan Belut Putih, telah menarik hatiku 

untuk membantumu, Raksagala. Yahhh.... 

Barangkali saja, tenagaku agak berguna di sana. 

Paling tidak, cukup untuk melindungi kau dan 

murid-murid Perguruan Belut Putih merebut 

kembali perguruan yang telah dikotori itu.” 

Raksagala tidak bisa menolak lagi. Alasan 

yang dikemukan Arya membuatnya tidak bisa 

membantah lagi. 

Walaupun tidak memperliatkannya dalam 

raut wajah dan sikap, karena merasa tidak enak 

pada Raksagala, murid-murid Perguruan Belut 

Putih ini sebenarnya merasa gembira bukan 

main atas ikutnya Dewa Arak bersama mereka. 

Telah mereka saksikan sendiri kelihaian 

pemuda berambut putih keperakan itu. Dan 

pada kenyataannya, Arya jauh lebih lihai 

daripada Raksagala! Padahal, pemuda yang 

mengaku murid Sawungrana juga lihai bukan 

main. Mereka juga telah menyaksikan kalau 

Raksagala bertarung menggunakan ilmu-ilmu 

Perguruan Belut Putih. 

Tak lama kemudian, rombongan itu pun 

berangkat menuju Perguruan Belut Putih. 

Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya murid-

murid Perguruan Belut Putih ini melirikkan 

mata untuk melihat wajah Dewa Arak. Sungguh 

tak disangka kalau mereka bisa bertemu tokoh


yang julukannya begitu mengguncangkan dunia 

persilatan. Dan ternyata, orangnya masih sangat 

muda. 

Di antara mereka semua, hanya Ki Wanara 

saja yang sama sekali tidak melirik ke sana 

kemari. Kakek berpakaian putih ini ingin cepat 

sampai di tempat tujuan. Dia ingin markas 

Perguruan Belut Putih cepat direbut kembali. 

***


“Rupanya mereka telah bersiap-siap,” kata 

Raksagala ketika melihat pintu gerbang yang 

tertutup rapat. 

“Hati-hati, Raksagala,” ujar laki-laki kekar 

berotot yang telah memperkenalkan namanya 

sebagai Diraga, setengah memberi tahu. 

“Kalasura adalah seorang berwatak licik. Aku 

yakin, dia telah menempatkan murid-murid 

Perguruan Belut Putih di bagian atas pintu 

gerbang. Mereka akan membidikkan panah, 

agar kita tidak bisa mendekat” 

Raksagala terdiam karena memang tidak 

mengetahui hal itu. 

“Apakah tidak akan ada bantuan dari dalam 

markas? Bukankah kau tadi mengatakan 

banyak murid Perguruan Belut Putih yang tidak 

suka terhadap tindakan Kalasura?” tanya 

Raksagala, bernada tuntutan. 

“Dari mana mereka tahu akan hal itu, 

Raksagala?” Diraga malah balik bertanya. 

“Tentu saja dari orang-orang yang telah 

kuberi pelajaran tadi!” sahut Raksagala tandas. 

“Mereka tidak akan begitu bodoh untuk 

mengatakan secara terbuka mengenai dirimu di 

hadapan begitu banyak orang. Bila hal itu 

diceritakan, akan menimbulkan pemberontakan. 

Orang-orang itu pasti hanya mengatakannya


secara terus terang pada kelompoknya.” 

Raksagala mengangguk-anggukkan kepala. 

Bisa diterima alasan yang dikemukakan Diraga 

itu. 

Suasana hening sejenak tercipta setelah 

Diraga menghentikan ucapannya. Karena 

memang Raksagala tidak lagi menyambutinya. 

“Kalau begitu..., lebih baik aku yang masuk 

lebih dulu untuk melihat keadaan di dalam,” 

tandas Raksagala setelah beberapa saat 

lamanya terdiam. 

“Tapi sangat berbahaya, Raksagala,” sergah 

Diraga khawatir. “Kalasura adalah orang licik. 

Dia tidak, segan-segan, menggunakan cara apa 

pun demi mencapai kemenangan.” 

“Aku akan berhati-hati, Diraga,” sahut 

Raksagala cepat. 

“Hhh...!” 

Diraga hanya dapat menghela napas berat. 

Laki-laki kekar berotot ini tahu kalau Raksagala 

tidak bisa dicegah lagi. Jadi rasanya akan sia-sia 

jika terus mencegahnya. Dia merasakan adanya 

tekanan dalam ucapan Raksagala yang terakhir. 

Tekanan yang tidak menghendaki adanya 

bantahan. Maka, pendapatnya tidak diutara-

kannya lagi. 

Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, 

Raksagala segera melesat ke depan. Tidak ada 

serbuan anak panah seperti yang dikatakan 

Diraga. Huh! Dia terlalu khawatir, keluh 

Raksagala dalam hati. 

“Hih...!”



Begitu telah berada di depan pintu gerbang 

Perguruan Belut Putih, laki-laki berwajah pucat 

ini menjejakkan kakinya. Seketika tubuhnya 

melambung ke atas. Dan begitu telah melewati 

pagar yang tinggi dan kokoh, tubuhnya berputar 

di udara. 

“Hup...!” 

Baru saja kedua kaki Raksagala mendarat di 

tanah, belasan orang berpakaian abu-abu sudah 

berkelebat mengurungnya. Bukan hanya itu 

saja. Tampak belasan orang lain, melompat ke 

atas dengan anak panah siap dilesatkan. Kini 

Raksagala mengerti. Mereka memang sengaja 

membiarkannya masuk sendirian. Jadi apa yang 

dikatakan Diraga ternyata benar. 

Tapi Raksagala sama sekali tidak kelihatan 

gentar. Meskipun tahu kalau dirinya sengaja 

dijebak, dia tidak mengirim pemberitahuan 

kepada kawan-kawannya di luar pagar kalau 

dirinya terancam. 

“Ha ha ha...! Sungguh besar nyalimu, Anak 

Muda,” kata orang yang tak lain dari Taraji. 

Tangan kanannya nampak tergantung lemah di 

sisi pinggang. Jelas, akibat perbuatan Raksagala 

masih tersisa. “Jangan harap dapat keluar dari 

sini dalam keadaan hidup.” 

Raksagala memandang berkeliling menatap 

wajah-wajah orang yang mengurungnya. Tidak 

lebih dari dua puluh orang. 

“Inikah orang yang kau ceritakan itu, 

Taraji?!” 

Mendadak terdengarsuara keras bergaung.


Sesaat kemudian, muncul seorang laki-laki 

bertubuh pendek kekar tapi bercambang bauk 

lebat. Sementara di sebelahnya berdiri tiga 

orang berwajah kasar berpakaian kuning garis-

garis hitam. 

“Benar, Ketua,” tandas Taraji seraya 

mengangguk-anggukkan kepala. 

Laki-laki bercambang bauk lebat yang 

ternyata Kalasura, kini mengalihkan perhatian 

kembali pada Raksagala. Sepasang matanya 

merayapi selebar wajah pemuda berwajah pucat 

itu. 

“Jangan mimpi untuk dapat membuat 

khayalanmu jadi kenyataan, Bocah!” dengus 

Kalasura. “Kau hanya akan mengantarkan 

nyawa di sini, tahu?!” 

Raksagala menatap wajah laki-laki 

bercambang bauk lebat di hadapannya beberapa 

saat, lalu beralih pada tiga orang kasar yang 

berdiri di sebelahnya. Baru kemudian, 

perhatiannya tertumpah pada murid-murid 

Perguruan Belut Putih yang mengepungnya. 

Sikap pemuda berwajah pucat ini terlihat tenang 

saja. Padahal, seluruh urat syaraf dan ototnya 

menegang waspada. 

Perlahan-lahan tangan Raksagala 

menyelinap masuk ke batik baju. Sudah bisa 

ditebak maksudnya. Ya! Pemuda berwajah pucat 

itu ingin mengeluarkan tongkat pemberian 

gurunya. 

Kalasura rupanya sudah mengetahui 

maksud Raksagala. Dan dia tidak ingin hal itu


terjadi. Maka tanpa membuang-buang waktu 

lagi, dia melompat menerjang. Kedua tangannya 

menegang kaku, melancarkan totokan bertubi-

tubi ke arah leher dan bawah hidung Raksagala. 

Belum juga serangan Kalasura tiba, tiga 

orang berwajah kasar itu melompat menerjang 

pula. Dalam sekejap saja, Raksagala sudah 

menghadapi empat buah serangan dari empat 

penjuru, dan semuanya mengarah ke tempat-

tempat yang mematikan! 

Mau tak mau, Raksagala membatalkan 

maksudnya semula. Benaknya berputar keras 

untuk menghadapi serangan keempat orang 

lawannya ini. Sesaat kemudian, dia sudah bisa 

memutuskan. Sepasang matanya yang awas 

dapat cepat mengetahui kalau di antara 

keempat serangan itu, serangan Kalasura-lah 

yang menyambar paling dulu. Maka, diputus-

kannya untuk menanggulangi serangan laki-laki 

bercambang bauk lebat itu terlebih dulu. 

Plakkk, plakkk, plakkk...! 

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika 

Raksagala menangkis semua serangan lawan. 

Sadar akan keadaannya yang tidak mengun-

tungkan, pemuda berwajah pucat ini tidak 

segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuan 

yang dimiliki. 

Akibatnya memang hebat! Tubuh Kalasura 

terhuyung-huyung jauh ke belakang. Mulutnya 

menyeringai menahan sakit Dan memang, 

benturan antara tangannya dengan tangan 

Raksagala membuat kedua belah tangannya


terasa sakit bukan main. Bukan hanya itu saja. 

Dadanya pun terasa sesak bukan main. 

Sedangkan Raksagala kelihatan sama sekali 

tidak terpengaruh benturan itu. Bahkan sehabis 

menangkis serangan, laki-laki berwajah pucat 

ini melompat melewati atas kepala Kalasura. 

Akibatnya, semua serangan dari ketiga orang 

lawannya hanya mengenai tempat kosong. 

Tapi Kalasura dan ketiga orang kasar itu 

rupanya tidak mau memberi kesempatan. Begitu 

Raksagala melompat menjauh, mereka semua 

segera melesat memburu dan menghujaninya 

dengan serangan serangan berbahaya. Per-

tarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. 

Kali ini Raksagala harus menguras seluruh 

kemampuannya. Apalagi keempat lawan itu 

memiliki kepandaian tinggi. Walaupun bila 

dihadapi satu persatu keempat orang lawan itu 

masih di bawahnya, tapi cara bertarung mereka 

keroyokan. Mau tak mau, Raksagala jadi 

kerepotan juga. 

Kalasura merasa penasaran bukan kepalang. 

Seperti juga Raksagala, dia adalah murid 

langsung dari Ki Sawungrana. Hanya saja, laki-

laki bercambang bauk lebat itu tidak memiliki 

seluruh ilmu gurunya. Lain halnya dengan 

Raksagala yang menerima semuanya. 

Sementara Raksagala menghadapi lawan-

lawannya, sementara itu pula murid Perguruan 

Belut Putih yang berada di atas pagar bambu 

menjepretkan panah ke arah Dewa Arak dan 

murid-murid Perguruan Belut Putih lain yang


berada di luar pagar. 

Twanggg...! Twanggg...! 

Saat itu Dewa Arak bersama rombongan 

murid Perguruan Belut Putih telah bergerak 

menuju gerbang. Di tangan mereka sudah 

tergenggam senjata terhunus. Rupanya mereka 

semua merasa tidak sabar lagi menunggu 

Raksagala. Maka diputuskanlah untuk segera 

menyusulnya. 

Melihat hujan anak panah itu, Arya segera 

memutar-mutarkan tangannya. Luar biasa...! 

Belasan anak panah itu berpentalan tak tentu 

arah ketika angin yang amat kuat keluar dari 

kedua tangannya yang berputar. Sebagian besar 

anak panah itu runtuh sebelum mengenai 

sasaran. Ada beberapa di antaranya yang lolos, 

tapi dengan mudah berhasil dipatahkan dengan 

ayunan senjata murid-murid Perguruan Belut 

Putin. 

Berkali-kali hujan anak panah itu ber-

hamburan ke arah rombongan yang memaksa-

kan diri untuk masuk ke Perguruan Belut Putih, 

tapi semuanya berhasil dipunahkan. 

Brakkk...! 

Suara berderak keras terdengar ketika pintu 

gerbang Perguruan Belut Putih hancur 

berantakan. Dewa Arak memang telah meng-

gunakan kekuatan tenaga dalam untuk 

merobohkan pintu itu dengan kekerasan. 

Begitu pintu terbuka, rombongan itu segera 

bergerak menyerbu ke dalam seraya berteriak-

teriak mengajak rekan-rekan mereka untuk


bergabung menentang tindakan Kalasura. 

Dewa Arak yang takut terjadi pertumpahan 

darah besar-besaran, segera melesat ke arah 

pertarungan antara Raksagala dengan keempat 

orang lawannya. 

“Mundur Raksagala...! Cegah pertumpahan 

darah!” teriak Arya. 

Raksagala tidak membantah. Begitu Arya 

tampak meluruk masuk ke kancah pertarungan, 

dia melompat menghindar. Dan ketika kedua 

kakinya hinggap di tanah, tongkatnya segera 

diacungkan tinggi-tinggi ke atas. 

“Murid-murid Perguruan Belut Putih 

semua...! Lihat tongkat ini baik-baik,..! Aku 

adalah wakil penuh Ki Sawungrana! Kumohon 

kalian yang masih belum tersesat, bantu kami 

menumpas kelaliman Kalasura...!” 

Keras bukan main suara Raksagala karena 

dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. 

Serempak semua kepala menoleh begitu 

mendengar nama Ki Sawungrana disebut. 

Seketika pertarungan terhenti. Dan begitu 

mendengar kata-kata Raksagala dan melihat 

tongkat pusaka itu, sebagian murid Perguruan 

Belut Putih yang akan menyerang rombongan 

Dewa Arak berbalik haluan. Mereka kini bersatu 

dengan rombongan itu. 

Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. 

Gerombolan anak buah Kalasura pun tidak 

sedikit, karena sebagian besar adalah murid-

murid Perguruan Belut Putih yang berwatak 

bobrok. Dan sebagian lagi, adalah anak buah


tiga tokoh berpakaian kuning garis-garis hitam. 

Melihat keempat orang lawan telah dihadapi 

Dewa Arak, Raksagala segera membantu murid-

murid Perguruan Belut Putih yang masih setia. 

Kini, terjadilah dua arena pertarungan. Yang 

satu antara Dewa Arak melawan Kalasura dan 

kawan-kawannya. Sementara yang satu lagi 

antara dua gerombolan berbeda aliran. 

Jeritan kematian diiringi robohnya tubuh-

tubuh tanpa nyawa terdengar. Bumi pun 

dibasahi darah yang sebagian besar keluar dari 

tubuh gerombolan Kalasura. Memang dengan 

adanya Raksagala, murid-murid setia Perguruan 

Belut Putih berhasil mendesak lawan. Sepak 

terjang Raksagala benar-benar menggiriskan. 

Kemana saja tangan atau kakinya bergerak, 

sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh 

terbaring tanpa nyawa. 

Berbareng tewasnya orang terakhir dari 

gerombolan Kalasura, Kalasura dan ketiga 

orang kawannya pun roboh tergeletak di tanah 

tanpa mampu bergerak lagi. Dewa Arak 

memang terpaksa menewaskan mereka. Dia 

tahu dari Ki Wanara kalau keempat orang inilah 

yang selalu merusak wanita. Sebuah perbuatan 

yang amat dibencinya. Dan itulah sebabnya, dia 

tidak sudi mengampuni keempat orang lawan-

nya. Dewa Arak mengamati mayat-mayat bekas 

lawannya. Sementara, Raksagala juga telah 

menyelesaikan pertarungannya. 

Raksagala melirik Arya. Dan tentu saja 

pemuda berambut putih keperakan itu tahu



maksud lirikan itu. Raksagala mengajaknya 

pergi ke Istana Hantu. 

“Diraga...! Uruslah semuanya...! Aku akan 

pergi dulu...!” kata pemuda berwajah pucat itu 

seraya melesat pergi dari situ. 

Dewa Arak pun berkelebat mengikuti. Dalam 

waktu sebentar saja, tubuh mereka telah lenyap 

ditelan jalan. Keduanya sama sekali tidak 

mempedulikan pandangan kekaguman dari 

murid-murid Perguruan Belut Putih. 

*** 

Raksagala dan Dewa Arak berlari cepat 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki. Raksagala yang bertindak sebagai 

petunjuk jalan, tentu saja berada agak di depan. 

Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang-

nya. 

Raksagala memang mengerahkan seluruh 

kemampuannya. Namun Arya hanya sebagian 

saja. Sebab jika seluruh ilmu meringankan 

tubuhnya dikerahkan, sudah bisa dipastkan 

Raksagala pasti akan tertinggal. 

Dua hari lamanya Raksagala dan Dewa Arak 

menempuh perjalanan bersama. Kini sewaktu 

matahari tepat di atas kepala, mereka berdua 

berjalan di tempat yang tanahnya lembek dan 

banyak tergenang air. 

Dewa Arak mengamati keadaan sekeliling-

nya. Udara di sekitar tempat ini demikian 

lembab. Sekelilingnya penuh pepohonan. Pohon

besar dan tinggi sampai menjulang tinggi. 

Raksagala terus saja melangkah melewati 

jalan-jalan becek berhawa lembab yang dipenuhi 

pepohonan menjulang tinggi. Dewa Arak 

mengikutinya, dengan seluruh urat syaraf 

menegang waspada. 

“Itu dia Istana Hantu...!” 

Raksagala berseru seraya menudingkan 

telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar dan 

megah tapi terlihat tua. Bangunan itu ber-

halaman luas. Sebuah pagar tembok yang tebal 

dan terlihat tua mengelilingnya. 

Dewa Arak mengikuti arah tudingan 

Raksagala. Dan diam-diam pemuda berambut 

putih keperakan ini mengakui kalau nama yang 

diberikan untuk tempat itu memang cocok. 

Bangunan itu mirip sebuah istana. Tapi menilik 

keadaannya yang begitu menyeramkan, mana 

ada raja atau pejabat kerajaan yang bersedia 

tinggal di situ. Rasanya tidak ada seorang pun 

yang mau tinggal di situ, kecuali hantu! 

“Ha ha ha...!” 

Mendadak terdengar suara tawa keras 

menggelegar menggetarkan jantung. Jelas kalau 

suara itu keluar dari mulut orang yang memiliki 

tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga 

Raksagala dan Dewa Arak terperanjat. Kontan 

seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang 

waspada, bersiap-siap menghadapi segala 

kemungkinan. 

Sebelum gema suara tawa itu lenyap, di 

hadapan Raksagala dan Dewa Arak telah berdiri



seorang kakek tinggi besar berpakaian merah. 

Memang, pakaian kakek ini mirip pakaian 

Jonggirupaksi, satu-satunya penjaga Istana 

Hantu. 

Melihat munculnya kakek itu, Raksagala 

tanpa sadar melangkah mundur. Dia kenal 

betul, siapa sosok tubuh tinggi besar itu. Dia 

adalah Barong Segara, si Penghuni Istana 

Hantu! 

Tanpa diberi tahu lagi pun Dewa Arak sudah 

bisa memperkirakan sosok yang berdiri di 

hadapannya. Memang, Raksagala telah men-

ceritakan ciri-ciri Penghuni Istana Hantu ini! 

Dewa Arak menatap wajah kakek ber-

pakaian merah itu lekat-lekat. Diam-diam ada 

sedikit perasaan ngeri di hatinya melihat 

guratan yang ada di wajah Barong Segara. 

“Sungguh tidak kusangka kau memiliki nyali 

juga, Monyet Kecil?!” kata Barong Segara keras 

seraya melayangkan pandangan pada 

Raksagala. “Rupanya kau pun ingin cepat-cepat 

menjadi bangkai seperti gurumu itu!” 

Terdengar suara gemeretak dari mulut 

Raksagala ketika mendengar ucapan Penghuni 

Istana Hantu itu. Tanpa mempedulikan 

kenyataan kalau dirinya bukanlah tandingan 

kakek berpakaian merah itu, hatinya bertekad 

untuk menyerangnya. Kemarahan yang amat 

sangat telah menutup matanya. 

Tapi sebelum pemuda berwajah pucat itu 

berhasil melaksanakan maksudnya, sebuah 

tangan kekar telah mencekal pergelangannya.


Raksagala menoleh. Memang, itu adalah tangan 

Dewa Arak yang mencegahnya untuk tidak 

bertindak gegabah. 

“Biar aku yang menghadapinya, Raksagala,” 

tegas pemuda berambut putih keperakan itu 

pelan, tanpa bermaksud meremehkan. 

Raksagala tahu diri. Dia sadar kalau 

memaksakan diri bertarung, hanya akan 

mengantarkan nyawa sia-sia saja. Maka 

dibiarkan saja Dewa Arak yang menghadapinya. 

Tapi perasaan dongkol yang menyesak di dada, 

membutuhkan pelampiasan! Tidak bisa mem-

balas dengan kekerasan, dia pun berniat 

membuat Barong Segara terpukul. 

“Kali ini kau yang akan menjadi bangkai, 

Barong Segara!” ejek Raksagala tajam. “Kau 

tahu, adikmu telah menjadi bangkai lebih dulu 

di tangan pemuda di sampingku ini! Dan kini 

kau akan menyusulnya!” 

Terdengar raungan keras, seperti ada seekor 

binatang buas terluka yang tengah murka. 

Barong Segara murka bukan kepalang. 

Durgasari, adiknya telah tewas? Hampir dia 

tidak bisa mempercayai hal ini! 

Kini dia mengerti, mengapa pemuda ber-

wajah pucat itu berani datang menyatroni 

tempatnya. Rupanya Raksagala mengandalkan 

temannya. 

Sambil meraung keras seperti binatang buas 

terluka. Barong Segara bersiap menerjang Dewa 

Arak. Tahu kalau pemuda yang berdiri di 

hadapannya ini telah menewaskan adiknya, dia


bisa menduga kalau calon lawannya pasti 

berilmu tinggi. Maka Penghuni Istana Hantu ini 

tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu 

yang dimilikinya. Tanpa sungkan-sungkan 

segera dikeluarkan gabungan ilmunya, 'Tangan 

Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan 

Pasir Besi'. 

Arya sama sekali tidak berani bertindak 

setengah-setengah. Segera guci araknya 

diangkat ke atas kepala, lalu dituangkan ke 

dalam mulut 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar begitu cairan arak 

memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu 

juga hawa hangat menjalar di dalam perut Arya. 

Kemudian perlahan-lahan merayap ke atas. 

Hanya dalam sekejap saja, tubuh Dewa Arak 

mulai limbung. Posisi kedua kakinya mulai tidak 

tetap. Oleng sana, oleng sini! 

“Haaat..!” 

Sambil mengeluarkan teriakan mengguntur, 

Barong Segara segera melompat menerjang 

Dewa Arak. Kedua tangannya yang kini 

berwarna hitam mengkilat seperti baja, 

meluncur cepat ke arah dada, ulu hati, pusar 

Dewa Arak dengan jari-jari tangan menegang 

kaku. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia merasa 

heran, karena tidak merasakan adanya 

hembusan angin yang mengiringi serangan 

lawan. Dia tahu kalau lawan telah menyerang 

mempergunakan tenaga lemas. Tak kelihatan


berbahaya, tapi sebenarnya mengandung 

ancaman maut! Tapi yang membuat hati Dewa 

Arak bingung, mengapa kedua tangan dan 

bentuk serangan itu terlihat keras dan kasar 

penuh tenaga! Sekujur tangan itu menegang 

kaku seperti penuh tenaga, tapi anehnya tidak 

ada hawa angin sedikit pun yang mengiringi. 

Sama sekali pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak tahu kalau Barong Segara 

telah menggabungkan 'Ilmu Tangan Pasir Besi' 

yang kelihatan kasar dan keras, dengan ilmu 

'Tangan Penahan Gelombang Laut' yang 

kelihatan lembut dan tidak bertenaga. 

Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. 

Maka buru-buru serangan itu dielakkan dengan 

menggunakan jurus 'Delapan Langkah 

Belalang'. Kemudian dia bergegas melangkah 

maju ke kanan. Dengan bertumpu pada telapak 

kaki kanan, tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu 

saja, dia telah berada di belakang lawan. Bukan 

hanya itu saja. Secepat Arya berada di belakang 

lawan, secepat itu pula melancarkan serangan 

bertubi-tubi ke arah punggung. 

Semula Barong Segara terperanjat bukan 

main melihat lawannya tahu-tahu menghilang 

dari hadapannya. Tapi begitu merasakan adanya 

hembusan angin dari belakang, dia tahu lawan 

telah mengirimkan serangan. 

Serangan Dewa Arak datangnya memang 

begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi Barong Segara 

tidak kalah cepat. Buru-buru tubuhnya dilipat 

ke depan sehingga serangan Dewa Arak hanya



menyambar tempat kosong, lewat setengah 

jengkal di atas punggungnya. Pada saat yang 

sama, kaki kanan Barong Segara menendang ke 

belakang. Persis gerakan seekor kuda yang 

menendang! 

Arya terperanjat, sungguh tidak disangka 

kalau akan begini sambutan lawannya. Memang 

luar biasa Penghuni Istana Hantu ini. Dalam 

keadaan terjepit dan waktu yang sempit, dia 

tidak hanya mampu lolos dari ancaman maut. 

Bahkan juga mampu sekaligus balas meng-

ancam. 

Meskipun begitu Dewa Arak tidak hilang 

akal. Sudah tidak terhitung kejadian yang 

berbahaya seperti ini dialaminya. Dan berkat 

keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', dia selalu 

berhasil menyelamatkan diri. 

Sekarang pun demikian juga. Dengan 

kelincahan seorang yang telah memiliki ilmu 

meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya men-

jejakkan kakinya di tanah. Sesaat kemudian, 

tubuhnya telah melayang ke belakang. 

Barong Segara yang telah dilanda dendam, 

tidak mungkin akan memberi kesempatan pada 

lawannya. Secepat dia berhasil memperbaiki 

posisinya, secepat itu pula kembali melancarkan 

serangan. 

Tapi Dewa Arak bukan orang sembarangan. 

Begitu Barong Segara berhasil memperbaiki 

posisinya, dia pun telah melakukan hal yang 

sama. Dan kini keduanya segera saling gebrak! 

Tak lama kemudian, kedua tokoh berbeda aliran



tapi sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini 

sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. 

Berkat ilmu meringankan tubuh yang sama-

sama telah mencapai tingkatan amat tinggi, 

pertarungan antara mereka berdua jadi 

berlangsung cepat. Dalam waktu tak begitu 

lama, lima puluh jurus telah berlalu. Dan 

selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda 

yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan 

seimbang, walaupun terlihat tidak menarik. 

*** 

Raksagala mengerutkan alis melihat 

pertarungan yang berlangsung di hadapannya. 

Jelas sekali kalau pemuda berwajah pucat ini 

merasa tidak tertarik dengan pertarungan di 

hadapannya yang berlangsung membosankan. 

Diam-diam Raksagala merasa kecewa 

melihat sikap Dewa Arak dalam menghadapi 

pertarungan itu. Tampak pemuda berambut 

putih keperakan itu seperti gentar menghadapi 

Barong Segara. Tak sekali pun dia berani 

menangkis serangan Barong Segara. Dan ini 

membuat Raksagala sama sekali tidak puas. 

Begitu pula ketika Arya melancarkan serangan. 

Penghuni Istana Hantu itu tampak seperti akan 

menangkis, namun pemuda berambut putih 

keperakan itu menarik pulang serangannya. 

Barong Segara menggertakkan gigi. Ada 

perasaan kagum di hatinya melihat tindakan 

Dewa Arak, meskipun amarahnya tetap


berkobar-kobar. Sungguh tidak disangka kalau 

lawannya begitu cerdik, sehingga tidak mau 

mengadu tangan dengannya. Karena sekali saja 

mengadu tangan, nyawa pemuda berambut 

putih keperakan itu pasti akan melayang. 

Tenaga di dalam ilmu 'Tangan Penahan 

Gelombang Laut', akan menyelusup dan 

menghancurkan bagian dalam dadanya dan 

memang demikianlah keunggulan ilmu itu. 

Dan karena tahu akan kedahsyatan ilmu 

'Tangan Penahan Gelombang Laut', maka 

Barong Segara berusaha memojokkan lawan. 

Dia berusaha sekuat tenaga agar lawan tidak 

dapat mengelak lagi, sehingga terpaksa harus 

mengadu tangan. Dan bila hal itu terjadi, Dewa 

Arak sudah pasti akan dapat dikalahkannya. 

Tapi Dewa Arak ternyata gesit bukan main. 

Dan hal itu memang wajar saja. Pemuda 

berambut putih keperakan ini memang memiliki 

ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, 

sehingga semua usaha yang dilakukan Barong 

Segara sia-sia. 

Tapi pada jurus kedua ratus, Dewa Arak 

tidak bisa mengelak lagi. Barong Segara 

melompat menerjang Dewa Arak dengan sebuah 

serangan tusukan tangan bertubi-tubi ke arah 

leher dan ulu hati. Dua buah serangan 

mematikan. 

“Hih...!” 

Arya menggertakkan gigi. Tidak ada jalan 

baginya, kecuali menyambuti serangan. Buru-

buru serangan itu dipapak dengan hentakan


kedua tangannya yang membentuk cakar. Ada 

uap tipis yang samar-samar keluar dari kepala 

Dewa Arak. Arya memang menggunakan jurus 

'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 

'Tenaga Sakti Inti Matahari'. 

Prattt..! 

Barong Segara memekik ngeri. Tubuhnya 

melayang kembali ke atas, kemudian jatuh 

berdebuk di tanah dan diam tidak bergerak lagi. 

Penghuni Istana Hantu itu tewas dengan 

sekujur kulit tubuh menghitam hangus. Bau 

sangit daging yang terbakar tercium di sekitar 

tempat itu. 

“Hhh...!” 

Dewa Arak menghela napas. Lega rasa 

hatinya melihat lawan tangguhnya berhasil 

dibinasakan. Dan yang lebih melegakan hatinya, 

ternyata tidak dirasakan adanya rasa sakit yang 

menekan dada ketika menarik napas dalam-

dalam. Jelas kalau dia tidak terluka dalam. 

Apakah jurus 'Membakar Matahari' dalam 

pengerahan ilmu 'Tenaga Dalam Inti Matahari', 

telah membuat ilmu 'Tangan Penahan 

Gelombang Laut' mati kutu! Dewa Arak sendiri 

tidak tahu. Padahal, kesimpulan yang 

diambilnya memang benar! 

Raksagala menghampiri Arya. 

“Kuucapkan banyak terima kasih atas 

bantuanmu, Dewa Arak. Dengan tewasnya 

Barong Segara, maka semua tokoh persilatan 

yang berada di Istana Hantu bebas untuk 

keluar,” ucap pemuda berwajah pucat ini


gembira. 'Kau bersedia ikut aku memberi tahu 

mereka, Arya?” 

“Sayang sekali, Raksagala. Aku tidak bisa 

ikut. Aku masih ada urusan lain.” 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak 

melangkah perlahan meninggalkan tempat itu. 

Sementara Raksagala hanya dapat memandangi 

saja kepergian pemuda berambut putih 

keperakan itu. Dia tahu, tidak ada gunanya 

membujuk. Orang seperti Dewa Arak sekali 

berkata tidak, selamanya akan tidak. Maka 

pemuda berwajah pucat itu bergegas menuju 

Istana Hantu. 

Sementara itu, semakin lama tubuh Dewa 

Arak semakin kecil. Dan akhirnya lenyap ditelan jalan. 


                            SELESAI 

 




0 komentar:

Posting Komentar