DEWA ARAK EPISODE PELARIAN ISTANA HANTU
PELARIAN ISTANA HANTU
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul : Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode 20 :
Pertarungan di Pulau Api
128 hal ; 12 x 18 cm
1
Angin malam yang dingin berhembus meng-
gigilkan tulang. Malam ini memang lain dengan
malam sebelumnya. Langit tampak gelap. Bulan
sepotong yang tadi tampak di langit, seakan-
akan sudah tidak kuasa lagi untuk me-
nampakkan diri. Sang dewi malam kini ber-
sembunyi di balik awan tebal yang menghitam
dan bergumpal-gumpal.
Glarrr...!
Suara keras menggelegar terdengar ketika
halilintar menyambar, membelah angkasa.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana di per-
mukaan mayapada jadi terang benderang. Dan
seiring terdengarnya suara menggelegar itu,
titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi. Mula-
mula turun satu-satu dan lambat. Tapi lama-
kelamaan semakin cepat dan banyak. Dan
sekarang, benar-benar hujan deras.
Dan ketika halilintar kembali menyambar,
suasana di mayapada yang menjadi terang
benderang sekelebatan itu menampakkan
sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang
tengah mengendap-endap. Dia baru saja keluar
dari dalam sebuah bangunan besar dan megah
tapi terlihat tua. Sebuah pagar tembok tua dan
tinggi mengelilingi bangunan yang berhalaman
hias itu.
Glarrr...!
Halilintar menyambar kembali, sehingga
suasana di bumi menjadi terang benderang
sekejap. Maka sosok berpakaian hitam itu
terlihat kembali, namun nampak seperti
ketakutan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke
kiri, baru setelah itu berlari cepat menembus
sergapan hujan lebat.
Cepat bukan main gerakan sosok hitam itu
ketika bergerak melintasi halaman yang becek
karena tersiram hujan. Air berwarna keruh
memercik ke sana kemari ketika kakinya
menjejak tanah yang tergenang air. Dan masih
dalam keadaan berlari, kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri. Tapi seperti sebelumnya,
tidak ada sesuatu yang dilihatnya kecuali
kegelapan malam.
Kaki sosok hitam itu terus melangkah. Tak
dipedulikan lagi curah hujan yang membasahi
tubuh dan pakaiannya. Dia terus saja berlari,
dan arahnya jelas menuju ke luar bangunan
menyeramkan itu.
Glarrr...!
Untuk yang kesekian kalinya halilintar
menyambar bumi, membuat suasana di persada
sesaat terang benderang kembali.
Mendadak langkah sosok hitam ini berhenti.
Kalau saja suasana malam tidak gelap, keter-
kejutan hebat yang terpancar di wajahnya dapat
terlihat. Meskipun begitu, dapat diketahui kalau
sosok hitam itu dilanda keterkejutan yang amat
sangat. Hal ini ditilik dari langkahnya yang
berhenti secara mendadak dan kedua kakinya
yang gemetar keras.
Entah kapan dan bagaimana caranya, pada
pagar tembok tampak berdiri sambil bersandar
sesosok tubuh berpakaian merah menyala.
Kedua tangannya bersedakap. Sama sekali tak
dihiraukannya hujan yang turun membasahi
tubuh dan pakaiannya.
Tapi hanya sesaat sosok tubuh itu terlihat.
Begitu sinar terang halilintar lenyap, kembali
hanya kegelapan saja yang terlihat oleh sosok
tubuh itu.
Belum sempat sosok hitam itu berbuat
sesuatu, mendadak suasana di tempat itu jadi
agak terang. Dan kali ini ternyata asal sinar
terang itu dari sebuah benda sebesar kepalan
tangan berwarna putih berkilauan yang dibawa
sosok berbaju merah. Kemudian dengan sikap
tenang, benda itu digantungkan di lehernya.
Rupanya, pada kedua sisi benda berkilauan itu
terdapat lubang kecil. Dan dari situlah tali
kalung dimasukkan.
Dengan adanya benda berkilauan di leher
sosok tubuh berbaju merah yang bersandar di
tembok, suasana di tempat itu jadi cukup terang.
Dengan demikian kedua sosok tubuh itu jadi
terlihat agak jelas.
“Sungguh tidak kusangka kau berani me-
langgar pantangan ini, Raksagala,” kata sosok
tubuh yang berpakaian merah menyala.
Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi
kurus, berkaki satu. Sementara kaki yang
sebelah lagi diganti dengan sebatang besi
berujung runcing.
“Maafkan aku, Paman Jonggirupaksi,” ucap
sosok hitam yang ternyata adalah seorang
pemuda berusia sekttar dua puluh tahun, ber-
badan lebar.
Wajah pemuda yang dipanggil Raksagala ini
sebenarnya cukup tampan. Tapi terlihat jadi
menyeramkan karena kulit wajah itu begitu
pucat.
“Aku berjanji tidak akan mengulanginya,”
lanjutnya.
Suara Raksagala terdengar bergetar, dan ada
nada kegentaran di dalamnya.
“Hmh...!” kakek berkaki satu yang bernama
Jonggirupaksi mendengus. “Tidak ada kata
maaf, Raksagala! Dan kau tahu itu!”
“Tidakkah ada pertimbangan lain, Paman?”
Raksagala mencoba menawar. Meskipun bunyi
ucapannya seperti tidak peduli, tapi nada suara
nya jelas menyiratkan permohonan yang amat
sangat.
“Hm...,” hanya gumaman tak jelas yang
menyambuti permintaan laki-laki berwajah
pucat itu.
“Kusadari kalau tindakanku ini salah,
Paman,” sambung Raksagala buru-buru. “Tapi...,
tidakkah Paman sudi memaafkan kesalahanku
dengan memandang wajah guru?”
“Cuhhh...!” Jonggirupaksi meludah ke tanah.
“Andaikan gurumu sendiri yang bersalah, dia
pun tak luput dari tanganku, Raksagala! Kau
kira aku takut pada gurumu? Lucu! Lucu
sekali!”
“Jadi, Paman...,” ada kecemasan dalam suara
laki-laki berwajah pucat itu.
“Ya,” potong Jonggirupaksi sambil meng-
anggukkan kepala. “Seharusnya kau menerima
hukuman mati, Raksagala! Tapi, baiklah.
Karena kau tidak ikut dalam perjanjian, maka
aku bersedia membatalkannya. Meskipun
begitu, kau tetap tidak lepas dari hukumanku!”
“Hukuman apa yang akan Paman timpakan
padaku?” tanya Raksagala ingin tahu.
“Tidak berat,” sahut Jonggirupaksi kalem.
“Aku hanya menginginkan sebelah tanganmu.”
Wajah Raksagala berubah.
“Sebelah tanganku?” ulang laki-laki ber-
wajah pucat itu dengan bibir bergetar.
“Kenapa?” Jonggirupaksi malah balik ber-
tanya. “Hukuman itu sebenarnya terlalu ringan,
Raksagala! Seharusnya, tidak hanya sebelah
tanganmu saja yang kuinginkan. Tapi juga
kakimu! Kau tahu bukan, apa hukumannya
orang yang mencoba melarikan diri dari Istana
Hantu? Siksaan mengerikan sampai mati!”
Kini Raksagala sadar. Sepertinya tidak ada
gunanya lagi ribut mulut dengan kakek berkaki
satu ini.
Sia-sia saja. Biar bagaimanapun, dia akan
tetap menerima hukuman. Sesaat lamanya laki-
laki berwajah pucat ini berpikir keras. Apakah
hukuman yang hendak dijatuhkan akan di-
terimanya saja, atau harus menentangnya? Tapi,
akibatnya akan lebih mengerikan baginya.
Melawan penjaga Istana Hantu merupakan
pantangan besar! Sudah dapat dipastikan kalau
dirinya akan menerima siksaan yang begitu
mengerikan apabila hal itu nekat dilakukannya!
Selagi Raksagala berpikir keras, Jonggi-
rupaksi sudah melangkah menghampiri. Lambat
dan tenang-tenang saja langkahnya. Tapi akibat
yang ditimbulkan setiap langkahnya luar biasa!
Semakin kakek berkaki satu itu mendekat,
semakin kuat perasaan tegang yang melanda
hati Raksagala! Dengan demikian perasaan
bingung semakin melanda hatinya.
Di saat hati Raksagala tengah dilanda
kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara di
telinganya. Suara yang hanya ditujukan
padanya dengan menggunakan ilmu mengirim
suara dari jauh.
“Bersiap-siaplah, Raksagala. Begitu aku
menyerangnya, cepat-cepatlah membantuku.
Kita harus cepat..!”
Seketika itu juga perasaan Raksagala tenang
kembali. Suara yang terdengar seketika
menimbulkan perasaan tenang di hatinya. Dia
kenal betul, siapa pemilik suara itu. Gurunya!
***
Dengan wajah dingin, Jonggirupaksi terus
melangkah menghampiri Raksagala yang kini
telah bersikap waspada. Laki-laki berwajah
pucat itu kini telah bersiap-siap menyerang
kakek berkaki satu itu.
Mendadak Jonggirupaksi menghentikan
langkahnya, lalu menoleh ke samping kanan dan
langsung bersikap waspada. Pada saat yang
sama, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan
menyambar ke arahnya, langsung mengirimkan
serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun-
ubunnya.
Dari sini saja sudah bisa diukur kelihaian
kakek berkaki satu ini Meskipun tanpa melihat,
dia bisa mengetahui serangan yang tertuju ke
arahnya. Angin yang mendahului tibanya
serangan itulah yang menjadi patokannya.
Padahal, saat itu hujan masih cukup lebat dan
angin pun berhembus mengiringi. Tapi berkat
tingkat kepandaiannya yang tinggi, Jonggi-
rupaksi dapat membedakan angin sewajarnya
dan angin serangan!
Meskipun begitu, karena serangan yang
tertuju ke arahnya tiba begitu cepat, tidak ada
kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan
serangan. Terpaksa Jonggirupaksi harus me-
nangkisnya.
Plakkk, plakkk...!
Terdengar benturan keras ketika dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi berbenturan. Akibatnya hebat
sekali. Tubuh kedua orang itu sama-sama
terpental ke belakang beberapa tombak.
Jonggirupaksi terhuyung-huyung, dan kedua
tangannya terasa bergetar hebat. Jelas kalau
orang yang menyerangnya memiliki tenaga
dalam tinggi. Sementara tubuh orang yang
menyerangnya terpental balik, karena tubuhnya
memang tengah berada di udara.
Pada saat yang tepat, Raksagala bertindak.
Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang,
dan sesaat kemudian telah menggenggam
sebilah golok. Dan secepat golok itu terhunus,
secepat itu pula tubuhnya melompat menerjang
Jonggirupaksi. Golok di tangannya cepat
ditusukkan ke arah perut kakek berkaki satu.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring mengiringi
serangan golok itu. Dari sini saja sudah bisa
diketahui kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan Raksagala.
Jonggirupaksi kaget bukan kepalang. Saat
itu, tubuhnya tengah terhuyung-huyung.
Tambahan lagi, dia hanya mempunyai sebelah
kaki. Sementara kaki yang sebelah lagi hanya
berupa sebatang besi panjang yang berujung
runcing. Setidak-tidaknya, hal ini cukup meng-
ganggu gerakannya.
Namun Jonggirupaksi memang tokoh luar
biasa. Dengan sekali kaki besinya menekan
tanah, dia berhasil mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan
sekali enjot saja, tubuhnya sudah melayang ke
atas melewati kepala Raksagala.
Luar biasa! Semua itu dilakukan Jonggi-
rupaksi dalam waktu sekejap saja. Tak pelak
lagi, serangan golok Raksagala hanya mengenai
tempat kosong, lewat di bawah kaki buntung
Jonggirupaksi.
Tapi sebelum kakek berkaki satu ini sempat
mengirimkan serangan balasan pada Raksagala,
sosok bayangan telah membokongnya lebih dulu
dengan beberapa kibasan tangan.
Singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika
benda-benda berkilatan menyambar ke arah
Jonggirupaksi.
Kembali kakek berkaki satu ini mem-
pertunjukkan kelihaiannya. Memang, saat itu
untuk mengelak sudah tidak memungkinkan
lagi. Maka seketika tangannya terulur untuk
menangkap semua serangan gelap yang menuju
ke arahnya.
Tap, tap, tappp...!
Sungguh hebat! Benda berkilat yang
mengancamnya ternyata berhasil dilumpuhkan.
Tiga bilah pisau terbang yang tadi meng-
ancamnya, dua berhasil ditangkap. Sedangkan
yang sebuah lagi ditangkap dengan mulutnya!
Bersamaan dengan Jonggirupaksi melum-
puhkan serangan gelap itu, Raksagala mem-
babatkan goloknya ke arah perut. Laki-laki
berkaki satu itu mencoba mengelak dengan
menarik tubuhnya ke belakang. Namun
gerakannya terlambat! Apalagi tubuhnya saat
itu berada di udara, jadi sangat sulit untuk
menghindar.
Wuttt..! Crasss...!
Jonggirupaksi menggigit bibirnya sendiri
untuk menahan jeritan yang keluar dari
mulutnya. Perutnya kontan terobek lebar. Darah
segar seketika memancur deras dari bagian yang
terluka.
Raksagala tidak menyia-nyiakan kesempatan
lagi. Begitu tubuh Jonggirupaksi terlihat
meluruk turun, bergegas diburunya dengan
golok berlumuran darah yang tergenggam di
tangan.
Patut dipuji kelihaian Jonggirupaksi.
Meskipun telah mengalami luka yang begitu
parah, kedua kakinya masih sanggup mendarat
di tanah. Namun demikian, tetap saja tubuhnya
agak terhuyung-huyung.
Baru saja kedua kaki Jonggirupaksi hinggap,
golok Raksagala kembali meluncur deras ke
arah dadanya. Maka akibatnya sudah bisa
diduga!
Blesss...!
Darah segar memancur deras begitu golok
Raksagala menghunjam dada Jonggirupaksi
hingga tembus ke punggung. Ada keluhan
tertahan keluar dari mulut kakek berkaki satu
itu. Sesaat tubuhnya menegang, lalu ambruk di
tanah begitu Raksagala mencabut goloknya.
Jonggirupaksi tewas setelah menggelepar-
gelepar beberapa saat lamanya. Hujan yang kini
tinggal rintik-rintik saja, menitik di tubuh kakek
berkaki satu itu sambil membawa darah ke
tanah.
Raksagala menyeka goloknya yang ber-
lumuran darah, lalu memasukkan kembali ke
dalam sarungnya.
Sesaat diperhartikannya mayat kakek
berkaki satu itu sejenak. Kemudian tangannya
terulur ke arah benda berkilauan yang ter-
gantung di leher Jonggirupaksi. Dan kini, benda
itu telah berpindah ke tangannya.
“Cepat kita tinggalkan tempat ini,
Raksagala...!” ujar sosok yang tadi membokong
Jonggirupaksi.
Dalam keremangan sinar yang timbul dari
benda itu, terlihat cukup jelas wajah dan
perawakan sosok di samping Raksagala. Dia
adalah seorang kakek bertubuh sedang, berusia
sekitar enam puluh tahun. Namun sayang,
matanya picak. Walaupun tidak mempunyai
kumis, tapi jenggotnya cukup panjang dan
berwarna putih. Pakaiannya berwarna abu-abu.
Tanpa menunggu diperintah dua kali,
Raksagala segera menjejakkan kakinya. Sesaat
kemudian, tubuhnya melayang ke atas melewati
pagar tembok tinggi bangunan menyeramkan
itu.
Sebelum tubuh Raksagala melewati pagar
tembok itu, kakek bermata picak juga men-
jejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya
melesat ke atas, menyusul laki-laki berwajah
pucat yang menjadi muridnya.
***
2
Air memercik keras ketika Raksagala dan kakek
bermata picak mendaratkan kaki di tanah luar
pagar tembok. Tanah di luar pagar tembok itu
memang telah tergenang air hujan.
Dan secepat berada di luar, secepat itu pula
mereka melesat meninggalkan tempat itu.
Hanya dalam beberapa langkah saja, Raksagala
dan kakek bermata picak telah jauh mening-
galkan tempat itu.
“Aku telah melakukan kesalahan yang amat
besar, Raksagala,” kata kakek bermata picak itu
setelah cukup jauh meninggalkan bangunan
menyeramkan tadi.
Suara kakek itu terdengar pelan, mirip
desahan. Nada penyesalan yang amat sangat
tersirat dalam ucapannya. Sementara, kakinya
terus saja berlari.
“Maksud, Guru?” tanya Raksagala seraya
menoleh, menatap wajah gurunya. Tak lupa,
seluruh kemampuan ilmu larinya dikerahkan
untuk mengimbangi lari kakek bermata picak
itu.
“Hhh...!” kakek bermata picak menghela
napas berat “Rupanya kau masih belum
mengerti, Raksagala.”
Raksagala menundukkan kepala mendengar
adanya nada keluhan dalam ucapan gurunya.
“Maafkan aku, Guru,” ucap pemuda berwajah
pucat itu pelan. “Aku telah mengecewakan hati
Guru.”
“Lupakanlah, Raksagala,” hibur kakek
bermata picak seraya mengulapkan tangannya.
Raksagala terdiam. Dan kini keheningan
menyelimuti mereka. Yang terdengar kini
hanyalah suara gemercikan genangan air yang
terpijak kaki mereka. Sementara hujan telah
reda.
“Aku menyesal, Guru...,” pelan suara
Raksagala memecahkan kesunyian yang terjadi
di antara mereka.
“Hm...,” hanya gumaman pelan yang
menyambuti ucapan pemuda berwajah pucat itu.
“Perbuatanku telah melibatkan Guru dengan
kesulitan,” sambung Raksagala lagi, masih pelan
suaranya.
“Hhh...!” guru Raksagala itu menghela napas
berat. “Kembali kau salah mengerti, Raksagala.
Perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak merasa
dilibatkan dalam kesulitan. Aku tidak takut
mati, Raksagala! Aku juga tidak takut meng-
alami siksaan.”
Kakek bermata picak itu menghentikan kata-
katanya sejenak, seraya menatap wajah murid-
nya. Tapi, Raksagala menundukkan kepala, tak
berani menentang pandangan mata gurunya.
Pemuda itu tetap menundukkan kepala sambil
terus mengayunkan kaki.
“Tapi perlu kau ketahui, Raksagala. Dengan
telah keluarnya aku dari pagar tembok Istana
Hantu, berarti telah layak untuk mati! Aku
telah melanggar sumpahku sendiri!”
“Guru...!”
Terdengar jerit keterkejutan dari mulut
Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu menatap
wajah gurunya dengan wajah semakin terlihat
pucat.
“Kurasa, sudah tiba saatnya bagimu untuk
mengetahui semuanya, Raksagala. Termasuk
namaku,” ujar kakek berpakaian abu-abu itu
pelan. “Selagi aku masih hidup. Karena bila aku
sudah tiada, kau tak akan pernah tahu semua
ini sampai kapan pun. Kumulai dari namaku.”
Raksagala diam terpaku. Memang sudah
sejak lama, banyak pertanyaan bergayut di
benaknya. Termasuk teka-teki tentang nama
gurunya. Tapi, pertanyaan itu selalu dijawab
gurunya dengan gelengan kepala. Kakek ber-
mata picak itu sama sekali tidak mau memberi
tahu sedikit pun!
“Namaku sebenarnya adalah Sawungrana,”
jelas kakek berpakaian abu-abu itu memulai.
Raksagala mencatat nama itu dalam hati.
Gurunya ternyata mempunyai nama yang cukup
gagah. “Aku adalah Ketua Perguruan Belut
Putih. Nah, kurasa sudah cukup aku mem-
perkenalkan diri. Sekarang, pertanyaan yang
selama ini bergayut di benakmu akan kujawab.”
Kakek bermata picak yang ternyata bernama
Sawungrana menghentikan kata-katanya
sejenak. Di samping untuk mengambil napas,
juga untuk mencari kata-kata yang tepat untuk
melanjutkan ceritanya.
“Dulu kau sering bertanya, mengapa semua
orang yang berada di dalam Istana Hantu tidak
boleh keluar? Dan bila memaksakan diri keluar,
lalu tertangkap, mengapa harus mendapat
hukuman mati? Sekarang akan kujawab
pertanyaan yang selama ini bergayut di
benakmu. Namun pertanyaan tentang bangunan
tua dan jelek yang dinamai Istana Hantu, aku
tidak mengetahuinya.”
Sawungrana menghentikan penuturannya
sejenak dan mengambil napas untuk
melanjutkan ceritanya. Sementara Raksagala
menunggu kelanjutan penjelasan gurunya
dengan perasaan tegang. Pemuda berwajah
pucat itu sama sekali tidak berusaha menyelak
cerita yang akan diutarakan gurunya. Satu hal
kini telah diketahuinya, ternyata gurunya sama
sekali tidak tahu, mengapa bangunan yang
mereka tinggalkan itu bernama Istana Hantu.
“Perlu kau ketahui, Raksagala. Semua orang
yang berada di dalam Istana Hantu itu adalah
orang-orang tersisih. Orang-orang yang telah
terkalahkan. Aku seperti juga yang lainnya,
datang ke tempat itu karena mendapat
undangan. Undangan licik.”
Sawungrana menghentikan ceritanya
sejenak. Sambil masih terus berlari, tangan
kakek bermata picak itu menyelinap ke balik
pinggangnya. Sesaat kemudian, tangan itu
kembali keluar bersama segulung kain kumal
dalam genggaman.
“Inilah undangan itu, Raksagala,” kata
Sawungrana seraya menyerahkan gulungan
kain kumal itu pada Raksagala. Bergegas
pemuda berwajah pucat itu menerimanya.
“Bukalah dan baca isinya,” perintah
Sawungrana mempersilakan.
Tapi sesaat kemudian laki-laki tua itu sadar
kalau tidak mungkin hal itu bisa dilakukan
muridnya. Suasana memang agak terang karena
sinar yang memancar dari benda berkilauan
yang tergantung di leher Raksagala. Juga
karena bulan telah tampak kembali, dan awan
tebal dan hitam telah terusir pergi. Tapi, mana
mungkin pemuda berwajah pucat itu mampu
membaca gulungan kain tanpa menghentikan
larinya?
“Kita berhenti dulu di sana,” ucap
Sawungrana.
Telunjuk tangan kanan laki-laki tua itu
menuding ke arah sebatang pohon yang berdiri
kokoh dalam jarak sekitar lima tombak di
hadapan mereka.
Dalam sekejapan saja guru dan murid itu
telah berada di dekat pohon yang ditunjuk
Sawungrana. Bergegas mereka duduk di akar
pohon yang melintang keluar dari dalam tanah.
Tak dipedulikan sama sekali kalau akar pohon
itu basah. Toh, pakaian kedua orang itu pun
memang telah basah kuyup.
Raksagala lalu membuka gulungan kain
putih yang sudah tak jelas lagi warnanya. Dan
dengan bantuan sinar yang terpancar dari benda
putih berkilauan di tangannya, dibacanya huruf-
huruf yang tertera di atas kain kumal itu.
Sawungrana....
Kalau kau bukan seorang pengecut, aku
akan mengundangmu untuk ikut serta dalam
pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Ini adalah
kesempatan untuk membuktikan, siapa di
antara kita yang berhak mendapat julukan jago
nomor satu.
Penghuni Istana Hantu
Raksagala menggulung kembali kain kumal
itu, lalu menyerahkan pada gurunya.
“Jadi..., Guru bukan penghuni Istana Hantu
itu?” tanya Raksagala mulai mengerti.
Memang tadi laki-laki berwajah pucat itu
telah mendengar ucapan gurunya. Dikatakan,
kakek itu adalah Ketua Perguruan Belut Putih.
Tapi, tetap saja hal itu kurang dimengerti
Raksagala.
Sawungrana hanya menganggukkan kepala.
Meskipun demikian, hal itu sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan muridnya.
“Lalu..., mengapa Guru bisa menjadi
penghuni istana itu?” desak Raksagala hati-hati.
Perasaan penasaran itulah yang membuatnya
berani mendesak gurunya.
“Kami semua terikat janji,” pelan dan lemah
sekali suara Sawungrana.
Sementara Raksagala mendengar dengan
hati berdebar tegang. Sudah dapat dipastikan
kalau rahasia yang selama ini menyelimuti
Istana Hantu akan terungkap.
“Sebelum terjadi pertarungan, kami telah
dipaksa secara halus untuk bertarung. Siapa
yang kalah, harus memenuhi satu permintaan
sang pemenang,” jawab Sawungrana. Ada nada
penyesalan yang amat sangat dalam suaranya.
“Dipaksa secara halus?” tanya Raksagala
masih belum mengerti.
“Ya, dengan kata-kata ampuh. Kalau tidak
menerima tantangan itu, kami dianggap
pengecut,” Sawungrana menganggukkan kepala.
“Bukan hanya itu saja. Kami pun disuruh
mengaku kalah. Tentu saja semua yang hadir
merasa penasaran. Maka semuanya pun
menerima tantangan itu, dan dengan sendirinya
berarti bersedia mengikuti taruhan itu.”
Raksagala mengangguk pertanda mengerti.
“Namun ternyata mereka memiliki
kepandaian tinggi. Satu persatu tokoh persilatan
aliran putih yang diundang dikalahkan....”
“Guru juga dikalahkan?!” selak Raksagala
ingin mengetahui.
Sawungrana mengangguk membenarkan.
“Dan sesuai perjanjian, mereka diharuskan
memenuhi permintaan Penghuni Istana Hantu.”
“Apa itu, Guru?” tanya Raksagala tidak
sabar ketika melihat Sawungrana menghentikan
ucapannya.
“Kau tidak bisa menduganya, Raksagala?”
Sawungrana malah balas bertanya.
Raksagala menggelengkan kepala.
“Yahhh...! Seperti yang kau lihat pada
diriku,” jawab kakek bermata picak itu akhir-
nya.
“Maksud, Guru?” tanya Raksagala masih
belum mengerti.
“Satu anggota tubuh kami dibuat cacat, dan
tidak boleh meninggalkan Istana Hantu.”
“Dan guru mengingkarinya?” tanya
Raksagala tidak percaya.
Seketika wajah Sawungrana memerah
mendengar pertanyaan pemuda berwajah pucat
itu.
“Aku bukanlah seorang pengecut,
Raksagala!” sentak Sawungrana keras. “Tidak
akan kuingkari janjiku sendiri!”
“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala pelan.
Diam-diam pemuda berwajah pucat ini
memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh dirinya!
Mana mungkin gurunya akan mengingkari janji.
“Belasan tahun aku menetap di Istana
Hantu, namun tak pernah sekali pun mencoba
melarikan diri. Padahal kesempatan untuk itu
beberapa kali terbuka.”
“Lalu..., bagaimana caranya aku bisa berada
di dalam sana, Guru?” tanya Raksagala lagi.
“Kau kutemukan dalam perjalananku
menuju Istana Hantu untuk memenuhi
undangan. Saat itu, kau mungkin kurang lebih
berusia empat tahun. Tubuhmu kurus kering
karena kelaparan. Saat itu memang banyak desa
yang dilanda kelaparan. Maklum saja, raja yang
memerintah terlalu lalim.”
Raksagala tercenung. Sungguh tidak di-
sangka demikian menyedihkan nasibnya.
Sampai-sampai tidak mengetahui orang yang
telah melahirkannya ke dunia ini!
“Sebenarnya untuk apa Penghuni Istana
Hantu itu mengurung para tokoh persilatan di
Istana Hantu, Guru?” tanya Raksagala setelah
beberapa saat lamanya tercenung.
“Aku juga tidak tahu, Raksagala,” jawab
Sawungrana dengan suara berdesah. “Tapi
menurut berita yang kudengar, hal itu
dilakukan sebagai pembalasan dendam.”
“Pembalasan dendam?! Jadi, guru dan tokoh-
tokoh persilatan aliran putih itu adalah
musuhnya?!”
Sawungrana menggeleng.
“Penghuni Istana Hantu dikurung oleh
seorang pendekar sakti. Puluhan tahun mereka
tinggal di situ. Dan baru bisa keluar setelah
pendekar itu meninggal dunia.”
“Mengapa bisa begitu, Guru?” tanya
Raksagala. “Mengapa harus menunggu pendekar
itu meninggal?”
“Pendekar itu tinggal di istana itu juga,
Raksagala.”
Raksagala mengangguk-anggukkan kepala.
“Jadi, karena tidak bisa lagi membalas
dendam pada pendekar itu, Penghuni Istana
Hantu melampiaskan dendamnya pada seluruh
pendekar. Begitu, Guru?!”
“Kira-kira begitu,” jawab Sawungrana
perlahan.
Raksagala terdiam. Sawungrana tidak
melanjutkan ucapannya. Sehingga suasana di
sekitar tempat itu jadi hening.
“Untunglah ada dirimu, Raksagala!” desah
Sawungrana memecahkan keheningan. “Kalau
tidak, mungkin aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan selama berada dalam Istana Hantu.
Dengan adanya dirimu, aku dapat menyibukkan
diri membimbingmu. Dan tanpa sepengetahuan
Penghuni Istana Hantu, aku telah menciptakan
ilmu-ilmu baru dan semuanya telah kuwariskan
kepadamu.”
Sawungrana menghentikan penuturannya.
Wajahnya tampak muram. Jelas ada sesuatu
yang memberatkan dalam pikirannya.
“Kini aku telah melanggar janjiku sendiri.
Aku telah keluar dari Istana. Hantu. Aku tidak
patut lagi hidup!” kata kakek berpakaian abu-
abu itu.
“Guru...!” sentak Raksagala keras. Keter-
kejutan yang amat sangat membayang jelas di
wajahnya.
“Tapi aku puas, karena seluruh ilmu yang
kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Kepandai-
anmu sudah lebih unggul bila dibanding diriku
dulu. Bahkan tingkat kepandaianmu hampir
menyamai tingkatku sekarang,” jelas Sawung-
rana tanpa mempedulikan jeritan muridnya.
“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala lirih.
“Sama sekali tidak kusangka kalau perbuatanku
akan mengakibatkan hal seperti ini”
“Lupakanlah, Raksagala,” hibur Sawung-
rana. “Aku tidak menyalahkan tindakanmu.
Bahkan diam-diam aku bersyukur, karena kau
berani bertindak seperti ini”
“Heh...?!”
Raksagala terperanjat mendengar ucapan
terakhir kakek bermata picak itu. Sepasang
matanya menatap wajah gurunya penuh selidik,
mencoba mencari kebenarannya.
“Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, aku
mempunyai firasat buruk. Aku yakin ada
sesuatu yang terjadi dengan perguruan yang
kutinggalkan. Oleh karena sekarang kau telah
bebas, dan sama sekali tidak terikat dengan
janji, maka kutugaskan pergi ke perguruanku
untuk melihat-lihat keadaan di sana.”
“Apa yang harus kulakukan bila telah tiba di
sana, Guru?”
“Membuktikan kebenaran firasatku. Apabila
benar terjadi sesuatu, kau kutugaskan untuk
membenahinya.”
Setelah berkata demikian, kakek bermata
picak ini lalu memberi sebatang tongkat
berwarna hitam dan berukir dari balik bajunya.
Pada bagian pangkalnya dihiasi batu-batu
permata berbentuk bulat.
“Dengan adanya tongkat ini, maka kau
mempunyai wewenang penuh untuk mengatasi
kemelut yang terjadi. Namun, itu jika memang
ada.”
Raksagala segera menerima tongkat yang
diangsurkan gurunya.
“Apakah Guru tidak ikut pergi bersamaku ke
sana?” tanya Raksagala, dengan suara serak.
Sebuah pertanyaan yang bodoh sebenarnya.
Karena kalau Sawungrana ikut ke sana, untuk
apa kakek bermata picak itu memberi tongkat
itu padanya?
Sawungrana menggelengkan kepala.
“Aku telah melanggar sumpahku sendiri,
Raksagala. Dan hukumannya bagiku adalah
mati!”
Perlahan saja ucapan kakek bermata picak
itu, tapi di dalamnya terkandung ketegasan
yang tidak bisa dibantah lagi.
“Guru...!”
“Cepat pergi, Raksagala! Sebelum terlambat!
Aku yakin mereka telah mengetahui kepergian
kita...!”
Namun belum juga Raksagala bergerak, tiba-
tiba....
“Ha ha ha...!”
Sebuah tawa keras menyeramkan terdengar.
Kakek bermata picak dan muridnya itu terkejut
bukan main. Mereka sama-sama terjingkat
kaget tak ubahnya disengat kalajengking. Suara
tawa itu amat dikenal. Siapa lagi kalau bukan
suara Penghuni Istana Hantu!
***
3
Secepat Raksagala dan Sawungrana bangkit
berdiri, secepat itu pula di hadapan mereka
berdiri sesosok tubuh tinggi besar berpakaian
merah dalam jarak sekitar empat tombak.
Tanpa memperhatikan lebih jauh pun,
Sawungrana dan Raksagala sudah bisa
mengetahui sosok tubuh yang berdiri itu. Siapa
lagi kalau bukan Penghuni Istana Hantu?
“Cepat kau pergi, Raksagala! Biar aku yang
akan menghadapinya...!” ujar Sawungrana
sambil mendorong tubuh muridnya.
“Tapi, Guru...,” Raksagala masih mencoba
membantah.
“Cepat..!” seru Sawungrana. Suaranya ter-
dengar lebih keras dari sebelumnya.
Raksagala mendengar adanya tekanan yang
tidak menghendaki adanya bantahan dalam
nada suara gurunya. Maka meskipun dengan
hati berat, laki-laki berwajah pucat ini lalu
melesat meninggalkan tempat itu.
“Jangan harap bisa lolos dari tanganku...!”
Terdengar suara keras menggelegar, disusul
berkelebatnya tubuh Penghuni Istana Hantu
menyusul tubuh Raksagala yang telah melesat
lebih dulu. Jelas sudah maksud laki-laki ber-
tubuh tinggi besar ini. Menghadang kepergian
Raksagala!
Tapi hal itu sudah diperhitungkan Sawung-
rana. Maka begitu Penghuni Istana Hantu itu
tampak bergerak, dia segera melesat memotong
alur lompatan laki-laki bertubuh tinggi besar
itu. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan
kakek bermata picak. Kedua tangannya ber-
gerak cepat, melancarkan serangan bertubi-tubi
ke arah pelipis.
Penghuni Istana Hantu itu menggeram. Dia
murka bukan kepalang melihat tindakannya
dihalangi. Tanpa berpikir dua kali, segera
ditangkisnya serangan yang tertuju ke arahnya.
Plak, plak...!
Terdengar suara berderak keras akibat
berbentur-annya dua buah tangan yang sama-
sama mengandung tenaga dalam tinggi.
Akibatnya memang cukup hebat Tubuh kedua
orang itu sama-sama terjengkang ke belakang,
karena memang sama-sama berada di udara.
Meskipun begitu, baik Sawungrana maupun
Penghuni Istana Hantu mematahkan kekuatan
yang membuat tubuh satu sama lain terdorong.
Dengan gerakan indah dan manis, mereka
mendaratkan kaki di tanah.
Sawungrana meringis karena sekujur
tangannya terasa sakit-sakit. Dadanya pun
sesak bukan main. Jelas kalau dalam benturan
tadi, dia kalah tenaga. Sementara lawannya
justru seperti tidak merasakan akibat benturan
itu sama sekali.
Penghuni Istana Hantu menggeram murka
melihat Raksagala berhasil meloloskan diri.
Tubuh laki-laki berwajah pucat itu telah lenyap
ditelan remangnya malam dan kerimbunan
pepohonan, serta semak-semak lebat
Kemurkaan laki-laki tinggi besar itu
dilampiaskannya pada Sawungrana. Karena,
dialah yang telah membuat Raksagala berhasil
melarikan diri.
Dalam keremangan sinar rembulan, tampak
jelas wajah dan perawakan Penghuni Istana,
Hantu. Raut wajahnya terlihat kasar. Ada dua
buah luka bersilangan di wajahnya yang hanya
ditumbuhi jenggot tanpa kumis. Pada bagian
dahinya, terpampang tengkorak berbentuk
kepala yang terikat di belakang kepala. Menilik
dari bentuknya yang kecil, mungkin tengkorak
kepala anak monyet
“Tidak kusangka, ternyata kau adalah
seorang pengecut, Sawungrana!” seru Penghuni
Istana Hantu. Nada suaranya menyiratkan
kesinisan yang tajam. “Kalau tidak menyaksikan
sendiri, mungkin aku tidak akan percaya.
Sawungrana ternyata melanggar sumpahnya
sendiri! Menjilat ludah yang telah dikeluar-
kannya! Ha ha ha...! Sudah bisa kubayangkan,
betapa gemparnya dunia persilatan bila men-
dengar berita ini!”
“Tutup mulutmu, Barong Segara...!” bentak
Sawungrana keras.
Kakek bermata picak ini marah bukan main
mendengar ucapan yang dikeluarkan laki-laki
bertubuh tinggi besar itu.
“Aku bukan orang seperti itu, Barong
Segara!” lanjutnya.
Laki-laki bertubuh tinggi besar yang
ternyata bernama Barong Segara tersenyum
mengejek.
“Kau tidak bisa mungkir lagi, Sawungrana!
Kini sudah jelas, kau adalah seorang yang
memiliki watak hina! Menjilat ludah yang telah
kau keluarkan sendiri!”
“Aku sama sekali tidak bermaksud keluar
dari Istana Hantu, Barong Segara,” sergah
Sawungrana keras.
“Ha ha ha...! Betapa gagahnya ucapan yang
keluar dari mulutmu, Sawungrana! Mungkin
kalau tidak kubuktikan sendiri, dapat kau tipu
mentah-mentah. Tapi, biarlah. Kau kuberi
kesempatan untuk lolos, Sawunyana. Kau boleh
lolos dari sini, apabila berhasil mengalahkan
aku. Ha ha ha...!”
“Keparat..!”
Sawungrana tidak bisa lagi menahan
kemarahannya. Cepat laksana kilat, tubuhnya
melesat menyerang. Tangan kanannya
menyampok keras ke arah pelipis. Sementara
tangan kiri berada di pinggang.
Wuttt..!
Angin keras berhembus mengawali tibanya
serangan kakek bermata picak itu. Tapi Barong
Segara hanya mendengus. Sambil tersenyum
mengejek, kaki kanannya ditarik mundur ke
belakang seraya mendoyongkan tubuhnya.
Sehingga, serangan itu lewat sekitar satu
jengkal di depan wajahnya. Rambut laki-laki
bertubuh tinggi besar itu sampai berkibaran
keras ketika sampokan lawan lewat di depan
wajahnya.
Tapi, serangan Sawungrana tidak hanya
sampai di situ saja. Begitu serangan tangan
kanannya berhasil dielakkan, tangan kirinya
kembali menyusul. Tangan kiri yang juga
berbentuk cakar, menyampok dari bawah ke
atas dagu.
Kali ini Barong Segara tidak mengelak lagi.
Segera ditangkisnya serangan itu dengan tangan
kanan dari atas ke bawah.
Plakkk...!
Untuk yang kedua kalinya terjadi benturan
antara dua buah tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi. Suara
berderak keras terdengar mengiringi terjadinya
benturan itu. Sawungrana menyeringai. Sekujur
tangannya terasa sakit dan nyeri bukan
kepalang! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya
agak terhuyung ke depan.
Namun, tindakan Barong Segara tidak hanya
sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung
mencuat ke arah perut Sawungrana. Cepat
bukan main gerakannya.
Sawungrana terperanjat melihat serangan
susulan yang begitu tiba-tiba. Meskipun begitu,
kakek bermata picak ini berhasil membuktikan
kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Segera
kakinya dijejakkan ke tanah. Dan sesaat
kemudian, tubuhnya sudah melambung ke atas,
melewati kepala Penghuni Istana Hantu.
Sawungrana memang tidak percuma menjadi
seorang ketua perguruan. Begitu tubuhnya
berada di atas, kedua tangannya melancarkan
serangan cepat dan bertubi-tubi ke arah ubun-
ubun lawan.
Namun rupanya gerakan Penghuni Istana
Hantu masih lebih cepat lagi. Tatkala terasa ada
bahaya maut yang mengancam dari atas, kedua
tangannya cepat disampokkan ke atas.
Prattt..!
Kembali terjadi benturan antara dua pasang
tangan. Dengan sendirinya, Barong Segara
berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Tepat saat Barong Segara berhasil mem-
perbaiki sikap, kedua kaki Sawungrana men-
darat di tanah. Dan secara berbarengen,
keduanya saling membalikkan tubuh dan ber-
hadapan kembali. Hanya sesaat satu sama lain
saling tatap dengan sinar maut memancar dari
sepasang mata masing-masing, dan sekejap
kemudian sudah saling serang kembali. Hanya
ada dua pilihan hagi mereka. Membunuh atau
dibunuh!
Hebat bukan main pertarungan antara
kedua orang sakti itu. Suara menderu dan
mendecit mengiringi setiap serangan mereka.
Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan
nyasar. Genangan air memercik tak tentu arah.
Bahkan daun-daun ikut berguguran dari
tangkainya. Malah beberapa batang pohon juga
roboh. Suara bergemuruh mengiringi tumbang-
nya pepohonan itu.
Di jurus-jurus awal pertarungan memang
berlangsung imbang. Kedua belah pihak saling
melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus
kelima puluh, Barong Segara mulai tampak
unggul. Laki-laki tinggi besar ini mulai dapat
mendesak Sawungrana.
Lewat lima puluh jurus, keadaan Sawung-
rana kian mengkhawatirkan. Serangan-
serangannya tidak lagi bertubi-tubi seperti
sebelumnya, bahkan lebih sering mengelak.
Menangkis pun hanya sesekali. Karena setiap
kali menangkis, tangannya terasa sakit-sakit
dan dadanya sesak.
Sebenarnya tidak aneh jika Sawungrana
terdesak, sebab memang bukan tandingan
Barong Segara. Baik dalam hal ilmu me-
ringankan tubuh, mutu ilmu silat maupun
dalam hal tenaga dalam. Maka meskipun
Sawungrana telah berusaha keras, tetap saja
tidak mampu mengimbangi lawannya.
“Hih...!”
Sambil menggertakkan gigi, Sawungrana
melempar tubuhnya ke belakang. Barong Segara
sama sekali tidak mengejarnya. Dibiarkannya
saja tindakan kakek bermata picak itu. Sudah
bisa diduga kalau Sawungrana akan meng-
gunakan ilmu lainnya.
Karena Barong Segara sama sekali tidak
mengejarnya, maka Sawungrana tidak meng-
alami kesulitan untuk bersalto beberapa kali di
udara sebelum akhirnya mendaratkan kedua
kaki di tanah.
Dan begitu hinggap, di tangan Sawungrana
telah tergenggam sebilah pedang terhunus. Dan
secepat pedang itu berada di tangan, secepat itu
pula Sawungrana memutar-mutarkannya di atas
kepala.
Nguuung...!
Suara nyaring seperti ada sekelompok lebah
mengamuk, mengiringi perputaran pedang itu.
Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diper-
kirakan kekuatan tenaga dalam yang meng-
gerakkan pedang itu.
***
Barong Segara tentu saja tidak tinggal diam.
Begitu Sawungrana menghunus senjatanya,
bergegas ilmu andalannya dikeluarkan. Cepat
Penghuni Istana Hantu ini membentuk kuda-
kuda sejajar. Kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka saling bersilangan di depan dada. Tapi
hanya sesaat saja hal itu dilakukan, karena
sebentar kemudian jari-jari kedua tangannya
perlahan-lahan dikepalkan. Terdengar suara
berkerotokan nyaring, seperti ada tulang-tulang
berpatahan ketika jari-jari tangan itu mengepal.
Tidak hanya sampai di situ saja yang
dilakukan Barong Segara. Setelah kedua
tangannya mengepal, perlahan tapi penuh
tenaga, kedua tangan itu ditarik ke pinggang.
Kembali suara berkerotokan nyaring terdengar
ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang.
Tampak jelas, betapa kedua tangan itu
menggigil keras, pertanda telah dialiri tenaga
dalam tinggi.
Diiringi desahan napas dari mulut, Barong
Segara mendorongkan kedua tangannya ke
depan, perlahan-lahan tapi penuh tenaga. Suara
berkerotokan keras terus terdengar mengiringi
gerakan kedua tangan itu.
Luar biasa! Begitu desahan napas Barong
Segara lenyap, dan kedua tangan yang semula
terletak di pinggang itu terjulur ke depan,
sekujur tangan Penghuni Istana Hantu telah
berubah warna menjadi hitam kelam!
Sawungrana terperanjat melihat hal ini.
Tanpa dibuktikan lagi pun sudah bisa diper-
kirakan kedahsyatan ilmu Penghuni Istana
Hantu. Kakek bermata picak ini tahu kalau
Barong Segara tidak tinggal diam begitu saja
selama belasan tahun. Laki-laki bertubuh tinggi
besar ini sudah pasti memperdalam ilmu-ilmu
yang dimilikinya, sehingga sudah memperoleh
kemajuan pesat.
Maka Sawungrana tidak bertindak setengah-
setengah lagi. Tanpa mempedulikan perasaan
malu karena bersenjata, sementara lawan hanya
bertangan kosong, kakek bermata picak ini
segera melompat menerjang.
“Hiyaaa...!”
Air-air di atas pohon dan daun-daun
berjatuhan karena getaran akibat pekikan
nyaring Sawungrana.
Dan seiring teriakan itu, pedang di tangan-
nya diputar di atas kepala. Suara dengung keras
seperti ada ratusan ekor lebah tengah
mengamuk terdengar mengiringi putaran
pedang itu.
Cepat bukan main putaran pedang
Sawungrana sehingga batang pedang itu tidak
nampak lagi. Yang terlihat kini hanyalah sinar
kekuningan yang membentuk putaran seperti
baling-baling. Dan mendadak saja, dari balik
putaran itu mencuat serangan maut ke arah
ubun-ubun Barong Segara.
Cepat, mendadak, dan sama sekali tidak
terduga serangan itu, karena muncul dari balik
putaran sinar. Suara berdesing nyaring yang
mengiringi serangan itu menandakan betapa
kuatnya tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya.
Tapi Barong Segara sama sekali tidak
terkejut mendapat serangan mendadak seperti
demikian. Kedua tangannya yang berwarna
hitam kelam itu bergerak cepat di atas kepala.
Menilik dari gelagatnya, seakan-akan Penghuni
Istana Hantu ini ingin menangkis serangan
pedang dengan tangan kosong.
Sawungrana mengerutkan alisnya melihat
hal itu. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi,
sudah bisa diterka apa yang akan dilakukan
lawannya. Dan seketika itu pula berbagai
macam perasaan berkecamuk di hatinya. Benar-
kah Penghuni Istana Hantu ini akan menangkis
pedangnya dengan tangan kosong? Begitu
saktikah sekarang laki-laki bertubuh tinggi
besar ini? Atau begitu sombongnya, sehingga
berani menangkis dengan tangan kosong?
Dugaan Sawungrana ternyata tidak salah!
Barong Segara benar-benar menyambut tusukan
pedangnya dengan pergelangan tangan kanan.
Takkk...!
Suara berderak keras seperti beradunya dua
batang logam keras terdengar. Akibatnya benar-
benar hebat! Tubuh Sawungrana yang tengah
berada di udara seketika terpental balik ke atas.
Sementara Barong Segara sama sekali tidak
bergeming!
Sawungrana terkejut bukan main. Dan
memang, ada berbagai macam perasaan yang
mendera hatinya. Kekagetan pertama ketika
melihat lawan yang memapak pedangnya,
ternyata tidak mendapat luka sedikit pun.
Sementara kekagetan lainnya, ketika merasa-
kan adanya daya tolak yang kuat luar biasa
sehingga tubuhnya terpaksa seperti dilontarkan.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit
bagi Sawungrana untuk mematahkan daya
dorong lontaran tubuhnya. Ringan dan enak saja
tubuhnya bersalto di udara beberapa kali,
kemudian mendarat mantap dan tanpa suara di
tanah.
Tapi mendadak, mulut kakek bermata picak
ini meringis begitu sakit yang amat sangat
terasa menekan dadanya. Rasa sakit yang mau
tak mau membuat kedua tangannya menekan
perut.
Beberapa saat lamanya Sawungrana
kebingungan. Dia hanya bisa menduga, dari
mana timbulnya rasa sakit itu? Apakah tanpa
diketahui tubuhnya telah terkena racun yang
dilepaskan Barong Segara secara licik? Namun
dia yakin betul kalau tidak ada satu serangan
pun dari Barong Segara yang mengenainya.
Ada satu hal lagi yang membuat kakek
bermata picak ini yakin kalau dirinya tidak
terkena racun. Dan itu diketahui sewaktu
menarik napas. Ada rasa sakit yang mendera
dadanya ketika melakukan hal itu. Sawungrana
tahu apa artinya. Dia telah terluka dalam, dan
bukan terkena racun. Tapi yang tidak habis
dimengerti, kapan dia terkena serangan lawan?
Ataukah dalam benturan terakhir tadi? Tapi bila
karena benturan terakhir, bukan hanya dadanya
saja yang terasa sesak bukan main. Yang jelas
tangannya pun akan terasa bergetar. Setidak-
tidaknya, tangan yang menggenggam senjata
akan lumpuh sejenak!
“He he he...!” Barong Segara tertawa
terkekeh-kekeh.
Laki-laki berpakaian merah ini memang
sejak tadi sama sekali tidak bergerak
menyerang. Dia berdiam diri saja mem-
perhatikan semua tingkah Sawungrana.
“Kenapa, Sawungrana? Sakit dadamu? He he
he...!”
“Keparat kau, Barong Segara...!” maki
Sawungrana, keras. Wajah dan sepasang
matanya merah membara. “Sungguh tidak
kusangka, kau akan bertindak sepengecut ini.
Berlaku curang untuk meraih kemenangan!”
“Tutup mulutmu, Anjing Buduk!” maki
Barong Segara keras.
Lenyap seketika itu juga seri di wajah laki-
laki bertubuh tinggi besar ini. Yang tinggal
hanyalah kemarahan yang menggelegak.
Penghuni Istana Hantu ini memang pantang
dihina.
“Aku tidak serendah itu! Jangan kau
samakan aku dengan dirimu! Seorang pengecut,
sehingga menjilat ludahnya sendiri yang telah
jatuh ke tanah!”
Wajah Sawungrana semakin memerah. Tapi
kali ini bukan amarah, melainkan karena
perasaan malu. Malu karena telah melanggar
sumpahnya sendiri.
“Kalau tidak karena bermain curang,
mengapa kau mengetahui apa yang ku-
rasakan?!” bantah Sawungrana dengan suara
mulai melunak, tapi nadanya berupa tuduhan.
“Itulah kehebatan dari gabungan ilmu yang
baru saja kuciptakan!” sahut Barong Segara,
penuh kemenangan. “Kau mau tahu nama ilmu
itu?!”
Wajah Sawungrana berubah seketika. Jadi
luka dalamnya bukan karena lawan bermain
curang, melainkan karena kedahsyatan ilmu
gabungan! Luar biasa! Sungguh sebuah ilmu
yang amat berbahaya!
Melihat kakek bermata picak itu sama sekali
tidak menyambuti ucapannya, Barong Segara
sama sekali tidak ambil pusing. Pertanyaan itu
diajukan memang bukan untuk mendapatkan
jawaban. Maka tanpa mempedulikan Sawung-
rana mendengar atau tidak, Barong Segara
menyambung ucapannya.
“Kejadian yang menimpamu adalah akibat
ilmu gabungan 'Tangan Penahan Gelombang
Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'.”
Ada seruan tertahan yang keluar dari mulut
Sawungrana ketika mendengar penjelasan
Penghuni Istana Hantu. Ilmu yang pertama
memang belum dikenalnya. Tapi ilmu kedua
yang disebut tadi, cukup diketahuinya. Dengan
'Ilmu Tangan Pasir Besi', orang jadi memiliki
tangan laksana baja! Hanya saja, latihan-
latihannya pun cukup berat Di antaranya,
merendam tangan dalam pasir besi yang panas.
Jadi, ternyata Barong Segara telah berhasil
menguasai ilmu itu.
“Serangan pedangmu kutahan dengan 'Ilmu
Tangan Pasir Besi', sementara ilmu 'Tangan
Penahan Gelombang Laut' langsung menyusup
dan menghantam dadamu! Itu memang
keistimewaannya! Dan ajalmu kini hanya
tinggal menunggu waktu saja! Ha ha ha...!”
“Keparat..! Sebelum waktu itu tiba, aku akan
menyeretmu pergi bersamaku, Barong
Segara...!”
Setelah berkata demikian, Sawungrana
melompat menerjang. Sementara Barong Segara
sama sekali tidak mempedulikannya. Laki-laki
bertubuh tinggi besar ini terus saja tertawa
terbahak-bahak. Sepertinya, dia tidak merasa
cemas melihat serangan maut yang dilancarkan
kakek bermata picak itu.
Tapi baru juga setengah jalan, mendadak
tubuh Sawungrana mengejang. Pedang di
tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dari
mulut, hidung, dan telinganya tiba-tiba mengalir
cairan merah kental. Tubuhnya roboh di tanah.
Sebentar dia menggelepar-gelepar, sejenak
kemudian diam tidak bergerak lagi.
“Ha ha ha...!”
Barong Segara tertawa bergelak melihat
tubuh lawannya yang sudah menjadi mayat.
Kegembiraan yang amat sangat tampak mem-
bayang di wajahnya.
“Hi hi hi..!”
Mendadak suara tawa melengking nyaring
terdengar menimpali. Jelas, suara itu berasal
bukan dari mulut seorang lelaki.
Tapi Barong Segara sama sekali tidak
tampak terkejut mendengarnya. Bahkan tetap
saja meneruskan tawanya. Tampak jelas kalau
laki-laki bertubuh tinggi besar ini sama sekali
tidak merasa terganggu. Maka kini di malam
yang sepi itu terdengar dua jenis suara tawa
yang memecahkan keheningan malam.
“Cukup, Durgasari...!” sentak Barong Segara
seraya menghentikan tawanya.
Seketika itu juga suara tawa terkikih itu
lenyap. “Lebih baik, lekas kau kejar murid si
keparat ini..! Lenyapkan sebelum terlambat..!”
Tidak terdengar sahutan dari pohon-pohon
tinggi tempat asal suara itu. Hanya saja, setelah
Barong Segara menyelesaikan ucapannya,
terdengar suara gemerisik pelan dari salah satu
cabang pohon. Hanya sebentar saja, sesaat
kemudian tidak terdengar lagi.
Barong Segara mendengus, kemudian
melesat pergi ke arah Istananya. Cepat bukan
main gerakannya, sehingga yang terlihat
hanyalah sekelebatan bayangan yang melesat
cepat untuk kemudian menghilang di kegelapan
malam.
***
4
Angin kering membawa debu berhembus keras.
Matahari memang sudah berada tepat di atas
kepala. Sinarnya yang panas menyorot garang,
seakan-akan ingin melelehkan semua yang ada
di permukaan mayapada.
“Keparat..!”
Seorang pemuda berpakaian abu-abu dan
berjenggot pendek berteriak memaki ketika
angin yang membawa debu itu menyambar
wajahnya. Akibatnya, salah satu matanya
kemasukan debu. Maka, kontan pemuda itu
mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengeluar-
kan debu yang tidak tahu diri sehingga matanya
terasa perih.
“He he he...!”
Seorang pemuda sebaya yang berjalan
bersamanya, hanya tertawa terkekeh. Seperti
juga laki-laki berjenggot pendek itu, laki-laki
yang tertawa itu berpakaian abu-abu. Bibirnya
yang sumbing membuat wajahnya nampak lucu
ketika tertawa.
“Apa yang kau tertawakan, Patila?” tanya
laki-laki berjenggot pendek itu geram. Nada
suaranya menyiratkan perasaan tidak senang.
Laki-laki berbibir sumbing yang ternyata
bernama Patila tidak langsung menjawab. Dia
masih sibuk menahan rasa geli yang melanda.
Karuan saja hal ini membuat laki-laki ber-
jenggot pendek itu semakin memuncak
amarahnya. Untung sebelum amarahnya sempat
meluap, Patila telah bisa menguasai diri.
“Kelakuanmu yang membuatku geli,
Satrana,” sahut laki-laki berbibir sumbing itu
memberi tahu. “Hanya sebutir kecil debu saja
telah membuatmu kalang kabut! Aku tidak bisa
membayangkan kalau bukan debu yang
menyambar ke arahmu, melainkan sebatang
pedang!”
“Ingin kutahu, siapa yang berani melakukan
hal seperti itu padaku!” tandas laki-laki
berjenggot pendek yang ternyata bernama
Satrana. Nada kesombongan nampak jelas pada
wajah, suara, dan sikapnya.
Usai berkata demikian, Satrana membusung-
kan dadanya. Tidak hanya itu saja. Kedua
tangannya langsung disedakapkan di depan
dada. Sementara, wajahnya ditolehkan ke sana
kemari dengan sikap angkuh.
Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat
tingkahnya kecuali Patila. Laki-laki berbibir
sumbing itu menatap sambil menyunggingkan
senyum mengejek. Maka wajahnya yang sudah
buruk karena bibir cacat itu, jadi semakin
terlihat mengerikan.
Suasana di sekitar tempat itu memang sepi.
Padahal, kedua laki-laki itu tengah berjalan di
jalan utama Desa Kali Asem. Sebuah desa yang
terhitung cukup besar dan berpenduduk cukup
padat. Rumah penduduk memang banyak
terhampar di sana-sini, tapi sebagian besar
terkunci rapat baik pintu maupun jendelanya!
Jelas, ada sesuatu yang terjadi dengan desa itu.
Rupanya Satrana belum puas dengan sikap-
nya yang seperti itu. Seraya mengangkat kepala,
tangan kanannya ditepuk-tepukkan ke dada.
Tampak kalau di dada kiri laki-laki berjenggot
pendek ini tertera gambar seekor belut yang
bersulamkan benang perak. Gambar yang sama
pun tertera di dada kiri Patila.
Kedua laki-laki, yang ternyata berasal dari
satu perguruan ini terus melangkah. Dan
gerakan kaki mereka baru terhenti ketika telah
sampai di depan sebuah rumah berdinding batu.
Tok, tok, tok...!
Terdengar suara keras ketika Patila
menggedorkan tangannya pada daun pintu yang
tertutup rapat itu.
“Wanara! Keluar kau...! Atau..., kubakar
gubukmu ini..!”
Tanpa khawatir terdengar oleh penghuni
rumah lainnya, Satrana berteriak-teriak
memanggil sambil terus menggedor-gedor daun
pintu. Menilik dari sikapnya, jelas kalau dia
sudah terbiasa bersikap begitu.
Terdengar suara langkah tergesa-gesa dari
dalam rumah itu. Sesaat kemudian, daun pintu
itu pun terkuak dari dalam. Suara berderit yang
cukup tajam mengiringi terbukanya pintu.
“O, Den Satrana dan Den Patila kiranya...!”
ucap seraut wajah tua bertubuh ringkih dan
berpakaian putih.
Seulas senyum tampak tersungging di bibir
laki-laki bernama Wanara yang tampak gemetar
ketika mengucapkan nama kedua laki-laki kasar
itu. Dia memang mengenal mereka yang
merupakan murid-murid Perguruan Belut Putih.
“Tidak usah banyak basa-basi, Wanara!”
sergah Satrana keras. “Aku tidak ingin beramah
tamah denganmu! Kami datang kemari atas
perintah Ki Kalasura, ketua kami. Dan kau tahu
bukan, apa maksudnya? Panggil Galuh kemari!
Cepat..!”
Seketika itu juga wajah laki-laki tua
berpakaian putih itu memucat, Galuh adalah
putrinya yang telah berusia hampir dua puluh
tahun. Wajahnya memang cantik. Dia tahu, apa
maksud Kalasura menyuruh kedua orang ini
mengambil putrinya. Kalasura memiliki
kebiasaan jelek, yakni mempermainkan wanita.
“Tapi.... Tapi, Den... Galuh masih terlalu
muda... Dan lagi....”
“Kau mau memanggilnya secara baik-baik,
atau kami akan mengambilnya secara paksa?”
potong Satrana tidak sabar. Nada ancaman
tampak jelas baik dalam suara maupun raut
wajahnya.
Ki Wanara tergagap. Perasaan gelisah yang
amat sangat membayang jelas di wajahnya yang
penuh keriput itu. Tapi, Patila dan Satrana
sama sekali tidak tersentuh hatinya melihat laki
laki tua berpakaian putih itu bingung karena
perasaan takut. Justru sebaliknya, mereka
malah menjadi kian meluap amarahnya.
“Tua bangka keparat! Kau rupanya sudah
bosan hidup, ya? Berani-beraninya menentang
kemauan kami!”
Setelah berkata demikian, Satrana segera
melayangkan tangannya ke arah pipi kakek
berpakaian putih itu. Terlihat mantap dan
cukup cepat gerakannya.
Plakkk...!
Telak dan keras sekali tangan kekar Satrana
mendarat di pipi kanan Ki Wanara. Wajah
kakek berpakaian putih itu bahkan sampai
terpaling ke samping. Bukan hanya itu saja.
Tubuhnya pun sampai terhuyung. Seketika ada
cairan merah kental yang menitik di sudut-
sudut mulutnya.
Kemudian tanpa mempedulikan kakek
berpakaian putih itu lagi, Satrana segera
melangkah masuk ke dalam rumah. Patila yang
sejak tadi hanya tersenyum-senyum memper-
hatikan semua tingkah laku temannya, tanpa
banyak bicara segera melangkah mengikuti.
Tapi tak lupa, laki-laki berbibir sumbing yang
tidak kalah galak dari rekannya melayangkan
kakinya.
Bukkk...!
“Hugkh...!”
Keluhan tertahan terdengar dari mulut Ki
Wanara. Tendangan Patila memang keras bukan
main! Apalagi tepat mengenai perutnya.
Seketika itu pula tubuh kakek berpakaian putih
ini terlipat ke depan. Kedua tangannya
mendekap perut. Sementara, sepasang matanya
juga melotot. Jelas, kakek ini mengalami
kesulitan bernapas akibat tendangan Patila.
Seperti juga Satrana, Patila sama sekali
tidak mempedulikan keadaan Ki Wanara.
Mereka tahu, kakek berpakaian putih itu tidak
akan tewas karena pukulan dan tendangan yang
telah dikirimkan tadi. Memang, kedua serangan
itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam
sama sekali. Baik Patila maupun Satrana tahu,
siapa Ki Wanara itu. Dia adalah seorang kakek
ringkih yang tidak memiliki ilmu silat sedikit
pun. Jadi seandainya dikerahkan tenaga dalam
sedikit saja, bukan tidak mungkin kakek itu
sudah pergi ke alam baka.
Sesaat lamanya, Ki Wanara berdiam diri
sambil memegangi perutnya yang terasa mules
bukan main. Malahan juga pernapasannya
tersumbat. Dan hal ini terjadi karena perasaan
khawatirnya akan keselamatan Galuh, putrinya!
Di saat Ki Wanara berusaha keras untuk
memulihkan keadaannya, Satrana dan Patila
sudah mulai melakukan pencarian ke kamar-
kamar.
Brakkk...!
Suara berderak keras terdengar mengiringi
hancurnya daun pintu terdepan, begitu Satrana
menendang. Dan secepat daun pintu itu sudah
lenyap dari ambangnya, Patila segera bergerak
masuk.
“Galuh...! Lari...!”
Ki Wanara yang sudah berhasil memulihkan
diri, segera berteriak memperingatkan. Karuan
saja hal itu membuat Satrana yang sudah
berada di dalam kamar, segera berlari keluar
kembali. Sementara Patila yang sudah berada di
depan pintu kamar yang satunya lagi, berhenti
sejenak di depan pintu. Tak pelak lagi, kedua
orang ini sama-sama berdiri di depan pintu
seraya melayangkan pandang ke sana kemari,
mencari-cari putri Ki Wanara.
Mendadak keduanya mendengar langkah
kaki yang bergemuruh dan cepat menghantam
bumi. Seketika itu juga keduanya saling
berpandangan. Dari saling adu pandang itu
keduanya sepakat kalau asal suara itu adalah
dari belakang. Tanpa melihat pun sudah bisa
diduga, Galuh, wanita yang mereka cari-cari
telah kabur! Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, kedua orang itu segera bergerak
mengejar.
Ki Wanara tidak tinggal diam. Kakek yang
sebenarnya sudah ringkih ini mendadak lebih
gesit karena perasaan khawatir akan
keselamatan putrinya. Cepat dia bergerak ke
arah dinding rumah tempat senjata andalannya
tergantung. Sebuah busur dengan sekantung
anak panahnya. Ki Wanara memang sejak muda
ahli memanah. Sudah tidak terhitung, binatang-
binatang yang telah ditembus anak panahnya.
Dan kini kakek berpakaian putih ini terpaksa
menggunakan senjata andalan itu untuk
menyelamatkan putri tunggalnya.
Dan secepat busur itu terpegang, secepat itu
pula anak panahnya diselipkan. Tak tanggung
tanggung, tiga batang sekaligus dipasangnya.
Twanggg...!
Terdengar suara berdentang keras begitu
anak-anak panah terlepas dari busurnya dan
meluncur cepat ke arah Satrana dan Patila yang
telah berlari ke belakang.
Satrana dan Patila terkejut bukan main
mendengar suara keras itu. Cepat mereka
menoleh ke belakang, dan kontan memucat
begitu melihat tiga batang anak panah tengah
meluncur cepat ke arah mereka.
Tidak ada pilihan lagi bagi Patila dan
Satrana! Maka mereka pun segera melempar
tubuh ke samping. Satrana ke samping kanan,
sedangkan Patila ke samping kiri. Lalu tubuh
mereka bergulingan sekali di lantai.
Cappp, cappp...!
Tiga batang anak panah itu menancap di
daun pintu belakang ketika kedua sasaran yang
ditujunya berhasil meloloskan diri.
Tindakan Ki Wanara tidak berhenti sampai
di situ saja. Begitu serangannya berhasil
dielakkan, segera dipasangnya kembali anak
panah lain pada busurnya. Dan....
Twanggg...! Twanggg...!
Secepat anak panah pertama menyambar ke
arah Satrana, secepat itu pula dipasangkan lagi
anak panah lain dan langsung dijepretkan ke
arah Patila. Kedua serangan itu berlangsung
dalam sekejap saja. Dari pertunjukan ini saja,
sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek
berpakaian putih ini memainkan panah.
Kini Patila dan Satrana repot pontang-
panting menyelamatkan diri. Baru saja mereka
bangkit, kembali serangan anak panah itu
meluncur tiba. Maka kedua orang murid
Perguruan Belut Putih itu cepat menggulingkan
tubuhnya kembali. Dan bukan itu saja yang
dilakukan mereka. Sambil bergulingan,
dilancarkannya serangan balasan. Berupa pisau-
pisau terbang ke arah Ki Wanara.
Singgg, singgg...!
Seiring berhasil dielakkannya serangan
kedua anak panah itu, serangan pisau-pisau
terbang Patila dan Satrana meluncur ke arah
kakek berpakaian putih.
Ki Wanara terperanjat melihat serangan
balasan yang tak terduga-duga itu. Cepat dia
berusaha mengelak. Tapi....
Cappp, cappp...!
“Akh...!”
Ki Wanara memekik tertahan ketika dua
bilah pisau terbang yang dilepaskan murid
Perguruan Belut Putih itu berhasil mendarat di
tubuhnya. Satu mendarat di pangkal lengan
kanan, sedangkan yang satu lagi menghunjam di
paha kiri. Tak pelak lagi, tubuh kakek
berpakaian putih ini terguling roboh.
Patila dan Satrana sama sekali tidak
mempedulikan Ki Wanara lagi. Begitu tubuh
kakek berpakaian putih itu tampak terguling,
mereka bergegas bangkit dan berlari ke
belakang melakukan pengejaran terhadap
Galuh.
5
Brakkk..!
Daun pintu itu hancur berkeping-keping
ketika tangan Satrana menghajarnya. Dan
begitu pintu terkuak, tubuh kedua orang murid
Perguruan Belut Putih itu segera melesat
keluar.
“Itu dia...!” seru Patila sambil menudingkan
telunjuk tangan kanannya ke depan.
Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Satrana
sudah melihatnya pula. Walaupun jarak wanita
berpakaian biru langit itu telah berada sekitar
dua puluh lima tombak di depan, tapi karena
medan yang ditempuh berupa sebuah lapangan
luas tanpa ada penghalang, membuat gadis itu
tetap terlihat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Satrana
dan Patila segera bergerak mengejar. Sesaat
kemudian, kejar-mengejar pun tidak bisa
dihindari.
Dan memang, hasil akhir kejar-kejaran ini
sudah bisa ditebak. Yang dikejar hanyalah
seorang wanita, sementara kedua orang
pengejarnya adalah laki-laki kuat.
Tambahan lagi, Galuh adalah seorang wanita
lemah yang sama sekali tidak pernah berlatih
ilmu silat. Sementara kedua pengejarnya
memiliki kepandaian lumayan, dan juga
memiliki ilmu meringankan tubuh. Maka tak
aneh, bila dalam waktu sebentar saja jarak
mereka semakin bertambah dekat.
Galuh berlari dengan perasaan bingung.
Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang,
untuk melihat pengejarnya. Dan kebingungan-
nya semakin bertambah tatkala jarak kedua
pengejarnya semakin bertambah dekat saja.
Sebenarnya kalau saja keadaan biasa, tak
mungkin gadis seperti Galuh akan sanggup
berlari sejauh itu. Tapi karena perasaan takut
yang mendera, gadis itu seperti mendapat
tenaga tambahan saja. Tapi tetap saja, bantuan
tenaga itu tetap tidak berarti apa-apa bila
dibanding tenaga Satrana dan Patila.
Kini jarak antara Galuh dan kedua orang
pengejarnya tidak sampai lima tombak lagi.
Kalau saja kedua orang itu bermaksud
mencelakai, sudah sejak tadi gadis berpakaian
biru langit ini menggeletak di tanah. Tapi
karena telah mendapat pesan keras dari sang
Ketua, sehingga mereka tidak berani bertindak
lancang.
Napas Galuh sudah hampir putus ketika
melihat kerimbunan semak-semak di hadapan-
nya.
“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi, Cah
Ayu?”
Satrana yang yakin kalau sebentar lagi akan
mampu menangkap gadis berpakaian biru langit
itu berseru mengejek walaupun dengan napas
agak terengah. Jarak antara mereka memang
paling jauh tinggal tiga tombak lagi.
Mendengar ucapan itu, Galuh semakin
bingung sehingga tidak melihat adanya akar
pohon yang menyembul ke tanah.
Tukkk!
“Aaaw...!”
Seiring pekikan kagetnya, tubuh Galuh
terjerembab. Suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh gadis itu menghantam tanah.
Menilik dari seringai pada mulutnya, bisa
diperkirakan kalau dia merasa sakit.
Tapi karena perasaan takut yang amat
sangat terhadap dua orang murid Perguruan
Belut Putin, membuatnya tidak mempedulikan
perasaan sakit itu. Cepat Galuh bergerak
bangkit. Tapi baru juga hendak berdiri, di
hadapannya telah berdiri dua orang pengejarnya
sambil tersenyum-senyum memuakkan.
Wajah Galuh pucat seketika. Tapi meskipun
demikian dia tidak putus asa. Segera tubuhnya
berbalik dan berlari ke arah berlawanan dengan
arah yang ditempuhnya semula.
“Ha ha ha...! Betina liar itu ternyata bandel
juga, Satrana...!” seru Patila pada Satrana.
Sementara laki-laki berjenggot pendek itu
hanya mengeluarkan suara tawa bergelak saja
sambil menggerakkan kaki. Dan sesaat
kemudian, dia telah berada di depan Galuh.
Galuh semakin ketakutan begitu di
hadapannya telah berdiri Satrana. Dengan rasa
takut yang membayang jelas di wajahnya,
tubuhnya berbalik dan berlari ke arah semula.
Tapi langkahnya langsung terhenti ketika
pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh
Patila.
Kini Galuh tidak bisa ke mana-mana lagi. Di
hadapannya sudah berdiri Patila. Sementara di
belakangnya menghadang Satrana. Yang dapat
dilakukannya kini hanya menggerakkan
sepasang matanya ke kanan dan ke kiri mencari
jalan untuk melarikan diri.
Satrana dan Patila tertawa terkekeh-kekeh
seraya melangkah menghampiri. Sudah dapat
dipastikan kalau gadis berpakaian biru langit
itu akhrirnya akan tertangkap oleh kedua orang
murid Perguruan Belut Putih itu. Tapi....
“Baru kali ini kutemui ada dua orang lelaki
perkasa tanpa tahu malu mengeroyok seorang
wanita lemah...!”
Pelan saja terdengar suara itu, tapi karena
suasana yang cukup hening, sehingga terdengar
jelas. Tentu saja ucapan yang sudah jelas-jelas
sindiran itu membuat Satrana dan Patila
mengalihkan pandangan ke arah asal suara.
Seketika wajah mereka merah padam menahan
geram. Keduanya tahu kalau ucapan itu
ditujukan kepada mereka.
Di sebelah kanan Galuh dalam jarak sekitar
empat tombak, nampak berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Pakaian yang berwarna hitam
nampak membungkus tubuhnya yang tegap,
kekar, dan berotot. Hanya sayangnya, wajah
yang terlihat tampan itu mempunyai kulit yang
begitu pucat. Sepertinya, pemuda itu sudah
lama tidak terkena sinar matahari.
“Keparat..!” maki Satrana keras seraya
menatap laki-laki berwajah pucat itu dengan
pandangan mata beringas. Jelas kalau laki-laki
berjenggot pendek ini merasa tersinggung bukan
main mendengar sindiran itu. “Siapa kau,
Kambing Sakit! Berani betul menghina kami!
Tidak tahukah kau, siapa kami?!”
Laki-laki berwajah pucat itu tersenyum getir.
Sama sekali wajahnya yang pucat itu tidak
menampakkan perubahan, sekalipun mendapat
sambutan yang begitu kasar.
“Aku Raksagala. Dan sama sekali tidak
bermaksud menghina kalian! Aku hanya
mengatakan yang sebenarnya. Dari tanda yang
tertera di dada kiri kalian, sudah bisa ku-
perkirakan kalau kalian murid-murid Perguruan
Belut Putih,” sahut laki-laki berwajah pucat
yang ternyata Raksagala. Pemuda itu adalah
pelarian dari Istana Hantu. Pucatnya wajah
pemuda ini memang karena jarang terkena sinar
matahari. Tidak tampak adanya benda bersinar
di lehernya. Memang, pemuda itu telah
menaruhnya dalam buntalan kain dan
menyimpannya di punggung.
“Kalau sudah tahu siapa kami, lantas
mengapa tidak lekas menyingkir pergi?!” sahut
Patila cepat memberi kesempatan.
Hal ini bukan karena Patila bersikap murah
hati. Tapi karena laki-laki berbibir sumbing ini
melihat adanya sesuatu yang mengerikan pada
laki-laki berwajah pucat itu. Entah karena
wajahnya, penampilannya, atau karena sorot
matanya. Yang jelas, Patila tidak tahu dan
merasa ngeri.
Perasaan itu tidak hanya dialami Patila saja,
tapi juga oleh Satrana dan Galuh! Itulah
sebabnya, Satrana yang biasanya beringas dan
tidak kenal ampun, tadi hanya mengeluarkan
kata-kata kasar! Biasanya bila perbuatannya
sedikit dirintangi orang, laki-laki berjenggot
pendek ini langsung main pukul.
“Justru karena tahu kalau kalian adalah
murid Perguruan Belut Putih, maka aku jadi
lebih berkewajiban untuk campur tangan!”
tandas Raksagala.
“Apa maksudmu?” tanya Satrana seraya
mengerutkan kening. Ucapan laki-laki berwajah
pucat itu membuatnya penasaran juga.
“Aku telah mendapat wewenang penuh
untuk menindak tegas setiap murid Perguruan
Belut Putih yang menyeleweng!” tegas
Raksagala.
“Ha ha ha...!”
Seperti sepakat saja, Satrana dan Patila
tertawa berbareng karena tak kuasa menahan
rasa geli yang nelanda begitu mendengar
penegasan Raksagala. Tidak salahkah pen-
dengaran mereka? Laki-laki berwajah pucat itu
mengatakan telah mendapat wewenang penuh?
Dari siapa? Sedangkan mereka berdua
melakukan setiap tindakan ini atas perintah
ketua mereka yang bernama Kalasura. Dialah
pimpinan tertinggi Perguruan Belut Putih. Lalu
sekarang, Raksagala mendapat wewenang
penuh dari siapa?
Kini rasa jerih mereka pun sirna. Raksagala
ternyata bukan orang waras. Begitu kesimpulan
mereka. Laki-laki berwajah pucat itu adalah
seorang yang tidak patut ditakuti.
“Kalau begitu, mampuslah kau...!”
Sambil berkata demikian, Satrana melancar-
kan serangan ke arah Raksagala. Laki-laki
berjenggot pendek ini memang berwatak
telengas. Maka tidak aneh, sekali melancarkan
serangan seluruh tenaga dalamnya langsung
dikerahkan. Bukan itu saja. Serangan yang
dituju pun begitu mematikan.
Satrana membuka serangan dengan sebuah
pukulan tangan kanan ke arah leher. Dari angin
yang berkesiut cukup nyaring. bisa diduga kalau
laki-laki berjenggot pendek ini memiliki tenaga
dalam tinggi.
Tapi orang yang diserang Satrana kali ini
bukan orang sembarangan. Dia adalah
Raksagala, murid terkasih Sawungrana,
dedengkot Perguruan Belut Putih waktu itu.
Maka, tentu saja serangan seperti itu sama
sekali tidak berarti apa-apa buat laki-laki
berwajah pucat ini. Sekali lihat saja, Raksagala
sudah bisa mengetahui kalau jurus yang dipakai
Satrana bukan jurus khas ilmu Perguruan Belut
Putih. Jadi, bisa diperkirakan kalau laki-laki
berjenggot pendek ini bukan murid pilihan. Dia
kenal betul gerakan itu. Juga, ke mana lanjutan
serangannya, dan bagaimana cara singkat
mematahkannya.
“Hm...,” Raksagala menggumam pelan
Enak saja kaki kanannya melangkah ke
belakang. Tidak hanya itu saja. Bersamaan
kakinya ditarik mundur, tangan kanannya
bergerak menangkap. Dan....
Tappp...!
Satrana terpekik kaget begitu dalam
segebrakan saja tangannya sudah tertangkap
lawan. Bahkan bukan hanya dia saja yang
terkejut, rekannya pun terkejut bukan main
melihat hal ini. Sedemikian saktikah laki-laki
berwajah pucat itu? Bermacam-macam dugaan
mulai tumbuh di hatinya, sampai-sampai Galuh
yang bergerak menjauh tidak dipedulikannya.
***
Semula Satrana terperanjat mengalami
kejadian yang sama sekali tidak disangka-
sangka itu. Tapi hal itu hanya berlangsung
sesaat saja. Karena dia kini sudah melancarkan
serangan susulan. Kaki kanannya meluncur
cepat ke arah dada Raksagala. Wuttt..!
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini
Raksagala sama sekali tidak menghindar.
Sambil terus memengangi pergelangan tangan
Satrana, Raksagala membiarkan dadanya
dijadikan sasaran tendangan Maka, akibat
selanjutnya sudah bisa diduga.
Bukkk!
“Akh...!”
Telak dan keras sekali tendangan yang
dikirimkan Satrana menghantam sasarannya.
Tapi sungguh aneh. Masalahnya justru
Satranalah yang berteriak kesakitan. Mulutnya
menyeringai memperlihatkan kalau dirinya
dilanda rasa sakit yang luar biasa.
Dan memang demikianlah kejadian yang
sebenarnya. Laki-laki berjenggot pendek ini
merasakan ujung kakinya bukan mengenai dada
manusia, melainkan sebongkah besi baja yang
amat keras. Akibatnya kaki yang membentur itu
tulangnya seperti remuk.
Raksagala yang ingin memberi pelajaran
agar kedua orang itu kapok, tidak bertindak
setengah-setengah. Jemarinya yang masih
memegangi pergelangan tangan lawan perlahan
bergerak meremas. Maka seketika itu juga
Satrana melolong-lolong kesakitan, karena
sekujur tulang pergelangan tangannya seperti
hancur lebur. Keringat sebesar-besar biji jagung
pun bertonjolan di wajahnya.
Patila tentu saja tidak akan tinggal diam
melihat rekannya tidak berdaya di tangan
Raksagala. Cepat laksana kilat laki-laki berbibir
sumbing itu melompat menerjang. Menyadari
kalau Raksagala adalah seorang lawan tangguh,
maka tanpa ragu-ragu lagi pedangnya langsung
dicabut.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring terdengar ketika
Patila mengayunkan pedangnya, membacok ke
arah leher.
Tapi seperti juga ketika menghadapi
serangan Satrana, kali ini Raksagala melakukan
hal yang sama. Dia sama sekali tidak bertindak
apa-apa. Dibiarkannya saja serangan yang
mengancam ke arah leher itu.
Takkk!
Suara keras seperti terjadi benturan antara
dua logam keras terdengar, ketika mata pedang
laki-laki berbibir sumbing itu telak dan keras
sekali menghantam sasaran. Akibatnya, sama
seperti yang dialami Satrana. Pedang itu justru
terpental balik ketika mengenai leher
Raksagala. Sepertinya yang dihantamnya bukan
leher manusia, melainkan gumpalan karet
keras.
Bukan hanya itu saja yang dialami laki-laki
berbibir sumbing. Sekujur tangannya bergetar
hebat, sementara jemari tangan yang meng-
genggam pedang terasa seperti lumpuh. Bahkan
hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman.
Karuan saja hal ini membuat Patila terkejut
bukan kepalang. Dan sebelum perasaan ter-
kejutnya hilang, tangan Raksagala telah ber-
gerak cepat menepak ke arah dada. Rekan
Satrana ini berusaha sedapat-dapatnya
mengelak, tapi....
Plakkk...!
Pelan saja kelihatannya tangan Raksagala
menepak sasaran, tapi akibat yang diterima
Patila tidak sesederhana itu. Tubuhnya
langsung terjengkang ke belakang seperti
diseruduk kerbau liar. Ada suara keluhan
tertahan tersangkut di tenggorokannya.
Berbareng terjengkangnya tubuh Patila,
Raksagala mengayunkan kakinya ke arah perut
Satrana. Menilik gerakannya, tidak pantas bila
disebut sebuah tendangan. Karena, sama sekali
tidak terlihat kekerasannya. Berbareng dengan
ayunan kaki, laki-laki berwajah pucat ini segera
melepas cekalannya.
Tapi kenyataan yang terjadi betul-betul
mengejutkan. Tubuh Satrana terpental ke
belakang dan jatuh bergulingan di tanah ketika
kaki murid Sawungrana itu tepat pada
sasarannya. Anehnya, kedua orang itu jatuh di
tempat yang berdekatan.
Dengan sikap tenang yang mengagumkan,
Raksagala menghampiri dua orang murid
Perguruan Belut Putih yang tengah merangkak
bangun.
“Kali ini kalian kuampuni!” kata Raksagala
penuh wibawa. “Anggap saja ini sebagai
pelajaran! Tapi, ingat! Bila kujumpai kalian
berbuat seperti ini lagi, jangan harap akan
kuampuni!”
Satrana dan Patila sama sekali tidak
menyahuti ucapan laki-laki berwajah pucat itu.
Hanya saja, sepasang mata mereka menyorot
penuh dendam ke arah wajah Raksagala.
“Cepat kalian menyingkir, sebelum
pendirianku berubah...!” ujar Raksagala lagi.
Tapi kali ini dengan nada lebih keras dari
sebelumnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Satrana
dan Patila segera bangkit berdiri, lalu berlari
meninggalkan tempat itu. Gerakan mereka
terlihat menggelikan. Maklum, rasa sakit yang
mendera belum sepenuhnya lenyap. Seketika,
kedua orang itu lari dengan langkah tertatih-
tatih.
Raksagala mengikuti kepergian kedua orang
itu dengan pandangan matanya. Baru setelah
tubuh kedua orang itu lenyap ditelan jalan,
perhatiannya beralih pada Galuh. Tanpa sadar
gadis berpakaian biru itu melangkah mundur.
Meskipun tahu kalau laki-laki berwajah pucat
itu telah menolongnya, tapi dia masih takut.
Tidak heran, sebab pengalaman yang diterima-
nya kali ini benar-benar membuatnya terpukul.
“Tenanglah, Nisanak. Percayalah..., aku
bukan orang jahat,” ujar Raksagala seraya
tersenyum lebar.
Laki-laki berwajah pucat ini bisa memaklumi
ketakutan yang melanda hati gadis berpakaian
biru langit itu. Jadi, dia tidak merasa
tersinggung karenanya.
Dan untuk tidak membuat Galuh lebih takut
lagi, Raksagala tidak langsung bergerak
menghampiri. Pemuda itu tetap berdiri diam di
tempat semula. Sementara, sepasang matanya
menatap tajam wajah gadis berpakaian biru
langit itu.
Diam-diam sebuah perasaan kagum
menyelinap di dalam hati laki-laki berwajah
pucat itu. Wajah Galuh ternyata begitu cantik.
Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bibirnya
berbentuk indah, dan berwarna merah segar.
Dadanya padat dan membusung, di balik
pakaiannya yang berwarna biru langit.
“Namaku Raksagala. Aku datang dari tempat
yang amat jauh,” kata laki-laki berwajah pucat
itu memperkenalkan diri. Dia tidak lagi peduli
pada sikap diam yang ditunjukkan Galuh.
“Kalau boleh kutahu, apa nama desa ini,
Nisanak?”
“Kali Asem...,” sahut Galuh setelah beberapa
saat lamanya terdiam.
Sikap Raksagala yang sopan dan tatapan
matanya yang tidak liar, membuat keberanian
gadis itu mulai timbul. Walaupun diakui, masih
ada sedikit perasaan takut di hatinya melihat
wajah Raksagala yang begitu pucat. Sepertinya,
sama sekali tidak berdarah. Bahkan bukan
hanya kulit wajahnya saja, tapi juga kulit
tubuhnya.
“Kali Asem...,” gumam Raksagala seraya
mengerutkan keningnya. “Kalau begitu aku
tidak salah alamat. Boleh bertanya sekali lagi,
Nisanak?”
Galuh menganggukkan kepala.
“Benarkah di desa ini tempat Perguruan
Belut Putih?” tanya Raksagala lagi.
Memang sebelum meninggalkan gurunya,
kakek bermata picak itu telah memberitahukan
letak Perguruan Belut Putih.
Seketika itu juga wajah Galuh yang semula
sudah mulai tenang, memucat kembali. Tampak
jelas kalau pertanyaan yang diajukan Raksagala
membuatnya takut. Dan ini tentu saja terlihat
oleh Raksagala. Perasaan heran pun ber-
kecamuk dalam hatinya. Apa-lagi, ketika gadis
berpakaian biru langit itu malah melangkah
mundur ketakutan.
“Tenanglah, Nisanak. Sudah kukatakan tadi,
aku bukan orang jahat. Sebaliknya, malah aku
membenci orang jahat seperti kedua orang yang
telah mengganggumu tadi. O, ya. Siapa nama-
mu?”
“Galuh...,” sahut gadis berpakaian biru langit
itu.
“Galuh? Sebuah nama yang bagus,” puji
Raksagala.
“Mengapa kau bisa berada di sini bersama
mereka?” tanya Raksagala lagi.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati
Raksagala tatkala melihat tanggapan Galuh
atas pertanyaan yang diajukannya. Gadis
berpakaian biru langit itu malah berubah pucat
wajahnya. Bukan hanya itu saja. Mendadak
saja, dia berlari meninggalkannya.
“Ayah....”
Sempat terdengar oleh telinga Raksagala
yang tajam, gumam kegelisahan yang keluar
dari mulut Galuh.
Melihat hal yang sama sekali tidak disangka
ini, Raksagala menjadi kebingungan sejenak.
Sepasang matanya menatap penuh ketidak-
mengertian pada sosok tubuh yang kian
menjauh. Sama sekali tidak diketahuinya kalau
pertanyaannya mengingatkan gadis itu akan
nasib ayahnya.
Semula, Raksagala membiarkan Galuh terus
berlari meninggalkannya. Tapi begitu teringat
kalau ada kemungkinan kedua orang murid
Perguruan Belut Putih tadi akan mencegat
perjalanan Galuh, akhirnya diputuskan untuk
mengikutinya.
Raksagala kini mengikuti dari jarak yang
agak jauh. Sengaja tidak berusaha membarengi,
karena tidak ingin Galuh semakin ketakutan.
Raksagala tahu, gadis berpakaian biru langit itu
pasti masih merasa takut padanya.
***
Galuh terus berlari mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Perasaan khawatir
yang amat sangat akan keselamatan ayahnya,
membuat gadis berpakaian biru langit ini seperti
tidak pemah merasa lelah. Padahal, napasnya
sudah terengah-engah.
Tak lama kemudian, rumahnya pun sudah
terlihat jelas. Dan betapa gembira hati Galuh
tatkala melihat sosok tubuh yang amat
dikenalnya tengah melangkah tertatih-tatih
keluar dari pintu yang sudah tidak berdaun lagi.
Dia memang menuju rumahnya.
“Ayah...!”
Galuh tidak kuasa lagi menahan
perasaannya. Gadis itu cepat berlari seraya
mengembangkan kedua lengannya. Lega hatinya
ketika melihat ayahnya ternyata selamat.
“Galuh...!”
Ki Wanara berseru tak kalah keras. Aneh!
Mendadak saja kakek berpakaian putih ini
mampu berlari menyongsong kedatangan
putrinya. Dalam cekaman perasaan gembira,
kakek ini sampai melupakan rasa sakitnya.
Tubuh ayah dan anak itu berpelukan erat di
tengah-tengah jalan. Sementara Raksagala yang
mengikuti sejak tadi dari kejauhan, segera
melangkahkan kakinya berjalan biasa.
“Kau tidak apa-apa, Galuh?” tanya Ki
Wanara seraya melepaskan pelukan pada
putrinya. Ditatapnya sekujur tubuh gadis
berpakaian biru langit itu lekat-lekat untuk
melihat sendiri keadaannya.
“Tidak, Ayah,” Galuh menggelengkan kepala.
“Ada orang yang telah menolongku.”
“Ah...! Syukurlah kalau begitu!” sahut Ki
Wanara gembira. “Mana orangnya...? Perkenal-
kanlah pada Ayah. Ayah ingin mengucapkan
terima kasih padanya.”
Ucapan ayahnya seketika membuat Galuh
menyadari, betapa tidak pantas sikapnya tadi
terhadap penolongnya. Ucapan terima kasih
sebagai basa-basi saja tidak dilontarkan.
“Diakah orangnya...?” tanya Ki Wanara lagi.
Kakek berpakaian putih ini memang
mengedarkan pandangannya begitu tidak
mendengar jawaban dari mulut putrinya.
Galuh menoleh ke arah yang ditunjukkan
ayahnya. Dan seketika itu pula jantungnya
berdetak kencang. Dugaan ayahnya ternyata
tepat. Orang yang tengah berjalan pelan menuju
ke tempatnya adalah Raksagala, yang telah
menolongnya.
Perlahan-lahan kepala Galuh terangguk.
“Mari kita hampiri dia....”
Setelah berkata demikian, Ki Wanara segera
meraih tangan Galuh. Dan dengan setengah
memaksa, ditariknya tubuh anaknya mendekati
Raksagala. Sementara, Raksagala yang tentu
saja melihat hal itu, bergegas menghampiri.
“Kaukah orang yang telah menyelamatkan
putriku, Anak Muda?” tanya Ki Wanara setelah
dekat, di depan Raksagala.
“Ah...! Hanya kebetulan aku lewat saja, Ki.
Lagi pula, sudah merupakan kewajiban bagi kita
untuk saling tolong-menolong.”
“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda,” ucap kakek berpakaian putih itu. “Tapi
saranku, cepatlah kau pergi dari sini.”
“Hehhh...?! Kenapa begitu, Ki?” tanya,
Raksagala heran mendengar saran yang
dianggapnya aneh itu.
“Ah...! Kau rupanya belum pemah
mendengar tentang Perguruan Belut Putih,
Anak Muda.” Nada suara kakek berpakaian
putih itu bernada keluhan.
“Memangnya, ada apa dengan perguruan itu,
Ki?” tanya Raksagala ingin tahu. “Aku memang
tengah mencari-cari perguruan itu.”
“Kau?! Mencari-carinya? Untuk apa?!” tanya
W Wanara agak keras dengan sikap mulai
sedikit curiga.
Raksagala tahu kakek berpakaian putih ini
mulai merasa curiga padanya. Dia yakin kalau
tidak memberitahukan masalahnya, kecurigaan
kakek ini akan semakin bertambah. Maka
diputuskan untuk menceritakan sejujurnya. Lagi
pula, sekali lihat saja bisa diketahuinya kalau
kakek ini bukan orang berbahaya. Jadi, tidak
ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
“Aku mendapat wewenang penuh dari
guruku untuk mengatur dan mengarahkan
Perguruan Belut Putih ke jalan yang benar.
Karena, selama beberapa bulan belakangan ini
dia selalu mendapat firasat buruk mengenai
perguruannya,” jelas Raksagala sejujurnya.
Ki Wanara mengerutkan alisnya. Sementara
sepasang matanya menatap aneh ke arah wajah
Raksagala.
“Maafkan aku, Anak Muda. Bukannya aku
tidak mempercayai ucapanmu. Tapi seingatku,
tidak ada murid Perguruan Belut Putih yang
mempunyai wajah sepertimu. Aku kenal betul
wajah-wajah mereka.”
“Aku memang tidak menjadi murid
Perguruan Belut Putih secara langsung, Ki,”
tambah Raksagala cepat memperbaiki ucapan
sebelumnya.
“Heh?!” dahi Ki Wanara berkemyit
Laki-laki tua itu merasa bingung bukan main
mendengar ucapan yang saling bertolak
belakang itu.
“Aku yang sudah menjadi tuli, atau kau yang
memang mengada-ada, Anak Muda? Kalau aku
tidak salah dengar, kau mengaku sebagai murid
Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi, kini kau
malah menyangkal. Tidakkah itu membingung-
kan? Tolong jelaskan, Anak Muda.”
Raksagala menarik napas panjang-panjang,
lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia tidak
langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah
tercenung beberapa saat lamanya.
“Kalau dipikir-pikir, memang sepertinya
membingungkan, Ki,” kata Raksagala hati-hati.
“Tapi, itulah kenyataannya. Aku memang
menjadi murid Ketua Perguruan Belut Putih,
namun bukan murid perguruan itu.”
Semakin dalam kernyit yang timbul di dahi
Ki Wanara. Rupanya sulit baginya untuk
mencerna ucapan Raksagala.
“Jadi..., kau ini murid gelap?” duga kakek
berpakaian putih ini sekenanya.
Raksagala terdiam, tidak langsung men-
jawab. Mendadak dia teringat benda pemberian
gurunya. Maka, buru-buru dikeluarkannya.
“Aku tidak tahu, bagaimana menjelas-
kannya, Ki. Tapi, guruku memberikan tongkat
ini. Katanya, dengan tongkat ini di tanganku
aku mempunyai wewenang penuh untuk
membenahi semua kericuhan di Perguruan
Belut Putih, jika memang-ada kerusuhan di
sana.”
“Ya, Tuhan..!”
Terdengar seruan kaget dari mulut Ki
Wanara. Sepasang mata kakek berpakaian putih
itu menatap tanpa berkedip pada tongkat
pendek bergagang permata berkilauan itu. Raut
wajah, maupun sorot matanya menyiratkan
keterkejutan yang amat sangat.
“Jadi.., jadi kau murid... Ki Sawungrana...?”
Sepasang bibir yang semula hanya berkemik-
kemik akhirnya mampu melontarkan ucapan.
“Kau.... Kau mengenal guruku, Ki?” kini
ganti Raksagala yang merasa terkejut
“Mengenalnya?” Ki Wanara tersenyum pahit
“Tidak saja mengenalnya. Aku adalah pelayan
kepercayaannya, dan merupakan orang yang
paling dekat dengannya. Setiap ada masalah,
akulah orangnya yang paling dulu diberi-
tahunya. Namaku Wanara. Apakah dia tidak
pernah bercerita tentang diriku?”
Raksagala menggeleng.
“Guru amat tertutup. Dia tidak pernah
bercerita apa-apa padaku,” sahut Raksagala
setengah mengeluh.
“Sungguh tidak kusangka. Padahal, dulu dia
selalu terbuka pada orang yang dipercayanya,”
desah Ki Wanara penuh rasa tidak percaya.
Sementara Galuh yang sama sekali tidak tahu
apa apa, hanya diam saja mendengarkan.
“Bisa kau ceritakan di mana dia kini berada?
Sudah lama sekali dia menghilang tanpa berita
sepotong pun. Semula kuduga ada sesuatu yang
terjadi pada dirinya. Itulah sebabnya aku pergi
meninggalkan Perguruan Belut Putih dengan
membawa Galuh yang baru berumur beberapa
bulan. Syukurlah..., kalau dia masih hidup....”
Raksagala menghela napas berat. Wajahnya
pun berubah murung. Pertanyaan mengenai
gurunya itulah yang menyebabkannya demikian.
Bagaimana keadaan gurunya kini? Bisakah
pertarungan menghadapi Barong Segara yang
lihai itu dimenangkannya? Berbagai macam
pikiran berkecamuk di benak pemuda itu.
Ki Wanara menunggu penuh kesabaran.
Menilik dari sikap Raksagala yang mendadak
berubah murung begitu ditanya tentang
gurunya, dia yakin pasti ada berita buruk yang
akan didengarnya. Dan kini hati kakek ber-
pakaian putih ini berdebar tegang.
Karena tahu kalau kakek ini adalah orang
kepercayaan gurunya, tanpa ragu-ragu lagi
Raksagala pun menceritakan semua yang
diketahuinya.
“Entah bagaimana sekarang nasib beliau,
aku tidak tahu...,” desah Raksagala mengakhiri
ceritanya. “Aku murid durhaka yang hanya
mementingkan diri sendiri”
“Hentikan semua ucapan itu, Raksagala!”
bentak Ki Wanara keras. “Aku pun akan berbuat
hal yang serupa dengan Sawungrana jika
mengalami hal itu. Dan semua orang yang
berpikiran waras, dan tidak mementingkan diri
sendiri pun pasti akan berbuat seperti yang
dilakukan gurumu itu. Jadi, berhentilah
menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu dengan
selamatnya dirimu, aku yakin dia akan tenang
di alam kuburnya!” Raksagala terdiam.
“Sejak menghilangnya Ki Sawungrana, Per-
guruan Belut Putih mulai guncang. Masing
masing murid kepala, berebut ingin menjadi
ketua. Perpecahan pun timbul, sehingga Ketua
Perguruan Belut Putih berganti-ganti. Kini yang
menjadi ketua adalah Kalasura, seorang yang
memiliki watak tidak baik.”
Ki Wanara menghentikan ceritanya sejenak
untuk mengambil napas dan mencari kata-kata
baru.
“Di bawah pimpinannya, Perguruan Belut
Putih dibawa ke jurang kehinaan. Segala macam
kejahatan dihalalkan. Tidak hanya di desa ini
saja. Tapi juga ke semua desa sekitarnya. Kini
Perguruan Belut Putih jadi ditakuti semua
orang.”
“Apakah semua murid Perguruan Belut
Putih telah menjadi jahat, Ki?” tanya Raksagala
ingin tahu.
“Entahlah...,” Ki Wanara menggelengkan
kepalanya. “Tidak ada salahnya jika kau
menyelidikinya, Raksagala.”
Raksagala menganggukkan kepala mem-
benarkan. Tapi sesaat kemudian dahinya ber-
kernyit ketika teringat sesuatu yang mem-
buatnya agak heran.
“Ada suatu hal yang membuatku heran, Ki?”
tanpa ragu-ragu pemuda berwajah pucat ini
mengutarakan ganjalan hatinya.
“Katakanlah, Raksagala.”
“Apakah Ki Sawungrana tidak mengajar-
kanmu ilmu silat?!” tanya Raksagala langsung.
Memang, begitu tahu kalau kakek ber-
pakaian putih ini adalah orang kepercayaan
gurunya, Raksagala jadi heran kakek itu dapat
dipecundangi oleh murid-murid rendahan Per-
guruan Belut Putih.
“Aku yang tidak mau, Raksagala. Kau tahu,
aku benci kekerasan....”
“Ayah...! Lihat..!”
Karuan saja teriakan keras Galuh membuat
Ki Wanara dan Raksagala terkejut. Cepat
mereka mengalihkan pandangan ke arah yang
ditunjuk gadis itu. Dan memang, tampak
segerombolan orang yang berpakaian abu-abu
bergerak ke arah mereka.
“Murid-murid Perguruan Belut Putih...,”
desah Ki Wanara dan Raksagala berbarengan.
Raksagala sadar, Ki Wanara dan Galuh
bukan lawan mereka. Maka, dia segera
melangkah maju, dan berdiri di depan dengan
sikap melindungi mereka. Menilik dari gerak-
geriknya, Raksagala tahu kalau kedatangan
orang-orang itu tidak bermaksud baik. Maka, dia
bersikap waspada.
Semakin lama jarak antara mereka semakin
tampak dekat, Raksagala menghitung dengan
pandangan matanya. Jumlah mereka tak kurang
dari tiga puluh orang! Di antara mereka, tampak
Satrana dan Patila.
Tak lama kemudian, rombongan Perguruan
Belut Putih itu pun sudah berada dalam jarak
tiga tombak di hadapan Raksagala.
“Inikah orang yang kalian maksudkan itu?”
tanya seorang laki-laki bertubuh kurus kering
seperti cecak. sambil menudingkan telunjuknya
pada Raksagala.
Suaranya bernada menghina. Jelas, dia tidak
memandang sebelah mata pun pada laki-laki
berwajah pucat itu.
Hampir berbareng Satrana dan Patila
mengangguk.
“Benar, Kakang Taraji,” sahut Patila.
Laki-laki bertubuh kurus kering yang
ternyata bernama Taraji merayapi sekujur
wajah dan tubuh pemuda di hadapannya.
“Ha ha ha...!”
Mendadak Taraji tertawa bergelak. Tawanya
benar-benar mengandung nada penghinaan.
“Diam...!”
Raksagala yang merasa tersinggung
langsung membentak. Keras bukan main
suaranya, karena disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tanpa sadar, Taraji menghentikan
tawanya. Rasa terkejut yang amat sangat
membayang jelas di wajahnya. Dia merasakan
guncangan keras pada dadanya seiring
keluarnya bentakan dari mulut pemuda
berwajah pucat itu.
Bukan hanya Taraji saja yang terkejut.
Semua murid Perguruan Belut Putih juga
terkejut bukan main. Dada mereka bergetar
hebat dan kuping pun terasa berdengung. Bukan
hanya itu saja. Sepasang kaki mereka pun tanpa
dapat dicegah, mendadak oleng.
***
6
Kini Taraji baru percaya pada cerita Satrana
dan Patila. Ternyata orang yang bernama
Raksagala itu adalah lawan yang amat tangguh,
dan bukan hanya bualan belaka. Kini telah
dibuktikannya sendiri kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki pemuda berwajah pucat itu. Dalam
hati, laki-laki bertubuh kurus kering itu
mengakui kalau tenaga dalamnya sendiri belum
tentu mampu menyamai tenaga dalam calon
lawannya.
Meskipun begitu, Taraji sama sekali tidak
menampakkan keterkejutannya. Wataknya
memang angkuh, dan selalu mengagungkan
kemampuannya sendiri. Jadi mana mau dia
memperlihatkan kegentarannya pada seorang
pemuda yang dianggapnya baru kemarin sore?
Apalagi di hadapan sekian banyak adik
seperguruannya.
“Keparat buduk!” maki Taraji keras. “Berani
benar kau membentakku?! Apa kau sudah bosan
hidup?”
“Aku bukan hanya membentak saja. Tapi
juga akan menghukummu dan semua murid
Perguruan Belut Putih yang menyeleweng!”
tandas Raksagala tegas.
“Apa?!” Taraji membelalakkan sepasang
matanya. “Apa aku tidak salah dengar?! Sudah
gilakah kau, Keparat?!”
“Terserah apa tanggapanmu terhadapku,
Taraji!” Raksagala mencoba bersikap tenang.
“Tapi yang jelas, aku mempunyai wewenang
penuh untuk mengurus Perguruan Behit Putih.”
Setelah berkata demikian, Raksagala
mencabut keluar tongkat pusaka pemberian
gurunya. Dan secepat tongkat itu terlihat,
secepat itu pola semua wajah murid Perguruan
Belut Putih dilanda perasaan terkejut yang
amat sangat.
“Kau...?! Dari mana kau dapatkan benda
itu?!” tanya Taraji gugup.
Tentu saja laki-laki kurus itu mengenal
tongkat di tangan Raksagala. Sewaktu
Perguruan Belut Putih masih dipimpin Ki
Sawungrana, dia telah menjadi murid tingkat
dua. Waktu itu, usianya masih delapan belas
tahun. Kini, dia berusia tiga puluh lima tahun
lebih. Kedudukannya pun kini telah menjadi
murid kepala. Dan Kalasura yang dulu menjadi
murid kepala, kini telah menjadi Ketua
Perguruan Belut Putih. Dan atas perintahnya,
Taraji harus menangkap pengacau yang telah
mencelakai Satrana dan Patila.
“Aku mendapatkannya dari guruku. Dia
adalah Ketua Perguruan Belut Putih yang
sebenarnya. Namanya, Ki Sawungrana!” tegas
dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut
Raksagala. Dan memang hal itu disengaja, agar
semua murid Perguruan Belut Putih mendengar
ucapannya.
Pengaruh ucapan itu terbukti memang luar
biasa. Kontan di antara murid-murid Perguruan
Belut Putih terjadi kegaduhan. Memang ada di
antaranya yang belum pernah melihat tongkat
itu. Tapi, paling tidak telah mendengar ciri-
cirinya. Maka begitu melihatnya, mereka ter-
kejut bukan main. Seketika itu pula sebagian
besar kepala murid Perguruan Belut Putih
merunduk memberi hormat Hanya sebagian
kecil saja yang tidak menundukkan kepala. Dan
Taraji terhitung yang sebagian kecil itu.
“Bohong! Kalian jangan terpengaruh cerita
bohongnya! Tongkat pusaka itu hilang, dan
sudah pasti pemuda ini yang mencurinya!”
Taraji yang mencium gelagat tidak baik segera
berusaha memojokkan Raksagala.
Usaha yang dilakukan Taraji ternyata cukup
membuahkan hasil. Kepala yang sebagian besar
sudah tertunduk, kembali terangkat naik. Ya,
apa yang dikatakan kakak seperguruan mereka,
itu benar. Bukan tidak mungkin kalau
Raksagala adalah pencurinya.
Tapi Raksagala yang sudah melihat masih
banyak murid Perguruan Belut Putih yang
menghormati tongkat pusaka, mana mungkin
diam saja? Segera tongkat itu diacungkan tinggi-
tinggi ke atas kepalanya.
“Wahai semua murid Perguruan Belut Putih,
dengarlah...! Ki Sawungrana telah memberi
tongkat ini padaku. Dia memberi wewenang
penuh padaku untuk membenahi semua
penyelewengan yang terjadi di perguruan.
Kalian semua dengar?!”
“Keparat!” maki Taraji begitu melihat
kepala-kepala yang tadi terangkat, mulai
tertunduk lagi. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, dia segera mengulapkan tangan pada sisa
murid yang tidak menundukkan kepala.
“Bunuh pencuri itu...! Dan ambil tongkat-
nya...!” perintah laki-laki bertubuh kurus kering
itu.
Sambil berkata demikian, tangan kanannya
bergerak.
Singgg...!
Sinar berkilauan nampak berpendar ketika
Taraji mencabut goloknya. Dan secepat senjata
itu terhunus, secepat itu pula diayunkan ke
leher Raksagala.
Pada saat yang bersamaan, serangan murid-
murid Perguruan Belut Putih yang lain datang
pula menyerbu. Di tangan mereka semua
tergenggam senjata terhunus.
Tapi Raksagala sama sekali tidak menjadi
gugup melihat semua serangan itu.
“Murid-murid Perguruan Belut Putih yang
masih menghargai tongkat pusaka ini, lihatlah!
Aku, mewakili Ki Sawungrana akan memberi
hajaran pada mereka yang telah menyeleweng!”
Ucapan itu membuat semua murid
Perguruan Belut Putih mengangkat kepala.
Mereka ingin tahu, bagaimana tindakan
Raksagala yang menurut pengakuannya adalah
wakil Ki Sawungrana!
Melihat ucapannya didengar, Raksagala jadi
tambah semangat. Maka diputuskan untuk
mempertunjukkan semua kelihaiannya. Dan
begitu semua serangan datang, laki-laki ber-
wajah pucat itu segera bergerak mengelak.
Lincah laksana kera, dan cepat laksana
bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah
hujan serangan lawan.
Taraji dan adik-adik seperguruannya ter-
kejut bukan main melihat serangannya berhasil
dielakkan. Tapi, tentu saja mereka tidak putus
asa. Malah sebaliknya, mereka kian ganas
menyerang.
Raksagala yang memang sengaja ingin
mempertunjukkan kelihaiannya, sengaja tidak
melakukan perlawanan. Dia hanya mengelak
terus-menerus. Dengan ilmu meringankan tubuh
yang memang berada jauh di atas lawan-
lawannya, bukan merupakan hal sulit bagi laki-
laki berwajah pucat itu untuk menghindari
serangan.
Jurus demi jurus berlalu. Sehingga, tak
terasa dua puluh lima juris telah terlewat.
Namun selama itu, tidak ada satu pun serangan
Taraji dan adik-adik seperguruannya yang
mengenai sasaran. Jangankan mengenai,
menyerempet pun tidak.
“Cukup...!”
Terdengar seruan keras dari mulut
Raksagala. Dan begitu ucapannya selesai,
gerakan laki-laki berwajah pucat ini tiba-tiba
berubah. Tubuhnya berkelebat dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata tiap lawan
nya. Yang jelas, satu demi satu tubuh-tubuh
murid Perguruan Belut Putih bertumbangan.
Rintihan kesakitan terdengar mengiringi
robohnya tubuh-tubuh itu ke tanah. Senjata-
senjata yang digenggam pun berpentalan tak
tentu arah.
Dalam sekejap saja, murid-murid Perguruan
Belut Putih itu sudah tidak ada yang berdiri
lagi. Semua telah roboh bergelimpangan di
tanah sambil merintih-rintih. Kini hanya tinggal
Taraji seorang diri yang masih mampu berdiri.
Dan memang, Raksagala sengaja menyisa-
kannya.
“Bagaimana, Taraji?! Masih tidak percaya
kalau aku adalah murid Ki Sawungrana?!” tanya
Raksagala lagi. Ada nada sindiran dalam
suaranya.
“Pencuri busuk! Kau bukan hanya mencuri
tongkat pusaka kami, tapi juga ilmu-ilmu
perguruan kami!”
Dengan nada keras, Taraji terus memaki.
Maksudnya untuk membuat murid-murid
Perguruan Belut Putih yang belum menyerang
untuk ikut membantu.
“Kawan-kawan, serbu...!”
Tapi Taraji kecelik. Tidak ada seorang pun
teman-temannya yang mematuhi perintahnya.
Mereka semua diam saja, berpura-pura tidak
mendengar sama sekali.
“Anjing kurap!” geram laki-laki bertubuh
kurus kering ini. “Setelah pencuri busuk ini
kubereskan, kalian semua akan mendapatkan
ganjaran!”
Begitu kata-katanya selesai, Taraji segera
melompat menerjang Raksagala. Golok di
tangannya ditusukkan cepat ke arah dada laki-
laki berwajah pucat itu. Ada suara mendesing
yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan.
Raksagala diam-diam merasa geli mendengar
penegasan Taraji. Sewaktu mengeroyok bersama
adik-adik seperguruannya saja, dia tidak mampu
merobohkan. Apalagi sekarang hanya seorang
diri.
Raksagala bersikap tenang. Ditunggunya
sampai serangan itu bergerak semakin dekat.
Dan ketika telah berada dalam jangkauan, baru
dia bergerak. Enak saja tangannya diulurkan.
Sepertinya tanpa mengeluarkan tenaga sama
sekali, tapi hebatnya....
Tappp...!
Mata golok Taraji yang terlihat mengkilap
mempertunjukkan ketajaman, berhasil di-
tangkap Raksagala. Taraji kaget bukan main!
Dan belum sempat berbuat sesuatu, laki-laki
berwajah pucat itu cepat membetotnya. Keras
bukan main gerakannya. Terdengar suara
bergemeletuk ketika sambungan pergelangan
bahu kanan Taraji terlepas.
Taraji menggigit bibir keras-keras dalam
upayanya menahan rasa sakit yang mendera.
Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan
di wajahnya. Tapi sedikit pun tidak ada keluhan
yang keluar dari mulutnya. Keangkuhannyalah
yang melarang dirinya mengeluh.
Tentu saja tidak hanya itu yang dialami
Taraji. Seiring terlepasnya sambungan per-
gelangan bahu kanan, tubuhnya yang tengah
berada di udara langsung tertarik ke depan. Di
saat itulah, kaki kanan Raksagala meluncur
cepat ke arah perut
Bukkk...!
“Hugkh...!”
Kali ini Taraji tidak mampu menahan
keluhan yang keluar. Tendangan itu meskipun
terlihat pelan, ternyata keras bukan main. Rasa
mual yang amat sangat seketika melanda
sekujur badannya. Dan begitu Raksagala
melepaskan cekalan pada goloknya, tubuh Taraji
langsung roboh ke tanah. Suara berdebuk keras
terdengar begitu tubuh itu menyentuh tanah.
Taraji memang keras hati. Tanpa mem-
pedulikan rasa sakit, dia berusaha bangkit. Dan
memang pada kenyataannya dia gagal. Seringai
kesakitan tersungging di mulutnya ketika
tubuhnya kembali terjatuh.
***
Raksagala sama sekali tidak melakukan
serangan lanjutan. Laki-laki berwajah pucat ini
hanya menatap wajah Taraji lekat-lekat
“Bagaimana, Taraji? Masih ingin melanjut-
kan lagi,” tanya Raksagala kalem.
Namun Taraji sama sekali tidak menyahuti.
Dia tengah sibuk mengusir rasa sakit yang
melanda.
Tapi Raksagala sama sekali tidak merasa
tersinggung karena pertanyaannya sama sekali
tidak dijawab. Sesaat lamanya suasana yang
semula hingar-bingar oleh dentang senjata
beradu, jadi kembali sepi seperti semula. Kini
yang terdengar hanyalah rintihan kesakitan dari
mulut-mulut murid Perguruan Belut Putih yang
terluka.
“Hi hi hi...!”
Mendadak terdengar suara tawa mengikik.
Tawa yang kecil panjang tapi melengking
nyaring itu mirip tikus mencicit. Tapi hebatnya,
suara tawa itu mengandung pengaruh luar
biasa! Akibatnya, telinga terasa berdengung
sakit dan kedua kaki menggigil!
Di antara mereka semua, hanya Raksagala
saja yang sama sekali tidak terpengaruh tawa
itu. Hal ini karena tingkat tenaga dalam laki-
laki berwajah pucat ini sudah amat tinggi.
Hanya saja, tak urung wajahnya tampak
memucat! Raksagala kenal betul, siapa pemilik
suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan salah
satu dari Penghuni Istana Hantu! Dan men-
dengar nada suaranya, laki-laki berwajah pucat
itu tahu kalau yang datang adalah Durgasari.
Belum lagi gema suara itu lenyap, sekitar
tiga tombak di hadapan Raksagala telah berdiri
seorang nenek berpakaian hijau. Rambutnya
putih panjang terurai tak terurus. Di tangannya
melilit sebuah gelang berwarna merah darah.
Dan gelang yang sama pun menempel di daun
telinganya. Sepasang matanya yang kecil dan
mcncorong kehijauan nampak jadi kian
menyeramkan, karena terletak di raut wajah
keriput berbentuk bulat telur.
Meskipun sudah menduga sebelumnya, tapi
tak urung Raksagala terperanjat juga melihat
kehadiran salah seorang Penghuni Istana Hantu
itu.
“Jangan harap untuk bisa selamat setelah
keluar dari Istana Hantu, Bocah Keparat!” tegas
nenek berpakaian hijau itu keras. Suaranya
terdengar melengking nyaring menyakitkan
telinga.
Raksagala sadar, kalau kali ini tidak bisa
main-main lagi. Lawan yang dihadapinya sangat
tangguh, sementara di sekitarnya banyak orang
yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak ingin kalau
mereka yang tidak tahu apa-apa akan menjadi
korban bila terjadi pertarungan di situ. Maka
laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak
melesat dari situ.
Cepat bukan main gerakan Raksagala. Hal
ini tidak aneh, karena murid kesayangan
Sawungrana ini telah mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya
sudah berada dalam jarak belasan tombak dari
tempat semula.
Cepatnya gerakan yang dilakukan
Raksagala, tapi masih lebih cepat lagi gerakan
Durgasari. Begitu melihat laki-laki berwajah
pucat melesat, tubuh nenek berpakaian hijau ini
langsung melenting ke depan. Setelah bersalto
beberapa kali di udara, kedua kakinya segera
mendarat di tanah. Dan kini dia telah berada di
depan Raksagala.
“Sudah kukatakan, jangan harap bisa lolos
dari tanganku!” tandas Durgasari tegas. Sorot
mata maupun wajah nenek berpakaian hijau ini
menyiratkan sinar kebengisan.
“Aku tidak akan melarikan diri, Durgasari!”
sahut Raksagala mantap seraya memanggil
nama nenek berpakaian hijau itu. Padahal di
Istana Hantu waktu itu dia biasa memanggilnya
dengan sebutan Nyi Durgasari. “Tapi aku hanya
mencari tempat yang lapang untuk bertarung!”
“Alasan!” sergah Durgasari kasar. “Kau tidak
berbeda dengan gurumu yang telah menjadi
bangkai itu. Sama-sama pengecut!”
Raksagala ternganga mendengar perkataan
nenek itu. Bukan makiannya, tapi penjelasan
nenek itu yang mengatakan gurunya telah men-
jadi bangkai. Sungguhpun dia telah mempunyai
dugaan kuat kalau gurunya kemungkinan besar
akan tewas, tapi tetap saja berita yang di-
dengarnya ini amat mengejutkan.
“Kau kaget kalau gurumu telah menjadi
bangkai! Kau tahu, nasib yang sama pun akan
menimpamu!”
Mendadak Raksagala meraung. Rasa
penyesalan yang hebat langsung memukul
hatinya. Kematian gurunya dianggap karena
dirinya. Kalau saja dia tidak melarikan diri dan
bersama-sama menghadapi musuh, mungkin
Sawungrana tidak akan tewas. Raksagala
merasa telah berdosa besar, dan telah menjadi
seorang pengecut!
Dari perasaan bersalah yang menggelegak
itu, menyeruak perasaan marah terhadap
pembunuh gurunya. Pikirnya, salah seorang dari
pembunuh itu kini berada di depannya! Sungguh
suatu hal yang sangat kebetulan!
Sambil berteriak keras, Raksagala melompat
menerjang. Kedua tangannya yang terkembang
membentuk cakar meluncur cepat dan bertubi-
tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar
Durgasari.
Raksagala memang telah mengeluarkan
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dalam
serangan itu. Dia memang tidak ingin bertindak
kepalang tanggung. Suara bersuitan yang cukup
nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
“Hmh...!”
Nenek berpakaian hijau itu hanya men-
dengus melihat serangan lawan. Sikapnya
terlihat memandang rendah sekali. Baru ketika
serangan itu menyambar dekat, tangannya
bergerak memapak dengan sikap jari-jari tangan
yang sama.
Prattt..!
Benturan keras terdengar begitu jari-jari
tangan yang sama-sama mengandung kekuatan
tenaga dalam tinggi berbenturan. Raksagala
menyeringai. Tampak jelas kalau laki-laki
berwajah pucat ini merasa kesakitan. Seluruh
tangannya terasa bagai lumpuh, sehingga tak
mampu digerakkan lagi. Apalagi jari-jari
tangannya! Sakit dan ngilu bukan main. Seolah-
olah, jari-jari tangannya tadi bukan berbenturan
dengan jari-jari tangan seorang nenek-nenek,
melainkan dengan sebatang logam yang amat
kuat!
“Hi hi hi...!”
Durgasari hanya tertawa terkikih melihat
seringai yang tampak di wajah Raksagala.
Melihat dari sikapnya, jelas kalau benturan tadi
sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi
dirinya.
Raksagala memang bukan seorang pengecut.
Meskipun sudah diketahui kalau tenaga
dalamnya tidak mampu menandingi tenaga
dalam Durgasari, tapi bukan berarti harus
menjadi gentar! Kata takut atau gentar tidak
ada dalam kamus hidupnya. Maka tanpa kenal
takut, dia kembali melompat menerjang.
Sambil tertawa terkikih, Durgasari segera
menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang
ini sudah saling bertarung sengit. Raksagala
bertarung seperti orang gila. Seluruh
kemampuan yang dimiliki dikeluarkannya. Dia
hanya mempunyai dua buah pilihan. Membunuh
atau dibunuh!
Tapi lawan yang dihadapinya adalah
Durgasari yang merupakan salah seorang
Penghuni Istana Hantu. Kepandaian nenek
berpakaian hijau ini amat tinggi. Mungkin
hanya selisih sedikit saja dengan Barong Segara.
Jangankan Raksagala, gurunya sendiri pun
belum tentu bisa mengalahkan nenek itu.
Itulah sebabnya, meskipun Raksagala telah
menyerang kalang-kabut dengan seluruh
kemampuannya, tetap saja tidak mampu
mendesak Durgasari. Jangankan mendesak,
tanda-tanda akan mendesak pun tidak juga
terlihat.
Hebat bukan main pertarungan antara
kedua orang itu. Suara menderu dan mencicit
menyemaraki pertarungan. Tanah terbongkar di
sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Raksagala menggertakkan gigi. Seluruh
kemampuannya telah dikerahkan sampai ke
puncaknya, tapi ternyata tetap tak mampu juga
mendesak lawannya. Padahal, tampak jelas
kalau nenek berpakaian hijau itu sama sekali
belum melancarkan serangan balasan.
Durgasari hanya mengelak dan menangkis,
sambil mengeluarkan tawa mengikik. Beberapa
kali tubuh Raksagala terhuyung-huyung ke
belakang, tatkala Durgasari menangkis
serangannya.
Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus
telah lewat. Dan selama itu, Raksagala belum
juga berhasil menyarangkan satu serangan pun
di tubuh lawannya.
“Hi hi hi...! Berhati-hatilah, Anak Muda!
Sekarang aku akan balas menyerang!”
Setelah berkata demikian, mendadak
gerakan Durgasari berubah. Dia tidak lagi
bersikap menunggu, tapi mulai melancarkan
serangan.
Serangan Durgasari dibuka lewat putaran
kedua tangannya di depan dada. Hebat bukan
main! Dari kedua tangan yang berputaran itu,
menyeruak angin keras yang mengandung daya
tarik amat kuat.
Raksagala terperanjat, sama sekali tidak
disangka kalau ada ilmu yang mempunyai daya
sedot seperti ini. Maka bergegas kedua kakinya
ditekankan ke tanah untuk bertahan dari
kekuatan yang akan menariknya ke depan.
Di saat Raksagala memasang kuda-kuda
kokoh agar tubuhnya tidak tertarik ke depan,
Durgasari melompat menerjang. Jari-jari kedua
tangannya nampak mengepal, kecuali jari
telunjuk dan jari tengah yang mengejang kaku.
Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah, nenek
berpakaian hijau ini menyerang Raksagala.
Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-
tubi ke arah ubun-ubun dan bawah hidung laki-
laki berwajah pucat. Memang, itu adalah dua
buah jalan darah kematian!
Raksagala terkejut bukan kepalang men-
dapat serangan susulan yang begitu mendadak.
Diakui, perasaannya begitu gugup. Namun laki-
laki berwajah pucat itu masih sempat
menyelamatkan selembar nyawanya. Tanpa
membuang-buang waktu lagi tubuhnya segera
direndahkan seraya membentuk kuda-kuda
bersilang.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan
Raksagala. Pada saat yang tepat, tangan
kanannya melakukan pukulan keras ke arah
dada Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main. Sungguh di
luar dugaan kalau dalam keadaan terjepit
seperti itu Raksagala mampu mengelak. Maka,
semua serangannya hanya mengenai tempat
kosong. Bahkan hebatnya, pemuda itu malah
mampu balik mengancam dengan serangan yang
mampu membuat isi dadanya hancur
berantakan.
Hebat dan berbahaya bukan main serangan
yang dilancarkan Raksagala. Apalagi saat itu
tubuh Durgasari tengah berada di udara. Yang
lebih membahayakan lagi, serangan itu
dilancarkan dalam jarak dekat! Lengkaplah
sudah keadaan yang membuat nenek berpakaian
hijau semakin berada dalam keadaan berbahaya.
Pada kenyataannya Durgasari benar-benar
seorang tokoh luar biasa. Dengan kesempatan
yang sangat sempit itu, tangan kirinya segera
digerakkan ke bawah untuk menangkis
serangan lawan. Tapi karena tangan kirinya
belum sempat ditarik pulang, maka yang
membentur tangan Raksagala adalah sikutnya.
Plakkk...!
Tubuh kedua tokoh yang usianya berbeda
jauh itu sama-sama terjajar ke belakang. Ini
bukan berarti tenaga mereka berimbang. Tapi,
karena kesempatan yang hanya sedikit itu
membuat tenaga dalam Durgasari tidak
sepenuhnya keluar dalam menangkis serangan.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, tidak
sulit bagi Raksagala dan Durgasari untuk segera
memperbaiki sikap.
Durgasari kini menggeram hebat Hampir
saja dia tewas di tangan lawannya. Tentu saja
ini karena kelalaiannya. Maka kini perempuan
tua itu tidak memandang rendah lagi. Maka
diputuskannya untuk mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki.
Sambil mengeluarkan pekik melengking
nyaring, Durgasari kembali melancarkan
serangan. Raksagala tahu tenaga dalam lawan
jauh lebih tinggi darinya. Maka diputuskannya
untuk menghindari serangan itu. Sesaat
kemudian, kedua orang ini telah terlibat dalam
pertarungan sengit.
Tapi pertarungan kali ini berbeda dengan
sebelumnya. Kini Durgasari telah memutuskan
untuk mengerahkan seluruh kemampuannya.
Maka Raksagala-lah yang merasakan akibatnya.
Tekanan-tekanan yang dilakukan nenek
berpakaian hijau itu terasa semakin berat.
Meskipun seluruh kemampuan yang dimilikinya
telah dikerahkan, tetap saja dia terdesak dan
terhimpit.
Tidak sampai dua puluh lima jurus,
Raksagala telah terdesak. Dan seiring semakin
lamanya mereka bertempur, keadaan Raksagala
semakin terdesak hebat Nasibnya benar-benar
mengkhawatirkan.
Menjelang jurus ketiga puluh, Raksagala
mencabut goloknya. Dan dengan senjata andalan
di tangan, dia kembali melakukan perlawanan
gigih.
Memang setelah Raksagala menggunakan
golok, keadaannya mulai membaik. Desakan-
desakan dan tekanan yang menghimpitnya,
tidak begitu terasa lagi.
Tapi itu berlangsung hanya lima puluh jurus
saja. Dan begitu memasuki jurus kelima puluh
satu, kembali Durgasari yang kini sudah bisa
mengetahui permainan golok lawan, berhasil
mendesaknya.
Pada jurus yang kelima puluh satu,
Durgasari melancarkan sebuah tendangan lurus
ke arah pergelangan tangan kanan Raksagala.
Pemuda berwajah pucat itu mencoba mengelak.
Tapi....
Takkk!
Telak dan keras sekali tendangan nenek
berpakaian hijau itu mengenai sasaran. Tak
pelak lagi, sambungan pergelangan tangan
Raksagala terlepas saat itu juga. Golok di
tangannya pun terlempar jauh.
Raksagala tahu kalau keadaannya kini amat
berbahaya. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, tubuhnya segera dilempar ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara. Maksudnya
sudah jelas, untuk memperbaiki kuda-kudanya.
“Hmh...!”
Durgasari mendengus. Nenek berpakaian
hijau yang sudah kalap ini mana sudi
membiarkan lawannya mendapatkan kesem-
patan lagi untuk memperbaiki kuda-kudanya?
Begitu Raksagala melempar tubuh ke belakang,
dia segera melompat memburu seraya
mengirimkan serangan-serangan maut
Raksagala terkejut bukan main. Keadaannya
kini benar-benar terhimpit. Tidak ada lagi
kesempatan baginya untuk memperbaiki kuda-
kudanya. Maka begitu kedua kakinya menginjak
tanah, tubuhnya langsung melenting ke
belakang untuk mencari-cari kesempatan
memperbaiki kuda-kudanya.
Tapi Durgasari benar-benar tidak akan
memberi kesempatan. Dia pun melompat
memburu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Adu kejar-kejaran yang aneh pun terjadi.
Raksagala terus-menerus melempar tubuhnya
ke belakang sementara Durgasari terus
melompat memburu ke depan. Namun, sampai
berapa lama Raksagala bisa bertahan dikejar-
kejar seperti itu?
Ki Wanara, murid-murid Perguruan Belut
Putih yang memihak Raksagala, dan Galuh
hanya memandang dengan sinar mata cemas.
Walau tidak mampu melihat secara jelas karena
cepatnya dua sosok yang tengah bertarung, tapi
mereka dapat memperkirakan dari kelebatan
bayangannya. Yang terdesak adalah kelebatan
bayangan hitam. Dan itu adalah Raksagala.
Sedangkan yang mendesak adalah kelebatan
bayangan hijau. Dan itu adalah lawan
Raksagala yang bernama Durgasari.
Sementara itu, Taraji dan murid Perguruan
Belut Putih lain sudah tidak nampak lagi di situ.
Sejak Raksagala terlibat pertarungan, mereka
semua memang sudah melarikan diri.
Di antara para penonton itu, hanya Ki
Wanara seorang yang sudah bisa menduga
penyebab Raksagala bertarung dengan nenek
berpakaian hijau itu. Dia memang telah
mengerti semua, setelah Raksagala men-
ceritakan sejelas-jelasnya.
Akhirnya saat yang gawat bagi Raksagala
pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu terjadi
ketika tubuhnya tengah berada di udara.
Durgasari melancarkan serangan maut bertubi-
tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar.
Raksagala terperanjat, apalagi disadari
kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk
mengelak atau menangkis serangan. Dia hanya
bisa pasrah diri pada kenyataan sambil
menunggu maut dengan sepasang mata ter-
belalak lebar.
Di saat yang amat gawat itulah melesat
cepat sesosok bayangan ungu memotong alur
serangan Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main, tapi tak
membatalkan serangannya. Akibatnya sudah
bisa diduga....
Plakkk, plakkk, plakkk...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali
begitu kedua tangan Durgasari dan tangan sosok
bayangan ungu itu berbenturan. Seketika itu
juga, tubuh keduanya terpental balik ke
belakang. Namun dengan gerakan manis dan
indah, keduanya berhasil mematahkan daya
lontar masing-masing. Dan kini satu sama lain
sudah mendarat ringan dan mantap di tanah.
7
Durgasari menatap tajam sosok bayangan ungu
yang befdiri di hadapannya. Namun demikian,
hatinya berdebar tegang. Raut keterkejutan
yang amat sangat tampak di wajahnya. Betapa
tidak? Sosok bayangan ungu yang kekuatan
tenaga dalamnya telah membuatnya terkejut,
ternyata hanyalah seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh satu tahun. Tidak salahkah
yang dirasakannya tadi? Benarkah kekuatan
tenaga dalam pemuda berpakaian ungu itu
demikian kuatnya? Atau tadi ada kesalahan
dalam pengerahan tenaganya?
Rasa penasaran membuat Durgasari mem-
perhatikan pemuda berpakaian ungu itu lekat-
lekat. Ada satu hal yang menarik perhatian
nenek itu. Rambut pemuda itu ternyata tidak
hitam seperti rambut pemuda pada umumnya.
Tapi putih. Putih keperakan lagi!
Nenek berpakaian hijau itu juga melihat
adanya sebuah guci arak yang tersampir di
punggung pemuda berpakaian ungu itu.
“Hm.... Pemuda pemabukan!” ejek Durgasari
dalam hati.
Sementara itu, pemuda berpakaian ungu itu
juga memandang nenek di depannya dengan
kening agak berkerut. Sebab, sejak tadi nenek
itu seperti orang bingung saja. Matanya melotot,
namun suaranya tak terdengar.
“Siapa kau, Anak Muda Keparat?! Mengapa
mencampuri urusanku?! Apa sudah bosan
hidup?!” tanya Durgasari keras setelah puas
mengamati pemuda yang telah menyelamatkan
nyawa Raksagala.
“Aku Arya, seorang pengelana. Maafkan bila
aku telah mencampuri urusanmu. Tapi
ketahuilah, aku tidak bermaksud demikian. Aku
hanya tidak bisa berdiam diri melihat adanya
kesewenang-wenangan di depan mataku!”
Pemuda berpakaian ungu yang ternyata
Arya alias Dewa Arak itu memang kebetulan
lewat desa ini. Kemudian dia tertarik dengan
pertarungan Raksagala melawan Durgasari.
Langsung dihampirinya Ki Wanara yang sudah
tidak ditemani Galuh. Gadis itu memang sejak
tadi bersembunyi di rumahnya.
Dewa Arak kemudian menanyakan sebab-
sebab pertarungan itu berlangsung. Setelah
mendapat penjelasan dari Ki Wanara, barulah
dia berani turun tangan.
“Tidak usah berbasa-basi, Monyet Kecil! Kau
tahu, tidak ada ampun bagi orang yang telah
berani mencampuri urusan Durgasari! Tidak
terkecuali kau! Jadi, tidak ada gunanya
meminta maaf atau ampun sekalipun!”
Dewa Arak tersenyum pahit. Dari sikap
keras yang ditunjukkan nenek berpakaian hijau
itu, sudah bisa diketahui kalau mengajaknya
bicara tidak akan ada gunanya lagi.
Pertarungan tidak mungkin bisa dielakkan.
Durgasari telah mengeluarkan kata-kata
bernada tantangan. Dan bukan Dewa Arak
namanya kalau nyalinya ciut hanya karena
mendapat tantangan.
Raksagala adalah seorang yang berwatak
gagah dan ksatria. Yang mempunyai urusan
dengan Durgasari adalah dirinya sendiri. Bukan
pemuda berambut putih keperakan yang
didengarnya bernama Arya. Maka begitu
keadaan tampaknya sudah mulai memanas, dia
melangkah maju.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak!
Tapi, apa yang dikatakan nenek itu benar. Kau
sama sekali tidak mempunyai urusan dengan-
nya. Lebih baik, kau tidak usah mem-
pertaruhkan nyawa untuk membelaku,” ucap
Raksagala pada Dewa Arak.
Arya menoleh. Sepasang matanya menatap
tajam wajah Raksagala. Dewa Arak adalah
seorang yang cepat tanggap. Dia tahu, mengapa
laki-laki berwajah pucat itu melarangnya.
Raksagala tidak ingin dia tewas di tangan nenek
berpakaian hijau itu. Hal ini membuat Arya
merasa kagum. Dengan sendirinya, semakin
besar keinginan di hatinya untuk menolong
pemuda berpakaian hitam itu.
“Maaf, Kisanak. Bukannya aku tidak suka
menuruti nasihatmu. Tapi aku pantang menolak
tantangan. Aku bukan seorang pengecut!”
tandas Arya tegas.
Mendengar jawaban Dewa Arak, Raksagala
tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dengan
langkah lesu kakinya melangkah mundur.
“Hati-hatilah, Kisanak,” ucap Raksagala.
“Dia adalah lawan yang amat tangguh.”
“Akan kuperhatikan nasihatmu,” sahut Dewa
Arak membesarkan hati Raksagala.
Baru saja Raksagala melangkah mening-
galkan Dewa Arak, Durgasari sudah mengirim-
kan serangan.
Nenek berpakaian hijau itu membuka
serangannya dengan memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada.
Dewa Arak terperanjat ketika merasakan
ada kekuatan aneh yang membetot tubuhnya.
Otaknya yang memang cerdas langsung saja bisa
menduga kalau lawannya memiliki sebuah ilmu
yang mengandung tenaga membetot. Maka
buru-buru dikerahkannya ilmu 'Pasak Bumi'.
Kekuatan tenaga dalam langsung disalurkan
pada kakinya, agar kuat berpijak seperti akar
pohon besar.
Usaha yang dilakukan Arya sama sekali
tidak sia-sia. Berkat ilmu 'Pasak Bumi',
kekuatan daya sedot itu sama sekali tidak
berarti apa-apa. Memang ada angin keras yang
berusaha membetotnya. Tapi berkat ilmu itu,
betotan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tapi Durgasari tidak kecewa melihat
kenyataan ini. Dia memang tidak terlalu
berharap usahanya akan membuahkan hasil.
Toh, tadi telah dibuktikan sendiri kalau
Raksagala pun sanggup memunahkan daya
sedotnya.
Maka begitu Dewa Arak tampak sibuk
mengerahkan tenaga untuk melawan betotan
itu, segera dikirimkannya serangan. Kaki
kanannya meluncur cepat ke arah leher,
mengirimkan sebuah tendangan miring. Angin
yang menderu keras mengiringi serangan itu.
Arya yang memang sudah menduga hal itu
sama sekali tidak gugup. Cepat kakinya
melangkah ke belakang seraya merendahkan
tubuhnya. Sehingga, serangan itu hanya
mengenai tempat kosong, lewat sejengkal di atas
kepalanya.
Pada saat yang bersamaan, pemuda
berambut putih keperakan ini menjumput guci
araknya. Kemudian guci itu diangkat ke atas
kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu
juga, ada hawa hangat merayap di dalam
perutnya. Kemudian, terus merayapi naik ke
atas kepala secara perlahan-lahan. Sekejap saja
tubuh Arya mulai meliuk-liuk.
Durgasari menggeram begitu melihat
serangannya berhasil dielakkan. Segera saja
dikirimkannya serangan susulan berupa
tendangan kaki kanan ke arah kepala Dewa
Arak. Tentu saja ini karena sikap pemuda
berambut putih keperakan itu tengah
membentuk kuda-kuda rendah. Kalau Arya
tengah berdiri, mungkin tendangan itu hanya
mengenai pusarnya.
Cepat bukan main serangan susulan itu tiba.
Mungkin hanya berbeda waktu sedikit saja
dengan tendangan yang pertama kali. Walaupun
begitu, Arya sama sekali tidak mengalami
kesulitan untuk menangkalnya. Apalagi,
pemuda berambut putih keperakan itu telah
menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang mampu
membuat gerakan yang bagaimanapun sulitnya.
Masih dengan tubuh meliuk-liuk, Dewa Arak
menggerakkan gucinya menangkis tendangan
yang mengarah ke kepalanya.
Banggg...!
Suara berdentang keras terdengar ketika
kaki Durgasari berbenturan dengan guci Dewa
Arak. Seketika itu pula, tubuh kedua belah
pihak sama-sama terhuyung ke belakang.
Durgasari terhuyung dua langkah, sedangkan
Dewa Arak hanya satu langkah. Jelas, kalau
dalam adu tenaga Dewa Arak masih lebih kuat
Durgasari menggeram. Kini tidak ada lagi
keraguan dalam hatinya. Pemuda berambut
putih keperakan ini adalah seorang lawan yang
amat tangguh. Dan ini bisa diketahui dari
kekuatan tenaga dalam lawan yang ternyata
lebih kuat darinya.
Hal ini tentu saja membuat Durgasari
penasaran bukan kepalang. Masa dia harus
mengaku kalah dengan seorang pemuda yang
pantas menjadi cucunya? Pikiran ini membuat
nenek berpakaian hijau itu mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Tapi lawan yang dihadapi Durgasari kali ini
adalah Dewa Arak. Seorang yang meskipun
masih muda, tapi telah memiliki tingkat
kepandaian tak tertandingi. Bukan hanya itu
saja. Pemuda berambut putih keperakan ini juga
telah memiliki pengalaman bertanding yang
tidak sedikit. Tak terhitung, sudah berapa kali
Arya terlibat pertarungan dengan tokoh yang
memiliki kepandaian menggiriskan.
Maka meskipun Durgasari telah mengerah-
kan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak
mampu mendesak Dewa Arak. Ilmu 'Belalang
Sakti' benar-benar menjadikan Arya sebagai
lawan yang teramat tangguh.
Hebat bukan main akibat dari pertarungan
antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi ini. Angin menderu, mencicit,
dan mengaung terdengar menyemaraki
pertarungan itu. Bukan hanya itu saja. Tanah
terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar.
Debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan
para penonton pun bergerak menjauhi arena
pertarungan, karena khawatir terkena serangan
nyasar.
“Luar biasa...,” desah Raksagala penuh
kagum. “Pemuda itu memiliki kepandaian yang
amat tinggi. Ilmu silatnya pun aneh....”
“Tidak perlu heran, Raksagala,” ucap Ki
Wanara. “Pemuda itu adalah Dewa Arak...! Dia
tadi menghampiriku, dan sempat memperkenal-
kan namanya. Begitu aku yakin kalau dia benar-
benar Dewa Arak, maka kuceritakan segalanya
tentang dirimu.”
“Dewa Arak?” Raksagala mengerutkan
alisnya. “Orang seusia dia sudah mempunyai
julukan?!”
“Jadi, kau belum pemah mendengar
julukannya?” Ki Wanara yang kini ganti
bertanya.
Raksagala menggeleng.
“Apakah julukan itu begitu terkenal, Ki?”
Ki Wanara menggeleng-gelengkan kepala
melihat keluguan Raksagala. Dia memang
merasa heran mendengar Raksagala sama sekali
belum mendengar julukan Dewa Arak. Tapi
ketika teringat kalau Raksagala terkungkung
selama belasan tahun di dalam sebuah
bangunan yang bemama Istana Hantu, dia tidak
merasa heran lagi.
“Julukan itu bukan hanya terkenal saja,
Raksagala. Tapi juga menggemparkan!” jawab
Ki Wanara setengah memberi tahu. “Banyak
sudah tokoh sakti aliran hitam yang tewas di
tangannya.”
“Ah...! Jadi, dia seorang pendekar, Ki?”
Raksagala menudingkan telunjuknya ke arah
Dewa Arak yang masih sibuk bertarung meng-
hadapi Durgasari.
“Bukan hanya seorang pendekar saja,
Raksagala. Dewa Arak adalah seorang pendekar
besar! Sudah tidak terhitung kelaliman yang
merajalela di persada ini dibasminya,” sahut Ki
Wanara, menguatkan penuturan Raksagala.
Raksagala terdiam. Ada perasaan kagum
menyelinap di hatinya terhadap Dewa Arak.
Apalagi ketika melihat sendiri kalau berkali-kali
Durgasari terhuyung-huyung setiap kali terjadi
benturan antara mereka. Dari sini saja sudah
bisa dinilai keunggulan Dewa Arak! Dan mau
tak mau, hal ini membuatnya kagum setengah
mati.
Sementara itu di arena pertarungan, Dewa
Arak semakin menunjukkan keunggulannya.
Pertarungan memang sudah berlangsung lebih
dari seratus jurus. Dan sekarang keadaan
Durgasari sudah semakin mengkhawatirkan.
Walau nenek berpakaian hijau itu sudah
mengeluarkan senjata andalan yang berupa
sebuah sabuk, tapi tetap saja tidak mampu
menahan tekanan-tekanan Dewa Arak.
Dewa Arak dengan menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' benar-benar menjadi seorang
lawan yang amat berat bagi Durgasari. Kedua
tangannya yang disertai ilmu 'Belalang Sakti',
guci di tangannya, semburan-semburan araknya,
gerakannya yang aneh, dan tenaganya yang
seperti tidak pernah habis, merupakan kesatuan
yang mampu menggilas habis semua perlawanan
Durgasari. Robohnya nenek berpakaian hijau ini
hanya tinggal menunggu saatnya saja.
Hati Durgasari terpukul bukan kepalang
menerima kenyataan ini. Rasanya bagaikan
mimpi ketika menyadari kalau Dewa Arak
memang lebih unggul darinya. Setiap serangan-
nya kandas sama sekali. Sedangkan setiap
serangan yang dilancarkan lawan selalu
membuatnya pontang-panting untuk menyelamatkan diri.
Rasa penasaran, marah, dan terpukul mem-
buat Durgasari menjadi nekat. Nenek ber-
pakaian hijau ini jadi tidak mempedulikan
keselamatan diri lagi. Dan kini perhatiannya
hanya dipusatkan pada satu sisi saja.
Menyerang! Tidak dipedulikannya lagi per-
tahanan dirinya.
Memang dengan cara seperti ini, serangan
serangan Durgasari jadi semakin dahsyat.
Tekanan-tekanan setiap serangannya pun
semakin berat. Tapi karena tindakannya itu,
pertahanannya jadi lemah. Banyak celah kosong
di sana sini bagi Dewa Arak untuk me-
masukkan serangan.
Sebuah keuntungan bagi Durgasari, Arya
sama sekali tidak berminat mencelakainya.
Dewa Arak bertarung menghadapi nenek
berpakaian hijau itu hanya karena tidak sudi
dianggap pengecut. Sama sekali tidak ada
maksud di hatinya untuk melukai nenek itu.
Masalahnya, dia sama sekali tidak mempunyai
urusan dengan Durgasari.
Karena dasar pemikiran seperti itulah, Dewa
Arak sama sekali tidak mau memanfaatkan
kesempatan yang terpampang. Pemuda
berambut putih keperakan ini hanya mengelak
dan menangkis serangan lawan. Beberapa kali
dicobanya memasukkan serangan, namun
hatinya seketika kaget, ternyata nenek itu sama
sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan pada
saat yang bersamaan, lawannya itu
melancarkan serangan pula. Jelas kalau
Durgasari hendak mengadu nyawa!
Tentu saja Arya tidak ingin bertindak bodoh.
Tidak diturutinya tindakan gila Durgasari.
Maka buru-buru serangannya ditarik pulang
seraya melompat menjauhkan diri dari serangan
nenek berpakaian hijau itu.
Kini keadaan jadi terbalik. Dalam
pandangan mata orang yang belum memiliki
tingkat kepandaian tinggi, tampaknya Dewa
Arak terdesak. Buktinya sosok bayangan ungu
itu berkali-kali bergerak menghindari setiap
serangan yang dilancarkan sosok bayangan
hijau. Hanya sekali-sekali saja sosok bayangan
ungu itu menangkis serangan.
“Apa maunya Dewa Arak ini?” gumam
Raksagala dalam hati.
Kepala pemuda berwajah pucat itu tampak
menggeleng-geleng. Dia memang tidak mengerti,
mengapa Dewa Arak malah jadi terdesak.
Padahal, dia sendiri jelas-jelas melihat kalau
pertahanan Durgasari berantakan dan terbuka
di sana-sini. Tapi, kenapa Dewa Arak tidak
memasukkan serangan ke sana? Pikiran-pikiran
itu mengganggu benak Raksagala.
“Apakah pemuda itu tidak mengetahuinya?
Mustahil!” bantah hati murid Sawungrana ini.
“Mengapa Raksagala?” Ki Wanara yang juga
bingung melihat Dewa Arak terdesak, tak tahan
untuk tidak bertanya.
“Aku tidak mengerti maksud Dewa Arak itu,
Ki,” kata Raksagala mengeluarkan ganjalan
hatinya. “Dewa Arak sepertinya tidak ingin
memanfaatkan kesempatan yang banyak
tercipta. Durgasari menyerang tanpa mem-
pedulikan bagian pertahanan lagi. Kalau saja
Dewa Arak melancarkan serangan dan tidak
hanya mengelak saja, rasanya tidak sulit untuk
merobohkan, ataupun menewaskan nenek itu.
Padahal tadi kulihat dia hampir berhasil
menyarangkan serangannya, tapi malah ditarik
kembali. Aneh...!”
Ki Wanara mengerutkan dahinya, namun
sebentar kemudian hatinya menjadi lega. Dewa
Arak sama sekali tidak terdesak. Kini
pandangannya kembali dilayangkan ke arah
pertempuran. Ucapan keheranan Raksagala
sama sekali tidak dipedulikannya.
Di arena pertarungan, sepak terjang
Durgasari semakin membabi buta. Nenek
berpakaian hijau ini terus melancarkan
serangan, tanpa mempedulikan pertahanan.
Apalagi ketika menyadari kalau perlahan-lahan
dia berhasil mendesak Dewa Arak.
Ctarrr...!
Sabuk di tangan Durgasari melecut mem-
perdengarkan ledakan nyaring yang memekak-
kan telinga. Kemudian dengan gerakan meliuk-
liuk seperti seekor ular, sabuk itu mematuk ke
arah kepala Dewa Arak.
Arya terperanjat ketika menyadari kalau
dirinya berada dalam keadaan sulit. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa
kali.
Sementara Durgasari mana mungkin
membiarkan lawannya lolos? Maka buru-buru
nenek ini bergerak mengejar. Sabuk di
tangannya, dan kakinya melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak punya cara lain lagi untuk
mengelakkan diri terhadap serangan susulan
yang cepat datangnya. Tubuhnya kembali
bergulingan di tanah untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Kini terjadilah tontonan
yang menarik. Dewa Arak yang terus-menerus
berguling untuk menyelamatkan diri, dan
Durgasari yang terus mengejarnya dengan
serangan-serangan maut.
“Hih...!”
Ctar...!
Kembali sabuk di tangan Durgasari melecut
ke arah tubuh Dewa Arak yang masih
bergulingan.
Kali ini Dewa Arak bertindak nekat.
Disadarinya kalau tidak mungkin mengelak
dengan cara seperti itu terus-menerus. Maka
dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya,
tubuhnya melenting ke atas. Sebuah perbuatan
yang sangat berbahaya!
Ctarrr...!
Tanah langsung terbongkar ketika sabuk itu
menghantam telak permukaan tanah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara. Tapi tubuh Dewa
Arak sudah tidak tampak lagi di sana, karena
telah melenting ke atas.
Tapi Durgasari memang sudah sejak tadi
memperhitungkan hal itu. Maka begitu tubuh
lawannya terlihat melenting, cepat-cepat
dijegalnya. Tangan kirinya dengan jari-jari
terbuka memapak tubuh yang tengah melenting
dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sebuah
serangan mematikan!
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Maka
cepat tangan kirinya diangkat untuk menangkis.
Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak
menyampok ke arah pelipis lawan.
Plakkk! Prakkk...!
Dua buah bunyi yang berbeda, terdengar
saling bersusulan. Bunyi pertama adalah bunyi
benturan antara tangan kiri Dewa Arak dengan
tangan kiri Durgasari. Sementara suara
berderak yang kedua adalah ketika sampokan
Dewa Arak mengenai sasaran.
Durgasari memang sejak tadi sudah tidak
mempedulikan pertahanan. Akibatnya, begitu
Dewa Arak melancarkan serangan, dia tidak
mampu mengelak. Yang ada di benaknya hanya
satu, mengadu nyawa!
Tanpa mengeluarkan suara keluhan apa pun,
tubuh Durgasari terlempar, lalu jatuh berdebuk
di tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat,
kemudian diam tidak bergerak lagi di tanah.
Arya terpaku melihat sosok tubuh lawannya
yang kini telah menjadi mayat. Raut wajahnya
memancarkan penyesalan yang amat sangat.
Dan memang hatinya menyesal bukan main. Dia
memang tidak ingin membunuh nenek itu,
sehingga sejak tadi hanya berusaha menjaga diri
saja. Tapi keadaan terakhir kali, membuatnya
tidak punya pilihan lagi. Pilihannya hanya dua.
Membunuh atau dibunuh! Dan tentu saja dia
memilih yang pertama.
Melihat keunggulan Dewa Arak, Raksagala,
dan Ki Wanara, segera bergerak menghampiri
Dewa Arak. Di raut wajah mereka semua
terpancar perasaan lega melihat Durgasari
berhasil dibinasakan.
Tapi seri kegembiraan di wajah mereka
lenyap, dan kini berganti dengan raut
kebingungan ketika melihat wajah Dewa Arak.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan,
namun sebaliknya malah menyiratkan
penyesalan. Karuan saja hal ini membuat
mereka bingung.
“Aku tidak bermaksud membunuhnya...,”
keluh Arya. Pelan dan tak bersemangat
suaranya. Jelas, ucapan itu keluar dari hati
yang terpukul.
Karuan saja ucapan itu membingungkan
orang-orang yang berada di dekatnya. Tapi
sesaat kemudian Raksagala mengerti, mengapa
Dewa Arak tidak memanfaatkan banyak
kesempatan yang ada. Rupanya Arya ternyata
memang tidak ingin menurunkan tangan kejam
pada lawannya.
Ki Wanara tahu perasaan yang berkecamuk
dalam hati Dewa Arak. Maka kakek berpakaian
putih ini bergerak lebih mendekat lagi,
kemudian perlahan-lahan ditepuknya bahu
Arya.
“Lupakanlah hal itu, Dewa Arak. Kau sama
sekali tidak bermaksud membunuhnya, bukan?
Tapi Durgasari terlalu memojokkanmu, sehingga
kau tidak punya pilihan lagi. Itu berarti bukan
kau yang membunuhnya, tapi dirinya sendiri
yang membuatmu terpaksa membunuhnya. “
Ki Wanara memberi nasihat sekenanya saja.
Tapi kakek berpakaian putih ini sama sekali
tidak menyadari kalau semua nasihatnya tepat
sekali.
“Tapi biar bagaimanapun..., dia tewas di
tanganku, Ki,” bantah Arya seraya menatap
wajah Ki Wanara.
“Dia memang pantas untuk tewas, Dewa
Arak,” sahut Ki Wanara lagi.
Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian
penuturan Raksagala tentang rencananya sejak
dari Istana Hantu hingga sampai ke Desa Kali
Asem. Semuanya sudah jelas. Tadi Ki Wanara
juga telah bercerita demikian. Jadi, Dewa Arak
memutuskan untuk membantu pemuda
berwajah pucat itu, walaupun hal itu belum
diutarakannya.
Raksagala melangkah menghampiri murid-
murid Perguruan Belut Putih yang masih saja
menunggu di depan rumah Ki Wanara dengan
sabar.
Begitu melihat Raksagala menghampiri,
serentak mereka pun bergerak menghampiri.
Salah seorang dari belasan murid Perguruan
Belut Putin itu melangkah maju begitu kedua
belah pihak telah berhadapan dalam jarak tiga
tombak.
“Maaf, bukannya aku tidak percaya. Tapi
benarkah kau urusan ketua kami, Kisanak,”
tanya murid Perguruan Belut Putih yang
ternyata bertindak sebagai juru bicara itu. Dia
adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan
berotot. Usianya mungkin tak kurang dari tiga
puluh tahun.
“Benar,” Raksagala menganggukkan kepala-
nya. “Aku adalah utusan Ki Sawungrana.
Namaku Raksagala. Aku diutus untuk mem-
benahi semua kericuhan yang terjadi di
Perguruan Belut Putih. Itu bila memang benar
ada kerusuhan.”
“Semua kericuhan itu memang benar ada,
Raksagala,” tanpa ragu-ragu lagi laki-laki
bertubuh kekar berotot ini menyebut Raksagala
dengan namanya saja. “Perguruan Belut Putih
sekarang diketuai oleh Kalasura, seorang murid
kepala Perguruan Belut Putih juga. Tapi sayang,
wataknya tidak baik. Banyak di antara kami
yang menentang. Tapi dengan cara halus
maupun kasar, dia berhasil menyingkirkannya.
Kelompok Kalasura sangat kuat. Apalagi dia
pun dibantu tokoh-tokoh aliran hitam.”
Laki-laki bertubuh kekar berotot ini meng-
hentikan ceritanya untuk mengambil napas
seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan
ucapannya. Matanya menerawang jauh, seperti
mengingat-ingat kejadian yang menimpa
perguruannya.
“Banyak di antara murid Perguruan Belut
Putih yang menentang, tapi berhasil dipatah-
kan. Terpaksa kami berdiam diri. Apalagi
karena di pihak kami tidak ada lagi tokoh yang
bisa diandalkan. Semua murid kepala
Perguruan Belut Putih yang bersifat jujur telah
tewas. Sementara di pihak Kalasura cukup
banyak. Kini dengan adanya kau, Raksagala,
kami siap menentang mereka kembali. Kita
harus merubah Perguruan Belut Putih menjadi
perguruan beraliran putih kembali! Kami yakin,
masih banyak anggota Perguruan Belut Putih
yang hanya terpaksa mengikuti kemauan
Kalasura,” mantap dan penuh semangat ucapan
laki-laki kekar berotot itu.
Dan semua kepala rekan-rekannya yang
berdiri di belakangnya terangguk begitu laki-
laki kekar berotot itu menghentikan ucapannya.
Jelas, mereka semua setuju dengan keputusan
yang diambil rekan mereka itu.
“Kalau begitu, mari kita serbu mereka!”
Raksagala memutuskan dengan penuh semangat
“Kami ikut, Raksagala.”
Raksagala menoleh begitu mendengar
ucapan itu. Tampak Dewa Arak dan Ki Wanara
tengah bergerak menghampiri mereka.
“Kau...?!”
Arya tersenyum lebar. Dia tahu kalau
Raksagala merasa keberatan kalau dia ikut
campur tangan. Dewa Arak tahu, pemuda
berwajah pucat itu ingin menyelesaikan tugas
gurunya sendiri.
“Kedatanganku yang secara kebetulan ke
desa ini, dan setelah mendengar dari Ki Wanara
kalau ada kesewenang-wenangan yang terjadi di
Perguruan Belut Putih, telah menarik hatiku
untuk membantumu, Raksagala. Yahhh....
Barangkali saja, tenagaku agak berguna di sana.
Paling tidak, cukup untuk melindungi kau dan
murid-murid Perguruan Belut Putih merebut
kembali perguruan yang telah dikotori itu.”
Raksagala tidak bisa menolak lagi. Alasan
yang dikemukan Arya membuatnya tidak bisa
membantah lagi.
Walaupun tidak memperliatkannya dalam
raut wajah dan sikap, karena merasa tidak enak
pada Raksagala, murid-murid Perguruan Belut
Putih ini sebenarnya merasa gembira bukan
main atas ikutnya Dewa Arak bersama mereka.
Telah mereka saksikan sendiri kelihaian
pemuda berambut putih keperakan itu. Dan
pada kenyataannya, Arya jauh lebih lihai
daripada Raksagala! Padahal, pemuda yang
mengaku murid Sawungrana juga lihai bukan
main. Mereka juga telah menyaksikan kalau
Raksagala bertarung menggunakan ilmu-ilmu
Perguruan Belut Putih.
Tak lama kemudian, rombongan itu pun
berangkat menuju Perguruan Belut Putih.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya murid-
murid Perguruan Belut Putih ini melirikkan
mata untuk melihat wajah Dewa Arak. Sungguh
tak disangka kalau mereka bisa bertemu tokoh
yang julukannya begitu mengguncangkan dunia
persilatan. Dan ternyata, orangnya masih sangat
muda.
Di antara mereka semua, hanya Ki Wanara
saja yang sama sekali tidak melirik ke sana
kemari. Kakek berpakaian putih ini ingin cepat
sampai di tempat tujuan. Dia ingin markas
Perguruan Belut Putih cepat direbut kembali.
***
8
“Rupanya mereka telah bersiap-siap,” kata
Raksagala ketika melihat pintu gerbang yang
tertutup rapat.
“Hati-hati, Raksagala,” ujar laki-laki kekar
berotot yang telah memperkenalkan namanya
sebagai Diraga, setengah memberi tahu.
“Kalasura adalah seorang berwatak licik. Aku
yakin, dia telah menempatkan murid-murid
Perguruan Belut Putih di bagian atas pintu
gerbang. Mereka akan membidikkan panah,
agar kita tidak bisa mendekat”
Raksagala terdiam karena memang tidak
mengetahui hal itu.
“Apakah tidak akan ada bantuan dari dalam
markas? Bukankah kau tadi mengatakan
banyak murid Perguruan Belut Putih yang tidak
suka terhadap tindakan Kalasura?” tanya
Raksagala, bernada tuntutan.
“Dari mana mereka tahu akan hal itu,
Raksagala?” Diraga malah balik bertanya.
“Tentu saja dari orang-orang yang telah
kuberi pelajaran tadi!” sahut Raksagala tandas.
“Mereka tidak akan begitu bodoh untuk
mengatakan secara terbuka mengenai dirimu di
hadapan begitu banyak orang. Bila hal itu
diceritakan, akan menimbulkan pemberontakan.
Orang-orang itu pasti hanya mengatakannya
secara terus terang pada kelompoknya.”
Raksagala mengangguk-anggukkan kepala.
Bisa diterima alasan yang dikemukakan Diraga
itu.
Suasana hening sejenak tercipta setelah
Diraga menghentikan ucapannya. Karena
memang Raksagala tidak lagi menyambutinya.
“Kalau begitu..., lebih baik aku yang masuk
lebih dulu untuk melihat keadaan di dalam,”
tandas Raksagala setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
“Tapi sangat berbahaya, Raksagala,” sergah
Diraga khawatir. “Kalasura adalah orang licik.
Dia tidak, segan-segan, menggunakan cara apa
pun demi mencapai kemenangan.”
“Aku akan berhati-hati, Diraga,” sahut
Raksagala cepat.
“Hhh...!”
Diraga hanya dapat menghela napas berat.
Laki-laki kekar berotot ini tahu kalau Raksagala
tidak bisa dicegah lagi. Jadi rasanya akan sia-sia
jika terus mencegahnya. Dia merasakan adanya
tekanan dalam ucapan Raksagala yang terakhir.
Tekanan yang tidak menghendaki adanya
bantahan. Maka, pendapatnya tidak diutara-
kannya lagi.
Setelah mengedarkan pandangan berkeliling,
Raksagala segera melesat ke depan. Tidak ada
serbuan anak panah seperti yang dikatakan
Diraga. Huh! Dia terlalu khawatir, keluh
Raksagala dalam hati.
“Hih...!”
Begitu telah berada di depan pintu gerbang
Perguruan Belut Putih, laki-laki berwajah pucat
ini menjejakkan kakinya. Seketika tubuhnya
melambung ke atas. Dan begitu telah melewati
pagar yang tinggi dan kokoh, tubuhnya berputar
di udara.
“Hup...!”
Baru saja kedua kaki Raksagala mendarat di
tanah, belasan orang berpakaian abu-abu sudah
berkelebat mengurungnya. Bukan hanya itu
saja. Tampak belasan orang lain, melompat ke
atas dengan anak panah siap dilesatkan. Kini
Raksagala mengerti. Mereka memang sengaja
membiarkannya masuk sendirian. Jadi apa yang
dikatakan Diraga ternyata benar.
Tapi Raksagala sama sekali tidak kelihatan
gentar. Meskipun tahu kalau dirinya sengaja
dijebak, dia tidak mengirim pemberitahuan
kepada kawan-kawannya di luar pagar kalau
dirinya terancam.
“Ha ha ha...! Sungguh besar nyalimu, Anak
Muda,” kata orang yang tak lain dari Taraji.
Tangan kanannya nampak tergantung lemah di
sisi pinggang. Jelas, akibat perbuatan Raksagala
masih tersisa. “Jangan harap dapat keluar dari
sini dalam keadaan hidup.”
Raksagala memandang berkeliling menatap
wajah-wajah orang yang mengurungnya. Tidak
lebih dari dua puluh orang.
“Inikah orang yang kau ceritakan itu,
Taraji?!”
Mendadak terdengarsuara keras bergaung.
Sesaat kemudian, muncul seorang laki-laki
bertubuh pendek kekar tapi bercambang bauk
lebat. Sementara di sebelahnya berdiri tiga
orang berwajah kasar berpakaian kuning garis-
garis hitam.
“Benar, Ketua,” tandas Taraji seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
Laki-laki bercambang bauk lebat yang
ternyata Kalasura, kini mengalihkan perhatian
kembali pada Raksagala. Sepasang matanya
merayapi selebar wajah pemuda berwajah pucat
itu.
“Jangan mimpi untuk dapat membuat
khayalanmu jadi kenyataan, Bocah!” dengus
Kalasura. “Kau hanya akan mengantarkan
nyawa di sini, tahu?!”
Raksagala menatap wajah laki-laki
bercambang bauk lebat di hadapannya beberapa
saat, lalu beralih pada tiga orang kasar yang
berdiri di sebelahnya. Baru kemudian,
perhatiannya tertumpah pada murid-murid
Perguruan Belut Putih yang mengepungnya.
Sikap pemuda berwajah pucat ini terlihat tenang
saja. Padahal, seluruh urat syaraf dan ototnya
menegang waspada.
Perlahan-lahan tangan Raksagala
menyelinap masuk ke batik baju. Sudah bisa
ditebak maksudnya. Ya! Pemuda berwajah pucat
itu ingin mengeluarkan tongkat pemberian
gurunya.
Kalasura rupanya sudah mengetahui
maksud Raksagala. Dan dia tidak ingin hal itu
terjadi. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, dia melompat menerjang. Kedua tangannya
menegang kaku, melancarkan totokan bertubi-
tubi ke arah leher dan bawah hidung Raksagala.
Belum juga serangan Kalasura tiba, tiga
orang berwajah kasar itu melompat menerjang
pula. Dalam sekejap saja, Raksagala sudah
menghadapi empat buah serangan dari empat
penjuru, dan semuanya mengarah ke tempat-
tempat yang mematikan!
Mau tak mau, Raksagala membatalkan
maksudnya semula. Benaknya berputar keras
untuk menghadapi serangan keempat orang
lawannya ini. Sesaat kemudian, dia sudah bisa
memutuskan. Sepasang matanya yang awas
dapat cepat mengetahui kalau di antara
keempat serangan itu, serangan Kalasura-lah
yang menyambar paling dulu. Maka, diputus-
kannya untuk menanggulangi serangan laki-laki
bercambang bauk lebat itu terlebih dulu.
Plakkk, plakkk, plakkk...!
Benturan keras terdengar berkali-kali ketika
Raksagala menangkis semua serangan lawan.
Sadar akan keadaannya yang tidak mengun-
tungkan, pemuda berwajah pucat ini tidak
segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuan
yang dimiliki.
Akibatnya memang hebat! Tubuh Kalasura
terhuyung-huyung jauh ke belakang. Mulutnya
menyeringai menahan sakit Dan memang,
benturan antara tangannya dengan tangan
Raksagala membuat kedua belah tangannya
terasa sakit bukan main. Bukan hanya itu saja.
Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Sedangkan Raksagala kelihatan sama sekali
tidak terpengaruh benturan itu. Bahkan sehabis
menangkis serangan, laki-laki berwajah pucat
ini melompat melewati atas kepala Kalasura.
Akibatnya, semua serangan dari ketiga orang
lawannya hanya mengenai tempat kosong.
Tapi Kalasura dan ketiga orang kasar itu
rupanya tidak mau memberi kesempatan. Begitu
Raksagala melompat menjauh, mereka semua
segera melesat memburu dan menghujaninya
dengan serangan serangan berbahaya. Per-
tarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi.
Kali ini Raksagala harus menguras seluruh
kemampuannya. Apalagi keempat lawan itu
memiliki kepandaian tinggi. Walaupun bila
dihadapi satu persatu keempat orang lawan itu
masih di bawahnya, tapi cara bertarung mereka
keroyokan. Mau tak mau, Raksagala jadi
kerepotan juga.
Kalasura merasa penasaran bukan kepalang.
Seperti juga Raksagala, dia adalah murid
langsung dari Ki Sawungrana. Hanya saja, laki-
laki bercambang bauk lebat itu tidak memiliki
seluruh ilmu gurunya. Lain halnya dengan
Raksagala yang menerima semuanya.
Sementara Raksagala menghadapi lawan-
lawannya, sementara itu pula murid Perguruan
Belut Putih yang berada di atas pagar bambu
menjepretkan panah ke arah Dewa Arak dan
murid-murid Perguruan Belut Putih lain yang
berada di luar pagar.
Twanggg...! Twanggg...!
Saat itu Dewa Arak bersama rombongan
murid Perguruan Belut Putih telah bergerak
menuju gerbang. Di tangan mereka sudah
tergenggam senjata terhunus. Rupanya mereka
semua merasa tidak sabar lagi menunggu
Raksagala. Maka diputuskanlah untuk segera
menyusulnya.
Melihat hujan anak panah itu, Arya segera
memutar-mutarkan tangannya. Luar biasa...!
Belasan anak panah itu berpentalan tak tentu
arah ketika angin yang amat kuat keluar dari
kedua tangannya yang berputar. Sebagian besar
anak panah itu runtuh sebelum mengenai
sasaran. Ada beberapa di antaranya yang lolos,
tapi dengan mudah berhasil dipatahkan dengan
ayunan senjata murid-murid Perguruan Belut
Putin.
Berkali-kali hujan anak panah itu ber-
hamburan ke arah rombongan yang memaksa-
kan diri untuk masuk ke Perguruan Belut Putih,
tapi semuanya berhasil dipunahkan.
Brakkk...!
Suara berderak keras terdengar ketika pintu
gerbang Perguruan Belut Putih hancur
berantakan. Dewa Arak memang telah meng-
gunakan kekuatan tenaga dalam untuk
merobohkan pintu itu dengan kekerasan.
Begitu pintu terbuka, rombongan itu segera
bergerak menyerbu ke dalam seraya berteriak-
teriak mengajak rekan-rekan mereka untuk
bergabung menentang tindakan Kalasura.
Dewa Arak yang takut terjadi pertumpahan
darah besar-besaran, segera melesat ke arah
pertarungan antara Raksagala dengan keempat
orang lawannya.
“Mundur Raksagala...! Cegah pertumpahan
darah!” teriak Arya.
Raksagala tidak membantah. Begitu Arya
tampak meluruk masuk ke kancah pertarungan,
dia melompat menghindar. Dan ketika kedua
kakinya hinggap di tanah, tongkatnya segera
diacungkan tinggi-tinggi ke atas.
“Murid-murid Perguruan Belut Putih
semua...! Lihat tongkat ini baik-baik,..! Aku
adalah wakil penuh Ki Sawungrana! Kumohon
kalian yang masih belum tersesat, bantu kami
menumpas kelaliman Kalasura...!”
Keras bukan main suara Raksagala karena
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Serempak semua kepala menoleh begitu
mendengar nama Ki Sawungrana disebut.
Seketika pertarungan terhenti. Dan begitu
mendengar kata-kata Raksagala dan melihat
tongkat pusaka itu, sebagian murid Perguruan
Belut Putih yang akan menyerang rombongan
Dewa Arak berbalik haluan. Mereka kini bersatu
dengan rombongan itu.
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi.
Gerombolan anak buah Kalasura pun tidak
sedikit, karena sebagian besar adalah murid-
murid Perguruan Belut Putih yang berwatak
bobrok. Dan sebagian lagi, adalah anak buah
tiga tokoh berpakaian kuning garis-garis hitam.
Melihat keempat orang lawan telah dihadapi
Dewa Arak, Raksagala segera membantu murid-
murid Perguruan Belut Putih yang masih setia.
Kini, terjadilah dua arena pertarungan. Yang
satu antara Dewa Arak melawan Kalasura dan
kawan-kawannya. Sementara yang satu lagi
antara dua gerombolan berbeda aliran.
Jeritan kematian diiringi robohnya tubuh-
tubuh tanpa nyawa terdengar. Bumi pun
dibasahi darah yang sebagian besar keluar dari
tubuh gerombolan Kalasura. Memang dengan
adanya Raksagala, murid-murid setia Perguruan
Belut Putih berhasil mendesak lawan. Sepak
terjang Raksagala benar-benar menggiriskan.
Kemana saja tangan atau kakinya bergerak,
sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh
terbaring tanpa nyawa.
Berbareng tewasnya orang terakhir dari
gerombolan Kalasura, Kalasura dan ketiga
orang kawannya pun roboh tergeletak di tanah
tanpa mampu bergerak lagi. Dewa Arak
memang terpaksa menewaskan mereka. Dia
tahu dari Ki Wanara kalau keempat orang inilah
yang selalu merusak wanita. Sebuah perbuatan
yang amat dibencinya. Dan itulah sebabnya, dia
tidak sudi mengampuni keempat orang lawan-
nya. Dewa Arak mengamati mayat-mayat bekas
lawannya. Sementara, Raksagala juga telah
menyelesaikan pertarungannya.
Raksagala melirik Arya. Dan tentu saja
pemuda berambut putih keperakan itu tahu
maksud lirikan itu. Raksagala mengajaknya
pergi ke Istana Hantu.
“Diraga...! Uruslah semuanya...! Aku akan
pergi dulu...!” kata pemuda berwajah pucat itu
seraya melesat pergi dari situ.
Dewa Arak pun berkelebat mengikuti. Dalam
waktu sebentar saja, tubuh mereka telah lenyap
ditelan jalan. Keduanya sama sekali tidak
mempedulikan pandangan kekaguman dari
murid-murid Perguruan Belut Putih.
***
Raksagala dan Dewa Arak berlari cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Raksagala yang bertindak sebagai
petunjuk jalan, tentu saja berada agak di depan.
Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang-
nya.
Raksagala memang mengerahkan seluruh
kemampuannya. Namun Arya hanya sebagian
saja. Sebab jika seluruh ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan, sudah bisa dipastkan
Raksagala pasti akan tertinggal.
Dua hari lamanya Raksagala dan Dewa Arak
menempuh perjalanan bersama. Kini sewaktu
matahari tepat di atas kepala, mereka berdua
berjalan di tempat yang tanahnya lembek dan
banyak tergenang air.
Dewa Arak mengamati keadaan sekeliling-
nya. Udara di sekitar tempat ini demikian
lembab. Sekelilingnya penuh pepohonan. Pohon
besar dan tinggi sampai menjulang tinggi.
Raksagala terus saja melangkah melewati
jalan-jalan becek berhawa lembab yang dipenuhi
pepohonan menjulang tinggi. Dewa Arak
mengikutinya, dengan seluruh urat syaraf
menegang waspada.
“Itu dia Istana Hantu...!”
Raksagala berseru seraya menudingkan
telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar dan
megah tapi terlihat tua. Bangunan itu ber-
halaman luas. Sebuah pagar tembok yang tebal
dan terlihat tua mengelilingnya.
Dewa Arak mengikuti arah tudingan
Raksagala. Dan diam-diam pemuda berambut
putih keperakan ini mengakui kalau nama yang
diberikan untuk tempat itu memang cocok.
Bangunan itu mirip sebuah istana. Tapi menilik
keadaannya yang begitu menyeramkan, mana
ada raja atau pejabat kerajaan yang bersedia
tinggal di situ. Rasanya tidak ada seorang pun
yang mau tinggal di situ, kecuali hantu!
“Ha ha ha...!”
Mendadak terdengar suara tawa keras
menggelegar menggetarkan jantung. Jelas kalau
suara itu keluar dari mulut orang yang memiliki
tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga
Raksagala dan Dewa Arak terperanjat. Kontan
seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang
waspada, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan.
Sebelum gema suara tawa itu lenyap, di
hadapan Raksagala dan Dewa Arak telah berdiri
seorang kakek tinggi besar berpakaian merah.
Memang, pakaian kakek ini mirip pakaian
Jonggirupaksi, satu-satunya penjaga Istana
Hantu.
Melihat munculnya kakek itu, Raksagala
tanpa sadar melangkah mundur. Dia kenal
betul, siapa sosok tubuh tinggi besar itu. Dia
adalah Barong Segara, si Penghuni Istana
Hantu!
Tanpa diberi tahu lagi pun Dewa Arak sudah
bisa memperkirakan sosok yang berdiri di
hadapannya. Memang, Raksagala telah men-
ceritakan ciri-ciri Penghuni Istana Hantu ini!
Dewa Arak menatap wajah kakek ber-
pakaian merah itu lekat-lekat. Diam-diam ada
sedikit perasaan ngeri di hatinya melihat
guratan yang ada di wajah Barong Segara.
“Sungguh tidak kusangka kau memiliki nyali
juga, Monyet Kecil?!” kata Barong Segara keras
seraya melayangkan pandangan pada
Raksagala. “Rupanya kau pun ingin cepat-cepat
menjadi bangkai seperti gurumu itu!”
Terdengar suara gemeretak dari mulut
Raksagala ketika mendengar ucapan Penghuni
Istana Hantu itu. Tanpa mempedulikan
kenyataan kalau dirinya bukanlah tandingan
kakek berpakaian merah itu, hatinya bertekad
untuk menyerangnya. Kemarahan yang amat
sangat telah menutup matanya.
Tapi sebelum pemuda berwajah pucat itu
berhasil melaksanakan maksudnya, sebuah
tangan kekar telah mencekal pergelangannya.
Raksagala menoleh. Memang, itu adalah tangan
Dewa Arak yang mencegahnya untuk tidak
bertindak gegabah.
“Biar aku yang menghadapinya, Raksagala,”
tegas pemuda berambut putih keperakan itu
pelan, tanpa bermaksud meremehkan.
Raksagala tahu diri. Dia sadar kalau
memaksakan diri bertarung, hanya akan
mengantarkan nyawa sia-sia saja. Maka
dibiarkan saja Dewa Arak yang menghadapinya.
Tapi perasaan dongkol yang menyesak di dada,
membutuhkan pelampiasan! Tidak bisa mem-
balas dengan kekerasan, dia pun berniat
membuat Barong Segara terpukul.
“Kali ini kau yang akan menjadi bangkai,
Barong Segara!” ejek Raksagala tajam. “Kau
tahu, adikmu telah menjadi bangkai lebih dulu
di tangan pemuda di sampingku ini! Dan kini
kau akan menyusulnya!”
Terdengar raungan keras, seperti ada seekor
binatang buas terluka yang tengah murka.
Barong Segara murka bukan kepalang.
Durgasari, adiknya telah tewas? Hampir dia
tidak bisa mempercayai hal ini!
Kini dia mengerti, mengapa pemuda ber-
wajah pucat itu berani datang menyatroni
tempatnya. Rupanya Raksagala mengandalkan
temannya.
Sambil meraung keras seperti binatang buas
terluka. Barong Segara bersiap menerjang Dewa
Arak. Tahu kalau pemuda yang berdiri di
hadapannya ini telah menewaskan adiknya, dia
bisa menduga kalau calon lawannya pasti
berilmu tinggi. Maka Penghuni Istana Hantu ini
tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu
yang dimilikinya. Tanpa sungkan-sungkan
segera dikeluarkan gabungan ilmunya, 'Tangan
Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan
Pasir Besi'.
Arya sama sekali tidak berani bertindak
setengah-setengah. Segera guci araknya
diangkat ke atas kepala, lalu dituangkan ke
dalam mulut
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu cairan arak
memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu
juga hawa hangat menjalar di dalam perut Arya.
Kemudian perlahan-lahan merayap ke atas.
Hanya dalam sekejap saja, tubuh Dewa Arak
mulai limbung. Posisi kedua kakinya mulai tidak
tetap. Oleng sana, oleng sini!
“Haaat..!”
Sambil mengeluarkan teriakan mengguntur,
Barong Segara segera melompat menerjang
Dewa Arak. Kedua tangannya yang kini
berwarna hitam mengkilat seperti baja,
meluncur cepat ke arah dada, ulu hati, pusar
Dewa Arak dengan jari-jari tangan menegang
kaku.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia merasa
heran, karena tidak merasakan adanya
hembusan angin yang mengiringi serangan
lawan. Dia tahu kalau lawan telah menyerang
mempergunakan tenaga lemas. Tak kelihatan
berbahaya, tapi sebenarnya mengandung
ancaman maut! Tapi yang membuat hati Dewa
Arak bingung, mengapa kedua tangan dan
bentuk serangan itu terlihat keras dan kasar
penuh tenaga! Sekujur tangan itu menegang
kaku seperti penuh tenaga, tapi anehnya tidak
ada hawa angin sedikit pun yang mengiringi.
Sama sekali pemuda berambut putih
keperakan ini tidak tahu kalau Barong Segara
telah menggabungkan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'
yang kelihatan kasar dan keras, dengan ilmu
'Tangan Penahan Gelombang Laut' yang
kelihatan lembut dan tidak bertenaga.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh.
Maka buru-buru serangan itu dielakkan dengan
menggunakan jurus 'Delapan Langkah
Belalang'. Kemudian dia bergegas melangkah
maju ke kanan. Dengan bertumpu pada telapak
kaki kanan, tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu
saja, dia telah berada di belakang lawan. Bukan
hanya itu saja. Secepat Arya berada di belakang
lawan, secepat itu pula melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah punggung.
Semula Barong Segara terperanjat bukan
main melihat lawannya tahu-tahu menghilang
dari hadapannya. Tapi begitu merasakan adanya
hembusan angin dari belakang, dia tahu lawan
telah mengirimkan serangan.
Serangan Dewa Arak datangnya memang
begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi Barong Segara
tidak kalah cepat. Buru-buru tubuhnya dilipat
ke depan sehingga serangan Dewa Arak hanya
menyambar tempat kosong, lewat setengah
jengkal di atas punggungnya. Pada saat yang
sama, kaki kanan Barong Segara menendang ke
belakang. Persis gerakan seekor kuda yang
menendang!
Arya terperanjat, sungguh tidak disangka
kalau akan begini sambutan lawannya. Memang
luar biasa Penghuni Istana Hantu ini. Dalam
keadaan terjepit dan waktu yang sempit, dia
tidak hanya mampu lolos dari ancaman maut.
Bahkan juga mampu sekaligus balas meng-
ancam.
Meskipun begitu Dewa Arak tidak hilang
akal. Sudah tidak terhitung kejadian yang
berbahaya seperti ini dialaminya. Dan berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', dia selalu
berhasil menyelamatkan diri.
Sekarang pun demikian juga. Dengan
kelincahan seorang yang telah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya men-
jejakkan kakinya di tanah. Sesaat kemudian,
tubuhnya telah melayang ke belakang.
Barong Segara yang telah dilanda dendam,
tidak mungkin akan memberi kesempatan pada
lawannya. Secepat dia berhasil memperbaiki
posisinya, secepat itu pula kembali melancarkan
serangan.
Tapi Dewa Arak bukan orang sembarangan.
Begitu Barong Segara berhasil memperbaiki
posisinya, dia pun telah melakukan hal yang
sama. Dan kini keduanya segera saling gebrak!
Tak lama kemudian, kedua tokoh berbeda aliran
tapi sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini
sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sama-
sama telah mencapai tingkatan amat tinggi,
pertarungan antara mereka berdua jadi
berlangsung cepat. Dalam waktu tak begitu
lama, lima puluh jurus telah berlalu. Dan
selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda
yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan
seimbang, walaupun terlihat tidak menarik.
***
Raksagala mengerutkan alis melihat
pertarungan yang berlangsung di hadapannya.
Jelas sekali kalau pemuda berwajah pucat ini
merasa tidak tertarik dengan pertarungan di
hadapannya yang berlangsung membosankan.
Diam-diam Raksagala merasa kecewa
melihat sikap Dewa Arak dalam menghadapi
pertarungan itu. Tampak pemuda berambut
putih keperakan itu seperti gentar menghadapi
Barong Segara. Tak sekali pun dia berani
menangkis serangan Barong Segara. Dan ini
membuat Raksagala sama sekali tidak puas.
Begitu pula ketika Arya melancarkan serangan.
Penghuni Istana Hantu itu tampak seperti akan
menangkis, namun pemuda berambut putih
keperakan itu menarik pulang serangannya.
Barong Segara menggertakkan gigi. Ada
perasaan kagum di hatinya melihat tindakan
Dewa Arak, meskipun amarahnya tetap
berkobar-kobar. Sungguh tidak disangka kalau
lawannya begitu cerdik, sehingga tidak mau
mengadu tangan dengannya. Karena sekali saja
mengadu tangan, nyawa pemuda berambut
putih keperakan itu pasti akan melayang.
Tenaga di dalam ilmu 'Tangan Penahan
Gelombang Laut', akan menyelusup dan
menghancurkan bagian dalam dadanya dan
memang demikianlah keunggulan ilmu itu.
Dan karena tahu akan kedahsyatan ilmu
'Tangan Penahan Gelombang Laut', maka
Barong Segara berusaha memojokkan lawan.
Dia berusaha sekuat tenaga agar lawan tidak
dapat mengelak lagi, sehingga terpaksa harus
mengadu tangan. Dan bila hal itu terjadi, Dewa
Arak sudah pasti akan dapat dikalahkannya.
Tapi Dewa Arak ternyata gesit bukan main.
Dan hal itu memang wajar saja. Pemuda
berambut putih keperakan ini memang memiliki
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa,
sehingga semua usaha yang dilakukan Barong
Segara sia-sia.
Tapi pada jurus kedua ratus, Dewa Arak
tidak bisa mengelak lagi. Barong Segara
melompat menerjang Dewa Arak dengan sebuah
serangan tusukan tangan bertubi-tubi ke arah
leher dan ulu hati. Dua buah serangan
mematikan.
“Hih...!”
Arya menggertakkan gigi. Tidak ada jalan
baginya, kecuali menyambuti serangan. Buru-
buru serangan itu dipapak dengan hentakan
kedua tangannya yang membentuk cakar. Ada
uap tipis yang samar-samar keluar dari kepala
Dewa Arak. Arya memang menggunakan jurus
'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu
'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Prattt..!
Barong Segara memekik ngeri. Tubuhnya
melayang kembali ke atas, kemudian jatuh
berdebuk di tanah dan diam tidak bergerak lagi.
Penghuni Istana Hantu itu tewas dengan
sekujur kulit tubuh menghitam hangus. Bau
sangit daging yang terbakar tercium di sekitar
tempat itu.
“Hhh...!”
Dewa Arak menghela napas. Lega rasa
hatinya melihat lawan tangguhnya berhasil
dibinasakan. Dan yang lebih melegakan hatinya,
ternyata tidak dirasakan adanya rasa sakit yang
menekan dada ketika menarik napas dalam-
dalam. Jelas kalau dia tidak terluka dalam.
Apakah jurus 'Membakar Matahari' dalam
pengerahan ilmu 'Tenaga Dalam Inti Matahari',
telah membuat ilmu 'Tangan Penahan
Gelombang Laut' mati kutu! Dewa Arak sendiri
tidak tahu. Padahal, kesimpulan yang
diambilnya memang benar!
Raksagala menghampiri Arya.
“Kuucapkan banyak terima kasih atas
bantuanmu, Dewa Arak. Dengan tewasnya
Barong Segara, maka semua tokoh persilatan
yang berada di Istana Hantu bebas untuk
keluar,” ucap pemuda berwajah pucat ini
gembira. 'Kau bersedia ikut aku memberi tahu
mereka, Arya?”
“Sayang sekali, Raksagala. Aku tidak bisa
ikut. Aku masih ada urusan lain.”
Setelah berkata demikian, Dewa Arak
melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
Sementara Raksagala hanya dapat memandangi
saja kepergian pemuda berambut putih
keperakan itu. Dia tahu, tidak ada gunanya
membujuk. Orang seperti Dewa Arak sekali
berkata tidak, selamanya akan tidak. Maka
pemuda berwajah pucat itu bergegas menuju
Istana Hantu.
Sementara itu, semakin lama tubuh Dewa
Arak semakin kecil. Dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar