DEWA ARAK EPISODE DENDAM TOKOH BUANGAN
1
Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya pagi.
Angin yang berhembus terasa segar di dada, dan nikmat di
kulit. Kabut yang masih menyelimuti Gunung Sawang
begitu pekat, sehingga matahari tak kuasa memancarkan
sinarnya. Suasana hening dan sunyi menyelimuti sekitar
tempat itu. Tapi mendadak....
"Groaaah...!"
Geraman keras menggelegar terdengar memecahkan
keheningan pagi itu. Geraman itu jelas keluar dari mulut
seorang yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Buktinya,
suara itu mampu menggetarkan suasana di sekitarnya.
Dan sumber suara itu ternyata dari dalam perut Gunung
Sawang. Di dalam sebuah gua luas yang tertutup rapat
oleh batu besar, tampak seorang laki-laki berusia sekitar
enam puluh tahun duduk bersila di tanah. Pergelangan
kaki dan tangannya dililit gelang-gelang baja tebal dan kuat
yang disambung oleh rantai-rantai baja panjang yang juga
tebal ke dinding-dinding gua. Menilik dari besarnya,
seharusnya gelang-gelang baja dan rantai itu tidak cocok
digunakan pada manusia, tapi untuk membelenggu seekor
gajah besar yang bertenaga kuat.
"Grrrh...!"
Kembali terdengar geraman keras dari mulut kakek
berbaju rompi compang-camping yang sudah tidak jelas
lagi warnanya. Dan suara geraman itu lebih mirip raungan
seekor binatang buas yang terluka.
Seiring berakhirnya geraman, kakek itu bangkit berdiri.
Kemudian kedua tangan dan kakinya yang besar-besar dan
berotot, seperti juga tubuhnya yang tinggi besar berotot,
bergerak mengejang. Jelas kalau kakek Itu bermaksud
membebaskan diri dari belenggu.
Suara bergemeretak keras terdengar ketika dinding gua
yang terlihat keras bukan main terbongkar. Sekujur dinding
dan atap gua itu bergetar hebat seiring jebolnya dinding
tempat rantai baja tertanam. Debu berguguran dan
mengepul tinggi ketika dinding gua itu terbongkar.
"Ha ha ha...!"
Kakek tinggi besar itu tertawa tergelak begitu tubuhnya
telah terbebas dari pasungan di dinding gua. Luar biasa
akibat tawa itu! Seluruh ruangan itu bergetar hebat seperti
dilanda gempa. Jelas, tawanya itu didukung oleh
pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan menilik akibat yang
ditimbulkan, jelas sekali kalau tingkat kepandaiannya telah
tinggi.
Kakek berompi compang-camping itu terus saja tertawa-
tawa, meskipun akibat tawanya telah disaksikannya
sendiri. Rupanya dia tengah merasa gembira bukan main.
"Ha ha ha...! Gering Langit..! Kini aku telah bebas!
Bebas! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa-tawa, kakek bertubuh tinggi besar
itu memutuskan gelang-gelang baja yang masih melilit
pergelangan tangan dan kakinya.
Luar biasa! Kelihatannya, kakek itu sama sekali tidak
mengerahkan tenaga waktu mencengkeram gelang-gelang
baja yang melilit pergelangannya. Tapi hebatnya, gelang-
gelang baja itu seketika berpatahan. Di hadapannya,
gelang-gelang baja yang mampu membelenggu gajah itu,
tak ubahnya sebatang lidi!
Dan memang, bukan hanya tenaga dalamnya saja yang
menggiriskan. Sebenarnya kakek itu adalah tokoh yang
menggiriskan.
Di samping wajahnya yang mengerikan, tindakannya pun
membuat orang bergidik. Selebar wajahnya penuh luka
guratan. Kulit tubuhnya hitam, dan sepasang matanya yang
kelihatan berwarna biru hitam kelam. Jelas, hal ini kian
menambah seram penampilannya. Belum lagi rambutnya
yang nampak aneh! Sepertinya, rambut yang dimiliki kakek
itu besar-besar. Apabila didekati, baru jelas kalau beberapa
helai rambutnya dirangkum menjadi satu.
Kakek tinggi besar ini kemudian menggeliatkan tubuh-
nya sejenak. Rupanya otot-otot tubuhnya terasa kaku.
Terdengar suara berkerotokan berkali-kali ketika kakek itu
menggeliatkan tubuhnya.
Setelah dirasa agak lemas, dia melangkah perlahan
menuju mulut gua yang tertutup. Sekitar sepuluh tombak
kemudian, kakek itu telah berdiri di depan pintu gua yang
pintunya tertutup batu besar.
Kakek berwajah penuh luka guratan itu diam terpaku
sejenak di depan lubang gua yang mulutnya ditutup batu
besar dari luar. Lubang gua itu besar sekali dengan garis
tengah mencapai dua tombak. Jadi, betapa saktinya orang
yang telah menutup mulut gua itu. Batu itu memang luar
biasa besarnya. Paling tidak, berukuran dua kali kerbau
jantan besar!
Perlahan kakek bertubuh tinggi besar itu mengepalkan
kedua tangannya, memperdengarkan suara berkerotokan
keras seperti tulang-tulang berpatahan. Jelas, kedua
tangannya telah dialiri tenaga dalam yang tidak terkira
kuatnya.
Suara berkerotokan keras masih terus terdengar ketika
kakek itu menarik kedua tangannya yang telah mengepal
perlahan-lahan namun penuh kekuatan ke sisi pinggang.
Seketika tercipta getaran kuat ketika kedua tangan itu
ditarik ke pinggang. Kakek itu makin memusatkan pikiran-
nya, setelah menahan napas sejenak. Sebentar kemudian,
tangan yang terkepal di pinggang itu dihentak-kan ke
depan.
Wusss...!
Angin menderu keras mengiringi terhentaknya kedua
tangan itu. Sebentar kemudian...
Blarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar begitu angin pukulan yang
keluar dari kedua kepalan kakek tinggi besar itu meng-
hantam batu yang menutupi mulut gua hingga hancur ber-
keping-keping, berpentalan tak tentu arah. Bahkan tidak
sedikit dari kepingan batu itu yang menyambar tubuh
kakek berompi compang-camping itu. Tapi hal itu tidak
dirasakannya sama sekali. Ini bisa dilihat dari wajah kakek
itu yang tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Debu masih mengepul ketika suara gemuruh akibat
ledakan mereda. Kakek berpakaian rompi compang-
camping itu memejamkan matanya, untuk mencegah debu
yang menyelusup ke sepasang matanya.
Tak lama kemudian debu mulai menipis, dan akhirnya
lenyap sama sekali. Kini tampaKiah pemandangan luas di
luar gua yang sudah lama tidak dilihat oleh kakek bertubuh
tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!"
Kakek berwajah penuh gurat luka itu kembali tertawa
tergelak. Sorot kegembiraan terpancar jelas pada wajah
maupun suara tawanya. Seperti orang gila, dia menarik
napas dalam-dalam untuk menikmati udara sejuk pagi hari.
"Segar...! Ahhh...! Segarnya udara alam bebas...!" desah
kakek tinggi besar itu berkali-kali. "Entah berapa tahun
sudah aku tidak pernah menikmati udara segar seperti
ini..."
Namun di atas sana, mendadak awan tebal berarak
menutupi langit. Kicau riang burung pun mendadak tidak
terdengar lagi. Sepertinya, alam langsung berduka.
Mungkinkah hal ini karena terlepasnya kakek berompi
compang-camping dari ruangan gua itu.
Kakek berwajah penuh guratan luka itu sama sekali
tidak mempedulikannya. Dia malah lebih suka menarik
napas dalam-dalam, seraya merentang-rentangkan kedua
tangan ke samping. Mungkin agar udara segar yang ter-
hirup dapat lebih meresap ke dalam dadanya.
Tak lama kemudian, kakek bertubuh tinggi besar itu
menghentikan kesibukannya. Rupanya, dia telah merasa
cukup menikmati udara luar. Kini pandangannya dialihkan
ke arah kaki Gunung Sawang.
"Ha ha ha!"
Suara tawa keras menggelegar terdengar ketika kakek
bertubuh tinggi besar itu membuka mulutnya Suara itu
berkumandang keras, dipantulkan dinding-dinding gunung
sehingga terdengar menyeramkan.
"Kini tiba saatnya bagi Ruksamurka untuk membalas
sakit hati ini...!" tegas kakek berompi compang-camping
yang ternyata bernama Ruksamurka.
Setelah berkata demikian, kakek bertubuh tinggi besar
itu melangkahkan kakinya. Luar biasa! Hanya sekali
langkah saja, tubuhnya sudah melesat sejauh sebelas
tombak. Jelas, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Ruksamurka begitu tinggi.
Lincah laksana kera, dan gesit laksana bayangan,
Ruksamurka bergerak cepat menuruni lereng gunung.
Kedua kakinya menotok sana-sini dengan enaknya. Tak
sedikit pun dia merasa khawatir kalau kakinya salah pijak.
Tindakannya mencerminkan keyakinan kuat pada diri
sendiri. Dan memang, kakek itu sama sekali tidak
mengalami gangguan ketika menuruni lereng. Tak lama
kemudian, tubuhnya pun lenyap di balik sebuah gundukan
batu besar.
***
"Ya, Allah...!"
Keluhan keterkejutan terdengar dari mulut seorang
kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari
tujuh puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti
mengeluarkan cahaya. Terutama sekali wajahnya yang
penuh ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot berwarna putih.
Dia tengah duduk bersila di sebuah ruangan dalam sebuah
bangunan tua dan megah. Di tangannya tampak ter-
genggam seuntai tasbih.
Seiring keluarnya seruan keterkejutannya, kakek ber-
pakaian putih bersih itu langsung bangkit dari duduk ber-
silanya.
"Apakah aku sekarang telah pikun?"
Desah pelan bernada keluhan kembali terdengar dari
mulut kakek itu. Dahinya nampak berkernyit dalam.
"Mengapa aku bisa melupakannya? Tapi, mudah-
mudahan saja belum terlambat. Kalau tidak, dunia
persilatan akan kembali geger. Darah akan kembali
tumpah di mana-mana."
Seiring selesainya ucapan itu, mendadak tubuh kakek
berpakaian putih bersih itu lenyap begitu saja dari ruangan
bangunan megah itu. Dia ternyata mampu manghilang!
Ajaib! Tak sampai sekejap mata kakek berpakaian putih
bersih itu telah berpindah tempat. Dia kini telah berada di
dalam gua tempat Ruksamurka dibelenggu. Kakek itu ter-
nyata tidak hanya mampu menghilang! Bahkan juga
mampu pergi ke suatu tempat dalam sekejap! Jelas ke-
pandaiannya sudah sangat tinggi, sehingga membuatnya
tidak terlihat oleh ruang dan waktu! Dia tak ubahnya
seperti makhluk halus yang memang mampu pergi ke
manapun dalam sekejap!
"Ya, Allah…!"
Kakek berpakaian putih bersih itu menatap dinding gua
yang terbongkar. Beberapa saat matanya terpaku pada
dinding gua, kemudian beralih ke sekitarnya. Tampak
gelang-gelang baja besar dan tebal yang telah hancur
berantakan berserakan di sekitar situ. Begitu juga rantai
baja besar yang putus menjadi beberapa bagian.
Lalu, kakek berpakaian putih bersih itu melangkahkan
kakinya ke luar. Pelan dan lambat-tambat saja langkahnya.
Tak sampai dua puluh langkah, langkahnya berhenti. Pan-
dangannya terruju ke depan, ke arah gua yang tidak mem-
punyai penutup lagi.
Kakek berpakaian putih bersih terpaku di tempat itu,
berjarak sekitar dua tombak di depan ambang gua. Tapi di
wajah tuanya sama sekali tidak nampak perasaan apa-apa,
tetap saja seperti semula. Tenang, membawa perbawa
tinggi. Sehingga orang lain yang melihatnya merasa tunduk.
Sesaat kemudian, kakek itu melangkah melewati pintu
gua. Dalam beberapa langkah saja dia telah berada di luar
gua. Di sini, kakek itu memandang berkeliling.
Cukup lama juga kakek berpakaian putih bersih itu ber-
sikap begitu, sebelum akhirnya tubuhnya mendadak
kembali raib! Dia memang memiliki ilmu 'Ringkas Bumi',
sehingga mampu membuatnya bepergian ke manapun
dalam sekejap.
***
Suara napas dengan irama teratur terdengar, me-
nambah riuh-rendahnya Hutan Gantang. Suara itu ternyata
berasal dari mulut dan hidung seorang pemuda tampan
yang tengah bersemadi. Pakaiannya ungu, dengan sebuah
guci arak dari perak tersampir di punggung.
Melihat ciri-cirinya, tidak ada yang aneh pada diri
pemuda berpakaian ungu itu. Tapi apabila melihat rambut-
nya, pasti akan heran. Sebab rambutnya ternyata berwarna
putih, laksana orang yang telah berusia lanjut. Hanya saja
warna rambutnya lebih indah, karena berwarna putih
keperak-perakan. Tampaknya, pas sekali dengan pakaian-
nya yang serba ungu.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan ini meng-
hentikan semadinya. Nalurinya membisikkan ada sesuatu
di dekatnya, sekalipun pendengarannya tidak menangkap
langkah yang mendekati tempatnya.
Perlahan sepasang kelopak matanya terbuka. Lalu,
pemuda berambut putih keperakan ini bergerak bangkit
memberi hormat.
"Guru...," sebut pemuda berambut putih keperakan itu
pada sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri di depannya,
dalam jarak sekitar dua tombak.
Sosok tubuh yang berdiri di hadapan pemuda berambut
putih keperakan itu ternyata seorang kakek berpakaian
putih bersih. Menilik panggilannya, jelas kakek ini adalah
guru pemuda berambut putih keperakan itu.
"Arya...." panggil kakek berpakaian putih bersih itu.
Suaranya terdengar pelan dan lembut.
Kemudian dengan langkah perlahan-lahan, kakek itu
melangkah mendekati pemuda berambut putih keperakan
ini. Diusap-usapnya rambut yang berwarna putih dan
panjang meriap itu. Dan memang, pemuda itu adalah Arya
Buana atau berjuluk Dewa Arak.
"Ada satu masalah yang ingin kusampaikan padamu."
jelas kakek berpakaian putih bersih itu seraya meng-
hentikan usapan tangannya.
"Masalah apa, Guru?" tanya Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih bersih yang tidak lain adalah Ki
Gering Langit, guru Dewa Arak itu tidak langsung menjawab
pertanyaan Arya. Dia tampak diam tercenung beberapa
saat lamanya.
"Belasan tahun yang lalu, ada seorang tokoh sesat ber-
kepandaian luar biasa. Tapi sayang, wataknya sangat
kejam, dan keji bukan main," tutur Ki Gering Langit
memulai ceritanya.
Arya diam mendengarkan. Sama sekali cerita gurunya
tidak berminat diselak. Benaknya sibuk menduga-duga
masalah yang membuat gurunya begitu memperhatikan
tokoh itu.
"Tak terhitung orang yang sudah menjadi korbannya.
Silatnya yang buruk, membuatnya selalu menyebar maut di
tiap tempat yang dikunjunginya. Banyak pendekar yang
berniat membasmi, tapi selalu gagal. Tokoh berwatak iblis
itu terlalu sakti untuk dilawan. Para pendekar hanya
membuang nyawa percuma saja, dan semua tewas dalam
keadaan mengerikan."
Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas, seraya menatap dalam-dalam wajah
Arya. Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berambut
putih keperakan itu. Tapi wajah Dewa Arak tampak tenang,
tanpa perubahan sedikit pun. Tapi yang jelas, Arya men-
dengarkan cerita gurunya penuh perhatian.
"Secara kebetulan di sebuah desa aku bertemu dengan-
nya, walaupun nama dan kekejamannya telah lama ku-
dengar. Tapi baru kali itu kusaksikan kekejamannya
dengan mata kepala sendiri. Dia memang bukan manusia,
tapi iblis! Sambil tertawa-tawa kulihat dia tengah mengum-
pulkan para penduduk desa itu di sebuah tanah lapang,
kemudian dibantainya."
Ki Gering Langit kembali menghentikan ceritanya
sejenak, mencari kata-kata baru untuk melanjutkan kisah-
nya.
"Melihat kekejamannya, darahku seketika mendidih. Hal
itu tidak bisa kubiarkan. Tak pelak lagi, kami pun ber-
tarung. Melalui sebuah pertarungan panjang dan melelah-
kan, tokoh sesat itu berhasil kulumpuhkan. Tapi sayang,
aku tidak tega membunuhnya. Aku memang tidak pernah
berani membunuh manusia. Maka terpaksa dia kubawa
dan kupenjarakan di suatu tempat"
Lagi-lagi kakek berpakaian putih bersih itu meng-
hentikan ceritanya. Pandangannya menerawang jauh,
mengingat-ingat masa lalunya. Sementara Arya tetap diam,
meskipun benaknya tengah digayuti pertanyaan. Apakah
gurunya tidak menggunakan ilmu andalan sewaktu meng-
hadapi tokoh sesat itu? Bukankah dengan ilmu itu Ki
Gering Langit mudah sekali merobohkan lawannya?
"Tokoh sesat itu lihai sekali. Sampai-sampai di samping
kuborgol dengan baja sekaligus rantai yang besar dan
kokoh, pada gelang baja itu juga kumasukkan ilmu yang
membuat sekujur tubuhnya terasa lemas. Tentu saja itu
adalah ilmu gaib," lanjut Ki Gering Langit lagi. "Namun
sayang, ilmu itu ada kelemahannya. Kekuatan ilmu gaib
yang kutanamkan pada borgol itu, hanya mampu bertahan
selama enam puluh purnama itu pun sudah lama sekali."
"Mengapa begitu, Guru?" tanya Arya, tidak tahan juga
menahan rasa ingin tahunya yang menggelegak.
"Itulah ilmu manusia, Arya," sahut Ki Gering Langit
kalem. "Biar bagaimanapun, pasti ada kelemahannya."
Arya hanya bisa menganggukkan kepala pertanda
mengerti.
"Biasanya, menjelang purnama kelima puluh aku sudah
mengunjungi tempatnya untuk memasang kekuatan gaib
yang membuat tokoh sesat itu selalu terasa lemas,"
sambung Ki Gering Langit. "Tapi, kali ini aku lupa. Hingga
menjelang purnama keenam puluh, dia belum kutengok.
Dan begitu kujenguk, dia telah kabur."
Arya tercenung mendengar cerita gurunya.
"Siapa nama tokoh sesat itu. Guru?"
"Ruksamurka," jawab Ki Gering Langit
Arya terdiam beberapa saat lamanya. Namun, mulutnya
berulang-ulang menyebut nama tokoh sesat itu. Sepertinya,
dia berusaha mengingat-ingatnya.
"Kalau dia terbelenggu seperti itu, bagaimana bisa ber-
tahan hidup, Guru? Bukankah dia tidak akan bisa mencari
makan atau minum?" tanya Arya, mengajukan keheranan-
nya.
"Di bagian dalam gua ada tanaman dan sumber air,
Arya. Panjang rantai yang membelenggunya cukup untuk
mencapai tempat makanan dan minuman itu."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini tidak ada lagi
pertanyaan yang bergayut di benaknya.
"Kau kutugaskan untuk mencarinya, Arya. Hidup atau
mati. Aku sudah bersumpah untuk tidak mencampuri
urusan kekerasan lagi secara langsung, Arya. Aku ingin ber-
istirahat menghabiskan sisa ilmurku."
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Gering Langit lenyap
dari tempat itu.
Sepeninggal gurunya, Arya pun melangkah meninggal-
kan tempat itu. Kini dia mempunyai sebuah tugas, mencari
tahanan gurunya yang telah jadi buronan.
***
2
Angin berhawa dingin berhembus kencang. Langit memang
terlihat begitu pekat. Awan tebal dan hitam nampak ber-
gumpal menutupi sang mentari yang telah naik tinggi.
"Masih jauhkah tempat itu, Kek?" tanya seorang gadis
berwajah cantik dan berpakaian putih. Rambutnya yang
hitam, panjang, dan halus, dibiarkan tergerai. Sehingga
gadis itu tampak jadi semakin cantik saja.
"Tidak berapa jauh lagi, Melati," sahut kakek bertubuh
kecil kurus yang berjalan di sebelahnya.
Kakek itu menolehkan kepala menatap wajah gadis
berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja
Bojong Gading. Karena tinggi tubuhnya tidak sampai
sebahu Melati, dia menoleh sambil agak mendongak.
"Hhh...!"
Melati menghela napas berat. Sementara, sepasang
matanya menatap jauh ke depan. Tidak nampak adanya
apa pun di depannya, kecuali hamparan tanah luas tanpa
pepohonan sebatang pun.
"Mengapa, Melati? Lelah?" tanya kakek bertubuh kecil
kurus yang tak lain adalah Ki Julaga, guru gadis berpakaian
putih itu.
"Tidak, Kek," sahut Melati sambil menggelengkan
kepala.
"Hm...," gumam Ki Julaga, pelan. Mulutnya menyungging-
kan sebuah senyum getir. "Kalau tidak lelah, mengapa
menghembuskan napas berat?"
"Aku khawatir hujan akan lebih dulu turun, sebelum kita
sampai di sana, Kek," sahut Melati seraya melayangkan
pandangan ke arah langit.
Memang keadaan langit cukup mengkhawatirkan. Awan
tebal, hitam, dan bergumpal-gumpal. Jelas turunnya hujan
hanya tinggal menunggu waktu saja. Angin dingin yang
berhembus pun kian mengencang.
Ki Julaga melayangkan pandangan ke atas pula. Mau
tak mau kekhawatiran muridnya bisa masuk akal juga.
"Kalau begitu, mari kita bergegas, Melati," ajak kakek
berpakaian jingga itu.
Melati menganggukkan kepala pertanda menyetujui
ajakan gurunya. Dan memang, itulah yang sejak tadi
diharapkannya. Dia bosan berjalan biasa saja. Gadis ini
mengharapkan agar gurunya segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, sambil mencoba menguji ilmu
meringankan tubuh miliknya sendiri.
Maka, kini guru dan murid itu telah melesat cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
taraf kesempurnaan. Mereka seperti berlomba-lomba
untuk mencapai tujuan. Dan tentu saja, karena tingkatan
Melati masih jauh di bawah Ki Julaga, dia jadi tertinggal
jauh.
***
"Capek, Melati?" tanya Ki Julaga seraya mengembang-
kan sebuah senyum, ketika mereka telah berhenti di suatu
tempat.
Gadis berpakaian putih itu hanya mampu mengangguk-
kan kepala saja. Napasnya yang masih terengah-engah,
menyulitkannya untuk berbicara. Dia kini sibuk menghapus
peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung
tangan.
"Tenangkanlah hatimu.... Sebentar lagi tempat yang kita
tuju telah di depan mata," jelas Ki Julaga.
Sambil berkata demikian, kakek bertubuh kecil kurus
menudingkan telunjuk kanannya ke depan. Dengan penuh
gairah mata Melati mengikuti arah tudingan itu. Dan
memang, dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari
tempatnya, tampak sebuah bangunan besar dan megah.
Walaupun sudah agak tua, bangunan besar itu mempunyai
halaman luas dan dikurung pagar tembok tinggi
"Jadi, ke tempat itukah tujuan Kakek?" tanya Melati.
Memang Ki Julaga sama sekali tidak memberitahukan
tujuan dan maksud kepergian kepada muridnya.
Kakek berpakaian jingga itu mengangguk membenar-
kan.
"Bangunan itu adalah tempat bersejarah bagiku, Melati,"
jelas Ki Julaga. Ada nada kegetiran dalam suaranya. "Di
tempat itulah aku menerima sebuah anugerah, berupa
warisan ilmu dari seorang tokoh sakti yang bijaksana. Tapi,
di tempat itu pulalah, aku telah menceburkan diri dalam
lumpur kehinaan."
Ki Julaga menghentikan cerita sejenak. Raut wajahnya
terlihat muram. Jelas kalau kakek itu merasa menyesal
akan kejadian yang telah dilakukannya.
Melati mendengarkan dengan hati terharu. Selama ini
gurunya telah dianggap sebagai kakeknya sendiri. Gadis itu
tahu kalau Ki Julaga telah terkena bujukan rekannya untuk
mencuri kitab-kitab pusaka majikannya. Namun Ki Julaga
sendiri tidak pernah memberitahukan tempat pusaka itu
dicuri.
"Inikah tempat tinggal Ki Gering Langit, Kek?" tanya
Melati dengan suara serak. Perasaan terharu melihat
kesedihan gurunya, membuat dadanya sesak dan lehernya
terasa tercekik.
Ki Julaga menganggukkan kepala.
"Apakah Ki Gering Langit tahu kalau Kakek dan Ki
Jatayu mencuri kitab-kitab pusakanya?" kejar Melati lagi.
Perasaan ingin tahu yang amat sangat tergambar jelas
dalam sikap maupun nada suara gadis itu (Untuk lebih
jelas mengenai hal ini, baca serial Dewa Arak dalam
episode "Cinta Sang Pendekar").
Kembali Ki Julaga mengangguk, membenarkan.
"Dan dia mengejarmu, Kek?"
Ada nada kesenduan dalam pertanyaan itu. Dan
memang sebenarnya Melati merasa kasihan dan sedih
sekali membayangkan kakek bertubuh kecil kurus ini
selalu dicekam rasa takut di tempat persembunyiannya.
"Tidak," Ki Julaga menggelengkan kepalanya. "Kalau
beliau mau mengejar, sudah lama aku berhasil ditemukan-
nya. Kau tahu, Melati. Ki Gering Langit memiliki banyak
ilmu aneh. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, ku-
dengar telah memiliki ilmu yang membuatnya dapat pergi
ke tempat yang diinginkan dalam sekejap mata saja!"
"Gila...!" desis Melati antara takjub dan terkejut. "Begitu
lihaikah Ki Gering Langit itu, Kek?"
"Hhh...!"
Ki Julaga menghela napas berat sebelum menjawab
pertanyaan itu. Karuan saja hal ini membuat Melati yang
sudah tidak sabar untuk mendengarnya jadi agak kesal.
"Kepandaian yang kumiliki ini tidak ada artinya bila
dibanding dengan beliau, Melati."
Bulu kuduk Melati meremang mendengar penjelasan
gurunya. Seketika itu pula dia teringat Arya kekasihnya.
Tahukah pemuda berambut putih keperakan itu kalau Ki
Gering Langit memiliki ilmu yang demikian tinggi?
Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Sementara
Melati pun sibuk dengan lamunannya. Sehingga, suasana
menjadi hening sejenak. Guru dan murid itu tenggelam
dalam lamunan masing-masing.
Tapi kesibukan benak kedua orang itu terganggu ketika
titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi.
Hampir berbareng Melati dan Ki Julaga mendongak ke
atas ketika ada beberapa tetes air jatuh di tangan mereka.
"Hujan mulai turun, Kek," kata Melati.
"Cepat kita berteduh di sana...!" ajak Ki Julaga seraya
menudingkan tehinjuk tangan kanannya ke arah bangunan
tempat tinggal Ki Gering Langit.
Melati tidak membantah lagi karena titik-titik air yang
turun dari langit semakin banyak dan semakin cepat.
Sudah bisa diterka, tidak lama lagi hujan lebat akan turun.
Dan gadis itu tentu saja tidak mau basah kuyup.
Melati melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya, seperti berlomba dengan hujan.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini ingin tiba di bangunan
tempat tinggal Ki Gering Langit sebelum hujan lebat turun.
Berbareng dengan melesatnya tubuh Melati, Ki Julaga
melesat pula. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kakek
bertubuh kecil kurus ini tidak mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Dia tidak ingin membiarkan
muridnya kehujanan sendirian.
"Hup...!"
Berbareng dengan melayangnya tubuh Melati melompati
tembok, tubuh Ki Julaga pun melenting pula. Pada saat
yang bersamaan, kedua pasang kaki itu hinggap di dalam
halaman. Dan secepat mereka mendarat, secepat itu pula
melesat ke arah bangunan.
Tepat ketika guru dan murid itu tiba di teras bangunan
itu, hujan lebat turun. Air yang bagaikan dicurahkan dari
langit turun membasahi bumi.
Glarrr...!
Suara halilintar ikut meramaikan suasana. Kilatan-
kilatan cahaya menyilaukan tampak seperti membelah
langit. Seakan-akan, seluruh isi alam bergembira ria.
"Hhh…!"
Helaan napas lega keluar dari mulut Melati dan Ki
Julaga. Keduanya diam-diam bersyukur, karena bisa tiba di
tempat yang terlindung tepat saat turunnya hujan lebat.
Sehingga, tubuh dan pakaian mereka tidak basah.
"Di daerah sekitar sini, hujan adalah hal yang meng-
herankan, Melati," Ki Julaga membuka pembicaraan
kembali.
"Mengapa, Kek?" tanya Melati ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu," sahut Ki Julaga sambil meng-
gelengkan kepala. "Yang kutahu, di daerah ini jarang turun
hujan. Dalam dua belas kali purnama, hanya beberapa kali
hujan. Itu pun tidak begitu lebat..."
Melati menganggukkan kepala. Padahal, gadis ini tidak
tertarik dengan pembicaraan itu. Dia ingin agar Ki Julaga
menceritakan tentang masa lalunya.
"Mengapa Kakek ingin mengunjungi tempat ini?" tanya
Melati begitu mendapat kesempatan di saat gurunya tidak
melanjutkan ucapannya lagi.
Ki Julaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi
malah tercenung beberapa saat lamanya. Sepasang mata-
nya menerawang jauh ke depan, seperti tengah menatap
butir-butir air yang jatuh ke bumi. Tapi melihat pandangan-
nya yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau dia
tengah melamun.
"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang
telah kulakukan, Melati." Jelas Ki Julaga. Pelan suaranya,
mirip desahan. Nampaknya ucapan itu keluar dari lubuk
hati yang paling dalam.
"Tapi, bukankah Kakang Arya telah memberi maaf pada
Kakek?" bantah Melati. "Apakah itu tidak cukup? Kurasa
dia tidak begitu mudah memberi maaf kalau tidak
mendapat pesan lebih dulu dari Ki Gering Langit."
"Semua ucapanmu itu tidak salah, Melati," sambut Ki
Julaga. Tapi, aku ingin meminta maaf sendiri pada Ki
Gering Langit. Biar hatiku tenang, dan tidak mati
penasaran."
Melati menyadari kebenaran yang terkandung dalam
pengakuan itu. Maka dia pun terdiam, tidak menyahuti lagi.
Seketika suasana jadi hening karena Ki Julaga tidak
melanjutkan ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah
suara curahan hujan, deru angin, dan gelegar halilintar
yang sesekali menyambar bumi.
Melati dan Ki Julaga tenggelam dalam lamunan masing-
masing. Sepasang mata mereka menatap ke depan.
Sepintas lalu guru dan murid itu seperti tengah mengawasi
hujan. Tapi bila diperhatikan lebih seksama, mereka
tengah menatap tajam pada satu titik yang tidak bergerak-
gerak sama sekali.
Mendadak sepasang mata mereka terbeliak ketika yang
dilihat mulai bergerak. Suatu sosok tinggi besar bergerak
cepat ke arah mereka.
Sepasang mata Ki Julaga dan Melati semakin terbelalak.
Dan memang keduanya merasa terkejut bukan main
dengan gerakan sosok tubuh itu. Gerakannya begitu
ringan, menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya
amat tinggi.
***
Sosok tubuh itu semakin mendekati bangunan. Ki Julaga
dan Melati semakin terkejut metihatnya. Gerakan sosok
abu-abu itu ternyata begitu cepat ke arah teras, tempat
Melati dan gurunya berada. Ki Julaga yang tidak ingin
terjadi keributan, cepat menarik tangan Melati. Diajaknya
gadis berpakaian putih itu mundur ke belakang. Sementara
sepasang matanya tetap tertuju pada sosok tubuh abu-abu
itu.
Dalam kelebatan curah hujan, cukup jelas terlihat sosok
abu-abu itu. Tubuhnya tinggi besar, berusia sekitar enam
puluh lima tahun. Rompi dan celana compang-camping
yang membungkus tubuhnya sudah tidak jelas lagi
warnanya.
Melihat dari penampilan sosok tinggi besar itu saja
sudah membuat orang agak ngeri. Apalagi begitu melihat
wajahnya yang penuh bekas luka guratan. Dan memang,
sosok abu-abu ini ternyata adalah Ruksamurka!
Hanya dalam sekejap. Ruksamurka telah tiba di tempat
Ki Julaga dan Melati tadi berada. Tanpa mempedulikan
guru dan murid itu, Ruksamurka segera mengibas-
ngibaskan tubuhnya. Seketika itu juga air hujan memercik
dari seluruh tubuhnya.
Ki Julaga dan Melati hanya memperhatikan semua
tingkah polah kakek berpakaian compang-camping itu.
Mereka berdua memang tidak berminat mencari-cari
urusan. Terutama sekali Ki Julaga. Dia tidak ingin membuat
kesalahan yang kedua kali dengan menimbulkan keributan
di tempat tinggal majikannya. Sama sekali Ki Julaga tidak
tahu kalau bangunan ini sudah lama tidak ditempati Ki
Gering Langit lagi. Bangunan itu telah berganti-ganti
pemilik (Untuk lebih jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya, "Pedang Bintang").
Setelah selesai membuang air yang melekat di sekujur
tubuhnya, Ruksamurka lalu mengalihkan perhatiannya.
Kini sepasang matanya yang menyeramkan itu menatap Ki
Julaga dan Melati.
Seketika baik Ki Julaga maupun Melati terperanjat.
Keduanya diam-diam terkejut bukan kepalang melihat
sepasang mata kakek bertubuh tinggi besar itu mencorong
tajam dan bersinar kehijauan. Jelas kalau Ruksamurka
memiliki tenaga dalam tinggi.
Menilik dari gerak-gerik Ruksamurka, Ki Julaga diam-
diam merasa cemas. Tampak ada suatu gelagat yang tidak
baik di balik sosok wajah yang menyeramkan itu. Tapi tentu
saja kakek bertubuh kecil kurus ini tidak merasa gentar.
Yang jelas, dia tidak menginginkan terjadi keributan di
tempat tinggal majikannya. Sedapat mungkin, terjadinya
keributan harus dihindari. Maka kakek berpakaian jingga
ini bersikap tidak peduli.
"Ha ha ha...!"
Mendadak Ruksamurka tertawa keras dan menggelegar
seperti guntur. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya luar biasa! Melati mendadak terhuyung,
karena suara tawa itu membuat lututnya terasa lemas.
Dadanya pun bergetar hebat. Bahkan gadis berpakaian
putih ini merasakan kedua telinganya berdengung keras.
Ki Julaga terkejut bukan main melihat hal ini. Dia pun
merasakan adanya getaran amat kuat yang keluar dari
tawa Ruksamurka. Tapi berkat tenaga dalamnya yang
memang sudah mencapai tingkat amat tinggi, kakek
berpakaian jingga itu mampu meredamnya. Dan sungguh
di luar dugaan, ternyata Melati sampai begitu terpengaruh
dan seperti tidak mampu bertahan! Dari sini saja sudah
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam kakek bertubuh
tinggi besar itu.
"Rupanya kau lihai juga, Tua Bangka Kerdil...!" kata
Ruksamurka seraya menghentikan tawanya.
Tampak adanya rasa penasaran baik pada wajah
maupun suara kakek bertubuh tinggi besar itu. Sungguh di
luar dugaan kalau ada orang yang sanggup menahan
serangan suara tawanya. Jadi kakek bertubuh kecll kurus
ini paling tidak adalah lawan yang amat tangguh.
Melati menghela napas lega meskipun wajahnya masih
terlihat pucat. Gadis berpakaian putih ini masih belum
lepas dari pengaruh suara tawa Ruksamurka.
"Menyingkirlah, Melati...!" ujar Ki Julaga bernada
perintah.
Kakek bertubuh kecil kurus itu tahu kalau muridnya
bukan tandingan kakek bertubuh tinggi besar ini. Dan dia
tidak ingin putri angkat Raja Bojong Gading ini celaka.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera men-
jauh. Seperti juga Ki Julaga, gadis itu sadar kalau orang itu
bukan tandingannya. Dari gelak suara tawa itu saja, sudah
diketahui kalau kakek bertubuh tinggi besar itu memiliki
tenaga dalam amat tinggi, jauh di atas kekuatan tenaga
dalam miliknya
"Maaf, Kisanak. Mengapa kau menyerang kami?
Sepengetahuanku, aku tidak mempunyai persoalan
denganmu," pelan dan lembut Ki Julaga membuka
pembicaraan.
"Cuhhh...!"
Dengan kasar, Ruksamurka meludah. Bukan ke tanah,
tapi ke wajah Ki Julaga. Bahkan bukan sembarangan
ludah, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Terdengar suara berdesing nyaring begitu
cairan kental yang menjijikkan itu meluncur ke arah wajah
Ki Julaga.
Ki Julaga sama sekali tidak mengelakkan serangan
ludah itu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan, lalu
diputar di depan wajah. Sesaat kemudian angin keras
menderu dari tangan yang bergerak memutar itu.
Luar biasa! Semburan ludah itu mendadak berhenti,
kemudian jatuh ke tanah.
Wajah Ki Julaga seketika memerah. Kemarahan mulai
menjalari hatinya. Kakek berpakaian compang-camping ini
benar-benar tidak mempunyai adab! Dengan baik-baik
ditanya, tapi sambutannya sungguh menyakitkan. Bahkan
suatu penghinaan yang tidak bisa didiamkan.
"Grrrh...!"
Ruksamurka menggeram hebat begitu melihat
serangannya kandas. Untuk yang kedua kali hatinya dibuat
penasaran. Hatinya bertanya-tanya tentang keberadaan
kakek bertubuh kecil kurus ini.
"Rupanya untuk berbincang-bincang denganmu tidak
perlu mulut, tapi kepalan. Kalau itu adalah kemauanmu,
akan kuladeni, Kisanak!" tegas dan mantap sekali ucapan
yang keluar dari mulut Ki Julaga.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Rupanya kakek
berubuh tinggi besar ini merasa geli mendengar ucapan Ki
Julaga. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu,
memegangi perutnya sambil membungkukkan tubuh.
Terdengar suara bergemeretak dari mulut Ki Julaga.
Walaupun tidak tahu hal yang menyebabkan orang di
hadapannya merasa geli, tapi setidak-tidaknya bisa diduga
kalau rasa geli itu karena ucapan atau sikapnya. Dan ini
membuat kemarahannya semakin menggelegak.
Suara tawa Ruksamurka semakin keras begitu melihat
keadaan Ki Julaga. Hal ini membuat kakek bertubuh kecil
kurus itu tidak tahan lagi. Maka....
"Diam...!"
Terdengar bentakan menggelegar seperti ada guntur
yang meledak di dekat tempat itu. Keras bukan main
karena Ki Julaga mengeluarkannya dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Akibatnya hebat sekali! Suara tawa Ruksamurka se-
ketika berhenti. Raut wajahnya pun agak berubah, per-
tanda bentakan Ki Julaga cukup mengejutkan hatinya.
Ternyata akibat yang lebih parah lagi telah diterima
Melati. Walaupun gadis berpakaian putih ini berada agak
jauh dari kedua orang itu, tapi tetap saja terkena pengaruh
bentakan Ki Julaga. Tubuh Melati mendadak oleng, karena
lututnya mengggigil keras. Sepasang telinganya pun terasa
berdengung.
"Grrrh...!" Ruksamurka menggeram keras. "Sungguh
besar nyalimu, Kambing Tua..! Kau berani membentakku...!
Kau berani membentak Ruksamurka...?! Grrrh...! Akan
kubeset kulitmu...! Akan kuhirup darahmu...! Grrrh...!"
Ki Julaga dan Melati adalah orang yang telah terbiasa
menghadapi bahaya. Bagi kedua orang itu, matipun bukan
apa-apa. Tapi ancaman yang keluar dari mulut Ruksa-
murka begitu mengerikan. Menilik dari ucapan dan
sikapnya, bisa diperkirakan kalau dia tidak main-main
dengan ucapannya. Tak terasa bulu kuduk Melati dan Ki
Julaga merinding. Ada sedikit perasaan ngeri yang merayap
dalam hati kakek bertubuh kecil kurus dan gadis ber-
pakaian putih itu setelah mendengar ancaman yang
dikeluarkan dengan mendesis tadi. Dan yang lebih
mengejutkan hati Ki Julaga saat kakek bertubuh tinggi
besar itu memperkenalkan namanya.
Ruksamurka memang tokoh sesat yang sakti dan
memiliki kekejaman mendirikan bulu kuduk. Kebiadaban-
nya tak tertandingi lagi. Dia pernah membunuh orang satu
desa sambil tertawa-tawa, tanpa ada perasaan peri-
kemanusiaan. Tapi bukankah tokoh sesat yang mengerikan
itu telah lenyap tanya ketahuan rimbanya? Mengapa tahu-
tahu muncul di sini? Berbagai macam pertanyaan bergayut
di benak Ki Julaga. Pertanyaan yang tidak mungkin bisa
dijawabnya.
"Ruksamurka...?!" ulang Ki Julaga dengan suara
mendesis.
"Kau terkejut, Tua Bangka Kerdil…?!" ejek Ruksamurka
dengan kemarahan yang berkobar. "Belasan, bahkan
mungkin puluhan tahun lamanya aku mengasingkan diri
dari dunia luar. Kini sudah saatnya aku kembali ke dunia
persilatan untuk meneruskan kebiasaan lamaku. Dan kau
dan gadis montok itu mendapat kehormatan untuk menjadi
korban pemulaku. Ha ha ha...!"
"Hm..." Ki Julaga hanya menggumam pelan. "Ingin
kulihat buktinya, Ruksamurka."
"Hmh...!"
Ruksamurka mendengus. Kakek bertubuh tinggi besar
ini memang seorang yang memiliki watak angkuh, dan
selalu mengagungkan diri sendiri. Pantang baginya men-
dengar kata-kata bernada tantangan. Tapi kali ini justru
kata-kata itu didengarnya dari mulut orang bertubuh kecil
kurus di hadapannya. Maka amarahnya pun meluap
seketika.
"Grrrh...!"
Ruksamurka meraung seperti seekor binatang buas
yang terluka. Terdengar suara berkerotokan keras dari
sekujur tulang-tulangnya seiring terdengarnya geraman itu.
Luar biasa! Padahal kakek berpakaian compang-camping
ini belum menggerakkan tangan atau kaki!
Ki Julaga yang telah dilanda amarah tidak mau kalah.
Sehabis mendengus, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot
tubuhnya pun menegang. Seketika itu pula, tenaga dalam
dari bawah pusarnya mengalir deras ke berbagai bagian
tubuh. Suara berkerotokan yang tak kalah nyaring ter-
dengar ketika aliran tenaga dalam itu mulai bergerak ke
seluruh bagian tubuhnya.
Melihat untuk yang kesekian kali tindakan lawan selalu
berhasil menyainginya. Ruksamurka jadi murka. Sambil
mengeluarkan teriakan nyaring melengking, kakek ber-
tubuh tinggi besar itu memutar-mutarkan kedua tangannya
di depan dada, dari luar ke dalam.
Wuuutttt..!
Menakjubkan! Dari kedua tangan yang berputaran itu
muncul sebuah kekuatan amat kuat yang menarik tubuh Ki
Julaga ke depan.
Kakek bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan kepalang.
Sama sekali tidak disangka akan muncul kekuatan
menarik seperti itu. Akibatnya bisa diduga. Tubuh kakek
berpakaian jingga ini tertarik keras ke depan.
Ki Julaga tahu kalau dirinya tengah berada dalam
bahaya besar. Dalam keadaan yang sangat tidak mengun-
tungkan ini, lawan dengan mudah pasti akan menjatuhkan
serangan maut padanya.
Maka begitu tubuhnya tertarik ke depan, Ki Julaga
segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya.
Maksudnya adalah agar kedua kakinya seperti berakar di
tanah.
Tak pelak lagi, adegan yang menarik pun tergelar.
Ruksamurka yang terus saja memutar-mutarkan kedua
tangannya dalam usaha menarik tubuh Ki Julaga.
Sementara, kakek berpakaian jingga jtu berusaha keras
bertahan. Kedua tokoh yang sama-sama sakti ini bertarung
jarak jauh, terpisah sekitar tiga tombak.
Tapi adu tarik-menarik itu berlangsung tidak lama.
Secara mendadak, Ruksamurka menghentikan putaran
tangannya. Dan secepat kedua gerakan tangannya ber-
henti, secepat itu pula tubuhnya meluncur ke arah Ki
Julaga. Kakek bertubuh tinggi besar ini melompat ke atas.
Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya
menyampok deras ke arah pelipis Ki Julaga.
***
3
Ki Julaga tidak merasa terkejut atau gugup. Hal ini
memang sudah diduga. Maka kakek bertubuh kecil kurus
ini buru-buru menjulurkan kaki kanannya ke depan,
sementara lutut kirinya ditekuk seraya merendahkan
tubuh.
Wusss...!
Seluruh rambut dan pakaian Ki Julaga berkibar keras
ketika sampokan lawan menyambar lewat sekitar se-
jengkal di atas kepalanya. Padahal, kekuatan sambaran itu
mampu menghancurkan batu paling keras sekalipun. Dari
hal ini saja sudah bisa diperkirakan, betapa tinggi tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Ki Julaga sudah bisa memperkirakan kalau lawan di
hadapannya ini adalah seorang tokoh yang amat tangguh.
Bila bertindak setengah-setengah, hanya akan men-
celakakan diri sendiri. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia balas
menyerang.
Sekali menyerang. Ki Julaga langsung mengeluarkan
ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya
langsung mengembang membentuk cakar. Berbeda
dengan Melati yang bila menggunakan ilmu ini hanya
sebatas pergelangan yang berwarna merah darah, maka
pada Ki Julaga warna merah itu sampai pangkal lengan.
Hanya saja, warna merah itu tidak terlihat karena tertutup
lengan bajunya.
Wuuut…!
Angin menderu keras begitu Ki Julaga melancarkan
serangan. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah leher
dan dada. Cakar kanan mengancam leher, sedangkan yang
kiri mengancam dada. Posisi buku-buku jari tangan kanan
menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku
jari tangan kiri yang menghadap ke bumi
"Groooah...!"
Ruksamurka menggeram keras begitu melihat lawannya
mampu mengelakkan serangan yang begitu tiba-tiba.
Apalagi ketika melihat Ki Julaga tidak hanya mampu
mengelakkan serangan, tapi juga mengirimkan serangan
yang tak kalah berbahayanya.
Keadaan kakek berpakaian compang-camping ini
memang sulit sekali. Serangan Ki Julaga memang datang
begitu mendadak. Apalagi, tubuhnya tengah berada di
udara, karena baru saja melancarkan serangan.
Tapi meskipun begitu, Ruksamurka mampu membukti-
kan kalau dirinya adalah seorang tokoh sesat yang belasan
tahun lalu ditakuti oleh tokoh persilatan mana pun. Maka
buru-buru tangan kanannya ditarik pulang, seraya cepat
ditetakkan ke bawah. Berbareng dengan itu, tangan kirinya
menangkis ke atas.
Plakkk...!
Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat tinggi
berbenturan.
"Hih...!"
Ruksamurka menggertakkan gigi seraya melempar
tubuh ke belakang. Indah dan manis sekali gerakannya.
"Hup...!"
Ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakek berpakaian compang-camping ini mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Ruksamurka langsung bersikap
waspada. Matanya memperhatikan kalau Ki Julaga telah
selesai memperbaiki sikapnya.
Namun, kedua belah pihak tidak langsung saling
melancarkan serangan. Baik Ki Julaga maupun Ruksa-
murka saling pandang, seperti mengukur kekuatan satu
sama lain. Sementara, Ruksamurka diam-diam harus
mengakui kalau dalam hal tenaga dalam, dirinya masih di
bawah Ki Julaga. Terbukti, dalam adu benturan tadi, kedua
tangannya terasa sakit-sakit.
"Ilmu 'Cakar Naga Merah'. Apa hubunganmu dengan Ki
Gering Langit?!" tanya Ruksamurka dengan suara meng-
gelegar. Ada ancaman maut yang tersembunyi, baik dalam
suara maupun sikapnya.
"Beliau adalah majikanku," jawab Ki Julaga jujur.
Dia tidak merasa heran kalau lawan mengenal ilmu yang
digunakannya, dan siapa pemiliknya. Justru merupakan
suatu hal yang mengherankan bila seorang tokoh meng-
giriskan seperti Ruksamurka tidak mengenal ilmu yang
digunakannya.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar laksana guntur
menyambuti jawaban Ki Julaga. Mendadak sekali suara
tawa itu keluar, dan mendadak pula berhenti. Namun
seketika wajah Ruksamurka berubah beringas. Bahkan
sinar matanya mengandung ancaman maut!
"Pucuk dicinta ulam tiba!" ucap kakek berpakaian
compang-camping itu dengan suara mengguntur. "Gering
Langit..! Sebelum kau mendapat giliran balas dendamku,
pelayanmulah yang mendapat kehormatan menjadi korban
awalku...!"
Setelah puas berteriak seraya memandang ke langit,
Ruksamurka kembali mengalihkan perhatian pada Ki
Julaga.
"Semula kupikir perjalananku kemari akan sia-sia. Tapi,
ternyata tidak! Sakit hatiku akan sedikit terobati meskipun
hanya kau yang kutemui, dan bukan si Gering Langit
keparat itu...!"
Ki Julaga mengeryitkan dahi. Dari ucapan dan sikap
Ruksamurka yang jelas begitu mendendam Ki Gering
Langit, sudah bisa diduga ada suatu masalah besar di
antara mereka berdua. Dan begitu ingatannya melayang
pada menghilangnya tokoh sesat yang menggiriskan ini
secara mendadak, Ki Julaga sudah bisa menarik
kesimpulan. Hilangnya Ruksamurka ada hubungannya
dengan Ki Gering Langit!
Tapi Ki Julaga tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena
Ruksamurka sudah kembali melompat menerjang. Segera
kakek bertubuh kecil kurus ini membuang pikiran macam-
macam yang menggayuti benaknya. Kini semua harus
dikuras untuk menghadapi lawan tangguh di hadapannya.
Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama sakti ini
sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru dan
menarik.
***
Melati memperhatikan jalannya pertarungan dengan
sinar mata cemas. Gadis itu tahu kalau lawan yang
dihadapi gurunya adalah tokoh sesat yang amat sakti. Dan
ini membuat hatinya khawatir.
Melati memang tahu kalau kepandaian Ki Julaga sudah
amat tinggi dan sukar diukur. Bahkan dia tahu kalau
kekasihnya sendiri, Arya Buana alias Dewa Arak, memiliki
tingkat kepandaian yang tidak berada di atas gurunya.
Meskipun begitu, putri angkat Raja Bojong Gading ini
tetap merasa cemas. Satu hal yang membuatnya khawatir
adalah, kakek bertubuh kecil kurus itu sudah lama tidak
melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Waktunya selalu
dihabiskan untuk termenung menyesali kesalahannya.
Bersemadi pun hanya sekadarnya saja. Tapi apa daya?
Jelas-jelas tingkat kepandaiannya masih di bawah
Ruksamurka. Dan yang dapat dilakukannya kini hanya
berharap, mudah-mudahan gurunya sanggup menghadapi
lawannya.
Pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh yang sama-
sama sakti itu berlangsung menggiriskan. Arena per-
tarungan pun kini sudah berpindah. Keduanya tahu kalau
tetap bertarung di teras, bukan tidak mungkin akan ter-
timpa reruntuhan bangunan yang hancur terlanda pukulan
nyasar. Mereka kini bertarung di bawah siraman hujan
yang masih turun dengan lebatnya, ditingkahi deru angin
dingin dan gelegar halilintar menyambar bumi.
Hebat bukan main memang pertarungan yang terjadi
antara Ki Julaga dan Ruksamurka. Kedua tokoh ini sama
sama memiliki ilmu meringankan tubuh, dan kekuatan
tenaga dalam yang sukar diukur. Maka, pertarungan yang
terjadi terlihat begitu mengerikan.
Suara angin menderu, mencicit, dan mengaung
menyemaraki suasana yang riuh oleh curah hujan, deru
angin, dan gelegar halilintar. Percikan air kotor dan curah
hujan berpentalan tak tentu arah. Memang, suasana di
sekitar arena pertarungan kedua tokoh ini terlihat semakin
semrawut, bagai kapal pecah.
Pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung cepat,
karena ilmu meringankan tubuh masing-masing telah
mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu sebentar
saja lima puluh jurus telah cepat berlalu. Dan selama itu,
belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Kedua tokoh itu terus bertarung seru dengan kecepatan
menakjubkan. Yang terlihat kini hanyalah bayangan ber-
warna abu-abu dan jingga yang saling belit dan saling
pisah!
Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka merasa penasaran
bukan kepalang, menyadari setelah sekian lama bertarung,
satu sama lain belum mampu juga mendesak. Padahal
masing-masing telah mengeluarkan Ilmu andalannya. Ki
Julaga dengan Ilmu 'Cakar Naga Merah', dan Ruksamurka
dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Ilmu yang
diciptakan tokoh sesat itu didapat setelah memperhatikan
gerakan pusaran air laut. Tidak aneh kalau Ilmu 'Tarikan
Pusaran Air Laut' itu memiliki daya sedot yang amat kuat.
Dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’, Ruksamurka
berusaha sekuat tenaga merobohkan Ki Julaga. Ilmu itu
memang aneh dan berbahaya bukan main. Untung yang
menghadapinya Ki Julaga yang memiliki kekuatan tenaga
dalam tak terukur. Sehingga, kekuatan daya sedot Ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut’ itu tidak terlalu berbahaya
baginya.
Meskipun begitu, bukan berarti Ki Julaga sama sekali
tidak kewalahan menghadapi ilmu itu. Seluruh kemampu-
annya telah terkuras untuk menanggulangi ilmu aneh milik
lawannya ini. Bahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' telah di-
kerahkan sampai puncaknya.
Kembali seratus jurus telah terlewat. Berarti telah
seratus lima puluh jurus lamanya kedua tokoh ini
bertarung. Dan sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda
berakhir.
Ruksamurka menggertakkan gigi melihat keuletan
lawannya. Sungguh tidak diduga kalau Ki Julaga begini
tangguh. Kalau pelayannya saja sudah memiliki ke-
pandaian seperti ini, bagaimana dengan tingkat ke-
pandaian Ki Gering Langit sekarang? Dan sebenarnya
Ruksamurka sedikit putus asa menghadapi kenyataan ini.
Walaupun ada perasaan putus asa, namun Ruksamurka
sama sekali tidak mengendorkan serangan. Bahkan se-
baliknya, serangannya malah makin diperhebat. Dan pada
kenyataannya kekuatan tubuhnya memang luar biasa. Tak
tampak adanya tanda-tanda kelelahan pada dirinya.
Tanpa sepengetahuan Ruksamurka, Ki Julaga sebenar-
nya sudah mulai dilanda rasa lelah. Dan itu wajar sekali.
Karena sudah lama sekali ilmu-ilmunya tidak dilatih.
Sehingga, otot-ototnya banyak yang mulai tidak lentur lagi.
Apalagi otot-ototnya memang telah tua.
Tapi sedapat mungkin, kakek ini berusaha menyem-
bunyikan keadaannya, dan tidak ingin hal itu diketahui
lawan. Bila hal itu sampai diketahui, semangat Ruksa-
murka akan semakin berkobar, sehingga akan semakin
menyulitkan dirinya.
Namun Ki Julaga sama sekali tidak takut mati. Hanya
saja, dia tidak ingin Melati harus ikut celaka. Putri angkat
Raja Bojong Gading itu harus diselamatkan sebelum ter-
lambat. Menilik dari keadaan dirinya yang sudah lelah,
jelas daya tahannya tidak mampu lagi diajak bertarung.
Sementara, lawan tampaknya masih segar bugar.
"Melati...! Cepat pergi dari sini...!" seru Ki Julaga, pada
satu kesempatan.
Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan
kepalang. Perintah kakek bertubuh kurus ini hanya
mengandung satu pengertian. Dia merasa tidak sanggup
menghadapi lawannya! Tentu saja hal ini membuat Melati
jadi kebingungan.
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Dan kini
serangan-serangannya kian bertubi-tubi begitu lawan
mengalihkan perhatian ke arah gadis berpakaian putih itu.
Karuan saja hal ini membuat Ki Julaga menjadi mulai
terhimpit. Memang walaupun hanya berteriak memper-
ingatkan, tapi sudah cukup mengurangi perhatian.
Padahal, bila menghadapi lawan tangguh, yang paling
penting adalah pencurahan seluruh perhatian.
Ki Julaga jadi cemas begitu melihat Melati sama sekali
tidak menuruti anjurannya. Bahkan malah terpaku tidak
bergeming sedikit pun. Melihat dari raut wajahnya, tampak
jelas kalau hatinya tengah dilanda kebimbangan.
Hal itu memang benar! Melati memang tengah dilanda
perasaan bingung. Gadis itu tahu kalau gurunya
menyuruhnya kabur, hanyalah demi keselamatannya. Tapi,
Melati tidak tega membiarkan gurunya menghadapi maut
seorang diri. Kebimbangan kian melanda hatinya. Antara
menuruti pesan itu, atau membantu gurunya.
"Melati...! Cepat pergi...!"
Kembali Ki Julaga berseru keras. Nada kekhawatiran
yang amat sangat terdengar dalam teriakan mengandung
perintah itu.
Dan seiring perasaan cemas yang melanda, keadaan Ki
Julaga jadi semakin terdesak dan terhimpit. Tubuhnya
memang sudah terasa lelah bukan main. Memang, per-
tarungan sudah berlangsung dua ratus jurus. Dan selama
itu, dia selalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
untuk bertahan dari serangan Ruksamurka yang
mengandung daya sedot luar biasa. Dan pengerahan
tenaga dalam sepenuhnya ini tentu saja membuatnya
cepat lelah. Apalagi mengingat usianya yang sudah tua dan
keadaan anggota tubuhnya yang sudah tidak begitu baik
lagi keadaannya.
Dan kini hal itu masih ditambah sikap Melati yang tidak
menuruti anjurannya. Lengkaplah sudah keadaan yang
membuat kakek bertubuh kecil kurus ini jadi terdesak
hebat.
"Ah...!"
Ki Julaga terpekik tertahan ketika tubuhnya mendadak
tertarik ke depan, terbawa daya sedot bar biasa yang
muncul dari pengerahan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Tapi pada saat yang gawat, Ki Julaga masih mampu
mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat cepat dia mem-
banting tubuh ke tanah, bergulingan dan melenting ke
atas. Lagi-lagi kakek berpakaian jingga ini berhasil
meloloskan diri dari maut.
"Haaat..!"
Mendadak terdengar teriakan melengking nyaring. Jelas
kalau suara itu keluar dari mulut seorang wanita. Seiring
lenyapnya lengkingan itu, terdengar suara menggerung
keras seperti ada harimau murka.
Pada saat yang sama, sesosok bayangan putih ber-
kelebat ke arah Ruksamurka. Siapa lagi sosok bayangan
putih ini kalau bukan Melati?
Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini akhirnya
memutuskan untuk membantu gurunya. Dia kini telah
melompat menyerang Ruksamurka. Tahu akan kelihaian
lawan, tanpa ragu-ragu lagi, pedangnya dicabut. Dan
dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', dilancarkannya
serangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Ruksamurka hanya mendengus melihat serangan itu.
Kedua tangannya cepat d-putar-putar di depan dada
dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
"Ih...!"
Melati terpekik ketika dari kedua tangan yang berputar
itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuhnya hampir ter-
jenkal ke belakang. Dadanya terasa sesak bukan main,
seiring munculnya hembusan angin itu. Seketika itu juga,
serangannya kandas sebelum mencapai sasaran.
Sebelum gadis berpakaian putih ini sempat berbuat
sesuatu. Ruksamurka kembali memutar-mutarkan kedua
tangannya. Tapi kali ini arah gerakannya terbalik, dari luar
ke dalam. Seketika itu juga muncul sebuah kekuatan luar
biasa yang menarik tubuh Melati ke arah kakek berpakaian
compang-camping itu.
Tentu saja hal ini membuat Melati kaget bukan main.
"Ilmu macam apa ini?" tanyanya dalam hati dengan
perasaan kaget dan gentar.
Benak gadis itu terus berputar keras untuk menyelamat-
kan diri dari keadaan amat berbahaya ini. Tapi tetap saja
tidak menemukan caranya. Tubuhnya yang tengah berada
di udara tidak mempunyai landasan sama sekali untuk
bertahan ketika daya tarik yang amat kuat membetotnya.
Melati hampir terpekik ketika merasakan ada sebuah
tangan yang mencekal pergelangan tangan kirinya. Belum
sempat kepalanya menoleh, tangan itu sudah bergerak
membetot tubuhnya, lalu melontarkannya.
"Cepat pergi...! Atau..., aku tidak sudi mengakuimu lagi
sebagai murid...!"
Seruan keras itu terdengar seiring terlemparnya tubuh
Melati. Wajah gadis itu pucat seketika. Dia tahu betul
pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga. Jadi,
jelas kalau orang yang telah menyelamatkannya adalah
gurunya!
Melati bersalto beberapa kali untuk mematahkan daya
lontar yang membuat tubuhnya terlempar Jauh. Lemparan
Ki Julaga ternyata kuat bukan main, sehingga tubuhnya
terlontar deras.
Pyarrr...!
Air menyiprat ke sana kemari begitu kedua kaki Melati
mendarat di tanah. Untung saja hujan telah reda, dan
tinggal gerimis. Sehingga tubuhnya tidak begitu basah.
Berbeda dengan Ki Julaga dan Ruksamurka. Seluruh tubuh
kedua tokoh itu terlihat basah kuyup. Bahkan Ki Julaga
lebih parah lagi. Seluruh tubuh dan pakaian kakek kecil
kurus itu kotor, karena tadi bergulingan di tanah!
Melati menatap pertempuran itu sekilas. Kini tampak
jelas kalau Ki Julaga terdesak. Robohnya kakek itu hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Dada Melati terasa sesak. Ada isak tertahan yang
merayap naik ke tenggorokan. Kalau tidak ingat seruan
kakek berpakaian jingga itu, dia lebih suka mati bersama-
sama. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena Ki Julaga tidak
membolehkannya. Maka sambil mengeluarkan isak ter-
tahan, Melati melesat kabur sambil membawa sekeping
hatinya yang luka.
***
Meskipun dalam keadaan terdesak dan terhimpit, Ki
Julaga masih sempat melihat kepergian Melati. Mulut
kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum. Lega rasa
hatinya melihat murid yang amat disayangi itu mendengar
perintahnya. Memang terpaksa kata-kata yang agak pedas
dikeluarkan. Sebab kalau tidak, Melati tak akan mau pergi!
"Selamat Jalan, Melati...!" teriak Ki Julaga keras disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. "Jangan lupa, sampaikan
maafku pada Ki Gering Langit. Agar arwahku bisa
tenteram."
"Kakek..!"
Melati menjerit keras. Butir-butir air bening tampak
mengalir deras dari sepasang matanya. Melati tetap terus
berlari sambil menangis, tanpa mengeluarkan suara.
Sebenarnya, baginya menangis adalah suatu pantangan.
Tapi kesedihan yang kali ini ditanggung terlalu berat untuk
ditahan. Biar bagaimanapun juga, Melati adalah seorang
wanita yang tidak bisa melepaskan kodratnya. Seorang
wanita pasti memiliki perasaan halus. Sehingga mudah
diombang-ambingkan keharuan.
Jeritan Melati keras sekali, karena keluar dari hati yang
terluka. Sehingga tanpa sadar, jeritan itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam. Jadi bukan hal yang aneh kalau
Ki Julaga mendengarnya.
Seketika itu pula sepasang mata kakek bertubuh kecil
kurus ini merembang berkaca-kaca. Kedua biji matanya
terasa panas. Telinganya, menangkap adanya nada
kepedihan dari jeritan muridnya itu. Dia tahu Melati amat
menyayanginya, seperti dirinya terhadap gadis itu pula.
Tapi Ki Julaga tidak bisa berlarut-larut tenggelam dalam
keharuan. Dia tengah menghadapi lawan yang amat
tangguh. Apalagi keadaannya tengah terdesak dan ter-
himpit. Bahkan tak lama lagi akan roboh. Dan hal itu
disadari betul oleh kakek bertubuh kecil kurus ini.
Keadaan Ki Julaga memang sudah mengkhawatirkan
sekali. Apalagi tubuhnya sudah merasa lelah bukan main.
Dan seiring timbulnya perasaan lelah, kekuatan tenaganya
pun merosot jauh. Napasnya mulai terengah-engah.
Namun dia memaksakan diri untuk terus bertahan, agar
Melati dapat pergi sejauh-Jauhnya dan lolos dari kejaran
Ruksamurka. Sungguh besar pengorbanannya pada gadis
itu.
Berbeda dengan Ki Julaga, Ruksamurka sama sekali
tidak terlihat lelah. Serangan-serangannya masih sedah-
syat semula. Tahu kalau tenaga lawan telah merosot,
Ruksamurka bermaksud menggunakan kelebihan ini untuk
keuntungan dirinya.
Kini Ruksamurka memusatkan serangan pada putaran
kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari
luar ke dalam.
Sementara Ki Julaga mencoba terus bertahan. Seluruh
sisa tenaga dalam yang dimilikinya langsung dikerahkan.
Akibatnya memang mengerikan sekali! Dari mulut hidung,
dan telinganya mengalir darah segar. Kalau kakek ini
meneruskan bertahan, dari matanya pun akan keluar
darah segar!
Tapi sebelum hal itu terjadi, kedua kaki Ki Julaga sudah
tidak mampu bertahan. Seketika itu juga tubuhnya tertarik
deras ke depan.
Ruksamurka mendengus. Telunjuk tangan kanannya
bergerak menotok.
Tukkk...!
Bagai sehelai karung basah, tubuh Ki Julaga merosot
dan jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan tak
bertenaga. Ruksamurka memang telah menotoknya
sehingga tubuhnya lemas seketika.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak, menggelegar seperti
guntur. Sebuah tawa kemenangan yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam. Sementara Ki Julaga hanya
menatap semua kelakuan lawannya dengan sikap tenang.
Tidak terlihat adanya perasaan apa pun di wajah Ki Julaga,
sekalipun sebenarnya ada perasaan ngeri di hati. Dia kini
telah tidak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya
selain pasrah pada tindakan Ruksamurka.
Setelah puas tertawa-tawa, Ruksamurka mengalihkan
perhatian pada Ki Julaga. Dengan sorot mata bengis,
ditatapnya wajah kakek berpakaian jingga itu. Kemudian,
dia berjongkok.
Kembali Ruksamurka tertawa bergelak. Masih dengan
suara tawa lepas dari mulutnya, tangan kanannya terulur
untuk menggenggam tangan kanan Ki Julaga. Sementara
calon korbannya tetap terlihat tenang walaupun jantungnya
berdebar keras penuh kengerian.
Sambil masih terus tertawa-tawa, Ruksamurka bergerak
meremas tangan Ki Julaga yang berada dalam geng-
gamannya. Seketika itu juga terdengar suara berkerotokan
keras ketika tulang tangan Ki Julaga hancur seperti terjepit
baja.
Rasa sakit yang amat sangat melanda Ki Julaga. Tapi
hebatnya, dia sama sekali tidak mengeluh. Keringat
sebesar-besar biji jagung tampak membasahi wajah dan
sekujur tubuhnya. Giginya bahkan sampai menggigit bibir
kuat-kuat, sampai berdarah.
"Ha ha ha...!"
Tawa Ruksamurka kembali meledak melihat penderita-
an Ki Julaga. Senang rasa hatinya melihat penderitaan
yang dialami calon korbannya. Kemudian masih dengan
tawa yang tidak putus, siksaan itu dilanjutkan. Kedua
tangannya yang kekar dan berbulu, meremas hancur
semua tulang-belulang Ki Julaga. Mulai dari tangan kanan,
kiri, lalu dilanjutkan pada kaki. Setelah itu, dengan
kekuatan tenaga dalamnya, semua sambungan tulang-
belulang yang telah hancur itu ditarik hingga putus.
Darah berhamburan membasahi bumi. Bahkan Ki Julaga
sampai pingsan akibat tak kuat menahan rasa sakit yang
melanda. Tapi pingsan kakek itu tidak lama, karena Ruksa-
murka segera menyadarkannya. Sebagai seorang yang ber-
watak kejam, dia tidak akan menyiksa korban yang tidak
sadarkan diri.
Penyiksaan pun dilanjutkan lagi. Dan ketika akhirnya
penyiksaan berakhir, Ki Julaga tewas. Kini seluruh anggota
tubuhnya tidak ada yang berbentuk lagi. Semua tulang-
belulangnya telah hancur. Dan semua anggota tubuhnya
telah tercerai berai tak karuan. Nasib Ki Julaga sungguh
mengenaskan.
Ruksamurka tertawa bergelak melihat korbannya telah
tewas. Kedua tangan dan sekujur pakaiannya penuh
percikan darah. Tapi, kakek ini sama sekali tidak mem-
pedulikannya.
Masih dengan tawa bergelak yang menggelegar seperti
guntur, Ruksamurka melesat meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah mulai
mengecil di kejauhan. Dan seiring dengan semakin
mengecilnya tubuh itu, suara tawa yang terdengar pun
semakin pelan, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Kini tidak ada lagi suara hiruk-pikuk pertarungan. Tidak
ada lagi tawa bergelak yang menyeramkan. Keheningan
menyelimuti tempat itu. Yang terdengar hanyalah desah
angin pelan, seakan-akan alam bersedih dengan tewasnya
Ki Julaga.
***
4
Cuaca siang ini panas sekali. Matahari yang telah berada di
tengah-tengah langit memancarkan sinarnya dengan
garang ke bumi. Dan di saat itulah Ruksamurka melang-
kahkan kakinya melintasi tembok batas Desa Cendawa.
Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata kakek
berpakaian compang-camping ini segera beredar ber-
keliling, mengamati sekitarnya. Suasana di sekitarnya
memang tampak sepi. Tidak nampak seorang pun yang
ada di jalan. Memang, penduduk Desa Cendawa sebagian
besar adalah petani. Jadi, pada saat-saat seperti ini
mereka berada di sawah.
Yang terlihat oleh Ruksamurka hanyalah pondok-pondok
yang pintunya tertutup rapat Ada juga yang pintunya agak
terbuka, tapi itu hanya beberapa pondok saja.
Mulut Ruksamurka menyeringai. Sepasang matanya pun
bersinar-sinar. Entah karena apa, hanya dialah yang tahu.
Kemudian dengan langkah lebar-lebar tanpa ilmu
meringankan tubuh, kakek berwajah penuh guratan bekas
luka ini melangkah lebar menghampiri sebuah pondok
yang terletak paling dekat dengan tempatnya.
Tak sampai tiga puluh langkah, Ruksamurka sudah
berada di depan pondok itu. Perlahan-lahan tangannya
diulurkan untuk mengambil sebatang obor yang ter-
pancang di sudut pondok. Obor yang sama sekali tidak
berapi karena hari masih siang.
Krakkk...!
Batang obor yang terbuat dari batang bambu itu patah
dua ketika jari-jari tangan Ruksamurka bergerak. Menilik
dari cara mematahkannya, sepertinya obor itu terbuat dari
lidi!
Dengan raut wajah beku dan sorot mata yang
memancarkan kekejaman, Ruksamurka lalu menggosok-
kan kedua batang bambu itu. Luar biasa! Sekejap
kemudian, timbul api akibat gosokan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Sepasang mata kakek berwajah penuh luka guratan ini
nampak berbinar-binar, menyiratkan kegembiraan hatinya.
Kemudian, dua batang bambu yang menyala itu dilempar-
kan ke atas pondok yang beratapkan rumbia.
Secepat kedua batang bambu itu jatuh di atap pondok
itu, secepat itu pula api mulai membakar! Mula-mula kecil,
tapi semakin lama semakin besar! Api itu tidak hanya
membakar atap, tapi juga menjalar ke arah dinding bilik
bambu.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak begitu melihat api
semakin membesar. Gembira hatinya melihat pertunjukan
di hadapannya.
Api itu memang cepat sekali membesar. Karena di
samping pondok itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah
terbakar, angin yang berhembus cukup kencang ikut
mendukung cepatnya api membesar.
"Kebakaran...!"
Terdengar teriakan panik dari seorang penduduk yang
kebetulan berada di dalam pondok. Menilik dari suaranya
yang melengking, bisa diketahui kalau dia adalah seorang
wanita.
Seiring terdengarnya teriakan itu, daun pintu depan yang
tadi tertutup rapat terbuka tiba-tiba. Jelas orang di
dalamnya terburu-buru membuka pintu itu.
Secepat daun pintu itu terbuka, secepat itu pula seorang
wanita berlari-lari kalang-kabut keluar. Usianya sekitar tiga
puluh tahun, dan kulitnya coklat. Dia menggendong
seorang anak berusia sekitar dua tahun yang menangis
menjerit-jerit. Rupanya anak itu merasa kepanasan, karena
rumahnya terbakar.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak melihat wanita itu
kebingungan. Hatinya geli melihat wanita itu kalang-kabut
menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Tindakan Ruksamurka tidak sampai di situ saja.
Tangannya cepat bergerak, maka sesaat kemudian anak
dalam gendongan wanita itu telah direbutnya.
"Kembalikan anakku...!"
Wanita itu menjerit seraya melangkah cepat meng-
hampiri Ruksamurka yang hanya tertawa-tawa. Jelas,
wanita itu ingin merebut kembali anaknya.
Masih dengan tawa bergelak, Ruksamurka menggerak-
kan tangan menampar tanpa pengerahan tenaga dalam.
Kakek berwajah penuh luka itu hanya mengerahkan tenaga
biasa. Itu pun tidak seluruhnya.
Plakkk...!
Telak dan keras bukan main tamparan Ruksamurka
menghantam pipi wanita berkulit coklat itu. Seketika itu
juga, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Mulutnya tampak
meringis menahan sakit. Namun hal itu tidak dipeduli-
kannya. Wanita itu langsung bangkit berdiri dan kemudian
menghambur ke arah Ruksamurka. Pada pipi wanita itu
tampak tanda merah bergambar telapak tangan.
"Kembalikan anakku...!" jerit wanita itu lagi.
Tapi sebelum wanita berkulit coklat itu berhasil me-
rampas anaknya, Ruksamurka telah lebih dulu melempar-
kan anak itu ke dalam pondok yang telah menjadi kobaran
api.
Sambil terus menjerit-jent menyayat, anak kecil itu
melayang deras. Sementara sang Ibu yang melihat
anaknya, menjadi semakin hancur hatinya. Dia hanya
mampu berteriak ngeri bercampur duka mendalam.
"Susullah anakmu ke neraka ..!" seru Ruksamurka tiba-
tiba.
Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di
depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Seketika itu juga berhembus angin keras yang membuat
tubuh wanita malang itu melayang deras ke arah rumahnya
yang tengah dilahap api.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak. Tampak jelas kalau
hatinya merasa gembira menyaksikan perbuatannya.
***
Kobaran api yang membesar itu tentu saja menimbulkan
kepulan asap yang menjulang ke angkasa. Seketika itu
pula seluruh penduduk Desa Cendawa menjadi geger.
Kontan mereka yang melihat, berhamburan ke arah asal
asap itu. Sementara penduduk yang berada agak dekat
dengan pondok yang terbakar itu juga bergegas berlari ke
sana. Memang, pondok yang terbakar itu letaknya agak
jauh dari pondok-pondok.
Tawa Ruksamurka kian keras ketika melihat penduduk
berbondong-bondong datang menghampiri rumah yang
terbakar. Di tangan mereka telah tergenggam alat-alat
seadanya untuk memadamkan api.
Dengan suara tawa yang tidak pernah lepas dari
mulutnya, Ruksamurka segera melesat menyongsong
kedatangan para penduduk.
Rombongan penduduk yang tiba lebih dulu dan
berjumlah hanya delapan orang, terperanjat begitu melihat
sesosok tubuh tinggi besar yang bergerak dari arah yang
berlawanan sambil tertawa-tawa.
"Kau kenal orang itu, Wardi?" tanya penduduk yang
berusia setengah baya pada seorang pemuda bertubuh
pendek gemuk.
"Tidak, Kang," sahut pemuda bertubuh pendek gemuk
yang bernama Wardi. "Melihatnya pun baru kali ini"
"Jangan-jangan, dia orang gila yang nyasar kemari.
Kalau waras, rasanya tidak mungkin ada kebakaran dia
malah tertawa-tawa gembira," tebak seorang penduduk
lain yang mengenakan penutup kepala dari batok kelapa.
"Lihat saja pakaian yang dikenakannya."
Mendengar ucapan itu, serentak tujuh buah kepala
penduduk yang lain terangguk. Rupanya mereka semua
menerima pendapat itu.
Yakin akan kebenaran dugaan tadi, kedelapan orang
penduduk itu tidak mau cari penyakit. Mereka cepat
bergerak menyingkir agak ke kanan jalan agar tidak
berpapasan dengan Ruksamurka. Untung jalan itu lebar.
Tapi Ruksamurka yang memang sudah berniat mem-
bantai semua penduduk Desa Cendawa, tidak ingin mem-
biarkan penduduk itu lolos dari tangannya. Maka begitu
para penduduk menyingkir ke arah kanan, dia pun ber-
gerak mengikuti. Sehingga kini tetap saja rombongan
penduduk itu akan berpapasan jalan dengannya.
Tentu saja hal ini membuat Wardi dan rekan-rekannya
jadi gemas. Mereka tengah terburu-buru, dan kini malah
ada orang gila yang mengganggu. Tentu saja mereka
menjadi sewot.
Karena perasaan itulah yang menyebabkan mereka
semua tidak bergerak menyingkir lagi. Mereka sudah
bertekad, kalau orang gila itu bersikap macam-macam,
akan dihajar hingga babak belur.
Semakin lama jarak mereka semakin dekat. Hingga kini,
jarak antara kedua belah pihak tak lebih dari dua tombak.
Wardi dan para penduduk lain menjadi gemas juga
melihat Ruksamurka sama sekali tidak bergeming dari
tempatnya. Maka kedelapan orang ini memutuskan untuk
menghajarnya hingga babak belur.
Delapan orang penduduk itu melangkah maju dengan
sorot mata mengancam. Senjata-senjata yang berada di
tangan, diacung-acungkan agar Ruksamurka takut.
Begitu jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi,
mendadak tangan Ruksamurka bergerak. Seketika para
penduduk desa itu terkesiap. Tak ada yang mampu
mengelak atau menangkis. Tak pelak lagi, dua orang
kawan Wardi telah tercekal tangannya.
Sebelum kedua orang penduduk itu menyadari apa yang
terjadi, Ruksamurka sudah bergerak membetot keras
anggota tubuh mereka.
Suara bergemeletuk dari terlepasnya sambungan tulang
pangkal lengan kedua orang penduduk itu terdengar.
Kontan kedua orang yang malang itu menjerit keras.
Belum lagi gema jeritan itu lenyap, tubuh kedua orang
itu telah terlempar ke atas melewati kepala Ruksamurka.
Mereka terus melayang deras ke arah rumah yang telah
menjadi lautan api.
"Aaa…!"
Jerit kematian terdengar ketika kedua orang penduduk
yang malang itu jatuh ke dalam kobaran api.
Wardi dan kelima orang kawannya seketika terbelalak
kaget melihat hal ini. Kini mereka semua sadar kalau orang
yang disangka gila itu ternyata seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian tinggi.
Meskipun mereka semua tidak memiliki ilmu silat, tapi
bukan berarti buta terhadap orang yang memiliki ke-
pandaian tinggi. Karena, di Desa Cendawa pun terdapat
sebuah perguruan silat yang cukup ternama.
Kembali tangan Ruksamurka bergerak, namun kali ini
memutar di depan dada. Arahnya dari luar ke dalam.
Wardi dan kelima orang kawannya terkejut bukan main
ketika tiba-tiba saja muncul angin keras yang menarik
mereka ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Dengan kedahsyatan ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut',
tidak sulit bagi Ruksamurka untuk mengambil keenam
orang penduduk itu. Dan begitu tubuh penduduk-penduduk
itu telah tertarik ke arahnya dengan enaknya, tangannya
langsung terulur menangkap tangan dan bagian-bagian
tubuh lainnya. Kemudian dilemparkannya tubuh-tubuh itu
ke dalam kobaran api.
Jeritan kematian kembali terdengar begitu tubuh
keenam orang itu meluruk ke arah kobaran api yang
menyala-nyala dahsyat.
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa Ruksamurka yang keras dan
menggelegar terdengar. Sebuah tawa penuh bernada
kegembiraan.
Rupanya kakek berwajah penuh guratan luka ini belum
puas dengan pembantaiannya. Kembali dihampirinya
pondok-pondok lain, kemudian dibakarnya.
Kini Desa Cendawa telah menjadi lautan api. Di sana-
sini tampak pondok-pondok yang terbakar. Beberapa di
antaranya telah padam, dan hanya tinggal puing-puing
diselingi asap bau sangit yang membumbung ke atas.
Kekejaman Ruksamurka memang menggiriskan. Setiap
penduduk yang dijumpainya, entah wanita atau laki-laki,
tua maupun muda, besar ataupun kecil, semuanya segera
dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar!
"Manusia terkutuk...!"
Terdengar makian keras begitu Ruksamurka baru saja
melemparkan orang terakhir yang ditemui ke dalam
kobaran api. Tokoh sesat itu langsung memalingkan
wajahnya. Sepasang matanya menatap pemilik suara
dengan pandangan penuh selidik.
Di hadapan kakek berpakaian compang-camping ini
nampak berdiri belasan orang berwajah dan bersikap
gagah. Pakaian mereka rata-rata putih. Sementara di
bagian dada sebelah kiri terdapat gambar seekor burung
gagak dengan benang hitam. Tampaknya mereka adalah
murid-murid sebuah perguruan silat.
Ruksamurka menatap sosok-sosok tubuh yang berdiri di
hadapannya dengan senjata terhunus. Sepasang matanya
berbinar-binar melihat calon korbannya. Memang mengeri-
kan sekali watak kakek berpakaian compang-camping ini.
Kegemarannya memang membunuh orang!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka kembali tertawa terbahak-bahak. Karuan
saja hal ini membuat belasan orang itu yang ternyata murid
Perguruan Gagak Putih menjadi marah bukan main.
Ditertawai seorang kakek jembel yang sama sekali tidak
dikenal, siapa yang tidak sewot?
"Orang sepertimu memang tidak patut dibiarkan
hidup...!"
Seorang murid Perguruan Gagak Putih yang berkumis
tebal rupanya tidak kuat lagi menahan amarahnya. Dia
langsung melompat menerjang Ruksamurka dengan
pedang menusuk cepat ke arah dada. Suara bercuitan
nyaring mengiringi serangan itu.
Namun Ruksamurka sama sekali tidak mempedulikan-
nya. Bahkan tidak nampak adanya tanda-tanda akan
mengelak atau menangkis. Dadanya seperti dipasang,
memberi keleluasaan lawan untuk menyerang.
Takkk..!
Terdengar suara keras seperti ada dua benda keras
yang berbenturan ketika ujung pedang itu mengenai
sasarannya. Hebatnya, dada Ruksamurka sama sekali
seperti tidak tersentuh apa-apa. Justru, pedang itulah yang
patah-patah.
Laki-laki berkumis tebal dan rekan-rekannya yang me-
lihat kejadian itu terkejut bukan kepalang. Apalagi, laki-laki
berkumis tebal itu. Selain terkejut, dia juga merasakan
sakit pada sekujur tangannya.
Di saat itulah tangan kanan Ruksamurka kembali
terulur.
Tappp...!
Laki-laki berkumis tebal itu tidak mampu mengelak lagi,
sehingga tangan kanannya tercekal tangan Ruksamurka.
Suara gemeretak keras menandakan remuknya tulang,
terdengar ketika jemari Ruksamurka bergerak meremas.
Laki-laki berkumis tebal melolong kesakitan. Keringat
sebesar biji jagung bermunculan di wajahnya. Rasa sakit
yang melandanya memang amat menyiksa.
Baru saja lolong kesakitan itu lenyap, tubuh laki-laki
berkumis tebal itu telah melayang ke arah kobaran api
ketika Ruksamurka melontarkannya.
Kembali terdengar jeritan menyayat hati dari mulut laki-
laki berkumis tebal itu. Tepat ketika jeritan itu menghilang,
tubuhnya pun lenyap ditelan kobaran api yang mem-
bumbung tinggi menyebarkan hawa panas di sekitarnya.
Murid-murid Perguruan Gagak Putih sama-sama mem-
belalakkan mata melihat kejadian yang menimpa seorang
rekan mereka. Dan memang, mereka semua tak sempat
berbuat sesuatu karena kejadian itu berlangsung begitu
cepat. Dan tahu-tahu, laki-laki berkumis tebal itu telah
tenggelam dalam kobaran api!
Mereka tersadar kembali begitu mendengar tawa meng-
gelagar dari Ruksamurka. Semula, tidak ada yang aneh
pada tawa itu. Tapi sesaat kemudian, baru tampak
keanehannya.
Suara itu perlahan-lahan mulai membesar, sampai
akhirnya menggelegar mirip guntur. Seiring semakin mem-
besarnya tawa itu, murid-murid Perguruan Gagak Putih
mulai merasakan akibatnya.
Murid-murid Perguruan Gagak Putih merasakan teliga
mereka mendengung dan sakit bukan main. Bahkan dada
pun terasa sesak. Tanpa dapat dicegah, lutut mereka mulai
goyah.
Sadar kalau Ruksamurka menyerang mereka dengan
suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam,
murid-murid Perguruan Gagak Putih segera mengerahkan
tenaga dalam untuk melawan. Mereka juga menutup teliga
untuk mencegah masuknya serangan suara itu.
Tapi, ternyata semua yang dilakukan sama sekali tidak
ada gunanya. Suara tawa Ruksamurka tetap menyerang,
sehingga tubuh murid Perguruan Gagak Putih mulai roboh
satu persatu. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka
mengalir darah segar.
Tak lama kemudian tak ada lagi satu pun murid
Perguruan Gagak Putih yang tertinggal. Semuanya tewas
dalam keadaan mengerikan.
Ruksamurka tersenyum puas melihat mayat-mayat
korbannya. Sepasang matanya beredar ke sekelilingnya.
Dugaannya, barangkali saja masih ada orang yang belum
mendapat giliran untuk pergi ke alam baka.
Tapi begitu diyakini tidak ada lagi orang yang tertinggal,
kakek berpakaian compang-camping ini terus melangkah
masuk ke dalam desa. Setiap pondok utuh yang dilihatnya,
langsung dibakar. Dan setiap penduduk yang dijumpai
langsung dibantai!
***
5
Ruksamurka menghentikan langkah kakinya begitu melihat
sesosok tubuh berdiri tegak menghadang jalan sekitar lima
tombak di hadapannya. Di tangannya nampak sebatang
pedang terhunus.
Kakek tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikan-
nya. Seperti tidak ada apa pun di hadapannya, langkahnya
segera diteruskan.
"Berhenti, Manusia Biadab...!"
Penghadang itu berseru keras. Nada kemarahan yang
amat sangat terdengar di dalamnya. Jelas, penghadang itu
tengah dilanda amarah yang menggelegak hingga ke ubun-
ubun.
Terdengar suara gemeretak keras dari mulut Ruksa-
murka. Kakek berpakaian compang-camping ini memang
marah bukan main. Dan bentakan itulah yang menyebab-
kannya. Kontan tepasang matanya menatap tajam ke arah
sekujur wajah dan tubuh penghadangnya.
Penghadang itu ternyata seorang laki-laki berusia empat
puluh lima tahun dan berpakaian putih. Ada gambar seekor
burung gagak yang disulam dari benang hitam pada bagian
dada kiri pakaiannya. Sikapnya yang gagah semakin
terlihat gagah dengan adanya kumis dan cambang bauk
lebat yang menghias wajahnya.
Setelah merasa cukup memperhatikan penghadangnya,
Ruksamurka terus saja melangkah maju. Tidak dipeduli-
kannya seruan laki-laki bercambang bauk lebat itu.
"Manusia biadab...! Kau harus bayar nyawa murid-
muridku yang tewas di tanganmu!" teriak laki-laki ber-
cambang bauk lebat yang ternyata Ketua Perguruan Gagak
Putih. Nada suaranya keras, penuh hawa kemarahan.
"Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, lebih baik nama
Laksana kubuang!"
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Gagak Putih
yang ternyata bernama Ki Laksana ini melompat
menerjang. Pedang di tangan kanannya meluncur deras ke
arah dada Ruksamurka.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi serangan
itu. Menilik dari desingannya, bisa diperkirakan kekuatan
tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu.
Ruksamurka hanya mendengus. Tidak tampak sama
sekali kalau kakek berpakaian compang-camping ini akan
mengelak. Baru setelah tusukan pedang itu menyambar
dekat, tangan kanannya terulur. Pelan saja, seperti tanpa
pengerahan tenaga.
Tappp...!
Bagaikan menangkap sebatang singkong, Ruksamurka
menangkap bilah pedang lawan yang tajam. Bahkan
sebenarnya bukan hanya menangkap, tapi juga men-
cengkeramnya.
Sepasang mata Ki Laksana terbelalak begitu melihat
bilah pedangnya hancur jadi serbuk begitu kakek ber-
pakaian compang-camping itu meremas pedangnya.
Padahal, pedang itu tidak bisa dianggap sembarangan,
karena memang sebatang pedang pusaka. Bisa dibayang-
kan, betapa hebatnya tenaga dalam lawan yang mampu
meremas pedang tanpa terluka sama sekali. Dan hal ini
tentu saja membuat Ketua Perguruan Gagak Putih itu ter-
peranjat.
Ki Laksana tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
perasaan terkejut. Kini dia tahu, kakek berwatak telengas
itu adalah seorang lawan yang amat tangguh. Bukti nyata
di hadapannya telah menjadi saksi kelihaiannya.
Maka buru-buru laki-laki bercambang bauk lebat ini
melompat ke belakang. Namun Ruksamurka sama sekali
tidak mengejarnya, dan hanya memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke
dalam.
Ketua Perguruan Gagak Putih ini kaget bukan main
begitu merasakan adanya tenaga amat kuat yang
menariknya ke depan. Ki Laksana tahu jika bertahan tidak
akan ada gunanya. Jelas, tenaga lawan jauh di atasnya.
Bahkan bila mencoba terus bertahan hanya akan men-
celakakan diri sendiri.
Itulah sebabnya Ki Laksana segera membanting tubuh
ke tanah. Dan memang, setelah berada di tanah, tidak ada
kekuatan aneh yang menyedotnya ke depan. Jelas, ke-
kuatan yang menarik itu ternyata mendatar. Dan hanya
menunjukkan pengaruhnya, bila lawan berada dalam
keadaan tidak terlalu rendah.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Laksana untuk
menyelamatkan nyawanya. Begitu tubuhnya telah berada
di tanah, laki-laki bercambang bauk lebat ini langsung
menggulingkan tubuhnya.
Dan begitu merasa telah berada di tempat aman. Ki
Laksana baru menghentikan gulingannya. Tubuhnya
kemudian melenting ke atas. Dengan wajah pucat, Ketua
Perguruan Gagak Putih ini menatap sekujur tubuh Ruksa-
murka penuh selidik.
Ki Laksana dulu adalah seorang tokoh hitam yang cukup
terkenal. Tapi akhirnya dia sadar, lalu mendirikan sebuah
perguruan yang diberi nama Perguruan Gagak Putih.
Sebuah nama yang aneh, karena burung gagak umumnya
berwarna hitam. Tapi, Ki Laksana sengaja memberinya
nama demikian. Dia memang mempunyai maksud dengan
nama itu. Burung gagak melambangkan dirinya yang dulu.
Dan tambahan putih di belakang kata gagak, menunjukkan
kalau dirinya telah tobat.
Sebagai seorang tokoh terkenal, Ki Laksana tentu saja
cukup mengenal ilmu-ilmu dahsyat tempo dulu berikut
pemiliknya. Dan salah satu ilmu yang dikenalnya adalah
yang mempunyal akibat seperti dirasakan kali ini. Ilmu itu
bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' memang merupakan
sebuah ilmu dahsyat dan menggiriskan. Tapi ilmu itu tidak
membuat dunia persilatan gempar. Si pemilik ilmu itulah
yang membuat tokoh-tokoh persilatan ngeri. Dialah Ruksa
murka, seorang manusia yang lebih tepat disebut iblis.
Kini Ki Laksana merasakan tanda-tanda kalau lawan
menggunakan ilmu itu. Tentu saja hal itu membuatnya ter-
kejut bukan kepalang, Ruksamurka-kah orang yang
dihadapinya? Bukankah kakek yang mengerikan itu telah
lama lenyap?
Perasaan ngeri yang hebat mulai menjalari hati Ki
Laksana begitu melihat tanda-tanda adanya kebenaran
kalau tokoh yang berdiri di hadapannya adalah Ruksa-
murka. Siapa lagi tokoh yang begitu kejam membantai seisi
desa tanpa kenal ampun, kecuali Ruksamurka?
Ruksamurka menggeram melihat lawan berhasil meng-
elakkan diri dari daya sedot ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'.
Hal ini benar-benar membuat penasaran hatinya. Ki
Laksana telah berhasil menemukan kelemahan ilmunya,
maka orang ini harus cepat-cepat dimusnahkan.
Setelah mengambil keputusan demikian, Ruksamurka
tidak menunggu datangnya serangan lagi. Kakek ber-
pakaian compang-camping ini malah melompat menye-
rang. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari tangan
mengepal, meluncur deras ke arah dada Ketua Perguruan
Gagak Putih.
Wusss...!
Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan,
sehingga membuat Ki Laksana terperanjat. Apalagi tatkala
merasakan kecepatan serangan itu. Hembusan anginnya
saja sudah membuat tubuhnya hampir terjengkang. Untung
dia buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk mem-
beratkan tubuhnya.
Pada saat yang sama, Ki Laksana lalu menusukkan
pedangnya yang tinggal separuh ke arah dada kiri
Ruksamurka. Luar biasa! Ketua Perguruan Gagak Putih ini
rupanya berniat mengadu nyawa.
Memang setelah mempunyai dugaan kuat kalau lawan-
nya adalah Ruksamurka, Ki Laksana tidak bisa berharap
terlalu banyak. Dia tahu dirinya bukan tandingan tokoh
sesat yang menggiriskan itu. Maka, laki-laki bercambang
bauk lebat ini memutuskan untuk mengadu nyawa.
Itulah sebabnya Ki Laksana sama sekali tidak meng-
elakkan serangan pukulan Ruksamurka, tapi sebaliknya
malah melancarkan serangan pula. Dan karena laki-laki
bercambang bauk lebat ini menggunakan senjata, dengan
sendirinya jangkauan serangannya jadi lebih jauh. Dan
sebelum serangan kakek berpakaian compang-camping itu
tiba, tusukan pedangnya akan lebih dulu menghunjam
lawan.
Memang apa yang diperhitungkan Ki Laksana tidak
meleset. Tusukan pedangnya lebih dulu tiba sebelum
serangan pukulan Ruksamurka. Tapi, ternyata pedangnya
membalik begitu mengenai tubuh Ruksamurka. Seakan-
akan bukan kulit manusia yang tertusuk, tapi lempengan
baja yang amat kuat. Dan saat itulah pukulan Ruksamurka
menghantam dadanya.
Takkk...! Bukkk...!
Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-
tahu, tubuh Ki Laksana telah tertempar jauh ke belakang
diiringi jeritan menyayat hati. Dari mulut, hidung, dan
telinganya mengalir darah segar. Ketua Perguruan Gagak
Putih ini tewas seketika dengan seluruh isi dada remuk.
Pukulan Ruksamurka memang keras bukan main, karena
telak mengenai sasarannya.
Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh Ki
Laksana yang telah menjadi mayat jatuh ke tanah. Tak
kurang dari tujuh tombak tubuh Ketua Perguruan Gagak
Putih itu terlempar jatuh. Dan mulai dari tempat terkena
pukulan sampal tempat jatuhnya, darah berceceran.
Tanpa mempedulikan mayat Ki Laksana lagi, Ruksa-
murka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Kakek
berpakaian compang-camping ini melangkah masuk jauh
ke dalam desa.
***
"Tidak salahkah penglihatanku...?" gumam seorang
pemuda berambut putih keperakan. Pakaiannya ungu,
dengan guci arak tersampir di punggung. Sepasang mata-
nya menatap jauh ke depan.
Nun jauh di hadapan pemuda berpakaian ungu itu,
nampak asap tebal dan hitam membumbung tinggi. Begitu
banyak dan bergumpal-gumpal.
Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya
Buana alias Dewa Arak itu menyipitkan sepasang mata
untuk lebih memperjelas penglihatannya.
"Tidak salah lagi. Pasti ada kebakaran hebat di sana...."
gumam Arya lagi.
Setelah menduga demikian, Dewa Arak langsung
melesat ke arah asal asap bergulung-gulung itu. Cepat
bukan main gerakannya. Hal ini tidak aneh, karena ilmu
meringankan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
telah tinggi. Dan saat itu karena ingin buru-buru
mengetahui kejadian di depan, dia telah mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Semakin lama, jarak antara Dewa Arak dengan asal
asap yang membumbung tinggi itu semakin dekat. Dan
dengan sendirinya, semakin jelas terlihat penyebab
munculnya asap hitam yang begitu menggumpal bergulung-
gulung.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak begitu melihat
penyebab munculnya asap. Hampir dia tidak mempercayai
pandangan matanya. Tampak pondok-pondok di Desa
Cendawa terbakar hebat.
Melihat hal ini, Arya semakin mempercepat larinya. Tak
lama kemudian, batas tembok Desa Cendawa telah
terlihat. Dan Dewa Arak terus berlari memasuki desa.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Arya begitu
melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya.
Pondok-pondok terbakar hebat di sana-sini. Beberapa di
antaranya telah menjadi puing-puing yang masih menge-
luarkan asap. Berkernyit dahi Arya begitu mencium bau
sangit daging terbakar.
Rasa penasaran mendorong Arya untuk menghampiri
satu pondok yang sudah menjadi puing-puing. Sesaat
lamanya sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan ini menatap ke arah puing-puing itu, kemudian
kedua tangannya diputar-putarkan di depan dada.
Wusss...!
Dari kedua tangan yang berputaran itu berhembus angin
keras yang membuat tumpukan puing-puing berpentalan
tak tentu arah. Seketika, sekitar tempat itu terselimut
arang debu.
Arya menggerakkan tangannya sekali lagi. Kali ini tidak
berputar di depan dada, tapi hanya mendorong. Pelan saja
kelihatannya, tapi akibatnya debu yang menutupi
pandangan itu terusir pergi.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat begitu melihat
pemandangan yang di balik tumpukan puing tadi. Tampak
beberapa bagian tulang-belulang manusia yang rupanya
tidak ikut habis terbakar.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau mayat manusia yang
ikut terbakar bersama pondok itu tidak hanya satu saja.
Dewa Arak menemukan beberapa tengkorak kepala
manusia. Di antaranya malah ada yang merupakan
tengkorak bayi.
"Biadab...!"
Geraman bernada kemarahan terdengar dari mulut
Dewa Arak melihat pemandangan mengenaskan di
hadapannya. Untuk beberapa saat lamanya Arya tercenung
diam. Raut wajahnya tampak kaku karena kemarahan yang
membakar hatinya.
Dengan langkah lesu dan dada sesak terbakar amarah,
Dewa Arak melangkah meninggalkan pondok itu. Benaknya
sibuk menduga-duga, siapa pelaku perbuatan keji ini.
Benarkah semua ini perbuatan Ruksamurka, tokoh sesat
yang berhasil bebas dari kurungan?
Belum berapa jauh melangkah, pandangan Arya ter-
tumbuk pada beberapa sosok tubuh yang tergeletak
menghadang jalan. Menilik dari keadaan tubuh yang sama
sekali tidak bergerak-gerak, Arya bisa memastikan kalau
semua sosok tubuh itu telah tidak bernyawa lagi.
Meskipun begitu, Dewa Arak segera menghampiri.
Hanya dalam sekejapan saja, dia sudah berada di hadapan
sosok-sosok tubuh yang tergolek.
Arya menghitung jumlah mayat itu dengan matanya.
Sebelas orang. Menilik dari pakaian dan lambang yang
tertera pada dada sebelah kiri, bisa diperkirakan kalau
mayat-mayat itu berasal dari satu perguruan. Pakaian
mereka berwarna putih, dan ada sulaman bergambar
burung gagak pada bagian dada sebelah kiri. Memang,
mereka adalah murid-murid Perguruan Gagak Putih yang
tewas oleh Ruksamurka.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat melihat mayat-mayat
itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sebelas sosok itu tewas
karena serangan tenaga dalam yang dipancarkan dari
suara tawa.
Dengan raut wajah yang semakin lesu, dan kemarahan
yang semakin bergolak, Dewa Arak melangkah meninggal-
kan mayat-mayat itu. Tidak seperti biasanya, pemuda
berambut putih keperakan ini tidak menguburnya.
Masalahnya, ia tahu kalau korban pembantaian masih
akan ditemukan lagi.
Dugaan Arya memang benar. Masih banyak mayat yang
ditemukannya di sepanjang perjalanan. Sebagian besar
tidak bisa dikenali lagi, karena telah hancur terbakar.
Hanya beberapa gelintir saja yang ditemukan mayatnya.
Yang jelas, seluruh isi desa itu telah habis. Tak ada seorang
pun yang tersisa. Di sana-sini masih tampak terlihat
kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa.
"Keji...!"
Kembali sebuah umpatan keluar dari mulut Dewa Arak
melihat tidak ada satu makhluk pun yang masih hidup.
Jangankan manusia, atau binatang. Persawahan pun
sudah tidak tampak lagi. Semua telah musnah terbakar
jadi abu. Desa Cendawa benar-benar telah menjadi desa
neraka.
"Siapa pun pelaku semua ini..., aku tidak akan bisa
mengampuninya lagi," desis Dewa Arak. Ada nada
ancaman yang hebat dalam suara itu.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak bergegas me-
ninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas mencari jejak
pembunuh biadab itu.
Kemarahan Arya semakin bergolak. Dan tekadnya untuk
membasmi pembunuh biadab itu semakin besar ketika di
sepanjang perjalanan selalu dijumpai mayat korban pem-
bunuhan. Setiap desa yang dilalui pemuda berambut putih
keperakan tidak pernah utuh. Rupanya Ruksamurka benar-
benar hendak membinasakan seluruh penghuni bumi ini.
***
6
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Sudah berhari-hari lamanya
mengikuti jejak Ruksamurka, tapi tetap belum menemukan
pembunuh keji itu. Yang selalu dijumpainya hanya bekas-
bekas yang ditimbulkan oleh kebiadaban kakek berwajah
penuh guratan itu.
Bahkan setelah melewati sebuah desa yang telah habis
porak-poranda, Dewa Arak kehilangan jejak Ruksamurka.
Rupanya dia telah salah memilih jalan. Dan kini Arya telah
tiba di tembok batas Desa Berung.
"Rupanya aku keliru memilih jalan," gumam Arya ketika
telah melangkahkan kaki memasuki mulut desa.
Desa Berung ternyata berbeda dengan desa-desa yang
dijumpai sebelumnya. Di sini tidak ditemui mayat ber-
serakan, dan juga tidak terlihat pondok-pondok yang ter-
bakar. Jelas, Ruksamurka belum tiba kemari.
Arya mengedarkan pandangan berkeliling
"Ataukah pembunuh keji itu belum tiba di sini?" gumam
pemuda berambut putih keperakan itu kembali. "Tapi,
rasanya mustahil. Aku saja yang berada di belakangnya
telah tiba di sini. Ya! Past aku telah keliru memilih jalan."
Dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan
itu, Arya kembali melanjutkan perjalanan. Sepasang mata
pemuda berambut putih keperakan itu seperti menatap
sekelilingnya, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.
Meskipun demikian, dahi Arya tetap berkernyit. Dirasa-
kannya ada kelainan di Desa Berung. Desa ini terlihat sepi,
tidak nampak seorang pun penduduk yang nampak
"Aneh...!" desis Dewa Arak pelan. "Ke mana perginya
penduduk desa ini?"
Mendadak Arya tersentak. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya denting senjata beradu. Menilik dari
suara nya yang terdengar sayup-sayup, bisa diperkirakan
kalau asal suara itu cukup jauh dari tempatnya.
Arya lebih mempertajam lagi pendengarannya untuk
menangkap denting suara itu agar dapat mengetahui
sumbernya. Sesaat kemudian Arya telah berhasil mem-
perkirakannya.
Dewa Arak tak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat
tubuhnya berkelebat menuju asal suara itu. Hebat bukan
main gerakannya. Hanya sekali langkah saja, pemuda be-
rambut putih keperakan itu telah berada dalam jarak
sekitar dua belas tombak dari tempat semula.
Arya mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringan-
kan tubuh yang dimiliki. Sebuah dugaan yang kuat, telah
membuatnya bertindak seperti itu. Denting senjata beradu
itu kemungkinan besar adalah sebuah pertarungan.
Bahkan bukan mustahil kalau orang yang tengah bertarung
adalah pembunuh biadab itu. Apalagi, Arya yang memang
sudah bertekad bulat untuk segera mengenyahkan
Ruksamurka. Maka dia berusaha secepatnya tiba di
tempat pertarungan, dan tidak ingin kehilangan jejak lagi.
Semakin lama dentang senjata beradu itu terdengar
semakin keras. Hal ini semakin menggembirakan hati
Dewa Arak. Ini membuktikan kalau dia tidak salah arah.
Kini bukan hanya dentang senjata beradu saja yang
terdengar, tapi juga teriakan-teriakan penuh kemarahan,
bercampur kesakitan, dan diselingi lolong kematian.
Tak lama kemudian, pandang mata Dewa Arak ter-
tumbuk pada sebuah bangunan besar, tapi sederhana.
Bangunan itu terkurung pagar kayu bulat yang tinggi.
Sekali lihat saja, Arya tahu kalau bangunan itu adalah
sebuah perguruan sllat. Dan memang, dugaannya tidak
salah, karena di bagian atas pintu gerbang yang daun
pintunya telah roboh itu terpampang sebuah papan tebal
dan berukir yang bertuliskan huruf-huruf indah. Bunyinya,
"Perguruan Tangan Besi".
Karena gerbang sudah tidak mempunyai pintu lagi,
meskipun Dewa Arak masih berada dalam jarak belasan
tombak, tapi bisa melihat apa yang terjadi di halaman
depan yang luas itu. Tampak di sana terjadi sebuah per-
tarungan mati-matian, antara orang-orang berseragam
kuning muda melawan orang-orang berwajah dan bersikap
kasar.
Sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di halaman
perguruan itu. Dia tidak langsung mencampuri per-
tarungan, melainkan memperhatikan sekelilingnya sesaat.
Arya mengernyitkan alisnya melihat banyaknya orang
berseragam kuning yang tewas. Di bagian dada kiri mereka
terdapat gambar telapak tangan terbuka. Tak kurang dari
delapan orang yang tergolek di tanah.
Kini Dewa Arak mengalihkan perhatian pada jalannya
pertarungan. Tampak orang-orang berseragam kuning yang
rata-rata bersikap dan berwatak gagah itu terus mengada-
kan perlawanan sengit. Tak terlihat kegentaran sedikit pun,
sekali pun sebagian kawan-kawan mereka telah tewas.
Arya menghitung jumlah orang berseragam kuning itu.
Ada empat belas orang, dan rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi. Tapi meskipun begitu, terlihat jelas kalau
mereka tetap tidak mampu menghadapi lawan. Padahal,
lawan yang dihadapi hanya dua orang.
Orang pertama berpakaian terbuat dari kulit binatang.
Tubuhnya terlalu tinggi dan terlalu kurus, sehingga lebih
mirip batang bambu. Kulit wajahnya kuning. Kumis dan
jenggot yang kasar dan jarang-jarang tampak menghias
wajahnya. Dengan senjata sebuah pedang yang panjang-
nya satu setengah kali pedang biasa, lawan-lawan ber-
usaha dirobohkannya.
Sedangkan orang kedua, bertubuh begitu pendek. Di
samping itu tubuhnya pun sangat gemuk dan gendut.
Sehingga, lebih mirip bola daripada manusia. Pakaiannya
berupa rompi berwarna merah. Senjatanya yang berupa
sebuah golok besar bermata bergerigi tampak telah ber-
lepotan darah. Jelas kalau golok itu telah banyak meminta
korban.
Setelah memperhatikan sesaat, Arya tahu bila per-
tarungan dibiarkan terus dapat dipastikan orang-orang
berseragam kuning akan tewas semua di tangan lawannya.
Kedua orang lawan itu amat tangguh, terutama sekali per-
mainan senjata mereka.
Dugaan Dewa Arak memang benar. Meskipun satu
orang berwajah dan bersikap kasar itu menghadapi tujuh
orang berseragam kuning, namun sama sekali tidak
tampak terdesak. Bahkan sebaliknya mampu menguasai
keadaan.
Sekali lihat saja, Dewa Arak telah bisa menilai pihak
yang harus dibantunya. Menilik dari sikap dan seragam
yang dikenakan, Arya tahu kalau orang berpakaian kuning
itu murid-murid Perguruan Tangan Besi. Hanya yang men-
jadi tanda tanya baginya, ke manakah ketua perguruan itu?
Mengapa tidak membantu murid-muridnya yang telah
berada di ambang maut?
"Akh...!"
Salah seorang murid Perguruan Tangan Besi yang ber-
kulit hitam memekik tertahan ketika golok laki-laki ber-
tubuh pendek gemuk menyerempet bahunya. Kontan
tubuhnya terhuyung ke belakang.
Sambil tertawa menyeramkan, laki-laki berompi merah
itu melesat memburu. Golok besar dan bergerigi di tangan-
nya ditusukkan cepat ke arah perut.
Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat melihat maut
tengah memburu ke arahnya. Tibanya serangan susulan itu
membuatnya gugup bukan main, sehingga tidak mampu
berbuat sesuatu untuk mengelak.
Bukan hanya laki-laki berkulit hitam itu saja yang ter-
kejut. Rekan-rekannya pun kaget bukan main, karena
tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.
Serangan itu tiba begitu mendadak.
Di saat gawat bagi keselamatan laki-laki berkulit hitam
itu, Dewa Arak melesat cepat memapaknya. Nyawa murid
Perguruan Tangan Besi itu memang harus diselamatkan.
Tinggg..!
Suara berdenting nyaring seperti beradunya dua benda
logam terdengar ketika golok bergerigi itu disentil jari
telunjuk Arya. Walaupun hanya sentilan saja, tapi karena
dilakukan oleh seorang tokoh tinggi seperti Dewa Arak,
akibatnya pun hebat.
Laki-laki bertubuh pendek gemuk terperanjat ketika
goloknya menyeleweng ke samping. Tangan yang meng-
genggam senjata seketika bergetar hebat seiring berdirinya
sesosok bayangan ungu di depannya.
"Siapa kau...?!" teriak laki-laki berompi merah ini keras
penuh kemarahan "Mengapa mencampuri urusan kami?!"
"Aku Arya," sebut Dewa Arak pelan.
"Arya...," laki-laki bertubuh pendek gemuk itu
mengerutkan alisnya. Nada suara maupun sikapnya
menunjukkan kalau tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Jadi... kau ini... Dewa Arak...?!"
"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku...," sahut
Arya kalem. Datar saja suaranya. Tidak ada nada ke-
banggaan atau kesombongan yang tersirat di dalamnya.
"Ah...!"
Terdengar jerit keterkejutan dari laki-laki yang bertubuh
tinggi kurus bagai bambu. Rupanya walau dalam keadaan
sedang bertarung, dia masih mampu memperhatikan
sekitarnya. Dan sekali bergerak saja, tubuhnya telah ber-
hasil keluar dari kepungan tujuh orang lawan. Laki-laki
tinggi kurus itu kemudian berdiri di sebelah rekannya.
Tujuh orang murid Perguruan Tangan Besi sama sekali
tidak mengejarnya. Mereka diam memperhatikan, seperti
juga rekan mereka yang menghadapi laki-laki bertubuh
pendek gemuk itu. Mereka ingin melihat, apa yang dilaku-
kan Dewa Arak! Memang, julukan itu telah lama terdengar.
"Kami berdua memang telah lama mendengar nama
besarmu, Dewa Arak. Dan sudah lama pula kami berniat
mencoba kelihaianmu. Aku, si Katak Api. Sedangkan
kawanku berjuluk Codot Hutan Larangan," kata laki-laki
bertubuh pendek gemuk memperkenalkan diri, sekaligus
menantang.
"Bersiaplah, Dewa Arak...!"
Kali ini laki-laki bertubuh tinggj kurus yang ternyata ber
juluk Codot Hutan Larangan itu yang ganti berbicara.
Suaranya terdengar melengking nyaring.
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian dari kulit
binatang itu langsung melompat menerjang. Pedang
panjang di tangannya disabetkan ke arah leher Dewa Arak.
Singgg...!
Suara desing nyaring terdengar mengiringi tibanya
serangan pedang itu.
Belum juga serangan itu tiba di sasaran, si Katak Api
juga telah melancarkan serangan. Golok laki-laki bertubuh
pendek gemuk ini meluncur cepat ke arah perut.
Menghadapi kedua serangan yang tiba berbarengan itu,
Dewa Arak sama sekali tidak gugup. Sekali lihat saja sudah
btsa diketahui kekuatan tenaga dalam lawan. Maka
pemuda berambut putih keperakan ini bersikap tenang
saja, tidak nampak akan mengelakkan serangan atau
mengeluarkan senjata untuk menangkis.
Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat,
tangan Arya bergerak ke atas untuk menangkis serangan
yang membabat leher. Sementara tangan yang kiri ditetak-
kan menangkis golok si Katak Api dengan arah gerakan
dari dalam ke luar.
Takkk, takkk...!
Suara berderak keras seperti dua batang logam ber-
benturan, terdengar begitu sepasang tangan Dewa Arak
menangkis kedua senjata yang mengancam keselamatan
nyawanya.
Akibatnya hebat sekali! Tubuh si Katak Api dan Codot
Hutan Larangan sama-sama terhuyung ke belakang.
Keduanya merasakan tangan yang menggenggam senjata
seperti lumpuh seketika.
Sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Dewa
Arak telah meluncur ke arah mereka. Cepat bukan main
gerakannya. Sehingga, sebelum kedua tokoh sesat itu
sadar, senjata-senjata itu telah berpindah ke tangan Dewa
Arak. Rupanya, Arya telah menotok lumpuh sikut kedua
orang itu.
Kontan wajah kedua orang itu memucat. Dari tindakan
ini saja, sudah bisa diketahui kalau tingkat kepandaian
Dewa Arak amat jauh di atas mereka. Perasaan gentar
yang amat sangat seketika menyelinap di hati kedua orang
itu.
Tindakan Arya ternyata tidak hanya berhenti sampai di
situ. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung
memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan
dari kedua tangan yang berputaran, seketika berhembus
angin keras, sehingga membuat tubuh si Katak Api dan
Codot Hutan Larangan terhumbalang ke belakang dan
jatuh bergulingan di tanah.
Meskipun telah menjadi pecundang, namun si Katak Api
dan Codot Hutan Larangan mampu membuktikan kalau
bukanlah tokoh sembarangan. Cepat-cepat kekuatan yang
membuat tubuh mereka terguling-guling dipatahkan,
kemudian bergerak bangkit. Lalu, lari tunggang langgang
meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini, murid-murid Perguruan Tangan Besi
tidak tinggal diam. Cepat mereka bergerak mengejar.
Namun Arya tidak mau ikut campur lagi. Dibiarkan saja
kedua belah pihak itu menyelesaikan urusannya sendiri.
Tapi, rupanya tidak semua murid Perguruan Tangan Besi
mengejar lawan. Ada dua orang yang masih berdiri di situ.
Malah keduanya bergerak menghampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap
salah satu dari kedua orang itu, yang berkulit hitam.
Lukanya kini telah terbalut.
"Ah! Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk
saling tolong-menolong?" kelit Arya buru-buru. "Lagi pula,
tampaknya kedua orang itu bukan orang baik-baik."
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dewa Arak,"
sambut laki-laki berkulit hitam. "Kedua orang itu adalah
orang-orang jahat yang telah dikalahkan guru kami, tapi
berhasil meloloskan diri. Sudah lama mereka hendak
membalas dendam, tapi mereka gentar. Jadi, mereka
menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan niat itu,
selagi guru kami tidak ada."
"Kalau saja guru kami berada di tempat, kedua orang itu
tak akan mungkin berani datang kemari," jelas orang
satunya lagi. Laki-laki itu banyak mempunyai tahi lalat di
pipinya.
"Memang, sejak Ruksamurka muncul kembali, tokoh-
tokoh golongan hitam lebih berani berbuat kejahatan,"
sambung laki-laki berkulit hitam.
"Kalau boleh kutahu, ke mana guru kalian pergi?" tanya
Arya hati-hati.
"Bergabung dengan tokoh-tokoh aliran putih lain
mengejar Ruksamurka," sahut laki-laki yang wajahnya
penuh tahi lalat.
"Aku juga tengah mengikuti jejaknya. Tapi sayang...,
kehilangan jejak," sambut Dewa Arak cepat.
"Ambil jalan pintas saja, Dewa Arak," usul laki-laki
berkulit hitam.
"Aku belum mengerti maksudmu, Kang?"
"Begini, Dewa Arak. Dari guru, aku tahu kalau setiap
menjelang bulan purnama, Ruksamurka kembali ke tempat
tinggalnya di Gunung Lenteng. Entah apa yang dilakukan di
sana. Guruku pun tidak mengetahui. Jadi, tunggu saja di
sana, Dewa Arak."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti,
mengapa Ruksamurka tidak menuju Desa Berung. Bulan
purnama tinggal dua hari lagi. Karena kakek itu hendak
menuju Gunung Lenteng, maka sudah pasti melewati Desa
Lenteng. Jadi, Desa Lenteng yang kali ini akan menjadi
Desa Neraka!
"Kalau begitu, aku harus segera menuju ke sana...!"
ucap Arya mengambil keputusan.
"Memang lebih baik begitu, Dewa Arak," dukung laki-laki
berwajah penuh tahi lalat.
"Kita pergi bersama-sama saja," usul laki-laki berkulit
hitam.
Arya terperanjat
"Heh...?! Jadi... kalian pun ingin menuju ke puncak
Gunung Lenteng?"
Laki-laki berkulit hitam menggelengkan kepala. "Kami
ingin melihat rekan-rekan kami yang tadi mengejar si Katak
Api dan Codot Hutan Larangan. Kebetulan arahnya sama
dengan arah yang akan kau tempuh "
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti,
lalu bergerak menuju Gunung Lenteng diikuti kedua orang
murid Perguruan Tangan Besi.
Dengan adanya dua orang berseragam kuning ber-
samanya, terpaksa Arya tidak bisa mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.
Pemuda berpakaian ungu itu hanya mengerahkan
sebagian kecil dari ilmu meringankan tubuhnya, agar
kedua orang itu tidak tertinggal jauh.
Belum jauh ketiga orang ini bergerak, pandangan
mereka tertumbuk pada serombongan orang berseragam
kuning yang tengah menuju ke arah yang berlawanan.
Dewa Arak dan kedua orang murid Perguruan Tangan
Besi yang bersarnanya, mengerutkan alis begitu melihat
rombongan itu. Semula sewaktu mengajar, jumlah mereka
dua belas orang. Tapi kini hanya tinggal enam orang!
"Apa yang terjadi, Sakri?" tanya laki-laki berkulit hitam
seraya menatap wajah salah seorang dari rombongan,
tatkala jarak mereka telah dekat.
"Mana kawan-kawan yang lain?" laki-laki yang wajahnya
penuh tahi lalat bertanya pula, sebelum Sakri tempat
menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki berkulit
hitam.
"Mereka semua telah tewas," pelan dan tanpa semangat
jawaban Sakri.
"Tewas?!" kedua orang murid Perguruan Tangan Besi
yang berjalan bersama Dewa Arak membelalakkan
sepasang matanya. Jelas, mereka merasa kaget bukan
kepalang.
Sakri menganggukkan kepala.
Tapi kematian mereka tidak sia-sia, Kang, Si Katak Api
dan Codot Hutan Larangan berhasil kami tewaskan.
Sungguh tidak disangka dalam keadaan terluka, mereka
masih sanggup menewaskan enam orang rekan kita."
"Lalu mayat mereka...?" tanya laki-laki berkulit hitam
lagi.
"Sudah kami kuburkan, Kang." sahut Sakri. Sementara
murid-murid Perguruan Tangan Besi yang bersamanya
menganggukkan kepala. Mereka semua rupanya merasa
terpukul sekali atas kematian rekan-rekan mereka.
"Kalau begitu..., mari kembali ke perguruan. Kita urus
mayat rekan-rekan kita yang lain," ajak laki-laki berkulit
hitam.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Kang." Dewa Arak yang
tahu kalau tidak ada gunanya lagi berada di situ segera
pamit. "Aku harus cepat-cepat mengejar Ruksamurka
sebelum semuanya terlambat"
Tanpa menunggu jawaban, Dewa Arak segera melesat
cepat bagai kilat. Sehingga dalam beberapa saat saja,
tubuhnya sudah berupa titik yang semakin lama semakin
mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan.
"Luar biasa...!" laki-laki berkulit hitam berseru memuji
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Memang, dia
merasa kagum bukan main melihat kesaktian Dewa Arak.
"Usianya masih begitu muda. Tapi kepandaiannya..., luar
biasa! Berita yang tersiar di dunia persilatan rupanya tidak
berlebihan," salah seorang murid Perguruan Tangan Besi
yang berhidung melengkung menggumam penuh kagum.
Bukan hanya kedua orang itu saja yang merasa kagum
melihat kesaktian Dewa Arak. Bahkan juga rekan-rekan
mereka yang lainnya. Mereka semuanya menatap Arya
hingga lenyap di kejauhan.
Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, mereka
semuanya melangkah kembali ke Perguruan Tangan Besi.
***
7
"Ruksamurka...! Berhenti kau...!"
Bentakan keras menggelegar memaksa seorang kakek
berpakaian compang-camping yang tengah berlari meng-
hentikan langkahnya.
Kakek yang ternyata memang Ruksamurka itu menoleh
ke samping kanan, arah bentakan itu berasal. Wajah kakek
berpakaian compang-camping ini terlihat tenang saja,
meskipun tahu kalau orang yang mengucapkan bentakan
itu adalah seorang lawan tangguh. Ini terbukti dari
bentakan yang mengandung getaran kuat tadi.
Dalam jarak sekitar sepuluh tombak di samping kanan
Ruksamurka, berdiri tiga sosok tubuh yang rata-rata ber-
usia lanjut. Dan begitu melihat orang yang dibentak ber-
henti, ketiga sosok tubuh itu melangkah menghampiri.
Ruksamurka membalikkan tubuhnya, menghadap ke
arah tiga sosok tubuh itu. Dia kini berdiri diam menunggu.
Sepasang matanya menatap ke arah tiga orang itu. seperti
meremehkan.
"Siapa di antara kalian yang tadi menyuruhku ber-
henti...?!" tanya Ruksamurka begitu tiga sosok tubuh itu
menghentikan langkahnya dalam jarak sekitar tiga tombak
di depannya.
Sepasang mata Ruksamurka menatap berganti-ganti
wajah ketiga orang itu. Ada ancaman hebat yang ter-
kandung dalam pertanyaan itu.
Tapi sampai lelah Ruksamurka menunggu, tidak juga
terdengar adanya sahutan dari mulut ketiga orang itu.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Ruksamurka.
Jelas, kakek berwajah penuh gurat luka ini dilanda
kemarahan menggelegak. Dan itu memang benar!
Ruksamurka memang paling pantang dibentak orang. Apa-
lagi kalau ucapannya tidak dianggap. Maka, kemarahannya
makin menggelegak sampai ke ubun-ubun.
"Groaaah...! Sungguh tidak kusangka kalau kalian ber-
tiga tidak ubahnya seperti anjing. Di belakang meng-
gonggong, tapi begitu berada di depan diam tutup mulut!
Pengecut..! Akan kurobek mulut kalian semua...!"
"Tutup mulutmu, Ruksamurka...!" sergah salah seorang
dari tiga penghadang itu.
Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang. Kumis dan
jenggot tampak menghias wajahnya. Tubuhnya yang masih
terlihat kekar terbungkus sebuah pakaian berwarna kuning
yang di bagian dada kiri tersulam gambar telapak tangan.
Dialah Ketua Perguruan Tangan Besi Ki Galing namanya.
"Hm...," Ruksamurka menggeram hebat. Sepasang
matanya menatap bengis ke arah Ki Galing. "Jadi, kau
rupanya yang tadi membentakku, Tikus Pengecut?!"
"Aku yang tadi menyuruhmu berhenti, Ruksamurka! Lalu,
kau mau apa?!" selak seorang yang berbadan lebar tapi
kurus. Sehingga badannya terlihat tipis. Apalagi dia
memang bertelanjang dada. Kulitnya hitam kecoklatan,
pertanda sering terbakar matahari. Ada sebuah caping
yang menutup kepalanya.
Ruksamurka mengawasi laki-laki bercaping sejenak,
kemudian beralih pada sebuah cangkul yang tergenggam
di tangan kanan laki-laki bertelanjang dada itu.
"Siapa kau, Kunyuk?!" tanya kakek berpakaian
compang-camping kasar. "Sebutkan namamu, sebelum
mati penasaran di tanganku!"
"Aku sudah lupa namaku! Tapi orang persilatan men-
julukiku. Petani Tangan Seratus!"
"Sebentar lagi kau akan dijuluki Petani Tanpa Tangan
dan Kaki!" dengus Ruksamurka.
Setelah berkata demikian, Ruksamurka siap mengeluar-
kan ilmu andalannya. Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di
depan dada. Seketika itu juga angin keras yang mempunyai
daya sedot luar biasa berhembus.
"Awas...! Itu pasti ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut...!"
Salah seorang lagi, seorang kakek bertubuh kurus
kering seperti cecak mati, berseru keras seraya melempar
tubuhnya ke belakang. Kemudian dia bersalto beberapa
kali di udara.
Bukan hanya kakek kurus kering itu saja yang melompat
menghindar. Petani Tangan Seratus dan juga Ki Galing pun
melompat ke belakang begitu merasakan adanya angin
keras yang berusaha menarik tubuh mereka ke depan.
Mesikipun begitu, tak urung mereka merasakan juga
akibat serangan itu. Saat mendarat di tanah, sikap kaki
mereka tidak tetap. Terhuyung sana-sini.
Bagaikan seekor binatang buas yang terluka, Ruksa-
murka meraung. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka
lurus bergerak cepat mencari sasaran.
Hebatnya, setiap serangan kakek ini selalu mengandung
hal yang membingungkan lawan. Terkadang sebelum
serangan itu tiba, ada kekuatan membetot luar biasa. Tapi
tak jarang, serangan itu juga didahului sebuah kekuatan
tolak yang luar biasa kuatnya.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan kakek kurus
kering yang ternyata bernama Eyang Boneng adalah tokoh
aliran putih tingkat atas. Maka tentu saja kepandaian
mereka telah tinggi. Meskipun begitu, tetap saja mereka
tidak berani menghadapi Ruksamurka satu persatu.
Memang ketiga orang sakti ini telah mengetahui
kelihaian tokoh sesat yang menggiriskan itu. Belasan tahun
yang lalu, kakek berpakaian compang-camping ini meraja-
lela tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya.
Melihat Ruksamurka mengeluarkan ilmu andalan, ketiga
orang sakti itu pun mengeluarkan ilmu andalan masing-
masing. Petani Tangan Seratus mengeluarkan 'Ilmu Tangan
Seratus'. Sementara Ki Galing dengan 'Ilmu Tangan Besi'.
Sedangkan Eyang Boneng dengan 'Ilmu Tinju Angin'.
Sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya pertarungan
antara keempat tokoh sakti itu. Suara menderu, mencicit,
dan mengaung, diiringi suara meletup-letup terdengar
menyemaraki pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Angin pukulan dan tendangan
yang nyasar membuat tanah di sekitar pertarungan
terbongkar. Batu-batu besar maupun kecil berpentalan tak
tentu arah, terbawa hembusan angin keras yang bertiup di
sekitar tempat itu. Bahkan beberapa batang pohon besar
yang tumbuh di sekitarnya pun tumbang akibat terkena
serangan nyasar.
Pada jurus-jurus permulaan hingga jurus keempat puluh,
Ruksamurka kewalahan bukan main menghadapi ke-
royokan ketiga orang lawannya ini. Memang kalau melawan
satu persatu, tidak begitu sulit bagi kakek berpakaian
compang-camping ini untuk mengalahkan mereka. Tapi
karena lawan menghadapinya secara keroyokan, dia
merasa sulit menaklukkan ketiga orang itu.
Memang ketiga orang tokoh sakti aliran putih itu seperti
tidak terdiri dari tiga orang dengan tiga pikiran, tapi tiga
orang dengan satu pikiran. Petani Tangan Seratus, Ki
Galing, dan Eyang Boneng bisa saling mengisi dan bantu-
membantu. Serangan mereka susul-menyusul tanpa henti
seperti gelombang laut. Sebaliknya, begitu salah seorang
mengalami desakan, dua orang rekannya selalu berada di
sisinya untuk membantu.
Karena kerjasama ketiga tokoh ini begitu kompak,
Ruksamurka mengalami kesulitan menghadapi mereka.
Selama beberapa puluh jurus, kakek berpakaian compang-
camping ini hanya mengelak dan menangkis. Dan hanya
sesekali saja melancarkan serangan.
Begitu pertarungan melewati jurus keempat puluh lima,
Ruksamurka baru bisa memperbaiki keadaan. Perkem-
bangan ilmu lawan-lawannya mulai bisa dikenalnya. Dan
dengan sendirinya, sedikit demi sedikit keadaan mulai bisa
diimbangi.
Pada jurus keenam puluh lima, pertarungan mulai
berlangsung imbang. Ruksamurka kini tidak hanya
mengelak dan menangkis, tapi juga balas menyerang
dahsyat.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng
mengeluh dalam hati begitu melihat Ruksamurka berhasil
menata diri. Bahkan kini mampu mengimbangi.
Meskipun begitu, ketiga orang tokoh sakti itu tidak putus
asa. Mereka tetap mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki untuk merobohkan lawan.
Hingga seratus jurus pertarungan masih berlangsung
seimbang. Tidak tampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak.
Sebenarnya berkali-kali Ruksamurka berhasil mendesak
lawan. Tapi karena kerjasama yang kompak dari ketiga
orang itu, desakan kakek berpakaian compang-camping
cepat diurungkan.
Beberapa kali hal yang aneh terjadi, karena kekhasan
ilmu yang dimiliki Ruksamurka. Ilmu yang bernama 'Tarikan
Pusaran Air Laut' itu sebenarnya mempunyai daya ke-
kuatan menarik yang amat kuat. Tapi berkat kecerdikan-
nya, ilmu itu tidak hanya berisi daya sedot saja, tapi juga
daya tolak Jadi setiap serangan yang dilakukannya selalu
mengandung daya sedot atau daya tolak yang amat kuat.
Hal seperti itulah yang menimbulkan keanehan. Sering-
kali terlihat ketiga orang lawan Ruksamurka tertarik ke
depan, atau terdorong ke belakang setiap kali serangan
dilancarkan.
Dan berkat kedahsyatan ilmu itulah, perlahan namun
pasti Ruksamurka berhasil mendesak ketiga orang
lawannya. Bahkan menginjak jurus keseratus lima puluh,
berhasil memecah belah kerjasama ketiga orang itu.
Dengan berhasil dilumpuhkannya kerjasama Ki Galing,
Eyang Boneng, dan Petani Tangan Seratus, Ruksamurka
mulai berhasil mendesak lawan.
Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng
menggertakkan gigi begitu mengetahui Ruksamurka ber-
hasil memecah belah kerjasama mereka. Ketiganya sadar,
kalau dibiarkan keadaan akan sangat berbahaya.
Srattt..!
Sinar terang berkeredep ketika Ki Galing menghunus
pedangnya. Langsung dilancarkannya serangan tusukan
bertubi-tubi begitu pedang itu terhunus.
Berbareng dengan serangan pedang Ki Galing, Petani
Tangan Seratus dan Eyang Boneng pun mengeluarkan
senjata andalan masing-masing.
Petani Tangan Seratus segera menjumput cangkulnya
yang sejak tadi tergetetak di tanah. Sedangkan Eyang
Boneng langsung mengeluarkan sepasang tongkat pendek
yang panjangnya hanya setengah tombak. Dan begitu
pedang di tangan Ki Galing meluncur, senjata kedua orang
tokoh sakti itu meluncur tiba.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga
orang lawan mengeluarkan senjata andalan masing-
masing. Dan seiring keluarnya suara tawa itu, tubuhnya
melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara.
"Hup...!"
Begitu mendarat di tanah, di tangan kakek ini telah
tergenggam sepasang kecer.
Blanggg...!
Suara keras seperti ada halilintar menggelegar ter-
dengar ketika sepasang kecer itu diadu. Jelas kalau
Ruksamurka membenturkan kecer ini disertai pengerahan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya hebat bukan main! Terdengar pekikan ter-
tahan dari mulut Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan
Eyang Boneng.
Getaran suara yang timbul dari beradunya sepasang
kecer itu benar-benar menggiriskan. Ketiga orang tokoh
sakti beraliran putih itu merasakan sepasang telinga
mereka berdengung hebat dan sakit bukan main. Bahkan
dada pun terasa sesak! Bukan itu saja. Kedua lutut mereka
pun terasa lemas bukan main.
Blanggg,..!
Kembali Ruksamurka mengadu sepasang kecernya.
Akibatnya, ketiga orang lawannya kembali memekik. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, mereka melemparkan
senjata yang digenggam. Seluruh kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki segera dikerahkan untuk melawan pengaruh
suara kecer itu.
Blanggg...!
Sekujur tubuh Petani Tangan Seratus, Ki Galing dan
Eyang Boneng menggigil hebat. Dari mulut telinga, dan
hidung mereka kini mengalir darah segar. Ketiga orang
kakek sakti ini jelas-jelas terluka dalam. Memang tenaga
dalam mereka masih di bawah Ruksamurka.
Blanggg...!
Ruksamurka yang melihat keadaan ketiga orang
lawannya mulai bisa dilumpuhkan, kembali membenturkan
kecernya. Sebagai seorang tokoh sesat yang penuh
pengalaman, dia tahu kalau keadaan lawan sudah amat
gawat. Jadi rasanya tidak sulit untuk merobohkan mereka.
"Huakh...!"
Hampir berbareng, Petani Tangan Seratus, Ki Galing,
dan Eyang Boneng memuntahkan darah segar dari mulut
mereka, kemudian ambruk ke tanah. Sesaat lamanya
tubuh ketiga orang itu menggelepar-gelepar, lalu diam
tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga
orang lawan diam tidak bergerak lagi.
Beberapa saat lamanya kakek berpakaian compang-
camping ini memperhatikan mayat ketiga orang lawannya,
baru kemudian melesat kabur dari situ menuju gunung
yang menjulang tinggi agak jauh di hadapannya. Gunung
Lenteng!
Tak lama sepeninggal Ruksamurka, dari kejauhan
melesat cepat sesosok bayangan ungu yang bergerak
cepat. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! Pemuda
berambut putih keperakan itu dari jauh mendengar suara
gemuruh yang memekakkan telinga. Suara itulah yang
menuntunnya ke arah pertarungan Ruksamurka meng-
hadapi ketiga orang lawannya tadi.
"Celaka...! Aku terlambat..!" keluh Dewa Arak begitu di
kejauhan sepasang matanya melihat tiga sosok tubuh yang
tergolek di tanah.
Melihat hal ini, Arya kembali mempercepat larinya.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di dekat ketiga
mayat itu.
Begitu melihat tanda telapak tangan di dada kiri kakek
berpakaian kuning, Dewa Arak telah tahu kalau orang itu
adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Jadi, rupanya kedua
kakek yang berada di sebelah mayat Ki Galing adalah
tokoh persilatan yang ingin menghentikan kebiadaban
Ruksamurka.
Arya menatap ketiga mayat itu dengan pandangan mata
penuh penyesalan.
"Maaf..., aku tidak bisa mengurus mayat kalian. Aku
harus buru-buru mengejar Ruksamurka...."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat
dari situ untuk mengejar Ruksamurka.
***
8
"Hup...!"
Dengan lincahnya, Ruksamurka melompat ke sana
kemari. Kedua kakinya menotok batu-batuan. Sesaat
kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di
salah satu batu besar yang menonjol. Kemudian, dia
menotok lagi. Begitu seterusnya.
Lincah laksana kera, kakek berpakaian compang-
camping ini melesat ke sana kemari. Padahal, medan yang
ditempuhnya terhitung sulit. Tapi berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk menakluk-
kannya.
Tak berapa lama kemudian, Ruksamurka telah berada
di puncak Gunung Lenteng. Kakek itu menatap suasana di
sekelilingnya sekilas.
"Ha ha ha...! Lega rasa hatiku. Setelah sekian lamanya
terkurung, kini kembali ke tempat asal. Ha ha ha...!
Tunggulah, Gering Langit! Selesai purnama ini, dendamku
akan terbalaskan. Maka dengan demikian baru hutangmu
lunas! Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang, Ruksamurka tertawa keras
menggelegar, meskipun tanpa pengerahan tenaga dalam.
Angin yang berhembus kencang membawa suara tawa itu
ke tempat-tempat yang jauh.
Setelah puas tertawa-tawa, tokoh sesat berpakaian
compang-camping ini lalu melangkahkan kakinya. Kini ilmu
meringankan tubuhnya tidak dikerahkan karena medan
yang ditempuhnya datar.
Setelah puluhan kali melangkah, Ruksamurka berhenti
melangkah karena di hadapannya terbentang jurang yang
amat dalam. Jurang itu sukar diukur kedalamannya.
Bahkan dasarnya tak tampak sedikit pun.
Ruksamurka sama sekali tidak bingung melihat hal ini.
Pandangannya tetap tertuju ke seberang. Lebar jurang itu
tidak kurang dari tiga puluh tombak. Jadi merupakan hal
yang mustahil untuk bisa melompatinya.
Kakek berpakaian compang-camping itu pun rupanya
memang tidak bermaksud melompati jurang itu. Karena,
memang di antara kedua tempat itu dihubungkan dengan
seutas tambang yang merentang jauh sampai ke seberang
sana. Jadi, rupanya itulah jalan satu-satunya menuju ke
seberang.
"Hih...!"
Ruksamurka menjejakkan kakinya ke tanah, maka
sesaat kemudian tubuhnya melenting ke atas. Dan....
"Hup...!"
Indah dan manis dilihat, kaki kakek berwajah penuh
guratan luka itu hinggap di tambang. Tampak tambang itu
bergetar hebat ketika kaki Ruksamurka mendarat di
atasnya.
"Pembunuh biadab...! Berhenti...!"
Tiba-tiba sebuah bentakan keras terdengar ketika
Ruksamurka baru saja berniat melentingkan tubuhnya
kembali. Belum lagi lenyap bentakan itu, sesosok
bayangan ungu telah melesat cepat. Sesaat kemudian, di
ujung tambang itu telah berdiri Dewa Arak.
Wajah Ruksamurka seketika berubah merah dan pucat
berganti-ganti. Dia tahu, kalau pemilik suara yang ternyata
seorang pemuda berambut putih keperakan itu bertindak
licik, tubuhnya akan tergelincir ke dasar jurang. Dan sudah
tentu akan tewas seketika.
Dia kini berada hampir di tengah jurang. Kalau Dewa
Arak memutuskan tali itu, tubuhnya akan terlempar ke
dalam jurang yang dalamnya sukar untuk diukur itu.
Khawatir Dewa Arak akan bertindak licik, Ruksamurka
segera bertindak cepat. Dia segera bergerak meneruskan
perjalanannya untuk mencapai seberang.
"Pengecut..!"
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak begitu
melihat lawan melarikan diri. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera
bergerak mengejar. Dia melompat tinggi ke atas, bersalto
beberapa kali di udara. Kemudian bagaikan seekor burung
garuda menyambar mangsa, tubuhnya meluruk cepat ke
arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Ruksamurka menggeram hebat. Makian Dewa Arak
benar-benar membuat amarahnya meluap. Tanpa pikir
panjang lagi, segera tubuhnya dibalikkan untuk menyam-
but tubuh Arya dengan tusukan-tusukan jemari tangannya
yang lurus dan menegang kaku.
Dewa Arak terperanjat melihat serangan lawan. Dia
memang tidak bermaksud membokong lawan. Maka
mendapat serangan mendadak itu, dia menjadi gelagapan.
Tapi meskipun begitu, akal sehatnya tidak pernah lenyap.
Maka seluruh tenaga dalam nya segera dikerahkan untuk
menangkis.
Prattt...!
Suara keras terdengar begitu kedua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Seketika itu juga, tubuh Dewa Arak kembali terpental balik
ke atas. Kedua tangannya yang berbenturan dengan
tangan kakek berpakaian compang-camping itu bergetar
hebat! Dadanya pun terasa sesak. Jelas kalau dalam adu
tenaga dalam, kakek berwajah penuh guratan tuka itu
masih lebih unggul daripada Dewa Arak.
Tapi keadaan yang dialami Ruksamurka pun sebenarnya
berbahaya. Meskipun tidak ada pengaruh yang berarti
akibat benturan tangan Dewa Arak, tapi karena tengah
berada di atas seutas tambang, dia terpeleset ke bawah.
Serasa copot jantung kakek berpakaian compang-
camping itu ketika menyadari tubuhnya meluruk ke dalam
jurang. Walaupun begitu, dia tidak gugup. Cepat tangan
kanannya diulurkan ke atas, dan....
Tappp...!
Tambang itu berhasil ditangkapnya.
Pada saat yang bersamaan. Dewa Arak pun mendarat-
kan kakinya di tambang.
Baik Ruksamurka maupun Dewa Arak sadar, betapa
berbahayanya bertarung di atas seutas tambang yang di
bawahnya mulut jurang siap menelan mereka bulat-bulat.
Kemungkinan untuk jatuh ke dalam jurang memang bukan
merupakan hal yang mustahil.
Itulah sebabnya kedua orang itu tidak ada yang saling
melancarkan serangan, dan kini sama-sama berdiam di
tempat masing-masing.
"Hih…!"
Mendadak Ruksamurka menarik tambang itu hingga
bergetar. Dan dengan bantuan tenaga tarikan, tubuhnya
melenting ke atas, lalu mendarat di atas tambang.
Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak segera
melompat ke atas. Dan begitu kaki Ruksamurka hinggap di
tambang, Dewa Arak pun mendaratkan kakinya pula.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ruksamurka
segera berlari menuju ke seberang. Seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan agar bisa berlari di atas
tambang seperti berlari di atas tanah datar biasa.
Kali ini Dewa Arak tidak berani bersikap sembrono,
karena menyadari bahaya besar yang mengancam kalau
memaksakan diri menyerang lawan di atas tambang ini.
Maka perbuatannya tidak diulanginya, tapi hanya bergerak
di belakang.
Karena kedua tokoh sakti itu mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, walau tidak bisa secepat
seperti tanah datar karena sulitnya medan. Tak lama
kemudian Ruksamurka telah tiba di ujung tambang lebih
dulu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek berpakaian
compang-camping ini menjejak tanah seberang jurang.
Arya terkejut bukan main melihat hal ini. Pada saat itu,
tubuhnya masih berjarak sekitar tiga tombak dari seberang
jurang. Dan bila lawan memutuskan tambang itu, sudah
pasti Dewa Arak akan celaka di sana.
Khawatir akan terjadinya hal semacam itu, Dewa Arak
segera melenting ke atas. Dia bersalto beberapa kali di
udara, untuk kemudian hinggap di seberang jurang.
Dugaan Arya ternyata meleset. Ruksamurka sama sekali
tidak bertindak licik seperti itu. Bahkan ketika tubuhnya
tengah berada di udara dan mudah untuk diserang, kakek
berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak melan-
carkan serangan. Sehingga, Dewa Arak dapat mendarat di
tanah tanpa kesulitan.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak setelah mengamati Arya
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kaukah tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu, Anak
Ingusan?!" tanya kakek berpakaian compang-camping
dengan suara menggelegar.
Memang dia telah mendengar berita tentang seorang
tokoh yang menggemparkan dunia persilatan. Konon
kabarnya, tokoh itu seorang pemuda berambut putih
keperakan. Julukannya, Dewa Arak. Maka begitu melihat
ciri-cirinya. Ruksamurka sudah bisa menerkanya.
"Tidak salah," sahut Arya mantap. "Dan kau pasti
Ruksamurka!"
"Hehhh...?!" kakek yang berwalah penuh gurat-gurat luka
itu mengernyitkan dahi. "Dari mana kau tahu namaku,
Anak Ingusan...!"
"Kau tidak perlu tahu, Ruksamurka," sahut Dewa Arak
cepat "Yang perlu kau ketahui hanya satu. Kau harus
cepat-cepat pergi ke alam baka!"
Arya menjumput guci araknya, kemudian menuangkan
ke mulut.
Gluk…gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya. Seketika itu pula, ada hawa hangat yang
berputaran di dalam tubuh Dewa Arak. Kemudian, per-
lahan-lahan naik ke atas kepala.
"Keparat..!" geram Ruksamurka.
Setelah memaki kalang kabut, kakek berpakaian
compang-camping ini memutar-mutarkan kedua tangan di
depan dada.
Dewa Arak terkejut bukan main begitu mendadak ada
angin kuat yang menarik tubuhnya ke depan. Sama sekali
keadaannya tengah tidak bersiap dalam menghadapi hal
seperti itu. Maka, tubuhnya pun tertarik ke depan.
Ruksamurka mendengus. Tubuh Arya yang tertarik ke
depan itu, disambutnya dengan tusukan bertubi-tubi ke
arah dada dan ulu hati. Sungguh sebuah serangan ber-
bahaya! Suara mendecit nyaring terdengar mengiringi
serangan itu.
Keadaan Arya memang berbahaya! Tapi berkat ke-
istimewaan Ilmu 'Belalang Sakti', yang membuatnya
mampu bergerak sesulit apa pun dan dalam keadaan
bagaimana pun, pemuda berambut putih keperakan ini
berhasil mematahkan semua serangan.
Tentu saja gerakan Dewa Arak membuat sepasang mata
tokoh sesakti Ruksamurka terbelalak. Tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu kemudian melompat ke atas
melewati kepala lawan.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Sambil
bersalto sekali, kedua tangannya melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah kepala belakang Ruksamurka. Ber-
bahaya bukan main serangan itu jangankan kepala
manusia, batu yang paling keras pun akan hancur ber-
keping-keping bila terkena serangan Dewa Arak. Memang
Arya telah mengambil keputusan untuk melenyapkan
Ruksamurka selama-lamanya.
Cara Ruksamurka menghadapi serangan itu berbeda
dengan yang selama ini dilihat Dewa Arak.
Dengan kecepatan gerak luar biasa, kakek berpakaian
compang-camping itu membalikkan tubuhnya. Dan secepat
tubuhnya berbalik, secepat itu pula kedua tangannya di-
gerakkan menangkis.
Plakkk...!
Suara keras akibat benturan seketika terdengar. Apalagi
kedua pasang tangan itu memang telah dialiri tenaga
dalam tinggi, sehingga tidak ubahnya seperti benturan
gumpalan baja yang keras.
Tubuh Dewa Arak seketika terpental kembali ke atas.
Bahkan sampai bersalto di udara untuk mematahkan daya
lontar itu. Kedua tangannya dirasakan sakit dan ngilu
bukan main. Rasa sesak pun seketika melanda dadanya.
Ruksamurka rupanya tidak mengalami pengaruh akibat
benturan itu. Buktinya, kakek bertubuh tinggi besar ini
langsung melancarkan serangan susulan bertubi-tubi
sebelum kedua kaki Arya menyentuh tanah.
Mendadak dan tiba-tiba sekali datangnya serangan itu.
Apalagi dilancarkan pada saat tubuh Dewa Arak tengah
berada di udara. Akibatnya, Dewa Arak begitu kewalahan.
Tapi berkat keistimewaan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, pemuda berambut putih keperakan itu mampu
mengelakkan serangan. Dengan bertumpu pada kedua
tangannya, Arya bersalto di udara. Kemudian, kakinya
mendarat beberapa tombak dari tempat semula.
Ruksamurka menggeram murka melihat serangannya
berhasil dipatahkan. Dengan amarah meluap-luap, kembali
dilancarkannya serangan dahsyat ke arah Dewa Arak. Tapi,
kini Arya telah siap. Pemuda berambut putih keperakan itu
pun langsung meladeninya tak kalah dahsyat. Tak pelak
lagi, pertarungan sengit antara kedua orang itu pun
berlangsung.
Arya mengeluh dalam hati. Lawan yang dihadapinya kali
ini benar-benar lawan luar biasa! Baru beberapa jurus
bertarung, sudah terasa berat tekanan-tekanan yang
dilakukan lawan. Setiap serangan yang dilakukan Ruksa-
murka mengandung daya sedot dan daya tolak luar biasa!
Dan hal inilah yang menyulitkannya.
Dewa Arak kinl benar-benar harus menguras seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti'
dikerahkan sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan
semburan araknya semua dikeluarkan dalam usahanya
menandingi lawan.
Meskipun begitu, tak urung Arya terdesak. Perbedaan
tingkat tenaga dalam yang berselisih cukup jauhlah yang
membuatnya terdesak. Pemuda berambut putih keperakan
ini tahu kalau lawan memiliki tenaga dalam jauh di
atasnya. Maka, sedapat mungkin diusahakan untuk
menghindari terjadinya benturan.
Dan itu berarti, Dewa Arak harus lebih sering mengelak.
Sedapat mungkin, Arya berusaha menghindari terjadinya
benturan. Bahkan sewaktu menyerang pun, Dewa Arak
segera menarik pulang serangannya ketika kakek ber-
pakaian compang-camping itu akan menangkis.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua tokoh
tingkat tinggi ini memang benar-benar menggiriskan. Angin
menderu, mengaung, dan mencicit tak henti-hentinya ter-
dengar mengiringi pertarungan.
Bukan hanya itu saja akibat yang ditimbulkan. Suasana
di sekitar pertarungan kini porak-poranda. Batu-batu besar
dan kecil berpentalan tak tentu arah. Kepulan debu mem-
bumbung tinggi ke udara.
Berkat ilmu meringankan tubuh kedua tokoh yang sama-
sama telah mencapai tingkatan tinggi, pertarungan ber-
langsung cepat. Dalam waktu stngkat, seratus jurus telah
berlalu.
Ruksamurka marah dan malu bukan main menyadari
hal ini. Dia tahu pasti kalau keadaan lawan tengah ter-
desak. Tapi ternyata amat sulit baginya untuk merobohkan.
Ilmu pemuda itu begitu aneh. Dalam keadaan yang sangat
terjepit pun, masih mampu mengelak. Ini benar-benar tidak
dimengertinya!
Rasa penasaran membuat kakek berpakaian compang-
camping ini semakin meningkatkan serangan. Seluruh
kemampuannya dikerahkan hingga titik yang terakhir.
Ruksamurka bertekad untuk bertarung mati-matian. Akibat-
nya sudah bisa diduga. Tekanan-tekanan yang melanda
Dewa Arak pun semakin berat. Tapi meskipun begitu,
berkat Ilmu 'Belalang Sakti', terutama sekali dalam Jurus
'Delapan Langkah Belalang', semua serangan lawan masih
mampu dielakkan. Tentu saja, dengan susah payah.
Gluk… gluk... gluk..!
Beberapa kali bila mendapat kesempatan. Dewa Arak
segera menenggak araknya. Dan seiring masuknya arak itu
ke tubuhnya, daya tahannya pulih kembali.
Seratus lima puluh jurus telah kembali berlalu. Hasilnya,
pertarungan antara kedua tokoh ini telah berlangsung dua
ratus lima puluh Jurus. Dan selama itu, Ruksamurka
senantiasa menghambur-hamburkan tenaga. Jadi, tak
aneh bila kelelahan.
Sementara di pihak Dewa Arak sendiri, daya tahannya
kembali pulih setelah arak memasuki perutnya. Dia seperti
memperoleh tenaga baru, sehingga tak mengalami ke-
lelahan sedikit pun.
Napas Ruksamurka mulai terdengar memburu. Tenaga
yang terkandung dalam serangannya sudah mulai
melemah. Sementara Dewa Arak masih tetap seperti
semula.
Dan kini ganti Dewa Arak yang mendesak. Pemuda
berambut putih keperakan ini melancarkan serangan-
serangan bertubi-tubi dan cepat. Karuan saja hal itu mem-
buat Ruksamurka pontang-panting.
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh sembilan, Arya
menyorongkan gucinya ke arah dada Ruksamurka. Kakek
tinggi besar yang telah lelah ini sebisa-btsanya mengelak.
Tapi...
Bukkk!
"Aaakh...!" terdengar seruan tertahan.
Telak dan keras sekali, guci arak Arya menghantam
dadanya. Suara berderak keras pertanda ada tulang-tulang
yang patah terdengar seiring terpentalnya tubuh Ruksa-
murka ke belakang. Darah segar seketika memancur deras
dari mulut
Dewa Arak tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Pemuda berambut putih keperakan ini langsung melompat
memburu seraya melancarkan tendangan terbang ke arah
leher.
Bukkk! "Grookh...!"
Suara menggorok keluar dari tenggorokan Ruksamurka
ketika tendangan Arya tepat menghantam sasaran.
Kembali tubuh kakek berpakaian compang-camping itu
terjengkang ke belakang. Dan yang lebih parah lagi, tulang
lehernya ternyata hancur. Keras sekali tubuh tinggi besar
itu terjerembab ke tanah. Nyawa tokoh sesat yang
menggiriskan ini seketika melayang, sebelum menyentuh
tanah. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tokoh sesat itu
terbang ke akhirat bersama dosa-dosanya.
Arya memandangi mayat Ruksamurka penuh kagum.
Kakek berwajah penuh luka guratan ini benar-benar luar
biasa. Dengan bulu tengkuk meremang, di longoknya guci
araknya yang telah kosong tanpa setetes pun arak lagi.
Kalau Ruksamurka tidak terlalu menuruti amarah sehingga
menyerang kalang kabut maka tenaganya tidak akan cepat
habis. Dan itu berarti Arya yang akan pergi ke akhirat!
Dengan langkah lesu, Arya meninggalkan tempat itu.
Tugas dari gurunya telah berhasil dipenuhi. Kini, dia
bergerak cepat di atas tambang menuju ke seberang.
Sementara nun jauh di sana, di halaman bangunan
tempat kediaman Arya dulu (Baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya, "Pedang Bintang"), tampak seorang
gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang
terurai tengah bersimpuh menekuri sebuah makam. Wajah-
nya muram memancarkan kesedihan yang amat sangat.
Gadis itu adalah Melati. Sementara makam di hadapan-
nya adalah milik Ki Julaga. Memang, putri angkat Raja
Bojong Gading ini tidak pergi ke mana-mana saat per-
tarungan Ki Julaga melawan Ruksamurka berlangsung.
Gadis itu masih mengintai dari kejauhan. Begitu Ruksa-
murka telah pergi, baru dia kembali.
Dengan hati hancur, Melati telah menguburkan mayat
gurunya. Berhari-hari lamanya gadis berpakaian putih itu
tinggal di situ. Namun tanpa diketahuinya, Dewa Arak telah
berhasil membalaskan dendamnya. Dan tentu saja tanpa
pemuda berambut putih keperakan itu mengetahuinya.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar