BTemplates.com

Blogroll

Kamis, 16 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE DENDAM TOKOH BUANGAN


Dendam Tokoh Buangan

 

Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya pagi. 

Angin yang berhembus terasa segar di dada, dan nikmat di 

kulit. Kabut yang masih menyelimuti Gunung Sawang 

begitu pekat, sehingga matahari tak kuasa memancarkan 

sinarnya. Suasana hening dan sunyi menyelimuti sekitar 

tempat itu. Tapi mendadak.... 

"Groaaah...!" 

Geraman keras menggelegar terdengar memecahkan 

keheningan pagi itu. Geraman itu jelas keluar dari mulut 

seorang yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Buktinya, 

suara itu mampu menggetarkan suasana di sekitarnya. 

Dan sumber suara itu ternyata dari dalam perut Gunung 

Sawang. Di dalam sebuah gua luas yang tertutup rapat 

oleh batu besar, tampak seorang laki-laki berusia sekitar 

enam puluh tahun duduk bersila di tanah. Pergelangan 

kaki dan tangannya dililit gelang-gelang baja tebal dan kuat 

yang disambung oleh rantai-rantai baja panjang yang juga 

tebal ke dinding-dinding gua. Menilik dari besarnya, 

seharusnya gelang-gelang baja dan rantai itu tidak cocok 

digunakan pada manusia, tapi untuk membelenggu seekor 

gajah besar yang bertenaga kuat. 

"Grrrh...!" 

Kembali terdengar geraman keras dari mulut kakek 

berbaju rompi compang-camping yang sudah tidak jelas 

lagi warnanya. Dan suara geraman itu lebih mirip raungan 

seekor binatang buas yang terluka. 

Seiring berakhirnya geraman, kakek itu bangkit berdiri. 

Kemudian kedua tangan dan kakinya yang besar-besar dan 

berotot, seperti juga tubuhnya yang tinggi besar berotot, 

bergerak mengejang. Jelas kalau kakek Itu bermaksud 

membebaskan diri dari belenggu. 

Suara bergemeretak keras terdengar ketika dinding gua 

yang terlihat keras bukan main terbongkar. Sekujur dinding 

dan atap gua itu bergetar hebat seiring jebolnya dinding 

tempat rantai baja tertanam. Debu berguguran dan



mengepul tinggi ketika dinding gua itu terbongkar. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek tinggi besar itu tertawa tergelak begitu tubuhnya 

telah terbebas dari pasungan di dinding gua. Luar biasa 

akibat tawa itu! Seluruh ruangan itu bergetar hebat seperti 

dilanda gempa. Jelas, tawanya itu didukung oleh 

pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan menilik akibat yang 

ditimbulkan, jelas sekali kalau tingkat kepandaiannya telah 

tinggi. 

Kakek berompi compang-camping itu terus saja tertawa-

tawa, meskipun akibat tawanya telah disaksikannya 

sendiri. Rupanya dia tengah merasa gembira bukan main. 

"Ha ha ha...! Gering Langit..! Kini aku telah bebas! 

Bebas! Ha ha ha...!" 

Sambil terus tertawa-tawa, kakek bertubuh tinggi besar 

itu memutuskan gelang-gelang baja yang masih melilit 

pergelangan tangan dan kakinya. 

Luar biasa! Kelihatannya, kakek itu sama sekali tidak 

mengerahkan tenaga waktu mencengkeram gelang-gelang 

baja yang melilit pergelangannya. Tapi hebatnya, gelang-

gelang baja itu seketika berpatahan. Di hadapannya, 

gelang-gelang baja yang mampu membelenggu gajah itu, 

tak ubahnya sebatang lidi! 

Dan memang, bukan hanya tenaga dalamnya saja yang 

menggiriskan. Sebenarnya kakek itu adalah tokoh yang 

menggiriskan. 

Di samping wajahnya yang mengerikan, tindakannya pun 

membuat orang bergidik. Selebar wajahnya penuh luka 

guratan. Kulit tubuhnya hitam, dan sepasang matanya yang 

kelihatan berwarna biru hitam kelam. Jelas, hal ini kian 

menambah seram penampilannya. Belum lagi rambutnya 

yang nampak aneh! Sepertinya, rambut yang dimiliki kakek 

itu besar-besar. Apabila didekati, baru jelas kalau beberapa 

helai rambutnya dirangkum menjadi satu. 

Kakek tinggi besar ini kemudian menggeliatkan tubuh-

nya sejenak. Rupanya otot-otot tubuhnya terasa kaku. 

Terdengar suara berkerotokan berkali-kali ketika kakek itu


menggeliatkan tubuhnya. 

Setelah dirasa agak lemas, dia melangkah perlahan 

menuju mulut gua yang tertutup. Sekitar sepuluh tombak 

kemudian, kakek itu telah berdiri di depan pintu gua yang 

pintunya tertutup batu besar. 

Kakek berwajah penuh luka guratan itu diam terpaku 

sejenak di depan lubang gua yang mulutnya ditutup batu 

besar dari luar. Lubang gua itu besar sekali dengan garis 

tengah mencapai dua tombak. Jadi, betapa saktinya orang 

yang telah menutup mulut gua itu. Batu itu memang luar 

biasa besarnya. Paling tidak, berukuran dua kali kerbau 

jantan besar! 

Perlahan kakek bertubuh tinggi besar itu mengepalkan 

kedua tangannya, memperdengarkan suara berkerotokan 

keras seperti tulang-tulang berpatahan. Jelas, kedua 

tangannya telah dialiri tenaga dalam yang tidak terkira 

kuatnya. 

Suara berkerotokan keras masih terus terdengar ketika 

kakek itu menarik kedua tangannya yang telah mengepal 

perlahan-lahan namun penuh kekuatan ke sisi pinggang. 

Seketika tercipta getaran kuat ketika kedua tangan itu 

ditarik ke pinggang. Kakek itu makin memusatkan pikiran-

nya, setelah menahan napas sejenak. Sebentar kemudian, 

tangan yang terkepal di pinggang itu dihentak-kan ke 

depan. 

Wusss...! 

Angin menderu keras mengiringi terhentaknya kedua 

tangan itu. Sebentar kemudian... 

Blarrr...! 

Ledakan dahsyat terdengar begitu angin pukulan yang 

keluar dari kedua kepalan kakek tinggi besar itu meng-

hantam batu yang menutupi mulut gua hingga hancur ber-

keping-keping, berpentalan tak tentu arah. Bahkan tidak 

sedikit dari kepingan batu itu yang menyambar tubuh 

kakek berompi compang-camping itu. Tapi hal itu tidak 

dirasakannya sama sekali. Ini bisa dilihat dari wajah kakek 

itu yang tidak menunjukkan gejala apa-apa.


Debu masih mengepul ketika suara gemuruh akibat 

ledakan mereda. Kakek berpakaian rompi compang-

camping itu memejamkan matanya, untuk mencegah debu 

yang menyelusup ke sepasang matanya. 

Tak lama kemudian debu mulai menipis, dan akhirnya 

lenyap sama sekali. Kini tampaKiah pemandangan luas di 

luar gua yang sudah lama tidak dilihat oleh kakek bertubuh 

tinggi besar itu. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek berwajah penuh gurat luka itu kembali tertawa 

tergelak. Sorot kegembiraan terpancar jelas pada wajah 

maupun suara tawanya. Seperti orang gila, dia menarik 

napas dalam-dalam untuk menikmati udara sejuk pagi hari. 

"Segar...! Ahhh...! Segarnya udara alam bebas...!" desah 

kakek tinggi besar itu berkali-kali. "Entah berapa tahun 

sudah aku tidak pernah menikmati udara segar seperti 

ini..." 

Namun di atas sana, mendadak awan tebal berarak 

menutupi langit. Kicau riang burung pun mendadak tidak 

terdengar lagi. Sepertinya, alam langsung berduka. 

Mungkinkah hal ini karena terlepasnya kakek berompi 

compang-camping dari ruangan gua itu. 

Kakek berwajah penuh guratan luka itu sama sekali 

tidak mempedulikannya. Dia malah lebih suka menarik 

napas dalam-dalam, seraya merentang-rentangkan kedua 

tangan ke samping. Mungkin agar udara segar yang ter-

hirup dapat lebih meresap ke dalam dadanya. 

Tak lama kemudian, kakek bertubuh tinggi besar itu 

menghentikan kesibukannya. Rupanya, dia telah merasa 

cukup menikmati udara luar. Kini pandangannya dialihkan 

ke arah kaki Gunung Sawang. 

"Ha ha ha!" 

Suara tawa keras menggelegar terdengar ketika kakek 

bertubuh tinggi besar itu membuka mulutnya Suara itu 

berkumandang keras, dipantulkan dinding-dinding gunung 

sehingga terdengar menyeramkan. 

"Kini tiba saatnya bagi Ruksamurka untuk membalas


sakit hati ini...!" tegas kakek berompi compang-camping 

yang ternyata bernama Ruksamurka. 

Setelah berkata demikian, kakek bertubuh tinggi besar 

itu melangkahkan kakinya. Luar biasa! Hanya sekali 

langkah saja, tubuhnya sudah melesat sejauh sebelas 

tombak. Jelas, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki 

Ruksamurka begitu tinggi. 

Lincah laksana kera, dan gesit laksana bayangan, 

Ruksamurka bergerak cepat menuruni lereng gunung. 

Kedua kakinya menotok sana-sini dengan enaknya. Tak 

sedikit pun dia merasa khawatir kalau kakinya salah pijak. 

Tindakannya mencerminkan keyakinan kuat pada diri 

sendiri. Dan memang, kakek itu sama sekali tidak 

mengalami gangguan ketika menuruni lereng. Tak lama 

kemudian, tubuhnya pun lenyap di balik sebuah gundukan 

batu besar. 

*** 

"Ya, Allah...!" 

Keluhan keterkejutan terdengar dari mulut seorang 

kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari 

tujuh puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti 

mengeluarkan cahaya. Terutama sekali wajahnya yang 

penuh ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot berwarna putih. 

Dia tengah duduk bersila di sebuah ruangan dalam sebuah 

bangunan tua dan megah. Di tangannya tampak ter-

genggam seuntai tasbih. 

Seiring keluarnya seruan keterkejutannya, kakek ber-

pakaian putih bersih itu langsung bangkit dari duduk ber-

silanya. 

"Apakah aku sekarang telah pikun?" 

Desah pelan bernada keluhan kembali terdengar dari 

mulut kakek itu. Dahinya nampak berkernyit dalam. 

"Mengapa aku bisa melupakannya? Tapi, mudah-

mudahan saja belum terlambat. Kalau tidak, dunia 

persilatan akan kembali geger. Darah akan kembali



tumpah di mana-mana." 

Seiring selesainya ucapan itu, mendadak tubuh kakek 

berpakaian putih bersih itu lenyap begitu saja dari ruangan 

bangunan megah itu. Dia ternyata mampu manghilang! 

Ajaib! Tak sampai sekejap mata kakek berpakaian putih 

bersih itu telah berpindah tempat. Dia kini telah berada di 

dalam gua tempat Ruksamurka dibelenggu. Kakek itu ter-

nyata tidak hanya mampu menghilang! Bahkan juga 

mampu pergi ke suatu tempat dalam sekejap! Jelas ke-

pandaiannya sudah sangat tinggi, sehingga membuatnya 

tidak terlihat oleh ruang dan waktu! Dia tak ubahnya 

seperti makhluk halus yang memang mampu pergi ke 

manapun dalam sekejap! 

"Ya, Allah…!" 

Kakek berpakaian putih bersih itu menatap dinding gua 

yang terbongkar. Beberapa saat matanya terpaku pada 

dinding gua, kemudian beralih ke sekitarnya. Tampak 

gelang-gelang baja besar dan tebal yang telah hancur 

berantakan berserakan di sekitar situ. Begitu juga rantai 

baja besar yang putus menjadi beberapa bagian. 

Lalu, kakek berpakaian putih bersih itu melangkahkan 

kakinya ke luar. Pelan dan lambat-tambat saja langkahnya. 

Tak sampai dua puluh langkah, langkahnya berhenti. Pan-

dangannya terruju ke depan, ke arah gua yang tidak mem-

punyai penutup lagi. 

Kakek berpakaian putih bersih terpaku di tempat itu, 

berjarak sekitar dua tombak di depan ambang gua. Tapi di 

wajah tuanya sama sekali tidak nampak perasaan apa-apa, 

tetap saja seperti semula. Tenang, membawa perbawa 

tinggi. Sehingga orang lain yang melihatnya merasa tunduk. 

Sesaat kemudian, kakek itu melangkah melewati pintu 

gua. Dalam beberapa langkah saja dia telah berada di luar 

gua. Di sini, kakek itu memandang berkeliling. 

Cukup lama juga kakek berpakaian putih bersih itu ber-

sikap begitu, sebelum akhirnya tubuhnya mendadak 

kembali raib! Dia memang memiliki ilmu 'Ringkas Bumi', 

sehingga mampu membuatnya bepergian ke manapun


dalam sekejap. 

*** 

Suara napas dengan irama teratur terdengar, me-

nambah riuh-rendahnya Hutan Gantang. Suara itu ternyata 

berasal dari mulut dan hidung seorang pemuda tampan 

yang tengah bersemadi. Pakaiannya ungu, dengan sebuah 

guci arak dari perak tersampir di punggung. 

Melihat ciri-cirinya, tidak ada yang aneh pada diri 

pemuda berpakaian ungu itu. Tapi apabila melihat rambut-

nya, pasti akan heran. Sebab rambutnya ternyata berwarna 

putih, laksana orang yang telah berusia lanjut. Hanya saja 

warna rambutnya lebih indah, karena berwarna putih 

keperak-perakan. Tampaknya, pas sekali dengan pakaian-

nya yang serba ungu. 

Mendadak pemuda berambut putih keperakan ini meng-

hentikan semadinya. Nalurinya membisikkan ada sesuatu 

di dekatnya, sekalipun pendengarannya tidak menangkap 

langkah yang mendekati tempatnya. 

Perlahan sepasang kelopak matanya terbuka. Lalu, 

pemuda berambut putih keperakan ini bergerak bangkit 

memberi hormat. 

"Guru...," sebut pemuda berambut putih keperakan itu 

pada sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri di depannya, 

dalam jarak sekitar dua tombak. 

Sosok tubuh yang berdiri di hadapan pemuda berambut 

putih keperakan itu ternyata seorang kakek berpakaian 

putih bersih. Menilik panggilannya, jelas kakek ini adalah 

guru pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Arya...." panggil kakek berpakaian putih bersih itu. 

Suaranya terdengar pelan dan lembut. 

Kemudian dengan langkah perlahan-lahan, kakek itu 

melangkah mendekati pemuda berambut putih keperakan 

ini. Diusap-usapnya rambut yang berwarna putih dan 

panjang meriap itu. Dan memang, pemuda itu adalah Arya 

Buana atau berjuluk Dewa Arak.


"Ada satu masalah yang ingin kusampaikan padamu." 

jelas kakek berpakaian putih bersih itu seraya meng-

hentikan usapan tangannya. 

"Masalah apa, Guru?" tanya Dewa Arak. 

Kakek berpakaian putih bersih yang tidak lain adalah Ki 

Gering Langit, guru Dewa Arak itu tidak langsung menjawab 

pertanyaan Arya. Dia tampak diam tercenung beberapa 

saat lamanya. 

"Belasan tahun yang lalu, ada seorang tokoh sesat ber-

kepandaian luar biasa. Tapi sayang, wataknya sangat 

kejam, dan keji bukan main," tutur Ki Gering Langit 

memulai ceritanya. 

Arya diam mendengarkan. Sama sekali cerita gurunya 

tidak berminat diselak. Benaknya sibuk menduga-duga 

masalah yang membuat gurunya begitu memperhatikan 

tokoh itu. 

"Tak terhitung orang yang sudah menjadi korbannya. 

Silatnya yang buruk, membuatnya selalu menyebar maut di 

tiap tempat yang dikunjunginya. Banyak pendekar yang 

berniat membasmi, tapi selalu gagal. Tokoh berwatak iblis 

itu terlalu sakti untuk dilawan. Para pendekar hanya 

membuang nyawa percuma saja, dan semua tewas dalam 

keadaan mengerikan." 

Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak untuk 

mengambil napas, seraya menatap dalam-dalam wajah 

Arya. Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berambut 

putih keperakan itu. Tapi wajah Dewa Arak tampak tenang, 

tanpa perubahan sedikit pun. Tapi yang jelas, Arya men-

dengarkan cerita gurunya penuh perhatian. 

"Secara kebetulan di sebuah desa aku bertemu dengan-

nya, walaupun nama dan kekejamannya telah lama ku-

dengar. Tapi baru kali itu kusaksikan kekejamannya 

dengan mata kepala sendiri. Dia memang bukan manusia, 

tapi iblis! Sambil tertawa-tawa kulihat dia tengah mengum-

pulkan para penduduk desa itu di sebuah tanah lapang, 

kemudian dibantainya." 

Ki Gering Langit kembali menghentikan ceritanya


sejenak, mencari kata-kata baru untuk melanjutkan kisah-

nya. 

"Melihat kekejamannya, darahku seketika mendidih. Hal 

itu tidak bisa kubiarkan. Tak pelak lagi, kami pun ber-

tarung. Melalui sebuah pertarungan panjang dan melelah-

kan, tokoh sesat itu berhasil kulumpuhkan. Tapi sayang, 

aku tidak tega membunuhnya. Aku memang tidak pernah 

berani membunuh manusia. Maka terpaksa dia kubawa 

dan kupenjarakan di suatu tempat" 

Lagi-lagi kakek berpakaian putih bersih itu meng-

hentikan ceritanya. Pandangannya menerawang jauh, 

mengingat-ingat masa lalunya. Sementara Arya tetap diam, 

meskipun benaknya tengah digayuti pertanyaan. Apakah 

gurunya tidak menggunakan ilmu andalan sewaktu meng-

hadapi tokoh sesat itu? Bukankah dengan ilmu itu Ki 

Gering Langit mudah sekali merobohkan lawannya? 

"Tokoh sesat itu lihai sekali. Sampai-sampai di samping 

kuborgol dengan baja sekaligus rantai yang besar dan 

kokoh, pada gelang baja itu juga kumasukkan ilmu yang 

membuat sekujur tubuhnya terasa lemas. Tentu saja itu 

adalah ilmu gaib," lanjut Ki Gering Langit lagi. "Namun 

sayang, ilmu itu ada kelemahannya. Kekuatan ilmu gaib 

yang kutanamkan pada borgol itu, hanya mampu bertahan 

selama enam puluh purnama itu pun sudah lama sekali." 

"Mengapa begitu, Guru?" tanya Arya, tidak tahan juga 

menahan rasa ingin tahunya yang menggelegak. 

"Itulah ilmu manusia, Arya," sahut Ki Gering Langit 

kalem. "Biar bagaimanapun, pasti ada kelemahannya." 

Arya hanya bisa menganggukkan kepala pertanda 

mengerti. 

"Biasanya, menjelang purnama kelima puluh aku sudah 

mengunjungi tempatnya untuk memasang kekuatan gaib 

yang membuat tokoh sesat itu selalu terasa lemas," 

sambung Ki Gering Langit. "Tapi, kali ini aku lupa. Hingga 

menjelang purnama keenam puluh, dia belum kutengok. 

Dan begitu kujenguk, dia telah kabur." 

Arya tercenung mendengar cerita gurunya.


"Siapa nama tokoh sesat itu. Guru?" 

"Ruksamurka," jawab Ki Gering Langit 

Arya terdiam beberapa saat lamanya. Namun, mulutnya 

berulang-ulang menyebut nama tokoh sesat itu. Sepertinya, 

dia berusaha mengingat-ingatnya. 

"Kalau dia terbelenggu seperti itu, bagaimana bisa ber-

tahan hidup, Guru? Bukankah dia tidak akan bisa mencari 

makan atau minum?" tanya Arya, mengajukan keheranan-

nya. 

"Di bagian dalam gua ada tanaman dan sumber air, 

Arya. Panjang rantai yang membelenggunya cukup untuk 

mencapai tempat makanan dan minuman itu." 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini tidak ada lagi 

pertanyaan yang bergayut di benaknya. 

"Kau kutugaskan untuk mencarinya, Arya. Hidup atau 

mati. Aku sudah bersumpah untuk tidak mencampuri 

urusan kekerasan lagi secara langsung, Arya. Aku ingin ber-

istirahat menghabiskan sisa ilmurku." 

Setelah berkata demikian, tubuh Ki Gering Langit lenyap 

dari tempat itu. 

Sepeninggal gurunya, Arya pun melangkah meninggal-

kan tempat itu. Kini dia mempunyai sebuah tugas, mencari 

tahanan gurunya yang telah jadi buronan. 

***


Angin berhawa dingin berhembus kencang. Langit memang 

terlihat begitu pekat. Awan tebal dan hitam nampak ber-

gumpal menutupi sang mentari yang telah naik tinggi. 

"Masih jauhkah tempat itu, Kek?" tanya seorang gadis 

berwajah cantik dan berpakaian putih. Rambutnya yang 

hitam, panjang, dan halus, dibiarkan tergerai. Sehingga 

gadis itu tampak jadi semakin cantik saja. 

"Tidak berapa jauh lagi, Melati," sahut kakek bertubuh 

kecil kurus yang berjalan di sebelahnya. 

Kakek itu menolehkan kepala menatap wajah gadis 

berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja 

Bojong Gading. Karena tinggi tubuhnya tidak sampai 

sebahu Melati, dia menoleh sambil agak mendongak. 

"Hhh...!" 

Melati menghela napas berat. Sementara, sepasang 

matanya menatap jauh ke depan. Tidak nampak adanya 

apa pun di depannya, kecuali hamparan tanah luas tanpa 

pepohonan sebatang pun. 

"Mengapa, Melati? Lelah?" tanya kakek bertubuh kecil 

kurus yang tak lain adalah Ki Julaga, guru gadis berpakaian 

putih itu. 

"Tidak, Kek," sahut Melati sambil menggelengkan 

kepala. 

"Hm...," gumam Ki Julaga, pelan. Mulutnya menyungging-

kan sebuah senyum getir. "Kalau tidak lelah, mengapa 

menghembuskan napas berat?" 

"Aku khawatir hujan akan lebih dulu turun, sebelum kita 

sampai di sana, Kek," sahut Melati seraya melayangkan 

pandangan ke arah langit. 

Memang keadaan langit cukup mengkhawatirkan. Awan 

tebal, hitam, dan bergumpal-gumpal. Jelas turunnya hujan 

hanya tinggal menunggu waktu saja. Angin dingin yang 

berhembus pun kian mengencang.


Ki Julaga melayangkan pandangan ke atas pula. Mau 

tak mau kekhawatiran muridnya bisa masuk akal juga. 

"Kalau begitu, mari kita bergegas, Melati," ajak kakek 

berpakaian jingga itu. 

Melati menganggukkan kepala pertanda menyetujui 

ajakan gurunya. Dan memang, itulah yang sejak tadi 

diharapkannya. Dia bosan berjalan biasa saja. Gadis ini 

mengharapkan agar gurunya segera mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh, sambil mencoba menguji ilmu 

meringankan tubuh miliknya sendiri. 

Maka, kini guru dan murid itu telah melesat cepat mem-

pergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai 

taraf kesempurnaan. Mereka seperti berlomba-lomba 

untuk mencapai tujuan. Dan tentu saja, karena tingkatan 

Melati masih jauh di bawah Ki Julaga, dia jadi tertinggal 

jauh. 

*** 

"Capek, Melati?" tanya Ki Julaga seraya mengembang-

kan sebuah senyum, ketika mereka telah berhenti di suatu 

tempat. 

Gadis berpakaian putih itu hanya mampu mengangguk-

kan kepala saja. Napasnya yang masih terengah-engah, 

menyulitkannya untuk berbicara. Dia kini sibuk menghapus 

peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung 

tangan. 

"Tenangkanlah hatimu.... Sebentar lagi tempat yang kita 

tuju telah di depan mata," jelas Ki Julaga. 

Sambil berkata demikian, kakek bertubuh kecil kurus 

menudingkan telunjuk kanannya ke depan. Dengan penuh 

gairah mata Melati mengikuti arah tudingan itu. Dan 

memang, dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari 

tempatnya, tampak sebuah bangunan besar dan megah. 

Walaupun sudah agak tua, bangunan besar itu mempunyai 

halaman luas dan dikurung pagar tembok tinggi 

"Jadi, ke tempat itukah tujuan Kakek?" tanya Melati.


Memang Ki Julaga sama sekali tidak memberitahukan 

tujuan dan maksud kepergian kepada muridnya. 

Kakek berpakaian jingga itu mengangguk membenar-

kan. 

"Bangunan itu adalah tempat bersejarah bagiku, Melati," 

jelas Ki Julaga. Ada nada kegetiran dalam suaranya. "Di 

tempat itulah aku menerima sebuah anugerah, berupa 

warisan ilmu dari seorang tokoh sakti yang bijaksana. Tapi, 

di tempat itu pulalah, aku telah menceburkan diri dalam 

lumpur kehinaan." 

Ki Julaga menghentikan cerita sejenak. Raut wajahnya 

terlihat muram. Jelas kalau kakek itu merasa menyesal 

akan kejadian yang telah dilakukannya. 

Melati mendengarkan dengan hati terharu. Selama ini 

gurunya telah dianggap sebagai kakeknya sendiri. Gadis itu 

tahu kalau Ki Julaga telah terkena bujukan rekannya untuk 

mencuri kitab-kitab pusaka majikannya. Namun Ki Julaga 

sendiri tidak pernah memberitahukan tempat pusaka itu 

dicuri. 

"Inikah tempat tinggal Ki Gering Langit, Kek?" tanya 

Melati dengan suara serak. Perasaan terharu melihat 

kesedihan gurunya, membuat dadanya sesak dan lehernya 

terasa tercekik. 

Ki Julaga menganggukkan kepala. 

"Apakah Ki Gering Langit tahu kalau Kakek dan Ki 

Jatayu mencuri kitab-kitab pusakanya?" kejar Melati lagi. 

Perasaan ingin tahu yang amat sangat tergambar jelas 

dalam sikap maupun nada suara gadis itu (Untuk lebih 

jelas mengenai hal ini, baca serial Dewa Arak dalam 

episode "Cinta Sang Pendekar"). 

Kembali Ki Julaga mengangguk, membenarkan. 

"Dan dia mengejarmu, Kek?" 

Ada nada kesenduan dalam pertanyaan itu. Dan 

memang sebenarnya Melati merasa kasihan dan sedih 

sekali membayangkan kakek bertubuh kecil kurus ini 

selalu dicekam rasa takut di tempat persembunyiannya. 

"Tidak," Ki Julaga menggelengkan kepalanya. "Kalau



beliau mau mengejar, sudah lama aku berhasil ditemukan-

nya. Kau tahu, Melati. Ki Gering Langit memiliki banyak 

ilmu aneh. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, ku-

dengar telah memiliki ilmu yang membuatnya dapat pergi 

ke tempat yang diinginkan dalam sekejap mata saja!" 

"Gila...!" desis Melati antara takjub dan terkejut. "Begitu 

lihaikah Ki Gering Langit itu, Kek?" 

"Hhh...!" 

Ki Julaga menghela napas berat sebelum menjawab 

pertanyaan itu. Karuan saja hal ini membuat Melati yang 

sudah tidak sabar untuk mendengarnya jadi agak kesal. 

"Kepandaian yang kumiliki ini tidak ada artinya bila 

dibanding dengan beliau, Melati." 

Bulu kuduk Melati meremang mendengar penjelasan 

gurunya. Seketika itu pula dia teringat Arya kekasihnya. 

Tahukah pemuda berambut putih keperakan itu kalau Ki 

Gering Langit memiliki ilmu yang demikian tinggi? 

Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Sementara 

Melati pun sibuk dengan lamunannya. Sehingga, suasana 

menjadi hening sejenak. Guru dan murid itu tenggelam 

dalam lamunan masing-masing. 

Tapi kesibukan benak kedua orang itu terganggu ketika 

titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi. 

Hampir berbareng Melati dan Ki Julaga mendongak ke 

atas ketika ada beberapa tetes air jatuh di tangan mereka. 

"Hujan mulai turun, Kek," kata Melati. 

"Cepat kita berteduh di sana...!" ajak Ki Julaga seraya 

menudingkan tehinjuk tangan kanannya ke arah bangunan 

tempat tinggal Ki Gering Langit. 

Melati tidak membantah lagi karena titik-titik air yang 

turun dari langit semakin banyak dan semakin cepat. 

Sudah bisa diterka, tidak lama lagi hujan lebat akan turun. 

Dan gadis itu tentu saja tidak mau basah kuyup. 

Melati melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya, seperti berlomba dengan hujan. 

Putri angkat Raja Bojong Gading ini ingin tiba di bangunan 

tempat tinggal Ki Gering Langit sebelum hujan lebat turun.


Berbareng dengan melesatnya tubuh Melati, Ki Julaga 

melesat pula. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kakek 

bertubuh kecil kurus ini tidak mengerahkan seluruh 

kemampuan yang dimiliki. Dia tidak ingin membiarkan 

muridnya kehujanan sendirian. 

"Hup...!" 

Berbareng dengan melayangnya tubuh Melati melompati 

tembok, tubuh Ki Julaga pun melenting pula. Pada saat 

yang bersamaan, kedua pasang kaki itu hinggap di dalam 

halaman. Dan secepat mereka mendarat, secepat itu pula 

melesat ke arah bangunan. 

Tepat ketika guru dan murid itu tiba di teras bangunan 

itu, hujan lebat turun. Air yang bagaikan dicurahkan dari 

langit turun membasahi bumi. 

Glarrr...! 

Suara halilintar ikut meramaikan suasana. Kilatan-

kilatan cahaya menyilaukan tampak seperti membelah 

langit. Seakan-akan, seluruh isi alam bergembira ria. 

"Hhh…!" 

Helaan napas lega keluar dari mulut Melati dan Ki 

Julaga. Keduanya diam-diam bersyukur, karena bisa tiba di 

tempat yang terlindung tepat saat turunnya hujan lebat. 

Sehingga, tubuh dan pakaian mereka tidak basah. 

"Di daerah sekitar sini, hujan adalah hal yang meng-

herankan, Melati," Ki Julaga membuka pembicaraan 

kembali. 

"Mengapa, Kek?" tanya Melati ingin tahu. 

"Aku juga tidak tahu," sahut Ki Julaga sambil meng-

gelengkan kepala. "Yang kutahu, di daerah ini jarang turun 

hujan. Dalam dua belas kali purnama, hanya beberapa kali 

hujan. Itu pun tidak begitu lebat..." 

Melati menganggukkan kepala. Padahal, gadis ini tidak 

tertarik dengan pembicaraan itu. Dia ingin agar Ki Julaga 

menceritakan tentang masa lalunya. 

"Mengapa Kakek ingin mengunjungi tempat ini?" tanya 

Melati begitu mendapat kesempatan di saat gurunya tidak 

melanjutkan ucapannya lagi.


Ki Julaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi 

malah tercenung beberapa saat lamanya. Sepasang mata-

nya menerawang jauh ke depan, seperti tengah menatap 

butir-butir air yang jatuh ke bumi. Tapi melihat pandangan-

nya yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau dia 

tengah melamun. 

"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang 

telah kulakukan, Melati." Jelas Ki Julaga. Pelan suaranya, 

mirip desahan. Nampaknya ucapan itu keluar dari lubuk 

hati yang paling dalam. 

"Tapi, bukankah Kakang Arya telah memberi maaf pada 

Kakek?" bantah Melati. "Apakah itu tidak cukup? Kurasa 

dia tidak begitu mudah memberi maaf kalau tidak 

mendapat pesan lebih dulu dari Ki Gering Langit." 

"Semua ucapanmu itu tidak salah, Melati," sambut Ki 

Julaga. Tapi, aku ingin meminta maaf sendiri pada Ki 

Gering Langit. Biar hatiku tenang, dan tidak mati 

penasaran." 

Melati menyadari kebenaran yang terkandung dalam 

pengakuan itu. Maka dia pun terdiam, tidak menyahuti lagi. 

Seketika suasana jadi hening karena Ki Julaga tidak 

melanjutkan ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah 

suara curahan hujan, deru angin, dan gelegar halilintar 

yang sesekali menyambar bumi. 

Melati dan Ki Julaga tenggelam dalam lamunan masing-

masing. Sepasang mata mereka menatap ke depan. 

Sepintas lalu guru dan murid itu seperti tengah mengawasi 

hujan. Tapi bila diperhatikan lebih seksama, mereka 

tengah menatap tajam pada satu titik yang tidak bergerak-

gerak sama sekali. 

Mendadak sepasang mata mereka terbeliak ketika yang 

dilihat mulai bergerak. Suatu sosok tinggi besar bergerak 

cepat ke arah mereka. 

Sepasang mata Ki Julaga dan Melati semakin terbelalak. 

Dan memang keduanya merasa terkejut bukan main 

dengan gerakan sosok tubuh itu. Gerakannya begitu 

ringan, menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya


amat tinggi. 

*** 

Sosok tubuh itu semakin mendekati bangunan. Ki Julaga 

dan Melati semakin terkejut metihatnya. Gerakan sosok 

abu-abu itu ternyata begitu cepat ke arah teras, tempat 

Melati dan gurunya berada. Ki Julaga yang tidak ingin 

terjadi keributan, cepat menarik tangan Melati. Diajaknya 

gadis berpakaian putih itu mundur ke belakang. Sementara 

sepasang matanya tetap tertuju pada sosok tubuh abu-abu 

itu. 

Dalam kelebatan curah hujan, cukup jelas terlihat sosok 

abu-abu itu. Tubuhnya tinggi besar, berusia sekitar enam 

puluh lima tahun. Rompi dan celana compang-camping 

yang membungkus tubuhnya sudah tidak jelas lagi 

warnanya. 

Melihat dari penampilan sosok tinggi besar itu saja 

sudah membuat orang agak ngeri. Apalagi begitu melihat 

wajahnya yang penuh bekas luka guratan. Dan memang, 

sosok abu-abu ini ternyata adalah Ruksamurka! 

Hanya dalam sekejap. Ruksamurka telah tiba di tempat 

Ki Julaga dan Melati tadi berada. Tanpa mempedulikan 

guru dan murid itu, Ruksamurka segera mengibas-

ngibaskan tubuhnya. Seketika itu juga air hujan memercik 

dari seluruh tubuhnya. 

Ki Julaga dan Melati hanya memperhatikan semua 

tingkah polah kakek berpakaian compang-camping itu. 

Mereka berdua memang tidak berminat mencari-cari 

urusan. Terutama sekali Ki Julaga. Dia tidak ingin membuat 

kesalahan yang kedua kali dengan menimbulkan keributan 

di tempat tinggal majikannya. Sama sekali Ki Julaga tidak 

tahu kalau bangunan ini sudah lama tidak ditempati Ki 

Gering Langit lagi. Bangunan itu telah berganti-ganti 

pemilik (Untuk lebih jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam 

episode perdananya, "Pedang Bintang"). 

Setelah selesai membuang air yang melekat di sekujur


tubuhnya, Ruksamurka lalu mengalihkan perhatiannya. 

Kini sepasang matanya yang menyeramkan itu menatap Ki 

Julaga dan Melati. 

Seketika baik Ki Julaga maupun Melati terperanjat. 

Keduanya diam-diam terkejut bukan kepalang melihat 

sepasang mata kakek bertubuh tinggi besar itu mencorong 

tajam dan bersinar kehijauan. Jelas kalau Ruksamurka 

memiliki tenaga dalam tinggi. 

Menilik dari gerak-gerik Ruksamurka, Ki Julaga diam-

diam merasa cemas. Tampak ada suatu gelagat yang tidak 

baik di balik sosok wajah yang menyeramkan itu. Tapi tentu 

saja kakek bertubuh kecil kurus ini tidak merasa gentar. 

Yang jelas, dia tidak menginginkan terjadi keributan di 

tempat tinggal majikannya. Sedapat mungkin, terjadinya 

keributan harus dihindari. Maka kakek berpakaian jingga 

ini bersikap tidak peduli. 

"Ha ha ha...!" 

Mendadak Ruksamurka tertawa keras dan menggelegar 

seperti guntur. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Akibatnya luar biasa! Melati mendadak terhuyung, 

karena suara tawa itu membuat lututnya terasa lemas. 

Dadanya pun bergetar hebat. Bahkan gadis berpakaian 

putih ini merasakan kedua telinganya berdengung keras. 

Ki Julaga terkejut bukan main melihat hal ini. Dia pun 

merasakan adanya getaran amat kuat yang keluar dari 

tawa Ruksamurka. Tapi berkat tenaga dalamnya yang 

memang sudah mencapai tingkat amat tinggi, kakek 

berpakaian jingga itu mampu meredamnya. Dan sungguh 

di luar dugaan, ternyata Melati sampai begitu terpengaruh 

dan seperti tidak mampu bertahan! Dari sini saja sudah 

bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam kakek bertubuh 

tinggi besar itu. 

"Rupanya kau lihai juga, Tua Bangka Kerdil...!" kata 

Ruksamurka seraya menghentikan tawanya. 

Tampak adanya rasa penasaran baik pada wajah 

maupun suara kakek bertubuh tinggi besar itu. Sungguh di


luar dugaan kalau ada orang yang sanggup menahan 

serangan suara tawanya. Jadi kakek bertubuh kecll kurus 

ini paling tidak adalah lawan yang amat tangguh. 

Melati menghela napas lega meskipun wajahnya masih 

terlihat pucat. Gadis berpakaian putih ini masih belum 

lepas dari pengaruh suara tawa Ruksamurka. 

"Menyingkirlah, Melati...!" ujar Ki Julaga bernada 

perintah. 

Kakek bertubuh kecil kurus itu tahu kalau muridnya 

bukan tandingan kakek bertubuh tinggi besar ini. Dan dia 

tidak ingin putri angkat Raja Bojong Gading ini celaka. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera men-

jauh. Seperti juga Ki Julaga, gadis itu sadar kalau orang itu 

bukan tandingannya. Dari gelak suara tawa itu saja, sudah 

diketahui kalau kakek bertubuh tinggi besar itu memiliki 

tenaga dalam amat tinggi, jauh di atas kekuatan tenaga 

dalam miliknya 

"Maaf, Kisanak. Mengapa kau menyerang kami? 

Sepengetahuanku, aku tidak mempunyai persoalan 

denganmu," pelan dan lembut Ki Julaga membuka 

pembicaraan. 

"Cuhhh...!" 

Dengan kasar, Ruksamurka meludah. Bukan ke tanah, 

tapi ke wajah Ki Julaga. Bahkan bukan sembarangan 

ludah, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi. Terdengar suara berdesing nyaring begitu 

cairan kental yang menjijikkan itu meluncur ke arah wajah 

Ki Julaga. 

Ki Julaga sama sekali tidak mengelakkan serangan 

ludah itu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan, lalu 

diputar di depan wajah. Sesaat kemudian angin keras 

menderu dari tangan yang bergerak memutar itu. 

Luar biasa! Semburan ludah itu mendadak berhenti, 

kemudian jatuh ke tanah. 

Wajah Ki Julaga seketika memerah. Kemarahan mulai 

menjalari hatinya. Kakek berpakaian compang-camping ini 

benar-benar tidak mempunyai adab! Dengan baik-baik


ditanya, tapi sambutannya sungguh menyakitkan. Bahkan 

suatu penghinaan yang tidak bisa didiamkan. 

"Grrrh...!" 

Ruksamurka menggeram hebat begitu melihat 

serangannya kandas. Untuk yang kedua kali hatinya dibuat 

penasaran. Hatinya bertanya-tanya tentang keberadaan 

kakek bertubuh kecil kurus ini. 

"Rupanya untuk berbincang-bincang denganmu tidak 

perlu mulut, tapi kepalan. Kalau itu adalah kemauanmu, 

akan kuladeni, Kisanak!" tegas dan mantap sekali ucapan 

yang keluar dari mulut Ki Julaga. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Rupanya kakek 

berubuh tinggi besar ini merasa geli mendengar ucapan Ki 

Julaga. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu, 

memegangi perutnya sambil membungkukkan tubuh. 

Terdengar suara bergemeretak dari mulut Ki Julaga. 

Walaupun tidak tahu hal yang menyebabkan orang di 

hadapannya merasa geli, tapi setidak-tidaknya bisa diduga 

kalau rasa geli itu karena ucapan atau sikapnya. Dan ini 

membuat kemarahannya semakin menggelegak. 

Suara tawa Ruksamurka semakin keras begitu melihat 

keadaan Ki Julaga. Hal ini membuat kakek bertubuh kecil 

kurus itu tidak tahan lagi. Maka.... 

"Diam...!" 

Terdengar bentakan menggelegar seperti ada guntur 

yang meledak di dekat tempat itu. Keras bukan main 

karena Ki Julaga mengeluarkannya dengan pengerahan 

tenaga dalam tinggi. 

Akibatnya hebat sekali! Suara tawa Ruksamurka se-

ketika berhenti. Raut wajahnya pun agak berubah, per-

tanda bentakan Ki Julaga cukup mengejutkan hatinya. 

Ternyata akibat yang lebih parah lagi telah diterima 

Melati. Walaupun gadis berpakaian putih ini berada agak 

jauh dari kedua orang itu, tapi tetap saja terkena pengaruh 

bentakan Ki Julaga. Tubuh Melati mendadak oleng, karena 

lututnya mengggigil keras. Sepasang telinganya pun terasa


berdengung. 

"Grrrh...!" Ruksamurka menggeram keras. "Sungguh 

besar nyalimu, Kambing Tua..! Kau berani membentakku...! 

Kau berani membentak Ruksamurka...?! Grrrh...! Akan 

kubeset kulitmu...! Akan kuhirup darahmu...! Grrrh...!" 

Ki Julaga dan Melati adalah orang yang telah terbiasa 

menghadapi bahaya. Bagi kedua orang itu, matipun bukan 

apa-apa. Tapi ancaman yang keluar dari mulut Ruksa-

murka begitu mengerikan. Menilik dari ucapan dan 

sikapnya, bisa diperkirakan kalau dia tidak main-main 

dengan ucapannya. Tak terasa bulu kuduk Melati dan Ki 

Julaga merinding. Ada sedikit perasaan ngeri yang merayap 

dalam hati kakek bertubuh kecil kurus dan gadis ber-

pakaian putih itu setelah mendengar ancaman yang 

dikeluarkan dengan mendesis tadi. Dan yang lebih 

mengejutkan hati Ki Julaga saat kakek bertubuh tinggi 

besar itu memperkenalkan namanya. 

Ruksamurka memang tokoh sesat yang sakti dan 

memiliki kekejaman mendirikan bulu kuduk. Kebiadaban-

nya tak tertandingi lagi. Dia pernah membunuh orang satu 

desa sambil tertawa-tawa, tanpa ada perasaan peri-

kemanusiaan. Tapi bukankah tokoh sesat yang mengerikan 

itu telah lenyap tanya ketahuan rimbanya? Mengapa tahu-

tahu muncul di sini? Berbagai macam pertanyaan bergayut 

di benak Ki Julaga. Pertanyaan yang tidak mungkin bisa 

dijawabnya. 

"Ruksamurka...?!" ulang Ki Julaga dengan suara 

mendesis. 

"Kau terkejut, Tua Bangka Kerdil…?!" ejek Ruksamurka 

dengan kemarahan yang berkobar. "Belasan, bahkan 

mungkin puluhan tahun lamanya aku mengasingkan diri 

dari dunia luar. Kini sudah saatnya aku kembali ke dunia 

persilatan untuk meneruskan kebiasaan lamaku. Dan kau 

dan gadis montok itu mendapat kehormatan untuk menjadi 

korban pemulaku. Ha ha ha...!" 

"Hm..." Ki Julaga hanya menggumam pelan. "Ingin 

kulihat buktinya, Ruksamurka."


"Hmh...!" 

Ruksamurka mendengus. Kakek bertubuh tinggi besar 

ini memang seorang yang memiliki watak angkuh, dan 

selalu mengagungkan diri sendiri. Pantang baginya men-

dengar kata-kata bernada tantangan. Tapi kali ini justru 

kata-kata itu didengarnya dari mulut orang bertubuh kecil 

kurus di hadapannya. Maka amarahnya pun meluap 

seketika. 

"Grrrh...!" 

Ruksamurka meraung seperti seekor binatang buas 

yang terluka. Terdengar suara berkerotokan keras dari 

sekujur tulang-tulangnya seiring terdengarnya geraman itu. 

Luar biasa! Padahal kakek berpakaian compang-camping 

ini belum menggerakkan tangan atau kaki! 

Ki Julaga yang telah dilanda amarah tidak mau kalah. 

Sehabis mendengus, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot 

tubuhnya pun menegang. Seketika itu pula, tenaga dalam 

dari bawah pusarnya mengalir deras ke berbagai bagian 

tubuh. Suara berkerotokan yang tak kalah nyaring ter-

dengar ketika aliran tenaga dalam itu mulai bergerak ke 

seluruh bagian tubuhnya. 

Melihat untuk yang kesekian kali tindakan lawan selalu 

berhasil menyainginya. Ruksamurka jadi murka. Sambil 

mengeluarkan teriakan nyaring melengking, kakek ber-

tubuh tinggi besar itu memutar-mutarkan kedua tangannya 

di depan dada, dari luar ke dalam. 

Wuuutttt..! 

Menakjubkan! Dari kedua tangan yang berputaran itu 

muncul sebuah kekuatan amat kuat yang menarik tubuh Ki 

Julaga ke depan. 

Kakek bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan kepalang. 

Sama sekali tidak disangka akan muncul kekuatan 

menarik seperti itu. Akibatnya bisa diduga. Tubuh kakek 

berpakaian jingga ini tertarik keras ke depan. 

Ki Julaga tahu kalau dirinya tengah berada dalam 

bahaya besar. Dalam keadaan yang sangat tidak mengun-

tungkan ini, lawan dengan mudah pasti akan menjatuhkan


serangan maut padanya. 

Maka begitu tubuhnya tertarik ke depan, Ki Julaga 

segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. 

Maksudnya adalah agar kedua kakinya seperti berakar di 

tanah. 

Tak pelak lagi, adegan yang menarik pun tergelar. 

Ruksamurka yang terus saja memutar-mutarkan kedua 

tangannya dalam usaha menarik tubuh Ki Julaga. 

Sementara, kakek berpakaian jingga jtu berusaha keras 

bertahan. Kedua tokoh yang sama-sama sakti ini bertarung 

jarak jauh, terpisah sekitar tiga tombak. 

Tapi adu tarik-menarik itu berlangsung tidak lama. 

Secara mendadak, Ruksamurka menghentikan putaran 

tangannya. Dan secepat kedua gerakan tangannya ber-

henti, secepat itu pula tubuhnya meluncur ke arah Ki 

Julaga. Kakek bertubuh tinggi besar ini melompat ke atas. 

Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya 

menyampok deras ke arah pelipis Ki Julaga. 

***


Ki Julaga tidak merasa terkejut atau gugup. Hal ini 

memang sudah diduga. Maka kakek bertubuh kecil kurus 

ini buru-buru menjulurkan kaki kanannya ke depan, 

sementara lutut kirinya ditekuk seraya merendahkan 

tubuh. 

Wusss...! 

Seluruh rambut dan pakaian Ki Julaga berkibar keras 

ketika sampokan lawan menyambar lewat sekitar se-

jengkal di atas kepalanya. Padahal, kekuatan sambaran itu 

mampu menghancurkan batu paling keras sekalipun. Dari 

hal ini saja sudah bisa diperkirakan, betapa tinggi tenaga 

dalam yang terkandung dalam serangan itu. 

Ki Julaga sudah bisa memperkirakan kalau lawan di 

hadapannya ini adalah seorang tokoh yang amat tangguh. 

Bila bertindak setengah-setengah, hanya akan men-

celakakan diri sendiri. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia balas 

menyerang. 

Sekali menyerang. Ki Julaga langsung mengeluarkan 

ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya 

langsung mengembang membentuk cakar. Berbeda 

dengan Melati yang bila menggunakan ilmu ini hanya 

sebatas pergelangan yang berwarna merah darah, maka 

pada Ki Julaga warna merah itu sampai pangkal lengan. 

Hanya saja, warna merah itu tidak terlihat karena tertutup 

lengan bajunya. 

Wuuut…! 

Angin menderu keras begitu Ki Julaga melancarkan 

serangan. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah leher 

dan dada. Cakar kanan mengancam leher, sedangkan yang 

kiri mengancam dada. Posisi buku-buku jari tangan kanan 

menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku 

jari tangan kiri yang menghadap ke bumi


"Groooah...!" 

Ruksamurka menggeram keras begitu melihat lawannya 

mampu mengelakkan serangan yang begitu tiba-tiba. 

Apalagi ketika melihat Ki Julaga tidak hanya mampu 

mengelakkan serangan, tapi juga mengirimkan serangan 

yang tak kalah berbahayanya. 

Keadaan kakek berpakaian compang-camping ini 

memang sulit sekali. Serangan Ki Julaga memang datang 

begitu mendadak. Apalagi, tubuhnya tengah berada di 

udara, karena baru saja melancarkan serangan. 

Tapi meskipun begitu, Ruksamurka mampu membukti-

kan kalau dirinya adalah seorang tokoh sesat yang belasan 

tahun lalu ditakuti oleh tokoh persilatan mana pun. Maka 

buru-buru tangan kanannya ditarik pulang, seraya cepat 

ditetakkan ke bawah. Berbareng dengan itu, tangan kirinya 

menangkis ke atas. 

Plakkk...! 

Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan 

yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat tinggi 

berbenturan. 

"Hih...!" 

Ruksamurka menggertakkan gigi seraya melempar 

tubuh ke belakang. Indah dan manis sekali gerakannya. 

"Hup...!" 

Ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 

kakek berpakaian compang-camping ini mendaratkan 

kedua kakinya di tanah. Ruksamurka langsung bersikap 

waspada. Matanya memperhatikan kalau Ki Julaga telah 

selesai memperbaiki sikapnya. 

Namun, kedua belah pihak tidak langsung saling 

melancarkan serangan. Baik Ki Julaga maupun Ruksa-

murka saling pandang, seperti mengukur kekuatan satu 

sama lain. Sementara, Ruksamurka diam-diam harus 

mengakui kalau dalam hal tenaga dalam, dirinya masih di 

bawah Ki Julaga. Terbukti, dalam adu benturan tadi, kedua 

tangannya terasa sakit-sakit. 

"Ilmu 'Cakar Naga Merah'. Apa hubunganmu dengan Ki


Gering Langit?!" tanya Ruksamurka dengan suara meng-

gelegar. Ada ancaman maut yang tersembunyi, baik dalam 

suara maupun sikapnya. 

"Beliau adalah majikanku," jawab Ki Julaga jujur. 

Dia tidak merasa heran kalau lawan mengenal ilmu yang 

digunakannya, dan siapa pemiliknya. Justru merupakan 

suatu hal yang mengherankan bila seorang tokoh meng-

giriskan seperti Ruksamurka tidak mengenal ilmu yang 

digunakannya. 

"Ha ha ha...!" 

Suara tawa keras menggelegar laksana guntur 

menyambuti jawaban Ki Julaga. Mendadak sekali suara 

tawa itu keluar, dan mendadak pula berhenti. Namun 

seketika wajah Ruksamurka berubah beringas. Bahkan 

sinar matanya mengandung ancaman maut! 

"Pucuk dicinta ulam tiba!" ucap kakek berpakaian 

compang-camping itu dengan suara mengguntur. "Gering 

Langit..! Sebelum kau mendapat giliran balas dendamku, 

pelayanmulah yang mendapat kehormatan menjadi korban 

awalku...!" 

Setelah puas berteriak seraya memandang ke langit, 

Ruksamurka kembali mengalihkan perhatian pada Ki 

Julaga. 

"Semula kupikir perjalananku kemari akan sia-sia. Tapi, 

ternyata tidak! Sakit hatiku akan sedikit terobati meskipun 

hanya kau yang kutemui, dan bukan si Gering Langit 

keparat itu...!" 

Ki Julaga mengeryitkan dahi. Dari ucapan dan sikap 

Ruksamurka yang jelas begitu mendendam Ki Gering 

Langit, sudah bisa diduga ada suatu masalah besar di 

antara mereka berdua. Dan begitu ingatannya melayang 

pada menghilangnya tokoh sesat yang menggiriskan ini 

secara mendadak, Ki Julaga sudah bisa menarik 

kesimpulan. Hilangnya Ruksamurka ada hubungannya 

dengan Ki Gering Langit! 

Tapi Ki Julaga tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena 

Ruksamurka sudah kembali melompat menerjang. Segera


kakek bertubuh kecil kurus ini membuang pikiran macam-

macam yang menggayuti benaknya. Kini semua harus 

dikuras untuk menghadapi lawan tangguh di hadapannya. 

Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama sakti ini 

sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru dan 

menarik. 

*** 

Melati memperhatikan jalannya pertarungan dengan 

sinar mata cemas. Gadis itu tahu kalau lawan yang 

dihadapi gurunya adalah tokoh sesat yang amat sakti. Dan 

ini membuat hatinya khawatir. 

Melati memang tahu kalau kepandaian Ki Julaga sudah 

amat tinggi dan sukar diukur. Bahkan dia tahu kalau 

kekasihnya sendiri, Arya Buana alias Dewa Arak, memiliki 

tingkat kepandaian yang tidak berada di atas gurunya. 

Meskipun begitu, putri angkat Raja Bojong Gading ini 

tetap merasa cemas. Satu hal yang membuatnya khawatir 

adalah, kakek bertubuh kecil kurus itu sudah lama tidak 

melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Waktunya selalu 

dihabiskan untuk termenung menyesali kesalahannya. 

Bersemadi pun hanya sekadarnya saja. Tapi apa daya? 

Jelas-jelas tingkat kepandaiannya masih di bawah 

Ruksamurka. Dan yang dapat dilakukannya kini hanya 

berharap, mudah-mudahan gurunya sanggup menghadapi 

lawannya. 

Pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh yang sama-

sama sakti itu berlangsung menggiriskan. Arena per-

tarungan pun kini sudah berpindah. Keduanya tahu kalau 

tetap bertarung di teras, bukan tidak mungkin akan ter-

timpa reruntuhan bangunan yang hancur terlanda pukulan 

nyasar. Mereka kini bertarung di bawah siraman hujan 

yang masih turun dengan lebatnya, ditingkahi deru angin 

dingin dan gelegar halilintar menyambar bumi. 

Hebat bukan main memang pertarungan yang terjadi 

antara Ki Julaga dan Ruksamurka. Kedua tokoh ini sama


sama memiliki ilmu meringankan tubuh, dan kekuatan 

tenaga dalam yang sukar diukur. Maka, pertarungan yang 

terjadi terlihat begitu mengerikan. 

Suara angin menderu, mencicit, dan mengaung 

menyemaraki suasana yang riuh oleh curah hujan, deru 

angin, dan gelegar halilintar. Percikan air kotor dan curah 

hujan berpentalan tak tentu arah. Memang, suasana di 

sekitar arena pertarungan kedua tokoh ini terlihat semakin 

semrawut, bagai kapal pecah. 

Pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung cepat, 

karena ilmu meringankan tubuh masing-masing telah 

mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu sebentar 

saja lima puluh jurus telah cepat berlalu. Dan selama itu, 

belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. 

Kedua tokoh itu terus bertarung seru dengan kecepatan 

menakjubkan. Yang terlihat kini hanyalah bayangan ber-

warna abu-abu dan jingga yang saling belit dan saling 

pisah! 

Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka merasa penasaran 

bukan kepalang, menyadari setelah sekian lama bertarung, 

satu sama lain belum mampu juga mendesak. Padahal 

masing-masing telah mengeluarkan Ilmu andalannya. Ki 

Julaga dengan Ilmu 'Cakar Naga Merah', dan Ruksamurka 

dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Ilmu yang 

diciptakan tokoh sesat itu didapat setelah memperhatikan 

gerakan pusaran air laut. Tidak aneh kalau Ilmu 'Tarikan 

Pusaran Air Laut' itu memiliki daya sedot yang amat kuat. 

Dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’, Ruksamurka 

berusaha sekuat tenaga merobohkan Ki Julaga. Ilmu itu 

memang aneh dan berbahaya bukan main. Untung yang 

menghadapinya Ki Julaga yang memiliki kekuatan tenaga 

dalam tak terukur. Sehingga, kekuatan daya sedot Ilmu 

'Tarikan Pusaran Air Laut’ itu tidak terlalu berbahaya 

baginya. 

Meskipun begitu, bukan berarti Ki Julaga sama sekali 

tidak kewalahan menghadapi ilmu itu. Seluruh kemampu-

annya telah terkuras untuk menanggulangi ilmu aneh milik


lawannya ini. Bahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' telah di-

kerahkan sampai puncaknya. 

Kembali seratus jurus telah terlewat. Berarti telah 

seratus lima puluh jurus lamanya kedua tokoh ini 

bertarung. Dan sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda 

berakhir. 

Ruksamurka menggertakkan gigi melihat keuletan 

lawannya. Sungguh tidak diduga kalau Ki Julaga begini 

tangguh. Kalau pelayannya saja sudah memiliki ke-

pandaian seperti ini, bagaimana dengan tingkat ke-

pandaian Ki Gering Langit sekarang? Dan sebenarnya 

Ruksamurka sedikit putus asa menghadapi kenyataan ini. 

Walaupun ada perasaan putus asa, namun Ruksamurka 

sama sekali tidak mengendorkan serangan. Bahkan se-

baliknya, serangannya malah makin diperhebat. Dan pada 

kenyataannya kekuatan tubuhnya memang luar biasa. Tak 

tampak adanya tanda-tanda kelelahan pada dirinya. 

Tanpa sepengetahuan Ruksamurka, Ki Julaga sebenar-

nya sudah mulai dilanda rasa lelah. Dan itu wajar sekali. 

Karena sudah lama sekali ilmu-ilmunya tidak dilatih. 

Sehingga, otot-ototnya banyak yang mulai tidak lentur lagi. 

Apalagi otot-ototnya memang telah tua. 

Tapi sedapat mungkin, kakek ini berusaha menyem-

bunyikan keadaannya, dan tidak ingin hal itu diketahui 

lawan. Bila hal itu sampai diketahui, semangat Ruksa-

murka akan semakin berkobar, sehingga akan semakin 

menyulitkan dirinya. 

Namun Ki Julaga sama sekali tidak takut mati. Hanya 

saja, dia tidak ingin Melati harus ikut celaka. Putri angkat 

Raja Bojong Gading itu harus diselamatkan sebelum ter-

lambat. Menilik dari keadaan dirinya yang sudah lelah, 

jelas daya tahannya tidak mampu lagi diajak bertarung. 

Sementara, lawan tampaknya masih segar bugar. 

"Melati...! Cepat pergi dari sini...!" seru Ki Julaga, pada 

satu kesempatan. 

Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan 

kepalang. Perintah kakek bertubuh kurus ini hanya


mengandung satu pengertian. Dia merasa tidak sanggup 

menghadapi lawannya! Tentu saja hal ini membuat Melati 

jadi kebingungan. 

Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Dan kini 

serangan-serangannya kian bertubi-tubi begitu lawan 

mengalihkan perhatian ke arah gadis berpakaian putih itu. 

Karuan saja hal ini membuat Ki Julaga menjadi mulai 

terhimpit. Memang walaupun hanya berteriak memper-

ingatkan, tapi sudah cukup mengurangi perhatian. 

Padahal, bila menghadapi lawan tangguh, yang paling 

penting adalah pencurahan seluruh perhatian. 

Ki Julaga jadi cemas begitu melihat Melati sama sekali 

tidak menuruti anjurannya. Bahkan malah terpaku tidak 

bergeming sedikit pun. Melihat dari raut wajahnya, tampak 

jelas kalau hatinya tengah dilanda kebimbangan. 

Hal itu memang benar! Melati memang tengah dilanda 

perasaan bingung. Gadis itu tahu kalau gurunya 

menyuruhnya kabur, hanyalah demi keselamatannya. Tapi, 

Melati tidak tega membiarkan gurunya menghadapi maut 

seorang diri. Kebimbangan kian melanda hatinya. Antara 

menuruti pesan itu, atau membantu gurunya. 

"Melati...! Cepat pergi...!" 

Kembali Ki Julaga berseru keras. Nada kekhawatiran 

yang amat sangat terdengar dalam teriakan mengandung 

perintah itu. 

Dan seiring perasaan cemas yang melanda, keadaan Ki 

Julaga jadi semakin terdesak dan terhimpit. Tubuhnya 

memang sudah terasa lelah bukan main. Memang, per-

tarungan sudah berlangsung dua ratus jurus. Dan selama 

itu, dia selalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya 

untuk bertahan dari serangan Ruksamurka yang 

mengandung daya sedot luar biasa. Dan pengerahan 

tenaga dalam sepenuhnya ini tentu saja membuatnya 

cepat lelah. Apalagi mengingat usianya yang sudah tua dan 

keadaan anggota tubuhnya yang sudah tidak begitu baik 

lagi keadaannya. 

Dan kini hal itu masih ditambah sikap Melati yang tidak


menuruti anjurannya. Lengkaplah sudah keadaan yang 

membuat kakek bertubuh kecil kurus ini jadi terdesak 

hebat. 

"Ah...!" 

Ki Julaga terpekik tertahan ketika tubuhnya mendadak 

tertarik ke depan, terbawa daya sedot bar biasa yang 

muncul dari pengerahan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’. 

Tapi pada saat yang gawat, Ki Julaga masih mampu 

mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat cepat dia mem-

banting tubuh ke tanah, bergulingan dan melenting ke 

atas. Lagi-lagi kakek berpakaian jingga ini berhasil 

meloloskan diri dari maut. 

"Haaat..!" 

Mendadak terdengar teriakan melengking nyaring. Jelas 

kalau suara itu keluar dari mulut seorang wanita. Seiring 

lenyapnya lengkingan itu, terdengar suara menggerung 

keras seperti ada harimau murka. 

Pada saat yang sama, sesosok bayangan putih ber-

kelebat ke arah Ruksamurka. Siapa lagi sosok bayangan 

putih ini kalau bukan Melati? 

Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini akhirnya 

memutuskan untuk membantu gurunya. Dia kini telah 

melompat menyerang Ruksamurka. Tahu akan kelihaian 

lawan, tanpa ragu-ragu lagi, pedangnya dicabut. Dan 

dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', dilancarkannya 

serangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati. 

Ruksamurka hanya mendengus melihat serangan itu. 

Kedua tangannya cepat d-putar-putar di depan dada 

dengan arah gerakan dari dalam ke luar. 

"Ih...!" 

Melati terpekik ketika dari kedua tangan yang berputar 

itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuhnya hampir ter-

jenkal ke belakang. Dadanya terasa sesak bukan main, 

seiring munculnya hembusan angin itu. Seketika itu juga, 

serangannya kandas sebelum mencapai sasaran. 

Sebelum gadis berpakaian putih ini sempat berbuat 

sesuatu. Ruksamurka kembali memutar-mutarkan kedua


tangannya. Tapi kali ini arah gerakannya terbalik, dari luar 

ke dalam. Seketika itu juga muncul sebuah kekuatan luar 

biasa yang menarik tubuh Melati ke arah kakek berpakaian 

compang-camping itu. 

Tentu saja hal ini membuat Melati kaget bukan main. 

"Ilmu macam apa ini?" tanyanya dalam hati dengan 

perasaan kaget dan gentar. 

Benak gadis itu terus berputar keras untuk menyelamat-

kan diri dari keadaan amat berbahaya ini. Tapi tetap saja 

tidak menemukan caranya. Tubuhnya yang tengah berada 

di udara tidak mempunyai landasan sama sekali untuk 

bertahan ketika daya tarik yang amat kuat membetotnya. 

Melati hampir terpekik ketika merasakan ada sebuah 

tangan yang mencekal pergelangan tangan kirinya. Belum 

sempat kepalanya menoleh, tangan itu sudah bergerak 

membetot tubuhnya, lalu melontarkannya. 

"Cepat pergi...! Atau..., aku tidak sudi mengakuimu lagi 

sebagai murid...!" 

Seruan keras itu terdengar seiring terlemparnya tubuh 

Melati. Wajah gadis itu pucat seketika. Dia tahu betul 

pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga. Jadi, 

jelas kalau orang yang telah menyelamatkannya adalah 

gurunya! 

Melati bersalto beberapa kali untuk mematahkan daya 

lontar yang membuat tubuhnya terlempar Jauh. Lemparan 

Ki Julaga ternyata kuat bukan main, sehingga tubuhnya 

terlontar deras. 

Pyarrr...! 

Air menyiprat ke sana kemari begitu kedua kaki Melati 

mendarat di tanah. Untung saja hujan telah reda, dan 

tinggal gerimis. Sehingga tubuhnya tidak begitu basah. 

Berbeda dengan Ki Julaga dan Ruksamurka. Seluruh tubuh 

kedua tokoh itu terlihat basah kuyup. Bahkan Ki Julaga 

lebih parah lagi. Seluruh tubuh dan pakaian kakek kecil 

kurus itu kotor, karena tadi bergulingan di tanah! 

Melati menatap pertempuran itu sekilas. Kini tampak 

jelas kalau Ki Julaga terdesak. Robohnya kakek itu hanya


tinggal menunggu waktu saja. 

Dada Melati terasa sesak. Ada isak tertahan yang 

merayap naik ke tenggorokan. Kalau tidak ingat seruan 

kakek berpakaian jingga itu, dia lebih suka mati bersama-

sama. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena Ki Julaga tidak 

membolehkannya. Maka sambil mengeluarkan isak ter-

tahan, Melati melesat kabur sambil membawa sekeping 

hatinya yang luka. 

*** 

Meskipun dalam keadaan terdesak dan terhimpit, Ki 

Julaga masih sempat melihat kepergian Melati. Mulut 

kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum. Lega rasa 

hatinya melihat murid yang amat disayangi itu mendengar 

perintahnya. Memang terpaksa kata-kata yang agak pedas 

dikeluarkan. Sebab kalau tidak, Melati tak akan mau pergi! 

"Selamat Jalan, Melati...!" teriak Ki Julaga keras disertai 

pengerahan tenaga dalam penuh. "Jangan lupa, sampaikan 

maafku pada Ki Gering Langit. Agar arwahku bisa 

tenteram." 

"Kakek..!" 

Melati menjerit keras. Butir-butir air bening tampak 

mengalir deras dari sepasang matanya. Melati tetap terus 

berlari sambil menangis, tanpa mengeluarkan suara. 

Sebenarnya, baginya menangis adalah suatu pantangan. 

Tapi kesedihan yang kali ini ditanggung terlalu berat untuk 

ditahan. Biar bagaimanapun juga, Melati adalah seorang 

wanita yang tidak bisa melepaskan kodratnya. Seorang 

wanita pasti memiliki perasaan halus. Sehingga mudah 

diombang-ambingkan keharuan. 

Jeritan Melati keras sekali, karena keluar dari hati yang 

terluka. Sehingga tanpa sadar, jeritan itu dikeluarkan lewat 

pengerahan tenaga dalam. Jadi bukan hal yang aneh kalau 

Ki Julaga mendengarnya. 

Seketika itu pula sepasang mata kakek bertubuh kecil 

kurus ini merembang berkaca-kaca. Kedua biji matanya


terasa panas. Telinganya, menangkap adanya nada 

kepedihan dari jeritan muridnya itu. Dia tahu Melati amat 

menyayanginya, seperti dirinya terhadap gadis itu pula. 

Tapi Ki Julaga tidak bisa berlarut-larut tenggelam dalam 

keharuan. Dia tengah menghadapi lawan yang amat 

tangguh. Apalagi keadaannya tengah terdesak dan ter-

himpit. Bahkan tak lama lagi akan roboh. Dan hal itu 

disadari betul oleh kakek bertubuh kecil kurus ini. 

Keadaan Ki Julaga memang sudah mengkhawatirkan 

sekali. Apalagi tubuhnya sudah merasa lelah bukan main. 

Dan seiring timbulnya perasaan lelah, kekuatan tenaganya 

pun merosot jauh. Napasnya mulai terengah-engah. 

Namun dia memaksakan diri untuk terus bertahan, agar 

Melati dapat pergi sejauh-Jauhnya dan lolos dari kejaran 

Ruksamurka. Sungguh besar pengorbanannya pada gadis 

itu. 

Berbeda dengan Ki Julaga, Ruksamurka sama sekali 

tidak terlihat lelah. Serangan-serangannya masih sedah-

syat semula. Tahu kalau tenaga lawan telah merosot, 

Ruksamurka bermaksud menggunakan kelebihan ini untuk 

keuntungan dirinya. 

Kini Ruksamurka memusatkan serangan pada putaran 

kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari 

luar ke dalam. 

Sementara Ki Julaga mencoba terus bertahan. Seluruh 

sisa tenaga dalam yang dimilikinya langsung dikerahkan. 

Akibatnya memang mengerikan sekali! Dari mulut hidung, 

dan telinganya mengalir darah segar. Kalau kakek ini 

meneruskan bertahan, dari matanya pun akan keluar 

darah segar! 

Tapi sebelum hal itu terjadi, kedua kaki Ki Julaga sudah 

tidak mampu bertahan. Seketika itu juga tubuhnya tertarik 

deras ke depan. 

Ruksamurka mendengus. Telunjuk tangan kanannya 

bergerak menotok. 

Tukkk...! 

Bagai sehelai karung basah, tubuh Ki Julaga merosot


dan jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan tak 

bertenaga. Ruksamurka memang telah menotoknya 

sehingga tubuhnya lemas seketika. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak, menggelegar seperti 

guntur. Sebuah tawa kemenangan yang dikeluarkan lewat 

pengerahan tenaga dalam. Sementara Ki Julaga hanya 

menatap semua kelakuan lawannya dengan sikap tenang. 

Tidak terlihat adanya perasaan apa pun di wajah Ki Julaga, 

sekalipun sebenarnya ada perasaan ngeri di hati. Dia kini 

telah tidak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya 

selain pasrah pada tindakan Ruksamurka. 

Setelah puas tertawa-tawa, Ruksamurka mengalihkan 

perhatian pada Ki Julaga. Dengan sorot mata bengis, 

ditatapnya wajah kakek berpakaian jingga itu. Kemudian, 

dia berjongkok. 

Kembali Ruksamurka tertawa bergelak. Masih dengan 

suara tawa lepas dari mulutnya, tangan kanannya terulur 

untuk menggenggam tangan kanan Ki Julaga. Sementara 

calon korbannya tetap terlihat tenang walaupun jantungnya 

berdebar keras penuh kengerian. 

Sambil masih terus tertawa-tawa, Ruksamurka bergerak 

meremas tangan Ki Julaga yang berada dalam geng-

gamannya. Seketika itu juga terdengar suara berkerotokan 

keras ketika tulang tangan Ki Julaga hancur seperti terjepit 

baja. 

Rasa sakit yang amat sangat melanda Ki Julaga. Tapi 

hebatnya, dia sama sekali tidak mengeluh. Keringat 

sebesar-besar biji jagung tampak membasahi wajah dan 

sekujur tubuhnya. Giginya bahkan sampai menggigit bibir 

kuat-kuat, sampai berdarah. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Ruksamurka kembali meledak melihat penderita-

an Ki Julaga. Senang rasa hatinya melihat penderitaan 

yang dialami calon korbannya. Kemudian masih dengan 

tawa yang tidak putus, siksaan itu dilanjutkan. Kedua 

tangannya yang kekar dan berbulu, meremas hancur


semua tulang-belulang Ki Julaga. Mulai dari tangan kanan, 

kiri, lalu dilanjutkan pada kaki. Setelah itu, dengan 

kekuatan tenaga dalamnya, semua sambungan tulang-

belulang yang telah hancur itu ditarik hingga putus. 

Darah berhamburan membasahi bumi. Bahkan Ki Julaga 

sampai pingsan akibat tak kuat menahan rasa sakit yang 

melanda. Tapi pingsan kakek itu tidak lama, karena Ruksa-

murka segera menyadarkannya. Sebagai seorang yang ber-

watak kejam, dia tidak akan menyiksa korban yang tidak 

sadarkan diri. 

Penyiksaan pun dilanjutkan lagi. Dan ketika akhirnya 

penyiksaan berakhir, Ki Julaga tewas. Kini seluruh anggota 

tubuhnya tidak ada yang berbentuk lagi. Semua tulang-

belulangnya telah hancur. Dan semua anggota tubuhnya 

telah tercerai berai tak karuan. Nasib Ki Julaga sungguh 

mengenaskan. 

Ruksamurka tertawa bergelak melihat korbannya telah 

tewas. Kedua tangan dan sekujur pakaiannya penuh 

percikan darah. Tapi, kakek ini sama sekali tidak mem-

pedulikannya. 

Masih dengan tawa bergelak yang menggelegar seperti 

guntur, Ruksamurka melesat meninggalkan tempat itu. 

Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah mulai 

mengecil di kejauhan. Dan seiring dengan semakin 

mengecilnya tubuh itu, suara tawa yang terdengar pun 

semakin pelan, hingga akhirnya lenyap sama sekali. 

Kini tidak ada lagi suara hiruk-pikuk pertarungan. Tidak 

ada lagi tawa bergelak yang menyeramkan. Keheningan 

menyelimuti tempat itu. Yang terdengar hanyalah desah 

angin pelan, seakan-akan alam bersedih dengan tewasnya 

Ki Julaga. 

***


Cuaca siang ini panas sekali. Matahari yang telah berada di 

tengah-tengah langit memancarkan sinarnya dengan 

garang ke bumi. Dan di saat itulah Ruksamurka melang-

kahkan kakinya melintasi tembok batas Desa Cendawa. 

Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata kakek 

berpakaian compang-camping ini segera beredar ber-

keliling, mengamati sekitarnya. Suasana di sekitarnya 

memang tampak sepi. Tidak nampak seorang pun yang 

ada di jalan. Memang, penduduk Desa Cendawa sebagian 

besar adalah petani. Jadi, pada saat-saat seperti ini 

mereka berada di sawah. 

Yang terlihat oleh Ruksamurka hanyalah pondok-pondok 

yang pintunya tertutup rapat Ada juga yang pintunya agak 

terbuka, tapi itu hanya beberapa pondok saja. 

Mulut Ruksamurka menyeringai. Sepasang matanya pun 

bersinar-sinar. Entah karena apa, hanya dialah yang tahu. 

Kemudian dengan langkah lebar-lebar tanpa ilmu 

meringankan tubuh, kakek berwajah penuh guratan bekas 

luka ini melangkah lebar menghampiri sebuah pondok 

yang terletak paling dekat dengan tempatnya. 

Tak sampai tiga puluh langkah, Ruksamurka sudah 

berada di depan pondok itu. Perlahan-lahan tangannya 

diulurkan untuk mengambil sebatang obor yang ter-

pancang di sudut pondok. Obor yang sama sekali tidak 

berapi karena hari masih siang. 

Krakkk...! 

Batang obor yang terbuat dari batang bambu itu patah 

dua ketika jari-jari tangan Ruksamurka bergerak. Menilik 

dari cara mematahkannya, sepertinya obor itu terbuat dari 

lidi! 

Dengan raut wajah beku dan sorot mata yang 

memancarkan kekejaman, Ruksamurka lalu menggosok-

kan kedua batang bambu itu. Luar biasa! Sekejap


kemudian, timbul api akibat gosokan dengan pengerahan 

tenaga dalam tinggi. 

Sepasang mata kakek berwajah penuh luka guratan ini 

nampak berbinar-binar, menyiratkan kegembiraan hatinya. 

Kemudian, dua batang bambu yang menyala itu dilempar-

kan ke atas pondok yang beratapkan rumbia. 

Secepat kedua batang bambu itu jatuh di atap pondok 

itu, secepat itu pula api mulai membakar! Mula-mula kecil, 

tapi semakin lama semakin besar! Api itu tidak hanya 

membakar atap, tapi juga menjalar ke arah dinding bilik 

bambu. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa terbahak-bahak begitu melihat api 

semakin membesar. Gembira hatinya melihat pertunjukan 

di hadapannya. 

Api itu memang cepat sekali membesar. Karena di 

samping pondok itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah 

terbakar, angin yang berhembus cukup kencang ikut 

mendukung cepatnya api membesar. 

"Kebakaran...!" 

Terdengar teriakan panik dari seorang penduduk yang 

kebetulan berada di dalam pondok. Menilik dari suaranya 

yang melengking, bisa diketahui kalau dia adalah seorang 

wanita. 

Seiring terdengarnya teriakan itu, daun pintu depan yang 

tadi tertutup rapat terbuka tiba-tiba. Jelas orang di 

dalamnya terburu-buru membuka pintu itu. 

Secepat daun pintu itu terbuka, secepat itu pula seorang 

wanita berlari-lari kalang-kabut keluar. Usianya sekitar tiga 

puluh tahun, dan kulitnya coklat. Dia menggendong 

seorang anak berusia sekitar dua tahun yang menangis 

menjerit-jerit. Rupanya anak itu merasa kepanasan, karena 

rumahnya terbakar. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak melihat wanita itu 

kebingungan. Hatinya geli melihat wanita itu kalang-kabut 

menyelamatkan dirinya dan anaknya.


Tindakan Ruksamurka tidak sampai di situ saja. 

Tangannya cepat bergerak, maka sesaat kemudian anak 

dalam gendongan wanita itu telah direbutnya. 

"Kembalikan anakku...!" 

Wanita itu menjerit seraya melangkah cepat meng-

hampiri Ruksamurka yang hanya tertawa-tawa. Jelas, 

wanita itu ingin merebut kembali anaknya. 

Masih dengan tawa bergelak, Ruksamurka menggerak-

kan tangan menampar tanpa pengerahan tenaga dalam. 

Kakek berwajah penuh luka itu hanya mengerahkan tenaga 

biasa. Itu pun tidak seluruhnya. 

Plakkk...! 

Telak dan keras bukan main tamparan Ruksamurka 

menghantam pipi wanita berkulit coklat itu. Seketika itu 

juga, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Mulutnya tampak 

meringis menahan sakit. Namun hal itu tidak dipeduli-

kannya. Wanita itu langsung bangkit berdiri dan kemudian 

menghambur ke arah Ruksamurka. Pada pipi wanita itu 

tampak tanda merah bergambar telapak tangan. 

"Kembalikan anakku...!" jerit wanita itu lagi. 

Tapi sebelum wanita berkulit coklat itu berhasil me-

rampas anaknya, Ruksamurka telah lebih dulu melempar-

kan anak itu ke dalam pondok yang telah menjadi kobaran 

api. 

Sambil terus menjerit-jent menyayat, anak kecil itu 

melayang deras. Sementara sang Ibu yang melihat 

anaknya, menjadi semakin hancur hatinya. Dia hanya 

mampu berteriak ngeri bercampur duka mendalam. 

"Susullah anakmu ke neraka ..!" seru Ruksamurka tiba-

tiba. 

Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di 

depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar. 

Seketika itu juga berhembus angin keras yang membuat 

tubuh wanita malang itu melayang deras ke arah rumahnya 

yang tengah dilahap api. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak. Tampak jelas kalau


hatinya merasa gembira menyaksikan perbuatannya. 

*** 

Kobaran api yang membesar itu tentu saja menimbulkan 

kepulan asap yang menjulang ke angkasa. Seketika itu 

pula seluruh penduduk Desa Cendawa menjadi geger. 

Kontan mereka yang melihat, berhamburan ke arah asal 

asap itu. Sementara penduduk yang berada agak dekat 

dengan pondok yang terbakar itu juga bergegas berlari ke 

sana. Memang, pondok yang terbakar itu letaknya agak 

jauh dari pondok-pondok. 

Tawa Ruksamurka kian keras ketika melihat penduduk 

berbondong-bondong datang menghampiri rumah yang 

terbakar. Di tangan mereka telah tergenggam alat-alat 

seadanya untuk memadamkan api. 

Dengan suara tawa yang tidak pernah lepas dari 

mulutnya, Ruksamurka segera melesat menyongsong 

kedatangan para penduduk. 

Rombongan penduduk yang tiba lebih dulu dan 

berjumlah hanya delapan orang, terperanjat begitu melihat 

sesosok tubuh tinggi besar yang bergerak dari arah yang 

berlawanan sambil tertawa-tawa. 

"Kau kenal orang itu, Wardi?" tanya penduduk yang 

berusia setengah baya pada seorang pemuda bertubuh 

pendek gemuk. 

"Tidak, Kang," sahut pemuda bertubuh pendek gemuk 

yang bernama Wardi. "Melihatnya pun baru kali ini" 

"Jangan-jangan, dia orang gila yang nyasar kemari. 

Kalau waras, rasanya tidak mungkin ada kebakaran dia 

malah tertawa-tawa gembira," tebak seorang penduduk 

lain yang mengenakan penutup kepala dari batok kelapa. 

"Lihat saja pakaian yang dikenakannya." 

Mendengar ucapan itu, serentak tujuh buah kepala 

penduduk yang lain terangguk. Rupanya mereka semua 

menerima pendapat itu. 

Yakin akan kebenaran dugaan tadi, kedelapan orang


penduduk itu tidak mau cari penyakit. Mereka cepat 

bergerak menyingkir agak ke kanan jalan agar tidak 

berpapasan dengan Ruksamurka. Untung jalan itu lebar. 

Tapi Ruksamurka yang memang sudah berniat mem-

bantai semua penduduk Desa Cendawa, tidak ingin mem-

biarkan penduduk itu lolos dari tangannya. Maka begitu 

para penduduk menyingkir ke arah kanan, dia pun ber-

gerak mengikuti. Sehingga kini tetap saja rombongan 

penduduk itu akan berpapasan jalan dengannya. 

Tentu saja hal ini membuat Wardi dan rekan-rekannya 

jadi gemas. Mereka tengah terburu-buru, dan kini malah 

ada orang gila yang mengganggu. Tentu saja mereka 

menjadi sewot. 

Karena perasaan itulah yang menyebabkan mereka 

semua tidak bergerak menyingkir lagi. Mereka sudah 

bertekad, kalau orang gila itu bersikap macam-macam, 

akan dihajar hingga babak belur. 

Semakin lama jarak mereka semakin dekat. Hingga kini, 

jarak antara kedua belah pihak tak lebih dari dua tombak. 

Wardi dan para penduduk lain menjadi gemas juga 

melihat Ruksamurka sama sekali tidak bergeming dari 

tempatnya. Maka kedelapan orang ini memutuskan untuk 

menghajarnya hingga babak belur. 

Delapan orang penduduk itu melangkah maju dengan 

sorot mata mengancam. Senjata-senjata yang berada di 

tangan, diacung-acungkan agar Ruksamurka takut. 

Begitu jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi, 

mendadak tangan Ruksamurka bergerak. Seketika para 

penduduk desa itu terkesiap. Tak ada yang mampu 

mengelak atau menangkis. Tak pelak lagi, dua orang 

kawan Wardi telah tercekal tangannya. 

Sebelum kedua orang penduduk itu menyadari apa yang 

terjadi, Ruksamurka sudah bergerak membetot keras 

anggota tubuh mereka. 

Suara bergemeletuk dari terlepasnya sambungan tulang 

pangkal lengan kedua orang penduduk itu terdengar. 

Kontan kedua orang yang malang itu menjerit keras.


Belum lagi gema jeritan itu lenyap, tubuh kedua orang 

itu telah terlempar ke atas melewati kepala Ruksamurka. 

Mereka terus melayang deras ke arah rumah yang telah 

menjadi lautan api. 

"Aaa…!" 

Jerit kematian terdengar ketika kedua orang penduduk 

yang malang itu jatuh ke dalam kobaran api. 

Wardi dan kelima orang kawannya seketika terbelalak 

kaget melihat hal ini. Kini mereka semua sadar kalau orang 

yang disangka gila itu ternyata seorang tokoh sesat yang 

memiliki kepandaian tinggi. 

Meskipun mereka semua tidak memiliki ilmu silat, tapi 

bukan berarti buta terhadap orang yang memiliki ke-

pandaian tinggi. Karena, di Desa Cendawa pun terdapat 

sebuah perguruan silat yang cukup ternama. 

Kembali tangan Ruksamurka bergerak, namun kali ini 

memutar di depan dada. Arahnya dari luar ke dalam. 

Wardi dan kelima orang kawannya terkejut bukan main 

ketika tiba-tiba saja muncul angin keras yang menarik 

mereka ke arah kakek berpakaian compang-camping itu. 

Dengan kedahsyatan ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut', 

tidak sulit bagi Ruksamurka untuk mengambil keenam 

orang penduduk itu. Dan begitu tubuh penduduk-penduduk 

itu telah tertarik ke arahnya dengan enaknya, tangannya 

langsung terulur menangkap tangan dan bagian-bagian 

tubuh lainnya. Kemudian dilemparkannya tubuh-tubuh itu 

ke dalam kobaran api. 

Jeritan kematian kembali terdengar begitu tubuh 

keenam orang itu meluruk ke arah kobaran api yang 

menyala-nyala dahsyat. 

"Ha ha ha...!" 

Kembali suara tawa Ruksamurka yang keras dan 

menggelegar terdengar. Sebuah tawa penuh bernada 

kegembiraan. 

Rupanya kakek berwajah penuh guratan luka ini belum 

puas dengan pembantaiannya. Kembali dihampirinya 

pondok-pondok lain, kemudian dibakarnya.


Kini Desa Cendawa telah menjadi lautan api. Di sana-

sini tampak pondok-pondok yang terbakar. Beberapa di 

antaranya telah padam, dan hanya tinggal puing-puing 

diselingi asap bau sangit yang membumbung ke atas. 

Kekejaman Ruksamurka memang menggiriskan. Setiap 

penduduk yang dijumpainya, entah wanita atau laki-laki, 

tua maupun muda, besar ataupun kecil, semuanya segera 

dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar! 

"Manusia terkutuk...!" 

Terdengar makian keras begitu Ruksamurka baru saja 

melemparkan orang terakhir yang ditemui ke dalam 

kobaran api. Tokoh sesat itu langsung memalingkan 

wajahnya. Sepasang matanya menatap pemilik suara 

dengan pandangan penuh selidik. 

Di hadapan kakek berpakaian compang-camping ini 

nampak berdiri belasan orang berwajah dan bersikap 

gagah. Pakaian mereka rata-rata putih. Sementara di 

bagian dada sebelah kiri terdapat gambar seekor burung 

gagak dengan benang hitam. Tampaknya mereka adalah 

murid-murid sebuah perguruan silat. 

Ruksamurka menatap sosok-sosok tubuh yang berdiri di 

hadapannya dengan senjata terhunus. Sepasang matanya 

berbinar-binar melihat calon korbannya. Memang mengeri-

kan sekali watak kakek berpakaian compang-camping ini. 

Kegemarannya memang membunuh orang! 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka kembali tertawa terbahak-bahak. Karuan 

saja hal ini membuat belasan orang itu yang ternyata murid 

Perguruan Gagak Putih menjadi marah bukan main. 

Ditertawai seorang kakek jembel yang sama sekali tidak 

dikenal, siapa yang tidak sewot? 

"Orang sepertimu memang tidak patut dibiarkan 

hidup...!" 

Seorang murid Perguruan Gagak Putih yang berkumis 

tebal rupanya tidak kuat lagi menahan amarahnya. Dia 

langsung melompat menerjang Ruksamurka dengan 

pedang menusuk cepat ke arah dada. Suara bercuitan


nyaring mengiringi serangan itu. 

Namun Ruksamurka sama sekali tidak mempedulikan-

nya. Bahkan tidak nampak adanya tanda-tanda akan 

mengelak atau menangkis. Dadanya seperti dipasang, 

memberi keleluasaan lawan untuk menyerang. 

Takkk..! 

Terdengar suara keras seperti ada dua benda keras 

yang berbenturan ketika ujung pedang itu mengenai 

sasarannya. Hebatnya, dada Ruksamurka sama sekali 

seperti tidak tersentuh apa-apa. Justru, pedang itulah yang 

patah-patah. 

Laki-laki berkumis tebal dan rekan-rekannya yang me-

lihat kejadian itu terkejut bukan kepalang. Apalagi, laki-laki 

berkumis tebal itu. Selain terkejut, dia juga merasakan 

sakit pada sekujur tangannya. 

Di saat itulah tangan kanan Ruksamurka kembali 

terulur. 

Tappp...! 

Laki-laki berkumis tebal itu tidak mampu mengelak lagi, 

sehingga tangan kanannya tercekal tangan Ruksamurka. 

Suara gemeretak keras menandakan remuknya tulang, 

terdengar ketika jemari Ruksamurka bergerak meremas. 

Laki-laki berkumis tebal melolong kesakitan. Keringat 

sebesar biji jagung bermunculan di wajahnya. Rasa sakit 

yang melandanya memang amat menyiksa. 

Baru saja lolong kesakitan itu lenyap, tubuh laki-laki 

berkumis tebal itu telah melayang ke arah kobaran api 

ketika Ruksamurka melontarkannya. 

Kembali terdengar jeritan menyayat hati dari mulut laki-

laki berkumis tebal itu. Tepat ketika jeritan itu menghilang, 

tubuhnya pun lenyap ditelan kobaran api yang mem-

bumbung tinggi menyebarkan hawa panas di sekitarnya. 

Murid-murid Perguruan Gagak Putih sama-sama mem-

belalakkan mata melihat kejadian yang menimpa seorang 

rekan mereka. Dan memang, mereka semua tak sempat 

berbuat sesuatu karena kejadian itu berlangsung begitu 

cepat. Dan tahu-tahu, laki-laki berkumis tebal itu telah



tenggelam dalam kobaran api! 

Mereka tersadar kembali begitu mendengar tawa meng-

gelagar dari Ruksamurka. Semula, tidak ada yang aneh 

pada tawa itu. Tapi sesaat kemudian, baru tampak 

keanehannya. 

Suara itu perlahan-lahan mulai membesar, sampai 

akhirnya menggelegar mirip guntur. Seiring semakin mem-

besarnya tawa itu, murid-murid Perguruan Gagak Putih 

mulai merasakan akibatnya. 

Murid-murid Perguruan Gagak Putih merasakan teliga 

mereka mendengung dan sakit bukan main. Bahkan dada 

pun terasa sesak. Tanpa dapat dicegah, lutut mereka mulai 

goyah. 

Sadar kalau Ruksamurka menyerang mereka dengan 

suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam, 

murid-murid Perguruan Gagak Putih segera mengerahkan 

tenaga dalam untuk melawan. Mereka juga menutup teliga 

untuk mencegah masuknya serangan suara itu. 

Tapi, ternyata semua yang dilakukan sama sekali tidak 

ada gunanya. Suara tawa Ruksamurka tetap menyerang, 

sehingga tubuh murid Perguruan Gagak Putih mulai roboh 

satu persatu. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka 

mengalir darah segar. 

Tak lama kemudian tak ada lagi satu pun murid 

Perguruan Gagak Putih yang tertinggal. Semuanya tewas 

dalam keadaan mengerikan. 

Ruksamurka tersenyum puas melihat mayat-mayat 

korbannya. Sepasang matanya beredar ke sekelilingnya. 

Dugaannya, barangkali saja masih ada orang yang belum 

mendapat giliran untuk pergi ke alam baka. 

Tapi begitu diyakini tidak ada lagi orang yang tertinggal, 

kakek berpakaian compang-camping ini terus melangkah 

masuk ke dalam desa. Setiap pondok utuh yang dilihatnya, 

langsung dibakar. Dan setiap penduduk yang dijumpai 

langsung dibantai! 

***


Ruksamurka menghentikan langkah kakinya begitu melihat 

sesosok tubuh berdiri tegak menghadang jalan sekitar lima 

tombak di hadapannya. Di tangannya nampak sebatang 

pedang terhunus. 

Kakek tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikan-

nya. Seperti tidak ada apa pun di hadapannya, langkahnya 

segera diteruskan. 

"Berhenti, Manusia Biadab...!" 

Penghadang itu berseru keras. Nada kemarahan yang 

amat sangat terdengar di dalamnya. Jelas, penghadang itu 

tengah dilanda amarah yang menggelegak hingga ke ubun-

ubun. 

Terdengar suara gemeretak keras dari mulut Ruksa-

murka. Kakek berpakaian compang-camping ini memang 

marah bukan main. Dan bentakan itulah yang menyebab-

kannya. Kontan tepasang matanya menatap tajam ke arah 

sekujur wajah dan tubuh penghadangnya. 

Penghadang itu ternyata seorang laki-laki berusia empat 

puluh lima tahun dan berpakaian putih. Ada gambar seekor 

burung gagak yang disulam dari benang hitam pada bagian 

dada kiri pakaiannya. Sikapnya yang gagah semakin 

terlihat gagah dengan adanya kumis dan cambang bauk 

lebat yang menghias wajahnya. 

Setelah merasa cukup memperhatikan penghadangnya, 

Ruksamurka terus saja melangkah maju. Tidak dipeduli-

kannya seruan laki-laki bercambang bauk lebat itu. 

"Manusia biadab...! Kau harus bayar nyawa murid-

muridku yang tewas di tanganmu!" teriak laki-laki ber-

cambang bauk lebat yang ternyata Ketua Perguruan Gagak 

Putih. Nada suaranya keras, penuh hawa kemarahan. 

"Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, lebih baik nama 

Laksana kubuang!" 

Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Gagak Putih


yang ternyata bernama Ki Laksana ini melompat 

menerjang. Pedang di tangan kanannya meluncur deras ke 

arah dada Ruksamurka. 

Singgg...! 

Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi serangan 

itu. Menilik dari desingannya, bisa diperkirakan kekuatan 

tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu. 

Ruksamurka hanya mendengus. Tidak tampak sama 

sekali kalau kakek berpakaian compang-camping ini akan 

mengelak. Baru setelah tusukan pedang itu menyambar 

dekat, tangan kanannya terulur. Pelan saja, seperti tanpa 

pengerahan tenaga. 

Tappp...! 

Bagaikan menangkap sebatang singkong, Ruksamurka 

menangkap bilah pedang lawan yang tajam. Bahkan 

sebenarnya bukan hanya menangkap, tapi juga men-

cengkeramnya. 

Sepasang mata Ki Laksana terbelalak begitu melihat 

bilah pedangnya hancur jadi serbuk begitu kakek ber-

pakaian compang-camping itu meremas pedangnya. 

Padahal, pedang itu tidak bisa dianggap sembarangan, 

karena memang sebatang pedang pusaka. Bisa dibayang-

kan, betapa hebatnya tenaga dalam lawan yang mampu 

meremas pedang tanpa terluka sama sekali. Dan hal ini 

tentu saja membuat Ketua Perguruan Gagak Putih itu ter-

peranjat. 

Ki Laksana tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam 

perasaan terkejut. Kini dia tahu, kakek berwatak telengas 

itu adalah seorang lawan yang amat tangguh. Bukti nyata 

di hadapannya telah menjadi saksi kelihaiannya. 

Maka buru-buru laki-laki bercambang bauk lebat ini 

melompat ke belakang. Namun Ruksamurka sama sekali 

tidak mengejarnya, dan hanya memutar-mutarkan kedua 

tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke 

dalam. 

Ketua Perguruan Gagak Putih ini kaget bukan main 

begitu merasakan adanya tenaga amat kuat yang


menariknya ke depan. Ki Laksana tahu jika bertahan tidak 

akan ada gunanya. Jelas, tenaga lawan jauh di atasnya. 

Bahkan bila mencoba terus bertahan hanya akan men-

celakakan diri sendiri. 

Itulah sebabnya Ki Laksana segera membanting tubuh 

ke tanah. Dan memang, setelah berada di tanah, tidak ada 

kekuatan aneh yang menyedotnya ke depan. Jelas, ke-

kuatan yang menarik itu ternyata mendatar. Dan hanya 

menunjukkan pengaruhnya, bila lawan berada dalam 

keadaan tidak terlalu rendah. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Laksana untuk 

menyelamatkan nyawanya. Begitu tubuhnya telah berada 

di tanah, laki-laki bercambang bauk lebat ini langsung 

menggulingkan tubuhnya. 

Dan begitu merasa telah berada di tempat aman. Ki 

Laksana baru menghentikan gulingannya. Tubuhnya 

kemudian melenting ke atas. Dengan wajah pucat, Ketua 

Perguruan Gagak Putih ini menatap sekujur tubuh Ruksa-

murka penuh selidik. 

Ki Laksana dulu adalah seorang tokoh hitam yang cukup 

terkenal. Tapi akhirnya dia sadar, lalu mendirikan sebuah 

perguruan yang diberi nama Perguruan Gagak Putih. 

Sebuah nama yang aneh, karena burung gagak umumnya 

berwarna hitam. Tapi, Ki Laksana sengaja memberinya 

nama demikian. Dia memang mempunyai maksud dengan 

nama itu. Burung gagak melambangkan dirinya yang dulu. 

Dan tambahan putih di belakang kata gagak, menunjukkan 

kalau dirinya telah tobat. 

Sebagai seorang tokoh terkenal, Ki Laksana tentu saja 

cukup mengenal ilmu-ilmu dahsyat tempo dulu berikut 

pemiliknya. Dan salah satu ilmu yang dikenalnya adalah 

yang mempunyal akibat seperti dirasakan kali ini. Ilmu itu 

bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut’. 

Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' memang merupakan 

sebuah ilmu dahsyat dan menggiriskan. Tapi ilmu itu tidak 

membuat dunia persilatan gempar. Si pemilik ilmu itulah 

yang membuat tokoh-tokoh persilatan ngeri. Dialah Ruksa


murka, seorang manusia yang lebih tepat disebut iblis. 

Kini Ki Laksana merasakan tanda-tanda kalau lawan 

menggunakan ilmu itu. Tentu saja hal itu membuatnya ter-

kejut bukan kepalang, Ruksamurka-kah orang yang 

dihadapinya? Bukankah kakek yang mengerikan itu telah 

lama lenyap? 

Perasaan ngeri yang hebat mulai menjalari hati Ki 

Laksana begitu melihat tanda-tanda adanya kebenaran 

kalau tokoh yang berdiri di hadapannya adalah Ruksa-

murka. Siapa lagi tokoh yang begitu kejam membantai seisi 

desa tanpa kenal ampun, kecuali Ruksamurka? 

Ruksamurka menggeram melihat lawan berhasil meng-

elakkan diri dari daya sedot ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. 

Hal ini benar-benar membuat penasaran hatinya. Ki 

Laksana telah berhasil menemukan kelemahan ilmunya, 

maka orang ini harus cepat-cepat dimusnahkan. 

Setelah mengambil keputusan demikian, Ruksamurka 

tidak menunggu datangnya serangan lagi. Kakek ber-

pakaian compang-camping ini malah melompat menye-

rang. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari tangan 

mengepal, meluncur deras ke arah dada Ketua Perguruan 

Gagak Putih. 

Wusss...! 

Deru angin keras terdengar mengiringi tibanya serangan, 

sehingga membuat Ki Laksana terperanjat. Apalagi tatkala 

merasakan kecepatan serangan itu. Hembusan anginnya 

saja sudah membuat tubuhnya hampir terjengkang. Untung 

dia buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk mem-

beratkan tubuhnya. 

Pada saat yang sama, Ki Laksana lalu menusukkan 

pedangnya yang tinggal separuh ke arah dada kiri 

Ruksamurka. Luar biasa! Ketua Perguruan Gagak Putih ini 

rupanya berniat mengadu nyawa. 

Memang setelah mempunyai dugaan kuat kalau lawan-

nya adalah Ruksamurka, Ki Laksana tidak bisa berharap 

terlalu banyak. Dia tahu dirinya bukan tandingan tokoh 

sesat yang menggiriskan itu. Maka, laki-laki bercambang


bauk lebat ini memutuskan untuk mengadu nyawa. 

Itulah sebabnya Ki Laksana sama sekali tidak meng-

elakkan serangan pukulan Ruksamurka, tapi sebaliknya 

malah melancarkan serangan pula. Dan karena laki-laki 

bercambang bauk lebat ini menggunakan senjata, dengan 

sendirinya jangkauan serangannya jadi lebih jauh. Dan 

sebelum serangan kakek berpakaian compang-camping itu 

tiba, tusukan pedangnya akan lebih dulu menghunjam 

lawan. 

Memang apa yang diperhitungkan Ki Laksana tidak 

meleset. Tusukan pedangnya lebih dulu tiba sebelum 

serangan pukulan Ruksamurka. Tapi, ternyata pedangnya 

membalik begitu mengenai tubuh Ruksamurka. Seakan-

akan bukan kulit manusia yang tertusuk, tapi lempengan 

baja yang amat kuat. Dan saat itulah pukulan Ruksamurka 

menghantam dadanya. 

Takkk...! Bukkk...! 

Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-

tahu, tubuh Ki Laksana telah tertempar jauh ke belakang 

diiringi jeritan menyayat hati. Dari mulut, hidung, dan 

telinganya mengalir darah segar. Ketua Perguruan Gagak 

Putih ini tewas seketika dengan seluruh isi dada remuk. 

Pukulan Ruksamurka memang keras bukan main, karena 

telak mengenai sasarannya. 

Brukkk...! 

Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh Ki 

Laksana yang telah menjadi mayat jatuh ke tanah. Tak 

kurang dari tujuh tombak tubuh Ketua Perguruan Gagak 

Putih itu terlempar jatuh. Dan mulai dari tempat terkena 

pukulan sampal tempat jatuhnya, darah berceceran. 

Tanpa mempedulikan mayat Ki Laksana lagi, Ruksa-

murka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Kakek 

berpakaian compang-camping ini melangkah masuk jauh 

ke dalam desa. 

***


"Tidak salahkah penglihatanku...?" gumam seorang 

pemuda berambut putih keperakan. Pakaiannya ungu, 

dengan guci arak tersampir di punggung. Sepasang mata-

nya menatap jauh ke depan. 

Nun jauh di hadapan pemuda berpakaian ungu itu, 

nampak asap tebal dan hitam membumbung tinggi. Begitu 

banyak dan bergumpal-gumpal. 

Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya 

Buana alias Dewa Arak itu menyipitkan sepasang mata 

untuk lebih memperjelas penglihatannya. 

"Tidak salah lagi. Pasti ada kebakaran hebat di sana...." 

gumam Arya lagi. 

Setelah menduga demikian, Dewa Arak langsung 

melesat ke arah asal asap bergulung-gulung itu. Cepat 

bukan main gerakannya. Hal ini tidak aneh, karena ilmu 

meringankan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu 

telah tinggi. Dan saat itu karena ingin buru-buru 

mengetahui kejadian di depan, dia telah mengerahkan 

seluruh kemampuannya. 

Semakin lama, jarak antara Dewa Arak dengan asal 

asap yang membumbung tinggi itu semakin dekat. Dan 

dengan sendirinya, semakin jelas terlihat penyebab 

munculnya asap hitam yang begitu menggumpal bergulung-

gulung. 

Sepasang mata Dewa Arak terbelalak begitu melihat 

penyebab munculnya asap. Hampir dia tidak mempercayai 

pandangan matanya. Tampak pondok-pondok di Desa 

Cendawa terbakar hebat. 

Melihat hal ini, Arya semakin mempercepat larinya. Tak 

lama kemudian, batas tembok Desa Cendawa telah 

terlihat. Dan Dewa Arak terus berlari memasuki desa. 

Terdengar suara gemeretak dari mulut Arya begitu 

melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya. 

Pondok-pondok terbakar hebat di sana-sini. Beberapa di 

antaranya telah menjadi puing-puing yang masih menge-

luarkan asap. Berkernyit dahi Arya begitu mencium bau 

sangit daging terbakar.


Rasa penasaran mendorong Arya untuk menghampiri 

satu pondok yang sudah menjadi puing-puing. Sesaat 

lamanya sepasang mata pemuda berambut putih 

keperakan ini menatap ke arah puing-puing itu, kemudian 

kedua tangannya diputar-putarkan di depan dada. 

Wusss...! 

Dari kedua tangan yang berputaran itu berhembus angin 

keras yang membuat tumpukan puing-puing berpentalan 

tak tentu arah. Seketika, sekitar tempat itu terselimut 

arang debu. 

Arya menggerakkan tangannya sekali lagi. Kali ini tidak 

berputar di depan dada, tapi hanya mendorong. Pelan saja 

kelihatannya, tapi akibatnya debu yang menutupi 

pandangan itu terusir pergi. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat begitu melihat 

pemandangan yang di balik tumpukan puing tadi. Tampak 

beberapa bagian tulang-belulang manusia yang rupanya 

tidak ikut habis terbakar. 

Sekali lihat saja, Arya tahu kalau mayat manusia yang 

ikut terbakar bersama pondok itu tidak hanya satu saja. 

Dewa Arak menemukan beberapa tengkorak kepala 

manusia. Di antaranya malah ada yang merupakan 

tengkorak bayi. 

"Biadab...!" 

Geraman bernada kemarahan terdengar dari mulut 

Dewa Arak melihat pemandangan mengenaskan di 

hadapannya. Untuk beberapa saat lamanya Arya tercenung 

diam. Raut wajahnya tampak kaku karena kemarahan yang 

membakar hatinya. 

Dengan langkah lesu dan dada sesak terbakar amarah, 

Dewa Arak melangkah meninggalkan pondok itu. Benaknya 

sibuk menduga-duga, siapa pelaku perbuatan keji ini. 

Benarkah semua ini perbuatan Ruksamurka, tokoh sesat 

yang berhasil bebas dari kurungan? 

Belum berapa jauh melangkah, pandangan Arya ter-

tumbuk pada beberapa sosok tubuh yang tergeletak


menghadang jalan. Menilik dari keadaan tubuh yang sama 

sekali tidak bergerak-gerak, Arya bisa memastikan kalau 

semua sosok tubuh itu telah tidak bernyawa lagi. 

Meskipun begitu, Dewa Arak segera menghampiri. 

Hanya dalam sekejapan saja, dia sudah berada di hadapan 

sosok-sosok tubuh yang tergolek. 

Arya menghitung jumlah mayat itu dengan matanya. 

Sebelas orang. Menilik dari pakaian dan lambang yang 

tertera pada dada sebelah kiri, bisa diperkirakan kalau 

mayat-mayat itu berasal dari satu perguruan. Pakaian 

mereka berwarna putih, dan ada sulaman bergambar 

burung gagak pada bagian dada sebelah kiri. Memang, 

mereka adalah murid-murid Perguruan Gagak Putih yang 

tewas oleh Ruksamurka. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas berat melihat mayat-mayat 

itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sebelas sosok itu tewas 

karena serangan tenaga dalam yang dipancarkan dari 

suara tawa. 

Dengan raut wajah yang semakin lesu, dan kemarahan 

yang semakin bergolak, Dewa Arak melangkah meninggal-

kan mayat-mayat itu. Tidak seperti biasanya, pemuda 

berambut putih keperakan ini tidak menguburnya. 

Masalahnya, ia tahu kalau korban pembantaian masih 

akan ditemukan lagi. 

Dugaan Arya memang benar. Masih banyak mayat yang 

ditemukannya di sepanjang perjalanan. Sebagian besar 

tidak bisa dikenali lagi, karena telah hancur terbakar. 

Hanya beberapa gelintir saja yang ditemukan mayatnya. 

Yang jelas, seluruh isi desa itu telah habis. Tak ada seorang 

pun yang tersisa. Di sana-sini masih tampak terlihat 

kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa. 

"Keji...!" 

Kembali sebuah umpatan keluar dari mulut Dewa Arak 

melihat tidak ada satu makhluk pun yang masih hidup. 

Jangankan manusia, atau binatang. Persawahan pun 

sudah tidak tampak lagi. Semua telah musnah terbakar


jadi abu. Desa Cendawa benar-benar telah menjadi desa 

neraka. 

"Siapa pun pelaku semua ini..., aku tidak akan bisa 

mengampuninya lagi," desis Dewa Arak. Ada nada 

ancaman yang hebat dalam suara itu. 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak bergegas me-

ninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas mencari jejak 

pembunuh biadab itu. 

Kemarahan Arya semakin bergolak. Dan tekadnya untuk 

membasmi pembunuh biadab itu semakin besar ketika di 

sepanjang perjalanan selalu dijumpai mayat korban pem-

bunuhan. Setiap desa yang dilalui pemuda berambut putih 

keperakan tidak pernah utuh. Rupanya Ruksamurka benar-

benar hendak membinasakan seluruh penghuni bumi ini. 

***


"Hhh...!" 

Arya menghela napas berat. Sudah berhari-hari lamanya 

mengikuti jejak Ruksamurka, tapi tetap belum menemukan 

pembunuh keji itu. Yang selalu dijumpainya hanya bekas-

bekas yang ditimbulkan oleh kebiadaban kakek berwajah 

penuh guratan itu. 

Bahkan setelah melewati sebuah desa yang telah habis 

porak-poranda, Dewa Arak kehilangan jejak Ruksamurka. 

Rupanya dia telah salah memilih jalan. Dan kini Arya telah 

tiba di tembok batas Desa Berung. 

"Rupanya aku keliru memilih jalan," gumam Arya ketika 

telah melangkahkan kaki memasuki mulut desa. 

Desa Berung ternyata berbeda dengan desa-desa yang 

dijumpai sebelumnya. Di sini tidak ditemui mayat ber-

serakan, dan juga tidak terlihat pondok-pondok yang ter-

bakar. Jelas, Ruksamurka belum tiba kemari. 

Arya mengedarkan pandangan berkeliling 

"Ataukah pembunuh keji itu belum tiba di sini?" gumam 

pemuda berambut putih keperakan itu kembali. "Tapi, 

rasanya mustahil. Aku saja yang berada di belakangnya 

telah tiba di sini. Ya! Past aku telah keliru memilih jalan." 

Dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan 

itu, Arya kembali melanjutkan perjalanan. Sepasang mata 

pemuda berambut putih keperakan itu seperti menatap 

sekelilingnya, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. 

Meskipun demikian, dahi Arya tetap berkernyit. Dirasa-

kannya ada kelainan di Desa Berung. Desa ini terlihat sepi, 

tidak nampak seorang pun penduduk yang nampak 

"Aneh...!" desis Dewa Arak pelan. "Ke mana perginya 

penduduk desa ini?" 

Mendadak Arya tersentak. Pendengarannya yang tajam 

menangkap adanya denting senjata beradu. Menilik dari 

suara nya yang terdengar sayup-sayup, bisa diperkirakan


kalau asal suara itu cukup jauh dari tempatnya. 

Arya lebih mempertajam lagi pendengarannya untuk 

menangkap denting suara itu agar dapat mengetahui 

sumbernya. Sesaat kemudian Arya telah berhasil mem-

perkirakannya. 

Dewa Arak tak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat 

tubuhnya berkelebat menuju asal suara itu. Hebat bukan 

main gerakannya. Hanya sekali langkah saja, pemuda be-

rambut putih keperakan itu telah berada dalam jarak 

sekitar dua belas tombak dari tempat semula. 

Arya mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringan-

kan tubuh yang dimiliki. Sebuah dugaan yang kuat, telah 

membuatnya bertindak seperti itu. Denting senjata beradu 

itu kemungkinan besar adalah sebuah pertarungan. 

Bahkan bukan mustahil kalau orang yang tengah bertarung 

adalah pembunuh biadab itu. Apalagi, Arya yang memang 

sudah bertekad bulat untuk segera mengenyahkan 

Ruksamurka. Maka dia berusaha secepatnya tiba di 

tempat pertarungan, dan tidak ingin kehilangan jejak lagi. 

Semakin lama dentang senjata beradu itu terdengar 

semakin keras. Hal ini semakin menggembirakan hati 

Dewa Arak. Ini membuktikan kalau dia tidak salah arah. 

Kini bukan hanya dentang senjata beradu saja yang 

terdengar, tapi juga teriakan-teriakan penuh kemarahan, 

bercampur kesakitan, dan diselingi lolong kematian. 

Tak lama kemudian, pandang mata Dewa Arak ter-

tumbuk pada sebuah bangunan besar, tapi sederhana. 

Bangunan itu terkurung pagar kayu bulat yang tinggi. 

Sekali lihat saja, Arya tahu kalau bangunan itu adalah 

sebuah perguruan sllat. Dan memang, dugaannya tidak 

salah, karena di bagian atas pintu gerbang yang daun 

pintunya telah roboh itu terpampang sebuah papan tebal 

dan berukir yang bertuliskan huruf-huruf indah. Bunyinya, 

"Perguruan Tangan Besi". 

Karena gerbang sudah tidak mempunyai pintu lagi, 

meskipun Dewa Arak masih berada dalam jarak belasan 

tombak, tapi bisa melihat apa yang terjadi di halaman


depan yang luas itu. Tampak di sana terjadi sebuah per-

tarungan mati-matian, antara orang-orang berseragam 

kuning muda melawan orang-orang berwajah dan bersikap 

kasar. 

Sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di halaman 

perguruan itu. Dia tidak langsung mencampuri per-

tarungan, melainkan memperhatikan sekelilingnya sesaat. 

Arya mengernyitkan alisnya melihat banyaknya orang 

berseragam kuning yang tewas. Di bagian dada kiri mereka 

terdapat gambar telapak tangan terbuka. Tak kurang dari 

delapan orang yang tergolek di tanah. 

Kini Dewa Arak mengalihkan perhatian pada jalannya 

pertarungan. Tampak orang-orang berseragam kuning yang 

rata-rata bersikap dan berwatak gagah itu terus mengada-

kan perlawanan sengit. Tak terlihat kegentaran sedikit pun, 

sekali pun sebagian kawan-kawan mereka telah tewas. 

Arya menghitung jumlah orang berseragam kuning itu. 

Ada empat belas orang, dan rata-rata memiliki kepandaian 

cukup tinggi. Tapi meskipun begitu, terlihat jelas kalau 

mereka tetap tidak mampu menghadapi lawan. Padahal, 

lawan yang dihadapi hanya dua orang. 

Orang pertama berpakaian terbuat dari kulit binatang. 

Tubuhnya terlalu tinggi dan terlalu kurus, sehingga lebih 

mirip batang bambu. Kulit wajahnya kuning. Kumis dan 

jenggot yang kasar dan jarang-jarang tampak menghias 

wajahnya. Dengan senjata sebuah pedang yang panjang-

nya satu setengah kali pedang biasa, lawan-lawan ber-

usaha dirobohkannya. 

Sedangkan orang kedua, bertubuh begitu pendek. Di 

samping itu tubuhnya pun sangat gemuk dan gendut. 

Sehingga, lebih mirip bola daripada manusia. Pakaiannya 

berupa rompi berwarna merah. Senjatanya yang berupa 

sebuah golok besar bermata bergerigi tampak telah ber-

lepotan darah. Jelas kalau golok itu telah banyak meminta 

korban. 

Setelah memperhatikan sesaat, Arya tahu bila per-

tarungan dibiarkan terus dapat dipastikan orang-orang


berseragam kuning akan tewas semua di tangan lawannya. 

Kedua orang lawan itu amat tangguh, terutama sekali per-

mainan senjata mereka. 

Dugaan Dewa Arak memang benar. Meskipun satu 

orang berwajah dan bersikap kasar itu menghadapi tujuh 

orang berseragam kuning, namun sama sekali tidak 

tampak terdesak. Bahkan sebaliknya mampu menguasai 

keadaan. 

Sekali lihat saja, Dewa Arak telah bisa menilai pihak 

yang harus dibantunya. Menilik dari sikap dan seragam 

yang dikenakan, Arya tahu kalau orang berpakaian kuning 

itu murid-murid Perguruan Tangan Besi. Hanya yang men-

jadi tanda tanya baginya, ke manakah ketua perguruan itu? 

Mengapa tidak membantu murid-muridnya yang telah 

berada di ambang maut? 

"Akh...!" 

Salah seorang murid Perguruan Tangan Besi yang ber-

kulit hitam memekik tertahan ketika golok laki-laki ber-

tubuh pendek gemuk menyerempet bahunya. Kontan 

tubuhnya terhuyung ke belakang. 

Sambil tertawa menyeramkan, laki-laki berompi merah 

itu melesat memburu. Golok besar dan bergerigi di tangan-

nya ditusukkan cepat ke arah perut. 

Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat melihat maut 

tengah memburu ke arahnya. Tibanya serangan susulan itu 

membuatnya gugup bukan main, sehingga tidak mampu 

berbuat sesuatu untuk mengelak. 

Bukan hanya laki-laki berkulit hitam itu saja yang ter-

kejut. Rekan-rekannya pun kaget bukan main, karena 

tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. 

Serangan itu tiba begitu mendadak. 

Di saat gawat bagi keselamatan laki-laki berkulit hitam 

itu, Dewa Arak melesat cepat memapaknya. Nyawa murid 

Perguruan Tangan Besi itu memang harus diselamatkan. 

Tinggg..! 

Suara berdenting nyaring seperti beradunya dua benda 

logam terdengar ketika golok bergerigi itu disentil jari


telunjuk Arya. Walaupun hanya sentilan saja, tapi karena 

dilakukan oleh seorang tokoh tinggi seperti Dewa Arak, 

akibatnya pun hebat. 

Laki-laki bertubuh pendek gemuk terperanjat ketika 

goloknya menyeleweng ke samping. Tangan yang meng-

genggam senjata seketika bergetar hebat seiring berdirinya 

sesosok bayangan ungu di depannya. 

"Siapa kau...?!" teriak laki-laki berompi merah ini keras 

penuh kemarahan "Mengapa mencampuri urusan kami?!" 

"Aku Arya," sebut Dewa Arak pelan. 

"Arya...," laki-laki bertubuh pendek gemuk itu 

mengerutkan alisnya. Nada suara maupun sikapnya 

menunjukkan kalau tengah mengingat-ingat sesuatu. 

"Jadi... kau ini... Dewa Arak...?!" 

"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku...," sahut 

Arya kalem. Datar saja suaranya. Tidak ada nada ke-

banggaan atau kesombongan yang tersirat di dalamnya. 

"Ah...!" 

Terdengar jerit keterkejutan dari laki-laki yang bertubuh 

tinggi kurus bagai bambu. Rupanya walau dalam keadaan 

sedang bertarung, dia masih mampu memperhatikan 

sekitarnya. Dan sekali bergerak saja, tubuhnya telah ber-

hasil keluar dari kepungan tujuh orang lawan. Laki-laki 

tinggi kurus itu kemudian berdiri di sebelah rekannya. 

Tujuh orang murid Perguruan Tangan Besi sama sekali 

tidak mengejarnya. Mereka diam memperhatikan, seperti 

juga rekan mereka yang menghadapi laki-laki bertubuh 

pendek gemuk itu. Mereka ingin melihat, apa yang dilaku-

kan Dewa Arak! Memang, julukan itu telah lama terdengar. 

"Kami berdua memang telah lama mendengar nama 

besarmu, Dewa Arak. Dan sudah lama pula kami berniat 

mencoba kelihaianmu. Aku, si Katak Api. Sedangkan 

kawanku berjuluk Codot Hutan Larangan," kata laki-laki 

bertubuh pendek gemuk memperkenalkan diri, sekaligus 

menantang. 

"Bersiaplah, Dewa Arak...!" 

Kali ini laki-laki bertubuh tinggj kurus yang ternyata ber


juluk Codot Hutan Larangan itu yang ganti berbicara. 

Suaranya terdengar melengking nyaring. 

Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian dari kulit 

binatang itu langsung melompat menerjang. Pedang 

panjang di tangannya disabetkan ke arah leher Dewa Arak. 

Singgg...! 

Suara desing nyaring terdengar mengiringi tibanya 

serangan pedang itu. 

Belum juga serangan itu tiba di sasaran, si Katak Api 

juga telah melancarkan serangan. Golok laki-laki bertubuh 

pendek gemuk ini meluncur cepat ke arah perut. 

Menghadapi kedua serangan yang tiba berbarengan itu, 

Dewa Arak sama sekali tidak gugup. Sekali lihat saja sudah 

btsa diketahui kekuatan tenaga dalam lawan. Maka 

pemuda berambut putih keperakan ini bersikap tenang 

saja, tidak nampak akan mengelakkan serangan atau 

mengeluarkan senjata untuk menangkis. 

Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat, 

tangan Arya bergerak ke atas untuk menangkis serangan 

yang membabat leher. Sementara tangan yang kiri ditetak-

kan menangkis golok si Katak Api dengan arah gerakan 

dari dalam ke luar. 

Takkk, takkk...! 

Suara berderak keras seperti dua batang logam ber-

benturan, terdengar begitu sepasang tangan Dewa Arak 

menangkis kedua senjata yang mengancam keselamatan 

nyawanya. 

Akibatnya hebat sekali! Tubuh si Katak Api dan Codot 

Hutan Larangan sama-sama terhuyung ke belakang. 

Keduanya merasakan tangan yang menggenggam senjata 

seperti lumpuh seketika. 

Sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Dewa 

Arak telah meluncur ke arah mereka. Cepat bukan main 

gerakannya. Sehingga, sebelum kedua tokoh sesat itu 

sadar, senjata-senjata itu telah berpindah ke tangan Dewa 

Arak. Rupanya, Arya telah menotok lumpuh sikut kedua 

orang itu.


Kontan wajah kedua orang itu memucat. Dari tindakan 

ini saja, sudah bisa diketahui kalau tingkat kepandaian 

Dewa Arak amat jauh di atas mereka. Perasaan gentar 

yang amat sangat seketika menyelinap di hati kedua orang 

itu. 

Tindakan Arya ternyata tidak hanya berhenti sampai di 

situ. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung 

memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan 

dari kedua tangan yang berputaran, seketika berhembus 

angin keras, sehingga membuat tubuh si Katak Api dan 

Codot Hutan Larangan terhumbalang ke belakang dan 

jatuh bergulingan di tanah. 

Meskipun telah menjadi pecundang, namun si Katak Api 

dan Codot Hutan Larangan mampu membuktikan kalau 

bukanlah tokoh sembarangan. Cepat-cepat kekuatan yang 

membuat tubuh mereka terguling-guling dipatahkan, 

kemudian bergerak bangkit. Lalu, lari tunggang langgang 

meninggalkan tempat itu. 

Melihat hal ini, murid-murid Perguruan Tangan Besi 

tidak tinggal diam. Cepat mereka bergerak mengejar. 

Namun Arya tidak mau ikut campur lagi. Dibiarkan saja 

kedua belah pihak itu menyelesaikan urusannya sendiri. 

Tapi, rupanya tidak semua murid Perguruan Tangan Besi 

mengejar lawan. Ada dua orang yang masih berdiri di situ. 

Malah keduanya bergerak menghampiri Dewa Arak. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap 

salah satu dari kedua orang itu, yang berkulit hitam. 

Lukanya kini telah terbalut. 

"Ah! Bukankah sudah merupakan kewajiban kita untuk 

saling tolong-menolong?" kelit Arya buru-buru. "Lagi pula, 

tampaknya kedua orang itu bukan orang baik-baik." 

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dewa Arak," 

sambut laki-laki berkulit hitam. "Kedua orang itu adalah 

orang-orang jahat yang telah dikalahkan guru kami, tapi 

berhasil meloloskan diri. Sudah lama mereka hendak 

membalas dendam, tapi mereka gentar. Jadi, mereka 

menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan niat itu,


selagi guru kami tidak ada." 

"Kalau saja guru kami berada di tempat, kedua orang itu 

tak akan mungkin berani datang kemari," jelas orang 

satunya lagi. Laki-laki itu banyak mempunyai tahi lalat di 

pipinya. 

"Memang, sejak Ruksamurka muncul kembali, tokoh-

tokoh golongan hitam lebih berani berbuat kejahatan," 

sambung laki-laki berkulit hitam. 

"Kalau boleh kutahu, ke mana guru kalian pergi?" tanya 

Arya hati-hati. 

"Bergabung dengan tokoh-tokoh aliran putih lain 

mengejar Ruksamurka," sahut laki-laki yang wajahnya 

penuh tahi lalat. 

"Aku juga tengah mengikuti jejaknya. Tapi sayang..., 

kehilangan jejak," sambut Dewa Arak cepat. 

"Ambil jalan pintas saja, Dewa Arak," usul laki-laki 

berkulit hitam. 

"Aku belum mengerti maksudmu, Kang?" 

"Begini, Dewa Arak. Dari guru, aku tahu kalau setiap 

menjelang bulan purnama, Ruksamurka kembali ke tempat 

tinggalnya di Gunung Lenteng. Entah apa yang dilakukan di 

sana. Guruku pun tidak mengetahui. Jadi, tunggu saja di 

sana, Dewa Arak." 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, 

mengapa Ruksamurka tidak menuju Desa Berung. Bulan 

purnama tinggal dua hari lagi. Karena kakek itu hendak 

menuju Gunung Lenteng, maka sudah pasti melewati Desa 

Lenteng. Jadi, Desa Lenteng yang kali ini akan menjadi 

Desa Neraka! 

"Kalau begitu, aku harus segera menuju ke sana...!" 

ucap Arya mengambil keputusan. 

"Memang lebih baik begitu, Dewa Arak," dukung laki-laki 

berwajah penuh tahi lalat. 

"Kita pergi bersama-sama saja," usul laki-laki berkulit 

hitam. 

Arya terperanjat 

"Heh...?! Jadi... kalian pun ingin menuju ke puncak


Gunung Lenteng?" 

Laki-laki berkulit hitam menggelengkan kepala. "Kami 

ingin melihat rekan-rekan kami yang tadi mengejar si Katak 

Api dan Codot Hutan Larangan. Kebetulan arahnya sama 

dengan arah yang akan kau tempuh " 

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti, 

lalu bergerak menuju Gunung Lenteng diikuti kedua orang 

murid Perguruan Tangan Besi. 

Dengan adanya dua orang berseragam kuning ber-

samanya, terpaksa Arya tidak bisa mengerahkan seluruh 

kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. 

Pemuda berpakaian ungu itu hanya mengerahkan 

sebagian kecil dari ilmu meringankan tubuhnya, agar 

kedua orang itu tidak tertinggal jauh. 

Belum jauh ketiga orang ini bergerak, pandangan 

mereka tertumbuk pada serombongan orang berseragam 

kuning yang tengah menuju ke arah yang berlawanan. 

Dewa Arak dan kedua orang murid Perguruan Tangan 

Besi yang bersarnanya, mengerutkan alis begitu melihat 

rombongan itu. Semula sewaktu mengajar, jumlah mereka 

dua belas orang. Tapi kini hanya tinggal enam orang! 

"Apa yang terjadi, Sakri?" tanya laki-laki berkulit hitam 

seraya menatap wajah salah seorang dari rombongan, 

tatkala jarak mereka telah dekat. 

"Mana kawan-kawan yang lain?" laki-laki yang wajahnya 

penuh tahi lalat bertanya pula, sebelum Sakri tempat 

menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki berkulit 

hitam. 

"Mereka semua telah tewas," pelan dan tanpa semangat 

jawaban Sakri. 

"Tewas?!" kedua orang murid Perguruan Tangan Besi 

yang berjalan bersama Dewa Arak membelalakkan 

sepasang matanya. Jelas, mereka merasa kaget bukan 

kepalang. 

Sakri menganggukkan kepala. 

Tapi kematian mereka tidak sia-sia, Kang, Si Katak Api 

dan Codot Hutan Larangan berhasil kami tewaskan.


Sungguh tidak disangka dalam keadaan terluka, mereka 

masih sanggup menewaskan enam orang rekan kita." 

"Lalu mayat mereka...?" tanya laki-laki berkulit hitam 

lagi. 

"Sudah kami kuburkan, Kang." sahut Sakri. Sementara 

murid-murid Perguruan Tangan Besi yang bersamanya 

menganggukkan kepala. Mereka semua rupanya merasa 

terpukul sekali atas kematian rekan-rekan mereka. 

"Kalau begitu..., mari kembali ke perguruan. Kita urus 

mayat rekan-rekan kita yang lain," ajak laki-laki berkulit 

hitam. 

"Kalau begitu aku pergi dulu, Kang." Dewa Arak yang 

tahu kalau tidak ada gunanya lagi berada di situ segera 

pamit. "Aku harus cepat-cepat mengejar Ruksamurka 

sebelum semuanya terlambat" 

Tanpa menunggu jawaban, Dewa Arak segera melesat 

cepat bagai kilat. Sehingga dalam beberapa saat saja, 

tubuhnya sudah berupa titik yang semakin lama semakin 

mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauhan. 

"Luar biasa...!" laki-laki berkulit hitam berseru memuji 

seraya menggeleng-gelengkan kepala. Memang, dia 

merasa kagum bukan main melihat kesaktian Dewa Arak. 

"Usianya masih begitu muda. Tapi kepandaiannya..., luar 

biasa! Berita yang tersiar di dunia persilatan rupanya tidak 

berlebihan," salah seorang murid Perguruan Tangan Besi 

yang berhidung melengkung menggumam penuh kagum. 

Bukan hanya kedua orang itu saja yang merasa kagum 

melihat kesaktian Dewa Arak. Bahkan juga rekan-rekan 

mereka yang lainnya. Mereka semuanya menatap Arya 

hingga lenyap di kejauhan. 

Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, mereka 

semuanya melangkah kembali ke Perguruan Tangan Besi. 

***


"Ruksamurka...! Berhenti kau...!" 

Bentakan keras menggelegar memaksa seorang kakek 

berpakaian compang-camping yang tengah berlari meng-

hentikan langkahnya. 

Kakek yang ternyata memang Ruksamurka itu menoleh 

ke samping kanan, arah bentakan itu berasal. Wajah kakek 

berpakaian compang-camping ini terlihat tenang saja, 

meskipun tahu kalau orang yang mengucapkan bentakan 

itu adalah seorang lawan tangguh. Ini terbukti dari 

bentakan yang mengandung getaran kuat tadi. 

Dalam jarak sekitar sepuluh tombak di samping kanan 

Ruksamurka, berdiri tiga sosok tubuh yang rata-rata ber-

usia lanjut. Dan begitu melihat orang yang dibentak ber-

henti, ketiga sosok tubuh itu melangkah menghampiri. 

Ruksamurka membalikkan tubuhnya, menghadap ke 

arah tiga sosok tubuh itu. Dia kini berdiri diam menunggu. 

Sepasang matanya menatap ke arah tiga orang itu. seperti 

meremehkan. 

"Siapa di antara kalian yang tadi menyuruhku ber-

henti...?!" tanya Ruksamurka begitu tiga sosok tubuh itu 

menghentikan langkahnya dalam jarak sekitar tiga tombak 

di depannya. 

Sepasang mata Ruksamurka menatap berganti-ganti 

wajah ketiga orang itu. Ada ancaman hebat yang ter-

kandung dalam pertanyaan itu. 

Tapi sampai lelah Ruksamurka menunggu, tidak juga 

terdengar adanya sahutan dari mulut ketiga orang itu. 

Terdengar suara gemeretak dari mulut Ruksamurka. 

Jelas, kakek berwajah penuh gurat luka ini dilanda 

kemarahan menggelegak. Dan itu memang benar! 

Ruksamurka memang paling pantang dibentak orang. Apa-

lagi kalau ucapannya tidak dianggap. Maka, kemarahannya 

makin menggelegak sampai ke ubun-ubun.


"Groaaah...! Sungguh tidak kusangka kalau kalian ber-

tiga tidak ubahnya seperti anjing. Di belakang meng-

gonggong, tapi begitu berada di depan diam tutup mulut! 

Pengecut..! Akan kurobek mulut kalian semua...!" 

"Tutup mulutmu, Ruksamurka...!" sergah salah seorang 

dari tiga penghadang itu. 

Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang. Kumis dan 

jenggot tampak menghias wajahnya. Tubuhnya yang masih 

terlihat kekar terbungkus sebuah pakaian berwarna kuning 

yang di bagian dada kiri tersulam gambar telapak tangan. 

Dialah Ketua Perguruan Tangan Besi Ki Galing namanya. 

"Hm...," Ruksamurka menggeram hebat. Sepasang 

matanya menatap bengis ke arah Ki Galing. "Jadi, kau 

rupanya yang tadi membentakku, Tikus Pengecut?!" 

"Aku yang tadi menyuruhmu berhenti, Ruksamurka! Lalu, 

kau mau apa?!" selak seorang yang berbadan lebar tapi 

kurus. Sehingga badannya terlihat tipis. Apalagi dia 

memang bertelanjang dada. Kulitnya hitam kecoklatan, 

pertanda sering terbakar matahari. Ada sebuah caping 

yang menutup kepalanya. 

Ruksamurka mengawasi laki-laki bercaping sejenak, 

kemudian beralih pada sebuah cangkul yang tergenggam 

di tangan kanan laki-laki bertelanjang dada itu. 

"Siapa kau, Kunyuk?!" tanya kakek berpakaian 

compang-camping kasar. "Sebutkan namamu, sebelum 

mati penasaran di tanganku!" 

"Aku sudah lupa namaku! Tapi orang persilatan men-

julukiku. Petani Tangan Seratus!" 

"Sebentar lagi kau akan dijuluki Petani Tanpa Tangan 

dan Kaki!" dengus Ruksamurka. 

Setelah berkata demikian, Ruksamurka siap mengeluar-

kan ilmu andalannya. Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’. 

Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di 

depan dada. Seketika itu juga angin keras yang mempunyai 

daya sedot luar biasa berhembus. 

"Awas...! Itu pasti ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut...!" 

Salah seorang lagi, seorang kakek bertubuh kurus


kering seperti cecak mati, berseru keras seraya melempar 

tubuhnya ke belakang. Kemudian dia bersalto beberapa 

kali di udara. 

Bukan hanya kakek kurus kering itu saja yang melompat 

menghindar. Petani Tangan Seratus dan juga Ki Galing pun 

melompat ke belakang begitu merasakan adanya angin 

keras yang berusaha menarik tubuh mereka ke depan. 

Mesikipun begitu, tak urung mereka merasakan juga 

akibat serangan itu. Saat mendarat di tanah, sikap kaki 

mereka tidak tetap. Terhuyung sana-sini. 

Bagaikan seekor binatang buas yang terluka, Ruksa-

murka meraung. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka 

lurus bergerak cepat mencari sasaran. 

Hebatnya, setiap serangan kakek ini selalu mengandung 

hal yang membingungkan lawan. Terkadang sebelum 

serangan itu tiba, ada kekuatan membetot luar biasa. Tapi 

tak jarang, serangan itu juga didahului sebuah kekuatan 

tolak yang luar biasa kuatnya. 

Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan kakek kurus 

kering yang ternyata bernama Eyang Boneng adalah tokoh 

aliran putih tingkat atas. Maka tentu saja kepandaian 

mereka telah tinggi. Meskipun begitu, tetap saja mereka 

tidak berani menghadapi Ruksamurka satu persatu. 

Memang ketiga orang sakti ini telah mengetahui 

kelihaian tokoh sesat yang menggiriskan itu. Belasan tahun 

yang lalu, kakek berpakaian compang-camping ini meraja-

lela tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya. 

Melihat Ruksamurka mengeluarkan ilmu andalan, ketiga 

orang sakti itu pun mengeluarkan ilmu andalan masing-

masing. Petani Tangan Seratus mengeluarkan 'Ilmu Tangan 

Seratus'. Sementara Ki Galing dengan 'Ilmu Tangan Besi'. 

Sedangkan Eyang Boneng dengan 'Ilmu Tinju Angin'. 

Sukar dibayangkan, betapa dahsyatnya pertarungan 

antara keempat tokoh sakti itu. Suara menderu, mencicit, 

dan mengaung, diiringi suara meletup-letup terdengar 

menyemaraki pertarungan. 

Bukan hanya itu saja. Angin pukulan dan tendangan


yang nyasar membuat tanah di sekitar pertarungan 

terbongkar. Batu-batu besar maupun kecil berpentalan tak 

tentu arah, terbawa hembusan angin keras yang bertiup di 

sekitar tempat itu. Bahkan beberapa batang pohon besar 

yang tumbuh di sekitarnya pun tumbang akibat terkena 

serangan nyasar. 

Pada jurus-jurus permulaan hingga jurus keempat puluh, 

Ruksamurka kewalahan bukan main menghadapi ke-

royokan ketiga orang lawannya ini. Memang kalau melawan 

satu persatu, tidak begitu sulit bagi kakek berpakaian 

compang-camping ini untuk mengalahkan mereka. Tapi 

karena lawan menghadapinya secara keroyokan, dia 

merasa sulit menaklukkan ketiga orang itu. 

Memang ketiga orang tokoh sakti aliran putih itu seperti 

tidak terdiri dari tiga orang dengan tiga pikiran, tapi tiga 

orang dengan satu pikiran. Petani Tangan Seratus, Ki 

Galing, dan Eyang Boneng bisa saling mengisi dan bantu-

membantu. Serangan mereka susul-menyusul tanpa henti 

seperti gelombang laut. Sebaliknya, begitu salah seorang 

mengalami desakan, dua orang rekannya selalu berada di 

sisinya untuk membantu. 

Karena kerjasama ketiga tokoh ini begitu kompak, 

Ruksamurka mengalami kesulitan menghadapi mereka. 

Selama beberapa puluh jurus, kakek berpakaian compang-

camping ini hanya mengelak dan menangkis. Dan hanya 

sesekali saja melancarkan serangan. 

Begitu pertarungan melewati jurus keempat puluh lima, 

Ruksamurka baru bisa memperbaiki keadaan. Perkem-

bangan ilmu lawan-lawannya mulai bisa dikenalnya. Dan 

dengan sendirinya, sedikit demi sedikit keadaan mulai bisa 

diimbangi. 

Pada jurus keenam puluh lima, pertarungan mulai 

berlangsung imbang. Ruksamurka kini tidak hanya 

mengelak dan menangkis, tapi juga balas menyerang 

dahsyat. 

Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng 

mengeluh dalam hati begitu melihat Ruksamurka berhasil


menata diri. Bahkan kini mampu mengimbangi. 

Meskipun begitu, ketiga orang tokoh sakti itu tidak putus 

asa. Mereka tetap mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimiliki untuk merobohkan lawan. 

Hingga seratus jurus pertarungan masih berlangsung 

seimbang. Tidak tampak ada tanda-tanda yang akan 

terdesak. 

Sebenarnya berkali-kali Ruksamurka berhasil mendesak 

lawan. Tapi karena kerjasama yang kompak dari ketiga 

orang itu, desakan kakek berpakaian compang-camping 

cepat diurungkan. 

Beberapa kali hal yang aneh terjadi, karena kekhasan 

ilmu yang dimiliki Ruksamurka. Ilmu yang bernama 'Tarikan 

Pusaran Air Laut' itu sebenarnya mempunyai daya ke-

kuatan menarik yang amat kuat. Tapi berkat kecerdikan-

nya, ilmu itu tidak hanya berisi daya sedot saja, tapi juga 

daya tolak Jadi setiap serangan yang dilakukannya selalu 

mengandung daya sedot atau daya tolak yang amat kuat. 

Hal seperti itulah yang menimbulkan keanehan. Sering-

kali terlihat ketiga orang lawan Ruksamurka tertarik ke 

depan, atau terdorong ke belakang setiap kali serangan 

dilancarkan. 

Dan berkat kedahsyatan ilmu itulah, perlahan namun 

pasti Ruksamurka berhasil mendesak ketiga orang 

lawannya. Bahkan menginjak jurus keseratus lima puluh, 

berhasil memecah belah kerjasama ketiga orang itu. 

Dengan berhasil dilumpuhkannya kerjasama Ki Galing, 

Eyang Boneng, dan Petani Tangan Seratus, Ruksamurka 

mulai berhasil mendesak lawan. 

Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng 

menggertakkan gigi begitu mengetahui Ruksamurka ber-

hasil memecah belah kerjasama mereka. Ketiganya sadar, 

kalau dibiarkan keadaan akan sangat berbahaya. 

Srattt..! 

Sinar terang berkeredep ketika Ki Galing menghunus 

pedangnya. Langsung dilancarkannya serangan tusukan 

bertubi-tubi begitu pedang itu terhunus.


Berbareng dengan serangan pedang Ki Galing, Petani 

Tangan Seratus dan Eyang Boneng pun mengeluarkan 

senjata andalan masing-masing. 

Petani Tangan Seratus segera menjumput cangkulnya 

yang sejak tadi tergetetak di tanah. Sedangkan Eyang 

Boneng langsung mengeluarkan sepasang tongkat pendek 

yang panjangnya hanya setengah tombak. Dan begitu 

pedang di tangan Ki Galing meluncur, senjata kedua orang 

tokoh sakti itu meluncur tiba. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga 

orang lawan mengeluarkan senjata andalan masing-

masing. Dan seiring keluarnya suara tawa itu, tubuhnya 

melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di 

udara. 

"Hup...!" 

Begitu mendarat di tanah, di tangan kakek ini telah 

tergenggam sepasang kecer. 

Blanggg...! 

Suara keras seperti ada halilintar menggelegar ter-

dengar ketika sepasang kecer itu diadu. Jelas kalau 

Ruksamurka membenturkan kecer ini disertai pengerahan 

seluruh tenaga dalam yang dimiliki. 

Akibatnya hebat bukan main! Terdengar pekikan ter-

tahan dari mulut Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan 

Eyang Boneng. 

Getaran suara yang timbul dari beradunya sepasang 

kecer itu benar-benar menggiriskan. Ketiga orang tokoh 

sakti beraliran putih itu merasakan sepasang telinga 

mereka berdengung hebat dan sakit bukan main. Bahkan 

dada pun terasa sesak! Bukan itu saja. Kedua lutut mereka 

pun terasa lemas bukan main. 

Blanggg,..! 

Kembali Ruksamurka mengadu sepasang kecernya. 

Akibatnya, ketiga orang lawannya kembali memekik. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi, mereka melemparkan 

senjata yang digenggam. Seluruh kekuatan tenaga dalam


yang dimiliki segera dikerahkan untuk melawan pengaruh 

suara kecer itu. 

Blanggg...! 

Sekujur tubuh Petani Tangan Seratus, Ki Galing dan 

Eyang Boneng menggigil hebat. Dari mulut telinga, dan 

hidung mereka kini mengalir darah segar. Ketiga orang 

kakek sakti ini jelas-jelas terluka dalam. Memang tenaga 

dalam mereka masih di bawah Ruksamurka. 

Blanggg...! 

Ruksamurka yang melihat keadaan ketiga orang 

lawannya mulai bisa dilumpuhkan, kembali membenturkan 

kecernya. Sebagai seorang tokoh sesat yang penuh 

pengalaman, dia tahu kalau keadaan lawan sudah amat 

gawat. Jadi rasanya tidak sulit untuk merobohkan mereka. 

"Huakh...!" 

Hampir berbareng, Petani Tangan Seratus, Ki Galing, 

dan Eyang Boneng memuntahkan darah segar dari mulut 

mereka, kemudian ambruk ke tanah. Sesaat lamanya 

tubuh ketiga orang itu menggelepar-gelepar, lalu diam 

tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati! 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak begitu melihat ketiga 

orang lawan diam tidak bergerak lagi. 

Beberapa saat lamanya kakek berpakaian compang-

camping ini memperhatikan mayat ketiga orang lawannya, 

baru kemudian melesat kabur dari situ menuju gunung 

yang menjulang tinggi agak jauh di hadapannya. Gunung 

Lenteng! 

Tak lama sepeninggal Ruksamurka, dari kejauhan 

melesat cepat sesosok bayangan ungu yang bergerak 

cepat. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! Pemuda 

berambut putih keperakan itu dari jauh mendengar suara 

gemuruh yang memekakkan telinga. Suara itulah yang 

menuntunnya ke arah pertarungan Ruksamurka meng-

hadapi ketiga orang lawannya tadi. 

"Celaka...! Aku terlambat..!" keluh Dewa Arak begitu di 

kejauhan sepasang matanya melihat tiga sosok tubuh yang


tergolek di tanah. 

Melihat hal ini, Arya kembali mempercepat larinya. 

Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di dekat ketiga 

mayat itu. 

Begitu melihat tanda telapak tangan di dada kiri kakek 

berpakaian kuning, Dewa Arak telah tahu kalau orang itu 

adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Jadi, rupanya kedua 

kakek yang berada di sebelah mayat Ki Galing adalah 

tokoh persilatan yang ingin menghentikan kebiadaban 

Ruksamurka. 

Arya menatap ketiga mayat itu dengan pandangan mata 

penuh penyesalan. 

"Maaf..., aku tidak bisa mengurus mayat kalian. Aku 

harus buru-buru mengejar Ruksamurka...." 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat 

dari situ untuk mengejar Ruksamurka. 

***


"Hup...!" 

Dengan lincahnya, Ruksamurka melompat ke sana 

kemari. Kedua kakinya menotok batu-batuan. Sesaat 

kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di 

salah satu batu besar yang menonjol. Kemudian, dia 

menotok lagi. Begitu seterusnya. 

Lincah laksana kera, kakek berpakaian compang-

camping ini melesat ke sana kemari. Padahal, medan yang 

ditempuhnya terhitung sulit. Tapi berkat ilmu meringankan 

tubuhnya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk menakluk-

kannya. 

Tak berapa lama kemudian, Ruksamurka telah berada 

di puncak Gunung Lenteng. Kakek itu menatap suasana di 

sekelilingnya sekilas. 

"Ha ha ha...! Lega rasa hatiku. Setelah sekian lamanya 

terkurung, kini kembali ke tempat asal. Ha ha ha...! 

Tunggulah, Gering Langit! Selesai purnama ini, dendamku 

akan terbalaskan. Maka dengan demikian baru hutangmu 

lunas! Ha ha ha...!" 

Sambil berkacak pinggang, Ruksamurka tertawa keras 

menggelegar, meskipun tanpa pengerahan tenaga dalam. 

Angin yang berhembus kencang membawa suara tawa itu 

ke tempat-tempat yang jauh. 

Setelah puas tertawa-tawa, tokoh sesat berpakaian 

compang-camping ini lalu melangkahkan kakinya. Kini ilmu 

meringankan tubuhnya tidak dikerahkan karena medan 

yang ditempuhnya datar. 

Setelah puluhan kali melangkah, Ruksamurka berhenti 

melangkah karena di hadapannya terbentang jurang yang 

amat dalam. Jurang itu sukar diukur kedalamannya. 

Bahkan dasarnya tak tampak sedikit pun. 

Ruksamurka sama sekali tidak bingung melihat hal ini. 

Pandangannya tetap tertuju ke seberang. Lebar jurang itu 

tidak kurang dari tiga puluh tombak. Jadi merupakan hal


yang mustahil untuk bisa melompatinya. 

Kakek berpakaian compang-camping itu pun rupanya 

memang tidak bermaksud melompati jurang itu. Karena, 

memang di antara kedua tempat itu dihubungkan dengan 

seutas tambang yang merentang jauh sampai ke seberang 

sana. Jadi, rupanya itulah jalan satu-satunya menuju ke 

seberang. 

"Hih...!" 

Ruksamurka menjejakkan kakinya ke tanah, maka 

sesaat kemudian tubuhnya melenting ke atas. Dan.... 

"Hup...!" 

Indah dan manis dilihat, kaki kakek berwajah penuh 

guratan luka itu hinggap di tambang. Tampak tambang itu 

bergetar hebat ketika kaki Ruksamurka mendarat di 

atasnya. 

"Pembunuh biadab...! Berhenti...!" 

Tiba-tiba sebuah bentakan keras terdengar ketika 

Ruksamurka baru saja berniat melentingkan tubuhnya 

kembali. Belum lagi lenyap bentakan itu, sesosok 

bayangan ungu telah melesat cepat. Sesaat kemudian, di 

ujung tambang itu telah berdiri Dewa Arak. 

Wajah Ruksamurka seketika berubah merah dan pucat 

berganti-ganti. Dia tahu, kalau pemilik suara yang ternyata 

seorang pemuda berambut putih keperakan itu bertindak 

licik, tubuhnya akan tergelincir ke dasar jurang. Dan sudah 

tentu akan tewas seketika. 

Dia kini berada hampir di tengah jurang. Kalau Dewa 

Arak memutuskan tali itu, tubuhnya akan terlempar ke 

dalam jurang yang dalamnya sukar untuk diukur itu. 

Khawatir Dewa Arak akan bertindak licik, Ruksamurka 

segera bertindak cepat. Dia segera bergerak meneruskan 

perjalanannya untuk mencapai seberang. 

"Pengecut..!" 

Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak begitu 

melihat lawan melarikan diri. Tanpa membuang-buang 

waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera 

bergerak mengejar. Dia melompat tinggi ke atas, bersalto


beberapa kali di udara. Kemudian bagaikan seekor burung 

garuda menyambar mangsa, tubuhnya meluruk cepat ke 

arah kakek berpakaian compang-camping itu. 

Ruksamurka menggeram hebat. Makian Dewa Arak 

benar-benar membuat amarahnya meluap. Tanpa pikir 

panjang lagi, segera tubuhnya dibalikkan untuk menyam-

but tubuh Arya dengan tusukan-tusukan jemari tangannya 

yang lurus dan menegang kaku. 

Dewa Arak terperanjat melihat serangan lawan. Dia 

memang tidak bermaksud membokong lawan. Maka 

mendapat serangan mendadak itu, dia menjadi gelagapan. 

Tapi meskipun begitu, akal sehatnya tidak pernah lenyap. 

Maka seluruh tenaga dalam nya segera dikerahkan untuk 

menangkis. 

Prattt...! 

Suara keras terdengar begitu kedua pasang tangan yang 

sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. 

Seketika itu juga, tubuh Dewa Arak kembali terpental balik 

ke atas. Kedua tangannya yang berbenturan dengan 

tangan kakek berpakaian compang-camping itu bergetar 

hebat! Dadanya pun terasa sesak. Jelas kalau dalam adu 

tenaga dalam, kakek berwajah penuh guratan tuka itu 

masih lebih unggul daripada Dewa Arak. 

Tapi keadaan yang dialami Ruksamurka pun sebenarnya 

berbahaya. Meskipun tidak ada pengaruh yang berarti 

akibat benturan tangan Dewa Arak, tapi karena tengah 

berada di atas seutas tambang, dia terpeleset ke bawah. 

Serasa copot jantung kakek berpakaian compang-

camping itu ketika menyadari tubuhnya meluruk ke dalam 

jurang. Walaupun begitu, dia tidak gugup. Cepat tangan 

kanannya diulurkan ke atas, dan.... 

Tappp...! 

Tambang itu berhasil ditangkapnya. 

Pada saat yang bersamaan. Dewa Arak pun mendarat-

kan kakinya di tambang. 

Baik Ruksamurka maupun Dewa Arak sadar, betapa 

berbahayanya bertarung di atas seutas tambang yang di


bawahnya mulut jurang siap menelan mereka bulat-bulat. 

Kemungkinan untuk jatuh ke dalam jurang memang bukan 

merupakan hal yang mustahil. 

Itulah sebabnya kedua orang itu tidak ada yang saling 

melancarkan serangan, dan kini sama-sama berdiam di 

tempat masing-masing. 

"Hih…!" 

Mendadak Ruksamurka menarik tambang itu hingga 

bergetar. Dan dengan bantuan tenaga tarikan, tubuhnya 

melenting ke atas, lalu mendarat di atas tambang. 

Pada saat yang bersamaan, Dewa Arak segera 

melompat ke atas. Dan begitu kaki Ruksamurka hinggap di 

tambang, Dewa Arak pun mendaratkan kakinya pula. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ruksamurka 

segera berlari menuju ke seberang. Seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya dikerahkan agar bisa berlari di atas 

tambang seperti berlari di atas tanah datar biasa. 

Kali ini Dewa Arak tidak berani bersikap sembrono, 

karena menyadari bahaya besar yang mengancam kalau 

memaksakan diri menyerang lawan di atas tambang ini. 

Maka perbuatannya tidak diulanginya, tapi hanya bergerak 

di belakang. 

Karena kedua tokoh sakti itu mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh yang dimiliki, walau tidak bisa secepat 

seperti tanah datar karena sulitnya medan. Tak lama 

kemudian Ruksamurka telah tiba di ujung tambang lebih 

dulu. 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek berpakaian 

compang-camping ini menjejak tanah seberang jurang. 

Arya terkejut bukan main melihat hal ini. Pada saat itu, 

tubuhnya masih berjarak sekitar tiga tombak dari seberang 

jurang. Dan bila lawan memutuskan tambang itu, sudah 

pasti Dewa Arak akan celaka di sana. 

Khawatir akan terjadinya hal semacam itu, Dewa Arak 

segera melenting ke atas. Dia bersalto beberapa kali di 

udara, untuk kemudian hinggap di seberang jurang.


Dugaan Arya ternyata meleset. Ruksamurka sama sekali 

tidak bertindak licik seperti itu. Bahkan ketika tubuhnya 

tengah berada di udara dan mudah untuk diserang, kakek 

berpakaian compang-camping itu sama sekali tidak melan-

carkan serangan. Sehingga, Dewa Arak dapat mendarat di 

tanah tanpa kesulitan. 

"Ha ha ha...!" 

Ruksamurka tertawa bergelak setelah mengamati Arya 

dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 

"Kaukah tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu, Anak 

Ingusan?!" tanya kakek berpakaian compang-camping 

dengan suara menggelegar. 

Memang dia telah mendengar berita tentang seorang 

tokoh yang menggemparkan dunia persilatan. Konon 

kabarnya, tokoh itu seorang pemuda berambut putih 

keperakan. Julukannya, Dewa Arak. Maka begitu melihat 

ciri-cirinya. Ruksamurka sudah bisa menerkanya. 

"Tidak salah," sahut Arya mantap. "Dan kau pasti 

Ruksamurka!" 

"Hehhh...?!" kakek yang berwalah penuh gurat-gurat luka 

itu mengernyitkan dahi. "Dari mana kau tahu namaku, 

Anak Ingusan...!" 

"Kau tidak perlu tahu, Ruksamurka," sahut Dewa Arak 

cepat "Yang perlu kau ketahui hanya satu. Kau harus 

cepat-cepat pergi ke alam baka!" 

Arya menjumput guci araknya, kemudian menuangkan 

ke mulut. 

Gluk…gluk... gluk..! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati 

tenggorokan Arya. Seketika itu pula, ada hawa hangat yang 

berputaran di dalam tubuh Dewa Arak. Kemudian, per-

lahan-lahan naik ke atas kepala. 

"Keparat..!" geram Ruksamurka. 

Setelah memaki kalang kabut, kakek berpakaian 

compang-camping ini memutar-mutarkan kedua tangan di 

depan dada. 

Dewa Arak terkejut bukan main begitu mendadak ada


angin kuat yang menarik tubuhnya ke depan. Sama sekali 

keadaannya tengah tidak bersiap dalam menghadapi hal 

seperti itu. Maka, tubuhnya pun tertarik ke depan. 

Ruksamurka mendengus. Tubuh Arya yang tertarik ke 

depan itu, disambutnya dengan tusukan bertubi-tubi ke 

arah dada dan ulu hati. Sungguh sebuah serangan ber-

bahaya! Suara mendecit nyaring terdengar mengiringi 

serangan itu. 

Keadaan Arya memang berbahaya! Tapi berkat ke-

istimewaan Ilmu 'Belalang Sakti', yang membuatnya 

mampu bergerak sesulit apa pun dan dalam keadaan 

bagaimana pun, pemuda berambut putih keperakan ini 

berhasil mematahkan semua serangan. 

Tentu saja gerakan Dewa Arak membuat sepasang mata 

tokoh sesakti Ruksamurka terbelalak. Tubuh pemuda 

berambut putih keperakan itu kemudian melompat ke atas 

melewati kepala lawan. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak. Sambil 

bersalto sekali, kedua tangannya melancarkan serangan 

bertubi-tubi ke arah kepala belakang Ruksamurka. Ber-

bahaya bukan main serangan itu jangankan kepala 

manusia, batu yang paling keras pun akan hancur ber-

keping-keping bila terkena serangan Dewa Arak. Memang 

Arya telah mengambil keputusan untuk melenyapkan 

Ruksamurka selama-lamanya. 

Cara Ruksamurka menghadapi serangan itu berbeda 

dengan yang selama ini dilihat Dewa Arak. 

Dengan kecepatan gerak luar biasa, kakek berpakaian 

compang-camping itu membalikkan tubuhnya. Dan secepat 

tubuhnya berbalik, secepat itu pula kedua tangannya di-

gerakkan menangkis. 

Plakkk...! 

Suara keras akibat benturan seketika terdengar. Apalagi 

kedua pasang tangan itu memang telah dialiri tenaga 

dalam tinggi, sehingga tidak ubahnya seperti benturan 

gumpalan baja yang keras. 

Tubuh Dewa Arak seketika terpental kembali ke atas.


Bahkan sampai bersalto di udara untuk mematahkan daya 

lontar itu. Kedua tangannya dirasakan sakit dan ngilu 

bukan main. Rasa sesak pun seketika melanda dadanya. 

Ruksamurka rupanya tidak mengalami pengaruh akibat 

benturan itu. Buktinya, kakek bertubuh tinggi besar ini 

langsung melancarkan serangan susulan bertubi-tubi 

sebelum kedua kaki Arya menyentuh tanah. 

Mendadak dan tiba-tiba sekali datangnya serangan itu. 

Apalagi dilancarkan pada saat tubuh Dewa Arak tengah 

berada di udara. Akibatnya, Dewa Arak begitu kewalahan. 

Tapi berkat keistimewaan ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki, pemuda berambut putih keperakan itu mampu 

mengelakkan serangan. Dengan bertumpu pada kedua 

tangannya, Arya bersalto di udara. Kemudian, kakinya 

mendarat beberapa tombak dari tempat semula. 

Ruksamurka menggeram murka melihat serangannya 

berhasil dipatahkan. Dengan amarah meluap-luap, kembali 

dilancarkannya serangan dahsyat ke arah Dewa Arak. Tapi, 

kini Arya telah siap. Pemuda berambut putih keperakan itu 

pun langsung meladeninya tak kalah dahsyat. Tak pelak 

lagi, pertarungan sengit antara kedua orang itu pun 

berlangsung. 

Arya mengeluh dalam hati. Lawan yang dihadapinya kali 

ini benar-benar lawan luar biasa! Baru beberapa jurus 

bertarung, sudah terasa berat tekanan-tekanan yang 

dilakukan lawan. Setiap serangan yang dilakukan Ruksa-

murka mengandung daya sedot dan daya tolak luar biasa! 

Dan hal inilah yang menyulitkannya. 

Dewa Arak kinl benar-benar harus menguras seluruh 

kemampuan yang dimilikinya. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' 

dikerahkan sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan 

semburan araknya semua dikeluarkan dalam usahanya 

menandingi lawan. 

Meskipun begitu, tak urung Arya terdesak. Perbedaan 

tingkat tenaga dalam yang berselisih cukup jauhlah yang 

membuatnya terdesak. Pemuda berambut putih keperakan 

ini tahu kalau lawan memiliki tenaga dalam jauh di


atasnya. Maka, sedapat mungkin diusahakan untuk 

menghindari terjadinya benturan. 

Dan itu berarti, Dewa Arak harus lebih sering mengelak. 

Sedapat mungkin, Arya berusaha menghindari terjadinya 

benturan. Bahkan sewaktu menyerang pun, Dewa Arak 

segera menarik pulang serangannya ketika kakek ber-

pakaian compang-camping itu akan menangkis. 

Pertarungan yang berlangsung antara kedua tokoh 

tingkat tinggi ini memang benar-benar menggiriskan. Angin 

menderu, mengaung, dan mencicit tak henti-hentinya ter-

dengar mengiringi pertarungan. 

Bukan hanya itu saja akibat yang ditimbulkan. Suasana 

di sekitar pertarungan kini porak-poranda. Batu-batu besar 

dan kecil berpentalan tak tentu arah. Kepulan debu mem-

bumbung tinggi ke udara. 

Berkat ilmu meringankan tubuh kedua tokoh yang sama-

sama telah mencapai tingkatan tinggi, pertarungan ber-

langsung cepat. Dalam waktu stngkat, seratus jurus telah 

berlalu. 

Ruksamurka marah dan malu bukan main menyadari 

hal ini. Dia tahu pasti kalau keadaan lawan tengah ter-

desak. Tapi ternyata amat sulit baginya untuk merobohkan. 

Ilmu pemuda itu begitu aneh. Dalam keadaan yang sangat 

terjepit pun, masih mampu mengelak. Ini benar-benar tidak 

dimengertinya! 

Rasa penasaran membuat kakek berpakaian compang-

camping ini semakin meningkatkan serangan. Seluruh 

kemampuannya dikerahkan hingga titik yang terakhir. 

Ruksamurka bertekad untuk bertarung mati-matian. Akibat-

nya sudah bisa diduga. Tekanan-tekanan yang melanda 

Dewa Arak pun semakin berat. Tapi meskipun begitu, 

berkat Ilmu 'Belalang Sakti', terutama sekali dalam Jurus 

'Delapan Langkah Belalang', semua serangan lawan masih 

mampu dielakkan. Tentu saja, dengan susah payah. 

Gluk… gluk... gluk..! 

Beberapa kali bila mendapat kesempatan. Dewa Arak 

segera menenggak araknya. Dan seiring masuknya arak itu


ke tubuhnya, daya tahannya pulih kembali. 

Seratus lima puluh jurus telah kembali berlalu. Hasilnya, 

pertarungan antara kedua tokoh ini telah berlangsung dua 

ratus lima puluh Jurus. Dan selama itu, Ruksamurka 

senantiasa menghambur-hamburkan tenaga. Jadi, tak 

aneh bila kelelahan. 

Sementara di pihak Dewa Arak sendiri, daya tahannya 

kembali pulih setelah arak memasuki perutnya. Dia seperti 

memperoleh tenaga baru, sehingga tak mengalami ke-

lelahan sedikit pun. 

Napas Ruksamurka mulai terdengar memburu. Tenaga 

yang terkandung dalam serangannya sudah mulai 

melemah. Sementara Dewa Arak masih tetap seperti 

semula. 

Dan kini ganti Dewa Arak yang mendesak. Pemuda 

berambut putih keperakan ini melancarkan serangan-

serangan bertubi-tubi dan cepat. Karuan saja hal itu mem-

buat Ruksamurka pontang-panting. 

Pada jurus kedua ratus tujuh puluh sembilan, Arya 

menyorongkan gucinya ke arah dada Ruksamurka. Kakek 

tinggi besar yang telah lelah ini sebisa-btsanya mengelak. 

Tapi... 

Bukkk! 

"Aaakh...!" terdengar seruan tertahan. 

Telak dan keras sekali, guci arak Arya menghantam 

dadanya. Suara berderak keras pertanda ada tulang-tulang 

yang patah terdengar seiring terpentalnya tubuh Ruksa-

murka ke belakang. Darah segar seketika memancur deras 

dari mulut 

Dewa Arak tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. 

Pemuda berambut putih keperakan ini langsung melompat 

memburu seraya melancarkan tendangan terbang ke arah 

leher. 

Bukkk! "Grookh...!" 

Suara menggorok keluar dari tenggorokan Ruksamurka 

ketika tendangan Arya tepat menghantam sasaran. 

Kembali tubuh kakek berpakaian compang-camping itu


terjengkang ke belakang. Dan yang lebih parah lagi, tulang 

lehernya ternyata hancur. Keras sekali tubuh tinggi besar 

itu terjerembab ke tanah. Nyawa tokoh sesat yang 

menggiriskan ini seketika melayang, sebelum menyentuh 

tanah. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tokoh sesat itu 

terbang ke akhirat bersama dosa-dosanya. 

Arya memandangi mayat Ruksamurka penuh kagum. 

Kakek berwajah penuh luka guratan ini benar-benar luar 

biasa. Dengan bulu tengkuk meremang, di longoknya guci 

araknya yang telah kosong tanpa setetes pun arak lagi. 

Kalau Ruksamurka tidak terlalu menuruti amarah sehingga 

menyerang kalang kabut maka tenaganya tidak akan cepat 

habis. Dan itu berarti Arya yang akan pergi ke akhirat! 

Dengan langkah lesu, Arya meninggalkan tempat itu. 

Tugas dari gurunya telah berhasil dipenuhi. Kini, dia 

bergerak cepat di atas tambang menuju ke seberang. 

Sementara nun jauh di sana, di halaman bangunan 

tempat kediaman Arya dulu (Baca serial Dewa Arak dalam 

episode perdananya, "Pedang Bintang"), tampak seorang 

gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang 

terurai tengah bersimpuh menekuri sebuah makam. Wajah-

nya muram memancarkan kesedihan yang amat sangat. 

Gadis itu adalah Melati. Sementara makam di hadapan-

nya adalah milik Ki Julaga. Memang, putri angkat Raja 

Bojong Gading ini tidak pergi ke mana-mana saat per-

tarungan Ki Julaga melawan Ruksamurka berlangsung. 

Gadis itu masih mengintai dari kejauhan. Begitu Ruksa-

murka telah pergi, baru dia kembali. 

Dengan hati hancur, Melati telah menguburkan mayat 

gurunya. Berhari-hari lamanya gadis berpakaian putih itu 

tinggal di situ. Namun tanpa diketahuinya, Dewa Arak telah 

berhasil membalaskan dendamnya. Dan tentu saja tanpa 

pemuda berambut putih keperakan itu mengetahuinya. 




                             SELESAI 




0 komentar:

Posting Komentar