BTemplates.com

Blogroll

Kamis, 16 Januari 2025

RORO CENTIL EPISODE 4 IBLIS KALIPROGO


matjenuh

 

EMPAT IBLIS

KALI PROGO

* Copyright naskah ini ditangan penerbit 

LOKAJAYA, 

hak cipta pengarang dilindungi

undang-undang.

* Dilarang mengutip, tanpa seijin penerbit.

* Menterjemahkan karya ini dalam bahasa 

Asing, 

harus seijin penerbitnya lebih dahulu.



1

ROMBONGAN pasukan berkuda lasykar 

Kerajaan itu lewat dengan suara yang 

bergemuruh, melintas dijalan desa yang 

sunyi itu. Debu tebal mengepul di-

sepanjang jalan. Batu dan pasir 

berterbangan... Dan sekejap saja lebih 

dari dua puluh ekor kuda itu melintas 

dengan cepat, disertai teriakan-teria-

kan gegap gempita bagai tengah 

mengejar orang. Sebentar kemudian sua-

sana ditempat itu kembali hening. Akan 

tetapi segera terlihat satu peman-

dangan yang mengharukan. Karena bebe-

rapa ekor kambing telah berkaparan 

dijalanan dengan keadaan yang 

menyedihkan.

Seekor kambing berbulu coklat 

tampak mencoba berdiri dengan susah 

payah, akan tetapi kembali roboh 

terguiing. Ternyata kaki depannya 

telah hancur remuk dilindas kaki-kaki 

kuda. Suara mengembiknya terdengar 

menyayat hati. Tiga ekor kambing ber-

bulu hitam terkapar tak bernyawa 

dengan kepala berlumuran darah. Seekor 

lagi yang berbulu putih tengah sekarat 

dengan keadaan yang menyedihkan. 

Sementara dua ekor anak kambing yang 

masih kecil telah mati dengan tubuh 

hancur luluh.

Dari sebuah parit disisi jalan, 

muncul kepala seorang bocah gembala.


Wajahnya pucat pias penuh debu dan 

lumpur. Rambutnya kusut masai penuh 

jerami kering. Rupanya tadi sewaktu 

pasukan berkuda itu melintas jalan. 

Dia tengah menghalau kambing-kaming 

gembalaannya melintasi jalan sunyi 

itu. Tak diduga rombongan pasukan 

berkuda itu begitu cepat datangnya, 

tahu-tahu telah didepan mata. 

Terbeliak sepasang matanya, dan dengan 

berteriak kaget dia cepat gulingkan 

tubuhnya menyelamatkan diri dan maut 

hingga terjerumus keparit.

Si bocah gembala ini ternyata 

seorang bocah perempuan yang berusia 

sekitar tujuh tahun. Gadis kecil ini 

mengucak-ucak matanya melihat sebuah 

pemandangan tragis terpampang didepan 

matanya. Penglihatannya tertumbuk pada 

dua ekor anak kambing yang terkapar 

mati dengan tubuh hancur bersimbah 

darah.

"Oh...?" Satu suara tersendat 

keluar dari bibir bocah gembala ini. 

Sepasang kakinya gemetaran seperti tak 

kuat menahan tubuhnya lagi.

Ketika melihat seekor kambing 

berbulu putih yang tengah megap-megap 

sekarat dengan mulut mencucurkan 

darah, bocah ini berteriak menjerit.

"Putih...!? oh, Pu.... Putiiiih!" 

Dan segera menghambur lari menubruk 

kambing itu.

Selanjutnya sudah menangis ter


isak-isak dengan suara menyedihkan. Si 

Putih baru sebulan ini melahirkan 

anaknya yang dua itu. Anak kambing 

yang lucu-lucu. Seekor berbulu putih, 

dan seekor lagi berbulu hitam.

Kini kedua ekor anak kambing yang 

lucu-lucu itu sudah jadi bangkai tak 

bernyawa. Dan sang induknya tengah 

megap-megap sekarat dengan keadaan 

mengenaskan hati. Tersedu-sedu sibocah 

gembala memeluki sang kambing kesa-

yangannya. Kambing yang satu ini 

adalah miliknya sendiri yang telah 

dibelikan oleh ayahnya setahun yang 

lalu. Sedangkan yang lainnya adalah 

kambing-kambing milik sang paman, yang 

digembalakannya menjadi satu. 

Sementara si Putih itu rupanya sudah 

tak kuat mempertahankan lagi nyawanya. 

Setelah sekarat meregang nyawa, tak 

lama kemudian kambing itupun mati.

Sang bocah gembala itu semakin 

kuat memeluki tubuh binatang kesa-

yangannya. Tangisnya hampir tak ter-

dengar karena suaranya telah serak. 

Kenyataan yang tragis itu ternyata 

telah menggoncangkan jiwanya. Hingga 

karena tak kuat menahan kesedihan yang 

amat sangat, si gadis kecil itupun 

terkulai tak sadarkan diri.

Angin gunung bertiup berdesahan 

menyibak rambutnya. Entah berapa lama 

dia tertelungkup tak sadarkan diri 

dengan lengan masih memeluk binatang


itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan 

kembali terdengar bunyi derap kaki-

kaki kuda mendatangi. Ternyata 

rombongan pasukan berkuda lasykar 

Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak 

dapat dibayangkan apa yang bakal 

terjadi, karena gemuruh puluhan ekor 

kuda itu menderu-deru cepat laksana 

air bah. Peristiwa mengerikan itupun 

kembali berlangsung... Kuda pertama 

menerabas tanpa kenal ampun, disusul 

kuda-kuda selanjutnya. Kaki-kaki 

binatang kekar ini cuma menurutkan 

perintah tuannya, langsung menggilas 

apa saja yang menghalangi jalan. Lima 

ekor kuda telah lewat menerabas. Dan 

tubuh kecil tak berdaya yang membaur 

diantara bangkai-bangkai kambing itu

pun terinjak-injak, terlempar kesana 

kemari. Lalu digilas oleh kaki-kaki 

kuda selanjutnya.

Pada saat itulah satu bayangan 

telah berkelebat menggelinding, dan 

menyambar tubuh bocah gembala itu. 

Dengan berguling-guling diantara kaki-

kaki kuda yang berkepulan debu, dia 

berhasil keluar dari kaki-kaki maut 

yang melintas dengan cepat itu. Dan 

sebentar saja rombongan pasukan 

berkuda itu telah lenyap dikejauhan.

Kini terlihatlah satu pemandangan 

yang mengenaskan. Diantara kepulan 

debu yang menipis itu, tampak seorang 

laki-laki berusia sekitar tiga puluh


tahun lebih menggelepoh disisi jalan. 

Bajunya penuh dengan tapak-tapak kaki 

kuda. Bahkan bekas tapak kaki kuda 

terlihat dipelipisnya. Sementara si 

bocah gembala itu belum diketahui 

nasibnya, karena telah dipeluknya 

erat-erat menempel didada. Perlahan-

lahan dia bangkit berdiri. Matanya 

bersinar menatap ke ujung jalan dimana 

rombongan pasukan berkuda lasykar 

Kerajaan itu lenyap. Tampak dada laki-

laki ini berombak-ombak menahan geram, 

dengan gigi terdengar berkerot.

"Bangsat-bangsat terkutuk...!" 

Terdengar suara desis keluar dari 

bibirnya. Namun sesaat dia sudah 

tersentak ketika melihat keadaan bocah 

yang di tolongnya. Cepat-cepat ia 

menempelkan telinganya ke dada bocah 

itu. Dan wajahnya berubah pucat.

"Celaka…! Aku harus cepat 

menolongnya sebelum terlambat..!" 

Desisnya penuh kekhawatiran. Dan... 

berkelebatlah laki-laki berbaju putih 

itu tinggalkan tempat itu. Tubuhnya 

melesat cepat sekali, lalu sebentar 

kemudian lenyap dibalik perbukitan. 

Tiba-tiba dari ujung jalan tadi, 

muncul lagi serombongan pasukan 

lasykar Kerajaan. Suara derap kaki-

kaki kuda kembali menyibak keheningan. 

Ternyata rombongan yang tadi, akan 

tetapi kini cuma lima ekor kuda yang 

mendatangi.


Tiba-tiba si penunggang kuda 

paling depan mengangkat tangannya, 

memberi isyarat berhenti. Penunggang 

kuda ini masih muda. Berusia sekitar 

dua puluh tahun lebih. Berwajah tampan 

dan menunggang kuda berbulu hitam 

berkilat. Kiranya dialah si pemimpin 

rombongan berkuda itu. Segera sepasang 

matanya menyapu sekitar tempat itu. 

Menatap pada beberapa ekor kambing 

yang porak poranda dengan keadaan tak 

bernyawa. Berkilat-kilat sepasang 

matanya menatap bangkai-bangkai bi-

natang itu. Kemudian memutar kudanya. 

Pandangannya menyapu bukit dan keadaan 

sekitarnya.

"Hm, cepat periksa keadaan 

disekitar perbukitan ini! Apakah ada 

manusia?" Perintahnya pada keempat 

anak buahnya. Keempat penunggang kuda 

itu segera mengangguk hormat, dan 

segera memecah keempat penjuru. Lalu 

memulai penyelidikan. Sementara si 

pemuda tampan kepala pasukan berkuda 

ini berputar-putar disekitar tempat 

itu, dengan sepasang matanya memper-

hatikan bangkai-bangkai kambing yang 

berserakan dijalanan. Kiranya tadi 

sewaktu rombongan pasukan berkuda 

lasykar Kerajaan itu melewati jalan 

ini, sekilas dia telah melihat seorang 

bocah kecil tertelungkup diantara 

bangkai-bangkai kambing yang memang 

telah berserakan dijalanan. Akan


tetapi karena dia berada dibarisan 

ketiga, dan terhalang oleh tiga ekor 

kuda dihadapannya. Dia tak begitu 

memperhatikan. Apa lagi untuk 

menghentikan kudanya adalah tak 

mungkin. Karena kuda-kuda mereka 

berlari cepat sekali.

Sedangkan dia yakin, seandainya 

penunggang kuda paling depan menge-

tahui ada orang dijalanan, tentu dari 

jauh-jauh sudah memberi aba untuk 

berhenti. Itulah sebabnya tadi dia 

terus melewati dengan agak ragu, 

apakah penglihatannya cuma fatamorgana 

saja, ataukah sesungguhnya? Namun 

ketika tiba di pos sebelah depan, 

pemuda ini sengaja kembali lagi 

bersama keempat perwira bawahannya. 

Sedangkan rombongan yang terdiri dari 

dua puluh ekor kuda dibawah pimpinan 

Tumenggung Wirapati meneruskan 

berangkat ke perbatasan Kota Raja.

Sebenarnya dia dan keempat anak 

buahnya berada dilain rombongan, yang 

memintas jalan memutar melalui 

belakang bukit, dan tidak melalui 

jalan desa ini. Ketika itu mereka tiba 

terlebih dulu. Setelah memberi laporan 

bahwa buronan yang dicarinya tak 

dijumpai, segera bergabung dengan 

rombongan yang dibawah pimpinan 

Tumenggung Wirapati. Demikianlah, 

hingga kedua rombongan itu segera 

melewati jalan desa yang sunyi itu.



Tentu saja membuat pemuda tampan 

pemimpin keempat perwira Kerajaan itu 

menjadi penasaran, dan kembali lagi. 

Penasaran untuk membuktikan pengli-

hatannya. Apakah dijalanan yang 

dilewati rombongan mereka, ada seorang 

bocah tertelungkup diantara kambing-

kambing yang berserakan?

Tiba-tiba tatapan matanya ter-

tumbuk pada sebuah benda bersinar 

diantara kambing-kambing yang ber-

kaparan dijalan itu. Cepat dia 

bergerak melompat turun dari kudanya. 

Diambilnya benda itu, yang ternyata 

seuntai kalung berwarna putih 

berkilatan. Rantainya terbuat dari 

baja putih, sedangkan bandulannya 

terbuat dari gading berbentuk hati. 

Pada bagian tengahnya terdapat ukiran 

sebuah huruf " R ". Tersentak hatinya 

melihat kalung ini. Kini dia yakin 

benar bahwa yang tertelungkup disini 

tadi benar-benar seorang bocah 

manusia. Cepat disimpannya benda itu 

ke balik pakaiannya, dan kembali 

melompat ke atas kuda. 

Sementara benaknya mulai ber-

fikir....

Hm, kalau Tumenggung Wirapati dan 

anak buahnya mengetahui didepannya ada 

seorang bocah tetelungkup ditengah 

jalan, mengapa tak memberi isyarat 

berhenti? Mustahil kalau mereka tak 

melihatnya! Dan berkaparannya kambing


kambing yang mati ini pasti karena 

diterjang terus oleh rombongan berkuda 

dibawah pimpinannya! Benar! Aku yakin 

bocah si pemilik kalung ini adalah 

seorang bocah penggembala kambing! 

Mungkin rombongan mereka terus mener-

jangnya disaat melewati jalan ini! Dan 

ketika kembali lagi setelah bergabung 

dengan rombongan pasukanku telah 

menerjang lagi bocah yang tertelungkup 

dijalanan! Entah bocah itu tertidur 

ataukah pingsan, aku tak mengetahui..!

Terdengar suara pemuda itu 

berdesis kesal.

"Kalau begitu Tumenggung Wirapati 

benar-benar soorang yang berhati 

kejam! Sungguh-sungguh keterlaluan..!" 

Memaki si pemuda. Kini yang jadi 

pertanyaan adalah sipemilik kalung 

itu. Kemanakah gerangan bocah gembala 

itu? Kalau mayatnya ada tentu tak 

menjadikan dia penasaran. Kalau memang 

penglihatannya salah, tak mungkin 

ditemukannya kalung itu.

"Apakah sibocah penggembala kam-

bing itu seorang bocah perempuan?" 

Desisnya lagi pelahan. Setelah ber-

fikir bolak-balik tak menentu, akhir-

nya dia menyerah, tak dapat memecahkan 

persoalan itu. Sekarang tinggal 

menunggu penyelidikan keempat Perwira 

bawahannya.

Kira-kira selang beberapa saat, 

tampak satu-persatu keempat Perwira



bawahannya. Dia telah menerima 

laporan.

Ternyata laporan yang didapat 

adalah tidak adanya siapa-siapa 

disekitar tempat itu. Pedesaan masih 

amat jauh sekitar ratusan kaki 

dilereng bukit. Tak ada seorang 

manusiapun yang lewat ditempat itu. 

Akhirnya setelah temenung beberapa 

saat, pemuda pemimpin rombongan itupun 

segera perintahkan untuk kembali. 

Derap suara langkah kaki-kaki kuda 

kembali terdengar disekitar tempat 

sunyi itu. Namun suara itupun semakin 

menjauh. Lalu melenyap, tinggalkan 

debu yang mengepul disepanjang jalan. 

Tempat itu kembali lengang seperti 

sediakala. Dan bangkai-bangkai kambing 

itu cuma menambahkan sebuah peman-

dangan yang memilukan....

2

WAKTU berlalu begitu cepat se-

perti anak panah lepas dari busurnya. 

Tujuh tahun kemudian sejak kejadian 

dijalan desa sunyi itu.... 

"ROROOOO..!" ROROOOOOOOOO..!" 

Satu suara terdengar sayup-sayup 

dikejauhan, diantara tebing dan bukit 

dekat air terjun. Pemandangan disitu 

memang indah. Bukit-bukit dan tebing 

menjulang disana-sini. Dilereng Gunung



Rogojembangan itu mengalir sebuah 

sungai berair jernih. Disebelah barat, 

persis diarah hulu sungai itu, 

terlihat menonjol sebuah lamping bukit 

curam yang berbentuk aneh dan indah 

sekali. Karena bila diperhatikan amat 

mirip dengan kepala burung Rajawali 

Raksasa. Menghadap kearah sisi bukit 

itu adalah hutan belantara. Dan air 

terjun itu persis berada dibawah 

lamping bukit yang berbentuk kepala 

burung Rajawali

"Roroooooo..!" Kembali terdengar 

suara memanggil itu. Kali ini suaranya 

lebih keras. Seorang bocah laki-laki 

tanggung kira-kira berusia empat belas 

tahun, tampak melompat diantara batu-

batu tebing dan bukit terjal. 

Gerakannya amat lincah sekali. Dengan 

sebat bocah laki-laki tanggung itu 

menuruni akar pohon yang melintang di 

lereng tebing lalu melompat lagi 

menuju kebawah bukit. Dari gerakannya 

dapatlah diketahui bahwa bocah laki-

laki tanggung itu bukanlah bocah 

sembarangan, tapi seorang bocah yang 

terlatih.

Setelah berpaling ke kanan dan ke 

kiri, orang yang dicarinya tidak ada, 

matanya tertuju pada air terjun. 

Dengan gerakan sebat, kembali dia 

berlompatan d atas batu-batu disisi 

sungai. Dan sebentar saja telah berada 

disisi bukit, di bawah lamping batu


menonjol itu dimana disisinya adalah 

air terjun. Sepasang matanya kembali 

jelalatan memandang sekitarnya men-

cari-cari adakah orang disekitar 

tempat itu. Namun tak ada tanda-tanda 

orang yang dicarinya berada disitu.

"Aiiih, kemana gerangan anak 

itu..?" Gumamnya pelahan. Akhirnya 

diapun langkahkan kaki menjauh lagi 

air terjun itu, dan jatuhkan pantatnya 

keatas sebuah batu besar. Tangannya 

merayap menjumpu batu-batu kerikil, 

dan dilemparkannya ke tengah sungai. 

Suaranya bergemerutukan diair yang 

jernih itu. Terlampias juga rasa 

kesalnya. Memandang air jernih dan 

udara siang hari yang cukup panas, 

membuat bangkitnya selera untuk mandi. 

Setelah tengok kiri-kanan tak ada 

orang, segera dia membuka bajunya. Dan 

lepaskan celananya....

BYURRRRR...! Bocah laki-laki 

tanggung ini sudah terjun ke sungai. 

Air disini tak seberapa dalam. Tak 

berapa lama kepalanya sudah tersembul 

dipermukaan air. Saat dia mandi dan 

merendam tubuhnya didalam air sebatas 

dada itu tiba-tiba sepasang matanya 

jadi membeliak, karena terasa kakinya 

ada yang mencekal dibawah air. Tentu 

saja bocah laki-laki tanggung ini jadi 

terkesiap. Sekilas saja sudah 

terlintas sesuatu yang menakutkan 

dibenaknya. Dongeng adanya "Hantu Air"


yang suka mengganggu orang mandi di 

sungai. Dan....

"Wuaaaaaa..! tolong! 

toloooong..!?" Berteriak-teriaklah dia 

ketakutan, sambil berusaha menarik 

kakinya yang terasa dibetot ke dalam 

air.

Justru dia mencoba menarik, 

bahkan tubuhnya semakin terbetot ke 

dalam air. Tak ampun lagi segera 

kapalanya membenam. Meronta-ronta 

bocah laki-laki tanggung itu dengan 

gelagapan. Kepalanya sebentar timbul 

sebentar hilang. Dan dua-tiga teguk 

air sudah tertelan masuk tenggo-

rokannya. Tiba-tiba terasa cekalan itu 

terlepas... Cepat dia berenang menepi. 

Wajahnya tampak pucat pias karena 

takutnya. Sesaat dia sudah berhasil 

mencapai tepian sungai. Lengannya 

meraih batu, dan sudah siap gerakkan 

tubuh yang lemas itu untuk melompat ke 

darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar 

suara tertawa cekikikan dibelakangnya. 

Semakin takutlah bocah ini. Namun 

dengan justru sisa-sisa tenaganya dia 

sudah berhasil naik. Setelah merasa 

aman barulah dia balikkan tubuh untuk 

menoleh ke belakang.

Betapa terkejut dan mendongkolnya 

bocah laki-laki ini, karena yang 

tertawa cekikikan di belakangnya tak 

lain dari Roro. Yaitu si bocah 

perempuan yang tengah dicari-carinya


tadi.

"Roro..!? kau... kau sungguh 

keterlaluan menakut-nakuti orang! Jadi 

Hantu Air yang kau dongengkan tadi 

adalah kau sendiri..?" Berkata bocah 

laki-laki tanggung itu dengan sepasang 

mata mendelik kesal, tapi bibirnya 

sunggingkan senyuman. Karena rasa 

kekhawatirannya seketika sirna.

Bocah perempuan tanggung bernama 

Roro itu beranjak menepi. Ternyata 

seorang bocah perempuan yang berwajah 

ayu. Bentuk wajahnya membulat bagai 

daun sirih. Sepasang matanya jernih. 

Rambutnya yang panjang sebatas 

punggung itu basah kuyup. Segera saja 

dia sudah naik melompat ke darat. 

Sementara si bocah laki-laki tanggung 

itu cuma me natap dengan mata tak 

berkedip. Akan tetapi baru saja dia 

naik ke darat, sudah terdengar lagi 

suara tertawanya mengikik geli.

"Hihihi... hihihi... hihi.... 

Lucu! Hihihi... lucu sekali..!" 

Melihat gadis tanggung dihadapannya 

mengikik tertawa sambil menunjuk-

nunjuk kearah bagian bagian bawah 

tubuhnya, keruan saja dia jadi 

kebingungan. Ketika sadar akan keadaan 

dirinya, seketika wajahnya berubah 

memerah. Sebelah lengannya dengan 

cepat bergerak menutupi bagian yang 

terbuka itu, dan begitu menemukannya, 

bergegas mengenakannya, dan....


Hm, beres..! Teriaknya dalam 

hati, setelah selesai mengenakan 

celananya. Sedangkan bajunya tak 

terburu-buru dipakainya, tapi 

diletakan diatas pundak. Sementara 

sepasang matanya menatap pada kawan 

perempuannya yang masih berdiri 

ditempat tadi.

Sementara si bocah perempuan 

tanggung bernama Roro itu telah 

hentikan tertawanya. Dilihatnya sang 

kawan itu terus menatapnya dengan mata 

tak berkedip dengan bibir ternganga. 

Apakah yang diperhatikan? Pikirnya. 

Roro yang sama sekali tak menyadari 

keadaan dirinya, segera melompat 

mendekati bocah laki-laki kawannya 

itu.

Semakin dekat dia menghampiri, 

semakin membinar sepasang mata sang 

kawannya itu menatapnya. Tentu saja si 

bocah perempuan tanggung itupun tak 

menyadari kalau tubuhnya dalam keadaan 

telanjang bulat, dan tatapan sepasang 

mata kawannya yang membinar-binar 

adalah karena memperhatikan sekujur 

tubuhnya.

"Heh?! Ginanjar! Kau kenapakah..? 

apakah kesurupan setan Hantu Air…?" 

Tanya Roro seraya beranjak 

menghampiri, dan menepuk nepuk pundak-

nya. Bahkan mengguncang-guncangkan 

tubuhnya. Tentu saja membuat bocah 

laki-laki tanggung bernama Ginanjar


itu jadi tersipu-sipu sambil melengos. 

Namun seonggok senyum lucu, tapi lugu 

tersungging dibibirnya.

"Roroooooo...! Ginanjaaaar..!"

Satu suara serak parau terdengar 

sayup dikejauhan. Suara yang sudah 

amat dikenal betul oleh kedua bocah 

tanggung itu.

"Hah!? Celaka...! Kita bakal kena 

damprat! Dan bakal dapat hukuman 

berat..! Oh, aku telah melalaikan 

tugas guru..! Yah, gara-gara mencarimu 

tak bertemu..!" Bisik Ginanjar dengan 

wajah pucat.

"Hihihi... biarlah kau dapat 

hukuman! siapa suruh kau mencariku? 

Sudah tak bertemu, kenapa terus mandi? 

Itukan salahmu sendiri!" Tukas Roro 

dengan wajah tak menampakkan 

keterkejutan. Berbeda dengan Ginanjar 

yang seketika wajahnya pucat pias dan 

bergegas mengenakan bajunya.

Ternyata Roro pun segera melompat 

ke tempat menyimpan pakaiannya yang

ternyata disembunyikan dibalik batu. 

Dan bergegas pula mengenakannya. Tak 

berapa lama dua sosok tubuh telah 

berlompatan keluar dari bawah lamping 

bukit itu. Ginanjar melompat terlebih 

dahulu, lalu disusul oleh Roro. Kedua 

bocah tanggung ini bergerak cepat 

sekali melompati batu-batu terjal, 

meniti akar pohon, dan mendaki lereng 

perbukitan. Tak berapa lama keduanya


telah tiba diatas. Tampaknya Ginanjar 

mengatur napas sebentar, lalu berlari-

lari lagi menyusul Roro, yang sudah 

mendahului tanpa berhenti untuk 

beristirahat.

Siapakah gerangan gadis tanggung 

bernama Roro itu? Dialah kiranya si 

bocah angon yang telah ditolong oleh 

seorang laki-laki dari terjangan kaki-

kaki kuda pada tujuh tahun yang lalu. 

Marilah kita ikuti kemana gerangan 

kedua bocah tanggung itu menujunya.

Diujung jalan setapak, pada 

sebuah tempat yang bersih dan luas, 

tampak duduk seorang kakek diatas 

sebuah batu besar. Sang kakek ini 

berambut gondrong yang sudah putih 

semua. Bahkan kumis dan jenggotnya 

yang tebal itupun telah memutih 

bagaikan kapas. Hati Ginanjar sudah 

kebat-kebit dari kejauhan ketika 

melihat orang tua ini. Sementara Roro 

terus berlari cepat didepan Ginanjar. 

Ketika kira-kira beberapa tombak lagi, 

tiba-tiba tubuh Roro meletik indah, 

dan berjumpalitan diudara. Begitu 

menginjak tanah, ternyata sudah tiba 

dihadapan sang kakek tua itu.

"Ada apakah, kek? kau 

memanggilku..?" Bertanya Roro, yang 

segera duduk bersimpuh dihadapannya.

Sang kakek ini tak menjawab, tapi 

bibirnya diam-diam sunggingkan 

senyuman. Hatinya memuji kagum melihat


gerakan lincah bocah perempuan tang-

gung ini, yang gunakan jurus Rajawali 

Menukik. Sementara tatapan matanya 

ditujukan pada Ginanjar, yang sudah 

tiba dan segera duduk bersimpuh 

disamping Roro.

"Hm, kalian pasti habis mandi..!" 

Berkata sang kakek seraya menatap 

keduanya yang rambutnya masih basah. 

Hampir berbareng keduanya mengangguk. 

Roro tampak tenang-tenang saja, tapi 

Ginanjar terlihat benar gelisahnya. 

Sedari tadi hatinya memang sudah 

kebat-kebit.

"Bukankah sudah kukatakan, kalian 

tidak boleh mandi berdua-dua? Apakah 

kalian memang sengaja melanggar 

larangan, dan mau menjadi murid-murid 

yang keras kepala..?" Tanya sang 

kakek.

"Hayo jawab..!!" Bentak si kakek 

tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi 

terlonjak kaget. Sedangkan Roro tiba-

tiba menutup mulutnya karena merasa 

hal itu amat lucu. Tubuh Ginanjar 

tampak gemetaran tanpa bisa menjawab. 

Melihat demikian Roro cepat-cepat 

menjawab seenaknya.

"Kami tidak mandi berdua, kek..! 

Apakah kakek telah melihat sendiri 

dengan mata kepala?" Bertanya Roro. 

Sang kakek jadi berpaling menatap 

Roro. Alisnya yang putih itu bergerak 

menyatu, dan sepasang matanya melotot


tajam. Akan tetapi memang dia jadi 

gelagapan ditanya demikian, karena 

sebenarnya dia tidak melihat kedua 

bocah itu mandi berdua ataukah seorang 

diri.

3

SEMENTARA sang kakek gelagapan 

ditanya Roro demikian, gadis tanggung 

ini tundukkan wajah sambil tersenyum. 

Padahal dia cuma "menggertak" saja. 

Karena seandainya sang kakek menge-

tahuinya dan melihat mereka mandi 

berdua, entahlah hukuman apa yang 

bakal mereka terima.

"Baiklah! Aku memang tak melihat 

kalian mandi berdua! Walau demikian 

kalian tetap bersalah, karena tak 

kulihat seorangpun berada ditempat 

latihan" Ujar sang kakek sambil 

mengelus jenggot putihnya yang lebat.

"Maka sebagai hukuman, guru..!" 

Tiba-tiba Ginanjar telah berkata 

dengan suara terdengar agak gemetar. 

Lain halnya dengan Roro, yang tampak 

monyongkan mulutnya, tapi tak berani 

bicara apa-apa

"Nah kini bangunlah kalian!" 

Membentak sang kakek dengan suara 

keras. Tak usah dua kali perintah, 

bagai disengat kelabang keduanya sudah 

melompat bangun berdiri. Mata sang


kakek tampak jelalatan mencari-cari 

sesuatu diantara dahan-dahan pohon 

disekitar tempat itu. Lalu berhenti 

menatap pada sebuah dahan pohon yang 

melintang rata. Dahan pohon itu tak 

seberapa tinggi. Kira-kira tingginya 

empat kali tubuh manusia dewasa.

"Ginanjar! Kau naiklah ke dahan 

pohon itu. Dan kau harus berjuntai 

disana dengan kaki diatas kepala 

dibawah! Mengertikah kau?" Berkata 

sang kakek. Ginanjar menengadah keatas 

pohon, lalu mengangguk.

"Nah, kerjakanlah cepat!" Bentak-

nya dengan melotot.

Bocah laki-laki tanggung ini tak 

berani membantah. Dengan tiga-kali 

melompat, dia sudah berada dibawah 

pohon yang ditunjuk itu. Selanjutnya 

sudah memanjat ke atas dengan cepat. 

Sebentar kemudian sudah berada didahan 

yang ditunjuk tadi. Matanya menatap 

kebawah. Agak ngeri juga bocah laki-

laki tanggung ini, tapi dengan kuatkan 

hati segera dia mulai melirik kearah 

Roro, yang juga tengah memperhatikan. 

Akan tetapi sebuah bentakan sudah 

menyambarnya lagi.

"Hayo, cepat!" Tentu saja tak 

ayal lagi segera kuatkan kepitan 

kakinya pada dahan pohon, dan segera 

jatuhkan tubuhnya untuk menjuntai 

kebawah. Dan dengan kepala dibawah 

sedemikian rupa, Ginanjar segera


bersidakep dengan memejamkan matanya.

"Ingat! Kau tak boleh turun atau 

merobah posisimu, sampai aku datang 

dan menyuruhmu turun !" Berkata sang 

kakek dengan suara keras berwibawa. 

Kemudian berpaling menatap Roro.

"Ayo, kau ikut aku..!" Berkata 

sang kakek, dan mendahului berkelebat 

dari situ. Tentu saja Roro tak berani 

membantah, dan tak ayal lagi segera 

bergerak menyusul. Tak sempat lagi dia 

menoleh pada Ginanjar yang menjuntai 

diatas dahan pohon. Bocah inipun 

ternyata tak membuka matanya karena 

amat takut pada gurunya.

Siapakah gerangan kakek tua 

berambut putih itu. Dialah seorang 

tokoh Rimba Hijau yang telah puluhan 

tahun menyembunyikan diri di lereng 

Rogojembangan. Bernama BAYU SHETA, dan 

digelari kaum persilatan dengan 

julukan si PENDEKAR BAYANGAN

Tujuh tahun sudah Roro tinggal 

dilereng gunung itu sejak dibawa oleh 

seorang laki-laki yang telah 

menyelamatkan jiwanya, yaitu bernama 

Jarot Suradilaga, yang bergelar si 

Maling Sakti. Roro telah menjadi 

seorang gadis tanggung yang lincah 

jenaka, dengan usia kira-kira empat 

belas tahun. Ibarat bunga adalah mulai 

mekar, dan belum menampakkan kein-

dahannya. Sayang Roro tidak seba-

gaimana lazimnya anak-anak gadis


sebayanya. Karena pengaruh akibat 

terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh 

tahun yang silam, telah membuat 

wataknya agak aneh, dan angin-anginan. 

Terkadang akan membuat orang geleng 

kepala melihat sikapnya. Bahkan sang 

kakek itupun sudah maklum akan 

pembawaan watak Roro yang demikian.

Aneh juga lucu, karena sampai 

saat ini Roro belumlah mengetahui 

kalau dirinya seorang perempuan. Dan 

hingga saat ini dia tak mengetahui 

manakah sesuatu pada tubuhnya yang 

harus ditutupi dan disembunyikan...

Setelah sekian lama berlari-lari 

mengikuti sang kakek alias Ki Bayu 

Sheta itu, tampak laki-laki tua 

bertubuh kekar itu hentikan larinya. 

Roro pun segera berhenti berlari. 

Napasnya terdengar sengal-sengal. 

Kecepatan lari sang kakek itu amat 

luar biasa. Roro sudah keluarkan 

tenaga sepenuhnya untuk menyusul, akan 

tetapi tetap saja berada dibelakang 

tubuh si kakek Bayu Sheta itu sekitar 

lima-enam tombak tanpa mampu menyusul. 

Dia sudah jatuhkan tubuhnya mendeprok 

ditanah, lalu mengatur napasnya yang 

terengah-engah. Tak berapa lama segera 

rasa lelahnya sudah pulih lagi. 

Sementara sang kakek Bayu Sheta telah 

duduk diatas sebuah batu. Sebelah 

lengannya mengelus-elus jenggotnya. 

Dan sebelah lagi mengipas-ngipas


dadanya dengan ujung jubah. Tampak 

wajahnya seperti biasa saja. Tak 

terlihat rasa lelah sedikitpun setelah 

berlari sekian lama. Menandakan kakek 

tua berjulukan si Pendekar Bayangan 

ini bukanlah orang yang berkepandaian 

rendah. Karena telah memiliki 

kesempurnaan dalam mengatur napas 

ketika berlari.

"Heheheh... bagus, Roro! Ilmu 

larimu semakin maju pesat! Enam bulan 

sudah sejak kau dititipkan oleh gurumu 

si Maling Sakti ternyata tak 

mengecewakan! Cuma dalam hal mengatur 

napas kau harus lebih perhatikan 

lagi..!" Berkata Ki Bayu Sheta, dengan 

tersenyum menatap Roro. Roro tersenyum 

seraya manggut-manggut mendengarkan 

penuturan sang kakek, tapi dalam hati 

amat keheranan karena apalagi untuk 

menyusul, merendengi sang kakek saja 

teramat sulit. Anehnya mengapa 

dikatakan maju pesat? Dia jadi benar-

benar tak mengerti. Tentu saja Roro 

tak mengetahui kalau dalam setiap kali 

Roro sudah hampir berhasil meren-

denginya selalu Ki Bayu Sheta menambah 

kecepatan larinya. Hingga tetap saja 

jarak antara mereka tak berubah.

Diam-diam Ki Bayu Sheta juga 

terkejut, karena Roro telah jauh 

melebihi Ginanjar, bocah laki-lak 

tanggung muridnya itu. Kalau Ginanjar, 

ketika dia pergunakan tenaga



separuhnya saja tak mampu berada lima 

enam tombak dibelakangnya. Tetapi Roro 

ketika dia pergunakan tenaga lari tiga 

perempat bagian, ternyata mampu berada 

dibelakangnya sejarak lima enam tombak 

dibelakangnya.

"Apakah hukuman yang akan kau 

jatuhkan padaku adalah dengan 

mengajakku berlatih adu lari seperti 

ini, kek..?" Tiba-tiba Roro bertanya, 

seraya bangkit berdiri. Orang tua itu 

terdiam sesaat, tiba-tiba sepasang 

mata sang kakek telah melotot tajam 

padanya.

"Hm, aku akan menjatuhkan hukuman 

padamu seberat-beratnya, karena kau 

telah berani berdusta!" Tiba-tiba Ki 

Bayu Sheta berkata dengan suara 

dingin. Tentu saja kata-kata itu 

membuat Roro jadi terkejut.

Celaka!? Pikir Roro, dengan wajah 

seketika berubah pucat. Hatinya men-

duga kalau sang kakek telah mengetahui 

kalau dia mandi berdua dengan 

Ginanjar. Padahal tujuannya berdusta 

adalah membela bocah laki-laki itu, 

karena tampaknya amat ketakutan 

sekali. Tiba-tiba....

"Kakek..! Ampunkanlah aku! Aku 

telah berani berdusta terhadapmu..!" 

Roro telah bersimpuh dihadapan sang 

kakek itu dengan kepala menunduk.

"Berikanlah hukuman apa saja 

padaku, walau berat sekalipun pasti


akan hamba jalankan!" Tiba-tiba Roro 

bangkit berdiri dan tengadahkan lagi 

wajahnya menatap ke langit. Melihat 

itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa gelak-

gelak, dan terpingkal-pingkal seperti 

amat lucu. Ternyata tadi dia cuma 

menggertak saja. Padahal sesungguhnya 

dia memang tak mengetahui sama sekali 

kalau Roro berdusta. Tapi diam-diam Ki 

Bayu Sheta memuji sifat ksatria yang 

terdapat pada Roro, yang mau mengakui 

kesalahannya dan berani menanggung 

resikonya.

"Duduklah Roro, cucuku..!" 

Berkata Ki Bayu Sheta setelah berhenti 

dari tertawanya, dan menghela napas. 

Dipandangnya lengkung-lengkung bukit 

diufuk sana, dimana awan-awan putih 

berderet diatas perbukitan. Sementara 

hatinya membathin. Di diatas langit 

ternyata masih ada langit lagi! Bocah 

perempuan ini telah berhasil meng-

gertakku, menandakan bahwa diriku 

masih lemah! Seandainya yang meng-

gertakku adalah seorang musuh, dan aku 

mempercayai, tentu akan berakibat 

fatal! Akan tetapi jiwa kesatria 

memang sukar didapat! Bocah ini 

berdusta cuma untuk membela Ginanjar! 

Berarti dia mempunyai rasa setia kawan 

yang amat besar pada sesama murid atau 

kawan! Berarti bocah ini memang tak 

dapat disalahkan..! Demikianlah hati-

nya membathin.



"Aku telah memaafkanmu, Roro..!" 

Terdengar suara Ki Bayu Sheta lirih 

dengan nada parau. Tentu gadis 

tanggung ini jadi terheran.

"Lho! ? Mengapakah, kek? Kalau 

aku bersalah, hukumlah! Kalau kesa-

lahanku dimaafkan, apa alasannya ?" 

Bertanya Roro dengan sepasang mata 

yang bening menatap pada Ki Bayu 

Sheta. Tentu saja pertanyaan itu 

membuat sang kakek jadi melengak, tapi 

dia memang tak dapat menyahut karena 

tampak sebutir air bening telah 

tersembul disudut matanya yang sudah 

mulai agak mengabur itu. Wajahnya yang 

tegar dan seram itu ternyata tak 

seseram hatinya. Tiba-tiba sebelah 

lengannya sudah bergerak mengelus 

rambut Roro. Belaian itu begitu penuh 

kasih sayang. Roro tundukkan wajahnya 

dengan perasaan aneh, mengapa tiba-

tiba sang kakek bersikap demikian ?

"Kau memang anak baik, Roro! Tak 

percuma gurumu Jarot Suradilaga alias 

si Maling Sakti mendidikmu! Walau 

gelarnya tidak bagus, tetapi gurumu 

itu seorang Pendekar sejati. Berhati 

mulia dan selalu menjunjung tinggi 

kebenaran! Tidak kecewa kau menjadi 

muridnya, karena disamping ilmu-ilmu 

kedigjayaan yang telah diturunkannya 

padamu, ternyata jiwa ksatrianya pun 

telah diwariskan padamu! Berkata Ki 

Bayu Sheta dengan suara datar.


Sementara sepasang matanya masih 

menatap kearah bukit nun jauh disana. 

Bukit yang sering dipandangi. Itulah 

bukit Kera, dimana segala penentuan 

nasibnya adalah diatas bukit itu. 

Namun Roro memang tak mengetahui, dan 

Ki Bayu Sheta memang tak ingin kedua 

orang bocah muridnya mengetahui....

4

MATAHARI sudah condong ke arah 

barat. Ginanjar masih tetap meng-

gantung diatas dahan dengan kepala 

terjuntai kebawah. Dalam keadaan 

jungkir balik demikian tentu saja 

bernapaspun tidak leluasa rasanya. 

Mata bocah laki-laki tanggung ini 

mulai berkunang-kunang. Kepala terasa 

berat, tapi anehnya setelah dia 

salurkan hawa murni ke seluruh tubuh 

seperti yang diajarkan Ki Bayu Sheta 

gurunya, segera terasa enak sekali 

berjuntai seperti kampret begitu. 

Apalagi dalam keadaan menjuntai itu si 

bocah laki-laki tanggung itu telah 

membayangkan kejadian disungai tadi. 

Serasa enggan dia membuka sepasang 

matanya yang mengatup, karena khawatir 

bayangan indah yang dilihatnya 

mendadak hilang. Selang beberapa saat, 

dan entah sudah berapa lama Ginanjar 

menjuntai demikian tak dirasakannya


lagi. Ketika tiba-tiba didengarnya 

satu suara yang sudah tak asing lagi 

bagi pendengarannya.

"Ginanjar! Kau sudah boleh 

turun!" Tentu saja bocah laki-laki ini 

jadi terkejut tapi juga girang. Segera 

dia buka sepasang matanya. Tak 

dilihatnya ada Ki Bayu Sheta ditempat 

itu, namun suara tadi memang jelas 

suara gurunya. Tak ayal segera dia 

enjot tubuh untuk kembali tegak duduk 

diatas dahan. Kembali dia pentang mata 

untuk melihat sekitarnya. Dan memang 

tak menampak gurunya berada disekitar 

tempat itu. Hm, suara itu tak mungkin 

aku salah dengar! Gumam Ginanjar dalam 

hati. Dan... melompatlah dia dari atas 

dahan tinggi itu.

Tubuhnya meluncur turun dengan 

deras, tapi sebelum jejakkan kakinya 

ke tanah telah melayang sebuah ranting 

kayu menyambar kakinya. Terkejut bocah 

laki-laki ini, segera dia jatuhkan 

diri bergulingan. Sambaran ranting itu 

memang berhasil lolos. Akan tetapi 

ketika dia melompat bangkit berdiri, 

segera perdengarkan suara teriakan 

mengaduh. Dan kembali jatuh terduduk, 

karena terasa kakinya kesemutan. 

Segera saja lengannya bergerak meng-

urut-urut kedua kakinya.

"Bocah tolol!" Terdengar suara 

bentakan, dan sebuah bayangan 

berkelebat yang tak lain Ki Bayu Sheta



adanya.

"Keadaan kakimu belum pulih! 

Darah masih berkumpul dikedua kakimu! 

Mana kuat kau jejakkan kaki ke tanah 

dengan ketinggian seperti itu? 

Seharusnya kau salurkan kembali hawa 

murni dikedua kakimu untuk membuat 

darah membuyar!" Berkata Ki Bayu Sheta 

dengan sepasang mata melotot menatap 

pada Ginanjar.

"Ampunkan kebodohan hamba, 

guru..!" Ujar Ginanjar, yang segera 

salurkan hawa murni kearah kedua kaki 

dan tak lama rasa kesemutan itupun 

lenyap. Dan sesaat dia sudah mampu 

melompat untuk berdiri.

Pada saat itu Roro pun muncul 

dengan wajah berseri gembira. Kiranya 

sewaktu dalam perjalanan kembali 

pulang telah pergunakan cara yang 

diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga 

walaupun berlari-lari sekian lama 

tidaklah Roro merasa kelelahan. Dalam 

waktu singkat si gadis tanggung itu 

telah berhasil menguasai cara mengatur 

napas.

"Hihihi... kakek! Seharusnya dia 

tak usah kau suruh turun! Biarkan saja 

menjuntai diatas dahan menjadi 

kampret!" Berkata Roro sambil mencibir 

menatap Ginanjar. Bocah laki-laki 

tanggung itu cuma tersenyum, dan 

seketika wajahnya menjadi merah.

"Hm, sudahlah! Ayo, kita kembali


ke pondok!" Berkata Ki Bayu Sheta. Dan 

mendahului berkelebat.

"Eh, Ginanjar! Kau mau pulang 

atau tidak?" Roro palingkan wajahnya 

menatap bocah laki-laki itu.

"Pulanglah duluan Roro..! Nanti 

aku menyusul!" Sahut Ginanjar dengan 

menatap pada Roro dan jatuhkan 

pantatnya duduk diatas akar pohon. 

Lengannya bergerak menguruti kakinya.

"Kakimu sakit?" Tanya Roro, 

seraya menghampiri.

"Tidak lagi! cuma kesemutan 

sedikit..! Ujar Ginanjar. Gadis 

tanggung ini gerakkan alisnya, dengan 

sepasang matanya berkedipan.

"Aku akan bantu mengurut, biar 

lekas sembuh!" Berkata Roro seraya 

berjongkok dan ulurkan sepasang 

lengannya. Berdebar seketika hati 

Ginanjar akan tetapi cepat-cepat dia 

berkata.

"Sudahlah, cuma sedikit! Ayolah 

kita pulang..!" Ujar Ginanjar, dan 

segera bangkit berdiri. Roro seperti 

tertegun, tapi segera perlihatkan 

senyumnya.

"Ayoo..!" ujarnya. Dan segeralah 

keduanya berlari cepat meninggalkan 

tempat latihan itu. Dikejauhan masih 

terdengar suara Roro yang tertawa 

cekikikan entah apa yang membuatnya 

geli. Namun sekejap mereka sudah tak 

kelihatan lagi.


* * * *

Waktu berlalu terus....

Dan saat yang dijanjikan itupun 

tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak 

berdiri diatas bukit itu. Sepasang 

matanya menatap pada sebuah bukit nun 

jauh di sana, diarah sebelah barat. 

Bukit itu memang tampak jelas dari 

tempat dia berdiri. Itulah Bukit Kera! 

Buki yang selalu diperhatikannya 

disaat-saat bulan Purnama. Senja itu 

matahari bersinar kemerahan. Cum 

cahayanya saja yang menampak, karena 

sang matahari sudah tak terlihat 

terhalang bukit. Terdengar suara 

menghela napasnya, diseling suara 

menggumam lirih yang hampir tak 

terdengar.

"Hm, Dewa Tengkorak! malam nanti 

aku akan menepati janjiku..!" Dan 

setelah menghela napas, kakek itupun 

putarkan tubuh untuk segera berlalu 

tinggalkan tempat itu.

Senja semakin melenyap untuk 

segera berganti dengan malam. Malam 

itu adalah malam bulan purnama yang 

ketujuh, sejak saat perjanjian yang 

telah ditentukan. Ki Bayu Sheta 

memanggil kedua muridnya, yang segera 

duduk bersimpuh dihadapannya. Pelita 

minyak sudah dipasang diatas meja 

kecil dihadapan mereka. Ruangan pondok 

itu tampak lengang, karena kedua murid


itu tak keluarkan suara sepatah pun. 

Sejak siang tadi mereka memang telah 

melihat perubahan sikap si kakek, 

tentu saja dipanggilnya mereka untuk 

menghadap bakal ada satu pembicaraan 

penting.

"Roro…! Ginanjar! Kuharap kalian 

tidak meninggalkan lereng Gunung 

Rogojembangan ini sepeninggalku!" 

Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara 

berat. Mendengar itu kedua bocah ini 

hampir berbareng mengangkat wajahnya. 

Roro sudah lantas bertanya.

"Mau kemanakah kakek..?" Ki Bayu 

Sheta cuma terdiam menatap kedepan. 

Lalu ujarnya. "Hm, kukira kalian tak 

perlu mengetahui! Karena ini adalah 

urusanku!" Menyahut sang kakek dengan 

suara tandas.

"Yang penting kalian tak boleh 

meninggalkan tempat ini sampai 

kedatangan menantuku Jarot Suradilaga! 

Alias si Maling Sakti!" Ujarnya. Dan 

kedua bocah itupun manggut-manggut 

dengan berbareng. Adapun Roro sudah 

lantas bertanya lagi. "Apakah menantu 

itu, kek?" Tentu saja membuat Ki Bayu 

Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi Roro 

selalu mengacaukan pembicaraan. Akan 

tetapi orang tua ini segera menghela 

napas, dan menjelaskan.

"Menantu itu artinya, gurumu si 

Maling Sakti itu telah menikah dengan 

anak perempuanku! Nah, si Jarot itulah


menantuku..!" Ujar sang kakek dengan 

tersenyum. "Kakek mempunyai seorang 

anak perempuan ?" Tiba-tiba Roro 

kembali bertanya dengan menatap tajam 

pada Ki Bayu Sheta. Laki-laki tua itu 

manggut-manggut sambil mengelus 

jenggotnya. Dari sepasang matanya 

tiba-tiba sudah menggenang air mata. 

Tentu saja membuat Roro jadi melengak. 

M ngapa tahu-tahu si kakek jatuhkan 

air mata? Pikir Roro.

"Yah, aku memang mempunyai 

seorang anak perempuan yang telah 

menikah dengan gurumu Jarot Suradilaga 

alias si Maling Sakti! Akan tetapi 

anakku sudah pergi meninggalkannya. 

Pergi dengan membawa seorang bayi 

perempuan! Hal itu sudah berlalu empat 

belas tahun yang lalu...!" Berkata Ki 

Bayu Sheta dengan menyeka air matanya 

dengan ujung lengan jubahnya.

"Pergi... ? maksudmu berpisah, 

kek?" Tanya Roro. Sang kakek kembali 

mengangguk, dan menatap pada Roro.

"Ya..! kalau bayi itu masih 

hidup, tentu seusia denganmu Roro..!" 

Roro sudah mau bertanya lagi, akan 

tetapi Ginanjar telah mencubit 

pahanya, memberi isyarat agar jangan 

terlalu banyak bertanya. Gadis tang-

gung ini monyongkan mulutnya, akan 

tetapi tak berani berkata.

Ki Bayu Sheta kembali teruskan 

wejangannya yang didengarkan oleh


kedua muridnya dengan tundukkan wajah. 

Kali ini Ki Bayu Sheta benar-benar 

berpesan seperti orang yang tak akan 

berjumpa lagi membuat Roro dan 

Ginanjar jadi was-was hatinya. Namun 

mereka tak mengucapkan kata sepatahpun 

kecuali mengangguk.

"Nah, jagalah diri baik-baik!" 

Selesai berkata sang kakek bangkit 

berdiri, lalu beranjak keluar menuju 

halaman. Kedua muridnya ini segera 

mengikut mengantar kepergiannya. Tak 

berapa lama setelah menengadahkan 

kepala menatap rembulan, Ki Bayu Sheta 

segera berkelebatan cepat tinggalkan 

pondok di lereng Gunung itu. Roro dan 

Ginanjar cuma menatap bayangannya saja 

yang sekejap telah lenyap di 

keremangan malam....

* * * *

Siapakah sebenarnya Ki Bayu Sheta 

alias Pendekar Bayangan itu? Dialah 

seorang pendekar yang pernah meng-

gemparkan pada dua puluh tahun yang 

silam. Pendekar ini pernah turut 

berjuang mempertahankan Kerajaan 

MEDANG dari serbuan musuh, dan turut 

serta dalam sebuah pemberontakan, 

karena ketidak senangannya melihat 

Para Pembesar Kerajaan bertindak 

sewenang-wenang terhadap rakyat, 

disaat Kerajaan sudah kembali aman.


Gerakan pemberontakan itu dipimpin 

secara sembunyi-sembunyi, dengan me-

ngikut sertakan kaum pengemis yang 

berjiwa Patriot. Disitulah Ki Bayu 

Sheta berjumpa dengan Jarot Suradilaga 

alias si Maling Sakti yang ternyata 

adalah pemimpin dari kelompok Partai 

Pengemis.

Kerajaan Medang waktu itu dalam 

keadaan gawat. Namun berkat bantuan 

rakyat dan kaum Partai Pengemis yang 

turut berjuang, semua kerusuhan itu 

dapat dipulihkan. Dan semua itu harus 

meminta korban jiwa yang tidak 

sedikit. Walaupun demikian, setelah 

Kerajaan menjadi aman, ternyata masih 

ada juga beberapa gelintir manusia 

yang duduk bercokol dikursi kebesaran 

dengan kekuasaan yang membuat beban 

berat terhadap rakyat tanpa setahu 

Raja.

BUKIT KERA adalah tempat yang 

dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu sebuah 

bukit yang memang banyak dihuni oleh 

kera-kera. Tampaknya si Pendekar 

Bayangan tak begitu tergesa-gesa untuk 

cepat tiba dibukit itu. Bulan Purnama 

tampak membulat indah pancarkan 

sinarnya yang terang benderang. Tanpa 

setahu Ki Bayu Sheta, sesosok tubuh 

ramping telah mengikutinya dengan 

gerakan hati-hati. Siapakah gerangan 

sosok tubuh yang menguntitnya itu?

Tak lain dari seorang bocah


perempuan, yang ternyata adalah Roro. 

Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu Sheta 

sudah tak kelihatan lagi, namun Roro 

masih bisa mengetahui letak Bukit 

Kera. Karena Roro memang sudah menduga 

kepergiannya adalah ke bukit itu, 

sebab dia sering melihat sang kakek 

menatap kearah barat. Dan gumamnya 

terkadang terdengar oleh Roro.....

5

SEMENTARA itu... Diatas puncak 

BUKIT KERA telah menanti sesosok 

tubuh, berdiri tegak dengan jubah 

berwarna hitam. Rambutnya putih 

beriapan. Bila dilihat keseluruhannya 

amatlah mirip dengan Tengkorak Hidup. 

Laki-laki ini bekulit hitam legam 

dengan tulang pelipis yang menonjol. 

Pada bagian belakang jubahnya terdapat 

sebuah simbol kepala tengkorak. 

Dilengannya tercekal sebatang tombak 

yang juga berwarna hitam. Usia orang 

ini sekitar tujuh puluhan tahun. 

Dialah si DEWA TENGKORAK. Seorang 

tokoh Rimba Persilatan golongan hitam.

Tidak terlalu lama sesosok 

bayangan putih berkelebat... Dan 

segera telah berdiri diatas sebuah 

batu besar tepat dihadapan si Manusia 

Jerangkong itu. 

Siapa lagi kalau bukan si


Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Jarak 

mereka berhadapan kurang lebih tujuh 

delapan tombak.

"Hehehehe... hehe... Selamat 

datang sobat Pendekar Bayangan! Anda 

benar-benar seorang pendekar tulen 

yang menepati janji..!" Terdengar si 

manusia jerangkong berkata. Suaranya 

dingin mencekam menyibak kelengangan 

di sekitar bukit itu.

"Terima kasih atas pujianmu itu 

Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin 

kedatanganku agak terlambat!" Ujar Ki 

Bayu Sheta dengan suara datar.

"Hehehe... sama sekali tidak, 

sobat Bayu Sheta! anda terlalu 

berbasa-basi, membuat aku terkadang 

malu terhadap diriku sendiri!" Sahut 

si Manusia Jerangkong, dan terdengar 

suara helaan napasnya. Tiba-tiba 

dengan sekali bergerak tubuh di Dewa 

Tengkorak telah mencelat keatas 

setinggi sepuluh tombak. Dan dengan 

ringan bagaikan sehelai bulu, sepasang 

kakinya telah mendarat tepat dihadapan 

Ki Bayu Sheta berjarak kurang lebih 

dua tombak, tepat diatas batu besar. 

Ujung tombak dilengannya tiba-tiba 

diarahkan kedada Ki Bayu Sheta, dan 

terdengar suaranya yang berubah jadi 

angker.

"Hm, Bayu Sheta! Tebusan nyawamu 

atas 300 nyawa kaum Partai Pengemis 

dan keluarganya pada dua puluh tahun


yang silam, akan aku laksanakan pada 

malam purnama ini! Kukira sejak 

perjumpaan kita tujuh purnama yang 

lalu, dan pengunduran pelaksanaan 

pencabutan nyawamu berakhirlah su-

dah..!"

"Ya! aku telah siap untuk 

menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak! 

Lakukanlah!" Berkata Ki Bayu Sheta 

dengan suara gagah. Dadanya 

dibusungkannya untuk segera menerima 

kematian. Akan tetapi si Dewa 

Tengkorak telah turunkan lagi 

tombaknya. Dan menancapkannya ditanah 

hingga amblas sampai separuhnya.

Suara serak si Manusia Jerangkong 

itu kembali memecah keheningan yang 

mencekam itu.

"Bayu Sheta! Tujuh Purnama yang 

lalu aku telah memberi kesempatan 

padamu untuk berlatih memperdalam ilmu 

kedigjayaanmu guna menghadapi malam 

ini, apakah sudah kau lakukan?" 

Bertanya si Dewa Tengkorak.

"Ya! Bagus! kau memang manusia 

jempolan yang tahu diri!

Heheheh... tahukah kau mengapa 

aku sengaja mengulur waktu untuk 

menjemput nyawamu? Karena aku memang 

menghendaki pertemuan kita disaat kita 

sudah sama-sama tua bangka seperti 

ini! Dan telah dekat ke liang kubur, 

karena cepat atau lambat toh pada 

akhirnya kita akan berangkat ke


Akhirat..!" Berkata si Dewa Tengkorak 

dengan suara parau, dan kembali 

mengumbar tawa berkakakan. Kata-kata 

si manusia jerangkong ini terdengar 

tandas, anehnya seperti tidak 

mengandung dendam kebencian terhadap 

Ki Bayu Sheta.

"Selama dua puluh tahun kukira 

cukuplah untuk kau mendidik seorang 

murid pewaris ilmu-ilmu yang kau 

miliki! Dan kau masih punya banyak 

waktu untuk bersenang-senang, karena 

waktu yang kuberikan cukup lama!" 

Ujarnya lagi. Kini sepasang mata Ki 

Bayu Sheta telah beralih menatap pada 

si Dewa Tengkorak. Tampak sinar 

matanya membersit tajam seperti mau 

menembus jantung si manusia 

jerangkong. Kata-kata itu telah 

membuat napasnya memburu dan dadanya 

naik turun bergelombang. Betapa amat 

terhinanya si Pendekar Bayangan. 

Prioritas yang diberikan si Dewa 

Tengkorak selama itu justru telah 

membuat dia menderita. Tiba-tiba laki-

laki tua ini sudah perdengarkan suara 

keras, gemetaran penuh amarah "Dewa 

Tengkorak!!! Kukira sudah lebih dari 

cukup kau menyiksaku lahir bathin. Dua 

puluh tahun lebih aku menderita, 

tersiksa..! Aku tak ubahnya seperti 

seorang hukuman yang sudah ditentukan 

kapan waktu kematiannya! Apakah aku 

bisa hidup dengan tenteram, dan


bersenang-senang..?" Bergetaran tubuh 

Ki Bayu Sheta menahan amarah yang 

bergemuruh didadanya.

Memang, selama itu aku masih 

dapat mengenyam nikmatnya hidup! Se-

cara lahiriah aku kelihatan dapat 

merasakan hidup tenteram, dengan mem-

punyai seorang murid dan mendidiknya 

dilereng Rogojembangan. Akan tetapi 

secara bathiniah, aku telah tersiksa! 

Karena hidupku selama ini adalah atas 

belas kasih orang yang memberiku waktu 

untuk hidup. Saat-saat kematianku 

seperti sudah diambang mata dan waktu 

yang selama itu kau berikan padaku 

seperti tinggal beberapa hari saja..! 

Tidak, Dewa Tengkorak! Ketenteraman 

hidup akan bisa dirasakan tanpa orang 

itu mengetahui kapan kematiannya yang 

akan dia hadapi!"

Kata-kata Ki Bayu Sheta yang 

tegas dan tanda itu seperti air bah 

yang mengalir dari atas gunung. Si 

manusia jerangkong itu terpaku membisu 

bagai sebuah arca. Cuma terlihat ujung 

jubahnya yang melambai-lambai diterpa 

angin. Ternyata si Pendekar Bayangan 

telah lanjutkan kata-katanya lagi.

"Sepuluh tahun yang lalu akan 

hampir membunuh diri, karena tak kuat 

menanggung penderitaan bathin! Maut 

serasa sudah didepan mataku, dan aku 

sudah tak sabar menunggumu turun 

tangan mengambil nyawaku! Dan tujuh


purnama yang lalu aku sudah bergirang 

hati, karena aku segera akan menemui 

kematian dibukit ini! Akan tetapi tak 

dinyana kau telah mengulur lagi waktu 

kematianku sampai hari ini...! Kini 

waktu itu telah tiba Dewa Tengkorak! 

Dan aku sudah tak sabar lagi menunggu! 

Segeralah kau memulai..!" Teriak Ki 

Bayu Sheta dengan suara tandas.

"Baiklah Bayu Sheta! Hari ini aku 

memang tak berniat mengulur-ulur waktu 

lagi, segeralah kau persiapkan dirimu! 

Akan tetapi aku tak dapat membunuh 

orang yang tanpa melakukan perlawanan! 

Segeralah cabut senjatamu..!" Berkata 

si Dewa Tengkorak dengan suara dingin. 

Lengannya sudah bergerak mencabut 

tombak hitamnya yang tertancap 

ditanah.

"Aku tak membawa senjata apa-apa, 

sobat Dewa Tengkorak! Pedang Pusakaku 

telah kutinggalkan dipondokku untuk 

pewaris pada muridku! Yah, kukira tak 

guna kulakukan perlawanan! Toh 

akhirnya aku akan mati, sesuai dengan 

janjiku untuk memberikan nyawaku 

sebagai penebus 300 jiwa orang-orang 

Partai Kaum Pengemis..!" Ujar Ki Bayu 

Sheta dengan suara tegas. Akan tetapi 

justru membuat si manusia jerangkong 

ini kecewa setengah mati.

"Huh! Benar-benar sial dang-

kalan..! Justru aku ingin melihat 

kehebatan jurus dari Ilmu Pedang Baya


ngan yang kau miliki itu, yang pernah 

membuat namamu harum dipuji orang! 

Mengapa kau membuatku kecewa, Bayu 

Sheta..?" Berkata si Dewa Tengkorak 

dengan suara mengandung kemendong-

kolan. Sepasang matanya melotot 

menatap laki-laki tua dihadapannya. 

Dan... sekali lengannya bergerak 

tombak ditangannya telah dihunjamkan 

ketanah hingga amblas tak kelihatan 

lagi.

Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak 

menyangka kalau si Dewa Tengkorak akan 

melakukan hal seperti itu Tombak Hitam 

itu adalah Tombak Pusaka Kerajaan 

Kalingga milik Ratu SHIMA, seorang 

raja perempuan yang pernah berkuasa di 

Jawa Tengah pada abad ke tujuh. Ki 

Bayu Sheta mengetahui dari kakek 

gurunya, bahwa Tombak Pusaka ditangan 

si Dewa Tengkorak itu adalah benda 

bersejarah. Entah bagaimana asalnya 

hingga Tombak Pusaka itu bisa jatuh 

ketangan si Dewa Tengkorak.

Saat itu telah terdengar suara si 

manusia jerangkong yang parau. 

Kepalanya ditengadahkan menatap kearah 

perbukitan yang berjajar kehitaman nun 

jauh diarah sana.

"Bayu Sheta! Julukanmu si 

Pendekar Bayangan itu telah membuat 

aku mengiri pada lebih dari dua puluh 

tahun yang silam! Ternyata disamping 

tingginya ilmu yang kau miliki, kau


juga memiliki keluhuran budi! Kau 

berjuang semata-mata karena membela 

kebenaran, melindungi si lemah yang 

tertindas dari si penguasa yang jahat! 

Perjuanganmu dalam membela Kerajaan 

Medang dari keruntuhan bersama-sama 

Partai Kaum Pengemis dan rakyat, telah 

ditulis dalam sejarah, dan dikenang

orang sepanjang zaman.

"Aku benar-benar kagum atas 

keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau telah 

rela menebus nyawa ratusan manusia 

dengan nyawamu sendiri! Aku merasa 

telah kau kalahkan, Pendekar Ba-

yangan..! Aku cuma bertindak 

berdasarkan ambisiku belaka, tak tahu 

apakah orang yang aku bela itu 

golongan pengkhianat Kerajaan atau 

pihak yang benar. Bagiku sama saja! 

Karena yang penting adalah aku dapat 

berbuat semauku tanpa ada yang 

melarang. Dan aku dapat hidup 

berkecukupan dengan hadiah-hadiah yang 

tanpa ku minta akan datang sendiri, 

walau datangnya dari para Pembesar 

Kerajaan yang menggerogoti hasilnya 

dari memeras rakyat. Aku tak mau 

tahu..!" Ujar si Dewa Tengkorak dengan 

suara terdengar parau dan seperti 

berkumandang disekitar bukit. Dan 

lanjutnya lagi setelah terdiam 

beberapa saat.

"Aku merasa bangga kalau ilmu 

Tombak Iblis yang kumiliki tak ada


yang menandingi. Bahkan kini telah 

kupersiapkan sepuluh jurus ilmu 

pukulan sakti hasil ciptaanku, yang 

telah memakan waktu hampir sepuluh 

tahun aku menekuninya. Ilmu pukulan 

sakti itu kuberi nama Sepuluh Jurus 

Pukulan Kematian..!" Sampai disini si 

Dewa Tengkorak berhenti berkata, dan 

palingkan wajahnya menatap si Pendekar 

Bayangan Ki Bayu Sheta.

"Baiklah, Bayu Sheta! Rupanya tak 

ada waktu lagi, walau aku harus kecewa 

karena ternyata kau tak memenuhi 

harapanku..!" Si manusia jerangkong 

itu rentangkan sepasang tangannya 

seperti mau menyangga bulan. 

"Bersiaplah Bayu Sheta! Aku akan 

melancarkan pukulan dari Sepuluh Jurus 

Pukulan Kematian! Biia kau dapat 

menahan ilmu pukulanku sampai sepuluh 

jurus, kau bebas menikmati kehidupanmu 

sampai Hari Kiamat..!" Berkata si 

manusia jerangkong ini dengan suara 

dingin bagaikan es.

"Baik! Segeralah kau mulai! aku 

sudah siap. !" Berkata Bayu Sheta 

dengan suara datar, yang telah 

memasang kuda-kuda. Walaupun sudah tak 

mengharapkan hidup lagi, namun dia tak 

mau mati konyol begitu saja. Dan dia 

memang tak mau mengecewakan si Dewa 

Tengkorak, untuk menghadapi kehebatan 

kesepuluh jurus Pukulan Kematiannya 

dengan kekuatan yang dimiliki. Dengan


perdengarkan suara mendesis, si 

Manusia Jerangkong sudah lancarkan 

serangan.

WHUUUUK..!

Segelombang angin pukulan berhawa 

panas telah menerjang kearah Ki Bayu 

Sheta.

DHESSSS…! Si Pendekar Bayangan 

sudah memapaki serangan dahsyat itu. 

Benturan kedua tenaga dalam yang hebat 

itu menimbulkan asap tipis seperti 

kabut. Laki-laki Lereng Rogojembangan 

itu terhuyung ke belakang. Dia cuma 

keluarkan sebagian tenaga dalamnya, 

tak dinyana pukulan pertama si Dewa 

Tengkorak membuat dia terhenyak kaget, 

karena terasa hawa panas menembus 

masuk ke dalam tubuhnya beruntung sang 

kakek telah lindungi tubuh dengan hawa 

murni. Sedangkan si manusia Jerangkong 

itu tampak tenang-tenang saja berdiri 

menatapnya tanpa menggeser tubuh.

"Bagus! kini tahanlah pukulan 

kedua..!" Teriak si Dewa Tengkorak. 

Dan dibarengi teriakan menggeledek, si 

manusia Jerangkong segera hantamkan 

pukulannya.

6

HANTAMAN demi hantaman pun 

berlangsung… Dan si Pendekar Bayangan 

selalu berhasil menahannya, hingga 

sampai jurus kelima. Hawa disekitar


tempat itu mulai terasa panas. 

Berpuluh-puluh ekor kera sudah 

berlompatan menyingkirkan diri. Angin 

malam yang membersit dari atas Bukit 

Kera ternyata telah menimbulkan hawa 

panas yang menyebar disekitarnya. 

Bahkan hawa panas itu kini sudah 

berganti-ganti panas dan dingin, 

karena Si Pendekar Bayangan telah 

keluarkan tenaga dalam Inti Es untuk 

menahan serangan Si Dewa Tengkorak. 

Pada Jurus kelima ini telah membuat Ki 

Bayu Sheta terdorong mundur dua 

langkah. Sedangkan tubuh si Dewa 

Tengkorak tampak bergoyang-goyang, 

tapi cukup membuat tokoh hitam Rimba 

Persilatan ini terkejut karena hawa 

dingin seperti telah memusnahkan 

tenaga dalam Inti Apinya.

Jurus keenam telah dilancarkan 

lagi... Kali ini si Pendekar Bayangan 

harus hati-hati, karena jurus ini amat 

berbahaya dan lebih ganas lagi. 

Pukulan si Dewa Tengkorak mengarah 

batok kepala orang dengan cengkeraman 

ganas. Sedang sebelah lengannya lagi 

menghantam kearah jantung. Serangan ke 

arah batok kepala dapat dihindarkan, 

akan tetapi yang mengarah ke jantung 

sukar dihindarkan karena datangnya 

terlalu cepat dan dibarengi hawa panas 

yang menyesakkan pernapasan. Tenaga 

Inti Es nya ternyata seperti meleleh 

oleh hawa Inti Api si Dewa Tengkorak,


yang ternyata lebih kuat. Untung dia 

keburu doyongkan tubuh, akan tetapi 

tetap saja pukulan itu bersarang 

dibahunya sebelah atas. Dan.

BUK...! Ki Bayu Sheta terdorong 

tiga langkah. Jubahnya pada bagian 

bahu sebelah atas itu robek hangus,

dan tampak kulit bahunya mengelupas. 

Namun dengan mengertak gigi, Ki Bayu 

Sheta tak perlihatkan rasa sakitnya. 

Bahkan dengan gagah kembali berdiri 

tegak dengan mengumbar senyum.

"Hebat! Jurus keenam ini cukup 

luar biasa, soba Dewa Tengkorak! Nah, 

aku sudah siap menanti serangan jurus 

ketujuh!" Berkata Ki Bayu Sheta denga 

suara santar.

Akan tetapi sampai jurus keenam 

ini si Dewa Tengkorak berhenti 

sejenak, seperti memberi waktu pada 

lawannya untuk mengatur napas. Namun 

agaknya si Pendekar Bayangan sudah tak

sabar lagi. Di merasa bagai seorang 

bocah kecil yang harus di kasihani. 

Memang diakuinya bentengan hawa murni 

pada tubuhnya yang mengandung hawa 

Inti Es dapat dijebol si Dewa 

Tengkorak. Dan membuat darahnya seper-

ti bergolak panas membuat dadanya 

menjadi sesak. Setetes darah sudah 

tersembul disudut bibirnya. Akan 

tetapi mana mau laki-laki perkasa itu 

menunjukkan kelemahannya? Bahkan 

seperti tak mengalami apa-apa dia


menantang jurus-jurus selanjutnya. 

Mengetahui si Dewa Tengkorak sengaja 

menyediakan waktu padanya untuk 

beristirahat, tentu saja membuat jago 

tua ini merasa terhina.

"Mengapa berhenti, Dewa 

Tengkorak? Heh, kau kira aku takut 

menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk 

Anjingmu itu? Ataukah kau malu 

mempertunjukkannya padaku? Hahaha.. 

hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta 

mengejek si Dewa Tengkorak agar 

menjadi marah, dan segalanya akan 

cepat menjadi beres. Mendengus si Dewa 

Tengkorak. Wajahnya seketika menjadi 

merah padam. Dan dia sudah mengangkat 

tangannya, seraya berteriak.

"Baik Bayu Sheta! Terimalah jurus 

ketujuh dan kedelapan!" Tampak 

sepasang lengan si manusia Jerangkong 

itu telah berubah merah bagaikan bara 

api yang mengepulkan asap tipis. Si 

Pendekar Bayangan menahan napas, dan 

sudah siap menghadapi dua jurus 

ketujuh dan kedelapan dari Sepuluh 

Jurus Pukulan Kematian. Satu bentakan 

keras seperti membelah bukit. Hawa 

panas melingkupi sekitar bukit Kera, 

ketika sepasang lengan si Dewa 

Tengkorak bergerak memutar yang menim-

bulkan angin panas. Ketika putarannya 

berhenti mendadak tubuh si Manusia Je-

rangkong itu mencelat keatas setinggi 

sepuluh tombak. Dan ketika menukik


lagi, segera hantamkan lengannya 

kearah Ki Bayu Sheta.

DHESSSS...!

Satu pukulan berhasil ditangkis 

si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu Sheta 

terhuyung kebelakang. Dan jurus 

berikutnya adalah tiga serangan 

sekaligus, yang mengarah ketiga bagian 

tubuh si Pendekar Bayanga ditempat-

tempat berbahaya. Yaitu tenggorokkan, 

perut dan... selangkangan.

"Jurus keji..!" Terdengar sebuah 

bentakan, di susul dengan ber-

kelebatnya sebuah bayangan putih. 

Dan...

KRAK! KRAKK! BUK…!

Jurus kedelapan itu dapat 

mengenai sasaran. Dan terdengarlah 

suara jeritan parau menyayat hati, 

dengan diiringi terlemparnya sesosok 

tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah 

berkelojotan beberapa saat sosok tubuh 

itupun diam tak berkutik lagi karena 

telah tewas dengan seketika. Apakah 

yang terjadi? Kiranya Ki Bayu Sheta 

telah terhindar dari pukulan maut si 

Dewa Tengkorak. Dan justru si 

pendatang barulah yang telah menahan 

pukulan keji si Manusia Jerangkong itu 

dan menjadi korban. Sedangkan Pendekar 

Bayangan Ki Bayu Sheta masih berdiri 

dengan tubuh limbung. Darah segar 

berwarna hitam kental tersembur 

beberapa kali dari tubuhnya. Ternyata


hantaman pada jurus awal dari jurus 

ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta telah 

terluka parah. Seandainya tak datang 

sesosok tubuh yang menahan terjangan 

jurus selanjutnya dan mengorbankan 

nyawa, mustahil kalau si Pendekar 

Bayangan dapat lolos dari maut.

Sementara terjangan-terjangan 

yang terjadi di atas bukit Kera itu 

ternyata tak luput dari sepasang mata 

bening, yang telah turut menyaksikan 

pertarungan sejak awal tadi. Dialah 

Roro, si gadis bengal yang telah diam-

diam menguntit sang kakek Ki Bayu 

Sheta. Sepasang mata gadis tanggung 

ini terbeliak lebar menyaksikan 

kejadian barusan. Dan dari bibirnya 

telah terdengar teriakan tertahan. Dan 

si gadis tanggung ini telah menghambur 

keluar dari tempat persembunyiannya. 

Ternyata dia telah mengetahui siapa 

adanya laki-laki yang mengorbankan 

nyawa menyelamatkan Ki Bayu Sheta.

"GURUUUU…!" Teriaknya dengan 

suara parau bercampur isak. Dan dengan 

beberapa kali melompat dia sudah tiba 

didekat tubuh si pendatang, yang sudah 

terkapar tak bernyawa. Keadaannya amat 

mengerikan, karena tulang dadanya 

remuk, dan tulang leher patah, serta 

pada bagian selangkangannya telah 

hancur bersimbah darah. Sesaat Roro 

sudah jatuhkan tubuhnya untuk memeluki 

tubuh laki-laki itu, yang tak lain


dari Jarot Suradilaga alias si Maling 

Sakti. Diguncang-guncangkannya tubuh 

laki-laki itu dengan isak tangis 

memilukan.

Sementara itu tanpa ada yang 

mengetahui disudut mata si Dewa 

Tengkorak tersembul setitik air 

bening. Untuk pertama kalinya dia 

mencucurkan air mata. Mengapa 

demikian? Karena didada si Dewa Teng-

korak telah mengaduk berbagai perasaan 

menjadi satu. Hatinya begitu trenyuh 

menyaksikan pengorbanan si Maling 

Sakti pada si Pendekar Bayangan. 

Alangkah bahagianya kalau dia dapat 

mati sebagai seorang Pendekar, seperti 

si Maling Sakti itu. Dan Si Pendekar 

Bayangan pun rela mati demi menebus 

nyawa 300 orang Partai Kaum Pengemis, 

yang sedianya sudah akan dibantai si 

Dewa Tengkorak, dan lasykar Kerajaan 

ketika mereka tengah berkemah bersama 

keluarga ditempat pengungsiannya 

ditepi sungai atau Kali Wringin.

Seorang Adipati bernama Haryo 

Gawuk telah melaporkan pada Raja 

Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum 

Pengemis telah siap melakukan 

penyeranga ke Istana. Mereka berkemah 

ditepi Kali Wringin. Tentu saja 

Baginda Raja Kerajaan Medang menjadi 

murka. Karena merasa Partai Kaum 

Pengemis telah bertindak keterlaluan. 

Raja telah memberikan janji untuk


mengangkat mereka yang telah turut 

berjuang membela Kerajaan dari 

kekuasaan musuh, dan telah pula 

membantu memperjuangkan rakyat dari 

tindakan para Pembesar yang sewenang-

wenang, mengapa diberi penghargaan 

telah menolak? Dan kini diam-diam 

telah mengatur pemberontakan. Segera 

saja perintahkan Senapati Trenggono 

untuk menumpas Partai Pemberontak itu.

Akan tetapi hatinya menjadi ragu 

atas pengkhianatan Partai Kaum 

Pengemis. Segera Sang Raja perintahkan 

Patih Ganda Setho untuk menyusul 

Senapati Trenggono dengan membawa 

surat pembatalan untuk menumpas Partai 

Kaum Pengemis. Dan memerintahkan untuk 

menyelidiki terlebih dulu. Sang Patih 

berhasil menyusul Senapati Trenggono 

dan pasukannya. Lalu berikan surat 

penggagalan penyerangan dari Baginda 

Raja. Ternyata sekembalinya sang Patih 

Ganda Setho, Senapati Trenggono yang 

memang telah mengatur rencana jahat 

dengan Adipati Haryo Gawuk, segera 

berunding. Ternyata diam-diam sang 

Adipati telah berhubungan dengan si 

Dewa Tengkorak. Dan telah menyogok si 

Dewa Tengkorak denga harta dan wanita. 

Tentu saja si Dewa Tengkorak yang 

terkenal berkepandaian tinggi dan 

ditakuti itu tak menolak. Sebagian 

lasykar Kerajaan kembali pulang 

bersama Senapati. Akan tetapi sebagian


lagi telah turut menyerbu ke kemah 

kaum Partai Pengemis, yang pada waktu 

itu berada di tepi Kali Wringin 

bersama keluarganya.

Mereka telah dikepung ketat, dan 

dalam keadaan tak siap siaga. Karena 

merasa keadaan Kerajaan sudah aman. 

Mereka sengaja berkumpul karena akan 

mengadakan penyambutan buat si 

Pendekar Bayangan dan Ketua Mereka si 

Maling Sakti, berkenaan dengan 

menikahnya puteri si Pendekar Bayangan 

Ki Bayu Sheta dengan Jarot Suradilaga 

alias si Maling Sakti, sang Ketua 

mereka. Tentu saja keadaan dikemah 

mereka cuma ada beberapa puluh orang 

kaum laki-laki, karena sisanya tengah 

menghadiri pesta pernikahan anak 

perempuan si Pendekar Bayangan disisi 

Kota Raja, yang diadakan dengan 

sembunyi-sembunyi.

Rupanya hal tersebut sudah bocor, 

dan diketahui oleh anak buah Adipati 

Haryo Gawuk. Sang Adipati meng-

khawatirkan akan kedudukannya, karena 

dia memang salah seorang Adipati yang 

bertindak tidak jujur, dan melakukan 

pemerasan terhadap rakyat. Dengan 

adanya Komplotan Partai Pengemis, 

bisa-bisa dirinya akan tergeser dan 

dipecat seandainya komplotan para 

pejuang itu mencium tindakannya.

Demikian juga dengan Senapati 

Trenggono, karena adalah bekas seorang


Tumenggung yang justru disaat keadaan 

Kerajaan sedang kacau, dia berpihak 

pada musuh. Bisanya menduduki jabatan

sebagai Senapati, tentu saja dengan 

jalan memutar lidah dihadapan Raja. 

Dan mengkambing hitamkan rakyat atau 

para Pembesar Kerajaan lainnya, hingga 

sang Raja menjatuhkan hukuman mati 

pada orang yang sebenarnya tidak 

bersalah.

Karena mengkhawatirkan kedudu-

kannya juga khawatir tersingkap keja-

hatannya, Senapati Trenggono telah 

bersengkongkol dengan Adipati Haryo 

Gawuk untuk menyingkirkan kaum Partai 

Pengemis para pejuang pembela rakyat 

itu. Tentu saja pengaturan itu telah 

dipersiapkan sejak lama. Dan berhasil 

dihubungi seorang tokoh hitam yang 

bergelar si Dewa Tengkorak.

Untunglah dalam saat yang genting 

itu, si Pendekar Bayangan telah 

menerima laporan dari anak buahnya 

tentang penyergapan itu. Dan tanpa 

memberitahukan pada semua kawan-kawan 

dan anak buahnya yang tengah 

mengadakan pesta meriah, si Pendekar 

Bayangan berkelebat cepat sekali 

kearah Kali Wringin. Dan berjumpa 

dengan si Dewa Tengkorak. Ki Bayu 

Sheta tak dapat berkutik, karena 

sekali si Dewa Tengkorak memberi 

isyarat, maka akan segera terjadi 

pembantaian yang telah dipersiapkan


itu. Lebih dari tiga ratus nyawa akan 

melayang yang terdiri dari anak-anak 

kecil bayi dan wanita tak berdosa.

Akhirnya dengan memohon belas 

kasihan, dan dengan rela menukar nyawa 

300 jiwa keluarga tak berdosa itu 

dengan nyawanya, Ki Bayu Sheta memohon 

agar si Dewa Tengkorak membebaskan 

mereka. Dewa Tengkorak memang telah 

mengetahui akan kehebatan si Pendekar 

Bayangan ini, dan sudah ada niatnya 

untuk mengadu kesaktian. Tentu saja 

tawaran itu tak ditolaknya. Dan 

gagallah pembantaian atas 300 jiwa 

keluarga kaum Partai Pengemis. Akan 

tetapi dengan satu perjanjian, yaitu 

dibubarkannya Partai Kaum Pengemis dan 

tidak diperkenankan lagi mencampuri 

urusan disekitar wilayah Kota Raja 

Memang belakangan Partai Kaum 

Pengemis itu dibubarkan. Akan tetapi 

beberapa bulan kemudian gerakan Partai 

tersebut yang secara sembunyi-sembunyi 

dibawah pimpinan Jarot Suradilaga 

alias si Maling Sakti berhasil 

membongkar kejahatan Adipati Haryo 

Gawuk. Dan ketahuan pula siapa 

sebenarnya Senapati Trenggono. 

Ternyata Patih Ganda Setho telah 

membeberkan kejahatan Senapati itu dan 

membuktikannya dihadapan Raja. Selang 

sebulan Senapati dan Adipati itu 

ditangkap, dan dihukum gantung....


7

DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa 

dirinya amat rendah sekali. Dan tak 

lebih dari seorang tokoh penyebar 

kejahatan. Dia hanya mementingkan 

dirinya sendiri dengan mengumbar 

kepuasan duniawi. Selama hidupnya tak 

pernah berbuat kebajikan, selain 

bergelimang dengan kekotoran yang 

digelutinya. Gelarnya memang telah 

membuat orang takut dan gemetaran, 

akan tetapi apakah dia memiliki 

kewibawaan? Tidak! Orang tak akan 

menghargainya, bahkan mayatnyapun tak 

mau orang menyentuhnya. Demikian 

memikir dibenak si Dewa Tengkorak. Dan 

hal itu memang membuat dia merasa 

mengiri pada nasib Pendekar Bayangan 

Ki Bayu Sheta. .....

Roro si gadis tanggung itu tiba-

tiba lepaskan pelukannya pada jenazah 

si Maling Sakti, dan melompat kearah 

Ki Bayu Sheta.

"Kakek..!? Oh, kakek..! Kau... 

kau terluka..!" Dan lengannya sudah 

bergerak menyangga tubuh si Pendekar 

Bayangan yang terhuyung limbung. Laki-

laki tua ini tersenyum pedih. Sepasang 

matanya sedari tadi menatap pada tubuh 

si Maling Sakti, menantunya itu.

"Jarot..! kau... kau telah 

berkorban nyawa untukku..! Aiih, 

mengapa kau lakukan itu?" Terdengar


seperti menggumam suaranya yang lirih. 

Dan ketika Roro memeluknya untuk 

menyangga tubuhnya, sang kakek ini 

perlihatkan senyumnya. Lengannya 

bergerak mengelus rambut bocah 

perempuan itu.

"Roro..! kau... kau memang murid 

yang bandel! mengapa kau menyusul 

kemari? Hahahaha... hapuslah air 

matamu itu, bocah centil! sungguh 

memalukan! Seorang pendekar tak boleh 

cengeng! Kau sudah dengar tadi 

pembicaraan kami! Aku memang telah 

memberikan nyawaku pada si Dewa 

Tengkorak itu, jadi kau tak boleh 

mendendam padanya! Gurumu si Maling 

Sakti ternyata telah menyelamatkan 

nyawaku..! Ah, sungguh diluar duga-

anku! Tapi dia telah tewas sebagai 

Pendekar Sejati cucuku! Tak usah kau 

sesali kematiannya! Kini menying-

kirlah..! Aku harus menghadapi dua 

jurus lagi dari Sepuluh Jurus Pukulan 

Kematian yang sudah menjadi perjanjian 

kami..!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan 

tersenyum dipaksakan. Sementara darah 

masih mengalir disudut bibirnya. 

Sebelah lengannya sudah bergerak 

menepiskan tubuh Roro dari tempat itu. 

Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak 

berdiri, menatap si Dewa Tengkorak.

"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana jurus 

kesembilan dan kesepuluh! Hahahaha... 

Sayang menantuku si Maling Sakti itu


telah menahan seranganmu, kalau tidak 

apakah kau kira aku tak sanggup 

menahannya. Hm, jangan mimpi!" Teriak 

Ki Bayu Sheta dengar menahan napasnya. 

Akan tetapi kesudahannya napasnya 

tersengal-sengal. Lagi-lagi tubuhnya 

limbung mau jatuh. Namun dengan 

berlagak kuat, sang kakek ini bertahan 

untuk tetap berdiri tegak menantang.

Saat itu si Dewa Tengkorak telah 

perdengarkan tertawa terbahak-bahak. 

Dan satu suara dingin berkumandang, 

seperti menembus, merasuk mencekam 

jantung.

"Hehehehe... hehehe... Bayu 

Sheta! Bayu Sheta. Kau memang seorang 

yang beruntung! Tidak seperti aku yang 

sial dangkalan! Kini bersiaplah kau 

untuk menerima dua pukulan terakhir-

ku!" Begitu habis kata-katanya, tampak 

sepasang lengan si Dewa Tengkorak 

bergerak memutar keatas, dengan 

menimbulkan suara berklotakan. Tampak 

kedua lengannya seperti tergetar dan 

merah membara serta mengeluarkan asap 

kabut berhawa panas. Disusul mengge-

lombangnya angin panas yang santar 

menerjang kearah Ki Bayu Sheta. Saat 

itu si Dewa Tengkorak baru memper-

siapkan jurus ke sembilan dan 

kesepuluh, tapi hawa panasnya telah 

terasa ke sekitar bukit itu.

Pada saat itulah terdengar suara 

bentakan nyaring.


"Iblis tua bangka..! Aku akan adu 

jiwa denganmu..!" Dan disusul dengan 

berkelebatannya tubuh Roro melompat 

kehadapan si Dewa Tengkorak. Saat itu 

justru si Dewa Tengkorak sudah 

lancarkan serangan kearah si Pendekar 

Bayangan. Melihat bocah perempuan 

tanggung murid si kakek itu melompat 

kearahnya, sepasang mata Dewa 

Tengkorak jadi melotot. Akan tetapi 

jadi tertawa menyeringai. Sementara 

Roro sudah lancarkan serangannya 

menghantam tubuh si manusia Jerangkong 

itu... Akan tetapi si Dewa Tengkorak 

justru tak menghindarkan diri. 

Hantaman lengan bocah perempuan itu 

tiba-tiba seperti tertahan di tengah 

jalan. Dan pada detik itu dengan suara 

tertawa berkakakan, sebelah lengan si 

Dewa Tengkorak yang sedianya akan

dihantamkan pada Ki Bayu Sheta, kini 

dialihkan mencengkeram batok kepala 

bocah perempuan itu. 

DHESSSSS...!

Terdengar suara teriakan menyayat 

hati dari si bocah perempuan. 

Kepalanya seperti lenyap tak terlihat 

lagi, karena tertutup oleh tebalnya 

asap kabut. Sementara itu sebelah 

lengannya telah menghantam kearah Ki 

Bayu Sheta.

BHUMMMMM....! Terdengar suara 

ledakan keras. Akan tetapi hantaman si 

Dewa Tengkorak tidak tertuju pada si


Pendekar Bayangan, melainkan pada 

tanah berbatu dihadapannya. Seketika 

tanah dan batu berhamburan 

menyemburat. Sebuah lubang bergaris 

tengah tiga depa segera menganga 

lebar. Sementara itu si bocah 

perempuan bernama Roro itu sudah 

perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya 

roboh terguling dari atas batu besar 

itu.

Terperangah si Pendekar 

Bayangan.... Sepasang matanya 

terbelalak lebar melihat tubuh Roro 

terjungkal roboh akibat hantaman 

telapak tangan si Dewa Tengkorak. 

Sementara dia sudah pegangi lagi 

dadanya, yang seperti mau meledak. 

Pada jurus kesembilan dan kesepuluh 

itu tak dirasakan sedikitpun pukulan 

si Dewa Tengkorak mengenai tubuhnya. 

Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah 

tak berdaya. Pukulan pada jurus ke 

tujuh tadi telah meremukkan bagian 

dalam tubuhnya. Tampak angin pukulan 

Dewa Tengkorak yang menyerempet 

sedikit pada tubuhnya, telah membuat 

tubuh tua itu menjadi limbung dan 

segera roboh ke bumi. Sepasang matanya 

masih menatap pada Roro dan si Dewa 

Tengkorak Akan tetapi melihat keadaan 

si Dewa Tengkorak yang tetap berdiri 

tak bergeming diatas batu itu, kakek 

ini perlihatkan senyumannya sambil 

meringis memegangi dadanya.


* * * *

Rembulan semakin meninggi.... dan 

malam semakin melarut. Suasana di atas 

Bukit Kera seperti penuh kemis-

teriusan. Karena kera-kera telah lari 

menjauh. Keadaan disekitar atas bukit 

itu seperti lengang, seolah tiada lagi 

kehidupan disana. Akan tetapi 

menjelang siang disaat Matahari sudah 

menggelincir naik, tampak sesosok 

tubuh bergerak-gerak seperti hidup. 

Ternyata adalah si bocah perempuan 

tanggung bernama Roro itu. Satu 

keanehan ternyat telah terjadi diatas 

bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba 

Persilatan itu mati secara aneh. Bila 

kematian Dewa Tengkorak adalah dengan 

posisi berdiri seperti tengah melan-

carkan pukulan, adalah kematian Bayu 

Sheta si Pendekar Bayangan dalam 

keadaan terduduk dengan mimik wajah 

seperti orang tertawa.

Roro belalakkan sepasang matanya 

yang membulat mengitari keadaan 

sekitarnya. Otaknya bekerja cepat 

memikirkan kejadian yang telah menimpa 

dirinya.

"He? masih hidupkah aku..?" 

Gumamnya lirih. Lengannya bergerak 

mencubit kulit tubuhnya, dan dira-

sakannya sakit. Kenyataan itu telah 

membuat dia mengambil kesimpulan bahwa 

dirinya masih hidup. Segera terbayang


ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram 

batok kepalanya. Ingatannya mendadak 

lenyap, karena kepalanya dirasakan 

berkunang-kunang dan dia sudah jatuh 

tak sadarkan diri.

Kini sepasang matanya jelalatan 

menatap pada tiga sosok tubuh yang 

kesemuanya telah tak bergeming. 

Melihat si Dewa Tengkorak yang masih 

berdiri tegak dengan posisi orang 

memukul dengan rentangkan sebelah 

tangannya, Roro jadi terpaku. "Masih 

hidupkah si iblis tua bangka ini ?" 

Desisnya pelahan. Dan tubuhnya sudah 

bergerak melompat berdiri. Pertama-

tama yang diburunya adalah kearah Ki 

Bayu Sheta. Akan tetapi ketika dia 

menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar 

Bayangan ternyata sudah tak bernyawa 

lagi. Tercenung si gadis tanggung ini. 

Air matanya sudah kembali menggenang. 

Lalu bergerak melompat kearah mayat 

gurunya si Maling Sakti menatapnya 

sejenak dan duduk bersimpuh dengan 

linangan air mata.

Tiba-tiba kembali dia palingkan 

wajahnya menatap pada si Dewa 

Tengkorak. Aneh!? Mengapa manusia 

iblis itu tak juga gerakkan tubuh? 

Apakah diapun sudah mati? Berkata 

dalam hati si gadis tanggung ini. Dan 

dengan sebat Roro sudah melompat 

kehadapan mayat si Manusia Jerangkong 

itu. Nyatalah setelah diperhatikan


kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun 

sudah tak bernapas lagi. Dan ke-

matiannya memang sungguh aneh. 

Sementara Roro sendiri tengah 

tercenung, karena dirasakannya tu-

buhnya menjadi amat ringan sekali 

ketika melompat-lompat. Justru 

beberapa kali dia hampir terhuyung 

jatuh karena merasa kelebihan tenaga. 

Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga 

dalamnya telah bertambah 10 kali 

lipat.

Disamping merasa heran, juga 

merasa sedih sekali melihat semua 

orang yang disayanginya telah tewas. 

Kini Roro palingkan wajahnya menatap 

pada sebuah lubang besar dihadapannya. 

Sesuatu tampak tersembul ditengah 

lubang yang hangus kehitaman itu. 

"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si 

Dewa Tengkorak? Bertanya hatinya. Dan 

Roro sudah beranjak mendekati. Lalu 

melompat kedalam lubang. Benarlah apa 

yang diduganya. Tak ayal dia sudah 

gerakkan tubuh membungkuk, dan 

lengannya bergerak mencabut benda itu 

hingga tersembul seluruhnya batang 

Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu. 

Kini dia kembali termangu-mangu.... 

Apakah yang akan dilakukannya lagi? 

Ternyata Roro berotak cerdas, segera 

dia berfikir kalau lubang besar itu 

pasti akibat hantaman lengan si Dewa 

Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari


ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus 

Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu 

justru membuat kematiannya? Berfikir 

Roro. Dan lubang ini adalah diper-

gunakan untuk mengubur jenazahnya? 

Pikirnya lagi.

Namun Roro tak dapat berlama-lama 

untuk berfikir, karena dia sudah 

bergerak melompat keluar dari dalam 

lubang. Dan selanjutnya Roro sudah 

bekerja cepat untuk mengangkat ketiga 

jenazah .... Satu-persatu dimasukkan 

kedalam lubang besar itu. Tak lama 

ketiga jenazah sudah terbaring mem-

bujur didalam lubang. Gadis tanggung 

ini memandanginya dengan sepasang mata 

berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata.

Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau 

Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah 

bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi 

rupanya Tuhan sudah mentakdirkan 

kalian wafat dalam waktu yang hampir 

bersamaan. Dan jasad kalian terkubur 

dalam satu lubang..! Sesaat Roro sudah 

tundukkan wajah dengan sepasang mata 

sudah menjadi basah oleh genangan air 

mata. Namun cuma sesaat, karena Roro 

sudah hapuskan air matanya. Lalu 

mulailah bekerja cepat menguruk lubang 

kubur menutupi ketiga jenazah itu de-

ngan tanah. Selang tak berapa lama 

pekerjaannya pun selesailah sudah. 

Kini segunduk tanah telah tersembul 

diatas Bukit Kera. Dan seorang dara


tanggung duduk bersimpuh dihadapan 

gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-

kemik seperti memanjatkan doa. Tak 

berapa lama dia sudah bangkit berdiri. 

Lengannya mencekal sebatang Tombak 

Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna 

hitam legam itu.

Setelah berfikir sejenak, tombak 

itu segera ditancapkan ke atas 

gundukan tanah setelah dengan seolah 

menjadikan tombak itu sebagai batu 

nisan. Lalu gadis tanggung itu 

balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke 

langit dengan pejamkan mata, dan 

terdengar suara helaan napasnya. Tak 

lama dia segera menindakkan kaki 

melangkah meninggalkan gundukan tanah 

itu.... Akan tetapi baru sepuluh 

langkah dia sudah hentikan lagi 

tindakannya. Telinganya seperti 

mendengar satu suara aneh yang 

menyusup ke daun telinganya.

"Aiiih, bocah tolol...! Tombak 

Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh 

sayang kalau dijadikan batu nisan! 

Mengapa tak kau bawa saja sebagai 

kenang-kenangan..?" Tentu saja Roro 

jadi melengak heran. Suara siapakah 

gerangan yang menyusup ke telinganya? 

Pikir Roro. Akan tetapi Roro memang 

tak perlu berfikir lebih jauh. Hatinya 

sedang dilanda kesedihan. Dia 

berpendapat suara itu adalah suara 

hatinya sendiri. Oleh sebab itu segera

dia balikkan tubuh, dan kembali 

beranjak mendekati gundukan tanah itu. 

Dan sekali lengannya bergerak, Tombak 

Pusaka itu telah dicabutnya lagi.

8

INGIN kencang membersit dari arah 

selatan... dan dari kejauhan sudah 

terdengar deburan-deburan ombak yang 

melanda karang. Dua sosok tubuh itu 

berlompat-lompatan saling kejar 

dibarengi suara-suara bentakan dan 

tawa cekikikan. Ternyata mereka adalah 

dua orang wanita. Kalau yang seorang 

adalah seorang gadis tanggung yang tak 

lain adalah Roro adanya, tapi yang 

seorang lagi adalah seorang wanita 

berusia sekitar 30 tahun. Wanita ini 

memakai baju sutera warna merah. 

Rambutnya memakai dua buah konde 

dikiri-kanan yang kedua kondenya 

dibeliti oleh pita berwarna merah. 

Sikapnya amat genit luar biasa. 

Sementara pada lengannya terdapat dua 

potong benda sepanjang satu depa. Ter-

nyata kedua benda itu tak lain dari 

tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang 

entah bagaimana telah menjadi dua 

bagian. Sementara si gadis tanggung 

bernama Roro itu tengah mengejarnya 

dengan melompat-lompat disertai 

bentakan-bentakan keras.


"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka 

ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau 

biarkan aku yang merawatnya..?" 

Berkata si wanita genit itu. Suaranya 

terdengar aneh bagi pendengaran Roro, 

karena terkadang kecil terkadang besar 

mirip laki-laki. Si gadis tanggung ini 

plototkan matanya dengan wajah gusar. 

Beberapa puluh kali lompatan sudah 

dilakukan untuk mengejar wanita yang 

telah merebut potongan tombak itu dari 

tangannya, akan tetapi wanita itu 

mempunyai gerakan aneh. Hingga selalu 

dia tak berhasil merebut kembali benda 

itu. Kiranya sewaktu Roro tinggalkan 

Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit 

oleh sesosok tubuh yang tak lain dari 

wanita aneh ini.

Ketika Roro ditengah perjalanan 

berhenti untuk melepas lelah dan duduk 

dibawah pohon, lengannya telah iseng 

mempermainkan tombak hitam itu. Tak 

dinyana Roro berhasil menemukan 

kejanggalan pada bagian tengah tombak, 

yang ternyata besinya agak tebal 

dengan dua guratan melingkar. Rasa 

penasarannya membuat dia memper-

hatikan, dan menyelidiki kedua guratan 

ditengah batang tombak. Ternyata 

kemudian dia berhasil memutarkan 

sebagian batang tombak, yang ternyata 

bagian tengahnya itu merupakan 

sambungan. Sayang disaat dia tengah 

mau menyelidiki lebih lanjut pada


bagian tengah tombak yang berlubang, 

telah berkelebatlah sebuah bayangan 

merah menyambar kedua potongan tombak 

itu. Tentu saja Roro jadi terkejut, 

karena tahu-tahu kedua potong benda 

ditangannya telah lenyap dan berpindah 

tangan. Dengan gusar dia melompat dan 

mengejar si bayangan merah. Semakin 

lama semakin menjauh, hingga dari 

mulai matahari separuhnya dari atas 

kepala hingga sampai menjelang senja 

mereka berkejaran.

Ternyata keduanya telah tiba 

disatu daerah pantai. Itulah daerah 

Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-

besar bukit bergulung-gulung menye-

ramkan. Roro yang sedianya akan 

kembali ke lereng Rogojembangan, jadi 

terkecoh karena mengejar si wanita 

aneh ini. Rasa penasarannya serta 

kemendongkolan hatinya untuk kembali 

merebut tombak itu membuat dia tak 

berhenti mengejar. Bahkan selama 

berkejar-kejaran itu Roro telah 

lancarkan serangan-serangan hebat. 

Tenaga dalamnya yang telah bertambah 

10 kali lipat itu amat menguntungkan 

Roro. Karena disamping tenaga hantaman 

lengannya menjadi berlipat ganda, dia 

juga dapat melakukan lompatan-lompatan 

mengejar si wanita genit itu.

Tekad Roro telah bulat untuk 

merebut kembali Tombak Pusaka itu. 

Akan tetapi amat diherankan karena


selalu saja serangannya lolos tanpa 

dapat mengenai sasarannya, ataupun 

menyentuh seujung rambutpun tubuh 

wanita aneh itu. Demikianlah hingga 

mereka telah tiba diatas tebing karang 

di Pantai Selatan.

"Hihihi... bocah manis! Tenaga 

dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa 

Tengkorak telah mewariskan tenaga 

dalamnya padamu! kau sungguh 

beruntung, bocah! Tapi... benda ini 

kau biarkanlah untukku! Aku akan 

menyimpannya untuk kenang-kenangan..!" 

Berkata si wanita aneh itu dengan 

senyum genit dan menimang-nimang benda 

itu bahkan menciuminya. Roro jadi 

semakin mendongkol. Tiba-tiba dia 

sudah lakukan bentakan keras seraya 

melompat menerjang.

"Kau boleh ambil benda itu 

setelah kau dapat jatuhkan aku!" 

Bentaknya. Dan.... WHUK! WHUK..! Dia 

sudah kirimkan serangan dahsyat. Lagi-

lagi terjadi keanehan, karena si 

wanita itu cuma melenggang-lenggokkan 

tubuhnya seperti orang menari. Namun 

serangan beruntun Roro ternyata telah 

luput. Semakin menggebu kepenasaran 

Roro, hingga dia telah keluarkan 

seluruh kepandaiannya menerjang si 

wanita aneh yang genit luar biasa itu. 

Suara-suara teriakan dan cekikikan 

terdengar silih berganti... Dan diatas 

bukit Pantai Selatan itu seperti ada


dua bayangan saja yang terlihat 

berkelebatan. Sementara di bawah 

tebing suara deburan ombak Pantai 

Selatan yang bergulung-gulung berhem-

pasan menerjang batu karang. Hingga 

suatu saat tiba-tiba Roro terpekik, 

karena dia telah kelebihan melompat 

tanpa mampu menahan tubuhnya lagi. Dan 

terjerumuslah si gadis tanggung itu ke 

bawah tebing karang. Lalu sekejap 

tubuhnya telah lenyap ditetan ombak 

ganas...

"Hihihi... bagus! akan kulihat 

apakah kau mampu menyelamatkan diri ?" 

Berkata si wanita aneh. Dan sekejap 

tubuhnya telah melesat dari situ, lalu 

lenyap dibalik batu tebing yang 

bertonjolan.

Tubuh Roro si bocah perempuan 

tanggung itu timbul tenggelam dihantam 

ombak yang bergulung-gulung. Apakah 

Roro akan mudah saja menghadapi maut 

yang akan merenggut nyawanya? Tidak! 

Kekerasan hatinya telah mengalahkan 

segalanya. Dengan patokan, sebelum 

ajal berpantang mati! Roro berusaha 

berenang, walau beberapa teguk air 

telah lewat masuk tenggorokannya. 

Segera teringat sepintas disaat 

menggoda Ginanjar dengan menyelam ke 

dalam air, kemudian menarik kaki bocah 

laki-laki itu. Dan Ginanjar berteriak-

teriak ketakutan.... Roro telah 

disangka Hantu Air yang biasa


mengganggu orang mandi dekat air 

terjun itu. Ingatan itu membangkitkan 

semangat Roro untuk bisa hidup. Segera 

diatahan napas, dan menyelam sedalam 

mungkin ke dalam air. Sepasang matanya 

dibentangkan lebar-lebar. Terasa 

perih, karena air laut memang asin 

berbeda dengan air sungai. Namun tekad 

untuk hidup menggebu-gebu didada Roro. 

Dipaksakannya untuk tetap dapat 

membuka matanya, hingga lambat laun 

rasa perih dimatanya itupun sudah tak 

terasakan lagi. Dengan berenang cepat 

dibawah air itu memang Roro berhasil 

menghindari arus dari ombak ganas 

diatas permukaan. Karang demi karang 

dibawah air terus dilewati.

Tiba-tiba tercekat hatinya 

melihat ada sebuah terowongan didasar 

air. Bergegas dia berenang kesana 

dengan tenaga sekuat-kuatnya. Dadanya 

sudah terasa sesak karena menahan 

napas, tapi dengan sekuat tenaga dia 

mencoba bertahan.... Bagai seekor ikan 

Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan 

kecil lainnya didasar laut itu, tubuh 

Roro sudah meluncur melewati tero-

wongan. Ombak santar yang terasa 

mengganggunya mendadak jadi hilang. 

Kembali dia enjot tubuh untuk berenang 

sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah 

teramat lemah. Dadanya terasa semakin 

sesak, seperti mau pecah. Kekuatannya 

untuk menahan napas sudah mencapai


klimax, dan dia memang sudah tak 

sanggup untuk bertahan lagi. 

Terowongan itu sudah terlewati, akan 

tetapi Roro sudah kehabisan napas. 

Untuk menyembul kepermukaan pun sudah 

tak sanggup. Terpaksa dia biarkan 

tubuhnya mengapung sendiri, dan dua 

tiga teguk air lewat kembali masuk 

ketenggorokannya....

Pandangannya sudah menjadi gelap, 

kepalanya terasa berat. Dan si gadis 

tanggung ini sudah pejamkan matanya 

karena tak mampu lagi untuk membuka 

matanya. Maut seperti akan segera tiba 

diruang matanya. Akan tetapi takdir 

agaknya belum menentukan sang dara 

tanggung itu harus mati didasar air, 

karena tampak tubuh yang sudah tak 

berdaya itu pelahan-lahan melambung 

keatas. Dan selang sesaat antaranya 

sudah tersembul kepermukaan air. Roro 

memang sudah hampir tak sadarkan diri, 

akan tetapi disaat kepalanya menyembul 

keatas permukaan air, masih terlintas 

setitik fikiran jernih dibenaknya.

Segera dia gerakkan kepala untuk 

menghirup udara. Begitu temukan udara 

segar, semangat bocah perempuan ini 

timbul lagi. Segera digapaikan kedua 

lengannya agar tubuhnya dapat terus 

mengapung, dan sedot udara sebanyak-

banyaknya. Akhirnya diapun membuka 

sepasang matanya. Ternyata telah ber-

ada dalam sebuah ruang didasar tebing



karang terjal. Semangat hidupnya 

kembali muncul. Segera dia berenang ke 

tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan 

kakinya sudah menyentuh pasir halus 

ditempat yang dangkal. Terdengar 

keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan 

ketepi pasir dengan perasaan lega, dan 

Roro sudah pejamkan matanya untuk 

menarik napas dalam-dalam....

* * * *

Entah berapa lama dia berbaring 

melepaskan kelelahan yang amat luar 

biasa, hingga sampai-sampai bocah 

perempuan itu tertidur lelap. Ketika 

Roro membuka matanya terkejutlah dia, 

karena melihat sesosok tubuh yang tak 

lain dari si wanita genit itu telah 

berdiri tersenyum menyeringai 

dihadapannya. Dengan gusar Roro sudah 

gerakkan tubuh untuk bangkit 

menyerang.....

Akan tetapi alangkah terkejutnya 

dia mengetahui tubuhnya tak dapat 

digerakkan, bahkan dia sudah dalam 

keadaan terlentang diatas sebuah 

pembaringan dari batu persegi dengan 

keadaan tubuh telanjang bulat.

"Hihihihi... hihi.. bocah hebat! 

bocah hebat..! Kau benar-benar membuat 

aku mengiri!" Terdengar si wanita 

genit itu berkata. Sepasang matanya 

menjalari sekujur tubuh Roro dengan


senyum tersungging dibibirnya.

"Hehehe... aku memang sudah 

pastikan kau tak akan mampus..!" 

Sambungnya lagi, seperti seorang 

peramal yang sudah menentukan nasib 

manusia.

"Mampus atau tidak bukanlah 

urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku 

begini? Lepaskan aku! Dan mari 

bertempur lagi! Apakah kau kira aku 

takut? Kau ternyata bisanya bermain 

curang, menawanku disaat aku tak 

sadarkan diri..!" Teriak Roro dengan 

sepasang mata melotot tajam pada si 

wanita aneh itu. Sementara hatinya 

berdebaran, entah akan diapakan 

tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya 

begitu..?

"Hihihi... dalam bertempur 

mengapa harus pakai segala macam 

aturan? Kau sudah dapat kukalahkan, 

dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja 

siapa mau larang? Hihihi... hihi..!" 

Kembali si wanita terpingkal-pingkal 

geli hingga tubuhnya sampai bergun-

cangan. "Pakaianmu basah, dan sedang 

kujemur biar kering. Dan kau terpaksa 

kutotok dulu agar tidak menyu-

sahkanku..!" Ujar si wanita aneh itu 

sambil beranjak meninggalkan Roro 

dengan melenggang-lenggok genit.

"Heeeiii!? Mau ke mana kau? 

Bebaskan aku…!" Teriak Roro sekuat-

kuatnya. Akan tetapi wanita itui cuma


melirik genit, lalu menyelinap masuk 

ke sebuah ruangan goa. Roro mengeluh. 

Ya Tuhan, mengapa nasibku begini 

jelek...? Tak berapa lama wanita aneh 

itu sudah kembali dengan membawa 

sesuatu diatas piring dari kerang 

laut.

"Apa itu..?" Tanya Roro dengan 

mata membeliak. Dia sudah merasa yakin 

kalau si wanita yang telah menawannya 

itu pasti akan menyiksanya.

"Hihihi... ini makanan untukmu!" 

Sahutnya, seraya mendekati Roro.

"Kau perlu mengganjal perut agar 

tidak mampus..!" Sambungnya lagi.

"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi 

diberi makan olehmu? Biarkan saja aku 

mampus, apa perdulimu..?" Teriak Roro 

dengan wajah cemberut kesal. 

"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi! 

lepaskan aku..!" Teriak Roro, seraya 

kerahkan tenaga untuk melompat bangun, 

dan gerakkan kepalanya menepis. Akan 

tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat 

digerakkan, cuma kepalanya saja yang 

bisa bergerak, akan tetapi itupun 

hampir tak bertenaga.

Namun makanan itu memang sudah 

masuk ke mulut Roro ketika si wanita 

itu dengan paksa telah menjejalkannya. 

Mendelik sepasang mata Roro, dan...

Fruuuhh..! Roro sudah semburkan 

lagi makanan itu dari mulutnya. Rasa 

anyir dan bau memuakkan itu membuat

dia mau muntah. 

9

"Hihihi.... baiklah, kalau kau 

tak mau makan akan tahu sendiri apa 

akibatnya!" Berkata si wanita itu 

seraya lengannya bergerak ke bawah 

pembaringan batu! Dan sekejap 

lengannya telah mencekal sebuah 

bumbung bambu. Dengan cengar-cengir 

sumbat bumbung bambupun dibuka, dan 

tuangkan isinya keperut Roro... 

Terpekik si gadis tanggung ini, karena 

segera puluhan ekor binatang 

Kalajengking telah merayap diatas 

perutnya. Berteriak-teriak dia dengan 

ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk 

meronta. Akan tetapi tubuhnya tak 

dapat bergerak sama sekali. "Tidaaak! 

tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..! 

hiiii... auuuw..!" Hampir gila rasanya 

Roro karena takutnya. Akan tetapi si 

wanita itu justru mengikik tertawa 

dengan terpingkal-pingkal.

"Baik, baik..! aku mau makan..! 

aku mau makan..!" Akhirnya Roro 

berteriak dengan wajah pucat 

ketakutan, terasa geli dan takutnya 

bukan buatan terhadap binatang itu 

yang seperti menggelitik kulit 

perutnya.

"Bagus! Nah, begitu..! barulah


kau seorang bocah yang baik!" Ujar si 

wanita dengan tampilkan senyum 

kemenangan. Dan segera diraupnya 

binatang itu untuk dimasukkan kedalam 

bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya 

dan letakkan kembali ke bawah pem-

baringan.

Demikianlah, akhirnya Roro mau 

disuapi makanan aneh itu, yang 

ternyata adalah lumut laut.

Siapakah sebenarnya si wanita 

yang bersuara aneh mirip laki-laki dan 

terkadang wanita itu? Ternyata tak 

lain dari seorang tokoh Rimba Hijau 

yang sudah lama mengurung diri digoa 

dasar tebing Pantai Selatan. Dialah 

yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai 

Selatan, atau orang menjulukinya Si 

MANUSIA BANCI. Karena memang sebena-

rnyalah wanita genit itu bukanlah 

seorang wanita, melainkan seorang 

wadam alias Banci. Tubuhnya memang 

amat mirip dengan wanita. Akan tetapi 

sebenarnya tidaklah demikian, karena 

kepandaiannya merias dirilah yang 

membuat dia mirip sekali dengan 

wanita.

Roro yang sudah merasa bosan 

berada dipembaringan batu dengan tubuh 

terlentang itu seperti tak digubris 

permintaannya untuk membebaskan toto-

kan si manusia Banci itu. Demikianlah, 

entah sudah berapa hari berapa malam, 

Roro tak dapat berkutik. Entah berapa



puluh kali makanan yang memuakkan itu 

masuk ke perutnya. Namun lama kelamaan 

dia sudah biasa. Roro memang sudah 

berupaya untuk melepaskan diri, akan 

tetapi si Manusia Banci itu selalu 

mengulangi menotoknya, hingga dia tak 

dapat berbuat apa-apa selain mengeluh 

memikirkan nasibnya.

Satu hal yang membuat Roro tak 

habis pikir adalah si manusia aneh itu 

sering menimang-nimang kedua potong 

benda yang telah direbut dari tangan-

nya, yaitu potongan tombak Pusaka 

milik si Dewa Tengkorak. Terkadang si 

Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi 

terkadang menangis tersedu-sedu dengan 

air mata bercucuran. Membuat Roro jadi 

kasihan. Entah ada rahasia apa dibalik 

keanehannya itu.

Roro semakin menyadari kalau 

wanita dihadapannya itu bukan wanita, 

tapi juga bukan laki-laki. Terbukti 

suatu ketika, tampak seorang gadis 

cantik sekali memasuki ruangan 

kamarnya. Terperangah Roro, karena 

gadis cantik itu tak mengenakan 

pakaian sama sekali alias telanjang 

bulat... Rambutnya terurai, dengan 

sepasang mata redup, bak bidadari 

bangun tidur layaknya. Langkahnya 

lemah gemulai dengan perlihatkan 

senyumnya yang menawan hati. 

"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku 

baik-baik! Apakah aku cantik..?"


Bertanya si gadis cantik itu. Barulah 

Roro sadar kalau gadis cantik itu tak 

lain dari si wanita aneh. Segera saja 

dia mengangguk dengan tersenyum.

"Kau amat cantik sekali, bibi..!" 

Menyahut Roro seraya manggut-manggut.

"Apakah aku amat mirip dengan 

perempuan..?" Tanyanya lagi. Tentu 

saja pertanyaan itu membuat dia 

ternganga, karena jelas wanita itu 

seorang perempuan, mengapa bertanya 

demikian? Pikir Roro. Namun dia tak 

berani memastikan apakah si bibi itu 

seorang perempuan, karena terkadang 

memang agak mirip dengan laki-laki. 

Dan kesemuanya itu membuat dia jadi 

bingung, tapi segera menjawab.

"Hihihi... kau mirip sekali 

dengan perempuan, dan bukankah kau... 

kau memangnya bukannya seorang 

perempuan seperti aku..?" Tanya Roro 

yang tak dapat menyembunyikan apa yang 

dilihatnya. Akan tetapi jawabannya 

adalah wanita ini menatapnya tajam-

tajam dengan sepasang matanya yang 

berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya 

yang bercampur isak.

"Ah,... seandainya aku memang 

seorang perempuan, tidaklah aku 

menderita begini..!" Dan dia sudah 

balikkan tubuh lalu lengannya menyam-

bar jubah yang biasa dikenakannya. Tak 

lama dia sudah lepaskan dua buah benda 

dari tubuhnya, seraya beranjak


menghampiri Roro. "Kau lihatlah! Benda 

ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat 

sedemikian rupa, karena aku memang 

ingin sekali menjadi seorang wanita!" 

Berkata si manusia banci. Barulah Roro 

tersadar kalau si wanita aneh itu 

memang bukan wanita dan bukan laki-

laki. Karena segera tampak dadanya 

yang rata. Benda-benda itu telah 

membuatnya mirip dengan wanita yang 

seperti tak mengenakan busana.

"Oh..!?" Tersentak Roro, dan 

kembali dia manggut-manggut dengan 

hati yang mulai mencair, karena segera 

timbul rasa kasihan pada si bibi itu.

"Benda-benda ini kelak akan 

kuhadiahkan padamu, Roro..!" Berkata 

si manusia Banci, yang kembali sudah 

perlihatkan wajah cerah.

Beberapa bulan sudah Roro tinggal 

diruang goa di dasar tebing karang 

Pantai Selatan itu. Dan selama itu 

Roro telah diperlakukan secara aneh. 

Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam 

ramuan. Dan setiap pagi tentu akan 

menerima makanan memuakkan dari lumut 

laut. Keanehan-keanehan yang dilakukan 

terhadap Roro ternyata mempunyai 

maksud tertentu. Bahkan berbagai macam 

ramuan telah disuguhkan Roro yang 

ternyata telah dicampur oleh makanan 

dari lumut laut itu. Hingga tanpa 

disadari Roro telah memakan beberapa 

ramuan yang langka dan jarang terdapat



didunia, yaitu ramuan awet muda. 

Karena sebenarnya si Manusia Banci itu 

telah mencapai usia 60 tahun lebih, 

tapi kenyataannya bagaikan seorang 

yang masih berusia tiga puluh tahun. 

Si Manusia Banci memang amat berharap 

pada Roro agar menjadi muridnya, dan 

mewarisi segenap ilmu kepandaiannya. 

Itulah sebabnya Roro diperlakukan 

secara aneh, untuk segera dapat 

menerima ilmu-ilmunya.

Demikianlah.... Roro si bocah 

perempuan yang berusia sekitar lima 

belas tahun itu telah resmi menjadi 

murid si Manusia Banci atau si Manusia 

Aneh Pantai Selatan. Tak seorangpun 

mengetahui adanya Roro di Pantai 

Selatan itu, yang tengah digembleng 

berbagai ilmu kedigjayaan oleh si 

Manusia Banci. Bahkan Roro mempelajari 

juga jurus-jurus maut si Dewa 

Tengkorak yang bernama 10 Jurus 

Pukulan Kematian. Ternyata didalam 

Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu 

ada tersimpan segulung kertas yang 

berisikan tulisan rahasia dari ilmu-

ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus 

Pukulan Kematian itu. Dan Roro telah 

mempelajarinya dari gurunya yang aneh 

itu. Satu hal yang baru dimengerti 

Roro, adalah ternyata si Dewa 

Tengkorak adalah laki-laki pujaannya 

yang telah membuat sang guru tergila-

gila padanya. Namun si Dewa Tengkorak


tak mengacuhkan "cinta" nya. Ternyata 

walaupun si Dewa Tengkorak memang 

banyak mempunyai isteri, si Manusia 

Banci ini tetap menaruh cinta yang 

sedalam lautan. Walaupun cintanya tak 

kesampaian.

Memang satu kejadian yang amat 

tragis dalam kisah manusia yang 

memburu cinta. Akan tetapi takdir 

memang harus disadari oleh setiap 

manusia. Karena Tuhan memang telah 

mengkodratkan diri manusia masing-

masing dengan keadaannya....

* * * *

Bagaimanakah dengan nasib 

Ginanjar sepeninggal Roro yang telah 

pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu 

Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini 

telah mencari-carinya ke setiap 

tempat. Namun tak membawa hasil. 

Menjelang pagi segera teruskan 

pencariannya ke tempat-tempat dimana 

Roro biasa berlatih. Akan tetapi tetap 

saja tak dijumpai si gadis tanggung 

yang bengal itu. Akhirnya Ginanjar 

memutuskan untuk tetap berdiam 

menunggu datangnya si Maling Sakti 

guru Roro, atau paman gurunya itu. Se-

lama itu Ginanjar selalu berlatih 

memperdalam kepandaiannya yang telah 

diajarkan si Pendekar Bayangan.

Namun selama lebih dari satu


bulan, tetap saja tak ada orang yang 

datang menyambangi pondoknya dilereng 

Rogojembangan itu. Baik Roro maupun 

sang paman gurunya si Maling Sakti tak 

memunculkan diri. Akhirnya Ginanjar 

bertekad turun gunung. Tujuannya 

adalah mencari dimana adanya Roro 

saudara seperguruannya itu. Sekalian 

mencari tahu tentang paman gurunya, 

yang menurut gurunya berada di wilayah 

Kota Raja.

Memikir demikian Ginanjar segera 

berkemas untuk membuntal pakaiannya. 

Akan tetapi terkejut pemuda tanggung

ini ketika menemukan secarik kertas 

bertulisan dibawah pakaiannya. 

Ternyata adalah sebuah surat dari Ki 

Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya. 

Surat itu mengatakan agar Ginanjar 

segera berangkat bersama Roro ke Kota 

Raja, bila sang paman guru alias si 

Maling Sakti tak juga datang dalam 

waktu satu bulan. Disana Ginanjar 

disuruh mencari seorang sahabat sang 

guru yang berdiam di wilayah Kota 

Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk 

menjumpainya adalah tidak sulit, 

karena Ronggo Alit membuka sebuah 

warung yang berdagang obat-obatan. 

Ronggo Alit adalah bekas anggota 

Partai Kaum Pengemis, yang sejak 

Partai itu dibubarkan dia membuka 

usaha demikian di wilayah Kota Raja.

Ginanjar dan Roro diharapkan


dapat tinggal digedung kediaman 

sahabatnya itu untuk sementara waktu. 

Termenung sejenak bocah laki-laki 

tanggung itu. Lalu diteruskannya 

membaca surat. Ternyata diakhir 

kalimat si Pendekar Bayangan ada 

menitipkan kata-kata untuk sang 

sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan 

Roro memanggilnya "Paman". Dan pada 

kalimat yang paling akhir adalah 

Ginanjar telah diwariskan sebuah 

Pedang Pusaka. Yaitu pedang pusaka 

milik sang guru. Kemudian ditunjukkan 

dalam surat tempat penyimpanannya.

Kembali termenung Ginanjar, lalu 

segera dilipatnya surat itu dimasukkan 

kesaku bajunya sebelah dalam. Tak lama 

dia sudah bangkit berdiri, dan segera 

menghampiri sebuah rak diatas tempat 

tidur gurunya. Disanalah dia menemukan 

sebuah pedang yang gagangnya terbuat 

dari perak berkilauan. Sarung 

pedangnya berukir seekor naga. Tampak 

wajah Ginanjar menampilkan wajah 

girang. Akan tetapi juga bersedih, 

karena sampai kini tak diketahui nasib 

gurunya, juga nasib Roro dan sang 

paman gurunya. Namun segera pemuda 

tanggung ini cepat berkemas. Beberapa 

keping uang ternyata telah diselipkan 

juga dekat sarung pedang. Dia dapat 

mempergunakannya bila mana perlu. 

Agaknya Ki Bayu Sheta telah 

mempersiapkan terlebih dulu sebelum


keberangkatannya.

Ketika matahari sudah hampir 

berada diatas kepala, Ginanjar sudah 

tinggalkan pondok dilereng Gunung 

Rogojembangan itu. Terasa sedih juga

hatinya karena hampir sepuluh tahun 

sejak dia diambil si Pendekar Bayangan 

dari sebuah rumah yatim piatu, dia 

dididik ditempat ini oleh Ki Bayu 

Sheta. Hingga dia merasa sang guru 

sebagai orang tuanya sendiri. Dari 

sang guru diketahuinya bahwa orang 

tuanya telah meninggal. Tak diketahui 

jelas siapa dan dimana meninggalkan 

ayah ibunya, karena Ginanjar memang 

tak pernah menanyakannya. Tak lama 

bocah laki-laki tanggung itu telah 

berkelebat cepat menuruni lereng 

Rogojembangan. Dengan bekal keyakinan 

untuk suatu ketika dia dapat menjumpai 

Roro saudara seperguruannya.

Angin pegunungan berhembus sejuk 

seperti mengantarkan kepergiannya yang 

tentu saja akan banyak menimba 

pengalaman kelak ditempatnya yang 

baru. 

10

SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo 

Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung 

oleh Baginda Raja Kerajaan Medang. 

Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten 

itu menjadi aman. Tiada lagi


pemerasan-pemerasan yang dilakukan 

oleh para petugas pajak dan para 

petani dan pedagang. Rakyat amat 

berterima kasih pada pihak Kerajaan 

yang telah menindak tegas abdi-abdi 

Kerajaan yang menyeleweng. Bahkan 

mereka juga dapat bernapas lega, ka-

rena tidak didengarnya lagi bencana-

bencana seperti perampokan, pemer-

kosaan para gadis atau pemerasan-

pemerasan lainnya. Rakyat kembali 

bekerja dengan tekun menggarap sawah 

ladang pertaniannya.

Para saudagar tak lagi meng-

khawatiri akan adanya perampasan harta 

bendanya, serta bermacam kesulitan 

yang sering dihadapi. Dan pada 

beberapa bulan kemudian, segera

diadakan pengangkatan Adipati baru 

pengganti Adipati Haryo Gawuk. Tentu 

saja rakyat menyambut dengan gembira, 

karena mereka berharap Adipati 

pengganti ini benar-benar memper-

hatikan akan kesejahteraan rakyat 

wilayahnya. Dalam upacara pengangkatan 

Adipati baru ini ternyata telah 

diadakan hiburan yang sengaja diadakan 

untuk menghibur rakyat. Berita adanya 

hiburan diwilayah Kadipaten Banjar 

Mangu segera tersiar ke beberapa 

daerah. Dan sudah tersiar beritanya 

bahwa yang akan menjabat sebagai 

Adipati di wilayah itu adalah seorang 

laki-laki yang masih berusia cukup


muda, yaitu sekitar 30 tahun. Bernama 

SURA NINGRAT.

Pesta berlangsung meriah saat 

itu, dan sukurlah tak terjadi suatu 

keributan, karena para lasykar 

keamanan Kadipaten menjaga dengan 

ketat. Agaknya sejak ditangkapnya 

Adipati Haryo Gawuk, para begundal 

yang biasa mengganggu rakyat segera 

menyingkir jauh-jauh. Demikianlah... 

dengan resmi Adipati Sura Ningrat 

berhak menguasai beberapa wilayah, 

yang kemudian sejak dalam masa 

pemerintahannya, rakyat hidup 

sejahtera aman sentausa. Bahkan telah 

ditingkatkannya taraf hidup kaum pe-

tani yang ternyata banyak membantu 

Kerajaan dalam urusan pangan.

* * * *

Pemerintahan Sura Ningrat sebagai 

Adipati ternyata mengalami masa 

kejayaan sampai lebih dari lima belas 

tahun. Sayang Adipati yang gagah dan 

bertanggung jawab serta disenangi 

rakyatnya itu tak berumur panjang. 

Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia 

cukup muda. Kesedihan melanda rakyat 

disekitar wilayahnya, yang mengalami 

masa berkabung sampai berlarut-larut.

Ternyata kemudian pengganti 

Adipati Sura Ningrat adalah seorang 

yang berbeda wataknya dengan Sura


Ningrat. Yaitu Adipati LAKSONO. 

Peraturan-peraturan yang telah dibina 

Adipati Sura Ningrat telah banyak yang 

dirobah, dan ternyata cukup membe-

ratkan rakyat dengan pajak yang cukup 

tinggi. Akan tetapi karena sang 

Adipati ini masih ada hubungannya 

dengan Baginda Raja Kerajaan Medang 

rakyat tak dapat berbuat apa-apa.

Walaupun keadaan rakyat jadi 

cukup menderita namun tak urung sudah 

pula berjalan masa pemerintahan sang 

Adipati itu sampai lebih dari tujuh 

tahun. Dan pada masa pemerintahan 

Adipati Laksono inilah kisah ini 

terjadi.

Kemunculan empat orang yang 

menamakan diri nya EMPAT IBLIS KALI 

PROGO telah menambah penderitaan

rakyat disekitar wilayah Kadipaten 

Banjar Mangu. Ternyata keempat manusia 

berkepandaian tinggi itu mendiami 

gedung Kadipaten yang menghadap kearah 

barat. Sukar untuk ditolak kedatangan 

keempat orang itu yang telah menghadap 

pada sang Adipati sebagai tamu 

terhormat. Karena disamping ilmunya 

yang tinggi, kedatangannya adalah atas 

utusan seorang pembesar Kerajaan, yang 

katanya untuk membantu menjaga 

keamanan diwilayah itu Karena 

disinyalir adanya desas-desus tentang 

pembangkangan rakyat atas tindakan 

sang Adipati Laksono. Memang Adipati


itu pernah mengirim utusan ke Kota 

Raja berkenaan dengan keadaan situasi 

di wilayahnya. Ternyata ada segolongan 

penduduk yang diam-diam menaruh 

kebencian pada sang Adipati 

Yaitu berdasarkan sakit hati, 

karena seorang anak gadis dari 

penduduk telah dipaksanya menjadi 

istrinya. Tentu saja dengan janji-

janji yang muluk.

Akan tetapi baru belakangan 

diketahui kalau gadis itu cuma jadi 

permainannya saja. Dan setelah bosan, 

segera dikembalikan pada orang tuanya 

dengan alasan yang tak masuk akal. 

Karena si wanita itu dituduh mencuri 

perhiasan istri tuanya. Dilain pihak 

ternyata mulai bermunculan para pemuda 

yang menentang secara sembunyi-

sembunyi, karena ketidak adilan sang 

Adipati dalam menjalankan pemerin-

tahannya. Bahkan mulai terasa keadaan 

yang tidak aman.

Usia sang Adipati Laksono itu 

sudah mencapai hampir lima puluh 

tahun. Seharusnya sudah diadakan 

penggantian sesuai undang-undang. 

Kalau bukan keturunannya sendiri yang 

menggantikannya, tentu masih kerabat-

nya. Atau kalau tak ada kerabatnya 

tentu orang lain atas pilihan dari 

rakyat yang dipandang berwibawa untuk 

menduduki jabatan tersebut.

Bercokolnya empat orang yang


mempunyai gelaran menyeramkan itu 

ternyata menambah keresahan rakyat 

diwilayah itu. Mulailah banyak terjadi 

kekerasan dan pertumpahan darah. Dan 

kesemuanya itu bila terjadi, tak ada 

keputusan yang adil terhadap rakyat 

dari Adipati Laksono. Setelah bermacam 

persoalan itu langsung saja terkubur 

ke laut....

* * * *

Hari masih siang... akan tetapi 

wilayah Kota Raja telah ramai 

dikunjungi orang dari berbagai tempat. 

Ternyata hari itu adalah hari bersuka 

ria, karena malam nanti akan diadakan 

pesta keramaian dengan meriah 

diberbagai tempat untuk menyambut hari 

ulang tahun Kerajaan Medang.

Seorang pemuda gagah berpakaian 

serba putih berjalan agak kaku mema-

suki tempat keramaian. Di pinggangnya 

terserang sebuah pedang yang gagang 

sarungnya sengaja dibungkus oleh 

secarik kain agar tak begitu menyolok. 

Sebentar-sebentar langkahnya terhenti 

untuk memandang atau memperhatikan 

orang-orang yang berlalu-lalang. Keba-

nyakan yang diperhatikannya adalah 

seorang wanita atau gadis. Siapakah 

gerangan pemuda gagah ini...? Ternyata 

tak lain dari Ginanjar adanya. Murid 

si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini


telah berdiam di Kota Raja selama 

hampir dua tahun dirumah sahabat 

gurunya Ronggo Alit. Ternyata untuk 

menemukan rumah sang "paman" itu tak 

begitu sulit.

Agaknya Ginanjar cukup betah 

berdiam dirumah Ronggo Alit, yang 

ternyata telah menerima kedatangannya 

dengan ramah tamah. Tenaga anak muda 

ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat 

membantu-bantu pekerjaannya, disamping 

menambah pengertiannya akan ilmu obat-

obatan. Agaknya Ronggo Alit telah 

mengetahui akan prihal perjanjian Ki 

Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si 

Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak 

menceritakannya pada Ginanjar. Cuma 

terlihat Ronggo Alit menghela napas 

dengan menampilkan wajah sedih. 

Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman 

gurunya yang bernama si Maling Sakti 

itupun dijawabnya dengan menggeleng 

kepala, walau dia telah mengetahui 

keadaan sebenarnya. Ternyata Ronggo 

Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si 

Maling Sakti alias Jarot Suradilaga 

harus mencampuri urusan si Pendekar 

Bayangan. Namun tak mau melibatkan 

orang lain. Dengan tidak munculnya ke-

dua tokoh bekas Ketua Partai Kaum 

Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.

Demikianlah untuk menutupi 

kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja 

menyibukkan dengan urusannya. Dan

Ginanjar giat membantu usahanya selama 

ini. Namun dalam setiap kesempatan 

selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar 

mencari dan menyelidiki kemana 

perginya saudara seperguruannya yang 

bernama Roro itu, sambil mencari bahan 

obat-obatan. Akan tetapi sampai hampir 

dua tahun tetap saja tak ada 

beritanya. Dalam usia Ronggo Alit yang 

semakin menua dan tiadalah orang tua 

itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar 

merasa berat untuk meninggalkannya. 

Walau hatinya sudah menggebu untuk 

pergi mengembara mencari saudara 

seperguruannya.

Hari itu Ginanjar telah minta 

izin untuk melihat keramaian, serta 

menyelidiki siapa tahu bisa menemukan 

Roro. Karena dengan adanya keramaian 

diberbagai tempat diwilayah Kota Raja 

itu, akan banyak pengunjung 

berdatangan. Demikianlah, Ginanjar 

yang telah menjadi seorang pemuda 

remaja itu, pasang mata meneliti 

setiap wanita atau gadis yang berlalu 

lalang ditengah keramaian pasar.

"Ah, seandainya Roro masih hidup 

dan aku menjumpainya, tentu aku akan 

pangling. Pasti dia sudah menjadi 

seorang gadis yang cantik jelita..!" 

Desis suara Ginanjar pelahan sambil 

termangu-mangu. Namun sesaat dia sudah 

beranjak ke tengah pasar untuk 

menyelidiki lebih banyak, serta


melihat persiapan keramaian malam 

nanti.

Menjelang agak senja suasana 

dikota itu semakin ramai. Ginanjar 

yang merasa perutnya lapar, segera 

memasuki sebuah restoran yang paling 

ramai. Sementara memesan makanan 

sepasang matanya selalu jelalatan 

memperhatikan setiap pengunjung 

wanita. Namun tetap saja orang yang 

dicarinya tak kelihatan. Selesai 

bersantap Ginanjar segera ayunkan 

langkah lagi... Kali ini yang 

ditujunya adalah ke tempat yang agak 

sepi dibelakang pasar. Karena ditempat 

sepi ini dia berpendapat dapat 

menemukan ilham untuk mencari ke arah 

mana disekitar wilayah Kota Raja itu.

Tiba-tiba diujung sebuah gang 

terdengar suara teriakan, namun sesaat 

kembali melenyap. Seperti suara 

teriakan seorang wanita...? Berkata 

Ginanjar dalam hati. Karena yang 

tengah dicarinya adalah seorang 

wanita, tentu saja dia sudah bergegas 

untuk melihat. Lorong dibelakang pasar 

itu tampak sunyi. Akan tetapi sepasang 

mata si pemuda ini telah melihat 

sesuatu yang bergerak-gerak, yang 

ternyata adalah sepasang kaki. Seperti 

sosok tubuh seseorang yang baru saja 

diseret masuk ke sebuah pintu rumah 

petak. Ginanjar jadi curiga, dan 

segera berkelebat melompat dengan tak


menimbulkan suara. Dari sebuah jendela 

kecil dia telah melihat apa yang 

tengah terjadi sebenarnya. Sepasang 

mata pemuda ini jadi melotot dengan 

wajah gusar, karena terlihat tiga 

orang laki-laki berwajah penuh cambang 

bauk tengah berusaha membukai pakaian 

seorang gadis yang telah dibekap 

mulutnya.

"Hai! lepaskan dia..!" Ginanjar 

telah keluarkan bentakan keras seraya 

melompat ke depan pintu. Tentu saja 

membuat ketiga laki-laki itu jadi 

terkejut, dan serentak sudah mencabut 

senjata dari balik pakaiannya. Tanpa 

keluar suara dua orang telah menerjang 

keluar setelah yang seorang memberi 

isyarat. Pemuda ini memang baru 

pertama kalinya mengalami pertarungan, 

sepasang matanya dipergunakan baik-

baik. Dan dengan gesit dia sudah 

berhasil mengegos serta tepiskan 

tangannya membuat kedua serangan itu 

luput.

Dan bahkan dengan cepat sekali 

sepasang lengannya kembali bergerak 

menghantam...

BUK! BUK...!

Terdengar keduanya mengeluh 

dibarengi dengan robohnya tubuh si 

penyerang. Melihat kedua kawannya 

jatuh nyusruk dengan cuma beberapa 

jurus, si laki-laki yang satunya ini 

melompat menerjang dengan belati


panjangnya. Namun Ginanjar memang te-

lah mempersiapkan diri dari segala 

kemungkinan. Tubuhnya melompat ke 

samping. Sebelah kakinya bergerak 

menghantam perut orang itu.

BEKK!

Terdengar suara laki-laki itu 

mengeluh, dan tubuhnya sudah 

terhuyung. Sebelah lengannya memegangi 

perutnya yang jadi mulas dengan wajah 

menyeringai kesakitan.

"Keparrat..!" Berdesis suara 

orang itu, seraya tiba-tiba putarkan 

tubuh untuk mengirim serangan beruntun 

menabas kaki dan menusuk ke arah 

tenggorokan.

Ginanjar gerakkan kakinya untuk 

melompat, sambil doyongkan tubuh ke 

belakang. Loloskan serangan itu. Tiba-

tiba dia telah keluarkan bentakan 

keras, dan kirimkan pukulan jarak 

jauh.

BUK..!

Laki-laki itu terhuyung ke 

belakang mau jatuh, dan saat itu 

sebelah kaki pemuda itu telah 

menghantam telak mengenai dadanya.

DHESS…!

Tak ampun laki-laki brewok itu 

roboh terjungkal. Sementara dua 

kawannya telah bangkit lagi. Melihat 

si pemuda berdiri tegak dengan 

bertolak pinggang, nyalinya sudah 

luntur. Serentak mereka segera



melarikan diri. Sedangkan si lelaki 

barusan sudah bangkit lagi dengan 

belati panjangnya, segera ngeloyor 

pergi dengan terhuyung-huyung menyusul 

kedua kawannya.

Ginanjar perlihatkan senyumnya, 

lalu balikkan tubuh untuk melihat 

wanita tadi. Tampak seorang gadis yang 

berwajah cukup cantik tengah 

menatapnya disudut ruangan. Wajahnya 

pucat, rambutnya kusut masai. 

Sementara kedua lengannya disilangkan 

diatas dada menutupi payudaranya yang 

sedikit tersembul, karena pakaiannya 

telah robek sebagian.

"Ah, te... terima kasih atas 

pertolonganmu tuan..!" Berkata si 

gadis dengan mengangguk, seraya 

perlihatkan senyumannya. Sekilas 

pandangan mata Ginanjar mampir juga ke 

arah bagian yang sedikit terbuka itu, 

tapi segera palingkan pandangannya ke 

lain arah.

"Sudahlah! Siapa namamu? dan 

dimanakah rumahmu..?" Bertanya 

Ginanjar.

"Namaku... Kasmini! Rumahku... 

ng... cukup jauh dari belakang pasar 

ini!" Menyahut si gadis. Lalu 

ceritakan kejadiannya secara singkat 

pada Ginanjar hingga dia disekap 

ditempat kosong itu. Karena khawatir 

kalau para bajingan itu mengganggi 

lagi, terpaksa Ginanjar mengan


tarkannya untuk kembali ke rumahnya. 

Dalam perjalanan Kasmini segera 

ceritakan tentang keadaan hidupnya. 

Terperangah pemuda itu mendengarnya, 

karena ternyata Kasmini seorang gadis 

piatu yang cuma hidup berdua dengan 

seorang kakeknya, yang sudah teramat 

tua dan sakit-sakitan. Kasmini 

terpaksa mencari nafkah dengan 

membantu-bantu orang, seperti mencuci 

pakaian dan lain-lain. Akan tetapi dia 

hanya menerima upah saja. Boleh 

diumpamakan sebagai pembantu yang ti-

dak tetap. Kepergiannya adalah untuk 

membeli obat sepulang dari bekerja, 

karena penyakit sang kakek kambuh 

lagi. Akan tetapi telah terjadi 

kejadian seperti yang dialaminya tadi, 

yang dilakukan oleh para begundal 

pasar yang sudah lama mengincarnya.

11

MENUNGGU kedatangan seorang cucu 

perempuannya bagi seorang kakek tua 

renta tanpa daksa dan penyakitan 

selama hampir satu hari, adalah 

sungguh membuat rasa bosan dan serba 

salah. Dibagian belakang reruntuhan 

gedung tua yang sudah tak terawat lagi 

terdengar suara keluhan dan rintihan 

yang mengenaskan. Seorang kakek tua 

renta duduk setengah terbaring diatas


lantai, bertilam kain yang penuh 

tambalan. Sungguh mengenaskan hati 

melihatnya, karena sang kakek itu 

bertubuh cacad. Yaitu kedua belah 

kakinya buntung sebatas dengkul.

Laki-laki tua kurus kering itu 

perdengarkan keluhannya yang menghiba.

"Kasminiiii..! ah, kemanakah 

engkau cucuku." Keluhnya dengan suara 

lirih hampir tak terdengar. Rambut 

dikepalanya sudah tinggal beberapa 

lembar, wajahnya cekung pucat. Karena 

disamping lapar, si kakek itu memang 

dalam keadaan sakit. Selang tak berapa 

lama terdengar suara-suara diluar 

berbisik-bisik.

"Inilah tempat tinggalku..! 

Marilah masuk! Aku harus memberikan 

nasi ini dulu pada kakek, dan 

meminumkan obat!" Terdengar suara 

wanita. Laki-laki tua ini gerakkan 

pelupuk matanya, lalu membuka sepasang 

matanya yang cekung ke dalam.

Tak lama sudah tersembul dipintu 

sesosok tubuh, yang tak lain dari 

Kasmini adanya. Dilengannya tercekal 

sebuah bungkusan berisi nasi dan lauk-

pauknya. Serta sebungkus obat.

"Kasmini... kau sudah pulang 

cucuku.. ? Siapakah tetamu diluar? Ah, 

mengapa tak kau suruh masuk..?" 

Bertanya sang kakek dengan suara 

lemah. Pendengaran tuanya ternyata 

masih cukup tajam, karena disamping


suara Kasmini ada pula didengarnya 

suara seorang laki-laki. Sementara 

Ginanjar yang berada diluar merasa tak 

enak hati bila tak menjenguk kakek 

sang gadis yang telah ditolongnya itu. 

Bahkan ditengah perjalanan telah pula 

membelikan obat dan dua bungkus nasi. 

Sesaat dia sudah beranjak kedalam 

ruangan yang sempit dan kotor penuh 

sarang laba-laba itu.

"Kakek..! Tuan inilah yang telah 

menolongku, dan membelikan obat serta 

dua bungkus nasi ini untuk kita!" 

Berkata Kasmini dengan berbisik pada 

telinga kakeknya. "Ah, selamat... da., 

tang ke pondok burukku, tuan muda..! 

Terima... kasih atas budi baikmu 

menolong cucuku..!" Berkata si kakek 

dengan suara lirih, dan perlihatkan 

senyumannya. Ternyat Kasmini telah 

berbisik-bisik menceritakan secara 

singkat kejadian yang menimpanya. 

Ginanjar yang telah berjongkok 

dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa 

manggut-manggut seraya berkata.

"Ah, kakek..! Sudahlah, perto-

longanku itu tak berarti apa-apa..! 

Segeralah kau bersantap, dan meminum 

obat agar lekas sembuh!" Ginanjar 

berikan segenggam uang di lengan sang 

kakek, yang tak putus-putus ucapkan 

terima kasih. Selanjutnya sudah 

berdiri lagi seraya menjura pada si 

kakek, dan menatap pada Kasmini.


"Maaf, aku tak dapat berlama-lama 

lagi, karena ada hal lain yang harus 

aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak, 

kapan-kapan aku pasti akan singgah 

lagi kemari!" Berkata Ginanjar. Wajah 

si gadis tampak perlihatkan kemuraman, 

dan sepasang matanya sudah berkaca-

kaca. Akan tetapi dia segera mengang-

guk. Setelah menjura lagi pada si 

kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh 

untuk beranjak keluar ruangan. Baru 

saja sembulkan tubuh dipintu, telah 

terdengar bentakan keras diluar 

halaman.

"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau 

sudah jual lagak dihadapan ketiga 

kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?" 

Ginanjar segera telah dikepung oleh 

empat orang yang bertampang seram.

"Hen!? siapakah kalian ini..?" 

Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya. 

Keempat orang itu saling pandang 

sesama kawannya, lalu terdengar suara 

tertawanya gelak-gelak.

"Hahaha... hahaha... Rupanya kau 

seorang pemuda ingusan yang baru turun 

gunung! Semua orang sudah mengenal 

siapa kami!" Berkata salah seorang. 

"Baik, pasanglah telingamu lebar-

lebar! Kami adalah si EMPAT IBLIS KALI 

PROGO! Kami bertugas menjaga keamanan 

di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja 

berhak menangkap atau membunuh mampus 

pengacau seperti kau!"


"Heh!" Mendengus Ginanjar, dengan 

turunkan alisnya.

"Apakah kesalahanku, hingga 

kalian menyebutku pengacau? Justru 

kawanmu itulah yang telah mengacau! 

Mereka telah berusaha menyekap gadis 

ini untuk diperkosa! Mengapa justru 

aku yang dianggap pengacau ?" Tanya 

Ginanjar dengan hati mendongkol. 

Keempat sosok tubuh dihadapannya itu 

pelototkan matanya dengan gusar.

"Justru kaulah yang mau 

memperkosanya, lalu dihalangi oleh 

ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau 

mau membela diri dengan menimpakan 

kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-

kawan ringkus dia..!" Bentak salah 

seorang dari keempat Iblis Kali Progo 

yang bertubuh kekar berkulit hitam 

legam. Terperangahlah seketika Ginan-

jar, karena mengapa justru dia yang 

dianggap mau memperkosa si gadis yang 

telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya. 

Saat itu tiga orang dari mereka telah 

mencabut senjatanya dipinggang, yaitu 

golok-golok yang melengkung lebar 

berkilat-kilat. Kasmini tiba-tiba 

telah melompat kepintu seraya ber-

teriak.

"Dusta! Kalian telah membalikkan 

kesalahan pada orang lain! Ketiga 

begundal pasar itu aku sudah 

mengenalnya, dan telah beberapa kali 

membujukku untuk menuruti napsu


binatangnya! Kalau tak datang tuan 

muda ini tentu aku... aku..." Kasmini 

tak dapat teruskan kata-katanya. 

Karena seketika dia sudah gemetaran 

dan menangis terisak-isak.

"Tutup mulutmu..!" Tiba-tiba 

membentak si tubuh kekar berkulit 

hitam. Dan dia sudah beri isyarat 

ketiga kawannya menerjang Ginanjar. 

Tiga buah golok berkelebat menabasnya, 

si gadis Kasmini perde garkan jeritan 

ketakutan. Akan tetapi dengan seba si 

pemuda itu sudah melompat menghindar 

dengan tubuh berjumpalitan diudara. 

Dan sudah menjauh sekitar lima tombak.

Tentu saja keempat orang itu 

segera memburu dengan wajah bringas. 

Sekejap saja mereka telah mengurung si 

pemuda itu lagi. Kini keempat orang 

yang berjulukan si Empat Iblis Kali 

Progo itu sudah siap dengan senjata 

terhunus. Mengetahui dirinya dalam 

bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut 

pedangnya dari pinggang.

"Bagus! Sebutkan siapa kau dan 

siapa gurumu bocah? Agar kami tak 

penasaran membunuhmu.." Teriak salah 

seorang yang bernama Tambi. Yaitu 

laki-laki berkulit hitam tadi.

"Benar! Kami si Empat Iblis Kali 

Progo tentu akan dapat penghargaan 

dari pihak Kerajaan kalau berhasil 

membunuh seorang pengacau yang cukup 

punya nama!" Teriak yang bertubuh


pendek berhidung besar seperti 

bengkak, dengan tertawa menyeringai. 

Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang 

dua lagi bernama Reksa dan Bangik.

"Hm, tak perlu macam-macam! 

kalian majulah..!" Bentak Ginanjar 

dengan gusar. Dia rupanya sudah 

geregetan sekali untuk menabas kepala 

orang yang telah memfitnahnya itu. 

Walaupun baru untuk kedua kalinya ini 

Ginanjar bertarung, tapi murid si 

Pendekar Bayangan ini memang tak 

mengenal takut. Tentu saja kata-kata 

Ginanjar membuat mereka jadi gusar, 

dan segera menerjang dengan berbareng. 

TRANG! TRANG! TRANG!

Sebentar saja ditempat sunyi itu 

telah terjadi pertarungan seru. 

Ginanjar pergunakan pedangnya untuk 

menangkis setiap serangan. Bahkan 

balas menyerang dengan dahsyat. Akan 

tetapi keempat orang itu memang 

berilmu tinggi, dan mereka maju 

berempat. Dengan berkelebatan saling 

berganti mereka berlompatan menghin-

dar, sedangkan yang lainnya sudah 

menerjang lagi disaat si pemuda 

mencecar kawannya. Sekejap saja sudah 

terdengar suara bentakan-bentakan dan 

beradunya senjata tajam.

Sementara itu Kasmini cuma bisa 

memandangi dengan mata terbeliak 

bersimbah air mata. Sang kakek 

ternyata telah beringsut ke pintu


untuk melihat kejadian. Terbelalak 

sepasang mata tua itu sambil geleng-

gelengkan kepala. Kasmini segera 

memeluknya untuk segera mengajaknya 

kembali ke dalam. Pada saat perta-

rungan itu terjadi, ternyata sesosok 

tubuh berindap-indap mendekati 

belakang reruntuhan gedung tua itu. 

Ternyata tak lain dari salah seorang 

laki-laki yang tadi dihajar oleh 

Ginanjar, dan melarikan diri. Wajahnya 

menyeringai tertawa melihat kedua 

orang ini tengah memperhatikan perta-

rungan dengan wajah pucat. Sekejap dia 

sudah melompat ke pintu. Lengannya 

bergerak menarik lengan gadis itu yang 

jadi menyentak terlepas dari 

pegangannya ke tubuh si kakek.

"Hehehe... Kasmini! ayo, kau 

ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu 

mampus!"

"Hah!? tidak! tidaak! lepaskan 

aku..! kau... kau bajingan keparat..!" 

Berteriak-teriak Kasmini dengan 

terkejut. Segera dia meronta-ronta 

untuk melepaskan cekalan laki-laki 

itu. Akan tetapi satu hantaman pada 

belakang lehernya membuat gadis itu 

mengeluh, dan pingsan tak sadarkan 

diri.

Terkejut sang kakek, yang melihat 

keadaan cucunya. Segera dia beringsut 

cepat seraya melompat untuk menangkap 

tubuh cucunya yang akan dipondong si


laki-laki. "Jangan..!? Jangan ganggu 

cucuku... lepaskan.. dia..!" Teriaknya 

dengan suara terengah. Akan tetapi 

satu hantaman telak telah mengenai 

dadanya.

BUK..! Terdengar si kakek 

mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke 

lantai. Sekali bergerak si laki-laki 

brewok itu sudah memondong sang gadis, 

dengan perlihatkan wajah menyeringai. 

Namun diluar dugaan lengan si kakek 

kembali menyambar. Dan sebelah kakinya 

kena ditangkap. Agaknya dalam keadaan 

yang sedemikian fatal itu dia sudah 

tak hiraukan dirinya lagi. Sisa-sisa 

tenaganya dipergunakan untuk membela 

cucunya, walau dalam keadaan sakit dan 

tubuh tanpa daksa. Hantaman lengan 

laki-laki barusan itu telah membuat 

tulang iganya berderak patah. Akan 

tetapi semangatnya untuk 

mempertahankan cucu perempuannya 

bagaikan semangat seekor banteng luka.

Sayang... semua yang dilakukannya 

itu tak berarti apa-apa. Bahkan dengan 

sekali kaki si laki-laki brewok itu 

bergerak, terlemparlah tubuh si kakek 

bergulingan ke tengah ruangan. Dan 

baru berhenti ketika membentur tembok. 

Terdengar suara teriakan parau 

menyayat hati, yang kedengarannya amat 

lemah sekali. Tampak tubuh tua renta 

itu menggeliat sejenak, lalu terdiam. 

Ternyata nyawanya telah melayang


dengan seketika. Tulang-tulangnya yang 

telah rapuh itu tak kuat untuk beradu 

dengan tembok tebal. Bahkan belakang 

batok kepalanya telah rengat 

mencucurkan darah. Tewaslah sang kakek 

dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa 

diketahui lagi oleh sang cucu 

perempuannya yang telah tak sadarkan 

diri...

"Hehehe... kakek tua renta! Kau 

memang sudah sepantasnya mampus..!" 

Mendesis si laki-laki itu dengan wajah 

geram menatap tubuh si kakek yang 

sudah tak berkutik lagi. Tak ayal 

segera dibalikkan tubuh, untuk 

bekelebat tinggalkan tempat itu.

Sementara pertarungan terus 

berlangsung hingga belasan jurus. 

Ginanjar telah mendengar suara te-

riakan Kasmini, akan tetapi untuk 

melepaskan diri dari rangsakan keempat 

manusia itu teramat sulit. Salah-salah 

nyawa bisa melayang. Karena terjangan-

terjangan golok mereka benar-benar 

sebat dan sulit untuk dihindari. 

Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang. 

Dan dengan pedangnya dia dapat 

menangkis setiap serangan. Ternyata 

Ginanjar memang kalah dalam pengalaman 

bertarung. Jurus-jurus gerak tipu 

keempat lawannya terkadang membingung-

kan. Hingga kini dia lebih banyak 

bertahan dari pada menyerang.

"Hahaha... biarkan saja gadismu


itu tak usah kau urusi! Kalau kau 

mampus toh banyak orang lain yang 

mengurusi..!" Mengejek Tambi si laki-

laki kekar berkulit hitam. Ginanjar 

tak perdulikan ocehan orang. Segera 

dia mulai mencari jalan memecahkan 

serangan mereka. Untunglah otaknya 

cerdas. Segera teringat dia akan 

beberapa jurus yang cukup ampuh yang 

pernah dipelajari. Tiba-tiba dia telah 

merobah sikap tempurnya. Kini gerakkan 

pedang memutar dahsyat hingga 

keluarkan angin pusaran yang menderu. 

Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.

Terkejut juga si Empat Iblis Kali 

Progo, segera mereka mundur beberapa 

langkah dengan pasang kuda-kuda. Lalu 

salah seorang memberi isyarat untuk 

segera bergerak memutar, dan berlom-

patan dengar gerakan menyilang. 

Sementara setiap gerakan melompat 

selalu diiringi dengan tebasan, ke 

arah kaki. Mau tak mau Ginanjar sambil 

putarkan pedangnya berlompatan 

menghindari serangan-serangan yang 

datang bergantian itu. Tampak keringat 

anak muda itu telah mengucur deras. 

Baru pertama kali bertarung sudah 

menemukan lawan yang tangguh, bahkan 

dikeroyok empat orang. Membuat pemuda 

Lereng Rogojembangan ini jadi benar-

benar memeras keringat. Tiba-tiba dia 

sudah perdengarkan bentakan-bentakan-

nya. Kini sebelah lengannya


dipergunakan menghantam ke arah setiap 

tubuh yang berkelebat menabaskan 

senjata ke arah kakinya.

Hal tersebut rupanya telah 

dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali 

Progo. Segera gerakan mereka berubah 

arah. Kini menyerang secara bergantian 

ke arah kepala, dengan lompatan-

lompatan tingginya. Bersyiuran angin 

dari setiap tebasan golok lawan 

mengarah kepalanya. Ginanjar jadi 

kertak gigi menahan amarah. Kini 

sepasang pedangnya bergerak lebih 

cepat menghantam dan menghalau setiap 

serangan. Hasilnya memang cukup 

memuaskan. Karena segera tampak 

keempat orang lawannya terdesak 

mundur. Gerakan-gerakan pedangnya 

adalah yang dinamakan jurus Naga 

Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu saja 

dengan menggunakan jurus ini Ginanjar 

telah mengeluarkan banyak tenaga. 

Namun segera terdengar teriakan 

tertahan dari salah seorang lawan. 

BRET...! Tebasan pedangnya yang 

bergulung-gulung itu berhasil merobek 

pundak salah seorang lawan berikut 

tersobeknya daging lengannya. Darah 

menyemburat, dan laki-laki bernama 

Begu Lowo itu meringis memegangi 

lukanya dan melompat mundur dua 

tombak. Tiga orang kawannya menggerung 

keras. Dan menerjang dengan tebasan-

tebasan gencar dengan arah yang tidak


bersamaan. Ada yang mengarah leher, 

ada yang mengarah pinggang dan 

mengarah ke kaki. Serangan serentak 

itu dibarengi dengan hantaman-hantaman 

sebelah lengannya yang bertenaga dalam 

kuat.

Tersentak Ginanjar. Kali ini dia 

harus tak boleh salah perhitungan. 

Tubuhnya segera melompat melambung 

setinggi dua tombak. Pedangnya 

dipergunakan menangkis setiap 

serangan, sambil elakkan tubuh 

mengegos. Tapi kali ini satu tabasan 

tak berhasil dihindari. Ketika 

tubuhnya meluncur turun, satu hantaman 

lengan membuat tubuhnya doyong ke

belakang. Dan saat itu dipergunakan 

Tambi untuk menabaskan goloknya.

BRET!... Nyaris pinggang Ginanjar 

putus tertabes, pada saat itu tak 

meluncur sebutir batu kerikil 

menghantam golok Tambi hingga 

terpental...

TANGNG...!

Terkesiap laki-laki bernama Tambi 

itu, karena lengannya bergetar 

kesemutan. Dan dia tak dapat menahan 

genggaman goloknya lagi, yang segera 

terlepas terpental. Dengan terperanjat 

dia sudah melompat mundur. Akan tetapi 

tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar 

ke depan dengan perdengarkan teriakan 

parau menyayat hati, lalu roboh 

meregang nyawa dengan menggeliat


geliat. Sesaat kemudian dia sudah 

tewas.

12

MELOMPATLAH seorang dari Empat 

Iblis Kali Progo untuk memburu kearah 

kawannya yang satu ini. Setelah 

memeriksa betapa terperanjatnya ketika 

melihat pada leher sang kawan, te-

dapat dua buah lubang sebesar jari 

tangan yang mengucurkan darah. 

Siapakah yang telah menyerangnya? 

Sentak hatinya. Tiba-tiba berkele-

batlah sebuah bayangan hijau ke tengah 

kalangan dibarengi dengan suara 

tertawa mengikik merdu. Dan sesosok 

tubuh telah berdiri di situ.

"Hihihi...hihi... tak tahu malu 

mengeroyok seorang pemuda yang belum 

tentu kesalahannya! Rupanya aku amat 

beruntung sekali dapat berkenalan 

dengan anda yang bernama besar! 

Ternyata kalianlah yang menamakan diri 

Empat Iblis Kali Progo...!" Bukan saja 

tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu 

saja yang terbelalak, akan tetapi 

sepasang mata Ginanjar pun terbelalak 

dengan tubuh terpaku melihat munculnya 

seorang gadis yang bertubuh semampai, 

berpinggang langsing, dengan rambut 

beriapan. Siapakah wanita ini 

adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati. 

Dia tak dapat menatap wajah orang,


karena sosok tubuh itu membe-

lakanginya.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu 

sudah balikkan tubuh menatapnya.

"Hihihi... kau menyingkirlah, 

anak muda! Biar aku yang mengirim 

nyawa mereka ini ke akhirat!" 

Terperangah Ginanjar, karena hampir 

saja dia menyebut nama Roro. Akan 

tetapi wajah wanita itu tampak kaku 

dan pucat. Sepasang matanya sipit 

dengan hidung agak besar. Namun 

mempunyai perawakan yang hampir mirip 

dengan saudara seperguruannya itu. 

Bahkan suaranya bernada mirip sekali. 

Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan 

segera melompat ke tepi. Sementara 

hati Ginanjar berkecamuk sendiri, 

ketiga orang dari Empat Iblis Kali 

Progo itu telah perdengarkan 

bentakannya.

"Heh! Kiranya kau yang telah 

membokong saudaraku..?" Bentak salah 

seorang. "Membokong..? Hihihi... 

hihi.. dalam bertarung tak ada urusan 

dengan segala macam aturan! Apa lagi 

menghadapi manusia keji semacam kalian 

yang sudah aku dengar keja-atannya! 

Berapa orang gadis didesa wilayah 

Kadipaten Banjar Mangu yang telah 

kalian perkosa? Dan berapa orang dari 

rakyat yang tak bersalah telah kalian 

aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri 

telah mengeroyok seorang pemuda yang


belum tentu bersalah!" Berkata wanita 

itu dengan suara lantang.

"Kurang ajar! mulutmu harus 

dihajar dengan ini !" Teriak Reksa 

yang sudah menerjang diikuti kedua 

orang kawannya. Berkelebatan tiga buah 

golok yang berkilatan menabas dan 

merencah tubuhnya. Akan tetapi dengan 

gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari 

serangan mereka sekejapan telah lolos. 

Terkejut bukan main mereka, karena 

tampaknya si wanita ini bukannya 

menggelakkan diri, akan tetapi 

terhuyung-huyung bagai orang mabuk. 

Namun nyatanya serangan mereka telah 

terelakkan dengan mudah.

Segeralah mereka merobah gerakan 

dengan gerakan memutari tubuh si 

wanita itu. Sementara senjata-senjata 

mereka membuat gerakan menebas dan 

menusuk secara bergantian, disertai 

bentakan-bentakan keras yang menga-

caukan konsentrasi lawan. Akan tetapi 

tampaknya hal itu tak membawa hasil, 

karena justru si wanita pergunakan 

jurus yang aneh. Sepasang lengannya 

bergerak mengibas keberapa arah. 

Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo 

ini. Karena segera merasai segelombang 

angin panas telah menerjangnya. Tampak 

serangan mereka mulai kacau. Tiba-tiba 

terdengar suara tertawa mengikik si 

wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah 

lenyap, karena terbungkus oleh asap


kabut yang menghalangi pandangan me-

reka.

Ginanjar yang menyaksikan jalan-

nya pertarungan jadi berseru kagum, 

karena tubuh si wanita bagaikan 

bayangan telah berada diluar kepungan 

tanpa setahu ketiga lawannya. Dan saat 

berikutnya, sudah terdengar suara 

jeritan-jeritan menyayat hati. Karena 

lengan si wanita telah bergerak cepat 

sekali dibarengi kelebatan tubuhnya. 

Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari 

Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh 

ke tanah dengan berkelojotan meregang 

nyawa. Tak berapa lama tiga manusia 

itu sudah lepaskan nyawa masing-

masing, dan berkaparan ditanah dengan 

bersimbah darah. Sesaat ketika asap 

kabut mulai menipis kembali tubuh 

wanita itu telah lenyap entah 

kemana...

Terkejut Ginanjar dengan mata 

terbelalak lebar. Seperti melihat 

hantu saja layaknya. Kejadian itu 

berlalu begitu cepat, sampai-sampai 

pandangan matanya tak dapat mengikuti 

kelebatan tubuh si wanita. Dan tahu-

tahu sudah lenyap.

Sejenak membuat Ginanjar jadi 

terpaku. Akan tetapi tubuhnya sudah 

berkelebat melompat menghampiri ketiga 

mayat. Ketika memeriksanya, ternyata 

pada masing-masing leher mereka 

terdapat dua buah lubang sebesar jari


jari tangan. Tersentak dia seketika. 

Hatinya berseru kagum, akan tetapi 

juga ngeri. Karena dengan tangan 

kosong saja si wanita itu telah 

berhasil merobohkan ketiga lawannya. 

Menandakan betapa tingginya ilmu si 

wanita itu. Bahkan tadi dia telah 

berhasil diselamatkan nyawanya oleh si 

wanita misterius itu yang 

mempergunakan sambitan dengan batu 

kerikil.

Entah dimana suaranya, tahu-tahu 

telah terdengar lapat-lapat suara 

tertawa mengikik si wanita itu 

dibarengi kata-kata...

"Hihihi... hihi... anak muda! 

Segeralah kau bawa pulang gadismu itu! 

Dia berada diujung jalan yang menuju 

kehutan...!" Tentu saja kata-kata itu 

membuat terkejut Ginanjar, karena 

jelas ditujukan kepadanya. Aneh nya 

suara itu seperti menyusup masuk 

ketelinganya. Sesaat Ginanjar sudah 

melompat dari situ, akan tetapi tiba-

tiba dia kembali putarkan tubuh ketika 

teringat akan si kakek tua renta. Dan 

kembali berkelebat ke arah reruntuhan 

gedung tua... Sekejap dia sudah 

berdiri dimuka pintu. Terbelalaklah 

matanya melihat sosok tubuh sang kakek 

yang sudah terkapar bersimbah darah 

tanpa berkutik lagi.

"Hah!? kakek..!" Dia sudah 

melompat menghampiri. Tercenung


seketika Ginanjar menatap mayat kakek 

tua renta tanpa daksa yang telah tewas 

dengan keadaan mengerikan itu. Tak 

terasa sepasang matanya sudah berkaca-

kaca... Akan tetapi tak lama pemuda 

itu sudah berkelebat tinggalkan 

reruntuhan gedung tua itu.

* * * *

"Kasmini...!"

Berteriak Ginanjar dengan suara 

parau, ketika melihat sesosok tubuh 

tergeletak disisi jalan dengan keadaan 

tubuh hampir telanjat bulat. Kerena 

pakaiannya sudah robek-robek disana-

sini. Tak jauh dari tubuh gadis itu 

terkapar sesosok tubuh laki-laki bre-

wok yang tak bernyawa lagi. Ternyata 

tak lain dari laki-laki yang pernah 

dihajarnya tadi dibelakang pasar. 

Dipandanginya mayat laki-laki itu. 

Segera Ginanjar teringat kejadian 

tadi. Sekilas memang dia melihat suara 

teriakan sang gadis, lalu melihat sang 

dara ini dalam pondongan laki-laki. 

Akan tetapi saat itu dia tengah 

menghadapi terjangan-terjangan si 

Empat Iblis Kali Progo yang mengancam 

jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk 

berbuat apa-apa selain bertarung 

mempertahankan nyawanya....

Keadaan tubuh laki-laki brewok 

itu amat mengerikan, karena tulang


dadanya remuk dan patah-patah mencuat 

keluar. Sedangkan selangkangannya ber-

simbah darah. Terperangah seketika 

Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar sudah 

alihkan tatapannya pada gadis itu 

lagi. "Kasmini..!" teriaknya lirih, 

seraya guncang-guncangkan tubuh sang 

gadis. Kasmini tampak membuka sepasang 

matanya. Ketika melihat siapa yang 

telah berada dihadapannya, segera saja 

gadis itu berteriak girang seraya 

memeluk pemuda itu dengan erat sambil 

menangis terisak-isak.

"Sudahlah adik..! bahaya telah 

lewat! kau telah selamat...!" Berkata 

Ginanjar dengan wajah memerah, dan 

jantungnya terasa bergetar karena 

keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan 

sedemikian rupa. Bahkan sepasang 

payudaranya yang terbuka memutih padat 

itu menekan erat ke dadanya.

"Kau... kau benahilah pakaianmu, 

Kasmini...!" Ujar Ginanjar lirih, 

seraya mendorong tubuh si gadis.

"Ahh...?" Tersentak sang gadis 

itu ketika menyadari keadaan tubuhnya. 

Segera dia beringsut untuk merapihkan 

sobekan bajunya yang menyingkap 

dadanya.

Sementara sepasang matanya telah 

menatap ke arah sesosok mayat laki-

laki brewok yang dikenalnya. Segera 

Kasmini teringat akan kejadian yang 

menimpanya. "Oh, kaukah yang telah



menolongku, tuan muda..? Dan... 

bagaimana dengan nasib kakekku..?" 

Bertanya Kasmini seraya palingkan 

wajah menatap Ginanjar. Pemuda ini 

cuma tundukkan wajah sambil 

menggeleng.

"Bukan aku yang telah 

menolongmu..! Sayang, kakekmu yang 

malang itu sudah tewas..!" Ujarnya 

dengan suara lirih.

"Ah., kakek...!" Sentak sang 

gadis dengan sepasang mata terbelalak. 

Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan 

air mata bercucuran.

"Kalau bukan kau yang menolongku, 

lalu siapa kah...?" Tanya si gadis 

tiba-tiba, yang segera menengadahkan 

wajahnya menatap pada Ginanjar.

"Seorang wanita yang berilmu amat 

tinggi...! Entah siapa aku tak 

mengetahui...!" Sahut Ginanjar dengan 

suara lirih, seraya bangkit berdiri 

dan tatapkan matanya jauh ke arah 

depan. Tercenung sang gadis tanpa 

dapat berkata apa-apa. Desir angin 

yang lewat ditempat itu menyibakkan 

rambutnya. Dan Ginanjar masih berdiri 

memandang jauh kearah sana, sementara 

hatinya dilanda dengan berbagai macam 

pertanyaan. Kemanakah gerangan wanita 

itu ? Siapa-kah dia..? Suaranya amat 

mirip dengan Roro, akan tetapi dia 

bukan Roro! Karena aku masih ingat 

betul pada raut wajahnya...! Bertanya


tanya hati si pemuda ini dengan 

tatapan mata seperti tak berkedip. 

Entah apa yang ditatapnya. Tapi yang 

jelas wajah cantik saudara 

seperguruannya itu yang berkelebatan 

diruang matanya....

* * * *

Tahu-tahu sesosok tubuh telah 

berkelebat ke hadapannya. Terkesiap 

pemuda itu, karena sosok tubuh wanita 

yang menolongnya telah berada ditempat 

itu.

Hihihi... mengapa melamun anak 

muda..? Gadismu itu amat cantik! 

Mengapa tak kau bawa pulang..? Hari 

sudah semakin senja! Pulanglah! 

Ajaklah dia ke tempat tinggalmu. Dan 

berilah perlindungan padanya..!" 

Ujarnya, seraya berpaling menatap 

Kasmini. "Jenazah kakekmu itu kulihat 

sudah ada yang mengurusnya! Kau nona 

manis tak perlu mengkhawatirkannya 

lagi, dia sudah tenang di Alam 

Baka...!" Ujar si wanita itu dengan 

suara terdengar merdu. Cepat-cepat 

Kasmini bangkit berdiri lalu menjura 

seraya ucapkan terima kasih atas 

pertolongannya. Melihat mayat laki-

laki brewok itu dan keadaan dirinya 

yang masih utuh serta penjelasan 

Ginanjar, segera tahulah dia kalau 

wanita inilah yang telah menye


lamatkannya dari bencana. Ginanjar pun 

segera menjura hormat.

"Terima kasih atas bantuanmu, 

nona Pendekar..! Bolehkan aku menge-

tahui siapa nama nona Pendekar...?" 

Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati. 

Sementara tatapan matanya tak lepas 

memperhatikan wajah wanita itu.

"Hihihi... namaku..." Wanita itu 

tak meneruskan kata-katanya, karena 

lengannya sudah bergerak mengupas 

kulit mukanya. Ternyata dia memakai 

kulit muka palsu dari bahan karet yang 

lunak dan tipis. Segera terpampang 

seraut wajah yang cantik jelita...

"Roro..!" Teriak Ginanjar tiba-

tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah 

membeliak menatapnya.

"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa 

bilang aku Roro..? Kalau ditambahi 

Centil barulah betul! Namaku memang 

Roro Centil..!" Berkata gadis cantik 

itu dengan tertawa mengikik merdu. Dan 

sebelum Ginanjar sempat berkata apa-

apa, tubuh sang dara cantik itu sudah 

berkelebat cepat. Sekejap saja sudah 

lenyap dari hadapan mereka. Ginanjar 

baru tersadar dari terperangahnya, dan 

segera berkelebat mengejar.

"Rorooooo...! Rorooooooo...!" 

Berteriak-teriak Ginanjar. Akan tetapi 

tubuh sang gadis cantik itu sudah tak 

kelihatan lagi. Pemuda ini kembali 

berdiri terpaku menatap ke depan, lalu


tundukkan wajahnya. Setitik air bening 

membersit turun dari sudut matanya. 

Entah apa yang dirasakannya kini, 

gembira ataukah bersedih…? Dia telah 

berhasil menjumpai Roro. Akan tetapi 

Roro yang telah muncul dihadapannya 

sudah bukan Roro yang dulu lagi, 

melainkan Roro Centil yang ilmunya 

susah diukur tingginya...

Angin senja berhembus pelahan, 

menyibak rambut didahi pemuda lereng 

Rogojembangan itu. Ketika sepasang 

lengan halus menggamit tangannya dan 

mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru 

tersadar. Sepasang kakinya pun be-

ranjak melangkah... Ditinggalkannya 

tempat yang telah membawa kenangan itu 

dengan hati masygul, akan tetapi bibir 

sang pemuda telah sunggingkan se-

nyuman. Senyum yang amat trenyuh, 

karena telah mengingat lagi akan 

kisah-kisah indah yang lucu di air 

terjun, di lereng Rogojembangan.

Sayup-sayup seperti ada terdengar 

suara menyusup ke telinganya.

"Ginanjar..! kalau ada kesem-

patan, datanglah ke Pantai Selatan 

tahun depan! Aku berada disana..! Oh, 

ya... jagalah gadismu baik-baik...!"



                                T A M A T






 


0 komentar:

Posting Komentar