RORO CENTIL EPISODE 4 IBLIS KALIPROGO
EMPAT IBLIS
KALI PROGO
* Copyright naskah ini ditangan penerbit
LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa seijin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam bahasa
Asing,
harus seijin penerbitnya lebih dahulu.
1
ROMBONGAN pasukan berkuda lasykar
Kerajaan itu lewat dengan suara yang
bergemuruh, melintas dijalan desa yang
sunyi itu. Debu tebal mengepul di-
sepanjang jalan. Batu dan pasir
berterbangan... Dan sekejap saja lebih
dari dua puluh ekor kuda itu melintas
dengan cepat, disertai teriakan-teria-
kan gegap gempita bagai tengah
mengejar orang. Sebentar kemudian sua-
sana ditempat itu kembali hening. Akan
tetapi segera terlihat satu peman-
dangan yang mengharukan. Karena bebe-
rapa ekor kambing telah berkaparan
dijalanan dengan keadaan yang
menyedihkan.
Seekor kambing berbulu coklat
tampak mencoba berdiri dengan susah
payah, akan tetapi kembali roboh
terguiing. Ternyata kaki depannya
telah hancur remuk dilindas kaki-kaki
kuda. Suara mengembiknya terdengar
menyayat hati. Tiga ekor kambing ber-
bulu hitam terkapar tak bernyawa
dengan kepala berlumuran darah. Seekor
lagi yang berbulu putih tengah sekarat
dengan keadaan yang menyedihkan.
Sementara dua ekor anak kambing yang
masih kecil telah mati dengan tubuh
hancur luluh.
Dari sebuah parit disisi jalan,
muncul kepala seorang bocah gembala.
Wajahnya pucat pias penuh debu dan
lumpur. Rambutnya kusut masai penuh
jerami kering. Rupanya tadi sewaktu
pasukan berkuda itu melintas jalan.
Dia tengah menghalau kambing-kaming
gembalaannya melintasi jalan sunyi
itu. Tak diduga rombongan pasukan
berkuda itu begitu cepat datangnya,
tahu-tahu telah didepan mata.
Terbeliak sepasang matanya, dan dengan
berteriak kaget dia cepat gulingkan
tubuhnya menyelamatkan diri dan maut
hingga terjerumus keparit.
Si bocah gembala ini ternyata
seorang bocah perempuan yang berusia
sekitar tujuh tahun. Gadis kecil ini
mengucak-ucak matanya melihat sebuah
pemandangan tragis terpampang didepan
matanya. Penglihatannya tertumbuk pada
dua ekor anak kambing yang terkapar
mati dengan tubuh hancur bersimbah
darah.
"Oh...?" Satu suara tersendat
keluar dari bibir bocah gembala ini.
Sepasang kakinya gemetaran seperti tak
kuat menahan tubuhnya lagi.
Ketika melihat seekor kambing
berbulu putih yang tengah megap-megap
sekarat dengan mulut mencucurkan
darah, bocah ini berteriak menjerit.
"Putih...!? oh, Pu.... Putiiiih!"
Dan segera menghambur lari menubruk
kambing itu.
Selanjutnya sudah menangis ter
isak-isak dengan suara menyedihkan. Si
Putih baru sebulan ini melahirkan
anaknya yang dua itu. Anak kambing
yang lucu-lucu. Seekor berbulu putih,
dan seekor lagi berbulu hitam.
Kini kedua ekor anak kambing yang
lucu-lucu itu sudah jadi bangkai tak
bernyawa. Dan sang induknya tengah
megap-megap sekarat dengan keadaan
mengenaskan hati. Tersedu-sedu sibocah
gembala memeluki sang kambing kesa-
yangannya. Kambing yang satu ini
adalah miliknya sendiri yang telah
dibelikan oleh ayahnya setahun yang
lalu. Sedangkan yang lainnya adalah
kambing-kambing milik sang paman, yang
digembalakannya menjadi satu.
Sementara si Putih itu rupanya sudah
tak kuat mempertahankan lagi nyawanya.
Setelah sekarat meregang nyawa, tak
lama kemudian kambing itupun mati.
Sang bocah gembala itu semakin
kuat memeluki tubuh binatang kesa-
yangannya. Tangisnya hampir tak ter-
dengar karena suaranya telah serak.
Kenyataan yang tragis itu ternyata
telah menggoncangkan jiwanya. Hingga
karena tak kuat menahan kesedihan yang
amat sangat, si gadis kecil itupun
terkulai tak sadarkan diri.
Angin gunung bertiup berdesahan
menyibak rambutnya. Entah berapa lama
dia tertelungkup tak sadarkan diri
dengan lengan masih memeluk binatang
itu. Ketika tiba-tiba dikejauhan
kembali terdengar bunyi derap kaki-
kaki kuda mendatangi. Ternyata
rombongan pasukan berkuda lasykar
Kerajaan itu telah kembali lagi. Tak
dapat dibayangkan apa yang bakal
terjadi, karena gemuruh puluhan ekor
kuda itu menderu-deru cepat laksana
air bah. Peristiwa mengerikan itupun
kembali berlangsung... Kuda pertama
menerabas tanpa kenal ampun, disusul
kuda-kuda selanjutnya. Kaki-kaki
binatang kekar ini cuma menurutkan
perintah tuannya, langsung menggilas
apa saja yang menghalangi jalan. Lima
ekor kuda telah lewat menerabas. Dan
tubuh kecil tak berdaya yang membaur
diantara bangkai-bangkai kambing itu
pun terinjak-injak, terlempar kesana
kemari. Lalu digilas oleh kaki-kaki
kuda selanjutnya.
Pada saat itulah satu bayangan
telah berkelebat menggelinding, dan
menyambar tubuh bocah gembala itu.
Dengan berguling-guling diantara kaki-
kaki kuda yang berkepulan debu, dia
berhasil keluar dari kaki-kaki maut
yang melintas dengan cepat itu. Dan
sebentar saja rombongan pasukan
berkuda itu telah lenyap dikejauhan.
Kini terlihatlah satu pemandangan
yang mengenaskan. Diantara kepulan
debu yang menipis itu, tampak seorang
laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun lebih menggelepoh disisi jalan.
Bajunya penuh dengan tapak-tapak kaki
kuda. Bahkan bekas tapak kaki kuda
terlihat dipelipisnya. Sementara si
bocah gembala itu belum diketahui
nasibnya, karena telah dipeluknya
erat-erat menempel didada. Perlahan-
lahan dia bangkit berdiri. Matanya
bersinar menatap ke ujung jalan dimana
rombongan pasukan berkuda lasykar
Kerajaan itu lenyap. Tampak dada laki-
laki ini berombak-ombak menahan geram,
dengan gigi terdengar berkerot.
"Bangsat-bangsat terkutuk...!"
Terdengar suara desis keluar dari
bibirnya. Namun sesaat dia sudah
tersentak ketika melihat keadaan bocah
yang di tolongnya. Cepat-cepat ia
menempelkan telinganya ke dada bocah
itu. Dan wajahnya berubah pucat.
"Celaka…! Aku harus cepat
menolongnya sebelum terlambat..!"
Desisnya penuh kekhawatiran. Dan...
berkelebatlah laki-laki berbaju putih
itu tinggalkan tempat itu. Tubuhnya
melesat cepat sekali, lalu sebentar
kemudian lenyap dibalik perbukitan.
Tiba-tiba dari ujung jalan tadi,
muncul lagi serombongan pasukan
lasykar Kerajaan. Suara derap kaki-
kaki kuda kembali menyibak keheningan.
Ternyata rombongan yang tadi, akan
tetapi kini cuma lima ekor kuda yang
mendatangi.
Tiba-tiba si penunggang kuda
paling depan mengangkat tangannya,
memberi isyarat berhenti. Penunggang
kuda ini masih muda. Berusia sekitar
dua puluh tahun lebih. Berwajah tampan
dan menunggang kuda berbulu hitam
berkilat. Kiranya dialah si pemimpin
rombongan berkuda itu. Segera sepasang
matanya menyapu sekitar tempat itu.
Menatap pada beberapa ekor kambing
yang porak poranda dengan keadaan tak
bernyawa. Berkilat-kilat sepasang
matanya menatap bangkai-bangkai bi-
natang itu. Kemudian memutar kudanya.
Pandangannya menyapu bukit dan keadaan
sekitarnya.
"Hm, cepat periksa keadaan
disekitar perbukitan ini! Apakah ada
manusia?" Perintahnya pada keempat
anak buahnya. Keempat penunggang kuda
itu segera mengangguk hormat, dan
segera memecah keempat penjuru. Lalu
memulai penyelidikan. Sementara si
pemuda tampan kepala pasukan berkuda
ini berputar-putar disekitar tempat
itu, dengan sepasang matanya memper-
hatikan bangkai-bangkai kambing yang
berserakan dijalanan. Kiranya tadi
sewaktu rombongan pasukan berkuda
lasykar Kerajaan itu melewati jalan
ini, sekilas dia telah melihat seorang
bocah kecil tertelungkup diantara
bangkai-bangkai kambing yang memang
telah berserakan dijalanan. Akan
tetapi karena dia berada dibarisan
ketiga, dan terhalang oleh tiga ekor
kuda dihadapannya. Dia tak begitu
memperhatikan. Apa lagi untuk
menghentikan kudanya adalah tak
mungkin. Karena kuda-kuda mereka
berlari cepat sekali.
Sedangkan dia yakin, seandainya
penunggang kuda paling depan menge-
tahui ada orang dijalanan, tentu dari
jauh-jauh sudah memberi aba untuk
berhenti. Itulah sebabnya tadi dia
terus melewati dengan agak ragu,
apakah penglihatannya cuma fatamorgana
saja, ataukah sesungguhnya? Namun
ketika tiba di pos sebelah depan,
pemuda ini sengaja kembali lagi
bersama keempat perwira bawahannya.
Sedangkan rombongan yang terdiri dari
dua puluh ekor kuda dibawah pimpinan
Tumenggung Wirapati meneruskan
berangkat ke perbatasan Kota Raja.
Sebenarnya dia dan keempat anak
buahnya berada dilain rombongan, yang
memintas jalan memutar melalui
belakang bukit, dan tidak melalui
jalan desa ini. Ketika itu mereka tiba
terlebih dulu. Setelah memberi laporan
bahwa buronan yang dicarinya tak
dijumpai, segera bergabung dengan
rombongan yang dibawah pimpinan
Tumenggung Wirapati. Demikianlah,
hingga kedua rombongan itu segera
melewati jalan desa yang sunyi itu.
Tentu saja membuat pemuda tampan
pemimpin keempat perwira Kerajaan itu
menjadi penasaran, dan kembali lagi.
Penasaran untuk membuktikan pengli-
hatannya. Apakah dijalanan yang
dilewati rombongan mereka, ada seorang
bocah tertelungkup diantara kambing-
kambing yang berserakan?
Tiba-tiba tatapan matanya ter-
tumbuk pada sebuah benda bersinar
diantara kambing-kambing yang ber-
kaparan dijalan itu. Cepat dia
bergerak melompat turun dari kudanya.
Diambilnya benda itu, yang ternyata
seuntai kalung berwarna putih
berkilatan. Rantainya terbuat dari
baja putih, sedangkan bandulannya
terbuat dari gading berbentuk hati.
Pada bagian tengahnya terdapat ukiran
sebuah huruf " R ". Tersentak hatinya
melihat kalung ini. Kini dia yakin
benar bahwa yang tertelungkup disini
tadi benar-benar seorang bocah
manusia. Cepat disimpannya benda itu
ke balik pakaiannya, dan kembali
melompat ke atas kuda.
Sementara benaknya mulai ber-
fikir....
Hm, kalau Tumenggung Wirapati dan
anak buahnya mengetahui didepannya ada
seorang bocah tetelungkup ditengah
jalan, mengapa tak memberi isyarat
berhenti? Mustahil kalau mereka tak
melihatnya! Dan berkaparannya kambing
kambing yang mati ini pasti karena
diterjang terus oleh rombongan berkuda
dibawah pimpinannya! Benar! Aku yakin
bocah si pemilik kalung ini adalah
seorang bocah penggembala kambing!
Mungkin rombongan mereka terus mener-
jangnya disaat melewati jalan ini! Dan
ketika kembali lagi setelah bergabung
dengan rombongan pasukanku telah
menerjang lagi bocah yang tertelungkup
dijalanan! Entah bocah itu tertidur
ataukah pingsan, aku tak mengetahui..!
Terdengar suara pemuda itu
berdesis kesal.
"Kalau begitu Tumenggung Wirapati
benar-benar soorang yang berhati
kejam! Sungguh-sungguh keterlaluan..!"
Memaki si pemuda. Kini yang jadi
pertanyaan adalah sipemilik kalung
itu. Kemanakah gerangan bocah gembala
itu? Kalau mayatnya ada tentu tak
menjadikan dia penasaran. Kalau memang
penglihatannya salah, tak mungkin
ditemukannya kalung itu.
"Apakah sibocah penggembala kam-
bing itu seorang bocah perempuan?"
Desisnya lagi pelahan. Setelah ber-
fikir bolak-balik tak menentu, akhir-
nya dia menyerah, tak dapat memecahkan
persoalan itu. Sekarang tinggal
menunggu penyelidikan keempat Perwira
bawahannya.
Kira-kira selang beberapa saat,
tampak satu-persatu keempat Perwira
bawahannya. Dia telah menerima
laporan.
Ternyata laporan yang didapat
adalah tidak adanya siapa-siapa
disekitar tempat itu. Pedesaan masih
amat jauh sekitar ratusan kaki
dilereng bukit. Tak ada seorang
manusiapun yang lewat ditempat itu.
Akhirnya setelah temenung beberapa
saat, pemuda pemimpin rombongan itupun
segera perintahkan untuk kembali.
Derap suara langkah kaki-kaki kuda
kembali terdengar disekitar tempat
sunyi itu. Namun suara itupun semakin
menjauh. Lalu melenyap, tinggalkan
debu yang mengepul disepanjang jalan.
Tempat itu kembali lengang seperti
sediakala. Dan bangkai-bangkai kambing
itu cuma menambahkan sebuah peman-
dangan yang memilukan....
2
WAKTU berlalu begitu cepat se-
perti anak panah lepas dari busurnya.
Tujuh tahun kemudian sejak kejadian
dijalan desa sunyi itu....
"ROROOOO..!" ROROOOOOOOOO..!"
Satu suara terdengar sayup-sayup
dikejauhan, diantara tebing dan bukit
dekat air terjun. Pemandangan disitu
memang indah. Bukit-bukit dan tebing
menjulang disana-sini. Dilereng Gunung
Rogojembangan itu mengalir sebuah
sungai berair jernih. Disebelah barat,
persis diarah hulu sungai itu,
terlihat menonjol sebuah lamping bukit
curam yang berbentuk aneh dan indah
sekali. Karena bila diperhatikan amat
mirip dengan kepala burung Rajawali
Raksasa. Menghadap kearah sisi bukit
itu adalah hutan belantara. Dan air
terjun itu persis berada dibawah
lamping bukit yang berbentuk kepala
burung Rajawali
"Roroooooo..!" Kembali terdengar
suara memanggil itu. Kali ini suaranya
lebih keras. Seorang bocah laki-laki
tanggung kira-kira berusia empat belas
tahun, tampak melompat diantara batu-
batu tebing dan bukit terjal.
Gerakannya amat lincah sekali. Dengan
sebat bocah laki-laki tanggung itu
menuruni akar pohon yang melintang di
lereng tebing lalu melompat lagi
menuju kebawah bukit. Dari gerakannya
dapatlah diketahui bahwa bocah laki-
laki tanggung itu bukanlah bocah
sembarangan, tapi seorang bocah yang
terlatih.
Setelah berpaling ke kanan dan ke
kiri, orang yang dicarinya tidak ada,
matanya tertuju pada air terjun.
Dengan gerakan sebat, kembali dia
berlompatan d atas batu-batu disisi
sungai. Dan sebentar saja telah berada
disisi bukit, di bawah lamping batu
menonjol itu dimana disisinya adalah
air terjun. Sepasang matanya kembali
jelalatan memandang sekitarnya men-
cari-cari adakah orang disekitar
tempat itu. Namun tak ada tanda-tanda
orang yang dicarinya berada disitu.
"Aiiih, kemana gerangan anak
itu..?" Gumamnya pelahan. Akhirnya
diapun langkahkan kaki menjauh lagi
air terjun itu, dan jatuhkan pantatnya
keatas sebuah batu besar. Tangannya
merayap menjumpu batu-batu kerikil,
dan dilemparkannya ke tengah sungai.
Suaranya bergemerutukan diair yang
jernih itu. Terlampias juga rasa
kesalnya. Memandang air jernih dan
udara siang hari yang cukup panas,
membuat bangkitnya selera untuk mandi.
Setelah tengok kiri-kanan tak ada
orang, segera dia membuka bajunya. Dan
lepaskan celananya....
BYURRRRR...! Bocah laki-laki
tanggung ini sudah terjun ke sungai.
Air disini tak seberapa dalam. Tak
berapa lama kepalanya sudah tersembul
dipermukaan air. Saat dia mandi dan
merendam tubuhnya didalam air sebatas
dada itu tiba-tiba sepasang matanya
jadi membeliak, karena terasa kakinya
ada yang mencekal dibawah air. Tentu
saja bocah laki-laki tanggung ini jadi
terkesiap. Sekilas saja sudah
terlintas sesuatu yang menakutkan
dibenaknya. Dongeng adanya "Hantu Air"
yang suka mengganggu orang mandi di
sungai. Dan....
"Wuaaaaaa..! tolong!
toloooong..!?" Berteriak-teriaklah dia
ketakutan, sambil berusaha menarik
kakinya yang terasa dibetot ke dalam
air.
Justru dia mencoba menarik,
bahkan tubuhnya semakin terbetot ke
dalam air. Tak ampun lagi segera
kapalanya membenam. Meronta-ronta
bocah laki-laki tanggung itu dengan
gelagapan. Kepalanya sebentar timbul
sebentar hilang. Dan dua-tiga teguk
air sudah tertelan masuk tenggo-
rokannya. Tiba-tiba terasa cekalan itu
terlepas... Cepat dia berenang menepi.
Wajahnya tampak pucat pias karena
takutnya. Sesaat dia sudah berhasil
mencapai tepian sungai. Lengannya
meraih batu, dan sudah siap gerakkan
tubuh yang lemas itu untuk melompat ke
darat. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara tertawa cekikikan dibelakangnya.
Semakin takutlah bocah ini. Namun
dengan justru sisa-sisa tenaganya dia
sudah berhasil naik. Setelah merasa
aman barulah dia balikkan tubuh untuk
menoleh ke belakang.
Betapa terkejut dan mendongkolnya
bocah laki-laki ini, karena yang
tertawa cekikikan di belakangnya tak
lain dari Roro. Yaitu si bocah
perempuan yang tengah dicari-carinya
tadi.
"Roro..!? kau... kau sungguh
keterlaluan menakut-nakuti orang! Jadi
Hantu Air yang kau dongengkan tadi
adalah kau sendiri..?" Berkata bocah
laki-laki tanggung itu dengan sepasang
mata mendelik kesal, tapi bibirnya
sunggingkan senyuman. Karena rasa
kekhawatirannya seketika sirna.
Bocah perempuan tanggung bernama
Roro itu beranjak menepi. Ternyata
seorang bocah perempuan yang berwajah
ayu. Bentuk wajahnya membulat bagai
daun sirih. Sepasang matanya jernih.
Rambutnya yang panjang sebatas
punggung itu basah kuyup. Segera saja
dia sudah naik melompat ke darat.
Sementara si bocah laki-laki tanggung
itu cuma me natap dengan mata tak
berkedip. Akan tetapi baru saja dia
naik ke darat, sudah terdengar lagi
suara tertawanya mengikik geli.
"Hihihi... hihihi... hihi....
Lucu! Hihihi... lucu sekali..!"
Melihat gadis tanggung dihadapannya
mengikik tertawa sambil menunjuk-
nunjuk kearah bagian bagian bawah
tubuhnya, keruan saja dia jadi
kebingungan. Ketika sadar akan keadaan
dirinya, seketika wajahnya berubah
memerah. Sebelah lengannya dengan
cepat bergerak menutupi bagian yang
terbuka itu, dan begitu menemukannya,
bergegas mengenakannya, dan....
Hm, beres..! Teriaknya dalam
hati, setelah selesai mengenakan
celananya. Sedangkan bajunya tak
terburu-buru dipakainya, tapi
diletakan diatas pundak. Sementara
sepasang matanya menatap pada kawan
perempuannya yang masih berdiri
ditempat tadi.
Sementara si bocah perempuan
tanggung bernama Roro itu telah
hentikan tertawanya. Dilihatnya sang
kawan itu terus menatapnya dengan mata
tak berkedip dengan bibir ternganga.
Apakah yang diperhatikan? Pikirnya.
Roro yang sama sekali tak menyadari
keadaan dirinya, segera melompat
mendekati bocah laki-laki kawannya
itu.
Semakin dekat dia menghampiri,
semakin membinar sepasang mata sang
kawannya itu menatapnya. Tentu saja si
bocah perempuan tanggung itupun tak
menyadari kalau tubuhnya dalam keadaan
telanjang bulat, dan tatapan sepasang
mata kawannya yang membinar-binar
adalah karena memperhatikan sekujur
tubuhnya.
"Heh?! Ginanjar! Kau kenapakah..?
apakah kesurupan setan Hantu Air…?"
Tanya Roro seraya beranjak
menghampiri, dan menepuk nepuk pundak-
nya. Bahkan mengguncang-guncangkan
tubuhnya. Tentu saja membuat bocah
laki-laki tanggung bernama Ginanjar
itu jadi tersipu-sipu sambil melengos.
Namun seonggok senyum lucu, tapi lugu
tersungging dibibirnya.
"Roroooooo...! Ginanjaaaar..!"
Satu suara serak parau terdengar
sayup dikejauhan. Suara yang sudah
amat dikenal betul oleh kedua bocah
tanggung itu.
"Hah!? Celaka...! Kita bakal kena
damprat! Dan bakal dapat hukuman
berat..! Oh, aku telah melalaikan
tugas guru..! Yah, gara-gara mencarimu
tak bertemu..!" Bisik Ginanjar dengan
wajah pucat.
"Hihihi... biarlah kau dapat
hukuman! siapa suruh kau mencariku?
Sudah tak bertemu, kenapa terus mandi?
Itukan salahmu sendiri!" Tukas Roro
dengan wajah tak menampakkan
keterkejutan. Berbeda dengan Ginanjar
yang seketika wajahnya pucat pias dan
bergegas mengenakan bajunya.
Ternyata Roro pun segera melompat
ke tempat menyimpan pakaiannya yang
ternyata disembunyikan dibalik batu.
Dan bergegas pula mengenakannya. Tak
berapa lama dua sosok tubuh telah
berlompatan keluar dari bawah lamping
bukit itu. Ginanjar melompat terlebih
dahulu, lalu disusul oleh Roro. Kedua
bocah tanggung ini bergerak cepat
sekali melompati batu-batu terjal,
meniti akar pohon, dan mendaki lereng
perbukitan. Tak berapa lama keduanya
telah tiba diatas. Tampaknya Ginanjar
mengatur napas sebentar, lalu berlari-
lari lagi menyusul Roro, yang sudah
mendahului tanpa berhenti untuk
beristirahat.
Siapakah gerangan gadis tanggung
bernama Roro itu? Dialah kiranya si
bocah angon yang telah ditolong oleh
seorang laki-laki dari terjangan kaki-
kaki kuda pada tujuh tahun yang lalu.
Marilah kita ikuti kemana gerangan
kedua bocah tanggung itu menujunya.
Diujung jalan setapak, pada
sebuah tempat yang bersih dan luas,
tampak duduk seorang kakek diatas
sebuah batu besar. Sang kakek ini
berambut gondrong yang sudah putih
semua. Bahkan kumis dan jenggotnya
yang tebal itupun telah memutih
bagaikan kapas. Hati Ginanjar sudah
kebat-kebit dari kejauhan ketika
melihat orang tua ini. Sementara Roro
terus berlari cepat didepan Ginanjar.
Ketika kira-kira beberapa tombak lagi,
tiba-tiba tubuh Roro meletik indah,
dan berjumpalitan diudara. Begitu
menginjak tanah, ternyata sudah tiba
dihadapan sang kakek tua itu.
"Ada apakah, kek? kau
memanggilku..?" Bertanya Roro, yang
segera duduk bersimpuh dihadapannya.
Sang kakek ini tak menjawab, tapi
bibirnya diam-diam sunggingkan
senyuman. Hatinya memuji kagum melihat
gerakan lincah bocah perempuan tang-
gung ini, yang gunakan jurus Rajawali
Menukik. Sementara tatapan matanya
ditujukan pada Ginanjar, yang sudah
tiba dan segera duduk bersimpuh
disamping Roro.
"Hm, kalian pasti habis mandi..!"
Berkata sang kakek seraya menatap
keduanya yang rambutnya masih basah.
Hampir berbareng keduanya mengangguk.
Roro tampak tenang-tenang saja, tapi
Ginanjar terlihat benar gelisahnya.
Sedari tadi hatinya memang sudah
kebat-kebit.
"Bukankah sudah kukatakan, kalian
tidak boleh mandi berdua-dua? Apakah
kalian memang sengaja melanggar
larangan, dan mau menjadi murid-murid
yang keras kepala..?" Tanya sang
kakek.
"Hayo jawab..!!" Bentak si kakek
tiba-tiba, membuat Ginanjar jadi
terlonjak kaget. Sedangkan Roro tiba-
tiba menutup mulutnya karena merasa
hal itu amat lucu. Tubuh Ginanjar
tampak gemetaran tanpa bisa menjawab.
Melihat demikian Roro cepat-cepat
menjawab seenaknya.
"Kami tidak mandi berdua, kek..!
Apakah kakek telah melihat sendiri
dengan mata kepala?" Bertanya Roro.
Sang kakek jadi berpaling menatap
Roro. Alisnya yang putih itu bergerak
menyatu, dan sepasang matanya melotot
tajam. Akan tetapi memang dia jadi
gelagapan ditanya demikian, karena
sebenarnya dia tidak melihat kedua
bocah itu mandi berdua ataukah seorang
diri.
3
SEMENTARA sang kakek gelagapan
ditanya Roro demikian, gadis tanggung
ini tundukkan wajah sambil tersenyum.
Padahal dia cuma "menggertak" saja.
Karena seandainya sang kakek menge-
tahuinya dan melihat mereka mandi
berdua, entahlah hukuman apa yang
bakal mereka terima.
"Baiklah! Aku memang tak melihat
kalian mandi berdua! Walau demikian
kalian tetap bersalah, karena tak
kulihat seorangpun berada ditempat
latihan" Ujar sang kakek sambil
mengelus jenggot putihnya yang lebat.
"Maka sebagai hukuman, guru..!"
Tiba-tiba Ginanjar telah berkata
dengan suara terdengar agak gemetar.
Lain halnya dengan Roro, yang tampak
monyongkan mulutnya, tapi tak berani
bicara apa-apa
"Nah kini bangunlah kalian!"
Membentak sang kakek dengan suara
keras. Tak usah dua kali perintah,
bagai disengat kelabang keduanya sudah
melompat bangun berdiri. Mata sang
kakek tampak jelalatan mencari-cari
sesuatu diantara dahan-dahan pohon
disekitar tempat itu. Lalu berhenti
menatap pada sebuah dahan pohon yang
melintang rata. Dahan pohon itu tak
seberapa tinggi. Kira-kira tingginya
empat kali tubuh manusia dewasa.
"Ginanjar! Kau naiklah ke dahan
pohon itu. Dan kau harus berjuntai
disana dengan kaki diatas kepala
dibawah! Mengertikah kau?" Berkata
sang kakek. Ginanjar menengadah keatas
pohon, lalu mengangguk.
"Nah, kerjakanlah cepat!" Bentak-
nya dengan melotot.
Bocah laki-laki tanggung ini tak
berani membantah. Dengan tiga-kali
melompat, dia sudah berada dibawah
pohon yang ditunjuk itu. Selanjutnya
sudah memanjat ke atas dengan cepat.
Sebentar kemudian sudah berada didahan
yang ditunjuk tadi. Matanya menatap
kebawah. Agak ngeri juga bocah laki-
laki tanggung ini, tapi dengan kuatkan
hati segera dia mulai melirik kearah
Roro, yang juga tengah memperhatikan.
Akan tetapi sebuah bentakan sudah
menyambarnya lagi.
"Hayo, cepat!" Tentu saja tak
ayal lagi segera kuatkan kepitan
kakinya pada dahan pohon, dan segera
jatuhkan tubuhnya untuk menjuntai
kebawah. Dan dengan kepala dibawah
sedemikian rupa, Ginanjar segera
bersidakep dengan memejamkan matanya.
"Ingat! Kau tak boleh turun atau
merobah posisimu, sampai aku datang
dan menyuruhmu turun !" Berkata sang
kakek dengan suara keras berwibawa.
Kemudian berpaling menatap Roro.
"Ayo, kau ikut aku..!" Berkata
sang kakek, dan mendahului berkelebat
dari situ. Tentu saja Roro tak berani
membantah, dan tak ayal lagi segera
bergerak menyusul. Tak sempat lagi dia
menoleh pada Ginanjar yang menjuntai
diatas dahan pohon. Bocah inipun
ternyata tak membuka matanya karena
amat takut pada gurunya.
Siapakah gerangan kakek tua
berambut putih itu. Dialah seorang
tokoh Rimba Hijau yang telah puluhan
tahun menyembunyikan diri di lereng
Rogojembangan. Bernama BAYU SHETA, dan
digelari kaum persilatan dengan
julukan si PENDEKAR BAYANGAN
Tujuh tahun sudah Roro tinggal
dilereng gunung itu sejak dibawa oleh
seorang laki-laki yang telah
menyelamatkan jiwanya, yaitu bernama
Jarot Suradilaga, yang bergelar si
Maling Sakti. Roro telah menjadi
seorang gadis tanggung yang lincah
jenaka, dengan usia kira-kira empat
belas tahun. Ibarat bunga adalah mulai
mekar, dan belum menampakkan kein-
dahannya. Sayang Roro tidak seba-
gaimana lazimnya anak-anak gadis
sebayanya. Karena pengaruh akibat
terjangan kaki-kaki kuda pada tujuh
tahun yang silam, telah membuat
wataknya agak aneh, dan angin-anginan.
Terkadang akan membuat orang geleng
kepala melihat sikapnya. Bahkan sang
kakek itupun sudah maklum akan
pembawaan watak Roro yang demikian.
Aneh juga lucu, karena sampai
saat ini Roro belumlah mengetahui
kalau dirinya seorang perempuan. Dan
hingga saat ini dia tak mengetahui
manakah sesuatu pada tubuhnya yang
harus ditutupi dan disembunyikan...
Setelah sekian lama berlari-lari
mengikuti sang kakek alias Ki Bayu
Sheta itu, tampak laki-laki tua
bertubuh kekar itu hentikan larinya.
Roro pun segera berhenti berlari.
Napasnya terdengar sengal-sengal.
Kecepatan lari sang kakek itu amat
luar biasa. Roro sudah keluarkan
tenaga sepenuhnya untuk menyusul, akan
tetapi tetap saja berada dibelakang
tubuh si kakek Bayu Sheta itu sekitar
lima-enam tombak tanpa mampu menyusul.
Dia sudah jatuhkan tubuhnya mendeprok
ditanah, lalu mengatur napasnya yang
terengah-engah. Tak berapa lama segera
rasa lelahnya sudah pulih lagi.
Sementara sang kakek Bayu Sheta telah
duduk diatas sebuah batu. Sebelah
lengannya mengelus-elus jenggotnya.
Dan sebelah lagi mengipas-ngipas
dadanya dengan ujung jubah. Tampak
wajahnya seperti biasa saja. Tak
terlihat rasa lelah sedikitpun setelah
berlari sekian lama. Menandakan kakek
tua berjulukan si Pendekar Bayangan
ini bukanlah orang yang berkepandaian
rendah. Karena telah memiliki
kesempurnaan dalam mengatur napas
ketika berlari.
"Heheheh... bagus, Roro! Ilmu
larimu semakin maju pesat! Enam bulan
sudah sejak kau dititipkan oleh gurumu
si Maling Sakti ternyata tak
mengecewakan! Cuma dalam hal mengatur
napas kau harus lebih perhatikan
lagi..!" Berkata Ki Bayu Sheta, dengan
tersenyum menatap Roro. Roro tersenyum
seraya manggut-manggut mendengarkan
penuturan sang kakek, tapi dalam hati
amat keheranan karena apalagi untuk
menyusul, merendengi sang kakek saja
teramat sulit. Anehnya mengapa
dikatakan maju pesat? Dia jadi benar-
benar tak mengerti. Tentu saja Roro
tak mengetahui kalau dalam setiap kali
Roro sudah hampir berhasil meren-
denginya selalu Ki Bayu Sheta menambah
kecepatan larinya. Hingga tetap saja
jarak antara mereka tak berubah.
Diam-diam Ki Bayu Sheta juga
terkejut, karena Roro telah jauh
melebihi Ginanjar, bocah laki-lak
tanggung muridnya itu. Kalau Ginanjar,
ketika dia pergunakan tenaga
separuhnya saja tak mampu berada lima
enam tombak dibelakangnya. Tetapi Roro
ketika dia pergunakan tenaga lari tiga
perempat bagian, ternyata mampu berada
dibelakangnya sejarak lima enam tombak
dibelakangnya.
"Apakah hukuman yang akan kau
jatuhkan padaku adalah dengan
mengajakku berlatih adu lari seperti
ini, kek..?" Tiba-tiba Roro bertanya,
seraya bangkit berdiri. Orang tua itu
terdiam sesaat, tiba-tiba sepasang
mata sang kakek telah melotot tajam
padanya.
"Hm, aku akan menjatuhkan hukuman
padamu seberat-beratnya, karena kau
telah berani berdusta!" Tiba-tiba Ki
Bayu Sheta berkata dengan suara
dingin. Tentu saja kata-kata itu
membuat Roro jadi terkejut.
Celaka!? Pikir Roro, dengan wajah
seketika berubah pucat. Hatinya men-
duga kalau sang kakek telah mengetahui
kalau dia mandi berdua dengan
Ginanjar. Padahal tujuannya berdusta
adalah membela bocah laki-laki itu,
karena tampaknya amat ketakutan
sekali. Tiba-tiba....
"Kakek..! Ampunkanlah aku! Aku
telah berani berdusta terhadapmu..!"
Roro telah bersimpuh dihadapan sang
kakek itu dengan kepala menunduk.
"Berikanlah hukuman apa saja
padaku, walau berat sekalipun pasti
akan hamba jalankan!" Tiba-tiba Roro
bangkit berdiri dan tengadahkan lagi
wajahnya menatap ke langit. Melihat
itu Ki Bayu Sheta jadi tertawa gelak-
gelak, dan terpingkal-pingkal seperti
amat lucu. Ternyata tadi dia cuma
menggertak saja. Padahal sesungguhnya
dia memang tak mengetahui sama sekali
kalau Roro berdusta. Tapi diam-diam Ki
Bayu Sheta memuji sifat ksatria yang
terdapat pada Roro, yang mau mengakui
kesalahannya dan berani menanggung
resikonya.
"Duduklah Roro, cucuku..!"
Berkata Ki Bayu Sheta setelah berhenti
dari tertawanya, dan menghela napas.
Dipandangnya lengkung-lengkung bukit
diufuk sana, dimana awan-awan putih
berderet diatas perbukitan. Sementara
hatinya membathin. Di diatas langit
ternyata masih ada langit lagi! Bocah
perempuan ini telah berhasil meng-
gertakku, menandakan bahwa diriku
masih lemah! Seandainya yang meng-
gertakku adalah seorang musuh, dan aku
mempercayai, tentu akan berakibat
fatal! Akan tetapi jiwa kesatria
memang sukar didapat! Bocah ini
berdusta cuma untuk membela Ginanjar!
Berarti dia mempunyai rasa setia kawan
yang amat besar pada sesama murid atau
kawan! Berarti bocah ini memang tak
dapat disalahkan..! Demikianlah hati-
nya membathin.
"Aku telah memaafkanmu, Roro..!"
Terdengar suara Ki Bayu Sheta lirih
dengan nada parau. Tentu gadis
tanggung ini jadi terheran.
"Lho! ? Mengapakah, kek? Kalau
aku bersalah, hukumlah! Kalau kesa-
lahanku dimaafkan, apa alasannya ?"
Bertanya Roro dengan sepasang mata
yang bening menatap pada Ki Bayu
Sheta. Tentu saja pertanyaan itu
membuat sang kakek jadi melengak, tapi
dia memang tak dapat menyahut karena
tampak sebutir air bening telah
tersembul disudut matanya yang sudah
mulai agak mengabur itu. Wajahnya yang
tegar dan seram itu ternyata tak
seseram hatinya. Tiba-tiba sebelah
lengannya sudah bergerak mengelus
rambut Roro. Belaian itu begitu penuh
kasih sayang. Roro tundukkan wajahnya
dengan perasaan aneh, mengapa tiba-
tiba sang kakek bersikap demikian ?
"Kau memang anak baik, Roro! Tak
percuma gurumu Jarot Suradilaga alias
si Maling Sakti mendidikmu! Walau
gelarnya tidak bagus, tetapi gurumu
itu seorang Pendekar sejati. Berhati
mulia dan selalu menjunjung tinggi
kebenaran! Tidak kecewa kau menjadi
muridnya, karena disamping ilmu-ilmu
kedigjayaan yang telah diturunkannya
padamu, ternyata jiwa ksatrianya pun
telah diwariskan padamu! Berkata Ki
Bayu Sheta dengan suara datar.
Sementara sepasang matanya masih
menatap kearah bukit nun jauh disana.
Bukit yang sering dipandangi. Itulah
bukit Kera, dimana segala penentuan
nasibnya adalah diatas bukit itu.
Namun Roro memang tak mengetahui, dan
Ki Bayu Sheta memang tak ingin kedua
orang bocah muridnya mengetahui....
4
MATAHARI sudah condong ke arah
barat. Ginanjar masih tetap meng-
gantung diatas dahan dengan kepala
terjuntai kebawah. Dalam keadaan
jungkir balik demikian tentu saja
bernapaspun tidak leluasa rasanya.
Mata bocah laki-laki tanggung ini
mulai berkunang-kunang. Kepala terasa
berat, tapi anehnya setelah dia
salurkan hawa murni ke seluruh tubuh
seperti yang diajarkan Ki Bayu Sheta
gurunya, segera terasa enak sekali
berjuntai seperti kampret begitu.
Apalagi dalam keadaan menjuntai itu si
bocah laki-laki tanggung itu telah
membayangkan kejadian disungai tadi.
Serasa enggan dia membuka sepasang
matanya yang mengatup, karena khawatir
bayangan indah yang dilihatnya
mendadak hilang. Selang beberapa saat,
dan entah sudah berapa lama Ginanjar
menjuntai demikian tak dirasakannya
lagi. Ketika tiba-tiba didengarnya
satu suara yang sudah tak asing lagi
bagi pendengarannya.
"Ginanjar! Kau sudah boleh
turun!" Tentu saja bocah laki-laki ini
jadi terkejut tapi juga girang. Segera
dia buka sepasang matanya. Tak
dilihatnya ada Ki Bayu Sheta ditempat
itu, namun suara tadi memang jelas
suara gurunya. Tak ayal segera dia
enjot tubuh untuk kembali tegak duduk
diatas dahan. Kembali dia pentang mata
untuk melihat sekitarnya. Dan memang
tak menampak gurunya berada disekitar
tempat itu. Hm, suara itu tak mungkin
aku salah dengar! Gumam Ginanjar dalam
hati. Dan... melompatlah dia dari atas
dahan tinggi itu.
Tubuhnya meluncur turun dengan
deras, tapi sebelum jejakkan kakinya
ke tanah telah melayang sebuah ranting
kayu menyambar kakinya. Terkejut bocah
laki-laki ini, segera dia jatuhkan
diri bergulingan. Sambaran ranting itu
memang berhasil lolos. Akan tetapi
ketika dia melompat bangkit berdiri,
segera perdengarkan suara teriakan
mengaduh. Dan kembali jatuh terduduk,
karena terasa kakinya kesemutan.
Segera saja lengannya bergerak meng-
urut-urut kedua kakinya.
"Bocah tolol!" Terdengar suara
bentakan, dan sebuah bayangan
berkelebat yang tak lain Ki Bayu Sheta
adanya.
"Keadaan kakimu belum pulih!
Darah masih berkumpul dikedua kakimu!
Mana kuat kau jejakkan kaki ke tanah
dengan ketinggian seperti itu?
Seharusnya kau salurkan kembali hawa
murni dikedua kakimu untuk membuat
darah membuyar!" Berkata Ki Bayu Sheta
dengan sepasang mata melotot menatap
pada Ginanjar.
"Ampunkan kebodohan hamba,
guru..!" Ujar Ginanjar, yang segera
salurkan hawa murni kearah kedua kaki
dan tak lama rasa kesemutan itupun
lenyap. Dan sesaat dia sudah mampu
melompat untuk berdiri.
Pada saat itu Roro pun muncul
dengan wajah berseri gembira. Kiranya
sewaktu dalam perjalanan kembali
pulang telah pergunakan cara yang
diajarkan Ki Bayu Sheta, hingga
walaupun berlari-lari sekian lama
tidaklah Roro merasa kelelahan. Dalam
waktu singkat si gadis tanggung itu
telah berhasil menguasai cara mengatur
napas.
"Hihihi... kakek! Seharusnya dia
tak usah kau suruh turun! Biarkan saja
menjuntai diatas dahan menjadi
kampret!" Berkata Roro sambil mencibir
menatap Ginanjar. Bocah laki-laki
tanggung itu cuma tersenyum, dan
seketika wajahnya menjadi merah.
"Hm, sudahlah! Ayo, kita kembali
ke pondok!" Berkata Ki Bayu Sheta. Dan
mendahului berkelebat.
"Eh, Ginanjar! Kau mau pulang
atau tidak?" Roro palingkan wajahnya
menatap bocah laki-laki itu.
"Pulanglah duluan Roro..! Nanti
aku menyusul!" Sahut Ginanjar dengan
menatap pada Roro dan jatuhkan
pantatnya duduk diatas akar pohon.
Lengannya bergerak menguruti kakinya.
"Kakimu sakit?" Tanya Roro,
seraya menghampiri.
"Tidak lagi! cuma kesemutan
sedikit..! Ujar Ginanjar. Gadis
tanggung ini gerakkan alisnya, dengan
sepasang matanya berkedipan.
"Aku akan bantu mengurut, biar
lekas sembuh!" Berkata Roro seraya
berjongkok dan ulurkan sepasang
lengannya. Berdebar seketika hati
Ginanjar akan tetapi cepat-cepat dia
berkata.
"Sudahlah, cuma sedikit! Ayolah
kita pulang..!" Ujar Ginanjar, dan
segera bangkit berdiri. Roro seperti
tertegun, tapi segera perlihatkan
senyumnya.
"Ayoo..!" ujarnya. Dan segeralah
keduanya berlari cepat meninggalkan
tempat latihan itu. Dikejauhan masih
terdengar suara Roro yang tertawa
cekikikan entah apa yang membuatnya
geli. Namun sekejap mereka sudah tak
kelihatan lagi.
* * * *
Waktu berlalu terus....
Dan saat yang dijanjikan itupun
tiba juga. Ki Bayu Sheta tampak
berdiri diatas bukit itu. Sepasang
matanya menatap pada sebuah bukit nun
jauh di sana, diarah sebelah barat.
Bukit itu memang tampak jelas dari
tempat dia berdiri. Itulah Bukit Kera!
Buki yang selalu diperhatikannya
disaat-saat bulan Purnama. Senja itu
matahari bersinar kemerahan. Cum
cahayanya saja yang menampak, karena
sang matahari sudah tak terlihat
terhalang bukit. Terdengar suara
menghela napasnya, diseling suara
menggumam lirih yang hampir tak
terdengar.
"Hm, Dewa Tengkorak! malam nanti
aku akan menepati janjiku..!" Dan
setelah menghela napas, kakek itupun
putarkan tubuh untuk segera berlalu
tinggalkan tempat itu.
Senja semakin melenyap untuk
segera berganti dengan malam. Malam
itu adalah malam bulan purnama yang
ketujuh, sejak saat perjanjian yang
telah ditentukan. Ki Bayu Sheta
memanggil kedua muridnya, yang segera
duduk bersimpuh dihadapannya. Pelita
minyak sudah dipasang diatas meja
kecil dihadapan mereka. Ruangan pondok
itu tampak lengang, karena kedua murid
itu tak keluarkan suara sepatah pun.
Sejak siang tadi mereka memang telah
melihat perubahan sikap si kakek,
tentu saja dipanggilnya mereka untuk
menghadap bakal ada satu pembicaraan
penting.
"Roro…! Ginanjar! Kuharap kalian
tidak meninggalkan lereng Gunung
Rogojembangan ini sepeninggalku!"
Berkata Ki Bayu Sheta dengan suara
berat. Mendengar itu kedua bocah ini
hampir berbareng mengangkat wajahnya.
Roro sudah lantas bertanya.
"Mau kemanakah kakek..?" Ki Bayu
Sheta cuma terdiam menatap kedepan.
Lalu ujarnya. "Hm, kukira kalian tak
perlu mengetahui! Karena ini adalah
urusanku!" Menyahut sang kakek dengan
suara tandas.
"Yang penting kalian tak boleh
meninggalkan tempat ini sampai
kedatangan menantuku Jarot Suradilaga!
Alias si Maling Sakti!" Ujarnya. Dan
kedua bocah itupun manggut-manggut
dengan berbareng. Adapun Roro sudah
lantas bertanya lagi. "Apakah menantu
itu, kek?" Tentu saja membuat Ki Bayu
Sheta jadi tercenung. Lagi-lagi Roro
selalu mengacaukan pembicaraan. Akan
tetapi orang tua ini segera menghela
napas, dan menjelaskan.
"Menantu itu artinya, gurumu si
Maling Sakti itu telah menikah dengan
anak perempuanku! Nah, si Jarot itulah
menantuku..!" Ujar sang kakek dengan
tersenyum. "Kakek mempunyai seorang
anak perempuan ?" Tiba-tiba Roro
kembali bertanya dengan menatap tajam
pada Ki Bayu Sheta. Laki-laki tua itu
manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya. Dari sepasang matanya
tiba-tiba sudah menggenang air mata.
Tentu saja membuat Roro jadi melengak.
M ngapa tahu-tahu si kakek jatuhkan
air mata? Pikir Roro.
"Yah, aku memang mempunyai
seorang anak perempuan yang telah
menikah dengan gurumu Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti! Akan tetapi
anakku sudah pergi meninggalkannya.
Pergi dengan membawa seorang bayi
perempuan! Hal itu sudah berlalu empat
belas tahun yang lalu...!" Berkata Ki
Bayu Sheta dengan menyeka air matanya
dengan ujung lengan jubahnya.
"Pergi... ? maksudmu berpisah,
kek?" Tanya Roro. Sang kakek kembali
mengangguk, dan menatap pada Roro.
"Ya..! kalau bayi itu masih
hidup, tentu seusia denganmu Roro..!"
Roro sudah mau bertanya lagi, akan
tetapi Ginanjar telah mencubit
pahanya, memberi isyarat agar jangan
terlalu banyak bertanya. Gadis tang-
gung ini monyongkan mulutnya, akan
tetapi tak berani berkata.
Ki Bayu Sheta kembali teruskan
wejangannya yang didengarkan oleh
kedua muridnya dengan tundukkan wajah.
Kali ini Ki Bayu Sheta benar-benar
berpesan seperti orang yang tak akan
berjumpa lagi membuat Roro dan
Ginanjar jadi was-was hatinya. Namun
mereka tak mengucapkan kata sepatahpun
kecuali mengangguk.
"Nah, jagalah diri baik-baik!"
Selesai berkata sang kakek bangkit
berdiri, lalu beranjak keluar menuju
halaman. Kedua muridnya ini segera
mengikut mengantar kepergiannya. Tak
berapa lama setelah menengadahkan
kepala menatap rembulan, Ki Bayu Sheta
segera berkelebatan cepat tinggalkan
pondok di lereng Gunung itu. Roro dan
Ginanjar cuma menatap bayangannya saja
yang sekejap telah lenyap di
keremangan malam....
* * * *
Siapakah sebenarnya Ki Bayu Sheta
alias Pendekar Bayangan itu? Dialah
seorang pendekar yang pernah meng-
gemparkan pada dua puluh tahun yang
silam. Pendekar ini pernah turut
berjuang mempertahankan Kerajaan
MEDANG dari serbuan musuh, dan turut
serta dalam sebuah pemberontakan,
karena ketidak senangannya melihat
Para Pembesar Kerajaan bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat,
disaat Kerajaan sudah kembali aman.
Gerakan pemberontakan itu dipimpin
secara sembunyi-sembunyi, dengan me-
ngikut sertakan kaum pengemis yang
berjiwa Patriot. Disitulah Ki Bayu
Sheta berjumpa dengan Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti yang ternyata
adalah pemimpin dari kelompok Partai
Pengemis.
Kerajaan Medang waktu itu dalam
keadaan gawat. Namun berkat bantuan
rakyat dan kaum Partai Pengemis yang
turut berjuang, semua kerusuhan itu
dapat dipulihkan. Dan semua itu harus
meminta korban jiwa yang tidak
sedikit. Walaupun demikian, setelah
Kerajaan menjadi aman, ternyata masih
ada juga beberapa gelintir manusia
yang duduk bercokol dikursi kebesaran
dengan kekuasaan yang membuat beban
berat terhadap rakyat tanpa setahu
Raja.
BUKIT KERA adalah tempat yang
dituju Ki Bayu Sheta. Yaitu sebuah
bukit yang memang banyak dihuni oleh
kera-kera. Tampaknya si Pendekar
Bayangan tak begitu tergesa-gesa untuk
cepat tiba dibukit itu. Bulan Purnama
tampak membulat indah pancarkan
sinarnya yang terang benderang. Tanpa
setahu Ki Bayu Sheta, sesosok tubuh
ramping telah mengikutinya dengan
gerakan hati-hati. Siapakah gerangan
sosok tubuh yang menguntitnya itu?
Tak lain dari seorang bocah
perempuan, yang ternyata adalah Roro.
Walaupun bayangan tubuh Ki Bayu Sheta
sudah tak kelihatan lagi, namun Roro
masih bisa mengetahui letak Bukit
Kera. Karena Roro memang sudah menduga
kepergiannya adalah ke bukit itu,
sebab dia sering melihat sang kakek
menatap kearah barat. Dan gumamnya
terkadang terdengar oleh Roro.....
5
SEMENTARA itu... Diatas puncak
BUKIT KERA telah menanti sesosok
tubuh, berdiri tegak dengan jubah
berwarna hitam. Rambutnya putih
beriapan. Bila dilihat keseluruhannya
amatlah mirip dengan Tengkorak Hidup.
Laki-laki ini bekulit hitam legam
dengan tulang pelipis yang menonjol.
Pada bagian belakang jubahnya terdapat
sebuah simbol kepala tengkorak.
Dilengannya tercekal sebatang tombak
yang juga berwarna hitam. Usia orang
ini sekitar tujuh puluhan tahun.
Dialah si DEWA TENGKORAK. Seorang
tokoh Rimba Persilatan golongan hitam.
Tidak terlalu lama sesosok
bayangan putih berkelebat... Dan
segera telah berdiri diatas sebuah
batu besar tepat dihadapan si Manusia
Jerangkong itu.
Siapa lagi kalau bukan si
Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta. Jarak
mereka berhadapan kurang lebih tujuh
delapan tombak.
"Hehehehe... hehe... Selamat
datang sobat Pendekar Bayangan! Anda
benar-benar seorang pendekar tulen
yang menepati janji..!" Terdengar si
manusia jerangkong berkata. Suaranya
dingin mencekam menyibak kelengangan
di sekitar bukit itu.
"Terima kasih atas pujianmu itu
Dewa Tengkorak..! Maaf, mungkin
kedatanganku agak terlambat!" Ujar Ki
Bayu Sheta dengan suara datar.
"Hehehe... sama sekali tidak,
sobat Bayu Sheta! anda terlalu
berbasa-basi, membuat aku terkadang
malu terhadap diriku sendiri!" Sahut
si Manusia Jerangkong, dan terdengar
suara helaan napasnya. Tiba-tiba
dengan sekali bergerak tubuh di Dewa
Tengkorak telah mencelat keatas
setinggi sepuluh tombak. Dan dengan
ringan bagaikan sehelai bulu, sepasang
kakinya telah mendarat tepat dihadapan
Ki Bayu Sheta berjarak kurang lebih
dua tombak, tepat diatas batu besar.
Ujung tombak dilengannya tiba-tiba
diarahkan kedada Ki Bayu Sheta, dan
terdengar suaranya yang berubah jadi
angker.
"Hm, Bayu Sheta! Tebusan nyawamu
atas 300 nyawa kaum Partai Pengemis
dan keluarganya pada dua puluh tahun
yang silam, akan aku laksanakan pada
malam purnama ini! Kukira sejak
perjumpaan kita tujuh purnama yang
lalu, dan pengunduran pelaksanaan
pencabutan nyawamu berakhirlah su-
dah..!"
"Ya! aku telah siap untuk
menyerahkan jiwaku, Dewa Tengkorak!
Lakukanlah!" Berkata Ki Bayu Sheta
dengan suara gagah. Dadanya
dibusungkannya untuk segera menerima
kematian. Akan tetapi si Dewa
Tengkorak telah turunkan lagi
tombaknya. Dan menancapkannya ditanah
hingga amblas sampai separuhnya.
Suara serak si Manusia Jerangkong
itu kembali memecah keheningan yang
mencekam itu.
"Bayu Sheta! Tujuh Purnama yang
lalu aku telah memberi kesempatan
padamu untuk berlatih memperdalam ilmu
kedigjayaanmu guna menghadapi malam
ini, apakah sudah kau lakukan?"
Bertanya si Dewa Tengkorak.
"Ya! Bagus! kau memang manusia
jempolan yang tahu diri!
Heheheh... tahukah kau mengapa
aku sengaja mengulur waktu untuk
menjemput nyawamu? Karena aku memang
menghendaki pertemuan kita disaat kita
sudah sama-sama tua bangka seperti
ini! Dan telah dekat ke liang kubur,
karena cepat atau lambat toh pada
akhirnya kita akan berangkat ke
Akhirat..!" Berkata si Dewa Tengkorak
dengan suara parau, dan kembali
mengumbar tawa berkakakan. Kata-kata
si manusia jerangkong ini terdengar
tandas, anehnya seperti tidak
mengandung dendam kebencian terhadap
Ki Bayu Sheta.
"Selama dua puluh tahun kukira
cukuplah untuk kau mendidik seorang
murid pewaris ilmu-ilmu yang kau
miliki! Dan kau masih punya banyak
waktu untuk bersenang-senang, karena
waktu yang kuberikan cukup lama!"
Ujarnya lagi. Kini sepasang mata Ki
Bayu Sheta telah beralih menatap pada
si Dewa Tengkorak. Tampak sinar
matanya membersit tajam seperti mau
menembus jantung si manusia
jerangkong. Kata-kata itu telah
membuat napasnya memburu dan dadanya
naik turun bergelombang. Betapa amat
terhinanya si Pendekar Bayangan.
Prioritas yang diberikan si Dewa
Tengkorak selama itu justru telah
membuat dia menderita. Tiba-tiba laki-
laki tua ini sudah perdengarkan suara
keras, gemetaran penuh amarah "Dewa
Tengkorak!!! Kukira sudah lebih dari
cukup kau menyiksaku lahir bathin. Dua
puluh tahun lebih aku menderita,
tersiksa..! Aku tak ubahnya seperti
seorang hukuman yang sudah ditentukan
kapan waktu kematiannya! Apakah aku
bisa hidup dengan tenteram, dan
bersenang-senang..?" Bergetaran tubuh
Ki Bayu Sheta menahan amarah yang
bergemuruh didadanya.
Memang, selama itu aku masih
dapat mengenyam nikmatnya hidup! Se-
cara lahiriah aku kelihatan dapat
merasakan hidup tenteram, dengan mem-
punyai seorang murid dan mendidiknya
dilereng Rogojembangan. Akan tetapi
secara bathiniah, aku telah tersiksa!
Karena hidupku selama ini adalah atas
belas kasih orang yang memberiku waktu
untuk hidup. Saat-saat kematianku
seperti sudah diambang mata dan waktu
yang selama itu kau berikan padaku
seperti tinggal beberapa hari saja..!
Tidak, Dewa Tengkorak! Ketenteraman
hidup akan bisa dirasakan tanpa orang
itu mengetahui kapan kematiannya yang
akan dia hadapi!"
Kata-kata Ki Bayu Sheta yang
tegas dan tanda itu seperti air bah
yang mengalir dari atas gunung. Si
manusia jerangkong itu terpaku membisu
bagai sebuah arca. Cuma terlihat ujung
jubahnya yang melambai-lambai diterpa
angin. Ternyata si Pendekar Bayangan
telah lanjutkan kata-katanya lagi.
"Sepuluh tahun yang lalu akan
hampir membunuh diri, karena tak kuat
menanggung penderitaan bathin! Maut
serasa sudah didepan mataku, dan aku
sudah tak sabar menunggumu turun
tangan mengambil nyawaku! Dan tujuh
purnama yang lalu aku sudah bergirang
hati, karena aku segera akan menemui
kematian dibukit ini! Akan tetapi tak
dinyana kau telah mengulur lagi waktu
kematianku sampai hari ini...! Kini
waktu itu telah tiba Dewa Tengkorak!
Dan aku sudah tak sabar lagi menunggu!
Segeralah kau memulai..!" Teriak Ki
Bayu Sheta dengan suara tandas.
"Baiklah Bayu Sheta! Hari ini aku
memang tak berniat mengulur-ulur waktu
lagi, segeralah kau persiapkan dirimu!
Akan tetapi aku tak dapat membunuh
orang yang tanpa melakukan perlawanan!
Segeralah cabut senjatamu..!" Berkata
si Dewa Tengkorak dengan suara dingin.
Lengannya sudah bergerak mencabut
tombak hitamnya yang tertancap
ditanah.
"Aku tak membawa senjata apa-apa,
sobat Dewa Tengkorak! Pedang Pusakaku
telah kutinggalkan dipondokku untuk
pewaris pada muridku! Yah, kukira tak
guna kulakukan perlawanan! Toh
akhirnya aku akan mati, sesuai dengan
janjiku untuk memberikan nyawaku
sebagai penebus 300 jiwa orang-orang
Partai Kaum Pengemis..!" Ujar Ki Bayu
Sheta dengan suara tegas. Akan tetapi
justru membuat si manusia jerangkong
ini kecewa setengah mati.
"Huh! Benar-benar sial dang-
kalan..! Justru aku ingin melihat
kehebatan jurus dari Ilmu Pedang Baya
ngan yang kau miliki itu, yang pernah
membuat namamu harum dipuji orang!
Mengapa kau membuatku kecewa, Bayu
Sheta..?" Berkata si Dewa Tengkorak
dengan suara mengandung kemendong-
kolan. Sepasang matanya melotot
menatap laki-laki tua dihadapannya.
Dan... sekali lengannya bergerak
tombak ditangannya telah dihunjamkan
ketanah hingga amblas tak kelihatan
lagi.
Terkejut Ki Bayu Sheta. Dia tak
menyangka kalau si Dewa Tengkorak akan
melakukan hal seperti itu Tombak Hitam
itu adalah Tombak Pusaka Kerajaan
Kalingga milik Ratu SHIMA, seorang
raja perempuan yang pernah berkuasa di
Jawa Tengah pada abad ke tujuh. Ki
Bayu Sheta mengetahui dari kakek
gurunya, bahwa Tombak Pusaka ditangan
si Dewa Tengkorak itu adalah benda
bersejarah. Entah bagaimana asalnya
hingga Tombak Pusaka itu bisa jatuh
ketangan si Dewa Tengkorak.
Saat itu telah terdengar suara si
manusia jerangkong yang parau.
Kepalanya ditengadahkan menatap kearah
perbukitan yang berjajar kehitaman nun
jauh diarah sana.
"Bayu Sheta! Julukanmu si
Pendekar Bayangan itu telah membuat
aku mengiri pada lebih dari dua puluh
tahun yang silam! Ternyata disamping
tingginya ilmu yang kau miliki, kau
juga memiliki keluhuran budi! Kau
berjuang semata-mata karena membela
kebenaran, melindungi si lemah yang
tertindas dari si penguasa yang jahat!
Perjuanganmu dalam membela Kerajaan
Medang dari keruntuhan bersama-sama
Partai Kaum Pengemis dan rakyat, telah
ditulis dalam sejarah, dan dikenang
orang sepanjang zaman.
"Aku benar-benar kagum atas
keluhuran budimu Bayu Sheta! Kau telah
rela menebus nyawa ratusan manusia
dengan nyawamu sendiri! Aku merasa
telah kau kalahkan, Pendekar Ba-
yangan..! Aku cuma bertindak
berdasarkan ambisiku belaka, tak tahu
apakah orang yang aku bela itu
golongan pengkhianat Kerajaan atau
pihak yang benar. Bagiku sama saja!
Karena yang penting adalah aku dapat
berbuat semauku tanpa ada yang
melarang. Dan aku dapat hidup
berkecukupan dengan hadiah-hadiah yang
tanpa ku minta akan datang sendiri,
walau datangnya dari para Pembesar
Kerajaan yang menggerogoti hasilnya
dari memeras rakyat. Aku tak mau
tahu..!" Ujar si Dewa Tengkorak dengan
suara terdengar parau dan seperti
berkumandang disekitar bukit. Dan
lanjutnya lagi setelah terdiam
beberapa saat.
"Aku merasa bangga kalau ilmu
Tombak Iblis yang kumiliki tak ada
yang menandingi. Bahkan kini telah
kupersiapkan sepuluh jurus ilmu
pukulan sakti hasil ciptaanku, yang
telah memakan waktu hampir sepuluh
tahun aku menekuninya. Ilmu pukulan
sakti itu kuberi nama Sepuluh Jurus
Pukulan Kematian..!" Sampai disini si
Dewa Tengkorak berhenti berkata, dan
palingkan wajahnya menatap si Pendekar
Bayangan Ki Bayu Sheta.
"Baiklah, Bayu Sheta! Rupanya tak
ada waktu lagi, walau aku harus kecewa
karena ternyata kau tak memenuhi
harapanku..!" Si manusia jerangkong
itu rentangkan sepasang tangannya
seperti mau menyangga bulan.
"Bersiaplah Bayu Sheta! Aku akan
melancarkan pukulan dari Sepuluh Jurus
Pukulan Kematian! Biia kau dapat
menahan ilmu pukulanku sampai sepuluh
jurus, kau bebas menikmati kehidupanmu
sampai Hari Kiamat..!" Berkata si
manusia jerangkong ini dengan suara
dingin bagaikan es.
"Baik! Segeralah kau mulai! aku
sudah siap. !" Berkata Bayu Sheta
dengan suara datar, yang telah
memasang kuda-kuda. Walaupun sudah tak
mengharapkan hidup lagi, namun dia tak
mau mati konyol begitu saja. Dan dia
memang tak mau mengecewakan si Dewa
Tengkorak, untuk menghadapi kehebatan
kesepuluh jurus Pukulan Kematiannya
dengan kekuatan yang dimiliki. Dengan
perdengarkan suara mendesis, si
Manusia Jerangkong sudah lancarkan
serangan.
WHUUUUK..!
Segelombang angin pukulan berhawa
panas telah menerjang kearah Ki Bayu
Sheta.
DHESSSS…! Si Pendekar Bayangan
sudah memapaki serangan dahsyat itu.
Benturan kedua tenaga dalam yang hebat
itu menimbulkan asap tipis seperti
kabut. Laki-laki Lereng Rogojembangan
itu terhuyung ke belakang. Dia cuma
keluarkan sebagian tenaga dalamnya,
tak dinyana pukulan pertama si Dewa
Tengkorak membuat dia terhenyak kaget,
karena terasa hawa panas menembus
masuk ke dalam tubuhnya beruntung sang
kakek telah lindungi tubuh dengan hawa
murni. Sedangkan si manusia Jerangkong
itu tampak tenang-tenang saja berdiri
menatapnya tanpa menggeser tubuh.
"Bagus! kini tahanlah pukulan
kedua..!" Teriak si Dewa Tengkorak.
Dan dibarengi teriakan menggeledek, si
manusia Jerangkong segera hantamkan
pukulannya.
6
HANTAMAN demi hantaman pun
berlangsung… Dan si Pendekar Bayangan
selalu berhasil menahannya, hingga
sampai jurus kelima. Hawa disekitar
tempat itu mulai terasa panas.
Berpuluh-puluh ekor kera sudah
berlompatan menyingkirkan diri. Angin
malam yang membersit dari atas Bukit
Kera ternyata telah menimbulkan hawa
panas yang menyebar disekitarnya.
Bahkan hawa panas itu kini sudah
berganti-ganti panas dan dingin,
karena Si Pendekar Bayangan telah
keluarkan tenaga dalam Inti Es untuk
menahan serangan Si Dewa Tengkorak.
Pada Jurus kelima ini telah membuat Ki
Bayu Sheta terdorong mundur dua
langkah. Sedangkan tubuh si Dewa
Tengkorak tampak bergoyang-goyang,
tapi cukup membuat tokoh hitam Rimba
Persilatan ini terkejut karena hawa
dingin seperti telah memusnahkan
tenaga dalam Inti Apinya.
Jurus keenam telah dilancarkan
lagi... Kali ini si Pendekar Bayangan
harus hati-hati, karena jurus ini amat
berbahaya dan lebih ganas lagi.
Pukulan si Dewa Tengkorak mengarah
batok kepala orang dengan cengkeraman
ganas. Sedang sebelah lengannya lagi
menghantam kearah jantung. Serangan ke
arah batok kepala dapat dihindarkan,
akan tetapi yang mengarah ke jantung
sukar dihindarkan karena datangnya
terlalu cepat dan dibarengi hawa panas
yang menyesakkan pernapasan. Tenaga
Inti Es nya ternyata seperti meleleh
oleh hawa Inti Api si Dewa Tengkorak,
yang ternyata lebih kuat. Untung dia
keburu doyongkan tubuh, akan tetapi
tetap saja pukulan itu bersarang
dibahunya sebelah atas. Dan.
BUK...! Ki Bayu Sheta terdorong
tiga langkah. Jubahnya pada bagian
bahu sebelah atas itu robek hangus,
dan tampak kulit bahunya mengelupas.
Namun dengan mengertak gigi, Ki Bayu
Sheta tak perlihatkan rasa sakitnya.
Bahkan dengan gagah kembali berdiri
tegak dengan mengumbar senyum.
"Hebat! Jurus keenam ini cukup
luar biasa, soba Dewa Tengkorak! Nah,
aku sudah siap menanti serangan jurus
ketujuh!" Berkata Ki Bayu Sheta denga
suara santar.
Akan tetapi sampai jurus keenam
ini si Dewa Tengkorak berhenti
sejenak, seperti memberi waktu pada
lawannya untuk mengatur napas. Namun
agaknya si Pendekar Bayangan sudah tak
sabar lagi. Di merasa bagai seorang
bocah kecil yang harus di kasihani.
Memang diakuinya bentengan hawa murni
pada tubuhnya yang mengandung hawa
Inti Es dapat dijebol si Dewa
Tengkorak. Dan membuat darahnya seper-
ti bergolak panas membuat dadanya
menjadi sesak. Setetes darah sudah
tersembul disudut bibirnya. Akan
tetapi mana mau laki-laki perkasa itu
menunjukkan kelemahannya? Bahkan
seperti tak mengalami apa-apa dia
menantang jurus-jurus selanjutnya.
Mengetahui si Dewa Tengkorak sengaja
menyediakan waktu padanya untuk
beristirahat, tentu saja membuat jago
tua ini merasa terhina.
"Mengapa berhenti, Dewa
Tengkorak? Heh, kau kira aku takut
menghadapi ilmu Pukulan Penggebuk
Anjingmu itu? Ataukah kau malu
mempertunjukkannya padaku? Hahaha..
hehehe...." Sengaja Ki Bayu Sheta
mengejek si Dewa Tengkorak agar
menjadi marah, dan segalanya akan
cepat menjadi beres. Mendengus si Dewa
Tengkorak. Wajahnya seketika menjadi
merah padam. Dan dia sudah mengangkat
tangannya, seraya berteriak.
"Baik Bayu Sheta! Terimalah jurus
ketujuh dan kedelapan!" Tampak
sepasang lengan si manusia Jerangkong
itu telah berubah merah bagaikan bara
api yang mengepulkan asap tipis. Si
Pendekar Bayangan menahan napas, dan
sudah siap menghadapi dua jurus
ketujuh dan kedelapan dari Sepuluh
Jurus Pukulan Kematian. Satu bentakan
keras seperti membelah bukit. Hawa
panas melingkupi sekitar bukit Kera,
ketika sepasang lengan si Dewa
Tengkorak bergerak memutar yang menim-
bulkan angin panas. Ketika putarannya
berhenti mendadak tubuh si Manusia Je-
rangkong itu mencelat keatas setinggi
sepuluh tombak. Dan ketika menukik
lagi, segera hantamkan lengannya
kearah Ki Bayu Sheta.
DHESSSS...!
Satu pukulan berhasil ditangkis
si Jago tua ini. Tubuh Ki Bayu Sheta
terhuyung kebelakang. Dan jurus
berikutnya adalah tiga serangan
sekaligus, yang mengarah ketiga bagian
tubuh si Pendekar Bayanga ditempat-
tempat berbahaya. Yaitu tenggorokkan,
perut dan... selangkangan.
"Jurus keji..!" Terdengar sebuah
bentakan, di susul dengan ber-
kelebatnya sebuah bayangan putih.
Dan...
KRAK! KRAKK! BUK…!
Jurus kedelapan itu dapat
mengenai sasaran. Dan terdengarlah
suara jeritan parau menyayat hati,
dengan diiringi terlemparnya sesosok
tubuh yang ambruk ke tanah. Setelah
berkelojotan beberapa saat sosok tubuh
itupun diam tak berkutik lagi karena
telah tewas dengan seketika. Apakah
yang terjadi? Kiranya Ki Bayu Sheta
telah terhindar dari pukulan maut si
Dewa Tengkorak. Dan justru si
pendatang barulah yang telah menahan
pukulan keji si Manusia Jerangkong itu
dan menjadi korban. Sedangkan Pendekar
Bayangan Ki Bayu Sheta masih berdiri
dengan tubuh limbung. Darah segar
berwarna hitam kental tersembur
beberapa kali dari tubuhnya. Ternyata
hantaman pada jurus awal dari jurus
ketujuh tadi, Ki Bayu Sheta telah
terluka parah. Seandainya tak datang
sesosok tubuh yang menahan terjangan
jurus selanjutnya dan mengorbankan
nyawa, mustahil kalau si Pendekar
Bayangan dapat lolos dari maut.
Sementara terjangan-terjangan
yang terjadi di atas bukit Kera itu
ternyata tak luput dari sepasang mata
bening, yang telah turut menyaksikan
pertarungan sejak awal tadi. Dialah
Roro, si gadis bengal yang telah diam-
diam menguntit sang kakek Ki Bayu
Sheta. Sepasang mata gadis tanggung
ini terbeliak lebar menyaksikan
kejadian barusan. Dan dari bibirnya
telah terdengar teriakan tertahan. Dan
si gadis tanggung ini telah menghambur
keluar dari tempat persembunyiannya.
Ternyata dia telah mengetahui siapa
adanya laki-laki yang mengorbankan
nyawa menyelamatkan Ki Bayu Sheta.
"GURUUUU…!" Teriaknya dengan
suara parau bercampur isak. Dan dengan
beberapa kali melompat dia sudah tiba
didekat tubuh si pendatang, yang sudah
terkapar tak bernyawa. Keadaannya amat
mengerikan, karena tulang dadanya
remuk, dan tulang leher patah, serta
pada bagian selangkangannya telah
hancur bersimbah darah. Sesaat Roro
sudah jatuhkan tubuhnya untuk memeluki
tubuh laki-laki itu, yang tak lain
dari Jarot Suradilaga alias si Maling
Sakti. Diguncang-guncangkannya tubuh
laki-laki itu dengan isak tangis
memilukan.
Sementara itu tanpa ada yang
mengetahui disudut mata si Dewa
Tengkorak tersembul setitik air
bening. Untuk pertama kalinya dia
mencucurkan air mata. Mengapa
demikian? Karena didada si Dewa Teng-
korak telah mengaduk berbagai perasaan
menjadi satu. Hatinya begitu trenyuh
menyaksikan pengorbanan si Maling
Sakti pada si Pendekar Bayangan.
Alangkah bahagianya kalau dia dapat
mati sebagai seorang Pendekar, seperti
si Maling Sakti itu. Dan Si Pendekar
Bayangan pun rela mati demi menebus
nyawa 300 orang Partai Kaum Pengemis,
yang sedianya sudah akan dibantai si
Dewa Tengkorak, dan lasykar Kerajaan
ketika mereka tengah berkemah bersama
keluarga ditempat pengungsiannya
ditepi sungai atau Kali Wringin.
Seorang Adipati bernama Haryo
Gawuk telah melaporkan pada Raja
Kerajaan Medang bahwa Parta Kaum
Pengemis telah siap melakukan
penyeranga ke Istana. Mereka berkemah
ditepi Kali Wringin. Tentu saja
Baginda Raja Kerajaan Medang menjadi
murka. Karena merasa Partai Kaum
Pengemis telah bertindak keterlaluan.
Raja telah memberikan janji untuk
mengangkat mereka yang telah turut
berjuang membela Kerajaan dari
kekuasaan musuh, dan telah pula
membantu memperjuangkan rakyat dari
tindakan para Pembesar yang sewenang-
wenang, mengapa diberi penghargaan
telah menolak? Dan kini diam-diam
telah mengatur pemberontakan. Segera
saja perintahkan Senapati Trenggono
untuk menumpas Partai Pemberontak itu.
Akan tetapi hatinya menjadi ragu
atas pengkhianatan Partai Kaum
Pengemis. Segera Sang Raja perintahkan
Patih Ganda Setho untuk menyusul
Senapati Trenggono dengan membawa
surat pembatalan untuk menumpas Partai
Kaum Pengemis. Dan memerintahkan untuk
menyelidiki terlebih dulu. Sang Patih
berhasil menyusul Senapati Trenggono
dan pasukannya. Lalu berikan surat
penggagalan penyerangan dari Baginda
Raja. Ternyata sekembalinya sang Patih
Ganda Setho, Senapati Trenggono yang
memang telah mengatur rencana jahat
dengan Adipati Haryo Gawuk, segera
berunding. Ternyata diam-diam sang
Adipati telah berhubungan dengan si
Dewa Tengkorak. Dan telah menyogok si
Dewa Tengkorak denga harta dan wanita.
Tentu saja si Dewa Tengkorak yang
terkenal berkepandaian tinggi dan
ditakuti itu tak menolak. Sebagian
lasykar Kerajaan kembali pulang
bersama Senapati. Akan tetapi sebagian
lagi telah turut menyerbu ke kemah
kaum Partai Pengemis, yang pada waktu
itu berada di tepi Kali Wringin
bersama keluarganya.
Mereka telah dikepung ketat, dan
dalam keadaan tak siap siaga. Karena
merasa keadaan Kerajaan sudah aman.
Mereka sengaja berkumpul karena akan
mengadakan penyambutan buat si
Pendekar Bayangan dan Ketua Mereka si
Maling Sakti, berkenaan dengan
menikahnya puteri si Pendekar Bayangan
Ki Bayu Sheta dengan Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti, sang Ketua
mereka. Tentu saja keadaan dikemah
mereka cuma ada beberapa puluh orang
kaum laki-laki, karena sisanya tengah
menghadiri pesta pernikahan anak
perempuan si Pendekar Bayangan disisi
Kota Raja, yang diadakan dengan
sembunyi-sembunyi.
Rupanya hal tersebut sudah bocor,
dan diketahui oleh anak buah Adipati
Haryo Gawuk. Sang Adipati meng-
khawatirkan akan kedudukannya, karena
dia memang salah seorang Adipati yang
bertindak tidak jujur, dan melakukan
pemerasan terhadap rakyat. Dengan
adanya Komplotan Partai Pengemis,
bisa-bisa dirinya akan tergeser dan
dipecat seandainya komplotan para
pejuang itu mencium tindakannya.
Demikian juga dengan Senapati
Trenggono, karena adalah bekas seorang
Tumenggung yang justru disaat keadaan
Kerajaan sedang kacau, dia berpihak
pada musuh. Bisanya menduduki jabatan
sebagai Senapati, tentu saja dengan
jalan memutar lidah dihadapan Raja.
Dan mengkambing hitamkan rakyat atau
para Pembesar Kerajaan lainnya, hingga
sang Raja menjatuhkan hukuman mati
pada orang yang sebenarnya tidak
bersalah.
Karena mengkhawatirkan kedudu-
kannya juga khawatir tersingkap keja-
hatannya, Senapati Trenggono telah
bersengkongkol dengan Adipati Haryo
Gawuk untuk menyingkirkan kaum Partai
Pengemis para pejuang pembela rakyat
itu. Tentu saja pengaturan itu telah
dipersiapkan sejak lama. Dan berhasil
dihubungi seorang tokoh hitam yang
bergelar si Dewa Tengkorak.
Untunglah dalam saat yang genting
itu, si Pendekar Bayangan telah
menerima laporan dari anak buahnya
tentang penyergapan itu. Dan tanpa
memberitahukan pada semua kawan-kawan
dan anak buahnya yang tengah
mengadakan pesta meriah, si Pendekar
Bayangan berkelebat cepat sekali
kearah Kali Wringin. Dan berjumpa
dengan si Dewa Tengkorak. Ki Bayu
Sheta tak dapat berkutik, karena
sekali si Dewa Tengkorak memberi
isyarat, maka akan segera terjadi
pembantaian yang telah dipersiapkan
itu. Lebih dari tiga ratus nyawa akan
melayang yang terdiri dari anak-anak
kecil bayi dan wanita tak berdosa.
Akhirnya dengan memohon belas
kasihan, dan dengan rela menukar nyawa
300 jiwa keluarga tak berdosa itu
dengan nyawanya, Ki Bayu Sheta memohon
agar si Dewa Tengkorak membebaskan
mereka. Dewa Tengkorak memang telah
mengetahui akan kehebatan si Pendekar
Bayangan ini, dan sudah ada niatnya
untuk mengadu kesaktian. Tentu saja
tawaran itu tak ditolaknya. Dan
gagallah pembantaian atas 300 jiwa
keluarga kaum Partai Pengemis. Akan
tetapi dengan satu perjanjian, yaitu
dibubarkannya Partai Kaum Pengemis dan
tidak diperkenankan lagi mencampuri
urusan disekitar wilayah Kota Raja
Memang belakangan Partai Kaum
Pengemis itu dibubarkan. Akan tetapi
beberapa bulan kemudian gerakan Partai
tersebut yang secara sembunyi-sembunyi
dibawah pimpinan Jarot Suradilaga
alias si Maling Sakti berhasil
membongkar kejahatan Adipati Haryo
Gawuk. Dan ketahuan pula siapa
sebenarnya Senapati Trenggono.
Ternyata Patih Ganda Setho telah
membeberkan kejahatan Senapati itu dan
membuktikannya dihadapan Raja. Selang
sebulan Senapati dan Adipati itu
ditangkap, dan dihukum gantung....
7
DEWA TENGKORAK tiba-tiba merasa
dirinya amat rendah sekali. Dan tak
lebih dari seorang tokoh penyebar
kejahatan. Dia hanya mementingkan
dirinya sendiri dengan mengumbar
kepuasan duniawi. Selama hidupnya tak
pernah berbuat kebajikan, selain
bergelimang dengan kekotoran yang
digelutinya. Gelarnya memang telah
membuat orang takut dan gemetaran,
akan tetapi apakah dia memiliki
kewibawaan? Tidak! Orang tak akan
menghargainya, bahkan mayatnyapun tak
mau orang menyentuhnya. Demikian
memikir dibenak si Dewa Tengkorak. Dan
hal itu memang membuat dia merasa
mengiri pada nasib Pendekar Bayangan
Ki Bayu Sheta. .....
Roro si gadis tanggung itu tiba-
tiba lepaskan pelukannya pada jenazah
si Maling Sakti, dan melompat kearah
Ki Bayu Sheta.
"Kakek..!? Oh, kakek..! Kau...
kau terluka..!" Dan lengannya sudah
bergerak menyangga tubuh si Pendekar
Bayangan yang terhuyung limbung. Laki-
laki tua ini tersenyum pedih. Sepasang
matanya sedari tadi menatap pada tubuh
si Maling Sakti, menantunya itu.
"Jarot..! kau... kau telah
berkorban nyawa untukku..! Aiih,
mengapa kau lakukan itu?" Terdengar
seperti menggumam suaranya yang lirih.
Dan ketika Roro memeluknya untuk
menyangga tubuhnya, sang kakek ini
perlihatkan senyumnya. Lengannya
bergerak mengelus rambut bocah
perempuan itu.
"Roro..! kau... kau memang murid
yang bandel! mengapa kau menyusul
kemari? Hahahaha... hapuslah air
matamu itu, bocah centil! sungguh
memalukan! Seorang pendekar tak boleh
cengeng! Kau sudah dengar tadi
pembicaraan kami! Aku memang telah
memberikan nyawaku pada si Dewa
Tengkorak itu, jadi kau tak boleh
mendendam padanya! Gurumu si Maling
Sakti ternyata telah menyelamatkan
nyawaku..! Ah, sungguh diluar duga-
anku! Tapi dia telah tewas sebagai
Pendekar Sejati cucuku! Tak usah kau
sesali kematiannya! Kini menying-
kirlah..! Aku harus menghadapi dua
jurus lagi dari Sepuluh Jurus Pukulan
Kematian yang sudah menjadi perjanjian
kami..!" Berkata Ki Bayu Sheta dengan
tersenyum dipaksakan. Sementara darah
masih mengalir disudut bibirnya.
Sebelah lengannya sudah bergerak
menepiskan tubuh Roro dari tempat itu.
Dan dengan gagah Ki Bayu Sheta tegak
berdiri, menatap si Dewa Tengkorak.
"Hayo, Dewa Tengkorak! Mana jurus
kesembilan dan kesepuluh! Hahahaha...
Sayang menantuku si Maling Sakti itu
telah menahan seranganmu, kalau tidak
apakah kau kira aku tak sanggup
menahannya. Hm, jangan mimpi!" Teriak
Ki Bayu Sheta dengar menahan napasnya.
Akan tetapi kesudahannya napasnya
tersengal-sengal. Lagi-lagi tubuhnya
limbung mau jatuh. Namun dengan
berlagak kuat, sang kakek ini bertahan
untuk tetap berdiri tegak menantang.
Saat itu si Dewa Tengkorak telah
perdengarkan tertawa terbahak-bahak.
Dan satu suara dingin berkumandang,
seperti menembus, merasuk mencekam
jantung.
"Hehehehe... hehehe... Bayu
Sheta! Bayu Sheta. Kau memang seorang
yang beruntung! Tidak seperti aku yang
sial dangkalan! Kini bersiaplah kau
untuk menerima dua pukulan terakhir-
ku!" Begitu habis kata-katanya, tampak
sepasang lengan si Dewa Tengkorak
bergerak memutar keatas, dengan
menimbulkan suara berklotakan. Tampak
kedua lengannya seperti tergetar dan
merah membara serta mengeluarkan asap
kabut berhawa panas. Disusul mengge-
lombangnya angin panas yang santar
menerjang kearah Ki Bayu Sheta. Saat
itu si Dewa Tengkorak baru memper-
siapkan jurus ke sembilan dan
kesepuluh, tapi hawa panasnya telah
terasa ke sekitar bukit itu.
Pada saat itulah terdengar suara
bentakan nyaring.
"Iblis tua bangka..! Aku akan adu
jiwa denganmu..!" Dan disusul dengan
berkelebatannya tubuh Roro melompat
kehadapan si Dewa Tengkorak. Saat itu
justru si Dewa Tengkorak sudah
lancarkan serangan kearah si Pendekar
Bayangan. Melihat bocah perempuan
tanggung murid si kakek itu melompat
kearahnya, sepasang mata Dewa
Tengkorak jadi melotot. Akan tetapi
jadi tertawa menyeringai. Sementara
Roro sudah lancarkan serangannya
menghantam tubuh si manusia Jerangkong
itu... Akan tetapi si Dewa Tengkorak
justru tak menghindarkan diri.
Hantaman lengan bocah perempuan itu
tiba-tiba seperti tertahan di tengah
jalan. Dan pada detik itu dengan suara
tertawa berkakakan, sebelah lengan si
Dewa Tengkorak yang sedianya akan
dihantamkan pada Ki Bayu Sheta, kini
dialihkan mencengkeram batok kepala
bocah perempuan itu.
DHESSSSS...!
Terdengar suara teriakan menyayat
hati dari si bocah perempuan.
Kepalanya seperti lenyap tak terlihat
lagi, karena tertutup oleh tebalnya
asap kabut. Sementara itu sebelah
lengannya telah menghantam kearah Ki
Bayu Sheta.
BHUMMMMM....! Terdengar suara
ledakan keras. Akan tetapi hantaman si
Dewa Tengkorak tidak tertuju pada si
Pendekar Bayangan, melainkan pada
tanah berbatu dihadapannya. Seketika
tanah dan batu berhamburan
menyemburat. Sebuah lubang bergaris
tengah tiga depa segera menganga
lebar. Sementara itu si bocah
perempuan bernama Roro itu sudah
perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya
roboh terguling dari atas batu besar
itu.
Terperangah si Pendekar
Bayangan.... Sepasang matanya
terbelalak lebar melihat tubuh Roro
terjungkal roboh akibat hantaman
telapak tangan si Dewa Tengkorak.
Sementara dia sudah pegangi lagi
dadanya, yang seperti mau meledak.
Pada jurus kesembilan dan kesepuluh
itu tak dirasakan sedikitpun pukulan
si Dewa Tengkorak mengenai tubuhnya.
Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah
tak berdaya. Pukulan pada jurus ke
tujuh tadi telah meremukkan bagian
dalam tubuhnya. Tampak angin pukulan
Dewa Tengkorak yang menyerempet
sedikit pada tubuhnya, telah membuat
tubuh tua itu menjadi limbung dan
segera roboh ke bumi. Sepasang matanya
masih menatap pada Roro dan si Dewa
Tengkorak Akan tetapi melihat keadaan
si Dewa Tengkorak yang tetap berdiri
tak bergeming diatas batu itu, kakek
ini perlihatkan senyumannya sambil
meringis memegangi dadanya.
* * * *
Rembulan semakin meninggi.... dan
malam semakin melarut. Suasana di atas
Bukit Kera seperti penuh kemis-
teriusan. Karena kera-kera telah lari
menjauh. Keadaan disekitar atas bukit
itu seperti lengang, seolah tiada lagi
kehidupan disana. Akan tetapi
menjelang siang disaat Matahari sudah
menggelincir naik, tampak sesosok
tubuh bergerak-gerak seperti hidup.
Ternyata adalah si bocah perempuan
tanggung bernama Roro itu. Satu
keanehan ternyat telah terjadi diatas
bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba
Persilatan itu mati secara aneh. Bila
kematian Dewa Tengkorak adalah dengan
posisi berdiri seperti tengah melan-
carkan pukulan, adalah kematian Bayu
Sheta si Pendekar Bayangan dalam
keadaan terduduk dengan mimik wajah
seperti orang tertawa.
Roro belalakkan sepasang matanya
yang membulat mengitari keadaan
sekitarnya. Otaknya bekerja cepat
memikirkan kejadian yang telah menimpa
dirinya.
"He? masih hidupkah aku..?"
Gumamnya lirih. Lengannya bergerak
mencubit kulit tubuhnya, dan dira-
sakannya sakit. Kenyataan itu telah
membuat dia mengambil kesimpulan bahwa
dirinya masih hidup. Segera terbayang
ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram
batok kepalanya. Ingatannya mendadak
lenyap, karena kepalanya dirasakan
berkunang-kunang dan dia sudah jatuh
tak sadarkan diri.
Kini sepasang matanya jelalatan
menatap pada tiga sosok tubuh yang
kesemuanya telah tak bergeming.
Melihat si Dewa Tengkorak yang masih
berdiri tegak dengan posisi orang
memukul dengan rentangkan sebelah
tangannya, Roro jadi terpaku. "Masih
hidupkah si iblis tua bangka ini ?"
Desisnya pelahan. Dan tubuhnya sudah
bergerak melompat berdiri. Pertama-
tama yang diburunya adalah kearah Ki
Bayu Sheta. Akan tetapi ketika dia
menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar
Bayangan ternyata sudah tak bernyawa
lagi. Tercenung si gadis tanggung ini.
Air matanya sudah kembali menggenang.
Lalu bergerak melompat kearah mayat
gurunya si Maling Sakti menatapnya
sejenak dan duduk bersimpuh dengan
linangan air mata.
Tiba-tiba kembali dia palingkan
wajahnya menatap pada si Dewa
Tengkorak. Aneh!? Mengapa manusia
iblis itu tak juga gerakkan tubuh?
Apakah diapun sudah mati? Berkata
dalam hati si gadis tanggung ini. Dan
dengan sebat Roro sudah melompat
kehadapan mayat si Manusia Jerangkong
itu. Nyatalah setelah diperhatikan
kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun
sudah tak bernapas lagi. Dan ke-
matiannya memang sungguh aneh.
Sementara Roro sendiri tengah
tercenung, karena dirasakannya tu-
buhnya menjadi amat ringan sekali
ketika melompat-lompat. Justru
beberapa kali dia hampir terhuyung
jatuh karena merasa kelebihan tenaga.
Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga
dalamnya telah bertambah 10 kali
lipat.
Disamping merasa heran, juga
merasa sedih sekali melihat semua
orang yang disayanginya telah tewas.
Kini Roro palingkan wajahnya menatap
pada sebuah lubang besar dihadapannya.
Sesuatu tampak tersembul ditengah
lubang yang hangus kehitaman itu.
"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si
Dewa Tengkorak? Bertanya hatinya. Dan
Roro sudah beranjak mendekati. Lalu
melompat kedalam lubang. Benarlah apa
yang diduganya. Tak ayal dia sudah
gerakkan tubuh membungkuk, dan
lengannya bergerak mencabut benda itu
hingga tersembul seluruhnya batang
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu.
Kini dia kembali termangu-mangu....
Apakah yang akan dilakukannya lagi?
Ternyata Roro berotak cerdas, segera
dia berfikir kalau lubang besar itu
pasti akibat hantaman lengan si Dewa
Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari
ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus
Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu
justru membuat kematiannya? Berfikir
Roro. Dan lubang ini adalah diper-
gunakan untuk mengubur jenazahnya?
Pikirnya lagi.
Namun Roro tak dapat berlama-lama
untuk berfikir, karena dia sudah
bergerak melompat keluar dari dalam
lubang. Dan selanjutnya Roro sudah
bekerja cepat untuk mengangkat ketiga
jenazah .... Satu-persatu dimasukkan
kedalam lubang besar itu. Tak lama
ketiga jenazah sudah terbaring mem-
bujur didalam lubang. Gadis tanggung
ini memandanginya dengan sepasang mata
berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata.
Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau
Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah
bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi
rupanya Tuhan sudah mentakdirkan
kalian wafat dalam waktu yang hampir
bersamaan. Dan jasad kalian terkubur
dalam satu lubang..! Sesaat Roro sudah
tundukkan wajah dengan sepasang mata
sudah menjadi basah oleh genangan air
mata. Namun cuma sesaat, karena Roro
sudah hapuskan air matanya. Lalu
mulailah bekerja cepat menguruk lubang
kubur menutupi ketiga jenazah itu de-
ngan tanah. Selang tak berapa lama
pekerjaannya pun selesailah sudah.
Kini segunduk tanah telah tersembul
diatas Bukit Kera. Dan seorang dara
tanggung duduk bersimpuh dihadapan
gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-
kemik seperti memanjatkan doa. Tak
berapa lama dia sudah bangkit berdiri.
Lengannya mencekal sebatang Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna
hitam legam itu.
Setelah berfikir sejenak, tombak
itu segera ditancapkan ke atas
gundukan tanah setelah dengan seolah
menjadikan tombak itu sebagai batu
nisan. Lalu gadis tanggung itu
balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke
langit dengan pejamkan mata, dan
terdengar suara helaan napasnya. Tak
lama dia segera menindakkan kaki
melangkah meninggalkan gundukan tanah
itu.... Akan tetapi baru sepuluh
langkah dia sudah hentikan lagi
tindakannya. Telinganya seperti
mendengar satu suara aneh yang
menyusup ke daun telinganya.
"Aiiih, bocah tolol...! Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh
sayang kalau dijadikan batu nisan!
Mengapa tak kau bawa saja sebagai
kenang-kenangan..?" Tentu saja Roro
jadi melengak heran. Suara siapakah
gerangan yang menyusup ke telinganya?
Pikir Roro. Akan tetapi Roro memang
tak perlu berfikir lebih jauh. Hatinya
sedang dilanda kesedihan. Dia
berpendapat suara itu adalah suara
hatinya sendiri. Oleh sebab itu segera
dia balikkan tubuh, dan kembali
beranjak mendekati gundukan tanah itu.
Dan sekali lengannya bergerak, Tombak
Pusaka itu telah dicabutnya lagi.
8
INGIN kencang membersit dari arah
selatan... dan dari kejauhan sudah
terdengar deburan-deburan ombak yang
melanda karang. Dua sosok tubuh itu
berlompat-lompatan saling kejar
dibarengi suara-suara bentakan dan
tawa cekikikan. Ternyata mereka adalah
dua orang wanita. Kalau yang seorang
adalah seorang gadis tanggung yang tak
lain adalah Roro adanya, tapi yang
seorang lagi adalah seorang wanita
berusia sekitar 30 tahun. Wanita ini
memakai baju sutera warna merah.
Rambutnya memakai dua buah konde
dikiri-kanan yang kedua kondenya
dibeliti oleh pita berwarna merah.
Sikapnya amat genit luar biasa.
Sementara pada lengannya terdapat dua
potong benda sepanjang satu depa. Ter-
nyata kedua benda itu tak lain dari
tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang
entah bagaimana telah menjadi dua
bagian. Sementara si gadis tanggung
bernama Roro itu tengah mengejarnya
dengan melompat-lompat disertai
bentakan-bentakan keras.
"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka
ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau
biarkan aku yang merawatnya..?"
Berkata si wanita genit itu. Suaranya
terdengar aneh bagi pendengaran Roro,
karena terkadang kecil terkadang besar
mirip laki-laki. Si gadis tanggung ini
plototkan matanya dengan wajah gusar.
Beberapa puluh kali lompatan sudah
dilakukan untuk mengejar wanita yang
telah merebut potongan tombak itu dari
tangannya, akan tetapi wanita itu
mempunyai gerakan aneh. Hingga selalu
dia tak berhasil merebut kembali benda
itu. Kiranya sewaktu Roro tinggalkan
Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit
oleh sesosok tubuh yang tak lain dari
wanita aneh ini.
Ketika Roro ditengah perjalanan
berhenti untuk melepas lelah dan duduk
dibawah pohon, lengannya telah iseng
mempermainkan tombak hitam itu. Tak
dinyana Roro berhasil menemukan
kejanggalan pada bagian tengah tombak,
yang ternyata besinya agak tebal
dengan dua guratan melingkar. Rasa
penasarannya membuat dia memper-
hatikan, dan menyelidiki kedua guratan
ditengah batang tombak. Ternyata
kemudian dia berhasil memutarkan
sebagian batang tombak, yang ternyata
bagian tengahnya itu merupakan
sambungan. Sayang disaat dia tengah
mau menyelidiki lebih lanjut pada
bagian tengah tombak yang berlubang,
telah berkelebatlah sebuah bayangan
merah menyambar kedua potongan tombak
itu. Tentu saja Roro jadi terkejut,
karena tahu-tahu kedua potong benda
ditangannya telah lenyap dan berpindah
tangan. Dengan gusar dia melompat dan
mengejar si bayangan merah. Semakin
lama semakin menjauh, hingga dari
mulai matahari separuhnya dari atas
kepala hingga sampai menjelang senja
mereka berkejaran.
Ternyata keduanya telah tiba
disatu daerah pantai. Itulah daerah
Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-
besar bukit bergulung-gulung menye-
ramkan. Roro yang sedianya akan
kembali ke lereng Rogojembangan, jadi
terkecoh karena mengejar si wanita
aneh ini. Rasa penasarannya serta
kemendongkolan hatinya untuk kembali
merebut tombak itu membuat dia tak
berhenti mengejar. Bahkan selama
berkejar-kejaran itu Roro telah
lancarkan serangan-serangan hebat.
Tenaga dalamnya yang telah bertambah
10 kali lipat itu amat menguntungkan
Roro. Karena disamping tenaga hantaman
lengannya menjadi berlipat ganda, dia
juga dapat melakukan lompatan-lompatan
mengejar si wanita genit itu.
Tekad Roro telah bulat untuk
merebut kembali Tombak Pusaka itu.
Akan tetapi amat diherankan karena
selalu saja serangannya lolos tanpa
dapat mengenai sasarannya, ataupun
menyentuh seujung rambutpun tubuh
wanita aneh itu. Demikianlah hingga
mereka telah tiba diatas tebing karang
di Pantai Selatan.
"Hihihi... bocah manis! Tenaga
dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa
Tengkorak telah mewariskan tenaga
dalamnya padamu! kau sungguh
beruntung, bocah! Tapi... benda ini
kau biarkanlah untukku! Aku akan
menyimpannya untuk kenang-kenangan..!"
Berkata si wanita aneh itu dengan
senyum genit dan menimang-nimang benda
itu bahkan menciuminya. Roro jadi
semakin mendongkol. Tiba-tiba dia
sudah lakukan bentakan keras seraya
melompat menerjang.
"Kau boleh ambil benda itu
setelah kau dapat jatuhkan aku!"
Bentaknya. Dan.... WHUK! WHUK..! Dia
sudah kirimkan serangan dahsyat. Lagi-
lagi terjadi keanehan, karena si
wanita itu cuma melenggang-lenggokkan
tubuhnya seperti orang menari. Namun
serangan beruntun Roro ternyata telah
luput. Semakin menggebu kepenasaran
Roro, hingga dia telah keluarkan
seluruh kepandaiannya menerjang si
wanita aneh yang genit luar biasa itu.
Suara-suara teriakan dan cekikikan
terdengar silih berganti... Dan diatas
bukit Pantai Selatan itu seperti ada
dua bayangan saja yang terlihat
berkelebatan. Sementara di bawah
tebing suara deburan ombak Pantai
Selatan yang bergulung-gulung berhem-
pasan menerjang batu karang. Hingga
suatu saat tiba-tiba Roro terpekik,
karena dia telah kelebihan melompat
tanpa mampu menahan tubuhnya lagi. Dan
terjerumuslah si gadis tanggung itu ke
bawah tebing karang. Lalu sekejap
tubuhnya telah lenyap ditetan ombak
ganas...
"Hihihi... bagus! akan kulihat
apakah kau mampu menyelamatkan diri ?"
Berkata si wanita aneh. Dan sekejap
tubuhnya telah melesat dari situ, lalu
lenyap dibalik batu tebing yang
bertonjolan.
Tubuh Roro si bocah perempuan
tanggung itu timbul tenggelam dihantam
ombak yang bergulung-gulung. Apakah
Roro akan mudah saja menghadapi maut
yang akan merenggut nyawanya? Tidak!
Kekerasan hatinya telah mengalahkan
segalanya. Dengan patokan, sebelum
ajal berpantang mati! Roro berusaha
berenang, walau beberapa teguk air
telah lewat masuk tenggorokannya.
Segera teringat sepintas disaat
menggoda Ginanjar dengan menyelam ke
dalam air, kemudian menarik kaki bocah
laki-laki itu. Dan Ginanjar berteriak-
teriak ketakutan.... Roro telah
disangka Hantu Air yang biasa
mengganggu orang mandi dekat air
terjun itu. Ingatan itu membangkitkan
semangat Roro untuk bisa hidup. Segera
diatahan napas, dan menyelam sedalam
mungkin ke dalam air. Sepasang matanya
dibentangkan lebar-lebar. Terasa
perih, karena air laut memang asin
berbeda dengan air sungai. Namun tekad
untuk hidup menggebu-gebu didada Roro.
Dipaksakannya untuk tetap dapat
membuka matanya, hingga lambat laun
rasa perih dimatanya itupun sudah tak
terasakan lagi. Dengan berenang cepat
dibawah air itu memang Roro berhasil
menghindari arus dari ombak ganas
diatas permukaan. Karang demi karang
dibawah air terus dilewati.
Tiba-tiba tercekat hatinya
melihat ada sebuah terowongan didasar
air. Bergegas dia berenang kesana
dengan tenaga sekuat-kuatnya. Dadanya
sudah terasa sesak karena menahan
napas, tapi dengan sekuat tenaga dia
mencoba bertahan.... Bagai seekor ikan
Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan
kecil lainnya didasar laut itu, tubuh
Roro sudah meluncur melewati tero-
wongan. Ombak santar yang terasa
mengganggunya mendadak jadi hilang.
Kembali dia enjot tubuh untuk berenang
sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah
teramat lemah. Dadanya terasa semakin
sesak, seperti mau pecah. Kekuatannya
untuk menahan napas sudah mencapai
klimax, dan dia memang sudah tak
sanggup untuk bertahan lagi.
Terowongan itu sudah terlewati, akan
tetapi Roro sudah kehabisan napas.
Untuk menyembul kepermukaan pun sudah
tak sanggup. Terpaksa dia biarkan
tubuhnya mengapung sendiri, dan dua
tiga teguk air lewat kembali masuk
ketenggorokannya....
Pandangannya sudah menjadi gelap,
kepalanya terasa berat. Dan si gadis
tanggung ini sudah pejamkan matanya
karena tak mampu lagi untuk membuka
matanya. Maut seperti akan segera tiba
diruang matanya. Akan tetapi takdir
agaknya belum menentukan sang dara
tanggung itu harus mati didasar air,
karena tampak tubuh yang sudah tak
berdaya itu pelahan-lahan melambung
keatas. Dan selang sesaat antaranya
sudah tersembul kepermukaan air. Roro
memang sudah hampir tak sadarkan diri,
akan tetapi disaat kepalanya menyembul
keatas permukaan air, masih terlintas
setitik fikiran jernih dibenaknya.
Segera dia gerakkan kepala untuk
menghirup udara. Begitu temukan udara
segar, semangat bocah perempuan ini
timbul lagi. Segera digapaikan kedua
lengannya agar tubuhnya dapat terus
mengapung, dan sedot udara sebanyak-
banyaknya. Akhirnya diapun membuka
sepasang matanya. Ternyata telah ber-
ada dalam sebuah ruang didasar tebing
karang terjal. Semangat hidupnya
kembali muncul. Segera dia berenang ke
tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan
kakinya sudah menyentuh pasir halus
ditempat yang dangkal. Terdengar
keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan
ketepi pasir dengan perasaan lega, dan
Roro sudah pejamkan matanya untuk
menarik napas dalam-dalam....
* * * *
Entah berapa lama dia berbaring
melepaskan kelelahan yang amat luar
biasa, hingga sampai-sampai bocah
perempuan itu tertidur lelap. Ketika
Roro membuka matanya terkejutlah dia,
karena melihat sesosok tubuh yang tak
lain dari si wanita genit itu telah
berdiri tersenyum menyeringai
dihadapannya. Dengan gusar Roro sudah
gerakkan tubuh untuk bangkit
menyerang.....
Akan tetapi alangkah terkejutnya
dia mengetahui tubuhnya tak dapat
digerakkan, bahkan dia sudah dalam
keadaan terlentang diatas sebuah
pembaringan dari batu persegi dengan
keadaan tubuh telanjang bulat.
"Hihihihi... hihi.. bocah hebat!
bocah hebat..! Kau benar-benar membuat
aku mengiri!" Terdengar si wanita
genit itu berkata. Sepasang matanya
menjalari sekujur tubuh Roro dengan
senyum tersungging dibibirnya.
"Hehehe... aku memang sudah
pastikan kau tak akan mampus..!"
Sambungnya lagi, seperti seorang
peramal yang sudah menentukan nasib
manusia.
"Mampus atau tidak bukanlah
urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku
begini? Lepaskan aku! Dan mari
bertempur lagi! Apakah kau kira aku
takut? Kau ternyata bisanya bermain
curang, menawanku disaat aku tak
sadarkan diri..!" Teriak Roro dengan
sepasang mata melotot tajam pada si
wanita aneh itu. Sementara hatinya
berdebaran, entah akan diapakan
tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya
begitu..?
"Hihihi... dalam bertempur
mengapa harus pakai segala macam
aturan? Kau sudah dapat kukalahkan,
dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja
siapa mau larang? Hihihi... hihi..!"
Kembali si wanita terpingkal-pingkal
geli hingga tubuhnya sampai bergun-
cangan. "Pakaianmu basah, dan sedang
kujemur biar kering. Dan kau terpaksa
kutotok dulu agar tidak menyu-
sahkanku..!" Ujar si wanita aneh itu
sambil beranjak meninggalkan Roro
dengan melenggang-lenggok genit.
"Heeeiii!? Mau ke mana kau?
Bebaskan aku…!" Teriak Roro sekuat-
kuatnya. Akan tetapi wanita itui cuma
melirik genit, lalu menyelinap masuk
ke sebuah ruangan goa. Roro mengeluh.
Ya Tuhan, mengapa nasibku begini
jelek...? Tak berapa lama wanita aneh
itu sudah kembali dengan membawa
sesuatu diatas piring dari kerang
laut.
"Apa itu..?" Tanya Roro dengan
mata membeliak. Dia sudah merasa yakin
kalau si wanita yang telah menawannya
itu pasti akan menyiksanya.
"Hihihi... ini makanan untukmu!"
Sahutnya, seraya mendekati Roro.
"Kau perlu mengganjal perut agar
tidak mampus..!" Sambungnya lagi.
"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi
diberi makan olehmu? Biarkan saja aku
mampus, apa perdulimu..?" Teriak Roro
dengan wajah cemberut kesal.
"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi!
lepaskan aku..!" Teriak Roro, seraya
kerahkan tenaga untuk melompat bangun,
dan gerakkan kepalanya menepis. Akan
tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat
digerakkan, cuma kepalanya saja yang
bisa bergerak, akan tetapi itupun
hampir tak bertenaga.
Namun makanan itu memang sudah
masuk ke mulut Roro ketika si wanita
itu dengan paksa telah menjejalkannya.
Mendelik sepasang mata Roro, dan...
Fruuuhh..! Roro sudah semburkan
lagi makanan itu dari mulutnya. Rasa
anyir dan bau memuakkan itu membuat
dia mau muntah.
9
"Hihihi.... baiklah, kalau kau
tak mau makan akan tahu sendiri apa
akibatnya!" Berkata si wanita itu
seraya lengannya bergerak ke bawah
pembaringan batu! Dan sekejap
lengannya telah mencekal sebuah
bumbung bambu. Dengan cengar-cengir
sumbat bumbung bambupun dibuka, dan
tuangkan isinya keperut Roro...
Terpekik si gadis tanggung ini, karena
segera puluhan ekor binatang
Kalajengking telah merayap diatas
perutnya. Berteriak-teriak dia dengan
ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk
meronta. Akan tetapi tubuhnya tak
dapat bergerak sama sekali. "Tidaaak!
tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..!
hiiii... auuuw..!" Hampir gila rasanya
Roro karena takutnya. Akan tetapi si
wanita itu justru mengikik tertawa
dengan terpingkal-pingkal.
"Baik, baik..! aku mau makan..!
aku mau makan..!" Akhirnya Roro
berteriak dengan wajah pucat
ketakutan, terasa geli dan takutnya
bukan buatan terhadap binatang itu
yang seperti menggelitik kulit
perutnya.
"Bagus! Nah, begitu..! barulah
kau seorang bocah yang baik!" Ujar si
wanita dengan tampilkan senyum
kemenangan. Dan segera diraupnya
binatang itu untuk dimasukkan kedalam
bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya
dan letakkan kembali ke bawah pem-
baringan.
Demikianlah, akhirnya Roro mau
disuapi makanan aneh itu, yang
ternyata adalah lumut laut.
Siapakah sebenarnya si wanita
yang bersuara aneh mirip laki-laki dan
terkadang wanita itu? Ternyata tak
lain dari seorang tokoh Rimba Hijau
yang sudah lama mengurung diri digoa
dasar tebing Pantai Selatan. Dialah
yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai
Selatan, atau orang menjulukinya Si
MANUSIA BANCI. Karena memang sebena-
rnyalah wanita genit itu bukanlah
seorang wanita, melainkan seorang
wadam alias Banci. Tubuhnya memang
amat mirip dengan wanita. Akan tetapi
sebenarnya tidaklah demikian, karena
kepandaiannya merias dirilah yang
membuat dia mirip sekali dengan
wanita.
Roro yang sudah merasa bosan
berada dipembaringan batu dengan tubuh
terlentang itu seperti tak digubris
permintaannya untuk membebaskan toto-
kan si manusia Banci itu. Demikianlah,
entah sudah berapa hari berapa malam,
Roro tak dapat berkutik. Entah berapa
puluh kali makanan yang memuakkan itu
masuk ke perutnya. Namun lama kelamaan
dia sudah biasa. Roro memang sudah
berupaya untuk melepaskan diri, akan
tetapi si Manusia Banci itu selalu
mengulangi menotoknya, hingga dia tak
dapat berbuat apa-apa selain mengeluh
memikirkan nasibnya.
Satu hal yang membuat Roro tak
habis pikir adalah si manusia aneh itu
sering menimang-nimang kedua potong
benda yang telah direbut dari tangan-
nya, yaitu potongan tombak Pusaka
milik si Dewa Tengkorak. Terkadang si
Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi
terkadang menangis tersedu-sedu dengan
air mata bercucuran. Membuat Roro jadi
kasihan. Entah ada rahasia apa dibalik
keanehannya itu.
Roro semakin menyadari kalau
wanita dihadapannya itu bukan wanita,
tapi juga bukan laki-laki. Terbukti
suatu ketika, tampak seorang gadis
cantik sekali memasuki ruangan
kamarnya. Terperangah Roro, karena
gadis cantik itu tak mengenakan
pakaian sama sekali alias telanjang
bulat... Rambutnya terurai, dengan
sepasang mata redup, bak bidadari
bangun tidur layaknya. Langkahnya
lemah gemulai dengan perlihatkan
senyumnya yang menawan hati.
"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku
baik-baik! Apakah aku cantik..?"
Bertanya si gadis cantik itu. Barulah
Roro sadar kalau gadis cantik itu tak
lain dari si wanita aneh. Segera saja
dia mengangguk dengan tersenyum.
"Kau amat cantik sekali, bibi..!"
Menyahut Roro seraya manggut-manggut.
"Apakah aku amat mirip dengan
perempuan..?" Tanyanya lagi. Tentu
saja pertanyaan itu membuat dia
ternganga, karena jelas wanita itu
seorang perempuan, mengapa bertanya
demikian? Pikir Roro. Namun dia tak
berani memastikan apakah si bibi itu
seorang perempuan, karena terkadang
memang agak mirip dengan laki-laki.
Dan kesemuanya itu membuat dia jadi
bingung, tapi segera menjawab.
"Hihihi... kau mirip sekali
dengan perempuan, dan bukankah kau...
kau memangnya bukannya seorang
perempuan seperti aku..?" Tanya Roro
yang tak dapat menyembunyikan apa yang
dilihatnya. Akan tetapi jawabannya
adalah wanita ini menatapnya tajam-
tajam dengan sepasang matanya yang
berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya
yang bercampur isak.
"Ah,... seandainya aku memang
seorang perempuan, tidaklah aku
menderita begini..!" Dan dia sudah
balikkan tubuh lalu lengannya menyam-
bar jubah yang biasa dikenakannya. Tak
lama dia sudah lepaskan dua buah benda
dari tubuhnya, seraya beranjak
menghampiri Roro. "Kau lihatlah! Benda
ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat
sedemikian rupa, karena aku memang
ingin sekali menjadi seorang wanita!"
Berkata si manusia banci. Barulah Roro
tersadar kalau si wanita aneh itu
memang bukan wanita dan bukan laki-
laki. Karena segera tampak dadanya
yang rata. Benda-benda itu telah
membuatnya mirip dengan wanita yang
seperti tak mengenakan busana.
"Oh..!?" Tersentak Roro, dan
kembali dia manggut-manggut dengan
hati yang mulai mencair, karena segera
timbul rasa kasihan pada si bibi itu.
"Benda-benda ini kelak akan
kuhadiahkan padamu, Roro..!" Berkata
si manusia Banci, yang kembali sudah
perlihatkan wajah cerah.
Beberapa bulan sudah Roro tinggal
diruang goa di dasar tebing karang
Pantai Selatan itu. Dan selama itu
Roro telah diperlakukan secara aneh.
Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam
ramuan. Dan setiap pagi tentu akan
menerima makanan memuakkan dari lumut
laut. Keanehan-keanehan yang dilakukan
terhadap Roro ternyata mempunyai
maksud tertentu. Bahkan berbagai macam
ramuan telah disuguhkan Roro yang
ternyata telah dicampur oleh makanan
dari lumut laut itu. Hingga tanpa
disadari Roro telah memakan beberapa
ramuan yang langka dan jarang terdapat
didunia, yaitu ramuan awet muda.
Karena sebenarnya si Manusia Banci itu
telah mencapai usia 60 tahun lebih,
tapi kenyataannya bagaikan seorang
yang masih berusia tiga puluh tahun.
Si Manusia Banci memang amat berharap
pada Roro agar menjadi muridnya, dan
mewarisi segenap ilmu kepandaiannya.
Itulah sebabnya Roro diperlakukan
secara aneh, untuk segera dapat
menerima ilmu-ilmunya.
Demikianlah.... Roro si bocah
perempuan yang berusia sekitar lima
belas tahun itu telah resmi menjadi
murid si Manusia Banci atau si Manusia
Aneh Pantai Selatan. Tak seorangpun
mengetahui adanya Roro di Pantai
Selatan itu, yang tengah digembleng
berbagai ilmu kedigjayaan oleh si
Manusia Banci. Bahkan Roro mempelajari
juga jurus-jurus maut si Dewa
Tengkorak yang bernama 10 Jurus
Pukulan Kematian. Ternyata didalam
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu
ada tersimpan segulung kertas yang
berisikan tulisan rahasia dari ilmu-
ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus
Pukulan Kematian itu. Dan Roro telah
mempelajarinya dari gurunya yang aneh
itu. Satu hal yang baru dimengerti
Roro, adalah ternyata si Dewa
Tengkorak adalah laki-laki pujaannya
yang telah membuat sang guru tergila-
gila padanya. Namun si Dewa Tengkorak
tak mengacuhkan "cinta" nya. Ternyata
walaupun si Dewa Tengkorak memang
banyak mempunyai isteri, si Manusia
Banci ini tetap menaruh cinta yang
sedalam lautan. Walaupun cintanya tak
kesampaian.
Memang satu kejadian yang amat
tragis dalam kisah manusia yang
memburu cinta. Akan tetapi takdir
memang harus disadari oleh setiap
manusia. Karena Tuhan memang telah
mengkodratkan diri manusia masing-
masing dengan keadaannya....
* * * *
Bagaimanakah dengan nasib
Ginanjar sepeninggal Roro yang telah
pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu
Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini
telah mencari-carinya ke setiap
tempat. Namun tak membawa hasil.
Menjelang pagi segera teruskan
pencariannya ke tempat-tempat dimana
Roro biasa berlatih. Akan tetapi tetap
saja tak dijumpai si gadis tanggung
yang bengal itu. Akhirnya Ginanjar
memutuskan untuk tetap berdiam
menunggu datangnya si Maling Sakti
guru Roro, atau paman gurunya itu. Se-
lama itu Ginanjar selalu berlatih
memperdalam kepandaiannya yang telah
diajarkan si Pendekar Bayangan.
Namun selama lebih dari satu
bulan, tetap saja tak ada orang yang
datang menyambangi pondoknya dilereng
Rogojembangan itu. Baik Roro maupun
sang paman gurunya si Maling Sakti tak
memunculkan diri. Akhirnya Ginanjar
bertekad turun gunung. Tujuannya
adalah mencari dimana adanya Roro
saudara seperguruannya itu. Sekalian
mencari tahu tentang paman gurunya,
yang menurut gurunya berada di wilayah
Kota Raja.
Memikir demikian Ginanjar segera
berkemas untuk membuntal pakaiannya.
Akan tetapi terkejut pemuda tanggung
ini ketika menemukan secarik kertas
bertulisan dibawah pakaiannya.
Ternyata adalah sebuah surat dari Ki
Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya.
Surat itu mengatakan agar Ginanjar
segera berangkat bersama Roro ke Kota
Raja, bila sang paman guru alias si
Maling Sakti tak juga datang dalam
waktu satu bulan. Disana Ginanjar
disuruh mencari seorang sahabat sang
guru yang berdiam di wilayah Kota
Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk
menjumpainya adalah tidak sulit,
karena Ronggo Alit membuka sebuah
warung yang berdagang obat-obatan.
Ronggo Alit adalah bekas anggota
Partai Kaum Pengemis, yang sejak
Partai itu dibubarkan dia membuka
usaha demikian di wilayah Kota Raja.
Ginanjar dan Roro diharapkan
dapat tinggal digedung kediaman
sahabatnya itu untuk sementara waktu.
Termenung sejenak bocah laki-laki
tanggung itu. Lalu diteruskannya
membaca surat. Ternyata diakhir
kalimat si Pendekar Bayangan ada
menitipkan kata-kata untuk sang
sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan
Roro memanggilnya "Paman". Dan pada
kalimat yang paling akhir adalah
Ginanjar telah diwariskan sebuah
Pedang Pusaka. Yaitu pedang pusaka
milik sang guru. Kemudian ditunjukkan
dalam surat tempat penyimpanannya.
Kembali termenung Ginanjar, lalu
segera dilipatnya surat itu dimasukkan
kesaku bajunya sebelah dalam. Tak lama
dia sudah bangkit berdiri, dan segera
menghampiri sebuah rak diatas tempat
tidur gurunya. Disanalah dia menemukan
sebuah pedang yang gagangnya terbuat
dari perak berkilauan. Sarung
pedangnya berukir seekor naga. Tampak
wajah Ginanjar menampilkan wajah
girang. Akan tetapi juga bersedih,
karena sampai kini tak diketahui nasib
gurunya, juga nasib Roro dan sang
paman gurunya. Namun segera pemuda
tanggung ini cepat berkemas. Beberapa
keping uang ternyata telah diselipkan
juga dekat sarung pedang. Dia dapat
mempergunakannya bila mana perlu.
Agaknya Ki Bayu Sheta telah
mempersiapkan terlebih dulu sebelum
keberangkatannya.
Ketika matahari sudah hampir
berada diatas kepala, Ginanjar sudah
tinggalkan pondok dilereng Gunung
Rogojembangan itu. Terasa sedih juga
hatinya karena hampir sepuluh tahun
sejak dia diambil si Pendekar Bayangan
dari sebuah rumah yatim piatu, dia
dididik ditempat ini oleh Ki Bayu
Sheta. Hingga dia merasa sang guru
sebagai orang tuanya sendiri. Dari
sang guru diketahuinya bahwa orang
tuanya telah meninggal. Tak diketahui
jelas siapa dan dimana meninggalkan
ayah ibunya, karena Ginanjar memang
tak pernah menanyakannya. Tak lama
bocah laki-laki tanggung itu telah
berkelebat cepat menuruni lereng
Rogojembangan. Dengan bekal keyakinan
untuk suatu ketika dia dapat menjumpai
Roro saudara seperguruannya.
Angin pegunungan berhembus sejuk
seperti mengantarkan kepergiannya yang
tentu saja akan banyak menimba
pengalaman kelak ditempatnya yang
baru.
10
SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo
Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung
oleh Baginda Raja Kerajaan Medang.
Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten
itu menjadi aman. Tiada lagi
pemerasan-pemerasan yang dilakukan
oleh para petugas pajak dan para
petani dan pedagang. Rakyat amat
berterima kasih pada pihak Kerajaan
yang telah menindak tegas abdi-abdi
Kerajaan yang menyeleweng. Bahkan
mereka juga dapat bernapas lega, ka-
rena tidak didengarnya lagi bencana-
bencana seperti perampokan, pemer-
kosaan para gadis atau pemerasan-
pemerasan lainnya. Rakyat kembali
bekerja dengan tekun menggarap sawah
ladang pertaniannya.
Para saudagar tak lagi meng-
khawatiri akan adanya perampasan harta
bendanya, serta bermacam kesulitan
yang sering dihadapi. Dan pada
beberapa bulan kemudian, segera
diadakan pengangkatan Adipati baru
pengganti Adipati Haryo Gawuk. Tentu
saja rakyat menyambut dengan gembira,
karena mereka berharap Adipati
pengganti ini benar-benar memper-
hatikan akan kesejahteraan rakyat
wilayahnya. Dalam upacara pengangkatan
Adipati baru ini ternyata telah
diadakan hiburan yang sengaja diadakan
untuk menghibur rakyat. Berita adanya
hiburan diwilayah Kadipaten Banjar
Mangu segera tersiar ke beberapa
daerah. Dan sudah tersiar beritanya
bahwa yang akan menjabat sebagai
Adipati di wilayah itu adalah seorang
laki-laki yang masih berusia cukup
muda, yaitu sekitar 30 tahun. Bernama
SURA NINGRAT.
Pesta berlangsung meriah saat
itu, dan sukurlah tak terjadi suatu
keributan, karena para lasykar
keamanan Kadipaten menjaga dengan
ketat. Agaknya sejak ditangkapnya
Adipati Haryo Gawuk, para begundal
yang biasa mengganggu rakyat segera
menyingkir jauh-jauh. Demikianlah...
dengan resmi Adipati Sura Ningrat
berhak menguasai beberapa wilayah,
yang kemudian sejak dalam masa
pemerintahannya, rakyat hidup
sejahtera aman sentausa. Bahkan telah
ditingkatkannya taraf hidup kaum pe-
tani yang ternyata banyak membantu
Kerajaan dalam urusan pangan.
* * * *
Pemerintahan Sura Ningrat sebagai
Adipati ternyata mengalami masa
kejayaan sampai lebih dari lima belas
tahun. Sayang Adipati yang gagah dan
bertanggung jawab serta disenangi
rakyatnya itu tak berumur panjang.
Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia
cukup muda. Kesedihan melanda rakyat
disekitar wilayahnya, yang mengalami
masa berkabung sampai berlarut-larut.
Ternyata kemudian pengganti
Adipati Sura Ningrat adalah seorang
yang berbeda wataknya dengan Sura
Ningrat. Yaitu Adipati LAKSONO.
Peraturan-peraturan yang telah dibina
Adipati Sura Ningrat telah banyak yang
dirobah, dan ternyata cukup membe-
ratkan rakyat dengan pajak yang cukup
tinggi. Akan tetapi karena sang
Adipati ini masih ada hubungannya
dengan Baginda Raja Kerajaan Medang
rakyat tak dapat berbuat apa-apa.
Walaupun keadaan rakyat jadi
cukup menderita namun tak urung sudah
pula berjalan masa pemerintahan sang
Adipati itu sampai lebih dari tujuh
tahun. Dan pada masa pemerintahan
Adipati Laksono inilah kisah ini
terjadi.
Kemunculan empat orang yang
menamakan diri nya EMPAT IBLIS KALI
PROGO telah menambah penderitaan
rakyat disekitar wilayah Kadipaten
Banjar Mangu. Ternyata keempat manusia
berkepandaian tinggi itu mendiami
gedung Kadipaten yang menghadap kearah
barat. Sukar untuk ditolak kedatangan
keempat orang itu yang telah menghadap
pada sang Adipati sebagai tamu
terhormat. Karena disamping ilmunya
yang tinggi, kedatangannya adalah atas
utusan seorang pembesar Kerajaan, yang
katanya untuk membantu menjaga
keamanan diwilayah itu Karena
disinyalir adanya desas-desus tentang
pembangkangan rakyat atas tindakan
sang Adipati Laksono. Memang Adipati
itu pernah mengirim utusan ke Kota
Raja berkenaan dengan keadaan situasi
di wilayahnya. Ternyata ada segolongan
penduduk yang diam-diam menaruh
kebencian pada sang Adipati
Yaitu berdasarkan sakit hati,
karena seorang anak gadis dari
penduduk telah dipaksanya menjadi
istrinya. Tentu saja dengan janji-
janji yang muluk.
Akan tetapi baru belakangan
diketahui kalau gadis itu cuma jadi
permainannya saja. Dan setelah bosan,
segera dikembalikan pada orang tuanya
dengan alasan yang tak masuk akal.
Karena si wanita itu dituduh mencuri
perhiasan istri tuanya. Dilain pihak
ternyata mulai bermunculan para pemuda
yang menentang secara sembunyi-
sembunyi, karena ketidak adilan sang
Adipati dalam menjalankan pemerin-
tahannya. Bahkan mulai terasa keadaan
yang tidak aman.
Usia sang Adipati Laksono itu
sudah mencapai hampir lima puluh
tahun. Seharusnya sudah diadakan
penggantian sesuai undang-undang.
Kalau bukan keturunannya sendiri yang
menggantikannya, tentu masih kerabat-
nya. Atau kalau tak ada kerabatnya
tentu orang lain atas pilihan dari
rakyat yang dipandang berwibawa untuk
menduduki jabatan tersebut.
Bercokolnya empat orang yang
mempunyai gelaran menyeramkan itu
ternyata menambah keresahan rakyat
diwilayah itu. Mulailah banyak terjadi
kekerasan dan pertumpahan darah. Dan
kesemuanya itu bila terjadi, tak ada
keputusan yang adil terhadap rakyat
dari Adipati Laksono. Setelah bermacam
persoalan itu langsung saja terkubur
ke laut....
* * * *
Hari masih siang... akan tetapi
wilayah Kota Raja telah ramai
dikunjungi orang dari berbagai tempat.
Ternyata hari itu adalah hari bersuka
ria, karena malam nanti akan diadakan
pesta keramaian dengan meriah
diberbagai tempat untuk menyambut hari
ulang tahun Kerajaan Medang.
Seorang pemuda gagah berpakaian
serba putih berjalan agak kaku mema-
suki tempat keramaian. Di pinggangnya
terserang sebuah pedang yang gagang
sarungnya sengaja dibungkus oleh
secarik kain agar tak begitu menyolok.
Sebentar-sebentar langkahnya terhenti
untuk memandang atau memperhatikan
orang-orang yang berlalu-lalang. Keba-
nyakan yang diperhatikannya adalah
seorang wanita atau gadis. Siapakah
gerangan pemuda gagah ini...? Ternyata
tak lain dari Ginanjar adanya. Murid
si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini
telah berdiam di Kota Raja selama
hampir dua tahun dirumah sahabat
gurunya Ronggo Alit. Ternyata untuk
menemukan rumah sang "paman" itu tak
begitu sulit.
Agaknya Ginanjar cukup betah
berdiam dirumah Ronggo Alit, yang
ternyata telah menerima kedatangannya
dengan ramah tamah. Tenaga anak muda
ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat
membantu-bantu pekerjaannya, disamping
menambah pengertiannya akan ilmu obat-
obatan. Agaknya Ronggo Alit telah
mengetahui akan prihal perjanjian Ki
Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si
Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak
menceritakannya pada Ginanjar. Cuma
terlihat Ronggo Alit menghela napas
dengan menampilkan wajah sedih.
Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman
gurunya yang bernama si Maling Sakti
itupun dijawabnya dengan menggeleng
kepala, walau dia telah mengetahui
keadaan sebenarnya. Ternyata Ronggo
Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si
Maling Sakti alias Jarot Suradilaga
harus mencampuri urusan si Pendekar
Bayangan. Namun tak mau melibatkan
orang lain. Dengan tidak munculnya ke-
dua tokoh bekas Ketua Partai Kaum
Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.
Demikianlah untuk menutupi
kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja
menyibukkan dengan urusannya. Dan
Ginanjar giat membantu usahanya selama
ini. Namun dalam setiap kesempatan
selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar
mencari dan menyelidiki kemana
perginya saudara seperguruannya yang
bernama Roro itu, sambil mencari bahan
obat-obatan. Akan tetapi sampai hampir
dua tahun tetap saja tak ada
beritanya. Dalam usia Ronggo Alit yang
semakin menua dan tiadalah orang tua
itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar
merasa berat untuk meninggalkannya.
Walau hatinya sudah menggebu untuk
pergi mengembara mencari saudara
seperguruannya.
Hari itu Ginanjar telah minta
izin untuk melihat keramaian, serta
menyelidiki siapa tahu bisa menemukan
Roro. Karena dengan adanya keramaian
diberbagai tempat diwilayah Kota Raja
itu, akan banyak pengunjung
berdatangan. Demikianlah, Ginanjar
yang telah menjadi seorang pemuda
remaja itu, pasang mata meneliti
setiap wanita atau gadis yang berlalu
lalang ditengah keramaian pasar.
"Ah, seandainya Roro masih hidup
dan aku menjumpainya, tentu aku akan
pangling. Pasti dia sudah menjadi
seorang gadis yang cantik jelita..!"
Desis suara Ginanjar pelahan sambil
termangu-mangu. Namun sesaat dia sudah
beranjak ke tengah pasar untuk
menyelidiki lebih banyak, serta
melihat persiapan keramaian malam
nanti.
Menjelang agak senja suasana
dikota itu semakin ramai. Ginanjar
yang merasa perutnya lapar, segera
memasuki sebuah restoran yang paling
ramai. Sementara memesan makanan
sepasang matanya selalu jelalatan
memperhatikan setiap pengunjung
wanita. Namun tetap saja orang yang
dicarinya tak kelihatan. Selesai
bersantap Ginanjar segera ayunkan
langkah lagi... Kali ini yang
ditujunya adalah ke tempat yang agak
sepi dibelakang pasar. Karena ditempat
sepi ini dia berpendapat dapat
menemukan ilham untuk mencari ke arah
mana disekitar wilayah Kota Raja itu.
Tiba-tiba diujung sebuah gang
terdengar suara teriakan, namun sesaat
kembali melenyap. Seperti suara
teriakan seorang wanita...? Berkata
Ginanjar dalam hati. Karena yang
tengah dicarinya adalah seorang
wanita, tentu saja dia sudah bergegas
untuk melihat. Lorong dibelakang pasar
itu tampak sunyi. Akan tetapi sepasang
mata si pemuda ini telah melihat
sesuatu yang bergerak-gerak, yang
ternyata adalah sepasang kaki. Seperti
sosok tubuh seseorang yang baru saja
diseret masuk ke sebuah pintu rumah
petak. Ginanjar jadi curiga, dan
segera berkelebat melompat dengan tak
menimbulkan suara. Dari sebuah jendela
kecil dia telah melihat apa yang
tengah terjadi sebenarnya. Sepasang
mata pemuda ini jadi melotot dengan
wajah gusar, karena terlihat tiga
orang laki-laki berwajah penuh cambang
bauk tengah berusaha membukai pakaian
seorang gadis yang telah dibekap
mulutnya.
"Hai! lepaskan dia..!" Ginanjar
telah keluarkan bentakan keras seraya
melompat ke depan pintu. Tentu saja
membuat ketiga laki-laki itu jadi
terkejut, dan serentak sudah mencabut
senjata dari balik pakaiannya. Tanpa
keluar suara dua orang telah menerjang
keluar setelah yang seorang memberi
isyarat. Pemuda ini memang baru
pertama kalinya mengalami pertarungan,
sepasang matanya dipergunakan baik-
baik. Dan dengan gesit dia sudah
berhasil mengegos serta tepiskan
tangannya membuat kedua serangan itu
luput.
Dan bahkan dengan cepat sekali
sepasang lengannya kembali bergerak
menghantam...
BUK! BUK...!
Terdengar keduanya mengeluh
dibarengi dengan robohnya tubuh si
penyerang. Melihat kedua kawannya
jatuh nyusruk dengan cuma beberapa
jurus, si laki-laki yang satunya ini
melompat menerjang dengan belati
panjangnya. Namun Ginanjar memang te-
lah mempersiapkan diri dari segala
kemungkinan. Tubuhnya melompat ke
samping. Sebelah kakinya bergerak
menghantam perut orang itu.
BEKK!
Terdengar suara laki-laki itu
mengeluh, dan tubuhnya sudah
terhuyung. Sebelah lengannya memegangi
perutnya yang jadi mulas dengan wajah
menyeringai kesakitan.
"Keparrat..!" Berdesis suara
orang itu, seraya tiba-tiba putarkan
tubuh untuk mengirim serangan beruntun
menabas kaki dan menusuk ke arah
tenggorokan.
Ginanjar gerakkan kakinya untuk
melompat, sambil doyongkan tubuh ke
belakang. Loloskan serangan itu. Tiba-
tiba dia telah keluarkan bentakan
keras, dan kirimkan pukulan jarak
jauh.
BUK..!
Laki-laki itu terhuyung ke
belakang mau jatuh, dan saat itu
sebelah kaki pemuda itu telah
menghantam telak mengenai dadanya.
DHESS…!
Tak ampun laki-laki brewok itu
roboh terjungkal. Sementara dua
kawannya telah bangkit lagi. Melihat
si pemuda berdiri tegak dengan
bertolak pinggang, nyalinya sudah
luntur. Serentak mereka segera
melarikan diri. Sedangkan si lelaki
barusan sudah bangkit lagi dengan
belati panjangnya, segera ngeloyor
pergi dengan terhuyung-huyung menyusul
kedua kawannya.
Ginanjar perlihatkan senyumnya,
lalu balikkan tubuh untuk melihat
wanita tadi. Tampak seorang gadis yang
berwajah cukup cantik tengah
menatapnya disudut ruangan. Wajahnya
pucat, rambutnya kusut masai.
Sementara kedua lengannya disilangkan
diatas dada menutupi payudaranya yang
sedikit tersembul, karena pakaiannya
telah robek sebagian.
"Ah, te... terima kasih atas
pertolonganmu tuan..!" Berkata si
gadis dengan mengangguk, seraya
perlihatkan senyumannya. Sekilas
pandangan mata Ginanjar mampir juga ke
arah bagian yang sedikit terbuka itu,
tapi segera palingkan pandangannya ke
lain arah.
"Sudahlah! Siapa namamu? dan
dimanakah rumahmu..?" Bertanya
Ginanjar.
"Namaku... Kasmini! Rumahku...
ng... cukup jauh dari belakang pasar
ini!" Menyahut si gadis. Lalu
ceritakan kejadiannya secara singkat
pada Ginanjar hingga dia disekap
ditempat kosong itu. Karena khawatir
kalau para bajingan itu mengganggi
lagi, terpaksa Ginanjar mengan
tarkannya untuk kembali ke rumahnya.
Dalam perjalanan Kasmini segera
ceritakan tentang keadaan hidupnya.
Terperangah pemuda itu mendengarnya,
karena ternyata Kasmini seorang gadis
piatu yang cuma hidup berdua dengan
seorang kakeknya, yang sudah teramat
tua dan sakit-sakitan. Kasmini
terpaksa mencari nafkah dengan
membantu-bantu orang, seperti mencuci
pakaian dan lain-lain. Akan tetapi dia
hanya menerima upah saja. Boleh
diumpamakan sebagai pembantu yang ti-
dak tetap. Kepergiannya adalah untuk
membeli obat sepulang dari bekerja,
karena penyakit sang kakek kambuh
lagi. Akan tetapi telah terjadi
kejadian seperti yang dialaminya tadi,
yang dilakukan oleh para begundal
pasar yang sudah lama mengincarnya.
11
MENUNGGU kedatangan seorang cucu
perempuannya bagi seorang kakek tua
renta tanpa daksa dan penyakitan
selama hampir satu hari, adalah
sungguh membuat rasa bosan dan serba
salah. Dibagian belakang reruntuhan
gedung tua yang sudah tak terawat lagi
terdengar suara keluhan dan rintihan
yang mengenaskan. Seorang kakek tua
renta duduk setengah terbaring diatas
lantai, bertilam kain yang penuh
tambalan. Sungguh mengenaskan hati
melihatnya, karena sang kakek itu
bertubuh cacad. Yaitu kedua belah
kakinya buntung sebatas dengkul.
Laki-laki tua kurus kering itu
perdengarkan keluhannya yang menghiba.
"Kasminiiii..! ah, kemanakah
engkau cucuku." Keluhnya dengan suara
lirih hampir tak terdengar. Rambut
dikepalanya sudah tinggal beberapa
lembar, wajahnya cekung pucat. Karena
disamping lapar, si kakek itu memang
dalam keadaan sakit. Selang tak berapa
lama terdengar suara-suara diluar
berbisik-bisik.
"Inilah tempat tinggalku..!
Marilah masuk! Aku harus memberikan
nasi ini dulu pada kakek, dan
meminumkan obat!" Terdengar suara
wanita. Laki-laki tua ini gerakkan
pelupuk matanya, lalu membuka sepasang
matanya yang cekung ke dalam.
Tak lama sudah tersembul dipintu
sesosok tubuh, yang tak lain dari
Kasmini adanya. Dilengannya tercekal
sebuah bungkusan berisi nasi dan lauk-
pauknya. Serta sebungkus obat.
"Kasmini... kau sudah pulang
cucuku.. ? Siapakah tetamu diluar? Ah,
mengapa tak kau suruh masuk..?"
Bertanya sang kakek dengan suara
lemah. Pendengaran tuanya ternyata
masih cukup tajam, karena disamping
suara Kasmini ada pula didengarnya
suara seorang laki-laki. Sementara
Ginanjar yang berada diluar merasa tak
enak hati bila tak menjenguk kakek
sang gadis yang telah ditolongnya itu.
Bahkan ditengah perjalanan telah pula
membelikan obat dan dua bungkus nasi.
Sesaat dia sudah beranjak kedalam
ruangan yang sempit dan kotor penuh
sarang laba-laba itu.
"Kakek..! Tuan inilah yang telah
menolongku, dan membelikan obat serta
dua bungkus nasi ini untuk kita!"
Berkata Kasmini dengan berbisik pada
telinga kakeknya. "Ah, selamat... da.,
tang ke pondok burukku, tuan muda..!
Terima... kasih atas budi baikmu
menolong cucuku..!" Berkata si kakek
dengan suara lirih, dan perlihatkan
senyumannya. Ternyat Kasmini telah
berbisik-bisik menceritakan secara
singkat kejadian yang menimpanya.
Ginanjar yang telah berjongkok
dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa
manggut-manggut seraya berkata.
"Ah, kakek..! Sudahlah, perto-
longanku itu tak berarti apa-apa..!
Segeralah kau bersantap, dan meminum
obat agar lekas sembuh!" Ginanjar
berikan segenggam uang di lengan sang
kakek, yang tak putus-putus ucapkan
terima kasih. Selanjutnya sudah
berdiri lagi seraya menjura pada si
kakek, dan menatap pada Kasmini.
"Maaf, aku tak dapat berlama-lama
lagi, karena ada hal lain yang harus
aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak,
kapan-kapan aku pasti akan singgah
lagi kemari!" Berkata Ginanjar. Wajah
si gadis tampak perlihatkan kemuraman,
dan sepasang matanya sudah berkaca-
kaca. Akan tetapi dia segera mengang-
guk. Setelah menjura lagi pada si
kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh
untuk beranjak keluar ruangan. Baru
saja sembulkan tubuh dipintu, telah
terdengar bentakan keras diluar
halaman.
"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau
sudah jual lagak dihadapan ketiga
kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?"
Ginanjar segera telah dikepung oleh
empat orang yang bertampang seram.
"Hen!? siapakah kalian ini..?"
Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya.
Keempat orang itu saling pandang
sesama kawannya, lalu terdengar suara
tertawanya gelak-gelak.
"Hahaha... hahaha... Rupanya kau
seorang pemuda ingusan yang baru turun
gunung! Semua orang sudah mengenal
siapa kami!" Berkata salah seorang.
"Baik, pasanglah telingamu lebar-
lebar! Kami adalah si EMPAT IBLIS KALI
PROGO! Kami bertugas menjaga keamanan
di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja
berhak menangkap atau membunuh mampus
pengacau seperti kau!"
"Heh!" Mendengus Ginanjar, dengan
turunkan alisnya.
"Apakah kesalahanku, hingga
kalian menyebutku pengacau? Justru
kawanmu itulah yang telah mengacau!
Mereka telah berusaha menyekap gadis
ini untuk diperkosa! Mengapa justru
aku yang dianggap pengacau ?" Tanya
Ginanjar dengan hati mendongkol.
Keempat sosok tubuh dihadapannya itu
pelototkan matanya dengan gusar.
"Justru kaulah yang mau
memperkosanya, lalu dihalangi oleh
ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau
mau membela diri dengan menimpakan
kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-
kawan ringkus dia..!" Bentak salah
seorang dari keempat Iblis Kali Progo
yang bertubuh kekar berkulit hitam
legam. Terperangahlah seketika Ginan-
jar, karena mengapa justru dia yang
dianggap mau memperkosa si gadis yang
telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya.
Saat itu tiga orang dari mereka telah
mencabut senjatanya dipinggang, yaitu
golok-golok yang melengkung lebar
berkilat-kilat. Kasmini tiba-tiba
telah melompat kepintu seraya ber-
teriak.
"Dusta! Kalian telah membalikkan
kesalahan pada orang lain! Ketiga
begundal pasar itu aku sudah
mengenalnya, dan telah beberapa kali
membujukku untuk menuruti napsu
binatangnya! Kalau tak datang tuan
muda ini tentu aku... aku..." Kasmini
tak dapat teruskan kata-katanya.
Karena seketika dia sudah gemetaran
dan menangis terisak-isak.
"Tutup mulutmu..!" Tiba-tiba
membentak si tubuh kekar berkulit
hitam. Dan dia sudah beri isyarat
ketiga kawannya menerjang Ginanjar.
Tiga buah golok berkelebat menabasnya,
si gadis Kasmini perde garkan jeritan
ketakutan. Akan tetapi dengan seba si
pemuda itu sudah melompat menghindar
dengan tubuh berjumpalitan diudara.
Dan sudah menjauh sekitar lima tombak.
Tentu saja keempat orang itu
segera memburu dengan wajah bringas.
Sekejap saja mereka telah mengurung si
pemuda itu lagi. Kini keempat orang
yang berjulukan si Empat Iblis Kali
Progo itu sudah siap dengan senjata
terhunus. Mengetahui dirinya dalam
bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut
pedangnya dari pinggang.
"Bagus! Sebutkan siapa kau dan
siapa gurumu bocah? Agar kami tak
penasaran membunuhmu.." Teriak salah
seorang yang bernama Tambi. Yaitu
laki-laki berkulit hitam tadi.
"Benar! Kami si Empat Iblis Kali
Progo tentu akan dapat penghargaan
dari pihak Kerajaan kalau berhasil
membunuh seorang pengacau yang cukup
punya nama!" Teriak yang bertubuh
pendek berhidung besar seperti
bengkak, dengan tertawa menyeringai.
Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang
dua lagi bernama Reksa dan Bangik.
"Hm, tak perlu macam-macam!
kalian majulah..!" Bentak Ginanjar
dengan gusar. Dia rupanya sudah
geregetan sekali untuk menabas kepala
orang yang telah memfitnahnya itu.
Walaupun baru untuk kedua kalinya ini
Ginanjar bertarung, tapi murid si
Pendekar Bayangan ini memang tak
mengenal takut. Tentu saja kata-kata
Ginanjar membuat mereka jadi gusar,
dan segera menerjang dengan berbareng.
TRANG! TRANG! TRANG!
Sebentar saja ditempat sunyi itu
telah terjadi pertarungan seru.
Ginanjar pergunakan pedangnya untuk
menangkis setiap serangan. Bahkan
balas menyerang dengan dahsyat. Akan
tetapi keempat orang itu memang
berilmu tinggi, dan mereka maju
berempat. Dengan berkelebatan saling
berganti mereka berlompatan menghin-
dar, sedangkan yang lainnya sudah
menerjang lagi disaat si pemuda
mencecar kawannya. Sekejap saja sudah
terdengar suara bentakan-bentakan dan
beradunya senjata tajam.
Sementara itu Kasmini cuma bisa
memandangi dengan mata terbeliak
bersimbah air mata. Sang kakek
ternyata telah beringsut ke pintu
untuk melihat kejadian. Terbelalak
sepasang mata tua itu sambil geleng-
gelengkan kepala. Kasmini segera
memeluknya untuk segera mengajaknya
kembali ke dalam. Pada saat perta-
rungan itu terjadi, ternyata sesosok
tubuh berindap-indap mendekati
belakang reruntuhan gedung tua itu.
Ternyata tak lain dari salah seorang
laki-laki yang tadi dihajar oleh
Ginanjar, dan melarikan diri. Wajahnya
menyeringai tertawa melihat kedua
orang ini tengah memperhatikan perta-
rungan dengan wajah pucat. Sekejap dia
sudah melompat ke pintu. Lengannya
bergerak menarik lengan gadis itu yang
jadi menyentak terlepas dari
pegangannya ke tubuh si kakek.
"Hehehe... Kasmini! ayo, kau
ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu
mampus!"
"Hah!? tidak! tidaak! lepaskan
aku..! kau... kau bajingan keparat..!"
Berteriak-teriak Kasmini dengan
terkejut. Segera dia meronta-ronta
untuk melepaskan cekalan laki-laki
itu. Akan tetapi satu hantaman pada
belakang lehernya membuat gadis itu
mengeluh, dan pingsan tak sadarkan
diri.
Terkejut sang kakek, yang melihat
keadaan cucunya. Segera dia beringsut
cepat seraya melompat untuk menangkap
tubuh cucunya yang akan dipondong si
laki-laki. "Jangan..!? Jangan ganggu
cucuku... lepaskan.. dia..!" Teriaknya
dengan suara terengah. Akan tetapi
satu hantaman telak telah mengenai
dadanya.
BUK..! Terdengar si kakek
mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke
lantai. Sekali bergerak si laki-laki
brewok itu sudah memondong sang gadis,
dengan perlihatkan wajah menyeringai.
Namun diluar dugaan lengan si kakek
kembali menyambar. Dan sebelah kakinya
kena ditangkap. Agaknya dalam keadaan
yang sedemikian fatal itu dia sudah
tak hiraukan dirinya lagi. Sisa-sisa
tenaganya dipergunakan untuk membela
cucunya, walau dalam keadaan sakit dan
tubuh tanpa daksa. Hantaman lengan
laki-laki barusan itu telah membuat
tulang iganya berderak patah. Akan
tetapi semangatnya untuk
mempertahankan cucu perempuannya
bagaikan semangat seekor banteng luka.
Sayang... semua yang dilakukannya
itu tak berarti apa-apa. Bahkan dengan
sekali kaki si laki-laki brewok itu
bergerak, terlemparlah tubuh si kakek
bergulingan ke tengah ruangan. Dan
baru berhenti ketika membentur tembok.
Terdengar suara teriakan parau
menyayat hati, yang kedengarannya amat
lemah sekali. Tampak tubuh tua renta
itu menggeliat sejenak, lalu terdiam.
Ternyata nyawanya telah melayang
dengan seketika. Tulang-tulangnya yang
telah rapuh itu tak kuat untuk beradu
dengan tembok tebal. Bahkan belakang
batok kepalanya telah rengat
mencucurkan darah. Tewaslah sang kakek
dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa
diketahui lagi oleh sang cucu
perempuannya yang telah tak sadarkan
diri...
"Hehehe... kakek tua renta! Kau
memang sudah sepantasnya mampus..!"
Mendesis si laki-laki itu dengan wajah
geram menatap tubuh si kakek yang
sudah tak berkutik lagi. Tak ayal
segera dibalikkan tubuh, untuk
bekelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara pertarungan terus
berlangsung hingga belasan jurus.
Ginanjar telah mendengar suara te-
riakan Kasmini, akan tetapi untuk
melepaskan diri dari rangsakan keempat
manusia itu teramat sulit. Salah-salah
nyawa bisa melayang. Karena terjangan-
terjangan golok mereka benar-benar
sebat dan sulit untuk dihindari.
Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang.
Dan dengan pedangnya dia dapat
menangkis setiap serangan. Ternyata
Ginanjar memang kalah dalam pengalaman
bertarung. Jurus-jurus gerak tipu
keempat lawannya terkadang membingung-
kan. Hingga kini dia lebih banyak
bertahan dari pada menyerang.
"Hahaha... biarkan saja gadismu
itu tak usah kau urusi! Kalau kau
mampus toh banyak orang lain yang
mengurusi..!" Mengejek Tambi si laki-
laki kekar berkulit hitam. Ginanjar
tak perdulikan ocehan orang. Segera
dia mulai mencari jalan memecahkan
serangan mereka. Untunglah otaknya
cerdas. Segera teringat dia akan
beberapa jurus yang cukup ampuh yang
pernah dipelajari. Tiba-tiba dia telah
merobah sikap tempurnya. Kini gerakkan
pedang memutar dahsyat hingga
keluarkan angin pusaran yang menderu.
Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.
Terkejut juga si Empat Iblis Kali
Progo, segera mereka mundur beberapa
langkah dengan pasang kuda-kuda. Lalu
salah seorang memberi isyarat untuk
segera bergerak memutar, dan berlom-
patan dengar gerakan menyilang.
Sementara setiap gerakan melompat
selalu diiringi dengan tebasan, ke
arah kaki. Mau tak mau Ginanjar sambil
putarkan pedangnya berlompatan
menghindari serangan-serangan yang
datang bergantian itu. Tampak keringat
anak muda itu telah mengucur deras.
Baru pertama kali bertarung sudah
menemukan lawan yang tangguh, bahkan
dikeroyok empat orang. Membuat pemuda
Lereng Rogojembangan ini jadi benar-
benar memeras keringat. Tiba-tiba dia
sudah perdengarkan bentakan-bentakan-
nya. Kini sebelah lengannya
dipergunakan menghantam ke arah setiap
tubuh yang berkelebat menabaskan
senjata ke arah kakinya.
Hal tersebut rupanya telah
dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali
Progo. Segera gerakan mereka berubah
arah. Kini menyerang secara bergantian
ke arah kepala, dengan lompatan-
lompatan tingginya. Bersyiuran angin
dari setiap tebasan golok lawan
mengarah kepalanya. Ginanjar jadi
kertak gigi menahan amarah. Kini
sepasang pedangnya bergerak lebih
cepat menghantam dan menghalau setiap
serangan. Hasilnya memang cukup
memuaskan. Karena segera tampak
keempat orang lawannya terdesak
mundur. Gerakan-gerakan pedangnya
adalah yang dinamakan jurus Naga
Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu saja
dengan menggunakan jurus ini Ginanjar
telah mengeluarkan banyak tenaga.
Namun segera terdengar teriakan
tertahan dari salah seorang lawan.
BRET...! Tebasan pedangnya yang
bergulung-gulung itu berhasil merobek
pundak salah seorang lawan berikut
tersobeknya daging lengannya. Darah
menyemburat, dan laki-laki bernama
Begu Lowo itu meringis memegangi
lukanya dan melompat mundur dua
tombak. Tiga orang kawannya menggerung
keras. Dan menerjang dengan tebasan-
tebasan gencar dengan arah yang tidak
bersamaan. Ada yang mengarah leher,
ada yang mengarah pinggang dan
mengarah ke kaki. Serangan serentak
itu dibarengi dengan hantaman-hantaman
sebelah lengannya yang bertenaga dalam
kuat.
Tersentak Ginanjar. Kali ini dia
harus tak boleh salah perhitungan.
Tubuhnya segera melompat melambung
setinggi dua tombak. Pedangnya
dipergunakan menangkis setiap
serangan, sambil elakkan tubuh
mengegos. Tapi kali ini satu tabasan
tak berhasil dihindari. Ketika
tubuhnya meluncur turun, satu hantaman
lengan membuat tubuhnya doyong ke
belakang. Dan saat itu dipergunakan
Tambi untuk menabaskan goloknya.
BRET!... Nyaris pinggang Ginanjar
putus tertabes, pada saat itu tak
meluncur sebutir batu kerikil
menghantam golok Tambi hingga
terpental...
TANGNG...!
Terkesiap laki-laki bernama Tambi
itu, karena lengannya bergetar
kesemutan. Dan dia tak dapat menahan
genggaman goloknya lagi, yang segera
terlepas terpental. Dengan terperanjat
dia sudah melompat mundur. Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar
ke depan dengan perdengarkan teriakan
parau menyayat hati, lalu roboh
meregang nyawa dengan menggeliat
geliat. Sesaat kemudian dia sudah
tewas.
12
MELOMPATLAH seorang dari Empat
Iblis Kali Progo untuk memburu kearah
kawannya yang satu ini. Setelah
memeriksa betapa terperanjatnya ketika
melihat pada leher sang kawan, te-
dapat dua buah lubang sebesar jari
tangan yang mengucurkan darah.
Siapakah yang telah menyerangnya?
Sentak hatinya. Tiba-tiba berkele-
batlah sebuah bayangan hijau ke tengah
kalangan dibarengi dengan suara
tertawa mengikik merdu. Dan sesosok
tubuh telah berdiri di situ.
"Hihihi...hihi... tak tahu malu
mengeroyok seorang pemuda yang belum
tentu kesalahannya! Rupanya aku amat
beruntung sekali dapat berkenalan
dengan anda yang bernama besar!
Ternyata kalianlah yang menamakan diri
Empat Iblis Kali Progo...!" Bukan saja
tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu
saja yang terbelalak, akan tetapi
sepasang mata Ginanjar pun terbelalak
dengan tubuh terpaku melihat munculnya
seorang gadis yang bertubuh semampai,
berpinggang langsing, dengan rambut
beriapan. Siapakah wanita ini
adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati.
Dia tak dapat menatap wajah orang,
karena sosok tubuh itu membe-
lakanginya.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu
sudah balikkan tubuh menatapnya.
"Hihihi... kau menyingkirlah,
anak muda! Biar aku yang mengirim
nyawa mereka ini ke akhirat!"
Terperangah Ginanjar, karena hampir
saja dia menyebut nama Roro. Akan
tetapi wajah wanita itu tampak kaku
dan pucat. Sepasang matanya sipit
dengan hidung agak besar. Namun
mempunyai perawakan yang hampir mirip
dengan saudara seperguruannya itu.
Bahkan suaranya bernada mirip sekali.
Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan
segera melompat ke tepi. Sementara
hati Ginanjar berkecamuk sendiri,
ketiga orang dari Empat Iblis Kali
Progo itu telah perdengarkan
bentakannya.
"Heh! Kiranya kau yang telah
membokong saudaraku..?" Bentak salah
seorang. "Membokong..? Hihihi...
hihi.. dalam bertarung tak ada urusan
dengan segala macam aturan! Apa lagi
menghadapi manusia keji semacam kalian
yang sudah aku dengar keja-atannya!
Berapa orang gadis didesa wilayah
Kadipaten Banjar Mangu yang telah
kalian perkosa? Dan berapa orang dari
rakyat yang tak bersalah telah kalian
aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri
telah mengeroyok seorang pemuda yang
belum tentu bersalah!" Berkata wanita
itu dengan suara lantang.
"Kurang ajar! mulutmu harus
dihajar dengan ini !" Teriak Reksa
yang sudah menerjang diikuti kedua
orang kawannya. Berkelebatan tiga buah
golok yang berkilatan menabas dan
merencah tubuhnya. Akan tetapi dengan
gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari
serangan mereka sekejapan telah lolos.
Terkejut bukan main mereka, karena
tampaknya si wanita ini bukannya
menggelakkan diri, akan tetapi
terhuyung-huyung bagai orang mabuk.
Namun nyatanya serangan mereka telah
terelakkan dengan mudah.
Segeralah mereka merobah gerakan
dengan gerakan memutari tubuh si
wanita itu. Sementara senjata-senjata
mereka membuat gerakan menebas dan
menusuk secara bergantian, disertai
bentakan-bentakan keras yang menga-
caukan konsentrasi lawan. Akan tetapi
tampaknya hal itu tak membawa hasil,
karena justru si wanita pergunakan
jurus yang aneh. Sepasang lengannya
bergerak mengibas keberapa arah.
Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo
ini. Karena segera merasai segelombang
angin panas telah menerjangnya. Tampak
serangan mereka mulai kacau. Tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik si
wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah
lenyap, karena terbungkus oleh asap
kabut yang menghalangi pandangan me-
reka.
Ginanjar yang menyaksikan jalan-
nya pertarungan jadi berseru kagum,
karena tubuh si wanita bagaikan
bayangan telah berada diluar kepungan
tanpa setahu ketiga lawannya. Dan saat
berikutnya, sudah terdengar suara
jeritan-jeritan menyayat hati. Karena
lengan si wanita telah bergerak cepat
sekali dibarengi kelebatan tubuhnya.
Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari
Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh
ke tanah dengan berkelojotan meregang
nyawa. Tak berapa lama tiga manusia
itu sudah lepaskan nyawa masing-
masing, dan berkaparan ditanah dengan
bersimbah darah. Sesaat ketika asap
kabut mulai menipis kembali tubuh
wanita itu telah lenyap entah
kemana...
Terkejut Ginanjar dengan mata
terbelalak lebar. Seperti melihat
hantu saja layaknya. Kejadian itu
berlalu begitu cepat, sampai-sampai
pandangan matanya tak dapat mengikuti
kelebatan tubuh si wanita. Dan tahu-
tahu sudah lenyap.
Sejenak membuat Ginanjar jadi
terpaku. Akan tetapi tubuhnya sudah
berkelebat melompat menghampiri ketiga
mayat. Ketika memeriksanya, ternyata
pada masing-masing leher mereka
terdapat dua buah lubang sebesar jari
jari tangan. Tersentak dia seketika.
Hatinya berseru kagum, akan tetapi
juga ngeri. Karena dengan tangan
kosong saja si wanita itu telah
berhasil merobohkan ketiga lawannya.
Menandakan betapa tingginya ilmu si
wanita itu. Bahkan tadi dia telah
berhasil diselamatkan nyawanya oleh si
wanita misterius itu yang
mempergunakan sambitan dengan batu
kerikil.
Entah dimana suaranya, tahu-tahu
telah terdengar lapat-lapat suara
tertawa mengikik si wanita itu
dibarengi kata-kata...
"Hihihi... hihi... anak muda!
Segeralah kau bawa pulang gadismu itu!
Dia berada diujung jalan yang menuju
kehutan...!" Tentu saja kata-kata itu
membuat terkejut Ginanjar, karena
jelas ditujukan kepadanya. Aneh nya
suara itu seperti menyusup masuk
ketelinganya. Sesaat Ginanjar sudah
melompat dari situ, akan tetapi tiba-
tiba dia kembali putarkan tubuh ketika
teringat akan si kakek tua renta. Dan
kembali berkelebat ke arah reruntuhan
gedung tua... Sekejap dia sudah
berdiri dimuka pintu. Terbelalaklah
matanya melihat sosok tubuh sang kakek
yang sudah terkapar bersimbah darah
tanpa berkutik lagi.
"Hah!? kakek..!" Dia sudah
melompat menghampiri. Tercenung
seketika Ginanjar menatap mayat kakek
tua renta tanpa daksa yang telah tewas
dengan keadaan mengerikan itu. Tak
terasa sepasang matanya sudah berkaca-
kaca... Akan tetapi tak lama pemuda
itu sudah berkelebat tinggalkan
reruntuhan gedung tua itu.
* * * *
"Kasmini...!"
Berteriak Ginanjar dengan suara
parau, ketika melihat sesosok tubuh
tergeletak disisi jalan dengan keadaan
tubuh hampir telanjat bulat. Kerena
pakaiannya sudah robek-robek disana-
sini. Tak jauh dari tubuh gadis itu
terkapar sesosok tubuh laki-laki bre-
wok yang tak bernyawa lagi. Ternyata
tak lain dari laki-laki yang pernah
dihajarnya tadi dibelakang pasar.
Dipandanginya mayat laki-laki itu.
Segera Ginanjar teringat kejadian
tadi. Sekilas memang dia melihat suara
teriakan sang gadis, lalu melihat sang
dara ini dalam pondongan laki-laki.
Akan tetapi saat itu dia tengah
menghadapi terjangan-terjangan si
Empat Iblis Kali Progo yang mengancam
jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk
berbuat apa-apa selain bertarung
mempertahankan nyawanya....
Keadaan tubuh laki-laki brewok
itu amat mengerikan, karena tulang
dadanya remuk dan patah-patah mencuat
keluar. Sedangkan selangkangannya ber-
simbah darah. Terperangah seketika
Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar sudah
alihkan tatapannya pada gadis itu
lagi. "Kasmini..!" teriaknya lirih,
seraya guncang-guncangkan tubuh sang
gadis. Kasmini tampak membuka sepasang
matanya. Ketika melihat siapa yang
telah berada dihadapannya, segera saja
gadis itu berteriak girang seraya
memeluk pemuda itu dengan erat sambil
menangis terisak-isak.
"Sudahlah adik..! bahaya telah
lewat! kau telah selamat...!" Berkata
Ginanjar dengan wajah memerah, dan
jantungnya terasa bergetar karena
keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan
sedemikian rupa. Bahkan sepasang
payudaranya yang terbuka memutih padat
itu menekan erat ke dadanya.
"Kau... kau benahilah pakaianmu,
Kasmini...!" Ujar Ginanjar lirih,
seraya mendorong tubuh si gadis.
"Ahh...?" Tersentak sang gadis
itu ketika menyadari keadaan tubuhnya.
Segera dia beringsut untuk merapihkan
sobekan bajunya yang menyingkap
dadanya.
Sementara sepasang matanya telah
menatap ke arah sesosok mayat laki-
laki brewok yang dikenalnya. Segera
Kasmini teringat akan kejadian yang
menimpanya. "Oh, kaukah yang telah
menolongku, tuan muda..? Dan...
bagaimana dengan nasib kakekku..?"
Bertanya Kasmini seraya palingkan
wajah menatap Ginanjar. Pemuda ini
cuma tundukkan wajah sambil
menggeleng.
"Bukan aku yang telah
menolongmu..! Sayang, kakekmu yang
malang itu sudah tewas..!" Ujarnya
dengan suara lirih.
"Ah., kakek...!" Sentak sang
gadis dengan sepasang mata terbelalak.
Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan
air mata bercucuran.
"Kalau bukan kau yang menolongku,
lalu siapa kah...?" Tanya si gadis
tiba-tiba, yang segera menengadahkan
wajahnya menatap pada Ginanjar.
"Seorang wanita yang berilmu amat
tinggi...! Entah siapa aku tak
mengetahui...!" Sahut Ginanjar dengan
suara lirih, seraya bangkit berdiri
dan tatapkan matanya jauh ke arah
depan. Tercenung sang gadis tanpa
dapat berkata apa-apa. Desir angin
yang lewat ditempat itu menyibakkan
rambutnya. Dan Ginanjar masih berdiri
memandang jauh kearah sana, sementara
hatinya dilanda dengan berbagai macam
pertanyaan. Kemanakah gerangan wanita
itu ? Siapa-kah dia..? Suaranya amat
mirip dengan Roro, akan tetapi dia
bukan Roro! Karena aku masih ingat
betul pada raut wajahnya...! Bertanya
tanya hati si pemuda ini dengan
tatapan mata seperti tak berkedip.
Entah apa yang ditatapnya. Tapi yang
jelas wajah cantik saudara
seperguruannya itu yang berkelebatan
diruang matanya....
* * * *
Tahu-tahu sesosok tubuh telah
berkelebat ke hadapannya. Terkesiap
pemuda itu, karena sosok tubuh wanita
yang menolongnya telah berada ditempat
itu.
Hihihi... mengapa melamun anak
muda..? Gadismu itu amat cantik!
Mengapa tak kau bawa pulang..? Hari
sudah semakin senja! Pulanglah!
Ajaklah dia ke tempat tinggalmu. Dan
berilah perlindungan padanya..!"
Ujarnya, seraya berpaling menatap
Kasmini. "Jenazah kakekmu itu kulihat
sudah ada yang mengurusnya! Kau nona
manis tak perlu mengkhawatirkannya
lagi, dia sudah tenang di Alam
Baka...!" Ujar si wanita itu dengan
suara terdengar merdu. Cepat-cepat
Kasmini bangkit berdiri lalu menjura
seraya ucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Melihat mayat laki-
laki brewok itu dan keadaan dirinya
yang masih utuh serta penjelasan
Ginanjar, segera tahulah dia kalau
wanita inilah yang telah menye
lamatkannya dari bencana. Ginanjar pun
segera menjura hormat.
"Terima kasih atas bantuanmu,
nona Pendekar..! Bolehkan aku menge-
tahui siapa nama nona Pendekar...?"
Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati.
Sementara tatapan matanya tak lepas
memperhatikan wajah wanita itu.
"Hihihi... namaku..." Wanita itu
tak meneruskan kata-katanya, karena
lengannya sudah bergerak mengupas
kulit mukanya. Ternyata dia memakai
kulit muka palsu dari bahan karet yang
lunak dan tipis. Segera terpampang
seraut wajah yang cantik jelita...
"Roro..!" Teriak Ginanjar tiba-
tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah
membeliak menatapnya.
"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa
bilang aku Roro..? Kalau ditambahi
Centil barulah betul! Namaku memang
Roro Centil..!" Berkata gadis cantik
itu dengan tertawa mengikik merdu. Dan
sebelum Ginanjar sempat berkata apa-
apa, tubuh sang dara cantik itu sudah
berkelebat cepat. Sekejap saja sudah
lenyap dari hadapan mereka. Ginanjar
baru tersadar dari terperangahnya, dan
segera berkelebat mengejar.
"Rorooooo...! Rorooooooo...!"
Berteriak-teriak Ginanjar. Akan tetapi
tubuh sang gadis cantik itu sudah tak
kelihatan lagi. Pemuda ini kembali
berdiri terpaku menatap ke depan, lalu
tundukkan wajahnya. Setitik air bening
membersit turun dari sudut matanya.
Entah apa yang dirasakannya kini,
gembira ataukah bersedih…? Dia telah
berhasil menjumpai Roro. Akan tetapi
Roro yang telah muncul dihadapannya
sudah bukan Roro yang dulu lagi,
melainkan Roro Centil yang ilmunya
susah diukur tingginya...
Angin senja berhembus pelahan,
menyibak rambut didahi pemuda lereng
Rogojembangan itu. Ketika sepasang
lengan halus menggamit tangannya dan
mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru
tersadar. Sepasang kakinya pun be-
ranjak melangkah... Ditinggalkannya
tempat yang telah membawa kenangan itu
dengan hati masygul, akan tetapi bibir
sang pemuda telah sunggingkan se-
nyuman. Senyum yang amat trenyuh,
karena telah mengingat lagi akan
kisah-kisah indah yang lucu di air
terjun, di lereng Rogojembangan.
Sayup-sayup seperti ada terdengar
suara menyusup ke telinganya.
"Ginanjar..! kalau ada kesem-
patan, datanglah ke Pantai Selatan
tahun depan! Aku berada disana..! Oh,
ya... jagalah gadismu baik-baik...!"
T A M A T
0 komentar:
Posting Komentar