BTemplates.com

Blogroll

Rabu, 15 Januari 2025

DEWA ARAK EPISODE PERJALANAN MENANTANG MAUT


matjenuh

 

"Hhh...!" 

Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut 

wajahnya nampak menyiratkan kecemasan. 

Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi 

sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah 

orang yang duduk bersila di depannya. 

"Pulau Ular...," gumam Raja Bojong Gading pelan. 

"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang pemuda 

berambut putih keperakan. "Begitulah berita yang 

hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu." 

"Aku memang pemah mendengar cerita yang 

tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang 

penuh teka-teki," jelas Raja Bojong Gading lagi. "Kau 

tahu, di mana letaknya pulau itu?" 

"Hamba belum tahu, Gusti Prabu," sahut pemuda 

itu, yang ternyata Arya Buana atau Dewa Arak sambil 

menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan 

Ki Temula mengetahuinya." 

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih 

keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah 

tua di dekatnya. 

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba 

bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus, 

berpakaian kuning. 

Prabu Nalanda menoleh. Ditatapnya wajah kakek 

yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan 

Garuda Sakti. Perlahan kepalanya terangguk. 

"Silakan, Ki." 

"Begini, Gusti Prabu. Maaf, bukannya bermaksud


menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat 

hamba, lebih baik Arya mengurungkan maksudnya 

untuk pergi ke sana." 

"Mengapa, Ki?" tanya Dewa Arak. 

"Pulau Ular adalah sebuah pulau penuh teka-

teki dan berbahaya, Arya. Di sana penuh dengan 

tempat berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi 

racun di sekitarnya. Letaknya saja jarang orang yang 

tahu," jelas Ki Temula. 

"Tapi, kau kan tahu letak pulau itu, Ki?" Raja 

Bojong Gading yang mendahului bertanya. Terpaksa 

Arya menahan pertanyaan yang akan diajukan. 

"Kalau secara pasti, hamba tidak mengetahuinya, 

Gusti Prabu," sahut Ki Temula jujur. "Hamba hanya 

mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di 

Perguruan Garuda Sakti." 

Raja Bojong Gading mengangguk-anggukkan 

kepala. 

"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Pulau Ular 

itu, Ki?" pinta Arya, halus. 

Sebentar kakek berwajah tirus itu menghela napas 

berat. 

"Pulau itu berada di tengah Laut Hitam, Arya. Jadi 

untuk menuju ke sana, terlebih dulu kau harus 

mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata 

Ki Temula sambil menoleh ke arah Ki Julaga. 

Ki Julaga menganggukkan kepala pertanda 

membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa 

Arak, Patih Rantaka, dan beberapa orang anggota 

pasukan khusus yang berjaga-jaga di sekitar situ 

hanya diam mendengarkan. 

"Setelah menemukan Pantai Karang Hitam itu, kau 

harus berlayar terus ke arah Barat. Dan kalau salah 

arah, sampai kapan pun kau tak akan menemukan


pulau itu," sambung kakek berwajah tirus itu. 

Ki Temula menghentikan ceritanya sejenak untuk 

mengambil napas. Terpaksa semua orang yang 

berada di situ diam sambil menunggu kelanjutan 

ceritanya. Mereka semua sudah tidak sabar lagi 

untuk mendengar kelanjutan cerita mengenai Pulau 

Ular. Terutama sekali Arya. Maka tak ada seorang pun 

di antara mereka yang menyelak cerita Ki Temula. 

"Apabila menempuh arah yang benar, kau akan 

melalui tempat-tempat aneh," sambung kakek 

berwajah tirus itu. "Yang pertama kali akan kau 

temukan adalah air laut yang tidak lagi berwarna biru, 

tapi hitam! Ini adalah tanda pertama kalau kau telah 

menempuh jalan yang benar. Sampai di sini, udara 

telah mengandung racun ganas. Maka, kau harus 

hati-hati." 

"Ahhh...!" 

Terdengar seruan kaget dari mulut semua orang 

yang mendengarkan cerita itu. Sungguh tidak 

disangka kalau perjalanan menuju Pulau Ular itu 

melewati hal-hal yang aneh. Hanya Ki Julaga yang 

tidak menampakkan tanggapan apa-apa. Memang 

kakek bertubuh kecil kurus ini juga telah 

mengetahuinya. Sedangkan Arya, di samping terkejut 

juga mencatat semua yang diceritakan Ki Temula 

dalam benaknya. 

"Apabila kau telah melewati lautan yang airnya 

berwarna hitam, maka perlahan warna air itu semakin 

muda. Sampai akhirnya, kau akan bertemu air yang 

berwarna hijau. Tak jauh dari situ, kau akan 

menemukan sebuah pulau yang kalau dilihat dari 

atas, dari samping kanan, atau dari kejauhan, 

berbentuk memanjang dan meliuk-liuk mirip badan 

seekor ular. Itulah sebabnya, mengapa pulau itu


dinamakan Pulau Ular," tutur Ki Temula menutup 

ceritanya. 

Suasana menjadi hening sejenak ketika Ki Temula 

menghentikan ceirtanya. Mereka semua terpukau 

setelah mendengar cerita Pulau Ular. 

 "Mengerikan sekali." 

Ucapan Prabu Nalanda memecahkan keheningan 

yang menyelimuti tempat itu. Pelan saja suaranya, 

sehingga lebih mirip desahan. Tapi karena suasana 

saat itu hening, ucapan Raja Bojong Gading itu jadi 

terdengar jelas dan keras. 

"Begitulah keadaan pulau itu menurut yang hamba 

dengar, Gusti Prabu," tambah Ki Temula. 

"Kau pernah membuktikan kebenaran berita itu, 

Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu. 

Ki Temula menganggukkan kepala. 

"Dulu sewaktu aku masih muda dan berdarah 

panas sepertimu, Arya," sahut kakek berwajah tirus 

itu. "Dengan bermodalkan keberanian, aku pergi ke 

sana. Tapi baru saja tiba di lautan yang airnya 

berwarna hitam, aku telah jatuh pingsan. Untung saat 

itu aku membawa obat penawar racun. Kalau tidak, 

entah apa jadinya...?" 

Sampai di sini Ketua Perguruan Garuda Sakti itu 

menghentikan ceritanya. 

"Lalu bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda yang 

merasa tertarik. 

Wajah Ki Temula memerah mendengar pertanyaan 

itu. 

"Aku langsung kembali," jawab kakek berwajah 

tirus itu pada akhirnya, walau dengan rasa malu. "Aku 

tidak sudi mati konyol di tempat itu. Meskipun dengan 

perasaan penasaran, aku memaksakan diri untuk 

kembali. Tapi, lagi-lagi nasib sial menimpa diriku."


"Apa yang terjadi denganmu, Ki?" tanya Arya ketika 

mendapat kesempatan. 

"Aku tersesat, sehingga tidak menemukan jalan 

pulang. Berhari-hari lamanya aku terkatung-

katung di tengah lautan. Untunglah pada akhirnya 

aku berhasil menemukan sebuah pulau lain. Di sana, 

aku mendaratkan perahuku." 

"Lalu selanjutnya bagaimana, Ki?" selak Prabu 

Nalanda lagi. 

Rupanya Raja Bojong Gading ini merasa tertarik 

juga mendengar pengalaman yang dialami Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itu. 

"Pulau itu ternyata dihuni seorang pendekar sakti. 

Dia tinggal di situ untuk menjaga agar adik 

seperguruannya yang berwatak jahat tidak bisa 

meloloskan diri dari pulau itu. Sayang..., aku lupa 

nama pendekar itu. Tapi, kalau adik seperguruannya 

aku ingat" 

"Siapa namanya, Ki?" tanya Arya ingin tahu. 

Karena cerita yang didengarnya mirip cerita yang 

didapat dari seorang pendekar yang dikenalnya 

dalam perjalanan. 

"Kalau tidak salah... Sanca Mauk...," jawab Ki 

Temula dengan dahi berkernyit 

"Sanca Mauk...!" ulang Dewa Arak kaget. 

"Benar!" Ki Temula menganggukkan kepala. "Kau 

mengenalnya, Arya?" 

Perlahan-lahan kepala Arya terangguk. Kemudian 

diceritakan pertemuannya dengan tokoh yang 

bernama Sanca Mauk itu (Untuk jelasnya, baca serial 

Dewa Arak dalam episode "Pendekar Tangan Baja"). 

Ki Temula terdiam setelah Arya menyelesaikan 

ceritanya. 

"Mungkin benar, tokoh yang bernama Sanca Mauk


itu adalah orang yang diceritakan teman 

perjalananmu itu, Arya," kata Ketua Perguruan 

Garuda Sakti, akhirnya. 

Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Temula 

menghentikan ceritanya karena tidak ada lagi yang 

membuka suara. 

"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan 

mengenai pulau itu, Ki," ucap Arya memecahkan 

keheningan. 

"Hhh...!" Ki Temula menghela napas berat "Kalau 

menurut pendapatku, lebih baik niatmu diurungkan, 

Arya. Terlalu berbahaya! Belum lagi bahaya-bahaya 

lain yang tidak terduga." 

"Kuucapkan terima kasih atas semua nasihatmu, 

Ki," sahut Arya sambil menatap wajah Ki Temula 

penuh rasa terima kasih. "Tapi, tekadku telah bulat. 

Aku harus pergi ke sana, apa pun yang akan terjadi!" 

Ki Temula terdiam. Dia tahu tidak ada gunanya lagi 

menahan tekad Dewa Arak yang telah begitu bulat. 

"Kalau niatmu sudah begitu keras, aku hanya bisa 

mendoakan agar kau selamat, Arya," harap Ki 

Temula. 

"Terima kasih, Ki," ucap Arya tulus. 

"Kapan kau akan berangkat, Arya?" tanya Prabu 

Nalanda. 

"Sekarang juga, Gusti Prabu," sahut Arya mantap. 

"Hati-hati, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan 

Prabu Nalanda. 

Raja Bojong Gading ini diam-diam 

mengkhawatirkan keselamatan pemuda berambut 

putih keperakan itu, begitu mendengar cerita Ki 

Temula tentang Pulau Ular. Tapi dia tidak berusaha 

mencegah, karena memang Melati sangat 

membutuhkan pertolongan. Kalau tidak Dewa Arak,


siapa lagi orang yang pantas melakukan perjalanan 

menantang maut ke Pulau Ular? 

"Akan hamba perhatikan semua nasihat Gusti 

Prabu." 

Setelah berkata demikian, Arya bergegas bangkit. 

Tapi... 

"Sebentar, Arya...." 

Dewa Arak menoleh ke arah Ki Julaga, orang yang 

menyapanya. Tampak kakek bertubuh kecil kurus itu 

tengah berbincang-bincang dengan Eyang Sagapati, 

ahli obat Istana Kerajaan Bojong Gading. Entah apa 

yang dibicarakan mereka, Arya tidak tahu. Yang jelas, 

setelah minta izin pada Prabu Nalanda, kakek 

berpakaian coklat melangkah meninggalkan tempat 

itu. 

Tapi tak lama kemudian, Eyang Sagapati sudah 

kembali sambil membawa sebuah buntalan kain 

sebesar kepala manusia dewasa. Diberikan buntalan 

kain itu pada Dewa Arak. Sebentar laki-laki tua itu 

menerangkan pada Arya mengenai isi buntalan. Apa 

lagi kalau bukan tentang obat-obatan? 

Tak lama kemudian, Arya pun pamit. Tak lupa 

dikunjunginya Melati sebelum berangkat menuju 

Pulau Ular. 

*** 

Arya melakukan perjalanan dengan mengerahkan 

ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf 

kesempurnaan. Perjalanan dari Istana Kerajaan 

Bojong Gading menuju pantai memang amat jauh, 

dan harus menerobos hutan-hutan dan 

menyeberangi sungai-sungai. 

Sebenarnya Prabu Nalanda hendak memberi 

seekor kuda agar perjalanan Dewa Arak dapat lebih


cepat. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu 

menolaknya. Padahal dengan berkuda, Dewa Arak 

bisa menghemat tenaga. Tapi mengingat medan yang 

akan dilalui begitu berat, maka Arya terpaksa tidak 

bisa menerimanya. Banyak hutan lebat dan sungai 

yang menghalangi jalan, membuatnya harus memilih 

jalan kaki. 

Untuk menentukan arah Barat, bukan merupakan 

hal yang sulit. Sebab, ada petunjuk yang tidak 

mungkin salah. Matahari! Arya melakukan perjalanan 

dengan berpatokan pada bola api raksasa itu. 

Arya menempuh perjalanan seperti orang kurang 

waras. Dia hanya berhenti kalau kedua kakinya terasa 

sudah tidak sanggup lagi melangkah. Makan, 

dilakukannya kalau perutnya sudah benar-benar 

melilit. Tidur, dan minum pun demikian pula. Dewa 

Arak hanya tidur apabila sepasang matanya sudah 

tidak mampu dibuka lagi. Dan minum apabila rasa 

haus telah mencekik tenggorokan. 

Tak aneh bila dalam beberapa hari saja, tubuh 

Arya mulai susut. Wajahnya pun mulai memucat. 

Keadaannya sudah kurang terurus. Tapi, pemuda 

berambut putih keperakan ini sama sekali tidak 

mempedulikannya. Yang ada di benaknya hanya satu. 

Tiba di Pulau Ular secepat mungkin! 

Hari ini adalah hari ketujuh, sejak Dewa Arak 

meninggalkan Istana Kerajaan Bojong Gading. Bola 

api raksasa tepat di atas kepala. Sinarnya menyorot 

garang ke bumi ketika Arya tiba di mulut sebuah 

hutan. 

Dari cerita yang pernah didengarnya, Arya tahu ini 

adalah hutan terakhir yang akan dilewatinya. 

Sekeluarnya dari hutan ini, dia akan bertemu laut. 

Hutan ini memang kelihatan sepi-sepi saja. Apalagi


desa yang terdekat, cukup jauh juga dari hutan. Maka 

Arya pun tetap bersikap waspada. Dan memang 

begitulah sifat Dewa Arak. Tidak pernah 

meninggalkan sikap hati-hati dalam setiap 

langkahnya. 

Kalau melihat dari sikapnya, kewaspadaan Arya 

memang tak terlihat. Kakinya melangkah dengan 

sepasang mata menatap lurus ke depan. Wajahnya 

sama sekali tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Tapi 

sebenarnya, kedua telinganya dipasang tajam-tajam. 

Begitu terdengar suara yang mencurigakan, sekujur 

urat-urat syaraf di tubuhnya menegang penuh 

kewaspadaan. 

Mendadak Arya menghentikan langkah, ketika 

mendengar suara berdesing beberapa kali. Seketika 

itu juga kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Sesaat 

kemudian tubuh Dewa Arak sudah melambung ke 

udara. Dan pada saat yang bersamaan, beberapa 

batang anak panah menyambar, tapi lewat di bawah 

kakinya. 

Baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, 

dari balik kerimbunan semak dan pepohonan lebat, 

muncul dua sosok tubuh yang tiba-tiba sudah 

menghadang. 

Dua sosok itu sama-sama bertubuh kerdil. Paling-

paling tingginya hanya sepinggang Dewa Arak. Tapi 

raut wajah keduanya kasar dan penuh bulu. Tubuh 

masing-masing hanya terbungkus rompi berwarna 

hitam dan coklat. Dan yang lebih mengerikan lagi, 

ada taring tersembul di bagian kanan kiri mulut 

mereka. 

"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Arya 

hati-hati. 

Dewa Arak memang merasa agak heran menerima


serangan dari dua orang yang sama sekali tidak 

dikenalnya. Khawatir kalau kedua orang itu salah 

alamat. Arya lalu berusaha ramah. Suaranya dibuat 

lembut saat bertanya tadi. 

"Kami berjuluk Raksasa Kecil Hutan Gembrong. 

Namaku Jagakarsa," kata orang kerdil yang 

mengenakan rompi berwarna coklat, 

memperkenalkan diri. 

"Aku Jagatarsa," rekannya yang memakai rompi 

berwarna hitam menyambung. 

"Aku Arya," sambut Dewa Arak cepat. Lega sudah 

rasa hati Dewa Arak melihat sambutan yang ramah 

dari kedua orang itu. "Mengapa Kisanak berdua 

menyerangku?" 

"Ha ha ha...!" Jagakarsa tertawa bergelak. Suara 

tawanya terdengar keras menggelegar seperti 

halilintar. Jelas kalau suara itu disertai pengerahan 

tenaga dalam tinggi. 

Arya mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti 

mengapa laki-laki berompi coklat ini tertawa. Apakah 

ucapannya barusan begitu lucu? Tapi betapapun dia 

telah mengingat-ingat kembali ucapannya, tetap tidak 

ditemukannya hal-hal yang patut ditertawakan. 

"Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya 

Jagatarsa begitu Jagakarsa menyelesaikan tawanya. 

Arya tersenyum pahit. Sungguh tidak disangka 

kalau julukannya sudah tersebar begitu jauh. Bahkan 

sudah sampai di Hutan Gembrong ini. Diam-diam 

timbul perasaan tidak enak di hatinya. Biasanya kalau 

sudah begini, keributan pasti tidak akan bisa 

dihindari lagi. Dan inilah yang paling tidak disukai 

Dewa Arak! 

"Tidak bisa kupungkiri," sahut Arya pelan. "Akulah 

orangnya yang mendapat julukan yang rasanya terlalu


berlebihan itu." 

Mendadak seri di wajah Raksasa Kecil Hutan 

Gembrong lenyap. Wajah mereka berubah beringas. 

Ada ancaman maut yang tersirat di wajah kedua 

orang penguasa hutan itu. 

"Kalau begitu, kau harus mampus, Dewa Arak!" 

desis Jagakarsa tajam. Nada suaranya menyiratkan 

kemarahan dan kebencian yang mendalam. 

"Tepat!" sambung Jagatarsa. "Kau telah banyak 

merugikan orang-orang golongan kami! Meskipun 

sudah tidak ikut campur tangan lagi dalam mengacau 

dunia persilatan, tapi kami tidak suka rekan-rekan 

segolongan kami kau bantai!" 

"Hhh...!" 

Arya menghela napas berat Dia tahu pertarungan 

tidak bisa dihindari lagi. Kedua Raksasa Kecil Hutan 

Gembrong memang sudah tidak bisa disabarkan lagi. 

Memang, mereka telah terlampau dikuasai amarah. 

"Haaat..!" 

Sambil berteriak nyaring, Jagakarsa melakukan 

lompatan harimau, menyerang Dewa Arak. 

Kekuatannya dipusatkan pada punggung bagian atas. 

Kemudian, tubuhnya bergulingan mendekati Arya. 

Dan begitu telah dekat, dia langsung bangkit sambil 

melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah ulu hati 

dan dada Dewa Arak, dengan kedua tangan 

mengembang membentuk cakar. Suara mendecit 

nyaring dari udara yang terobek, terdengar mengiringi 

serangan itu. 

Cepat bukan main gerakan laki-laki berompi coklat 

itu. Semua peristiwa itu terjadi dalam sekejap mata 

saja. Dan tahu-tahu, kedua cakar Jagakarsa telah 

mengancam ulu hati dan dada Dewa Arak. 

Cepat gerakan Jagakarsa, tapi masih lebih cepat


lagi gerakan Dewa Arak. Kaki kanan pemuda 

berambut putih keperakan itu segera melangkah ke 

belakang. Sehingga, semua serangan itu hanya lewat 

sekitar sejengkal di depannya. 

Belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu, 

Jagakarsa telah melancarkan serangan susulan. Kini 

kaki kanannya bergerak menyapu. 

Wuttt..! 

Deru angin keras mengawali tibanya serangan 

sapuan kaki itu. Kelihatannya sapuan kaki itu tidak 

bisa dianggap ringan. Jangankan kaki manusia, 

batang pohon keras sebesar dua pelukan tangan 

orang dewasa saja akan tumbang bila terkena. 

Mendadak sekali tibanya serangan susulan itu. 

Tapi lawan yang diserangnya adalah Dewa Arak, 

seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian 

amat tinggi! Maka tidak begitu sulit bagi Dewa Arak 

untuk nengelakkan serangan itu. Kedua lututnya 

sedikit saja ditekuk, lalu bergerak menggenjot. Sesaat 

kemudian tubuh pemuda berambut putih keperakan 

itu meletik ke atas. Hasilnya, sapuan Jagakarsa 

mengenai tempat kosong. 

Melihat kesungguhan serangan lawan, Dewa Arak 

tidak berani bersikap main-main lagi. Maka sambil 

nelompat ke atas, tangan kanan Dewa Arak dengan 

jari-jari membentuk cakar meluncur deras ke arah 

kepala laki-laki berompi coklat itu. Arya menggunakan 

ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau'. 

Jagakarsa terperanjat begitu melihat lawannya. 

Dewa Arak bisa merubah keadaan, dari terancam 

menjadi mengancam. Bahkan dengan serangan 

serangan maut! Dari suara mendecit nyaring, bisa 

diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang


terkandung dalam serangan itu. 

Jagakarsa adalah orang yang terlalu yakin akan 

kemampuan diri sendiri. Maka begitu mendapat 

serangan maut itu, sama sekali tidak dielakkannya. 

Bahkan sebaliknya malah dipapaknya. Laki-laki 

berompi coklat ini mengerahkan seluruh tenaganya 

dalam tangkisan itu. Maksudnya memang ingin 

mematahkan kedua tangan Dewa Arak dengan sekali 

tangkis. 

Plak, plak, plakkk...! 

Suara benturan keras terdengar berkali-kali ketika 

dua pasang tangan yang sama-sama mengandung 

tenaga dalam tinggi berbenturan. 

Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak yang berada di 

udara, terpental kembali ke atas, Jagakarsa yang 

berada di tanah, jatuh terpelanting. 

Namun berkat kelihaian masing-masing, tidak sulit 

bagi kedua orang itu untuk segera memperbaiki 

sikap. Tepat saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di 

tanah, Jagakarsa pun berhasil memperbaiki sikapnya. 

Tapi wajahnya tidak tenang seperti sebelumnya. 

Tampak ada seringai kesakitan yang tergambar di 

wajahnya. Memang, laki-laki berompi coklat ini 

merasa kan sakit pada kedua tangannya ketika 

berbenturan dengan kedua tangan Arya. Bukan hanya 

itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main. 

Jagakarsa menggeram. Hatinya merasa marah dan 

penasaran bukan main. Dan kini perasaan tidak 

percaya bergayut di benaknya. Mungkinkah pemuda 

berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam 

yang melebihinya? 

"Mustahil! Tidak mungkin!" bantah Jagakarsa 

dalam hati. "Pasti ada kekeliruan di sini! Mungkin dia 

tadi hanya mengerahkan sebagian dari tenaga


dalamnya!" 

Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut. 

Jagatarsa pun terperanjat melihat hasil benturan yang 

terjadi. Meskipun tidak mengetahui apa yang 

dirasakan Jagakarsa, tapi laki-laki berompi hitam ini 

tahu kalau dalam benturan itu Dewa Arak lebih 

unggul! 

"Haaat..!" 

Jagakarsa yang merasa penasaran, kembali 

menyerang. Seluruh kemampuannya dikerahkan, 

karena sadar kalau lawan yang dihadapinya memiliki 

kepandaian tinggi. Tidak ada gunanya lagi bersikap 

setengah-setengah. Dan memang, sejak tadi laki-laki 

berompi coklat ini tidak bertindak setengah-setengah. 

Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua 

orang itu pun terjadi. Tapi, meskipun tahu kalau 

lawan yang dihadapinya lihai, Dewa Arak tidak 

mengeluarkan ilmu andalannya. Yang dipakainya 

justru malah ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau'.


Pertarungan yang terjadi memang luar biasa. Suara 

mendecit, menderu, dan mengaung ikut menyemaraki 

pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Daun-

daun berguguran dari pohonnya. Beberapa batang 

pohon tumbang, terkena angin serangan pukulan 

nyasar. 

Semula pertarungan memang berlangsung 

imbang. Keduanya saling serang bergantian. Tapi 

begitu memasuki jurus ke tiga puluh lima, mulai 

tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu 'Delapan Cara 

Menaklukkan Harimau', memang bukan ilmu 

sembarangan. Karena terlalu menitikberatkan pada 

bagian penyerangan. Sehingga tidak aneh kalau 

Jagakarsa terdesak. 

Jagakarsa menggigit bibir, menahan rasa geram 

dan malu yang mendera. Sungguh tidak disangka 

kalau lawan yang dihadapinya benar-benar memiliki 

kepandaian luar biasa! Baik dalam hal ilmu 

meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu 

ilmu silat. 

Semakin lama keadaan Jagakarsa semakin 

terjepit. Serangan demi serangan yang semula susul-

menyusul, dan silih berganti menghujani Arya, kini 

tidak terlihat lagi. Sedikit demi sedikit, serangan yang 

dilakukannya mulai berkurang, dan lebih banyak 

menangkis serta mengelak. Tapi, karena menangkis 

pun menimbulkan akibat yang merugikan, laki-laki 

berompi coklat ini lebih banyak mengelak. 

Arya dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan


Harimau'nya, terus mendesak. Sama sekali lawan 

tidak diberi kesempatan sedikit pun, sehingga 

memaksa Jagakarsa terus bertarung mundur. 

Jagatarsa mengerutkan alis melihat keadaan 

rekannya. Dia tahu kalau Jagakarsa terdesak. Dan 

menurut penilaiannya, tidak sampai dua puluh jurus 

lagi rekannya itu akan roboh di tangan Dewa Arak. 

Keadaan Jagakarsa memang sudah sangat 

mengkhawatirkan. Kini, laki-laki berompi coklat itu 

tidak mampu lagi balas menyerang. Yang 

dilakukannya hanyalah mengelak terus. Itu pun 

dilakukan dengan susah payah! Beberapa kali terlihat 

dia terpontang-panting sewaktu mengelakkan 

serangan Dewa Arak. 

"Haaat..!" 

Sambil berseru keras, Arya melompat menerjang 

Jagakarsa. Tangan kanan pemuda berambut putih 

keperakan itu menyampok deras ke arah pelipis. 

Sementara tangan kiri terpalang di depan dada. 

Suara mendecit nyaring, mengiringi tibanya serangan 

Dewa Arak. 

Jagakarsa terperanjat. Tibanya serangan itu pada 

saat sikapnya tengah dalam keadaan tidak 

memungkinkan. Dia baru saja mengelakkan sebuah 

serangan, dan belum sempat memperbaiki sikap. 

Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut. 

Jagatarsa pun demikian pula. Hati laki-laki berompi 

hitam itu tercekat saat melihat bahaya maut akan 

mengancam rekannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, 

dia segera melompat menerjang. Diburunya Dewa 

Arak yang tengah melancarkan serangan. Jari-jari 

kedua tangannya menegang lurus kaku, dan 

menusuk bertubi-tubi ke arah punggung dan belakang 

kepala pemuda berambut putih keperakan itu.


Dewa Arak merasakan adanya desiran angin di 

belakangnya. Jelas, dia tahu kalau serangan maut 

yang datang mengancam. Tapi, dia tidak 

mempedulikannya. Serangannya pada Jagakarsa 

terus saja dilanjutkan. 

Jagakarsa melihat ancaman maut yang menuju ke 

arahnya, tentu saja tidak sudi nyawanya yang hanya 

selembar ini melayang. Padahal saat itu keadaannya 

benar-benar terjepit. Maka dengan sebisa-bisanya dia 

berusaha mengelak. Sambil mendoyongkan tubuh, 

kakinya melangkah ke belakang. 

Prattt..! 

Sampokan tangan Dewa Arak telak mengenai 

pangkal lengan kiri Jagakarsa. Terdengar suara 

gemeretak dari tulang-tulang yang retak. 

Bukan hanya itu saja. Kulit dan daging laki-laki 

berompi coklat itu pun terkelupas. Seketika, darah 

segar mengalir keluar dari bagian tubuh yang terluka. 

Memang telak dan keras sekali sampokan Dewa Arak. 

Jagakarsa menyeringai menahan rasa sakit yang 

melanda. Meskipun begitu, laki-laki berompi coklat ini 

patut bersyukur. Karena sungguhpun tidak dapat 

dikatakan berhasil, tapi yang jelas dirinya selamat. 

Sementara itu, serangan Jagatarsa semakin 

mendekati Dewa Arak. Hal ini menguntungkan 

Jagakarsa. Sebab bukan tidak mungkin dia sudah 

tewas oleh Arya yang sudah siap mengirimkan 

serangan susulan dengan sabetan tangan kirinya. 

Dewa Arak segera melentingkan tubuhnya, 

menghindari serangan Jagatarsa. Kaki pemuda 

berambut putih keperakan itu langsung mendarat di 

tanah, membelakangi Jagatarsa. Kemudian, kembali 

kakinya dijejakkan ke tanah, lalu tubuhnya 

melambung. Dia membuat putaran beberapa kali di


udara, kemudian hinggap di tanah kembali. Dan 

secepat pemuda berambut putih keperakan ini 

hinggap di tanah, secepat itu pula tubuhnya 

dibalikkan. Kini Dewa Arak bersiap menghadapi 

serangan kembali. 

Tapi ternyata Dewa Arak terkecoh. Ternyata sama 

sekali tidak terlihat seorang pun di sekitar situ. 

Rupanya, begitu melihat Arya menjauhkan diri, 

Jagakarsa dan Jagatarsa segera melesat kabur. 

Hanya dalam sekejap saja, tubuh kedua orang itu tak 

tampak lagi. Mereka hilang ditelan kerimbunan 

pepohonan dan semak-semak lebat. 

 "Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas lega, dan sama sekali 

tidak berusaha mengejar. Kepalanya ditundukkan ke 

bawah, sedangkan kedua tangan menutupi wajahnya. 

Napasnya ditarik dan dikeluarkan berulang-ulang, 

untuk menenangkan hatinya. 

Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini 

merasa bersyukur melihat lawannya berhasil 

menyelamatkan diri. Sebab kalau sampai tewas di 

tangannya, Arya akan menyesal bukan kepalang. 

Memang belakangan ini, Dewa Arak hampir tidak bisa 

mengendalikan diri. Apalagi bila bertemu tokoh 

golongan hitam. Dia mudah sekali menurunkan 

tangan jahat. Apalagi bila ingatannya langsung 

melayang pada Melati yang tergolek lemah dan 

menderita akibat kekejian tokoh golongan hitam. 

Itulah sebabnya, Arya hampir lupa diri begitu melihat 

sikap telengas Jagakarsa. Hampir-hampir saja dia 

membunuhnya. 

Perlahan Dewa Arak menurunkan kedua 

tangannya dari wajah. Mulutnya menghembuskan 

napas kuat-kuat. Pemuda itu berharap, semoga


dengan berlaku seperti itu, sisa rasa sesal yang 

bergayut di hatinya segera lenyap. 

Setelah memperhatikan sesaat keadaan 

sekitarnya, Dewa Arak lalu melangkah meninggalkan 

tempat yang telah porak poranda itu. Ada sedikit 

perasaan bingung di hati Arya. Mengapa kedua orang 

itu kabur? Mengapa tidak mencoba mengeroyoknya? 

Sama sekali pemuda berambut putih keperakan itu 

tidak tahu terhadap sikap Raksasa Kecil Hutan 

Gembrong. Pantang bagi kedua tokoh sakti itu untuk 

mengeroyok lawan. Apalagi lawan yang masih muda 

seperti Arya! Itulah sebabnya, mengapa mereka 

melarikan diri setelah Jagakarsa dikalahkan. 

*** 

Setelah beberapa kali menguak kerimbunan 

semak-semak dan pepohonan, akhirnya Dewa Arak 

tiba di tempat yang dituju. Pria kini telah berdiri di 

atas tebing tinggi. Di bawahnya, dalam jarak tak 

kurang dari lima belas tombak, membentang lautan. 

Untuk beberapa saat lamanya, pandangan Arya 

terpaku pada lautan yang terhampar di bawahnya. 

Kemudian pandangannya dialihkan ke depan, ke arah 

Barat. Dia berharap, barangkali saja dari tempat 

ketinggian ini Pulau Ular dapat terlihat. 

Tapi, rupanya hanya kekecewaan saja yang 

didapat Dewa Arak. Sejauh mata memandang, yang 

terlihat hanya air. Memang ada beberapa pulau yang 

nampak kebiruan jauh di depannya. Tapi, letaknya 

lebih condong ke Utara dan Selatan. Sementara ke 

arah Barat sama sekali tidak terlihat apa-apa. 

Arya menyipitkan matanya untuk memperjelas 

pandangan. Tapi tetap saja pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak melihat apa pun. Kalau saja ada



orang yang kebetulan melihat sepasang mata Arya, 

tentu akan bergidik ngeri. Sepasang mata itu 

mencorong tajam dan berwarna kehijauan, tak 

ubahnya mata seekor harimau dalam gelap! 

Sesaat kemudian, Dewa Arak kembali 

mengalihkan perhatian ke bawahnya. Dahinya 

berkernyit, memikirkan apa yang harus dilakukan. 

Permukaan air laut itu tampaknya terlalu tinggi 

jaraknya dari tebing tempatnya berdiri. Sepertinya 

tidak mungkin baginya untuk melompat ke sana. 

Apalagi, permukaan air di bawah sana selalu bergolak 

dan bergelombang keras. Betapapun hebat 

kepandaiannya, merupakan suatu hal yang mustahil 

untuk bisa turun ke sana. 

Beberapa saat lamanya Dewa Arak bersikap 

seperti itu. Dia terus berdiri menatap ke permukaan 

air laut dengan dahi berkernyit dalam. Jelas kalau 

pemuda berambut putih keperakan ini tengah 

berpikir. 

Tak lama kemudian, kernyit pada dahi Dewa Arak 

lenyap. Sepasang matanya tampak bersinar-sinar. 

Jelas ada sesuatu yang menggembirakan hatinya. 

Kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini 

melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali 

gerakannya. Sehingga, yang tampak hanyalah 

sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat dan 

kemudian lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan 

semak-semak lebat. 

Hanya sebentar saja pemuda berambut putih 

keperakan ini pergi meninggalkan tempat itu, dan kini 

dia telah kembali. Dan di tangannya, telah terpegang 

dua lembar papan yang tidak begitu tebal, dan 

segulung tali. 

Papan itu tidak begitu lebar, berbentuk persegi


panjang. Lebarnya tidak sampai sejengkal, tapi 

panjangnya lebih dari sejengkal. 

Arya meletakkan kedua papan itu di bawah kedua 

alas kakinya, kemudian mengikatkannya ke kaki. 

Pemuda berambut putih keperakan itu kembali 

memeriksa ikatan, untuk meyakinkan kalau kedua 

papan itu telah terikat erat pada kakinya. 

"Hih...!" 

Sambil menggertakkan gigi, Arya menggenjotkan 

kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melayang ke 

atas. Tidak begitu tinggi, karena Dewa Arak memang 

tidak bermaksud demikian. 

Dan begitu daya yang membuat tubuhnya 

melambung ke atas habis, tubuh Arya melayang turun 

ke bawah. Dia kini meluncur ke permukaan air laut 

yang bergolak di bawahnya! 

Beberapa kali tubuh Dewa Arak berputaran di 

udara. Dan itu memang disengaja. Karena dengan 

begitu, luncuran tubuhnya jadi tidak terlampau cepat 

dan deras. 

Pyarrr...! 

Air laut memercik tinggi ke atas ketika kedua kaki 

Dewa Arak hinggap di sana. Itu pun tidak mantap, 

karena Arya sempat sempoyongan! Tapi hal itu hanya 

berlangsung sesaat saja. Berkat ilmu meringankan 

tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, 

Dewa Arak mampu memperbaiki sikapnya. 

Kini dengan mempergunakan kedua papan pada 

alas kakinya, Dewa Arak mulai mengarungi lautan. 

Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk 

melakukannya. Mengarungi lautan dengan 

menggunakan dua bilah papan ini membutuhkan ilmu 

meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf 

kesempurnaan.


Dengan adanya alat bantu ini, Arya kini dapat 

dengan enaknya berlari-lari di lautan. Meskipun 

begitu, tetap saja bila dibandingkan kecepatan larinya 

di darat, kecepatannya merosot jauh. Namun, 

setidak-tidaknya masih lebih cepat daripada laju 

perahu! 

Beberapa kali Dewa Arak terpaksa harus 

melompat ketika ada ombak besar yang menyerbu ke 

arahnya. Indah dan manis sekali gerakannya ketika 

bersalto di udara untuk kemudian mendarat di 

permukaan air laut kembali. 

Dengan mengambil patokan pada matahari, tidak 

sulit bagi Dewa Arak untuk menuju arah Barat. Dia 

tidak memikirkan apa-apa lagi. Yang ada di benaknya 

hanya satu, tiba di Pulau Ular secepat mungkin. 

Perlahan matahari mulai tenggelam ke Barat. Dan 

kegelapan pun berangsur-angsur mulai menyelimuti 

bumi. Dan seiring mulai gelapnya suasana, 

kecemasan pun mulai menjalari hati Arya. 

Dewa Arak sadar, tidak mungkin untuk terus 

melakukan perjalanan dengan dua bilah papan ini. 

Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan malam 

pun datang menjelang. Rasanya sulit untuk terus 

melakukan perjalanan. Karena di samping tidak 

adanya lagi patokan menuju ke arah yang ditempuh, 

juga Dewa Arak butuh beristirahat. Maka harus 

dicarinya sebuah pulau terdekat untuk mendarat dan 

beristirahat. Kalau memungkinkan, dia pun akan 

membuat sebuah rakit. 

Itulah sebabnya maka Arya mengedarkan 

pandangan ke sekitarnya, mencari-cari pulau terdekat 

untuk disinggahi. Untung tak jauh darinya, agak ke 

Selatan sedikit, tampak sebuah dataran 

membentang. Maka bergegas pemuda berambut


putih keperakan ini menuju ke sana. 

Lincah dan gesit, seperti berjalan di atas 

permukaan air, Dewa Arak bergerak menuju ke pulau 

itu. Semakin lama, semakin jelas terlihat dataran itu. 

Ternyata, itu sebuah pulau kecil. 

"Hih...!" 

Dewa Arak menggenjotkan kedua kakinya seperti 

layaknya menggenjot di tanah. Sesaat kemudian 

tubuhnya melambung, lalu bersalto beberapa kali di 

udara. Kemudian kakinya mendarat di pinggir pantai. 

Arya mengamati keadaan sekeliling pulau itu 

sejenak, baru kemudian melepaskan kedua papan 

yang terikat pada kedua telapak kakinya. Kemudian 

ditaruhnya di tempat yang aman. 

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas lega. 

Kembali sepasang mata Dewa Arak beredar 

berkeliling mengamati keadaan sekitar. Dalam 

keremangan suasana malam yang hanya diterangi 

sinar bulan di langit, cukup jelas terlihat keadaan 

pulau kecil yang disinggahinya ini. 

Pulau itu ternyata adalah sebuah pulau gersang. 

Tidak nampak adanya pepohonan yang tumbuh. Yang 

terlihat hanyalah pohon nyiur. Itu pun hanya beberapa 

saja. Di sana-sini lebih banyak berserakan batu-

batuan belaka. 

Setelah merasa cukup memperhatikan keadaan 

pulau itu, perhatian Dewa Arak dialihkan ke lautan 

lepas. Mendadak sepasang mata Arya terbelalak. Di 

kejauhan, tampak bergerak sebuah perahu besar 

yang menuju ke arahnya. 

Arya menyipitkan matanya untuk lebih 

memperjelas pandangan. Memang benda itu adalah 

sebuah perahu besar yang jelas-jelas menuju ke 

pulau yang disinggahinya. Berdebar jantung Dewa


Arak seketika. Milik siapa kah perahu besar itu? Dan 

mengapa menuju ke tempat ini? 

Wajah Dewa Arak seketika berubah saat melihat 

kain lebar yang berkibar angkuh di ujung tiang kapal 

layar itu. Kain itu berwarna hitam kelam. Tapi bukan 

itu yang membuat pemuda berambut putih keperakan 

ini terkejut. Melainkan gambar yang tertera di kain 

hitam itu. Di kain hitam itu tertera gambar tengkorak 

bagian kepala yang di bawahnya dibubuhi gambar 

tulang yang bersilangan. Semua gambar itu berwarna 

putih. Tampak pas sekali dengan warna hitam yang 

menjadi latar belakangnya. 

Arya terperanjat. Dari cerita yang pernah 

didengarnya, memang telah diketahui kalau di sekitar 

lautan ini telah mengganas segerombolan bajak laut 

yang menamakan diri, Pasukan Tengkorak Laut. 

Gerombolan bajak laut itu senantiasa mengganas, 

merampok pedagang-pedagang besar yang tengah 

membawa hasil niaganya untuk dijual ke kerajaan 

lain. 

Dewa Arak memang sudah mendengar kalau 

penguasa Kerajaan Pasugihan telah memerintahkan 

pasukannya untuk membasmi para bajak laut itu, tapi 

selalu berakhir dengan kegagalan. 

Kini tanpa disengaja Dewa Arak bertemu 

gerombolan bajak laut itu. Karuan saja hal ini 

membuat pemuda berambut putih keperakan itu 

menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya 

beredar liar mengamati sekeliling, mencari-cari 

tempat bersembunyi. Tapi seperti yang tadi dilihat, 

tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri di situ, 

kecuali agak jauh di sana. Tampak olehnya gundukan 

tanah yang mirip sebuah bukit. Tanpa membuang-

buang waktu lagi, segera Dewa Arak melesat ke arah


sana. 

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang 

sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sekejap 

saja Dewa Arak telah berada dalam jarak sekitar tiga 

tombak dengan bukit itu. 

Arya mencari-cari dengan pandangan matanya. 

Lega hatinya tatkala melihat sebuah gua di salah satu 

dinding bukit itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Dewa Arak segera memasukinya. 

Gua itu ternyata hanya kecil di luarnya saja. 

Semakin masuk ke dalam, semakin besar dan luas. 

Anehnya lagi, gua itu ternyata cukup terang. Diam-

diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa 

sedikit heran. 

"Dari mana asal timbulnya sinar itu?" tanya Arya 

dalam hati. 

Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau bagian 

atas gua itu mampu menyerap sinar matahari yang 

memancar di waktu siang. Dan baru setelah malam 

hari, sinar yang terserap itu dipancarkan kembali. Jadi 

bagian atap gua itu mirip bulan. Yang memancarkan 

sinar karena mendapat pancaran sinar dari matahari. 

*** 

Semakin melangkah masuk ke dalam, semakin 

takjub hati Arya. Gua ini ternyata luas bukan main. 

Luas, terang, dan banyak memiliki ruangan. Tapi 

sama sekali semua itu tidak dipedulikannya. Kakinya 

terus melangkah masuk semakin ke dalam. 

Arya terperanjat ketika pandangan matanya 

tertumbuk pada sebuah ruang gua yang memiliki 

jeruji baja bulat, tebal, dan kokoh. Tanpa berpikir 

lebih jauh lagi, Arya sudah bisa mengetahui kalau 

jeruji besi itu dibuat orang. Jadi, tidak terjadi secara


alami seperti layaknya gua ini. Dugaannya, gua ini 

pasti ada penghuninya! Dan orang yang berada di 

dalam ruangan berjeruji itu pasti tahanan penghuni 

gua! Begitu kesimpulan yang didapat Arya. 

Seketika itu juga kewaspadaan Dewa Arak 

semakin bertambah. Ada rasa tidak enak dalam 

hatinya begitu mengingat gua itu memiliki penghuni. 

Tapi perasaan tidak enak itu buru-buru dilenyapkan. 

Akhirnya, Arya memasuki gua ini. Maksudnya untuk 

menghindari terjadinya pertemuan dengan para bajak 

laut. 

Tapi, mendadak hati Arya tercekat begitu teringat 

akan bajak laut itu. Seketika itu juga timbul dugaan 

dalam hatinya. Jangan-jangan, para bajak laut itu 

adalah penghuni gua ini! 

Dugaan itu membuat Arya menghentikan 

langkahnya sejenak. Sesaat lamanya pemuda 

berambut putih keperakan ini bimbang. Antara 

meneruskan langkah, atau kembali ke luar. 

Tapi perasaan ingin tahu terhadap orang yang 

terkurung dalam ruang berjeruji itu, memaksa Dewa 

Arak untuk terus melanjutkan langkahnya. Dia ingin 

tahu, siapakah orang yang terkurung itu. Jika orang 

itu baik, merupakan kewajiban baginya untuk 

menolong. 

Hanya beberapa langkah saja, Arya telah berada di 

depan ruangan gua yang berjeruji itu. Pandangannya 

langsung beredar ke dalam. 

*** 

Ruang tahanan itu tidak begitu luas. Ukurannya 

paling luas hanya satu setengah tombak kali satu 

setengah tombak. Di dalamnya, tampak seorang laki


laki berkumis dan berjenggot rapi tengah bersandar 

pada dinding gua. Kedua tangan dan kakinya 

terbelenggu rantai baja tebal dan kuat yang tertanam 

di dinding. 

Hati Arya agak tercekat begitu melihat pakaian 

yang dikenakan orang itu. Dia mengenakan pakaian 

seragam kerajaan! 

Bukan hanya Arya saja yang memperhatikan. 

Ternyata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu 

pun menoleh pula. Matanya menatap ke arah Dewa 

Arak dengan dahi berkernyit. 

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya laki-laki ber-

pakaian seragam kerajaan seraya merayapi sekujur 

tubuh Arya. "Apakah kau juga anggota gerombolan 

bajak laut itu?" 

Kini jelas bagi Dewa Arak kalau dugaannya tadi 

benar. Pemilik gua ini adalah gerombolan bajak laut. 

Dan sudah pasti gerombolan bajak laut yang tadi 

dilihatnya. 

"Bukan," Arya menggelengkan kepala. 

"Lalu, mengapa kau berada di sini?" tanya laki-

laki berkumis dan berjenggot rapi itu lagi. 

"Aku terdampar di pulau ini, dan mencari tempat 

untuk melewatkan malam tanpa kedinginan. Untung 

gua ini kutemukan," sahut Arya sedikit berbohong. 

"Kalau begitu, cepat tinggalkan tempat ini, Anak 

Muda...!" seru laki-laki berpakaian seragam kerajaan 

itu. Nada suara dan sorot matanya menyiratkan 

kekhawatiran. "Cepat sebelum para bajak laut itu 

kembali dan menjumpaimu...!" 

"Lalu, kau sendiri bagaimana, Paman?" 

"Jangan pedulikan aku! Aku Gorawangsa, seorang 

panglima kerajaan! Adalah merupakan hal yang biasa 

bagi seorang prajurit untuk mati!" sahut laki-laki


berpakaian seragam kerajaan yang ternyata bernama 

Panglima Gorawangsa itu. Tegas dan mantap 

ucapannya. 

Seketika perasaan kagum timbul dalam hati Dewa 

Arak. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi yang 

mengaku panglima kerajaan ini sudah bisa dipastikan 

orang baik-baik. Dalam keadaan tertawan begitu, dia 

masih mementingkan nasib orang lain. 

"Lalu bagaimana kau bisa ditawan mereka, 

Panglima?" tanya Arya ingin tahu. 

Pemuda berambut putih keperakan itu kini 

memanggil laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu 

dengan panggilan jabatannya, bukan panggilan 

kekerabatan. 

"Aku diperintah Gusti Prabu Lindu Pasing untuk 

menumpas gerombolan bajak laut yang menamakan 

dirinya Pasukan Tengkorak Laut. Tapi sayang, lawan 

terlalu kuat. Semua anak buahku tewas. Sementara 

aku sendiri ditawan mereka." 

Arya mengangguk. Dari cerita yang didengarnya, 

dia tahu kalau Prabu Lindu Pasing adalah Raja 

Kerajaan Pasugihan. 

"Kau..., mengapa masih berada di sini, Anak 

Muda?" tegur Panglima Gorawangsa lagi. "Cepat pergi 

sebelum terlambat!" 

Arya menggelengkan kepala. 

"Kau tidak mau meninggalkan tempat ini?" 

sepasang mata Panglima Gorawangsa terbelalak. 

"Kau akan menyesal, Anak Muda! Mereka kejam dan 

bengis! Cepat menyingkir sebelum mereka kembali!" 

"Aku memang akan meninggalkan tempat ini, 

Panglima...." 

"Itu bagus!" potong laki-laki berkumis dan 

berjenggot rapi itu. Tak dipedulikannya ucapan Dewa


Arak yang belum selesai. "Cepatlah tinggalkan tempat 

ini!" 

"Tapi tidak sendiri...," sambung Arya. 

"Maksudmu...?" agak terbata-bata ucapan yang 

keluar dari mulut Panglima Gorawangsa. 

"Ya!" Arya menganggukkan kepalanya. "Aku akan 

meninggalkan tempat ini, tapi bersamamu, Panglima." 

"Bagaimana mungkin, Anak Muda," lesu dan putus 

asa suara yang keluar dari mulut laki-laki berkumis 

dan berjenggot rapi itu. "Belenggu ini sangat kuat. Aku 

tidak mampu mematahkannya..., dan...." 

Ucapan Panglima Gorawangsa terhenti ketika 

melihat Arya menggenggamkan jemari tangannya 

pada dua batang jeruji baja itu. Dan sekali pemuda 

berambut putih keperakan itu menarik, batang-

batang jeruji baja itu membengkok. Sekejap 

kemudian, terbuat sebuah jalan bagi Dewa Arak 

untuk melangkah masuk ke dalam ruang tahanan itu. 

"Kau..., kau mampu melakukannya, Anak Muda...?" 

Meskipun dengan agak terputus-putus, Panglima 

Gorawangsa berhasil juga menyelesaikan kata-

katanya. Sungguh sukar dipercaya, baja sebesar itu 

mampu dibengkokkan Arya dengan begitu mudahnya. 

Tak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berpakaian 

ungu itu mengerahkan tenaga dalam. 

Dewa Arak hanya tersenyum saja. Sama sekali 

tidak disahutinya ucapan Panglima Kerajaan 

Pasugihan itu. Perlahan kakinya melangkah men-

dekati tubuh Panglima Gorawangsa. Lalu tangannya 

diulurkan ke arah belenggu baja yang memborgol 

pergelangan tangan dan kaki laki-laki berkumis dan 

berjenggot rapi itu. 

Krakkk...! 

Suara berderak keras terdengar empat kali ketika


Dewa Arak mengerahkan tenaganya untuk membetot. 

Empat buah belenggu baja itu putus seketika. 

"Luar biasa...!" puji Panglima Gorawangsa dengan 

sepasang mata terbelalak. "Kau benar-benar mampu 

melakukannya, Anak Muda?! Ahhh...! Sulit 

dipercaya...!" 

Sambil berkata demikian, Panglima Gorawangsa 

menggosok-gosokkan pergelangan tangan dan 

kakinya untuk melancarkan kembali peredaran 

darahnya. Sementara sepasang matanya masih 

menatap wajah Dewa Arak. Sorot kekaguman tampak 

jelas, baik pada wajah maupun sorot matanya. 

"Bersiaplah, Panglima," ujar Arya tanpa mem-

pedulikan semua pujian laki-laki berkumis dan 

berjenggot rapi. "'Para bajak laut itu sebentar lagi 

akan kemari." Seketika itu juga wajah Panglima 

Kerajaan Pasugihan itu berubah. 

"Ahhh...! Jadi kau telah bertemu mereka, Anak 

Muda?" tanya Panglima Gorawangsa terkejut 

Arya mengangguk. Kemudian, secara singkat 

dijelaskan semuanya. Panglima Gorawangsa pun 

diam mendengarkan. Sama sekali tidak menyelak, 

hingga Arya menyelesaikan ceritanya. 

"Kalau begitu, aku harus mencari senjata dulu...," 

kata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi seraya 

bergerak ke luar tahanan. 

Tanpa berkata apa-apa, Arya juga melangkahkan 

kakinya ke luar tahanan itu. Tapi langkahnya berhenti 

begitu telah berada di luar ruangan. Sedangkan 

Panglima Gorawangsa terus melangkah ke dalam 

gua. Sesaat kemudian, dia telah kembali dengan 

sebatang pedang di tangan. 

"Mari kita tinggalkan tempat ini, Anak Muda," ajak 

Panglima Gorawangsa. "Oh, ya. Kalau boleh kutahu,


siapa namamu?" 

"Arya, Panglima. Arya Buana." 

"Sebuah nama yang bagus," puji Panglima 

Gorawangsa. 

Tidak nampak adanya perubahan pada wajah dan 

air muka Panglima Kerajaan Pasugihan itu begitu 

mendengar pemuda berambut putih keperakan ini 

memperkenalkan namanya. Jelas kalau dia belum 

pernah mendengar tentang nama dan julukan Arya 

yang menggemparkan dunia persilatan. 

"Terima kasih atas pujian yang terlalu berlebihan 

itu, Panglima," sahut Dewa Arak merendah. 

Panglima Gorawangsa sama sekali tidak 

menyahuti. Bergegas kakinya melangkah menuju ke 

luar gua. Sementara Arya mengikuti di belakangnya. 

Baru saja beberapa tindak keduanya melangkah, 

terdengar suara riuh dari arah depan. Karuan saja hal 

ini membuat langkah Panglima Gorawangsa dan 

Dewa Arak terhenti. 

"Celaka, Arya," bisik Panglima Gorawangsa. 

"Mereka telah masuk ke dalam gua. Kita tidak akan 

bisa keluar tanpa sepengetahuan mereka. Kita pasti 

akan berpapasan dengan mereka di tengah jalan. 

Menurutmu, bagaimana baiknya sekarang?" 

"Apakah ada jalan keluar lain kecuali dari mulut 

gua di depan itu?" tanya Arya ingin tahu. 

"Entahlah...," Panglima Gorawangsa menggeleng-

kan kepala. 

"Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi!" tegas Arya. 

"Jadi...?" dada Panglima Gorawangsa berdebar 

tegang. 

"Kita buka jalan darah untuk keluar dari tempat 

ini!" tegas dan mantap kata-kata Arya. 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu melesat


ke depan. Mau tak mau, Panglima Gorawangsa 

terpaksa mengikuti.


Baru beberapa langkah Arya dan Panglima 

Gorawangsa meninggalkan tempat itu, di hadapan 

mereka dalam jarak sekitar tiga tombak, terlihat 

serombongan orang berwajah kasar. Yang berjalan 

paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi 

besar. Sebelah matanya ditutupi bulatan dari kulit 

berwarna hitam, yang diikatkan secara menyilang di 

kepalanya. Memang, mata kanan yang tertutup itu 

sudah tidak bekerja lagi. Matanya memang tinggal 

satu. 

"Hey...!" 

Laki-laki bermata satu berteriak keras seraya 

menudingkan telunjuk ke depan. Wajahnya 

menunjukkan raut keterkejutan ketika melihat Arya 

dan Panglima Gorawangsa. 

"Keparat...!" laki-laki bermata satu menggeram. 

"Siapa kau, Tikus Kecil?! Sungguh besar nyalimu 

datang ke tempatku! Bahkan juga membebaskan 

tawananku!" 

"Dialah pemimpin bajak laut itu, Arya," bisik 

Panglima Gorawangsa memberi tahu. "Dia berjuluk 

Tengkorak Mata Satu. Kepandaiannya luar biasa. 

Bahkan aku dapat dirobohkannya dengan mudah." 

"Hm...," hanya gumaman tak jelas dari mulut Arya 

yang menyahuti penjelasan Panglima Gorawangsa. 

Terdengar suara menggertak keras dari mulut laki-

laki bermata satu itu. Dia marah bukan main, karena 

Arya sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya. 

Srattt..! 

Sinar terang berkilau memancar ketika Tengkorak


Mata Satu mencabut senjatanya, berupa golok besar 

vang matanya bergerigi. Dan secepat senjata itu 

tercabut, secepat itu pula laki-laki bermata satu ini 

melompat menerjang Dewa Arak. 

"Menyingkirlah, Panglima," ujar Arya. 

Tanpa menunggu lagi, Panglima Gorawangsa 

segera menyingkir dari situ. Ada perasaan khawatir di 

hatinya terhadap keselamatan Arya. Laki-laki ber-

kumis dan berjenggot rapi ini telah mengetahui, 

betapa lihainya Tengkorak Mata Satu. Walaupun telah 

disaksikannya sendiri kekuatan tenaga dalam Arya, 

tapi tetap saja tidak yakin kalau Tengkorak Mata Satu 

mampu dikalahkan. 

Dari suara berkesiut nyaring yang mengiringi 

tibanya serangan golok, Dewa Arak dapat 

memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki 

kepala bajak laut itu begitu tinggi. Tapi bila dibanding-

kan dengan dirinya, tenaga dalam Tengkorak Mata 

Satu sama sekali tidak berarti apa-apa. 

Begitu melihat pemimpin mereka telah menyerang, 

Pasukan Tengkorak Laut pun berbondong-bondong 

menyerbu Panglima Gorawangsa. Sungguh merupa-

kan suatu keuntungan bagi para bajak laut itu karena 

berpapasan dengan Arya dan Panglima Gorawangsa 

di tempat luas. Hal ini jelas sangat menguntungkan, 

karena dapat lebih leluasa mengeroyok! 

Panglima Gorawangsa tidak tinggal diam. Dia pun 

cepat menyambut serbuan para bajak laut itu dengan 

serangan-serangan membahayakan. Sesaat ke-

mudian terdengar denting senjata beradu di udara. 

Arya sadar kalau lawan terlalu banyak. Dan lagi 

Panglima Gorawangsa sudah pasti akan memerlukan 

bantuannya. Maka dia tidak bertindak main-main lagi. 

Itulah sebabnya, Dewa Arak sama sekali tidak


mengelakkan serangan golok itu. 

Karuan saja hal ini membuat Panglima 

Gorawangsa terperanjat. Dia memang menyempatkan 

diri melihat keadaan Arya. Perasaan cemas yang 

hebat berkecamuk di benaknya. Apakah Arya kini 

telah berubah menjadi pemuda dungu? Masa 

serangan macam itu tidak mampu dielakkan? 

Berbeda dengan Panglima Gorawangsa, Tengkorak 

Mata Satu dan sisa bajak laut yang tidak ikut 

mengeroyok, menjadi girang bukan main melihat Arya 

seperti terpukau. Mereka semua menduga pemuda 

itu tidak mampu mengelak, karena cepatnya 

serangan itu. 

Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati mereka 

semua begitu melihat Arya malah menjulurkan tangan 

dan seperti hendak mencengkeram golok yang 

menyambar semakin dekat. Dan tiba-tiba.... 

Takkk...! Kreppp...! 

Terdengar suara berdetak keras seperti beradunya 

dua batang logam ketika tangan Dewa Arak memapak 

golok baja Tengkorak Mata Satu. Dan sebelum laki-

laki bermata satu berbuat sesuatu, tangan Arya telah 

mencengkeram batang goloknya. Semua kejadian itu 

berlangsung begitu cepat, dan hanya sekejapan mata 

saja! 

Bukan hanya sebagian bajak laut yang tidak ikut 

bertarung saja yang terbelalak menyaksikan kejadian 

itu. Tengkorak Mata Satu pun dilanda perasaan yang 

sama. Dia sudah bisa memperkirakan, betapa 

tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya. 

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan 

Arya. Begitu golok itu berhasil dicengkeram, jari-jari 

tangannya lalu bergerak meremas. Terdengar suara 

berkeretek pelan ketika batang golok itu hancur


berkeping-keping. 

Bulu tengkuk Tengkorak Mata Satu kontan 

meremang! Apa yang diperbuat Arya belum pernah 

ditemukan dalam pertarungannya yang sudah tidak 

terhitung lagi. Seketika itu pula disadari kalau 

pemuda berambut putih keperakan ini bukan 

tandingannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, laki-laki 

bermata satu itu segera melompat ke belakang. 

"Serbu...!" perintah Tengkorak Mata Satu keras 

pada sisa anak buahnya yang belum bertarung. 

Para bajak laut itu seperti digugah dari mimpi. 

Sesaat mereka saling memandang bingung. Baru 

sesaat kemudian, mereka mencabut senjata masing-

masing dan bergerak menyerbu. Penglihatan yang 

disaksikan membuat mereka semua terkesima! 

Seketika itu juga, belasan senjata beterbangan 

mengancam Arya. Pedang, golok, dan tombak, 

berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuhnya. 

Tak pelak lagi, di dalam gua yang cukup luas itu 

terjadi dua kancah pertarungan. Pertarungan antara 

Dewa Arak dan Panglima Gorawangsa menghadapi 

bajak laut Pasukan Tengkorak Laut. 

*** 

Panglima Gorawangsa mengerahkan seluruh 

kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan-

lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat 

memapak setiap serangan yang datang mengancam. 

Suara berdentang nyaring, diiringi berpercikannya 

bunga-bunga api menyemaraki benturan yang terjadi 

di antara senjata-senjata mereka. 

Tidak percuma laki-laki berkumis dan berjenggot 

rapi ini menjadi panglima kerajaan. Kepandaiannya


cukup tinggi, sehingga setiap serangan yang 

dilancarkan para pengeroyoknya mampu dielakkan. 

Bahkan tak jarang pula ditangkisnya. Padahal jumlah 

mereka tak kurang dari sepuluh orang. Tambahan 

lagi, rata-rata mereka memiliki kepandaian lumayan. 

Bukan itu saja. Serangan yang dilancarkan pun 

datangnya susul-menyusul seperti gelombang laut. 

Dewa Arak sadar kalau keadaan Panglima 

Gorawangsa tidak menguntungkan. Sewaktu-waktu, 

bisa saja panglima itu terkena serangan lawan. 

Makanya kini dia tidak sungkan-sungkan lagi 

mengeluarkan seluruh kemampuan. Hujan berbagai 

macam senjata yang menuju ke arahnya dibiarkan 

saja. Dengan tenaga dalamnya yang telah berada 

jauh di atas lawan, dibiarkan saja semua senjata itu 

mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, Dewa Arak tidak 

menderita luka sedikit pun. 

Takkk, takkk, takkk...! 

Suara berdetak keras seperti beradunya berbagai 

batang logam terdengar ketika beraneka ragam 

senjata berbenturan dengan sekujur tubuh Dewa 

Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memang 

sengaja tidak mengelak atau menangkis semua 

serangan, kecuali yang tertuju ke matanya. 

Suara-suara pekikan kaget terdengar dari mulut 

para bajak laut itu, menyaksikan betapa semua 

senjata yang mengenai sasaran malah terpental 

batik, seperti menghantam karet kenyal. Bukan hanya 

itu saja. Tangan yang menggenggam senjata pun 

terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak sama sekali 

tampak tidak terpengaruh! 

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa 

Arak. Kedua tangannya digerakkan. Perlahan saja 

kelihatannya. Tapi akibatnya, tubuh para bajak laut


itu berpentalan seperti diamuk angin topan! 

Begitu semua lawannya telah berpentalan tak 

tentu arah, Arya segera melesat ke arah Panglima 

Gorawangsa yang kini semakin terjepit. Pemuda 

berambut putih keperakan itu melompat ke atas, 

seraya kedua tangannya diputar-putarkan dari luar ke 

dalam. 

Hebat akibatnya! Dari kedua tangan yang ber-

putaran itu keluar angin dahsyat yang membuat 

gerombolan bajak laut yang mengeroyok Panglima 

Kerajaan Pasugihan itu berpentalan tak tentu arah. 

Suara-suara berdebukan keras terdengar dari 

tubuh yang jatuh di tanah dan yang membentur 

dinding gua. Itu pun masih ditingkahi suara ber-

dentingan dari senjata-senjata Pasukan Tengkorak 

Mata Satu yang berpentalan entah ke mana. 

Serasa hampir melompat keluar sepasang mata 

Tengkorak Mata Satu melihat semua kejadian ini. 

Tidak pernah terbayangkan kalau gerombolan yang 

selama ini merajalela di lautan tanpa pernah ter-

kalahkan, kini dibuat berantakan oleh seorang 

pemuda hanya dalam segebrakan saja! Kalau tidak 

ingat malu, ingin rasanya laki-laki bermata satu ini 

menangis! 

Bukan hanya Tengkorak Mata Satu yang 

berbelalak. Panglima Gorawangsa pun dilanda 

perasaan yang sama. Dia memang telah mem-

perkirakan kalau pemuda berambut putih keperakan 

itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tidak 

disangka kalau sampai selihai ini. 

Akibatnya, untuk beberapa saat lamanya laki-laki 

berkumis dan berjenggot rapi itu terpukau. Panglima 

Gorawangsa terkesima dengan pedang masih 

tergantung di tangan! Dia baru tersadar kembali dari


kesimanya, ketika Tengkorak Mata Satu berteriak 

nyaring. Laki-laki bermata satu itu kemudian 

melompat menerjang Dewa Arak! Golok yang kini 

tinggal sepotong, diputar-putarkan di atas kepala, lalu 

meluncur deras ke arah leher Arya! 

Kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula, dia tidak 

bermaksud menjatuhkan tangan kejam pada 

Tengkorak Mata Satu. Sungguhpun telah didengarnya 

sendiri tentang kejahatan laki-laki bermata satu ini, 

tapi Arya rasanya tidak tega menjatuhkan tangan 

kejam. 

Dan kini pertimbangan Dewa Arak lenyap. 

Tengkorak Mata Satu terlalu keras kepala. Orang 

seperti ini tidak mungkin dibiarkan merajalela. Hidup 

pun akan menjadi ancaman bagi orang lain. 

Tambahan lagi, pikiran Arya tengah dilanda 

keruwetan memikirkan keselamatan Melati. 

Dengan gerakan seenaknya, Dewa Arak mengulur-

kan tangan kiri. Seketika, batang golok Tengkorak 

Mata Satu berhasil dicekal, dan secepat itu pula di-

sentaknya. 

Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan 

tulang pangkal lengan Tengkorak Mata Satu terlepas 

diiringi tertariknya tubuh laki-laki bermata satu itu ke 

arah Dewa Arak. Ada keluhan tertahan terdengar dari 

mulut kepala bajak laut itu. 

Dan tertariknya tubuh Tengkorak Mata Satu, 

segera dipapak oleh tepakan tangan kanan Arya ke 

arah dada. 

Plakkk..! 

Perlahan saja kelihatannya tangan itu menepak 

dada, tapi akibatnya tidak sesederhana itu bagi 

Tengkorak Mata Satu. Ada suara keluhan tertahan 

keluar dari mulutnya diikuti memerciknya cairan


merah kental. Dari suara yang berderak keras, jelas 

ada tulang dada yang remuk di dalam tubuh 

Tengkorak Mata Satu. 

Begitu tepakan tangannya telah mengenai 

sasaran, Dewa Arak pun melepaskan cekalannya. Tak 

pelak lagi, tubuh laki-laki bermata satu itu terbanting 

jatuh ke tanah. Tengkorak Mata Satu menggelepar-

gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak ber-

gerak lagi. Kepala bajak laut yang ditakuti itu pun 

tewas di tangan Dewa Arak hanya dalam segebrakan 

saja! 

Karuan saja kematian pemimpin mereka secara 

demikian mudah, membuat para bajak laut itu men-

jadi gentar. Tambahan lagi, mereka telah melihat 

sendiri kesaktian Dewa Arak. Maka tanpa pikir 

panjang lagi, mereka semua menyerah. 

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar," ratap seorang 

bajak laut yang berambut hitam campur coklat. 

"Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan 

seperti ini, Tuan Pendekar," janji yang lain. Dia 

seorang laki-laki bertubuh pendek kekar. 

"Benar, Tuan Pendekar," sambut yang lain. 

Sesaat kemudian suara riuh rendah pun terdengar. 

Karena tidak hanya tiga orang bajak laut itu saja yang 

mengucapkan janji. Berturut-turut dan saling susul-

menyusul, semua bajak laut itu mengucapkan janji. 

Arya tersenyum, kemudian menoleh ke arah 

Panglima Gorawangsa. 

"Aku tidak berhak memutuskannya," ucap pemuda 

berambut putih keperakan itu sambil tersenyum. "Ada 

yang lebih berhak menentukannya." 

Panglima Gorawangsa tercenung beberapa saat. 

Dia mengerti maksud ucapan dan pandangan Dewa 

Arak padanya. Arya menyerahkan semua keputusan


itu padanya. Seketika itu juga perasaan bimbang 

melanda hati Panglima Gorawangsa. Laki-laki 

berkumis dan berjenggot rapi itu tengah menghadapi 

pilihan yang sulit, dan bingung mengambil keputusan. 

"Hhh...!" Panglima Gorawangsa menghela napas 

berat. "Kalau menuruti perasaan, rasanya sulit bagiku 

untuk mengampuni. Kejahatan kalian telah melampui 

atas. Tapi karena memandang Arya sahabatku ini, 

aku bersedia mengampuni kalian...." 

"Terima kasih, Panglima Gorawangsa," selak 

seorang bajak laut bertubuh pendek kekar cepat. 

"Kami sudah menduga akan mendapatkan 

ampunan. Kebijaksanaan panglima telah lama kami 

dengar," sambung orang yang berambut hitam 

campur coklat bernada memuji. 

Panglima Gorawangsa tersenyum pahit 

"Tapi, ingat," sambung laki-laki berkumis dan 

berjenggot rapi itu. "Aku telah mengenali tampang-

tampang kalian semua. Apabila kelak kudapati ada di 

antara kalian yang melakukan kejahatan, maka aku 

tak akan segan-segan lagi bertindak!" 

"Panglima boleh membuktikan janji kami," tegas 

bajak laut yang berambut hitam campur coklat 

bernada tantangan. 

"Baik! Aku pegang janji kalian ini," kata Panglima 

Gorawangsa menyambut tantangan itu. Suaranya 

terdengar lantang penuh wibawa. 

Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan pem-

bicaraan ini, diam-diam memuji kebijaksanaan 

Panglima Gorawangsa. Perasaan kagum kembali 

menyeruak dalam hatinya. 

"Dan sebagai bukti pertama dari kesadaran kami, 

semua harta rampasan yang ada, kami serahkan 

pada panglima," tegas bajak laut yang berambut


hitam kecoklatan. 

Kepala semua bajak laut yang lain terangguk 

mendengar ucapan rekan mereka itu. Jelas kalau 

mereka semua menyetujui keputusan yang diambil 

bajak laut berambut hitam bercampur coklat itu. 

Panglima Gorawangsa menggoyang-goyang 

tangannya. 

"Tidak perlu diserahkan semua. Masing-masing 

kalian boleh mengambil harta rampasan itu se-

cukupnya. Pergunakan sebagai bekal untuk menjalani 

kehidupan yang baru. Setelah itu baru sisanya kalian 

serahkan padaku." 

"Terima kasih atas kebaikan hati panglima," ucap 

bajak laut yang bertubuh pendek kekar gembira. 

Keputusan yang diambil Panglima Kerajaan 

Pasugihan ini benar-benar di luar dugaan orang itu. 

Sementara rekan-rekannya sebagian besar berdiam 

saja. Tidak banyak bicara, kecuali sekali-kali saja. 

Mereka pun merasa gembira bukan main mendengar 

keputusan yang diambil Panglima Gorawangsa. 

Rupanya, anggota gerombolan yang lain telah 

menyerahkan seluruh urusan itu pada kedua orang 

rekannya. 

Kembali perasaan kagum menyeruak dalam hati 

Dewa Arak. Keputusan Panglima Gorawangsa untuk 

membekali para bajak laut itu benar-benar merupa-

kan sebuah keputusan yang sangat tepat. Setidak-

tidaknya, dengan adanya bekal harta itu mereka 

dapat menggunakan untuk menekuni pekerjaan baru. 

Perlahan Dewa Arak melangkah kembali ke dalam 

gua. Melihat hal ini, Panglima Gorawangsa buru-buru 

mengejarnya. 

"Arya...! Tunggu...!" 

Arya menghentikan langkah, kemudian membalik


kan tubuhnya. 

"Ada apa, Panglima?" tanya Dewa Arak pelan. 

"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Gorawangsa 

ingin tahu. 

"Istirahat," kalem ucapan Dewa Arak. "Besok aku 

harus melanjutkan perjalananku lagi. Jadi aku ingin 

beristirahat" 

"Jadi.., kau membohongiku sewaktu mengatakan 

terdampar di sini?" tanya Panglima Gorawangsa 

setelah terdiam beberapa saat lamanya. 

"Maafkan aku, Panglima," pelan suara Dewa Arak. 

Wajah pemuda berambut putih keperakan ini 

memerah karena perasaan malu yang menyeruak. 

Malu karena kebohongannya telah diketahui. 

"Lupakanlah, Arya," desah Panglima Gorawangsa 

bijaksana. "Aku bisa memakluminya." 

"Terima kasih." 

Suasana menjadi hening sejenak ketika Dewa Arak 

menghentikan ucapannya. Dan Panglima Gorawangsa 

pun tidak melanjutkan ucapannya pula. 

"Boleh kutahu, ke mana kau akan pergi, Arya?" 

tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu, hati-

hati. Dia begitu khawatir kalau pertanyaannya 

menyinggung perasaan Dewa Arak. 

"Aku akan pergi ke Pulau Ular, Panglima," sahut 

pemuda berambut putih keperakan itu pelan. 

"Apa?!" Panglima Gorawangsa tersentak bagai 

disengat ular berbisa. Sepasang matanya berbelalak 

lebar bagaikan melihat hantu. "Kau tidak main-main, 

Arya?" 

Dewa Arak menggelengkan kepala. 

"Kalau boleh aku memberi nasihat, urungkan saja 

niatmu itu, Arya." Raut wajah Panglima Gorawangsa 

menampakkan kekhawatiran yang amat sangat


"Terima kasih atas saranmu itu, Panglima. Tapi 

sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya. Nyawa 

seorang kawanku bergantung pada usahaku di Pulau 

Ular." 

Panglima Gorawangsa pun terdiam, tidak berkata 

kata lagi. Meskipun belum lama mengenal, sebagai 

orang yang sudah terbiasa berhadapan dengan 

berbagai macam tingkah dan polah manusia, dia 

sudah bisa mengetahui kalau percuma saja 

mencegah Arya. Pemuda berambut putih keperakan 

itu termasuk orang yang teguh memegang keputusan. 

Sekali berkata hitam, selamanya akan tetap hitam! 

"Kalau begitu, aku hanya bisa mendoakan agar 

kau berhasil menjalankan tugasmu itu, Arya," hanya 

itu yang bisa diucapkan Panglima Gorawangsa. 

"Terima kasih, Panglima," sahut Dewa Arak. 

Dan memang pemuda berambut putih keperakan 

ini merasa berterima kasih sekali atas perhatian 

panglima itu padanya. 

Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah 

meninggalkan Panglima Gorawangsa yang hanya 

dapat memandangi punggung pemuda berambut 

putih keperakan itu. Sinar mata laki-laki berkumis dan 

berjenggot rapi itu penuh dengan kekhawatiran dan 

kecemasan.


Pagi baru saja menjelang, ditandai oleh munculnya 

bola api raksasa berwarna merah di ufuk Timur. 

Sepertinya bola api raksasa itu muncul dari per-

mukaan laut. Angin pun masih bertiup semilir ketika 

Arya dan Panglima Gorawangsa mulai men-dorong 

perahunya ke laut. 

Memang, para bajak laut di bawah pimpinan 

Tengkorak Mata Satu mempunyai beberapa buah 

perahu kecil. Dan dengan senang hati, mereka mem-

berikannya pada Dewa Arak dan Panglima 

Gorawangsa. 

Kedua orang itu memang telah sepakat untuk 

meninggalkan pulau bersama-sama. Hanya saja 

tujuan mereka berbeda. Dewa Arak menuju ke Pulau 

Ular, sementara Panglima Gorawangsa kembali ke 

tempatnya semula. Kerajaan Pasugihan. 

Baik Arya maupun Panglima Gorawangsa meng-

gunakan perahu yang sama. Namun pada perahu 

yang ditumpangi Panglima Gorawangsa terdapat 

harta hasil rampasan para bajak laut itu. 

Sejauh beberapa tombak dari pulau tempat tinggal 

gerombolan Pasukan Tengkorak Laut, perahu Dewa 

Arak dan Panglima Gorawangsa berdampingan. Tapi 

setelah itu, arah kedua perahu itu pun terpisah. 

"Jangan lupa singgah di tempatku, apabila 

masalahmu telah selesai, Arya," pinta Panglima 

Gorawangsa ketika perahu mereka berdua mulai 

berpisah untuk menempuh jalan masing-masing. 

"Akan kuingat permintaanmu itu, Panglima," sahut


Dewa Arak. 

"Aku akan selalu menunggu kedatanganmu, 

Arya...!" 

Dewa Arak hanya tersenyum, dan tidak lagi 

menyahuti. Jarak di antara mereka semakin jauh. Dan 

dengan sendirinya, perahu yang mereka tumpangi itu 

pun semakin terlihat mengecil. Dan akhirnya lenyap 

sama sekali. 

Kini perhatian Arya tertuju penuh pada tujuannya 

semula. Mencari Pulau Ular! Dewa Arak melakukan 

perjalanan dengan tergesa-gesa. Dia ingin buru-buru 

tiba di tempat yang dituju. Maka tanpa segan-segan 

lagi, segera dikerahkan tenaga dalamnya pada 

tangan yang mengayuh dayung. Hebat akibatnya! 

Perahu itu melaju seperti anak panah yang lepas dari 

busur! 

Perlahan-lahan matahari merangkak semakin 

tinggi. Dan seiring semakin tingginya matahari, hari 

pun semakin siang. Dan dengan sendirinya, Arya pun 

mulai lelah. Rasa lapar dan haus menyengat 

kerongkongannya. 

Dewa Arak lalu menyimpan dayungnya, dan 

membiarkan perahunya terbawa arus gelombang. 

Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan 

ini mulai sibuk dengan bekal yang diberikan 

gerombolan Pasukan Tengkorak Laut. Memang, 

begitu mengetahui tujuan Dewa Arak, mereka 

memberikan bekal makanan dan minuman yang 

diperkirakan cukup hingga sampai sana. 

*** 

Pada hari ke enam pelayarannya, hati Dewa Arak 

mulai berdebar tegang. Samar-samar hidungnya


mencium bau amis memuakkan yang dibawa angin 

laut. Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera 

mengambil sebutir pil penawar racun yang diberikan 

Eyang Sagapati. 

Semangat Arya yang semula sudah mulai pudar, 

kembali timbul. Dia seolah-olah mendapat tambahan 

tenaga baru. Sepercik harapan mulai terbetik di 

hatinya. Mudah-mudahan saja, bau amis memuakkan 

ini adalah pertanda kalau dia telah memasuki wilayah 

Pulau Ular! 

Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya Arya 

mengayuh sekuat-kuatnya agar segera tiba di tempat 

tujuan. Tapi kehati-hatiannya dan sikap waspada 

telah melarangnya. Dia tidak ingin usahanya kandas, 

hanya karena sikap ceroboh. Maka sekuat tenaga 

perasaan melonjak-lonjak untuk mengayuh dayung-

nya secepat mungkin ditahannya. Dewa Arak terus 

mengayunkan dayung perlahan-lahan. 

Semakin lama, bau amis yang tercium semakin 

menyengat hidung. Semula Dewa Arak masih 

sanggup bertahan. Tapi lama-kelamaan, dia mulai 

tidak kuat lagi. Bau amis itu terlalu memuakkan. 

Sepertinya tepat di hadapannya ada sebukit sampah 

udang mentah! Amisnya begitu memuakkan, mem-

buat seluruh isi perutnya seperti akan tumpah ke 

luar! 

Terpaksa Arya menghentikan gerak mendayungnya 

sebentar. Dia yakin kalau maju beberapa tombak lagi, 

kemungkinan tidak akan tahan terhadap bau amis 

yang membuat isi perutnya teraduk itu. Bau amis itu 

sudah begitu luar biasa keras. Padahal, perairan yang 

diberi tahu oleh Ki Temula belum ditemukannya. 

Kini pemuda berambut putih keperakan ini 

mengerti, mengapa kakek berwajah tirus itu langsung


mundur teratur begitu tiba di wilayah pertama menuju 

Pulau Ular. Kalau halangan pertamanya saja sudah 

seperti ini, bagaimana dengan halangan selanjutnya? 

Secepat kayuhannya dihentikan, secepat itu pula 

Arya membuka buntalan kain putih yang berisi obat-

obat yang diberi oleh Eyang Sagapati. Kemudian 

segera dikeluarkannya sebuah kendi kecil dari 

buntalan itu. Seketika tutupnya dibuka. 

Bau wangi dan harum yang menyerap sejuk 

sampai ke dada, tercium begitu tutup kendi itu 

terbuka. Tapi hanya sesaat saja bau wangi dan harum 

itu menyebar. Sesaat kemudian, bau amis memuak-

kan itu kembali menyeruak. 

Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera 

menuangkan kendi itu ke sekeliling perahu. Ternyata, 

isi kendi itu berupa bubuk-bubuk halus mirip tepung. 

Eyang Sagapati memang memberikannya pada Dewa 

Arak, untuk melawan bau busuk yang memuakkan. 

Arya terus menaburkannya sampai seluruh isi 

kendi itu habis. Dari ahli obat istana nomor satu itu, 

dia telah tahu kalau bubuk itu dibuat dari campuran 

beberapa macam tumbuhan. Di antaranya adalah 

kayu pohon cendana dan kayu rasamala. 

Wewangian yang diberikan Eyang Sagapati ter-

nyata cukup membuahkan hasil. Meskipun tidak 

terusir seluruhnya, tapi bau amis yang menerpa 

hidung Arya tidak lagi sekeras semula. Sebagian 

besar sudah tertutupi oleh bau wangi yang timbul dari 

bubuk yang ditaburkannya tadi. 

Kini Dewa Arak kembali mengayunkan dayung 

untuk melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda 

sejenak. Bau amis yang memuakkan mulai semakin 

menguat lagi, walaupun tidak bisa sekeras seperti 

sebelum dilawan dengan wewangian.



Tak lama kemudian, Arya mulai melihat per-

mukaan air laut yang berwarna hitam pekat. Arya 

bingung memikirkan, mengapa permukaan air laut 

yang berwarna biru tidak bercampur dengan per-

mukaan air laut yang berwarna kehitaman. 

Tapi Arya tidak sempat memikirkannya, karena 

sudah sibuk memusatkan seluruh pikirannya untuk 

menghadapi hambatan-hambatan yang akan di-

jumpai. 

Sepasang mata Arya terbelalak begitu melihat 

asap tipis mengepul di atas pemukaan air yang 

berwarna hitam itu. Seketika tercium bau amis 

memuakkan dari asap yang mengepul itu. 

Kini Dewa Arak tahu, dari mana asal bau amis 

yang membuat seluruh isi perutnya seperti diaduk-

aduk itu. Ternyata, bau itu berasal dari larutan air 

yang berwarna hitam kelam. 

Arya tidak berani main-main. Dengan gerakan hati-

hati, dayungnya dikayuh. Pemuda berambut putih 

keperakan ini tidak berani mengayuh secara 

sembarangan dan ceroboh. Dia khawatir larutan 

berwarna hitam itu akan memercik ke tubuhnya. 

Padahal, dia sama sekali belum mengetahui 

keistimewaan air itu. 

Karena Arya mengayuhnya secara hati-hati, tidak 

aneh kalau laju perahu itu pun tersendat-sendat. 

Pelan sekali seperti seekor keong merayap. 

Cukup lama juga Arya mengayuh kan dayungnya 

melalui laut yang memiliki air yang berwarna hitam 

itu. Baru ketika matahari naik tinggi, warna air laut 

berubah merah seperti darah. Baunya pun tidak lagi 

amis seperti sebelumnya. Namun justru bau busuk 

yang kini menyerangnya. Seakan-akan di hadapan 

Arya tergeletak bangkai tikus yang telah membusuk.


Bila dibandingkan sebelumnya, bau air laut yang 

berwarna merah ini tidak terlalu memualkan perut. 

Tapi mendadak Arya terkejut ketika merasa kan 

sepasang kelopak matanya jadi berat. Bahkan 

beberapa kali tanpa sadar, sepasang kelopak 

matanya mengatup sendiri. 

Semula Arya tidak merasa curiga. Hal itu dianggap-

nya wajar saja. Mungkin karena dirinya terlalu lelah, 

sehingga tanpa dapat ditahan lagi sepasang kelopak 

matanya terkatup sendiri. 

Dewa Arak baru merasa curiga ketika merasakan 

ada kekuatan aneh yang menarik perahunya. 

Perahunya terbawa ke suatu tempat. 

Seketika itu juga Arya terperanjat. Langsung dia 

tersadar kalau lautan yang berbau busuk itu 

mengandung racun, sehingga membuat orang 

mengantuk tanpa disadari. Maka tanpa ragu-ragu 

lagi, Dewa Arak segera menelan pil pemberian Eyang 

Sagapati. Pil yang khusus untuk mengusir pengaruh 

racun pembius. 

Memang setelah Arya menelan pil itu, tak lama 

kemudian rasa kantuknya mulai berkurang banyak. 

Apalagi pemuda berambut putih keperakan itu kini 

telah berusaha menahan rasa kantuk yang melanda. 

Dan begitu tersadar, Dewa Arak jadi terkejut bukan 

main. Kekuatan yang menarik perahunya ke satu 

arah ini telah semakin bertambah saja. Berdasarkan 

pengalaman yang pernah dialami ketika dulu terbawa 

kekuatan di sungai, Dewa Arak segera bersikap 

waspada. Dan begitu mengetahui kalau perahunya 

ditarik sebuah kekuatan aneh, pemuda berambut 

putih keperakan ini segera melayangkan pandangan 

ke depan. Seketika itu juga, sepasang mata Dewa 

Arak terbelalak.


Betapa tidak? Sekitar beberapa tombak dari 

perahunya, nampak sebuah pusaran air. Suara 

bergemuruh yang mengerikan terdengar mengiringi 

putaran air itu. 

Dewa Arak sadar kalau terlambat, bahaya besar 

akan mengancamnya. Perahunya akan luluh lantak 

dalam pusaran air itu apabila tidak segera berusaha 

meloloskan diri. 

Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera 

mengayuhkan dayungnya, untuk segera meninggal-

kan tempat itu. Tahu akan ancaman bahaya yang 

telah mengintai, seluruh tenaga dalam langsung 

dikerahkannya. 

Untung bagi pemuda berambut putih keperakan 

ini. Ternyata perahunya masih berada dalam luar 

pusaran air. Sehingga, kekuatan yang menarik 

perahunya belum terlalu kuat. Sedikit demi sedikit 

perahu Arya mulai meninggalkan tempat itu. 

"Hhh...!" 

Arya menghembuskan napas lega begitu perahu-

nya telah berhasil meninggalkan tempat berbahaya 

tadi. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan 

ini bergidik. Kalau saja tidak keburu merasa curiga 

begitu diserang kantuk yang amat sangat, mungkin 

dia kini telah berada di dasar lautan bersama 

perahunya yang telah hancur berkeping-keping. 

*** 

Begitu telah berhasil meloloskan diri dari pusaran 

air, Dewa Arak baru sadar kalau telah salah arah. 

Tampak matahari kini telah berada di sebelah 

kanannya. Berarti, Arya telah menuju ke arah Utara. 

Jadi tanpa sepengetahuannya, dia telah terseret arus


putaran ke arah Utara. 

Kini Dewa Arak kembali berusaha menempuh jalan 

yang benar. Patokan yang menjadi dasar arah bagi 

Dewa Arak memang sudah tidak mungkin diragukan 

lagi. Matahari! 

Seiring bergantinya warna air laut menjadi 

berwarna hijau, samar-samar di hadapan Dewa Arak 

tampak sebuah pulau. 

Seketika itu juga wajah Dewa Arak berseri. Sudah 

tidak bisa diragukan lagi kalau pulau yang tampak di 

hadapannya ini adalah Pulau Ular. Karena, semuanya 

persis dengan cerita Ki Temula. 

Kakek berwajah tirus itu memang telah mem-

beritahukannya. Dan semua memang cocok dengan 

yang ditemuinya. Begitu telah menemukan laut yang 

airnya berwarna hijau, Dewa Arak akan melihat 

sebuah pulau. Dan itu memang dijumpainya. 

Seketika itu juga semangat Dewa Arak semakin 

berkobar-kobar. Meskipun begitu, sikapnya diusaha-

kan untuk tenang. Dia tidak mau menuruti luapan 

perasaan semata-mata. Maka sungguh pun keinginan 

untuk segera tiba di Pulau Ular begitu menggebu-

gebu, Dewa Arak tetap tenang melajukan perahunya. 

Entah berapa lama perahunya melaju, namun 

pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali 

tidak mempedulikannya. Yang jelas, suasana masih 

cukup terang ketika warna permukaan air laut 

berubah. Tidak lagi hijau seperti sebelumnya, tapi 

biasa seperti warna air laut umumnya. 

Dan begitu Dewa Arak telah menemukan per-

mukaan air laut yang biasa, daratan itu telah semakin 

jelas terlihat. Seketika pemuda berambut putih 

keperakan ini mengerutkan alisnya. Betapa tidak? 

Daratan Pulau Ular ternyata terletak jauh di atas



permukaan laut Sulit bagi orang untuk mendarat di 

sana. 

Tambahan lagi, arus gelombang laut di sekeliling 

pulau itu tidak terarah. Begitu menghantam dinding 

pulau itu gelombang air langsung berbalik, menyebar 

ke segala arah. 

Beberapa saat lamanya Arya kebingungan. 

Bagaimana cara mendarat ke sana? Jangankan 

mendarat, untuk mendekati pulau itu, perahunya 

tidak bisa. Setiap kali dikayuh mendekati pulau itu, 

setiap kali pula perahunya hampir terguling karena 

terkena dorongan air yang menghempas dari dinding 

pulau. Paling tidak, perahu itu akan terdorong 

kembali ke telakang. 

Beberapa saat lamanya Dewa Arak tercenung. 

Menilik dari dahinya yang berkernyit, sudah dapat 

dipastikan kalau tengah berpikir keras. 

Tak lama kemudian kernyit di dahi Arya lenyap, 

berganti dengan sinar keceriaan. Bahkan sepasang 

matanya pun berbinar-binar. Jelas kalau sebuah 

gagasan telah ditemukannya. 

Dewa Arak segera mengambil dua bilah papan dan 

tambang dari sudut perahu, kemudian diikatkan di 

bawah alas kakinya. 

"Hih...!" 

Arya menggertakkan gigi. Kedua lututnya menekuk 

sebentar. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah me-

layang ke atas. Dia bersalto beberapa kali di udara, 

kemudian.... 

Pyarrr...! 

Air laut memercik tinggi ke udara begitu kedua 

kaki Dewa Arak menyentuh permukaan air laut. 

Tidak hanya sampai di situ saja. Begitu kedua 

kakinya menyentuh permukaan air, Arya lalu kembali


melompat ke udara, dan bersalto beberapa kali. 

Kemudian kakinya menyentuh permukaan laut 

dengan menimbulkan percikan air di sana-sini. Begitu 

seterusnya. 

Memang dengan cara seperti itu, Arya tidak 

mengalami kesulitan untuk mendekati daratan pulau. 

Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, tubuhnya 

sudah berada dekat dinding Pulau Ular. 

"Hih...!" 

Kembali Arya menggertakkan gigi. Seketika itu juga 

tubuhnya melayang ke atas. Tapi kali ini lebih tinggi 

daripada sebelumnya. Maksudnya memang untuk 

bisa mendarat di permukaan Pulau Ular. Tubuh Dewa 

Arak lalu melenting ke atas, dan bersalto beberapa 

kali di udara. Maka.... 

"Hup...!" 

Ringan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak 

mendarat di tanah.


Secepat kedua kakinya mendarat di tanah yang 

ternyata becek, secepat itu pula Dewa Arak 

mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sikapnya 

benar-benar waspada. Tampak di hadapannya, 

hamparan rumput kering berwarna kecoklatan yang 

tinggi menjulang. 

Setelah melepaskan alas kakinya, Dewa Arak 

terpaku. Dia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk 

terus ke dalam pulau itu kecuali melewati hamparan 

rumput kering yang tinggi membentang. Kanan kirinya 

adalah tebing-tebing tinggi, yang di bawahnya 

terhampar lautan luas. 

Perlahan dan hati-hati sekali Dewa Arak 

melangkah mendekati hamparan rumput itu. 

Kelihatannya dekat saja letaknya, tapi ketika didekati 

rupanya jauh juga. Jarak hamparan padang rumput 

itu dari tempat Arya tadi berdiri tak kurang dari tiga 

puluh tombak. 

Selangkah demi selangkah Dewa Arak bergerak 

mendekat. Arya melangkah hati-hati sekali. Walau 

suasana di sekeliling sepi-sepi saja. Kewaspadaannya 

tetap tidak ditinggalkan. Sepasang matanya menatap 

berkeliling. Mendadak.... 

Blosss...! 

Dewa Arak terperanjat ketika kaki kanannya 

amblas ke dalam tanah sampai sebatas betis. Tanah 

yang dipijaknya ternyata empuk seperti bubur! 

Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, mendadak 

Arya merasakan adanya kekuatan aneh yang menarik


kakinya terus ke dalam tanah. 

"Lumpur hidup...," desis Arya dengan hati berdebar 

tegang. Memang dia telah cukup sering mendengar 

tentang lumpur hidup. Tapi, baru kali ini 

ditemukannya. 

Sebuah keuntungan bagi Dewa Arak, karena hanya 

sebelah kakinya saja yang masuk ke dalam lumpur 

hidup itu. Sementara kaki kirinya masih berada di 

tempat yang aman. Maka, berkat ilmu meringankan 

tubuhnya yang luar biasa, tidak sulit bagi pemuda 

berambut putih keperakan itu untuk tidak mem-

biarkan seluruh tubuhnya terserap lumpur hidup. 

Tapi hanya sesaat saja Arya dilanda perasaan 

bingung. Sesaat kemudian, dia sudah kembali seperti 

sikapnya semula. Tenang dan penuh perhitungan. 

Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak segera mengerahkan 

seluruh tenaga dalam untuk menarik kembali kakinya 

yang terbenam dalam lumpur. Sesaat kemudian, adu 

tarik-menarik pun terjadi. Arya mengerahkan seluruh 

tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali 

kakinya. Sementara lumpur hidup itu berusaha 

menyedot kaki Dewa Arak ke bawah. 

Adu tarik-menarik rupanya tidak berlangsung lama. 

Dewa Arak dengan tenaga dalamnya yang telah 

mencapai tingkatan tinggi, tidak mengalami kesulitan 

sedikit pun untuk menarik kembali kakinya. Sesaat 

kemudian, perlahan-lahan kaki kanannya mulai ter-

angkat naik. Dan kini dia telah berhasil mem-

bebaskan kakinya dari cengkeraman lumpur hidup 

itu. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas lega. Diam-diam 

pemuda berambut putih keperakan itu bersyukur, 

karena tetap bersikap hati-hati. Kalau saja tadi tidak


bersikap hati-hati, mungkin sudah tewas di dalam 

lumpur hidup itu. 

Mendadak Dewa Arak tersentak. Dirasakan adanya 

getar-getar aneh pada kaki kanannya. Bergegas 

kepalanya ditolehkan. Dan seketika itu juga sepasang 

mata Arya terbelalak. Betapa tidak? Di sekujur kaki 

sampai sebatas tutut, bertengger benda-benda hidup 

berwarna hitam sebesar jari. Lintah! Dan menilik dari 

bentuknya yang sudah gendut-gendut itu, bisa 

dipastikan kalau lintah-lintah itu telah cukup lama 

mengisap darahnya! 

Menilik dari banyaknya, Arya tidak mau membunuh 

mereka dengan tangan. Pemuda berambut putih 

keperakan ini merasa jijik membunuh binatang-

binatang itu dengan tangan kosong. Maka tanpa ragu-

ragu lagi 'Tenaga Dalam Inti Matahari' segera dikerah-

kan. 

Sebenarnya bisa saja Dewa Arak membunuh 

binatang-binatang itu dengan semburan araknya. 

Tapi, dia tidak ingin menghamburkan araknya untuk 

hal-hal yang kurang penting. Karena masih ada hal 

yang lebih penting lagi yang membutuhkan araknya. 

Itulah sebabnya sepanjang perjalanan menuju 

kemari, araknya tidak pernah diminum. 

Bergegas Arya memusatkan pikiran. Dan sesaat 

kemudian, hawa panas dari pusar bergolak ke arah 

kakinya. Hanya sekejapan saja, hawa panas itu telah 

berada di kakinya. 

Hebat bukan main akibatnya! Satu persatu tubuh 

lintah-lintah itu berguguran ke tanah. Tubuh binatang-

binatang itu melipat, lalu menggeliat-geliat di tanah. 

Dan akhirnya , diam tidak bergerak lagi. 

Baru saja lintah-lintah itu tidak bergerak lagi, 

mendadak rasa pusing menyerang Arya. Semua yang


dilihatnya seperti berputaran. Bahkan bukan hanya 

itu saja. Sekujur urat-uratnya pun terasa mengejang. 

Meskipun dalam keadaan seperti itu, otak Dewa 

Arak masih sempat berpikir. Tidak salah lagi, lintah-

lintah itu pasti beracun! Begitulah kesimpulan yang 

diambil pemuda berambut putih keperakan itu. 

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, 

buntalannya segera dijumput. Kemudian dengan 

susah, karena urat-uratnya yang telah mengejang, 

dan juga karena pandangannya yang sudah tidak 

jelas, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil 

mengambil obat yang dicarinya. Dan begitu didapat, 

segera ditelannya. 

Baru saja obat itu ditelannya, Arya sudah tidak 

sanggup lagi menahan rasa pusing yang menyerang. 

Diiringi sebuah keluhan tertahan, Dewa Arak roboh 

pingsan. 

*** 

Entah sudah berapa lama Dewa Arak tidak 

sadarkan diri. Yang jelas ketika sadar, matahari telah 

muncul di ufuk Timur. Sementara sewaktu perasaan 

pusing menyerangnya, matahari baru saja tergelincir 

dari titik tengahnya. Jadi, paling sedikit Arya telah 

tidak sadarkan diri selama semalaman lebih. 

Setelah menggeliat-geliatkan tubuh beberapa saat 

lamanya, Dewa Arak baru bangkit dari berbaringnya, 

kemudian duduk. Dahinya berkernyit mencoba 

mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai tahu-

tahu tertidur. 

Tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan 

ini untuk mengingat-ingat kejadian yang dialami. 

Karena, di hadapannya masih terpampang bukti-bukti


yang membantunya untuk mengingat-ingat. 

Kini Dewa Arak tercenung. Sepasang alisnya 

nampak bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikir-

kannya. Memang, dia tengah memikirkan jalan untuk 

nelewati lumpur hidup ini. 

Dewa Arak yakin, pasti ada jalan lain untuk menuju 

ke tengah pulau. Maka, pandangannya diedarkan ke 

sekeliling. Pulau tempatnya berdiri ini hanya pulau 

kecil. Lebarnya tak lebih dari dua ratus tombak. Kalau 

panjangnya, Dewa Arak sama sekali tidak bisa 

memperkirakan, karena di hadapannya terpampang 

hamparan rumput ilalang tinggi. Dan lagi, lebar pulau 

yang disinggahinya juga tertutup hamparan rumput 

ilalang! 

Yakin pada dugaannya, membuat semangat Dewa 

Arak kembali bangkit. Cepat dia bangkit berdiri, 

kemudian berjalan ke arah kiri pulau sampai tiba di 

ujungnya. Tak lupa di sepanjang perjalanan menuju 

ke sana, dipungutnya batu-batu sebesar kepala yang 

berserakan di sana-sini. 

Iseng-iseng Arya melongokkan kepala ke bawah. 

Tampak olehnya lautan yang membentang di sana. 

Agak ciut juga hatinya. Maka, pandangan Arya segera 

dipalingkan. 

Kini Dewa Arak kembali pada maksudnya semula, 

mencari jalan yang aman untuk masuk ke dalam 

pulau. 

"Hih...!" 

Arya mulai dengan percobaannya. Dilemparkannya 

baru itu ke atas tanpa pengerahan tenaga dalam 

sama sekali. 

Wuuuttt..! 

Baru itu meluncur naik ke atas. Dan setelah daya 

lontarannya habis, batu itu meluncur ke tanah dalam


jarak sekitar dua tombak di hadapan Dewa Arak. 

Brukkk...! 

Batu sebesar kepala itu jatuh di tanah. Kontan 

tanah yang kelihatannya keras, langsung melesak. 

Batu itu tenggelam sedikit ke dalam tanah yang 

ternyata bagian dalamnya empuk. 

Semula hanya sebagian kecil saja yang terbenam. 

Tapi, semakin lama semakin banyak bagian batu yang 

tenggelam. Rupanya tanah yang terlihat keras itu di 

dalamnya adalah lumpur hidup yang akan menyedot 

apa pun yang berada di atasnya. 

Arya bergidik melihatnya, tak sanggup mem-

bayangkan kalau seandainya terjeblos di lumpur 

hidup yang tertutup lapisan tanah tipis itu. 

Dewa Arak tidak hanya sekali saja mencobanya. 

Kakinya segera melangkah sekitar tiga tindak ke 

tanah, kemudian kembali melemparkan batu sebesar 

kepala yang dibawanya. Lagi-lagi batu itu tenggelam. 

Tapi Dewa Arak tidak putus asa, dan terus melangkah 

ke kanan sambil melemparkan batu itu. Hasilnya 

tidak jauh berbeda. 

Dewa Arak terus saja mencoba sampai akhirnya 

tiba di bagian paling kanan pulau itu. Kini pemuda 

berambut putih keperakan ini tidak bisa lagi 

mencobanya karena di sebelah kanannya, nun jauh di 

bawah, terbentang lautan luas. 

"Hhh...!" 

Dewa Arak menghela napas panjang, antara 

bingung dan putus asa. Jelas dari hasil percobaannya 

dapat diketahui, tidak ada jalan yang aman untuk 

masuk ke dalam pulau. Jalan satu-satunya hanyalah 

melalui lumpur hidup. Tapi bagaimana caranya? 

Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak tercenung. 

Pikirannya berputar keras, mencari jalan untuk


melewati lumpur hidup itu. Sepasang alis Arya hampir 

bertautan saking kerasnya berpikir. 

Beberapa saat lamanya Arya bersikap seperti itu, 

berdiri dengan sepasang alis berkerut. Sementara ibu 

jari dan telunjuknya mengelus-elus dagu. Sepasang 

matanya menatap tak bergeming pada satu titik. 

Beberapa saat kemudian, wajah Arya berseri. 

Kerutan pada sepasang alisnya pun lenyap. Suatu 

bukti kalau telah ditemukan suatu cara. 

Kini Arya menerawangkan pandangannya ke 

depan. Diperkirakannya jarak dari tempatnya berdiri, 

kehamparan rerumputan yang terdapat di sana. 

Menurut perhitungannya, jarak itu tak kurang dari tiga 

puluh tombak! Sebuah jarak yang teramat jauh untuk 

dapat dilompatinya, sekalipun mengerahkan seluruh 

ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. 

Tapi kini dia telah menemukan cara untuk 

mengatasinya. Diambilnya beberapa buah batu 

sebesar kepalan tangan. Semuanya dimasukkan ke 

balik bajunya. Hanya satu saja yang dipegangnya. 

"Hih...!" 

Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melompat 

melewati lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah 

tipis. Tapi seperti yang sudah diperhitungkan, 

sebelum mencapai tengah-tengah, daya lontar pada 

tubuhnya pun habis. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh-

nya meluruk deras ke bawah. 

Tapi Dewa Arak tidak menjadi gugup, karena hal ini 

memang sudah diperhitungkan. Maka begitu kedua 

kakinya hampir menyentuh tanah, batu yang 

digenggamnya dijatuhkan ke bawah. 

Plukkk...! 

Batu sebesar kepalan tangan itu jatuh di tanah. 

Seketika itu pula tanah yang kelihatannya keras


melesak ke dalam. Padahal, Arya melontarkan batu 

itu tanpa mengerahkan tenaga dalam. 

Tukkk...! 

Dengan perhitungan matang, Dewa Arak menotok-

kan ujung alas kakinya ke batu yang dilontarkan. Dan 

dengan meminjam tenaga landasan pada batu itu, 

tubuh Dewa Arak kembali melenting ke udara. 

Sementara, batu itu langsung tenggelam terserap 

lumpur hidup. 

Tapi sebelum mencapai tempat yang dipenuhi 

hamparan rumput luas, tubuh Arya telah kembali 

meluruk turun ke tanah. Maka kembali dijatuhkannya 

balu yang dibawa. Kemudian kembali ditotokkan 

ujung alas kakinya ke batu. Kembali tubuh pemuda 

berambut putih keperakan itu melambung ke atas. 

Dewa Arak terus melakukannya berkali-kali untuk 

dapat tiba di tempat yang penuh rumput-rumput 

ilalang kering. 

Hambatan-hambatan yang diterima Dewa Arak 

tidak hanya itu saja. Di hamparan rumput itu pun 

menghadang hambatan-hambatan yang tidak kalah 

mengerikan. Ular kecil, kelabang, lintah, kalajengking, 

dan bermacam-macam binatang lainnya menyerbu 

dari balik rerimbunan alang-alang itu. Namun berkat 

kelihaiannya, Arya mampu mengatasi semuanya 

meskipun dengan susah payah. 

Kini Dewa Arak menatap sebuah bangunan 

sederhana yang terpampang di hadapannya. Tidak 

salah lagi! Bangunan ini pasti tempat tinggal 

Kelelawar Beracun! Maka tanpa ragu-ragu lagi, 

pemuda berambut putih keperakan ini segera 

bergerak menghampiri.


"Kelelawar Beracun...! Keluar kau...!" Masih dengan 

napas terengah-engah, Dewa Arak berseru me-

manggil. Keras bukan main suaranya, karena di-

keluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. 

Kriiit..! 

Suara bergerit tajam terdengar mengiringi 

terbukanya pintu pondok itu. Dan dari balik pintu yang 

terkuak, muncul sesosok tubuh tinggi kurus 

berpakaian serba hitam. Sepasang matanya yang 

kecil dan merah tampak menyeramkan sekali dengan 

wajahnya yang pucat. Inilah Kelelawar Beracun, yang 

membuat Melati terluka! 

Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak 

begitu melihat sosok tubuh di ambang pintu itu. 

Meskipun belum pernah melihat, tapi dari ciri-ciri 

yang diceritakan, sudah bisa diduga kalau itu adalah 

Kelelawar Beracun! 

"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Kelelawar 

Beracun kasar penuh kemarahan. 

Dan memang, Kelelawar Beracun marah bukan 

main mendengar panggilan Dewa Arak. Dengan sorot 

mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng-

hampiri pemuda berambut putih keperakan itu. 

Kedua tangan Dewa Arak menggigil keras karena 

hawa amarah yang bergelora. Memang, hatinya 

panas bukan main mendengar sambutan laki-laki 

berwajah pucat itu. Apalagi saat itu, Arya tengah 

dilanda kemarahan yang amat sangat, mengingat 

penderitaan yang dialami kekasihnya yang diakibat


kan oleh orang di hadapannya ini. Tapi karena nasib 

Melati tergantung pada pertolongan Kelelawar 

Beracun, Dewa Arak menelan kemarahan yang 

menyesakkan dada. 

"Aku Arya...," sahut Dewa Arak dengan suara ber-

getar karena hawa amarah yang menyesakkan dada. 

"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. Sikapnya 

jelas terlihat sangat memandang rendah. "Lalu, apa 

keperluanmu memanggilku?" 

Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan meng-

hembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah 

yang bergejolak dalam dada. Sikap dan ucapan laki-

laki berwajah pucat itu benar-benar menjengkelkan. 

"Aku ingin kau ikut denganku...," masih bergetar 

nada suara Dewa Arak. 

"Ikut denganmu?" Kelelawar Beracun tersenyum 

mengejek. Perasaan geli bersarang dalam hatinya 

mendengar ajakan itu. "Kalau aku tidak mau?" 

"Aku akan memaksamu...!" tandas Dewa Arak, 

tegas dan keras. 

"Heh...?!" 

Berkilat sepasang mata Kelelawar Beracun. Dia 

adalah seorang laki-laki yang berwatak angkuh dan 

selalu mengagungkan kemampuan sendiri. Maka 

tidak aneh, jika laki-laki berwajah pucat ini merasa 

terkejut mendengar ucapan Dewa Arak. 

"Kau akan memaksaku?" 

Arya mengangguk. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Kelelawar Beracun meledak, walau terdengar 

aneh. Kecil dan melengking tak ubahnya tikus men-

cicit. 

Wajah Dewa Arak memerah, karena tahu kalau 

laki-laki berpakaian hitam itu menertawakan dirinya.


Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah sejak tadi 

Dewa Arak menerjang Kelelawar Beracun. Tapi 

kekhawatirannya akan nasib Melati, membuatnya 

menelan kemarahan itu. 

"Diam...!" 

Terpaksa Dewa Arak membentak. Keras sekali 

suaranya karena ditopang tenaga dalam tinggi. 

Bentakan itu tak ubahnya ledakan halilintar! 

Seketika itu juga Kelelawar Beracun menghentikan 

tawa. Sikapnya langsung berubah. Dirasakan adanya 

getaran kuat yang membuat dadanya terguncang 

akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda yang 

berdiri di hadapannya ini. 

Kini laki-laki berwajah pucat ini sadar, pemuda 

berambut putih keperakan ini bukan lawan ringan. 

Dan seiring timbulnya kesadaran itu, dia pun teringat 

kalau untuk masuk ke tempatnya, orang harus 

melalui berbagai macam rintangan dan hambatan 

yang penuh bahaya. Tanpa memiliki kemampuan dan 

kecerdikan tinggi, tidak akan pernah ada orang yang 

mampu masuk ke tempatnya. Tapi, Arya ternyata 

mampu! Ini saja sudah membuktikan kalau Dewa 

Arak bukan orang sembarangan! 

Mendapat dugaan seperti ini membuat Kelelawar 

Beracun waspada. Pikirannya pun berputar, meng-

ingat-ingat barangkali pernah mendengar ada 

seorang tokoh muda berambut putih keperakan yang 

memiliki kepandaian tinggi. Seketika laki-laki ber-

wajah pucat ini tersentak begitu teringatk 

"Jadi..., kau... Dewa Arak...?!" tanya Kelelawar 

Beracun terbata-bata. Nada suaranya menyiratkan 

keterkejutan yang amat sangat. Dia memang telah 

mendengar julukan tokoh yang mengemparkan itu. 

"Benar," sahut Dewa Arak, mantap. "Maka, lebih


baik kau ikut denganku secara baik-baik sebelum 

terjadi sesuatu pada dirimu." 

Untuk pertama kalinya, Dewa Arak tidak lagi ber-

sikap merendah. Pemuda berambut putih kepeakan 

ini tidak mau membuang-buang waktu lagi. Itulah 

sebabnya, dia seperti bersikap sombong. 

"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. "Orang 

lain boleh takut dengan nama besarmu, Dewa Arak! 

Tapi jangan harap Kelelawar Beracun akan gentar!" 

"Kalau begitu, terpaksa kau harus kutundukkan 

dengan kekerasan!" 

"Sombong!" 

Kelelawar Beracun memaki. Dia marah bukan 

main menyaksikan sikap dan ucapan Dewa Arak yang 

jelas-jelas seperti merendahkannya. 

Setelah berkata demikian, Kelelawar Beracun lalu 

melompat menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya 

bergerak menampar ke arah pelipis. Keras bukan 

main. Ini terbukti dari deru angin deras yang 

menyambar ke arah Dewa Arak. 

Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. 

Segera guci araknya dijumput dan langsung diangkat 

ke atas kepala. 

Gluk... gluk... gjuk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati 

tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa 

hangat yang menyebar dalam perut Arya. Perlahan 

hawa hangat itu naik ke kepala. Kontan kedua kaki 

pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng. 

Sementara itu serangan dari Kelelawar Beracun 

meluncur tiba. 

Dengan gerakan sempoyongan yang khas dari ilmu 

'Belalang Sakti', Dewa Arak mengelakkan serangan 

itu. Kaki kanannya melangkah ke belakang sehingga


tamparan itu mengenai angin kosong. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya. Begitu 

serangan itu berhasil dipunahkan, tubuhnya berputar 

ke kiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Sekejap 

kemudian, tubuh Dewa Arak telah berada di belakang 

Kelelawar Beracun. Inilah salah satu gerak jurus 

'Delapan Langkah Belalang'. 

Dan secepat tubuhnya telah berada di belakang, 

secepat itu pula Dewa Arak melancarkan serangan. 

Kedua tangannya dengan jari-jari membentuk jurus 

belalang, melancarkan serangan bertubi-tubi ke bahu 

belakang kanan Kelelawar Beracun. 

Semula Kelelawar Beracun kebingungan tatkala 

melihat lawan mendadak lenyap dari hadapannya. 

Tapi begitu merasakan desir angin dari belakang, dia 

segera tahu kalau lawan telah berada di belakangnya. 

Luar biasa! Meskipun dalam keadaan gawat 

seperti itu, Kelelawar Beracun masih mampu 

menyelamatkan diri. Bahkan laki-laki berwajah pucat 

itu tidak mengelak. Dia hanya menjejakkan kedua 

kaki, maka tubuhnya melenting ke atas. Tak pelak 

lagi serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong, 

lewat beberapa jengkal di bawah kaki Kelelawar 

Beracun. 

Arya terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau 

lawan akan mengelakkan diri dengan cara seperti itu. 

Semula dikira laki-laki berpakaian hitam itu akan 

mengelak dengan melempar tubuh ke depan dan 

bergulingan. Suatu cara yang paling mudah untuk 

mengelak. Sebenarnya, mengelak dengan cara 

seperti itu paling tidak membutuhkan ilmu 

meringankan tubuh yang luar biasa! 

Bahkan bukan hanya itu saja yang dilakukan 

Kelelawar Beracun. Saat tubuhnya bersalto di udara,


tangan kanannya bergerak mengibas. 

Serrr...! 

Belasan batang jarum beracun meluncur ke arah 

Dewa Arak. 

Arya terperanjat dan juga geram. Sungguh tidak 

disangka akan mendapat serangan seperti itu. 

Meskipun serangan itu datangnya begitu men-

dadak dan tiba-tiba, tapi Dewa Arak tidak gugup. Guci 

araknya segera dituangkan ke mulutnya. 

Tapi berbeda dengan biasanya, kali ini arak itu 

tidak diminum. Begitu masuk ke dalam mulutnya, 

arak itu langsung disemburkan Dewa Arak. 

"Pruhhh...!" 

Tringgg, tringgg...! 

Suara berdenting nyaring seperti beradunya 

benda-benda logam kecil terdengar, ketika arak yang 

disemburkan Dewa Arak berbenturan dengan jarum-

jarum beracun yang diiepaskan Kelelawar Beracun. 

Seketika itu pula semua jarum-jarum yang dilepas-

kannya runtuh ke tanah. 

Memang berkat pengerahan tenaga dalam Arya 

yang sudah mencapai tingkatan tinggi, percikan arak 

itu seolah-olah telah berubah menjadi logam-logam 

kecil. 

Bersamaan dengan kedua kaki Kelelawar Beracun 

mendarat di tanah, Dewa Arak telah menyampirkan 

gucinya kembali ke punggung. Langsung dilancar-

kannya serangan bertubi-tubi ke arah Kelelawar 

Beracun. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun 

terjadi. 

Hebat bukan main pertarungan antara kedua 

orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan 

tubuh tingkat tinggi itu. Yang terlihat hanyalah 

kelebatan bayangan hitam dan ungu, yang terkadang


saling belit dan kemudian saling pisah. 

Suara menderu dan mendesing menyemarakkan 

pertarungan. Dan, beberapa kali Dewa Arak harus 

menyemburkan araknya begitu Kelelawar Beracun 

melancarkan serangan jarum-jarum beracun. 

Pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran ini 

berlangsung cepat. Memang, keduanya sama-sama 

memiliki gerakan cepat, sehingga tidak aneh bila 

dalam waktu sebentar saja dua puluh jurus telah 

berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-

tanda yang akan terdesak. 

Sebuah keuntungan bagi Kelelawar Beracun, Dewa 

Arak ternyata bertarung secara hati-hati. Pemuda 

berambut putih keperakan ini tidak ingin lawannya 

tewas atau terluka parah. Maka, Arya selalu menahan 

serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan hal-

hal yang tidak diinginkan. Dan tentu saja, hal ini 

semakin membuat Arya mengalami kesulitan. 

Padahal, Kelelawar Beracun bertarung disertai 

pengerahan seluruh kemampuannya. 

Kelelawar Beracun memang orang yang cerdik. Dia 

tahu kalau lawan tidak terlalu bersungguh-sungguh 

menghadapinya. Tapi sebenarnya hal ini membuatnya 

terpukul, di samping rasa penasaran yang bukan 

kepalang. Untuk yang kedua kalinya, dia menelan 

kenyataan pahit karena harus bertemu lawan yang 

memiliki kepandaian di atasnya. Dan yang lebih 

menyakitkan hati lagi, lawan itu adalah seorang tokoh 

muda! 

Kelelawar Beracun adalah seorang yang memiliki 

keangkuhan tinggi. Selama ini, dia selalu meng-

agulkan kepandaiannya. Menurut anggapannya, tidak 

banyak orang yang akan dapat menandingi 

kepandaiannya. Dapat dibayangkan, betapa kecewa


hati Kelelawar Beracun tatkala berturut-turut meng-

hadapi kenyataan pahit. Dua kali dibuat malu oleh 

tokoh muda! Pertama dengan Melati, dan kali ini 

dengan Dewa Arak! 

Memang harus diakui, sewaktu menghadapi 

Melati, seluruh kemampuan yang dimilikinya belum 

dikerahkan. Dan hal itu memang tidak mungkin 

dilakukan. Karena, waktu itu dia menghadapi gadis 

berpakaian putih itu bersama-sama Tuyul Tangan 

Seribu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam 

episode 'Kelelawar Beracun"). 

Kalau seluruh kemampuannya dikeluarkan, bukan 

hanya Melati yang akan celaka. Rekannya pun pasti 

akan celaka pula! Dan itu sama sekali tidak 

diinginkannya. 

Kali ini, dirinya harus menghadapi Dewa Arak 

seorang diri. Kini tidak ada lagi yang perlu di-

khawatirkan, sehingga bebas mengeluarkan seluruh 

kemampuan yang dimiliki. Dia tidak perlu merasa 

khawatir lagi. 

Sebenarnya sejak tadi Dewa Arak sudah dilanda 

perasaan heran. Apakah karena jarum beracun ini, 

laki-laki berpakaian hitam itu dijuluki Kelelawar 

Beracun! Rasanya mustahil! Tapi mengingat tempat 

tinggalnya yang begitu penuh dilapisi racun-racun 

mengerikan, rasanya tidak mungkin kalau hanya 

karena jarum-jarum dia mendapat julukan Kelelawar 

Beracun. 

Dewa Arak langsung teringat pada pamannya yang 

berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa (Untuk jelasnya, 

baca serial Dewa Arak dalam episode per-dananya, 

"Pedang Bintang"). Pamannya itu memang tidak 

mengherankan mendapat julukan seperti itu, karena 

memang setiap serangannya selalu mengandung


racun. 

"Hih...!" 

Mendadak Kelelawar Beracun melempar tubuhnya 

ke belakang, menjauhkan diri dari kancah 

pertarungan. Dan begitu telah berada di udara, dia 

be-putaran beberapa kali ke belakang. 

Arya sama sekali tidak mengejarnya. Pemuda 

berambut putih keperakan ini sudah bisa menduga 

kalau lawan akan menggunakan ilmu lain. Maka, dia 

hanya diam menunggu. Dewa Arak tidak ingin 

mempergunakan kesempatan itu untuk merobohkan 

lawan. 

Karena Arya tidak mengejarnya, Kelelawar Beracun 

sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk 

melaksanakan maksudnya. Dengan gerakan indah 

dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah. Kini 

keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar 

tujuh tombak. 

Dengan sepasang. mata tak lepas mengawasi 

gerak-gerik lawan, Dewa Arak mengangkat guci 

araknya ke atas kepala. Dan dengan sikap tenang, 

araknya dituangkan ke mulut. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati 

tenggorokan Arya. Tak lama kemudian, setelah hawa 

langat kembali menjalari perut dan kepalanya, kedua 

kaki pemuda berambut putih keperakan ini mulai 

oleng. Langkahnya juga mulai tidak tetap dan 

terhuyung-huyung. 

Sementara pada saat Dewa Arak menuangkan 

arak ke mulutnya, Kelelawar Beracun tengah bersiap 

mengeluarkan ilmu andalannya. Kedua tangannya 

dijulurkan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka 

lurus dan kaku. Sekujur tangannya, mulai dari


pangkal lengan sampai pergelangan mengejang. 

Suara mencicit pelan, seperti suara seekor tikus 

terdengar dari mulutnya. Dan perlahan-lahan, kedua 

tangan itu direntangkan ke samping. 

Tepat ketika tubuh Dewa Arak mulai sempoyongan, 

dari seluruh tubuh Kelelawar Beracun mengepul uap 

tipis berwarna putih. Karuan saja hal ini membuat 

Dewa Arak terbelalak. Memang diakui, dia pun 

mampu mengeluarkan asap tipis dari sekujur 

tubuhnya. Tapi itu dilakukan bila tengah memusatkan 

pikiran untuk mengeluarkan tenaga dalamnya, 

'Tenaga Sakti Inti Matahari'! 

Begitu kedua tangannya telah merentang ke 

samping, mendadak Kelelawar Beracun melompat, 

Dan dari atas, kedua tangannya dengan jari-jari 

terbuka, bergerak menepuk. Yang kanan menepak 

pelipis kiri, sementara yang kiri menepak pelipis 

kanan Arya. Rupanya dia ingin menggencet hancur 

kepala Dewa Arak! 

Arya terperanjat melihat kecepatan gerak lawan. 

Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang 

memuakkan, seiring tibanya serangan Kelelawar 

Beracun. Bau amis itu membuat kepala Dewa Arak 

terasa pusing. 

Dewa Arak tidak mau bersikap sembrono dengan 

menangkis serangan itu. Dia belum tahu ke-

istimewaan ilmu lawan. Maka diputuskannya untuk 

mengelakkan serangan itu. Tanpa membuang-buang 

waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan dengan 

cara menekuk lutut. 

Plokkk...! 

Suara keras menggelegar terdengar ketika kedua 

tangan Kelelawar Beracun saling bertemu satu sama 

lain, karena sasaran yang ditujunya telah lenyap.


Ternyata tidak hanya sampai di situ saja serangan 

Kelelawar Beracun. Begitu serangannya berhasil 

dielakkan, kedua kakinya bergerak menendang ke 

arah dada. Keras bukan main. Suara angin menderu 

menjadi saksi kekuatan tenaga dalam yang 

terkandung dalam serangan itu. 

Arya terkejut bukan kepalang. Apalagi ketika rasa 

pening yang menyerang kepalanya semakin hebat, 

seiring semakin kerasnya bau amis yang semakin 

menyengat hidung. 

Meskipun berada dalam keadaan yang meng-

khawatirkan, Dewa Arak tetap membuktian ke-

hebatannya. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang 

Sakti' yang membuatnya mampu melakukan gerakan 

apa pun dan dalam keadaan sesulit bagaimana pun, 

dia mampu mengelakkan serangan itu. 

Cepat laksana kilat, kedua kakinya menekan 

tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting ke 

belakang. Akibatnya sudah bisa diduga. Serangan 

Kelelawar Beracun hanya menghantam tempat 

kosong! Karena, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada 

lagi di situ. 

Berbareng mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di 

tanah, kedua kaki Kelelawar Beracun pun hinggap di 

tanah pula. Kembali keduanya berdiri berhadapan 

dalam jarak lima tombak. 

Arya tahu, betapa berbahayanya setiap serangan 

yang dilakukan Kelelawar Beracun. Jangankan ter-

kena secara langsung. Baru angin serangannya saja, 

sudah membuat kepalanya pusing. Padahal laki-laki 

berwajah pucat itu baru menyerang sebanyak dua 

kali! Semakin banyak Kelelawar Beracun menyerang, 

dengan sendirinya suasana di sekitar tempat ini akan 

semakin banyak dicemari racun ganas. Baru sedikit


saja kepalanya sudah terasa pusing. Tidak bisa 

dibayangkannya, bagaimana kalau Kelelawar Beracun 

sudah banyak melancarkan serangan! 

Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera 

menuangkan arak ke dalam mulutnya kembali. 

***


Gluk... gluk... gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati 

tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, hawa 

hangat mulai merayap di dalam perutnya, dan terus 

naik ke kepala. Dan kini sikap kedua kaki Arya mulai 

tidak tetap. 

Dan seiring dengan itu, perasaan pusing yang tadi 

mendera kepalanya pun lenyap seketika. Itulah 

keistimewaan yang dimiliki Dewa Arak. Gabungan dari 

arak dan ilmunya, mampu mematahkan hawa 

beracun yang menyerang. 

Baru saja Arya menurunkan guci araknya, 

Kelelawar Beracun kembali melesat menerjang. 

Sesaat kemudian pertarungan sengit kembali terjadi. 

Kini Arya baru sadar, mengapa lawannya ini 

mendapat julukan Kelelawar Beracun. Laki-laki 

berwajah pucat ini bagaikan seorang manusia 

beracun. Jangankan serangan tangan atau kaki, 

anginnya saja mengandung racun kuat yang mampu 

membuat lawan pusing dan terpecah perhatiannya. 

Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama 

memiliki kecepatan gerak mengagumkan itu ber-

langsung cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, 

lima puluh jurus telah berlalu tanpa terasa. Dan 

selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan 

terdesak. 

Diam-diam Arya merasa bergetar melihat ke-

dahsyatan ilmu yang dimiliki Kelelawar Beracun. 

Memang bila ditujukan baginya, kedahsyatan ilmu itu 

tidak berarti banyak. Tapi jika ditujukan untuk orang 

lain? Kelelawar Beracun memang layak dimusnah


kan! Tapi bila dimusnahkan, bagaimana dengan 

Melati? 

Diam-diam Dewa Arak harus mengakui, kalau 

setelah mengeluarkan ilmu andalan ini kelihaian 

Kelelawar Beracun semakin menjadi-jadi. Dan itu 

tidak bisa dilayani dengan kemampuan seperti se-

belumnya. Terpaksa kemampuannya ditambah. 

Meskipun begitu, tetap saja Arya tidak mengerahkan 

seluruh kemampuan yang dimiliki. 

Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke 

seratus, mulai nampak keunggulan Dewa Arak. 

Perlahan namun pasti, Kelelawar Beracun mulai 

terdesak. Hal ini tidak aneh, karena keistimewaan 

ilmunya sama sekali tidak ada gunanya begitu 

menghadapi Dewa Arak. Hawa beracun yang telah 

menyebar ke seluruh tempat itu sama sekali tidak 

berarti apa-apa. 

Kelelawar Beracun hampir putus asa. Sebab, 

setiap serangannya mampu dielakkan Dewa Arak. 

Memang tingkat kepandaian Arya Buana di atas 

Kelelawar Beracun. 

Dewa Arak selalu mengelakkan serangan yang 

dilancarkan Kelelawar Beracun, dan sekali pun tidak 

pernah mencoba menangkisnya. Arya tahu kalau 

setiap serangan lawan mengandung racun yang tidak 

terkirakan ganasnya. Makanya dia tidak berani 

mencoba-coba menangkisnya. Jadi selama seratus 

jurus bertarung, belum pernah terjadi benturan 

tangan antara mereka secara langsung. Kelelawar 

Beracun beberapa kali saja memojokkan untuk 

mengadu tenaga, tapi selalu berhasil dielakkan Dewa 

Arak. Dan andaikata benturan di antara mereka tidak 

bisa dihindari lagi, pemuda berambut putih 

keperakan itu menangkisnya dengan guci. Akibatnya,


Kelelawar Beracun langsung terhuyung-huyung 

mundur. Isi dadanya terasa sesak dan sekujur tangan 

bergetar hebat. Padahal Dewa Arak belum mengerah-

kan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu. 

Merasa putus asa mengajak Dewa Arak mengadu 

tangan secara langsung, tambahan lagi menyadari 

keadaannya yang mulai terdesak, Kelelawar Beracun 

terpaksa mengeluarkan senjata andalannya. Tampak 

sebuah cambuk yang terbuat dari kulit landak telah 

tergenggam di tangannya. Dan menilik dari kebiasaan 

Kelelawar Beracun, maka sudah bisa dipastikan 

kalau senjata yang dimilikinya pun mengandung 

racun ganas juga. 

Ctarrr...! 

Ledakan keras seperti ada halilintar menyambar 

terdengar setiap kali Kelelawar Beracun melecutkan 

cambuknya. Bukan hanya itu saja. Asap tipis ber-

warna putih pun mengepul setiap kali ujung cambuk 

membelah udara. Dan tentu saja bukan asap 

sembarangan, melainkan asap yang mengandung 

racun ganas. Bau keras yang membuat Arya berkali-

kali bersin, tercium dari asap yang berwarna putih itu. 

Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak agak 

kewalahan. Hidungnya terasa seperti dikilik-kilik. Dan 

tanpa dapat dicegahnya lagi, dia bersin. Dengan 

sendirinya hal ini membuat gerakannya terganggu. 

Dengan adanya cambuk kulit landak di tangannya, 

Kelelawar Beracun kembali mampu memperbaiki 

kedudukannya. Dia kini tidak lagi kewalahan. Bahkan 

sebaliknya, Dewa Arak yang mulai main mundur. 

Kembali pertarungan sengit terjadi. Dengan ada-

nya cambuk di tangan, Kelelawar Beracun bagaikan 

seekor harimau tumbuh sayap. Laki-laki berwajah 

pucat ini tampak semakin berbahaya.


Tapi hanya sekitar dua puluh jurus saja Kelelawar 

Beracun dapat melakukan serangan gencar. Lewat 

dari dua puluh jurus, serangan serangan cambuknya 

mulai mengendur. Tidak aneh, karena laki-laki ber-

pakaian hitam ini sudah merasa sangat lelah. 

Sebelum mengeluarkan senjata andalan, dia telah 

bertarung lebih dari seratus lima puluh jurus. Dan 

selama itu, seluruh kemampuannya dikerahkan. 

Berbeda dengan Kelelawar Beracun, Dewa Arak 

sama sekali tidak merasa lelah. Pemuda berambut 

putih keperakan ini memang berbeda dengan orang 

lain. Setiap kali merasa lelah, araknya langsung 

ditenggak. Maka, kontan tenaganya pulih kembali. 

Itulah sebabnya, meskipun Kelelawar Beracun telah 

dilanda rasa lelah yang amat sangat, Dewa Arak 

masih tetap segar bersemangat. 

Seiring semakin mengendurnya serangan-

serangan Kelelawar Beracun, serangan Dewa Arak 

datang semakin bertubi-tubi. Arya memang ingin 

secepatnya merobohkan lawan. Sampai pada suatu 

saat... 

Tukkk...! 

Ujung alas kaki Dewa Arak telak dan keras sekali 

mengenai pergelangan tangan kanan Kelelawar 

Beracun. Seketika laki-laki berwajah pucat ini me-

mekik pelan. Tanpa dapat dicegah lagi, cambuknya 

terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. 

Belum lagi laki-laki berpakaian hitam ini sempat 

berbuat sesuatu, kaki kiri Arya telah bergerak 

meluncur cepat ke arah perutnya. Kelelawar Beracun 

mencoba untuk mengelak, tapi.... 

Bukkk...! 

"Hugh...!" 

Kelelawar Beracun mengeluh tertahan ketika


tendangan Dewa Arak telak dan keras sekali meng-

hantam perutnya. Seketika itu juga tubuhnya terlipat 

ke depan. Di saat itulah Dewa Arak kembali me-

lancarkan serangan susulan, berupa totokan ke arah 

bahu kiri Kelelawar Beracun. 

Tukkk...! 

Telak dan keras sekali totokan yang dilancarkan 

Arya mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh 

Kelelawar Beracun lemas, tidak mampu digerakkan 

sama sekali. Hanya saja, sepasang matanya melotot 

menatap Dewa Arak penuh kebencian. 

"Kelelawar Beracun, aku bersedia mengampuni-

mu...," kata Arya pelan tapi penuh wibawa. "Asal kau 

bersedia memenuhi permintaanku...." 

"Cuhhh...!" 

Sambutan ludah kental Kelelawar Beracun ke arah 

wajah Arya yang menyambut tawaran itu. Untung 

pemuda berambut putih keperakan itu sempat 

mengelak. Kalau tidak, tentu cairan yang menjijikkan 

itu sudah hinggap di wajahnya. 

"Jangan kau kira aku takut mati, Dewa Arak! Aku 

lebih suka seribu kali mati daripada harus memenuhi 

permintaanmu!" tandas Kelelawar Beracun kasar. 

Arya tercenung tapi pikirannya berputar keras. Dia 

bukan orang yang berwatak kejam. Tapi disadari 

kalau sikap seperti itu terkadang diperlukan juga. 

Maka meskipun rasanya bertentangan dengan hati 

nurani, Arya mencoba menguatkan hati 

"Aku tahu kau tidak takut mati, Kelelawar 

Beracun," sahut Arya. Dingin dan datar suaranya. 

Nadanya terdengar kaku, sekaku wajahnya. "Tapi 

perlu kau ketahui, aku tidak akan membiarkanmu 

mati begitu saja. Kau akan mengalami siksaan yang 

mungkin belum pernah dirasakan selama hidupmu!


Aku akan membuatmu mati secara perlahan-lahan." 

Meremang bulu kuduk Kelelawar Beracun men-

dengar ancaman Dewa Arak. Tertangkap adanya nada 

ancaman yang hebat dalam suara itu. Sebagai 

seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, dia tentu saja 

tahu kalau Dewa Arak mudah saja menciptakan 

berbagai macam penyiksaan yang mengerikan. Tapi, 

Kelelawar Beracun adalah seorang tokoh hitam yang 

memiliki keangkuhan tinggi. Maka meskipun 

perasaan ngeri mencekam hatinya, dia berusaha 

menyembunyikannya. Sebuah seringai penuh ejekan 

terpampang di wajahnya. 

"Jangan katakan aku kejam, Kelelawar Beracun," 

tegas Dewa Arak dingin. "Aku telah memberimu 

pilihan dan kesempatan. Dan kau telah memilih 

sendiri kemauanmu...!" 

Setelah berkata demikian, dengan raut wajah 

dibuat kaku tanpa perasaan, Dewa Arak 

membungkukkan tubuh. Telunjuk tangan kanannya 

menuding kaku, kemudian perlahan bergerak ke arah 

jalan darah di bahu kanan Kelelawar Beracun. 

"A..., apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak...?" 

suara Kelelawar Beracun seperti tercekat di 

tenggorokan. 

Laki-laki berwajah pucat ini tentu saja tahu, apa 

yang akan dilakukan Dewa Arak. Pemuda itu memang 

akan menotok jalan darah di bahu kanannya. Dewa 

Arak telah siap menyiksanya! Totokan pada jalan 

darah di situ akan membuatnya melolong-lolong, 

karena dilanda rasa sakit yang hebat. 

Arya tersenyum pahit. 

"Hanya sebagai permulaan dari kematianmu, yang 

akan kubuat perlahan-lahan tapi penuh penyiksaan," 

sahut Dewa Arak, kalem tapi dengan raut wajah tetap


dingin. "Masih banyak lagi siksaan mengerikan yang 

akan kau terima. Ini sekadar pemanasan." 

Kontan wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. 

Menilik dari gerak-geriknya, Dewa Arak tidak main-

main dengan ancamannya. Memang diakui, dirinya 

tidak takut menghadapi maut. Tapi mati secara 

perlahan-lahan dalam keadaan sangat tersiksa, siapa 

yang tidak ciut nyalinya? 

"T..., tunggu dulu, Dewa Arak...!" 

Agak terburu-buru Kelelawar Beracun berseru 

mencegah. Arya yang memang sudah sejak tadi 

menunggu hal ini, menahan gerakan tangannya. 

Kemudian, wajahnya menoleh ke arah laki-laki 

berwajah pucat, tapi tidak ada satu patah kata pun 

yang keluar dari mulutnya. 

"Kau berjanji akan membebaskan diriku kalau 

bersedia memenuhi permintaanmu?" tanya Kelelawar 

Beracun tidak yakin. 

"Aku berjanji," tegas Dewa Arak. 

"Kau tidak akan mengingkarinya?" kejar Kelelawar 

Beracun. 

Sebagai seorang tokoh sesat yang terbiasa curang, 

laki-laki berwajah pucat ini tidak sembarang percaya 

pada ucapan orang. Maka dia tidak langsung percaya 

dengan janji Dewa Arak. 

"Jangan sama kan aku dengan orang sepertimu, 

Kelelawar Beracun!" sergah Arya keras. 

"Kau berani bersumpah untuk menepati janjimu?" 

tanpa mempedulikan sama sekali penegasan Arya, 

Kelelawar Beracun terus saja membuka suara. 

Terdengar suara gemerutuk dari mulut Dewa Arak 

begitu mendengar ucapan Kelelawar Beracun. Arya 

memang dilanda amarah yang bergolak. Tapi demi 

keselamatan Melati, kemarahannya berusaha


ditahan. 

"Aku berjanji untuk membebaskan Kelelawar 

Beracun apabiia bersedia memenuhi permintaanku," 

tegas dan mantap ucapan yang keluar dari mulut 

Dewa Arak. 

Wajah Kelelawar Beracun seketika berseri begitu 

mendengar sumpah yang keluar dari mulut Dewa 

Arak. Rupanya, ucapan seperti itu sudah cukup 

baginya. 

Setelah mendengar kesediaan dari mulut 

Kelelawar Beracun, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak 

segera mengulurkan tangan. Dan sekali jari-jarinya 

bergerak, totokan yang membelenggu Kelelawar 

Beracun pun terlepas. 

Kelelawar Beracun bangkit berdiri, kemudian 

menggeliat-geliatkan tubuhnya sebentar untuk meng-

hilangkan rasa pegal yang melanda tubuhnya. 

"Katakan apa permintaanmu, Dewa Arak," kata 

Kelelawar Beracun sesaat kemudian. 

"Mudah saja," sahut Arya. "Obati kawanku yang 

telah kau lukai." 

Berkernyit dahi Kelelawar Beracun mendengar 

ucapan itu. 

"Kawanmu! Kulukai?" 

Arya menganggukkan kepala. 

"Siapa kawanmu, Dewa Arak?" tanya Kelelawar 

Beracun penasaran. 

Benak laki-laki berwajah pucat itu berputar keras 

mengingat-ingat orang yang telah dilukainya. Tapi 

seingatnya, beberapa hari belakangan ini hanya 

seorang saja yang bertarung dengannya. Itu pun 

mungkin telah tewas. Dia adalah seorang gadis 

berpakaian putih yang tinggal di Istana Kerajaan 

Bojong Gading. Tidak ada lagi yang lainnya. Diakah


orang yang dimaksudkan Dewa Arak? Tapi rasanya 

mustahil! Kelelawar Beracun yakin kalau gadis 

berpakaian putih itu pasti sudah tewas! Racunnya tak 

pernah gagal dalam mengambil nyawa! 

"Seorang gadis berpakaian putih...." 

"Ah...!" seruan kaget dari mulut Kelelawar Beracun 

membuat Arya menghentikan ucapannya. 

"Maksudmu..., gadis berambut panjang yang tinggal di 

Istana Kerajaan Bojong Gading?!" 

"Benar!" sahut Arya, mantap. 

Seketika wajah Kelelawar Beracun berubah. 

"Jadi..., dia belum tewas?" 

"Belum. Tapi dia juga belum sembuh. Makanya, 

aku datang kemari untuk meminta kau mengobatinya 

sampai sembuh." 

Kelelawar Beracun tercenung seketika. Sungguh di 

luar dugaan kalau Melati belum tewas. Padahal 

kebenciannya pada gadis berpakaian putih itu sangat 

mendalam. Gadis itulah yang telah membuat Kala 

Ireng sahabatnya, tewas. 

*** 

Mendadak Kelelawar Beracun melompat 

menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya yang 

menegang lurus dan kaku melancarkan serangan 

bertubi-tubi pada ulu hati, dada, dan perut. Suara 

mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya 

serangan itu. 

Dewa Arak terperanjat. Serangan ini datangnya 

begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Dia 

memang tidak menduga kalau lawannya akan selicik 

itu. Tapi meskipun begitu, sudah sejak tadi dia 

bersikap waspada. Arya memang tidak pernah


meninggalkan kewaspadaannya. 

Maka begitu mendapat serangan mendadak, buru-

buru pemuda berambut putih keperakan ini 

melompat ke belakang sehingga serangan yang 

dilancarkan Kelelawar Beracun mengenai tempat 

kosong. 

Tapi ternyata Kelelawar Beracun memang tidak 

terlalu bersungguh-sungguh dengan serangannya. 

Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, dia 

melesat meninggalkan Dewa Arak. 

Karuan saja hal ini membuat Arya kaget dan buru-

buru mengejar. Tapi Kelelawar Beracun tidak tinggal 

diam. Sambil terus berlari, dilemparkannya sebuah 

benda bulat sebesar telur angsa dan berwarna hitam 

kecoklatan. 

Tercekat hati Arya melihatnya. Dia tahu, benda 

bulat yang meluncur ke arahnya itu dapat meledak. 

Dan seperti kejadian sebelumnya, sudah bisa 

diperkirakan kalau benda itu mengandung racun 

ganas. Apalagi yang melemparnya Kelelawar Beracun! 

Maka sebelum yang dikhawatirkannya terjadi, 

Dewa Arak segera menghentikan pengejarannya. 

Tubuhnya langsung dilempar ke belakang, kemudian 

bersalto beberapa kali di udara. 

Darrr...! 

Ledakan keras terdengar begitu benda bulat 

sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika itu 

juga asap tebal berwarna kemerahan muncul seiring 

terdengarnya suara ledakan itu. 

"Hup...!" 

Secepat kedua kakinya mendarat di tanah, 

secepat itu pula Arya melentingkan tubuh kembali ke 

belakang. Dewa Arak berupaya untuk berada sejauh-

jauhnya dari tempat itu. Indah dan manis sekali


gerakannya. Begitu juga ketika kedua kakinya 

mendarat di tanah dalam jarak sekitar delapan 

tombak dari tempat semula. 

Begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah, 

tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera 

memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada 

dengan arah gerakan dari luar ke dalam. 

Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang 

berputar itu bertiup angin keras yang langsung 

menyambar ke depan. Suara keras menderu 

mengiringi tiupan angin itu. Maka seketika itu juga 

asap berwana kemerahan yang perlahan-lahan 

bergerak menuju ke arah Dewa Arak, jadi buyar. 

Meskipun asap itu telah tidak tampak lagi, Dewa 

Arak terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya 

di depan dada. Dengan sendirinya, angin keras tetap 

saja berhembus ke depan. Arya ingin menyapu asap 

itu sebersih-bersihnya. 

Beberapa saat setelah yakin kalau asap itu telah 

terusir seluruhnya dari tempat itu, Dewa Arak baru 

menghentikan gerakannya. Tapi seperti yang sudah 

dit-duga, Kelelawar Beracun sudah tidak lagi berada 

di situ. Laki-laki berwajah pucat itu memang 

bermaksud melarikan diri. 

Tapi, Dewa Arak mana mungkin membiarkan 

lawannya lolos? Tanpa membuang-buang waktu lagi 

dia bergerak mengejar. 

*** 

Berbeda dengan biasanya, Dewa Arak melakukan 

pengejaran secara hati-hati. Kini tidak lagi seluruh 

kecepatan larinya dikerahkan. Memang dia tetap 

mengerahkan seluruh kelincahan yang dimiliki, tapi


kecepatan larinya hanya dikerahkan sebagian kecil 

saja. Arya harus bersikap hati-hati. Kenyataan telah 

menunjukkan kalau pulau aneh ini banyak 

mengandung bahaya yang tak terduga. 

Bukan hanya kecepatan larinya saja yang 

dikurangi. Kewaspadaannya pun jauh ditingkatkan. 

Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur 

urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada. 

Dewa Arak benar-benar bersiap menghadapi 

ancaman bahaya yang tidak terduga. Suara berkerisik 

pelan saja, sudah cukup untuk membuat aliran darah 

di sekujur tubuhnya mengalir cepat. 

Mendadak Dewa Arak menghentikan langkahnya. 

Samar-samar telinganya menangkap adanya suara 

langkah kaki ringan di belakang. Halus sekali, dan 

hampir-hampir tidak tertangkap pendengarannya. 

Jelas kalau pemilik langkah itu memiliki ilmu me-

ringankan tubuh yang tinggi. 

Kini setelah Arya berdiri diam mendengarkan, 

suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Jadi 

benar, Dewa Arak ada yang menguntit. Yang lebih 

mengejutkan pemuda berambut putih keperakan 

suara langkah yang didengarnya itu tidak hanya satu, 

tapi tiga! Tiga langkah yang sama-sama memiliki ilmu 

meringankan tubuh tingkat tinggi. Tak terasa jantung 

Dewa Arak berdebar tegang. Apakah pemilik langkah 

itu adalah Kelelawar Beracun yang datang lagi sambil 

membawa kawannya? Apabila benar demikian, dia 

akan menghadapi lawan yang amat tangguh! 

Ketegangan yang melanda Dewa Arak semakin 

memuncak begitu melihat sosok-sosok tubuh yang 

bergerak mendatangi. Memang seperti yang sudah 

diduga, ada tiga sosok tubuh yang berjalan meng-

hampirinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dewa


Arak pun mengenalnya. Ini membuatnya terperangah 

beberapa saat 

Tiga sosok tubuh itu telah cukup lanjut usianya. 

Dan masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling 

berbeda. Tapi yang jelas, ada satu kesamaan pada 

diri mereka. Yaitu, ketiga sosok itu sama-sama 

mengenakan rompi yang terbuat dari kulit macan. 

Meskipun, kulit macan yang dikenakan mereka ber-

beda-beda pula. 

Orang yang bertubuh pendek, gemuk, dan gendut 

mirip bola serta berkulit merah mengenakan rompi 

kulit macan tutul. Sementara, orang yang bertubuh 

kekar, berkulit hitam, dan berwajah kasar, mengena-

kan rompi kulit macan kumbang. Sedangkan orang 

terakhir bertubuh tinggi kurus dan berwajah kuning. 

Sehelai rompi terbuat dari macan loreng mem-

bungkus tubuhnya. 

Arya tentu saja mengenal tiga sosok tubuh ini. Ada 

pengalaman yang sangat berkesan sehubungan 

dengan ketiga tokoh ini. Mereka berjuluk Tiga Macan 

Lembah Neraka (Untuk jelasnya, baca serial Dewa 

Arak dalam episode "Tiga Macan Lembah Neraka"). 

Jantung Dewa Arak berdetak kencang. Dia tidak 

tahu, mengapa Tiga Macan Lembah Neraka berada di 

sini? Apakah ketiga tokoh yang memiliki kepandaian 

inggi itu memiliki urusan pula di sini? Dan mengapa 

ketiga orang itu mengejarnya? Ataukah hanya searah 

saja? Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam 

benak Arya! Tapi tak ada satu pun yang terjawab. 

Ada satu hal lagi yang membuat Dewa Arak 

bingung. Perasaan Tiga Macan Lembah Neraka 

terhadap dirinya belum jelas. Masih membenci atau 

tidak? Tapi Arya yang selalu bersikap hati-hati, segera 

memasang sikap waspada.


Ketiga sosok tubuh yang tidak lain dari Tiga Macan 

Lembah Neraka menghentikan langkahnya. Mereka 

menatap wajah Arya lekat-lekat. Karuan saja hal ini 

membuat Dewa Arak jadi bersikap waspada, dan 

langsung berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan 

yang akan terjadi. 

Diam-diam Dewa Arak terkejut bukan main melihat 

keadaan tiga tokoh sakti itu. Kini mereka amat jauh 

berbeda dengan yang dikenalnya. Dulu, Tiga Macan 

Lembah Neraka tampak begitu angker dan ber-

wibawa. Sorot keganasan dan keangkuhan pun 

terbayang di wajah mereka. Tapi kini, mereka telah 

jauh berubah. 

Wajah tiga tokoh Lembah Neraka ini terlihat begitu 

layu seperti menanggung beban batin yang amat 

berat. Sorot keganasan pun sudah tidak terlihat lagi. 

Kalau saja tidak menyaksikan sendiri, Arya tidak 

mungkin percaya. Padahal, paling lama mereka baru 

berpisah tiga bulan! Tapi menilik dari keadaan, 

sepertinya Dewa Arak sudah tidak berjumpa dengan 

Tiga Macan Lembah Neraka selama sepuluh tahun! 

"Kau lupa pada kami, Dewa Arak?" sapa Macan 

Tutul Lembah Neraka, orang yang sejak dulu selalu 

menjadi juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka. 

Pelan dan tidak bergairah nada suaranya. 

"Mana mungkin aku bisa melupakan kalian 

bertiga?" sahut Arya dengan nada bertanya. 

Lenyap sudah perasaan tegang dan bimbang yang 

melanda hati Dewa Arak. Tampak jelas kalau dalam 

ucapan dan sikap Tiga Macan Lembah Neraka tidak 

bernada permusuhan. Tanpa menaruh perasaan syak 

wasangka lagi, Arya segera melangkah mendekati 

ketiga orang itu. 

"Apa keperluan yang mendorongmu kemari, Macan


Tutul?" tanya Dewa Arak mengajukan keheranannya. 

Arya merasa lebih baik kalau memanggil ketiga orang 

itu julukannya saja. 

"He he he...!" 

Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tertawa ter-

kekeh. Dewa Arak yang melihatnya jadi bergidik. 

Meskipun kelihatannya tertawa, tapi tampak jelas 

kalau hanya mulut Macan Tutul Lembah Neraka saja 

yang tertawa. Sedangkan wajah dan matanya, sama 

sekali tidak menampakkan kegembiraan. Begitu 

tampak kaku dan dingin. 

Menilik dari keadaannya, Dewa Arak bisa mem-

perkirakan kalau Macan Tutul Lembah Neraka sudah 

lama tidak tertawa. Padahal seingatnya, laki-laki 

bertubuh pendek gemuk ini adalah tokoh Tiga Macan 

Lembah Neraka yang paling suka tertawa. Apakah 

yang terjadi dengan ketiga orang ini? Atau, kematian 

Utari yang telah membuat mereka seperti ini? 

"Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan 

itu, Dewa Arak," tukas Macan Tutul Lembah Neraka 

setengah mencela. 

"Maksud kalian...?!" sepasang mata Dewa Arak 

terbelalak. Sekelebatan dugaan muncul di benaknya. 

Ucapan juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka itu 

memberi petunjuk jelas padanya. "Kalian tinggal di 

pulau ini?" 

"Benar, Dewa Arak," kali ini Macan Kumbang 

Lembah Neraka yang menyahuti dengan suara 

khasnya. Keras dan parau. 

"Ahhh...!" 

Seruan penuh rasa terkejut terdengar dari mulut 

pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Kalau menurutku, pulau ini tidak patut mendapat 

nama Pulau Ular," Macan Loreng Lembah Neraka ikut


pula angkat bicara. 

"Hm...," hanya gumaman pelan dari mulut Arya 

yang menyambuti ucapan laki-laki bertubuh tinggi 

kurus itu. 

"Pulau ini lebih patut mendapat nama Kepulauan 

Ular. Karena, memang terdiri dari banyak pulau kecil 

yang saling berdekatan dan dipisahkan laut," 

sambung Macan Loreng Lembah Neraka lagi. 

Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti. 

"Mendiang Raksasa Rimba Neraka juga tinggal di 

antara deretan pulau-pulau yang ada di sekitar sini," 

sambut Macan Tutul Lembah Neraka. 

Kembali Arya menganggukkan kepala meskipun 

sebenarnya ada perasaan tidak enak bersemayam di 

hatinya. Karena, dialah yang telah menewaskan tokoh 

yang disebutkan Macan Tutul Lembah Neraka tadi. 

Sementara Raksasa Rimba Neraka adalah sahabat 

Tiga Macan Lembah Neraka. Tapi rupanya ketiga 

tokoh sakti itu sudah melupakannya. Terbukti, tidak 

ada perasaan apa-apa yang tampak di wajah mereka. 

"Setiap tokoh memang mempunyai pulau sendiri-

sendiri, Dewa Arak," jelas Macan Tutul Lembah 

Neraka lagi. "Sungguhpun hanya kecil saja. Keadaan 

masing-masing pulau berbeda. Kami memiliki tempat 

yang tandus. Daerahnya belembah-lembah. Apa bila 

siang, panasnya bukan kepalang." 

Kini Arya mengerti, mengapa tempat tinggal ketiga 

tokoh ini dinamakan Lembah Neraka. 

"Sedangkan pulau yang ditempati Raksasa Rimba 

Neraka, penuh hutan lebat. Pohon besar dan tinggi 

memenuhinya. Banyak binatang buas besar dan kecil 

yang tinggal di dalamnya, namun semuanya beracun. 

Kami bersahabat karena pulau kami bersebelahan." 

"Lalu, apakah Kelelawar Beracun termasuk


kawanmu pula, Macan Tutul Lembah Neraka?" Tanya 

Arya dengan sikap waspada. 

Macan Kumbang Lembah Neraka menggelengkan 

kepala. 

"Kami tidak suka bersahabat dengannya, Dewa 

Arak," jelas laki-laki berkulit hitam itu. "Kelelawar 

Beracun seorang tokoh licik dan tidak mempunyai 

kegagahan. Walaupun kami sendiri bukan tokoh baik-

baik, tapi pantang untuk melakukan kecurangan 

dalam pertarungan. Pantang bagi kami bermain 

racun!" 

Arya menghela napas lega. 

"Kau punya urusan dengannya, Dewa Arak?" tanya 

Macan Tutul Lembah Neraka. 

Pemuda berambut putih keperakan itu 

menganggukkan kepala. 

"Seorang kawan wanitaku dilukainya, dan 

kedatanganku kemari untuk meminta obat penawar 

itu darinya." 

Kemudian, Dewa Arak pun menceritakan semua 

kejadian yang dialaminya. Sementara Tiga Macan 

Lembah Neraka terdiam seketika, begitu Dewa Arak 

menghentikan ceritanya. 

"Lalu kalian hendak ke mana, Macan Tutul 

Lembah Neraka?" tanya Dewa Arak pula. 

"Mencari Kemamang Danau Neraka," Macan 

Loreng Lembah Neraka yang menyahuti. Nampak 

jelas kalau nada suaranya mengandung kegeraman. 

Diam-diam Arya terkejut bukan main. Sungguh 

tidak pernah disangka kalau di Pulau Ular ini terdapat 

begitu banyak tokoh. Dan sudah bisa diperkirakan 

kalau Kemamang Danau Neraka adalah seorang 

tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula. 

"Apakah Kemamang Danau Neraka tinggal dl pulau


ini?" tanya Arya. 

"Tidak. Pulau ini bernama Rawa Neraka, dan 

merupakan tempat tinggal Kelelawar Beracun. 

Sedangkan Kemamang Danau Neraka tinggal di 

sebelah pulau ini. Kami terpaksa mengambil jalan 

memutar karena tidak enak pada pemilik pulau yang 

lain. Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Bila dihitung dari 

pulau ini, kami tinggal di urutan yang ke tiga belas. 

Paling ujung. Kalau kami tidak mengambil jalan 

memutar, berapa banyak kami harus melalui pulau-

pulau yang lainnya?" jelas Macan Tutul Lembah 

Neraka panjang lebar. 

"Kalau boleh kutahu, mengapa kalian mencari 

Kemamang Danau Neraka?" tanya Arya hati-hati 

"Dia telah melanggar perjanjian tidak tertulis, 

Dewa Arak!" lagi-lagi Macan Kumbang Lembah 

Neraka, orang paling beringas di antara Tiga Lembah 

Neraka yang menyahuti. Terdengar keras suaranya. 

Jelas kalau laki-laki berkulit hitam ini merasa marah 

bukan main. "Dia akan menguasai pulau sahabat 

kami yang telah kosong." 

"Pulau milik Raksasa Rimba Neraka," tanya Arya 

memastikan. 

Macan Kumbang Lembah Neraka mengangguk. 

Suasana menjadi hening sejenak, begitu Dewa 

Arak tidak melanjutkan pertanyaannya. Sementara 

Tiga Macan Lembah Neraka pun sepertinya sudah 

tidak berminat lagi memperpanjang pembicaraan. 

"Lebih baik, kau ikut kami, Dewa Arak," ajak Macan 

Tutul Lembah Neraka memecahkan keheningan yang 

terjadi. 

Dewa Arak tersentak. 

"Jangan salah mengerti, Dewa Arak," buru-buru 

laki-laki bertubuh pendek gemuk itu menyambung


pembicaraannya. "Kami tidak bermaksud melibat-

kanmu dengan urusan kami. Tapi perlu kau ketahui, 

Kelelawar Beracun adalah sahabat kental Kemamang 

Danau Neraka. Jadi, bukan tidak mungkin kalau laki-

laki pengecut itu mengadukan masalah ini padanya." 

Dewa Arak terdiam. 

"Dengan ikut bersama kami, kau tidak khawatir 

akan adanya jebakan-jebakan mendadak. Lagi pula, 

arah yang kau tuju ini adalah arah keluar dari pulau 

milik Kelelawar Beracun. Kau tengah menuju ke 

pulau kedua, milik Kemamang Danau Neraka." 

Kini Dewa Arak tidak membantah lagi, dan 

perlahan kepala nya mengangguk. Memang lebih baik 

melakukan perjalanan bersama Tiga Macan Lembah 

Neraka daripada melakukan perjalanan sendiri. Tiga 

tokoh Lembah Neraka itu setidaknya lebih 

mengetahui semua bahaya yang terkandung di Pulau 

Ular ini.


Kini Dewa Arak tidak lagi mengalami kesulitan untuk 

menuju ke tempat kediaman Kemamang Danau 

Neraka. Dia hanya tinggal memperhatikan setiap 

langkah Tiga Macan Lembah Neraka. Diam-diam, 

pemuda berambut putih keperakan ini heran, 

mengapa Kelelawar Beracun mau tinggal di sekitar 

tempat ini? Tempat yang selalu becek dan tidak 

pernah kering, meskipun di saat musim panas tiba. 

Tadi dari mulut Macan Tutul Lembah Neraka, Arya 

mendengar kalau tempat tinggal Kelelawar Beracun 

dinamakan Rawa Neraka. Sungguhpun tidak panas, 

tapi maut yang tersembunyi di dalamnya tidak 

terhitung! 

Tak lama kemudian, keempat orang ini pun telah 

tiba di pinggir pulau tempat tinggal Kelelawar 

Beracun. Tepat di hadapan mereka, terbentang 

lautan. Sementara di hadapan mereka terlihat 

sebuah pulau. Dekat saja jaraknya dari pulau milik 

Keleawar Beracun. Kini Dewa Arak mengerti, 

mengapa Macan Loreng Lembah Neraka mengatakan 

Pulau Ular tidak pantas disebut pulau, tapi lebih patut 

disebut kepulauan. 

Tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya pulau ini 

terdiri dari kumpulan pulau kecil? Tentu saja yang 

mengetahuinya hanya orang-orang yang tinggal di 

dalamnya. Sementara, orang persilatan golongan 

putih tidak pernah ada yang berani menginjakkan 

kaki ke dalamnya, kecuali Dewa Arak. 

Arya mengukur lebar laut yang memisahkan kedua


pulau itu dengan pandangan matanya. Menurut 

perhitungannya, lebih dari tiga puluh tombak. Jarak 

yang teramat jauh untuk bisa dilompatinya, sekalipun 

ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkatan 

tinggi. 

Tapi rupanya Tiga Macan Lembah Neraka sudah 

memperhitungkannya. Hal ini terlihat dari ketenangan 

sikap mereka. Seperti juga Arya, tiga tokoh yang 

menggiriskan itu juga mengukur jarak laut yang 

memisahkan kedua pulau. 

Kemudian, tangan Tiga Macan Lembah Neraka 

bergerak ke pinggang. Dewa Arak hanya meng-

awasinya saja. Dia sadar kalau ketiga tokoh Lembah 

Neraka itu lebih berpengalaman ketimbang dirinya. 

Namun demikian sejak tadi benak Dewa Arak berpikir 

keras, bagaimana caranya untuk bisa melewati lautan 

ini? 

Seketika wajah Dewa Arak memerah ketika 

melihat benda yang diambil masing-masing tokoh 

Lembah Neraka itu. Mereka semua melolos sabuk 

yang melilit pinggang. 

"Ah! Betapa dungunya aku!" maki Dewa Arak 

dalam hati. 

Selama ini Dewa Arak tidak pernah berpikir untuk 

menggunakan sabuknya. Dengan sabuk itu, rasanya 

tidak perlu repot-repot lagi melalui lumpur hidup di 

tempat tinggal Kelelawar Beracun. 

Dalam hati, Dewa Arak merasa salut juga pada 

Tiga Macan Lembah Neraka. Memang, untuk 

menempuh lautan yang tidak begitu jauh, 

menggunakan sabuk sebagai alat untuk membantu 

menyeberang adalah cara yang paling tepat. 

"Hih...!" 

Macan Tutul Lembah Neraka menggertakkan gigi


seraya melompat menuju pulau tempat tinggal 

Kemamang Danau Neraka! Tapi seperti yang sudah 

diduga, belum sampai di tengah, kekuatan yang 

meluncurkan tubuhnya telah habis. Dengan 

sendirinya, tubuhnya melayang jatuh ke lautan. 

Tapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tidak 

nampak gugup. Memang, hal itu sudah diperhitun-

kannya. Maka begitu meluncur jatuh, sabuknya 

segera dilecutkan ketika tubuhnya tinggal berjarak 

satu tombak lagi dari permukaan laut yang bergolak. 

Ctarrr...! 

Suara nyaring menggelegar terdengar ketika ujung 

sabuk itu mengenai permukaan laut. Air berpercikan 

ke atas terkena lecutan sabuk yang mengandung 

tenaga dalam tinggi. 

Dengan meminjam tenaga dari benturan antara 

ujung sabuk dengan permukaan air, laki-laki bertubuh 

pendek gemuk itu melentingkan tubuhnya ke atas. 

Macan Tutul Lembah Neraka harus melecutkan 

sabuknya beberapa kali untuk mencapai pulau itu. 

Dan kini dia berhasil mendarat di pinggir pulau 

tempat tinggal Kemamang Danau Neraka. 

Begitu melihat Macan Tutul Lembah Neraka 

berhasil mendarat, berturut-turut Macan Kumbang 

Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan 

Dewa Arak melompat menyeberangi laut. Dan berkat 

ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai 

tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi 

mereka untuk menyeberangi lautan itu. 

Dan begitu telah berada di seberang, tanpa 

membuang-buang waktu, keempat orang itu segera 

bergerak masuk ke tengah pulau. Seperti juga pulau 

yang ditinggali Kelelawar Beracun, pulau tempat 

tinggal Kemamang Danau Neraka juga tidak sepi dari



air. Tanahnya becek. Hanya saja, pulau ini tidak 

memiliki lumpur hidup seperti yang ada di tempat 

kediaman Kelelawar Beracun. 

"Aneh...," desah Dewa Arak. Pelan suaranya dan 

tidak jelas ditujukan untuk siapa. 

"Mengapa, Dewa Arak?" sambut Macan Tutul 

Lembah Neraka pelan juga. 

"Jalan masuk ke tempat tinggal ini, aman saja. 

Tidak penuh bahaya seperti waktu aku masuk ke 

tempat tinggal Kelelawar Beracun." 

Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum pahit 

"Bukannya tidak ada bahaya yang membentang di 

jalan, Dewa Arak," jawab laki-laki bertubuh pendek 

gemuk itu sabar. "Tapi, karena kami telah cukup 

mengetahui jalan yang aman. Kalau kau pergi sendiri, 

kujamin akan banyak hambatan di perjalanan." 

Dewa Arak tercenung. Kini dimengerti, mengapa 

jalan menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau 

Neraka sama sekali tidak mengandung bahaya. Dia 

lupa kalau saat ini berjalan bersama orang-orang 

yang telah cukup mengetahui jalan-jalan yang aman. 

Karena pulau itu memang kecil saja, sementara 

keempat orang itu melakukan perjalanan dengan 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh, maka dalam 

waktu sebentar saja di hadapan mereka telah 

terbentang sebuah danau besar. Dan tepat di tengah-

tengah danau itu terletak sebuah bangunan besar 

dan megah. 

"Itulah tempat tinggal Kemamang Danau Neraka," 

tunjuk Macan Tutul Lembah Neraka memberi tahu 

seraya menudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke 

arah bangunan megah itu. 

Dewa Arak melayangkan pandang ke arah 

bangunan itu. Diam-diam pemuda berambut putih


keperakan ini memuji kecerdikan orang yang tinggal 

di sana. Letak bangunan itu tepat di tengah-tengah 

danau. Jadi, dari mana pun lawan akan datang, 

pemilik rumah itu akan mengetahuinya. 

"Kau lihat danau itu, Dewa Arak," Macan Kumbang 

Lembah Neraka ikut pula bicara. 

Mendengar ucapan itu, Dewa Arak memandang ke 

air danau. Seketika itu juga sepasang mata pemuda 

berambut putih keperakan ini terbelalak. Air danau itu 

ternyata bukan air biasa, melainkan lahar gunung! Itu 

bisa diketahui dari cairan yang berbentuk kental dan 

suara meletup-letup mengiringi setiap gelembung-

gelembung yang muncul di permukaan danau. Uap 

tipis berwarna putih, tampak mengepul dari 

permukaannya. 

Yang lebih mengejutkan lagi, jalan yang menuju ke 

bangunan itu hanya berupa tonggak-tonggak baja 

yang berujung runcing mirip lembing. Yang lebih 

mengerikan lagi, jarak antara ujung tonggak-tonggak 

itu hanya sekitar dua jengkal dari permukaan danau 

yang bergolak. 

Meremang bulu kuduk Arya melihat hal ini. Kalau 

bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh 

tinggi, jelas tak mungkin berani menuju ke bangunan 

itu. Sudah dapat dipastikan, sebelum tiba di sana, 

akan terjatuh ke dalam danau itu. Dan bagaimana 

nasibnya, sudah bisa ditebak. Kini Arya paham, 

mengapa danau itu mempunyai nama yang begitu 

mengerikan. Danau Neraka! Ternyata memang sesuai 

dengan kenyataan yang disaksikannya. 

"Mari kita ke sana...!" ajak Macan Kumbang 

Lembah Neraka yang rupanya paling bernafsu di 

antara mereka bertiga. 

Tampak jelas kalau laki-laki berkulit hitam itu


sudah tidak sabar lagi untuk buru-buru berjumpa 

Kemamang Danau Neraka. 

Tanpa menunggu jawaban ketiga orang lainnya, 

Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat ke 

arah bangunan megah itu. Macan Tutul Lembah 

Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa 

Arak mau tak mau ikut bergerak mengikuti. 

Sesaat kemudian keempat orang itu telah berada 

di pinggir danau. Dari sini semakin jelas terlihat, 

tonggak-tonggak berujung runcing yang terpancang di 

danau itu, bagai siap menembus kaki-kaki siapa saja 

yang melaluinya. 

Arya memperhatikan tonggak-tonggak itu sejenak. 

Bisa diperkirakan tonggak itu terbuat dari baja kuat 

dan dicampur dengan ramuan tertentu sehingga 

tahan terhadap air danau. Tonggak-tonggak itu 

terpancang membentuk jalan, dan diatur rapi seperti 

barisan. Setiap baris terdiri dari enam batang batang 

tonggak yang masing-masing berjarak sekitar tiga 

jengkal. 

 "Hih...!" 

Macan Kumbang Lembah Neraka, yang paling 

merasa penasaran segera melompat ke depan. Indah 

dan manis gerakannya. Kemudian.... 

Tappp...! 

Meskipun dengan tubuh agak bergoyang-goyang 

sedikit, Macan Kumbang Lembah Neraka berhasil 

mendaratkan salah satu kakinya di ujung tonggak 

yang runcing. Sementara kaki yang sebelah lagi 

digunakan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan 

tubuh. 

Sesaat lamanya tubuh laki-laki berkulit hitam ini 

bergoyang-goyang. Dan begitu goyangan pada 

tubuhnya terhenti, Macan Kumbang Lembah Neraka


kembali melompat. Kakinya didaratkan di ujung 

tombak yang lain. Begitu seterusnya. 

Tidak hanya Macan Kumbang Lembah Neraka saja 

yang bergerak cepat menuju bangunan megah milik 

Kemamang Danau Neraka. Macan Tutul Lembah 

Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa 

Arak juga bergerak menuju ke sana. Gerakan mereka 

pun tak kalah indah bila dibanding Macan Kumbang 

Lembah Neraka. 

Berkat ilmu meringankan tubuh yang rata-rata 

sudah mencapai tingkat tinggi, bukan merupakan hal 

yang sulit bagi keempat orang itu untuk melakukan 

perjalanan di ujung tonggak runcing. 

Tak lama kemudian, jarak antara mereka dengan 

bangunan milik Kemamang Danau Neraka sudah 

semakin dekat. Dan dengan demikian, keadaan 

bangunan itu pun semakin jelas terlihat. Lantai 

bangunan itu ternyata berada lebih tinggi dari ujung-

ujung tonggak. Jarak lantai dengan permukaan air 

danau tak kurang empat jengkal. Ada beberapa buah 

tiang baja besar yang menyangga bangunan megah 

itu, sehingga bisa berdiri di atas permukaan danau. 

*** 

Kini keempat orang itu telah berada dalam jarak 

sekitar delapan tombak dari bangunan rumah, dan 

terus saja berlompatan dari satu tonggak ke tonggak 

lain. 

Mendadak di teras muncul dua sosok tubuh. Yang 

seorang dikenali Dewa Arak sebagai Kelelawar 

Beracun. Tapi yang seorang lagi tidak dikenalinya. 

Mungkin inilah tokoh yang berjuluk Kemamang Danau 

Neraka.


Orang yang diduga Arya sebagai Kemamang Danau 

Neraka ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi 

kurus. Kulitnya berwarna merah, dan rambutnya 

panjang terurai, namun kaku seperti sikat kawat. 

Pakaiannya hanya berapa kain berwarna putih yang 

dilibat-libatkan ke tubuhnya. Sangat pas dengan 

warna kulitnya yang merah. 

Yang lebih mengerikan lagi, adalah sepasang 

matanya yang selalu terbelalak. Sepertinya, sepasang 

mata itu akan melompat keluar dari rongganya! 

Tampak jelas kalau kedua orang ini merasa 

terkejut bukan main melihat kedatangan empat sosok 

tubuh itu. 

"Itukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya 

laki-laki berambut kaku seraya menatap tajam wajah 

Arya. 

"Benar, Kemamang Danau Neraka. Dialah Dewa 

Arak," Kelelawar Beracun menganggukkan kepala 

membenarkan. 

"Hm...." 

Laki-laki bertubuh kurus dan ternyata berjuluk 

Kemamang Danau Neraka menggumam pelan. 

Sementara, Kelelawar Beracun menjadi kebingungan, 

ketika melihat empat sosok tubuh semakin 

mendekati bangunan Kemamang Danau Neraka. 

Tanpa pikir panjang lagi, Kelelawar Beracun segera 

memasukkan tangan ke balik bajunya. Dan secepat 

tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan. 

Serrr...! 

Suara berdesir pelan terdengar begitu jarum-jarum 

beracun laki-laki berwajah pucat itu menyambar. Tak 

tanggung-tanggung lagi yang dilepaskan Kelelawar 

Beracun. Belasan batang jarum beracun, yang semua-

nya meluncur ke arah Dewa Arak!


"Hmh...!" 

Ada suara dengus mengandung ejekan terdengar 

dari hidung Kemamang Danau Neraka. Hatinya 

memang merasa muak melihat kelicikan dan sikap 

pengecut yang ditunjukkan Kelelawar Beracun. 

Padahal,kedatangan laki-laki berwajah pucat ini tadi 

untuk meminta pertolongannya dalam menghadapi 

Dewa Arak. Tapi belum apa-apa, Kelelawar Beracun 

sudah merendahkan dirinya. Kelihatannya, dia tidak 

percaya kalau laki-laki berambut seperti kawat itu 

mampu menghadapi Dewa Arak. Kelelawar Beracun 

sama sekali tidak tahu kalau Kemamang Danau 

Neraka tersinggung atas perbuatannya tadi. 

Bukan hanya Dewa Arak yang terkejut. Tiga Macan 

Lembah Neraka pun tersentak melihat kecurangan 

yang dilakukan Kelelawar Beracun. Pemuda 

berambut putih keperakan itu tampaknya tengah 

tidak siap untuk menerima serangan. Tambahan lagi, 

saat itu tubuhnya sedang berada di udara, karena 

baru saja melompat untuk hinggap di ujung tonggak 

di hadapannya. Maka, serangan jarum beracun dari 

Kelelawar Beracun benar-benar merupakan ancaman 

berbahaya. 

Dewa Arak terperanjat Disadari kalau keadaannya 

sangat berbahaya. Maka buru-buru dijumputnya guci 

arak yang tersampir di punggung. Dan secepat guci 

arak itu terpegang, secepat itu pula dituangkan ke 

mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Secepat arak itu masuk ke dalam mulutnya, 

secepat itu pula disemburkan ke arah jarum-jarum 

beracun yang tengah meluncur deras ke arahnya. 

Singgg..! 

Suara berdesingan nyaring seperti meluncurnya


anak panah dari baja terdengar ketika butiran-butiran 

arak itu meluncur ke arah jarum-jarum. 

Tringgg..., tringgg...! 

Suara berdentingan nyaring terdengar begitu 

semburan arak Dewa Arak berbenturan dengan jarum 

jarum yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Seketika 

itu juga, belasan jarum itu runtuh ke bawah. 

"Hup...!" 

Meskipun dengan agak terhuyung-huyung, Dewa 

Arak berhasil mendaratkan kakinya di ujung tonggak 

runcing yang memang hendak disinggahinya. 

Tiga Macan Lembah Neraka dan Kemamang 

Danau Neraka menggeleng-gelengkan kepala. 

Mereka semua memuji kelihaian Dewa Arak. 

Sementara Kelelawar Beracun hanya bisa ke-

bingungan. Tapi begitu teringat di sebelahnya ada 

Kemamang Danau Neraka, hatinya pun tenang 

kembali. Dia yakin, rekannya ini akan mampu meng-

atasi Dewa Arak! Hanya saja yang menjadi pertanyaan 

Kelelawar Beracun, apa hubungannya pemuda 

berambut putih keperakan itu dengan Tiga Macan 

Lembah Neraka sehingga bisa menuju Danau Neraka 

bersama-sama? Dia khawatir kalau tiga tokoh 

Lembah Neraka itu membantu Dewa Arak. Dan 

apabila hal itu terjadi, keadaan akan semakin 

menyulitkan dirinya. 

Meskipun serangan pertamanya gagal, Kelelawar 

Beracun tidak jera. Kembali dikirimnya serangan-

serangan curang lain. Laki-laki berwajah pucat ini 

menggunakan berbagai macan senjata rahasia 

beracun untuk menghambat tibanya Dewa Arak. 

Walaupun yang dicegah adalah Dewa Arak, tapi tak 

urung Tiga Macan Lembah Neraka pun terbawa-bawa 

juga. Tiga tokoh Lembah Neraka ini tidak berani


melanjutkan langkah, karena khawatir terkena 

serangan nyasar. 

Kelelawar Beracun benar-benar kalap. Semua 

senjata rahasia beracun miliknya sudah dikeluarkan, 

tapi berhasil dipunahkan Arya. Kalau tidak dielakkan, 

pasti ditangkis dengan semburan araknya, atau 

dengan putaran tangannya yang menimbulkan angin 

keras menderu. Entah berapa macam senjata rahasia 

yang terlontar. Mulai dari jarum, logam berbentuk 

bintang segi lima, logam berbentuk ujung anak 

panah, sampai logam berbentuk ekor kalajengking. 

Tapi semuanya sia-sia belaka. 

"Huh...!" 

Hampir berbareng, Dewa Arak dan Tiga Macan 

Lembah Neraka mendaratkan kakinya di teras rumah 

Kemamang Danau Neraka. 

Macan Kumbang Lembah Neraka yang sejak tadi 

sudah beringas terhadap Kemamang Danau Neraka, 

segera melangkah maju. Tapi, rupanya tangan Macan 

Tutul Lembah Neraka telah lebih dulu mencekalnya. 

Dan dengan bahasa isyarat, dinasihatkan agar laki-

laki berkulit hitam itu bersikap sabar sebentar. Biar 

Dewa Arak menyelesaikan masalahnya dulu. 

Meskipun dengan mulut merengut, Macan 

Kumbang Lembah Neraka mau juga memenuhi 

permintaan rekannya untuk menahan diri agar tidak 

buru-buru melabrak Kemamang Danau Neraka. 

Sementara itu dengan langkah satu-satu, Dewa 

Arak maju menghampiri Kelelawar Beracun yang 

terus mundur. 

"Kemamang Danau Neraka," sebut Kelelawar 

Beracun sambil menoleh ke arah kakek bertubuh 

tinggi kurus itu. "Bukankah kau sudah berjanji 

membantuku untuk menghadapinya?"


"Hmh...!" Kemamang Danau Neraka mendengus. 

"Aku muak melihat kelicikanmu. Lebih baik hadapilah 

sendiri!" 

Seketika wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. Dia 

memang betul-betul ngeri terhadap Dewa Arak. 

Terutama bila teringat ancaman pemuda berambut 

putih keperakan itu. Laki-laki berwajah pucat itu 

memang tidak takut mati. Tapi mati secara perlahan-

lahan dan secara menyakitkan, tentu saja ditakutinya. 

Semula laki-laki berwajah pucat ini mengandalkan 

Kemamang Danau Neraka untuk menghadapi Dewa 

Arak. Tapi kini Kemamang Danau Neraka tampak 

malah melangkah mundur dan membiarkannya 

menghadapi Dewa Arak! Dia sama sekali tidak tahu 

kalau sikap pengecutnya itulah yang membuat 

pemilik Danau Neraka menarik diri. 

Memang seperti juga Tiga Macan Lembah Neraka, 

Kemamang Danau Neraka adalah seorang yang 

mementingkan kegagahan. Walaupun sebagai tokoh 

sesat, laki-laki berambut kaku ini menganggap dirinya 

adalah seorang datuk! Pantang baginya untuk 

bersikap pengecut. Dan dia malah kagum terhadap 

sikap yang ditunjukkan Dewa Arak. 

"Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi, 

Kelelawar Beracun," tandas Dewa Arak pelan tapi 

penuh ancaman. "Bila yang sekali ini kau berbuat 

curang lagi, aku tidak segan-segan melaksanakan 

ancamanku!" 

"Baiklah, Dewa Arak. Aku menyerah. Aku akan 

memberi obat penawar buat kawanmu itu." 

Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat 

ini mengeluarkan sebuah buntalan kain hitam 

sebesar kepalan dari batik bajunya. Kemudian 

buntalan itu diangsurkan ke arah Dewa Arak.


Tentu saja Arya tidak begitu saja percaya. Dia telah 

tahu kalau Kelelawar Beracun amat licik. Maka untuk 

beberapa saat lamanya, dia ragu-ragu. Sementara 

Tiga Macan Lembah Neraka, dan Kemamang Danau 

Neraka mengawasi semua kejadian yang ada di 

hadapan mereka, dan sekali tidak berniat men-

campuri. 

"Ambillah, Dewa Arak," ujar Kelelawar Beracun 

pelan. "Aku tidak berbohong kali ini." 

Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat 

ini menggoyang-goyangkan buntalan kain hitam yang 

berada di tangannya. 

Akhirnya Arya memutuskan untuk mengambilnya. 

Dengan langkah hati-hati dihampirinya Kelelawar 

Beracun. Sepasang matanya menatap laki-laki 

berwajah pucat ini penuh waspada. Dewa Arak 

bersiap-siap apabila Kelelawar Beracun melancarkan 

serangan mendadak. 

Tapi, ternyata tidak terjadi sesuatu yang 

dikhawatirkan Arya sampai kedua tangannya menyen-

tuh buntalan yang ternyata tidak terbuka itu. 

Begitu Arya menggenggam buntalan kain hitam itu, 

mendadak jari-jari Kelelawar Beracun bergerak 

meremas. Gerakannya tidak begitu kentara, karena 

pemuda berambut putih keperakan itu lebih 

memusatkan perhatian pada sebelah tangan dan kaki 

Kelelawar Beracun. Tapi meskipun begitu, sempat 

juga diliriknya. 

Mendadak dari dalam buntalan yang tidak terbuka 

itu melesat benda hitam. Arya terkejut bukan main. 

Meskipun hanya melihat sekilas, sempat diketahui 

kalau benda hitam itu adalah seekor kelabang. 

Kelabang biasa saja sudah berbahaya. Apalagi 

kelabang yang dibawa Kelelawar Beracun! Maka


tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera melompat 

ke belakang. Usaha yang dilakukannya tidak sia-sia, 

sergapan kelabang itu berhasil dielakkan. 

Tapi Kelelawar Beracun sudah memperhitungkan 

hal itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia 

segera meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang 

tengah berada di udara. Cepat bukan main gerakan-

nya. Sudah dapat dipastikan, Dewa Arak akan meng-

alami kesulitan untuk meloloskan diri. 

Bukan hanya Dewa Arak saja yang terperanjat. Tiga 

Macan Lembah Neraka pun terkejut bukan kepalang. 

Serangan itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga 

mereka pun tidak sempat berbuat sesuatu. 

Tapi mendadak saja, terjadi sesuatu yang 

mengejutkan. Tubuh Kelelawar Beracun yang tengah 

meluruk ke arah Dewa Arak itu tiba-tiba tersentak ke 

belakang. Terdengar keluhan tertahan dari mulut laki-

laki berwajah pucat itu. Bahkan bukan hanya itu saja. 

Suara gemeretak keras dari tulang-tulang leher yang 

patah pun terdengar mengiringi. 

Brukkk...! 

Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh 

Kelelawar Beracun ambruk di lantai, dan diam tidak 

bergerak lagi. Nyawa laki-laki berwajah pucat itu 

melayang seketika. Sepasang matanya melotot, dan 

lidahnya pun terjulur keluar. Pada lehernya, nampak 

terjerat sebuah cambuk berwarna coklat. 

Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka 

memandang pada pemilik cambuk yang tengah 

menggulung senjatanya dengan sikap tak peduli. 

Siapa lagi kalau bukan Kemamang Danau Neraka! 

"Aku benci pada orang yang berjiwa pengecut dan 

licik!" tegas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. 

Tanpa mempedulikan ucapan Kemamang Danau


Neraka, Dewa Arak segera berjongkok memeriksa 

Kelelawar Beracun. Betapa kaget hati Dewa Arak 

ketika mengetahui laki-laki berwajah pucat itu telah 

tewas! 

"Dia telah tewas...," tegas Arya seraya bangkit 

berdiri. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak 

menyalahkan tindakan Kemamang Danau Neraka. 

Bah-kan seharusnya berterima kasih. Memang, tanpa 

pertolongan pemilik Danau Neraka itu, Dewa Arak 

mungkin telah tewas! 

"Tidak perlu hal itu dipusingkan, Dewa Arak!" selak 

Kemamang Danau Neraka. "Aku tahu obat pemunah 

untuk racun pada jarum itu. Aku pun memilikinya. 

Dan aku bersedia memberikannya padamu, tapi 

dengan satu syarat." 

Memang Kelelawar Beracun telah menceritakan 

semua masalah yang dihadapinya pada Kemamang 

Danau Neraka, karena menginginkan pertolongan 

pemilik Danau Neraka itu. 

"Apa syaratnya, Kemamang Danau Neraka?" 

sambut Dewa Arak cepat penuh gairah. "Aku bersedia 

memenuhinya." 

"Bila kau sempat, datanglah kemari. Aku ingin 

menjajal kepandaianmu." 

"Aku janji!" sahut Dewa Arak cepat. 

"Bagus! Kutunggu janjimu, Dewa Arak! Dan, ingat! 

Bila kau tidak juga muncul, aku yang akan 

mencarimu. Akan kubuat kacau dunia persilatan! 

Mengerti?!" 

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda 

mengerti. Sementara Kemamang Danau Neraka 

segera bergegas masuk ke dalam. Hanya sebentar 

saja, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan


sebuah kendi kecil yang tertutup rapat. 

Meskipun ada sedikit keraguan yang melanda, 

Dewa Arak menerima kendi pemberian Kemamang 

Danau Neraka. 

"Terima kasih, Kemamang Danau Neraka," ucap 

Dewa Arak setelah kendi kecil itu berada di 

tangannya. 

Tapi sama sekali tidak terdengar sahutan dari 

mulut Kemamang Danau Neraka. Orang kasar 

sepertinya mana peduli terhadap segala aturan dan 

sopan santun? 

"Coba kulihat sebentar, Dewa Arak," pinta Macan 

Tutul Lembah Neraka sambil melangkah maju 

mendekati Dewa Arak. Memang sejak tadi, Tiga 

Macan Lembah Neraka hanya diam saja 

memperhatikan. 

Dewa Arak segera memberikannya pada Macan 

Tutul Lembah Neraka. Laki-laki bertubuh pendek 

gemuk itu segera membuka tutup kendi, dan men-

cium baunya sesaat. Baru kemudian, kepalanya 

terangguk. 

"Kalau benar racun yang melukai kawanmu itu 

adalah yang terkandung dalam jarum, memang benar 

ini obatnya," jelas Macan Tutul Lembah Neraka pelan. 

"Dan aku meramunya berdasarkan daun-daunan 

yang kupetik dari pulau milik sahabat kalian," selak 

Kemamang Danau Neraka seraya menatap tokoh-

tokoh Tiga Macan Lembah Neraka berganti-ganti. 

Sepasang mata Macan Kumbang Lembah Neraka 

terbelalak lebar. 

"Jadi, maksudmu datang ke pulau itu hanya untuk 

menciptakan penawar racun ini?" 

"Hanya mencoba-coba saja, Macan Kumbang." 

Suasana hening sejenak. Hilang sudah kemarahan


yang tadi melanda hati Tiga Macan Lembah Neraka. 

Kemamang Danau Neraka ternyata tidak bermaksud 

merampas pulau! 

Semula mereka memang menduga demikian. Dan 

kini, jelaslah sudah. Tak ada niatan di hati 

Kemamang Danau Neraka untuk merampas pulau 

yang dulunya milik Raksasa Rimba Neraka. Sehingga, 

kini mereka mengurungkan niatnya untuk mengajak 

bertarung laki-laki berambut kaku itu. 

Tak lama kemudian, Dewa Arak dan Tiga Macan 

Lembah Neraka mohon diri. Dan bagi Dewa Arak, 

tidak lagi mengalami kesulitan untuk mencari jalan 

keluar. Tiga Macan Lembah Neraka bersedia 

mengantarnya sampai keluar dari laut yang berwarna 

hitam. 

*** 

"Kang Arya...!" seruan lirih wanita berpakaian putih 

yang tergolek di pembaringan indah dan mewah, 

membuat seorang pemuda berambut putih 

keperakan yang tengah terkantuk-kantuk mem-

belalakkan matanya. 

"Melati...!" 

Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain 

dari Arya berseru keras. Nada suaranya jelas 

menyiratkan perasaan gembira yang amat sangat. 

Sementara sepasang matanya merayapi wajah 

kekasihnya. Memang wajah gadis itu sudah tidak 

berwarna merah lagi, tapi sudah kembali seperti 

semula. Meskipun masih agak pucat 

"Kau sudah sadar?" tanya Dewa Arak. 

Kemudian tanpa mempedulikan orang lain yang 

ada di sekitar situ, Arya segera memeluk tubuh


kekasihnya erat-erat. Obat yang diberikan Kemamang 

Danau Neraka ternyata memang manjur. Tak sia-sia 

dia bersusah payah menempuh perjalanan menan-

tang maut ke Pulau Ular. 

Prabu Nalanda, Ki Julaga, Ki Temula, Patih 

Rantaka, dan Eyang Sagapati segera melangkah me-

ninggalkan ruangan itu. Mereka sengaja membiarkan 

sepasang muda-muda itu saling melepaskan rindu. 

Sementara Dewa Arak dan Melati yang diberi 

kesempatan, sama sekali tidak tahu-menahu. 

Sepasang muda-muda itu masih saja sibuk melepas-

kan rindu, sehingga melupakan keadaan sekelilingnya. 



                            SELESAI 

 




0 komentar:

Posting Komentar