DEWA ARAK EPISODE PERJALANAN MENANTANG MAUT
1
"Hhh...!"
Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut
wajahnya nampak menyiratkan kecemasan.
Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi
sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah
orang yang duduk bersila di depannya.
"Pulau Ular...," gumam Raja Bojong Gading pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang pemuda
berambut putih keperakan. "Begitulah berita yang
hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu."
"Aku memang pemah mendengar cerita yang
tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang
penuh teka-teki," jelas Raja Bojong Gading lagi. "Kau
tahu, di mana letaknya pulau itu?"
"Hamba belum tahu, Gusti Prabu," sahut pemuda
itu, yang ternyata Arya Buana atau Dewa Arak sambil
menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan
Ki Temula mengetahuinya."
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah
tua di dekatnya.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba
bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus,
berpakaian kuning.
Prabu Nalanda menoleh. Ditatapnya wajah kakek
yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan
Garuda Sakti. Perlahan kepalanya terangguk.
"Silakan, Ki."
"Begini, Gusti Prabu. Maaf, bukannya bermaksud
menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat
hamba, lebih baik Arya mengurungkan maksudnya
untuk pergi ke sana."
"Mengapa, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Pulau Ular adalah sebuah pulau penuh teka-
teki dan berbahaya, Arya. Di sana penuh dengan
tempat berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi
racun di sekitarnya. Letaknya saja jarang orang yang
tahu," jelas Ki Temula.
"Tapi, kau kan tahu letak pulau itu, Ki?" Raja
Bojong Gading yang mendahului bertanya. Terpaksa
Arya menahan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kalau secara pasti, hamba tidak mengetahuinya,
Gusti Prabu," sahut Ki Temula jujur. "Hamba hanya
mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di
Perguruan Garuda Sakti."
Raja Bojong Gading mengangguk-anggukkan
kepala.
"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Pulau Ular
itu, Ki?" pinta Arya, halus.
Sebentar kakek berwajah tirus itu menghela napas
berat.
"Pulau itu berada di tengah Laut Hitam, Arya. Jadi
untuk menuju ke sana, terlebih dulu kau harus
mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata
Ki Temula sambil menoleh ke arah Ki Julaga.
Ki Julaga menganggukkan kepala pertanda
membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa
Arak, Patih Rantaka, dan beberapa orang anggota
pasukan khusus yang berjaga-jaga di sekitar situ
hanya diam mendengarkan.
"Setelah menemukan Pantai Karang Hitam itu, kau
harus berlayar terus ke arah Barat. Dan kalau salah
arah, sampai kapan pun kau tak akan menemukan
pulau itu," sambung kakek berwajah tirus itu.
Ki Temula menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Terpaksa semua orang yang
berada di situ diam sambil menunggu kelanjutan
ceritanya. Mereka semua sudah tidak sabar lagi
untuk mendengar kelanjutan cerita mengenai Pulau
Ular. Terutama sekali Arya. Maka tak ada seorang pun
di antara mereka yang menyelak cerita Ki Temula.
"Apabila menempuh arah yang benar, kau akan
melalui tempat-tempat aneh," sambung kakek
berwajah tirus itu. "Yang pertama kali akan kau
temukan adalah air laut yang tidak lagi berwarna biru,
tapi hitam! Ini adalah tanda pertama kalau kau telah
menempuh jalan yang benar. Sampai di sini, udara
telah mengandung racun ganas. Maka, kau harus
hati-hati."
"Ahhh...!"
Terdengar seruan kaget dari mulut semua orang
yang mendengarkan cerita itu. Sungguh tidak
disangka kalau perjalanan menuju Pulau Ular itu
melewati hal-hal yang aneh. Hanya Ki Julaga yang
tidak menampakkan tanggapan apa-apa. Memang
kakek bertubuh kecil kurus ini juga telah
mengetahuinya. Sedangkan Arya, di samping terkejut
juga mencatat semua yang diceritakan Ki Temula
dalam benaknya.
"Apabila kau telah melewati lautan yang airnya
berwarna hitam, maka perlahan warna air itu semakin
muda. Sampai akhirnya, kau akan bertemu air yang
berwarna hijau. Tak jauh dari situ, kau akan
menemukan sebuah pulau yang kalau dilihat dari
atas, dari samping kanan, atau dari kejauhan,
berbentuk memanjang dan meliuk-liuk mirip badan
seekor ular. Itulah sebabnya, mengapa pulau itu
dinamakan Pulau Ular," tutur Ki Temula menutup
ceritanya.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Ki Temula
menghentikan ceirtanya. Mereka semua terpukau
setelah mendengar cerita Pulau Ular.
"Mengerikan sekali."
Ucapan Prabu Nalanda memecahkan keheningan
yang menyelimuti tempat itu. Pelan saja suaranya,
sehingga lebih mirip desahan. Tapi karena suasana
saat itu hening, ucapan Raja Bojong Gading itu jadi
terdengar jelas dan keras.
"Begitulah keadaan pulau itu menurut yang hamba
dengar, Gusti Prabu," tambah Ki Temula.
"Kau pernah membuktikan kebenaran berita itu,
Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Ki Temula menganggukkan kepala.
"Dulu sewaktu aku masih muda dan berdarah
panas sepertimu, Arya," sahut kakek berwajah tirus
itu. "Dengan bermodalkan keberanian, aku pergi ke
sana. Tapi baru saja tiba di lautan yang airnya
berwarna hitam, aku telah jatuh pingsan. Untung saat
itu aku membawa obat penawar racun. Kalau tidak,
entah apa jadinya...?"
Sampai di sini Ketua Perguruan Garuda Sakti itu
menghentikan ceritanya.
"Lalu bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda yang
merasa tertarik.
Wajah Ki Temula memerah mendengar pertanyaan
itu.
"Aku langsung kembali," jawab kakek berwajah
tirus itu pada akhirnya, walau dengan rasa malu. "Aku
tidak sudi mati konyol di tempat itu. Meskipun dengan
perasaan penasaran, aku memaksakan diri untuk
kembali. Tapi, lagi-lagi nasib sial menimpa diriku."
"Apa yang terjadi denganmu, Ki?" tanya Arya ketika
mendapat kesempatan.
"Aku tersesat, sehingga tidak menemukan jalan
pulang. Berhari-hari lamanya aku terkatung-
katung di tengah lautan. Untunglah pada akhirnya
aku berhasil menemukan sebuah pulau lain. Di sana,
aku mendaratkan perahuku."
"Lalu selanjutnya bagaimana, Ki?" selak Prabu
Nalanda lagi.
Rupanya Raja Bojong Gading ini merasa tertarik
juga mendengar pengalaman yang dialami Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu.
"Pulau itu ternyata dihuni seorang pendekar sakti.
Dia tinggal di situ untuk menjaga agar adik
seperguruannya yang berwatak jahat tidak bisa
meloloskan diri dari pulau itu. Sayang..., aku lupa
nama pendekar itu. Tapi, kalau adik seperguruannya
aku ingat"
"Siapa namanya, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Karena cerita yang didengarnya mirip cerita yang
didapat dari seorang pendekar yang dikenalnya
dalam perjalanan.
"Kalau tidak salah... Sanca Mauk...," jawab Ki
Temula dengan dahi berkernyit
"Sanca Mauk...!" ulang Dewa Arak kaget.
"Benar!" Ki Temula menganggukkan kepala. "Kau
mengenalnya, Arya?"
Perlahan-lahan kepala Arya terangguk. Kemudian
diceritakan pertemuannya dengan tokoh yang
bernama Sanca Mauk itu (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Pendekar Tangan Baja").
Ki Temula terdiam setelah Arya menyelesaikan
ceritanya.
"Mungkin benar, tokoh yang bernama Sanca Mauk
itu adalah orang yang diceritakan teman
perjalananmu itu, Arya," kata Ketua Perguruan
Garuda Sakti, akhirnya.
Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Temula
menghentikan ceritanya karena tidak ada lagi yang
membuka suara.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan
mengenai pulau itu, Ki," ucap Arya memecahkan
keheningan.
"Hhh...!" Ki Temula menghela napas berat "Kalau
menurut pendapatku, lebih baik niatmu diurungkan,
Arya. Terlalu berbahaya! Belum lagi bahaya-bahaya
lain yang tidak terduga."
"Kuucapkan terima kasih atas semua nasihatmu,
Ki," sahut Arya sambil menatap wajah Ki Temula
penuh rasa terima kasih. "Tapi, tekadku telah bulat.
Aku harus pergi ke sana, apa pun yang akan terjadi!"
Ki Temula terdiam. Dia tahu tidak ada gunanya lagi
menahan tekad Dewa Arak yang telah begitu bulat.
"Kalau niatmu sudah begitu keras, aku hanya bisa
mendoakan agar kau selamat, Arya," harap Ki
Temula.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya tulus.
"Kapan kau akan berangkat, Arya?" tanya Prabu
Nalanda.
"Sekarang juga, Gusti Prabu," sahut Arya mantap.
"Hati-hati, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan
Prabu Nalanda.
Raja Bojong Gading ini diam-diam
mengkhawatirkan keselamatan pemuda berambut
putih keperakan itu, begitu mendengar cerita Ki
Temula tentang Pulau Ular. Tapi dia tidak berusaha
mencegah, karena memang Melati sangat
membutuhkan pertolongan. Kalau tidak Dewa Arak,
siapa lagi orang yang pantas melakukan perjalanan
menantang maut ke Pulau Ular?
"Akan hamba perhatikan semua nasihat Gusti
Prabu."
Setelah berkata demikian, Arya bergegas bangkit.
Tapi...
"Sebentar, Arya...."
Dewa Arak menoleh ke arah Ki Julaga, orang yang
menyapanya. Tampak kakek bertubuh kecil kurus itu
tengah berbincang-bincang dengan Eyang Sagapati,
ahli obat Istana Kerajaan Bojong Gading. Entah apa
yang dibicarakan mereka, Arya tidak tahu. Yang jelas,
setelah minta izin pada Prabu Nalanda, kakek
berpakaian coklat melangkah meninggalkan tempat
itu.
Tapi tak lama kemudian, Eyang Sagapati sudah
kembali sambil membawa sebuah buntalan kain
sebesar kepala manusia dewasa. Diberikan buntalan
kain itu pada Dewa Arak. Sebentar laki-laki tua itu
menerangkan pada Arya mengenai isi buntalan. Apa
lagi kalau bukan tentang obat-obatan?
Tak lama kemudian, Arya pun pamit. Tak lupa
dikunjunginya Melati sebelum berangkat menuju
Pulau Ular.
***
Arya melakukan perjalanan dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. Perjalanan dari Istana Kerajaan
Bojong Gading menuju pantai memang amat jauh,
dan harus menerobos hutan-hutan dan
menyeberangi sungai-sungai.
Sebenarnya Prabu Nalanda hendak memberi
seekor kuda agar perjalanan Dewa Arak dapat lebih
cepat. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu
menolaknya. Padahal dengan berkuda, Dewa Arak
bisa menghemat tenaga. Tapi mengingat medan yang
akan dilalui begitu berat, maka Arya terpaksa tidak
bisa menerimanya. Banyak hutan lebat dan sungai
yang menghalangi jalan, membuatnya harus memilih
jalan kaki.
Untuk menentukan arah Barat, bukan merupakan
hal yang sulit. Sebab, ada petunjuk yang tidak
mungkin salah. Matahari! Arya melakukan perjalanan
dengan berpatokan pada bola api raksasa itu.
Arya menempuh perjalanan seperti orang kurang
waras. Dia hanya berhenti kalau kedua kakinya terasa
sudah tidak sanggup lagi melangkah. Makan,
dilakukannya kalau perutnya sudah benar-benar
melilit. Tidur, dan minum pun demikian pula. Dewa
Arak hanya tidur apabila sepasang matanya sudah
tidak mampu dibuka lagi. Dan minum apabila rasa
haus telah mencekik tenggorokan.
Tak aneh bila dalam beberapa hari saja, tubuh
Arya mulai susut. Wajahnya pun mulai memucat.
Keadaannya sudah kurang terurus. Tapi, pemuda
berambut putih keperakan ini sama sekali tidak
mempedulikannya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Tiba di Pulau Ular secepat mungkin!
Hari ini adalah hari ketujuh, sejak Dewa Arak
meninggalkan Istana Kerajaan Bojong Gading. Bola
api raksasa tepat di atas kepala. Sinarnya menyorot
garang ke bumi ketika Arya tiba di mulut sebuah
hutan.
Dari cerita yang pernah didengarnya, Arya tahu ini
adalah hutan terakhir yang akan dilewatinya.
Sekeluarnya dari hutan ini, dia akan bertemu laut.
Hutan ini memang kelihatan sepi-sepi saja. Apalagi
desa yang terdekat, cukup jauh juga dari hutan. Maka
Arya pun tetap bersikap waspada. Dan memang
begitulah sifat Dewa Arak. Tidak pernah
meninggalkan sikap hati-hati dalam setiap
langkahnya.
Kalau melihat dari sikapnya, kewaspadaan Arya
memang tak terlihat. Kakinya melangkah dengan
sepasang mata menatap lurus ke depan. Wajahnya
sama sekali tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Tapi
sebenarnya, kedua telinganya dipasang tajam-tajam.
Begitu terdengar suara yang mencurigakan, sekujur
urat-urat syaraf di tubuhnya menegang penuh
kewaspadaan.
Mendadak Arya menghentikan langkah, ketika
mendengar suara berdesing beberapa kali. Seketika
itu juga kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Sesaat
kemudian tubuh Dewa Arak sudah melambung ke
udara. Dan pada saat yang bersamaan, beberapa
batang anak panah menyambar, tapi lewat di bawah
kakinya.
Baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah,
dari balik kerimbunan semak dan pepohonan lebat,
muncul dua sosok tubuh yang tiba-tiba sudah
menghadang.
Dua sosok itu sama-sama bertubuh kerdil. Paling-
paling tingginya hanya sepinggang Dewa Arak. Tapi
raut wajah keduanya kasar dan penuh bulu. Tubuh
masing-masing hanya terbungkus rompi berwarna
hitam dan coklat. Dan yang lebih mengerikan lagi,
ada taring tersembul di bagian kanan kiri mulut
mereka.
"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Arya
hati-hati.
Dewa Arak memang merasa agak heran menerima
serangan dari dua orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Khawatir kalau kedua orang itu salah
alamat. Arya lalu berusaha ramah. Suaranya dibuat
lembut saat bertanya tadi.
"Kami berjuluk Raksasa Kecil Hutan Gembrong.
Namaku Jagakarsa," kata orang kerdil yang
mengenakan rompi berwarna coklat,
memperkenalkan diri.
"Aku Jagatarsa," rekannya yang memakai rompi
berwarna hitam menyambung.
"Aku Arya," sambut Dewa Arak cepat. Lega sudah
rasa hati Dewa Arak melihat sambutan yang ramah
dari kedua orang itu. "Mengapa Kisanak berdua
menyerangku?"
"Ha ha ha...!" Jagakarsa tertawa bergelak. Suara
tawanya terdengar keras menggelegar seperti
halilintar. Jelas kalau suara itu disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Arya mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti
mengapa laki-laki berompi coklat ini tertawa. Apakah
ucapannya barusan begitu lucu? Tapi betapapun dia
telah mengingat-ingat kembali ucapannya, tetap tidak
ditemukannya hal-hal yang patut ditertawakan.
"Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya
Jagatarsa begitu Jagakarsa menyelesaikan tawanya.
Arya tersenyum pahit. Sungguh tidak disangka
kalau julukannya sudah tersebar begitu jauh. Bahkan
sudah sampai di Hutan Gembrong ini. Diam-diam
timbul perasaan tidak enak di hatinya. Biasanya kalau
sudah begini, keributan pasti tidak akan bisa
dihindari lagi. Dan inilah yang paling tidak disukai
Dewa Arak!
"Tidak bisa kupungkiri," sahut Arya pelan. "Akulah
orangnya yang mendapat julukan yang rasanya terlalu
berlebihan itu."
Mendadak seri di wajah Raksasa Kecil Hutan
Gembrong lenyap. Wajah mereka berubah beringas.
Ada ancaman maut yang tersirat di wajah kedua
orang penguasa hutan itu.
"Kalau begitu, kau harus mampus, Dewa Arak!"
desis Jagakarsa tajam. Nada suaranya menyiratkan
kemarahan dan kebencian yang mendalam.
"Tepat!" sambung Jagatarsa. "Kau telah banyak
merugikan orang-orang golongan kami! Meskipun
sudah tidak ikut campur tangan lagi dalam mengacau
dunia persilatan, tapi kami tidak suka rekan-rekan
segolongan kami kau bantai!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat Dia tahu pertarungan
tidak bisa dihindari lagi. Kedua Raksasa Kecil Hutan
Gembrong memang sudah tidak bisa disabarkan lagi.
Memang, mereka telah terlampau dikuasai amarah.
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Jagakarsa melakukan
lompatan harimau, menyerang Dewa Arak.
Kekuatannya dipusatkan pada punggung bagian atas.
Kemudian, tubuhnya bergulingan mendekati Arya.
Dan begitu telah dekat, dia langsung bangkit sambil
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah ulu hati
dan dada Dewa Arak, dengan kedua tangan
mengembang membentuk cakar. Suara mendecit
nyaring dari udara yang terobek, terdengar mengiringi
serangan itu.
Cepat bukan main gerakan laki-laki berompi coklat
itu. Semua peristiwa itu terjadi dalam sekejap mata
saja. Dan tahu-tahu, kedua cakar Jagakarsa telah
mengancam ulu hati dan dada Dewa Arak.
Cepat gerakan Jagakarsa, tapi masih lebih cepat
lagi gerakan Dewa Arak. Kaki kanan pemuda
berambut putih keperakan itu segera melangkah ke
belakang. Sehingga, semua serangan itu hanya lewat
sekitar sejengkal di depannya.
Belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu,
Jagakarsa telah melancarkan serangan susulan. Kini
kaki kanannya bergerak menyapu.
Wuttt..!
Deru angin keras mengawali tibanya serangan
sapuan kaki itu. Kelihatannya sapuan kaki itu tidak
bisa dianggap ringan. Jangankan kaki manusia,
batang pohon keras sebesar dua pelukan tangan
orang dewasa saja akan tumbang bila terkena.
Mendadak sekali tibanya serangan susulan itu.
Tapi lawan yang diserangnya adalah Dewa Arak,
seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian
amat tinggi! Maka tidak begitu sulit bagi Dewa Arak
untuk nengelakkan serangan itu. Kedua lututnya
sedikit saja ditekuk, lalu bergerak menggenjot. Sesaat
kemudian tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu meletik ke atas. Hasilnya, sapuan Jagakarsa
mengenai tempat kosong.
Melihat kesungguhan serangan lawan, Dewa Arak
tidak berani bersikap main-main lagi. Maka sambil
nelompat ke atas, tangan kanan Dewa Arak dengan
jari-jari membentuk cakar meluncur deras ke arah
kepala laki-laki berompi coklat itu. Arya menggunakan
ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'.
Jagakarsa terperanjat begitu melihat lawannya.
Dewa Arak bisa merubah keadaan, dari terancam
menjadi mengancam. Bahkan dengan serangan
serangan maut! Dari suara mendecit nyaring, bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Jagakarsa adalah orang yang terlalu yakin akan
kemampuan diri sendiri. Maka begitu mendapat
serangan maut itu, sama sekali tidak dielakkannya.
Bahkan sebaliknya malah dipapaknya. Laki-laki
berompi coklat ini mengerahkan seluruh tenaganya
dalam tangkisan itu. Maksudnya memang ingin
mematahkan kedua tangan Dewa Arak dengan sekali
tangkis.
Plak, plak, plakkk...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali ketika
dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan.
Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak yang berada di
udara, terpental kembali ke atas, Jagakarsa yang
berada di tanah, jatuh terpelanting.
Namun berkat kelihaian masing-masing, tidak sulit
bagi kedua orang itu untuk segera memperbaiki
sikap. Tepat saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di
tanah, Jagakarsa pun berhasil memperbaiki sikapnya.
Tapi wajahnya tidak tenang seperti sebelumnya.
Tampak ada seringai kesakitan yang tergambar di
wajahnya. Memang, laki-laki berompi coklat ini
merasa kan sakit pada kedua tangannya ketika
berbenturan dengan kedua tangan Arya. Bukan hanya
itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Jagakarsa menggeram. Hatinya merasa marah dan
penasaran bukan main. Dan kini perasaan tidak
percaya bergayut di benaknya. Mungkinkah pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam
yang melebihinya?
"Mustahil! Tidak mungkin!" bantah Jagakarsa
dalam hati. "Pasti ada kekeliruan di sini! Mungkin dia
tadi hanya mengerahkan sebagian dari tenaga
dalamnya!"
Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut.
Jagatarsa pun terperanjat melihat hasil benturan yang
terjadi. Meskipun tidak mengetahui apa yang
dirasakan Jagakarsa, tapi laki-laki berompi hitam ini
tahu kalau dalam benturan itu Dewa Arak lebih
unggul!
"Haaat..!"
Jagakarsa yang merasa penasaran, kembali
menyerang. Seluruh kemampuannya dikerahkan,
karena sadar kalau lawan yang dihadapinya memiliki
kepandaian tinggi. Tidak ada gunanya lagi bersikap
setengah-setengah. Dan memang, sejak tadi laki-laki
berompi coklat ini tidak bertindak setengah-setengah.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua
orang itu pun terjadi. Tapi, meskipun tahu kalau
lawan yang dihadapinya lihai, Dewa Arak tidak
mengeluarkan ilmu andalannya. Yang dipakainya
justru malah ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'.
2
Pertarungan yang terjadi memang luar biasa. Suara
mendecit, menderu, dan mengaung ikut menyemaraki
pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Daun-
daun berguguran dari pohonnya. Beberapa batang
pohon tumbang, terkena angin serangan pukulan
nyasar.
Semula pertarungan memang berlangsung
imbang. Keduanya saling serang bergantian. Tapi
begitu memasuki jurus ke tiga puluh lima, mulai
tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau', memang bukan ilmu
sembarangan. Karena terlalu menitikberatkan pada
bagian penyerangan. Sehingga tidak aneh kalau
Jagakarsa terdesak.
Jagakarsa menggigit bibir, menahan rasa geram
dan malu yang mendera. Sungguh tidak disangka
kalau lawan yang dihadapinya benar-benar memiliki
kepandaian luar biasa! Baik dalam hal ilmu
meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu
ilmu silat.
Semakin lama keadaan Jagakarsa semakin
terjepit. Serangan demi serangan yang semula susul-
menyusul, dan silih berganti menghujani Arya, kini
tidak terlihat lagi. Sedikit demi sedikit, serangan yang
dilakukannya mulai berkurang, dan lebih banyak
menangkis serta mengelak. Tapi, karena menangkis
pun menimbulkan akibat yang merugikan, laki-laki
berompi coklat ini lebih banyak mengelak.
Arya dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'nya, terus mendesak. Sama sekali lawan
tidak diberi kesempatan sedikit pun, sehingga
memaksa Jagakarsa terus bertarung mundur.
Jagatarsa mengerutkan alis melihat keadaan
rekannya. Dia tahu kalau Jagakarsa terdesak. Dan
menurut penilaiannya, tidak sampai dua puluh jurus
lagi rekannya itu akan roboh di tangan Dewa Arak.
Keadaan Jagakarsa memang sudah sangat
mengkhawatirkan. Kini, laki-laki berompi coklat itu
tidak mampu lagi balas menyerang. Yang
dilakukannya hanyalah mengelak terus. Itu pun
dilakukan dengan susah payah! Beberapa kali terlihat
dia terpontang-panting sewaktu mengelakkan
serangan Dewa Arak.
"Haaat..!"
Sambil berseru keras, Arya melompat menerjang
Jagakarsa. Tangan kanan pemuda berambut putih
keperakan itu menyampok deras ke arah pelipis.
Sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Suara mendecit nyaring, mengiringi tibanya serangan
Dewa Arak.
Jagakarsa terperanjat. Tibanya serangan itu pada
saat sikapnya tengah dalam keadaan tidak
memungkinkan. Dia baru saja mengelakkan sebuah
serangan, dan belum sempat memperbaiki sikap.
Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut.
Jagatarsa pun demikian pula. Hati laki-laki berompi
hitam itu tercekat saat melihat bahaya maut akan
mengancam rekannya. Maka tanpa pikir panjang lagi,
dia segera melompat menerjang. Diburunya Dewa
Arak yang tengah melancarkan serangan. Jari-jari
kedua tangannya menegang lurus kaku, dan
menusuk bertubi-tubi ke arah punggung dan belakang
kepala pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak merasakan adanya desiran angin di
belakangnya. Jelas, dia tahu kalau serangan maut
yang datang mengancam. Tapi, dia tidak
mempedulikannya. Serangannya pada Jagakarsa
terus saja dilanjutkan.
Jagakarsa melihat ancaman maut yang menuju ke
arahnya, tentu saja tidak sudi nyawanya yang hanya
selembar ini melayang. Padahal saat itu keadaannya
benar-benar terjepit. Maka dengan sebisa-bisanya dia
berusaha mengelak. Sambil mendoyongkan tubuh,
kakinya melangkah ke belakang.
Prattt..!
Sampokan tangan Dewa Arak telak mengenai
pangkal lengan kiri Jagakarsa. Terdengar suara
gemeretak dari tulang-tulang yang retak.
Bukan hanya itu saja. Kulit dan daging laki-laki
berompi coklat itu pun terkelupas. Seketika, darah
segar mengalir keluar dari bagian tubuh yang terluka.
Memang telak dan keras sekali sampokan Dewa Arak.
Jagakarsa menyeringai menahan rasa sakit yang
melanda. Meskipun begitu, laki-laki berompi coklat ini
patut bersyukur. Karena sungguhpun tidak dapat
dikatakan berhasil, tapi yang jelas dirinya selamat.
Sementara itu, serangan Jagatarsa semakin
mendekati Dewa Arak. Hal ini menguntungkan
Jagakarsa. Sebab bukan tidak mungkin dia sudah
tewas oleh Arya yang sudah siap mengirimkan
serangan susulan dengan sabetan tangan kirinya.
Dewa Arak segera melentingkan tubuhnya,
menghindari serangan Jagatarsa. Kaki pemuda
berambut putih keperakan itu langsung mendarat di
tanah, membelakangi Jagatarsa. Kemudian, kembali
kakinya dijejakkan ke tanah, lalu tubuhnya
melambung. Dia membuat putaran beberapa kali di
udara, kemudian hinggap di tanah kembali. Dan
secepat pemuda berambut putih keperakan ini
hinggap di tanah, secepat itu pula tubuhnya
dibalikkan. Kini Dewa Arak bersiap menghadapi
serangan kembali.
Tapi ternyata Dewa Arak terkecoh. Ternyata sama
sekali tidak terlihat seorang pun di sekitar situ.
Rupanya, begitu melihat Arya menjauhkan diri,
Jagakarsa dan Jagatarsa segera melesat kabur.
Hanya dalam sekejap saja, tubuh kedua orang itu tak
tampak lagi. Mereka hilang ditelan kerimbunan
pepohonan dan semak-semak lebat.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega, dan sama sekali
tidak berusaha mengejar. Kepalanya ditundukkan ke
bawah, sedangkan kedua tangan menutupi wajahnya.
Napasnya ditarik dan dikeluarkan berulang-ulang,
untuk menenangkan hatinya.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini
merasa bersyukur melihat lawannya berhasil
menyelamatkan diri. Sebab kalau sampai tewas di
tangannya, Arya akan menyesal bukan kepalang.
Memang belakangan ini, Dewa Arak hampir tidak bisa
mengendalikan diri. Apalagi bila bertemu tokoh
golongan hitam. Dia mudah sekali menurunkan
tangan jahat. Apalagi bila ingatannya langsung
melayang pada Melati yang tergolek lemah dan
menderita akibat kekejian tokoh golongan hitam.
Itulah sebabnya, Arya hampir lupa diri begitu melihat
sikap telengas Jagakarsa. Hampir-hampir saja dia
membunuhnya.
Perlahan Dewa Arak menurunkan kedua
tangannya dari wajah. Mulutnya menghembuskan
napas kuat-kuat. Pemuda itu berharap, semoga
dengan berlaku seperti itu, sisa rasa sesal yang
bergayut di hatinya segera lenyap.
Setelah memperhatikan sesaat keadaan
sekitarnya, Dewa Arak lalu melangkah meninggalkan
tempat yang telah porak poranda itu. Ada sedikit
perasaan bingung di hati Arya. Mengapa kedua orang
itu kabur? Mengapa tidak mencoba mengeroyoknya?
Sama sekali pemuda berambut putih keperakan itu
tidak tahu terhadap sikap Raksasa Kecil Hutan
Gembrong. Pantang bagi kedua tokoh sakti itu untuk
mengeroyok lawan. Apalagi lawan yang masih muda
seperti Arya! Itulah sebabnya, mengapa mereka
melarikan diri setelah Jagakarsa dikalahkan.
***
Setelah beberapa kali menguak kerimbunan
semak-semak dan pepohonan, akhirnya Dewa Arak
tiba di tempat yang dituju. Pria kini telah berdiri di
atas tebing tinggi. Di bawahnya, dalam jarak tak
kurang dari lima belas tombak, membentang lautan.
Untuk beberapa saat lamanya, pandangan Arya
terpaku pada lautan yang terhampar di bawahnya.
Kemudian pandangannya dialihkan ke depan, ke arah
Barat. Dia berharap, barangkali saja dari tempat
ketinggian ini Pulau Ular dapat terlihat.
Tapi, rupanya hanya kekecewaan saja yang
didapat Dewa Arak. Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanya air. Memang ada beberapa pulau yang
nampak kebiruan jauh di depannya. Tapi, letaknya
lebih condong ke Utara dan Selatan. Sementara ke
arah Barat sama sekali tidak terlihat apa-apa.
Arya menyipitkan matanya untuk memperjelas
pandangan. Tapi tetap saja pemuda berambut putih
keperakan ini tidak melihat apa pun. Kalau saja ada
orang yang kebetulan melihat sepasang mata Arya,
tentu akan bergidik ngeri. Sepasang mata itu
mencorong tajam dan berwarna kehijauan, tak
ubahnya mata seekor harimau dalam gelap!
Sesaat kemudian, Dewa Arak kembali
mengalihkan perhatian ke bawahnya. Dahinya
berkernyit, memikirkan apa yang harus dilakukan.
Permukaan air laut itu tampaknya terlalu tinggi
jaraknya dari tebing tempatnya berdiri. Sepertinya
tidak mungkin baginya untuk melompat ke sana.
Apalagi, permukaan air di bawah sana selalu bergolak
dan bergelombang keras. Betapapun hebat
kepandaiannya, merupakan suatu hal yang mustahil
untuk bisa turun ke sana.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak bersikap
seperti itu. Dia terus berdiri menatap ke permukaan
air laut dengan dahi berkernyit dalam. Jelas kalau
pemuda berambut putih keperakan ini tengah
berpikir.
Tak lama kemudian, kernyit pada dahi Dewa Arak
lenyap. Sepasang matanya tampak bersinar-sinar.
Jelas ada sesuatu yang menggembirakan hatinya.
Kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini
melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali
gerakannya. Sehingga, yang tampak hanyalah
sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat dan
kemudian lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan
semak-semak lebat.
Hanya sebentar saja pemuda berambut putih
keperakan ini pergi meninggalkan tempat itu, dan kini
dia telah kembali. Dan di tangannya, telah terpegang
dua lembar papan yang tidak begitu tebal, dan
segulung tali.
Papan itu tidak begitu lebar, berbentuk persegi
panjang. Lebarnya tidak sampai sejengkal, tapi
panjangnya lebih dari sejengkal.
Arya meletakkan kedua papan itu di bawah kedua
alas kakinya, kemudian mengikatkannya ke kaki.
Pemuda berambut putih keperakan itu kembali
memeriksa ikatan, untuk meyakinkan kalau kedua
papan itu telah terikat erat pada kakinya.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Arya menggenjotkan
kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melayang ke
atas. Tidak begitu tinggi, karena Dewa Arak memang
tidak bermaksud demikian.
Dan begitu daya yang membuat tubuhnya
melambung ke atas habis, tubuh Arya melayang turun
ke bawah. Dia kini meluncur ke permukaan air laut
yang bergolak di bawahnya!
Beberapa kali tubuh Dewa Arak berputaran di
udara. Dan itu memang disengaja. Karena dengan
begitu, luncuran tubuhnya jadi tidak terlampau cepat
dan deras.
Pyarrr...!
Air laut memercik tinggi ke atas ketika kedua kaki
Dewa Arak hinggap di sana. Itu pun tidak mantap,
karena Arya sempat sempoyongan! Tapi hal itu hanya
berlangsung sesaat saja. Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi,
Dewa Arak mampu memperbaiki sikapnya.
Kini dengan mempergunakan kedua papan pada
alas kakinya, Dewa Arak mulai mengarungi lautan.
Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk
melakukannya. Mengarungi lautan dengan
menggunakan dua bilah papan ini membutuhkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
Dengan adanya alat bantu ini, Arya kini dapat
dengan enaknya berlari-lari di lautan. Meskipun
begitu, tetap saja bila dibandingkan kecepatan larinya
di darat, kecepatannya merosot jauh. Namun,
setidak-tidaknya masih lebih cepat daripada laju
perahu!
Beberapa kali Dewa Arak terpaksa harus
melompat ketika ada ombak besar yang menyerbu ke
arahnya. Indah dan manis sekali gerakannya ketika
bersalto di udara untuk kemudian mendarat di
permukaan air laut kembali.
Dengan mengambil patokan pada matahari, tidak
sulit bagi Dewa Arak untuk menuju arah Barat. Dia
tidak memikirkan apa-apa lagi. Yang ada di benaknya
hanya satu, tiba di Pulau Ular secepat mungkin.
Perlahan matahari mulai tenggelam ke Barat. Dan
kegelapan pun berangsur-angsur mulai menyelimuti
bumi. Dan seiring mulai gelapnya suasana,
kecemasan pun mulai menjalari hati Arya.
Dewa Arak sadar, tidak mungkin untuk terus
melakukan perjalanan dengan dua bilah papan ini.
Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan malam
pun datang menjelang. Rasanya sulit untuk terus
melakukan perjalanan. Karena di samping tidak
adanya lagi patokan menuju ke arah yang ditempuh,
juga Dewa Arak butuh beristirahat. Maka harus
dicarinya sebuah pulau terdekat untuk mendarat dan
beristirahat. Kalau memungkinkan, dia pun akan
membuat sebuah rakit.
Itulah sebabnya maka Arya mengedarkan
pandangan ke sekitarnya, mencari-cari pulau terdekat
untuk disinggahi. Untung tak jauh darinya, agak ke
Selatan sedikit, tampak sebuah dataran
membentang. Maka bergegas pemuda berambut
putih keperakan ini menuju ke sana.
Lincah dan gesit, seperti berjalan di atas
permukaan air, Dewa Arak bergerak menuju ke pulau
itu. Semakin lama, semakin jelas terlihat dataran itu.
Ternyata, itu sebuah pulau kecil.
"Hih...!"
Dewa Arak menggenjotkan kedua kakinya seperti
layaknya menggenjot di tanah. Sesaat kemudian
tubuhnya melambung, lalu bersalto beberapa kali di
udara. Kemudian kakinya mendarat di pinggir pantai.
Arya mengamati keadaan sekeliling pulau itu
sejenak, baru kemudian melepaskan kedua papan
yang terikat pada kedua telapak kakinya. Kemudian
ditaruhnya di tempat yang aman.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas lega.
Kembali sepasang mata Dewa Arak beredar
berkeliling mengamati keadaan sekitar. Dalam
keremangan suasana malam yang hanya diterangi
sinar bulan di langit, cukup jelas terlihat keadaan
pulau kecil yang disinggahinya ini.
Pulau itu ternyata adalah sebuah pulau gersang.
Tidak nampak adanya pepohonan yang tumbuh. Yang
terlihat hanyalah pohon nyiur. Itu pun hanya beberapa
saja. Di sana-sini lebih banyak berserakan batu-
batuan belaka.
Setelah merasa cukup memperhatikan keadaan
pulau itu, perhatian Dewa Arak dialihkan ke lautan
lepas. Mendadak sepasang mata Arya terbelalak. Di
kejauhan, tampak bergerak sebuah perahu besar
yang menuju ke arahnya.
Arya menyipitkan matanya untuk lebih
memperjelas pandangan. Memang benda itu adalah
sebuah perahu besar yang jelas-jelas menuju ke
pulau yang disinggahinya. Berdebar jantung Dewa
Arak seketika. Milik siapa kah perahu besar itu? Dan
mengapa menuju ke tempat ini?
Wajah Dewa Arak seketika berubah saat melihat
kain lebar yang berkibar angkuh di ujung tiang kapal
layar itu. Kain itu berwarna hitam kelam. Tapi bukan
itu yang membuat pemuda berambut putih keperakan
ini terkejut. Melainkan gambar yang tertera di kain
hitam itu. Di kain hitam itu tertera gambar tengkorak
bagian kepala yang di bawahnya dibubuhi gambar
tulang yang bersilangan. Semua gambar itu berwarna
putih. Tampak pas sekali dengan warna hitam yang
menjadi latar belakangnya.
Arya terperanjat. Dari cerita yang pernah
didengarnya, memang telah diketahui kalau di sekitar
lautan ini telah mengganas segerombolan bajak laut
yang menamakan diri, Pasukan Tengkorak Laut.
Gerombolan bajak laut itu senantiasa mengganas,
merampok pedagang-pedagang besar yang tengah
membawa hasil niaganya untuk dijual ke kerajaan
lain.
Dewa Arak memang sudah mendengar kalau
penguasa Kerajaan Pasugihan telah memerintahkan
pasukannya untuk membasmi para bajak laut itu, tapi
selalu berakhir dengan kegagalan.
Kini tanpa disengaja Dewa Arak bertemu
gerombolan bajak laut itu. Karuan saja hal ini
membuat pemuda berambut putih keperakan itu
menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya
beredar liar mengamati sekeliling, mencari-cari
tempat bersembunyi. Tapi seperti yang tadi dilihat,
tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri di situ,
kecuali agak jauh di sana. Tampak olehnya gundukan
tanah yang mirip sebuah bukit. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, segera Dewa Arak melesat ke arah
sana.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang
sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sekejap
saja Dewa Arak telah berada dalam jarak sekitar tiga
tombak dengan bukit itu.
Arya mencari-cari dengan pandangan matanya.
Lega hatinya tatkala melihat sebuah gua di salah satu
dinding bukit itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Dewa Arak segera memasukinya.
Gua itu ternyata hanya kecil di luarnya saja.
Semakin masuk ke dalam, semakin besar dan luas.
Anehnya lagi, gua itu ternyata cukup terang. Diam-
diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa
sedikit heran.
"Dari mana asal timbulnya sinar itu?" tanya Arya
dalam hati.
Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau bagian
atas gua itu mampu menyerap sinar matahari yang
memancar di waktu siang. Dan baru setelah malam
hari, sinar yang terserap itu dipancarkan kembali. Jadi
bagian atap gua itu mirip bulan. Yang memancarkan
sinar karena mendapat pancaran sinar dari matahari.
***
Semakin melangkah masuk ke dalam, semakin
takjub hati Arya. Gua ini ternyata luas bukan main.
Luas, terang, dan banyak memiliki ruangan. Tapi
sama sekali semua itu tidak dipedulikannya. Kakinya
terus melangkah masuk semakin ke dalam.
Arya terperanjat ketika pandangan matanya
tertumbuk pada sebuah ruang gua yang memiliki
jeruji baja bulat, tebal, dan kokoh. Tanpa berpikir
lebih jauh lagi, Arya sudah bisa mengetahui kalau
jeruji besi itu dibuat orang. Jadi, tidak terjadi secara
alami seperti layaknya gua ini. Dugaannya, gua ini
pasti ada penghuninya! Dan orang yang berada di
dalam ruangan berjeruji itu pasti tahanan penghuni
gua! Begitu kesimpulan yang didapat Arya.
Seketika itu juga kewaspadaan Dewa Arak
semakin bertambah. Ada rasa tidak enak dalam
hatinya begitu mengingat gua itu memiliki penghuni.
Tapi perasaan tidak enak itu buru-buru dilenyapkan.
Akhirnya, Arya memasuki gua ini. Maksudnya untuk
menghindari terjadinya pertemuan dengan para bajak
laut.
Tapi, mendadak hati Arya tercekat begitu teringat
akan bajak laut itu. Seketika itu juga timbul dugaan
dalam hatinya. Jangan-jangan, para bajak laut itu
adalah penghuni gua ini!
Dugaan itu membuat Arya menghentikan
langkahnya sejenak. Sesaat lamanya pemuda
berambut putih keperakan ini bimbang. Antara
meneruskan langkah, atau kembali ke luar.
Tapi perasaan ingin tahu terhadap orang yang
terkurung dalam ruang berjeruji itu, memaksa Dewa
Arak untuk terus melanjutkan langkahnya. Dia ingin
tahu, siapakah orang yang terkurung itu. Jika orang
itu baik, merupakan kewajiban baginya untuk
menolong.
Hanya beberapa langkah saja, Arya telah berada di
depan ruangan gua yang berjeruji itu. Pandangannya
langsung beredar ke dalam.
***
Ruang tahanan itu tidak begitu luas. Ukurannya
paling luas hanya satu setengah tombak kali satu
setengah tombak. Di dalamnya, tampak seorang laki
laki berkumis dan berjenggot rapi tengah bersandar
pada dinding gua. Kedua tangan dan kakinya
terbelenggu rantai baja tebal dan kuat yang tertanam
di dinding.
Hati Arya agak tercekat begitu melihat pakaian
yang dikenakan orang itu. Dia mengenakan pakaian
seragam kerajaan!
Bukan hanya Arya saja yang memperhatikan.
Ternyata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu
pun menoleh pula. Matanya menatap ke arah Dewa
Arak dengan dahi berkernyit.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya laki-laki ber-
pakaian seragam kerajaan seraya merayapi sekujur
tubuh Arya. "Apakah kau juga anggota gerombolan
bajak laut itu?"
Kini jelas bagi Dewa Arak kalau dugaannya tadi
benar. Pemilik gua ini adalah gerombolan bajak laut.
Dan sudah pasti gerombolan bajak laut yang tadi
dilihatnya.
"Bukan," Arya menggelengkan kepala.
"Lalu, mengapa kau berada di sini?" tanya laki-
laki berkumis dan berjenggot rapi itu lagi.
"Aku terdampar di pulau ini, dan mencari tempat
untuk melewatkan malam tanpa kedinginan. Untung
gua ini kutemukan," sahut Arya sedikit berbohong.
"Kalau begitu, cepat tinggalkan tempat ini, Anak
Muda...!" seru laki-laki berpakaian seragam kerajaan
itu. Nada suara dan sorot matanya menyiratkan
kekhawatiran. "Cepat sebelum para bajak laut itu
kembali dan menjumpaimu...!"
"Lalu, kau sendiri bagaimana, Paman?"
"Jangan pedulikan aku! Aku Gorawangsa, seorang
panglima kerajaan! Adalah merupakan hal yang biasa
bagi seorang prajurit untuk mati!" sahut laki-laki
berpakaian seragam kerajaan yang ternyata bernama
Panglima Gorawangsa itu. Tegas dan mantap
ucapannya.
Seketika perasaan kagum timbul dalam hati Dewa
Arak. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi yang
mengaku panglima kerajaan ini sudah bisa dipastikan
orang baik-baik. Dalam keadaan tertawan begitu, dia
masih mementingkan nasib orang lain.
"Lalu bagaimana kau bisa ditawan mereka,
Panglima?" tanya Arya ingin tahu.
Pemuda berambut putih keperakan itu kini
memanggil laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu
dengan panggilan jabatannya, bukan panggilan
kekerabatan.
"Aku diperintah Gusti Prabu Lindu Pasing untuk
menumpas gerombolan bajak laut yang menamakan
dirinya Pasukan Tengkorak Laut. Tapi sayang, lawan
terlalu kuat. Semua anak buahku tewas. Sementara
aku sendiri ditawan mereka."
Arya mengangguk. Dari cerita yang didengarnya,
dia tahu kalau Prabu Lindu Pasing adalah Raja
Kerajaan Pasugihan.
"Kau..., mengapa masih berada di sini, Anak
Muda?" tegur Panglima Gorawangsa lagi. "Cepat pergi
sebelum terlambat!"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mau meninggalkan tempat ini?"
sepasang mata Panglima Gorawangsa terbelalak.
"Kau akan menyesal, Anak Muda! Mereka kejam dan
bengis! Cepat menyingkir sebelum mereka kembali!"
"Aku memang akan meninggalkan tempat ini,
Panglima...."
"Itu bagus!" potong laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi itu. Tak dipedulikannya ucapan Dewa
Arak yang belum selesai. "Cepatlah tinggalkan tempat
ini!"
"Tapi tidak sendiri...," sambung Arya.
"Maksudmu...?" agak terbata-bata ucapan yang
keluar dari mulut Panglima Gorawangsa.
"Ya!" Arya menganggukkan kepalanya. "Aku akan
meninggalkan tempat ini, tapi bersamamu, Panglima."
"Bagaimana mungkin, Anak Muda," lesu dan putus
asa suara yang keluar dari mulut laki-laki berkumis
dan berjenggot rapi itu. "Belenggu ini sangat kuat. Aku
tidak mampu mematahkannya..., dan...."
Ucapan Panglima Gorawangsa terhenti ketika
melihat Arya menggenggamkan jemari tangannya
pada dua batang jeruji baja itu. Dan sekali pemuda
berambut putih keperakan itu menarik, batang-
batang jeruji baja itu membengkok. Sekejap
kemudian, terbuat sebuah jalan bagi Dewa Arak
untuk melangkah masuk ke dalam ruang tahanan itu.
"Kau..., kau mampu melakukannya, Anak Muda...?"
Meskipun dengan agak terputus-putus, Panglima
Gorawangsa berhasil juga menyelesaikan kata-
katanya. Sungguh sukar dipercaya, baja sebesar itu
mampu dibengkokkan Arya dengan begitu mudahnya.
Tak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berpakaian
ungu itu mengerahkan tenaga dalam.
Dewa Arak hanya tersenyum saja. Sama sekali
tidak disahutinya ucapan Panglima Kerajaan
Pasugihan itu. Perlahan kakinya melangkah men-
dekati tubuh Panglima Gorawangsa. Lalu tangannya
diulurkan ke arah belenggu baja yang memborgol
pergelangan tangan dan kaki laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi itu.
Krakkk...!
Suara berderak keras terdengar empat kali ketika
Dewa Arak mengerahkan tenaganya untuk membetot.
Empat buah belenggu baja itu putus seketika.
"Luar biasa...!" puji Panglima Gorawangsa dengan
sepasang mata terbelalak. "Kau benar-benar mampu
melakukannya, Anak Muda?! Ahhh...! Sulit
dipercaya...!"
Sambil berkata demikian, Panglima Gorawangsa
menggosok-gosokkan pergelangan tangan dan
kakinya untuk melancarkan kembali peredaran
darahnya. Sementara sepasang matanya masih
menatap wajah Dewa Arak. Sorot kekaguman tampak
jelas, baik pada wajah maupun sorot matanya.
"Bersiaplah, Panglima," ujar Arya tanpa mem-
pedulikan semua pujian laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi. "'Para bajak laut itu sebentar lagi
akan kemari." Seketika itu juga wajah Panglima
Kerajaan Pasugihan itu berubah.
"Ahhh...! Jadi kau telah bertemu mereka, Anak
Muda?" tanya Panglima Gorawangsa terkejut
Arya mengangguk. Kemudian, secara singkat
dijelaskan semuanya. Panglima Gorawangsa pun
diam mendengarkan. Sama sekali tidak menyelak,
hingga Arya menyelesaikan ceritanya.
"Kalau begitu, aku harus mencari senjata dulu...,"
kata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi seraya
bergerak ke luar tahanan.
Tanpa berkata apa-apa, Arya juga melangkahkan
kakinya ke luar tahanan itu. Tapi langkahnya berhenti
begitu telah berada di luar ruangan. Sedangkan
Panglima Gorawangsa terus melangkah ke dalam
gua. Sesaat kemudian, dia telah kembali dengan
sebatang pedang di tangan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Anak Muda," ajak
Panglima Gorawangsa. "Oh, ya. Kalau boleh kutahu,
siapa namamu?"
"Arya, Panglima. Arya Buana."
"Sebuah nama yang bagus," puji Panglima
Gorawangsa.
Tidak nampak adanya perubahan pada wajah dan
air muka Panglima Kerajaan Pasugihan itu begitu
mendengar pemuda berambut putih keperakan ini
memperkenalkan namanya. Jelas kalau dia belum
pernah mendengar tentang nama dan julukan Arya
yang menggemparkan dunia persilatan.
"Terima kasih atas pujian yang terlalu berlebihan
itu, Panglima," sahut Dewa Arak merendah.
Panglima Gorawangsa sama sekali tidak
menyahuti. Bergegas kakinya melangkah menuju ke
luar gua. Sementara Arya mengikuti di belakangnya.
Baru saja beberapa tindak keduanya melangkah,
terdengar suara riuh dari arah depan. Karuan saja hal
ini membuat langkah Panglima Gorawangsa dan
Dewa Arak terhenti.
"Celaka, Arya," bisik Panglima Gorawangsa.
"Mereka telah masuk ke dalam gua. Kita tidak akan
bisa keluar tanpa sepengetahuan mereka. Kita pasti
akan berpapasan dengan mereka di tengah jalan.
Menurutmu, bagaimana baiknya sekarang?"
"Apakah ada jalan keluar lain kecuali dari mulut
gua di depan itu?" tanya Arya ingin tahu.
"Entahlah...," Panglima Gorawangsa menggeleng-
kan kepala.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi!" tegas Arya.
"Jadi...?" dada Panglima Gorawangsa berdebar
tegang.
"Kita buka jalan darah untuk keluar dari tempat
ini!" tegas dan mantap kata-kata Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu melesat
ke depan. Mau tak mau, Panglima Gorawangsa
terpaksa mengikuti.
3
Baru beberapa langkah Arya dan Panglima
Gorawangsa meninggalkan tempat itu, di hadapan
mereka dalam jarak sekitar tiga tombak, terlihat
serombongan orang berwajah kasar. Yang berjalan
paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Sebelah matanya ditutupi bulatan dari kulit
berwarna hitam, yang diikatkan secara menyilang di
kepalanya. Memang, mata kanan yang tertutup itu
sudah tidak bekerja lagi. Matanya memang tinggal
satu.
"Hey...!"
Laki-laki bermata satu berteriak keras seraya
menudingkan telunjuk ke depan. Wajahnya
menunjukkan raut keterkejutan ketika melihat Arya
dan Panglima Gorawangsa.
"Keparat...!" laki-laki bermata satu menggeram.
"Siapa kau, Tikus Kecil?! Sungguh besar nyalimu
datang ke tempatku! Bahkan juga membebaskan
tawananku!"
"Dialah pemimpin bajak laut itu, Arya," bisik
Panglima Gorawangsa memberi tahu. "Dia berjuluk
Tengkorak Mata Satu. Kepandaiannya luar biasa.
Bahkan aku dapat dirobohkannya dengan mudah."
"Hm...," hanya gumaman tak jelas dari mulut Arya
yang menyahuti penjelasan Panglima Gorawangsa.
Terdengar suara menggertak keras dari mulut laki-
laki bermata satu itu. Dia marah bukan main, karena
Arya sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
Srattt..!
Sinar terang berkilau memancar ketika Tengkorak
Mata Satu mencabut senjatanya, berupa golok besar
vang matanya bergerigi. Dan secepat senjata itu
tercabut, secepat itu pula laki-laki bermata satu ini
melompat menerjang Dewa Arak.
"Menyingkirlah, Panglima," ujar Arya.
Tanpa menunggu lagi, Panglima Gorawangsa
segera menyingkir dari situ. Ada perasaan khawatir di
hatinya terhadap keselamatan Arya. Laki-laki ber-
kumis dan berjenggot rapi ini telah mengetahui,
betapa lihainya Tengkorak Mata Satu. Walaupun telah
disaksikannya sendiri kekuatan tenaga dalam Arya,
tapi tetap saja tidak yakin kalau Tengkorak Mata Satu
mampu dikalahkan.
Dari suara berkesiut nyaring yang mengiringi
tibanya serangan golok, Dewa Arak dapat
memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki
kepala bajak laut itu begitu tinggi. Tapi bila dibanding-
kan dengan dirinya, tenaga dalam Tengkorak Mata
Satu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Begitu melihat pemimpin mereka telah menyerang,
Pasukan Tengkorak Laut pun berbondong-bondong
menyerbu Panglima Gorawangsa. Sungguh merupa-
kan suatu keuntungan bagi para bajak laut itu karena
berpapasan dengan Arya dan Panglima Gorawangsa
di tempat luas. Hal ini jelas sangat menguntungkan,
karena dapat lebih leluasa mengeroyok!
Panglima Gorawangsa tidak tinggal diam. Dia pun
cepat menyambut serbuan para bajak laut itu dengan
serangan-serangan membahayakan. Sesaat ke-
mudian terdengar denting senjata beradu di udara.
Arya sadar kalau lawan terlalu banyak. Dan lagi
Panglima Gorawangsa sudah pasti akan memerlukan
bantuannya. Maka dia tidak bertindak main-main lagi.
Itulah sebabnya, Dewa Arak sama sekali tidak
mengelakkan serangan golok itu.
Karuan saja hal ini membuat Panglima
Gorawangsa terperanjat. Dia memang menyempatkan
diri melihat keadaan Arya. Perasaan cemas yang
hebat berkecamuk di benaknya. Apakah Arya kini
telah berubah menjadi pemuda dungu? Masa
serangan macam itu tidak mampu dielakkan?
Berbeda dengan Panglima Gorawangsa, Tengkorak
Mata Satu dan sisa bajak laut yang tidak ikut
mengeroyok, menjadi girang bukan main melihat Arya
seperti terpukau. Mereka semua menduga pemuda
itu tidak mampu mengelak, karena cepatnya
serangan itu.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati mereka
semua begitu melihat Arya malah menjulurkan tangan
dan seperti hendak mencengkeram golok yang
menyambar semakin dekat. Dan tiba-tiba....
Takkk...! Kreppp...!
Terdengar suara berdetak keras seperti beradunya
dua batang logam ketika tangan Dewa Arak memapak
golok baja Tengkorak Mata Satu. Dan sebelum laki-
laki bermata satu berbuat sesuatu, tangan Arya telah
mencengkeram batang goloknya. Semua kejadian itu
berlangsung begitu cepat, dan hanya sekejapan mata
saja!
Bukan hanya sebagian bajak laut yang tidak ikut
bertarung saja yang terbelalak menyaksikan kejadian
itu. Tengkorak Mata Satu pun dilanda perasaan yang
sama. Dia sudah bisa memperkirakan, betapa
tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
Arya. Begitu golok itu berhasil dicengkeram, jari-jari
tangannya lalu bergerak meremas. Terdengar suara
berkeretek pelan ketika batang golok itu hancur
berkeping-keping.
Bulu tengkuk Tengkorak Mata Satu kontan
meremang! Apa yang diperbuat Arya belum pernah
ditemukan dalam pertarungannya yang sudah tidak
terhitung lagi. Seketika itu pula disadari kalau
pemuda berambut putih keperakan ini bukan
tandingannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, laki-laki
bermata satu itu segera melompat ke belakang.
"Serbu...!" perintah Tengkorak Mata Satu keras
pada sisa anak buahnya yang belum bertarung.
Para bajak laut itu seperti digugah dari mimpi.
Sesaat mereka saling memandang bingung. Baru
sesaat kemudian, mereka mencabut senjata masing-
masing dan bergerak menyerbu. Penglihatan yang
disaksikan membuat mereka semua terkesima!
Seketika itu juga, belasan senjata beterbangan
mengancam Arya. Pedang, golok, dan tombak,
berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Tak pelak lagi, di dalam gua yang cukup luas itu
terjadi dua kancah pertarungan. Pertarungan antara
Dewa Arak dan Panglima Gorawangsa menghadapi
bajak laut Pasukan Tengkorak Laut.
***
Panglima Gorawangsa mengerahkan seluruh
kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan-
lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat
memapak setiap serangan yang datang mengancam.
Suara berdentang nyaring, diiringi berpercikannya
bunga-bunga api menyemaraki benturan yang terjadi
di antara senjata-senjata mereka.
Tidak percuma laki-laki berkumis dan berjenggot
rapi ini menjadi panglima kerajaan. Kepandaiannya
cukup tinggi, sehingga setiap serangan yang
dilancarkan para pengeroyoknya mampu dielakkan.
Bahkan tak jarang pula ditangkisnya. Padahal jumlah
mereka tak kurang dari sepuluh orang. Tambahan
lagi, rata-rata mereka memiliki kepandaian lumayan.
Bukan itu saja. Serangan yang dilancarkan pun
datangnya susul-menyusul seperti gelombang laut.
Dewa Arak sadar kalau keadaan Panglima
Gorawangsa tidak menguntungkan. Sewaktu-waktu,
bisa saja panglima itu terkena serangan lawan.
Makanya kini dia tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan seluruh kemampuan. Hujan berbagai
macam senjata yang menuju ke arahnya dibiarkan
saja. Dengan tenaga dalamnya yang telah berada
jauh di atas lawan, dibiarkan saja semua senjata itu
mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, Dewa Arak tidak
menderita luka sedikit pun.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti beradunya berbagai
batang logam terdengar ketika beraneka ragam
senjata berbenturan dengan sekujur tubuh Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memang
sengaja tidak mengelak atau menangkis semua
serangan, kecuali yang tertuju ke matanya.
Suara-suara pekikan kaget terdengar dari mulut
para bajak laut itu, menyaksikan betapa semua
senjata yang mengenai sasaran malah terpental
batik, seperti menghantam karet kenyal. Bukan hanya
itu saja. Tangan yang menggenggam senjata pun
terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak sama sekali
tampak tidak terpengaruh!
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa
Arak. Kedua tangannya digerakkan. Perlahan saja
kelihatannya. Tapi akibatnya, tubuh para bajak laut
itu berpentalan seperti diamuk angin topan!
Begitu semua lawannya telah berpentalan tak
tentu arah, Arya segera melesat ke arah Panglima
Gorawangsa yang kini semakin terjepit. Pemuda
berambut putih keperakan itu melompat ke atas,
seraya kedua tangannya diputar-putarkan dari luar ke
dalam.
Hebat akibatnya! Dari kedua tangan yang ber-
putaran itu keluar angin dahsyat yang membuat
gerombolan bajak laut yang mengeroyok Panglima
Kerajaan Pasugihan itu berpentalan tak tentu arah.
Suara-suara berdebukan keras terdengar dari
tubuh yang jatuh di tanah dan yang membentur
dinding gua. Itu pun masih ditingkahi suara ber-
dentingan dari senjata-senjata Pasukan Tengkorak
Mata Satu yang berpentalan entah ke mana.
Serasa hampir melompat keluar sepasang mata
Tengkorak Mata Satu melihat semua kejadian ini.
Tidak pernah terbayangkan kalau gerombolan yang
selama ini merajalela di lautan tanpa pernah ter-
kalahkan, kini dibuat berantakan oleh seorang
pemuda hanya dalam segebrakan saja! Kalau tidak
ingat malu, ingin rasanya laki-laki bermata satu ini
menangis!
Bukan hanya Tengkorak Mata Satu yang
berbelalak. Panglima Gorawangsa pun dilanda
perasaan yang sama. Dia memang telah mem-
perkirakan kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tidak
disangka kalau sampai selihai ini.
Akibatnya, untuk beberapa saat lamanya laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi itu terpukau. Panglima
Gorawangsa terkesima dengan pedang masih
tergantung di tangan! Dia baru tersadar kembali dari
kesimanya, ketika Tengkorak Mata Satu berteriak
nyaring. Laki-laki bermata satu itu kemudian
melompat menerjang Dewa Arak! Golok yang kini
tinggal sepotong, diputar-putarkan di atas kepala, lalu
meluncur deras ke arah leher Arya!
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula, dia tidak
bermaksud menjatuhkan tangan kejam pada
Tengkorak Mata Satu. Sungguhpun telah didengarnya
sendiri tentang kejahatan laki-laki bermata satu ini,
tapi Arya rasanya tidak tega menjatuhkan tangan
kejam.
Dan kini pertimbangan Dewa Arak lenyap.
Tengkorak Mata Satu terlalu keras kepala. Orang
seperti ini tidak mungkin dibiarkan merajalela. Hidup
pun akan menjadi ancaman bagi orang lain.
Tambahan lagi, pikiran Arya tengah dilanda
keruwetan memikirkan keselamatan Melati.
Dengan gerakan seenaknya, Dewa Arak mengulur-
kan tangan kiri. Seketika, batang golok Tengkorak
Mata Satu berhasil dicekal, dan secepat itu pula di-
sentaknya.
Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan
tulang pangkal lengan Tengkorak Mata Satu terlepas
diiringi tertariknya tubuh laki-laki bermata satu itu ke
arah Dewa Arak. Ada keluhan tertahan terdengar dari
mulut kepala bajak laut itu.
Dan tertariknya tubuh Tengkorak Mata Satu,
segera dipapak oleh tepakan tangan kanan Arya ke
arah dada.
Plakkk..!
Perlahan saja kelihatannya tangan itu menepak
dada, tapi akibatnya tidak sesederhana itu bagi
Tengkorak Mata Satu. Ada suara keluhan tertahan
keluar dari mulutnya diikuti memerciknya cairan
merah kental. Dari suara yang berderak keras, jelas
ada tulang dada yang remuk di dalam tubuh
Tengkorak Mata Satu.
Begitu tepakan tangannya telah mengenai
sasaran, Dewa Arak pun melepaskan cekalannya. Tak
pelak lagi, tubuh laki-laki bermata satu itu terbanting
jatuh ke tanah. Tengkorak Mata Satu menggelepar-
gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak ber-
gerak lagi. Kepala bajak laut yang ditakuti itu pun
tewas di tangan Dewa Arak hanya dalam segebrakan
saja!
Karuan saja kematian pemimpin mereka secara
demikian mudah, membuat para bajak laut itu men-
jadi gentar. Tambahan lagi, mereka telah melihat
sendiri kesaktian Dewa Arak. Maka tanpa pikir
panjang lagi, mereka semua menyerah.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar," ratap seorang
bajak laut yang berambut hitam campur coklat.
"Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan
seperti ini, Tuan Pendekar," janji yang lain. Dia
seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Benar, Tuan Pendekar," sambut yang lain.
Sesaat kemudian suara riuh rendah pun terdengar.
Karena tidak hanya tiga orang bajak laut itu saja yang
mengucapkan janji. Berturut-turut dan saling susul-
menyusul, semua bajak laut itu mengucapkan janji.
Arya tersenyum, kemudian menoleh ke arah
Panglima Gorawangsa.
"Aku tidak berhak memutuskannya," ucap pemuda
berambut putih keperakan itu sambil tersenyum. "Ada
yang lebih berhak menentukannya."
Panglima Gorawangsa tercenung beberapa saat.
Dia mengerti maksud ucapan dan pandangan Dewa
Arak padanya. Arya menyerahkan semua keputusan
itu padanya. Seketika itu juga perasaan bimbang
melanda hati Panglima Gorawangsa. Laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi itu tengah menghadapi
pilihan yang sulit, dan bingung mengambil keputusan.
"Hhh...!" Panglima Gorawangsa menghela napas
berat. "Kalau menuruti perasaan, rasanya sulit bagiku
untuk mengampuni. Kejahatan kalian telah melampui
atas. Tapi karena memandang Arya sahabatku ini,
aku bersedia mengampuni kalian...."
"Terima kasih, Panglima Gorawangsa," selak
seorang bajak laut bertubuh pendek kekar cepat.
"Kami sudah menduga akan mendapatkan
ampunan. Kebijaksanaan panglima telah lama kami
dengar," sambung orang yang berambut hitam
campur coklat bernada memuji.
Panglima Gorawangsa tersenyum pahit
"Tapi, ingat," sambung laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi itu. "Aku telah mengenali tampang-
tampang kalian semua. Apabila kelak kudapati ada di
antara kalian yang melakukan kejahatan, maka aku
tak akan segan-segan lagi bertindak!"
"Panglima boleh membuktikan janji kami," tegas
bajak laut yang berambut hitam campur coklat
bernada tantangan.
"Baik! Aku pegang janji kalian ini," kata Panglima
Gorawangsa menyambut tantangan itu. Suaranya
terdengar lantang penuh wibawa.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan pem-
bicaraan ini, diam-diam memuji kebijaksanaan
Panglima Gorawangsa. Perasaan kagum kembali
menyeruak dalam hatinya.
"Dan sebagai bukti pertama dari kesadaran kami,
semua harta rampasan yang ada, kami serahkan
pada panglima," tegas bajak laut yang berambut
hitam kecoklatan.
Kepala semua bajak laut yang lain terangguk
mendengar ucapan rekan mereka itu. Jelas kalau
mereka semua menyetujui keputusan yang diambil
bajak laut berambut hitam bercampur coklat itu.
Panglima Gorawangsa menggoyang-goyang
tangannya.
"Tidak perlu diserahkan semua. Masing-masing
kalian boleh mengambil harta rampasan itu se-
cukupnya. Pergunakan sebagai bekal untuk menjalani
kehidupan yang baru. Setelah itu baru sisanya kalian
serahkan padaku."
"Terima kasih atas kebaikan hati panglima," ucap
bajak laut yang bertubuh pendek kekar gembira.
Keputusan yang diambil Panglima Kerajaan
Pasugihan ini benar-benar di luar dugaan orang itu.
Sementara rekan-rekannya sebagian besar berdiam
saja. Tidak banyak bicara, kecuali sekali-kali saja.
Mereka pun merasa gembira bukan main mendengar
keputusan yang diambil Panglima Gorawangsa.
Rupanya, anggota gerombolan yang lain telah
menyerahkan seluruh urusan itu pada kedua orang
rekannya.
Kembali perasaan kagum menyeruak dalam hati
Dewa Arak. Keputusan Panglima Gorawangsa untuk
membekali para bajak laut itu benar-benar merupa-
kan sebuah keputusan yang sangat tepat. Setidak-
tidaknya, dengan adanya bekal harta itu mereka
dapat menggunakan untuk menekuni pekerjaan baru.
Perlahan Dewa Arak melangkah kembali ke dalam
gua. Melihat hal ini, Panglima Gorawangsa buru-buru
mengejarnya.
"Arya...! Tunggu...!"
Arya menghentikan langkah, kemudian membalik
kan tubuhnya.
"Ada apa, Panglima?" tanya Dewa Arak pelan.
"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Gorawangsa
ingin tahu.
"Istirahat," kalem ucapan Dewa Arak. "Besok aku
harus melanjutkan perjalananku lagi. Jadi aku ingin
beristirahat"
"Jadi.., kau membohongiku sewaktu mengatakan
terdampar di sini?" tanya Panglima Gorawangsa
setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Maafkan aku, Panglima," pelan suara Dewa Arak.
Wajah pemuda berambut putih keperakan ini
memerah karena perasaan malu yang menyeruak.
Malu karena kebohongannya telah diketahui.
"Lupakanlah, Arya," desah Panglima Gorawangsa
bijaksana. "Aku bisa memakluminya."
"Terima kasih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dewa Arak
menghentikan ucapannya. Dan Panglima Gorawangsa
pun tidak melanjutkan ucapannya pula.
"Boleh kutahu, ke mana kau akan pergi, Arya?"
tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu, hati-
hati. Dia begitu khawatir kalau pertanyaannya
menyinggung perasaan Dewa Arak.
"Aku akan pergi ke Pulau Ular, Panglima," sahut
pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Apa?!" Panglima Gorawangsa tersentak bagai
disengat ular berbisa. Sepasang matanya berbelalak
lebar bagaikan melihat hantu. "Kau tidak main-main,
Arya?"
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Kalau boleh aku memberi nasihat, urungkan saja
niatmu itu, Arya." Raut wajah Panglima Gorawangsa
menampakkan kekhawatiran yang amat sangat
"Terima kasih atas saranmu itu, Panglima. Tapi
sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya. Nyawa
seorang kawanku bergantung pada usahaku di Pulau
Ular."
Panglima Gorawangsa pun terdiam, tidak berkata
kata lagi. Meskipun belum lama mengenal, sebagai
orang yang sudah terbiasa berhadapan dengan
berbagai macam tingkah dan polah manusia, dia
sudah bisa mengetahui kalau percuma saja
mencegah Arya. Pemuda berambut putih keperakan
itu termasuk orang yang teguh memegang keputusan.
Sekali berkata hitam, selamanya akan tetap hitam!
"Kalau begitu, aku hanya bisa mendoakan agar
kau berhasil menjalankan tugasmu itu, Arya," hanya
itu yang bisa diucapkan Panglima Gorawangsa.
"Terima kasih, Panglima," sahut Dewa Arak.
Dan memang pemuda berambut putih keperakan
ini merasa berterima kasih sekali atas perhatian
panglima itu padanya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah
meninggalkan Panglima Gorawangsa yang hanya
dapat memandangi punggung pemuda berambut
putih keperakan itu. Sinar mata laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi itu penuh dengan kekhawatiran dan
kecemasan.
4
Pagi baru saja menjelang, ditandai oleh munculnya
bola api raksasa berwarna merah di ufuk Timur.
Sepertinya bola api raksasa itu muncul dari per-
mukaan laut. Angin pun masih bertiup semilir ketika
Arya dan Panglima Gorawangsa mulai men-dorong
perahunya ke laut.
Memang, para bajak laut di bawah pimpinan
Tengkorak Mata Satu mempunyai beberapa buah
perahu kecil. Dan dengan senang hati, mereka mem-
berikannya pada Dewa Arak dan Panglima
Gorawangsa.
Kedua orang itu memang telah sepakat untuk
meninggalkan pulau bersama-sama. Hanya saja
tujuan mereka berbeda. Dewa Arak menuju ke Pulau
Ular, sementara Panglima Gorawangsa kembali ke
tempatnya semula. Kerajaan Pasugihan.
Baik Arya maupun Panglima Gorawangsa meng-
gunakan perahu yang sama. Namun pada perahu
yang ditumpangi Panglima Gorawangsa terdapat
harta hasil rampasan para bajak laut itu.
Sejauh beberapa tombak dari pulau tempat tinggal
gerombolan Pasukan Tengkorak Laut, perahu Dewa
Arak dan Panglima Gorawangsa berdampingan. Tapi
setelah itu, arah kedua perahu itu pun terpisah.
"Jangan lupa singgah di tempatku, apabila
masalahmu telah selesai, Arya," pinta Panglima
Gorawangsa ketika perahu mereka berdua mulai
berpisah untuk menempuh jalan masing-masing.
"Akan kuingat permintaanmu itu, Panglima," sahut
Dewa Arak.
"Aku akan selalu menunggu kedatanganmu,
Arya...!"
Dewa Arak hanya tersenyum, dan tidak lagi
menyahuti. Jarak di antara mereka semakin jauh. Dan
dengan sendirinya, perahu yang mereka tumpangi itu
pun semakin terlihat mengecil. Dan akhirnya lenyap
sama sekali.
Kini perhatian Arya tertuju penuh pada tujuannya
semula. Mencari Pulau Ular! Dewa Arak melakukan
perjalanan dengan tergesa-gesa. Dia ingin buru-buru
tiba di tempat yang dituju. Maka tanpa segan-segan
lagi, segera dikerahkan tenaga dalamnya pada
tangan yang mengayuh dayung. Hebat akibatnya!
Perahu itu melaju seperti anak panah yang lepas dari
busur!
Perlahan-lahan matahari merangkak semakin
tinggi. Dan seiring semakin tingginya matahari, hari
pun semakin siang. Dan dengan sendirinya, Arya pun
mulai lelah. Rasa lapar dan haus menyengat
kerongkongannya.
Dewa Arak lalu menyimpan dayungnya, dan
membiarkan perahunya terbawa arus gelombang.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan
ini mulai sibuk dengan bekal yang diberikan
gerombolan Pasukan Tengkorak Laut. Memang,
begitu mengetahui tujuan Dewa Arak, mereka
memberikan bekal makanan dan minuman yang
diperkirakan cukup hingga sampai sana.
***
Pada hari ke enam pelayarannya, hati Dewa Arak
mulai berdebar tegang. Samar-samar hidungnya
mencium bau amis memuakkan yang dibawa angin
laut. Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera
mengambil sebutir pil penawar racun yang diberikan
Eyang Sagapati.
Semangat Arya yang semula sudah mulai pudar,
kembali timbul. Dia seolah-olah mendapat tambahan
tenaga baru. Sepercik harapan mulai terbetik di
hatinya. Mudah-mudahan saja, bau amis memuakkan
ini adalah pertanda kalau dia telah memasuki wilayah
Pulau Ular!
Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya Arya
mengayuh sekuat-kuatnya agar segera tiba di tempat
tujuan. Tapi kehati-hatiannya dan sikap waspada
telah melarangnya. Dia tidak ingin usahanya kandas,
hanya karena sikap ceroboh. Maka sekuat tenaga
perasaan melonjak-lonjak untuk mengayuh dayung-
nya secepat mungkin ditahannya. Dewa Arak terus
mengayunkan dayung perlahan-lahan.
Semakin lama, bau amis yang tercium semakin
menyengat hidung. Semula Dewa Arak masih
sanggup bertahan. Tapi lama-kelamaan, dia mulai
tidak kuat lagi. Bau amis itu terlalu memuakkan.
Sepertinya tepat di hadapannya ada sebukit sampah
udang mentah! Amisnya begitu memuakkan, mem-
buat seluruh isi perutnya seperti akan tumpah ke
luar!
Terpaksa Arya menghentikan gerak mendayungnya
sebentar. Dia yakin kalau maju beberapa tombak lagi,
kemungkinan tidak akan tahan terhadap bau amis
yang membuat isi perutnya teraduk itu. Bau amis itu
sudah begitu luar biasa keras. Padahal, perairan yang
diberi tahu oleh Ki Temula belum ditemukannya.
Kini pemuda berambut putih keperakan ini
mengerti, mengapa kakek berwajah tirus itu langsung
mundur teratur begitu tiba di wilayah pertama menuju
Pulau Ular. Kalau halangan pertamanya saja sudah
seperti ini, bagaimana dengan halangan selanjutnya?
Secepat kayuhannya dihentikan, secepat itu pula
Arya membuka buntalan kain putih yang berisi obat-
obat yang diberi oleh Eyang Sagapati. Kemudian
segera dikeluarkannya sebuah kendi kecil dari
buntalan itu. Seketika tutupnya dibuka.
Bau wangi dan harum yang menyerap sejuk
sampai ke dada, tercium begitu tutup kendi itu
terbuka. Tapi hanya sesaat saja bau wangi dan harum
itu menyebar. Sesaat kemudian, bau amis memuak-
kan itu kembali menyeruak.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera
menuangkan kendi itu ke sekeliling perahu. Ternyata,
isi kendi itu berupa bubuk-bubuk halus mirip tepung.
Eyang Sagapati memang memberikannya pada Dewa
Arak, untuk melawan bau busuk yang memuakkan.
Arya terus menaburkannya sampai seluruh isi
kendi itu habis. Dari ahli obat istana nomor satu itu,
dia telah tahu kalau bubuk itu dibuat dari campuran
beberapa macam tumbuhan. Di antaranya adalah
kayu pohon cendana dan kayu rasamala.
Wewangian yang diberikan Eyang Sagapati ter-
nyata cukup membuahkan hasil. Meskipun tidak
terusir seluruhnya, tapi bau amis yang menerpa
hidung Arya tidak lagi sekeras semula. Sebagian
besar sudah tertutupi oleh bau wangi yang timbul dari
bubuk yang ditaburkannya tadi.
Kini Dewa Arak kembali mengayunkan dayung
untuk melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda
sejenak. Bau amis yang memuakkan mulai semakin
menguat lagi, walaupun tidak bisa sekeras seperti
sebelum dilawan dengan wewangian.
Tak lama kemudian, Arya mulai melihat per-
mukaan air laut yang berwarna hitam pekat. Arya
bingung memikirkan, mengapa permukaan air laut
yang berwarna biru tidak bercampur dengan per-
mukaan air laut yang berwarna kehitaman.
Tapi Arya tidak sempat memikirkannya, karena
sudah sibuk memusatkan seluruh pikirannya untuk
menghadapi hambatan-hambatan yang akan di-
jumpai.
Sepasang mata Arya terbelalak begitu melihat
asap tipis mengepul di atas pemukaan air yang
berwarna hitam itu. Seketika tercium bau amis
memuakkan dari asap yang mengepul itu.
Kini Dewa Arak tahu, dari mana asal bau amis
yang membuat seluruh isi perutnya seperti diaduk-
aduk itu. Ternyata, bau itu berasal dari larutan air
yang berwarna hitam kelam.
Arya tidak berani main-main. Dengan gerakan hati-
hati, dayungnya dikayuh. Pemuda berambut putih
keperakan ini tidak berani mengayuh secara
sembarangan dan ceroboh. Dia khawatir larutan
berwarna hitam itu akan memercik ke tubuhnya.
Padahal, dia sama sekali belum mengetahui
keistimewaan air itu.
Karena Arya mengayuhnya secara hati-hati, tidak
aneh kalau laju perahu itu pun tersendat-sendat.
Pelan sekali seperti seekor keong merayap.
Cukup lama juga Arya mengayuh kan dayungnya
melalui laut yang memiliki air yang berwarna hitam
itu. Baru ketika matahari naik tinggi, warna air laut
berubah merah seperti darah. Baunya pun tidak lagi
amis seperti sebelumnya. Namun justru bau busuk
yang kini menyerangnya. Seakan-akan di hadapan
Arya tergeletak bangkai tikus yang telah membusuk.
Bila dibandingkan sebelumnya, bau air laut yang
berwarna merah ini tidak terlalu memualkan perut.
Tapi mendadak Arya terkejut ketika merasa kan
sepasang kelopak matanya jadi berat. Bahkan
beberapa kali tanpa sadar, sepasang kelopak
matanya mengatup sendiri.
Semula Arya tidak merasa curiga. Hal itu dianggap-
nya wajar saja. Mungkin karena dirinya terlalu lelah,
sehingga tanpa dapat ditahan lagi sepasang kelopak
matanya terkatup sendiri.
Dewa Arak baru merasa curiga ketika merasakan
ada kekuatan aneh yang menarik perahunya.
Perahunya terbawa ke suatu tempat.
Seketika itu juga Arya terperanjat. Langsung dia
tersadar kalau lautan yang berbau busuk itu
mengandung racun, sehingga membuat orang
mengantuk tanpa disadari. Maka tanpa ragu-ragu
lagi, Dewa Arak segera menelan pil pemberian Eyang
Sagapati. Pil yang khusus untuk mengusir pengaruh
racun pembius.
Memang setelah Arya menelan pil itu, tak lama
kemudian rasa kantuknya mulai berkurang banyak.
Apalagi pemuda berambut putih keperakan itu kini
telah berusaha menahan rasa kantuk yang melanda.
Dan begitu tersadar, Dewa Arak jadi terkejut bukan
main. Kekuatan yang menarik perahunya ke satu
arah ini telah semakin bertambah saja. Berdasarkan
pengalaman yang pernah dialami ketika dulu terbawa
kekuatan di sungai, Dewa Arak segera bersikap
waspada. Dan begitu mengetahui kalau perahunya
ditarik sebuah kekuatan aneh, pemuda berambut
putih keperakan ini segera melayangkan pandangan
ke depan. Seketika itu juga, sepasang mata Dewa
Arak terbelalak.
Betapa tidak? Sekitar beberapa tombak dari
perahunya, nampak sebuah pusaran air. Suara
bergemuruh yang mengerikan terdengar mengiringi
putaran air itu.
Dewa Arak sadar kalau terlambat, bahaya besar
akan mengancamnya. Perahunya akan luluh lantak
dalam pusaran air itu apabila tidak segera berusaha
meloloskan diri.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera
mengayuhkan dayungnya, untuk segera meninggal-
kan tempat itu. Tahu akan ancaman bahaya yang
telah mengintai, seluruh tenaga dalam langsung
dikerahkannya.
Untung bagi pemuda berambut putih keperakan
ini. Ternyata perahunya masih berada dalam luar
pusaran air. Sehingga, kekuatan yang menarik
perahunya belum terlalu kuat. Sedikit demi sedikit
perahu Arya mulai meninggalkan tempat itu.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas lega begitu perahu-
nya telah berhasil meninggalkan tempat berbahaya
tadi. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan
ini bergidik. Kalau saja tidak keburu merasa curiga
begitu diserang kantuk yang amat sangat, mungkin
dia kini telah berada di dasar lautan bersama
perahunya yang telah hancur berkeping-keping.
***
Begitu telah berhasil meloloskan diri dari pusaran
air, Dewa Arak baru sadar kalau telah salah arah.
Tampak matahari kini telah berada di sebelah
kanannya. Berarti, Arya telah menuju ke arah Utara.
Jadi tanpa sepengetahuannya, dia telah terseret arus
putaran ke arah Utara.
Kini Dewa Arak kembali berusaha menempuh jalan
yang benar. Patokan yang menjadi dasar arah bagi
Dewa Arak memang sudah tidak mungkin diragukan
lagi. Matahari!
Seiring bergantinya warna air laut menjadi
berwarna hijau, samar-samar di hadapan Dewa Arak
tampak sebuah pulau.
Seketika itu juga wajah Dewa Arak berseri. Sudah
tidak bisa diragukan lagi kalau pulau yang tampak di
hadapannya ini adalah Pulau Ular. Karena, semuanya
persis dengan cerita Ki Temula.
Kakek berwajah tirus itu memang telah mem-
beritahukannya. Dan semua memang cocok dengan
yang ditemuinya. Begitu telah menemukan laut yang
airnya berwarna hijau, Dewa Arak akan melihat
sebuah pulau. Dan itu memang dijumpainya.
Seketika itu juga semangat Dewa Arak semakin
berkobar-kobar. Meskipun begitu, sikapnya diusaha-
kan untuk tenang. Dia tidak mau menuruti luapan
perasaan semata-mata. Maka sungguh pun keinginan
untuk segera tiba di Pulau Ular begitu menggebu-
gebu, Dewa Arak tetap tenang melajukan perahunya.
Entah berapa lama perahunya melaju, namun
pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali
tidak mempedulikannya. Yang jelas, suasana masih
cukup terang ketika warna permukaan air laut
berubah. Tidak lagi hijau seperti sebelumnya, tapi
biasa seperti warna air laut umumnya.
Dan begitu Dewa Arak telah menemukan per-
mukaan air laut yang biasa, daratan itu telah semakin
jelas terlihat. Seketika pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan alisnya. Betapa tidak?
Daratan Pulau Ular ternyata terletak jauh di atas
permukaan laut Sulit bagi orang untuk mendarat di
sana.
Tambahan lagi, arus gelombang laut di sekeliling
pulau itu tidak terarah. Begitu menghantam dinding
pulau itu gelombang air langsung berbalik, menyebar
ke segala arah.
Beberapa saat lamanya Arya kebingungan.
Bagaimana cara mendarat ke sana? Jangankan
mendarat, untuk mendekati pulau itu, perahunya
tidak bisa. Setiap kali dikayuh mendekati pulau itu,
setiap kali pula perahunya hampir terguling karena
terkena dorongan air yang menghempas dari dinding
pulau. Paling tidak, perahu itu akan terdorong
kembali ke telakang.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak tercenung.
Menilik dari dahinya yang berkernyit, sudah dapat
dipastikan kalau tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian kernyit di dahi Arya lenyap,
berganti dengan sinar keceriaan. Bahkan sepasang
matanya pun berbinar-binar. Jelas kalau sebuah
gagasan telah ditemukannya.
Dewa Arak segera mengambil dua bilah papan dan
tambang dari sudut perahu, kemudian diikatkan di
bawah alas kakinya.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi. Kedua lututnya menekuk
sebentar. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah me-
layang ke atas. Dia bersalto beberapa kali di udara,
kemudian....
Pyarrr...!
Air laut memercik tinggi ke udara begitu kedua
kaki Dewa Arak menyentuh permukaan air laut.
Tidak hanya sampai di situ saja. Begitu kedua
kakinya menyentuh permukaan air, Arya lalu kembali
melompat ke udara, dan bersalto beberapa kali.
Kemudian kakinya menyentuh permukaan laut
dengan menimbulkan percikan air di sana-sini. Begitu
seterusnya.
Memang dengan cara seperti itu, Arya tidak
mengalami kesulitan untuk mendekati daratan pulau.
Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, tubuhnya
sudah berada dekat dinding Pulau Ular.
"Hih...!"
Kembali Arya menggertakkan gigi. Seketika itu juga
tubuhnya melayang ke atas. Tapi kali ini lebih tinggi
daripada sebelumnya. Maksudnya memang untuk
bisa mendarat di permukaan Pulau Ular. Tubuh Dewa
Arak lalu melenting ke atas, dan bersalto beberapa
kali di udara. Maka....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah.
5
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah yang
ternyata becek, secepat itu pula Dewa Arak
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sikapnya
benar-benar waspada. Tampak di hadapannya,
hamparan rumput kering berwarna kecoklatan yang
tinggi menjulang.
Setelah melepaskan alas kakinya, Dewa Arak
terpaku. Dia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk
terus ke dalam pulau itu kecuali melewati hamparan
rumput kering yang tinggi membentang. Kanan kirinya
adalah tebing-tebing tinggi, yang di bawahnya
terhampar lautan luas.
Perlahan dan hati-hati sekali Dewa Arak
melangkah mendekati hamparan rumput itu.
Kelihatannya dekat saja letaknya, tapi ketika didekati
rupanya jauh juga. Jarak hamparan padang rumput
itu dari tempat Arya tadi berdiri tak kurang dari tiga
puluh tombak.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak bergerak
mendekat. Arya melangkah hati-hati sekali. Walau
suasana di sekeliling sepi-sepi saja. Kewaspadaannya
tetap tidak ditinggalkan. Sepasang matanya menatap
berkeliling. Mendadak....
Blosss...!
Dewa Arak terperanjat ketika kaki kanannya
amblas ke dalam tanah sampai sebatas betis. Tanah
yang dipijaknya ternyata empuk seperti bubur!
Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, mendadak
Arya merasakan adanya kekuatan aneh yang menarik
kakinya terus ke dalam tanah.
"Lumpur hidup...," desis Arya dengan hati berdebar
tegang. Memang dia telah cukup sering mendengar
tentang lumpur hidup. Tapi, baru kali ini
ditemukannya.
Sebuah keuntungan bagi Dewa Arak, karena hanya
sebelah kakinya saja yang masuk ke dalam lumpur
hidup itu. Sementara kaki kirinya masih berada di
tempat yang aman. Maka, berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang luar biasa, tidak sulit bagi pemuda
berambut putih keperakan itu untuk tidak mem-
biarkan seluruh tubuhnya terserap lumpur hidup.
Tapi hanya sesaat saja Arya dilanda perasaan
bingung. Sesaat kemudian, dia sudah kembali seperti
sikapnya semula. Tenang dan penuh perhitungan.
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak segera mengerahkan
seluruh tenaga dalam untuk menarik kembali kakinya
yang terbenam dalam lumpur. Sesaat kemudian, adu
tarik-menarik pun terjadi. Arya mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali
kakinya. Sementara lumpur hidup itu berusaha
menyedot kaki Dewa Arak ke bawah.
Adu tarik-menarik rupanya tidak berlangsung lama.
Dewa Arak dengan tenaga dalamnya yang telah
mencapai tingkatan tinggi, tidak mengalami kesulitan
sedikit pun untuk menarik kembali kakinya. Sesaat
kemudian, perlahan-lahan kaki kanannya mulai ter-
angkat naik. Dan kini dia telah berhasil mem-
bebaskan kakinya dari cengkeraman lumpur hidup
itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega. Diam-diam
pemuda berambut putih keperakan itu bersyukur,
karena tetap bersikap hati-hati. Kalau saja tadi tidak
bersikap hati-hati, mungkin sudah tewas di dalam
lumpur hidup itu.
Mendadak Dewa Arak tersentak. Dirasakan adanya
getar-getar aneh pada kaki kanannya. Bergegas
kepalanya ditolehkan. Dan seketika itu juga sepasang
mata Arya terbelalak. Betapa tidak? Di sekujur kaki
sampai sebatas tutut, bertengger benda-benda hidup
berwarna hitam sebesar jari. Lintah! Dan menilik dari
bentuknya yang sudah gendut-gendut itu, bisa
dipastikan kalau lintah-lintah itu telah cukup lama
mengisap darahnya!
Menilik dari banyaknya, Arya tidak mau membunuh
mereka dengan tangan. Pemuda berambut putih
keperakan ini merasa jijik membunuh binatang-
binatang itu dengan tangan kosong. Maka tanpa ragu-
ragu lagi 'Tenaga Dalam Inti Matahari' segera dikerah-
kan.
Sebenarnya bisa saja Dewa Arak membunuh
binatang-binatang itu dengan semburan araknya.
Tapi, dia tidak ingin menghamburkan araknya untuk
hal-hal yang kurang penting. Karena masih ada hal
yang lebih penting lagi yang membutuhkan araknya.
Itulah sebabnya sepanjang perjalanan menuju
kemari, araknya tidak pernah diminum.
Bergegas Arya memusatkan pikiran. Dan sesaat
kemudian, hawa panas dari pusar bergolak ke arah
kakinya. Hanya sekejapan saja, hawa panas itu telah
berada di kakinya.
Hebat bukan main akibatnya! Satu persatu tubuh
lintah-lintah itu berguguran ke tanah. Tubuh binatang-
binatang itu melipat, lalu menggeliat-geliat di tanah.
Dan akhirnya , diam tidak bergerak lagi.
Baru saja lintah-lintah itu tidak bergerak lagi,
mendadak rasa pusing menyerang Arya. Semua yang
dilihatnya seperti berputaran. Bahkan bukan hanya
itu saja. Sekujur urat-uratnya pun terasa mengejang.
Meskipun dalam keadaan seperti itu, otak Dewa
Arak masih sempat berpikir. Tidak salah lagi, lintah-
lintah itu pasti beracun! Begitulah kesimpulan yang
diambil pemuda berambut putih keperakan itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
buntalannya segera dijumput. Kemudian dengan
susah, karena urat-uratnya yang telah mengejang,
dan juga karena pandangannya yang sudah tidak
jelas, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil
mengambil obat yang dicarinya. Dan begitu didapat,
segera ditelannya.
Baru saja obat itu ditelannya, Arya sudah tidak
sanggup lagi menahan rasa pusing yang menyerang.
Diiringi sebuah keluhan tertahan, Dewa Arak roboh
pingsan.
***
Entah sudah berapa lama Dewa Arak tidak
sadarkan diri. Yang jelas ketika sadar, matahari telah
muncul di ufuk Timur. Sementara sewaktu perasaan
pusing menyerangnya, matahari baru saja tergelincir
dari titik tengahnya. Jadi, paling sedikit Arya telah
tidak sadarkan diri selama semalaman lebih.
Setelah menggeliat-geliatkan tubuh beberapa saat
lamanya, Dewa Arak baru bangkit dari berbaringnya,
kemudian duduk. Dahinya berkernyit mencoba
mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai tahu-
tahu tertidur.
Tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan
ini untuk mengingat-ingat kejadian yang dialami.
Karena, di hadapannya masih terpampang bukti-bukti
yang membantunya untuk mengingat-ingat.
Kini Dewa Arak tercenung. Sepasang alisnya
nampak bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikir-
kannya. Memang, dia tengah memikirkan jalan untuk
nelewati lumpur hidup ini.
Dewa Arak yakin, pasti ada jalan lain untuk menuju
ke tengah pulau. Maka, pandangannya diedarkan ke
sekeliling. Pulau tempatnya berdiri ini hanya pulau
kecil. Lebarnya tak lebih dari dua ratus tombak. Kalau
panjangnya, Dewa Arak sama sekali tidak bisa
memperkirakan, karena di hadapannya terpampang
hamparan rumput ilalang tinggi. Dan lagi, lebar pulau
yang disinggahinya juga tertutup hamparan rumput
ilalang!
Yakin pada dugaannya, membuat semangat Dewa
Arak kembali bangkit. Cepat dia bangkit berdiri,
kemudian berjalan ke arah kiri pulau sampai tiba di
ujungnya. Tak lupa di sepanjang perjalanan menuju
ke sana, dipungutnya batu-batu sebesar kepala yang
berserakan di sana-sini.
Iseng-iseng Arya melongokkan kepala ke bawah.
Tampak olehnya lautan yang membentang di sana.
Agak ciut juga hatinya. Maka, pandangan Arya segera
dipalingkan.
Kini Dewa Arak kembali pada maksudnya semula,
mencari jalan yang aman untuk masuk ke dalam
pulau.
"Hih...!"
Arya mulai dengan percobaannya. Dilemparkannya
baru itu ke atas tanpa pengerahan tenaga dalam
sama sekali.
Wuuuttt..!
Baru itu meluncur naik ke atas. Dan setelah daya
lontarannya habis, batu itu meluncur ke tanah dalam
jarak sekitar dua tombak di hadapan Dewa Arak.
Brukkk...!
Batu sebesar kepala itu jatuh di tanah. Kontan
tanah yang kelihatannya keras, langsung melesak.
Batu itu tenggelam sedikit ke dalam tanah yang
ternyata bagian dalamnya empuk.
Semula hanya sebagian kecil saja yang terbenam.
Tapi, semakin lama semakin banyak bagian batu yang
tenggelam. Rupanya tanah yang terlihat keras itu di
dalamnya adalah lumpur hidup yang akan menyedot
apa pun yang berada di atasnya.
Arya bergidik melihatnya, tak sanggup mem-
bayangkan kalau seandainya terjeblos di lumpur
hidup yang tertutup lapisan tanah tipis itu.
Dewa Arak tidak hanya sekali saja mencobanya.
Kakinya segera melangkah sekitar tiga tindak ke
tanah, kemudian kembali melemparkan batu sebesar
kepala yang dibawanya. Lagi-lagi batu itu tenggelam.
Tapi Dewa Arak tidak putus asa, dan terus melangkah
ke kanan sambil melemparkan batu itu. Hasilnya
tidak jauh berbeda.
Dewa Arak terus saja mencoba sampai akhirnya
tiba di bagian paling kanan pulau itu. Kini pemuda
berambut putih keperakan ini tidak bisa lagi
mencobanya karena di sebelah kanannya, nun jauh di
bawah, terbentang lautan luas.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang, antara
bingung dan putus asa. Jelas dari hasil percobaannya
dapat diketahui, tidak ada jalan yang aman untuk
masuk ke dalam pulau. Jalan satu-satunya hanyalah
melalui lumpur hidup. Tapi bagaimana caranya?
Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak tercenung.
Pikirannya berputar keras, mencari jalan untuk
melewati lumpur hidup itu. Sepasang alis Arya hampir
bertautan saking kerasnya berpikir.
Beberapa saat lamanya Arya bersikap seperti itu,
berdiri dengan sepasang alis berkerut. Sementara ibu
jari dan telunjuknya mengelus-elus dagu. Sepasang
matanya menatap tak bergeming pada satu titik.
Beberapa saat kemudian, wajah Arya berseri.
Kerutan pada sepasang alisnya pun lenyap. Suatu
bukti kalau telah ditemukan suatu cara.
Kini Arya menerawangkan pandangannya ke
depan. Diperkirakannya jarak dari tempatnya berdiri,
kehamparan rerumputan yang terdapat di sana.
Menurut perhitungannya, jarak itu tak kurang dari tiga
puluh tombak! Sebuah jarak yang teramat jauh untuk
dapat dilompatinya, sekalipun mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tapi kini dia telah menemukan cara untuk
mengatasinya. Diambilnya beberapa buah batu
sebesar kepalan tangan. Semuanya dimasukkan ke
balik bajunya. Hanya satu saja yang dipegangnya.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melompat
melewati lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah
tipis. Tapi seperti yang sudah diperhitungkan,
sebelum mencapai tengah-tengah, daya lontar pada
tubuhnya pun habis. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh-
nya meluruk deras ke bawah.
Tapi Dewa Arak tidak menjadi gugup, karena hal ini
memang sudah diperhitungkan. Maka begitu kedua
kakinya hampir menyentuh tanah, batu yang
digenggamnya dijatuhkan ke bawah.
Plukkk...!
Batu sebesar kepalan tangan itu jatuh di tanah.
Seketika itu pula tanah yang kelihatannya keras
melesak ke dalam. Padahal, Arya melontarkan batu
itu tanpa mengerahkan tenaga dalam.
Tukkk...!
Dengan perhitungan matang, Dewa Arak menotok-
kan ujung alas kakinya ke batu yang dilontarkan. Dan
dengan meminjam tenaga landasan pada batu itu,
tubuh Dewa Arak kembali melenting ke udara.
Sementara, batu itu langsung tenggelam terserap
lumpur hidup.
Tapi sebelum mencapai tempat yang dipenuhi
hamparan rumput luas, tubuh Arya telah kembali
meluruk turun ke tanah. Maka kembali dijatuhkannya
balu yang dibawa. Kemudian kembali ditotokkan
ujung alas kakinya ke batu. Kembali tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu melambung ke atas.
Dewa Arak terus melakukannya berkali-kali untuk
dapat tiba di tempat yang penuh rumput-rumput
ilalang kering.
Hambatan-hambatan yang diterima Dewa Arak
tidak hanya itu saja. Di hamparan rumput itu pun
menghadang hambatan-hambatan yang tidak kalah
mengerikan. Ular kecil, kelabang, lintah, kalajengking,
dan bermacam-macam binatang lainnya menyerbu
dari balik rerimbunan alang-alang itu. Namun berkat
kelihaiannya, Arya mampu mengatasi semuanya
meskipun dengan susah payah.
Kini Dewa Arak menatap sebuah bangunan
sederhana yang terpampang di hadapannya. Tidak
salah lagi! Bangunan ini pasti tempat tinggal
Kelelawar Beracun! Maka tanpa ragu-ragu lagi,
pemuda berambut putih keperakan ini segera
bergerak menghampiri.
6
"Kelelawar Beracun...! Keluar kau...!" Masih dengan
napas terengah-engah, Dewa Arak berseru me-
manggil. Keras bukan main suaranya, karena di-
keluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Kriiit..!
Suara bergerit tajam terdengar mengiringi
terbukanya pintu pondok itu. Dan dari balik pintu yang
terkuak, muncul sesosok tubuh tinggi kurus
berpakaian serba hitam. Sepasang matanya yang
kecil dan merah tampak menyeramkan sekali dengan
wajahnya yang pucat. Inilah Kelelawar Beracun, yang
membuat Melati terluka!
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak
begitu melihat sosok tubuh di ambang pintu itu.
Meskipun belum pernah melihat, tapi dari ciri-ciri
yang diceritakan, sudah bisa diduga kalau itu adalah
Kelelawar Beracun!
"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Kelelawar
Beracun kasar penuh kemarahan.
Dan memang, Kelelawar Beracun marah bukan
main mendengar panggilan Dewa Arak. Dengan sorot
mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng-
hampiri pemuda berambut putih keperakan itu.
Kedua tangan Dewa Arak menggigil keras karena
hawa amarah yang bergelora. Memang, hatinya
panas bukan main mendengar sambutan laki-laki
berwajah pucat itu. Apalagi saat itu, Arya tengah
dilanda kemarahan yang amat sangat, mengingat
penderitaan yang dialami kekasihnya yang diakibat
kan oleh orang di hadapannya ini. Tapi karena nasib
Melati tergantung pada pertolongan Kelelawar
Beracun, Dewa Arak menelan kemarahan yang
menyesakkan dada.
"Aku Arya...," sahut Dewa Arak dengan suara ber-
getar karena hawa amarah yang menyesakkan dada.
"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. Sikapnya
jelas terlihat sangat memandang rendah. "Lalu, apa
keperluanmu memanggilku?"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah
yang bergejolak dalam dada. Sikap dan ucapan laki-
laki berwajah pucat itu benar-benar menjengkelkan.
"Aku ingin kau ikut denganku...," masih bergetar
nada suara Dewa Arak.
"Ikut denganmu?" Kelelawar Beracun tersenyum
mengejek. Perasaan geli bersarang dalam hatinya
mendengar ajakan itu. "Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu...!" tandas Dewa Arak,
tegas dan keras.
"Heh...?!"
Berkilat sepasang mata Kelelawar Beracun. Dia
adalah seorang laki-laki yang berwatak angkuh dan
selalu mengagungkan kemampuan sendiri. Maka
tidak aneh, jika laki-laki berwajah pucat ini merasa
terkejut mendengar ucapan Dewa Arak.
"Kau akan memaksaku?"
Arya mengangguk.
"Ha ha ha...!"
Tawa Kelelawar Beracun meledak, walau terdengar
aneh. Kecil dan melengking tak ubahnya tikus men-
cicit.
Wajah Dewa Arak memerah, karena tahu kalau
laki-laki berpakaian hitam itu menertawakan dirinya.
Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah sejak tadi
Dewa Arak menerjang Kelelawar Beracun. Tapi
kekhawatirannya akan nasib Melati, membuatnya
menelan kemarahan itu.
"Diam...!"
Terpaksa Dewa Arak membentak. Keras sekali
suaranya karena ditopang tenaga dalam tinggi.
Bentakan itu tak ubahnya ledakan halilintar!
Seketika itu juga Kelelawar Beracun menghentikan
tawa. Sikapnya langsung berubah. Dirasakan adanya
getaran kuat yang membuat dadanya terguncang
akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda yang
berdiri di hadapannya ini.
Kini laki-laki berwajah pucat ini sadar, pemuda
berambut putih keperakan ini bukan lawan ringan.
Dan seiring timbulnya kesadaran itu, dia pun teringat
kalau untuk masuk ke tempatnya, orang harus
melalui berbagai macam rintangan dan hambatan
yang penuh bahaya. Tanpa memiliki kemampuan dan
kecerdikan tinggi, tidak akan pernah ada orang yang
mampu masuk ke tempatnya. Tapi, Arya ternyata
mampu! Ini saja sudah membuktikan kalau Dewa
Arak bukan orang sembarangan!
Mendapat dugaan seperti ini membuat Kelelawar
Beracun waspada. Pikirannya pun berputar, meng-
ingat-ingat barangkali pernah mendengar ada
seorang tokoh muda berambut putih keperakan yang
memiliki kepandaian tinggi. Seketika laki-laki ber-
wajah pucat ini tersentak begitu teringatk
"Jadi..., kau... Dewa Arak...?!" tanya Kelelawar
Beracun terbata-bata. Nada suaranya menyiratkan
keterkejutan yang amat sangat. Dia memang telah
mendengar julukan tokoh yang mengemparkan itu.
"Benar," sahut Dewa Arak, mantap. "Maka, lebih
baik kau ikut denganku secara baik-baik sebelum
terjadi sesuatu pada dirimu."
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak tidak lagi ber-
sikap merendah. Pemuda berambut putih kepeakan
ini tidak mau membuang-buang waktu lagi. Itulah
sebabnya, dia seperti bersikap sombong.
"Hmh...!" Kelelawar Beracun mendengus. "Orang
lain boleh takut dengan nama besarmu, Dewa Arak!
Tapi jangan harap Kelelawar Beracun akan gentar!"
"Kalau begitu, terpaksa kau harus kutundukkan
dengan kekerasan!"
"Sombong!"
Kelelawar Beracun memaki. Dia marah bukan
main menyaksikan sikap dan ucapan Dewa Arak yang
jelas-jelas seperti merendahkannya.
Setelah berkata demikian, Kelelawar Beracun lalu
melompat menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya
bergerak menampar ke arah pelipis. Keras bukan
main. Ini terbukti dari deru angin deras yang
menyambar ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi.
Segera guci araknya dijumput dan langsung diangkat
ke atas kepala.
Gluk... gluk... gjuk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa
hangat yang menyebar dalam perut Arya. Perlahan
hawa hangat itu naik ke kepala. Kontan kedua kaki
pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng.
Sementara itu serangan dari Kelelawar Beracun
meluncur tiba.
Dengan gerakan sempoyongan yang khas dari ilmu
'Belalang Sakti', Dewa Arak mengelakkan serangan
itu. Kaki kanannya melangkah ke belakang sehingga
tamparan itu mengenai angin kosong.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya. Begitu
serangan itu berhasil dipunahkan, tubuhnya berputar
ke kiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Sekejap
kemudian, tubuh Dewa Arak telah berada di belakang
Kelelawar Beracun. Inilah salah satu gerak jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
Dan secepat tubuhnya telah berada di belakang,
secepat itu pula Dewa Arak melancarkan serangan.
Kedua tangannya dengan jari-jari membentuk jurus
belalang, melancarkan serangan bertubi-tubi ke bahu
belakang kanan Kelelawar Beracun.
Semula Kelelawar Beracun kebingungan tatkala
melihat lawan mendadak lenyap dari hadapannya.
Tapi begitu merasakan desir angin dari belakang, dia
segera tahu kalau lawan telah berada di belakangnya.
Luar biasa! Meskipun dalam keadaan gawat
seperti itu, Kelelawar Beracun masih mampu
menyelamatkan diri. Bahkan laki-laki berwajah pucat
itu tidak mengelak. Dia hanya menjejakkan kedua
kaki, maka tubuhnya melenting ke atas. Tak pelak
lagi serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong,
lewat beberapa jengkal di bawah kaki Kelelawar
Beracun.
Arya terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau
lawan akan mengelakkan diri dengan cara seperti itu.
Semula dikira laki-laki berpakaian hitam itu akan
mengelak dengan melempar tubuh ke depan dan
bergulingan. Suatu cara yang paling mudah untuk
mengelak. Sebenarnya, mengelak dengan cara
seperti itu paling tidak membutuhkan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa!
Bahkan bukan hanya itu saja yang dilakukan
Kelelawar Beracun. Saat tubuhnya bersalto di udara,
tangan kanannya bergerak mengibas.
Serrr...!
Belasan batang jarum beracun meluncur ke arah
Dewa Arak.
Arya terperanjat dan juga geram. Sungguh tidak
disangka akan mendapat serangan seperti itu.
Meskipun serangan itu datangnya begitu men-
dadak dan tiba-tiba, tapi Dewa Arak tidak gugup. Guci
araknya segera dituangkan ke mulutnya.
Tapi berbeda dengan biasanya, kali ini arak itu
tidak diminum. Begitu masuk ke dalam mulutnya,
arak itu langsung disemburkan Dewa Arak.
"Pruhhh...!"
Tringgg, tringgg...!
Suara berdenting nyaring seperti beradunya
benda-benda logam kecil terdengar, ketika arak yang
disemburkan Dewa Arak berbenturan dengan jarum-
jarum beracun yang diiepaskan Kelelawar Beracun.
Seketika itu pula semua jarum-jarum yang dilepas-
kannya runtuh ke tanah.
Memang berkat pengerahan tenaga dalam Arya
yang sudah mencapai tingkatan tinggi, percikan arak
itu seolah-olah telah berubah menjadi logam-logam
kecil.
Bersamaan dengan kedua kaki Kelelawar Beracun
mendarat di tanah, Dewa Arak telah menyampirkan
gucinya kembali ke punggung. Langsung dilancar-
kannya serangan bertubi-tubi ke arah Kelelawar
Beracun. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun
terjadi.
Hebat bukan main pertarungan antara kedua
orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan
tubuh tingkat tinggi itu. Yang terlihat hanyalah
kelebatan bayangan hitam dan ungu, yang terkadang
saling belit dan kemudian saling pisah.
Suara menderu dan mendesing menyemarakkan
pertarungan. Dan, beberapa kali Dewa Arak harus
menyemburkan araknya begitu Kelelawar Beracun
melancarkan serangan jarum-jarum beracun.
Pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran ini
berlangsung cepat. Memang, keduanya sama-sama
memiliki gerakan cepat, sehingga tidak aneh bila
dalam waktu sebentar saja dua puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-
tanda yang akan terdesak.
Sebuah keuntungan bagi Kelelawar Beracun, Dewa
Arak ternyata bertarung secara hati-hati. Pemuda
berambut putih keperakan ini tidak ingin lawannya
tewas atau terluka parah. Maka, Arya selalu menahan
serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan hal-
hal yang tidak diinginkan. Dan tentu saja, hal ini
semakin membuat Arya mengalami kesulitan.
Padahal, Kelelawar Beracun bertarung disertai
pengerahan seluruh kemampuannya.
Kelelawar Beracun memang orang yang cerdik. Dia
tahu kalau lawan tidak terlalu bersungguh-sungguh
menghadapinya. Tapi sebenarnya hal ini membuatnya
terpukul, di samping rasa penasaran yang bukan
kepalang. Untuk yang kedua kalinya, dia menelan
kenyataan pahit karena harus bertemu lawan yang
memiliki kepandaian di atasnya. Dan yang lebih
menyakitkan hati lagi, lawan itu adalah seorang tokoh
muda!
Kelelawar Beracun adalah seorang yang memiliki
keangkuhan tinggi. Selama ini, dia selalu meng-
agulkan kepandaiannya. Menurut anggapannya, tidak
banyak orang yang akan dapat menandingi
kepandaiannya. Dapat dibayangkan, betapa kecewa
hati Kelelawar Beracun tatkala berturut-turut meng-
hadapi kenyataan pahit. Dua kali dibuat malu oleh
tokoh muda! Pertama dengan Melati, dan kali ini
dengan Dewa Arak!
Memang harus diakui, sewaktu menghadapi
Melati, seluruh kemampuan yang dimilikinya belum
dikerahkan. Dan hal itu memang tidak mungkin
dilakukan. Karena, waktu itu dia menghadapi gadis
berpakaian putih itu bersama-sama Tuyul Tangan
Seribu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode 'Kelelawar Beracun").
Kalau seluruh kemampuannya dikeluarkan, bukan
hanya Melati yang akan celaka. Rekannya pun pasti
akan celaka pula! Dan itu sama sekali tidak
diinginkannya.
Kali ini, dirinya harus menghadapi Dewa Arak
seorang diri. Kini tidak ada lagi yang perlu di-
khawatirkan, sehingga bebas mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Dia tidak perlu merasa
khawatir lagi.
Sebenarnya sejak tadi Dewa Arak sudah dilanda
perasaan heran. Apakah karena jarum beracun ini,
laki-laki berpakaian hitam itu dijuluki Kelelawar
Beracun! Rasanya mustahil! Tapi mengingat tempat
tinggalnya yang begitu penuh dilapisi racun-racun
mengerikan, rasanya tidak mungkin kalau hanya
karena jarum-jarum dia mendapat julukan Kelelawar
Beracun.
Dewa Arak langsung teringat pada pamannya yang
berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa (Untuk jelasnya,
baca serial Dewa Arak dalam episode per-dananya,
"Pedang Bintang"). Pamannya itu memang tidak
mengherankan mendapat julukan seperti itu, karena
memang setiap serangannya selalu mengandung
racun.
"Hih...!"
Mendadak Kelelawar Beracun melempar tubuhnya
ke belakang, menjauhkan diri dari kancah
pertarungan. Dan begitu telah berada di udara, dia
be-putaran beberapa kali ke belakang.
Arya sama sekali tidak mengejarnya. Pemuda
berambut putih keperakan ini sudah bisa menduga
kalau lawan akan menggunakan ilmu lain. Maka, dia
hanya diam menunggu. Dewa Arak tidak ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk merobohkan
lawan.
Karena Arya tidak mengejarnya, Kelelawar Beracun
sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk
melaksanakan maksudnya. Dengan gerakan indah
dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah. Kini
keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar
tujuh tombak.
Dengan sepasang. mata tak lepas mengawasi
gerak-gerik lawan, Dewa Arak mengangkat guci
araknya ke atas kepala. Dan dengan sikap tenang,
araknya dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya. Tak lama kemudian, setelah hawa
langat kembali menjalari perut dan kepalanya, kedua
kaki pemuda berambut putih keperakan ini mulai
oleng. Langkahnya juga mulai tidak tetap dan
terhuyung-huyung.
Sementara pada saat Dewa Arak menuangkan
arak ke mulutnya, Kelelawar Beracun tengah bersiap
mengeluarkan ilmu andalannya. Kedua tangannya
dijulurkan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka
lurus dan kaku. Sekujur tangannya, mulai dari
pangkal lengan sampai pergelangan mengejang.
Suara mencicit pelan, seperti suara seekor tikus
terdengar dari mulutnya. Dan perlahan-lahan, kedua
tangan itu direntangkan ke samping.
Tepat ketika tubuh Dewa Arak mulai sempoyongan,
dari seluruh tubuh Kelelawar Beracun mengepul uap
tipis berwarna putih. Karuan saja hal ini membuat
Dewa Arak terbelalak. Memang diakui, dia pun
mampu mengeluarkan asap tipis dari sekujur
tubuhnya. Tapi itu dilakukan bila tengah memusatkan
pikiran untuk mengeluarkan tenaga dalamnya,
'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Begitu kedua tangannya telah merentang ke
samping, mendadak Kelelawar Beracun melompat,
Dan dari atas, kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka, bergerak menepuk. Yang kanan menepak
pelipis kiri, sementara yang kiri menepak pelipis
kanan Arya. Rupanya dia ingin menggencet hancur
kepala Dewa Arak!
Arya terperanjat melihat kecepatan gerak lawan.
Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang
memuakkan, seiring tibanya serangan Kelelawar
Beracun. Bau amis itu membuat kepala Dewa Arak
terasa pusing.
Dewa Arak tidak mau bersikap sembrono dengan
menangkis serangan itu. Dia belum tahu ke-
istimewaan ilmu lawan. Maka diputuskannya untuk
mengelakkan serangan itu. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan dengan
cara menekuk lutut.
Plokkk...!
Suara keras menggelegar terdengar ketika kedua
tangan Kelelawar Beracun saling bertemu satu sama
lain, karena sasaran yang ditujunya telah lenyap.
Ternyata tidak hanya sampai di situ saja serangan
Kelelawar Beracun. Begitu serangannya berhasil
dielakkan, kedua kakinya bergerak menendang ke
arah dada. Keras bukan main. Suara angin menderu
menjadi saksi kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Arya terkejut bukan kepalang. Apalagi ketika rasa
pening yang menyerang kepalanya semakin hebat,
seiring semakin kerasnya bau amis yang semakin
menyengat hidung.
Meskipun berada dalam keadaan yang meng-
khawatirkan, Dewa Arak tetap membuktian ke-
hebatannya. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti' yang membuatnya mampu melakukan gerakan
apa pun dan dalam keadaan sesulit bagaimana pun,
dia mampu mengelakkan serangan itu.
Cepat laksana kilat, kedua kakinya menekan
tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting ke
belakang. Akibatnya sudah bisa diduga. Serangan
Kelelawar Beracun hanya menghantam tempat
kosong! Karena, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada
lagi di situ.
Berbareng mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di
tanah, kedua kaki Kelelawar Beracun pun hinggap di
tanah pula. Kembali keduanya berdiri berhadapan
dalam jarak lima tombak.
Arya tahu, betapa berbahayanya setiap serangan
yang dilakukan Kelelawar Beracun. Jangankan ter-
kena secara langsung. Baru angin serangannya saja,
sudah membuat kepalanya pusing. Padahal laki-laki
berwajah pucat itu baru menyerang sebanyak dua
kali! Semakin banyak Kelelawar Beracun menyerang,
dengan sendirinya suasana di sekitar tempat ini akan
semakin banyak dicemari racun ganas. Baru sedikit
saja kepalanya sudah terasa pusing. Tidak bisa
dibayangkannya, bagaimana kalau Kelelawar Beracun
sudah banyak melancarkan serangan!
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera
menuangkan arak ke dalam mulutnya kembali.
***
7
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, hawa
hangat mulai merayap di dalam perutnya, dan terus
naik ke kepala. Dan kini sikap kedua kaki Arya mulai
tidak tetap.
Dan seiring dengan itu, perasaan pusing yang tadi
mendera kepalanya pun lenyap seketika. Itulah
keistimewaan yang dimiliki Dewa Arak. Gabungan dari
arak dan ilmunya, mampu mematahkan hawa
beracun yang menyerang.
Baru saja Arya menurunkan guci araknya,
Kelelawar Beracun kembali melesat menerjang.
Sesaat kemudian pertarungan sengit kembali terjadi.
Kini Arya baru sadar, mengapa lawannya ini
mendapat julukan Kelelawar Beracun. Laki-laki
berwajah pucat ini bagaikan seorang manusia
beracun. Jangankan serangan tangan atau kaki,
anginnya saja mengandung racun kuat yang mampu
membuat lawan pusing dan terpecah perhatiannya.
Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama
memiliki kecepatan gerak mengagumkan itu ber-
langsung cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja,
lima puluh jurus telah berlalu tanpa terasa. Dan
selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak.
Diam-diam Arya merasa bergetar melihat ke-
dahsyatan ilmu yang dimiliki Kelelawar Beracun.
Memang bila ditujukan baginya, kedahsyatan ilmu itu
tidak berarti banyak. Tapi jika ditujukan untuk orang
lain? Kelelawar Beracun memang layak dimusnah
kan! Tapi bila dimusnahkan, bagaimana dengan
Melati?
Diam-diam Dewa Arak harus mengakui, kalau
setelah mengeluarkan ilmu andalan ini kelihaian
Kelelawar Beracun semakin menjadi-jadi. Dan itu
tidak bisa dilayani dengan kemampuan seperti se-
belumnya. Terpaksa kemampuannya ditambah.
Meskipun begitu, tetap saja Arya tidak mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke
seratus, mulai nampak keunggulan Dewa Arak.
Perlahan namun pasti, Kelelawar Beracun mulai
terdesak. Hal ini tidak aneh, karena keistimewaan
ilmunya sama sekali tidak ada gunanya begitu
menghadapi Dewa Arak. Hawa beracun yang telah
menyebar ke seluruh tempat itu sama sekali tidak
berarti apa-apa.
Kelelawar Beracun hampir putus asa. Sebab,
setiap serangannya mampu dielakkan Dewa Arak.
Memang tingkat kepandaian Arya Buana di atas
Kelelawar Beracun.
Dewa Arak selalu mengelakkan serangan yang
dilancarkan Kelelawar Beracun, dan sekali pun tidak
pernah mencoba menangkisnya. Arya tahu kalau
setiap serangan lawan mengandung racun yang tidak
terkirakan ganasnya. Makanya dia tidak berani
mencoba-coba menangkisnya. Jadi selama seratus
jurus bertarung, belum pernah terjadi benturan
tangan antara mereka secara langsung. Kelelawar
Beracun beberapa kali saja memojokkan untuk
mengadu tenaga, tapi selalu berhasil dielakkan Dewa
Arak. Dan andaikata benturan di antara mereka tidak
bisa dihindari lagi, pemuda berambut putih
keperakan itu menangkisnya dengan guci. Akibatnya,
Kelelawar Beracun langsung terhuyung-huyung
mundur. Isi dadanya terasa sesak dan sekujur tangan
bergetar hebat. Padahal Dewa Arak belum mengerah-
kan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu.
Merasa putus asa mengajak Dewa Arak mengadu
tangan secara langsung, tambahan lagi menyadari
keadaannya yang mulai terdesak, Kelelawar Beracun
terpaksa mengeluarkan senjata andalannya. Tampak
sebuah cambuk yang terbuat dari kulit landak telah
tergenggam di tangannya. Dan menilik dari kebiasaan
Kelelawar Beracun, maka sudah bisa dipastikan
kalau senjata yang dimilikinya pun mengandung
racun ganas juga.
Ctarrr...!
Ledakan keras seperti ada halilintar menyambar
terdengar setiap kali Kelelawar Beracun melecutkan
cambuknya. Bukan hanya itu saja. Asap tipis ber-
warna putih pun mengepul setiap kali ujung cambuk
membelah udara. Dan tentu saja bukan asap
sembarangan, melainkan asap yang mengandung
racun ganas. Bau keras yang membuat Arya berkali-
kali bersin, tercium dari asap yang berwarna putih itu.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak agak
kewalahan. Hidungnya terasa seperti dikilik-kilik. Dan
tanpa dapat dicegahnya lagi, dia bersin. Dengan
sendirinya hal ini membuat gerakannya terganggu.
Dengan adanya cambuk kulit landak di tangannya,
Kelelawar Beracun kembali mampu memperbaiki
kedudukannya. Dia kini tidak lagi kewalahan. Bahkan
sebaliknya, Dewa Arak yang mulai main mundur.
Kembali pertarungan sengit terjadi. Dengan ada-
nya cambuk di tangan, Kelelawar Beracun bagaikan
seekor harimau tumbuh sayap. Laki-laki berwajah
pucat ini tampak semakin berbahaya.
Tapi hanya sekitar dua puluh jurus saja Kelelawar
Beracun dapat melakukan serangan gencar. Lewat
dari dua puluh jurus, serangan serangan cambuknya
mulai mengendur. Tidak aneh, karena laki-laki ber-
pakaian hitam ini sudah merasa sangat lelah.
Sebelum mengeluarkan senjata andalan, dia telah
bertarung lebih dari seratus lima puluh jurus. Dan
selama itu, seluruh kemampuannya dikerahkan.
Berbeda dengan Kelelawar Beracun, Dewa Arak
sama sekali tidak merasa lelah. Pemuda berambut
putih keperakan ini memang berbeda dengan orang
lain. Setiap kali merasa lelah, araknya langsung
ditenggak. Maka, kontan tenaganya pulih kembali.
Itulah sebabnya, meskipun Kelelawar Beracun telah
dilanda rasa lelah yang amat sangat, Dewa Arak
masih tetap segar bersemangat.
Seiring semakin mengendurnya serangan-
serangan Kelelawar Beracun, serangan Dewa Arak
datang semakin bertubi-tubi. Arya memang ingin
secepatnya merobohkan lawan. Sampai pada suatu
saat...
Tukkk...!
Ujung alas kaki Dewa Arak telak dan keras sekali
mengenai pergelangan tangan kanan Kelelawar
Beracun. Seketika laki-laki berwajah pucat ini me-
mekik pelan. Tanpa dapat dicegah lagi, cambuknya
terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Belum lagi laki-laki berpakaian hitam ini sempat
berbuat sesuatu, kaki kiri Arya telah bergerak
meluncur cepat ke arah perutnya. Kelelawar Beracun
mencoba untuk mengelak, tapi....
Bukkk...!
"Hugh...!"
Kelelawar Beracun mengeluh tertahan ketika
tendangan Dewa Arak telak dan keras sekali meng-
hantam perutnya. Seketika itu juga tubuhnya terlipat
ke depan. Di saat itulah Dewa Arak kembali me-
lancarkan serangan susulan, berupa totokan ke arah
bahu kiri Kelelawar Beracun.
Tukkk...!
Telak dan keras sekali totokan yang dilancarkan
Arya mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh
Kelelawar Beracun lemas, tidak mampu digerakkan
sama sekali. Hanya saja, sepasang matanya melotot
menatap Dewa Arak penuh kebencian.
"Kelelawar Beracun, aku bersedia mengampuni-
mu...," kata Arya pelan tapi penuh wibawa. "Asal kau
bersedia memenuhi permintaanku...."
"Cuhhh...!"
Sambutan ludah kental Kelelawar Beracun ke arah
wajah Arya yang menyambut tawaran itu. Untung
pemuda berambut putih keperakan itu sempat
mengelak. Kalau tidak, tentu cairan yang menjijikkan
itu sudah hinggap di wajahnya.
"Jangan kau kira aku takut mati, Dewa Arak! Aku
lebih suka seribu kali mati daripada harus memenuhi
permintaanmu!" tandas Kelelawar Beracun kasar.
Arya tercenung tapi pikirannya berputar keras. Dia
bukan orang yang berwatak kejam. Tapi disadari
kalau sikap seperti itu terkadang diperlukan juga.
Maka meskipun rasanya bertentangan dengan hati
nurani, Arya mencoba menguatkan hati
"Aku tahu kau tidak takut mati, Kelelawar
Beracun," sahut Arya. Dingin dan datar suaranya.
Nadanya terdengar kaku, sekaku wajahnya. "Tapi
perlu kau ketahui, aku tidak akan membiarkanmu
mati begitu saja. Kau akan mengalami siksaan yang
mungkin belum pernah dirasakan selama hidupmu!
Aku akan membuatmu mati secara perlahan-lahan."
Meremang bulu kuduk Kelelawar Beracun men-
dengar ancaman Dewa Arak. Tertangkap adanya nada
ancaman yang hebat dalam suara itu. Sebagai
seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, dia tentu saja
tahu kalau Dewa Arak mudah saja menciptakan
berbagai macam penyiksaan yang mengerikan. Tapi,
Kelelawar Beracun adalah seorang tokoh hitam yang
memiliki keangkuhan tinggi. Maka meskipun
perasaan ngeri mencekam hatinya, dia berusaha
menyembunyikannya. Sebuah seringai penuh ejekan
terpampang di wajahnya.
"Jangan katakan aku kejam, Kelelawar Beracun,"
tegas Dewa Arak dingin. "Aku telah memberimu
pilihan dan kesempatan. Dan kau telah memilih
sendiri kemauanmu...!"
Setelah berkata demikian, dengan raut wajah
dibuat kaku tanpa perasaan, Dewa Arak
membungkukkan tubuh. Telunjuk tangan kanannya
menuding kaku, kemudian perlahan bergerak ke arah
jalan darah di bahu kanan Kelelawar Beracun.
"A..., apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak...?"
suara Kelelawar Beracun seperti tercekat di
tenggorokan.
Laki-laki berwajah pucat ini tentu saja tahu, apa
yang akan dilakukan Dewa Arak. Pemuda itu memang
akan menotok jalan darah di bahu kanannya. Dewa
Arak telah siap menyiksanya! Totokan pada jalan
darah di situ akan membuatnya melolong-lolong,
karena dilanda rasa sakit yang hebat.
Arya tersenyum pahit.
"Hanya sebagai permulaan dari kematianmu, yang
akan kubuat perlahan-lahan tapi penuh penyiksaan,"
sahut Dewa Arak, kalem tapi dengan raut wajah tetap
dingin. "Masih banyak lagi siksaan mengerikan yang
akan kau terima. Ini sekadar pemanasan."
Kontan wajah Kelelawar Beracun pucat pasi.
Menilik dari gerak-geriknya, Dewa Arak tidak main-
main dengan ancamannya. Memang diakui, dirinya
tidak takut menghadapi maut. Tapi mati secara
perlahan-lahan dalam keadaan sangat tersiksa, siapa
yang tidak ciut nyalinya?
"T..., tunggu dulu, Dewa Arak...!"
Agak terburu-buru Kelelawar Beracun berseru
mencegah. Arya yang memang sudah sejak tadi
menunggu hal ini, menahan gerakan tangannya.
Kemudian, wajahnya menoleh ke arah laki-laki
berwajah pucat, tapi tidak ada satu patah kata pun
yang keluar dari mulutnya.
"Kau berjanji akan membebaskan diriku kalau
bersedia memenuhi permintaanmu?" tanya Kelelawar
Beracun tidak yakin.
"Aku berjanji," tegas Dewa Arak.
"Kau tidak akan mengingkarinya?" kejar Kelelawar
Beracun.
Sebagai seorang tokoh sesat yang terbiasa curang,
laki-laki berwajah pucat ini tidak sembarang percaya
pada ucapan orang. Maka dia tidak langsung percaya
dengan janji Dewa Arak.
"Jangan sama kan aku dengan orang sepertimu,
Kelelawar Beracun!" sergah Arya keras.
"Kau berani bersumpah untuk menepati janjimu?"
tanpa mempedulikan sama sekali penegasan Arya,
Kelelawar Beracun terus saja membuka suara.
Terdengar suara gemerutuk dari mulut Dewa Arak
begitu mendengar ucapan Kelelawar Beracun. Arya
memang dilanda amarah yang bergolak. Tapi demi
keselamatan Melati, kemarahannya berusaha
ditahan.
"Aku berjanji untuk membebaskan Kelelawar
Beracun apabiia bersedia memenuhi permintaanku,"
tegas dan mantap ucapan yang keluar dari mulut
Dewa Arak.
Wajah Kelelawar Beracun seketika berseri begitu
mendengar sumpah yang keluar dari mulut Dewa
Arak. Rupanya, ucapan seperti itu sudah cukup
baginya.
Setelah mendengar kesediaan dari mulut
Kelelawar Beracun, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak
segera mengulurkan tangan. Dan sekali jari-jarinya
bergerak, totokan yang membelenggu Kelelawar
Beracun pun terlepas.
Kelelawar Beracun bangkit berdiri, kemudian
menggeliat-geliatkan tubuhnya sebentar untuk meng-
hilangkan rasa pegal yang melanda tubuhnya.
"Katakan apa permintaanmu, Dewa Arak," kata
Kelelawar Beracun sesaat kemudian.
"Mudah saja," sahut Arya. "Obati kawanku yang
telah kau lukai."
Berkernyit dahi Kelelawar Beracun mendengar
ucapan itu.
"Kawanmu! Kulukai?"
Arya menganggukkan kepala.
"Siapa kawanmu, Dewa Arak?" tanya Kelelawar
Beracun penasaran.
Benak laki-laki berwajah pucat itu berputar keras
mengingat-ingat orang yang telah dilukainya. Tapi
seingatnya, beberapa hari belakangan ini hanya
seorang saja yang bertarung dengannya. Itu pun
mungkin telah tewas. Dia adalah seorang gadis
berpakaian putih yang tinggal di Istana Kerajaan
Bojong Gading. Tidak ada lagi yang lainnya. Diakah
orang yang dimaksudkan Dewa Arak? Tapi rasanya
mustahil! Kelelawar Beracun yakin kalau gadis
berpakaian putih itu pasti sudah tewas! Racunnya tak
pernah gagal dalam mengambil nyawa!
"Seorang gadis berpakaian putih...."
"Ah...!" seruan kaget dari mulut Kelelawar Beracun
membuat Arya menghentikan ucapannya.
"Maksudmu..., gadis berambut panjang yang tinggal di
Istana Kerajaan Bojong Gading?!"
"Benar!" sahut Arya, mantap.
Seketika wajah Kelelawar Beracun berubah.
"Jadi..., dia belum tewas?"
"Belum. Tapi dia juga belum sembuh. Makanya,
aku datang kemari untuk meminta kau mengobatinya
sampai sembuh."
Kelelawar Beracun tercenung seketika. Sungguh di
luar dugaan kalau Melati belum tewas. Padahal
kebenciannya pada gadis berpakaian putih itu sangat
mendalam. Gadis itulah yang telah membuat Kala
Ireng sahabatnya, tewas.
***
Mendadak Kelelawar Beracun melompat
menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya yang
menegang lurus dan kaku melancarkan serangan
bertubi-tubi pada ulu hati, dada, dan perut. Suara
mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya
serangan itu.
Dewa Arak terperanjat. Serangan ini datangnya
begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Dia
memang tidak menduga kalau lawannya akan selicik
itu. Tapi meskipun begitu, sudah sejak tadi dia
bersikap waspada. Arya memang tidak pernah
meninggalkan kewaspadaannya.
Maka begitu mendapat serangan mendadak, buru-
buru pemuda berambut putih keperakan ini
melompat ke belakang sehingga serangan yang
dilancarkan Kelelawar Beracun mengenai tempat
kosong.
Tapi ternyata Kelelawar Beracun memang tidak
terlalu bersungguh-sungguh dengan serangannya.
Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, dia
melesat meninggalkan Dewa Arak.
Karuan saja hal ini membuat Arya kaget dan buru-
buru mengejar. Tapi Kelelawar Beracun tidak tinggal
diam. Sambil terus berlari, dilemparkannya sebuah
benda bulat sebesar telur angsa dan berwarna hitam
kecoklatan.
Tercekat hati Arya melihatnya. Dia tahu, benda
bulat yang meluncur ke arahnya itu dapat meledak.
Dan seperti kejadian sebelumnya, sudah bisa
diperkirakan kalau benda itu mengandung racun
ganas. Apalagi yang melemparnya Kelelawar Beracun!
Maka sebelum yang dikhawatirkannya terjadi,
Dewa Arak segera menghentikan pengejarannya.
Tubuhnya langsung dilempar ke belakang, kemudian
bersalto beberapa kali di udara.
Darrr...!
Ledakan keras terdengar begitu benda bulat
sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika itu
juga asap tebal berwarna kemerahan muncul seiring
terdengarnya suara ledakan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah,
secepat itu pula Arya melentingkan tubuh kembali ke
belakang. Dewa Arak berupaya untuk berada sejauh-
jauhnya dari tempat itu. Indah dan manis sekali
gerakannya. Begitu juga ketika kedua kakinya
mendarat di tanah dalam jarak sekitar delapan
tombak dari tempat semula.
Begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah,
tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera
memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada
dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang
berputar itu bertiup angin keras yang langsung
menyambar ke depan. Suara keras menderu
mengiringi tiupan angin itu. Maka seketika itu juga
asap berwana kemerahan yang perlahan-lahan
bergerak menuju ke arah Dewa Arak, jadi buyar.
Meskipun asap itu telah tidak tampak lagi, Dewa
Arak terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya
di depan dada. Dengan sendirinya, angin keras tetap
saja berhembus ke depan. Arya ingin menyapu asap
itu sebersih-bersihnya.
Beberapa saat setelah yakin kalau asap itu telah
terusir seluruhnya dari tempat itu, Dewa Arak baru
menghentikan gerakannya. Tapi seperti yang sudah
dit-duga, Kelelawar Beracun sudah tidak lagi berada
di situ. Laki-laki berwajah pucat itu memang
bermaksud melarikan diri.
Tapi, Dewa Arak mana mungkin membiarkan
lawannya lolos? Tanpa membuang-buang waktu lagi
dia bergerak mengejar.
***
Berbeda dengan biasanya, Dewa Arak melakukan
pengejaran secara hati-hati. Kini tidak lagi seluruh
kecepatan larinya dikerahkan. Memang dia tetap
mengerahkan seluruh kelincahan yang dimiliki, tapi
kecepatan larinya hanya dikerahkan sebagian kecil
saja. Arya harus bersikap hati-hati. Kenyataan telah
menunjukkan kalau pulau aneh ini banyak
mengandung bahaya yang tak terduga.
Bukan hanya kecepatan larinya saja yang
dikurangi. Kewaspadaannya pun jauh ditingkatkan.
Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur
urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
Dewa Arak benar-benar bersiap menghadapi
ancaman bahaya yang tidak terduga. Suara berkerisik
pelan saja, sudah cukup untuk membuat aliran darah
di sekujur tubuhnya mengalir cepat.
Mendadak Dewa Arak menghentikan langkahnya.
Samar-samar telinganya menangkap adanya suara
langkah kaki ringan di belakang. Halus sekali, dan
hampir-hampir tidak tertangkap pendengarannya.
Jelas kalau pemilik langkah itu memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi.
Kini setelah Arya berdiri diam mendengarkan,
suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Jadi
benar, Dewa Arak ada yang menguntit. Yang lebih
mengejutkan pemuda berambut putih keperakan
suara langkah yang didengarnya itu tidak hanya satu,
tapi tiga! Tiga langkah yang sama-sama memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi. Tak terasa jantung
Dewa Arak berdebar tegang. Apakah pemilik langkah
itu adalah Kelelawar Beracun yang datang lagi sambil
membawa kawannya? Apabila benar demikian, dia
akan menghadapi lawan yang amat tangguh!
Ketegangan yang melanda Dewa Arak semakin
memuncak begitu melihat sosok-sosok tubuh yang
bergerak mendatangi. Memang seperti yang sudah
diduga, ada tiga sosok tubuh yang berjalan meng-
hampirinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dewa
Arak pun mengenalnya. Ini membuatnya terperangah
beberapa saat
Tiga sosok tubuh itu telah cukup lanjut usianya.
Dan masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling
berbeda. Tapi yang jelas, ada satu kesamaan pada
diri mereka. Yaitu, ketiga sosok itu sama-sama
mengenakan rompi yang terbuat dari kulit macan.
Meskipun, kulit macan yang dikenakan mereka ber-
beda-beda pula.
Orang yang bertubuh pendek, gemuk, dan gendut
mirip bola serta berkulit merah mengenakan rompi
kulit macan tutul. Sementara, orang yang bertubuh
kekar, berkulit hitam, dan berwajah kasar, mengena-
kan rompi kulit macan kumbang. Sedangkan orang
terakhir bertubuh tinggi kurus dan berwajah kuning.
Sehelai rompi terbuat dari macan loreng mem-
bungkus tubuhnya.
Arya tentu saja mengenal tiga sosok tubuh ini. Ada
pengalaman yang sangat berkesan sehubungan
dengan ketiga tokoh ini. Mereka berjuluk Tiga Macan
Lembah Neraka (Untuk jelasnya, baca serial Dewa
Arak dalam episode "Tiga Macan Lembah Neraka").
Jantung Dewa Arak berdetak kencang. Dia tidak
tahu, mengapa Tiga Macan Lembah Neraka berada di
sini? Apakah ketiga tokoh yang memiliki kepandaian
inggi itu memiliki urusan pula di sini? Dan mengapa
ketiga orang itu mengejarnya? Ataukah hanya searah
saja? Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam
benak Arya! Tapi tak ada satu pun yang terjawab.
Ada satu hal lagi yang membuat Dewa Arak
bingung. Perasaan Tiga Macan Lembah Neraka
terhadap dirinya belum jelas. Masih membenci atau
tidak? Tapi Arya yang selalu bersikap hati-hati, segera
memasang sikap waspada.
Ketiga sosok tubuh yang tidak lain dari Tiga Macan
Lembah Neraka menghentikan langkahnya. Mereka
menatap wajah Arya lekat-lekat. Karuan saja hal ini
membuat Dewa Arak jadi bersikap waspada, dan
langsung berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan
yang akan terjadi.
Diam-diam Dewa Arak terkejut bukan main melihat
keadaan tiga tokoh sakti itu. Kini mereka amat jauh
berbeda dengan yang dikenalnya. Dulu, Tiga Macan
Lembah Neraka tampak begitu angker dan ber-
wibawa. Sorot keganasan dan keangkuhan pun
terbayang di wajah mereka. Tapi kini, mereka telah
jauh berubah.
Wajah tiga tokoh Lembah Neraka ini terlihat begitu
layu seperti menanggung beban batin yang amat
berat. Sorot keganasan pun sudah tidak terlihat lagi.
Kalau saja tidak menyaksikan sendiri, Arya tidak
mungkin percaya. Padahal, paling lama mereka baru
berpisah tiga bulan! Tapi menilik dari keadaan,
sepertinya Dewa Arak sudah tidak berjumpa dengan
Tiga Macan Lembah Neraka selama sepuluh tahun!
"Kau lupa pada kami, Dewa Arak?" sapa Macan
Tutul Lembah Neraka, orang yang sejak dulu selalu
menjadi juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka.
Pelan dan tidak bergairah nada suaranya.
"Mana mungkin aku bisa melupakan kalian
bertiga?" sahut Arya dengan nada bertanya.
Lenyap sudah perasaan tegang dan bimbang yang
melanda hati Dewa Arak. Tampak jelas kalau dalam
ucapan dan sikap Tiga Macan Lembah Neraka tidak
bernada permusuhan. Tanpa menaruh perasaan syak
wasangka lagi, Arya segera melangkah mendekati
ketiga orang itu.
"Apa keperluan yang mendorongmu kemari, Macan
Tutul?" tanya Dewa Arak mengajukan keheranannya.
Arya merasa lebih baik kalau memanggil ketiga orang
itu julukannya saja.
"He he he...!"
Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tertawa ter-
kekeh. Dewa Arak yang melihatnya jadi bergidik.
Meskipun kelihatannya tertawa, tapi tampak jelas
kalau hanya mulut Macan Tutul Lembah Neraka saja
yang tertawa. Sedangkan wajah dan matanya, sama
sekali tidak menampakkan kegembiraan. Begitu
tampak kaku dan dingin.
Menilik dari keadaannya, Dewa Arak bisa mem-
perkirakan kalau Macan Tutul Lembah Neraka sudah
lama tidak tertawa. Padahal seingatnya, laki-laki
bertubuh pendek gemuk ini adalah tokoh Tiga Macan
Lembah Neraka yang paling suka tertawa. Apakah
yang terjadi dengan ketiga orang ini? Atau, kematian
Utari yang telah membuat mereka seperti ini?
"Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan
itu, Dewa Arak," tukas Macan Tutul Lembah Neraka
setengah mencela.
"Maksud kalian...?!" sepasang mata Dewa Arak
terbelalak. Sekelebatan dugaan muncul di benaknya.
Ucapan juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka itu
memberi petunjuk jelas padanya. "Kalian tinggal di
pulau ini?"
"Benar, Dewa Arak," kali ini Macan Kumbang
Lembah Neraka yang menyahuti dengan suara
khasnya. Keras dan parau.
"Ahhh...!"
Seruan penuh rasa terkejut terdengar dari mulut
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau menurutku, pulau ini tidak patut mendapat
nama Pulau Ular," Macan Loreng Lembah Neraka ikut
pula angkat bicara.
"Hm...," hanya gumaman pelan dari mulut Arya
yang menyambuti ucapan laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu.
"Pulau ini lebih patut mendapat nama Kepulauan
Ular. Karena, memang terdiri dari banyak pulau kecil
yang saling berdekatan dan dipisahkan laut,"
sambung Macan Loreng Lembah Neraka lagi.
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Mendiang Raksasa Rimba Neraka juga tinggal di
antara deretan pulau-pulau yang ada di sekitar sini,"
sambut Macan Tutul Lembah Neraka.
Kembali Arya menganggukkan kepala meskipun
sebenarnya ada perasaan tidak enak bersemayam di
hatinya. Karena, dialah yang telah menewaskan tokoh
yang disebutkan Macan Tutul Lembah Neraka tadi.
Sementara Raksasa Rimba Neraka adalah sahabat
Tiga Macan Lembah Neraka. Tapi rupanya ketiga
tokoh sakti itu sudah melupakannya. Terbukti, tidak
ada perasaan apa-apa yang tampak di wajah mereka.
"Setiap tokoh memang mempunyai pulau sendiri-
sendiri, Dewa Arak," jelas Macan Tutul Lembah
Neraka lagi. "Sungguhpun hanya kecil saja. Keadaan
masing-masing pulau berbeda. Kami memiliki tempat
yang tandus. Daerahnya belembah-lembah. Apa bila
siang, panasnya bukan kepalang."
Kini Arya mengerti, mengapa tempat tinggal ketiga
tokoh ini dinamakan Lembah Neraka.
"Sedangkan pulau yang ditempati Raksasa Rimba
Neraka, penuh hutan lebat. Pohon besar dan tinggi
memenuhinya. Banyak binatang buas besar dan kecil
yang tinggal di dalamnya, namun semuanya beracun.
Kami bersahabat karena pulau kami bersebelahan."
"Lalu, apakah Kelelawar Beracun termasuk
kawanmu pula, Macan Tutul Lembah Neraka?" Tanya
Arya dengan sikap waspada.
Macan Kumbang Lembah Neraka menggelengkan
kepala.
"Kami tidak suka bersahabat dengannya, Dewa
Arak," jelas laki-laki berkulit hitam itu. "Kelelawar
Beracun seorang tokoh licik dan tidak mempunyai
kegagahan. Walaupun kami sendiri bukan tokoh baik-
baik, tapi pantang untuk melakukan kecurangan
dalam pertarungan. Pantang bagi kami bermain
racun!"
Arya menghela napas lega.
"Kau punya urusan dengannya, Dewa Arak?" tanya
Macan Tutul Lembah Neraka.
Pemuda berambut putih keperakan itu
menganggukkan kepala.
"Seorang kawan wanitaku dilukainya, dan
kedatanganku kemari untuk meminta obat penawar
itu darinya."
Kemudian, Dewa Arak pun menceritakan semua
kejadian yang dialaminya. Sementara Tiga Macan
Lembah Neraka terdiam seketika, begitu Dewa Arak
menghentikan ceritanya.
"Lalu kalian hendak ke mana, Macan Tutul
Lembah Neraka?" tanya Dewa Arak pula.
"Mencari Kemamang Danau Neraka," Macan
Loreng Lembah Neraka yang menyahuti. Nampak
jelas kalau nada suaranya mengandung kegeraman.
Diam-diam Arya terkejut bukan main. Sungguh
tidak pernah disangka kalau di Pulau Ular ini terdapat
begitu banyak tokoh. Dan sudah bisa diperkirakan
kalau Kemamang Danau Neraka adalah seorang
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.
"Apakah Kemamang Danau Neraka tinggal dl pulau
ini?" tanya Arya.
"Tidak. Pulau ini bernama Rawa Neraka, dan
merupakan tempat tinggal Kelelawar Beracun.
Sedangkan Kemamang Danau Neraka tinggal di
sebelah pulau ini. Kami terpaksa mengambil jalan
memutar karena tidak enak pada pemilik pulau yang
lain. Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Bila dihitung dari
pulau ini, kami tinggal di urutan yang ke tiga belas.
Paling ujung. Kalau kami tidak mengambil jalan
memutar, berapa banyak kami harus melalui pulau-
pulau yang lainnya?" jelas Macan Tutul Lembah
Neraka panjang lebar.
"Kalau boleh kutahu, mengapa kalian mencari
Kemamang Danau Neraka?" tanya Arya hati-hati
"Dia telah melanggar perjanjian tidak tertulis,
Dewa Arak!" lagi-lagi Macan Kumbang Lembah
Neraka, orang paling beringas di antara Tiga Lembah
Neraka yang menyahuti. Terdengar keras suaranya.
Jelas kalau laki-laki berkulit hitam ini merasa marah
bukan main. "Dia akan menguasai pulau sahabat
kami yang telah kosong."
"Pulau milik Raksasa Rimba Neraka," tanya Arya
memastikan.
Macan Kumbang Lembah Neraka mengangguk.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu Dewa
Arak tidak melanjutkan pertanyaannya. Sementara
Tiga Macan Lembah Neraka pun sepertinya sudah
tidak berminat lagi memperpanjang pembicaraan.
"Lebih baik, kau ikut kami, Dewa Arak," ajak Macan
Tutul Lembah Neraka memecahkan keheningan yang
terjadi.
Dewa Arak tersentak.
"Jangan salah mengerti, Dewa Arak," buru-buru
laki-laki bertubuh pendek gemuk itu menyambung
pembicaraannya. "Kami tidak bermaksud melibat-
kanmu dengan urusan kami. Tapi perlu kau ketahui,
Kelelawar Beracun adalah sahabat kental Kemamang
Danau Neraka. Jadi, bukan tidak mungkin kalau laki-
laki pengecut itu mengadukan masalah ini padanya."
Dewa Arak terdiam.
"Dengan ikut bersama kami, kau tidak khawatir
akan adanya jebakan-jebakan mendadak. Lagi pula,
arah yang kau tuju ini adalah arah keluar dari pulau
milik Kelelawar Beracun. Kau tengah menuju ke
pulau kedua, milik Kemamang Danau Neraka."
Kini Dewa Arak tidak membantah lagi, dan
perlahan kepala nya mengangguk. Memang lebih baik
melakukan perjalanan bersama Tiga Macan Lembah
Neraka daripada melakukan perjalanan sendiri. Tiga
tokoh Lembah Neraka itu setidaknya lebih
mengetahui semua bahaya yang terkandung di Pulau
Ular ini.
8
Kini Dewa Arak tidak lagi mengalami kesulitan untuk
menuju ke tempat kediaman Kemamang Danau
Neraka. Dia hanya tinggal memperhatikan setiap
langkah Tiga Macan Lembah Neraka. Diam-diam,
pemuda berambut putih keperakan ini heran,
mengapa Kelelawar Beracun mau tinggal di sekitar
tempat ini? Tempat yang selalu becek dan tidak
pernah kering, meskipun di saat musim panas tiba.
Tadi dari mulut Macan Tutul Lembah Neraka, Arya
mendengar kalau tempat tinggal Kelelawar Beracun
dinamakan Rawa Neraka. Sungguhpun tidak panas,
tapi maut yang tersembunyi di dalamnya tidak
terhitung!
Tak lama kemudian, keempat orang ini pun telah
tiba di pinggir pulau tempat tinggal Kelelawar
Beracun. Tepat di hadapan mereka, terbentang
lautan. Sementara di hadapan mereka terlihat
sebuah pulau. Dekat saja jaraknya dari pulau milik
Keleawar Beracun. Kini Dewa Arak mengerti,
mengapa Macan Loreng Lembah Neraka mengatakan
Pulau Ular tidak pantas disebut pulau, tapi lebih patut
disebut kepulauan.
Tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya pulau ini
terdiri dari kumpulan pulau kecil? Tentu saja yang
mengetahuinya hanya orang-orang yang tinggal di
dalamnya. Sementara, orang persilatan golongan
putih tidak pernah ada yang berani menginjakkan
kaki ke dalamnya, kecuali Dewa Arak.
Arya mengukur lebar laut yang memisahkan kedua
pulau itu dengan pandangan matanya. Menurut
perhitungannya, lebih dari tiga puluh tombak. Jarak
yang teramat jauh untuk bisa dilompatinya, sekalipun
ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkatan
tinggi.
Tapi rupanya Tiga Macan Lembah Neraka sudah
memperhitungkannya. Hal ini terlihat dari ketenangan
sikap mereka. Seperti juga Arya, tiga tokoh yang
menggiriskan itu juga mengukur jarak laut yang
memisahkan kedua pulau.
Kemudian, tangan Tiga Macan Lembah Neraka
bergerak ke pinggang. Dewa Arak hanya meng-
awasinya saja. Dia sadar kalau ketiga tokoh Lembah
Neraka itu lebih berpengalaman ketimbang dirinya.
Namun demikian sejak tadi benak Dewa Arak berpikir
keras, bagaimana caranya untuk bisa melewati lautan
ini?
Seketika wajah Dewa Arak memerah ketika
melihat benda yang diambil masing-masing tokoh
Lembah Neraka itu. Mereka semua melolos sabuk
yang melilit pinggang.
"Ah! Betapa dungunya aku!" maki Dewa Arak
dalam hati.
Selama ini Dewa Arak tidak pernah berpikir untuk
menggunakan sabuknya. Dengan sabuk itu, rasanya
tidak perlu repot-repot lagi melalui lumpur hidup di
tempat tinggal Kelelawar Beracun.
Dalam hati, Dewa Arak merasa salut juga pada
Tiga Macan Lembah Neraka. Memang, untuk
menempuh lautan yang tidak begitu jauh,
menggunakan sabuk sebagai alat untuk membantu
menyeberang adalah cara yang paling tepat.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka menggertakkan gigi
seraya melompat menuju pulau tempat tinggal
Kemamang Danau Neraka! Tapi seperti yang sudah
diduga, belum sampai di tengah, kekuatan yang
meluncurkan tubuhnya telah habis. Dengan
sendirinya, tubuhnya melayang jatuh ke lautan.
Tapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tidak
nampak gugup. Memang, hal itu sudah diperhitun-
kannya. Maka begitu meluncur jatuh, sabuknya
segera dilecutkan ketika tubuhnya tinggal berjarak
satu tombak lagi dari permukaan laut yang bergolak.
Ctarrr...!
Suara nyaring menggelegar terdengar ketika ujung
sabuk itu mengenai permukaan laut. Air berpercikan
ke atas terkena lecutan sabuk yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
Dengan meminjam tenaga dari benturan antara
ujung sabuk dengan permukaan air, laki-laki bertubuh
pendek gemuk itu melentingkan tubuhnya ke atas.
Macan Tutul Lembah Neraka harus melecutkan
sabuknya beberapa kali untuk mencapai pulau itu.
Dan kini dia berhasil mendarat di pinggir pulau
tempat tinggal Kemamang Danau Neraka.
Begitu melihat Macan Tutul Lembah Neraka
berhasil mendarat, berturut-turut Macan Kumbang
Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan
Dewa Arak melompat menyeberangi laut. Dan berkat
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi
mereka untuk menyeberangi lautan itu.
Dan begitu telah berada di seberang, tanpa
membuang-buang waktu, keempat orang itu segera
bergerak masuk ke tengah pulau. Seperti juga pulau
yang ditinggali Kelelawar Beracun, pulau tempat
tinggal Kemamang Danau Neraka juga tidak sepi dari
air. Tanahnya becek. Hanya saja, pulau ini tidak
memiliki lumpur hidup seperti yang ada di tempat
kediaman Kelelawar Beracun.
"Aneh...," desah Dewa Arak. Pelan suaranya dan
tidak jelas ditujukan untuk siapa.
"Mengapa, Dewa Arak?" sambut Macan Tutul
Lembah Neraka pelan juga.
"Jalan masuk ke tempat tinggal ini, aman saja.
Tidak penuh bahaya seperti waktu aku masuk ke
tempat tinggal Kelelawar Beracun."
Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum pahit
"Bukannya tidak ada bahaya yang membentang di
jalan, Dewa Arak," jawab laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu sabar. "Tapi, karena kami telah cukup
mengetahui jalan yang aman. Kalau kau pergi sendiri,
kujamin akan banyak hambatan di perjalanan."
Dewa Arak tercenung. Kini dimengerti, mengapa
jalan menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau
Neraka sama sekali tidak mengandung bahaya. Dia
lupa kalau saat ini berjalan bersama orang-orang
yang telah cukup mengetahui jalan-jalan yang aman.
Karena pulau itu memang kecil saja, sementara
keempat orang itu melakukan perjalanan dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, maka dalam
waktu sebentar saja di hadapan mereka telah
terbentang sebuah danau besar. Dan tepat di tengah-
tengah danau itu terletak sebuah bangunan besar
dan megah.
"Itulah tempat tinggal Kemamang Danau Neraka,"
tunjuk Macan Tutul Lembah Neraka memberi tahu
seraya menudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke
arah bangunan megah itu.
Dewa Arak melayangkan pandang ke arah
bangunan itu. Diam-diam pemuda berambut putih
keperakan ini memuji kecerdikan orang yang tinggal
di sana. Letak bangunan itu tepat di tengah-tengah
danau. Jadi, dari mana pun lawan akan datang,
pemilik rumah itu akan mengetahuinya.
"Kau lihat danau itu, Dewa Arak," Macan Kumbang
Lembah Neraka ikut pula bicara.
Mendengar ucapan itu, Dewa Arak memandang ke
air danau. Seketika itu juga sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan ini terbelalak. Air danau itu
ternyata bukan air biasa, melainkan lahar gunung! Itu
bisa diketahui dari cairan yang berbentuk kental dan
suara meletup-letup mengiringi setiap gelembung-
gelembung yang muncul di permukaan danau. Uap
tipis berwarna putih, tampak mengepul dari
permukaannya.
Yang lebih mengejutkan lagi, jalan yang menuju ke
bangunan itu hanya berupa tonggak-tonggak baja
yang berujung runcing mirip lembing. Yang lebih
mengerikan lagi, jarak antara ujung tonggak-tonggak
itu hanya sekitar dua jengkal dari permukaan danau
yang bergolak.
Meremang bulu kuduk Arya melihat hal ini. Kalau
bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh
tinggi, jelas tak mungkin berani menuju ke bangunan
itu. Sudah dapat dipastikan, sebelum tiba di sana,
akan terjatuh ke dalam danau itu. Dan bagaimana
nasibnya, sudah bisa ditebak. Kini Arya paham,
mengapa danau itu mempunyai nama yang begitu
mengerikan. Danau Neraka! Ternyata memang sesuai
dengan kenyataan yang disaksikannya.
"Mari kita ke sana...!" ajak Macan Kumbang
Lembah Neraka yang rupanya paling bernafsu di
antara mereka bertiga.
Tampak jelas kalau laki-laki berkulit hitam itu
sudah tidak sabar lagi untuk buru-buru berjumpa
Kemamang Danau Neraka.
Tanpa menunggu jawaban ketiga orang lainnya,
Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat ke
arah bangunan megah itu. Macan Tutul Lembah
Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa
Arak mau tak mau ikut bergerak mengikuti.
Sesaat kemudian keempat orang itu telah berada
di pinggir danau. Dari sini semakin jelas terlihat,
tonggak-tonggak berujung runcing yang terpancang di
danau itu, bagai siap menembus kaki-kaki siapa saja
yang melaluinya.
Arya memperhatikan tonggak-tonggak itu sejenak.
Bisa diperkirakan tonggak itu terbuat dari baja kuat
dan dicampur dengan ramuan tertentu sehingga
tahan terhadap air danau. Tonggak-tonggak itu
terpancang membentuk jalan, dan diatur rapi seperti
barisan. Setiap baris terdiri dari enam batang batang
tonggak yang masing-masing berjarak sekitar tiga
jengkal.
"Hih...!"
Macan Kumbang Lembah Neraka, yang paling
merasa penasaran segera melompat ke depan. Indah
dan manis gerakannya. Kemudian....
Tappp...!
Meskipun dengan tubuh agak bergoyang-goyang
sedikit, Macan Kumbang Lembah Neraka berhasil
mendaratkan salah satu kakinya di ujung tonggak
yang runcing. Sementara kaki yang sebelah lagi
digunakan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan
tubuh.
Sesaat lamanya tubuh laki-laki berkulit hitam ini
bergoyang-goyang. Dan begitu goyangan pada
tubuhnya terhenti, Macan Kumbang Lembah Neraka
kembali melompat. Kakinya didaratkan di ujung
tombak yang lain. Begitu seterusnya.
Tidak hanya Macan Kumbang Lembah Neraka saja
yang bergerak cepat menuju bangunan megah milik
Kemamang Danau Neraka. Macan Tutul Lembah
Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa
Arak juga bergerak menuju ke sana. Gerakan mereka
pun tak kalah indah bila dibanding Macan Kumbang
Lembah Neraka.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang rata-rata
sudah mencapai tingkat tinggi, bukan merupakan hal
yang sulit bagi keempat orang itu untuk melakukan
perjalanan di ujung tonggak runcing.
Tak lama kemudian, jarak antara mereka dengan
bangunan milik Kemamang Danau Neraka sudah
semakin dekat. Dan dengan demikian, keadaan
bangunan itu pun semakin jelas terlihat. Lantai
bangunan itu ternyata berada lebih tinggi dari ujung-
ujung tonggak. Jarak lantai dengan permukaan air
danau tak kurang empat jengkal. Ada beberapa buah
tiang baja besar yang menyangga bangunan megah
itu, sehingga bisa berdiri di atas permukaan danau.
***
Kini keempat orang itu telah berada dalam jarak
sekitar delapan tombak dari bangunan rumah, dan
terus saja berlompatan dari satu tonggak ke tonggak
lain.
Mendadak di teras muncul dua sosok tubuh. Yang
seorang dikenali Dewa Arak sebagai Kelelawar
Beracun. Tapi yang seorang lagi tidak dikenalinya.
Mungkin inilah tokoh yang berjuluk Kemamang Danau
Neraka.
Orang yang diduga Arya sebagai Kemamang Danau
Neraka ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi
kurus. Kulitnya berwarna merah, dan rambutnya
panjang terurai, namun kaku seperti sikat kawat.
Pakaiannya hanya berapa kain berwarna putih yang
dilibat-libatkan ke tubuhnya. Sangat pas dengan
warna kulitnya yang merah.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah sepasang
matanya yang selalu terbelalak. Sepertinya, sepasang
mata itu akan melompat keluar dari rongganya!
Tampak jelas kalau kedua orang ini merasa
terkejut bukan main melihat kedatangan empat sosok
tubuh itu.
"Itukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya
laki-laki berambut kaku seraya menatap tajam wajah
Arya.
"Benar, Kemamang Danau Neraka. Dialah Dewa
Arak," Kelelawar Beracun menganggukkan kepala
membenarkan.
"Hm...."
Laki-laki bertubuh kurus dan ternyata berjuluk
Kemamang Danau Neraka menggumam pelan.
Sementara, Kelelawar Beracun menjadi kebingungan,
ketika melihat empat sosok tubuh semakin
mendekati bangunan Kemamang Danau Neraka.
Tanpa pikir panjang lagi, Kelelawar Beracun segera
memasukkan tangan ke balik bajunya. Dan secepat
tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...!
Suara berdesir pelan terdengar begitu jarum-jarum
beracun laki-laki berwajah pucat itu menyambar. Tak
tanggung-tanggung lagi yang dilepaskan Kelelawar
Beracun. Belasan batang jarum beracun, yang semua-
nya meluncur ke arah Dewa Arak!
"Hmh...!"
Ada suara dengus mengandung ejekan terdengar
dari hidung Kemamang Danau Neraka. Hatinya
memang merasa muak melihat kelicikan dan sikap
pengecut yang ditunjukkan Kelelawar Beracun.
Padahal,kedatangan laki-laki berwajah pucat ini tadi
untuk meminta pertolongannya dalam menghadapi
Dewa Arak. Tapi belum apa-apa, Kelelawar Beracun
sudah merendahkan dirinya. Kelihatannya, dia tidak
percaya kalau laki-laki berambut seperti kawat itu
mampu menghadapi Dewa Arak. Kelelawar Beracun
sama sekali tidak tahu kalau Kemamang Danau
Neraka tersinggung atas perbuatannya tadi.
Bukan hanya Dewa Arak yang terkejut. Tiga Macan
Lembah Neraka pun tersentak melihat kecurangan
yang dilakukan Kelelawar Beracun. Pemuda
berambut putih keperakan itu tampaknya tengah
tidak siap untuk menerima serangan. Tambahan lagi,
saat itu tubuhnya sedang berada di udara, karena
baru saja melompat untuk hinggap di ujung tonggak
di hadapannya. Maka, serangan jarum beracun dari
Kelelawar Beracun benar-benar merupakan ancaman
berbahaya.
Dewa Arak terperanjat Disadari kalau keadaannya
sangat berbahaya. Maka buru-buru dijumputnya guci
arak yang tersampir di punggung. Dan secepat guci
arak itu terpegang, secepat itu pula dituangkan ke
mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Secepat arak itu masuk ke dalam mulutnya,
secepat itu pula disemburkan ke arah jarum-jarum
beracun yang tengah meluncur deras ke arahnya.
Singgg..!
Suara berdesingan nyaring seperti meluncurnya
anak panah dari baja terdengar ketika butiran-butiran
arak itu meluncur ke arah jarum-jarum.
Tringgg..., tringgg...!
Suara berdentingan nyaring terdengar begitu
semburan arak Dewa Arak berbenturan dengan jarum
jarum yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Seketika
itu juga, belasan jarum itu runtuh ke bawah.
"Hup...!"
Meskipun dengan agak terhuyung-huyung, Dewa
Arak berhasil mendaratkan kakinya di ujung tonggak
runcing yang memang hendak disinggahinya.
Tiga Macan Lembah Neraka dan Kemamang
Danau Neraka menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka semua memuji kelihaian Dewa Arak.
Sementara Kelelawar Beracun hanya bisa ke-
bingungan. Tapi begitu teringat di sebelahnya ada
Kemamang Danau Neraka, hatinya pun tenang
kembali. Dia yakin, rekannya ini akan mampu meng-
atasi Dewa Arak! Hanya saja yang menjadi pertanyaan
Kelelawar Beracun, apa hubungannya pemuda
berambut putih keperakan itu dengan Tiga Macan
Lembah Neraka sehingga bisa menuju Danau Neraka
bersama-sama? Dia khawatir kalau tiga tokoh
Lembah Neraka itu membantu Dewa Arak. Dan
apabila hal itu terjadi, keadaan akan semakin
menyulitkan dirinya.
Meskipun serangan pertamanya gagal, Kelelawar
Beracun tidak jera. Kembali dikirimnya serangan-
serangan curang lain. Laki-laki berwajah pucat ini
menggunakan berbagai macan senjata rahasia
beracun untuk menghambat tibanya Dewa Arak.
Walaupun yang dicegah adalah Dewa Arak, tapi tak
urung Tiga Macan Lembah Neraka pun terbawa-bawa
juga. Tiga tokoh Lembah Neraka ini tidak berani
melanjutkan langkah, karena khawatir terkena
serangan nyasar.
Kelelawar Beracun benar-benar kalap. Semua
senjata rahasia beracun miliknya sudah dikeluarkan,
tapi berhasil dipunahkan Arya. Kalau tidak dielakkan,
pasti ditangkis dengan semburan araknya, atau
dengan putaran tangannya yang menimbulkan angin
keras menderu. Entah berapa macam senjata rahasia
yang terlontar. Mulai dari jarum, logam berbentuk
bintang segi lima, logam berbentuk ujung anak
panah, sampai logam berbentuk ekor kalajengking.
Tapi semuanya sia-sia belaka.
"Huh...!"
Hampir berbareng, Dewa Arak dan Tiga Macan
Lembah Neraka mendaratkan kakinya di teras rumah
Kemamang Danau Neraka.
Macan Kumbang Lembah Neraka yang sejak tadi
sudah beringas terhadap Kemamang Danau Neraka,
segera melangkah maju. Tapi, rupanya tangan Macan
Tutul Lembah Neraka telah lebih dulu mencekalnya.
Dan dengan bahasa isyarat, dinasihatkan agar laki-
laki berkulit hitam itu bersikap sabar sebentar. Biar
Dewa Arak menyelesaikan masalahnya dulu.
Meskipun dengan mulut merengut, Macan
Kumbang Lembah Neraka mau juga memenuhi
permintaan rekannya untuk menahan diri agar tidak
buru-buru melabrak Kemamang Danau Neraka.
Sementara itu dengan langkah satu-satu, Dewa
Arak maju menghampiri Kelelawar Beracun yang
terus mundur.
"Kemamang Danau Neraka," sebut Kelelawar
Beracun sambil menoleh ke arah kakek bertubuh
tinggi kurus itu. "Bukankah kau sudah berjanji
membantuku untuk menghadapinya?"
"Hmh...!" Kemamang Danau Neraka mendengus.
"Aku muak melihat kelicikanmu. Lebih baik hadapilah
sendiri!"
Seketika wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. Dia
memang betul-betul ngeri terhadap Dewa Arak.
Terutama bila teringat ancaman pemuda berambut
putih keperakan itu. Laki-laki berwajah pucat itu
memang tidak takut mati. Tapi mati secara perlahan-
lahan dan secara menyakitkan, tentu saja ditakutinya.
Semula laki-laki berwajah pucat ini mengandalkan
Kemamang Danau Neraka untuk menghadapi Dewa
Arak. Tapi kini Kemamang Danau Neraka tampak
malah melangkah mundur dan membiarkannya
menghadapi Dewa Arak! Dia sama sekali tidak tahu
kalau sikap pengecutnya itulah yang membuat
pemilik Danau Neraka menarik diri.
Memang seperti juga Tiga Macan Lembah Neraka,
Kemamang Danau Neraka adalah seorang yang
mementingkan kegagahan. Walaupun sebagai tokoh
sesat, laki-laki berambut kaku ini menganggap dirinya
adalah seorang datuk! Pantang baginya untuk
bersikap pengecut. Dan dia malah kagum terhadap
sikap yang ditunjukkan Dewa Arak.
"Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi,
Kelelawar Beracun," tandas Dewa Arak pelan tapi
penuh ancaman. "Bila yang sekali ini kau berbuat
curang lagi, aku tidak segan-segan melaksanakan
ancamanku!"
"Baiklah, Dewa Arak. Aku menyerah. Aku akan
memberi obat penawar buat kawanmu itu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat
ini mengeluarkan sebuah buntalan kain hitam
sebesar kepalan dari batik bajunya. Kemudian
buntalan itu diangsurkan ke arah Dewa Arak.
Tentu saja Arya tidak begitu saja percaya. Dia telah
tahu kalau Kelelawar Beracun amat licik. Maka untuk
beberapa saat lamanya, dia ragu-ragu. Sementara
Tiga Macan Lembah Neraka, dan Kemamang Danau
Neraka mengawasi semua kejadian yang ada di
hadapan mereka, dan sekali tidak berniat men-
campuri.
"Ambillah, Dewa Arak," ujar Kelelawar Beracun
pelan. "Aku tidak berbohong kali ini."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat
ini menggoyang-goyangkan buntalan kain hitam yang
berada di tangannya.
Akhirnya Arya memutuskan untuk mengambilnya.
Dengan langkah hati-hati dihampirinya Kelelawar
Beracun. Sepasang matanya menatap laki-laki
berwajah pucat ini penuh waspada. Dewa Arak
bersiap-siap apabila Kelelawar Beracun melancarkan
serangan mendadak.
Tapi, ternyata tidak terjadi sesuatu yang
dikhawatirkan Arya sampai kedua tangannya menyen-
tuh buntalan yang ternyata tidak terbuka itu.
Begitu Arya menggenggam buntalan kain hitam itu,
mendadak jari-jari Kelelawar Beracun bergerak
meremas. Gerakannya tidak begitu kentara, karena
pemuda berambut putih keperakan itu lebih
memusatkan perhatian pada sebelah tangan dan kaki
Kelelawar Beracun. Tapi meskipun begitu, sempat
juga diliriknya.
Mendadak dari dalam buntalan yang tidak terbuka
itu melesat benda hitam. Arya terkejut bukan main.
Meskipun hanya melihat sekilas, sempat diketahui
kalau benda hitam itu adalah seekor kelabang.
Kelabang biasa saja sudah berbahaya. Apalagi
kelabang yang dibawa Kelelawar Beracun! Maka
tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera melompat
ke belakang. Usaha yang dilakukannya tidak sia-sia,
sergapan kelabang itu berhasil dielakkan.
Tapi Kelelawar Beracun sudah memperhitungkan
hal itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia
segera meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang
tengah berada di udara. Cepat bukan main gerakan-
nya. Sudah dapat dipastikan, Dewa Arak akan meng-
alami kesulitan untuk meloloskan diri.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang terperanjat. Tiga
Macan Lembah Neraka pun terkejut bukan kepalang.
Serangan itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga
mereka pun tidak sempat berbuat sesuatu.
Tapi mendadak saja, terjadi sesuatu yang
mengejutkan. Tubuh Kelelawar Beracun yang tengah
meluruk ke arah Dewa Arak itu tiba-tiba tersentak ke
belakang. Terdengar keluhan tertahan dari mulut laki-
laki berwajah pucat itu. Bahkan bukan hanya itu saja.
Suara gemeretak keras dari tulang-tulang leher yang
patah pun terdengar mengiringi.
Brukkk...!
Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh
Kelelawar Beracun ambruk di lantai, dan diam tidak
bergerak lagi. Nyawa laki-laki berwajah pucat itu
melayang seketika. Sepasang matanya melotot, dan
lidahnya pun terjulur keluar. Pada lehernya, nampak
terjerat sebuah cambuk berwarna coklat.
Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka
memandang pada pemilik cambuk yang tengah
menggulung senjatanya dengan sikap tak peduli.
Siapa lagi kalau bukan Kemamang Danau Neraka!
"Aku benci pada orang yang berjiwa pengecut dan
licik!" tegas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Tanpa mempedulikan ucapan Kemamang Danau
Neraka, Dewa Arak segera berjongkok memeriksa
Kelelawar Beracun. Betapa kaget hati Dewa Arak
ketika mengetahui laki-laki berwajah pucat itu telah
tewas!
"Dia telah tewas...," tegas Arya seraya bangkit
berdiri.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menyalahkan tindakan Kemamang Danau Neraka.
Bah-kan seharusnya berterima kasih. Memang, tanpa
pertolongan pemilik Danau Neraka itu, Dewa Arak
mungkin telah tewas!
"Tidak perlu hal itu dipusingkan, Dewa Arak!" selak
Kemamang Danau Neraka. "Aku tahu obat pemunah
untuk racun pada jarum itu. Aku pun memilikinya.
Dan aku bersedia memberikannya padamu, tapi
dengan satu syarat."
Memang Kelelawar Beracun telah menceritakan
semua masalah yang dihadapinya pada Kemamang
Danau Neraka, karena menginginkan pertolongan
pemilik Danau Neraka itu.
"Apa syaratnya, Kemamang Danau Neraka?"
sambut Dewa Arak cepat penuh gairah. "Aku bersedia
memenuhinya."
"Bila kau sempat, datanglah kemari. Aku ingin
menjajal kepandaianmu."
"Aku janji!" sahut Dewa Arak cepat.
"Bagus! Kutunggu janjimu, Dewa Arak! Dan, ingat!
Bila kau tidak juga muncul, aku yang akan
mencarimu. Akan kubuat kacau dunia persilatan!
Mengerti?!"
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Sementara Kemamang Danau Neraka
segera bergegas masuk ke dalam. Hanya sebentar
saja, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan
sebuah kendi kecil yang tertutup rapat.
Meskipun ada sedikit keraguan yang melanda,
Dewa Arak menerima kendi pemberian Kemamang
Danau Neraka.
"Terima kasih, Kemamang Danau Neraka," ucap
Dewa Arak setelah kendi kecil itu berada di
tangannya.
Tapi sama sekali tidak terdengar sahutan dari
mulut Kemamang Danau Neraka. Orang kasar
sepertinya mana peduli terhadap segala aturan dan
sopan santun?
"Coba kulihat sebentar, Dewa Arak," pinta Macan
Tutul Lembah Neraka sambil melangkah maju
mendekati Dewa Arak. Memang sejak tadi, Tiga
Macan Lembah Neraka hanya diam saja
memperhatikan.
Dewa Arak segera memberikannya pada Macan
Tutul Lembah Neraka. Laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu segera membuka tutup kendi, dan men-
cium baunya sesaat. Baru kemudian, kepalanya
terangguk.
"Kalau benar racun yang melukai kawanmu itu
adalah yang terkandung dalam jarum, memang benar
ini obatnya," jelas Macan Tutul Lembah Neraka pelan.
"Dan aku meramunya berdasarkan daun-daunan
yang kupetik dari pulau milik sahabat kalian," selak
Kemamang Danau Neraka seraya menatap tokoh-
tokoh Tiga Macan Lembah Neraka berganti-ganti.
Sepasang mata Macan Kumbang Lembah Neraka
terbelalak lebar.
"Jadi, maksudmu datang ke pulau itu hanya untuk
menciptakan penawar racun ini?"
"Hanya mencoba-coba saja, Macan Kumbang."
Suasana hening sejenak. Hilang sudah kemarahan
yang tadi melanda hati Tiga Macan Lembah Neraka.
Kemamang Danau Neraka ternyata tidak bermaksud
merampas pulau!
Semula mereka memang menduga demikian. Dan
kini, jelaslah sudah. Tak ada niatan di hati
Kemamang Danau Neraka untuk merampas pulau
yang dulunya milik Raksasa Rimba Neraka. Sehingga,
kini mereka mengurungkan niatnya untuk mengajak
bertarung laki-laki berambut kaku itu.
Tak lama kemudian, Dewa Arak dan Tiga Macan
Lembah Neraka mohon diri. Dan bagi Dewa Arak,
tidak lagi mengalami kesulitan untuk mencari jalan
keluar. Tiga Macan Lembah Neraka bersedia
mengantarnya sampai keluar dari laut yang berwarna
hitam.
***
"Kang Arya...!" seruan lirih wanita berpakaian putih
yang tergolek di pembaringan indah dan mewah,
membuat seorang pemuda berambut putih
keperakan yang tengah terkantuk-kantuk mem-
belalakkan matanya.
"Melati...!"
Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain
dari Arya berseru keras. Nada suaranya jelas
menyiratkan perasaan gembira yang amat sangat.
Sementara sepasang matanya merayapi wajah
kekasihnya. Memang wajah gadis itu sudah tidak
berwarna merah lagi, tapi sudah kembali seperti
semula. Meskipun masih agak pucat
"Kau sudah sadar?" tanya Dewa Arak.
Kemudian tanpa mempedulikan orang lain yang
ada di sekitar situ, Arya segera memeluk tubuh
kekasihnya erat-erat. Obat yang diberikan Kemamang
Danau Neraka ternyata memang manjur. Tak sia-sia
dia bersusah payah menempuh perjalanan menan-
tang maut ke Pulau Ular.
Prabu Nalanda, Ki Julaga, Ki Temula, Patih
Rantaka, dan Eyang Sagapati segera melangkah me-
ninggalkan ruangan itu. Mereka sengaja membiarkan
sepasang muda-muda itu saling melepaskan rindu.
Sementara Dewa Arak dan Melati yang diberi
kesempatan, sama sekali tidak tahu-menahu.
Sepasang muda-muda itu masih saja sibuk melepas-
kan rindu, sehingga melupakan keadaan sekelilingnya.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar