PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE SEPASANG MANUSIA SERIGALA
SEPASANG MANUSIA SERIGALA
Oleh Fahri Asiza
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Sepasang Manusia Serigala
SATU
Pagi itu udara cerah. Matahari baru sepengga-
lah. Sinarnya membiasi seluruh dunia dan seba-
gian kecil yang menerpa halaman Perguruan To-
peng Hitam. Di halaman itu, murid-murid pergu-
ruan Topeng Hitam sedang berlatih. Senjata anda-
lan perguruan Topeng Hitam adalah sepasang pe-
dang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-
hitam dengan wajah berselubung topeng hitam.
Di depan mereka, nampak seorang wanita se-
tengah baya sedang memimpin mereka berlatih.
Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa Gumilang
atau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma.
Tahun demi tahun telah membuat wanita se-
tengah baya itu semakin arif. Dan kecantikannya
nampak terus terpancar di wajahnya yang berkulit
putih. Tidak seperti murid-muridnya yang berpa-
kaian hitam-hitam, Ratih Ningrum mengenakan
pakaian warna putih yang ringkas, yang mencetak
bentuk tubuhnya yang bagus.
"Bagus! Coba ulangi gerakan yang saya lakukan
tadi!" desisnya setelah memberi contoh.
Serentak para muridnya membuat gerakan yang
sama. Kaki kanan dimajukan satu langkah. Posisi
kuda-kuda condong ke belakang. Pedang ditaruh
di dada. Dan tiba-tiba pedang itu bergerak dengan
cepat ke kanan sambil meloncat bersalto ke bela-
kang. Lalu berbalik pedang menyabet ke bawah,
disusul dengan jotosan tangan kiri ke arah depan.
"Bagus!" seru Ratih Ningrum puas. Lalu ka
tanya, "Kalian boleh beristirahat!"
Belum lagi ada yang bergerak dari tempatnya,
terdengar derap langkah kuda bergegas memasuki
pintu gerbang perguruan Topeng Hitam yang ber-
tembok cukup tinggi. Di atas punggung kuda itu
tergolek sosok tubuh berpakaian hitam-hitam.
Dengan sekali salto dan satu sentakan, Ratih
Ningrum menghentikan lari kuda itu. Dia mengge-
ram marah ketika mengetahui satu sosok tubuh
itu adalah salah seorang muridnya. Dan telah
menjadi mayat!
"Bangsat! Siapa yang telah melakukan perbua-
tan biadab dan keji ini!" geramnya marah setelah
memperhatikan tubuh yang hancur itu.
Para muridnya yang mengerumuni pun tak ka-
lah geramnya. Ratih Ningrum melihat ada sebilah
batang kayu terselip di bawah mayat itu.
Hati-hati dia mengambilnya. Ada huruf bertekan
dalam dengan bertintakan darah. Ratih Ningrum
diam-diam mendesah kagum melihat tenaga dalam
yang menuliskan itu sungguh hebat. Hati-hati dia
membacanya, Madewa Gumilang, kini telah tiba aj-
al bagimu. Salam perkenalan dari kami Sepasang
Manusia Srigala yang menghadiahkan mayat murid
Perguruan Topeng Hitam.
"Sepasang Manusia Srigala?" desah Ratih Nin-
grum. "Siapa pula mereka? Dan ada urusan apa
dengan suamiku?" Lalu dia berkata pada murid-
muridnya, "Tolong kalian urus mayat saudara se-
perguruan kalian ini?" Kemudian wanita itu mele-
sat ke dalam memasuki ruangan utama. Dicarinya
suaminya yang nampak sedang bersemedi di
ruang semedi.
Ratih Ningrum tidak mau mengganggu ketenan-
gan suaminya, makanya dia hanya duduk bersim-
puh menunggu semedi suaminya selesai.
"Aku sudah selesai, Ratih...." terdengar suara
berat dengan nada berwibawa. Sepasang mata
yang terpejam tadi kini membuka, memperlihatkan
sorot yang arif dan bijaksana.
"Maafkan istrimu yang telah mengganggu kete-
nanganmu, Suamiku," kata Ratih Ningrum sambil
menjura hormat.
"Duduklah! Ada apa gerangan, Dinda Ratih?"
"Maafkan Dinda, Kanda... Ada satu masalah
yang penting yang terpaksa harus Dinda bicarakan
dengan Kanda."
"Masalah apakah gerangan?"
"Sepasang Manusia Srigala telah membuat teror
di perguruan kita, Kanda..."
"Sepasang Manusia Srigala?"
"Ya, Kanda."
"Apa maksud mereka sebenarnya?"
"Mereka... mereka ingin nyawa Kanda..."
"Mengapa itu yang mereka inginkan? Aku pun
belum mengenal siapa mereka. Dan menurut pera-
saanku, aku tak punya salah dengan mereka. Ah,
mungkin mereka salah alamat, Dinda..."
"Apakah dengan kematian salah seorang murid
kita yang dibuat hancur secara mengerikan oleh
mereka itu bukan bukti, Kanda? Apakah tulisan di
kayu ini yang ditujukan pada Kanda, membukti-
kan mereka salah alamat, Kanda? Dinda pikir ti-
dak. Mereka datang untuk menteror Kanda...."
Madewa Gumilang tersenyum arif. Usia yang
semakin bertambah membuatnya lebih bijaksana.
Ditatapnya wajah istrinya yang malah semakin
bertambah cantik di matanya. Wanita yang telah
menemaninya hampir 25 tahun. Wanita cantik pu-
tri pembesar Biparsena dari desa Bojongronggo
(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Tenanglah, Dinda... Semua akan Kanda hada-
pi...!"
"Tetapi, Kanda... yang membuat Dinda sedih,
mengapa masih ada orang yang ingin berbuat ja-
hat kepada Kanda...?"
"Dinda Ratih Ningrum... semakin hari dunia
semakin menua. Semakin hari kehidupan selalu
berubah. Dan semakin hari kejahatan di muka
bumi ini semakin meningkat. Ini berarti, kebaikan
telah jauh di bawah kejahatan. Sebagai manusia
yang baik, kita harus membasmi setiap kejahatan.
Nah, kita sambutlah kedatangan Sepasang Manu-
sia Srigala itu dengan baik-baik. Kita tidak perlu
menampakkan wajah bermusuhan..."
"Selamat pagi, Ayah dan Ibu..." terdengar se-
ruan di belakang mereka. Pranata Kumala dan is-
trinya, Ambarwati menjura di belakang mereka.
"Hahaha... selamat pagi anak dan mantuku,"
sahut Madewa sambil bangkit berdiri. Jubah kebe-
sarannya yang berwarna putih semakin membuat-
nya nampak agung. Pranata Kumala pun diam-
diam semakin mengagumi ayahnya. "Bagaimana
kabarnya Laut Selatan?"
"Semakin hari Laut Selatan semakin cantik,
Ayah..." sahut Pranata. Memang, dia dan istrinya
tinggal di Laut Selatan. Di rumah istrinya yang du-
lu disikat habis oleh Sengkawung, ketua Partai
Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Na-
mun kini rumah itu telah mereka betulkan kemba-
li dan mereka tinggali.
"Dan kau bagaimana kabarnya, Menantuku?"
Kali ini Ratih Ningrum yang bertanya kepada Am-
barwati.
Ambarwati menjura dengan hormat. Dia pun
kini tumbuh lebih dewasa, dari gadis manja kini
telah mengalami pahitnya hidup dan kenyataan.
"Saya dalam keadaan sehat, Ibu...."
"Tentunya kalian letih, kalian beristirahat saja
dulu," kata Ratih Ningrum pula.
Lalu anak dan menantunya itu berpamitan un-
tuk beristirahat. Setelah itu kembali Ratih Nin-
grum dan suaminya membicarakan soal Sepasang
Manusia Srigala.
Di kamarnya, Pranata Kumala tengah merebah-
kan tubuhnya. Walau sekilas, dia tadi dapat meli-
hat wajah ibunya nampak menyimpan sesuatu
yang dirahasiakan. Walaupun dia melihat wajah
ayahnya nampak tenang-tenang saja. Ah, ayah
memang seperti biasanya, selalu dapat menyimpan
rahasia yang paling berat sekalipun.
Tetapi ada apa gerangan dengan ibunya? Men-
gapa ibu nampak begitu muram dan kesal sekali.
Mendadak Pranata bangkit dari merebahkan tu-
buhnya. Dia harus mencari tahu persoalan ini.
Istrinya yang sedang salin baju melirik, "Ada
apa, Kakang?"
"Oh, tidak ada apa-apa, Rayi. Kakang ingin ber
jalan-jalan di sekitar perguruan. Rayi ingin ikut
serta?"
Ambarwati yang tengah kelelahan dan mengan-
tuk karena hampir semalaman mereka menung-
gang kuda, menggeleng pelan. "Pergilah, Kakang...
Saya ingin tidur sejenak."
Memang itu yang diharapkan Pranata Kumala.
Setelah mengecup kening isterinya, lalu dia pun
keluar. Melewati pintu samping untuk menghinda-
ri ayah dan ibunya.
Dia langsung menuju ke belakang gedung. Dan
di sana dia melihat ada sedikit keramaian. Ketika
dia mendekat, rupanya keramaian itu disebabkan
ada sosok mayat yang tengah dimandikan.
"Hei, mayat siapa ini?" seru Pranata Kumala tak
bisa menahan diri.
Beberapa orang murid segera menjura hormat
setelah mengetahui siapa yang bertanya.
"Kawan seperguruan kami, Putra Guru," kata
salah seorang.
"Mengapa ini terjadi? Tubuh dan wajahnya han-
cur mengerikan?"
"Sepasang Manusia Srigala telah membunuh-
nya. Dan siap mencabut nyawa Rama Guru. Tetapi
kami, para murid Perguruan Topeng Hitam akan
menyabung nyawa demi Rama Guru!"
"Kapan ini terjadi?" tanya Pranata Kumala ke-
mudian.
"Setelah kami selesai berlatih, Putra Guru."
"Hmm, kalau begitu masalah ini rupanya yang
membuat Ibu nampak muram dan kesal," kata
Pranata dalam hati. Lalu dia pun segera masuk ke
dalam lagi, mencari ayah dan ibunya.
Ayah dan ibunya masih berada di tempat yang
tadi.
Pranata Kumala langsung menjura, "Maafkan
saya, Ayah dan Ibu, yang telah mengganggu kete-
nangan kalian berdua."
"Hahaha... Pranata, ada apakah gerangan?"
tanya Madewa.
"Siapakah Sepasang Manusia Srigala yang hen-
dak membuat teror itu, Ayah?" tanya Pranata tan-
pa berpura-pura lagi.
Pranata sempat melihat wajah ibunya yang se-
dikit terkejut. "Rupanya anakku dapat menebak
apa yang tengah merisaukan ibunya," desah Ratih
Ningrum. Dia lupa, kalau Pranata yang sekarang
ini adalah Pranata yang telah menjadi seorang su-
ami. Pranata yang hampir tujuh tahun berguru di
Gunung Muria.
Madewa pun tertawa. "Hahaha... baiklah, Anak-
ku. Ayah sendiri tidak tahu siapa Sepasang Manu-
sia Srigala itu. Tetapi teror yang mulai dilancar-
kannya tidak boleh kita anggap remeh. Dan ten-
tunya kita selalu siap sedia menyambut kedatan-
gan mereka."
"Rasanya saya tidak sabar untuk menghajar
orang-orang itu, Ayah...."
"Sabarlah, barangkali saja dengan jalan damai
kita bisa menghindarkan kekerasan...."
Lagi Pranata Kumala mengagumi ayahnya yang
semakin arif dan bijaksana.
Tiba-tiba di luar terdengar keributan, seperti
orang sedang berkelahi. Serentak ketiganya me
lompat ke luar dan melihat sepasang manusia se-
dang dikeroyok oleh murid-murid Perguruan To-
peng Hitam.
Kedua orang itu nampak lincah. Mereka bersal-
to ke sana ke mari untuk menghindari serangan-
serangan yang datang. Keduanya mengenakan pa-
kaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna
merah. Sedangkan murid-murid Topeng Hitam
semakin geram karena tak satu serangan mereka
pun yang masuk.
Hal itu membuat Pranata Kumala menjadi ge-
ram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya.
Dan selarik sinar merah berkelebat ke arah kedua
orang itu yang langsung dengan manisnya bersalto
ke kiri dan ke kanan.
Melihat serangannya gagal, Pranata yang men-
duga sepasang manusia itu adalah Sepasang Ma-
nusia Srigala yang juga diduga oleh murid-murid
Perguruan Topeng Hitam langsung melesat ke de-
pan. Dia langsung menyerang dengan jurus Tan-
gan Bayangan, warisan gurunya Ki Ageng Jayasih
dari Gunung Muria. Mendadak saja tangannya
bergerak bagaikan seribu. Sungguh cepat dan ber-
tenaga. Kedua manusia itu pun mengerahkan ke-
mampuan dan kelihaiannya untuk menghindari
serangan Pranata Kumala.
Namun sepasang manusia yang sejak tadi
hanya menghindar saja, kini mulai membalas.
Yang laki-laki sambil bersalto mengirimkan sebuah
pukulan ke arah kepala Pranata. Yang perempuan
langsung melompat kembali begitu kakinya men-
darat di bumi dan sambil berputar dia menendang
ke arah perut Pranata.
Menghadapi serangan beruntun itu, Pranata
bersalto ke samping. Disangkanya dia sudah dapat
menghindari kedua serangan itu, sungguh tak dis-
angka, di saat keduanya masih di udara mereka
bisa bersalto ke arah Pranata dan mengirimkan se-
rangan kembali.
"Hebat!" pekik Pranata mau tak mau. Menurut-
nya, bila Sepasang Manusia Srigala ini tidak hebat,
mana mungkin mereka berani menantang ayah-
nya. Dan mau tak mau pula dia menjajaki kedua
serangan itu, lalu memapakinya dengan nekat.
"Des! Des!"
Kedua benturan itu menimbulkan suara yang
lumayan keras. Lalu masing-masing hinggap kem-
bali ke bumi dengan manis. Ketika akan saling
menyerang kembali, terdengar suara berwibawa,
"Hentikan!" Madewa Gumilang mengangkat tangan
kanannya. Lalu menatap sepasang manusia itu
sambil tersenyum. "Sepasang Walet Putih... sela-
mat datang di kediamanku yang jelek ini...!"
Yang laki-laki tertawa. "Hahaha... agaknya mata
kami ini masih terlalu buta untuk melihat dalam-
nya lautan dan tingginya langit, Yang Mulia Made-
wa Gumilang...."
"Gaok! Aku tetaplah Madewa Gumilang yang
dulu... hahaha!"
Lalu kedua laki-laki itu saling mendekat dan be-
rangkulan. Membuat yang lain keheranan. Lho,
bukankah mereka itu Sepasang Manusia Srigala?
"Telah lama kudengar nama besar Sepasang
Walet Putih, dan kini aku diberi kesempatan un
tuk bersua denganmu dan istrimu, Sri Kemun-
ing...."
"Madewa... nama besarmu sampai terdengar di
pinggiran Gunung Slamet, sehingga kujajaki dara-
tan untuk berjumpa dengan orang yang bergelar
Pendekar Bayangan Sukma...."
Madewa melambaikan tangannya pada Pranata
Kumala. Dia mengenalkannya kepada Gaok dan is-
trinya yang sudah berada di sampingnya. Begitu
pula dengan Ratih Ningrum.
"Pranata... mana mampu kau mengalahkan Se-
pasang Walet Putih, Gaok dan Sri Kemuning, ma-
jikan Gunung Slamet? Kau harus banyak belajar
kembali darinya...."
Pranata langsung menjura hormat dan minta
maaf.
"Madewa, kakiku dan kaki istriku memang sen-
gaja kami bawa ke mari untuk menyambangi
orang agung dan besar seperti kau. Namun ketika
kami masuk ke sini, sikap para pengawal dan mu-
rid-murid Perguruan Topeng Hitam nampak tidak
bersahabat pada kami. Apakah begini cara pe-
nyambutan Perguruan Topeng Hitam pada ta-
munya?" tanya Gaok setelah mereka berada di
ruang perjamuan.
"Hahaha... maafkan aku, hai sahabat. Saat ini
kami memang sedang menunggu kedatangan tamu
yang lain...."
"Apakah kau sedang mengadakan hajatan?"
"Tidak, mereka datang untuk menteror!"
"Siapakah gerangan mereka?"
"Mereka menamakan dirinya Sepasang Manusia
Srigala...."
Mendengar nama itu disebutkan, wajah Gaok
berubah beringas. Begitu pula dengan istrinya, Sri
Kemuning. "Kapan, kapan dia akan datang?" ta-
nyanya dengan suara bernafsu.
Madewa melihat ada sesuatu yang telah terjadi
pula pada diri Sepasang Walet Putih.
"Tenang, Sahabatku. Saudara Gaok... katakan-
lah sejujurnya, bahwa kalian meninggalkan Gu-
nung Slamet bukan karena ingin menyambangiku.
Nah, katakanlah...!"
"Hahaha... kami memang benar-benar buta, ti-
dak tahu dengan siapa kami berhadapan. Yang
Mulia... kami akan berterus terang. Di samping in-
gin menyambangimu, dan istrimu, kami memang
sedang mencari tokoh jahat yang menamakan di-
rinya sebagai Sepasang Manusia Srigala."
"Apa yang mereka telah perbuat?"
"Mereka mengacau di kediaman kami, lereng
gunung Slamet. Entah sudah berapa banyak gadis
dan perjaka yang mereka culik untuk memuaskan
nafsu mereka. Mereka sangat kejam. Belum lagi bi-
la mereka berubah menjadi srigala... tingkah me-
reka benar-benar seperti binatang itu. Rasa belas
kasihannya tak ada sedikitpun juga...."
"Mereka berubah menjadi srigala?" potong Ma-
dewa sambil manggut-manggut.
"Betul, Madewa yang agung. Mereka dapat be-
rubah menjadi srigala!"
Kembali Madewa Gumilang manggut-
manggutkan kepala. Dulu dia pernah mendengar
tentang ilmu sihir yang bila sudah sampai pada
tingkat terakhir atau puncaknya bisa menjadi ha-
rimau. Atau juga, bagi yang mempelajari ilmu ha-
rimau, lambat laun dengan amalan yang kuat dan
ajian yang hebat, dia pun kadang bisa berubah
menjadi harimau. Orang-orang menyebutnya ma-
nusia harimau.
Dan sekarang datang pula orang yang bisa be-
rubah menjadi srigala dengan menamakan dirinya
Sepasang Manusia Srigala. Madewa mendesah. Be-
tapa banyaknya ilmu sesat di dunia ini rupanya.
Menjadi srigala atau berubah menjadi hewan apa
pun atau benda apa pun, itu sudah menyalahkan
kodrat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
"Kadang manusia suka melupakan hal itu. Me-
reka terlalu bernafsu untuk memiliki suatu ilmu
tanpa dipikirkan akibatnya atau efek sampingan-
nya setelah ilmu itu dipelajari dan dikuasai," desah
Madewa dalam hati.
Madewa kembali menatap Gaok.
"Lalu apa lagi yang mereka perbuat?"
"Mereka menghancurkan desa kami. Suatu ke-
tika, kami memergoki saat mereka sedang beraksi.
Manusia yang menamakan diri Sepasang Manusia
Srigala itu terdiri dari sepasang manusia yang
amat tangguh dan tinggi ilmu silatnya. Mereka ju-
ga menguasai ilmu sihir yang hebat. Bentrokan
yang terjadi antara kami dengan mereka, kami da-
pat dikalahkan oleh mereka. Namun rasa gejolak
hati kami yang bersih, yang tidak menyukai keke-
rasan, dan dari pihak golongan putih, meskipun
kami sudah mengalami kekalahan, setelah sem-
buh kami pun turun dari Gunung Slamet untuk
mencari Sepasang Manusia Srigala yang entah te-
lah melarikan diri ke mana."
"Hmm... sebenarnya, siapakah nama Sepasang
Manusia Srigala itu?"
"Yang laki-laki bernama Laksamurka. Sedang-
kan yang perempuan bernama Dewi Murni."
Madewa terdiam. Merenung. Berpikir. Kini mu-
lai cukup jelas siapa sesungguhnya kedua manu-
sia srigala itu, yang datang dengan segenap teror-
nya yang mengerikan.
Lalu Madewa menyuruh beberapa orang pem-
bantunya untuk menyiapkan kamar untuk kedua
tamunya.
***
DUA
Matahari hampir terbenam, setelah letih menja-
lankan tugasnya selama hampir 12 jam, bias-bias
sinar merahnya masih membayang di ufuk barat.
Sebagian sinarnya masih menerangi dunia, dan si-
sa-sisa biasnya kini menyinari pula desa Bojong-
panjang. Sebentar lagi malam akan datang.
Biasanya para penduduk desa Bojongpanjang
setiap senja bermain-main di halaman rumah. Me-
reka sangat menikmati senja yang indah dan ma-
nis. Namun minggu-minggu terakhir ini, keadaan
menjelang malam sangat sepi. Tak seorang pun
yang terlihat keluar dari rumah. Semua pintu dan
jendela telah tertutup rapat.
Ini terjadi sejak datangnya sepasang manusia
yang mengaku bernama Laksamurka dan Dewi
Murni. Kedatangan mereka semula disambut baik,
namun lama kelamaan kelihatan kedok mereka
yang sesungguhnya. Tingkah laku mereka tak be-
radab. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, Lak-
samurka memperkosa seorang anak gadis di ha-
dapan kedua orang tuanya. Dan sejak saat itu
keadaan mencekam menyelimuti desa Bojongpan-
jang.
Ki Lurah Wiropura tak bisa berbuat apa-apa.
Dia pun sudah mendapat ancaman yang mengeri-
kan bila tak menyediakan seorang gadis dan seo-
rang jejaka. Namun bagi Ki Lurah, dia lebih baik
mati daripada memenuhi permintaan biadab ke-
dua orang itu.
Malam pun mulai turun. Dari kejauhan terden-
gar lolong panjang srigala bersahut-sahutan. Hal
itu semakin membuat para penduduk ketakutan.
Mereka berdoa banyak-banyak semoga tidak terja-
di malapetaka yang menimpa mereka.
Tiba-tiba muncul dua sosok makhluk berkaki
empat dari balik hutan. Sepasang mata mereka
bersinar merah mengerikan. Lidah mereka keluar
dan meneteskan air liur. Mereka adalah dua ekor
srigala yang nampak kelaparan. Dan pelan-pelan
kedua srigala itu melangkah menuju sebuah ru-
mah kecil.
Penghuni rumah itu adalah sepasang pengantin
baru yang baru tiga hari menikah. Namun teror
Sepasang Manusia Srigala tidak memberikan ke-
sempatan lagi bagi keduanya untuk menikmati bu
lan madu mereka.
Kedua srigala itu semakin mendekat.
Di dalam rumah, kedua pengantin baru itu sal-
ing dekap dengan erat. Mereka seolah mencium
bau amis yang menjijikkan, semakin lama semakin
jelas tercium.
"Kakang...." desis istrinya ketakutan.
Suaminya seorang pemuda gagah perkasa den-
gan wajah tampan. Erat-erat didekapnya istrinya
seolah memberikan ketenangan. Padahal dia sen-
diri tak lebih sama dengan istrinya.
Tiba-tiba terdengar derak keras pada pintu be-
lakang. Istrinya semakin menggigil dalam deka-
pannya. Hati-hati dia mengambil parang besar
yang tersampir di tembok. Sigap dan siaga dia be-
rusaha untuk menjaga istrinya.
Dan suara derak itu terdengar kembali. Menda-
dak pintu itu hancur berantakan. Bukan main ter-
kejutnya mereka berdua begitu melihat makhluk
apa yang berada di hadapan mereka. Sepasang
srigala dengan wajah buas mengerikan.
Sang suami bergerak dengan cepat mengayun-
kan parang besarnya ke arah kedua srigala itu.
Namun seperti mengerti bahwa parang itu men-
gancam mereka, kedua srigala itu tiba-tiba me-
lompat ke kiri dan menerkam. Buru-buru dia
mengayunkan parangnya.
Laki-laki itu gugup. Dia merasakan tubuh is-
trinya terkulai di dekapannya. Istrinya telah ping-
san. Kini dia menjadi siaga. Kedua srigala itu ber-
diri menatapnya dengan wajah beringas. Tiba-tiba,
sungguh tiba-tiba, sepasang mata merah itu beru
bah menjadi putih dan tiba-tiba mengepul asap
putih menyelimuti kedua srigala itu. Laki-laki yang
bernama Warto itu bingung. Apa yang sedang ter-
jadi?
Tiba-tiba asap putih tadi menghilang. Menghi-
lang pula kedua srigala itu. Sebagai gantinya kini
berdiri di hadapannya dengan sikap gagah dan
angkuh sepasang manusia. Dia adalah Laksamur-
ka dan Dewi Murni yang dapat menjelma menjadi
srigala.
Laksamurka bertubuh besar dengan bulu-bulu
tangan yang menyeramkan. Wajahnya cukup lu-
mayan. Dengan bulu-bulu halus yang cukup lebat.
Yang menyeramkan darinya adalah pakaiannya
yang terbuat dari kulit srigala. Begitu pula dengan
kalung yang berupa taring srigala.
Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Dewi
Murni adalah seorang wanita yang cantik dengan
tubuh yang indah dan padat. Pakaiannya pun ter-
buat dari kulit srigala, namun berpotongan puteri
rimba. Menampakkan pahanya yang indah dan
sepasang buah dadanya bagian atas. Dia pun
mengenakan kalung mirip Laksamurka.
Keduanya tertawa melihat Warto tertegun. Sebe-
lum laki-laki itu berbuat apa-apa, Dewi Murni su-
dah berkelebat dan menotok urat kaku laki-laki itu
hingga terdiam.
"Hik... hik.. hik... makanan lezat untukku ma-
lam ini, Laksamurka...." Wanita itu terkikik den-
gan suara yang menakutkan. Dia membelai-belai
pipi Warto yang hanya terbelalak tanpa bisa ber-
buat apa pun.
Laksamurka tertawa keras. "Aku pun memiliki
hidangan yang cukup hangat, hanya sayang dia
masih pingsan...."
"Hik... hik... hik... penciumanmu tajam sekali,
Laksamurka...!"
"Dan nafsu seksmu sangat kuat, Dewi Murni....
Sayang, aku harus menunggu gadis itu siuman
dari pingsannya."
"Dan aku sudah bisa memotong hidangan ku,
bukan?" kata Dewi Murni sambil mengerling genit.
Lalu dia melenggang mendekati Warto yang hanya
bisa membelalakkan matanya dengan gusar. Di-
usapnya pipi laki-laki itu dengan genit. Warto me-
mejamkan matanya. Dan semakin memejamkan-
nya ketika Dewi Murni membuka pakaiannya ba-
gian atas sedikit. Pakaian yang minim itu, lang-
sung menampakkan buah dadanya yang bulat dan
montok. "Hihihi.... mengapa kau memejamkan ma-
tamu, Manis.... Ayo nikmatilah tubuhku ini den-
gan sepuas-puasnya...!"
Dewi Murni menotok urat mata Warto hingga
kedua mata itu terbuka dan tak bisa ditutup lagi.
Dewi Murni semakin tertawa-tawa. Lalu perlahan-
lahan dia membuka seluruh bajunya hingga telan-
jang bulat di hadapan Warto. Sementara Laksa-
murka hanya terkekeh saja sambil menunggu istri
Warto siuman.
Belum lagi musibah menimpa Warto dan is-
trinya, dari luar terdengar teriakan-teriakan keras
yang menyuruh kedua orang itu keluar.
"Bangsat!" geram Dewi Murni atau manusia sri-
gala betina sambil mengenakan pakaiannya lagi.
"Siapa yang berani mengganggu keasyikan Dewi
Murni, dia akan mampus dengan mayat yang
mengerikan!"
"Keluar dari sini! Hei, manusia-manusia dajal,
keluar!"
"Warto, bagaimana keadaanmu?!"
"Bagaimana dengan istrimu?!"
"Hei, manusia busuk, keluar!"
Seruan-seruan ramai terdengar. Pintu depan
terbuka, muncul sepasang laki-laki dan perem-
puan dengan wajah siap mencabut nyawa. Kedua-
nya menggeram melihat sejumlah penduduk yang
bersenjatakan parang, pisau, tombak, clurit siap
mengurung mereka.
Salah seorang di antara mereka adalah Ki lurah
Wiropura. Laki-laki setengah baya itu berkata den-
gan lantang, "Manusia srigala busuk! Tolong jan-
gan ganggu ketenangan kami!"
"Hahaha... Ki Lurah, sungguh besar nyalimu!"
desis Laksamurka. "Namun agaknya sia-sia kebe-
ranianmu dan kenekatan seluruh penduduk desa
ini untuk menghalangi sepak terjang Sepasang
Manusia Srigala!"
"Kami lebih rela mati daripada menjadi budak
iblismu!" geram Ki Lurah marah.
"Ki Lurah... berpikirlah baik-baik sebelum kau
membuang nyawa tuamu dengan percuma...." ber-
desis Dewi Murni sambil mengerling genit.
"Malam ini, aku Wiropura, akan menyabung
nyawa dengan kalian berdua!"
Kedua manusia itu tertawa ngakak. Membaha-
na. Membelah malam yang semakin kelam.
"Ki Lurah... Ki Lurah..." berkata Laksamurka.
"Kau lihat dulu apa yang kau pegang itu?! Ular
berbisa!"
Ki Lurah terkejut kaget ketika mendengar suara
berdesis di tangannya. Tombak yang dipegangnya
telah berubah menjadi ular berbisa dan siap me-
magut kepalanya. Sigap Ki Lurah membuang ular
itu yang ketika jatuh ke tanah berubah kembali
menjadi tombak.
"Ilmu sihir!" desisnya.
"Hahaha... dengan kepandaian seperti itu kau
hendak mengalahkan bahkan membunuh kami?!"
"Tekadku sudah bulat untuk membasmi orang-
orang seperti kalian!" seru Ki Lurah mantap. Lalu
melirik warganya yang kelihatan agak ketakutan.
"Jangan takut! Saudara-saudara! Kita bunuh ke-
dua manusia ini beramai-ramai! Serbuuuuu!"
Serentak warga yang agak ragu-ragu itu bangkit
kembali semangat mereka. Mereka menyerbu den-
gan mengacungkan senjata yang mereka pegang.
"Lihat apa yang kalian pegang?!" seru Laksa-
murka.
Para penduduk yang menyerbu serentak ber-
henti melangkah, dan masing-masing melihat sen-
jata yang mereka pegang. Mendadak semuanya be-
rubah menjadi ular berbisa. Mereka menjadi pa-
nik. Beberapa orang tak sempat membuangnya
hingga mereka pun harus menemui ajal. Dan ular-
ular itu terus menyerang mereka dengan buas di-
iringi tawa menyeramkan dari kedua orang itu.
"Hahaha... lucu, lucu sekali!" seru Laksamurka
tertawa.
Orang-orang itu menyabetkan batang kayu yang
mereka raih untuk mengusir ular-ular itu. Namun
ular-ular itu sangat buas. Sebentar saja hanya
tinggal Ki Lurah dan beberapa orang yang masih
sibuk mengusir ular-ular itu. Sedangkan yang lain
terkapar dengan tubuh membiru dan mulut men-
geluarkan ludah berbusa.
"Kalian jangan coba-coba menghalangi perbua-
tan kami!" seru Laksamurka.
"Dan hari ini kalian lebih mengenal siapa Sepa-
sang Manusia Srigala, yang siap untuk mencabut
nyawa siapa saja! Juga nyawa Madewa Gumilang,
Pendekar Bayangan Sukma!" sambung Dewi Mur-
ni.
Berkat kegigihan Ki Lurah dan beberapa warga
yang masih hidup, mereka dapat membasmi ular-
ular jejadian itu. Yang setelah terpotong dua kem-
bali ke asalnya menjadi senjata-senjata yang me-
reka pegang tadi.
Ki Lurah melotot marah pada sepasang manusia
itu. Wajahnya berkeringat. Dia tidak menjadi gen-
tar menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Ma-
lah kemarahannya dan dendamnya semakin naik
memuncak. Walau apapun yang terjadi, dia tetap
akan berusaha mengusir kedua manusia dajal ini.
"Manusia-manusia iblis, kami siap menyabung
nyawa dengan kalian!" serunya seraya maju me-
nyerang dengan parang di tangan kanannya ke
arah Laksamurka.
Melihat kenekatan Ki Lurah, Laksamurka hanya
tertawa. Dia cukup menggeser tubuhnya sedikit
hingga tebasan parang itu tidak menemui sasaran.
Dan tangannya bergerak dengan cepat menghan-
tam punggung Ki Lurah Wiropura yang terhuyung
ke depan dan muntah darah. Di samping pukulan
Laksamurka yang mengandung cukup tenaga, dia
pun terdorong oleh tenaganya sendiri saat men-
gayunkan parangnya.
Ki Lurah merasakan dadanya seakan remuk.
Bagai dihantam pukulan godam yang tiba-tiba
mengenai dadanya.
"Huak!" sekali lagi Ki Lurah Wiropura muntah
darah, dan merasakan pusing yang teramat san-
gat. Matanya berkunang-kunang. Dan mual pun
mulai menyiksanya.
Melihat hal itu beberapa warganya menjadi ma-
rah dan ikut menyerang. Serangan-serangan me-
reka ganas karena diliputi marah dan dendam.
Namun mereka bukanlah tandingan kedua manu-
sia itu. Yang dengan seenaknya menghabisi setiap
gerakan mereka. Dan kelojotan dengan tubuh
hancur tak berbentuk.
Ki Lurah Wiropura yang masih sekarat, betapa
sedihnya menyaksikan warganya yang kembali te-
was di tangan kedua manusia itu.
Dia mencoba bangkit untuk membalas. Namun
tubuhnya terasa sakit dan berat sekali. Tetapi di-
usahakannya juga untuk bangkit. Dia harus
membalas. Harus! Harus!
Belum lagi dia tegak berdiri, mendadak Dewi
Murni menendang sebilah parang yang tergeletak
di tanah. Bagai bernyawa, parang yang ditendang
itu meluncur dengan deras ke arah Ki Lurah yang
terbeliak kaget melihat datangnya parang itu.
Dan... "Aaakhh! Bless!"
Tak ampun lagi parang itu menancap menem-
bus dadanya diiringi dengan jeritan yang menyayat
hati.
Memilukan.
Dan mampuslah Ki Lurah Wiropura yang gagah
perkasa itu.
Terdengar tawa kedua manusia srigala.
"Hahaha... orang-orang tak berguna!" seru Lak-
samurka. "Dewi, mari kita nikmati lagi hidangan
yang telah tersedia! Hahaha... untungnya hidan-
gan kita ini tak akan pernah basi! Bukan begitu,
Dewi?"
"Betul! Betul!"
Dalam keremangan malam, terdengar dengusan
nafas dan ringkik kenikmatan diiringi desah kesa-
kitan dan rintih kepedihan Warto dan istrinya yang
belum sempat menikmati apa artinya malam pen-
gantin itu bagi mereka.
***
TIGA
Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Sri-
gala di desa Bojongpanjang pun menyebar ke selu-
ruh rimba persilatan. Sepak terjang keduanya
sangat mengerikan dan tak mengenal batas kasi-
han. Mereka tak segan-segan menurunkan tangan
telengas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Banyak tokoh-tokoh dari golongan putih yang
mencoba menghalangi perbuatan mereka. Namun
mereka pun tak bisa berbuat banyak. Sebagian be-
sar malah mampus di tangan keduanya.
Namun malam itu, beberapa sosok tubuh men-
dekati sebuah bangunan yang terletak di ujung
desa Bojongpanjang. Bangunan itu didiami oleh
Sepasang Manusia Srigala. Dengan mengambil
pengawal, pelayan, pembantu dan beberapa orang
pemuas nafsu yang mereka culik secara paksa dari
beberapa desa.
Malam ini pun Laksamurka baru saja meraih
kenikmatan dengan menggumuli seorang perawan
cantik yang diculik tadi sore. Dia terkekeh melihat
perawan itu menangis meratapi nasibnya yang
sangat malang.
"Hehehe... mengapa harus bersedih, Manis?
Bukankah kau sudah kuajak berkeliling ke sorga
yang indah... hehehe...."
Wajah perawan itu pias. Ketakutan, sedih, ma-
rah, malu, dan kecewa karena tidak bisa berbuat
apa-apa saat manusia iblis itu menjarah tubuh-
nya.
Di luar bangunan itu, sosok-sosok tubuh yang
mendekat, mulai berpencar. Mereka terdiri dari li-
ma orang. Di pinggang masing-masing nampak
ada sebilah pedang tipis yang tajam. Mereka ada-
lah Lima Pedang Maut. Orang-orang golongan pu-
tih dari Timur. Mereka pun sudah mendengar se-
pak terjang dan kekejaman sepasang manusia sri-
gala itu. Dan mereka bertekad untuk menghenti-
kan aksi kekerasan yang mereka lakukan.
Para pengawal yang menjaga, dengan mudah
sekali dibungkamkan. Dan mereka pun bersalto
masuk ke dalam.
Tiba-tiba salah seorang berseru: "Hei, Sepasang
Manusia Srigala! Muncullah kalian di hadapan
kami!"
Suaranya menggema. Menyentak telinga Lak-
samurka yang tengah bersiap menikmati tubuh
gadis itu lagi. Menjarah telinga Dewi Murni yang
baru saja meraih kenikmatan yang panjang dari
pemuda yang dipaksanya untuk melayaninya.
Dia pun bergerak cepat untuk berpakaian. Lalu
melesat keluar melalui jendela. Di ruang tengah
nampak di hadapannya lima orang berpedang ber-
diri gagah dengan tangan kiri mendekap di dada
dan tangan kanan memegang pedang yang ujung-
nya berada di kaki kanan bawah.
Sikap mereka gagah dan jantan. Penuh perhi-
tungan.
Dewi Murni terkekeh, "Hihihi... siapa rupanya
kalian yang berani-beraninya mengganggu Sepa-
sang Manusia Srigala, hah!?"
"Kami, Lima Pedang Maut dari Timur yang akan
menghentikan sepak terjang kalian!" kata salah
seorang yang bernama Suro Japara.
"Hihihi... rupanya malam ini aku kedatangan
orang pemimpi... lucu, lucu!"
"Hhh! Jangan banyak bacot, Dewi Busuk! Kau
akan merasakan kehebatan ilmu pedang kami!"
"Oh, ya? Hihihi... pemimpi-pemimpi yang ingin
bermimpi dan bisa bermimpi lagi. Kalian tentunya
telah bermimpi bukan, kalau kepala dan tubuh ka
lian terpisah akibat tanganku?"
Wajah Suro Jingga memerah. Tangannya makin
mengepal pedangnya. Geram.
Terdengar tawa Dewi Murni lagi. "Hihihi... ba-
gus, bagus sekali. Jadi kalian tidak terkejut bila
kepala dan tubuh kalian terpisah!"
"Dewi... siapa yang datang malam-malam begini
dengan sengaja untuk mengganggu kenikmatanku,
hah?!" terdengar suara di belakang Dewi Murni.
Laksamurka muncul dengan gagah.
Kelima orang itu segera memasang tenaga da-
lam mereka. Karena dalam suara yang dilontarkan
Laksamurka mengandung tenaga dalam yang bisa
menyerang mereka.
Diam-diam kelima orang itu pun kagum pada
Laksamurka. Mereka menjadi bersiap dan semakin
berhati-hati.
"Laksamurka... aku pun merasa terganggu den-
gan kedatangan orang-orang tak diundang ini. Ah,
aku jadi bingung... mereka hendak kita suguhi
dengan apa, Laksamurka?"
"Itu tugas kau sebagai perempuan, Dewi!"
"Laksamurka, bagaimana bila mereka kita su-
guhi kotoran anjing saja! Kan banyak terdapat di
belakang!"
"Hahaha... betul, betul... mereka kita beri koto-
ran anjing! Karena mereka tak ubahnya seperti
anjing!"
Disindir sedemikian rupa, wajah Lima Pedang
Maut itu memerah. Dan tanpa dikomando lagi me-
reka segera mengurung kedua manusia itu yang
seakan tak sadar akan bahaya mengancam, kare
na keduanya masih asyik bercakap-cakap.
"Wah, anjing-anjing itu mengurung kita, Dewi!"
"Itu lebih baik, Laksamurka. Mereka saja yang
kita jadikan kotoran dan kita berikan pada anjing."
"Betul, betul... heit!" Laksamurka langsung ber-
salto karena pedang dari kelima orang itu sudah
menyambar kakinya. Dan serentak di dalam ban-
gunan itu terjadi pertempuran yang sengit.
Ilmu pedang kelima Pedang Maut itu tak bisa
dianggap ringan. Mereka bergerak dengan cepat
dan tangkas. Permainan pedang mereka pun sam-
bung-menyambung tak putus. Satu menyerang,
yang lain menunggu. Lepas dari serangan itu, me-
reka pun menyambung.
Hal ini cukup membuat kedua manusia itu se-
dikit kewalahan.
Tiba-tiba Laksamurka membentak, "Awas se-
rangan!" Tubuhnya melenting ke atas dan menye-
rang ke arah Suro Japara. Sedetik Suro Japara ti-
dak menunduk, habislah riwayatnya. Serangan
yang mengandung tenaga dalam yang hebat itu le-
wat di kepala Sura Japara.
Melihat hal itu, Suro Japara semakin marah.
Serentak dia membentak, "Saudara-saudara! Ben-
tuk Lima Barisan Menutup Lautan!"
Seketika empat temannya yang sedang menye-
rang, bersalto mendekatinya. Dan segera memben-
tuk Lima Barisan Menutup Lautan.
"Hhh! Ilmu apa yang kalian pamerkan di hada-
pan Sepasang Manusia Srigala, hah?!" tertawa
Laksamurka.
Tetapi kelima orang itu tidak perduli. Barisan
itu pun dilakukan. Suro Japara berdiri di depan.
Di belakangnya dua orang berdiri dengan pedang
yang seorang di tangan kiri dan seorang lagi di
tangan kanan. Begitu pula yang di belakang mere-
ka. Dua orang dengan posisi pedang yang sama.
Jarak mereka masing-masing dua meter. Memben-
tuk barisan sepanjang enam meter.
"Nah, silahkan kalian berdua tembus barisan
ini!" seru Suro Japara, sambil bersiap.
Sepasang Manusia Srigala itu saling melirik. La-
lu tanpa dikomando lagi keduanya menyerang,
memasuki barisan yang ketat itu.
Luar biasa. Barisan itu sukar untuk ditembus.
Setiap kali Laksamurka atau Dewi Murni menye-
rang, pedang-pedang itu pun menyambar hingga
mengurungkan niat mereka untuk menyerang te-
rus. Kalaupun mereka menyerang dari kiri, dua
buah pedang menyambut. Menyerang dari kanan,
begitu pula. Bila menyerang dari belakang, barisan
itu memutar menutup barisan. Bila menyerang
Suro Japara yang berada di depan, serentak
keempat temannya maju membentuk horisontal
dengan pedang yang menyerang secara bergantian.
Sampai sekian jurus, Sepasang Manusia Srigala
itu pun belum mampu menembus pertahanan dan
serangan dari Lima Pedang Maut, yang benar-
benar tangguh dan hebat.
Mendadak pula barisan itu berpencar dan me-
nyerang dengan cepat. Namun setiap kali diserang,
mereka kembali merapat dan membentuk jurus
tadi, Lima Barisan Menutup Lautan.
Tiba-tiba Laksamurka berseru sambil bersalto
mundur, "Dewi Murni, hentikan serangan!"
Dewi Murni pun menarik tangannya pulang dan
bersalto berdiri bersisian dengan Laksamurka.
Lima Pedang Maut tertawa. Suro Japara menge-
jek, "Kalian jeri melihat pertahanan dan serangan
kami, bukan? Nah, sebelum mampus lebih baik
kalian berlutut! Atau kalian bunuh diri saja karena
kami sudah muak melihat tampang dan sepak ter-
jang kalian semua!"
"Hahaha... jangan merasa di atas angin dulu,
Anjing-anjing dari Timur! Kalian harus ingat, den-
gan siapa kalian berhadapan sekarang ini! Kalian
tengah berada di sarang srigala! Dan srigala-
srigala itu tak akan puas bila belum mencabik-
cabik tubuh kalian!"
"Srigala busuk! Buktikan ucapanmu!" bentak
Suro Japara.
"Hahaha... rupanya kau tak sabar ingin cepat-
cepat mampus. Baik, jangan sesali nasibmu!" Se-
habis membentak demikian, Laksamurka terdiam
sejenak. Lalu tertawa, "Lima Pedang maut, kalian
lihat apa yang tengah kalian pegang itu! Ular ber-
bisa!"
Serentak kelima orang itu melihat pedang mere-
ka yang telah berubah menjadi ular berbisa. Mas-
ing-masing segera melempar pedang yang ada di
tangan mereka.
Selagi pedang tak ada di tangan mereka, mener-
janglah Laksamurka dan Dewi Murni. Tanpa am-
pun lagi dua jeritan terdengar. Dan dua nyawa me-
layang.
Melihat hal itu Suro Japara menjadi gusar dan
marah karena dia hanya ditipu oleh ilmu sihir. Te-
tapi ular-ular jejadian itu terus mendekat dan me-
nyerang mereka.
Dua orang lagi pun tewas dipatuk ular berbisa
hingga tubuh mereka membiru. Kini tinggallah Su-
ro Japara yang dengan sebisanya menghindari se-
rangan patukan dari ular-ular itu.
Tiba-tiba dia bersalto dan menyambar salah
seekor ular itu. Dan menyabetkannya pada ular-
ular yang lain. Aneh, begitu tubuh ular-ular itu
saling menyentuh, mereka berubah kembali men-
jadi pedang.
Sigap Suro Japara menyambar sebuah pedang
yang tergeletak dan bersalto kembali. Lalu hinggap
di tanah dengan ringannya. Wajahnya memancar-
kan sinar pembunuhan, dendam dan sakit hati.
Apalagi dilihatnya empat mayat sahabatnya yang
kini tergeletak tak jauh darinya dengan tubuh luka
parah dan wajah yang mengerikan mengeluarkan
darah.
"Sepasang Manusia Srigala!" geramnya dengan
wajah memerah karena menahan geram yang san-
gat luar biasa. "Hari ini kau akan mampus mene-
bus nyawa empat saudaraku, hah!"
"Kini kau tinggal sendiri, Suro Japara! Ternyata
kau masih besar mulut pula!" kata Laksamurka
sambil tertawa.
"Lebih baik kau menjadi pengawal kami, dan se-
tiap malam... kau harus memberikan kehangatan
padaku!" terkikik Dewi Murni. Lalu mengerling ge-
nit. "Suro Japara... kau padahal cukup ganteng,
dan... ah, tubuhmu nampak begitu menggairah
kan! Mengapa kau begitu bodoh hendak mem-
buang nyawamu dengan percuma menghadapi
kami? Kau sudah tahu bukan, tak ada seorang
pun yang dapat membunuh kami!"
"Hhh! Kau melupakan seseorang rupanya, Ma-
nusia Srigala!"
"Siapa dia?!"
"Kau melupakan manusia maha sakti yang bisa
disejajarkan dengan manusia dewa, Madewa Gu-
milang! Pendekar Bayangan Sukma! Kalian ru-
panya tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya
langit, Manusia Srigala!"
"Hahaha... Madewa Gumilang? Tak lama lagi
nama dia pun akan terkubur dalam-dalam di da-
sar bumi!"
"Hhh! Rupanya kalian memang manusia-
manusia iblis! Baik, kini tinggal aku seorang dari
Lima Pedang Maut. Tapi aku bukanlah pengecut
yang suka melarikan diri sementara keempat sau-
daraku tewas di tangan kalian! Nah, bersiaplah!
Aku akan mengadu jiwa dengan kalian!"
"Hihihi... lebih baik kau pikirkan tawaranku,
Suro Japara! Pikirkanlah lagi... hei!"
Belum lagi selesai ucapan Dewi Murni, Suro Ja-
para sudah maju menyerang dengan tenaga pe-
nuh. Dewi Murni serentak melompat ke kiri dan
balas menyerang.
Sigap Suro Japara melompat dan kembali me-
nerjang. Tetapi kali ini Dewi Murni menjajakinya.
Ujung pedang Suro Japara yang hampir mengenai
dadanya, dia kibaskan dengan ujung jari telunjuk-
nya. Lalu tangannya menghantam ke arah dada
Suro Japara, yang cepat menangkis. Namun sung-
guh di luar dugaannya, tenaga yang tersalur dari
tangan Dewi Murni demikian besar. Tangan Suro
Japara terasa ngilu dan terdengar suara "krak!"
yang menandakan tangan-tangan itu patah.
Suro Japara terhuyung.
Laksamurka berseru, "Dewi, habisi saja! Jangan
membuang waktu lagi!"
Dengan satu sentakan, tubuh Dewi Murni mele-
sat ke depan. Dan kepalannya menghantam dada
Suro Japara yang kini muntah darah. Dan tangan
Dewi Murni bergerak cepat, menyambar leher Suro
Japara dan memuntirnya.
"Krek!"
Leher itupun patah!
Dewi Murni meludah sambil melemparkan tu-
buh.
"Orang-orang tak tahu diuntung!" geramnya.
Sementara Laksamurka terbahak-bahak.
***
EMPAT
Sepak terjang Sepasang Manusia Srigala yang
membuat onar serta membunuh Lima Pedang
Maut, cepat tersebar ke rimba persilatan.
Saat ini pun di ruang pertemuan perguruan To-
peng Hitam, sedang terjadi dialog antara Madewa
Gumilang dengan Sepasang Walet Putih. Di sana
juga hadir Ratih Ningrum, Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati.
"Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-
larut, Madewa," kata Gaok pada Madewa Gumi-
lang.
"Benar, Ayah. Sebaiknya kita segera mencegah
dan membasmi Sepasang Manusia Srigala sebelum
mereka terus menerus membuat teror!" kata Pra-
nata Kumala. "Atau sebaiknya... biar saya yang
mencari kedua manusia dajal itu, Ayah..." kata
Pranata lagi yang kali ini langsung dipegang tan-
gannya oleh istrinya. Seperti memahami perasaan
istrinya yang nampak cemas, yang jelas terlihat
dari pancaran kedua bola matanya yang bening,
Pranata Kumala membalas memegang lengan Am-
barwati.
Madewa pun merasa sudah saatnya sepak ter-
jang kedua manusia itu dihentikan. Selama ini dia
tidak mau bergerak karena berharap kedua manu-
sia itu akan insyaf dan menyadari kalau perbuatan
mereka sangat keliru.
Namun tunggu punya tunggu keinsyafan itu tak
muncul pula. Madewa mendesah panjang. "Sampai
kapan kejahatan ini akan berlangsung?"
"Yah... kita memang harus segera menghentikan
sepak terjang keduanya. Hal ini tak bisa berlarut-
larut. Baik, Pranata... kuijinkan kau bersama be-
berapa murid Perguruan Topeng Hitam untuk
mencari jejak kedua manusia itu,..." kata Madewa
dengan suara yang terdengar arif dan bijaksana.
Pranata menjura. "Terima kasih, Ayah."
"Dan kau ingat, kau harus berhati-hati meng-
hadapi mereka, Pranata!"
"Hmm... jangan kuatir, Madewa. Kami akan
menemani perjalanan Anak mas Pranata Kumala,"
kata Gaok yang melirik istrinya yang kemudian
mengangguk.
Sudah tentu Ambarwati tidak mau membiarkan
suami pergi sendiri. Meskipun ditemani Sepasang
Walet Putih, Ambarwati tetap menyebutnya Prana-
ta Kumala pergi sendiri, karena tanpa dirinya. Bila
pergi bersamanya, bolehlah dikatakan itu ditema-
ni. Ambarwati sangat menyintai suaminya.
Lalu dia pun minta diijinkan ikut.
Bagi Madewa dan istrinya, Ratih Ningrum, hal
itu boleh saja untuk mereka. Yang penting Pranata
Kumala sendiri memperbolehkan istrinya mene-
maninya.
Sebenarnya Pranata hendak melarang istrinya
ikut, karena dia tidak mau istrinya terlibat kesuli-
tan. Tetapi tatapan Ambarwati yang begitu memo-
hon dan kekeras-kepalaannya, sukar bagi Pranata
untuk menolak.
Keesokan paginya, berangkatlah empat orang
itu beserta beberapa murid Perguruan Topeng Hi-
tam dengan menunggang kuda. Perjalanan yang
masih membuat tanda tanya di manakah dan ke
manakah mereka harus mencari sepasang manu-
sia iblis itu.
Selama dua hari dalam perjalanan, tibalah me-
reka di desa Bojongpanjang. Begitu memasuki de-
sa itu, semua menjadi keheranan. Betapa su-
nyinya. Hening. Desa itu bagai mati belaka. Desa
yang dulu terdengar begitu makmur, kini bagai
kuburan saja. Sepi, bahkan tak ada tanda-tanda
kehidupan yang dapat dikenali di sana.
Mereka beristirahat di pinggiran desa itu.
"Kakang Gaok... ada baiknya kita berpencar di
sini," kata Pranata Kumala kemudian, setelah me-
reka selesai bersantap siang. "Kupikir, bila kita se-
lalu bersama, akan susah adanya mencari Sepa-
sang Manusia Srigala. Waktu yang kita butuhkan
akan lebih banyak. Jadi kupikir pula, sebaiknya
kita berpisah. Kita datang dari Utara, maka se-
baiknya aku dan istriku ke Barat, sedangkan Ka-
kang dan Mbakyu Sri Kemuning ke arah Selatan.
Bagaimana, Kakang?"
"Kalau itu kemauanmu, Dimas... bolehlah. Ku-
pikir usulmu itu baik sekali. Pesanku, berhati-
hatilah menghadapi manusia-manusia itu...." kata
Gaok.
Dua jam kemudian mereka pun berpisah. Se-
perti yang sudah disepakati, Pranata Kumala dan
istrinya serta beberapa murid Perguruan Topeng
Hitam pun berangkat ke Barat. Sedangkan Gaok
dan Sri Kemuning berangkat ke Selatan.
Namun tanpa setahu mereka, kedatangan me-
reka sebenarnya sudah dicium oleh Sepasang Ma-
nusia Srigala. Keduanya pun berpencar mencegat
perjalanan mereka, sedangkan Dewi Murni mengi-
kuti jejak Gaok dan istrinya.
Malam hari, Pranata Kumala memerintahkan
untuk bermalam di sebuah hutan, yang terdapat
di desa Bojongpanjang.
"Agaknya di sini cukup aman," katanya kemu-
dian. "Sampai sejauh ini kita belum mencium tem-
pat tinggal Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi
kita tetap harus waspada dan berhati-hati, karena
keduanya adalah tokoh-tokoh yang sakti!"
Mereka pun bermalam dengan penjaga bebera-
pa murid Perguruan Topeng Hitam.
Tengah malam tak jauh dari mereka bermalam,
sepasang mata nampak memperhatikan rombon-
gan kecil itu. Dia adalah Laksamurka. Dia menghi-
tung hanya lima orang yang menjaga, itu pun
nampak sudah terkantuk-kantuk akibat perjala-
nan yang jauh.
Laksamurka memetik lima lembar daun di de-
katnya. Dan secara serempak kelima daun itu di-
lemparkannya ke arah para penjaga. Luar biasa,
kelima murid Perguruan Topeng Hitam ambruk
dengan urat nadi di leher berdarah.
Tanpa mengeluarkan suara, Laksamurka keluar
dari persembunyiannya. Saat itu Pranata Kumala
belum bisa memejamkan matanya karena memi-
kirkan di mana tempat persembunyian Sepasang
Manusia Srigala berada. Sementara istrinya sudah
terlelap di sampingnya.
Pendengarannya yang cukup terlatih menang-
kap gerakan mendekati mereka. Sigap Pranata
Kumala berdiri. Dia merasakan ada desir angin
yang datang ke arah mereka. Serentak Pranata
berguling sambil mendorong tubuh istrinya. Tiga
buah senjata rahasia berbentuk taring srigala me-
nancap di tanah.
"Bangsat keji!" geram Pranata.
Istrinya yang terbangun langsung bertanya,
"Ada apa, Kakang?"
"Bersiap-siaplah, Rayi... manusia srigala itu sudah mengetahui kedatangan kita...."
Ambarwati mengambil pedangnya yang tergele-
tak di sampingnya.
Pranata Kumala melompat ke depan. "Manusia
busuk! Keluar kau dari persembunyianmu!"
Seruan Pranata Kumala membangunkan bebe-
rapa murid Perguruan Topeng Hitam yang tertidur
dan menjadi waspada melihat Pranata Kumala
nampak bersiaga.
Dari balik semak muncul Laksamurka dengan
sikap gagah. Dia tertawa melihat orang-orang itu
dalam posisi siap tempur. Matanya langsung na-
nar memerah melihat Ambarwati. Gairahnya mun-
cul.
"Hahaha... kalian ternyata punya nyali juga!
Hmm, perkenalkan aku adalah Laksamurka salah
seorang dari Sepasang Manusia Srigala, yang
muncul untuk mencabut nyawa kalian!"
"Manusia dajal, maksud apa kau sesungguhnya
membuat teror seperti ini?!" seru Pranata Kumala.
"Anak muda, aku mengenali kau sebagai putra
Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum! Bagus, ti-
dak dapat orang tuanya, anaknya pun sudah lu-
mayan! Hitung-hitung tak ada rotan akar pun ja-
di!"
"Laksamurka, omonganmu begitu besar! Seperti
kau begitu yakin mampu mengalahkan aku, hah?!"
"Hahaha... sebelum tubuhmu berkalang tanah,
akan kuberitahukan mengapa aku membuat teror
seperti ini? Tak lain untuk memancing Madewa
Gumilang atau ayahmu keluar dari sarangnya.
Bukan sebagai seorang yang pengecut, yang bera
ninya hanya bercokol di rumah!"
"Hmm... ada masalah apakah kau dengan
ayahku? Dari nada ucapanmu sangat terdengar
sekali nafsumu untuk membunuh ayahku!"
"Benar, aku dan Dewi Murni, Sepasang Manusia
Srigala memang akan membunuh mampus ayah-
mu! Dan merebut Seruling Naga dari tangannya!"
Pranata Kumala tercekat. Seruling Naga? Bu-
kankah seruling sakti itu berada di tangannya, di-
hadiahkan ayahnya sebelum dia menjadi murid Ki
Ageng Jayasih tiga belas tahun yang lalu (baca:
Kakek Sakti dari Gunung Murid). Lalu ada apa ge-
rangan dan kenapa Sepasang Manusia Srigala ini
hendak merebutnya?
"Laksamurka, Seruling Naga itu milik ayahku!
Mengapa kau hendak merebutnya?"
"Karena bukan dialah yang berhak memili-
kinya!"
"Hei, apa maksudmu? Seruling itu pemberian
dari Kakek Guru Ki Rengsersari atau Pendekar
Ular Sakti guru ayahku! Nah, dari fakta sejarah itu
sudah jelas ayahku berhak memiliki seruling sakti
itu!"
Seruling Naga yang mempunyai kesaktian luar
biasa, dan bila ditiup bagi yang memiliki tenaga
dalam pas-pasan akan hancur telinganya karena
tak tahan mendengar suara seruling itu. Sedang-
kan bagi yang bertenaga dalam besar, dia pun
akan tersiksa sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Bentuk seruling itu sama dengan seruling bisa,
hanya bedanya pada Seruling Naga ada gambar
sepasang naga. Seruling Naga itu memang pembe
rian Ki Rengsersari kepada Madewa (Baca: Pedang
Pusaka Dewa Matahari).
"Hahaha... puluhan tahun yang lalu, seruling
itu telah menjadi rebutan. Dan sekarang pun tetap
menjadi rebutan... hahaha! Nah, bersiaplah untuk
mampus di tanganku!" Laksamurka membuka ju-
rusnya. Sebelum dia menyerang Pranata Kumala,
beberapa murid Perguruan Topeng Hitam mengu-
rungnya dengan pedang di tangan. Tanpa diko-
mando lagi pedang-pedang itu pun berkelebatan ke
arah Laksamurka, yang menghindar ke sana ke
mari dengan gerakan cepat.
"Manusia keparat! Kami datang untuk menun-
tut balas pada nyawa kawan seperguruan kami
yang kau bunuh secara mengerikan!" seru salah
seorang murid.
"Bagus! Majulah kalian, akan kubuat kalian
menjadi sate!"
Pedang-pedang itu pun berkelebat kembali.
Laksamurka tidak hanya menghindar sekarang,
dia pun balas menyerang. Suaranya kini berubah
menjadi mengerikan, seperti lolong srigala yang
sedang marah.
Tangannya bergerak dengan cepat membentuk
cakar srigala. Beberapa jeritan terdengar dengan
menyayat hati disusul tubuh yang ambruk dengan
luka yang mengerikan. Tergores dalam hingga ke
tulang sumsum. Belum lagi yang terkena cakaran
pada wajahnya, sangat menakutkan. Wajah itu ro-
bek tak berbentuk.
Namun murid-murid Perguruan Topeng Hitam
sudah bertekad untuk membunuh manusia itu.
Mereka tidak takut mati. Tetapi mereka pun tak
bisa berbuat banyak menghadapi Laksamurka.
Beberapa menit kemudian semua ambruk bergeli-
mang darah dan tanah.
Laksamurka tertawa. "Pranata, lebih baik kau
bunuh diri saja sebelum kurobek-robek wajahmu!"
"Bangsat keji!" yang berseru Ambarwati. "Malam
ini pun aku bersabung nyawa denganmu!"
"Hahaha... gadis manis. Siapakah kau sebenar-
nya?"
"Aku dan suamiku akan membunuhmu, Lak-
samurka!"
"Suamiku? Hahaha... berarti kau istri manusia
sombong ini? Bagus! Bersiaplah kau untuk mene-
maniku melewati malam yang dingin!"
Ambarwati tidak tahan mendengar omongan
yang kotor itu. Sambil menggeram dia menerjang
dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Laksa-
murka hanya tertawa. Masih tertawa dia menghin-
dari serangan itu dan tangannya menepak lengan
kiri Ambarwati yang langsung merasa kesemutan.
Melihat istrinya kena tampar, Pranata Kumala
menjadi marah. Dia merangkum kedua tangannya.
Dan menghentakkan ke depan. Muncullah selarik
sinar merah ke arah Laksamurka.
"Pukulan Sinar Merah!" seru Laksamurka sam-
bil menghindar. Sinar merah itu menghantam po-
hon di belakangnya yang langsung hangus bera-
sap. "Ada hubungan apa kau dengan majikan Gu-
nung Muria?"
"Dia adalah guruku! Nah, bersiaplah untuk
mampus!" Kembali Pranata Kumala melancarkan
pukulan sinar merahnya, membuat Laksamurka
menjadi sedikit kerepotan.
Sambil bersalto dia melemparkan senjata raha-
sianya yang membuat Pranata Kumala menghenti-
kan serangannya dan menghindari senjata rahasia
itu.
Kesempatan itu dipergunakan Laksamurka un-
tuk menyerang. Terjadilah bentrokan tangan ko-
song yang cukup hebat. Pranata pun mengelua-
rkan jurus Tangan Bayangannya. Sepuluh jurus
pertempuran itu telah berlangsung.
"Tidak sia-sia kau berguru pada Ki Ageng Jaya-
sih!" seru Laksamurka yang mau tak mau dibuat
kagum juga oleh Pranata. "Tapi coba tahan seran-
ganku kali ini!"
Sambil bersalto dua kali ke belakang, Laksa-
murka merangkum kedua tangannya di dada dan
hinggap di bumi dengan manisnya. Dia membuka
jurus Srigala Menangkap Mangsanya yang sangat
hebat.
Sambil menggeram dia kembali menyerang. Kali
ini Pranata Kumala yang dibuat sibuk untuk me-
nahan serangan-serangan yang datang secara be-
runtun. Cepat dan penuh tenaga. Cakar-cakar
maut Laksamurka bisa mendatangkan petaka bagi
Pranata Kumala bila dia lengah sedikit.
Melihat suaminya cukup terdesak, Ambarwati
pun melesat menerjang Laksamurka dengan ayu-
nan pedangnya. Laksamurka yang siap hendak
menyabetkan cakarnya ke wajah Pranata Kumala,
jadi berbalik dan menepis pedang Ambarwati.
"Des!"
Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut
Ambarwati.
"Des!"
"Aduh!"
Tubuh itu terhuyung ke belakang. Karena terla-
lu marah dan emosi melihat suaminya terdesak,
Ambarwati tidak memperhitungkan kesaktian Lak-
samurka, salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala.
Melihat hal itu, Pranata Kumala menjadi marah
sekali. "Bangsat hina! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!"
"Hahaha... kau hanya mengantarkan nyawa se-
cara sia-sia," desis Laksamurka sambil ngakak.
"Bangsat! Lihat serangan!" Kembali Pranata me-
lesat dengan jurus Tangan Bayangannya dan Sa-
puan Kaki Membelah Langit. Dia bertekad untuk
mengadu jiwa. Dipadukannya dua jurusnya yang
hebat itu. Benar saja, Laksamurka kini yang terde-
sak setelah lewat sekian jurus.
"Kunyuk! Jahanam!" serunya kocar-kacir. Dan
Pranata sempat menghadiahkan sebuah tendan-
gan yang tepat bersarang di dada Laksamurka.
Laksamurka menggeram. "Bangsat cilik, kau be-
rani-beraninya menendangku, hah?!"
"Sudah kubilang, aku akan mengadu jiwa den-
ganmu!"
"Baik, jangan sesali kata-katamu itu!" geram
Laksamurka. "Hmm... lihat di sampingmu, Anak
muda! Hahaha... lihatlah... betapa banyaknya
ular-ular berbisa yang akan siap menelanmu den-
gan bisanya!"
Pranata menoleh ke kirinya dan mendadak dia
melihat sepuluh ekor ular berbisa yang mendesis-
desis dan siap menyerangnya. Serentak Pranata
melompat ketika ular-ular itu mematuknya dan
mengejarnya dengan serentak. Ular-ular itu sea-
kan mengerti perintah tuannya hanya dia yang
diserang, karena Ambarwati tidak diserang. Pe-
rempuan itu sedang menahan rasa sakit di da-
danya dan bergidik ngeri melihat suaminya yang
diserang ular-ular itu. Rasa cemas dengan cepat
menyergap perempuan itu.
Dia melirik Laksamurka yang terkekeh-kekeh
melihat Pranata Kumala melompat ke sana ke ma-
ri. Ambarwati merasa, bila Laksamurka berhasil
dikalahkannya, niscaya ilmu sihirnya akan punah.
Dia harus menyerang. Berpikiran seperti itu, dia
menjadi nekat. Tanpa memikirkan lukanya dan
akibatnya, dia menerjang.
"Iblis busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu!"
Tubuhnya berkelebat. Laksamurka menyambut
dengan menghindar ke kiri. Tetapi perempuan itu
bukanlah tandingannya yang berarti, karena se-
bentar saja dia sudah berhasil mematahkan se-
rangan-serangan Ambarwati. Bahkan meringkus
perempuan itu. Dan menotoknya.
"Hahaha... kau berani-beraninya berbuat lan-
cang dengan Laksamurka, Manis... kau akan me-
rasakan akibatnya nanti... hahaha!" Lalu ia berse-
ru pada Pranata Kumala: "Anak muda... kau lihat
istrimu, bukan? Hahaha... sebentar lagi akan men-
jadi hidangan makan malamku yang sangat men-
gasyikkan! Kulihat tubuhnya sangat montok den
gan dada yang aduhai!"
"Anjing buduk! Jangan kau ganggu istriku?"
bentak Pranata sambil melontarkan pukulan sinar
merahnya pada ular terakhir yang menyerangnya,
yang kemudian menjadi ranting. Dia bermaksud
hendak menyerang Laksamurka dengan pukulan
sinar merahnya, tetapi urung karena istrinya be-
rada dalam kekuasaan manusia srigala itu. Prana-
ta hanya bisa menggeram marah. Lebih marah lagi
ketika Laksamurka menjawil dagu istrinya. "Le-
paskan istriku, Srigala busuk!"
"Hahaha... mana aku mau melepaskan hidan-
gan makan malamku ini?!"
"Lepaskan! Bertarung denganku sampai mati
kalau kau berani!"
"Hahaha... Anak muda, carilah istrimu ini bila
kau memang ingin mendapatkannya!" seru Lak-
samurka sambil menggendong Ambarwati. Lalu
tubuhnya melompat menerobos kepekatan malam.
Hanya suaranya saja yang terdengar menggema
membelah malam.
"Tungguuu! Jangan kau ganggu istriku!" seru
Pranata Kumala sambil mengejar. Ke mana pun
akan dicarinya istrinya. Dan dia bertekad akan
mengadu nyawa dengan Laksamurka bila istrinya
diganggu, dan demi istrinya, Ambarwati!
***
EMPAT
Sementara itu, Sepasang Walet Putih baru saja
turun dari kuda-kuda mereka. Melihat malam
yang semakin larut, keduanya bermaksud untuk
bermalam saja.
"Agaknya tempat ini cukup aman, Rayi," kata
Gaok setelah mengikat kudanya.
"Ya, Kakang. Aku pun sudah terlalu lelah."
"Kau tidurlah... biar aku yang menjaga...."
"Tapi kondisimu, Kakang...."
"Tidak apa-apa."
"Bangunkanlah aku bila kau benar-benar men-
gantuk...." kata Sri Kemuning sambil hendak men-
gikat kudanya pula. Tiba-tiba saja dia menangkap
ada desir angin yang datang kepadanya. Dengan
sigap dia bersalto ke belakang.
"Cep! Cep! Cep!"
Tiga buah senjata rahasia menancap di ku-
danya yang langsung meringkik dan kemudian ter-
jengkang mampus.
Gaok menjadi siaga.
"Bangsat busuk! Siapa yang berani menyerang
istriku secara pengecut seperti ini, hah?! Cepat ke-
luar dari persembunyianmu, sebelum kuobrak-
abrik hutan ini?!"
Mendadak melenting sesosok tubuh dengan
manis dan hinggap di bumi dengan anggunnya.
Dewi Murni mengikik di hadapan keduanya.
"Hihihi... rupanya Sepasang Walet Putih yang
berkeliaran malam-malam begini..."
"Wanita iblis! Akhirnya kau nongol juga ru-
panya!" bentak Gaok marah.
"Kalian sengaja mencariku, ya? Hmm... rupanya
kalian belum kapok menghadapi Sepasang Manu-
sia Srigala."
"Kami akan mencabut nyawa iblismu. Di mana
kawanmu itu, Iblis Betina?"
"Hihihi... rasa-rasanya dia tengah menikmati
ranumnya tubuh Ambarwati sekarang. Dan telah
mengganyang habis menjadi mayat Pranata Kuma-
la...."
Sadarlah kedua tokoh dari golongan putih itu
akan bahaya yang sedang menimpa Pranata Ku-
mala dan istrinya. Mereka dapat menduga kalau
Pranata Kumala dan istrinya akan menjadi sasa-
ran empuk salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala. Tetapi tentu saja mereka tidak menam-
pakkan kekuatiran itu.
"Hmm.. Dewi Murni, kawanmu yang bernama
Laksamurka yang kukira sudah menemui ajalnya
di tangan murid tunggal Ki Ageng Jayasih!" seru
Gaok yang sengaja membawa nama majikan Gu-
nung Muria itu.
"Hihihi... kalian rupanya sedang bermimpi di
siang bolong! Kalian berdua yang dikukuhkan se-
bagai majikan Gunung Slamet harus kocar-kacir
menghadapi kami! Apalagi anak yang masih kema-
rin sore untuk unjuk gigi di rimba persilatan bisa
mengalahkan salah seorang dari Sepasang Manu-
sia Srigala! Kalian memang tengah bermimpi!"
"Omongan manusia ini memang kenyataan," de-
sis Gaok. Rasanya terlalu berat buat Pranata Ku
mala dan istrinya untuk menang dari Sepasang
Manusia Srigala.
Sri Kemuning rupanya sudah bosan untuk ber-
basa-basi segala, dia langsung menyerang dengan
jurus Sambaran Walet Ke Sarang Musuh.
"Hihihi... rupanya istrimu pemarah sekali!" kikik
Dewi Murni sambil menghindar ke kiri dan mem-
balas dengan sebuah cakaran ke arah buah dada
Sri Kemuning yang langsung menarik pulang tan-
gan kanannya dan menangkis serangan itu.
"Des!"
Keduanya terpental ke belakang karena masing-
masing tangan sudah dialiri tenaga dalam yang
lumayan. Begitu hinggap di tanah, Sri Kemuning
kembali melancarkan serangannya. Kali ini Dewi
Murni langsung memapaki dengan kecepatan yang
sama.
Kembali kedua benturan terjadi.
"Des! Des!"
Kali ini Sri Kemuning yang terhuyung ke bela-
kang sementara Dewi Murni telah berdiri gagah
sambil terkikik-kikik. Melihat hal itu, Gaok pun
langsung menyerang.
"Kenapa tidak sejak tadi kau bantu istrimu,
hah?!" seru Dewi Murni sambil menghindar dan
menyerang. "Ayo kalian keroyok aku! Biar tidak
memakan waktu lama untuk menghabisi kalian!"
Diejek seperti itu membuat Sri Kemuning men-
jadi marah teramat sangat. Dia langsung mener-
junkan diri. Menurutnya, bila mereka menyerang
berdua, manusia ini akan lebih mudah dilumpuh-
kan.
"Bagus!" seru Dewi Murni sambil menghindari
serangan Sri Kemuning. "Tapi sayang, agaknya
dua orang majikan Gunung Slamet harus mene-
mui ajal di malam yang buta ini!"
Setelah berkata begitu dia menyerang dengan
membabi buta. Cakar-cakar srigalanya siap men-
cabut nyawa masing-masing. Dia pun sudah
menggunakan jurus Srigala Menangkap Mangsa
yang juga dimiliki oleh Laksamurka. Jurus Srigala
Menangkap Mangsa memang diciptakan oleh me-
reka yang lebih dahsyat bila dimainkan oleh seo-
rang wanita. Dan jurus yang berada di tangan De-
wi Murni ini kini kian merajalela dengan hebat.
Sepasang Walet Putih pun sudah menggunakan
jurus berkelit mereka, Walet Terbang Ke Langit.
Dan sekali-sekali masih mencoba untuk membalas
menyerang.
Namun gempuran-gempuran Dewi Murni begitu
dahsyat, sementara kemudian terdengar seruan
Sri Kemuning mengaduh. Tangannya tersayat
hingga mengeluarkan darah. Hal ini semakin
membuat geram Gaok. Dia menyerang sambil
mengeluarkan jeritan yang keras.
Karena diliputi dendam dan amarah, serangan
Gaok menjadi membabi-buta. Dia tidak bisa lagi
mengontrol serangan-serangannya. Apalagi ketika
mengetahui istrinya merintih-rintih kesakitan.
Gaok pun melihat kalau tangan istrinya berubah
menjadi memerah. Itu bertanda serangan Dewi
Murni mengandung racun yang luar biasa.
"Hihihi... sebentar lagi ajal akan menjemput is-
trimu, Walet jelek!" kata Dewi Murni sambil balas
menyerang. Dan baginya kini hal yang mudah. Ka-
rena serangan Gaok di luar kontrol.
Tiba-tiba Dewi Murni menjerit dan melompat
menerkam. Sambaran tangan kanannya yang ber-
bentuk cakar menjambret dada Gaok dan mengi-
barkan sebagian pakaiannya yang terkoyak.
"Kali ini pakaianmu, Walet jelek! Sebentar lagi
dadamu yang akan kurobek!"
Kemarahan Gaok semakin memuncak. Seran-
gannya semakin membabi-buta. Dan ini memu-
dahkan Dewi Murni untuk segera menghabisinya.
Setelah lima jurus kembali berlalu, Dewi Murni
semakin mudah menghabisi langkah lawannya.
"Des! Des!"
Dua pukulannya secara beruntun mengenai sa-
sarannya. Gaok terhuyung. Selagi dia terhuyung,
Dewi Murni meneruskan serangannya. Ajal kini te-
lah berada di depan mata Gaok.
Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, Dewi Murni
melompat ke kiri ketika dirasakannya desiran an-
gin mengarah padanya.
"Bangsat busuk! Siapa gerangan yang pengecut
seperti ini?!" geram Dewi Murni setelah hinggap di
bumi.
Dari kegelapan malam, muncul sosok tubuh ga-
gah perkasa. Sosok itu mengenakan pakaian kebe-
saran berwarna putih. Sikapnya arif dan bijaksa-
na.
"Yang Mulia, Madewa Gumilang!" seru Gaok
yang segera mengenali siapa yang telah menolong-
nya.
Sri Kemuning pun berseru yang sama.
Dewi Murni terbelalak. Rupanya manusia inilah
yang bernama Madewa Gumilang. Yang keperka-
saannya menembus langit ketujuh dan ke dasar
bumi.
Tetapi Dewi Murni tidak keder dengan nama be-
sar itu. Dia berkata dengan sombong, "Rupanya
nama Madewa Gumilang hanya kosong belaka!
Ternyata hanya seorang manusia pengecut!"
Terdengar suara yang berwibawa dan bijaksana,
"Dewi Murni... maafkan kelancanganku yang ikut
campur dalam pertarungan ini. Sejak tadi aku su-
dah berada di sini melihat jalannya pertarungan
ini. Hanya sayang, kuping kau rupanya tidak ber-
fungsi untuk mengetahui kedatanganku...."
Diam-diam Dewi Murni tercekat mendengarnya.
Sungguh demi langit dan bumi, sedikit pun dia ti-
dak mendengar datangnya Madewa Gumilang. Itu
menandakan Madewa memiliki ilmu meringankan
tubuh dalam tingkat maha sempurna. Diam-diam
Dewi Murni mengukur tenaga dalam Pendekar
Bayangan Sukma.
Dia mengirimkannya melalui suaranya, "Sejak
tadi sudah kuketahui kedatanganmu, Madewa.
Nah, kini bersiaplah untuk segera mampus di tan-
ganku...."
Madewa cuma tersenyum. Sedikit pun tidak
nampak dia terganggu oleh tenaga dalam yang di-
kirimkan Dewi Murni secara diam-diam. Dia ber-
kata, "Mati di tangan Tuhan, Dewi Murni. Bila Tu-
han menghendaki aku mati sekarang, maka mati-
lah. Tetapi agaknya Tuhan pun memberi jalan ke-
pada umatNya agar dia berusaha. Karena kau
mesti ingat, Tuhan yang menentukan, manusia
hanya bisa berusaha."
Mendadak tubuh Dewi Murni bergetar. Keringat
dingin pun keluar dengan deras. Dia merasakan
sekujur tubuhnya menggigil. "Setan! Rupanya te-
naga dalam Pendekar Bayangan Sukma pun sudah
dalam tingkat yang maha sempurna," desahnya
dalam hati. Dan pelan-pelan dia mengalirkan hawa
murninya ke sekujur tubuhnya. Namun rasa din-
gin itu seolah tidak mau lepas, seolah telah mengi-
katnya erat-erat.
Dewi Murni menjerit hebat untuk mengusir ha-
wa dingin itu. Namun lagi-lagi rasa dingin itu terus
mengikatnya. Rupanya Madewa sudah mengirim-
kan tenaga dalam Salju Abadi.
"Maafkan aku, Dewi Murni... malam memang
sangat dingin sekali...."
Sementara Gaok dan istrinya semakin bertam-
bah kagum pada Madewa Gumilang. Pendekar
perkasa itu tetap bertingkah arif menghadapi la-
wannya.
"Madewa!" Sepasang mata itu melotot marah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu! Hmm... se-
rahkan Seruling Naga padaku! Cepat?!"
"Itu milikku, Dewi Murni...."
"Hhh! Biarpun itu milikmu, tetapi di dalam rim-
ba persilatan siapa yang terkuat, dialah yang ber-
hak memilikinya dan menguasai rimba persilatan
ini! Dan aku akan merebut seruling pusaka itu da-
ri tanganmu, Madewa Gumilang!"
"Hmm... bagaimana bila tidak kuberikan?!" kata
Madewa yang kini mengerti duduk persoalannya.
Munculnya Sepasang Manusia Srigala untuk me-
rebut Seruling Naga dari tangannya. Tetapi ba-
ginya berhadapan dengan manusia semacam Se-
pasang Manusia Srigala ini, bukanlah hal yang
menggelisahkan. Namun yang sangat disesalinya,
mengapa masih banyaknya orang-orang serakah
dan kejahatan di muka bumi ini. Teror yang dilan-
carkan Sepasang Manusia Srigala bukanlah hal
yang kecil, karena telah puluhan nyawa manusia
mampus di tangannya. Madewa bahkan yakin,
sampai kiamat pun kejahatan tak akan pernah
punah selama iblis masih diberikan hidup yang
panjang.
"Nyawamu sebagai gantinya, Madewa!"
"Dewi Murni, dengarlah sebentar... mengapa
kau masih membuat teror seperti ini? Bukankah
bila kita hidup berdampingan, semuanya akan
menjadi aman, tenang dan damai?"
"Karena kita berbeda golongan, Madewa. Kau
dari golongan putih, sedangkan aku dari golongan
hitam!"
"Tidak bisakah antara golongan putih dan go-
longan hitam bersatu?"
"Mustahil rasanya kejahatan dan kebaikan ber-
satu! Keduanya akan terus berperang selamanya,
sampai kapanpun! Sampai dunia kiamat!"
"Tapi...."
"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" po-
tong Dewi Murni. "Cepat kau berikan Seruling Na-
ga itu padaku!"
"Maaf, Dewi Murni... Seruling Naga itu tidak be-
rada padaku saat ini...."
"Bangsat! Rupanya kau pandai membual pula,
Madewa! Baik, bersiaplah, aku akan memeriksa
seluruh tubuhmu dan merebut Seruling Naga itu
dari tanganmu!" Selesai berkata begitu, Dewi Mur-
ni langsung menyerang dengan jurus Srigala Me-
nangkap Mangsa. Buas dan kejam. Serangannya
cepat, beruntun dan berbahaya. Tetapi Madewa
dengan mudah menghindarinya, dengan jurus Ular
Meloloskan Diri. Hal itu membuat Dewi Murni se-
makin geram. Dia mempergencar serangannya.
Sampai sepuluh jurus berlangsung, sekalipun De-
wi Murni belum bisa menyarangkan pukulannya
pada Madewa. Sementara Madewa sendiri belum
sekalipun pula membalas. Madewa hanya berkein-
ginan, agar Dewi Murni menyadari bahwa dia be-
rada di jalan yang keliru. Tetapi membuat wanita
itu insyaf, hanya sia-sia belaka.
Menyadari serangannya tak membawa hasil se-
dikit pun, Dewi Murni menjadi marah karena me-
rasa diremehkan pula, sebab Madewa tidak mem-
balas. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan berdi-
ri sigap. Sepasang matanya menyala. Bersinar
memerah. Tiba-tiba dia berseru, "Madewa, lihat di
sebelah kirimu! Ular berbisa!"
Madewa melihat puluhan ular berbisa bergerak
mendekatinya dan siap membunuhnya. Tetapi dia
tetap berdiri tegak di tempatnya, malah dia berka-
ta, "Sadarlah, Dewi Murni... kau sangat sesat seka-
li!"
Dewi Murni terbahak. Lebih terbahak lagi ketika
melihat ular-ular itu sudah melilit di tubuh Made-
wa dan mematuknya berkali-kali. Tetapi pendekar
itu tetap saja tenang di tempatnya. Sementara Se-
pasang Walet Putih yang melihat sekujur tubuh
Madewa dililit dan dipatuki ular-ular, hanya bisa
menahan nafas. Tegang.
Tetapi sungguh luar biasa, ular-ular yang melilit
di tubuh Madewa dan mematukinya, satu persatu
turun. Dan begitu menyentuh tanah, berubah
kembali ke asalnya, menjadi ranting-ranting pohon
kembali.
Dewi Murni terkejut melihatnya. Sangkanya
pendekar sakti itu akan mampus. Ilmu sihirnya
ternyata tidak ampuh bagi Madewa. Tetapi dia be-
lum jera. Dia berseru lagi, kali ini lebih lantang,
"Lihat pohon di depanmu, Madewa!"
Pohon jati yang berada di depan Madewa men-
dadak bergerak, dan berubah menjadi raksasa
yang mengerikan. Tetapi Madewa hanya terdiam
saja. Dia cuma mengibaskan tangannya. Raksasa
yang menyeramkan itu kembali ke asalnya.
Merasa ilmu sihirnya tidak berguna, Dewi Murni
menerjang kembali. Kali ini disertai pekikan yang
hebat. Dan kali ini Madewa tidak hanya menghin-
dar, tetapi juga balas menyerang dengan jurus
Ular Mematuk Katak.
Serangannya pun cepat dan hebat.
"Des!" sebuah patukan mengenai sasarannya,
membuat Dewi Murni menjerit kesakitan dan me-
rasakan sekujur tubuhnya ngilu. Tetapi tiba-tiba
dia menggeram luar biasa dan menyerang dengan
tenaga kuat dan penuh. Madewa pun segera me-
nyambutnya dengan jurus Tembok Menghalau Ba-
dai.
Kembali terjadi benturan yang keras. Suasana
di tempat itu menjadi ramai. Ketika keduanya ber-
benturan ada sepercik sinar yang cukup menyi-
laukan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dewi
Murni terhuyung dan muntah darah. Sedangkan
Madewa Gumilang tetap berdiri dengan jubah pu-
tih yang berkibar terkena angin malam!
"Bangsaaat kau, Madewa!" geram Dewi Murni di
antara kesakitan. Lalu dia muntah darah lagi.
"Tunggu pembalasanku!"
"Lebih baik kau ajak kembali pulang kawanmu
yang bernama Laksamurka ke Bukit Hantu. Dan
katakan padanya untuk mengurungkan niatnya
merebut Seruling Naga!"
"Dendam darah dibalas darah. Dendam nyawa
dibalas nyawa. Dendam orang-orang Bukit Hantu
akan abadi!"
"Kau telah diliputi dendam yang amat sangat,
Dewi Murni. Lupakanlah semua itu...."
"Tak akan pernah kulupakan, Madewa! Kare-
na... awas serangan!" tiba-tiba saja Dewi Murni
melompat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah
menjadi seekor srigala yang buas.
Madewa melompat ke kiri. Namun sungguh luar
biasa, saat lompatan srigala itu tak mengenai sa-
saran, mendadak saja hewan jelmaan Dewi Murni
berbalik bersalto memburu Madewa kembali.
"Ilmu sihir!" geram Madewa sambil menyambut
dengan pukulan yang keras.
Agaknya Dewi Murni lebih lincah ketika dia be-
rubah menjadi srigala. Serangan Madewa itu dapat
dihindarinya, malah hewan itu menerjang dengan
buas. Sepasang matanya memancarkan sinar yang
mengerikan diiringi air liur yang busuk.
"Hmm... Dewi Murni, kembalilah ke asalmu!"
Tiba-tiba saja, hewan yang tengah menerjang
itu mendadak terjatuh. Dan saat tergeletak di bu-
mi berubah kembali menjadi Dewi Murni. Yang
menyeringai antara geram dan kesakitan.
"Ternyata tak sia-sia kau bergelar Pendekar
Bayangan Sukma, Madewa! Tapi ingat, aku akan
kembali lagi untuk mengadu jiwa denganmu!"
"Lupakanlah persoalan di antara kita ini, Dewi
Murni. Sudah kukatakan tadi, kembalilah kau dan
temanmu ke Bukit Hantu. Janganlah membuat
onar di muka bumi ini!"
"Tapi dendam ini telah membakar sekujur tu-
buhku!" Selesai berkata begitu, tubuh itu melesat
meninggalkan Madewa dan Sepasang Walet Putih
yang tengah berdiri.
Keduanya mendekati Madewa.
"Terima kasih atas pertolongan Madewa yang
agung."
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya pertentanganku dengan Sepasang
Manusia Srigala tidak bisa dihindarkan lagi," sa-
hut Madewa. "Ini bertanda, masih banyaknya ke-
jahatan yang akan terus merajalela di muka bumi
ini."
"Demi keadilan dan kebahagiaan umat manu-
sia, kami, Sepasang Walet Putih akan terus mem-
bantu, Yang Mulia," kata Gaok yang menjura dan
diikuti istrinya.
Tetapi Madewa tidak suka karena Sepasang Wa
let Putih itu nampak seperti bawahan yang sedang
menghormati rajanya.
"Gaok dan Sri Kemuning... tingkah apa yang ka-
lian perlihatkan di depanku sekarang ini? Tak se-
patutnya kalian begitu menghormat padaku. Tapi
sudahlah, di mana Pranata Kumala dan istrinya
berada?"
Mendengar pertanyaan Madewa Gumilang,
Gaok dan istrinya seperti diingatkan kembali akan
Pranata Kumala dan istrinya yang dihadang oleh
Laksamurka. Gaok menduga demikian, karena ta-
di saja dia dan istrinya dihadang oleh Dewi Murni.
Sudah tentu kedua Manusia Srigala itu mengha-
dang mereka sendiri-sendiri. Dan itu berarti keda-
tangan mereka sudah diciumnya.
Gaok menyadari akan kehebatan Sepasang Ma-
nusia Srigala. Menghadapi yang betinanya saja dia
dan istrinya sudah kewalahan, bahkan maut ham-
pir saja menyambar mereka. Apalagi Pranata Ku-
mala dan istrinya menghadapi Laksamurka? Biar-
pun begitu, Gaok tak mau berpikir yang tidak-
tidak.
Tetapi dia pun menyadari akan keselamatan
Pranata Kumala dan istrinya, Gaok pun berkata,
"Kupikir... mereka sudah ditawan oleh Laksamur-
ka, Madewa yang agung."
Kening Madewa berkerut. "Apa maksudmu,
Gaok?"
Gaok pun menceritakan apa yang diberitahu
Dewi Murni tadi dan kemungkinan Pranata Kuma-
la dan istrinya bertempur melawan Laksamurka.
Tetapi sebagai tokoh yang sudah banyak makan
asam garam dan pahit manisnya kehidupan, Ma-
dewa hanya menanggapi dengan senyum.
"Baiklah kalau begitu. Aku harus mencari anak
dan menantuku. Sepasang Walet Putih, agaknya
untuk sementara kita harus berpisah di sini...."
Belum lagi Gaok dan Sri Kemuning berkata,
bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan.
Secepat angin dan bagai ditelan bumi.
"Tak percuma Madewa dikagumi oleh banyak
jago-jago rimba persilatan," desisnya kagum.
"Dia adalah manusia dewa, Kakang," sambung
istrinya.
"Benar, Rayi Sri Kemuning... kekagumanku pa-
danya semakin bertambah saja dan... awas, Rayi!"
Sebuah sambaran bertenaga besar mengarah
pada mereka. Gaok serentak mendorong tubuh is-
trinya ke samping hingga bergulingan, sedangkan
dia sendiri bersalto ke samping kanan.
Dan... "Duarrr!"
Batang pohon yang berada di belakang mereka
hancur terbakar oleh sambaran besar tadi. Wajah
kedua Walet Putih itu pias. Tahu-tahu di hadapan
mereka berdiri kembali Dewi Murni sambil mende-
kap dadanya yang terluka. Wajahnya geram dan
penuh dendam. Memancarkan sinar membunuh.
"Sepasang Walet Putih, kini terimalah ajal ka-
lian!" serunya seraya menyerang kembali, kali ini
ke arah Sri Kemuning yang langsung menghindar
melompat dan mengirimkan serangan balasan.
"Des! Duk! Duk!"
Beberapa kali terjadi benturan antara kedua-
nya. Rupanya Dewi Murni hanya bersembunyi,
menunggu Madewa Gumilang pergi dari tempat
itu. Dia tidak puas bila belum membunuh salah
seorang dari mereka, sebagai bayaran dan da-
danya yang terluka karena serangan Madewa Gu-
milang.
Dan kini dia pun bertekad untuk mengadu
nyawa. Dia tak perduli dengan lukanya yang nam-
pak cukup parah. Yang penting baginya adalah
membalas! Dan membalas!
Melihat istrinya diserang terus menerus, Gaok
pun menerjang membantu membokong Dewi Mur-
ni dari belakang. Tetapi Dewi Murni bukanlah to-
koh golongan hitam yang baru turun gunung. Dia
sudah lama malang melintang bersama Laksa-
murka. Serangan bokongan Gaok hanya dihindari
dengan memiringkan tubuhnya saja, lalu tangan-
nya diayunkan menghantam dada Gaok.
"Des!"
Gaok terhuyung ke belakang. Dewi Murni tak
mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Meski-
pun dia tengah luka parah, serangan-serangannya
masih cukup berbahaya.
Dia menerjang memburu Gaok dengan puku-
lannya yang ampuh.
"Awas serangan!"
"Kakaaaangg!" jerit Sri Kemuning yang tidak
melihat kemungkinan bagi suaminya untuk meng-
hindari serangan itu. Dia pun nekat menerjang
dan menghalangi serangan Dewi Murni.
Tanpa ampun lagi pukulan sakti Dewi Murni
menyerang tepat di dadanya.
"Des! Akhhhh...!"
Seruan keras Sri Kemuning terdengar. Tubuh-
nya meluncur deras ke belakang. Dan ambruk
dengan tubuh membiru, tanpa sempat bernapas
sekali lagi. Nyawanya pun meregang dan melayang
meninggalkan jasadnya.
"Sri Kemuning!" jerit Gaok seraya memburu. Dia
mencoba menyadarkan istrinya, tetapi istrinya te-
lah mati. Mendadak dia menoleh. Pandangannya
berbahaya dan memancarkan sinar dendam.
"Kau harus membayar semua ini dengan nyawa
busukmu, Srigala buas!" geramnya sengit.
Sementara Dewi Murni hanya tertawa, meski-
pun dia sedang menahan luka di dadanya.
"Nyawamu akan segera menyusul istrimu,
Gaok!"
"Bangsat hina! Awas serangan!" jerit Gaok se-
raya meluncur menyerang. Kali ini dia mengguna-
kan seluruh kepandaiannya untuk membunuh
Dewi Murni.
Tetapi Dewi Murni menghindari semua itu den-
gan mudah saja. Dia merasa tidak begitu berat
menghadapi Gaok seorang. Serangan-serangannya
kian dahsyat.
Pertempuran kali ini menimbulkan suara bising
yang amat sangat. Debu-debu beterbangan, dan
daun-daun berguguran saat dua tenaga sakti ber-
benturan.
Lewat sepuluh jurus keduanya masih berim-
bang. Namun tiba-tiba Dewi Murni berseru sambil
bersalto ke belakang menghindari serangan Gaok,
"Lihat ada lima ekor ular di sekelilingmu!"
Mendadak Gaok menghentikan serangannya
dan lima ekor ular berbisa mendesis di dekatnya.
"Bangsat! Bisamu hanya menggunakan ilmu si-
hir saja! Ayo lawan aku!" serunya sambil menghin-
dari patukan-patukan ular-ular berbisa itu. Dia
nampak lebih kocar-kacir. Karena dengan susah
payah dia harus menghindari serangan ular-ular
itu, yang kian ganas dan sangat gencar.
"Hahaha... lucu sekali! Ada badut di sini!" terke-
keh Dewi Murni sambil memegangi dadanya yang
terasa amat sakit. Dia mengeluarkan ilmu sihirnya
dengan maksud agar dia dapat beristirahat mena-
han rasa sakitnya.
"Srigala busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu dan
kita bertarung!" seru Gaok sambil susah payah
menghindari ular-ular berbisa itu.
"Hahaha... baiklah, kalau itu maumu!" seru De-
wi Murni sambil menerjang di saat Gaok tengah
bersusah payah menghindari serangan ular-ular
itu.
Dan sebuah pukulan menggedor dada Gaok
hingga terhuyung dan muntah darah. Di saat dia
sedang kesakitan, ular-ular itu menerjangnya.
Tanpa ampun patukan ular berbisa itu secara ber-
tubi-tubi menghantamnya.
"Akhhh!" jeritnya kesakitan dan ambruk dengan
tubuh yang kering membiru.
Dewi Murni tertawa. Menarik kembali ilmu si-
hirnya. Lalu dia meludah. "Cih! Kau susul sana is-
trimu!" serunya seraya melesat meninggalkan tem-
pat itu.
Meninggalkan Sepasang Walet Putih yang sudah
menjadi mayat dengan tubuh membiru.
****
ENAM
Sementara itu Pranata Kumala sudah berhenti
mengejar. Bayangan Laksamurka yang berlari
sambil menggendong Ambarwati tiba-tiba lenyap.
Matahari di ufuk Timur sudah menampakkan
biasnya dan sebentar lagi pagi menjelang. Pranata
menggeram marah bila mengingat istrinya yang di-
larikan Laksamurka.
"Bila terjadi apa-apa dengan istriku, demi langit
dan bumi, aku bersumpah, akan menghirup darah
Laksamurka!" serunya sambil menengadah ke lan-
git.
Dan tiba-tiba saja kilat menyambar dan bumi
yang dipijaknya bergoyang bertanda sumpahnya
telah didengar oleh penguasa langit dan bumi. La-
lu Pranata Kumala melangkah lagi.
Dia tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir
jernih. Tubuhnya yang penat dan berkeringat di-
basahinya dengan air itu. Lalu dia membuka ba-
junya dan berniat hendak mandi.
Mendadak saja telinganya mendengar suara
seorang gadis sedang bernyanyi dari dalam sungai.
Siapakah gerangan? Hati-hati Pranata Kumala
mengenakan pakaiannya kembali dan mengintip
dari balik semak. Di dalam sungai, sesosok tubuh
kuning langsat tengah asyik berendam sambil ber-
sabun.
Serentak Pranata menutup kembali semak itu.
Tubuh yang dilihatnya tadi dalam keadaan telan-
jang bulat. Pranata memejamkan matanya. Dia
bermaksud hendak meninggalkan tempat itu. Dan
tanpa sengaja kakinya menginjak ranting kering
yang membuat gadis yang sedang mandi itu lang-
sung menoleh dan berenang ke tepian.
"Siapa di situ?"
Pranata terdiam.
"Siapa di situ? Apa yang sedang kau perbuat?"
seru gadis itu lagi dan pelan-pelan keluar dari
sungai dan mengenakan kainnya yang hanya me-
nutup bagian dada dan sebatas lutut. Hati-hati
dan takut-takut gadis itu mengambil bakul yang
berisikan pakaian yang baru saja selesai dicu-
cinya.
Dia terkejut melihat sosok Pranata Kumala yang
masih terpaku di tempatnya.
"Oh... kau... kau mengintip, ya?! Oh, jahat! Ja-
hat!" jerit gadis itu antara malu dan marah.
Pranata menoleh, dia melihat betapa cantiknya
wajah gadis itu. Sepasang matanya bersinar me-
rah. Dan alis yang hitam dan lebat. Hidungnya
bangir dengan dihiasi sepasang bibir mungil yang
merah memikat. Dan kini wajah cantik itu pias ka-
rena malu diintip orang sedang mandi.
"Maaf... saya tidak sengaja mengintip...."
"Bohong, bohong! Pemuda ceriwis! Pemuda ca-
bul! Kerjamu hanya mengintip orang mandi saja!"
seru gadis itu sewot.
Pranata menjadi gelagapan.
"Sungguh, Nona... saya tidak sengaja. Semula
saya berniat hendak mandi, tetapi urung setelah
mendengar suara orang bernyanyi. Dan tanpa sa-
dar saya mencoba mencari siapa yang bernyanyi
itu. Kiranya Nona yang... ah, maafkan saya, No-
na...." kata Pranata sambil menundukkan kepa-
lanya.
Tetapi gadis itu masih sewot karena malu yang
tidak terhingga, sebab tubuhnya yang paling dira-
hasiakan telah dilihat orang. Dan orang ini pun
berada di hadapannya. Namun lama kelamaan dia
bisa memaklumi, setelah merasa bahwa pemuda
ini jujur berkata.
Tetapi tak urung juga wajahnya masih meme-
rah.
"Kau...."
"Maafkan saya, Nona...." kata Pranata Kumala
tetap menunduk. Perasaannya menjadi tidak enak.
Dan dia menyesali kecerobohan dan kelancangan-
nya.
"Kau telah melihat tubuhku!"
"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."
Tiba-tiba Pranata mendengar isak di hadapan-
nya. Hati-hati diangkatnya kepalanya. Dan dia me-
lihat gadis itu yang terisak.
"Nona...."
"Pemuda ceriwis! Kau telah melihat tubuhku...
huhuhu!" gadis itu kini terisak. Malunya tak ter-
hingga karena tubuhnya ada yang melihat. Malu
sekali!
"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."
"Bohong! Kamu memang pemuda cabul!" gadis
itu makin terisak.
Pranata menjadi serba salah. Hati-hati dan ragu
dia melangkah mendekati gadis itu. "Maafkan
saya...."
Tiba-tiba saja gadis itu berbalik sambil terisak.
Bersamaan gadis itu berlari, muncul seorang pe-
muda yang bertelanjang dada. Dia memegang pa-
cul. Sikapnya nampak tidak bersahabat. Dia masih
sempat melihat gadis tadi berlari.
"Arum!" serunya.
Gadis itu berhenti melangkah dan berbalik.
"Kang Bayu...."
Pemuda yang bernama Bayu itu menghampiri
gadis yang bernama Arum.
"Ada apa, adikku?"
Arum menubruk pemuda itu dan memeluknya.
Lalu menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu.
"Kang Bayu...."
"Ada apa, Arum? Mengapa kau menangis? Apa
yang diperbuat pemuda itu padamu?"
Arum masih terisak. Mendadak dia jadi malu
untuk mengadu kepada Bayu yang ternyata ka-
kaknya. Apa kata kakaknya nanti bila tubuh adik-
nya dilihat orang lain?
"Ti... tidak ada apa-apa, Kakang...."
"Katakanlah, Arum. Kenapa kau menangis?"
"Arum...."
"Saya telah berbuat lancang, Saudara," terden-
gar suara Pranata. "Nama saya Pranata Kumala
dari Laut Selatan."
"Hmmm... apa yang kau maksud dengan ber-
buat lancang?" suara Bayu terdengar tidak enak.
"Saya...."
"Oh, tidak ada apa-apa, Kakang. Tidak ada apa
apa," sela Arum dengan wajah yang semakin me-
merah.
Bayu melirik adiknya tidak percaya. Yang mem-
buatnya heran, mengapa adiknya seperti menutupi
sesuatu sedangkan pemuda yang mengaku ber-
nama Pranata Kumala itu seperti hendak menga-
takan sesuatu.
Untuk meyakinkan, maka dipandangnya Prana-
ta Kumala.
"Hmmm... ki sanak, melihat dari cara kau ber-
pakaian, rupanya kau bukan orang sembarangan.
Nah, katakanlah apa yang telah terjadi antara kau
dan adikku?"
Pranata melirik Arum yang kini menunduk. Dia
mendesah. Haruskah dia mengatakannya, semen-
tara gadis itu menjadi malu? Setelah mempertim-
bangkan Pranata mengambil keputusan untuk ti-
dak mengatakan apa yang telah terjadi.
"Memang tidak terjadi apa-apa di antara kami,
Saudara Bayu."
"Hmmm... dari tadi kau nampaknya hendak
mengatakan sesuatu, Ki sanak. Dan kau telah
berkata kau berbuat lancang. Nah, katakanlah...!"
Pranata menjadi semakin ragu, apalagi ketika
sepasang mata yang kini bersinar lembut dan ma-
lu-malu mengharapkan dia tidak mengatakan yang
sesungguhnya. Pranata menghela napas.
"Saya memang telah berbuat lancang, Saudara
Bayu. Saya... yah... saya lancang berani menguta-
rakan cinta pada adik saudara."
Kali ini Bayu tersenyum.
Arum terbelalak kaget lalu menunduk tersipu.
Sedangkan Pranata sendiri heran mengapa dia
mengatakan hal itu? Dia kuatir bila gadis itu salah
tanggap. Pranata tahu, bagi seorang gadis bila dili-
hat tubuhnya oleh orang lain lebih baik bunuh diri
kalau tidak laki-laki yang melihatnya itu harus
mengawininya. Ah, apakah akan ada masalah lagi?
Bayu masih tersenyum. Melirik gadisnya yang
tersipu.
"Adikku ini memang pemalu, Pranata," katanya
yang kini langsung memanggil nama Pranata.
"Hmmm... tapi aku yakin, kau akan bisa menak-
lukkan hatinya."
"Wah, agaknya akan ada persoalan lagi ini?" de-
sah Pranata dalam hati.
Tetapi dia tersenyum. Didengarnya lagi Bayu
berkata pada adiknya, "Mengapa kau harus ma-
rah, Arum? Bila kau tidak menyukainya kau kan
bisa berkata dengan baik-baik. Tidak perlu ma-
rah."
Arum semakin menunduk. Wajahnya kembali
bersemu merah. Dan tiba-tiba saja dia berbalik
meninggalkan mereka dengan wajah tersipu-sipu.
Bayu tertawa. "Maafkan adikku, Pranata.
Hmmm... melihat cara kau berpakaian, dan wa-
jahmu yang gelisah, mungkin di samping masalah
cinta dengan adikku, tentunya kau punya masalah
lain. Nah, apakah gerangan?"
Pranata ingin berkata bahwa dia tidak mencin-
tai adik Bayu, tetapi malah menjadi tidak. Setelah
mendesah lalu dia berkata, "Aku sedang mencari
seseorang, Bayu. Apakah kau melihatnya?"
"Siapakah dia?"
"Dia bernama Laksamurka. Dia mengenakan
pakaian berbulu srigala. Dengan wajah yang sedi-
kit seram dan kalung yang berupa taring srigala.
Dia pun tengah melarikan seorang gadis," kata
Pranata. Lalu melanjutkan dalam hati, "Gadis itu
istriku!"
Bayu terdiam. Lalu menggelengkan kepala. "Aku
belum melihatnya. Ada masalah apakah geran-
gan?"
"Dia telah berbuat onar di desa Bojongpanjang.
Dia bergelar Sepasang Manusia Srigala."
"Sepasang Manusia Srigala?!" seru Bayu terke-
jut. "Yah... kalau gelar orang itu saya pernah men-
dengarnya. Dia berpasangan dengan seorang wani-
ta, bukan?"
"Betul!"
"Kami juga sebenarnya kuatir setelah menden-
gar teror yang mereka lancarkan di Bojongpanjang.
Dan kami pun sudah bersiaga bila mereka mem-
buat teror di desa kami ini, Kali Putih."
Pranata merasa dia harus bergegas kembali
mencari istrinya. Lalu dia berkata, "Sebaiknya aku
permisi saja, Bayu. Nampaknya matahari sudah
semakin tinggi."
"Apakah tidak sebaiknya kau singgah dulu di
rumah kami? Barangkali saja ada sesuatu yang
akan kami hidangkan. Nampaknya kau pun lelah
sekali, Pranata. Bukankah kau sebaiknya beristi-
rahat dulu?"
Pranata membenarkan hal itu. Dia memang bu-
tuh istirahat. Tetapi bagaimana dengan nasib is-
trinya?
"Lain kali mungkin aku bisa mampir. Terima
kasih."
"Kalau memang itu kemauanmu, baiklah. Aku
tidak bisa memaksa. Kalau soal Arum, serahkan
saja padaku. Dia pasti mau menerimamu."
Pranata kembali hendak membantah, tetapi di-
urungkannya. Lalu dia pun berpamitan pada
Bayu, lalu menerobos hutan yang cukup lebat dan
matahari yang terus bersinar.
***
Jauh dari desa Kali Putih, ada sebuah gubuk
tua yang tak terpakai. Suasana di tempat itu pun
sunyi dan menyeramkan. Tak jauh dari sana ada
pemakaman yang luas.
Di gubuk buruk itu Laksamurka membawa Am-
barwati dan menawannya. Baginya, ini merupakan
kesempatan yang sangat berharga bisa menawan
Ambarwati dan sekaligus menikmatinya.
"Srigala busuk! Lepaskan aku!" seru Ambarwati
yang dibaringkan di tanah dalam keadaan tertotok.
"Ayo bertarung denganku sampai mampus!"
Laksamurka hanya terkekeh.
"Hehehe... sabar, Manis. Sabar. Kau agaknya
sudah tidak sabar untuk ke sorga, ya?"
"Srigala busuk! Lepaskan aku!"
"Hehehe... aku akan menikmati dulu tubuhmu
yang aduhai montoknya itu."
"Jahanam! Awas kalau kau berani menyentuh
tubuhku!"
"Kau bisa berbuat apa, Manis? Di sini hanya
tinggal kita berdua. Di sini kita bisa membagi ke-
hangatan, bukan?"
"Busuk...!"
"Hehehe... sebentar lagi kau akan menikmati
sorga dunia bersama orang yang kau sebut busuk
ini."
"Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Aku
sudah bersuami, Srigala busuk!"
"Hehehe..."
"Lepaskan! Lepaskan! Hei, kau mau apa?" seru
Ambarwati bergidik ketika Laksamurka mendeka-
tinya dan membelai pipinya. Ambarwati mengge-
leng-gelengkan kepalanya menghindari belaian
Laksamurka.
"Hehehe... pipi halus bak pualam, Manis.
Alangkah nikmatnya!" katanya sambil terkekeh.
"Coba kita lihat bagian dalam tubuhmu. Apakah
seindah dan sehalus pipimu?"
"Jangan! Jangan!" seru Ambarwati yang hanya
bisa berteriak-teriak sedangkan bagian tubuhnya
tak bisa digerakkan karena dalam keadaan terto-
tok. Dia semakin bergidik ngeri ketika tangan Lak-
samurka hendak menggerayangi dadanya.
"Hehehe... dua buah gundukan yang besar dan
indah. Tentu bagus bentuknya, bukan?"
"Kubunuh kau, Laksamurka!"
"Dalam keadaan tak berdaya begini bacotmu
masih besar juga, Manis...." Tangan Laksamurka
tiba-tiba bergerak cepat merobek baju bagian dada
dari Ambarwati.
"Brek!" Terlihatlah dua buah gundukan yang
putih halus di hadapannya. Ambarwati memejam
kan matanya menahan kegeraman yang sangat
luar biasa. Habis, habis sudah. Dia hanya bisa
berdoa pada Tuhan akan pertolonganNya.
Mata Laksamurka langsung nanar melihat buah
dada Ambarwati yang indah. "Benar dugaanku,
Manis. Bentuknya bagus dan indah."
"Biadab! Jangan kau lakukan itu padaku!"
"Hehehe..." Laksamurka tertawa. Tetapi tiba-tiba
dia menoleh. Telinganya menangkap suatu gera-
kan di luar. "Bangsat! Siapa kiranya yang berani
mengganggu ketenangan Laksamurka?"
"Sepasang Manusia Srigala, keluarlah cepat!
Sebelum aku tega untuk membunuhmu!" terden-
gar suara bernada cempreng dari luar.
"Bangsat!" seru Laksamurka sambil melangkah
ke depan. Di hadapannya berdiri seorang nenek
bertubuh bungkuk. Dia mengenakan konde yang
bagus dengan tusukannya yang terbuat dari emas.
Tangan kanannya memegang sebuah tongkat.
"Hmm, siapa gerangan kau kiranya yang berani
mengusik Laksamurka?"
"Hihihi... agaknya namaku tidak punya banyak
arti untukmu, Laksamurka...."
"Katakan cepat, sebelum aku punya niat untuk
membunuhmu!"
Di dalam gubuk Ambarwati menghela napas le-
ga. Agaknya Tuhan mendengar doanya. Dia men-
dengar lagi suara dari luar, "Hihihi... kau begitu
ngotot sekali. Baiklah bila kau ingin mengeta-
huinya.... Namaku Rumbila... hihihhi jelek, bu-
kan?"
Tetapi bagi telinga Laksamurka cukup menge
jutkan pula. Tetapi dengan tenang dia berkata
dengan suara angker, "Ada apa majikan Bukit Ular
yang bergelar Dewi Tongkat Ular keluar dari sa-
rangnya?"
"Hihihi... rupanya kau belum tahu kalau na-
mamu dan Dewi Murni yang bergelar Sepasang
Manusia Srigala sudah terdengar sampai ke Bukit
Ular?"
"Hmm... tak kusangka kalau nama itu menarik
perhatian Majikan Bukit Ular!"
"Sudah tentu... sudah tentu... telingaku menjadi
panas bila mendengar gelar itu. Apalagi teror yang
kau lancarkan. Belum lagi dengan tantangan yang
kau lontarkan pada Pendekar Bayangan Sukma.
Hmm... agaknya kau pun tidak tahu akan kesak-
tian manusia agung itu Madewa Gumilang!"
"Sebentar lagi nama yang kau banggakan itu
akan mampus di tanganku, Dewi Tongkat Ular!"
"Hihihi lucu, lucu... Maafkan aku yang telah
mengganggu keasyikanmu dengan seorang gadis di
dalam. Namun agaknya aku perlu bertanya pula.
Kau apakan gadis itu, hah? Nampaknya dia berada
di bawah kekuasaanmu."
"Jangan ikut campur urusanku!"
"Karena kau tidak menerangkannya aku akan
ikut campur!"
"Hmmm... agaknya majikan Bukit Ular usil ju-
ga. Baik, aku pun ingin tahu sampai di mana ke-
hebatan namamu, Rumbila!"
"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi?!"
Ditantang dan diejek begitu, membuat darah
Laksamurka mendidih. Tiba-tiba saja dia berkata,
"Hmmm... tongkat yang kau pegang itu ular betu-
lan rupanya!"
Tiba-tiba saja tongkat yang dipegang Dewi
Tongkat Ular berubah menjadi ular. Tetapi nenek
itu hanya tertawa saja. "Hihihi... keluarkanlah il-
mu sihirmu, Laksamurka. Dan ciptakan berbagai
macam ular jejadian!"
Sungguh aneh, ular jejadian dari ilmu sihir Lak-
samurka tidak berbuat apa-apa pada Dewi Tong-
kat Ular. Tidak sia-sia dia menjadi Majikan Bukit
Ular.
"Bangsat!" Laksamurka menggeram dan mena-
rik kembali ilmu sihirnya yang membuat tongkat
itu berubah kembali ke asal. "Baik, kita lihat seka-
rang!"
Setelah berkata begitu, Laksamurka langsung
menerjang dengan jurus Srigala Menangkap Mang-
sa. Rumbila cuma tertawa. Dia malah memapaki
serangan itu dengan ayunan tongkatnya. Terden-
gar desir angin yang cukup kuat saat tongkat itu
diayunkan. Laksamurka menarik kembali seran-
gannya dengan jalan bersalto. Namun belum lagi
dia hinggap di bumi, Rumbila sudah menyodokkan
tongkatnya.
"Bangsat!" geram Laksamurka. Dan sungguh
luar biasa, saat tubuhnya tengah melenting itu ti-
ba-tiba melinting kembali.
"Bagus!" seru Dewi Tongkat Ular kagum. Dia
kembali menyerang. Dalam sekejap saja tempat itu
sudah menjadi ajang pertarungan dua tokoh sakti.
Berpuluh jurus sudah berlangsung namun belum
ada tanda-tanda ada yang kalah dan menang. Ke
duanya berimbang.
Laksamurka bersalto ke belakang. "Sekarang
kau tahan seranganku, Rumbila!"
Tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi see-
kor srigala dengan sepasang mata yang menyalang
buas. Rumbila agak terkejut melihatnya. Belum
lagi dia sadar apa yang tengah terjadi, srigala jel-
maan Laksamurka itu sudah menerkam. Reflek
Rumbila mengayunkan tongkatnya. Namun srigala
jelmaan itu masih terus menerjang, membuat
Rumbila terpaksa melompat menghindar.
Dan kini srigala itu siap untuk memangsanya.
Tiba-tiba Rumbila melempar tongkatnya ke arah
srigala jelmaan itu. Mendadak tongkat tadi beru-
bah menjadi seekor ular cobra. Dan langsung hen-
dak mematuk srigala jelmaan itu. Tentunya Lak-
samurka yang tengah menjelma menjadi srigala ti-
dak mau mati konyol. Dia menghindar ke samping
dan menerkam dari belakang.
Terjadilah pertarungan antara srigala dan ular
jelmaan itu. Keduanya bertarung dengan sengit di-
iringi suara lolong dan desisan. Sementara Rumbi-
la duduk bersila, mempertahankan ilmu sihirnya
pada tongkatnya yang kini menjelma menjadi see-
kor ular.
Namun mendadak srigala itu menjelma kembali
menjadi Laksamurka. Sambil bersalto menghindari
serangan ular jejadian itu, dia melontarkan senjata
rahasianya yang berbentuk taring. Dewi Tongkat
Ular yang sedang berkonsentrasi tidak mengetahui
serangan licik itu.
Tiga buah senjata rahasia Laksamurka menan
cap pada sasarannya membuat Dewi Tongkat Ular
terjengkang ke belakang dengan muntah darah.
Sementara ularnya kembali menjadi tongkat.
"Hahaha... hanya begitu saja kehebatan nama
besar majikan Bukit Ular!"
"Bangsat pengecut!" geram Dewi Tongkat Ular
sambil menahan sakit yang mulai menjalari tu-
buhnya.
"Untuk mengalahkan manusia sombong seperti
kau segala cara dihalalkan!" Laksamurka terba-
hak-bahak. "Nah, kau nikmatilah rasa sakitmu itu,
Dewi. Dalam waktu lima belas menit, kau akan
mampus dengan tubuh yang mengerikan bagai di-
cincang oleh ribuan srigala! Hahaha...."
Dewi Tongkat Ular menahan rasa sakit dan ma-
rahnya. Laksamurka masuk kembali ke gubuk itu.
Dia berkata pada Ambarwati yang masih dalam
keadaan tertotok, yang hanya bisa melotot geram
melihat munculnya Laksamurka.
"Kita pindah dari tempat ini, Manis. Tempat ini
sudah diketahui orang," katanya sambil membo-
pong tubuh Ambarwati yang menjerit-jerit namun
tak bisa berbuat apa-apa ketika dibopong. Laksa-
murka cuma terkekeh.
Lalu dia keluar lagi. Dan berkata pada Dewi
Tongkat Ular, "Selamat tinggal, Dewi. Nantikanlah
ajalmu yang sebentar lagi akan menjemputmu
dengan kereta emasnya yang sangat indah dan ba-
gus... hehehe!"
Bersamaan dia selesai berkata begitu, muncul
Dewi Murni yang terengah-engah. Tangan kanan-
nya mendekap dadanya. Wajahnya berkeringat
dan pucat.
"Laksamurka!" rintihnya sebelum ambruk.
"Dewi Murni!" seru Laksamurka terkejut dan
menurunkan tubuh Ambarwati lalu bergegas
menghampiri Dewi Murni. "Apa yang telah terjadi,
Dewi? Siapa yang berani berbuat begini, hah? Sia-
pa, Dewi? Katakan, katakan padaku! Biar kulumat
habis manusia yang membuatmu menderita begi-
ni!"
Mata itu terbuka. Sinarnya redup. Dewi Mumi
menahan sakit di dadanya. Suaranya terputus-
putus, "Aku... aku sudah bertemu dengan... Pen-
dekar Bayangan Sukma, Laksa... dia... dia maha
sakti, Laksa...."
"Tahan, Dewi! Di mana dia sekarang?"
"Entahlah... aku tidak tahu... Laksa... sakit se-
kali... Akh... Laksa... aku telah membunuh... Se-
pasang Walet Putih dari Gunung Slamet...."
"Bagus! Sekarang kau tahan, biar aku obati!"
kata Laksamurka sambil merobek baju bagian da-
da Dewi Murni. Nampaklah buah dadanya yang
bulat dan montok. Putih bersih. Dalam keadaan
begini, Laksamurka tidak bernafsu untuk menik-
mati sesaat pemandangan yang mengasyikkan di
depan matanya. "Keluarkan hawa murnimu. Dan
tahan sebentar...." katanya pula seraya mengalir-
kan hawa murni dan tenaga dalamnya melalui
tangannya. Cukup lama hal itu terjadi. Tubuh De-
wi Murni nampak menggigil. Keringat dingin men-
gucur dengan deras. Begitu pula dengan Laksa-
murka. Mendadak saja Dewi Murni muntah darah.
"Huak!"
"Tahan, Dewi. Tahan... sebentar lagi...."
Tiba-tiba saja dari samping kiri mereka sebuah
sinar berwarna merah berkelebat ke arah mereka.
Serentak Laksamurka bersalto menghindar. Se-
dangkan Dewi Murni yang sedang terluka, harus
bersusah payah menggulingkan tubuhnya. Ter-
lambat dua detik, mampuslah srigala betina itu.
"Bangsat!" bentak Laksamurka. "Siapa yang ker-
janya hanya berani membokong saja! Ayo keluar!
Tampakkan wajah jelekmu!"
Tak ada sosok yang keluar.
Laksamurka memberikan pil pemulih tenaga
pada Dewi Murni. Lalu menyuruhnya untuk ber-
semedi. Kali ini dia berdiri di dekat Dewi Murni,
kuatir ada serangan gelap lagi.
Tiba-tiba melompat sesosok tubuh dari balik
semak dan hinggap di tanah dengan ringannya.
"Aku memenuhi panggilanmu yang menyuruh-
ku keluar, Laksamurka!" kata sosok tubuh itu ga-
gah.
"Hhh! Rupanya kau bocah jelek! Punya nyali pu-
la kau untuk menyerang secara gelap begitu!"
"Aku datang untuk membebaskan istriku, Lak-
samurka! Dan mencabut nyawa iblismu serta sri-
gala betina itu!"
Terdengar seruan dari samping sosok yang baru
datang itu, "Kakang Pranata...!"
Serentak sosok yang tak lain Pranata Kumala
menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Rayi
Ambar...." serunya seraya ingin mendekat.
Tetapi Laksamurka menghalanginya dengan
mengirimkan satu tendangan yang cukup berisi,
membuat Pranata Kumala mengurungkan niatnya
dan menghindar. "Bagus!" serunya.
"Hhh! Bocah jelek, kau hanya mengantarkan
nyawamu ke sini rupanya!"
"Sudah kukatakan, akulah yang hendak men-
cabut nyawamu!"
"Besar pula ucapanmu!"
"Karena kau tak akan lama lagi untuk hidup di
muka bumi ini! Begitu pula dengan kawanmu yang
nampak terluka parah! Maaf, kalau tadi aku harus
membokong kalian!"
"Pandai sekali kau berucap, Bocah jelek! Kau
hanya mengantarkan nyawamu saja ke sini!"
"Hahaha... mengapa tidak sejak tadi kau maju
ke sini! Ayo, majulah, Laksamurka! Biar kuhantam
perutmu dan kuburai isi perutmu!" Lalu disusul
dengan tawa Pranata Kumala yang menyakitkan
telinga.
"Kulumat tubuhmu, bocah jelek!"
"Majulah, Srigala busuk!"
Laksamurka yang tengah murka karena ditan-
tang seperti itu tak mau banyak omong lagi. Dia
serentak menerjang dengan hebat diiringi peki-
kannya yang keras. Serangan-serangannya man-
tap dan mengundang maut. Pranata mengimban-
ginya dengan jurus menghindarnya Kijang Kumala
dan jurus Tangan Bayangannya.
Pertempuran itu hebat.
Ambarwati berdoa dalam hati demi keselamatan
suaminya tercinta. Dia sudah gembira melihat su-
aminya mendadak muncul. Tetapi kini hatinya
cemas melihat dan mengingat betapa hebatnya
Laksamurka.
Sedangkan Rumbila berharap, Pranata Kumala
mampu mengalahkan Laksamurka dan segera
mengobatinya.
Pertempuran antara keduanya berlangsung
dengan seru. Masing-masing mengeluarkan sege-
nap kemampuannya. Dan seluruh tenaga mereka.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Berkali-kali benturan terjadi. Namun keduanya
terus saling menyerang berupaya untuk segera
menjatuhkan lawannya.
"Awas serangan, bocah jelek!"
"Hahaha... kulayani sampai seribu jurus sekali
pun, Srigala busuk!"
Lagi keduanya saling menerjang.
"Des!"
"Des!"
Lagi terjadi benturan yang hebat.
Tiba-tiba Laksamurka menjerit, "Lihat sekeli-
lingmu, Bocah! Ular berbisa!"
Mendadak saja ranting-ranting pohon yang be-
rada di dekat berubah menjadi ular berbisa. Dan
mendesis-desis siap menyerangnya.
"Kau hanya berani dengan ilmu sihir!" seru Pra-
nata Kumala memaki sambil menghindari patukan
ular-ular itu. Sambil menghindar dia kembali me-
lontarkan pukulan sinar merahnya ke arah ular-
ular itu.
Sebentar saja ular-ular itu mati dan berubah
kembali menjadi sebatang ranting.
Melihat serangannya gagal, kembali Laksamur-
ka menerjang. Dengan dahsyat dan diiringi dengan
pekikan mengerikan. Terjadilah pertarungan yang
hebat antara keduanya.
Dewi Murni yang merasa tubuhnya mulai mem-
baik, dan kesal serta marah dibokong sedemikian
rupa, mulai membantu setelah mengalirkan hawa
murninya ke sekujur tubuhnya.
Pertempuran tak seimbang pun terjadi.
Ambarwati ngeri melihat suaminya dikeroyok
begitu.
Rumbila atau Dewi Tongkat Ular hanya bisa
menonton saja dengan hati geram tanpa bisa ber-
buat apa-apa. Dan perlahan-lahan dia merasakan
sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rumbi-
la tidak yakin dia bisa bertahan untuk hidup lebih
lama.
Sementara pertempuran itu semakin seru ber-
langsung. Pranata mengeluarkan segenap kemam-
puannya dengan sekali-sekali melontarkan puku-
lan sinar merahnya.
Dia merasa beruntung karena Dewi Murni se-
dang terluka. Bila tidak, dia merasa tak mungkin
mampu menahan gempuran-gempuran dahsyat
yang dilancarkan keduanya.
Tiba-tiba dia menjerit, "Lihat serangan!"
Pukulan sinar merahnya pun dilontarkan den-
gan membabi buta, membuat kedua manusia itu
harus memperlihatkan kelincahan mereka. Dan ti-
ba-tiba selagi Dewi Murni meloncat, Pranata me-
nyerang masuk.
"Des!"
Pukulannya bersarang di dada Dewi Murni yang
terhuyung ke belakang.
Melihat hal itu Laksamurka melemparkan obat
pemunah rasa sakit yang langsung ditelan oleh
Dewi Murni dan segera bersemedi. Memulihkan
hawa murninya dan menyalurkan segenap tenaga
dalamnya ke seluruh tubuhnya.
Sementara Laksamurka terus menyerang den-
gan gencar dan nafsu untuk membunuh lawan-
nya. Kali ini Pranata Kumala yang cukup kerepo-
tan dibuatnya.
Tiba-tiba saja Laksamurka menjerit dan menye-
rang.
"Des!"
Tendangannya mengenai sasaran!
Membuat Pranata Kumala terhuyung beberapa
tindak. Lalu menyeka bibirnya yang mengeluarkan
darah.
"Kakang...." jerit Ambarwati pilu. Tetapi dia ti-
dak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih
dalam keadaan tertotok.
Laksamurka terbahak.
"Itulah akibatnya bila berani menantang Sepa-
sang Manusia Srigala."
Pranata Kumala menyeka kembali bibirnya. Ma-
tanya nyalang.
"Bangsat! Majulah, Srigala busuk! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... sudah dalam keadaan sekarat kau
masih berani untuk menantangku? Baiklah, bila
itu maumu! Nah, tahan serangan!"
Tubuh itu berkelebat lagi. Kali ini dengan puku
lan lurus ke muka. Pranata menghindarkan kepa-
lanya ke kiri, tiba-tiba saja pukulan yang berben-
tuk bogem itu berubah menjadi cakar srigala.
"Bret!"
Baju bagian bahu Pranata terkoyak oleh samba-
ran jari yang berbentuk cakar.
"Hahaha... sebentar lagi jantungmu yang akan
kukorek ke luar dan kucabik-cabik, Bocah!"
Dewi Murni yang sudah merasa pulih tenaganya
membuka matanya dan siap membantu Laksa-
murka. Begitu dilihatnya Laksamurka sedang be-
rada di atas angin, diurungkannya niatnya.
Dia berseru, "Jangan kau kasih bernapas lagi
manusia tak tahu diuntung itu, Laksa!"
"Baik, Dewi! Dia pun harus membalas perla-
kuan yang telah dibuatnya terhadapmu!" seru
Laksamurka sambil terbahak. "Nah, Pranata Ku-
mala... bersiaplah untuk mampus!"
Sehabis berkata demikian, Laksamurka mener-
jang dengan hebat. Pukulannya mengandung te-
naga dalam yang penuh, siap menjemput nyawa
Pranata Kumala. Sebisanya Pranata bertahan,
namun satu benturan keras membuatnya mati
langkah dan ambruk ke tanah.
Laksamurka tak mau membuang waktu lagi.
Dia menjerit menerjang untuk menghabisi nyawa
Pranata Kumala. Pranata hanya memejamkan ma-
tanya menyambut pukulan itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Des!"
Tubuh Laksamurka terhuyung karena dia me-
rasa menghantam sebuah tembok besar. "Bangsat,
siapa yang berani menghalangi perbuatanku ini?!"
Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh gagah ber-
jubah putih.
"Madewa Gumilang!" seru Dewi Mumi.
"Ayah!" Ambarwati dan Pranata Kumala berseru
bersamaan.
"Hhh! Nama besar Madewa hanya bisa membo-
kong rupanya!" bentak Laksamurka dengan geram.
"Tapi sayang, hari ini nama besar itu akan terku-
bur selama-lamanya!"
Madewa tersenyum arif. "Laksamurka, hendak-
nya kau kembalilah ke tempat asalmu. Dan ajak
pasanganmu itu. Janganlah kau terus menerus
membuat onar!"
"Hhh! Kau harus mampus di tanganku, Made-
wa!" geram Laksamurka. "Nah, cepat serahkan Se-
ruling Naga padaku!"
"Ingatlah Laksamurka, janganlah kau menjadi
manusia laknat!"
"Itu urusan ku! Cepat serahkan Seruling Naga
sebelum kucabut nyawamu!"
"Kau tak ubahnya binatang haus darah, Lak-
samurka!"
Dikatakan seperti binatang, kemarahan Laksa-
murka langsung naik. "Aku memang binatang
yang haus darah! Terutama darah kau, Madewa!"
serunya seraya menerjang. Madewa sudah mem-
perkirakan serangan itu. Dia menghindar dengan
jurus Ular Meloloskan Diri.
Melihat serangannya gagal, Laksamurka kemba-
li mempergencar serangannya. Serangannya begitu
cepat dan bertenaga. Dia tidak tanggung lagi, lang-
sung menghimpun tenaga dalamnya dalam tingkat
tinggi.
Madewa pun kali ini tidak hanya menghindar,
dia juga membalas dengan jurus Tembok Mengha-
lau Badai. Hal itu membuat Laksamurka cukup
kewalahan. Dewi Murni yang merasa kesehatan-
nya cukup pulih, menerjang membantu. Tidak lagi
mempersoalkan Pranata yang menghantamnya ta-
di.
Kini jadilah mereka kembali Sepasang Manusia
Srigala. Kekuatan mereka berpadu. Madewa cukup
merasakan gempuran yang hebat. Apalagi ketika
keduanya menggunakan jurus Sepasang Srigala
Melompat. Madewa bukan hanya dibuat kerepotan
sekarang, tetapi harus membuatnya menghindar
dengan lincah.
Tiba-tiba terdengar jeritan Dewi Tongkat Ular,
"Aaaahh!"
Serentak pertarungan itu terhenti. Semuanya
menoleh pada Dewi Tongkat Ular yang meringis-
ringis kesakitan.
Seketika Madewa mengetahui kalau Dewi Tong-
kat Ular terkena senjata rahasia salah seorang dari
Sepasang Manusia Srigala. Tanpa diketahui oleh
keduanya, Madewa mengirimkan tenaga dalamnya
melalui mata untuk menghentikan aliran racun
yang sudah hampir mencapai jantung.
"Lihat Madewa, sebentar lagi kau pun akan se-
karat seperti Dewi Tongkat Ular!" seru Laksamur-
ka.
"Aku pun harus membalas apa yang telah kau
lakukan padaku semalam, Madewa!" geram Dewi
Murni.
Masih mengirimkan tenaga dalamnya melalui
matanya kepada Dewi Tongkat Ular, Madewa ter-
tawa pada Laksamurka dan Dewi Murni.
"Kalian rupanya pemimpi-pemimpi yang luar bi-
asa!"
"Jangan besar mulut kau, Madewa!"
"Hahaha... agaknya hari ini aku pun tak boleh
bermurah hati lagi!" kata Madewa yang sengaja
mengulur waktu untuk menolong Dewi Tongkat
Ular yang merasa heran karena tubuhnya dirasa-
kan agak berkurang sakitnya.
"Bacotmu besar juga, Madewa!"
"Lakukanlah bila kau mampu untuk membung-
kam bacotku!"
"Baik! Bersiaplah!" Laksamurka bersalto ke de-
kat Dewi Murni. Tubuh keduanya berapat pung-
gung. Tangan mereka membentuk cakar. Agaknya
keduanya tengah menyiapkan jurus mereka yang
paling ampuh. "Hari ini kau harus mampus di tan-
gan kami, Sepasang Manusia Srigala, Madewa!"
Madewa yang merasa sudah cukup menolong
Dewi Tongkat Ular pun segera meladeni kedua
Manusia Srigala itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang meng-
gema di seluruh tempat, dua manusia itu mener-
jang dengan masing-masing tangan membentuk
cakar dan mengeluarkan sinar merah.
Madewa pun segera memapaki dengan pukulan
Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan
jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Terjadilah ben-
turan antara kedua tenaga yang menimbulkan su-
ara seperti letusan.
"DUUARRR!"
Sungguh di luar dugaan, Madewa terhuyung li-
ma tindak ke belakang dengan mulut mengelua-
rkan darah! Sementara Sepasang Manusia Srigala
itu hanya terhuyung dua tindak dan kini sudah
berdiri dengan gagahnya.
"Hahaha... nama besar Pendekar Bayangan
Sukma ternyata tak punya banyak arti hari ini!"
seru Laksamurka. "Hmmm... Madewa keluarkan
pukulan Bayangan Sukma yang kau banggakan!"
Dewi Murni yang sangat mendendam sekali dan
melihat keadaan Madewa yang sudah di bawah
angin akibat benturan tadi, tiba-tiba memekik me-
nerjang dengan kedua tangan mengembang ke
arah jantung Madewa.
Ambarwati menutup matanya ngeri.
Dewi Tongkat Ular hanya bisa mendesah tanpa
bisa membantu karena tubuhnya masih lemah.
Laksamurka terbahak-bahak karena mem-
bayangkan tubuh Madewa akan hancur tercabik-
cabik.
Namun sungguh di luar dugaan, tubuh Dewi
Murni yang meluncur dengan keras tiba-tiba ter-
pental ke belakang sambil mengeluarkan jeritan
kesakitan. Dan ambruk setelah terhuyung bebera-
pa tindak.
"Huak!" dia muntah darah.
"Dewi!" pekik Laksamurka kaget sambil membu-
ru.
Sebenarnya Dewi Murni telah membuat kesala-
han yang teramat fatal. Dalam kondisi yang turun
emosinya, Madewa bisa membuat lawannya yang
dalam keadaan marah berbalik sendiri terkena pu-
kulannya. Itu semua berkat rumput Kelangkamak-
sa yang tanpa sengaja dimakannya dan tanpa di-
duganya telah menghasilkan tenaga gaib yang ke-
luar dari tubuhnya (baca: Dendam Orang-orang
Gagah).
Melihat Dewi Murni dalam keadaan kesakitan,
murkalah pasangannya. Laksamurka berdiri ga-
gah, dan matanya memancarkan nafsu untuk
membunuh.
"Hari ini kau harus mampus di tanganku, Ma-
dewa!" serunya kembali menerjang. Madewa berke-
lit ke kiri. Dan mengirimkan serangan balasan.
Kembali tempat itu terjadi pertarungan yang sen-
git.
Entah sudah berapa puluh jurus yang dikelua-
rkan oleh keduanya. Namun sampai sejauh itu
Madewa tidak telengas menurunkan tangan. Tadi
pun dia hanya memakai separuh tenaganya ketika
terjadi benturan sehingga dia harus terhuyung li-
ma tindak.
Diam-diam pun Madewa mengalirkan tenaga
dalam Salju Abadi ke tangan kanannya. Dan keti-
ka tangan kanannya menyentuh tubuh Laksamur-
ka, tubuh itu langsung menggigil. Laksamurka
mengeluarkan seluruh tenaga dalam dan hawa
murninya untuk mengusir rasa dingin yang me-
nyengat.
"Bangsat!"
"Keluarkan ilmu simpananmu, Laksamurka! Ke-
luarkan semuanya!"
Pelan-pelan hawa dingin itu terusir darinya.
Laksamurka langsung menerjang kembali dan me-
lemparkan senjata rahasianya. Madewa berkelit
sambil membalas.
Tiba-tiba selarik sinar putih menerpa ke arah
Madewa yang sigap bersalto ke samping.
"Duar!"
Sinar putih itu menghantam pohon di bela-
kangnya hingga hangus. Dan kembali Laksamurka
dengan gencar mengirim serangan jarak jauhnya
yang berupa sinar putih. Dengan menggunakan
jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa menghindari
serangan itu.
"Nama besar Madewa Gumilang ternyata cuma
bisa menghindar saja!" seru Laksamurka sambil
tetap dengan gencar menyerang secara membabi
buta.
"Rupanya kau menginginkan aku membalas?!"
"Hanya ingin kulihat keberanianmu!"
"Baik! Lihat serangan!" seru Madewa sambil me-
lompat menghindari sinar putih itu, dia bersalto
dua kali di atas dan menukik hendak menyambar
kepala Laksamurka. Serentak Laksamurka bergul-
ing ke tanah menghindari serangan itu.
"Hebat!" serunya kagum.
Madewa telah bangkit tegak kembali.
"Rupanya rasa belas kasihanku sudah habis,
Laksamurka. Hari ini terpaksa aku harus menca-
but nyawamu!"
"Hahaha... sudah hampir seratus jurus kau
menghadapiku, Madewa... tetapi sampai sejauh itu
kau belum mengalahkanku juga."
"Baik! Kita sudahi pertarungan ini!" selesai ber
kata demikian, Madewa menyerang. Kali ini sung-
guh aneh. Serangannya nampak tidak bertenaga
dan lemah. Namun Laksamurka sudah curiga me-
lihat serangan seperti itu. Dia tidak berani mema-
paki. Dan sungguh di luar dugaannya. Batu besar
yang berada di belakangnya hancur menjadi pasir
ketika tangan Madewa menyentuhnya.
"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Dewi Tongkat
Ular.
Mendengar nama pukulan itu dijeritkan oleh
Dewi Tongkat Ular, Laksamurka menjadi sedikit
keder. Ngeri dibuat oleh Madewa Gumilang. Dalam
hati dia mengakui, betapa hebatnya pukulan
Bayangan Sukma yang dimiliki oleh Madewa.
Tetapi dia tetaplah manusia sombong. Dia ber-
kata dengan pongah, "Ingin kulihat sampai di ma-
na kehebatan pukulan itu, Madewa!"
"Bagus! Kini terimalah!" seru Madewa. Kali ini
dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Dan Lak-
samurka tetap tak berani memapaki karena kuatir
pukulan Bayangan Sukma yang sedang dilancar-
kan Madewa.
Karena terlalu berhati-hati, dia terkena juga
gempuran di dadanya yang membuatnya serasa
dihantam gada yang besar. Napasnya menjadi se-
dikit sesak.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" serunya
marah dan kembali menyerang. Kali ini Madewa
tak memberi ampun lagi. Dia memapaki. Dan ter-
jadilah benturan yang teramat hebat.
Madewa terhuyung ke belakang dua tindak.
Sementara Laksamurka ambruk dengan tubuh
hancur. Nyawanya langsung lepas dari raganya.
Dia tidak mengira kalau Madewa akan mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma-nya kembali. Dia
salah perhitungan. Musnahlah salah seorang dari
Sepasang Manusia Srigala.
Melihat Laksamurka menemui ajal, Dewi Murni
yang dalam keadaan kesakitan menjadi kalap. Dia
menerjang Madewa dengan sepenuh tenaga.
"Tunggu!" seru Madewa.
Tetapi tubuh itu sudah melesat dengan deras.
Dengan pukulan lurus ke depan, ke arah wajah
Madewa. Yang diserang hanya terdiam. Tidak ber-
geming. Malah menurunkan emosinya.
Dan hal itu membuat fatal bagi Dewi Murni. Da-
lam keadaan emosi saat menyerang Madewa, akan
terjadi serangan balik yang mendadak. Semua itu
berkat rumput Kelangkamaksa yang dihisap sa-
rinya oleh Madewa tanpa disengaja.
Benar saja, tiba-tiba saja tubuh Dewi Murni ter-
lontar ke belakang dengan deras. Tanpa ampun la-
gi tubuh itu berkelojotan dan mampus sekarat!
Madewa mendesah panjang.
"Dua nyawa kurenggut hari ini," desahnya pilu.
"Tetapi bila tak kulakukan, kejahatan pasti akan
terus berlangsung."
Lalu Madewa menghampiri Ambarwati dan me-
lepaskan totokannya. Ambarwati langsung me-
rangkul ayah mertuanya. "Terima kasih, Ayah... te-
rima kasih atas pertolongan Ayah...."
"Hmm... duduklah, Ambar," kata Madewa lalu
mendekati Pranata Kumala yang tengah terduduk
sambil meringis kesakitan.
"Ayah...."
"Kau harus banyak belajar lagi, Anakku...." kata
Madewa sambil mengalirkan sedikit tenaga dalam-
nya pada Pranata, yang langsung merasa lebih
enak dari tadi.
"Ya, Ayah...."
Sementara Madewa menghampiri Rumbila, Pra-
nata Kumala mendekati istrinya. Ambarwati lang-
sung memeluk suaminya dengan sukacita.
"Pranata...."
"Ambar...."
Keduanya saling tersenyum.
Bahagia.
Sedangkan Madewa tengah berkata pada Rum-
bila, "Bagaimana keadaanmu, Rumbila?"
"Terima kasih, Yang Agung Madewa Gumilang,"
kata Dewi Tongkat Ular sambil menjura. "Aku yang
sudah tua ini ternyata masih diberi kesempatan
untuk mengenal namamu yang telah menjulang
menembus langit, sebagai pendekar sakti yang bu-
diman, Pendekar Bayangan Sukma!"
"Hmm... kulihat kau masih lemah sekali. Ulur-
kanlah telapak tanganmu, Dewi...."
Dewi Tongkat Ular mengulurkan kedua tangan-
nya. Madewa menindih telapak tangan itu dengan
telapak tangannya. Matanya perlahan-lahan terpe-
jam. Dewi Tongkat Ular merasakan ada hawa an-
gin hangat mengaliri tangannya dan mengaliri se-
kujur tubuhnya. Menormalkan kembali aliran da-
rahnya.
Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk
taring srigala copot dari tempatnya. Dewi Tongkat
Ular mendesah, rasa sakitnya telah lenyap.
Madewa membuka matanya dan menarik kem-
bali tangannya.
"Kau sudah aman, Rumbila...."
Rumbila alis Dewi Tongkat Ular langsung men-
jura di depan Madewa.
"Saya yang tua ini, rasanya tidak pantas berla-
ma-lama lagi di hadapan Madewa yang agung. Se-
baiknya saya mohon diri. Terima kasih atas perto-
longan dan petunjuk yang Madewa lakukan."
"Sikapmu ini seolah-olah aku seorang dewa,
Rumbila... aku hanyalah manusia biasa...."
"Karena saya menganggap yang mulia adalah
manusia dewa," kata Rumbila sambil memungut
tongkatnya. "Amit mundur, Madewa!" Dan...
"Wuuuttt!" Tubuhnya lenyap bagai dibawa angin.
Setelah Rumbila pergi, muncul di tempat itu
dua sosok tubuh. Yang satu seorang gadis dan
yang satunya seorang pemuda. Keduanya adalah
Bayu dan adiknya, Arum. Saat ini keduanya me-
mang sengaja hendak mencari Pranata Kumala.
Bagi Arum, dia sangat rindu dengan pemuda itu,
pemuda yang mengutarakan cintanya. Hal itu
membuatnya menjadi sakit dan setelah Bayu tahu
apa yang menyebabkan sakit adiknya, dia pun
meminta ijin pada ayahnya untuk meninggalkan
desa Kali Sunyi.
Sudah tentu Arum sangat gembira mengetahui
dia diperbolehkan mencari Pranata Kumala. Maka
dengan ditemani kakaknya, dia pun melangkah-
kan kakinya dengan gembira.
Hampir empat hari keduanya mencari, dan se
karang secara tidak sengaja mereka bertemu den-
gan Pranata Kumala.
Kening Arum berkerut melihat Pranata Kumala
tengah merangkul seorang wanita. Dan wanita itu
membalas pula merangkulnya.
"Arum! Bayu!" seru Pranata setelah mengenali
siapa yang datang. Sambil menarik tangan istrinya
dia mendekati mereka, "Ada apa kalian sampai
meninggalkan rumah?"
Bayu tersenyum, walau heran siapa wanita di
sisi Pranata?
Sementara Arum merasakan dadanya sesak.
Napasnya jadi tidak teratur. Dia hanya menunduk,
tak mampu menyaksikan kemesraan yang sedang
terpampang di depannya.
"Apa kabar, Saudara Pranata?" tanya Bayu.
"Oh, kabar baik. Kau bagaimana, Bayu?"
"Kabar baik pula."
"Kau bagaimana, Rayi Arum?"
"Saya... saya baik-baik saja, Kakang...." desis
Arum masih tetap menunduk. Siapa gadis di sebe-
lahnya itu?
Pranata mengenalkan mereka pada ayahnya.
Madewa hanya tersenyum. Lalu Pranata berkata,
"Saudara Bayu dan Rayi Arum... perkenalkan... ini
istriku...."
Ambarwati tersenyum.
Bayu terperangah.
Arum terkejut dan terpekik. Istrinya? Dia is-
trinya? Mengapa dia mengutarakan cintanya pa-
daku bila ternyata dia sudah beristri?
Tiba-tiba saja Arum berlari meninggalkan mere
ka dengan hati pedih dan terluka.
"Rayi!" panggil Bayu.
Tetapi gadis itu terus berlari.
Pranata menjadi serba salah. Sedikit banyaknya
dia tahu apa yang menyebabkan Arum menjadi
begitu. Pasti dirinya. Dirinya yang kini dianggap-
nya sebagai penipu. Buaya darat, yang kerjanya
hanya mempermainkan para gadis-gadis saja. Dan
salah satu di antaranya Arum!
Pranata mendesah. Madewa heran. Ambarwati
apalagi. Mengapa gadis itu seperti kaget mengeta-
hui dia istrinya Pranata Kumala? Apakah... gadis
itu mencintai suaminya?
Berpikiran demikian, Ambarwati memegang len-
gan suaminya erat-erat.
Pranata menjadi tidak enak pada Bayu. Lalu dia
menceritakan apa yang telah terjadi sesungguh-
nya.
"Benar Saudara Bayu, saya tidak sengaja meli-
hatnya. Karena saat itu pikiran saya hanya terpa-
ku pada Sepasang Manusia Srigala dan pada istri-
ku ini. Di samping itu, saya tidak menceritakan
kejadian yang sesungguhnya, karena tak ingin
membuat malu Rayi Arum...."
Bayu mengangguk mengerti. Paham akan du-
duk permasalahannya.
"Kalau begitu maafkan aku dan adikku, Sauda-
ra Pranata. Biar adikku aku yang mengurus dan
memberikan penjelasan."
"Sampaikan maafku padanya, Saudara Bayu...."
"Tak perlu kau suruh aku akan melakukannya,
Saudara Pranata. Aku mohon pamit. Rayi Ambar
dan Paman Madewa, saya amit mundur."
Lalu Bayu pun berlalu.
Ambarwati memeluk suaminya erat-erat. Bila
saja saat itu suaminya tidak sedang mencemaskan
dirinya dan kuatir akan Sepasang Manusia Srigala,
tentu dia akan marah besar.
Madewa mendehem.
Keduanya menoleh.
"Sebaiknya kita kembali ke Perguruan Topeng
Hitam sekarang...."
"Ayah...." kata Pranata kemudian.
"Ada apa, Anakku?"
"Sebenarnya... kedatangan kami ke Perguruan
Topeng Hitam, untuk minta restu pada ayah dan
ibu, kalau aku dan istriku hendak pergi bertua-
lang...."
"Maksudmu?"
"Kami akan bertualang, mencari pengalaman...."
"Kalau itu maumu, lakukanlah. Karena aku dan
ibumu dulu adalah para petualang. Lakukanlah!"
"Terima kasih, Ayah," kata Pranata.
"Terima kasih, Ayah," kata Ambarwati pula.
"Tolong sampaikan salam kami pada ibu,
Ayah...." kata Pranata.
"Baiklah... pergilah. Pesan Ayah berhati-
hatilah...!" Sehabis berkata begitu tubuh Madewa
pun melesat.
Lalu Pranata Kumala dan Ambarwati pun berja-
lan. Memulai petualangannya.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar