BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE SEPASANG MANUSIA SERIGALA


Sepasang Manusia Serigala


SEPASANG MANUSIA SERIGALA

Oleh Fahri Asiza

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

 Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Sepasang Manusia Serigala


SATU


Pagi itu udara cerah. Matahari baru sepengga-

lah. Sinarnya membiasi seluruh dunia dan seba-

gian kecil yang menerpa halaman Perguruan To-

peng Hitam. Di halaman itu, murid-murid pergu-

ruan Topeng Hitam sedang berlatih. Senjata anda-

lan perguruan Topeng Hitam adalah sepasang pe-

dang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-

hitam dengan wajah berselubung topeng hitam.

Di depan mereka, nampak seorang wanita se-

tengah baya sedang memimpin mereka berlatih. 

Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa Gumilang 

atau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma.

Tahun demi tahun telah membuat wanita se-

tengah baya itu semakin arif. Dan kecantikannya 

nampak terus terpancar di wajahnya yang berkulit 

putih. Tidak seperti murid-muridnya yang berpa-

kaian hitam-hitam, Ratih Ningrum mengenakan 

pakaian warna putih yang ringkas, yang mencetak 

bentuk tubuhnya yang bagus.

"Bagus! Coba ulangi gerakan yang saya lakukan 

tadi!" desisnya setelah memberi contoh.

Serentak para muridnya membuat gerakan yang 

sama. Kaki kanan dimajukan satu langkah. Posisi 

kuda-kuda condong ke belakang. Pedang ditaruh 

di dada. Dan tiba-tiba pedang itu bergerak dengan 

cepat ke kanan sambil meloncat bersalto ke bela-

kang. Lalu berbalik pedang menyabet ke bawah, 

disusul dengan jotosan tangan kiri ke arah depan.

"Bagus!" seru Ratih Ningrum puas. Lalu ka


tanya, "Kalian boleh beristirahat!"

Belum lagi ada yang bergerak dari tempatnya, 

terdengar derap langkah kuda bergegas memasuki 

pintu gerbang perguruan Topeng Hitam yang ber-

tembok cukup tinggi. Di atas punggung kuda itu 

tergolek sosok tubuh berpakaian hitam-hitam.

Dengan sekali salto dan satu sentakan, Ratih 

Ningrum menghentikan lari kuda itu. Dia mengge-

ram marah ketika mengetahui satu sosok tubuh 

itu adalah salah seorang muridnya. Dan telah 

menjadi mayat!

"Bangsat! Siapa yang telah melakukan perbua-

tan biadab dan keji ini!" geramnya marah setelah 

memperhatikan tubuh yang hancur itu.

Para muridnya yang mengerumuni pun tak ka-

lah geramnya. Ratih Ningrum melihat ada sebilah 

batang kayu terselip di bawah mayat itu.

Hati-hati dia mengambilnya. Ada huruf bertekan 

dalam dengan bertintakan darah. Ratih Ningrum 

diam-diam mendesah kagum melihat tenaga dalam 

yang menuliskan itu sungguh hebat. Hati-hati dia 

membacanya, Madewa Gumilang, kini telah tiba aj-

al bagimu. Salam perkenalan dari kami Sepasang 

Manusia Srigala yang menghadiahkan mayat murid 

Perguruan Topeng Hitam.

"Sepasang Manusia Srigala?" desah Ratih Nin-

grum. "Siapa pula mereka? Dan ada urusan apa 

dengan suamiku?" Lalu dia berkata pada murid-

muridnya, "Tolong kalian urus mayat saudara se-

perguruan kalian ini?" Kemudian wanita itu mele-

sat ke dalam memasuki ruangan utama. Dicarinya 

suaminya yang nampak sedang bersemedi di


ruang semedi.

Ratih Ningrum tidak mau mengganggu ketenan-

gan suaminya, makanya dia hanya duduk bersim-

puh menunggu semedi suaminya selesai.

"Aku sudah selesai, Ratih...." terdengar suara 

berat dengan nada berwibawa. Sepasang mata 

yang terpejam tadi kini membuka, memperlihatkan 

sorot yang arif dan bijaksana.

"Maafkan istrimu yang telah mengganggu kete-

nanganmu, Suamiku," kata Ratih Ningrum sambil 

menjura hormat.

"Duduklah! Ada apa gerangan, Dinda Ratih?"

"Maafkan Dinda, Kanda... Ada satu masalah 

yang penting yang terpaksa harus Dinda bicarakan 

dengan Kanda."

"Masalah apakah gerangan?"

"Sepasang Manusia Srigala telah membuat teror 

di perguruan kita, Kanda..."

"Sepasang Manusia Srigala?"

"Ya, Kanda."

"Apa maksud mereka sebenarnya?"

"Mereka... mereka ingin nyawa Kanda..."

"Mengapa itu yang mereka inginkan? Aku pun 

belum mengenal siapa mereka. Dan menurut pera-

saanku, aku tak punya salah dengan mereka. Ah, 

mungkin mereka salah alamat, Dinda..."

"Apakah dengan kematian salah seorang murid 

kita yang dibuat hancur secara mengerikan oleh 

mereka itu bukan bukti, Kanda? Apakah tulisan di 

kayu ini yang ditujukan pada Kanda, membukti-

kan mereka salah alamat, Kanda? Dinda pikir ti-

dak. Mereka datang untuk menteror Kanda...."


Madewa Gumilang tersenyum arif. Usia yang 

semakin bertambah membuatnya lebih bijaksana. 

Ditatapnya wajah istrinya yang malah semakin 

bertambah cantik di matanya. Wanita yang telah 

menemaninya hampir 25 tahun. Wanita cantik pu-

tri pembesar Biparsena dari desa Bojongronggo 

(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

"Tenanglah, Dinda... Semua akan Kanda hada-

pi...!"

"Tetapi, Kanda... yang membuat Dinda sedih, 

mengapa masih ada orang yang ingin berbuat ja-

hat kepada Kanda...?"

"Dinda Ratih Ningrum... semakin hari dunia 

semakin menua. Semakin hari kehidupan selalu 

berubah. Dan semakin hari kejahatan di muka 

bumi ini semakin meningkat. Ini berarti, kebaikan 

telah jauh di bawah kejahatan. Sebagai manusia 

yang baik, kita harus membasmi setiap kejahatan. 

Nah, kita sambutlah kedatangan Sepasang Manu-

sia Srigala itu dengan baik-baik. Kita tidak perlu 

menampakkan wajah bermusuhan..."

"Selamat pagi, Ayah dan Ibu..." terdengar se-

ruan di belakang mereka. Pranata Kumala dan is-

trinya, Ambarwati menjura di belakang mereka.

"Hahaha... selamat pagi anak dan mantuku," 

sahut Madewa sambil bangkit berdiri. Jubah kebe-

sarannya yang berwarna putih semakin membuat-

nya nampak agung. Pranata Kumala pun diam-

diam semakin mengagumi ayahnya. "Bagaimana 

kabarnya Laut Selatan?"

"Semakin hari Laut Selatan semakin cantik, 

Ayah..." sahut Pranata. Memang, dia dan istrinya


tinggal di Laut Selatan. Di rumah istrinya yang du-

lu disikat habis oleh Sengkawung, ketua Partai 

Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Na-

mun kini rumah itu telah mereka betulkan kemba-

li dan mereka tinggali.

"Dan kau bagaimana kabarnya, Menantuku?" 

Kali ini Ratih Ningrum yang bertanya kepada Am-

barwati.

Ambarwati menjura dengan hormat. Dia pun 

kini tumbuh lebih dewasa, dari gadis manja kini 

telah mengalami pahitnya hidup dan kenyataan. 

"Saya dalam keadaan sehat, Ibu...."

"Tentunya kalian letih, kalian beristirahat saja 

dulu," kata Ratih Ningrum pula.

Lalu anak dan menantunya itu berpamitan un-

tuk beristirahat. Setelah itu kembali Ratih Nin-

grum dan suaminya membicarakan soal Sepasang 

Manusia Srigala.

Di kamarnya, Pranata Kumala tengah merebah-

kan tubuhnya. Walau sekilas, dia tadi dapat meli-

hat wajah ibunya nampak menyimpan sesuatu 

yang dirahasiakan. Walaupun dia melihat wajah 

ayahnya nampak tenang-tenang saja. Ah, ayah 

memang seperti biasanya, selalu dapat menyimpan 

rahasia yang paling berat sekalipun.

Tetapi ada apa gerangan dengan ibunya? Men-

gapa ibu nampak begitu muram dan kesal sekali. 

Mendadak Pranata bangkit dari merebahkan tu-

buhnya. Dia harus mencari tahu persoalan ini.

Istrinya yang sedang salin baju melirik, "Ada 

apa, Kakang?"

"Oh, tidak ada apa-apa, Rayi. Kakang ingin ber


jalan-jalan di sekitar perguruan. Rayi ingin ikut 

serta?"

Ambarwati yang tengah kelelahan dan mengan-

tuk karena hampir semalaman mereka menung-

gang kuda, menggeleng pelan. "Pergilah, Kakang... 

Saya ingin tidur sejenak."

Memang itu yang diharapkan Pranata Kumala. 

Setelah mengecup kening isterinya, lalu dia pun 

keluar. Melewati pintu samping untuk menghinda-

ri ayah dan ibunya.

Dia langsung menuju ke belakang gedung. Dan 

di sana dia melihat ada sedikit keramaian. Ketika 

dia mendekat, rupanya keramaian itu disebabkan 

ada sosok mayat yang tengah dimandikan.

"Hei, mayat siapa ini?" seru Pranata Kumala tak 

bisa menahan diri.

Beberapa orang murid segera menjura hormat 

setelah mengetahui siapa yang bertanya.

"Kawan seperguruan kami, Putra Guru," kata 

salah seorang.

"Mengapa ini terjadi? Tubuh dan wajahnya han-

cur mengerikan?"

"Sepasang Manusia Srigala telah membunuh-

nya. Dan siap mencabut nyawa Rama Guru. Tetapi 

kami, para murid Perguruan Topeng Hitam akan 

menyabung nyawa demi Rama Guru!"

"Kapan ini terjadi?" tanya Pranata Kumala ke-

mudian.

"Setelah kami selesai berlatih, Putra Guru."

"Hmm, kalau begitu masalah ini rupanya yang 

membuat Ibu nampak muram dan kesal," kata 

Pranata dalam hati. Lalu dia pun segera masuk ke


dalam lagi, mencari ayah dan ibunya.

Ayah dan ibunya masih berada di tempat yang 

tadi.

Pranata Kumala langsung menjura, "Maafkan 

saya, Ayah dan Ibu, yang telah mengganggu kete-

nangan kalian berdua."

"Hahaha... Pranata, ada apakah gerangan?" 

tanya Madewa.

"Siapakah Sepasang Manusia Srigala yang hen-

dak membuat teror itu, Ayah?" tanya Pranata tan-

pa berpura-pura lagi.

Pranata sempat melihat wajah ibunya yang se-

dikit terkejut. "Rupanya anakku dapat menebak 

apa yang tengah merisaukan ibunya," desah Ratih 

Ningrum. Dia lupa, kalau Pranata yang sekarang 

ini adalah Pranata yang telah menjadi seorang su-

ami. Pranata yang hampir tujuh tahun berguru di 

Gunung Muria.

Madewa pun tertawa. "Hahaha... baiklah, Anak-

ku. Ayah sendiri tidak tahu siapa Sepasang Manu-

sia Srigala itu. Tetapi teror yang mulai dilancar-

kannya tidak boleh kita anggap remeh. Dan ten-

tunya kita selalu siap sedia menyambut kedatan-

gan mereka."

"Rasanya saya tidak sabar untuk menghajar 

orang-orang itu, Ayah...."

"Sabarlah, barangkali saja dengan jalan damai 

kita bisa menghindarkan kekerasan...."

Lagi Pranata Kumala mengagumi ayahnya yang 

semakin arif dan bijaksana.

Tiba-tiba di luar terdengar keributan, seperti 

orang sedang berkelahi. Serentak ketiganya me


lompat ke luar dan melihat sepasang manusia se-

dang dikeroyok oleh murid-murid Perguruan To-

peng Hitam.

Kedua orang itu nampak lincah. Mereka bersal-

to ke sana ke mari untuk menghindari serangan-

serangan yang datang. Keduanya mengenakan pa-

kaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna 

merah. Sedangkan murid-murid Topeng Hitam 

semakin geram karena tak satu serangan mereka 

pun yang masuk.

Hal itu membuat Pranata Kumala menjadi ge-

ram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya. 

Dan selarik sinar merah berkelebat ke arah kedua 

orang itu yang langsung dengan manisnya bersalto 

ke kiri dan ke kanan.

Melihat serangannya gagal, Pranata yang men-

duga sepasang manusia itu adalah Sepasang Ma-

nusia Srigala yang juga diduga oleh murid-murid 

Perguruan Topeng Hitam langsung melesat ke de-

pan. Dia langsung menyerang dengan jurus Tan-

gan Bayangan, warisan gurunya Ki Ageng Jayasih 

dari Gunung Muria. Mendadak saja tangannya 

bergerak bagaikan seribu. Sungguh cepat dan ber-

tenaga. Kedua manusia itu pun mengerahkan ke-

mampuan dan kelihaiannya untuk menghindari 

serangan Pranata Kumala.

Namun sepasang manusia yang sejak tadi 

hanya menghindar saja, kini mulai membalas. 

Yang laki-laki sambil bersalto mengirimkan sebuah 

pukulan ke arah kepala Pranata. Yang perempuan 

langsung melompat kembali begitu kakinya men-

darat di bumi dan sambil berputar dia menendang


ke arah perut Pranata.

Menghadapi serangan beruntun itu, Pranata 

bersalto ke samping. Disangkanya dia sudah dapat 

menghindari kedua serangan itu, sungguh tak dis-

angka, di saat keduanya masih di udara mereka 

bisa bersalto ke arah Pranata dan mengirimkan se-

rangan kembali.

"Hebat!" pekik Pranata mau tak mau. Menurut-

nya, bila Sepasang Manusia Srigala ini tidak hebat, 

mana mungkin mereka berani menantang ayah-

nya. Dan mau tak mau pula dia menjajaki kedua 

serangan itu, lalu memapakinya dengan nekat.

"Des! Des!"

Kedua benturan itu menimbulkan suara yang 

lumayan keras. Lalu masing-masing hinggap kem-

bali ke bumi dengan manis. Ketika akan saling 

menyerang kembali, terdengar suara berwibawa, 

"Hentikan!" Madewa Gumilang mengangkat tangan 

kanannya. Lalu menatap sepasang manusia itu 

sambil tersenyum. "Sepasang Walet Putih... sela-

mat datang di kediamanku yang jelek ini...!"

Yang laki-laki tertawa. "Hahaha... agaknya mata 

kami ini masih terlalu buta untuk melihat dalam-

nya lautan dan tingginya langit, Yang Mulia Made-

wa Gumilang...."

"Gaok! Aku tetaplah Madewa Gumilang yang 

dulu... hahaha!"

Lalu kedua laki-laki itu saling mendekat dan be-

rangkulan. Membuat yang lain keheranan. Lho, 

bukankah mereka itu Sepasang Manusia Srigala?

"Telah lama kudengar nama besar Sepasang 

Walet Putih, dan kini aku diberi kesempatan un


tuk bersua denganmu dan istrimu, Sri Kemun-

ing...."

"Madewa... nama besarmu sampai terdengar di 

pinggiran Gunung Slamet, sehingga kujajaki dara-

tan untuk berjumpa dengan orang yang bergelar 

Pendekar Bayangan Sukma...."

Madewa melambaikan tangannya pada Pranata 

Kumala. Dia mengenalkannya kepada Gaok dan is-

trinya yang sudah berada di sampingnya. Begitu 

pula dengan Ratih Ningrum.

"Pranata... mana mampu kau mengalahkan Se-

pasang Walet Putih, Gaok dan Sri Kemuning, ma-

jikan Gunung Slamet? Kau harus banyak belajar 

kembali darinya...."

Pranata langsung menjura hormat dan minta 

maaf.

"Madewa, kakiku dan kaki istriku memang sen-

gaja kami bawa ke mari untuk menyambangi 

orang agung dan besar seperti kau. Namun ketika 

kami masuk ke sini, sikap para pengawal dan mu-

rid-murid Perguruan Topeng Hitam nampak tidak 

bersahabat pada kami. Apakah begini cara pe-

nyambutan Perguruan Topeng Hitam pada ta-

munya?" tanya Gaok setelah mereka berada di 

ruang perjamuan.

"Hahaha... maafkan aku, hai sahabat. Saat ini

kami memang sedang menunggu kedatangan tamu 

yang lain...."

"Apakah kau sedang mengadakan hajatan?"

"Tidak, mereka datang untuk menteror!"

"Siapakah gerangan mereka?"

"Mereka menamakan dirinya Sepasang Manusia


Srigala...."

Mendengar nama itu disebutkan, wajah Gaok 

berubah beringas. Begitu pula dengan istrinya, Sri 

Kemuning. "Kapan, kapan dia akan datang?" ta-

nyanya dengan suara bernafsu.

Madewa melihat ada sesuatu yang telah terjadi 

pula pada diri Sepasang Walet Putih.

"Tenang, Sahabatku. Saudara Gaok... katakan-

lah sejujurnya, bahwa kalian meninggalkan Gu-

nung Slamet bukan karena ingin menyambangiku. 

Nah, katakanlah...!"

"Hahaha... kami memang benar-benar buta, ti-

dak tahu dengan siapa kami berhadapan. Yang 

Mulia... kami akan berterus terang. Di samping in-

gin menyambangimu, dan istrimu, kami memang 

sedang mencari tokoh jahat yang menamakan di-

rinya sebagai Sepasang Manusia Srigala."

"Apa yang mereka telah perbuat?"

"Mereka mengacau di kediaman kami, lereng 

gunung Slamet. Entah sudah berapa banyak gadis 

dan perjaka yang mereka culik untuk memuaskan 

nafsu mereka. Mereka sangat kejam. Belum lagi bi-

la mereka berubah menjadi srigala... tingkah me-

reka benar-benar seperti binatang itu. Rasa belas 

kasihannya tak ada sedikitpun juga...."

"Mereka berubah menjadi srigala?" potong Ma-

dewa sambil manggut-manggut.

"Betul, Madewa yang agung. Mereka dapat be-

rubah menjadi srigala!"

Kembali Madewa Gumilang manggut-

manggutkan kepala. Dulu dia pernah mendengar 

tentang ilmu sihir yang bila sudah sampai pada


tingkat terakhir atau puncaknya bisa menjadi ha-

rimau. Atau juga, bagi yang mempelajari ilmu ha-

rimau, lambat laun dengan amalan yang kuat dan 

ajian yang hebat, dia pun kadang bisa berubah 

menjadi harimau. Orang-orang menyebutnya ma-

nusia harimau.

Dan sekarang datang pula orang yang bisa be-

rubah menjadi srigala dengan menamakan dirinya 

Sepasang Manusia Srigala. Madewa mendesah. Be-

tapa banyaknya ilmu sesat di dunia ini rupanya. 

Menjadi srigala atau berubah menjadi hewan apa 

pun atau benda apa pun, itu sudah menyalahkan 

kodrat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.

"Kadang manusia suka melupakan hal itu. Me-

reka terlalu bernafsu untuk memiliki suatu ilmu 

tanpa dipikirkan akibatnya atau efek sampingan-

nya setelah ilmu itu dipelajari dan dikuasai," desah 

Madewa dalam hati.

Madewa kembali menatap Gaok.

"Lalu apa lagi yang mereka perbuat?"

"Mereka menghancurkan desa kami. Suatu ke-

tika, kami memergoki saat mereka sedang beraksi. 

Manusia yang menamakan diri Sepasang Manusia 

Srigala itu terdiri dari sepasang manusia yang 

amat tangguh dan tinggi ilmu silatnya. Mereka ju-

ga menguasai ilmu sihir yang hebat. Bentrokan 

yang terjadi antara kami dengan mereka, kami da-

pat dikalahkan oleh mereka. Namun rasa gejolak 

hati kami yang bersih, yang tidak menyukai keke-

rasan, dan dari pihak golongan putih, meskipun 

kami sudah mengalami kekalahan, setelah sem-

buh kami pun turun dari Gunung Slamet untuk

mencari Sepasang Manusia Srigala yang entah te-

lah melarikan diri ke mana."

"Hmm... sebenarnya, siapakah nama Sepasang 

Manusia Srigala itu?"

"Yang laki-laki bernama Laksamurka. Sedang-

kan yang perempuan bernama Dewi Murni."

Madewa terdiam. Merenung. Berpikir. Kini mu-

lai cukup jelas siapa sesungguhnya kedua manu-

sia srigala itu, yang datang dengan segenap teror-

nya yang mengerikan.

Lalu Madewa menyuruh beberapa orang pem-

bantunya untuk menyiapkan kamar untuk kedua 

tamunya.

***

DUA



Matahari hampir terbenam, setelah letih menja-

lankan tugasnya selama hampir 12 jam, bias-bias 

sinar merahnya masih membayang di ufuk barat. 

Sebagian sinarnya masih menerangi dunia, dan si-

sa-sisa biasnya kini menyinari pula desa Bojong-

panjang. Sebentar lagi malam akan datang.

Biasanya para penduduk desa Bojongpanjang 

setiap senja bermain-main di halaman rumah. Me-

reka sangat menikmati senja yang indah dan ma-

nis. Namun minggu-minggu terakhir ini, keadaan 

menjelang malam sangat sepi. Tak seorang pun 

yang terlihat keluar dari rumah. Semua pintu dan 

jendela telah tertutup rapat.


Ini terjadi sejak datangnya sepasang manusia 

yang mengaku bernama Laksamurka dan Dewi 

Murni. Kedatangan mereka semula disambut baik, 

namun lama kelamaan kelihatan kedok mereka 

yang sesungguhnya. Tingkah laku mereka tak be-

radab. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, Lak-

samurka memperkosa seorang anak gadis di ha-

dapan kedua orang tuanya. Dan sejak saat itu 

keadaan mencekam menyelimuti desa Bojongpan-

jang.

Ki Lurah Wiropura tak bisa berbuat apa-apa. 

Dia pun sudah mendapat ancaman yang mengeri-

kan bila tak menyediakan seorang gadis dan seo-

rang jejaka. Namun bagi Ki Lurah, dia lebih baik 

mati daripada memenuhi permintaan biadab ke-

dua orang itu.

Malam pun mulai turun. Dari kejauhan terden-

gar lolong panjang srigala bersahut-sahutan. Hal 

itu semakin membuat para penduduk ketakutan. 

Mereka berdoa banyak-banyak semoga tidak terja-

di malapetaka yang menimpa mereka.

Tiba-tiba muncul dua sosok makhluk berkaki 

empat dari balik hutan. Sepasang mata mereka 

bersinar merah mengerikan. Lidah mereka keluar 

dan meneteskan air liur. Mereka adalah dua ekor 

srigala yang nampak kelaparan. Dan pelan-pelan 

kedua srigala itu melangkah menuju sebuah ru-

mah kecil.

Penghuni rumah itu adalah sepasang pengantin 

baru yang baru tiga hari menikah. Namun teror 

Sepasang Manusia Srigala tidak memberikan ke-

sempatan lagi bagi keduanya untuk menikmati bu


lan madu mereka.

Kedua srigala itu semakin mendekat.

Di dalam rumah, kedua pengantin baru itu sal-

ing dekap dengan erat. Mereka seolah mencium 

bau amis yang menjijikkan, semakin lama semakin 

jelas tercium.

"Kakang...." desis istrinya ketakutan.

Suaminya seorang pemuda gagah perkasa den-

gan wajah tampan. Erat-erat didekapnya istrinya 

seolah memberikan ketenangan. Padahal dia sen-

diri tak lebih sama dengan istrinya.

Tiba-tiba terdengar derak keras pada pintu be-

lakang. Istrinya semakin menggigil dalam deka-

pannya. Hati-hati dia mengambil parang besar 

yang tersampir di tembok. Sigap dan siaga dia be-

rusaha untuk menjaga istrinya.

Dan suara derak itu terdengar kembali. Menda-

dak pintu itu hancur berantakan. Bukan main ter-

kejutnya mereka berdua begitu melihat makhluk 

apa yang berada di hadapan mereka. Sepasang 

srigala dengan wajah buas mengerikan.

Sang suami bergerak dengan cepat mengayun-

kan parang besarnya ke arah kedua srigala itu. 

Namun seperti mengerti bahwa parang itu men-

gancam mereka, kedua srigala itu tiba-tiba me-

lompat ke kiri dan menerkam. Buru-buru dia 

mengayunkan parangnya.

Laki-laki itu gugup. Dia merasakan tubuh is-

trinya terkulai di dekapannya. Istrinya telah ping-

san. Kini dia menjadi siaga. Kedua srigala itu ber-

diri menatapnya dengan wajah beringas. Tiba-tiba, 

sungguh tiba-tiba, sepasang mata merah itu beru


bah menjadi putih dan tiba-tiba mengepul asap 

putih menyelimuti kedua srigala itu. Laki-laki yang 

bernama Warto itu bingung. Apa yang sedang ter-

jadi?

Tiba-tiba asap putih tadi menghilang. Menghi-

lang pula kedua srigala itu. Sebagai gantinya kini 

berdiri di hadapannya dengan sikap gagah dan 

angkuh sepasang manusia. Dia adalah Laksamur-

ka dan Dewi Murni yang dapat menjelma menjadi 

srigala.

Laksamurka bertubuh besar dengan bulu-bulu 

tangan yang menyeramkan. Wajahnya cukup lu-

mayan. Dengan bulu-bulu halus yang cukup lebat. 

Yang menyeramkan darinya adalah pakaiannya 

yang terbuat dari kulit srigala. Begitu pula dengan 

kalung yang berupa taring srigala.

Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Dewi 

Murni adalah seorang wanita yang cantik dengan 

tubuh yang indah dan padat. Pakaiannya pun ter-

buat dari kulit srigala, namun berpotongan puteri 

rimba. Menampakkan pahanya yang indah dan 

sepasang buah dadanya bagian atas. Dia pun 

mengenakan kalung mirip Laksamurka.

Keduanya tertawa melihat Warto tertegun. Sebe-

lum laki-laki itu berbuat apa-apa, Dewi Murni su-

dah berkelebat dan menotok urat kaku laki-laki itu 

hingga terdiam.

"Hik... hik.. hik... makanan lezat untukku ma-

lam ini, Laksamurka...." Wanita itu terkikik den-

gan suara yang menakutkan. Dia membelai-belai 

pipi Warto yang hanya terbelalak tanpa bisa ber-

buat apa pun.


Laksamurka tertawa keras. "Aku pun memiliki 

hidangan yang cukup hangat, hanya sayang dia 

masih pingsan...."

"Hik... hik... hik... penciumanmu tajam sekali, 

Laksamurka...!"

"Dan nafsu seksmu sangat kuat, Dewi Murni.... 

Sayang, aku harus menunggu gadis itu siuman 

dari pingsannya."

"Dan aku sudah bisa memotong hidangan ku, 

bukan?" kata Dewi Murni sambil mengerling genit. 

Lalu dia melenggang mendekati Warto yang hanya 

bisa membelalakkan matanya dengan gusar. Di-

usapnya pipi laki-laki itu dengan genit. Warto me-

mejamkan matanya. Dan semakin memejamkan-

nya ketika Dewi Murni membuka pakaiannya ba-

gian atas sedikit. Pakaian yang minim itu, lang-

sung menampakkan buah dadanya yang bulat dan 

montok. "Hihihi.... mengapa kau memejamkan ma-

tamu, Manis.... Ayo nikmatilah tubuhku ini den-

gan sepuas-puasnya...!"

Dewi Murni menotok urat mata Warto hingga 

kedua mata itu terbuka dan tak bisa ditutup lagi. 

Dewi Murni semakin tertawa-tawa. Lalu perlahan-

lahan dia membuka seluruh bajunya hingga telan-

jang bulat di hadapan Warto. Sementara Laksa-

murka hanya terkekeh saja sambil menunggu istri 

Warto siuman.

Belum lagi musibah menimpa Warto dan is-

trinya, dari luar terdengar teriakan-teriakan keras 

yang menyuruh kedua orang itu keluar.

"Bangsat!" geram Dewi Murni atau manusia sri-

gala betina sambil mengenakan pakaiannya lagi.


"Siapa yang berani mengganggu keasyikan Dewi 

Murni, dia akan mampus dengan mayat yang 

mengerikan!"

"Keluar dari sini! Hei, manusia-manusia dajal, 

keluar!"

"Warto, bagaimana keadaanmu?!"

"Bagaimana dengan istrimu?!"

"Hei, manusia busuk, keluar!"

Seruan-seruan ramai terdengar. Pintu depan 

terbuka, muncul sepasang laki-laki dan perem-

puan dengan wajah siap mencabut nyawa. Kedua-

nya menggeram melihat sejumlah penduduk yang 

bersenjatakan parang, pisau, tombak, clurit siap 

mengurung mereka.

Salah seorang di antara mereka adalah Ki lurah 

Wiropura. Laki-laki setengah baya itu berkata den-

gan lantang, "Manusia srigala busuk! Tolong jan-

gan ganggu ketenangan kami!"

"Hahaha... Ki Lurah, sungguh besar nyalimu!" 

desis Laksamurka. "Namun agaknya sia-sia kebe-

ranianmu dan kenekatan seluruh penduduk desa 

ini untuk menghalangi sepak terjang Sepasang 

Manusia Srigala!"

"Kami lebih rela mati daripada menjadi budak 

iblismu!" geram Ki Lurah marah.

"Ki Lurah... berpikirlah baik-baik sebelum kau 

membuang nyawa tuamu dengan percuma...." ber-

desis Dewi Murni sambil mengerling genit.

"Malam ini, aku Wiropura, akan menyabung 

nyawa dengan kalian berdua!"

Kedua manusia itu tertawa ngakak. Membaha-

na. Membelah malam yang semakin kelam.


"Ki Lurah... Ki Lurah..." berkata Laksamurka. 

"Kau lihat dulu apa yang kau pegang itu?! Ular 

berbisa!"

Ki Lurah terkejut kaget ketika mendengar suara 

berdesis di tangannya. Tombak yang dipegangnya 

telah berubah menjadi ular berbisa dan siap me-

magut kepalanya. Sigap Ki Lurah membuang ular 

itu yang ketika jatuh ke tanah berubah kembali 

menjadi tombak.

"Ilmu sihir!" desisnya.

"Hahaha... dengan kepandaian seperti itu kau 

hendak mengalahkan bahkan membunuh kami?!"

"Tekadku sudah bulat untuk membasmi orang-

orang seperti kalian!" seru Ki Lurah mantap. Lalu 

melirik warganya yang kelihatan agak ketakutan. 

"Jangan takut! Saudara-saudara! Kita bunuh ke-

dua manusia ini beramai-ramai! Serbuuuuu!"

Serentak warga yang agak ragu-ragu itu bangkit 

kembali semangat mereka. Mereka menyerbu den-

gan mengacungkan senjata yang mereka pegang.

"Lihat apa yang kalian pegang?!" seru Laksa-

murka.

Para penduduk yang menyerbu serentak ber-

henti melangkah, dan masing-masing melihat sen-

jata yang mereka pegang. Mendadak semuanya be-

rubah menjadi ular berbisa. Mereka menjadi pa-

nik. Beberapa orang tak sempat membuangnya 

hingga mereka pun harus menemui ajal. Dan ular-

ular itu terus menyerang mereka dengan buas di-

iringi tawa menyeramkan dari kedua orang itu.

"Hahaha... lucu, lucu sekali!" seru Laksamurka 

tertawa.


Orang-orang itu menyabetkan batang kayu yang 

mereka raih untuk mengusir ular-ular itu. Namun 

ular-ular itu sangat buas. Sebentar saja hanya 

tinggal Ki Lurah dan beberapa orang yang masih 

sibuk mengusir ular-ular itu. Sedangkan yang lain 

terkapar dengan tubuh membiru dan mulut men-

geluarkan ludah berbusa.

"Kalian jangan coba-coba menghalangi perbua-

tan kami!" seru Laksamurka.

"Dan hari ini kalian lebih mengenal siapa Sepa-

sang Manusia Srigala, yang siap untuk mencabut 

nyawa siapa saja! Juga nyawa Madewa Gumilang, 

Pendekar Bayangan Sukma!" sambung Dewi Mur-

ni.

Berkat kegigihan Ki Lurah dan beberapa warga 

yang masih hidup, mereka dapat membasmi ular-

ular jejadian itu. Yang setelah terpotong dua kem-

bali ke asalnya menjadi senjata-senjata yang me-

reka pegang tadi.

Ki Lurah melotot marah pada sepasang manusia 

itu. Wajahnya berkeringat. Dia tidak menjadi gen-

tar menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Ma-

lah kemarahannya dan dendamnya semakin naik 

memuncak. Walau apapun yang terjadi, dia tetap 

akan berusaha mengusir kedua manusia dajal ini.

"Manusia-manusia iblis, kami siap menyabung 

nyawa dengan kalian!" serunya seraya maju me-

nyerang dengan parang di tangan kanannya ke 

arah Laksamurka.

Melihat kenekatan Ki Lurah, Laksamurka hanya 

tertawa. Dia cukup menggeser tubuhnya sedikit 

hingga tebasan parang itu tidak menemui sasaran.


Dan tangannya bergerak dengan cepat menghan-

tam punggung Ki Lurah Wiropura yang terhuyung 

ke depan dan muntah darah. Di samping pukulan 

Laksamurka yang mengandung cukup tenaga, dia 

pun terdorong oleh tenaganya sendiri saat men-

gayunkan parangnya.

Ki Lurah merasakan dadanya seakan remuk. 

Bagai dihantam pukulan godam yang tiba-tiba 

mengenai dadanya.

"Huak!" sekali lagi Ki Lurah Wiropura muntah 

darah, dan merasakan pusing yang teramat san-

gat. Matanya berkunang-kunang. Dan mual pun 

mulai menyiksanya.

Melihat hal itu beberapa warganya menjadi ma-

rah dan ikut menyerang. Serangan-serangan me-

reka ganas karena diliputi marah dan dendam. 

Namun mereka bukanlah tandingan kedua manu-

sia itu. Yang dengan seenaknya menghabisi setiap 

gerakan mereka. Dan kelojotan dengan tubuh 

hancur tak berbentuk.

Ki Lurah Wiropura yang masih sekarat, betapa 

sedihnya menyaksikan warganya yang kembali te-

was di tangan kedua manusia itu.

Dia mencoba bangkit untuk membalas. Namun 

tubuhnya terasa sakit dan berat sekali. Tetapi di-

usahakannya juga untuk bangkit. Dia harus 

membalas. Harus! Harus!

Belum lagi dia tegak berdiri, mendadak Dewi 

Murni menendang sebilah parang yang tergeletak 

di tanah. Bagai bernyawa, parang yang ditendang 

itu meluncur dengan deras ke arah Ki Lurah yang 

terbeliak kaget melihat datangnya parang itu.


Dan... "Aaakhh! Bless!"

Tak ampun lagi parang itu menancap menem-

bus dadanya diiringi dengan jeritan yang menyayat 

hati.

Memilukan.

Dan mampuslah Ki Lurah Wiropura yang gagah 

perkasa itu.

Terdengar tawa kedua manusia srigala.

"Hahaha... orang-orang tak berguna!" seru Lak-

samurka. "Dewi, mari kita nikmati lagi hidangan 

yang telah tersedia! Hahaha... untungnya hidan-

gan kita ini tak akan pernah basi! Bukan begitu, 

Dewi?"

"Betul! Betul!"

Dalam keremangan malam, terdengar dengusan 

nafas dan ringkik kenikmatan diiringi desah kesa-

kitan dan rintih kepedihan Warto dan istrinya yang 

belum sempat menikmati apa artinya malam pen-

gantin itu bagi mereka.

***

TIGA



Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Sri-

gala di desa Bojongpanjang pun menyebar ke selu-

ruh rimba persilatan. Sepak terjang keduanya 

sangat mengerikan dan tak mengenal batas kasi-

han. Mereka tak segan-segan menurunkan tangan 

telengas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.


Banyak tokoh-tokoh dari golongan putih yang 

mencoba menghalangi perbuatan mereka. Namun 

mereka pun tak bisa berbuat banyak. Sebagian be-

sar malah mampus di tangan keduanya.

Namun malam itu, beberapa sosok tubuh men-

dekati sebuah bangunan yang terletak di ujung 

desa Bojongpanjang. Bangunan itu didiami oleh 

Sepasang Manusia Srigala. Dengan mengambil 

pengawal, pelayan, pembantu dan beberapa orang 

pemuas nafsu yang mereka culik secara paksa dari 

beberapa desa.

Malam ini pun Laksamurka baru saja meraih 

kenikmatan dengan menggumuli seorang perawan 

cantik yang diculik tadi sore. Dia terkekeh melihat 

perawan itu menangis meratapi nasibnya yang 

sangat malang.

"Hehehe... mengapa harus bersedih, Manis? 

Bukankah kau sudah kuajak berkeliling ke sorga 

yang indah... hehehe...."

Wajah perawan itu pias. Ketakutan, sedih, ma-

rah, malu, dan kecewa karena tidak bisa berbuat 

apa-apa saat manusia iblis itu menjarah tubuh-

nya.

Di luar bangunan itu, sosok-sosok tubuh yang 

mendekat, mulai berpencar. Mereka terdiri dari li-

ma orang. Di pinggang masing-masing nampak 

ada sebilah pedang tipis yang tajam. Mereka ada-

lah Lima Pedang Maut. Orang-orang golongan pu-

tih dari Timur. Mereka pun sudah mendengar se-

pak terjang dan kekejaman sepasang manusia sri-

gala itu. Dan mereka bertekad untuk menghenti-

kan aksi kekerasan yang mereka lakukan.


Para pengawal yang menjaga, dengan mudah 

sekali dibungkamkan. Dan mereka pun bersalto 

masuk ke dalam.

Tiba-tiba salah seorang berseru: "Hei, Sepasang 

Manusia Srigala! Muncullah kalian di hadapan 

kami!"

Suaranya menggema. Menyentak telinga Lak-

samurka yang tengah bersiap menikmati tubuh 

gadis itu lagi. Menjarah telinga Dewi Murni yang 

baru saja meraih kenikmatan yang panjang dari 

pemuda yang dipaksanya untuk melayaninya.

Dia pun bergerak cepat untuk berpakaian. Lalu 

melesat keluar melalui jendela. Di ruang tengah 

nampak di hadapannya lima orang berpedang ber-

diri gagah dengan tangan kiri mendekap di dada 

dan tangan kanan memegang pedang yang ujung-

nya berada di kaki kanan bawah.

Sikap mereka gagah dan jantan. Penuh perhi-

tungan.

Dewi Murni terkekeh, "Hihihi... siapa rupanya 

kalian yang berani-beraninya mengganggu Sepa-

sang Manusia Srigala, hah!?"

"Kami, Lima Pedang Maut dari Timur yang akan 

menghentikan sepak terjang kalian!" kata salah 

seorang yang bernama Suro Japara.

"Hihihi... rupanya malam ini aku kedatangan 

orang pemimpi... lucu, lucu!"

"Hhh! Jangan banyak bacot, Dewi Busuk! Kau 

akan merasakan kehebatan ilmu pedang kami!"

"Oh, ya? Hihihi... pemimpi-pemimpi yang ingin 

bermimpi dan bisa bermimpi lagi. Kalian tentunya 

telah bermimpi bukan, kalau kepala dan tubuh ka


lian terpisah akibat tanganku?"

Wajah Suro Jingga memerah. Tangannya makin 

mengepal pedangnya. Geram.

Terdengar tawa Dewi Murni lagi. "Hihihi... ba-

gus, bagus sekali. Jadi kalian tidak terkejut bila 

kepala dan tubuh kalian terpisah!"

"Dewi... siapa yang datang malam-malam begini 

dengan sengaja untuk mengganggu kenikmatanku, 

hah?!" terdengar suara di belakang Dewi Murni. 

Laksamurka muncul dengan gagah.

Kelima orang itu segera memasang tenaga da-

lam mereka. Karena dalam suara yang dilontarkan 

Laksamurka mengandung tenaga dalam yang bisa 

menyerang mereka.

Diam-diam kelima orang itu pun kagum pada 

Laksamurka. Mereka menjadi bersiap dan semakin 

berhati-hati.

"Laksamurka... aku pun merasa terganggu den-

gan kedatangan orang-orang tak diundang ini. Ah, 

aku jadi bingung... mereka hendak kita suguhi 

dengan apa, Laksamurka?"

"Itu tugas kau sebagai perempuan, Dewi!"

"Laksamurka, bagaimana bila mereka kita su-

guhi kotoran anjing saja! Kan banyak terdapat di 

belakang!"

"Hahaha... betul, betul... mereka kita beri koto-

ran anjing! Karena mereka tak ubahnya seperti 

anjing!"

Disindir sedemikian rupa, wajah Lima Pedang 

Maut itu memerah. Dan tanpa dikomando lagi me-

reka segera mengurung kedua manusia itu yang 

seakan tak sadar akan bahaya mengancam, kare


na keduanya masih asyik bercakap-cakap.

"Wah, anjing-anjing itu mengurung kita, Dewi!"

"Itu lebih baik, Laksamurka. Mereka saja yang 

kita jadikan kotoran dan kita berikan pada anjing."

"Betul, betul... heit!" Laksamurka langsung ber-

salto karena pedang dari kelima orang itu sudah 

menyambar kakinya. Dan serentak di dalam ban-

gunan itu terjadi pertempuran yang sengit.

Ilmu pedang kelima Pedang Maut itu tak bisa 

dianggap ringan. Mereka bergerak dengan cepat 

dan tangkas. Permainan pedang mereka pun sam-

bung-menyambung tak putus. Satu menyerang, 

yang lain menunggu. Lepas dari serangan itu, me-

reka pun menyambung.

Hal ini cukup membuat kedua manusia itu se-

dikit kewalahan.

Tiba-tiba Laksamurka membentak, "Awas se-

rangan!" Tubuhnya melenting ke atas dan menye-

rang ke arah Suro Japara. Sedetik Suro Japara ti-

dak menunduk, habislah riwayatnya. Serangan 

yang mengandung tenaga dalam yang hebat itu le-

wat di kepala Sura Japara.

Melihat hal itu, Suro Japara semakin marah. 

Serentak dia membentak, "Saudara-saudara! Ben-

tuk Lima Barisan Menutup Lautan!"

Seketika empat temannya yang sedang menye-

rang, bersalto mendekatinya. Dan segera memben-

tuk Lima Barisan Menutup Lautan.

"Hhh! Ilmu apa yang kalian pamerkan di hada-

pan Sepasang Manusia Srigala, hah?!" tertawa 

Laksamurka.

Tetapi kelima orang itu tidak perduli. Barisan


itu pun dilakukan. Suro Japara berdiri di depan. 

Di belakangnya dua orang berdiri dengan pedang 

yang seorang di tangan kiri dan seorang lagi di 

tangan kanan. Begitu pula yang di belakang mere-

ka. Dua orang dengan posisi pedang yang sama. 

Jarak mereka masing-masing dua meter. Memben-

tuk barisan sepanjang enam meter.

"Nah, silahkan kalian berdua tembus barisan 

ini!" seru Suro Japara, sambil bersiap.

Sepasang Manusia Srigala itu saling melirik. La-

lu tanpa dikomando lagi keduanya menyerang, 

memasuki barisan yang ketat itu.

Luar biasa. Barisan itu sukar untuk ditembus. 

Setiap kali Laksamurka atau Dewi Murni menye-

rang, pedang-pedang itu pun menyambar hingga 

mengurungkan niat mereka untuk menyerang te-

rus. Kalaupun mereka menyerang dari kiri, dua 

buah pedang menyambut. Menyerang dari kanan, 

begitu pula. Bila menyerang dari belakang, barisan 

itu memutar menutup barisan. Bila menyerang 

Suro Japara yang berada di depan, serentak 

keempat temannya maju membentuk horisontal 

dengan pedang yang menyerang secara bergantian.

Sampai sekian jurus, Sepasang Manusia Srigala 

itu pun belum mampu menembus pertahanan dan 

serangan dari Lima Pedang Maut, yang benar-

benar tangguh dan hebat.

Mendadak pula barisan itu berpencar dan me-

nyerang dengan cepat. Namun setiap kali diserang, 

mereka kembali merapat dan membentuk jurus 

tadi, Lima Barisan Menutup Lautan.

Tiba-tiba Laksamurka berseru sambil bersalto


mundur, "Dewi Murni, hentikan serangan!"

Dewi Murni pun menarik tangannya pulang dan 

bersalto berdiri bersisian dengan Laksamurka.

Lima Pedang Maut tertawa. Suro Japara menge-

jek, "Kalian jeri melihat pertahanan dan serangan 

kami, bukan? Nah, sebelum mampus lebih baik 

kalian berlutut! Atau kalian bunuh diri saja karena 

kami sudah muak melihat tampang dan sepak ter-

jang kalian semua!"

"Hahaha... jangan merasa di atas angin dulu, 

Anjing-anjing dari Timur! Kalian harus ingat, den-

gan siapa kalian berhadapan sekarang ini! Kalian 

tengah berada di sarang srigala! Dan srigala-

srigala itu tak akan puas bila belum mencabik-

cabik tubuh kalian!"

"Srigala busuk! Buktikan ucapanmu!" bentak 

Suro Japara.

"Hahaha... rupanya kau tak sabar ingin cepat-

cepat mampus. Baik, jangan sesali nasibmu!" Se-

habis membentak demikian, Laksamurka terdiam 

sejenak. Lalu tertawa, "Lima Pedang maut, kalian 

lihat apa yang tengah kalian pegang itu! Ular ber-

bisa!"

Serentak kelima orang itu melihat pedang mere-

ka yang telah berubah menjadi ular berbisa. Mas-

ing-masing segera melempar pedang yang ada di 

tangan mereka.

Selagi pedang tak ada di tangan mereka, mener-

janglah Laksamurka dan Dewi Murni. Tanpa am-

pun lagi dua jeritan terdengar. Dan dua nyawa me-

layang.

Melihat hal itu Suro Japara menjadi gusar dan


marah karena dia hanya ditipu oleh ilmu sihir. Te-

tapi ular-ular jejadian itu terus mendekat dan me-

nyerang mereka.

Dua orang lagi pun tewas dipatuk ular berbisa 

hingga tubuh mereka membiru. Kini tinggallah Su-

ro Japara yang dengan sebisanya menghindari se-

rangan patukan dari ular-ular itu.

Tiba-tiba dia bersalto dan menyambar salah 

seekor ular itu. Dan menyabetkannya pada ular-

ular yang lain. Aneh, begitu tubuh ular-ular itu 

saling menyentuh, mereka berubah kembali men-

jadi pedang.

Sigap Suro Japara menyambar sebuah pedang 

yang tergeletak dan bersalto kembali. Lalu hinggap 

di tanah dengan ringannya. Wajahnya memancar-

kan sinar pembunuhan, dendam dan sakit hati. 

Apalagi dilihatnya empat mayat sahabatnya yang 

kini tergeletak tak jauh darinya dengan tubuh luka 

parah dan wajah yang mengerikan mengeluarkan 

darah.

"Sepasang Manusia Srigala!" geramnya dengan 

wajah memerah karena menahan geram yang san-

gat luar biasa. "Hari ini kau akan mampus mene-

bus nyawa empat saudaraku, hah!"

"Kini kau tinggal sendiri, Suro Japara! Ternyata 

kau masih besar mulut pula!" kata Laksamurka 

sambil tertawa.

"Lebih baik kau menjadi pengawal kami, dan se-

tiap malam... kau harus memberikan kehangatan 

padaku!" terkikik Dewi Murni. Lalu mengerling ge-

nit. "Suro Japara... kau padahal cukup ganteng, 

dan... ah, tubuhmu nampak begitu menggairah


kan! Mengapa kau begitu bodoh hendak mem-

buang nyawamu dengan percuma menghadapi 

kami? Kau sudah tahu bukan, tak ada seorang 

pun yang dapat membunuh kami!"

"Hhh! Kau melupakan seseorang rupanya, Ma-

nusia Srigala!"

"Siapa dia?!"

"Kau melupakan manusia maha sakti yang bisa 

disejajarkan dengan manusia dewa, Madewa Gu-

milang! Pendekar Bayangan Sukma! Kalian ru-

panya tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya 

langit, Manusia Srigala!"

"Hahaha... Madewa Gumilang? Tak lama lagi 

nama dia pun akan terkubur dalam-dalam di da-

sar bumi!"

"Hhh! Rupanya kalian memang manusia-

manusia iblis! Baik, kini tinggal aku seorang dari 

Lima Pedang Maut. Tapi aku bukanlah pengecut 

yang suka melarikan diri sementara keempat sau-

daraku tewas di tangan kalian! Nah, bersiaplah! 

Aku akan mengadu jiwa dengan kalian!"

"Hihihi... lebih baik kau pikirkan tawaranku, 

Suro Japara! Pikirkanlah lagi... hei!"

Belum lagi selesai ucapan Dewi Murni, Suro Ja-

para sudah maju menyerang dengan tenaga pe-

nuh. Dewi Murni serentak melompat ke kiri dan 

balas menyerang.

Sigap Suro Japara melompat dan kembali me-

nerjang. Tetapi kali ini Dewi Murni menjajakinya. 

Ujung pedang Suro Japara yang hampir mengenai 

dadanya, dia kibaskan dengan ujung jari telunjuk-

nya. Lalu tangannya menghantam ke arah dada


Suro Japara, yang cepat menangkis. Namun sung-

guh di luar dugaannya, tenaga yang tersalur dari 

tangan Dewi Murni demikian besar. Tangan Suro 

Japara terasa ngilu dan terdengar suara "krak!" 

yang menandakan tangan-tangan itu patah.

Suro Japara terhuyung.

Laksamurka berseru, "Dewi, habisi saja! Jangan 

membuang waktu lagi!"

Dengan satu sentakan, tubuh Dewi Murni mele-

sat ke depan. Dan kepalannya menghantam dada 

Suro Japara yang kini muntah darah. Dan tangan 

Dewi Murni bergerak cepat, menyambar leher Suro 

Japara dan memuntirnya.

"Krek!"

Leher itupun patah!

Dewi Murni meludah sambil melemparkan tu-

buh.

"Orang-orang tak tahu diuntung!" geramnya.

Sementara Laksamurka terbahak-bahak.

***

EMPAT



Sepak terjang Sepasang Manusia Srigala yang 

membuat onar serta membunuh Lima Pedang 

Maut, cepat tersebar ke rimba persilatan.

Saat ini pun di ruang pertemuan perguruan To-

peng Hitam, sedang terjadi dialog antara Madewa 

Gumilang dengan Sepasang Walet Putih. Di sana 

juga hadir Ratih Ningrum, Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati.

"Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-

larut, Madewa," kata Gaok pada Madewa Gumi-

lang.

"Benar, Ayah. Sebaiknya kita segera mencegah 

dan membasmi Sepasang Manusia Srigala sebelum 

mereka terus menerus membuat teror!" kata Pra-

nata Kumala. "Atau sebaiknya... biar saya yang 

mencari kedua manusia dajal itu, Ayah..." kata 

Pranata lagi yang kali ini langsung dipegang tan-

gannya oleh istrinya. Seperti memahami perasaan 

istrinya yang nampak cemas, yang jelas terlihat 

dari pancaran kedua bola matanya yang bening, 

Pranata Kumala membalas memegang lengan Am-

barwati.

Madewa pun merasa sudah saatnya sepak ter-

jang kedua manusia itu dihentikan. Selama ini dia 

tidak mau bergerak karena berharap kedua manu-

sia itu akan insyaf dan menyadari kalau perbuatan 

mereka sangat keliru.

Namun tunggu punya tunggu keinsyafan itu tak 

muncul pula. Madewa mendesah panjang. "Sampai 

kapan kejahatan ini akan berlangsung?"

"Yah... kita memang harus segera menghentikan 

sepak terjang keduanya. Hal ini tak bisa berlarut-

larut. Baik, Pranata... kuijinkan kau bersama be-

berapa murid Perguruan Topeng Hitam untuk 

mencari jejak kedua manusia itu,..." kata Madewa 

dengan suara yang terdengar arif dan bijaksana.

Pranata menjura. "Terima kasih, Ayah."

"Dan kau ingat, kau harus berhati-hati meng-

hadapi mereka, Pranata!"


"Hmm... jangan kuatir, Madewa. Kami akan 

menemani perjalanan Anak mas Pranata Kumala," 

kata Gaok yang melirik istrinya yang kemudian 

mengangguk.

Sudah tentu Ambarwati tidak mau membiarkan 

suami pergi sendiri. Meskipun ditemani Sepasang 

Walet Putih, Ambarwati tetap menyebutnya Prana-

ta Kumala pergi sendiri, karena tanpa dirinya. Bila 

pergi bersamanya, bolehlah dikatakan itu ditema-

ni. Ambarwati sangat menyintai suaminya.

Lalu dia pun minta diijinkan ikut.

Bagi Madewa dan istrinya, Ratih Ningrum, hal 

itu boleh saja untuk mereka. Yang penting Pranata 

Kumala sendiri memperbolehkan istrinya mene-

maninya.

Sebenarnya Pranata hendak melarang istrinya 

ikut, karena dia tidak mau istrinya terlibat kesuli-

tan. Tetapi tatapan Ambarwati yang begitu memo-

hon dan kekeras-kepalaannya, sukar bagi Pranata 

untuk menolak.

Keesokan paginya, berangkatlah empat orang 

itu beserta beberapa murid Perguruan Topeng Hi-

tam dengan menunggang kuda. Perjalanan yang 

masih membuat tanda tanya di manakah dan ke 

manakah mereka harus mencari sepasang manu-

sia iblis itu.

Selama dua hari dalam perjalanan, tibalah me-

reka di desa Bojongpanjang. Begitu memasuki de-

sa itu, semua menjadi keheranan. Betapa su-

nyinya. Hening. Desa itu bagai mati belaka. Desa 

yang dulu terdengar begitu makmur, kini bagai 

kuburan saja. Sepi, bahkan tak ada tanda-tanda


kehidupan yang dapat dikenali di sana.

Mereka beristirahat di pinggiran desa itu.

"Kakang Gaok... ada baiknya kita berpencar di 

sini," kata Pranata Kumala kemudian, setelah me-

reka selesai bersantap siang. "Kupikir, bila kita se-

lalu bersama, akan susah adanya mencari Sepa-

sang Manusia Srigala. Waktu yang kita butuhkan 

akan lebih banyak. Jadi kupikir pula, sebaiknya 

kita berpisah. Kita datang dari Utara, maka se-

baiknya aku dan istriku ke Barat, sedangkan Ka-

kang dan Mbakyu Sri Kemuning ke arah Selatan. 

Bagaimana, Kakang?"

"Kalau itu kemauanmu, Dimas... bolehlah. Ku-

pikir usulmu itu baik sekali. Pesanku, berhati-

hatilah menghadapi manusia-manusia itu...." kata 

Gaok.

Dua jam kemudian mereka pun berpisah. Se-

perti yang sudah disepakati, Pranata Kumala dan 

istrinya serta beberapa murid Perguruan Topeng 

Hitam pun berangkat ke Barat. Sedangkan Gaok 

dan Sri Kemuning berangkat ke Selatan.

Namun tanpa setahu mereka, kedatangan me-

reka sebenarnya sudah dicium oleh Sepasang Ma-

nusia Srigala. Keduanya pun berpencar mencegat 

perjalanan mereka, sedangkan Dewi Murni mengi-

kuti jejak Gaok dan istrinya.

Malam hari, Pranata Kumala memerintahkan 

untuk bermalam di sebuah hutan, yang terdapat 

di desa Bojongpanjang.

"Agaknya di sini cukup aman," katanya kemu-

dian. "Sampai sejauh ini kita belum mencium tem-

pat tinggal Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi


kita tetap harus waspada dan berhati-hati, karena 

keduanya adalah tokoh-tokoh yang sakti!"

Mereka pun bermalam dengan penjaga bebera-

pa murid Perguruan Topeng Hitam.

Tengah malam tak jauh dari mereka bermalam, 

sepasang mata nampak memperhatikan rombon-

gan kecil itu. Dia adalah Laksamurka. Dia menghi-

tung hanya lima orang yang menjaga, itu pun 

nampak sudah terkantuk-kantuk akibat perjala-

nan yang jauh.

Laksamurka memetik lima lembar daun di de-

katnya. Dan secara serempak kelima daun itu di-

lemparkannya ke arah para penjaga. Luar biasa, 

kelima murid Perguruan Topeng Hitam ambruk 

dengan urat nadi di leher berdarah.

Tanpa mengeluarkan suara, Laksamurka keluar 

dari persembunyiannya. Saat itu Pranata Kumala 

belum bisa memejamkan matanya karena memi-

kirkan di mana tempat persembunyian Sepasang 

Manusia Srigala berada. Sementara istrinya sudah 

terlelap di sampingnya.

Pendengarannya yang cukup terlatih menang-

kap gerakan mendekati mereka. Sigap Pranata 

Kumala berdiri. Dia merasakan ada desir angin 

yang datang ke arah mereka. Serentak Pranata 

berguling sambil mendorong tubuh istrinya. Tiga 

buah senjata rahasia berbentuk taring srigala me-

nancap di tanah.

"Bangsat keji!" geram Pranata.

Istrinya yang terbangun langsung bertanya, 

"Ada apa, Kakang?"

"Bersiap-siaplah, Rayi... manusia srigala itu sudah mengetahui kedatangan kita...."

Ambarwati mengambil pedangnya yang tergele-

tak di sampingnya.

Pranata Kumala melompat ke depan. "Manusia 

busuk! Keluar kau dari persembunyianmu!"

Seruan Pranata Kumala membangunkan bebe-

rapa murid Perguruan Topeng Hitam yang tertidur 

dan menjadi waspada melihat Pranata Kumala 

nampak bersiaga.

Dari balik semak muncul Laksamurka dengan 

sikap gagah. Dia tertawa melihat orang-orang itu 

dalam posisi siap tempur. Matanya langsung na-

nar memerah melihat Ambarwati. Gairahnya mun-

cul.

"Hahaha... kalian ternyata punya nyali juga! 

Hmm, perkenalkan aku adalah Laksamurka salah 

seorang dari Sepasang Manusia Srigala, yang 

muncul untuk mencabut nyawa kalian!"

"Manusia dajal, maksud apa kau sesungguhnya 

membuat teror seperti ini?!" seru Pranata Kumala.

"Anak muda, aku mengenali kau sebagai putra 

Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum! Bagus, ti-

dak dapat orang tuanya, anaknya pun sudah lu-

mayan! Hitung-hitung tak ada rotan akar pun ja-

di!"

"Laksamurka, omonganmu begitu besar! Seperti 

kau begitu yakin mampu mengalahkan aku, hah?!"

"Hahaha... sebelum tubuhmu berkalang tanah, 

akan kuberitahukan mengapa aku membuat teror 

seperti ini? Tak lain untuk memancing Madewa 

Gumilang atau ayahmu keluar dari sarangnya. 

Bukan sebagai seorang yang pengecut, yang bera


ninya hanya bercokol di rumah!"

"Hmm... ada masalah apakah kau dengan 

ayahku? Dari nada ucapanmu sangat terdengar 

sekali nafsumu untuk membunuh ayahku!"

"Benar, aku dan Dewi Murni, Sepasang Manusia 

Srigala memang akan membunuh mampus ayah-

mu! Dan merebut Seruling Naga dari tangannya!"

Pranata Kumala tercekat. Seruling Naga? Bu-

kankah seruling sakti itu berada di tangannya, di-

hadiahkan ayahnya sebelum dia menjadi murid Ki 

Ageng Jayasih tiga belas tahun yang lalu (baca: 

Kakek Sakti dari Gunung Murid). Lalu ada apa ge-

rangan dan kenapa Sepasang Manusia Srigala ini 

hendak merebutnya?

"Laksamurka, Seruling Naga itu milik ayahku! 

Mengapa kau hendak merebutnya?"

"Karena bukan dialah yang berhak memili-

kinya!"

"Hei, apa maksudmu? Seruling itu pemberian 

dari Kakek Guru Ki Rengsersari atau Pendekar 

Ular Sakti guru ayahku! Nah, dari fakta sejarah itu 

sudah jelas ayahku berhak memiliki seruling sakti 

itu!"

Seruling Naga yang mempunyai kesaktian luar 

biasa, dan bila ditiup bagi yang memiliki tenaga 

dalam pas-pasan akan hancur telinganya karena 

tak tahan mendengar suara seruling itu. Sedang-

kan bagi yang bertenaga dalam besar, dia pun 

akan tersiksa sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. 

Bentuk seruling itu sama dengan seruling bisa, 

hanya bedanya pada Seruling Naga ada gambar 

sepasang naga. Seruling Naga itu memang pembe


rian Ki Rengsersari kepada Madewa (Baca: Pedang 

Pusaka Dewa Matahari).

"Hahaha... puluhan tahun yang lalu, seruling 

itu telah menjadi rebutan. Dan sekarang pun tetap 

menjadi rebutan... hahaha! Nah, bersiaplah untuk 

mampus di tanganku!" Laksamurka membuka ju-

rusnya. Sebelum dia menyerang Pranata Kumala, 

beberapa murid Perguruan Topeng Hitam mengu-

rungnya dengan pedang di tangan. Tanpa diko-

mando lagi pedang-pedang itu pun berkelebatan ke 

arah Laksamurka, yang menghindar ke sana ke

mari dengan gerakan cepat.

"Manusia keparat! Kami datang untuk menun-

tut balas pada nyawa kawan seperguruan kami 

yang kau bunuh secara mengerikan!" seru salah 

seorang murid.

"Bagus! Majulah kalian, akan kubuat kalian 

menjadi sate!"

Pedang-pedang itu pun berkelebat kembali. 

Laksamurka tidak hanya menghindar sekarang, 

dia pun balas menyerang. Suaranya kini berubah 

menjadi mengerikan, seperti lolong srigala yang 

sedang marah.

Tangannya bergerak dengan cepat membentuk 

cakar srigala. Beberapa jeritan terdengar dengan 

menyayat hati disusul tubuh yang ambruk dengan 

luka yang mengerikan. Tergores dalam hingga ke 

tulang sumsum. Belum lagi yang terkena cakaran 

pada wajahnya, sangat menakutkan. Wajah itu ro-

bek tak berbentuk.

Namun murid-murid Perguruan Topeng Hitam 

sudah bertekad untuk membunuh manusia itu.


Mereka tidak takut mati. Tetapi mereka pun tak 

bisa berbuat banyak menghadapi Laksamurka. 

Beberapa menit kemudian semua ambruk bergeli-

mang darah dan tanah.

Laksamurka tertawa. "Pranata, lebih baik kau 

bunuh diri saja sebelum kurobek-robek wajahmu!"

"Bangsat keji!" yang berseru Ambarwati. "Malam 

ini pun aku bersabung nyawa denganmu!"

"Hahaha... gadis manis. Siapakah kau sebenar-

nya?"

"Aku dan suamiku akan membunuhmu, Lak-

samurka!"

"Suamiku? Hahaha... berarti kau istri manusia 

sombong ini? Bagus! Bersiaplah kau untuk mene-

maniku melewati malam yang dingin!"

Ambarwati tidak tahan mendengar omongan 

yang kotor itu. Sambil menggeram dia menerjang 

dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Laksa-

murka hanya tertawa. Masih tertawa dia menghin-

dari serangan itu dan tangannya menepak lengan 

kiri Ambarwati yang langsung merasa kesemutan.

Melihat istrinya kena tampar, Pranata Kumala 

menjadi marah. Dia merangkum kedua tangannya. 

Dan menghentakkan ke depan. Muncullah selarik 

sinar merah ke arah Laksamurka.

"Pukulan Sinar Merah!" seru Laksamurka sam-

bil menghindar. Sinar merah itu menghantam po-

hon di belakangnya yang langsung hangus bera-

sap. "Ada hubungan apa kau dengan majikan Gu-

nung Muria?"

"Dia adalah guruku! Nah, bersiaplah untuk 

mampus!" Kembali Pranata Kumala melancarkan


pukulan sinar merahnya, membuat Laksamurka 

menjadi sedikit kerepotan.

Sambil bersalto dia melemparkan senjata raha-

sianya yang membuat Pranata Kumala menghenti-

kan serangannya dan menghindari senjata rahasia 

itu.

Kesempatan itu dipergunakan Laksamurka un-

tuk menyerang. Terjadilah bentrokan tangan ko-

song yang cukup hebat. Pranata pun mengelua-

rkan jurus Tangan Bayangannya. Sepuluh jurus 

pertempuran itu telah berlangsung.

"Tidak sia-sia kau berguru pada Ki Ageng Jaya-

sih!" seru Laksamurka yang mau tak mau dibuat 

kagum juga oleh Pranata. "Tapi coba tahan seran-

ganku kali ini!"

Sambil bersalto dua kali ke belakang, Laksa-

murka merangkum kedua tangannya di dada dan 

hinggap di bumi dengan manisnya. Dia membuka 

jurus Srigala Menangkap Mangsanya yang sangat 

hebat.

Sambil menggeram dia kembali menyerang. Kali 

ini Pranata Kumala yang dibuat sibuk untuk me-

nahan serangan-serangan yang datang secara be-

runtun. Cepat dan penuh tenaga. Cakar-cakar 

maut Laksamurka bisa mendatangkan petaka bagi 

Pranata Kumala bila dia lengah sedikit.

Melihat suaminya cukup terdesak, Ambarwati 

pun melesat menerjang Laksamurka dengan ayu-

nan pedangnya. Laksamurka yang siap hendak 

menyabetkan cakarnya ke wajah Pranata Kumala, 

jadi berbalik dan menepis pedang Ambarwati.

"Des!"


Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut 

Ambarwati.

"Des!"

"Aduh!"

Tubuh itu terhuyung ke belakang. Karena terla-

lu marah dan emosi melihat suaminya terdesak, 

Ambarwati tidak memperhitungkan kesaktian Lak-

samurka, salah seorang dari Sepasang Manusia 

Srigala.

Melihat hal itu, Pranata Kumala menjadi marah 

sekali. "Bangsat hina! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!"

"Hahaha... kau hanya mengantarkan nyawa se-

cara sia-sia," desis Laksamurka sambil ngakak.

"Bangsat! Lihat serangan!" Kembali Pranata me-

lesat dengan jurus Tangan Bayangannya dan Sa-

puan Kaki Membelah Langit. Dia bertekad untuk 

mengadu jiwa. Dipadukannya dua jurusnya yang 

hebat itu. Benar saja, Laksamurka kini yang terde-

sak setelah lewat sekian jurus.

"Kunyuk! Jahanam!" serunya kocar-kacir. Dan 

Pranata sempat menghadiahkan sebuah tendan-

gan yang tepat bersarang di dada Laksamurka.

Laksamurka menggeram. "Bangsat cilik, kau be-

rani-beraninya menendangku, hah?!"

"Sudah kubilang, aku akan mengadu jiwa den-

ganmu!"

"Baik, jangan sesali kata-katamu itu!" geram 

Laksamurka. "Hmm... lihat di sampingmu, Anak 

muda! Hahaha... lihatlah... betapa banyaknya 

ular-ular berbisa yang akan siap menelanmu den-

gan bisanya!"


Pranata menoleh ke kirinya dan mendadak dia 

melihat sepuluh ekor ular berbisa yang mendesis-

desis dan siap menyerangnya. Serentak Pranata 

melompat ketika ular-ular itu mematuknya dan 

mengejarnya dengan serentak. Ular-ular itu sea-

kan mengerti perintah tuannya hanya dia yang 

diserang, karena Ambarwati tidak diserang. Pe-

rempuan itu sedang menahan rasa sakit di da-

danya dan bergidik ngeri melihat suaminya yang 

diserang ular-ular itu. Rasa cemas dengan cepat 

menyergap perempuan itu.

Dia melirik Laksamurka yang terkekeh-kekeh 

melihat Pranata Kumala melompat ke sana ke ma-

ri. Ambarwati merasa, bila Laksamurka berhasil 

dikalahkannya, niscaya ilmu sihirnya akan punah. 

Dia harus menyerang. Berpikiran seperti itu, dia 

menjadi nekat. Tanpa memikirkan lukanya dan 

akibatnya, dia menerjang.

"Iblis busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu!"

Tubuhnya berkelebat. Laksamurka menyambut 

dengan menghindar ke kiri. Tetapi perempuan itu 

bukanlah tandingannya yang berarti, karena se-

bentar saja dia sudah berhasil mematahkan se-

rangan-serangan Ambarwati. Bahkan meringkus 

perempuan itu. Dan menotoknya.

"Hahaha... kau berani-beraninya berbuat lan-

cang dengan Laksamurka, Manis... kau akan me-

rasakan akibatnya nanti... hahaha!" Lalu ia berse-

ru pada Pranata Kumala: "Anak muda... kau lihat 

istrimu, bukan? Hahaha... sebentar lagi akan men-

jadi hidangan makan malamku yang sangat men-

gasyikkan! Kulihat tubuhnya sangat montok den


gan dada yang aduhai!"

"Anjing buduk! Jangan kau ganggu istriku?" 

bentak Pranata sambil melontarkan pukulan sinar 

merahnya pada ular terakhir yang menyerangnya, 

yang kemudian menjadi ranting. Dia bermaksud 

hendak menyerang Laksamurka dengan pukulan 

sinar merahnya, tetapi urung karena istrinya be-

rada dalam kekuasaan manusia srigala itu. Prana-

ta hanya bisa menggeram marah. Lebih marah lagi 

ketika Laksamurka menjawil dagu istrinya. "Le-

paskan istriku, Srigala busuk!"

"Hahaha... mana aku mau melepaskan hidan-

gan makan malamku ini?!"

"Lepaskan! Bertarung denganku sampai mati 

kalau kau berani!"

"Hahaha... Anak muda, carilah istrimu ini bila 

kau memang ingin mendapatkannya!" seru Lak-

samurka sambil menggendong Ambarwati. Lalu 

tubuhnya melompat menerobos kepekatan malam. 

Hanya suaranya saja yang terdengar menggema 

membelah malam.

"Tungguuu! Jangan kau ganggu istriku!" seru 

Pranata Kumala sambil mengejar. Ke mana pun 

akan dicarinya istrinya. Dan dia bertekad akan 

mengadu nyawa dengan Laksamurka bila istrinya

diganggu, dan demi istrinya, Ambarwati!

***


EMPAT


Sementara itu, Sepasang Walet Putih baru saja 

turun dari kuda-kuda mereka. Melihat malam 

yang semakin larut, keduanya bermaksud untuk 

bermalam saja.

"Agaknya tempat ini cukup aman, Rayi," kata 

Gaok setelah mengikat kudanya.

"Ya, Kakang. Aku pun sudah terlalu lelah."

"Kau tidurlah... biar aku yang menjaga...."

"Tapi kondisimu, Kakang...."

"Tidak apa-apa."

"Bangunkanlah aku bila kau benar-benar men-

gantuk...." kata Sri Kemuning sambil hendak men-

gikat kudanya pula. Tiba-tiba saja dia menangkap 

ada desir angin yang datang kepadanya. Dengan 

sigap dia bersalto ke belakang.

"Cep! Cep! Cep!"

Tiga buah senjata rahasia menancap di ku-

danya yang langsung meringkik dan kemudian ter-

jengkang mampus.

Gaok menjadi siaga.

"Bangsat busuk! Siapa yang berani menyerang 

istriku secara pengecut seperti ini, hah?! Cepat ke-

luar dari persembunyianmu, sebelum kuobrak-

abrik hutan ini?!"

Mendadak melenting sesosok tubuh dengan 

manis dan hinggap di bumi dengan anggunnya. 

Dewi Murni mengikik di hadapan keduanya.

"Hihihi... rupanya Sepasang Walet Putih yang 

berkeliaran malam-malam begini..."


"Wanita iblis! Akhirnya kau nongol juga ru-

panya!" bentak Gaok marah.

"Kalian sengaja mencariku, ya? Hmm... rupanya 

kalian belum kapok menghadapi Sepasang Manu-

sia Srigala."

"Kami akan mencabut nyawa iblismu. Di mana 

kawanmu itu, Iblis Betina?"

"Hihihi... rasa-rasanya dia tengah menikmati 

ranumnya tubuh Ambarwati sekarang. Dan telah 

mengganyang habis menjadi mayat Pranata Kuma-

la...."

Sadarlah kedua tokoh dari golongan putih itu 

akan bahaya yang sedang menimpa Pranata Ku-

mala dan istrinya. Mereka dapat menduga kalau 

Pranata Kumala dan istrinya akan menjadi sasa-

ran empuk salah seorang dari Sepasang Manusia 

Srigala. Tetapi tentu saja mereka tidak menam-

pakkan kekuatiran itu.

"Hmm.. Dewi Murni, kawanmu yang bernama 

Laksamurka yang kukira sudah menemui ajalnya 

di tangan murid tunggal Ki Ageng Jayasih!" seru 

Gaok yang sengaja membawa nama majikan Gu-

nung Muria itu.

"Hihihi... kalian rupanya sedang bermimpi di 

siang bolong! Kalian berdua yang dikukuhkan se-

bagai majikan Gunung Slamet harus kocar-kacir 

menghadapi kami! Apalagi anak yang masih kema-

rin sore untuk unjuk gigi di rimba persilatan bisa 

mengalahkan salah seorang dari Sepasang Manu-

sia Srigala! Kalian memang tengah bermimpi!"

"Omongan manusia ini memang kenyataan," de-

sis Gaok. Rasanya terlalu berat buat Pranata Ku


mala dan istrinya untuk menang dari Sepasang 

Manusia Srigala.

Sri Kemuning rupanya sudah bosan untuk ber-

basa-basi segala, dia langsung menyerang dengan 

jurus Sambaran Walet Ke Sarang Musuh.

"Hihihi... rupanya istrimu pemarah sekali!" kikik 

Dewi Murni sambil menghindar ke kiri dan mem-

balas dengan sebuah cakaran ke arah buah dada 

Sri Kemuning yang langsung menarik pulang tan-

gan kanannya dan menangkis serangan itu.

"Des!"

Keduanya terpental ke belakang karena masing-

masing tangan sudah dialiri tenaga dalam yang 

lumayan. Begitu hinggap di tanah, Sri Kemuning 

kembali melancarkan serangannya. Kali ini Dewi 

Murni langsung memapaki dengan kecepatan yang 

sama.

Kembali kedua benturan terjadi.

"Des! Des!"

Kali ini Sri Kemuning yang terhuyung ke bela-

kang sementara Dewi Murni telah berdiri gagah 

sambil terkikik-kikik. Melihat hal itu, Gaok pun 

langsung menyerang.

"Kenapa tidak sejak tadi kau bantu istrimu, 

hah?!" seru Dewi Murni sambil menghindar dan 

menyerang. "Ayo kalian keroyok aku! Biar tidak 

memakan waktu lama untuk menghabisi kalian!"

Diejek seperti itu membuat Sri Kemuning men-

jadi marah teramat sangat. Dia langsung mener-

junkan diri. Menurutnya, bila mereka menyerang 

berdua, manusia ini akan lebih mudah dilumpuh-

kan.


"Bagus!" seru Dewi Murni sambil menghindari 

serangan Sri Kemuning. "Tapi sayang, agaknya 

dua orang majikan Gunung Slamet harus mene-

mui ajal di malam yang buta ini!"

Setelah berkata begitu dia menyerang dengan

membabi buta. Cakar-cakar srigalanya siap men-

cabut nyawa masing-masing. Dia pun sudah 

menggunakan jurus Srigala Menangkap Mangsa 

yang juga dimiliki oleh Laksamurka. Jurus Srigala 

Menangkap Mangsa memang diciptakan oleh me-

reka yang lebih dahsyat bila dimainkan oleh seo-

rang wanita. Dan jurus yang berada di tangan De-

wi Murni ini kini kian merajalela dengan hebat.

Sepasang Walet Putih pun sudah menggunakan 

jurus berkelit mereka, Walet Terbang Ke Langit. 

Dan sekali-sekali masih mencoba untuk membalas 

menyerang.

Namun gempuran-gempuran Dewi Murni begitu 

dahsyat, sementara kemudian terdengar seruan 

Sri Kemuning mengaduh. Tangannya tersayat 

hingga mengeluarkan darah. Hal ini semakin 

membuat geram Gaok. Dia menyerang sambil 

mengeluarkan jeritan yang keras.

Karena diliputi dendam dan amarah, serangan 

Gaok menjadi membabi-buta. Dia tidak bisa lagi 

mengontrol serangan-serangannya. Apalagi ketika 

mengetahui istrinya merintih-rintih kesakitan. 

Gaok pun melihat kalau tangan istrinya berubah 

menjadi memerah. Itu bertanda serangan Dewi 

Murni mengandung racun yang luar biasa.

"Hihihi... sebentar lagi ajal akan menjemput is-

trimu, Walet jelek!" kata Dewi Murni sambil balas


menyerang. Dan baginya kini hal yang mudah. Ka-

rena serangan Gaok di luar kontrol.

Tiba-tiba Dewi Murni menjerit dan melompat 

menerkam. Sambaran tangan kanannya yang ber-

bentuk cakar menjambret dada Gaok dan mengi-

barkan sebagian pakaiannya yang terkoyak.

"Kali ini pakaianmu, Walet jelek! Sebentar lagi 

dadamu yang akan kurobek!"

Kemarahan Gaok semakin memuncak. Seran-

gannya semakin membabi-buta. Dan ini memu-

dahkan Dewi Murni untuk segera menghabisinya. 

Setelah lima jurus kembali berlalu, Dewi Murni 

semakin mudah menghabisi langkah lawannya.

"Des! Des!"

Dua pukulannya secara beruntun mengenai sa-

sarannya. Gaok terhuyung. Selagi dia terhuyung, 

Dewi Murni meneruskan serangannya. Ajal kini te-

lah berada di depan mata Gaok.

Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, Dewi Murni 

melompat ke kiri ketika dirasakannya desiran an-

gin mengarah padanya.

"Bangsat busuk! Siapa gerangan yang pengecut 

seperti ini?!" geram Dewi Murni setelah hinggap di 

bumi.

Dari kegelapan malam, muncul sosok tubuh ga-

gah perkasa. Sosok itu mengenakan pakaian kebe-

saran berwarna putih. Sikapnya arif dan bijaksa-

na.

"Yang Mulia, Madewa Gumilang!" seru Gaok 

yang segera mengenali siapa yang telah menolong-

nya.

Sri Kemuning pun berseru yang sama.


Dewi Murni terbelalak. Rupanya manusia inilah 

yang bernama Madewa Gumilang. Yang keperka-

saannya menembus langit ketujuh dan ke dasar 

bumi.

Tetapi Dewi Murni tidak keder dengan nama be-

sar itu. Dia berkata dengan sombong, "Rupanya 

nama Madewa Gumilang hanya kosong belaka! 

Ternyata hanya seorang manusia pengecut!"

Terdengar suara yang berwibawa dan bijaksana, 

"Dewi Murni... maafkan kelancanganku yang ikut 

campur dalam pertarungan ini. Sejak tadi aku su-

dah berada di sini melihat jalannya pertarungan 

ini. Hanya sayang, kuping kau rupanya tidak ber-

fungsi untuk mengetahui kedatanganku...."

Diam-diam Dewi Murni tercekat mendengarnya. 

Sungguh demi langit dan bumi, sedikit pun dia ti-

dak mendengar datangnya Madewa Gumilang. Itu 

menandakan Madewa memiliki ilmu meringankan 

tubuh dalam tingkat maha sempurna. Diam-diam 

Dewi Murni mengukur tenaga dalam Pendekar 

Bayangan Sukma.

Dia mengirimkannya melalui suaranya, "Sejak 

tadi sudah kuketahui kedatanganmu, Madewa. 

Nah, kini bersiaplah untuk segera mampus di tan-

ganku...."

Madewa cuma tersenyum. Sedikit pun tidak 

nampak dia terganggu oleh tenaga dalam yang di-

kirimkan Dewi Murni secara diam-diam. Dia ber-

kata, "Mati di tangan Tuhan, Dewi Murni. Bila Tu-

han menghendaki aku mati sekarang, maka mati-

lah. Tetapi agaknya Tuhan pun memberi jalan ke-

pada umatNya agar dia berusaha. Karena kau


mesti ingat, Tuhan yang menentukan, manusia 

hanya bisa berusaha."

Mendadak tubuh Dewi Murni bergetar. Keringat 

dingin pun keluar dengan deras. Dia merasakan 

sekujur tubuhnya menggigil. "Setan! Rupanya te-

naga dalam Pendekar Bayangan Sukma pun sudah 

dalam tingkat yang maha sempurna," desahnya 

dalam hati. Dan pelan-pelan dia mengalirkan hawa 

murninya ke sekujur tubuhnya. Namun rasa din-

gin itu seolah tidak mau lepas, seolah telah mengi-

katnya erat-erat.

Dewi Murni menjerit hebat untuk mengusir ha-

wa dingin itu. Namun lagi-lagi rasa dingin itu terus 

mengikatnya. Rupanya Madewa sudah mengirim-

kan tenaga dalam Salju Abadi.

"Maafkan aku, Dewi Murni... malam memang 

sangat dingin sekali...."

Sementara Gaok dan istrinya semakin bertam-

bah kagum pada Madewa Gumilang. Pendekar 

perkasa itu tetap bertingkah arif menghadapi la-

wannya.

"Madewa!" Sepasang mata itu melotot marah. 

"Aku akan mengadu jiwa denganmu! Hmm... se-

rahkan Seruling Naga padaku! Cepat?!"

"Itu milikku, Dewi Murni...."

"Hhh! Biarpun itu milikmu, tetapi di dalam rim-

ba persilatan siapa yang terkuat, dialah yang ber-

hak memilikinya dan menguasai rimba persilatan 

ini! Dan aku akan merebut seruling pusaka itu da-

ri tanganmu, Madewa Gumilang!"

"Hmm... bagaimana bila tidak kuberikan?!" kata 

Madewa yang kini mengerti duduk persoalannya.


Munculnya Sepasang Manusia Srigala untuk me-

rebut Seruling Naga dari tangannya. Tetapi ba-

ginya berhadapan dengan manusia semacam Se-

pasang Manusia Srigala ini, bukanlah hal yang 

menggelisahkan. Namun yang sangat disesalinya, 

mengapa masih banyaknya orang-orang serakah 

dan kejahatan di muka bumi ini. Teror yang dilan-

carkan Sepasang Manusia Srigala bukanlah hal 

yang kecil, karena telah puluhan nyawa manusia 

mampus di tangannya. Madewa bahkan yakin, 

sampai kiamat pun kejahatan tak akan pernah 

punah selama iblis masih diberikan hidup yang 

panjang.

"Nyawamu sebagai gantinya, Madewa!"

"Dewi Murni, dengarlah sebentar... mengapa 

kau masih membuat teror seperti ini? Bukankah 

bila kita hidup berdampingan, semuanya akan 

menjadi aman, tenang dan damai?"

"Karena kita berbeda golongan, Madewa. Kau 

dari golongan putih, sedangkan aku dari golongan 

hitam!"

"Tidak bisakah antara golongan putih dan go-

longan hitam bersatu?"

"Mustahil rasanya kejahatan dan kebaikan ber-

satu! Keduanya akan terus berperang selamanya, 

sampai kapanpun! Sampai dunia kiamat!"

"Tapi...."

"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" po-

tong Dewi Murni. "Cepat kau berikan Seruling Na-

ga itu padaku!"

"Maaf, Dewi Murni... Seruling Naga itu tidak be-

rada padaku saat ini...."


"Bangsat! Rupanya kau pandai membual pula, 

Madewa! Baik, bersiaplah, aku akan memeriksa 

seluruh tubuhmu dan merebut Seruling Naga itu 

dari tanganmu!" Selesai berkata begitu, Dewi Mur-

ni langsung menyerang dengan jurus Srigala Me-

nangkap Mangsa. Buas dan kejam. Serangannya 

cepat, beruntun dan berbahaya. Tetapi Madewa 

dengan mudah menghindarinya, dengan jurus Ular 

Meloloskan Diri. Hal itu membuat Dewi Murni se-

makin geram. Dia mempergencar serangannya. 

Sampai sepuluh jurus berlangsung, sekalipun De-

wi Murni belum bisa menyarangkan pukulannya 

pada Madewa. Sementara Madewa sendiri belum 

sekalipun pula membalas. Madewa hanya berkein-

ginan, agar Dewi Murni menyadari bahwa dia be-

rada di jalan yang keliru. Tetapi membuat wanita 

itu insyaf, hanya sia-sia belaka.

Menyadari serangannya tak membawa hasil se-

dikit pun, Dewi Murni menjadi marah karena me-

rasa diremehkan pula, sebab Madewa tidak mem-

balas. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan berdi-

ri sigap. Sepasang matanya menyala. Bersinar 

memerah. Tiba-tiba dia berseru, "Madewa, lihat di 

sebelah kirimu! Ular berbisa!"

Madewa melihat puluhan ular berbisa bergerak 

mendekatinya dan siap membunuhnya. Tetapi dia 

tetap berdiri tegak di tempatnya, malah dia berka-

ta, "Sadarlah, Dewi Murni... kau sangat sesat seka-

li!"

Dewi Murni terbahak. Lebih terbahak lagi ketika 

melihat ular-ular itu sudah melilit di tubuh Made-

wa dan mematuknya berkali-kali. Tetapi pendekar


itu tetap saja tenang di tempatnya. Sementara Se-

pasang Walet Putih yang melihat sekujur tubuh 

Madewa dililit dan dipatuki ular-ular, hanya bisa 

menahan nafas. Tegang.

Tetapi sungguh luar biasa, ular-ular yang melilit 

di tubuh Madewa dan mematukinya, satu persatu 

turun. Dan begitu menyentuh tanah, berubah 

kembali ke asalnya, menjadi ranting-ranting pohon 

kembali.

Dewi Murni terkejut melihatnya. Sangkanya 

pendekar sakti itu akan mampus. Ilmu sihirnya 

ternyata tidak ampuh bagi Madewa. Tetapi dia be-

lum jera. Dia berseru lagi, kali ini lebih lantang, 

"Lihat pohon di depanmu, Madewa!"

Pohon jati yang berada di depan Madewa men-

dadak bergerak, dan berubah menjadi raksasa 

yang mengerikan. Tetapi Madewa hanya terdiam 

saja. Dia cuma mengibaskan tangannya. Raksasa 

yang menyeramkan itu kembali ke asalnya.

Merasa ilmu sihirnya tidak berguna, Dewi Murni 

menerjang kembali. Kali ini disertai pekikan yang 

hebat. Dan kali ini Madewa tidak hanya menghin-

dar, tetapi juga balas menyerang dengan jurus 

Ular Mematuk Katak.

Serangannya pun cepat dan hebat.

"Des!" sebuah patukan mengenai sasarannya, 

membuat Dewi Murni menjerit kesakitan dan me-

rasakan sekujur tubuhnya ngilu. Tetapi tiba-tiba 

dia menggeram luar biasa dan menyerang dengan 

tenaga kuat dan penuh. Madewa pun segera me-

nyambutnya dengan jurus Tembok Menghalau Ba-

dai.


Kembali terjadi benturan yang keras. Suasana 

di tempat itu menjadi ramai. Ketika keduanya ber-

benturan ada sepercik sinar yang cukup menyi-

laukan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dewi 

Murni terhuyung dan muntah darah. Sedangkan 

Madewa Gumilang tetap berdiri dengan jubah pu-

tih yang berkibar terkena angin malam!

"Bangsaaat kau, Madewa!" geram Dewi Murni di 

antara kesakitan. Lalu dia muntah darah lagi. 

"Tunggu pembalasanku!"

"Lebih baik kau ajak kembali pulang kawanmu 

yang bernama Laksamurka ke Bukit Hantu. Dan 

katakan padanya untuk mengurungkan niatnya 

merebut Seruling Naga!"

"Dendam darah dibalas darah. Dendam nyawa 

dibalas nyawa. Dendam orang-orang Bukit Hantu 

akan abadi!"

"Kau telah diliputi dendam yang amat sangat, 

Dewi Murni. Lupakanlah semua itu...."

"Tak akan pernah kulupakan, Madewa! Kare-

na... awas serangan!" tiba-tiba saja Dewi Murni 

melompat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah 

menjadi seekor srigala yang buas.

Madewa melompat ke kiri. Namun sungguh luar 

biasa, saat lompatan srigala itu tak mengenai sa-

saran, mendadak saja hewan jelmaan Dewi Murni 

berbalik bersalto memburu Madewa kembali.

"Ilmu sihir!" geram Madewa sambil menyambut 

dengan pukulan yang keras.

Agaknya Dewi Murni lebih lincah ketika dia be-

rubah menjadi srigala. Serangan Madewa itu dapat 

dihindarinya, malah hewan itu menerjang dengan


buas. Sepasang matanya memancarkan sinar yang 

mengerikan diiringi air liur yang busuk.

"Hmm... Dewi Murni, kembalilah ke asalmu!"

Tiba-tiba saja, hewan yang tengah menerjang 

itu mendadak terjatuh. Dan saat tergeletak di bu-

mi berubah kembali menjadi Dewi Murni. Yang 

menyeringai antara geram dan kesakitan.

"Ternyata tak sia-sia kau bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma, Madewa! Tapi ingat, aku akan 

kembali lagi untuk mengadu jiwa denganmu!"

"Lupakanlah persoalan di antara kita ini, Dewi 

Murni. Sudah kukatakan tadi, kembalilah kau dan 

temanmu ke Bukit Hantu. Janganlah membuat 

onar di muka bumi ini!"

"Tapi dendam ini telah membakar sekujur tu-

buhku!" Selesai berkata begitu, tubuh itu melesat 

meninggalkan Madewa dan Sepasang Walet Putih 

yang tengah berdiri.

Keduanya mendekati Madewa.

"Terima kasih atas pertolongan Madewa yang 

agung."

Madewa cuma tersenyum.

"Agaknya pertentanganku dengan Sepasang 

Manusia Srigala tidak bisa dihindarkan lagi," sa-

hut Madewa. "Ini bertanda, masih banyaknya ke-

jahatan yang akan terus merajalela di muka bumi 

ini."

"Demi keadilan dan kebahagiaan umat manu-

sia, kami, Sepasang Walet Putih akan terus mem-

bantu, Yang Mulia," kata Gaok yang menjura dan 

diikuti istrinya.

Tetapi Madewa tidak suka karena Sepasang Wa


let Putih itu nampak seperti bawahan yang sedang 

menghormati rajanya.

"Gaok dan Sri Kemuning... tingkah apa yang ka-

lian perlihatkan di depanku sekarang ini? Tak se-

patutnya kalian begitu menghormat padaku. Tapi 

sudahlah, di mana Pranata Kumala dan istrinya 

berada?"

Mendengar pertanyaan Madewa Gumilang, 

Gaok dan istrinya seperti diingatkan kembali akan 

Pranata Kumala dan istrinya yang dihadang oleh 

Laksamurka. Gaok menduga demikian, karena ta-

di saja dia dan istrinya dihadang oleh Dewi Murni. 

Sudah tentu kedua Manusia Srigala itu mengha-

dang mereka sendiri-sendiri. Dan itu berarti keda-

tangan mereka sudah diciumnya.

Gaok menyadari akan kehebatan Sepasang Ma-

nusia Srigala. Menghadapi yang betinanya saja dia 

dan istrinya sudah kewalahan, bahkan maut ham-

pir saja menyambar mereka. Apalagi Pranata Ku-

mala dan istrinya menghadapi Laksamurka? Biar-

pun begitu, Gaok tak mau berpikir yang tidak-

tidak.

Tetapi dia pun menyadari akan keselamatan 

Pranata Kumala dan istrinya, Gaok pun berkata, 

"Kupikir... mereka sudah ditawan oleh Laksamur-

ka, Madewa yang agung."

Kening Madewa berkerut. "Apa maksudmu, 

Gaok?"

Gaok pun menceritakan apa yang diberitahu 

Dewi Murni tadi dan kemungkinan Pranata Kuma-

la dan istrinya bertempur melawan Laksamurka.

Tetapi sebagai tokoh yang sudah banyak makan


asam garam dan pahit manisnya kehidupan, Ma-

dewa hanya menanggapi dengan senyum.

"Baiklah kalau begitu. Aku harus mencari anak 

dan menantuku. Sepasang Walet Putih, agaknya 

untuk sementara kita harus berpisah di sini...."

Belum lagi Gaok dan Sri Kemuning berkata, 

bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan. 

Secepat angin dan bagai ditelan bumi.

"Tak percuma Madewa dikagumi oleh banyak 

jago-jago rimba persilatan," desisnya kagum.

"Dia adalah manusia dewa, Kakang," sambung 

istrinya.

"Benar, Rayi Sri Kemuning... kekagumanku pa-

danya semakin bertambah saja dan... awas, Rayi!"

Sebuah sambaran bertenaga besar mengarah 

pada mereka. Gaok serentak mendorong tubuh is-

trinya ke samping hingga bergulingan, sedangkan 

dia sendiri bersalto ke samping kanan.

Dan... "Duarrr!"

Batang pohon yang berada di belakang mereka 

hancur terbakar oleh sambaran besar tadi. Wajah 

kedua Walet Putih itu pias. Tahu-tahu di hadapan 

mereka berdiri kembali Dewi Murni sambil mende-

kap dadanya yang terluka. Wajahnya geram dan 

penuh dendam. Memancarkan sinar membunuh.

"Sepasang Walet Putih, kini terimalah ajal ka-

lian!" serunya seraya menyerang kembali, kali ini 

ke arah Sri Kemuning yang langsung menghindar 

melompat dan mengirimkan serangan balasan.

"Des! Duk! Duk!"

Beberapa kali terjadi benturan antara kedua-

nya. Rupanya Dewi Murni hanya bersembunyi,


menunggu Madewa Gumilang pergi dari tempat 

itu. Dia tidak puas bila belum membunuh salah 

seorang dari mereka, sebagai bayaran dan da-

danya yang terluka karena serangan Madewa Gu-

milang.

Dan kini dia pun bertekad untuk mengadu 

nyawa. Dia tak perduli dengan lukanya yang nam-

pak cukup parah. Yang penting baginya adalah 

membalas! Dan membalas!

Melihat istrinya diserang terus menerus, Gaok 

pun menerjang membantu membokong Dewi Mur-

ni dari belakang. Tetapi Dewi Murni bukanlah to-

koh golongan hitam yang baru turun gunung. Dia 

sudah lama malang melintang bersama Laksa-

murka. Serangan bokongan Gaok hanya dihindari 

dengan memiringkan tubuhnya saja, lalu tangan-

nya diayunkan menghantam dada Gaok.

"Des!"

Gaok terhuyung ke belakang. Dewi Murni tak 

mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Meski-

pun dia tengah luka parah, serangan-serangannya 

masih cukup berbahaya.

Dia menerjang memburu Gaok dengan puku-

lannya yang ampuh.

"Awas serangan!"

"Kakaaaangg!" jerit Sri Kemuning yang tidak 

melihat kemungkinan bagi suaminya untuk meng-

hindari serangan itu. Dia pun nekat menerjang 

dan menghalangi serangan Dewi Murni.

Tanpa ampun lagi pukulan sakti Dewi Murni 

menyerang tepat di dadanya.

"Des! Akhhhh...!"


Seruan keras Sri Kemuning terdengar. Tubuh-

nya meluncur deras ke belakang. Dan ambruk 

dengan tubuh membiru, tanpa sempat bernapas 

sekali lagi. Nyawanya pun meregang dan melayang 

meninggalkan jasadnya.

"Sri Kemuning!" jerit Gaok seraya memburu. Dia 

mencoba menyadarkan istrinya, tetapi istrinya te-

lah mati. Mendadak dia menoleh. Pandangannya 

berbahaya dan memancarkan sinar dendam.

"Kau harus membayar semua ini dengan nyawa 

busukmu, Srigala buas!" geramnya sengit.

Sementara Dewi Murni hanya tertawa, meski-

pun dia sedang menahan luka di dadanya.

"Nyawamu akan segera menyusul istrimu, 

Gaok!"

"Bangsat hina! Awas serangan!" jerit Gaok se-

raya meluncur menyerang. Kali ini dia mengguna-

kan seluruh kepandaiannya untuk membunuh 

Dewi Murni.

Tetapi Dewi Murni menghindari semua itu den-

gan mudah saja. Dia merasa tidak begitu berat 

menghadapi Gaok seorang. Serangan-serangannya 

kian dahsyat.

Pertempuran kali ini menimbulkan suara bising 

yang amat sangat. Debu-debu beterbangan, dan 

daun-daun berguguran saat dua tenaga sakti ber-

benturan.

Lewat sepuluh jurus keduanya masih berim-

bang. Namun tiba-tiba Dewi Murni berseru sambil 

bersalto ke belakang menghindari serangan Gaok, 

"Lihat ada lima ekor ular di sekelilingmu!"

Mendadak Gaok menghentikan serangannya


dan lima ekor ular berbisa mendesis di dekatnya.

"Bangsat! Bisamu hanya menggunakan ilmu si-

hir saja! Ayo lawan aku!" serunya sambil menghin-

dari patukan-patukan ular-ular berbisa itu. Dia 

nampak lebih kocar-kacir. Karena dengan susah 

payah dia harus menghindari serangan ular-ular 

itu, yang kian ganas dan sangat gencar.

"Hahaha... lucu sekali! Ada badut di sini!" terke-

keh Dewi Murni sambil memegangi dadanya yang 

terasa amat sakit. Dia mengeluarkan ilmu sihirnya 

dengan maksud agar dia dapat beristirahat mena-

han rasa sakitnya.

"Srigala busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu dan 

kita bertarung!" seru Gaok sambil susah payah 

menghindari ular-ular berbisa itu.

"Hahaha... baiklah, kalau itu maumu!" seru De-

wi Murni sambil menerjang di saat Gaok tengah 

bersusah payah menghindari serangan ular-ular 

itu.

Dan sebuah pukulan menggedor dada Gaok 

hingga terhuyung dan muntah darah. Di saat dia 

sedang kesakitan, ular-ular itu menerjangnya. 

Tanpa ampun patukan ular berbisa itu secara ber-

tubi-tubi menghantamnya.

"Akhhh!" jeritnya kesakitan dan ambruk dengan 

tubuh yang kering membiru.

Dewi Murni tertawa. Menarik kembali ilmu si-

hirnya. Lalu dia meludah. "Cih! Kau susul sana is-

trimu!" serunya seraya melesat meninggalkan tem-

pat itu.

Meninggalkan Sepasang Walet Putih yang sudah 

menjadi mayat dengan tubuh membiru.


****


ENAM


Sementara itu Pranata Kumala sudah berhenti 

mengejar. Bayangan Laksamurka yang berlari 

sambil menggendong Ambarwati tiba-tiba lenyap.

Matahari di ufuk Timur sudah menampakkan 

biasnya dan sebentar lagi pagi menjelang. Pranata 

menggeram marah bila mengingat istrinya yang di-

larikan Laksamurka.

"Bila terjadi apa-apa dengan istriku, demi langit 

dan bumi, aku bersumpah, akan menghirup darah 

Laksamurka!" serunya sambil menengadah ke lan-

git.

Dan tiba-tiba saja kilat menyambar dan bumi 

yang dipijaknya bergoyang bertanda sumpahnya 

telah didengar oleh penguasa langit dan bumi. La-

lu Pranata Kumala melangkah lagi.

Dia tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir 

jernih. Tubuhnya yang penat dan berkeringat di-

basahinya dengan air itu. Lalu dia membuka ba-

junya dan berniat hendak mandi.

Mendadak saja telinganya mendengar suara 

seorang gadis sedang bernyanyi dari dalam sungai. 

Siapakah gerangan? Hati-hati Pranata Kumala 

mengenakan pakaiannya kembali dan mengintip 

dari balik semak. Di dalam sungai, sesosok tubuh 

kuning langsat tengah asyik berendam sambil ber-

sabun.

Serentak Pranata menutup kembali semak itu.



Tubuh yang dilihatnya tadi dalam keadaan telan-

jang bulat. Pranata memejamkan matanya. Dia 

bermaksud hendak meninggalkan tempat itu. Dan 

tanpa sengaja kakinya menginjak ranting kering 

yang membuat gadis yang sedang mandi itu lang-

sung menoleh dan berenang ke tepian.

"Siapa di situ?"

Pranata terdiam.

"Siapa di situ? Apa yang sedang kau perbuat?" 

seru gadis itu lagi dan pelan-pelan keluar dari 

sungai dan mengenakan kainnya yang hanya me-

nutup bagian dada dan sebatas lutut. Hati-hati 

dan takut-takut gadis itu mengambil bakul yang 

berisikan pakaian yang baru saja selesai dicu-

cinya.

Dia terkejut melihat sosok Pranata Kumala yang 

masih terpaku di tempatnya.

"Oh... kau... kau mengintip, ya?! Oh, jahat! Ja-

hat!" jerit gadis itu antara malu dan marah.

Pranata menoleh, dia melihat betapa cantiknya 

wajah gadis itu. Sepasang matanya bersinar me-

rah. Dan alis yang hitam dan lebat. Hidungnya 

bangir dengan dihiasi sepasang bibir mungil yang 

merah memikat. Dan kini wajah cantik itu pias ka-

rena malu diintip orang sedang mandi.

"Maaf... saya tidak sengaja mengintip...."

"Bohong, bohong! Pemuda ceriwis! Pemuda ca-

bul! Kerjamu hanya mengintip orang mandi saja!" 

seru gadis itu sewot.

Pranata menjadi gelagapan.

"Sungguh, Nona... saya tidak sengaja. Semula 

saya berniat hendak mandi, tetapi urung setelah


mendengar suara orang bernyanyi. Dan tanpa sa-

dar saya mencoba mencari siapa yang bernyanyi 

itu. Kiranya Nona yang... ah, maafkan saya, No-

na...." kata Pranata sambil menundukkan kepa-

lanya.

Tetapi gadis itu masih sewot karena malu yang 

tidak terhingga, sebab tubuhnya yang paling dira-

hasiakan telah dilihat orang. Dan orang ini pun 

berada di hadapannya. Namun lama kelamaan dia 

bisa memaklumi, setelah merasa bahwa pemuda 

ini jujur berkata.

Tetapi tak urung juga wajahnya masih meme-

rah.

"Kau...."

"Maafkan saya, Nona...." kata Pranata Kumala 

tetap menunduk. Perasaannya menjadi tidak enak. 

Dan dia menyesali kecerobohan dan kelancangan-

nya.

"Kau telah melihat tubuhku!"

"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."

Tiba-tiba Pranata mendengar isak di hadapan-

nya. Hati-hati diangkatnya kepalanya. Dan dia me-

lihat gadis itu yang terisak.

"Nona...."

"Pemuda ceriwis! Kau telah melihat tubuhku... 

huhuhu!" gadis itu kini terisak. Malunya tak ter-

hingga karena tubuhnya ada yang melihat. Malu 

sekali!

"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."

"Bohong! Kamu memang pemuda cabul!" gadis 

itu makin terisak.

Pranata menjadi serba salah. Hati-hati dan ragu


dia melangkah mendekati gadis itu. "Maafkan 

saya...."

Tiba-tiba saja gadis itu berbalik sambil terisak. 

Bersamaan gadis itu berlari, muncul seorang pe-

muda yang bertelanjang dada. Dia memegang pa-

cul. Sikapnya nampak tidak bersahabat. Dia masih 

sempat melihat gadis tadi berlari.

"Arum!" serunya.

Gadis itu berhenti melangkah dan berbalik. 

"Kang Bayu...."

Pemuda yang bernama Bayu itu menghampiri 

gadis yang bernama Arum.

"Ada apa, adikku?"

Arum menubruk pemuda itu dan memeluknya. 

Lalu menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu.

"Kang Bayu...."

"Ada apa, Arum? Mengapa kau menangis? Apa 

yang diperbuat pemuda itu padamu?"

Arum masih terisak. Mendadak dia jadi malu 

untuk mengadu kepada Bayu yang ternyata ka-

kaknya. Apa kata kakaknya nanti bila tubuh adik-

nya dilihat orang lain?

"Ti... tidak ada apa-apa, Kakang...."

"Katakanlah, Arum. Kenapa kau menangis?"

"Arum...."

"Saya telah berbuat lancang, Saudara," terden-

gar suara Pranata. "Nama saya Pranata Kumala 

dari Laut Selatan."

"Hmmm... apa yang kau maksud dengan ber-

buat lancang?" suara Bayu terdengar tidak enak.

"Saya...."

"Oh, tidak ada apa-apa, Kakang. Tidak ada apa


apa," sela Arum dengan wajah yang semakin me-

merah.

Bayu melirik adiknya tidak percaya. Yang mem-

buatnya heran, mengapa adiknya seperti menutupi 

sesuatu sedangkan pemuda yang mengaku ber-

nama Pranata Kumala itu seperti hendak menga-

takan sesuatu.

Untuk meyakinkan, maka dipandangnya Prana-

ta Kumala.

"Hmmm... ki sanak, melihat dari cara kau ber-

pakaian, rupanya kau bukan orang sembarangan. 

Nah, katakanlah apa yang telah terjadi antara kau 

dan adikku?"

Pranata melirik Arum yang kini menunduk. Dia 

mendesah. Haruskah dia mengatakannya, semen-

tara gadis itu menjadi malu? Setelah mempertim-

bangkan Pranata mengambil keputusan untuk ti-

dak mengatakan apa yang telah terjadi.

"Memang tidak terjadi apa-apa di antara kami, 

Saudara Bayu."

"Hmmm... dari tadi kau nampaknya hendak 

mengatakan sesuatu, Ki sanak. Dan kau telah 

berkata kau berbuat lancang. Nah, katakanlah...!"

Pranata menjadi semakin ragu, apalagi ketika 

sepasang mata yang kini bersinar lembut dan ma-

lu-malu mengharapkan dia tidak mengatakan yang 

sesungguhnya. Pranata menghela napas.

"Saya memang telah berbuat lancang, Saudara 

Bayu. Saya... yah... saya lancang berani menguta-

rakan cinta pada adik saudara."

Kali ini Bayu tersenyum.

Arum terbelalak kaget lalu menunduk tersipu.


Sedangkan Pranata sendiri heran mengapa dia 

mengatakan hal itu? Dia kuatir bila gadis itu salah 

tanggap. Pranata tahu, bagi seorang gadis bila dili-

hat tubuhnya oleh orang lain lebih baik bunuh diri 

kalau tidak laki-laki yang melihatnya itu harus 

mengawininya. Ah, apakah akan ada masalah lagi?

Bayu masih tersenyum. Melirik gadisnya yang 

tersipu.

"Adikku ini memang pemalu, Pranata," katanya 

yang kini langsung memanggil nama Pranata. 

"Hmmm... tapi aku yakin, kau akan bisa menak-

lukkan hatinya."

"Wah, agaknya akan ada persoalan lagi ini?" de-

sah Pranata dalam hati.

Tetapi dia tersenyum. Didengarnya lagi Bayu 

berkata pada adiknya, "Mengapa kau harus ma-

rah, Arum? Bila kau tidak menyukainya kau kan 

bisa berkata dengan baik-baik. Tidak perlu ma-

rah."

Arum semakin menunduk. Wajahnya kembali 

bersemu merah. Dan tiba-tiba saja dia berbalik 

meninggalkan mereka dengan wajah tersipu-sipu.

Bayu tertawa. "Maafkan adikku, Pranata. 

Hmmm... melihat cara kau berpakaian, dan wa-

jahmu yang gelisah, mungkin di samping masalah 

cinta dengan adikku, tentunya kau punya masalah 

lain. Nah, apakah gerangan?"

Pranata ingin berkata bahwa dia tidak mencin-

tai adik Bayu, tetapi malah menjadi tidak. Setelah 

mendesah lalu dia berkata, "Aku sedang mencari 

seseorang, Bayu. Apakah kau melihatnya?"

"Siapakah dia?"


"Dia bernama Laksamurka. Dia mengenakan 

pakaian berbulu srigala. Dengan wajah yang sedi-

kit seram dan kalung yang berupa taring srigala. 

Dia pun tengah melarikan seorang gadis," kata 

Pranata. Lalu melanjutkan dalam hati, "Gadis itu 

istriku!"

Bayu terdiam. Lalu menggelengkan kepala. "Aku 

belum melihatnya. Ada masalah apakah geran-

gan?"

"Dia telah berbuat onar di desa Bojongpanjang. 

Dia bergelar Sepasang Manusia Srigala."

"Sepasang Manusia Srigala?!" seru Bayu terke-

jut. "Yah... kalau gelar orang itu saya pernah men-

dengarnya. Dia berpasangan dengan seorang wani-

ta, bukan?"

"Betul!"

"Kami juga sebenarnya kuatir setelah menden-

gar teror yang mereka lancarkan di Bojongpanjang. 

Dan kami pun sudah bersiaga bila mereka mem-

buat teror di desa kami ini, Kali Putih."

Pranata merasa dia harus bergegas kembali 

mencari istrinya. Lalu dia berkata, "Sebaiknya aku 

permisi saja, Bayu. Nampaknya matahari sudah 

semakin tinggi."

"Apakah tidak sebaiknya kau singgah dulu di 

rumah kami? Barangkali saja ada sesuatu yang 

akan kami hidangkan. Nampaknya kau pun lelah 

sekali, Pranata. Bukankah kau sebaiknya beristi-

rahat dulu?"

Pranata membenarkan hal itu. Dia memang bu-

tuh istirahat. Tetapi bagaimana dengan nasib is-

trinya?


"Lain kali mungkin aku bisa mampir. Terima 

kasih."

"Kalau memang itu kemauanmu, baiklah. Aku 

tidak bisa memaksa. Kalau soal Arum, serahkan 

saja padaku. Dia pasti mau menerimamu."

Pranata kembali hendak membantah, tetapi di-

urungkannya. Lalu dia pun berpamitan pada 

Bayu, lalu menerobos hutan yang cukup lebat dan 

matahari yang terus bersinar.

***

Jauh dari desa Kali Putih, ada sebuah gubuk 

tua yang tak terpakai. Suasana di tempat itu pun 

sunyi dan menyeramkan. Tak jauh dari sana ada 

pemakaman yang luas.

Di gubuk buruk itu Laksamurka membawa Am-

barwati dan menawannya. Baginya, ini merupakan 

kesempatan yang sangat berharga bisa menawan 

Ambarwati dan sekaligus menikmatinya.

"Srigala busuk! Lepaskan aku!" seru Ambarwati 

yang dibaringkan di tanah dalam keadaan tertotok. 

"Ayo bertarung denganku sampai mampus!"

Laksamurka hanya terkekeh.

"Hehehe... sabar, Manis. Sabar. Kau agaknya 

sudah tidak sabar untuk ke sorga, ya?"

"Srigala busuk! Lepaskan aku!"

"Hehehe... aku akan menikmati dulu tubuhmu 

yang aduhai montoknya itu."

"Jahanam! Awas kalau kau berani menyentuh 

tubuhku!"

"Kau bisa berbuat apa, Manis? Di sini hanya


tinggal kita berdua. Di sini kita bisa membagi ke-

hangatan, bukan?"

"Busuk...!"

"Hehehe... sebentar lagi kau akan menikmati 

sorga dunia bersama orang yang kau sebut busuk 

ini."

"Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Aku 

sudah bersuami, Srigala busuk!"

"Hehehe..."

"Lepaskan! Lepaskan! Hei, kau mau apa?" seru 

Ambarwati bergidik ketika Laksamurka mendeka-

tinya dan membelai pipinya. Ambarwati mengge-

leng-gelengkan kepalanya menghindari belaian 

Laksamurka.

"Hehehe... pipi halus bak pualam, Manis. 

Alangkah nikmatnya!" katanya sambil terkekeh. 

"Coba kita lihat bagian dalam tubuhmu. Apakah 

seindah dan sehalus pipimu?"

"Jangan! Jangan!" seru Ambarwati yang hanya 

bisa berteriak-teriak sedangkan bagian tubuhnya 

tak bisa digerakkan karena dalam keadaan terto-

tok. Dia semakin bergidik ngeri ketika tangan Lak-

samurka hendak menggerayangi dadanya.

"Hehehe... dua buah gundukan yang besar dan 

indah. Tentu bagus bentuknya, bukan?"

"Kubunuh kau, Laksamurka!"

"Dalam keadaan tak berdaya begini bacotmu 

masih besar juga, Manis...." Tangan Laksamurka 

tiba-tiba bergerak cepat merobek baju bagian dada 

dari Ambarwati.

"Brek!" Terlihatlah dua buah gundukan yang 

putih halus di hadapannya. Ambarwati memejam


kan matanya menahan kegeraman yang sangat 

luar biasa. Habis, habis sudah. Dia hanya bisa 

berdoa pada Tuhan akan pertolonganNya.

Mata Laksamurka langsung nanar melihat buah 

dada Ambarwati yang indah. "Benar dugaanku, 

Manis. Bentuknya bagus dan indah."

"Biadab! Jangan kau lakukan itu padaku!"

"Hehehe..." Laksamurka tertawa. Tetapi tiba-tiba 

dia menoleh. Telinganya menangkap suatu gera-

kan di luar. "Bangsat! Siapa kiranya yang berani 

mengganggu ketenangan Laksamurka?"

"Sepasang Manusia Srigala, keluarlah cepat! 

Sebelum aku tega untuk membunuhmu!" terden-

gar suara bernada cempreng dari luar.

"Bangsat!" seru Laksamurka sambil melangkah 

ke depan. Di hadapannya berdiri seorang nenek 

bertubuh bungkuk. Dia mengenakan konde yang 

bagus dengan tusukannya yang terbuat dari emas. 

Tangan kanannya memegang sebuah tongkat. 

"Hmm, siapa gerangan kau kiranya yang berani 

mengusik Laksamurka?"

"Hihihi... agaknya namaku tidak punya banyak 

arti untukmu, Laksamurka...."

"Katakan cepat, sebelum aku punya niat untuk 

membunuhmu!"

Di dalam gubuk Ambarwati menghela napas le-

ga. Agaknya Tuhan mendengar doanya. Dia men-

dengar lagi suara dari luar, "Hihihi... kau begitu 

ngotot sekali. Baiklah bila kau ingin mengeta-

huinya.... Namaku Rumbila... hihihhi jelek, bu-

kan?"

Tetapi bagi telinga Laksamurka cukup menge


jutkan pula. Tetapi dengan tenang dia berkata 

dengan suara angker, "Ada apa majikan Bukit Ular 

yang bergelar Dewi Tongkat Ular keluar dari sa-

rangnya?"

"Hihihi... rupanya kau belum tahu kalau na-

mamu dan Dewi Murni yang bergelar Sepasang 

Manusia Srigala sudah terdengar sampai ke Bukit 

Ular?"

"Hmm... tak kusangka kalau nama itu menarik 

perhatian Majikan Bukit Ular!"

"Sudah tentu... sudah tentu... telingaku menjadi 

panas bila mendengar gelar itu. Apalagi teror yang 

kau lancarkan. Belum lagi dengan tantangan yang 

kau lontarkan pada Pendekar Bayangan Sukma. 

Hmm... agaknya kau pun tidak tahu akan kesak-

tian manusia agung itu Madewa Gumilang!"

"Sebentar lagi nama yang kau banggakan itu 

akan mampus di tanganku, Dewi Tongkat Ular!"

"Hihihi lucu, lucu... Maafkan aku yang telah 

mengganggu keasyikanmu dengan seorang gadis di 

dalam. Namun agaknya aku perlu bertanya pula. 

Kau apakan gadis itu, hah? Nampaknya dia berada 

di bawah kekuasaanmu."

"Jangan ikut campur urusanku!"

"Karena kau tidak menerangkannya aku akan 

ikut campur!"

"Hmmm... agaknya majikan Bukit Ular usil ju-

ga. Baik, aku pun ingin tahu sampai di mana ke-

hebatan namamu, Rumbila!"

"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi?!"

Ditantang dan diejek begitu, membuat darah 

Laksamurka mendidih. Tiba-tiba saja dia berkata,



"Hmmm... tongkat yang kau pegang itu ular betu-

lan rupanya!"

Tiba-tiba saja tongkat yang dipegang Dewi 

Tongkat Ular berubah menjadi ular. Tetapi nenek 

itu hanya tertawa saja. "Hihihi... keluarkanlah il-

mu sihirmu, Laksamurka. Dan ciptakan berbagai 

macam ular jejadian!"

Sungguh aneh, ular jejadian dari ilmu sihir Lak-

samurka tidak berbuat apa-apa pada Dewi Tong-

kat Ular. Tidak sia-sia dia menjadi Majikan Bukit 

Ular.

"Bangsat!" Laksamurka menggeram dan mena-

rik kembali ilmu sihirnya yang membuat tongkat 

itu berubah kembali ke asal. "Baik, kita lihat seka-

rang!"

Setelah berkata begitu, Laksamurka langsung 

menerjang dengan jurus Srigala Menangkap Mang-

sa. Rumbila cuma tertawa. Dia malah memapaki 

serangan itu dengan ayunan tongkatnya. Terden-

gar desir angin yang cukup kuat saat tongkat itu 

diayunkan. Laksamurka menarik kembali seran-

gannya dengan jalan bersalto. Namun belum lagi 

dia hinggap di bumi, Rumbila sudah menyodokkan 

tongkatnya.

"Bangsat!" geram Laksamurka. Dan sungguh 

luar biasa, saat tubuhnya tengah melenting itu ti-

ba-tiba melinting kembali.

"Bagus!" seru Dewi Tongkat Ular kagum. Dia 

kembali menyerang. Dalam sekejap saja tempat itu 

sudah menjadi ajang pertarungan dua tokoh sakti. 

Berpuluh jurus sudah berlangsung namun belum 

ada tanda-tanda ada yang kalah dan menang. Ke


duanya berimbang.

Laksamurka bersalto ke belakang. "Sekarang 

kau tahan seranganku, Rumbila!"

Tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi see-

kor srigala dengan sepasang mata yang menyalang 

buas. Rumbila agak terkejut melihatnya. Belum 

lagi dia sadar apa yang tengah terjadi, srigala jel-

maan Laksamurka itu sudah menerkam. Reflek 

Rumbila mengayunkan tongkatnya. Namun srigala 

jelmaan itu masih terus menerjang, membuat 

Rumbila terpaksa melompat menghindar.

Dan kini srigala itu siap untuk memangsanya.

Tiba-tiba Rumbila melempar tongkatnya ke arah 

srigala jelmaan itu. Mendadak tongkat tadi beru-

bah menjadi seekor ular cobra. Dan langsung hen-

dak mematuk srigala jelmaan itu. Tentunya Lak-

samurka yang tengah menjelma menjadi srigala ti-

dak mau mati konyol. Dia menghindar ke samping 

dan menerkam dari belakang.

Terjadilah pertarungan antara srigala dan ular 

jelmaan itu. Keduanya bertarung dengan sengit di-

iringi suara lolong dan desisan. Sementara Rumbi-

la duduk bersila, mempertahankan ilmu sihirnya 

pada tongkatnya yang kini menjelma menjadi see-

kor ular.

Namun mendadak srigala itu menjelma kembali 

menjadi Laksamurka. Sambil bersalto menghindari 

serangan ular jejadian itu, dia melontarkan senjata 

rahasianya yang berbentuk taring. Dewi Tongkat 

Ular yang sedang berkonsentrasi tidak mengetahui 

serangan licik itu.

Tiga buah senjata rahasia Laksamurka menan


cap pada sasarannya membuat Dewi Tongkat Ular 

terjengkang ke belakang dengan muntah darah. 

Sementara ularnya kembali menjadi tongkat.

"Hahaha... hanya begitu saja kehebatan nama 

besar majikan Bukit Ular!"

"Bangsat pengecut!" geram Dewi Tongkat Ular 

sambil menahan sakit yang mulai menjalari tu-

buhnya.

"Untuk mengalahkan manusia sombong seperti 

kau segala cara dihalalkan!" Laksamurka terba-

hak-bahak. "Nah, kau nikmatilah rasa sakitmu itu, 

Dewi. Dalam waktu lima belas menit, kau akan 

mampus dengan tubuh yang mengerikan bagai di-

cincang oleh ribuan srigala! Hahaha...."

Dewi Tongkat Ular menahan rasa sakit dan ma-

rahnya. Laksamurka masuk kembali ke gubuk itu. 

Dia berkata pada Ambarwati yang masih dalam 

keadaan tertotok, yang hanya bisa melotot geram 

melihat munculnya Laksamurka.

"Kita pindah dari tempat ini, Manis. Tempat ini 

sudah diketahui orang," katanya sambil membo-

pong tubuh Ambarwati yang menjerit-jerit namun 

tak bisa berbuat apa-apa ketika dibopong. Laksa-

murka cuma terkekeh.

Lalu dia keluar lagi. Dan berkata pada Dewi 

Tongkat Ular, "Selamat tinggal, Dewi. Nantikanlah 

ajalmu yang sebentar lagi akan menjemputmu 

dengan kereta emasnya yang sangat indah dan ba-

gus... hehehe!"

Bersamaan dia selesai berkata begitu, muncul 

Dewi Murni yang terengah-engah. Tangan kanan-

nya mendekap dadanya. Wajahnya berkeringat


dan pucat.

"Laksamurka!" rintihnya sebelum ambruk.

"Dewi Murni!" seru Laksamurka terkejut dan 

menurunkan tubuh Ambarwati lalu bergegas 

menghampiri Dewi Murni. "Apa yang telah terjadi, 

Dewi? Siapa yang berani berbuat begini, hah? Sia-

pa, Dewi? Katakan, katakan padaku! Biar kulumat 

habis manusia yang membuatmu menderita begi-

ni!"

Mata itu terbuka. Sinarnya redup. Dewi Mumi 

menahan sakit di dadanya. Suaranya terputus-

putus, "Aku... aku sudah bertemu dengan... Pen-

dekar Bayangan Sukma, Laksa... dia... dia maha 

sakti, Laksa...."

"Tahan, Dewi! Di mana dia sekarang?"

"Entahlah... aku tidak tahu... Laksa... sakit se-

kali... Akh... Laksa... aku telah membunuh... Se-

pasang Walet Putih dari Gunung Slamet...."

"Bagus! Sekarang kau tahan, biar aku obati!" 

kata Laksamurka sambil merobek baju bagian da-

da Dewi Murni. Nampaklah buah dadanya yang 

bulat dan montok. Putih bersih. Dalam keadaan 

begini, Laksamurka tidak bernafsu untuk menik-

mati sesaat pemandangan yang mengasyikkan di 

depan matanya. "Keluarkan hawa murnimu. Dan 

tahan sebentar...." katanya pula seraya mengalir-

kan hawa murni dan tenaga dalamnya melalui 

tangannya. Cukup lama hal itu terjadi. Tubuh De-

wi Murni nampak menggigil. Keringat dingin men-

gucur dengan deras. Begitu pula dengan Laksa-

murka. Mendadak saja Dewi Murni muntah darah.

"Huak!"


"Tahan, Dewi. Tahan... sebentar lagi...."

Tiba-tiba saja dari samping kiri mereka sebuah 

sinar berwarna merah berkelebat ke arah mereka.

Serentak Laksamurka bersalto menghindar. Se-

dangkan Dewi Murni yang sedang terluka, harus 

bersusah payah menggulingkan tubuhnya. Ter-

lambat dua detik, mampuslah srigala betina itu.

"Bangsat!" bentak Laksamurka. "Siapa yang ker-

janya hanya berani membokong saja! Ayo keluar! 

Tampakkan wajah jelekmu!"

Tak ada sosok yang keluar.

Laksamurka memberikan pil pemulih tenaga 

pada Dewi Murni. Lalu menyuruhnya untuk ber-

semedi. Kali ini dia berdiri di dekat Dewi Murni, 

kuatir ada serangan gelap lagi.

Tiba-tiba melompat sesosok tubuh dari balik 

semak dan hinggap di tanah dengan ringannya.

"Aku memenuhi panggilanmu yang menyuruh-

ku keluar, Laksamurka!" kata sosok tubuh itu ga-

gah.

"Hhh! Rupanya kau bocah jelek! Punya nyali pu-

la kau untuk menyerang secara gelap begitu!"

"Aku datang untuk membebaskan istriku, Lak-

samurka! Dan mencabut nyawa iblismu serta sri-

gala betina itu!"

Terdengar seruan dari samping sosok yang baru 

datang itu, "Kakang Pranata...!"

Serentak sosok yang tak lain Pranata Kumala 

menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Rayi 

Ambar...." serunya seraya ingin mendekat.

Tetapi Laksamurka menghalanginya dengan 

mengirimkan satu tendangan yang cukup berisi,


membuat Pranata Kumala mengurungkan niatnya 

dan menghindar. "Bagus!" serunya.

"Hhh! Bocah jelek, kau hanya mengantarkan 

nyawamu ke sini rupanya!"

"Sudah kukatakan, akulah yang hendak men-

cabut nyawamu!"

"Besar pula ucapanmu!"

"Karena kau tak akan lama lagi untuk hidup di 

muka bumi ini! Begitu pula dengan kawanmu yang 

nampak terluka parah! Maaf, kalau tadi aku harus 

membokong kalian!"

"Pandai sekali kau berucap, Bocah jelek! Kau 

hanya mengantarkan nyawamu saja ke sini!"

"Hahaha... mengapa tidak sejak tadi kau maju 

ke sini! Ayo, majulah, Laksamurka! Biar kuhantam 

perutmu dan kuburai isi perutmu!" Lalu disusul 

dengan tawa Pranata Kumala yang menyakitkan 

telinga.

"Kulumat tubuhmu, bocah jelek!"

"Majulah, Srigala busuk!"

Laksamurka yang tengah murka karena ditan-

tang seperti itu tak mau banyak omong lagi. Dia 

serentak menerjang dengan hebat diiringi peki-

kannya yang keras. Serangan-serangannya man-

tap dan mengundang maut. Pranata mengimban-

ginya dengan jurus menghindarnya Kijang Kumala 

dan jurus Tangan Bayangannya.

Pertempuran itu hebat.

Ambarwati berdoa dalam hati demi keselamatan 

suaminya tercinta. Dia sudah gembira melihat su-

aminya mendadak muncul. Tetapi kini hatinya 

cemas melihat dan mengingat betapa hebatnya


Laksamurka.

Sedangkan Rumbila berharap, Pranata Kumala 

mampu mengalahkan Laksamurka dan segera 

mengobatinya.

Pertempuran antara keduanya berlangsung 

dengan seru. Masing-masing mengeluarkan sege-

nap kemampuannya. Dan seluruh tenaga mereka.

"Des!"

"Des!"

"Des!"

Berkali-kali benturan terjadi. Namun keduanya 

terus saling menyerang berupaya untuk segera 

menjatuhkan lawannya.

"Awas serangan, bocah jelek!"

"Hahaha... kulayani sampai seribu jurus sekali 

pun, Srigala busuk!"

Lagi keduanya saling menerjang.

"Des!"

"Des!"

Lagi terjadi benturan yang hebat.

Tiba-tiba Laksamurka menjerit, "Lihat sekeli-

lingmu, Bocah! Ular berbisa!"

Mendadak saja ranting-ranting pohon yang be-

rada di dekat berubah menjadi ular berbisa. Dan 

mendesis-desis siap menyerangnya.

"Kau hanya berani dengan ilmu sihir!" seru Pra-

nata Kumala memaki sambil menghindari patukan 

ular-ular itu. Sambil menghindar dia kembali me-

lontarkan pukulan sinar merahnya ke arah ular-

ular itu.

Sebentar saja ular-ular itu mati dan berubah 

kembali menjadi sebatang ranting.



Melihat serangannya gagal, kembali Laksamur-

ka menerjang. Dengan dahsyat dan diiringi dengan 

pekikan mengerikan. Terjadilah pertarungan yang 

hebat antara keduanya.

Dewi Murni yang merasa tubuhnya mulai mem-

baik, dan kesal serta marah dibokong sedemikian 

rupa, mulai membantu setelah mengalirkan hawa 

murninya ke sekujur tubuhnya.

Pertempuran tak seimbang pun terjadi.

Ambarwati ngeri melihat suaminya dikeroyok 

begitu.

Rumbila atau Dewi Tongkat Ular hanya bisa 

menonton saja dengan hati geram tanpa bisa ber-

buat apa-apa. Dan perlahan-lahan dia merasakan 

sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rumbi-

la tidak yakin dia bisa bertahan untuk hidup lebih 

lama.

Sementara pertempuran itu semakin seru ber-

langsung. Pranata mengeluarkan segenap kemam-

puannya dengan sekali-sekali melontarkan puku-

lan sinar merahnya.

Dia merasa beruntung karena Dewi Murni se-

dang terluka. Bila tidak, dia merasa tak mungkin 

mampu menahan gempuran-gempuran dahsyat 

yang dilancarkan keduanya.

Tiba-tiba dia menjerit, "Lihat serangan!"

Pukulan sinar merahnya pun dilontarkan den-

gan membabi buta, membuat kedua manusia itu 

harus memperlihatkan kelincahan mereka. Dan ti-

ba-tiba selagi Dewi Murni meloncat, Pranata me-

nyerang masuk.

"Des!"


Pukulannya bersarang di dada Dewi Murni yang 

terhuyung ke belakang.

Melihat hal itu Laksamurka melemparkan obat 

pemunah rasa sakit yang langsung ditelan oleh 

Dewi Murni dan segera bersemedi. Memulihkan 

hawa murninya dan menyalurkan segenap tenaga 

dalamnya ke seluruh tubuhnya.

Sementara Laksamurka terus menyerang den-

gan gencar dan nafsu untuk membunuh lawan-

nya. Kali ini Pranata Kumala yang cukup kerepo-

tan dibuatnya.

Tiba-tiba saja Laksamurka menjerit dan menye-

rang.

"Des!"

Tendangannya mengenai sasaran!

Membuat Pranata Kumala terhuyung beberapa 

tindak. Lalu menyeka bibirnya yang mengeluarkan 

darah.

"Kakang...." jerit Ambarwati pilu. Tetapi dia ti-

dak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih 

dalam keadaan tertotok.

Laksamurka terbahak.

"Itulah akibatnya bila berani menantang Sepa-

sang Manusia Srigala."

Pranata Kumala menyeka kembali bibirnya. Ma-

tanya nyalang.

"Bangsat! Majulah, Srigala busuk! Aku akan 

mengadu jiwa denganmu!"

"Hahaha... sudah dalam keadaan sekarat kau 

masih berani untuk menantangku? Baiklah, bila 

itu maumu! Nah, tahan serangan!"

Tubuh itu berkelebat lagi. Kali ini dengan puku


lan lurus ke muka. Pranata menghindarkan kepa-

lanya ke kiri, tiba-tiba saja pukulan yang berben-

tuk bogem itu berubah menjadi cakar srigala.

"Bret!"

Baju bagian bahu Pranata terkoyak oleh samba-

ran jari yang berbentuk cakar.

"Hahaha... sebentar lagi jantungmu yang akan 

kukorek ke luar dan kucabik-cabik, Bocah!"

Dewi Murni yang sudah merasa pulih tenaganya 

membuka matanya dan siap membantu Laksa-

murka. Begitu dilihatnya Laksamurka sedang be-

rada di atas angin, diurungkannya niatnya.

Dia berseru, "Jangan kau kasih bernapas lagi 

manusia tak tahu diuntung itu, Laksa!"

"Baik, Dewi! Dia pun harus membalas perla-

kuan yang telah dibuatnya terhadapmu!" seru 

Laksamurka sambil terbahak. "Nah, Pranata Ku-

mala... bersiaplah untuk mampus!"

Sehabis berkata demikian, Laksamurka mener-

jang dengan hebat. Pukulannya mengandung te-

naga dalam yang penuh, siap menjemput nyawa 

Pranata Kumala. Sebisanya Pranata bertahan, 

namun satu benturan keras membuatnya mati 

langkah dan ambruk ke tanah.

Laksamurka tak mau membuang waktu lagi. 

Dia menjerit menerjang untuk menghabisi nyawa 

Pranata Kumala. Pranata hanya memejamkan ma-

tanya menyambut pukulan itu.

Tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Des!"

Tubuh Laksamurka terhuyung karena dia me-

rasa menghantam sebuah tembok besar. "Bangsat, 

siapa yang berani menghalangi perbuatanku ini?!"


Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh gagah ber-

jubah putih.

"Madewa Gumilang!" seru Dewi Mumi.

"Ayah!" Ambarwati dan Pranata Kumala berseru 

bersamaan.

"Hhh! Nama besar Madewa hanya bisa membo-

kong rupanya!" bentak Laksamurka dengan geram. 

"Tapi sayang, hari ini nama besar itu akan terku-

bur selama-lamanya!"

Madewa tersenyum arif. "Laksamurka, hendak-

nya kau kembalilah ke tempat asalmu. Dan ajak 

pasanganmu itu. Janganlah kau terus menerus 

membuat onar!"

"Hhh! Kau harus mampus di tanganku, Made-

wa!" geram Laksamurka. "Nah, cepat serahkan Se-

ruling Naga padaku!"

"Ingatlah Laksamurka, janganlah kau menjadi 

manusia laknat!"

"Itu urusan ku! Cepat serahkan Seruling Naga 

sebelum kucabut nyawamu!"

"Kau tak ubahnya binatang haus darah, Lak-

samurka!"

Dikatakan seperti binatang, kemarahan Laksa-

murka langsung naik. "Aku memang binatang 

yang haus darah! Terutama darah kau, Madewa!" 

serunya seraya menerjang. Madewa sudah mem-

perkirakan serangan itu. Dia menghindar dengan

jurus Ular Meloloskan Diri.

Melihat serangannya gagal, Laksamurka kemba-

li mempergencar serangannya. Serangannya begitu 

cepat dan bertenaga. Dia tidak tanggung lagi, lang-

sung menghimpun tenaga dalamnya dalam tingkat


tinggi.

Madewa pun kali ini tidak hanya menghindar, 

dia juga membalas dengan jurus Tembok Mengha-

lau Badai. Hal itu membuat Laksamurka cukup 

kewalahan. Dewi Murni yang merasa kesehatan-

nya cukup pulih, menerjang membantu. Tidak lagi 

mempersoalkan Pranata yang menghantamnya ta-

di.

Kini jadilah mereka kembali Sepasang Manusia 

Srigala. Kekuatan mereka berpadu. Madewa cukup 

merasakan gempuran yang hebat. Apalagi ketika 

keduanya menggunakan jurus Sepasang Srigala 

Melompat. Madewa bukan hanya dibuat kerepotan 

sekarang, tetapi harus membuatnya menghindar 

dengan lincah.

Tiba-tiba terdengar jeritan Dewi Tongkat Ular, 

"Aaaahh!"

Serentak pertarungan itu terhenti. Semuanya 

menoleh pada Dewi Tongkat Ular yang meringis-

ringis kesakitan.

Seketika Madewa mengetahui kalau Dewi Tong-

kat Ular terkena senjata rahasia salah seorang dari 

Sepasang Manusia Srigala. Tanpa diketahui oleh 

keduanya, Madewa mengirimkan tenaga dalamnya 

melalui mata untuk menghentikan aliran racun 

yang sudah hampir mencapai jantung.

"Lihat Madewa, sebentar lagi kau pun akan se-

karat seperti Dewi Tongkat Ular!" seru Laksamur-

ka.

"Aku pun harus membalas apa yang telah kau 

lakukan padaku semalam, Madewa!" geram Dewi 

Murni.

Masih mengirimkan tenaga dalamnya melalui 

matanya kepada Dewi Tongkat Ular, Madewa ter-

tawa pada Laksamurka dan Dewi Murni.

"Kalian rupanya pemimpi-pemimpi yang luar bi-

asa!"

"Jangan besar mulut kau, Madewa!"

"Hahaha... agaknya hari ini aku pun tak boleh 

bermurah hati lagi!" kata Madewa yang sengaja 

mengulur waktu untuk menolong Dewi Tongkat 

Ular yang merasa heran karena tubuhnya dirasa-

kan agak berkurang sakitnya.

"Bacotmu besar juga, Madewa!"

"Lakukanlah bila kau mampu untuk membung-

kam bacotku!"

"Baik! Bersiaplah!" Laksamurka bersalto ke de-

kat Dewi Murni. Tubuh keduanya berapat pung-

gung. Tangan mereka membentuk cakar. Agaknya 

keduanya tengah menyiapkan jurus mereka yang 

paling ampuh. "Hari ini kau harus mampus di tan-

gan kami, Sepasang Manusia Srigala, Madewa!"

Madewa yang merasa sudah cukup menolong 

Dewi Tongkat Ular pun segera meladeni kedua 

Manusia Srigala itu.

Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang meng-

gema di seluruh tempat, dua manusia itu mener-

jang dengan masing-masing tangan membentuk 

cakar dan mengeluarkan sinar merah.

Madewa pun segera memapaki dengan pukulan 

Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan 

jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Terjadilah ben-

turan antara kedua tenaga yang menimbulkan su-

ara seperti letusan.


"DUUARRR!"

Sungguh di luar dugaan, Madewa terhuyung li-

ma tindak ke belakang dengan mulut mengelua-

rkan darah! Sementara Sepasang Manusia Srigala 

itu hanya terhuyung dua tindak dan kini sudah 

berdiri dengan gagahnya.

"Hahaha... nama besar Pendekar Bayangan 

Sukma ternyata tak punya banyak arti hari ini!" 

seru Laksamurka. "Hmmm... Madewa keluarkan 

pukulan Bayangan Sukma yang kau banggakan!"

Dewi Murni yang sangat mendendam sekali dan 

melihat keadaan Madewa yang sudah di bawah 

angin akibat benturan tadi, tiba-tiba memekik me-

nerjang dengan kedua tangan mengembang ke 

arah jantung Madewa.

Ambarwati menutup matanya ngeri.

Dewi Tongkat Ular hanya bisa mendesah tanpa 

bisa membantu karena tubuhnya masih lemah.

Laksamurka terbahak-bahak karena mem-

bayangkan tubuh Madewa akan hancur tercabik-

cabik.

Namun sungguh di luar dugaan, tubuh Dewi 

Murni yang meluncur dengan keras tiba-tiba ter-

pental ke belakang sambil mengeluarkan jeritan 

kesakitan. Dan ambruk setelah terhuyung bebera-

pa tindak.

"Huak!" dia muntah darah.

"Dewi!" pekik Laksamurka kaget sambil membu-

ru.

Sebenarnya Dewi Murni telah membuat kesala-

han yang teramat fatal. Dalam kondisi yang turun 

emosinya, Madewa bisa membuat lawannya yang

dalam keadaan marah berbalik sendiri terkena pu-

kulannya. Itu semua berkat rumput Kelangkamak-

sa yang tanpa sengaja dimakannya dan tanpa di-

duganya telah menghasilkan tenaga gaib yang ke-

luar dari tubuhnya (baca: Dendam Orang-orang 

Gagah).

Melihat Dewi Murni dalam keadaan kesakitan, 

murkalah pasangannya. Laksamurka berdiri ga-

gah, dan matanya memancarkan nafsu untuk 

membunuh.

"Hari ini kau harus mampus di tanganku, Ma-

dewa!" serunya kembali menerjang. Madewa berke-

lit ke kiri. Dan mengirimkan serangan balasan. 

Kembali tempat itu terjadi pertarungan yang sen-

git.

Entah sudah berapa puluh jurus yang dikelua-

rkan oleh keduanya. Namun sampai sejauh itu 

Madewa tidak telengas menurunkan tangan. Tadi 

pun dia hanya memakai separuh tenaganya ketika 

terjadi benturan sehingga dia harus terhuyung li-

ma tindak.

Diam-diam pun Madewa mengalirkan tenaga 

dalam Salju Abadi ke tangan kanannya. Dan keti-

ka tangan kanannya menyentuh tubuh Laksamur-

ka, tubuh itu langsung menggigil. Laksamurka 

mengeluarkan seluruh tenaga dalam dan hawa 

murninya untuk mengusir rasa dingin yang me-

nyengat.

"Bangsat!"

"Keluarkan ilmu simpananmu, Laksamurka! Ke-

luarkan semuanya!"

Pelan-pelan hawa dingin itu terusir darinya.


Laksamurka langsung menerjang kembali dan me-

lemparkan senjata rahasianya. Madewa berkelit 

sambil membalas.

Tiba-tiba selarik sinar putih menerpa ke arah 

Madewa yang sigap bersalto ke samping.

"Duar!"

Sinar putih itu menghantam pohon di bela-

kangnya hingga hangus. Dan kembali Laksamurka 

dengan gencar mengirim serangan jarak jauhnya 

yang berupa sinar putih. Dengan menggunakan 

jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa menghindari 

serangan itu.

"Nama besar Madewa Gumilang ternyata cuma 

bisa menghindar saja!" seru Laksamurka sambil 

tetap dengan gencar menyerang secara membabi 

buta.

"Rupanya kau menginginkan aku membalas?!"

"Hanya ingin kulihat keberanianmu!"

"Baik! Lihat serangan!" seru Madewa sambil me-

lompat menghindari sinar putih itu, dia bersalto 

dua kali di atas dan menukik hendak menyambar 

kepala Laksamurka. Serentak Laksamurka bergul-

ing ke tanah menghindari serangan itu.

"Hebat!" serunya kagum.

Madewa telah bangkit tegak kembali.

"Rupanya rasa belas kasihanku sudah habis, 

Laksamurka. Hari ini terpaksa aku harus menca-

but nyawamu!"

"Hahaha... sudah hampir seratus jurus kau 

menghadapiku, Madewa... tetapi sampai sejauh itu 

kau belum mengalahkanku juga."

"Baik! Kita sudahi pertarungan ini!" selesai ber


kata demikian, Madewa menyerang. Kali ini sung-

guh aneh. Serangannya nampak tidak bertenaga 

dan lemah. Namun Laksamurka sudah curiga me-

lihat serangan seperti itu. Dia tidak berani mema-

paki. Dan sungguh di luar dugaannya. Batu besar 

yang berada di belakangnya hancur menjadi pasir 

ketika tangan Madewa menyentuhnya.

"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Dewi Tongkat 

Ular.

Mendengar nama pukulan itu dijeritkan oleh 

Dewi Tongkat Ular, Laksamurka menjadi sedikit 

keder. Ngeri dibuat oleh Madewa Gumilang. Dalam 

hati dia mengakui, betapa hebatnya pukulan 

Bayangan Sukma yang dimiliki oleh Madewa.

Tetapi dia tetaplah manusia sombong. Dia ber-

kata dengan pongah, "Ingin kulihat sampai di ma-

na kehebatan pukulan itu, Madewa!"

"Bagus! Kini terimalah!" seru Madewa. Kali ini 

dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Dan Lak-

samurka tetap tak berani memapaki karena kuatir 

pukulan Bayangan Sukma yang sedang dilancar-

kan Madewa.

Karena terlalu berhati-hati, dia terkena juga 

gempuran di dadanya yang membuatnya serasa 

dihantam gada yang besar. Napasnya menjadi se-

dikit sesak.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" serunya 

marah dan kembali menyerang. Kali ini Madewa 

tak memberi ampun lagi. Dia memapaki. Dan ter-

jadilah benturan yang teramat hebat.

Madewa terhuyung ke belakang dua tindak. 

Sementara Laksamurka ambruk dengan tubuh


hancur. Nyawanya langsung lepas dari raganya. 

Dia tidak mengira kalau Madewa akan mengelua-

rkan Pukulan Bayangan Sukma-nya kembali. Dia 

salah perhitungan. Musnahlah salah seorang dari 

Sepasang Manusia Srigala.

Melihat Laksamurka menemui ajal, Dewi Murni 

yang dalam keadaan kesakitan menjadi kalap. Dia 

menerjang Madewa dengan sepenuh tenaga.

"Tunggu!" seru Madewa.

Tetapi tubuh itu sudah melesat dengan deras. 

Dengan pukulan lurus ke depan, ke arah wajah 

Madewa. Yang diserang hanya terdiam. Tidak ber-

geming. Malah menurunkan emosinya.

Dan hal itu membuat fatal bagi Dewi Murni. Da-

lam keadaan emosi saat menyerang Madewa, akan 

terjadi serangan balik yang mendadak. Semua itu 

berkat rumput Kelangkamaksa yang dihisap sa-

rinya oleh Madewa tanpa disengaja.

Benar saja, tiba-tiba saja tubuh Dewi Murni ter-

lontar ke belakang dengan deras. Tanpa ampun la-

gi tubuh itu berkelojotan dan mampus sekarat!

Madewa mendesah panjang.

"Dua nyawa kurenggut hari ini," desahnya pilu. 

"Tetapi bila tak kulakukan, kejahatan pasti akan 

terus berlangsung."

Lalu Madewa menghampiri Ambarwati dan me-

lepaskan totokannya. Ambarwati langsung me-

rangkul ayah mertuanya. "Terima kasih, Ayah... te-

rima kasih atas pertolongan Ayah...."

"Hmm... duduklah, Ambar," kata Madewa lalu 

mendekati Pranata Kumala yang tengah terduduk 

sambil meringis kesakitan.


"Ayah...."

"Kau harus banyak belajar lagi, Anakku...." kata 

Madewa sambil mengalirkan sedikit tenaga dalam-

nya pada Pranata, yang langsung merasa lebih 

enak dari tadi.

"Ya, Ayah...."

Sementara Madewa menghampiri Rumbila, Pra-

nata Kumala mendekati istrinya. Ambarwati lang-

sung memeluk suaminya dengan sukacita.

"Pranata...."

"Ambar...."

Keduanya saling tersenyum.

Bahagia.

Sedangkan Madewa tengah berkata pada Rum-

bila, "Bagaimana keadaanmu, Rumbila?"

"Terima kasih, Yang Agung Madewa Gumilang," 

kata Dewi Tongkat Ular sambil menjura. "Aku yang 

sudah tua ini ternyata masih diberi kesempatan 

untuk mengenal namamu yang telah menjulang 

menembus langit, sebagai pendekar sakti yang bu-

diman, Pendekar Bayangan Sukma!"

"Hmm... kulihat kau masih lemah sekali. Ulur-

kanlah telapak tanganmu, Dewi...."

Dewi Tongkat Ular mengulurkan kedua tangan-

nya. Madewa menindih telapak tangan itu dengan 

telapak tangannya. Matanya perlahan-lahan terpe-

jam. Dewi Tongkat Ular merasakan ada hawa an-

gin hangat mengaliri tangannya dan mengaliri se-

kujur tubuhnya. Menormalkan kembali aliran da-

rahnya.

Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk 

taring srigala copot dari tempatnya. Dewi Tongkat


Ular mendesah, rasa sakitnya telah lenyap.

Madewa membuka matanya dan menarik kem-

bali tangannya.

"Kau sudah aman, Rumbila...."

Rumbila alis Dewi Tongkat Ular langsung men-

jura di depan Madewa.

"Saya yang tua ini, rasanya tidak pantas berla-

ma-lama lagi di hadapan Madewa yang agung. Se-

baiknya saya mohon diri. Terima kasih atas perto-

longan dan petunjuk yang Madewa lakukan."

"Sikapmu ini seolah-olah aku seorang dewa, 

Rumbila... aku hanyalah manusia biasa...."

"Karena saya menganggap yang mulia adalah 

manusia dewa," kata Rumbila sambil memungut 

tongkatnya. "Amit mundur, Madewa!" Dan... 

"Wuuuttt!" Tubuhnya lenyap bagai dibawa angin.

Setelah Rumbila pergi, muncul di tempat itu 

dua sosok tubuh. Yang satu seorang gadis dan 

yang satunya seorang pemuda. Keduanya adalah 

Bayu dan adiknya, Arum. Saat ini keduanya me-

mang sengaja hendak mencari Pranata Kumala. 

Bagi Arum, dia sangat rindu dengan pemuda itu, 

pemuda yang mengutarakan cintanya. Hal itu 

membuatnya menjadi sakit dan setelah Bayu tahu 

apa yang menyebabkan sakit adiknya, dia pun 

meminta ijin pada ayahnya untuk meninggalkan 

desa Kali Sunyi.

Sudah tentu Arum sangat gembira mengetahui 

dia diperbolehkan mencari Pranata Kumala. Maka 

dengan ditemani kakaknya, dia pun melangkah-

kan kakinya dengan gembira.

Hampir empat hari keduanya mencari, dan se


karang secara tidak sengaja mereka bertemu den-

gan Pranata Kumala.

Kening Arum berkerut melihat Pranata Kumala 

tengah merangkul seorang wanita. Dan wanita itu 

membalas pula merangkulnya.

"Arum! Bayu!" seru Pranata setelah mengenali 

siapa yang datang. Sambil menarik tangan istrinya 

dia mendekati mereka, "Ada apa kalian sampai 

meninggalkan rumah?"

Bayu tersenyum, walau heran siapa wanita di 

sisi Pranata?

Sementara Arum merasakan dadanya sesak. 

Napasnya jadi tidak teratur. Dia hanya menunduk, 

tak mampu menyaksikan kemesraan yang sedang 

terpampang di depannya.

"Apa kabar, Saudara Pranata?" tanya Bayu.

"Oh, kabar baik. Kau bagaimana, Bayu?"

"Kabar baik pula."

"Kau bagaimana, Rayi Arum?"

"Saya... saya baik-baik saja, Kakang...." desis 

Arum masih tetap menunduk. Siapa gadis di sebe-

lahnya itu?

Pranata mengenalkan mereka pada ayahnya. 

Madewa hanya tersenyum. Lalu Pranata berkata, 

"Saudara Bayu dan Rayi Arum... perkenalkan... ini 

istriku...."

Ambarwati tersenyum.

Bayu terperangah.

Arum terkejut dan terpekik. Istrinya? Dia is-

trinya? Mengapa dia mengutarakan cintanya pa-

daku bila ternyata dia sudah beristri?

Tiba-tiba saja Arum berlari meninggalkan mere


ka dengan hati pedih dan terluka.

"Rayi!" panggil Bayu.

Tetapi gadis itu terus berlari.

Pranata menjadi serba salah. Sedikit banyaknya 

dia tahu apa yang menyebabkan Arum menjadi 

begitu. Pasti dirinya. Dirinya yang kini dianggap-

nya sebagai penipu. Buaya darat, yang kerjanya 

hanya mempermainkan para gadis-gadis saja. Dan 

salah satu di antaranya Arum!

Pranata mendesah. Madewa heran. Ambarwati 

apalagi. Mengapa gadis itu seperti kaget mengeta-

hui dia istrinya Pranata Kumala? Apakah... gadis 

itu mencintai suaminya?

Berpikiran demikian, Ambarwati memegang len-

gan suaminya erat-erat.

Pranata menjadi tidak enak pada Bayu. Lalu dia 

menceritakan apa yang telah terjadi sesungguh-

nya.

"Benar Saudara Bayu, saya tidak sengaja meli-

hatnya. Karena saat itu pikiran saya hanya terpa-

ku pada Sepasang Manusia Srigala dan pada istri-

ku ini. Di samping itu, saya tidak menceritakan 

kejadian yang sesungguhnya, karena tak ingin 

membuat malu Rayi Arum...."

Bayu mengangguk mengerti. Paham akan du-

duk permasalahannya.

"Kalau begitu maafkan aku dan adikku, Sauda-

ra Pranata. Biar adikku aku yang mengurus dan 

memberikan penjelasan."

"Sampaikan maafku padanya, Saudara Bayu...."

"Tak perlu kau suruh aku akan melakukannya, 

Saudara Pranata. Aku mohon pamit. Rayi Ambar


dan Paman Madewa, saya amit mundur."

Lalu Bayu pun berlalu.

Ambarwati memeluk suaminya erat-erat. Bila 

saja saat itu suaminya tidak sedang mencemaskan 

dirinya dan kuatir akan Sepasang Manusia Srigala, 

tentu dia akan marah besar.

Madewa mendehem.

Keduanya menoleh.

"Sebaiknya kita kembali ke Perguruan Topeng 

Hitam sekarang...."

"Ayah...." kata Pranata kemudian.

"Ada apa, Anakku?"

"Sebenarnya... kedatangan kami ke Perguruan 

Topeng Hitam, untuk minta restu pada ayah dan 

ibu, kalau aku dan istriku hendak pergi bertua-

lang...."

"Maksudmu?"

"Kami akan bertualang, mencari pengalaman...."

"Kalau itu maumu, lakukanlah. Karena aku dan 

ibumu dulu adalah para petualang. Lakukanlah!"

"Terima kasih, Ayah," kata Pranata.

"Terima kasih, Ayah," kata Ambarwati pula.

"Tolong sampaikan salam kami pada ibu, 

Ayah...." kata Pranata.

"Baiklah... pergilah. Pesan Ayah berhati-

hatilah...!" Sehabis berkata begitu tubuh Madewa 

pun melesat.

Lalu Pranata Kumala dan Ambarwati pun berja-

lan. Memulai petualangannya.



                          TAMAT




 

0 komentar:

Posting Komentar