BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE DATUK SESAT BUKIT KUBUR


Datuk Sesat Bukit Kubur

 

DATUK SESATBUKIT KUBUR

Oleh Fahri Asiza

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

 Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Datuk Sesat Bukit Kubur


SATU


Desa Jati Gede malam hari.

Suasana desa nampak hening. Malam semakin 

kelam. Rembulan di sana tersenyum tipis, meman-

carkan sinar keemasannya menerangi desa Jati 

Gede.

Suara binatang malam bersahutan. Bernyanyi 

gembira karena baru saja hujan berhenti turun. 

Geresek dedaunan dan bau tanah basah menguar, 

semakin membuat desa yang aman itu terbuai da-

lam tidurnya.

Namun tiba-tiba saja desa yang tenang itu dida-

tangi oleh derap langkah kuda yang bergemuruh 

memasuki desa itu. Ada sekitar delapan orang di 

atas kuda masing-masing. Mereka berwajah bengis 

dan menyeramkan. Di tangan mereka terpegang 

sebuah cakram berbentuk gerigi.

"Hhh! Di sini kita akan membangun sebuah 

benteng, Kawan-kawan!" berseru salah seorang 

yang mengenakan ikat kepala biru menandakan 

dia adalah pimpinan dari gerombolan itu.

"Benar, nampaknya desa ini cocok untuk kita!" 

sahut yang lain.

"Kalau begitu, mulailah kita menteror di sini!"

Tiga orang melompat dari kuda mereka. Dan 

mengambil beberapa dahan pohon yang kering. La-

lu membakarnya. Setelah itu dilemparkannya da-

han-dahan yang terbakar itu ke atap rumah pen-

duduk.

Suasana desa yang tenang berubah menjadi ke


kalutan. Terdengar pekik dan jerit penduduk yang 

rumahnya terbakar. Para penjaga malam yang me-

lihat api berkobar segera berlari mencari sumber-

nya. Serentak mereka memukul kentongan, me-

nandakan desa dalam bahaya.

Seketika kepanikan terjadi. Orang-orang beru-

saha memadamkan api yang makin menjulang. 

Sementara orang-orang yang menunggang kuda 

itu terbahak-bahak.

"Hei, mereka rupanya yang membuat ulah!" ber-

seru salah seorang penjaga malam yang bernama 

Jaya.

"Benar, mereka rupanya!"

"Siapa pula mereka!"

"Baiknya kita datangi saja, sementara yang lain 

berusaha memadamkan api!"

Empat orang penjaga malam dengan gagah 

mendekati orang-orang yang menunggang kuda itu 

yang tetap tertawa. Seperti gembira menyaksikan 

penduduk yang panik dan ketakutan. Sementara 

sebagian penduduk berusaha memadamkan api 

yang terus membakar.

"Orang-orang penunggang kuda, dengan mak-

sud apa kalian membuat keonaran di sini?!" tanya 

Jaya dengan gagah di hadapan orang-orang itu.

Pemimpin gerombolan yang bernama Agung Se-

ta terbahak. "Rupanya ada tikus kecil yang berani 

membentak kami, Gerombolan Carok dari Barat!"

"Perduli setan dengan siapa kalian! Tapi kalian 

telah membuat keonaran di sini!"

"Besar juga nyali manusia ini!"

"Cepat kalian tinggalkan desa ini sebelum kami


marah!" Serentak terdengar tawa membahana dari 

orang-orang itu. Merasa sangat lucu melihat ada 

yang begitu berani membentak dan mengusir me-

reka.

"Punya keberanian juga kau, Tikus jelek!"

Salah seorang berbisik pada Jaya, "Agaknya me-

reka memang sengaja ingin membuat onar di sini. 

Kita harus bersiap Jaya. Nampaknya mereka tidak 

bersahabat!"

"Betul. Kita hadapi mereka...."

Belum lagi Jaya selesai berucap, tiba-tiba ter-

dengar suara berdesing menderu ke arah mereka. 

Serentak mereka berlompatan menghindar. Juga 

ada yang bergulingan.

Suara yang mendesing tadi rupanya cakram 

bergerigi yang dilemparkan Agung Seta dan kini 

memutar kembali pada pemiliknya.

"Cepat kalian berlutut di hadapan kami, sebe-

lum kami menjadi marah! Dan umumkan pada se-

luruh penduduk, bahwa kini kami yang berkuasa!"

"Enak saja kau omong! Bupati Jarotseda yang 

kami anggap sebagai ketua di sini! Juga Lurah 

Tungtura yang menjadi ketua desa ini!"

"Bangsat! Mulai sekarang, kalian harus tunduk 

di bawah kekuasaan kami! Bila tidak, akan kami 

buat rata desa ini dengan tanah!"

"Kami akan mempertahankan tanah kelahiran 

kami ini dari tangan-tangan kotor orang-orang se-

perti kalian! Seraaaangg!" seru Jaya dan langsung 

menyerang dengan golok di tangan. Begitu pula 

dengan ketiga temannya.

Serangan mereka hanya disambut dengan ter


tawa oleh Agung Seta dan teman-temannya.

Lalu tangan kanan empat orang dari gerombo-

lan Carok itu bergerak.

"Sing!"

"Sing!"

"Sing!".

"Sing!"

Empat buah cakram yang berada di tangan me-

reka pun terlepas, menyambut serangan dari Jaya 

dan teman-temannya. Mereka tersentak kaget dan 

masing-masing berusaha menghindar.

"Bluk!"

"Trang!"

"Trang!"

"Akhhhh...!"

Jaya berguling ke tanah. Kedua temannya ber-

hasil menangkis dengan golok mereka. Tetapi yang 

seorang lagi harus ambruk ke tanah dengan dada 

robek besar. Lalu mampus orang itu setelah me-

nahan rasa sakit yang luar biasa sejenak. Darah 

mengucur dari dadanya.

Sementara senjata-senjata tadi seperti mempu-

nyai mata kembali kepada masing-masing pemi-

liknya.

Jaya menggeram marah. "Kami akan mengadu 

jiwa denganmu!" serunya kembali menyerang di-

ikuti oleh kedua temannya yang dendam dan ma-

rah luar biasa melihat kawan mereka harus mam-

pus dengan tubuh yang robek mengerikan.

Namun lagi-lagi tanpa turun dari kuda mereka, 

tiga buah senjata cakram itu bergerak mencari sa-

sarannya. Kali ini tak ada yang dapat menghindar.


Mereka pun ambruk dengan luka yang parah dan 

segera menyusul kawan mereka yang seorang ke 

akhirat.

Orang-orang itu terbahak.

Lalu mereka pun menggebrak kuda masing-

masing diiringi seruan yang keras.

Suasana desa itu pun menjadi neraka. Api terus 

berkobar. Kepanikan terus terjadi. Jerit dan rintih 

anak-anak dan wanita terdengar menyayat. Belum 

lagi jerit kematian orang-orang yang mencoba me-

lawan, dan ambruk dengan bagian tubuh yang ro-

bek terluka.

Tiba-tiba di hadapan orang-orang itu berdiri be-

berapa orang dengan gagah, dengan senjata di 

tangan mereka masing-masing.

Seorang laki-laki setengah baya berkata dengan 

nada berwibawa, "Hentikan kekejaman ini!"

"Hahaha... siapakah kau adanya, Laki-laki je-

lek!" menggema suara Agung Seta disambut den-

gan tawa yang lainnya. Memekakkan telinga dan 

penuh ejekan.

"Hhh! Ketahuilah, aku Lurah di sini! Namaku 

Tungtura! Cepatlah kalian tinggalkan tempat ini, 

Manusia dajal! Jangan membuat onar di sini!" sa-

hut Lurah Tungtura gagah. Sikapnya pun berani.

"Hahaha... rupanya warga desa Jati Gede tergo-

long punya nyali semua! Bagus, aku sangat me-

nyukai laki-laki yang jantan dan gagah berani! 

Nah, usirlah kami dari desamu ini! Bila kau mam-

pu mengalahkan salah seorang di antara kami, 

kami akan pergi meninggalkan desa ini! Tapi bila 

kau kalah atau pun mampus, bilang pada warga


mu agar patuh kepada kami! Gerombolan Carok 

dari Barat!"

Lurah Tungtura menimbang penawaran itu Ba-

ginya tak ada jalan lain selain melayani tantangan 

para gerombolan. Yang penting warganya terbebas 

dari kekuasaan manusia-manusia laknat ini.

Dengan langkah gagah Lurah Tungtura maju ke 

kalangan. Di tangannya tergenggam sebuah golok.

Tetapi sebelum dia berkata, salah seorang dari 

pengawalnya berkata, "Ki Lurah, biarlah aku yang 

melayani tantangan manusia sesat ini! Sebaiknya 

Ki Lurah mundur saja!"

"Bayu... biarlah aku yang tua ini yang mengha-

dapi mereka...." kata Lurah Tungtura dengan nada 

suara yang tetap berwibawa.

"Tapi, Ki Lurah...."

"Aku tahu... karena kakakmu Jaya telah mam-

pus di tangan mereka. Dan kau bermaksud ingin 

membalas, bukan?"

Laki-laki gagah yang bernama Bayu itu menun-

dukkan kepalanya. Malu karena maksudnya dike-

tahui Lurah Tungtura.

"Ki Lurah...."

"Hahaha... mengapa tidak sekalian saja maju, 

heh?! Kalian adalah makanan yang sangat empuk 

bagi kami! Ayo, jangan sungkan majulah!" berseru 

Agung Seta.

Tanpa menunggu persetujuan Lurah Tungtura, 

Bayu sudah berkelebat meraih goloknya, dan me-

langkahkan kakinya mantap ke kalangan.

"Gerombolan busuk, kalian harus membayar 

lunas nyawa kakakku!"


"Bagus! Morodama, kau hadapilah mereka! Ka-

sih mereka pelajaran yang berarti, biar mereka tak 

punya lagi ucapan besar!" seru Agung Seta dan se-

telah itu tawanya membahana keras di tengah ma-

lam desa Jati Gede. Desa yang tadi sunyi kini men-

jadi ramai.

Bekas rumah yang terbakar masih menampak-

kan sisa-sisa apinya. Para penduduk hanya mem-

perhatikan dengan hati cemas ketika Morodama 

meloncat dari kudanya. Dan berdiri berhadapan 

dengan Ki Lurah Tungtura dan Bayu. Para pendu-

duk tidak berani berharap banyak pada keduanya, 

tetapi mereka berdoa agar Lurah Tungtura dan 

Bayu memenangkan pertandingan ini.

Mereka tidak mau dipimpin oleh para gerombo-

lan yang sangat mereka yakin tentunya akan ber-

buat sewenang-wenang. Ini adalah hal yang sangat 

mengerikan! Apalagi bagi yang mempunyai anak 

perawan, tentunya mereka adalah makanan yang 

empuk buat Gerombolan Carok dari Barat!

Morodama adalah laki-laki bertubuh besar. 

Dengan kedua tangan yang kekar. Kumisnya bap-

lang. Dia terbahak begitu berhadapan dengan Lu-

rah Tungtura dan Bayu.

"Majulah kalian, ingin kulihat sampai di mana 

nyali kalian!" serunya.

Bagi Bayu tak ada lagi waktu untuk bercakap-

cakap. Kegeramannya memuncak. Apalagi setelah 

dia melihat mayat kakaknya yang mampus dengan 

luka di dada yang besar. Ini membuatnya marah 

dan dendam.

Dengan satu pekikan keras dia melesat mener


jang. Para penduduk menanti dengan cemas.

"Hati-hati, Bayu!" seru Lurah Tungtura.

Morodama terbahak sambil menghindari sabe-

tan golok di tangan Bayu.

"Kenapa tidak maju sekalian, Lurah Tungtura! 

Biar aku tak membuang-buang waktu untuk 

menghabisi kalian!"

Lurah Tungtura pun segera melesat.

Goloknya berkelebat ke sana ke mari mencari 

sasaran. Dia pun tak berani berharap banyak pada 

dirinya dan Bayu untuk memenangkan pertarun-

gan ini. Tetapi dia akan berbuat sekuat tenaga. Dia 

pun tak mau desanya dipimpin oleh para gerombo-

lan.

Namun Morodama adalah salah seorang dari ge-

rombolan yang tangguh itu. Dia pun melayani se-

rangan-serangan Ki Lurah Tungtura dan Bayu 

dengan santai saja. Malah bila diperhatikan den-

gan seksama, tak ada rasa kesulitan sedikit pun.

Dia malah tertawa-tawa saja.

"Bah! Kepandaian seperti anak kecil saja kalian 

perlihatkan padaku!"

"Morodama, buat apa kau berlama-lama ber-

main-main dengan manusia-manusia itu! Cepat 

selesaikan, malam sudah semakin larut! Aku su-

dah tidak tahan untuk mencari hidangan makam 

malamku berupa perawan-perawan murni dari de-

sa ini!" seru Agung Seta yang matanya selalu jela-

latan memperhatikan gadis-gadis yang nampak ke-

takutan.

Dan begitu mendengar kata-kata Agung Seta, 

mereka semakin ketakutan. Sebagian kembali ma


suk ke rumahnya. Dan sebagian mengajak keluar-

ganya untuk meninggalkan desa itu.

"Agung Seta, bila itu maumu boleh saja!" seru 

Morodama sambil bersalto menghindari dan men-

girim satu jotosan ke dada Bayu, yang langsung 

terjengkang muntah darah.

Tetapi dendam yang membakar Bayu, membuat 

pemuda itu bangkit kembali. Namun sekali lagi dia 

harus terjengkang. Kali ini ambruk dengan mun-

tah darah. Dan kali ini nyawanya pun harus ming-

gat pada jasadnya.

Hal ini membuat Ki Lurah Tungtura menjadi ge-

ram. Namun dia pun tak bisa berbuat banyak, ka-

rena satu tendangan dari Morodama telah meng-

hentikan perlawanannya.

"Hahaha... hanya begitu saja rupanya kemam-

puan kau, Ki Lurah!" tertawa Agung Seta. "Dengan 

kemampuanmu yang hanya begitu, mana mampu 

kau membela para penduduk mu! Nah, Ki Lurah, 

kau sudah kalah, bukan? Bagaimana dengan per-

janjian kita tadi?"

Lurah Tungtura yang dadanya bagai digedor go-

dam besar, berkata sambil menahan sakitnya. 

"Tak akan pernah... tak akan kubiarkan orang-

orangmu memimpin di desa ini! Tak akan pernah!"

"Hahaha... di samping tak mempunyai kemam-

puan apa-apa, juga orang yang tukang mengingka-

ri janjinya! Orang seperti kau tak layak memimpin 

desa ini, Ki Lurah!"

"Apalagi orang seperti kalian, yang hanya mem-

buat onar dan kerusuhan!"

"Ki Lurah, aku tak suka berbasa-basi lagi! Nah.


katakan sekarang, apakah kau dan wargamu mau 

tunduk di bawah kekuasaan kami?"

"Biarlah Tuhan yang menyaksikan semua ini! 

Biarlah Tuhan yang akan memusnahkan kalian! 

Aku, Lurah Tungtura atas nama wargaku tak akan 

pernah mau tunduk kepada kalian!"

"Bangsat! Kau sudah diberi ampun minta mati! 

Baik, aku tak segan-segan lagi padamu!" selesai 

berkata begitu, Agung Seta menggerakkan tangan-

nya. Cakram yang sejak tadi sudah nyantel di 

pinggangnya bergerak dengan cepat dan menyam-

bar leher Ki Lurah Tungtura.

"Brak! Akhhh!"

Terdengar suara tulang leher Lurah Tungtura 

yang patah. Di susul dengan jeritannya yang ke-

ras. Lalu Lurah yang gagah berani itu pun ambruk 

dan mati untuk selama-lamanya.

Sementara senjata cakram tadi dengan anehnya 

kembali pada Agung Seta yang terbahak-bahak.

"Hahaha... hei, warga Jati Gede, mulai saat ini 

aku, Agung Seta, ketua gerombolan Carok dari Ba-

rat yang akan memimpin kalian!"

Sebagian terdiam.

Sebagian berseru, "Tidak, kami tidak mau di-

pimpin oleh kalian, kami... akhhh!"

Belum selesai orang itu berseru, mendadak di-

rasakannya sambaran angin di dadanya. Dan 

"des!" dada itu robek besar karena termakan ca-

kram Agung Seta. Tubuh itu pun seketika ambruk.

"Hhh! Siapa lagi yang berani membangkang! Ayo 

bicara!"

Tak ada lagi yang berani membuka mulut se


mua dicekam ketegangan yang luar biasa. Melihat 

para penduduk terdiam, Carok-carok itu terbahak-

bahak.

"Bagus, bagus! Mulai besok, kalian harus patuh 

pada kami! Dan menyetor setiap hasil panen ka-

lian?! Tidak ada kata tidak, aku yang menentukan 

di sini! Mengerti?!"

Lagi tak ada yang bersuara. Ketegangan itu se-

makin merambat. Apalagi ketika tiba-tiba Agung 

Seta menggebrak kudanya dan menyambar naik 

seorang perawan yang langsung menjerit-jerit ke-

takutan.

"Hahaha... kenapa takut, Manis? Kau akan 

menjadi hidangan makan malamku yang sangat 

lezat!"

Perawan itu masih meronta. Namun sia-sia. 

Ayahnya yang melihat bahaya yang sangat besar 

akan mengancam anak perawannya, nekat untuk 

menolong.

"Lepaskan anakku, Bangsaaaattt!"

Angin pukulannya menderu.

Tetapi yang dihadapinya adalah Agung Seta. 

Dengan sekali mengayunkan kakinya, laki-laki itu 

terjengkang ambruk dan nyawanya melayang!

"Bapaaaa!" berseru istrinya sambil memburu. 

Ketika dia hendak membalas kematian suaminya, 

beberapa orang menahannya.

"Lepaskan, lepaskan! Biar aku mati saja! Biar 

aku mati saja! Lepaskan!"

Tetapi orang-orang tidak melepaskannya, kare-

na mereka tak ingin satu nyawa lagi melayang oleh 

tangan orang-orang biadab itu.


Agung Seta terbahak. "Bagus! Kalian telah ber-

buat yang sangat bagus! Hei, Kawan-kawan, kalian 

tidak mencari hidangan makan malam?!" seru 

Agung Seta sambil menggebrak kudanya memba-

wa tubuh sang anak perawan.

Sudah tentu teman-temannya tak mau keting-

galan. Mereka pun dengan tertawa-tawa mengejar-

ngejar para anak perawan.

Di malam yang menjelang pagi, samar-samar 

penduduk desa Jati Gede mendengar rintihan ke-

sakitan para anak perawan dan tawa keenakan 

dari orang-orang durjana itu.

***

DUA



Dua hari kemudian setelah kejadian yang me-

nimpa desa Jati Gede, beberapa penduduk yang 

berhasil menyelamatkan diri mendatangi Bupati 

Jarotseda.

Bupati Jarotseda pun terkejut mendengar berita 

yang mengerikan itu.

"Lurah Tungtura pun tewas?"

"Benar, Bupati. Untungnya kami berhasil mela-

rikan diri."

"Benar-benar kejam gerombolan itu."

"Kita harus segera ke sana, Bupati," kata salah 

seorang pengawal Bupati yang bernama Handaka. 

Dia seorang laki-laki yang berusia 50 tahun. Dan 

pengawal setia dari Bupati. Handaka memiliki ke


mampuan ilmu silat yang cukup tinggi. Dia ber-

senjata sepasang kipas yang dengan sekali kebut 

mampu mendorong benda yang berat sekali pun.

Bupati Jarotseda mengangguk-angguk. "Benar, 

Pengawalku. Kita harus segera meredam kesom-

bongan dan keangkaramurkaan yang dibuat oleh 

orang-orang sesat itu!"

Tiba-tiba masuk salah seorang pengawal dari 

Bupati dengan langkah tergopoh-gopoh dan nafas 

terengah-engah. Wajah orang itu berkeringat.

"Hei, ada apa gerangan, Jaka Pamuran?!" tanya 

Bupati Jarotseda heran.

Pengawal yang bernama Jaka Pamuran itu men-

jura dengan masih terengah-engah. Tangannya 

menunjuk-nunjuk keluar. Dan saat tangan itu te-

rangkat, barulah yang hadir dapat melihat dengan 

jelas. Di bawah tangan kanan itu terdapat sebuah 

luka yang cukup besar dan kini darah merembas 

pada bajunya yang berwarna putih!

"Jaka Pamuran! Apa yang telah terjadi?!" seru 

Handaka sambil melompat dan memapahnya.

Begitu dipapah, Jaka Pamuran terjatuh. Nam-

pak sekali kalau lukanya teramat parah.

Bibirnya biru bergetar. Dan suaranya pelan, 

"Kami... kami diserang oleh... Gerombolan... Carok 

dari Barat... akhhh!"

"Di mana, Jaka? Di mana mereka berada?!" 

tanya Handaka menjadi waspada. Begitu pula den-

gan dua orang pengawal pribadi Bupati Jarotseda. 

Sula Panaran alias si Pisau Terbang. Dan Singara-

nu yang berjuluk si Manusia Angin.

"Mereka... akhhhh!" belum selesai ucapan yang


keluar dari mulut Jaka Pamuran, tubuh itu sudah 

terkulai, lalu mereganglah nyawanya.

Hal itu membuat suasana menjadi tegang. Teru-

tama beberapa penduduk Jati Gede yang datang 

melapor.

Tetapi Bupati Jarotseda menenangkan mereka. 

"Bila kalian merasa takut untuk kembali, biarlah 

kalian tinggal di sini untuk sementara."

Orang-orang itu langsung memilih tinggal di sa-

na, dan tak mau mengambil resiko maut dihadang 

oleh orang-orang jahat dari Barat itu.

Tiba-tiba terdengar suara desing angin yang cu-

kup keras ke arah mereka. Dan siurnya menderu 

cukup memekakkan telinga. Tiba-tiba, "Traaangg!" 

kaca jendela di mana mereka sedang berbicara, 

mendadak pecah terhantam suatu benda. Dan pe-

cahan kaca itu memburai ke arah mereka.

Serentak Handaka langsung melompat menu-

bruk tubuh Bupati Jarotseda dan menggulingkan-

nya hingga selamat dari pecahan kaca yang ber-

hamburan.

Begitu pula dengan Sula Panaran dan Singara-

nu yang bersalto untuk menghindari pecahan ka-

ca. Tetapi dua orang penduduk Jati Gede yang ter-

pana tak sempat untuk mengelak. Tak ayal lagi, 

tubuh mereka terhunjam pecahan kaca yang cu-

kup tajam.

"Cep!"

"Cep!"

Dan kedua tubuh itu pun mengejut, berkelojo-

tan dan ambruk.

Namun ketegangan itu tidak hanya sampai di


sana saja. Benda yang menabrak kaca itu ternyata 

sebuah cakram yang kini bergerak mencari sasa-

rannya. Cakram itu seperti mempunyai mata saja, 

karena dia dapat bergerak seolah mencari sasaran.

Hal ini sangat mengejutkan orang-orang yang 

berada di dalam ruangan itu.

Mereka menjadi tunggang langgang menyela-

matkan diri.

Dan "Des!"

"Des!"

"Aaakhhh!"

Tiga orang penduduk Jati Gede pun ambruk 

dengan leher hampir putus. Lalu melayanglah 

nyawanya.

Ini membuat Bupati Jarotseda marah. Tetapi 

dia cepat merundukkan kepalanya kalau tidak 

mau disambar oleh cakram bergerigi itu. Tiba-tiba 

terdengar jeritan Handaka sambil mengibaskan ki-

pasnya. Sebuah angin yang cukup besar menghan-

tam cakram itu hingga ambruk ke lantai.

Namun suatu keanehan terjadi.

Ketika Handaka hendak mengambil cakram itu, 

tiba-tiba benda bergerigi itu melayang ke atas, ke-

luar melalui kaca jendela yang pecah tadi.

"Gila!" seruan itu keluar bersamaan dari mulut 

tiga pengawal Bupati.

Suatu pertunjukan tenaga dalam yang luar bi-

asa.

Mendadak terdengar bentakan dari luar, "Hei, 

orang-orang yang berada di dalam! Cepat keluar, 

jangan bersembunyi mirip anak perempuan!"

Orang-orang yang berada di dalam saling pan


dang. Dan serentak mereka keluar. Bupati Jarot-

seda berdiri gagah di hadapan delapan orang pe-

nunggang kuda yang tertawa-tawa begitu melihat 

mereka muncul.

"Hahaha... rupanya kalian punya nyali juga!" 

bentak salah seorang yang tak lain Agung Seta, 

pimpinan Gerombolan Carok dari Barat. "Kupikir, 

Bupati Jarotseda dengan ketiga pengawalnya ha-

nyalah manusia-manusia pengecut yang beraninya 

cuma bersembunyi di ketiak ibunya!"

Kata-kata Agung Seta disambut oleh tawa te-

man-temannya.

"Hhh! Rupanya kalianlah manusia-manusia bu-

suk yang mengganggu desa Jati Gede!" seru Jarot-

seda gagah. "Ada maksud apa sebenarnya kalian 

mengganggu ketentraman kami?!"

"Hahaha... rupanya memang tak salah raja 

mengangkatmu menjadi Bupati di wilayah Timur 

ini, Jarotseda. Nyalimu lumayan besar, berani-

beraninya membentak kami!"

"Katakan cepat, maksud apa kalian menggang-

gu ketentraman di wilayah ini?!"

"Sudah tentu ingin menjarah hasil bumi dari 

desa Jati Gede, Bupati!"

"Hhh! Menyingkirlah kalian dari desa ini, jan-

ganlah membuat kami marah!"

"Hahaha... kami memang ingin melihat kalian 

marah! Ingin melihat sampai di mana kalian bisa 

mengusir kami dari desa yang indah ini!"

"Bangsat!" menggeram Bupati Jarotseda.

Begitu pula dengan ketiga pengawalnya yang 

kini dalam keadaan siaga.


"Ayo, unjuk gigilah kalian di hadapan kami! Biar 

kami tahu hanya setitik debu kemampuan kalian... 

hahaha!" tawa Jarotseda membahana.

Diikuti oleh teman-temannya yang merasa lucu 

karena ada yang berani menantang mereka.

Handaka sudah tidak bisa menahan diri lagi. 

Sambil memekik dia maju menerjang ke arah 

Agung Seta yang masih tertawa-tawa.

"Heit! Hebat juga seranganmu!" seru Agung Seta 

sambil bersalto melompat turun.

Namun Handaka bermaksud tidak memberi ke-

sempatan. Dia pun menerjang lagi dengan hebat. 

Kali ini Agung Seta segera memapakinya.

"Des!"

"Des!"

Dua buah pukulan yang mengandung tenaga 

dalam yang cukup lumayan bertemu. Dan masing-

masing mundur dua tindak dengan tangan yang 

terasa ngilu.

"Tak sia-sia kau menjadi pengawal Bupati, 

Orang tua! Tapi coba kau hadapi ini!" berserulah 

Agung Seta seraya mengeluarkan jurus berikut-

nya.

"Majulah, Orang busuk!" balas Handaka sambil 

menyiapkan diri menyambut serangan berikutnya.

Melesatlah tubuh Agung Seta ke arah Handaka, 

yang segera memapakinya. Kedua jago itu pun ber-

tarung kembali. Namun lewat lima jurus berikut-

nya, kelihatan Agung Seta dapat mendesak lawan-

nya.

Hal itu membuat Sula Panaran dan Singaranu 

bermaksud membantu. Tiba-tiba mereka mengu


rungkan niatnya dan bersalto, karena dua buah 

cakram sudah meluncur ke arah mereka.

"Bangsat!" maki Sula Panaran.

"Anjing buduk!" maki Singaranu.

"Hahaha...." Morodama tertawa. "Rupanya ka-

lian adalah manusia-manusia busuk yang penge-

cut! Beraninya hanya menyerang dari belakang sa-

ja! Buat apa kalian bersusah payah mencari la-

wan, bukankah kami telah siap untuk menghadapi 

kalian? Membuat kalian mampus berkalang tanah 

dengan tubuh hancur kelojotan... hahaha!"

"Bangsat!" menggeram Singaranu. "Cepat kalian 

turun dari kuda-kuda kalian, ayo hadapi kami!"

"Dengan senang hati!" Morodama bersalto, yang 

diikuti oleh seorang temannya yang bernama 

Tungga Merdeka, "Hahaha... kita merupakan pa-

sangan yang cocok sekali!"

Tak ayal lagi pertempuran pun terjadi. Masing-

masing sudah menggunakan jurus-jurus yang 

sangat berbahaya. Singaranu pun mengeluarkan 

jurus Angin Memutarnya untuk menghindari sam-

baran-sambaran cakram Morodama. Begitu pula 

dengan Sula Panaran yang menyambut serangan-

serangan Tungga Merdeka dengan sambaran-

sambaran pisau terbangnya, yang juga dialiri tena-

ga dalam. Sekaligus mencoba membuat keder la-

wannya, karena pisau-pisau terbang itu bisa kem-

bali pulang pada tuannya.

Tinggal Bupati Jarotseda yang masih berdiri 

dengan tenang. Namun hal itu tidak berlangsung 

lama. Karena dua orang dari gerombolan Carok itu 

sudah mengurungnya, mau tak mau membuat


Bupati Jarotseda harus melayani mereka demi 

mempertahankan selembar nyawanya.

Pertempuran itu berlangsung cukup sengit, alot 

dan saling mempertahankan diri. Namun lewat be-

berapa jurus kemudian, terdengarlah pekik dari 

mulut Handaka. Bahunya terkena sambaran ca-

kram bergerigi Agung Seta.

"Hahaha... lebih baik kau berlutut dan mencium 

ibu jariku, Orang tua! Atau... nyawamu akan lepas 

meninggalkanmu untuk selama-lamanya!"

"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" 

Handaka pun mengeluarkan senjatanya yang be-

rupa sepasang kipas dari balik bajunya. Lalu 

membuka jurusnya dengan mengibas, memutar 

dan membuka kipasnya. Saat dia berbuat begitu, 

timbul angin yang cukup kuat dan sambaran ber-

bunyi dengung dari kipasnya.

Agung Seta cukup terkejut melihatnya. Dan dia 

pun tertawa, "Hahaha... kipas untuk memanggang 

sate kau pergunakan dan kau perlihatkan di ha-

dapanku, Orang tua! Majulah!"

Sambil menggeram, Handaka melesat menye-

rang. Angin yang ditimbulkan dari kipasnya cukup 

memekakkan telinga. Dan dengungnya bagai ada 

ratusan tawon yang menyerang.

Agung Seta pun menyambut dengan sambaran-

sambaran cakramnya yang cukup merepotkan 

Handaka.

Begitu pula halnya dengan pertempuran antara 

Singaranu dan Morodama berlangsung tak kalah 

sengitnya. Kelihatan kalau keduanya nampak be-

rimbang. Dan masing-masing telah mengeluarkan


jurus-jurus andalan mereka.

Sedangkan pertempuran antara Sula Panaran 

dan Tungga Merdeka, sedikit nampak tidak berim-

bang. Sula Panaran dengan pisau-pisau terbang-

nya mampu membuat Tungga Merdeka kalang ka-

but. Serangannya sering kali dipatahkan oleh Sula 

Panaran. Dan ini membuatnya menjadi marah dan 

jengkel.

Serangannya menjadi tak terarah karena dilipu-

ti oleh rasa marah sedangkan konsentrasinya su-

dah pecah. Ini membuat Sula Panaran menjadi di 

atas angin.

Tiba-tiba dia berseru sambil bersalto, "Awas se-

rangan!" Dua buah pisau terbangnya pun melesat 

menuju sasarannya.

Tungga Merdeka terkejut. Serentak dia bersalto 

sambil melemparkan cakramnya.

Traaangg!

Cakram itu beradu dengan salah sebuah pisau 

yang menimbulkan suara cukup keras. Tetapi 

yang sebuah lagi terus meluncur mencari sasa-

rannya.

Tungga Merdeka berguling menghindari pisau 

terbang itu. Tetapi pisau yang sudah dialiri tenaga 

dalam dari jauh oleh Sula Panaran, tiba-tiba saja 

berbalik dan menukik menuju sasarannya.

Tungga Merdeka yang dalam keadaan berguling, 

tak mampu lagi untuk menghindari serangan pi-

sau terbang itu.

Dia cuma bisa terpaku dengan sepasang mata 

yang terbuka melotot melihat datangnya pisau itu 

ke arahnya, dan terdengarlah jeritannya yang san


gat keras ketika pisau itu menembus jantungnya.

"Aaaakhhhhh!"

Dan tubuh itu pun berkelojotan, bergulingan, 

lalu terdiam kaku dengan tubuh bersimbah darah.

"Tunggaaaa!" terdengar seruan dari salah seo-

rang carok yang masih berada di atas kudanya. 

Dengan kemarahan yang luar biasa, dia melompat 

menerjang Sula Panaran yang dengan cepat me-

nyambutnya pula.

Sementara itu keadaan Bupati Jarotseda cukup 

terdesak. Bupati yang ternyata pandai ilmu silat 

itu pun harus sekali-kali terkena hantaman puku-

lan, gedoran, sambaran dan tendangan dari kedua 

lawannya.

"Des!"

"Des!"

"Des!"

Tubuh Bupati Jarotseda menjadi bulan-bulanan 

dari kedua carok itu yang tertawa-tawa.

Di tempat lain, Agung Seta sudah mampu men-

desak hebat Handaka. Apalagi setelah sambaran 

cakramnya mengenai tangan kanan Handaka 

hingga kipasnya terjatuh. Dengan hanya menggu-

nakan kipas sebuah, tak banyak yang bisa diper-

buat jago tua itu.

Sebuah tendangan yang dilancarkan Agung Seta 

dengan kekuatan penuh pun mengenai sasaran-

nya hingga jago tua itu ambruk.

"Hahaha... terimalah serangan selanjutnya, 

Orang tua! Dan mampuslah kau menemani salah 

seorang anak buahku yang telah mampus lebih 

dulu!"


Lalu dengan kegeraman yang amat sangat, 

Agung Seta melemparkan cakramnya dengan tena-

ga dalam penuh ke arah Handaka. Handaka yang 

sudah sangat lemah tak bisa berbuat banyak. 

Tanpa ampun lagi, cakram itu pun masuk pada 

sasarannya. Menembus dada Handaka yang men-

jerit membelah langit dan ambruk meregang nya-

wa dengan tubuh bersimpuh darah.

Mampuslah tokoh dari Bupati Jarotseda dengan 

ajal yang mengerikan.

"Hahaha... kau temanilah kawanku Tungga 

Merdeka di neraka sana, Jago tua!" seru Agung Se-

ta. "Hei kalian!" serunya pada teman-temannya 

yang masih bertarung. "Cepat sudahi lawan-lawan 

kalian beri mereka pelajaran yang tak akan pernah 

terlupakan! Untuk Bupati Jarotseda, tangkap dia 

hidup-hidup! Dia akan kita hidangkan satu sugu-

han yang sangat menarik untuknya... hahaha! Ce-

pat laksanakan!"

Begitu habis Agung Seta berkata, teman-

temannya pun makin meningkatkan serangan-

serangan mereka.

Singaranu menjadi terkejut ketika Morodama 

menyerangnya dengan hebat. Dia sudah mengelu-

arkan jurus andalannya, Cakram Membalik Bumi. 

Dan ini membuat Singaranu menjadi kewalahan. 

Berkali-kali sambaran cakram itu mengenai sasa-

rannya dan menghantamnya.

Mendadak Singaranu menjadi nekat. Dia men-

gibaskan kipasnya yang tinggal sebuah hingga 

menimbulkan dorongan angin yang besar. Tetapi 

Morodama pun tak mau menjadi sasaran kemara


han Singaranu. Dia pun membalaskan dengan me-

lemparkan cakramnya dengan cepat dan hebat.

"Des!"

Sambaran cakram itu kembali mengenai perge-

langan tangan kiri Singaranu hingga kipas sak-

tinya terlepas. Ketika dia hendak mengambilnya 

kembali, sambaran cakram itu pun melesat lagi. 

Kali ini tepat mengenai sasarannya.

"Akhhh!"

Ambruklah Singaranu dengan leher yang ter-

koyak hampir putus.

Melihat hal itu Sula Panaran menjadi nekat pu-

la. Dia bertekad hendak mengadu jiwa dengan ke-

dua lawannya ini. Namun kedua lawannya begitu 

tangguh. Apalagi setelah mereka mengeluarkan 

senjata cakram masing-masing yang segera me-

nyambar bagai elang dengan cepat.

Sula Panaran pun berusaha menangkis dan 

membalas dengan lemparan-lemparan pisau ter-

bangnya. Tetapi gerakan kedua lawannya begitu 

cepat dan mampu mengecohnya.

Hingga membuatnya mundur kewalahan. Dan 

dua buah cakram itu pun menyambarnya hingga 

menimbulkan jeritan yang sangat menyayat sekali 

yang keluar dari mulut Sula Panaran.

Lalu tokoh yang tangguh itu pun ambruk mere-

gang nyawa.

Melihat kenyataan tiga pengawalnya telah te-

was, Bupati Jarotseda bermaksud hendak menyu-

sul mereka. Karena dia sudah bisa menduga bila 

menghadapi orang-orang ini tak akan menang. Dia 

juga tak mau ditangkap hidup-hidup, karena Bu


pati Jarotseda sudah dapat menduga apa rencana 

keji di balik otak Agung Seta.

Baginya lebih baik mati, bila hidup dalam kea-

daan disiksa.

Makanya dia berusaha untuk mendesak kedua 

lawannya meskipun dia yakin tak akan menang. 

Tetapi dia mengharapkan mati di tangan orang-

orang itu, menyusul ketiga pengawal pribadinya 

yang setia.

Mati bersama.

Namun kedua lawannya seakan tahu apa mak-

sud dari Bupati Jarotseda, makanya mereka kali 

ini tidak menyerang dengan hebat. Malah terlihat 

mereka lebih banyak mengalah.

"Sura Jaya dan Tugi Sama!" bentak Agung Seta. 

"Apakah kalian perlu bantuan untuk menangkap 

monyet itu, hah?!"

Mendengar bentakan dari sang pimpinan, mem-

buat keduanya mulai memperlihatkan kelincahan 

mereka lagi. Kali ini mereka pun sekali-sekali me-

nyerang walau dengan tidak tenaga yang penuh. 

Karena mereka masih berupaya untuk menangkap 

hidup-hidup Bupati Jarotseda yang masih menye-

rang secara membabi buta.

Karena baginya tak ada pilihan lain.

Kecuali mati.

Menyusul ketiga pengawalnya.

Tiba-tiba Sura Jaya berguling dan tangannya 

menepak kaki Bupati Jarotseda hingga tersung-

kur. Menyusul Tugi Sama yang menangkap dan 

meringkus sang Bupati.

Jarotseda meronta-ronta, "Bunuh saja aku! Bu


nuh saja!"

"Hahaha... bukankah tadi kau dengar pimpinan 

kami hendak menghidangkan suguhan menarik 

untukmu, Bupati yang gagah berani?!" ejek Tugi 

Sama.

"Bangsat! Bunuh saja aku! Aku lebih baik 

mampus daripada jadi budak kalian!"

"Permintaan konyol!" Tugi Sama mengayunkan 

tangannya ke tengkuk Jarotseda hingga pingsan 

seketika.

Agung Seta terbahak-bahak.

"Hahaha... ayo kita tinggalkan tempat ini! Bawa 

mayat teman kita itu Tungga Merdeka dan kubur-

kan! Malam nanti aku hendak melapor pada Datuk 

Tumbalpala di Bukit Kubur!"

Lalu kuda-kuda itu pun bergerak.

Membawa mayat kawan mereka Tungga Merde-

ka.

Membawa tubuh Bupati Jarotseda yang dalam 

keadaan pingsan.

Dan meninggalkan mayat-mayat yang bersera-

kan.

***

TIGA



Udara malam berhembus dingin.

Suasana bukit itu nampak menyeramkan. Dari 

kejauhan mirip raksasa yang sedang tertidur. Po-

hon-pohon tinggi yang tumbuh di sekitar sana 

membuat bukit itu menyeramkan.


Bukit itu bagaikan mati.

Tak ada tanda-tanda kehidupan yang nampak 

di sana.

Orang-orang memanggilnya Bukit Kubur.

Keadaan yang sepi dan menyeramkan itu me-

mang patut bila bukit itu diberi nama Bukit Ku-

bur.

Di tengah malam buta itu nampaklah seekor 

kuda yang bergerak cepat menuju ke sana. Mene-

robos angin malam dan hutan yang terdapat di 

Bukit Kubur.

Penunggangnya nampak memburu waktu, dili-

hat dari kudanya yang berlari sangat cepat.

Orang itu tak lain adalah Agung Seta, pemimpin 

Gerombolan Carok dari Barat. Dia memacu ku-

danya secepat angin. Ketika tiba di hutan yang 

menuju ke Bukit Kubur, dia berhenti dan mengi-

kat kudanya.

Lalu dia berlari menaiki Bukit Kubur.

Mengerahkan segenap kemampuannya berlari.

Dia tak boleh terlambat sedikit pun untuk sam-

pai di Bukit Kubur.

"Kalau aku terlambat satu detik, bisa marahlah 

datuk itu!" kata Agung Seta dalam hati. "Sialan, 

mengapa aku harus menikmati tubuh anak pera-

wan itu dulu! Tapi... hahaha... bila tak kunikmati 

sayang sekali, bisa-bisa diganyang oleh yang lain! 

Tak boleh tidak!"

Agung Seta mempercepat larinya.

Tak lama kemudian dia tiba di atas Bukit Ku-

bur.

Lalu dia berbelok ke kiri. Dan kini di hadapan


nya terlihat sebuah goa yang tertutup agak rapat 

oleh semak-semak.

Agung Seta berhenti di depan pintu gua itu.

Dia menjura.

"Masuklah, Agung Seta...." terdengar suara dari 

dalam penuh wibawa.

Dan perlahan-lahan secara aneh semak-semak 

yang menutupi pintu goa itu terbuka. Agung Seta 

kembali menjura, lalu masuk ke dalam.

Begitu dia masuk, ditemuinya lorong kecil yang 

menuju ke dalam. Lalu lama kelamaan lorong itu 

melebar dan melebar. Dari kejauhan nampak ca-

haya terang menerangi tempat di dalam goa yang 

cukup lebar.

Di tempat sana, Agung Seta menjura kembali.

"Datuk Tumbalpala... aku datang memenuhi 

panggilan Datuk yang kuhormati...."

Entah dari mana datangnya tiba-tiba terdengar 

suara desir angin dan mendadak di hadapan 

Agung Seta, di atas batu yang tipis, telah duduk 

satu sosok tubuh.

"Hahaha... bagus, bagus, Agung Seta! Kau telah 

memenuhi panggilanku!" sosok tubuh itu tertawa 

dengan suara yang keras. Suaranya menggema di 

dalam goa.

Sosok itu tinggi. Bertubuh kurus kering. Bagian 

dadanya yang bertelanjang memperlihatkan tu-

lang-tulangnya yang bertonjolan. Wajahnya pun 

berkeriput tua. Dengan janggut hitam yang pan-

jang. Di tangannya ada sebuah kipas yang selalu 

dipakainya untuk mengipas tubuhnya yang nam-

pak kegerahan.


Padahal Agung Seta merasakan dingin di seki-

tarnya, entah mengapa datuk Tumbalpala selalu 

berkipas.

"Hamba akan selalu memenuhi panggilan, Da-

tuk!" Agung Seta dengan suara yang makin meng-

hormat.

"Hahaha.... kau memang muridku yang paling 

hormat padaku, Agung Seta," kata Tumbalpala. 

"Bagaimana dengan pekerjaanmu itu, hah?!"

"Semua beres, Datuk!"

"Bagus! Dan mulai setiap malam Jumat, kau 

harus menyerahkan seorang anak perawan untuk-

ku! Aku tengah mempelajari satu ilmu yang sangat 

dahsyat! Kau sanggup memenuhi permintaanku 

itu, Agung Seta?!"

"Baik, Datuk. Semua akan hamba usahakan."

"Jangan terlambat, Agung! Ingat, bila usahaku 

gagal dalam mempelajari ilmu ini dikarenakan ke-

terlambatanmu mengirimkan seorang perawan, 

kau akan tahu sendiri akibatnya! Mengerti?!"

"Baik, Datuk!"

"Di luar dari itu, kau boleh mengambil harta se-

puas-puasmu! Aku tak butuh harta atau pun apa! 

Mengerti?!"

"Ya, Datuk."

"Bila ilmu yang kupelajari sudah tuntas, aku 

akan turun bukit untuk menantang jago-jago rim-

ba persilatan! Keinginanku cuma satu, menguasai 

rimba persilatan ini... hahaha! Dan bila sudah ku-

kuasai rimba persilatan, namaku akan menjulang 

setinggi langit... hahaha... aku akan menjadi pen-

guasa tunggal di dunia... hahaha!"


"Benar, Datuk... nama Datuk Tumbalpala tak 

akan ada duanya di dunia persilatan ini!"

"Bagus! Nah, mulai malam Jumat depan, kau 

sudah harus menyediakan seorang anak perawan 

untukku!"

"Baik, Datuk!"

"Nah, cepatlah kau pergi dari sini. Aku hendak 

bersemedi lagi!"

"Baik, Datuk! Hamba amit mundur!"

Belum selesai Agung Seta berucap, tubuh datuk 

sesat itu sudah lenyap dari pandangannya. Mem-

buat Agung Seta semakin mengaguminya.

Lalu dia pun segera meninggalkan tempat itu.

***

Suasana di desa Jati Gede tetap dalam keadaan 

mencekam dan menakutkan. Teror yang dilancar-

kan oleh gerombolan Carok dari Barat itu lebih 

mengerikan daripada wabah penyakit yang berba-

haya sekalipun.

Hampir setiap detik suasana sangat mencekam. 

Para penduduk diharuskan membayar pajak dari 

hasil bumi. Dan mereka harus menyediakan ma-

kanan dan minuman yang enak-enak untuk ge-

rombolan orang-orang itu.

Yang lebih mengerikan tentunya bagi kaum wa-

nita baik yang sudah menikah atau yang belum. 

Orang-orang dengan buas mengambil mereka dan 

menggumulinya. Kadang dilakukan secara bera-

mai-ramai.

Bila sudah begitu adanya, para wanita yang te



lah diperkosa sebagian besar ada yang memilih le-

bih baik mati daripada menanggung malu, atau 

membunuh diri sebelum perkosaan itu menimpa 

mereka.

Dan kini teror yang dilancarkan orang-orang itu 

semakin mengerikan saja. Padahal orang-orang 

warga desa sudah gembira karena orang-orang itu 

tidak mengambili lagi anak perawan mereka. Teta-

pi di malam Jumat yang gelap dan dingin, tiba-tiba 

terdengar jeritan yang menyayat hati, merobek ke-

heningan malam.

Lalu dari salah sebuah rumah penduduk. Nam-

paklah sosok tubuh melesat keluar sambil me-

manggul seseorang yang nampak meronta-ronta.

Buas dan secara paksa mengambilnya dan 

menggumulinya. Kadang dilakukan secara bera-

mai-ramai. Mereka tak ubahnya gerombolan sriga-

la yang tengah memangsa anak domba yang lucu.

Bila sudah begitu adanya, para wanita yang te-

lah diperkosa sebagian besar memilih jalan lebih 

baik mati daripada harus menanggung rasa malu 

yang berkepanjangan, atau membunuh diri sebe-

lum perkosaan itu menimpa mereka dan meng-

hancurkan masa depan mereka.

Namun akhir-akhir ini tindakan perkosaan yang 

dilakukan orang-orang itu berkurang. Para pendu-

duk bersyukur karena merasa terbebas dari be-

lenggu kejahatan mereka.

Tetapi ketegangan itu tak berlangsung lama, ka-

rena hampir setiap malam Jumat terdengar jeritan 

dan rintih kematian menimpa beberapa sahabat 

mereka.


Ternyata orang-orang itu setiap malam Jumat 

menculik seorang anak perawan yang entah dilari-

kan ke mana.

Ini semakin membuat suasana tambah mence-

kam. Rupanya teror yang dilancarkan oleh orang-

orang itu tak habis-habisnya. Entah kapan akan 

berhenti.

Mereka hanya bisa berdoa pertolongan akan da-

tang dan melepaskan mereka dari tangan-tangan 

manusia durjana itu.

Mereka juga mengetahui kalau saat itu Bupati 

Jarotseda berada dalam kekuasaan orang-orang 

itu. Menurut orang-orang yang telah melihat kea-

daan Bupati, mereka hanya bisa menghela nafas 

panjang dan mengelus dada.

Keadaan Bupati Jarotseda sangat menyedihkan 

sekali. Dalam beberapa hari saja tubuhnya telah 

kurus kering dan penuh luka-luka.

Belum lagi hampir setiap jam dia dipaksa mi-

num tuak anggur merah. Siksaan yang dialami 

Bupati Jarotseda sangat mengerikan. Setelah me-

minum tuak anggur merah yang dapat membang-

kitkan nafsu birahi, dipaksanya sang Bupati oleh 

orang-orang itu untuk menggumuli wanita-wanita 

yang menjadi tawanan mereka.

Sangat mengerikan.

Ini adalah malam Jumat. Dan para penduduk 

dicekam rasa ketakutan. Terutama yang masih 

punya anak perawan. Tiba-tiba, terdengar jeritan 

yang menyayat hati, merobek keheningan malam.

Lalu dari salah sebuah rumah penduduk, nam-

paklah sosok tubuh melesat keluar sambil me


manggul seorang yang nampak meronta-ronta. So-

sok tubuh itu menaiki kudanya yang juga ditung-

gui oleh seseorang yang menunggang kuda pula. 

Lalu keduanya melesat.

"Tolong! Lepaskan aku! Lepaskan! Bapaaaaa! 

Tolong! Lepaskan! Lepassskan!" terdengar jeritan, 

rontaan dan makian dari sosok tubuh yang di-

panggul oleh sosok tubuh yang tinggi dan besar 

itu.

Orang-orang yang mengintip tak berani berbuat 

banyak. Mereka hanya mendesah panjang sambil 

memeluki keluarganya.

Namun diam-diam dari salah sebuah rumah ke 

luar sosok tubuh dari belakang rumah. Dia seo-

rang pemuda yang bertubuh tegap. Wajahnya 

tampan.

"Tari... bukankah itu Tari yang menjerit?" desis 

pemuda itu agak kaget dan berusaha mengenali je-

ritan tadi. "Oh, benar! Itu Tari! Mau dibawa ke 

mana kekasihku itu sama manusia-manusia bu-

suk yang tak punya rasa kasihan itu!"

Pemuda tadi berlari ke rumah Tari. Dan betapa 

terkejutnya dia melihat pemandangan yang ada di 

lantai. Dua sosok terkulai lemah dengan tubuh lu-

ka parah dan berdarah.

"Oh, Tuhan! Betapa biadabnya orang-orang itu!" 

desis pemuda yang bernama Pandu itu geram. 

Tangannya mengepal.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara 

yang sangat lemah sekali. Pandu mencari-cari. Su-

ara itu ternyata berasal dari ayahnya Tari yang da-

lam keadaan sekarat.


"Pak...." desis Pandu sambil membungkuk. Dan 

memangku kepala yang lemah itu.

"Ya... Pandu?"

"Saya Pandu, Pak...."

"Tari... Pandu... Tari... dia, dia diculik... oleh 

orang-orang jahat itu...."

"Saya akan mencarinya, Pak...."

"Berjanjilah... untuk membebaskannya...."

"Yah... saya berjanji...."

"Bagus... akh!"

"Pak... ke mana Dik Tari dibawa pergi oleh orang 

itu?"

"Ka-katanya... hendak... hendak diper... sem-

bahkan... pada datuk sesat di Bukit Kubur...."

"Bukit Kubur?"

"Yah... pergilah ke arah Utara, Pandu... tolong... 

tolong selamatkan anakku... akhh! Aku... aku 

hendak menyusul... menyusul, is... istriku... 

akkkhhh!"

Lalu kepala itu pun terkulai dalam pangkuan 

Pandu. Pandu memejamkan matanya. Menahan 

air matanya agar tidak jatuh. Sejak lama dia me-

mendam keinginannya untuk memberontak dari 

orang-orang dajal itu, tetapi dia masih menunggu 

waktu yang tepat.

Sudah berulangkali dia menekan pada para 

penduduk, agar bersatu untuk melawan orang-

orang itu. Tetapi tak satu pun penduduk yang 

mempunyai keberanian. Padahal Pandu sudah 

mengatakan, biarpun mereka tidak memberontak 

dan melawan, tetap saja mereka akan dibunuh!

Bukankah lebih baik mati dengan cara terhor


mat?

Dan malam itu Pandu bertekad untuk melawan 

orang-orang itu. Kembali dia menyelinap di kegela-

pan malam.

Diambilnya kudanya.

Lalu dilarikan menuju Bukit Kubur.

***

EMPAT



Daerah sekitar Bukit Kubur malam hari.

Dari kegelapan malam, nampaklah dua bayan-

gan kuda bergerak perlahan-lahan.

Lalu terdengar salah seorang berkata: "Kita se-

baiknya bermalam di sini saja, Kakang... sebelum 

melanjutkan perjalanan.... Tubuhku sudah letih 

sekali. Dan kupikir, daerah ini aman dari gang-

guan orang-orang jahat...."

"Benar, Rayi. Aku pun hendak mengusulkan 

begitu. Baiklah, kita bermalam di sini," sahut yang 

satu lagi.

Lalu kedua orang itu melompat turun dari kuda 

mereka masing-masing. Dan mengikatnya di da-

han pohon.

Malam berjalan terus.

Kedua orang itu pun merebahkan tubuhnya di 

atas rumput, di balik semak.

Siapakah mereka sebenarnya?

Keduanya tak lain dari Pranata Kumala dan is-

trinya, Ambarwati yang dalam petualangan mereka


telah membawanya ke daerah di lereng Bukit Ku-

bur.

Pranata Kumala adalah putra dari Madewa Gu-

milang, manusia dewa yang bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma. Sedangkan Ambarwati adalah 

istrinya yang tercinta.

"Dingin sekali, Kakang...." terdengar suara Am-

barwati sambil memeluk suaminya.

"Ya, Rayi. Biar kupeluk kau erat-erat," sahut 

Pranata Kumala sambil merangkul istrinya.

"Kakang... tempat ini sunyi sekali."

"Benar, Rayi. Matahari menampakkan biasnya 

besok pagi, kita akan segera meninggalkan tempat 

ini."

"Perasaanku tidak enak, Kakang...."

"Tenanglah, Rayi...."

"Kakang...."

"Ya, Rayi...."

"Sungguh, perasaanku mengatakan... akan ter-

jadi sesuatu di sini...."

"Tenang, Rayi. Tenanglah. Tidurlah... biar aku 

yang menjaga...."

Ambarwati mencoba memejamkan matanya. Te-

tapi perasaannya tetap tidak tenang. Dia pun men-

jadi gelisah. Pranata Kumala yang mencoba tidak 

perduli dengan kata-kata dan perasaan istrinya, 

menjadi waspada.

Dia yakin, kadang-kadang perasaan perempuan 

lebih tajam dari pada perasaan laki-laki.

Dia pun menjadi siaga.

Waspada dengan suasana di sekitarnya.

Matanya nyalang memperhatikan segala sesua


tu yang ada di sekitar lereng Bukit Kubur.

Sementara istrinya masih belum bisa meme-

jamkan matanya. Masih merasa akan ada sesuatu 

yang terjadi.

"Kakang...."

"Ya, Rayi...."

"Aku susah tidur, Kakang...."

"Tenanglah, Rayi... tidurlah dengan tenang. Ayo, 

tidurlah. Besok kita akan meneruskan petualan-

gan kita, bukan?"

Ambarwati mengangguk. Yah, rencana perjala-

nan ini mereka lakukan untuk bertualang dan 

mencari pengalaman. Itu pun sudah disepaka-

tinya. Bagi Ambarwati, ini adalah dunia lain yang 

mana dulu dia adalah gadis yang manja sebelum 

menikah dengan Pranata Kumala (baca: Pendekar 

Kedok Putih).

Dan tiba-tiba saja Pranata menangkap suara 

derap langkah kuda mendekati Bukit Kubur.

Dia menjadi siaga.

Begitu pula dengan istrinya.

"Siapa, Kakang?" tanya Ambarwati dengan ber-

siaga pula. Dia memegang tangkai pedangnya yang 

tersampir di punggungnya.

"Aku belum tahu, Rayi. Nampaknya ada dua 

ekor kuda yang menuju ke mari!"

Samar-samar keduanya mendengar seorang ga-

dis menjerit-jerit minta dilepaskan.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Manusia busuk! 

Lepaskan! Lebih baik kalian bunuh saja aku! Ayo, 

bunuh saja! Lepaskan aku! Lepaskaaaaannn!"

Terdengar pula bentakan keras yang menggema


di sekitar lereng bukit, "Diam!"

Lalu terdengar suara, "aakhh!" yang cukup ke-

ras. Rupanya yang membentak tadi telah menotok 

urat suara yang menjerit-jerit itu.

Ambarwati memegang lengan suaminya, "Nam-

paknya ada yang tidak beres, Kakang...."

"Benar, Rayi...."

"Gadis itu sepertinya membutuhkan pertolon-

gan," kata Ambarwati yang tak tahan mendengar 

jeritan pilu yang sanggup membuat hatinya tergu-

gah.

"Kalau itu maumu, lebih baik kita melihatnya, 

Rayi," kata Pranata Kumala. Dan tiba-tiba saja tu-

buhnya melenting ke atas, dan hinggap di sebuah 

dahan di atas pohon dengan ringannya. "Ayo, 

Rayi!"

Ambarwati pun berbuat yang sama. Dan "hup!" 

dengan sekali menggenjot tubuhnya, dia pun su-

dah hinggap di samping suaminya.

"Dari arah sana suara itu terdengar, Kakang," 

kata Ambarwati sambil menunjuk ke Selatan.

"Benar, Rayi. Hei, tidakkah kau lihat sekarang, 

ada dua ekor kuda yang mendekat ke mari. Dan di 

salah satu kuda, ada sosok tubuh yang terkulai...."

"Rupanya dia yang menjerit minta dilepaskan 

tadi, Kakang.... Kalau begitu, agaknya kedua orang 

itu manusia-manusia jahat yang kerjanya hanya 

menculik anak-anak gadis orang!" kata Ambarwati 

dengan suara geram. Dia sangat benci dan muak 

melihat kenyataan itu, bahwa perempuan hanya 

dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Apalagi ini den-

gan jalan yang sadis dan kekerasan. Pemerkosaan!


Ah, betapa mengerikannya bila hal itu menimpa 

salah seorang perawan. Diperkosa! Duh, betapa 

menyakitkan! Lebih mengerikan daripada kema-

tian sekalipun! Orang yang diperkosa akan hancur 

masa depannya dan harga dirinya. Ini sungguh-

sungguh sangat mengerikan.

Dan Ambarwati sangat marah bila hal ini terus 

menerus terjadi. Dia saja hampir mengalami hal 

yang mengerikan itu. Pertama dari Sengkawung, 

Ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Ke-

dok Putih). Kedua dari Laksamurka. salah seorang 

dari manusia srigala (baca: Sepasang Manusia Sri-

gala).

"Rayi...." panggil Pranata Kumala yang melihat 

wajah istrinya nampak geram.

"Ya, Kakang...."

"Kita akan menolong gadis itu."

"Bagus, Kakang. Tanganku pun sudah gatal in-

gin menghajar kedua manusia durjana itu yang 

kerjanya hanya memetik bunga-bunga yang se-

dang mekar saja!"

"Hei, tunggu dulu, Rayi... kalau tidak salah li-

hat, mataku menangkap sosok kuda yang mengi-

kuti kedua orang itu...." kata Pranata Kumala 

sambil memicingkan matanya.

Ambarwati pun berbuat yang sama.

"Benar, Kakang... tapi, ah, siapa lagi kalau bu-

kan teman kedua manusia itu!"

"Mungkin juga... tapi... kau lihat Rayi, orang itu 

sambil berkuda melepaskan anak panah dari bu-

surnya! Lihat, panah itu melesat ke arah dua pe-

nunggang kuda yang berada di depannya. Lihat!"


Di hadapan mereka yang masih cukup jauh, 

dua sosok penunggang kuda melompat bersalto 

menghindari sambaran anak panah yang melesat 

cepat.

Salah seorang penunggang itu dengan sigap 

menyambar sosok tubuh yang terkulai yang ada di 

atas kudanya, dan bersalto dengan Lidahnya.

"Bangsat! Siapa yang berbuat begini?!" bentak-

nya geram.

Di atas pohon tempat persembunyiannya, Pra-

nata Kumala berkata, "Dugaanmu salah, Rayi.... 

Nampaknya yang datang belakangan tidak menun-

jukkan persahabatan dengan penunggang yang 

ada di depannya...."

"Benar, Kakang.... Agaknya mereka juga bermu-

suhan... Kakang...."

Di hadapan mereka kini terlihat dua orang yang 

bersalto tadi menjadi siaga dan mencari-cari pem-

bokong mereka. Namun orang itu tak nampak.

"Dia bersembunyi di balik semak itu, Kakang...." 

kata Ambarwati.

"Benar, Rayi... Dia tengah menyiapkan panah 

kembali. Dia penembak yang jitu."

Orang yang sedang menyiapkan panahnya 

kembali itu tak lain adalah Pandu, yang sedang 

mengejar orang-orang yang menculik kekasihnya 

ke Bukit Kubur.

Sebenarnya anak panah dan busur itu adalah 

untuk berburu, yang setiap saat terikat pada ku-

danya.

Dan sekarang digunakan untuk menghantam 

kedua manusia dajal yang menculik kekasihnya.


Sedangkan yang menculik itu adalah Sura Jaya 

dan Tugi Sama, dua orang dari Gerombolan Carok 

dari Barat yang ditugaskan Agung Seta untuk 

menculik seorang gadis yang akan dipersembah-

kan pada Datuk Tumbalpala di Bukit Kubur.

"Cepat kau keluar, Pembokong pengecut!" ben-

tak Sura Jaya jengkel, sementara Tugi Sama su-

dah menurunkan Tari yang kini dalam keadaan 

pingsan. Karena letih berteriak-teriak juga karena 

kekuatan yang sangat dalam.

Suara Sura Jaya disumbat dengan sambaran 

anak panah yang melesat dengan cepat. Desingan 

angin yang ditimbulkan oleh anak panah itu ter-

dengar oleh telinga Sura Jaya. Dengan cepat pula 

dia berguling menghindari anak panah itu yang 

kini menancap di batang pohon.

"Bangsat! Ke luar kau pembokong pengecut!" ge-

ram Sura Jaya makin jengkel. Dan dia segera 

mengeluarkan senjata cakramnya dari balik ba-

junya. "Bila kau tidak keluar sampai hitungan ke-

tiga, cakram ini akan meratakan semak-semak 

dan belukar yang ada di sini, juga tubuh penge-

cutmu akan mampus sejajar dengan tanah! Sa-

tu...."

Tak ada tanda-tanda yang keluar dari tempat 

mana pun.

"Dua!"

Hal yang sama terjadi.

Sura Jaya menunggu dengan geram. Tugi Sama 

pun tak kalah jengkelnya.

Bukankah ini berarti keterlambatan mereka un-

tuk mengirimkan anak perawan pada Datuk Tum


balpala?

Kalau terlambat, atau lewat tengah malam, me-

reka tak bisa membayangkan apa yang terjadi 

nanti.

Betapa besar pasti kemarahan Datuk Tumbal-

pala.

"Sura! Cepat kau bereskan manusia pengecut 

itu! Ingat, kita tidak punya banyak waktu untuk 

memberikan persembahan ini kepada Datuk Tum-

balpala!"

"Baik, Tugi Sama," kata Sura Jaya. Lalu berse-

ru. "Hei, manusia pengecut! Kau belum juga mau 

keluar! Baik, ini hitungan ketiga! Kuberi kau wak-

tu sepuluh detik untuk keluar dan minta maaf! Ti-

ga!"

Detik ke detik mereka menunggu.

Tapi tak ada bayangan yang keluar satu pun.

Sura Jaya tak bisa menahan rasa emosinya ka-

rena merasa dipermainkan.

"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!"

Lalu tangannya bergerak, mengayunkan dan 

melemparkan cakramnya. Cakram itu mendesing 

seperti suara ribuan tawon menyerang. Dan mem-

babat apa saja yang menghalanginya.

Pandu yang sudah menyaksikan kehebatan sen-

jata yang dimiliki oleh gerombolan Carok dari Ba-

rat, cepat berguling menyingkir agak jauh dari me-

reka. Bahkan dia nekat, melewati sebelah kanan 

sambil terus berguling menghindari cakram yang 

terus menderu, dia memutar dan kini berada di 

belakang kedua orang itu.

Ini merupakan lingkaran sasaran yang tak bisa


dijangkau oleh benda bergerigi itu.

Sementara di atas pohon, Pranata Kumala men-

decak kagum.

"Luar biasa, Rayi! Kau lihat benda itu, berputar 

bagaikan memiliki mata! Dan suaranya pun men-

deru menimbulkan getaran angin yang cukup 

kuat!"

"Iya, Kakang. Lihatlah, benda itu membabat apa 

saja yang ada di hadapannya. Seolah benda itu be-

gitu patuh pada pemiliknya! Bukankah itu senjata 

yang sangat luar biasa, Kakang? Bukan main!"

"Benar, Rayi... sungguh aneh senjata itu! Kau 

dengar saja derunya!"

Di hadapan mereka, benda yang berbentuk ca-

kram bergerigi yang dilemparkan oleh Sura Jaya 

membabat habis rerumputan, semak dan pohon-

pohon kecil yang ada di sana.

Tetapi bayangan sang pembokong tak nampak 

sedikit pun.

Di atas Pranata berkata lagi, "Hmm... aku tahu 

sekarang, Rayi. Benda itu sudah dialiri tenaga da-

lam oleh pemiliknya. Berarti, untuk memunahkan 

laju benda itu, harus membunuh atau melukai 

sang pemilik. Karena dari dialah sumber kekuatan 

benda itu!"

"Kau lihat sekarang, Kakang... penyerang gelap 

itu sudah menyiapkan kembali anak panahnya."

Di bawah, Pandu yang kini membelakangi ke-

dua orang itu, memang sudah menyiapkan anak 

panahnya. Lalu ditariknya busurnya dan melesat-

lah anak panah itu secepat kilat.

Tetapi dua orang dari gerombolan Carok itu bu


kanlah orang-orang yang mudah dibokong begitu 

saja. Begitu angin yang ditimbulkan oleh anak pa-

nah itu terasa, Tugi Sama dengan cepat melem-

parkan pula cakramnya.

Dan menyambut anak panah yang melesat.

"Trangg!"

Keduanya berbenturan dan menimbulkan suara 

yang lumayan keras.

"Anjing buduk!" memaki Tugi Sama. "Rupanya 

pembokong busuk itu berada di belakang kita!"

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ka-

rena tempatnya kini diketahui kedua orang itu, 

Pandu cepat menyelinap di balik semak.

Namun kedua orang itu sudah tak mau bertin-

dak tanggung-tanggung lagi. Serentak keduanya 

memanggil pulang senjata cakramnya masing-

masing dan melemparkannya kembali secara ber-

sama-sama ke arah tempat persembunyian Pandu.

Mau tak mau Pandu melesat melompat keluar.

"Rupanya itu pembokong pengecut!" bentak Su-

ra Jaya.

"Kita habisi saja sekarang! Aku tak boleh ter-

lambat untuk tiba di Bukit Kubur!"

Kembali dua buah senjata cakram menerjang 

mencari sasaran. Sebisanya Pandu melompat ke 

sana ke mari.

"Kakang...." kata Ambarwati di tempat persem-

bunyiannya. "Kita harus menolong orang itu. 

Nampaknya dia sangat terdesak sekali."

"Benar, Rayi! Nyawanya terancam!"

Sementara dua buah cakram bergerigi itu terus 

mengejar Pandu, seakan mengajak Pandu untuk


bersama-sama ke tempat maut. Pandu sendiri se-

bisanya menghindar, dia tak mau kena makan 

oleh senjata itu.

Rupanya secara diam-diam Pandu memiliki se-

dikit kepandaian bersilat, hingga tubuhnya dapat 

bergerak dengan lumayan cepat.

"Tugi Sama! Kau bawalah gadis itu ke Bukit 

Kubur! Cepat, kulihat bulan di atas sebentar lagi 

berada tepat di kepala kita!" kata Sura Jaya sambil 

terus mencecar Pandu dengan cakram yang sudah 

dialiri tenaga dalam.

"Baiklah kalau begitu!" Tugi Sama menarik pu-

lang senjata cakramnya.

Lalu dia menghampiri Tari yang masih dalam 

keadaan pingsan. "Kita jalan-jalan lagi, Manis!" de-

sisnya sambil memanggul tubuh Tari kembali.

Dengan sekali lompat Tugi Sama sudah berada 

di atas kudanya dan memacunya dengan cepat.

"Tariiii...!" jerit Pandu yang melihat kekasihnya 

kembali dilarikan. Dia bermaksud hendak menge-

jar, tetapi sambaran cakram itu menghalanginya.

Bahkan menyambar bagian bahu sebelah ka-

nannya.

"Akkkhh!" tubuh Pandu bergulingan. Lalu dite-

kapnya bahunya yang mengeluarkan darah. Ma-

tanya melotot nyalang. "Bangsat!"

Sura Jaya terbahak.

"Sebentar lagi kau akan mampus setan!" ge-

ramnya sambil menangkap pula cakramnya dan 

hendak dilemparkannya lagi ke arah Pandu yang 

nyalang dengan tatapan marah.

Tetapi tiba-tiba selarik sinar merah melesat ke


arahnya. Mengurungkan niat Sura Jaya untuk me-

lemparkan cakram itu.

"Anjing buduk!" makinya sambil bersalto. "Siapa 

yang berani menyerang Sura Jaya dengan keadaan 

pengecut seperti ini, hah?! Cepat keluar!"

***

LIMA



Mendadak dari atas sebuah pohon melihat dua 

sosok tubuh dan hinggap dengan ringannya di de-

pan Sura Jaya.

Sura Jaya melotot marah. Dia bersyukur dapat 

menghindari serangan gelap itu. Bila tidak, maka 

hancurlah tubuhnya termakan pukulan sinar me-

rah yang dilepaskan oleh Pranata Kumala.

Melihat keadaan Pandu yang sudah terdesak 

dan terluka, Pranata akhirnya tidak tahan untuk 

membantu. Maka dilepaskannya pukulan sinar 

merahnya.

"Maafkan aku, Ki sanak... yang kiranya meng-

ganggu dan sok ikut campur dalam masalah ini...." 

kata Pranata Kumala sambil menjura yang diikuti 

oleh istrinya.

Sikapnya santun.

Tetapi di mata Sura Jaya, keduanya adalah ma-

nusia-manusia yang harus dihabisi dan dimampu-

sinya, karena berani-beraninya turut campur da-

lam urusannya.

"Bangsat! Siapa kalian!" maki Sura Jaya dengan


kejengkelan yang amat luar biasa.

Masih tetap dengan suara yang santun, Pranata 

Kumala menjawab, "Sekali lagi maafkan kami, Ki 

sanak. Namaku... Pranata Kumala dan ini istriku... 

Ambarwati.... Kami mengucapkan salam perkena-

lan pada Ki sanak."

"Bangsat! Jangan kalian berbasa-basi segala! 

Kalian telah membuat kelancangan di sini! Dan 

kalian tengah berkenalan dengan salah seorang 

gerombolan Carok dari Barat...."

"Kalau begitu adanya... salam perkenalan dari 

kami untuk Gerombolan Carok dari Barat...." kata 

Pranata pula, masih tetap menjura.

Sikap Pranata Kumala yang masih santun, ma-

lah membuat Sura Jaya murka. Pikirnya sikap itu 

sangat merendahkannya karena selama ini Sura 

Jaya tak pernah berbuat santun. Dia hidup dalam 

alam kekerasan.

"Bangsat! Kau harus mampus di tanganku!"

"Tenang, Ki sanak. Kalau boleh kami tahu, sia-

pakah nama Ki sanak gerangan?"

"Hmm... namaku Sura Jaya!"

"Sura Jaya... sejak tadi kami memperhatikan 

sepak terjang dari Ki sanak. Dan nampaknya Ki 

sanak beserta teman Ki sanak yang pergi memba-

wa seorang gadis, tidak bersahabat dengan Sauda-

ra yang terluka itu. Benarkah dugaan saya 

adanya?"

"Benar sekali, Orang lancang! Kami memang tak 

bersahabat dengan pemuda yang terluka itu! Nah, 

kau mau apa?" balas Sura Jaya dengan nada con-

gkak.


Sementara itu Pandu yang merasa tertolong 

oleh Pranata Kumala menjadi heran. "Siapakah 

dia? Mengapa menolongku?" tanyanya dalam hati.

Tetapi dia merasa berterima kasih sekali karena 

merasa diselamatkan nyawanya oleh Pranata Ku-

mala. Bahkan dia berharap, orang yang telah me-

nolongnya itu dapat membantunya. Juga memban-

tu desanya dari cengkraman orang-orang jahat da-

ri Gerombolan Carok dari Barat.

Lalu didengarnya lagi suara dari Pranata Kuma-

la, "Hm... kalau boleh aku tahu ada masalah apa-

kah gerangan?"

"Orang lancang! Kau tak boleh tahu apa yang 

terjadi di antara kami! Nah, sebaiknya kau me-

nyingkir saja dari sini! Tapi... hehehe... kau ting-

galkan istrimu itu untukku! Agaknya dia cukup 

hangat untuk menemaniku tidur... hehehe!"

Pranata mencoba menahan emosinya, istrinya 

dilecehkan.

Tetapi lain dengan Ambarwati atau istrinya, 

yang sangat geram oleh Sura Jaya. Tanpa banyak 

cakap lagi, dia melompat sambil mencabut pe-

dangnya menyerang Sura Jaya.

"Mulutmu kotor, Sura Jaya!" bentaknya.

"Hehehe... ternyata galak juga betina ini!" sambil 

menyambut serangan, Sura Jaya keluarkan kata-

kata yang kotor, "Tapi lumayan untuk menemani-

ku tidur... hehehe!"

Sura Jaya bersalto ke belakang. Pikirnya dia 

mampu dengan mudah menghindari serangan pe-

dang Ambarwati. Tetapi ia menjadi terkejut ketika 

pedang Ambarwati menyerangnya susul menyusul.


Cepat.

Tangkas.

Dan mengejutkan.

"Hei! Rupanya berisi juga betina ini!" makinya 

sambil menghindar dan membalas.

"Keluarkan semua kebisaanmu, Sura Jaya! Mu-

lutnya patut dibungkam oleh pedangku ini!" seru 

Ambarwati dan terus menyerang dengan cepat.

Sura Jaya pun tak mau menganggap remeh lagi. 

Dia pun membalas dengan satu pukulan ke depan, 

namun buru-buru ditariknya tangannya karena 

pedang yang di tangan Ambarwati mengibas den-

gan cepat.

Dan bergerak dengan satu tusukan ke perut.

Membuat Sura Jaya melompat ke samping dan 

melancarkan satu tendangan ke arah kemaluan 

Ambarwati.

"Heit! Cabul!" maki Ambarwati sambil melenting

ke belakang dan hinggap dengan ringannya.

Sementara Sura Jaya sudah bangkit berdiri dan 

terkekeh.

"Hehehe... lumayan, lumayan kau, Manis. Ayo... 

buat apa kau bersusah payah untuk membunuh-

ku! Ayo, ikutlah denganku... kau akan kuberikan 

emas dan intan yang banyak... hehehe!"

"Cabul!" bentak Ambarwati yang sangat tidak 

tahan mendengar kata-kata busuk itu. Lalu dia 

menerjang lagi kali ini dengan gerakan cepat.

Pedangnya pun menyambar-nyambar.

Pranata Kumala membiarkan saja istrinya men-

gumbar kemarahannya. Dia pun sebenarnya su-

dah tidak dapat menahan emosinya karena kata


kata jorok itu.

Tetapi dia ingin mengukur sampai di mana ke-

hebatan Sura Jaya.

Sedangkan Pandu merasa heran karena Pranata 

Kumala tidak menolong atau pun membantu is-

trinya. Bila dia yang mengalami hal seperti itu, su-

dah dibunuhnya manusia yang berani menghina 

istrinya dengan kata-kata busuk seperti itu!

Sementara Ambarwati terus menyerang dengan 

hebat. Sura Jaya pun melayaninya dengan hebat 

pula.

Suatu ketika padang Ambarwati bergerak cepat 

dan menyambar ke bagian kaki Sura Jaya. Sura 

Jaya sambil memekik terkejut melompat ke atas 

dan kesempatan itu dipakai oleh Ambarwati den-

gan menyambarkan pedangnya ke kepala Sura 

Jaya yang tak ada kesempatan lagi untuk meng-

hindar.

Namun sungguh di luar dugaan Ambarwati. Da-

lam posisi yang cukup berbahaya itu, Sura Jaya 

dengan kecepatan per detik melemparkan cakram-

nya.

"Siiingg!"

Siap mencabut nyawa Ambarwati.

Serentak Ambarwati mengurungkan niatnya un-

tuk menebas kepala Sura Jaya. Dibelokkannya pe-

dangnya ke arah cakram itu.

"Traaaaanggg!"

Dua senjata itu pun beradu.

Ambarwati merasakan tangannya kesemutan. 

Sedangkan senjata cakram milik Sura Jaya tak bi-

sa kembali pada tuannya. Karena tenaga dalam


yang dikerahkan oleh Ambarwati lebih besar, se-

bab pedang itu berada di tangannya, dialiri lang-

sung oleh tenaga dalamnya. Sedangkan cakram 

milik Sura Jaya hanya dialiri oleh tenaga dalam 

dari jarak jauh.

Hingga cakram itu akhirnya jatuh ke tanah.

Dan sulit untuk ditarik kembali melalui tenaga 

dalam yang dialiri dari jarak jauh.

Sura Jaya mencoba menubruk senjata cakram-

nya karena dilihatnya gelagat yang tidak mengun-

tungkan.

Namun Ambarwati lebih cepat bergerak.

Pedangnya menyambar.

"Creess!"

Pedang itu mengenai tangan kanan Sura Jaya 

hingga buntung.

Terdengarlah raungan kesakitan yang terlontar 

dari mulut Sura Jaya membelah malam.

Menyayat.

Dan mencekam.

Lalu tubuh itu ambruk, bergulingan di tanah 

dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.

Ambarwati menghentikan serangannya.

"Hhh! Seharusnya kututup mulutmu dengan 

pedangku, Manusia cabul!" geramnya.

Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, sebatang 

anak panah meluncur dengan deras ke arah Sura 

Jaya.

Sura Jaya yang dalam keadaan kesakitan tak 

mampu lagi untuk menghindar. Tanpa ampun lagi, 

anak panah itu tepat mengarah ke jantungnya.


"Akkhhhh!"

Tubuh itu kelojotan sejenak. Lalu ambruk me-

regang nyawa dengan tangan yang buntung akibat 

tebasan pedang Ambarwati yang keras.

Ambarwati terkejut.

Begitu pula dengan Pranata Kumala.

Sementara Pandu yang melepaskan anak panah 

itu tersenyum puas.

"Rasakan kematianmu, Manusia dajal!" rutuk-

nya sambil meludah.

"Ki sanak... mengapa kau lakukan itu?!" seru 

Pranata Kumala yang tidak menyangka hal itu 

akan terjadi. Bila dia tahu, tentunya akan dila-

rangnya.

Mendengar suara yang penuh nada teguran itu, 

membuat Pandu menoleh dan menjura.

"Maafkan saya, Kakang Pranata... Nama saya 

Pandu... pemuda desa dari Jati Gede...."

Sikap pemuda itu yang sopan membuat Pranata 

menurunkan nada suara mendengusnya. Dia 

mendesah panjang.

"Tentunya kau sudah mengetahui namaku dan

nama istriku tadi...."

"Benar, Kakang Pranata."

"Pandu... mengapa kau bunuh Sura Jaya?" 

tanya Pranata Kumala kemudian.

"Maafkan saya, Kakang.... Tetapi manusia se-

perti dia memang harus dibunuh. Sudah banyak 

nyawa yang dicabutnya tak ubahnya bagai malai-

kat pencabut nyawa."

"Baiklah... ceritakanlah mengapa sampai kau 

melakukan hal seperti itu. Terutama lagi, mengapa


nampaknya kau bermusuhan dengannya, salah 

seorang dari Gerombolan Carok itu?"

Lalu Pandu pun menceritakan apa yang telah 

menimpa desanya. Bagaimana keadaan desanya 

yang menjadi bagai neraka sejak orang-orang itu 

datang. Dia pun menceritakan bagaimana nasib 

penduduk yang harus tunduk diperintah apa saja, 

bila tidak mau menjalankan perintah dari gerom-

bolan itu, maka mautlah taruhannya. Belum lagi 

dengan nasib para kaum wanita yang dijadikan 

pemuas nafsu orang-orang itu.

"Begitulah, Kakang... keadaan desa kami men-

jadi sangat mengerikan sekali...." kata Pandu di 

akhir ceritanya. "Itu sebabnya saya menjadi geram 

melihat Sura Jaya masih hidup. Dan keinginan 

untuk membunuhnya sudah gatal sekali rasanya. 

Bila saya tidak membunuhnya, ini akan mengaki-

batkan penyesalan yang besar bagi saya dalam hi-

dup saya!"

Pranata Kumala pun menjadi maklum.

Tiba-tiba Ambarwati berkata, "Oh! Bagaimana 

dengan gadis yang dilarikan itu?"

Mendengar kata-kata Ambarwati, Pandu seperti 

disadari kembali akan nasib kekasihnya Tari yang 

diculik oleh Tugi Sama dan dilarikan ke atas Bukit 

Kubur.

"Oh, Tuhan! Tariii!" desisnya.

Pranata menjadi sigap melihat kepanikan Pan-

du.

"Tenang, Pandu... sebaiknya kita tenang dulu."

"Tapi... tapi... dia... oh, Tari kasihku... bagaima-

na nasibmu sekarang?"


Pranata pun menenangkan kembali Pandu.

"Tenanglah... sekarang ceritakan nasib apa yang 

telah menimpa kekasihmu itu...."

Lagi Pandu bercerita tentang setiap malam Ju-

mat seorang anak perawan dari desa Jati Gede di-

culik. Entah dipersembahkan kepada siapa.

"Tetapi yang pasti dibawa ke Bukit Kubur."

"Kalau begitu... sebaiknya kita cari kekasihmu 

itu," kata Pranata Kumala akhirnya.

***

ENAM



Sementara itu di dalam goa yang terdapat di 

atas Bukit Kubur, datuk sesat Tumbalpala tengah 

menyiapkan beberapa ramuan di dalam kuali be-

sar. Dan menggodoknya.

Datuk bertubuh kerempeng itu sekali-sekali me-

lirik pada Tari yang kini terlentang dalam keadaan 

terikat di atas sebuah batu yang berbentuk dipan.

Dan di sampingnya Tugi Sama duduk bersim-

puh memperhatikan apa yang sedang diperbuat 

datuk Tumbalpala.

"Hahaha... dengan darah perawan yang me-

nyembur dari kemaluan anak perawan ini, maka 

sempurnalah sudah ilmu yang kupelajari ini! Ha-

haha... sebentar lagi, sebentar lagi aku akan turun 

bukit untuk menantang jago-jago rimba persila-

tan... hahaha!"

Tari yang sudah sadar dari pingsannya terkejut


melihat dirinya terlentang terikat, juga kaget begitu 

mengetahui di mana dirinya berada.

Dia mencoba meronta, namun ikatan itu terlalu 

kuat untuk diputuskannya.

Tumbalpala bangkit dari duduknya, lalu berja-

lan mendekati Tari yang langsung menutup ma-

tanya melihat betapa buruknya dan mengerikan-

nya wajah manusia kerempeng ini.

"Hihihi... mengapa kau tutup matamu, Manis... 

sebentar lagi... sebentar lagi akan kuperas darah 

keperawananmu dan kuminum setelah kucam-

purkan dengan ramuanku itu... Hahaha... dan se-

lesailah sudah ilmu yang akan kupelajari... yang 

membuatku tak mempan oleh senjata sakti apa 

pun dan pukulan sakti macam apa pun... hahaha!"

"Lepaskan aku... lepaskan aku, Orang kerem-

peng!" maki Tari masih dengan menutup matanya. 

Wajah yang terpampang di hadapannya sungguh 

menakutkannya.

"Hahaha... lepaskan? Hahaha... orang kerem-

peng? Oh, Manis... mengapa kau tutup matamu, 

hah? Bukankah wajahku cukup tampan untuk di-

nikmati... hahaha?"

Tangan Tumbalpala menggerayang ke dada Tari 

yang menjerit-jerit minta dilepaskan.

Betapa menakutkannya detik ke detik yang ha-

rus dilaluinya. Mengerikan.

"Hahaha... tubuhmu, oh, tubuhmu montok se-

kali, Manis... sayang... aku tak butuh tubuhmu... 

aku hanya butuh darah perawanmu yang akan 

kusedot dengan mulutku... hahaha... kau akan 

merasakan keenakan... kau akan merasakan kege


lian... hahaha...."

"Lepaskan, lepaskan aku, Kerempeng! Le-

paskan... tolong... oh, tolong aku!" jerit Tari dengan 

suara yang menyayat. Ketakutannya sangat men-

jadi-jadi.

"Hehehe... bukalah matamu, Manis... buka-

lah.... Nikmatilah wajahku yang tampan ini...." ka-

ta Tumbalpala masih tetap menggerayang tangan-

nya.

Dan tiba-tiba tangan kanannya menotok urat 

mata Tari, hingga gadis itu terbelalak dengan ter-

paksa dan sulit untuk dipejamkan kembali ma-

tanya.

"Hehehe... bukankah dengan begitu kau lebih 

leluasa menikmati wajahku... Aduh, betapa mon-

toknya dadamu ini...."

Tiba-tiba tangan itu bergerak dengan cepat.

"Breeet!"

Baju di bagian dada Tari terbuka, menampak-

kan sepasang buah dadanya yang montok.

"Benar dugaanku... benar sekali... oh, betapa 

indahnya... hehehe... indah sekali...."

Sementara Tugi Sama melotot melihat keinda-

han buah dada milik Tari. Diam-diam dia menelan 

ludahnya.

"Hei!" dirasakannya sebuah sambaran menepak 

kepalanya. "Jangan melotot, ke sini!"

"Oh... maafkan saya, Datuk...." kata Tugi Sama 

terkejut dan buru-buru memalingkan wajahnya. 

Sialan, ketahuan lagi! Bukankah itu sebuah pe-

mandangan yang sangat mengasyikan mata?

Tari menangis dalam hati. Malunya minta am


pun. Apalagi ketika tiba-tiba saja datuk kerempeng 

itu membuka celananya sendiri sambil terkekeh.

"Hehehe... bagaimana dengan tubuhku, Manis? 

Ayo, nikmatilah tubuhku ini, Manis... nikmati-

lah...."

Tari hanya bisa mengeluh. Matanya mau tak 

mau tetap terbuka, karena dalam keadaan terto-

tok. Ini membuat Tari semakin mau mati saja. Ka-

rena pemandangan di hadapannya berubah menji-

jikkan di samping menyeramkan dan mena-

kutkannya.

"Hahaha... bagus, bukan?"

Sementara Tugi Sama mau muntah melihat tu-

buh datuk Tumbalpala itu telanjang bulat. "Kamb-

ing diberi obat perangsang pun belum tentu mau 

sama datuk itu," katanya dalam hati.

Tiba-tiba datuk sesat itu mendongak, menatap 

langit-langit goa.

Dia bergumam, "Hmm... agaknya waktu telah 

datang, Manis. Nah... bersiaplah untuk kusedot 

darah perawanmu dan kucampurkan dengan ra-

muan sakti buatanku.... Hahaha... kau sudah 

siap, Manis?"

Detik ke detik semakin mencekam dirasakan

Tari. Kejadian-kejadian yang tadi dialaminya saja 

sudah sangat mengerikan dan menakutkan, belum 

lagi dengan kejadian selanjutnya.

Tumbalpala mengenakan kembali pakaiannya. 

Lalu berjalan ke kuali ramuannya.

Dia mengaduk-aduk sebentar.

Lalu diambilnya anglo dan dibakarnya dupa 

hingga mengeluarkan asap tebal dan bau yang


menusuk.

Dia duduk bersila di depan dupa itu.

Mulutnya berkomat-kamit.

Dan tiba-tiba dia berdiri. Wajahnya kali ini terli-

hat lebih mengerikan. Sepasang matanya menyala-

nyala. Alisnya bergerak ke atas. Mulutnya terse-

nyum mengerikan.

Dia tak ubahnya iblis belaka.

Tugi Sama sendiri terkejut melihat perubahan 

wajah Tumbalpala.

Dan perlahan-lahan Tumbalpala melangkah 

mendekati Tari yang menjerit ketakutan melihat 

wajah yang semakin menyeramkan. Gadis itu 

mendadak pingsan karena tak tahan melihat wa-

jah itu. Sungguh mengerikan.

Tiba-tiba Tumbalpala mengikik. Suaranya mirip 

kuntilanak yang sangat mengerikan.

Tiba-tiba lidahnya terjulur keluar.

Dan dengan sekali jambret, Tumbalpala melu-

cuti pakaian Tari hingga gadis itu bertelanjang bu-

lat. Lalu datuk sesat itu pun berjalan mendekati 

pangkal paha Tari yang masih dalam keadaan 

pingsan. Lidah Tumbalpala makin terjulur. Ma-

tanya tetap memerah. Dan perlahan-lahan kepa-

lanya mendekati kemaluan Tari yang terbuka le-

bar.

Siap untuk menyedot darah perawan Tari hing-

ga habis dan gadis itu akan mati dengan tubuh 

kering dan hangus. Tak ubahnya tubuh terbakar 

api.

Namun mendadak saja, kepala Tumbalpala ber-

paling ke kiri. Telinganya yang terlatih untuk men


dengar bunyi yang sekali pun, menangkap suatu 

gerakan yang mencurigakan dari luar sana.

Tugi Sama pun mendengarnya. Dan bersiap.

Dia merasa beruntung karena mendengar suara 

itu. Baginya melihat Tumbalpala menyiangi kor-

bannya sangat mengerikan sekali.

Tugi Sama segera melompat.

"Siapa di sana?!" bentaknya.

Lalu muncullah tiga sosok tubuh dari pintu goa 

bagian dalam. Ketiganya tak lain dari Pranata Ku-

mala, Ambarwati dan Pandu. Bila mereka terlam-

bat sedetik saja, tamatlah riwayat Tari, mati den-

gan keadaan tubuh kering kerontang.

Mereka melihat satu pemandangan yang menge-

rikan di hadapan mereka. Kening ketiganya berke-

rut ketika beradu pandang dengan Tumbalpala.

"Mayat hidupkah?" tanya ketiganya dalam hati.

Namun begitu melihat keadaan Tari yang telan-

jang bulat dan pingsan, membuat jantung Pandu 

berdetak lebih cepat. Bersamaan dengan kemara-

hannya yang naik sampai ke ubun-ubun dan siap 

meledak.

"Tari!" panggilnya dan hendak memburu.

Tetapi tangannya ditahan oleh Pranata.

"Hati-hati, Pandu... agaknya orang kerempeng 

yang mirip mayat hidup itu sangat berbahaya. Ti-

dakkah kau melihat sepasang matanya yang nya-

lang siap memangsa siapa saja?"

Pandu menelan ludahnya. Hatinya galau dan pi-

lu menyaksikan keadaan kekasihnya.

"Hahaha... tikus-tikus cilik, selamat datang di 

kediaman Tumbalpala, majikan Bukit Kubur!" ma


nusia kerempeng itu terbahak dengan sikap yang 

mengerikan.

Ambarwati sendiri berusaha menenangkan ha-

tinya. Dia merasakan getaran angin yang cukup 

kuat menerpa telinganya saat orang kerempeng itu 

bersuara.

Begitu pula yang dirasakan oleh Pranata Kuma-

la dan Pandu. Desiran angin itu cukup kuat tera-

sa. Pranata bergumam dalam hati, "Bukan main 

tenaga dalam yang dimiliki manusia kerempeng 

itu."

Sementara Tugi Sama mendengus begitu men-

genali salah seorang di antara ketiga orang itu.

"Hhh! Kau rupanya pembokong busuk! Punya 

nyali juga kau mendatangi tempat ini, haha?! Ru-

panya kau memang ingin mati!"

"Hhh! Manusia busuk! Kau yang akan mati, 

menyusul kawanmu yang telah mampus menjadi 

mayat!"

"Bangsat!" geram Tugi Sama murka. "Kau telah 

membunuh Sura Jaya?!"

Pandu melipat kedua tangannya di dada. 

"Hmm... sebentar lagi nyawamu yang akan kuca-

but, untuk menemani temanmu di neraka sana!"

Sehabis berkata begitu, Pandu segera mema-

sang anak panahnya pada busurnya. Tetapi satu 

gerakan telah dilakukan oleh Tugi Sama dengan 

melemparkan cakramnya.

"Wuuut! Siiingg!"

Cakram itu bergerak menghantam busur yang 

dipegang Pandu dan kembali lagi pada tuannya.

Pandu sendiri terkejut melihat serangan yang


mendadak itu. Tangannya terasa kesemutan oleh 

getaran yang cukup kuat yang menimpa tangan-

nya.

"Anjing!" makinya.

"Hahahaha...." terbahak Tugi Sama.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakangnya 

dengan suara yang angker penuh tenaga dalam. 

"Tugi Sama! Hantam mereka! Dan bunuh!"

"Baik, Datuk!"

"Cepat! Aku harus menyelesaikan ilmuku seka-

rang juga!" kata Tumbalpala dan kembali mende-

katkan kepalanya pada pangkal paha Tari.

Melihat bahaya hendak menimpa gadis itu, Pra-

nata Kumala cepat bersalto sambil melancarkan 

pukulan sinar merahnya.

"Siiing!"

Secepat kilat Tumbalpala tarik kepalanya kem-

bali. Dan menoleh dengan marah. Tiba-tiba dia 

mengibaskan tangan kanannya.

Serangkum angin besar menderu menerpa Pra-

nata Kumala hingga jatuh terguling.

"Kakang!" jerit Ambarwati terkejut dan hendak 

menghampiri. Namun urung ketika dirasakannya

desir angin mendekat padanya. Rupanya senjata 

cakram milik Tugi Sama sudah melancarkan tu-

gasnya.

"Bangsat!" maki Ambarwati seraya bersalto 

menghindar. Dan segera membalas menyerang Tu-

gi Sama dengan sambaran pedangnya.

Begitu pula dengan Pandu. Dia mengambil 

kembali anak panah dan busurnya. Lalu membidik 

Tugi Sama yang bersalto ke sana ke mari sambil


mempertahankan aliran tenaga dalamnya pada 

cakram yang berputar-putar mencari mangsa.

Sementara itu Tumbalpala semakin murka pada 

Pranata Kumala karena telah mengganggu ker-

janya.

Apalagi ketika dia merasakan waktu untuk me-

nyempurnakan ilmu yang dipelajarinya telah ha-

bis. Dan tak bisa diulangi kembali.

Semua itu membuatnya makin murka. Dia 

kembali mengibaskan tangan kanannya dan se-

rangkum angin besar kembali menderu pada Pra-

nata.

Tetapi kali ini Pranata lebih sigap. Dengan ge-

sitnya dia berguling. Namun belum lagi dia bisa 

bernafas dengan lega, kembali serangan-serangan 

itu dilancarkan oleh Tumbalpala. Membuat Prana-

ta Kumala menjadi kalang kabut.

Tetapi tiba-tiba Pranata berseru keras dan men-

dadak tubuhnya melenting ke atas. Lalu dia pun 

segera membalas Tumbalpala dengan pukulan si-

nar merahnya.

"Sing!"

"Sing!"

Tumbalpala cuma terkekeh. Dan menghindar ke 

kiri seraya melompat menerjang dengan pukulan 

lurus ke depan.

Pranata merasakan angin yang keras keluar 

saat kepalan itu mendekati wajahnya. Buru-buru 

ia menunduk dan memutarkan tubuhnya ke ba-

wah.

Lalu satu jotosan dia lancarkan pada bagian ra-

hasia Tumbalpala. Yang segera menangkisnya


dengan tangan kirinya.

Kedua tangan itu berbenturan.

Dan benturan keduanya mampu mendatangkan 

rasa kesemutan pada tangan Pranata. Lain halnya 

dengan Tumbalpala yang terkekeh-kekeh.

"Hahaha... hanya begitu saja kebisaanmu, Bo-

cah! Tetapi kau tak akan kuampuni! Kau telah 

lancang membuat kesalahan di depanku! Kau 

mengeri?!"

"Manusia busuk! Bukankah kau sendiri yang 

berbuat salah! Bukankah kau yang tengah mela-

kukan kelaknatan yang tak bisa dimaafkan?!"

"Ini demi sempurnanya ilmu yang kupelajari!"

"Tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain! 

Darah perawan itu kau hisap, lalu kau campurkan 

pada ramuanmu! Bukankah itu perbuatan bi-

adab?!"

"Hhh! Nyawamu tak akan kuampuni, Bocah! 

Nah, sebelum kau mampus katakan siapa kau se-

benarnya!"

"Namaku Pranata Kumala dari laut Selatan. 

Dan perempuan itu istriku, namanya Ambarwati. 

Sedangkan pemuda yang sedang membantu istri-

ku menghadapi anak buahmu, bernama Pandu! 

Sudah cukup puas? Sekarang siapa kau adanya, 

Datuk sesat?!"

"Hhh! Namaku Tumbalpala! Dan orang-orang 

rimba persilatan memanggilku Datuk Sesat Bukit 

Kubur!"

"Kau memang manusia sesat!"

"Hhh, Bocah! Kau telah menggangguku me-

nyempurnakan ilmuku! Nah, katakan siapa guru


mu, hah?!"

"Guruku majikan Gunung Muria. Beliau ber-

nama Ki Ageng Jayasih!"

"Hmm... rupanya dia gurumu. Boleh juga. Kupi-

kir... kau murid dari manusia dewa yang maha 

sakti, Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan 

Sukma! Bila iya, katakan padanya, aku pun akan 

menaklukkannya!"

"Apakah kau tidak jeri bila kukatakan sesuatu?"

"Bangsat! Katakan, tak perlu menggertak!"

"Pendekar yang namanya baru saja kau se-

butkan, adalah ayahku!"

"Ayahmu?! Bagus, ini akan kuuji sampai di ma-

na kehebatan anaknya Madewa Gumilang!"

Usai berkata begitu tubuh Tumbalpala melesat 

bagaikan terbang. Pranata terkejut dan sebisanya 

memapakinya. Dia merasakan sekujur tubuhnya 

bagai kesetrum saat tangannya berbenturan den-

gan tangan Tumbalpala.

Datuk bertubuh kerempeng itu memang luar 

biasa. Dia menyerang dengan sikap tenang saja, 

namun di balik semua itu terdapat kegeraman 

yang sangat luar biasa. Dan siap menyambar nya-

wa Pranata Kumala.

Pranata sendiri sudah mengeluarkan jurus Tan-

gan Bayangannya. Namun jurus itu tak berarti ba-

nyak buat menghadapi datuk sesat Bukit Kubur, 

yang dengan sigapnya menangkis dan membalas.

Belum lagi gempuran-gempurannya yang setiap 

kali bagian tubuhnya bergerak menimbulkan sua-

ra atau angin yang cukup keras.

Lewat lima belas jurus, terlihat Pranata Kumala


mulai terdesak.

"Des!"

Satu gedoran pada dadanya membuat ter-

huyung ke belakang. Lalu disusul dengan samba-

ran lagi pada bagian punggungnya, membuat Pra-

nata Kumala terhuyung lagi.

Dan muntah darah.

"Hhh! Terimalah ajalmu, Orang iseng!" seru 

Tumbalpala dan segera menyiapkan satu pukulan 

yang terangkum di tangan kanannya.

Dan tubuh itu pun melesat. Namun kembali 

bersalto ketika sebatang anak panah menyambar 

ke arahnya.

"Setan alas!"

Maki Tumbalpala dan ganti berbalik arah mele-

paskan pukulannya pada Pandu yang tengah me-

masang kembali anak panahnya.

Namun lagi-lagi Tumbalpala urung karena sela-

rik sinar merah melesat ke arahnya. Disusul den-

gan anak panah yang dilepaskan Pandu.

"Bangsat!" makinya sambil bersalto.

Sementara Ambarwati terus mengimbangi se-

rangan-serangan dari Tugi Sama, yang dengan 

senjata cakramnya mampu membuat Ambarwati 

pun tunggang langgang. Namun dengan satu sen-

takan kuat, cakram itu berhasil dipukul jatuh.

Tugi Sama menjadi geram melihatnya.

Dia menjerit menyerang dengan satu pukulan 

lurus ke depan.

Ambarwati merundukkan kepalanya hingga pu-

kulan itu mengenai angin. Lalu dengan satu ten-

dangan memutar dia berhasil memukul bagian


punggung Tugi Sama hingga tersuruk.

Dan kesempatan itu digunakan oleh Ambarwati 

untuk menusukkan pedangnya. Namun tanda di-

duganya, Tugi Sama berhasil memukul pergelan-

gan tangannya.

Hingga pedangnya terlepas.

Mendadak Ambarwati bersalto dan dengan satu 

gerakan yang menakjubkan diperlihatkan perem-

puan itu. Sambil bersalto dia menendang tangkai 

pedangnya yang terlepas di udara.

Des!

Tepat mengenai ujung tangkainya.

Dan pedang itu meluncur dengan deras ke arah 

Tugi Sama yang tidak menyangka sama sekali.

Lalu terdengarlah jeritan kematian menggema di 

dalam goa itu.

"Akkhhhhhkhhh!"

***

TUJUH



Tumbalpala sendiri kaget melihat gerakan yang 

hebat itu diperlihatkan Ambarwati. Namun ba-

ginya hal itu bukanlah sesuatu yang menakjub-

kan..

Dia terus mencecar Pranata Kumala dan Pandu. 

Pandu sendiri sebenarnya sudah tak bisa berbuat 

apa-apa. Dia pun sudah berkali-kali terkena puku-

lan Tumbalpala.

Sedangkan Pranata Kumala terus mencoba ber-

tahan.


"Ambar! Cepat kau bawa gadis itu, dan pergilah 

dari sini! Cepat!" serunya.

Ambarwati pun bergerak cepat. Dia membuka 

tali yang mengikat Tari dan membebaskan totokan 

pada urat matanya hingga matanya perlahan-

lahan terkatup.

Lalu dibopongnya gadis itu dan dilarikannya ke-

luar.

Melihat hal itu, Tumbalpala menjadi murka. Dia 

menyerang dengan satu pukulan jarak jauh. Na-

mun Ambarwati berkelit dengan gesit. Lalu melesat 

keluar.

Melihat istrinya sudah berhasil melarikan gadis 

itu dan meloloskan diri, Pranata Kumala yang me-

rasa tak akan bisa bertahan menghadapi seran-

gan-serangan Tumbalpala, berseru pada Pandu.

"Pandu cepat kau tinggalkan tempat ini! Biar 

aku yang menahan manusia sesat ini!"

"Tapi, Kakang...." desis Pandu ragu-ragu.

"Cepat kataku, cepat!"

Tanpa banyak cakap lagi, Pandu segera melesat 

keluar dari goa itu.

Melihat seorang berhasil pula meloloskan diri, 

kegeraman Tumbalpala semakin menjadi-jadi.

"Kau harus mampus di sini, Bocah!" geramnya 

dan menyerang kembali.

Pranata sendiri dengan sebisanya melepaskan 

pukulan sinar merahnya berkali-kali. Dan begitu 

dilihatnya kesempatan untuk meloloskan diri, dia 

pun melesat berlari.

Dan berseru pada Pandu dan istrinya yang me-

nunggu di luar. "Ayo pergi dari sini!" seru Pranata.


Lalu ketiganya segera memacu kuda-kuda me-

reka berlari secepat angin.

Tumbalpala hanya tiga detik terlambat keluar.

Dia menggeram marah. Wajahnya yang menye-

ramkan semakin tambah menyeramkan.

Tiba-tiba dia menggeram.

"Bangsat! Kalian tak akan bisa lolos dari tan-

ganku!" bentaknya keras ke penjuru Bukit Kubur. 

Tiba-tiba tangannya bergerak ke dinding atas pintu 

ke goa.

"Duar!"

Terdengar ledakan keras begitu angin yang ke-

luar dari tangannya menyambar dinding goa. Dan 

mendadak saja dinding goa itu runtuh.

"Ke mana pun kalian akan kucari!" maki Tum-

balpala sambil melesat meninggalkan tempat itu.

Sementara batu-batu yang berasal dari dinding 

goa yang dihancurkannya berguling ke bawah.

Menimbulkan suara bergemuruh.

***

Ketiga orang yang melarikan diri dari Bukit Ku-

bur itu, tidak mengarahkan kuda-kuda mereka 

menuju desa Jati Gede. Tetapi mereka bersem-

bunyi dulu di sebuah hutan. Karena menurut me-

reka, pasti datuk sesat itu akan mencari mereka di 

desa Jati Gede.

Di hutan itu, Pranata berusaha menyadarkan 

Tari dari pingsannya. Begitu siuman, gadis itu ter-

sentak kaget melihat sekelilingnya gelap dan me-

nyeramkan.


Namun begitu didengarnya suara Pandu, gadis 

itu menjadi terisak.

"Kakang Pandu?"

"Iya, Tari... aku Pandu...." kata Pandu terharu.

"Oh... Kakang!" seru Tari sambil merangkul 

Pandu. Kegembiraannya tak terkira. Bibirnya terus 

menyunggingkan senyuman yang manis.

Lalu Pandu memperkenalkannya pada Pranata 

Kumala dan Ambarwati yang telah membantunya 

membebaskan Tari dari cengkraman datuk sesat 

itu.

Tari pun segera mengucapkan terima kasih.

Lalu Pranata nampak bersemedi, untuk menghi-

langkan rasa sakit pada dadanya. Dibantu dengan 

Ambarwati yang mengalirkan tenaga dalamnya me-

lalui punggungnya, dan hawa murni yang telah di-

buka, rasa sakit pada dadanya berangsur-angsur 

mulai menghilang.

Lalu dadanya terasa pulih kembali.

Ambarwati tersenyum. Tadi saat dia disuruh 

meloloskan diri, betapa kuatirnya melihat keadaan 

suaminya yang terdesak hebat oleh Tumbalpala.

"Sebaiknya kita istirahat saja dulu di sini," kata 

Pranata Kumala. "Besok pagi, barulah kita berang-

kat ke Jati Gede untuk membebaskan para pen-

duduk dari cengkeraman orang-orang jahat itu!"

Usul itu pun disetujui. Dan mereka pun segera 

terlelap di dalam hutan dengan tubuh lebih yang 

amat sangat.

***


DELAPAN


Agung Seta tersentak begitu mendengar suara 

menggelegar membentaknya. Terdengar kalau yang 

membentak itu dalam keadaan marah yang amat 

sangat.

Agung Seta langsung melompat dari peraduan-

nya, memakai pakaiannya kembali. Dan mening-

galkan perempuan yang berada di peraduannya, 

yang segera menangis karena merasa bahagia ter-

bebas dari jamahan Agung Seta lagi.

"Agung! Ke luar kau!"

Tergopoh-gopoh Agung Seta keluar. Suara itu 

menggelegar kembali.

"Anak monyet! Cepat keluar!"

Kini Agung Seta sudah berada di luar. Dia tak 

menyangka kalau yang berada di hadapannya da-

tuk sesat Tumbalpala Begitu pula dengan teman-

temannya yang keluar dan tempat masing-masing.

"Ada apa, Datuk?" tanya Agung Seta dengan 

hormat. Dia ngeri melihat wajah mirip iblis itu ten-

gah marah-marah. Agung Seta yang terkenal ben-

gis, sadis dan tak berperi kemanusiaan, harus me-

rasa jeri melihat gurunya dalam keadaan murka.

"Hhhh! Kau cari orang yang bernama Pranata 

Kumala, Ambarwati dan Pandu!"

"Ada apakah gerangan, Datuk? Dan siapa pula 

mereka, hah?" tanya Agung Seta.

"Mereka adalah orang-orang yang akan kubuat 

mampus! Mereka mengganggu kerjaku dalam 

menggarap bagian terakhir dari ilmu kebalku! Dan


yang perlu kau ketahui, anak buahmu Tugi Sama 

dan Sura Jaya sudah mampus di tangan mereka!"

Wajah Agung Seta menjadi marah.

Malam yang mendekati pagi, saat itu pula dia 

memerintahkan sisa-sisa anak buahnya untuk 

mencari ketiga orang itu.

Dan malam yang hening itu harus kembali diro-

bek oleh hiruk pikuk dan jerit ketakutan para 

penduduk.

Namun bayangan ketiga orang itu tidak nam-

pak. Begitu pula dengan Tari.

Sebagian penduduk merasa gembira karena 

Pandu dan Tari selamat. Mereka tidak menyangka 

kalau Pandu akan nekat menolong kekasihnya.

Dan mereka juga gembira mendengar dua nama 

asing tadi disebutkan. Apakah mereka manusia-

manusia penolong yang dikirimkan oleh dewata?

Namun kegembiraan itu hanya sejenak, karena 

Tumbalpala menjadi murka begitu Agung Seta me-

laporkan tak ada tanda-tanda ketiga manusia itu 

berada di sana.

"Bunuh semua penduduk!" serunya keras.

Dan pembantaian itu pun terjadi dengan hebat. 

Jerit kematian dan darah mengalir membasahi de-

sa itu.

Agung Seta, Morodama, Wiromaya, Surapati 

dan Baurekso, secara membabi buta melemparkan 

cakram mereka yang dengan ganasnya mencari 

mangsa.

Di samping itu mereka juga geram dengan te-

wasnya lagi sahabat mereka Tugi Sama dan Sura 

Jaya.


Namun tiba-tiba melesat selarik sinar merah 

dan beberapa anak panah ke arah mereka.

Semuanya tersentak kaget.

Serentak Agung Seta, Morodama dan Baurekso 

menghindar. Namun malang bagi Wiromaya dan 

Surapati yang harus termakan oleh sinar merah 

itu dan anak panah.

"Bangsat! Cepat kalian keluar dari tempat per-

sembunyian kalian! Jangan mirip perempuan yang 

hanya bisa menangis dan bersembunyi!" bentak 

Agung Seta sambil menarik pulang senjata ca-

kramnya.

Dan ketiga pasang itu terbelalak ketika sosok 

tubuh keluar dari balik semak. Sosok tubuh gemu-

lai dan aduhai dengan wajah jelita.

Dia tak lain adalah Ambarwati.

"Hihihi... apakah aku mirip perempuan? Aku 

memang perempuan! Kau salah memaki, Manusia 

besar!"

Dari rasa marah dan murka, Agung Seta berba-

lik gembira.

"Hahaha... rupanya kelinci manis yang berbuat 

onar seperti ini! Hei, menyerahlah kau! Sini men-

dekatlah padaku, biar kau kudekap dan tak kule-

paskan lagi... kayaknya kau cukup layak mene-

maniku tidur!"

Ambarwati menekan rasa marah dan muaknya.

Dia melangkah dua tindak dan berkata, "Manu-

sia-manusia bejat, hendaknya kalian tinggalkan 

tempat ini! Dosa kalian sudah terlampau banyak 

dan tak terhitung!"

"Hahaha... kau menasehatiku, Manis? Oh, itu


baik sekali! Aku suka diberi nasehat oleh kelinci 

manis dan montok macam kau!"

Tiba-tiba terdengar suara Tumbalpala dengan 

nada angker.

"Agung Seta! Buat apa kau banyak cakap lagi, 

hah?! Cepat kau tangkap perempuan itu! Dia ada-

lah salah seorang dari tiga pengacau yang meng-

ganggu kerjaku! Cepat kau bereskan dia! Dan cari 

yang dua orang lagi! Cepat, aku sudah tidak tahan 

untuk menyianginya dan membunuhnya secara 

perlahan-lahan!"

Agung Seta mendesah pelan. Agaknya merasa 

sayang melihat gadis itu yang harus ditangkap dan 

diserahkan pada Tumbalpala. Yang tentunya akan 

membunuhnya dengan kejam.

Namun tak ada pilihan lain kecuali bergerak 

menangkap gadis itu.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan,

Ambarwati pun meloloskan pedangnya.

"Hahaha... rupanya kelinci manis ini galak juga! 

Morodama, kau tangkap dia!" seru Agung Seta.

Morodama terkekeh sambil menggebrak maju. 

Ambarwati pun segera melayaninya.

Pukulan ke depan yang dilancarkan Morodama, 

hanya disambutnya dengan memiringkan kepa-

lanya ke kiri.

Lalu ditebaskannya pedangnya ke arah leher 

Morodama yang bersalto ke belakang.

"Hebat!"

"Kau akan melihat lagi pertunjukan yang hebat 

sebelum lehermu putus kutebas!" seru Ambarwati.

Morodama pun mempergencar serangannya.



Dan serangan itu sungguh suatu serangan yang 

sangat cabul. Tangan-tangannya malah berusaha 

menyentuh dan menepuk bagian-bagian tubuh 

terlarang dari Ambarwati.

"Setan!" maki Ambarwati sambil menebaskan 

pedangnya ke tangan Morodama yang hendak me-

nyentuh buah dadanya.

"Hehehe... kau pelit sekali, Manis. Hanya sedikit 

saja kusentuh tak kau perbolehkan. Kau macam 

apa sebenarnya, hah?! Ayolah, jangan berpura-

pura. Bukankah kau memang menginginkannya?!"

"Setttaaann!" jerit Ambarwati murka. Lalu dia

bergerak cepat menyerang.

Namun Morodama tetap saja mengimbanginya 

dengan santai. Bahkan sekali waktu tangannya 

berhasil menepuk pinggul Ambarwati.

"Hehehe... betapa montok dan lembutnya ping-

gulmu, Manis.... Buat apa kita bersusah payah 

bertempur? Lebih baik kau menyerahkan diri saja! 

Dengan senang hati kami akan menyambut keda-

tanganmu itu... hehehe!" tertawa Morodama sambil 

cengengesan.

"Setan!" maki Ambarwati geram. Lalu dengan 

cepat dia kembali menyerang.

Kibasan pedangnya gencar dan cepat mencari 

sasaran. Kali ini Morodama tidak bisa berbuat ba-

nyak, karena dia tengah melawan Ambarwati yang 

tengah murka.

Dan di ambang kewalahannya, Morodama tiba-

tiba bersalto dan mencabut senjata cakramnya. 

Lalu dilemparkannya pada Ambarwati yang masih 

terus menyerang.


"Wuutt! Suiiing!" Sambaran angin dan desing 

suara senjata itu bagaikan maut yang siap men-

jemput. Dan seakan ada ribuan tawon yang me-

nyerbu dengan sengatan-sengatan yang memati-

kan.

Sebisanya Ambarwati menangkis, menghindar, 

bergulingan menghindari sambaran-sambaran ca-

kram itu.

Namun tiba-tiba senjata yang cukup aneh itu 

mendadak terpental karena selarik sinar merah 

menghantamnya. Dan sungguh menakjubkan, 

sambaran sinar merah itu demikian kerasnya, 

hingga senjata cakram itu terpental pulang pada 

pemiliknya.

Morodama menjadi terkejut, sebisanya dia 

menghindar. Namun tak urung bahunya terserem-

pet oleh senjatanya sendiri. Mengeluarkan darah.

"Anjing! Siapa yang membokong ini!" makinya 

sambil menekap darah yang mengalir.

Dari balik semak-semak, meloncatlah dua orang 

laki-laki. Mereka adalah Pranata Kumala dan Pan-

du.

Ambarwati sendiri mendesah lega. Bila saja su-

aminya terlambat membantu, tentu nyawa tak 

akan bisa selamat. Tetapi dia yakin, tentunya su-

aminya tak akan membiarkannya celaka ataupun 

terluka.

Melihat dua orang datang lagi, Morodama men-

dengus. Begitu pula dengan Agung Seta dan Bau-

rekso. Keduanya langsung mencari lawan masing-

masing.

Dan tak ada yang banyak bicara lagi.


Mereka sudah saling tempur dengan hebat.

Para penduduk yang menyaksikan pertempuran 

tadi dari dalam rumah masing-masing.

Mereka terkejut melihat Pandu berada di antara 

yang saling tempur. Dan mereka berdoa agar keti-

ganya bisa memenangkan pertempuran itu.

Agaknya Pranata Kumala dan istrinya mampu 

mengimbangi kedua lawannya. Sementara Pandu 

yang menghadap Baurekso harus menerima bebe-

rapa kali pukulan dan tendangan dari lawannya.

Melihat hal itu, Pranata segera melepaskan pu-

kulan sinar merahnya pada Baurekso. Baurekso 

yang sedang asyik dan geram melepaskan pukulan 

dan tendangannya secara beruntun pada Pandu, 

tidak melihat selarik sinar merah menuju padanya.

Tanpa ampun lagi, tubuhnya terkena sinar me-

rah itu. Dan ambruk dengan tubuh hangus tanpa 

bisa menjerit sedikit pun. Mati!

Melihat hal itu Agung Seta dan Morodama se-

makin mempergencar serangannya. Pranata Ku-

mala pun segera mengimbanginya dengan jurus 

Tangan Bayangannya.

Ambarwati pun mempergencar permainan pe-

dangnya.

Sementara Pandu menyingkir sambil menahan 

rasa sakitnya.

Tiba-tiba Pranata Kumala dan Ambarwati mera-

sakan ada serangkum angin besar menuju pa-

danya. Keduanya tak sempat mengelak.

Keduanya terpelanting.

Keduanya ambruk.

Dan keduanya muntah darah.


Ketika mereka melihat siapa yang menyerang, 

datuk Tumbalpala sudah berdiri dengan kaki ter-

buka gagah di hadapan keduanya.

"Hhhh! Kalian sudah ditakdirkan untuk mam-

pus di tempat ini rupanya!" berkata Tumbalpala 

dengan wajah yang menyeringai menyeramkan.

Mirip iblis.

"Hhh! Kami tidak takut mati untuk membela 

kebenaran!" seru Pranata Kumala.

"Besar pula omonganmu!"

"Lakukanlah bila kau mampu!" tantang Pranata 

Kumala dengan gagah.

"Setan!" Lalu tangan kanan Tumbalpala berge-

rak lagi. Dan serangkum angin besar menderu 

menghantam Pranata Kumala hingga bergulingan.

"Kakang!" jerit Ambarwati yang melihat sua-

minya kelojotan kesakitan dan muntah darah.

Dipegangnya tangan suaminya yang nampak 

lemah, namun suaminya masih berusaha untuk 

tersenyum.

"Rayi...."

Hati Ambarwati menjadi pilu dan marah. Tiba-

tiba dia berdiri menyerang Tumbalpala. Pedangnya 

mencecar dengan hebat.

Namun datuk sesat itu hanya terkekeh dengan 

wajah iblisnya. Membiarkan saja pedang Ambar-

wati membacoki seluruh tubuhnya.

Dan tak satu pun bacokan pedang itu yang 

membuat tubuhnya terluka.

Begitu pula dengan panah Pandu yang harus ja-

tuh ke tanah setelah mengenai sasarannya. Dan 

tak membuat tubuh Tumbalpala terluka.


Malah tubuh Pandu yang harus bergulingan ke-

tika tangan kanan Tumbalpala bergerak.

Begitu pula dengan Ambarwati yang harus kelo-

jotan muntah darah. Dadanya bagaikan dihantam 

oleh godam yang sangat keras dan berat, hingga 

membuatnya remuk terasa di dada.

Tumbalpala pun tak mau bertindak tanggung 

lagi. Dia menyiapkan kembali pukulan pada kedua 

tangannya, yang siap dikibaskan pada orang-orang 

yang telah tak berdaya itu.

Dan kedua tangan itu bergerak.

Namun suatu keajaiban terjadi. Saat kedua tan-

gan itu bergerak, tubuh Tumbalpala terjengkang 

ke belakang. Dan pukulan Serangkum Angin yang 

menderu pada Pranata Kumala dan Ambarwati, 

membelok ke kiri dan menghantam sebuah pohon 

besar hingga tumbang.

Tumbalpala terkejut. "Mengapa jadi begini?"

Begitu pula dengan Agung Seta dan Morodama.

Tak kalah herannya Pranata Kumala dan Am-

barwati yang hanya bisa memejamkan mata me-

nunggu ajal.

Dan tak jauh dari mereka berdiri dua sosok tu-

buh dengan gagah. Yang satu seorang laki-laki se-

tengah baya yang arif dan bijaksana. Wajahnya 

memancarkan sinar yang menyejukkan. Dia men-

genakan jubah berwarna putih. Yang seorang lagi, 

seorang wanita yang nampak cantik jelita. Di 

punggung wanita itu terdapat dua buah pedang 

yang bersilangan.

"Ayah! Ibu!" seru Pranata Kumala dan Ambar-

wati berbarengan begitu mengetahui siapa kedua


orang itu adanya.

Kedua orang yang muncul itu tak lain dan tak 

bukan adalah Madewa Gumilang alias Pendekar 

Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.

Keduanya tersenyum pada Pranata Kumala dan 

Ambarwati. Ratih Ningrum segera menghampiri 

anak dan menantunya. Sementara Madewa Gumi-

lang berdiri gagah berhadapan dengan Tumbalpala 

yang sudah terdiri kembali.

Madewa tersenyum arif.

"Maafkan aku, Saudara... yang telah lancang 

mengganggu keasyikan Saudara!"

Tumbalpala yang mendengar tadi Pranata Ku-

mala memanggil kedua orang yang baru datang 

"ayah dan ibu," langsung menduga siapa laki-laki 

ini adanya. Tentunya dia Madewa Gumilang alias 

Pendekar Bayangan Sukma.

"Hmm... rupanya kau Madewa Gumilang alias 

Pendekar Bayangan Sukma, bukan?" katanya den-

gan suara yang angker. "Ah, nama besarmu agak-

nya sudah setinggi langit dan sedalam lautan. 

Dengan Pukulan Bayangan Sukma kau dianggap 

sebagai manusia dewa di dunia ini, karena tak ada 

satu pun yang dapat menandingi kesaktian puku-

lanmu itu. Dan tak satu benda pun yang dapat 

sanggup menahan hebatnya pukulanmu. Tapi di 

hari ini, aku Tumbalpala, majikan Bukit Kubur 

yang akan menghentikan semuanya. Bahkan 

membunuhmu, Madewa Gumilang!"

Madewa tetap tersenyum arif. Dia sudah bisa 

menduga siapakah orang ini sebenarnya. Juga dua 

orang yang berdiri di dekatnya yang memegang


senjata berupa cakram.

Madewa pun menduga apa yang telah menimpa 

desa ini, melihat situasi desa yang sunyi dan len-

gang. Dan kini porak poranda dengan mayat ber-

gelimangan di sana sini.

Tentunya orang itu dengan telengas menurun-

kan tangannya.

"Sebenarnya kita tidak punya silang sengketa, 

Tumbalpala. Tapi agaknya keonaran yang kau 

timbulkan ini memanggil naluriku untuk meng-

hentikannya. Maafkan aku, yang mengganggu ke-

tenanganmu."

"Jangan jual lagak di depanku! Sudah lama aku 

ingin menaklukkan jago-jago rimba persilatan. 

Dan agaknya, kaulah orang pertama yang akan 

mampus di tanganku!"

"Maafkan aku...."

"Manusia sombong! Awas seranganku!" Tum-

balpala menggerakkan tangan kanannya. Serang-

kum angin besar menderu pada Madewa.

Madewa melompat ke kiri dengan ringannya.

Angin itu menerpa sebuah pohon yang langsung 

tumbang, roboh.

"Luar biasa!" desis Madewa.

"Dan kau akan menyaksikan yang lebih hebat 

lagi!" seru Tumbalpala seraya menerjang dengan 

pukulan-pukulan saktinya, cepat dan membabi 

buta.

Madewa pun menggunakan jurus menghindar-

nya, jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu disusul den-

gan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga, yang mem-

buat tangannya seolah bergerak bagaikan seribu.


Cepat dan tangkas.

Tumbalpala pun sudah menggunakan jurus 

yang dipelajarinya. Yaitu jurus ilmu kebalnya.

Patukan-patukan jurus ular Madewa tak ba-

nyak berarti bagi tubuh Tumbalpala.

Madewa bersalto dan menarik kembali jurus-

nya.

Tumbalpala terbahak.

"Hahaha... rupanya hanya begitu saja nama be-

sar dari Madewa Gumilang! Nama yang ternyata 

kosong belaka! Cepat kau keluarkan pukulan sak-

timu itu, Madewa! Pukulan Bayangan Sukma! Ayo, 

mengapa kau ragu? Atau kau ngeri melihat kehe-

batan ilmu kebalku?!"

Madewa tetap tersenyum arif.

"Kau agaknya terlalu sesumbar dan meman-

dang sebelah mata padaku, Tumbalpala...."

"Malah aku memandangmu dengan kedua mata 

tertutup! Karena nama besarnya tak lebih dari 

seonggok taik kucing belaka, Madewa!"

"Nah, kau bersiaplah sekarang!" desis Madewa 

sambil membuka jurusnya lagi. Pukulan Tombak 

Menghalau Badai.

"Hahaha... keluarkan semua jurus yang kau 

punya! Ayo, hantam aku! Hantam!"

Sementara Agung Seta dan Morodama pun ten-

gah bersiap-siap untuk membokong Madewa den-

gan melemparkan senjata cakram mereka.

Keduanya yakin nama besar Madewa Gumilang 

bukanlah nama kosong belaka.

Dan keduanya mempersiapkan senjata mereka.

Namun agaknya Ratih Ningrum dapat mencium


gelagat yang tidak menguntungkan itu. Dia pun 

bersiap-siap untuk menghadapi kedua manusia 

itu.

Begitu Madewa melepaskan pukulannya pada 

Tumbalpala. serentak pula Agung Seta dan Moro-

dama melemparkan senjata cakram mereka. Dan 

melesat pula Ratih Ningrum sambil mencabut ke-

dua pedang kembarnya dan memapaki senjata ca-

kram itu.

"Trang!"

"Trangg!"

Senjata-senjata itu beradu. Dan kedua cakram 

itu pun jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh 

Ratih Ningrum untuk maju menyerang.

Agung Seta dan Morodama yang tidak me-

nyangka kalau sikap pengecut mereka diketahui 

oleh Ratih Ningrum, tak bisa berbuat banyak 

menghadapi serangan-serangan sepasang pedang 

kembar Ratih Ningrum.

"Ces!"

"Ces!"

Keduanya pun tersambar oleh pedang itu dan 

terluka. Hal ini makin membuat keduanya nekat. 

Ratih Ningrum pun bergerak dengan cepat. Dia 

memasukkan jurus pukulan tangan seribunya 

dengan gerakan pedang.

Dan pedang itu bergerak seakan menjadi seribu.

Membuat Agung Seta dan Morodama menjadi 

kaget, terkejut dan kewalahan.

Pedang itu bergerak dengan kecepatan yang 

luar biasa. Dua jurus kemudian, Agung Seta dan 

Morodama mati langkah. Tanpa ampun lagi pe


dang Ratih Ningrum pun menemui sasarannya. 

Matilah sisa dari gerombolan carok itu.

Sementara itu, Madewa tengah melancarkan 

pukulan Tembok Menghalau Badainya. Namun la-

gi-lagi Tumbalpala hanya tertawa-tawa saja begitu 

pukulan tadi mengenai bagian-bagian dari tubuh-

nya.

Ilmu kebal yang dipelajarinya hampir mencapai 

tingkat yang sempurna.

Madewa bersalto ke belakang.

"Hebat! Sayang ilmu sehebat itu kau gunakan 

untuk kejahatan, Tumbalpala!"

"Hahaha... bilang saja kau jeri menghadapi ilmu 

kebalku, Madewa!" seru Tumbalpala sambil terba-

hak. Lalu ganti dia menyerang dengan Pukulan 

Tapak Anginnya. Yang menderu-deru dengan dah-

syat menimbulkan angin yang cukup besar.

Madewa dengan menggunakan jurus Ular Melo-

loskan Diri berhasil menghindari serangan-

serangan itu.

Namun lewat lima jurus kemudian, satu puku-

lan masuk menggedor dada manusia sakti itu.

"Hahaha... terimalah ajalmu sekarang, Made-

wa!" seru Tumbalpala sambil menyerang lagi.

Tetapi keajaiban terjadi. Tangan Tumbalpala 

yang sudah dialiri tenaga sakti dan tubuh yang 

melesat dengan cepat, mendadak tubuh itu berba-

lik, seolah menerpa sebuah tembok yang sangat 

tebal.

"Akkkh!" jerit Tumbalpala sambil jatuh bergu-

lingan.

Itulah salah satu kesaktian dari Madewa Gumi


lang. Dulu secara tidak sengaja dia menghisap sari 

rumput sakti Kelangkamaksa yang membuatnya 

menjadi sakti dengan adanya tenaga dorongan 

yang keluar dari tubuhnya tanpa bisa dia rasakan 

(Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Kesaktian itu keluar bila keadaan Madewa ter-

desak, dan emosinya menurun. Tetapi bila dia da-

lam keadaan emosi, kesaktian yang tak bisa terli-

hat oleh pandangan mata itu tak akan keluar.

"Bangsat! Ilmu apa yang kau pakai itu, Made-

wa?!" seru datuk kerempeng sambil mengusap mu-

lutnya yang mengeluarkan darah.

Madewa tersenyum arif.

"Sadarlah, Tumbalpala...."

"Anjing buduk! Jangan berkhotbah di depanku, 

Madewa!" maki Tumbalpala sambil menyiapkan 

kembali pukulan Tapak Anginnya. Kali ini diim-

bangi dengan ilmu kebalnya.

Madewa masih berusaha menyadarkan Tum-

balpala.

"Sadarlah, Tumbalpala...."

"Bangsat! Keluarkan ilmu pukulan Bayangan 

Sukma! Ayo, aku ingin melihat sampai di mana 

kehebatannya!"

Madewa tersenyum. "Bila itu yang kau inginkan, 

baiklah."

Madewa lalu merapal ilmu pukulan Bayangan 

Sukma. Dan merangkum kedua tangannya di da-

da. Terlihatlah asap putih mengepul dari kedua 

tangannya.

"Bersiaplah, Tumbalpala!"

"Hahaha... pukulan Bayangan Sukma tak ba


nyak membawa arti buatku, Madewa!" katanya 

sombong dan congkak. "Majulah!"

Lalu Madewa pun menderu maju.

Begitu pula dengan Tumbalpala yang sudah 

menyiapkan pukulan Tapak Anginnya dan ilmu 

kebalnya.

Suasana mencekam. Tegang dan hening.

Dan kedua pukulan maha sakti itu pun berben-

turan. Hingga menimbulkan ledakan yang hebat.

"DUUUAAARR!"

Tubuh keduanya terpental ke belakang. Madewa 

bergulingan dan muntah darah. Begitu pula den-

gan Tumbalpala. Tetapi datuk kerempeng itu cepat 

bangkit dan terbahak.

"Hahaha... hanya segitu saja Pukulan Bayangan 

Sukmamu, Madewa!" serunya lalu bergerak perla-

han.

Dar mendadak gerakannya menjadi pelan, ma-

kin pelan dan sangat pelan. Tiba-tiba dia muntah 

darah. Dan ambruk dengan meregang nyawa!

Madewa mendesah panjang. Betapa hebatnya 

ilmu kebal milik Tumbalpala. Andaikata sudah 

mencapai tingkat yang sempurna, mungkin tak sa-

tu pukulan pun yang bisa mengalahkannya.

Ratih Ningrum menghampiri suaminya.

Begitu pula dengan Pranata Kumala dan Am-

barwati.

"Tamat sudah riwayat Tumbalpala," kata Made-

wa. "Dinda Ratih... apakah tidak sebaiknya kita 

pulang, kembali ke Perguruan Topeng Hitam? Bu-

kankah rindumu sudah tuntas melihat Pranata 

Kumala dan Ambarwati?"


Ratih Ningrum mengangguk sambil tersenyum. 

"Iya, Kanda... rindu Dinda sudah tuntas. Pranata 

dan Ambar, apakah kalian akan meneruskan pe-

tualangan kalian?"

Pranata mengangguk. "Iya, Ibu. Saya dan istri 

saya akan melanjutkan petualangan kami...."

"Kalau begitu, hati-hatilah. Mari, Kanda!" kata 

Ratih Ningrum. Dan "wuuut!" tubuh keduanya su-

dah lenyap dari pandangan mata.

Pandu yang masih terluka, bangkit mengu-

capkan terima kasih pada Pranata Kumala dan is-

trinya. Lalu Pranata dan istrinya pun berpamitan 

untuk meneruskan petualangan mereka.



                            TAMAT




0 komentar:

Posting Komentar