BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 22 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE SABDA PANDITA RATU


https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 “Adalah suatu kebetulan yang mana tusukan karang 

yang dilancarkan kearah jantung Wiro meleset karena 

terhantam batu hitam sakti yang tak sempat diambil oleh 

sinto gendeng dan masih berada dalam tubuh Wiro. Namun 

Walaupun karang runcing tersebut tak mengenai jantung 

sang pendekar, tentu saja hal ini tidak membuat keadaan 

menjadi lebih baik. Maka sebelum kehilangan kesadarannya, 

Sang pendekar dengan mulut berbusahan masih sempat 

mengucapkan basmalah tiga kali sebelum menutupnya 

dengan mengucapkan ajian Meraga Sukma! Sementara itu 

saat kepala sang pendekar terkulai jatuh, tanpa diketahui 

oleh orang-orang mataram yang saat itu sedang bertarung, 

dibalik semak belukar dan kerapatan kabut di empat 

penjuru, terlihat empat orang berkerudung dan berjubah 

hitam sama-sama mengepalkan tinjunya dan langsung 

menghantamkan kepalannya ketanah! Lalu dari tanah 

retakan hasil pukulan keempat orang berjubah dan 

berkerudung hitam tersebut tiba-tiba munculah dinding 

angin yang berputaran dari empat penjuru yang langsung 

menutupi wilayah sejauh seratus tombak dimana Wiro dan 

orang yang membokongnya berada! Dinding angin inilah yang 

membuat Ratu Randang bertiga terjengkang saat hendak 

menolong Wiro!”



SATU


Seperti dikisahkan sebelumnya dalam episode Kematian 

Sang Pendekar, Datuk Rao Pangeran Peto Alam yang 

merupakan tunggangan Datuk Rao Basaluang Pitu 

mengalami serangan bertubi-tubi dari seekor Kelelawar Hitam 

Raksasa dibantu Ratusan jin berjubah dan bermuka hitam 

serta Jin-jin Lainnya yang berjubah dan bermuka putih. 

Pertarungan yang tidak seimbang tersebut memaksa 

DatukRao Basaluang Pitu dan yang lainnya yang saat itu 

berada dalam Bola Lingkaran Saluang harus keluar dari 

Ruangan Tanpa Batas Tanpa Daya. Begitu keluar dari Ruang 

Tanpa Batas Tanpa Daya, kelima orang yang saat itu berada 

di angkasa terbuka kontan jatuh meluncur kebumi! Namun 

dengan kesaktian yang dimiliki Saluang Dewa, Ning Rakanini 

dan kawan-kawannya yang melesat jatuh akhirnya bisa 

diselamatkan. Datuk Rao Basaluang Pitu juga kemudian 

berhasil menundukkan Kelelawar Hantu dan Para Pengawal 

Istana Langit dengan menggunakan tembang yang tertulis 

dalam Kitab Aksara Kidung Langgeng Smaradhana. Kelelawar 

Hantu sendiri pada dasarnya sudah semenjak lama keluar


dari kerajaan atap langit bersama para Pengawal Istana 

Langit untuk mencari Penguasa Istana Atap Langit dan Ken 

Parantili. Namun jejak Penguasa Atap Langit maupun Ken 

Parantili seakan-akan hilang ditelan bumi. Terakhir kalinya 

Kelelawar Hantu mengetahui jejak Ken Parantili adalah saat 

Selir Istana Atap Langit ini melahirkan bayinya ditemani oleh 

Jaka Pesolek. Sang Kelelawar juga sempat melindungi bayi 

dalam guci tersebut kala beberapa ekor anjing jelmaan 

Delapan Sukma Merah berusaha merebut bayi dalam guci 

tersebut dari tangan Resi Kalijagat Ampusena di hutan jati 

tempat kediaman Nenek Katai Ning Rakanini Penguasa 

Rumah Ketentraman dan Keselamatan. (silahkan membaca 

episode: Jabang Bayi Dalam Guci) Pada saat itu sebenarnya 

Kelelawar Hantu ingin merebut bayi dalam guci tersebut guna 

dibawa ke istana atap langit di puncak Semeru, Namun 

kemunculan Dirga Purana di tempat itu cukup membuat 

Penjaga Istana atap Langit ini harus berpikir panjang 

sehingga membiarkan bayi Ken Parantili untuk sementara 

berada di tangan Resi Kali Jagat Ampusena. Setelah beberapa 

lama Kelelawar Hantu akhirnya menyirap kabar bahwa bayi 

tersebut sudah berada di tangan orang lain, saat Kelelawar 

Hantu datang bersama rombongan jin Pengawal Hitam-Putih, 

Bayi tersebut ternyata sudah dibawa oleh Datuk Rao 

Basaluang Pitu dan yang lainnya kedalam Ruang Tanpa Batas 

Tanpa Daya untuk selanjutnya diserahkan pada Dewi Langit 

Bunga Tanjung dan Mimba Purana! Kelelawar Hantu dan Jin


Hitam-putih yang datang terlambat akhirnya melampiaskan 

kemarahannya pada Datuk Rao Pangeran Peto Alam yang 

saat itu sedang memikul bola Lingkaran Saluang yang berisi 

Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya. Datuk Rao 

Basaluang Pitu akhirnya bisa mengatasi Serangan Kelewar 

Hantu dan para jin Pengawal Istana Atap Langit sekaligus 

memberi pengertian bahwa bayi Penerus istana atap Langit 

tersebut sesungguhnya dibawa ke Istana Langit untuk 

digembleng dengan ilmu kesaktian dan kepandaian tingkat 

tinggi. Akhirnya setelah berhasil memberi pengertian kepada 

Para Penghuni Istana Atap Langit ini, Datuk Rao Basaluang 

Pitu lalu mengajak mereka semua yang saat itu masih berada 

diangkasa untuk segera turun guna membantu Sri MahaRaja 

Mataram dan Ksatria Panggilan menghadapi Jenazah 

Simpanan dan para Laskarnya. Kedatangan kelima orang 

tersebut bersama dengan Kelelawar Hantu dan para Jin 

Pengawal Istana Atap Langit tentu saja memberikan bantuan 

yang amat besar terhadap Ratu Randang dan kawan-

kawannya yang sudah kepayahan karena bertempur habis-

habisan. Sementara itu Wiro yang turun dari langit 

bersamaan dengan turunnya Kelelawar hantu dan rombongan 

Datuk Rao Basaluang Pitu langsung menyusup ke dalam 

tanah dengan menggunakan ilmu yang diberikan oleh Kakek 

Kumara Gandamayana guna menolong Raja Mataram yang 

ditarik kedalam tanah oleh Dirga Purana dan Hantu Bara 

Kaliatus. dengan menggunakan Ilmu Tangan Dewa


Menghantam Api dan Pukulan Dibalik Bukit Memukul 

Halilintar, Sang Pendekar akhirnya bisa menghalau Dirga 

Purana dan Hantu Bara Kaliatus dan membawa Raja 

Mataram kembali ke permukaan. Sesampainya diatas tanah 

dilihatnya Ratu Randang dan kawan-kawan lainnya sedang 

bertempur bersama Kelelawar Hantu dan para Pengawal 

Istana Atap Langit melawan Lakarontang dan anak buahnya. 

dilihatnya juga empat orang yang turun bersama dengan 

Arwah Ketua dan Kelelawar Hantu tampak turut serta 

menggempur kekuatan Laskar Lakarontang! Sang Pendekar 

kemudian memapah Sri MahaRaja Mataram kedekat Kumara 

Gandamayana yang nampak memejamkan mata. “Bagaimana 

keadaan Yang Mulia…? Apakah Yang Mulia terluka…?” tanya 

Sang Pendekar sembari memperhatikan Raja Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala yang nampak terbatuk-batuk. 

“Aku tidak apa-apa Ksatria Panggilan… nafasku hanya sedikit 

sesak akibat cekikan makhluk keparat itu! Sebentar lagi aku 

akan segera bergabung dengan kalian… cepatlah pergi bantu 

kawan-kawanmu… biarkan aku beristirahat sebentar 

disini…” ucap Sang Raja seraya menyandarkan punggungnya 

ke dinding keraton. Wiro memandang suasana pertempuran 

yang berlangsung. Dilihatnya kawan-kawannya beserta 

Kelelawar Hantu dan laskar Pengawal Atap langit dibantu 

Lima orang yang lainnya perlahan-lahan mampu menekan 

bahkan mendesak Lakarontang dan Laskarnya. Sang 

Pendekar memalingkan wajahnya kearah Sang Raja. “Aku


harus membalas kematian SakuntalaDewi dan Ni Gatri Yang 

Mulia…” desis Sang Pendekar. Sang Raja tampak 

mengagukkan kepalanya. “Keadaan sudah agak membaik, 

memang sudah seharusnya kau membunuh kedua orang itu 

Ksatria Panggilan…” ucap Sang Raja. Sang Pendekar pun 

langsung melesat menyelusup kedalam tanah dengan 

menggunakan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana. 

Namun sejauh yang dapat ditembusnya tidak dilihatnya 

bayangan Dirga Purana maupun Hantu Bara Kaliatus. Sang 

Pendekar pun mengerahkan ilmu menembus pandang 

pemberian Ratu Duyung namun keberadaan Dirga Purana 

dan Hantu Bara Kaliatus tetap tidak dapat ditemukannya. 

Sang Pendekar menggeram kesal lalu segera melesat keatas. 

namun saat tubuhnya baru melesat keluar dari dalam tanah, 

tiba-tiba didengarnya Jaka Pesolek berteriak keras 

kearahnya. “Sang Hyang Jagatnatha…!” Sementara itu Sang 

Pendekar pun melihat Ratu Randang, Kunti Ambiri serta Raja 

Mataram memandang dirinya dengan pandangan terpana! 

“Wiro…!” teriak mereka bersamaan seraya berlari memburu 

kearahnya. Sang Pendekar mengkerutkan kening saat melihat 

kelakuan mereka yang dianggapnya aneh. Wiro hendak 

berucap namun dirasanya mulutnya terasa penuh. Rasa asin 

bercampur asam terasa memenuhi mulutnya hingga tanpa 

sadar Sang Pendekar tersedak. “Darah…” desis Sang 

Pendekar seraya menyeka mulutnya yang belepotan. Wiro 

tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir dalam tubuhnya.


Sesuatu yang hidup! Saat Sang Pendekar menundukkan 

wajahnya kebawah, dilihatnya ujung runcing sebuah karang 

tajam berwarna kebiruan yang anehnya memancarkan warna 

merah berpendar terhujam keluar menembus ulu hatinya! 

“Gusti Allah…” desis Sang Pendekar menyebut Nama Sang 

Khalik! Pada detik tersebut Wiro baru menyadari bahwa 

seseorang telah membokongnya dari belakang! Dengan 

tangan bergetar Wiro berusaha memegang ujung karang 

runcing yang menyembul keluar dari ulu hatinya namun 

tangannya sontak terkulai! Mata sang pendekar pun tiba-tiba 

tampak mulai membeliak keatas diiringi perubahan warna 

kulit yang mulai berubah merah membara serta mengepulkan 

asap tipis! “Wiro…!” teriak Kunti Ambiri dan yang lainnya kala 

melihat tubuh Wiro nampak bergetar keras, Dari mulutnya 

yang tampak berbusa nampak bibir Wiro bergerak-gerak 

lemah sebelum akhirnya kepala sang pendekar terkulai 

kebawah! Melihat keadaan Wiro yang mengenaskan, Ratu 

Randang, Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek segera berlarian 

meninggalkan musuh masing-masing guna mendekati Wiro. 

namun belum lagi mereka berhasil mendekati Sang Pendekar, 

serangkum angin berkekuatan dahsyat membuat mereka 

bertiga terjengkang! Sebenarnya apa yang terjadi? Kiranya 

saat ketiga orang sahabat Wiro ini bergerak berusaha 

mendekati Wiro, tiba-tiba saja muncul angin berputar yang 

entah datang darimana langsung menutupi wilayah dimana 

Sang Pendekar berada sejauh seratus tombak! Ratu Randang


bergerak memapah bangun Jaka Pesolek “apa yang terjadi 

Kunti? Darimana datangnya dinding angin aneh ini?” Tanya 

Ratu Randang kepada Kunti Ambiri yang juga telah beranjak 

bangkit. “entahlah Ratu, kita terlalu mengkhawatirkan Wiro 

sehingga tidak memperhatikan keadaan sekitar…” ucap Kunti 

Ambiri alias Dewi ular sembari memperhatikan pusaran angin 

aneh yang menutupi wilayah seputar Wiro berada. pusaran 

angin tersebut cukup menghalangi pandangan sehingga 

membuat mereka tidak bisa melihat dengan jelas keadaan 

Wiro saat itu. “angin sialan! Aku tidak bisa melihat jelas siapa 

yang membokong Wiro dari belakang! Angin ini terlalu 

kencang” Keluh Jaka Pesolek. Angin yang berhembus di 

sekeliling tubuh sang pendekar memang berputar sedemikian 

kencangnya sehingga tubuh sang pendekar hanya terlihat 

samar. Jika diperhatikan keadaan Wiro saat itu sang 

pendekar tidak ubahnya berada di tengah poros badai! 

sementara itu nampak Sri mahaRaja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala beranjak mendekati ketiga sahabat 

Wiro tersebut.” Bagaimana keadaan kalian, apakah kalian 

terluka?” Tanya sang raja. “kami tidak apa-apa yang mulia, 

bagaimana dengan yang mulia sendiri?” balas Ratu Randang. 

Raja Mataram nampak menarik nafas berat. “jika saja Ksatria 

Panggilan tidak menolongku keluar dari dalam tanah 

mungkin aku tidak akan bisa tertolong lagi…”ucap sang raja 

dengan berat “ keadaan Wiro saat ini amat mencemaskan! 

kita harus bisa menembus pusaran angin tersebut dan


menolong Wiro! “ seru Jaka Pesolek khawatir. “mari kita coba 

membobol dinding angin itu dengan pukulan sakti! aku tak 

percaya dinding angin ini tidak bisa ditembus!” geram Ratu 

Randang sembari memberi kode dengan lirikan mata kepada 

Kunti Ambiri. Kunti Ambiri yang mengerti arti pandangan 

Ratu Randang segera persiapkan satu pukulan sakti guna 

bersama-sama Ratu Randang menggempur dinding angin 

yang mengurung Wiro! Sesaat lagi kedua perempuan sakti 

tersebut hendak melepaskan pukulan sakti masing-masing, 

tiba-tiba saja Raja Mataram menahan kedua pundak Ratu 

Randang dan Kunti Ambiri. “Tahan Pukulan Kalian! Lihat 

sesuatu terjadi dalam pusaran angin!“ kedua orang wanita 

yang bersiap melepaskan pukulan sakti tersebut dengan 

gemas terpaksa menarik ilmu pukulan sakti yang sekiranya 

akan segera dilepaskan kearah Pusaran angin. Keduanya 

kemudian memperhatikan pusaran angin dengan seksama. 

Pusaran angin yang berputaran kencang memang tidak 

bertambah pelan, namun akibat kecepatan yang semakin 

bertambah pemandangan dalam poros angin mulai terlihat 

samar-samar “astaga…! Bukankah orang yang sedang 

bertarung dalam pusaran badai itu Wiro…? Tapi bagaimana 

mungkin bisa ada dua orang Wiro?” desis Kunti Ambiri 

terkejut. “tidak mungkin…! Lihat siapa orang yang dilawan 

Wiro!“ teriak Ratu Randang kencang! “Sang Hyang 

Jagatnatha…! Bukankah itu makhluk tengkorak yang 

mengaku bernama Jenazah Simpanan! tapi bagaimana bisa


dia berada dalam pusaran angin bersama Wiro? Bukankah 

kita sudah menghantamnya dengan telak?” teriak Jaka 

Pesolek terheran-heran. Sri mahaRaja Mataram, Ratu 

Randang dan yang lainnya sontak memandang balik kearah 

sosok Sangkala Darupadha yang terbujur diatas tanah. 

Namun yang dilihat mereka hanyalah sosok besar raja jin 

hutan roban yang saat itu sedang ditunggui oleh Arwah 

Ketua, sementara sosok Lakarontang sendiri telah lenyap! 

* * *


DUA


Sebenarnya apa yang terjadi dalam pusaran angin? 

Siapakah sebenarnya orang yang membokong Wiro dari 

belakang? Bagaimana bisa Lakarontang yang sudah dihantam 

dengan pukulan dahsyat hasil gabungan tiga pukulan sakti 

yang dibungkus oleh Jaka Pesolek tiba-tiba berada dalam 

pusaran angin dan mampu bertarung melawan Wiro? Lalu 

siapa orang yang melepas tabir pelindung berupa dinding 

angin? sebelum Teka-teki ini terjawab, ada baiknya kita 

menengok dulu jalannya pertarungan yang dialami oleh 

rombongan Resi Kali Jagat Ampusena dan yang lainnya. 

Begitu turun dari langit Resi Kali Jagat Ampusena dan Si 

Segala Tahu langsung melabrak gerombolan orang yang 

memapak maju bersamaan dengan turunnya lakarontang ke 

tengah gelanggang. adapun Nenek Katai Ning rakanini dan 

Arwah Ketua juga langsung turun tangan membantu Kunti 

Ambiri dan Ratu Randang yang kala itu sedang kewalahan 

melawan beberapa orang tokoh sakti termasuk didalamnya 

menghadapi Sinto Gendeng guru Ksatria Panggilan. Arwah 

Ketua yang kala itu sudah kembali ke sosok aslinya yaitu


sosok makhluk raksasa bertanduk berpendar terlihat 

mengamuk membabi buta! kemarahannya benar-benar 

memuncak kala melihat Sahabatnya yaitu Sangkala 

Darupadha dan anak buahnya diperlakukan sedemikan rupa 

oleh Lakarontang dan laskar mayat hidupnya. Sementara itu 

Nenek Katai Ning Rakanini secara kebetulan langsung 

berhadapan dengan Sinto Gendeng! Sinto gendeng sendiri 

kala melihat dihadapannya berdiri seorang nenek katai 

dengan penampilan aneh serentak menyerbu dengan ganas, 

Kapak Maut naga geni dua satu dua ditangannya langsung 

dikebutkan kearah Penghuni rumah ketentraman dan 

keselamatan ini. Ning Rakanini sendiri kala mendengar suara 

dengungan laksana suara Seribu tawon mengamuk tidak 

berani berlaku ayal lagi, sang nenek kemudian melengos 

menghindari babatan kapak sakti dengan mengunakan 

langkah yang benar-benar aneh dan ajaib! Kedua kakinya 

yang pendek bergerak cepat membentuk sudut dan bentuk 

segi ruang yang rumit dan pelik. Kemanapun kapak maut 

naga geni bersarang selalu dapat dihindarkan oleh Sang 

nenek hanya terpaut seujung rambut! “nenek keparat! Jangan 

hanya bisa menghindar! Coba kau balas seranganku ini! “ 

teriak Sinto gendeng geram karena belum bisa menjatuhkan 

sang nenek katai, padahal sang nenek sama sekali tidak 

menggunakan senjata apapun melawan dirinya yang 

bersenjatakan kapak! Sementara itu Ning Rakanini masih 

terus menggunakan ilmu langkah ajaibnya guna menghindari


serangan kapak maut yang dilayangkan oleh sinto gendeng. 

Saat dilihatnya Sinto Gendeng mengacungkan gagang kapak 

yang berbentuk kepala naga, sang nenek katai langsung 

bersiaga dan menanti dengan pandangan tajam dan benar 

saja, kala dilihatnya sang nenek menekan salah satu mata 

naga didengarnya suara halus berkesiutan menderu 

kearahnya. Sang nenek pun langsung menyadari bahwa 

didalam gagang kapak pastilah tersimpan senjata rahasia 

berbentuk jarum yang bisa dilepaskan jika salah satu mata 

naga ditekan. Melihat hal ini Sang nenek bermata jereng tiba-

tiba memutar tubuhnya dengan gerakan yang aneh, kedua 

tangannya yang pendek terlihat berputar aneh membentuk 

sudut-sudut segitiga lalu dari kedua tangan tersebut 

menderu cahaya berwarna merah yang melesat membentuk 

satu dinding yang langsung menghantam puluhan jarum 

yang dilepaskan sinto gendeng. Apa yang dilakukan oleh 

nenek katai ini benar-benar mengagumkan! dengan 

menggunakan Langkah Sakti Orang Katai dan Pukulan Orang 

Katai Menyembah Berhala, dari Ilmu silat Orang Katai yang 

dikuasainya, Nenek Ning Rakanini ternyata mampu 

menghadapi guru Wiro Sableng ini sama kuat! Sinto gendeng 

benar-benar marah dibuatnya, sekaligus serangan kapak 

maut dan jarum sakti dapat dipatahkan oleh nenek 

bertampang aneh didepannya. Sang nenek sesaat bersiap 

mengeluarkan pukulan matahari untuk menghantam nenek 

didepannya, namun selintas pikiran terlitas dalam benaknya


yang masih dalam pengaruh Ilmu Delapan Jalur Arwah 

Pencuci Otak. Sang nenek tiba-tiba mendekatkan gagang 

kapak yang berbentuk kepala naga dan langsung meniup. 

Dari Kapak kemudian keluar bunyi suara lengkingan yang 

memekakkan telinga! Sang nenek rupanya beranggapan jika 

serangan kapak maupun serangan jarum tidak mempan 

menghadapi nenek katai didepannya, mungkin serangan 

suara bisa memberikan hasil yang gemilang Dan benar saja! 

Didepan sana Nenek ning rakanini terlihat berlutut sembari 

menutup kedua telinganya dengan sepasang tangan, wajah 

sang nenek nampak berkerut menahan sakit yang amat 

sangat! sinto gendeng amat senang dengan hasil yang 

dicapainya, untuk segera menghabisi lawannya Sinto 

Gendeng kemudian meningkatkan tenaga tiupannya, alhasil 

di depan sana Nenek Katai Ning rakanini terlihat bergulingan 

hampir semaput dibuatnya, darah kental nampak mulai 

meleleh dari kedua tangannya yang sedang membekap kedua 

telinganya. Sinto gendeng tersenyum sembari bersorak dalam 

hati. “mampus kau nenek edan!” namun tiba-tiba senyumnya 

seakan direnggut setan kala didengarnya satu suara merdu 

mengandung tenaga dalam maha dahsyat mencoba menindih 

tiupan suling kapaknya. Jika saja suara yang ditiup oleh 

sinto gendeng hanya berupa lengkingan tak beraturan, maka 

suara yang terdengar kali ini adalah satu suara yang benar-

benar merdu dan harmonis. Tinggi rendahnya nada yang 

keluar bagaikan gelombang pasang yang menderu menyerang


sinto gendeng! Sang nenek memandang kian kemari mencari 

asal suara lalu tidak jauh disebrang sana dilihatnya seorang 

kakek berambut dan berjubah putih panjang nampak duduk 

dipunggung seekor menjangan sembari meniup sebuah 

saluang. Jelas kakek inilah yang telah membendung serangan 

suaranya dengan menyerang balik menggunakan suara 

tiupan saluangnya! Tampang sinto gendeng berubah 

mengelam, kembali ditingkatkannya tenaga tiupannya guna 

menindih suara saluang namun suara saluang yang keluar 

dari bibir sang kakek malah terdengar semakin hebat! 

Keringat dingin memercik dari kening sang nenek, namun 

sang nenek tetap keraskan hati tidak mau mengalah. Kembali 

ditingkatkan suara tiupan suling pada gagang kapak maut 

naga geni dua satu dua dengan harapan dapat mampu 

menandingi tiupan sang kakek, namun kembali sang nenek 

terhenyak kala merasakan gelombang suara yang 

menyerangnya kini bertambah dua kali lipat! Saat sang nenek 

memperhatikan lebih seksama ternyata didepan sana telah 

bertambah lagi sosok kakek berambut dan berjubah putih! 

Kakek satu ini juga terlihat memainkan sebuah saluang 

sembari berdiri disamping menjangan, sosok kakek satu ini 

benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan kakek yang 

duduk diatas menjangan, hanya saluang yang ditiupnya saja 

yang membedakan dirinya dengan kakek satunya. Jika kakek 

diatas menjangan meniup saluang berwarna putih maka 

kakek yang sedang berdiri meniup saluang berwarna hitam.


Selebihnya semuanya persis sama! Rupanya selain menguasai 

Ilmu yang bersumber dari kitab Aksara Kidung Langgeng 

Smaradhana, Sang Datuk juga menguasai satu ilmu langka 

bernama Seribu Raga Seribu Sukma. Dengan ilmu ini Sang 

Datuk mampu membelah tubuhnya menjadi berapapun sosok 

yang dia mau dan semuanya adalah sosok asli dengan 

kekuatan tenaga dalam dan kepandaian yang tidak berubah! 

Kali ini sinto gendeng benar-benar kepayahan, sekujur tubuh 

perlahan merosot ketanah dalam keadaan bergetar hebat! 

Tiupan sulingnya pun mulai terdengar kacau tak beraturan 

sementara perlahan darah mulai nampak merembes keluar 

dari kedua telinga dan kedua lubang hidungnya! Saat seorang 

kakek kembali terlihat muncul sembari meniup saluang 

berwarna merah, sang nenek sontak menjerit keras! anehnya 

bukan hanya sinto gendeng yang menjerit keras, Ning 

Rakanini yang kala itu masih dalam kondisi berlutut di tanah 

juga keluarkan teriakan setingi langit! Nampak kelima tusuk 

kundai yang dipakai oleh sinto gendeng maupun ning 

rakanini bergetar dan memancarkan warna terang 

menyilaukan! Sebenarnya apa yang terjadi? Ternyata jika 

diibaratkan layaknya sebuah garpu tala yang akan bergetar 

jika mendapatkan resonansi getaran suara yang turun naik, 

maka kesepuluh tusuk kundai yang sebenarnya masih satu 

wujud namun beda jaman ini mengalami hal yang sama kala 

mendapatkan getaran suara dari bunyi saluang ketiga kakek 

perwujudan Datuk Rao Basaluang Pitu. kelima tusuk kundai


nampak bergetar keras dikepala Ning Rakanini dan Sinto 

gendeng, lalu tiba-tiba masing-masing tusuk kundai tersebut 

serempak tercabut dan melesat dari kepala kedua nenek sakti 

tersebut! Diudara kesepuluh tusuk kundai tiba-tiba terlihat 

menyatu menjadi lima buah tusuk kundai dan memancarkan 

cahaya yang menyilaukan! Bersamaan dengan bersatunya 

kesepuluh tusuk kundai, ketiga sosok Datuk Rao Basaluang 

Pitu juga nampak terangkat dan melayang mengitari lima 

tusuk kundai tersebut, dari masing-masing saluang yang 

ditiup tiga kakek tersebut terdengar kembali lantunan 

tembang yang pernah disenandungkan di hutan jati tempat 

tinggal ning rakanini yakni Tembang Mulih Smaradhana! 

beberapa saat kemudian, kelima tusuk kundai perak terlihat 

memisahkan diri diudara. Ketiga orang kembaran Datuk Rao 

Basaluang Pitu juga perlahan menyatu dan kembali keatas 

menjangan tunggangannya. akhirnya Setelah beberapa saat 

melayang diudara, kesepuluh tusuk kundai tampak kembali 

mengeluarkan cahaya menyilaukan sebelum kembali melesat 

dan menancap ke kepala Sinto gendeng dan ning rakanini! 

Satu suara kembali terdengar melengking membahana 

namun kali ini suara teriakan yang terdengar hanya keluar 

dari mulut sinto gendeng. Ning rakanini sendiri keburu 

pingsan kala tusuk kundai perak miliknya menancap kembali 

ke kepalanya. Sinto gendeng sendiri berteriak keras bukan 

karena kesakitan akibat tertusuk tusuk kundainya, 

melainkan menjerit karena bersamaan dengan menancapnya


tusuk kundai dikepalanya, ketiga benjolan sebesar telur 

buyung puyuh dikepalanya tiba-tiba meledak! Lalu dari 

ledakan ketiga benjolan tersebut menyeruak asap merah 

berbau amat busuk. Sinto gendeng sendiri akhirnya langsung 

menggeletak tak sadarkan diri. Kita tinggalkan dulu sinto 

gendeng yang pada saat itu telah kehilangan kesadarannya, 

dilain tempat pertarungan yang terjadi antara Resi Kali Jagat 

Ampusena beserta Si Segala Tahu melawan Laskar 

Lakarontang juga berlangsung cukup seru, dengan dibantu 

oleh beberapa orang Jin Putih Muka Rata peliharaan Raja Jin 

Hutan Roban, kedua orang ini terlihat mampu mendesak arus 

serangan yang datangnya bagaikan air bah. pada satu 

kesempatan, Si Segala Tahu yang telah melepas sorbannya 

dan menggantinya dengan caping bambu terlihat bersalto 

diatas udara dan menyambar jatuh seorang kakek yang 

mengenakan cawat terbuat kulit kayu dari punggung jin 

putih muka rata yang dinaikinya, dilain tempat Resi Kali 

Jagat Ampusena juga berhasil menjatuhkan dua orang pria 

yang mengenakan pakaian patih kerajaan dengan 

menggunakan ujung jubahnya yang menjuntai. setelah 

terjatuh ketanah, kakek dan dua orang pria tersebut 

langsung merasakan satu himpitan tembok yang tak terlihat 

yang menekannya dari atas, sementara dari bumi yang 

dipijak bergetar satu kekuatan yang menekannya keatas! 

tidak jauh dari situ terlihat dua orang anak buah Raja Jin 

Hutan Roban melesat keatas sembari meratap, sementara


dua orang lainnya terlihat menjatuhkan diri ke bumi sembari 

menangis mengerung-gerung. dua orang diatas 

mendorongkan telapak tangan kebawah, sementara dua 

lainnya mendorongkan telapak tangan keatas! rupanya empat 

orang Jin Putih Muka Rata ini telah mengeluarkan kembali 

ilmu dahsyat yang bernama Jin Langit Meratap jin Bumi 

Menangis! serangan hebat ini sontak membuat kakek 

bercawat kulit kayu dan kedua orang pria tersebut 

merasakan sakit yang amat sangat akibat tekanan yang 

mendera. Sedetik lagi tubuh mereka bertiga akan hancur tak 

karuan mendadak secara mengagumkan ketiga orang ini 

melakukan hal yang pernah dialami oleh rekan mereka yaitu 

dua makhluk api kala menghadapi ilmu aneh ini (silahkan 

baca episode: “Jabang Bayi Dalam Guci”) tubuh ketiga orang 

ini tiba-tiba mengambang melintang keudara! lalu dari 

masing-masing telapak tangan melesat satu larik cahaya 

hitam mengidikkan. enam larik cahaya hitam yang melesat 

dari sepasang tangan ketiga orang tersebut langsung hendak 

melibat keempat makhluk jin anak buah Raja Jin Hutan 

Roban! sedetik lagi sinar tali hitam yang mampu menebas 

putus anggota badan itu menjirat keempat anak buah 

Sangkala Darupadha, tiba-tiba melesat satu bayangan biru 

raksasa yang dengan cepatnya menyambar keenam tali hitam 

lalu merenggutnya dengan kasar! akibat tarikan secara tiba-

tiba tersebut tubuh ketiga orang anak buah lakarontang 

sontak berputar kembali tegak menghadap keatas dan


bertepatan dengan itu pula sepasang tangan dua Jin Putih 

Muka Rata yang berada diatas dan sepasang Jin Putih Muka 

Rata yang berada dibawah menyatu! maka dibarengi suara 

ledakan yang cukup keras, tubuh ketiga orang mayat hidup 

anak buah Lakarontang tersebut langsung meledak 

berkeping-keping! bayangan biru raksasa yang bukan lain 

adalah Arwah Ketua mendengus keras sembari 

mencampakan tali sinar hitam ketanah. Bersamaan dengan 

dicampakkannya tali hitam tersebut ke tanah, satu dentuman 

besar terdengar menggelegar kala sosok Lakarontang dan 

Sangkala Darupadha terhantam tiga pukulan sakti yang 

dibungkus dan dilepaskan kembali oleh Jaka Pesolek! 

* * *


TIGA


Marilah kita menengok apa yang sebenarnya terjadi pada 

diri pendekar dua satu dua. Rupanya sesaat setelah 

keluar dari dalam tanah menggunakan ilmu yang diberikan 

oleh kumara gandamayana, Wiro tak menyadari kalau pada 

saat itu seseorang dengan bersenjatakan batu karang runcing 

sedang menunggunya dari balik kepekatan kabut. Dan pada 

saat yang tepat orang tersebut dengan gerakan amat cepat 

langsung menikamkan karang runcing biru berpendar merah 

yang digenggamnya ke punggung sang pendekar! Wiro 

terkesiap seraya menyebut nama Sang Pencipta! Pada detik 

itu juga Wiro merasakan sesuatu seperti makhluk hidup 

seakan mengalir berkejaran di setiap nadi dan jalan 

darahnya! perlahan Wiro mulai menyadari keadaan dirinya 

yang amat berbahaya saat merasakan seluruh tubuhnya 

mulai berubah berwarna merah dan mengepulkan asap 

akibat racun warangan nyawa yang memasuki tubuhnya. 

Adalah suatu kebetulan yang mana tusukan karang yang 

dilancarkan kearah jantung Wiro meleset karena terhantam 

batu hitam sakti yang tak sempat diambil oleh sinto gendeng


dan masih berada dalam tubuh Wiro. Walaupun karang 

runcing tersebut tak mengenai jantung sang pendekar, 

Namun tentu saja hal ini tidak membuat keadaan menjadi 

lebih baik. Maka sebelum kehilangan kesadarannya, Sang 

pendekar dengan mulut berbusahan masih sempat 

mengucapkan basmalah tiga kali sebelum menutupnya 

dengan mengucapkan ajian Meraga Sukma! Sementara itu 

saat kepala sang pendekar terkulai jatuh, tanpa diketahui 

oleh orang-orang mataram yang saat itu sedang bertarung, 

dibalik semak belukar dan kerapatan kabut di empat 

penjuru, terlihat empat orang berkerudung dan berjubah 

hitam sama-sama mengepalkan tinjunya dan langsung 

menghantamkan kepalannya ketanah! Lalu dari tanah 

retakan hasil pukulan keempat orang berjubah dan 

berkerudung hitam tersebut tiba-tiba munculah dinding 

angin yang berputaran dari empat penjuru yang langsung 

menutupi wilayah sejauh seratus tombak dimana Wiro dan 

orang yang membokongnya berada! Dinding angin inilah yang 

membuat Ratu Randang bertiga terjengkang saat hendak 

menolong Wiro! Sementara itu didalam pusaran angin, orang 

yang membokong Wiro terdiam membisu sembari memegang 

karang yang menembusi tubuh sang pendekar dari belakang. 

Tangan tersebut terlihat bergetar, setitik air mata juga 

nampak menetes di sudut mata pria bercambang dan 

berambut awut-awutan tersebut. Dirinya tak menyadari kala 

satu bayangan putih perlahan muncul dibalik punggungnya


seraya mengarahkan tangannya yang berwarna keperakan 

kepunggung pria tersebut! “sampai sejauh ini aku masih 

terus menganggapmu sebagai seorang saudara… namun 

entah mengapa kau tega melakukan hal seperti ini 

kepadaku…? Apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirimu 

wahai Lakasipo…?” ujar bayangan dibelakang orang yang 

akhirnya diketahui sebagai Lakasipo si hantu kaki batu! 

Tubuh Lakasipo terlihat bergetar kala mendengar suara pria 

dibelakangnya. Kepala Lakasipo perlahan terangkat 

bersamaan dengan terlepasnya genggamannya pada batu 

karang dalam gengamannya. Begitu karang yang menembus 

punggung Wiro terlepas dari genggaman lakasipo maka tanpa 

ampun lagi tubuh Sang Pendekar ambruk ke bumi! Suasana 

di tengah pusaran angin terasa amat mencekam, sosok 

Lakasipo terlihat diam membisu membelakangi bayangan 

yang bukan lain adalah sukma Wiro tersebut. Setelah 

beberapa lama tenggelam didalam kesunyian perlahan 

terdengar suara keluar dari bibir Lakasipo. “aku tak punya 

pilihan lain…” Wiro perlahan menurunkan tangannya yang 

masih dilembari ajian pukulan matahari. “apa maksudmu 

kau tak punya pilihan lain…? Sekian lama kita tak bertemu 

apakah hal itu bisa memupuskan tali persaudaraan kita? 

Sesungguhnya pilihan apa yang memaksamu untuk tunduk 

dan menuruti segala perintah makhluk tengkorak itu” tanya 

Wiro berat. Suasana kembali diselimuti kesunyian yang 

mencekam, tidak ada suara yang terdengar selain deru angin


dan nafas lakasipo yang terdengar memburu. Setelah 

beberapa saat terdiam akhirnya lakasipo membuka suaranya. 

“Lakarontang menyekap roh Istriku Luhrinjani! Dan bukan 

hanya itu saja! Dia pun menahan dan memperbudak Latandai 

serta Luhsantini istrinya! Kau lihat sendiri bukan? Aku 

benar-benar tak punya pilihan lain selain mengabdi 

padanya!”ujar Lakasipo akhirnya dengan suara bergetar. Apa 

yang dikatakan Lakasipo membuat sang pendekar terhenyak. 

“aku benar-benar tak pernah berniat mencelakakanmu wahai 

saudaraku…“ Lanjut Lakasipo dengan suara tersendat. 

“Budak hina Keparat! Bagus sekali! Baru sekarang kau 

tunjukkan isi hatimu! Sungguh hebat kepandaianmu 

membendung pikiran… aku benar-benar tak menyangka..!” 

seru satu suara mengejutkan Wiro dan Lakasipo! Lakasipo 

sendiri yang kala itu berada dihadapan Wiro tiba-tiba saja 

mengeluarkan teriakan keras! sepasang mata lakasipo terlihat 

membeliak besar menahan sakit sementara Kedua lututnya 

serentak tertekuk hingga menyentuh tanah manakala 

dirasakannya sesuatu terasa memaksa keluar dari dalam 

punggungnya! “Lakasipo…!” lalu Perlahan namun pasti dari 

punggung Lakasipo terlihat keluar satu sosok jerangkong 

berwarna hitam dengan sepasang tanduk pada pelipisnya., 

siapa lagi kalau bukan Lakarontang Si Jenazah Simpanan! 

Makhluk ini kembali mempergunakan ilmunya yang pernah 

digunakan pada Raja Jin Hutan roban untuk menyatu dalam 

tubuh Lakasipo laksana benalu! Lakarontang terlihat


pandangi sekeliling sebelum pandangannya membentur sosok 

sukma Wiro. “kalian berempat lebih baik tunjukkan diri 

sekarang juga! Aku sudah lama mengetahui kehadiran kalian, 

keluarlah sekarang juga agar aku bisa lebih gampang 

menghabisi kalian semua!” seru lakarontang keras. 

Sementara itu demi mendengar ucapan lakarontang, tiba-tiba 

laksana air tersibak. dari keempat penjuru dinding angin 

muncul empat orang berjubah dan berkerudung hitam yang 

langsung mengepung Wiro dan lakarontang dari empat arah! 

Dua dari Keempat sosok berjubah dan berkerudung hitam ini 

memiliki badan tinggi besar, Dua diantaranya lagi terlihat 

membopong dua orang yang terlihat tak sadarkan diri. sosok 

orang yang pertama yang dipanggul bukan lain adalah 

Latandai alias hantu bara kaliatus sementara satunya lagi 

adalah sosok seorang wanita yang wajahnya tertutup oleh 

rambutnya yang panjang. Dua orang berjubah hitam lainnya 

Seorang diantaranya terlihat membawa sebuah guci kecil dari 

kuningan yang diikatkan kepinggang, sedangkan yang 

satunya terlihat membawa sebuah belanga obat yang masih 

terlihat mengepulkan asap! Wajah keempatnya tidak terlihat 

jelas karena terhalang kerudung yang dikenakan. “hebat juga 

kalian mampu menyusup dan mengambil barang 

kepunyaanku saat aku lengah…” jengek lakarontang seraya 

menatap kearah dua orang yang dibopong oleh kawanan 

orang berjubah hitam. “mereka bukan barang permainan 

makhluk keparat!” ucap si jubah hitam yang memondong


wanita dipundaknya dengan gusar. “ha.ha.ha. buatku mereka 

semua memang hanyalah barang permainan! jadi Untuk apa 

kalian ribut-ribut? Selain itu walaupun kalian menutupi diri 

kalian dengan kerudung hitam, tapi aku tahu siapa kalian 

sebenarnya! Kalian datang untuk dia bukan?” sentak 

lakarontang seraya meremas leher lakasipo dengan sebelah 

tangannya. “lepaskan dia makhluk jahanam!” teriak Wiro 

marah melihat lakasipo diperlakukan seperti itu. “Tolong 

bebaskan orang itu lakarontang…” ucap sosok berjubah yang 

membawa guci kecil dari kuningan. “bagaimana jika aku 

tidak ingin membebaskannya?” ejek Lakarontang kepada Wiro 

dan keempat orang berjubah hitam. Suara dengusan 

terdengar keluar dari balik kerudung empat orang berjubah 

hitam. Keempatnya nampak bersiap untuk bergebrak namun 

baru saja selangkah kaki mereka bergerak, Lakasipo tiba-tiba 

meraung panjang! Keempat orang berjubah hitam termasuk 

Wiro terkejut besar kala melihat Lakarontang menembus 

dada Lakasipo dan menarik keluar sebuah benda merah 

berdenyut! “Lakasipo…!” teriak Wiro dan orang-orang 

berjubah hitam bersamaan. “ha.ha.ha… berani kalian 

mendekat? Akan kuremas hancur jantung pengkhianat 

ini…!”ucap Lakarontang seraya mengangkat tingi-tinggi 

jantung Lakasipo! Semua orang benar-benar gusar dibuatnya! 

Tak satupun orang berani bergerak karena khawatir akan 

keselamatan Lakasipo. “aku sebenarnya sudah menduga 

akan pengkhianatanmu ini Lakasipo! Tapi aku benar-benar


tidak menyangka kau berani memalsukan darah Ksatria 

Panggilan yang terdapat pada karang runcing warangan 

nyawa.. aku benar-benar kecolongan…!” dengus Jenazah 

Simpanan sembari memandang kearah Lakasipo dan 

pendekar dua satu dua secara bergantian. “kau benar-benar 

beruntung Ksatria Panggilan! Jika saja makhluk keparat ini 

tidak memalsukan darahmu apa kau pikir kau masih bisa 

memandangku dengan cara seperti itu?” Wiro pandangi 

Lakarontang dengan mata membara! “mati dan hidupku 

bukan berada ditanganmu makhluk kapiran! Hanya Gusti 

Allah yang berhak mencabut dan menghadirkan nyawaku 

serta seluruh makhluk di muka bumi ini…” ucap sang 

pendekar berapi-api. Lakarontang tertawa tergelak mendengar 

apa yang dikatakan oleh Pendekar dua satu dua. “segala 

buntalan kentut! sekarang Coba minta Gusti Allahmu 

membebaskan saudara angkatmu ini…!” ejek lakarontang 

sembari hendak meremas Jantung Lakasipo! Sedetik lagi 

jantung merah itu hancur di tangan lakarontang, tiba-tiba 

makhluk ratusan tahun ini merasakan satu sambaran angin 

dingin pada tangannya yang memegang jantung Lakasipo! 

Saat makhluk ini melihat kearah telapak tangannya, dirinya 

langsung terhenyak! Tangannya ternyata hanya memegang 

angin! Jantung tersebut telah berhasil direbut orang! 

Bersamaan dengan sambaran angin ditangannya, makhluk 

tengkorak ini juga tiba-tiba merasakan satu kekuatan besar 

menariknya keluar dari tubuh Lakasipo lalu menghempasnya


sejauh puluhan tombak dan langsung menabrak dinding 

angin! Lakarontang terkejut besar! Tak disangkanya ada 

orang yang mampu mempecundanginya seperti itu! Kala 

melihat kedepan dilihatnya Pendekar dua satu dua tersenyum 

sinis penuh ejekan! Sementara saat lakarontang menatap 

kearah lakasipo dirinya semakin bertambah terkejut kala 

melihat ada lagi satu sosok Wiro namun berwujud tiga kali 

lebih besar dari aslinya terlihat sedang memasukkan jantung 

Lakasipo kedalam dadanya! Sebenarnya apa yang terjadi? 

Ternyata pada detik-detik yang menegangkan dimana sesaat 

lagi jantung lakasipo hancur dalam remasan tangan jenazah 

simpanan, sukma Wiro diam-diam kembali mengeluarkan 

ilmu kesaktian yang diberikan oleh nenek sakti Rauh 

Kalidathi yakni Tiga Bayangan Pelindung Raga! kemudian 

dengan gerakan secepat angin satu diantara sosok bayangan 

sukma Wiro merebut jantung di tangan lakarontang dengan 

ilmu Menahan Darah Memindah Jazad! Sementara itu dua 

bayangan sukma Wiro lainnya juga dengan menggunakan 

ilmu yang sama menarik lepas dan menghempaskan tubuh 

Lakarontang dari tubuh Lakasipo! Setelah berhasil merebut 

jantung dan membebaskan lakasipo dari cengkraman 

Lakarontang, Ketiga bayangan sukma Wiro akhirnya kembali 

memasuki sosok sukma sang pendekar. Wiro kemudian 

mengeluarkan bunga matahari kecil dari balik pinggangnya 

seraya berucap “wahai bunga matahari sakti, aku mohon 

kalian sembuhkan luka saudaraku ini…” ucap sang pendekar


seraya mengelus bunga tersebut ke punggung dan dada 

Lakasipo. “wahai pendekar, ini adalah pertolongan kami yang 

terakhir… jika kami menuruti perintahmu kali ini, maka kami 

tidak akan bisa menemanimu lagi dan tidak bisa 

membantumu menyembuhkan gurumu dari penyakitnya. 

Apakah dirimu bisa menerimanya?” ucap suara kecil yang 

terdengar mengiang di telinga sang pendekar. Wiro yang 

mengetahui bahwa suara tersebut berasal dari bunga 

matahari kecil penjelmaan delapan pocong gadis cantik 

tersebut hanya bisa tersenyum pasrah “sembuhkanlah saja 

diri saudaraku ini… mengenai penyakit eyang sinto aku 

masih percaya pada gusti Allah. Gusti allah pasti akan 

menunjukan jalan lain bagiku guna menolong eyang guruku 

itu…” ucap sang pendekar seraya kembali mengusap 

punggung dan dada lakasipo bolak balik dengan 

menggunakan delapan kuntum bunga matahari kecil. 

Sementara itu diseberang sana, lakarontang menyaksikan 

apa yang dilakukan oleh sang pendekar dengan kemarahan 

yang tak terhingga! Dirinya benar-benar tak bisa terima kena 

dipecundangi oleh Wiro, dalam kemarahan yang menggelora 

Sosoknya tiba-tiba terlihat berubah merah membara dan 

mengepulkan asap! Perlahan namun pasti lakarontang 

berjalan kearah Sang pendekar, langkahnya yang mantap 

meninggalkan jejak berapi diatas tanah! 

* * *


EMPAT


Delapan bunga matahari kecil perlahan sirna begitu luka 

di punggung dan didada lakasipo bertaut kembali 

“selamat tinggal wahai pendekar… terima kasih sudah 

menjaga kami selama ini…” kembali terdengar suara di 

telinga Wiro. Wiro memperhatikan delapan bunga matahari 

yang perlahan memudar sirna ditangannya, sebelum sirna 

keseluruhan sang pendekar masih menyempatkan diri 

menciumi kedelapan bunga matahari kecil tersebut. “sampai 

jumpa lagi sahabat-sahabatku… sampaikan rasa terima 

kasihku pada Nyi Loro Jonggrang…” ucap sang pendekar kala 

bunga terakhir terlihat menghilang. Wiro lalu kemudian 

memapah lakasipo dan menyerahkannya pada salah seorang 

dari keempat orang berjubah hitam yang membawa guci kecil 

di pinggangnya. Orang tersebut langsung menerima dan 

menaruh Lakasipo yang masih pingsan keatas pundaknya. 

“lekaslah kalian membawa lakasipo keluar dari sini… biar 

aku saja yang menghadapi makhluk salah ujud itu.” Ucap 

sang pendekar kala melihat Lakarontang beranjak mendekat 

kearah mereka. Keempat orang berjubah hitam saling


pandang seketika sebelum akhirnya menganggukan 

kepalanya serempak. Wiro terkejut manakala dirasanya 

keempat orang berjubah hitam tersebut bersamaan 

meletakkan telapak tangan mereka masing-masing kepundak 

dan punggungnya. “apa-apaan kalian ini?” seru sang 

pendekar. “tenanglah Wiro, kami hanya ingin menitip empat 

pukulan sakti kepadamu untuk kau pergunakan menghadapi 

makhluk tersebut… harap kau bersiap-siap!” Wiro terkejut 

kala seorang dari keempat orang berjubah hitam ini 

menyebut namanya. Sang pendekar baru hendak membuka 

suara namun sontak dibatalkan saat dirasakan dari keempat 

pasang tangan yang menempel di punggungnya mengalir 

empat arus gelombang tenaga yang mencurah laksana banjir 

kedalam tubuhnya! Wiro pejamkan mata untuk mengalirkan 

empat arus tenaga yang berbeda itu kearah pusarnya. Saat 

Wiro berkonsentrasi untuk mengatur keempat arus tenaga 

pukulan di dalam tubuhnya, wajah sang pendekar tiba-tiba 

terlihat berubah kala mendengar suara bisikan lirih di 

telinganya. Begitu dirasakannya keempat pasang tangan 

sudah tidak lagi menyentuh pundaknya, sang pendekar 

sontak membuka sepasang matanya dan memandang ke 

sekelilingnya namun keempat orang berjubah hitam itu 

sudah tidak terlihat lagi di belakangnya. “ternyata mereka 

masih hidup…! Gusti Allah Maha Besar! Aku benar-benar 

tidak menyangka!” ucap Wiro terkejut dan unjukan wajah 

senang. Namun kegembiraan Wiro hanya berlangsung sesaat


kala dilihatnya dari lima penjuru memapak dinding api 

berwarna biru hendak meluluh lantakkan tubuhnya! Wiro 

mengerutkan kening sembari memikirkan cara melawan 

pukulan yang dilancarkan dari keempat penjuru dan dari 

atas kepalanya tersebut, sang pendekar tiba-tiba teringat 

pada satu pukulan dari keempat pukulan yang diberikan oleh 

salah satu orang berjubah hitam tersebut, mengingat hal 

tersebut Wiro kemudian mengerahkan tangan kanannya 

sembari mengepal dan menghantam keatas! Dari kepalan 

Wiro kemudian keluar satu sinar kelabu yang memancar 

berbentuk gulungan angin yang tiba-tiba memencar menjadi 

lima jalur pukulan sinar kelabu yang dibalut gulungan angin 

raksasa melesat dan menghantam dinding api biru yang 

dilepaskan oleh Lakarontang! Sang pendekar telah 

mengeluarkan salah satu pukulan langka bernama Badai 

Lima Penjuru! Begitu kelima jalur pukulan Badai Lima Penjuru

menghantam kelima dinding api biru yang dilepaskan oleh 

Lakarontang maka terdengarlah lima letusan besar di udara 

kala sepuluh jalur pukulan saling bentrok dan menghantam 

tabir angin, udara di dalam pusaran angin terasa panas 

menyesakkan! hal inilah yang menyebabkan tabir angin 

bertiup semakin kencang hingga akhirnya Ratu Randang dan 

kawan-kawan yang berada diluar dapat menyaksikan 

pertarungan yang terjadi antara Wiro dan lakarontang. Akan 

halnya dengan lakarontang kala melihat kelima pukulan 

Dinding Geni Sewu miliknya berhasil dipatahkan oleh Wiro


menggunakan salah satu pukulan milik orang-orang berjubah 

hitam, makhluk tengkorak ini semakin tak mampu 

mengendalikan amarahnya! Tubuhnya yang berbentuk 

jerangkong kini terlihat membara dan diselimuti kobaran api 

berwarna biru! “Pemuda Keparat! kau benar-benar 

membuatku marah! Peduli setan dengan tubuhmu! Aku 

masih bisa mendapatkan tubuh lain yang sepuluh kali lebih 

baik dari tubuhmu! terima kematianmu!” seru lakarontang 

sembari menghentakkan kakinya ke dalam tanah, lalu dari 

tanah hentakan kaki lakarontang terlihat belahan tanah yang 

memancarkan lidah api berwarna biru bergerak kearah Wiro 

dengan cepatnya! Sang pendekar nampak terkejut kala 

melihat pukulan yang dikeluarkan oleh lakarontang ini 

namun sang pendekar masih bisa berpikir jernih, dengan 

menggunakan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah 

Wiro berhasil membuat rengkahan tanah yang mengejarnya 

buyar porak poranda. Namun kembali sang pendekar dibuat 

terkejut manakala dari dalam rengkahan tanah melesat 

puluhan sosok kecil yang menerjang kearah dirinya dengan 

berbagai senjata terhunus! “terkutuk dirimu wahai 

lakarontang…!” bentak Wiro dengan gusar kala melihat 

sosok-sosok bayangan kecil yang menyerangnya ternyata 

adalah sosok mayat hidup dari puluhan bayi dan anak kecil! 

Dengan hati gundah Sang pendekar kemudian mengeluarkan 

pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih untuk 

menghalau serangan yang dilancarkan gerombolan mayat


hidup kecil tersebut, tubuh puluhan mayat hidup malang 

tersebut terlihat berpelantingan terkena hantaman angin 

pukulan yang dilancarkan oleh sukma Wiro. Kemarahan Wiro 

tidak hanya sampai disitu, sang pendekar kemudian terlihat 

meloncat keatas sejauh sepuluh tombak untuk kemudian 

laksana rajawali melesat sang pendekar dengan kedua kaki 

terkembang melancarkan tendangan yang memancarkan 

cahaya hitam redup mengarah tubuh Lakarontang! Sang 

pendekar kembali mengeluarkan ilmu yang dititipkan 

kepadanya oleh salah satu dari keempat orang berjubah dan 

berkerudung hitam. sesunguhnya ilmu tendangan ini 

bukanlah ilmu yang asing bagi sang pendekar karena konon 

saat masih di negeri latanahsilam dulu, ilmu tendangan yang 

dikenal dengan sebutan Tendangan Racun Tujuh ini pernah 

hampir merenggut nyawanya. (baca episode: Hantu Santet 

Laknat) sementara itu diluar pusaran angin, pertempuran 

yang terjadi antara Raja Mataram dan rombongan Arwah 

Ketua dan yang lainnya melawan sisa-sisa laskar lakarontang 

telah mencapai puncaknya manakala laskar terakhir 

Lakarontang tumbang dari tunggangannya. Sorak-sorai 

terdengar bergemuruh keluar dari mulut para penjaga istana 

atap langit dan sisa-sisa anak buah Sangkala Darupadha 

yang berhasil terbebas dari Cengkraman kendali Lakarontang 

dan anak buahnya. Terlihat Datuk Rao Basaluang Pitu 

berjalan bersama dengan rombongan resi kali jagat ampusena 

menuju tempat dimana Raja Mataram Rakai Kayuwangi


Dyah Lokapala Berada. Sang raja yang melihat kedatangan 

rombongan orang-orang yang tadi dilihatnya turun dari langit 

bersama Ksatria Panggilan dan langsung bergabung 

menggempur lakarontang dan laskarnya segera 

merangkapkan tangan didepan dada. “saya selaku Raja 

Mataram menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya atas bantuan yang ki sanak dan ni sanak berikan. 

tanpa bantuan kalian semua, rasanya sukar untuk dapat 

mengalahkan seluruh Laskar mayat hidup ciptaan Makhluk 

tengkorak itu…”ucap sang raja. “ yang mulia tidak perlu 

merendahkan diri seperti itu. Memang sudah kewajiban kita 

semua selaku manusia untuk membantu sesama dan 

menghancurkan semua bentuk kejahatan… “ ucap Datuk Rao 

Basaluang Pitu sembari membalas penghormatan yang 

diberikan oleh Raja Mataram. Sang Datuk kemudian 

memperkenalkan dirinya beserta rombongan Arwah Ketua 

kepada Raja Mataram. Saat giliran Si segala tahu 

memperkenalkan diri sang raja terlihat mengerutkan 

keningnya. “kalau saya tidak salah bukankah anda adalah 

Lor Pengging Jumena, eyang buyut Kumara 

Gandamayana…?” ucap sang raja. Si segala tahu terlihat 

terkekeh sebelum mengoyang kaleng rombengnya dengan 

keras. “maafkan ketidak sopanan saya yang mulia. Memang 

benar saya dulu bernama Lor Pengging Jumena. Namun saya 

berharap yang mulia memanggil nama saya yang sekarang 

yakni si segala tahu…!” sang raja terlihat menganggukan


kepalanya dengan sedih. “ aku benar-benar seorang raja yang 

tidak berguna. Aku tidak mampu melindungi semua orang 

kepercayaanku hingga akhirnya mereka semua menemui 

kematian…” desah sang raja sembari menatap tubuh kaku 

kumara gandamayana yang terbujur kaku di salah satu pilar 

penyangga keraton. “yang mulia, jodoh, nasib, ajal dan rejeki 

merupakan rahasia sang hyang jagatnatha…” mereka yang 

mati dalam membela kebenaran niscaya mendapat tempat 

yang terindah di swargaloka… jadi janganlah yang mulia 

menyesali nasib dan mempersalahkan diri sendiri…” ucap si 

segala tahu sembari kembali membunyikan kaleng 

rombengnya. Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala 

nampak tersenyum mendengar apa yang diucapkan oleh si 

segala tahu. Saat sang rajahendak membalas ucapan si 

segala tahu, tiba-tiba saja kembali terdengar suara dentuman 

dari balik dinding angin. Maka nampaklah secara samar dari 

luar pusaran angin Wiro yang tadinya menyerang lakarontang 

dengan serangan tendangan racun tujuh terlihat terjengkang 

akibat hempasan pukulan yang dilancarkan oleh lakarontang 

guna memapak tendangan beracun yang dilancarkan sang 

pendekar. “celaka…! Bagaimana ini datuk? Kita harus 

bergegas menolong Wiro secepatnya! Wiro tampaknya sudah 

kepayahan…!” ucap Jaka Pesolek dengan cemas manakala 

dilihatnya sang pendekar kembali terlihat bangkit dan kini 

tampak sedang mengadu tenaga dalam melawan lakarontang 

sijenazah simpanan. Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat


mengngagukan kepalanya. Jemari tangannya terlihat 

bergerak kian kemari seakan menghitung sesuatu. “baiklah, 

waktunya memang tinggal sebentar lagi… aku akan mencoba 

untuk melenyapkan dinding angin ini, namun aku 

membutuhkan bantuan kalian semua…” ucap Sang Datuk 

masih terlihat menghitung dengan jemarinya. “pada saat aku 

berhasil melenyapkan dinding angin ini, dengan mengikuti 

seruanku, kalian semua harus segera mengeluarkan ilmu 

pukulan kalian dan menghantam secara bersamaan kearah 

makhluk tengkorak didalam sana… apa kalian mengerti?” 

sambung Sang Datuk. “kami semua mengerti datuk, kami 

akan menghantam lakarontang dengan ilmu terbaik kami 

bertepatan dengan aba-aba dari datuk...” ucap Raja Mataram. 

Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat berjalan 

mendekat kearah dinding angin. Begitu sampai dihadapan 

dinding angin nampak Datuk Rao Basaluang Pitu 

mengeluarkan sebuah saluangnya dan menusuk saluang 

tersebut kedalam dinding angin! Satu suara rendah terdengar 

keluar dari saluang Sang Datuk. Tidak sampai disini tiba-tiba 

saja dari tubuh Sang Datuk keluar enam sosok lainnya yang 

sama dan menyerupai Sang Datuk sembari memegang enam 

buah saluang yang berbeda warna. Keenam kembaran datuk 

rao ini kemudian terlihat melakukan hal seperti yang 

dilakukan oleh datuk rao basalaung pitu yang pertama yaitu 

menusuk saluang ditangan masing-masing kedalam dinding 

angin! Beberapa saat kemudian terdengarlah suara melodi


yang keluar dari ketujuh saluang! Dan benar-benar ajaib! 

Keseluruhan dinding angin laksana tersedot kedalam saluang 

dan keluar lagi dari dalam saluang dalam bentuk sebuah 

tembang atau gending yang merdu namun aneh! sementara 

itu berbarengan dengan musnahnya dinding angin, Sang 

Datuk terdengar berseru dengan keras. ”Sekarang…!” 

berbarengan dengan seruan Sang Datuk, semua orang yang 

berada di tempat itu termasuk sisa-sisa anak buah Sangkala 

Darupadha dan para penjaga Istana Atap Langit secara 

berbarengan melepaskan pukulan sakti yang mereka miliki 

kearah Lakarontang! Raja Mataram nampak mengeluarkan 

pukulan andalannya yaitu Dewa Kembar Menggusur Gunung, 

sementara Kunti Ambiri mengeluarkan pukulan Kobra karang 

Penghancur tulang. Dengan kata lain Semua orang yang 

berada di tempat itu secara bersamaan serentak 

mengeluarkan ilmu andalan masing-masing yang sulit untuk 

disebut satu persatu termasuk rombongan Datuk Rao 

Basaluang Pitu. Maka dapat dibayangkan bagaimana 

dahsyatnya serangan yang dilancarkan oleh ratusan orang 

berkepandaian tinggi ini. Langit mataram yang masih 

diselimuti kegelapan terlihat terang benderang laksana 

muncul mentari kedua kala ratusan jalur pukulan sakti 

menghantam tubuh tengkorak lakarontang! Lakarontang 

berteriak setinggi langit! Segenap tulang dan organ dalam 

tubuhnya yang kelihatan terlihat bergetar keras! Bara api 

yang menyelimuti tubuhnya sontak menciut padam. Namun


makhluk tengkorak ini memang benar-benar luar biasa, 

Ratusan pukulan sakti yang dilepaskan kearahnya sama 

sekali tidak membuatnya terluka. Hanya membuat api 

ditubuhnya padam. “ah, dengan cara apa kita bisa 

menghabisi riwayat makhluk satu ini… semua pukulan sakti 

nampaknya tidak dapat menjamah tubuhnya…” keluh Raja 

Mataram. “bersabarlah yang mulia, kebenaran pasti akan 

selalu berada diatas kejahatan… lihatlah keatas! Tanda-

tanda kekuasaan Sang Hyang Jagatnatha telah menunjukkan 

kebesarannya!” ucap Sang Datuk seraya menunjuk 

keangkasa. 

* * *


LIMA


Semua orang yang mendengar ucapan Datuk Rao 

Basaluang Pitu sontak memalingkan wajah menatap 

keatas, dilangit angkasa nampaklah ketujuh rasi bintang 

yang terlihat menaungi langit mataram tiba-tiba bercahaya 

lebih terang, lalu nampak satu cahaya biru berbentuk bintang 

berekor melesat membelah angkasa menuju kearah 

Lakarontang! “Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru…!” 

teriak Lakarontang ketakutan. bagaimana tidak! Pukulan 

langka milik Gurunya yakni Datuk Tanpa Bentuk Tanpa 

Wujud ini adalah satu-satunya pukulan yang paling 

ditakutinya karena pernah hampir menamatkan riwayatnya 

dulu kala dilepas oleh Luh Pingkanmatindas gadis kepala 

negeri Latanahlaut. (silahkan baca episode : Si Pengumpul 

Bangkai) Lakarontang berusaha untuk bergerak menghindar, 

namun tubuhnya terasa kaku akibat hantaman ratusan jalur 

pukulan sakti yang menghantam tubuhnya “jahanaaaam….!” 

Teriak lakarontang keras kala melihat sinar benderang yang 

turun dari langit dan tak dapat dihindarkan lagi tersebut. 

maka detik itu juga tanpa mampu menghindar atau


menangkis lagi tubuh sang jenazah simpanan langsung 

terhempas dihantam pukulan sakti berbentuk bintang jatuh 

yang turun dari langit! Satu ledakan keras terdengar seketika 

dibarengi hamparan sinar yang menyeruak kesegala arah! 

Sukma Wiro yang berada paling dekat dengan lakarontang 

pun merasakan dampaknya. Mata sang pendekar terlihat 

tertkatup rapat mencoba menahan getaran yang menyerang 

jantungnya. Adapun tubuh kasarnya yang tergeletak di tanah 

terlihat terlempar keras menghantam sebatang pohon. 

“Wiro…” teriak Ratu Randang keras seraya memburu kearah 

tubuh sang pendekar yang menghempas pohon. “jangan 

sentuh…” teriak si segala tahu namun usahanya sia-sia kala 

didengarnya Ratu Randang menjerit seraya memegangi 

tangan kanannya yang terlihat melepuh akibat menyentuh 

tubuh Wiro yang merah membara! Sementara itu hanya 

sesaat setelah tubuh lakarontang terhempas pukulan Ekor 

Bintang Menghujam Latinggimeru. Tiba-tiba dari angkasa 

kembali terlihat sebuah benda raksasa yang melayang jatuh. 

Setelah diperhatikan secara seksama benda hitam raksasa 

yang melayang tersebut ternyata adalah sosok sebatang 

pohon beringin raksasa! Pohon beringin raksasa ini terlihat 

terbang melayang dengan diiringi delapan buah batu merah 

yang dibungkus dengan kain bermotif catur yang terlihat 

melayang mengitari pohon beringin raksasa tersebut. 

“akhirnya datang juga…” desah Datuk Rao Basaluang Pitu 

lega. Pohon beringin raksasa tersebut kemudian mengikuti


jejak bintang berekor yang jatuh dari langit, jatuh ketanah 

tepat di tempat semula lakarontang berdiri. Suara dentuman 

keras kembali terdengar berbarengan dengan kepulan debu 

dan tanah yang berterbangan. Setelah kepulan debu mulai 

menghilang dari pandangan maka nampaklah bahwa semua 

orang yang berada disitu sama-sama terduduk ditanah tidak 

terkecuali Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! 

Hanya Datuk Rao Basaluang Pitu yang nampak masih tetap 

berada diatas menjangan tunggangannya. “sinar apa itu tadi 

kunti? Wujudnya kok seperti bintang jatuh…?” ucap Jaka 

Pesolek sembari menarik kaki celana Kunti Ambiri yang 

berada disebelahnya. Kunti Ambiri yang merasa jengkel 

karena kain celananya ditarik hingga hampir melorot kontan 

menjitak kepala Jaka Pesolek. “nanya sih kira-kira…! Tapi 

jangan main tarik celana orang!” sewot Kunti Ambiri. 

Sementara itu setelah pandangan sudah tidak terhalang lagi 

maka nampaklah di tengah alun-alun keraton berdiri sebuah 

pohon beringin raksasa dengan dikelilingi delapan buah batu 

yang terbungkus kain bermotif catur. Nampak seorang pria 

setengah baya mengenakan pakaian hitam bermotif bunga 

tanjung berdiri dengan gagah di bawah pohon beringin 

tersebut. “salam hormat guru, semoga guru sehat-sehat 

selalu. Maafkan keterlambatan saya…” ucap pemuda tersebut 

sembari menjura hormat kepada Datuk Rao Basaluang Pitu. 

“kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, aku benar-

benar bangga akan dirimu. Namun aku masih mempunyai


satu permintaan lagi, entah apa aku boleh merepotkanmu 

sekali lagi…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu terdengar sedih. 

Sang pemuda yang mendengar nada suara Sang Datuk 

tertawa perlahan. “guru, jika guru masih ada permohonan 

guru tinggal menyebutkan saja aku pasti dengan sukarela 

menjalankannya. Masalah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang 

guru katakan tidak berjodoh denganku sudah tidak menjadi 

beban pikiranku lagi..” ucap sang pria ringan. “anak bagus… 

anak baik, aku memang tidak salah menilai dirimu… “ ucap 

Sang Datuk sembari memandang pria dihadapannya dengan 

pandangan berbinar. “aku memang ingin meminta sesuatu 

untuk kau kerjakan, namun ada baiknya jika kita melihat 

dulu keadaan Ksatria panggilan, coba kau tolong Bantu aku 

untuk menyadarkan sukmanya…” ucap Sang Datuk seraya 

menunjuk sukma Wiro yang tergeletak diatas tanah. Pria 

yang diketahui sebagai murid Datuk Rao Basaluang Pitu ini 

kemudian terlihat menggerakkan tangan membelai wajah 

sang pendekar dari kejauhan. Sukma Wiro perlahan 

membuka sepasang matanya yang sedari beberapa saat 

sebelumnya terkatup rapat karena menahan getaran yang 

terjadi akibat bentrokan dahsyat yang terjadi manakala 

ratusan pukulan sakti ditambah serangan luar biasa 

berbentuk sinar dari angkasa menghantam tubuh 

Lakarontang. Saat sang pendekar membuka matanya, sosok 

yang pertama dilihatnya adalah sosok seorang pemuda tegap 

berkumis dan bercambang tipis yang mengenakan pakaian


hitam bersulam bunga tanjung di dada dan sepanjang garis 

celananya. “Suma Mahendra…! seru Wiro kaget bukan 

kepalang! (mengenai perihal Suma Mahendra silahkan baca 

episode: Topan Gurun Tengger) pemuda yang dipanggil 

dengan sebutan Suma Mahendra hanya tersenyum saat 

melihat Wiro yang nampak terkejut kala melihat wajahnya. 

“Sahabat kau keliru, Namaku adalah Mahendra Yudha … 

ayah Suma Mahendra, orang yang kau sebut tadi.!” Ucap 

sang pemuda sembari tersenyum. Kunti Ambiri yang berada 

paling dekat dengan Wiro langsung menukas. “pemuda ini 

adalah orang yang menyegel makhluk tengkorak yang tadi 

kau lawan. Dia adalah murid dari kakek yang berdiri dekat 

menjangan berbulu emas. Namanya Datuk Rao Basaluang 

Pitu…” Wiro memandang wajah Kunti Ambiri dan wajah 

kakek yang disebut oleh Kunti Ambiri pulang balik. “kau 

bilang Datuk Rao Basaluang Pitu?” Tanya Wiro yang dibalas 

dengan anggukan oleh Kunti Ambiri. Datuk Rao Basaluang 

Pitu yang mendengar percakapan antara Wiro dan Kunti 

Ambiri terlihat tersenyum. “apa yang diucapkan oleh gadis 

sahabatmu adalah benar ksatria panggilan… orang-orang 

biasa memanggilku dengan sebutan Datuk Rao Basaluang 

Pitu…” mendengar apa yang diucapkan oleh Sang Datuk Wiro 

perlahan berjalan mendekat dan mencium tangan sang 

kakek. “maafkan kelancangan saya datuk, namun bolehkan 

saya mengetahui hubungan datuk dengan datuk rao 

basaluang ameh…?” ucap Wiro dengan hormat. Mendengar


apa yang dikatakan oleh Wiro, senyum cerah terlihat diwajah 

Sang Datuk. “ah dia adalah cicitku yang paling kecil… saat ini 

masih berada bersama mamaknya di danau maninjau… “ 

ucap Sang Datuk ringan namun apa yang diucapkan oleh 

Sang Datuk tersebut laksana petir menggelegar di telinga 

sang pendekar! Tubuh Wiro bergetar dan sontak terduduk 

berlutut hormat. Kakek yang berada didepannya ternyata 

adalah kakek buyut gurunya di tanah andalas. Datuk Rao 

Basaluang Ameh! “maafkan kelancangan saya datuk… tadi 

saya tidak mengetahui dan mengenal diri datuk…” Datuk Rao 

Basaluang Pitu terlihat tertawa lepas sambil mengelus 

rambut gondrong sukma sang pendekar. “dasar anak bodoh! 

Tentu saja kau tidak akan mengenali diriku… Sedang cicitku 

yang akan menjadi gurumu nantinya saja saat ini masih 

menyusui dan belum mengenal diriku apalagi kamu yang 

seharusnya belum dilahirkan…” ucap Sang Datuk sambil 

memapah sang pendekar untuk bangkit berdiri. “bangunlah 

cucuku, mari kuperkenalkan kepada muridku dan yang 

lainnya…” Wiro pun kemudian berdiri dan memandang orang-

orang disekitarnya satu persatu. “seperti yang dikatakannya 

barusan, lelaki didepanmu ini adalah Mahendra Yudha, salah 

seorang muridku. Dialah orang yang tadi menggunakan ilmu 

Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru untuk melumpuhkan 

Lakarontang serta membawa Pohon beringin dewa kemari.” 

Ucap Sang Datuk. Semua orang sontak memandang 

Mahendra yudha dengan pandangan kagum. “sudah ganteng,


ilmunya tinggi pula! Kayaknya aku jatuh cinta…!” bisik Jaka 

Pesolek sembari mengedip-ngedipkan matanya. Sementara itu 

Wiro nampak menjura hormat kearah Mahendra Yudha. 

“buah yang baik ternyata memang berasal dari pohon yang 

baik pula. Saya senang bisa mengenal anda…” ucap sang 

pendekar. Mahendra yudha nampak tersenyum seraya 

menepuk pundak Wiro. “kau anak baik… restuku akan selalu 

bersertamu…” ucap Mahendra Yudha dengan ramah. Sang 

datuk pun kemudian memperkenalkan Resi Kali Jagat 

Ampusena dan yang lainnya kepada Wiro. dan saat sang 

pendekar diperkenalkan kepada si segala tahu sang pendekar 

pun kembali terhenyak. “Kakek Segala Tahu…! Bagaimana 

kakek bisa berada disini…!” seru sang pendeakr dengan 

gembira seraya menguncang-guncang tangan sang kakek. 

“he.he. lagi-lagi kau salah mengenali orang. Namaku adalah si 

segala tahu bukan kakek segala tahu…” ucap sang kakek 

sambil menggoyangkan kaleng ditangannya dengan keras. 

Wiro pandangi seluruh tubuh sang kakek seakan tidak 

percaya. Tongkat sang kakek, caping sang kakek, kaleng 

bahkan sepasang matanya yang putih ditatapnya dengan 

baik-baik. “kau benar kek, kau memang bukan kakek segala 

tahu. Hanya penampilan kalian berdua yang benar-benar 

mirip…”ujar sang pendekar masih terus memperhatikan 

tubuh si segala tahu dari atas ke bawah. Sementara itu ratu 

randang terlihat berjalan membopong sinto gendeng dan 

menyerahkannya ke pada sukma Wiro. “Nek… Gusti Allah…!


Apa yang terjadi dengan Eyang Sinto…? Ucap sang pendekar 

seraya mendekap tubuh eyang gurunya tersebut. “gurumu 

tidak apa-apa… dirinya hanya tidak sadarkan diri untuk 

sementara waktu akibat meletusnya benjolan dikeningnya. 

Janganlah kau terlalu kuatir…” ucap Si Segala Tahu sembari 

menepuk pundak Sukma Wiro. Sang Pendekar tidak 

menyahut ucapan Si Segala Tahu, wajahnya terlihat sangat 

sedih. “yang mulia pimpinan, tugas kami di sini sudah 

selesai. Ijinkanlah kami kembali ke istana atap langit…” ucap 

Kelelawar hantu yang sedang bertengger diatas pohon dimana 

rombongan Wiro bediri. Sang pendekar terlihat menatap 

keatas pohon. “aku berterima kasih atas bantuanmu, 

Kelelawar hantu. Aku berharap kita bisa berjumpa di suatu 

waktu nanti…”ucap sang pendekar lirih. Sang kelelawar 

terlihat menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya terlihat 

terbang melayang bersama rombongan makhluk berjubah 

hitamm putih. “selamat tinggal yang mulia pimpinan…” seru 

sang kelelawar dari kejauhan. Sementara itu tidak jauh dari 

situ nampak Arwah Ketua juga melepas kepergian sisa-sisa 

anak buah Sangkala Darupadha sang Raja Jin Hutan Roban 

yang tewas di tangan Lakarontang. Setelelah beberapa saat 

larut dalam kesunyian, Datuk Rao Basaluang Pitu nampak 

berujar kepada Mahendra Yudha. “Muridku, seperti yang 

kusampaikan sebelumnya, aku punya permintaan terakhir 

yang ku harap bisa kau laksanakan…” Mahendra Yudha 

nampak membungkuk memberi hormat. “permintaan guru


adalah suatu kehormatan bagi diri saya. Silahkan guru 

memberikan perintah, saya akan berusaha menjalankannya 

sebaik mungkin..” ucap Mahendra Yudha. “Mahendra, 

walaupun Lakarontang sudah berhasil kita kunci di dalam 

Beringin Dewa dan tersegel oleh delapan batu formasi penjaga 

namun aku khawatir kejadian yang terjadi akibat kesalahan 

Mimba Purana terulang kembali. Oleh karenanya aku 

berharap kamu mau melanjutkan tapamu didalam pohon ini 

menggantikan tapamu di pohon tanjung di Singosari sana. 

Harus ada seseorang yang menahan Lakarontang dalam 

tempat penahanannya…” tutup sang datuk. Mahendra Yudha 

nampak membungkuk hormat “perintah datuk akan saya 

laksanakan, sekarang ijinkanlah saya melaksanakan 

perintah…” ucap sang pria sembari berjalan mendekat kearah 

pohon beringin dewa. Sang datuk terlihat berkaca-kaca saat 

melihat punggung sang murid. Sementara itu Mahendra 

Yudha nampak menempelkan kedua tangannya ke pohon 

beringin dewa. perlahan namun pasti pohon beringin dewa 

yang dipegang oleh Mahendra Yudha termasuk kedelapan 

batu nampak mulai samar hingga akhirnya lenyap sama 

sekali. Tubuh Murid Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut juga 

tampak perlahan menghilang bersamaan dengan 

menghilangnya beringin dewa dari pandangan semua orang. 

* * *


ENAM


Selepas menghilangnya Beringin Dewa yang dijaga oleh 

Mahendra Yudha, Datuk Rao Basaluang Pitu menepuk 

pundak Sukma Wiro perlahan. “anak baik, kau sudah 

berusaha sekuat mungkin… janganlah terlalu bersedih 

hati…” Wiro yang masih memeluk tubuh sinto gendeng yang 

tak sadarkan diri menatap kearah Datuk Rao Basaluang 

Pitu.” Bagaimana saya tidak bersedih datuk? Sampai saat ini 

eyang guru belum juga sadar… saya juga tidak tahu 

bagaimana caranya membawa eyang balik ke tanah jawa 

dengan keadaan seperti ini…” ucap sukma Wiro sedih 

sembari menatap kearah tubuhnya yang terlihat dijagai oleh 

sahabat-sahabatnya. Datuk Rao Basaluang Pitu memberikan 

tanda kepada Wiro untuk berjalan bersamanya. Sukma Wiro 

kemudian bangkit seraya membopong tubuh sinto gendeng 

dan berjalan bersama Sang Datuk kearah tubuhnya yang 

tergeletak. Ratu Randang dan kawan-kawannya beserta Raja 

Mataram terlihat memberi jalan kepada Datuk Rao Basaluang 

Pitu dan sukma Wiro. “Wiro, biar aku menggendong 

gurumu…”ucap Kunti Ambiri pelan sembari mengangsurkan 

kedua tangannya. Wiro tersenyum sembari menggelengkan


kepalanya. Datuk rao pandangi sukma Sang Pendekar dan 

berujar. “ada baiknya kau lakukan apa yang dikatakan 

sahabatmu itu… janganlah terlalu kuatir terhadap gurum, 

sekarang ini keadaanmulah yang terpenting…”ucap Sang 

Datuk. Wiro walaupun merasa berat akhirnya perlahan 

menyerahkan tubuh sinto gendeng yang terkulai pingsan 

kedalam pondongan Dewi ular. “buat saya keadaan saya 

bukanlah suatu hal yang harus terlalu dipikirkan, saya hanya 

memikirkan keadaan eyang guru…”ucap sukma Wiro sedih. 

“kau memang anak yang berbakti… jangan kuatirkan 

keselamatan gurumu itu, Dia akan baik-baik saja” ucap Sang 

Datuk. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat 

memandang langit yang mulai terang diufuk timur lalu 

memandang kearah Jaka Pesolek. “anak baik, mungkin 

diantara semua yang ada disini hanya kau seorang yang 

mampu memegang dan menyentuh tubuh Ksatria Panggilan. 

Disamping itu hanya kau seorang yang mempunyai kecepatan 

paling tinggi diantara kami semua. Oleh karenanya demi 

nyawa sahabatmu itu maukah kau menolongnya sekali ini?” 

Jaka Pesolek yang ditanya langsung mengaggukan kepalanya. 

”Datuk jangan kan sekali walaupun harus berkali-kali aku 

pasti akan menolong sahabatku ini! Katakan sajalah datuk 

apa yang harus aku lakukan! maka Akan aku lakukan 

sekarang juga!” ucap gadis ini membuat sukma Wiro terharu. 

“kau harus membawa tubuh Ksatria Panggilan kedalam candi 

prambanan sebelum sinar mentari pagi menyinari tubuhnya


dan membuat racun warangan nyawa dalam tubuhnya 

membakar tubuh Ksatria Panggilan dari dalam! Ingatlah 

wahai Jaka Pesolek sebelum sinar mentari mengenai tubuh 

Ksatria Panggilan dan sebelum sinar mentari mencapai titik 

puncak tertinggi candi prambanan kau harus sudah berada 

didalam candi dan meletakan tubuh Ksatria Panggilan 

dihadapan patung Nyi Loro Jonggrang! Hanya itulah satu-

satunya kesempatan untuk menyelamatkan nyawa 

sahabatmu ini…” ucap Sang Datuk. sementara itu setelah 

Sang Datuk selesai berucap langit, diufuk timur semburat 

mentari mulai menampakkan wujudnya, pucuk-pucuk 

pepohonan kini mulai terlihat jelas. “celaka! Pagi sudah 

menjelang! Aku harus bergegas kalau begitu…” ucap sang 

gadis terkejut. Secepatnya sang gadis lalu mengangkat tubuh 

Wiro lalu dibopongnya tubuh sang pendekar dalam 

rangkulannya. Tidak seperti Ratu Randang yang tangannya 

terluka melepuh akibat menyentuh tubuh Wiro, tangan sang 

gadis sama sekali tidak terluka sedikitpun! “aku pergi dulu 

Wiro…” ucap sang gadis kearah sukma Wiro yang dibalas 

dengan anggukan kepala oleh sukma sang pendekar. Jaka 

Pesolek kemudian terlihat melesat cepat kearah candi 

prambanan berada sementara sinar matahari terlihat seolah-

olah berkejaran dibelakang punggungnya! Benar-benar 

menakjubkan kecepatan gadis yang bisa laki bisa perempuan 

tersebut! Sementara itu setelah kepergian Jaka Pesolek. 

Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat menjura kearah Sri Maha


Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. “Yang Mulia 

untuk dapat mengeluarkan racun warangan nyawa yang 

terendap di dalam tubuh Ksatria Panggilan mungkin 

bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat racun warangan 

nyawa yang masuk kedalam darah dan nadi Ksatria Panggilan 

adalah penjelmaan satu mahluk hidup yang amat jahat. 

Dalam hal ini mungkin akan kembali menyusahkan diri Yang 

Mulia…” Raja Mataram memandang kearah Datuk Rao 

Basaluang Pitu. “janganlah sungkan wahai Datuk, selama ini 

Ksatria Panggilan sudah terlalu banyak melimpahkan budi 

kepada diriku dan seluruh rakyat mataram. Apa yang terjadi 

pada dirinya dan pada gurunya tentu saja sudah merupakan 

salah satu kewajibanku karena akulah yang mengundangnya 

hadir kenegeri ini. Oleh karenanya jika aku bisa membantu 

mengobati atau setidaknya meringankan beban yang diderita 

oleh Ksatria Panggilan sungguh merupakan satu kehormatan 

bagiku…” Datuk Rao Basaluang Pitu mengelus janggutnya 

yang berwarna putih keperakan lalu Sang Datuk terdengar 

mendendangkan sebuah senandung. 

Jalan terang menuju kehidupan 

Jalan gelap menuju kematian 

Entah mengapa banyak orang berjalan dibalik kegelapan 

Dibalik kesenangan tersimpan derita dan nestapa 

Berbuat kebajikan sebelum kembali ke asal 

Dari tanah menjadi tanah


Biarlah raga menjadi batu 

Ketimbang hati berkalang tanah 

Hati bersih jiwa terang 

Raja Mataram dan yang lainnya mendengarkan senandung 

yang didendangkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu dengan 

alam pikiran masing-masing. “racun warangan yang merasuk 

kedalam tubuh Ksatria pangilan berbeda dengan semua 

racun yang ada dimuka bumi! Racun warangan nyawa sama 

sekali tidak memiliki penangkal! Satu-satunya cara mengatasi 

racun warangan nyawa adalah dengan membunuh makhluk 

yang menjadi cikal perwujudan racun tersebut sebelum 

mencapai jantung sang korban…” ucap Datuk Rao Basaluang 

Pitu sesaat setelah mengakhiri nyanyiannya. “maafkan saya 

menyela datuk, namun bagaimana caranya membunuh 

makhluk yang hidup dan berkeliaran didalam jalur darah dan 

nadi makhluk hidup lainnya?” potong Ratu Randang. Datuk 

Rao Basaluang Pitu menghela nafas berat. “itulah 

masalahnya! Makhluk yang mengeram didalam darah dan 

nadi hanya bisa dihancurkan dan dibunuh dengan kekuatan 

empat orang manusia sakti yang memiliki gabungan 

kekuatan tenaga dalam inti api dan inti es yang sudah 

mencapai puncaknya!” ucap Sang Datuk. “apakah ditanah 

mataram ini kalian mengenal orang-orang yang memiliki 

kekuatan tenaga dalam seperti yang kusebutkan 

tadi?”sambung Datuk Rao Basaluang Pitu sembari


memandang kearah Raja Mataram dan Ratu Randang. 

Keduanya saling bertatapan lalu menggeleng kepala perlahan. 

“bagaimana dengan dirimu sendiri Ksatria Panggilan? Apakah 

dijamanmu kau memiliki kenalan yang memiliki kekuatan 

tenaga dalam inti api ataupun inti es?” Wiro terlihat berpikir 

keras mendengar pertanyaan yang dilontarkan Datuk Rao 

Basaluang Pitu. “aku memang memiliki beberapa sahabat 

yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti es yang sangat 

tinggi. Santiko Si Bujang Gila Tapak Sakti, dan Pandu 

sahabatku Si Malaikat Maut Berambut salju…” ucap Wiro 

sembari mengkerutkan keningnya. “lalu bagaimana dengan 

mereka yang memiliki kekuatan inti api?” sambung Kunti 

Ambiri seraya menatap kearah Wiro. “kurasa Ki gede tapa 

pamungkas dan eyang sinto merupakan dua orang tokoh 

yang memiliki kekuatan inti api yang cukup tinggi. “ ujar sang 

pendekar sembari menatap gurunya yang berada dalam 

pondongan Dewi ular. Datuk Rao Basaluang Pitu menatap 

keangkasa sembari bergumam “satu-satunya cara untuk 

menyembuhkan Ksatria Panggilan rupanya hanya ada di 

masa depan!” Arwah Ketua yang dari tadi hanya berdiam diri 

tiba-tiba langsung memotong ucapan Datuk Rao Basaluang 

Pitu. “kalau itu jalan keluar satu-satunya maka kenapa datuk 

tidak membawa saja Ksatria Panggilan dan gurunya kembali 

ke masa depan dan mencari pengobatan disana? Bukankah 

tanah jawa di masa delapan ratus tahun mendatang seperti 

yang dikatakan oleh Ksatria Panggilan memiliki banyak


tokoh-tokoh yang sakti dan mumpuni?” belum selesai Arwah 

Ketua selesai berbicara, suara kaleng rombeng terdengar 

memekakkan telinga. “tidak segampang itu wahai Arwah 

Ketua, Perjalanan menembus waktu bukanlah hal yang 

mudah dan bisa dilakukan seenaknya dan kapan saja. Semua 

makhluk di dunia ini pastinya memilki keterbatasan begitu 

juga dengan Datuk Rao Basaluang Pitu. Selain itu menurut 

penglihatanku jika tidak ditangani secepatnya maka tubuh 

dan sukma Ksatria Panggilan ini tidak akan bisa ditolong 

lagi!” sahut Si segala Tahu sembari kembali menggoyang-

goyangkan kaleng rombengnya. “benar-benar mirip dengan 

kakek segala tahu!” batin sukma Wiro sembari 

memperhatikan si segala tahu dari ujung kepala hingga ujung 

kaki. “benar apa yang dikatakan oleh si Segala Tahu, pada 

saat ini kita hanya punya waktu yang amat terbatas untuk 

menolong dan menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan, oleh 

karenanya tadi aku menyuruh adinda Jaka Pesolek untuk 

membawa tubuh Ksatria Panggilan ke candi prambanan guna 

menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan untuk sementara 

waktu. Namun apa yang dilakukan oleh adinda Jaka Pesolek 

tidaklah cukup hanya sampai disitu saja, Ksatria Panggilan 

masih membutuhkan uluran tangan dan bantuan yang 

mulia…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari menjura 

hormat kepada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala. “katakanlah datuk apa yang harus aku lakukan, 

aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu


Ksatria Panggilan.” Ucap sang raja kepada Datuk Rao 

Basaluang Pitu. Sang Datuk terlihat terdiam sesaat sebelum 

kemudian terlihat melepaskan kasut putih yang 

dikenakannya. “yang mulia raja, hamba belum berani 

menyebutkan dengan jelas bantuan apa yang kiranya bisa 

yang mulia berikan kepada Ksatria Panggilan. namun yang 

jelas yang mulia harus selekasnya menuju ke prambanan 

menyusul adinda Jaka Pesolek. Oleh karenanya saya 

berharap yang mulia raja sudi memakai kasut buruk milik 

hamba ini.“ ucap Sang Datuk seraya menghaturkan sepasang 

kasut miiliknya ke hadapan sang Raja Mataram. 

* * *


TUJUH


Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala langsung 

menerima dan memakai kasut putih yang diberikan oleh 

Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut kekakinya. Begitu 

sepasang kasut menginjak tanah sang raja langsung 

merasakan tubuhnya menjadi ringan seakan melayang tidak 

menginjak bumi. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian 

memalingkan wajah kearah Ratu Randang dan yang lainnya. 

“walaupun bahaya yang ditimbulkan oleh Jenazah simpanan 

untuk sementara sudah bisa diatasi namun aku masih 

menyimpan perasaan khawatir akan perjalanan yang akan 

dilakukan oleh Raja Mataram menuju prambanan. Oleh 

karenanya aku berharap kalian bisa menemani sang raja 

dalam perjalanan kali ini. Agar kalian bisa sampai dengan 

cepat biarlah kalian menaiki sahabat tungganganku Datuk 

Rao Pangeran Peto Alam…”ucap Sang Datuk sambil mengelus 

janggutnya. “datuk saya Protes! Menjangan tunggangan datuk 

kan Cuma satu, masakkan kita harus berjejalan himpit-

himpitan jadi satu! Yang benar saja datuk! Saya tidak naik 

saja! Saya juga bisa pergi dengan cepat ke prambanan”


sungut Arwah Ketua. Ning rakanini yang masih sebal 

terhadap Arwah Ketua ikut menyambung “benar datuk! 

Untuk apa kita harus berdesak-desakan sama makhluk 

tukang ngompol ini? Rasanya dengan kepandaian kami, kami 

juga bisa melesat ke prambanan dengan cepat, tidak 

memerlukan tunggangan datuk. Selain itu jika kami menaiki 

tunggangan datuk, nantinya datuk akan menunggangi apa?” 

Arwah Ketua yang disebut makhluk tukang ngompol 

langsung menukas “ya menunggangi kamu…he.he.he…” Ning 

rakanini langsung meradang “arwah ngompol! jaga mulutmu! 

atau jangan salahkan kalau kusobek-sobek nanti!” maki si 

nenek sembari mendelikkan matanya gusar kearah Arwah 

Ketua. Sebelum pertengkaran akhirnya meluas tiba-tiba 

terdengar suara kaleng dibunyikan. “sudahlah kalian berdua, 

datuk sengaja memberikan tunggangannya kepada kita 

tentunya memiliki maksud tersendiri selain itu janganlah 

kalian khawatir tidak kebagian tempat. Coba kalian 

perhatikan kearah pedataran rumput di sana…!” ucap Si 

segala tahu sembari menunjuk kearah pedataran rumput 

yang terletak disebelah barat keraton. Semua orang termasuk 

Arwah Ketua dan Nenek katai Ning rakanini sontak 

memalingkan wajah dan mendapati dipedataran rumput sana 

sedang merumput dengan asyiknya tidak kurang dari enam 

ekor menjangan berbulu keemasan yang serupa benar dengan 

menjangan tunggangan Datuk Rao Basaluang Pitu! Sang 

Datuk kemudian mengeluarkan suitan keras, mendengar


suitan tersebut keenam kepala menjangan yang sedang 

merumput tersebut terlihat mendongak keatas dan 

memandang kearah Sang Datuk dan perlahan berjalan 

mendekat. “bukan main…! bahkan tunggangannya pun 

memiliki ilmu membelah diri… nampaknya kakek ini sudah 

mempersiapkan dan memikirkan segalanya jauh hari 

sebelumnya… “ puji Kunti Ambiri sambil memandang kearah 

enam ekor manjangan emas yang berjalan mendekat. Sang 

Datuk terlihat mengelus salah satu menjangan yang berdiri 

didekatnya. “Tolong antarkan mereka menemani sang Raja 

Mataram menuju prambanan, setelah itu kau boleh kembali 

ke tetirahan…” ucap Sang Datuk sembari mengelus satu 

persatu kepala tunggangannya yang kini berjumlah enam 

ekor tersebut. Suara lenguhan terdengar keluar dari moncong 

keenam ekor menjangan. “datuk apakah kita tidak akan 

menemani mereka ke prambanan?” Tanya sukma Wiro. Datuk 

Rao Basaluang Pitu terlihat menggeleng lemah. “aku akan 

membawamu ke satu tempat, dan dari tempat tersebut 

perjalananmu yang sesungguhnya baru akan dimulai…” 

sukma Wiro terlihat mengerutkan keningnya. “tempat apa 

yang datuk maksudkan? Lalu bagaimana dengan eyang 

sinto? Apa eyang sinto akan pergi bersama-sama dengan 

kita?” datuk rao tidak menjawab pertanyaan sang pendekar, 

sebagai gantinya Sang Datuk kembali mengeluarkan suitan 

keras, lalu dari arah pedataran rumput kembali terdengar 

suara lenguhan. Semua orang kembali memandang kerah


pedataran rumput. seekor menjangan berbulu keemasan 

kembali terlihat berjalan mendatangi. Datuk rao kemudian 

berjalan kearah Kunti Ambiri yang masih membopong sinto 

gendeng. Sang Datuk kemudian terlihat mengambil ketujuh 

saluang di dalam kantung kulit dipinggangnya. Ketujuh 

saluang sakti tersbut kemudian nampak diusapkan kekening 

sinto gendeng yang terdapat luka bekas ledakan tiga benjolan 

ungu. Dan ajaib! Begitu ketujuh saluang menyentuh kulit 

kening yang terluka nampak asap tipis menyelimuti wajah 

dan kening sinto gendeng. Begitu asap tipis tersebut sirna, 

semua orang mengeluarkan suara tercekat. Tubuh sinto 

gendeng yang sebelumnya nampak berujud seorang gadis 

remaja hitam manis kini nampak dalam wujud aslinya yaitu 

seorang nenek dengan dandanan coreng moreng! Namun 

walaupun begitu luka bekas ledakan tidak lagi terlihat 

dikeningnya yang hitam penuh kerutan!. Sang Datuk 

kemudian terlihat mengangkat tubuh sinto gendeng yang 

masih belum sadar dan masih berada dalam pelukan Kunti 

Ambiri lalu menaruh nenek guru Wiro sableng ini ke 

punggung menjangan berbulu emas yang terakhir di 

panggilnya. “yang mulia, saya rasa sudah waktunya yang 

mulia dan yang lainnya pergi menyusul kepergian adinda 

Jaka Pesolek ke prambanan. Waktu hamba dan Ksatria 

Panggilan juga sudah tidak lama lagi. Kami berdua juga 

harus pergi sekarang…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu 

sembari menjura kearah Raja Mataram dan yang lainnya yang


langsung dibalas oleh sang raja. “datuk, bolehkan saya 

meminta waktu sejenak untuk berbicara dengan raja dan 

kawan-kawan lainnya?” ucap sukma Wiro kepada Sang 

Datuk. Datuk rao terlihat menganggukan kepalanya. “baiklah 

kalau kau ingin berbincang sebentar… tapi jangan lama-

lama! Aku akan menunggumu di pedataran rumput sebelah 

sana… “ ucap Sang Datuk. Setelah kembali menjura hormat 

Sang Datuk kemudian berbalik dan berjalan perlahan 

sembari menuntun menjangan yang membawa sinto gendeng. 

Sementara itu sukma Wiro terlihat membalikkan tubuh dan 

memandang Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala 

dan yang lainnya. Sang pendekar ingin berucap namun entah 

mengapa lidahnya terasa kelu dan berat. “Ksatria Panggilan… 

aku mengerti apa yang kau rasakan… janganlah kau terlalu 

banyak memikirkan persoalan ini. Aku akan berusaha 

semampuku…” ucap sang raja sembari merangkapkan tangan 

memberi hormat, sesaat kemudian sang raja nampak 

membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Sang raja 

terlihat hanya berjalan biasa namun ajaibnya hanya beberapa 

kejapan saja tubuh sang raja sudah tak dapat terlihat lagi. 

Setelah Raja Mataram beranjak pergi rombongan Arwah 

Ketua dan yang lainnya juga terlihat beranjak pergi sembari 

menunggangi menjangan menuju arah perginya sang raja. 

Yang tersisa kemudian hanyalah Kunti Ambiri dan Ratu 

Randang. “ratu… kunti… aku benar-benar berat untuk 

berpisah dengan kalian…” ucap sang pendekar pelan. Ucapan


sang pendekar tersebut sontak saja membuat Ratu Randang 

dan Kunti Ambiri bergerak memburu dan memeluk sukma 

sang pendekar. Wiro pun membalas pelukan mereka berdua. 

“jaga diri kalian masing-masing… aku akan selalu 

merindukan kalian…” bisik sang pendekar ditelinga 

keduanya. “kau masih hutang beberapa puluh ciuman…” 

ucap Ratu Randang dengan air mata berlinang. Wiro tertawa 

mendengarnya dan langsung mencium kening sang nenek. 

“Wiro, aku juga berjanji akan mencarimu… aku akan mencari 

jalan untuk kembali ke tanah jawa…” ucap Kunti Ambiri 

sembari terisak dalam dekapan sang pendekar. Sang 

pendekar kembali mengelus rambut Kunti Ambiri dan Ratu 

Randang. Sebelum berucap pelan. “jaga diri kalian baik-

baik… sampai kapanpun aku akan selalu mengingat dan 

merindukan kalian berdua dimanapun aku berada… selamat 

tinggal… semoga Gusti Allah menyertai kalian berdua…” ucap 

san pendekar sebelum sukma sang pendekar terlihat 

menghilang dihembus angin pagi. Ratu Randang dan kunti 

ambir terlihat sama-sama terisak lalu perlahan menaiki 

menjangan masing-masing. Sebelum beranjak mengikuti 

rombongan raja, keduanya masih sempat melambaikan 

tangan kearah sukma Wiro yang kini terlihat berada 

dipedataran rumput bersama dengan Datuk Rao Basaluang 

Pitu. Wiro pun terlihat membalas lambaian tangan kedua 

wanita tersebut. Sementara itu Wiro kini terlihat berjalan 

pelan bersama Datuk Rao Basaluang Pitu dan datuk


kembaran datuk rao pangeran peto alam yang mendukung 

sinto gendeng. “datuk apakah saya boleh mengajukan 

pertanyaan…?” ucap sang pendekar memecah keheningan. 

”silahkan saja ksatria panggilan…” ucap Sang Datuk sembari 

tersenyum. “ saya mohon maaf jika pertanyaan saya dianggap 

lancang, saya agak heran mendengar nama panggilan datuk 

yang sebagian berbau minang namun sebagian berbau jawa. 

Apakah saya boleh mengetahui nama asli Datuk? Tentu saja 

jika Datuk tidak keberatan…” Mendengar pertanyaan ini Sang 

Datuk terdengar tertawa riang. “pertanyaanmu sesungguhnya 

adalah pertanyaan umum yang diajukan setiap orang 

kepadaku setiap aku memperkenalkan diri… sebenarnya 

kalau dipikir-pikir nama sebutan Datuk Rao Basaluang Pitu 

sesungguhnya tidaklah terlepas dari peran serta dirimu 

sendiri…” ucap Sang Datuk tersenyum. Wiro yang mendengar 

apa yang diucapkan oleh Sang Datuk nampak terkejut. 

“maksud datuk? Saya benar-benar tidak mengerti…” ucap 

Wiro dengan penasaran. Sang Datuk kemudian kembali 

terlihat mengambil ketujuh saluang dari dalam kantung 

kulitnya. “aku terlahir ditanah andalas dengan nama Kalam 

Pandika. Nama Datuk Rao Basaluang Pitu sendiri adalah 

pemberian orang berdasarkan nama ketujuh saluang dewa 

ini…” ucap Sang Datuk seraya melambungkan ketujuh 

saluang ke udara! Saluang dewa tersebut kembali terlihat 

berputar-putar membentuk satu mulut lorong yang 

bercahaya dihadapan Wiro, Datuk Rao Basaluang Pitu serta


datuk rao pangeran peto alam. “ketujuh saluang dewa ini 

sesungguhnya adalah penjelmaan salah seorang tokoh sakti 

di negeri Latanahsilam. Tokoh tersebut meminta kepada dewa 

untuk menjatuhi hukuman atas dirinya. Para dewa pun 

kemudian akhirnya mengabulkan permintaan tokoh tersebut 

dan mengubah dirinya menjadi ketujuh saluang dewa ini. 

Atas permintaan terakhirnya tokoh tersebut meminta untuk 

menamakan ketujuh saluang dewa ini dengan menggunakan 

nama dari tanah jawa. Tanah kelahiran dirimu. Ketujuh 

saluang tersebut akhirnya kemudian diberi nama Saluang 

Pitu Dewa. Mulai dari Saluang Siji Bhuana yang berwana 

Putih hingga Saluang Pitu Chandrasa yang berwarna 

hitam…”tutup Sang Datuk sembari menunjuk ketujuh 

saluang yang berputaran. Wiro yang masih penasaran terlihat 

memegang tangan Sang Datuk. “datuk, aku masih belum 

mengerti… tolong jelaskan lagi siapakah nama tokoh 

latanahsilam yang tadi datuk maksudkan…” Datuk Rao 

Basaluang Pitu terlihat hanya tersenyum sekilas. “aku akan 

menjelaskannya padamu diperjalanan sekarang terima dulu 

senjatamu dan jaga baik-baik…” ucap Sang Datuk sambil 

menyerahkan sesuatu kepada Sang Pendekar yang ternyata 

adalah Kapak Maut Naga Geni dua satu dua yang sebelumnya 

dipegang oleh Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat menyambut 

senjatanya yang sudah sekian lama terpisah dari dirinya 

tersebut. Saat sang pendekar hendak membuka suara 

hendak menanyakan perihal senjatanya tersebut dilihatnya


Sang Datuk sudah berjalan memasuki lorong yang terbentuk 

dari putaran ketujuh saluang. “datuk tunggu dulu…!” seru 

sang pendekar sembari berlari mengejar Sang Datuk. 

* * *


DELAPAN


Sementara itu ditempat lain terlihat satu bayangan 

berlarian sipat kuping secepat angin membelah udara 

pagi. bayangan yang bukan lain adalah Jaka Pesolek ini 

nampak berlari laksana kesetanan. “aku harus bisa… aku 

harus bisa… aku pasti bisa…!” ucap sang gadis dengan nafas 

memburu. Setelah sekian lama berlari bayangan candi 

prambanan akhirnya sudah semakin jelas terlihat. Jaka 

Pesolek semakin mempercepat laju larinya. Keringat terlihat 

berlelehan membasahi wajah dan pakaiannya. “aku harus 

bisa…. Aku harus bisa…! Aku pasti bisa…!” kata-kata 

tersebut kembali terulang dari bibir sang gadis. Kala itu sinar 

mentari pagi sudah bergerak cepat merambati pucuk-pucuk 

pepohonan. Semakin lama sinar matahari bahkan semakin 

cepat bergerak dan bahkan kini mulai mengejar dibelakang 

punggung Jaka Pesolek! Sementara itu mulut candi utama 

sudah terlihat jelas. Sinar matahari pun terlihat mulai 

merambati kepundan puncak candi. “ aku harus bisa… aku 

harus bisa… pokoknya aku harus… celaka…!! Aku tidak 

bisa…!!!” teriak sang gadis kala merasa tengkuknya sudah 

mulai terasa panas! Sang gadis memandang tubuh Wiro yang


nampak membara, untung saja tubuh sang pendekar masih 

terhalang punggung sang gadis sehingga belum terkena sinar 

mentari. Sang gadis terlihat panik! Apalagi dilihatnya sinar 

matahari saat itu hanya tinggal sejengkal lagi menutupi 

puncak kepundan candi. Jaka Pesolek nekat! Tanpa pikir 

panjang dilemparnya tubuh Wiro dengan sekuat tenaga 

kedalam mulut pintu candi! Terdengar suara bergubrakan 

dari dalam candi sementara Jaka Pesolek sendiri begitu 

melempar tubuh Wiro kedalam candi, tubuhnya sendiri 

langsung tersurut terguling-guling dari anak tangga. Dalam 

kondisi terguling tersebut sang gadis masih sempat meraih 

tubuh arca batara kala. namun malang nian, arca tersebut 

ikut terguling jatuh dan bergulingan dari anak tangga masih 

dengan Jaka Pesolek dalam posisi memeluk tubuh sang arca! 

Tubuh sang gadis terus meluruk kebawah hingga akhirnya 

terhenti kala membentur sebatang pohon Trembesi yang 

memang banyak tumbuh di kawasan candi tersebut. ”Aduh 

biyung tobaaaaat…!” teriak sang gadis keras. teriakan ini 

bukan karena jidatnya yang benjol terbentur batang pohon 

atau kulit tubuhnya yang lebam dan lecet akibat terguling-

guling bersama arca batu. Teriakan sang gadis keluar karena 

posisi hidung sang arca kala itu tepat dan sukses menggencet 

perabotannya! Setiap kali sang gadis mencoba untuk 

mengangkat arca yang memiliki berat ratusan kati dari atas 

tubuhnya tersebut, hidung sang arca yang (konon) lumayan 

besar dan panjang itu otomatis menekan perabotannya


semakin kuat. “duh gusti…” keluh sang gadis yang bawah 

laki atas perempuan ini sembari meneteskan air mata. 

Sungguh air mata yang murni tanpa kepalsuan… Air mata 

seorang wanita yang terdzalimi… sementara itu beberapa saat 

setelah Jaka Pesolek melempar tubuh Wiro kedalam candi, 

sesosok bayangan diikuti beberapa orang yang mengendarai 

menjangan berbulu keemasan nampak mendekati kawasan 

candi prambanan. Bayangan yang bukan lain adalah 

bayangan Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala ini 

terlihat berjalan cepat memasuki candi utama dimana patung 

Nyi Loro Jonggrang berada. Sementara itu ketika Jaka 

Pesolek melihat bayangan keenam menjangan yang mendekat 

kearah pintu candi utama, sang gadis perdengarkan suara 

rintihan. “tolooong… “ Ratu Randang yang kebetulan berada 

paling dekat dengan pohon trembesi langsung terhenyak dan 

bergegas turun dari menjangan tunggangannya. “astaga Jaka 

Pesolek! Apa yang kaulakukan dibawah sana…!” kejut sang 

nenek kala melihat Jaka Pesolek sedang tertindih arca batu 

batara kala sementara kedua kakinya terlihat terkangkang 

keatas. “ya ampun Jaka Pesolek! Aku tak menyangka 

seleramu yang seperti ini…” sambung Kunti Ambiri seraya 

berjalan mendekat. Jaka Pesolek yang mendengar celoteh 

keduanya hanya bisa mesem dengan wajah menahan sakit. 

Sementara itu Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala yang telah sampai kedalam candi memandang 

dengan kening berkerut kearah tubuh ksatria panggilan yang


terlihat menjuplak di lantai candi sementara bayangan Jaka 

Pesolek sama sekali tidak dilihatnya. “selamat datang di candi 

kediaman saya yang mulia raja, maafkan jika saya tidak bisa 

memberikan penghormatan yang selayaknya…” raja Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala terkejut kala mendengar suara 

yang tidak dilihat wujudnya tersebut. “aku adalah patung 

yang berdiri dihadapanmu yang mulia raja…” sambung suara 

tersebut kembali. Raja Mataram akhirnya melihat patung Nyi 

Loro Jonggrang yang sebelumnya tidak dilihatnya karena 

keremangan cuaca di dalam candi. Sang raja kemudian 

terlihat merangkapkan tangan menjura kearah patung batu. 

“maafkan kelancangan saya Dewi, saya tadi tidak 

memperhatikan kehadiran Dewi. Maksud saya datang kesini 

sebenarnya untuk mencari petunjuk kepada Dewi perihal 

keselamatan pemuda didepan ini…” ucap sang raja sembari 

menunjuk kearah tubuh Wiro. Patung Nyi Loro Jonggrang 

kemudian terlihat bergetar halus, lalu dari tubuh sang patung 

tepatnya dibagian dahi tepat diarah cakra mahkota keluar 

satu sinar biru yang langsung membungkus tubuh sang 

pendekar! Tubuh Wiro yang sebelumnya tergelimpang dilantai 

perlahan terlihat bergerak hingga akhirnya posisinya kini 

terlihat dalam posisi bersila seakan sedang bersemadi. Sinar 

biru perlahan mulai pupus. “aku tahu maksud 

kedatanganmu yang mulia raja. satu-satunya yang bisa kita 

lakukan dengan tubuh pemuda ini adalah merubahnya 

menjadi batu!” ucapan sang patung membuat sang raja


terkejut bukan kepalang. “apa maksud perkataan Dewi? 

Mengapa kita harus merubah tubuh ksatria pangilan menjadi 

batu? Lalu dengan apa kita menjadikan tubuh ksatria 

panggilan menjadi batu? Saya benar-benar tidak 

mengerti…”Tanya sang raja. “tubuh ksatria panggilan hanya 

bisa diselamatkan dengan menggunakan kekuatan empat 

orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti api dan inti 

es. Sementara di jaman ini bisa dibilang tidak ada orang yang 

memiliki kemampuan seperti itu. Selain itu jikalau ada 

keberadaannya pun sama sekali tidak ketahui. Oleh karena 

itu jalan satu-satunya untuk menyelamatkan pemuda ini 

adalah merubah tubuhnya menjadi batu dan berharap di 

masa depan akan ada orang yang mempu menghidupkannya 

kembali dengan bantuan keempat orang yang bisa 

mennyembuhkan penyakitnya tersebut…” sang raja terlihat 

menganggukan kepalanya. “baiklah Dewi, aku sudah 

mengerti namun bagaimana caranya kita merubah tubuh 

ksatria panggilan menjadi batu?” ucap sang raja sembari 

menatap kearah patung didepannya. “tubuh ksatria panggilan 

hanya dapat dijadikan batu dengan menggunakan Sabda 

Pandita Ratu yang melekat didalam aliran darah dan nafas 

yang mulia raja…” jawab patung Nyi Loro Jonggrang. Jantung 

sang raja berdegup dengan kencang mendengar penuturan 

patung Nyi Loro Jonggrang. ”jadi ini bentuk pertolongan yang 

dimaksud oleh Datuk Rao Basaluang Pitu… sungguh benar-

benar hebat datuk tersebut hingga dapat memikirkan cara


seperti ini…” batin sang raja dalam hati. Setelah menghela 

nafas sesaat raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala nampak 

menganggukan kepalanya. “saya sudah mengerti apa yang 

harus saya lakukan… saya berharap Dewi mau menyambung 

pati dengan saya dan membantu saya mempersiapkan 

segalanya…” Sepasang tangan batu milik patung Nyi Loro 

Jonggrang terlihat merangkap didepan dada. “baiklah yang 

mulia, saya akan membantu yang mulia untuk menyambung 

pati dalam pencapaian sabda puncak tertinggi… harap yang 

mulia kosongkan hati dan bersihkan jiwa serta pikiran… 

biarlah segalanya kita serahkan kepada sang hyang 

jagatnatha…” ucap patung Nyi Loro Jonggrang yang perlahan 

namun pasti terlihat terangkat mengapung diudara! Raja 

Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu 

merangkapkan tangan di depan dada, perlahan namun pasti 

sepasang telapak kaki sang raja yang masih memakai kasut 

putih pemberian Datuk Rao Basaluang Pitu juga tampak 

mulai terangkat dari lantai candi bersamaan dengan 

terangkatnya patung Nyi Loro Jonggrang dari tempat 

peraduannya. beberapa saat Kemudian tubuh Raja Mataram 

dan patung Nyi Loro Jonggrang terlihat mulai berputar 

mengelilingi tubuh kasar Wiro yang sedang bersila diatas 

lantai candi. Sementara itu rombongan Arwah Ketua yang 

berada di luar candi merasakan getaran yang keras pada 

lantai yang mereka pijak. ‘lihat di atas sana…!’ seru Jaka 

Pesolek tiba-tiba seraya menunjuk kearah kepundan candi.


Seruan Jaka Pesolek ini kontan membuat semua orang yang 

berada di pelataran candi sontak menengok keatas dan 

nampaklah dalam pandangan mereka tepat diatas kepundan 

candi terlihat awan bergulung berwarna kuning kemerahan 

membentuk bayangan seekor naga raksasa! Sementara itu 

didalam candi Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan 

patung Nyi Loro Jonggrang masih terlihat bergerak berputar 

mengelilingi tubuh pendekar dua satu dua. Setelah berputar 

masing-masing sebanyak tujuh kali putaran, tiba-tiba dari 

lantai candi menyeruak cahaya berwarna kuning keemasan 

yang terus bergerak naik hingga sampai kedinding candi. 

Begitu berada tepat didinding candi, cahaya berwarna 

keemasan tersebut perlahan berpendar dan berubah menjadi 

huruf-huruf jawa kuna yang berpendar keemasan dan 

berputaran disepanjang dinding candi! Raja Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala perlahan membuka kedua matanya, wajahnya 

yang bersih nampak menampilkan cahaya terang berwarna 

putih terang, lalu seakan sudah bersepakat sebelumnya dari 

bibir sang raja dan patung Nyi Loro Jonggrang terdengar 

untaian kata yang merupakan isi dari tulisan keemasan yang 

terpapar di dinding candi. 

Sabda Pandhita Ratu 

Tan kena wola-wali 

Berbudi Bhawalaksana 

Titah Raja takkan terulang

Teguh laksana karang 

Deras bagaikan ombak 

Satu kata terucap satu janji terikat 

Sabda Pandhita Ratu 

Tan Kena wola-wali 

Berbudi Bhawalaksana!

Begitu tulisan keemasan di dinding selesai terbaca, tiba-tiba 

dengan suara menggelegar laksana guntur, Raja Mataram 

Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dengan telunjuk kanannya 

mengacung keatas terdengar mengeluarkan Sabdanya “Wahai 

Ksatria Panggilan! Atas nama Dewa dan Rakyat Mataram! 

Kurestui dirimu Manunggaling Bhumi Bayu Watu Laksana!” 

begitu titah dari sang raja terdengar, kilat terdengar sabung 

menyabung diangkasa, awan merah berbentuk naga raksasa 

terlihat bergulung semakin kencang dan memancarkan sinar 

yang sangat terang! Begitu sabda dari sang raja dikeluarkan 

atas diri Wiro, maka terlihatlah satu perubahan pada tubuh 

Ksatria Panggilan yang duduk bersila diatas lantai candi. 

perlahan namun pasti tubuh Wiro yang berwarna merah 

membara dan diselimuti kabut tipis mulai mengeras dan 

berubah warna menjadi kelabu! sosok Wiro telah berubah 

menjadi sebuah arca batu! Sementara itu tubuh Raja 

Mataram dan patung Nyi Loro Jonggrang yang berputaran 

mengelilingi arca pendekar dua satu dua mulai kembali 

ketempat masing-masing. “saya haturkan banyak terima


kasih kepada Dewi yang telah membantu saya untuk 

menolong Ksatria Panggilan. Untuk itu saya hanya bisa 

haturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya pada 

Dewi… “ucap Raja Mataram sembari masih rangkapkan 

kedua tangan. “Yang Mulia, sudah merupakan kewajibanku 

untuk menolong sesama terlebih khusus menolong Ksatria 

Panggilan. Disamping itu orang yang sebenarnya menjadikan 

Ksatria Panggilan menjadi batu adalah yang mulia dengan 

menggunakan Sabda Pandita Ratu yang melekat dalam diri 

yang mulia. Sabda yang sama yang juga menjadikan saya 

menjadi arca batu sekian ratus tahun yang lalu…”tutup 

Patung Nyi Loro Jonggrang perlahan. Mendengar ucapan sang 

patung, hati Raja Mataram yang lembut langsung tersentuh. 

Sang raja memang mengetahui perihal kisah Nyi Loro 

Jonggrang yang dirubah menjadi batu oleh Sabda Pandita 

Ratu milik Bandung Bondowoso kakek leluhurnya. “Dewi, 

mungkin dengan restu para dewa aku bisa menjadikanmu 

kembali hidup layaknya manusia biasa. Ijinkan aku 

mencobanya…” ucap sang raja. Namun dilihatnya patung 

cantik tersebut menggeleng pelan. “aku sangat menghargai 

kepedulianmu yang mulia, namun biarlah keadaanku tetap 

seperti ini… jika aku kembali hidup pastinya nanti akan 

kembali timbul huru-hara dan perkara seperti yang pernah 

terjadi atas diri kakek leluhurmu dulu. Selain itu masih 

banyak orang yang membutuhkan bantuan dan tenagaku. 

Mereka yang ingin membangkitkan Ksatria Panggilan di masa


depan juga masih membutuhkan diriku untuk menyambung 

Pati Sabda Pandita Ratu milik keturunan yang mulia 

nantinya…” Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala terlihat 

membungkukkan badannya. “Dewi benar-benar berbudi 

luhur, saya benar-benar harus belajar lebih banyak dari 

Dewi” patung Nyi Loro Jonggrang terlihat tersenyum. “hari 

sudah terang tanah, ada baiknya jika yang mulia membawa 

arca Ksatria Panggilan dan menempatkannya di tempat yang 

aman agar tidak terusik sampai hari kebangkitannya nanti.” 

Sang raja terlihat menganggukan kepalanya. “itulah yang 

menjadi pikiranku Dewi, aku masih belum tahu tempat yang 

tepat untuk menyimpan arca Ksatria Panggilan. Jika saja 

Datuk Rao Basaluang Pitu masih ada disini mungkin beliau 

bisa memberikan petunjuk…” belum selesai berucap tiba-tiba 

terlihat asap merah mengepul dari luar candi dan langsung 

memasuki ruangan dalam candi, asap itu kemudian terlihat 

bergulung dan membentuk sosok seorang kakek bertanduk 

tunggal. Sosok Arwah Ketua! “Yang mulia tak perlu kuatir! 

Biar urusan menyimpan arca Ksatria Panggilan menjadi 

tanggung jawab saya…!” seru Sang Arwah. Patung Nyi Loro 

Jonggrang terlihat pancarkan cahaya lembut. “nampaknya 

persoalan sudah mendapatkan jalan pemecahannya… yang 

mulia tidak perlu khawatir lagi akan masalah Ksatria 

Panggilan, Sekarang yang harus yang mulia lakukan adalah 

membangun kembali mataram seperti sedia kala. Rakyat 

mataram masih menanti uluran dan bantuan yang mulia


untuk membangun dan menata kembali kerajaan yang porak-

poranda…” Raja Rakai Kayuwangi dan Arwah Ketua terlihat 

membungkukan badan masing-masing “kalau begitu kami 

berdua pamit undur diri. Sekali lagi kami haturkan terima 

kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dewi” ucap sang Raja 

sebelum beranjak keluar diiringi senyum patung Nyi Loro 

Jonggrang. Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu 

berjalan keluar diiringi oleh Arwah Ketua yang memanggul 

arca batu Pendekar Dua Satu Dua. Sinar mentari yang 

hangat menyambut keduanya. Awan berbentuk naga 

bergulung yang menutupi kawasan prambanan sudah lama 

menghilang berganti dengan arakan awan tipis dikejauhan. 

“awal yang baru buat mataram…” ujar sang raja pelan 

sembari menarik nafas merasakan kesegaran udara pagi di 

Candi Prambanan. 


T A M A T


Bagaimana Kisah Pendekar kita selanjutnya? 

Siapakah sebenarnya empat tokoh berjubah dan berkerudung 

hitam yang membawa pergi Lakasipo? 

Mampukah Wiro bangkit kembali dari kematiannya? 

Ikuti petualangan seru setan ngompol dan kawan-kawannya 

dalam usaha membangkitkan Wiro serta melawan kerajaan 

perut bumi pada episode-episode berikutnya. 

Episode Berikut: 


“JABRIK SAKTI WANARA”

0 komentar:

Posting Komentar