BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 22 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE KEMATIAN SANG PENDEKAR



 “Wiro tiba-tiba mendengar Ratu Randang menjerit Lirih, 

Sang Pendekar melirik sekilas dan dilihatnya Sang nenek 

tampak memegang pundaknya yang berdarah sementara itu 

beberapa senjata tajam seperti Tombak dan keris tampak siap 

dihujamkan ke tubuh Ratu Randang. Sang Pendekar yang 

melihat hal ini menggeram keras. Saat seorang wanita 

berkerudung menyerangnya dengan menggunakan pedang,

Wiro langsung menggunakan gerak silat Menepuk Gunung 

Memukul Bukit untuk memukul dan merampas pedang di 

tangan Sang Wanita, setelah berhasil merebut pedang ditangan 

sang wanita, Wiro langsung menangkis hantaman Kapak Maut 

Naga Geni yang di bacokkan oleh Sinto Gendeng kearahnya! 

Wiro menyadari kehebatan Kapak miliknya sehingga 

menangkis mengunakan tenaga lunak agar pedang di 

tangannya tidak hancur atau terpotong. kemudian dengan 

menggunakan tenaga lontaran hasil benturan pedang dan 

kapak, Sang Pendekar langsung melenting meninggalkan arena 

pertempuran menuju kearah Ratu Randang yang sedang 

terancam bahaya! Sang Pendekar melesat dengan pedang 

teracung, ujung mata pedang nampak bergetar dan 

mengeluarkan suara nyaring kala Sang Pendekar 

mengeluarkan jurus Malaikat Menundukan Siluman (Lo Han 

Ciang Yau) yang merupakan jurus kedua dari ilmu pedang 

yang diajarkan oleh Long Sam Kun atau yang lebih dikenal 

sebagai Pendekar Pedang Akhirat! “


SATU


Getaran keras dibarengi tiupan angin laksana topan tiba-

tiba menderu di pelataran Keraton Mataram. “Wahai 

kalian orang-orang Raja mataram dan Kau Ksatria Panggilan, 

bersiaplah untuk Mampus!”bentak satu suara berat memecah 

keheningan malam. Wiro yang saat itu masih terhenyak 

karena kepergian arwah Sakuntaladewi dan Ni gatri, tiba-tiba 

tersadar kala Kunti Ambiri menarik tubuhnya keras. “tidak 

ada waktu untuk bersedih lagi! keselamatan Raja Mataram 

dan para penghuni keraton kini terancam! apa yang harus 

kita perbuat…?” Wiro tampak berpikir keras “Kita harus 

membawa pergi Raja dan keluarganya keluar dari keraton 

terlebih dahulu, ada baiknya jika kau dan Ratu Randang 

membawa Raja dan keluarganya kembali ke Sumur Api 

melalui pintu belakang keraton…” ucap Sang Pendekar yang 

tiba-tiba terputus oleh ucapan Sri Maharaja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala. “aku dan keluarga sudah lelah 

harus hidup dan terus berlari di pengasingan aku sebagai 

Raja tidak ingin berlari lagi dan terus bersembunyi sementara 

rakyat dan orang-orang ku harus hidup menderita…!” kakek 

Kumara Gandamayana yang berdiri di sebelah Sang Raja 

mengerutkan keningnya mendengar perkataan Sang Raja.


“maaf Yang Mulia, namun apa yang dikatakan oleh Ksatria 

Panggilan ada benarnya… Keselamatan Yang Mulia dan 

Keluarga Yang Mulia harus diutamakan terlebih 

dahulu…!”ucap sang Kakek cemas. namun Sang Maha Raja 

nampak hanya menggelengkan kepalanya. Kumara 

Gandamayana kembali hendak mengeluarkan perkataan 

namun terhenti kala terjadi satu letusan besar yang membuat 

tanah didepan keraton berhamburan! kemudian dari tanah 

yang terbongkar terlihat gulungan asap kelabu mengebul 

dibarengi lesatan ratusan bayangan putih yang mengeluarkan 

suara jeritan keras! gulungan asap kelabu yang keluar dari 

dalam lubang perlahan membentuk satu kabut pekat yang 

cukup menghalangi jarak pandang, sementara semakin lama 

bayangan putih yang terus mengeluarkan suara-suara 

nyaring tersebut semakin banyak melesat keluar dari lubang 

di tanah dan memenuhi alun-alun depan pelataran keraton. 

Makhluk berjubah putih ini memiliki wajah yang polos tanpa 

hidung, mata dan mulut! “Jin Putih Muka Licin anak buah 

Raja Jin Hutan Roban!” seru Ratu Randang kala mengenali 

ratusan sosok putih yang masih samar-samar tampak 

mengambang sejengkal diatas tanah ini. “tapi bukankah Raja 

Jin Hutan Roban bersahabat dengan kerajaan..? dan 

bukankah belum lama ini mereka sudah membantu 

memperbaiki istana keraton? sekarang mengapa mereka

kembali dan menunjukkan sikap tidak bersahabat…?” 

Sambung Kunti Ambiri. (perihal Jin Putih Muka Rata dan


Raja Jin Hutan Roban, Harap baca episode: Dewi Dua Musim) 

“perhatikan baik-baik…! ada keanehan pada diri mereka… 

Lihat! ada orang yang menempel di punggung mereka…!

Astaga…! anak buah Raja Jin Hutan Roban dijadikan 

tunggangan…!” seru Wiro dengan mata terbelalak. semua 

mata kemudian memandang lebih seksama lagi kedalam 

keremangan kabut dimana ratusan makhluk putih anak buah 

Raja jin hutan Roban berada. Dan tampaklah benar seperti 

yang dikatakan oleh Sang Pendekar, samar-samar dibelakang 

punggung setiap makhluk jin berjubah putih ini berdiri satu 

orang yang memegang tali berbentuk kekang yang 

disambungkan pada sepasang kait baja hitam yang secara 

kejamnya dikaitkan di pipi kiri dan kanan tepat disamping 

tempat dimana seharusnya mulut makhluk-makhluk ini 

berada! hal inilah yang membuat makhluk-makhluk malang 

ini menjerit-jerit tak berkeputusan! “Kejam sekali…!” desis 

Ratu Randang kala melihat Nasib Para Jin Putih Muka Licin 

yang diperlakukan lebih buruk dari pada binatang tersebut. 

Sementara itu Wiro edarkan pandangannya menggunakan

Ilmu menembus pandang yang diberikan oleh Ratu Duyung 

kepadanya kearah kabut dimana orang-orang yang 

menunggangi tubuh Ratusan Jin putih muka licin berada. 

Sang Pendekar terkejut besar kala di antara orang-orang yang 

mengendarai Jin putih dilihatnya seorang nenek dengan 

dandanan coreng moreng dengan tiga benjolan besar dikening 

tampak duduk memegang kekang kendali dengan tangan kiri


sementara tangan kanannya terlihat memegang Senjata kapak 

Maut Naga geni miliknya! “Eyang Sinto…!” tanpa sadar Sang 

Pendekar berteriak keras. Kunti ambiri yang berada di dekat 

wiro menatap kearah dimana sang pendekar memandang. 

“gurumu tampaknya masih dalam pengaruh ilmu Delapan 

Jalur Arwah Pencuci Otak milik Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah… lihatlah masih ada tiga benjolan di kening gurumu!” 

tunjuk Kunti Ambiri yang dibalas dengan anggukan oleh Wiro. 

“aku harus mendekatinya dan menggunakan ilmu menahan 

darah memindah jasad untuk melepaskan dan 

menghilangkan benjolan di keningnya…”ucap sang pendekar 

yang keburu dipotong oleh Ratu Randang “tapi bukankah hal 

itu tidak gampang! tidak mustahil sebelum kau mendekatinya 

kau yang lebih dahulu di bunuhnya Wiro! ingat peristiwa di 

bukit batu hangus tempo hari? dia nyaris saja membunuhmu 

dengan sepasang sinar yang keluar dari matanya!” ucap Sang 

nenek sembari delikkan matanya yang juling bagus. (untuk 

lebih jelasnya mengenai peristiwa ini silahkan baca episode : 

Sepasang Arwah Bisu) Sang Pendekar hendak memberi 

sanggahan namun tiba-tiba dari Lubang dimana melesat 

makhluk-makhluk berjubah putih melesat satu makhluk

tinggi besar yang langsung berdiri dihadapan Wiro dan 

kawan-kawan! makhluk ini memakai sebuah jubah hitam 

terbuat dari ijuk, sepasang telinganya terlihat runcing berdiri 

melewati kepalanya sementara keningnya pun terlihat diikat 

oleh tali terbuat dari ijuk. “Sangkala Darupadha…!” seru Wiro


kala mengenali makhluk yang berdiri dihadapannya. 

sementara itu Makhluk yang dikenal sebagai Raja Jin hutan 

Roban tampak memandang sayu kearah Sang Pendekar. 

matanya yang sebelumnya sudah disembuhkan oleh Wiro kini 

tampak bergundal-gandil kembali, keadaan Makhluk jin satu 

ini juga tampak mengenaskan. tubuhnya terlihat babak-belur 

dipenuhi noda darah namun yang membedakan dengan anak 

buahnya adalah tidak nampak tali kekang maupun kait baja 

terlihat terkait pada tubuhnya. “Sangkala Darupadha… apa 

yang terjadi pada dirimu…? Siapa pula mereka yang 

memperlakukan anak buahmu sekejam itu..?” tanya Ratu 

Randang dengan suara keras. Sebagai jawaban tiba-tiba 

terdengar satu tawa yang membahana. Kemudian dari bahu 

lebar Sangkala Darupadha atau Raja Jin Hutan Roban 

perlahan mencuat satu kepala tengkorak bertanduk berwarna 

Hitam. kepala tengkorak berwarna hitam terus bergerak naik 

keluar memperlihatkan tulang-belulangnya yang berwarna 

hitam dari dari bahu Sang Raja Jin Hutan Roban hingga 

sebatas tulang Belikat. Sungguh amat mencengangkan! dari 

dalam tubuh besar Raja Jin Hutan Roban bisa keluar 

makhluk hitam berbentuk tengkorak bertanduk, namun yang 

lebih mengherankan lagi adalah bagaimana kulit daging dari 

Sang Raja Jin tak nampak sedikitpun terluka maupun 

mengeluarkan darah! “Ha.ha.ha. Wahai Ksatria Panggilan 

akhirnya kita bisa juga berjumpa…! Sungguh benar-benar 

pertemuan yang menggembirakan…!” ucap makhluk di bahu


Sangkala Darupadha. Wiro pandangi sosok yang berbicara 

padanya dengan seksama. “Aku tidak mengenalmu…! tapi 

mengapa kau perlakukan Sangkala Darupadha dan anak 

buahnya seperti ini…? Sesungguhnya apa keinginanmu…?” 

ucap Sang Pendekar dengan kening berkerut. Makhluk 

tengkorak hitam nampak tertawa keras kala mendengar 

pertanyaan Wiro. “kau memang tidak mengenal ku… tapi aku 

sangat mengenalmu… bahkan sangat mengagumimu… 

terutama tubuhmu…” ucap Makhluk yang tidak lain 

Lakarontang Sang Jenazah Simpanan sembari menatap 

Tubuh Wiro dengan seksama dari atas sampai ke bawah. 

“Hemm… Pemuda ini benar-benar memiliki Jasad tubuh 

sempurna yang kuidam-idamkan… aku harus bisa 

mendapatkan Tubuhnya…!” batin Lakarontang dalam hati. 

“Mengenai Sangkala Darupadha dan anak buahnya… kau tak 

perlu memikirkannya karena akulah penguasa seluruh isi 

Perut Bumi termasuk para Jin dan Setan di dalamnya!

sesukakulah bagaimana caranya memperlakukan mereka…!” 

ucap Lakarontang sembari mempermainkan sebuah bola 

Mata Raja Jin Hutan Roban yang bergundal-gandil. Raja Jin 

Hutan Roban yang matanya dipermainkan hanya bisa 

mengeluarkan suara merintih kesakitan. hal ini tentu saja 

membuat Hati Wiro geram. sementara itu Ratu randang yang 

berada didekatnya memegang Wiro dan berbisik pelan. “Aku 

punya firasat… jangan-jangan makhluk satu ini adalah biang 

racun dari segala kekacauan yang terjadi selama ini…”


sementara wiro menganggukan kepalanya mendengar bisikan 

Ratu Randang. “aku juga berpikir begitu, aku sudah mencoba 

melihat melalui ilmu menembus pandang namun anehnya

aku tidak melihat Sinuhun Merah maupun Dirga Purana di 

barisan orang-orang di belakang makhluk di pundak 

Sangkala Darupadha itu…” ujar Sang Pendekar membalas 

bisikan Ratu Randang. Tiba-tiba Makhluk di pundak Raja Jin 

Hutan Roban perdengarkan suara keras lalu dibarengi suara 

dengusan. “Kalian berdua tidak perlu berbisik-bisik

dihadapanku! akupun tidak akan menyangkal apa yang 

sudah ku perbuat! Memang akulah orang yang berada dibalik 

segala kekacauan yang terjadi di Bhumi Mataram… semua 

kekacauan yang ditimbulkan dua Sinuhun, Delapan sukma 

Merah Maupun Dirga Purana termasuk peristiwa Malam 

Jahanam di Mataram merupakan hasil dan buah pikiranku! 

Dan bukan saja di Bhumi Mataram… semua kekacauan yang 

terjadi jauh sebelumnya juga merupakan hasil perbuatanku! 

Ha.ha.ha. apakah ada yang kurang jelas bagimu Wahai

Ksatria Panggilan? atau harus kupanggil kau dengan sebutan 

Wiro Kencing Kuda…?”Ucap Makhluk terngkorak Membuat

Sang Pendekar terperangah! Bagaimana tidak! Sableng dalam 

Bahasa di Latanahsilam berarti Kencing Kuda! Jika makhluk 

satu ini mengetahui perihal arti Nama Wiro di Latanahsilam 

maka jelas sudah bahwa Makhluk ini sudah ada sejak Jaman 

Latanahsilam! Gila Betul! Pikir sang pendekar dalam hati. 

“Kau tak perlu heran wahai ksatria Panggilan…! Aku


mengetahui segalanya tentang dirimu… tentang gurumu… 

termasuk perjalananmu dan seluruh perbuatanmu di 

Latanahsilam…!”Lanjut Lakarontang “apa maksudmu…! 

Siapa kau sebenarnya…? aku tidak merasa pernah berbuat 

jahat padamu baik di sini maupun di Negeri Latanahsilam, 

jadi aku harap kau segera melepaskan guruku karena kalau 

tidak…” teriakan Wiro terputus oleh kekehan tawa 

Lakarontang. “Kalau tidak kenapa…? apa kau pikir kau 

sanggup mengalahkan aku… dengarkan baik-baik Wahai 

Kstaria Panggilan! Tidak ada seorangpun di bumi ini yang 

mampu menandingiku! akulah orang yang membumi 

hanguskan keempat Negeri besar termasuk Negeri 

LatanahSilam! Aku juga orang yang pernah naik ke langit dan 

membakar habis Negeri Para Peri! Aku adalah Yang Mulia 

Junjungan tertinggi Jenazah Simpanan! Akulah Dewa di bumi 

yang sesungguhnya!” ucap Lakarontang keras. “Buntalan 

kentut Anjing…! Aku tidak percaya ucapanmu…! Aku minta 

untuk terakhir kali cepat lepaskan guruku dan Lakasipo!” 

bentak Wiro mulai kehilangan kesabarannya. Mendengar 

makian Wiro, bukannya marah makhluk tengkorak ini malah 

semakin tergelak-gelak. “Ha.ha.ha. lucu sekali…! masih ingat 

rupanya kau pada saudara angkatmu itu…? Kupikir setelah 

meninggalkan Latanahsilam kau tidak lagi pernah 

memikirkan orang-orang yang kau tinggalkan… bukankah di 

tanah jawa di masa depan kau memiliki banyak teman dan 

memiliki banyak gadis-gadis cantik…?” wajah Wiro terlihat


menggelap. “keparat…! apa maksud perkataanmu…?” Sang 

Pendekar mulai tak bisa mengendalikan diri. sementara itu 

Makhluk yang dikenal sebagai Jenazah Simpanan ini tak 

henti-hentinya memanaskan hati Sang Pendekar. “he.he.he… 

aku hanya ingin memberikan sedikit gambaran padamu 

mengenai kondisi Latanahsilam selepas kau dan kedua

temanmu itu tinggalkan…” ucap Lakarontang sembari 

berkacak pinggang. “Tidak ada hal yang lebih menyenangkan 

bagiku selain membunuhi seluruh kawan-kawanmu dan 

menyimpan seluruh jasad mereka… Lakasipo… Luhsantini… 

dan Luhcinta… Amboi…! mengingat kembali Luhcinta 

membuat tubuhku yang sudah tak mempunyai darah ini 

kembali terasa panas…!” ucap Lakarontang sembari 

mempermainkan telunjuknya yang berbentuk tulang dalam 

genggaman tangannya! sesungguhnya Wiro tidak benar-benar 

mempercayai apa yang diucapkan makhluk tengkorak 

didepannya namun mengingat kemuculan Lakasipo dan 

Hantu Bara Kaliatus di Bhumi Mataram membuat Sang 

Pendekar mulai ragu-ragu dan perlahan mulai mempercayai 

ucapan Jenazah Simpanan dan kala Makhluk tengkorak 

tersebut menyebut nama Luhcinta maka Kemarahan Sang

Pendekar pun langsung meledak tak terbendung!


DUA


Sembari mengepalkan tangannya yang mulai berwarna 

keperakan hingga ke siku Sang Pendekar langsung 

menerjang kearah makhluk di pundak Sangkala Darupadha. 

“Jahanam…! apa yang kau perbuat pada Luh Cinta…?” teriak 

Sang pendekar sembari melepaskan pukulan Matahari kearah 

Jerangkong hitam yang seolah-olah tumbuh di Pudak Raja Jin 

Hutan Roban namun belum lagi Pukulan Sinar Matahari yang 

dilepasnya melabrak sosok Jenazah Simpanan, Makhluk ini 

terlihat bersuit keras kearah kumpulan ratusan orang yang 

mengendarai Jin Putih Muka Rata. “Bunuh mereka semua 

dan jangan biarkan satu orangpun lolos…!” teriak Jenazah 

Simpanan yang langsung disambut suara gemuruh laskar 

Para Roh yang dijadikan budak oleh Lakarontang dan 

jenazahnya di simpan sebagai koleksi di dasar kawah gunung 

salak. Sementara itu pukulan Matahari yang dilontarkan Wiro 

sesaat lagi akan menghantam tubuh Lakarontang namun

tiba-tiba dibarengi desiran bayangan berwarna putih satu 

sinar gelombang panas yang serupa dengan sinar pukulan 

matahari milik Wiro melabrak dengan cepatnya menghantam 

pukulan yang dilepaskan Wiro. Satu dentuman besar 

dibarengi cahaya yang menyilaukan terdengar memekakkan


telinga. Wiro terlihat terdorong Mundur beberapa tombak 

sembari mengelus dadanya yang berdenyut Sakit. sementara 

di hadapannya terlihat Seorang nenek dengan dandanan 

coreng-moreng tampak berlutut menjeplok di tanah dengan 

rambut tergerai lepas dari sanggulnya dan dengan nafas 

memburu. Didekatnya tampak Jin Putih yang semula 

dikendarainya tergeletak mengepulkan asap!. “Anak Setan…! 

berani-beraninya kowe kurang ajar terhadap junjungan 

tertinggi Jenazah Simpanan…! Kowe memang harus di kasih 

mampus..!” ucap nenek yang bukan lain adalah Sinto 

Gendeng guru Sang Pendekar sembari bangkit dan melesat 

kearah Wiro dengan kapak teracung! dan bukan hanya Sinto 

Gendeng, nampak tidak kurang sepuluh orang dengan 

menggunakan jin Putih muka rata sebagai tunggangan 

melesat kearah Wiro dengan berbagai senjata terhunus! kalau 

Wiro kala itu sedang sibuk menghadapi gurunya di tambah 

sepuluh orang berkepandaian tinggi yang mengepungnya, 

maka sahabat-sahabat Wiro termasuk kakek Kumara 

Gandamayana dan Sang Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala juga mengalami nasib yang kurang lebih sama! Ratu 

Randang dan Kunti Ambiri terlihat sibuk melayani sepuluh 

orang yang mengeroyoknya. sementara Kakek Kumara 

Gandamayana dan Raja Mataram tampak sibuk menghadapi 

serangan bertubi-tubi yang dilancarkan tidak kurang dua 

puluh orang berkepandaian tinggi! Kunti Ambiri yang

bertarung saling beradu punggung dengan Ratu Randang


tampak sesekali mengeluarkan pukulan jarak jauh berbau 

amis kearah orang-orang yang mengeroyoknya. Setiap kali 

ada orang yang terhantam pukulannya langsung jatuh dan 

tidak bergerak lagi, namun beberapa saat kemudian posisi 

orang tersebut kemudian digantikan oleh orang lain lagi yang 

menyerang Kunti ambiri secara bergantian dan membabi 

buta!. Ratu Randang yang berada di belakangnya juga

mengalami nasib serupa, beberapa kali Nenek cantik ini 

berhasil merobohkan lawannya namun datangnya serangan 

laksana banjir yang tidak pernah surut membuat Sang nenek 

yang masih terlihat cantik ini cukup kelabakan! Sementara 

itu Kakek Kumara Gandamayana tampak mengebutkan 

sorban yang dipakainya untuk menghalau serangan seorang 

Paderi botak yang menggunakan senjata semacam Symbal 

(alat musik terbuat dari kuningan yang berwujud sepasang 

piring besar) yang dilemparkan kearah Raja Mataram. Symbal 

itu akhirnya terpukul mundur dan berputar kembali ke 

tangan Paderi botak tersebut. Kumara Gandamayana 

walaupun harus disibukkan melawan musuh yang sangat 

banyak namun masih selalu memperhatikan kondisi 

keselamatan Sang Raja Mataram. sementara Raja mataram 

sendiri terlihat sibuk melancarkan serangan dengan 

menggunakan keris Widuri Bulan miliknya kearah seorang 

kakek bermuka pucat yang sebelumnya menyerangnya 

dengan menggunakan sebuah tombak berwarna biru gelap. 

“Yang Mulia..! Biarlah hamba yang menahan mereka


Semua…! cepatlah Paduka lari melalui jalan belakang

membawa keluarga yang mulia…!” teriak Kumara 

Gandamayana sembari Melepaskan sebuah pukulan jarak

jauh berwarna kebiruan yang dengan telak menghantam dua 

orang Pemuda yang berusaha membokong Raja Matram 

dengan sepasang senjata berbentuk Kaitan. Sang kakek 

memang berhasil menyelamatkan Raja Mataram dari 

bokongan namun usahanya ini harus dibayar mahal kala 

seorang gadis cantik berpakaian putih berhasil membacok 

punggung sang kakek dengan pedangnya sehingga punggung 

Sang kakek langsung bersimbah darah. “Emban buyut…!” 

teriak Sang raja kala melihat sang kakek tampak terhuyung 

sementara dibelakangnya lusinan senjata tajam tampak 

hendak bersarang di tubuh sang kakek! Raja Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala mendorong kedua tangannya 

kearah orang-orang yang hendak membantai Kumara 

Gandamayana. cahaya ungu berbentuk payung besar tampak 

membuat senjata-senjata yang hendak menembusi tubuh

sang kakek bermentalan! Sang raja rupanya telah 

mengeluarkan pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai! 

tidak hanya sampai disitu kemarahan Sang Raja Mataram, 

setelah membaca aji kesaktian Sepasang Tangan Dewa 

Menebar Pahala tiba-tiba sepasang tangan Raja Mataram 

tersebut berubah membesar hingga sepuluh kali lipat! dengan 

sepasang tangan yang sangat besar dan berotot itu Sang Raja 

Mataram kemudian terlihat mengamuk membabi buta! kedua


ilmu ini pernah digunakan Sang Raja kala mencari petunjuk 

mengenai keberadaan empat mayat aneh. (silahkan baca 

episode: Empat Mayat Aneh). sementara Wiro yang saat itu 

sedang menghadapi gempuran Sinto Gendeng gurunya dan 

beberapa tokoh anak buah Jenazah Simpanan tampak 

terdesak hebat. beberapa kali sang pendekar tampak 

mengeluarkan ilmu kepandaian yang di dapatnya dari kitab 

putih Wasiat Dewa maupun ilmu-ilmu yang didapatnya dari 

Sinto Gendeng untuk menghadapi keroyokan orang-orang 

yang mengendarai jin putih. namun beberapa kali pula 

nyawanya hampir melayang kala Kapak Maut Naga geni dua 

satu dua ditangan Sinto Gendeng nyaris memapas tubuhnya. 

keringat deras tampak membasahi kening dan tubuh Wiro. 

Biar bagaimanapun Wiro adalah anak yang sangat berbakti, 

dia tahu bahwa gurunya melakukan hal tersebut diluar

keinginannya sehingga Sang Pendekar tidak berani 

mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dahsyat guna menghadapi 

serangan Sang nenek. Wiro hanya menghadapi sang nenek 

menggunakan jurus-jurus langkah orang gila yang 

didapatkannya dari Tua Gila. “Celaka… kalau begini terus 

aku pasti akan mati tak bersisa… aku harus segera 

mendapatkan jalan bagaimana menghadapi Eyang Sinto…” 

batin Sang Pendekar sembari menghindari larikan Sinar hijau 

yang dilepaskan seorang Resi bermuka Hijau kearahnya. “Resi 

ini cukup tangguh juga…” batin Sang Pendekar sembari 

menggunakan jurus Kincir Padi Berputar. Serangan tangan


Sang pendekar dengan telak menghantam dagu Sang resi 

yang masih berdiri Diatas punggung tunggangannya. 

sementara pada saat itu Wiro tiba-tiba mendengar Ratu 

Randang menjerit kesakitan, Sang Pendekar melirik sekilas 

dan dilihatnya Sang nenek tampak memegang pundaknya

yang berdarah sementara itu beberapa senjata tajam seperti 

Tombak dan keris tampak siap dihujamkan ke tubuh Ratu 

Randang. Sang Pendekar yang melihat hal ini menggeram 

keras. saat seorang wanita berkerudung menyerangnya 

dengan menggunakan pedang, Wiro langsung menggunakan 

gerak silat Menepuk Gunung Memukul Bukit untuk memukul 

dan merampas pedang di tangan Sang Wanita, setelah 

berhasil merebut pedang ditangan sang wanita, Wiro langsung 

menangkis hantaman Kapak Maut Naga Geni yang di 

bacokkan oleh Sinto Gendeng kearahnya! Wiro menyadari 

kehebatan Kapak miliknya sehingga menangkis mengunakan 

tenaga lunak agar pedang di tangannya tidak hancur atau 

terpotong. kemudian dengan menggunakan tenaga lontaran 

hasil benturan pedang dan kapak Sang Pendekar langsung 

melenting meninggalkan arena pertempuran menuju kearah 

Ratu Randang yang sedang diancam bahaya! Sang Pendekar 

melesat dengan pedang teracung. ujung mata pedang nampak 

bergetar dan mengeluarkan suara nyaring kala Sang pendekar 

mengeluarkan jurus Malaikat Menundukan Siluman (Lo Han 

Ciang Yau) yang merupakan jurus kedua dari ilmu pedang 

yang diajarkan oleh Long Sam Kun atau yang lebih dikenal


sebagai Pendekar Pedang Akhirat! (silahkan baca episode: 

Pendekar Pedang Akhirat). Ujung pedang di tangan Wiro 

tampak berputar dan melenting-lenting seakan hidup dan 

memapas semua senjata yang bertubi-tubi membanjir hendak 

membinasakan Ratu Randang. “Wiro… terima kasih kau 

sudah menolongku… “ ucap Ratu Randang dengan 

pandangan mesra dan mulut termonyong-monyong! Wiro 

menggaruk kepalanya melihat kelakuan sang nenek. “Dasar 

nenek edan…! sekarang bukan saatnya buat begituan! nanti 

saja kalau urusan sudah kelar… “ ucap Wiro sembari 

menangkis serangan senjata rahasia berbentuk pisau kecil 

yang disambitkan seorang nenek berjubah ungu kearahnya. 

Sementara Itu Sinto Gendeng tampak kembali merandek

menyerang muridnya yang kini bertarung bertiga bersama 

Ratu Randang dan Kunti Ambiri. Sang nenek terlihat 

berjumpalitan di udara sebelum akhirnya dari sepasang mata 

sang nenek mengeluarkan sinar berwarna biru terang! 

“Sepasang Sinar Inti Roh…!” teriak Wiro kala melihat sinar 

yang keluar dari Mata gurunya. inilah kali kedua Sinto 

Gendeng menggunakan ilmu sepasang sinar Inti Roh untuk 

menamatkan riwayat muridnya! sementara itu di tempat yang 

tidak terlalu jauh dari tempat Wiro berada Raja Rakai 

Kayuwangi dyah Lokapala nampak mengamuk hebat! dengan 

sepasang tangannya yang berukuran raksasa Sang Maharaja 

ternyata mampu membuat para pengeroyoknya kocar-kacir 

berserabutan! entah berapa puluh mayat baik mayat anak


buah Raja Jin Hutan Roban maupun mayat Laskar Jenazah 

Lakarontang terlihat menggunung dalam bentuk yang tidak 

karuan lagi akibat dihantam sepasang tangan raksasa milik 

Sang Maharaja. hal ini benar-benar membuat Lakarontang 

geram. “Saka Gendewa…! lekas kau habisi Raja Keparat 

itu…!” seru Jenazah Simpanan sembari menunjuk seorang 

pemuda yang mengenakan pakaian pemburu dan menyanding 

busur di pundaknya. Pemuda ini kemudian terlihat 

menyentak tali kekangnya kuat-kuat membuat makhluk jin 

yang dikendarainya melolong setinggi langit! Makhluk jin 

muka rata ini kemudian melesat tinggi ke angkasa. pada 

ketinggian tertentu Sang Pemuda terlihat menginjak pinggang 

makhluk malang yang dikendarai sehingga makhluk tersebut 

berhenti dan tegak diam diangkasa. sang pemuda kemudian 

terlihat meloloskan busur yang tersampir di pundaknya lalu 

membidikkannya kearah Raja mataram! tak terlihat anak 

panah sebuahpun pada busur yang direntangkannya dengan 

kencang, namun kala tali panah dijepretkan serangkum 

cahaya hitam berpendar berbentuk anak panah yang 

menerbitkan angin bersiutan melesat dengan kecepatan tinggi 

mengarah ke jantung Raja Mataram!. “Yang Mulia… awas

Serangan…! “Teriak Kumara Gandamayana memperingatkan 

kala melihat dari kejauhan diangkasa selarik sinar hitam 

tampak memburu dengan kecepatan luar biasa kearah 

Maharaja Mataram! 




TIGA


Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang kala

itu terlihat mengamuk hebat seolah-olah tidak 

mendengar apa yang diteriakkan oleh Kumara Gandamayana. 

Dirinya baru menyadari saat dari atas kepalanya terasa 

serangkum Hawa tajam tak terlihat yang seakan hendak 

menindih dan merobek-robek tubuhnya! sesaat lagi Hawa 

berbentuk anak panah hitam menembus jantung Sang 

Maharaja, tiba-tiba dari balik pinggang Sang Maharaja 

melesat satu benda bercahaya yang membentuk serangkum 

cahaya berputar berbentuk kipas pelangi yang langsung 

menghantam Panah Hawa yang dilepas Saka Gendewa dari 

atas langit! Terdengar dentuman keras mengguncang 

pelataran istana! Dentuman yang sama kembali terjadi selang 

beberapa saat setelah dentuman pertama terdengar! apa yang 

sebenarnya terjadi? ternyata saat sinar berbentuk pelangi 

yang bukan lain sinar yang keluar dari keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi yang melesat dari Pinggang Raja Mataram bentrok 

dengan Hawa Panah hitam, Hawa berbentuk anak panah 

tersebut langsung terhempas keras dan secara kebetulan 

menghantam ilmu Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto 

Gendeng kearah Wiro dan kawan-kawan! Wiro dan Ratu


Randang tampak berpandangan sementara Kunti Ambiri 

terlihat menyeka lelehan darah yang menetes di sudut 

bibirnya ketiganya terlihat menjeplok di tanah akibat 

terjengkang karena kekuatan bentrokan Ilmu Sepasang Sinar 

Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng dengan hawa berbentuk 

panah yang dilepas dari atas langit! “Wiro…! Orang diatas 

sana sangat berbahaya bagi keselamatan Raja Mataram! Kau 

harus bisa menjatuhkannya…! Biar kami tangani gurumu dan 

yang lainnya!” ucap Kunti Ambiri sembari memegang lengan 

Sang Pendekar. “Wiro pandangi Kunti Ambiri dan Ratu

Randang “baik aku mengerti… aku akan mencoba 

menjatuhkan orang diatas sana, namun berjanjilah kalian 

tidak akan melukai Eyang Sinto…” ucap Sang pendekar

dengan pandangan memelas. Kunti ambiri dan Ratu Randang 

saling pandang sejenak kemudian Ratu Randang terlihat 

tersenyum “kami tidak bisa berjanji tidak akan melukai 

gurumu mengingat tingkat kepandaiannya. namun kami 

berjanji tidak akan membuat gurumu meninggal saat 

bertarung melawan kami berdua. “ucap sang nenek bermata 

indah. Wiro anggukan kepalanya “baiklah kurasa itu juga 

sudah cukup…! aku pergi dulu, tolong lindungi aku…” ucap 

Sang pendekar sembari secara tiba-tiba mengecup bibir sang 

Nenek! Ratu Randang tampak kelabakan saat dicium oleh 

Sang Pendekar, sementara itu Wiro setelah mengecup bibir 

sang nenek segera hendak melesat namun tangannya 

tertahan oleh tangan Kunti Ambiri. “Curang… aku kan juga


ingin…!” desis sang gadis sembari memandang Wiro dengan 

Pandangan merajuk! Wiro tertawa sembari menggaruk 

kepalanya, namun hanya sebentar kemudian sang pendekar 

terlihat menundukan kepalanya lalu mengecup bibir Kunti 

Ambiri. “Aku pergi sekarang… tolong kalian lindungi aku 

untuk sementara..” ujar Wiro sembari berlari menuju dinding 

keraton. “Mau kemana kowe Anak setan…! Jangan lari…!” 

teriak Sinto Gendeng sembari melepas pukulan Matahari 

kearah Wiro. “Maaf Eyang…! saat ini aku tidak bisa 

meladenimu…! nanti saja kalau kau sudah sadar!” teriak Wiro 

sambil berjumpalitan menghindari serangan Sinar Matahari 

yang di lepas oleh gurunya Sinto Gendeng. Sinar matahari 

yang dilepas oleh Sinto Gendeng langsung melabrak sebuah 

pendapa yang langsung roboh dalam kobaran api! Sementara 

itu beberapa saat kemudian Wiro terlihat berlari-lari diatas 

dinding luar istana. hal ini tentu saja membuat dirinya 

menjadi sasaran empuk serangan puluhan senjata rahasia 

dan berbagai macam pukulan jarak jauh dilontarkan kearah 

tubuh sang Pendekar, namun dengan entengnya wiro 

memapak semua senjata rahasia yang dilemparkan kearahnya 

dengan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih

sementara pukulan jarak jauh yang dilepaskan kearah dirinya 

hanya dielakkan kesana kemari menggunakan ilmu silat 

orang gila! Alhasil sembari berlari diatas tembok kadang-

kadang sang pendekar terlihat berjumpalitan, lalu bertiarap, 

senggol kiri, senggol kanan melompat, berjongkok lalu


meloncat lagi sembari berlari menghindari derasnya pukulan 

jarak jauh yang datang membanjir! “Dasar pemuda Gila…!” 

ucap Ratu Randang sembari tersenyum melihat tingkah laku 

Sang Pendekar. Tanpa sadar sang nenek mengelus bibirnya 

yang tadi dikecup oleh Wiro. “Hemm… masih sisa berapa 

yah…” batin sang nenek dalam hati sembari menghitung sisa 

jumlah janji kecupannya dengan Wiro. “Awas lehermu nek…!” 

teriak Kunti ambiri memperingatkan Sang Nenek kala 

dilihatnya sang nenek tersenyum-senyum sendiri tanpa 

menyadari kala seorang pemuda yang mengendarai Jin putih 

hampir saja berhasil membacokkan goloknya ke leher sang 

nenek. Untung saja Kunti ambiri memperingatkannya 

sehingga sang nenek masih sempat menunduk dan 

menyelamatkan diri. “Terima kasih Kunti…!” teriak Sang 

nenek sembari kembali bertempur. “Mikir apaan sih…?” sebal 

Kunti Ambiri dalam hati. Sementara itu Wiro yang terus 

berlari seperti orang gila semakin lama semakin mendekati 

tempat Kumara Gandamayana dan Raja Mataram Bertarung. 

“Paduka yang mulia…! aku butuh bantuanmu…!” seru Sang 

Pendekar sembari berlari menghindari pukulan-pukulan jarak 

jauh yang terus membanjir kearah dirinya. “Jangan sekarang 

Ksatria Panggilan…! Saya lagi sibuk…! Dicatat saja dulu…!” 

jawab Sang Raja datar sembari menepuk tubuh seorang 

kakek kerdil yang berhasil ditangkapnya dengan tangan 

raksasanya. Malang nian nasib sang kakek, tubuhnya 

langsung gepeng pipih dihempas tepukan tangan raksasa


Raja Mataram! “Kampret sialan…! apanya yang mau 

dicatat…?” maki Wiro dalam hati. “Yang Mulia! tolong 

lemparkan aku keatas …! Aku akan coba jatuhkan pemanah 

diatas langit sana..!” seru Sang Pendekar sembari menunjuk 

keangkasa. Raja Mataram pun memandang keatas dan 

melihat diatas sana pemuda yang dipanggil oleh Lakarontang 

dengan sebutan Saka Gendewa ini tampak kembali 

merentangkan busurnya! “Baiklah Ksatria Panggilan…! cepat 

lompat kemari…!” seru Sang Raja sementara itu terlihat Keris 

Kanjeng Sepuh pelangi berputaran melindungi tubuh Sang 

Raja dan Kumara Gandamayana. Wiro yang mendengar 

teriakan Sri Maharaja Mataram langsung melompat dari atas 

tembok kearah Sang Raja. Raja Mataram ini pun langsung 

menyambut dengan tangan raksasanya. “perlahan-lahan yang 

mulia…!” ucap Wiro kala merasa gamang karena tubuhnya 

tergenggam oleh sepasang tangan raksasa milik Raja 

Mataram! “Kau siap ksatria Panggilan…?” ucap raja Mataram 

pada Wiro yang berada dalam genggaman tangannya. 

“Beluuummm…! saya belum siap…! Sabar dulu yang 

muli…AAAAAAAA….!” teriak Wiro keras kala dirinya yang 

belum bersiap-siap, secara tiba-tiba langsung dilempar oleh 

Raja Mataram ke angkasa! Tubuh sang pendekar pun dengan 

cepatnya melejit keangkasa mengarah kearah Saka Gendewa 

yang sedang merentangkan tali busurnya! Sementara itu 

Saka Gendewa yang kala itu sedang membidik Raja Mataram 

dibawah sana terkejut besar kala melihat seseorang berbaju


putih dengan kecepatan tinggi melesat kearahnya! Sang 

pemuda inipun mengarahkan busurnya dan langsung 

menjepretkan tali busurnya kearah Wiro yang melesat

kearahnya dengan kecepatan tinggi! Sementara itu Sang 

pendekar yang melihat lesatan tiga sinar berwarna hitam 

secepatnya melepaskan pukulan Benteng Topan Melanda 

Samudera dengan tangan kiri guna memapak tiga buah anak 

panah yang meluncur deras kearahnya sementara tangan 

kanannya yang masih menggenggam pedang langsung 

melancarkan jurus terakhir ilmu pedang yang di pelajarinya 

dari Pendekar Pedang Akhirat yakni jurus Setan Meratap 

Malaikat Menangis (Kui Gok Sin Ki). Langit kelam tiba-tiba 

memperdengarkan bunyi guruh dan kilat tampak bersahutan 

seolah-olah terdengar bagai suara-suara ratapan dan tangisan 

yang bergantian kala Sang Pendekar mengeluarkan jurus ini 

dengan kekuatan penuh! Kehebatan jurus ini pun terbukti 

kala mata pedang akhirnya mampu membuat patah busur

yang dipegang Saka Gendewa sekaligus menembus 

tenggorokan Sang pemuda! namun sayangnya hal ini juga 

ditebus cukup mahal oleh Wiro kala Pukulan Benteng Topan 

Melanda Samudera yang dilepasnya hanya mampu menangkis 

dua panah hawa yang dilepas oleh Saka Gendewa sementara 

sebuah panah yang tersisa berhasil menembus pukulan Wiro 

dan bersarang di pundaknya! Wiro mengeluh kala merasakan 

panah yang menancap di pundaknya seakan-akan tersedot 

kedalam tubuhnya. “Panah hawa beracun…” desis sang


pendekar sembari memegang pundaknya yang terluka 

sementara pedangnya tampak terlepas dan jatuh bersamaan 

dengan luruhnya tubuh Saka Gendewa dari tunggangannya. 

Wiro menutup mata dan menggertakan giginya kala 

merasakan tangan kiri dan pundaknya terasa lumpuh. Sang 

Pendekar kemudian mencoba menotok jalan darah di pangkal 

pundak dan dadanya guna menghambat peredaran racun 

lebih luas namun tubuhnya sontak seakan tak bertenaga. 

“Gusti Allah… aku belum mau mati di tempat ini… aku masih 

harus menyembuhkan Eyang Sinto dan membawanya kembali 

ke Tanah Jawa… “Desis Sang Pendekar kala merasakan 

tubuhnya turut Luruh kebumi dengan derasnya! “Apakah 

riwayatku memang benar-benar sudah ditakdirkan berakhir 

di tempat ini…? Jika itu memang kehendakmu, maka aku 

hanya bisa berserah padaMu Ya Gusti Allah…” ucap Sang 

Pendekar pasrah. saat Wiro melesat jatuh dengan derasnya 

pada ketinggian ribuan tombak dari permukaan bumi, tiba-

tiba Sang Pendekar merasakan tubuhnya terhempas pada 

satu benda lembut. Sang Pendekar membuka mata dan 

melihat ternyata ada satu makhluk yang menyambut 

tubuhnya yang terhempas dengan menggunakan 

punggungnya. “Apa kau tidak apa-apa Pendekar? mari aku 

bawa kau kebawa sana…!” ucap sang makhluk yang ternyata 

bukan lain adalah Jin Putih bermuka rata yang tadinya 

ditunggangi oleh Saka Gendewa! “Terima kasih…” ujar Wiro 

sembari menahan Sakit, namun hatinya tak henti


mengucapkan syukur ke hadirat Yang Kuasa “kau terluka…! 

Apakah panah pemuda jahanam itu melukaimu…?” Tanya 

Sang makhluk Jin. Wiro hanya menganguk pelan. Tanpa

disangka Sang Pendekar, Kepala Makhluk tanpa wajah tiba-

tiba berputar seratus delapan puluh derajat menghadap 

wajah Wiro! Lalu tanpa disangka-sangka Jin tersebut 

langsung mendekatkan wajahnya ke pundak Wiro yang 

terluka dan ditempat diwajah sang Jin yang seharusnya 

terdapat mulut itu tampak menyedot luka di pundak Wiro! 

“Ya Allah… ternyata kau memang Maha Pengasih dan Maha 

Penyayang… PertolonganMu datang selalu dalam bentuk yang 

tak pernah terduga… Engkau benar-benar Maha Pemurah…!” 

batin Wiro dengan mata berkaca-kaca sembari beristigfar. 

Selang beberapa lama kemudian Makhluk tersebut tampak 

berhenti menyedot dan memalingkan wajahnya ke arah Sang 

Pendekar. “Apakah masih terasa sakit? Coba kau gerakkan 

tanganmu…” ucap Sang Makhluk Jin. Wiro coba gerakkan 

tangannya dan dia tidak merasa sakit Lagi…! Tubuhnya yang 

sebelumnya terasa lemas juga kini sudah kembali bertenaga! 

“Kau telah menolongku..! Kau benar-benar diutus Gusti Allah 

untuk menolongku…!” girang Sang Wiro sembari memeluk 

Tubuh Sang Jin kencang. “Berpeganganlah pada tali kekang 

itu agar kau tidak terjatuh…”ucap Sang Jin sembari melayang 

kebawah. “Tidak… tidak… kau adalah penolongku… aku 

tidak akan menyakitimu dengan menggunakan kekang 

kendali itu…” ujar Sang Pendekar sembari menggunakan ilmu


Menahan Darah Memindah Jazad untuk melepaskan Kait Baja 

hitam yang mengait kedua pipi sang makhluk jin. Terdengar 

suara seperti tangis menggeru kala Wiro berhasil melepas 

kekang kait baja hitam dari wajah Jin Putih Muka Rata. 

“Terima kasih Pendekar… sekarang bersiaplah…! Kita akan 

segera turun kebawah…” Ucap Sang Jin anak Buah Sangkala 

Darupadha pada Wiro yang terlihat berdiri dengan gagahnya 

di punggung Sang Jin sembari menatap jauh ke bawah 

dimana pertarungan dahsyat masih berlangsung sementara 

rambut dan pakaiannya terlihat berkibar kencang ditiup 

angin subuh Mataram Kuna! 

* * *


EMPAT


Sementara itu di Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya, Mimba

Purana terlihat asyik menimang Bintang Langit 

Saptuning Jagat. Bayi dalam guci ini sudah tidak menangis 

lagi setelah beberapa saat di timang oleh bocah utusan Dewa 

ini. Dewi Langit Bunga tanjung yang melihat kelakuan sang 

bocah nampak tersenyum sebelum memalingkan wajahnya 

kearah Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya. “Datuk, 

tugas kami untuk menjemput Bintang Langit Saptuning Jagat 

telah kami jalankan, sebentar lagi kami akan meninggalkan 

ruangan ini dan kembali ke Istana Langit. aku hanya

menyampaikan pesan dari Junjungan Simpul Agung Para

Dewata untuk kalian agar berhati-hati dan berwaspada akan 

apa yang akan terjadi delapan Ratus tahun kedepan. oleh 

karenanya Beliau berharap agar kalian segera mempersiapkan 

diri sebaik-baiknya guna menghadapi malapetaka yang

mungkin kelak tidak bisa dihindari…” ucap Sang Dewi

lembut. “Waktu kalian sangat terbatas, saat ini hawa

kejahatan Lakarontang sudah mulai menancapkan kukunya 

di Bhumi Mataram. Walaupun kekuatan yang dimilikinya 

hanya sampai menjelang mentari terbit namun apa yang bisa 

dilakukannya pada saat itu justru akan sangat menentukan


tindak-tanduknya di masa yang akan datang! Oleh karena itu 

nampaknya sudah saatnya bagi kalian untuk segera turun 

dan membantu Sri Maharaja Mataram dan kawan-kawannya 

menghadapi kejahatan Lakarontang…” sambung Dewi. “Kami 

mengerti yang mulia Dewi… sekarang juga kami akan segera 

turun dan membantu raja mataram…” ucap Datuk Rao 

Basalaung Pitu seraya memberi menangkupkan tangan 

memberi hormat pada Dewi Langit Bunga Tanjung. Dewi 

Langit Bunga Tanjung kemudian membalas penghormatan

yang di berikan oleh Sang Datuk dengan anggukan kepala 

lalu beberapa Saat kemudian tubuhnya dan tubuh Mimba 

Purana yang sedang menggendong bayi Bintang Langit 

Saptuning Jagat nampak melayang naik ke angkasa menuju 

langit biru yang terlihat tersibak. Setelah beberapa saat 

sepeninggal Dewi Langit Bunga Tanjung dan Mimba Purana, 

Datuk Rao Basaluang Pitu pandangi keempat orang yang 

berdiri di hadapannya. “Tampaknya sudah saatnya bagi kita 

untuk kembali ke Mataram, namun seperti yang kujanjikan 

sebelumnya ada beberapa barang yang ingin kuberikan

kepada kalian…” ucap Sang Datuk seraya pandangi keempat 

orang dihadapannya satu persatu membuat keempat orang 

yang dipandang oleh Sang Datuk menjadi serba salah. sang 

Datuk alihkan pandangannya kearah Nenek Katai Ning 

Rakanini sembari mengeruk sesuatu dari kantung kulit 

tempat penyimpan saluang yang tergantung di pinggangnya. 

Beberapa saat kemudian Sang Datuk menyodorkan


tangannya ke arah Sang Nenek membuat Sang Nenek 

terperangah! Ternyata di tangan Sang Datuk terlihat Lima 

Buah Tusuk Kundai perak yang berkilauan! “Aku memberikan 

Tusuk Kundai Perak Mentari ini padamu Wahai Ning 

Rakanini… aku harap kau bisa mempergunakannya sebaik 

mungkin mengganti tusuk kundai batu merah milikmu itu…” 

ucap Sang Datuk Lembut. Nenek Ning Rakanini terlihat 

tersipu saat mengambil tusuk Kundai di tangan Sang Datuk. 

Wajahnya terlihat memerah saat melepas Tusuk Kundai batu 

miliknya dan menggantinya dengan Tusuk Kundai Perak

Pemberian Sang Datuk. “Sebenarnya apa maksud Sang Datuk 

memberikan perhiasan ini padaku… apakah dia…?” batin 

Sang Nenek seraya berpikir yang bukan-bukan! Namun 

lamunannya terputus saat Datuk Rao Basaluang Pitu tiba-

tiba melepaskan Tusuk Kundai di kepalanya. “caranya bukan 

begitu…” ujar Sang Datuk lembut semakin membuat merah 

pipi Sang Nenek sementara Arwah Ketua terlihat mendehem-

dehem membuat Sang Nenek menjadi jengkel. “Caranya 

pakainya bukan begitu melainkan begini…!” ucap Sang Datuk 

tiba-tiba sembari menancapkan kelima tusuk Kundai Perak 

ke batok kepala Sang Nenek! Sang Nenek menjerit keras saat 

kelima tusuk kundai melesat dan menancap di batok 

kepalanya! Arwah Ketua, Resi Kali Jagat Ampusena dan Lor 

Pengging Jumena pun terhenyak tak menyangka akan apa 

yang dilakukan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu! Sementara 

itu nenek Ning Rakanini pandangi Datuk Rao Basaluang Pitu


dengan mata melotot! Perlahan-lahan dirabanya tusuk kundai 

perak yang menancap dikepalanya, terasa kepalanya yang 

biasanya berat kini benar-benar terasa ringan! Hawa sejuk 

dingin terasa berputar disekujur tubuhnya! “Tusuk Kundai itu 

bukan tusuk kundai biasa, dengan menancapkan Kelima

tusuk Kundai Perak Mentari langsung dikepalamu hal itu 

akan memperlancar seluruh jalan darah dan menambah 

tenaga dalammu… disamping itu Tusuk Kundai itu juga

merupakan senjata yang sangat ampuh dan berbahaya… aku 

harap kau bisa menggunakan sebaik-baiknya…”ucap Sang 

Datuk sembari tersenyum. Nenek Ning Rakanini langsung 

berlutut di kaki Sang Datuk kala mendengar ucapan Sang 

Datuk tersebut. “Saya mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Datuk…” ucap Sang Nenek sembari 

berlutut. Sementara Sang Datuk terlihat tertawa pelan 

sembari membangunkan Sang Nenek. “bangunlah… tusuk 

Kundai itu memang sudah ditakdirkan untukmu dan mereka 

yang nanti akan menjadi penerusmu… dimasa depan nanti 

Tusuk Kundai itu akan menjadi milik seorang tokoh kosen 

yang amat disegani di dunia persilatan, jadi aku sungguh 

berharap kau mau berjanji tidak akan menghilangkan Tusuk 

Kundai itu walau hanya sebuah…” ucap sang Datuk yang

langsung dibalas anggukan oleh Sang Nenek. “Saya berjanji 

Datuk… saya akan menjaga baik-baik Tusuk Kundai ini dan 

akan menurunkannya kepada para penerus saya nantinya…” 

ucap Sang Nenek yang dibalas anggukan oleh sang Datuk.


Sang Datuk kemudian terlihat mengambil sesuatu lagi dari 

dalam kantung kulitnya, setelah tangannya keluar nampaklah 

bahwa barang yang berada di tangan sang datuk adalah

sepucuk bibit pohon beringin. “Terimalah bibit Beringin Dewa 

ini untuk mengganti pohon beringin yang terbakar habis di 

candi kediamanmu…” ucap Sang Datuk sembari 

menyerahkan bibit Beringin Dewa tersebut kepada Ning

Rakanini yang langsung disambut oleh Sang Nenek. “Aku 

masih ada permintaan untukmu… jika kau sempat aku harap 

kau mau mengambil Sisa beringin yang terbakar di tempatmu 

lalu membuatnya menjadi sebuah Papan Nisan Kayu Hitam! 

Setelah itu kuburkanlah Papan Nisan Hitam itu di 

Pegunungan Iyang dan biarlah papan nisan itu bersemayam 

disana hingga suatu hari nanti akan ada orang yang 

mengambilnya…” ucap Sang Datuk yang dibalas dengan 

Anggukan oleh Ning Rakanini walaupun Sang nenek 

sebenarnya tak mengerti apa tujuan Sang Datuk 

menyuruhnya melakukan hal tersebut. Datuk Rao Basaluang 

Pitu kemudian memandang kearah Lor Pengging Jumena 

seraya berucap sesuatu yang membuat semua orang yang ada 

disitu melengak kaget. “Lor Pengging Jumena… apakah kau 

keberatan kalau aku meminta sepasang bola matamu…?” Resi 

Kali Jagat Ampusena dan Arwah Ketua saling pandang 

bahkan Ning Rakanini nampak mengkirik ngeri! Sementara 

itu Lor Pengging Jumena hanya nampak termangu sesaat 

sebelum akhirnya tertawa panjang. “Sebelum bertemu Datuk,


tubuh ku ini hanya berupa jerangkong dengan tengkorak 

kosong melompong! Dengan alunan Tembang Mulih 

Smaradhana milik Datuk akhirnya aku bisa mendapatkan 

tubuhku yang sempurna kembali, kalau kini Datuk meminta 

sepasang bola Mataku rasanya juga bukan masalah besar…!” 

ucap Lor Pengging Jumena sembari menggerakan kedua 

tangannya cepat kearah mata! Sesaat kemudian nampaklah 

sepasang Biji Bola Mata diatas telapak tangannya! Datuk Rao 

Basaluang Pitu tersenyum melihat sepasang Bola Mata Di 

tangan Lor Pengging Jumena. Sang Datuk pun kemudian

terlihat mengambil sepasang bola mata tersebut. 

diperhatikannya sepasang bola mata tersebut dengan 

seksama, lalu terlihat Sang Datuk mengusap Lembut kedua 

Bola Mata tersebut dan tampaklah bahwa kedua bola mata 

tersebut kini sudah tidak memiliki manik mata! Sang Datuk 

kemudian terlihat mengambil sesuatu dari dalam kantung 

kulitnya yang ternyata berupa dua helai daun tembus

pandang yang tampak mengeluarkan sinar terang! dua daun 

itu kemudian ditempelkan diatas sepasang bola mata 

tersebut! Lalu keanehan terjadi, sepasang daun tersebut 

kemudian terlihat mengeluarkan asap tipis dan langsung 

lumer kedalam dua bola mata di tangan Sang Datuk! Datuk 

Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat mendekat kearah Lor 

Pengging Jumena dan memasangkan sepasang bola mata Lor 

Pengging Jumena kembali keasalnya maka nampaklah kalau 

kini Lor Pengging Jumena memiliki sepasang mata berwarna


Putih! Lor Pengging Jumena pandangi kesekelilingnya dengan 

pandangan aneh. Ada sesuatu yang lain dirasakan di dalam 

dirinya, sesuatu yang membuat dirinya seakan terlahir 

kembali! beberapa saat kemudian Lor Pengging Jumena pun 

tampak berlutut di hadapan Datuk Rao Basaluang Pitu. “Aku 

tahu apa yang kau rasakan Wahai Lor Pengging, kau kini 

memang sudah tidak dapat melihat lagi dengan sepasang 

matamu, namun tentunya kau kini bisa merasakan mata lain 

yang jauh lebih terang dalam dirimu yakni mata hatimu 

bukan…?” tanya Datuk Rao yang dibalas dengan anggukan 

oleh Lor Pengging Jumena. “ketahuilah bahwa sepasang daun 

yang kumasukan kedalam sepasang bola matamu adalah 

Daun Pohon Sastra Langit, satu-satunya pohon yang tumbuh 

di Pelataran langit yang selalu disiram oleh para Dewa dan 

Dewi dengan sari pengetahuan dan lintang kebajikan… kini 

dengan sepasang matamu itu kau akan mengembara ke 

seluruh pelosok negeri dan menyingkap segala tabir serta 

membaca pertanda yang terbaca dilangit dan tertiup 

hembusan Alam… dengan kemampuanmu itu kau akan 

banyak menolong mereka yang tersesat dan mereka yang 

membutuhkan petunjuk dan nasehat…” ucap Datuk Rao 

seraya membangunkan Lor Pengging Jumena. “Seperti halnya 

Ning Rakanini, kau pun harus berjanji untuk menurunkan 

sepasang matamu itu pada penerusmu tepat sesaat 

penerusmu itu dilahirkan… biarlah nantinya para penerusmu 

akan menjalani hidup dengan mata tertutup namun hati


terbuka…” ujar Sang Datuk kembali. “Saya berjanji Datuk apa 

yang Datuk ucapkan akan saya lakukan dan taati…”ucap Lor 

Pengging Jumena seraya membungkuk memberi hormat. 

“Satu hal lagi… untuk selanjutnya hidupmu dan para 

penerusmu harus kau abdikan dalam pengembaraan… kau

Akan hidup dengan mengemis dan meminta-minta… biarpun 

nantinya kau akan selalu dicaci dan dimaki tapi kau akan 

selalu memberikan petunjuk dan wejangan bagi mereka yang 

membutuhkan. Biarlah hanya untuk mereka yang sudi 

berkorban dan berusaha mencari tahu akan segala 

pengetahuan yang mereka butuhkan sajalah yang akan 

menemukanmu! Oleh karenanya mulai hari ini kau tidak 

usah lagi menggunakan Nama Lor Pengging Jumena… biarlah 

nanti sampai seterusnya orang-orang akan memanggilmu dan 

para penerusmu dengan panggilan Si Segala Tahu…!” 

* * *


LIMA


Sang Datuk kemudian kembali mengambil sesuatu dari 

dalam kantung kulitnya dan ajaib! Dari kantung kulit 

sekecil itu kemudian keluar sebuah Caping bambu, sebuah 

tongkat butut, sebuah kaleng rombeng dan sebuah kitab 

kumal. Entah dengan cara apa Datuk Rao Basaluang Pitu 

mampu membuat Kantung kecil itu mampu mengisi berbagai 

barang dengan ukuran yang bahkan jauh lebih besar dari 

mulut Kantung kulit tersebut. Caping bambu tersebut

kemudian dipasangkan ke kepala Lor Pengging Jumena 

sementara tongkat dan kaleng rombeng di dipasangkan oleh 

Datuk Rao Basaluang Pitu ke tangan kiri serta kitab kumal ke 

tangan kanan Sang Kakek yang mempunyai Nama baru yakni 

Si Segala Tahu. “Caping ini hanyalah caping biasa, tongkat 

dan kaleng rombeng ini juga hanyalah tongkat dan kaleng 

rombeng biasa sementara kitab kumal ini juga hanyalah 

sebuah kitab tembang dan senandung biasa… dengan 

barang-barang inilah kau dan para penerusmu nantinya 

mengembara dan memberikan petunjuk dan wejangan bagi 

mereka yang membutuhkan…” sambung Datuk Rao 

Basaluang Pitu. Si Segala Tahu mengelus caping dikepalanya 

lalu kemudian turun mengelus tongkat bututnya, setelah itu


Sang kakek menggoyang-goyangkan kaleng ditangannya yang 

langsung mengeluarkan suara keras! saat Sang kakek meraba 

kitab kumal ditangan kirinya tiba-tiba dirasanya huruf-huruf 

timbul keluar dari sampul luar kulit tersebut, tidak sampai 

disitu Sang Kakek kemudian membuka halaman-halaman 

didalam buku dan merasakan hal yang sama saat huruf-

huruf Jawa Kuna terasa muncul sehingga bisa diraba dan 

dibaca oleh Sang Kakek. “Aksara Kidung Langgeng 

Smaradhana…!” desis Si Segala Tahu dengan tubuh bergetar 

dan kembali jatuhkan lutut yang langsung disambut oleh 

Datuk Rao. “Bangunlah…” ucap Datuk Rao seraya 

membangunkan Si Segala Tahu. Si Segala Tahu nampak 

menyusutkan air mata penuh keharuan karena tahu bahwa 

Aksara Kidung Langgeng Smaradhana merupakan satu kitab 

yang amat langka yang sangat sulit dicari tandingannya! 

Walaupun hanya berisi beberapa buah tembang dan 

senandung namun keampuhannya bisa dilihat kala isi kitab 

itu digunakan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu saat 

menghadapi barisan makhluk api dan saat mengobati Ning 

Rakanini, Arwah Ketua dan dirinya sendiri saat terluka. 

(silahkan baca episode: Si Pengumpul Bangkai) Datuk Rao 

Basaluang Pitu kemudian alihkan pandangannya ke arah 

Arwah Ketua! Arwah Ketua yang tahu urusan langsung saja 

dingin tengkuknya! “Tidak Datuk… terima kasih sebelumnya, 

tapi saya belum butuh apa-apa…! Saya masih belum mau 

buta…! Saya juga gak bakalan lebih cakep kalau kepala saya


ditancepin tusuk Konde...! “Ucap Arwah Ketua sembari

memegangi kepalanya yang Plontos! Hal ini membuat Ning 

Rakanini dan Si Segala Tahu tertawa lepas. Datuk Rao

Basaluang Pitu pun hanya tersenyum melihat tingkah Arwah 

Ketua. “Aku tidak akan mencongkel matamu ataupun 

menancapkan tusuk kundai ke kapalamu Arwah Ketua! jadi 

legakanlah hatimu… aku hanya ingin menitipkan sesuatu 

padamu…” ucap Sang Datuk kembali seraya kembali 

mengeruk kedalam kantung kulitnya yang ajaib dan saat 

tangan sang datuk keluar dari dalam kantung terlihat sebuah 

kitab ditangan Sang Datuk, namun yang membuat semua

orang tercengang adalah diatas kitab tersebut tampak 

bergelung dua ekor naga bersisik kuning! Dua ekor Naga 

tersebut berukuran sangat kecil! Hampir menyerupai anak 

belut namun sosoknya yang bertanduk dan mempunyai 

sepasang kaki menegaskan bahwa dua ekor makhluk yang 

bergelung itu sama sekali bukan anak belut melainkan 

sepasang Naga Yang sesungguhnya! “Kitab ini adalah sebuah 

kitab yang bernama Kitab Wasiat Malaikat! Bersama kitab ini 

aku sertakan juga sepasang Naga Kuning kecil. Seekor Naga 

akan kuberikan kepadamu sedangkan naga satunya beserta 

Kitab Wasiat Malaikat kuharap bisa kau jaga untuk 

sementara waktu sebelum nantinya kau serahkan pada 

seseorang didasar Telaga Gajahmungkur…” Arwah Ketua pun 

mengambil Kitab dan Naga sembari menghembuskan Nafas 

Lega. “Untung Datuk tidak meminta mataku atau


menancapkan tusuk kundai ke kepalaku” ucap Sang Kakek 

namun tiba-tiba Sang Kakek merasakan sesuatu keanehan 

kala Sepasang Naga dan kitab berada dalam genggamannya. 

Sang Kakek merasakan satu hawa panas silih berganti 

dengan hawa dingin sejuk berputaran di dalam tubuhnya! 

Sang kakek berlonjak kegirangan! Sang kakek tahu kalau saat 

itu tenaga dalamnya juga telah bertambah seperti halnya 

tenaga dalam Ning Rakanini dan Si Segala Tahu. “terimakasih 

Datuk…! terimakasih…! “seru Sang Kakek sembari tertawa 

riang namun beberapa saat kemudian tawanya hilang seakan 

direnggut setan kala merasa suatu keanehan terjadi pada 

tubuhnya sebelah bawah lalu… seeerrrr… tanpa bisa ditahan 

oleh sang empunya barang, Sang Kakek tanpa sadar 

mengeluarkan air kencing dicelana! “Datuk…! apa yang 

terjadi…! kenapa aku tidak bisa menahan… anu… itu…

Moncor terus…! Ampuuun…!” kaget Arwah Ketua sampai 

terbata-bata sembari mendekap bagian bawah celananya yang 

mulai basah! Melihat hal ini Nenek Katai Ning Rakanini dan Si 

Segala Tahu tertawa terpingkal-pingkal! Datuk Rao Basaluang 

Pitu hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Seharusnya hal 

itu tidak terjadi jika saja pikiranmu tidak terpecah saat kau 

memegang Kitab dan Sepasang Naga itu…” desah Sang 

Datuk. “Jadi bagaimana ini Datuk…?” ucap Arwah Ketua

dengan pandangan memelas dan terus-terusan mendekap

bagian bawah perutnya. “Tampaknya ini memang sudah 

suratan takdirmu wahai Arwah Ketua… penyakitmu ini


tampaknya akan terus serta bersamamu hingga nantinya kau 

teruskan pada penerusmu…” sambung Datuk Rao Basaluang 

Pitu. Datuk Rao Basaluang Pitu hendak melanjutkan 

ucapnnya namun terputus saat satu suara terdengar berucap 

“Dan untuk seterusnya kau serta para penerusmu akan

dipanggil orang dengan sebutan…” Si Segala Tahu terdengar 

menyeletuk tiba-tiba. “Arwah Ngompol…!” seru Nenek Ning 

Rakanini dan Si Segala Tahu kompak membuat Arwah Ketua 

keki dan langsung memeperkan kedua tangannya yang basah 

kuyup karena air kencing kearah mereka berdua! Hal ini 

tentu saja membuat Ning Rakanini dan Si Segala Tahu

memaki panjang pendek. Datuk Rao hanya tertawa lepas 

melihat kelakuan mereka bertiga. Setelah itu Datuk Rao 

Basaluang Pitu kini memalingkan wajah kearah Resi Kali 

Jagat Ampusena lalu berucap lembut. “ Ampusena, mungkin 

dari semua amanat yang kutitipkan, amanatmu lah yang 

paling berat…” ucap Sang Datuk seraya memandang Resi Kali 

Jagat Ampusena. Sang Resi pun mnejura hormat sembari 

berucap “walaupun sesungguhnya diri saya amat menyadari 

rendahnya kepandaian yang saya miliki, namun adalah suatu 

anugerah yang besar bagi saya jika mendapatkan amanat dari 

Datuk, seberapa besarnya amanat yang Datuk titipkan ke 

pundak saya akan saya terima dan jalankan sebaik 

mungkin…” Sang Datuk tersenyum cerah mendengar ucapan 

Sang Resi. “Ucapanmu menandakan kerendahan hatimu dan 

aku sangat senang mendengarnya Wahai Ampusena. Tinggi


Ilmu tidaklah berarti jika dibarengi dengan Tinggi Hati, hanya 

kerendahan hati dan keluhuran budi yang mampu membawa 

manusia ke Jalan menuju Swargaloka…” ucap Datuk Rao 

Basaluang Pitu. Sang Datuk kemudian terlihat mengambil 

kembali sesuatu dari dalam kantung kulit ajaibnya, saat 

tangan Sang Datuk keluar terlihatlah sebuah kitab dalam 

genggamannya. Kitab itupun langsung diberikan oleh Sang 

Datuk kepada Resi Kali Jagat Ampusena. “Ampusena, kitab 

dalam genggamanmu adalah Kitab yang bernama Kitab Jagat 

Pusaka Dewa… kitab ini adalah satu kitab dari dua buah 

kitab yang nantinya akan menentukan nasib umat manusia di 

tanah Jawa Delapan Ratus Tahun kedepan. untuk saat ini 

aku ingin kau menyimpannya sebaik mungkin. sampai pada 

masa sepuluh tahun kedepan carilah seorang bayi yang baru 

lahir di daerah selatan Trowulan. Bayi tersebut terlahir 

dengan Nama Manik Aryana dan memiliki rembang tanda

lahir berbentuk Bintang Yang Dilingkari Sepasang Naga Di 

Atas Tengkuknya. Perlu kau ketahui bayi bernama Manik 

Aryana tersebut pada dasarnya adalah anak yang akan

menjadi ketitisan dari Bintang Langit Saptuning Jagat! Karena 

kau rupanya berjodoh dengan bayi itu, maka kau harus 

mengangkatnya menjadi murid! Berikanlah dia makanan

rohani dan pelajaran akan hidup! Lalu bersama-sama dengan 

muridmu itu pergilah dan lakukanlah perjalanan menuju 

sebuah Padang Pasir bernama Padang Pasir Thar di barat 

Laut India. temukanlah sebuah Goa ditengah padang pasir


tersebut yang diberi nama Goa Binaker lalu berikanlah Kitab 

Jagat Pusaka Dewa yang kau miliki tersebut kepada sesorang 

Resi yang menanti disana… setelah itu berjalanlah terus ke 

arah utara menuju Tanah Arab, Tanah seribu gurun, ke tanah 

orang-orang berjubah dan bersorban putih. Sesampainya 

disana tempalah dirimu dan muridmu disana dengan segala 

bentuk kebajikan dan ilmu pengetahuan… serta temukanlah 

kebenaran hidup yang hakiki di bawah naungan batu Hajar 

Aswad…!”Tutup Datuk Rao Basaluang Pitu. Yang dibalas

anggukkan dan salam hormat Resi Kali Jagat Ampusena. 

Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian pandangi keempat orang 

dihadapannya. “Sebelumnya aku meminta kalian untuk 

berpegangan tangan selama berada di Dalam Ruang Tanpa 

Batas Tanpa Daya namun mungkin kalian tidak menyadari 

kalau kalian sudah tidak berpegangan tangan lagi…” ucap 

sang datuk yang membuat semua yang ada baru menyadari 

hal tersebut. “Hal ini dapat terjadi karena masing-masing dari 

kalian telah memegang barang yang merupakan bagian dari 

milik istana langit. Dengan memiliki barang pusaka istana 

langit kalian tidak akan tersesat lagi dan bisa menginjakkan 

kaki ke ruangan ini kapanpun kalian inginkan…” sambung 

Sang Datuk. “Kini rasanya sudah waktunya untuk kembali… 

tampaknya…” Ucapan Sang Datuk terputus kala terasa satu 

goncangan keras terjadi di tempat itu! Pemandangan awan 

dan langit biru tiba-tiba berubah menjadi gelap kala satu 

getaran keras kembali melanda Ruang Tanpa Batas Tanpa


Daya! sesungguhnya apa yang sedang terjadi? ternyata di luar 

Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya sedang terjadi pertempuran 

seru! Satu Sosok Kelelawar Raksasa nampak menyerang 

Datuk Rao Pangeran Peto Alam dengan Dahsyatnya! Binatang 

peliharaan Datuk Rao Basaluang Pitu ini mengeluarkan 

lenguhan keras sembari melancarkan tendangan berulang 

kali kearah kelelawar besar yang menyerangnya dengan

gencar! Dirinya benar-benar kerepotan menghadapi makhluk 

bersayap tersebut karena kedua tangannya dipakai untuk 

memanggul bola lingkaran Saluang dipundaknya! Sementara 

itu Makhluk bersayap ini juga tidak datang sendiri, bersama 

dengannya turut serta ratusan makhluk berjubah dan 

berwajah hitam dan putih yang secara bergerumbul 

menghantam bola lingkaran Saluang yang sedang dipikul oleh 

Datuk Rao Pangeran Peto Alam! Hal inilah rupanya yang 

menyebabkan guncangan keras dalam Ruang Tanpa Batas

Tanpa Daya! “Kembalikan Bayi Pemimpin Kami…!” bentak 

Kelelawar raksasa sembari menyerang Datuk Rao Pangeran 

Peto Alam dengan sepasang cakar dan taringnya. sementara 

itu di dalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya Ning Rakanini 

nampak memegang tangan Si Segala Tahu erat sementara 

Datuk Rao Basaluang Pitu mengkerutkan keningnya kala 

merasakan getaran yang melanda tempat itu. “Ada kekuatan 

yang mencoba untuk mendobrak masuk ke dalam Ruang 

Tanpa Batas Tanpa Daya…” ucap Sang Datuk membuat 

mereka yang berada dalam ruangan tersebut saling


berpandangan. Saat getaran ketiga kembali melanda Sang 

Datuk terlihat berseru keras. “Wahai Tujuh Saluang Dewa…! 

Harap tunjukkan jalan bagi diriku dan kerabatku untuk 

keluar dari Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya…!” begitu ucapan 

Sang Datuk selesai tedengar kembali suara alunan kidung 

yang berasal dari ketujuh Saluang Dewa yang berputar keras. 

“bersiap-siaplah…!” seru Sang Datuk kala melihat putaran 

Saluang semakin melambat dan kala Putaran Ketujuh 

Saluang akhirnya berhenti Sang Datuk yang kala itu 

melayang diatas langit bersama keempat orang lainnya 

kontan jatuh menderu kebawah! Ning Rakanini perdengarkan 

suara teriakan ngeri kala melihat dirinya lolos ke bawah 

sementara itu Datuk Rao Basaluang Pitu perlihatkan satu 

gerakan indah kala merasakan tubuhnya merosot kebawah. 

Sang Datuk terlihat melenting keatas sembari menginjak dua 

buah saluang yang sedang berputar tak menentu sementara 

tangannya meraih sebuah Saluang lainnya yang melesat tak 

jauh dari dirinya. Sesaat kemudian terlihat Sang datuk 

memainkan sebuah kidung dengan saluangnya sembari 

berdiri diatas dua buah Saluang lain yang berputar kencang! 

Empat sinar beraneka warna yang terpancar dari empat buah 

saluang kemudian nampak bergerak mengejar empat tubuh 

yang merosot kebawah! Nenek Katai Ning Rakanini tiba-tiba 

hentikan teriakannya kala dirasa tubuhnya tidak lagi merosot 

kebawah, saat diperhatikannya ternyata dirinya saat itu 

sedang diputari oleh sebuah saluang berwarna kuning.


Saluang tersebut berputar kencang di sepanjang pinggangnya 

dan rupanya hal inilah yang membuat dirinya dapat melayang 

diangkasa. Saat Ning Rakanini menengok keadaan ketiga 

rekannya ternyata merekapun mengalami hal yang sama yaitu 

dikelilingi oleh masing masing sebuah Saluang sehingga 

mampu melayang dan tidak terjatuh kebawah! “Bukan 

main…!” desis Sang Nenek mengagumi kesaktian Saluang 

Dewa milik Datuk Rao Basaluang Pitu. Saat dirinya 

memandang keatas matanya langsung melebar terkagum-

kagum! Bagaimana tidak, saat itu dilihatnya Datuk Rao 

Basaluang Pitu tampak berdiri gagah diatas sepasang Saluang 

yang berputar kencang dibawah telapak kakinya, sementara 

tubuhnya terlihat berputar mengelilingi kawanan Kelelawar 

Raksasa dan gerombolan Ratusan Jin Pengawal Hitam-Putih 

sembari memainkan saluangnya! Rambut dan Janggut putih 

Sang Datuk nampak menjela-jela tertiup angin kala Sang 

Datuk dengan tubuh berputar-putar laksana gasing kembali 

mengeluarkan kehebatannya memainkan Sebuah Tembang 

dari Kitab Aksara Kidung Langgeng Smaradhana! Kelelawar 

Raksasa dan Ratusan Jin Hitam-Putih Pengawal Istana Atap 

Langit nampak diam membeku tersirap satu kekuatan 

dahsyat kala mendengar bunyi tembang yang keluar dari 

Saluang yang dimainkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu! 

* * *


ENAM


Lakarontang pandangi langit Mataram di ufuk timur 

dengan perasaan gelisah. Semburat merah kini nampak

mulai menghiasi malam yang kelam sementara di kejauhan 

kokok ayam jantan terdengar bersahutan membuat resah hati 

Jenazah Simpanan. Sementara itu pertempuran semakin

lama berlangsung semakin dahsyat! Nampak Ratu Randang, 

Kunti Ambiri dan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala bertempur habis-habisan dengan 

menggunakan seluruh kemampuan yang mereka punyai. 

Sementara itu Kakek Kumara Gandamayana nampak 

bersandar di satu pecahan pilar penyangga keraton. Nafas 

Sang Kakek sudah terlihat tak beraturan akibat luka bacokan 

dipunggungnya, namun Sang Kakek nampaknya belum mau

berniat untuk menyerah! Walaupun dalam keadaan seperti itu 

Sang kakek masih terlihat memainkan Sorban Panjangnya 

guna menghadapi serangan-serangan yang ditujukan pada 

Raja Mataram. Perlawanan yang diperlihatkan keempat orang 

ini benar-benar menakjubkan dan diluar perkiraan Jenazah 

Simpanan! Ratu Randang dan Kunti Ambiri yang masing-

masing sebenarnya sudah terluka cukup parah nampak tidak 

mengundurkan serangan mereka terhadap banjir serangan


yang datang dari Laskar Lakarontang, sementara itu Raja 

Mataram terus terlihat mengamuk hebat menggunakan 

sepasang tangannya yang berukuran raksasa! Setiap kali ada 

musuh yang mendekat pasti langsung dilumatnya dengan 

sepasang tangannya itu sementara pukulan-pukulan jarak 

jauh yang dilancarkan kearahnya selalu dipatahkan oleh 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang selalu berkelebat 

melindungi Sri Maharaja Mataram! Lakarontang benar-benar 

geram! Apalagi saat dilihatnya beberapa orang anak buah 

Raja Jin hutan Roban yang terlepas dari kendali mayat-mayat 

hidup peliharaannya juga bertempur membantu rombongan 

Raja Mataram guna membantu melepaskan rekan-rekannya 

yang dijadikan budak tunggangan laskar Jenazah Simpanan! 

Apa yang diperbuat oleh keempat orang itu mengingatkan 

Lakarontang akan penyerbuan keempat kepala negeri yang 

pada saat itu nyaris saja membuatnya terbunuh! perlawanan 

yang diberikan oleh Sri Maharaja mataram dan kawan-

kawannya benar-benar serupa dengan perlawanan yang 

ditunjukkan oleh Lanawi, Lakawung, Hantu Labatu Rengkah 

dan Luh Pingkan Matindas kala menghadapi barisan mayat 

hidupnya beberapa ratus tahun lalu di Hutan Lasesatbuntu! 

Kenyataan ini membuat Lakarontang marah! Dengan amarah 

yang meluap-luap Lakarontang kemudian memimpin puluhan 

laskarnya yang tersisa guna masuk ke gelanggang 

pertempuran! “Bunuh…! Bunuh mereka semua…! Segarkan

tubuh kalian dengan bermandikan darah Raja Mataram dan


kawan-kawannya! Jangan sisakan setetes pun darah mereka 

mengalir di tanah Mataram!” teriak Lakarontang keras. Maka 

melesatlah Ratusan orang yang menunggangi Jin Putih Muka 

Rata kearah Raja Mataram dan rombongannya dengan 

Lakarontang yang menggunakan tubuh Sangkala Darupadha 

sebagai pimpinannya! Raja Mataram dan rombongannya dan 

mengeluh dalam hati melihat gelombang serangan yang

datang. Sementara itu Lakarontang kali ini tidak mau 

berpangku tangan! Walaupun sebagian besar kepandaiannya 

masih terkunci, namun setelah menghisap seluruh saripati 

dan inti tenaga Bocah Dirga Purana maka Makhluk satu ini 

memiliki cukup tenaga untuk melakukan serangan-serangan 

yang sangat mematikan walaupun tak sehebat 

kemampuannya yang sesungguhnya! Lakarontang nampak 

menggerakkan kepalanya dan dari lubang di matanya melesat 

sepasang sinar berbentuk kilat hitam menggidikan yang 

menghamparkan hawa panas! Sesaat lagi sinar kilat hitam 

akan melabrak tubuh Ratu Randang dan yang lainnya tiba-

tiba dari kegelapan melesat satu bayangan yang langsung 

memapas sinar kilat hitam dengan kedua tangannya! dan 

ajaib! kedua tangan jenjang mulus tersebut terlihat memutar-

mutar pukulan kilat lakarontang dan kemudian 

membalikannya kearah laskar Lakarontang yang menyerbu 

bersamaan! “Hik..Hik..Hik.. Petir Hitam yang nakal…! kalau 

masih ada lagi aku masih ingin bermain-main!” ucap seorang 

gadis yang berdiri tegak di hadapan Kunti Ambiri dan yang


lainnya. “Jaka Pesolek…! dari mana saja kau…?” bentak 

Kunti Ambiri kesal. Gadis yang ternyata adalah Jaka Pesolek 

Penangkap Petir ini hanya tersenyum saat dibentak oleh Dewi 

Ular. “Maafkan aku kawan-kawan, aku ada sedikit urusan 

jadi datang sedikit terlambat… ngomong-ngomong dimana 

gerangan Wiro? kenapa aku tidak melihatnya ya..? ucap sang 

gadis sambil celingukan kiri kanan. ‘Wiro ada diatas sana..!” 

dengus Kunti Ambiri sebal sembari menunjuk keangkasa 

dimana pada saat terlihat di kejauhan Sang Pendekar sedang 

turun dengan mengendarai Jin Putih Muka Rata. Sementara 

itu di sisi lain Lakarontang benar-benar murka! Tak

disangkanya akan ada orang yang bisa memapas dan 

mengembalikan sinar Bara Moksa Geni yang dimilikinya 

bagaikan sebuah permainan saja! Sang jenazah Simpanan 

menggeram keras dan kembali melancarkan pukulan-pukulan 

jarak jauh berupa sinar-sinar hitam kearah Rombongan Raja 

Mataram. “Hantu Bara Kaliatus…! Dirga Purana…! Lakukan 

tugas kalian!” bentak lakarontang sembari terus melepaskan 

pukulan Bara Moksa Geni dengan gencarnya! Melihat hal ini 

Ratu Randang, Kunti Ambiri beserta Raja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala langsung melepaskan Pukulan 

jarak jauh masing-masing untuk menghadang datangnya

Pukulan Lakarontang! Kunti Ambiri terlihat melepaskan 

Pukulan sakti berwarna hitam yang diberikan oleh Ratu Ular 

Kepadanya yakni Pukulan Kobra Karang Penghancur Tulang. 

Sementara Ratu Randang melepaskan Pukulan berwarna


Kuning yang dinamakan Jagat Semu Pelepas Nyawa. tak 

ketinggalan ketinggalan Sri Maharaja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala menggerakkan kedua tangannya

yang berukuran raksasa guna melepas sebuah pukulan yang 

bernama Dewa Kembar Membalik Gunung! Satu sinar 

berwarna hijau kebiruan melesat disertai suara guruh

laksana gunung meledak! Ketiga larik pukulan ini dengan 

deras meluncur kearah pukulan-pukulan Bara Moksa Geni

yang dilancarkan Lakarontang! Namun ketiga orang ini 

terhenyak kala tiba-tiba berkelebat satu bayangan yang 

langsung menggulung ketiga sinar pukulan menjadi satu! 

“Jaka Pesolek…! Kau sudah gila! Apa yang kau Lakukan..?” 

jerit Kunti Ambiri melihat tingkah Jaka Pesolek yang 

menggulung tiga sinar pukulan! Semua tidak mengerti apa 

yang dilakukan gadis yang bisa laki dan bisa perempuan ini, 

namun mereka semua terperangah kala gabungan pukulan 

yang digulung oleh Sang Gadis kembali dilepaskan dalam 

bentuk yang maha dahsyat! Satu sinar berukuran raksasa 

dengan warna gabungan hitam kuning dan biru kehijauan 

melabrak serangan sinar-sinar Bara Moksa Geni yang 

dilancarkan Lakarontang dan terus menghantam tubuh 

Sangkala Darupadha! Satu Dentuman yang amat besar kini 

terdengar membahana melebihi suara-suara dentuman 

sebelumnya! Jaka Pesolek terjengkang keras kearah Kunti 

Ambiri! Sepasang tangan sang gadis terlihat bergetar keras! 

“Kau benar-benar gila Jaka Pesolek…!” jengkel Kunti Ambiri


melihat kenekatan Sang Gadis. Sementara gadis dalam

pelukannya hanya tertawa ringan. Apa yang dilakukan Sang 

Gadis memang benar-benar mengagetkan sekaligus membuat 

orang terkagum-kagum! kepandaian menangkap sinar 

pukulan dan menggulungnya menjadi satu memang didunia 

ini tidak ada yang bisa melakukan selain Jaka Pesolek 

Penangkap Petir! dan yang lebih mencengangkan lagi adalah 

kenyataan bahwa gadis ini tidak memiliki tenaga dalam 

maupun kepandaian lain selain gerakannya yang cepat dan 

kemampuannya menangkap petir! Ratu Randang berjalan

mendekati Jaka Pesolek dan berucap. “Heran baru hari ini 

kau bertindak benar… aku jadi salut padamu…” ucap Ratu 

Randang sembari menepuk kening sang gadis. Namun baru 

saja Ratu Randang hendak menyambung perkataannya tiba-

tiba mereka dikejutkan oleh teriakan Raja Mataram saat dari 

dalam tanah tiba-tiba menyembul sepasang tangan yang 

langsung menarik tubuh Sang Raja Kedalam tanah! Raja 

Mataram terdengar membentak keras dan berusaha 

melepaskan cengkraman yang membelit kakinya namun 

usahanya sia-sia saat satu sentakan membuat tubuhnya 

amblas kedalam tanah! Kumara Gandamayana yang berada 

paling dekat dengan Raja Mataram tidak bisa melakukan apa-

apa karena sekujur tubuhnya terasa lemas akibat kehilangan 

banyak darah karena luka di punggungnya. Sang kakek

hanya bisa mengerang Kala melihat Raja Mataram hilang 

amblas ke dalam Tanah! sementara itu apa yang terjadi


dibawah sana semua bisa dilihat dengan jelas oleh Wiro. Sang 

Pendekar benar-benar khawatir akan keselamatan Raja 

Mataram sekaligus keselamatan para sahabatnya dibawah 

sana. Sang Pendekar pun kemudian memutuskan untuk 

melompat terjun kebawah! Saat Sang Pendekar sudah 

membulatkan tekadnya, tiba-tiba didengarnya satu suara 

berseru diatas kepalanya. “Yang Mulia Pimpinan…! kami 

datang membantumu…!” Wiro memandang kearah atas lalu 

berseru girang. “Kelelawar Hantu… kau datang disaat yang 

tepat…! aku memang membutuhkanmu!” ucap Sang Pendekar 

kala melihat diatas kepalanya sesosok kelawar raksasa turun 

beserta ratusan Makhluk berjubah dan bermuka hitam dan 

putih. Sang pendekar juga melihat empat orang yang tak 

dikenalnya datang bersama makhluk yang dikenalnya sebagai 

Arwah Ketua melayang bersama dengan makhluk-makhluk 

yang dikenal Wiro Sebagai para Penjaga Istana Atap Langit. 

karena tidak memiliki waktu lagi, Sang Pendekar berkata 

selekasnya. “Kelelawar Hantu sahabatku… aku minta tolong 

padamu dan para pengawal untuk membantu empat orang 

dibawah sana! Aku masih harus menyelamatkan Raja 

Mataram, karenanya aku benar-benar membutuhkan 

bantuanmu!” ucap Sang Pendekar sembari melompat dari 

Punggung Jin tunggangannya! “Terima kasih atas 

tumpangannya…! Dan terima kasih juga kau sudah 

mengobatiku…!”Seru sang pendekar pada jin tunggangannya 

sembari melesat ke bawah. Sementara itu Ratu Randang,


Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek yang sedang sibuk bertarung 

berteriak ngeri kala melihat Wiro melompat dari punggung Jin 

putih muka rata! “Anak itu sudah menjadi gila…! Lihat dia 

melompat ke bawah…!” teriak Ratu Randang. Kunti Ambiri 

dan Jaka Pesolek bergerak cepat hendak menangkap tubuh 

Sang Pendekar yang sesaat lagi akan membentur tanah, 

namun gerakan keduanya terhenti kala melihat Sang 

Pendekar menyengir sembari mempermainkan mata!” Wiro…!” 

teriak keduanya tak tertahan kala melihat tubuh Wiro 

meluncur deras ke dalam tanah dan menghilang! Keduanya 

terdiam sesaat sampai akhirnya Kunti Ambiri berteriak kesal 

sembari membanting-bantingkan kaki! “Sialan…! Kita berdua 

tertipu…! Anak setan itu menguasai ilmu menyusup kedalam 

tanah..! Dasar pemuda gila…!” gemas Kunti Ambiri sambil 

memaki-maki sementara Jaka Pesolek yang semula juga

terkejut juga akhirnya turut membanting-bantingkan kaki 

sebal dan keki! sementara itu didalam tanah Sang Pendekar 

melihat seorang yang dikenalnya sebagai Hantu Bara Kaliatus 

tampak sedang berusaha mencekik Sri Maharaja Mataram 

sementara seorang lagi yakni bocah yang dikenalnya sebagai 

Dirga Purana tampak sedang bertarung hebat dengan Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi Milik Sang Raja! Kemarahan Sang 

Pendekar langsung menggelegak melihat dua orang yang telah 

membunuh Sakuntaladewi dan Ni Gatri ini. “Berikan nyawa 

kalian berdua…! Teriak Sang Pendekar seraya melepaskan 

pukulan Tangan Dewa Menghantam Api kearah Dirga Purana


sementara dengan kecepatan luar biasa Sang Pendekar

mengeluarkan jurus Dibalik Gunung Memukul Halilintar untuk 

menghantam Hantu Bara kaliatus yang sedang mencekik Raja 

Mataram. Terdengar teriakan dahsyat dari Hantu Bara

Kaliatus kala pukulan yang memang diciptakan untuk 

memukul musuh yang bersembunyi ini dengan telak 

menghantam pelipis Hantu Bara Kaliatus yang kontan 

membuat cekikannya pada leher Raja Mataram terlepas. Sang 

Pendekar sebenarnya ingin kembali mengeluarkan pukulan 

jarak jauh guna membinasakan kedua orang yang membunuh 

Sakuntaladewi dan Ni Gatri ini, namun hal itu batal 

dilakukan kala melihat kondisi Raja Mataram yang nampak 

kesulitan bernafas! “Celaka! Raja Mataram nampaknya tidak 

memiliki kemampuan menyusup ke dalam tanah!” seru Wiro 

sembari melesat dan memapah Raja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala kembali ke permukaan tanah. 

Sesampainya diatas tanah dilihatnya Ratu Randang dan 

kawan-kawan lainnya sedang bertempur bersama Kelelawar 

Hantu dan para Pengawal Istana Atap Langit melawan 

Lakarontang dan anak buahnya. dilihatnya juga empat orang 

yang turun bersama dengan Arwah Ketua dan Kelelawar 

Hantu tampak turut serta menggempur kekuatan Laskar

Lakarontang! Sang Pendekar kemudian memapah Sri 

Maharaja Mataram kedekat Kumara Gandamayana yang 

nampak memejamkan mata. “Bagaimana keadaan Yang 

Mulia…? Apakah Yang Mulia terluka…?” tanya Sang Pendekar


sembari memperhatikan Raja Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala yang nampak terbatuk-batuk. “Aku tidak apa-apa 

Ksatria Panggilan… nafasku hanya sedikit sesak akibat 

cekikan makhluk keparat itu! Sebentar lagi aku akan segera 

bergabung dengan kalian… cepatlah pergi bantu kawan-

kawanmu… biarkan aku beristirahat sebentar disini…” ucap 

Sang Raja seraya menyandarkan punggungnya ke dinding 

keraton. Wiro memandang suasana pertempuran yang 

berlangsung. Dilihatnya kawan-kawannya beserta Kelelawar 

Hantu dan laskar Pengawal Atap langit dibantu Lima orang 

yang lainnya perlahan-lahan mampu menekan bahkan 

mendesak Lakarontang dan Laskarnya. Sang Pendekar 

memalingkan wajahnya kearah Sang Raja. “Aku harus 

membalas kematian Sakuntaladewi dan Ni Gatri Yang 

Mulia…” desis Sang Pendekar. Sang Raja tampak 

mengagukkan kepalanya. “Keadaan sudah agak membaik,

memang sudah seharusnya kau membunuh kedua orang itu 

Ksatria Panggilan…” ucap Sang Raja. Sang Pendekar pun 

langsung melesat menyelusup kedalam tanah dengan 

menggunakan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana.

Namun sejauh yang dapat ditembusnya tidak dilihatnya 

bayangan Dirga Purana maupun Hantu Bara Kaliatus. Sang 

Pendekar pun mengerahkan ilmu menembus pandang 

pemberian Ratu Duyung namun keberadaan Dirga Purana

dan Hantu Bara Kaliatus tetap tidak dapat ditemukannya. 

Sang Pendekar menggeram kesal lalu segera melesat keatas.


namun saat tubuhnya baru melesat keluar dari dalam tanah, 

tiba-tiba didengarnya Jaka Pesolek berteriak keras kearahnya. 

“Sang Hyang Jagatnatha…!” Sementara itu Sang Pendekar 

pun melihat Ratu Randang, Kunti Ambiri serta Raja Mataram 

memandang dirinya dengan pandangan terpana! “Wiro…!” 

teriak mereka bersamaan seraya berlari memburu kearahnya. 

Sang Pendekar mengkerutkan kening saat melihat kelakuan 

mereka yang dianggapnya aneh. Wiro hendak berucap namun 

dirasanya mulutnya terasa penuh. Rasa asin bercampur 

asam terasa memenuhi mulutnya hingga tanpa sadar Sang 

Pendekar tersedak. “Darah…” desis Sang Pendekar seraya 

menyeka mulutnya yang belepotan. Wiro tiba-tiba merasakan 

sesuatu mengalir dalam tubuhnya. Sesuatu yang hidup! Saat 

Sang Pendekar menundukkan wajahnya kebawah, dilihatnya 

ujung runcing sebuah karang tajam berwarna kebiruan yang 

anehnya memancarkan warna merah berpendar terhujam 

keluar menembus ulu hatinya. “Gusti Allah…” desis Sang 

Pendekar menyebut Nama Sang Khalik! 


T A M A T 


Episode Berikut: 


“SABDA PANDITA RATU”





0 komentar:

Posting Komentar