Jumat, 29 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE TELAGA API SALJU

 

MAHESA KELUD EPISODE TALAGA API SALJU

SATU


EMPU SORA, tokoh silat dari Ujung Ku-

lon berada dalam kebimbangan. Sebelum 

meninggalkan Ujung Kulon dia sudah berte-

kad bulat untuk turun tangan, menangkap 

Jayengrana alias Lutung Gila hidup-hidup 

dan jika tidak mungkin langsung saja mem-

bunuhnya!

"Kalau tidak kubunuh dia, apa per-

tanggungan jawabku pada perguruan yang ku 

pimpin. Apa pertanggung jawabanku terha-

dap rimba persilatan!" Hati kecil Empu Sora 

berkata. Dalam kebimbangan begitu rupa sa-

lah satu kakinya siap untuk melangkah pergi. 

Namun tiba-tiba di belakangnya Lutung Gila 

keluarkan suara tawa bekakakan di-susul 

dengan ucapan mengejek merendahkannya.

"Tua bangka jelek! Icuh biung! Memang 

lebih baik bagimu angkat kaki dari hadapan-

ku! Sayang kalau jauh-jauh datang ke sini 

cuma mau mengantar nyawa. Hik... hik... hik! 

Umur tinggal sejengkal, badan sudah bau ta-

nah mengapa mau menyia-nyiakan sisa hi-

dup! Ciluk biung...! Hik... hik... hik!"

Empu Sora merasa kepalanya membe-

sar. Darahnya mendidih. Secepat kilat dia


berbalik. Bersamaan dengan itu tangan ka-

nannya menghantam ke atas batok kepala 

Lutung Gila!

Hebatnya, menghadapi serangan maut 

seperti itu Lutung Gila malah tertawa berge-

lak. Kaki dan kepalanya digerakkan sedikit 

dan wuttt! Pukulan Empu Sora menghantam 

tempat kosong!

Kejut orang tua itu bukan kepalang. 

Pukulan yang barusan dilancarkannya bukan 

sembarang pukulan, benar-benar mematikan. 

Jangankan makhluk gila seperti muridnya 

itu, para tokoh silat ternama sekalipun tidak 

mungkin mampu bergerak mengelak secepat 

yang dilakukan Lutung Gila!

Sempat terkesiap sejurus, Empu Sora 

membentak.

"Bagus! Rupanya kau sudah memiliki 

ilmu kepandaian yang kau anggap bisa dian-

dalkan! Rupanya kau sudah berguru kepada 

setan, kepada iblis! Pergunakan ilmu iblismu 

itu untuk menghadapiku! Aku mau tahu 

sampai dimana kehebatanmu!"

Untuk kedua kalinya Empu Sora lan-

carkan serangan ganas luar biasa. Seluruh 

tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi kali kedua 

inipun dia dibikin melongo karena serangan-

nya hanya memukul tempat kosong. Bahkan


dirinya sendiri huyung karena menghantam 

udara kosong! Dengan kalap Empu Sora ke-

lebatkan diri dan lancarkan serangan tangan 

kosong bertubi-tubi. Lutung Gila gerabak-

gerubuk kian kemari berputar, miringkan tu-

buh, kadang-kadang seperti orang bertarung, 

kadang-kadang seperti hendak rebah. Sepu-

luh jurus berlalu. Pasir dan debu beterban-

gan! Semua serangan Empu Sora satupun tak 

mengenai sasaran. Dielakkan dengan gera-

kan-gerakan aneh oleh Lutung Gila sedang 

saat itu Lutung Gila masih juga terus meni-

mang bayinya!

Dewa Tongkat tidak bisa heran! Kedua 

mata melotot besar! Siapa mau percaya! Seo-

rang berotak miring, sambil mendukung bayi, 

dengan gerakan-gerakan aneh tak teratur 

macam monyet terbakar ekor lompat sana 

lompat sini, berhasil mengelakkan serangan-

serangan hebat dari seorang tokoh silat uta-

ma macam Empu Sora sampai sepuluh jurus!

Di lain pihak di samping kobaran ama-

rah semakin mengelak maka Empu Sora me-

rasa malu bukan main tak dapat turun tan-

gan terhadap muridnya yang dianggapnya 

murtad itu, bahkan saat itu disaksikan pula 

oleh Dewa Tongkat! Mau diletakkan di mana 

nama besar dan mukanya!


Tanpa tedeng aling-aling Empu Sora 

cabut pedangnya. Sinar hijau berkelebat me-

nyilaukan! "Dosamu tidak terampun lagi mu-

rid murtad!" bentak orang tua itu lalu me-

nyerbu dengan ganas. Pedangnya menyambar 

ke leher, membalik ke perut, menusuk ke da-

da dan membacok hebat ke kepala! Angin 

menderu, debu dan pasir beterbangan!

"Icuh! Icuh! Biung... orang tua gila! 

Orang tua sedeng! Mengapa serang aku?!" Lu-

tung Gila lompat sana lompat sini. Kakinya 

kadang-kadang kelihatan berputar-putar, 

bergeser aneh! Dan dengan gerakan-gerakan 

yang serba asing itu semua sambaran pedang 

dapat dielakannya!

Bukan kepalang marahnya Empu Sora. 

Gerakannya dipercepat. Tubuhnya berkele-

bat. Sesaat kemudian hanya dua bayangan 

sinar hijau yang kelihatan yaitu kelebatan ju-

bah serta gulungan pedang Empu Sora. Dua 

puluh jurus berlalu cepat sekali. Keringat 

dingin mengucur di kening Empu Sora! Pada 

saat itulah terdengar suara nyaring berseru.

"Lutung Gila! Apakah kau sudah bosan 

hidup membiarkan saja dirimu jadi bulan-

bulanan pedang?! Letakkan Lutung Bawean 

di atas batu itu dan bunuh orang tua jubah 

hijau! Dia orang tua iblis!"


Mendengar suara yang tak asing itu, 

Lutung Gila segera melompat ke luar menem-

bus gulungan pedang hijau. Bayi yang di da-

lam dukungannya diletakkan di atas sebuah 

batu besar lalu sambil tertawa aneh menggi-

dikkan dia melangkah mendekati Empu Sora. 

Bergidik juga orang tua ini melihat cara dan 

suara tertawa muridnya itu. Tapi hanya se-

bentar karena sesaat kemudian dia sudah 

menyerbu pula menyerang!

Kali ini Lutung Gila tidak tinggal diam. 

Tubuhnya jingkrak-jingkrak. Kaki dan tan-

gannya mencak-mencak seperti anak kecil 

kegirangan. Dan setiap gerakan anggota tu-

buhnya itu mengeluarkan angin keras dah-

syat laksana topan, membuat serangan pe-

dang hijau Empu Sora seperti tertahan oleh 

selapis dinding baja yang tebal ampuh! Meng-

gerenglah si orang tua melihat bagaimana dia 

tak mampu maju selangkahpun untuk men-

girimkan serangan. Tubuhnya terhuyung-

huyung limbung. Tiba-tiba terdengar raung 

Empu Sora dahsyat membelah langit! Tubuh-

nya mental ke udara sampai beberapa tom-

bak dan menyangsang di antara dua cabang 

pohon dengan kepala terkulai ke bawah! Dari 

mulutnya menggelegak darah kental. Tulang-

tulang dada dan iganya hancur remuk. Nya


wanya putus. Pedang hijau di tangannya ter-

lepas dan menancap di tanah sampai ke hu-

lu!

Waktu terdengar seruan perempuan ta-

di, Dewa Tongkat memutar kepala dan meli-

hat muridnya, Kemaladewi memakai baju me-

rah, rambut awut-awutan, muka kusut-masai 

berdiri di bawah sebatang pohon randu! 

Meski banyak perubahan pada diri gadis ini 

namun kecantikannya masih tetap mem-

bayang! Iba juga hati Dewa Tongkat melihat 

keadaan muridnya. Namun sebelum dia ber-

buat apa-apa ataupun bicara kepada murid-

nya dia terpaksa putarkan kepala lagi ketika 

mendengar raung maut dari Empu Sora! De-

wa Tongkat kerenyitkan kening, sipitkan ma-

ta. Mukanya mengkerut bergidik melihat ke-

matian yang mengerikan dari Empu Sora!

Kemudian terdengar suara tertawa 

nyaring melengking Kemaladewi. "Bagus! Ba-

gus Lutung Gila! Iblis tua itu memang harus 

mampus!"

Lutung Gila tertawa panjang, puas dan 

gembira. "Biung ciluk! Baaa...!"

Dewa Tongkat tak dapat menahan ha-

tinya lagi. Karena perintah Kemaladewilah 

maka Lutung Gila membunuh gurunya sendi-

ri! "Kemala! Rupanya kaulah yang menjadi


biang runyam selama ini! Rupanya kau juga 

sudah berotak keblinger!"

"E... e... e... eeeee. Kambing tua!" ujar 

Kemaladewi pada Dewa Tongkat seraya tolak-

kan pinggang. "Kau datang ke sini mau minta 

disembelih?!"

Kedua mata Dewa Tongkat terpentang 

lebar-lebar. Tubuhnya menggigil gemetar ka-

rena amarahnya tidak terperikan! Seumur hi-

dupnya baru hari itu dia dikatakan kambing 

tua dan oleh muridnya sendiri pula! Sudah 

lupakah Kemala pada dirinya atau memang 

gadis itu benar-benar sudah gila?!

"Demi Tuhan! Muridku, kau berlututlah 

dan minta ampun kepadaku!" seru Dewa 

Tongkat.

Kemaladewi tertawa mengikik. "Kau 

yang harus minta ampun dan harus berlutut 

di depanku, kambing tua!" tukasnya.

"Kemala! Kau benar-benar kelewatan 

kurang ajar! Kelewatan murtad! Sudah mem-

beri malu aku, sudah berbuat kotor, saat ini 

kau memaki aku pula! Sulit bagiku untuk 

mengampuni kau punya dosa!"

"Begok! Siapa yang minta ampun dosa 

sama kau! Angkat kaki dari sini! Kalau tidak 

kau pasti akan minggat menyusul kunyuk 

yang nyangsrang di pohon itu!" Kemaladewi


menunjuk ke mayat Empu Sora di atas ca-

bang pohon.

Marahlah Dewa Tongkat. Tanpa banyak 

bicara lagi dia keluarkan tongkat rotan ber-

keluknya dan menyerbu. Tapi serangan ini 

mudah dielakkan oleh Kemaladewi. Dewa 

Tongkat dengan penasaran sekali lalu kirim-

kan serangan beruntun. Ujung tongkatnya 

yang polos menusuk ke pelbagai penjuru se-

dang bagian yang berkeluk mengait ke leher, 

pinggang, ketiak dan kedua kaki! Seperti Lu-

tung Gila tadi, Kemaladewi membuat gera-

kan-gerakan tak teratur, gerabak-gerubuk 

macam monyet terbakar ekor! Tapi justru 

dengan gerakan yang asing aneh ini semua 

serangan Dewa Tongkat menjadi luput!

Seumur hidupnya baru hari itu Dewa 

Tongkat menyaksikan ilmu silat seperti itu. 

Besar kepalanya menghadapi murid sendiri 

yang bertangan kosong! Jika orang luaran 

sampai tahu bagaimana Dewa Tongkat di-

permainkan begitu rupa, lunturlah nama ha-

rumnya! Segera orang tua ini merobah per-

mainan tongkatnya. Senjata itu menderu me-

nimbulkan angin keras! Tongkatnya berobah 

seperti puluhan banyaknya dan tempat-

tempat yang diserang tiada terduga. Waktu 

berada di Lembah Rotan, Dewa Tongkat be


lum pernah memberikan pelajaran ilmu ini 

kepada muridnya. Dengan keluarkan ilmu 

tersebut dia mengharap akan dapat mering-

kus Kemaladewi. Tapi dugaannya meleset!

Meskipun permainan tongkat gurunya 

aneh dan tak pernah dipelajarinya sebelum-

nya tapi dengan keluarkan ilmu silat tangan 

kosong yang dipelajarinya dari Raja Lutung 

maka seperti tahu liku jurus permainan la-

wannya, semua serangan Dewa Tongkat ber-

hasil dielakkan bahkan sebaliknya gadis itu 

mendesak Dewa Tongkat dengan hebatnya! 

Jurus demi jurus orang tua itu semakin ke-

pepet. Didahului dengan pekik nyaring meng-

getarkan anak telinga. Kemaladewi lancarkan 

serangan sehebat badai!

"Buk!"

Dewa Tongkat terguling di tanah. Men-

gerang lalu muntah darah! Belum lagi dia bi-

sa berdiri maka tendangan kaki kanan Kema-

ladewi mendarat di batok kepalanya! Kepala 

itu rengkah, otak dan darah bermuncratan!

Kemaladewi berdiri tolak pinggang. Ha-

tinya puas sekali dan suara tawanya tinggi 

meningkah. Lutung Gila yang melihat gadis 

itu berhasil kalahkan lawannya bertepuk-

tepuk gembira. "Biung... biung! Kau hebat, 

hebat sekali ciluk!" katanya memuji.


Demikianlah, dua orang tua sakti, dua 

orang guru yang tadinya datang ke pulau 

Bawean untuk menghukum murid masing-

masing ternyata terpaksa pasrahkan nya-

wanya di sana, menemui kematian dalam ca-

ra yang mengenaskan!



DUA



KEMBALI ke telaga Api-Salju berair se-

putih salju mendidih.... Kedua kekasih itu 

sadarkan diri dalam waktu yang hampir ber-

samaan. Mahesa Kelud membuka kedua ma-

tanya. Wulansari duduk menggeletak di sam-

pingnya, tengah berusaha bangun. Keduanya 

memandang berkeliling. Ternyata mereka di-

kurung di satu ruangan empat persegi ber-

dinding putih tanpa pintu tanpa jendela.

"Mahesa, di mana kita...?" tanya Wu-

lansari berbisik.

Pemuda itu sendiri tak dapat memasti-

kan di mana mereka berada saat itu. Tadi dia 

ingat bagaimana dia bersama kekasihnya di-

lemparkan ke dalam telaga berair putih. Ke-

napa tahu-tahu kini berada di dalam ruangan 

tersebut? Apakah mereka sudah menjadi ta-

wanan makhluk aneh Si Api Salju? Apakah


mereka masih berada di dalam telaga? Mus-

tahil, masakan di dasar telaga ada ruangan 

begini rupa!

Mahesa Kelud berdiri. Dia membaca 

mantera. Tangan kanannya kemudian berge-

tar. Tenaga dalamnya berpusat. Dia melang-

kah mendekati salah satu bagian dinding pu-

tih dan memukul dengan aji "batu karang".

Pemuda itu mengeluarkan seruan ke-

sakitan. Tubuhnya terhuyung beberapa lang-

kah ke belakang sedang tangannya yang di-

pakai memukul lecet! Dia menggigit bibir me-

nahan sakit! Selama dia memiliki ilmu pu-

kulan batu karang itu, tak ada satu kekuatan 

apapun sanggup menahannya. Batu karang 

hancur remuk, besi bobol! Mahesa Kelud ber-

paling pada Wulansari dan memandang ber-

keliling.

Saat itulah terdengar suara sesuatu 

yang berat bergeser. Tiba-tiba dinding putih 

sebelah kanan terbuka. Serentak dengan itu 

didahului oleh teriakan yang mengerikan me-

lompat masuk satu bayangan putih! Api Sal-

ju! Kini kedua kekasih itu sama tahu bahwa 

mereka memang masih berada ditempat 

makhluk aneh sakti itu, menjadi tawanan! 

Keduanya berdiri merapat dan bersiap sedia 

kalau-kalau terjadi apa-apa. Dinding yang


terbuka di belakang Api-Salju telah menutup 

kembali dengan sendirinya.

"Bodoh!" teriak Api Salju. Kakinya di-

hentakkan ke lantai. Ruangan Putih itu ber-

goyang keras. "Bodoh!" katanya sekali lagi.

Mahesa dan Wulansari saling melirik. 

Keduanya serentak menjura. "Api Salju, kami 

datang dengan maksud baik, mengapa diku-

rung ditempat ini?"

"Bodoh!" teriak Api Salju lagi. Kemu-

dian dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya 

jungkir balik. Kini dia berdiri di atas kedua 

tangannya, kaki ke atas. "Bodoh!" teriaknya 

lagi. Kedua kakinya digerak-gerakkan ke mu-

ka dan ke belakang. Angin laksana badai me-

nyambar di seantero ruangan. Tubuh Mahesa 

Kelud dan Wulansari berpelantingan. Api Sal-

ju hentikan perbuatannya dan tiupan angin 

dahsyatpun lenyaplah. "Bodoh!" teriak mak-

hluk itu kembali. Dia jungkir balik lagi dan 

berdiri kembali di atas kedua kakinya. Ke-

mangkelan terbayang di mukanya yang pe-

nuh bulu putih itu.

"Besok aku akan kembali lagi ke sini! 

Jika kalian masih berlaku bodoh, kalian akan 

mampus!" Api Salju keluarkan lengkingan 

dahsyat. Dinding putih di belakangnya mem-

buka dan sesaat kemudian tubuhnya pun


raiblah di balik dinding!

Untuk beberapa lamanya kedua pasang 

mata mereka masih saja memandang pada 

dinding yang tadi menutup. Mahesa maju dan 

coba meneliti, tapi batas sambungan sama 

sekali tidak kelihatan. Dicobanya memukul, 

tapi tangannya yang jadi sakit dan lecet!

"Aku tak mengerti mengapa kita terus-

terusan di katakan bodoh!" ujar si pemuda. 

Wulansari hanya bisa menarik nafas dalam. 

Keduanya berdiam diri mencoba memecah-

kan rahasia kata-kata Api-Salju tadi.

"Jika kita dikatakan bodoh..." desis Wu-

lansari antara kedengaran dan tidak, "Berarti 

kita harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang 

tidak bodoh! Tapi apakah itu?"

Sunyi lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran 

dan mencari jalan pemecahan masing-

masing. Disamping itu, karena terkurung di 

dalam ruangan tertutup mereka tidak pula 

dapat menentukan apakah saat itu hari siang 

atau malam. Berapa lama lagi datangnya hari 

esok yang dikatakan oleh Api-Salju itu? Me-

reka dikatakan bodoh tetapi mereka tidak ta-

hu kebodohan apakah yang mereka lakukan. 

Dan bila besok Api-Salju datang, mereka ma-

sih saja dikatakan bodoh, berarti tamat ri-

wayat mereka!


"Aku dapat akal!" kata Wulansari tiba-

tiba.

Mahesa Kelud memandang paras kekasihnya 

dengan harap-harap cemas. "Akal apa?" ta-

nyanya.

"Jika Api-Salju besok datang dan men-

gatakan kita bodoh, kita tanyakan saja pa-

danya perbuatan bodoh apakah yang kita la-

kukan!"

Mahesa Kelud berpikir sebentar lalu ge-

lengkan kepala. "Justru dengan bertanya ke-

padanya itulah kita memperlihatkan kebo-

dohan kita! Dan putuslah nyawa kita, Wu-

lan!"

Apa yang dikatakan Mahesa terasa be-

nar bagi si gadis dan ini membuat dirinya 

terdiam. Tiba-tiba terdengar benda bergeser. 

Dinding putih membuka. Api-Salju masuk 

dengan segala kehebatannya. "Hari esok su-

dah tiba!" serunya.

Menggigillah tubuh Wulansari. Mahesa 

Kelud sendiri gemetar sekujur tubuhnya. Me-

reka tidak menyangka bahwa hari esok yang 

dimaksudkan oleh Api-Salju tidak lebih dari 

beberapa saja!

Api-Salju berdiri tolak pinggang. Tiba-

tiba dia jungkir balik, tangan di bawah kaki 

ke atas. Entah bagaimana saja, mendadak


Mahesa Kelud mendapat firasat. Dia berbisik 

pada kekasihnya. "Kalau kita harus mati di 

sini, mungkin itu sudah takdir. Wulan, cepat 

tirukan perbuatannya!"

Mahesa Kelud bergerak meniru perbua-

tan Api-Salju. Dia berdiri dengan kaki ke atas 

tangan ke bawah. Dalam kebingungannya, 

Wulansari meniru pula perbuatan Mahesa.

"Bodoh!" teriak Api-Salju.

"Bodoh!" teriak Mahesa Kelud.

"Bodoh!" menirukan Wulansari.

Api-Salju gerak-gerakan kedua kakinya 

dan angin membadai bersiuran. Mahesa dan 

Wulansari meniru pula, sama menggerakkan 

kaki masing-masing dan anehnya tubuh me-

reka tidak berpelantingan tersapu sambaran 

angin yang keluar dari kedua kaki Api-Salju 

bahkan dari kaki-kaki mereka kiri kanan me-

lesat pula keluar pukulan-pukulan angin 

yang tak kalah dahsyatnya sehingga tiupan 

angin di dalam ruangan putih tersebut men-

jadi seimbang. Ruangan bergoyang keras lak-

sana kapal oleng dilanda ombak besar di ten-

gah lautan!

Api-Salju putar tubuh dan berdiri di 

atas kakinya kembali. "Bodoh!" teriaknya.

Mahesa serta Wulansari tak tinggal diam. Ke-

duanya berbuat yang sama pula dan berte


riak: "Bodoh!"

Tiba-tiba Api-Salju memukulkan kedua 

tangannya ke muka. Dua sinar putih panas 

dan menyilaukan mata melesat ke arah dua 

kekasih itu. Tubuh mereka mental terpelant-

ing ke dinding putih di belakang mereka. Pa-

kaian mereka hangus tapi mereka tidak ter-

luka! Keduanya menjadi heran tapi tidak 

memikirkan lebih lama keanehan itu sebalik-

nya cepat-cepat pula meniru memukulkan 

kedua tangan masing-masing ke muka! Dan 

kelihatanlah empat sinar putih menyambar 

ke luar dari telapak-telapak tangan mereka ke 

arah Api-Salju. Tubuh Api-Salju laksana se-

buah pohon kepala

ditiup angin bergoyang menghuyung tapi ke-

dua kakinya tetap tidak bergeser! Mahesa dan 

Wulansari sama keluarkan seruan tertahan. 

Mereka hanya meniru-niru saja, lain tidak! 

Tapi bagaimana tahu-tahu dari kaki dan ke-

dua tangan mereka bisa keluar pukulan-

pukulan angin dahsyat itu! Pukulan Api-

Salju?! Kedua pendekar muda ini tidak tahu 

bahwa mereka sesungguhnya bernasib un-

tung berbintang terang. Selama satu hari sa-

tu malam mereka terkubur di dasar telaga air 

putih. Pada saat itulah terjadi kemujizatan. 

Melalui pori-pori di seluruh kulit tubuh me


reka merasuk masuk kekuatan dahsyat yang 

mengandung ilmu kesaktian pukulan Api-

Salju yang melarut di dalam air telaga untuk 

kemudian masuk ke dalam tubuh mereka 

dan larut di dalam darah!

"Bodoh!" teriak Api-Salju.

"Bodoh!" meniru Mahesa Kelud.

"Bodoh!" menuruti pula Wulansari.

Api-Salju turunkan tangannya yang 

bertolak pinggang lalu tertawa berka-

kakan! Kedua kekasih itupun tertawa 

pula bekakakan!

Tiba-tiba Api-Salju hentikan tawanya 

dan bertanya: "Mengapa kalian tirukan se-

mua perbuatan dan ucapanku hah?!"

"Kami tidak ingin jadi orang bodoh!" ja-

wab Mahesa Kelud beranikan diri meski di-

am-diam hatinya kecut karena dia belum ta-

hu apakah makhluk sakti itu tetap akan me-

laksanakan niat untuk membunuhnya ber-

sama Wulansari atau tidak!

"Bukankah meniru berarti bodoh?!" 

Api-Salju tertawa menggidikkan.

Mahesa berpaling pada Wulansari. "Celaka, 

Mahesa. Tamatlah riwayat kita," kata gadis 

itu. Suaranya menyendat dan mukanya pucat 

pasi!

Tapi Mahesa tak kehabisan akal. Pe


muda cerdik ini segera buka mulut berikan 

jawaban. "Tapi yang kami tirukan adalah per-

buatanmu. Jika kami mati, kau pun harus 

mati!"

Tertawalah Api-Salju mendengar uca-

pan Mahesa Kelud itu. "Kau pemuda cerdik!" 

katanya. Pandangan mata yang merah yang 

tadi begitu ganas kini kelihatan berseri. "Ka-

lian berdua sama beruntung! Apa kalian tak 

tahu bahwa selama dua hari di tempatku ka-

lian sudah meresapkan ilmu pukulan Api-

Salju?"

Kejut Mahesa Kelud dan Wulansari bu-

kan main! Mereka saling pandang dan melo-

tot seperti tak percaya akan pendengaran! 

Benarkah? Sungguhkah mereka sudah memi-

liki ilmu pukulan Api-Salju itu? Selama dua 

hari dua malam mereka tidak sadarkan diri, 

kapan pula mereka telah belajar ilmu puku-

lan tersebut? Ini benar-benar satu hal yang 

tidak dimengerti!

Api-Salju maklum apa yang terpikir da-

lam kepala kedua orang itu. Dia segera mem-

berikan keterangan. "Kalian berdua ketahui-

lah! Bahwa siapa-siapa yang tenggelam ke 

dasar telaga berair putih lebih dari setengah 

hari maka dia akan meresapkan ilmu puku-

lan sakti tersebut dengan sendirinya tanpa


dipelajari, tanpa membaca mantera-mantera 

waktu mempergunakannya!"

Mendengar ini maka dengan serta mer-

ta kedua orang ini jatuhkan diri ke lantai dan 

berseru: "Guru!" Api-Salju tertawa menggu-

mam. "Kalian cerdik tapi kali ini unjukkan la-

gi kebodohan!" katanya. "Siapa yang angkat 

kau jadi murid maka memanggil aku guru? 

Siapa yang ajar kalian ilmu pukulan itu? Ti-

dak seorangpun.

Tidak aku dan juga tidak setan jin dedemit 

hantu gentayangan! Kalian telah mempelajari 

dan memilikinya sendiri tanpa ada yang men-

gajar, tanpa kalian sadari. Kalian cuma me-

nang di dalam dua hal, yaitu nasib baik serta 

cerdik. Jika saja kalian tidak meniru perbua-

tan dan ucapanku tadi, tamatlah riwayat ka-

lian!"

Mahesa dan Wulansari ingat pada kata-

kata guru mereka Suara Tanpa Rupa yaitu 

bahwa ilmu pukulan Api-Salju tak bisa di-

ajarkan, harus dicari langsung ke sumbernya. 

Bahwa jika mereka bernasib untung mereka 

akan mendapatkannya dan kalau tidak ter-

paksa menebus dengan nyawa!

"Kalian mengaku anak-anak murid Su-

ara Tanpa Rupa." terdengar suara Api-Salju. 

"Apakah guru kalian yang menyuruh datang


kemari?"

"Betul," jawab kedua orang tersebut. 

"Apa katanya?!"

"Cari telaga berair putih mendidih ka-

rena di situlah sumber ilmu pukulan Api-

Salju," sahut Mahesa.

"Hanya itu saja katanya?"

"Ya."

Api-Salju tertawa puas. "Gurumu seo-

rang sakti yang cerdik dan patuh! Ketahuilah 

oleh kalian, siapa saja boleh datang kemari 

untuk mendapatkan ilmu pukulan Api-Salju. 

Tapi sekali-sekali tidak boleh diberitahu cara-

cara untuk mendapatkan ilmu tersebut! Jika 

rahasia dibukakan maka yang diberi tahu 

dan yang memberitahu akan menemui ajal! 

Kalian ingat betul-betul pantangan tersebut! 

Dan kalian ketahui pulalah. Dalam dunia 

persilatan sampai saat ini hanya ada lima 

orang yang memiliki ilmu pukulan Api-Salju 

tersebut. Pertama gurumu si Suara Tanpa 

Rupa, kedua dan ketiga kalian berdua, keem-

pat Kyai Gandasuli di gunung Merapi dan ke-

lima aku sendiri! Di antara yang berlima ini 

kalian berdualah yang paling untung karena 

kalian yang termuda!"

Kedua orang muda itu manggut-

manggut penuh suka cita.


"Kemudian kalian harus ingat pula 

bahwa ilmu pukulan tersebut hanya ampuh 

dipergunakan untuk kebaikan. Seandainya 

dipakai buat kejahatan maka ilmu tersebut 

akan membalik menyerang diri kalian sehing-

ga tubuh kalian menjadi panas laksana api 

dan dingin laksana salju. Dan keadaan panas 

dingin itu tubuh kalian akan membatu lalu 

lumer dan mampus laksana sebuah getah 

damar terbakar!" Api-Salju memandang pada 

kedua orang itu untuk penghabisan kalinya 

lalu berkata: "Nah, kalian telah beruntung. 

Pertemuan kita cuma di sini!" Api-Salju mem-

buka mulutnya lebar-lebar dan dari mulut itu 

keluarlah kepulan asap hitam pekat. Dinding 

ruangan yang putih bersih berubah sontak 

menjadi hitam legam sehingga ruangan itu 

gelap gulita, jari di depan matapun tiada keli-

hatan!

Mahesa dan Wulansari terbatuk-batuk waktu 

kepulan asap hitam memasuki liang hidung 

dan mulut mereka. Keduanya menggeletak ke 

lantai tanpa sadarkan diri!


TIGA



KETIKA keduanya siuman kembali, me-

reka dapatkan diri mereka berhamparan tak 

berapa jauh di tepi telaga Api-Salju. Tapi 

anehnya kini air telaga itu tidak lagi berwarna 

putih seperti salju, tidak lagi mendidih serta 

mengepulkan asap melainkan seperti air-air 

telaga kebanyakan lainnya, bening tenang an-

tara hijau kebiruan.

"Dunia serba aneh," desis Mahesa Ke-

lud. Dia memandang pada Wulansari dan ter-

kejut melihat muka serta tangan kaki dan se-

kujur tubuh kekasihnya itu hitam celemon-

gan?!

"Wulan! Tubuhmu kenapa celemon-

gan?!" Saat itu si gadis berbaring menelen-

tang. Dia putar kepalanya sedikit dan dengan 

tersenyum berkata. "Tubuhmu sendiri cele-

mongan mulai dari ujung rambut sampai 

ujung kaki!"

Mahesa Kelud meneliti dirinya. Apa 

yang dikatakan Wulansari memang benar. 

Keadaan dirinya tiada beda dengan diri gadis 

itu. Mahesa mau tak mau jadi tertawa sendi-

rian. "Lapisan debu hitam ini pasti berasal 

dari kepulan asap yang keluar dari mulut


Api-Salju waktu di ruangan putih! Kau in-

gat?" Wulansari mengangguk lalu bangun 

duduk. Dia memandang ke telaga. "Bagaima-

na kalau kita bersihkan diri di telaga itu?" ta-

nyanya.

"Jangan Wulan. Meski bentuk telaga ini 

beda dengan yang kita lihat dua malam lewat, 

tapi sebaiknya kita cari tempat lain. Barang-

kali ada sungai di dekat-dekat sini!". Kedua-

nya pun berdirilah. Memang tak berapa jauh 

dari situ terdapat sebuah anak sungai. Mas-

ing-masing mencari tempat yang baik dan 

mulai membersihkan diri. Kemudian mereka 

duduk di tepi sungai. Saat itu hari masih pa-

gi. Udara sekitar mereka rindang dan sejuk. 

Lebih-lebih bila angin bertiup sepoi-sepoi ba-

sah nyaman sekali rasanya.

Wulansari memperhatikan jari-jari tan-

gannya yang dipermainkan Mahesa Kelud 

dan balas meremas. "Wulan..." kata pemuda 

itu.

"Ya Mahesa?" sahut si gadis seraya 

sandarkan kepalanya ke bahu Mahesa Kelud.

"Coba kau ingat baik-baik. Sudah bera-

pa lamakah kita saling kenal satu sama 

lain...?"

"Maksudmu sejak mula pertama aku 

bertemu dengan kau dan kita berkelahi itu?"


"Ya," jawab Mahesa dengan mengulum 

senyum.

"Hemmm... kurasa hampir tiga tahun, 

Mahesa."

"Betul, tiga tahun. Cukup lama sekali 

bukan? Dan selama tiga tahun itu banyaklah 

berbagai hal dan pengalaman yang kita hada-

pi dalam suasana duka maupun suka. Dan 

masih ingat pulakah kau akan apa yang per-

nah kita cita-citakan, Wulan...?"

Dada gadis itu berdebar. Kedua pipinya 

yang montok kelihatan memerah. "Aku tak 

pernah melupakan hal itu, kakak," katanya 

membisik.

"Kurasa sudah saatnya kini kita melak-

sanakan apa yang kita cita-citakan itu, Wu-

lan. Lagi pula gurupun sudah menyerahkan 

nasib perjodohan kita di tangan kita masing-

masing.

Bagaimanakah pendapatmu?"

"Aku... aku hanya menurutkan apa ka-

tamu saja, kakak," jawab gadis itu dengan 

tunduk-kan kepala. Sedang kedua matanya 

berkaca-kaca.

"Aku sudah merencanakan untuk 

membangun satu tempat kediaman di puncak 

Gunung Muria di pantai utara. Juga meren-

canakan untuk mendirikan satu perguruan


silat di sana. Setujukah kau?"

Wulansari anggukkan kepala. Ketika 

Mahesa Kelud memandang kejurusan lain, 

cepat-cepat dia menyeka kedua matanya. 

"Mahesa... sebelum kita ke Gunung Muria 

maukah kau ke kampungku lebih dahulu. Di 

sana masih ada kenalan-kenalan dekatku. 

Kalau kau tak keberatan aku lebih suka agar 

kita... menikah di sana saja..."

"Itu baik sekali!" ujar Mahesa Kelud de-

ngan hati gembira. Diciumnya pipi kekasih-

nya lalu berdiri. "Mari kita lanjutkan perjala-

nan. Kampungmu cukup jauh dari sini, Wu-

lan."

Kedua manusia yang berbahagia itu 

melangsungkan pernikahan di kampung Ban-

jaran. Dari sini mereka kemudian berangkat 

ke Gunung Muria di utara. Perjalanan penuh 

suasana mesra, karena antara mereka yang 

sudah jadi suami istri tak ada lagi batas 

penghalang. Mereka bisa berbuat apa saja se-

bagai suami istri dan di mana serta kapan sa-

ja!

Gunung Muria sebuah gunung tinggi, 

terletak di pesisir utara pulau Jawa. Di sini-

lah Mahesa Kelud membangun rumah dan 

tinggal bersama istrinya. Mereka hidup baha-

gia. Tiga bulan kemudian, karena banyak tu


gas-tugas yang harus dilaksanakannya maka 

Mahesa turun dari gunung meninggalkan is-

trinya yang waktu itu tengah mulai mengan-

dung! Tugas-tugas yang masih harus dilak-

sanakan Mahesa Kelud di antaranya yang 

terpenting adalah mencari pedang Samber 

Nyawa, kemudian mencari manusia bernama 

Simo Gembong. Lalu mencari Dewi Maut di 

sebuah Lembah Maut yang kabarnya terletak 

di ujung timur pulau Jawa. Di samping ketiga 

tugas-tugas penting tersebut masih ada satu 

hal yang harus dilaksanakannya terlebih da-

hulu yakni memenuhi janji dengan Namadje-

ni, si orang tua sakti yang dulu pernah dito-

longnya. Sudah hampir satu tahun berlalu 

dan berarti sudah memasuki waktu perjan-

jian yang telah ditetapkan.

Berat sungguh berpisah dengan istri. 

Apalagi mereka masih dalam suasana pen-

gantin baru. Tapi demi tugas dan kepatuhan 

sebagai seorang murid terhadap guru maka 

kepentingan pribadi ditinggalkan.

Tak diceritakan lagi perjalanan pendekar itu 

maka pada suatu hari sampailah Mahesa Ke-

lud ke tepi rawa-rawa lumpur di mana dulu 

pertama kali dia bertemu dengan Namadjeni 

yang sedang disiksa oleh muridnya Langlang-

seta! Berhari-hari Mahesa Kelud menunggu.


Hari berganti minggu. Sudah dua minggu tapi 

Namadjeni tak kunjung datang! Dia tidak 

percaya kalau orang tua tersebut menipunya 

atau tidak akan menepati janji. Tapi dalam 

waktu yang sudah ditentukan mengapa tahu-

tahu dia tidak muncul? Barangkali terjadi 

apa-apa dengan orang sakti itu?!

Mahesa memutuskan untuk menunggu 

sampai satu minggu lagi. Ketika satu minggu 

berlalu pula maka diapun bersiaplah untuk 

meninggalkan tempat tersebut dengan hati 

kecewa. Mendadak di hadapan sebuah pohon 

kayu besar dia hentikan langkah. Pada ba-

tang kayu ini terdapat rentetan kalimat yang 

agaknya dibuat dengan jari-jari tangan den-

gan mempergunakan tenaga dalam yang ting-

gi. Di sini tertulis:

"Pergi ke timur, 

hentikan langkah di pohon beringin. 

Tirulah perbuatan tikus 

Ketuk pintu masuk goa 

Sudah lama menunggu pendekar 

Senjata ampuh sukar tandingan 

Seribu nyawa seribu bahaya 

Tabahkan hati kuatkan nyawa 

Senjata sakti pasti bersua"



Mahesa membaca sekali lagi rentetan 

kalimat-kalimat tersebut. Meski tiada nama 

penulisnya namun dia sudah dapat memasti-

kan bahwa tulisan tersebut adalah Namadjeni 

yang membuatnya. Kalimat demi kalimat di-

ingatnya baik-baik. Kemudian sebagaimana 

yang tertunjuk maka Mahesa segera berang-

kat lurus ke timur! Ketika malam tiba pohon 

beringin yang dimaksudkan belum juga dite-

muinya. Mahesa berhenti untuk berkemah. 

Paginya perjalanan dilanjutkan kembali. Te-

rus-terusan dia menuju ke timur. Empat hari 

berlalu. Hatinya mulai was-was dan ragu ka-

rena selama itu tidak satu pohon beringinpun 

yang ditemuinya. Perjalanan sukar bukan 

main! Pada tengah hari ketujuh akhirnya di-

temuinya juga sebuah pohon beringin, yang 

terletak di tengah hutan belantara tiada ter-

tembus matahari! di sini dia berhenti.

Dia mengingat-ingat rentetan kalimat 

yang dibacanya di batang pohon tempo hari.

"Pergi ke timur

Hentikan langkah di pohon beringin 

Tirulah perbuatan tikus...."

Sampai di sini Mahesa termenung. 

Apakah maksudnya dengan kalimat ketiga.


"Tirulah perbuatan tikus..." Ditelitinya pohon 

beringin dan keadaan sekitarnya kalau-kalau 

akan menemukan petunjuk lain. Tapi sama 

sekali tidak ada. Mahesa termenung dan ter-

mangu. Apakah yang harus diperbuatnya? 

Perbuatan tikus yang macam manakah yang 

harus dilakukannya? Dalam dia termangu-

mangu seperti saat itu di dekat kakinya 

menggeresek sesuatu. Dia memandang ke 

bawah dan seekor tikus lewat di hadapannya, 

menyelinap di antara akar-akar besar dan le-

nyap di dalam sebuah lobang!

Mahesa berpikir, apakah perbuatan ti-

kus masuk ke lobang itukah yang harus diti-

rukannya?! Mustahil! Mana mungkin tubuh-

nya yang sebesar itu harus masuk ke dalam 

lobang? Kakinya saja pun tak akan masuk! 

Sambil terus berpikir-pikir Mahesa melang-

kah mengelilingi pohon besar tersebut. Di be-

berapa bagian dikoreknya tanah di bawah 

akar pohon dengan ujung ibu jarinya. Dalam 

korek mengorek itu tiba-tiba terbukalah se-

buah lobang sebesar kepala. Mahesa terkejut. 

Dia membungkuk dan mempergunakan tan-

gannya untuk memperbesar lobang itu. Ta-

nah di sekitar berguguran dan akhirnya keli-

hatanlah sebuah lobang besar yang merupa-

kan mulut sebuah lorong di bawah tanah, di


bawah pohon beringin!

Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud terjun 

ke dalam lobang dan memasuki lorong tanah 

yang gelap itu! Beberapa kali kepalanya ter-

tumbuk tanah bagian atas lorong. Matanya 

perih kelilipan tapi dia jalan terus. Semakin 

jauh masuk ke dalam semakin gelap serta 

sempit lorong tersebut. Dari arah mukanya 

datang menyambar hidung bau busuk yang 

memuakkan! Nafas orang muda ini mulai 

menyengal. Kekuatannya seperti disedot. Dari 

membungkuk-bungkuk kini dia hanya bisa 

merayap perlahan. Tubuhnya sudah basah 

oleh keringat dan kotor oleh tanah. Tapi ha-

tinya dikeraskan untuk maju terus sementara 

bau busuk dari mukanya semakin menjadi-

jadi juga! Dia ingat pula akan rentetan kali-

mat yang berbunyi: Tabahkan hati kuatkan 

jiwa.

Mahesa merayap terus tapi tenaganya 

benar-benar sudah habis sedang nafasnya 

sudah menyesak. Dalam keadaan seperti itu 

akhirnya dia melosoh ke tanah tanpa sadar-

kan diri!

Dia tak tahu entah berapa lama dia 

pingsan. Juga tidak tahu apakah di luar sana 

hari masih siang atau sudah malam. Kedua 

matanya dibuka tapi seperti sebelumnya da


lam lorong itu hanya kegelapan belaka yang 

dilihatnya. Dengan mengumpulkan tenaga 

yang ada Mahesa maju merangkak kembali. 

Tiba-tiba satu pikiran terlintas di kepalanya. 

Dia segera memperbaiki keadaan dirinya. Te-

naga dalamnya dialirkan ke tangan kanan la-

lu dipukulkan ke muka!

Seperti suara angin punting beliung gu-

lungan tenaga dalam yang dipukulkan itu 

melesat sepanjang lorong gelap. Tanah lorong 

terkikis mengepulkan abu. Mahesa menutup 

mata dan hidungnya. Dia menunggu dan 

memasang telinga. Suara seperti angin punt-

ing beliung yang disebabkan oleh tenaga da-

lamnya hilang dikejauhan. Satu dua saat ke-

mudian suara itu terdengar kembali. Mula-

mula perlahan lalu makin keras, makin ke-

ras, makin dekat dan....

Mahesa Kelud jatuhkan dirinya serta 

mungkin ke tanah lorong. Hantaman tenaga 

dalamnya yang dikirimkan ke muka berbalik 

kembali dan memukul ke arahnya! Meski dia 

sempat jatuhkan diri tak urung dia masih ke-

na terseret sampai beberapa tombak ke bela-

kang! Mahesa menarik nafas dalam. Dari la-

manya tenaga dalam itu kembali segera di-

makluminya bahwa ujung dari lorong dimana 

dia berada saat itu masih sangat jauh! Mahe


sa kertakkan geraham. Dia merayap lagi dis-

epanjang lorong.

Berjam-jam kemudian bau busuk semakin 

santar menyambar hidungnya. Ini suatu tan-

da bahwa dia sudah dekat pada benda yang 

mengeluarkan bau busuk itu. Dan perhitun-

gannya itu memang benar. Selewatnya satu 

tikungan tajam maka di mukanya kelihatan-

lah sinar berkilauan. Mahesa merayap lebih 

cepat. Sinar menyilaukan itu ternyata ditim-

bulkan oleh sebuah pintu besar terbuat dari 

baja putih! Dan nyali orang muda ini jadi 

mengkerut ketika dia menyaksikan apa yang 

bertebaran di hadapan pintu baja tersebut!


EMPAT



DI SANA, di depan pintu baja berteba-

ran jerangkong-jerangkong manusia dan 

mayat-mayat yang membusuk. Ada yang ter-

sandar ke pintu, ada yang menggeletak patah 

siku di pojok mulut terowongan dan ada pula 

yang berhamparan di tanah. Kebanyakan dari 

tengkorak-tengkorak manusia dan mayat-

mayat ini berada dalam keadaan berantakan 

serta rusak. Mungkin sekali ini disebabkan 

oleh pukulan tenaga dalam yang dilancarkan


Mahesa Kelud waktu di dalam terowongan ta-

di! Pemuda itu menutup hidungnya. Bau 

mayat yang rusak dan busuk seakan-akan 

hendak merurutkan bulu hidung, bahkan se-

perti mau menanggalkan hidungnya!

Apakah yang telah terjadi di sini sebe-

lumnya! Di muka pintu baja itu? Apakah te-

lah terjadi pembantaian! Apa pula yang ter-

sembunyi di balik pintu baja di hadapannya? 

Dengan kuatkan hati Mahesa Kelud coba me-

neliti mayat-mayat di hadapannya. Kemudian 

dilihatnya bahwa pada setiap mayat tertancap 

dua sampai lima buah keris berwarna kuning 

hulunya berbentuk kepala ular, mungkin ke-

ris ular emas beracun! Pada tulang-tulang iga 

jerangkong-jerangkong yang masih agak utuh 

juga dilihatnya benda-benda yang sama! Pasti 

sudah semua manusia-manusia itu menemui 

ajalnya karena tusukan-tusukan keris terse-

but! Tengkuk Mahesa Kelud merinding. Mata-

nya dipejamkannya seketika dan dia teringat 

pada kalimat keempat: Ketuk pintu masuk ke 

goa. Pintu inilah pasti yang dimaksudkan. 

Dan apakah yang akan menyambutnya bila 

pintu itu terbuka? Seekor binatang buas? 

Seorang raksasa? Hantu iblis? Ataukah senja-

ta-senjata rahasia? Apapun yang menyam-

butnya pastilah bahaya maut, pikir Mahesa


karena dia ingat akan kalimat ketujuh ber-

bunyi: Seribu nyawa seribu bahaya!

Mahesa Kelud bergerak di antara teba-

ran jerangkong dan mayat-mayat membusuk. 

Diulurkannya tangan kirinya untuk menge-

tuk pintu baja lalu cepat-cepat dia menghin-

dar ke samping. Anehnya pintu baja yang di-

ketuk itu mengeluarkan suara nyaring laksa-

na sebuah gong besar yang ditempa! Suara 

getaran bunyi pintu ini menggelombang keras 

membuat tebaran-tebaran jerangkong dan 

mayat bergelinding kian kemari. Mahesa Ke-

lud sendiri turut menghuyung tubuhnya! Tapi 

tak satu apapun yang terjadi. Mahesa ulur-

kan tangan kiri kembali untuk mengetuk ke-

dua kalinya. Tapi cepat-cepat tangannya dita-

rik pulang! Karena tiada disangka sama sekali 

mendadak sontak pintu baja itu membuka 

lebar dan setiup angin laksana badai me-

nyambar ke luar! Lusinan jerangkong mele-

sak menyumpal di mulut lorong! Dan semua-

nya dalam keadaan hancur lebur! Dingin ku-

duk Mahesa Kelud. Kalau saja dia tidak cepat 

hindarkan diri ke samping pastilah nasibnya 

akan sama dengan mayat-mayat dan jerang-

kong-jerangkong itu! Hancur lebur. Dan 

hanya namanya saja yang akan pulang ke 

puncak Gunung Muria!


Beberapa saat berlalu. Tak terjadi apa-

apa. Mahesa melangkah dengan hati-hati 

mendekati pintu bersiap masuk. Namun baru 

saja sebahagian dari tubuhnya mendekati 

pintu yang terbuka itu, dari ruangan batu 

yang gelap di dalamnya berdesingan beberapa 

buah benda kuning. Mahesa secepat kilat 

menghindar ke samping kembali. Namun tak 

urung salah satu dari benda tersebut masih 

sempat menyerempet lengan bajunya. "Bret!"

Lengan baju itu robek besar. Hawa pa-

nas dan jahat mengalir ke lengannya terus ke 

badan tapi segera sirna oleh hawa sakti yang 

keluar dari pedang merah di balik punggung 

Mahesa Kelud. Pada saat yang sama lima 

buah benda bertancapan susul menyusul di 

dinding tanah di atas mulut lorong. Ketika di-

perhatikan oleh Mahesa ternyata kelima ben-

da itu adalah keris-keris kuning emas yang 

hulunya berbentuk kepala ular! Mahesa te-

ringat pada tumpukan jerangkong dan mayat 

manusia yang tadi dilihatnya. Tentu nasib 

buruk itulah yang akan dialaminya jika saja 

dia tidak keburu melompat ke samping. Laki-

laki ini usap tangan kirinya ke mukanya yang 

keringatan. Dia menunggu lagi. Sunyi saja se-

lama beberapa saat.

Mahesa berpikir-pikir siapakah geran


gan yang melempar lima keris ular emas ter-

sebut?

Apakah juga sama dengan makhluk 

yang telah lepaskan pukulan angin dahsyat 

sebelumnya? Dia mencabut salah sebuah ke-

ris yang tertancap di dinding tanah. Senjata 

ini keseluruhannya memang terbuat dari 

emas dan berkeluk tiga. Ditimangnya seben-

tar keris itu, tiba-tiba matanya yang tajam 

melihat sebaris tulisan-tulisan kecil pada le-

kukan senjata. Diperhatikannya baik-baik tu-

lisan tersebut, ternyata berbunyi:

"Bila badan mau selamat, bila nyawa akan te-

tap di badan, kembalikan kepada yang em-

punya."

Payah Mahesa Kelud memecahkan apa 

rahasia atau arti dari tulisan tersebut. Kepa-

da siapa tulisan itu ditujukan pastilah kepada 

mereka yang mencoba masuk ke dalam ruan-

gan di belakang pintu. Tapi apakah yang ha-

rus dikembalikan dan kepada siapa?! Mahesa 

Kelud memutar otaknya. Dicabutnya keris 

emas yang kedua dan memperhatikannya. 

Pada senjata ini juga terdapat tulisan dengan 

bunyi yang sama. Demikian pula pada keris 

ketiga, keempat dan kelima. Terpikirlah ak-

hirnya oleh Mahesa Kelud, apa bukannya ke-

lima keris itu yang harus dikembalikan? Bo


leh jadi! Tapi kepada siapa?! Dipegangnya ke-

lima senjata tersebut sekaligus lalu dilempar-

kannya ke ruangan gelap di belakang pintu 

baja putih!

Lemparan yang dilakukan Mahesa Ke-

lud tidak kalah hebatnya dengan waktu keli-

ma senjata tersebut mendesing dari ruangan 

dalam. Tiba-tiba Mahesa jadi terkesiap. Tak 

lama sesudah lima keris itu melesat dan dite-

lan kegelapan ruangan maka terdengarlah li-

ma suara lolongan serigala yang sangat me-

nyeramkan. Lalu disusul oleh suara-suara 

binatang berlarian dan sejurus kemudian 

menghamburlah lima ekor serigala besar, me-

losoh mati bergeletakan di muka pintu baja. 

Pada batok kepala masing-masing menancap 

lima keris ular emas yang tadi dilemparkan 

Mahesa Kelud!

Laki-laki ini berdiri tak bergerak-gerak be-

berapa jurus lamanya. Dari mana datangnya 

kelima serigala tersebut? Siapakah sesung-

guhnya yang menjadi penghuni dari lorong 

dan ruangan mengerikan di bawah tanah 

ini?!

Seperti tadi kesunyian kembali mence-

kam. Mahesa Kelud cabut pedang merahnya 

dan melompat masuk ke dalam. Sinar merah 

yang memancar dari pedang itu membuat


ruangan yang gelap di mana dia berada men-

jadi agak terang. Tiba-tiba terdengar suara 

seperti bunyi gong dan pintu baja putih di be-

lakang Mahesa Kelud menutup! Celaka, kata 

laki-laki itu. Bagaimana dia akan keluar nan-

ti? Namun Mahesa Kelud tak bisa berpikir le-

bih lama karena pada saat itu pula kira-kira 

dua puluh sinar kuning melesat dari dinding 

ruangan sekelilingnya, menyerang ke arah-

nya! Keris-keris ular emas!

Cepat laki-laki ini atur kedudukan ka-

kinya dan serentak dengan itu putar pedang 

dewa di tangannya dengan sebat. Sinar pe-

dang bergulung membungkus tubuhnya dari 

kepala sampai ke kaki dan dua puluh kali 

terdengar suara senjata itu beradu dengan 

keris-keris ular emas, dua puluh kali pula ke-

lihatan bunga api memancar. Keris ular emas 

dibikin runtuh semua! Mahesa Kelud cepat-

cepat berpindah tempat karena dia khawatir 

akan menjadi bulan-bulanan maut gila! Dan 

benar saja! Satu detik dia berpindah tempat 

maka lantai di mana dia tadi berdiri amblas 

ke bawah. Mahesa coba menjenguk ke dalam 

lobang empat persegi. Di bawah penerangan 

sinar pedang saktinya maka kelihatanlah be-

lasan ekor ular kuning emas sebesar-besar 

tangan berjalaran di lantai lobang itu! Bina


tang-binatang ini seperti mengamuk ketika 

merasakan hawa panas yang keluar dari 

ujung pedang di tangan Mahesa Kelud.

Goyah lutut Mahesa ketika dia memi-

kirkan bagaimana jadinya jika dia tidak ce-

pat-cepat berpindah tempat tadi! Pasti tu-

buhnya akan kelojotan dipatuk ular-ular 

kuning emas itu! Dan setahunya ular kuning 

jenis yang dilihatnya itulah yang sangat ber-

bahaya! Seseorang yang dipatuk ular kuning, 

bila dalam waktu cepat tidak mendapat obat 

penawar racun, pasti tak akan ketolongan 

nyawanya!

Mahesa menghindar dari tepi lobang 

dan melangkah dengan hati-hati. Ruangan 

panjang besar yang dilaluinya kotor berdebu. 

Di sudut-sudut atas ruangan itu dilihatnya 

penuh dengan sarang laba-laba. Karena dia 

memandang ke atas maka tanpa disadari ka-

kinya terantuk pada beberapa buah benda. 

Mahesa angsurkan pedangnya ke muka dan 

memandang ke bawah. Tubuh laki-laki itu 

seperti diguyur air es! Menggigil! Betapa ti-

dak! Benda yang tadi tertendang ujung ka-

kinya adalah dua buah kepala manusia! Nya-

wa laki-laki ini serasa terbang. Cepat-cepat 

dia lari meninggalkan tempat itu. Celakanya 

di muka sana tubuhnya bertabrakan dengan


sesuatu dan ketika dilihatnya! Terbanglah 

semangat Mahesa Kelud. Yang barusan dita-

braknya tiada lain dari tubuh manusia, tapi 

tubuh manusia tanpa kepala! Dari bagian le-

hernya bersemburan darah merah kental dan 

bau amis. Pakaian Mahesa Kelud kotor oleh 

muncratan darah tersebut!

Tubuh tanpa kepala itu melangkah 

huyung mendekatinya. Kedua tangannya 

menggapai-gapai. Tiba-tiba tubuh tersebut 

melompat ke muka dan tengkuknya kena di-

cekal! Mahesa gerakkan siku kanannya.

"Buk!" ujung sikunya menghantam tu-

lang dada sosok tubuh. Tetapi anehnya sosok 

tubuh tanpa kepala ini keluarkan suara ter-

tawa meringkik seperti kuntilanak. Kaki ka-

nannya bergerak mengirimkan tendangan. 

Mahesa tak kuasa mengelak maka tubuhnya 

mental ke atas atap. Dia menggerakkan ka-

kinya maksudnya untuk membuat gerakan 

jungkir balik dan turun ke lantai kembali tapi 

saat itu satu tangan sudah menjambak ram-

butnya dari atas! Mahesa memandang ke 

atas! Yang menjambak rambutnya adalah 

hanya sebuah tangan berjari-jari sebesar pi-

sang-pisang ambon! Hanya tangan sampai ke 

lengan! Jika saja laki-laki ini bukan seorang 

yang bernyali besar pastilah dia sudah berte


riak setinggi langit atau jatuh pingsan saat 

itu juga!

Mahesa Kelud gerakkan tangan kanannya. 

Pedang sakti memapas! Lengan yang men-

jambak rambutnya putus, tubuhnya me-

layang ke bawah tapi jari-jari yang menceng-

keram rambutnya masih tetap berada di atas 

kepalanya. Mahesa memapas lagi. Jari-jari 

tangan itu putus-putus tapi sebagian dari 

rambutnya terpaksa pula terbabat putus!

Sesak nafas Mahesa Kelud bukan main. 

Dia memandang berkeliling. Tubuh tanpa ke-

pala tadi sudah lenyap entah ke mana. Tiba-

tiba dia mendengar suara petikan kecapi 

mengiringi suara nyanyian seorang perem-

puan yang merdu sekali. Tapi kemerduan itu 

tiada terasakan oleh Mahesa Kelud karena ji-

wa raga dan perasaannya masih saja diseli-

muti oleh segala macam kengerian yang tadi 

dihadapinya dengan mata kepala sendiri!

Namun demikian dia melangkah juga 

ke arah datangnya suara kecapi dan suara 

nyanyian, seperti ada satu kekuatan ajaib 

yang menariknya. Suara tersebut datang dari 

lorong di sebelah kanan. Mahesa memasuki 

lorong ini. Semakin jauh, semakin keras sua-

ra petikan kecapi dan suara nyanyian.

Tiba-tiba suara kecapi terputus! Suara


nyanyian berhenti dan terdengarlah suara 

tangisan yang merawankan hati. Mahesa me-

langkah terus. Di hadapan sebuah pintu kayu 

dia berhenti karena dari belakang ruangan di 

balik pintu kayu itulah didengarnya suara 

tangisan tersebut! Suara tangisan mendadak 

sontak berhenti ketika mendengar suara 

membentak lantang.

Tolol! Apa perlu menangis! Apa guna air 

mata dibuang tak karuan! Toh benda itu ha-

rus pindah ke tangan orang lain! Toh benda 

itu bukan milik kita! Tolol! Goblok! Kalau...."

Suara bentakan-bentakan lenyap ketika 

Mahesa Kelud di luar sana mengetuk daun 

pintu. Di dalam ruangan terdengar suara be-

risik. Lalu terdengar pintu dibanting dan 

sunyi.... Mahesa menunggu. Tetap sunyi. Dia 

hendak mendorong daun pintu di hadapan-

nya, tapi daun pintu tersebut membuka lebih

dahulu. Mahesa masuk. Pintu di belakangnya 

terkunci kembali. Ruangan di mana dia bera-

da saat itu memantulkan sinar kuning menyi-

laukan karena seluruh dindingnya dilapisi 

oleh emas murni! Kalau tadi diketahuinya ada 

dua orang manusia di dalam ruangan ini, 

yang satu tadi menyanyi dan memetik kecapi 

yang kedua yang tadi membentak, maka kini 

dilihatnya ruangan tersebut kosong melom


pong! Tidak sepotong manusia pun, juga ti-

dak sepotong perabotanpun yang kelihatan!

"Aneh." desis Mahesa Kelud. Dia tenga-

dahkan kepala ke atas atap ruangan emas 

dan tersiraplah darahnya!



LIMA



DI ATAS langit-langit ruangan emas 

bergelantungan puluhan ekor ular kuning 

emas yang panjangnya rata-rata satu seten-

gah tombak. Kepala ke bawah ekor menempel 

pada langit-langit! Mulutnya terbuka mem-

perlihatkan taring serta lidah beracun yang 

menjulur ke luar masuk. Dari dalam mulut 

semua ular itu mengepul keluar asap kuning! 

Mahesa Kelud memegang pedangnya erat-

erat. Tiba-tiba secara serentak, seperti diko-

mandokan oleh sesuatu, puluhan ular kuning

emas itu berjatuhan ke bawah dan menye-

rang Mahesa Kelud. Mahesa keluarkan ben-

takan keras. Pedang sakti di tangannya ber-

putar laksana titiran. Puluhan ekor ular ber-

pelantingan dalam keadaan tubuh putung-

putung. Tapi beberapa ekor di antaranya ma-

sih sempat mematuk laki-laki itu pada ping-

gang, dada dan paha kiri! Mahesa putar pedangnya. Ular-ular yang mematuknya tadi 

putus-putus, tapi ini tak ada gunanya. Meski 

semua binatang berbisa itu sudah mati na-

mun tiga patukan di tubuh Mahesa Kelud 

membawa akibat yang sangat berbahaya. Be-

tapa pun dia kerahkan tenaga dalamnya, be-

tapa pun tubuhnya sudah melarutkan ilmu 

Api-Salju, sekalipun pedang sakti tergenggam 

di tangan namun aliran bisa ular terus mela-

rut ke dalam tubuh, mengalir dalam darah-

nya!

Mahesa merasakan ruangan di mana 

dia berada seperti digoyang gempa. Nafasnya 

menyesak. Pemandangannya berkunang-

kunang. Tubuhnya panas dingin. Dia terge-

limpang ke lantai dengan pedang masih di ta-

ngan. Dia berusaha untuk tidak jatuh ping-

san. Di sudut ruangan dia melihat suatu lo-

bang empat persegi yang lebarnya sepemasu-

kan tubuh manusia. Dia merangkak dengan 

susah payah. Di belakang lobang tersebut ke-

lihatan tangga kuning menuju ke bawah. Ma-

hesa melewati lobang empat persegi lalu 

menggulingkan tubuhnya di atas tangga. Dia 

terhampar ke lantai di kaki tangga. Tulang-

tulangnya serasa bertanggalan dari persen-

dian. Dia merangkak lagi. Di ujung kiri keli-

hatan sebuah pelita yang menyalakan api


bersinar kuning. Mahesa merangkak ke arah 

pelita ini namun sebelum sampai ke sana tu-

buhnya sudah kejang dan melosoh ke lantai 

jatuh pingsan!

Ketika kemudian dia sadarkan diri. Pe-

lita kuning masih ada di hadapannya, dekat 

tangan kanan. Dia menggerakkan tangan ka-

nannya tapi malang, menyentuh pelita. Pelita 

terbalik dan padam! Ruangan itupun gelap-

lah! Mahesa gelagapan! Dalam keadaan se-

tengah mati setengah hidup itu dia mela-

patkan ajian "karang sewu" lalu memukul 

dinding di sebelahnya.

Dinding pecah. Lewat pecahan dinding 

memancarlah sinar kuning yang terang. Sinar 

kuning itu turut jatuh menimpa sebahagian 

dari tubuh Mahesa Kelud. Dan anehnya, Ma-

hesa seperti mendapat kekuatan baru. Dia 

merangkak ke pecahan dinding dan menjen-

guk ke ruangan di sebelahnya. Ruangan itu 

tidak besar tapi bagus bersih dan berbau ha-

rum sekali.

Di tengah ruangan kelihatan bergelung 

seekor ular kuning yang besarnya hampir se-

besar manusia sedang panjangnya menurut 

taksiran Mahesa Kelud mungkin lebih dari se-

puluh tombak! Binatang ini bergelung dengan 

mulut membuka lebar. Lidahnya yang berca


bang menjulur ke luar. Tepat di antara kedua 

cabang lidah ini maka terdapat sebuah keris 

besar berhulu dan bersarung emas, tegak 

berdiri lurus! Senjata inilah yang telah me-

mancarkan sinar terang kuning sampai ke 

ruangan sebelah. Sinarnya yang kuning pe-

nuh keajaiban dan mempunyai mujizat keku-

atan.

"Mungkin inilah senjata sakti yang di-

katakan oleh Namajeni," kata Mahesa Kelud 

dalam hatinya, ia menyeruak di antara peca-

han dinding dan masuk ke ruangan tersebut. 

Matanya terpaksa disipitkan karena sinar 

kuning keris besar itu menyilaukan mata. 

Mahesa Kelud berhenti beberapa langkah di 

hadapan ular raksasa. Sebenarnya nyalinya 

sudah mengkerut, tapi laki-laki ini dengan 

segala daya yang ada mencoba kuatkan jiwa 

dan tabahkan hati. Bukankah demikian 

bunyi kalimat ke delapan yang ditulis oleh 

Namajeni?

Mahesa bersila di hadapan ular dan ke-

ris. Tak tahu apa langkah selanjutnya yang 

harus diperbuatnya. Apakah langsung ulur-

kan tangan menjangkau keris? Ular besar di 

hadapannya tidak bergerak sedikitpun. Ma-

tanya yang merah memandang tak berkedip. 

Bentuk kepala ular ini sama benar dengan


hulu dari keris emas yang ada di ujung lidah-

nya. Sukar bagi Mahesa untuk memastikan 

apakah ular besar tersebut masih hidup 

ataukah sudah mati?! Meski demikian seba-

gai orang yang tahu peradatan Mahesa ke-

mudian segera menjura.

"Ular Emas," kata Mahesa. "Aku yang 

rendah minta maaf karena telah berani da-

tang mengotori tempatmu. ini kulakukan ada-

lah dalam memegang janji terhadap seorang 

tua sakti karena aku tak mau mengecewakan 

hatinya.... Sekali lagi mohon dimaafkan....."

Kepala ular besar kuning itu tidak ber-

gerak sedikitpun. Tapi tiba-tiba sekali, seba-

hagian dari tubuhnya yang bergelung terbuka 

dan laksana topan ujung ekor binatang ini 

menyambar ke kepala Mahesa Kelud!

Kalau saja tidak cepat laki-laki ini ja-

tuhkan diri ke lantai pastilah kepalanya akan 

hancur! Ekor ular menyerang lagi untuk ke-

dua kalinya. Mahesa bergulingan. Ekor ular 

menghantam lantai. Lantai yang bagus itu-

pun amblas sampai sepertiga jengkal!

Mahesa terkejut. Kejutnya belum habis dan 

ekor ular itu sudah datang kembali mengi-

rimkan serangan-serangan beruntun yang 

mematikan. Mahesa bersikap mengelak terus-

terusan. Meski saat itu pedang merah masih


tergenggam di tangannya namun dia sama 

sekali tidak mau balas menyerang! Makin la-

ma serangan ular makin dahsyat dan Mahesa 

Kelud semakin kepepet. Sudah beberapa kali 

hampir tubuhnya kena dihantam sabetan 

ekor yang berbahaya itu! Tiba-tiba entah dari 

mana datangnya tahu-tahu di ruangan itu 

sudah berdiri seorang perempuan muda yang 

parasnya cantik sekali, seperti bidadari dari 

khayangan. Dia mengenakan pakaian tipis 

warna kuning sehingga tubuhnya yang bagus 

membayang nyata. Mahesa tundukkan kepala 

tak berani memandang. Satu senyum terlukis 

di sudut bibir perempuan itu.

"Ular emas," terdengar suara perem-

puan itu, merdu menggairahkan, mendatang-

kan birahi bagi laki-laki yang mendengarnya: 

"Orang tak melawan mengapa diserang?!"

Mendengar ini maka ular besar itupun 

hentikan serangan. Tubuh dan ekornya dige-

lung dan dia tak bergerak-gerak, kembali ber-

sikap seperti tadi. Mahesa segera atur jalan 

darah dan pernafasannya lalu menjatuhkan 

diri dan menjura hormat pada perempuan 

muda itu, tapi mengunci mulut karena bin-

gung tak tahu apa yang harus diucapkan. Pe-

rempuan cantik berbaju kuning melangkah 

dan berhenti dekat sekali di hadapan Mahesa


Kelud. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya 

dan pakaian yang melekat di dirinya terlepas, 

jatuh ke lantai. Tubuhnya yang bagus mulus 

itu kini tiada tertutup selembar benangpun! 

Hati laki-laki mana yang tidak akan bergon-

cang? Tidak akan berdebar? Darah muda 

mana yang tidak akan bergejolak dan nafsu 

siapa yang tidak akan menggelegak?

Mahesa Kelud tundukkan kepala. Dite-

kannya perasaan gairah birahi dan nafsu 

yang menggelora. Tubuhnya bergetar. Bebe-

rapa ketika berlalu.

"Orang muda, angkat kepalamu! Aku 

Dewi Ular Emas! Apa kau tak mau lihat kein-

dahan tubuhku?" suara itu lembut merdu 

penuh rayuan.

Bergoncang dada Mahesa Kelud. Na-

mun kepalanya tetap ditundukkan. Ditabah-

kannya hati dan iman.

"Ah, orang muda..." terdengar suara 

Dewi Ular Emas pelahan mengajuk. "Jika kau 

tak mau memandang tak apalah. Tapi ulur-

kan kedua tanganmu. Tidakkah kau ingin 

menjamah segala yang dimiliki tubuhku? Pa-

rasku? Dadaku, perutku, pahaku.... Ulurkan 

kedua tanganmu orang muda...."

Hati laki-laki mana yang tidak akan

tergoncang mendengar undangan itu? Nafsu


manusia mana yang tidak akan menggelegak?

Birahi siapa yang tidak akan berkeca-

muk? Namun Mahesa Kelud terus tundukkan 

kepala. Bergerak sedikitpun tidak dia. Dite-

kannya setiap rangsangan yang menimbulkan 

butiran-butiran keringan pada pori-pori seku-

jur kulit tubuhnya!

Dewi Ular Emas menunggu. Akhirnya 

dia membungkuk dan mengenakan pakaian-

nya kembali lalu mundur beberapa langkah.

"Orang muda... hari ini kau adalah 

orang yang paling beruntung di atas dunia. 

Kau telah berhasil melewatkan berbagai rin-

tangan maut, cobaan dan ujian. Ketahuilah 

bahwa ada tiga hal yang menghancurkan diri 

laki-laki. Pertama pangkat, kedua harta ke-

kayaan, ketiga perempuan! Kau seorang yang 

tabah hati kuat jiwa dan teguh iman. Kau 

pantas memiliki keris Ular Emas itu...!"

Mahesa menjura. 'Terima kasih, Dewi." 

katanya.

"Siapakah namamu?" tanya Dewi Ular. 

"Mahesa Kelud."

"Ah... itu hanya nama palsu bukan? 

Nama yang diberikan orang sesudah kau 

menjadi dewasa? Aku tanya namamu yang 

sebenarnya."

Terkejutnya Mahesa Kelud mendengar


ucapan Dewi Ular Emas itu. Bagaimana Dewi 

Ular tahu bahwa Mahesa Kelud adalah nama 

palsunya? Nama yang disuruh pakai oleh gu-

runya Embah Jagatnata waktu dia turun dari 

Gunung Kelud sekitar tiga tahun yang silam?

"Namaku sebenarnya adalah Panji 

Ireng, Dewi." kata Mahesa Kelud akhirnya 

memberi-tahu.

Dewi Ular Emas tersenyum dan ang-

gukkan kepala. Dia mengambil keris yang 

berdiri di atas lidah ular besar lalu berkata. 

"Berdirilah Panji Ireng."

Mahesa Kelud berdiri tapi tetap dengan 

tundukkan kepala.

"Angkat kepalamu," perintah Dewi Ular.

Mahesa patuh dan mengangkat kepala-

nya. Sepasang mata mereka saling beradu. 

Mahesa tertegun melihat kejelitaan paras De-

wi Ular Emas yang dekat sekali di hadapan-

nya. Dewi Ular Emas sendiri diam-diam men-

gagumi kegagahan paras orang muda itu. Un-

tuk beberapa detik lamanya mereka berdiam 

diri dan saling pandang seperti itu. Akhirnya 

Dewi Ular Emas melirik ke keris di tangan-

nya.

"Panji Ireng, keris ini bernama keris 

Ular Emas. Sudah dua puluh tahun senjata 

sakti ini berada di sini, sama-sama ditempa


pada waktu aku dilahirkan. Rupanya kaulah 

manusianya yang berjodoh untuk memili-

kinya. Terimalah!"

Mahesa Kelud ulurkan kedua tangan 

dan menerima keris tersebut dengan sikap 

hormat. Begitu jari-jari tangannya menyentuh 

hulu dan sarung senjata tersebut maka men-

dadak sontak sirnalah bisa ular emas yang 

telah mengalir di dalam darahnya. Luka-luka 

bekas patukan binatang jahat itupun sembuh 

dengan sendirinya. Tubuhnya sehat sembuh 

seperti sediakala. Ajaib!

"Terima kasih Dewi," kata Mahesa Ke-

lud. Keris sakti itu kemudian disisipkannya di 

pinggang kanan.

"Nah Panji Ireng, pertemuan kita hanya 

sampai di sini. Kau lanjutkan perjalanan 

kembali. Lakukan tugas yang harus kau la-

kukan...."

"Dewi, jika ada apa-apa bagaimanakah 

aku yang rendah ini dapat bertemu dengan 

kau?" tanya Mahesa Kelud.

Dewi Ular Emas tersenyum cantik seka-

li. "Gunung tinggi menjulang, daratan meng-

hampar lautan membentang. Pertemuan bu-

kan kita yang tentukan! Di mana ada nasib, 

di mana ada pelangkahan pasti kita akan ber-

temu, Panji!"


Mahesa Kelud anggukkan kepala.

"Ular Emas, kau menghindarlah dahu-

lu. Beri jalan pada orang muda ini!" kata Dewi 

Ular Emas memerintah pada binatang sakti 

peliharaannya.

Ular kuning besar itu membuka ge-

lungnya dan bergerak ke samping. Di lantai di 

atas mana tadi dia berada maka kelihatanlah 

sebuah tangga turun ke bawah menuju ke 

sebuah mulut gang.

"Turuni tangga itu, tempuh gang di ba-

wahnya. Kau akan menemui beberapa cabang 

gang di kiri kanan tapi ikuti terus yang per-

tama kali kau tempuh. Setelah setengah hari 

penuh kau akan sampai ke dalam sebuah hu-

tan." demikian Dewi Ular memberi keteran-

gan.

Mahesa Kelud mengangguk dan meng-

haturkan terima kasihnya. Sebelum dia me-

nuruni tangga, dia menjura penghabisan ka-

linya. Meski Mahesa Kelud sudah lama hilang 

di balik gang namun pandangan kedua mata 

Dewi Ular Emas masih saja tertuju ke tangga 

yang menurun itu. Tanpa disadari dua buti-

ran air mata menggenang di pelupuk ma-

tanya. "Ah, kalau saja dia masih hidup... be-

tapa parasnya sama benar dengan orang mu-

da tadi..." Hati Dewi Ular Emas seperti diiris.


Dia memberi isyarat pada binatang peliha-

raannya untuk menutup lobang tangga. Lalu 

ditinggalkannya ruangan tersebut. Untuk be-

berapa lamanya paras Mahesa Kelud masih 

saja membayang di pelupuk matanya!

Sebagaimana yang dikatakan oleh Dewi 

Ular Emas, setengah hari kemudian maka 

akhirnya diapun keluar dari gang yang ditem-

puhnya. Ternyata dia sampai di tengah rimba 

belantara. Lobang di mana dia keluar tadi di-

tutupnya dengan ranting-ranting serta semak 

belukar. Hatinya puas, dadanya lapang. Ke-

gembiraan yang tiada tertahankan membuat 

dia berteriak keras meninggi langit. Dia jadi 

terkejut sendiri ketika menyaksikan bagai-

mana suara teriakannya itu membuat tanah 

yang dipijaknya bergetar, pohon-pohon kayu 

bergoyang keras, daun-daun berguguran, 

udara menggelombang! Ini tidak heran. Se-

waktu dia dilepas oleh gurunya Suara Tanpa 

Rupa dia telah memiliki tenaga dalam yang 

tinggi hebat. Ditambah pula kekuatan mujizat 

yang merasuk ke dalam tubuhnya sewaktu 

dia terendam di dalam air telaga Api-Salju. 

Kemudian saat itu pada tubuhnya tersisip 

dua senjata keramat sakti yang mempunyai 

pengaruh dan daya kekuatan yang tiada ta-

ranya. Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin


serta keris Ular Emas!

Mahesa mencabut keris Ular Emas dari 

pinggang kanannya. Waktu di dalam ruangan 

Dewi Ular tadi dia belum puas benar meneliti 

senjata tersebut. Sarung dan hulu keris ter-

buat dari emas murni. Hulu senjata ini me-

rupakan kepala seekor ular yang mulutnya 

membuka dan lidahnya yang bercabang men-

julur keluar. Kedua mata dari ular tersebut 

dihiasi dengan sebutir batu delima merah se-

besar kuku jari telunjuk. Ketika senjata ter-

sebut dicabut oleh Mahesa Kelud maka me-

mancarlah sinar kuning menyilaukan mata. 

Ternyata keris itu berlekuk tujuh. Meski sen-

jata itu kini adalah menjadi miliknya namun 

diam-diam Mahesa Kelud merasa gentar juga 

melihat sinar kuning yang memancar. Keris 

disarungkannya dan disisipkan kembali. Ma-

hesa kemudian melanjutkan perjalanan.



ENAM



UJUNG KULON.... Tiada pulangnya 

Empu Sora ke pertapaannya hampir setengah 

bulan menggelisahkan hati para murid orang 

tua sakti tersebut. Waktu pergi Empu Sora ti-

dak meninggalkan pesan sama sekali. Apakah


yang akan dilakukan dan ke manakah harus 

dicari sang guru tersebut? Sebelumnya tak 

pernah terjadi sampai selama itu Empu Sora 

meninggalkan perguruan. Bisa jadi ada sesu-

atu yang penting yang dilakukan oleh Empu 

Sora, atau mungkin... guru mereka sudah 

mendapat celaka di tengah jalan? Mustahil, 

demikianlah pikiran murid-murid Empu Sora. 

Mereka tahu benar siapa adanya Empu Sora. 

Seorang tua sakti yang dikenal keharuman 

namanya dalam rimba persilatan! Tapi men-

gapa dia pergi selama ini dan tak kunjung 

kembali?

Gemparlah perguruan Ujung Kulon, 

hebohlah para murid Empu Sora ketika me-

reka mendapat kabar bahwa guru mereka 

yang pergi dan selama ini ditunggu-tunggu te-

lah menemui ajalnya di pulau Bawean, dibu-

nuh oleh muridnya sendiri yang dulu telah 

diusir yakni Jayengrana! Semua murid ham-

pir tak bisa percaya bagaimana mungkin 

guru mereka yang sakti luar biasa dapat ter-

bunuh oleh Jayengrana alis Lutung Gila? Pa-

dahal waktu diusir dari perguruan tempo hari 

Jayengrana hanyalah murid terpandai nomer 

tiga! Jangankan dia, murid terpandai nomor 

satupun belum tentu akan mampu mengha-

dapi Empu Sora! Tapi mungkin Jayengrana


telah berguru pula pada seorang lain yang le-

bih hebat dan lebih sakti dari Empu Sora! Ka-

lau tidak mustahil itu bisa terjadi.

Mendengar kabar kematian guru mere-

ka meluaplah amarah murid-murid di pergu-

ruan. Murid tertua yang boleh dikatakan te-

lah memiliki hampir semua ilmu yang diajar-

kan oleh Empu Sora segera mengumpulkan 

saudara-saudara seperguruannya untuk di-

ajak berunding membicarakan langkah-

langkah apa yang akan mereka ambil sehu-

bungan dengan kematian guru mereka. Murid 

tertua ini bernama Dipa Putra.

"Saudara-saudaraku sekalian," kata 

Dipa Putra. "Perguruan kita telah ditimpa na-

sib buruk yang memalukan, karena peristiwa 

kematian guru kita! Lebih mencemarkan lagi 

karena kematian guru kita dilakukan oleh, 

dibunuh bekas muridnya sendiri yaitu Jayen-

grana yang kini memakai nama Lutung gila! 

Sebagai murid-muridnya, tentulah kita harus 

turun tangan membalaskan sakit hati! Pem-

balasan satu-satunya adalah hanya dengan 

menamatkan riwayat Jayengrana? Kalau ti-

dak begitu kemana muka kita akan diletak-

kan? Kupanggil saudara-saudara sekalian di 

sini adalah untuk memberitahukan bahwa 

aku sebagai murid tertua sudah bertekad bu


lat untuk pergi ke pulau Bawean guna men-

gambil jenazah guru kita dan sekaligus me-

nebas batang leher si Jayengrana keparat 

itu!"

Ketika Dipa Putra hentikan bicaranya 

maka untuk beberapa lamanya sunyilah sua-

sana.

"Kakak guru," berkata Gagak Nandra. 

Dia adalah murid perguruan nomer empat. 

"Kita semua adalah murid-murid Empu Sora 

dan sudah seharusnya membalaskan sakit 

hati kematian beliau. Sebagai murid tertua, 

maka kaulah kini yang menjadi pemegang 

pucuk pimpinan. Jika kau pergi dan terjadi 

apa-apa pula di sini, kata siapakah yang akan 

diturut? Perintah siapakah yang akan dipa-

tuhi kalau bukan kau? Karenanya, urusan 

dengan Jayengrana itu biarlah aku yang pergi 

untuk menyelesaikan!"

"Tidak bisa!" kata Dipa Putra pula den-

gan gelengkan kepala. "Kau Gagak Nandra 

dan adik-adik seperguruan lainnya tetap di 

sini, aku yang akan pergi sendirian!"

"Bolehkah aku bicara?" tanya satu sua-

ra dari dekat pintu. Semua kepala dipaling-

kan. Yang berkata adalah kakek-kakek tua 

juru masak perguruan. Di samping jadi tu-

kang masak dia juga turut belajar ilmu seju


rus dua jurus dan meski ilmunya paling ren-

dah sekali namun karena umurnya dia di-

hormati oleh murid-murid Empu Sora lainnya 

yang jauh lebih muda.

"Silahkan kakek! Memang pertimban-

ganmu kami harapkan sekali," kata Dipa Pu-

tra.

Si kakek pun membuka mulutnya. "Apa 

yang dikatakan oleh Dipa Putra memang be-

tul. Yang diucapkan oleh Gagak Nandra juga 

sama betulnya! Tapi janganlah menimbulkan 

rasa yang tidak enak di antara masing-

masing kalian. Dalam menghadapi peristiwa 

besar ini sekali-kali kita jangan sampai salah 

langkah, apalagi jika sampai terjadi perpeca-

han dan saling bersakit-sakitan hati! Sebagai 

murid tertua dalam ilmu memang kau berhak 

memutuskan untuk menanggung jawab dan 

menyelesaikan dendam kesumat kita terha-

dap Jayengrana. Tapi betul pula kata adikmu, 

apa akan jadinya jika sewaktu-waktu selama 

kau pergi timbul peristiwa besar pula di sini 

melanda perguruan kita? Kata siapa yang 

akan dituruti, perintah siapa yang akan dipa-

tuhi? Aku sudah tua saudara-saudaraku ka-

renanya aku berpendapat kau Dipa Putra te-

tap di sini menjaga perguruan kita. Bukan 

mustahil si Jayengrana gila itu akan nyasar


pula ke sini membuat keonaran. Serahkan 

urusan ke pulau Bawean pada Gagak Nan-

dra. Dia harus berangkat bersama beberapa 

orang lainnya, akupun bersedia untuk pergi 

jika diizinkan."

Dipa Putra termenung. Gagak Nandra 

puas hatinya karena diberikan peluang baik 

oleh si kakek untuk pergi. "Saudara-saudara, 

baiklah," kata Dipa Putra pada akhirnya. 

"Kau Gagak Nandra, pergilah bersama adik-

mu Sura Mana. Bawa serta lima orang sauda-

ra-saudara kita dari tingkat ke lima."

Gagak Nandra segera berdiri. Disusul 

oleh Sura Mana, seorang separuh baya yang 

merupakan murid ke empat setingkat dengan 

Gagak Nandra. Kedua orang ini kemudian 

memilih lima orang saudara seperguruan dari 

tingkat kelima. Tanpa banyak penuturan lagi 

maka ke tujuh saudara seperguruan itupun 

berangkatlah!



TUJUH



KETUJUH orang itu segera tekap hi-

dung mereka ketika bau busuk ditiupkan an-

gin menyambar ke hidung mereka. "Bau bu-

suk apa ini?" ujar Sura Mana seraya meman


dang berkeliling.

Tiba-tiba salah seorang seperguruan-

nya dari tingkat kelima berseru dan menun-

juk. "Lihat! Ada mayat!"

Ketujuh orang itupun berlari meng-

hampiri mayat yang menggeletak di tanah. 

Sungguh mengerikan. Paras mayat itu sudah 

tak bisa dikenal lagi. Kepalanya rengkah, 

mukanya hancur. Darah kering bertebaran di 

seluruh pakaiannya. Mayat ini sudah sangat 

rusak dan berlubang-lubang bekas patukan 

burung-burung pemakan mayat yang banyak 

beterbangan di atas pulau. Busuknya bau 

mayat dalam jarak sedekat itu tiada terkira-

kan! Dari pakaian mayat itu ketujuh orang 

tersebut tahu bahwa itu bukanlah mayat 

guru mereka. Angin dari laut bertiup keras 

menerbangkan debu serta pasir dan meng-

hamparkan bau busuknya mayat yang makin 

menjadi-jadi!

"Adik-adikku," seru Gagak Nandra. "Ki-

ta berpencaran di sini. Beri tanda jika salah 

se-orang dari kalian menemukan jenazah 

guru atau bangsat rendah si Ja..." mendadak 

sotak Gagak Nandra putuskan bicaranya. 

Mukanya pucat pasi, mulutnya menganga se-

dang kedua matanya melotot seperti mau me-

lompat keluar dari sarangnya! Rupa Gagak


Nandra saat itu tak ubahnya seperti seorang 

yang tengah dicekik oleh setan laut!

"Demi Tuhan!" seru Gagak Nandra. 

"Saudara-saudaraku, lihat di atas pohon sa-

na!"

Semua kepala sama diputar dan semua 

orang mengeluarkan seruan tertahan. Di sana 

di atas pohon, di antara dua buah cabang be-

sar kelihatan sesosok mayat berjubah hijau 

terjuntai kaki ke atas ke kepala ke bawah. 

Elang-elang laut pemakan mayat seperti se-

mut berkerumun memakani daging mayat 

yang sudah rusak busuk dan memutih ting-

gal tulang belulangnya saja!

"Guru!" jerit ketujuh orang tersebut. 

Tenggorokan mereka menyendat.

Tak menunggu lebih lama, begitu hi-

lang kejutnya maka Gagak Nandra dengan 

guna-kan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi 

segera melompat ke atas pohon. Ketika dia 

turun kembali maka jenazah Empu Sora su-

dah berada dalam kempitannya. Gagak Nan-

dra men-cari tempat yang baik. Ketika dili-

hatnya batu besar di ujung sana maka dia 

melangkah ke situ dan membaringkan jena-

zah Empu Sora di atas batu. Tujuh murid 

Empu Sora sama pejamkan mata tak tahan 

melihat jenazah guru mereka yang demikian


rusaknya. Di sela-sela mata yang dipejamkan 

itu maka mengambanglah butiran-butiran air 

mata! Meskipun mereka adalah pendekar-

pendekar berhati tabah berjiwa satria, tapi 

menyaksikan kematian guru yang mereka 

cintai demikian mengenaskannya, mau tak 

mau ketujuhnya sama teteskan air mata.

Sura Mana membuka kedua matanya 

perlahan-lahan. Dia meneliti mayat Empu So-

ra. Kedua matanya berputar mencari sesuatu. 

Kemudian dia berkata: "Pedang pusaka hijau 

milik guru tidak ada!"

Terkejutlah saudara-saudara sepergu-

ruannya yang enam orang. Mereka sama bu-

kakan mata, dan meneliti. "Pasti manusia ce-

laka Jayangrana itu yang mengambilnya! Ke-

parat!" ujar Gagak Nandra. Dia cabut pedang-

nya, sebuah pedang warna hijau. Untuk se-

tiap muridnya, Empu Sora telah membuatkan 

sebilah pedang hijau pertanda lambang per-

guruan mereka. Dengan kertakkan geraham

maka berkatalah Gagak Nandra. "Guru, biar-

lah cuma jenazahmu yang akan menyaksikan 

bahwa kami murid-murid akan menindak 

manusia yang telah berbuat keji atas dirimu 

ini! Semoga Tuhan memberikan tempat yang 

sebaik-baiknya bagimu di akhirat!"

Sura Mana dan lima orang saudara se


perguruan lainnya meniru perbuatan Gagak 

Nandra. Mencabut pedang dan bersumpah 

serta mendoakan arwah guru mereka.

Dalam suasana yang penuh khidmat 

dan juga kobaran balas dendam itu maka 

terdengarlah satu suara tertawa perempuan 

meringkik seperti kuda.

"Lutung Gila! Kemarilah kau! Lihat ada 

kunyuk-kunyuk sinting dari mana yang nya-

sar main komidi di sini! Kik... kik... kik...!"

Kaget sekali maka ketujuh murid Empu 

Sora palingkan kepala. Hampir tak percaya 

mereka ketika pandangan mereka membentur 

seorang perempuan muda cantik jelita, ber-

pakaian merah, berdiri dengan bertolak ping-

gang tak berapa jauh di hadapan mereka. Se-

dang di pinggang kirinya tergantung pedang 

pusaka hijau, pedang pusaka perguruan 

Ujung Kulon milik guru mereka! Belum lagi 

habis kaget ketujuh orang tersebut maka ta-

hu-tahu di samping perempuan muda itu 

muncullah sesosok tubuh aneh. Meskipun 

sosok tubuh ini memakai pakaian seperti lu-

tung dan rambutnya awut-awutan namun 

mereka masih dapat mengenali siapa adanya 

dia. Maka menggelegaklah amarah ketujuh 

orang tersebut.

"Jayengrana keparat!" bentak Gagak


Nandra. "Hari ini kau serahkan nyawa di tan-

gan kami!"

Lutung Gila alias Jayengrana tertawa 

aneh menggidikkan. Begitu suara tawanya 

sirna maka dia balas membentak! "Kurang 

ajar, sudah tempat peranginan anakku dipa-

kai untuk meletakkan mayat busuk, berani 

pula memaki! Konyol" serentak dengan itu 

Lutung Gila mengirimkan tendangan jarak 

jauh ke arah ketujuh murid Empu Sora yang 

tak lain adalah juga bekas saudara-saudara 

seperguruannya sendiri!

Melihat angin tendangan yang sangat 

dahsyat ini maka ketujuh murid Empu Sora 

terkejut sekali dan buru-buru menghindar. 

Malang bagi dua orang murid dari tingkat ke-

lima, mereka tak sempat menghindar. Tubuh 

mereka kena dihantam angin tendangan! Ke-

duanya terguling muntah darah dan mere-

gang nyawa! Saudara-saudara seperguruan-

nya yang lain jadi kalap.

"Serbu!" teriak Gagak Nandra berikan 

komando. Kelimanya kemudian menyerang 

dengan pedang di tangan. Sinar hijau berke-

lebatan mengurung Lutung Gila. Kemaladewi 

tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa 

melengking seperti kuntilanak!

Tiga keluhan kesakitan terdengar. Tiba


tubuh mencelat dan waktu jatuh ke tanah 

nyawanya sudah putus! Gagak Nandra dan 

Sura Mana melompat mundur! Keringat din-

gin memercik di kening mereka melihat beta-

pa tiga lagi saudara mereka menemui ajal se-

cara mengerikan di tangan Lutung Gila! Tiada 

disangka bekas saudara seperguruan mereka 

itu demikian hebatnya. Pantas saja guru me-

reka tiada sanggup pertahankan nyawa. Dan 

keduanya menyadari pula bahwa meskipun 

mereka mengeroyok berdua dan sama meme-

gang pedang ampuh pemberian guru tapi me-

reka pasti akan bernasib malang pula! Akan 

menemui ajal! Hati kedua bersaudara seper-

guruan ini bergetar. Tapi untuk menyerah 

atau lari selamatkan diri tak ada dalam ka-

mus hidup mereka! Keduanya segera me-

nyerbu kembali!

Lutung Gila tertawa membahak. Dia 

maju gerabak-gerubuk menyongsong seran-

gan lawan-lawannya. Sukar sekali bagai Ga-

gak Nandra dan Sura Mana untuk memper-

hatikan gerakan yang serba aneh dari lawan 

mereka. Tahu-tahu pedang di tangan Sura 

Mana kena dirampas! Belum lagi murid kelas 

empat ini sempat melompat selamatkan diri 

maka ujung pedang sudah menancap di da-

danya! Sura Mana mati seketika itu juga!


"Jayengrana murid murtad! Aku men-

gadu nyawa dengan kau!" teriak Gagak Nan-

dra murka tiada terperikan.

"Biung biung...! Sejak kapan kau punya 

nyawa rangkap hendak mengadu nyawa de-

ngan Lutung Gila? Biung?"

Pedang menyambar di muka hidungnya 

dibiarkannya saja. Tiba-tiba dia bergeser se-

dikit dan... seperti nasib yang diterima Sura 

Mana maka pedang hijau Gagak Nandra kena 

dirampas Lutung Gila. Pedang itu kemudian 

membalik membacok ke kepala Gagak Nan-

dra!

"Lutung Gila, tahan! Yang satu ini jan-

gan dibunuh!" terdengar tiba-tiba seruan Ke-

maladewi.

Patuh sekali. Lutung Gila miringkan pe-

dang hijau di tangannya dan senjata itu me-

nancap sampai ke hulunya di tanah di samp-

ing kaki Gagak Nandra!

Lutung Gila putar kepala. "Eeee ciluk, 

kenapa yang satu ini tidak dimampuskan sa-

ja?!" tanyanya.

"Aku ada rencana!" jawab Kemaladewi 

dengan tolak pinggang. Dia memandang pada 

Gagak Nandra yang berdiri mematung dengan 

tubuh keringatan dan paras pucat pasi! "Eh 

kunyuk kau muridnya orang tua bau busuk


itu?!"

Gagak Nandra tak menyahut. Matanya 

melotot memandang geram pada Kemaladewi. 

"Hai jawab!" bentak Kemaladewi.

Gagak Nandra tetap membungkam.

Lutung Gila berkata, "Ciluk, monyet bi-

su ini memang murid orang tua busuk itu!"

"Siapa namamu?!" tanya Kemaladewi 

lagi.

Gagak Nandra meludah ke tanah!

"Menghina! Keparat! Bosan hidup ya?!" 

Kemaladewi melompat ke muka dan.... "Plak!" 

tamparannya mendarat di pipi Gagak Nandra. 

Gagak Nandra meraung kesakitan. Mulutnya 

pecah dan darah berlelehan!

"Kalau aku tidak salah ingat ciluk, mo-

nyet ini bernama Nandra Gagak!" kata Lutung 

Gila pula. Ternyata dia menyebut nama Ga-

gak Nandra terbalik!

"Gagak Nandra!" kata Kemaladewi. 

"Dengar! Kau masih punya nasib untung ti-

dak seperti saudara-saudara seperguruanmu 

yang lain! Bawa mayat busuk gurumu dan 

kembali ke Ujung Kulon dan terangkan pada 

kunyuk-kunyuk yang ada di perguruan bah-

wa pada tanggal tujuh bulan tujuh aku ber-

sama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta 

Raja Lutung akan datang ke sana! Kalian ha


rus menyambut aku dengan upacara besar-

besaran karena ketahuilah bahwa sejak gu-

rumu mampus maka akulah yang akan men-

jadi Ketua Perguruan! Mengerti?!"

Geram Gagak Nandra bukan kepalang. 

Tapi dia tidak bisa berbuat apa. Melawan su-

dah pasti tidak mungkin. Untuk beberapa 

lamanya dia masih berdiam diri.

"Mengerti tidak mengerti, angkat kaki 

dari sini! Biung kunyuk," bentak Lutung Gila.

Gagak Nandra melangkah ke dekat ba-

tu besar di mana jenazah yang rusak mem-

busuk dari Empu Sora tadi dibaringkannya. 

Dipanggulnya jenazah gurunya itu di pundak 

kiri. Sebelum dia melangkah meninggalkan 

kedua orang tersebut dia berpaling lebih da-

hulu dan berkata: "Kutuk Tuhan akan jatuh 

atas diri kalian berdua! Hari pembalasan 

akan tiba kelak!"

"Kunyuk sinting! Masih mau berbacot!" 

bentak Lutung Gila seraya melangkah hendak 

menendang Gagak Nandra. Tapi tangannya 

dipegang oleh Kemaladewi.

"Biarkan saja!" kata Kemala.

"Biung!

Gagak Nandra menyeka darah di mu-

lutnya, memutar tubuh dan tinggalkan tem-

pat tersebut menuju ke tepi pasir.



DELAPAN



DARI lereng bukit terdengar suara te-

riakan keras yang disertai tenaga dalam. "Ga-

gak Nandra kembali membawa jenazah guru 

seorang diri!"

Dari dalam rumah besar keluarlah Dipa 

Putra dan kira-kira dua puluh orang saudara 

seperguruannya dari berbagai tingkatan. Me-

reka berlari dan saat itu di pintu halaman 

masuklah Gagak Nandra memanggul jenazah 

Empu Sora.

"Gagak Nandra!" seru Dipa Putra. "Ma-

na yang Iain-Iain! Eh, mengapa mulutmu?!"

Gagak Nandra tak segera menjawab. 

Jenazah Empu Sora diberikannya pada salah 

seorang saudara seperguruannya. Dia sendiri 

kemudian duduk bersila, mengatur jalan na-

fas serta peredaran darah. Alirkan tenaga da-

lam dengan pejamkan mata. Beberapa saat 

kemudian kedua matanya dibuka kembali. 

Gagak Nandra menangis terisak.

"Ee, Gagak Nandra! Sebagai kesatria 

kau tak pantas menangis! Apa yang terjadi, 

mana yang lain-lainnya?" tanya Dipa Putra.

"Aku bukan kesatria sejati! Aku hanya 

memalukan perguruan kita saja yang enam


orang itu menemui ajal semua!"

Terkejutlah Dipa Putra dan yang lain-

lainnya mendengar keterangan tersebut. 

Sunyi sejurus lamanya, hanya suara isakan 

Gagak Nandra yang terdengar. Setelah tan-

gisnya mereda maka Gagak Nandra kemudian 

menuturkan apa yang terjadi dan dialami di 

pulau Bawean.

"Meski aku beruntung dilepas untuk 

membawa jenazah guru kita..." kata Gagak 

Nandra pula. "Tapi hatiku tidak puas! Dan 

aku malu sekali!"

'Tak ada yang harus dimalukan Gagak 

Nandra," ujar si kakek yang bernama Wara-

noa. "Jangankan kau, guru kita sekalipun ti-

dak sanggup melawan Si Lutung Gila jaha-

nam itu!"

Hari itu juga jenazah Empu Sora diku-

burkan dengan upacara khidmat khusus. Se-

lesai penguburan maka Dipa Putra memang-

gil berkumpul semua saudara seperguruan-

nya. Hatinya masygul sekali sedang darahnya 

tak kunjung dingin akibat dendam kesumat 

serta amarah yang mendidih! Dia memandang 

berkeliling dan pandangannya terhenti ketika 

membentur si kakek Waranoa.

"Kakek," ujar Dipa Putra. "Kau sebagai 

orang yang paling tua di antara kami, kepa


damulah kami pertama kali akan minta pe-

tunjuk. Gerangan langkah apakah yang akan 

kita perbuat guna membalaskan sakit hati ki-

ta kepada si Jayengrana itu?"

Waranoa meraba dagunya. Kedua matanya 

menyipit seperti seseorang yang tengah mem-

perhatikan sesuatu di kejauhan. Dia membu-

ka mulut hendak bicara, tapi mendadak ter-

dengar suara Gagak Nandra mendahului.

"Saudara-saudara ada sesuatu yang lu-

pa kukatakan pada kalian!"

"Apakah?!" tanya Dipa Putra.

"Pesanan! Pesan dari perempuan iblis 

yang kabarnya menjadi istri Jayengrana ke-

parat itu!"

"Pesan apakah, Gagak Nandra? Cepat 

katakan!" ujar Dipa Putra tak sabar.

"Katanya pada tanggal tujuh bulan tu-

juh dia bersama Lutung Gila dan Lutung Ba-

wean serta Raja Lutung akan datang ke sini!"

"Akan datang ke sini?!" 

"Ya!"

Semua mata terbuka lebar-lebar dan 

semua orang saling berpandangan. "Katanya 

lagi kita harus menyambutnya dengan upa-

cara besar-besaran karena dialah, si iblis be-

tina itu, yang akan menggantikan guru men-

jadi Ketua Perguruan Ujung Kulon ini! Dan


padanya kulihat pedang pusaka milik guru!"

"Keparat rendah!" maki Dipa Putra se-

raya tinjukan tangan kanannya ke telapak 

tangan kiri.

"Siapa Raja Lutung dan Lutung Ba-

wean?" tanya Waranoa.

Gagak Nandra angkat bahu. "Tapi pastilah 

mereka juga manusia-manusia sakti macam 

Lutung Gila dan perempuan iblis itu!"

Dipa Putra mengeluh dalam hatinya. 

Sebagai murid tertua dalam menuntut ilmu, 

sebagai murid yang terpandai, maka tang-

gung jawab besar dalam menuntut balas ter-

letak di tangannya! Tapi kalau gurunya sendi-

ri kepada siapa dia belajar menuntut segala 

macam ilmu kesaktian harus serahkan nyawa 

menghadapi Lutung Gila, bagaimana dia akan 

sanggup membalaskan dendam sakit hati 

itu?! Apa yang terpikir oleh Dipa Putra ini 

terpikir pula oleh anak-anak murid pergu-

ruan lainnya. Dan pada tanggal tujuh bulan 

tujuh Lutung Gila bersama ketiga bangsat-

bangsat yang disebutkan namanya itu akan 

datang pula ke Ujung Kulon! Tanggal tujuh 

bulan tujuh ini hanya tiga bulan di muka! Bi-

sakah mereka mengadakan persiapan selama 

tiga bulan itu untuk menyambut kedatangan 

Lutung Gila, istrinya, Lutung Bawean dan Ra


ja Lutung? Bukan menyambut dengan upaca-

ra besar-besaran tapi dengan pedang di tan-

gan dan bertempur hidup mati membalaskan 

sakit hati dendam kesumat?!

Pandangan Dipa Putra kembali tertuju 

pada Waranoa. "Kakek, petunjukmu tetap 

kami harapkan."

"Saudara-saudaraku," kata Waranoa. 

"Melihat singkatnya waktu yang dikatakan 

perempuan iblis bini si Jayengrana itu, nyata-

lah kita tak bisa mengadakan persiapan un-

tuk menyambut kedatangan mereka! Ini be-

rarti satu-satunya jalan bagi kita ialah me-

minta bantuan pihak luar...."

"Saya tidak setuju urusan perguruan 

kita sampai dibawa-bawa keluar," tukas Dipa 

Putra. "Itu hanya akan merendahkan pergu-

ruan kita dan mencemarkan nama guru!"

"Itu betul!" jawab Waranoa. "Apa yang 

terjadi di perguruan kita harus kita sendiri 

yang turun tangan menyelesaikannya. Tapi 

dalam persoalan macam mana? Apakah kita 

mau mati dan mampus semua menghadapi 

lawan yang bukan tandingan kita? Dimana 

kita pada akhirnya tidak seorang pun sang-

gup menuntut balas dendam guru kita dan 

saudara-saudara kita?! Pikir itu baik-baik!"

Dipa Putra dan yang lain-lainnya ter


menung berdiam diri. Waranoa meneruskan. 

"Nasib kita tak beda dengan sebuah sabut ke-

lapa yang hendak melawan menerjang ombak 

besar. Nasib kita tak ubah seperti sebuah 

mentimun yang hendak kalap-kalapan mela-

wan durian! Apa jadinya?! Badan berkubur 

niat tak sampai! Meminta tolong kepada se-

sama ka-wan dalam dunia persilatan adalah 

soal biasa. Mendiang Empu Sora bukan tokoh 

biasa, bukan tokoh kemarin. Beliau pasti ba-

nyak mempunyai kawan tokoh-tokoh kawa-

kan sakti! Mustahil mereka tidak akan mau 

membantu bila kita murid-murid Empu Sora 

datang rendahkan diri minta bantuan mere-

ka! Sebagai orang tertua yang diam di sini, 

memang aku pernah dengar seorang sakti 

bernama Lor Munding Saksana. Umurnya se-

karang mungkin sudah lebih dari tujuh pu-

luh! Menurut keterangan yang kudapat, pu-

luhan tahun silam Lor Munding Saksana 

pernah berdiam di sini dan menjadi guru 

Empu Sora, jadi kakek guru kita sekalian! Lor 

Munding Saksana kemudian pergi mening-

galkan tempat ini entah ke mana. Kemudian 

dikabarkan dia berada di Bukit Bangkai. Di 

mana letaknya Bukit Bangkai inipun aku 

yang sudah tua tidak pernah tahu!"

Dipa Putra pejamkan matanya. Dia ta


hu mata semua saudara-saudara sepergu-

ruannya ditujukan kepadanya karena sebagai 

murid utama segala keputusan terletak di ta-

ngannya. "Saudara-saudara sekalian. Begini 

saja.... Kita usahakan dahulu mencari Bukit 

Bangkai dan menemui kakek guru Lor Mun-

ding Saksana. Jika tidak berhasil baru me-

minta bantuan pihak luar. Bagaimana... setu-

ju?!"

Rata-rata semua orang menyatakan 

persetujuannya termasuk si orang tua Wara-

noa. "Tapi siapakah yang akan pergi?" ber-

tanya orang tua itu. "Kau Dipa Putra tidak 

mungkin. Gagak Nandra juga tidak mungkin 

karena masih sakit...."

"Aku sudah sembuh, biar aku yang 

pergi!" potong Gagak Nandra dengan tiba-

tiba. Dia rela pergi agar dapat menebus rasa 

malunya terhadap peristiwa di pulau Bawean 

tempo hari.

Dipa Putra gelengkan kepala. "Tidak bi-

sa Gagak Nandra. Kau tetap di sini, kau ma-

sih sakit...."

Seorang anak murid bertubuh tegap 

berbadan tinggi tiba-tiba berdiri, ia dari ting-

kat empat, sama dengan Gagak Nandra. Dia 

memandang berkata: "Saudara-saudara seka-

lian biarlah aku Udayana kali ini kalian le


paskan untuk menunjukkan bakti kepada 

guru dan perguruan! Izinkan aku pergi men-

cari kakek

guru Lor Munding Saksana!"

Semua mata ditujukan kepada pemuda 

itu dan akhirnya setuju. "Doa kami bersa-

mamu, semoga kau berhasil. Semoga kita da-

pat menyelamatkan, perguruan kita dan men-

jaga nama harum mendiang guru!" kata Dipa 

Putra pula.

Udayana menjura pada saudara-saudara se-

perguruannya lalu meninggalkan tempat itu.



SEMBILAN



PAKAIANNYA kotor dan robek-robek, 

kakinya luka-luka serta bengkak. Rambutnya 

panjang awut-awutan. Sudah hampir tiga bu-

lan dia malang-melintang di depan penjuru 

angin. Sudah puluhan bukit dinaik-turuninya 

namun Bukit Bangkai tak kunjung bertemu 

sedang hari tujuh bulan tujuh semakin dekat 

juga! Hari itu dia berdiri di tepi sebuah jurang 

dalam berbatu-batu. Di seberang jurang keli-

hatan sebuah bukit kecil.

"Kalau yang satu ini bukannya Bukit 

Bangkai, celakalah aku! Hancurlah nama


perguruan dan cemarlah nama guruku," de-

mikian kata Udayana dalam hatinya.

Dengan seribu satu macam kesulitan 

dituruninya jurang berbatu-batu itu. Seben-

tar-sebentar dia terpeleset oleh lumut licin 

dan masih untung dia terjatuh dihalangi oleh 

batu, kalau tidak pasti tamatlah riwayat anak 

murid Perguruan Ujung Kulon ini di dasar ju-

rang maut! Tak jarang pula kakinya tersan-

dung. Ketika malam tiba maka Udayana baru 

sanggup mencapai dasar jurang. Karena letih 

dia tertidur juga meski perutnya kosong tiada 

berisi!

Esok paginya pemuda berhati tabah ini 

melanjutkan perjalanan mendaki lereng ju-

rang. Malam hari pula baru dia berhasil men-

capai puncak jurang yang membawanya ke 

kaki bukit. Di sini anak murid Perguruan 

Ujung Kulon itu jatuh pingsan. Menjelang di-

nihari baru dia siuman. Dicarinya tetumbu-

han apa saja yang bisa dimakan penyumpal 

perut. Namun semua itu dimuntahkannya 

kembali karena tak sanggup perutnya mene-

rima!

Dengan perut tetap berisi angin kosong 

Udayana mulai mendaki bukit di hadapan-

nya. Menjelang tengah hari pemuda ini men-

capai lereng yang ditumbuhi berbagai tana


man liar. Dia menyeruak di antara semak-

semak dan tiada henti-hentinya berteriak. 

"Kakek guru!" demikianlah yang dilakukan 

Udayana setiap dia menaiki sebuah bukit. 

Suaranya sudah parau karena terus-terusan 

berteriak. Mendadak

Udayana hentikan teriakannya. Mulutnya 

menganga bengong melompong, kedua ma-

tanya melotot memandang ke pohon kecil di 

hadapannya. Pohon kecil itu seluruh daun-

nya sudah berguguran. Ranting-rantingnya 

kecil halus. dan pada salah satu ujung rant-

ing yang besarnya tidak lebih dari besar ibu 

jari duduk berjuntai seorang tua berambut 

putih. Mulutnya komat-kamit. Apa yang di-

makannya adalah seekor burung mentah!

Bagaimana Udayana mau percaya. 

Jangankan seorang manusia, seekor kucing-

pun jika berada di ujung ranting tersebut, 

pastilah ranting itu patah! Tapi si orang tua 

rambut putih duduk seenaknya, bahkan 

sambil makan itu dia goyang-goyangkan ke-

dua kakinya seperti anak kecil tengah makan 

kue yang disukainya!

Orang tua berambut putih itu mem-

buang sisa-sisa tulang-belulang burung yang 

dimakannya. "Pluk!" tulang burung mentah 

tersebut jatuh di kening Udayana. Terbang


semangat pemuda itu karena terkejut. Tiba-

tiba dilihatnya orang tua di atas ranting kayu 

melambaikan tangan kirinya. Lalu menenga-

dah sambil tertawa-tawa. Dari langit jatuhlah 

suatu benda hitam bergelapakan. Ternyata 

seekor burung!

Si orang tua mencabuti bulu-bulu bina-

tang itu, sesudah gundul mulai menyantap-

nya seperti tadi!

Udayana gelengkan kepala. Bukan 

sembarang orang bisa melepaskan pukulan 

jarak jauh seperti itu untuk membunuh see-

kor burung yang melayang cepat di udara! 

Bukan manusia biasa yang makan daging 

mentah-mentah! Pastilah ini seorang sakti 

luar biasa. Mungkin sekali orang tua yang 

tengah dicarinya!

"Kakek guru!" seru Udayana. Orang tua 

itu terus saja makan seenaknya, komat-kamit 

dan cengar-cengir. Seakan-akan tidak men-

dengar seruan Udayana, seakan-akan pemu-

da tersebut tidak ada di dekatnya!

"Kakek guru! Kakek guru Lor Munding 

Saksana! Saya Udayana dari... hek." Pemuda 

itu keluarkan suara tercekik.

Daging burung yang sudah gundul, 

tinggal tulang-belulang saja dilemparkan oleh 

si orang tua dan tepat jatuh di dalam mulut


Udayana yang tengah berteriak sehingga mu-

lut pemuda itu tersumpal, teriaknya terhenti 

dan tercekik! Udayana keluarkan tulang bu-

rung yang bau amis itu dari mulutnya. Ulu 

hatinya naik, cacing gelang-gelang membe-

rontak dan perutnya memual. Sesaat kemu-

dian pemuda inipun muntah-muntah! Sedang 

si orang tua mulai pula memandang ke langit 

mencari burung baru untuk pengisi perutnya!

Kesal Udayana bukan alang-kepalang. 

Kalau saja dia bukan berhadapan dengan ka-

kek-kakek aneh itu, pastilah sudah didam-

prat dan dicaci makinya habis-habisan! Dia 

berteriak lagi: "Kakek guru! Kakek guru Lor 

Munding Saksana! Saya dari Perguruan 

Ujung Kulon! Datang meminta bantuanmu! 

Guru kami Empu Sora dibunuh orang! Pergu-

ruan terancam bahaya besar!"

Untuk pertama kalinya kakek-kakek itu 

palingkan kepala. Dia memandang ke jurusan 

Udayana. Tapi cuma sebentar. Sesat kemu-

dian dia kembali komat-kamit makan daging 

burung mentah! Udayana tidak putus asa. 

Meski suaranya sudah parau dan hampir hi-

lang namun dia berteriak terus.

Si orang tua hentikan makannya untuk 

kedua kalinya. "Sompret," makinya. "Kau ma-

nusia atau monyet huh?!"


"Kakek guru! Saya Udayana dari...."

"Aku tidak tanya kau siapa. Perduli 

amat sekalipun kau setan dari neraka! Aku 

tanya kau manusia atau monyet?!"

"Saya manusia, kakek guru...."

"Kalau manusia mengapa berteriak ma-

cam monyet terbakar ekor?!"

"Kakek guru...."

"Aku bukan kakek gurumu! Juga bu-

kan moyang gurumu!" hardik si orang tua. 

"Kalau begitu mungkin kau bisa beri 

sedikit keterangan padaku...."

"Sompret! Aku bukan kotak peneran-

gan!"

Udayana jadi terdiam, tak tahu apa 

yang musti dikatakannya. Hatinya kesal seka-

li sedang tubuhnya letih tiada terkirakan. Dia 

akhirnya duduk menjelepok di tanah.

"Eh kunyuk! Mengapa duduk di situ? 

Apa ini bukit bapakmu yang punya? Berdiri! 

Sompret!" bentak si orang tua. Matanya melo-

tot.

Udayana buru-buru berdiri dan mema-

ki dalam hati.

"Eh sompret! Kau memaki dalam hati 

ya?! Kunyuk!"

Udayana terkejut. Mukanya memucat. 

Tak diduganya si orang tua akan tahu bahwa


dia memang memaki dalam hati!

Orang tua rambut putih itu mengha-

biskan daging burungnya lalu tulang-tulang 

burung seperti tadi dengan sikap acuh tak 

acuh dilemparkannya ke kepala Udayana. 

Pemuda itu merunduk namun anehnya tu-

lang burung tetap saja mampir di kepalanya!

"Eh sompret!" kata si orang tua seraya 

seka mulutnya. "Ada apa kau datang ke si-

ni?!"

Harapan membayang dalam hati 

Udayana. "Saya anak murid Perguruan Ujung 

Kulon. Datang untuk mencari kakek guru 

bernama Lor Munding Saksana...."

"Eh siapa? Lor Bunting Saksana...?"

"Bukan... Lor Bunting Saksana!" mem-

betulkan Udayana.

Orang itu tertawa. Kelihatanlah gusinya 

yang ompong semua! "Ada apa kau cari itu 

manusia nama Lor Munding Saksana? Mau 

ngempeng sama dia huh?!"

Udayana memaki dalam hati.

"Nah... nah... kau memaki lagi ya? 

Sompret!"

"Saya mencari kakek guru karena Per-

guruan terancam bahaya besar sedang guru 

sudah mati dibunuh orang!"

"Siapa nama gurumu?!"


"Empu Sora."

"Siapa yang membunuh!"

"Lutung Gila...."

"Eh masa manusia kalah sama lutung? 

Lutung Gila pula!" tukas si orang tua.

"Lutung Gila hanya nama julukan. Na-

ma sebenarnya adalah Jayengrana. Tadinya 

murid Empu Sora sendiri!"

"Eh lantas kenapa bunuh gurunya?"

"Dia sudah gila dan murtad!" jawab 

Udayana.

Orang tua itu diam seketika. Lalu. "Jadi 

Lor Munding Saksana itu, kakek gurumu ya!" 

"Betul! Orang tua." 

"Kau belum pernah ketemu dia?" 

"Belum...."

"Tahu di mana tinggalnya?" 

"Kabarnya di Bukit Bangkai...." 

"Kau tahu di mana bukit ini?" 

"Tidak, orang tua."

"Goblok! Pergi ke puncak bukit dan co-

ba perhatikan lereng bukit di sebelah timur! 

Lekas!"

Dengan kesal tapi juga takut, Udayana 

lakukan perintah si orang tua aneh. Ada apa-

kah di lereng bukit sebelah sana, pikir 

Udayana.



SEPULUH



JALAN menuju puncak bukit rapat di-

tumbuhi pepohonan dan semak belukar na-

mun Udayana, murid Perguruan Ujung Kulon 

melangkah terus sampai akhirnya dia tiba di 

puncak bukit. Dilayangkannya pandangan ke 

bawah, ke lereng bukit sebelah timur dan ter-

siraplah darah pemuda itu! Semangatnya se-

rasa terbang! Lereng bukit sebelah timur ini 

sama sekali gundul tandus. Tidak satu pohon 

atau semak belukarpun yang tumbuh! Dan di 

lereng bukit tandus ini, dari barat sampai ke 

timur, dari puncak sampai ke kaki, pokoknya 

sejauh mata memandang bertebaran berbagai 

rupa, tulang mulai burung sampai kepada 

harimau, singa, buaya, gajah dan manusia! 

Tulang-tulang itu sudah memutih, bersih, li-

cin tiada berdaging lagi! Entah sudah berapa 

tahun tulang-tulang ini berserakan di sana! 

Bagaimanakah tulang-tulang tersebut berada 

di lereng bukit ini? Sedemikian banyaknya? 

Mungkin terjadi pembantaian di sini. Pasti 

pernah terjadi pembunuhan besar-besaran, 

pikir Udayana. Dan barangkali si orang tua 

aneh itulah yang melakukannya! Tak dapat 

dilukiskan kengerian Udayana menyaksikan


pemandangan tersebut. Tengkorak manusia... 

tulang-belulang binatang... semuanya sudah 

pada rusak dan bercampur baur tak karuan! 

Berdiri di puncak bukit tersebut seperti berdi-

ri di hadapan pintu neraka rasanya bagi 

Udayana!

Tubuhnya menggigil, lututnya goyah 

gemetar. Tak tahan dia berdiri lebih lama di 

situ. Sebelum dirinya jatuh pingsan menyak-

sikan pemandangan yang mengerikan itu ce-

pat-cepat anak murid Perguruan Ujung Kulon 

itu putar tubuh dan ambil langkah seribu! 

Dia lari seperti orang dikejar setan sepuluh 

muka! Semak belukar diterjangnya. Pakaian-

nya robek-robek tak diperdulikan, kadang-

kala tubuhnya terantuk dengan batang-

batang pohon atau kepalanya membentur ca-

bang rendah! Tapi semua itu tak diacuhkan-

nya! Dia lari terus! Pokoknya asal bisa me-

ninggalkan bukit itu, apapun yang akan ter-

jadi dengan dirinya, tak akan ambil perduli!

"Eei! Kunyuk! Mau lari ya?! Sompret!" 

terdengar suara berteriak memaki.

Udayana tahu benar itulah suaranya si 

orang tua yang tadi duduk di ujung ranting! 

Tanpa putar kepala lagi untuk berpaling, pe-

muda ini segera tancap gas dan lari lebih 

kencang!


"Monyet! Berhenti! Kembali!" 

Tapi Udayana lari terus. 

"Sompret!"

Tiba-tiba tubuh Udayana mematung se-

perti batu. Jangankan lari, bergerak sedikit-

pun dia tak sanggup! Tubuhnya mulai dari 

kepala sampai ke kaki dilibat oleh seutas tali 

hitam, kuat dan kukuh! Sedetik kemudian 

kelihatanlah tubuh Udayana tertarik ke bela-

kang dan jatuh ke tanah menelentang. Di ha-

dapannya berdiri orang tua berambut putih 

aneh itu!

"Sompret! Kenapa kabur hah?!" tanya 

orang tua itu membentak.

"Orang tua... a... aku takut!"

'Takut! Apa yang kau takutkan ku-

nyuk?! Kau sudah pergi ke puncak bukit?"

"Ya, sudah...."

"Sudah lihat apa yang ada di lereng se-

belah timur?!" "Sudah...."

"Apa yang kau lihat?!"

"Tu... tulang..." jawab Udayana geme-

tar. Dia coba gerakkan tubuh, tak berhasil 

karena tali hitam masih mengikat di sekujur 

tubuhnya! "Celaka!" pikir Udayana. "Pastilah 

tubuhku akan digerogot oleh setan tua ini! 

Tulang-tulangku akan dibuang di antara 

tumpukan tulang-tulang di lereng timur sana!


Ampun!"

"Hai sompret! Kau bilang lihat tulang 

tadi?!" terdengar bentakan si orang tua.

"Betul...."

"Tulang apa?!"

"Tul... tulang manusia...."

"Hanya tulang manusia...."

"Tulang-tulang binatang juga..."

"Binatang apa, sompret!"

"Burung... kelinci... rusa... kambing hu-

tan...."

"Apalagi?!"

"Harimau!.. serigala... buaya... gajah...." 

"Sompret! Apa kau tidak melihat tulang

monyet?" bentak si orang tua.

"A... aku tidak tahu. Mungkin ada...."

"Mungkin ada! Sompret! Kau sama saja 

dengan monyet! Tunggu saja, sebentar lagi 

akan kuremukkan tubuhmu! Tulang-

belulangmu akan kulemparkan ke lereng bu-

kit sana!"

"Orang tua, aku mohon...!" ujar Udaya-

na setengah meratap. "Jangan celakai diriku! 

Aku tidak bermaksud jahat! Aku tengah men-

gemban satu tugas berat dari perguruan! 

Aku... aku murid Empu Sora dari Ujung Ku-

lon!"

Orang tua itu meludah ke tanah. "Sekalipun kau murid setan alas dari neraka, siapa 

perduli!" bentak orang tua berambut putih.

"Orang tua.... Harap kau punya sedikit 

welas-asih. Jika aku memang salah aku mo-

hon maaf dan ampunmu! Biarkan aku me-

ninggalkan tempat ini. Aku harus cari kakek 

guru, aku harus temui dia. Kalau tidak celaka 

semua! Perguruan Ujung Kulon akan am-

bruk! Manusia-manusia jahat akan gentayan-

gan lebih leluasa!"

"Sompret! Aku muak mendengar omon-

ganmu! Sekali aku bilang kau harus mam-

pus, berarti kau benar-benar musti mampus!"

Habis berkata begitu orang tua aneh 

tapi ganas ini gerakkan tangan kanannya 

yang memegang ujung tali hitam. Gerakannya 

perlahan saja tapi apa yang terjadi sungguh 

luar biasa. Tubuh Udayana yang terlibat tali 

hitam itu tersentak dan terlempar ke atas. 

Ketika tubuh itu kemudian jatuh dengan ke-

ras ke bawah Udayana tak sanggup lagi me-

nahan takutnya. Jeritan keras menggeledek 

dari mulut pemuda ini. Tapi hanya sejengkal 

lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah bu-

kit, si orang tua sentakkan lagi tangan ka-

nannya. Tubuh Udayana serta-merta terlem-

par kembali ke atas!

Untuk kedua kalinya kemudian pemuda itu jatuh lagi malah lebih deras dari per-

tama tadi. Dan celakanya kali ini kepalanya 

menukik lebih dulu! Kembali Udayana menje-

rit. Kali ini putus sudah harapannya. Dia 

bakal menemui kematian dengan kepala pe-

cah menghunjam tanah!

Namun pada saat batok kepala pemuda 

itu hanya tinggal setengah jengkal dari tanah, 

kembali si orang tua menyentakkan tali hitam 

yang dipegangnya. Akibatnya tubuh Udayana 

terlempar setinggi tiga tombak ke udara.

Si orang tua tertawa-tawa mengekeh 

seperti anak kecil kegirangan bermain tali 

bandringan! Sambil terus tertawa-tawa tubuh 

Udayana diputar-putarnya di udara. Pemuda 

itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi atas di-

rinya karena saat itu dia sudah jatuh ping-

san.

"Walah tua bangka geblek! Satu tahun 

lalu aku ke sini, tingkahmu sudah tidak ka-

ruan! Sekarang ternyata kau makin tambah 

tidak waras!"

Terdengar suara melengking tinggi. Ba-

ru saja suara itu lenyap berkelebatlah satu 

bayangan disertai menebarnya bau busuk.

Di hadapan si kakek kini tegak seorang 

nenek-nenek mengenakan jubah putih dekil 

terbuat dari bahan yang sangat tebal. Sulit


diduga apakah pakaian atau tubuhnya yang 

menebar busuk, mungkin juga kedua-

duanya.

"Jembel bau! Kau tidak bosan-

bosannya datang lagi ke tempat ini! Jangan 

harapkali ini aku akan memberikan apa yang 

kau minta!" berkata orang tua berambut pu-

tih. Dia hentikan tawanya tapi tubuh Udaya-

na masih terus diputar-putarnya di udara 

hingga mengeluarkan suara berdesing.

"Kau tidak mau berikan hari ini, lain 

hari aku akan muncul lagi di sini! Sampai 

kau bosan! Hik... hik... hik!" Nenek berjubah 

dekil membuka mulut.

"Kali ini jangan-jangan kau tak bakal 

muncul lagi di tempat ini Nyi Gambir.... Ini 

kemunculanmu yang terakhir kali!"

"Hik... hik... hik! Kenapa begitu?!" Si 

nenek bertanya sambil tertawa cekikikan.

"Karena sebentar lagi, jika urusanku 

dengan budak sompret ini selesai, aku akan 

membunuhmu!" jawab kakek berambut pu-

tih.

"Membunuhku boleh-boleh saja kakek 

kecoak! Kau memang manusia aneh! Minta 

nyawa orang tapi tak mau memberi nyawa 

sendiri!"

"Eh nenek bau, apa maksudmu?!"


"Kau sungguhan tidak mau memberi-

kan surat sakti itu padaku?!" bertanya nenek 

yang dipanggil dengan sebutan Nyi Gambir 

itu.

"Tua bangka tak tahu diri! Dulu aku bi-

lang tidak, sekarangpun tidak!" jawab orang 

tua berambut putih.

"Hemmm.... Apa gunanya kau simpan-

simpan surat itu kalau tidak dipergunakan?!"

"Dipergunakan atau tidak itu bukan 

urusanmu!"

"Hik... hik.... Betapa tololnya dirimu. 

Kau menyimpan satu petunjuk berharga. 

Yang bisa membawamu menjadi raja diraja 

dunia persilatan. Tapi menyia-nyiakannya 

begitu saja. Apa salahnya memberikan pada-

ku...."

Sambil terus memutar tubuh Udayana 

di udara, si kakek mendongak, tampaknya 

seperti tengah berpikir-pikir. Tiba-tiba dari 

balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kertas 

yang merupakan sebuah surat dimana tertu-

lis serangkaian kalimat berbunyi:

Kepada pendekar-pendekar utama

dari delapan penjuru angin

Siapa-siapa dari kalian yang ingin merajai

dunia persilatan datanglah membawa surat ini


ke Gua Iblis untuk mendapatkan senjata am-

puh Cambuk Iblis

(Mengenai surat iblis tersebut harap 

baca serial Mahesa Kelud berjudul "Delapan 

Surat Kematian")

"Kau inginkan surat maha berharga ini 

Nyi Gambir? Ambillah dari dalam perutku!"

Habis berkata demikian orang tua ram-

but putih ini lantas masukkan kertas yang 

dipegangnya ke dalam mulut, mengunyahnya 

lalu menelannya!

Si nenek sampai terbelalak melihat ke-

jadian itu. "Benar-benar tua bangka tolol!" ka-

tanya memaki-panjang-pendek.. Tahu bahwa 

kedatangannya ke bukit itu merupakan ke-

sia-siaan besar si nenek segera bersiap ang-

kat kaki dari situ. Namun dia tidak mau pergi 

begitu saja sebelum memberi sedikit pelaja-

ran pada si kakek. Sambil umbar tawa ceki-

kikan dia cabut lima lembar rambutnya yang 

berwarna kelabu. Lalu sekali tangannya ber-

gerak maka lima helai rambut itu lesat ke 

udara laksana jarum-jarum saat kemudian 

terdengar suara te tes... tes... tes!

Tali hitam yang dipegang si kakek dan 

mengikat sekujur tubuh Udayana putus di 

lima tempat!


"Sompret!" teriak orang tua rambut pu-

tih itu marah sekali. Dia hendak mengejar Nyi 

Gambir, tapi si nenek sudah berkelebat pergi.

Sambil menyumpah-nyumpah kakek 

ini terpaksa tumpahkan perhatiannya pada 

sosok tubuh Udayana yang saat itu melayang 

jatuh. Cepat dia angkat kedua tangannya. 

Tubuh Udayana tersentak beberapa kali lalu 

kalau tadi jatuhnya begitu deras kini laksana 

ditahan oleh satu kekuatan yang tidak terli-

hat, tubuh itu melayang turun secara perla-

han-lahan hingga akhirnya terbujur di tanah.


                              TAMAT



Segera menyusul!!!


BANJIR DARAH DI UJUNG KULON





Tidak ada komentar:

Posting Komentar