Sabtu, 30 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE SERIGALA BERBULU DOMBA

MAHESA KELUD EPISODE SERIGALA BERBULU DOMBA

 KARYA : BASTIAN TITO



OMBAK BERDEBUR tenang. Angin laut bertiup 

sejuk mengandung garam. Di timur sang surya 

menyembul agak kemerahan. Mahesa Kelud 

menyeka keringat yang bercucuran di keningnya, 

meletakkan cangkul dan memandang pada

perempuan muda berparas cantik di depannya.

 "Sudah cukup dalam," kata pemuda ini.

 "Ya. Jenazah gurumu sudah bisa dikubur," 

menjawab Dewi Maut.

 Keduanya melompat keluar lobang yang mereka

gali. Mahesa memanggul jenazah Emban Jagatnata 

alias Simo Gembong yang menemui kematian 

dengan cara bunuh diri. Dewi Maut kembali turun ke 

dalam kubur untuk menyambuti jenazah itu. Sebelum 

tanah ditimbunkan keduanya memandang terakhir kali 

pada muka buruk dan tubuh berlumuran darah si 

kakek. Yang satu adalah bekas murid, yang satu lagi 

pemah menjadi kekasih dimasa muda.

 Diatas tanah kubur yang merah itu Mahesa 

kemudian menancapkan patahan cabang pohon 

kemboja. Sesaat dia tegak merenung dihadapan 

makam gurunya. Guru yang telah mengakui 

kejahatannya dimasa lalu. Guru yang telah 

membunuh kedua orang tuanya. Tanpa berpaling 

pada perempuan di sebelahnya Mahesa berkata: "Aku 

harus pergi sekarang. Aku titip makam Embah 

Jagatnata padamu ..


Paras Dewi Maut berubah, khawatir dan juga

kecewa.

 "Bukankah . . . bukankah kau bermaksud tinggal

disini?"

 Mahesa gelengkan kepala.

 "Hal itu sudah kuberitahu pada gurumu," kata Dewi 

Maut.

 Kembali pemuda itu menggeleng.

 "Tak mungkin aku tinggal disini Dewi. .."

 "Kalau kau suka kau boleh panggil aku Sutri. Tak 

usah dengan sebutan yang sebenarnya akupun

tidak senang . . ." kata Dewi Maut alias Sutri. "Me-

ngapa tak mungkin kau tinggal disini? Kau tak suka

padaku..."

 "Kau perempuan cantik. Kecantikanmu luar bia-

sa. Semua lelaki tentu suka padamu," sahut Mahesa

pula.

 "Aku tak ingin disukai semua lelaki. Cukup hanya

kau sendiri. Aku sudah menyusun rencana. Kita

hidup berdua disini. Semua anak buahku akan ku-

suruh pergi..."

 "Maafkan aku Sutri. Permintaanmu tak mungkin

 dikabulkan ..."

 "Sebabnya?"

 "Aku sudah beristri. Saat ini aku harus kembali

ke gunung Muria menemuinya. Sudah terlalu lama

dia kutinggalkan."

 "Aku tahu kau sudah punya istri. Tapi apakah

itu menjadi halangan ... ?"

 Ucapan itu memberi kenyataan pada Mahesa

bahwa Sutri bersedia jadi istrinya yang kedua. Namun

bagaimanapun dia tak ingin melakukan hal itu. Cinta

kasihnya terhadap Wulansari melebihi cinta kasih ter-

hadap siapapun.

 Dewi Maut maklum kalau Mahesa benar-benar tak


akan bisa mengabulkan permintaannya. Maka diapun

berkata: "Aku tidak memaksa. Hanya ... apakah kita

tak akan bertemu lagi?"

 Diam-diam Mahesa merasa kasihan juga terhadap

perempuan muda yang cantik itu, walaupun dia tahu

bahwa dibalik wajah jelita dan tubuh yang elok mulus

itu sebenarnya adalah wajah seorang nenek dan 

tubuh kurus keriput. Hanya karena ilmu awet muda 

yang diterimanya dari gurunya Dewi Cabut Nyawa 

maka Sutri tetap memiliki wajah dan tubuh seperti 

yang terlihat saat itu.

 "Selama ombak masih berdebur dipantai pulau

ini, selama air laut masih biru, kita pasti akan ber-

temu lagi Sutri. Aku menghormatimu sebagaimana

aku menghormati guru ..."

 Pedih hati Sutri mendengarkan ucapan itu. Yang

diinginkannya bukan dihormati, tapi dicintai. Tapi

apa boleh buat, mengemispun tak akan terkabul.

 "Sebelum aku pergi ada satu permintaanku,"

kata Mahesa.

 Sutri menatap paras pemuda itu sejurus lalu ber-

tanya: "Permintaan apa?"

 "Pulau ini memiliki alam yang indah. Didiami

oleh perempuan-perempuan yang cantik jelita. Apa

salahnya kalau diisi dengan kehidupan yang baik

hingga semuanya menjadi satu kesatuan yang 

lestari?"

 "Apa maksudmu Mahesa?" tanya Dewi Maut tak

mengerti.

 "Aku ingin kau meninggalkan cara hidupmu di

masa lalu. Yang penuh darah dan nyawa. Apa nik-

matnya hidup seperti itu selain mencari musuh,

mengundang malapetaka? Padahal dengan ilmu 

yang tinggi, dengan anak buah yang setia, kau bisa


menjadi tokoh persilatan yang disegani dan dihormati 

dalam rimba persilatan . . ."

 Sejurus Dewi Maut termenung.

 "Maksudmu . . . kalau aku mengikuti permintaanmu 

itu, kau juga akan memenuhi permintaanku?

Tinggal disini?"

 Mahesa tersenyum. Senyum yang membuat Dewi

Maut menahan nafas.

 "Aku tidak mengatakan demikian Sutri. 

Permintaanku hanya satu permintaan belaka, lain 

tidak. Tak ada pamrih tak ada syarat. Aku melihat itu 

satu-satunya jalan hidup yang baik bagimu ..."

 "Aku tak tahu apa bisa mengabulkan perminta-

anmu itu Mahesa. Tapi aku berjanji akan memikir-

kannya .. ."

 "Terima kasih. Kalau begitu aku minta diri se-

karang ..."

 "Tunggu dulu," ujar Dewi Maut.

 "Ada hal lain lagi?" tanya Mahesa.

 Sreett!

 Perempuan itu buka gulungan pedang Samber

Nyawa di tangan kanannya. Sinar hitam menggidik-

kan memancar.

 Mahesa Kelud terkesiap dan melangkah mundur.

Sebaliknya Dewi Maut tersenyum.

 "Kau tak usah takut Mahesa. Aku tidak akan me-

nusukmu dengan senjata ini. Aku merasa pedang 

sakti ini sebaiknya berada di tanganmu . . . Ambillah!"

 "Ah! Kau baik sekali!" sahut Mahesa. "Tapi aku

tak berani menerimanya. Lagi pula aku sudah cukup

memiliki beberapa senjata."

 "Ditambah yang satu ini kau akan menjadi pen-

dekar tak terkalahkan. Kau akan merajai dunia per-

silatan!"

 "Aku tak inginkan hal itu . .."


"Kau benar-benar aneh," ujar Sutri pula. "Setiap

pendekar ingin menjadi orang yang terpandai dan ter-

hebat. Ingin menggenggam dunia persilatan dalam

tangannya. Tapi kau tidak . . . ? Bagaimana ini?"

 "Karena ilmu yang kumiliki bukan bertujuan

Kedua untuk berbuat kebaikan, menolong mereka

yang membutuhkan dan menghancurkan mereka

yang jahat..."

 "Menghancurkan mereka yang jahat! Nah, bukankah 

dengan pedang Samber Nyawa ini kemampuanmu

untuk melakukan itu jadi berlipat ganda?"

 "Pendapatmu memang betul. Tapi sekali lagi,

terima kasih. Aku sudah memiliki senjata yang dapat

diandalkan. Kau pegang sajalah pedang mustika itu.

Kurasa lebih besar manfaatnya jika berada ditangan-

mu ..."

 Sutri terdiam. Lalu dengan suara perlahan dia

berkata: "Jika kau tak mau menerimanya, kurasa

akupun belum berani memilikinya. Biarlah senjata

ini untuk sementara kusimpan di perut bumi!"

 Habis berkata begitu Dewi Maut alias Sutri 

hunjamkan pedang Samber Nyawa ke atas makam 

Simo Gembong, pada samping kiri. Senjata sakti itu 

amblas dan lenyap ke dalam tanah!

 Kejadian itu membuat Mahesa menyadari bahwa

sebenarnya dalam diri Dewi Maut masih terdapat un-

sur-unsur kebaikan. Maka dia melangkah lebih dekat,

memegang kedua tangan perempuan itu dan berkata:

"Aku percaya kau mau memenuhi permintaanku

tadi..."

 Sepasang mata Sutri tampak berkaca kaca. Pe-

gangan jari-jari tangan si pemuda terasa hangat dan

kehangatan itu menjalar ke sekujur tubuhnya. Diam-

diam diapun mengetahui bahwa sebenarnya pemuda

ini menyukainya. Hanya saja dunia mereka saat itu


masih dipisahkan oleh satu jurang lebar serta dalam.

Dan Sutri hampir tak percaya ketika tiba-tiba Mahesa

merundukkan kepala. Wajah mereka berhimpitan.

Dan Sutri merasakan kecupan hangat pada bibirnya

yang merah. Perempuan ini pejamkan matanya. Ke-

dua tangannya merangkul ke depan hendak memeluk

Mahesa. Tapi dia merangkul angin. Ketika kedua ma-

tanya dibuka, dilihatnya pemuda itu sudah berada

jauh di pantai sebelah barat.

 Sutri memegang bibirnya yang tadi dikecup. Air 

matanya berlinangan.

 “Tuhan . ..” katanya dengan suara berbisik meng-

geletak. “Lindungi orang yang kukasihi itu …”

 Kemudian tiba-tiba saja wajah perempuan itu

menjadi sangat merah. Tuhan! Barusan dia menyebut

nama Tuhan. Setelah puluhan tahun hidup dalam ke-

sesatan!

oOo


MESKIPUN Simo Gembong atau Embah Jagatnata 

telah menemui kematian, namun beberapa tokoh 

rimba persilatan masih tetap di cengkam rasa 

khawatir. Kekawatiran ini adalah setelah mereka 

menyetahui bahwa ternyata kakek jahat

berkepandaian tinggi itu memiliki seorang murid

bernama Mahesa yang kepandaiannya bahkan tidak

dibawah sang juru. Selain itu diketahui pula bahwa

Dewi Maut yang diam di Lembah Maut Pulau

Mayat, sebenarnya adalah kekasih Simo Gembong

walau pada masa mudanya dia telah dikecewakan.

Rasa kawatir semakin bertambah melihat bahwa

Dewi Maut memiliki pedang Samber Nyawa, satu

senjata mustika yang dianggap paling hebat dalam

dunia persilatan. Siapa yang memilikinya kalau sen-

jata itu berada di tangan manusia jahat seperti Dewi

Maut.

 Terdorong oleh rasa kawatir itu, ditambah oleh

dendam yang seolah-olah masih belum pupus maka

Datuk Ular Muka Tengkorak mengundang beberapa

tokoh persilatan untuk menyusun rencana apa yang

harus dilakukan sebelum dunia persilatan kembali

ditimpa bencana.

 Seperti ketika dulu menyusun rencana pengejaran 

atas diri Simo Gembong, maka pertemuan rahasia

itupun diadakan di tempat yang sama. Yakni di sebu-

ah rumah kayu bertingkat di lereng sebuah bukit.

 Di kepala meja duduk Datuk Ular Muka Tengkorak, 

bertindak sebagai pemimpin pertemuan. Di sebelah

kanannya duduk Pendekar Kembang Merah.

Kedua tokoh silat ini sebelumnya telah mengejar

Simo Gembong sampai ke Pulau Mayat. Saat itu me-

reka bersama-sama dengan pendekar Kelabang

Hitam dan Ki Ampel Sampang, pengurus pesantren


Megasuryo. Kedua tokoh yang terakhir ini mengalami 

nasib malang. Mereka tewas di tangan Simo

Gembong.

 Di secelah kanan Pendekar Kembang Merah

tampak seorang kakek berkulit putih bulai. Rambutnya 

pendek putih, sepasanj alis bahkan bulu matanya

juga tampak putih. Mukanya licin dan dia mengena-

kan pakaian serba putih yang membuat keadaan diri-

nya terasa aneh untuk dipandang. Dia adalah wakil

ketua pesantren Megasuryo, pesantren dimana Ki

Ampel Sampang duduk sebagai pengurus. Kematian

Ki Ampel Sampang diterima denyan rasa kaget oleh

ketua pesantren dan seluruh pengurus serta anak

murid. Ketika Datuk Ular menyampaikan undangan

maka sang ketua tidak ragu-ragu untuk mengirimkan

wakilnya itu. Bukan saja untuk membicarakan apa

yang akan mereka lakukan, tetapi juga guna me-

nyelidiki kematian Ki Ampel Sampang. Dibanding-

kan dengan kawannya yang tewas di tangan Simo

Gembong maka sang Wakil Ketua yang bernama

Gambir Putih memiliki kepandaian dua tingkat

lebih tinggi.

 Di ujung meja yang lain, yakni di hadapan Datuk

Ular duduk seorang perempuan berwajah pucat.

Rambutnya tergerai. Pandangan matanya dingin.

Di atas meja dihadapannya terletak sebuah rebab

berikut alat penggeseknya. Perempuan ini bukan

lain adalan Dewi Rebab Kencana yang dimasa 

mudanya pernah dirusak kehormatannya oleh Simo 

Gembong.

 Pada sisi meja sebelah kiri duduk berjejer dua

orang tua berpakaian aneh. Yang pertama berbadan

kurus, berambut panjang awut-awutan dan mengena-

kan pakaian kumal penuh tambalan. Sementara du-

duk dia tiada hentinya tersenyum dan tertawa kecil,


kelihatannya seperti kurang waras. Orang tua ini di-

kenal dengan julukan Pengemis Sableng. Disebelah-

nya duduk orang tua yang memiliki wajah mirip kare-

na dia bukan lain memang adik kembar Pengemis

Sableng. Si adik kembar ini berpakaian gombrong

berwarna kuning yang juga penuh tambalan tetapi

bersih. Di tangan kanannya ada sebuah kipas putih.

Walaupun saat itu udara malam cukup dingin tapi

anehnya dia terus saja berkipas-kipas. Adik Pengemis

Sableng ini dikenal dengan julukan Pengemis 

Berkipas Putih.

 Tiba-tiba Pengemis Sableng menguap lebar-lebar.

Sambil kucak-kucak matanya dia berkata: "Mataku 

mulai mengantuk. Kalau pertemuan ini belum juga 

dimulai bagusnya aku tidur dahulu!"

 "Sst . . . Jangan bicara melantur!" memperingatkan 

adik kembar Pengemis Sableng. Lalu dia berpaling 

pada Datuk Ular dan bertanya: "Datuk, apakah masih 

ada sahabat yang kita tunggu?"

 "Tidak", jawab sang Dotuk. "Sahabatku Pengemis

Berkipas Putih tampaknya sudah tidak sabaran. Mari

kita mulai perundingan."

 Datuk Ular lalu membuka pertemuan itu dengan

menuturkan apa yang telah dilakukan oleh Simo

Gembong dan apa yang kemudian terjadi dengan ke-

kek jahat tersebut. Dia mulai dengan memberi pen-

jelasan silang sengketa apa yang terjadi antara dia.

Pendekar Kembang Merah serta Dewi Rebab 

Kencana dengan Simo Gembong. Lalu pengejaran 

yang dilakukan ketika diketahui kakek sakti itu 

muncul kembali setelah sekian tahun lenyap tak 

diketahui berada dimana. Diceritakan pula tentang 

kematian yang dialami Ki Ampel Sampang serta 

Kelabang Hitam. Lalu ditutup dengan kematian Simo 

Gembong di Pulau Mayat. Mati bunuh diri


"Sebenarnya." kata Datuk Ular, "dengan matinya

Simo Gembong kita bisa merasa lega. Namun ada ke-

nyataan baru yang membuat beberapa diantara kita

merasa kawatir. Kenyataan itu ialah bahwa Simo

Gembong memiliki seorang murid berpakaian luar

biasa tinggi. Dia ikut menyaksikan kematian gurunya.

Dan aku yakin dia menanam dendam kesumat ter-

hadap kita. Hal itu jelas kulihat dari sinar yang me-

mancar dikedua matanya. Karenanya sebelum murid

Simo Gembong menimbulkan bencana baru, aku me-

rasa perlu mengundang sahabat sekalian guna mem-

bicarakan apa yang bakal kita lakukan. Ini adalah hal

paling utama dan paling penting dalam pertemuan

ini. Hal kedua yang tak kalah pentingnya ialah ten-

tang Dewi Maut yang bercokol di Pulau Mayat. Kira-

nya para sahabat disini sudah mengetahui kejahatan

perempuan itu. Dia tidak lebih baik dari Simo Gem-

bong. Celakanya senjata nomer satu di dunia 

persilatan yaitu sebilah pedang hitam bernama 

Samber Nyawa berada di tangan perempuan iblis 

itu. Aku dan Pendekar Kembang Merah telah 

menyusun satu rencana. Entah apakah para sahabat 

disini menyetujui dan bersedia menjalankannya 

bersama-sama ..."

 "Jika dapat disimpulkan," yang bicara kini adalah

Pendekar Kembang Merah, "ada dua hal pokok

yang jadi pembicaraan. Pertama soal murid Simo

Gembong yang bernama Mahesa itu. Dan kedua 

soal Dewi Maut. Kita selesaikan dulu yang pertama, 

baru yang kedua."

 "Betul," sahut Datuk Ular seraya memandang

berkeliling meja. "Bagaimana pendapat para saha-

bat?"

 "Aku sangat setuju kita tangani dulu soal pertama," 

buka suara kakek bulai bernama Gambir Putih.


"Bukan saja karena Simo Gembong telah membunuh

pengurus pesantren kami, tapi juga karena tindak tan-

duk muridnya pasti akan menimbulkan bahaya bagi

kita kelak ciikemuJian hari."

 Pengemis Berkipas Putih manggut-manggut sambil

tiada hentinya berkipas. Sementara kakak kembarnya

tertawa-tawa terus.

 "Aku turut mana baiknya saja Datuk", berkata

Pengemis Berkipas Putih. "Terus terang saja aku dan

kakakku mendapat tugas khusus dari seorang 

pejabat Keraton. Tugas itu atas permintaan 

bangsawan Prajadika yang telah kematian 

puteranya. Dibunuh oleh Mahesa. Disamping itu 

kami juga ditugasi untuk mencari dan menangkap 

seorang pengkhianat bernama Supitmantil. Dia 

banyak memberi bantuan pada Mahesa hingga 

pemuda itu berhasil melarikan diri setelah ditangkap."

 "Terima kasih atas penjelasanmu itu Pengemis

Berkipas Putih. Sekaligus kau juga telah mewakili

kakakmu." Datuk Ular memandang pada Dewi 

Rebab. "Kita belum mendengar pendapat Dewi. 

Silahkan bicara .. ."

 Perempuan bermuka pucat itu mengetuk-ngetuk-

kan jari tangannya ke atas badan rebab hingga 

mengeluarkan suara yang membuat Datuk Ular dan 

lain-lainnya merasa tidak enak. Sesaat kemudian baru 

perempuan ini membuka mulut. Dan ini merupakan 

satu pertanyaan.

 "Datuk, bisakah kau menerangkan lebih jelas.

Rencana apa sebenarnya yang hendak dilakukan ter-

hadap pemuda bernama Mahesa itu?"

 "Apalagi! Kita harus mencegahnya membalaskan

dendam kematian gurunya!" jawab Datuk Ular.

 "Caranya?" tanya Dewi Rebab lagi.

 "Meringkusnya. Membunuh kalau perlu!" Yang


menjawab adalah Pendekar Kembang Merah.

 Paras Dewi Rebab tetap pucat bahkan kini menjadi 

tambah dingin pandangannya. Kemudian tampak

perempuan ini geleng-gelengkan kepala.

 "Kita, atau siapapun disini tidak punya cukup

alasan untuk melakukan hal itu terhadap pemuda

tersebut!" kata sang dewi tandas.

 "Eh! Kami berdua yang paling punya alasan!"

jawab Pengemis Berkipas Putih. "Pemuda itu telah

membunuh Prajakuncara, putera hartawan 

Prajadika! Dia patut ditangkap dan dibunuh. 

Kalaupun diadili putusan hukuman jelas digantung 

sampai mati!"

 "Itu betul sahabatku," menjawab Dewi Rebab.

"Tapi apakah kau tahu mengapa pemuda itu sampai

membunuh Prajakuncara? Karena Prajakuncara 

menculik kekasihnya dan hendak memperkosanya!"

 Ruangan ditingkat atas itu kini menjadi sunyi.

Untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara. 

Suasana menjadi tidak enak. Datuk Ular batuk-batuk 

beberapa kali lalu berkata: "Dewi, kau benar. Praja-

kuncara punya kesalahan. Tapi itu bukan berarti

setiap orang bisa menjatuhkan hukuman seenak-

nya .. ."

 "Kalau begitu mengapa kita ingin melakukan

dan menjatuhkan hukuman seenaknya terhadap

pemuda itu?" tukas Dewi Rebab.

 "Kita tidak bertindak begitu Dewi. Itulah sebabnya 

mengapa kita mengadakan pertemuan disini!" angkat 

bicara Pendekar Kembang Merah.

 "Para sahabatku," kata Dewi Rebab. "Sepanjang

yang aku ketahui, pemuda ini bukan bangsa manusia

jahat. Dia seorang murid yang patuh pada gurunya.

Tak ada yang perlu kita takutkan terhadapnya. Kalian

tentu ingat apa kata-kata Simo Gembong padanya


sebelum mati. Apa pun yang kita lakukan terhadap

gurunya, pemuda itu tak boleh menaruh dendam ter-

hadap kita!"

 "Tapi siapa yang menjamin pemuda itu benar-

benar mengikuti pesan gurunya dan tidak membuat

kita celaka dikemudian hari?" ujar Datuk Ular.

 "Kalau dia memang ingin menuntut balas, ketika

gurunya mati tentu dia sudah menyerbu kita selagi

masih di Pulau Mayat. Harap maafkan, tapi aku tidak

setuju kita mencari silang sengketa dengan pemuda

yang tidak punya salah apa-apa itu. Jika Pengemis

Berkipas Putih dan Pengemis Sableng ingin menerus-

kan maksud itu masih pantas karena mereka menda-

pat tugas dari pejabat Keraton. Tapi aku dan yang

lain-lainnya tidak punya hak apa-apa. Apapun dosa

Simo Gembong dimasa lalu tidak ada sangkut paut-

nya dengan diri muridnya . . ."

 "Ah, rupanya Dewi Rebab Kencana merasa

sungkan mengambil tindakan. Mungkin karena meng-

ingat pemuda itu masih memiliki beberapa guru dan

sahabat yang kepandaiannya tidak bisa dibuat

main . . . ?"

 "Dalam persoalan ini aku tidak memandang siapa-

pun!" sahut Dewi Rebab yang merasa tidak enak atas

ucapan Datuk Ular tadi. "Aku hanya memandang

pada garis kebenaran. Jika kita ingin menegakkan

kebenaran mengapa kita harus menempuh jalan

salah? Maaf, aku tidak setuju kita menangkap apalagi

membunuh pemuda itu. Tapi aku setuju jika kita me-

lakukan sesuatu terhadap Dewi Maut..."

 Kembali ruangan di tingkat atas bangunan kayu

itu menjadi sunyi.

 Karena tak ada yang bicara maka Dewi Rebab

berdiri. "Hari ini kita berselisih pendapat. Tapi

dikemudian hari kalian akan melihat kenyataan bahwa


apa yang aku katakan adalah benar!" Dewi Rebab

mengambil rebab dan penggeseknya. Justru pada

detik itu pula tiba-tiba dia berteriak keras dan mendo-

ngak ke wuwungan bangunan.

 "Siapa diatasi" membentak Dewi Rebab. Rebab-

nya digesekkan. Terdengar suara melengking tinggi.

Sinar putih kekuningan menyambar atap hingga

hancur. Disaat yang sama terdengar suara orang me-

mekik.

 "Kena!" teriak Pendekar Kembang Merah.

 Dewi Rebab sudah melompat ke atas atap

bangunan. Datuk Ular dan yang lain-lainnya me-

nyusul. Malam gelap dan dingin. Tak ada seorangpun

yang kelihatan walau tadi jelas terdengar suara orang

terpekik kesakitan. Di ujung atap yang roboh Dewi

Rebab membungkuk memungut sebuah benda. 

Benda ini ternyata secarik potongan kain berwarna 

biru yang tampak hangus.

oOo


APAKAH ada sesuatu petunjuk?" bertanya Datuk 

Ular.

 "Ya, siapa yang tadi mendekam di atas atap

mencuri dengar pembicaraan kita?!" timpal Pendekar

Kembang Merah sementara Pengemis Sableng cuma 

tertawa-tawa saja sedang adiknya terus pula 

berkipas-kipas.

 "Tidak . . . tidak ada petunjuk apa-apa! Orang itu

keburu melarikan diri," jawab Dewi Rebab Kencana

dan diam-diam menggenggam potongan kain warna

biru yang hangus dalam telapak tangan kirinya.

 Datuk Ular merasa tidak enak. Jelas perempuan

muka pucat itu tadi memungut sesuatu. Namun 

karena tak ingin berbantahan maka diapun tak 

berkata apa-apa.

 Sebaliknya Dewi Rebab berkata: "Sahabat sekalian. 

Jalan pikiran kita masing-masing sudah nyata.

Jika membasmi Dewi Maut aku bersedia ikut tapi

untuk mencari perkara dengan pemuda yang tidak

punya dosa dan kesalahan itu kurasa tidak pada tem-

patnya ..."

 Setelah berkata begitu Dewi Rebab menjura pada

kelima tokoh silat dihadapannya lalu sekali berkelebat 

maka tubuhnyapun lenyap dari atas atap itu. Datuk 

Ular dan empat orang lainnya melayang turun ke 

tanah.

 "Sayang dia tidak mau ikut kita," kata Pendekar

Kembang Merah karena menyadari kehebatan ilmu

yang dimiliki Dewi Rebab.

 "Tak usah kecewa" ujar Datuk Ular memberi se-

mangat. "Kita berlima masakan tidak dapat meng-

hadapi pemuda itu. Bagaimanapun tinggi kepandaian-

nya dia tetap seorang pemuda ingusan!"

 DEWI REBAB lari laksana angin. Bayangannya


tampak menuju ke selatan. Rambutnya tergerai se-

perti tegak di belakang kepala saking cepatnya dia

berlari. Selang sepeminuman teh, dia mulai dapat

mendengar suara lari orang yang dikejarnya. Tak 

lama kemudian dia sudah melihat orang tersebut.

 Orang yany lari di sebelah depan berpakaian biru.

Sebentar-sebentar dia lari sambil memegangi bagian

perutnya. Wajahnya meringis. Pertanda bahwa dia

menderita sakit di bagian tubuhnya itu. Ketika sesaat

dia berhenti untuk meneliti perutnya. Dewi Rebab

tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Rebab di

tangan kiri, penggesek di tangan kanan siap untuk

digesekkan.

 "Hem . . . kau rupanya!" ujar Dewi Rebab."Aku

sudah sangka! Mana kawan-kawanmu yang lain?!"

 "Aku hanya seorang diri!" jawab si baju biru

yang nyatanya adalah seorang gadis berparas cantik.

 "Jangan dusta! Atau kau mampus detik ini juga!"

Dewi Rebab angkat tangan kanannya yang 

memegang penggesek rebab.

 "Aku tidak dusta! Matipun aku tidak takut!"

jawab si biru.

 "Hemm ... Kau punya nyali juga . .."

 "Hai! Kau hendak membunuh aku! Mengapa

tidak melakukan?!" menantang gadis baju biru itu.

 Dewi Rebab Kencana tertawa dingin.

 "Sebelum kau kubunuh, katakan mengapa kau

mencuri dengar pembicaraan kami diatas atap ba-

ngunan?"

 "Aku tidak mencuri dengar. Hanya kebetulan lewat”

 "Lalu mengintai dan pasang kuping!" sambung

Dewi Rebab.

 "Terserah kau mau menuduhkan apa!"

 "Heran, kau berada seorang diri. Jauh dari Pulau

Mayat. Apa yang tengah kau selidiki?!"


"Aku tidak menyelidiki apa-apa. Aku memang

minggat dari Pulau itu!" jawab si biru.

 "Minggat . . . Hik . . . hik . . . hik. Lucu sekali

kedengarannya. Pasti ada sebab lantaran mengapa 

kau minggat. Ayo katakan!"

 "Itu urusanku! Mengapa kau mau tahu!"

 "Baiklah. Sekarang apakah kau sudah siap untuk

mati?"

 "Aku sudah siap dari tadi!"

 Paras Dewi Rebab pucat dan sedingin es. Tangan

kanannya bergerak. Pengyesek rebab tiba-tiba 

diayunkan. Gerakan tangannya perlahan saja tapi 

deru angin yang terdengar keras luar biasa. Si biru 

yang diserang tak tinggal diam. Cepat dia cabut 

pedang hitam di pinggang. Sesaat kemudian sinar 

hitam menebar. Ketika angin pukulan Dewi Rebab 

membentur taburan sinar hitam, si biru merasa 

tangannya yang memegang pedang bergetar keras. 

Dia segera maklum kalau tenaga dalam lawan jauh 

berada diatas tingkat tenaga dalamnya sendiri. Maka 

cepat-cepat gadis melompat kesamping. Dari sini dia 

babatkan pedang hitamnya ke pinggang lawan. 

Serangan susulan ini cepat sekali, membuat Dewi 

Rebab tersentak kaget dan cepatcepat melompat 

mundur. Begitu ujung pedang lewat, perempuan 

berwajah pucat ini segera menyerbu. Penggesek di 

tangan kanannya berkelebat ganas kian kemari, 

menghantam gadis berbaju biru dari berbagai

penjuru. Demikian cepat dan derasnya serangan alat

penggesek rebab itu hingga tak beda dengan curahan

hujan lebat!

 Dalam waktu sangat singkat gadis berbaju biru itu

terdesak hebat. Bagaimanapun dia keluarkan kepan-

daian dan kerahkan tenaga tetap saja serangan lawan

datang menghimpit. Diam-diam dara itu mengeluh.


"Tahan!" tiba-tiba sang dara berseru seraya me-

lompat mundur. "Antara kita tak ada silang sengketa! 

Mengapa kau hendak menurunkan tangan jahat?"

 Dewi Rebab tertawa dingin.

 "Pertama, kau punya kesalahan. Mengintai dan

mencuri dengar pembicaraan orang. Kedua bukankah

kau sendiri yang tadi minta mati?!"

 "Kentut!" maki si biru. Pedang di tangan kanannya 

tiba-tiba sekali ditusukkan ke dada Dewi Rebab.

Cepat sekali gerakannya. Ketika ujung pedang hampir

menghunjam dada kanan Dewi Rebab, sang dewi ber-

muka pucat gerakkan tangan kanannya yang me-

megang alat penggesek.

 Trang!

 Pedang di tangan si biru terlepas mental. Pucatlah

paras dara ini. Meski tahu kini kematian berada di

hadapannya namun dia tak mau lari malah sebaliknya

jatuhkan diri seraya berkata: "Kau hendak mem-

bunuhku! Bunuhlah!"

 Dewi Rebab ayunkan tangan kirinya yang me-

megang rebab. Bagian badan alat bebunyian ini men-

deru ke batok kepala gadis berbaju biru. Sesaat lagi

kepala itu akan pecah dan sang dara lepas nyawanya

tiba-tiba ada angin deras datang dari samping. Demi-

kian derasnya hingga Dewi Rebab merasakan tubuh-

nya bergoncang lalu terdorong ke kiri. Pukulan 

rebabnya ke kepala si gadis luput!

 "Kurang ajar! Siapa yang berani turun tangan ikut

campur urusan orang!" Dewi Rebab membentak

marah. Seluruh tenaga dalamnya disalurkan ke 

tangan kanan hingga alat penggesek yang 

dipegangnya bergetar keras. Dia sudah siap memukul 

ketika ada suara terdengar berkata.

 "Kau yang berhati agung, kenapa hendak mem-

bunuh dara yang telah menyerahkan diri dan tak ber


daya?!"

 Teguran yang dilakukan dengan suara bernada

lembut sabar tapi penuh penyesalan itu membuat

Dewi Rebab sesaat tercekat. Dia palingkan balikkan

badan. Tangan yang tadi diangkat ke atas siap me-

lepaskan pukulan maut perlahan-lahan diturunkan

begitu dia mengenali siapa adanya orang yang tadi

menegur. Orang ini tegak delapan langkah dihadap-

annya, tegap dan gagah.

 "Kau ... " ujar Dewi Rebab sementara gadis 

berpakaian biru yang tadi berlutut tundukkan kepala,

kini angkat kepalanya dengan cepat.

 Hampir seperti kagetnya Dewi Rebab begitu

pula terkejutnya si baju biru. "Hai! Dia rupanya . . .

Berbulan-bulan aku mencari ternyata kini dia muncul

sendiri malah menyelamatkan nyawaku!"



KITA kembali dulu pada Datuk Ular, Pendekar 

Kembang Merah dan tiga tokoh silat lainnya yang 

masih berada di bangunan kayu bertingkat. Setelah 

Dewi Rebab meninggalkan mereka. Datuk Ular 

memandang pada ke empat tokoh yang ada 

bersamanya.

 "Tadi jelas kulihat dia memungut sesuatu," kata

sang datuk. "Aku curiga dia telah menemukan satu

petunjuk. Yaitu siapa manusianya yang tadi mengin-

tai diatas atap ..."

 "Kukira memang begitu," sahut Pengemis ber-

baju gombrong seraya berkipas-kipas.

 "Apa pendapat kalian?" sang datuk bertanya.

 "Bagaimana kalau kita mengejar ke arah perginya

tadi?" mengusulkan Pendekar Kembang Merah.

 "Jika semua setuju, itu segera bisa kita lakukan”

kata Datuk Ular.

 Pendekar Kembang Merah mengangguk. Gambir

Putih mengiyakan. Kakak beradik pengemis kembar

juga mengangguk. Maka ke lima tokoh itupun ber-

kelebat dalam gelapnya malam ke jurusan lenyapnya

Dewi Rebab Kencana tadi.

 Kembali ke tempat pertemuan yang tidak ter-

duga. Saat itu hari mulai menjelang pagi. Namun ka-

rena daerah sekitar situ penuh ditumbuhi pohon-

pohon besar berdaun lebat maka keadaannya tetap

gelap pekat. Namun tiga pasang mata yang ada disitu

sanggup menembus kegelapan dan mengenali siapa

orang yang ada di depan masing-masing.

 "Bukankah kau Mahesa Kelud. Murid Simo

Gembong?" Meskipun sudah mengenali pemuda

itu namun Dewi Rebab masih bertanya seolah-olah

hendak mencari kepastian.

 Si pemuda yang memang Mahesa Kelud adanya,


mengangguk perlahan. Matanya memandang 

waspada ke arah tangan kanan Dewi Rebab yang 

masih tampak bergetar tanda masih dialiri tenaga 

dalam tinggi.

 "Mengapa Dewi hendak membunuhnya?" Mahesa

ajukan pertanyaan. Suaranya tetap bernada lembut

sabar seperti tadi.

 "Dia sendiri yang minta mati!" sahut Dewi Rebab.

 "Minta mati? Betulkah begitu?"

 Si biru tak menjawab. Sebaliknya Dewi Rebab

kembali membuka mulut: "Dia melakukan kesalahan 

dan aku memergokinya. Ketika ditanya tidak

mengaku . . ."

 "Kalau begitu kau dara yang berbaju biru harus

minta maaf pada Dewi Rebab. Memasang telinga 

ingin tahu urusan orang lain memang tidak pantas .. ."

 "Aku tidak sudi! Aku tidak mencampuri urusannya. 

Aku hanya kebetulan lewat. Lalu .. ."

 "Lalu ingin tahu dan mengintai diatas atap .. . ?"

sambung Mahesa tersenyum.

 Baik Dewi Rebab maupun si baju biru sama-sama

kaget. Jadi apa yang terjadi sebelumnya pemuda ini

pun sudah tahu.

 "Sudahlah, jika kau malu minta maaf pada Dewi,

biar aku yang mewakili. Dewi Rebab, aku mohon kau

mau memaafkan kesalahannya."

 Paras pucat itu sesaat tampak jengkel. Sang dewi

bertanya: "Apakah kau tahu siapa gadis ini sebenar-

nya?"

 "Lebih dari tahu," sahut Mahesa.

 "Kalau begitu kau juga tahu bahwa manusia

seperti dia pantas dibasmi?!"

 "Dimasa lalu dia memang berbuat kejahatan karena 

jadi anak buah Dewi Maut. Tapi tadi kudengar dia


mengatakan sudah minggat dari Pulau Mayat. Pasti 

ada sesuatu yang terjadi atas dirinya ..."

 "Apapun sesuatu itu bukan urusanku. Dosanya

dimasa lalu terlalu besar!" tukas Dewi Rebab 

Kencana.

 "Tapi kalau dia ingin bertobat kenapa tidak diberi

kesempatan?" kata Mahesa pula.

 "Hai . . ." seru Dewi Rebab. "Pasti ada hubungan

apa-apa antara kau dengan gadis cantik ini. Kalau

tidak mengapa kau membelanya?!"

 Mahesa Kelud tertawa.

 "Bertemupun baru kali ini. Masakan kau menduga

sejauh itu!" sahut pemuda itu kemudian.

 Dewi Rebab tertawa dingin. "Urusan orang muda,

aku yang tua tidak pantas ikut campur. .."

 "Siapa bilang kau sudah tua Dewi . . . ?" ujar

Mahesa polos. "Selain cantik kaupun memiliki hati

dan pikiran bijaksana . . ."

 Wajah sang dewi yang selalu pucat sesaat tampak

kemerahan. Dan Mahesa menambah bumbu kata-

katanya: "Kalau wajahmu merah seperti itu kau

benar-benar secantik dewi. .."

 Seumur hidupnya hanya ada satu orang yang 

pernah memuji dan tergila-gila pada kecantikannya.

Manusia itu adalah Simo Gembong yang kemudian

menghancurkan kehidupannya. Dan kini ada orang

kedua memuji seperti itu. Dia adalah Mahesa Kelud,

murid Simo Gembong! Mau tak mau Dewi menjadi

jengah . Tapi bagaimanapun layaknya seorang wa-

nita, pujian akan membuat hatinya berbunga-bunga.

 Maka diapun berkata: "Aku tidak akan meng-

ganggu kalian berdua. Hanya saja, kau berhati-hatilah

orang muda ..."

 "Berhati-hati bagaimana Dewi?" tanya Mahesa.

 "Ada orang-orang yang berniat membunuhmu!"


"Siapa mereka?" kembali Mahesa bertanya.

 "Tak dapat kukatakan. Kau kelak akan berhadapan 

dengan mereka dalam waktu dekat. .." Habis berkata 

begitu Dewi Rebab mengerling melirik ke arah gadis 

berbaju biru, mengerling pada Mahesa lalu ber-

kelebat dan lenyap dalam kegelapan malam.

 Kini tinggal Mahesa dan si baju biru itu.

 Si pemuda mendekat. "Bukankah kau Sembilan

Biru! Anak buah Dewi Maut dari Pulau Mayat?"

tanya Mahesa.

 "Betul", jawab si gadis seraya merapikan rambut

dan pakaiannya.

 "Kenapa kau berada disini?"

 "Kau suuah dengar pembicaraanku tadi dengan

perempuan rambut panjang muka pucat itu. Aku

minggat dari sarang Dewi Maut..."

 "Begitu ... ? Ada apa kau sampai minggat?"

 "Aku . . . aku hanya tak kerasan tinggal lebih

lama disitu."

 "Bagus kalau kau mau meninggalkan kesesatan. 

Sekarang kemana tujuanmu?"

 Sembilan Biru tak bisa menjawab. Dia melarikan 

diri dari Pulau Mayat tanpa tujuan yang pasti. Sejak 

dia menincgalkan pulau itu yang terbayang olehnya 

hanyalah pemuda bernama Mahesa Kelud yang 

sangat menarik hatinya. Dia mengembara berbulan-

bulan menyirap kabar mencari jejak untuk dapat 

menemui pemuda itu. Kini setelah berhadap-hadapan 

tentu saja dia tak mau menceritakan rahasia dirinya 

itu.

 Karena orang yang ditanya tak menjawab Mahesa 

lalu berkata: "Aku harus pergi sekarang. Kau hati-

hatilah menjaga diri.. ."

 "Kau mau kemana?" Sembilan Biru bertanya.


"Aku bermaksud ke utara. Menuju gunung Muria. 

Untuk menemui istriku .. ."

 "Aih . . . !" mengeluh hati kecil sang dara. "Tak 

tahunya ternyata dia sudah beristri!" Kepalanya jadi 

tertunduk dan hatinya seperti disayat-sayat. Dia 

berusaha menahan air mata.

 "Selamat tinggal Sembilan Biru. Orang-orang 

Pulau Mayat pasti mencarimu. Jika bertemu kau 

pasti dibunuhnya. .."

 "Matipun sekarang aku tidak perduli! Mengapa

tidak tadi tadi perempuan muka pucat itu mem-

bunuhku saja!" keluh Sembilan Biru dalam hati.

 Mahesa sudah siap untuk melangkah pergi. Justru

disaat itu dia melihat gerakan-gerakan cepat berkele-

bat dalam kegelapan. Sembilan Btrupun ternyata juga

sudah melihat gerakan tersebut. Dia menghitung. Ada

lima sosok tubuh mendekam dalam kegelapan, tegak

berpencar dalam sikap mengurung.

 "Mahesa Kelud! Kami ingin bicara denganmu!"

satu suara datang dari samping kanan.

 Si pemuda diam. Tak menjawab. Tapi dia ingat

 betul. Dia pernah mendengar suara itu sebelum-

 nya.


LIMA SOSOK tubuh bergerak maju, memperkecil 

jarak pengurungan. Mahesa segera mengenali dua 

orang diantaranya. Yang pertama bukanlah lain 

Datuk Ular Muka Tengkorak sedang yang kedua 

Pendekar Kembang Merah. Tiga orang lainnya tak 

dikenal ataupun pernah dilihatnya sebelumnya.

 "Datuk Ular!" ujar Mahesa. "Kau muncul dalam

gelap seperti ini. Gerak-gerikmu dan kawan-kawan

jelas menunjukkan kau membawa maksud yang tidak

baik!" pemuda ini langsung menuduh.

 Datuk Ular menyeringai. Pendekar Kembang Merah 

usap-usap pipinya. Pengemis Sableng cengar-

cengir sedang Pengemis berbaju gombrong kuning

tegak sambil berkipas-kipas. Hanya Gambir Putih,

tokoh dari Pesantren Megasuryo yang tampak seperti

tidak sabaran.

 "Pertama sekali kami ingin tanya. Apakah kau

membawa pedang Samber Nyawa saat ini . . . ?"

Kembali Datuk Ular buka suara.

 "Heh, tua bangka bermuka mayat ini tanyakan

pedang mustika itu. Apakah dia ingin jadi raja diraja

dunia persilatan?" membatin Mahesa. Lalu dia ber-

tanya: "Ada apa kau tanyakan hal itu datuk?"

 "Ladahlah, ditanya malah bertanya!" yang bicara

adalah Pengemis berbaju gombrong tambalan.

 "Katakan kau membawanya atau tidak?" Gambir 

Putih ikut bicara dengan nada keras dan tidak

sabar.

 "Kalau aku membawanya kenapa? Kalau tidak

membawa bagaimana?"

 Kata-kata Mahesa yang tidak memberi jawaban

jelas ini membuat ke empat orang itu tampak jeng-

kel, kecuali Pengemis Sableng. Dia tetap saja cengar

cengir.

 "Jika dia tak mau menjawab terus terang tak


apa," orang tua berkulit bulai berkata pada Datuk

Ular. "Nanti juga kita akan mengetahui!"

 Datuk Ular mengangguk.

 "Hal kedua yang ingin kami sampaikan," orang

tua ini melanjutkan, "kami akan melakukan sesuatu

terhadapmu. Hingga dikemudian hari kami tidak

mendapat repot jika kau balas dendam . . ."

 "Balas dendam soal apa?" tanya Mahesa dan 

dalam hati bertanya-tanya heran.

 "Jangan berpura-pura tolol" Gambir Putih mem-

bentak. "Gurumu mampus dalam pengejaran kawan-

kawanku ini! Itu hal pertama. Kedua gurumu mem-

bunuh pengurus pesantren kami. .."

 "Ketiga," menyambung Pengemis Berkipas Putih,

"kau membunuh putera hartawan Prajadika serta

melakukan tindak kekerasan terhadap orang kaya

itu!"

 Mahesa geleng-geleng kepala. "Malam-malam 

buta kalian kesasar kemari membawa urusan salah 

alamat! Embah Jagatnata sudah meninggal. Perlu apa 

kalian masih mengungkit-ungkit kematiannya. 

Prajakuncara putera hartawan Prajadika memang 

pantas menerima hukuman. Pemuda itu tukang rusak 

gadis. Dan ayahnya memang perlu diberi gebukan 

karena telah menurunkan tangan jahat terhadapku!"

 "Bagus . . . bagus! Ternyata kau pandai berdalih!

Apapun yang akan kau katakan, kami telah memutus-

kan bahwa kau harus menyerahkan tanganmu kiri

kanan untuk dibikin buntung!"

 Mahesa Kelud mulai hilang kesabarannya. Amarah

membuat darahnya jadi panas.

 "Kalian orang-orang tua berpikiran dan bertingkah 

aneh! Mula-mula minta pedang. Lalu minta kedua

tanganku. Nanti apa lagi?"

 "Sebenarnya aku inginkan nyawamu anak muda


Hanya sayang kawan-kawan disini kurang menyetujui-

nya!" kembali Gambir Putih bicara.

 "Sebelum hukuman dijatuhkan, aku ada satu per-

tanyaan!" Pengemis berbaju gombrong buka mulut.

"Dimana beradanya manusia bernama Supitmantil.

Dia harus ditangkap!"

 "Aku tidak tahu dimana pemuda itu berada.

Kalaupun aku tahu tak akan kukatakan pada manu-

sia-manusia macam kalian!" sahut Mahesa pula.

 "Kalau begitu, kita bisa segera mulai Datuk!"

kata Gambir Putih.

 "Kalian mencari perkara, kalian sendiri akan

dapat getahnya!" Mahesa renggangkan kedua kaki,

memasang kuda-kuda bertahan yang kokoh. "Kawan-

ku gadis berbaju biru ini tak ada sangkut paut 

dengan kalian. Jadi biarkan dia pergi!"

 Datuk Ular tertawa.

 "Siapa kawanmu itu kami sudah tahu. Segala se-

suatu yang berbau Pulau Mayat harus dibasmi!"

 "Akupun tak ingin pergi begitu saja!" sahut Sembilan 

Biru. "Kalian berlima hendak mengeroyok. Apapun 

yang terjadi aku siap membantu kawanku ini!"

 "Bagus! Lengkap sudah!" balas Datuk Ular.

 Mahesa hendak berteriak pada Sembilan Biru

agar segera meninggalkan tempat itu. Namun saat

itu Datuk Ular sudah loloskan ikat pinggang ular

sancanya dan uari sebelah kiri Gambir Putih telah

pula berkelebat melancarkan pukulan tangan kosong

jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. 

Pendekar Kembang Merah tampak memasukkan 

tangan ke balik pakaian. Pasti mengambil senjatanya 

yang ampuh yakni kembang kertas beracun yang 

sama kerasnya dengan potongan besi! Lalu Pengemis 

Berkipas Putih bergerak dari jurusan sebelah kanan. 

Terakhir kakaknya Pengemis Sableng sambil


berteriak-teriak mengangkat kedua tangannya ke 

atas, lancarkan serangan aneh seperti monyet 

menggapai-gapai!

 "Manusia-manusia pengecut!" teriak Sembilan

Biru. Dia lebih dulu bergerak menyongsong lawan

terdekat yakni Pendekar Kembang Merah hingga

orang ini tak berkesempatan mengambil senjata 

rahasianya. Pendekar Kembang Merah dengan gusar 

hantamkan tangannya ke kepala Sembilan Biru. Si 

gadis merunduk sambil melintangkan lengan di atas 

kepala untuk menangkis. Dua lengan saling beradu. 

Sembilan Biru mengeluh kesakitan. Ternyata 

kekuatan lawan masih berada diatasnya. Sambil 

sorongkan satu tendangan ke bawah perut Pendekar 

Kembang Merah, gadis ini cepat melompat menjauh. 

Ini kembali memberi kesempatan bagi orang tersebut 

untuk mengambil senjata rahasianya. Tetapi 

alangkah kagetnya ketika tiba-tiba tubuh sigadis 

berputar aneh dan tendangannya tadi kini membabat 

ke arah bawah ketiak. Pendekar Kembang Merah 

cepat menyingkir ke kiri dan dari sini lepaskan 

pukulan tangan kosong yang ganas, langsung 

mengarah dada Sembilan Biru.

 Karena tidak bermaksud mengeluarkan Pedang

Dewa ataupun Keris Ular Emas, Mahesa sambut se-

rangan empat lawan dengan jurus "bendungan baja

lawan seribu angin seribu gelombang". Jurus per-

tahanan ini sebenarnya adalah jurus ilmu Pedang

Dewa, namun tetap hebat walaupun dimainkan de-

ngan tangan kosong. Kedua tangan pemuda itu ter-

kembang lebar, menghantam ke depan. Angin seperti

punting beliung menggemuruh. Datuk Ular merasakan

tubuhnya bergoyang lalu cepat gebukkan bangkai

ular di tangannya. Gambir Putih lipat gandakan tena-

ga dalamnya ketika merasakan pukulan tangan ko


songnya tadi seperti tertahan tembok tebal yang tidak

terlihat. Pengemis Sableng berteriak lebih keras 

ketika dirasakannya angin serangan Mahesa seperti 

hendak menerbangkannya. Pakaian gombrong 

Pengemis Berkipas Putih menggelembung seperti 

balon. Tapi orang ini tetap tenang. Kipas putih di 

tangan kanannya dibuka lebih lebar lalu dikipaskan 

ke depan.

 Wuut!!!

 Angin luar biasa dahsyatnya menyambar panas.

Sembilan Biru cepat menyingkir sebelum kena ter-

serempet hantaman angin jahat ini sedang Mahesa

Kelud kaget bukan main ketika angin yang keluar

dari kipas membuyarkan serangannya. Hingga dia

terpaksa melompat jauh menghindari gebukan kepala

ular serta pukulan Gambir Putih.

 Pemuda ini segera tahu kalau diantara lawannya

adalah senjata berupa kipas putih di tangan si penge-

mis baju gombrong yang paling berbahaya. Karena ti-

dak mau berlaku ayal maka dia segera gerakkan ta-

ngan ke balik pinggang. Sinar merah menebar ketika

Pedang Dewa berada dalam genggamannya.

 "Pedang Dewa! Senjata bagus! Itu untukku!"

seru Pengemis Sableng. Walaupun otaknya sinting

tapi nyatanya dia mengenali senjata lawan. Tiba-tiba

saja tubuhnya melompat dan kedua tangannya meng-

gapai. Dari mulutnya tak lupa keluar suara teriakan.

Dilain kejap tangan kiri menyambar ke rambut Mahe-

sa sedang tangan kanan menyambar ke tangan yang

memegang pedang. Astaga! Gerakan si Sableng ini

aneh dan luar biasa cepatnya. Kalau tidak lekas ber-

kelit hampir saja tangan Mahesa yang memegang pe-

dang terpegang olehnya!

 Begitu tangan kanannya lolos dari sambaran ta-

ngan lawan, Mahesa sodokkan hulu pedang ke perut


Pengemis Sableng. Disaat yang sama ujung pedang 

diarahkan ke pada Gambir Putih yang datang meng-

gempur dengan pukulan tangan kosong. Namun Ma-

hesa terpaksa melompat mundur untuk selamatkan

kepala dari sambaran kepala ular. Disaat yang sama

dia mendengar Sembilan Biru terpekik. Sebuah kem-

bang kertas merah menancap di bahu kirinya. Se-

buah lagi tengah melesat ke arah pipinya. Mahesa

cepat putar pedang merahnya menghantam hancur

kembang kertas itu. Lalu pemuda ini keluarkan jurus-

jurus terhebat ilmu pedangnya.

 Sinar merah membuntal bergulung-gulung. Namun 

hanya satu jurus saja membuat kacau lawan.

Di jurus berikutnya. Pengemis Berkipas Putih yang

agaknya menjadi tukang atur penyerangan mulai

membuat repot kedua muda mudi itu. Keduanya

terdesak ke arah semak belukar rendah di sebelah

kiri. Disini keadaan tanah agak miring menurun hing-

ga memberikan peluang lebih baik pada lima penye-

rang.

 Mahesa terpaksa merubah jurus-jurus ilmu pe-

dangnya. Gerakannya tambah sebat. Namun sesekali

perhatiannya terbagi pada Sembilan Biru yang berada

dalam keadaan terluka dan harus membantu gadis ini

dari gebukan kepala ular atau pukulan tangan kosong

lawan-lawannya. Namun satu sambaran angin 

dahsyat berkiblat dari kipas sakti di tangan pengemis 

baju gombrong menyambar dan Mahesa tidak 

berkesempatan untuk menolong Sembilan Biru. 

Terdengar pekik gadis itu. Tubuhnya terpental. 

Mencelat jauh dalam kegelapan. Lalu terdengar 

suara jeritannya. Suara jeritan ini diikuti suara gaung 

yang menggema jauh! Ternyata di sebelah belakang 

semak belukar itu terdapat sebuah jurang batu sangat


dalam. Dan kesitulah Sembilan Biru terpental setelah 

dihantam pukulan kipas!

 Mahesa kertakkan rahang. Sinar merah yang keluar 

dari Pedang Dewa tampak tambah terang tanpa pe-

muda ini telah lipat gandakan tenaga dalamnya. Kalau

tangan kanan memegang pedang maka tangan kiri

diam-diam disiapkan untuk melancarkan pukulan

karang sewu, yakni pukulan sakti yang sanggup 

menghancurkan dinding batu atau batu karang. 

Mahesa mendapatkan ilmu pukulan sakti ini dari 

seorang kakek sakti bernama Karang Sewu ketika 

dipenjarakan seorang nenek jahat berjuluk Nenek 

Iblis (Baca:Pedang Sakti Keris Ular Emas jilid-1). 

Selain dapat disalurkan ke tangan berupa pukulan, 

ilmu kesaktian itu dapat pula dialirkan ke kaki dalam 

bentuk tendangan maut.

 Jengkel mendapatkan dirinya didesak para penge-

royok dan kecewa karena tidak dapat menolong Sem-

bilan Biru ditambah oleh amarah disebabkan gadis itu

telah celaka dan pasti telah menemui ajal di dasar

jurang batu, maka Mahesa mengamuk dengan 

keluarkan jurus ilmu pedang bernama "seratus 

pedang mengamuk."

 Sinar merah membuntal mengeluarkan suara ber-

siur mengerikan. Empat pengeroyok tercekat dan

menjauh sebelum memutuskan untuk menyerbu

kembali. Pengemis berkipas Putih tegak tak berkesip,

memperhatikan setiap gerakan yang dibuat Mahesa

seperti tengah mencari titik kelemahan lawan untuk

kemudian dihantam. Kakek pengemis ini kemudian

harus menyesali diri karena terlalu lama tegak diam

memperhatikan dan bukannya langsung 

menggempur. Hal ini terjadi ketika pedang Mahesa 

membabat puntung tangan kanan Gambir Putih 

hingga wakil ketua Pesantren ini menjerit roboh


sambil pegangi tangannya yang buntung 

mengucurkan darah. Mahesa tendang tubuh orang 

tua bulai ini tepat ketika dua buah kembang kertas 

merah beracun melesat dari tangan kanan Pendekar 

Kembang Merah.

 Pendekar Kembang Merah tentu saja tak dapat

menarik pulang serangannya. Selagi dia terkesiap 

melihat dua senjata rahasianya menancap menembus 

tubuh Gambir Putih, Mahesa telah berkelebat melom-

patinya seraya menghantamkan tinju kiri yang meng-

andung aji karang sewu.

 Buukkk!!

 Tubuh Pendekar Kembang Merah mencelat mental. 

Tulang dadanya hancur. Darah tersembur dari

mulutnya. Orang ini roboh terhempas di kaki pohon,

tak bernafas lagi!

 Pengemis Sableng berteriak-teriak. Datuk Ular

hantamkan senjatanya seraya memijat bagian tubuh

ular yang dipegangnya. Racun berwarna kehijauan

itu menyembur. Mahesa menghantam dengan tangan

kiri. Datuk Ular lebih cepat. Ayunkan tangannya ke

bawah dan kini kepala ular laksana anak panah mele-

sat ke perut Mahesa. Pemuda ini babatkan pedang

saktinya. Maksudnya hendak membabat putus senjata 

lawan yang berbahaya itu. Dia memang, berhasil

membuyarkan serangan sang datuk tetapi agak ter-

lambat menutup jalan nafas ketika sinar hijau beracun

menyambar. Akibatnya meskipun terhisap hanya se-

dikit, Mahesa mendadak merasakan matanya perih

dan kepalanya mendenyut sakit. Cepat dia selinapkan

tangan ke balik pakaian maksudnya hendak 

mendekap gagang Keris Ular Emas agar dapat 

memusnahkan racun jahat yang masuk ke dalam 

jalan pernafasannya. Justru saat itu dari depan datang


Pengemis Sableng sambil berteriak-teriak dan 

menggapaikan kedua tangannya ke leher Mahesa.

 Mau tak mau pemuda ini jadi tak berkesempatan

untuk memegang keris sakti tersebut. Dengan gusar

dia hantamkan tangan kiri ke depan, sekaligus menu-

sukkan pedang untuk menambus perut lawan. Disaat

itulah Pengemis Berkipas Putih datang menyambar

dari samping.

 Wuuuttt!

 Wuuuuttt'

 Dua larik angin dahsyat menerpa.

 Yang pertama sempat dielakkan Mahesa dengan

melompat ke belakang sambil babatkan pedang sakti.

Tapi hantaman angin yang kedua, meski ujung 

pedangnya sempat merobek salah satu sisi kipas 

putih si pengemis, tak sempat dielakkannya. Seperti 

yang dialami Sembilan Biru tubuh pemuda ini 

terlempar dalam kegelapan, jatuh ke dalam jurang 

batu yang gelap. Pedang sakti terlepas dari 

genggamannya dan melayang jatuh lebih dulu dari 

tubuhnya!

 "Kipasku! Kipasku rusak! Sialan keparat!" Penge-

mis Berkipas Putih memaki tiada henti.

 Datuk Ular tidak perdulikan pengemis itu, juga se-

perti tidak acuh pada kematian Pendekar Kembang

Merah dan Gambir Putih. Senjatanya berupa tubuh

ular sanca digelungkannya ke pinggang. Hatinya 

puas. Mahesa Kelud pasti menemui ajal begitu 

tubuhnya menghantam dasar jurang batu!


APA NASIB yang menunggu Mahesa Kelud dan

Sembilan Biru setelah dihantam masuk kedalam 

jurang batu akan kita ketahui kemudian. Terlebih 

dahulu kita kembali pada kejadian sewaktu Mahesa 

mengalami nasib sial yaitu ditipu oleh Retno 

Kumalasari puteri Adipati Suto Nyamat. Dalam 

keadaan tertotok pemuda ini diserahkan pada

hartawan Prajadika, orang yang menginginkan nyawa

Mahesa karena pendekar ini telah membunuh putera

tunggalnya yakni Prajakuncara. (Baca: Simo Gem-

bong Mencari Mati).

 Dua orang hulubalang membawa Mahesa ke

rumah kediaman Prajadika. Setelah digebuk babak 

belur oleh sang hartawan, Mahesa kemudian dicem-

plungkan ke dalam sebuah sumur tua. Dibiarkan ke-

laparan dan akan disiksa dengan siraman air panas

mendidih...... 

 Hampir menjelang pagi, ketika udara dingin men-

cucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud me-

rasakan sebuah benda meluncur kebahu, terus 

menjalar ke punggung. Dia tak mau membuka kedua

matanya yang terpejam. Sangkaannya benda yang

meluncur itu pastilah ular atau sejenis binatang tanah

berbisa. Biarlah binatang itu mematuknya. Mati ter-

kena racun ular lebih baik dari pada mengalami siksa-

an. Tapi tak ada yang mematuk. Tak ada yang meng-

gigit walau benda itu masih terus meluncur naik turun

di punggungnya.

 Tiba-tiba bret!

 Pantat celananya robek. Sesuatu menyangkut di

ikat pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit

demi sedikit tubuhnya terangkat ke atas sampai

akhirnya kepalanya muncul di tepi bibir sumur. Ma-

hesa membuka matanya lebar-lebar, menembus 

kegelapan malam. Seseorang dilihatnya dengan


susah payah menarik tali yang berhubungan dengan 

besi pengait yang dipakai untuk menggeret tubuhnya 

keatas. Dia tidak dapat mengenali siapa adanya 

orang ini. Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja 

dibaringkan ditanah yang basah, tiba-tiba dari arah 

bangunan besar terdengar suara seseorang 

membentak.

 "Hai! Siapa di dekat sumur?!"

 Bentakan disusul dengan datangnya sesosok

tubuh menghunus golok. Orang yang menolong 

Mahesa Kelud jatuhkan diri kebalik sumur sambil 

tangannya mencabut sebilah belati. Ketika orang yang 

memegang golok melangkah mendekat, secepat 

kilat belati itu dilemparkannya.

 "Heekk ...!*'

 Golok terlepas dari tangan. Orang itu hanya sempat 

keluarkan suara seperti ayam tercekik lalu roboh ke 

tanah. Belati besar menancap di lehernya.

 "Supitmantil!" seru Mahesa ketika dalam gelap

kemudian dia mengenali siapa orang yang menolong-

nya itu adanya.

 Supitmantil silangkan jari telunjuk dalam gelap

kemudian dia mengenali siapa orang yang menolong-

nya itu adanya.

 Supitmantil silangkan jari telunjuk di depan bibir,

memberi isyarat agar Mahesa jangan bicara keras.

 "Sahabat . . ." berbisik Mahesa. "Kebaikanmu

dimasa lalu masih belum sempat kubalas. Hutang

budi belum kulunaskan. Kini kau telah menanam

budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit. .."

Yang dimaksudkan Mahesa dengan Kebaikan di

masa lalu ialah sewaktu Supitmantil memberi tahu

siapa yang menculik Wulansari dan kemana gadis itu

dilarikan. Seperti dituturkan dalam Pedang Sakti

Keris Ular Emas, Wulansari diculik oleh Niliman To


teng alias Iblis Jangkung. Berkat pertolongan Supit-

mantil Mahesa berhasil menyelamatkan kekasihnya

itu dan kemudian menjadi istrinya serta menetap di

puncak gunung Muria.

 "Kita harus segera keluar dari sini," ujar Supit-

mantil.

 "Ya, tapi aku tak bisa jalan. Aku tertotok. Bisakah 

kau mendukungku . . . ?"

 "Tentu saja. Tapi kita harus hati-hati. Dua 

hulubalang istana masih ada di gedung sana . .."

 "Kalau begitu kau tolong lepaskan totokanku.

Disini, di bagian dada!"

 Supitmantil seorang pemuda yang memiliki ke-

pandaian silat cukup tinggi. Ini karena dia berguru

pada seorang tokoh silat kalangan istana. Namun da-

lam soal totok menotok dia masih belum matang.

Maka Mahesa harus membimbing memberi tahu 

bagaimana cara yang ampuh untuk melepaskan 

totokan ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa kali 

baru Supitmantil berhasil. Namun totokan itu masih 

belum pulih seluruhnya. Terpaksa Mahesa duduk 

bersila dan kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk 

memusnahkan sisa-sisa totokan. Selagi dia 

melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah obor 

besar. Benda ini menancap di kiri kanan sumur hingga 

tempat sekitar situ jadi terang benderang.

 "Supitmantil! Bagus sekali perbuatanmu!" ter-

dengar bentakan marah. Itu adalah suara hartawan

Prajadika.

 Supitmantil berpaling. Di tangga belakang gedung

tampak Raden Mas Prajadika tegak bertolak 

pinggang. Di sebelahnya kelihatan dua orang lelaki 

berpakaian serba biru, tinggi dan kekar. Mereka 

adalah dua hulubalang istana kelas tiga yang


membawa Mahesa sebelumnya dari rumah kediaman 

almarhum Adipati Suto Nyamat di Madiun.

 "Celaka," keluh Supitmantil. Dia tidak takut terhadap 

hartawan yang dianggapnya mempergunakan

kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka

hatinya itu. Tapi dua hulubalang istana kelas tiga itu

benar-benar merupakan dua lawan berat. Satu saja

sulit bagi Supitmantil untuk menghadapi. Kini mereka 

malah berdua!

 Pemuda itu melirik ke arah Mahesa. Saat itu Ma-

hesa masih mengerahkan tenaga dalam untuk 

memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua 

hulubalang istana berkelebat, menerkam ke arah 

Supitmantil!

 Pemuda ini jatuhkan diri. Tendangan yang tadi

mengarah ke batok kepalanya berhasil dielakkan.

Baru saja dia bangkit berdiri hulubalang yang tadi

menyerang sudah menghantamkan jotosan ke dada-

nya. Supitmantil menangkis dengan lengan kiri dan

balas memukul dengan tinju kanan.

 Dua lengan beradu. Supitmantil mengeluh ke-

sakitan. Lengan kirinya laksana dihantam potongan

besi sedang tinju kanan hanya memukul angin.

 "Gonto! Cepat kau ringkus pemuda yang bersila

itu! Yang satu ini biar aku yang melukatkan!" Ter-

dengar hulubalang yang menyerang Supitmantil ber-

seru. Maka kawannya yang semula ikut menghantam

Supitmantil kini melompat ke hadapan Mahesa Ke-

lud. Sikap duduk Mahesa merupakan sasaran empuk

untuk diserang. Terdengar suara bersiur ketika

kaki kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke

muka Mahesa Kelud. Padahal saat itu pendekar ini

masih meramkan mata mengerahkan tenaga dalam

guna memusnahkan sisa totokan di dadanya.

 Pukulan yang mengenai angin membuat Supit


mantil terhuyung ke depan. Akibatnya dadanya men-

jadi sasaran terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu

laksana palu godam melabrak dada kanannya. Supit-

mantil mengeluh kesakitan. Tubuhnya mencelat dan

terkapar dekat sumur tua. Mulutnya terasa panas dan

asin. Ada darah yang keluar dari saluran di dadanya

tanda saat itu dia menderita luka dalam yang cukup

parah. Sambil menahan sakit pemuda ini berusaha

berdiri. Dia tahu apa arti jika tubuhnya masih tergele-

tak begitu rupa. Lawan akan menghantamnya kem-

bali dengan tendangan atau pukulan maut.

 Sambil bangkit Supitmantil cabut sebilah belati

besar dari balik pinggangnya. Memang pemuda ini

memiliki keahlian melempar senjata tajam. Tadi telah

dibuktikannya dengan sekali hantam saja berhasil me-

robohkan pengawal gedung. Tapi sekali ini orang 

yang dihadapinya bukan manusia jenis ronda malam. 

Dengan mudah hulubalang istana itu berhasil 

mengelakkan sambaran belati. Dilain kejap dia 

sudah menerkam Supitmantil. Lututnya menusuk ke 

perut pemuda ini. Selagi Supitmantil terlipat ke 

depan, kedua tangannya yang besar kuat datang 

menyambar dan mencekik leher si pemuda laksana 

japitan besi. Supitmantil meronta-ronta. Tapi 

kehabisan nafas membuat tenaganya lumpuh. Tak 

mungkin lagi baginya menyelamatkan diri. Matanya 

mendelik dan lidahnya mulai menjulur.

 Praaak!

 Satu sosok tubuh roboh dengan tulang belikat

patah!

 Hulubalang Gonto melengak kaget ketika Mahesa

yang hendak ditendangnya tiba-tiba melayang mele-

watinya lalu menghantam temannya yang tengah

mencekik Supitmantil.

 Begitu merasa cekikan lawan terlepas, Supitmantil


mereguk udara segar sebanyak-banyaknya. Lalu 

selagi hulubalang itu terkapar Supitmantil hunjamkan 

sebilah belati ke dadanya. Hulubalang ini hanya 

keluarkan suara keluhan pendek, kaki menggelepar 

beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi!

 Melihat kematian kawannya, Gonto menggembor

marah. Di tangan kanannya tahu-tahu sudah tergeng-

gam sebilah golok besar. Sambil menerjang dia 

babatkan senjata itu ke arah leher Supitmantil. Tapi 

setengah jalan seseorang menghantam pinggangnya 

hingga hulubalang ini terpuntir.

 Wutt!

 Gonto kini babatkan golok ke arah Mahesa Kelud

yang tadi menendang pinggangnya. Namun satu

pukulan menghancurkan sambungan sikunya hingga

hulubalang ini meraung kesakitan. Goloknya terlepas

mental. Selagi meraung kesakitan dirasakannya

tubuhnya terangkat lalu tiba-tiba sekali dilemparkan

ke bawah! Kembali hulubalang ini menjerit ketika

mengetahui dirinya dilemparkan ke dalam sumur tua,

kepala kebawah kaki ke atas! Suara teriakannya

serta merta lenyap ketika batok kepalanya menghan-

tam dasar sumur tua hingga pecah dan lehernya pa-

tah. Nyawanya putus detik itu juga!

 Supitmantil cepat datangi Mahesa dan berkata:

"Kita harus tinggalkan tempat ini segera . .."

 "Ya, tapi aku harus membayar hutang dulu pada

orang kaya itu," sahut Mahesa. Sekali lompat saja dia

sudah berdiri di hadapan Raden Mas Prajadika yang

tegak ketakutan di pintu belakang gedung. Dia segera

balikkan diri sambil berteriak. Namun Mahesa jambak

rambutnya, putar tubuhnya.

 "Prajadika!" kata Mahesa. "Aku membunuh pute-

ramu bukan karena aku manusia jahat buas! Tapi ka


rena anakmu memang pantas ditabas batang 

lehernya! Dia kupancung ketika hendak memperkosa 

seorang gadis!"

 "Aku tidak percaya; Puteraku anak baik-baik!

Aku tidak percaya! Lepaskan jambakanmu! Kepa-

rat ____!"

 Plak!

 Satu tamparan keras menghantam pipi kanan Har-

tawan Prajadika hingga bibirnya pecah dan tiga gigi-

nya tanggal. Hartawan itu meraung kesakitan. Tubuh-

nya melintir. Kalau saja rambutnya tidak dijambak

pasti dia sudah terkapar di tangga gedung.

 "Itu hadiah dari gadis yang hendak dirusak oleh

puteramu!" kata Mahesa. "Dan ini pembayar hutang

tadi malam!" Lalu Mahesa hantam muka Prajadika

dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung 

kesakitan. Tapi raungan itu segera lenyap karena 

dirinya keburu pingsan. Mahesa lepaskan jambakan 

nya. Prajadika tergelimpang di tangga batu. 

Hidungnya hancur dan darah mengucur!

 Dari bagian depan gedung terdengar suara orang

lari mendatangi. Beberapa diantaranya meneriakkan

sesuatu. Mahesa memberi isyarat pada Supitmantil.

Kedua pendekar ini lompati tembok halaman bela-

kang. Ketika enam orang penjaga gedung sampai di-

situ membawa berbagai macam senjata, keduanya te-

lah lenyap dalam kegelapan.

 Ayam berkokok di kejauhan. Langit di ufuk timur 

tampak kemerahan. Kedua pendekar itu sampai di 

sebuah anak sungai berair dangkal tapi jernih. Baik 

Mahesa maupun Supitmantil segera menggulingkan 

diri di tebing sungai. Membersihkan muka dan tubuh 

mereka yang berlepotan darah.

 "Seharusnya kubunuh orang kaya itu ..." kata

Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir


rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan. "Dia

mengetahui pengkhianatanku. Kini aku jadi orang

buronan! Pasti Prajadika meminta tokoh-tokoh istana

untuk menangkapku hidup atau mati!"

 "Semua karena aku!" ujar Mahesa.

 "Aku tidak menyesal menolongmu," kata Supit-

mantil yang tahu maksud kata-kata Mahesa tadi.

 "Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya

Mahesa.

 "Jelas aku tak mungkin kembali ke Kotaraja.

Mungkin aku harus menempuh hidup sepertimu. Me-

ngembara sambil menambah ilmu."

 "Kalau begitu seandainya kau tersesat ke utara

maukah kau singgah di puncak Muria? Istriku berada

disana. Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia 

karena dialah gadis yang dulu berhasil kuselamatkan 

dari kebejatan Prajakuncara berkat pertolonganmu ..."

 "Apa yang harus kukatakan jika bertemu?" tanya

Supitmantil.

 "Katakan bahwa aku dalam keadaan baik. Aku

akan segera pulang ke Muria begitu urusanku sele-

sai ..."

 Supitmantil mengangguk. "Aku akan mampir me-

nemui istrimu," katanya.

 "Terima kasih sahabat. Sekarang ada satu hal

yang amat penting harus kulakukan."

 "Apa itu?"

 "Dua senjata milikku dirampas puteri Suto Nyamat. 

Untuk mendapatkan kedua senjata sakti itu aku

telah mempertaruhkan nyawa. Karenanya aku harus

mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini

aku harus membunuh gadis itu. Sebelum aku ke

Madiun aku perlu beberapa keterangan dari

mu. Dua tahun lalu Retno hanya seorang gadis cantik

biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Tapi


melihat kemampuannya menotokku, pastilah dia 

telah berguru pada seseorang. Mungkin kau 

mengetahui siapa guru gadis itu dan dimana 

kediamannya?"

 Supitmantil menggeleng. "Sekali ini aku tidak bisa 

menolongmu Mahesa . . ."

 "Tak jadi apa," jawab Mahesa. Dia merangkul

Supitmantil sambil mengucapkan terima kasih ber-

ulang kali.

 "Jangan berterima kasih terus-terusan Mahesa.

Kau lupa bahwa kaupun tadi menyelamatkan jiwaku

dari tangan hulubalang istana itu!"

 Mahesa Kelud angkat bahu. "Ada ubi ada talas.

Ada budi ada balas," katanya.

 "Selamat jalan Mahesa."

 "Selamat mengembara Supit. Sampai ketemu.

Dan jangan lupa mampir di rumahku di puncak

Muria."

 Kedua sahabat itupun berpisah tepat ketika sang

surya menyembulkan diri di sebelah timur.

 Seperti dituturkan dalam Simo Gembong Men-

cari Mati, Mahesa berhasil mendapatkan Pedang 

Dewa dan Keris Ular Emas yang dicuri Retno 

Kumalasari dan diserahkan pada kekasihnya seorang 

ahli obat dan ahli menotok yakni Pergola. Keduanya 

bermaksud menjual kedua senjata sakti itu pada 

seorang pejabat tinggi istana. Dengan hasil penjualan 

yang luar biasa tingginya Pergola berharap akan jadi 

kaya raya dan hidup mewah. Namun Mahesa keburu 

muncul dan Pergola menemui ajal ketika coba 

melawan.

oooOOOooo


PUNCAK GUNUNG MURIA .............

 Pagi itu udara cerah sekali. Angin bertiup segar 

dan lembut. Hampir tak tampak segumpal awanpun 

menyaputi puncak gunung. Sesekali terdengar kicau 

burung bersahut-sahutan. Dari puncak gunung 

pemandangan di sebelah bawah tampak indah

sekali. Pepohonan menghijau. Sawah menghampar

dimana-mana. Di sebelah timur dan utara tampak ter-

bentang laut lepas membiru. Sungai-sungai laksana

ular panjang membelintang menuju muara masing-

masing di lautan.

 Di keindahan pagi cerah itu terdengar suara orang

menyanyi. Suara perempuan. Lembut dan merdu.

Orang yang menyanyi ini duduk di tangga serambi se-

buah rumah kayu mungil bersih. Dia menyanyi sambil

menyisir rambutnya yang panjang dan hitam.

 Tak jauh dari situ, di balik sebatang pohon besar

tegak memperhatikan seorang pemuda berpakaian

dan berikat kepala putih. Kedua matanya hampir

tak berkesip memandangi wajah cantik, rambut 

panjang hitam dan tubuh elok semampai itu.

 "Supitmantil, kau harus mengambil keputusan

sekarang . . ." Tiba-tiba seperti ada suara yang ber-

bisik ke telinga si pemuda. "Kalau tidak, kau tak akan

pernah memiliki perempuan itu untuk selama-

lamanya!"

 Pemuda di balik pohon yang ternyata adalah Su-

pitmantil, sesaat tertegun mendengar bisikan tadi.

 "Supit! Jangan kau turutkan bujukan setan!"

mendadak ada suara membalas dari lubuk hati si

pemuda.

 "Tidak, ini bukan bujukan setan!" menangkis

suara bisikan tadi. "Ini adalah kenyataan Supit!

Bukankah kau telah jatuh hati pada perempuan itu


sejak pertama kali kau melihatnya di Madiun. Jangan

ingkari kenyataan itu Supit!"

 "Memang betul. Tapi dia sudah menjadi kekasih

pemuda bernama Mahesa Kelud itu saat itu. Malah

kini dia telah jadi istrinya!" menjawab suara hati sang

pemuda.

 "Kekasih atau istri sekalipun memangnya kenapa?

Hidupmu akan tawar tanpa dia disampingmu. Lalu

kalau dia suka pula padamu, tak ada alasan apakah

dia kekasih atau istri orang lain. Dengar Supit, kau

harus mengambil keputusan sekarang. Kau harus 

melakukannya sekarang!"

 "Apa yang harus kulakukan . . . ?" Lubuk hati

Supitmantil mulai terpengaruh.

 “Pemuda bodoh' Putar otakmu. Cari akal yang

jitu. Kau bisa mengatakan bahwa Mahesa sudah

mati. Tewas dibunuh atau karena kecelakaan . .."

 "Aku tidak mau melakukan itu. Ini merupakan

dosa besar. Aku berkhianat pada sahabat sendiri.

Apalagi Mahesa telah menyelamatkan jiwaku waktu

perkelahian di gedung Prajadika . . ."

 "Ha ... ha ... ha ... !" Suara setan tertawa.

"Dia memang telah menyelamatkan jiwamu. Tapi

bukankah kau juga pernah menyelamatkan jiwanya

dari satu kematian yang mengerikan? Ketika dia di

masukkan kedalam sumur tua itu? Malah perempuan

cantik yang diam-diam kau kasihi itu kini tak akan

ada di depanmu kalau tidak kau dulu membantu

menyelamatkannya dari tangan pemuda hidung be-

lang Prajakuncara. Jika ada orang yang berhak atas

diri perempuan itu maka orangnya adalah kau sendiri

Supit. Tidak lain orang ataupun Mahesa . .."

 Sesaat Supitmantil masih tegak termangu di balik


pohon besar itu. Sementara di seberang sana

Wulansari masih terus menyanyi sambil menyisir 

rambut.

 Rambut yang tersisir rapi itu kemudian digelung-

nya membentuk sanggul. Begitu rambut tersanggul

Wulansari gerakkan tangan kanannya. Sisir terbuat

dari tanduk yang dipegangnya tiba-tiba sekali melesat

ke arah batang pohon, menancap sampai 

setengahnya, tepat sejengkal di depan hidung 

Supitmantil, membuat pemuda ini tersentak kaget. 

Dari arah serambi terdengar suara membentak.

 "Maling dari mana yang pagi-pagi sudah kesasar

ke puncak Murial"

 Sadar kalau orang sudah mengetahui 

kehadirannya Supitmantil segera keluar dari balik 

pohon. Sambil melangkah menuju depan rumah dia 

berkata:

"Aku bukan maling. Aku Supitmantil. Apakah kau

masih ingat... ?"

 Wulansari menatap wajah pemuda yang tegak di

depannya itu. Dia memang mengenali wajah Supit-

mantil. Tapi lupa bertemu dimana.

 "Ingat peristiwa penculikan di Madiun . . . ?"

ujar Supitmantil.

 "Aih! Kau rupanya ... !" Wulansari kini ingat.

Menyadari pemuda itu bukan lain adalah orang

yang pernah menolongnya maka dia cepat berdiri.

"Harap maafkan kekasaran ucapanku tadi. Juga lem-

paran sisir itu. Angin apakah yang membawamu sam-

pai kemari?"

 Memandang Supitmantil, Wulansari melihat ada

perubahan mendadak pada air muka pemuda ini.

 "Ada apakah Supit... ?" tanya Wulansari dengan

perasaan tidak enak.

 Sesaat pemuda itu masih tegak termangu dan


membisu. Namun diliang telinganya kembali suara

setan berbisik: "Kau sudah memulainya Supit. Kau

harus meneruskan. Bukankah kau sangat mengingin

kan Wulansari? Inilah kesempatan paling baik dan

kesempatan ini hanya datang satu kali ..,"

 Supitmantil menarik nafas dalam, memandang

pada Wulansari dengan air muka sedih, lalu berkata

perlahan: "Aku membawa kabar buruk untukmu

Wulan . . ."

 "Kabar buruk?" Kini wajah cantik perempuan itu

tampak berubah. Tiba-tiba saja menjadi pucat. "Ka-

bar buruk apakah?"

 "Kuharap kau tabah menerima cobaan ini. . ."

 Wulansari jadi tidak sabar. Dadanya berdebar ke-

ras. Hatinya makin tidak enak.

 "Lekas katakan Supit! Jcngan menggantung cerita

dengan ucapan-ucapan yang membuat aku tidak

enak!"

 Supitmantil menggigit bibir baru menjawab :

 "Suamimu telah meninggal dunia sekitar satu bulan

lalu ..."

 Wulansari terpekik. Kedua matanya membeliak,

memandang pada Supitmantil. Jika ada kilat me-

nyambar di depan matanya atau guntur menggelegar

di samping telinganya, tidak sedemikian kagetnya pe-

rempuan ini. Tubuhnya mendadak terasa lunglai,

nyawanya serasa lepas. Dia terduduk di lantai seram

bi, tersandar ke tiang depan.

 "Suamiku . . . suamiku meninggal katamu ... ?"

 Supitmantil mengangguk.

 Sepasang mata Wulansari serta merta menjadi ba-

sah. Air mata jatuh berderai ke pipinya. Tangis mulai

menyamaki tenggorokannya. Mula-mula perlahan,

kemudian berubah menjadi ratapan yang menyayat

hati. Dalam meratap perempuan ini bertanya: "Kata


kan apa yang terjadi Supit. Ceritakan padaku . . .

Ya Tuhan! Mengapa ini harus terjadi ... ?!"

 "Mahesa tewas di tengah laut. Waktu itu dia baru

kembali dari Pulau Mayat. Dalam perjalanan pulang

ke daratan Jawa, perahu yang ditumpanginya 

diserang badai. Seluruh penumpang tenggelam. Ada 

seorang awak perahu berhasil menyelamatkan diri. 

Namun kemudian mati juga. Sebelum mati, dari dialah 

aku mendapat keterangan kematian Mahesa."

 "Suamiku meninggal? Mati tenggelam di laut. Ya

Tuhan! Betulkah ini ... ? Betulkah ini Supit . . . ?"

Wulansari terduduk di lantai serambi rumah. Kedua

tangannya menutupi wajahnya yang basah oleh air

mata.

 "Sebelum berangkat ke Pulau Mayat aku sempat

bertemu Mahesa. Dia menerangkan kepergiannya ke

sana untuk mendapatkan sebuah pedang . . ."

 "Ya . . . dia memang pernah menceritakan hal itu

padaku. Mencari sebuah pedang bernama pedang

Samber Nyawa. Itu adalah tugas yang diterimanya

dari gurunya Embah Jagatnata. Suamiku . . . Mahesa

. . . Kenapa dia harus pergi ke pulau itu. Kenapa 

gurunya memberikan tugas yang mencelakakan 

dirinya. Dan kini . . . bagaimana dengan diriku . . ." 

Wulansari kembali meratap.

 "Tabahkan hatimu Wulan. Semua sudah menjadi

takdir dan ketentuan Tuhan . . ." Supitmantil ber-

usaha membujuk.

 "Tuhan tidak adil . . . Tuhan tidak adil " kata 

Wulansari berulang kali.

 "Jangan berkata begitu Wulan . .."

 "Tidak! Tuhan memang tidak adil.. . Aku belum

sempat berbakti pada suamiku. Tahu-tahu kini dia

pergi! Tuhan benar-benar tidak adil!" jerit Wulansari.

Kepalanya dibenturkannya ke tiang serambi. Tiang


rumah itu patah Wulansari sendiri kemudian jatuh

pingsan!

 Ketika Wulansari sadar menjelang tengahhari, se-

kujur tubuhnya terasa sangat lemah. Kepalanya 

berat. Dia dapatkan dirinya terbaring diatas ranjang. 

Keningnya mendenyut sakit. Ketika dirabanya 

terasa ada luka kecil dan darah yang mengering. Dia 

memandang ke langit-langit ruangan. Memutar 

kepalanya kesamping kiri dia melihat sosok tubuh 

Supitmantil tegak di ambang pintu kamar. Kemudian 

perempuan ini ingat pada kabar apa yang telah 

disampaikan pemuda itu. Langsung dia menjerit dan 

kembali meratap.

 "Wulan, aku tahu ini cobaan sangat berat bagimu," 

berkata Supitmantil. "Namun kau juga harus

memperhatikan keadaan dirimu. Jangan sampai sa-

kit . . ."

 "Sakit? Matipun aku mau!" menyahuti Wulansari.

"Tak ada gunanya hidup ini lagi. Mahesa . . . Mahe-

 Supit menunggu sampai ratap perempuan itu me-

reda. Lalu dia berkata: "Dari pagi kau belum makan

apa-apa. Aku menemukan bahan makanan di bela-

kang dan memasaknya. Kau harus makan .. ."

 "Tidak! Aku hanya ingin mati! Ingin mati!" teriak 

Wulansari.

 Supitmantil pergi ke belakang. Sesaat kemudian

dia membawa sepiring makanan dan secangkir air.

Ketika piring itu disodorkannya Wulansari meng-

ambilnya tapi terus saja membantingnya ke lantai.

 "Kalau tak mau makan minum sajalah . . ." ujar

Supitmantil lalu mengangsurkan tangannya yang me-

megang cangkir berisi air putih.

 Wulansari tidak menyambut! malah kembali me-

nangis. Supitmantil meletakkan cangkir diatas sebuah

meja kecil. Dia membersihkan lantai yang penuh dengan tumpahan makanan dan pecahan piring lalu

mengambil lagi sepiring makanan dan meletakkannya

diatas meja kecil. Setelah itu ditinggalkannya kamar

itu, duduk dibawah cucuran atap serambi depan.

Apa yang harus dilakukannya sekarang. Menunggu

sampai perempuan itu tenang. Tapi bagaimana kalau

dia bunuh diri? Berarti maksudnya tak akan kesam-

paian. Memikir sampai disitu Supitmantil cepat-cepat

masuk ke dalam rumah kembali.

 "Mahesa . . . Mahesa . . ." perempuan itu me-

manggil-manggil nama suaminya dalam tangisnya.

Ketika dilihatnya Supitmantil maka diapun berkata:

"Kau sudah menyampaikan berita malang itu. Me-

ngapa tidak pergi? Mengapa masih disini. . . ?!"

 "Aku . . . Mungkin ada sesuatu yang bisa kulaku-

kan untukmu," jawab Supitmantil agak gagap.

 "Aku tidak butuh bantuanmu. Aku tidak perlu

bantuan siapapun! Pergi! Pergilah dari sini!"

 "Wulan, pikiranmu sedang kacau. Tubuhmu

letih lemah. Sebagai seorang sahabat tentunya aku 

tak ingin jika terjadi apa-apa denganmu. Mungkin 

kau ingin kuantarkan ke pantai di bagian mana 

Mahesa menemui nasib malangnya ..."

 "Suamiku meninggal tak berkubur. Lenyap di-

telan laut tak tentu rimbanya. Mahesa . . ." Wulansari

memukul-mukul dadanya. Supitmantil cepat pegangi

kedua tangan perempuan itu. Terjadi pergumulan.

Walaupun Supitmantil seorang pemuda bertenaga

kuat, namun masih kalah kuat dengan Wulansari.

Tubuhnya hampir toboh ketika satu tendangan

menghantam pinggangnya. Pemuda ini melingkar

di lantai sambil mengeluh kesakitan.

 Hari kedua Wulansari masih tidak mau makan.

Memasuki hari ketiga tubuhnya semakin lemah dan

wajahnya menjadi pucat pasi. Supitmantil menunggui


di luar kamar dengan sabar. Setiap pagi dia selalu 

memasak makanan walau perempuan itu tak pernah 

menyentuhnya. Namun menjelang siang hari ke tiga 

ada tanda-tanda perubahan pada diri Wulansari. Dia 

merintih minta minum. Sehabis minum, ketika Supit-

mantil meletakkan makanan disampingnya, dia mau

memakannya walau hanya sedikit.

oOo

 Hari ke lima keadaan Wulansari sudah jauh ber-

beda. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah

dan berari kembali. Hanya tubuhnya masih kelihatan

lemas karena masih sulit untuk makan. Sepanjang 

hari dia duduk di serambi rumah, memandang ke arah 

kejauhan. Tak pernah mau bicara seolah Supitmantil

tak ada disitu.

 Suatu ketika Supitmantil mencoba mengajaknya

bicara.

 "Wulan, kalau aku boleh bertanya apakah kau

bermaksud melakukan sesuatu . . . ?"

 Perempuan itu tidak menjawab. Kedua matanya

memandang ke arah kejauhan seperti menerawang.

 "Kau tidak boleh tenggelam dalam kesedihan.

Ada baiknya kau meninggalkan puncak gunung ini

agar dapat melupakan kedukaan itu. Kemana kau

pergi aku ... aku bersedia menemanimu . .."

 Sesaat Wulansari masih memandang ke arah ke-

jauhan. Perlahan-lahan kemudian kepalanya dipaling-

kan ke arah pemuda itu. Dia membuka mulut seperti

hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang

keluar. Hanya air matanya yang bercucuran. Supit-

mantil duduk di tangga serambi. Hanya terpisah se-

jarak satu langkah dari perempuan itu.


"Kalau aku ingin pergi... Aku akan pergi sendiri.

Tak perlu kau temani . . ." terdengar suara Wulansari

perlahan.

 "Aku telah kehilangan seorang sahabat bernama

Mahesa. Suamimu itu. Aku tak ingin kau bertindak

nekad hingga aku kehilangan dua orang sahabat. Itu

sebabnya kukatakan tadi, aku bersedia menemanimu

kemana kau pergi. Kau masih muda, lebih muda dari-

ku. Masa depanmu masih panjang. Jangan bertindak

yang bisa mencelakakan diri sendiri..."

 "Tak ada lagi masa depan bagiku. Masa depanku

telah tenggelam bersama Mahesa. Tenggelam ke 

dasar laut.. ."

 "Jangan berpikiran sedangkal itu Wulan. Aku sa-

habat suamimu, juga sahabatmu. Dukamu dukaku

juga. Kesedihanmu kesedihanku juga. Jika aku bisa

 menolong aku akan sangat bahagia . .."

 "Apakah kau bisa menolong menghidupkan Ma-

 hesa kembali... ?"

 "Pertanyaanmu aneh sekali," ujar Supitmantil.

 "Mana mungkin aku bisa menghidupkan Mahesa.

Malaikatpun tak akan bisa. Hanya saja . . ."

 "Hanya saja apa .. .?"

 "Kalau aku cukup pantas menjadi pengganti sa-

habatku yang hilang itu .. ."

 Wulansari tiba-tiba melompat dari duduknya.

 Sreeettt!

 Sinar merah berkiblat. Detik itu tampak perem-

puan ini tegak memegang Pedang Dewi yang 

memancarkan sinar merah terang, menatap garang 

ke arah Supitmantil!


SUPITMANTIL tersurut kaget. Parasnya 

memucat. Dia tahu betul jika Wulansari benar-benar 

hendak menjatuhkan tangan keras paling lama dia 

hanya bisa bertahan tiga atau empat jurus. Ketinggian 

ilmu perempuan itu bukan tandingannya. Apalagi 

dalam keadaan seperti itu, dia bisa bertindak nekad 

dan ganas.

 "Belum empat puluh hari suamiku meninggal.

Jenazahnyapun tak pernah ditemukan. Dia mati tak

berkubur! Dan kau berani bicara seperti itu!"

 Kedua mata Wulansari meskipun basah oleh air

mata tapi tampak berapi-api.

 "Harap maafkan kalau ucapanku menyinggungmu," 

Supitmantil cepat-cepat minta maaf. "Bukan

maksudku berlaku lancang. Apa yang kukatakan tadi

keluar dari hati yang tulus . .." Dalam hatinya pemu-

da ini mulai merasa ragu apakah maksudnya menda-

patkan perempuan itu akan kesampaian. Maka diapun

memancing dengan ucapan: "Jika aku memang tidak

diperlukan disini, izinkan aku minta diri. Harap maaf-

kan kalau kedatanganku hanya menyusahkanmu.

Aku kemari hanya karena menyadari bahwa itu ada-

lah kewajibanku sebagai sahabat mendiang suamimu

dan juga sahabatmu . . ."

 Wulansari terdiam. Sesaat kepalanya tertunduk.

Kemudian perlahan-lahan pedang mustika sakti Pe-

dang Dewi dimasukkannya kembali ke dalam sarung-

nya.

 Supitmantil menarik nafas lega. Terlebih ketika

didengarnya Wulansari berkata. "Maafkan kalau aku

tadi bertindak dan berkata kasar. Pikiranku sedang

kacau. Letih lahir dan batin . . ."

 "Kau memang perlu istirahat. Perlu menenangkan

pikiran . . ."

 Wulansari menatap paras pemuda itu sesaat. Di


bandingkan dengan Mahesa, dalam soal ilmu silat dan

kesaktian pemuda ini jauh ketinggalan. Tetapi dalam

soal kegagahan paras, dia harus mengakui 

Supitmantil seorang pemuda yang tampan dan cakap. 

Wulansari tiba-tiba sadar. Dalam keadaan seperti saat 

itu, bukan tempatnya dia harus membanding 

bandingkan Mahesa dengan Supitmantil.

 "Apakah kau hendak segera pergi . . . ?" Wulan-

sari bertanya.

 "Jika tak ada lagi yang dapat kulakukan disini

maka aku akan mohon diri. Hanya harap kau suka

mempertimbangkan maksud tulusku tadi..."

 "Bukan saatnya membicarakan itu sekarang."

kata wulansari pula. Nada suaranya tidak sekeras

sebelumnya dan diam-diam Supitmantil melihat ada-

nya satu harapan. Satu harapan yang menjanjikan.

Hati pemuda ini berbunga-bunga ketika didengarnya

Wulansari bertanya: "Apakah kau mau mengantar

aku ke pantai di jurusan mana Mahesa tenggelam?"

 "Tentu saja Wulan, kemanapun kau pergi akan

kuantar. Kita turun gunung dan mencari dua ekor

kuua. Perjalanan ke ujung timur Jawa cukup sulit dan

jauh ..."

oOo

 SESAMPAINYA di pantai timur ujung pulau

Jawa, tak banyak yang bisa dilakukan Wulansari se-

lain berhari-hari duduk bermenung memandang

ke tengah laut. Supitmantil dengan setia selalu 

menemaninya, malah membangun sebuah gubuk 

kecil tempat Wulansari be r teduh dari teriknya sinar 

matahari siang hari dan embun dingin pada malam 

hari.


Pada pagi hari ke empat Supitmantil berkata:

"Siang malam berada di sini bisa membuatmu saku

Wulan. Kapan kita bisa meninggalkan tempat ini?"

 "Terserah padamulah Supit ..." sahut Wulansari.

"Aku hanya ingin melepaskan kerinduan pada orang

yang tak bakal kujumpai lagi selama-lamanya . . ."

Suara perempuan itu bernada lembut tapi juga me-

ngandung kesedihan yang mendalam.

 Selama mengadakan perjalanan yang jauh dari

puncak Muria sampai ke ujung timur pulau Jawa,

Wulansari merasakan hubungannya dengan Supit-

mantil bertambah dekat dan erat. Dari perasaan ha-

nya menganggap pemuda itu sebagai seorang 

sahabat penolong, kemudian berubah menjadi rasa 

suka. Memang agar maksudnya kesampaian 

Supitmantil sengaja mengajuk hati perempuan itu.

 "Makin cepat pergi dari sini makin baik," ber-

kata Supitmantil.

 "Ya, tapi aku akan pergi kemana dan kau juga

kemana?"

 "Sudah kubilang, kemanapun kau pergi aku akan

menemani. Mungkin ke kampung halaman . . . ?"

 Wulansari menggeleng. "Kedua orang tuaku sudah

meninggal. Sanak saudarapun aku tak punya. Mereka

semua mati di tangan Suto Nyamat, Adipati Madiun

keparat itu. Bagaimana kalau kita ke tsmpat salah

seorang guruku ..."

 Sebenarnya Supitmantil tidak menyetujui maksud

itu. Namun untuk tidak menimbulkan kecurigaan

maka diapun bertanya: "Gurumu yang mana . . "

 "Suara Tanpa Rupa. Dia tinggal di sebuah gua

karang. Di utara Madiun. Mungkin beliau bisa mem-

beri petunjuk ..."

 Maka kedua orang itupun tinggalkan pantai,

berkuda menuju ke barat.


MASIH cukup jauh dari gua kediaman gurunya

seekor anak rusa tiba-tiba muncul dan lari melompat-

lompat mendahului kuda yang ditungganginya.

 "Joko Cilik!" seru Wulansari, ketika melihat anak

rusa itu yang kini tambah jauh lebih besar, siap men-

jadi seekor rusa jantan yang dewasa. Wulan hentikan

kudanya, melompat turun dan langsung mendukung

menciumi Joko Cilik. "Kau sudah sangat besar Joko.

Tubuhmu berat sekali. Tak kuat aku menggendong-

mu lama-lama. Hai, apakah guru ada di pertapaan

nya?"

 Rusa itu kedip-kedipkan mata. Wulansari tertawa

lebar lalu turunkan Joko Cilik dari dukungannya.

"Ayo kau antarkan kami kesana!" Joko Cilik turun

ke tanah, sesaat dia mengarahkan kepalanya pad-

Supitmantil lalu melompat pergi mendahului.

 "Apakah itu Joko Cilik, rusa peliharaan gurumu

yang sering kau ceritakan?" tanya Supitmantil.

 "Ya," sahut Wulansari. "Dia bukan rusa biasa.

Memiliki kepandaian silat aneh yang sanggup menan-

dingi jago silat berkepandaian tinggi ..."

 Supitmantil mengangguk-angguk. Semakin dekat

dia ke gua kediaman Suara Tanpa Rupa semakin 

tidak enak hatinya. Perasaan waswas 

menyelimutinya. Khawatir kalau terjadi sesuatu yang 

bisa membuka kedoknya.

oOo

 Gua karang tempat kediaman Suara Tanpa Rupa

hampir tidak berubah sama sekali. Keadaannya ber-

sih. Joko Cilik duduk disudut ruangan, memandang

ke arah kedua orang itu. Begitu masuk Wulansari

bersimpuh di lantai, menghatur sembah seraya ber-

kata: "Guru, saya muridmu Wulansari datang menyambangimu dan menghatur sembah. Mohon di-

maafkan kalau sudah sekian lama baru hari ini murid

bisa mengunjungimu . .."

 Sunyi sesaat. Lalu kesunyian itu dipecahkan oleh

satu suara menggema dan menggetarkan seantero 

ruangan karang.

 "Muridku Wulansari, aku gembira melihat ke-

datanganmu. Kita manusia memang mempunyai ke-

sibukan sendiri-sendiri. Aku tidak marah kalau baru

hari ini kau muncul. Itu satu pertanda bahwa kau

tidak pernah melupakan kakek kakek buruk ini . . ."

Suara Tanpa Rupa terdengar tertawa lalu dia berta-

nya: "Apakah kau ada merawat Pedang Dewi baik-

baik ...”

 "Saya merawatnya dengan baik guru. Apakah guru 

ingin melihatnya?" Wulansari hendak mengambil

pedang sakti itu dari balik punggungnya. Namun tak

jadi ketika mendengar Suara Tanpa Rupa berkata.

 "Tak usah Wulan, aku percaya kau merawatnya

dengan baik baik. Hari ini kau datang tidak sendirian.

Mana suamimu Mahesa Kelud dan siapa pemuda 

yang datang bersamamu ini. . ?"

 Sementara Supitmantil merasa agak sesak dada-

nya mendengar pertanyaan itu, Wulansari langsung

keluarkan suara tangisan.

 "Ah, kau menangis muridku. Pasti ada berita bu-

ruk yang akan kudengar. . ." kata Suara Tanpa Rupa.

 "Benar guru, nasib malang menimpa Mahesa,"

Lalu Wulansari menuturkan apa yang telah terjadi.

 Selesai Wulansari memberi keterangan Suara Tan-

pa Rupa menghela nafas panjang.

 "Muridku tabahkan hatimu. Ketahuilah soal nya-

wa kita manusia adalah rahasia Tuhan Yang Maha

Kuasa. Dia yang memberi kehidupan pada kita dan


dia pula yang berhak mengambilnya kembali. 

Kedukaanmu adalah kedukaanku juga. Kau belum 

menerangkan siapa pemuda yang datang bersamamu 

. . ."

 "Dia sahabat saya, juga sahabat Mahesa," jawab

Wulansari lalu memberi keterangan lebih lengkap ten-

tang diri Supitmantil.

 "Sekarang apa yang akan kau lakukan Wulan?

Apa rencanamu?" bertanya Suara Tanpa Rupa.

 "Justru kami datang kemari untuk meminta pe-

tunjukmu, guru," jawab Wulansari.

 "Kami katamu Wulan? Maksudmu kau dan saha-

batmu yang bernama Supitmantil ini . . . ?" bertanya

Suara Tanpa Rupa untuk mendapatkan ketegasan.

 Wulansari tak dapat menjawab. Kepalanya tertun-

duk. Sebaliknya Supitmantil dengan beranikan diri

untuk pertama kalinya berkata: "Maksud adik Wulan

adalah mengenai hubungan kami berdua."

 "Oh begitu . . .?" Suara sang guru bernada datar.

Setelah sunyi sejenak maka dia kembali terdengar

suara dari tempat yang tak terlihat oleh kedua orang

itu. "Bagi seorang lelaki atau seorang perempuan me-

mang kurang baik hidup seorang diri. Apalagi kalau

suaah pernah menikah dan kemudian menjadi randa

atau duda. Aku yang boleh kalian anggap sebagai

pengganti orang tua tidak bisa memberikan kata

putus. Aku hanya dapat memberikan doa restu Ke-

putusan adalah uitangan kalian masing-masing. Jika

kau Wulan sudah berbulat hati menerima Supitmantil

jadi pengganti suamimu yang hilang aku bersedia me-

nikahkan kalian saat ini. Tuhan Yang Maha Kuasa

menjadi saksi..."

 Wulansari tidak memberikan jawaban.

 "Wulan, kau tak menjawab. Apakah ada sesuatu

yang menjadi ganjalan?" tanya Suara Tanpa Rupa.


"Saya . . . saya tidak tahu guru .. ." sahut Wulansari.

 Suara Tanpa Rupa tertawa. "Perempuan memang

selalu begitu. Selalu malu-malu mengatakan ya pada-

hal hati dan perasaannya sama menyetujui. Aku tahu

kau menyukai Supitmantil walau saat ini mungkin

Kau masih diliputi kedukaan. Namun jika kau suka

tidak menjadi halangan bagimu unt.ik menikahkanmu

saat ini..."

 Maka Suara Tanpa Rupa lalu menikahkan kedua

orang itu, disaksikan Yang Maha Kuasa dan Joko Ci-

lik yang sejak tadi duduk tak bergerak di sudut ruang-

an. Sebelum keduanya meninggalkan gua karang,

sang guru memberi petunjuk agar mereka kembali

dulu ke puncak Gunung Muria dan menetap disana

selama satu atau dua minggu sebelum menyusun ren-

cana baru. Sebenarnya Supitmantil tak ingin mereka

kembali ke Gunung Mu ria. Bukan saja itu dapat me-

nimbulkan kenangan lama atas kehidupan masa silam

bagi Wulansari, tapi yang lebih dikhawatirkannya ada-

lah kalau Mahesa Kelud muncul dengan tiba-tiba.

Namun karena Wulansari bersikeras akan mengikuti

petunjuk gurunya maka mau tak mau Supitmantil

terpaksa juga mengikuti kehendak "istrinya" itu.

ooOOOoo


KITA KEMBALI pada peristiwa pertempuran antara 

Mahesa Kelud dan Sembilan Biru yang dikeroyok 

oleh sepasang pengemis kembar. Datuk Ular, Gambir 

Putih dan Pendekar Kembang Merah. Seperti 

dituturkan dalam bab sebelumnya meskipun berhasil 

menewaskan Pendekar Kembang Merah serta 

Gambir Putih namun hantaman kipas sakti lawan 

yang berjuluk Pengemis Berkipas Putih membuat 

Mahesa Kelud terpental jatuh ke dalam jurang batu 

yang gelap. Sebelumnya Sembilan Biru telah lebih 

dulu mengalami nasib yang sama!

 Gema pekik Sembilan Biru yang melayang jatuh

ke dalam jurang batu yang gelap terdengar mengeri-

kan. Gadis itu sendiri kemudian jatuh pingsan selagi

tubuhnya melayang di udara, ditunggu batu-batu pa-

das keras dibawah sana.

 Namun benarlah ujar-ujar orang tua-tua. Sebelum

ajal berpantang mati. Soal jiwa manusia adalah 

kuasanya Tuhan. Selagi tubuh Sembilan Biru yang 

berada dalam keadaan pingsan itu melayang jatuh 

dengan deras menuju dasar jurang, dari lamping

jurang sebelah kiri yang gelap gulita terdengar suara 

orang berseru.

 "O ladalah! Perempuan manakah yang bernasib

jelek, jatuh terjerumus ke dalam jurang malam buta

begini?!"

 Suara seruan itu keluar dari mulut sebuah goa be-

sar gelap, yang terdapat di bagian tengah dinding kiri

jurang batu. Disaat yang sama, dalam kegelapan 

yang begitu pekat tampak tegak seorang kakek 

bungkuk di mulut gua. Dia mendongak ke atas. 

Matanya yang kuyu seolah-olah dapat menembus 

kegelapan malam. Dan begitu melihat sosok tubuh 

Sembilan Biru yang melayang jatuh kakek ini goleng-

goleng kepala. Tangan kanannya disentakkan ke


depan. Segulung benda berbentuk benang putih 

yang sangat halus melesat menjulur. Secara aneh 

benang ini kemudian menggulung sekujur tubuh 

Sembilan Biru mulai dari bahu sampai ke pinggul. 

Dengan satu gerakan menyentak ke belakang maka 

terjadilah satu keanehan yang sulit dipercaya. Tubuh 

Sembilan Biru yang tadi amblas jatuh ke bawah kini 

terbetot dan melayang ke mulut goa. Si kakek kedut-

kedutkan benang yang dipegangnya, tak ubah seperti 

seorang tengah main layang-layang. Tubuh Sembilan 

Biru perlahan-lahan jatuh ke lantai goa sebelah 

dalam. Begitu tubuh Sembilan Biru menggeletak di 

lantai goa, kakek bungkuk tadi segera mendatangi, 

lepaskan gulungan benang dan memeriksa.

 "Gadis cantik. Kasihan . . ." kata si kakek. Dia

melihat ada darah keluar dari hidung dan sela bibir

Sembilan Biru. Dipegangnya lengan gadis itu, terasa

dingin. Disingkapkannya dada pakaian si gadis. Ke-

lihatan luka dibahu dan tanda biru disekitar dada

tanda Sembilan Biru terluka parah di sebelah dalam.

"Siapa yang begitu tega menurunkan tangan jahat

pada gadis seperti ini . . ." Si kakek goleng-goleng ke-

pala. Ketika dia hendak mendukung tubuh gadis itu

ke dalam goa ke tempat yang lebih baik, tiba-tiba di

luar sana dilihatnya ada cahaya merah terang melesat

dari atas jurang baru menuju ke bawah.

 "Hai! Benda apa pula itu!" seru si kakek heran.

Gulungan benang halus yang ada di tangan kanannya

disentakkan ke depan. Benang itu melesat laksana

anak panah, memapas benda merah yang jatuh, 

langsung melibatnya. Ketika si kakek hendak 

menyempatkan menariknya, tiba-tiba sebuah benda 

lain tampak pula melayang jatuh. Sosok tubuh 

manusia! Si kakek berseru kaget. Cepat dia gerakkan 

tangannya yang memegang benang halus. Benang


yang sudah melibat benda merah tadi kini bersama-

sama benda merah itu bergulung membuntal tubuh 

yang jatuh. Si kakek sampai memercikkan keringat di 

keningnya. Bukan karena pekerjaan itu sulit atau berat 

baginya, tapi saking kagetnya karena dalam waktu 

susul menyusul malam itu ada dua sosok tubuh yang 

jatuh ke jurang ditambah sebuah benda 

mengeluarkan cahaya merah.

 Sekali sentak saja maka sosok tubuh berikut

benda bercahaya merah itu terbetot ke mulut goa.

Kembali si kakek mengedut ngedutkan benang halus.

Perlahan-lahan sosok tubuh itu jatuh ke lantai goa.

Begitu si kakek mendekati maka kagetlah dia.

 "Pedang mustika sakti . . . !" serunya dengan

pandangan mata tak percaya. Ternyata benda yang

mengeluarkan sinar merah itu adalah sebuah pedang

sedang sosok tubuh yang tergeletak di lantai bukan

lain adalah tubuh Mahesa Keluu. Antara sadar dan ti-

dak pemuJa ini berusaha bangun, namun tak mampu.

Tubuhnya jatuh kembali langsung pingsan. Si kakek

memeriksa. Tak ada darah yang mengucur dari 

hidung atau mulut pemuda itu. Tapi ketika disingkap 

dada pakaiannya maka tampaklah dada yang 

berwarna kebiru-biruan seperti dada gadis yang 

duluan jatuh itu.

 "Luka dalam yang.sama . . ." desis si kakek.

Sepasang matanya menyipit ketika pada pinggang

Mahesa dilihatnya merambas sinar kuning. Ketika

disingkapnya pakaian di bagian pinggang pemuda ini

maka tampaklah hulu Keris Ular Emas yang meman-

carkan sinar kuning.

 "Pemuda ini tentunya bukan orang sembarangan! 

Kalau tidak mustahil dia membekal dua senjata

sakti begini rupa!"


Si kakek lepaskan gulungan benang yang mengikat 

Pedang Dewa dan tubuh Mahesa. Untuk beberapa 

lama dia memperhatikan pedang sakti itu dengan

penuh rasa kagum. Dilihatnya ada noda darah di

badan pedang. Dia segera maklum, pasti telah terjadi

perkelahian sebelumnya. Agaknya si pemuda dan ga-

dis berbaju biru itu berada di pihak yang sama. Si

kakek mendekatkan badan pedang ke mukanya

lalu meniup perlahan. Noda darah yang ada pada 

senjata itu serta merta lenyap. Pedang itu kini bersih

berkilat seperti baru saja digosok. Dengan hati-hati

dimasukkannya ke dalam sarungnya lalu diletakkan

di sudut goa.

 Di bagian dalam goa terdapat beberapa buah batu

besar rata hampir menyerupai meja besar atau tempat

tidur. Orang tua itu membaringkan Sembilan Biru

di atas batu ujung kanan. Mahesa diletakkannya di

atas batu sebelah kiri. Kemudian kembali dia meme-

riksa keadaan tubuh kedua orang itu. Sambil geleng-

geleng kepala dia membatin. "Sepasang muda mudi

ini, kalau tidak berkepandaian tinggi pasti sudah me-

nemui ajal akibat keracunan dan luka dalam yang

parah. Tapi yang perempuan ini menderita lebih he

bat. Aku harus menolongnya lebih dulu. Kasihan . . . 

kasihan . . . Mengapa di atas dunia ini manusia 

yang katanya beradab masih saja saling melakukan 

kekerasan. Tak segan-segan merenggut nyawa

sesamanya. Dunia hampir kiamat rupanya!"

 Orang tua itu berlutut di ujung batu dimana Sem

bilan Biru terbaring pingsan. Tampak dia meniup

kedua teiapak kaki si gadis beberapa kali. Setelah itu

dia melakukan tiga kali totokan di kaki kiri dan tiga

totokan di kaki kanan. Setelah meniup lagi kedua ka-

ki itu beberapa kali maka diapun berpindah pada

Mahesa Kelud dan melakukan hai yang sama. Kemudian orang tua ini pergi ke batu besar di ujung kiri,

membaringkan tubuhnya disini. Tak lama kemudian

terdengar suara dengkurnya panjang pendek!

 Si kakek ini tidak tahu berapa lama dia tidur dan

akan terus mendengkur kalau tubuhnya yang bung-

kuk tidak digoyang-goyang orang. Sambil menggeliat

dia buka kedua matanya dan berkata setengah me-

ngomel: "Orang masih enak-enakan bermimpi, siapa

yang begitu jahil lancang membangunkan?!" Ketika

melihat siapa yang tegak di samping pembaringan

batu, kakek bungkuk ini cepat duduk. "Hai! Kalian

berdua dalam keadaan luka parah! Kembali berbaring

diatas ranjang batu itu!"

 Saat itu sudah pagi. Mahesa Kelud siuman dan

pingsannya dan merasakan dadanya sangat sakit. 

Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada 

dalam sebuah goa aneh. Sembilan Biru terbaring di

ujung kanannya. Lalu dilihatnya seorang kakek tidur

meringkuk dan mendengkur. Di sudut goa tampak

tersandar Pedang Dewa miliknya. Dengan susah 

payah Mahesa melangkah tertatih-tatih mengambil 

senjata sakti itu. Saat itulah Sembilan Biru sadar 

pula dari pingsannya dan langsung hendak berdiri. 

Tapi dia terduduk di pinggiran ranjang batu ketika 

darah membersit di sela bibirnya. Dadanya 

mendenyut sakit dan kepalanya terasa berat.

 "Dimana kita ini . . . ?" tanya Sembilan Biru lalu

pegangi dadanya yang sakit bukan main.

 Mahesa hanya bisa menjawab dengan gelengan

kepala. Mulutnya terasa kesat dan tenggorokannya

panas seperti terbakar. Dadanya sakit bukan kepa-

lang, seperti ditindih batu besar ratusan kati.

 "Siapa kakek itu . . huahhh!" Sembilan Biru

muntahkan darah kental. Tubuhnya terasa limbung

namun dia berusaha agar tetap duduk di tepi ranjang


batu.

 Mahesa Kelud ingat benar. Malam tadi dia me-

nyaksikan Sembilan Biru terpental ke dalam jurang

setelah dihantam serangan kipas Pengemis Berkipas

Putih. Setelah itu menyusui dirinya. Lalu dia tak

ingat apa-apa lagi sampai pagi itu dia siuman dan da-

patkan dirinya berada dalam goa misterius bersama

Sembilan Biru dan seorang kakek aneh. Apakah si

kakek ini pemilik goa tersebut. Mahesa membungkuk,

ulurkan tangan lalu menggoyang-goyangkan tubuh si

orang tua untuk membangunkannya.

 Si kakek terbangun sambil mengomel. Ketika me-

lihat Mahesa dan Sembilan Biru tidak lagi terbaring di

atas ranjang batu maka dia berteriak memerintahkan

agar kedua orang itu kembali ke pembaringan 

masing-masing.

 Mahesa tidak perdulikan teriakan orang tua itu.

Malah berkata: "Kek, apa yang terjadi malam tadi?

Kau pasti orang yang telah menolong kami hingga

selamat dari kematian di dasar jurang!"

 "Kalau kalian tidak mau berbaring, aku tidak

akan memberi keterangan! Atau mungkin kalian

sudah kepingin buru-buru mati!"

 Mau tak mau Mahesa dan Sembilan Biru me-

rebahkan diri kembali diatas batu besar.

 "Kami sudah berbaring. Sekarang berilah kete-

rangan," kata Sembilan Biru.

 "Bagus! Terlebih dahulu kalian yang harus

memberi keterangan. Apa yang terjadi hingga kalian 

terjerumus ke dalam jurang."

 Sembilan Biru hendak menjawab tapi Mahesa

cepat memberi isyarat dan beri keterangan tentang

perkelahian malam tadi. Hanya dia tidak mencerita-

kan pangkal sebabnya, juga tidak mengatakan

siapa-siapa adanya para pengeroyok.


Si kakek manggut manggut. Agaknya diapun ti

dak mau ambil pusing menanyakan mengapa kedua

muda mudi itu sampai dikeroyok dan siapa pengero-

yok mereka.

 "Kalian tahu, kalian berdua menderita luka dalam

yang amat parah. Terutama kau gadis berbaju biru.

Siapa namamu?"

 "Orang-orang memanggilku Sembilan Biru .. ."

 Si kakek tertawa. "Nama aneh. Tapi apa perduli-

ku!" Dia berpaling pada Mahesa dan menanyakan

nama pemuda itu. Mahesa menerangkan siapa 

dirinya.

 "Paling tidak kalian harus tinggal sebulan lebih

di tempatku ini. Kau Sembilan Biru, mungkin akan

memakan waktu dua bulan sampai lukamu

sembuh .. ."

 "Jadi benar kau yang telah menolong kami,"

ujar Mahesa. "Aku berhutang nyawa dan berhutang

budi. Aku sangat berterima kasih padamu kek."

 "Aku juga," sambung Sembilan Biru.

 Orang tua itu kembali tertawa. Dia kembali

membentak marah ketika melihat Mahesa tiba-tiba

bangkit dari pembaringan batu.

 "Kek, aku sadar dalam keadaan terluka. Tapi aku

tak bisa harus mendekam disini selama sebulan. Biar

aku pergi. Aku harus menemui seseorang yang telah

lama kutinggal. Istriku . . ."

 "Kau sayang istrimu. Tapi tak sayang nyawa

sendiri! Manusia tolol macam apa kau? Jika kau mati

apa kau kira akan bisa melihat istrimu?"

 Mahesa Kelud terdiam mendengar ucapan orang

tua itu. Namun walau bagaimanapun dia tak mungkin

berlama-lama di dalam goa itu. Dia tahu si kakek

bermaksud sangat baik terhadapnya. Tapi dia sudah


sangat rindu terhadap Wulansari. Dalam perjalanan 

ke Muria dia bisa mengobati sendiri luka dalamnya.

 "Maafkan aku kek. Aku harus pergi ..." kata

Mahesa seraya berdiri.

 "Terserah kaulah!" kata si kakek tak acuh.

 Mahesa melangkah ke mulut goa. Sampai di mulut

goa dia jadi bingung sendiri. Dihadapannya memben-

tang jurang batu yang luas dan dalam. Goa dimana 

dia berada terletak pada lamping jurang yang 

merupakan dinding tinggi tegak lurus. Tak ada jalan 

menuju ke bawah apalagi menuju ke atas jurang. 

Mahesa jadi terkesima beberapa lama. Bagaimana 

dia mungkin dapat meninggalkan goa tersebut. Dia 

berpaling pada si kakek dan bertanya-tanya dalam 

hati. Bagaimana si kakek bisa keluar masuk goanya? 

Mustahil kalau dia tak pernah meninggalkan goanya. 

Pasti ada jalan rahasia atau satu cara yang luar 

biasa. Mahesa memperhitungkan, bagaimanapun 

tingginya ilmu seseorang, tak mungkin dia sanggup 

memanjat menuju ujung jurang sebelah atas, 

apalagi keluar dari jurang dengan jalan melompat.

 Si kakek tampak senyum-senyum. "Jika kau me-

rasa sanggup memanjat dinding jurang itu, silahkan

pergi..." katanya.

 "Kau sendiri, bagaimana bisa keluar masuk ke da-

lam goa ini?" tanya Mahesa.

 "Itu satu rahasia yang tidak bisa kukatakan pada-

mu sekarang. Kau masih ingin pergi.. . ?"

 Mahesa menggigit bibir. "Aku menyerah," kata-

nya.

 Si kakek tertawa mengekeh.

 "Kami ingin tahu bagaimana kau menyelamatkan

kami waktu jatuh ke dalam jurang!" terdengar Sem-

bilan Biru berkata.

 "Betul!" menyambung Mahesa.


Orang tua itu keluarkan segulung benang sutera

putih yang sangat halus. "Aku menolong kalian de-

ngan ini!" katanya.

 Mahesa terbelalak. Sembilan Biru ternganga. Tentu 

saja sulit mereka dapat mempercayai keterangan si

kakek. Mahesa malah berkata: "Jangankan dengan 

benang, batangan besipun belum tentu dapat 

menahan deras dan beratnya daya tubuh kami yang 

jatuh . . ."

 "Kalau begitu terpaksa harus kuperlihatkan

sesuatu padamu. Harap kalian jangan anggap aku 

tua bangka sombong!"

 Habis berkata begitu orang tua ini melangkah ke

belakang salah satu batu besar berbentuk tempat ti

dur. Dia memandang pada Mahesa dan Wulansari

yang terbaring diatas batu sambil menyeringai.

Tangan kanannya mengambil gulungan benang dari

dalam saku pakaiannya. Selagi kedua muja mudi itu

bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan orang itu,

si kakek tiba-tiba tendang batu besar berbentuk tem-

pat tidur dengan kaki tangannya yang kurus kering.

Dan terjadilah satu hal yang hebat!

 Batu besar yang beratnya ratusan kati itu, laksana

sepotong papan lapuk, mencelat ke luar goa, mela-

yang diatas jurang batu! Mahesa dan Wulansari 

saking kagetnya sama-sama tegak berdiri dari atas 

pembaringan batu walaupun dada masing-masing 

terasa sakit.

 Sambil bersiul-siul kecil si kakek gerakkan

tangan kanannya yang memegang gulungan benang

sutera berwarna putih. Benang ini melesat laksana

anak panah ke luar goa, langsung menggelung 

batu besar hitam yang saat itu siap melayang jatuh 

ke bawah. Cepat dan aneh sekali gerakan 

menggelung benang sutera itu hingga dua pertiga


batu hitam besar terbungkus. Sebelum melayang ke 

bawah si kakek menyentakkan tangan kanannya. 

Batu hitam yang tergelung benang tertarik ke 

belakang, memasuki mulut goa terus masuk ke 

dalam. Dengan beberapa kali kedutan batu berat itu 

jatuh perlahan-lahan ke tempatnya semula tanpa 

mengeluarkan sedikit suarapun!

 "Kakek! Kau hebat sekali!" seru Mahesa yang

tak dapat menahan rasa kagumnya yang amat sa-

ngat sementara Sembilan Biru tegak ternganga

seolah tak percaya akan apa yang barusan disaksi

kannya.

 Mendengar seruan Mahesa Kelud orang tua itu

berpaling lalu membentak seperti marah: "Hai!

Siapa yang suruh kalian berdiri! Lekas berbaring

kembali kalau mau sembuh!"

 Maka Mahesa dan Sembilan Biru pun kembali

merebahkan diri diatas pembaringan batu.

 Begitulah, mulai hari itu Mahesa Kelud dan

Sembilan Biru tinggal di goa batu tersebut, berada

dalam perawatan si kakek. Satu bulan berlalu. Luka

dalam yang diderita Mahesa sudah hampir sembuh.

Sebaliknya Sembilan Biru masih jauh dari sembuh.

Ini disebabkan karena daya tahan atau kekuatan

tubuhnya dibanding dengan Mahesa jauh lebih lemah,

demikian pula tingkat tenaga dalamnya berada di

bawah Mahesa. Sehingga meskipun terkena pukulan

yang sama namun si gadis menderita lebih parah.

Jadi perlu waktu lebih lama untuk mengobatinya.

 Suatu pagi Mahesa menemui si kakek yang saat

itu menyibukkan diri menggulung gulung benang

suteranya.

 "Ah, tidak biasanya kau duduk dihadapanku se-

perti ini. Pasti ada sesuatu yang hendak kau katakan.

Atau mungkin kau ingin bertanya " ujar si kakek.


"Dua-duanya kek. Bertanya dan bicara," sahut

Mahesa. Ketika orang tua itu manggut-manggut maka

pemuda itu meneruskan kata-katanya. "Pertama,

telah sekian lama aku dan juga Sembilan Biru merasa

cukup sehat, namun sampai hari ini pula kami belum

mengetahui siapa kakek ini sebenarnya. Jika bernama

siapa namanya, jika bergelar siapa gelarnya . .."

 Orang tua itu tertawa sambil main-mainkan

gulungan benang.

 "Setiap manusia dilahirkan tentu bernama. Nama

yang diberikan orang tuanya. Tapi aku tidak bernama

karena tidak punya orang tua . .."

 Saat itu Sembilan Biru sudah duduk pula disam-

ping Mahesa.

 "Bagaimana pula kakek ini, masakan kau tidak

punya orang tua?"

 "Begitulah nasibku!" “Aku . . . menurut orang

yang menceritakan padaku, entah bagaimana tahu-

tahu berada dalam sebuah goa di rimba belantara.

Dalam keadaan masih bayi tentunya. Nah, dalam

keadaan seperti itu siapa pula yang memberikan

nama padaku? Temanku dalam goa itu hanya bina-

tang melata seperti ular, kalajengking. Ada juga tikus

dan cacing. Tapi yang paling banyak laba-laba . - "

Sampai disitu si kakek kembali tertawa.

 "Kalau kau memang tak bernama tak jadi apa.

Tapi pasti orang sehebatmu punya gelar atau juluk-

an dalam dunia persilatan . . ." kata Sembilan Biru.

 Si kakek tersenyum kecil. "Dunia persilatan . . ."

katanya perlahan. "Sudah sangat lama aku 

meninggalkan dunia itu. Dunia yang hari demi hari 

semakin penuh keributan, penuh silang sengketa dan 

penuh kebusukan. Tak usahlah kuberitahu gelar atau 

julukanku para anak muda. Aku malu karena cuma 

gelar buruk belaka .. .


Sadar orang tak mau menerangkan tentang diri-

nya maka Mahesa mengatakan maksud pembicaraan-

nya yang kedua pada si kakek.

 "Kek, berkat perawatan dan pengobatanmu aku

sudah merasa sembuh. Tadi malam aku bermimpi 

melihat rembulan disambar petir. Sampai saat ini hati-

ku merasa tak enak. Aku ingin segera pergi ke puncak

Muria untuk menemui istriku. Kuharap kau berke-

nan mengizinkan . . ."

 Orang tua itu mengangguk. "Mimpi adalah bunga

tidur. Jangan sekali-kali kau mempercayainya Mahe-

sa. Jika kau memang sudah merasa sembuh dan 

ingin pergi, tak ada halangan. Kau boleh pergi. .."

 "Saya juga ingin pergi kek . . ." kata Sembilan

Biru.

 "Oh kau . . . ?" Orang tua itu tertawa lebar dan

lalu geleng-geleng kepala. "Luka dalammu masih

jauh dari sembuh. Paling tidak kau harus tinggal di

sini satu bulan lagi. . "

 "Aduh lamanya . .. !" keluh Sembilan Biru.

 "Demi kesembuhanmu. Kecuali kalau kau tak

sayang diri . . ."

 Sembilan Biru terdiam. Bagaimanapun apa yang

dikatakan si kakek memang betul. Sebenarnya hati-

nya terdorong hendak pergi karena mendengar Mahe-

sa hendak meninggalkan goa itu.

 "Jika kau berkenan kek, aku minta diri sekarang

juga," kata Mahesa.

 "Ya ... ya, kau boleh pergi!"

 Mahesa menjura hormat lalu berdiri. Setelah ber-

diri dia tetap saja tegak ditempatnya. Sesekali dia ber-

paling pada Sembilan Biru.

 "Hai, mengapa belum pergi juga? Apa kau hendak

mengajak serta gadis ini?" tanya si kakek.


"Tidak kek. Hanya saja aku .. . aku tak tahu mana 

jalan keluar. .." jawab Mahesa.

 "Hai! Apa kau buta. Itu jelas mulut goa di sebelah

depan sana . .."

 "Betul. Tapi diluar goa, yang ada dinding batu

tegak lurus, tak mungkin dipanjat ke atas atau me-

lompat ke bibir jurang batu di seberangnya!" jawab

Mahesa bingung.

 Orang tua itu tertawa. Dia mendekati Mahesa.

Kaki kanannya tiba-tiba bergerak menendang.

Persis seperti dia menendang batu besar dulu, maka

tubuh Mahesa terlempar ke luar goa, melayang di

jurang batu. Sembilan Biru keluarkan pekik tertahan.

Si kakek tenang-tenang saja. Mahesa tampak jungkir

balik di atas jurang sana. Sekali si kakek menggerak-

kan tangan kanannya, maka gulungan benang 

melesat menyusul tubuh Mahesa'Kelud, langsung 

bergulung membungkus si pemuda. Sesaat 

kemudian Mahesa merasakan tubuhnya seperti 

dilentingkan ke atas. Dia melayang jauh ke atas 

seperti hendak menembus langit. Di lain kejap 

tubuhnya telah keluar dari jurang lalu perlahan-lahan 

turun ke tanah berbatu-batu di pinggiran rimba 

belantara, tepat dimana dia bersama Sembilan Biru 

dulu dikeroyok oleh Datuk Ular dan kawan-kawannya.

 "Orang tua itu benar-benar luar biasa!" memuji

Mahesa sambil seka keringat dingin yang mengucur 

di tengkuknya, gamang dilemparkan jauh-jauh 

secara aneh begitu rupa. Ketika dia meneliti 

tubuhnya, astaga! Gulungan benang yang tadi 

membuntal badannya telah lenyap!

ooOOOoo


PAGI ITU langit tampak mendung. Angin bertiup 

kencang. Supitmantil berdiri diambang pintu rumah 

kayu, memperhatikan Wulansari istrinya berkemas-

kemas. Hatinya gembira akhirnya Wulansari bersedia 

juga meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama 

ini Supitmantil selalu merasa khawatir kalau-kalau 

Mahesa Kelud tiba-tiba muncul.

 "Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supit-

mantil.

 Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak

Pedang Dewi yang tersisip di balik punggung. Walau-

pun kini sudah jalan lebih dari dua bulan dia menjadi

suami lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud,

suaminya yang pertama yang disangkanya benar-

benar sudah mati tidak dapat pupus dari ingatan-

nya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil ternya-

ta seorang suami yang sangat baik, lemah lembut

tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilang-

an Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia tahu

cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya

terhadap Mahesa.

 "Hai! Mendung sekali cuaca. Dan angin begini

kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulan

sari ketika dia sampai diberanda rumah. "Bagaimana

kalau kita tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu

berhenti baru kita berangkat."

 Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin

cepat-cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu

wulansari seraya memandang ke langit lalu berkata:

"Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera

turun. Paling cepat setelah kita sampai di kaki gu-

nung. Sebaiknya kita berangkat sekarang saja 

Wulan."

 Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan

suaminya. Untuk terakhir kali dia memandangi rumah



kayu di puncak gunung Muria itu. Hatinya terasa

pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan.

Entah kapan akan kembali lagi kesitu. Kedua mata

nya berkaca-kaca.

 "Mari Wulan ..." bisik Supitmantil.

 Sambil berpegangan tangan kedua orang itu me-

nuruni serambi rumah, melangkah ke ujung kiri hala-

man dimana tertambat dua ekor kuda. Ketika Supit-

mantil hendak membantu Wulansari naik ke atas kuda

tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar biasa me-

ngejutkan baik Wulansari apalagi bagi Supitmantil.

Mukanya sepucat kain kafan!

 "Wulan! Aku datang!"

 Sebelum gema seruan itu lenyap sesosok bayang-

an berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tegak 

enam langkah di depan kedua orang itu, menatap 

dengan pandangan mata aneh.

 "Mahesa! Kau ... !"

 Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada

wajahnya namun lebih banyak terlihat bayangan ke-

tidak mengertian.

 "Mahesal Betul kau ini. . . ?!"

 "Wulan . . . Ada apa? Apakah natamu tidak me-

lihat hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahe-

sa tanpa bergerak dari tempatnya tegak. Ingin dia me-

meluk istrinya itu, tetapi entah mengapa dia tetap

diam.

 "Aku tidak buta! Aku melihatmu dengan jelas

Mahesa. Tapi . .. Tentu Tuhan telah menyelamatkan-

mu dari malapetaka itu!" Wulansari hendak lari untuk 

menubruk dan merangkul Mahesa Kelud. Namun

detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang

telah menjadi istri Supitmantil. Maka perempuan

ini merasakan tubuhnya berguncang, dadanya ber-

geletar. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa ter


jadi ...?!"

 Meskipun tambah heran mendengar ucapan istri-

nya namun Mahesa menjawab: "Betul Wulan, Tuhan

telah menyelamatkanku sewaktu terpental masuk

jurang batu!"

 "Jurang batu ... ?" Wulansari mengulang.

 "Ya . . . Jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah

itu malapetaka yang kau maksudkan? Kulihat ada

Supitmantil disini. Dan kalian berdua seperti bersiap-

siap hendak meninggalkan tempat ini. ..

 Di atas mereka langit tambah mendung. Udara

tambah gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan

suara bersiuran. Di kejauhan kilat menyambar.

Rambut Mahesa Kelud berkibar-kibar. Dia teringat

pada mimpinya dulu. Rembulan disambar petir!

Guntur menggelegar. Puncak gunung Muria bergetar!

Tapi lebih keras getaran yang ada di dada ke tiga

orang itu.

 "Mahesa! Ya Tuhan . . . Kalau saja aku tahu kau

masih hidup!" Wulansari meratap. "Bagaimana mung-

kin bisa terjadi .. ."

 "Memangnya siapa yang mengatakan aku mati

Wulan? Katakan, apa arti semua ini?!" Mahesa maju,

tapi hanya satu langkah.

 "Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di

tengah laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia

 . dia . . . Wulansari berpaling ke arah Supitmantil

sambil menuding dengan jari telunjuk kirinya pada

lelaki yang jadi suaminya itu. "Dia . . . meminta aku

jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau

masih hidup aku . . . aku .. ."

 "Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?"

tanya Mahesa dengan suara bergeletar.

 Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya meluncur 

ke bawah dan jatuh berlutut.


"Kalau begitu dia telah sengaja menyusun cerita

dusta!"

 Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku me-

nyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak me-

nyelidik . . ." Saat itu Mahesa Kelud merasakan

seolah-olah dadanya telah berubah menjadi sekam

yang siap meledak oleh kobaran api. Kedua matanya

membeliak merah memandang pada Supitmantil.

"Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala

berbulu domba. Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan

batang lehermu!"

 Mahesa Kelud melompat ke depan. Kedua tangan-

nya terkembang laksana seekor macan yang hendak

menerkam mangsanya.

 "Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit 

menghindar. "Aku akan terangkan pada kalian . . ."

 "Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu

yang memberi keterangan pada setan neraka!" 

teriak Wulansari. Tubuhnya yang berlutut tiba-tiba 

melompat. Sinar merah berkiblat. Ternyata 

perempuan ini telah mencabut pedang sakti Pedang 

Dewi. Tetapi dia bukan menyerang ke arah 

Supitmantil, melainkan memapas serangan Mahesa 

Kelud!

 "Bagus! Kau memang patut membela suamimu!"

teriak Mahesa marah. Hatinya benar-benar hancur 

melihat kenyataan ini walaupun kemudian Wulansari

balas berteriak dengan keras.

 "Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak

ingin kau membunuhnya! Dia harus mampus di

tanganku!"

 Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat pertengkaran

sengit itu, Supitmantil yang sudah lumer nyalinya

pergunakan kesempatan untuk melompat ke pung-

gung kuda. Namun sebelum dia sempat membeda


binatang itu, Wulansari sudah lebih dulu berkelebat

dan kirimkan satu bacokan ganas.

 Supitmantil melompat dari punggung kuda. Sesaat 

kemudian terdengar ringkik binatang itu ketika

Pedang Dewi ditangan Wulansari membabat 

lehernya, membuat luka menganga yang amat besar. 

Darah menyembur. Kuda yang malang ini kemudian 

lari menghambur namun ambruk tersungkur ke tanah 

setelah lari beberapa belas tombak, meringkik keras 

untuk penghabisan kalinya lalu terkapar tak bernafas 

lagi!

 Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar

berulang kali disusul suara gelegar guntur. Begitu me-

loncat dari kuda dan lolos dari sambaran pedang Wu

lansari. Supitmantil berkelebat ke balik sebatang po

hon. Maksudnya hendak terus melarikan diri dibawah

hujan lebat serta kabut yang menutup pemandangan.

Tapi dua sosok tubuh lebih cepat dari gerakannya

langsung menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Ke

lud, di sebelah kiri Wulansari.

 "Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?!"

tanya Supitmantil dengan suara bergetar.

 "Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas 

hidup dimuka bumi ini?!"

 "Siapapun diriku, aku adalah suamimu' Suami

syah!"

 "Suami jahanam! Kau memperistrikanku karena

menipu!" Wulansari maju satu langkah.

 "Kalau kau membunuhku, bagaimana dengan

benih bayi yang kini kau kandungi"

 Wulansari tersentak. Tapi hanya sesaat lalu dengan 

pekik mengerikan dia tusukkan Pedang Dewi ke arah 

perut Supitmantil.

 Mahesa yang sedianya juga hendak menyerbu

masuk mendadak sontak merasakan tengkuknya


dingin ketika mendengar ucapan Supitmantil tadi.

Jadi bagaimanapun caranya mereka ternyata me-

reka memang kawin syah bahkan Wulansari kini

tengah hamil, mungkin hamil muda sekitar satu atau

dua bulan! Menghamili anak hasil hubungannya

dengan Supitmantil! Kalau tadi dalam kemarahan

nya dia ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu

juga, maka kini dia jadi bingung sendiri. Supitmantil

jelas salah besar karena telah menipu Wulansari

untuk dapat memperistrikannya. Tetapi perempuan

itupun tidak lepas dari kesalahan yaitu kurang periksa

dan dalam waktu singkat mau saja menerima Supit-

mantil jadi suaminya, seolah-olah kecintaannya ter-

hadap dirinya hanya tinggal kenangan belaka. Lalu

siapa pula yang mengawinkan mereka? Jika dia mem-

bunuh Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari

hidup menjadi janda, memelihara seorang anak tanpa

ayah?

 Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa 

terhadap Wulansari namun rasa cinta tetap ada di 

lubuk hatinya meskipun kini mungkin hanya seperti 

pelita kehabisan minyak.

 Mahesa Kelud yang'tertegun dalam gelegak ma-

rah serta kebingungan itu baru sadar ketika didepan-

nya terdengar jerit Supitmantil. Dibawah hujan lebat

tampak pakaian putih lelaki itu basah oleh air hujan

dan ada cairan merah. Darah! Sementara sinar merah

pedang ditangan Wulansari menyambar bergulung-

gulung. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri,

juga tak mampu menghindar dari serangan ganas

perempuan yang lebih dari dua bulan telah jadi istri-

nya. Luka besar menganga di dada kanannya, lalu

satu tusukan menghantam bahu sebelah kiri. Supit-

mantil terhuyung-huyung. Luka pedang menimbulkan

hawa panas di sekujur tubuhnya.


"Wulan . . . Aku mohon jangan bunuh aku. Aku

mohon Wulan . .." pinta Supitmantil meratap.

 Tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang dihati

Wulansari. Malah ratapan lelaki itu membakar ama-

rahnya. Pedangnya membabat, membacok dan me-

nusuk berulang-ulang. Supitmantil yang sudah tidak

berdaya dan memang tidak memiliki kepandaian

silat yang dapat menyelamatkan dirinya terhuyung

kian kemari menjadi bulan-bulanan serangan pedang

hingga akhirnya tubuhnya terkapar di tanah mandi

darah. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-

megap, berusaha bernapas dan masih meratap minta

dikasihani. Tapi tak ada suara yang keluar, selain

rintihan. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua

mata itu kini membeliak putih menatap ke langit

yang masih terus menumpahkan hujan.

 Wulansari memekik beringas. Pedang Dewi di

tangan kanannya ditusukkan dalam-dalam ke leher

Supitmantil. hingga menembus sampai ke tanah.

Wulansari tak berusaha mencabut senjata itu, seperti

sengaja membiarkannya terus tertancap di leher

Supitmantil, lelaki yang disangkanya benar-benar

sangat mengasihinya, tetapi ternyata srigala berbulu

domba yang telah menipu dan menghancurkan hidup-

nya.

 Ketika dia membalikkan tubuh, pandangannya

membentur Mahesa Kelud. Ingin sekali dia memeluk

Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia me-

rasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang

tak layak melakukan hal itu. Maka dibawah hujan

lebat Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di

tangga serambi dan menangis dengan kedua tangan

ditutupkan ke wajah.

 Mahesa Kelud melangkah mendekati mayat Su-

pitmantil, mencabut pedang sakti yang menancap


di lehernya lalu menendang mayat lelaki itu hingga

mental jauh ke lereng gunung. Pedang Dewi 

kemudian diletakkannya di tangga serambi, di 

samping Wulansari. Tak ada hal lain yang bisa 

dilakukan oleh Mahesa selain bertekad meninggalkan 

tempat itu membawa segala kesengsaraan dan 

kehancuran hatinya. Sebenarnya ingin dia 

mengatakan sesuatu pada Wulansari, namun bibirnya 

terasa berat dan lidahnya seperti kelu kaku. Dia hanya 

bisa memandangi Wulansari beberapa jurus lamanya 

Ketika membalikkan diri hendak pergi, dibawah deru 

hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar 

suara seseorang.

 "Murid-muridku! Tabahkan hati kalian mengha-

dapi cobaan yang besar dan berat ini . !"

 Wulansari turunkan kedua tangannya yang me-

nutupi muka dan memandang ke depan. Sedang

Mahesa cepat membalik.

 "Guru!" seru keduanya hampir bersamaan Ke-

duanya menjura hormat.

 Di halaman sana, dibawah hujan lebat tegak se

orang sangat tua, berambut putih laksana kapas.

Mukanya meskipun tua tapi masih licin, janggut dan

kumisnyapun juga putih. Di bahu kirinya kelihatan

seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si

Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan

sepasang pedang sakti serta ilmu Dewa Pedang Dela-

pan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.

 "Kalian berdua dengarlah ..." Suara Tanpa Rupa

kembali berkata. "Jika ada manusia paling bersalah

dalam persoalan kalian, orang itu itu adalah aku si

tua buruk ini. Mahesa . . . aku telah menikahkan

istrimu dengan Supitmantil tanpa melakukan pe-

nyelidikan. Aku benar-benar merasa bersalah .. ."

 Terdengar tangis Wulansari meninggi. Mahesa


tegak termangu lalu berkata: "Guru, tak ada yang

salah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir

dan kehendak Tuhan . .. Kita manusia hanya 

menerima nasib."

 Suara tangis Wulansari semakin memilukan.

 "Tak lama setelah aku menikahkan mereka, ada

timbul satu kecurigaan dalam hatiku. Namun karena

ada satu pekerjaan yang harus kurampungkan, baru

saat ini aku bisa muncul disini. Ternyata kedatangan-

ku sudah terlambat..."

 "Guru, apa pun yang telah terjadi aku tetap

menghormatimu," kata Mahesa. Dia mengusap muka-

nya yang basah oleh air hujan lalu menyambung:

"Guru, izinkan aku pergi sekarang . . ."

 "Tunggu, jangan pergi dulu muridku," kata

Suara Tanpa Rupa.

 Saat itu Wulansari telah berdiri sambil pegangi

Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di

tangan kiri. Dia melangkah kehadapan Suara Tanpa

Rupa seraya berkata: "Guru, aku merasa tidak layak

lagi memegang senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor.

Biarlah kuserahkan kembali padamu . .."

 "Tidak muridku. Apa yang telah kuberikan pada-

mu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pe-

dang itu ke dalam sarungnya Mari kita bicara di

dalam rumah ..."

 Wulansari menggeleng, suaranya terbata-bata.

Tak jelas apa yang dikatakannya kemudian. Mata-

nya sekilas memandang pada Mahesa Hatinya han-

cur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan ke-

inginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi kenyata-

an padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan

dirinya. Lalu apakah gunanya hidup ini dengan se-

tumpukan kesalahan dan dosa yang membungkus 

dirinya?


Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali.

Baik Mahesa, maupun Suara Tanpa Rupa yang 

berada dekat dengan Wulansari tak mampu 

mencegahnya, ketika perempuan itu tiba-tiba sekali 

menusukkan pedang merah sakti itu ke dadanya.

 "Wulan!" seru Mahesa seraya melompat ke depan.

 Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang ta 

ngan muridnya Tapi keduanya tetap sama terlambat

 Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus

 sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya

 menatap ke arah Mahesa. Pandangan itu kemudian

 berbinar-binar sayu. Ketika Mahesa mendukung tu-

 buhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu

 bagus menawan itu kini terkatup terpejam dan tak

 akan pernah lagi terbuka.

 Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin

 deras. Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di

 puncak gunung Muria itu.

 

                                TAMAT






0 komentar:

Posting Komentar