KARYA : BASTIAN TITO
OMBAK BERDEBUR tenang. Angin laut bertiup
sejuk mengandung garam. Di timur sang surya
menyembul agak kemerahan. Mahesa Kelud
menyeka keringat yang bercucuran di keningnya,
meletakkan cangkul dan memandang pada
perempuan muda berparas cantik di depannya.
"Sudah cukup dalam," kata pemuda ini.
"Ya. Jenazah gurumu sudah bisa dikubur,"
menjawab Dewi Maut.
Keduanya melompat keluar lobang yang mereka
gali. Mahesa memanggul jenazah Emban Jagatnata
alias Simo Gembong yang menemui kematian
dengan cara bunuh diri. Dewi Maut kembali turun ke
dalam kubur untuk menyambuti jenazah itu. Sebelum
tanah ditimbunkan keduanya memandang terakhir kali
pada muka buruk dan tubuh berlumuran darah si
kakek. Yang satu adalah bekas murid, yang satu lagi
pemah menjadi kekasih dimasa muda.
Diatas tanah kubur yang merah itu Mahesa
kemudian menancapkan patahan cabang pohon
kemboja. Sesaat dia tegak merenung dihadapan
makam gurunya. Guru yang telah mengakui
kejahatannya dimasa lalu. Guru yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Tanpa berpaling
pada perempuan di sebelahnya Mahesa berkata: "Aku
harus pergi sekarang. Aku titip makam Embah
Jagatnata padamu ..
Paras Dewi Maut berubah, khawatir dan juga
kecewa.
"Bukankah . . . bukankah kau bermaksud tinggal
disini?"
Mahesa gelengkan kepala.
"Hal itu sudah kuberitahu pada gurumu," kata Dewi
Maut.
Kembali pemuda itu menggeleng.
"Tak mungkin aku tinggal disini Dewi. .."
"Kalau kau suka kau boleh panggil aku Sutri. Tak
usah dengan sebutan yang sebenarnya akupun
tidak senang . . ." kata Dewi Maut alias Sutri. "Me-
ngapa tak mungkin kau tinggal disini? Kau tak suka
padaku..."
"Kau perempuan cantik. Kecantikanmu luar bia-
sa. Semua lelaki tentu suka padamu," sahut Mahesa
pula.
"Aku tak ingin disukai semua lelaki. Cukup hanya
kau sendiri. Aku sudah menyusun rencana. Kita
hidup berdua disini. Semua anak buahku akan ku-
suruh pergi..."
"Maafkan aku Sutri. Permintaanmu tak mungkin
dikabulkan ..."
"Sebabnya?"
"Aku sudah beristri. Saat ini aku harus kembali
ke gunung Muria menemuinya. Sudah terlalu lama
dia kutinggalkan."
"Aku tahu kau sudah punya istri. Tapi apakah
itu menjadi halangan ... ?"
Ucapan itu memberi kenyataan pada Mahesa
bahwa Sutri bersedia jadi istrinya yang kedua. Namun
bagaimanapun dia tak ingin melakukan hal itu. Cinta
kasihnya terhadap Wulansari melebihi cinta kasih ter-
hadap siapapun.
Dewi Maut maklum kalau Mahesa benar-benar tak
akan bisa mengabulkan permintaannya. Maka diapun
berkata: "Aku tidak memaksa. Hanya ... apakah kita
tak akan bertemu lagi?"
Diam-diam Mahesa merasa kasihan juga terhadap
perempuan muda yang cantik itu, walaupun dia tahu
bahwa dibalik wajah jelita dan tubuh yang elok mulus
itu sebenarnya adalah wajah seorang nenek dan
tubuh kurus keriput. Hanya karena ilmu awet muda
yang diterimanya dari gurunya Dewi Cabut Nyawa
maka Sutri tetap memiliki wajah dan tubuh seperti
yang terlihat saat itu.
"Selama ombak masih berdebur dipantai pulau
ini, selama air laut masih biru, kita pasti akan ber-
temu lagi Sutri. Aku menghormatimu sebagaimana
aku menghormati guru ..."
Pedih hati Sutri mendengarkan ucapan itu. Yang
diinginkannya bukan dihormati, tapi dicintai. Tapi
apa boleh buat, mengemispun tak akan terkabul.
"Sebelum aku pergi ada satu permintaanku,"
kata Mahesa.
Sutri menatap paras pemuda itu sejurus lalu ber-
tanya: "Permintaan apa?"
"Pulau ini memiliki alam yang indah. Didiami
oleh perempuan-perempuan yang cantik jelita. Apa
salahnya kalau diisi dengan kehidupan yang baik
hingga semuanya menjadi satu kesatuan yang
lestari?"
"Apa maksudmu Mahesa?" tanya Dewi Maut tak
mengerti.
"Aku ingin kau meninggalkan cara hidupmu di
masa lalu. Yang penuh darah dan nyawa. Apa nik-
matnya hidup seperti itu selain mencari musuh,
mengundang malapetaka? Padahal dengan ilmu
yang tinggi, dengan anak buah yang setia, kau bisa
menjadi tokoh persilatan yang disegani dan dihormati
dalam rimba persilatan . . ."
Sejurus Dewi Maut termenung.
"Maksudmu . . . kalau aku mengikuti permintaanmu
itu, kau juga akan memenuhi permintaanku?
Tinggal disini?"
Mahesa tersenyum. Senyum yang membuat Dewi
Maut menahan nafas.
"Aku tidak mengatakan demikian Sutri.
Permintaanku hanya satu permintaan belaka, lain
tidak. Tak ada pamrih tak ada syarat. Aku melihat itu
satu-satunya jalan hidup yang baik bagimu ..."
"Aku tak tahu apa bisa mengabulkan perminta-
anmu itu Mahesa. Tapi aku berjanji akan memikir-
kannya .. ."
"Terima kasih. Kalau begitu aku minta diri se-
karang ..."
"Tunggu dulu," ujar Dewi Maut.
"Ada hal lain lagi?" tanya Mahesa.
Sreett!
Perempuan itu buka gulungan pedang Samber
Nyawa di tangan kanannya. Sinar hitam menggidik-
kan memancar.
Mahesa Kelud terkesiap dan melangkah mundur.
Sebaliknya Dewi Maut tersenyum.
"Kau tak usah takut Mahesa. Aku tidak akan me-
nusukmu dengan senjata ini. Aku merasa pedang
sakti ini sebaiknya berada di tanganmu . . . Ambillah!"
"Ah! Kau baik sekali!" sahut Mahesa. "Tapi aku
tak berani menerimanya. Lagi pula aku sudah cukup
memiliki beberapa senjata."
"Ditambah yang satu ini kau akan menjadi pen-
dekar tak terkalahkan. Kau akan merajai dunia per-
silatan!"
"Aku tak inginkan hal itu . .."
"Kau benar-benar aneh," ujar Sutri pula. "Setiap
pendekar ingin menjadi orang yang terpandai dan ter-
hebat. Ingin menggenggam dunia persilatan dalam
tangannya. Tapi kau tidak . . . ? Bagaimana ini?"
"Karena ilmu yang kumiliki bukan bertujuan
Kedua untuk berbuat kebaikan, menolong mereka
yang membutuhkan dan menghancurkan mereka
yang jahat..."
"Menghancurkan mereka yang jahat! Nah, bukankah
dengan pedang Samber Nyawa ini kemampuanmu
untuk melakukan itu jadi berlipat ganda?"
"Pendapatmu memang betul. Tapi sekali lagi,
terima kasih. Aku sudah memiliki senjata yang dapat
diandalkan. Kau pegang sajalah pedang mustika itu.
Kurasa lebih besar manfaatnya jika berada ditangan-
mu ..."
Sutri terdiam. Lalu dengan suara perlahan dia
berkata: "Jika kau tak mau menerimanya, kurasa
akupun belum berani memilikinya. Biarlah senjata
ini untuk sementara kusimpan di perut bumi!"
Habis berkata begitu Dewi Maut alias Sutri
hunjamkan pedang Samber Nyawa ke atas makam
Simo Gembong, pada samping kiri. Senjata sakti itu
amblas dan lenyap ke dalam tanah!
Kejadian itu membuat Mahesa menyadari bahwa
sebenarnya dalam diri Dewi Maut masih terdapat un-
sur-unsur kebaikan. Maka dia melangkah lebih dekat,
memegang kedua tangan perempuan itu dan berkata:
"Aku percaya kau mau memenuhi permintaanku
tadi..."
Sepasang mata Sutri tampak berkaca kaca. Pe-
gangan jari-jari tangan si pemuda terasa hangat dan
kehangatan itu menjalar ke sekujur tubuhnya. Diam-
diam diapun mengetahui bahwa sebenarnya pemuda
ini menyukainya. Hanya saja dunia mereka saat itu
masih dipisahkan oleh satu jurang lebar serta dalam.
Dan Sutri hampir tak percaya ketika tiba-tiba Mahesa
merundukkan kepala. Wajah mereka berhimpitan.
Dan Sutri merasakan kecupan hangat pada bibirnya
yang merah. Perempuan ini pejamkan matanya. Ke-
dua tangannya merangkul ke depan hendak memeluk
Mahesa. Tapi dia merangkul angin. Ketika kedua ma-
tanya dibuka, dilihatnya pemuda itu sudah berada
jauh di pantai sebelah barat.
Sutri memegang bibirnya yang tadi dikecup. Air
matanya berlinangan.
“Tuhan . ..” katanya dengan suara berbisik meng-
geletak. “Lindungi orang yang kukasihi itu …”
Kemudian tiba-tiba saja wajah perempuan itu
menjadi sangat merah. Tuhan! Barusan dia menyebut
nama Tuhan. Setelah puluhan tahun hidup dalam ke-
sesatan!
oOo
MESKIPUN Simo Gembong atau Embah Jagatnata
telah menemui kematian, namun beberapa tokoh
rimba persilatan masih tetap di cengkam rasa
khawatir. Kekawatiran ini adalah setelah mereka
menyetahui bahwa ternyata kakek jahat
berkepandaian tinggi itu memiliki seorang murid
bernama Mahesa yang kepandaiannya bahkan tidak
dibawah sang juru. Selain itu diketahui pula bahwa
Dewi Maut yang diam di Lembah Maut Pulau
Mayat, sebenarnya adalah kekasih Simo Gembong
walau pada masa mudanya dia telah dikecewakan.
Rasa kawatir semakin bertambah melihat bahwa
Dewi Maut memiliki pedang Samber Nyawa, satu
senjata mustika yang dianggap paling hebat dalam
dunia persilatan. Siapa yang memilikinya kalau sen-
jata itu berada di tangan manusia jahat seperti Dewi
Maut.
Terdorong oleh rasa kawatir itu, ditambah oleh
dendam yang seolah-olah masih belum pupus maka
Datuk Ular Muka Tengkorak mengundang beberapa
tokoh persilatan untuk menyusun rencana apa yang
harus dilakukan sebelum dunia persilatan kembali
ditimpa bencana.
Seperti ketika dulu menyusun rencana pengejaran
atas diri Simo Gembong, maka pertemuan rahasia
itupun diadakan di tempat yang sama. Yakni di sebu-
ah rumah kayu bertingkat di lereng sebuah bukit.
Di kepala meja duduk Datuk Ular Muka Tengkorak,
bertindak sebagai pemimpin pertemuan. Di sebelah
kanannya duduk Pendekar Kembang Merah.
Kedua tokoh silat ini sebelumnya telah mengejar
Simo Gembong sampai ke Pulau Mayat. Saat itu me-
reka bersama-sama dengan pendekar Kelabang
Hitam dan Ki Ampel Sampang, pengurus pesantren
Megasuryo. Kedua tokoh yang terakhir ini mengalami
nasib malang. Mereka tewas di tangan Simo
Gembong.
Di secelah kanan Pendekar Kembang Merah
tampak seorang kakek berkulit putih bulai. Rambutnya
pendek putih, sepasanj alis bahkan bulu matanya
juga tampak putih. Mukanya licin dan dia mengena-
kan pakaian serba putih yang membuat keadaan diri-
nya terasa aneh untuk dipandang. Dia adalah wakil
ketua pesantren Megasuryo, pesantren dimana Ki
Ampel Sampang duduk sebagai pengurus. Kematian
Ki Ampel Sampang diterima denyan rasa kaget oleh
ketua pesantren dan seluruh pengurus serta anak
murid. Ketika Datuk Ular menyampaikan undangan
maka sang ketua tidak ragu-ragu untuk mengirimkan
wakilnya itu. Bukan saja untuk membicarakan apa
yang akan mereka lakukan, tetapi juga guna me-
nyelidiki kematian Ki Ampel Sampang. Dibanding-
kan dengan kawannya yang tewas di tangan Simo
Gembong maka sang Wakil Ketua yang bernama
Gambir Putih memiliki kepandaian dua tingkat
lebih tinggi.
Di ujung meja yang lain, yakni di hadapan Datuk
Ular duduk seorang perempuan berwajah pucat.
Rambutnya tergerai. Pandangan matanya dingin.
Di atas meja dihadapannya terletak sebuah rebab
berikut alat penggeseknya. Perempuan ini bukan
lain adalan Dewi Rebab Kencana yang dimasa
mudanya pernah dirusak kehormatannya oleh Simo
Gembong.
Pada sisi meja sebelah kiri duduk berjejer dua
orang tua berpakaian aneh. Yang pertama berbadan
kurus, berambut panjang awut-awutan dan mengena-
kan pakaian kumal penuh tambalan. Sementara du-
duk dia tiada hentinya tersenyum dan tertawa kecil,
kelihatannya seperti kurang waras. Orang tua ini di-
kenal dengan julukan Pengemis Sableng. Disebelah-
nya duduk orang tua yang memiliki wajah mirip kare-
na dia bukan lain memang adik kembar Pengemis
Sableng. Si adik kembar ini berpakaian gombrong
berwarna kuning yang juga penuh tambalan tetapi
bersih. Di tangan kanannya ada sebuah kipas putih.
Walaupun saat itu udara malam cukup dingin tapi
anehnya dia terus saja berkipas-kipas. Adik Pengemis
Sableng ini dikenal dengan julukan Pengemis
Berkipas Putih.
Tiba-tiba Pengemis Sableng menguap lebar-lebar.
Sambil kucak-kucak matanya dia berkata: "Mataku
mulai mengantuk. Kalau pertemuan ini belum juga
dimulai bagusnya aku tidur dahulu!"
"Sst . . . Jangan bicara melantur!" memperingatkan
adik kembar Pengemis Sableng. Lalu dia berpaling
pada Datuk Ular dan bertanya: "Datuk, apakah masih
ada sahabat yang kita tunggu?"
"Tidak", jawab sang Dotuk. "Sahabatku Pengemis
Berkipas Putih tampaknya sudah tidak sabaran. Mari
kita mulai perundingan."
Datuk Ular lalu membuka pertemuan itu dengan
menuturkan apa yang telah dilakukan oleh Simo
Gembong dan apa yang kemudian terjadi dengan ke-
kek jahat tersebut. Dia mulai dengan memberi pen-
jelasan silang sengketa apa yang terjadi antara dia.
Pendekar Kembang Merah serta Dewi Rebab
Kencana dengan Simo Gembong. Lalu pengejaran
yang dilakukan ketika diketahui kakek sakti itu
muncul kembali setelah sekian tahun lenyap tak
diketahui berada dimana. Diceritakan pula tentang
kematian yang dialami Ki Ampel Sampang serta
Kelabang Hitam. Lalu ditutup dengan kematian Simo
Gembong di Pulau Mayat. Mati bunuh diri
"Sebenarnya." kata Datuk Ular, "dengan matinya
Simo Gembong kita bisa merasa lega. Namun ada ke-
nyataan baru yang membuat beberapa diantara kita
merasa kawatir. Kenyataan itu ialah bahwa Simo
Gembong memiliki seorang murid berpakaian luar
biasa tinggi. Dia ikut menyaksikan kematian gurunya.
Dan aku yakin dia menanam dendam kesumat ter-
hadap kita. Hal itu jelas kulihat dari sinar yang me-
mancar dikedua matanya. Karenanya sebelum murid
Simo Gembong menimbulkan bencana baru, aku me-
rasa perlu mengundang sahabat sekalian guna mem-
bicarakan apa yang bakal kita lakukan. Ini adalah hal
paling utama dan paling penting dalam pertemuan
ini. Hal kedua yang tak kalah pentingnya ialah ten-
tang Dewi Maut yang bercokol di Pulau Mayat. Kira-
nya para sahabat disini sudah mengetahui kejahatan
perempuan itu. Dia tidak lebih baik dari Simo Gem-
bong. Celakanya senjata nomer satu di dunia
persilatan yaitu sebilah pedang hitam bernama
Samber Nyawa berada di tangan perempuan iblis
itu. Aku dan Pendekar Kembang Merah telah
menyusun satu rencana. Entah apakah para sahabat
disini menyetujui dan bersedia menjalankannya
bersama-sama ..."
"Jika dapat disimpulkan," yang bicara kini adalah
Pendekar Kembang Merah, "ada dua hal pokok
yang jadi pembicaraan. Pertama soal murid Simo
Gembong yang bernama Mahesa itu. Dan kedua
soal Dewi Maut. Kita selesaikan dulu yang pertama,
baru yang kedua."
"Betul," sahut Datuk Ular seraya memandang
berkeliling meja. "Bagaimana pendapat para saha-
bat?"
"Aku sangat setuju kita tangani dulu soal pertama,"
buka suara kakek bulai bernama Gambir Putih.
"Bukan saja karena Simo Gembong telah membunuh
pengurus pesantren kami, tapi juga karena tindak tan-
duk muridnya pasti akan menimbulkan bahaya bagi
kita kelak ciikemuJian hari."
Pengemis Berkipas Putih manggut-manggut sambil
tiada hentinya berkipas. Sementara kakak kembarnya
tertawa-tawa terus.
"Aku turut mana baiknya saja Datuk", berkata
Pengemis Berkipas Putih. "Terus terang saja aku dan
kakakku mendapat tugas khusus dari seorang
pejabat Keraton. Tugas itu atas permintaan
bangsawan Prajadika yang telah kematian
puteranya. Dibunuh oleh Mahesa. Disamping itu
kami juga ditugasi untuk mencari dan menangkap
seorang pengkhianat bernama Supitmantil. Dia
banyak memberi bantuan pada Mahesa hingga
pemuda itu berhasil melarikan diri setelah ditangkap."
"Terima kasih atas penjelasanmu itu Pengemis
Berkipas Putih. Sekaligus kau juga telah mewakili
kakakmu." Datuk Ular memandang pada Dewi
Rebab. "Kita belum mendengar pendapat Dewi.
Silahkan bicara .. ."
Perempuan bermuka pucat itu mengetuk-ngetuk-
kan jari tangannya ke atas badan rebab hingga
mengeluarkan suara yang membuat Datuk Ular dan
lain-lainnya merasa tidak enak. Sesaat kemudian baru
perempuan ini membuka mulut. Dan ini merupakan
satu pertanyaan.
"Datuk, bisakah kau menerangkan lebih jelas.
Rencana apa sebenarnya yang hendak dilakukan ter-
hadap pemuda bernama Mahesa itu?"
"Apalagi! Kita harus mencegahnya membalaskan
dendam kematian gurunya!" jawab Datuk Ular.
"Caranya?" tanya Dewi Rebab lagi.
"Meringkusnya. Membunuh kalau perlu!" Yang
menjawab adalah Pendekar Kembang Merah.
Paras Dewi Rebab tetap pucat bahkan kini menjadi
tambah dingin pandangannya. Kemudian tampak
perempuan ini geleng-gelengkan kepala.
"Kita, atau siapapun disini tidak punya cukup
alasan untuk melakukan hal itu terhadap pemuda
tersebut!" kata sang dewi tandas.
"Eh! Kami berdua yang paling punya alasan!"
jawab Pengemis Berkipas Putih. "Pemuda itu telah
membunuh Prajakuncara, putera hartawan
Prajadika! Dia patut ditangkap dan dibunuh.
Kalaupun diadili putusan hukuman jelas digantung
sampai mati!"
"Itu betul sahabatku," menjawab Dewi Rebab.
"Tapi apakah kau tahu mengapa pemuda itu sampai
membunuh Prajakuncara? Karena Prajakuncara
menculik kekasihnya dan hendak memperkosanya!"
Ruangan ditingkat atas itu kini menjadi sunyi.
Untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara.
Suasana menjadi tidak enak. Datuk Ular batuk-batuk
beberapa kali lalu berkata: "Dewi, kau benar. Praja-
kuncara punya kesalahan. Tapi itu bukan berarti
setiap orang bisa menjatuhkan hukuman seenak-
nya .. ."
"Kalau begitu mengapa kita ingin melakukan
dan menjatuhkan hukuman seenaknya terhadap
pemuda itu?" tukas Dewi Rebab.
"Kita tidak bertindak begitu Dewi. Itulah sebabnya
mengapa kita mengadakan pertemuan disini!" angkat
bicara Pendekar Kembang Merah.
"Para sahabatku," kata Dewi Rebab. "Sepanjang
yang aku ketahui, pemuda ini bukan bangsa manusia
jahat. Dia seorang murid yang patuh pada gurunya.
Tak ada yang perlu kita takutkan terhadapnya. Kalian
tentu ingat apa kata-kata Simo Gembong padanya
sebelum mati. Apa pun yang kita lakukan terhadap
gurunya, pemuda itu tak boleh menaruh dendam ter-
hadap kita!"
"Tapi siapa yang menjamin pemuda itu benar-
benar mengikuti pesan gurunya dan tidak membuat
kita celaka dikemudian hari?" ujar Datuk Ular.
"Kalau dia memang ingin menuntut balas, ketika
gurunya mati tentu dia sudah menyerbu kita selagi
masih di Pulau Mayat. Harap maafkan, tapi aku tidak
setuju kita mencari silang sengketa dengan pemuda
yang tidak punya salah apa-apa itu. Jika Pengemis
Berkipas Putih dan Pengemis Sableng ingin menerus-
kan maksud itu masih pantas karena mereka menda-
pat tugas dari pejabat Keraton. Tapi aku dan yang
lain-lainnya tidak punya hak apa-apa. Apapun dosa
Simo Gembong dimasa lalu tidak ada sangkut paut-
nya dengan diri muridnya . . ."
"Ah, rupanya Dewi Rebab Kencana merasa
sungkan mengambil tindakan. Mungkin karena meng-
ingat pemuda itu masih memiliki beberapa guru dan
sahabat yang kepandaiannya tidak bisa dibuat
main . . . ?"
"Dalam persoalan ini aku tidak memandang siapa-
pun!" sahut Dewi Rebab yang merasa tidak enak atas
ucapan Datuk Ular tadi. "Aku hanya memandang
pada garis kebenaran. Jika kita ingin menegakkan
kebenaran mengapa kita harus menempuh jalan
salah? Maaf, aku tidak setuju kita menangkap apalagi
membunuh pemuda itu. Tapi aku setuju jika kita me-
lakukan sesuatu terhadap Dewi Maut..."
Kembali ruangan di tingkat atas bangunan kayu
itu menjadi sunyi.
Karena tak ada yang bicara maka Dewi Rebab
berdiri. "Hari ini kita berselisih pendapat. Tapi
dikemudian hari kalian akan melihat kenyataan bahwa
apa yang aku katakan adalah benar!" Dewi Rebab
mengambil rebab dan penggeseknya. Justru pada
detik itu pula tiba-tiba dia berteriak keras dan mendo-
ngak ke wuwungan bangunan.
"Siapa diatasi" membentak Dewi Rebab. Rebab-
nya digesekkan. Terdengar suara melengking tinggi.
Sinar putih kekuningan menyambar atap hingga
hancur. Disaat yang sama terdengar suara orang me-
mekik.
"Kena!" teriak Pendekar Kembang Merah.
Dewi Rebab sudah melompat ke atas atap
bangunan. Datuk Ular dan yang lain-lainnya me-
nyusul. Malam gelap dan dingin. Tak ada seorangpun
yang kelihatan walau tadi jelas terdengar suara orang
terpekik kesakitan. Di ujung atap yang roboh Dewi
Rebab membungkuk memungut sebuah benda.
Benda ini ternyata secarik potongan kain berwarna
biru yang tampak hangus.
oOo
APAKAH ada sesuatu petunjuk?" bertanya Datuk
Ular.
"Ya, siapa yang tadi mendekam di atas atap
mencuri dengar pembicaraan kita?!" timpal Pendekar
Kembang Merah sementara Pengemis Sableng cuma
tertawa-tawa saja sedang adiknya terus pula
berkipas-kipas.
"Tidak . . . tidak ada petunjuk apa-apa! Orang itu
keburu melarikan diri," jawab Dewi Rebab Kencana
dan diam-diam menggenggam potongan kain warna
biru yang hangus dalam telapak tangan kirinya.
Datuk Ular merasa tidak enak. Jelas perempuan
muka pucat itu tadi memungut sesuatu. Namun
karena tak ingin berbantahan maka diapun tak
berkata apa-apa.
Sebaliknya Dewi Rebab berkata: "Sahabat sekalian.
Jalan pikiran kita masing-masing sudah nyata.
Jika membasmi Dewi Maut aku bersedia ikut tapi
untuk mencari perkara dengan pemuda yang tidak
punya dosa dan kesalahan itu kurasa tidak pada tem-
patnya ..."
Setelah berkata begitu Dewi Rebab menjura pada
kelima tokoh silat dihadapannya lalu sekali berkelebat
maka tubuhnyapun lenyap dari atas atap itu. Datuk
Ular dan empat orang lainnya melayang turun ke
tanah.
"Sayang dia tidak mau ikut kita," kata Pendekar
Kembang Merah karena menyadari kehebatan ilmu
yang dimiliki Dewi Rebab.
"Tak usah kecewa" ujar Datuk Ular memberi se-
mangat. "Kita berlima masakan tidak dapat meng-
hadapi pemuda itu. Bagaimanapun tinggi kepandaian-
nya dia tetap seorang pemuda ingusan!"
DEWI REBAB lari laksana angin. Bayangannya
tampak menuju ke selatan. Rambutnya tergerai se-
perti tegak di belakang kepala saking cepatnya dia
berlari. Selang sepeminuman teh, dia mulai dapat
mendengar suara lari orang yang dikejarnya. Tak
lama kemudian dia sudah melihat orang tersebut.
Orang yany lari di sebelah depan berpakaian biru.
Sebentar-sebentar dia lari sambil memegangi bagian
perutnya. Wajahnya meringis. Pertanda bahwa dia
menderita sakit di bagian tubuhnya itu. Ketika sesaat
dia berhenti untuk meneliti perutnya. Dewi Rebab
tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Rebab di
tangan kiri, penggesek di tangan kanan siap untuk
digesekkan.
"Hem . . . kau rupanya!" ujar Dewi Rebab."Aku
sudah sangka! Mana kawan-kawanmu yang lain?!"
"Aku hanya seorang diri!" jawab si baju biru
yang nyatanya adalah seorang gadis berparas cantik.
"Jangan dusta! Atau kau mampus detik ini juga!"
Dewi Rebab angkat tangan kanannya yang
memegang penggesek rebab.
"Aku tidak dusta! Matipun aku tidak takut!"
jawab si biru.
"Hemm ... Kau punya nyali juga . .."
"Hai! Kau hendak membunuh aku! Mengapa
tidak melakukan?!" menantang gadis baju biru itu.
Dewi Rebab Kencana tertawa dingin.
"Sebelum kau kubunuh, katakan mengapa kau
mencuri dengar pembicaraan kami diatas atap ba-
ngunan?"
"Aku tidak mencuri dengar. Hanya kebetulan lewat”
"Lalu mengintai dan pasang kuping!" sambung
Dewi Rebab.
"Terserah kau mau menuduhkan apa!"
"Heran, kau berada seorang diri. Jauh dari Pulau
Mayat. Apa yang tengah kau selidiki?!"
"Aku tidak menyelidiki apa-apa. Aku memang
minggat dari Pulau itu!" jawab si biru.
"Minggat . . . Hik . . . hik . . . hik. Lucu sekali
kedengarannya. Pasti ada sebab lantaran mengapa
kau minggat. Ayo katakan!"
"Itu urusanku! Mengapa kau mau tahu!"
"Baiklah. Sekarang apakah kau sudah siap untuk
mati?"
"Aku sudah siap dari tadi!"
Paras Dewi Rebab pucat dan sedingin es. Tangan
kanannya bergerak. Pengyesek rebab tiba-tiba
diayunkan. Gerakan tangannya perlahan saja tapi
deru angin yang terdengar keras luar biasa. Si biru
yang diserang tak tinggal diam. Cepat dia cabut
pedang hitam di pinggang. Sesaat kemudian sinar
hitam menebar. Ketika angin pukulan Dewi Rebab
membentur taburan sinar hitam, si biru merasa
tangannya yang memegang pedang bergetar keras.
Dia segera maklum kalau tenaga dalam lawan jauh
berada diatas tingkat tenaga dalamnya sendiri. Maka
cepat-cepat gadis melompat kesamping. Dari sini dia
babatkan pedang hitamnya ke pinggang lawan.
Serangan susulan ini cepat sekali, membuat Dewi
Rebab tersentak kaget dan cepatcepat melompat
mundur. Begitu ujung pedang lewat, perempuan
berwajah pucat ini segera menyerbu. Penggesek di
tangan kanannya berkelebat ganas kian kemari,
menghantam gadis berbaju biru dari berbagai
penjuru. Demikian cepat dan derasnya serangan alat
penggesek rebab itu hingga tak beda dengan curahan
hujan lebat!
Dalam waktu sangat singkat gadis berbaju biru itu
terdesak hebat. Bagaimanapun dia keluarkan kepan-
daian dan kerahkan tenaga tetap saja serangan lawan
datang menghimpit. Diam-diam dara itu mengeluh.
"Tahan!" tiba-tiba sang dara berseru seraya me-
lompat mundur. "Antara kita tak ada silang sengketa!
Mengapa kau hendak menurunkan tangan jahat?"
Dewi Rebab tertawa dingin.
"Pertama, kau punya kesalahan. Mengintai dan
mencuri dengar pembicaraan orang. Kedua bukankah
kau sendiri yang tadi minta mati?!"
"Kentut!" maki si biru. Pedang di tangan kanannya
tiba-tiba sekali ditusukkan ke dada Dewi Rebab.
Cepat sekali gerakannya. Ketika ujung pedang hampir
menghunjam dada kanan Dewi Rebab, sang dewi ber-
muka pucat gerakkan tangan kanannya yang me-
megang alat penggesek.
Trang!
Pedang di tangan si biru terlepas mental. Pucatlah
paras dara ini. Meski tahu kini kematian berada di
hadapannya namun dia tak mau lari malah sebaliknya
jatuhkan diri seraya berkata: "Kau hendak mem-
bunuhku! Bunuhlah!"
Dewi Rebab ayunkan tangan kirinya yang me-
megang rebab. Bagian badan alat bebunyian ini men-
deru ke batok kepala gadis berbaju biru. Sesaat lagi
kepala itu akan pecah dan sang dara lepas nyawanya
tiba-tiba ada angin deras datang dari samping. Demi-
kian derasnya hingga Dewi Rebab merasakan tubuh-
nya bergoncang lalu terdorong ke kiri. Pukulan
rebabnya ke kepala si gadis luput!
"Kurang ajar! Siapa yang berani turun tangan ikut
campur urusan orang!" Dewi Rebab membentak
marah. Seluruh tenaga dalamnya disalurkan ke
tangan kanan hingga alat penggesek yang
dipegangnya bergetar keras. Dia sudah siap memukul
ketika ada suara terdengar berkata.
"Kau yang berhati agung, kenapa hendak mem-
bunuh dara yang telah menyerahkan diri dan tak ber
daya?!"
Teguran yang dilakukan dengan suara bernada
lembut sabar tapi penuh penyesalan itu membuat
Dewi Rebab sesaat tercekat. Dia palingkan balikkan
badan. Tangan yang tadi diangkat ke atas siap me-
lepaskan pukulan maut perlahan-lahan diturunkan
begitu dia mengenali siapa adanya orang yang tadi
menegur. Orang ini tegak delapan langkah dihadap-
annya, tegap dan gagah.
"Kau ... " ujar Dewi Rebab sementara gadis
berpakaian biru yang tadi berlutut tundukkan kepala,
kini angkat kepalanya dengan cepat.
Hampir seperti kagetnya Dewi Rebab begitu
pula terkejutnya si baju biru. "Hai! Dia rupanya . . .
Berbulan-bulan aku mencari ternyata kini dia muncul
sendiri malah menyelamatkan nyawaku!"
KITA kembali dulu pada Datuk Ular, Pendekar
Kembang Merah dan tiga tokoh silat lainnya yang
masih berada di bangunan kayu bertingkat. Setelah
Dewi Rebab meninggalkan mereka. Datuk Ular
memandang pada ke empat tokoh yang ada
bersamanya.
"Tadi jelas kulihat dia memungut sesuatu," kata
sang datuk. "Aku curiga dia telah menemukan satu
petunjuk. Yaitu siapa manusianya yang tadi mengin-
tai diatas atap ..."
"Kukira memang begitu," sahut Pengemis ber-
baju gombrong seraya berkipas-kipas.
"Apa pendapat kalian?" sang datuk bertanya.
"Bagaimana kalau kita mengejar ke arah perginya
tadi?" mengusulkan Pendekar Kembang Merah.
"Jika semua setuju, itu segera bisa kita lakukan”
kata Datuk Ular.
Pendekar Kembang Merah mengangguk. Gambir
Putih mengiyakan. Kakak beradik pengemis kembar
juga mengangguk. Maka ke lima tokoh itupun ber-
kelebat dalam gelapnya malam ke jurusan lenyapnya
Dewi Rebab Kencana tadi.
Kembali ke tempat pertemuan yang tidak ter-
duga. Saat itu hari mulai menjelang pagi. Namun ka-
rena daerah sekitar situ penuh ditumbuhi pohon-
pohon besar berdaun lebat maka keadaannya tetap
gelap pekat. Namun tiga pasang mata yang ada disitu
sanggup menembus kegelapan dan mengenali siapa
orang yang ada di depan masing-masing.
"Bukankah kau Mahesa Kelud. Murid Simo
Gembong?" Meskipun sudah mengenali pemuda
itu namun Dewi Rebab masih bertanya seolah-olah
hendak mencari kepastian.
Si pemuda yang memang Mahesa Kelud adanya,
mengangguk perlahan. Matanya memandang
waspada ke arah tangan kanan Dewi Rebab yang
masih tampak bergetar tanda masih dialiri tenaga
dalam tinggi.
"Mengapa Dewi hendak membunuhnya?" Mahesa
ajukan pertanyaan. Suaranya tetap bernada lembut
sabar seperti tadi.
"Dia sendiri yang minta mati!" sahut Dewi Rebab.
"Minta mati? Betulkah begitu?"
Si biru tak menjawab. Sebaliknya Dewi Rebab
kembali membuka mulut: "Dia melakukan kesalahan
dan aku memergokinya. Ketika ditanya tidak
mengaku . . ."
"Kalau begitu kau dara yang berbaju biru harus
minta maaf pada Dewi Rebab. Memasang telinga
ingin tahu urusan orang lain memang tidak pantas .. ."
"Aku tidak sudi! Aku tidak mencampuri urusannya.
Aku hanya kebetulan lewat. Lalu .. ."
"Lalu ingin tahu dan mengintai diatas atap .. . ?"
sambung Mahesa tersenyum.
Baik Dewi Rebab maupun si baju biru sama-sama
kaget. Jadi apa yang terjadi sebelumnya pemuda ini
pun sudah tahu.
"Sudahlah, jika kau malu minta maaf pada Dewi,
biar aku yang mewakili. Dewi Rebab, aku mohon kau
mau memaafkan kesalahannya."
Paras pucat itu sesaat tampak jengkel. Sang dewi
bertanya: "Apakah kau tahu siapa gadis ini sebenar-
nya?"
"Lebih dari tahu," sahut Mahesa.
"Kalau begitu kau juga tahu bahwa manusia
seperti dia pantas dibasmi?!"
"Dimasa lalu dia memang berbuat kejahatan karena
jadi anak buah Dewi Maut. Tapi tadi kudengar dia
mengatakan sudah minggat dari Pulau Mayat. Pasti
ada sesuatu yang terjadi atas dirinya ..."
"Apapun sesuatu itu bukan urusanku. Dosanya
dimasa lalu terlalu besar!" tukas Dewi Rebab
Kencana.
"Tapi kalau dia ingin bertobat kenapa tidak diberi
kesempatan?" kata Mahesa pula.
"Hai . . ." seru Dewi Rebab. "Pasti ada hubungan
apa-apa antara kau dengan gadis cantik ini. Kalau
tidak mengapa kau membelanya?!"
Mahesa Kelud tertawa.
"Bertemupun baru kali ini. Masakan kau menduga
sejauh itu!" sahut pemuda itu kemudian.
Dewi Rebab tertawa dingin. "Urusan orang muda,
aku yang tua tidak pantas ikut campur. .."
"Siapa bilang kau sudah tua Dewi . . . ?" ujar
Mahesa polos. "Selain cantik kaupun memiliki hati
dan pikiran bijaksana . . ."
Wajah sang dewi yang selalu pucat sesaat tampak
kemerahan. Dan Mahesa menambah bumbu kata-
katanya: "Kalau wajahmu merah seperti itu kau
benar-benar secantik dewi. .."
Seumur hidupnya hanya ada satu orang yang
pernah memuji dan tergila-gila pada kecantikannya.
Manusia itu adalah Simo Gembong yang kemudian
menghancurkan kehidupannya. Dan kini ada orang
kedua memuji seperti itu. Dia adalah Mahesa Kelud,
murid Simo Gembong! Mau tak mau Dewi menjadi
jengah . Tapi bagaimanapun layaknya seorang wa-
nita, pujian akan membuat hatinya berbunga-bunga.
Maka diapun berkata: "Aku tidak akan meng-
ganggu kalian berdua. Hanya saja, kau berhati-hatilah
orang muda ..."
"Berhati-hati bagaimana Dewi?" tanya Mahesa.
"Ada orang-orang yang berniat membunuhmu!"
"Siapa mereka?" kembali Mahesa bertanya.
"Tak dapat kukatakan. Kau kelak akan berhadapan
dengan mereka dalam waktu dekat. .." Habis berkata
begitu Dewi Rebab mengerling melirik ke arah gadis
berbaju biru, mengerling pada Mahesa lalu ber-
kelebat dan lenyap dalam kegelapan malam.
Kini tinggal Mahesa dan si baju biru itu.
Si pemuda mendekat. "Bukankah kau Sembilan
Biru! Anak buah Dewi Maut dari Pulau Mayat?"
tanya Mahesa.
"Betul", jawab si gadis seraya merapikan rambut
dan pakaiannya.
"Kenapa kau berada disini?"
"Kau suuah dengar pembicaraanku tadi dengan
perempuan rambut panjang muka pucat itu. Aku
minggat dari sarang Dewi Maut..."
"Begitu ... ? Ada apa kau sampai minggat?"
"Aku . . . aku hanya tak kerasan tinggal lebih
lama disitu."
"Bagus kalau kau mau meninggalkan kesesatan.
Sekarang kemana tujuanmu?"
Sembilan Biru tak bisa menjawab. Dia melarikan
diri dari Pulau Mayat tanpa tujuan yang pasti. Sejak
dia menincgalkan pulau itu yang terbayang olehnya
hanyalah pemuda bernama Mahesa Kelud yang
sangat menarik hatinya. Dia mengembara berbulan-
bulan menyirap kabar mencari jejak untuk dapat
menemui pemuda itu. Kini setelah berhadap-hadapan
tentu saja dia tak mau menceritakan rahasia dirinya
itu.
Karena orang yang ditanya tak menjawab Mahesa
lalu berkata: "Aku harus pergi sekarang. Kau hati-
hatilah menjaga diri.. ."
"Kau mau kemana?" Sembilan Biru bertanya.
"Aku bermaksud ke utara. Menuju gunung Muria.
Untuk menemui istriku .. ."
"Aih . . . !" mengeluh hati kecil sang dara. "Tak
tahunya ternyata dia sudah beristri!" Kepalanya jadi
tertunduk dan hatinya seperti disayat-sayat. Dia
berusaha menahan air mata.
"Selamat tinggal Sembilan Biru. Orang-orang
Pulau Mayat pasti mencarimu. Jika bertemu kau
pasti dibunuhnya. .."
"Matipun sekarang aku tidak perduli! Mengapa
tidak tadi tadi perempuan muka pucat itu mem-
bunuhku saja!" keluh Sembilan Biru dalam hati.
Mahesa sudah siap untuk melangkah pergi. Justru
disaat itu dia melihat gerakan-gerakan cepat berkele-
bat dalam kegelapan. Sembilan Btrupun ternyata juga
sudah melihat gerakan tersebut. Dia menghitung. Ada
lima sosok tubuh mendekam dalam kegelapan, tegak
berpencar dalam sikap mengurung.
"Mahesa Kelud! Kami ingin bicara denganmu!"
satu suara datang dari samping kanan.
Si pemuda diam. Tak menjawab. Tapi dia ingat
betul. Dia pernah mendengar suara itu sebelum-
nya.
LIMA SOSOK tubuh bergerak maju, memperkecil
jarak pengurungan. Mahesa segera mengenali dua
orang diantaranya. Yang pertama bukanlah lain
Datuk Ular Muka Tengkorak sedang yang kedua
Pendekar Kembang Merah. Tiga orang lainnya tak
dikenal ataupun pernah dilihatnya sebelumnya.
"Datuk Ular!" ujar Mahesa. "Kau muncul dalam
gelap seperti ini. Gerak-gerikmu dan kawan-kawan
jelas menunjukkan kau membawa maksud yang tidak
baik!" pemuda ini langsung menuduh.
Datuk Ular menyeringai. Pendekar Kembang Merah
usap-usap pipinya. Pengemis Sableng cengar-
cengir sedang Pengemis berbaju gombrong kuning
tegak sambil berkipas-kipas. Hanya Gambir Putih,
tokoh dari Pesantren Megasuryo yang tampak seperti
tidak sabaran.
"Pertama sekali kami ingin tanya. Apakah kau
membawa pedang Samber Nyawa saat ini . . . ?"
Kembali Datuk Ular buka suara.
"Heh, tua bangka bermuka mayat ini tanyakan
pedang mustika itu. Apakah dia ingin jadi raja diraja
dunia persilatan?" membatin Mahesa. Lalu dia ber-
tanya: "Ada apa kau tanyakan hal itu datuk?"
"Ladahlah, ditanya malah bertanya!" yang bicara
adalah Pengemis berbaju gombrong tambalan.
"Katakan kau membawanya atau tidak?" Gambir
Putih ikut bicara dengan nada keras dan tidak
sabar.
"Kalau aku membawanya kenapa? Kalau tidak
membawa bagaimana?"
Kata-kata Mahesa yang tidak memberi jawaban
jelas ini membuat ke empat orang itu tampak jeng-
kel, kecuali Pengemis Sableng. Dia tetap saja cengar
cengir.
"Jika dia tak mau menjawab terus terang tak
apa," orang tua berkulit bulai berkata pada Datuk
Ular. "Nanti juga kita akan mengetahui!"
Datuk Ular mengangguk.
"Hal kedua yang ingin kami sampaikan," orang
tua ini melanjutkan, "kami akan melakukan sesuatu
terhadapmu. Hingga dikemudian hari kami tidak
mendapat repot jika kau balas dendam . . ."
"Balas dendam soal apa?" tanya Mahesa dan
dalam hati bertanya-tanya heran.
"Jangan berpura-pura tolol" Gambir Putih mem-
bentak. "Gurumu mampus dalam pengejaran kawan-
kawanku ini! Itu hal pertama. Kedua gurumu mem-
bunuh pengurus pesantren kami. .."
"Ketiga," menyambung Pengemis Berkipas Putih,
"kau membunuh putera hartawan Prajadika serta
melakukan tindak kekerasan terhadap orang kaya
itu!"
Mahesa geleng-geleng kepala. "Malam-malam
buta kalian kesasar kemari membawa urusan salah
alamat! Embah Jagatnata sudah meninggal. Perlu apa
kalian masih mengungkit-ungkit kematiannya.
Prajakuncara putera hartawan Prajadika memang
pantas menerima hukuman. Pemuda itu tukang rusak
gadis. Dan ayahnya memang perlu diberi gebukan
karena telah menurunkan tangan jahat terhadapku!"
"Bagus . . . bagus! Ternyata kau pandai berdalih!
Apapun yang akan kau katakan, kami telah memutus-
kan bahwa kau harus menyerahkan tanganmu kiri
kanan untuk dibikin buntung!"
Mahesa Kelud mulai hilang kesabarannya. Amarah
membuat darahnya jadi panas.
"Kalian orang-orang tua berpikiran dan bertingkah
aneh! Mula-mula minta pedang. Lalu minta kedua
tanganku. Nanti apa lagi?"
"Sebenarnya aku inginkan nyawamu anak muda
Hanya sayang kawan-kawan disini kurang menyetujui-
nya!" kembali Gambir Putih bicara.
"Sebelum hukuman dijatuhkan, aku ada satu per-
tanyaan!" Pengemis berbaju gombrong buka mulut.
"Dimana beradanya manusia bernama Supitmantil.
Dia harus ditangkap!"
"Aku tidak tahu dimana pemuda itu berada.
Kalaupun aku tahu tak akan kukatakan pada manu-
sia-manusia macam kalian!" sahut Mahesa pula.
"Kalau begitu, kita bisa segera mulai Datuk!"
kata Gambir Putih.
"Kalian mencari perkara, kalian sendiri akan
dapat getahnya!" Mahesa renggangkan kedua kaki,
memasang kuda-kuda bertahan yang kokoh. "Kawan-
ku gadis berbaju biru ini tak ada sangkut paut
dengan kalian. Jadi biarkan dia pergi!"
Datuk Ular tertawa.
"Siapa kawanmu itu kami sudah tahu. Segala se-
suatu yang berbau Pulau Mayat harus dibasmi!"
"Akupun tak ingin pergi begitu saja!" sahut Sembilan
Biru. "Kalian berlima hendak mengeroyok. Apapun
yang terjadi aku siap membantu kawanku ini!"
"Bagus! Lengkap sudah!" balas Datuk Ular.
Mahesa hendak berteriak pada Sembilan Biru
agar segera meninggalkan tempat itu. Namun saat
itu Datuk Ular sudah loloskan ikat pinggang ular
sancanya dan uari sebelah kiri Gambir Putih telah
pula berkelebat melancarkan pukulan tangan kosong
jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
Pendekar Kembang Merah tampak memasukkan
tangan ke balik pakaian. Pasti mengambil senjatanya
yang ampuh yakni kembang kertas beracun yang
sama kerasnya dengan potongan besi! Lalu Pengemis
Berkipas Putih bergerak dari jurusan sebelah kanan.
Terakhir kakaknya Pengemis Sableng sambil
berteriak-teriak mengangkat kedua tangannya ke
atas, lancarkan serangan aneh seperti monyet
menggapai-gapai!
"Manusia-manusia pengecut!" teriak Sembilan
Biru. Dia lebih dulu bergerak menyongsong lawan
terdekat yakni Pendekar Kembang Merah hingga
orang ini tak berkesempatan mengambil senjata
rahasianya. Pendekar Kembang Merah dengan gusar
hantamkan tangannya ke kepala Sembilan Biru. Si
gadis merunduk sambil melintangkan lengan di atas
kepala untuk menangkis. Dua lengan saling beradu.
Sembilan Biru mengeluh kesakitan. Ternyata
kekuatan lawan masih berada diatasnya. Sambil
sorongkan satu tendangan ke bawah perut Pendekar
Kembang Merah, gadis ini cepat melompat menjauh.
Ini kembali memberi kesempatan bagi orang tersebut
untuk mengambil senjata rahasianya. Tetapi
alangkah kagetnya ketika tiba-tiba tubuh sigadis
berputar aneh dan tendangannya tadi kini membabat
ke arah bawah ketiak. Pendekar Kembang Merah
cepat menyingkir ke kiri dan dari sini lepaskan
pukulan tangan kosong yang ganas, langsung
mengarah dada Sembilan Biru.
Karena tidak bermaksud mengeluarkan Pedang
Dewa ataupun Keris Ular Emas, Mahesa sambut se-
rangan empat lawan dengan jurus "bendungan baja
lawan seribu angin seribu gelombang". Jurus per-
tahanan ini sebenarnya adalah jurus ilmu Pedang
Dewa, namun tetap hebat walaupun dimainkan de-
ngan tangan kosong. Kedua tangan pemuda itu ter-
kembang lebar, menghantam ke depan. Angin seperti
punting beliung menggemuruh. Datuk Ular merasakan
tubuhnya bergoyang lalu cepat gebukkan bangkai
ular di tangannya. Gambir Putih lipat gandakan tena-
ga dalamnya ketika merasakan pukulan tangan ko
songnya tadi seperti tertahan tembok tebal yang tidak
terlihat. Pengemis Sableng berteriak lebih keras
ketika dirasakannya angin serangan Mahesa seperti
hendak menerbangkannya. Pakaian gombrong
Pengemis Berkipas Putih menggelembung seperti
balon. Tapi orang ini tetap tenang. Kipas putih di
tangan kanannya dibuka lebih lebar lalu dikipaskan
ke depan.
Wuut!!!
Angin luar biasa dahsyatnya menyambar panas.
Sembilan Biru cepat menyingkir sebelum kena ter-
serempet hantaman angin jahat ini sedang Mahesa
Kelud kaget bukan main ketika angin yang keluar
dari kipas membuyarkan serangannya. Hingga dia
terpaksa melompat jauh menghindari gebukan kepala
ular serta pukulan Gambir Putih.
Pemuda ini segera tahu kalau diantara lawannya
adalah senjata berupa kipas putih di tangan si penge-
mis baju gombrong yang paling berbahaya. Karena ti-
dak mau berlaku ayal maka dia segera gerakkan ta-
ngan ke balik pinggang. Sinar merah menebar ketika
Pedang Dewa berada dalam genggamannya.
"Pedang Dewa! Senjata bagus! Itu untukku!"
seru Pengemis Sableng. Walaupun otaknya sinting
tapi nyatanya dia mengenali senjata lawan. Tiba-tiba
saja tubuhnya melompat dan kedua tangannya meng-
gapai. Dari mulutnya tak lupa keluar suara teriakan.
Dilain kejap tangan kiri menyambar ke rambut Mahe-
sa sedang tangan kanan menyambar ke tangan yang
memegang pedang. Astaga! Gerakan si Sableng ini
aneh dan luar biasa cepatnya. Kalau tidak lekas ber-
kelit hampir saja tangan Mahesa yang memegang pe-
dang terpegang olehnya!
Begitu tangan kanannya lolos dari sambaran ta-
ngan lawan, Mahesa sodokkan hulu pedang ke perut
Pengemis Sableng. Disaat yang sama ujung pedang
diarahkan ke pada Gambir Putih yang datang meng-
gempur dengan pukulan tangan kosong. Namun Ma-
hesa terpaksa melompat mundur untuk selamatkan
kepala dari sambaran kepala ular. Disaat yang sama
dia mendengar Sembilan Biru terpekik. Sebuah kem-
bang kertas merah menancap di bahu kirinya. Se-
buah lagi tengah melesat ke arah pipinya. Mahesa
cepat putar pedang merahnya menghantam hancur
kembang kertas itu. Lalu pemuda ini keluarkan jurus-
jurus terhebat ilmu pedangnya.
Sinar merah membuntal bergulung-gulung. Namun
hanya satu jurus saja membuat kacau lawan.
Di jurus berikutnya. Pengemis Berkipas Putih yang
agaknya menjadi tukang atur penyerangan mulai
membuat repot kedua muda mudi itu. Keduanya
terdesak ke arah semak belukar rendah di sebelah
kiri. Disini keadaan tanah agak miring menurun hing-
ga memberikan peluang lebih baik pada lima penye-
rang.
Mahesa terpaksa merubah jurus-jurus ilmu pe-
dangnya. Gerakannya tambah sebat. Namun sesekali
perhatiannya terbagi pada Sembilan Biru yang berada
dalam keadaan terluka dan harus membantu gadis ini
dari gebukan kepala ular atau pukulan tangan kosong
lawan-lawannya. Namun satu sambaran angin
dahsyat berkiblat dari kipas sakti di tangan pengemis
baju gombrong menyambar dan Mahesa tidak
berkesempatan untuk menolong Sembilan Biru.
Terdengar pekik gadis itu. Tubuhnya terpental.
Mencelat jauh dalam kegelapan. Lalu terdengar
suara jeritannya. Suara jeritan ini diikuti suara gaung
yang menggema jauh! Ternyata di sebelah belakang
semak belukar itu terdapat sebuah jurang batu sangat
dalam. Dan kesitulah Sembilan Biru terpental setelah
dihantam pukulan kipas!
Mahesa kertakkan rahang. Sinar merah yang keluar
dari Pedang Dewa tampak tambah terang tanpa pe-
muda ini telah lipat gandakan tenaga dalamnya. Kalau
tangan kanan memegang pedang maka tangan kiri
diam-diam disiapkan untuk melancarkan pukulan
karang sewu, yakni pukulan sakti yang sanggup
menghancurkan dinding batu atau batu karang.
Mahesa mendapatkan ilmu pukulan sakti ini dari
seorang kakek sakti bernama Karang Sewu ketika
dipenjarakan seorang nenek jahat berjuluk Nenek
Iblis (Baca:Pedang Sakti Keris Ular Emas jilid-1).
Selain dapat disalurkan ke tangan berupa pukulan,
ilmu kesaktian itu dapat pula dialirkan ke kaki dalam
bentuk tendangan maut.
Jengkel mendapatkan dirinya didesak para penge-
royok dan kecewa karena tidak dapat menolong Sem-
bilan Biru ditambah oleh amarah disebabkan gadis itu
telah celaka dan pasti telah menemui ajal di dasar
jurang batu, maka Mahesa mengamuk dengan
keluarkan jurus ilmu pedang bernama "seratus
pedang mengamuk."
Sinar merah membuntal mengeluarkan suara ber-
siur mengerikan. Empat pengeroyok tercekat dan
menjauh sebelum memutuskan untuk menyerbu
kembali. Pengemis berkipas Putih tegak tak berkesip,
memperhatikan setiap gerakan yang dibuat Mahesa
seperti tengah mencari titik kelemahan lawan untuk
kemudian dihantam. Kakek pengemis ini kemudian
harus menyesali diri karena terlalu lama tegak diam
memperhatikan dan bukannya langsung
menggempur. Hal ini terjadi ketika pedang Mahesa
membabat puntung tangan kanan Gambir Putih
hingga wakil ketua Pesantren ini menjerit roboh
sambil pegangi tangannya yang buntung
mengucurkan darah. Mahesa tendang tubuh orang
tua bulai ini tepat ketika dua buah kembang kertas
merah beracun melesat dari tangan kanan Pendekar
Kembang Merah.
Pendekar Kembang Merah tentu saja tak dapat
menarik pulang serangannya. Selagi dia terkesiap
melihat dua senjata rahasianya menancap menembus
tubuh Gambir Putih, Mahesa telah berkelebat melom-
patinya seraya menghantamkan tinju kiri yang meng-
andung aji karang sewu.
Buukkk!!
Tubuh Pendekar Kembang Merah mencelat mental.
Tulang dadanya hancur. Darah tersembur dari
mulutnya. Orang ini roboh terhempas di kaki pohon,
tak bernafas lagi!
Pengemis Sableng berteriak-teriak. Datuk Ular
hantamkan senjatanya seraya memijat bagian tubuh
ular yang dipegangnya. Racun berwarna kehijauan
itu menyembur. Mahesa menghantam dengan tangan
kiri. Datuk Ular lebih cepat. Ayunkan tangannya ke
bawah dan kini kepala ular laksana anak panah mele-
sat ke perut Mahesa. Pemuda ini babatkan pedang
saktinya. Maksudnya hendak membabat putus senjata
lawan yang berbahaya itu. Dia memang, berhasil
membuyarkan serangan sang datuk tetapi agak ter-
lambat menutup jalan nafas ketika sinar hijau beracun
menyambar. Akibatnya meskipun terhisap hanya se-
dikit, Mahesa mendadak merasakan matanya perih
dan kepalanya mendenyut sakit. Cepat dia selinapkan
tangan ke balik pakaian maksudnya hendak
mendekap gagang Keris Ular Emas agar dapat
memusnahkan racun jahat yang masuk ke dalam
jalan pernafasannya. Justru saat itu dari depan datang
Pengemis Sableng sambil berteriak-teriak dan
menggapaikan kedua tangannya ke leher Mahesa.
Mau tak mau pemuda ini jadi tak berkesempatan
untuk memegang keris sakti tersebut. Dengan gusar
dia hantamkan tangan kiri ke depan, sekaligus menu-
sukkan pedang untuk menambus perut lawan. Disaat
itulah Pengemis Berkipas Putih datang menyambar
dari samping.
Wuuuttt!
Wuuuuttt'
Dua larik angin dahsyat menerpa.
Yang pertama sempat dielakkan Mahesa dengan
melompat ke belakang sambil babatkan pedang sakti.
Tapi hantaman angin yang kedua, meski ujung
pedangnya sempat merobek salah satu sisi kipas
putih si pengemis, tak sempat dielakkannya. Seperti
yang dialami Sembilan Biru tubuh pemuda ini
terlempar dalam kegelapan, jatuh ke dalam jurang
batu yang gelap. Pedang sakti terlepas dari
genggamannya dan melayang jatuh lebih dulu dari
tubuhnya!
"Kipasku! Kipasku rusak! Sialan keparat!" Penge-
mis Berkipas Putih memaki tiada henti.
Datuk Ular tidak perdulikan pengemis itu, juga se-
perti tidak acuh pada kematian Pendekar Kembang
Merah dan Gambir Putih. Senjatanya berupa tubuh
ular sanca digelungkannya ke pinggang. Hatinya
puas. Mahesa Kelud pasti menemui ajal begitu
tubuhnya menghantam dasar jurang batu!
APA NASIB yang menunggu Mahesa Kelud dan
Sembilan Biru setelah dihantam masuk kedalam
jurang batu akan kita ketahui kemudian. Terlebih
dahulu kita kembali pada kejadian sewaktu Mahesa
mengalami nasib sial yaitu ditipu oleh Retno
Kumalasari puteri Adipati Suto Nyamat. Dalam
keadaan tertotok pemuda ini diserahkan pada
hartawan Prajadika, orang yang menginginkan nyawa
Mahesa karena pendekar ini telah membunuh putera
tunggalnya yakni Prajakuncara. (Baca: Simo Gem-
bong Mencari Mati).
Dua orang hulubalang membawa Mahesa ke
rumah kediaman Prajadika. Setelah digebuk babak
belur oleh sang hartawan, Mahesa kemudian dicem-
plungkan ke dalam sebuah sumur tua. Dibiarkan ke-
laparan dan akan disiksa dengan siraman air panas
mendidih......
Hampir menjelang pagi, ketika udara dingin men-
cucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud me-
rasakan sebuah benda meluncur kebahu, terus
menjalar ke punggung. Dia tak mau membuka kedua
matanya yang terpejam. Sangkaannya benda yang
meluncur itu pastilah ular atau sejenis binatang tanah
berbisa. Biarlah binatang itu mematuknya. Mati ter-
kena racun ular lebih baik dari pada mengalami siksa-
an. Tapi tak ada yang mematuk. Tak ada yang meng-
gigit walau benda itu masih terus meluncur naik turun
di punggungnya.
Tiba-tiba bret!
Pantat celananya robek. Sesuatu menyangkut di
ikat pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit
demi sedikit tubuhnya terangkat ke atas sampai
akhirnya kepalanya muncul di tepi bibir sumur. Ma-
hesa membuka matanya lebar-lebar, menembus
kegelapan malam. Seseorang dilihatnya dengan
susah payah menarik tali yang berhubungan dengan
besi pengait yang dipakai untuk menggeret tubuhnya
keatas. Dia tidak dapat mengenali siapa adanya
orang ini. Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja
dibaringkan ditanah yang basah, tiba-tiba dari arah
bangunan besar terdengar suara seseorang
membentak.
"Hai! Siapa di dekat sumur?!"
Bentakan disusul dengan datangnya sesosok
tubuh menghunus golok. Orang yang menolong
Mahesa Kelud jatuhkan diri kebalik sumur sambil
tangannya mencabut sebilah belati. Ketika orang yang
memegang golok melangkah mendekat, secepat
kilat belati itu dilemparkannya.
"Heekk ...!*'
Golok terlepas dari tangan. Orang itu hanya sempat
keluarkan suara seperti ayam tercekik lalu roboh ke
tanah. Belati besar menancap di lehernya.
"Supitmantil!" seru Mahesa ketika dalam gelap
kemudian dia mengenali siapa orang yang menolong-
nya itu adanya.
Supitmantil silangkan jari telunjuk dalam gelap
kemudian dia mengenali siapa orang yang menolong-
nya itu adanya.
Supitmantil silangkan jari telunjuk di depan bibir,
memberi isyarat agar Mahesa jangan bicara keras.
"Sahabat . . ." berbisik Mahesa. "Kebaikanmu
dimasa lalu masih belum sempat kubalas. Hutang
budi belum kulunaskan. Kini kau telah menanam
budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit. .."
Yang dimaksudkan Mahesa dengan Kebaikan di
masa lalu ialah sewaktu Supitmantil memberi tahu
siapa yang menculik Wulansari dan kemana gadis itu
dilarikan. Seperti dituturkan dalam Pedang Sakti
Keris Ular Emas, Wulansari diculik oleh Niliman To
teng alias Iblis Jangkung. Berkat pertolongan Supit-
mantil Mahesa berhasil menyelamatkan kekasihnya
itu dan kemudian menjadi istrinya serta menetap di
puncak gunung Muria.
"Kita harus segera keluar dari sini," ujar Supit-
mantil.
"Ya, tapi aku tak bisa jalan. Aku tertotok. Bisakah
kau mendukungku . . . ?"
"Tentu saja. Tapi kita harus hati-hati. Dua
hulubalang istana masih ada di gedung sana . .."
"Kalau begitu kau tolong lepaskan totokanku.
Disini, di bagian dada!"
Supitmantil seorang pemuda yang memiliki ke-
pandaian silat cukup tinggi. Ini karena dia berguru
pada seorang tokoh silat kalangan istana. Namun da-
lam soal totok menotok dia masih belum matang.
Maka Mahesa harus membimbing memberi tahu
bagaimana cara yang ampuh untuk melepaskan
totokan ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa kali
baru Supitmantil berhasil. Namun totokan itu masih
belum pulih seluruhnya. Terpaksa Mahesa duduk
bersila dan kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk
memusnahkan sisa-sisa totokan. Selagi dia
melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah obor
besar. Benda ini menancap di kiri kanan sumur hingga
tempat sekitar situ jadi terang benderang.
"Supitmantil! Bagus sekali perbuatanmu!" ter-
dengar bentakan marah. Itu adalah suara hartawan
Prajadika.
Supitmantil berpaling. Di tangga belakang gedung
tampak Raden Mas Prajadika tegak bertolak
pinggang. Di sebelahnya kelihatan dua orang lelaki
berpakaian serba biru, tinggi dan kekar. Mereka
adalah dua hulubalang istana kelas tiga yang
membawa Mahesa sebelumnya dari rumah kediaman
almarhum Adipati Suto Nyamat di Madiun.
"Celaka," keluh Supitmantil. Dia tidak takut terhadap
hartawan yang dianggapnya mempergunakan
kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka
hatinya itu. Tapi dua hulubalang istana kelas tiga itu
benar-benar merupakan dua lawan berat. Satu saja
sulit bagi Supitmantil untuk menghadapi. Kini mereka
malah berdua!
Pemuda itu melirik ke arah Mahesa. Saat itu Ma-
hesa masih mengerahkan tenaga dalam untuk
memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua
hulubalang istana berkelebat, menerkam ke arah
Supitmantil!
Pemuda ini jatuhkan diri. Tendangan yang tadi
mengarah ke batok kepalanya berhasil dielakkan.
Baru saja dia bangkit berdiri hulubalang yang tadi
menyerang sudah menghantamkan jotosan ke dada-
nya. Supitmantil menangkis dengan lengan kiri dan
balas memukul dengan tinju kanan.
Dua lengan beradu. Supitmantil mengeluh ke-
sakitan. Lengan kirinya laksana dihantam potongan
besi sedang tinju kanan hanya memukul angin.
"Gonto! Cepat kau ringkus pemuda yang bersila
itu! Yang satu ini biar aku yang melukatkan!" Ter-
dengar hulubalang yang menyerang Supitmantil ber-
seru. Maka kawannya yang semula ikut menghantam
Supitmantil kini melompat ke hadapan Mahesa Ke-
lud. Sikap duduk Mahesa merupakan sasaran empuk
untuk diserang. Terdengar suara bersiur ketika
kaki kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke
muka Mahesa Kelud. Padahal saat itu pendekar ini
masih meramkan mata mengerahkan tenaga dalam
guna memusnahkan sisa totokan di dadanya.
Pukulan yang mengenai angin membuat Supit
mantil terhuyung ke depan. Akibatnya dadanya men-
jadi sasaran terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu
laksana palu godam melabrak dada kanannya. Supit-
mantil mengeluh kesakitan. Tubuhnya mencelat dan
terkapar dekat sumur tua. Mulutnya terasa panas dan
asin. Ada darah yang keluar dari saluran di dadanya
tanda saat itu dia menderita luka dalam yang cukup
parah. Sambil menahan sakit pemuda ini berusaha
berdiri. Dia tahu apa arti jika tubuhnya masih tergele-
tak begitu rupa. Lawan akan menghantamnya kem-
bali dengan tendangan atau pukulan maut.
Sambil bangkit Supitmantil cabut sebilah belati
besar dari balik pinggangnya. Memang pemuda ini
memiliki keahlian melempar senjata tajam. Tadi telah
dibuktikannya dengan sekali hantam saja berhasil me-
robohkan pengawal gedung. Tapi sekali ini orang
yang dihadapinya bukan manusia jenis ronda malam.
Dengan mudah hulubalang istana itu berhasil
mengelakkan sambaran belati. Dilain kejap dia
sudah menerkam Supitmantil. Lututnya menusuk ke
perut pemuda ini. Selagi Supitmantil terlipat ke
depan, kedua tangannya yang besar kuat datang
menyambar dan mencekik leher si pemuda laksana
japitan besi. Supitmantil meronta-ronta. Tapi
kehabisan nafas membuat tenaganya lumpuh. Tak
mungkin lagi baginya menyelamatkan diri. Matanya
mendelik dan lidahnya mulai menjulur.
Praaak!
Satu sosok tubuh roboh dengan tulang belikat
patah!
Hulubalang Gonto melengak kaget ketika Mahesa
yang hendak ditendangnya tiba-tiba melayang mele-
watinya lalu menghantam temannya yang tengah
mencekik Supitmantil.
Begitu merasa cekikan lawan terlepas, Supitmantil
mereguk udara segar sebanyak-banyaknya. Lalu
selagi hulubalang itu terkapar Supitmantil hunjamkan
sebilah belati ke dadanya. Hulubalang ini hanya
keluarkan suara keluhan pendek, kaki menggelepar
beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi!
Melihat kematian kawannya, Gonto menggembor
marah. Di tangan kanannya tahu-tahu sudah tergeng-
gam sebilah golok besar. Sambil menerjang dia
babatkan senjata itu ke arah leher Supitmantil. Tapi
setengah jalan seseorang menghantam pinggangnya
hingga hulubalang ini terpuntir.
Wutt!
Gonto kini babatkan golok ke arah Mahesa Kelud
yang tadi menendang pinggangnya. Namun satu
pukulan menghancurkan sambungan sikunya hingga
hulubalang ini meraung kesakitan. Goloknya terlepas
mental. Selagi meraung kesakitan dirasakannya
tubuhnya terangkat lalu tiba-tiba sekali dilemparkan
ke bawah! Kembali hulubalang ini menjerit ketika
mengetahui dirinya dilemparkan ke dalam sumur tua,
kepala kebawah kaki ke atas! Suara teriakannya
serta merta lenyap ketika batok kepalanya menghan-
tam dasar sumur tua hingga pecah dan lehernya pa-
tah. Nyawanya putus detik itu juga!
Supitmantil cepat datangi Mahesa dan berkata:
"Kita harus tinggalkan tempat ini segera . .."
"Ya, tapi aku harus membayar hutang dulu pada
orang kaya itu," sahut Mahesa. Sekali lompat saja dia
sudah berdiri di hadapan Raden Mas Prajadika yang
tegak ketakutan di pintu belakang gedung. Dia segera
balikkan diri sambil berteriak. Namun Mahesa jambak
rambutnya, putar tubuhnya.
"Prajadika!" kata Mahesa. "Aku membunuh pute-
ramu bukan karena aku manusia jahat buas! Tapi ka
rena anakmu memang pantas ditabas batang
lehernya! Dia kupancung ketika hendak memperkosa
seorang gadis!"
"Aku tidak percaya; Puteraku anak baik-baik!
Aku tidak percaya! Lepaskan jambakanmu! Kepa-
rat ____!"
Plak!
Satu tamparan keras menghantam pipi kanan Har-
tawan Prajadika hingga bibirnya pecah dan tiga gigi-
nya tanggal. Hartawan itu meraung kesakitan. Tubuh-
nya melintir. Kalau saja rambutnya tidak dijambak
pasti dia sudah terkapar di tangga gedung.
"Itu hadiah dari gadis yang hendak dirusak oleh
puteramu!" kata Mahesa. "Dan ini pembayar hutang
tadi malam!" Lalu Mahesa hantam muka Prajadika
dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung
kesakitan. Tapi raungan itu segera lenyap karena
dirinya keburu pingsan. Mahesa lepaskan jambakan
nya. Prajadika tergelimpang di tangga batu.
Hidungnya hancur dan darah mengucur!
Dari bagian depan gedung terdengar suara orang
lari mendatangi. Beberapa diantaranya meneriakkan
sesuatu. Mahesa memberi isyarat pada Supitmantil.
Kedua pendekar ini lompati tembok halaman bela-
kang. Ketika enam orang penjaga gedung sampai di-
situ membawa berbagai macam senjata, keduanya te-
lah lenyap dalam kegelapan.
Ayam berkokok di kejauhan. Langit di ufuk timur
tampak kemerahan. Kedua pendekar itu sampai di
sebuah anak sungai berair dangkal tapi jernih. Baik
Mahesa maupun Supitmantil segera menggulingkan
diri di tebing sungai. Membersihkan muka dan tubuh
mereka yang berlepotan darah.
"Seharusnya kubunuh orang kaya itu ..." kata
Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir
rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan. "Dia
mengetahui pengkhianatanku. Kini aku jadi orang
buronan! Pasti Prajadika meminta tokoh-tokoh istana
untuk menangkapku hidup atau mati!"
"Semua karena aku!" ujar Mahesa.
"Aku tidak menyesal menolongmu," kata Supit-
mantil yang tahu maksud kata-kata Mahesa tadi.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya
Mahesa.
"Jelas aku tak mungkin kembali ke Kotaraja.
Mungkin aku harus menempuh hidup sepertimu. Me-
ngembara sambil menambah ilmu."
"Kalau begitu seandainya kau tersesat ke utara
maukah kau singgah di puncak Muria? Istriku berada
disana. Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia
karena dialah gadis yang dulu berhasil kuselamatkan
dari kebejatan Prajakuncara berkat pertolonganmu ..."
"Apa yang harus kukatakan jika bertemu?" tanya
Supitmantil.
"Katakan bahwa aku dalam keadaan baik. Aku
akan segera pulang ke Muria begitu urusanku sele-
sai ..."
Supitmantil mengangguk. "Aku akan mampir me-
nemui istrimu," katanya.
"Terima kasih sahabat. Sekarang ada satu hal
yang amat penting harus kulakukan."
"Apa itu?"
"Dua senjata milikku dirampas puteri Suto Nyamat.
Untuk mendapatkan kedua senjata sakti itu aku
telah mempertaruhkan nyawa. Karenanya aku harus
mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini
aku harus membunuh gadis itu. Sebelum aku ke
Madiun aku perlu beberapa keterangan dari
mu. Dua tahun lalu Retno hanya seorang gadis cantik
biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Tapi
melihat kemampuannya menotokku, pastilah dia
telah berguru pada seseorang. Mungkin kau
mengetahui siapa guru gadis itu dan dimana
kediamannya?"
Supitmantil menggeleng. "Sekali ini aku tidak bisa
menolongmu Mahesa . . ."
"Tak jadi apa," jawab Mahesa. Dia merangkul
Supitmantil sambil mengucapkan terima kasih ber-
ulang kali.
"Jangan berterima kasih terus-terusan Mahesa.
Kau lupa bahwa kaupun tadi menyelamatkan jiwaku
dari tangan hulubalang istana itu!"
Mahesa Kelud angkat bahu. "Ada ubi ada talas.
Ada budi ada balas," katanya.
"Selamat jalan Mahesa."
"Selamat mengembara Supit. Sampai ketemu.
Dan jangan lupa mampir di rumahku di puncak
Muria."
Kedua sahabat itupun berpisah tepat ketika sang
surya menyembulkan diri di sebelah timur.
Seperti dituturkan dalam Simo Gembong Men-
cari Mati, Mahesa berhasil mendapatkan Pedang
Dewa dan Keris Ular Emas yang dicuri Retno
Kumalasari dan diserahkan pada kekasihnya seorang
ahli obat dan ahli menotok yakni Pergola. Keduanya
bermaksud menjual kedua senjata sakti itu pada
seorang pejabat tinggi istana. Dengan hasil penjualan
yang luar biasa tingginya Pergola berharap akan jadi
kaya raya dan hidup mewah. Namun Mahesa keburu
muncul dan Pergola menemui ajal ketika coba
melawan.
oooOOOooo
PUNCAK GUNUNG MURIA .............
Pagi itu udara cerah sekali. Angin bertiup segar
dan lembut. Hampir tak tampak segumpal awanpun
menyaputi puncak gunung. Sesekali terdengar kicau
burung bersahut-sahutan. Dari puncak gunung
pemandangan di sebelah bawah tampak indah
sekali. Pepohonan menghijau. Sawah menghampar
dimana-mana. Di sebelah timur dan utara tampak ter-
bentang laut lepas membiru. Sungai-sungai laksana
ular panjang membelintang menuju muara masing-
masing di lautan.
Di keindahan pagi cerah itu terdengar suara orang
menyanyi. Suara perempuan. Lembut dan merdu.
Orang yang menyanyi ini duduk di tangga serambi se-
buah rumah kayu mungil bersih. Dia menyanyi sambil
menyisir rambutnya yang panjang dan hitam.
Tak jauh dari situ, di balik sebatang pohon besar
tegak memperhatikan seorang pemuda berpakaian
dan berikat kepala putih. Kedua matanya hampir
tak berkesip memandangi wajah cantik, rambut
panjang hitam dan tubuh elok semampai itu.
"Supitmantil, kau harus mengambil keputusan
sekarang . . ." Tiba-tiba seperti ada suara yang ber-
bisik ke telinga si pemuda. "Kalau tidak, kau tak akan
pernah memiliki perempuan itu untuk selama-
lamanya!"
Pemuda di balik pohon yang ternyata adalah Su-
pitmantil, sesaat tertegun mendengar bisikan tadi.
"Supit! Jangan kau turutkan bujukan setan!"
mendadak ada suara membalas dari lubuk hati si
pemuda.
"Tidak, ini bukan bujukan setan!" menangkis
suara bisikan tadi. "Ini adalah kenyataan Supit!
Bukankah kau telah jatuh hati pada perempuan itu
sejak pertama kali kau melihatnya di Madiun. Jangan
ingkari kenyataan itu Supit!"
"Memang betul. Tapi dia sudah menjadi kekasih
pemuda bernama Mahesa Kelud itu saat itu. Malah
kini dia telah jadi istrinya!" menjawab suara hati sang
pemuda.
"Kekasih atau istri sekalipun memangnya kenapa?
Hidupmu akan tawar tanpa dia disampingmu. Lalu
kalau dia suka pula padamu, tak ada alasan apakah
dia kekasih atau istri orang lain. Dengar Supit, kau
harus mengambil keputusan sekarang. Kau harus
melakukannya sekarang!"
"Apa yang harus kulakukan . . . ?" Lubuk hati
Supitmantil mulai terpengaruh.
“Pemuda bodoh' Putar otakmu. Cari akal yang
jitu. Kau bisa mengatakan bahwa Mahesa sudah
mati. Tewas dibunuh atau karena kecelakaan . .."
"Aku tidak mau melakukan itu. Ini merupakan
dosa besar. Aku berkhianat pada sahabat sendiri.
Apalagi Mahesa telah menyelamatkan jiwaku waktu
perkelahian di gedung Prajadika . . ."
"Ha ... ha ... ha ... !" Suara setan tertawa.
"Dia memang telah menyelamatkan jiwamu. Tapi
bukankah kau juga pernah menyelamatkan jiwanya
dari satu kematian yang mengerikan? Ketika dia di
masukkan kedalam sumur tua itu? Malah perempuan
cantik yang diam-diam kau kasihi itu kini tak akan
ada di depanmu kalau tidak kau dulu membantu
menyelamatkannya dari tangan pemuda hidung be-
lang Prajakuncara. Jika ada orang yang berhak atas
diri perempuan itu maka orangnya adalah kau sendiri
Supit. Tidak lain orang ataupun Mahesa . .."
Sesaat Supitmantil masih tegak termangu di balik
pohon besar itu. Sementara di seberang sana
Wulansari masih terus menyanyi sambil menyisir
rambut.
Rambut yang tersisir rapi itu kemudian digelung-
nya membentuk sanggul. Begitu rambut tersanggul
Wulansari gerakkan tangan kanannya. Sisir terbuat
dari tanduk yang dipegangnya tiba-tiba sekali melesat
ke arah batang pohon, menancap sampai
setengahnya, tepat sejengkal di depan hidung
Supitmantil, membuat pemuda ini tersentak kaget.
Dari arah serambi terdengar suara membentak.
"Maling dari mana yang pagi-pagi sudah kesasar
ke puncak Murial"
Sadar kalau orang sudah mengetahui
kehadirannya Supitmantil segera keluar dari balik
pohon. Sambil melangkah menuju depan rumah dia
berkata:
"Aku bukan maling. Aku Supitmantil. Apakah kau
masih ingat... ?"
Wulansari menatap wajah pemuda yang tegak di
depannya itu. Dia memang mengenali wajah Supit-
mantil. Tapi lupa bertemu dimana.
"Ingat peristiwa penculikan di Madiun . . . ?"
ujar Supitmantil.
"Aih! Kau rupanya ... !" Wulansari kini ingat.
Menyadari pemuda itu bukan lain adalah orang
yang pernah menolongnya maka dia cepat berdiri.
"Harap maafkan kekasaran ucapanku tadi. Juga lem-
paran sisir itu. Angin apakah yang membawamu sam-
pai kemari?"
Memandang Supitmantil, Wulansari melihat ada
perubahan mendadak pada air muka pemuda ini.
"Ada apakah Supit... ?" tanya Wulansari dengan
perasaan tidak enak.
Sesaat pemuda itu masih tegak termangu dan
membisu. Namun diliang telinganya kembali suara
setan berbisik: "Kau sudah memulainya Supit. Kau
harus meneruskan. Bukankah kau sangat mengingin
kan Wulansari? Inilah kesempatan paling baik dan
kesempatan ini hanya datang satu kali ..,"
Supitmantil menarik nafas dalam, memandang
pada Wulansari dengan air muka sedih, lalu berkata
perlahan: "Aku membawa kabar buruk untukmu
Wulan . . ."
"Kabar buruk?" Kini wajah cantik perempuan itu
tampak berubah. Tiba-tiba saja menjadi pucat. "Ka-
bar buruk apakah?"
"Kuharap kau tabah menerima cobaan ini. . ."
Wulansari jadi tidak sabar. Dadanya berdebar ke-
ras. Hatinya makin tidak enak.
"Lekas katakan Supit! Jcngan menggantung cerita
dengan ucapan-ucapan yang membuat aku tidak
enak!"
Supitmantil menggigit bibir baru menjawab :
"Suamimu telah meninggal dunia sekitar satu bulan
lalu ..."
Wulansari terpekik. Kedua matanya membeliak,
memandang pada Supitmantil. Jika ada kilat me-
nyambar di depan matanya atau guntur menggelegar
di samping telinganya, tidak sedemikian kagetnya pe-
rempuan ini. Tubuhnya mendadak terasa lunglai,
nyawanya serasa lepas. Dia terduduk di lantai seram
bi, tersandar ke tiang depan.
"Suamiku . . . suamiku meninggal katamu ... ?"
Supitmantil mengangguk.
Sepasang mata Wulansari serta merta menjadi ba-
sah. Air mata jatuh berderai ke pipinya. Tangis mulai
menyamaki tenggorokannya. Mula-mula perlahan,
kemudian berubah menjadi ratapan yang menyayat
hati. Dalam meratap perempuan ini bertanya: "Kata
kan apa yang terjadi Supit. Ceritakan padaku . . .
Ya Tuhan! Mengapa ini harus terjadi ... ?!"
"Mahesa tewas di tengah laut. Waktu itu dia baru
kembali dari Pulau Mayat. Dalam perjalanan pulang
ke daratan Jawa, perahu yang ditumpanginya
diserang badai. Seluruh penumpang tenggelam. Ada
seorang awak perahu berhasil menyelamatkan diri.
Namun kemudian mati juga. Sebelum mati, dari dialah
aku mendapat keterangan kematian Mahesa."
"Suamiku meninggal? Mati tenggelam di laut. Ya
Tuhan! Betulkah ini ... ? Betulkah ini Supit . . . ?"
Wulansari terduduk di lantai serambi rumah. Kedua
tangannya menutupi wajahnya yang basah oleh air
mata.
"Sebelum berangkat ke Pulau Mayat aku sempat
bertemu Mahesa. Dia menerangkan kepergiannya ke
sana untuk mendapatkan sebuah pedang . . ."
"Ya . . . dia memang pernah menceritakan hal itu
padaku. Mencari sebuah pedang bernama pedang
Samber Nyawa. Itu adalah tugas yang diterimanya
dari gurunya Embah Jagatnata. Suamiku . . . Mahesa
. . . Kenapa dia harus pergi ke pulau itu. Kenapa
gurunya memberikan tugas yang mencelakakan
dirinya. Dan kini . . . bagaimana dengan diriku . . ."
Wulansari kembali meratap.
"Tabahkan hatimu Wulan. Semua sudah menjadi
takdir dan ketentuan Tuhan . . ." Supitmantil ber-
usaha membujuk.
"Tuhan tidak adil . . . Tuhan tidak adil " kata
Wulansari berulang kali.
"Jangan berkata begitu Wulan . .."
"Tidak! Tuhan memang tidak adil.. . Aku belum
sempat berbakti pada suamiku. Tahu-tahu kini dia
pergi! Tuhan benar-benar tidak adil!" jerit Wulansari.
Kepalanya dibenturkannya ke tiang serambi. Tiang
rumah itu patah Wulansari sendiri kemudian jatuh
pingsan!
Ketika Wulansari sadar menjelang tengahhari, se-
kujur tubuhnya terasa sangat lemah. Kepalanya
berat. Dia dapatkan dirinya terbaring diatas ranjang.
Keningnya mendenyut sakit. Ketika dirabanya
terasa ada luka kecil dan darah yang mengering. Dia
memandang ke langit-langit ruangan. Memutar
kepalanya kesamping kiri dia melihat sosok tubuh
Supitmantil tegak di ambang pintu kamar. Kemudian
perempuan ini ingat pada kabar apa yang telah
disampaikan pemuda itu. Langsung dia menjerit dan
kembali meratap.
"Wulan, aku tahu ini cobaan sangat berat bagimu,"
berkata Supitmantil. "Namun kau juga harus
memperhatikan keadaan dirimu. Jangan sampai sa-
kit . . ."
"Sakit? Matipun aku mau!" menyahuti Wulansari.
"Tak ada gunanya hidup ini lagi. Mahesa . . . Mahe-
Supit menunggu sampai ratap perempuan itu me-
reda. Lalu dia berkata: "Dari pagi kau belum makan
apa-apa. Aku menemukan bahan makanan di bela-
kang dan memasaknya. Kau harus makan .. ."
"Tidak! Aku hanya ingin mati! Ingin mati!" teriak
Wulansari.
Supitmantil pergi ke belakang. Sesaat kemudian
dia membawa sepiring makanan dan secangkir air.
Ketika piring itu disodorkannya Wulansari meng-
ambilnya tapi terus saja membantingnya ke lantai.
"Kalau tak mau makan minum sajalah . . ." ujar
Supitmantil lalu mengangsurkan tangannya yang me-
megang cangkir berisi air putih.
Wulansari tidak menyambut! malah kembali me-
nangis. Supitmantil meletakkan cangkir diatas sebuah
meja kecil. Dia membersihkan lantai yang penuh dengan tumpahan makanan dan pecahan piring lalu
mengambil lagi sepiring makanan dan meletakkannya
diatas meja kecil. Setelah itu ditinggalkannya kamar
itu, duduk dibawah cucuran atap serambi depan.
Apa yang harus dilakukannya sekarang. Menunggu
sampai perempuan itu tenang. Tapi bagaimana kalau
dia bunuh diri? Berarti maksudnya tak akan kesam-
paian. Memikir sampai disitu Supitmantil cepat-cepat
masuk ke dalam rumah kembali.
"Mahesa . . . Mahesa . . ." perempuan itu me-
manggil-manggil nama suaminya dalam tangisnya.
Ketika dilihatnya Supitmantil maka diapun berkata:
"Kau sudah menyampaikan berita malang itu. Me-
ngapa tidak pergi? Mengapa masih disini. . . ?!"
"Aku . . . Mungkin ada sesuatu yang bisa kulaku-
kan untukmu," jawab Supitmantil agak gagap.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Aku tidak perlu
bantuan siapapun! Pergi! Pergilah dari sini!"
"Wulan, pikiranmu sedang kacau. Tubuhmu
letih lemah. Sebagai seorang sahabat tentunya aku
tak ingin jika terjadi apa-apa denganmu. Mungkin
kau ingin kuantarkan ke pantai di bagian mana
Mahesa menemui nasib malangnya ..."
"Suamiku meninggal tak berkubur. Lenyap di-
telan laut tak tentu rimbanya. Mahesa . . ." Wulansari
memukul-mukul dadanya. Supitmantil cepat pegangi
kedua tangan perempuan itu. Terjadi pergumulan.
Walaupun Supitmantil seorang pemuda bertenaga
kuat, namun masih kalah kuat dengan Wulansari.
Tubuhnya hampir toboh ketika satu tendangan
menghantam pinggangnya. Pemuda ini melingkar
di lantai sambil mengeluh kesakitan.
Hari kedua Wulansari masih tidak mau makan.
Memasuki hari ketiga tubuhnya semakin lemah dan
wajahnya menjadi pucat pasi. Supitmantil menunggui
di luar kamar dengan sabar. Setiap pagi dia selalu
memasak makanan walau perempuan itu tak pernah
menyentuhnya. Namun menjelang siang hari ke tiga
ada tanda-tanda perubahan pada diri Wulansari. Dia
merintih minta minum. Sehabis minum, ketika Supit-
mantil meletakkan makanan disampingnya, dia mau
memakannya walau hanya sedikit.
oOo
Hari ke lima keadaan Wulansari sudah jauh ber-
beda. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah
dan berari kembali. Hanya tubuhnya masih kelihatan
lemas karena masih sulit untuk makan. Sepanjang
hari dia duduk di serambi rumah, memandang ke arah
kejauhan. Tak pernah mau bicara seolah Supitmantil
tak ada disitu.
Suatu ketika Supitmantil mencoba mengajaknya
bicara.
"Wulan, kalau aku boleh bertanya apakah kau
bermaksud melakukan sesuatu . . . ?"
Perempuan itu tidak menjawab. Kedua matanya
memandang ke arah kejauhan seperti menerawang.
"Kau tidak boleh tenggelam dalam kesedihan.
Ada baiknya kau meninggalkan puncak gunung ini
agar dapat melupakan kedukaan itu. Kemana kau
pergi aku ... aku bersedia menemanimu . .."
Sesaat Wulansari masih memandang ke arah ke-
jauhan. Perlahan-lahan kemudian kepalanya dipaling-
kan ke arah pemuda itu. Dia membuka mulut seperti
hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang
keluar. Hanya air matanya yang bercucuran. Supit-
mantil duduk di tangga serambi. Hanya terpisah se-
jarak satu langkah dari perempuan itu.
"Kalau aku ingin pergi... Aku akan pergi sendiri.
Tak perlu kau temani . . ." terdengar suara Wulansari
perlahan.
"Aku telah kehilangan seorang sahabat bernama
Mahesa. Suamimu itu. Aku tak ingin kau bertindak
nekad hingga aku kehilangan dua orang sahabat. Itu
sebabnya kukatakan tadi, aku bersedia menemanimu
kemana kau pergi. Kau masih muda, lebih muda dari-
ku. Masa depanmu masih panjang. Jangan bertindak
yang bisa mencelakakan diri sendiri..."
"Tak ada lagi masa depan bagiku. Masa depanku
telah tenggelam bersama Mahesa. Tenggelam ke
dasar laut.. ."
"Jangan berpikiran sedangkal itu Wulan. Aku sa-
habat suamimu, juga sahabatmu. Dukamu dukaku
juga. Kesedihanmu kesedihanku juga. Jika aku bisa
menolong aku akan sangat bahagia . .."
"Apakah kau bisa menolong menghidupkan Ma-
hesa kembali... ?"
"Pertanyaanmu aneh sekali," ujar Supitmantil.
"Mana mungkin aku bisa menghidupkan Mahesa.
Malaikatpun tak akan bisa. Hanya saja . . ."
"Hanya saja apa .. .?"
"Kalau aku cukup pantas menjadi pengganti sa-
habatku yang hilang itu .. ."
Wulansari tiba-tiba melompat dari duduknya.
Sreeettt!
Sinar merah berkiblat. Detik itu tampak perem-
puan ini tegak memegang Pedang Dewi yang
memancarkan sinar merah terang, menatap garang
ke arah Supitmantil!
SUPITMANTIL tersurut kaget. Parasnya
memucat. Dia tahu betul jika Wulansari benar-benar
hendak menjatuhkan tangan keras paling lama dia
hanya bisa bertahan tiga atau empat jurus. Ketinggian
ilmu perempuan itu bukan tandingannya. Apalagi
dalam keadaan seperti itu, dia bisa bertindak nekad
dan ganas.
"Belum empat puluh hari suamiku meninggal.
Jenazahnyapun tak pernah ditemukan. Dia mati tak
berkubur! Dan kau berani bicara seperti itu!"
Kedua mata Wulansari meskipun basah oleh air
mata tapi tampak berapi-api.
"Harap maafkan kalau ucapanku menyinggungmu,"
Supitmantil cepat-cepat minta maaf. "Bukan
maksudku berlaku lancang. Apa yang kukatakan tadi
keluar dari hati yang tulus . .." Dalam hatinya pemu-
da ini mulai merasa ragu apakah maksudnya menda-
patkan perempuan itu akan kesampaian. Maka diapun
memancing dengan ucapan: "Jika aku memang tidak
diperlukan disini, izinkan aku minta diri. Harap maaf-
kan kalau kedatanganku hanya menyusahkanmu.
Aku kemari hanya karena menyadari bahwa itu ada-
lah kewajibanku sebagai sahabat mendiang suamimu
dan juga sahabatmu . . ."
Wulansari terdiam. Sesaat kepalanya tertunduk.
Kemudian perlahan-lahan pedang mustika sakti Pe-
dang Dewi dimasukkannya kembali ke dalam sarung-
nya.
Supitmantil menarik nafas lega. Terlebih ketika
didengarnya Wulansari berkata. "Maafkan kalau aku
tadi bertindak dan berkata kasar. Pikiranku sedang
kacau. Letih lahir dan batin . . ."
"Kau memang perlu istirahat. Perlu menenangkan
pikiran . . ."
Wulansari menatap paras pemuda itu sesaat. Di
bandingkan dengan Mahesa, dalam soal ilmu silat dan
kesaktian pemuda ini jauh ketinggalan. Tetapi dalam
soal kegagahan paras, dia harus mengakui
Supitmantil seorang pemuda yang tampan dan cakap.
Wulansari tiba-tiba sadar. Dalam keadaan seperti saat
itu, bukan tempatnya dia harus membanding
bandingkan Mahesa dengan Supitmantil.
"Apakah kau hendak segera pergi . . . ?" Wulan-
sari bertanya.
"Jika tak ada lagi yang dapat kulakukan disini
maka aku akan mohon diri. Hanya harap kau suka
mempertimbangkan maksud tulusku tadi..."
"Bukan saatnya membicarakan itu sekarang."
kata wulansari pula. Nada suaranya tidak sekeras
sebelumnya dan diam-diam Supitmantil melihat ada-
nya satu harapan. Satu harapan yang menjanjikan.
Hati pemuda ini berbunga-bunga ketika didengarnya
Wulansari bertanya: "Apakah kau mau mengantar
aku ke pantai di jurusan mana Mahesa tenggelam?"
"Tentu saja Wulan, kemanapun kau pergi akan
kuantar. Kita turun gunung dan mencari dua ekor
kuua. Perjalanan ke ujung timur Jawa cukup sulit dan
jauh ..."
oOo
SESAMPAINYA di pantai timur ujung pulau
Jawa, tak banyak yang bisa dilakukan Wulansari se-
lain berhari-hari duduk bermenung memandang
ke tengah laut. Supitmantil dengan setia selalu
menemaninya, malah membangun sebuah gubuk
kecil tempat Wulansari be r teduh dari teriknya sinar
matahari siang hari dan embun dingin pada malam
hari.
Pada pagi hari ke empat Supitmantil berkata:
"Siang malam berada di sini bisa membuatmu saku
Wulan. Kapan kita bisa meninggalkan tempat ini?"
"Terserah padamulah Supit ..." sahut Wulansari.
"Aku hanya ingin melepaskan kerinduan pada orang
yang tak bakal kujumpai lagi selama-lamanya . . ."
Suara perempuan itu bernada lembut tapi juga me-
ngandung kesedihan yang mendalam.
Selama mengadakan perjalanan yang jauh dari
puncak Muria sampai ke ujung timur pulau Jawa,
Wulansari merasakan hubungannya dengan Supit-
mantil bertambah dekat dan erat. Dari perasaan ha-
nya menganggap pemuda itu sebagai seorang
sahabat penolong, kemudian berubah menjadi rasa
suka. Memang agar maksudnya kesampaian
Supitmantil sengaja mengajuk hati perempuan itu.
"Makin cepat pergi dari sini makin baik," ber-
kata Supitmantil.
"Ya, tapi aku akan pergi kemana dan kau juga
kemana?"
"Sudah kubilang, kemanapun kau pergi aku akan
menemani. Mungkin ke kampung halaman . . . ?"
Wulansari menggeleng. "Kedua orang tuaku sudah
meninggal. Sanak saudarapun aku tak punya. Mereka
semua mati di tangan Suto Nyamat, Adipati Madiun
keparat itu. Bagaimana kalau kita ke tsmpat salah
seorang guruku ..."
Sebenarnya Supitmantil tidak menyetujui maksud
itu. Namun untuk tidak menimbulkan kecurigaan
maka diapun bertanya: "Gurumu yang mana . . "
"Suara Tanpa Rupa. Dia tinggal di sebuah gua
karang. Di utara Madiun. Mungkin beliau bisa mem-
beri petunjuk ..."
Maka kedua orang itupun tinggalkan pantai,
berkuda menuju ke barat.
MASIH cukup jauh dari gua kediaman gurunya
seekor anak rusa tiba-tiba muncul dan lari melompat-
lompat mendahului kuda yang ditungganginya.
"Joko Cilik!" seru Wulansari, ketika melihat anak
rusa itu yang kini tambah jauh lebih besar, siap men-
jadi seekor rusa jantan yang dewasa. Wulan hentikan
kudanya, melompat turun dan langsung mendukung
menciumi Joko Cilik. "Kau sudah sangat besar Joko.
Tubuhmu berat sekali. Tak kuat aku menggendong-
mu lama-lama. Hai, apakah guru ada di pertapaan
nya?"
Rusa itu kedip-kedipkan mata. Wulansari tertawa
lebar lalu turunkan Joko Cilik dari dukungannya.
"Ayo kau antarkan kami kesana!" Joko Cilik turun
ke tanah, sesaat dia mengarahkan kepalanya pad-
Supitmantil lalu melompat pergi mendahului.
"Apakah itu Joko Cilik, rusa peliharaan gurumu
yang sering kau ceritakan?" tanya Supitmantil.
"Ya," sahut Wulansari. "Dia bukan rusa biasa.
Memiliki kepandaian silat aneh yang sanggup menan-
dingi jago silat berkepandaian tinggi ..."
Supitmantil mengangguk-angguk. Semakin dekat
dia ke gua kediaman Suara Tanpa Rupa semakin
tidak enak hatinya. Perasaan waswas
menyelimutinya. Khawatir kalau terjadi sesuatu yang
bisa membuka kedoknya.
oOo
Gua karang tempat kediaman Suara Tanpa Rupa
hampir tidak berubah sama sekali. Keadaannya ber-
sih. Joko Cilik duduk disudut ruangan, memandang
ke arah kedua orang itu. Begitu masuk Wulansari
bersimpuh di lantai, menghatur sembah seraya ber-
kata: "Guru, saya muridmu Wulansari datang menyambangimu dan menghatur sembah. Mohon di-
maafkan kalau sudah sekian lama baru hari ini murid
bisa mengunjungimu . .."
Sunyi sesaat. Lalu kesunyian itu dipecahkan oleh
satu suara menggema dan menggetarkan seantero
ruangan karang.
"Muridku Wulansari, aku gembira melihat ke-
datanganmu. Kita manusia memang mempunyai ke-
sibukan sendiri-sendiri. Aku tidak marah kalau baru
hari ini kau muncul. Itu satu pertanda bahwa kau
tidak pernah melupakan kakek kakek buruk ini . . ."
Suara Tanpa Rupa terdengar tertawa lalu dia berta-
nya: "Apakah kau ada merawat Pedang Dewi baik-
baik ...”
"Saya merawatnya dengan baik guru. Apakah guru
ingin melihatnya?" Wulansari hendak mengambil
pedang sakti itu dari balik punggungnya. Namun tak
jadi ketika mendengar Suara Tanpa Rupa berkata.
"Tak usah Wulan, aku percaya kau merawatnya
dengan baik baik. Hari ini kau datang tidak sendirian.
Mana suamimu Mahesa Kelud dan siapa pemuda
yang datang bersamamu ini. . ?"
Sementara Supitmantil merasa agak sesak dada-
nya mendengar pertanyaan itu, Wulansari langsung
keluarkan suara tangisan.
"Ah, kau menangis muridku. Pasti ada berita bu-
ruk yang akan kudengar. . ." kata Suara Tanpa Rupa.
"Benar guru, nasib malang menimpa Mahesa,"
Lalu Wulansari menuturkan apa yang telah terjadi.
Selesai Wulansari memberi keterangan Suara Tan-
pa Rupa menghela nafas panjang.
"Muridku tabahkan hatimu. Ketahuilah soal nya-
wa kita manusia adalah rahasia Tuhan Yang Maha
Kuasa. Dia yang memberi kehidupan pada kita dan
dia pula yang berhak mengambilnya kembali.
Kedukaanmu adalah kedukaanku juga. Kau belum
menerangkan siapa pemuda yang datang bersamamu
. . ."
"Dia sahabat saya, juga sahabat Mahesa," jawab
Wulansari lalu memberi keterangan lebih lengkap ten-
tang diri Supitmantil.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan Wulan?
Apa rencanamu?" bertanya Suara Tanpa Rupa.
"Justru kami datang kemari untuk meminta pe-
tunjukmu, guru," jawab Wulansari.
"Kami katamu Wulan? Maksudmu kau dan saha-
batmu yang bernama Supitmantil ini . . . ?" bertanya
Suara Tanpa Rupa untuk mendapatkan ketegasan.
Wulansari tak dapat menjawab. Kepalanya tertun-
duk. Sebaliknya Supitmantil dengan beranikan diri
untuk pertama kalinya berkata: "Maksud adik Wulan
adalah mengenai hubungan kami berdua."
"Oh begitu . . .?" Suara sang guru bernada datar.
Setelah sunyi sejenak maka dia kembali terdengar
suara dari tempat yang tak terlihat oleh kedua orang
itu. "Bagi seorang lelaki atau seorang perempuan me-
mang kurang baik hidup seorang diri. Apalagi kalau
suaah pernah menikah dan kemudian menjadi randa
atau duda. Aku yang boleh kalian anggap sebagai
pengganti orang tua tidak bisa memberikan kata
putus. Aku hanya dapat memberikan doa restu Ke-
putusan adalah uitangan kalian masing-masing. Jika
kau Wulan sudah berbulat hati menerima Supitmantil
jadi pengganti suamimu yang hilang aku bersedia me-
nikahkan kalian saat ini. Tuhan Yang Maha Kuasa
menjadi saksi..."
Wulansari tidak memberikan jawaban.
"Wulan, kau tak menjawab. Apakah ada sesuatu
yang menjadi ganjalan?" tanya Suara Tanpa Rupa.
"Saya . . . saya tidak tahu guru .. ." sahut Wulansari.
Suara Tanpa Rupa tertawa. "Perempuan memang
selalu begitu. Selalu malu-malu mengatakan ya pada-
hal hati dan perasaannya sama menyetujui. Aku tahu
kau menyukai Supitmantil walau saat ini mungkin
Kau masih diliputi kedukaan. Namun jika kau suka
tidak menjadi halangan bagimu unt.ik menikahkanmu
saat ini..."
Maka Suara Tanpa Rupa lalu menikahkan kedua
orang itu, disaksikan Yang Maha Kuasa dan Joko Ci-
lik yang sejak tadi duduk tak bergerak di sudut ruang-
an. Sebelum keduanya meninggalkan gua karang,
sang guru memberi petunjuk agar mereka kembali
dulu ke puncak Gunung Muria dan menetap disana
selama satu atau dua minggu sebelum menyusun ren-
cana baru. Sebenarnya Supitmantil tak ingin mereka
kembali ke Gunung Mu ria. Bukan saja itu dapat me-
nimbulkan kenangan lama atas kehidupan masa silam
bagi Wulansari, tapi yang lebih dikhawatirkannya ada-
lah kalau Mahesa Kelud muncul dengan tiba-tiba.
Namun karena Wulansari bersikeras akan mengikuti
petunjuk gurunya maka mau tak mau Supitmantil
terpaksa juga mengikuti kehendak "istrinya" itu.
ooOOOoo
KITA KEMBALI pada peristiwa pertempuran antara
Mahesa Kelud dan Sembilan Biru yang dikeroyok
oleh sepasang pengemis kembar. Datuk Ular, Gambir
Putih dan Pendekar Kembang Merah. Seperti
dituturkan dalam bab sebelumnya meskipun berhasil
menewaskan Pendekar Kembang Merah serta
Gambir Putih namun hantaman kipas sakti lawan
yang berjuluk Pengemis Berkipas Putih membuat
Mahesa Kelud terpental jatuh ke dalam jurang batu
yang gelap. Sebelumnya Sembilan Biru telah lebih
dulu mengalami nasib yang sama!
Gema pekik Sembilan Biru yang melayang jatuh
ke dalam jurang batu yang gelap terdengar mengeri-
kan. Gadis itu sendiri kemudian jatuh pingsan selagi
tubuhnya melayang di udara, ditunggu batu-batu pa-
das keras dibawah sana.
Namun benarlah ujar-ujar orang tua-tua. Sebelum
ajal berpantang mati. Soal jiwa manusia adalah
kuasanya Tuhan. Selagi tubuh Sembilan Biru yang
berada dalam keadaan pingsan itu melayang jatuh
dengan deras menuju dasar jurang, dari lamping
jurang sebelah kiri yang gelap gulita terdengar suara
orang berseru.
"O ladalah! Perempuan manakah yang bernasib
jelek, jatuh terjerumus ke dalam jurang malam buta
begini?!"
Suara seruan itu keluar dari mulut sebuah goa be-
sar gelap, yang terdapat di bagian tengah dinding kiri
jurang batu. Disaat yang sama, dalam kegelapan
yang begitu pekat tampak tegak seorang kakek
bungkuk di mulut gua. Dia mendongak ke atas.
Matanya yang kuyu seolah-olah dapat menembus
kegelapan malam. Dan begitu melihat sosok tubuh
Sembilan Biru yang melayang jatuh kakek ini goleng-
goleng kepala. Tangan kanannya disentakkan ke
depan. Segulung benda berbentuk benang putih
yang sangat halus melesat menjulur. Secara aneh
benang ini kemudian menggulung sekujur tubuh
Sembilan Biru mulai dari bahu sampai ke pinggul.
Dengan satu gerakan menyentak ke belakang maka
terjadilah satu keanehan yang sulit dipercaya. Tubuh
Sembilan Biru yang tadi amblas jatuh ke bawah kini
terbetot dan melayang ke mulut goa. Si kakek kedut-
kedutkan benang yang dipegangnya, tak ubah seperti
seorang tengah main layang-layang. Tubuh Sembilan
Biru perlahan-lahan jatuh ke lantai goa sebelah
dalam. Begitu tubuh Sembilan Biru menggeletak di
lantai goa, kakek bungkuk tadi segera mendatangi,
lepaskan gulungan benang dan memeriksa.
"Gadis cantik. Kasihan . . ." kata si kakek. Dia
melihat ada darah keluar dari hidung dan sela bibir
Sembilan Biru. Dipegangnya lengan gadis itu, terasa
dingin. Disingkapkannya dada pakaian si gadis. Ke-
lihatan luka dibahu dan tanda biru disekitar dada
tanda Sembilan Biru terluka parah di sebelah dalam.
"Siapa yang begitu tega menurunkan tangan jahat
pada gadis seperti ini . . ." Si kakek goleng-goleng ke-
pala. Ketika dia hendak mendukung tubuh gadis itu
ke dalam goa ke tempat yang lebih baik, tiba-tiba di
luar sana dilihatnya ada cahaya merah terang melesat
dari atas jurang baru menuju ke bawah.
"Hai! Benda apa pula itu!" seru si kakek heran.
Gulungan benang halus yang ada di tangan kanannya
disentakkan ke depan. Benang itu melesat laksana
anak panah, memapas benda merah yang jatuh,
langsung melibatnya. Ketika si kakek hendak
menyempatkan menariknya, tiba-tiba sebuah benda
lain tampak pula melayang jatuh. Sosok tubuh
manusia! Si kakek berseru kaget. Cepat dia gerakkan
tangannya yang memegang benang halus. Benang
yang sudah melibat benda merah tadi kini bersama-
sama benda merah itu bergulung membuntal tubuh
yang jatuh. Si kakek sampai memercikkan keringat di
keningnya. Bukan karena pekerjaan itu sulit atau berat
baginya, tapi saking kagetnya karena dalam waktu
susul menyusul malam itu ada dua sosok tubuh yang
jatuh ke jurang ditambah sebuah benda
mengeluarkan cahaya merah.
Sekali sentak saja maka sosok tubuh berikut
benda bercahaya merah itu terbetot ke mulut goa.
Kembali si kakek mengedut ngedutkan benang halus.
Perlahan-lahan sosok tubuh itu jatuh ke lantai goa.
Begitu si kakek mendekati maka kagetlah dia.
"Pedang mustika sakti . . . !" serunya dengan
pandangan mata tak percaya. Ternyata benda yang
mengeluarkan sinar merah itu adalah sebuah pedang
sedang sosok tubuh yang tergeletak di lantai bukan
lain adalah tubuh Mahesa Keluu. Antara sadar dan ti-
dak pemuJa ini berusaha bangun, namun tak mampu.
Tubuhnya jatuh kembali langsung pingsan. Si kakek
memeriksa. Tak ada darah yang mengucur dari
hidung atau mulut pemuda itu. Tapi ketika disingkap
dada pakaiannya maka tampaklah dada yang
berwarna kebiru-biruan seperti dada gadis yang
duluan jatuh itu.
"Luka dalam yang.sama . . ." desis si kakek.
Sepasang matanya menyipit ketika pada pinggang
Mahesa dilihatnya merambas sinar kuning. Ketika
disingkapnya pakaian di bagian pinggang pemuda ini
maka tampaklah hulu Keris Ular Emas yang meman-
carkan sinar kuning.
"Pemuda ini tentunya bukan orang sembarangan!
Kalau tidak mustahil dia membekal dua senjata
sakti begini rupa!"
Si kakek lepaskan gulungan benang yang mengikat
Pedang Dewa dan tubuh Mahesa. Untuk beberapa
lama dia memperhatikan pedang sakti itu dengan
penuh rasa kagum. Dilihatnya ada noda darah di
badan pedang. Dia segera maklum, pasti telah terjadi
perkelahian sebelumnya. Agaknya si pemuda dan ga-
dis berbaju biru itu berada di pihak yang sama. Si
kakek mendekatkan badan pedang ke mukanya
lalu meniup perlahan. Noda darah yang ada pada
senjata itu serta merta lenyap. Pedang itu kini bersih
berkilat seperti baru saja digosok. Dengan hati-hati
dimasukkannya ke dalam sarungnya lalu diletakkan
di sudut goa.
Di bagian dalam goa terdapat beberapa buah batu
besar rata hampir menyerupai meja besar atau tempat
tidur. Orang tua itu membaringkan Sembilan Biru
di atas batu ujung kanan. Mahesa diletakkannya di
atas batu sebelah kiri. Kemudian kembali dia meme-
riksa keadaan tubuh kedua orang itu. Sambil geleng-
geleng kepala dia membatin. "Sepasang muda mudi
ini, kalau tidak berkepandaian tinggi pasti sudah me-
nemui ajal akibat keracunan dan luka dalam yang
parah. Tapi yang perempuan ini menderita lebih he
bat. Aku harus menolongnya lebih dulu. Kasihan . . .
kasihan . . . Mengapa di atas dunia ini manusia
yang katanya beradab masih saja saling melakukan
kekerasan. Tak segan-segan merenggut nyawa
sesamanya. Dunia hampir kiamat rupanya!"
Orang tua itu berlutut di ujung batu dimana Sem
bilan Biru terbaring pingsan. Tampak dia meniup
kedua teiapak kaki si gadis beberapa kali. Setelah itu
dia melakukan tiga kali totokan di kaki kiri dan tiga
totokan di kaki kanan. Setelah meniup lagi kedua ka-
ki itu beberapa kali maka diapun berpindah pada
Mahesa Kelud dan melakukan hai yang sama. Kemudian orang tua ini pergi ke batu besar di ujung kiri,
membaringkan tubuhnya disini. Tak lama kemudian
terdengar suara dengkurnya panjang pendek!
Si kakek ini tidak tahu berapa lama dia tidur dan
akan terus mendengkur kalau tubuhnya yang bung-
kuk tidak digoyang-goyang orang. Sambil menggeliat
dia buka kedua matanya dan berkata setengah me-
ngomel: "Orang masih enak-enakan bermimpi, siapa
yang begitu jahil lancang membangunkan?!" Ketika
melihat siapa yang tegak di samping pembaringan
batu, kakek bungkuk ini cepat duduk. "Hai! Kalian
berdua dalam keadaan luka parah! Kembali berbaring
diatas ranjang batu itu!"
Saat itu sudah pagi. Mahesa Kelud siuman dan
pingsannya dan merasakan dadanya sangat sakit.
Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada
dalam sebuah goa aneh. Sembilan Biru terbaring di
ujung kanannya. Lalu dilihatnya seorang kakek tidur
meringkuk dan mendengkur. Di sudut goa tampak
tersandar Pedang Dewa miliknya. Dengan susah
payah Mahesa melangkah tertatih-tatih mengambil
senjata sakti itu. Saat itulah Sembilan Biru sadar
pula dari pingsannya dan langsung hendak berdiri.
Tapi dia terduduk di pinggiran ranjang batu ketika
darah membersit di sela bibirnya. Dadanya
mendenyut sakit dan kepalanya terasa berat.
"Dimana kita ini . . . ?" tanya Sembilan Biru lalu
pegangi dadanya yang sakit bukan main.
Mahesa hanya bisa menjawab dengan gelengan
kepala. Mulutnya terasa kesat dan tenggorokannya
panas seperti terbakar. Dadanya sakit bukan kepa-
lang, seperti ditindih batu besar ratusan kati.
"Siapa kakek itu . . huahhh!" Sembilan Biru
muntahkan darah kental. Tubuhnya terasa limbung
namun dia berusaha agar tetap duduk di tepi ranjang
batu.
Mahesa Kelud ingat benar. Malam tadi dia me-
nyaksikan Sembilan Biru terpental ke dalam jurang
setelah dihantam serangan kipas Pengemis Berkipas
Putih. Setelah itu menyusui dirinya. Lalu dia tak
ingat apa-apa lagi sampai pagi itu dia siuman dan da-
patkan dirinya berada dalam goa misterius bersama
Sembilan Biru dan seorang kakek aneh. Apakah si
kakek ini pemilik goa tersebut. Mahesa membungkuk,
ulurkan tangan lalu menggoyang-goyangkan tubuh si
orang tua untuk membangunkannya.
Si kakek terbangun sambil mengomel. Ketika me-
lihat Mahesa dan Sembilan Biru tidak lagi terbaring di
atas ranjang batu maka dia berteriak memerintahkan
agar kedua orang itu kembali ke pembaringan
masing-masing.
Mahesa tidak perdulikan teriakan orang tua itu.
Malah berkata: "Kek, apa yang terjadi malam tadi?
Kau pasti orang yang telah menolong kami hingga
selamat dari kematian di dasar jurang!"
"Kalau kalian tidak mau berbaring, aku tidak
akan memberi keterangan! Atau mungkin kalian
sudah kepingin buru-buru mati!"
Mau tak mau Mahesa dan Sembilan Biru me-
rebahkan diri kembali diatas batu besar.
"Kami sudah berbaring. Sekarang berilah kete-
rangan," kata Sembilan Biru.
"Bagus! Terlebih dahulu kalian yang harus
memberi keterangan. Apa yang terjadi hingga kalian
terjerumus ke dalam jurang."
Sembilan Biru hendak menjawab tapi Mahesa
cepat memberi isyarat dan beri keterangan tentang
perkelahian malam tadi. Hanya dia tidak mencerita-
kan pangkal sebabnya, juga tidak mengatakan
siapa-siapa adanya para pengeroyok.
Si kakek manggut manggut. Agaknya diapun ti
dak mau ambil pusing menanyakan mengapa kedua
muda mudi itu sampai dikeroyok dan siapa pengero-
yok mereka.
"Kalian tahu, kalian berdua menderita luka dalam
yang amat parah. Terutama kau gadis berbaju biru.
Siapa namamu?"
"Orang-orang memanggilku Sembilan Biru .. ."
Si kakek tertawa. "Nama aneh. Tapi apa perduli-
ku!" Dia berpaling pada Mahesa dan menanyakan
nama pemuda itu. Mahesa menerangkan siapa
dirinya.
"Paling tidak kalian harus tinggal sebulan lebih
di tempatku ini. Kau Sembilan Biru, mungkin akan
memakan waktu dua bulan sampai lukamu
sembuh .. ."
"Jadi benar kau yang telah menolong kami,"
ujar Mahesa. "Aku berhutang nyawa dan berhutang
budi. Aku sangat berterima kasih padamu kek."
"Aku juga," sambung Sembilan Biru.
Orang tua itu kembali tertawa. Dia kembali
membentak marah ketika melihat Mahesa tiba-tiba
bangkit dari pembaringan batu.
"Kek, aku sadar dalam keadaan terluka. Tapi aku
tak bisa harus mendekam disini selama sebulan. Biar
aku pergi. Aku harus menemui seseorang yang telah
lama kutinggal. Istriku . . ."
"Kau sayang istrimu. Tapi tak sayang nyawa
sendiri! Manusia tolol macam apa kau? Jika kau mati
apa kau kira akan bisa melihat istrimu?"
Mahesa Kelud terdiam mendengar ucapan orang
tua itu. Namun walau bagaimanapun dia tak mungkin
berlama-lama di dalam goa itu. Dia tahu si kakek
bermaksud sangat baik terhadapnya. Tapi dia sudah
sangat rindu terhadap Wulansari. Dalam perjalanan
ke Muria dia bisa mengobati sendiri luka dalamnya.
"Maafkan aku kek. Aku harus pergi ..." kata
Mahesa seraya berdiri.
"Terserah kaulah!" kata si kakek tak acuh.
Mahesa melangkah ke mulut goa. Sampai di mulut
goa dia jadi bingung sendiri. Dihadapannya memben-
tang jurang batu yang luas dan dalam. Goa dimana
dia berada terletak pada lamping jurang yang
merupakan dinding tinggi tegak lurus. Tak ada jalan
menuju ke bawah apalagi menuju ke atas jurang.
Mahesa jadi terkesima beberapa lama. Bagaimana
dia mungkin dapat meninggalkan goa tersebut. Dia
berpaling pada si kakek dan bertanya-tanya dalam
hati. Bagaimana si kakek bisa keluar masuk goanya?
Mustahil kalau dia tak pernah meninggalkan goanya.
Pasti ada jalan rahasia atau satu cara yang luar
biasa. Mahesa memperhitungkan, bagaimanapun
tingginya ilmu seseorang, tak mungkin dia sanggup
memanjat menuju ujung jurang sebelah atas,
apalagi keluar dari jurang dengan jalan melompat.
Si kakek tampak senyum-senyum. "Jika kau me-
rasa sanggup memanjat dinding jurang itu, silahkan
pergi..." katanya.
"Kau sendiri, bagaimana bisa keluar masuk ke da-
lam goa ini?" tanya Mahesa.
"Itu satu rahasia yang tidak bisa kukatakan pada-
mu sekarang. Kau masih ingin pergi.. . ?"
Mahesa menggigit bibir. "Aku menyerah," kata-
nya.
Si kakek tertawa mengekeh.
"Kami ingin tahu bagaimana kau menyelamatkan
kami waktu jatuh ke dalam jurang!" terdengar Sem-
bilan Biru berkata.
"Betul!" menyambung Mahesa.
Orang tua itu keluarkan segulung benang sutera
putih yang sangat halus. "Aku menolong kalian de-
ngan ini!" katanya.
Mahesa terbelalak. Sembilan Biru ternganga. Tentu
saja sulit mereka dapat mempercayai keterangan si
kakek. Mahesa malah berkata: "Jangankan dengan
benang, batangan besipun belum tentu dapat
menahan deras dan beratnya daya tubuh kami yang
jatuh . . ."
"Kalau begitu terpaksa harus kuperlihatkan
sesuatu padamu. Harap kalian jangan anggap aku
tua bangka sombong!"
Habis berkata begitu orang tua ini melangkah ke
belakang salah satu batu besar berbentuk tempat ti
dur. Dia memandang pada Mahesa dan Wulansari
yang terbaring diatas batu sambil menyeringai.
Tangan kanannya mengambil gulungan benang dari
dalam saku pakaiannya. Selagi kedua muja mudi itu
bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan orang itu,
si kakek tiba-tiba tendang batu besar berbentuk tem-
pat tidur dengan kaki tangannya yang kurus kering.
Dan terjadilah satu hal yang hebat!
Batu besar yang beratnya ratusan kati itu, laksana
sepotong papan lapuk, mencelat ke luar goa, mela-
yang diatas jurang batu! Mahesa dan Wulansari
saking kagetnya sama-sama tegak berdiri dari atas
pembaringan batu walaupun dada masing-masing
terasa sakit.
Sambil bersiul-siul kecil si kakek gerakkan
tangan kanannya yang memegang gulungan benang
sutera berwarna putih. Benang ini melesat laksana
anak panah ke luar goa, langsung menggelung
batu besar hitam yang saat itu siap melayang jatuh
ke bawah. Cepat dan aneh sekali gerakan
menggelung benang sutera itu hingga dua pertiga
batu hitam besar terbungkus. Sebelum melayang ke
bawah si kakek menyentakkan tangan kanannya.
Batu hitam yang tergelung benang tertarik ke
belakang, memasuki mulut goa terus masuk ke
dalam. Dengan beberapa kali kedutan batu berat itu
jatuh perlahan-lahan ke tempatnya semula tanpa
mengeluarkan sedikit suarapun!
"Kakek! Kau hebat sekali!" seru Mahesa yang
tak dapat menahan rasa kagumnya yang amat sa-
ngat sementara Sembilan Biru tegak ternganga
seolah tak percaya akan apa yang barusan disaksi
kannya.
Mendengar seruan Mahesa Kelud orang tua itu
berpaling lalu membentak seperti marah: "Hai!
Siapa yang suruh kalian berdiri! Lekas berbaring
kembali kalau mau sembuh!"
Maka Mahesa dan Sembilan Biru pun kembali
merebahkan diri diatas pembaringan batu.
Begitulah, mulai hari itu Mahesa Kelud dan
Sembilan Biru tinggal di goa batu tersebut, berada
dalam perawatan si kakek. Satu bulan berlalu. Luka
dalam yang diderita Mahesa sudah hampir sembuh.
Sebaliknya Sembilan Biru masih jauh dari sembuh.
Ini disebabkan karena daya tahan atau kekuatan
tubuhnya dibanding dengan Mahesa jauh lebih lemah,
demikian pula tingkat tenaga dalamnya berada di
bawah Mahesa. Sehingga meskipun terkena pukulan
yang sama namun si gadis menderita lebih parah.
Jadi perlu waktu lebih lama untuk mengobatinya.
Suatu pagi Mahesa menemui si kakek yang saat
itu menyibukkan diri menggulung gulung benang
suteranya.
"Ah, tidak biasanya kau duduk dihadapanku se-
perti ini. Pasti ada sesuatu yang hendak kau katakan.
Atau mungkin kau ingin bertanya " ujar si kakek.
"Dua-duanya kek. Bertanya dan bicara," sahut
Mahesa. Ketika orang tua itu manggut-manggut maka
pemuda itu meneruskan kata-katanya. "Pertama,
telah sekian lama aku dan juga Sembilan Biru merasa
cukup sehat, namun sampai hari ini pula kami belum
mengetahui siapa kakek ini sebenarnya. Jika bernama
siapa namanya, jika bergelar siapa gelarnya . .."
Orang tua itu tertawa sambil main-mainkan
gulungan benang.
"Setiap manusia dilahirkan tentu bernama. Nama
yang diberikan orang tuanya. Tapi aku tidak bernama
karena tidak punya orang tua . .."
Saat itu Sembilan Biru sudah duduk pula disam-
ping Mahesa.
"Bagaimana pula kakek ini, masakan kau tidak
punya orang tua?"
"Begitulah nasibku!" “Aku . . . menurut orang
yang menceritakan padaku, entah bagaimana tahu-
tahu berada dalam sebuah goa di rimba belantara.
Dalam keadaan masih bayi tentunya. Nah, dalam
keadaan seperti itu siapa pula yang memberikan
nama padaku? Temanku dalam goa itu hanya bina-
tang melata seperti ular, kalajengking. Ada juga tikus
dan cacing. Tapi yang paling banyak laba-laba . - "
Sampai disitu si kakek kembali tertawa.
"Kalau kau memang tak bernama tak jadi apa.
Tapi pasti orang sehebatmu punya gelar atau juluk-
an dalam dunia persilatan . . ." kata Sembilan Biru.
Si kakek tersenyum kecil. "Dunia persilatan . . ."
katanya perlahan. "Sudah sangat lama aku
meninggalkan dunia itu. Dunia yang hari demi hari
semakin penuh keributan, penuh silang sengketa dan
penuh kebusukan. Tak usahlah kuberitahu gelar atau
julukanku para anak muda. Aku malu karena cuma
gelar buruk belaka .. .
Sadar orang tak mau menerangkan tentang diri-
nya maka Mahesa mengatakan maksud pembicaraan-
nya yang kedua pada si kakek.
"Kek, berkat perawatan dan pengobatanmu aku
sudah merasa sembuh. Tadi malam aku bermimpi
melihat rembulan disambar petir. Sampai saat ini hati-
ku merasa tak enak. Aku ingin segera pergi ke puncak
Muria untuk menemui istriku. Kuharap kau berke-
nan mengizinkan . . ."
Orang tua itu mengangguk. "Mimpi adalah bunga
tidur. Jangan sekali-kali kau mempercayainya Mahe-
sa. Jika kau memang sudah merasa sembuh dan
ingin pergi, tak ada halangan. Kau boleh pergi. .."
"Saya juga ingin pergi kek . . ." kata Sembilan
Biru.
"Oh kau . . . ?" Orang tua itu tertawa lebar dan
lalu geleng-geleng kepala. "Luka dalammu masih
jauh dari sembuh. Paling tidak kau harus tinggal di
sini satu bulan lagi. . "
"Aduh lamanya . .. !" keluh Sembilan Biru.
"Demi kesembuhanmu. Kecuali kalau kau tak
sayang diri . . ."
Sembilan Biru terdiam. Bagaimanapun apa yang
dikatakan si kakek memang betul. Sebenarnya hati-
nya terdorong hendak pergi karena mendengar Mahe-
sa hendak meninggalkan goa itu.
"Jika kau berkenan kek, aku minta diri sekarang
juga," kata Mahesa.
"Ya ... ya, kau boleh pergi!"
Mahesa menjura hormat lalu berdiri. Setelah ber-
diri dia tetap saja tegak ditempatnya. Sesekali dia ber-
paling pada Sembilan Biru.
"Hai, mengapa belum pergi juga? Apa kau hendak
mengajak serta gadis ini?" tanya si kakek.
"Tidak kek. Hanya saja aku .. . aku tak tahu mana
jalan keluar. .." jawab Mahesa.
"Hai! Apa kau buta. Itu jelas mulut goa di sebelah
depan sana . .."
"Betul. Tapi diluar goa, yang ada dinding batu
tegak lurus, tak mungkin dipanjat ke atas atau me-
lompat ke bibir jurang batu di seberangnya!" jawab
Mahesa bingung.
Orang tua itu tertawa. Dia mendekati Mahesa.
Kaki kanannya tiba-tiba bergerak menendang.
Persis seperti dia menendang batu besar dulu, maka
tubuh Mahesa terlempar ke luar goa, melayang di
jurang batu. Sembilan Biru keluarkan pekik tertahan.
Si kakek tenang-tenang saja. Mahesa tampak jungkir
balik di atas jurang sana. Sekali si kakek menggerak-
kan tangan kanannya, maka gulungan benang
melesat menyusul tubuh Mahesa'Kelud, langsung
bergulung membungkus si pemuda. Sesaat
kemudian Mahesa merasakan tubuhnya seperti
dilentingkan ke atas. Dia melayang jauh ke atas
seperti hendak menembus langit. Di lain kejap
tubuhnya telah keluar dari jurang lalu perlahan-lahan
turun ke tanah berbatu-batu di pinggiran rimba
belantara, tepat dimana dia bersama Sembilan Biru
dulu dikeroyok oleh Datuk Ular dan kawan-kawannya.
"Orang tua itu benar-benar luar biasa!" memuji
Mahesa sambil seka keringat dingin yang mengucur
di tengkuknya, gamang dilemparkan jauh-jauh
secara aneh begitu rupa. Ketika dia meneliti
tubuhnya, astaga! Gulungan benang yang tadi
membuntal badannya telah lenyap!
ooOOOoo
PAGI ITU langit tampak mendung. Angin bertiup
kencang. Supitmantil berdiri diambang pintu rumah
kayu, memperhatikan Wulansari istrinya berkemas-
kemas. Hatinya gembira akhirnya Wulansari bersedia
juga meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama
ini Supitmantil selalu merasa khawatir kalau-kalau
Mahesa Kelud tiba-tiba muncul.
"Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supit-
mantil.
Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak
Pedang Dewi yang tersisip di balik punggung. Walau-
pun kini sudah jalan lebih dari dua bulan dia menjadi
suami lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud,
suaminya yang pertama yang disangkanya benar-
benar sudah mati tidak dapat pupus dari ingatan-
nya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil ternya-
ta seorang suami yang sangat baik, lemah lembut
tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilang-
an Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia tahu
cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya
terhadap Mahesa.
"Hai! Mendung sekali cuaca. Dan angin begini
kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulan
sari ketika dia sampai diberanda rumah. "Bagaimana
kalau kita tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu
berhenti baru kita berangkat."
Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin
cepat-cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu
wulansari seraya memandang ke langit lalu berkata:
"Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera
turun. Paling cepat setelah kita sampai di kaki gu-
nung. Sebaiknya kita berangkat sekarang saja
Wulan."
Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan
suaminya. Untuk terakhir kali dia memandangi rumah
kayu di puncak gunung Muria itu. Hatinya terasa
pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan.
Entah kapan akan kembali lagi kesitu. Kedua mata
nya berkaca-kaca.
"Mari Wulan ..." bisik Supitmantil.
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu me-
nuruni serambi rumah, melangkah ke ujung kiri hala-
man dimana tertambat dua ekor kuda. Ketika Supit-
mantil hendak membantu Wulansari naik ke atas kuda
tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar biasa me-
ngejutkan baik Wulansari apalagi bagi Supitmantil.
Mukanya sepucat kain kafan!
"Wulan! Aku datang!"
Sebelum gema seruan itu lenyap sesosok bayang-
an berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tegak
enam langkah di depan kedua orang itu, menatap
dengan pandangan mata aneh.
"Mahesa! Kau ... !"
Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada
wajahnya namun lebih banyak terlihat bayangan ke-
tidak mengertian.
"Mahesal Betul kau ini. . . ?!"
"Wulan . . . Ada apa? Apakah natamu tidak me-
lihat hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahe-
sa tanpa bergerak dari tempatnya tegak. Ingin dia me-
meluk istrinya itu, tetapi entah mengapa dia tetap
diam.
"Aku tidak buta! Aku melihatmu dengan jelas
Mahesa. Tapi . .. Tentu Tuhan telah menyelamatkan-
mu dari malapetaka itu!" Wulansari hendak lari untuk
menubruk dan merangkul Mahesa Kelud. Namun
detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang
telah menjadi istri Supitmantil. Maka perempuan
ini merasakan tubuhnya berguncang, dadanya ber-
geletar. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa ter
jadi ...?!"
Meskipun tambah heran mendengar ucapan istri-
nya namun Mahesa menjawab: "Betul Wulan, Tuhan
telah menyelamatkanku sewaktu terpental masuk
jurang batu!"
"Jurang batu ... ?" Wulansari mengulang.
"Ya . . . Jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah
itu malapetaka yang kau maksudkan? Kulihat ada
Supitmantil disini. Dan kalian berdua seperti bersiap-
siap hendak meninggalkan tempat ini. ..
Di atas mereka langit tambah mendung. Udara
tambah gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan
suara bersiuran. Di kejauhan kilat menyambar.
Rambut Mahesa Kelud berkibar-kibar. Dia teringat
pada mimpinya dulu. Rembulan disambar petir!
Guntur menggelegar. Puncak gunung Muria bergetar!
Tapi lebih keras getaran yang ada di dada ke tiga
orang itu.
"Mahesa! Ya Tuhan . . . Kalau saja aku tahu kau
masih hidup!" Wulansari meratap. "Bagaimana mung-
kin bisa terjadi .. ."
"Memangnya siapa yang mengatakan aku mati
Wulan? Katakan, apa arti semua ini?!" Mahesa maju,
tapi hanya satu langkah.
"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di
tengah laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia
. dia . . . Wulansari berpaling ke arah Supitmantil
sambil menuding dengan jari telunjuk kirinya pada
lelaki yang jadi suaminya itu. "Dia . . . meminta aku
jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau
masih hidup aku . . . aku .. ."
"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?"
tanya Mahesa dengan suara bergeletar.
Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya meluncur
ke bawah dan jatuh berlutut.
"Kalau begitu dia telah sengaja menyusun cerita
dusta!"
Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku me-
nyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak me-
nyelidik . . ." Saat itu Mahesa Kelud merasakan
seolah-olah dadanya telah berubah menjadi sekam
yang siap meledak oleh kobaran api. Kedua matanya
membeliak merah memandang pada Supitmantil.
"Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala
berbulu domba. Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan
batang lehermu!"
Mahesa Kelud melompat ke depan. Kedua tangan-
nya terkembang laksana seekor macan yang hendak
menerkam mangsanya.
"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit
menghindar. "Aku akan terangkan pada kalian . . ."
"Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu
yang memberi keterangan pada setan neraka!"
teriak Wulansari. Tubuhnya yang berlutut tiba-tiba
melompat. Sinar merah berkiblat. Ternyata
perempuan ini telah mencabut pedang sakti Pedang
Dewi. Tetapi dia bukan menyerang ke arah
Supitmantil, melainkan memapas serangan Mahesa
Kelud!
"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!"
teriak Mahesa marah. Hatinya benar-benar hancur
melihat kenyataan ini walaupun kemudian Wulansari
balas berteriak dengan keras.
"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak
ingin kau membunuhnya! Dia harus mampus di
tanganku!"
Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat pertengkaran
sengit itu, Supitmantil yang sudah lumer nyalinya
pergunakan kesempatan untuk melompat ke pung-
gung kuda. Namun sebelum dia sempat membeda
binatang itu, Wulansari sudah lebih dulu berkelebat
dan kirimkan satu bacokan ganas.
Supitmantil melompat dari punggung kuda. Sesaat
kemudian terdengar ringkik binatang itu ketika
Pedang Dewi ditangan Wulansari membabat
lehernya, membuat luka menganga yang amat besar.
Darah menyembur. Kuda yang malang ini kemudian
lari menghambur namun ambruk tersungkur ke tanah
setelah lari beberapa belas tombak, meringkik keras
untuk penghabisan kalinya lalu terkapar tak bernafas
lagi!
Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar
berulang kali disusul suara gelegar guntur. Begitu me-
loncat dari kuda dan lolos dari sambaran pedang Wu
lansari. Supitmantil berkelebat ke balik sebatang po
hon. Maksudnya hendak terus melarikan diri dibawah
hujan lebat serta kabut yang menutup pemandangan.
Tapi dua sosok tubuh lebih cepat dari gerakannya
langsung menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Ke
lud, di sebelah kiri Wulansari.
"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?!"
tanya Supitmantil dengan suara bergetar.
"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas
hidup dimuka bumi ini?!"
"Siapapun diriku, aku adalah suamimu' Suami
syah!"
"Suami jahanam! Kau memperistrikanku karena
menipu!" Wulansari maju satu langkah.
"Kalau kau membunuhku, bagaimana dengan
benih bayi yang kini kau kandungi"
Wulansari tersentak. Tapi hanya sesaat lalu dengan
pekik mengerikan dia tusukkan Pedang Dewi ke arah
perut Supitmantil.
Mahesa yang sedianya juga hendak menyerbu
masuk mendadak sontak merasakan tengkuknya
dingin ketika mendengar ucapan Supitmantil tadi.
Jadi bagaimanapun caranya mereka ternyata me-
reka memang kawin syah bahkan Wulansari kini
tengah hamil, mungkin hamil muda sekitar satu atau
dua bulan! Menghamili anak hasil hubungannya
dengan Supitmantil! Kalau tadi dalam kemarahan
nya dia ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu
juga, maka kini dia jadi bingung sendiri. Supitmantil
jelas salah besar karena telah menipu Wulansari
untuk dapat memperistrikannya. Tetapi perempuan
itupun tidak lepas dari kesalahan yaitu kurang periksa
dan dalam waktu singkat mau saja menerima Supit-
mantil jadi suaminya, seolah-olah kecintaannya ter-
hadap dirinya hanya tinggal kenangan belaka. Lalu
siapa pula yang mengawinkan mereka? Jika dia mem-
bunuh Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari
hidup menjadi janda, memelihara seorang anak tanpa
ayah?
Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa
terhadap Wulansari namun rasa cinta tetap ada di
lubuk hatinya meskipun kini mungkin hanya seperti
pelita kehabisan minyak.
Mahesa Kelud yang'tertegun dalam gelegak ma-
rah serta kebingungan itu baru sadar ketika didepan-
nya terdengar jerit Supitmantil. Dibawah hujan lebat
tampak pakaian putih lelaki itu basah oleh air hujan
dan ada cairan merah. Darah! Sementara sinar merah
pedang ditangan Wulansari menyambar bergulung-
gulung. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri,
juga tak mampu menghindar dari serangan ganas
perempuan yang lebih dari dua bulan telah jadi istri-
nya. Luka besar menganga di dada kanannya, lalu
satu tusukan menghantam bahu sebelah kiri. Supit-
mantil terhuyung-huyung. Luka pedang menimbulkan
hawa panas di sekujur tubuhnya.
"Wulan . . . Aku mohon jangan bunuh aku. Aku
mohon Wulan . .." pinta Supitmantil meratap.
Tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang dihati
Wulansari. Malah ratapan lelaki itu membakar ama-
rahnya. Pedangnya membabat, membacok dan me-
nusuk berulang-ulang. Supitmantil yang sudah tidak
berdaya dan memang tidak memiliki kepandaian
silat yang dapat menyelamatkan dirinya terhuyung
kian kemari menjadi bulan-bulanan serangan pedang
hingga akhirnya tubuhnya terkapar di tanah mandi
darah. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-
megap, berusaha bernapas dan masih meratap minta
dikasihani. Tapi tak ada suara yang keluar, selain
rintihan. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua
mata itu kini membeliak putih menatap ke langit
yang masih terus menumpahkan hujan.
Wulansari memekik beringas. Pedang Dewi di
tangan kanannya ditusukkan dalam-dalam ke leher
Supitmantil. hingga menembus sampai ke tanah.
Wulansari tak berusaha mencabut senjata itu, seperti
sengaja membiarkannya terus tertancap di leher
Supitmantil, lelaki yang disangkanya benar-benar
sangat mengasihinya, tetapi ternyata srigala berbulu
domba yang telah menipu dan menghancurkan hidup-
nya.
Ketika dia membalikkan tubuh, pandangannya
membentur Mahesa Kelud. Ingin sekali dia memeluk
Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia me-
rasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang
tak layak melakukan hal itu. Maka dibawah hujan
lebat Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di
tangga serambi dan menangis dengan kedua tangan
ditutupkan ke wajah.
Mahesa Kelud melangkah mendekati mayat Su-
pitmantil, mencabut pedang sakti yang menancap
di lehernya lalu menendang mayat lelaki itu hingga
mental jauh ke lereng gunung. Pedang Dewi
kemudian diletakkannya di tangga serambi, di
samping Wulansari. Tak ada hal lain yang bisa
dilakukan oleh Mahesa selain bertekad meninggalkan
tempat itu membawa segala kesengsaraan dan
kehancuran hatinya. Sebenarnya ingin dia
mengatakan sesuatu pada Wulansari, namun bibirnya
terasa berat dan lidahnya seperti kelu kaku. Dia hanya
bisa memandangi Wulansari beberapa jurus lamanya
Ketika membalikkan diri hendak pergi, dibawah deru
hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar
suara seseorang.
"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian mengha-
dapi cobaan yang besar dan berat ini . !"
Wulansari turunkan kedua tangannya yang me-
nutupi muka dan memandang ke depan. Sedang
Mahesa cepat membalik.
"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan Ke-
duanya menjura hormat.
Di halaman sana, dibawah hujan lebat tegak se
orang sangat tua, berambut putih laksana kapas.
Mukanya meskipun tua tapi masih licin, janggut dan
kumisnyapun juga putih. Di bahu kirinya kelihatan
seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si
Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan
sepasang pedang sakti serta ilmu Dewa Pedang Dela-
pan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.
"Kalian berdua dengarlah ..." Suara Tanpa Rupa
kembali berkata. "Jika ada manusia paling bersalah
dalam persoalan kalian, orang itu itu adalah aku si
tua buruk ini. Mahesa . . . aku telah menikahkan
istrimu dengan Supitmantil tanpa melakukan pe-
nyelidikan. Aku benar-benar merasa bersalah .. ."
Terdengar tangis Wulansari meninggi. Mahesa
tegak termangu lalu berkata: "Guru, tak ada yang
salah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir
dan kehendak Tuhan . .. Kita manusia hanya
menerima nasib."
Suara tangis Wulansari semakin memilukan.
"Tak lama setelah aku menikahkan mereka, ada
timbul satu kecurigaan dalam hatiku. Namun karena
ada satu pekerjaan yang harus kurampungkan, baru
saat ini aku bisa muncul disini. Ternyata kedatangan-
ku sudah terlambat..."
"Guru, apa pun yang telah terjadi aku tetap
menghormatimu," kata Mahesa. Dia mengusap muka-
nya yang basah oleh air hujan lalu menyambung:
"Guru, izinkan aku pergi sekarang . . ."
"Tunggu, jangan pergi dulu muridku," kata
Suara Tanpa Rupa.
Saat itu Wulansari telah berdiri sambil pegangi
Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di
tangan kiri. Dia melangkah kehadapan Suara Tanpa
Rupa seraya berkata: "Guru, aku merasa tidak layak
lagi memegang senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor.
Biarlah kuserahkan kembali padamu . .."
"Tidak muridku. Apa yang telah kuberikan pada-
mu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pe-
dang itu ke dalam sarungnya Mari kita bicara di
dalam rumah ..."
Wulansari menggeleng, suaranya terbata-bata.
Tak jelas apa yang dikatakannya kemudian. Mata-
nya sekilas memandang pada Mahesa Hatinya han-
cur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan ke-
inginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi kenyata-
an padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan
dirinya. Lalu apakah gunanya hidup ini dengan se-
tumpukan kesalahan dan dosa yang membungkus
dirinya?
Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali.
Baik Mahesa, maupun Suara Tanpa Rupa yang
berada dekat dengan Wulansari tak mampu
mencegahnya, ketika perempuan itu tiba-tiba sekali
menusukkan pedang merah sakti itu ke dadanya.
"Wulan!" seru Mahesa seraya melompat ke depan.
Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang ta
ngan muridnya Tapi keduanya tetap sama terlambat
Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus
sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya
menatap ke arah Mahesa. Pandangan itu kemudian
berbinar-binar sayu. Ketika Mahesa mendukung tu-
buhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu
bagus menawan itu kini terkatup terpejam dan tak
akan pernah lagi terbuka.
Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin
deras. Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di
puncak gunung Muria itu.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar