SATU
LANGKAH, REZEKI,
JODOH DAN MAUT…….
ITULAH empat parkara yang tidak dapat ditentukan oleh
manusia. Keempatnya berada dalam kuasa dan
kehendak Yang Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak
itulah yang menjadi dasar dari jalannya cerita, menyangkut
pendekar sakti mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya
Wulansari....
PUNCAK GUNUNG MURIA----
Pagi itu langit tampak mendung. Angin bertiup kencang.
Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu,
memperhatikan Wulansari—yang sejak lebih dua bulan lalu
jadi istrinya—berkemas-kemas. Hatinya gembira karena
akhirnya hari itu Wulansari bersedia juga meninggalkan
tempat kediamannya itu. Selama ini Supumantil selalu
merasa kawatir kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba
muncul.
"Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil.
Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang
Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah
lebih dari dua bulan dia menjadi isteri lelaki itu, namun
bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang pertama—yang
disangkanya benar-benar sudah mati—tidak dapat pupus
dari ingatannya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil
ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah lembut
tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan
Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia sadar cintanya
terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap
Mahesa.
"Hai! Mendung sekali cuaca hari ini. Dan angin begini
kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulansari
ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana kalau kita
tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru
kita berangkat."
Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-
cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari
seraya memandang ke langit lalu berkata: "Cuaca memang
agak buruk. Tapi hujan tak segera akan turun. Paling cepat
satelah kita sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita
berangkat sekarang saja Wulan."
Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya.
Untuk terakhir kali dia mamandangi rumah kayu di puncak
Muria itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan
rumah penuh kenangan. Entah kapan akan kembali lagi ke
situ. Kadua matanya berkaca-kaca.
"Mari Wulan," bisik Supitmantil.
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu menuruni
serambi rumah, melangkah ka ujung kiri halaman di mana
tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak
membantu Wulansari naik ke atas kuda, tiba-tiba terdengar
satu seruan yang luar biasa mengejutkan baik Wulansari
apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini berubah
sapucat kain kafan!
"Wulan! Aku datang!"
Sebelum gema saruan itu lanyap, sesosok bayangan
berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak
enam langkah di dapan kedua orang itu, menatap dengan
pandangan mata aneh, penuh tanda tanya.
"Mahesa! Kau . .. !"
Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajah-
nya namun lebih banyak terlihat bayangan ketidak-
percayaan akan pandangan matanya sendiri!
"Mahesa! Betul kau ini yang datang ... ?!"
"Wulan .... Ada apa? Apakah matamu tidak melihat
hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahesa tanpa
bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak ber-
jumpa dan penuh kerinduan tentu saja saat itu ingin dia
memeluk istrinya. Tapi entah mengapa dia tetap diam di
tempatnya. Ada sesuatu kelainan dirasakannya di puncak
gunung Muria itu.
"Aku tidak buta. Aku dapat melihatmu dangan jelas
Mahesa. Tapi .... Tentu Tuhan telah menyelamatkanmu dari
malapetaka itu!"
Wulansari sandiri ingin lari menubruk Mahesa. Namun
detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang telah
menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini merasakan
tubuhnya berguncang, dadanya bargatar. Jalan nafasnya
menjadi sesak. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa
terjadi... ?"
Meskipun tambah heran malihat sikap dan mendengar
ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan.
Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk
jurang batu. Seorang kakek sakti menolongku. Bagaimana
kau bisa tahu kalau aku selamat dari malapetaka masuk
jurang batu itu ... ?"
"Jurang batu . . . ?" Wulansari mengulang heran.
"Ya, jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu
malapetaka yang kau maksudkan?" Mahesa berpaling
sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku
Supitmantil di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap
hendak meninggalkan tempat ini...."
Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah
gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara ber-
siuran. Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa
berkibar-kibar ditiup angin. Mendadak saja dia teringat
mimpinya waktu di goa dulu. Mimpi rembulan disambar
petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma. Puncak
gunung Muria bergetar. Tapi lebih hebat lagi getaran yang
ada di dada ketiga orang itu!
"Mahesa! Ya Tuhan….Kalau taja aku tahu kau masih
hidup!" Wulansari menjerit setengah meratap sedang
kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana ….
bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi ....?"
"Memangnya siapa yang mengatakan aku sudah mati
Wulan?" tanya Mahesa. Ketika Wulansari tak menjawab
Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu
dia maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah
kakinya tertahan seperti dipantek ke tanah ketika
mendengar keterangan Wulansari.
"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah
laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia .... dia.... "
Wulansari berpaling ka arah Supitmantil dangan mata
berapi-api. "Dia yang mengatakan semua itu. Lalu dia
meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi
bahwa kau masih hidup aku .... aku .... "
"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?!" Suara
Mahesa bergetar. Dadanya terasa panas seperti mau
meledak.
Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai
dan meluncur ke bawah, jatuh berlutut.
"Jadi, jelas dia telah menyusun cerita dusta!" Rahang
Mahesa Kelud menggembung. "Aku menyesalkan kau
begitu mudah percaya dan tidak menyelidik . . . ." Dangan
mata membeliak garang dan pelipis bergerek-gerak
Mahesa barpaling pada Supitmantil, "Manusia keparat!
Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba.
Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"
Mahesa melompat ke dapan. Kedua tangannya
terkembang. Dari mulutnya tardengar suara menggeram
seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsa-
nya.
"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit meng-
hindar. "Aku akan terangkan pada kalian ...."
"Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang
memberi keterangan pada setan-setan neraka!" teriak
Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat
sebat. Sinar merah berkiblat. Ternyata perempuan ini telah
mencabut Pedang Dewi pemberian gurunya Suara Tanpa
Rupa. Tetapi dia bukan menyerang ka arah Supitmantil,
melainkan memapas serangan Mahesa Kelud!
"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!" teriak
Mahesa. Di samping marah hatinya juga hancur sekali
melihat kenyataan ini.
"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau
membunuhnya! Dia harus mampus di tanganku!" balas
teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat
menyurutkan amarah dan sakit hati Mahesa Kelud.
Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam
pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer
nyalinya pergunakan kesempatan untuk melompat ke
punggung salah seekor dari dua kuda yang ada di situ.
Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu,
Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu
bacokan pedang sakti yang ganas.
Supitmantil cepat melompat dari punggung kuda
selamatkan diri. Sesaat kemudian terdengar ringkik
binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari
membabat lehernya, membuat luka manganga yang amat
besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini lari
menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah
lari beberepa belas tombak, meringkik keras untuk
penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas lagi!
Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulang
kali disusul gelegar guntur. Bagitu meloncat dari kuda dan
lolos dari samberan pedang Wulansari, Supitmantil
selamatkan diri ke balik sabatang pohon. Maksudnya
hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat sarta
kabut yang menutup pemandangan. Tetapi dua sosok
tubuh lebih cepat bergerak menghadang. Di sebelah kanan
Mahesa Kelud, di sebelah kiri Wulansari.
"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?" tanya
Supitmantil dangan suara bergetar. Dalam ketakutan yang
amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas
harapan. Tapi dia keliru.
"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas
hidup di muka bumi ini?!"
"Siapapun diriku aku adalah suamimu! Kita kawin
sacara sah!"
"Suami jahanam! Kau barhasil memperistrikanku karena
menipuku!" teriak Wulansari lalu siap untuk membantai
dengan pedang saktinya. Namun tubuhnya tersentak dan
mukanya pucat ketika tiba-tiba Supitmantil berkata.
"Kalau kau membunuhku, bagaimana dangan benih bayi
yang kini kau kandung?! Apa kau ingin melahirkan seorang
anak tanpa ayah? Anak yang ayahnya mati di tangan
ibunya sendiri?!"
Wulansari merasakan tengkuknya sedingin es.
Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya meng-
gemuruh seperti sebuah kepundan gunung api yang siap
meledak memuntahkan cairan dan lumpur panas! Jelas
rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan
secara sah. Bahkan Wulansari kini tengah hamil, mungkin
sakitar satu atau dua bulan. Menghamili anak hasil
hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat
yang telah mengkhianatinya secara terkutuk. Kalau tadi
dalam kemarahannya Mahesa ingin sekali membunuh
Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri.
Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah
menipu Wulansari untuk dapat mengawini perempuan itu.
Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak terlepas dari
kasalahan? Yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat
mau saja menerima Supitmantil jadi suaminya. Seolah-olah
kasih sayang dan kecintaannya terhadap dirinya hanya
selapis kabut yang segera lenyap begitu tertiup angin dan
kini hanya tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang
telah mengawini mereka dan di mana? Jika dia membunuh
Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi
janda, memelihara seorang anak tanpa ayah?
Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa Kelud ter-
hadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih
tersemat rasa cinta kasih terhadap parempuan itu meski-
pun kini mungkin hanya seperti sebuah pelita kehabisan
minyak.
Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi
kemudian menjadi bingung sendiri, baru sadar ketika di
depannya terdengar raungan Supitmantil.
Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang
basah oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah.
Darah! Sinar pedang di tangan Wulansari menyambar tiada
henti. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri bahkan
sama sekali tidak mampu menghindar dari serangan ganas
perempuan yang selama dua bulan menjadi istrinya itu.
Luka besar menganga di sekujur tubuhnya. Ketika
Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah
kiri Supitmantil terhuyung-huyung. Luka-luka yang diderita-
nya menimbulkan hawa panas di sekujur tubuhnya.
"Wulan .... Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon
Wulan ..." pinta Supitmantil meratap.
Namun saat itu tak ada belas kasihan apalagi kasih
sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki itu malah
membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok
dan menusuk berulang kali. Dari mulutnya tiada henti
terdengar pekikan mengerikan. Supitmantil yang menjadi
bulan-bulanan serangan pedang akhirnya terkapar di tanah
becek dalam keadaan menggidikkan. Tubuhnya seperti
dicincang. Beberapa bagian anggota lengan dan kakinya
buntung putus. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-
megap berusaha bernafas dan tampak separti hendak
mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar dari
mulutnya. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata
itu kini membeliak putih memandang ke langit yang masih
terus menumpahkan air hujan.
Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus
deru angin dan hujan lebat. Mukanya tampak beringas dan
sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi yang
masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-
dalam ke leher Supitmantil hingga menembus sampai ke
tanah. Wulansari tak berusaha mencabut pedang merah
itu, membiarkannya sengaja menancap tarus di leher lelaki
yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula
disangkanya benar-benar mengasihinya. Tetapi kemudian
ternyata srigala berbulu domba. Yang telah menipu dan
menghancurkan kehidupannya.
Ketika perempuan ini membalikkan tubuh, pandangan-
nya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada
wajahnya langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari
memeluk Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia
merasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang tak
layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat
Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga
serambi depan dan menangis sambil menutup wajahnya
dengan kedua tangan.
Mahesa Kelud tarmangu sesaat Apakah dia akan
mendatangi Wulansari. Atau .... Ternyata Mahesa Kelud
kemudian melangkah mendekati mayat Supitmantil.
Dicabutnya pedang yang menancap di leher lalu
ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng
gunung. Pedang Dewi yang berlumuran darah itu kemudian
diletakkannya di tangga serambi, di samping Wulansari.
Setelah diam sejenak lelaki ini marasa tak ada hal lain
yang bisa dilakukannya selain bertekad meninggalkan
tempat itu membawa segala kesengsaraan dan
kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali
ingin dia mengatakan sesuatu pada Wulansari. Namun
bibirnya terasa berat, lidahnya kelu dan tenggorokannya
terasa kering. Dia hanya bisa memandangi perempuan
yang pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu.
Ada air mata membasahi kadua matanya. Sebelum air
mata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera
membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu di
bawah deru hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba
terdengar gelegar suara seseorang.
"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi
cobaan yang sangat besar dan maha berat ini... !"
Perlahan-lahan Wulansari turunkan kedua tangannya
yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa
sendiri cepat membalik.
"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan dan cepat
menjura hormat.
Di halaman di seberang sana, di bawah hujan lebat
tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana
kapas. Mukanya meski tua tapi masih licin. Janggut dan
kumisnya pun putih, juga kedua alis matanya. Di atas bahu
kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain
adalah si Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan
sepasang pedang sakti serta ilmu Pedang Dewa dari
Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.
"Kalian berdua dengarlah . . . ." sang guru kembali ber-
kata. "Jika ada manusia paling bersalah dalam persoalan
kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk ini.
Mahesa… aku telah menikahkan istrimu dengan Supit-
mantil tanpa melakukan penyelidikan. Aku benar benar
merasa bersalah...."
Terdengar ratap tangis Wulansari meninggi. Mahesa
tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya.
"Aku benar-benar bersalah. Bagaimana aku harus minta
maaf…" terdengar kembali suara sang guru penuh
penyesalan.
Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata:
"Guru tak ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua
ini sudah takdir dan kehendak Tuhan .... Kita manusia
hanya menerima nasib."
Tangisan Wulansari terdengar semakin memilukan.
"Tak lama setelah aku menikahkan mereka…"
menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu
kecurigaan dalam hatiku. Namun karena ada satu
pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru
saat ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku
sudah sangat terlambat!"
Di bawah hujan lebat wajah orang tua yang kelimis itu
tampak pucat penuh penyesalan. Anak rusa yang ada di
pundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud seolah
mengerti kehancuran hati dan kehancuran hidup yang
dihadapi pemuda itu.
"Guru…" kata Mahesa pula. "Apapun yang telah terjadi
saya tetap menghormatimu." Diusapnya mukanya yang
basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang. . ."
"Tunggu! Jangan pergi dulu . . .!" seru Suara Tanpa Rupa
ketika dilihatnya muridnya hendak memutar tubuh.
Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang
Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri.
Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa seraya
berkata: "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang
senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor. Biarlah pedang ini
saya serahkan kembali padamu ...."
Suara Tanpa Rupa menggeleng.
"Tidak muridku," katanya. "Apa yang telah kuberikan
padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pedang
itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di dalam rumah…"
Kini Wulansari yang balas menggeleng. Dia mengatakan
sesuatu tapi suaranya terbata-bata, tak jelas apa yang
diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada Mahesa.
Hatinya perih hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan
Mahesa dan keinginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi
kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharap-
kan dirinya. Lalu apakah lagi gunanya hidup ini dengan
setumpuk dosa dan kesalahan tak berampun mem-
bungkus diri? Rasa malu dan putus asa membuat
perempuan ini menjadi nekad.
Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali. Baik
Mahesa maupun sang guru yang berada dekat dengan
Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu
tiba-tiba sekali menusukkan pedang merah sakti ke
dadanya.
"Wulan!" seru Mahesa dan cepat melompat ke depan.
Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan
muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat.
Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus
sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya
menatap sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum di
sudut bibirnya. Lalu pandangan mata itu mulai berbinar-
binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika Mahesa
mendukung tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata
yang dulu indah menawan itu kini terkatup dan tak akan
pernah lagi terbuka.
Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras.
Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak
gunung Muria itu ....
***
Satu pemandangan baru kini tampak di puncak gunung
Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah di
bawah sabatang pohon rindang di rumah kayu. Saat itu
menjelang tengah hari. Hujan telah lama berhenti tapi
angin masih kencang dan udara masih terasa dingin.
Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala
kuburan. Kemudian pemuda ini berdiri, berpaling pada
orang tua yang tegak di kaki makam dan berkata: "Guru
sudah saatnya saya pergi sekarang…"
Suara Tanpa Rupa manarik nafas dalam dan meng-
angguk.
Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa
melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah
tujuanmu ... ?"
"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat
menjawab..." sahut si pemuda.
Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang
dipegangnya.
"Ambillah senjata pasangan Pedang Dewi ini. Bawalah
biar lengkap perbendaharaan senjata saktimu...,"
Gelengan kapala Mahesa Kelud membuat si orang tua
tercengang.
"Kau tak mau menerimanya Mahesa ... ?"
"Tarima kasih guru. Kau baik sekali. Bukan saya tak mau
menerimanya, tapi tidak berani...."
"Kenapa tidak berani?"
"Membawa Pedang Dewa saja besar tantangannya bagi
murid, apalagi membawa pasangannya sekaligus. Malah
kalau guru tidak keberatan, murid ingin mengembalikan
Pedang Dewa ini…" Mahesa bergerak hendak mengambil
pedang sakti yang tersisip di balik punggungnya.
"Jangan kau lakukan itu Mahesa!" kata Suara Tanpa
Rupa dengan keras dan jelas merasa tersinggung. Namun
orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai
bertindak begitu karena tekanan perasaan yang meng-
gejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua ini
pun kembali berkata dengan nada sabar.
"Muridku, aku mengerti perasaanmu saat ini. Mungkin
mati pun kau mau. Namun hal ini mengingatkan aku pada
seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya
Kunti Kendil. Aku tak tahu di mana dia berada sekarang.
Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan sampai perasaan
mangalahkan pikiran. Kuharap hal itu tidak akan terjadi
padamu. Karena jika manusia lebih banyak bertindak ber-
dasarkan perasaan, bukan menurut pikiran, akan celaka-
lah dia ..."
"Murid akan perhatikan kata-katamu itu guru," sahut
Mahesa. "Hanya saja memang saat ini saya merasa sangat
terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan derita
agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata
mengambil saya jadi murid sampai saat ini saya tak pernah
lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya orang yang saya
kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal
ini…?"
"Mahesa." kata Suara Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika
pertama kali kau memegang Pedang Dewa? Mula-mula kau
merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuh-
mu. Lalu hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk
menyegarkan yang memberikan satu kekuatan tenaga
dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk
memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang
ada di situ. Setelah semua dimusnahkan dan dirimu
menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk
kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru.
Kekuatan yang berdasarkan amalan suci, berdasarkan
jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan
perasaan sesat. Karenanya selayaknya saat ini kau tidak
harus menyesali diri sendiri, menyesali kehidupanmu,
apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau mendengar
dan mengerti Mahesa?''
"Murid mendengar dan mengerti, guru."
"Bagus. Sekarang kau boleh pergi. Jika kau tak ingin
membawa serta Pedang Dewi tak jadi apa. Senjata sakti ini
akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan
suatu saat bisa kuserahkan pada seorang pengganti
Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba
belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi
kejahatan dan kesesatan."
Mahesa Kelud menjura hormat dalam-dalam, beberapa
saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik
itu, lalu tinggalkan puncak gunung Muria.
Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang. "Saatnya
kita juga pergi Joko," katanya pada anak rusa di pundak-
nya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat tersebut....
***
DUA
SEPERTI biasanya malam menjelang pagi udara selalu
terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan
turun dengan lebat maka sejak dini hari udara dingin
terasa lebih mencucuk sampai ke tulang sumsum. Di
bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam
yang masih memekat sesosok bayangan berkelebat cepat
menuju pusat kota di mana Istana Sultan Banten terletak.
Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah
gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti
setan malam yang berkelebat, lenyap sebelum dapat ter-
lihat jelas. Dalam waktu singkat dia sudah berada di luar
tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter
dan ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya.
Dengan satu lompatan luar biasa orang berpakaian
hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana.
Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam
istana, tepat di sebuah taman besar yang terletak di bagian
belakang istana. Dua orang penjaga yang bertugas
terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera
memburu dangan tombak di tangan. Tiga langkah dari
hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan lengan
kanan baju hitamnya, Selarik angin menerpa deras.
Perajurit di sebelah kanan keluarkan keluhan pendek.
Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di halaman
taman. Kawannya yang satu lagi angkat tombaknya tinggi-
tinggi, siap untuk menghujamkan senjata ini ka arah orang-
orang berpakaian serba hitam, tapi belum sempat bergerak
lebih jauh kembali si baju hitam lambaikan lengan pakaian-
nya. Hal yang sama terjadi. Perajurit kedua mencelat,
roboh pingsan dekat bangku batu. Dengan mudah, tanpa
banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke ujung kiri
halaman belakang di mana terletak sebuah bangunan
besar dan bagus. Di sini terdapat beberapa kamar besar
tempat ketiduran istri-istri Sultan. Masing-masing kamar
tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja karena
dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang
besar.
Di tangga bangunan besar yang tampaknya sepi tiba-
tiba saja orang berpakaian serba hitam itu dapatkan diri-
nya sudah dikurung oleh empat orang pengawal bersenjata
golok. Salah seorang pengawal membentak.
"Maling tua dari mana yang malam-malam begini berani
masuk istana Banten?!"
Orang yang dibentak menyeringai. Dia ternyata memang
seorang tua bermata sangat cekung, berambut panjang
hitam dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan aneh
dan luar biasa cepatnya. Dua pengawal di sebelah depan—
salah satu di antaranya yang tadi membentak—langsung
roboh begitu dada masing-masing dilabrak jotosan kaki
kanan orang itu! Melihat ini pengawal yang dua lagi tanpa
banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun meraka
pun menerima nasib sama. Dengan mudah orang tua
berpakaian serba hitam itu tundukkan tubuh mengelakkan
sambaran golok. Di lain saat jotosan kirinya menghantam
perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan terguling
pingsan. Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang
memegang golok. Sekali banting saja pengawal ini ter-
sungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya lepas!
Sesaat orang berpakaian hitam itu memandang ber-
keliling. Merasakan segala sesuatunya aman maka dia pun
berkelebat menuju pintu depan bangunan besar.
***
Hari masih gelap dan pagi belum datang ketika seorang
perajurit mamacu kudanya menuju gudang besar
kediaman Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap
tidur segera dibangunkan dan langsung menemui prajurit
itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara menghadap.
"Apa yang terjadi?" tanya Sumapraja.
"Mohon dimaafkan, saya tak boleh mengatakan apa-
apa. Hanya diperintah agar patih segera datang ka
istana…." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat
pergi.
Penuh rasa heran patih Sumapraja segera berganti
pakaian. "Apakah Sultan gering…?" pikir patih berusia
setengah abad ini.
Ketika dia sampai di istana bersama pengiringnya
didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar dan di
dalam istana. Dia diantar ke sebuah ruangan di bagian
belakang istana di mana telah duduk menunggu Sultan
Hasanuddin. Selesai mengatur sembah Sumapraja segera
bertanya mengapa Sultan memanggilnya. Dilihatnya keada-
an dalam istana tidak seperti biasa. Dua orang istri Sultan
duduk di sebuah kursi panjang sedang di lain sudut dilihat-
nya beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi
keperluan permaisuri dan istri-istri Sultan duduk di lantai,
bersimpuh sambil terisak- isak.
Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih
Sumapraja. Dia tegak dari duduknya lalu memegang bahu
sang patih dan mengajaknya melangkah menuju rumah
besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung
masuk ke sebuah kamar. Di situ tampak para pengawal
memenuhi ruangan dengan senjata terhunus.
Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus ter-
baring tubuh seorang perempuan muda berparas cantik
yang segera dikenali oleh patih Sumapraja sebagai Dewi
Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya
perempuan ini seperti tidur nyenyak. Namun setelah lebih
diperhatikan patih Sumapraja segera melihat bahwa ada
tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga Sultan itu.
Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana
Sumapraja juga mendapat laporan bahwa enam orang
pengawal istana ditemui pingsan, satu di antaranya malah
telah menemui ajal.
Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan kenyataan
namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa
yang sebenarnya telah terjadi, sampai pada saat Sultan
Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan pertemuan.
Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi
kerajaan. Di ruangan ini Sultan menyerahkan sehelai surat
pada patih Sumapraja seraya berkata: "Surat itu ditemui di
atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah paman patih."
Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya
dan membaca isinya.
Sultan Hasanuddin,
Sumpah bukannya sumpah kalau tidak menjadi
kenyataan.
Sepuluh orang yang sangat kau kasihi dalam
hidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semua
itu untuk membalas sakit hati kematian murid-
muridku.
Hari ini korban pertama menemui kematiannya.
Dalam waktu dekat akan menyusul korban kedua!
Surat itu tidak ada tanda tangan ataupun nama
pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu
menatap langit-langit ruang pertemuan seperti merenung.
"Paman patih bisa menduga siapa penulis sekaligus
pembunuh Kemulansari . . . ?" bertanya Sultan.
"Bunyi surat ini mengingatkan saya pada kutukan
seorang tokoh silat Pajajaran pada peristiwa beberapa
waktu lalu Ki Balangnipa ... !"
"Betul!" kata Sultan pula. "Aku yakin memang dia
orangnya. Dua tahun lebih telah berlalu. Segala sesuatunya
aman tenteram di dalam dan di luar istana walau sampai
saat ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan
Kepala Pengawal Istana. Tahu-tahu sumpah orang itu
benar-benar dijalankannya...."
Pikiran Sultan dan sang patih teringat kambali pada
peristiwa dua tahun yang silam. Waktu itu dalam sebuah
sayembara mencari orang yang dapat dijadikan Kepala
Balatentara Karajaan telah keluar sebagai pemenang
seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya
maka dia diberi gelar Raden Mas. Setelah menduduki
jabatan tarsebut ternyata barsama saudara seperguruan-
nya bernama Jaka Luwak, Tirta melakukan pengkhianatan.
Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran
untuk menghancurkan Banten di mana kelak dia dijadikan
kedudukan sebagai patih Pajajaran dan sekaligus menjadi
penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum maksud
busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan
diketahui oleh Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal
Istana Banten. Celakanya Tirta dapat memutar balik
kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan
mengatakan bahwa sebenarnya Ekawiralah yang diam-
diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan,
Tirta memperlihatkan sepucuk surat dari raja Pajajaran
yang ditujukan pada Ekawira, padahal surat ini adalah
surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya Ekawira
ditangkap dan dipenjarakan. Tapi dengan pertolongan
Mahesa Kelud yang menjadi pembantu kepercayaannya
Ekawira kemudian berhasil melarikan diri.
Dalam pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil
mencari tahu siapa sebenarnya ular kepala dua yang telah
mengkhianati Banten. Dari keterangan seorang mata-mata
Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan
Sultan diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta
kakaknya seperguruannya Jaka Luwak yang hendak
merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu
dengan Pajajaran.
Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara.
Menemui ajal di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang
pemuda yang bernama Unang Bonalola yang sebenarnya
berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum
Tirta muncul dangan tiba-tiba dan mengalahkannya dalam
sayembara yang sebenarnya talah ditutup. Jaka Luwak,
saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa
Kelud lalu dibawa ke Banten. Namun sebelum dia sempat
memberi keterangan apapun pada Sultan, Ki Balangnipa
muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup
rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan
sumpahnya terhadap Sultan. Yakni dia akan membunuh
sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat
kematian kedua orang muridnya. Resi Mintaraya sendiri
kemudian juga menemui kematiannya di tangan Ki
Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan
jurus. Sementara Ekawira yang tadinya memegang jebatan
Kepala Pengawal Istana meninggalkan jabatannya meski-
pun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang lebih
tinggi yaitu Kepala Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah
terlanjur sakit hati atas perlakuan Sultan. Bersama Mahesa
Kelud dia meninggalkan Banten.
"Sultan ...," kata patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin
salah satu kelalaian kita yang sampai saat ini masih belum
mendapatkan seorang yang pantas untuk jabatan Kepala
Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan . .. ."
"Mungkin." jawab Sultan perlahan, "tapi kita telah
berusaha mencarinya. Hanya saja belum mendapatkan
calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan
sayembara seperti dua tahun lalu? Kau tahu sendiri hasil-
nya paman. Salah-salah kita bisa kemasukan pengkhianat
lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa
kau rangkap ..." Setelah diam sesaat Sultan kembali ber-
kata "Kelalaian atau kekeliruan itu tidak saatnya kita
bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua
di sini sudah tahu di mana tempat kediaman Ki
Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik
ke puncak Gunung Gede. Cari dan dapatkan pembunuh itu.
Aku ingin melihat tubuhnya digantung di alun-alun!"
"Perintah saya jalankan Sultan!" jawab patih Sumapraja
seraya berdiri. Sebelum pergi dia bertanya: "Adakah hal lain
yang ingin Sultan katakan sebagai petunjuk ...?"
"Sebelum pergi minta beberapa orang pajabat kita untuk
menghubungi tokoh silat. Dengan adanya kejadian ini kita
memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat istana yang
ada kurasa masih belum cukup…"
"Akan saya jalankan Sultan. Cuma harap Sultan
maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para
tokoh silat tampak seperti menjauhkan diri dari istana…."
Sultan jadi termenung beberapa lamanya.
"Apa kau tak pernah mendengar lagi tentang Ekawira?
Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian tinggi
itu. Siapa namanya….?"
"Mahesa Kelud," jawab sang patih. Lalu dia meng-
gelengkan kepala. "Keduanya tak pernah terdengar lagi
Sultan….."
Sultan Hasanuddin menarik nafas panjang. Setelah
memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang
menyangkut keamanan lingkungan istana maka sidang
darurat itupun dibubarkan. Hari itu Sultan kehilangan salah
satu dari orang-orang yang dikasihinya. Masih sembilan lagi
akan menyusul.
***
TIGA
SESAMPAI di kaki barat gunung Muria Mahesa Kelud
seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi
dia akan menuju ke mana. Dirinya terasa kosong.
Pendekar malang ini akhirnya menundukkan diri di bawah
sebatang pohon waru. Apa yang akan dilakukannya dan ke
mana dia harus pergi? Semula terlintas dalam pikirannya
untuk pulang saja ke kampung halamannya di kampung
Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di
sana apa yang akan diperbuatnya? Kedua orang tuanya
sudah tak ada lagi. Mati dibunuh Simo Gembong yang juga
adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun tidak
punya. Saat itu baru disadarinya kalau dirinya sebatang
kara di dunia ini. Dapatkah dia melupakan masa lalunya
yang serba pahit dan getir itu? Sekilas timbul keinginannya
untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan jadi
pertapa. Namun kemudian dia tertawa sendiri. Orang
semuda dia mana mungkin tabah menjadi pertapa.
Mahesa tak sadar entah berapa lama dia merenung-
renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya
tampak mulai suram tanda hari sudah sore menjelang
senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dari duduknya.
Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih
menikam dari keletihan aurat. Sesaat ketika dia hendak
melangkah pergi di atas pohon di depannya dilihatnya
sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari satu
cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Kera betina
tampak melompat-lompat sambil mendukung seekor anak-
nya yang mungil dan tak henti-hentinya mengeluarkan
suara hiruk pikuk. Kera yang jantan tegak di cabang pohon,
memandang tepat-tepat ke arah Mahesa sambil
menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya yang
tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti meng
gereng. Sikapnya jelas seperti bertindak waspada
melindungi anak dan istrinya.
"Aku tak akan mengganggumu. Apalagi menyakitimu!
Jangan kawatir. Aku bukan orang jahat!" kata Mahesa pada
kera-kera itu. Sang anak kembali berteriak hiruk-pikuk.
Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan
terus memandang beringas dan tak berkesiap pada
Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan lagi binatang-
binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja
dia menghentikan langkahnya. Telinganya sEbelah kiri
mendadak mendenging. Di saat itu juga teringatlah dia
pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang
telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa
lalu akibat ditipu diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias
Iblis Buntung. Ah, di manakah perempuan yang malang itu
kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai
kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan
baca: Pedang Sakti Keris Ular Emas) Lalu bagaimana pula
dengan bayinya yang bernama Lutung Bawean, benarkah
bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukan dan
suaminya manusia bertubuh monyet yang dikenal dengan
nama Lutung Gila? Lalu bagaimana pula dengan lutung
raksasa yang disebut Raja Lutung itu? Langkah pendekar
dari gunung Kelud ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke
bawah pohon waru tadi sementara kera-kera di atas pohon
sana telah lenyap masuk ke dalam rimba belantara.
Diam-diam Mahesa merasakan ada rasa bersalah dan
berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu
terjadi antara dia dengan Kemaladewi adalah akibat
kejahatan si Iblis Buntung yang sengaja memasukkan obat
perangsang ke dalam minuman mereka. Yaitu ketika kedua
muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman si nenek
jahat. Setelah sadar apa yang terjadi Kemaladewi meminta
agar Mahesa bersedia mengawininya. Sesungguhnya
Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai
pemuda itu.
Sebaliknya Mahesa yang sudah tertambat hatinya pada
Wulansari tidak dapat memberi kata putus. Dia berjanji
setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang Samber
Nyawa, dia akan kembali menemui gadis itu untuk mem-
bicarakan persoalan mereka.
Namun sampai Kemaladewi melahirkan seorang anak
lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia
dibingungkan dengan rasa curiga, apakah betul anak itu
hasil hubungan mereka dulu, dan bukan dari perkawinan
Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung Gila
itu?
Mahesa ingat pada peristiwa sekitar dua tahun silam di
Perguruan Ujung Kulon. Itulah saat terakhir kali dia melihat
Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat mempengaruhi
jiwa raganya. Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya
seperti seorang yang tidak waras lagi. Pakaian dan rambut-
nya kotor awut-awutan ....
Saat itu Kemaladewi muncul sambil menggendong bayi.
Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai
bulu lutung menutupi sekujur tubuhnya. Selain aneh
makhluk setengah manusia setengah lutung itu jelas
berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidak
warasan itu Lutung Gila ternyata memiliki ilmu silat hebat
luar biasa yang didapatnya dari ayah angkatnya yakni Raja
Lutung.
Raja Lutung yang memiliki kepandaian sukar di
gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu.
Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila bersama anaknya,
Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah
membantai lebih dari setengah lusin anak murid
perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat dirinya
menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung
Gila membunuh pula beberapa orang anggota perguruan.
Angka kamatian bertambah menjadi lebih dari selusin. Dan
dari sekian banyaknya anak murid perguruan kini hanya
tinggal empat orang yang masih hidup.
Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi dan Lutung Gila
bukan saja membuat geger dunia persilatan tinggi tetapi
sekaligus membuat prihatin para tokoh silat. Mereka yang
tidak bisa berpangku tangan segera mendatangi Ujung
Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan
dan nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk
melenyapkan ketiga mahluk itu. Namun mereka semua
tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung
Kulon hidup-hidup. Semua menemui kematian dengan cara
amat mengenaskan!
Sampai pada suatu hari, muncullah seorang tua berusia
lebih dari 70 tahun, berambut putih, dan suka sekali meng-
ucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap perkataannya.
Orang tua ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari
Empu Sora yakni ketua perguruan yang talah dibunuh oleh
Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya sendiri! Lor
Munding Saksana datang bersama Udayana, seorang
murid perguruan yang memang diutus untuk mencari dan
menemui kakek gurunya itu guna menyelamatkan
perguruan.
Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya,
Kemaladewi yang sedang mendukung Lutung Bawean
segera membentak.
"Orang tua buruk, kau siapa?!"
Lor Munding Saksana mendongak ka langit, mengeluar-
kan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak men-
jangkau mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara
melayang seekor burung. Ranting yang di tangannya
dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara
terdengar mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah. Lor
Munding Saksana ulurkan tangan kirinya menyambut
burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke
atas pohon pendek dan sesaat kemudian dia sudah duduk
di salah satu ranting pohon itu. Kedua kakinya digoyang-
goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap
burung mentah hasil "tangkapannya" tadi!
Meski diketahui Kemaladewi seperti kurang waras
ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut
amat sangat ketika menyaksikan perbuatan orang tua itu.
Dia masih mampu meniru perbuatan si kakek tak
dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara.
Tapi untuk dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas
ranting yang begitu kecil benar-benar tak mungkin
dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup!
"Ahoi ... ! Kau terkejut ya?! Kau heran ya?! Sompret!"
Kemaladewi menjadi marah mendengar kata-kata orang
tua itu.
"Tua bangka gila! Kau siapa sebenarnya? Lekas jawab!
Kalau tidak jangan menyesal... !"
"Hemm ... ehmmmm ..." Lor Munding Saksana meng-
unyah daging burung mentah dalam mulutnya sambil
mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar
ciplakannya. "Aih, wajahmu boleh juga sompret! Tapi ...
coba... ehmmmm kau kasih keterangan dulu siapa kau
adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila
kau beri tahu namamu, ahoi!"
Kemaladewi marahnya bukan main. Namun dia tidak
berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa
yang tadi diperlihatkan orang tua itu dia maklum tengah
berhadapan dangan bukan sembarang orang.
"Orang tua edan! Kalau kau mau tahu akulah Ketua
Perguruan Ujung Kulon yang baru!"
"Oho . . . ? Hemmm!" Si orang tua berhenti mengunyah.
Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling
pada Udayana, anak murid perguruan yang tadi datang
bersamanya. "Hai sompret! Apa betul dia Ketua Perguruan
Silat Ujung Kulon?!"
"Tidak!" jawab Udayana cepat. "Perempuan ini pasti istri
Lutung Gila. Dia pasti merampas kedudukan Ketua
Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-
sauderaku... !"
Kemaladewi berpaling pada Udayana lalu berkata:
"Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid
perguruan. Kalau begitu lekas kau berlutut di hadapan
ketuamu yang baru!"
"Siapa sudi!" sahut Udayana.
"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemala maju
mendekati pemuda itu.
"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana
cepat. "Jika kau mengaku Ketua Perguruan maka kaulah
yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan
sompret!"
Paras Kemaladewi jadi beringas ganas.
"Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah
kakek guru anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut
sompret!"
Bahwa orang tua di hadapannya itu mengaku kakek
guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan
Kemaladewi. Namun dia sama sekali tidak merasa takut.
"Sompret! Kenapa berdiri bengong?! Ayo berlutut!"
bentak Lor Munding Saksana.
"Orang tua, kalau kau datang untuk mencari mampus
turunlah dari ranting itu!" balas membentak Kemaladewi.
Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas
sebuah batu besar. Waktu meletakkan bayi itu tubuh
Kemaladewi membungkuk. Lir Munding Saksana kelihatan
menyeringai. Tulang burung yang ada di tangannya
dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat
Kemaladewi!
"Orang tua kurang ajar! Kau benar-benar sudah bosan
hidup!"
Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil berputar kaki
kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul
ke depan. Dua rangkum angin dahsyat melesat meng-
hantam Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya
hancur berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun
pohon berguguran. Akar pohon terbongkar dan sesaat
kemudian pohon itu pun tumbang!
Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikit-
pun!
Pada saat dirinya diserang dan ranting yang didudukinya
hancur orang tua itu membuat gerakan berputar seperti
seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan kedua
tangan lebih dulu sedang sepasang kakinya menyentak
mengirimkan tendangan jarak jauh. Kemaladewi sangat
tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin deras luar
biasa. Secepat kilat dia selamatkan diri dengan jalan
melompat ke samping.
"Krak!"
Pohon besar di belakang perempuan jelita itu patah lalu
tumbang bergemuruh. Di saat yang sama Lor Munding
Saksana sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak
pinggang.
"Sompret! Apa kau masih belum mau berlutut? Masih
belum mau minta ampun padaku, sompret?!" bentak si
orang tua.
Rahang Kemaldawi menggembung tanda dia marah
sekali. Parasnya mengelam merah. Kadua kakinya digerak-
kan cepat tapi seperti tidak beraturan. Kedua tangan
kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan kian
kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang
sangat berbahaya!
Lor Munding Saksana semula terheran-heran melihat
serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser kuda-
kuda ke samping, siap untuk menotok urat besar di sisi kiri
Kemaladewi. Namun secara aneh kembali perempuan
muda itu membuat gerakan tak terduga hingga totokan si
orang tua tidak menemui sasaran. Tiba-tiba sepasang
tangan Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka
dan dada kakek guru Perguruan Silat Ujung Kulon itu.
Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang
untuk selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Ber-
samaan dengan itu mulutnya tampak mengembung, lalu
meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat
menyembur ke wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung
nanar. Seumur hidupnya tak pernah dia mencium bau
busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti
tercekik. Belum sampat dia mengimbangi tubuh tahu-tahu
satu jotosan keras menghantam pertengahan dadanya.
Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas
batu besar di mana anaknya— Lutung Bawean—tadi
dibaringkannya.
Susah payah Kemaladewi mencoba bangkit. Dadanya
sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darah untuk mengurangi rasa sakit. Selama
mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung Gila dan Raja
Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh
tubuh dan memukulnya demikian hebat!
Penuh gelegak amarah Kemaladewi cabut pedang hijau
dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu
Sora, pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang
memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia adalah
Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon.
"Kau lihat pedang ini anjing tua?!"
"Eit, aku toh tidak buta sompret!"
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Dengan pedang di tangan, dangan menggunakan jurus-
jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka
mengamuklah Kemaladewi dangan segala kehebatannya.
Tetapi orang yang diserang hanya ganda tertawa.
Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu
mungkin tubuhnya telah terkutung-kutung paling tidak jadi
tiga bagian!
"Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan
manusia setengah iblis macammu sompret! Lekas berikan
padaku!"
Habis membentak begitu si orang tua maju ke muka
ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemala-
dewi. Hal ini membuat Kemaladewi menjadi semakin naik
pitam melihat serangannya dipapasi. Karenanya selain
menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan
kaki kanannya. Gerakannya seperti tadi serba tak teratur
dan aneh. Dalam keanehan itu ter-kandung bahaya ganas
yakni maut!
"Serahkan pedang!"
Lor Munding Saksana berseru.
Kemaladewi tarpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja
seluruh serangannya berhasil dielakkan lawan, tapi si
orang tua malah berhasil merampas pedang hijau dari
tangannya!
"Sompret! Bukankah tadi sudah kukatakan pedang
pusaka ini tidak pantas berada di tanganmu?! Nah
sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut
minta ampun?! Ayo berlutut somp….."
Buk!
Ucapan Lor Munding Saksana terputus. Tubuhnya
terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit
bukan main. Tulang bahu itu serasa hancur! Siapakah yang
telah menyerangnya dan memukul bahu kanannya dengan
tiba-tiba? Barpaling ka samping kanan orang tua ini
melihat sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam,
namun berkepala manusia!
"Sompret! Kau pasti setan alasnya yang bernama Lutung
Gila! Murid murtad tujuh turunan!" memaki si kakek.
"Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih
bermulut kotor! Biung. Apa kau tidak sadar kalau umur
hanya tinggal sekejapan mata? Apa tidak tahu kalau liang
kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung?! Icuh . . .
icuh!" Inilah Lutung Gila yang mengaku dan menganggap
diri sebagai suami Kemaladewi.
Lor Munding Saksana marah bukan main. Bukan saja
oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh
ucapan Lutung Gila yang sengaja manghina dan mem-
permainkannya. Diputarnya pedang hijau di tangan kanan
dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya seperti
saakor ular panjang yang memancarkan sinar hijau
kemilau, mengurung dan menyerang Lutung Gila serta
Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya. Seorang
tua renta berotak miring, bertempur melawan dua orang
suami istri berotak tidak waras!
Sampai dua jurus di muka Lutung Gila dan Kemaladewi
masih dapat mengimbangi lawan mereka bahkan ganti
melancarkan serangan balasan. Namun memasuki jurus
ketiga, keempat dan seterusnya keduanya mulai tardesak
dan dibikin tak berdaya.
Kemarahan Lor Munding Saksana sebenarnya lebih
banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang
sesungguhnya adalah cucu muridnya sendiri. Bukan saja
kanena Jayengrana seorang murid murtad yang telah
membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan
tetapi juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul
secara mendadak. Hampir seluruh serangan si kakek
ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi
sibuk sekali. Betapapun lihaynya dia selama ini namun
saat itu dia benar-benar ketemu batu! Dalam keadaan
terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya pedang
pusaka Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran
bertubi-tubi di tubuhnya.
Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit
dada robek besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela.
Lutung Gila terhuyung megap-megap. Satu jeritan dahsyat
kaluar dari mulutnya. Setelah itu diapun roboh tak ber-
gerak lagi!
"Keparat edan! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!"
teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat rotan
berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat.
Dengan senjata ini seperti kemasukan setan dia menyerbu
si kakek.
Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan per-
kelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya
berhasil mengalahkan dan membutuh Lutung Gila, mem-
bunuh perempuan muda itu jelas akan lebih mudah.
"Perempuan sompret sontoloyo! Aku yang tua sudah
berikan kesempatan bertobat dan berlutut minta ampun
padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan
mampus! Nah mampuslah kau kini sompret!"
Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat
ke kiri, membalik ke kanan, memapas ke pinggang dan
menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh
untuk menghindarkan semua serangan itu. Kelihatannya
dia akan berhasil. Namun apa lacur. Serangan tarakhir
yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay belaka.
Karena sesaat kemudian dangan cepat pedang hijau ini
membalik ke kiri lalu kembali membabat ke kanan,
memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut.
Dan tutukan ini tidak dapat dielakkan lagi oleh
Kemaladewi!
"Raja Lutung! Tolong aku!" jerit Kemala.
Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut
Kemaladewi maka trang! Terdengar suara beradunya
senjata. Bunga api berpijar. Pedang di tangan Lor Munding
Saksana terangkat ke atas dan gompal bagian tajamnya!
Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan
cepat-cepat orang tua ini melompat menjauh. Si orang tua
tarkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri di
hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil
dengan sebutan Raja Lutung itu, melainkan seorang lelaki
muda berparas cakap dengan potongan tubuh kakar
berotot berpakaian serba putih! Di tangan pemuda ini ada
sebilah pedang mustika yang memancarkan sinar terang
merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana merasa
kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di
tangan si pemuda membuat sinar hijau pedang di
tangannya menjadi redup!
Jika orang tua itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih
terkejut. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya
menganga, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan.
Sesaat kemudian wajah itu tampak pucat pasi sedang
sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan
berkaca-kaca.
"Mahesa..." ucap Kemaladewi antara terdengar dan
tiada. "Kucari kau berbilang minggu bahkan berbilang
bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak
pernah kutemu. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku
setelah kau sia-siakan. Kakak... apakah kau datang untuk
menepati janjimu dulu ...." Air mata menggelinding ke pipi
Kemaladewi.
Mahesa Kelud merasakan hatinya seperti disayat-sayat
ketika mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan
dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan. Tetapi
berdesing sampai ke telinga si pemuda!
"Manusia-manusia sompret!" terdengar bentakan Lor
Munding Saksana. Dia memandang pada Kemaladewi lalu
pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main
sandiwara ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini
bukan panggung! Kalian….."
Angin sedahsyat badai tiba-tiba menyambar dari
belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir ter-
jungkal kalau tidak lekas-lekas melompat ke samping.
Dia cepat membalik ketika satu lengkingan sangat keras
menggetarkan telinga mendebarkan dada terdengar meng-
geledek. Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga
meter, manyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang besar
serta taring yang panjang runcing!
"Lutung sompret! Menyerang dari belakang! Pasti kau
yang dijuluki si Raja Lutung! Bagus! Berarti kau pun harus
mampus menyusul muridmu! Dengan pedang hijau gompal
Lor Munding Saksana menerjang binatang raksasa itu.
Maka terjadilah perkelahian yang seru antara manusia ber-
kepandaian tinggi dangan binatang yang juga memiliki ilmu
luar biasa.
Tapi Kemaladewi tidak perhatikan perkelahian itu. Dia
berpaling pada Mahesa dan memandang pada pemuda itu
dengan mata basah.
"Kakak... kau datang untuk menepati janjimu dulu?
Benar?" Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian
hebat, berurat berakar terhadap Mahesa Kelud, kini se-
sudah berhadap-hadapan dangan lelaki itu hilang semua
perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas laksana
setitik air jatuh di atas pedang pasir. Namun jawaban yang
didengarnya dari Mahesa sungguh mengejutkan.
"Kemala ... aku datang hanya untuk bertanya….."
"Untuk bertanya?!" mengulang Kemala.
Mahesa mengangguk.
Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya menyipit.
"Mengapa kau jadi sampai begini Kemala? Melakukan
hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia sehat. Kau
bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah
manusia setengah lutung itu. Lalu ilmu kesaktian yang kau
miliki kau pergunakan untuk membunuh tokoh-tokoh per-
silatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan orang.
Mengapa Kemala ...?"
Perempuan itu merasakan tubuhnya lunglai. Tidak beda
seperti seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi.
"Jadi itu rupanya maksud kedatanganmu Mahesa?
Hanya untuk bertanya ... ?!"
"Dan juga untuk meminta agar kau menghentikan
semua perbuatan ganas sesat itu!"
Kamala tampak diam sejurus. Lalu wajahnya yang tadi
lembut kini berubah beringas, "Kau tanya mengapa? Baik!
Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena
kau! Karena kau seorang manusia yang tidak bertanggung
jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang telah kau
lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia
paling pengecut di dunia ini! Manusia macammu harus
dilenyapkan dari muka bumi agar tidak merusak gadis-
gadis lainnya!"
Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat marah dan kelam
sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi
kini bukan saja menyayat hatinya, tetapi juga membakar
amarahnya. Selagi dia berusaha menahan hati di depannya
dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan tongkat
rotan berkeluk. Sebelumnya Mahesa telah pemah melihat
ilmu tongkat yang menjadi andalan Kemala. Karenanya dia
tak perlu merasa gentar. Tetapi ketika tongkat itu berkiblat
Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala
bukan jurus silat ajaran gurunya si Dewa Tongkat, tetapi
satu jurus yang sangat aneh. Untung saja Mahesa sudah
bersiap waspada hingga serangan maut yang mengarah
batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu
serangan pertama gagal, tongkat berkeluk itu dangan
ganas membalik. Kali ini ujungnya yang berkeluk seperti
seekor ular berusaha menggelung batang leher Mahesa.
Murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini runduk-
kan kepala sambil pukulkan lengan kiri ke atas. Lengan
dan tongkat beradu keras. Mahesa merasakan tangannya
bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur
ketika hantaman tangan Mahesa membuat tongkatnya
lepas dan mental!
Bertambah pucatlah paras perempuan ini. Selagi dia
menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di
bawah Mahesa. Sesudah belajar dan mendapat ilmu
tambahan yang aneh dari Lutung Gila dan Raja Lutung
disangkanya akan mudah baginya untuk mangalahkan
Mahesa, orang yang pemah sangat dicintainya namun kini
sangat dibencinya. Tak disangka Mahesa kini malah jauh
lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam amarahnya
Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan
tangan kosong serta tendangan-tendangan dahsyat.
Namun mendadak Kamala batalkan keputusan itu.
Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di
tangan Mahesa.
"Mahesa! Kau telah menghancurkan kehidupanku!
Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga!
Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas
dari siksa dan derita batin! Bila aku sudah mati, kau
bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah anakku. Anakku
dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!"
Jika ada seekor singa atau harimau yang tiba-tiba
menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak
sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar
apa yang diucapkan Kemala tadi.
"Kemala! Kau ... kau bilang apa?! Bayi itu .... Anakku?!"
Mahesa barpaling ke batu besar di atas mana dilihatnya
terbaring seorang bayi. Kulitnya masih merah tanda
umurnya baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah
menghampiri.
"Jangan dekat!" teriak Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu
bunuh bayi itu!"
Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah seperti mau
lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang
sayu pada Kemala namun dalam dadanya laksana ada
bara api yang berkobar.
"Adikku, kau tahu .... Peristiwa itu tarjadi bukan mauku.
Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi di luar
kesadaran kita. Kita telah ditipu oteh nenek jahat Iblis
Buntung hingga teraniaya…"
"Aku tahu. Lebih dari tahu!" sahut Kemaladewi. "Meski-
pun begitu apa anak itu jadinya bukan anakmu?!"
"Bagaimana aku dapat memastikan Kemala. Karena
kudengar bukankah kau kawin dengan Lutung Gila?!"
"Kami tidak kawin!" jawab Kemaledewi hampir berteriak.
"Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan dia meng-
anggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah satu
ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba
berdalih Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang
lain! Jangan kau cobe-coba hendak mencuci tangan! Bayi
itu adalah anak mu! Darah dagingmu! Kau dengar... ?!"
"Kalau begitu serahkan dia padaku. Dan kau kembali ke
jalan yang benar!" kata Mahaaa pula. Kepalanya seperti
dipentung-pentung ketika mandangar ucapan Kemaladewi
tadi.
"Kau minta aku kembali ke jalan yang benar? Jalan yang
benar bagaimana Mahesa? Macam yang telah kau perbuat
tarhadapku?! Tak ada tanggung jawab sama sekali?! Cis!
Kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak
terampunkan! Kau lari .... Pengecut! Berani berbuat tak
berani tanggung Jawab!"
"Kemala...."
"Jangan sebut namaku!" potong Kemaladewi meng-
hardik.
Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu. "Kalau
menurutmu dosaku tidak terampunkan dan jika kau
katakan aku tidak bartanggung jawab, ada jalan yang
sangat mudah bagimu. Ambil pedang ini! Kau pantas
membunuhku!"
Habis berkata bagitu Mahesa Kelud mengangsurkan
hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan
ini tidak mau menyambutnya. Malah dia menyeringai sinis
dan berkata: "Tidak! Terlalu enak bagimu mati cara begitu!
Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti
di satu hari yang akan membunuhmu! Ingat itu! Anak
sendiri yang akan membunuh ayahnya!"
Kemaladewi putar tubuhnya lalu lari ke arah batu besar.
Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja
Lutung "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Saat itu Raja Lutung tengah bertempur malawan Lor
Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si
kakek berhasil menghujani Raja Lutung dengan pukulan
dan tendangan keras namun semua itu seperti tidak di
rasakan oleh binatang raksasa itu. Lama-lama Lor Munding
Saksana menjadi terdesak dan terancam nyawanya.
Untunglah Raja Lutung patuh pada Kemaladewi. Begitu
mendengar kata-kata perempuan itu binatang ini segera
tinggalkan si kakek dan lari menyusul Kemaladewi.
Mahesa hendak mengejar namun kemudian membatalkan
niatnya ....
Mahesa tersadar dari kenangan masa lalu itu ketika
nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan
didapatinya hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas
dalam. Dia merasa seperti tak ada gunanya lagi hidup ini.
Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan
cobaan besar yang dialaminya saat itu merupakan
sebagian dari kutuk sumpah Kemaladewi, merupakan
pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan
perempuan itu?
"Anak itu . . ." desis Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah
berumur dua tahun .... Aku harus mencari Kemala dan
minta maaf. Aku harus memelihara anak itu .... Ya Tuhan.
tunjukkan aku jalanMu yang lurus agar aku dapat
menghadapi semua cobaan ini!" Perlahan-lahan Mahesa
berdiri lalu tinggalkan tempat itu.
EMPAT
BEBERAPA hari setelah lewat masa perkabungan, tiga
ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung
Gede, di pimpin langsung oleh Patih Sumapraja.
Setelah menempuh jalan yang sulit melewati rimba
belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan,
dua minggu kemudian pasukan ini sampai di kaki gunung
yang dituju.
Di sini rombongan dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin
oleh sang patih sendiri. Seratus lainnya dipimpin oleh
Tampak Ungu, seorang perajurit kepala bertubuh tinggi
hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup
tinggi meskipun hanya silat luar tanpa "isi". Rombongan
terakhir yang juga berjumlah seratus perajurit dikepalai
oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. Meskipun baru
berusia 22 tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian
silat yang cukup dapat diandalkan serta ahli memainkan
tombak pendek bermata tiga.
Menjelang tengahari rombongan yang terbagi tiga itu
mulai mendaki gunung dari tiga jurusan berbeda. Hampir
sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga ketinggian
Gunung Gade dan tidak menemukan apa-apa yang
memberi patunjuk adanya orang yang mereka cari yakni Ki
Balangnipa yang telah membunuh istri termuda Sultan
Banten. Pandakian diteruskan sampai ke pertengahan
lereng gunung dan saat itu hari telah mulai gelap.
Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkamah di tiga
bagian lereng yang saling terpisah jauh. Keesokan paginya
baru mereka kembali bergerak. Semakin ke atas semakin
sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing rombongan
bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya
mampu mencapai ketinggian dua pertiga gunung. Sebegitu
jauh penyelidikan yang mereka lakukan masih belum
membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik
sampai ke puncak gunung karena pasti di situlah Ki
Balangnipa bercokol.
Siang keesokannya tiga rombongan akhirnya berhasil
mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda.
Di puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu
yang hampir roboh.
Melihat kaadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja
maupun Tampak Ungu dan Purajaya segera maklum kalau
orang yang mereka cari tak ada di situ. Sambil mengelilingi
bangunan tersebut sang patih tiada hentinya
mengeluarkan ucapan yang menyatakan kejengkelannya.
"Perjalanan yang sia sia ... !" kata Sumapraja.
"Kelihatannya orang yang kita cari itu sudah sejak lama
tidak diam di sini, paman Patih." Berkata Purajaya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?!'' tanya Tampak
Ungu sembari memijat-mijat betisnya yang berbulu.
"Kita beristirahat dan bermalam di sini. Besok pagi
segera kembali ke Banten. Aku menyirap firasat tidak enak
..."
Purajaya segara menyatakan ketidak setujuannya.
"Paman, sebaiknye kita tidak bermalam di puncak gunung
ini. Siang hari begini saja dinginnya bukan kepalang.
Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah
amat letih ini bisa mati kedinginan!"
Pendapat Purajaya itu masuk akal. Maka Patih
Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk
beristirahat seadanya kemudian menuruni gunung. Kini
mereka tidak dipecah tiga seperti waktu mendaki,
melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan
menuruni gunung itu tidak sesulit sewaktu mendaki namun
perajurit-perajurit yang sudah kecapaian itu hanya mampu
bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam tiba
mereka belum mencapai setengah ketinggian gunung.
Rombongan berhenti dan membangun kemah. Setelah
makan seadanya dari parsediaan yang semakin menipis,
perajurit-perajurit itu mencari tempat ketiduran masing-
masing dan segera saja pulas, termasuk tiga pimpinan
mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga
sebagaian malah sudah ikut mendengkur!
Di dalam salah satu kemah patih Sumapraja walaupun
merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu
masih belum dapat memicingkan mata. Sejak masih di
puncak gunung tadi hatinya entah mengapa merasa tidak
enak. Jika saja dia tidak memimpin rombongan perajurit
sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan
tempat itu terlebih dulu. Dalam hatinya patih Banten ini
juga menyesali hubungan yang tidak baik antara Sultan
dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir ini. Jika
saja hubungan itu masih seperti tiga empat tahun silam,
dia tak akan perlu bersusah payah mengadakan perjalanan
sejauh itu ke puncak Gunung Gede untuk mencari Ki
Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga
tokoh silat maka segala urusan pasti bisa dibereskan.
Selagi sang patih merenung-renung begitu tiba-tiba di luar
didengarnya suara pengawal berteriak: "Ada orang datang!"
Patih Sumapraja cepat melompat bangun. Ketika dia
keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga
sudah keluar dari kemah masing-masing.
Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata di
tangan.
Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara
langkah kuda yang satu-satu itu jelas penunggangnya
bergerak perlahan lahan dan hati-hati di malam gelap. Atau
mungkin juga karena keletihan dalam menempuh jalan
buruk terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya
terang. Tak lama berselang kelihatan sosok tubuh kuda
dan penunggangnya membawa obor yang hampir padam
karena kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat.
Lebih sepuluh perajurit segera bergerak menghadang dan
mengurung orang yang datang.
Melihat gelagat yang tidak baik, penunggang kuda cepat
berseru: "Tahan! Aku Umbara utusan Sultan!"
Perajurit-perajurit yang mengurung segera turunkan
senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka
bertanya : "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari?!"
"Sesuatu telah terjadi di istana. Aku dikirim untuk
memanggil Patih ..."
"Sesuatu apa?" tanya perajurit yang lain.
"Aku hanya akan bicara dengan patih." jawab si
penunggang kuda.
"Aku ada di sini!" terdengar suara Patih Sumapraja yang
tegak di depan kemahnya.
Umbara cepat turun dari kuda, menjura di hadapan sang
patih. Sampai saat itu dia masih momegang obor yang tadi
dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya dari
tangannya.
"Katakan siapa yang mengirimmu kemari?"
"Sultan Banten. Sesuatu tarjadi di Istana. Patih diharap
segera kembali ke Banten!"
"Apa yang tarjadi?!" tanya Patih Sumapraia pula dengan
kening berkerenyit. Rasa tidak enak yang dipendamnya
sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu
kenyataan. "Pemberontakan?"
"Tidak..." jawab Umbara.
"Orang-orang Pajajaran menyerang perbatasan lagi?"
"Bukan Patih. Bukan itu ... "
"Sultan gering... ?"
"Tidak. Seseorang tElah mem ..."
Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa
bergelak yang mengumandang di dalam malam gelap dan
dingin itu, mengejutkan puluhan bahkan ratusan orang
yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan
Purajaya dan mereka yang ada di situ sama memalingkan
kepala ka arah kanan lamping gunung yang terjal dan
gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana datang-
nya suara tawa tadi.
"Ada orang pandai yang sengaja hendak mengganggu."
kata Purajaya.
"Kita harus waspada." ujar Patih Sumapraja. Lalu dia
berbisik pada Tampak Ungu agar menyiapkan para
perajurit. Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-
tiba Umbara yang barusan datang membawa berita
tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi
leher.
Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan
memeriksa. Tapi Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi.
Lahernya berkubang darah. Sebuah senjata rahasia ber-
bentuk bintang terbuat dari perak putih menancap di
tenggorokannya.
Paras Patih Sumapraja berubah. Dia pernah melihat
senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam.
Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu
adalah Jaka Luwak. Kakak seperguruan Raden Mas Tirta
bekas Kepala Balatentara Banten. Yang membunuh Jaka
Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak
ingin muridnya membuka rahasia! Saat itu Umbara
menemui kematian oleh senjata rahasia yang sama.
Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki
Balangnipa!
"Pengecut!" Kertak Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak:
"Ki Balangnipa! Jika kau seorang tokoh silat gagah,
tunjukkan kejantananmu! Perlihatkan dirimu!"
Sebuah benda putih berdesing di kegelapan malam,
melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat
melompat ke samping sembil lepaskan satu pukulan
tangan kosong seperti menampar ke bumi. Senjata rahasia
yang hendak menghantamnya terpental lalu amblas ke
tanah gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara
tertawa bergelak yang kemudian menghilang di kejauhan.
"Ternyata bangsat itu berada di sekitar sini…" kata
Sumapraja sambil kepalkan tinju.
"Paman, saya dan beberapa orang akan mengejarnya!"
kata Purajaya.
"Jangan. Terlalu berbahaya!" mencegah Sumapraja.
"Semua tetap di tempat dan mengambil sikap lebih
waspada. Aku dan Tampak Ungu serta beberapa pengawal
harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu
telah terjadi di sana. Sayang Umbara tidak sempat mem-
beri penjelasan ..."
Beberapa ekor kuda segera disiapkan. Tak lama
kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa
orang pengawal meninggalkan tempat tersebut. Udara
menjelang pagi terasa semakin dingin. Tetapi para perajurit
tampak gerah dan gelisah. Jika manusia lihay bernama Ki
Balangnipa itu muncul kembali dan menebar maut
seenaknya celakalah mereka.
***
KETIKA Patih Sumapraja dan rombongannya memasuki
Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat
bendera-bendera kuning terpancang di mana-mana. Itu
pasti bukan bendera tanda berkabung atas kematian Dewi
Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan bendera
bendera kuning itu jelas merupakan satu tanda per-
kabungan. Tanda perkabungan baru. Siapa yang
meninggal? Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat
pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu
sampai di depan istana sang patih dan Tampak Ungu
langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang tunggu
khusus. Tak lama kemudian Sultan Hasanuddin masuk ke
dalam ruangan itu diiringi oleh beberapa petinggi kerajaan.
Wajah Sultan tampak jauh lebih tua dari biasanya. Sosok
tubuhnya nyata sekali menunjukkan rasa letih.
Patih Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi
salam dan hormat.
"Sultan, kami datang atas perintahmu. Apa yang terjadi?
Kami melihat bendera kuning tanda berkabung..."
Sultan Hasanuddin tak segera menjawab. Sesaat dia
berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di
atas kursi besar berukir. Setelah diam sesaat baru dia
membuka mulut.
"Cucuku Asih Permani meninggal dunia. Bukan
meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang ... Dua
minggu lalu!"
Patih Sumapraja melengak kaget. Asih Permani.
Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia
enam tahun itu mati dibunuh!
"Ki Balangnipa...?" tanya Patih Sumapraja memberani-
kan diri.
"Siapa lagi . .. " sahut Sultan. Dia barpaling pada salah
seorang petinggi Kerajaan dan berkata. "Perlihatkan surat
terkutuk itu ... "
"Sepucuk surat yang sudah lecak diletakkan di atas
meja di hadapan Sumapraja. Sang patih segera mengambil
dan membacanya.
Sultan Hasanuddin,
Hari ini korban kedua jatuh sudah.
Masih delapan orang menunggu giliran.
Semua adalah orang-orang yang kau kasihi!
Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini.
Ha ... ha… ha...
Jangankan Sultan, sang patih sendiripun mendidih
amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia
pengecut. Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus
menjadi korban balas dendam sumpah keparat?!
Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan
yang terdengar bergetar karena menahan gejolak hatinya.
"Sebelum paman patih datang, aku dan beberapa
petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah
sayembara. Siapa yang bisa menangkap Ki Balangnipa
hidup atau mati akan mendapitkan hadiah besar....
Bagaimana menurut paman?"
Patih Sumapraja merenung sejenak lalu berkata:
"Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan
ceritakan dulu apa yang terjadi di lereng Gunung Gede ..."
Lalu patih ini menuturkan peristiwa kematian Umbara
ketika Ki Balangnipa muncul sacara mendadak.
Agaknya Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya
itu, dia bertanya kembali, "Bagaimana pendapat paman
mengenai rancana sayembara tadi?"
"Itu baik. Maksud kita jelas ingin menangkap manusia
penebar maut tapi pengecut itu. Hanya saja, kalau saya
boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu
menghubungi tokoh-tokoh persilatan tertentu untuk
dimintakan bantuannya?"
"Bukankah paman sendiri dulu yang mengatakan bahwa
mereka seperti menjauhi istana sejak peristiwa Ekawira
tempo hari..." ujar Sultan.
"Betul. Tapi mencoba adalah jalan yang terbaik. Kalau
mereka kita ajak bicara tentu mereka mau mendengar..."
"Yang aku takutkan paman patih, sebelum kita bisa
berbuat apa-apa korban selanjutnya telah jatuh pula." kata
Sultan.
"Hal itu memang juga jadi pikiran saya. Karenanya kita
harus bergerak cepat. Di samping memagari istana agar
tidak kebobolan lagi.
"Lalu bagaimana kalau usaha kita tidak berhasil?"
"Mungkin kita memang harus manempuh cara
sayembara yang Sultan katakan itu ... "
Sultan terdiam beberapa lamanya. Kemudian berkata:
"Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan
bertindak menghubungi para tokoh itu? Kuharap bukan
kau yang pergi karena kehadiranmu diperlukan di slni..."
"Saya akan menunjuk Empu Lodaya, Jika Sultan setuju."
"Aku setuju paman patih. Jalankan semua tugas
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku
perlu bicara lagi denganmu ..."
LIMA
PADA masa itu tokoh silat paling tua dan dianggap
paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa
Barat adalah seorang perempuan tua sakti bernama
Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan julukan Sinto
Gendeng. Dalam dunia persilatan namanya menjadi lebih
beken setelah muridnya yang bernama Wiro Sableng,
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 turun
gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa
nama besar yang disegani kawan ditakuti lawan.
Satu keanehan disirap kabar bahwa Sinto Gendeng juga
tinggal di puncak Gunung Gede, gunung yang diketahui
adalah juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun
duduk cerita yang sebenarnya hanya Empu Lodayalah yang
mengetahui. Kedua tokoh silat itu memang pernah sama-
sama tinggal di puncak Gunung Gede. Si nenek bernama
Sinto Gendeng menetap di situ selama beberapa tahun,
terutama selagi dia menggembleng muridnya Wiro Sableng.
Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui
orang lagi. Dia seperti lenyap dari puncak Gunung Gede.
Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati oleh
seorang tokoh silat lain, yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan si nenek yakni Ki Balangnipa.
(Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212, harap baca buku-buku serial
Wiro Sableng yang telah banyak beredar).
Karena tidak tahu di mana harus mencari Sinto
Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya
yakni Kiai Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi
sebuah danau di kaki selatan Gunung Malabar. Dengan
ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju ke
selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan
sang empu dapat menunggang kuda terlalu cepat. Karena-
nya perjalanan ke selatan cukup memakan waktu lama.
Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas
air di tepi danau. Di sinilah dia bermukim hampir lebih dari
separuh usianya yang kini telah mencapai 80 tahun.
Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat
itu larut malam menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak
terkejut. Orang tua ini sebenarnya telah lama menyirap
kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung di
Banten. Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar
mempersilakan Empu Lodaya duduk di atas tikar
sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di
luar.
"Sahabatku Empu Lodaya, aku benar-benar mendapat
kehormatan dikunjungi oleh seorang tokoh istana Banten
sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah bertemu.
Angin apakah yang membawamu kemari sahabatku?
Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh sakit-
sakitan sapertiku. Kehidupan istana rupanya cocok dan
menyenangkanmu ..."
Saat itu sehabis mengadakan perjalanan demikian jauh-
nya, selain letih sang empu juga merasakan tubuh dan
tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia men-
jawab sambil tersenyum: "Orang tua buruk yang sudah bau
tanah sepertiku ini mana terkesan dengan kehidupan
mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang
bekerja di bengkel istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau
dapur..."
Kiai Malabar tertawa mengekeh. "Kau pandai
merendahkan diri, sahabatku ..." katanya. Siapa yang tidak
tahu bahwa Empu Lodaya adalah seorang yang dipercaya-
kan Sultan untuk membuat berbagai senjata sakti
mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung dalam
kedudukan tokoh istana yang menjaga keselamatan Sultan
beserta keluarganya.
"Empu Lodaya, kudengar keadaan di Banten akhir-akhir
ini kurang tenteram. Apakah itu yang membawamu datang
kemari... ?"
Empu Lodaya hendak menjawab namun sesaat dia
berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara
air danau di bawah bangunan di mana dia berada.
"Kiai, kudengar suara air danau berkecupak keras di
bawah lantai ini. Apakah kau memelihara ikan besar. . . ?"
"Itu bukan suara ikan sahabatku. Tapi manusia juga
adanya ..."
Empu Lodaya tampak heran dan Kiai Malabar cepat
berkata: "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu.
Sekarang katakan maksud kedatanganmu ..."
Empu Lodaya lalu menceritakan apa yang terjadi di
istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih
dua tahun lalu ketika Ki Balangnipa terpaksa membunuh
muridnya sendiri yang bernama Jaka Luwak itu.
Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan
beberapa waktu lalu.
"Aku datang mewakili Patih Sumapraja selaku utusan
Sultan," kata Empu Lodaya. "Sultan minta agar kau dan
para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun tangan,
menangkap manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup
atau mati ..."
Kiai Malabar termenung beberapa lamanya. Dia
memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam
istana Banten. Namun tidak menyangka sampai demikian
buruk kejadiannya.
"Mungkin kau datang ke tempat yang salah, Empu
Lodaya. Orang tua jelek sepertiku ini mana ada
kemampuan memenuhi permintaanmu ..."
"Jangan berkata begitu Kiai. Keamanan dan
ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua.
Saat ini kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya
bersama-sama bahu-membahu ikut ambil bagian ..."
"Kau benar Empu. Tapi harap maafkan kalau aku akan
mengatakan sesuatu yang mungkin tidak sedap bagi
pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika
kerajaan aman tenteram, adakah kerajaan mengingat kami
orang-orang tua buruk yang hidup terpencil? Padahal kami
tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami ber-
usaha menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan,
apakah yang mereka terima? Mereka diperlakukan
sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan
penjara..."
"Apa yang kau katakan itu memang benar Kiai. Tapi
semua itu terjadi karena akal busuk orang-orang
Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya.
"Orang-orang Pajajaran adalah orang-orang Pajajaran.
Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten. Inilah
akibat kalau pimpinan kerajaan mudah diombang-
ambingkan tipu muslihat..."
"Kiai, sampai sepuluh hari kita tak akan habis-habisnya
membahas hal itu. Kedatanganku membawa maksud lain
dan aku tidak punya waktu lama ..." Di kejauhan terdengar
ayam berkokok. Di bawah lantai bangunan terdengar
kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya menerus-
kan kata-katanya: "Bersediakan Kiai membantu kami yang
sedang susah ini... ?"
Kiai Malabar memegang bahu Empu Lodaya. "Tentu saja
aku bersedia. Hanya saja saat ini aku terikat oleh satu
pantangan ..."
"Pantangan? Pantangan apa sahabatku . . . ?" tanya
Empu Lodaya.
"Saat ini aku tengah menjalankan tugas. Menggembleng
seorang murid. Sesuai ketentuan yang kuterima sebagai
aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari kakek
guruku, maka selama tiga tahun aku dan muridku tidak
boleh meninggalkan tempat kediaman melebihi jarak 1700
tombak ..."
"Ah, itu satu pantangan yang amat mahal" kata Empu
Lodaya. Namun orang tua ini tak dapat mengatakan apa-
apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai
Malabar untuk membantu dalam urusan Ki Balangnipa.
Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu
Lodaya minta diri dan Kiai Malabar mengantar tamunya
turun ke darat melewati tangga tinggi. Ketika sampai di tepi
danau Empu Lodaya dapatkan kedua pengiringnya tertidur
di bawah sebatang pohon. Namun yang menjadi
perhatiannya saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut,
melainkan sosok tubuh seorang pemuda yang berada di
dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan. Pemuda
itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan
dalam air. Setiap pukulan dan tendangan yang
dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh
serta mengeluarkan suara kecupak keras.
"Itulah yang tadi kau sangka ikan besar, sahabatku,"
kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya ke
arah si pemuda.
"Pemuda itu ... " ujar Empu Lodaya, "Bukankah dia . . .
bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal Istana
Banten?"
Kiai Malabar tersenyum. "Betul sekali sahabatku.
Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat
gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal
Istana Sultan. Dia kuambil jadi murid sejak dua tahun
lalu..."
"Terus terang Sultan masih berkenan padanya. Sultan
sering menanyakannya. Jika kau mengizinkan diapun dapat
membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini... "
"Aku tentu saja akan mengizinkan. Hanya ingat, kami
berdua, guru dan murid terikat pantangan yang kukatakan
tadi... "
Empu Lodaya menarik nafas dalam. Maklum kalau dia
tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun
membangunkan kedua pengiringnya.
"Mungkin aku dapat membantu dengan cara lain ..."
kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada di
punggung kuda.
"Maksudku ... ?"
"Apakah kau sudah mencoba menghubungi nenek aneh
bernama Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede?"
"Nenek lenyap begitu saja sejak beberapa tahun silam.
Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan pernah
dipakai oleh Ki Balangnipa . .. "menerangkan Empu Lodaya.
"Kalau begitu cobalah kau pergi ke Pamanukan di pantai
utara. Temui sahabatku, sahabatmu juga, yakni Manik
Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia pasti
mau menolong. Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh
silat lainnya untuk sama-sama membantu ..."
"Terima kasih atas petunjukmu. Aku memang berencana
untuk pergi ke sana," kata Empu Lodaya pula. Dengan
tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang tua
ini bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam
hatinya sang empu setengah mengomel. Mengadakan
perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir
kopi atau teh panaspun ditawarkan sang kiai!
ENAM
PANTAI JEPARA indah pemandangannya laut pun
selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di
tepi pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau
nelayan sampai pada perahu-perahu kayu yang biasa
memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-
bendera perahu yang aneka warna menambah semarak
keindahan pantai Jepara. Namun semua keindahan itu
seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di
hati sanubarinya yang bergalau kosong. Bahkan setelah
sampai di tepi pantai itu, langkahnya seperti buntu, dia tak
tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah Kemaladewi
dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di
pelupuk matanya.
Mahesa melangkah mundar-mandir di sepanjang
pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan
sarat meninggalkan pangkalan siap untuk mengaruhi taut
entah mengapa pemuda itu tiba-tiba saja langsung
melompat naik.
Karuan saja juragan pemilik perahu yang ada di buritan
segera menghampiri dan bertanya: "Orang muda, kau naik
ke perahuku apakah hendak menumpang?"
"Ya, aku ingin menumpang," jawab Mahesa sambil
memandang ke tengah lautan.
"Kalau menumpang ke manakah tujuanmu?" tanya
juragan perahu kembali. Hatinya merasa tidak enak karena
mendapat jawaban secara acuh tak acuh.
"Ke mana saja tujuan perahumu aku akan ikut sampai
ke sana." jawab Mahesa.
Pemilik perahu semakin merasa heran. Dalam hati dia
berkata. "Pemuda berbadan kokoh dan bertampang keren
ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat jahat.
Hendak merampok! Apalagi kulihat dia membawa pedang
di balik punggungnya.
Mahesa menatap pemilik perahu itu. Dia dapat meraba
kekawatiran orang. Maka dia pun berkata. "Aku tidak
berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan
bayar..." Lalu Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke
dalam genggaman pemilik perahu. Setelah menimang-
nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat
bahu. "Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean
bermaksud ke mana?
"Sama dengan tujuan perahu." jawab Mahesa pula.
Setelah menepuk-nepuk bahu Mahesa, pemilik perahu
itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping
kanan perahu, berpegang di pagar terali, memandang ke
pantai yang semakin lama semakin menjauh dan akhirnya
lenyap dibatas pemandangan.
Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Itulah
nasib perahu layar "Sinar Utara" yang ditumpangi Mahesa
Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan dahsyat
melanda laut ketika perahu berada di utara Losari. Ombak
menggulung tinggi menghempaskan perahu kian kemari.
Dua orang awak perahu terlempar ke tengah laut dan
lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang
layar perahu patah. Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat
sekali miring keras. Air laut masuk laksana bah. Perahu
yang malang itu hancur berantakan. Muatannya terlempar
ke mana-mana. Mahesa masih sempat mendengar
teriakan pemilik perahu, setelah itu diapun harus terjun ke
air yang menggila, menyelamatkan diri. Kepandaiannya
berenang tidak ada gunanya di laut yang menggila itu.
Tubuhnya timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan
cepat.
"Kalau aku harus mati di laut, aku akan pasrah!" kata
Mahesa. Kembali wajah Kemaladewi dan Lutung Bawean
muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul
mendera. Mahesa tanggelam sampai sedalam tujuh meter
lalu muncul lagi megap-megap. Saat itu hari telah terang.
Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat
sekeping papan bekas pecahan badan perahu. Pemuda ini
tak berusaha berenang mencapai papan itu karena
tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian.
"Ini adalah pembalasan atas dosa-dosaku ..." katanya
dalam hati.
Tetapi ajaib. Papan yang terpisah jauh itu terombang-
ambing dimainkan ombak malah seperti datang
mendekatinya dan akhirnya menyentuh dadanya.
Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap.
Akhirnya dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua
tangannya. Tubuhnya terbanting kian kemari setiap papan
itu dihantam gelombang
Ketika siang tiba dan matahari bersinar terik. Mahesa
merasakan sekujur tubuhnya yang berada di atas air
seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air
laut membasahi kulit yang mengelupas itu sakitnya bukan
alang kepalang. Seharian penuh terombang-ambing sambil
berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat
pantai atau pulau di kejauhan. Bahkan tak satu perahupun
kelihatan di laut yang luas itu. Pemuda ini tak tahu sampai
berapa lama dia dapat bertahan bersama sepotong papan
itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas
dipanggang, tenaganya hampir sampai di batas terakhir.
Keadaannya antara sadar dan pingsan.
Ketika malam tiba matanya masih sanggup melihat ada
cahaya di kejauhan. Mungkin itu cahaya lampu atau pelita
dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada di
dekat pantai. Tetapi mungkin juga itu hanya ilusi palsu
belaka. Dan Mahesa tidak berusaha untuk berenang ke
arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan berenang, untuk
masih dapat memegang papan penyelamat rtupun
tenaganya sudah tidak ada lagi.
***
"Kakek Penjala Sakti . . . apakah kau tidak turun ke laut
hari ini...?"
Seruan pertanyaan itu keluar dan mulut empat orang
anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik
di tepi pantai Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-
anak itu berteriak-teriak begitu, pintu rumah terbuka.
Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang
mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung
keluar dan dalam rumah sambil menggosok gosok
matanya.
"Hai! Kek! Kau kesiangan!" kata salah seorang dari tiga
anak.
Orang tua itu memandang ke tengah lautan. Cuaca
dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu
yang melaut malam tadi baru saja kembali memunggah
hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat nelayan-neyalan itu
tidak seberapa. Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya
cukup untuk dimakan sendiri dan hanya sebagian kecil
dijual di pasar.
"Apa perahuku sudah kalian bersihkan?" si kakek
bertanya pada ke empat anak itu. "Sudah" jawab anak-
anak itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian
kemari hah?!"
"Betul kek. Kata ibu kami hanya punya beras saja tapi
tak punya ikan ..."
"Ayah kalian tidak melaut... ?"
"Ada, tapi hasilnya. Kau tahu sendiri kek ... . "
Orang tua itu tersenyum. Tiga kali dalam seminggu anak-
anak itu selalu datang seperti itu. Mereka tahu, samua
orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek memiliki satu
kepandaian yang dianggap aneh. Orang yang pergi melaut
semalam suntuk kadang-kadang hanya mandapatkan ikan
sedikit sekali. Tapi sekali si kakek pergi ke laut pada pagi
atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia
datang membawa ikan sepenuh perahunya. Ikan-ikan itu
selalu dibagi-bagikannya pada penduduk atau nelayan
yang tinggal di tapi pantai, termasuk ke empat anak lelaki
itu. Sebenarnya para nelayan yang diam di situ merasa
heran akan kepandaian si kakek menjala ikan. Banyak di
antara mereka yang minta diberitahu. Tapi si kakek tidak
pernah mau mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu
menjawab: "Jika kalian perlu ikan untuk dimakan atau
dijual, aku akan carikan ke laut. Tapi jika kalian tanya
bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah
rahasia hidupku!"
"Baiklah anak-anak, aku akan mencuci muka dulu dan
mengambil jala." kata orang tua berambut kelabu bermata
jereng itu.
Anak-anak bersorak ramai. Tak lama kemudian si kakek
yang dipanggil dengan sebutan Kakek Penjala Sakti itu
tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala besar
di bahu kirinya, melangkah terbungkuk-bungkuk menuju
perahunya. Sebuah perahu tua yang dindingnya banyak
tambalan di sana sini. Si kakek masuk ke dalam perahu.
Empat orang anak tadi membantu mendorong perahu
sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan tangan
sambil berteriak: "Ikannya tangkap yang banyak ya kek!
Yang banyak ya kek!"
Si kakek balas lambaikan tangan sambil tersenyum-
senyum.
Sampai di tengah laut, jauh dari pantai, orang tua itu
rapikan dan atur jala besarnya. Dan dalam sebuah
bumbung bambu dia mengambil segenggam bubuk
berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk itu
dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan
air laut maka butiran bubuk bubuk yang ratusan bahkan
ribuan banyaknya itu memantulkan sinar berkilau-kilau.
Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke
permukaan air laut, ingin melihat apa adanya butiran-
butiran bercahaya yang menarik hati itu. Kalau sudah
begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya dari
lantai perahu. Sekali tangannya bergerak maka jala besar
itu melebar luas. Ratusan ikan terjerat di dalamnya. Sambil
tertawa-tawa orang tua ini tarik jalanya. Ketika hasil
tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka
perahu kecil itu terisi sampai setengahnya!
"Sekali tangkap lagi penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa
kembali ke pantai membagi-bagikan ikan …. " begitu si
kakek berkata dalam hati. Maka diapun mengayuh
perahunya ke jurusan lain. Sampai di satu tempat yang
dirasakannya baik diapun siap mengambil bubuk dalam
bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang
jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan.
Orang tua ini lindungi kedua matanya dengan telapak
tangan kiri agar bisa melihat lebih jelas.
"Aneh, benda itu seperti kepala manusia . . . " kata si
kakek. Lalu perahunya dikayuh mendekati benda di
kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun
tersirap. "Astaga, betul kepala manusia . . . Sudah mati
atau masih hidup? Salah satu tangannya menggapai
sepotong papan ..."
Si Penjala Sakti cepat tebarkan jala besarnya. Sosok
tubuh manusia di permukaan laut bersama papan yang
dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek
menarik. Cukup sulit baginya menarik sosok tubuh itu ke
atas perahu kecil yang setengahnya sudah penuh dengan
ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang
pemuda yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas
hangus. Pakaiannya robek-robek dan ada luka-luka pada
beberapa bagian tubuhnya. Si kakek membaringkan tubuh
pemuda itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada
pinggang pakaian si pemuda dilihatnya tersisip sebilah
keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya terbuat dari
emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih
tarkejut lagi dia jadinya sewaktu menemukan sebilah
pedang berwarna marah tersisip di balik punggung si
pemuda.
Cepat-cepat kakek itu memutar perahunya dan
mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak
yang empat orang tadi telah menunggunya. Malah jumlah
mereka kini tambah banyak, belum terhitung para nelayan
yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak
mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah
dia mendukung tubuh pemuda yang ditamuinya di tengah
laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan
keheranan.
"Kek, siapa orang itu. Di mana kau temui ... ?" beberapa
orang bertanya.
"Sudah, jangan banyak tanya. Ambil ikan dalam perahu.
Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar ... !"
Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh pemuda yang
pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di
tempat tidur yang terbuat dari bambu. Telinga kirinya
diletakkannya di atas dada si pemuda. Lapat-lapat dia
masih mendengar suara degup jantung.
"Masih hidup . . . Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkan-
nya hingga menelungkup. Lalu tangan kirinya ditekankan
ke pinggang sadang tangan kanan ditekankan ke
punggung. Begitu ditekan pemuda yang pingan keluarkan
suara seperti muntah. Air laut keluar mengucur dari
mulutnya...
***
TUJUH
EMPU LODAYA menatap paras kakek rambut kelabu.
Matanya yang jereng membuat sang empu meragu
apakah si kakek memandang ke jurusannya atau
memperhatikan ke jurusan lain.
"Manik, kau lupa padaku . . . ?" menegur Empu Lodaya.
"Ah!" Manik Aryapala alias Panjala Sakti pukul jidatnya
sendiri. "Aku kenal tampangmu, tapi otakku yang sudah
hampir pikun ini tak ingat siapa namamu. Pakaian putihmu
yang berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring
yang ikut bersamamu menyatakan kau datang dari jauh
dan kau tentunya orang penting ..."
Empu Lodaya tersenyum. "Aku Lodaya, dari Banten!"
sang empu coba mengingatnya.
"Astaga! Betul kau!" Si Panjala Sakti langsung manarik
lengan Empu Lodaya hingga orang tua yang masih ada di
punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Panjala Sakti
tidak menariknya terus ke bawah melainkan melempar-
kannya ke atas hingga Empu Lodaya tampak mencelat,
jungkir balik di udara.
Ketika turun kedua tangannya menekan bahu Panjala
Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-
tahu kedua ketiaknya terangkat ka atas.
"Hup! " seru Empu Lodaya.
Kini Si Penjala Sakti yang ganti mencelat ke atas dan
jungkir balik di udara. Begitu turun keduanya berhadapan
hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti anak kecil
tertawa gelak-gelak lalu saling rangkul.
"Kurasa tiga puluh tahun telah berlalu sejak terakhir
sekali aku melihat tampangmu Lodaya!" kata Si Penjala
Sakti.
"Memang lama sekali kita tak pernah bertemu. Kau
tetap seperti dulu. Suka bercanda. Apakah masih gemar
menjala ikan di siang bolong?"
Manik Aryapala tertawa mengekeh mendengar kata-kata
sahabat lamanya itu.
"Aku masih ada tangkapan ikan sisa kemarin. Masih
segar. Kita makan sama-sama, tapi nasinya tak ada..."
"Siapa sudi makan ikan tanpa nasi? Salah-salah aku
bisa cacingan!" gurau Empu Lodaya.
"Jangan kawatir," kata Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya
tetangga-tetangga yang baik. Satu bakul nasi untukmu dan
pengiringmu tidak jadi soal!"
Setelah menjamu makan minum para tamunya. Si
Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai.
"Sekarang katakan mengapa kau datang jauh-jauh
kemari," kata kakek mata jereng itu.
"Aku perlu bantuanmu menangkap seseorang. Sebelum-
nya aku telah menemui Kiai Malabar. Tapi dia tak dapat
menolong ..." menerangkan Empu Lodaya.
"Hemmm , . . begitu? Bantuan untuk dirimu atau untuk
kerajaan?" bertanya Penjala Sakti.
"Untuk yang terakhir..."
"Ha... ha ... Rupanya kerajaan bernasib buruk akhir-akhir
ini. Tak ada orang-orang pandai dunia persilatan yang mau
diajak bekerja sama ..."
"Apakah kau juga tidak mau bekerjasama?" tanya Empu
Lodaya.
"Siapa yang diinginkan Sultanmu?"
"Ki Balangnipa." jawab Empu Lodaya pula.
"Ah... manusia satu itu... " kata si Penjala Sakti sambil
geleng-geleng kepala. "Dulu dia dikenal sebagai tokoh baik.
Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia jadi
berubah …. "
"Mungkin kita tak dapat menyalahkan orang Pajajaran
saja. Apa yang terjadi di Bantenpun ikut pegang peranan."
Lalu Empu Lodaya menerangkan pangkal musabab Ki
Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan
dan Sultan Banten.
"Itu rupanya yang menjadikan sebab Sultanmu meng-
inginkan Ki Balangnipa hidup atau mati. Lalu bantuan apa
yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?"
"Mencari dan menangkap Ki Balangnipa." sahut Empu
Lodaya.
Mata jereng Si Penjala Sakti tampak berputar-putar
memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Empu Lodaya heran.
"Inilah namanya dunia! Inilah namanya kehidupan di
alam fana. Jika dibutuhkan dicari-cari. Jika tidak dibutuh-
kan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar sahabatku,
bukan kenapa segala asalan itu aku tak dapat mem-
bantumu atau membantu Sultanmu ..."
Paras Empu Lodaya berubah, "Kau lupa darah Banten
dalam tubuhmu, Manik Aryapala?!"
Si Penjala Sakti menyeringai lalu tertawa hambar.
"Darah Banten dalam tubuhku sudah lama membeku.
Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai
ini. Lebih enak jadi rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada
kesulitan. Miskin dalam harta tapi kaya dalam
kebahagiaan ..."
Memandang pada wajah sang empu yang kelihatan
sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata: "Sahabatku
Lodaya, kau tak usah kecewa dan marah padaku ..."
"Aku tidak marah. Hanya merasa sedih kenapa
kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku
minta diri..."
"Eee . . . eae . . . Tunggu dulu Lodaya, jangan pergi dulu!"
"Apa yang kulakukan lama-lama di sini? Bantuan pun
tak akan ku dapat!" jawab Empu Lodaya.
"Benar, memang benar kau tidak mendapatkan apa-apa
dariku. Kecuali nasi dan ikan bakar enak tadi. Ha ... ha ...
ha... ! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong
Sultanmu itu ... "
"Cerita lama!" mamotong Empu Lodaya dengan kesal.
"Ketika aku bertemu Kiai Malabar, dia melemparkanku
padamu. Kini bertemu denganmu pada siapa lagi aku
hendak kau lemparkan?!"
"Dengar, jangan kesusu jengkel," kata Si Penjala Sakti
sambil tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu. "Aku tak akan
melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada seorang
lain yang lebih pantas dan lebih mampu menolong
Sultanmu itu ... "
"Nah, apa kataku! Ternyata kaupun hendak
melemparkan aku pada orang lain itu!"
"Dengar dulu, dengar dulu Lodaya," kata Si Penjala Sakti
dengan sabar. "Orangnya memang bukan berdarah Banten.
Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang
Banten sendiri! Dan dia telah pernah membuktikan
sembah baktinya itu pada Sultanmu sekitar tiga tahun yang
silam ..."
"Eh, siapa orang yang kau maksudkan itu?" tanya Empu
Lodaya jadi tertarik.
"Kau ingat Raden Mas Ekawira ... ?"
"Bekas Kepala Pengawal Istana Banten itu?!"
"Betul!"
"Ah, kalau dia yang kau maksudkan tak ada gunanya.
Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai Malabar.
Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun
gurunya tak bisa membantu. Katanya terikat oleh
pantangan!"
"Mungkin memang begitu. Kau tahu sendiri. Orang-orang
dalam dunia persilatan banyak aneh-aneh tingkah lakunya.
Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat!
Tapi yang kumaksudkan bukan si Ekawira itu!"
"Lantas?!" tanya Empu Lodaya.
"Kau ingat, ketika dia jadi Kepala Pasukan Pengawal
Istana, dia mampunyai seorang pembantu berbadan tinggi
tegap penuh otot dan bertampang cakap itu ... !"
"Aku ingat. Tapi lupa namanya. Ada apa dengan pemuda
itu ... ?"
"Dialah yang dapat kau harapkan untuk menghadapi Ki
Balangnipa!"
Empu Lodaya menarik nafas panjang. "Mengharapkan
sesuatu yang sukar jadi kenyataan. Di mana pemuda itu
kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak pernah
kelihatan lagi sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun
lalu ... !"
Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Inilah namanya
rahasia hidup, sahabatku! Segala sesuatunya menjadi
rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok,
mana kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang
bisa tahu. Perolehan apa yang bisa kita dapat besok, mana
ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur.
Bukankah begitu sahabatku?"
Empu Lodaya mengangguk perlahan.
"Sebulan yang lalu, secara tak sengaja aku telah
menyelamatkan pemuda itu di tengah laut. Perahu yang
ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang-
ambingkan ombak sampai ke pantai Pamanukan ini. Di
tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka dan
kulit terkelupas dia kutemui dan kutolong. Pemuda itu
bernama Mahesa Kelud. Bukan begitu ... ?"
"Ya aku ingat sekarang. Namanya Mahesa Kelud.
Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya.
Setelah sembuh dan menyadari bahwa dia berhutang
nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta
aku memilih salah satu dari dua senjata mustika yang
dimilikinya. Yang pertama sebilah pedang yang sarung dan
badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang Sakti
pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah
keris terbuat dari emas yang juga merupakan senjata sakti
mandraguna! Bukan aku meremehkan keahlianmu mem-
buat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari
senjata itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau
memerlukan waktu dua puluh tahun!"
"Kau terima permintaannya itu? Berarti kau kini memiliki
senjata sakti. Eh, pedang atau keris yang kau ambil?!"
tanya Empu Lodaya.
Si Penjala Sakti geleng-gelengkan kepala. "Aku bukan
manusia pencari pamrih, yang berbuat sesuatu untuk
mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak.
Mahesa kecewa sekali. Kemudian dia berkata, jika ada
satu permintaan lain atau satu tugas yang diberikan
kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu
maka dia akan melaksanakannya sampai berhasil. Waktu
itu sulit bagiku hendak meminta atau menugaskan apa
padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat akan
keadaan di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah
mengabdi di Banten? Maka kataku padanya: "Telah lama
aku menyirap kabar bahwa suatu malapetaka telah
menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu
seperti dulu kau pernah melakukannya bersama Ekawira.
Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah mem-
balas segala hutang budi dan nyawa. Maka Mahesapun
pergi. Hanya beberapa saat sebelum kau dan dua
pengiringmu sampai di sini!"
Empu Lodaya tentu saja menjadi kaget. "Menurutmu,
apakah pemuda itu benar-benar akan pergi ke Banten?"
tanyanya.
"Aku yakin dia bukan seorang pendekar yang pandai
bermulut manis berminyak air. Kalau kau tidak percaya
mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?"
Empu Lodaya berpikir-pikir sesaat. Nasihat sahabatnya
itu tak ada salahnya. Maka dia pun berkata: "Terima kasih
Manik. Aku minta diri sekarang juga!"
***
DELAPAN
KETIKA meninggalkan Banten sekitar satu bulan lalu
Empu Lodaya mengambil jalan ka arah selatan,
menempuh rimba belantara dan bebukitan tinggi
serta pegunungan. Jalan yang sulit menyebabkan dia dan
pangiring hanya mampu bergerak perlahan. Kini dalam
perjalanan kembali ke Banten dia mengambil jalan di
sebelah utara yang merupakan pantai datar hingga dapat
bergerak sangat cepat. Dalam waktu satu minggu Empu
Lodaya telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia akan
segera memasuki perbatasan kerajaan. Selama perjalanan
orang tua ini menaruh khawatir kalau-kalau keterangan
yang diberikan Si Penjala Sakti tidak benar dan Mahesa
Kelud tidak datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang
perjalanan dia merasakan seperti ada seseorang yang
menguntit dari kejauhan. Kekhawatiran yang terakhir ini
menjadi kenyataan ketika dia bersama dua pengiringnya
baru saja beristirahat di sebuah anak sungai di
pertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan
melewati bukit kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar
berusia ratusan tahun.
Saat itu masih pagi. Sang surya bersinar lembut dan
udara masih terasa segar, menyusup melalui hidung,
masuk ke paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang
berada di depan mereka, salah seorang pengiring tiba-tiba
berkata: "Empu ada seseorang di atas bukit. Cara tegaknya
seperti sengaja menghadang kita!"
"Aku sudah melihat," jawab Empu Lodaya. Hatinya
mandadak saja tidak enak namun dia berusaha bersikap
tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara
adanya orang yang berdiri di depan mereka.
Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang
panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya
yang cekung membersitkan keganasan, memandang tak
berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki bukit.
Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum
pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi tidak
mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil
jalan memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk meng-
hindar lelaki berpakaian hitam itu. Namun seperti tahu
maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri, sejajar
dengan gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini
sengaja menghadang dan pasti memiliki maksud yang
tidak baik.
Empu Lodaya memberi tanda pada kedua pengiringnya
yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri.
Ketiganya sama menghentikan kuda seja-ak enam tombak
dari hadapan orang itu. Melihat ketiga kuda berhenti, si
baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak sambil
berkacak pinggang.
"Empu Lodaya!" orang itu menegur. Suaranya lantang
dan membahana di seantero bukit jati. "Apakah kau sudah
berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong
Sultanmu?!"
Sang Empu segera maklum kalau tengah berhadapan
dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Kau bertanya di tempat yang tidak pantas. Caramu
menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan
pasti tidak baik!" menjawab Empu Lodaya.
Orang berbeju dan bercelana hitam keluarkan suara
tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur
istana pandai pula mengucapkan kata-kata seperti seorang
penyair! Empu Lodaya, kau hanya membuang-buang waktu
sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa hasil
sementara mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam
istana Sultan Banten!"
"Apa maksudmu?! Katakan siapa kau adanya!" ujar
Empu Lodaya.
Orang itu menyeringai dan usap-usap dagunya yang
ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang.
"Seminggu setelah kau meninggalkan Banten, adik
perempuan sepupu Sultan ditemui telah jadi mayat di tepi
kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara, satu
lagi orang terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal.
Pangeran Artakusumah!"
Empu Lodaya dan dua pengiringnya tantu saja kaget
sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah
menemui kematian di tangan Ki Balangnipa! Berarti segala
panjagaan dan pengawalan yang dilakukan untuk
melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak
berdaya menghadapi musuh tunggal itu! Demikian hebat-
nyakah ketinggian ilmu Ki Balangnipa sehingga tidak ada
yang dapat membendungnya. Atau memang selain hebat
dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa
banyak kesulitan.
"Orang tak dikenal! Apa maksudmu memberi tahu hal itu
padaku?!" Empu Lodaya lemparkan pertanyaan.
Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi.
"Jadi kau masih belum tahu tingginya gunung dalamnya
lautan. Masih belum jelas tengah berhadapan dengan
siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan
menyaksikan korban-korban kelima, keenam dan seterus-
nya!"
Paras Empu Lodaya jadi berubah. Juga kedua pengiring-
nya ketika orang tua ini berketa: "Jadi kau ... kau Ki
Balangnipa!"
Si baju hitam tertawa lagi.
"Mungkin kau perlu bukti!" katanya. Entah kapan tangan
kanannya bergerak tahu-tahu kini dia telah menimang-
nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk
bintang!
"Ah, benar. Manusia ini adalah Ki Balangnipa!"
membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata
rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya
menembus tubuh Jaka Luwak dan sekaligus membunuh-
nya dua tahun yang silam.
Si baju hitam gerakkan tangan kanannya. Senjata
rahasia bintang perak itu melesat ke areh pengiring Empu
Lodaya yang di sebelah kanan. Detik itu juga terdengar
pekiknya. Tubuhnya jatuh dari punggung kuda, terjungkal
dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap senjata
rahasia bintang perak itu!
Tubuh Empu Lodaya bergetar.
"Manusia pengecut! Beraninya hanya membunuh orang-
orang tak berdaya!" teriak sang empu marah.
"Aku pun tidak segan-segan menghabisi nyawamu orang
tua! Sekalipun kau bukan termasuk sepuluh orang yang
berada dalam daftar mautku!"
Ki Balangnipa tertawa panjang. Tangan kanannya
kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak
melesat dengan kecepatan setan!
Melihat senjata rahasia itu menderu ke arahnya, Empu
Lodaya cepat melompat dari atas kuda. Sambil melayang
ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan. Serangkum
angin menerpa bintang perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu
sebenarnya memang tidak ditujukan ke arahnya. Karena
sesaat kemudian terdengar pekik pengiringnya yang kedua
sewaktu bintang perak dengan ganas menembus
tenggorokannya!
"Biadab!" kertak Empu Lodaya. Sebelum tubuh
pengiringnya jatuh mencium tanah orang tua ini sudah
menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak
dua langkah. Deru angin pukulan yang keluar dari tangan
kanan Empu Lodaya diam-diam mengejutkan Ki
Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan
mengejek Ki Balangnipa cepat menghindar.
"Tukang pisau dapur! Hari ini kau akan mati sia-sia!"
Bukan main panasnya hati Empu Lodaya diejek sebagai
tukang pisau dapur itu. Meskipun tugasnya memang ahli
pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah seorang
yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan Sultan
serta keluarganya, orang tua ini tentu saja memiliki
kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya begitu
serangannya tadi tidak menemui sasaran, orang tua ini
cepat berputar. Sekali berkelebat tendangannya meng
hantam ke arah batok kepala lawan!
"Tukang pisau! Jelek-jelek rupanya kau punya
kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek.
Tangan kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi
kepalanya dari tendangan Empu Lodaya.
Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek
direndahkan begitu rupa dan menganggap tangan tak
bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan
lipat gandakan tanaga dalamnya.
Praak!
Pergelangan tangan beradu keras dengan tulang kering
kaki.
Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar
tidak keluarkan suara teriakan karena sakit yang bukan
kepalang. Tulang kering kaki kanannya remuk. Tubuhnya
melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk
kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu
jotosan ke arah perut hingga Empu Lodaya tertekuk ke
depan. Dalam keadaan seperti ini menyusul satu
tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang
tua itu mencelat lalu menggeletak di tanah. Tapi tidak
disangka dia mempunyai daya tahan luar biasa. Meski kaki
kanan patah dan dari mulut serta hidung dan telinga kanan
keluar darah mengucur, tapi dia merayap bangkit.
Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya keluarkan suara
menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di
tangan kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat
dari perak yang memancarkan sinar berkilau oleh pantulan
sinar mentari pagi.
"Aha! Rupanya inilah pisau dapur buatanmu! Baru kali
ini aku melihat pisau dapur sebesar ini!" Ki Balangnipa
tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak
pinggang. Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke
arah perut, dengan mudah Ki Balangnipa berkelit sambil
susupkan satu tendangan ke perut si orang tua. Untuk
kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek
terlepas dari tangannya. Ki Balangnipa cepat menyambar
senjata itu. Begitu berhasil menggenggam hulu golok, dia
segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya yang
saat itu tengah mengerang megap-megap tanpa daya
untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya
sendiri!
Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara
gemerisik di belakangnya, disusul oleh suara tawa
bergelak.
"Ikan besar berbaju hitam! Aih . . Tentu enak kalau
dipanggang!"
***
SEMBILAN
KI BALANGNIPA bertindak capat, melompat ke
samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari
arah mana barusan terdengar suara bergemerisik
serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang jauh lebih
cepat. Tokoh silat ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya
telah terperangkap dalam sebuah jala besar. Segera dia
berontak dan coba renggutkan jala itu. Namun semakin
keras gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala!
"Keparat!" maki Ki Balangnipa. Golok yang tadi hendak
dipakainya, untuk membunuh Empu Lodaya kini ditabas-
kan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala, namun
alangkah kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak
sanggup diputus oleh ketajaman golok! Sambil meng-
gereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan terjerat putar
tubuhnya.
Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri
seorang kakek berambut kelabu, mengenakan celana
hitam dan berselempangkan sarung. Kedua matanya
jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang
sasuatu yang bukan lain adalah ujung jala yang mem-
bungkus tubuh Ki Balangnipa!
"Panjala keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku
curang! Menyerang dari belakang!" bentak Ki Balangnipa
marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua
telapak tangannya.
"Aih! Jangan salah sangka!" menyahuti si kakek jereng
yakni Manik Aryapala alias si Penjala Sakti. "Aku tidak
menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan
hitam! Besar nian rejekiku hari ini!"
Habis berkata begitu Si Penjala Sakti tarik jalanya. Tapi
orang tua ini jadi kaget ketika bagaimana pun dia
mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di
dalam jala tak bisa tertarik, bahkan bergeser pun tidak
kedua kakinya!
Dan Si Penjala Sakti tambah kaget sewaktu dilihatnya Ki
Balangnipa menggerakkan kedua tangannya.
Bret! Bret ...! Bret...!
Jala tebal itu koyak putus-putus. Sesaat kemudian Ki
Balangnipa telah melompat keluar dari bungkusan jala!
Begitu ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti.
Maka terjadilah perkelahian yang seru di antara kedua
tokoh silat ini, sementara Empu Lodaya yang terhampar di
tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil
mengerang kesakitan.
Sepuluh jurus berlalu Si Penjala Sakti segara maklumi
bahwa lawan hampir dua tingkat lebih tinggi kependai-
annya. Untung saja dia memiliki kecepatan gerak yang luar
biasa hingga setiap serangan Ki Balangnipa sanggup dikelit
atau dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha untuk
kontak kekuatan dengan jalan hendak memperadukan
pukulan tangan atau tendangan kaki. Si Penjala Sakti yang
mengetahui lawan memiliki tenaga dalam lebih tinggi
terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan bentrokan
langsung.
Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua
serangannya Ki Balangnipa berteriak keras. Bersamaan
dengan itu dia membuka baju hitamnya.
"Aih…..aih! Kenapa cuma bajumu saja yang kau buka?
Mangapa tidak celanamu juga agar telanjang sekalian?!"
berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek
ini maklum kalau pakaian hitam milik lawan adalah
merupakan satu senjata yang sangat berbahaya.
Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki
Balangnipa menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di
mana-mana. Si Penjala Sakti segera tutup jalan nafasnya.
"Nelayan buruk!" membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan
seluruh kepandaianmu. Kalau tidak kau akan mampus
dengan tubuh lumat!"
Ki Balangnipa putar-putar pakaian hitamnya di atas
kepala. Terdengar sruran angin kencang sekali.
Hembusan angin yang keluar dari baju hitam itu
menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan per-
nafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup
penciumannya. Namun demikian kekuatan lain dari
pakaian hitam itu—yakni kekuatan yang sanggup
melumpuhkan lawan — kini mengancam si kakek mata
jereng. Untuk membuat agar sambaran angin tidak
mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-
pukulan tangan kosong kiri kanan susul menyusul. Mula-
mula arus serangan baju hitam di tangan lawan seperti
terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-
putar mengelilingi lawannya. Si Penjala Sakti menjadi
sibuk. Selain hawa yang melumpuhkan yang harus di-
hindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat
ujung tangan atau ujung kelepak baju hitam itu sanggup
menghantam seperti sabatan golok atau tusukan pedang!
Plak! Plak!
Ujung pakaian menampar ganas ke dada dan muka Si
Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar
jalannya yang telah koyak. Jala ini digulungnya hingga
membentuk tongkat lemas dan panjang, kemudian
dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena
jala itu juga dialiri kekuatan tenaga dalam maka per-
kelahian berkecamuk tambah dahsyat. Dua batang pohon
jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju
hitam, satunya lagi tersambar gulungan jala!
Sepuluh jurus lagi berlalu. Bagaimana pun hebatnya
perlawanan Si Panjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa lebih
unggul. Apalagi Si Penjala Sakti tak dapat menutup jalan
nafasnya terus menerus. Sesekali dia harus membuka
pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru sedikit saja
dia membuka penciuman, bau apek yang menebar dari
pakaian hitam Ki Balangnipa langsung merambas masuk
rongga hidungnya. Kakek ini tersengal dan batuk-batuk.
Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban.
"Celaka!" keluh Si Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya
ke arah leher lawan. Jala ini laksana seekor ular siap
menggelung leher Ki Balangnipa. Tapi Ki Balangnipa yang
sudah melihat gerakan lamban serta air muka yang
berubah dari lawannya, dengan cepat sebatkan pukulan-
nya ke atas. Salah satu lengan pakaian serta merta meng-
gelung pertengahan jala. Sekali dia menarik maka jala itu
pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain seperti hidup,
menggelepar ke arah dada si Penjala Sakti.
Buk!
Si Panjala Sakti mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat.
Dadanya terasa seperti dihantam batu besar.
Kedua matanya yang jereng berputar nanar. Terasa ada
darah panas dan asin di mulutnya. Sesaat ketika tubuhnya
hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini merasa
kaget karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan
oleh sasuatu. Dia jatuh dalam pelukan seseorang. Sebelum
dia sempat mengetahui siapa orang yang mendukungnya
itu, satu suara bertanya. "Kek, kau terluka dan merasa
sakit?"
***
SEPULUH
SI PENJALA SAKTI mendongak ke atas. Ketika dia
melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walau
dadanya sakit bukan kepalang namun dia sempat
tersenyum dan menjawab. "Tidak, aku tidak apa apa….!
Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini
digendong seperti anak kecil!"
Mahesa Kelud ikut tersenyum dan turunkan tubuh Si
Penjala Sakti ke tanah.
"Kek, siapa orang tua yang berkelahi setengah telanjang
itu. Pakaiannya dikibar-kibar begitu rupa, apa dia tidak
sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud.
"Jangan anggap enteng iblis biang racun itu! Apa kau
lupa. Dialah Ki Balangnipa, penimbul bencana di istana
Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke
Banten. Tak tahunya masih berkeliaran di tempat ini . ."
"Apakah ini berarti aku telah menemui tugas yang harus
kujalankan kek?"
Si Penjala Sakti mengangguk. "Hanya saja kau harus
hati- hati Mahesa. Pakaian hitam si bangsat itu adalah
senjata luar biasa. Bau apaknya bisa menyesakkan per-
nafasan dan sambaran anginnya melumpuhkan sekujur
badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak cepat.
Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya."
Mahesa Kelud mengangguk, lalu maju dua langkah
mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang
jelas hendak ikut-ikutan cari perkara Ki Balangnipa segera
membentak. Maksudnya hendak membuat lumer nyali
orang.
"Apa maumu?! Minta digebuk?!"
Mahesa menjawab dengan balas bertanya: "Benar kau
orangnya yang membuat kekacauan di istana Banten?"
"Pemuda bau kencur sepertimu tak layak menanyaiku!"
"Kalau pun kau tak mau mengaku, aku sudah tahu
memang kau orangnya yang jadi biang keladi membunuh
orang-orang yang tidak berdosa itu!"
Ki Balangnipa tertawa mendengar ucapan Mahesa itu.
Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum
kacungmu saja!"
"Aku memang hendak menghukummu. Manusia
sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur", jawab
Mahesa pula.
Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia mulai putar-putar baju
hitamnya. Sekali gebuk saja pasti pemuda besar mulut ini
akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang tidak
memandang sebelah mata terhadap Mahesa. Padahal
kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi
Mahesa tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap
tubuh Si Penjala Sakti yang terpental, dia seharusnya dapat
menilai kalau pemuda itu bukan serendah yang disangka-
nya.
Pergelangan tangan Ki Balangnipa bergerak.
Wut!
Baju hitam berputar setengah lingkaran. Bau apak
menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud.
Wut!
Bagian lengan pakaian menghantam ke tenggorokan
pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan
pakaian tak sempat mengenai lehernya. Sebaliknya bau
apak menembus pernafasannya dan sambaran angin
pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya
seperti lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu
keanehan.
Dari pinggang kiri si pemuda, di mana tersetip Keris Ular
Emas merambas hawa hangat yang langsung menolak
hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta
memusnahkan hawa jahat yang hendak melumpuhkan
tubuhnya.
Plak!
Ujung leher pakaian hitam di tangan Ki Balangnipa
menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala
Sakti kena dilabrak. Mahesa terpental, jatuh duduk.
"Celaka'" keluh Si Penjala Sakti.
Tapi Mahesa cepat bangkit kembali. Membuat Ki
Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah
dan terluka di dalam oleh hantaman pakaian saktinya.
Apakah pemuda ini jauh lebih hebat dari kakek mata
jereng itu?!
Sewaktu menerima pukulan baju hitam sakti itu tadi,
Mahesa telah bentengi dadanya dengan aji karang sewu
sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh
duduk, namun tubuhnya luar dalam tidak cedera sama
sekali.
Sepasang mata KI Balangnipa membeliak dan berapi-
api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan
yang bisa selamat dari hantaman baju hitamnya. Diselimuti
rasa tak percaya bercampur marah kembali tokoh silat dari
Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin
menderu-deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon
jati rontok dan jatuh ke tanah. Debu pesir beterbangan.
Batang-batang pohon jati yang sudah tua bergoyang-
goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah.
Si Penjala Sakti jejakkan ke dua kakinya kencang-
kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat
yang keluar dari baju hitam Ki Balangnipa. Empu Lodaya
yang terkapar di tanah dan mengerang kesakitan karena
sampai saat itu tak seorang pun yang datang menolong,
kini terpaksa telungkupkan badan di tanah dan pejamkan
kedua matanya agar tidak kemasukan debu dan pasir.
Mahesa sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras
hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil
memasang kuda-kuda setengah berlutut. Ketika ujung
lengan kanan baju di tangan lawan membeset ke arah
kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya
miring ke belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu
mencari sasaran di perut lawan. Ki Balangnipa berseru
keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju yang
satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu
kanan Mahesa Kelud.Tapi serangan ini pun gagal karena
Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri, berguling di tanah,
sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan
kanannya ke depan.
Segulung angin bergulung menyapu ke arah Ki
Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan
menutupi pemandangan. Daun-daun pohon jati semakin
banyak yang rontok berguguran. Inilah pukulan "menembus
ombak membelah gelombang" yang didapat Mahesa Kelud
dari mendiang gurunya Embah Jagatnata alias Simo
Gembong.
Ki Balangnipa terkesiap ketika melihat datangnya
gulungan angin deras itu.
"Pemuda tak dikenal ini, siapakah dia sebenarnya?!"
membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi juga jadi
penasaran. Sambil melompat ke atas untuk menghindari
sambaran angin pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam di
tangan kanannya.
Dess!
Angin dahsyat dari baju sakti saling bentrok dengan
angin pukulan Mahesa Kelud. Bukit jati itu bergetar. Tanah
di atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat muncrat
mental ke atas. Di tanah itu kini kelihatan sebuah lobang
yang cukup dalam.
Si Penjala Sakti leletkan lidah.
Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang
keras sedang Ki Balangnipa berubah parasnya. Dia tak
sempat berpikir lebih jauh karena saat itu tiba-tiba
dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan
kedua tangan terkembang ke samping, seperti seekor
rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsa-
nya!
Ki Balangnipa kebutkan baju hitamnya dalam gerakan
aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada.
Kini bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah
pun ikut bermentalan ke udara. Dan selagi tubuh Mahesa
melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata
rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah
Mahesa Kelud.
"Pengecut curang!" teriak Si Penjala Sakti ketika sempat
melihat apa yang dilakukan Ki Balangnipa. Dengan jalanya
yang sudah rusak sembrawutan dia menghantam ke udara.
Dua bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus
menerjang Mahesa Kelud.
"Celaka!" seru Si Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi
untuk menolong. Tetapi Mahesa Kelud memang tidak perlu
pertolongan lebih lanjut.
Selarik sinar merah berkiblat di udara dibarengi suara
deru seperti tawon mengamuk. Terdengar tiga kali suara
berdentringan. Tiga bintang perak senjata rahasia Ki
Balangnipa mental dan hancur. Sinar merah menukik
membelah udara.
Bret! Bret!
Baju hitam di tangan Ki Balangnipa kini berubah
menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya
yang sepotong lagi masih tergenggam di tangannya.
Dengan muka pucat pasi Ki Balangnipa melompat mundur.
Mulutnya tergagap ketika dia berkata: "Pe . .. pedang
Dewa!" Rupanya Ki Balangnipa sudah mengetahui senjata
apa yang ada di tangan lawannya.
"Jadi... kau muridnya... muridnya Suara Tanpa Rupa!"
seru Ki Balangnipa.
Mahesa tak menjawab. Justru yang membuka mulut
adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan
urusanmu! Balangnipa, apapun kepandaianmu kau tak
bakal dapat mengalahkannya! Menyerahlah! Jika kau ber-
tobat siapa tahu Sultan mau memperingan hukuman
atasmu!"
Ki Balangnipa meludah ke tanah. Meskipun tengkuknya
memang bergeming dingin karena tahu kehebatan Pedang
Dewa yang memancarkan sinar merah angker di tangan
lawan, namun dia tidak bisa percaya akan kalah begitu
saja di tangan pemuda tak bernama itu. Menyerah sudah
barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik bunuh
diri dari pada diadili di Banten. Dia yakin tak ada
keringanan hukuman baginya. Satu-satunya yang bakal
menyambutnya di Banten jika dia sampai tertangkap hidup-
hidup adalah tiang gantungan atau papan pemancungan!
Ki Balangnipa keluarkan bentakan garang. Kaki
kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan
kini tidak memegang senjata apa-apa, jiwa ksatrianya
membuat Mahesa segera memasukkan Pedang Dewa
kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki
Balangnipa merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa
tanpa pedang sakti di tangan dia akan mudah merobohkan
si pemuda. Dia menggereng ketika tendangannya luput lalu
berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak
berputar seperti gasing. Tangan dan kakinya terkembang.
Dua batang pohon yang kena hantaman kaki dan
tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka
yang sangat berbahaya bernama "kitiran maut"! Apa saja
yang terkena sambaran kaki atau tangan akan terbabat
putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja
merupakan jurus serangan yang dahsyat tapi sekaligus
juga merupakan jurus bertahan yang kokoh.
Mahesa Kelud melompat mundur untuk meneliti
gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan
ke kepala Ki Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda
ini cepat tarik pulang serangannya ketika salah satu kaki
dan tangan lawan mendadak melesat ke arah tenggorokan
dan selangkangannya. Selagi dia melompat untuk meng-
hindari serangan susulan, tubuh Ki Balangnipa yang ber-
putar itu cepat sekali melesat ke arahnya.
Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya per-
kelahian Si Penjala Sakti geleng-geleng kepala. Dia tahu
betul, itu adalah ilmu simpanan Ki Balangnipa yang
terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal
dapat mengalahkan pemuda itu, tapi kini hati kecilnya
diliputi rasa was-was.
Ketika tubuh berputar datang mengejar Mahesa Kelud
segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga
dalamnya ke empat anggota badan yakni sepasang tangan
dan kedua kaki. Sesaat lagi tubuh lawan datang
menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil
susupkan jurus "menembus ombak membelah gelombang"
Buk!
Buk!
Praak!
Dua sosok tubuh saling beradu keras lalu sama-sama
tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi, satunya
lagi masih bisa tegak walau terhuyung-huyung!
Mahesa tegak bersandar ke batang pohon jati sambil
pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih
tergetar dan seperti ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan
tadi, tinju Ki Balangnipa manghantam dadanya sedang
tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia tidak
membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan
tulang lututnya sudah remuk. Pemuda ini atur jalan nafas
dan peredaran darahnya. Dia maklum kalau dadanya
sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai mem-
bahayakan jiwanya.
Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa
terkapar di tanah tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri
remuk hancur akibat pukulan karang sewu yang dilepaskan
Mahesa dengan tangan kanannya.
"Semua berakhir sudah! Semua berakhir sudah!"
terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah
mendekati Mahesa den menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
"Kakek, apakah ini berarti aku telah menjalankan tugas
yang kau berikan dan membayar impas hutang piutang
budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud.
Si kakek tertawa. "Tak ada hutang piutang!" katanya.
"Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan manusia-
manusia jahat dan sesat seperti yang satu itu!"
"Kalau begitu aku tak perlu lagi pergi ke Banten," kata
Mahesa karena sejak lama dia ingin segera pergi ke timur.
"Siapa bilang tidak perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh,
tolong aku.....!"
Mahesa dan Si Penjala Sakti baru ingat pada Empu
Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang
empu memandang sejurus pada Mahesa. Sambil menyeka
sudut bibirnya dia berkata: "Anak muda, bukankah kau
yang bernama Mahesa, yang dulu menjadi pembantu
Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan
Banten...?"
Mahesa hanya mengangguk perlahan.
"Kau harus ikut aku ke Banten! Kau harus menghadap
Sultan!"kata Empu Lodaya.
"Eh, kenapa begitu?" tanya Mahesa.
"Jangan banyak tanya! Apa kau tidak menyadari bahwa
kau baru saja menyelamatkan kerajaan dari malapetaka
besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki
Balangnipa itu? Apa kau tidak tahu bahwa kau baru saja
menyelamatkan enam nyawa dari orang-orang yang
dikasihi Sultan?"
Mahesa angkat bahu.
Empu Lodaya menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau
harus ke Banten menghadap Sultan! Aku percaya kau akan
diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten."
Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu
besar nian Mahesa," katanya. Tapi dia sudah tahu apa
bakal jawab pemuda itu.
"Orang tua, siapa pun kau adanya aku berterima kasih
atas maksud baikmu membawaku ke Banten," kata
Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas
jasa apa-apa. Semua kulakukan karena kakekku ini!"
"Tidak bisa!" sahut Empu Lodaya. Pegangannya pada
Mahesa semakin diperkencang.
"Kalau begitu maumu, baiklah. Mengingat kau terluka
cukup parah, maka berangkatlah dulu naik kuda. Aku
menyusul kemudian ..." kata Mahesa pula.
"Aku akan mendampinginya sampai di pintu gerbang
Kotaraja.'' berkata Si Penjala Sakti. Lalu kakek ini cepat-
cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya
meninggalkan tempat itu. Empu Lodaya sesekali menoleh
ke belakang, ke arah Mahesa Kelud yang masih tegak di
puncak bukit jati itu.
"Aku kawatir, dia tidak menepati janjinya," kata Empu
Lodaya. "Dia tak akan menyusul kita ke Banten ... "
Si Penjala Sakti menyeringai. "Kau tahu pasti hal itu
sahabatku. Apa pun yang diberikan Sultan Banten padanya
dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati seperti dia
tak pemah mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa
pamrih…."
"Sayang .... sayang. Sultan dan rakyat Banten benar-
benar berterima kasih padanya," ujar Empu Lodaya. Lalu
menambahkan: "Kalau saja aku punya anak gadis. Pasti
kujodohkan dengan pemuda itu. Dia sangat tampan.
Ilmunya tinggi pula….."
Si Penjala Sakti tertawa mengekeh.
"Kenapa kau tertawa?!" tanya Empu Lodaya seraya
pegangi pipinya yang mendenyut sakit.
"Mana mungkin kau punya anak gadis! Sampai setua ini
kawin saja pun kau belum ... !" sahut Si Penjala Sakti.
Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa
terpingkal-pingkal.
T A M AT
0 komentar:
Posting Komentar