Sabtu, 30 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE MAYAT DALAM ISTANA

MAHESA KELUD EPISODE MAYAT DALAM ISTANA

 SATU


LANGKAH, REZEKI, 

JODOH DAN MAUT…….



ITULAH empat parkara yang tidak dapat ditentukan oleh 

manusia. Keempatnya berada dalam kuasa dan 

kehendak Yang Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak 

itulah yang menjadi dasar dari jalannya cerita, menyangkut 

pendekar sakti mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya 

Wulansari.... 

PUNCAK GUNUNG MURIA---- 

Pagi itu langit tampak mendung. Angin bertiup kencang. 

Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu, 

memperhatikan Wulansari—yang sejak lebih dua bulan lalu 

jadi istrinya—berkemas-kemas. Hatinya gembira karena 

akhirnya hari itu Wulansari bersedia juga meninggalkan 

tempat kediamannya itu. Selama ini Supumantil selalu 

merasa kawatir kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba 

muncul. 

"Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil. 

Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang 

Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah 

lebih dari dua bulan dia menjadi isteri lelaki itu, namun 

bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang pertama—yang 

disangkanya benar-benar sudah mati—tidak dapat pupus 

dari ingatannya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil 

ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah lembut 

tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan 

Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia sadar cintanya 

terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap 

Mahesa. 

"Hai! Mendung sekali cuaca hari ini. Dan angin begini


kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulansari 

ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana kalau kita 

tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru 

kita berangkat." 

Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-

cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari 

seraya memandang ke langit lalu berkata: "Cuaca memang 

agak buruk. Tapi hujan tak segera akan turun. Paling cepat 

satelah kita sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita 

berangkat sekarang saja Wulan." 

Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya. 

Untuk terakhir kali dia mamandangi rumah kayu di puncak 

Muria itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan 

rumah penuh kenangan. Entah kapan akan kembali lagi ke 

situ. Kadua matanya berkaca-kaca. 

"Mari Wulan," bisik Supitmantil. 

Sambil berpegangan tangan kedua orang itu menuruni 

serambi rumah, melangkah ka ujung kiri halaman di mana 

tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak 

membantu Wulansari naik ke atas kuda, tiba-tiba terdengar 

satu seruan yang luar biasa mengejutkan baik Wulansari 

apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini berubah 

sapucat kain kafan! 

"Wulan! Aku datang!" 

Sebelum gema saruan itu lanyap, sesosok bayangan 

berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak 

enam langkah di dapan kedua orang itu, menatap dengan 

pandangan mata aneh, penuh tanda tanya. 

"Mahesa! Kau . .. !" 

Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajah-

nya namun lebih banyak terlihat bayangan ketidak-

percayaan akan pandangan matanya sendiri! 

"Mahesa! Betul kau ini yang datang ... ?!" 

"Wulan .... Ada apa? Apakah matamu tidak melihat 

hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahesa tanpa 

bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak ber-

jumpa dan penuh kerinduan tentu saja saat itu ingin dia


memeluk istrinya. Tapi entah mengapa dia tetap diam di 

tempatnya. Ada sesuatu kelainan dirasakannya di puncak 

gunung Muria itu. 

"Aku tidak buta. Aku dapat melihatmu dangan jelas 

Mahesa. Tapi .... Tentu Tuhan telah menyelamatkanmu dari 

malapetaka itu!" 

Wulansari sandiri ingin lari menubruk Mahesa. Namun 

detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang telah 

menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini merasakan 

tubuhnya berguncang, dadanya bargatar. Jalan nafasnya 

menjadi sesak. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa 

terjadi... ?" 

Meskipun tambah heran malihat sikap dan mendengar 

ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan. 

Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk 

jurang batu. Seorang kakek sakti menolongku. Bagaimana 

kau bisa tahu kalau aku selamat dari malapetaka masuk 

jurang batu itu ... ?" 

"Jurang batu . . . ?" Wulansari mengulang heran. 

"Ya, jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu 

malapetaka yang kau maksudkan?" Mahesa berpaling 

sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku 

Supitmantil di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap 

hendak meninggalkan tempat ini...." 

Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah 

gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara ber-

siuran. Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa 

berkibar-kibar ditiup angin. Mendadak saja dia teringat 

mimpinya waktu di goa dulu. Mimpi rembulan disambar 

petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma. Puncak 

gunung Muria bergetar. Tapi lebih hebat lagi getaran yang 

ada di dada ketiga orang itu! 

"Mahesa! Ya Tuhan….Kalau taja aku tahu kau masih 

hidup!" Wulansari menjerit setengah meratap sedang 

kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana …. 

bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi ....?" 

"Memangnya siapa yang mengatakan aku sudah mati


Wulan?" tanya Mahesa. Ketika Wulansari tak menjawab 

Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu 

dia maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah 

kakinya tertahan seperti dipantek ke tanah ketika 

mendengar keterangan Wulansari. 

"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah 

laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia .... dia.... " 

Wulansari berpaling ka arah Supitmantil dangan mata 

berapi-api. "Dia yang mengatakan semua itu. Lalu dia 

meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi 

bahwa kau masih hidup aku .... aku .... " 

"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?!" Suara 

Mahesa bergetar. Dadanya terasa panas seperti mau 

meledak. 

Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai 

dan meluncur ke bawah, jatuh berlutut. 

"Jadi, jelas dia telah menyusun cerita dusta!" Rahang 

Mahesa Kelud menggembung. "Aku menyesalkan kau 

begitu mudah percaya dan tidak menyelidik . . . ." Dangan 

mata membeliak garang dan pelipis bergerek-gerak 

Mahesa barpaling pada Supitmantil, "Manusia keparat! 

Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba. 

Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!" 

Mahesa melompat ke dapan. Kedua tangannya 

terkembang. Dari mulutnya tardengar suara menggeram 

seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsa-

nya. 

"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit meng-

hindar. "Aku akan terangkan pada kalian ...." 

"Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang 

memberi keterangan pada setan-setan neraka!" teriak 

Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat 

sebat. Sinar merah berkiblat. Ternyata perempuan ini telah 

mencabut Pedang Dewi pemberian gurunya Suara Tanpa 

Rupa. Tetapi dia bukan menyerang ka arah Supitmantil, 

melainkan memapas serangan Mahesa Kelud! 

"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!" teriak


Mahesa. Di samping marah hatinya juga hancur sekali 

melihat kenyataan ini. 

"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau 

membunuhnya! Dia harus mampus di tanganku!" balas 

teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat 

menyurutkan amarah dan sakit hati Mahesa Kelud. 

Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam 

pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer 

nyalinya pergunakan kesempatan untuk melompat ke 

punggung salah seekor dari dua kuda yang ada di situ. 

Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu, 

Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu 

bacokan pedang sakti yang ganas. 

Supitmantil cepat melompat dari punggung kuda 

selamatkan diri. Sesaat kemudian terdengar ringkik 

binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari 

membabat lehernya, membuat luka manganga yang amat 

besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini lari 

menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah 

lari beberepa belas tombak, meringkik keras untuk 

penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas lagi! 

Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulang 

kali disusul gelegar guntur. Bagitu meloncat dari kuda dan 

lolos dari samberan pedang Wulansari, Supitmantil 

selamatkan diri ke balik sabatang pohon. Maksudnya 

hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat sarta 

kabut yang menutup pemandangan. Tetapi dua sosok 

tubuh lebih cepat bergerak menghadang. Di sebelah kanan 

Mahesa Kelud, di sebelah kiri Wulansari. 

"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?" tanya 

Supitmantil dangan suara bergetar. Dalam ketakutan yang 

amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas 

harapan. Tapi dia keliru. 

"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas 

hidup di muka bumi ini?!" 

"Siapapun diriku aku adalah suamimu! Kita kawin 

sacara sah!"


"Suami jahanam! Kau barhasil memperistrikanku karena 

menipuku!" teriak Wulansari lalu siap untuk membantai 

dengan pedang saktinya. Namun tubuhnya tersentak dan 

mukanya pucat ketika tiba-tiba Supitmantil berkata. 

"Kalau kau membunuhku, bagaimana dangan benih bayi 

yang kini kau kandung?! Apa kau ingin melahirkan seorang 

anak tanpa ayah? Anak yang ayahnya mati di tangan 

ibunya sendiri?!" 

Wulansari merasakan tengkuknya sedingin es. 

Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya meng-

gemuruh seperti sebuah kepundan gunung api yang siap 

meledak memuntahkan cairan dan lumpur panas! Jelas 

rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan 

secara sah. Bahkan Wulansari kini tengah hamil, mungkin 

sakitar satu atau dua bulan. Menghamili anak hasil 

hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat 

yang telah mengkhianatinya secara terkutuk. Kalau tadi 

dalam kemarahannya Mahesa ingin sekali membunuh 

Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri. 

Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah 

menipu Wulansari untuk dapat mengawini perempuan itu. 

Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak terlepas dari 

kasalahan? Yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat 

mau saja menerima Supitmantil jadi suaminya. Seolah-olah 

kasih sayang dan kecintaannya terhadap dirinya hanya 

selapis kabut yang segera lenyap begitu tertiup angin dan 

kini hanya tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang 

telah mengawini mereka dan di mana? Jika dia membunuh 

Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi 

janda, memelihara seorang anak tanpa ayah? 

Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa Kelud ter-

hadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih 

tersemat rasa cinta kasih terhadap parempuan itu meski-

pun kini mungkin hanya seperti sebuah pelita kehabisan 

minyak. 

Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi 

kemudian menjadi bingung sendiri, baru sadar ketika di


depannya terdengar raungan Supitmantil. 

Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang 

basah oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah. 

Darah! Sinar pedang di tangan Wulansari menyambar tiada 

henti. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri bahkan 

sama sekali tidak mampu menghindar dari serangan ganas 

perempuan yang selama dua bulan menjadi istrinya itu. 

Luka besar menganga di sekujur tubuhnya. Ketika 

Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah 

kiri Supitmantil terhuyung-huyung. Luka-luka yang diderita-

nya menimbulkan hawa panas di sekujur tubuhnya. 

"Wulan .... Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon 

Wulan ..." pinta Supitmantil meratap. 

Namun saat itu tak ada belas kasihan apalagi kasih 

sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki itu malah 

membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok 

dan menusuk berulang kali. Dari mulutnya tiada henti 

terdengar pekikan mengerikan. Supitmantil yang menjadi 

bulan-bulanan serangan pedang akhirnya terkapar di tanah 

becek dalam keadaan menggidikkan. Tubuhnya seperti 

dicincang. Beberapa bagian anggota lengan dan kakinya 

buntung putus. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-

megap berusaha bernafas dan tampak separti hendak 

mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar dari 

mulutnya. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata 

itu kini membeliak putih memandang ke langit yang masih 

terus menumpahkan air hujan. 

Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus 

deru angin dan hujan lebat. Mukanya tampak beringas dan 

sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi yang 

masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-

dalam ke leher Supitmantil hingga menembus sampai ke 

tanah. Wulansari tak berusaha mencabut pedang merah 

itu, membiarkannya sengaja menancap tarus di leher lelaki 

yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula 

disangkanya benar-benar mengasihinya. Tetapi kemudian 

ternyata srigala berbulu domba. Yang telah menipu dan


menghancurkan kehidupannya. 

Ketika perempuan ini membalikkan tubuh, pandangan-

nya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada 

wajahnya langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari 

memeluk Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia 

merasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang tak 

layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat 

Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga 

serambi depan dan menangis sambil menutup wajahnya 

dengan kedua tangan. 

Mahesa Kelud tarmangu sesaat Apakah dia akan 

mendatangi Wulansari. Atau .... Ternyata Mahesa Kelud 

kemudian melangkah mendekati mayat Supitmantil. 

Dicabutnya pedang yang menancap di leher lalu 

ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng 

gunung. Pedang Dewi yang berlumuran darah itu kemudian 

diletakkannya di tangga serambi, di samping Wulansari. 

Setelah diam sejenak lelaki ini marasa tak ada hal lain 

yang bisa dilakukannya selain bertekad meninggalkan 

tempat itu membawa segala kesengsaraan dan 

kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali 

ingin dia mengatakan sesuatu pada Wulansari. Namun 

bibirnya terasa berat, lidahnya kelu dan tenggorokannya 

terasa kering. Dia hanya bisa memandangi perempuan 

yang pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu. 

Ada air mata membasahi kadua matanya. Sebelum air 

mata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera 

membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu di 

bawah deru hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba 

terdengar gelegar suara seseorang. 

"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi 

cobaan yang sangat besar dan maha berat ini... !" 

Perlahan-lahan Wulansari turunkan kedua tangannya 

yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa 

sendiri cepat membalik. 

"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan dan cepat 

menjura hormat.


Di halaman di seberang sana, di bawah hujan lebat 

tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana 

kapas. Mukanya meski tua tapi masih licin. Janggut dan 

kumisnya pun putih, juga kedua alis matanya. Di atas bahu 

kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain 

adalah si Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan 

sepasang pedang sakti serta ilmu Pedang Dewa dari 

Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari. 

"Kalian berdua dengarlah . . . ." sang guru kembali ber-

kata. "Jika ada manusia paling bersalah dalam persoalan 

kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk ini. 

Mahesa… aku telah menikahkan istrimu dengan Supit-

mantil tanpa melakukan penyelidikan. Aku benar benar 

merasa bersalah...." 

Terdengar ratap tangis Wulansari meninggi. Mahesa 

tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya. 

"Aku benar-benar bersalah. Bagaimana aku harus minta 

maaf…" terdengar kembali suara sang guru penuh 

penyesalan. 

Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata: 

"Guru tak ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua 

ini sudah takdir dan kehendak Tuhan .... Kita manusia 

hanya menerima nasib." 

Tangisan Wulansari terdengar semakin memilukan. 

"Tak lama setelah aku menikahkan mereka…" 

menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu 

kecurigaan dalam hatiku. Namun karena ada satu 

pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru 

saat ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku 

sudah sangat terlambat!" 

Di bawah hujan lebat wajah orang tua yang kelimis itu 

tampak pucat penuh penyesalan. Anak rusa yang ada di 

pundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud seolah 

mengerti kehancuran hati dan kehancuran hidup yang 

dihadapi pemuda itu. 

"Guru…" kata Mahesa pula. "Apapun yang telah terjadi 

saya tetap menghormatimu." Diusapnya mukanya yang


basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang. . ." 

"Tunggu! Jangan pergi dulu . . .!" seru Suara Tanpa Rupa 

ketika dilihatnya muridnya hendak memutar tubuh. 

Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang 

Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. 

Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa seraya 

berkata: "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang 

senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor. Biarlah pedang ini 

saya serahkan kembali padamu ...." 

Suara Tanpa Rupa menggeleng. 

"Tidak muridku," katanya. "Apa yang telah kuberikan 

padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pedang 

itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di dalam rumah…" 

Kini Wulansari yang balas menggeleng. Dia mengatakan 

sesuatu tapi suaranya terbata-bata, tak jelas apa yang 

diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada Mahesa. 

Hatinya perih hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan 

Mahesa dan keinginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi 

kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharap-

kan dirinya. Lalu apakah lagi gunanya hidup ini dengan 

setumpuk dosa dan kesalahan tak berampun mem-

bungkus diri? Rasa malu dan putus asa membuat 

perempuan ini menjadi nekad. 

Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali. Baik 

Mahesa maupun sang guru yang berada dekat dengan 

Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu 

tiba-tiba sekali menusukkan pedang merah sakti ke 

dadanya. 

"Wulan!" seru Mahesa dan cepat melompat ke depan. 

Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan 

muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat. 

Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus 

sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya 

menatap sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum di 

sudut bibirnya. Lalu pandangan mata itu mulai berbinar-

binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika Mahesa 

mendukung tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata


yang dulu indah menawan itu kini terkatup dan tak akan 

pernah lagi terbuka. 

Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras. 

Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak 

gunung Muria itu .... 

*** 

Satu pemandangan baru kini tampak di puncak gunung 

Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah di 

bawah sabatang pohon rindang di rumah kayu. Saat itu 

menjelang tengah hari. Hujan telah lama berhenti tapi 

angin masih kencang dan udara masih terasa dingin. 

Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala 

kuburan. Kemudian pemuda ini berdiri, berpaling pada 

orang tua yang tegak di kaki makam dan berkata: "Guru 

sudah saatnya saya pergi sekarang…" 

Suara Tanpa Rupa manarik nafas dalam dan meng-

angguk. 

Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa 

melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah 

tujuanmu ... ?" 

"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat 

menjawab..." sahut si pemuda. 

Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang 

dipegangnya. 

"Ambillah senjata pasangan Pedang Dewi ini. Bawalah 

biar lengkap perbendaharaan senjata saktimu...," 

Gelengan kapala Mahesa Kelud membuat si orang tua 

tercengang. 

"Kau tak mau menerimanya Mahesa ... ?" 

"Tarima kasih guru. Kau baik sekali. Bukan saya tak mau 

menerimanya, tapi tidak berani...." 

"Kenapa tidak berani?" 

"Membawa Pedang Dewa saja besar tantangannya bagi 

murid, apalagi membawa pasangannya sekaligus. Malah 

kalau guru tidak keberatan, murid ingin mengembalikan


Pedang Dewa ini…" Mahesa bergerak hendak mengambil 

pedang sakti yang tersisip di balik punggungnya. 

"Jangan kau lakukan itu Mahesa!" kata Suara Tanpa 

Rupa dengan keras dan jelas merasa tersinggung. Namun 

orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai 

bertindak begitu karena tekanan perasaan yang meng-

gejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua ini 

pun kembali berkata dengan nada sabar. 

"Muridku, aku mengerti perasaanmu saat ini. Mungkin 

mati pun kau mau. Namun hal ini mengingatkan aku pada 

seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya 

Kunti Kendil. Aku tak tahu di mana dia berada sekarang. 

Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan sampai perasaan 

mangalahkan pikiran. Kuharap hal itu tidak akan terjadi 

padamu. Karena jika manusia lebih banyak bertindak ber-

dasarkan perasaan, bukan menurut pikiran, akan celaka-

lah dia ..." 

"Murid akan perhatikan kata-katamu itu guru," sahut 

Mahesa. "Hanya saja memang saat ini saya merasa sangat 

terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan derita 

agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata 

mengambil saya jadi murid sampai saat ini saya tak pernah 

lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya orang yang saya 

kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal 

ini…?" 

"Mahesa." kata Suara Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika 

pertama kali kau memegang Pedang Dewa? Mula-mula kau 

merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuh-

mu. Lalu hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk 

menyegarkan yang memberikan satu kekuatan tenaga 

dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk 

memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang 

ada di situ. Setelah semua dimusnahkan dan dirimu 

menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk 

kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru. 

Kekuatan yang berdasarkan amalan suci, berdasarkan 

jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan


perasaan sesat. Karenanya selayaknya saat ini kau tidak 

harus menyesali diri sendiri, menyesali kehidupanmu, 

apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau mendengar 

dan mengerti Mahesa?'' 

"Murid mendengar dan mengerti, guru." 

"Bagus. Sekarang kau boleh pergi. Jika kau tak ingin 

membawa serta Pedang Dewi tak jadi apa. Senjata sakti ini 

akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan 

suatu saat bisa kuserahkan pada seorang pengganti 

Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba 

belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi 

kejahatan dan kesesatan." 

Mahesa Kelud menjura hormat dalam-dalam, beberapa 

saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik 

itu, lalu tinggalkan puncak gunung Muria. 

Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang. "Saatnya 

kita juga pergi Joko," katanya pada anak rusa di pundak-

nya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat tersebut.... 

***


DUA



SEPERTI biasanya malam menjelang pagi udara selalu 

terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan 

turun dengan lebat maka sejak dini hari udara dingin 

terasa lebih mencucuk sampai ke tulang sumsum. Di 

bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam 

yang masih memekat sesosok bayangan berkelebat cepat 

menuju pusat kota di mana Istana Sultan Banten terletak. 

Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah 

gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti 

setan malam yang berkelebat, lenyap sebelum dapat ter-

lihat jelas. Dalam waktu singkat dia sudah berada di luar 

tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter 

dan ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya. 

Dengan satu lompatan luar biasa orang berpakaian 

hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana. 

Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam 

istana, tepat di sebuah taman besar yang terletak di bagian 

belakang istana. Dua orang penjaga yang bertugas 

terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera 

memburu dangan tombak di tangan. Tiga langkah dari 

hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan lengan 

kanan baju hitamnya, Selarik angin menerpa deras. 

Perajurit di sebelah kanan keluarkan keluhan pendek. 

Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di halaman 

taman. Kawannya yang satu lagi angkat tombaknya tinggi-

tinggi, siap untuk menghujamkan senjata ini ka arah orang-

orang berpakaian serba hitam, tapi belum sempat bergerak 

lebih jauh kembali si baju hitam lambaikan lengan pakaian-

nya. Hal yang sama terjadi. Perajurit kedua mencelat,


roboh pingsan dekat bangku batu. Dengan mudah, tanpa 

banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke ujung kiri 

halaman belakang di mana terletak sebuah bangunan 

besar dan bagus. Di sini terdapat beberapa kamar besar 

tempat ketiduran istri-istri Sultan. Masing-masing kamar 

tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja karena 

dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang 

besar. 

Di tangga bangunan besar yang tampaknya sepi tiba-

tiba saja orang berpakaian serba hitam itu dapatkan diri-

nya sudah dikurung oleh empat orang pengawal bersenjata 

golok. Salah seorang pengawal membentak. 

"Maling tua dari mana yang malam-malam begini berani 

masuk istana Banten?!" 

Orang yang dibentak menyeringai. Dia ternyata memang 

seorang tua bermata sangat cekung, berambut panjang 

hitam dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan aneh 

dan luar biasa cepatnya. Dua pengawal di sebelah depan—

salah satu di antaranya yang tadi membentak—langsung 

roboh begitu dada masing-masing dilabrak jotosan kaki 

kanan orang itu! Melihat ini pengawal yang dua lagi tanpa 

banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun meraka 

pun menerima nasib sama. Dengan mudah orang tua 

berpakaian serba hitam itu tundukkan tubuh mengelakkan 

sambaran golok. Di lain saat jotosan kirinya menghantam 

perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan terguling 

pingsan. Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang 

memegang golok. Sekali banting saja pengawal ini ter-

sungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya lepas! 

Sesaat orang berpakaian hitam itu memandang ber-

keliling. Merasakan segala sesuatunya aman maka dia pun 

berkelebat menuju pintu depan bangunan besar. 

*** 

Hari masih gelap dan pagi belum datang ketika seorang 

perajurit mamacu kudanya menuju gudang besar


kediaman Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap 

tidur segera dibangunkan dan langsung menemui prajurit 

itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara menghadap. 

"Apa yang terjadi?" tanya Sumapraja. 

"Mohon dimaafkan, saya tak boleh mengatakan apa-

apa. Hanya diperintah agar patih segera datang ka 

istana…." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat 

pergi. 

Penuh rasa heran patih Sumapraja segera berganti 

pakaian. "Apakah Sultan gering…?" pikir patih berusia 

setengah abad ini. 

Ketika dia sampai di istana bersama pengiringnya 

didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar dan di 

dalam istana. Dia diantar ke sebuah ruangan di bagian 

belakang istana di mana telah duduk menunggu Sultan 

Hasanuddin. Selesai mengatur sembah Sumapraja segera 

bertanya mengapa Sultan memanggilnya. Dilihatnya keada-

an dalam istana tidak seperti biasa. Dua orang istri Sultan 

duduk di sebuah kursi panjang sedang di lain sudut dilihat-

nya beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi 

keperluan permaisuri dan istri-istri Sultan duduk di lantai, 

bersimpuh sambil terisak- isak. 

Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih 

Sumapraja. Dia tegak dari duduknya lalu memegang bahu 

sang patih dan mengajaknya melangkah menuju rumah 

besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung 

masuk ke sebuah kamar. Di situ tampak para pengawal 

memenuhi ruangan dengan senjata terhunus. 

Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus ter-

baring tubuh seorang perempuan muda berparas cantik 

yang segera dikenali oleh patih Sumapraja sebagai Dewi 

Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya 

perempuan ini seperti tidur nyenyak. Namun setelah lebih 

diperhatikan patih Sumapraja segera melihat bahwa ada 

tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga Sultan itu. 

Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana 

Sumapraja juga mendapat laporan bahwa enam orang


pengawal istana ditemui pingsan, satu di antaranya malah 

telah menemui ajal. 

Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan kenyataan 

namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa 

yang sebenarnya telah terjadi, sampai pada saat Sultan 

Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan pertemuan. 

Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi 

kerajaan. Di ruangan ini Sultan menyerahkan sehelai surat 

pada patih Sumapraja seraya berkata: "Surat itu ditemui di 

atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah paman patih." 

Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya 

dan membaca isinya. 

Sultan Hasanuddin, 

Sumpah bukannya sumpah kalau tidak menjadi 

kenyataan. 

Sepuluh orang yang sangat kau kasihi dalam 

hidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semua 

itu untuk membalas sakit hati kematian murid-

muridku. 

Hari ini korban pertama menemui kematiannya. 

Dalam waktu dekat akan menyusul korban kedua! 

Surat itu tidak ada tanda tangan ataupun nama 

pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu 

menatap langit-langit ruang pertemuan seperti merenung. 

"Paman patih bisa menduga siapa penulis sekaligus 

pembunuh Kemulansari . . . ?" bertanya Sultan. 

"Bunyi surat ini mengingatkan saya pada kutukan 

seorang tokoh silat Pajajaran pada peristiwa beberapa 

waktu lalu Ki Balangnipa ... !" 

"Betul!" kata Sultan pula. "Aku yakin memang dia 

orangnya. Dua tahun lebih telah berlalu. Segala sesuatunya 

aman tenteram di dalam dan di luar istana walau sampai 

saat ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan 

Kepala Pengawal Istana. Tahu-tahu sumpah orang itu 

benar-benar dijalankannya...."


Pikiran Sultan dan sang patih teringat kambali pada 

peristiwa dua tahun yang silam. Waktu itu dalam sebuah 

sayembara mencari orang yang dapat dijadikan Kepala 

Balatentara Karajaan telah keluar sebagai pemenang 

seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya 

maka dia diberi gelar Raden Mas. Setelah menduduki 

jabatan tarsebut ternyata barsama saudara seperguruan-

nya bernama Jaka Luwak, Tirta melakukan pengkhianatan. 

Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran 

untuk menghancurkan Banten di mana kelak dia dijadikan 

kedudukan sebagai patih Pajajaran dan sekaligus menjadi 

penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum maksud 

busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan 

diketahui oleh Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal 

Istana Banten. Celakanya Tirta dapat memutar balik 

kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan 

mengatakan bahwa sebenarnya Ekawiralah yang diam-

diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan, 

Tirta memperlihatkan sepucuk surat dari raja Pajajaran 

yang ditujukan pada Ekawira, padahal surat ini adalah 

surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya Ekawira 

ditangkap dan dipenjarakan. Tapi dengan pertolongan 

Mahesa Kelud yang menjadi pembantu kepercayaannya 

Ekawira kemudian berhasil melarikan diri. 

Dalam pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil 

mencari tahu siapa sebenarnya ular kepala dua yang telah 

mengkhianati Banten. Dari keterangan seorang mata-mata 

Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan 

Sultan diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta 

kakaknya seperguruannya Jaka Luwak yang hendak 

merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu 

dengan Pajajaran. 

Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara. 

Menemui ajal di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang 

pemuda yang bernama Unang Bonalola yang sebenarnya 

berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum 

Tirta muncul dangan tiba-tiba dan mengalahkannya dalam


sayembara yang sebenarnya talah ditutup. Jaka Luwak, 

saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa 

Kelud lalu dibawa ke Banten. Namun sebelum dia sempat 

memberi keterangan apapun pada Sultan, Ki Balangnipa 

muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup 

rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan 

sumpahnya terhadap Sultan. Yakni dia akan membunuh 

sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat 

kematian kedua orang muridnya. Resi Mintaraya sendiri 

kemudian juga menemui kematiannya di tangan Ki 

Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan 

jurus. Sementara Ekawira yang tadinya memegang jebatan 

Kepala Pengawal Istana meninggalkan jabatannya meski-

pun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang lebih 

tinggi yaitu Kepala Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah 

terlanjur sakit hati atas perlakuan Sultan. Bersama Mahesa 

Kelud dia meninggalkan Banten. 

"Sultan ...," kata patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin 

salah satu kelalaian kita yang sampai saat ini masih belum 

mendapatkan seorang yang pantas untuk jabatan Kepala 

Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan . .. ." 

"Mungkin." jawab Sultan perlahan, "tapi kita telah 

berusaha mencarinya. Hanya saja belum mendapatkan 

calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan 

sayembara seperti dua tahun lalu? Kau tahu sendiri hasil-

nya paman. Salah-salah kita bisa kemasukan pengkhianat 

lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa 

kau rangkap ..." Setelah diam sesaat Sultan kembali ber-

kata "Kelalaian atau kekeliruan itu tidak saatnya kita 

bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua 

di sini sudah tahu di mana tempat kediaman Ki 

Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik 

ke puncak Gunung Gede. Cari dan dapatkan pembunuh itu. 

Aku ingin melihat tubuhnya digantung di alun-alun!" 

"Perintah saya jalankan Sultan!" jawab patih Sumapraja 

seraya berdiri. Sebelum pergi dia bertanya: "Adakah hal lain 

yang ingin Sultan katakan sebagai petunjuk ...?"


"Sebelum pergi minta beberapa orang pajabat kita untuk 

menghubungi tokoh silat. Dengan adanya kejadian ini kita 

memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat istana yang 

ada kurasa masih belum cukup…" 

"Akan saya jalankan Sultan. Cuma harap Sultan 

maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para 

tokoh silat tampak seperti menjauhkan diri dari istana…." 

Sultan jadi termenung beberapa lamanya. 

"Apa kau tak pernah mendengar lagi tentang Ekawira? 

Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian tinggi 

itu. Siapa namanya….?" 

"Mahesa Kelud," jawab sang patih. Lalu dia meng-

gelengkan kepala. "Keduanya tak pernah terdengar lagi 

Sultan….." 

Sultan Hasanuddin menarik nafas panjang. Setelah 

memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang 

menyangkut keamanan lingkungan istana maka sidang 

darurat itupun dibubarkan. Hari itu Sultan kehilangan salah 

satu dari orang-orang yang dikasihinya. Masih sembilan lagi 

akan menyusul. 

***


TIGA


SESAMPAI di kaki barat gunung Muria Mahesa Kelud 

seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi 

dia akan menuju ke mana. Dirinya terasa kosong. 

Pendekar malang ini akhirnya menundukkan diri di bawah 

sebatang pohon waru. Apa yang akan dilakukannya dan ke 

mana dia harus pergi? Semula terlintas dalam pikirannya 

untuk pulang saja ke kampung halamannya di kampung 

Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di 

sana apa yang akan diperbuatnya? Kedua orang tuanya 

sudah tak ada lagi. Mati dibunuh Simo Gembong yang juga 

adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun tidak 

punya. Saat itu baru disadarinya kalau dirinya sebatang 

kara di dunia ini. Dapatkah dia melupakan masa lalunya 

yang serba pahit dan getir itu? Sekilas timbul keinginannya 

untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan jadi 

pertapa. Namun kemudian dia tertawa sendiri. Orang 

semuda dia mana mungkin tabah menjadi pertapa. 

Mahesa tak sadar entah berapa lama dia merenung-

renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya 

tampak mulai suram tanda hari sudah sore menjelang 

senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dari duduknya. 

Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih 

menikam dari keletihan aurat. Sesaat ketika dia hendak 

melangkah pergi di atas pohon di depannya dilihatnya 

sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari satu 

cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Kera betina 

tampak melompat-lompat sambil mendukung seekor anak-

nya yang mungil dan tak henti-hentinya mengeluarkan 

suara hiruk pikuk. Kera yang jantan tegak di cabang pohon, 

memandang tepat-tepat ke arah Mahesa sambil 

menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya yang 

tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti meng


gereng. Sikapnya jelas seperti bertindak waspada 

melindungi anak dan istrinya. 

"Aku tak akan mengganggumu. Apalagi menyakitimu! 

Jangan kawatir. Aku bukan orang jahat!" kata Mahesa pada 

kera-kera itu. Sang anak kembali berteriak hiruk-pikuk. 

Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan 

terus memandang beringas dan tak berkesiap pada 

Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan lagi binatang-

binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja 

dia menghentikan langkahnya. Telinganya sEbelah kiri 

mendadak mendenging. Di saat itu juga teringatlah dia 

pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang 

telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa 

lalu akibat ditipu diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias 

Iblis Buntung. Ah, di manakah perempuan yang malang itu 

kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai 

kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan 

baca: Pedang Sakti Keris Ular Emas) Lalu bagaimana pula 

dengan bayinya yang bernama Lutung Bawean, benarkah 

bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukan dan 

suaminya manusia bertubuh monyet yang dikenal dengan 

nama Lutung Gila? Lalu bagaimana pula dengan lutung 

raksasa yang disebut Raja Lutung itu? Langkah pendekar 

dari gunung Kelud ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke 

bawah pohon waru tadi sementara kera-kera di atas pohon 

sana telah lenyap masuk ke dalam rimba belantara. 

Diam-diam Mahesa merasakan ada rasa bersalah dan 

berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu 

terjadi antara dia dengan Kemaladewi adalah akibat 

kejahatan si Iblis Buntung yang sengaja memasukkan obat 

perangsang ke dalam minuman mereka. Yaitu ketika kedua 

muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman si nenek 

jahat. Setelah sadar apa yang terjadi Kemaladewi meminta 

agar Mahesa bersedia mengawininya. Sesungguhnya 

Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai 

pemuda itu. 

Sebaliknya Mahesa yang sudah tertambat hatinya pada


Wulansari tidak dapat memberi kata putus. Dia berjanji 

setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang Samber 

Nyawa, dia akan kembali menemui gadis itu untuk mem-

bicarakan persoalan mereka. 

Namun sampai Kemaladewi melahirkan seorang anak 

lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia 

dibingungkan dengan rasa curiga, apakah betul anak itu 

hasil hubungan mereka dulu, dan bukan dari perkawinan 

Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung Gila 

itu? 

Mahesa ingat pada peristiwa sekitar dua tahun silam di 

Perguruan Ujung Kulon. Itulah saat terakhir kali dia melihat 

Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat mempengaruhi 

jiwa raganya. Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya 

seperti seorang yang tidak waras lagi. Pakaian dan rambut-

nya kotor awut-awutan .... 

Saat itu Kemaladewi muncul sambil menggendong bayi. 

Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai 

bulu lutung menutupi sekujur tubuhnya. Selain aneh 

makhluk setengah manusia setengah lutung itu jelas 

berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidak 

warasan itu Lutung Gila ternyata memiliki ilmu silat hebat 

luar biasa yang didapatnya dari ayah angkatnya yakni Raja 

Lutung. 

Raja Lutung yang memiliki kepandaian sukar di 

gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu. 

Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila bersama anaknya, 

Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah 

membantai lebih dari setengah lusin anak murid 

perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat dirinya 

menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung 

Gila membunuh pula beberapa orang anggota perguruan. 

Angka kamatian bertambah menjadi lebih dari selusin. Dan 

dari sekian banyaknya anak murid perguruan kini hanya 

tinggal empat orang yang masih hidup. 

Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi dan Lutung Gila 

bukan saja membuat geger dunia persilatan tinggi tetapi


sekaligus membuat prihatin para tokoh silat. Mereka yang 

tidak bisa berpangku tangan segera mendatangi Ujung 

Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan 

dan nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk 

melenyapkan ketiga mahluk itu. Namun mereka semua 

tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung 

Kulon hidup-hidup. Semua menemui kematian dengan cara 

amat mengenaskan! 

Sampai pada suatu hari, muncullah seorang tua berusia 

lebih dari 70 tahun, berambut putih, dan suka sekali meng-

ucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap perkataannya. 

Orang tua ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari 

Empu Sora yakni ketua perguruan yang talah dibunuh oleh 

Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya sendiri! Lor 

Munding Saksana datang bersama Udayana, seorang 

murid perguruan yang memang diutus untuk mencari dan 

menemui kakek gurunya itu guna menyelamatkan 

perguruan. 

Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya, 

Kemaladewi yang sedang mendukung Lutung Bawean 

segera membentak. 

"Orang tua buruk, kau siapa?!" 

Lor Munding Saksana mendongak ka langit, mengeluar-

kan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak men-

jangkau mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara 

melayang seekor burung. Ranting yang di tangannya 

dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara 

terdengar mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah. Lor 

Munding Saksana ulurkan tangan kirinya menyambut 

burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke 

atas pohon pendek dan sesaat kemudian dia sudah duduk 

di salah satu ranting pohon itu. Kedua kakinya digoyang-

goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap 

burung mentah hasil "tangkapannya" tadi! 

Meski diketahui Kemaladewi seperti kurang waras 

ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut 

amat sangat ketika menyaksikan perbuatan orang tua itu.


Dia masih mampu meniru perbuatan si kakek tak 

dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara. 

Tapi untuk dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas 

ranting yang begitu kecil benar-benar tak mungkin 

dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup! 

"Ahoi ... ! Kau terkejut ya?! Kau heran ya?! Sompret!" 

Kemaladewi menjadi marah mendengar kata-kata orang 

tua itu. 

"Tua bangka gila! Kau siapa sebenarnya? Lekas jawab! 

Kalau tidak jangan menyesal... !" 

"Hemm ... ehmmmm ..." Lor Munding Saksana meng-

unyah daging burung mentah dalam mulutnya sambil 

mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar 

ciplakannya. "Aih, wajahmu boleh juga sompret! Tapi ... 

coba... ehmmmm kau kasih keterangan dulu siapa kau 

adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila 

kau beri tahu namamu, ahoi!" 

Kemaladewi marahnya bukan main. Namun dia tidak 

berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa 

yang tadi diperlihatkan orang tua itu dia maklum tengah 

berhadapan dangan bukan sembarang orang. 

"Orang tua edan! Kalau kau mau tahu akulah Ketua 

Perguruan Ujung Kulon yang baru!" 

"Oho . . . ? Hemmm!" Si orang tua berhenti mengunyah. 

Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling 

pada Udayana, anak murid perguruan yang tadi datang 

bersamanya. "Hai sompret! Apa betul dia Ketua Perguruan 

Silat Ujung Kulon?!" 

"Tidak!" jawab Udayana cepat. "Perempuan ini pasti istri 

Lutung Gila. Dia pasti merampas kedudukan Ketua 

Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-

sauderaku... !" 

Kemaladewi berpaling pada Udayana lalu berkata: 

"Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid 

perguruan. Kalau begitu lekas kau berlutut di hadapan 

ketuamu yang baru!" 

"Siapa sudi!" sahut Udayana.


"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemala maju 

mendekati pemuda itu. 

"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana 

cepat. "Jika kau mengaku Ketua Perguruan maka kaulah 

yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan 

sompret!" 

Paras Kemaladewi jadi beringas ganas. 

"Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah 

kakek guru anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut 

sompret!" 

Bahwa orang tua di hadapannya itu mengaku kakek 

guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan 

Kemaladewi. Namun dia sama sekali tidak merasa takut. 

"Sompret! Kenapa berdiri bengong?! Ayo berlutut!" 

bentak Lor Munding Saksana. 

"Orang tua, kalau kau datang untuk mencari mampus 

turunlah dari ranting itu!" balas membentak Kemaladewi. 

Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas 

sebuah batu besar. Waktu meletakkan bayi itu tubuh 

Kemaladewi membungkuk. Lir Munding Saksana kelihatan 

menyeringai. Tulang burung yang ada di tangannya 

dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat 

Kemaladewi! 

"Orang tua kurang ajar! Kau benar-benar sudah bosan 

hidup!" 

Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil berputar kaki 

kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul 

ke depan. Dua rangkum angin dahsyat melesat meng-

hantam Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya 

hancur berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun 

pohon berguguran. Akar pohon terbongkar dan sesaat 

kemudian pohon itu pun tumbang! 

Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikit-

pun! 

Pada saat dirinya diserang dan ranting yang didudukinya 

hancur orang tua itu membuat gerakan berputar seperti 

seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan kedua


tangan lebih dulu sedang sepasang kakinya menyentak 

mengirimkan tendangan jarak jauh. Kemaladewi sangat 

tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin deras luar 

biasa. Secepat kilat dia selamatkan diri dengan jalan 

melompat ke samping. 

"Krak!" 

Pohon besar di belakang perempuan jelita itu patah lalu 

tumbang bergemuruh. Di saat yang sama Lor Munding 

Saksana sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak 

pinggang. 

"Sompret! Apa kau masih belum mau berlutut? Masih 

belum mau minta ampun padaku, sompret?!" bentak si 

orang tua. 

Rahang Kemaldawi menggembung tanda dia marah 

sekali. Parasnya mengelam merah. Kadua kakinya digerak-

kan cepat tapi seperti tidak beraturan. Kedua tangan 

kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan kian 

kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang 

sangat berbahaya! 

Lor Munding Saksana semula terheran-heran melihat 

serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser kuda-

kuda ke samping, siap untuk menotok urat besar di sisi kiri 

Kemaladewi. Namun secara aneh kembali perempuan 

muda itu membuat gerakan tak terduga hingga totokan si 

orang tua tidak menemui sasaran. Tiba-tiba sepasang 

tangan Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka 

dan dada kakek guru Perguruan Silat Ujung Kulon itu. 

Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang 

untuk selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Ber-

samaan dengan itu mulutnya tampak mengembung, lalu 

meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat 

menyembur ke wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung 

nanar. Seumur hidupnya tak pernah dia mencium bau 

busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti 

tercekik. Belum sampat dia mengimbangi tubuh tahu-tahu 

satu jotosan keras menghantam pertengahan dadanya. 

Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas


batu besar di mana anaknya— Lutung Bawean—tadi 

dibaringkannya. 

Susah payah Kemaladewi mencoba bangkit. Dadanya 

sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan 

peredaran darah untuk mengurangi rasa sakit. Selama 

mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung Gila dan Raja 

Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh 

tubuh dan memukulnya demikian hebat! 

Penuh gelegak amarah Kemaladewi cabut pedang hijau 

dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu 

Sora, pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang 

memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia adalah 

Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon. 

"Kau lihat pedang ini anjing tua?!" 

"Eit, aku toh tidak buta sompret!" 

"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!" 

Dengan pedang di tangan, dangan menggunakan jurus-

jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka 

mengamuklah Kemaladewi dangan segala kehebatannya. 

Tetapi orang yang diserang hanya ganda tertawa. 

Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu 

mungkin tubuhnya telah terkutung-kutung paling tidak jadi 

tiga bagian! 

"Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan 

manusia setengah iblis macammu sompret! Lekas berikan 

padaku!" 

Habis membentak begitu si orang tua maju ke muka 

ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemala-

dewi. Hal ini membuat Kemaladewi menjadi semakin naik 

pitam melihat serangannya dipapasi. Karenanya selain 

menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan 

kaki kanannya. Gerakannya seperti tadi serba tak teratur 

dan aneh. Dalam keanehan itu ter-kandung bahaya ganas 

yakni maut! 

"Serahkan pedang!" 

Lor Munding Saksana berseru. 

Kemaladewi tarpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja


seluruh serangannya berhasil dielakkan lawan, tapi si 

orang tua malah berhasil merampas pedang hijau dari 

tangannya! 

"Sompret! Bukankah tadi sudah kukatakan pedang 

pusaka ini tidak pantas berada di tanganmu?! Nah 

sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut 

minta ampun?! Ayo berlutut somp….." 

Buk! 

Ucapan Lor Munding Saksana terputus. Tubuhnya 

terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit 

bukan main. Tulang bahu itu serasa hancur! Siapakah yang 

telah menyerangnya dan memukul bahu kanannya dengan 

tiba-tiba? Barpaling ka samping kanan orang tua ini 

melihat sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam, 

namun berkepala manusia! 

"Sompret! Kau pasti setan alasnya yang bernama Lutung 

Gila! Murid murtad tujuh turunan!" memaki si kakek. 

"Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih 

bermulut kotor! Biung. Apa kau tidak sadar kalau umur 

hanya tinggal sekejapan mata? Apa tidak tahu kalau liang 

kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung?! Icuh . . . 

icuh!" Inilah Lutung Gila yang mengaku dan menganggap 

diri sebagai suami Kemaladewi. 

Lor Munding Saksana marah bukan main. Bukan saja 

oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh 

ucapan Lutung Gila yang sengaja manghina dan mem-

permainkannya. Diputarnya pedang hijau di tangan kanan 

dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya seperti 

saakor ular panjang yang memancarkan sinar hijau 

kemilau, mengurung dan menyerang Lutung Gila serta 

Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya. Seorang 

tua renta berotak miring, bertempur melawan dua orang 

suami istri berotak tidak waras! 

Sampai dua jurus di muka Lutung Gila dan Kemaladewi 

masih dapat mengimbangi lawan mereka bahkan ganti 

melancarkan serangan balasan. Namun memasuki jurus 

ketiga, keempat dan seterusnya keduanya mulai tardesak


dan dibikin tak berdaya. 

Kemarahan Lor Munding Saksana sebenarnya lebih 

banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang 

sesungguhnya adalah cucu muridnya sendiri. Bukan saja 

kanena Jayengrana seorang murid murtad yang telah 

membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan 

tetapi juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul 

secara mendadak. Hampir seluruh serangan si kakek 

ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi 

sibuk sekali. Betapapun lihaynya dia selama ini namun 

saat itu dia benar-benar ketemu batu! Dalam keadaan 

terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya pedang 

pusaka Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran 

bertubi-tubi di tubuhnya. 

Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit 

dada robek besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela. 

Lutung Gila terhuyung megap-megap. Satu jeritan dahsyat 

kaluar dari mulutnya. Setelah itu diapun roboh tak ber-

gerak lagi! 

"Keparat edan! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!" 

teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat rotan 

berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat. 

Dengan senjata ini seperti kemasukan setan dia menyerbu 

si kakek. 

Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan per-

kelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya 

berhasil mengalahkan dan membutuh Lutung Gila, mem-

bunuh perempuan muda itu jelas akan lebih mudah. 

"Perempuan sompret sontoloyo! Aku yang tua sudah 

berikan kesempatan bertobat dan berlutut minta ampun 

padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan 

mampus! Nah mampuslah kau kini sompret!" 

Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat 

ke kiri, membalik ke kanan, memapas ke pinggang dan 

menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh 

untuk menghindarkan semua serangan itu. Kelihatannya 

dia akan berhasil. Namun apa lacur. Serangan tarakhir


yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay belaka. 

Karena sesaat kemudian dangan cepat pedang hijau ini 

membalik ke kiri lalu kembali membabat ke kanan, 

memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut. 

Dan tutukan ini tidak dapat dielakkan lagi oleh 

Kemaladewi! 

"Raja Lutung! Tolong aku!" jerit Kemala. 

Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut 

Kemaladewi maka trang! Terdengar suara beradunya 

senjata. Bunga api berpijar. Pedang di tangan Lor Munding 

Saksana terangkat ke atas dan gompal bagian tajamnya! 

Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan 

cepat-cepat orang tua ini melompat menjauh. Si orang tua 

tarkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri di 

hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil 

dengan sebutan Raja Lutung itu, melainkan seorang lelaki 

muda berparas cakap dengan potongan tubuh kakar 

berotot berpakaian serba putih! Di tangan pemuda ini ada 

sebilah pedang mustika yang memancarkan sinar terang 

merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana merasa 

kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di 

tangan si pemuda membuat sinar hijau pedang di 

tangannya menjadi redup! 

Jika orang tua itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih 

terkejut. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya 

menganga, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. 

Sesaat kemudian wajah itu tampak pucat pasi sedang 

sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan 

berkaca-kaca. 

"Mahesa..." ucap Kemaladewi antara terdengar dan 

tiada. "Kucari kau berbilang minggu bahkan berbilang 

bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak 

pernah kutemu. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku 

setelah kau sia-siakan. Kakak... apakah kau datang untuk 

menepati janjimu dulu ...." Air mata menggelinding ke pipi 

Kemaladewi. 

Mahesa Kelud merasakan hatinya seperti disayat-sayat


ketika mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan 

dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan. Tetapi 

berdesing sampai ke telinga si pemuda! 

"Manusia-manusia sompret!" terdengar bentakan Lor 

Munding Saksana. Dia memandang pada Kemaladewi lalu 

pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main 

sandiwara ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini 

bukan panggung! Kalian….." 

Angin sedahsyat badai tiba-tiba menyambar dari 

belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir ter-

jungkal kalau tidak lekas-lekas melompat ke samping. 

Dia cepat membalik ketika satu lengkingan sangat keras 

menggetarkan telinga mendebarkan dada terdengar meng-

geledek. Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga 

meter, manyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang besar 

serta taring yang panjang runcing! 

"Lutung sompret! Menyerang dari belakang! Pasti kau 

yang dijuluki si Raja Lutung! Bagus! Berarti kau pun harus 

mampus menyusul muridmu! Dengan pedang hijau gompal 

Lor Munding Saksana menerjang binatang raksasa itu. 

Maka terjadilah perkelahian yang seru antara manusia ber-

kepandaian tinggi dangan binatang yang juga memiliki ilmu 

luar biasa. 

Tapi Kemaladewi tidak perhatikan perkelahian itu. Dia 

berpaling pada Mahesa dan memandang pada pemuda itu 

dengan mata basah. 

"Kakak... kau datang untuk menepati janjimu dulu? 

Benar?" Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian 

hebat, berurat berakar terhadap Mahesa Kelud, kini se-

sudah berhadap-hadapan dangan lelaki itu hilang semua 

perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas laksana 

setitik air jatuh di atas pedang pasir. Namun jawaban yang 

didengarnya dari Mahesa sungguh mengejutkan. 

"Kemala ... aku datang hanya untuk bertanya….." 

"Untuk bertanya?!" mengulang Kemala. 

Mahesa mengangguk. 

Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya menyipit.


"Mengapa kau jadi sampai begini Kemala? Melakukan 

hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia sehat. Kau 

bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah 

manusia setengah lutung itu. Lalu ilmu kesaktian yang kau 

miliki kau pergunakan untuk membunuh tokoh-tokoh per-

silatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan orang. 

Mengapa Kemala ...?" 

Perempuan itu merasakan tubuhnya lunglai. Tidak beda 

seperti seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi. 

"Jadi itu rupanya maksud kedatanganmu Mahesa? 

Hanya untuk bertanya ... ?!" 

"Dan juga untuk meminta agar kau menghentikan 

semua perbuatan ganas sesat itu!" 

Kamala tampak diam sejurus. Lalu wajahnya yang tadi 

lembut kini berubah beringas, "Kau tanya mengapa? Baik! 

Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena 

kau! Karena kau seorang manusia yang tidak bertanggung 

jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang telah kau 

lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia 

paling pengecut di dunia ini! Manusia macammu harus 

dilenyapkan dari muka bumi agar tidak merusak gadis-

gadis lainnya!" 

Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat marah dan kelam 

sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi 

kini bukan saja menyayat hatinya, tetapi juga membakar 

amarahnya. Selagi dia berusaha menahan hati di depannya 

dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan tongkat 

rotan berkeluk. Sebelumnya Mahesa telah pemah melihat 

ilmu tongkat yang menjadi andalan Kemala. Karenanya dia 

tak perlu merasa gentar. Tetapi ketika tongkat itu berkiblat 

Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala 

bukan jurus silat ajaran gurunya si Dewa Tongkat, tetapi 

satu jurus yang sangat aneh. Untung saja Mahesa sudah 

bersiap waspada hingga serangan maut yang mengarah 

batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu 

serangan pertama gagal, tongkat berkeluk itu dangan 

ganas membalik. Kali ini ujungnya yang berkeluk seperti


seekor ular berusaha menggelung batang leher Mahesa. 

Murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini runduk-

kan kepala sambil pukulkan lengan kiri ke atas. Lengan 

dan tongkat beradu keras. Mahesa merasakan tangannya 

bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur 

ketika hantaman tangan Mahesa membuat tongkatnya 

lepas dan mental! 

Bertambah pucatlah paras perempuan ini. Selagi dia 

menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di 

bawah Mahesa. Sesudah belajar dan mendapat ilmu 

tambahan yang aneh dari Lutung Gila dan Raja Lutung 

disangkanya akan mudah baginya untuk mangalahkan 

Mahesa, orang yang pemah sangat dicintainya namun kini 

sangat dibencinya. Tak disangka Mahesa kini malah jauh 

lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam amarahnya 

Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan 

tangan kosong serta tendangan-tendangan dahsyat. 

Namun mendadak Kamala batalkan keputusan itu. 

Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di 

tangan Mahesa. 

"Mahesa! Kau telah menghancurkan kehidupanku! 

Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga! 

Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas 

dari siksa dan derita batin! Bila aku sudah mati, kau 

bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah anakku. Anakku 

dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!" 

Jika ada seekor singa atau harimau yang tiba-tiba 

menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak 

sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar 

apa yang diucapkan Kemala tadi. 

"Kemala! Kau ... kau bilang apa?! Bayi itu .... Anakku?!" 

Mahesa barpaling ke batu besar di atas mana dilihatnya 

terbaring seorang bayi. Kulitnya masih merah tanda 

umurnya baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah 

menghampiri. 

"Jangan dekat!" teriak Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu 

bunuh bayi itu!"


Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah seperti mau 

lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang 

sayu pada Kemala namun dalam dadanya laksana ada 

bara api yang berkobar. 

"Adikku, kau tahu .... Peristiwa itu tarjadi bukan mauku. 

Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi di luar 

kesadaran kita. Kita telah ditipu oteh nenek jahat Iblis 

Buntung hingga teraniaya…" 

"Aku tahu. Lebih dari tahu!" sahut Kemaladewi. "Meski-

pun begitu apa anak itu jadinya bukan anakmu?!" 

"Bagaimana aku dapat memastikan Kemala. Karena 

kudengar bukankah kau kawin dengan Lutung Gila?!" 

"Kami tidak kawin!" jawab Kemaledewi hampir berteriak. 

"Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan dia meng-

anggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah satu 

ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba 

berdalih Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang 

lain! Jangan kau cobe-coba hendak mencuci tangan! Bayi 

itu adalah anak mu! Darah dagingmu! Kau dengar... ?!" 

"Kalau begitu serahkan dia padaku. Dan kau kembali ke 

jalan yang benar!" kata Mahaaa pula. Kepalanya seperti 

dipentung-pentung ketika mandangar ucapan Kemaladewi 

tadi. 

"Kau minta aku kembali ke jalan yang benar? Jalan yang 

benar bagaimana Mahesa? Macam yang telah kau perbuat 

tarhadapku?! Tak ada tanggung jawab sama sekali?! Cis! 

Kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak 

terampunkan! Kau lari .... Pengecut! Berani berbuat tak 

berani tanggung Jawab!" 

"Kemala...." 

"Jangan sebut namaku!" potong Kemaladewi meng-

hardik. 

Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu. "Kalau 

menurutmu dosaku tidak terampunkan dan jika kau 

katakan aku tidak bartanggung jawab, ada jalan yang 

sangat mudah bagimu. Ambil pedang ini! Kau pantas 

membunuhku!"


Habis berkata bagitu Mahesa Kelud mengangsurkan 

hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan 

ini tidak mau menyambutnya. Malah dia menyeringai sinis 

dan berkata: "Tidak! Terlalu enak bagimu mati cara begitu! 

Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti 

di satu hari yang akan membunuhmu! Ingat itu! Anak 

sendiri yang akan membunuh ayahnya!" 

Kemaladewi putar tubuhnya lalu lari ke arah batu besar. 

Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja 

Lutung "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!" 

Saat itu Raja Lutung tengah bertempur malawan Lor 

Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si 

kakek berhasil menghujani Raja Lutung dengan pukulan 

dan tendangan keras namun semua itu seperti tidak di 

rasakan oleh binatang raksasa itu. Lama-lama Lor Munding 

Saksana menjadi terdesak dan terancam nyawanya. 

Untunglah Raja Lutung patuh pada Kemaladewi. Begitu 

mendengar kata-kata perempuan itu binatang ini segera 

tinggalkan si kakek dan lari menyusul Kemaladewi. 

Mahesa hendak mengejar namun kemudian membatalkan 

niatnya .... 

Mahesa tersadar dari kenangan masa lalu itu ketika 

nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan 

didapatinya hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas 

dalam. Dia merasa seperti tak ada gunanya lagi hidup ini. 

Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan 

cobaan besar yang dialaminya saat itu merupakan 

sebagian dari kutuk sumpah Kemaladewi, merupakan 

pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan 

perempuan itu? 

"Anak itu . . ." desis Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah 

berumur dua tahun .... Aku harus mencari Kemala dan 

minta maaf. Aku harus memelihara anak itu .... Ya Tuhan. 

tunjukkan aku jalanMu yang lurus agar aku dapat 

menghadapi semua cobaan ini!" Perlahan-lahan Mahesa 

berdiri lalu tinggalkan tempat itu.


EMPAT


BEBERAPA hari setelah lewat masa perkabungan, tiga 

ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung 

Gede, di pimpin langsung oleh Patih Sumapraja. 

Setelah menempuh jalan yang sulit melewati rimba 

belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan, 

dua minggu kemudian pasukan ini sampai di kaki gunung 

yang dituju. 

Di sini rombongan dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin 

oleh sang patih sendiri. Seratus lainnya dipimpin oleh 

Tampak Ungu, seorang perajurit kepala bertubuh tinggi 

hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup 

tinggi meskipun hanya silat luar tanpa "isi". Rombongan 

terakhir yang juga berjumlah seratus perajurit dikepalai 

oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. Meskipun baru 

berusia 22 tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian 

silat yang cukup dapat diandalkan serta ahli memainkan 

tombak pendek bermata tiga. 

Menjelang tengahari rombongan yang terbagi tiga itu 

mulai mendaki gunung dari tiga jurusan berbeda. Hampir 

sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga ketinggian 

Gunung Gade dan tidak menemukan apa-apa yang 

memberi patunjuk adanya orang yang mereka cari yakni Ki 

Balangnipa yang telah membunuh istri termuda Sultan 

Banten. Pandakian diteruskan sampai ke pertengahan 

lereng gunung dan saat itu hari telah mulai gelap. 

Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkamah di tiga 

bagian lereng yang saling terpisah jauh. Keesokan paginya 

baru mereka kembali bergerak. Semakin ke atas semakin 

sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing rombongan 

bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya 

mampu mencapai ketinggian dua pertiga gunung. Sebegitu


jauh penyelidikan yang mereka lakukan masih belum 

membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik 

sampai ke puncak gunung karena pasti di situlah Ki 

Balangnipa bercokol. 

Siang keesokannya tiga rombongan akhirnya berhasil 

mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda. 

Di puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu 

yang hampir roboh. 

Melihat kaadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja 

maupun Tampak Ungu dan Purajaya segera maklum kalau 

orang yang mereka cari tak ada di situ. Sambil mengelilingi 

bangunan tersebut sang patih tiada hentinya 

mengeluarkan ucapan yang menyatakan kejengkelannya. 

"Perjalanan yang sia sia ... !" kata Sumapraja. 

"Kelihatannya orang yang kita cari itu sudah sejak lama 

tidak diam di sini, paman Patih." Berkata Purajaya. 

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?!'' tanya Tampak 

Ungu sembari memijat-mijat betisnya yang berbulu. 

"Kita beristirahat dan bermalam di sini. Besok pagi 

segera kembali ke Banten. Aku menyirap firasat tidak enak 

..." 

Purajaya segara menyatakan ketidak setujuannya. 

"Paman, sebaiknye kita tidak bermalam di puncak gunung 

ini. Siang hari begini saja dinginnya bukan kepalang. 

Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah 

amat letih ini bisa mati kedinginan!" 

Pendapat Purajaya itu masuk akal. Maka Patih 

Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk 

beristirahat seadanya kemudian menuruni gunung. Kini 

mereka tidak dipecah tiga seperti waktu mendaki, 

melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan 

menuruni gunung itu tidak sesulit sewaktu mendaki namun 

perajurit-perajurit yang sudah kecapaian itu hanya mampu 

bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam tiba 

mereka belum mencapai setengah ketinggian gunung. 

Rombongan berhenti dan membangun kemah. Setelah 

makan seadanya dari parsediaan yang semakin menipis,


perajurit-perajurit itu mencari tempat ketiduran masing-

masing dan segera saja pulas, termasuk tiga pimpinan 

mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga 

sebagaian malah sudah ikut mendengkur! 

Di dalam salah satu kemah patih Sumapraja walaupun 

merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu 

masih belum dapat memicingkan mata. Sejak masih di 

puncak gunung tadi hatinya entah mengapa merasa tidak 

enak. Jika saja dia tidak memimpin rombongan perajurit 

sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan 

tempat itu terlebih dulu. Dalam hatinya patih Banten ini 

juga menyesali hubungan yang tidak baik antara Sultan 

dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir ini. Jika 

saja hubungan itu masih seperti tiga empat tahun silam, 

dia tak akan perlu bersusah payah mengadakan perjalanan 

sejauh itu ke puncak Gunung Gede untuk mencari Ki 

Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga 

tokoh silat maka segala urusan pasti bisa dibereskan. 

Selagi sang patih merenung-renung begitu tiba-tiba di luar 

didengarnya suara pengawal berteriak: "Ada orang datang!" 

Patih Sumapraja cepat melompat bangun. Ketika dia 

keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga 

sudah keluar dari kemah masing-masing. 

Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata di 

tangan. 

Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara 

langkah kuda yang satu-satu itu jelas penunggangnya 

bergerak perlahan lahan dan hati-hati di malam gelap. Atau 

mungkin juga karena keletihan dalam menempuh jalan 

buruk terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya 

terang. Tak lama berselang kelihatan sosok tubuh kuda 

dan penunggangnya membawa obor yang hampir padam 

karena kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat. 

Lebih sepuluh perajurit segera bergerak menghadang dan 

mengurung orang yang datang. 

Melihat gelagat yang tidak baik, penunggang kuda cepat 

berseru: "Tahan! Aku Umbara utusan Sultan!"


Perajurit-perajurit yang mengurung segera turunkan 

senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka 

bertanya : "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari?!" 

"Sesuatu telah terjadi di istana. Aku dikirim untuk 

memanggil Patih ..." 

"Sesuatu apa?" tanya perajurit yang lain. 

"Aku hanya akan bicara dengan patih." jawab si 

penunggang kuda. 

"Aku ada di sini!" terdengar suara Patih Sumapraja yang 

tegak di depan kemahnya. 

Umbara cepat turun dari kuda, menjura di hadapan sang 

patih. Sampai saat itu dia masih momegang obor yang tadi 

dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya dari 

tangannya. 

"Katakan siapa yang mengirimmu kemari?" 

"Sultan Banten. Sesuatu tarjadi di Istana. Patih diharap 

segera kembali ke Banten!" 

"Apa yang tarjadi?!" tanya Patih Sumapraia pula dengan 

kening berkerenyit. Rasa tidak enak yang dipendamnya 

sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu 

kenyataan. "Pemberontakan?" 

"Tidak..." jawab Umbara. 

"Orang-orang Pajajaran menyerang perbatasan lagi?" 

"Bukan Patih. Bukan itu ... " 

"Sultan gering... ?" 

"Tidak. Seseorang tElah mem ..." 

Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa 

bergelak yang mengumandang di dalam malam gelap dan 

dingin itu, mengejutkan puluhan bahkan ratusan orang 

yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan 

Purajaya dan mereka yang ada di situ sama memalingkan 

kepala ka arah kanan lamping gunung yang terjal dan 

gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana datang-

nya suara tawa tadi. 

"Ada orang pandai yang sengaja hendak mengganggu." 

kata Purajaya. 

"Kita harus waspada." ujar Patih Sumapraja. Lalu dia


berbisik pada Tampak Ungu agar menyiapkan para 

perajurit. Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-

tiba Umbara yang barusan datang membawa berita 

tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi 

leher. 

Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan 

memeriksa. Tapi Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi. 

Lahernya berkubang darah. Sebuah senjata rahasia ber-

bentuk bintang terbuat dari perak putih menancap di 

tenggorokannya. 

Paras Patih Sumapraja berubah. Dia pernah melihat 

senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam. 

Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu 

adalah Jaka Luwak. Kakak seperguruan Raden Mas Tirta 

bekas Kepala Balatentara Banten. Yang membunuh Jaka 

Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak 

ingin muridnya membuka rahasia! Saat itu Umbara 

menemui kematian oleh senjata rahasia yang sama. 

Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki 

Balangnipa! 

"Pengecut!" Kertak Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak: 

"Ki Balangnipa! Jika kau seorang tokoh silat gagah, 

tunjukkan kejantananmu! Perlihatkan dirimu!" 

Sebuah benda putih berdesing di kegelapan malam, 

melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat 

melompat ke samping sembil lepaskan satu pukulan 

tangan kosong seperti menampar ke bumi. Senjata rahasia 

yang hendak menghantamnya terpental lalu amblas ke 

tanah gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara 

tertawa bergelak yang kemudian menghilang di kejauhan. 

"Ternyata bangsat itu berada di sekitar sini…" kata 

Sumapraja sambil kepalkan tinju. 

"Paman, saya dan beberapa orang akan mengejarnya!" 

kata Purajaya. 

"Jangan. Terlalu berbahaya!" mencegah Sumapraja. 

"Semua tetap di tempat dan mengambil sikap lebih 

waspada. Aku dan Tampak Ungu serta beberapa pengawal


harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu 

telah terjadi di sana. Sayang Umbara tidak sempat mem-

beri penjelasan ..." 

Beberapa ekor kuda segera disiapkan. Tak lama 

kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa 

orang pengawal meninggalkan tempat tersebut. Udara 

menjelang pagi terasa semakin dingin. Tetapi para perajurit 

tampak gerah dan gelisah. Jika manusia lihay bernama Ki 

Balangnipa itu muncul kembali dan menebar maut 

seenaknya celakalah mereka. 

*** 

KETIKA Patih Sumapraja dan rombongannya memasuki 

Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat 

bendera-bendera kuning terpancang di mana-mana. Itu 

pasti bukan bendera tanda berkabung atas kematian Dewi 

Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan bendera 

bendera kuning itu jelas merupakan satu tanda per-

kabungan. Tanda perkabungan baru. Siapa yang 

meninggal? Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat 

pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu 

sampai di depan istana sang patih dan Tampak Ungu 

langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang tunggu 

khusus. Tak lama kemudian Sultan Hasanuddin masuk ke 

dalam ruangan itu diiringi oleh beberapa petinggi kerajaan. 

Wajah Sultan tampak jauh lebih tua dari biasanya. Sosok 

tubuhnya nyata sekali menunjukkan rasa letih. 

Patih Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi 

salam dan hormat. 

"Sultan, kami datang atas perintahmu. Apa yang terjadi? 

Kami melihat bendera kuning tanda berkabung..." 

Sultan Hasanuddin tak segera menjawab. Sesaat dia 

berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di 

atas kursi besar berukir. Setelah diam sesaat baru dia 

membuka mulut. 

"Cucuku Asih Permani meninggal dunia. Bukan


meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang ... Dua 

minggu lalu!" 

Patih Sumapraja melengak kaget. Asih Permani. 

Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia 

enam tahun itu mati dibunuh! 

"Ki Balangnipa...?" tanya Patih Sumapraja memberani-

kan diri. 

"Siapa lagi . .. " sahut Sultan. Dia barpaling pada salah 

seorang petinggi Kerajaan dan berkata. "Perlihatkan surat 

terkutuk itu ... " 

"Sepucuk surat yang sudah lecak diletakkan di atas 

meja di hadapan Sumapraja. Sang patih segera mengambil 

dan membacanya. 

Sultan Hasanuddin, 

Hari ini korban kedua jatuh sudah. 

Masih delapan orang menunggu giliran. 

Semua adalah orang-orang yang kau kasihi! 

Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini. 

Ha ... ha… ha...

Jangankan Sultan, sang patih sendiripun mendidih 

amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia 

pengecut. Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus 

menjadi korban balas dendam sumpah keparat?! 

Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan 

yang terdengar bergetar karena menahan gejolak hatinya. 

"Sebelum paman patih datang, aku dan beberapa 

petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah 

sayembara. Siapa yang bisa menangkap Ki Balangnipa 

hidup atau mati akan mendapitkan hadiah besar.... 

Bagaimana menurut paman?" 

Patih Sumapraja merenung sejenak lalu berkata: 

"Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan 

ceritakan dulu apa yang terjadi di lereng Gunung Gede ..." 

Lalu patih ini menuturkan peristiwa kematian Umbara


ketika Ki Balangnipa muncul sacara mendadak. 

Agaknya Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya 

itu, dia bertanya kembali, "Bagaimana pendapat paman 

mengenai rancana sayembara tadi?" 

"Itu baik. Maksud kita jelas ingin menangkap manusia 

penebar maut tapi pengecut itu. Hanya saja, kalau saya 

boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu 

menghubungi tokoh-tokoh persilatan tertentu untuk 

dimintakan bantuannya?" 

"Bukankah paman sendiri dulu yang mengatakan bahwa 

mereka seperti menjauhi istana sejak peristiwa Ekawira 

tempo hari..." ujar Sultan. 

"Betul. Tapi mencoba adalah jalan yang terbaik. Kalau 

mereka kita ajak bicara tentu mereka mau mendengar..." 

"Yang aku takutkan paman patih, sebelum kita bisa 

berbuat apa-apa korban selanjutnya telah jatuh pula." kata 

Sultan. 

"Hal itu memang juga jadi pikiran saya. Karenanya kita 

harus bergerak cepat. Di samping memagari istana agar 

tidak kebobolan lagi. 

"Lalu bagaimana kalau usaha kita tidak berhasil?" 

"Mungkin kita memang harus manempuh cara 

sayembara yang Sultan katakan itu ... " 

Sultan terdiam beberapa lamanya. Kemudian berkata: 

"Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan 

bertindak menghubungi para tokoh itu? Kuharap bukan 

kau yang pergi karena kehadiranmu diperlukan di slni..." 

"Saya akan menunjuk Empu Lodaya, Jika Sultan setuju." 

"Aku setuju paman patih. Jalankan semua tugas 

secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku 

perlu bicara lagi denganmu ..."


LIMA


PADA masa itu tokoh silat paling tua dan dianggap 

paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa 

Barat adalah seorang perempuan tua sakti bernama 

Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan julukan Sinto 

Gendeng. Dalam dunia persilatan namanya menjadi lebih 

beken setelah muridnya yang bernama Wiro Sableng, 

berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 turun 

gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa 

nama besar yang disegani kawan ditakuti lawan. 

Satu keanehan disirap kabar bahwa Sinto Gendeng juga 

tinggal di puncak Gunung Gede, gunung yang diketahui 

adalah juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun 

duduk cerita yang sebenarnya hanya Empu Lodayalah yang 

mengetahui. Kedua tokoh silat itu memang pernah sama-

sama tinggal di puncak Gunung Gede. Si nenek bernama 

Sinto Gendeng menetap di situ selama beberapa tahun, 

terutama selagi dia menggembleng muridnya Wiro Sableng. 

Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui 

orang lagi. Dia seperti lenyap dari puncak Gunung Gede. 

Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati oleh 

seorang tokoh silat lain, yang sama sekali tak ada 

hubungannya dengan si nenek yakni Ki Balangnipa. 

(Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar 

Kapak Maut Naga Geni 212, harap baca buku-buku serial 

Wiro Sableng yang telah banyak beredar). 

Karena tidak tahu di mana harus mencari Sinto 

Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya 

yakni Kiai Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi 

sebuah danau di kaki selatan Gunung Malabar. Dengan 

ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju ke 

selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan


sang empu dapat menunggang kuda terlalu cepat. Karena-

nya perjalanan ke selatan cukup memakan waktu lama. 

Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas 

air di tepi danau. Di sinilah dia bermukim hampir lebih dari 

separuh usianya yang kini telah mencapai 80 tahun. 

Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat 

itu larut malam menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak 

terkejut. Orang tua ini sebenarnya telah lama menyirap 

kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung di 

Banten. Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar 

mempersilakan Empu Lodaya duduk di atas tikar 

sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di 

luar. 

"Sahabatku Empu Lodaya, aku benar-benar mendapat 

kehormatan dikunjungi oleh seorang tokoh istana Banten 

sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah bertemu. 

Angin apakah yang membawamu kemari sahabatku? 

Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh sakit-

sakitan sapertiku. Kehidupan istana rupanya cocok dan 

menyenangkanmu ..." 

Saat itu sehabis mengadakan perjalanan demikian jauh-

nya, selain letih sang empu juga merasakan tubuh dan 

tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia men-

jawab sambil tersenyum: "Orang tua buruk yang sudah bau 

tanah sepertiku ini mana terkesan dengan kehidupan 

mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang 

bekerja di bengkel istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau 

dapur..." 

Kiai Malabar tertawa mengekeh. "Kau pandai 

merendahkan diri, sahabatku ..." katanya. Siapa yang tidak 

tahu bahwa Empu Lodaya adalah seorang yang dipercaya-

kan Sultan untuk membuat berbagai senjata sakti 

mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung dalam 

kedudukan tokoh istana yang menjaga keselamatan Sultan 

beserta keluarganya. 

"Empu Lodaya, kudengar keadaan di Banten akhir-akhir 

ini kurang tenteram. Apakah itu yang membawamu datang


kemari... ?" 

Empu Lodaya hendak menjawab namun sesaat dia 

berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara 

air danau di bawah bangunan di mana dia berada. 

"Kiai, kudengar suara air danau berkecupak keras di 

bawah lantai ini. Apakah kau memelihara ikan besar. . . ?" 

"Itu bukan suara ikan sahabatku. Tapi manusia juga 

adanya ..." 

Empu Lodaya tampak heran dan Kiai Malabar cepat 

berkata: "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu. 

Sekarang katakan maksud kedatanganmu ..." 

Empu Lodaya lalu menceritakan apa yang terjadi di 

istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih 

dua tahun lalu ketika Ki Balangnipa terpaksa membunuh 

muridnya sendiri yang bernama Jaka Luwak itu. 

Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan 

beberapa waktu lalu. 

"Aku datang mewakili Patih Sumapraja selaku utusan 

Sultan," kata Empu Lodaya. "Sultan minta agar kau dan 

para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun tangan, 

menangkap manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup 

atau mati ..." 

Kiai Malabar termenung beberapa lamanya. Dia 

memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam 

istana Banten. Namun tidak menyangka sampai demikian 

buruk kejadiannya. 

"Mungkin kau datang ke tempat yang salah, Empu 

Lodaya. Orang tua jelek sepertiku ini mana ada 

kemampuan memenuhi permintaanmu ..." 

"Jangan berkata begitu Kiai. Keamanan dan 

ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua. 

Saat ini kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya 

bersama-sama bahu-membahu ikut ambil bagian ..." 

"Kau benar Empu. Tapi harap maafkan kalau aku akan 

mengatakan sesuatu yang mungkin tidak sedap bagi 

pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika 

kerajaan aman tenteram, adakah kerajaan mengingat kami


orang-orang tua buruk yang hidup terpencil? Padahal kami 

tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami ber-

usaha menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan, 

apakah yang mereka terima? Mereka diperlakukan 

sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan 

penjara..." 

"Apa yang kau katakan itu memang benar Kiai. Tapi 

semua itu terjadi karena akal busuk orang-orang 

Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya. 

"Orang-orang Pajajaran adalah orang-orang Pajajaran. 

Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten. Inilah 

akibat kalau pimpinan kerajaan mudah diombang-

ambingkan tipu muslihat..." 

"Kiai, sampai sepuluh hari kita tak akan habis-habisnya 

membahas hal itu. Kedatanganku membawa maksud lain 

dan aku tidak punya waktu lama ..." Di kejauhan terdengar 

ayam berkokok. Di bawah lantai bangunan terdengar 

kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya menerus-

kan kata-katanya: "Bersediakan Kiai membantu kami yang 

sedang susah ini... ?" 

Kiai Malabar memegang bahu Empu Lodaya. "Tentu saja 

aku bersedia. Hanya saja saat ini aku terikat oleh satu 

pantangan ..." 

"Pantangan? Pantangan apa sahabatku . . . ?" tanya 

Empu Lodaya. 

"Saat ini aku tengah menjalankan tugas. Menggembleng 

seorang murid. Sesuai ketentuan yang kuterima sebagai 

aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari kakek 

guruku, maka selama tiga tahun aku dan muridku tidak 

boleh meninggalkan tempat kediaman melebihi jarak 1700 

tombak ..." 

"Ah, itu satu pantangan yang amat mahal" kata Empu 

Lodaya. Namun orang tua ini tak dapat mengatakan apa-

apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai 

Malabar untuk membantu dalam urusan Ki Balangnipa. 

Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu 

Lodaya minta diri dan Kiai Malabar mengantar tamunya


turun ke darat melewati tangga tinggi. Ketika sampai di tepi 

danau Empu Lodaya dapatkan kedua pengiringnya tertidur 

di bawah sebatang pohon. Namun yang menjadi 

perhatiannya saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut, 

melainkan sosok tubuh seorang pemuda yang berada di 

dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan. Pemuda 

itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan 

dalam air. Setiap pukulan dan tendangan yang 

dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh 

serta mengeluarkan suara kecupak keras. 

"Itulah yang tadi kau sangka ikan besar, sahabatku," 

kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya ke 

arah si pemuda. 

"Pemuda itu ... " ujar Empu Lodaya, "Bukankah dia . . . 

bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal Istana 

Banten?" 

Kiai Malabar tersenyum. "Betul sekali sahabatku. 

Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat 

gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal 

Istana Sultan. Dia kuambil jadi murid sejak dua tahun 

lalu..." 

"Terus terang Sultan masih berkenan padanya. Sultan 

sering menanyakannya. Jika kau mengizinkan diapun dapat 

membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini... " 

"Aku tentu saja akan mengizinkan. Hanya ingat, kami 

berdua, guru dan murid terikat pantangan yang kukatakan 

tadi... " 

Empu Lodaya menarik nafas dalam. Maklum kalau dia 

tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun 

membangunkan kedua pengiringnya. 

"Mungkin aku dapat membantu dengan cara lain ..." 

kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada di 

punggung kuda. 

"Maksudku ... ?" 

"Apakah kau sudah mencoba menghubungi nenek aneh 

bernama Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede?" 

"Nenek lenyap begitu saja sejak beberapa tahun silam.


Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan pernah 

dipakai oleh Ki Balangnipa . .. "menerangkan Empu Lodaya. 

"Kalau begitu cobalah kau pergi ke Pamanukan di pantai 

utara. Temui sahabatku, sahabatmu juga, yakni Manik 

Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia pasti 

mau menolong. Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh 

silat lainnya untuk sama-sama membantu ..." 

"Terima kasih atas petunjukmu. Aku memang berencana 

untuk pergi ke sana," kata Empu Lodaya pula. Dengan 

tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang tua 

ini bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam 

hatinya sang empu setengah mengomel. Mengadakan 

perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir 

kopi atau teh panaspun ditawarkan sang kiai!



ENAM


PANTAI JEPARA indah pemandangannya laut pun 

selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di 

tepi pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau 

nelayan sampai pada perahu-perahu kayu yang biasa 

memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-

bendera perahu yang aneka warna menambah semarak 

keindahan pantai Jepara. Namun semua keindahan itu 

seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di 

hati sanubarinya yang bergalau kosong. Bahkan setelah 

sampai di tepi pantai itu, langkahnya seperti buntu, dia tak 

tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah Kemaladewi 

dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di 

pelupuk matanya. 

Mahesa melangkah mundar-mandir di sepanjang 

pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan 

sarat meninggalkan pangkalan siap untuk mengaruhi taut 

entah mengapa pemuda itu tiba-tiba saja langsung 

melompat naik. 

Karuan saja juragan pemilik perahu yang ada di buritan 

segera menghampiri dan bertanya: "Orang muda, kau naik 

ke perahuku apakah hendak menumpang?" 

"Ya, aku ingin menumpang," jawab Mahesa sambil 

memandang ke tengah lautan. 

"Kalau menumpang ke manakah tujuanmu?" tanya 

juragan perahu kembali. Hatinya merasa tidak enak karena 

mendapat jawaban secara acuh tak acuh. 

"Ke mana saja tujuan perahumu aku akan ikut sampai 

ke sana." jawab Mahesa. 

Pemilik perahu semakin merasa heran. Dalam hati dia 

berkata. "Pemuda berbadan kokoh dan bertampang keren 

ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat jahat.


Hendak merampok! Apalagi kulihat dia membawa pedang 

di balik punggungnya. 

Mahesa menatap pemilik perahu itu. Dia dapat meraba 

kekawatiran orang. Maka dia pun berkata. "Aku tidak 

berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan 

bayar..." Lalu Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke 

dalam genggaman pemilik perahu. Setelah menimang-

nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat 

bahu. "Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean 

bermaksud ke mana? 

"Sama dengan tujuan perahu." jawab Mahesa pula. 

Setelah menepuk-nepuk bahu Mahesa, pemilik perahu 

itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping 

kanan perahu, berpegang di pagar terali, memandang ke 

pantai yang semakin lama semakin menjauh dan akhirnya 

lenyap dibatas pemandangan. 

Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Itulah 

nasib perahu layar "Sinar Utara" yang ditumpangi Mahesa 

Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan dahsyat 

melanda laut ketika perahu berada di utara Losari. Ombak 

menggulung tinggi menghempaskan perahu kian kemari. 

Dua orang awak perahu terlempar ke tengah laut dan 

lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang 

layar perahu patah. Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat 

sekali miring keras. Air laut masuk laksana bah. Perahu 

yang malang itu hancur berantakan. Muatannya terlempar 

ke mana-mana. Mahesa masih sempat mendengar 

teriakan pemilik perahu, setelah itu diapun harus terjun ke 

air yang menggila, menyelamatkan diri. Kepandaiannya 

berenang tidak ada gunanya di laut yang menggila itu. 

Tubuhnya timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan 

cepat. 

"Kalau aku harus mati di laut, aku akan pasrah!" kata 

Mahesa. Kembali wajah Kemaladewi dan Lutung Bawean 

muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul 

mendera. Mahesa tanggelam sampai sedalam tujuh meter 

lalu muncul lagi megap-megap. Saat itu hari telah terang.


Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat 

sekeping papan bekas pecahan badan perahu. Pemuda ini 

tak berusaha berenang mencapai papan itu karena 

tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian. 

"Ini adalah pembalasan atas dosa-dosaku ..." katanya 

dalam hati. 

Tetapi ajaib. Papan yang terpisah jauh itu terombang-

ambing dimainkan ombak malah seperti datang 

mendekatinya dan akhirnya menyentuh dadanya. 

Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap. 

Akhirnya dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua 

tangannya. Tubuhnya terbanting kian kemari setiap papan 

itu dihantam gelombang 

Ketika siang tiba dan matahari bersinar terik. Mahesa 

merasakan sekujur tubuhnya yang berada di atas air 

seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air 

laut membasahi kulit yang mengelupas itu sakitnya bukan 

alang kepalang. Seharian penuh terombang-ambing sambil 

berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat 

pantai atau pulau di kejauhan. Bahkan tak satu perahupun 

kelihatan di laut yang luas itu. Pemuda ini tak tahu sampai 

berapa lama dia dapat bertahan bersama sepotong papan 

itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas 

dipanggang, tenaganya hampir sampai di batas terakhir. 

Keadaannya antara sadar dan pingsan. 

Ketika malam tiba matanya masih sanggup melihat ada 

cahaya di kejauhan. Mungkin itu cahaya lampu atau pelita 

dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada di 

dekat pantai. Tetapi mungkin juga itu hanya ilusi palsu 

belaka. Dan Mahesa tidak berusaha untuk berenang ke 

arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan berenang, untuk 

masih dapat memegang papan penyelamat rtupun 

tenaganya sudah tidak ada lagi. 

***


"Kakek Penjala Sakti . . . apakah kau tidak turun ke laut 

hari ini...?" 

Seruan pertanyaan itu keluar dan mulut empat orang 

anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik 

di tepi pantai Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-

anak itu berteriak-teriak begitu, pintu rumah terbuka. 

Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang 

mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung 

keluar dan dalam rumah sambil menggosok gosok 

matanya. 

"Hai! Kek! Kau kesiangan!" kata salah seorang dari tiga 

anak. 

Orang tua itu memandang ke tengah lautan. Cuaca 

dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu 

yang melaut malam tadi baru saja kembali memunggah 

hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat nelayan-neyalan itu 

tidak seberapa. Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya 

cukup untuk dimakan sendiri dan hanya sebagian kecil 

dijual di pasar. 

"Apa perahuku sudah kalian bersihkan?" si kakek 

bertanya pada ke empat anak itu. "Sudah" jawab anak-

anak itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian 

kemari hah?!" 

"Betul kek. Kata ibu kami hanya punya beras saja tapi 

tak punya ikan ..." 

"Ayah kalian tidak melaut... ?" 

"Ada, tapi hasilnya. Kau tahu sendiri kek ... . " 

Orang tua itu tersenyum. Tiga kali dalam seminggu anak-

anak itu selalu datang seperti itu. Mereka tahu, samua 

orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek memiliki satu 

kepandaian yang dianggap aneh. Orang yang pergi melaut 

semalam suntuk kadang-kadang hanya mandapatkan ikan 

sedikit sekali. Tapi sekali si kakek pergi ke laut pada pagi 

atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia 

datang membawa ikan sepenuh perahunya. Ikan-ikan itu 

selalu dibagi-bagikannya pada penduduk atau nelayan 

yang tinggal di tapi pantai, termasuk ke empat anak lelaki


itu. Sebenarnya para nelayan yang diam di situ merasa 

heran akan kepandaian si kakek menjala ikan. Banyak di 

antara mereka yang minta diberitahu. Tapi si kakek tidak 

pernah mau mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu 

menjawab: "Jika kalian perlu ikan untuk dimakan atau 

dijual, aku akan carikan ke laut. Tapi jika kalian tanya 

bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah 

rahasia hidupku!" 

"Baiklah anak-anak, aku akan mencuci muka dulu dan 

mengambil jala." kata orang tua berambut kelabu bermata 

jereng itu. 

Anak-anak bersorak ramai. Tak lama kemudian si kakek 

yang dipanggil dengan sebutan Kakek Penjala Sakti itu 

tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala besar 

di bahu kirinya, melangkah terbungkuk-bungkuk menuju 

perahunya. Sebuah perahu tua yang dindingnya banyak 

tambalan di sana sini. Si kakek masuk ke dalam perahu. 

Empat orang anak tadi membantu mendorong perahu 

sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan tangan 

sambil berteriak: "Ikannya tangkap yang banyak ya kek! 

Yang banyak ya kek!" 

Si kakek balas lambaikan tangan sambil tersenyum-

senyum. 

Sampai di tengah laut, jauh dari pantai, orang tua itu 

rapikan dan atur jala besarnya. Dan dalam sebuah 

bumbung bambu dia mengambil segenggam bubuk 

berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk itu 

dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan 

air laut maka butiran bubuk bubuk yang ratusan bahkan 

ribuan banyaknya itu memantulkan sinar berkilau-kilau. 

Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke 

permukaan air laut, ingin melihat apa adanya butiran-

butiran bercahaya yang menarik hati itu. Kalau sudah 

begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya dari 

lantai perahu. Sekali tangannya bergerak maka jala besar 

itu melebar luas. Ratusan ikan terjerat di dalamnya. Sambil 

tertawa-tawa orang tua ini tarik jalanya. Ketika hasil


tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka 

perahu kecil itu terisi sampai setengahnya! 

"Sekali tangkap lagi penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa 

kembali ke pantai membagi-bagikan ikan …. " begitu si 

kakek berkata dalam hati. Maka diapun mengayuh 

perahunya ke jurusan lain. Sampai di satu tempat yang 

dirasakannya baik diapun siap mengambil bubuk dalam 

bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang 

jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan. 

Orang tua ini lindungi kedua matanya dengan telapak 

tangan kiri agar bisa melihat lebih jelas. 

"Aneh, benda itu seperti kepala manusia . . . " kata si 

kakek. Lalu perahunya dikayuh mendekati benda di 

kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun 

tersirap. "Astaga, betul kepala manusia . . . Sudah mati 

atau masih hidup? Salah satu tangannya menggapai 

sepotong papan ..." 

Si Penjala Sakti cepat tebarkan jala besarnya. Sosok 

tubuh manusia di permukaan laut bersama papan yang 

dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek 

menarik. Cukup sulit baginya menarik sosok tubuh itu ke 

atas perahu kecil yang setengahnya sudah penuh dengan 

ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang 

pemuda yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas 

hangus. Pakaiannya robek-robek dan ada luka-luka pada 

beberapa bagian tubuhnya. Si kakek membaringkan tubuh 

pemuda itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada 

pinggang pakaian si pemuda dilihatnya tersisip sebilah 

keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya terbuat dari 

emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih 

tarkejut lagi dia jadinya sewaktu menemukan sebilah 

pedang berwarna marah tersisip di balik punggung si 

pemuda. 

Cepat-cepat kakek itu memutar perahunya dan 

mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak 

yang empat orang tadi telah menunggunya. Malah jumlah 

mereka kini tambah banyak, belum terhitung para nelayan


yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak 

mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah 

dia mendukung tubuh pemuda yang ditamuinya di tengah 

laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan 

keheranan. 

"Kek, siapa orang itu. Di mana kau temui ... ?" beberapa 

orang bertanya. 

"Sudah, jangan banyak tanya. Ambil ikan dalam perahu. 

Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar ... !" 

Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh pemuda yang 

pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di 

tempat tidur yang terbuat dari bambu. Telinga kirinya 

diletakkannya di atas dada si pemuda. Lapat-lapat dia 

masih mendengar suara degup jantung. 

"Masih hidup . . . Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkan-

nya hingga menelungkup. Lalu tangan kirinya ditekankan 

ke pinggang sadang tangan kanan ditekankan ke 

punggung. Begitu ditekan pemuda yang pingan keluarkan 

suara seperti muntah. Air laut keluar mengucur dari 

mulutnya... 

***


TUJUH


EMPU LODAYA menatap paras kakek rambut kelabu. 

Matanya yang jereng membuat sang empu meragu 

apakah si kakek memandang ke jurusannya atau 

memperhatikan ke jurusan lain. 

"Manik, kau lupa padaku . . . ?" menegur Empu Lodaya. 

"Ah!" Manik Aryapala alias Panjala Sakti pukul jidatnya 

sendiri. "Aku kenal tampangmu, tapi otakku yang sudah 

hampir pikun ini tak ingat siapa namamu. Pakaian putihmu 

yang berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring 

yang ikut bersamamu menyatakan kau datang dari jauh 

dan kau tentunya orang penting ..." 

Empu Lodaya tersenyum. "Aku Lodaya, dari Banten!" 

sang empu coba mengingatnya. 

"Astaga! Betul kau!" Si Panjala Sakti langsung manarik 

lengan Empu Lodaya hingga orang tua yang masih ada di 

punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Panjala Sakti 

tidak menariknya terus ke bawah melainkan melempar-

kannya ke atas hingga Empu Lodaya tampak mencelat, 

jungkir balik di udara. 

Ketika turun kedua tangannya menekan bahu Panjala 

Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-

tahu kedua ketiaknya terangkat ka atas. 

"Hup! " seru Empu Lodaya. 

Kini Si Penjala Sakti yang ganti mencelat ke atas dan 

jungkir balik di udara. Begitu turun keduanya berhadapan 

hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti anak kecil 

tertawa gelak-gelak lalu saling rangkul. 

"Kurasa tiga puluh tahun telah berlalu sejak terakhir 

sekali aku melihat tampangmu Lodaya!" kata Si Penjala 

Sakti. 

"Memang lama sekali kita tak pernah bertemu. Kau 

tetap seperti dulu. Suka bercanda. Apakah masih gemar 

menjala ikan di siang bolong?"


Manik Aryapala tertawa mengekeh mendengar kata-kata 

sahabat lamanya itu. 

"Aku masih ada tangkapan ikan sisa kemarin. Masih 

segar. Kita makan sama-sama, tapi nasinya tak ada..." 

"Siapa sudi makan ikan tanpa nasi? Salah-salah aku 

bisa cacingan!" gurau Empu Lodaya. 

"Jangan kawatir," kata Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya 

tetangga-tetangga yang baik. Satu bakul nasi untukmu dan 

pengiringmu tidak jadi soal!" 

Setelah menjamu makan minum para tamunya. Si 

Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai. 

"Sekarang katakan mengapa kau datang jauh-jauh 

kemari," kata kakek mata jereng itu. 

"Aku perlu bantuanmu menangkap seseorang. Sebelum-

nya aku telah menemui Kiai Malabar. Tapi dia tak dapat 

menolong ..." menerangkan Empu Lodaya. 

"Hemmm , . . begitu? Bantuan untuk dirimu atau untuk 

kerajaan?" bertanya Penjala Sakti. 

"Untuk yang terakhir..." 

"Ha... ha ... Rupanya kerajaan bernasib buruk akhir-akhir 

ini. Tak ada orang-orang pandai dunia persilatan yang mau 

diajak bekerja sama ..." 

"Apakah kau juga tidak mau bekerjasama?" tanya Empu 

Lodaya. 

"Siapa yang diinginkan Sultanmu?" 

"Ki Balangnipa." jawab Empu Lodaya pula. 

"Ah... manusia satu itu... " kata si Penjala Sakti sambil 

geleng-geleng kepala. "Dulu dia dikenal sebagai tokoh baik. 

Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia jadi 

berubah …. " 

"Mungkin kita tak dapat menyalahkan orang Pajajaran 

saja. Apa yang terjadi di Bantenpun ikut pegang peranan." 

Lalu Empu Lodaya menerangkan pangkal musabab Ki 

Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan 

dan Sultan Banten. 

"Itu rupanya yang menjadikan sebab Sultanmu meng-

inginkan Ki Balangnipa hidup atau mati. Lalu bantuan apa


yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?" 

"Mencari dan menangkap Ki Balangnipa." sahut Empu 

Lodaya. 

Mata jereng Si Penjala Sakti tampak berputar-putar 

memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya. 

"Kenapa kau tertawa?" tanya Empu Lodaya heran. 

"Inilah namanya dunia! Inilah namanya kehidupan di 

alam fana. Jika dibutuhkan dicari-cari. Jika tidak dibutuh-

kan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar sahabatku, 

bukan kenapa segala asalan itu aku tak dapat mem-

bantumu atau membantu Sultanmu ..." 

Paras Empu Lodaya berubah, "Kau lupa darah Banten 

dalam tubuhmu, Manik Aryapala?!" 

Si Penjala Sakti menyeringai lalu tertawa hambar. 

"Darah Banten dalam tubuhku sudah lama membeku. 

Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai 

ini. Lebih enak jadi rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada 

kesulitan. Miskin dalam harta tapi kaya dalam 

kebahagiaan ..." 

Memandang pada wajah sang empu yang kelihatan 

sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata: "Sahabatku 

Lodaya, kau tak usah kecewa dan marah padaku ..." 

"Aku tidak marah. Hanya merasa sedih kenapa 

kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku 

minta diri..." 

"Eee . . . eae . . . Tunggu dulu Lodaya, jangan pergi dulu!" 

"Apa yang kulakukan lama-lama di sini? Bantuan pun 

tak akan ku dapat!" jawab Empu Lodaya. 

"Benar, memang benar kau tidak mendapatkan apa-apa 

dariku. Kecuali nasi dan ikan bakar enak tadi. Ha ... ha ... 

ha... ! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong 

Sultanmu itu ... " 

"Cerita lama!" mamotong Empu Lodaya dengan kesal. 

"Ketika aku bertemu Kiai Malabar, dia melemparkanku 

padamu. Kini bertemu denganmu pada siapa lagi aku 

hendak kau lemparkan?!" 

"Dengar, jangan kesusu jengkel," kata Si Penjala Sakti


sambil tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu. "Aku tak akan 

melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada seorang 

lain yang lebih pantas dan lebih mampu menolong 

Sultanmu itu ... " 

"Nah, apa kataku! Ternyata kaupun hendak 

melemparkan aku pada orang lain itu!" 

"Dengar dulu, dengar dulu Lodaya," kata Si Penjala Sakti 

dengan sabar. "Orangnya memang bukan berdarah Banten. 

Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang 

Banten sendiri! Dan dia telah pernah membuktikan 

sembah baktinya itu pada Sultanmu sekitar tiga tahun yang 

silam ..." 

"Eh, siapa orang yang kau maksudkan itu?" tanya Empu 

Lodaya jadi tertarik. 

"Kau ingat Raden Mas Ekawira ... ?" 

"Bekas Kepala Pengawal Istana Banten itu?!" 

"Betul!" 

"Ah, kalau dia yang kau maksudkan tak ada gunanya. 

Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai Malabar. 

Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun 

gurunya tak bisa membantu. Katanya terikat oleh 

pantangan!" 

"Mungkin memang begitu. Kau tahu sendiri. Orang-orang 

dalam dunia persilatan banyak aneh-aneh tingkah lakunya. 

Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat! 

Tapi yang kumaksudkan bukan si Ekawira itu!" 

"Lantas?!" tanya Empu Lodaya. 

"Kau ingat, ketika dia jadi Kepala Pasukan Pengawal 

Istana, dia mampunyai seorang pembantu berbadan tinggi 

tegap penuh otot dan bertampang cakap itu ... !" 

"Aku ingat. Tapi lupa namanya. Ada apa dengan pemuda 

itu ... ?" 

"Dialah yang dapat kau harapkan untuk menghadapi Ki 

Balangnipa!" 

Empu Lodaya menarik nafas panjang. "Mengharapkan 

sesuatu yang sukar jadi kenyataan. Di mana pemuda itu 

kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak pernah


kelihatan lagi sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun 

lalu ... !" 

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Inilah namanya 

rahasia hidup, sahabatku! Segala sesuatunya menjadi 

rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok, 

mana kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang 

bisa tahu. Perolehan apa yang bisa kita dapat besok, mana 

ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur. 

Bukankah begitu sahabatku?" 

Empu Lodaya mengangguk perlahan. 

"Sebulan yang lalu, secara tak sengaja aku telah 

menyelamatkan pemuda itu di tengah laut. Perahu yang 

ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang-

ambingkan ombak sampai ke pantai Pamanukan ini. Di 

tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka dan 

kulit terkelupas dia kutemui dan kutolong. Pemuda itu 

bernama Mahesa Kelud. Bukan begitu ... ?" 

"Ya aku ingat sekarang. Namanya Mahesa Kelud. 

Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya. 

Setelah sembuh dan menyadari bahwa dia berhutang 

nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta 

aku memilih salah satu dari dua senjata mustika yang 

dimilikinya. Yang pertama sebilah pedang yang sarung dan 

badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang Sakti 

pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah 

keris terbuat dari emas yang juga merupakan senjata sakti 

mandraguna! Bukan aku meremehkan keahlianmu mem-

buat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari 

senjata itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau 

memerlukan waktu dua puluh tahun!" 

"Kau terima permintaannya itu? Berarti kau kini memiliki 

senjata sakti. Eh, pedang atau keris yang kau ambil?!" 

tanya Empu Lodaya. 

Si Penjala Sakti geleng-gelengkan kepala. "Aku bukan 

manusia pencari pamrih, yang berbuat sesuatu untuk 

mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak. 

Mahesa kecewa sekali. Kemudian dia berkata, jika ada


satu permintaan lain atau satu tugas yang diberikan 

kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu 

maka dia akan melaksanakannya sampai berhasil. Waktu 

itu sulit bagiku hendak meminta atau menugaskan apa 

padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat akan 

keadaan di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah 

mengabdi di Banten? Maka kataku padanya: "Telah lama 

aku menyirap kabar bahwa suatu malapetaka telah 

menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu 

seperti dulu kau pernah melakukannya bersama Ekawira. 

Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah mem-

balas segala hutang budi dan nyawa. Maka Mahesapun 

pergi. Hanya beberapa saat sebelum kau dan dua 

pengiringmu sampai di sini!" 

Empu Lodaya tentu saja menjadi kaget. "Menurutmu, 

apakah pemuda itu benar-benar akan pergi ke Banten?" 

tanyanya. 

"Aku yakin dia bukan seorang pendekar yang pandai 

bermulut manis berminyak air. Kalau kau tidak percaya 

mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?" 

Empu Lodaya berpikir-pikir sesaat. Nasihat sahabatnya 

itu tak ada salahnya. Maka dia pun berkata: "Terima kasih 

Manik. Aku minta diri sekarang juga!" 

***


DELAPAN


KETIKA meninggalkan Banten sekitar satu bulan lalu 

Empu Lodaya mengambil jalan ka arah selatan, 

menempuh rimba belantara dan bebukitan tinggi 

serta pegunungan. Jalan yang sulit menyebabkan dia dan 

pangiring hanya mampu bergerak perlahan. Kini dalam 

perjalanan kembali ke Banten dia mengambil jalan di 

sebelah utara yang merupakan pantai datar hingga dapat 

bergerak sangat cepat. Dalam waktu satu minggu Empu 

Lodaya telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia akan 

segera memasuki perbatasan kerajaan. Selama perjalanan 

orang tua ini menaruh khawatir kalau-kalau keterangan 

yang diberikan Si Penjala Sakti tidak benar dan Mahesa 

Kelud tidak datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang 

perjalanan dia merasakan seperti ada seseorang yang 

menguntit dari kejauhan. Kekhawatiran yang terakhir ini 

menjadi kenyataan ketika dia bersama dua pengiringnya 

baru saja beristirahat di sebuah anak sungai di 

pertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan 

melewati bukit kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar 

berusia ratusan tahun. 

Saat itu masih pagi. Sang surya bersinar lembut dan 

udara masih terasa segar, menyusup melalui hidung, 

masuk ke paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang 

berada di depan mereka, salah seorang pengiring tiba-tiba 

berkata: "Empu ada seseorang di atas bukit. Cara tegaknya 

seperti sengaja menghadang kita!" 

"Aku sudah melihat," jawab Empu Lodaya. Hatinya 

mandadak saja tidak enak namun dia berusaha bersikap 

tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara 

adanya orang yang berdiri di depan mereka. 

Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang 

panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya 

yang cekung membersitkan keganasan, memandang tak


berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki bukit. 

Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum 

pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi tidak 

mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil 

jalan memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk meng-

hindar lelaki berpakaian hitam itu. Namun seperti tahu 

maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri, sejajar 

dengan gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini 

sengaja menghadang dan pasti memiliki maksud yang 

tidak baik. 

Empu Lodaya memberi tanda pada kedua pengiringnya 

yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri. 

Ketiganya sama menghentikan kuda seja-ak enam tombak 

dari hadapan orang itu. Melihat ketiga kuda berhenti, si 

baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak sambil 

berkacak pinggang. 

"Empu Lodaya!" orang itu menegur. Suaranya lantang 

dan membahana di seantero bukit jati. "Apakah kau sudah 

berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong 

Sultanmu?!" 

Sang Empu segera maklum kalau tengah berhadapan 

dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi. 

"Kau bertanya di tempat yang tidak pantas. Caramu 

menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan 

pasti tidak baik!" menjawab Empu Lodaya. 

Orang berbeju dan bercelana hitam keluarkan suara 

tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur 

istana pandai pula mengucapkan kata-kata seperti seorang 

penyair! Empu Lodaya, kau hanya membuang-buang waktu 

sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa hasil 

sementara mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam 

istana Sultan Banten!" 

"Apa maksudmu?! Katakan siapa kau adanya!" ujar 

Empu Lodaya. 

Orang itu menyeringai dan usap-usap dagunya yang 

ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang. 

"Seminggu setelah kau meninggalkan Banten, adik


perempuan sepupu Sultan ditemui telah jadi mayat di tepi 

kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara, satu 

lagi orang terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal. 

Pangeran Artakusumah!" 

Empu Lodaya dan dua pengiringnya tantu saja kaget 

sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah 

menemui kematian di tangan Ki Balangnipa! Berarti segala 

panjagaan dan pengawalan yang dilakukan untuk 

melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak 

berdaya menghadapi musuh tunggal itu! Demikian hebat-

nyakah ketinggian ilmu Ki Balangnipa sehingga tidak ada 

yang dapat membendungnya. Atau memang selain hebat 

dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa 

banyak kesulitan. 

"Orang tak dikenal! Apa maksudmu memberi tahu hal itu 

padaku?!" Empu Lodaya lemparkan pertanyaan. 

Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi. 

"Jadi kau masih belum tahu tingginya gunung dalamnya 

lautan. Masih belum jelas tengah berhadapan dengan 

siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan 

menyaksikan korban-korban kelima, keenam dan seterus-

nya!" 

Paras Empu Lodaya jadi berubah. Juga kedua pengiring-

nya ketika orang tua ini berketa: "Jadi kau ... kau Ki 

Balangnipa!" 

Si baju hitam tertawa lagi. 

"Mungkin kau perlu bukti!" katanya. Entah kapan tangan 

kanannya bergerak tahu-tahu kini dia telah menimang-

nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk 

bintang! 

"Ah, benar. Manusia ini adalah Ki Balangnipa!" 

membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata 

rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya 

menembus tubuh Jaka Luwak dan sekaligus membunuh-

nya dua tahun yang silam. 

Si baju hitam gerakkan tangan kanannya. Senjata 

rahasia bintang perak itu melesat ke areh pengiring Empu


Lodaya yang di sebelah kanan. Detik itu juga terdengar 

pekiknya. Tubuhnya jatuh dari punggung kuda, terjungkal 

dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap senjata 

rahasia bintang perak itu! 

Tubuh Empu Lodaya bergetar. 

"Manusia pengecut! Beraninya hanya membunuh orang-

orang tak berdaya!" teriak sang empu marah. 

"Aku pun tidak segan-segan menghabisi nyawamu orang 

tua! Sekalipun kau bukan termasuk sepuluh orang yang 

berada dalam daftar mautku!" 

Ki Balangnipa tertawa panjang. Tangan kanannya 

kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak 

melesat dengan kecepatan setan! 

Melihat senjata rahasia itu menderu ke arahnya, Empu 

Lodaya cepat melompat dari atas kuda. Sambil melayang 

ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan. Serangkum 

angin menerpa bintang perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu 

sebenarnya memang tidak ditujukan ke arahnya. Karena 

sesaat kemudian terdengar pekik pengiringnya yang kedua 

sewaktu bintang perak dengan ganas menembus 

tenggorokannya! 

"Biadab!" kertak Empu Lodaya. Sebelum tubuh 

pengiringnya jatuh mencium tanah orang tua ini sudah 

menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak 

dua langkah. Deru angin pukulan yang keluar dari tangan 

kanan Empu Lodaya diam-diam mengejutkan Ki 

Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan 

mengejek Ki Balangnipa cepat menghindar. 

"Tukang pisau dapur! Hari ini kau akan mati sia-sia!" 

Bukan main panasnya hati Empu Lodaya diejek sebagai 

tukang pisau dapur itu. Meskipun tugasnya memang ahli 

pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah seorang 

yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan Sultan 

serta keluarganya, orang tua ini tentu saja memiliki 

kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya begitu 

serangannya tadi tidak menemui sasaran, orang tua ini 

cepat berputar. Sekali berkelebat tendangannya meng


hantam ke arah batok kepala lawan! 

"Tukang pisau! Jelek-jelek rupanya kau punya 

kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek. 

Tangan kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi 

kepalanya dari tendangan Empu Lodaya. 

Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek 

direndahkan begitu rupa dan menganggap tangan tak 

bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan 

lipat gandakan tanaga dalamnya. 

Praak! 

Pergelangan tangan beradu keras dengan tulang kering 

kaki. 

Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar 

tidak keluarkan suara teriakan karena sakit yang bukan 

kepalang. Tulang kering kaki kanannya remuk. Tubuhnya 

melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk 

kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu 

jotosan ke arah perut hingga Empu Lodaya tertekuk ke 

depan. Dalam keadaan seperti ini menyusul satu 

tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang 

tua itu mencelat lalu menggeletak di tanah. Tapi tidak 

disangka dia mempunyai daya tahan luar biasa. Meski kaki 

kanan patah dan dari mulut serta hidung dan telinga kanan 

keluar darah mengucur, tapi dia merayap bangkit. 

Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya keluarkan suara 

menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di 

tangan kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat 

dari perak yang memancarkan sinar berkilau oleh pantulan 

sinar mentari pagi. 

"Aha! Rupanya inilah pisau dapur buatanmu! Baru kali 

ini aku melihat pisau dapur sebesar ini!" Ki Balangnipa 

tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak 

pinggang. Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke 

arah perut, dengan mudah Ki Balangnipa berkelit sambil 

susupkan satu tendangan ke perut si orang tua. Untuk 

kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek 

terlepas dari tangannya. Ki Balangnipa cepat menyambar


senjata itu. Begitu berhasil menggenggam hulu golok, dia 

segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya yang 

saat itu tengah mengerang megap-megap tanpa daya 

untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya 

sendiri! 

Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara 

gemerisik di belakangnya, disusul oleh suara tawa 

bergelak. 

"Ikan besar berbaju hitam! Aih . . Tentu enak kalau 

dipanggang!" 

***



SEMBILAN



KI BALANGNIPA bertindak capat, melompat ke 

samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari 

arah mana barusan terdengar suara bergemerisik 

serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang jauh lebih 

cepat. Tokoh silat ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya 

telah terperangkap dalam sebuah jala besar. Segera dia 

berontak dan coba renggutkan jala itu. Namun semakin 

keras gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala! 

"Keparat!" maki Ki Balangnipa. Golok yang tadi hendak 

dipakainya, untuk membunuh Empu Lodaya kini ditabas-

kan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala, namun 

alangkah kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak 

sanggup diputus oleh ketajaman golok! Sambil meng-

gereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan terjerat putar 

tubuhnya. 

Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri 

seorang kakek berambut kelabu, mengenakan celana 

hitam dan berselempangkan sarung. Kedua matanya 

jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang 

sasuatu yang bukan lain adalah ujung jala yang mem-

bungkus tubuh Ki Balangnipa! 

"Panjala keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku 

curang! Menyerang dari belakang!" bentak Ki Balangnipa 

marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua 

telapak tangannya. 

"Aih! Jangan salah sangka!" menyahuti si kakek jereng 

yakni Manik Aryapala alias si Penjala Sakti. "Aku tidak 

menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan 

hitam! Besar nian rejekiku hari ini!" 

Habis berkata begitu Si Penjala Sakti tarik jalanya. Tapi 

orang tua ini jadi kaget ketika bagaimana pun dia 

mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di


dalam jala tak bisa tertarik, bahkan bergeser pun tidak 

kedua kakinya! 

Dan Si Penjala Sakti tambah kaget sewaktu dilihatnya Ki 

Balangnipa menggerakkan kedua tangannya. 

Bret! Bret ...! Bret...! 

Jala tebal itu koyak putus-putus. Sesaat kemudian Ki 

Balangnipa telah melompat keluar dari bungkusan jala! 

Begitu ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti. 

Maka terjadilah perkelahian yang seru di antara kedua 

tokoh silat ini, sementara Empu Lodaya yang terhampar di 

tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil 

mengerang kesakitan. 

Sepuluh jurus berlalu Si Penjala Sakti segara maklumi 

bahwa lawan hampir dua tingkat lebih tinggi kependai-

annya. Untung saja dia memiliki kecepatan gerak yang luar 

biasa hingga setiap serangan Ki Balangnipa sanggup dikelit 

atau dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha untuk 

kontak kekuatan dengan jalan hendak memperadukan 

pukulan tangan atau tendangan kaki. Si Penjala Sakti yang 

mengetahui lawan memiliki tenaga dalam lebih tinggi 

terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan bentrokan 

langsung. 

Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua 

serangannya Ki Balangnipa berteriak keras. Bersamaan 

dengan itu dia membuka baju hitamnya. 

"Aih…..aih! Kenapa cuma bajumu saja yang kau buka? 

Mangapa tidak celanamu juga agar telanjang sekalian?!" 

berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek 

ini maklum kalau pakaian hitam milik lawan adalah 

merupakan satu senjata yang sangat berbahaya. 

Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki 

Balangnipa menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di 

mana-mana. Si Penjala Sakti segera tutup jalan nafasnya. 

"Nelayan buruk!" membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan 

seluruh kepandaianmu. Kalau tidak kau akan mampus 

dengan tubuh lumat!" 

Ki Balangnipa putar-putar pakaian hitamnya di atas


kepala. Terdengar sruran angin kencang sekali. 

Hembusan angin yang keluar dari baju hitam itu 

menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan per-

nafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup 

penciumannya. Namun demikian kekuatan lain dari 

pakaian hitam itu—yakni kekuatan yang sanggup 

melumpuhkan lawan — kini mengancam si kakek mata 

jereng. Untuk membuat agar sambaran angin tidak 

mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-

pukulan tangan kosong kiri kanan susul menyusul. Mula-

mula arus serangan baju hitam di tangan lawan seperti 

terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-

putar mengelilingi lawannya. Si Penjala Sakti menjadi 

sibuk. Selain hawa yang melumpuhkan yang harus di-

hindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat 

ujung tangan atau ujung kelepak baju hitam itu sanggup 

menghantam seperti sabatan golok atau tusukan pedang! 

Plak! Plak! 

Ujung pakaian menampar ganas ke dada dan muka Si 

Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar 

jalannya yang telah koyak. Jala ini digulungnya hingga 

membentuk tongkat lemas dan panjang, kemudian 

dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena 

jala itu juga dialiri kekuatan tenaga dalam maka per-

kelahian berkecamuk tambah dahsyat. Dua batang pohon 

jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju 

hitam, satunya lagi tersambar gulungan jala! 

Sepuluh jurus lagi berlalu. Bagaimana pun hebatnya 

perlawanan Si Panjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa lebih 

unggul. Apalagi Si Penjala Sakti tak dapat menutup jalan 

nafasnya terus menerus. Sesekali dia harus membuka 

pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru sedikit saja 

dia membuka penciuman, bau apek yang menebar dari 

pakaian hitam Ki Balangnipa langsung merambas masuk 

rongga hidungnya. Kakek ini tersengal dan batuk-batuk. 

Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban. 

"Celaka!" keluh Si Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya


ke arah leher lawan. Jala ini laksana seekor ular siap 

menggelung leher Ki Balangnipa. Tapi Ki Balangnipa yang 

sudah melihat gerakan lamban serta air muka yang 

berubah dari lawannya, dengan cepat sebatkan pukulan-

nya ke atas. Salah satu lengan pakaian serta merta meng-

gelung pertengahan jala. Sekali dia menarik maka jala itu 

pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain seperti hidup, 

menggelepar ke arah dada si Penjala Sakti. 

Buk! 

Si Panjala Sakti mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat. 

Dadanya terasa seperti dihantam batu besar. 

Kedua matanya yang jereng berputar nanar. Terasa ada 

darah panas dan asin di mulutnya. Sesaat ketika tubuhnya 

hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini merasa 

kaget karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan 

oleh sasuatu. Dia jatuh dalam pelukan seseorang. Sebelum 

dia sempat mengetahui siapa orang yang mendukungnya 

itu, satu suara bertanya. "Kek, kau terluka dan merasa 

sakit?" 

***



SEPULUH


SI PENJALA SAKTI mendongak ke atas. Ketika dia 

melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walau 

dadanya sakit bukan kepalang namun dia sempat 

tersenyum dan menjawab. "Tidak, aku tidak apa apa….! 

Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini 

digendong seperti anak kecil!" 

Mahesa Kelud ikut tersenyum dan turunkan tubuh Si 

Penjala Sakti ke tanah. 

"Kek, siapa orang tua yang berkelahi setengah telanjang 

itu. Pakaiannya dikibar-kibar begitu rupa, apa dia tidak 

sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud. 

"Jangan anggap enteng iblis biang racun itu! Apa kau 

lupa. Dialah Ki Balangnipa, penimbul bencana di istana 

Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke 

Banten. Tak tahunya masih berkeliaran di tempat ini . ." 

"Apakah ini berarti aku telah menemui tugas yang harus 

kujalankan kek?" 

Si Penjala Sakti mengangguk. "Hanya saja kau harus 

hati- hati Mahesa. Pakaian hitam si bangsat itu adalah 

senjata luar biasa. Bau apaknya bisa menyesakkan per-

nafasan dan sambaran anginnya melumpuhkan sekujur 

badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak cepat. 

Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya." 

Mahesa Kelud mengangguk, lalu maju dua langkah 

mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang 

jelas hendak ikut-ikutan cari perkara Ki Balangnipa segera 

membentak. Maksudnya hendak membuat lumer nyali 

orang. 

"Apa maumu?! Minta digebuk?!" 

Mahesa menjawab dengan balas bertanya: "Benar kau 

orangnya yang membuat kekacauan di istana Banten?" 

"Pemuda bau kencur sepertimu tak layak menanyaiku!" 

"Kalau pun kau tak mau mengaku, aku sudah tahu


memang kau orangnya yang jadi biang keladi membunuh 

orang-orang yang tidak berdosa itu!" 

Ki Balangnipa tertawa mendengar ucapan Mahesa itu. 

Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum 

kacungmu saja!" 

"Aku memang hendak menghukummu. Manusia 

sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur", jawab 

Mahesa pula. 

Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia mulai putar-putar baju 

hitamnya. Sekali gebuk saja pasti pemuda besar mulut ini 

akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang tidak 

memandang sebelah mata terhadap Mahesa. Padahal 

kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi 

Mahesa tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap 

tubuh Si Penjala Sakti yang terpental, dia seharusnya dapat 

menilai kalau pemuda itu bukan serendah yang disangka-

nya. 

Pergelangan tangan Ki Balangnipa bergerak. 

Wut! 

Baju hitam berputar setengah lingkaran. Bau apak 

menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud. 

Wut! 

Bagian lengan pakaian menghantam ke tenggorokan 

pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan 

pakaian tak sempat mengenai lehernya. Sebaliknya bau 

apak menembus pernafasannya dan sambaran angin 

pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya 

seperti lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu 

keanehan. 

Dari pinggang kiri si pemuda, di mana tersetip Keris Ular 

Emas merambas hawa hangat yang langsung menolak 

hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta 

memusnahkan hawa jahat yang hendak melumpuhkan 

tubuhnya. 

Plak! 

Ujung leher pakaian hitam di tangan Ki Balangnipa 

menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala


Sakti kena dilabrak. Mahesa terpental, jatuh duduk. 

"Celaka'" keluh Si Penjala Sakti. 

Tapi Mahesa cepat bangkit kembali. Membuat Ki 

Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah 

dan terluka di dalam oleh hantaman pakaian saktinya. 

Apakah pemuda ini jauh lebih hebat dari kakek mata 

jereng itu?! 

Sewaktu menerima pukulan baju hitam sakti itu tadi, 

Mahesa telah bentengi dadanya dengan aji karang sewu 

sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh 

duduk, namun tubuhnya luar dalam tidak cedera sama 

sekali. 

Sepasang mata KI Balangnipa membeliak dan berapi-

api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan 

yang bisa selamat dari hantaman baju hitamnya. Diselimuti 

rasa tak percaya bercampur marah kembali tokoh silat dari 

Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin 

menderu-deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon 

jati rontok dan jatuh ke tanah. Debu pesir beterbangan. 

Batang-batang pohon jati yang sudah tua bergoyang-

goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah. 

Si Penjala Sakti jejakkan ke dua kakinya kencang-

kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat 

yang keluar dari baju hitam Ki Balangnipa. Empu Lodaya 

yang terkapar di tanah dan mengerang kesakitan karena 

sampai saat itu tak seorang pun yang datang menolong, 

kini terpaksa telungkupkan badan di tanah dan pejamkan 

kedua matanya agar tidak kemasukan debu dan pasir. 

Mahesa sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras 

hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil 

memasang kuda-kuda setengah berlutut. Ketika ujung 

lengan kanan baju di tangan lawan membeset ke arah 

kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya 

miring ke belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu 

mencari sasaran di perut lawan. Ki Balangnipa berseru 

keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju yang 

satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu


kanan Mahesa Kelud.Tapi serangan ini pun gagal karena 

Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri, berguling di tanah, 

sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan 

kanannya ke depan. 

Segulung angin bergulung menyapu ke arah Ki 

Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan 

menutupi pemandangan. Daun-daun pohon jati semakin 

banyak yang rontok berguguran. Inilah pukulan "menembus 

ombak membelah gelombang" yang didapat Mahesa Kelud 

dari mendiang gurunya Embah Jagatnata alias Simo 

Gembong. 

Ki Balangnipa terkesiap ketika melihat datangnya 

gulungan angin deras itu. 

"Pemuda tak dikenal ini, siapakah dia sebenarnya?!" 

membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi juga jadi 

penasaran. Sambil melompat ke atas untuk menghindari 

sambaran angin pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam di 

tangan kanannya. 

Dess! 

Angin dahsyat dari baju sakti saling bentrok dengan 

angin pukulan Mahesa Kelud. Bukit jati itu bergetar. Tanah 

di atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat muncrat 

mental ke atas. Di tanah itu kini kelihatan sebuah lobang 

yang cukup dalam. 

Si Penjala Sakti leletkan lidah. 

Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang 

keras sedang Ki Balangnipa berubah parasnya. Dia tak 

sempat berpikir lebih jauh karena saat itu tiba-tiba 

dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan 

kedua tangan terkembang ke samping, seperti seekor 

rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsa-

nya! 

Ki Balangnipa kebutkan baju hitamnya dalam gerakan 

aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. 

Kini bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah 

pun ikut bermentalan ke udara. Dan selagi tubuh Mahesa 

melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata


rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah 

Mahesa Kelud. 

"Pengecut curang!" teriak Si Penjala Sakti ketika sempat 

melihat apa yang dilakukan Ki Balangnipa. Dengan jalanya 

yang sudah rusak sembrawutan dia menghantam ke udara. 

Dua bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus 

menerjang Mahesa Kelud. 

"Celaka!" seru Si Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi 

untuk menolong. Tetapi Mahesa Kelud memang tidak perlu 

pertolongan lebih lanjut. 

Selarik sinar merah berkiblat di udara dibarengi suara 

deru seperti tawon mengamuk. Terdengar tiga kali suara 

berdentringan. Tiga bintang perak senjata rahasia Ki 

Balangnipa mental dan hancur. Sinar merah menukik 

membelah udara. 

Bret! Bret! 

Baju hitam di tangan Ki Balangnipa kini berubah 

menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya 

yang sepotong lagi masih tergenggam di tangannya. 

Dengan muka pucat pasi Ki Balangnipa melompat mundur. 

Mulutnya tergagap ketika dia berkata: "Pe . .. pedang 

Dewa!" Rupanya Ki Balangnipa sudah mengetahui senjata 

apa yang ada di tangan lawannya. 

"Jadi... kau muridnya... muridnya Suara Tanpa Rupa!" 

seru Ki Balangnipa. 

Mahesa tak menjawab. Justru yang membuka mulut 

adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan 

urusanmu! Balangnipa, apapun kepandaianmu kau tak 

bakal dapat mengalahkannya! Menyerahlah! Jika kau ber-

tobat siapa tahu Sultan mau memperingan hukuman 

atasmu!" 

Ki Balangnipa meludah ke tanah. Meskipun tengkuknya 

memang bergeming dingin karena tahu kehebatan Pedang 

Dewa yang memancarkan sinar merah angker di tangan 

lawan, namun dia tidak bisa percaya akan kalah begitu 

saja di tangan pemuda tak bernama itu. Menyerah sudah 

barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik bunuh


diri dari pada diadili di Banten. Dia yakin tak ada 

keringanan hukuman baginya. Satu-satunya yang bakal 

menyambutnya di Banten jika dia sampai tertangkap hidup-

hidup adalah tiang gantungan atau papan pemancungan! 

Ki Balangnipa keluarkan bentakan garang. Kaki 

kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan 

kini tidak memegang senjata apa-apa, jiwa ksatrianya 

membuat Mahesa segera memasukkan Pedang Dewa 

kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki 

Balangnipa merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa 

tanpa pedang sakti di tangan dia akan mudah merobohkan 

si pemuda. Dia menggereng ketika tendangannya luput lalu 

berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak 

berputar seperti gasing. Tangan dan kakinya terkembang. 

Dua batang pohon yang kena hantaman kaki dan 

tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka 

yang sangat berbahaya bernama "kitiran maut"! Apa saja 

yang terkena sambaran kaki atau tangan akan terbabat 

putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja 

merupakan jurus serangan yang dahsyat tapi sekaligus 

juga merupakan jurus bertahan yang kokoh. 

Mahesa Kelud melompat mundur untuk meneliti 

gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan 

ke kepala Ki Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda 

ini cepat tarik pulang serangannya ketika salah satu kaki 

dan tangan lawan mendadak melesat ke arah tenggorokan 

dan selangkangannya. Selagi dia melompat untuk meng-

hindari serangan susulan, tubuh Ki Balangnipa yang ber-

putar itu cepat sekali melesat ke arahnya. 

Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya per-

kelahian Si Penjala Sakti geleng-geleng kepala. Dia tahu 

betul, itu adalah ilmu simpanan Ki Balangnipa yang 

terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal 

dapat mengalahkan pemuda itu, tapi kini hati kecilnya 

diliputi rasa was-was. 

Ketika tubuh berputar datang mengejar Mahesa Kelud 

segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga


dalamnya ke empat anggota badan yakni sepasang tangan 

dan kedua kaki. Sesaat lagi tubuh lawan datang 

menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil 

susupkan jurus "menembus ombak membelah gelombang" 

Buk! 

Buk! 

Praak! 

Dua sosok tubuh saling beradu keras lalu sama-sama 

tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi, satunya 

lagi masih bisa tegak walau terhuyung-huyung! 

Mahesa tegak bersandar ke batang pohon jati sambil 

pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih 

tergetar dan seperti ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan 

tadi, tinju Ki Balangnipa manghantam dadanya sedang 

tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia tidak 

membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan 

tulang lututnya sudah remuk. Pemuda ini atur jalan nafas 

dan peredaran darahnya. Dia maklum kalau dadanya 

sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai mem-

bahayakan jiwanya. 

Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa 

terkapar di tanah tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri 

remuk hancur akibat pukulan karang sewu yang dilepaskan 

Mahesa dengan tangan kanannya. 

"Semua berakhir sudah! Semua berakhir sudah!" 

terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah 

mendekati Mahesa den menepuk-nepuk bahu pemuda itu. 

"Kakek, apakah ini berarti aku telah menjalankan tugas 

yang kau berikan dan membayar impas hutang piutang 

budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud. 

Si kakek tertawa. "Tak ada hutang piutang!" katanya. 

"Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan manusia-

manusia jahat dan sesat seperti yang satu itu!" 

"Kalau begitu aku tak perlu lagi pergi ke Banten," kata 

Mahesa karena sejak lama dia ingin segera pergi ke timur. 

"Siapa bilang tidak perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh, 

tolong aku.....!"


Mahesa dan Si Penjala Sakti baru ingat pada Empu 

Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang 

empu memandang sejurus pada Mahesa. Sambil menyeka 

sudut bibirnya dia berkata: "Anak muda, bukankah kau 

yang bernama Mahesa, yang dulu menjadi pembantu 

Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan 

Banten...?" 

Mahesa hanya mengangguk perlahan. 

"Kau harus ikut aku ke Banten! Kau harus menghadap 

Sultan!"kata Empu Lodaya. 

"Eh, kenapa begitu?" tanya Mahesa. 

"Jangan banyak tanya! Apa kau tidak menyadari bahwa 

kau baru saja menyelamatkan kerajaan dari malapetaka 

besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki 

Balangnipa itu? Apa kau tidak tahu bahwa kau baru saja 

menyelamatkan enam nyawa dari orang-orang yang 

dikasihi Sultan?" 

Mahesa angkat bahu. 

Empu Lodaya menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau 

harus ke Banten menghadap Sultan! Aku percaya kau akan 

diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten." 

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu 

besar nian Mahesa," katanya. Tapi dia sudah tahu apa 

bakal jawab pemuda itu. 

"Orang tua, siapa pun kau adanya aku berterima kasih 

atas maksud baikmu membawaku ke Banten," kata 

Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas 

jasa apa-apa. Semua kulakukan karena kakekku ini!" 

"Tidak bisa!" sahut Empu Lodaya. Pegangannya pada 

Mahesa semakin diperkencang. 

"Kalau begitu maumu, baiklah. Mengingat kau terluka 

cukup parah, maka berangkatlah dulu naik kuda. Aku 

menyusul kemudian ..." kata Mahesa pula. 

"Aku akan mendampinginya sampai di pintu gerbang 

Kotaraja.'' berkata Si Penjala Sakti. Lalu kakek ini cepat-

cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya 

meninggalkan tempat itu. Empu Lodaya sesekali menoleh


ke belakang, ke arah Mahesa Kelud yang masih tegak di 

puncak bukit jati itu. 

"Aku kawatir, dia tidak menepati janjinya," kata Empu 

Lodaya. "Dia tak akan menyusul kita ke Banten ... " 

Si Penjala Sakti menyeringai. "Kau tahu pasti hal itu 

sahabatku. Apa pun yang diberikan Sultan Banten padanya 

dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati seperti dia 

tak pemah mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa 

pamrih…." 

"Sayang .... sayang. Sultan dan rakyat Banten benar-

benar berterima kasih padanya," ujar Empu Lodaya. Lalu 

menambahkan: "Kalau saja aku punya anak gadis. Pasti 

kujodohkan dengan pemuda itu. Dia sangat tampan. 

Ilmunya tinggi pula….." 

Si Penjala Sakti tertawa mengekeh. 

"Kenapa kau tertawa?!" tanya Empu Lodaya seraya 

pegangi pipinya yang mendenyut sakit. 

"Mana mungkin kau punya anak gadis! Sampai setua ini 

kawin saja pun kau belum ... !" sahut Si Penjala Sakti. 

Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa 

terpingkal-pingkal. 



                                T A M AT

0 komentar:

Posting Komentar