BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 25 Februari 2025

PENDEKAR BLOON EPISODE ANAK LANGIT DAN PENDEKAR LUGU


matjenuhkhairil

 

Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
ANAK LANGIT & PENDEKAR 
LUGU
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi 
dalam bentuk apapun tanpa ijin 
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Anak Langit & Pendekar Lugu


SATU

Bila bumi telah diguncangkan dengan gun-
cangan yang Maha dahsyat. Bila gunung-gunung 
hancur lebur menjadi debu. Bila bumi mengelua-
rkan beban berat yang dikandungnya. Bila pe-
rempuan hamil melahirkan dengan paksa sebe-
lum waktunya. Bila seorang ayah meninggalkan 
anak dan istrinya. Bila perempuan menyusui me-
ninggalkan bayi yang disusuinya. Bila orang mati 
dibangkitkan dari kuburnya, bila laut meluap dan 
bintang gemintang bertabrakan. Maka di hari itu 
bagi manusia tidak ada lagi tempat berlindung, 
tertutup pula baginya pintu tobat. Di hari itu har-
ta benda tidak menolong, cinta manusia, kekasih 
manusia lari meninggalkannya dan mereka Maha 
sibuk dengan urusan masing-masing. Maka nik-
mat Tuhanmu yang manakah yang tidak kau 
syukuri? Kebanyakan manusia menjadi sombong, 
kebanyakan manusia itu lupa dan silau oleh ke-
senangan dunia yang cuma sedikit. Manusia ber-
lomba-lomba mengumpulkan harta benda dan 
anak-anak. Padahal mereka hidup di dunia ini ti-
dak akan lama, harta benda yang dikumpulkan-
nya itu kelak akan ditinggalkannya pula! Maka 
nikmat Tuhan-mu manakah yang kau syukuri?"
Suara tanpa ujud itu menyentak di tengah-
tengah gemuruh suara hujan deras. Lalu terden-
gar rentetan suara petir menggelegar. Di awali 
dengan cahaya kilat yang menerangi suasana di

sekelilingnya. Hujan deras tercurah lagi. Demi-
kianlah hal seperti ini terus berlangsung selama 
tiga hari dua malam.
Sebagian rumah-rumah penduduk di kota 
kerajaan Ujung Dunia terendam. Bahkan ribuan 
diantaranya terseret arus. Hewan ternak banyak 
yang mati. Ratusan nyawa melayang dan mati 
tenggelam. Sungguh ini merupakan azab yang 
sangat mengerikan. Mungkin Tuhan marah meli-
hat manusia melakukan dosa di mana-mana, du-
nia ini sudah semakin kotor bertimbun dosa dan 
kesalahan, keangkuhan, kekikiran, kelicikan, ke-
serakahan anak-anak manusia.
Dalam suasana seperti itu, tidak seorang 
penduduk di kota Ujung Dunia itu yang keluar 
meninggalkan rumahnya atau sengaja memisah-
kan diri dari keluarganya. Kebanyakan diantara 
mereka memilih bertahan di dalam rumah bersa-
ma keluarga atau anak-anaknya, walaupun keti-
ka itu sebagian rumah mereka telah terendam air.
Kerajaan Ujung Dunia sendiri, yaitu kera-
jaan yang besar dari seluruh kerajaan yang besar 
dan pernah ada di kolong langit ini tidak tengge-
lam karena letaknya yang berada di atas gunung.
Sementara itu jauh dari keramaian kota te-
patnya di sebuah tempat peribadatan berbentuk 
surau tampak seorang laki-laki muda berpakaian 
putih dan memakai sarung kedodoran duduk ter-
pekur seorang diri. Hampir sepanjang waktu pe-
muda ini tampak berkemak-kemik memanjatkan 
do'a dan memuji kebesaran Tuhan. Ia tidak pernah lepas dari air suci dan boleh dikata sangat ja-
rang meninggalkan tempat peribadatan. Rumah di 
dekat surau itu memang cukup banyak, jumlah 
penduduknya juga padat. Namun akhir-akhir ini 
mereka sangat jarang sekali beribadah. Mereka 
kelewat sibuk atau sengaja menyibukkan diri un-
tuk berbagai macam kepentingan dunia.
Mereka saling berlomba mengumpulkan 
harta, atau bekerja membanting tulang untuk 
memenuhi kehidupan sehari-hari yang kian hari 
semakin sulit didapat. Sementara harga kebutu-
han pokok kian melambung tinggi nyaris tidak 
terjangkau.
Melihat kenyataan ini pemuda baju putih 
yang dikenal dengan nama Wahyu Sakaning Gus-
ti hanya dapat mengurut dada. Dia sesungguhnya 
merasa kasihan pada para penduduk itu. Mereka 
telah tertipu mentah-mentah oleh kehidupan du-
nia dan melupakan kehidupan sesudah mati.
Pemuda gagah berwajah lugu ini tiba-tiba 
saja menengadahkan wajahnya ketika petir sea-
kan menghantam puncak surau. Bibirnya yang 
selalu basah dengan asma Tuhan itu menggeri-
mit.
Traat!
Glar! Glaar!
"Ya Tuhan...! Pertanda apakah ini? Jauh-
kan aku dan mereka dari azabmu yang pedih. 
Kembalikanlah kesadaran mereka pada fitrahnya 
sebagai manusia. Jangan kau masukkan aku da-
lam golongan hambamu yang melampaui batas.

Aku takut kelak kami akan menjadi orang serugi-
ruginya!" batin pemuda itu.
Wahyu Sakaning Gusti tiba-tiba bangkit 
berdiri. Ia melangkah ke teras Surau. Memandang 
ke luar hanya kegelapan saja yang terlihat. Di ke-
jauhan pelita dari rumah-rumah penduduk berke-
lap-kelip bagaikan cahaya kunang-kunang yang 
redup.
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lu-
gu tengadahkan wajahnya ke langit. Hujan masih 
lagi menetes, angin masih juga bertiup, hawa din-
gin menampar-nampar wajah si lugu.
Traat!
Sekali lagi kilat menyambar. Suasana be-
rubah terang benderang. Namun sungguh meng-
herankan, suasana terang itu seakan tidak ada 
habis-habisnya. Wahyu Sakaning Gusti kembali 
tengadahkan wajahnya ke langit. Astaga! Pemuda 
ini pun terperangah. Dari angkasa sana seakan 
ada cahaya terang benderang yang meluncur de-
ras seperti Meteor. Cahaya itu sangat menyilau-
kan dan membutakan mata.
"Ya Tuhan... jangan kau turunkan bencana 
pada kami!" kata si pemuda seperti orang yang 
sedang memanjatkan doa.
Cahaya terang benderang berwarna putih 
dan berpedar-pedar itu terus meluncur ke bawah 
sejajar dengan atap surau. Sampai-sampai Wahyu 
Sakaning Gusti menyangka benda bercahaya itu 
akan menghantam hancur tempat ibadahnya.
Tidak disangka kira-kira tiga batang tom

bak lagi cahaya berpedar itu menghantam surau. 
Cahaya tiba-tiba berhenti mendadak. Pendekar 
Lugu tidak tahan melihat kehadiran cahaya ter-
sebut karena begitu silaunya. Kemudian terden-
gar suara halus, nyaring mengejutkan....
"Wahai jiwa yang tenang. Aku datang dari 
sebuah tempat yang sangat jauh. Sebuah tempat 
bila seandainya pun seorang manusia mampu 
menempuhnya, tubuh orang itu akan hancur. Bi-
la aku berjalan, maka langkahku lebih cepat dari 
perjalanan suara menempuh udara. Bila aku ber-
lari maka kecepatanku berpuluh-puluh kali lipat 
kecepatan cahaya. Aku datang karena ketegu-
hanmu. Aku menjumpaimu, karena kesabaran
mu, karena kepasrahan mu menghadapi manusia 
yang semakin murka dan lupa diri. Wahai jiwa 
yang tidak pernah marah. Wahai jiwa yang selalu 
patuh pada perintah Tuhan, wahai jiwa yang ti-
dak takabur, tidak sombong, tidak kikir, tidak iri, 
tidak tamak, tidak pernah membongkar aib dan 
kebusukan orang lain," kata suara itu dengan te-
nang namun menyejukkan.
Pendekar Lugu langsung terduduk lemas, 
sekujur tubuhnya menggigil dilanda kecemasan 
dan ketakutan. Lalu ia menangis, tangisnya 
membuat tubuh si pemuda terguncang. Dadanya 
menjadi sesak, seakan ia merasa kematian sudah 
hampir menjemputnya. Cahaya berpedar-pedar 
itu kemudian menyambung, suaranya membuat 
ujudnya yang dalam bentuk cahaya bergetar. 
"Malam ini adalah malam kepercayaan. Kau mendapat tugas yang sangat berat. Berat namun mu-
lia, mulia jika kau dapat melaksanakannya den-
gan baik...!"
"Si... siapakah kau...?" tanya Pendekar Lu-
gu. 
Suaranya terbata-bata karena ketakutan 
itu masih melanda jiwanya.
"Aku hanya penyampai. Lebih baik kau 
panggil aku sebagai 'Anak Langit'. Sekali lagi ku
tegaskan padamu, aku anak langiiit...! Hanya ini 
saja yang perlu kau ketahui sepanjang hidup." 
sahut suara dalam cahaya itu.
Wahyu Sakaning Gusti tampak berkomat-
kamit. Sekujur tubuhnya telah basah bermandi 
keringat. Padahal ketika itu udara sedemikian 
dinginnya dan hujan kembali turun dengan de-
rasnya.
"Tugas apa yang harus kukerjakan?" tanya 
Pendekar Lugu alias Pendekar Penyampai, sua-
ranya pelan namun jelas. Cahaya yang berpedar 
itu kembali bergetar. 
"Sebelum apa yang kusampaikan engkau 
terima. Aku ingin bertanya terlebih dulu."
"Apa yang ingin kau tanyakan, ya Anak 
Langit?"
"Pertama takutkah kau pada raja yang ke-
jam?"
"Tidak!" tegas Pendekar Lugu.
"Takutkah kau pada pembesar, prajurit ke-
rajaan, tokoh-tokoh sakti dalam rimba persilatan, 
tukang sihir, tukang teluh, dukun?"

"Tidak! Selama aku berada di jalan yang 
benar." kata Wahyu Sakaning Gusti.
"Siapakah musuh yang paling kau takuti 
dan patut kau perangi?" 
"Nafsuku!"
"Jawabanmu berada dalam posisi yang te-
pat." puji Anak Langit. "Ketahuilah di dunia ini 
banyak orang dikejar-kejar rasa takut. Kecuali 
manusia yang dekat dan selalu berpasrah diri pa-
da Tuhan. Orang kaya takut jatuh miskin, orang 
melarat takut tidak makan. Orang berpangkat ta-
kut kehilangan pangkatnya. Takut dalam arti 
yang luas adalah takut kehilangan yang muluk-
muluk di dunia ini." jelas Anak Langit.
"Adapun yang paling kejam tindakan ma-
nusia adalah memfitnah, membunuh, orang tua, 
paman, kakek, kakak menodai darahnya sendiri. 
Atau seorang ibu membuang atau membunuh da-
rah dagingnya sendiri. Atau seorang ibu mem-
buang atau membunuh darah dagingnya sendiri. 
Menurutmu apakah sudah tidak rusak perilaku 
manusia sekarang ini?"
"Rusak sekali, dan aku merasa sangat pri-
hatin. Aku jadi takut!"
"Takut pada siapa?"
"Pada Tuhanku!" 
"Sekarang aku percaya. Ada pun tugas 
yang harus kau pikul ada dua. Pertama carilah 
hartawan yang paling kaya di dunia ini. Tidak 
perlu aku terangkan, nanti kau akan tahu keta-
makan dan kekejamannya. Sedangkan yang kedua kau carilah raja yang paling kejam di kolong 
langit ini. Untuk membantu tugasmu agar berha-
sil dengan baik, maka kau harus mencari seorang 
pemuda ganteng berpakaian biru, memakai ikat 
kepala biru belang-belang kuning, tampangnya 
ketolol-tololan. Ia dikenal dengan julukan lain 
Pendekar Mandau Jantan alias si bocah Ajaib. 
Mengenai gelar sesungguhnya kau nanti boleh 
tanya pada yang bersangkutan. Dia punya kesak-
tian yang dapat diandalkan. Namun dalam masa-
lah keteguhan hati terus-terang saja kurang." je-
las Anak Langit.
"Apakah aku sendiri tidak boleh mencari 
hartawan dan raja itu?" tanya Pendekar Lugu.
"Pekerjaan ini tidak mudah. Kau memikul 
beban yang sangat berat. Karena sebelum sampai 
ke tujuan utama kau akan menghadapi rintangan 
yang tidak sedikit. Pemuda itu punya berbagai 
kesaktian yang dapat kau ajak bekerja sama!"
"Aku terima tugas ini. Apa pun yang akan 
terjadi pada diriku, sesungguhnya nyawaku ku-
pasrahkan pada Tuhan!" kata Pendekar Lugu tu-
lus. 
"Wahyu Sakaning Gusti. Serukanlah pada 
hartawan kaya itu untuk menghentikan kemak-
siatan. Hentikan jual beli kehormatan perem-
puan. Hentikan perjudian, hentikan pemadatan 
dan hentikan pembuangan harta. Jika tiga kali la-
ranganmu tidak dihiraukan. Maka sudah menjadi 
tugas si Bocah Ajaib untuk membantumu. Demi-
kian juga dengan raja Lalim Durjana. Kekejaman

nya sudah melampaui batas, tindakannya sewe-
nang-wenang. Berilah peringatan padanya. Jika 
dia tetap membangkang, maka sudah menjadi tu-
gasmu dan tugas Suro Blondo untuk menghenti-
kan raja itu dengan cara yang keras!" tegas Si 
Anak Langit.
"Aku akan selalu mengingat pesanmu, ma-
lam ini juga aku segera mencari pemuda itu." ja-
wab Pendekar Lugu.
"Berhati-hatilah, berpikir dengan kesaba-
ran sebelum bertindak. Jika orang lain berkata 
kasar padamu jangan kau balas. Bersikaplah di-
am daripada bicara tidak berguna. Sesungguhnya 
Tuhan-mu menyukai orang-orang yang sabar. Se-
lamat tinggal Wahai Jiwa yang tenang. Di lain 
waktu aku akan datang kepadamu!" kata sosok 
berujud cahaya tersebut. Cahaya tersebut kemu-
dian melesat ke langit. Semakin lama bergerak 
semakin bertambah jauh sampai akhirnya hanya 
terlihat titik putih yang teramat kecil, lalu meng-
hilang dari pandangan mata.

DUA


Lima ekor kuda dipacu dengan kecepatan 
tinggi. Kelima binatang tunggangan berbulu hitam 
tersebut berlari seperti dikejar-kejar setan. Penunggangnya adalah lima orang laki-laki berbadan gemuk memakai pakaian serba hitam. Wajah

mereka angker, jenggot, cambang serta kumisnya 
tumbuh subur tidak terawat dengan baik. Yang 
mengerikan dari kelima laki-laki penunggang ku-
da itu semuanya picak bagian mata kirinya. Tidak 
hanya picak saja, tampaknya mereka sengaja 
mencungkil matanya beberapa tahun yang lalu. 
Sehingga terlihatlah sebuah rongga mata yang le-
bar dan berwarna kemerah-merahan.
Memasuki sebuah kota yang cukup besar. 
Kelima penunggang kuda ini bukan mengurangi 
kecepatan kuda mereka. Melainkan terus mem-
bedal kuda-kuda tersebut bagai orang kesurupan. 
Orang-orang yang berada di jalan cepat menying-
kir dan seperti orang yang ketakutan. 
Tidak lama kemudian mereka membelok ke 
sebuah gang lalu berhenti di sebuah bangunan 
mewah seperti sebuah penginapan. Kelima laki-
laki bertampang angker turun dari kuda masing-
masing. Dua orang laki-laki yang agaknya pekerja 
di situ menyambut mereka dengan hormat dan 
membawa kuda itu ke tempat biasa untuk ditam-
batkan.
Dengan langkah tegap mereka menuju ke 
pintu depan. Seorang perempuan bertubuh ge-
muk, gembrot mirip gentong datang menghampiri. 
Sementara di dalam ruangan itu tampak belasan 
gadis-gadis belia berwajah cantik dan memakai 
pakaian mini duduk dengan genitnya.
"Anak-anak, masuklah kalian ke dalam!" 
perintah si wanita gemuk.
"Jangan semuanya masuk. Tinggalkan em
pat orang untuk melayani kami!" bentak salah 
seorang diantaranya.
Lima belas gadis-gadis cantik berdada me-
nantang dan berpaha mulus masuk. Sedangkan 
empat diantaranya terpaksa menunggu. Empat 
laki-laki menghampiri ke empat gadis yang me-
nunggunya. Mereka langsung memeluk, mere-
mas-remas bagian yang menonjol, atau tangan 
mereka menggerayang ke tempat-tempat menonjol 
yang lainnya. Dan sesungguhnya wanita itu me-
miliki banyak tonjolan dan tanjakan yang menye-
nangkan laki-laki keparat seperti empat mata pi-
cak ini.
"Tuan datang terlalu cepat dari waktu bi-
asanya! Tentu saja setoran untuk bulan ini belum 
terkumpul sebagaimana mestinya!" kata Wanita 
gembrot macam gentong ini manja.
"Kami selalu datang pada waktunya. Har-
tawan Abdi Banda memberi perintah pada kami 
agar hasil dari daerah kemaksiatan ini dikumpul-
kan sebelum masa waktu yang ditentukan da-
tang. Kami hanya menjalankan perintah, tidak le-
bih dan tidak kurang!" dengus laki-laki bertubuh 
paling tinggi dibandingkan yang lain-lainnya
"Baiklah, saya akan pergunakan uang saya 
dulu untuk menutupi sejumlah. kekurangan yang 
ada!" kata Suntarini.
Perempuan itu kemudian menghilang di 
dalam kamarnya. Ketua mata picak memperhati-
kan kawan-kawannya. Astaga! Ternyata mereka 
sedang berbuat mesum di ruangan itu tanpa malu-malu dilihat lainnya. Sungguh mereka tidak 
bedanya dengan binatang yang tidak punya piki-
ran dan rasa malu. Sebaliknya ketua mata picak 
ini kelihatannya menganggap kejadian itu biasa-
biasa saja.
"Ayo kawan-kawan, teruskan kalian bala-
pan. Akh... masa kalah dengan gadis-gadis ini...!" 
kata Rahjendra sambil tergelak-gelak.
Lalu terdengar suara lenguh kenikmatan 
disana-sini. Rahjendra sudah tidak menghiraukan 
apa yang dilakukan mereka. Mata yang cuma se-
belah itu membuat lebar ketika melihat kepingan 
uang emas yang dibawa oleh Suntarini. 
"Apakah cuma sekantung ini?" tanya Rah-
jendra.
"Ya, sekantung ini. Bukankah biasanya se-
gini juga jumlahnya?"
"Ah iya, aku sampai lupa? Rahjendra ke-
mudian menjulurkan tangannya ke dada Suntari-
ni. Sebentar saja dengan seenaknya ia membelai-
belai bukit si gembrot yang lembek kedodoran.
"Aih, tuan nakal sekali," desahnya sambil 
mengedipkan matanya.
"Kenakalanku padamu tidak setiap aku da-
tang kemari. Lain kali jika aku datang lagi kau 
harus melayani aku luar dalam!" kata ketua mata 
picak sambil terkekeh.
"Hik hik hik...! Tentu saja jangan khawa-
tir!" janji Suntarini.
Laki-laki itu memasukkan kantung ke ba-
lik bajunya. Ia memberi isyarat pada kawan

kawannya untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Ingat jika terjadi hal-hal yang tidak diin-
ginkan di tempat ini sebaiknya laporkan pada 
hartawan Abdi Banda. Tidak ada yang boleh ber-
buat onar di rumah surga ini. Sebagai orang ke-
percayaan kau harus menjaga kepercayaan yang 
diberikan oleh hartawan padamu!"
"Baiklah tuan!" sahut Suntarini.
Si gembrot mengantar orang-orang keper-
cayaan hartawan Abdi Banda sampai ke halaman 
depan. Kelima mata picak ini meninggalkan ru-
mah pelacuran itu untuk kemudian memungut 
keuntungan-keuntungan lain di tempat perjudian 
dan pemadatan.
***
Pemuda baju biru itu celingak-celinguk 
memperhatikan keramaian kota di senja hari. Ko-
ta Cagar Tirta sejak lama memang dikenal sebagai
kota kemaksiatan. Penduduk setempat tidak be-
rani mencegah praktek-praktek terkutuk ini. Ka-
rena pemilik rumah pramusyarat itu tidak lain 
adalah hartawan Abdi Banda.
Siapa yang tidak kenal dengan hartawan 
Abdi Banda, manusia kaya raya di dunia yang 
kunci gudang harta bendanya saja tidak dapat di-
tarik oleh dua ekor kuda yang kuat-kuat.
Sementara itu pemuda berwajah ketolol-
tololan ini tiada henti menggaruk kepalanya. 
Pembangunan kota yang sedemikian pesat membuatnya terkagum-kagum.
"Hebat juga daerah ini. Gedungnya megah-
megah, penduduknya hemm... terutama para ga-
dis itu. Jalannya megal-megol, pinggulnya wah... 
hanya membuat kepalaku mumet (pusing)." batin 
si pemuda berambut hitam kemerahan. 
"Hieekh...!"
Kuda kurus kering yang ditunggangi oleh 
Suro Blondo tiba-tiba saja ngadat tidak mau ja-
lan.
"Kuda goblok ini taik sama kentutnya saja 
yang besar. Tenaga tidak ada. Mana tulang-
tulangnya bertonjolan? Kuda kurus begini kalau 
dijual tukang loak pun nggak bakalan sudi. Me-
nyesal aku mengambilnya di pinggir jalan. Dasar 
goblok... blok-blok...!" dengus si pemuda.
Disebut dirinya goblok, seakan mengerti 
kuda tersebut tiba-tiba saja berlari cepat laksana 
terbang. Suro Blondo terkesiap dan hampir saja 
terjatuh. Kuda terus berlari tidak tentu arah. Ter-
kadang menabrak tukang jual makanan dan 
buah-buahan di pinggir jalan.
"Hei berhenti, gobloook...!" teriak Suro 
Blondo. Ternyata ucapan itu hanya membuat lari 
kuda semakin menggila. Suro jadi bingung, cela-
kanya apa saja yang berada di depan kuda terse-
but ditabraknya. Hingga pemilik barang-barang 
dagangan menjadi berang dan mengejar Suro 
Blondo si anak ajaib.
"Waduh mengapa jadi begini!" desis Suro si 
bocah Ajaib kalang kabut. "Wah kalau begini terus semua orang bisa memukuliku. Hanya kuda 
pinter saja yang tidak membuat susah majikan. 
Pinter... ter...ter...!" 
Cieeet...!
Secara mendadak kuda itu berhenti saat 
Pendekar Blo'on menyebut kata pintar. Suro me-
longo, kini ia baru mengerti kuda itu rupanya 
punya panggilan yang konyol. Kalau dibilang gob-
lok ia marah dan langsung berlari sekencang-
kencangnya. Sedangkan kalau dikata pintar lang-
sung berhenti.
"Ah siapa sebenarnya majikanmu. Tuanmu 
pastilah orang konyol dunia akherat. Sekarang le-
bih baik kita berbalik. Aku perlu mencari sebuah 
penginapan untuk melewatkan malam ini."
Tklak-tkluk tklik tklok!
Demikianlah dengan malasnya kuda itu 
mengikuti perintah si Bocah Ajaib Suro Blondo. 
Setelah mencari-cari sampailah pemuda baju biru 
ini di depan sebuah tempat yang sangat mewah 
mirip dengan penginapan. Banyak laki-laki keluar 
- masuk dalam bangunan itu. 
Seorang laki-laki tukang urus kuda meng-
hampiri Pendekar Blo'on. Kuda langsung dibawa 
oleh laki-laki itu untuk ditambatkan di tempat 
yang telah tersedia.
"Hei... mau dibawa kemana kuda kurus 
itu?" tanya Suro Blondo.
"Ditambatkan, tuan!" 
"Oh...!" Suro manggut-manggut. Si Bocah 
Ajaib segera bergegas memasuki pintu depan.

Sampai di dalam bangunan itu ia melongo seperti 
orang bego. Banyak perempuan cantik di situ. 
Mereka masih muda-muda, para laki-laki hidung 
belang pun tidak kalah banyaknya. Diantara me-
reka ada yang sedang berpelukan atau bercumbu 
tanpa rasa malu dan tak jarang pula yang sedang 
berbincang-bincang sambil minum arak.
"Tempat macam apa ini? Apa mereka sua-
mi istri?" Suro garuk-garuk kepala. "Kurasa inilah 
yang namanya sorga dunia neraka akherat. Oh... 
kalau begitu aku salah alamat. Lebih baik aku ke-
luar saja!" pikir si pemuda.
Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya 
dan hendak berlalu dari situ. Namun terlambat, 
dua orang gadis cantik berkulit putih dan mema-
kai pakaian merangsang telah menggandeng tan-
gannya kiri kanan.
"Aih tuan yang gagah. Mengapa buru-buru 
pergi? Kau adalah orang yang paling gagah dari 
sekian laki-laki hidung belang disini. Marilah iku-
ti kami!" kata salah seorang diantara mereka 
sambil tersenyum genit. Lalu temannya menimpa-
li. "Kami tidak akan mengecewakan mu!"
"Hei, apa-apaan ini. Aku cari penginapan. 
Bukan mencari perempuan!" kilah Suro bingung.
"Hi hi hi...! Menginap disini dapat tidur 
dengan nyenyak dan kepuasan sekaligus!"
"Jangan....! Aku tidak punya uang...!" kata 
si konyol.
Kedua gadis jalang itu saling berpandan-
gan. "Bagaimana Melur?" tanya yang disamping

kiri Si Bocah Ajaib.
"Tidak apa-apa. Untuk pemuda setampan. 
dia aku bersedia menyerahkan diriku sepenuhnya 
tanpa dipungut bayaran sedikit pun." sahut Me-
lur.
"Aku pun setuju!" sahut gadis yang ber-
badan jangkung.
Takut menarik perhatian orang-orang yang 
berada di dalam ruangan itu. Akhirnya Pendekar 
Blo'on hanya menurut saja. Kedua gadis cantik 
tersebut membawa pendekar Blo'on memasuki 
sebuah ruangan. Sebuah kamar mewah dengan 
tempat tidur berwarna merah jingga.
"Duduklah kekasih kami!"
Suro Blondo menurut. Namun tiba-tiba ia 
terperangah kaget ketika kedua gadis itu mele-
paskan seluruh pakaian yang melekat di tubuh 
mereka. Dalam keadaan polos begitu salah seo-
rang diantaranya langsung berdiri di depan Suro.
"Hutan rimbanya begitu lebat, bukitnya 
menjulang ke langit!" pikir si pemuda seperti 
orang yang sedang menyanyi.
"Marilah kekasih. Malam ini kita habiskan 
untuk menikmati sorga dunia!" tantang salah seo-
rang dari gadis itu. Sebelum dada yang menonjol 
itu menghimpit wajah si pemuda. Suro tiba-tiba 
saja melompat.
"Jangan kalian dekati aku!" dengus Pende-
kar Blo'on. Walau pun ia bersikap serius, namun 
tetap saja mimiknya terkesan konyol.
"Hei... ada apa? Kami mau memberi ke

nikmatan padamu mengapa sekarang menolak?!" 
tanya Melur.
"Kalian bertingkah seperti hewan saja. Dan 
jelek-jelek gini aku masih manusia!" tegas si pe-
muda.
"Kau... mengapa kau malah menolak? Ma-
lam ini kami menyerahkan tubuh kami dengan 
suka hati untuk seorang pemuda segagah eng-
kau. Kalau kau mengecewakan kami, maka akan 
kami panggil tukang pukul!" ancam gadis jang-
kung.
Tanpa di duga-duga Si Anak Ajaib melom-
pat lagi ke pintu. Karena pintu dalam keadaan 
terkunci maka ia terpaksa mendobraknya. Daun 
pintu hancur berkeping-keping. Kedua gadis itu 
berteriak keras.
"Tangkap orang itu. Ia tidak membayar...!"
"Bayar apa? Lha wong aku tidak berbuat 
apa-apa kok!" dengus Pendekar Blo'on. Percuma 
saja ia membela diri karena laki-laki di ruangan 
itu telah mengepungnya. Dua algojo berbadan te-
gap kumis melintang maju serentak.
"Jangan berani kurang ajar kau bocah. 
Siapa pun yang sudah bersenang-senang dengan 
gadis disini harus bayar!" teriak salah seorang al-
gojo itu marah.
"Manusia congekan. Sudah kubilang aku 
tidak berbuat apa-apa. Gadis-gadis itu hanya 
memfitnah...!" Suro Blondo membela diri.
Percuma saja ia berteriak. Dua orang algojo 
menghantamkan tinjunya ke wajah Suro.

"Tampangmu yang tolol biar kami bikin ko-
nyol sekalian!" dengus salah seorang algojo den-
gan beringasnya.
Suro melompat ke samping, lalu menangkis 
dengan sikunya. Gerakannya cepat dan sangat 
kacau sekali. Tiba-tiba saja....
Duuk! 
"Hek...!"
Algojo berbadan gemuk pendek menjerit 
tertahan. Kawannya yang berbadan gemuk tinggi 
jadi marah. Ia menendang pendekar Blo'on tepat 
pada bagian buah jambunya. Buah jambu dilin-
dungi pemiliknya dengan mempergunakan sebe-
lah tangan. Suro melompat di atas meja sambil 
berjingkrakan seperti seekor monyet. Dari bibir-
nya terdengar suara ngak-ngik nguk seperti suara 
monyet. Lalu.... 
Jtak!
Tangan si pemuda menghantam jidad la-
wan. Kening algojo itu benjol sebesar telur angsa.
"Kunyuk keparat!" maki algojo pendek.
Tangannya mencengkeram rambut si pe-
muda. Suro menarik wajahnya ke belakang. Lalu 
ia melompat-lompat, mengelak kian kemari den-
gan gerakan gesit seperti seekor kera. Inilah jurus 
‘Kera Putih Memilah Kutu’. Salah satu jurus yang 
dimiliki oleh si pemuda.
Set!
Serangan si pendek lolos menghantam an-
gin. Algojo jangkung semakin tidak sabar. Mereka 
mengepung Suro dari dua arah, lalu menerjang kedepan dalam waktu bersamaan. Rupanya Si Anak 
Ajaib meloloskan diri dari bawah. Tanpa dapat di 
tahan-tahan lagi mereka pun saling bertabrakan.
Bletak!
"Wadaww...!"
"Goblok mengapa kau malah menabrakku!" 
maki algojo pendek.
"Sial! Dia nyeplos dari bawah bego!" bantah 
sijangkung.
Saat mereka sedang saling berbantahan 
itulah Pendekar Blo'on melompat ke udara. Lalu 
tangannya kanan kiri menyambar ke bagian teng-
kuk kedua lawannya.
Tuuk! Tuuk!
"Hekh...!"
Kedua laki-laki tukang pukul itu merasa 
sekujur tubuhnya menjadi kaku. Suro tertawa 
sambil mengekeh.
"Kalian benar-benar telah menjadi patung 
sementara yang tidak lucu. Eeh... ada lagi ru-
panya. Perempuan macam gentong ini apakah tu-
kang pukul juga?" batin Suro Blondo.
Ternyata perempuan gembrot itu meng-
hampiri Pendekar Blo'on. Suro menunggu dengan 
perasaan was-was.
***

TIGA

"Hhm, siapakah kau ini, pemuda tampan 
bertampang tolol? Kau datang membuat kegadu-
han disini. Jelaskan tujuanmu jika tidak ingin 
mencari susah!" bentak si gembrot yang tidak lain 
adalah pengurus rumah pelacuran itu sekaligus 
orang kepercayaan hartawan Abdi Banda.
Pendekar Blo'on seka keningnya yang ber-
keringat. "Aku.... Suro Blondo. Aku kemalaman di 
sini dan cari penginapan. Ternyata aku salah ma-
suk. Jadi aku terpaksa keluar, tapi kedua gadis 
itu telanjang lalu mengajakku ini dan itu. Aku ti-
dak mau, eeh... mereka malah menuduhku yang 
tidak-tidak!"
"Benar begitu, Melur?" tanya Suntarini di-
tujukan pada kedua gadis yang sekarang telah 
berdiri di ambang pintu. Ternyata kedua gadis itu 
sangat patuh pada majikannya.
"Benar, bu!" jawab salah seorang dianta-
ranya dengan ketakutan.
Jadi kalian berbohong?" dengus Suntarini 
berang.
"Maafkan kami. Terus-terang kami merasa 
tertarik pada pemuda itu. Tapi ternyata dia 
menghina dengan menolak ajakan kami!"
"Kenapa kau menolaknya, anak muda?"
"Karena aku hanya ingin tidur saja. Sudah-
lah, aku tidak mau berdebat. Sekarang mau pergi, 
dan jangan coba-coba halangi aku jika tidak ingin

kugebuk!" tegas Pendekar Blo'on.
"Silakan kalau mau pergi!" kata Suntarini.
Pendekar Blo'on pun akhirnya berlalu me-
ninggalkan tempat maksiat itu. Sementara itu 
Suntarini diam-diam segera mengirimkan utusan 
untuk menghubungi kaki tangan hartawan Abdi 
Banda tentang kemunculan pemuda baju biru 
tersebut.
Setelah keluar dari rumah mewah itu Pen-
dekar Blo'on terus menuju ke pinggiran kota. 
Namun di sudut kota langkahnya terhenti setelah 
melihat sebuah bangunan lain berwarna merah. 
Yang membuat Suro terheran-heran karena di ba-
gian depan bangunan tersebut terdapat gambar-
gambar manusia dalam berbagai bentuk.
"Gambar itu seperti orang main topeng-
topengan kelihatannya kayak orang mabuk. Lalu 
ada gambar bidadari cantik hampir telanjang. 
Aku heran sekarang ini berada dimana, ya...?" pi-
kir si pemuda, lalu menggaruk kepalanya seperti 
orang linglung.
Karena merasa penasaran. Maka akhirnya 
pemuda itu melangkahkan kakinya memasuki 
bangunan tersebut. Sampai di dalam ia kaget ju-
ga. Dalam bangunan itu ternyata terdapat laki-
laki yang sedang menghisap sesuatu dari pipa. 
Tercium bau khas yang selama ini belum pernah 
dirasakan oleh Suro Blondo.
Para laki-laki itu seperti orang yang sedang 
mabuk. Diantara mereka ada yang tertawa-tawa, 
ada pula yang tersenyum-senyum tanpa mele

paskan pipa panjangnya namun ada pula yang 
menangis.
"Bapak, mengapa bapak tertawa seperti 
orang gila? Yang bapak isap ini rokok apa racun?" 
tanya si Anak Ajaib. Ia mengendus-endus. Cuping 
hidungnya kembang kempis. Namun tiba-tiba sa-
ja sebuah tangan yang kokoh telah menariknya ke 
belakang hingga membuat kakinya tergantung se-
tengah jengkal dari lantai yang terbuat dari batu 
marmar itu.
"Bicara dengan orang yang sedang menik-
mati sorga adalah sebuah pantangan disini!" den-
gus orang berpakaian hitam memakai penutup 
kepala warna hitam pula. Seluruh tubuh orang ini 
terbungkus pakaian hitam ringkas. Hanya sepa-
sang matanya saja yang tidak tertutup. Suro yang 
memang belum pernah bertemu dengan orang se-
perti ini jadi kaget.
"Hei... lepaskan! Kau hantu, setan atau 
manusia?" tanya si pemuda.
"Aku Ninja Sakura. Ninjatsu yang membu-
nuh dengan seribu akal seribu cara!" sahut orang 
ini.
Lalu tanpa bicara apa-apa lagi ia menyeret 
Si Anak Ajaib menuju ke sebuah ruangan lain. Di 
dalam ruangan itu tubuh si pemuda berambut 
kemerah-merahan itu dilemparkan begitu saja. 
Untung dirinya tidak dalam keadaan tertotok. Se-
hingga ia masih dapat berguling-gulingan dengan 
baik.
Dengan cepat Suro Blondo berdiri. Ternya

ta lima orang laki-laki lainnya telah mengurung-
nya dengan ketat. Ninja yang menyeretnya tadi 
memberi aba-aba membunuh pada kawan-
kawannya dengan bahasa yang tidak dimengerti 
oleh Pendekar Blo'on.
"Haiik...!"
Serentak kelima ninja hitam tadi maju ke 
depan. Mereka menyerang dengan memperguna-
kan pedang kecil dan pendek yang biasa di per-
gunakan untuk Harakiri (Bunuh diri).
Bukan main cepatnya serangan itu. Se-
hingga hanya dalam waktu sekejab lima buah 
ujung senjata telah siap merencah tubuh si pe-
muda.
Pendekar Blo'on leletkan lidah. Tiba-tiba ia 
melompat ke udara. Namun begitu serangan lu-
put, lima buah piauw meluncur deras ke arahnya.
Siing!
Suro cepat pukulkan tangannya ke lima 
arah, senjata rahasia tersebut rontok menimbul-
kan suara berdenting. Lalu terlihat pula lima 
buah senjata berbentuk bintang empat persegi 
meluncur deras ke arahnya.
"Haiiit...!"
Zab! Zab! Zab!
Suro melompat ke samping kiri, atau ter-
kadang melompat sambil berjongkok. Tangannya 
menggaruk ke bagian tubuhnya. Sedangkan dari 
mulutnya terdengar suara lolongan panjang se-
perti suara lolongan serigala. Inilah sebuah jurus 
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Set! Set!
Lima buah senjata kembali meluncur 
membacok kepala, menusuk leher, menghantam 
perut dan menyabet punggungnya. Serangan ke-
lima Ninja itu jelas sangat berbahaya.
Dengan cepat pemuda itu berguling-guling 
membebaskan diri dari kepungan senjata. Seo-
rang lawan yang berada di sisi kirinya dihantam 
dengan telapak kaki.
Duuk!
Kraak!
Lawan menjerit keras. Suro bangkit berdiri, 
kemudian merebut senjata lawannya. Belum 
sempat ia mempergunakan senjata yang dirasa-
kan sangat aneh itu. Empat serangan lain telah 
mengejarnya. Suro tidak punya waktu. Ia angsur-
kan tubuh lawan dan segera menjadikannya ta-
meng.
Cres! Cres!
Tidak ayal lagi tubuh Ninja malang itu 
menjadi sasaran bacokan senjata kawannya sen-
diri. 
Empat Ninja hitam lainnya menggeram. 
Yang jadi pimpinan memberi isyarat dengan gera-
kan tangan. Tiba-tiba saja mereka mencabut pe-
dang panjang di punggungnya. Senjata itu diputar 
dengan mempergunakan kedua tangan. Lalu se-
rangan datang bertubi-tubi. Pendekar Blo'on jadi 
kalang kabut. Sambil melolong, menjerit atau 
menangis ia terus menghindari serangan Ninja 
itu. Walau pun gerakannya kacau, namun tidak

satu pun mata pedang mengenai sasaran.
Serentak Ninja-Ninja ini melompat mun-
dur. Yang jadi pimpinan maju ke depan, lalu men-
jura hormat. Ke empat Ninja menghilang. Yang 
jadi pimpinan buka bicara.
"Siapa anda?"
Suro garuk-garuk kepala. Bibirnya me-
nyunggingkan senyum. "Aku tentu saja bukan se-
tan hitam berkedok seperti kalian. Namaku Suro 
Blondo!" 
"Suro San!"
"Suro Blondo saja tidak memakai San...!"
"San sama artinya tuan. Tuan Suro, kuli-
hat anda punya kepandaian hebat. Jika sudi ber-
gabung, tentu kita dapat bersama-sama menjaga 
rumah madat ini. Hartawan Abdi Banda pasti 
berkenan menerima anda sebagai pasukan kea-
manannya. Dan soal upah tidak usah khawatir!"
"Kau sendiri yang memakai kedok ini sia-
pa?" 
"Aku dari Sakura, negeri jauh di seberang 
laut. Aku Ninja Sakura!" 
"Dimana itu Sakura?" 
"Jauh dari sini."
"Apa disana sudah tidak ada pekerjaan un-
tuk orang seperti kalian?" tanya si Bocah Ajaib.
"Banyak. Tapi untuk yang berani mem-
bayar tertinggi, itulah tujuan kami„.!" 
"Namamu?" 
"Kenziro Nakasone."
"Wah namamu aneh amat. Berarti kau

orang asing! Aku tidak tertarik tawaranmu! Pu-
lang ke negerimu atau aku akan memotong li-
dahmu!" tegas Suro Blondo dengan sikap serius, 
namun mimiknya tetap konyol.
"Di kasih tawaran baik untuk hidup enak 
tidak mau!" dengus Kenziro Nakasone.
Di luar dugaan tiba-tiba saja ia membung-
kukkan tubuhnya dalam-dalam layaknya seperti 
orang yang menghormat pada tamunya. Namun 
begitu Suro Blondo lengah. Maka dari balik pa-
kaian hitam Kenziro melesat dua buah kaitan 
yang sangat tajam.
Seet!
"Wah kurang ajar. Manusia kapiran! Baru 
bisa menghormat saja sudah mau minta nyawa-
ku! Heaaa...!" teriak Si Anak Ajaib.
Ia bersalto ke udara, sehingga senjata gai-
tan bertali ini lewat di bawah kakinya. Tiada dis-
angka-sangka dari bagian langit-langit ruangan 
melesat sosok hitam lainnya. Sambil melayang di 
udara ia membabatkan pedang di tangan. Walau 
pun dalam keadaan kepepet, namun Suro masih 
mampu mengibaskan pedang pendek rampasan.
Trang!
Benturan pertama membuat Suro kehilan-
gan keseimbangan. Namun pada kesempatan itu 
arah senjatanya yang sempat menyimpang di-
kembalikan ke arah semula.
Jhess!
Bruuk
Pedang pendek menembus perut sang Nin

ja. Suro Blondo terduduk namun segera bangkit 
lagi. Ketika ia menoleh maka kepala Ninja-Ninja 
itu telah menghilang dari pandangan mata.
"Gila! Ninja itu kabur sebelum kalah dan 
tanpa sebab." pikir Pendekar Blo'on terheran-
heran.
Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba lan-
tai ruangan yang dipijaknya seperti amblas ke 
bawah. Karena ruangan itu cukup luas, maka 
sungguh sulit bagi si pemuda untuk mencari se-
lamat. Tubuhnya dengan cepat meluncur ke ba-
wah.
Beruntung pada waktu itu tampak sosok 
bayangan lain berkelebat menyambarnya. Suro 
merasa tubuhnya melayang laksana terbang. 
Bayangan hitam tadi terus menerobos langit-
langit ruangan. Tembus ke genteng, namun sete-
lah mereka berada di atas genteng beberapa orang 
Ninja telah mengepung mereka.
Orang yang telah menyelamatkan Suro 
Blondo melemparkan sesuatu ke arah ketiga Nin-
ja tadi.
Dar! Dar! Dar!
Ketiga benda bulat berwarna hitam lang-
sung meledak ketika di tangkis oleh para Ninja 
itu. Begitu asap menebar, maka para penyerang 
bergelimpangan roboh dengan mata melotot dan 
jiwa melayang. Beberapa orang Ninja yang mun-
cul kemudian langsung melakukan pengejaran.
Namun gerakan dan ilmu lari mereka kalah cepat 
dibandingkan dengan sosok hitam yang memang

gul Suro Blondo.
"Orang ini berlari secepat angin, bergerak 
seperti Malaikat. Tapi mengapa dia terus berlari. 
Padahal mereka tidak mungkin dapat menyusul." 
Karena posisinya sejajar dengan bahu sang peno-
long. Maka si konyol ingin memastikan yang me-
nolongnya laki-laki atau perempuan. Tangan ki-
rinya pun pura-pura menyampir di bagian dada. 
Belum lagi niat itu terlaksana, tangan penolong-
nya telah bergerak sepuluh kali lebih cepat.
Tuuk!
Dan tangan si pemuda pun berubah kaku 
karena tertotok. Terdengar suara dengus sosok 
hitam tersebut. Sementara ia tidak mengurangi 
kecepatan larinya.
Hingga pada akhirnya mereka sampai di 
sebuah tebing yang sangat curam. Tubuh Si Bo-
cah Ajaib dilemparkan begitu saja.
Bruk!
"Wadoui... kira-kira. Tanganku yang sebe-
lah tertotok. Main lempar seenaknya apa kau kira 
aku babi hutan?" protes Pendekar Blo'on bersun-
gut-sungut.
Sosok berpakaian serba hitam yang ternya-
ta juga memakai pakaian seperti ninja hanya 
mendengus. Malah ia menotok bagian tubuh lain-
nya disaat pemuda berambut hitam kemerah-
merahan itu lengah.
***

EMPAT


"Ahk... kurang ajar sekali." Maki Si Anak 
Ajaib dalam hati. Inilah salah satu sikapnya yang 
paling tidak ia sukai. Ia selalu lengah dan jarang 
memikirkan keselamatan diri sendiri.
Jika sekarang dirinya sudah dalam kea-
daan tertotok tersebut, bukan mustahil orang 
yang telah melarikannya dari rumah madat itu 
punya maksud ingin membunuhnya
Dalam keadaan terlentang itu ia segera me-
lihat orang yang telah menotoknya. Ternyata 
orang ini malah duduk di bawah sebatang pohon.
"Kau diam disitu dan jangan lihat-lihat 
kemari! Aku bisa membunuhmu kapan pun aku 
mau!" tegas orang itu.
"Heh... suaramu kecil seperti perempuan. 
Apakah anda seorang gadis yang sedang menya-
mar?" tanya Suro sambil menggelengkan kepa-
lanya.
"Jangan bicara jika tidak kutanya!" dengus 
orang berpakaian seperti Ninja sengit.
"Wah suaramu ketus, pasti kau seorang 
perempuan!" tebak si usil tanpa menghiraukan 
ucapan si gadis.
"Diam...! apakah kau ingin cepat mati di-
tanganku?"
Jika saja tangannya tidak tertotok, mung-
kin pemuda ini sudah garuk-garuk kepalanya.
"Mati dengan cara bagaimana pun aku

mau, yang penting atas kehendak Tuhan. Tapi ji-
ka harus mati ditangan orang misterius seperti-
mu, tentu aku jadi penasaran. Aku belum melihat 
wajahmu, rupamu, bibirmu mungkin jika kau 
punya bibir...!" 
Plak!
Belum sempat pemuda itu melanjutkan ka-
ta-katanya sebuah tamparan yang cukup keras 
mendarat di pipinya.
"Aku tidak punya silang sengketa dengan-
mu, mengapa kau menamparku?" protes Pende-
kar Blo'on. Dalam otaknya yang cerdik ia segera 
mendapatkan akal untuk membebaskan diri dari 
pengaruh totokan tersebut.
Diam-diam ia pun mengerahkan tenaga da-
lamnya. Namun pemuda itu terkejut. Karena to-
tokan di tubuhnya bukan main hebatnya. Suro 
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimili-
kinya. Kali ini usahanya itu mendatangkan hasil.
Maka terbebaslah dia dari pengaruh toto-
kan. Namun ia tetap berpura-pura, menunggu 
perkembangan berikutnya. Ternyata orang itu 
menghampirinya. Setelah sampai di depan Pende-
kar Blo'on ia berjongkok.
"Kuperingatkan padamu jangan coba-coba 
mencampuri urusan hartawan Abdi Banda. Dia 
bisa membuat hidupmu tersiksa atau mati per-
cuma karena ketololanmu!" tegas orang ini.
"Ehh... kau ini siapa? Apakah juga begun-
dalnya hartawan yang memperdagangkan barang-
barang haram itu?" pancing si Bocah Ajaib.

"Jangan sembarangan kau bicara. Aku 
adalah orang yang tidak menyukai hartawan itu 
memperdagangkan wanita, judi dan madat. Cuma 
hartawan keparat itu terlalu tangguh karena se-
demikian banyak pengawal berkepandaian tinggi 
yang menjaganya. Jangankan manusia, seekor 
semut pun tidak bisa menyusup ke sana, apalagi 
kau manusia lemah, tolol lagi!"
Suro Blondo tersenyum. Orang yang belum 
jelas identitasnya ini dan bersuara seperti wanita 
terlalu angkuh.
"Jadi itu alasanmu, sehingga engkau me-
musuhinya?"
"Bukan hanya itu saja. Hartawan Abdi 
Banda selain kikir, pelit juga sewenang-wenang 
terhadap rakyat miskin. Tidak sedikit orang yang 
mati percuma karena terlambat mengembalikan 
hutang. Ia juga manusia yang paling rakus den-
gan kemewahan dunia."
"Kalau begitu, kau pasti seorang gadis yang 
sedang menyamar!" tebak Pendekar Blo'on.
"Mau laki-laki, bencong atau wanita bukan 
urusanmu. Kau tidak layak mengetahui siapa 
aku. Yang jelas aku seorang laki-laki...!"
"Heh...!" Suro terlonjak kaget. Ia sama se-
kali tidak menyangka bahwa orang yang telah me-
larikannya seorang laki-laki. "Lalu mengapa kau 
menotokku?"
"Untuk memastikan agar kau jangan pergi 
diluar sepengetahuanku! Tidak kusangka ternyata 
kau hanya pemuda lemah yang cuma bisa melon

cat-loncat seperti monyet!"
"Kalau hanya cuma itu, sebaiknya aku per-
gi saja." kata Si Bocah Ajaib.
"Hi hi hi...! Bagaimana kau bisa lari dariku, 
jika tubuhmu dalam keadaan tertotok? Aku Rana 
Unggul tidak dapat kau tipu!"
"Begitukah Rana Unggul? Lihatlah aku se-
karang sudah dapat berdiri." kata si pemuda. 
Pendekar Blo'on tiba-tiba berdiri.
Kenyataan ini membuat Rana Unggul ter-
kesima. Bagaimana pemuda ini bisa melakukan-
nya? Pertanyaan itulah yang mula-mula muncul 
dibenaknya.
"Kau.,. manusia tolol sepertimu bagaimana 
bisa membebaskan totokan?" tanya Rana Unggul.
"Ha ha ha...! Tentu saja kulakukan dengan 
ketololanku!" sahut si pemuda. Tanpa menunggu 
lebih lama lagi pemuda itu melarikan diri. 
"Hei... tunggu...!" cegah Rana Unggul.
Percuma saja ia berteriak memanggil, ka-
rena Suro Blondo telah menghilang dalam kegela-
pan malam.
Pendekar Blo'on terus berlari, hingga hari 
menjelang pagi sampailah ia di sebuah tempat 
yang sangat luas tanpa pepohonan.
"Daerah apa ini namanya?" pikir Suro. Se-
luas-luasnya mata memandang hanya hamparan 
batu kapur dan bukit gersang.
Dengan perasaan letih yang teramat san-
gat, pemuda ini melangkahkan kakinya menelu-
suri daerah tidak bertuan itu. Setelah seratus

tombak, langkahnya terhenti kembali.
Entah dari mana datangnya tahu-tahu di 
depan pemuda itu telah berdiri seorang laki-laki 
memakai pakaian rapi berwarna putih. Laki-laki 
ini masih sangat muda, mungkin umurnya baru 
sekitar dua puluh lima tahun. Tampangnya lugu, 
tarikan pada bibirnya cukup keras agaknya ia 
seorang anak manusia yang sibuk dengan piki-
rannya.
"Salam sejahtera saudaraku! Tidak ku-
sangka akhirnya Tuhan mempertemukan aku dan 
engkau juga!"
"Saudara, eh... aku merasa tidak punya 
saudara." kata si pemuda sambil menyeka ke-
ningnya. 
"Setiap manusia adalah bersaudara satu 
dengan yang lainnya." Jelas pemuda yang peliha-
ra jenggotnya itu.
"Oh begitu ya? Aku tidak tahu, selama ini 
aku beranggapan orang satu puser baru saudara. 
Ah, bicaramu enak sekali didengar aku jadi men-
gantuk...!"
"Jangan tidur dulu. Banyak hal yang ingin 
aku bicarakan dengan engkau wahai saudaraku!" 
cegah pemuda itu yang tiada lain adalah Pende-
kar Lugu.
"Aku mengantuk sekali. Sudah satu mala-
man aku tidak tidur, cari penginapan ternyata 
rumah pelacuran, mencari lagi ketemu rumah 
pemadatan. Lalu aku dikroyok Ninja, dibawa ka-
bur oleh Rana Unggul, laki-laki yang suaranya

seperti perempuan. Isi dunia ini neko-neko (ber-
macam-macam). Perempuan dikaruniai wajah 
cantik, dada cantik, pinggul cantik malah menjual 
mulutnya yang dibawah puser. Lalu laki-laki suka 
lupa diri karena madat, arak. Mereka lalu ma-
buk... mabuk lagi... kemudian mabuk lagi! Aku 
jadi pusing...!" keluh si pemuda, sikapnya serius, 
namun tampang konyolnya tidak menunjukkan 
keseriusan.
"Apa yang kau lihat belum seberapa sauda-
raku. Di akhir jaman ini, ada bapak kandung 
berbuat seperti binatang hina dengan menyetu-
buhi anak perempuannya sendiri. Selama berta-
hun-tahun malah. Belum lagi seorang paman 
dengan keponakannya, seorang kakek dengan cu-
cunya. Belum ditambah laki-laki serong, isteri se-
rong."
"Itu pertanda apa, sobat. Apakah ini lam-
bang kemajuan manusia?" tanya Suro.
"Bukan kemajuan, tapi kebobrokan moral. 
Tipis Iman, ini suatu pertanda tidak lama lagi du-
nia ini akan jadi porak poranda."
"Aha... bicaramu seperti seorang pandai 
agama. Siapakah engkau ini?" tanya si pemuda
baju biru sambil golang-golengkan kepala.
"Aku anak manusia ciptaan Tuhan juga. 
Sama seperti dirimu dan manusia-manusia lain. 
Aku bukan ahli apa-apa. Hanya sekedar penyam-
bung lidah dan mengemban suatu tugas yang cu-
kup berat...!"
Untuk pertama kalinya Si Bocah Ajaib

pandang wajah pemuda di depannya. Lagi-lagi 
Suro tercekat, betapa sejuk tatapan mata pemuda 
itu. Seakan tersimpan seribu satu kedamaian dis-
ana.
"Apakah engkau punya nama, sobat?"
"Namaku Wahyu Sakaning Gusti." jawab 
pemuda baju putih kalem.
"Heh, sebuah nama yang sangat agung." 
desis Suro tercekat. "Kau pasti bukan manusia 
seperti aku,"
Pendekar Lugu tersenyum. "Aku tetap ma-
nusia sepertimu. Tidak ada kelebihan pada diri-
ku. Aku hanya sekedar penyampai. Bagaimana 
pun aku memerlukan bantuanmu!" kata Wahyu 
Sakaning Gusti.
"Bantuan apa, aku tidak bisa apa-apa?" 
sergah Suro.
"Tidak seorang pun yang tahu seberapa da-
lamnya sebuah telaga yang tenang. Bukankah 
kau Pendekar Blo'on?"
"Aku Suro Blondo. Bagaimana kau bisa ta-
hu?"
"Anak Langit telah mengatakan padaku!" 
sahut Pendekar Lugu. 
Pendekar Blo'on menggelengkan kepala 
sambil garuk-garuk rambutnya.
"Apa yang dapat kubantu?"
"Banyak sekali. Pertama adalah memberi 
peringatan pada hartawan Abdi Banda. Setelah 
itu memberi kesadaran pada raja Lalim Durjana!" 
tegas Pendekar Lugu.
"Weleh-weleh. Apa yang baru kau ucapkan 
barusan adalah menyangkut persoalan sangat be-
sar dan urusan yang besar pula. Aku tahu harta-
wan Abdi Banda adalah orang yang telah mengi-
kuti jalan setan, langkah setan dan serba setan. 
Rumah pelacuran, perjudian, pemadatan dan ma-
sih banyak lagi yang membuat aku bingung. Me-
reka terlalu kuat, mustahil kita dapat mengemba-
likan mereka ke jalan yang betul."
"Jika Tuhan menghendaki, hal semacam
itu tidak perlu dirisaukan." tegas Pendekar Lugu 
penuh keyakinan.
"Heh, jangan dipandang enteng. Hartawan 
Abdi Banda punya sepasukan Ninja Sakura. Tan-
gan kanannya lima jagoan mata picak. Tidak ter-
hitung tokoh-tokoh bayaran yang tentu saja me-
miliki kepandaian tinggi!" kata si pemuda was-
was.
"Aku hanya penyambung lidah, tiga kali 
peringatan telah cukup. Sedangkan kau adalah 
pendampingku."
"Jika demikian, kita perlu bertemu dengan 
hartawan itu?" ujar Pendekar Blo'on.
"Aku telah datang dua kali dalam mim-
pinya. Sekali lagi aku datang kepadanya. Jika ia 
tidak mau kembali ke jalan yang benar. Maka ke-
lak hartawan Abdi Banda akan binasa tertimbun 
harta dan kesenangan dunia lainnya!"
"Aku kurang mengerti dengan ucapanmu!" 
sergah Suro sambil usap-usap keningnya. Saat
itu matahari sudah mulai meninggi. Angkasa tiba

tiba seperti terbelah dengan terdengarnya suara 
bergemuruh dahsyat.
"Dia datang lagi!" kata Pendekar Lugu 
sambil memandang ke langit.
"Siapa?"
"Anak Langit." sahut si pemuda.
"Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Ujudnya tidak pernah kelihatan, ia dalam 
bentuk cahaya. Seperti matahari itu, tapi lebih te-
rang dari matahari!" jelas Pendekar Lugu. Ternya-
ta memang benar adanya, begitu Suro mencoba 
memandang ke langit matanya menjadi silau. Ca-
haya itu tepat berada di atas kepala mereka.
"Kalian sudah saling bertemu. Maka sepa-
kat sudah sama kalian dapatkan. Sesungguhnya, 
orang-orang sesat itu kalian beri peringatan atau 
tidak tetap sama tidak ada gunanya. Aku melihat 
Abdi Banda mengerahkan sebagian besar kekua-
tannya. Aku melihat tukang sihir telah menafsir-
kan arti mimpi perjumpaannya denganmu, Pen-
dekar Lugu. Kebenaran yang kau sampaikan ma-
lah membuatnya murka. Satu kali peringatan lagi 
sudah cukup bagimu, Wahyu Sakaning Gusti. 
Tindakan selanjutnya tegakkanlah kebenaran. 
Hanya itu saja yang perlu kusampaikan saat ini, 
selamat tinggal...!" kata Anak Langit. 
Cahaya aneh itu kembali melesat menem-
bus langit. Suro termangu, heran sekaligus merasa takjub.

LIMA

Empat orang penunggang kuda berbulu 
putih itu terdiri dari empat orang gadis berpa-
kaian tipis memakai cadar. Tubuh mereka mene-
barkan bahu harum. Saat Pendekar Blo'on dan 
Pendekar Lugu hendak meninggalkan padang 
tandus tersebut. Maka diwaktu itu mereka mun-
cul.
"Bagaimana perempuan-perempuan itu bi-
sa menunggang kuda, saudaraku?" tanya Pende-
kar Lugu. Ia sendiri tidak berani memandang ke 
arah mereka. Karena pakaian gadis-gadis itu yang 
tipis memperlihatkan bentuk tubuhnya dipenuhi 
dengan tonjolan-tonjolan.
"Hei, mengapa harus menunduk? Peman-
dangan di depan kita indah sekali. Kurasa Harta-
wan itu mengirimkan gadis-gadis ini untuk kita, 
Pendekar Lugu...!" celetuk Suro Blondo sambil 
cengar-cengir.
"Jagalah bicaramu, karena rusak bicara-
mu, maka ikut rusak pula anggota tubuhmu yang 
lain!!" tegas Pendekar Lugu tetap menundukkan 
kepala.
"Jadi aku harus bicara apa?" Suro garuk-
garuk kepala. "Orang-orang ini jelas utusan har-
tawan itu."
Belum sempat Pendekar Lugu menyahuti 
ucapan Pendekar Blo'on, keempat gadis penung-
gang kuda itu telah berhenti di depan mereka. Salah seorang diantaranya langsung bertanya.
"Yang mana diantara kalian bernama 
Wahyu Sakaning Gusti?" tanya gadis yang paling 
cantik.
"Aku...!"
"Yang bernama Suro Blondo?"
Pendekar Blo'on nyengir. "He he he...! 
Aku..,!" sahut si konyol.
"Menurut ahli sihir hartawan Abdi Banda, 
kalianlah orang yang bakal menyusahkan maji-
kan kami. Sekarang kami mengemban tugas un-
tuk menangkap kalian!"
"Ha ha ha...! Sobatku, mereka mau me-
nangkap kita. Apakah kau mau?"
"Suro Blondo. Tidak ada yang punya kuasa 
atas jiwa kita terkecuali Tuhan!" sahut Pendekar 
Lugu. Sekejab pemuda ini menoleh pada gadis-
gadis berpakaian tipis itu. "Lebih baik kalian 
kembali dan beritakan pada hartawan kikir itu 
agar kembali ke jalan yang benar." tegas Pendekar 
Lugu.
"Jangan berkotbah di depan kami. Kami 
bekerja sesuai dengan perintah!" dengus keempat 
gadis berpakaian tipis kembang-kembang ini. Se-
rentak mereka melompat dari punggung kudanya 
masing-masing.
Dua orang berusaha menotok Wahyu Sa-
kaning Gusti sedangkan yang dua lagi berusaha 
meringkus Pendekar Blo'on. Ternyata Pendekar 
Lugu ini dengan cepat mengelak. Lalu melompat 
di atas cabang pohon.
"Saudara Suro. Aku tidak berkenan berha-
dapan dengan perempuan. Lebih baik kau urus 
mereka!" kata pemuda itu.
"Wah itu tidak adil namanya. Masa' engkau 
yang memberi peringatan aku yang harus meng-
hadapi bahaya!" dengus Pendekar Blo'on sambil 
menghindari serangan yang dilakukan oleh la-
wannya.
"Jangan biarkan mereka meloloskan diri!" 
teriak gadis bertubuh jangkung.
Dua gadis lainnya segera mengejar Pende-
kar Lugu. Namun pemuda berjenggot itu telah le-
nyap dari pandangan mata. Kini hanya tinggal 
Pendekar Blo'on saja yang terpaksa menghadapi 
serangan ke empat gadis cantik itu. Suro melom-
pat ke samping ketika serangan lawan menghan-
tam dadanya. Tapi dari bagian belakang menderu 
tendangan yang cukup keras. Suro jadi kalang 
kabut. Ia jungkir balik, lalu melompat lagi ke uda-
ra. 
"Hiyaa...!" 
Dua orang gadis cantik mengejarnya. Seka-
li jambret maka yang kena dijambret malah cela-
na Suro Blondo. Celana itu melorot sampai seba-
tas pantat.
"Wei... kurang ajar. Gadis-gadis mesum. 
Kalian telah bikin aku malu, maka balasannya 
juga harus setimpal." dengus si pemuda.
Suro tarik balik celananya. Sementara ga-
dis tadi sempat dibuat merah wajahnya. Rupanya 
ia tidak sengaja melakukan itu. Dengan demikian

dia lengah. Suro dengan cepat melompat ke de-
pan, tangannya lalu menyambar.
Breet! Bret!
Dengan satu sentakan keras, maka pa-
kaian lawan yang tipis itu terlepas semuanya. 
Pendekar Lugu langsung pontang panting meng-
hindari pemandangan yang menyolok itu.
"Auuw...!"
Kedua gadis itu menjerit karena malunya. 
Mereka menutupi bagian auratnya yang terbuka 
menantang.
"Weleh-weleh...! Ada hutan lebat, bukit 
kembar. Apakah kita harus sama-sama menye-
rang tanpa pakai senjata?" tanya si konyol.
Dua orang kawan gadis-gadis itu tentu ti-
dak tinggal diam. Mereka segera mencabut senja-
tanya.
"Pemuda gendeng! Kau telah membikin ma-
lu besar pada kawan-kawan kami. Untuk itu kau 
harus menyerahkan nyawamu!" ancam gadis yang 
jadi pimpinan mereka.
"Kemaluan kawanmu memang besar-besar. 
Pasti majikanmu menyukai yang seperti itu. Ma-
salah nyawa itu urusan Tuhan! Aiih...!"
Belum sempat Suro melanjutkan kata-
katanya, dua mata pedang telah membabat mu-
lutnya. Suro terpaksa melompat lagi, lalu usap-
usap mulut yang hampir tertebas pedang.
"Mereka ini benar-benar minta nyawaku. 
Kalau mulutku tadi kena aku pasti tidak punya 
mulut. Padahal cuma mulut perempuan yang le

bih dari satu. Gelo betul...!" gerutu pemuda be-
rambut kemerah-merahan ini dalam hati.
Siing!
Senjata lawan kembali menderu dan 
menghantam batok belakang kepalanya si pemu-
da. Secepat kilat pemuda itu menundukkan kepa-
la, lalu ia melompat-lompat atau terkadang ber-
jingkrakan.
"Nguk! Nguk!"
Gerakan tangan si pemuda menggaruk ke 
depan, menendang ke samping sambil menggaruk 
tubuhnya. Berulang kali tebasan pedang menge-
nai tempat kosong. Kedua gadis itu terus merang-
sak, sementara dua kawannya sedang sibuk 
membenahi pakaiannya.
"Manusia kunyuk! Apa bisamu cuma me-
lompat dan menghindar?" dengus si jangkung.
"Hiyaa...!"
Terdengar suara teriakan dari belakang 
Pendekar Blo'on. Pemuda ini terpaksa berguling-
guling, karena pada saat itu dua ujung pedang 
meluncur ke dada dan lehernya. Tidak urung ten-
dangan keras menyambar punggungnya.
Buuk! 
"Hekk...!"
Pemuda ini menggeliat kesakitan. Namun 
ia masih dapat tersenyum walau pun bibirnya 
meneteskan darah. Sementara lawannya tadi te-
lah menginjaknya tepat pemuda itu dalam kea-
daan telentang. Dengan cepat Suro menangkap 
kaki yang mulus itu.

"Wah kau tidak memakai celana dalam ru-
panya!" gerutu si konyol. Secepatnya ia memban-
tingkan tubuh si gadis, lalu totokan yang cukup 
kuat menghantam punggung si gadis.
"Oh...!"
Gadis itu mengeluh. Pemuda berambut hi-
tam kemerahan ini sudah tidak dapat berdiam le-
bih lama.
Set!
Wuuk! 
"Aih... gelo betul...!" celetuknya. Ia melihat 
senjata lawannya dari dua arah sekaligus. Pemu-
da ini segera mundur, lalu mengerahkan jurus 
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Disertai teriakan keras tubuh pemuda itu 
berkelebat lenyap, hingga tidak lama kemudian 
yang terlihat adalah bayangan biru belaka. Ketiga 
lawannya tentu menjadi kaget dan dibuat bin-
gung. Karena begitu cepatnya gerakan Suro Blon-
do ini, hingga membuat serangan lawan-lawannya 
mengenai sasaran kosong.
Suro terus maju ke depan. Tiba-tiba ia me-
lompat tinggi ke udara. Saat tubuhnya meluncur 
ke bawah, maka tangannya meluncur ke dua arah 
sekaligus.
Tuk! Tuk!
"Akh...!"
Dua orang lawan kena ditotok. Tubuh me-
reka kaku dengan gerakan seperti orang bersilat. 
Si Bocah Ajaib ini jadi geli dan ingin tertawa. Na-
mun pada waktu yang bersamaan yang jadi pimpinan menusukkan pedangnya ke arah si pemu-
da. Suro Blondo jadi terkesiap dan langsung geser 
langkahnya. Ternyata dia kalah cepat, sehingga...
Bret.
"Aduh...!"
Pemuda ini menjerit tertahan. Walaupun 
punggungnya ketika itu mengucurkan darah Suro 
tidak perduli. Ia terus berputar-putar, lalu ka-
kinya menendang keras perut lawannya. Pimpi-
nan dari gadis-gadis itu mengibaskan pedangnya 
untuk memapas kaki lawannya. Tapi Suro geser 
kakinya. Kaki terus meluncur dan menghantam 
puser si gadis agak di bawah.
Dess!
"Aaaa...!"
Gadis baju kembang-kembang terpelanting 
roboh. Ia muntah darah, dalam keadaan seperti 
itu ia mencoba bangkit berdiri. Namun ter-
huyung-huyung dan jatuh lagi.
Suro memungut sebuah pedang, lalu me-
nempelkannya di tenggorokan gadis itu.
"Sekarang tiba giliranmu. Kau mau mati 
atau kembali ke jalan yang benar!" kata si pemu-
da sambil seka keningnya. 
"Ja... jangan bunuh aku. Kami memilih 
mengabdi padamu. Hartawan Abdi Banda sudah 
sangat tua. Sedangkan kau masih muda dan 
tampan. Kami tentu mau disuruh apa saja!"
"Bagaimana kawan-kawanmu?"
"Tentu mereka lebih senang lagi bersama-
mu...!"

Suro tepuk keningnya. Kepala pemuda itu 
langsung pusing. "Gila kalau ke empat gadis can-
tik ini semuanya mengabdi padaku mana tahan!" 
pikir si pemuda. Si konyol lalu bertanya. "Kalau 
kalian kusuruh memijit tubuhku apakah mau?"
"Wah, mau sekali. Disuruh mijit luar dalam 
sampai bagian yang paling dalam pun kami mau 
saja." sahut gadis itu.
Suro menghampiri gadis yang terluka ter-
sebut. "Aku mau menyembuhkan kau. Buka mu-
lutmu!"
Tanpa curiga si gadis membuka mulutnya. 
Suro memasukkan obat pulung berwarna hitam 
pemberian gurunya Malaikat Berambut Api. Obat 
itu pahit rasanya.
"Kau memberiku apa?"
"Obat?"
"Kok bentuknya bulat seperti itu?"
"Cerewet ah, mungkin taik kambing atau 
kotoran sapi. Jangan banyak tanya. Yang penting 
kau bisa sembuh." dengus si pemuda pencongkan 
mulutnya. Tidak berapa lama gadis yang bernama 
Seruni itu mulai dapat merasakan pengaruh mu-
jarab obat tersebut.
Suro menghampiri tiga gadis lainnya yang 
dalam keadaan tertotok. Lalu dia membebaskan 
totokan bekas lawannya. Begitu terbebas dari to-
tokan mereka langsung berlutut.
"Hei... apa-apaan kalian? Aku bukan maji-
kanmu!" cegah Suro Blondo bingung. Namun 
keempat gadis itu tampaknya tidak perduli lagi

dan tetap ngotot ingin mengabdi pada si pemuda.
"Bagaimana pun anda telah memaafkan 
kesalahan kami dan memberi kesempatan pada 
kami untuk tobat. Kami, aku, Seruni, Seroja, Sen-
tini dan Sri Sedap ingin mengabdikan jiwa raga 
kami padamu!"
"Wah, kalau bicara soal mengabdi sebaik-
nya kalian mengabdi pada Tuhan. Ah... namamu 
kok aneh amat. Sri Sedap, kayak penyedap ma-
kanan saja. Apa ada bagian tubuhmu yang se-
dap!"
"Ada... ada kalau tuan mau. Aku bersedia 
memberikannya pada tuan kapan saja...!" jawab 
Sri Sedap tanpa ragu.
Suro garuk-garuk kepala dan sempat me-
merah wajahnya. Di saat itulah terdengar suara 
sayup-sayup....
"Pendekar Blo'on. Lidahmu bisa menjeru-
muskan dirimu ke jurang neraka. Hati-hatilah 
kau bicara! Mereka itu lemah Iman. Jika mereka 
kau suruh telanjang sekali pun pasti mau. Tapi 
Tuhanmu murka, sebaiknya kau membimbing 
mereka ke jalan yang benar!" kata suara itu yang 
tidak lain adalah suara Pendekar Lugu yang me-
nunggunya di kejauhan. 
"Jangan takut, sobat. Aku hanya mengajak 
mereka bercanda!" Jawab Pendekar Mandau Jan-
tan ini disertai senyum.
Pemuda tampan berwajah ketolol-tololan 
ini mengajak ke empat gadis itu menuju kota Tirta Maya.

ENAM

Tirta Maya tidak pernah sepi dari waktu ke 
waktu. Suasana semakin bertambah ramai apabi-
la malam hari. Banyak kalangan bangsawan men-
cari hiburan di kota ini. Diantara mereka ada 
yang menghabiskan uang di meja judi. Ada pula 
yang bersenang-senang di rumah pemadatan atau 
pelacuran. Semua tempat ini seperti telah dis-
ebutkan adalah milik hartawan Abdi Banda.
Sore itu seorang gadis cantik berambut 
panjang terurai memasuki rumah pelacuran yang 
tidak pernah sepi pengunjung itu. Kehadiran ga-
dis berpakaian hitam ringkas ini tentu menarik 
perhatian tetamu laki-laki yang sedang tawar me-
nawar dengan perempuan-perempuan pelacur itu. 
Tidak kurang si gembrot Suntarini, yaitu perem-
puan kepercayaan sang hartawan merasa heran. 
Ia menyangka tentu gadis ini ingin menawarkan 
diri untuk menjadi gadis penghibur. Hal ini tidak-
lah mengherankan karena sangat banyak gadis-
gadis dari daerah miskin yang berbuat seperti itu 
demi menyambung hidup dirinya atau keluar-
ganya.
Namun gadis ini sangat lain, ia lebih can-
tik. Pinggulnya sedang buah dadanya membayang 
kencang di balik pakaiannya yang ketat. Mungkin 
anak orang punya atau paling tidak dia gadis ter-
pelajar. Tatapan matanya membuat para laki-laki 
langsung klepek-klepek.

"Ada yang dapat kami bantu, Nisanak!" 
tanya Suntarini menyambut kehadiran gadis itu 
dengan senyum ramah berbau maksiat. "Atau 
mau bekerja disini? Ditanggung penghasilan be-
sar, pekerjaan hanya uncang-uncang kaki dan 
melayani tamu yang datang!"
"Kurasa hanya kau yang dapat membantu-
ku keluar dari kesulitan!" kata gadis itu setengah 
berbisik.
Sementara itu beberapa laki-laki terus 
memandangnya dengan mata melotot. Tatapan 
mata mereka diwarnai dengan nafsu rendah. Sun-
tarini sendiri langsung tersenyum. Gadis ini pasti 
akan menawarkan diri. Terbayang dalam benak-
nya keuntungan besar yang akan diraihnya. Seo-
rang gadis yang masih suci tentu dia dapat me-
nawarkan pada langganan dengan harga tertinggi. 
Paling sedikit seratus keping uang emas.
"Apakah kau membutuhkan uang Nisa-
nak...!"
"Namaku Puspita Sari."
"Nama yang bagus secantik orangnya." 
Suntarini menimpali.
"Betul aku membutuhkan uang...!" sahut 
Puspita Sari.
"Berapa?"
"Tiga ratus keping emas!"
Mata Suntarini membulat lebar. "Itu adalah 
jumlah yang cukup besar. Tapi kalau kau mau 
bekerja disini seperti gadis-gadis itu tentu uang 
yang kau butuhkan ada. Bagaimana?"

Gadis cantik itu tersenyum sinis, namun 
tetap menganggukkan kepala.
"Tunggu sebentar disini!" Suntarini me-
ninggalkannya. Ia tampak bicara dengan seorang 
laki-laki berbadan gemuk berperut besar. Laki-
laki yang sudah bau tanah mengangguk-
anggukkan kepala, lalu mengeluarkan uang dan 
diberikannya pada Suntarini.
"Nah sekarang kau sudah menjadi milik 
Kinanjar. Jangan khawatir, dia orang kaya. Dia 
punya ratusan ekor sapi dan ratusan ternak lain-
nya. Ikuti dia ke kamar. Nanti bagianmu dapat 
kau ambil!" pesan Suntarini. Kinanjar tanpa ma-
lu-malu langsung menggandeng lengan Puspita 
Sari.
Puspita diajak memasuki sebuah kamar. 
Sesampainya di dalam kamar laki-laki gemuk itu 
langsung mencengkeram dada si gadis. Namun 
diluar dugaan gadis itu mencabut sesuatu ber-
warna putih mengkilat lalu menusukkannya ke 
perut Kinanjar.
Laki-laki malang itu tidak sempat lagi men-
jerit karena mulutnya dibekap oleh Puspita. Ia 
berkelojotan di atas tempat tidur, darah mengu-
cur deras membasahi sprei. Tidak lama kemudian 
laki-laki itu tewas sebelum dapat mencicipi apa-
apa.
Pintu ditendang, hingga terbukalah dengan 
lebar. Sosok tubuh besar yang sudah tidak ber-
nyawa lagi melayang dari dalamnya. Lalu meng-
hantam meja tempat dimana Suntarini sedang

menghitung laba.
Braak! 
Mayat Kinanjar yang melotot jatuh di ba-
wah kaki Suntarini. Suasana di ruangan itu pun 
menjadi panik, ribut dan gadis-gadis penghibur 
berhamburan keluar saking takutnya.
Para tamu laki-laki tetap berada di tempat 
walaupun hati mereka diliputi dengan rasa gentar 
juga. Dua orang tukang pukul langsung meng-
hambur menyerang Puspita Sari. Tangan si gadis 
dikibaskan ke arah mereka. Dua buah benda 
berwarna putih seperti perak melesat dengan ke-
cepatan laksana terbang.
Algojo-algojo itu tidak sempat lagi menge-
lak. Dua buat mata pisau beracun menembus 
leher sedangkan yang satunya lagi menghantam 
jantung.
Orang-orang ini langsung ambruk dan ti-
dak berkutik lagi. Tubuh Puspita Sari lalu me-
layang, bukan main cepat gerakannya. Di lain 
waktu ia sudah mencengkeram rambut Suntarini.
"Kau telah membuat rendah martabat 
kaummu sendiri. Perempuan-perempuan itu se-
karang tidak ubahnya seperti sampah busuk yang 
tidak berguna. Semua ini hanya demi kepentin-
gan hartawan dan kepentinganmu sendiri. Kau 
hanya tinggal mengatakan, kematian bagaimana 
yang kau dambakan?!" dengus Puspita Sari, gadis 
yang tidak jelas asal usulnya ini geram.
"Ja... jangan... kau ambillah uang ini se-
muanya asalkan jangan kau bunuh aku Nisanak!"

ucap Suntarini menghiba-hiba.
"Uang busuk dari hasil yang menjijikkan. 
Sekarang kau harus memakan kepingan-
kepingan uang ini sampai habis!" perintah si ga-
dis, dingin.
"Bbb... baik...!"
Karena takut dibunuh dan mengalami na-
sib sial seperti kedua algojo itu, maka Suntarini 
terpaksa memakan uang tersebut.
Baru dua keping uang emas yang dima-
kannya mata sudah melotot seperti melihat setan. 
Suntarini terpaksa minum air. Namun mata uang 
tetap nyangkut di tenggorokan.
"Nah seperti itulah yang dirasakan oleh 
orang lain. Sekarang makan lagi!" perintah Puspi-
ta.
Dengan tubuh menggigil ketakutan Sunta-
rini kembali telan dua keping emas, hingga ma-
tanya melotot.
"Auu... uuuk... uuh...!". 
Perempuan gembrot itu tersengal-sengal 
karena begitu sulitnya bernafas.
"Siksaan ini belum seberapa, nanti di nera-
ka kau akan tahu akibatnya....!" dengus Puspita.
Dengan keras ia memukul punggung leher 
Suntarini, hingga empat mata uang melompat da-
ri mulutnya. Namun karena sedemikian kerasnya 
pukulan itu hingga membuat Suntarini tergeletak. 
Tubuhnya mengejang, lalu terdiam untuk selama-
lamanya.
Puspita langsung menyambar puluhan pe

lita yang terdapat di situ. Minyak ditumpahkan. 
Hanya dalam waktu yang sangat singkat rumah 
pelacuran itupun dikobari api.
Api semakin lama semakin bertambah 
membesar dan terus melahap rumah kemaksia-
tan ini. Gadis-gadis penghibur yang tidak sempat 
menyelamatkan diri terbakar hidup-hidup.
Puspita berkelebat keluar. Dalam pada itu 
dari arah belakangnya terdengar suara derap 
langkah kuda yang dipacu dengan tergesa-gesa. 
Ternyata mereka adalah lima laki-laki gemuk ma-
ta picak.
"Siapa yang telah membakar salah satu 
kekayaan hartawan Abdi Banda?" tanya Rahjen-
dra yang jadi pimpinan.
Walau pun di bagian halaman depan itu 
banyak laki-laki hidung belang yang menyaksikan 
kejadian tersebut. Tidak seorang pun yang berani 
angkat bicara. Padahal ketika itu Puspita masih 
berada di antara mereka.
"Kau mencari orang yang membakar ge-
dung ini?" tanya Puspita sambil menghampiri.
"Betul! Siapa pun kunyuknya harus digan-
jar setimpal!" dengus Rahjendra.
"Aku yang telah membakarnya!" sahut 
Puspita tanpa merasa gentar sedikit pun.
Rahjendra menjadi marah bukan kepalang. 
Ia langsung menyerbu ke arah gadis berpakaian 
hitam ketat tersebut. Namun si gadis tiba-tiba 
melenting ke atas tembok. Dalam sekejapan saja 
tubuhnya lenyap. Rahjendra alias Setan Kebina

saan bermaksud mengejar. Namun belum sempat 
ia melompat, di atas tembok telah berdiri seorang 
laki-laki berpakaian serba putih berjanggut pan-
jang.
"Siapa kau? Apakah kawannya gadis liar 
tadi?" bentak Rahjendra sengit.
Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar 
Lugu tersenyum. "Aku tidak mengenalnya. Aku 
hanya penyambung lidah, untuk itu tinggalkan 
hartawan Abdi Banda dan kembalilah ke jalan 
yang benar!" kata Wahyu Sakaning Gusti.
"Bangsat kapiran! Kau bicara pada orang 
yang salah dan waktu yang salah pula. Hiaa...!" 
teriak Rahjendra. Ia langsung menghunus sang-
kur kembarnya dan menikam dada lawannya se-
cara bertubi-tubi. Serangan yang dilakukan oleh 
Setan Kebinasaan ini cepat bukan main. Namun 
ternyata Pendekar Lugu sambil melipat tangan di 
dada hanya menghindari tusukan yang bertubi-
tubi itu.
Walaupun pun gerakannya lambat sekali 
dan satu-satu, tapi anehnya tidak satu senjata 
pun yang mengenai sasaran.
Rahjendra katupkan gerahamnya rapat-
rapat. Lalu ia menerjang kembali ke depan. Seka-
rang ia telah mengerahkan jurus 'Setan Mahra-
kayangan'. Serangan yang dilakukan Rahjendra 
tampak berubah aneh. Sangkur itu menusuk, 
menikam, atau terkadang meliuk-liuk di udara 
untuk kemudian secepatnya meluncur deras kearah sasaran.

Wuus!
Wahyu Sakaning Gusti miringkan tubuh-
nya ke samping kanan. Lalu secepatnya ia berpu-
tar. Inilah jurus 'Manusia Krisis Iman' Gerakan-
nya bebas tidak beraturan, langkahnya ter-
huyung-huyung seperti orang mabuk. Terkadang 
ia menepuk kening sendiri seperti orang pusing. 
Wuuuk!
Dua kali serangan sangkur tidak mengenai 
sasaran. Rahjendra melotot seakan tidak percaya. 
Lawan yang satu ini sedikit tidak membalas atau 
menangkis, namun serangannya selalu kandas di tengah jalan.


TUJUH


Dalam keadaan seperti itulah terdengar 
suara bergelak dari kejauhan. Suara itu berubah-
ubah seperti lolongan tangis, amarah kera, atau 
teriakan melengking. Kelima mata picak terke-
siap. Di lain waktu di atas tembok bangunan yang 
sebagian telah terbakar berdiri seorang pemuda 
tampan berambut hitam kemerah-merahan. Pe-
muda itu bertampang ketolol-tololan.
"Pendekar Lugu, bertempur melawan iblis 
hanya loncat sana loncat sini. Apa mau jadi mo-
nyet? Mata picak itu tidak perlu di kasih hati. Me-
reka lebih suka menjadi anjing peliharaan daripa-
da mendekatkan diri pada yang menciptakannya!

Ha ha ha...!" kata Pendekar Blo'on sambil tertawa 
bergelak.
Rahjendra alias Setan Kebinasaan merasa 
kupingnya seperti disengat kalajengking. Ia 
acungkan senjatanya, lalu membentak garang....
"Kunyuk bertampang bego. Siapa pula kau 
ini? Apakah kau yang diramalkan oleh ahli nujum 
Julgafarah dan Nukman Java sebagai orang yang 
akan membuat susah hidup hartawan kami!" ben-
tak Rahbasa saudara seperguruan Rahjendra.
"Hak hak hak...! Yang membuat susah hi-
dup si kikir, si congkak, si angkuh, si sombong 
itu adalah dirinya sendiri. Aku adalah aku. Aku 
bukan anjing seperti kalian. Karena aku lebih 
tinggi dari kalian, maka sebaiknya menyalaklah 
tiga kali. Setelah itu segera minggat dari sini ka-
lau tidak mau susah! Ha ha ha...!"
Rahjendra tentu beranggapan pemuda ini 
telah miring otaknya. Bagaimana bocah bertam-
pang geblek seperti itu sangat dikhawatirkan oleh 
para ahli nujum? Kepandaian apa yang dia 
punya?
"Bocah gila, sebaiknya kau jangan peten-
tang-petenteng pentang bacot. Turunlah! Akan 
kurencah kau punya wajah biar konyol sekalian!" 
teriak Rahseta si mata picak paling bungsu. 
"Kalian orang-orang yang melampaui batas. 
Kalian telah tertipu oleh kepalsuan dunia men-
tah-mentah. Kuingatkan sekali lagi segera kemba-
li ke jalan yang betul!" Pendekar Lugu menengahi.
"Percuma kau bicara sobat! Orang-orang

seperti mereka telah terkunci mata hatinya. Kau 
beri peringatan atau tidak sama saja!" sahut Pen-
dekar Blo'on menimpali.
Lima tokoh dari bagian utara tanah Jawa 
ini menggerung marah. Serentak Rahbasa, Rahja-
la, Rahyuyu dan Rahseta melompat dari kudanya 
masing-masing. Mereka melemparkan dua buah 
golok pendek ke arah Suro Blondo. Pemuda ini 
jadi kalang kabut, ia melompat-lompat di atas 
tembok. Sekali Suro berputar, dua batang golok 
berhasil disentil bagian gagangnya. Senjata-
senjata itu tiba-tiba membalik kembali meluncur 
ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat 
ganda. 
Swieet! Swieet!
Melihat golok meluncur dengan sangat ce-
pat sekali. Keempat laki-laki mata picak itu lang-
sung melompat menghindar. Golok terus melun-
cur dan menancap di tanah.
Si Bocah Ajaib melompat turun, sekarang 
sedikit banyaknya dia percaya bahwa pemuda ini 
mempunyai kepandaian juga.
"Pendekar Lugu apakah kau mau ambil ba-
gian juga, sobatku?" tanya si pemuda sambil cen-
gengesan.
"Aku berpantang membunuh. Aku hanya 
manusia penyambung lidah! Begitupun jika ter-
paksa aku juga turun tangan!" sahut Pendekar 
Lugu. Yang dimaksudkan turun tangan bukan 
untuk menghilangkan nyawa orang lain sebalik-
nya hanya sekedar membuat lawan tidak berdaya.

"Bunuh kedua pemuda pangkal bencana 
itu!" teriak Rahjendra memberi aba-aba pada ka-
wan-kawannya.
Rayuyu dan Rahseta mengurung Pendekar 
Lugu lalu menyerangnya. Sedangkan Rahjendra 
yang menganggap bahwa pemuda berambut hi-
tam kemerahan ini lebih berbahaya segera men-
geroyok Si Bocah Ajaib.
"Wah, kalian rupanya sebangsanya iblis 
pengecut yang hanya bisa main kroyokan. 
Heiit...!" Si Bocah Ajaib tidak sempat melanjutkan 
ucapannya.
Tinju lawan sudah menghajar ke mulut si 
pemuda. Suro mundur ke belakang, mulutnya 
termonyong-monyong, sedangkan keningnya ber-
kerut dalam. Dari samping menderu dua seran-
gan lainnya. Suro menangkis dengan sikunya. 
Sehingga terjadi benturan keras. Suro terhuyung 
dan sikunya mendenyut-denyut. Sedangkan Rah-
jala sendiri jatuh terduduk. Sementara dari depan 
Rahjendra sudah menusukkan sangkurnya den-
gan sangat cepat sekali.
"Gila, dari pada perut di tembus sangkur 
mending aku ke belakang!" gumam di pemuda. 
Seraya segera menggeser langkahnya. Dari bela-
kang tiba-tiba tendangan Rahbasa menghantam 
pantatnya.
Gubrak!
Suro terguling-guling. Ia menyeringai kesa-
kitan, namun segera melompat berdiri. 
"Heaaa...!"

Pemuda ini tiba-tiba melompat ke depan, 
tangannya mencakar, lalu berjongkok, kakinya 
menendang, sesekali garuk kepala. Dengan lincah 
dan gesit ia menghantam dengan serangkaian 
pukulan yang tidak ada putus-putusnya. Inilah 
jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan 
Ekor'
"Huuu... nguk... nguung...!"
Lalu terdengar suara tawa yang berganti
dengan tangis, lalu berganti lagi dengan suara 
isak tertahan. Gerakan Suro ketika itu benar-
benar sangat kacau. Tidak satu pun serangan ke-
tiga lawannya mengenai sasaran yang diha-
rapkan. Walau pun ketika itu mereka sudah 
mempergunakan jurus 'Matahari Tenggelam'.
"Ciaaa...!" 
Rahjendra menjadi kalap. Ia melompat lagi 
ke depan. Seraya tusukkan senjatanya ke dada 
dan perut Si Bocah Ajaib. Pemuda ini bergerak ke 
belakang Rabasa. Tubuh si picak ini dicengke-
ramnya. Lalu kawan yang sudah dalam kekua-
saannya ini disodorkan ke arah senjata lawannya.
Brees!
"Wuaaakh...!"
Rabasa menggeliat, isi perutnya berbusaian 
keluar disertai menyemburnya darah dari luka 
mengerikan itu. Rahjendra jadi terkesiap melihat 
kawannya roboh oleh senjatanya sendiri.
"Kunyuk keparat! Heaa... !"
Laki-laki itu dengan marahnya langsung 
menyambitkan dua sangkur di tangannya. Suro

tersenyum, otaknya yang cerdik langsung dapat 
akal. Ia merangkak, lalu disambarnya kaki lawan, 
diangkat lalu diputar membentuk perisai diri.
Wet! Wuuk!
Rahjala berusaha membebaskan diri, na-
mun semakin ia meronta maka semakin bertam-
bah cepat pula si konyol memutar dirinya. Se-
hingga....
Zeb! Ceb!
Lalu terdengarlah suara jeritan menusuk 
kalbu. Untuk kedua kalinya Rahjendra telah 
membunuh saudara seperguruannya sendiri tan-
pa sengaja.
Kita tinggalkan dulu Si Bocah Ajaib yang 
sedang bertarung dengan Rahjendra. Sementara 
itu Pendekar Lugu tampak begitu sibuk mengha-
dapi hujan serangan yang begitu bertubi-tubi. Se-
benarnya jika si pemuda berjanggut ini mau tu-
run tangan kejam, sejak tadi Rahyuyu dan Rahse-
ta sudah berhasil dikalahkannya. Namun karena 
ia berpantang membunuh, apa yang dilakukan-
nya hanya mengelak dan menghindar.
Melihat lawan hanya menghindari seran-
gan-serangan mereka. Maka mereka semakin 
mengganas. Sangkur kembar di tangan mereka 
berkelebat menyambar-nyambar.
Sinar putih menyilaukan mata mengurung 
pemuda berjenggot itu. Tiba-tiba ia melompat ke 
udara.
Trang! Ting!
Senjata mereka saling membentur dengan
senjata kawan sendiri. Di saat mereka kehilangan 
sasaran seperti itu, tiba-tiba saja dari atas tempat 
melesat bayangan hitam memakai kedok hitam 
seperti Ninja.
Bayangan tadi menyambitkan dua buah pi-
sau berwarna putih mengkilat. Rahyuyu dan Rah-
seta langsung menangkis serangan gelap itu.
Tring! Tring!
"Pembokong tengik!" maki Rahyuyu.
"Huh, setiap iblis harus mati!" sahut sosok 
berkedok itu sambil menerjang ke depan. Dan....
Dhaak!
"Akh...!"
Rahyuyu terpelanting. Ia merangkak bang-
kit lagi, tapi orang berpakaian Ninja itu telah me-
nyambitkan pisau ke arahnya.
Set! Jlep!
"Hekgh...!"
Rahyuyu tersungkur lagi dengan jantung 
tertembus pisau. Rahseta terkejut sekali. Dengan 
marahnya ia menerjang ke depan. Namun lawan-
nya sudah menghindar ke samping. Lalu secepat 
kilat tangannya menyambut....
Tap!
Tangan lawan berhasil ditangkapnya. Lalu 
tangannya yang lain bergerak lebih cepat lagi. 
Kraak! 
"Auuuuuh...!"
Rahseta melolong seperti anjing kepentung 
alu. Tangannya patah. Orang berpakaian Ninja itu 
kelihatannya tidak memberi kesempatan lebih

lama lagi. Ia kali ini mencabut senjata berbentuk 
aneh. Kecil, tipis dan berkilat-kilat karena keta-
jamannya. 
Satu sentakan keras dilakukannya, senjata 
itu meluncur deras ke depan. Rahseta main mun-
dur, sedang senjatanya berkiblat.
Traak!
Dua buah sangkur langsung mental di 
udara. Pedang kecil yang dapat dilipat itu terus 
meluncur tanpa dapat dihindari lagi.
Crees!
Rahseta mendekap lukanya, ketika senjata 
ditarik oleh orang berkedok, maka isi perutnya 
berbusaian keluar. Laki-laki mata picak ini ter-
sungkur, menggelepar sejenak lalu diam untuk 
selama-lamanya.
Sementara orang berpakaian ninja meng-
hampiri Pendekar Lugu. Sedangkan Pendekar 
Blo'on ketika itu dengan lawannya sudah sama-
sama melepaskan pukulan yang menjadi anda-
lannya.
"'Ratapan Pembangkit Sukma'! Hiaa...!" 
Pemuda bertambang konyol ini tiba-tiba dorong-
kan kedua tangannya ke arah sinar hitam yang 
meluncur deras ke arahnya.
Angin kencang laksana salju disertai hawa 
dingin membekukan melesat secepat kilat.
Udara sontak berubah, yang dingin meng-
gulung yang panas. Lalu terjadi letupan.
Bluup!
Buum!

Tanah berlubang, debu dan batu kerikil 
berpelantingan ke udara. Rahjendra terguling-
guling. Suro Blondo sendiri mendekap dadanya 
yang sesak bukan main-main.
"Heh...! Bagaimana Rana Unggul bisa mun-
cul disini!" kata pemuda itu sambil mengurut le-
hernya. Tingkahnya itu tidak beda dengan orang 
yang sedang tersedak.
"Awas, saudaraku!" teriak Pendekar Lugu.
Suro berpaling ke belakang, dilihatnya 
Rahjendra yang sudah setengah mati itu meng-
hunus senjata sambil menyerbu ke arahnya.
"Sialan orang budek mata pecak ini, mau 
mati saja pakai ngajak-ngajak orang lain!" gerutu 
si pemuda, ia pun langsung berkelit.
Senjata lolos, sedangkan kakinya meng-
hantam dada lawannya dengan tenaga yang kuat.
Kraak!
Rahjendra hanya dapat mengeluh tertahan. 
Tubuhnya terbungkuk-bungkuk sebentar, lalu 
ambruk untuk selama-lamanya.
Si Bocah Ajaib menggumam tidak jelas, 
kemudian ia menghampiri Pendekar Lugu dan 
Rana Unggul. Rana Unggul memperhatikan si 
pemuda dengan sorot matanya yang terasa lain 
menggetarkan hati.
"Aku merasa dia bukan seorang laki-laki. 
Tatapan mata dibalik pakaian hitam yang mem-
bungkus seluruh tubuhnya terasa seperti apa... 
ya...!" pikir Suro.
"Manusia tolol! Meskipun bego kau punyakepandaian yang cukup lumayan. Padahal kalau 
kau mau sejak tadi pimpinan manusia picak itu 
dapat kau robohkan." tegas Rana Unggul.
"Wah... aku lupa sih...!" Suro menepuk ke-
ningnya.
"Kau tidak boleh pergi dengan Pendekar 
Lugu. Otakmu cerdas, namun kau selalu telat 
berpikir. Untuk itu kau urus saja gadis-gadis be-
kas anak buahnya hartawan itu. Selamat jumpa 
di rumah madat...!"
"Hei... sobatku...!" cegah Pendekar Mandau 
Jantan setengah berteriak. Namun tanpa bicara 
apa-apa Pendekar Lugu telah mengikuti Rana Un-
ggul.
"Entah apa yang telah mereka bicarakan. 
Kok Pendekar yang punya pantangan membunuh 
itu jadi nurut, ya...? Atau ia mengetahui sesuatu 
yang tidak aku ketahui? Ah... memikir sampai 
budek sekali pun aku tetap tidak tahu apa yang 
mereka bicarakan!" gerutu Pendekar Blo'on.
Seraya pergi lagi untuk menghampiri ke 
empat gadis yang ditinggalkannya di tepi telaga.


DELAPAN


Wanita hamil sembilan bulan perutnya 
memang besar. Tapi lebih besar lagi perut laki-
laki yang sekarang duduk di kerajaan hartanya. 
Tubuhnya besar dengan berat sekitar seratus lima puluh kati. Kulitnya berlemak, dan keningnya 
berminyak. Ia hampir tidak pernah berhenti ma-
kan. Di kanan kiri laki-laki setengah baya itu du-
duk bersimpuh gadis-gadis cantik dengan pa-
kaian tipis. Mereka adalah pelayan laki-laki itu 
dalam segala hal.
"Kalian semua harap menyingkir dari sini!" 
perintah hartawan Abdi Banda pada para gadis 
yang mendampinginya.
Dengan patuh mereka meninggalkan ruan-
gan mewah yang dihiasi dengan perak dan perma-
ta.
Setelah para gadis ini meninggalkan ruan-
gan itu. Maka muncul tiga orang laki-laki. Yang 
dua sudah berusia lanjut, sedangkan yang sa-
tunya lagi berumur sekitar lima puluh tahun. Me-
reka adalah ahli nujum Julgafarah dan Nukman 
Jaya serta Kala Menek. Orang yang disebut te-
rakhir bertampang angker nyaris tanpa senyum. 
Ia mempunyai kesaktian tiada terukur, sangat 
disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Ketika sampai di dalam ruangan orang-
orang ini langsung mencari tempat duduk di de-
pan sang hartawan.
"Apa yang dapat kami lakukan, tuan?" 
tanya Julgafarah buka suara.
Hartawan kaya raya ini tidak langsung 
menjawab, ia usap-usap perutnya yang tidak ter-
tutup baju sama sekali. Karena tiada pakaian 
yang muat oleh badannya terkecuali pakaian yang 
belum dijahit.

"Aku gelisah, adalah kalian semua tahu 
bagaimana gelisahnya aku?" dengus Abdi Banda. 
"Dalam hidupku aku sulit sekali tidur, aku takut 
harta bendaku dicuri orang, aku takut terjadi ke-
bakaran, dan aku takut mati. Semua ketakutan 
itu membuat aku tidak tenang. Harta bendaku ini 
dapat untuk membeli dunia dan seisinya. Aku ti-
dak ingin mati karena harta-harta itu."
"Tuan tidak perlu segelisah itu. Kami se-
muanya senantiasa setia mengabdi pada tuan. 
Orang-orang itu tidak mungkin berani datang ke 
sini. Mereka tidak setangguh yang tuan bayang-
kan!" hibur ahli nujum Nukman Jaya.
"Tapi aku selalu gelisah. Coba kalian 
bayangkan sudah berapa hari picak bersaudara 
pergi. Hingga sekarang masih belum ada kabar 
beritanya. Aku khawatir mereka kalah atau bina-
sa. Sekarang ini aku ingin kalian menyimpan 
kunci-kunci gudang harta di tempat yang aman. 
Setelah itu kerahkan seluruh pasukan Ninja kita 
untuk membunuh Pendekar Lugu dan Pendekar 
Blo'on."
"Kunci harta sudah tadi pagi ditarik oleh 
sebuah kereta kuda menuju tempat yang aman. 
Sekarang hanya tinggal menunggu perintah se-
lanjutnya!" ujar Kala Menek.
"Bagus sekali kalau begitu. Sekarang aku 
ingin mencari orang-orang itu. Segala harta yang 
aku sukai, harus dibawa serta. Juga gadis-gadis 
yang aku cintai jangan satu pun yang ditinggal-
kan!" tegas hartawan Abdi Banda.

"Tapi perjalanan ini menempuh bahaya, 
tuan. Kita belum tahu apakah Pasukan Ninja Sa-
kura mampu menghadapi kedua pemuda itu atau 
tidak. Menurut para Telik Sandi. Ada orang lain 
lagi berpakaian seperti Ninja berada di pihak me-
reka!"
"Kala Menak! Jumlah kita sangat banyak. 
Mengapa menjadi tidak mampu hanya mengatasi 
para kroco begitu? Mana aku bisa tenang jika aku 
tidak melihat dengan kepala mata sendiri kema-
tian mereka?" dengus Abdi Banda.
"Tapi kita membutuhkan orang upahan un-
tuk memindahkan harta-harta itu ke dalam kere-
ta kuda."
"Upahnya bayar saja nanti setelah kita pu-
lang dari sana." potong sang hartawan.
"Orang-orang itu tidak mau melakukannya, 
tuan. Karena gaji mereka dua bulan yang lalu sa-
ja belum dibayar!" jelas Nukman Jaya.
"Sebagai ahli nujum, sebagai tukang sihir 
kepercayaanku. Apakah kau sekarang sudah ti-
dak mampu melakukan apa-apa lagi? Kau bisa 
melakukan apa saja yang membuat hati mereka 
takut!"
"Baiklah tuan. Nanti sore segala-galanya 
dapat kita jalankan dengan sesuai rencana."
Kedua ahli nujum itu kemudian mening-
galkan tuannya. Kini yang ada di situ hanya ting-
gal Kala Menak.
"Apa yang harus saya lakukan, tuan?" 
tanya si gadis.

"Kau lakukanlah pembersihan besar-
besaran. Siapa saja yang mencurigakan harus di-
bunuh!" kata hartawan kikir itu dengan tegas.
"Perintah segera dilaksanakan." sahut Kala 
Menak.
Kala Menak lalu membungkukkan badan-
nya, sampai-sampai keningnya menyentuh per-
madani demi memberi penghormatan pada har-
tawan Abdi Banda. Setelah itu si gadis ini me-
langkah pergi.
Abdi Banda tersenyum. Kala Menak adalah 
orang yang paling diandalkannya. Sekarang dia 
pasti sedang melakukan pembantaian terhadap 
orang-orang yang membangkang mau pun yang 
dianggap mencurigakan. Karena arti pembersihan 
itu sendiri tidak lain adalah Pembantaian.
"Hartaku harus kekal abadi. Hidupku ha-
rus kekal, kesenangan ini tidak boleh berlalu, ka-
rena di sinilah sorgaku. Disinilah duniaku dalam 
gelimang harta benda yang tidak ada habis-
habisnya!"
Hartawan Abdi Banda tiba-tiba saja terge-
lak-gelak. Ia duduk di kursi kebesarannya sambil 
uncang-uncang kaki.
***
Suro duduk termenung di tepi telaga itu. Di 
depannya api unggun sudah mulai padam. Se-
hingga yang tertinggal hanya baranya saja. Suro 
Blondo mengambil lima ekor burung belibis yang

telah berhasil ditangkap Seruni dan kawan-
kawannya. Kelima ekor belibis hutan yang telah 
dibersihkan itu langsung dipanggangnya di atas 
bara merah menyala.
Sementara itu Seruni, Seroja dan Sentini 
tengah asyik berenang di tengah telaga berair se-
juk. Hanya Sri Sedap saja yang saat itu menema-
ni Pendekar Blo'on. Sesekali gadis ini mencuri 
pandang ke arah Si Bocah Ajaib.
Ada rasa kagum dalam hatinya. Pemuda 
itu sangat tampan, walau pun wajahnya ketolol-
tololan dan terkesan kekanak-kanakan. Tiada ra-
sa bosan memandangnya. Tidak seperti ketika 
berhadapan dengan hartawan Abdi Banda. Ber-
hadapan dengan tua bangka gendut itu sekali 
pandang saja langsung kenyang.
Selama ini untung dia dapat memperta-
hankan kehormatannya. Hingga sampai detik ini 
dirinya tetap utuh. Mungkin hanya Sentini dan 
Seroja saja yang sudah terpedaya.
"Wuih, baunya sedap sekali!" kata si pe-
muda, tanpa sadar ia menelan ludah.
Sri Sedap tersentak dari lamunannya. 
"Tuan bilang apa? Sedap?" tanya Sri Sedap.
"Ya... betul, memang sedap baunya. Berun-
tung kau punya nama Sri Sedap! Aih bagus seka-
li... ha ha ha...!" Suro lalu ketawa.
"Tuan...!"
"Jangan kau panggil tuan. Panggil saja 
namaku!" kata Suro.
"Bagaimana aku harus memanggil, apakah

boleh kupanggil kakang?" Sri Sedap mengerling 
manja.
Dalam pada itu ketiga saudara-saudara Sri 
Sedap sudah menepi. Tampaknya mereka sudah 
menganggap Suro seperti saudara sendiri atau le-
bih dekat dari itu. Sehingga mereka pun tidak 
punya rasa malu walau pun harus memperli-
hatkan auratnya, atau memang mungkin mereka 
punya maksud-maksud lain, untuk menggoda si 
konyol.
"Berpakaianlah kalian dengan betul! Jan-
gan perlihatkan segala sesuatu yang bersipat me-
nonjol atau yang ada tonjolannya pada laki-laki. 
Aku sih kuat saja. Tapi adikku yang di bawah ini 
bisa berontak!" tegas si pemuda sambil menun-
dukkan kepala.
"Hi hi hi...! Mengapa takut? Kami adalah 
para abdi-abdimu. Tentu kami tidak merasa takut 
harus memberikan sesuatu yang kami miliki jika 
kakang Suro membutuhkannya!" tentang Seruni.
"Bicara jangan ngeres-ngeres. Persoalan 
yang kita hadapi sangat besar. Bagaimana kalian 
bisa menggodaku?" 
"Kakang tidak pernah bersenang-senang 
dengan perempuan, ya...?" tanya Seroja gadis 
berkulit hitam manis sambil mengenakan pa-
kaiannya kembali. Pendekar Blo'on menggeleng-
kan kepala.
"Makanya jangan malu-malu kucing." Sen-
tini menimpali.
Si konyol mati kutu. Menghadapi godaan

empat gadis kalau tidak tabah bisa kebobolan. 
Suro garuk-garuk kepalannya.
"Janganlah kalian seperti barang dagan-
gan. Yang dipegang-pegang oleh pembeli sampai 
lecek namun ditinggalkan begitu saja. Segala pe-
rabotan yang kalian miliki sebaiknya hanya untuk 
dipersembahkan pada suami kalian!" tegas si bo-
cah ajaib. Walau pun Suro sudah bersikap serius 
tetap saja tampangnya semakin konyol.
"Kalau pada pacar bagaimana, kakang?" 
tanya Sri Sedap.
"Pacar belum pasti menjadi suami. Jika 
main pasrah-pasrahan nanti kalian menyesal 
sendiri!" sahut si pemuda.
 "Bagaimana jika dengan majikan!" Seroja 
menimpali.
"Kalau majikan yang kurang ajar anunya 
saja yang dipotong. Kalau dua-duanya kurang 
ajar sebaiknya mampus saja." dengus Suro. "Su-
dahlah aku bosan membicarakan bukit-bukit dan 
hutan rimba. Sebaiknya kalian makan saja pang-
gang burung ini." Si Bocah Ajaib kemudian mem-
bagi-bagikan burung panggang itu pada keempat 
gadis berpakaian tipis tersebut.
Mereka pun kemudian saling diam dan 
mulai makan panggang burung belibis tersebut. 
Suro seperti orang rakus saja, sampai ke tulang-
tulang burung pun dimakannya. Apa yang dila-
kukannya ini membuat geli gadis-gadis yang 
mengelilinginya. Tapi Suro bersikap cuek (acuh) 
saja.

Selesai makan panggang burung Pendekar 
Blo'on merebahkan tubuhnya di tempat yang 
memang telah mereka persiapkan sejak sore.
"Kalian tidur di sebelah sana!" perintah Su-
ro Blondo.
"Takut kakang. Sebaiknya kita bergabung 
saja!" rengek Seruni. 
"Wah bagaimana sih kalian ini?" tanya Su-
ro termonyong-monyong.
"Mana kami berani jauh darimu, Kakang 
Suro. Nanti ada hantu!" kata Sri Sedap.
"Sesuka-suka kalianlah!" Suro Blondo 
mengalah.
Akhirnya mereka tidur berdempet-
dempetan. Suro kebetulan berada di tengah-
tengah mereka. Pemuda ini jadi gelisah, ia jadi in-
gat dengan Dewi Bulan serta gadis misterius ber-
kerudung putih itu.
"Seandainya Dewi berada disini, tentu aku 
sudah di dampratnya pulang pergi...!" batin si 
pemuda. "Pendekar Lugu, anak Langit. Dia orang 
suci yang aneh. Bertarung tidak pernah memba-
las. Sedangkan Anak Langit siapa sesungguhnya 
orang itu? Kehadirannya dalam ujud cahaya. 
Apakah dia Malaikat atau roh suci? Jaman seka-
rang tidak ada manusia suci, manusia menjadi 
bangga kalau sudah berbuat dosa. Mengapa uru-
san jadi kapiran begini? Tampang hartawan Abdi 
Banda sendiri belum pernah aku lihat, jelekkah 
dia? Apa seperti kodok atau seperti lutung?"
Si Bocah Ajaib memandang kanan kirinya.

Terasa hembusan nafas Seruni dan Sri Sedap 
yang berada di kanan kirinya. Nafas mereka tera-
tur pertanda sudah tidur. Tapi kedua gadis ini 
menghadang ke arahnya. Sehingga wajah mereka 
menyentuh pipinya.
Hati si pemuda dag dig dug juga, karena 
payudara mereka yang kenyal menempel di len-
gannya.
"Wah... gadis-gadis ini ada-ada saja. Se-
baiknya aku pindah di tempat yang aman saja, 
ah...!" kata si pemuda dalam hati. Baru saja ia 
hendak beranjak, eeh... Sri Sedap menggeliat. 
Tangannya menimpa pusaka Si Bocah Ajaib. En-
tah sengaja atau tidak. Yang jelas jemari tangan si 
gadis tetap betah berada disitu.
"Gelo, leh. Nimpa kok di sini, bagian lain 
kek...!" Suro dengan cepat menggeser tangan Sri 
Sedap, baru saja tangan gadis di samping kirinya 
tergeser. Ee... tangan Seruni menimpa bagian 
yang itu pula.
Si Bocah Ajaib geleng-geleng kepala.
"Gila betul.... Kalau si kecil terjaga aku 
mana berani jamin sepak terjangnya. Huh... ada-
ada saja..." Suro akhirnya menggeser tangan Se-
runi pula. Dua gadis menggeliat lagi, semakin 
edan mereka malah memeluk si pemuda dengan 
ketatnya.
***

SEMBILAN

Darah si pemuda mulai berdesir dengan 
cepat. Ia memejamkan matanya untuk mengusir 
pengaruh pikiran-pikiran yang kotor. Belum lama 
matanya terpejam, tiba-tiba saja ia mengendus 
bau busuk menyengat disertai suara gesekan 
daun yang sangat halus. Jika telinga Pendekar 
konyol ini tidak terlatih, tentu ia tidak dapat 
mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu.
"Hei... kalian bangun semua. Ada orang da-
tang kemari!" kata si pemuda dengan berbisik. 
Sesungguhnya ke empat gadis-gadis itu memiliki 
kepandaian yang rata-rata cukup lumayan. Begi-
tu Si Bocah Ajaib ini membangunkannya maka 
mereka segera terjaga.
"Tapi tidak ada orang selain kita?" desis Se-
runi berbisik pula.
"Kurasa ada monyet bau mengintai kita. 
Sebaiknya kalian cari selamat dan tinggalkan 
tempat ini secepatnya!" Suro memberi usul.
"Tidak!" tegas Sri Sedap. "Kami sudah me-
mutuskan untuk mengabdikan sisa hidup kami 
pada Kakang Suro."
"Jangan tolol. Masa depan kalian masih 
panjang. Kalian bisa mengabdikan diri pada Tu-
han."
"Kakang sendiri?" Sentini ragu-ragu.
"Jangan kau pikirkan hidupku!"
"Mana boleh begitu? Apa pun yang terjadi

kami tetap bertahan disini bersamamu!"
Tekad mereka rupanya tidak ada yang ge-
peng, sudah bulat semua. Suro Blondo mana 
mungkin ngotot dengan memaksa mereka pergi.
"Ha ha ha...! Seorang pemuda punya tam-
pang konyol menjadi rebutan empat orang gadis. 
Kalau dia mau berarti loyo pulang pergi. Kalau 
menolak sungguh dia pemuda yang bodoh dan 
aku si Cambuk Akherat pasti tidak menolak...!" 
kata sebuah suara dari balik kegelapan pohon.
"Manusia busuk, jangan lagi kau berani 
kurang ajar pada kami. Kami tidak serendah yang 
kau bayangkan!" sahut Seruni, ketus suaranya.
Dar! Dar!
Terdengar suara menggeledek disertai ber-
pijarnya bunga api dalam kegelapan malam. Ru-
panya orang dibalik kegelapan melecutkan cam-
buknya. Melihat kehebatan senjata itu pastilah 
orangnya bukan tokoh sembarangan.
Tidak lama muncul sosok tubuh dari balik 
kegelapan. Astaga! Ternyata orang ini hanya me-
miliki sebelah kaki dan sebelah tangan. Tam-
pangnya angker, kepala lonjong, keningnya me-
nonjol. Ia sama sekali tidak memakai pakaian ter-
kecuali yang menutupi bagian auratnya saja. 
Rambut laki-laki itu kusut masai, hidung berlu-
bang besar, sehingga terlihatlah lidahnya yang 
kasar seperti ditumbuhi bulu.
"Kalian masih muda semuanya. Sayang 
masih begini muda harus menjadi calon bang-
kai!?" dengus Cambuk Akherat.

Laki-laki sebelah tangan sebelah kaki ini 
lalu melangkah lebih dekat lagi ke arah gadis-
gadis itu. Mereka bergerak mundur dengan sikap 
waspada.
"Ha ha ha...! Mengapa takut? Untuk kalian 
para gadis cantik, kematian kalian dapat kutun-
da, sedangkan pemuda geblek ini harus cepat-
cepat dikirim ke neraka!" dengus Cambuk Akhe-
rat.
"Kau mau seenaknya saja main kirim. Ya 
kalau Tuhan menerima, kalau tidak kau sendiri 
bisa celaka. Aku ingin tahu mengapa kadal serba 
buntung sepertimu punya ambisi untuk mengi-
rimkan ke neraka, apa salahku?" tanya Si Bocah 
Ajaib. 
"Hmm, perlu kau tahu sebelum mampus. 
Aku ini masih sahabatnya hartawan Abdi Banda. 
Cambuk Akherat berasal dari Lembah Tak Ber-
tuan. Nah karena aku tahu betapa resahnya dia 
saat ini, maka setelah bertahun-tahun tidak ber-
jumpa sekarang aku ingin menghadiahkan kepa-
lamu untuknya. Dia pasti sangat gembira, karena 
menurut para ahli nujumnya kau adalah orang 
yang bakal membuat dia celaka!"
"Ha ha ha...! Ambisimu kelewat besar juga. 
Sayang kau tidak bertanya padaku apakah kepa-
laku yang cuma satu ingin kuserahkan padamu 
atau tidak! Aku malah khawatir salah-salah kepa-
la burungmu yang akan kupenggal!" dengus si 
pemuda sambil cengengesan. 
"Pemuda gendeng! Mampuslah kau,

heaaa...!"
Cambuk Akherat ternyata sangat ganas se-
kali. Sekali gebrak tubuhnya sudah melompat ke 
depan. Dia menghantam dengan tinju tangannya, 
karena memang tangan itulah yang masih utuh. 
Angin dingin menderu, Suro merasa wajahnya se-
perti ditusuki ratusan batang jarum.
Melihat gelagat betapa tangguhnya Cam-
buk Akherat, Si Bocah Ajaib langsung memper-
gunakan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Ha-
rimau' 
Wuees!
Sebentar saja tubuh si pemuda telah ber-
kelebat lenyap. Tinju Cambuk Akherat menghan-
tam angin. Namun ia cepat memutar tubuh sam-
bil mendengus. Segera dikerahkannya jurus 
'Memanah Kehampaan Hidup'. 
"Hiaaa...!"
Cambuk Akherat berteriak keras. Ia me-
nerkam ke depan. Tangannya yang cuma sebelah 
itu bergerak laksana angin dan mengikuti kemana 
saja lawan menghindar. Tampak jelas mereka be-
nar-benar tangguh. Suro dengan nekad lepaskan 
tendangan kaki. Lalu....
Set!
Kakinya meluncur, Cambuk Akherat me-
lompat setinggi setengah tombak. Setelah itu tan-
gannya cepat terjulur dan....
Srek!
Pakaian Suro berikut kulit dadanya menge-
lupas. Ada darah yang menetes, namun Suro ma

sih sempat meringis. Tangan lawan kembali me-
nyambar ke wajahnya. Pendekar Blo'on menang-
kis.
Bleduk!
Pemuda ini langsung terjengkang. Pung-
gung tangannya tampak merah. Cambuk akherat 
sendiri terhuyung-huyung.
"Hh, kau ternyata cukup berisi juga!" den-
gus laki-laki sebelah kaki sebelah tangan itu. Di-
am-diam ia terkejut juga dan tidak menyangka 
pemuda bertampang ketolol-tololan ini mempu-
nyai tenaga dalam yang tinggi.
Selagi Pendekar Blo'on belum sempat ber-
diri, tiba-tiba ia melepaskan pukulan 'Penghuni 
Kegelapan'.
Ketika laki-laki ini mendorongkan kedua 
tangannya ke depan. Maka terlihatlah sinar te-
rang benderang menyilaukan mata meluncur de-
ras menerjang Pendekar Blo'on.
Wuut!
Tubuh si pemuda tiba-tiba saja melompat 
tinggi ke udara. Serangan lawan lewat di bawah 
kakinya. Pukulan terus meluncur menghantam 
pohon besar di belakangnya. Pohon hancur dan 
tumbang. Lalu di sana-sini terdengar suara tawa 
seperti kera. Itulah jurus Tawa Kera Siluman. Su-
ara tawa ini disertai berkelebatnya tubuh Suro di 
atas kepala lawannya. Lalu kakinya menendang. 
Blaak! 
"Uts...!"
Cambuk Akherat merasakan kepalanya se

perti dihantam palu godam. Sakit dan terus men-
denyut seperti mau pecah. Suro leletkan lidah, 
kakinya terpincang-pincang. Kepala Cambuk Ak-
herat ternyata keras seperti batu 
"Benar-benar edan!" maki Suro dalam hati 
"Huh, bangsat betul kau!" maki Cambuk 
Akherat. Kali ini ia lipatkan gandakan tenaga da-
lamnya. Lalu tangannya kembali dikibaskan ke 
arah lawannya.
Segulung angin kencang disertai menebar-
nya hawa panas laksana memanggang tubuh Su-
ro Blondo. Pemuda ini terkesiap dan leletkan li-
dah. Dia pun akhirnya tidak tinggal diam. Ma-
tanya melotot, mulutnya termonyong-monyong. 
Rupanya ketika itu si pemuda tengah mengerah-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya.
"Matahari Rembulan Tidak Bersinar! 
Hiyaaa...!" teriak si konyol. Telapak tangannya 
yang telah berubah kusam dan mengepulkan 
asap tipis dihentakkannya ke depan. Selarik sinar 
redup berwarna biru semu merah menderu den-
gan cepatnya.
Dua tenaga sakti itu saling susul menyu-
sul. Kemudian terjadilah sebuah ledakan yang 
bukan saja membuat orang-orang di sekitarnya 
jatuh tunggang langgang, namun juga membuat 
masing-masing lawan terpelanting sejauh tiga ba-
tang tombak.
Suro menekan dadanya yang seperti mau 
meledak dan mendenyut sakit. Lalu ia seka darah 
yang menetes disudut-sudut bibirnya. Keempat

gadis yang menyaksikan pertempuran sengit itu 
jadi khawatir.
"Hm, bukan main. Bukan main-main! Kad-
al buntung ini ternyata memang mau minta nya-
waku!" geram si konyol.
"Huh, boleh juga kau!" dengus Cambuk 
Akherat. 
Sreet! Jdar! Jdar!
Ternyata Cambuk Akherat melepaskan 
senjata andalannya yang bergerigi. Senjata maut 
berwarna merah itu langsung meledak-ledak 
mengeluarkan bunga api ketika dilecutkan di 
udara.
"Awas kakang Suro!" Seruni berteriak men-
gingatkan.
"Ha ha ha...! Idola kalian sebentar lagi ku-
penggal kepalanya. Tidak usah dirisaukan. Aku 
dapat menggantikan posisinya untuk kalian!" sa-
hut Cambuk Akherat disertai tawa bergelak.
"Manusia setan! Iblis laknat!" maki Sri Se-
dap.
"Kau yang paling galak, pasti kau yang pal-
ing hebat nanti bila berada di tempat tidur!" desis 
laki-laki hidung sumplung ini sambil leletkan li-
dah.
Jdar!
Cambuk melecut di udara, sebentar saja 
Suro terkurung oleh serangan-serangan senjata 
ampuh yang mematikan itu. Suro melompat sana, 
mengelak kesini, atau terkadang ia berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil yang sedang bermain

tali. Tapi ketika cambuk itu diputar ke atas dan 
disentakkan ke samping. Maka tidak ayal lagi 
cambuk itu menghantam dadanya.
Braak!
"Wadow...!"
Suro terjengkang. Dadanya babak belur 
dan dagingnya berserabut. Senjata itu kembali 
melecut, Suro berguling-guling. Ke empat gadis 
yang menyaksikan kejadian itu langsung menyer-
bu ke depan. Mereka menghunus senjata dan 
langsung menyerang Cambuk Akherat.
"Huh, rupanya kalian memilih mati dari 
pada bersenang-senang denganku...!" teriak Cam-
buk Akherat.
Maka ia pun mengerahkan cambuk apinya 
ke arah gadis-gadis itu.
Breet!
Triing!
Senjata itu terpental, Seruni tidak dapat 
menjaga keseimbangannya. 
Ctar! Bret! 
"Aaa...!"
Sebagian tubuh Seruni hancur. Ia terhem-
pas dekat Suro, gadis itu merintih. Suro segera 
mendukungnya, tampaknya sudah tidak ada ha-
rapan hidup lagi bagi gadis itu.
"Suro, ternyata aku tidak dapat memban-
tumu... huk... ajalku segera tiba...!" kata Seruni 
dengan suara lirih.
"Seharusnya kalian tidak turun tangan!" 
Suro menyesalkan.

"Ekh... Suro aku tidak tega melihat kau da-
lam keadaan begitu...! Peluk aku, Suro...!"
Maka Pendekar Blo'on pun memeluk Seru-
ni. Gadis itu tersenyum manis bibirnya tampak 
pucat.
"Cium aku, Suro...!"
Maka Pendekar Blo'on pun menciumnya. 
Betapa dingin bibir Seruni, gadis itu kemudian 
terkulai.
"Heh, dia mati...!" desis pemuda itu terke-
sima.
Seroja, Sentini dan Sri Sedap langsung 
menghampiri kakaknya. Sementara Pendekar 
Blo'on bangkit berdiri. Mulutnya termonyong-
monyong, lalu ia mencabut senjata andalannya 
pusaka Mandau Jantan yang di tengah-tengahnya 
terdapat empat lubang miring. Senjata berwarna 
hitam itu segera diputarnya dengan sentakan ser-
ta gerakan yang aneh.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" den-
gus si pemuda.
Sekejap saja ia sudah menerjang ke arah 
Cambuk Akherat. Laki-laki bertangan tunggal 
berkaki tunggal ini segera mengibaskan cambuk-
nya ke arah si pemuda.
Si Bocah Ajaib langsung melompat, man-
dau di tangannya mengeluarkan suara ringkikan 
panjang, lalu dari lubang itu pula terdengar suara 
tangis berkepanjangan. Cambuk Akherat terke-
siap. Cambuk terus meluncur, Mandau Jantan di 
tangan si pemuda berkelebat.

Tar!
Teng!
Cambuk pusaka itu terbabat putus, senja-
ta di tangan si pemuda terus meluncur ke arah 
dada lawan. Namun Cambuk Akherat dengan ter-
kejut segera melompat ke belakang.
Suro memburunya, lawannya berkelit, lalu 
sisa-sisa cambuk menghantam punggungnya. Si 
Bocah Ajaib menjerit sambil terguling-guling. 
Punggungnya robek besar. Darah semakin banyak 
saja yang menetes keluar.
Si Konyol melompat berdiri walau pun tu-
buhnya sempat terhuyung-huyung juga.
"Ha ha ha...! Ajalmu sudah hampir tiba! 
Bersiap-siaplah kau!" teriak si Cambuk Akherat.
Sekali lompat ia telah berada di depan Su-
ro. Lalu cambuknya diayunkannya lagi. Namun 
Suro sudah menghindar lewat selangkangan la-
wan dengan cara merangkak.
Daak!
Dengan keras sekali kaki kanannya me-
nendang pinggang Si Cambuk Akherat.
Bruuk!
Laki-laki berwajah angker ini tersungkur, 
hidungnya tertutup debu. Yang lebih celaka lagi 
buah jambunya tergencet batu, sakitnya sampai 
naik ke perut.
Si Konyol dengan cemberut melompat lalu 
menginjak-injak tubuh Cambuk Akherat. Tidak 
disangka tangan lawannya menghantam.
Duuk!

"Wadaw...!"
Suro tersungkur pula, posisinya di samp-
ing lawan. Ia menoleh, dan Mandau di tangannya 
melayang ke arah leher. Cambuk Akherat tidak 
sempat lagi menangkis.
Crok!
"Akh...!"
Tulang leher lawannya putus, darah men-
gucur dari luka itu. Tubuh Si Cambuk Akherat 
berkelejotan sebentar lalu terdiam untuk selama-
lamanya.
Pemuda itu usap rambutnya, dipandan-
ginya mayat lawannya untuk beberapa saat la-
manya. Kemudian ia menghampiri Sri Sedap dan 
saudara-saudaranya yang baru saja selesai men-
guburkan mayat Seruni.
"Aku menyesalkan kejadian ini. Sebaiknya 
kalian tidak usah ikut aku lagi. Begitu banyak 
bahaya yang akan aku hadapi!" tegas Suro.
"Semua ini sudah takdir, tidak perlu dis-
esalkan. Tapi kami tetap ingin ikut dengan Ka-
kang!" kata Sri Sedap.
"Kubilang jangan!"
"Kalau tidak boleh tidak mengapa." ujar Se-
roja mengalah. Tapi diam-diam ketika Pendekar 
Blo'on pergi mereka terus menguntit di belakang-
nya.
***
SEPULUH

Membunuh sambil tertawa itulah kebia-
saan Kala Menak. Kini ia melakukan pembersihan 
di jalan-jalan yang bakal dilalui oleh hartawan 
Abdi Banda. Setiap orang yang dianggapnya men-
curigakan pasti dibunuhnya. Sehingga sangat ba-
nyaklah penduduk dan masyarakat biasa yang ti-
dak berdosa menjadi korban. Kala Menak dengan 
kuda hitamnya memang tidak ubahnya seperti ib-
lis pencabut nyawa, ia bergerak laksana setan. 
Orang-orang yang melihat kehadirannya langsung 
lari terbirit-birit menyelamatkan diri.
Semua ini tentu saja dilihat oleh seorang 
pemuda berbaju putih berjenggot kambing. Dialah 
si Pendekar Lugu. Tampak jelas wajahnya yang 
polos itu menunjukkan rasa keprihatinan yang 
mendalam. Tidak lama pemuda ini melipat tan-
gannya di depan dada. Lalu tubuhnya bergerak 
mengambang di udara. Hanya dalam beberapa ke-
lebatan saja ia telah berubah ujudnya menjadi 
seorang kakek renta berpakaian compang-
camping. Inilah sejenis ilmu langka bernama 
'Merobah Ujud Malih Rupa'. Pada masa itu sangat 
jarang sekali orang yang memiliki ilmu seperti ini. 
Hanya orang yang hatinya jauh dari dengki, ke-
sombongan dan rasa iri yang dapat mengamal-
kannya.
Kakek tua ini duduk di pinggir jalan. Wak-
tu ia musim kemarau, sehingga debu dan angin

berterbangan di jalan itu. Wajah si kakek yang 
kotor berselimut debu.
Kala Menak yang sibuk membantai orang 
di kanan kiri jalan itu sambil tertawa-tawa terus 
memacu kudanya. Semakin lama ia semakin de-
kat dengan kakek itu. Kuda hitam tunggangan 
Kala Menak tiba-tiba saja meringkik keras dan 
angkat kaki depan tinggi-tinggi.
"Hieeekh...! Hehheh...!"
"Macan angin, mengapa berhenti! Tabrak 
saja tua rongsokan itu biar merat ke akherat se-
kalian!" dengus Kala Menak.
Ia memaksa kudanya agar segera bergerak 
kembali, namun kuda tersebut tetap ngadat.
"Membunuh sambil tertawa! Kelak manusia 
seperti itu akan diseret ke neraka sambil menan-
gis! Jika hati telah dikuasai hawa nafsu dan se-
tan. Maka amarahnya melebihi iblis!" kata si ka-
kek.
"Heh...!" Kala Menak tersentak kaget. Tidak 
ada orang lain disitu terkecuali dia dan si kakek. 
Berarti ucapan tadi benar-benar ditujukan buat 
dirinya.
"Kau menyindirku? Siapakah kau ini?" 
bentak Kala Menak berang.
Si kakek angkat wajahnya, sehingga terli-
hatlah wajah polosnya tanpa dosa.
"Aku masih hamba Tuhan juga. Aku tidak 
menyindir siapa-siapa? Manusia membunuh ma-
nusia tanpa alasan yang jelas, tanpa pernah ber-
tobat dia jelas masuk neraka!"

"Kurang ajar. Sekali lagi katakan padaku 
siapa kau?" hardik Kala Menak.
"Aku, Sira Sakaning Bumi! Tugasku mem-
beri peringatan pada siapa saja yang ingin kemba-
li ke jalan yang benar." sahut si kakek.
"Apa yang sedang kulakukan adalah tang-
gung jawabku pada hartawan Abdi Banda. Tugas 
ini harus kulaksanakan dengan baik!"
"Hartawan kikir itu bukan penentu hidup 
manusia lain, karena dia masih manusia juga. 
Mengapa kau cabut nyawa orang lain, sedangkan 
membuat nyawa nyamuk kau sendiri tidak mam-
pu?" tegur Sira Sakaning Bumi.
Kala Menak sesungguhnya geram juga, 
namun ia masih tetap berusaha menahan kema-
rahannya.
"Kau tidak usah memberi ceramah di de-
panku! Hartawan selalu curiga bila bepergian. 
Untuk itu aku mengadakan pembersihan sebelum 
beliau mengadakan perjalanan panjangnya!" jelas 
si gadis.
"Rasa takut yang berlebihan dalam dirinya 
karena dia sengaja menjauhkan diri dari Tuhan. 
Ia takut kehilangan harta, ia takut jadi susah, ia 
takut mati. Padahal kematian itu akan datang 
pada setiap makhluk yang bernyawa!" kata si ka-
kek.
"Buaaah... tua bangka gombal! Mampuslah 
engkau...!" teriak Kala Menak. Rupanya ia sudah 
tidak sabar lagi. Pedang besar di tangannya yang 
berlumuran darah kering langsung dikibaskan ke

kepala Sira Sakaning Bumi. Namun senjata itu 
hanya menyambar angin karena yang menjadi sa-
saran senjatanya telah melompat ke tempat yang 
aman.
Kala Menak membedal kudanya, kuda 
memburu ke arah lawannya. Sekali lagi si kakek 
melompat ke udara. Lalu bersalto dan kakinya 
menjejak punggung Kala Menak.
Orang ini kalau tidak kuat berpegangan 
pada kendali kuda dapat dipastikan tercampak 
dari atas kudanya. Ia pun menggeram marah. Ti-
ba-tiba saja Kala Menak melompat meninggalkan 
punggung kudanya. Sambil berguling-guling pe-
dangnya membacok ke arah kaki lawannya. Kare-
na senjata itu berat sekali. Ketika dikibaskan, 
maka senjata itu mengeluarkan suara deru angin. 
Sira Sakaning Bumi melompat, lalu tubuhnya 
berputar sedangkan kaki melepaskan tendangan 
ke bagian wajah lawannya. Untunglah Kala Me-
nak adalah pembunuh yang berpengalaman. Se-
hingga dengan cepat ia menangkis.
Duuk!
"Eps...!"
Kerasnya benturan membuat tubuh Kala 
Menak tergetar. Tangannya jadi linu. Belum sem-
pat ia bangkit berdiri, lawan telah menyerangnya 
kembali.
Kala Menak tidak diam, sambil bergerak 
mundur ke belakang ia pergunakan jurus pedang 
'Merambah Hutan Menembus Bukit'. Dengan ce-
pat pedang yang sangat berat itu mengurung si

kakek. Lalu di lain waktu senjata meluncur tiada 
terkendali ke perut lawannya. Kelihatannya Sira 
Sakaning Bumi alias Wahyu Sakaning Gusti tidak 
menghindari serangan dahsyat itu. Ia malah bu-
sungkan perutnya dan.... 
Blees!
Ujung pedang seakan menembus perut la-
wannya. Si kakek tersenyum bijaksana. Tidak ada 
darah yang menetes, padahal sudah separuh sen-
jata itu amblas kedalam perut Sira Sakaning Bu-
mi. Kenyataan ini betapa sangat mengejutkan. 
Bertahun-tahun Kala Menak menjadi pembunuh 
sadis dan bertahun-tahun pula ia mengabdi pada 
hartawan Abdi Banda, belum pernah ia menemui 
musuh seaneh-aneh sekarang ini.
Saking cemasnya Kala Menak menarik sen-
jatanya. Astaga! Senjata yang ditariknya itu beru-
bah menjadi panjang. Semakin ia bergerak mun-
dur menarik pedangnya sendiri, maka pedang 
yang ditarik dari perut lawan semakin bertambah 
panjang seakan tidak ada habis-habisnya
"Edan... tua bangka ini punya ilmu apa?" 
pikir Kala Menak.
Ia ternyata masih berusaha menarik senja-
ta itu. Walau pun kini pedang itu telah ditarik se-
jauh sepuluh batang tembok, namun ujung senja-
ta yang membenam di tubuh Sira Sakaning Bumi 
tetap tidak kelihatan. Kakek tua itu kemudian 
mengusap perutnya.
Braak!
Kala Menak terguling-guling. Pedang itu

secara aneh kembali ke bentuk alisnya. Pucat wa-
jah Kala Menak. Jika kakek itu mau tentu dia su-
dah mampus sejak tadi.
"Jangan kau sia-siakan waktu hidupmu. 
Aku tidak punya hak mencabut nyawa orang lain. 
Pergilah kau dari hadapanku! Masih ada waktu 
bagimu untuk bertobat. Tapi jika sekali lagi kuli-
hat kau berbuat keonaran, maka tidak seorang 
pun yang dapat menjamin keselamatanmu!" tegas 
Sira Sakaning Bumi.
Lumer sudah nyali Kala Menak. Hilang ke-
bengisannya, hilang keganasannya. Ia kemudian 
melompat ke punggung kudanya. Kuda dipacu 
cepat tanpa menoleh-noleh lagi. Pendekar Lugu 
yang kini menjelma menjadi seorang kakek tua ini 
tersenyum. Kemudian ia meninggalkan tempat itu 
menuju rumah Pemadatan.
***
Sosok berpakaian hitam dan memakai ke-
dok itu terus berjalan di atas genteng. Ia mengen-
dap-endap atau sesekali berhenti dan merunduk-
kan tubuhnya bila melihat penjaga kebetulan le-
wat di dekatnya. Sementara itu di sudut lain ter-
lihat pula sosok lainnya sedang bergerak ke arah 
yang sama. Orang berpakaian hitam ala Ninja ini 
terkejut melihat kehadiran sosok lain yang juga 
mengenakan pakaian seperti dirinya.
"Apakah orang itu Ninja Sakura? Kalau be-
nar mengapa dia tidak menyergapku?" batin sosok berpakaian hitam yang tiada lain adalah Rana 
Unggul.
"Ee... orang itu malah menuju jalan satu 
satunya ke ruangan utama. Sungguh tolol sekali. 
Padahal para Ninja itu bersembunyi di situ! Mus-
tahil kehadirannya tidak diketahui oleh mereka. 
Dasar goblok... benar-benar nekad dia!" gerutu 
Rana Unggul.
Kemudian ia terus mengikuti sosok hitam 
di depannya sekalian ingin tahu apa yang akan 
dilakukannya. Baru beberapa langkah ia melihat 
dua orang Ninja tergeletak dengan dada berlu-
bang. Ia menuruni anak tangga menuju lantai 
utama.
"Hmm, ternyata dia punya tujuan yang sa-
ma dengan aku. Ada Ninja lagi yang mati disini!" 
kata Rana Unggul.
Rana Unggul merapatkan tubuhnya ke 
tembok ketika mendengar suara bentak-bentakan 
yang sangat sulit dimengerti maknanya. Ternyata 
sosok yang menyelinap pertama tadi dalam kea-
daan terkurung rapat.

SEBELAS


"Manusia tolol! Berani-beraninya dia ma-
suk dari situ! Sekarang terjebak, apa yang bisa 
diperbuatnya untuk menyelamatkan diri dari manusia Ninja itu?!" maki Rana Unggul kesal.

Sementara orang yang memakai pakaian 
ringkas tadi ternyata telah membuka seluruh pa-
kaian luarnya. Maka terlihatlah seorang pemuda 
berambut hitam kemerahan berpakaian warna bi-
ru. Lagak pemuda itu cengengesan. Rana Unggul 
tentu saja kaget bukan main.
"Wah si tolol itu lagi." gerutu Rana Unggul.
Sementara itu Pendekar Blo'on telah terke-
pung rapat. Kali ini jumlah pasukan Ninja itu 
memang cukup besar. Diantara mereka ada yang 
mempergunakan toya, pedang, trisula maupun 
pedang. Senjata-senjata itu langsung menghujani 
Suro. Sebagaimana diketahui gerakan-gerakan 
yang dilakukan oleh para Ninja Sakura ini dikenal 
sangat kompak dan serentak. Tentu saja Suro ti-
dak dapat bersikap main-main lagi. Ia memper-
gunakan jurus 'Kacau Balau' salah satu jurus wa-
risan Malaikat Berambut Api yang masih terhi-
tung kakek dan gurunya sendiri.
Maka tidak dapat disangkal bila kemudian 
gerakan-gerakan tubuh si pemuda berubah total 
menjadi kacau. Langkah-langkah pemuda ini 
tampak serampangan dan terkesan asal-asalan. 
Langkah-langkah pemuda ini tampak serampan-
gan dan terkesan asal-asalan. Namun sungguh 
hebat, sepuluh pasukan Ninja yang mengerubuti 
tidak seorang pun yang mampu menusukkan sen-
jatanya. Berulang kali Si Bocah Ajaib berhasil lo-
los dari kepungan lawan. Rana Unggul kaget, ti-
dak pernah terlintas dalam benaknya kalau pe-
muda bertampang ketolol-tololan ini ternyata

memiliki ilmu silat tinggi dan jurus-jurus yang 
mengagumkan.
"Pantasan dia berhasil membebaskan toto-
kanku tempo hari!" kata Rana Unggul yang mera-
sa tertipu mentah-mentah.
"Hiaa...!"
Si konyol tiba-tiba saja merebut salah satu 
toya di tangan lawannya. Ia terus melompat ke 
udara dengan gerakan terkesan kacau. Tubuhnya 
bahkan sempat berputar-putar. Toya itu selanjut-
nya diputar-putar, lalu menderu.
Wuuk!
Laksana kilat Toya mengemplang kepala 
dua orang Ninja yang berada persis di bawahnya. 
Orang-orang itu mengeluh dan tersungkur.
Tiga buah benda persegi empat melayang 
ke arah Suro. Pemuda ini tersenyum mengejek. 
Dengan mempergunakan toya itu ia menangkis.
Clep! Clep! Clep!
Senjata rahasia berbentuk bintang ini me-
nancap di toya itu. Toya kemudian dilemparkan 
dan menghantam lutut salah seorang Ninja yang 
ketika itu memburu ke arahnya. Orang itu ter-
sungkur, kawan-kawannya cepat datang mem-
bantu. Suro kalang kabut menghadapi hujan sen-
jata yang seakan tidak ada habis-habisnya ini. Ia 
pun melompat menjauh mengambil jarak. Dike-
rahkannya tenaga ke bagian telapak tangan.
"'Kera Sakti Menolak Petir'! Heaa...!" Suro 
dengan mulut termonyong-monyong mendorong-
kan kedua tangannya ke lima arah sekaligus. Lima larik sinar putih melesat dari telapak tangan-
nya. Para Ninja itu memutar senjatanya masing-
masing untuk melindungi diri. 
Blarr...! 
"Auk...!"
Lima orang lawan terpelanting roboh ketika 
sinar putih menghantam tubuh mereka. 
"Mampus-mampus dah...!" dengus si pe-
muda.
Namun lawan terus berdatangan. Sehingga 
tidak ada waktu sedikit pun bagi Suro untuk ber-
leha-leha.
"Jika aku tidak membuka jalan darah! Se-
bentar lagi tenagaku terkuras habis. Dan ini bisa 
membuatku semakin konyol!" pikir Suro Blondo.
Diawali dengan satu bentakan keras, pe-
muda itu segera pergunakan jurus Serigala Melo-
long Kera Sakti Kibaskan Ekor.
Maka terdengarlah suara lolong, tawa serta 
tangis pemuda itu. Sementara tubuhnya bergerak 
cepat memporak porandakan serangan-serangan 
yang dilakukan oleh para Ninja tersebut. 
Dua orang lawannya menyerbu ke depan, 
Suro tidak mundur lagi. Melainkan menyambut 
serangan itu sambil mengayunkan kakinya den-
gan lincah. 
Wuut!
Lalu ia mengibaskan tangannya ke arah 
lawan-lawannya. Jelas sekali saat itu Suro mele-
paskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir', salah sa-
tu pukulan yang paling dahsyat dari seluruh pukulan sakti yang dimilikinya. Terdengar suara je-
ritan dimana-mana, seakan makhluk-makhluk 
gaib menyingkir ketakutan. Sinar merah dan hi-
tam menggebu-gebu, sehingga hawa panasnya sa-
ja mampu membuat hangus orang-orang di seki-
tarnya.
Lalu terjadilah ledakan-ledakan dahsyat. 
Puluhan sosok tubuh terlempar dalam keadaan 
matang. Tidak satu pun dari Ninja-Ninja itu yang 
selamat. Rana Unggul sendiri terpaksa menge-
rahkan tenaga dalam untuk menghindari penga-
ruh siksaan panas yang melesat dari telapak tan-
gan si konyol. Untuk pertama kalinya Rana Un-
ggul pentang matanya lebar-lebar.
"Pemuda konyol itu benar-benar tidak ter-
duga-duga." desisnya penuh rasa takjub.
Sebagian pukulan Suro yang sempat me-
lenceng membakar tiang-tiang penyangga rumah 
pemadatan. Suro segera kembali menuju ke jalan 
pertama tadi dia datang, sedangkan Rana Unggul 
sudah bergerak mendahului. Ia terus melompat 
dari atas bangunan. Sampai di suatu tempat yang 
aman Rana Unggul menunggu. Namun dari balik 
semak belukar muncul sesosok tubuh berpakaian 
hitam lainnya.
"Kau... menyamar sebagai kami tidak ta-
hunya musuh...!" kata pimpinan Ninja, suaranya
menggeram.
"Kau siapa?" tanya Rana Unggul.
"Aku pimpinan Ninja Sakura. Namaku 
Kenziro Nakasone." sahut laki-laki bermata sipit

itu sinis.
"Hmm, rupanya kau orangnya yang telah 
menjadi begundal di rumah madat itu? Jauh-jauh 
meninggalkan negeri sendiri, ternyata hanya un-
tuk bikin onar di negeri leluhur orang lain!" den-
gus Rana Unggul sinis.
"Kau telah membikin rusak apa yang men-
jadi tanggung jawab kami. Karena itu kau harus 
tanggungkan akibatnya." kata Pimpinan Ninja 
Sakura ini marah.
Begitu Kenziro Nakasone menggerakkan ja-
ri tangannya. Maka sepuluh jarum beracun mele-
sat cepat menuju sepuluh jalan kematian. Rana 
Unggul mendengus. Lalu tarik shal dan menge-
butkan shal tersebut hingga jarum-jarum beracun 
tadi rontok di atas tanah.
Ketua Ninja ini lalu menyambitkan senjata 
rahasia berbentuk bintang persegi empat. Empat 
buah benda berwarna putih menyilaukan melesat. 
Kali ini Rana Unggul gerakkan tangannya me-
nyampok.
Tes! Tes! Tes!
Tiga senjata rahasia runtuh, satu dianta-
ranya terjepit di antara tangan Rana. Laki-laki 
bersuara seperti perempuan ini menyambitkan 
senjata itu ke arah pemiliknya.
Beruntung Kenziro cepat melompat, jika ti-
dak perutnya pasti kena tembus senjata raha-
sianya sendiri.
Dalam kesempatan itu Si Bocah Ajaib Suro 
Blondo sudah sampai di situ. Ia tepuk tangan

sambil berjingkrakan seperti orang gendeng.
"Rana Unggul! Waktu jangan dibuang-
buang, Tinja... eh, Ninja hitam itu adalah kepa-
lanya tikus-tikus yang sudah kubuat mampus di 
sarangnya tadi. Tangkap dia, kalau sudah ter-
tangkap aku pengin lihat apakah anunya pakai 
helm atau sarung!"
"Pemuda edan! Tidak perlu menggurui 
aku!" dengus Rana Unggul.
Ketika itu pertempuran memang sudah 
berlangsung seru-serunya. Kenziro Nakasone su-
dah mencabut pedang panjangnya. Senjata itu 
membabat dan menusuk ke arah sasaran dengan 
ganasnya.
Namun pemuda misterius Rana Unggul ke-
lihatannya memiliki kepandaian yang sangat ting-
gi. Terbukti walau pun lawannya telah memper-
gunakan senjata, masih belum terlihat tanda-
tanda dirinya terdesak.
Gerakan Rana Unggul memang seperti wa-
let saja, begitu cepat dan lincah seperti gadis can-
tik yang menari-nari. Semakin lama Kenziro se-
makin bersemangat. Pedangnya membacok ke ba-
gian kepala, menebas ke arah leher atau menu-
suk ke ulu hati. Semua itu berlangsung sangat 
cepat.
"Haiik!"
Kenziro melompat lagi. Kemudian ia laku-
kan babatan menyilang. Rana Unggul menggeser 
langkahnya. Ketika serangan senjata lewat di 
sampingnya maka ia segera menghantam dengan

tinjunya.
Duuk!
"Hekh...!"
Kenziro merasa dadanya menyesak dan 
sempat membuatnya terhuyung-huyung. Tiba-
tiba ia melompat dan....
Des!
Kini gantian Rana Unggul yang tercampak. 
Suro yang menyaksikan pertarungan sengit itu 
tampak semakin bersemangat.
"Walah... baru segitu kau sudah hampir 
loyo, Rana. Hantam saja keteknya kalau nggak 
bolanya. Tikus berkedok itu kurasa tidak ada 
apa-apanya. Kalau mereka main keroyokan baru 
seimbang!" ledek si konyol sambil garuk-garuk 
kepala.
Rana Unggul sesungguhnya kesal menden-
gar ocehan si usil. Namun ia tidak punya waktu 
melayani pemuda itu bicara. Belum lagi ia siap 
dengan posisinya, Kenziro sudah melabraknya la-
gi. Kali ini disertai dengan lemparan senjata raha-
sia.
Mendapat dua serangan yang datang seca-
ra bersamaan itu Rana Unggul terpaksa bergul-
ing-guling.
Huk! Huuk! Huk!
Pedang terus mencecar Rana Unggul, se-
hingga laki-laki berpakaian seperti Ninja ini ter-
paksa terus berguling-guling. Dalam keadaan 
berguling-guling ia pun cabut senjatanya.
Cring!

Sring! Sring! Traang!
Terjadi benturan yang cukup keras. Karena 
pedang milik Rana Unggul kecil dan tipis, maka 
membuat laki-laki itu tergetar. Sekali lagi bentro-
kan senjata tidak dapat dihindari.
Tring!
Rana Unggul terdorong lagi. Namun sece-
pat kilat ia melompat, saat tubuhnya melayang di 
udara seperti itulah ia mengibaskan senjata di 
tangannya. Kenziro rupanya merasa ada samba-
ran angin yang cukup keras. Ia pun segera me-
nundukkan tubuhnya serendah mungkin.
Wuut!
Serangan Rana Unggul menghantam angin. 
Tangan Kenziro menyodok perutnya.
Buuk! 
"Ngek!"
Rana Unggul mendekap perutnya. Suro ter-
tawa mengekeh. Ia seka keningnya, lalu....
"Walah baru segitu saja kau sudah dibuat-
nya mules. Ayo desak terus jangan kalah seman-
gat!" teriak Suro memberi semangat.
Semakin panas saja kuping Rana Unggul. 
Lalu ia melompat ke belakang, pedang diangkat-
nya tinggi-tinggi ke udara. Lalu disertai teriakan 
melengking tinggi ia menerjang ke depan. Gera-
kan ini dikenal dengan jurus 'Menepis Ombak 
Mendulang Intan'. Pedang tipis itu terus melun-
cur. Pabila lawan menangkisnya, maka senjata di 
tangan Rana Unggul membelok, lalu mengancam 
perut Kenziro. Pimpinan Ninja ini terkesiap. Ia

melompat lagi untuk selamatkan perutnya. Na-
mun gerakannya itu sangat terlambat, sehingga...
Breet!
"Akh...!"
Kenziro menjerit kesakitan. Dalam kesem-
patan itu ia masih berusaha menangkis. 
Traang!
Kenziro tergetar, ia meringis kesakitan. Pe-
dang di tangan Rana Unggul kembali meluncur 
dan terus menerabas ke dada Kenziro.
"Hekh...!"
Kenziro melotot. Ia terhuyung-huyung, ke-
tika Rana Unggul mencabut senjatanya, maka la-
ki-laki ini tersungkur. Ia pun tewas seketika itu 
juga. Suro bertepuk tangan, tepuk-tepuk jidadnya 
lalu tepuk pula pantatnya.


DUA BELAS


"Bocah Gelo... mengapa kau tepuk semua 
yang kau punya? Apakah sudah gila...!" dengus 
Rana Unggul. Diam-diam ia memperhatikan pe-
muda berambut hitam kemerah-merahan itu 
"Ach... mengapa begini. Dia sangat lain dalam 
pandanganku!" Rana Unggul mengeluh.
"Jika kau tidak suka melihat aku menepuk 
semua yang aku punya, apakah kau mau jika aku 
menepuk kau punya? Ha ha ha...!" kata Pendekar 
Blo'on sambil tertawa.

"Kau jangan kurang ajar. Aku benci meli-
hat kesintinganmu!"
"Benci atau suka? Aku tidak bisa jamin 
apakah kau benar-benar seorang laki-laki. Tu-
buhmu ramping, kulit halus dan bau tubuhmu, 
hmm... harum...!" Si Bocah Ajaib mengendus-
endus. 
"Diam...!" bentak Rana Unggul sambil me-
lotot.
Suro mengatupkan mulutnya sambil ter-
monyong-monyong.
"Mengapa kau cengar cengir seperti monyet 
begitu? Apa yang lucu?"
Suro menggaruk rambutnya. "Anu... sebe-
narnya ada yang ingin kutanyakan padamu. Wak-
tu kita menghadapi mata picak bukankah Pende-
kar Lugu pergi bersamamu? Sekarang kemana 
dia?"
"Oh, mengenai Penyambung Lidah itu se-
sungguhnya aku pun kurang tahu. Ia memisah-
kan diri ketika aku menuju kesini. Katanya ia 
mau menjumpai hartawan Abdi Banda." sahut 
Rana Unggul. Suara laki-laki itu tidak seketus ta-
di.
"Aku pikir dia mau minta sebagian harta 
hartawan itu untuk bagi-bagikan padamu dan 
padaku. Wah... senangnya jadi orang kaya.... Pa-
dahal aku belum pernah kaya, lho...!"
"Manusia geblek sepertimu mana bisa 
kaya. Lagi pula untuk apa segala macam ke-
kayaan hartawan itu? Dia memperolehnya dari

cucuran keringat dan darah orang lain." sergah 
Rana Unggul.
"Betul sekali. Sebagian harta Abdi Banda 
bahkan ada yang bisa berdesah-desah... ha ha 
ha...!"
"Lho, kok...!" Rana Unggul terheran-heran.
"Tentu saja, kalau harta itu diperolehnya 
dari pelacur tentu ada yang mendesah-desah, 
megal megol, esak-esek dan... wah pokoknya 
puyeng!" 
"Bocah edan! Apakah kau sudah tidak bisa 
bicara betul?" bentak Rana Unggul.
Diam-diam ia semakin suka pada Suro ka-
rena kekonyolannya selain juga tampan.
"Jaman sekarang semakin susah saja jadi 
orang benar. Kata orang yang haram saja sulit. 
Dapat kau bayangkan apa nggak gila tuli...?"
"Oh, jadi kau mau mengikuti gilanya du-
nia?!" ejek Rana Unggul.
"Tidak. Dunia nggak pernah gila! Justeru 
manusianya-lah yang sudah nggak karuan. Ma-
nusia sudah banyak yang edan, banyak yang gila. 
Gila harta, gila kedudukan, gila perempuan dan 
gila segala...!" kata Suro sambil golang-goleng ke-
pala.
"Semakin lama bicaramu semakin ngaco. 
Urusan belum lagi beres, mengapa kita harus ber-
leha-leha. Sekarang sebaiknya kita pergi dari sini. 
Besok kita bisa meneruskan perjalanan menuju 
ke singgasana hartawan Abdi Banda!"
"Lalu sekarang kita kemana?" tanya Si Bo

cah Ajaib.
"Cari tempat tidur, tolol!"
"Wah, kalau tidur apakah kita harus ber-
sama-sama?" pancing Suro.
Wajah di balik topeng hitam itu berubah 
memerah. Kalau saja Suro tahu hal ini? Sayang 
Pendekar Blo'on tidak pernah tahu.
"Jangan lagi kau berani bicara sembaran-
gan. Aku bisa membunuhmu!" ancam Rana Un-
ggul.
"Weleh, galak amat sih? Aku kan cuma bi-
cara tidur saja kau langsung marah. Kita kan sa-
ma-sama laki-laki."
"Sudahlah, aku bisa jadi gendeng menden-
gar ocehan!" dengus pemuda bertubuh ramping 
tersebut.
Kemudian ia berbalik langkah berlari-lari 
meninggalkan Suro Blondo. Suro golang-geleng
kepala lalu segera mengejar Rana Unggul.
***
Laki-laki itu belum tergolong tua, usianya 
baru sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya 
tidak begitu tampan, pakaiannya rapi bermotip 
kembang-kembang. Ia memakai topi berwarna 
kembang-kembang pula. Ia sesungguhnya terma-
suk tokoh sakti yang sangat jarang berkeliaran di 
rimba persilatan. Di daerah Jawa bagian tengah 
ia dikenal dengan julukan Malaikat Penderitaan. 
Mengenai asal usul dan nama asli tokoh yang

nyentrik ini tidak seorang pun yang tahu.
Kesaktian yang dimilikinya tidak terukur, 
ia bahkan sangat mahir dalam memainkan golok. 
Tiga buah golok sekaligus terkadang diperguna-
kannya untuk menghadapi lawannya.
Orang ini sesampainya di atas sebuah bu-
kit langsung menghentikan langkahnya. Ia me-
mandang ke depan, lalu wajahnya berubah mu-
rung. Semakin jauh memandang maka keningnya 
berkerut dalam.
"Berburu ke padang dasar, dapat rusa be-
lang kakinya. Akh.... mengapa segila ini. Apa yang 
harus kusesali? Aku berjalan dalam kegilaanku, 
aku melangkah dalam kegilaanku, mereka terta-
wa dalam kegilaannya. Jika mereka sedih itu le-
bih baik dari aku yang gila! Tidak ada yang lebih 
senang dalam dunia ini terkecuali aku, tiada yang 
lebih sedih terkecuali aku. Sepanjang langkah-
langkah ini menapak, apa yang telah kuperbuat? 
Kebaikan atau keburukan. Hidupku penuh pen-
deritaan, bukan kesenangan yang aku ucapkan. 
Hik hik hik,..!" Malaikat Penderitaan menangis se-
sunggukan. Tubuhnya terguncang, nafasnya ter-
sendat-sendat. Sampai pada akhirnya ia menen-
gadahkan wajahnya ke langit. Lalu ia menunduk 
seperti orang ketakutan.
"Kulihat ke langit, ternyata Tuhan Murka. 
Siapakah yang perduli? Tidak seorang pun yang 
perduli. Manusia menjadi bangga jika dirinya su-
dah menjadi sombong, iri, dengki, tamak dan kikir. Aku sedih melihatnya. Karena semua itu

pangkal bencana, pangkal penderitaannya di ak-
herat. Oh betapa malangnya, diriku Malaikat... 
bukan yang tercipta dari cahaya tapi Malaikat 
hanya julukan. Malaikat Penderitaan...!" kata la-
ki-laki itu. "Aku meninggalkan tempat pengasin-
ganku karena urusan besar. Kehadiran sang Ma-
ha Sesat juga termasuk urusan yang tidak dapat 
dianggap main-main. Lalu siapakah yang menco-
ba mempermainkan hidup ini? Tuhan murka, 
langit murka, bumi murka, angin murka dan se-
mua yang ada di bumi ini menjadi murka karena 
ulah manusia!" dengus Malaikat Penderitaan 
hanya sekejap kemudian Malaikat Penderitaan 
sudah berlalu meninggalkan puncak bukit itu.
Belum lama Malaikat Penderitaan pergi, di 
puncak bukit Penantian muncul tokoh lainnya. Ia 
seorang wanita berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun. Orang ini memakai anting pada dua lubang 
hidungnya. Di keningnya juga terpasang anting, 
kupingnya, bibirnya. Dan mungkin di setiap ang-
gota tubuhnya yang berlubang terpasang anting.
Perempuan renta ini berpakaian kumuh, 
rambutnya jarang dan sudah berwarna putih se-
muanya. Di lihat sepintas lalu, nenek renta ini 
seperti orang yang tidak pernah mandi selama 
berbulan-bulan. 
"Hik hik hik...! Hartawan Abdi Banda. Akan 
banyak darah yang berceceran karena kekayaan-
nya. Aku akan dapatkan semua itu, urusan be-
sar. Persoalan tidak main-main. Banyak orang-
orang punya ilmu berada di sana. Hu hu hu...!

Sebaiknya aku pergi kesana sekarang!" kata pe-
rempuan itu yang tiada lain adalah Ratu Alam 
Kubur.
Perempuan renta itu kemudian me lan-
jutkan perjalanannya kembali menuju ke singga-
sana milik hartawan Abdi Banda.
Urusan memang semakin runyam, tokoh-
tokoh sakti rimba persilatan banyak yang ber-
munculan dan tentu juga cari keuntungan. Ke-
mudian hadir pula sang Maha Sesat yang menipu 
manusia dengan berbagai cara. Siapa sesungguh-
nya Rana Unggul. Malaikat Penderitaan, Ratu 
Alam Kubur? Benarkah urusan hanya sekedar 
harta? Atau ada persoalan lain yang lebih menarik dari semua itu? Nantikan kelanjutannya!!



                             TAMAT


0 komentar:

Posting Komentar