GENTO GUYON EPISODE TANGAN REMBULAN
1
Terperangkap dalam satu ruangan yang
sangat gelap Memedi Santap Segala yang memiliki
gelar Mahluk Tangan Rembulan sempat dilanda
ketakutan setengah mati. Sejak dirinya terjeblos
dalam perangkap dan tanah yang dipijaknya am-
blas ke bawah, pemuda yang wajahnya mirip mo-
nyet besar, berkulit hitam legam dengan sekujur
tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus dan berperut
besar serta berpuser bodong ini berteriak me-
manggil-manggil majikannya. Tapi suara teria-
kannya lenyap ditelan gemuruhnya suara tanah
yang naik kembali menutup lubang dimana tadi
dirinya meluncur jatuh.
"Datuk Labalang... tolong Datuk. Matilah
saya kali ini Datuk. Ayahku.... ibuku, mereka se-
mua tak tahu saya dan Datuk telah menyeberang
ke tanah Jawa. Oh... Datuk saya takut....!" jerit
pemuda itu dengan perasaan tegang dan tubuh
basah bersimbah keringat dingin. Di tempat dia
terjatuh, Memedi Santap Segala tidak menyadari
dirinya berpijak pada lantai, tanah atau di dalam
air. Pikirannya terlalu kalut, perasaan diliputi ke-
tegangan dan hati pemuda ini didera rasa takut
yang bukan kepalang. Dalam keadaan dilanda
berbagai perasaan begitu rupa, otaknya yang tolol
benar-benar tak dapat dipergunakan untuk berfi-
kir. Yang dia tahu, sejak tanah yang membuat di-
rinya terjeblos naik ke permukaan dan kembali
menutup, di situlah akhir dari semua perjalanan
hidupnya.
Benarkah hidupnya akan berakhir hingga
disitu, terpendam dalam satu ruangan sempit,
disatu tempat jebakan yang entah di buat oleh
siapa. Dalam ruangan gelap dan pengap apa yang
dapat dia lakukan? Mencari jalan keluar untuk
menyelamatkan diri, rasanya itu lebih baik dila-
kukan daripada bersikap pasrah menunggu da-
tangnya ajal. Tertatih-tatih tanpa menghiraukan
pengabnya udara hingga membuat tubuhnya te-
rasa panas laksana terbakar, Memedi Santap Se-
gala segera memeriksa lantai dimana dia berpijak.
Lantai ternyata halus dan licin keras seperti batu
namun mengandung air berbau pesing menyen-
gat.
"Mungkin aku jatuh ke dalam jamban,
sungguh malang sekali nasibku tapi kurasa lebih
celaka lagi jika aku tak dapat keluar dari tempat
ini" batin si pemuda. Dia berusaha berdiri tegak,
sebentar dia menarik nafas. Udara terasa semakin
pengap dan dadanya mulai sakit mendenyut.
Sambil berjalan tertatih-tatih dalam gelap Memedi
Santap Segala mencoba merapat ke dinding ter-
dekat, tangan dijulurkan ke depan meraba. Tak
lama kemudian dia menyentuh dinding yang licin
dan agaknya dinding itu terbuat dari batu.
Sambil melangkahkan kaki, dia meraba se-
panjang dinding batu itu. Tidak ada pintu, tidak
ada jendela. Tidak ada pula jalan keluar!
"Celaka...!" desis Memedi Santap Segala
merasa lelah juga diliputi kebimbangan. "Mung-
kinkah takdir ku harus terkubur hidup-hidup dis-
ini?" Si pemuda membatin dalam hati. Pada suatu
sisi dinding tidak ditemukannya jalan. Tapi masih
ada tiga sisi lainnya. Tiga sisi yang belum sempat
diperiksa itulah merupakan tumpuan harapan sa-
tu-satunya untuk menyelamatkan diri. Mungkin-
kah ada pintu di tiga dinding ruangan sempit
yang belum diperiksanya? Si pemuda jadi bim-
bang. Dia menyadari udara yang terdapat di
ruangan itu sangat terbatas. Jika dia terus-
menerus bernafas, udara segar akan habis. Ke-
mungkinannya dia jadi kehabisan nafas, tubuh-
nya menjadi lemas dada bisa meledak dan dia
akan mati secara perlahan. Sungguh tragis sekali.
"Tidak! Aku tidak mau mati sebelum kete-
mu emak, aku tidak mati sebelum jumpa dengan
bapak ibuku." rintih Memedi Santap Segala keta-
kutan sekali. Dalam keadaan seperti itu dia ingat
pada Tuhan. Hanya kepada Tuhan tempat bagi
manusia untuk meminta dan memohon perlin-
dungan, tapi pemuda ini menjadi malu.
"Aku tidak pernah berusaha mendekat pa-
da Tuhan, aku tidak pernah mengerjakan apa
yang diperintahkannya. Walaupun aku memang
tidak pernah melanggar larangannya. Mungkin-
kah Gusti Allah ingat padaku, sedangkan aku
sendiri tak pernah ingat kepadaNya. Tapi jika ti-
dak pada Tuhan pada siapa lagi aku berserah di-
ri? Kepada Datuk Labalang? Keberadaan orang
tua itu saja sampai saat ini aku tak tahu." keluh
Memedi Santap Segala. Tidak ada pilihan lain,
pemuda berpuser bodong ini akhirnya terpaksa
mengerahkan segenap akal fikiran yang dia miliki
guna untuk mencari jalan meloloskan diri. Tanpa
menghiraukan panasnya udara yang terasa mem-
bakar di dalam ruangan itu Memedi Santap Sega-
la dengan bertumpu pada dinding segera meram-
bat ke sisi dinding berikutnya. Nafas pemuda ini
mulai megap-megap, tubuhnya basah bersimbah
keringat. Di saat seperti itu kesadarannya mulai
timbul tenggelam. Perasaan lelah mendera seku-
jur tubuhnya. Belum lagi dia sampai di ujung sisi
dinding kedua mendadak lutut pemuda ini terasa
goyah, sekujur tubuh gemetar. Bersusah payah
dia coba bertahan, namun pada akhirnya dia ter-
gelimpang roboh juga.
"Apa dayaku kini?" rintih si pemuda. Da-
lam keadaan seperti itu dia teringat pada kantong
perbekalan makanannya. Dia ingin makan seda-
pat yang dia lakukan. Agar jika malaikat maut
menjemputnya, dia bisa menutup mata dengan
perut kenyang. Lalu dengan menggunakan tangan
kirinya yang terkulai di atas paha, Memedi Santap
Segala bermaksud mengambil makanan dari kan-
tong perbekalan. Si pemuda mengeluh, dia malah
hampir menangis di saat menyadari kedua tan-
gannya tak dapat digerakkan sama sekali. Jan-
gankan untuk mengambil makanan, sedangkan
digerakkan pun sulit. Seolah tangan itu berubah
berat menjadi ratusan kati.
"Tuhan... mungkin sudah menjadi takdir
ku harus mati dalam keadaan lapar. Oh, jelek
amat takdir ku ini. Tapi jika itu memang harus
terjadi rasanya aku setengah rela, ya Tuhan. Te-
rus terang aku sendiri sangat takut dan belum
siap menghadapi kematian. Bagaimana ini?" kata
si pemuda. Gema suaranya hanya sampai pada
batas tenggorokannya saja. Tak kuasa Memedi
Santap Segala menahan berat badannya sendiri
yang semakin lama terasa kian bertambah berat,
pada akhirnya pemuda itu rebah menelentang
tanpa daya. Walaupun dia jatuh rebah di tempat
becek berbau pesing, tapi dia tetap merasakan
sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang di
atas bara api. Bahkan tenggorokannya pun terasa
kering. Sehingga ketika dia menelan ludah, ma-
tanya nampak mendelik seperti dicekik.
Beberapa saat dalam keadaan seperti itu,
Memedi Santap Segala mencoba memacu otaknya
yang mulai melemah. Dia kemudian ingat akan
sesuatu
"Batu Rembulan....!" desis pemuda itu. Se-
kelumit harapan muncul di dalam benaknya. Di-
apun mengumpulkan segenap tenaga yang tersi-
sa, tangannya kembali digerakkan. Kali ini di-
arahkannya ke bagian saku celana hitamnya.
Dengan tangan gemetar lima jari tangannya me-
nyentuh benda bulat sebesar telur ayam yang be-
rada di dalam saku kiri.
Batu bulat lonjong itu lalu dikeluarkan.
Dengan mata redup dia mencoba menatap batu
kesayangannya itu. Tapi dalam gelap, jangankan
batu, kedua tangannya sendiri tak terlihat.
"Batu Rembulan batu sakti, tunjukkan se-
gala kesaktianmu. Saat ini aku benar-benar san-
gat membutuhkan bantuanmu. Bantulah aku Ba-
tu Rembulan!" rintih Memedi Santap Segala lirih.
Perlahan dia genggam batu berwarna putih itu
dengan kelima jemari tangannya. Seluruh sisa te-
naga dalam yang dia miliki dikerahkan, lalu dis-
alurkan ke bagian tangan yang memegang Batu.
Begitu tenaga mulai mengalir ke batu bulat lon-
jong itu, maka terjadilah sesuatu yang sangat
menakjubkan. Batu Rembulan memancarkan ca-
haya redup berwarna putih, cahaya itu semakin
lama semakin bertambah terang hingga meneran-
gi seluruh ruangan yang sempit pengap dan cuma
setinggi sosok Memedi Santap Segala sendiri! Wa-
jah yang pias dan bersimbah keringat itu nampak
tersenyum,
"Terima kasih. Aku.... aku ingin melihat
apakah di salah satu dinding ruangan ini terdapat
pintu. Bergeraklah, teliti setiap jengkal batu yang
terdapat di seluruh dinding ini!" perintah Memedi
Santap Segala. Baru saja suara si pemuda itu le-
nyap. Satu keanehan lagi terjadi. Batu melesat
meninggalkan telapak tangan pemuda berkulit hi-
tam legam, bergerak mengambang menelusuri
dinding melewati sisi demi sisi, sampai kemudian
Memedi Santap Segala keluarkan satu seruan.
"Berhenti di situ Batu Rembulan!"
Seakan mengerti batu yang memancarkan
cahaya putih terang yang semula bergerak menelusuri dinding kini diam tepat di salah satu sudut
dimana terdapat empat garis berbentuk pintu.
Lupa akan keadaannya yang lemah tak bertenaga,
Memedi Santap Segala segera bangkit dan men-
coba mendekati pintu batu. Nafas megap-megap,
kini dia merasakan sekujur tubuhnya seakan su-
dah tidak memiliki tulang.
Dengan tatapan nanar Memedi Santap Se-
gala memandang ke arah Batu Rembulan. Mulut-
nya membuka berucap. "Batu Rembulan batu
sakti, aku telah kehilangan semua daya yang ku-
miliki. Kini aku hanya bisa mengharapkan ban-
tuanmu. Batu Rembulan, andai kau mampu
mendobrak pintu batu itu, mencari jalan selamat
untuk diriku aku pasti akan sangat berterima ka-
sih sekali" kata si pemuda
Batu Rembulan yang mengambang di uda-
ra tiba-tiba saja berputar mengeluarkan suara
angin menderu yang sangat kencang luar biasa.
Bersamaan dengan itu pula mendadak Memedi
Santap Segala merasakan udara yang luar biasa
panasnya di dalam ruangan itu berubah menjadi
dingin. Si pemuda yang semula nampak putus
asa kini tersenyum sambil menghirup udara da-
lam-dalam.
"Terima kasih Tuhan, terima kasih Batu
Rembulan!" seru si pemuda sambil bersujud dan
bentur-benturkan keningnya di atas lantai yang
becek.
Apa yang terjadi pada Batu Rembulan
nampaknya masih terus berlanjut, karena masih
dengan terus berputar Batu Rembulan tiba-tiba
saja melesat menghantam dinding yang berben-
tuk pintu. Sinar putih berkiblat, gemuruh angin
menggila. Ketika Batu Rembulan membentur
dinding batu terjadilah ledakan keras berdentum.
Buuum!"
Pintu batu hancur berkeping-keping. Dind-
ing di kanan kiri pintu rengat di sana sini, se-
dangkan tiga sisi dinding lainnya bergetar. Gun-
cangan yang keras membuat Memedi Santap Se-
gala terlempar, jatuh tunggang langgang. Si pe-
muda mengusap keningnya yang benjol besar dan
meneteskan darah akibat terbentur dinding. Den-
gan pandangan nanar berkunang-kunang Memedi
Santap Segala memandang ke arah Batu Rembu-
lan yang kini hampir kehilangan sebagian besar
tenaga dan kesaktiannya akibat menghancurkan
pintu batu tadi. Bukan hanya itu saja, Batu Rem-
bulan sudah tidak seterang tadi. Dan semua ini
merupakan pertanda paling tidak Batu Rembulan
membutuhkan waktu satu hari untuk memulih-
kan kesaktiannya sendiri.
"Aku sudah bisa bernafas, aku sudah be-
bas. Batu Rembulan... aku tahu dirimu sangat le-
lah sekali. Kemarilah.... kau istirahat di dalam
kantong ku. "Kata Memedi Santap Segala yang
sudah melihat di balik hancurnya batu menyeru-
pai pintu memancar cahaya merah temaram.
2
Batu Rembulan bergerak cepat, berputar-
putar hingga mengeluarkan suara berdesing. Des-
ing aneh yang ditelinga Memedi Santap Segala ti-
dak ubahnya seperti suara rintih kelelahan. Pe-
muda itu kemudian acungkan telapak tangannya.
Batu Rembulan jatuh di atas telapak tangan si
pemuda. Setelah mencium batu itu beberapa kali
dengan penuh rasa terima kasih, dia masukkan
batu sakti itu ke dalam saku celananya.
"Aku harus keluar dari tempat ini, melalui
pintu batu yang hancur itu agaknya aku bisa me-
nemukan sebuah jalan" fikir Memedi Santap Se-
gala. Dia lalu bangkit berdiri, berjalan mendekati
pintu batu dengan langkah masih sempoyongan.
Begitu pemuda hitam legam ini sampai di
balik pintu di mana cahaya merah membersit ke-
luar dari segenap penjuru langit-langit ruangan
batu, Memedi Santap Segala merasakan ada hawa
dingin menyengat tubuhnya. Tapi si pemuda sa-
ma sekali tak menghiraukannya, sepasang mata
menatap ke seluruh penjuru ruangan yang luas.
Dia melihat di tengah-tengah ruangan terdapat
sebuah meja bundar berwarna merah, namun di-
atas meja diberi penutup yang bentuknya seperti
tudung saji. Dari balik penutup meja dia melihat
ada cahaya yang membersit keluar. Cahaya ber-
warna putih yang tidak ubahnya seperti kristal.
"Ada meja tak ada kursinya. Di balik penu
tup meja bundar itu mungkinkah terdapat maka-
nan disitu?" fikir Memedi Santap Segala. Saat itu
dia merasakan perutnya menjadi sangat lapar se-
kali. Dia raba dan usap perutnya yang bundar.
Lidah terjulur begitu terbayang olehnya makanan
yang enak, lezat.
"Ruangan ini sangat bersih, menebar bau
harum semerbak. Mungkin ruangan ini merupa-
kan tempat tidur raja." Si pemuda terdiam, sete-
lah berfikir sejenak diapun gelengkan kepala. "Ka-
lau tempat tidur mengapa tak kulihat peraduan-
nya. Boleh jadi ruangan ini tempat bersantap
kaum bangsawan." Sambil tersenyum dia membe-
tulkan ucapannya yang salah. Beberapa saat la-
manya Memedi Santap Segala berdiri tegak di-
tempatnya. Setelah memperhatikan meja bundar
sekejab, dia kemudian memutuskan untuk mem-
buka penutup meja.
"Ketika aku terperangkap di dalam ruangan
terkutuk itu hampir saja aku kehilangan harapan
hidup. Kini setelah aku bebas aku ingin makan
sepuas-puasnya. Mudah-mudahan di atas meja
itu terdapat makanan enak. He he he." Sambil
tertawa-tawa Memedi Santap Segala melangkah
mendekati meja batu yang bagian bawahnya lang-
sung menempel di lantai. Sejarak satu tombak di
depan meja batu, si pemuda hentikan langkah-
nya. Dia memperhatikan bagian penutup meja. Di
balik penutup yang berwarna putih mengkilap itu,
ada cahaya gemerlap yang memancar terang ben-
derang.
"Ada cahaya aneh dibalik tudung meja ini.
Cahaya apakah, rasanya tidak ada makanan di
dunia ini yang memancarkan cahaya," membatin
Memedi Santap Segala. Dia tersenyum tapi otak-
nya kembali berfikir. "Tidak mungkin yang kulihat
ini dijadikan tempat meletakkan makanan. Se-
suatu yang memancar di balik tudung ku rasakan
mengandung getaran aneh. Bisa jadi meja ini di-
jadikan tempat menyimpan benda pusaka. Aku
harus membuka penutupnya!" Si pemuda kemu-
dian melangkah lebih mendekat lagi. Tangan ka-
nan kemudian dijulurkan. Begitu tangan mende-
kat ke bagian atas penutup meja, tangan Memedi
Santap Segata terasa panas dan bergetar. Ada
hawa aneh yang mengalir deras dan menjalar
memasuki tubuh Memedi Santap Segala melalui
bagian ujung jemarinya.
Dengan perasaan kaget diliputi ketegan-
gan, pemuda itu cepat jatuhkan tangannya. Hawa
panas yang mengalir melalui tangan tadi kini te-
rus menjalar ke sekujur tubuh, sebagian meram-
bat ke bagian kepala menembus sel-sel otaknya,
sedangkan sebagian lainnya bergerak ke jantung
perut dan kemudian lenyap di pusat pengendalian
tenaga dalam yaitu disekitar pusat si pemuda
yang bodong. Beberapa saat lamanya puser itu
berkedut, bergerak, cepat seperti denyut jantung.
Tapi pada kesempatan lain Memedi Santap Segala
merasa perutnya menjadi mulas.
"Aduh biung celaka benar nasibku ini." ke-
luh si pemuda sambil terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Perut kemudian diremasnya
sampai dia mengeluarkan suara kentut bertalu-
talu sebanyak lima kali. Satu keanehan menda-
dak terjadi, begitu suara kentut Memedi Santap
Segala menggema di dalam ruangan. Detik itu pu-
la penutup tudung meja batu merah terpental, ja-
tuh di atas lantai merah dan hancur berantakan
menjadi serpihan-serpihan halus.
Memedi Santap Segala yang sempat dibuat
kaget dengan hancurnya tudung meja kini me-
mandang ke arah meja batu merah. Kejut pemuda
hitam ini bukan alang kepalang begitu dia melihat
satu legukan di atas meja dimana di dalam legu-
kan batu itu terdapat sebuah benda berbentuk
bintang dengan empat sudut berwarna putih
mengkilap yang keseluruhan sisinya memiliki ke-
tajaman yang sangat luar biasa.
"Senjata aneh.... putih bercahaya seperti
kristal. Aku menduga mungkin inilah barangnya
yang dicari Datuk Labalang. Aku yakin benda ini
yang bernama Bintang Penebar Petaka. Kalau be-
nar dugaanku berarti saat ini aku berada di da-
lam ruangan tempat penyimpanan senjata maut
ini. Haruskah kuserahkan benda ini pada Datuk
Labalang? Aku sendiri tidak kemaruk untuk me-
milikinya. Dunia persilatan bisa geger jika senjata
ini sampai jatuh ke tangan yang salah." kata Me-
medi Santap Segala. Sejenak lamanya si pemuda
yang memiliki daya fikir rendah, polos bersahaja
ini diam tegak di tempatnya. Bila semula niatnya
untuk mencari jalan keluar guna untuk menyelamatkan diri. Maka kini timbul keinginannya un-
tuk mengambil senjata maut berbentuk bintang
persegi empat itu.
"Di tanganku senjata ini mungkin bisa
aman. Aku tak tahu siapa pemiliknya. Tapi pada
yang menyimpan aku ucapkan terima kasih! "kata
Memedi Santap Segala. Pemuda ini julurkan tan-
gannya kembali. Tangan yang tergetar dilanda ke-
tegangan ini kemudian bergerak menyentuh ba-
gian tengah senjata. Begitu pertengahan senjata
yang berlubang tersentuh olehnya, Memedi San-
tap Segala menjerit kesakitan. Jemari tangan
yang memegang senjata terasa panas laksana ter-
bakar. Tapi anehnya begitu dia mencoba melepas
jarinya dari senjata. Jari itu menempel ketat sulit
dilepas. Dengan perasaan bingung si pemuda ta-
rik tangannya. Begitu tangan ditarik maka Bin-
tang Penebar Petaka ikut tertarik keluar dari tem-
pat penyimpanannya.
Dia lalu gerakkan tangannya, diguncang
berulang-ulang, namun senjata tetap menempel.
Sampai Memedi Santap Segala merasa kecapaian
sendiri, tapi Bintang Penebar Petaka tetap me-
nempel ditangannya. Pemuda ini akhirnya henti-
kan gerakan tangan. Dia pandangi senjata itu
dengan tatapan penuh rasa tak percaya. Dia lebih
terkejut lagi ketika melihat cahaya putih gemerlap
yang memancar dari senjata yang tengah dicari
banyak tokoh itu mulai meredup. "Bagaimana hal
ini bisa terjadi?" Memedi Santap Segala bergu-
mam sendiri. Sekali lagi si pemuda perhatikan
senjata itu. Cahaya berkilau yang memancar dari
senjata tersebut kini lenyap sama sekali. Dengan
lenyapnya cahaya putih maka hawa panas yang
menyengat tangan si pemuda lenyap pula. Dia
kemudian menyimpan senjata itu di dalam kan-
tong perbekalannya.
"Tak pernah kusangka aku yang menda-
patkan senjata ini." Batin Memedi Santap Segala.
Dia lalu melangkah meninggalkan bagian tengah
ruangan menuju anak tangga yang agaknya
menghubungkan ke ruangan lain. Paling tidak
saat itu jikapun benar dia terjebak di dalam salah
satu ruangan Kuil Setan, dia ingin keluar sedapat
yang dilakukannya.
Di luar sepengetahuan Memedi Santap Se-
gala sesungguhnya ada sepasang mata yang terus
mengawasi setiap gerak geriknya. Pemilik sepa-
sang mata yang mendekam disalah satu sudut
ruangan besar nampak tercengang seakan tidak
percaya begitu melihat dengan mudahnya Memedi
Santap Segala mengambil senjata Bintang Pene-
bar Petaka. Padahal sebelum kehadiran pemuda
itu tadi, dia sudah berusaha mengambil senjata
tersebut dari tempat penyimpanannya di atas me-
ja. Jangankan untuk mengambil senjata itu, se-
dangkan untuk membuka tudung penutup meja
pun dia tidak sanggup, seolah tudung yang ter-
buat dari kristal itu beratnya mencapai ribuan ka-
ti.
"Aneh.... dia sanggup mengangkat tudung
meja, padahal kedua tangannya tidak melakukan
apapun. Ilmu apa yang dia miliki? Yang kudengar
tadi dia memegangi perutnya. Lalu aku menden-
gar suara kentut bertalu-talu sebanyak lima kali.
Mungkinkah kentut itu yang membuat kesaktian
yang menyelimuti meja punah? Atau memang dia
memiliki ilmu yang lain. Apa yang harus kulaku-
kan kini?" batin sosok itu sambil mencoba memu-
tar otak. Dia pun tersenyum ketika selintas akal
menyelinap di dalam fikirannya. "Aku harus me-
rampas senjata itu dari tangan pemuda bermuka
monyet tadi. Tapi aku harus menggiringinya ke-
luar. Cepat atau lambat lenyapnya senjata akan
menimbulkan kegegeran besar bagi Yang Agung.
Rasanya tidak perlu aku membantu mereka. Aku
harus menyelesaikan tugasku sendiri. Sedangkan
mengenai Gento, Ambini dan yang lain-lainnya.
Biarlah Maut Tanpa Suara yang mengaturnya."
kata pemilik sepasang mata itu sambil sungging-
kan seringai. Dia kemudian memandang ke arah
undakan anak tangga. Ternyata pemuda hitam le-
gam yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu su-
dah tidak ada lagi disitu.
Tergesa-gesa pemilik sepasang mata segera
keluar dari tempat persembunyiannya dan lang-
sung mengejar ke arah lenyapnya Memedi Santap
Segala.
3
Sosok besar dalam keadaan tertotok dan
kaku seperti kayu terus dibawa berlari dengan
kecepatan laksana terbang. Sungguhpun sosok
berpakaian serba putih itu memiliki tubuh pen-
dek luar biasa, namun si pendek dengan tinggi ti-
dak sampai sepinggang orang dewasa itu terus
membawa si gendut Gentong Ketawa menjauh da-
ri Kuil Setan. Padahal besar badan sosok serba
putih bila dibandingkan dengan si kakek gendut
jelas tidak sebanding. Bahkan badan Gentong Ke-
tawa lima belas kali lebih besar dibandingkan be-
sar badan orang yang membawanya.
Semua ini membuktikan kalau sosok pen-
dek kerdil itu disamping memiliki ilmu lari cepat
serta ilmu meringankan tubuh yang sangat luar
biasa, juga memiliki kesaktian yang amat tinggi.
Dalam keadaan dibawa berlari sekencang
itu, mendadak saja si gendut berucap. "Seumur
hidup belum pernah aku berlari dalam keadaan
terlentang begini. Kurasa hari ini peruntunganku
memang sedang bagus. Sudah terhindar dari an-
caman maut, sekarang digendong pula, Oalah...
rasanya sungguh nyaman sekali hidup ini. Kalau
keadaan menyenangkan ini bisa berlangsung se-
tiap hari, lama-lama tubuhku semakin bertambah
gembul. Ha ha ha....!"
Sosok pendek kerdil yang membawa kakek
Gentong Ketawa diatas kepalanya keluarkan sua
ra mendengus. Sampai disatu tempat yang dipe-
nuhi semak berduri, sosok berpakaian serba pu-
tih langsung melemparkan si kakek gendut.
Tubuh besar tinggi itu melesat di udara.
Karena dalam keadaan tertotok tentu saja dia tak
dapat selamatkan diri atau menghindar dari se-
mak-semak berduri itu.
Gusraak!
Bluk!
"Walah, aduh biyung. Habis dipanggul se-
karang kok malah dibanting. Apa salah dosaku?"
pekik Gentong Ketawa yang kini tubuh besarnya
sudah berada di bawah semak-semak berduri ta-
jam.
Si pendek kerdil yang membawanya tadi ti-
dak menjawab. Dari mulutnya terdengar suara
mendengus kesal. Sedangkan jari diacungkan ke
arah si kakek gendut besar. Ada hawa aneh
membersit keluar dari jari telunjuknya yang lang-
sung menerpa punggung si gendut Gentong Keta-
wa.
Tes! Tes!
Hawa dingin menyengat punggung Gentong
Ketawa. Begitu merasakan tubuhnya terbebas da-
ri pengaruh totokan, maka tawa si kakek pun tak
terbendung lagi. "Sekian lama aku dibawa berlari,
aku sampai lupa membebaskan totokan di tu-
buhku sendiri. Ha ha ha!" kata si gendut.
"Diam! Tidak tahukah kau sedang berha-
dapan dengan siapa?" hardik sosok pendek kerdil
dengan suara keras menggeledek. Bentakan itu
membuat tawa si gendut lenyap seketika. Dia se-
gera duduk dan langsung memandang ke arah
penolongnya. Begitu menyadari siapa adanya
orang ini, wajah si gendut yang biasanya cerah
ceria kini mendadak berubah pucat, mata melotot
dan mulut ternganga. Saat itu si gendut tidak
ubahnya seperti melihat hantu di siang bolong.
Tak percaya dengan penglihatannya sendiri orang
tua itu sampai mengusap matanya berulang kali.
"Guru.... Guru Kuntet Mangku Bumi. Ah
tidak kusangka orang yang telah menolongku ter-
nyata Dewa Kincir Samudera. Maafkan muridmu
ini, tadinya aku sudah menduga penolongku ada-
lah guru sendiri. Tapi karena guru tidak menja-
wab, maka aku jadi beranggapan bahwa yang
menolongku adalah orang lain!" kata si gendut
Gentong Ketawa. Berapa kali dia menjura ke arah
kakek renta berpakaian putih berbadan pendek
cebol bermuka asam yang berdiri tegak dihada-
pannya. Melihat pada sikap si gendut yang nam-
pak ketakutan sekali melihat kakek kerdil ini jelas
kalau gurunya Gento Guyon itu merasa jerih pada
si cebol.
Di depannya sana si kakek kerdil bernama
Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa Kincir Sa-
mudera diam tak bergeming. Sepasang matanya
mencorong tajam, memandang pada si gendut be-
sar dengan tatapan tak berkesip.
Melihat si kakek cebol berusia sekitar sera-
tus dua puluh tahun ini hanya diam dan unjuk-
kan tampang mengandung teguran, maka si gendut jantungnya jadi dag dig dug tak karuan. Dia
merangkak mendekat, lalu berlutut di depan gu-
runya si kakek cebol bermuka masam. Sambil
berlutut begitu rupa, dengan wajah ditundukkan
tak berani menatap orang didepannya dia beru-
cap. "Guru, muridmu ini dari kecil sampai tua se-
perti sekarang memang geblek. Bahkan aku
punya murid kewarasan otaknya tidak dapat ku-
jamin. Hanya biarpun begitu kuharap guru tidak
menjadi marah karena satu kesalahan yang aku
perbuat. Guru saat ini muridku dalam ancaman
bahaya besar. Sebagai murid geblek, aku mohon
petunjuk sekaligus saranmu." ujar si gendut den-
gan tubuh menggigil dan pakaian basah oleh ke-
ringat.
Si Kakek kerdil usap-usap kumis dan jang-
gutnya yang lebat memutih. Setelah memperhati-
kan Gentong Ketawa untuk beberapa saat la-
manya si cebol berkata. "Tua bangka sinting. Apa
guna kau diberi kening lebar jika cara berfikirmu
terlalu sempit. Mengurus dirimu sendiri saja kau
tak punya kebecusan apa-apa, bagaimana kau bi-
sa mengawasi muridmu. Aku sebagai gurumu
sengaja datang menemuimu bukan karena
mengkhawatirkan keselamatanmu. Kalau kau
mati, karena ketololan mu sendiri mengingat kau
sudah tua mana menjadi penyesalan bagiku.
Yang aku khawatirkan saat ini begitu banyak
orang yang menginginkan senjata maut Bintang
Penebar Petaka. Padahal jika berada di tangan
orang yang salah dia senjata itu bisa menjadi
pangkal dari segala bencana. Saat ini aku sangat
ingin sekali bertemu dengan Yang Agung, mak-
hluk jerangkong yang menguasai Kuil Setan. Jika
dia mau menerima saranku, aku ingin senjata itu
dihancurkan saja." ujar Dewa Kincir Samudera. Si
kakek gendut jadi tercengang.
"Mengapa harus dihancurkan guru? Jika
senjata itu berada di tangan orang yang bertang-
gung jawab, tentu akan menghasilkan banyak
manfaat." ujar si gendut.
"Kau murid tolol tahu apa? Ketahuilah se-
belum kau muncul di Kuil Setan aku telah me-
nyelidik. Sedikitnya ada tiga orang yang mengin-
car senjata itu. Pertama adalah seorang tokoh da-
ri Andalas, orang ini kulihat lenyap bersama
pembantunya dan tidak muncul kembali. Kemu-
dian seorang pemuda berpakaian merah, aku te-
lah menyirap kabar konon dia murid tunggal Be-
gawan Panji Kwalat."
Sepasang mata si gendut membesar men-
dengar disebutnya nama itu.
"Begawan Panji Kwalat. Manusia salah ka-
prah yang dapat menghancurkan lawan hanya
dengan ucapannya saja?" desis Gentong Ketawa.
"Kau benar."
"Lalu yang satunya lagi siapa guru?" tanya
si kakek gendut.
"Yang satunya tentu kawanmu, manusia
keblinger Si Tangan Sial. Manusia segala kesialan
itu hampir mencelakaimu" jelas Dewa Kincir Sa-
mudera sambil mencibir.
"Tunggu, seingatku walau kami berteman
belum begitu lama, Si Tangan Sial tidak kemaruk
dengan berbagi macam senjata. Lagi pula menga-
pa tiba-tiba dia ingin membunuh Gento. Sekarang
aku curiga bukan mustahil Si Tangan Sial sengaja
diperalat oleh seseorang."
"Kalaupun benar, orang yang memperalat-
nya pasti Begawan Panji Kwalat. Aku tahu persis
manusia sesat yang satu itu memiliki berbagai
senjata rahasia yang dapat mempengaruhi dan
menekan seseorang. Salah satu diantaranya yang
paling hebat adalah Jarum Penggendam Roh. Sia-
papun yang ditubuhnya telah ditanam jarum itu,
otak hati dan fikirannya berada di bawah penga-
ruh Begawan Panji Kwalat." Menerangkan bahkan
Dewa Kincir Samudera.
"Jika benar, mengapa Begawan itu mengu-
tus muridnya kesini?" tanya Gentong Ketawa he-
ran.
Untuk pertama kalinya si kakek cebol ter-
senyum. "Bocah edan ini setelah puluhan tahun
terpisah dariku otaknya tetap goblok seperti dulu-
dulu juga." batin si kakek.
"Eeh, mengapa guru tersenyum?" tanya si
gendut jadi salah tingkah.
"Aku tersenyum karena merasa menyesal,
mengapa sejak dulu aku tidak memelihara kele-
dai. Karena aku menganggap keledai sama tolol-
nya dengan dirimu." dengus si kakek cebol.
Wajah putih si gendut sempat bersemu me-
rah. Tapi dia sama sekali tidak merasa tersinggung mendengar ucapan gurunya yang paling dia
segani. Sebaliknya Gentong Ketawa malah tertawa
tergelak-gelak.
"Kalau dulu kau memelihara keledai, aku-
pun ikut senang. Kemana-mana aku jadi bisa
naik keledai. Ha ha ha." celetuk si kakek diiringi
tawa berderai. Melihat muridnya si kakek gendut
tertawa, maka si kakek pendek cebol mendadak
hentikan wajahnya. Wajah si kakek yang angker
kini berubah masam. "Gentong Ketawa....jadi ma-
nusia jika tertawa, tertawalah sekedarnya. Agar
jika kau bersedih, kesedihan mu hanya sekedar-
nya pula. Saat ini kau sedang menghadapi satu
masalah yang tidak kecil. Muridmu bisa tidak ke-
tolongan jika begini caranya kau mengatasi satu
masalah. Selain itu kita juga harus mencegah
agar Bintang Penebar Petaka jangan sampai jatuh
ke tangan pihak yang salah." kata Kuntet Mangku
Bumi alias Dewa Kincir Samudera tegas.
"Guru, untuk memasuki Kuil Setan bukan
suatu pekerjaan mudah. Satu-satunya pintu di
kuil itu hanya terbuka dalam waktu tertentu. Se-
dang saat ini aku tidak tahu dimana muridku di
sekap." ujar si kakek gendut sambil mengusap
wajahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Dewa Kincir
Samudera delikkan matanya. Hingga membuat si
kakek gendut jadi menciut nyalinya.
"Kelebihan manusia dengan mahluk berka-
ki empat, manusia itu diberi perasaan dan otak
untuk berfikir. Dalam hidup ini hanya orang yang
pandai menggunakan otak dan fikirannya yang
dapat menguasai dunia. Kau punya badan begini
besar, batok kepala juga besar. Di balik batok ke-
pala yang besar itu apakah kau mempunyai otak
sebesar nyamuk?"
"Sialan orang tua ini, menghina tidak pakai
kira-kira," gerutu Gentong Ketawa. Walaupun ha-
tinya kesal mendengar ucapan si kakek cebol,
namun dia menjawab juga. "Otakku cukup besar
juga guru. Tapi terkadang sering keluar kuning-
kuningnya dari lubang telinga. Mungkin cairan
yang keluar itu membuat otakku jadi sedikit beb-
al, ha ha ha. "kata si gendut disertai tawa.
"Manusia tolol. Sejak kecil aku memang
sudah memperkirakan kau akan seperti ini bila
besar. Sesuai dugaanku sampai tua ternyata gi-
lamu makin menjadi-jadi. Kau selalu tertawa da-
lam menghadapi persoalan walaupun itu me-
nyangkut urusan mati hidupnya seseorang. Seo-
lah hidup dan dunia ini kau pandang indah dan
menyenangkan. Lain kali jika bertemu denganku
jangan suka tertawa, salah-salah kubetot copot
lidahmu." hardik si kakek cebol.
"Jangan! Ampun!" desah si gendut. Saking
takutnya si gendut buru-buru katubkan bibirnya.
"Sekarang jangan membuang waktu lagi.
Sebelum akhir bulan sabit tiba dan muridmu di-
jadikan korban persembahan untuk memuja kea-
gungan Iblis Berjubah Merah kau harus ikut den-
ganku!" tegas gurunya.
"Iblis Berjubah Merah baru kali ini aku
mendengar namanya. Apakah guru dapat menje-
laskan padaku siapa orangnya yang guru mak-
sudkan itu?" tanya Gentong Ketawa.
Dewa Kincir Samudera terdiam sejenak.
Setelah memperhatikan muridnya sejenak baru
kemudian dia berkata. "Iblis Berjubah Merah itu-
lah Yang Agung. Mahluk penguasa Kuil Setan.
Konon kudengar dia masih mempunyai dua orang
murid. Salah satu muridnya berwajah buruk
mengerikan, sedangkan yang satunya lagi seorang
gadis cantik jelita. Konon gadis itu adalah seorang
bidadari yang terpesat di negeri ini dan sedang
mencari jalan pulang ke Kayangan....!"
"Mengenai Yang Agung dan muridnya aku
tidak perduli. Yang ku fikirkan saat ini adalah
tentang keselamatan muridku dan seorang saha-
bat yang bernama Ambini." kata Gentong Ketawa.
"Gendut tolol, apakah kau mengira jika kita
dapat menemukan muridmu dan sahabatmu itu
kita dapat membebaskannya begitu saja? Begitu
banyak hal yang tidak kau mengerti dan sulit ba-
giku untuk menerangkannya. Lebih baik kau iku-
ti aku. Aku sudah mengetahui satu jalan rahasia
untuk masuk menyusup ke dalam Kuil Setan." te-
gas si kakek cebol.
"Apa maksud guru?" tanya si kakek gen-
dut.
"Gendut sinting. Sekarang waktunya bagi
kita untuk melakukan segala sesuatunya. Malam
sebentar lagi segera menyelimuti tempat ini. Tiga
penjaga Kuil Setan kekuatannya semakin berlipat
ganda bila malam hari. Menghadapi Maut Kuning
saja aku belum tentu dapat menjatuhkannya,
terkecuali aku mengetahui titik kelemahannya.
Apalagi jika Maut Merah dan Maut Biru mengga-
bungkan kekuatan yang mereka miliki, bukit ini
dengan mudah dapat mereka runtuhkan
"Tapi bukankah sebelum guru membawaku
kemari, guru telah menghancurkan Maut Kuning
dengan pukulan Lima Pusaran Kincir Dewa?"
tanya Gentong Ketawa. Dia lalu ingat, sebelum
gurunya membawanya pergi dari puncak bukit,
dia melihat dua kepala Maut Kuning menggelind-
ing di atas tanah. Selain itu tangan dan kaki pu-
tus, pinggang terpotong menjadi dua bagian.
Orang yang sudah dalam keadaan demikan rupa
mungkinkah masih ada harapan untuk hidup
kembali? Setidaknya Gentong Ketawa berfikir de-
mikan.
"Kau benar, muridku. Lima sinar mautku
memang telah membuat tubuhnya terpotong-
potong menjadi beberapa bagian. Tapi kau harus
ingat, tiga mahluk iblis itu memiliki ilmu Menyen-
tuh Bumi Menyatu Badan. Jika bagian tubuhnya
yang terpotong-potong itu menyentuh bumi maka
dia akan hidup kembali. Terkecuali kita dapat
mengetahui titik kelemahannya.
Menerangkan Dewa Kincir Samudera.
"Jadi guru sudah mengetahui titik kelema-
han mahluk jahanam itu?" tanya si gendut.
"Belum. Sedang ku fikirkan." jawab si ka-
kek cebol.
"Apa... Kalau begitu kita sama tidak tahu
dimana titik kelemahan mahluk itu? Padahal kita
tidak dapat masuk ke Kuil Setan dengan leluasa
sebelum dapat melenyapkan tiga mahluk sakti
keparat. Guru kurasa....!" Gentong Ketawa ter-
paksa telan kembali ucapannya karena begitu
melihat kedepan Dewa Kincir Samudera ternyata
telah lenyap dari hadapannya. Si Kakek gendut
gelengkan kepala. "Kampret juga orang itu. Aku
dibiarkannya bicara sendiri seperti orang gila." ge-
rutu Gentong Ketawa. Sambil tersenyum-senyum
si gendut kemudian berkelebat pergi menyusul
gurunya.
4
Sore harinya di saat matahari hampir teng-
gelam di ufuk barat. Sebagaimana yang telah di-
perintahkan Yang Agung, pemuda berwajah bu-
ruk berpakaian merah ini dengan dibantu oleh
Maut Biru dan Maut Merah segera mengeluarkan
satu sosok berdestar hitam berwajah angker yang
sekujur tubuhnya dililit benang merah. Sosok se-
tinggi galah berkerudung hitam ini bukan lain
adalah salah seorang tokoh dunia persilatan dari
tanah Andalas bernama Datuk Labalang dengan
gelar Datuk Penguasa Tujuh Telaga. Dalam epi-
sode (Maut Merah) telah sama kita ketahui ba-
gaimana Datuk berkeinginan memiliki senjata he-
bat Bintang Penebar Petaka. Tapi ketika dia berada di puncak Bukit di samping Kuil Setan. Maut
Merah telah menghadangnya. Tokoh sakti ini ke-
mudian bahkan dapat diringkus. Celakanya
sungguhpun dia dapat memunahkan totokan
Maut Merah. Tapi dia tak dapat memutuskan be-
nang-benang merah yang melibat tubuhnya. Kini
dalam keadaan terbelenggu demikian rupa Datuk
Labalang hanya dapat delikkan matanya sambil
memaki panjang pendek.
"Keparat jahanam, aku hendak kalian bawa
ke mana?" teriak si kakek berbadan setinggi galah
berang. Maut Merah dan Maut Biru, sosok berba-
dan besar berleher panjang berkepala empat
hanya keluarkan suara mendengus. Sedangkan
Maut Tanpa Suara yang di bagian keningnya ber-
lubang dimana di dalam lubang itu mendekam
seekor ular berbisa tertawa tergelak-gelak.
"Orang tak dikenal setinggi galah. Kami
akan mengantarmu ke gerbang maut. Kau tidak
perlu takut apalagi gusar dan marah. Karena ada
dua orang lagi yang akan menemani arwahmu
menuju ke alam baka. Ha ha ha." jawab pemuda
buruk wajah sambil tertawa terbahak-bahak.
"Pemuda muka setan, aku Datuk Labalang
jangan kira takut menghadapi segala ancaman.
Awas jika aku sampai bisa memutuskan benang-
benang laknat ini tubuhmu akan kubuat hancur
rusak mengerikan!" teriak sang Datuk yang saat
itu tengah digotong oleh Maut Merah dan Maut
Biru. Maut Tanpa Suara sunggingkan seringai
mengejek.
"Ucapan yang sama sering kudengar sema-
sih dirimu berada di dalam ruangan Penentuan
Ajal. Sekarang dalam keadaan menyedihkan begi-
ni rupa kau masih juga tidak malu bicara besar?!"
dengus Maut Tanpa Suara.
Wajah pemuda itu bergerak-gerak, mata
membeliak mendelik besar rupanya dia merasa
sangat tersinggung mendengar datuk Labalang
menyebutnya 'muka Setan'. Sambil memandang
penuh kebencian, Maut Tanpa suara meneruskan
ucapannya. "Bagimu tidak ada lagi jalan selamat.
Nasib perjalanan hidupmu telah ditentukan be-
rakhir malam ini." Selesai berkata, mulut si pe-
muda berkemak-kemik seperti orang membaca
mantra. Lalu dia menunjuk ke halaman Kuil Se-
tan sambil berteriak ditujukan pada Maut Merah
dan Maut Biru. "Baringkan dia di ranjang Kebina-
saan!" Bersamaan dengan ucapannya itu dari
ujung telunjuk Maut Tanpa Suara menderu dan
bergulung-gulung serangkum kabut merah. Begi-
tu kabut sampai di arah yang ditunjuk pemuda
itu, maka kabut melebar seluas satu tombak den-
gan panjang lima tombak. Lalu terdengar suara
letupan dua kali berturut-turut.
Bleep!
Satu pemandangan aneh sulit dipercayai
kini terbentang di depan mata. Kabut Merah tadi
sekarang telah berubah menjadi ranjang batu
berwarna merah terang, sedangkan permukaan
ranjang nampak basah seperti darah.
Diam-diam Datuk Labalang jadi kaget, jika
pemuda itu mampu menciptakan sesuatu yang
sulit dipercaya, dia tak dapat membayangkan be-
tapa tinggi ilmu kesaktian yang dimilikinya. Seba-
liknya Maut Merah dan Maut Biru tanpa bicara
apa-apa segera membaringkan tawanannya diatas
ranjang merah. Ketika tubuh sang Datuk diba-
ringkan dan bagian punggung menyentuh permu-
kaan ranjang batu, orang tua ini menjerit setinggi
langit. Dia merasakan tubuh di bagian punggung
laksana dibaringkan di atas bukit es, begitu din-
gin membekukan hingga membuat sekujur tu-
buhnya bergetar hebat sedangkan gigi bergemele-
tukan tak sanggup menahan serangan hawa din-
gin. Tak merasa putus asa, Datuk Balabang ke-
rahkan tenaga dalamnya. Lagi-lagi dia dibuat ter-
peranjat. Tenaga dalam yang berpusat di bagian
pusat ternyata tak mau bekerja, seakan pusat
pengendalian tenaga sakti itu telah menjadi lum-
puh kehilangan daya.
"Kurang ajar, ternyata setelah berada di
luar Kuil Setan keadaanku semakin buruk lagi,"
rutuk Datuk Labalang sambil menggigit bibir. Di
depannya sana Maut Tanpa Suara tertawa terge-
lak-gelak. Rupanya dia tahu apa yang hendak di-
lakukan oleh kakek tinggi itu. Dengan suara lan-
tang mencemooh dia berkata,
"Bukan saja hanya tubuhmu yang bisa
membeku seperti patung es, tapi segala kesaktian
yang kau miliki saat itu juga membeku tak dapat
kau pergunakan sama sekali. Ha ha ha....!"
"Terkutuklah kau wahai pemuda buruk
laknat. Jika aku mati arwahku akan mengejarmu
kemanapun kau bersembunyi. Kau dengar .... aku
akan membayangi terus hingga membuat dirimu
tidak enak tidur tidak enak segalanya. Ha ha ha."
Mendengar ancaman Datuk Labalang, rupanya
Maut Tanpa Suara jadi ciut juga nyalinya. Dia la-
lu menoleh, memandang ke arah Maut Biru.
"Maut Biru sumpal mulutnya!" perintah si pemu-
da.
Dua kepala yang menghadap ke depan
mengangguk. Dua tangan berputar-putar di uda-
ra.
Wuuut!"
Di tangan Maut Biru tahu-tahu setumpuk
benda hijau kehitaman encer seperti bubur me-
nempel ditangan itu. Sekali tangan Maut Biru
berkelebat maka. Plok! Cairan biru itu menempel
di mulut Datuk Labalang lengket seperti perekat.
Sang Datuk coba buka mulutnya namun tak
sanggup. Hidungnya mengendus-endus. Ternyata
dia mencium bau pesing.
"Jahanam keparat! Aku seperti mencium
bau kotoran kampret!" teriak si kakek dengan ma-
ta mendelik. Tapi karena dua bibirnya terkancing
rapat, tentu saja suara Datuk Labalang hanya
sampai sebatas tenggorokannya saja.
"Tua bangka setinggi galah, setelah mulut
mu ditutup dengan campuran air seni dewa ru-
panya kau baru bisa diam. Ha ha ha. Sungguh
akhir hidup ini semakin tidak menyenangkan ba-
gimu." Dengus Maut Tanpa Suara sinis. Dalam
keadaan begitu rupa si Datuk benar-benar mera-
sa mati kutu. Tak ada yang dapat dilakukannya
terkecuali hanya memaki di dalam hati.
Setelah puas tertawa, Maut Tanpa Suara
kemudian berpaling pada Maut Merah, meman-
dang pada mahluk berkepala empat itu baru ke-
mudian berkata. "Maut Merah, cepat kau temui
Dwi Kemala Hijau, katakan padanya agar dia dan
Maut Kuning membawa pemuda dan gadis itu
kemari. Sedangkan Maut Biru tetap bersamaku
disini mengatur segala keperluan sebelum Yang
Agung berkenan memimpin jalannya upacara
penghormatan!" perintah pemuda itu. Maut Me-
rah anggukan kepala. Dia kemudian memutar
langkah dan berjalan secepat hembusan angin
memasuki Kuil Setan dimana pintunya dalam
keadaan terbuka.
***
Di dalam ruangan Penentuan Ajal paling
tidak Gento masih dapat bernafas lega melihat
Ambini ternyata dalam keadaan selamat. Dia yang
dibaringkan tidak berjauhan dengan Ambini sejak
pertama dijebloskan di ruangan itu oleh Maut Bi-
ru terus memutar otak mencari jalan selamat. Ta-
pi Gento Guyon masih belum menemukan cara
terbaik untuk menyelamatkan diri, jangankan lagi
menolong Ambini.
Dia sudah berusaha memutus benang biru
yang membelenggu tangan dan kakinya. Akan tetapi seakan tidak masuk akal benang itu sulit di-
putuskan. Malah sampai tangannya lecet menge-
luarkan darah upaya memutuskan tali benang ti-
dak membawa hasil. Bukan hanya itu saja usa-
hanya untuk memunahkan totokan Maut Biru ju-
ga sia-sia. Berulang kali dia kerahkan tenaga da-
lam untuk membebaskan diri dari pengaruh toto-
kan. Tapi apa yang terjadi kemudian lebih meng-
herankan lagi. Setiap kali si pemuda kerahkan
tenaga dalam, setiap itu perutnya langsung mu-
las, kepala sakit berdenyut sedangkan pandangan
berkunang-kunang.
"Sial betul nasibku hari ini. Bagaimana be-
nang sekecil ini tak dapat ku putuskan." rutuk
murid si gendut Gentong Ketawa. Sebentar mu-
lutnya komat kamit, entah membaca mantra en-
tah sedang mengomel. Yang jelas suaranya tak
terdengar sama sekali. Selesai komat-kamit mulut
Gento cemberut lalu monyong dan kemudian be-
rubah tegang. Rupanya dia ingat pada Si Tangan
Sial. Sahabatnya sendiri yang oleh Maut Biru di-
katakannya sebagai orang yang membawa Ambini
ke Kuil Setan.
"Kampret sialan itu. Sungguh aku tak tahu
apa yang terjadi padanya hingga membuat dia ja-
di gila membawa sahabat sendiri ke tempat celaka
ini." geram Gento dalam hati.
Di sebelahnya sana Ambini sejak melihat si
gondrong bertelanjang dada ini dibawa oleh Maut
Biru sesungguhnya jadi kaget juga gembira. Dia
kaget karena tidak menyangka Gento muncul di
tempat itu dan akhirnya kena ditawan.
Gembira karena sampai saat itu Gento ma-
sih dalam keadaan selamat bahkan segar bugar.
Ini berati Si Tangan Sial belum dapat melaksana-
kan niatnya untuk membunuh pemuda yang di-
am-diam sangat dikaguminya itu.
"Aku telah menguras fikiran untuk mem-
bebaskan diri dari libatan benang celaka ini. Tapi
aku tak habis fikir mengapa benang ini tak dapat
ku putuskan. Ah... lebih mengherankan lagi, ku-
lihat kau betah tinggal di ruangan terkutuk ini
Ambini." Satu suara memecah keheningan. Ketika
Ambini menoleh ke samping kirinya, ternyata
yang barusan bicara bukan lain adalah pemuda
yang baru saja difikirkannya.
"Gento sahabatku?!" sahut Ambini dengan
suara bergetar diwarnai rasa rindu. Si gondrong
bertelanjang dada hanya menyengir dan tidak da-
pat menangkap getar perasaan Ambini. "Bagai-
mana kau bisa sampai di tempat ini dan bersama
dalam tawanan Maut Biru itu?" Ambini bertanya
heran.
Si pemuda tertawa. Polos saja dia menja-
wab. "Semula mahluk neraka itu menyaru menja-
di gadis cantik. Setelah merayuku dan aku ham-
pir tertarik padanya. Ah... tidak kusangka tubuh-
nya berubah menjadi setan kuburan. Ha ha
ha....!"
Wajah si gadis sempat bersemu merah Di-
am-diam hatinya dijalari perasaan tidak enak, ka-
lau tak boleh dikata cemburu.
"Jadi kau sempat dipeluk mahluk terkutuk
itu?" dengus si gadis cantik.
"Ha ha ha. Mulanya dirinya hendak ku pe-
luk, tak tahunya malah diriku kena diringkus-
nya." sahut Gento Guyon sambil tertawa terke-
keh-kekeh.
Wajah cantik putih Ambini bersemu merah,
mulut bagusnya mencibir. "Dasar pemuda mata
keranjang!" maki si gadis. Tawa Gento semakin
bertambah keras. Ambini yang sempat dibuat
kesal melihat si pemuda masih juga tertawa-tawa,
padahal jiwa mereka tengah berada dalam anca-
man bahaya besar segera berkata kembali. "Gen-
to, tahukah kau apa yang bakal terjadi pada diri
kita?"
Murid Gento Ketawa mendadak hentikan
tawanya, kepala dimiringkan ke arah kanan. Dia
memandang ke arah si gadis dengan mata berke-
dip-kedip. "Apa maksudmu Ambini? Aku menden-
gar akan ada pesta besar di pintu luar depan kuil.
Konon penguasa Kuil Setan sedang berhajat hen-
dak menjodohkan kita. Satu perhelatan besar se-
dang dipersiapkan. Kita akan menjadi raja dan ra-
tu semalam suntuk, bukankah begitu?" ucap
Gento.
Mendengar ucapan si pemuda yang terus
saja bergurau membuat Ambini delikkan ma-
tanya. Sungguh mati mata itu semakin bertam-
bah indah bila sedang mendelik. Dan saat itu
Gento merasa jantungnya berdetak lebih cepat,
perasaannya jadi tak karuan membuat dia ingin
menggaruk kepala atau mengusap hidung. Tapi
itu tak mungkin dilakukannya karena dua tan-
gannya dalam keadaan terikat.
"Apa yang kau katakan itu mungkin benar,
Gento." Menyahuti Ambini yang tidak berani be-
radu pandang dengan pemuda itu lebih lama.
"Tapi agar kau tahu, Yang Agung bermaksud
menjadikan mu raja di dalam tungku bara nera-
ka. Kau dan aku akan dibunuhnya, dikorbankan
untuk menghormati kekuasaan Yang Agung. Jika
kau memang ingin cepat mati, maka tertawalah
sepuasmu sampai kau bosan. Sementara aku
yang ingin hidup akan berusaha mencari jalan
untuk menyelamatkan diri dari ruangan Penen-
tuan Ajal ini." kata si gadis tegas.
Melihat ucapan Ambini yang nampak ber-
sungguh-sungguh membuat Gento Guyon jadi
tercekat, dia menelan ludah namun mendadak
tenggorokannya terasa kering.
"Ambini, kapan kita hendak dijadikan kor-
ban penghormatan?" Gento Guyon ajukan perta-
nyaan.
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tak tahu,
mungkin malam ini tapi bisa jadi lebih cepat dari
waktu yang kuperhitungkan." jawab gadis berpa-
kaian serba putih itu singkat.
"Waduh biyung, matilah aku" Gento men-
geluh. "Semua ini gara-gara si Tangan Sial. Kalau
bukan karena ulah dajal keblinger itu tentu nasib
kita agak bagusan sedikit."
"Tak usah mengeluh, tak perlu menyalah
kan orang lain. Tangan Sial mungkin saja dipera-
lat orang lain. Jika kita bisa membebaskan diri
tentu nantinya kita bisa menyelidiki persoalan
itu." kata si gadis.
Gento Guyon baru saja hendak mengata-
kan sesuatu ketika terdengar suara pintu itu ber-
geser disertai terdengarnya langkah-langkah kaki
menuruni anak tangga ke bawah bergerak men-
datangi mereka. Gento pasang telinga tajamkan
pendengaran. Mendengar suara yang ada pasti
yang datang ke ruangan itu bukan satu tapi ada
dua orang. Ternyata dugaan si gondrong tidak
meleset. Saat itu dia melihat ada dua sosok da-
tang ke ruangan penyekapan. Karena ruangan ba-
tu tempat mereka disekap diterangi cahaya merah
meskipun temaram, Gento dapat melihat kehadi-
ran sosok serba kuning berkepala empat. Mahluk
mengerikan ini sama persis dengan mahluk biru
yang menyerang Gento. Hanya yang membeda-
kannya kulit tubuhnya saja yang berwarna kun-
ing. Berbeda dengan sosok yang satunya lagi.
Yang satu ini berpakaian serba hijau tipis tembus
pandang. Kulitnya putih mulus, rambut panjang
tergerai, wajahnya cantik luar biasa laksana bi-
dadari. Karena saat itu dia berdiri dekat sekali
dengan Gento, maka si pemuda dapat mencium
bau harum tubuhnya.
"Gadis ini hantu jejadian atau seorang bi-
dadari? Sejak tadi dia memandangiku. Pertama
melihat aku nampaknya dia seperti terkejut?!" batin Gento.
"Kau pemuda tampan yang malang siapa
namamu?" tanya si gadis serba hijau. Matanya
yang bening memandang tajam ke arah Gento.
"Ha ha ha. Sahabatku itu Ambini, aku sen-
diri Gento Guyon. Kau siapa? Benar-benar gadis
cantik atau setan penunggu kuil yang tengah me-
nyaru jadi gadis cantik?" sahut si pemuda sambil
ajukan pertanyaan. Si gadis tersenyum. Ambini
yang melihat itu jadi mendongkol. "Pemuda buaya
itu, jangan-jangan begitu melihat jidad licin jadi
lupa daratan." rutuk si gadis.
"Aku Dwi Kemala Hijau. Datang kemari un-
tuk membawamu dan gadis itu keluar." Mene-
rangkan gadis berwajah bidadari ini. Dalam hati
dia berkata. "Tak kusangka orang yang kutunggu
itu telah datang. Jika dia dapat kutolong, kelak
mungkin bisa kuharapkan pertolongannya. Tapi
bagaimana caranya? Yang Agung jika sampai ta-
hu aku berkhianat padanya pasti akan menghabi-
si aku. Lalu Maut Tanpa Suara juga pasti tidak
tinggal diam, belum lagi tiga Penjaga Kuil Setan."
"Kemala.... Maut Tanpa Suara memerin-
tahkan pada kita untuk membawa dua tawanan
ini ke luar. Mengapa kita tidak segera laksanakan
perintahnya?" Maut Kuning tiba-tiba menegur.
Dwi Kemala Hijau terkejut. Akan tetapi dia
masih bisa bersikap tenang sambil menyahuti.
"Kau boleh membawa pemuda ini, sedangkan aku
yang akan mengurus gadis itu." ujar si gadis. Se-
kali lagi dia berfikir. "Jika kuhabisi Maut Kuning
sekarang, mungkin aku bisa menyelamatkan pemuda gondrong ini. Aku tahu dimana titik kele-
mahan Maut Kuning. Tapi bagaimana dengan ga-
dis itu, apakah harus kubiarkan mati sia-sia? Ji-
ka gadis itu sahabatnya Gento pasti sebagai sa-
habat Gento tak mau terima temannya tewas pe-
nasaran." Selagi Dwi Kemala Hijau tengah berfikir
apa yang hendak dilakukannya. Pada saat itu
Ambini berucap.
"Gadis serba hijau, jika kau ingin membu-
nuh kami mengapa tak kau lakukan sekarang.
Sejak tadi kulihat kau selalu tertegun dan sering
memperhatikan sahabatku Gento. Apakah kau
merasa tertarik padanya?" Gento sendiri sempat
dibuat kaget mendengar kata-kata ketus yang di-
ucapkan oleh Ambini.
"Apa lagi yang merasuki diri Ambini. Nada
ucapannya ketus seperti seorang kekasih yang di-
bakar rasa cemburu." kata si pemuda pelan.
Dwi Kemala Hijau melengak kaget. Tapi se-
gera berkata tegas karena saat itu dia mendengar
ada suara langkah mendatangi.
"Maut Kuning bawa pemuda sinting ini ke-
luar!" perintah si cantik. Berkata begitu dia pa-
lingkan wajah, memandang ke arah anak tangga.
Ternyata yang datang adalah Maut merah. "Per-
soalan cukup rumit, terlalu berbahaya bagiku jika
harus menghadapi dua lawan sekaligus." pikir-
nya. Dwi Kemala Hijau kemudian sengaja bicara
keras ditujukan pada orang yang baru datang.
"Maut Merah, bawa gadis ini keluar!"
"Kebetulan sekali, Maut Tanpa Suara me
mang memberikan perintah yang sama kepada-
ku." sahut Maut Merah.
Dua mahluk berkepala empat masing-
masing mendatangi Ambini dan murid Gentong
Ketawa. Tidak berapa lama kemudian mereka
membawa si gadis dan Gento meninggalkan ruan-
gan itu. Jika Gento masih dapat tertawa, walau-
pun hatinya dicekam ketegangan luar biasa. Se-
baliknya Ambini yang berada dalam pondongan
Maut Merah saking takutnya terus menjerit-jerit.
Sementara Dwi Kemala Hijau yang masih
berada di dalam ruangan itu terus berfikir. "Bela-
san tahun aku berada disini, aku harus mencari
jalan agar dapat kembali ke Kayangan. Mungkin
satu-satunya jalan yang bisa kuharapkan hanya
dari pemuda itu. Tapi bagaimana aku bisa meno-
long pemudanya?" batin si gadis bingung.
5
Satu sosok serba merah mendekam di balik
legukan sejarak dua tombak dari puncak bukit di
sebelah barat. Tak berapa lama sosok itu terus
mengendap-endap merayap memasuki lorong
sempit serba gelap sepanjang lebih kurang dua
puluh tombak. Sampai di ujung lorong gelap dia
menemukan sebuah dinding pembatas yang
menghubungkan ke ruangan dalam dengan dunia
luar. Sosok berpakaian serba merah ini segera
mendorong dinding batu. Karena dengan tenaga
kasar batu yang di dorong tidak bergeming sedi-
kitpun, maka sosok berpakaian merah dan me-
makai ikat kepala warna merah dengan tujuh si-
sik besar berwarna putih yang menyatu dengan
kulit dada ini segera salurkan tenaga dalam ke-
dua belah tangannya.
Tak lama kemudian dia mendorong dinding
di ujung terowongan gelap itu. Sekali dua kali
tangan bergerak, terus mendorong dengan penge-
rahan tenaga dalam penuh.
Terdengar suara batu bergesekan disertai
suara gemuruh perlahan. Batu berbentuk empat
persegi dengan ketebalan lebih kurang sepanjang
siku ini kemudian menggelundung ke dalam. Be-
gitu batu menggelinding, dari balik lubang itu ter-
lihat satu cahaya memancar dari dalam ruangan.
Dengan tergesa-gesa sosok merah merayap ma-
suk, sampai kemudian tubuhnya lenyap di balik
ruangan.
Pada waktu yang bersamaan di ujung luar
lorong tepat dibalik legukan batu muncul pula
dua kakek berbadan tinggi besar luar biasa ber-
sama seorang kakek bermuka asam berbadan
pendek cebol bukan main. Si kakek cebol yang
adalah Dewa Kincir Samudera begitu sampai
langsung masuk ke dalam lorong rahasia. Karena
tubuhnya kecil pendek bukan main, maka dida-
lam lorong gelap itu dia dapat berdiri tegak malah
bisa pula berjalan biasa. Lain halnya dengan si
gendut besar Gentong Ketawa. Karena tubuhnya
besar bukan main, mengingat kecilnya lorong dia
tidak bisa mengikuti gurunya dengan cara me-
rangkak, melainkan merayap seperti seekor ular
besar yang kekenyangan. "Guru mengapa tiba-
tiba berhenti?" tanya Gentong Ketawa ketika si
kakek cebol bermata mencorong tajam hentikan
langkah. Karena posisi berdiri Dewa Kincir Samu-
dera persis di depan kepala Gentong Ketawa mau
tak mau si gendut mengendus bokong gurunya. Si
gendut besar bersin beberapa kali.
"Bau apa begini amat? Apa mungkin bau
badan orang tua ini?" keluh Gentong Ketawa. Se-
baliknya si kakek pendek kecil diam tidak me-
nanggapi, hanya tatapan matanya memandang
lurus ke depan dimana dia melihat ada cahaya
merah samar membesit dari bagian ujung lorong.
Bila mata si kakek tertuju ke ujung lorong, maka
cuping hidungnya mengendus-endus.
"Aku merasakan sudah ada orang yang
masuk mendahului kita, Gentong Ketawa bersiap-
lah menghadapi segala sesuatu yang tidak diin-
ginkan." kata Dewa Kincir Samudera memberi in-
gat.
"Bagaimana kakek cebol ini. Bisa jadi dia
membaui keringatnya sendiri bagaimana dia bisa
berkata sudah ada orang yang masuk ke mari?"
gerutu si gendut dalam hati. Namun dia tetap saja
anggukkan kepala sambil berucap. "Apa yang
guru katakan mungkin saja benar. Penciuman
guru sangat tajam. Tapi siapa orangnya yang bisa
mengetahui adanya lorong rahasia ini?"
"Aku tak dapat memastikan mungkin Be-
gawan Panji Kwalat sudah sampai di tempat ini
untuk membantu muridnya. Atau bisa juga murid
manusia laknat itu yang telah masuk kesini." ujar
Dewa Kincir Samudera.
Selesai berkata sambil memasang mata
dan telinga si kakek cebol kembali langkahkan
kakinya. Sementara dibelakangnya sambil ber-
sungut-sungut Gentong Ketawa terus mengikuti.
Terus menerus bergerak seperti itu dalam kea-
daan merayap tentu membuat si gendut merasa
lelah apalagi perut besarnya terus bergesekan pa-
da tanah yang dia lalui.
"Ini pekerjaan gila, jika terus dalam kea-
daan begini perutku bisa ambrol." gerutu si gen-
dut.
Pada akhirnya mereka sampai juga di
ujung lorong dimana batu besar yang menjadi
tembok pembatas antara lorong dan sebuah
ruangan dalam keadaan terbuka lebar.
"Benar dugaanku sudah ada orang yang
sampai di tempat ini mendahului kita. Cepat kita
masuk ke dalam ruangan itu!" perintah Dewa
Kincir Samudera pada si gendut.
"Ayolah, tubuhku juga sudah mandi kerin-
gat akibat terlalu lama berada di dalam lorong
pengap ini." sahut Gentong Ketawa sudah tidak
sabar lagi.
Sambil tersenyum kakek berkumis dan
berjenggot lebat dan sudah memutih sebagaimana
halnya dengan bagian rambutnya itu melompati
lubang batu berbentuk empat persegi. Kemudian
si gendut Gentong Ketawa juga segera ikut me-
nyusul.
Kini mereka sudah berada di dalam sebuah
ruangan luas berlantai batu dan berdinding batu
merah. Di dalam ruangan itu cahaya merah te-
rang menyinari dari setiap sudut.
"Bagian dalam Kuil Setan ternyata begini
indah dan megah. Tidak seperti yang kubayang-
kan....!"
"Apa yang ada dalam benakmu sebelum
sampai ke sini?" tanya Dewa Kincir Samudera,
sementara tatap matanya liar memandang kese-
genap penjuru sudut. Dia merasa saat itu ada
yang mengawasi kehadiran mereka, hanya si ka-
kek tidak mengatakannya pada sang murid.
"Yang terfikir olehku selama ini Kuil Setan
merupakan sebuah tempat angker dan dihuni
oleh para setan gentayangan."
"Dasar murid sinting." dengus si kakek ce-
bol. "Manusia sialan itu ku rasakan keberadaan-
nya, tapi aku tidak dapat mengetahui dia bersem-
bunyi disebelah mana?"
"Guru, apa yang engkau fikirkan?" tanya
Gentong Ketawa yang melihat gurunya tertegun,
mata jelalatan mulut komat-kamit seperti bicara
seorang diri.
"Tidak apa-apa."
"Aku tahu kau pasti sedang memikirkan
seseorang yang berada di dalam ruangan ini. Bi-
arkan saja, kita punya kepentingan yang lain. Keselamatan muridku dan juga sahabatku lebih
utama dari pada mengurusi segala macam tikus
pengintip!" kata si gendut dengan suara sengaja
dikeraskan. Agaknya supaya sosok yang mengin-
tai mereka sengaja mendengarnya.
"Kalau begitu sebaiknya sekarang ini kita
cari tahu dimana muridmu yang tolol itu dis-
ekap." ujar si kakek cebol. Murid dan guru yang
sudah sama kakek-kakek ini kemudian tinggal-
kan ruangan itu.
Di balik gundukan batu empat persegi
orang yang mendekam disitu kini bangkit berdiri.
Dia ternyata adalah seorang pemuda berumur se-
kitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba
merah, berambut gondrong kaku yang di ikat kain
merah. Pemuda ini beralis tebal, matanya tajam
mencorong menyimpan kebengisan juga kekejian.
Di belakang pakaian merahnya terdapat sulaman
gambar bumi, sedangkan ditengah sulaman gam-
bar bumi membelintang garis putih berkelok-
kelok tidak ubahnya seperti lintasan kilat. Ada-
pun sosok pemuda angker ini bukan lain adalah
Lira Watu Sasangka bergelar Panji Anom Pengge-
tar Jagad murid tunggal Begawan Panji Kwalat.
Memandang ke arah perginya Gentong Ketawa
dan gurunya, si pemuda sunggingkan senyum si-
nis.
"Kakek berbadan tinggi besar tadi dan ka-
kek cebol itu, menurut ciri-ciri yang pernah dite-
rangkan oleh guru adalah tokoh-tokoh sakti di-
mana aku harus berhati-hati bila berhadapan
dengan mereka. Orang seperti mereka mengapa
harus ku takuti. Kalau keadaan tidak memung-
kinkan apa salahnya aku membunuh mereka
berdua?" gumam Lira Watu Sasangka disertai se-
ringai mencemo'oh.
Tak lama kemudian pemuda ini mulai me-
meriksa ruangan itu untuk mencari senjata pu-
saka Bintang Penebar Petaka. Setelah mengha-
biskan waktu sekian lamanya ternyata benda
yang dicarinya tidak ditemukan.
"Kurang ajar, berapa banyakkah ruangan
rahasia di dalam Kuil Setan ini. Mungkin aku ha-
rus mencarinya di tempat lain," fikir Panji Anom
sambil menggerutu tak karuan. Dia bermaksud
memasuki ruangan yang terdapat disebelahnya.
Ketika sampai di depan pintu, langkahnya men-
dadak jadi terhenti karena dia mendengar suara
hancurnya benda-benda keras seperti dibanting
yang kemudian disusul dengan suara teriakan
amarah seseorang.
"Benda pusaka itu bagaimana bisa raib jika
tidak dicuri oleh seseorang? Jahanam keparat
siapa yang melakukan semua ini? Bintang Pene-
bar Petaka... oh, siapakah yang telah mengambil-
nya?"
Di balik pintu kening Panti Anom berkerut
tajam. "Orang itu mungkin saja pemilik senjata
yang kucari" fikir si pemuda. "Jika benar Bintang
Penebar Petaka telah dicuri oleh seseorang, siapa
yang telah mencurinya? Keparat, aku telah da-
tang terlambat. Mungkin pencuri itu sudah tidak
lagi berada disini. Mungkin pencurinya telah jauh
meninggalkan Kuil Setan ini. Siapapun orang
yang berada di dalam ruangan itu aku tidak pe-
duli, aku harus mengejar!" geram si pemuda.
Tanpa membuang waktu lagi dia langsung berke-
lebat tinggalkan tempat itu menuju lorong rahasia
tempat dimana pertama kali dia datang.
6
Empat obor besar dipasang di empat pen-
juru sudut. Cahaya menerangi kegelapan di seki-
tar halaman Kuil Setan. Di langit bulan sabit di-
malam ke sembilan masih belum terlihat, hanya
kerlip bintang bertaburan menerangi. Di tengah-
tengah halaman dibagian dalam dimana obor be-
sar menyala, tiga sosok tubuh tergeletak tanpa
daya di atas sebuah dipan batu merah. Sedang-
kan tiga mahluk aneh berkepala empat terus
menjaga mereka. Maut Tanpa Suara dan Dwi Ke-
mala Hijau masih belum terlihat di tempat pen-
gorbanan guna menghormati Yang Agung, pengu-
asa Kuil Setan.
Dalam kegelapan malam, suasana disekitar
Kuil Setan memang terasa sunyi mencekam. Da-
lam pada itu si kakek setinggi galah yang terbar-
ing di atas batu panjang yang terletak di sudut
kanan tiba-tiba saja berbisik.
"Siapapun adanya kalian berdua, aku Da-
tuk Labalang berharap hendaknya kita bekerja
sama melakukan sesuatu guna menyelamatkan
diri." kata si kakek setinggi galah melalui ilmu
mengirimkan suara.
"Apa maksudmu orang tua tinggi?" tanya
Ambini melalui cara yang sama pula.
"Berbuatlah apa saja yang dapat kalian la-
kukan. Memang kita tidak saling mengenal, tapi
apa salahnya kita bekerja sama guna menolong
diri kita masing-masing?"
"Memang tidak ada salahnya, kakek. Tapi
bagaimana kami bisa mempercayaimu, sedangkan
kenal pun kita belum." celetuk Gento Guyon pula.
"Dalam keadaan mau mampus masih kita
harus mengenalkan diri kita masing-masing? Kau
dengar, begitu bulan sabit ke sembilan muncul
nyawa kita sudah mendekati ajal. Kita tidak
punya waktu banyak untuk saling kenal satu sa-
ma lain!" ujar Datuk Labalang.
Mendengar ucapan sang Datuk, baik Am-
bini maupun Gento sama-sama terdiam dan sama
pula berfikir.
"Apa yang dikatakannya memang benar.
Tapi dalam keadaan begini apa yang harus kula-
kukan? Jangankan melarikan diri, menggerakkan
tangan dan kaki pun aku tak sanggup!" keluh
Gento. Sebaliknya Ambini juga berkata, "Aku
memang tidak dalam keadaan terikat sebagaima-
na halnya dengan Gento maupun kakek itu. Tapi
apa bedanya. Aku sama sekali tak dapat mele-
paskan totokan yang dilakukan oleh Si tangan Si-
al!" batin si gadis dalam hati.
Di tempatnya terbaring Datuk Labalang te-
rus memutar otak mencari jalan. Matanya me-
mandang ke berbagai arah. Sampai kemudian dia
melihat obor besar, sekelumit harapan terselip
dalam benak orang tua itu. Dia berfikir panjang
batu maut dimana dirinya terbaring tercipta dari
satu ketakutan sakti yang bersumber dari ilmu
hitam. Andai obor dapat diambil, mungkin bisa
dimanfaatkan untuk memusnahkan ranjang yang
sangat dingin bahkan telah membekukan seba-
gian dari kesaktian yang dia miliki. Tapi siapa
yang dapat mengambil obor itu? Dirinya tidak
mungkin, sedangkan si gondrong itu juga sama
saja. Satu-satunya orang yang tidak dalam kea-
daan terikat hanya gadis berbaju putih itu.
Mungkin gadis itu bisa diharapkan dapat berbuat
banyak untuk menyelamatkan mereka dari ben-
cana maut. Tapi bagaimana pun juga gadis itu tak
dapat melakukannya? Beberapa saat lamanya ha-
ti Datuk Labalang diwarnai kebimbangan. Di saat
sang Datuk dalam keadaan seperti itu, di waktu
Gento sendiri Sedang berusaha keras memu-
tuskan benang-benang yang melibat tangan dan
kakinya maka pada detik yang sama pula menda-
dak pintu Kuil Setan yang tadinya dalam keadaan
tertutup kini terbuka kembali.
Satu sosok berpakaian merah dan yang
lainnya berpakaian hijau keluar menuju ke arah
mereka dengan langkah lebar.
Kedua orang yang baru keluar dari dalam
Kuil Setan itu bukan lain adalah Maut Tanpa Suara dan juga Dwi Kemala Hijau.
Ketika sampai di depan para calon korban-
nya, Maut Tanpa Suara hentikan langkah sambil
memperhatikan tiga sosok yang terbaring tidak
berdaya. Lain lagi halnya dengan Dwi Kemala Hi-
jau. Gadis secantik bidadari yang tubuhnya ber-
warna kehijauan ini lebih banyak mencurahkan
perhatiannya pada Gento Guyon. Sejak tadi dia
terus berfikir mencari cara untuk menyelamatkan
Gento sebelum acara pengorbanan itu dilakukan.
"Bulan sabit ke sembilan sudah menam-
pakkan diri di langit sana. Sekejap lagi acara
akan dimulai." berkata Maut Tanpa Suara sambil
memandang ke langit. Setelah itu dia memandang
ke arah Maut Merah. Pada mahluk kepala empat
itu dia berkata. "Maut Merah, siapkan kampak
pemenggal kepala untuk memotong leher ketiga
orang ini!"
Maut merah mengangguk dengan tubuh
membungkuk kembali tegak, dua tangan yang
menghadap ke bagian dada dihantamkan ke ta-
nah. Tanah amblas disertai letupan keras. Ketika
dua tangan ditarik kembali. Di tangan Maut Me-
rah kini tergenggam sebuah kampak besar ber-
warna putih mengkilat.
"Nampaknya aku harus bertindak. Maut
Merah sudah memegang kampak. Jika tidak ku
cegah, pemuda ini pasti segera menemui ajal!" ba-
tin Dwi Kemala Hijau.
"Yang Agung sekejab lagi segera hadir di
tempat ini, Maut Merah tumpahkan darah mereka. Kau, Maut Kuning dan Maut Biru segera ikuti
aku untuk mengucapkan puji-pujian!" Maut Tan-
pa Suara tiba-tiba keluarkan suara. Bukan hanya
Gento. Ambini dan Datuk Labalang sendiri mulai
dicekam ketegangan. Terlebih-lebih ketika Maut
Merah dengan kampak siap ditangan mendekat
ke arah mereka.
Dalam kesempatan itu suara racau aneh
keluar dari mulut Maut Tanpa Suara juga dua
mahluk kepala empat lainnya. Suara racau saling
bersahut-sahutan diselingi suara lolong yang ti-
dak ubahnya seperti senandung kematian. Ambi-
ni keluarkan keringat dingin saat kampak di tan-
gan Maut Merah mulai terarah di bagian lehernya.
Melihat ini Gento berteriak keras.
"Mahluk terkutuk! Jika kau bunuh gadis
itu, aku bersumpah akan mencabik-cabik tu-
buhmu!"
Maut Merah tidak menanggapi. Hanya dari
ke empat mulutnya terdengar suara erangan aneh
saling susul menyusul. Maut Tanpa Suara sendiri
sepertinya tidak terpengaruh mendengar ucapan
Gento. Mulut tetap meracau, mata terpejam dan
terus memimpin acara puji-pujian.
"Bocah, kekasihmu ternyata mendapat gili-
ran lebih awal untuk berangkat ke akherat. Ha ha
ha." Datuk Labalang berkata dengan suara keras.
"Kakek setinggi galah, nasibmu lebih be-
runtung. Tapi kurasa kematianmu akan lebih
mengerikan lagi!" sahut Gento yang semakin ber-
tambah tegang melihat mata kampak itu kini sudah siap memenggal putus kepala Ambini.
Suara racau puji-pujian lenyap. Maut Biru
Maut Kuning katubkan mulut. Masing-masing
mata tunggalnya yang menempel di bagian kening
masih terpejam. Dalam kesempatan itu Maut
Tanpa Suara yang berdiri tak jauh dari Dwi Ke-
mala Hijau memberi perintah.
"Pemancungan dimulai!"
Maut Merah menggerung sambil gerakkan
kampak ditangannya. Datuk Labalang meman-
dang dengan mata mendelik. Sedangkan murid si
gendut Gentong Ketawa berteriak.
"Ambini, gulingkan dirimu ke samping!"
Laksana kilat entah mendapat kekuatan
dari mana si gadis lakukan apa yang diperintah-
kan si pemuda. Dia gulingkan diri dan jatuh di
samping Ranjang Kematian. Mata kampak yang
memancarkan cahaya putih berkilauan itu ber-
desing dan menghantam ranjang batu merah.
Bummm!
Hantaman mata kampak yang membentur
ranjang batu mengeluarkan suara dentuman ke-
ras. Puing-puing ranjang bertaburan di udara di-
kobari api. Ambini terus gulingkan diri menjauh
dari jangkauan kampak. Sementara ranjang le-
nyap meninggalkan kepulan asap tipis. Maut
Tanpa Suara yang tidak pernah menyangka
adanya kejadian ini tersentak kaget dan buka ma-
tanya. Melihat apa yang terjadi dengan penuh
kemarahan dia berteriak pada Maut Biru dan
Maut Kuning. "Tangkap dan bunuh ketiganya sekaligus."
Si pemuda kemudian menoleh ke samping.
Melihat Dwi Kemala Hijau diam tertegun seperti
ragu pemuda buruk rupa ini membentak.
"Kemala mengapa kau tidak segera turun
tangan membantu?!" tanya Maut Tanpa Suara
terheran-heran.
"Pekerjaan semudah itu mereka bertiga
pun sanggup melakukannya!" jawab si gadis
sambil menunggu kesempatan untuk melarikan
Gento.
"Kurang ajar, kau terlalu menganggap re-
meh para tawanan itu!" pekik Maut Tanpa Suara.
Walau dia berteriak begitu, anehnya pemu-
da ini tidak segera melakukan tindakan atau be-
ranjak dari tempatnya berdiri. Mungkin karena
dia melihat Maut Biru dan Maut Kuning kini su-
dah berkelebat ke arah Gento dan Datuk Laba-
lang, sedangkan Maut Merah mengejar Ambini
sambil mengayunkan kampak besarnya. Walau-
pun jiwa murid Gentong Ketawa sendiri saat ini
berada dalam ancaman bahaya besar karena saat
itu Maut Kuning telah lancarkan serangan, den-
gan hujaman kuku-kuku yang panjang, namun
pemuda ini masih berteriak ditujukan pada Am-
bini.
"Kerahkan seluruh tenaga dalammu ke ba-
gian yang tertotok. Setelah itu jangan kau layani
mahluk gila penjagal, lari, tinggalkan tempat ini!"
"Aku tak akan meninggalkanmu! Bagaima-
na aku bisa hidup tenang jika kau tidak selamat!"
sahut Ambini sambil melakukan apa yang dipe-
rintahkan padanya.
Ucapan si gadis memiliki arti serta kesan
mendalam bagi Gento. Dia sendiri sempat menjadi
kaget. Hatinya terharu, tapi juga senang. Namun
dia lebih terkejut lagi ketika melihat sepuluh ku-
ku berwarna kuning menderu mencabik bagian
perut dan lehernya.
"Waduh biyung celaka aku!" desis si pemu-
da yang jelas tak mungkin mampu menghindari
serangan ganas itu karena kedua kaki dan tan-
gannya dalam keadaan terikat.
Tapi di saat maut mengincar dirinya men-
dadak sontak terdengar suara bentakan mengge-
legar laksana merobek langit disertai dengan ber-
kelebatnya satu sosok bayangan serba hijau ke
arah Maut Kuning.
Dilain waktu tubuh Maut Kuning terpelant-
ing ke belakang, jatuh menelentang dengan dada
berubah hijau keracunan akibat terkena pukulan.
Di sebelah sana tepat dimana Datuk Labalang be-
rada juga terdengar pekik kesakitan! Ketika Maut
Tanpa Suara memandang ke arah itu, dilihatnya
Maut Biru yang hendak membunuh sang Datuk
jatuh berlutut sambil dekap perutnya. Sedangkan
tak jauh dari tempat kakek setinggi galah ini ter-
baring berdiri tegak seorang pemuda berkulit hi-
tam legam dengan sekujur tubuh di tumbuhi bulu
berperut besar berpuser bodong. Kejut Maut Tan-
pa Suara bukan alang kepalang. Dia sama sekali
tidak menyangka acara pengorbanan yang baru
dipersiapkan menjadi kacau. Lebih kaget lagi me-
lihat Ambini kini sudah dapat pula membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
"Dwi Kemala Hijau, cepat bantu mereka.
Para tetamu sialan ini harus dijatuhi hukuman
seberat-beratnya karena mereka telah mengacau-
kan acara pengorbanan!" teriak si buruk rupa
sangat marah sekali.
Si gadis dalam menghadapi suasana seperti
itu menjadi ragu-ragu. Sebaliknya pada saat yang
sana terdengar sosok serba hijau yang baru saja
menyelamatkan Gento dari serangan maut sudah
berkata. "Acara gila ini harus dihentikan! Aku tak
ingin melihat ada pertumpahan darah lagi terjadi
disini!" kata laki-laki bercelana hitam komprang
yang sekujur tubuhnya berwarna kehijauan.
7
Ucapan laki-laki serba hijau yang bukan
lain adalah Iblis Racun Hijau ini ternyata cukup
berpengaruh. Membuat Maut Merah menahan se-
rangan kampaknya yang tertuju ke arah Ambini.
Maut Kuning juga berdiri tertegun, sedangkan
Maut Biru walaupun siap menyerang Datuk Laba-
lang kembali tapi tetap terpacak di tempatnya.
Di depan sana Maut Tanpa Suara meman-
dang tajam ke arah Iblis Racun Hijau. Walaupun
suasana di halaman Kuil Setan tidak begitu te-
rang, namun dia dapat mengenali siapa adanya
orang tua yang mulai rambut hingga ke ujung ka-
ki berwarna hijau ini. Dia adalah tokoh sesat ber-
hati baik yang masih terhitung sahabat Yang
Agung juga sahabatnya sendiri.
"Paman Racun Hijau. Mengapa kau men-
campuri urusan kami?" bentak Maut Merah pe-
nuh teguran.
Si orang tua tertawa mengekeh. Dia melirik
ke arah Gento Guyon sambil kedipkan mata ki-
rinya. "Bocah konyol, keadaan begini genting. Aku
sendiri tidak mungkin sanggup menghadapi me-
reka berlima. Jika kau masih bisa semburkan lu-
dah, maka semburkan ludahmu ke seluruh be-
nang yang melilit tangan dan kakimu. Benang itu
akan hancur dengan sendirinya.!" kata Iblis Ra-
cun Hijau yang ternyata masih kenali si gondrong.
"Sukur kau mau datang menolong dan
mau memberi tahu kelemahan benang sakti yang
hampir membuatku celaka ini. Terima kasih pa-
man biang racun." Sahut Gento sambil terse-
nyum. Diam-diam pemuda ini kumpulkan air lu-
dah di rongga mulut. Tak lama kemudian mulut-
nya menyembur. Ludah berhamburan, begitu air
ludah membasahi benang biru. Terdengar suara
mendesis seperti besi panas yang dicelupkan ke
dalam air. Libatan benang yang mengikat tubuh-
nya raib berubah menjadi kepulan asap biru.
Maut Biru tersentak kaget dan keluarkan suara
menggerung begitu melihat lawan mengetahui ke-
lemahan benang saktinya.
Maut Tanpa Suara yang melihat semua ini
kini jadi tahu kalau Iblis Racun Hijau tidak berdi-
ri di pihaknya. Sekali lagi sambil memandang kea
rah Iblis Racun Hijau dia berteriak. "Paman Iblis
Racun Hijau, masih belum terlambat bagimu un-
tuk meninggalkan tempat ini. Jika kau tidak
mencampuri urusan kami, aku menganggap per-
sahabatan kita tetap berjalan sebagai mana yang
kita harapkan. Tapi jika kau membangkang dan
tetap keras kepala bukan hanya aku saja namun
guruku Yang Agung pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Diantara kita tetap bersahabat
jika kau mau membatalkan acara pengorbanan
gila ini.!" kata Iblis Racun Hijau. Mendengar ja-
waban laki-laki berkulit serba hijau itu mendidih-
lah darah Maut Tanpa Suara. Sementara itu sejak
tadi diam-diam Iblis Racun Hijau berusaha mem-
bebaskan totokan di tubuh Gento melalui tiupan
dengan mulut.
"Tinggalkan batu ranjang kematian. Kau ti-
dak bisa menghadapi mereka karena sebagian be-
sar kesaktian yang kau miliki saat ini dalam kea-
daan membeku." kata orang tua itu melalui ilmu
menyusupkan suara. Gento hanya mengangguk-
kan kepala. Hembusan yang dilakukan Iblis Ra-
cun Hijau membuat totokan di beberapa bagian
tubuhnya lenyap seketika.
Kini Gento dapat bergerak dan bangkit dari
ranjang batu yang sangat dingin luar biasa.
"Aku tak mungkin pergi meninggalkan
tempat ini! Kau telah menolongku paman Racun Hijau."
"Bocah edan, saat ini tidak ada waktu ber-
debat bagi kita." teriak orang tua itu. Dalam ke-
sempatan yang sama Maut Tanpa Suara berteriak
pula memberi aba-aba pada pengawal Kuil Setan.
"Kalian bertiga, bunuh keparat serba hijau
itu!" perintah si buruk berbaju merah.
Maut Biru, Maut Merah dan Maut Kuning
kini serentak berbalik menghadap ke arah Iblis
Racun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat ini se-
rentak keluarkan pekikan menggeledek. Tubuh
mereka secara bersamaan pula melesat, berkele-
bat kea rah Iblis Racun Hijau. Dua belas tangan
terjulur. Empat dari dua belas tangan tiga mah-
luk itu lakukan gerakan menghantam kepala,
empat lagi menyambar ke bagian dada dan yang
lainnya mencabik ke bagian perut. Dua belas se-
rangan maut ini tentu saja sangat berbahaya se-
kali. Karena salah satu dari mahluk ini bila mela-
kukan serangan saja sudah menimbulkan kesuli-
tan besar bagi lawannya, apalagi kini ketiganya
maju secara bersamaan. Tapi anehnya Iblis Ra-
cun Hijau yang mendapat serangan hebat ini ti-
dak nampak gugup, apalagi menciut nyalinya. Ke-
tika dia melihat badai serangan datang dari tiga
arah sekaligus, Iblis Racun Hijau langsung han-
tamkan salah satu kakinya ke atas tanah. Tanah
amblas disertai letupan keras menggelegar. Men-
dadak bersamaan dengan itu pula tubuh Iblis Ra-
cun Hijau lenyap. Dua belas serangan tangan
mengenai tempat kosong. Bukan hanya ketiga
penyerangnya saja yang di buat kaget, tapi semua
yang melihat kejadian itu ikut terperangah.
"Dia punya ilmu Panglemunan!" desis Gen-
to Guyon yang kini sudah berdiri tak jauh di sebe-
lah Ambini dengan tubuh terhuyung-huyung aki-
bat kehilangan tenaga dalamnya.
"Sebaiknya kita bantu orang tua yang itu!"
ujar Ambini
"Aku memang sedang berfikir untuk mela-
kukannya." kata si pemuda. "Tapi seperti yang di-
katakannya, kurasa aku telah kehilangan tenaga
dalamku. Aku merasa sulit sekali menggerakkan
tubuhku. Semuanya terasa lemas tak bertenaga."
keluh murid si gendut Gentong ketawa.
"Kurasa hal yang sama pun terjadi padaku,
karena aku juga tadi sempat dibaringkan di atas
ranjang kematian." ujar Ambini. Diam-diam si ga-
dis coba salurkan tenaga dalamnya ke bagian
tangan. Dia jadi terkejut karena tenaga dalam
yang dimiliki ternyata tidak bekerja sebagaimana
yang diharapkan.
Sementara itu Iblis Racun Hijau yang men-
dadak saja raib, lenyap dari serangan lawan-
lawannya dalam keadaan tidak terlihat semua
orang yang ada di tempat itu kini berputar di uda-
ra. Dua tangan di hantamkan ke bagian kepala
Maut Kuning, Merah dan Biru secara berturut-
turut.
Des! Des! Des!
Hantaman keras membuat ketiga lawan
meraung hebat. Mereka terhempas, dua kepala
yang menghadap kedepan yang lembek itu pecah
menyemburkan darah. Tapi begitu tubuh mereka
menyentuh tanah dan salah satu tangan menyen-
tuh kepala yang pecah. Masing-masing kepala
yang sudah tidak utuh itu kini bertaut kembali.
Tiga mahluk aneh ini kembali bangkit, pada saat
itu Iblis Racun Hijau begitu jejakkan kaki ke ta-
nah, ujudnya kembali terlihat. Dia gelengkan ke-
pala. Rasa kejutnya bukan olah-olah, belum lagi
hilang rasa kaget yang menyelimuti diri orang tua
ini, sekarang ketiga mahluk berkepala empat itu
sudah menyerangnya kembali dengan kecepatan
berlipat ganda. Enam tangan yang menghadap
searah dada menyambar ganas ke arah Iblis Ra-
cun Hijau. Berturut-turut sinar biru, merah dari
kuning berkiblat. Laki-laki tua yang diserang
menggerung dahsyat, tubuhnya berputar lalu mu-
lutnya yang menggembung besar menyembur.
Pruuuh!
Laksana kilat pula cairan hijau berhambu-
ran dari mulut Iblis Racun Hijau. Melihat apa
yang dilakukan oleh Iblis Racun Hijau, Maut Tan-
pa Suara berteriak ditujukan pada para penga-
walnya.
"Racun Hijau?! Menghindar!"
Maut Merah, Kuning dan Biru sama sekali
tidak menggubris peringatan murid majikan me-
reka. Bukannya mundur, sebaliknya mereka me-
rangsak maju teruskan serangan
Tes! Tes! Tes!
Enam sinar yang melesat dari jari tiga la-
wannya langsung lenyap begitu berbenturan dengan cairan racun yang disemburkan oleh Iblis Ra-
cun Hijau.
Tiga mahluk berkepala empat itu menjerit
tertahan. Semburan cairan beracun itu ternyata
bukan saja hanya memusnahkan sinar berhawa
dingin yang mencair dari ujung jari mereka. Lebih
mengerikan lagi semburan racun lawan meng-
hanguskan kuku-kuku mereka. Tanpa menghi-
raukan rasa sakit yang mereka derita, dengan ce-
pat mereka memutar tubuh. Dua tangan yang be-
rada di bagian punggung kini menyambar.
"Pergunakan Benang Sakti Penjerat Dewa!"
Maut Merah berteriak memberi aba-aba pada ka-
wannya.
"Benang Sakti siap diluncurkan!" sahut
Maut Kuning dan Biru bersamaan. Karena ketika
berteriak empat mulut berucap serentak, maka di
puncak bukit itu terdengar gelegar berkepanjan-
gan. Ambini merasakan dadanya bergetar hebat,
telinga berdenyut sakit dan pengang bukan main.
Gento Guyon tutupi kedua telinganya, namun dia
tidak dapat tinggal diam ketika melihat enam be-
nang merah, biru dan kuning laksana kawat baja
berturut-turut melabrak ke arah Iblis Racun Hi-
jau.
"Pengecut...!" teriak Gento. Sambil melesat
di udara dia hantamkan kedua tangannya mele-
pas pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Pukulan
ini warisan Tabib Setan. Walaupun Gento telah
kehilangan sebagian tenaga dalam yang dia miliki.
Tapi ketika dia menghantamkan kedua tangan ke
arah tiga mahluk berkepala empat, dari telapak
tangan pemuda ini melesat berturut-turut sinar
hitam dan merah disertai deru angin panas ber-
gulung-gulung.
Des! Des! Des!
Tiga hantaman telak ini membuat tiga
mahluk berkepala empat yang menyerang mereka
jadi terhuyung-huyung, hingga serangan enam
benang yang nyaris melibat tubuh Iblis Racun Hi-
jau meleset dari sasaran.
"Ha ha ha.. Terima kasih sobat sinting. Ji-
ka enam benang sialan itu sampai melibat tubuh-
ku, habislah sudah harapanku." celetuk Iblis Ra-
cun Hijau
"Terima kasihnya simpan saja dulu. Lihat,
mahluk keparat itu kini berbalik menyerangku!"
teriak Gento. Dia yang sudah jejakkan kakinya di
atas tanah kembali lepaskan pukulan Dewa Awan
Mengejar Iblis sambil menghindari serangan be-
nang yang meliuk menyambar ke bagian lehernya.
Bum!
Berturut-turut tiga pukulan melabrak Maut
Merah, Kuning dan Biru. Kembali tubuh mahluk-
mahluk ini terhuyung. Bagian dada hangus go-
song, empat mulut dari ketiga mahluk ini sem-
burkan darah. Tapi mereka seakan tidak merasa-
kan sakit sama sekali sungguhpun saat itu mere-
ka menderita luka di bagian dalam.
"Sahabat Gento menjauh, aku akan me-
mandikan mereka dengan racunku!" teriak Iblis
Racun Hijau.
Sambil melompat mundur Gento menyahu-
ti. "Racun Hijau, kau hendak memandikan orang,
apakah dirimu sendiri sudah mandi. Sejak kau
hadir dalam acara gila ini aku mencium bau bu-
suknya bangkai dan asamnya bau ketiakmu. Ha
ha ha!"
"Dasar pemuda sinting sialan!" damprat Ib-
lis Racun Hijau. Sekali lagi orang tua ini sembur-
kan mulutnya ke tiga arah. Tiga mahluk berkepa-
la empat menggerung, dua tangan di bagian bela-
kang berputar ke belakang lakukan tangkisan,
sedangkan tangan yang berada di bagian depan
terus gerakkan benang ke arah Iblis Racun Hijau.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu
meringankan tubuh orang tua ini mampu meng-
hindar dari libatan enam benang. Sementara
semburan cairan racun yang dilancarkan secara
bertubi-tubi kini menghantam tangan lawan-
lawannya yang dipergunakan untuk menangkis.
Bukan hanya itu saja sebagian cairan hijau yang
kena ditangkis bahkan bermuncratan membasahi
tubuh mereka.
Ces! Ces! Ces!
"Arkh...!"
Maut Biru dan Maut Merah menjerit keras,
tubuh mereka berkaparan. Tangan hangus berlu-
bang. Tubuh mereka juga dipenuhi lubang akibat
terkena percikan racun ganas yang disemburkan
Iblis Racun Hijau. Sebaliknya Maut Kuning masih
beruntung karena dia dapat selamatkan diri den-
gan melompat ke belakang. Di depan sana Maut
Biru dan Maut Kuning yang tubuhnya dipenuhi
lubang hitam mengerikan dan mengepulkan asap
berbau busuk dengan tertatih-tatih bangkit lagi.
"Mahluk sialan, bagaimana dalam keadaan
seperti itu masih dapat bertahan hidup?" memba-
tin murid Gentong Ketawa
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini Gen-
to. Mereka bukan manusia seperti kita, tapi iblis
yang menyaru seperti manusia!" kata Ambini
mengisiki. Rupanya dia merasa jerih melihat ke-
hebatan mahluk penjaga Kuil Setan itu
Gento gelengkan kepala. Dalam kesempa-
tan itu, selagi Iblis Racun Hijau merasa putus asa
menghadapi kenyataan yang ada, lapat-lapat Gen-
to mendengar satu suara membisiki. "Untuk
membunuh mereka, hantam mulutnya, patahkan
bagian gigi depan!"
Gento Guyon terkejut, dia memandang ke
arah mana suara bisikan berasal. Rasa kagetnya
semakin bertambah ketika melihat satu kenya-
taan bahwa yang memberitahu kelemahan mah-
luk berkepala empat itu bukan lain adalah gadis
cantik berpakaian dan bertubuh serba hijau.
"Mengapa dia malah membantuku. Apakah ini
bukan satu tipuan?" batin si pemuda. Akan tetapi
dia sudah tidak dapat berfikir lebih jauh lagi. Ka-
rena pada saat itu Maut Kuning telah melabrak
ke arahnya. Sedangkan Maut Biru dan Maut Me-
rah dengan tubuh dipenuhi luka kembali menye-
rang Iblis Racun Hijau.
"Sobatku gondrong sinting. Aku harus ba
gaimana, mahluk-mahluk keparat ini agaknya tak
mengenal mati. Tubuhnya sudah hancur begitu
tapi tidak mau mampus. Kalau terus menerus
semburkan ludah, mulutku bisa kering sariawan!"
keluh si orang tua.
"Agaknya kau harus minum air kencingku
atau air kencingmu dulu. Biar racunmu semakin
bertambah hebat. Tapi kalau tak mau pusing,
ikuti saran sobatmu ini. Hantam mulutnya han-
curkan giginya. Kujamin nyawa mereka amblas ke
neraka! Ha ha ha!" sahut Gento. Sambil tertawa
bekakakan pemuda, ini membalas serangan Maut
Kuning. Karena dia sering bergerak, tanpa disada-
ri pemuda ini tenaga dalamnya yang sempat
membeku akibat tersedot ranjang kematian kini
mulai berfungsi lagi. Sehingga ketika dia meng-
hantam ke mulut lawan, terdengar suara deru
angin laksana badai.
Maut Kuning terkesiap, empat tangannya
lindungi mulut sambil melompat mundur. Namun
Gento cukup cerdik. Begitu wajah di bagian de-
pan dilindungi, dia lalu berputar dan kini meng-
hantam wajah yang menghadap ke bagian bela-
kang. Demikian cepat serangan itu, hingga Maut
Kuning tidak sempat. menyelamatkan mulutnya
dari hantaman tangan pemuda ini.
Prok!
Satu jeritan keras laksana merobek langit
kembali terdengar. Maut Kuning terhuyung darah
menyembur dari mulut yang kena hantaman. Se-
lagi sosok Maut Kuning limbung, Gento Guyon
melompat tangannya menyambar ke arah mulut.
Preet!
Sekali lagi terdengar suara jeritan keras.
Maut Kuning terbanting. Ketika tubuh Maut Kun-
ing menyentuh tanah, sosoknya langsung hancur
meleleh, hangus menghitam hingga berubah jadi
seonggok debu. Gento bergidik ngeri, Ambini sen-
diri langsung tutupi wajahnya tak sanggup me-
nyaksikan kejadian aneh itu.
"Sobatku Racun Hijau, kau sudah melihat,
kau sama menyaksikan, tanpa gigi mereka tidak
punya daya tak mampu unjuk kekuatan. Seka-
rang tunggu apa lagi. Cepat habisi dua kunyuk
itu!" seru Gento sambil unjukkan gigi runcing mi-
lik lawan yang berhasil dibetotnya.
"Tenang saja, kau cuma dapat dua. Aku
akan mencabut habis semua gigi milik Maut Me-
rah dan Maut Biru." Selesai berucap Iblis Racun
Hijau berkelebat, mulut terus semburkan ludah
beracun, sedangkan dua tangan menyambar ke
arah mulut lawannya.
Jika Maut Biru sibuk hindari semburan
cairan beracun yang disemburkan lawannya sam-
bil merangsak kedepan lancarkan serangan den-
gan kedua tangan belakang yang dapat digerak-
kan ke depan. Sebaliknya Maut Merah yang su-
dah terluka parah berfikir lain. Dia kemudian ma-
lah memutar arah. Dengan cara berlawanan se-
bagaimana orang yang berjalan pada umumnya
Maut Merah tanpa terduga berkelebat pergi mela-
rikan diri dari tempat itu. Jika Gento tertawa tergelak-gelak melihat cara Maut Merah melarikan
diri dengan punggung menghadap ke depan dan
dada menghadap ke belakang sambil lepaskan
pukulan saktinya. Sebaliknya Maut Tanpa Suara
menjadi sangat marah.
"Maut Merah terkutuk, jahanam pengecut!
Aku tak akan membiarkan dirimu mempermalu-
kan Yang Agung!" Laksana kilat tangan kanan
Maut Tanpa Suara lepaskan satu pukulan maut-
nya. Sinar putih berkeluk-keluk laksana lintasan
kilat menderu di udara. Kuil Setan laksana di
guncang gempa. Puncak bukit sebelah selatan
longsor. Pukulan Gento yang diarahkan ke arah
Maut Merah saja sudah membuat puncak bukti
laksana dikobari api, apalagi kini Maut Tanpa Su-
ara mengarahkan pukulannya pada Maut Merah,
dan juga pada Ambini serta Gento. Tak ayal lagi
Maut Merah tenggelam oleh kedua pukulan itu.
Terdengar suara ledakan laksana gunung
meletus. Api berkobar di ujung selatan bukit, ba-
tu-batu dan pasir bertaburan di udara. Suasana
berubah gelap. Di saat kegelapan menyelimuti
puncak bukit, pada waktu itu pula terdengar satu
jeritan. Semua orang tentu jadi kaget karena jeri-
tan bukan berasal dari selatan bukit dimana
Maut Merah melarikan diri, melainkan terdengar
begitu dekat dengan mereka. Ketika empat obor
yang sempat meredup terkena sambaran angin
pukulan kembali menerangi tempat itu. Semua
mata sama terpentang lebar. Ternyata yang men-
jerit tadi adalah Maut Biru. Iblis Racun Hijau tertawa terkekeh-kekeh sambil unjukkan beberapa
buah gigi berlumuran darah pada semua orang
yang berada di puncak bukit itu.
"Gento... kau lihat. Aku berhasil menda-
patkan gigi lebih banyak. Sayang Maut Biru kebu-
ru hangus, sehingga aku tidak sempat mencabut
sisa giginya yang lain. Ha ha ha!" kata si orang
tua sambil unjukkan belasan gigi ditangannya
pada Gento.
Melihat semua ini Gento tertawa menge-
keh. Sedangkan Ambini meski pun sempat dilan-
da ketegangan akibat hantaman pukulan Maut
Tanpa Suara jadi tersenyum.
Jika di saat Maut Tanpa Suara melepaskan
pukulan saktinya tadi Gento tidak cepat menarik
pinggangnya dan membawanya menghindar dari
pukulan lawan, mungkin saat ini dia hanya ting-
gal namanya saja.
Sebaliknya Maut Tanpa Suara yang sempat
memandang ke arah bekas ledakan semakin ber-
tambah geram karena ternyata Maut Merah ber-
hasil menyelamatkan diri. Kini dia berbalik
menghadap ke arah ranjang kematian yang bera-
da paling disudut kanan. Matanya mendelik besar
mulut ternganga seakan tak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri.
"Dwi Kemala Hijau," desis Maut Tanpa Su-
ara. "Kau lihat, jahanam setinggi galah itu ternya-
ta hilang Raib dari tempatnya." kata pemuda itu
sambil melangkah dua tindak ke depan. "Aku tak
tahu bagaimana caranya dia melepaskan diri. Tadi aku hanya melihat ada seseorang bertubuh hi-
tam berdiri di sampingnya. Mungkin pemuda itu
yang telah membawanya pergi!" sahut gadis se-
cantik bidadari ini tenang.
Mendengar jawaban Dwi Kemala Hijau, pu-
catlah wajah Maut Tanpa Suara. Dia memandang
ke arah si gadis. Namun Dwi Kemala Hijau pa-
lingkan wajahnya ke arah Gento. Gento Guyon
jadi salah tingkah dan usap keningnya tiga kali.
"Pemuda muka kunyuk itu melarikan Da-
tuk keparat, kau disini sejak tadi hanya diam sa-
ja? Tidak melakukan sesuatu apapun juga tidak
membantu Pengawal Kuil Setan. Sejak tadi kau
kulihat malah sering melirik pada si gondrong ke-
parat itu. Jangan-jangan....!" Maut Tanpa Suara
terdiam sesaat sambil berfikir. Sekarang mata
mendelik besar dengan tatapan seakan penuh ra-
sa tak percaya. "Aku tahu sekarang, kau pasti
yang menunjukkan kelemahan para pengawal
Kuil ini pada musuh! Eeh... Dwi Kemala Hijau,
apa sebenarnya yang ada dalam benakmu?" har-
dik Maut Tanpa Suara.
Yang dibentak terdiam sambil tundukkan
kepala. Iblis Racun Hijau, murid si gendut Gen-
tong Ketawa dan Ambini saling pandang. Mereka
sendiri tak tahu kapan kakek setinggi galah pergi
bersama pemuda berwajah monyet besar. Tapi le-
bih tak mengerti lagi melihat sikap gadis cantik
luar biasa yang nampaknya berada di pihak mereka.
8
Untuk sementara kita tinggalkan dulu,
Gento dan Maut Tanpa Suara yang tengah terhe-
ran-heran melihat sikap Dwi Kemala Hijau yang
mendadak nampak berubah itu. Sementara itu
pada waktu yang bersamaan di sebelah timur
puncak bukit, di bawah keremangan cahaya bu-
lan sabit di malam ke sembilan terlihat satu sosok
tubuh berjalan dengan terseok-seok menjauh dari
halaman Kuil Setan. Sosok hitam bertelanjang
dada ini bukan berjalan melenggang. Karena di
atas bahunya dia memanggul satu sosok berpa-
kaian daster hitam dan berkerudung. Sosok tinggi
panjang ini bukan lain adalah Datuk Labalang.
Kakek setinggi galah yang tubuhnya dilibat be-
nang merah. Adapun pemuda yang memanggul-
nya dengan lidah terjulur karena lelah bukan lain
adalah Memedi Santap Segala.
Seperti telah dituturkan sebelumnya begitu
Memedi Santap Segala menemukan senjata Bin-
tang Penebar Petaka, dia langsung keluar dari
ruangan tempat penyimpanan senjata. Setelah itu
tanpa menemui kesulitan dia langsung keluar da-
ri Kuil Setan karena pada saat itu pintu kuil da-
lam keadaan terbuka. Tapi betapa kagetnya pe-
muda ini begitu melihat seperti akan ada acara
pengorbanan di halaman kuil. Dia melihat ada ti-
ga sosok tergeletak tanpa daya di atas ranjang.
Saat itu Memedi Santap Segala yang telah berhasil mendapatkan Bintang Penebar Petaka yang di-
dapatnya secara tidak sengaja melihat Maut Me-
rah sudah mengayunkan kampak besar ke arah
leher seorang gadis cantik. Karena merasa tidak
mengenal, Memedi Santap Segala kurang begitu
perduli. Tapi di saat dia memandang ke ranjang
kematian yang terdapat di sudut paling kanan
dekat obor besar, kagetlah pemuda ini. Dia lalu
menghampiri sosok tinggi panjang yang bukan
lain adalah junjungannya sendiri Datuk Labalang.
Secara tak terduga pada saat itu muncul Iblis Ra-
cun Hijau hendak menolong seorang pemuda
gondrong. Kehadiran Iblis Racun Hijau cukup
menguntungkan bagi Memedi Santap Segala ka-
rena perhatian semua yang ada di puncak bukit
tertuju pada manusia hijau itu. Termasuk juga
Maut Biru yang hampir mencelakai Datuk Laba-
lang. Ketika kemudian terjadi perkelahian sengit
dimana Maut Biru juga ikut mengeroyok Iblis Ra-
cun Hijau, maka kesempatan itu dipergunakan
oleh Memedi Santap Segala alias Mahluk Tangan
Rembulan untuk membawa Datuk Labalang men-
jauhi dari puncak bukit. Usaha ini tidak mudah,
karena tubuh Datuk Labalang berat bukan main.
Beberapa kali si pemuda nyaris terjungkal, lang-
kahnya yang terburu-buru membuat kaki atau
kepala Datuk Labalang tersangkut pada semak
belukar atau batang pepohonan. Semua ini mem-
buat Datuk Labalang sering mendamprat tidak
putus-putusnya.
"Memedi Santap Segala, manusia kampret
tak berperasaan. Kau kira diriku ini batang kayu?
Kepalaku kau benturkan ke batang kayu, muka
kau goreskan ke semak-semak. Tidak dapatkah
kau memilih jalan yang lebih baik lagi!" semprot si
kakek yang kakinya terkadang terpaksa terseret
akibat terlalu panjang menjuntai.
"Datuk.... aku takut orang mengejar kita.
Pula tubuhmu begini panjang, selain itu beratnya
minta ampun. Melarikan dirimu dalam malam
yang gelap begini aku tidak ubahnya seperti ma-
kan biji kedondong Datuk. Di telan susah ditarik
keluar juga susah. Selain tubuh Datuk yang pan-
jang bukan main, seperti yang kukatakan tadi be-
ratnya bukan kepalang. Mungkin Datuk kebanya-
kan dosa, tobat Datuk sebelum maut datang men-
jemput!"
Ketika bicara begitu Memedi Santap Segala,
sedikitpun tidak tersenyum juga tidak tertawa.
Malah kini semakin mempercepat langkahnya. Ti-
dak perduli walau terkadang tubuhnya terhuyung
ke kiri dan ke kanan.
"Budak hitam terkutuk, beraninya kau
menggurui diriku?!" hardik Datuk Labalang.
Entah sengaja atau tidak, setiap kakek se-
tinggi galah ini mendamprat, pasti kepala atau
kaki Datuk Labalang terbentur pada batang kayu
dan rerantingan pohon hingga membuat kakek
berbadan kurus tinggi ini jadi semakin uring-
uringan.
"Pemuda tukang makan, turunkan aku dis-
ini aku ingin memutuskan benang-benang celaka
itu sekarang!" perintah si kakek.
"Sekarang Datuk...?" tanya Memedi Santap
Segala. Agak dia ragu, namun tetap hentikan
langkahnya.
"Ya sekarang. Cukup turunkan!" perintah
Datuk Labalang.
"Disini, Datuk? Di semak-semak ini?" tanya
pemuda itu lagi.
"Bangsat bertanya melulu. Kupecahkan
kepalamu!" dengus Datuk Labalang semakin ber-
tambah kesal.
Memedi Santap Segala tersenyum. "Orang
tua tak tahu diri. Menggerakkan tangan saja tidak
mampu, konon mau memecahkan kepalaku!" ru-
tuk si pemuda. Dia kemudian enak saja jatuhkan
sosok Datuk Labalang di atas ranting semak. Be-
gitu jatuh Datuk ini menjerit kesakitan sambil
menyumpah.
"Pembantu kurang ajar, mengapa kau ja-
tuhkan aku di atas reranting semak berduri?"
"Datuk ini bagaimana? Tadi aku hendak
mengatakan tempat ini dipenuhi semak berduri.
Tapi kau tetap ngotot." Sahut Memedi Santap Se-
gala tenang.
Datuk Labalang menggerutu dan memaki-
maki pembantunya yang bodoh. Dia gerakkan
tangannya bermaksud menampar, tapi ketika sa-
dar tangannya dalam keadaan terikat Datuk La-
balang terpaksa telan keinginannya. Dalam ke-
sempatan itu si pemuda membuka suara, "Datuk,
kulihat benang ini bukan benang biasa. Sudah
kah Datuk berusaha memutuskannya?"
"Bagus, kalau kau tahu benang terkutuk
ini bukan benang sembarangan, sekarang coba
katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku
telah berusaha memutuskannya tapi aku tak
sanggup. "ujar Datuk Labalang berterus terang.
Memedi Santap Segala, dalam gelap ke-
ningnya berkerut seakan tengah berfikir keras.
Datuk Labalang cemberut. Dia tahu pembantunya
ini tidak bisa memikirkan apa-apa. Otaknya tum-
pul, daya fikir tidak berkembang. Mungkin cara
berfikir pemuda itu hanya dua tingkat di atas
monyet.
Tapi ternyata si kakek setinggi galah salah
menduga karena pada saat itu Memedi Santap
Segala berucap. "Konon orang yang telah diba-
ringkan di atas ranjang kematian sebagian tenaga
saktinya jadi membeku. Tapi itu tidak selamanya,
begitu ia terlepas dari ranjang itu, jika masih ada
nyawa dan nafasnya dia dapat menggunakan te-
naga dalamnya kembali. Selain itu Datuk aku
pasti bisa memutuskan benang merah yang meli-
lit tubuhmu." ujar si pemuda. Mendengar ucapan
si pemuda, Datuk Labalang berjingkrak kaget
sambil delikkan matanya. Kembali dia memaki.
"Pembantu sialan. Bicara seenak perutmu. Aku
yang memiliki kesaktian begitu tinggi saja tak
mampu memutuskan benang-benang ini, konon
dirimu!"
"Datuk apa yang kuucapkan semuanya be-
nar. Kalau Datuk tak percaya coba Datuk sekarang kerahkan tenaga dalam yang Datuk miliki."
ujar Memedi Santap Segala dengan mulut penuh
makanan. Melihat pemuda itu nampaknya ber-
sungguh-sungguh, Datuk Labalang diam-diam
mencoba kerahkan tenaga dalam yang berpusat
di bagian pusar. Mula-mula nafas ditarik perla-
han, perut dikencangkan. Dalam gelap Datuk La-
balang yang lebih dikenal dengan gelar Datuk
Penguasa Tujuh Telaga dari tanah Andalas itu
terkejut besar ketika merasakan hawa panas
mengalir deras dari bagian pusarnya ke sekujur
tubuh.
Sejenak lamanya wajah kakek setinggi ga-
lah berubah cerah, namun dilain kejab ketika dia
teringat sesuatu wajahnya sontak berubah mu-
rung kembali.
"Apa yang kau katakan ternyata benar
adanya, pembantuku. Tenaga dalamku pulih
kembali, pengaruh ranjang kematian punah. Tapi
apa gunanya? Walaupun aku memiliki tenaga da-
lam dua kali lipat dari yang ada sekarang ini, ku-
rasa aku tak bisa memutuskan benang merah
yang melibat tubuhku!" keluh Datuk Labalang
putus asa.
"Kau tidak bisa, tapi aku sanggup melaku-
kannya Datuk. Tapi... tapi aku takut Datuk nan-
tinya jadi marah padaku!"
"Eeh, apa maksudmu? Kalau kau bisa me-
mutus benang laknat ini mengapa tak kau laku-
kan? Jika kau sanggup menolong mengapa harus
marah, malah aku harus berterima kasih pada
mu!"
"Datuk, ketika kita menjauh kesini, aku
sempat mendengar orang hijau itu mengatakan
agar gondrong sinting menggunakan air ludah-
nya. Aku tahu seumur hidup Datuk tidak pernah
meludah, mulut Datuk kering. Kalau Datuk mau
sekarang aku bersedia meludahi benang itu!" ujar
Memedi Santap Segala.
"Air ludahmu tentu berbau busuk karena
kau memakan makanan apa saja." dengus Datuk
Labalang.
"Dua minggu setelah terkena air ludahku
baunya memang tidak akan hilang, tapi saya kira
sudah tidak ada jalan lain. Lebih baik badan jadi
bau Datuk. Daripada pelarian kita diketahui oleh
orang-orang dari Kuil Setan. Jika Datuk sampai
tertangkap lagi, mana berani saya... aku memberi
pertolongan."
Mendengar penjelasan pembantunya, mau
tak mau Datuk Labalang harus bersedia meneri-
ma kenyataan yang ada. Dengan bersungut-
sungut kakek tinggi itu berkata. "Manusia salah
kaprah, bicara beraku bersaya. Cepat lakukan tu-
gasmu. Awas jika ternyata nanti kau tak mampu
memutuskan benang ini, lidahmu pasti kubetot
lepas dan mulutmu kubeset menjadi dua bagian!"
akan si kakek berdestar dan berkerudung hitam.
Memedi Santap Segala usap mulutnya sen-
diri. Membayangkan apa yang dikatakan Sang
Datuk dia jadi miris. Karena dia sadar orang tua
itu tak pernah bergurau dengan ucapannya.
"Datuk, ku mohon jangan menakuti aku
dengan ancaman seberat itu. Aku hanya berusa-
ha, namun ketentuan ditangan Tuhan. Jika Da-
tuk tak suka, biarlah aku pergi." Sambil berkata
begitu Memedi Santap Segala beranjak dari tem-
patnya. Namun Datuk Labalang buru-buru men-
cegahnya "Sudah lakukan saja, ancaman ku tidak
berlaku lagi bagi dirimu." Si pemuda kembali ke
tempat duduknya di samping Datuk Labalang.
Dia kemudian kumpulkan ludah didalam mulut,
setelah mulutnya gembung besar baru kemudian
dia menyembur?
Pruuuh!
Empat kali semburan dilakukannya bertu-
rut-turut. Begitu air ludah menyentuh benang
yang melibat tangan kaki dan badan Datuk Laba-
lang, terdengar suara letupan empat kali bertu-
rut-turut. Benang merah sakti hangus gosong
mengepulkan asap hitam. Melihat kenyataan yang
terjadi Memedi Santap Segala berjingkrak kegi-
rangan, sedangkan Datuk Labalang segera bang-
kit sambil mengusap-usap pergelangan tangan
dan kakinya yang baru terbebas dari ikatan be-
nang itu. Sejenak lamanya dia pandangi sang
pembantu, matanya yang mencorong tajam me-
mancarkan rasa terima kasih yang mendalam. Di
saat dirinya merasa terbebas dari libatan benang
itu, barulah kini si kakek ingat dan bertanya da-
lam hati bagaimana pembantunya Memedi Santap
Segala bisa membebaskan diri dari jebakan maut
beberapa hari yang lalu.
"Kau telah berbuat pahala besar, pemban-
tuku. Tapi yang membuat aku heran, bagaimana
kau bisa membebaskan diri dari lubang jebakan
itu?", tanya sang Datuk. Sambil ajukan perta-
nyaan orang tua itu melirik ke arah kegelapan di
sebelah kirinya dimana dia melihat ada sosok tu-
buh mendekam di balik pohon besar. Sosok itu
telah berada di sana sejak tadi.
Memedi Santap Segala terdiam cukup la-
ma. Bukan pertanyaan junjungannya yang dia ri-
saukan. Melainkan dia tengah berfikir haruskan
dia melaporkan apa yang ditemukannya di dalam
ruangan penyimpanan senjata pusaka. Padahal
kedatangan Datuk itu bersamanya ke tanah Jawa
semata-mata adalah untuk mencari senjata yang
kini tersimpan di dalam kantong perbekalannya.
Memedi Santap Segala jadi bimbang, dia
sadar Datuk Labalang bukan manusia baik, ilmu
kesaktiannya tinggi. Jauh sebelum berangkat ke
tanah Jawa dia pernah mengatakan akan meng-
habisi sedikitnya tiga tokoh golongan putih den-
gan senjata yang dicarinya. Jika tiga tokoh sela-
tan itu dibunuh dengan senjata Bintang Penebar
Petaka, berarti Datuk Labalang berkuasa penuh
di daerah selatan dan timur Andalas. Ini sangat
berbahaya, karena Datuk Labalang manusia an-
gin-anginan yang sulit ditebak maksud dan kein-
ginannya.
"Memedi Santap Segala, mengapa kau di-
am? Jawab pertanyaanku!" suara Datuk Labalang
memecah keheningan.
"Eeh, Datuk. Saya.... aku...dapat lolos dari
dalam jebakan maut itu atas bantuan Batu Rem-
bulan. Batu Rembulan yang menjebol pintu, tem-
bus ke ruangan lain hingga aku dapat menyela-
matkan diri." sahut si pemuda hitam berpuser
bodong.
"Hanya itu saja, kau tak melihat atau me-
nemukan dimana senjata yang kita cari?" tanya si
kakek setinggi galah disertai pandangan menyeli-
dik.
"Tid... tidak Datuk. Tidak ada sesuatupun
yang kutemukan!" jawab Memedi Santap Segala
gugup.
"Nafasmu tersengal, suaramu gugup. Jika
tidak ada yang kau sembunyikan apakah saat ini
kau sedang menderita sakit?" pancing si kakek.
"Betul Datuk, aku sakit. Aku lagi tidak
enak badan...."
Belum lagi suara Memedi Santap Segala le-
nyap, mendadak saja terdengar satu suara ber-
kumandang tak jauh dari tempat itu disertai tawa
tergelak-gelak.
"Otaknya tolol, wajah lugu. Tapi dia adalah
seorang pendusta besar. Ha ha ha!"
Jika si pemuda menjadi kaget, sebaliknya
Datuk Labalang yang sudah mengetahui kehadi-
ran orang hanya tersenyum sinis sambil meman-
dang kearah datangnya suara
9
Sejenak dengan wajah pucat Memedi San-
tap Segala pandangi sosok tua berdestar dan ber-
kerudung hitam. Datuk Labalang tahu dirinya di-
perhatikan, namun dia bersikap seakan tidak ta-
hu. Tenang saja kakek setinggi galah ini berucap
ditujukan pada orang yang baru bicara tadi. "Ta-
mu dalam gelap, sudah kuketahui kedatanganmu
sejak tadi. Mendekam disitu mencuri dengar
pembicaraan orang bukan tindakan terpuji, kalau
kau punya keperluan denganku atau salah seo-
rang diantara kami sebaiknya cepat datang kema-
ri!"
Sosok yang mendekam dibalik pohon
bangkit berdiri, lalu dengan gerakan cepat sekali
dia berkelebat. Dilain saat sosok berpakaian me-
rah bertangan hitam itu telah berdiri tegak di ha-
dapan Datuk Labalang. Beberapa jenak lamanya
saling berpandang, namun pandangan sosok ber-
tangan hitam itu kini lebih banyak tertuju ke arah
Memedi Santap Segala.
"Tadi kau mengatakan pembantuku ini te-
lah mengucapkan satu kedustaan yang besar.
Pertama katakan siapa namamu dan apa maksud
dari ucapanmu!" kata Datuk Labalang tegas.
"Aku Si Tangan Sial, sengaja datang ke Kuil
Setan untuk menjalankan perintah seseorang.
Aku ditugaskan mencari senjata Bintang Penebar
Petaka. Senjata itu telah kuketahui letak penyimpanannya, sayang aku tak sanggup mengambil-
nya. Tak lama kemudian muncul pemuda muka
kunyuk itu. Entah ilmu kepandaian apa yang dia
miliki. Kulihat dengan mudah tanpa halangan dia
mampu mengambil senjata itu. Lalu aku mengi-
kutinya. Mulai dari dalam Kuil, keluar dan sam-
pai kesini. Sekarang cepat serahkan senjata itu
padaku!" kata Si Tangan Sial dengan mata mene-
rawang kosong dan wajah menggerimit menahan
sakit.
Hanya sekali lihat Datuk Labalang tahu ka-
lau laki-laki dihadapan itu sesungguhnya sedang
mengalami penderitaan hebat. Entah apa bentuk
penderitaan itu si kakek tak tahu. Dia bahkan tak
peduli. Kini sang Datuk memandang ke arah Me-
medi Santap Segala. Pemuda yang dipandang ce-
pat sekali tundukkan kepala. Dalam hati dia
membatin. "Tak mungkin ku serahkan senjata
pada Datuk Labalang, juga tidak pada Tangan Si-
al. Aku sendiri menginginkan senjata ini, tapi bila
senjata ini sampai jatuh ke tangan orang yang sa-
lah dia bisa menjadi malapetaka. Kurasa aku ha-
rus kembali ke puncak bukit untuk mencari
orang yang pantas mengamankan senjata ini."
"Memedi Santap Segala, pembantuku yang
paling setia." ujar Datuk Labalang dengan suara
lemah lembut. "Seumur hidup kau belum pernah
berbohong padaku. Sekarang kuharapkan segala
kejujuranmu, benarkah kau telah menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka?"
"Benar Datuk!" sahut si pemuda.
Datuk Labalang tersenyum. "Kau hebat.
Hanya apakah kau tahu siapa kau?"
"Sa.. saya tahu Datuk. Engkau adalah jun-
junganku, orang yang segala perintahnya harus
ku patuhi."
"Kalau sudah tahu, jika sadar senjata yang
kucari ada padamu sekarang coba serahkan sen-
jata itu padaku" perintah si kakek setinggi galah.
"Datuk.... aku... aku bukan tak mau se-
rahkan senjata padamu. Tapi sebaiknya Datuk
singkirkan dulu orang itu Datuk. Jika Datuk su-
dah dapat menyingkirkannya, senjata pasti kuse-
rahkan padamu," janji Memedi Santap Segala.
Datuk Labalang tergelak-gelak. Perasaannya saat
itu gembira bukan kepalang.
"Ha ha ha. Kau mau aku berbuat apa pa-
danya? Membunuh atau melubangi dadanya?" ka-
ta Datuk Labalang.
"Mengenai itu urusan Datuk sendiri. Terse-
rah Datuk mau berbuat apa. Menunggu kau me-
ringkusnya, sekarang perutku lagi mulas Datuk,
aku mau buang hajat besar, tidak jauh dari sini.
Permisi dan terima kasih!" Tanpa menunggu ja-
waban majikannya, terbirit-birit Memedi Santap
Segala tinggalkan tempat itu menuju ke balik se-
mak-semak belukar.
"Jangan kau coba minggat apalagi meng-
hindar dariku!" seru Datuk Labalang mengin-
gatkan. Sebagai jawaban dari balik semak belukar
terdengar suara kentut besar. Sang Datuk me-
nyumpah dalam hati. Kini dia percaya pembantunya itu memang benar-benar hendak buang ha-
jat. Karena sudah menjadi kebiasaannya setiap
hendak buang hajat Mahluk Tangan Rembulan
selalu mengawalinya dengan kentut yang luar bi-
asa kerasnya. Yakin pemuda itu tidak akan mem-
buat ulah, maka kini Datuk Labalang langsung
menghadap ke arah Si Tangan Sial.
"Manusia bertangan hitam, melihat rupa-
mu melalui sinar bulan sabit ini aku tahu dirimu
tengah menderita sakit yang sangat hebat. Orang
menyuruhmu, kau menjalankan perintahnya
dengan sangat terpaksa karena kulihat engkau
sangat menderita. Jika kau mau aku bisa-
meyembuhkanmu atau mencari dimana sumber
penyakit itu tertanam. Tapi dengan satu syarat....
jika aku mampu menyembuhkan penyakitmu, ha-
rap kau jangan lagi kemaruk untuk mendapatkan
senjata Bintang Penebar Bencana. Penawaranku
hanya berlaku satu kali, tidak pernah ku ulang.
Kau boleh mempertimbangkannya." kata Datuk
Labalang.
Di depan sana Si Tangan Sial memang
sempat tertarik. Tapi begitu rasa sakit menyerang
bahunya kiri kanan juga di bagian belakang leher,
maka dia tak dapat berfikir normal. Apalagi ketika
itu dia sempat ada suara orang mengancam. "Kau
turuti perintahnya, maka penderitaanmu tidak
hanya sampai disini saja. Kau akan kubuat men-
jadi gila, hilang akal hilang kewarasan seumur-
umur." Kata suara itu.
Bersamaan dengan itu pula hawa dingin
menyengat menyerang bagian belakang kepala
dan terus menjalar naik ke dalam otak. Si Tangan
Sial meraung keras, matanya seketika berubah
merah laksana bara. Di depan sana Datuk Laba-
lang sempat tercengang. Namun segera mengeta-
hui kalau lawan dikendalikan dari jarak jauh oleh
seorang. Ilmu hitam semacam ini banyak terdapat
di tanah Andalas hingga membuat Datuk Laba-
lang tidak begitu heran.
Baru saja kakek setinggi galah berkeru-
dung hitam dan berdestar panjang menjela ber-
warna sama ini hendak mengatakan sesuatu. Di
saat bersamaan Si Tangan Sial telah berkelebat
ke arahnya, kirimkan satu jotosan ke bagian wa-
jah. Belum lagi jotosan sampai pada sasaran si-
nar hitam berhawa dingin laksana es melesat
mendahuluinya menghantam wajah si kakek. Ini
merupakan tanda lawan mengerahkan tenaga da-
lam penuh ketika lancarkan serangan tadi. Men-
dapat serangan hebat dan sangat mematikan ini,
Datuk Labalang miringkan kepala sambil men-
dengus. Dua tangannya menangkis sambil beru-
saha menangkap pergelangan tangan lawan yang
meluncur deras ke arahnya.
Tangan lawan meluncur di samping kepala
Datuk Labalang. Begitu melihat tangan melewati
kepalanya, tangan kiri sang Datuk langsung ber-
gerak laksana kilat menangkapnya.
Tangan yang menjotos muka tadi kena di-
tangkap, tapi sang Datuk menjerit kesakitan dan
langsung lepaskan cekalannya pada pergelangan
tangan lawannya. Betapa tidak orang tua itu me-
rasakan telapak tangannya laksana terbakar, me-
lepuh di beberapa bagian dan langsung menghi-
tam.
"Gila! Bagaimana dia mampu melepaskan
pukulan berhawa dingin, sementara tangannya
sendiri terasa panas bukan main" batin Datuk
Labalang
"Tangan Sial. Berarti kedua tangan orang
ini mengandung satu kesaktian aneh. Aku ingin
melihat apakah bagian tubuhnya yang lain juga
sama berbahayanya dengan bagian tangan" gu-
mam si kakek.
Orang tua ini sudah tak dapat berfikir pan-
jang lagi karena pada waktu itu Si Tangan Sial te-
lah menggempurnya dengan serangan ganas ber-
tubi-tubi yang terarah di lima bagian tubuhnya
paling mematikan. Mendapat serangan maut ini
Datuk Labalang masih dengan berdiri tegak lang-
sung kebutkan lengah daster hitamnya. Segulung
angin laksana topan menderu. Di udara terdengar
ledakan menggelegar. Si kakek setinggi galah ke-
luarkan seruan kaget, sedangkan tubuhnya ter-
gontai-gontai. Didepanya sana Si Tangan Sial
sampai tersurut sejauh dua tombak wajahnya pu-
cat, bibirnya bergetar. Selain kedua tangan sak-
tinya, bagian tubuh yang lain seperti disiram air
panas. Akan tetapi seakan tak merasakan sakit
apapun laki-laki itu sambil melompat ke depan
kirimkan satu pukulan jarak jauh yang cukup
berbahaya
Sinar hitam kembali menderu, dua tangan
yang ikut meluncur seakan berubah besar seperti
pohon kelapa, mencari sasaran di bagian perut
dan kaki lawannya. Datuk Labalang memang
sempat tercekat, mata mendelik besar seolah tak
percaya dengan penglihatannya sendiri. Tapi hal
itu hanya berlangsung sesaat, karena detik ke-
mudian dia sudah melompat di udara, berjumpa-
litan begitu rupa hingga kini posisinya berada di
belakang lawan. Serangan tinju besar yang men-
garah di bagian perut memang luput, tapi tulang
betis Datuk Labalang kena dihantam oleh lawan-
nya.
Si kakek menjerit tertahan, tapi dia masih
meneruskan serangannya ke bagian punggung.
Desss!
Si Tangan Sial jatuh tersungkur, Dibela-
kangnya Datuk Labalang yang baru jejakkan kaki
nampak terhuyung. Kakinya seperti putus ketika
dia melihat ke bagian kaki, celana di bagian de-
pan betis robek besar hangus terbakar dan masih
mengepulkan asap berbau sangit. Lebih dari itu
kulit dibalik celana juga nampak menghitam.
Terpincang-pincang sambil menyeringai
kesakitan Datuk Labalang alias Datuk Penguasa
Tujuh Telaga melompat ke depan. Saat itu Si Tan-
gan Sial akibat terkena pukulan di belakang
punggung semburkan darah dan masih belum
bangkit dari tempatnya. Sambaran keras meng-
hantam bagian pinggang orang tua bertangan
sakti ini. Sambil mengerang Si Tangan Sial begitu
merasakan sambaran angin dingin menerpa ba-
gian punggung segera menggulingkan badan se-
lamatkan diri. Gerakan yang dilakukan sayang
kalah cepat dengan gerakan lawan. Di lain kejap
Si Tangan Sial merasakan sekujur tubuhnya be-
rubah menjadi kaku dan dia tak kuasa mengge-
rakkan tubuhnya lagi.
"Jahanam terkutuk pengecut! Lepaskan to-
tokan ini, aku ingin mengadu jiwa denganmu
sampai mati!" teriak laki-laki itu.
Sebagai jawabannya Datuk Labalang men-
ginjak kaki kiri lawan dengan satu hentakan yang
keras. Si Tangan Sial meraung terlolong-lolong
Datuk Labalang tersenyum sinis, tangan-
nya kembali berkelebat, menyambar pakaian la-
wannya.
Bret! Breet!
Terdengar suara robeknya pakaian. Baju di
bagian punggung Tangan Sial robek besar sehing-
ga punggungnya dalam keadaan polos. Datuk La-
balang pentang mata lebar memperhatikan pung-
gung lawan. Dia lalu menyeringai begitu melihat
kedua bahu lawan sampai di bagian leher meng-
gembung besar berwarna merah seperti bisul
yang hendak meletus.
"Tiga barang laknat yang membuatmu ber-
tindak seperti sapi gila telah kutemukan. Aku tak
tahu apa nama benda ini, namun aku yakin in-
ilah jarum Penggedam Roh. Jika benar dugaanku,
seperti yang sering kudengar berarti urusan se-
makin bertambah besar. Konon pemilik jarum
maut yang membuat orang kehilangan akal fiki-
ran ini adalah Begawan Panji Kwalat!" kata Datuk
Labalang.
"Jahanam apa yang hendak kau lakukan?"
teriak Si Tangan Sial kasar.
"Ha ha ha. Seperti yang telah kukatakan,
jika penyakitmu dapat kusembuhkan sebaiknya
kau tak usah repot mengurus senjata, lebih baik
kau urus dirimu sendiri!" Sekali lagi begitu selesai
berkata Datuk Labalang gerakkan tangannya ke
bagian bahu, berturut-turut jarum yang terbenam
di bagian bahu kiri kanan juga di bagian belakang
leher dicabutnya.
"Akrkh...!"
Si Tangan sial mengeluh tertahan. Perla-
han dia merasakan belakang bagian tubuhnya
yang terasa dingin dan menimbulkan sakit yang
hebat di saat dia mencoba berpikir kini mulai le-
nyap. Kesadaran orang tua ini kembali pulih. Dan
dia nampak bingung tidak ubahnya seperti orang
yang baru terjaga dari mimpi buruk berkepanjan-
gan.
"Oh dimanakah aku!" desis orang tua ma-
lang ini
"Kau berada di neraka, maka tidurlah
kembali. Semoga kali ini kau mendapatkan se-
buah mimpi yang indah." selesai bicara begitu Da-
tuk Labalang acungkan telunjuknya di tengkuk Si
Tangan Sial. Sinar biru melesat menyambar ba-
gian tengkuk orang. Begitu tengkuknya terkena
sambaran sinar biru, Si Tangan Sial merasakan
matanya sangat berat. Mata itu dengan cepat ter-
pejam, kepala terhempas. Dalam waktu tak sebe-
rapa lama Si Tangan sial sudah mendengkur.
"Manusia bodoh." dengus Si Datuk sambil
tinggalkan lawannya. Dia kemudian berlari ke
arah mana tadi Memedi Santap Segala mengata-
kan ingin buang hajat. Tapi begitu sampai di balik
semak belukar dia jadi kaget karena dia tidak me-
lihat pembantunya ada di sana.
Datuk Labalang mulai berteriak-teriak
memanggil pembantunya. Tidak ada jawaban.
Sunyi. Memedi Santap Segala lenyap.
"Tangan Rembulan, kau... kau berada di-
mana?" teriak si kakek. Setelah menunggu bebe-
rapa saat lamanya ternyata tak ada sahutan atau
jawaban apapun. "Jahanam keparat. Aku kena
dibodohi orang tolol, dia melarikan diri!" maki Da-
tuk Labalang. Dia terdiam, mata nyalang mencari
kian kemari. Sampai kemudian terfikir olehnya
akan sesuatu. "Benarkah dia telah menipuku?
Bagaimana jika dia diculik orang mengingat ba-
nyak orang yang menginginkan senjata itu. Ah...
mengapa selama ini aku berkenan memelihara
manusia setolol itu?!" rutuk Datuk Labalang
sambil tinggalkan tempat itu untuk mencari pem-
bantunya.
10
Kembali ke puncak bukit di bagian hala-
man Kuil Setan. Ketika bulan sabit telah berada
di atas kepala. Pada saat itu Iblis Racun Hijau,
Gento Guyon juga Ambini sudah berdiri berdeka-
tan satu sama lain. Sedangkan didepan sana Dwi
Kemala Hijau yang sejak tadi tundukkan kepala
tanpa sadar melangkah menjauh dari saudara se-
perguruannya sendiri.
Sekian saat lamanya tempat itu diliputi ke-
sunyian. Dalam kesunyian itu yang terdengar
hanya suara deru angin yang tidak ubahnya se-
perti suara setan yang membisikkan kejahatan di
hati setiap manusia.
"Dwi Kemala Hijau, kau tak mau menjawab
pertanyaanku? Aku tahu kaulah yang telah mem-
buat kehancuran bagi pengawal kuil ini. Mengapa
kau lakukan kekejian itu Kemala? Mengapa kau
bertindak seakan-akan berada di pihak musuh?"
suara Maut Tanpa Suara itu terdengar memecah
keheningan.
Untuk pertama kalinya gadis cantik yang
wajahnya mirip bidadari itu palingkan muka, ma-
tanya yang bening memandang ke arah Maut
Tanpa Suara. Di bawah siraman cahaya bulan
sabit mulut bagus Dwi Kemala Hijau membuka
berucap. "Maut Tanpa suara, sesungguhnya aku
bukan kerabat Kuil Setan. Aku adalah penghuni
negeri Kayangan. Satu tempat yang sangat jauh
dari sini. Sekarang ini aku ingin kembali ke negeri
ku, tidak ada jalan kembali jika aku tidak men-
dapat bantuan seseorang. Seseorang yang ku-
maksudkan adalah pemuda gondrong yang ber-
nama Gento Guyon!" berkata begitu Dwi Kemala
Hijau menunjuk ke arah Gento hingga membuat
murid kakek Gendut Gentong Ketawa itu jadi ter-
cekat, bingung dan usap hidungnya.
Di sampingnya Maut Tanpa Suara ber-
jingkrak kaget. Mata mendelik memandang tajam
pada si gondrong. "Bantuan apa yang bisa kau
harapkan dari pemuda gondrong edan itu? Apa-
kah kau mengira Yang Agung akan melepaskan-
mu begitu saja? Ha ha ha." tanya Maut Tanpa
Suara disertai tawa mengejek.
"Aku tahu Yang Agung tidak akan melepas
ku. Karena sejak dulu pun ketika diriku tersesat
ke negeri ini dia telah menjebakku, dia memaksa
agar aku jadi pengikutnya dengan kedok pura-
pura dijadikan murid. Saat itu dirimu belum ada
di kuil ini Maut Tanpa Suara, mungkin ketika itu
kau masih menjadi angin, mungkin saat itu kau
masih berada di dalam tulang rusuk ayah ibu-
mu." ujar si gadis.
Mendengar ucapan Dwi Kemala Hijau Gen-
to tak dapat menutupi rasa kagetnya. Dia tak bisa
memperkirakan berapa usia gadis serba hijau ini
sekarang. Ambini gelengkan kepala. Sedangkan
Iblis Racun Hijau hanya tersenyum sambil ke-
dipkan matanya pada Gento.
"Mungkin saat itu saudara seperguruanmu
si muka buruk itu masih berada di dalam perut
kuda, Kemala. Lalu dia jadi kentut dan begitu
kentut keluar terhirup oleh ibunya. Ibunya ke-
mudian hamil dan lahirlah anak manusia seba-
gaimana yang ada didepan kita. Ha ha ha!" cele-
tuk si gondrong disertai tawa berderai.
Wajah buruk Maut Tanpa Suara berubah
mengelam. Walaupun kemarahannya pada Gento
telah memuncak demikian hebat, namun dia ma-
sih mencoba bersabar diri dengan berkata dituju-
kan pada Dwi Kemala Hijau.
"Apapun keinginanmu, terlebih-lebih yang
menyangkut masa lalumu apa hubungan den-
gannya? lagi pula kau tidak mungkin kembali ke
negerimu. Yang Agung pasti tak akan memberi
izin, begitu juga aku!" kata pemuda itu tegas.
"Mengenai apa yang harus kulakukan atau
pertolongan apa yang kuharapkan darinya kau
tak perlu tahu. Yang Agung boleh saja melarang,
kau bisa saja menghalangi. Tapi aku tidak perdu-
li.!"
"Kemala, rupanya kau tak tahu bahwa se-
lama ini aku....!" Maut Tanpa Suara tidak te-
ruskan ucapannya
Gento tersenyum lebar. "Gadis cantik, aku
tahu kelanjutan dari ucapan saudara sepergu-
ruanmu itu. Dia pasti hendak mengatakan sebe-
narnya selama ini menaruh harapan dan cinta
padamu. Cuma karena disini ada kami dia jadi
malu, bukankah begitu paman Racun Hijau?"
"Aku sependapat. Jika dia cinta pada gadis
secantik ini boleh saja. Tapi rasanya dia harus
mengikis wajahnya yang buruk biar jadi bagusan
sedikit. Jika dia tetap dalam keadaan seperti itu,
rasanya tidak sepadan antara si buruk dan si
cantik berdampingan hidup bersama. Mending
gadis ini menjadi kekasihku karena kami sama-
sama memiliki kulit hijau. Ha ha ha." sahut Iblis
Racun Hijau
"Kalau kalian jadi menikah apa jadinya
nanti dengan warna kulit anakmu? Ha ha ha...!"
kata Gento menimpali.
Ambini jadi cemberut, sedangkan Dwi Ke-
mala Hijau jadi tersipu-sipu. Iblis Racun Hijau
tertawa ngakak. Di depan sana wajah Maut Tanpa
Suara sebentar memucat sebentar memerah. Tu-
buhnya menggigil, pelipis bergerak-gerak, rahang
menggembung pertanda bahwa kemarahannya
sudah sulit dikendalikan.
"Manusia kurang ajar. Malam ini kalian
akan terkubur di puncak bukit ini secara sia-sia."
teriak Maut Tanpa Suara. Dia kemudian berpaling
ke arah Dwi Kemala Hijau. "Kau tidak pernah
pergi kemana pun apalagi bersama kunyuk gon-
drong itu!" seru Maut Tanpa Suara. Bersamaan
dengan ucapannya itu laksana kilat secara tak
terduga Maut Tanpa Suara berkelebat ke arah si
gadis dan langsung lancarkan satu totokan di ba-
gian dada Dwi Kemala Hijau. Tapi rupanya gadis
ini telah bersikap waspada sejak tadi, sehingga
begitu dia merasakan ada sambaran angin dingin
menghantam ke bagian dada dia langsung melompat mundur sambil melancarkan serangan ba-
lasan berupa tendangan menggeledek ke bagian
perut.
Dari bagian kaki si gadis menderu hawa
dingin yang disertai dengan berkiblatnya sinar hi-
jau yang langsung menghantam ke arah sasaran.
Lawan tertawa mengejek, lalu dorongkan tangan
kanannya menyambut tendangan lawan. Dengan
tangan kiri dia balas menghantam. Dwi Kemala
Hijau yang tahu kehebatan dan tenaga sakti yang
dimiliki lawannya tidak menjadi surut ketika me-
lihat lawan bukan saja hanya menangkis. Tapi
sambil menangkis dia juga balas menghantam.
Tak dapat dihindari lagi benturan keras
terjadi. Si gadis menggerakkan kepala ke bela-
kang. Sehingga jotosan tangan kiri lawan luput
namun akibat benturan antara kaki dan tangan
kanan lawannya membuat Dwi Kemala Hijau ter-
huyung dan hampir terjatuh. Selagi dirinya dalam
keadaan seperti itu lawan telah berkelebat ke
arahnya sambil lancarkan satu pukulan mengge-
ledek. Si gadis nampaknya kali ini tidak dapat
menghindar walaupun dia sudah mencoba berke-
lit dengan memutar badan ke samping
Buuk!
"Hukh...!"
Gusrak!
Satu tendangan yang dilakukan Maut Tan-
pa Suara tepat mendarat di bagian perut gadis
serba hijau, hingga membuat gadis ini terpelant-
ing roboh dengan perut terasa pecah, panas seolah mau meledak. Darah menetes dari sudut bibir
Dwi Kemala Hijau. Belum lagi gadis ini sempat
bangkit berdiri lawan telah menyerangnya kemba-
li sambil hantamkan kakinya ke arah kepala gadis
itu. Melihat ganasnya serangan yang datang itu
tentu membuat Gento Guyon tak dapat tinggal di-
am. Sambil berteriak keras dia menghantamkan
kedua tangannya secara berturut-turut.
"Katanya cinta, mengapa sekarang berubah
jadi benci? Konon sayang, mengapa sekarang ma-
lah hendak dibunuh?" Suara si pemuda yang
menggeledek tenggelam dalam gemuruh suara
pukulan yang dilepaskannya sendiri. Melihat se-
rangan datang dari arah sampingnya, Maut Tanpa
Suara terpaksa batalkan serangan, kini dia berba-
lik sambil memapaki serangan ganas yang dilan-
carkan Gento Guyon.
Ketika tangan kanan Maut Tanpa Suara
dihantamkan ke depan selarik sinar merah men-
deru di udara. Hawa panas dan hawa dingin da-
tang silih berganti. Satu benturan keras tak dapat
dihindari lagi.
Terdengar suara ledakan berdentum. Kuil
Setan laksana di guncang gempa. Dua sosok tu-
buh sama terpental ke belakang. Di sebelah kiri
dekat obor besar Gento terkapar, nafas megap-
megap dada terasa sesak bukan main sedangkan
dari mulut dan hidungnya darah nampak me-
netes. Di depan sana tak jauh dari Kuil Setan,
Maut Tanpa Suara jatuh terhenyak sambil dekap
dadanya. "Pemuda gondrong itu ternyata tak dapat dianggap enteng. Entah ilmu pukulan apa
yang dia miliki, yang jelas aku merasakan sekujur
tulang-tulang tubuhku laksana bertanggalan!" ru-
tuk Maut Tanpa Suara. Tapi tanpa menghiraukan
sakit dibagian dadanya pemuda itu bangkit lagi.
Rasa dendamnya pada Gento demikian besar ka-
rena dia menganggap pemuda itu telah menarik
perhatian Dwi Kemala Hijau. Kini selagi Gento da-
lam keadaan terlentang dia ingin menghabisinya.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Ambini
tidak tinggal diam. Dia langsung melompat ke
arah Gento dengan sikap melindungi. Akan tetapi
pada saat itu ternyata Maut Tanpa Suara, sesuai
dengan julukannya tanpa mengucapkan sepatah
katapun sudah berkelebat ke arahnya. Satu ten-
dangan diarahkan pada Gento, satu hantaman
keras menderu ke bagian bahu Ambini. Serangan
yang dilakukan Maut Tanpa Suara ini bukan se-
rangan biasa karena lawan telah mengerahkan
seluruh kesaktian sekaligus tenaga dalam yang
dia miliki. Melihat ganasnya serangan sambil ber-
gulingan Gento berteriak.
"Ambini menyingkir!"
Entah mendengar atau tidak, yang jelas
Ambini tidak bergeser dari tempatnya. Sementara
Gento telah bergulingan ke samping hingga luput
dari hantaman kaki lawan. Sebaliknya Ambini ke-
rahkan seluruh tenaga dalamnya ke bagian tan-
gan. Kedua tangan lalu didorongkan ke depan
menyambut hantaman lawannya.
Buuuk! Deees!
Hantaman yang luar biasa kerasnya itu
ternyata tak dapat dibendung oleh Ambini. Tinju
lawan menerobos pertahanannya hingga meng-
hantam bagian ulu hati.
Ambini memekik kesakitan, tubuhnya ter-
pelanting lalu jatuh terbanting dengan wajah pu-
cat laksana mayat.
"Ambini....!" jerit Gento yang menyangka
gadis itu tewas seketika. Laksana kilat dia berlari
mendapatkan Ambini. Dia melihat dari mulut ga-
dis itu mengucurkan banyak darah. Gento segera
memeriksa denyut nadi gadis yang telah meno-
longnya itu. Gento segera mengetahui Ambini
menderita luka hebat di bagian dalam. Dia cepat
tempelkan tangannya ke perut gadis itu, tenaga
dalam disalurkan ke dada si gadis. Hingga Ambini
kemudian merintih dan terbatuk-batuk. Ketika
batuk darah lebih banyak keluar.
"Gento...!" rintih si gadis. Murid Gentong
Ketawa memberi isyarat agar Ambini jangan bica-
ra. Dari balik kantung celananya pemuda ini
mengambil sebuah pil berwarna hitam pemberian
Tabib Setan. Pil itu kemudian dimasukkanya ke
dalam mulut Ambini. Ketika obat mujarab itu
memasuki tenggorokannya, Ambini merasakan
dadanya yang panas laksana terbakar kini beru-
bah sejuk.
"Tetaplah kau berada disini. Kau belum bo-
leh bergerak!" kata Gento. Setelah itu dia bangkit,
kemudian membalikkan badan, hingga mengha-
dap ke arah lawan. Namun pada saat itu lawan
sedang menghadapi gempuran hebat dari Iblis
Racun Hijau dan juga Dwi Kemala Hijau. Ternyata
ketika melihat Gento dan Ambini terpukul roboh,
Iblis Racun Hijau sudah tak dapat tinggal diam
lagi. Kini mendapat serangan bertubi-tubi dari
dua lawan sekaligus Maut Tanpa Suara nampak
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang di-
lancarkannya tidak mengenai sasaran. Semua ini
membuat Maut Tanpa Suara menjadi sangat ma-
rah
"Bangsat-bangsat pengecut beraninya main
keroyok!" teriak pemuda berpakaian serba merah
itu sengit. Dia kemudian salurkan tenaga dalam-
nya ke bagian tangan. Tak berselang lama kedua
tangan itu telah berubah biru berkilauan.
"Hati-hati dia hendak menggunakan ajian
Telapak Setan!" seru Dwi Kemala Hijau lantang.
Gento yang saat itu hendak mengambil tindakan
urungkan niat karena bagaimanapun dia tak mau
bertindak pengecut dengan melakukan keroyo-
kan, sungguhpun demikian dia tetap bersikap
waspada menjaga segala kemungkinan yang tidak
diingini.
Pada waktu itu begitu mendengar peringa-
tan Dwi Kemala Hijau. Iblis Racun Hijau hanya
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku tahu inilah ilmu yang paling hebat
yang dimiliki oleh penguasa Kuil Setan. Malam ini
aku ingin merasakan kehebatannya!" teriak Iblis
Racun Hijau lantang. Sambil berucap begitu Iblis
Racun Hijau tunggingkan pantatnya menghadap
ke langit. Dua tangan ditempelkan ke permukaan
tanah. Tenaga dalam dikerahkan, lalu disalurkan
ke bagian kedua belah tangannya. Tak berapa la-
ma kemudian dengan tubuh membungkuk dan
tangan diacungkan ke arah lawan tubuhnya ber-
kelebat.
"Heaaa. ..!"
Satu teriakan keras bergema di udara. Dari
sebelah kirinya Dwi Kemala Hijau juga lepaskan
satu pukulan menggeledek. Angin panas seperti
puting beliung bergemuruh di udara. Maut Tanpa
Suara yang yakin akan kehebatannya sendiri
sambil berteriak lantang langsung menghantam
ke dua arah sekaligus.
Wuut! Wuuut!
Untuk yang kesekian kalinya Kuil Setan
laksana di guncang gempa.
Tiga sosok tubuh yang saling lancarkan se-
rangan hebat dengan mengerahkan segenap ke-
saktian yang mereka miliki nampak tenggelam da-
lam kepulan pasir dan debu yang berterbangan di
udara.
Di salah satu sudut diluar tempat terjadi
pertempuran hebat, Gento yang sempat ter-
huyung jadi gelengkan kepala, "Mereka rupanya
sudah menjadi gila untuk membunuh hingga
mengeluarkan seluruh kekuatan yang mereka mi-
liki!" gumam Gento.
Bummm! Buuum!
Tak urung pemuda ini terpaksa jatuhkan
diri sama rata dengan tanah ketika ledakan berdentum menggema di tempat itu. Satu jeritan ter-
dengar, namun suara jeritan seolah lenyap di tin-
dih suara gemuruh hebat akibat ledakan.
11
Beberapa saat kemudian ketika suara ge-
muruh lenyap, dan debu, batu yang bertaburan di
udara juga sirna. Maka Gento dapat melihat satu
lubang hitam menganga di samping halaman Kuil
Setan.
Tak jauh di depannya terlihat Iblis Racun
Hijau tergeletak dalam keadaan terlentang. Seku-
jur tubuhnya yang hijau pucat kotor berselimut
debu, tangan bengkak menggembung sedangkan
kening benjol besar. Perut orang tua ini berkedut-
kedut, sedangkan nafas kembang kempis. Jauh di
depan sana, di sebelah kiri Gento, Dwi Kemala Hi-
jau nampak terduduk. Sebagian pakaian di ba-
gian perut robek besar. Hingga terlihat kulit pe-
rutnya yang mulus kehijauan. Melihat darah yang
mengalir dari mulut gadis ini, nampak jelas saat
itu dia menderita luka dalam cukup parah.
Sedangkan tak jauh dari lubang besar aki-
bat ledakan terlihat satu sosok hitam hangus
yang masih mengepulkan asap berbau busuk,
menyengat. Itulah mayat Maut Tanpa Suara yang
tewas akibat tak sanggup membendung pukulan
yang dilancarkan kedua lawannya. Sekali lagi
Gento gelengkan kepala.
Kini perhatiannya kembali tertuju ke arah
Iblis Racun Hijau. Melihat keadaan orang tua itu
kini dia tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh saat ini keadaan tubuhmu seper-
ti seorang bocah yang baru tercebur ke dalam air
comberan. Paman Racun Hijau, kau mau terus
rebahan disitu, apa perlu kutolong?!" tanya Gento
disertai senyum mengejek.
"Bocah edan sial!" damprat Iblis Racun Hi-
jau. Dengan tertatih-tatih dan nafas megap-
megap orang tua yang sekujur tubuhnya berwar-
na hijau ini bangkit berdiri. "Keadaanku jadi tak
karuan begini rupa, gara-gara menolongmu. Jika
kau dan gadis itu kubiarkan sejak tadi kau sudah
merat dari dunia ini. Aku... aku sendiri merasa
tubuhku menjadi gerah. Aku harus kembali ke
tempat asalku. Aku harus berendam di Telaga Hi-
jau," kata Iblis Racun Hijau. Dia lalu menoleh ke
arah Ambini. "Gadis yang terluka itu harus ku-
bawa. Mungkin dia akan kuberi racun karena ob-
at mu kurang mujarab!"
Mendengar ucapan orang tua itu Gento
tentu saja jadi kaget. Dia memandang pada Am-
bini dan Iblis Racun Hijau silih berganti "Paman
Racun Hijau. Kau hendak membawa Ambini mau
kau apakan rupanya dia?" tanya si pemuda. "La-
gipula urusan disini belum selesai. Ambini me-
mang sudah dapat kita selamatkan, tapi guruku
entah dimana saat ini. Selain itu senjata Bintang
Penebar Petaka juga masih belum ketahuan bera-
da di mana." ujar pemuda itu lagi.
Iblis Racun Hijau gelengkan kepala "Uru-
san senjata dan juga mengenai dirimu itu menjadi
tanggung jawabmu sendiri. Aku terus terang saja
tidak dapat berada di luar telaga Hijau lebih lama.
Karena tubuhku bisa kering, jika kering aku jadi
sulit bernafas. Bahkan tubuhku bisa meledak.
Sekarang aku harus pergi, sampaikan salamku
pada gurumu jika dia panjang umur. Tapi jika dia
meninggal nanti pasti akan kukirim karangan
bunga dan panggang ayam ke pusarannya! Nah
bocah edan, selamat berjuang. Ha ha ha!" berkata
begitu dengan kecepatan laksana kilat dia berke-
lebat menyambar Ambini.
"Hei, kodok.... apa-apaan ini....!" teriak
Gento. Dia tidak tinggal diam. Dengan cepat pula
pemuda ini menghalangi. Sayang kakinya terge-
lincir hingga membuatnya terjatuh. Ketika dia
bangkit kembali dilihatnya Iblis Racun Hijau telah
raib. Jauh di bagian lereng bukit sayup-sayup
terdengar suara tawa Iblis Racun Hijau yang dis-
elingi oleh jerit Ambini yang memanggil-manggil
nama Gento.
Dalam kebingungan pemuda ini hendak la-
kukan pengejaran. Tapi ketika dia hendak laksa-
nakan niatnya satu suara menegur.
"Biarkan saja gadis itu. Dia tak akan dis-
akiti oleh Iblis Racun Hijau!" kata satu suara. Ka-
get, Gento langsung menoleh. Kejutnya bukan ke-
palang ketika menyadari orang yang baru bicara
tadi ternyata adalah Dwi Kemala Hijau.
"A... apa maksudmu? Apakah kau mau
mengajakku pelesiran? Aku pasti mau jika uru-
sanku telah selesai. Apalagi walaupun tubuhmu
hijau tapi wajahmu secantik ini! Ha ha ha." kata
Gento sambil tertawa terbahak-bahak
"Gento, jaga kau punya mulut. Saat ini ada
sesuatu yang amat penting ingin kubicarakan
denganmu!" kata Dwi Kemala Hijau tegas.
Baru saja murid kakek Gentong Ketawa
hendak membuka mulut keluarkan ucapan. Pada
saat itu secara tiba-tiba terdengar suara bergemu-
ruh hebat yang berasal dari bagian bawah perut
bukit juga dari bagian dalam Kuil Setan. Bersa-
maan itu pula terdengar suara raungan aneh
yang begitu keras menggeledek.
Kemudian terdengar suara ratap bercam-
pur amarah. "Jahanam terkutuk! Bintang Penebar
Bencana raib, salah seorang murid jadi penghia-
nat dan satunya lagi tewas. Darahnya tertumpah
membasahi puncak bukit. Kuil Setan tak dapat
ku pertahankan keutuhannya. Aku akan gen-
tayangan. Semua orang yang mengusik ketenan-
ganku pasti kubunuh!" teriak suara itu.
Suara gemuruh makin bertambah menghe-
bat. Guncangan yang terjadi di puncak bukit ma-
kin menggila. Kuil Setan retak disana sini.
"Gento.... cepat kita menyingkir dari tempat
ini. Tadi yang bicara itu adalah Iblis Berjubah Me-
rah.... dia adalah Yang Agung....!" teriak Dwi Ke-
mala Hijau. Wajahnya yang cantik itu jadi beru-
bah hijau pucat, mata mendelik memandang ke
arah Kuil. Jelas sekali pada saat itu dia dilanda
ketegangan luar biasa
"Lari... hendak lari kemana? Apakah ini
yang namanya Kiamat?!" sahut Gento yang masih
tercengang seolah tidak percaya.
"Sesuatu telah kita lakukan, darah pene-
rusnya telah tertumpah. Tempat ini segera mele-
dak!" teriak Dwi Kemala Hijau. Gadis ini kemu-
dian berlari ke arah Gento, menyambar tangan
pemuda itu lalu bermaksud segera meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi di saat yang sama menda-
dak terjadi ledakan menggelegar laksana gunung
meletus. Bukit meledak melontarkan apa saja
yang ada di sekitarnya.
"Akhh...!" Gento dan Dwi Kemala Hijau sa-
ma-sama berteriak ketika merasakan seakan ada
satu tangan raksasa melontarkan mereka ke lan-
git kelam. Dalam gelap tubuh mereka entah ter-
campak ke mana. Sementara itu puncak bukit
meledak, maka Kuil Setan juga ikut meledak dis-
ertai semburan api yang berasal dari bagian
ruangan dalam kuil. Ledakan-ledakan keras terus
terdengar mengiriskan hati yang mendengarnya.
Bersamaan dengan meledaknya Kuil Setan, diba-
gian sebelah timur kuil dua sosok tubuh terpental
di udara. Satu diantara dua sosok yang terlempar
keluar dari dalam kuil itu yang satu berbadan
gemuk besar luar biasa, sedangkan satunya lagi
sangat pendek, kecil bukan main. Dua sosok ini
kemudian melayang ke arah kegelapan dan le-
nyap bersama lenyapnya suara jeritan mereka.
Sementara pada saat yang sama pula dekat pintu
kuil yang hancur menjadi puing-puing satu ca-
haya merah laksana api nampak melesat mening-
galkan Kuil yang hancur serta puncak bukit yang
kini sudah sama rata dengan tanah. Cahaya me-
rah itu kemudian lenyap di sebelah timur bukit
yang hancur.
Ledakan-ledakan keras masih terus ter-
dengar sesekali diselingi dengan suara lolong
aneh serta pekik mengerikan seperti suara arwah
gentayangan yang sedang menjalani penyiksaan
yang hebat.
Malam terus berlalu, bulan sabit lenyap
tenggelam di ufuk barat. Kuil Setan sudah tidak
terlihat lagi. Hanya asap hitam mengepul, mem-
bubung tinggi ke angkasa menyambut datangnya
sang fajar.
-TAMAT-
NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
BIDADARI BIRU
0 komentar:
Posting Komentar