BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 28 Februari 2025

GENTO GUYON EPISODE TANGAN REMBULAN


matjenuh khairil

 

1


Terperangkap dalam satu ruangan yang 
sangat gelap Memedi Santap Segala yang memiliki 
gelar Mahluk Tangan Rembulan sempat dilanda 
ketakutan setengah mati. Sejak dirinya terjeblos 
dalam perangkap dan tanah yang dipijaknya am-
blas ke bawah, pemuda yang wajahnya mirip mo-
nyet besar, berkulit hitam legam dengan sekujur 
tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus dan berperut 
besar serta berpuser bodong ini berteriak me-
manggil-manggil majikannya. Tapi suara teria-
kannya lenyap ditelan gemuruhnya suara tanah 
yang naik kembali menutup lubang dimana tadi 
dirinya meluncur jatuh.
"Datuk Labalang... tolong Datuk. Matilah 
saya kali ini Datuk. Ayahku.... ibuku, mereka se-
mua tak tahu saya dan Datuk telah menyeberang 
ke tanah Jawa. Oh... Datuk saya takut....!" jerit 
pemuda itu dengan perasaan tegang dan tubuh 
basah bersimbah keringat dingin. Di tempat dia 
terjatuh, Memedi Santap Segala tidak menyadari 
dirinya berpijak pada lantai, tanah atau di dalam 
air. Pikirannya terlalu kalut, perasaan diliputi ke-
tegangan dan hati pemuda ini didera rasa takut 
yang bukan kepalang. Dalam keadaan dilanda 
berbagai perasaan begitu rupa, otaknya yang tolol 
benar-benar tak dapat dipergunakan untuk berfi-
kir. Yang dia tahu, sejak tanah yang membuat di-
rinya terjeblos naik ke permukaan dan kembali

menutup, di situlah akhir dari semua perjalanan 
hidupnya.
Benarkah hidupnya akan berakhir hingga 
disitu, terpendam dalam satu ruangan sempit, 
disatu tempat jebakan yang entah di buat oleh 
siapa. Dalam ruangan gelap dan pengap apa yang 
dapat dia lakukan? Mencari jalan keluar untuk 
menyelamatkan diri, rasanya itu lebih baik dila-
kukan daripada bersikap pasrah menunggu da-
tangnya ajal. Tertatih-tatih tanpa menghiraukan 
pengabnya udara hingga membuat tubuhnya te-
rasa panas laksana terbakar, Memedi Santap Se-
gala segera memeriksa lantai dimana dia berpijak. 
Lantai ternyata halus dan licin keras seperti batu 
namun mengandung air berbau pesing menyen-
gat.
"Mungkin aku jatuh ke dalam jamban, 
sungguh malang sekali nasibku tapi kurasa lebih 
celaka lagi jika aku tak dapat keluar dari tempat 
ini" batin si pemuda. Dia berusaha berdiri tegak, 
sebentar dia menarik nafas. Udara terasa semakin 
pengap dan dadanya mulai sakit mendenyut. 
Sambil berjalan tertatih-tatih dalam gelap Memedi 
Santap Segala mencoba merapat ke dinding ter-
dekat, tangan dijulurkan ke depan meraba. Tak 
lama kemudian dia menyentuh dinding yang licin 
dan agaknya dinding itu terbuat dari batu. 
Sambil melangkahkan kaki, dia meraba se-
panjang dinding batu itu. Tidak ada pintu, tidak 
ada jendela. Tidak ada pula jalan keluar!
"Celaka...!" desis Memedi Santap Segala

merasa lelah juga diliputi kebimbangan. "Mung-
kinkah takdir ku harus terkubur hidup-hidup dis-
ini?" Si pemuda membatin dalam hati. Pada suatu 
sisi dinding tidak ditemukannya jalan. Tapi masih 
ada tiga sisi lainnya. Tiga sisi yang belum sempat 
diperiksa itulah merupakan tumpuan harapan sa-
tu-satunya untuk menyelamatkan diri. Mungkin-
kah ada pintu di tiga dinding ruangan sempit 
yang belum diperiksanya? Si pemuda jadi bim-
bang. Dia menyadari udara yang terdapat di 
ruangan itu sangat terbatas. Jika dia terus-
menerus bernafas, udara segar akan habis. Ke-
mungkinannya dia jadi kehabisan nafas, tubuh-
nya menjadi lemas dada bisa meledak dan dia 
akan mati secara perlahan. Sungguh tragis sekali. 
"Tidak! Aku tidak mau mati sebelum kete-
mu emak, aku tidak mati sebelum jumpa dengan 
bapak ibuku." rintih Memedi Santap Segala keta-
kutan sekali. Dalam keadaan seperti itu dia ingat 
pada Tuhan. Hanya kepada Tuhan tempat bagi 
manusia untuk meminta dan memohon perlin-
dungan, tapi pemuda ini menjadi malu.
"Aku tidak pernah berusaha mendekat pa-
da Tuhan, aku tidak pernah mengerjakan apa 
yang diperintahkannya. Walaupun aku memang 
tidak pernah melanggar larangannya. Mungkin-
kah Gusti Allah ingat padaku, sedangkan aku 
sendiri tak pernah ingat kepadaNya. Tapi jika ti-
dak pada Tuhan pada siapa lagi aku berserah di-
ri? Kepada Datuk Labalang? Keberadaan orang 
tua itu saja sampai saat ini aku tak tahu." keluh

Memedi Santap Segala. Tidak ada pilihan lain, 
pemuda berpuser bodong ini akhirnya terpaksa 
mengerahkan segenap akal fikiran yang dia miliki 
guna untuk mencari jalan meloloskan diri. Tanpa 
menghiraukan panasnya udara yang terasa mem-
bakar di dalam ruangan itu Memedi Santap Sega-
la dengan bertumpu pada dinding segera meram-
bat ke sisi dinding berikutnya. Nafas pemuda ini 
mulai megap-megap, tubuhnya basah bersimbah 
keringat. Di saat seperti itu kesadarannya mulai 
timbul tenggelam. Perasaan lelah mendera seku-
jur tubuhnya. Belum lagi dia sampai di ujung sisi 
dinding kedua mendadak lutut pemuda ini terasa 
goyah, sekujur tubuh gemetar. Bersusah payah 
dia coba bertahan, namun pada akhirnya dia ter-
gelimpang roboh juga.
"Apa dayaku kini?" rintih si pemuda. Da-
lam keadaan seperti itu dia teringat pada kantong 
perbekalan makanannya. Dia ingin makan seda-
pat yang dia lakukan. Agar jika malaikat maut 
menjemputnya, dia bisa menutup mata dengan 
perut kenyang. Lalu dengan menggunakan tangan 
kirinya yang terkulai di atas paha, Memedi Santap 
Segala bermaksud mengambil makanan dari kan-
tong perbekalan. Si pemuda mengeluh, dia malah 
hampir menangis di saat menyadari kedua tan-
gannya tak dapat digerakkan sama sekali. Jan-
gankan untuk mengambil makanan, sedangkan 
digerakkan pun sulit. Seolah tangan itu berubah 
berat menjadi ratusan kati.
"Tuhan... mungkin sudah menjadi takdir

ku harus mati dalam keadaan lapar. Oh, jelek 
amat takdir ku ini. Tapi jika itu memang harus 
terjadi rasanya aku setengah rela, ya Tuhan. Te-
rus terang aku sendiri sangat takut dan belum 
siap menghadapi kematian. Bagaimana ini?" kata 
si pemuda. Gema suaranya hanya sampai pada 
batas tenggorokannya saja. Tak kuasa Memedi 
Santap Segala menahan berat badannya sendiri 
yang semakin lama terasa kian bertambah berat, 
pada akhirnya pemuda itu rebah menelentang 
tanpa daya. Walaupun dia jatuh rebah di tempat 
becek berbau pesing, tapi dia tetap merasakan 
sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang di 
atas bara api. Bahkan tenggorokannya pun terasa 
kering. Sehingga ketika dia menelan ludah, ma-
tanya nampak mendelik seperti dicekik. 
Beberapa saat dalam keadaan seperti itu, 
Memedi Santap Segala mencoba memacu otaknya 
yang mulai melemah. Dia kemudian ingat akan 
sesuatu
"Batu Rembulan....!" desis pemuda itu. Se-
kelumit harapan muncul di dalam benaknya. Di-
apun mengumpulkan segenap tenaga yang tersi-
sa, tangannya kembali digerakkan. Kali ini di-
arahkannya ke bagian saku celana hitamnya. 
Dengan tangan gemetar lima jari tangannya me-
nyentuh benda bulat sebesar telur ayam yang be-
rada di dalam saku kiri.
Batu bulat lonjong itu lalu dikeluarkan. 
Dengan mata redup dia mencoba menatap batu 
kesayangannya itu. Tapi dalam gelap, jangankan

batu, kedua tangannya sendiri tak terlihat.
"Batu Rembulan batu sakti, tunjukkan se-
gala kesaktianmu. Saat ini aku benar-benar san-
gat membutuhkan bantuanmu. Bantulah aku Ba-
tu Rembulan!" rintih Memedi Santap Segala lirih. 
Perlahan dia genggam batu berwarna putih itu 
dengan kelima jemari tangannya. Seluruh sisa te-
naga dalam yang dia miliki dikerahkan, lalu dis-
alurkan ke bagian tangan yang memegang Batu. 
Begitu tenaga mulai mengalir ke batu bulat lon-
jong itu, maka terjadilah sesuatu yang sangat 
menakjubkan. Batu Rembulan memancarkan ca-
haya redup berwarna putih, cahaya itu semakin 
lama semakin bertambah terang hingga meneran-
gi seluruh ruangan yang sempit pengap dan cuma 
setinggi sosok Memedi Santap Segala sendiri! Wa-
jah yang pias dan bersimbah keringat itu nampak 
tersenyum, 
"Terima kasih. Aku.... aku ingin melihat 
apakah di salah satu dinding ruangan ini terdapat 
pintu. Bergeraklah, teliti setiap jengkal batu yang 
terdapat di seluruh dinding ini!" perintah Memedi 
Santap Segala. Baru saja suara si pemuda itu le-
nyap. Satu keanehan lagi terjadi. Batu melesat 
meninggalkan telapak tangan pemuda berkulit hi-
tam legam, bergerak mengambang menelusuri 
dinding melewati sisi demi sisi, sampai kemudian 
Memedi Santap Segala keluarkan satu seruan. 
"Berhenti di situ Batu Rembulan!"
Seakan mengerti batu yang memancarkan 
cahaya putih terang yang semula bergerak menelusuri dinding kini diam tepat di salah satu sudut 
dimana terdapat empat garis berbentuk pintu. 
Lupa akan keadaannya yang lemah tak bertenaga, 
Memedi Santap Segala segera bangkit dan men-
coba mendekati pintu batu. Nafas megap-megap, 
kini dia merasakan sekujur tubuhnya seakan su-
dah tidak memiliki tulang.
Dengan tatapan nanar Memedi Santap Se-
gala memandang ke arah Batu Rembulan. Mulut-
nya membuka berucap. "Batu Rembulan batu 
sakti, aku telah kehilangan semua daya yang ku-
miliki. Kini aku hanya bisa mengharapkan ban-
tuanmu. Batu Rembulan, andai kau mampu 
mendobrak pintu batu itu, mencari jalan selamat 
untuk diriku aku pasti akan sangat berterima ka-
sih sekali" kata si pemuda
Batu Rembulan yang mengambang di uda-
ra tiba-tiba saja berputar mengeluarkan suara 
angin menderu yang sangat kencang luar biasa. 
Bersamaan dengan itu pula mendadak Memedi 
Santap Segala merasakan udara yang luar biasa 
panasnya di dalam ruangan itu berubah menjadi 
dingin. Si pemuda yang semula nampak putus 
asa kini tersenyum sambil menghirup udara da-
lam-dalam.
"Terima kasih Tuhan, terima kasih Batu 
Rembulan!" seru si pemuda sambil bersujud dan 
bentur-benturkan keningnya di atas lantai yang
becek. 
Apa yang terjadi pada Batu Rembulan 
nampaknya masih terus berlanjut, karena masih

dengan terus berputar Batu Rembulan tiba-tiba 
saja melesat menghantam dinding yang berben-
tuk pintu. Sinar putih berkiblat, gemuruh angin 
menggila. Ketika Batu Rembulan membentur 
dinding batu terjadilah ledakan keras berdentum.
Buuum!" 
Pintu batu hancur berkeping-keping. Dind-
ing di kanan kiri pintu rengat di sana sini, se-
dangkan tiga sisi dinding lainnya bergetar. Gun-
cangan yang keras membuat Memedi Santap Se-
gala terlempar, jatuh tunggang langgang. Si pe-
muda mengusap keningnya yang benjol besar dan 
meneteskan darah akibat terbentur dinding. Den-
gan pandangan nanar berkunang-kunang Memedi 
Santap Segala memandang ke arah Batu Rembu-
lan yang kini hampir kehilangan sebagian besar 
tenaga dan kesaktiannya akibat menghancurkan 
pintu batu tadi. Bukan hanya itu saja, Batu Rem-
bulan sudah tidak seterang tadi. Dan semua ini 
merupakan pertanda paling tidak Batu Rembulan 
membutuhkan waktu satu hari untuk memulih-
kan kesaktiannya sendiri.
"Aku sudah bisa bernafas, aku sudah be-
bas. Batu Rembulan... aku tahu dirimu sangat le-
lah sekali. Kemarilah.... kau istirahat di dalam 
kantong ku. "Kata Memedi Santap Segala yang 
sudah melihat di balik hancurnya batu menyeru-
pai pintu memancar cahaya merah temaram.



2

Batu Rembulan bergerak cepat, berputar-
putar hingga mengeluarkan suara berdesing. Des-
ing aneh yang ditelinga Memedi Santap Segala ti-
dak ubahnya seperti suara rintih kelelahan. Pe-
muda itu kemudian acungkan telapak tangannya. 
Batu Rembulan jatuh di atas telapak tangan si 
pemuda. Setelah mencium batu itu beberapa kali 
dengan penuh rasa terima kasih, dia masukkan 
batu sakti itu ke dalam saku celananya. 
"Aku harus keluar dari tempat ini, melalui 
pintu batu yang hancur itu agaknya aku bisa me-
nemukan sebuah jalan" fikir Memedi Santap Se-
gala. Dia lalu bangkit berdiri, berjalan mendekati 
pintu batu dengan langkah masih sempoyongan.
Begitu pemuda hitam legam ini sampai di 
balik pintu di mana cahaya merah membersit ke-
luar dari segenap penjuru langit-langit ruangan 
batu, Memedi Santap Segala merasakan ada hawa 
dingin menyengat tubuhnya. Tapi si pemuda sa-
ma sekali tak menghiraukannya, sepasang mata 
menatap ke seluruh penjuru ruangan yang luas. 
Dia melihat di tengah-tengah ruangan terdapat 
sebuah meja bundar berwarna merah, namun di-
atas meja diberi penutup yang bentuknya seperti 
tudung saji. Dari balik penutup meja dia melihat 
ada cahaya yang membersit keluar. Cahaya ber-
warna putih yang tidak ubahnya seperti kristal.
"Ada meja tak ada kursinya. Di balik penu

tup meja bundar itu mungkinkah terdapat maka-
nan disitu?" fikir Memedi Santap Segala. Saat itu 
dia merasakan perutnya menjadi sangat lapar se-
kali. Dia raba dan usap perutnya yang bundar. 
Lidah terjulur begitu terbayang olehnya makanan 
yang enak, lezat.
"Ruangan ini sangat bersih, menebar bau 
harum semerbak. Mungkin ruangan ini merupa-
kan tempat tidur raja." Si pemuda terdiam, sete-
lah berfikir sejenak diapun gelengkan kepala. "Ka-
lau tempat tidur mengapa tak kulihat peraduan-
nya. Boleh jadi ruangan ini tempat bersantap 
kaum bangsawan." Sambil tersenyum dia membe-
tulkan ucapannya yang salah. Beberapa saat la-
manya Memedi Santap Segala berdiri tegak di-
tempatnya. Setelah memperhatikan meja bundar 
sekejab, dia kemudian memutuskan untuk mem-
buka penutup meja.
"Ketika aku terperangkap di dalam ruangan 
terkutuk itu hampir saja aku kehilangan harapan 
hidup. Kini setelah aku bebas aku ingin makan 
sepuas-puasnya. Mudah-mudahan di atas meja 
itu terdapat makanan enak. He he he." Sambil 
tertawa-tawa Memedi Santap Segala melangkah 
mendekati meja batu yang bagian bawahnya lang-
sung menempel di lantai. Sejarak satu tombak di 
depan meja batu, si pemuda hentikan langkah-
nya. Dia memperhatikan bagian penutup meja. Di 
balik penutup yang berwarna putih mengkilap itu, 
ada cahaya gemerlap yang memancar terang ben-
derang.

"Ada cahaya aneh dibalik tudung meja ini. 
Cahaya apakah, rasanya tidak ada makanan di 
dunia ini yang memancarkan cahaya," membatin 
Memedi Santap Segala. Dia tersenyum tapi otak-
nya kembali berfikir. "Tidak mungkin yang kulihat
ini dijadikan tempat meletakkan makanan. Se-
suatu yang memancar di balik tudung ku rasakan 
mengandung getaran aneh. Bisa jadi meja ini di-
jadikan tempat menyimpan benda pusaka. Aku 
harus membuka penutupnya!" Si pemuda kemu-
dian melangkah lebih mendekat lagi. Tangan ka-
nan kemudian dijulurkan. Begitu tangan mende-
kat ke bagian atas penutup meja, tangan Memedi 
Santap Segata terasa panas dan bergetar. Ada 
hawa aneh yang mengalir deras dan menjalar 
memasuki tubuh Memedi Santap Segala melalui 
bagian ujung jemarinya.
Dengan perasaan kaget diliputi ketegan-
gan, pemuda itu cepat jatuhkan tangannya. Hawa 
panas yang mengalir melalui tangan tadi kini te-
rus menjalar ke sekujur tubuh, sebagian meram-
bat ke bagian kepala menembus sel-sel otaknya, 
sedangkan sebagian lainnya bergerak ke jantung 
perut dan kemudian lenyap di pusat pengendalian 
tenaga dalam yaitu disekitar pusat si pemuda 
yang bodong. Beberapa saat lamanya puser itu 
berkedut, bergerak, cepat seperti denyut jantung. 
Tapi pada kesempatan lain Memedi Santap Segala 
merasa perutnya menjadi mulas.
"Aduh biung celaka benar nasibku ini." ke-
luh si pemuda sambil terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Perut kemudian diremasnya 
sampai dia mengeluarkan suara kentut bertalu-
talu sebanyak lima kali. Satu keanehan menda-
dak terjadi, begitu suara kentut Memedi Santap 
Segala menggema di dalam ruangan. Detik itu pu-
la penutup tudung meja batu merah terpental, ja-
tuh di atas lantai merah dan hancur berantakan 
menjadi serpihan-serpihan halus.
Memedi Santap Segala yang sempat dibuat 
kaget dengan hancurnya tudung meja kini me-
mandang ke arah meja batu merah. Kejut pemuda 
hitam ini bukan alang kepalang begitu dia melihat 
satu legukan di atas meja dimana di dalam legu-
kan batu itu terdapat sebuah benda berbentuk 
bintang dengan empat sudut berwarna putih 
mengkilap yang keseluruhan sisinya memiliki ke-
tajaman yang sangat luar biasa.
"Senjata aneh.... putih bercahaya seperti 
kristal. Aku menduga mungkin inilah barangnya 
yang dicari Datuk Labalang. Aku yakin benda ini 
yang bernama Bintang Penebar Petaka. Kalau be-
nar dugaanku berarti saat ini aku berada di da-
lam ruangan tempat penyimpanan senjata maut 
ini. Haruskah kuserahkan benda ini pada Datuk 
Labalang? Aku sendiri tidak kemaruk untuk me-
milikinya. Dunia persilatan bisa geger jika senjata 
ini sampai jatuh ke tangan yang salah." kata Me-
medi Santap Segala. Sejenak lamanya si pemuda 
yang memiliki daya fikir rendah, polos bersahaja 
ini diam tegak di tempatnya. Bila semula niatnya 
untuk mencari jalan keluar guna untuk menyelamatkan diri. Maka kini timbul keinginannya un-
tuk mengambil senjata maut berbentuk bintang 
persegi empat itu.
"Di tanganku senjata ini mungkin bisa 
aman. Aku tak tahu siapa pemiliknya. Tapi pada 
yang menyimpan aku ucapkan terima kasih! "kata 
Memedi Santap Segala. Pemuda ini julurkan tan-
gannya kembali. Tangan yang tergetar dilanda ke-
tegangan ini kemudian bergerak menyentuh ba-
gian tengah senjata. Begitu pertengahan senjata 
yang berlubang tersentuh olehnya, Memedi San-
tap Segala menjerit kesakitan. Jemari tangan 
yang memegang senjata terasa panas laksana ter-
bakar. Tapi anehnya begitu dia mencoba melepas 
jarinya dari senjata. Jari itu menempel ketat sulit 
dilepas. Dengan perasaan bingung si pemuda ta-
rik tangannya. Begitu tangan ditarik maka Bin-
tang Penebar Petaka ikut tertarik keluar dari tem-
pat penyimpanannya.
Dia lalu gerakkan tangannya, diguncang 
berulang-ulang, namun senjata tetap menempel. 
Sampai Memedi Santap Segala merasa kecapaian 
sendiri, tapi Bintang Penebar Petaka tetap me-
nempel ditangannya. Pemuda ini akhirnya henti-
kan gerakan tangan. Dia pandangi senjata itu 
dengan tatapan penuh rasa tak percaya. Dia lebih 
terkejut lagi ketika melihat cahaya putih gemerlap 
yang memancar dari senjata yang tengah dicari 
banyak tokoh itu mulai meredup. "Bagaimana hal 
ini bisa terjadi?" Memedi Santap Segala bergu-
mam sendiri. Sekali lagi si pemuda perhatikan

senjata itu. Cahaya berkilau yang memancar dari 
senjata tersebut kini lenyap sama sekali. Dengan 
lenyapnya cahaya putih maka hawa panas yang 
menyengat tangan si pemuda lenyap pula. Dia 
kemudian menyimpan senjata itu di dalam kan-
tong perbekalannya.
"Tak pernah kusangka aku yang menda-
patkan senjata ini." Batin Memedi Santap Segala. 
Dia lalu melangkah meninggalkan bagian tengah 
ruangan menuju anak tangga yang agaknya 
menghubungkan ke ruangan lain. Paling tidak 
saat itu jikapun benar dia terjebak di dalam salah 
satu ruangan Kuil Setan, dia ingin keluar sedapat 
yang dilakukannya.
Di luar sepengetahuan Memedi Santap Se-
gala sesungguhnya ada sepasang mata yang terus 
mengawasi setiap gerak geriknya. Pemilik sepa-
sang mata yang mendekam disalah satu sudut 
ruangan besar nampak tercengang seakan tidak 
percaya begitu melihat dengan mudahnya Memedi 
Santap Segala mengambil senjata Bintang Pene-
bar Petaka. Padahal sebelum kehadiran pemuda 
itu tadi, dia sudah berusaha mengambil senjata 
tersebut dari tempat penyimpanannya di atas me-
ja. Jangankan untuk mengambil senjata itu, se-
dangkan untuk membuka tudung penutup meja 
pun dia tidak sanggup, seolah tudung yang ter-
buat dari kristal itu beratnya mencapai ribuan ka-
ti.
"Aneh.... dia sanggup mengangkat tudung 
meja, padahal kedua tangannya tidak melakukan

apapun. Ilmu apa yang dia miliki? Yang kudengar 
tadi dia memegangi perutnya. Lalu aku menden-
gar suara kentut bertalu-talu sebanyak lima kali. 
Mungkinkah kentut itu yang membuat kesaktian 
yang menyelimuti meja punah? Atau memang dia 
memiliki ilmu yang lain. Apa yang harus kulaku-
kan kini?" batin sosok itu sambil mencoba memu-
tar otak. Dia pun tersenyum ketika selintas akal 
menyelinap di dalam fikirannya. "Aku harus me-
rampas senjata itu dari tangan pemuda bermuka 
monyet tadi. Tapi aku harus menggiringinya ke-
luar. Cepat atau lambat lenyapnya senjata akan 
menimbulkan kegegeran besar bagi Yang Agung. 
Rasanya tidak perlu aku membantu mereka. Aku 
harus menyelesaikan tugasku sendiri. Sedangkan 
mengenai Gento, Ambini dan yang lain-lainnya. 
Biarlah Maut Tanpa Suara yang mengaturnya." 
kata pemilik sepasang mata itu sambil sungging-
kan seringai. Dia kemudian memandang ke arah 
undakan anak tangga. Ternyata pemuda hitam le-
gam yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu su-
dah tidak ada lagi disitu.
Tergesa-gesa pemilik sepasang mata segera 
keluar dari tempat persembunyiannya dan lang-
sung mengejar ke arah lenyapnya Memedi Santap 
Segala.

3

Sosok besar dalam keadaan tertotok dan 
kaku seperti kayu terus dibawa berlari dengan 
kecepatan laksana terbang. Sungguhpun sosok 
berpakaian serba putih itu memiliki tubuh pen-
dek luar biasa, namun si pendek dengan tinggi ti-
dak sampai sepinggang orang dewasa itu terus 
membawa si gendut Gentong Ketawa menjauh da-
ri Kuil Setan. Padahal besar badan sosok serba 
putih bila dibandingkan dengan si kakek gendut 
jelas tidak sebanding. Bahkan badan Gentong Ke-
tawa lima belas kali lebih besar dibandingkan be-
sar badan orang yang membawanya.
Semua ini membuktikan kalau sosok pen-
dek kerdil itu disamping memiliki ilmu lari cepat 
serta ilmu meringankan tubuh yang sangat luar 
biasa, juga memiliki kesaktian yang amat tinggi.
Dalam keadaan dibawa berlari sekencang 
itu, mendadak saja si gendut berucap. "Seumur 
hidup belum pernah aku berlari dalam keadaan
terlentang begini. Kurasa hari ini peruntunganku 
memang sedang bagus. Sudah terhindar dari an-
caman maut, sekarang digendong pula, Oalah... 
rasanya sungguh nyaman sekali hidup ini. Kalau 
keadaan menyenangkan ini bisa berlangsung se-
tiap hari, lama-lama tubuhku semakin bertambah 
gembul. Ha ha ha....!"
Sosok pendek kerdil yang membawa kakek 
Gentong Ketawa diatas kepalanya keluarkan sua

ra mendengus. Sampai disatu tempat yang dipe-
nuhi semak berduri, sosok berpakaian serba pu-
tih langsung melemparkan si kakek gendut.
Tubuh besar tinggi itu melesat di udara. 
Karena dalam keadaan tertotok tentu saja dia tak 
dapat selamatkan diri atau menghindar dari se-
mak-semak berduri itu.
Gusraak!
Bluk!
"Walah, aduh biyung. Habis dipanggul se-
karang kok malah dibanting. Apa salah dosaku?" 
pekik Gentong Ketawa yang kini tubuh besarnya 
sudah berada di bawah semak-semak berduri ta-
jam.
Si pendek kerdil yang membawanya tadi ti-
dak menjawab. Dari mulutnya terdengar suara 
mendengus kesal. Sedangkan jari diacungkan ke 
arah si kakek gendut besar. Ada hawa aneh 
membersit keluar dari jari telunjuknya yang lang-
sung menerpa punggung si gendut Gentong Keta-
wa. 
Tes! Tes!
Hawa dingin menyengat punggung Gentong 
Ketawa. Begitu merasakan tubuhnya terbebas da-
ri pengaruh totokan, maka tawa si kakek pun tak
terbendung lagi. "Sekian lama aku dibawa berlari, 
aku sampai lupa membebaskan totokan di tu-
buhku sendiri. Ha ha ha!" kata si gendut.
"Diam! Tidak tahukah kau sedang berha-
dapan dengan siapa?" hardik sosok pendek kerdil 
dengan suara keras menggeledek. Bentakan itu

membuat tawa si gendut lenyap seketika. Dia se-
gera duduk dan langsung memandang ke arah 
penolongnya. Begitu menyadari siapa adanya 
orang ini, wajah si gendut yang biasanya cerah 
ceria kini mendadak berubah pucat, mata melotot 
dan mulut ternganga. Saat itu si gendut tidak 
ubahnya seperti melihat hantu di siang bolong. 
Tak percaya dengan penglihatannya sendiri orang 
tua itu sampai mengusap matanya berulang kali.
"Guru.... Guru Kuntet Mangku Bumi. Ah 
tidak kusangka orang yang telah menolongku ter-
nyata Dewa Kincir Samudera. Maafkan muridmu 
ini, tadinya aku sudah menduga penolongku ada-
lah guru sendiri. Tapi karena guru tidak menja-
wab, maka aku jadi beranggapan bahwa yang 
menolongku adalah orang lain!" kata si gendut 
Gentong Ketawa. Berapa kali dia menjura ke arah 
kakek renta berpakaian putih berbadan pendek 
cebol bermuka asam yang berdiri tegak dihada-
pannya. Melihat pada sikap si gendut yang nam-
pak ketakutan sekali melihat kakek kerdil ini jelas 
kalau gurunya Gento Guyon itu merasa jerih pada 
si cebol.
Di depannya sana si kakek kerdil bernama 
Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa Kincir Sa-
mudera diam tak bergeming. Sepasang matanya 
mencorong tajam, memandang pada si gendut be-
sar dengan tatapan tak berkesip.
Melihat si kakek cebol berusia sekitar sera-
tus dua puluh tahun ini hanya diam dan unjuk-
kan tampang mengandung teguran, maka si gendut jantungnya jadi dag dig dug tak karuan. Dia 
merangkak mendekat, lalu berlutut di depan gu-
runya si kakek cebol bermuka masam. Sambil 
berlutut begitu rupa, dengan wajah ditundukkan 
tak berani menatap orang didepannya dia beru-
cap. "Guru, muridmu ini dari kecil sampai tua se-
perti sekarang memang geblek. Bahkan aku 
punya murid kewarasan otaknya tidak dapat ku-
jamin. Hanya biarpun begitu kuharap guru tidak 
menjadi marah karena satu kesalahan yang aku 
perbuat. Guru saat ini muridku dalam ancaman 
bahaya besar. Sebagai murid geblek, aku mohon 
petunjuk sekaligus saranmu." ujar si gendut den-
gan tubuh menggigil dan pakaian basah oleh ke-
ringat.
Si Kakek kerdil usap-usap kumis dan jang-
gutnya yang lebat memutih. Setelah memperhati-
kan Gentong Ketawa untuk beberapa saat la-
manya si cebol berkata. "Tua bangka sinting. Apa 
guna kau diberi kening lebar jika cara berfikirmu 
terlalu sempit. Mengurus dirimu sendiri saja kau 
tak punya kebecusan apa-apa, bagaimana kau bi-
sa mengawasi muridmu. Aku sebagai gurumu 
sengaja datang menemuimu bukan karena 
mengkhawatirkan keselamatanmu. Kalau kau 
mati, karena ketololan mu sendiri mengingat kau 
sudah tua mana menjadi penyesalan bagiku. 
Yang aku khawatirkan saat ini begitu banyak 
orang yang menginginkan senjata maut Bintang 
Penebar Petaka. Padahal jika berada di tangan 
orang yang salah dia senjata itu bisa menjadi

pangkal dari segala bencana. Saat ini aku sangat 
ingin sekali bertemu dengan Yang Agung, mak-
hluk jerangkong yang menguasai Kuil Setan. Jika 
dia mau menerima saranku, aku ingin senjata itu 
dihancurkan saja." ujar Dewa Kincir Samudera. Si 
kakek gendut jadi tercengang.
"Mengapa harus dihancurkan guru? Jika 
senjata itu berada di tangan orang yang bertang-
gung jawab, tentu akan menghasilkan banyak 
manfaat." ujar si gendut. 
"Kau murid tolol tahu apa? Ketahuilah se-
belum kau muncul di Kuil Setan aku telah me-
nyelidik. Sedikitnya ada tiga orang yang mengin-
car senjata itu. Pertama adalah seorang tokoh da-
ri Andalas, orang ini kulihat lenyap bersama 
pembantunya dan tidak muncul kembali. Kemu-
dian seorang pemuda berpakaian merah, aku te-
lah menyirap kabar konon dia murid tunggal Be-
gawan Panji Kwalat." 
Sepasang mata si gendut membesar men-
dengar disebutnya nama itu.
"Begawan Panji Kwalat. Manusia salah ka-
prah yang dapat menghancurkan lawan hanya 
dengan ucapannya saja?" desis Gentong Ketawa.
"Kau benar."
"Lalu yang satunya lagi siapa guru?" tanya 
si kakek gendut.
"Yang satunya tentu kawanmu, manusia 
keblinger Si Tangan Sial. Manusia segala kesialan 
itu hampir mencelakaimu" jelas Dewa Kincir Sa-
mudera sambil mencibir.

"Tunggu, seingatku walau kami berteman 
belum begitu lama, Si Tangan Sial tidak kemaruk 
dengan berbagi macam senjata. Lagi pula menga-
pa tiba-tiba dia ingin membunuh Gento. Sekarang 
aku curiga bukan mustahil Si Tangan Sial sengaja 
diperalat oleh seseorang."
"Kalaupun benar, orang yang memperalat-
nya pasti Begawan Panji Kwalat. Aku tahu persis 
manusia sesat yang satu itu memiliki berbagai 
senjata rahasia yang dapat mempengaruhi dan 
menekan seseorang. Salah satu diantaranya yang 
paling hebat adalah Jarum Penggendam Roh. Sia-
papun yang ditubuhnya telah ditanam jarum itu, 
otak hati dan fikirannya berada di bawah penga-
ruh Begawan Panji Kwalat." Menerangkan bahkan 
Dewa Kincir Samudera.
"Jika benar, mengapa Begawan itu mengu-
tus muridnya kesini?" tanya Gentong Ketawa he-
ran.
Untuk pertama kalinya si kakek cebol ter-
senyum. "Bocah edan ini setelah puluhan tahun 
terpisah dariku otaknya tetap goblok seperti dulu-
dulu juga." batin si kakek.
"Eeh, mengapa guru tersenyum?" tanya si 
gendut jadi salah tingkah.
"Aku tersenyum karena merasa menyesal, 
mengapa sejak dulu aku tidak memelihara kele-
dai. Karena aku menganggap keledai sama tolol-
nya dengan dirimu." dengus si kakek cebol.
Wajah putih si gendut sempat bersemu me-
rah. Tapi dia sama sekali tidak merasa tersinggung mendengar ucapan gurunya yang paling dia 
segani. Sebaliknya Gentong Ketawa malah tertawa 
tergelak-gelak.
"Kalau dulu kau memelihara keledai, aku-
pun ikut senang. Kemana-mana aku jadi bisa 
naik keledai. Ha ha ha." celetuk si kakek diiringi 
tawa berderai. Melihat muridnya si kakek gendut 
tertawa, maka si kakek pendek cebol mendadak 
hentikan wajahnya. Wajah si kakek yang angker 
kini berubah masam. "Gentong Ketawa....jadi ma-
nusia jika tertawa, tertawalah sekedarnya. Agar 
jika kau bersedih, kesedihan mu hanya sekedar-
nya pula. Saat ini kau sedang menghadapi satu 
masalah yang tidak kecil. Muridmu bisa tidak ke-
tolongan jika begini caranya kau mengatasi satu 
masalah. Selain itu kita juga harus mencegah 
agar Bintang Penebar Petaka jangan sampai jatuh 
ke tangan pihak yang salah." kata Kuntet Mangku 
Bumi alias Dewa Kincir Samudera tegas.
"Guru, untuk memasuki Kuil Setan bukan 
suatu pekerjaan mudah. Satu-satunya pintu di 
kuil itu hanya terbuka dalam waktu tertentu. Se-
dang saat ini aku tidak tahu dimana muridku di 
sekap." ujar si kakek gendut sambil mengusap 
wajahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Dewa Kincir 
Samudera delikkan matanya. Hingga membuat si 
kakek gendut jadi menciut nyalinya.
"Kelebihan manusia dengan mahluk berka-
ki empat, manusia itu diberi perasaan dan otak 
untuk berfikir. Dalam hidup ini hanya orang yang
pandai menggunakan otak dan fikirannya yang 
dapat menguasai dunia. Kau punya badan begini 
besar, batok kepala juga besar. Di balik batok ke-
pala yang besar itu apakah kau mempunyai otak 
sebesar nyamuk?"
"Sialan orang tua ini, menghina tidak pakai 
kira-kira," gerutu Gentong Ketawa. Walaupun ha-
tinya kesal mendengar ucapan si kakek cebol, 
namun dia menjawab juga. "Otakku cukup besar 
juga guru. Tapi terkadang sering keluar kuning-
kuningnya dari lubang telinga. Mungkin cairan 
yang keluar itu membuat otakku jadi sedikit beb-
al, ha ha ha. "kata si gendut disertai tawa. 
"Manusia tolol. Sejak kecil aku memang 
sudah memperkirakan kau akan seperti ini bila 
besar. Sesuai dugaanku sampai tua ternyata gi-
lamu makin menjadi-jadi. Kau selalu tertawa da-
lam menghadapi persoalan walaupun itu me-
nyangkut urusan mati hidupnya seseorang. Seo-
lah hidup dan dunia ini kau pandang indah dan 
menyenangkan. Lain kali jika bertemu denganku 
jangan suka tertawa, salah-salah kubetot copot 
lidahmu." hardik si kakek cebol.
"Jangan! Ampun!" desah si gendut. Saking 
takutnya si gendut buru-buru katubkan bibirnya.
"Sekarang jangan membuang waktu lagi. 
Sebelum akhir bulan sabit tiba dan muridmu di-
jadikan korban persembahan untuk memuja kea-
gungan Iblis Berjubah Merah kau harus ikut den-
ganku!" tegas gurunya.
"Iblis Berjubah Merah baru kali ini aku

mendengar namanya. Apakah guru dapat menje-
laskan padaku siapa orangnya yang guru mak-
sudkan itu?" tanya Gentong Ketawa.
Dewa Kincir Samudera terdiam sejenak. 
Setelah memperhatikan muridnya sejenak baru 
kemudian dia berkata. "Iblis Berjubah Merah itu-
lah Yang Agung. Mahluk penguasa Kuil Setan. 
Konon kudengar dia masih mempunyai dua orang 
murid. Salah satu muridnya berwajah buruk 
mengerikan, sedangkan yang satunya lagi seorang 
gadis cantik jelita. Konon gadis itu adalah seorang 
bidadari yang terpesat di negeri ini dan sedang 
mencari jalan pulang ke Kayangan....!"
"Mengenai Yang Agung dan muridnya aku 
tidak perduli. Yang ku fikirkan saat ini adalah 
tentang keselamatan muridku dan seorang saha-
bat yang bernama Ambini." kata Gentong Ketawa.
"Gendut tolol, apakah kau mengira jika kita 
dapat menemukan muridmu dan sahabatmu itu 
kita dapat membebaskannya begitu saja? Begitu 
banyak hal yang tidak kau mengerti dan sulit ba-
giku untuk menerangkannya. Lebih baik kau iku-
ti aku. Aku sudah mengetahui satu jalan rahasia 
untuk masuk menyusup ke dalam Kuil Setan." te-
gas si kakek cebol.
"Apa maksud guru?" tanya si kakek gen-
dut. 
"Gendut sinting. Sekarang waktunya bagi 
kita untuk melakukan segala sesuatunya. Malam 
sebentar lagi segera menyelimuti tempat ini. Tiga 
penjaga Kuil Setan kekuatannya semakin berlipat

ganda bila malam hari. Menghadapi Maut Kuning 
saja aku belum tentu dapat menjatuhkannya, 
terkecuali aku mengetahui titik kelemahannya. 
Apalagi jika Maut Merah dan Maut Biru mengga-
bungkan kekuatan yang mereka miliki, bukit ini 
dengan mudah dapat mereka runtuhkan
"Tapi bukankah sebelum guru membawaku 
kemari, guru telah menghancurkan Maut Kuning 
dengan pukulan Lima Pusaran Kincir Dewa?" 
tanya Gentong Ketawa. Dia lalu ingat, sebelum 
gurunya membawanya pergi dari puncak bukit, 
dia melihat dua kepala Maut Kuning menggelind-
ing di atas tanah. Selain itu tangan dan kaki pu-
tus, pinggang terpotong menjadi dua bagian. 
Orang yang sudah dalam keadaan demikan rupa 
mungkinkah masih ada harapan untuk hidup 
kembali? Setidaknya Gentong Ketawa berfikir de-
mikan.
"Kau benar, muridku. Lima sinar mautku 
memang telah membuat tubuhnya terpotong-
potong menjadi beberapa bagian. Tapi kau harus 
ingat, tiga mahluk iblis itu memiliki ilmu Menyen-
tuh Bumi Menyatu Badan. Jika bagian tubuhnya 
yang terpotong-potong itu menyentuh bumi maka 
dia akan hidup kembali. Terkecuali kita dapat 
mengetahui titik kelemahannya.
Menerangkan Dewa Kincir Samudera.
"Jadi guru sudah mengetahui titik kelema-
han mahluk jahanam itu?" tanya si gendut.
"Belum. Sedang ku fikirkan." jawab si ka-
kek cebol.

"Apa... Kalau begitu kita sama tidak tahu 
dimana titik kelemahan mahluk itu? Padahal kita 
tidak dapat masuk ke Kuil Setan dengan leluasa 
sebelum dapat melenyapkan tiga mahluk sakti 
keparat. Guru kurasa....!" Gentong Ketawa ter-
paksa telan kembali ucapannya karena begitu 
melihat kedepan Dewa Kincir Samudera ternyata 
telah lenyap dari hadapannya. Si Kakek gendut 
gelengkan kepala. "Kampret juga orang itu. Aku 
dibiarkannya bicara sendiri seperti orang gila." ge-
rutu Gentong Ketawa. Sambil tersenyum-senyum 
si gendut kemudian berkelebat pergi menyusul 
gurunya.

4


Sore harinya di saat matahari hampir teng-
gelam di ufuk barat. Sebagaimana yang telah di-
perintahkan Yang Agung, pemuda berwajah bu-
ruk berpakaian merah ini dengan dibantu oleh 
Maut Biru dan Maut Merah segera mengeluarkan 
satu sosok berdestar hitam berwajah angker yang 
sekujur tubuhnya dililit benang merah. Sosok se-
tinggi galah berkerudung hitam ini bukan lain 
adalah salah seorang tokoh dunia persilatan dari 
tanah Andalas bernama Datuk Labalang dengan 
gelar Datuk Penguasa Tujuh Telaga. Dalam epi-
sode (Maut Merah) telah sama kita ketahui ba-
gaimana Datuk berkeinginan memiliki senjata he-
bat Bintang Penebar Petaka. Tapi ketika dia berada di puncak Bukit di samping Kuil Setan. Maut 
Merah telah menghadangnya. Tokoh sakti ini ke-
mudian bahkan dapat diringkus. Celakanya 
sungguhpun dia dapat memunahkan totokan 
Maut Merah. Tapi dia tak dapat memutuskan be-
nang-benang merah yang melibat tubuhnya. Kini 
dalam keadaan terbelenggu demikian rupa Datuk 
Labalang hanya dapat delikkan matanya sambil 
memaki panjang pendek.
"Keparat jahanam, aku hendak kalian bawa 
ke mana?" teriak si kakek berbadan setinggi galah 
berang. Maut Merah dan Maut Biru, sosok berba-
dan besar berleher panjang berkepala empat 
hanya keluarkan suara mendengus. Sedangkan 
Maut Tanpa Suara yang di bagian keningnya ber-
lubang dimana di dalam lubang itu mendekam 
seekor ular berbisa tertawa tergelak-gelak.
"Orang tak dikenal setinggi galah. Kami 
akan mengantarmu ke gerbang maut. Kau tidak 
perlu takut apalagi gusar dan marah. Karena ada 
dua orang lagi yang akan menemani arwahmu 
menuju ke alam baka. Ha ha ha." jawab pemuda 
buruk wajah sambil tertawa terbahak-bahak.
"Pemuda muka setan, aku Datuk Labalang 
jangan kira takut menghadapi segala ancaman. 
Awas jika aku sampai bisa memutuskan benang-
benang laknat ini tubuhmu akan kubuat hancur 
rusak mengerikan!" teriak sang Datuk yang saat 
itu tengah digotong oleh Maut Merah dan Maut 
Biru. Maut Tanpa Suara sunggingkan seringai 
mengejek.

"Ucapan yang sama sering kudengar sema-
sih dirimu berada di dalam ruangan Penentuan 
Ajal. Sekarang dalam keadaan menyedihkan begi-
ni rupa kau masih juga tidak malu bicara besar?!" 
dengus Maut Tanpa Suara.
Wajah pemuda itu bergerak-gerak, mata 
membeliak mendelik besar rupanya dia merasa 
sangat tersinggung mendengar datuk Labalang 
menyebutnya 'muka Setan'. Sambil memandang 
penuh kebencian, Maut Tanpa suara meneruskan 
ucapannya. "Bagimu tidak ada lagi jalan selamat. 
Nasib perjalanan hidupmu telah ditentukan be-
rakhir malam ini." Selesai berkata, mulut si pe-
muda berkemak-kemik seperti orang membaca 
mantra. Lalu dia menunjuk ke halaman Kuil Se-
tan sambil berteriak ditujukan pada Maut Merah 
dan Maut Biru. "Baringkan dia di ranjang Kebina-
saan!" Bersamaan dengan ucapannya itu dari 
ujung telunjuk Maut Tanpa Suara menderu dan 
bergulung-gulung serangkum kabut merah. Begi-
tu kabut sampai di arah yang ditunjuk pemuda 
itu, maka kabut melebar seluas satu tombak den-
gan panjang lima tombak. Lalu terdengar suara 
letupan dua kali berturut-turut. 
Bleep!
Satu pemandangan aneh sulit dipercayai 
kini terbentang di depan mata. Kabut Merah tadi 
sekarang telah berubah menjadi ranjang batu 
berwarna merah terang, sedangkan permukaan 
ranjang nampak basah seperti darah. 
Diam-diam Datuk Labalang jadi kaget, jika

pemuda itu mampu menciptakan sesuatu yang 
sulit dipercaya, dia tak dapat membayangkan be-
tapa tinggi ilmu kesaktian yang dimilikinya. Seba-
liknya Maut Merah dan Maut Biru tanpa bicara 
apa-apa segera membaringkan tawanannya diatas 
ranjang merah. Ketika tubuh sang Datuk diba-
ringkan dan bagian punggung menyentuh permu-
kaan ranjang batu, orang tua ini menjerit setinggi 
langit. Dia merasakan tubuh di bagian punggung 
laksana dibaringkan di atas bukit es, begitu din-
gin membekukan hingga membuat sekujur tu-
buhnya bergetar hebat sedangkan gigi bergemele-
tukan tak sanggup menahan serangan hawa din-
gin. Tak merasa putus asa, Datuk Balabang ke-
rahkan tenaga dalamnya. Lagi-lagi dia dibuat ter-
peranjat. Tenaga dalam yang berpusat di bagian 
pusat ternyata tak mau bekerja, seakan pusat 
pengendalian tenaga sakti itu telah menjadi lum-
puh kehilangan daya.
"Kurang ajar, ternyata setelah berada di 
luar Kuil Setan keadaanku semakin buruk lagi," 
rutuk Datuk Labalang sambil menggigit bibir. Di 
depannya sana Maut Tanpa Suara tertawa terge-
lak-gelak. Rupanya dia tahu apa yang hendak di-
lakukan oleh kakek tinggi itu. Dengan suara lan-
tang mencemooh dia berkata,
"Bukan saja hanya tubuhmu yang bisa 
membeku seperti patung es, tapi segala kesaktian 
yang kau miliki saat itu juga membeku tak dapat 
kau pergunakan sama sekali. Ha ha ha....!"
"Terkutuklah kau wahai pemuda buruk

laknat. Jika aku mati arwahku akan mengejarmu 
kemanapun kau bersembunyi. Kau dengar .... aku 
akan membayangi terus hingga membuat dirimu 
tidak enak tidur tidak enak segalanya. Ha ha ha." 
Mendengar ancaman Datuk Labalang, rupanya 
Maut Tanpa Suara jadi ciut juga nyalinya. Dia la-
lu menoleh, memandang ke arah Maut Biru. 
"Maut Biru sumpal mulutnya!" perintah si pemu-
da.
Dua kepala yang menghadap ke depan 
mengangguk. Dua tangan berputar-putar di uda-
ra. 
Wuuut!" 
Di tangan Maut Biru tahu-tahu setumpuk 
benda hijau kehitaman encer seperti bubur me-
nempel ditangan itu. Sekali tangan Maut Biru 
berkelebat maka. Plok! Cairan biru itu menempel 
di mulut Datuk Labalang lengket seperti perekat. 
Sang Datuk coba buka mulutnya namun tak 
sanggup. Hidungnya mengendus-endus. Ternyata 
dia mencium bau pesing.
"Jahanam keparat! Aku seperti mencium 
bau kotoran kampret!" teriak si kakek dengan ma-
ta mendelik. Tapi karena dua bibirnya terkancing 
rapat, tentu saja suara Datuk Labalang hanya 
sampai sebatas tenggorokannya saja.
"Tua bangka setinggi galah, setelah mulut 
mu ditutup dengan campuran air seni dewa ru-
panya kau baru bisa diam. Ha ha ha. Sungguh 
akhir hidup ini semakin tidak menyenangkan ba-
gimu." Dengus Maut Tanpa Suara sinis. Dalam

keadaan begitu rupa si Datuk benar-benar mera-
sa mati kutu. Tak ada yang dapat dilakukannya 
terkecuali hanya memaki di dalam hati. 
Setelah puas tertawa, Maut Tanpa Suara 
kemudian berpaling pada Maut Merah, meman-
dang pada mahluk berkepala empat itu baru ke-
mudian berkata. "Maut Merah, cepat kau temui 
Dwi Kemala Hijau, katakan padanya agar dia dan 
Maut Kuning membawa pemuda dan gadis itu 
kemari. Sedangkan Maut Biru tetap bersamaku 
disini mengatur segala keperluan sebelum Yang 
Agung berkenan memimpin jalannya upacara 
penghormatan!" perintah pemuda itu. Maut Me-
rah anggukan kepala. Dia kemudian memutar 
langkah dan berjalan secepat hembusan angin 
memasuki Kuil Setan dimana pintunya dalam 
keadaan terbuka.
***
Di dalam ruangan Penentuan Ajal paling 
tidak Gento masih dapat bernafas lega melihat 
Ambini ternyata dalam keadaan selamat. Dia yang 
dibaringkan tidak berjauhan dengan Ambini sejak 
pertama dijebloskan di ruangan itu oleh Maut Bi-
ru terus memutar otak mencari jalan selamat. Ta-
pi Gento Guyon masih belum menemukan cara 
terbaik untuk menyelamatkan diri, jangankan lagi 
menolong Ambini.
Dia sudah berusaha memutus benang biru 
yang membelenggu tangan dan kakinya. Akan tetapi seakan tidak masuk akal benang itu sulit di-
putuskan. Malah sampai tangannya lecet menge-
luarkan darah upaya memutuskan tali benang ti-
dak membawa hasil. Bukan hanya itu saja usa-
hanya untuk memunahkan totokan Maut Biru ju-
ga sia-sia. Berulang kali dia kerahkan tenaga da-
lam untuk membebaskan diri dari pengaruh toto-
kan. Tapi apa yang terjadi kemudian lebih meng-
herankan lagi. Setiap kali si pemuda kerahkan 
tenaga dalam, setiap itu perutnya langsung mu-
las, kepala sakit berdenyut sedangkan pandangan 
berkunang-kunang.
"Sial betul nasibku hari ini. Bagaimana be-
nang sekecil ini tak dapat ku putuskan." rutuk 
murid si gendut Gentong Ketawa. Sebentar mu-
lutnya komat kamit, entah membaca mantra en-
tah sedang mengomel. Yang jelas suaranya tak 
terdengar sama sekali. Selesai komat-kamit mulut 
Gento cemberut lalu monyong dan kemudian be-
rubah tegang. Rupanya dia ingat pada Si Tangan 
Sial. Sahabatnya sendiri yang oleh Maut Biru di-
katakannya sebagai orang yang membawa Ambini 
ke Kuil Setan.
"Kampret sialan itu. Sungguh aku tak tahu 
apa yang terjadi padanya hingga membuat dia ja-
di gila membawa sahabat sendiri ke tempat celaka 
ini." geram Gento dalam hati.
Di sebelahnya sana Ambini sejak melihat si 
gondrong bertelanjang dada ini dibawa oleh Maut 
Biru sesungguhnya jadi kaget juga gembira. Dia 
kaget karena tidak menyangka Gento muncul di

tempat itu dan akhirnya kena ditawan. 
Gembira karena sampai saat itu Gento ma-
sih dalam keadaan selamat bahkan segar bugar. 
Ini berati Si Tangan Sial belum dapat melaksana-
kan niatnya untuk membunuh pemuda yang di-
am-diam sangat dikaguminya itu.
"Aku telah menguras fikiran untuk mem-
bebaskan diri dari libatan benang celaka ini. Tapi 
aku tak habis fikir mengapa benang ini tak dapat 
ku putuskan. Ah... lebih mengherankan lagi, ku-
lihat kau betah tinggal di ruangan terkutuk ini 
Ambini." Satu suara memecah keheningan. Ketika 
Ambini menoleh ke samping kirinya, ternyata 
yang barusan bicara bukan lain adalah pemuda 
yang baru saja difikirkannya.
"Gento sahabatku?!" sahut Ambini dengan 
suara bergetar diwarnai rasa rindu. Si gondrong 
bertelanjang dada hanya menyengir dan tidak da-
pat menangkap getar perasaan Ambini. "Bagai-
mana kau bisa sampai di tempat ini dan bersama 
dalam tawanan Maut Biru itu?" Ambini bertanya 
heran.
Si pemuda tertawa. Polos saja dia menja-
wab. "Semula mahluk neraka itu menyaru menja-
di gadis cantik. Setelah merayuku dan aku ham-
pir tertarik padanya. Ah... tidak kusangka tubuh-
nya berubah menjadi setan kuburan. Ha ha 
ha....!"
Wajah si gadis sempat bersemu merah Di-
am-diam hatinya dijalari perasaan tidak enak, ka-
lau tak boleh dikata cemburu.

"Jadi kau sempat dipeluk mahluk terkutuk 
itu?" dengus si gadis cantik.
"Ha ha ha. Mulanya dirinya hendak ku pe-
luk, tak tahunya malah diriku kena diringkus-
nya." sahut Gento Guyon sambil tertawa terke-
keh-kekeh.
Wajah cantik putih Ambini bersemu merah, 
mulut bagusnya mencibir. "Dasar pemuda mata 
keranjang!" maki si gadis. Tawa Gento semakin 
bertambah keras. Ambini yang sempat dibuat 
kesal melihat si pemuda masih juga tertawa-tawa, 
padahal jiwa mereka tengah berada dalam anca-
man bahaya besar segera berkata kembali. "Gen-
to, tahukah kau apa yang bakal terjadi pada diri 
kita?"
Murid Gento Ketawa mendadak hentikan 
tawanya, kepala dimiringkan ke arah kanan. Dia 
memandang ke arah si gadis dengan mata berke-
dip-kedip. "Apa maksudmu Ambini? Aku menden-
gar akan ada pesta besar di pintu luar depan kuil. 
Konon penguasa Kuil Setan sedang berhajat hen-
dak menjodohkan kita. Satu perhelatan besar se-
dang dipersiapkan. Kita akan menjadi raja dan ra-
tu semalam suntuk, bukankah begitu?" ucap 
Gento.
Mendengar ucapan si pemuda yang terus 
saja bergurau membuat Ambini delikkan ma-
tanya. Sungguh mati mata itu semakin bertam-
bah indah bila sedang mendelik. Dan saat itu 
Gento merasa jantungnya berdetak lebih cepat, 
perasaannya jadi tak karuan membuat dia ingin
menggaruk kepala atau mengusap hidung. Tapi 
itu tak mungkin dilakukannya karena dua tan-
gannya dalam keadaan terikat.
"Apa yang kau katakan itu mungkin benar, 
Gento." Menyahuti Ambini yang tidak berani be-
radu pandang dengan pemuda itu lebih lama. 
"Tapi agar kau tahu, Yang Agung bermaksud 
menjadikan mu raja di dalam tungku bara nera-
ka. Kau dan aku akan dibunuhnya, dikorbankan 
untuk menghormati kekuasaan Yang Agung. Jika 
kau memang ingin cepat mati, maka tertawalah 
sepuasmu sampai kau bosan. Sementara aku 
yang ingin hidup akan berusaha mencari jalan 
untuk menyelamatkan diri dari ruangan Penen-
tuan Ajal ini." kata si gadis tegas.
Melihat ucapan Ambini yang nampak ber-
sungguh-sungguh membuat Gento Guyon jadi 
tercekat, dia menelan ludah namun mendadak 
tenggorokannya terasa kering.
"Ambini, kapan kita hendak dijadikan kor-
ban penghormatan?" Gento Guyon ajukan perta-
nyaan.
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tak tahu, 
mungkin malam ini tapi bisa jadi lebih cepat dari 
waktu yang kuperhitungkan." jawab gadis berpa-
kaian serba putih itu singkat.
"Waduh biyung, matilah aku" Gento men-
geluh. "Semua ini gara-gara si Tangan Sial. Kalau 
bukan karena ulah dajal keblinger itu tentu nasib 
kita agak bagusan sedikit."
"Tak usah mengeluh, tak perlu menyalah

kan orang lain. Tangan Sial mungkin saja dipera-
lat orang lain. Jika kita bisa membebaskan diri 
tentu nantinya kita bisa menyelidiki persoalan 
itu." kata si gadis.
Gento Guyon baru saja hendak mengata-
kan sesuatu ketika terdengar suara pintu itu ber-
geser disertai terdengarnya langkah-langkah kaki 
menuruni anak tangga ke bawah bergerak men-
datangi mereka. Gento pasang telinga tajamkan 
pendengaran. Mendengar suara yang ada pasti 
yang datang ke ruangan itu bukan satu tapi ada 
dua orang. Ternyata dugaan si gondrong tidak 
meleset. Saat itu dia melihat ada dua sosok da-
tang ke ruangan penyekapan. Karena ruangan ba-
tu tempat mereka disekap diterangi cahaya merah 
meskipun temaram, Gento dapat melihat kehadi-
ran sosok serba kuning berkepala empat. Mahluk 
mengerikan ini sama persis dengan mahluk biru 
yang menyerang Gento. Hanya yang membeda-
kannya kulit tubuhnya saja yang berwarna kun-
ing. Berbeda dengan sosok yang satunya lagi. 
Yang satu ini berpakaian serba hijau tipis tembus 
pandang. Kulitnya putih mulus, rambut panjang 
tergerai, wajahnya cantik luar biasa laksana bi-
dadari. Karena saat itu dia berdiri dekat sekali 
dengan Gento, maka si pemuda dapat mencium 
bau harum tubuhnya.
"Gadis ini hantu jejadian atau seorang bi-
dadari? Sejak tadi dia memandangiku. Pertama 
melihat aku nampaknya dia seperti terkejut?!" batin Gento.

"Kau pemuda tampan yang malang siapa 
namamu?" tanya si gadis serba hijau. Matanya 
yang bening memandang tajam ke arah Gento.
"Ha ha ha. Sahabatku itu Ambini, aku sen-
diri Gento Guyon. Kau siapa? Benar-benar gadis 
cantik atau setan penunggu kuil yang tengah me-
nyaru jadi gadis cantik?" sahut si pemuda sambil 
ajukan pertanyaan. Si gadis tersenyum. Ambini 
yang melihat itu jadi mendongkol. "Pemuda buaya 
itu, jangan-jangan begitu melihat jidad licin jadi 
lupa daratan." rutuk si gadis.
"Aku Dwi Kemala Hijau. Datang kemari un-
tuk membawamu dan gadis itu keluar." Mene-
rangkan gadis berwajah bidadari ini. Dalam hati 
dia berkata. "Tak kusangka orang yang kutunggu 
itu telah datang. Jika dia dapat kutolong, kelak 
mungkin bisa kuharapkan pertolongannya. Tapi 
bagaimana caranya? Yang Agung jika sampai ta-
hu aku berkhianat padanya pasti akan menghabi-
si aku. Lalu Maut Tanpa Suara juga pasti tidak 
tinggal diam, belum lagi tiga Penjaga Kuil Setan."
"Kemala.... Maut Tanpa Suara memerin-
tahkan pada kita untuk membawa dua tawanan 
ini ke luar. Mengapa kita tidak segera laksanakan 
perintahnya?" Maut Kuning tiba-tiba menegur.
Dwi Kemala Hijau terkejut. Akan tetapi dia 
masih bisa bersikap tenang sambil menyahuti. 
"Kau boleh membawa pemuda ini, sedangkan aku 
yang akan mengurus gadis itu." ujar si gadis. Se-
kali lagi dia berfikir. "Jika kuhabisi Maut Kuning 
sekarang, mungkin aku bisa menyelamatkan pemuda gondrong ini. Aku tahu dimana titik kele-
mahan Maut Kuning. Tapi bagaimana dengan ga-
dis itu, apakah harus kubiarkan mati sia-sia? Ji-
ka gadis itu sahabatnya Gento pasti sebagai sa-
habat Gento tak mau terima temannya tewas pe-
nasaran." Selagi Dwi Kemala Hijau tengah berfikir 
apa yang hendak dilakukannya. Pada saat itu 
Ambini berucap.
"Gadis serba hijau, jika kau ingin membu-
nuh kami mengapa tak kau lakukan sekarang. 
Sejak tadi kulihat kau selalu tertegun dan sering 
memperhatikan sahabatku Gento. Apakah kau 
merasa tertarik padanya?" Gento sendiri sempat 
dibuat kaget mendengar kata-kata ketus yang di-
ucapkan oleh Ambini.
"Apa lagi yang merasuki diri Ambini. Nada 
ucapannya ketus seperti seorang kekasih yang di-
bakar rasa cemburu." kata si pemuda pelan.
Dwi Kemala Hijau melengak kaget. Tapi se-
gera berkata tegas karena saat itu dia mendengar
ada suara langkah mendatangi.
"Maut Kuning bawa pemuda sinting ini ke-
luar!" perintah si cantik. Berkata begitu dia pa-
lingkan wajah, memandang ke arah anak tangga. 
Ternyata yang datang adalah Maut merah. "Per-
soalan cukup rumit, terlalu berbahaya bagiku jika 
harus menghadapi dua lawan sekaligus." pikir-
nya. Dwi Kemala Hijau kemudian sengaja bicara 
keras ditujukan pada orang yang baru datang. 
"Maut Merah, bawa gadis ini keluar!"
"Kebetulan sekali, Maut Tanpa Suara me

mang memberikan perintah yang sama kepada-
ku." sahut Maut Merah.
Dua mahluk berkepala empat masing-
masing mendatangi Ambini dan murid Gentong 
Ketawa. Tidak berapa lama kemudian mereka 
membawa si gadis dan Gento meninggalkan ruan-
gan itu. Jika Gento masih dapat tertawa, walau-
pun hatinya dicekam ketegangan luar biasa. Se-
baliknya Ambini yang berada dalam pondongan 
Maut Merah saking takutnya terus menjerit-jerit.
Sementara Dwi Kemala Hijau yang masih 
berada di dalam ruangan itu terus berfikir. "Bela-
san tahun aku berada disini, aku harus mencari 
jalan agar dapat kembali ke Kayangan. Mungkin 
satu-satunya jalan yang bisa kuharapkan hanya 
dari pemuda itu. Tapi bagaimana aku bisa meno-
long pemudanya?" batin si gadis bingung.

5


Satu sosok serba merah mendekam di balik 
legukan sejarak dua tombak dari puncak bukit di 
sebelah barat. Tak berapa lama sosok itu terus 
mengendap-endap merayap memasuki lorong 
sempit serba gelap sepanjang lebih kurang dua 
puluh tombak. Sampai di ujung lorong gelap dia 
menemukan sebuah dinding pembatas yang 
menghubungkan ke ruangan dalam dengan dunia 
luar. Sosok berpakaian serba merah ini segera

mendorong dinding batu. Karena dengan tenaga 
kasar batu yang di dorong tidak bergeming sedi-
kitpun, maka sosok berpakaian merah dan me-
makai ikat kepala warna merah dengan tujuh si-
sik besar berwarna putih yang menyatu dengan 
kulit dada ini segera salurkan tenaga dalam ke-
dua belah tangannya.
Tak lama kemudian dia mendorong dinding 
di ujung terowongan gelap itu. Sekali dua kali 
tangan bergerak, terus mendorong dengan penge-
rahan tenaga dalam penuh.
Terdengar suara batu bergesekan disertai 
suara gemuruh perlahan. Batu berbentuk empat 
persegi dengan ketebalan lebih kurang sepanjang 
siku ini kemudian menggelundung ke dalam. Be-
gitu batu menggelinding, dari balik lubang itu ter-
lihat satu cahaya memancar dari dalam ruangan. 
Dengan tergesa-gesa sosok merah merayap ma-
suk, sampai kemudian tubuhnya lenyap di balik 
ruangan.
Pada waktu yang bersamaan di ujung luar 
lorong tepat dibalik legukan batu muncul pula 
dua kakek berbadan tinggi besar luar biasa ber-
sama seorang kakek bermuka asam berbadan 
pendek cebol bukan main. Si kakek cebol yang 
adalah Dewa Kincir Samudera begitu sampai 
langsung masuk ke dalam lorong rahasia. Karena 
tubuhnya kecil pendek bukan main, maka dida-
lam lorong gelap itu dia dapat berdiri tegak malah 
bisa pula berjalan biasa. Lain halnya dengan si 
gendut besar Gentong Ketawa. Karena tubuhnya

besar bukan main, mengingat kecilnya lorong dia 
tidak bisa mengikuti gurunya dengan cara me-
rangkak, melainkan merayap seperti seekor ular 
besar yang kekenyangan. "Guru mengapa tiba-
tiba berhenti?" tanya Gentong Ketawa ketika si 
kakek cebol bermata mencorong tajam hentikan 
langkah. Karena posisi berdiri Dewa Kincir Samu-
dera persis di depan kepala Gentong Ketawa mau 
tak mau si gendut mengendus bokong gurunya. Si 
gendut besar bersin beberapa kali. 
"Bau apa begini amat? Apa mungkin bau 
badan orang tua ini?" keluh Gentong Ketawa. Se-
baliknya si kakek pendek kecil diam tidak me-
nanggapi, hanya tatapan matanya memandang 
lurus ke depan dimana dia melihat ada cahaya 
merah samar membesit dari bagian ujung lorong. 
Bila mata si kakek tertuju ke ujung lorong, maka 
cuping hidungnya mengendus-endus. 
"Aku merasakan sudah ada orang yang 
masuk mendahului kita, Gentong Ketawa bersiap-
lah menghadapi segala sesuatu yang tidak diin-
ginkan." kata Dewa Kincir Samudera memberi in-
gat.
"Bagaimana kakek cebol ini. Bisa jadi dia 
membaui keringatnya sendiri bagaimana dia bisa 
berkata sudah ada orang yang masuk ke mari?" 
gerutu si gendut dalam hati. Namun dia tetap saja 
anggukkan kepala sambil berucap. "Apa yang 
guru katakan mungkin saja benar. Penciuman 
guru sangat tajam. Tapi siapa orangnya yang bisa 
mengetahui adanya lorong rahasia ini?"

"Aku tak dapat memastikan mungkin Be-
gawan Panji Kwalat sudah sampai di tempat ini 
untuk membantu muridnya. Atau bisa juga murid 
manusia laknat itu yang telah masuk kesini." ujar 
Dewa Kincir Samudera.
Selesai berkata sambil memasang mata 
dan telinga si kakek cebol kembali langkahkan 
kakinya. Sementara dibelakangnya sambil ber-
sungut-sungut Gentong Ketawa terus mengikuti. 
Terus menerus bergerak seperti itu dalam kea-
daan merayap tentu membuat si gendut merasa 
lelah apalagi perut besarnya terus bergesekan pa-
da tanah yang dia lalui.
"Ini pekerjaan gila, jika terus dalam kea-
daan begini perutku bisa ambrol." gerutu si gen-
dut.
Pada akhirnya mereka sampai juga di 
ujung lorong dimana batu besar yang menjadi 
tembok pembatas antara lorong dan sebuah 
ruangan dalam keadaan terbuka lebar.
"Benar dugaanku sudah ada orang yang 
sampai di tempat ini mendahului kita. Cepat kita 
masuk ke dalam ruangan itu!" perintah Dewa 
Kincir Samudera pada si gendut.
"Ayolah, tubuhku juga sudah mandi kerin-
gat akibat terlalu lama berada di dalam lorong 
pengap ini." sahut Gentong Ketawa sudah tidak 
sabar lagi.
Sambil tersenyum kakek berkumis dan 
berjenggot lebat dan sudah memutih sebagaimana 
halnya dengan bagian rambutnya itu melompati
lubang batu berbentuk empat persegi. Kemudian 
si gendut Gentong Ketawa juga segera ikut me-
nyusul. 
Kini mereka sudah berada di dalam sebuah 
ruangan luas berlantai batu dan berdinding batu 
merah. Di dalam ruangan itu cahaya merah te-
rang menyinari dari setiap sudut.
"Bagian dalam Kuil Setan ternyata begini 
indah dan megah. Tidak seperti yang kubayang-
kan....!"
"Apa yang ada dalam benakmu sebelum 
sampai ke sini?" tanya Dewa Kincir Samudera, 
sementara tatap matanya liar memandang kese-
genap penjuru sudut. Dia merasa saat itu ada 
yang mengawasi kehadiran mereka, hanya si ka-
kek tidak mengatakannya pada sang murid.
"Yang terfikir olehku selama ini Kuil Setan 
merupakan sebuah tempat angker dan dihuni 
oleh para setan gentayangan."
"Dasar murid sinting." dengus si kakek ce-
bol. "Manusia sialan itu ku rasakan keberadaan-
nya, tapi aku tidak dapat mengetahui dia bersem-
bunyi disebelah mana?"
"Guru, apa yang engkau fikirkan?" tanya 
Gentong Ketawa yang melihat gurunya tertegun, 
mata jelalatan mulut komat-kamit seperti bicara 
seorang diri.
"Tidak apa-apa."
"Aku tahu kau pasti sedang memikirkan 
seseorang yang berada di dalam ruangan ini. Bi-
arkan saja, kita punya kepentingan yang lain. Keselamatan muridku dan juga sahabatku lebih 
utama dari pada mengurusi segala macam tikus 
pengintip!" kata si gendut dengan suara sengaja 
dikeraskan. Agaknya supaya sosok yang mengin-
tai mereka sengaja mendengarnya.
"Kalau begitu sebaiknya sekarang ini kita 
cari tahu dimana muridmu yang tolol itu dis-
ekap." ujar si kakek cebol. Murid dan guru yang 
sudah sama kakek-kakek ini kemudian tinggal-
kan ruangan itu.
Di balik gundukan batu empat persegi 
orang yang mendekam disitu kini bangkit berdiri. 
Dia ternyata adalah seorang pemuda berumur se-
kitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba 
merah, berambut gondrong kaku yang di ikat kain 
merah. Pemuda ini beralis tebal, matanya tajam 
mencorong menyimpan kebengisan juga kekejian. 
Di belakang pakaian merahnya terdapat sulaman 
gambar bumi, sedangkan ditengah sulaman gam-
bar bumi membelintang garis putih berkelok-
kelok tidak ubahnya seperti lintasan kilat. Ada-
pun sosok pemuda angker ini bukan lain adalah 
Lira Watu Sasangka bergelar Panji Anom Pengge-
tar Jagad murid tunggal Begawan Panji Kwalat. 
Memandang ke arah perginya Gentong Ketawa 
dan gurunya, si pemuda sunggingkan senyum si-
nis.
"Kakek berbadan tinggi besar tadi dan ka-
kek cebol itu, menurut ciri-ciri yang pernah dite-
rangkan oleh guru adalah tokoh-tokoh sakti di-
mana aku harus berhati-hati bila berhadapan

dengan mereka. Orang seperti mereka mengapa 
harus ku takuti. Kalau keadaan tidak memung-
kinkan apa salahnya aku membunuh mereka 
berdua?" gumam Lira Watu Sasangka disertai se-
ringai mencemo'oh.
Tak lama kemudian pemuda ini mulai me-
meriksa ruangan itu untuk mencari senjata pu-
saka Bintang Penebar Petaka. Setelah mengha-
biskan waktu sekian lamanya ternyata benda 
yang dicarinya tidak ditemukan.
"Kurang ajar, berapa banyakkah ruangan 
rahasia di dalam Kuil Setan ini. Mungkin aku ha-
rus mencarinya di tempat lain," fikir Panji Anom 
sambil menggerutu tak karuan. Dia bermaksud 
memasuki ruangan yang terdapat disebelahnya. 
Ketika sampai di depan pintu, langkahnya men-
dadak jadi terhenti karena dia mendengar suara 
hancurnya benda-benda keras seperti dibanting 
yang kemudian disusul dengan suara teriakan 
amarah seseorang.
"Benda pusaka itu bagaimana bisa raib jika 
tidak dicuri oleh seseorang? Jahanam keparat 
siapa yang melakukan semua ini? Bintang Pene-
bar Petaka... oh, siapakah yang telah mengambil-
nya?"
Di balik pintu kening Panti Anom berkerut 
tajam. "Orang itu mungkin saja pemilik senjata 
yang kucari" fikir si pemuda. "Jika benar Bintang 
Penebar Petaka telah dicuri oleh seseorang, siapa 
yang telah mencurinya? Keparat, aku telah da-
tang terlambat. Mungkin pencuri itu sudah tidak

lagi berada disini. Mungkin pencurinya telah jauh 
meninggalkan Kuil Setan ini. Siapapun orang 
yang berada di dalam ruangan itu aku tidak pe-
duli, aku harus mengejar!" geram si pemuda. 
Tanpa membuang waktu lagi dia langsung berke-
lebat tinggalkan tempat itu menuju lorong rahasia 
tempat dimana pertama kali dia datang.

6


Empat obor besar dipasang di empat pen-
juru sudut. Cahaya menerangi kegelapan di seki-
tar halaman Kuil Setan. Di langit bulan sabit di-
malam ke sembilan masih belum terlihat, hanya 
kerlip bintang bertaburan menerangi. Di tengah-
tengah halaman dibagian dalam dimana obor be-
sar menyala, tiga sosok tubuh tergeletak tanpa 
daya di atas sebuah dipan batu merah. Sedang-
kan tiga mahluk aneh berkepala empat terus 
menjaga mereka. Maut Tanpa Suara dan Dwi Ke-
mala Hijau masih belum terlihat di tempat pen-
gorbanan guna menghormati Yang Agung, pengu-
asa Kuil Setan.
Dalam kegelapan malam, suasana disekitar 
Kuil Setan memang terasa sunyi mencekam. Da-
lam pada itu si kakek setinggi galah yang terbar-
ing di atas batu panjang yang terletak di sudut 
kanan tiba-tiba saja berbisik.
"Siapapun adanya kalian berdua, aku Da-
tuk Labalang berharap hendaknya kita bekerja

sama melakukan sesuatu guna menyelamatkan 
diri." kata si kakek setinggi galah melalui ilmu 
mengirimkan suara.
"Apa maksudmu orang tua tinggi?" tanya 
Ambini melalui cara yang sama pula.
"Berbuatlah apa saja yang dapat kalian la-
kukan. Memang kita tidak saling mengenal, tapi 
apa salahnya kita bekerja sama guna menolong 
diri kita masing-masing?"
"Memang tidak ada salahnya, kakek. Tapi 
bagaimana kami bisa mempercayaimu, sedangkan 
kenal pun kita belum." celetuk Gento Guyon pula.
"Dalam keadaan mau mampus masih kita 
harus mengenalkan diri kita masing-masing? Kau 
dengar, begitu bulan sabit ke sembilan muncul 
nyawa kita sudah mendekati ajal. Kita tidak 
punya waktu banyak untuk saling kenal satu sa-
ma lain!" ujar Datuk Labalang.
Mendengar ucapan sang Datuk, baik Am-
bini maupun Gento sama-sama terdiam dan sama 
pula berfikir.
"Apa yang dikatakannya memang benar. 
Tapi dalam keadaan begini apa yang harus kula-
kukan? Jangankan melarikan diri, menggerakkan 
tangan dan kaki pun aku tak sanggup!" keluh 
Gento. Sebaliknya Ambini juga berkata, "Aku 
memang tidak dalam keadaan terikat sebagaima-
na halnya dengan Gento maupun kakek itu. Tapi 
apa bedanya. Aku sama sekali tak dapat mele-
paskan totokan yang dilakukan oleh Si tangan Si-
al!" batin si gadis dalam hati.

Di tempatnya terbaring Datuk Labalang te-
rus memutar otak mencari jalan. Matanya me-
mandang ke berbagai arah. Sampai kemudian dia 
melihat obor besar, sekelumit harapan terselip 
dalam benak orang tua itu. Dia berfikir panjang 
batu maut dimana dirinya terbaring tercipta dari 
satu ketakutan sakti yang bersumber dari ilmu 
hitam. Andai obor dapat diambil, mungkin bisa 
dimanfaatkan untuk memusnahkan ranjang yang 
sangat dingin bahkan telah membekukan seba-
gian dari kesaktian yang dia miliki. Tapi siapa 
yang dapat mengambil obor itu? Dirinya tidak 
mungkin, sedangkan si gondrong itu juga sama 
saja. Satu-satunya orang yang tidak dalam kea-
daan terikat hanya gadis berbaju putih itu. 
Mungkin gadis itu bisa diharapkan dapat berbuat 
banyak untuk menyelamatkan mereka dari ben-
cana maut. Tapi bagaimana pun juga gadis itu tak 
dapat melakukannya? Beberapa saat lamanya ha-
ti Datuk Labalang diwarnai kebimbangan. Di saat 
sang Datuk dalam keadaan seperti itu, di waktu 
Gento sendiri Sedang berusaha keras memu-
tuskan benang-benang yang melibat tangan dan 
kakinya maka pada detik yang sama pula menda-
dak pintu Kuil Setan yang tadinya dalam keadaan 
tertutup kini terbuka kembali.
Satu sosok berpakaian merah dan yang 
lainnya berpakaian hijau keluar menuju ke arah 
mereka dengan langkah lebar.
Kedua orang yang baru keluar dari dalam 
Kuil Setan itu bukan lain adalah Maut Tanpa Suara dan juga Dwi Kemala Hijau.
Ketika sampai di depan para calon korban-
nya, Maut Tanpa Suara hentikan langkah sambil 
memperhatikan tiga sosok yang terbaring tidak 
berdaya. Lain lagi halnya dengan Dwi Kemala Hi-
jau. Gadis secantik bidadari yang tubuhnya ber-
warna kehijauan ini lebih banyak mencurahkan 
perhatiannya pada Gento Guyon. Sejak tadi dia 
terus berfikir mencari cara untuk menyelamatkan 
Gento sebelum acara pengorbanan itu dilakukan.
"Bulan sabit ke sembilan sudah menam-
pakkan diri di langit sana. Sekejap lagi acara 
akan dimulai." berkata Maut Tanpa Suara sambil 
memandang ke langit. Setelah itu dia memandang 
ke arah Maut Merah. Pada mahluk kepala empat 
itu dia berkata. "Maut Merah, siapkan kampak 
pemenggal kepala untuk memotong leher ketiga 
orang ini!"
Maut merah mengangguk dengan tubuh 
membungkuk kembali tegak, dua tangan yang 
menghadap ke bagian dada dihantamkan ke ta-
nah. Tanah amblas disertai letupan keras. Ketika 
dua tangan ditarik kembali. Di tangan Maut Me-
rah kini tergenggam sebuah kampak besar ber-
warna putih mengkilat.
"Nampaknya aku harus bertindak. Maut 
Merah sudah memegang kampak. Jika tidak ku 
cegah, pemuda ini pasti segera menemui ajal!" ba-
tin Dwi Kemala Hijau.
"Yang Agung sekejab lagi segera hadir di 
tempat ini, Maut Merah tumpahkan darah mereka. Kau, Maut Kuning dan Maut Biru segera ikuti 
aku untuk mengucapkan puji-pujian!" Maut Tan-
pa Suara tiba-tiba keluarkan suara. Bukan hanya 
Gento. Ambini dan Datuk Labalang sendiri mulai 
dicekam ketegangan. Terlebih-lebih ketika Maut 
Merah dengan kampak siap ditangan mendekat 
ke arah mereka.
Dalam kesempatan itu suara racau aneh 
keluar dari mulut Maut Tanpa Suara juga dua 
mahluk kepala empat lainnya. Suara racau saling 
bersahut-sahutan diselingi suara lolong yang ti-
dak ubahnya seperti senandung kematian. Ambi-
ni keluarkan keringat dingin saat kampak di tan-
gan Maut Merah mulai terarah di bagian lehernya. 
Melihat ini Gento berteriak keras.
"Mahluk terkutuk! Jika kau bunuh gadis 
itu, aku bersumpah akan mencabik-cabik tu-
buhmu!"
Maut Merah tidak menanggapi. Hanya dari 
ke empat mulutnya terdengar suara erangan aneh 
saling susul menyusul. Maut Tanpa Suara sendiri 
sepertinya tidak terpengaruh mendengar ucapan 
Gento. Mulut tetap meracau, mata terpejam dan 
terus memimpin acara puji-pujian.
"Bocah, kekasihmu ternyata mendapat gili-
ran lebih awal untuk berangkat ke akherat. Ha ha 
ha." Datuk Labalang berkata dengan suara keras.
"Kakek setinggi galah, nasibmu lebih be-
runtung. Tapi kurasa kematianmu akan lebih 
mengerikan lagi!" sahut Gento yang semakin ber-
tambah tegang melihat mata kampak itu kini sudah siap memenggal putus kepala Ambini.
Suara racau puji-pujian lenyap. Maut Biru 
Maut Kuning katubkan mulut. Masing-masing 
mata tunggalnya yang menempel di bagian kening 
masih terpejam. Dalam kesempatan itu Maut 
Tanpa Suara yang berdiri tak jauh dari Dwi Ke-
mala Hijau memberi perintah.
"Pemancungan dimulai!"
Maut Merah menggerung sambil gerakkan 
kampak ditangannya. Datuk Labalang meman-
dang dengan mata mendelik. Sedangkan murid si 
gendut Gentong Ketawa berteriak.
"Ambini, gulingkan dirimu ke samping!"
Laksana kilat entah mendapat kekuatan 
dari mana si gadis lakukan apa yang diperintah-
kan si pemuda. Dia gulingkan diri dan jatuh di 
samping Ranjang Kematian. Mata kampak yang 
memancarkan cahaya putih berkilauan itu ber-
desing dan menghantam ranjang batu merah.
Bummm!
Hantaman mata kampak yang membentur 
ranjang batu mengeluarkan suara dentuman ke-
ras. Puing-puing ranjang bertaburan di udara di-
kobari api. Ambini terus gulingkan diri menjauh 
dari jangkauan kampak. Sementara ranjang le-
nyap meninggalkan kepulan asap tipis. Maut 
Tanpa Suara yang tidak pernah menyangka 
adanya kejadian ini tersentak kaget dan buka ma-
tanya. Melihat apa yang terjadi dengan penuh 
kemarahan dia berteriak pada Maut Biru dan 
Maut Kuning. "Tangkap dan bunuh ketiganya sekaligus."
Si pemuda kemudian menoleh ke samping. 
Melihat Dwi Kemala Hijau diam tertegun seperti 
ragu pemuda buruk rupa ini membentak.
"Kemala mengapa kau tidak segera turun 
tangan membantu?!" tanya Maut Tanpa Suara 
terheran-heran.
"Pekerjaan semudah itu mereka bertiga 
pun sanggup melakukannya!" jawab si gadis 
sambil menunggu kesempatan untuk melarikan 
Gento.
"Kurang ajar, kau terlalu menganggap re-
meh para tawanan itu!" pekik Maut Tanpa Suara.
Walau dia berteriak begitu, anehnya pemu-
da ini tidak segera melakukan tindakan atau be-
ranjak dari tempatnya berdiri. Mungkin karena 
dia melihat Maut Biru dan Maut Kuning kini su-
dah berkelebat ke arah Gento dan Datuk Laba-
lang, sedangkan Maut Merah mengejar Ambini 
sambil mengayunkan kampak besarnya. Walau-
pun jiwa murid Gentong Ketawa sendiri saat ini 
berada dalam ancaman bahaya besar karena saat 
itu Maut Kuning telah lancarkan serangan, den-
gan hujaman kuku-kuku yang panjang, namun 
pemuda ini masih berteriak ditujukan pada Am-
bini.
"Kerahkan seluruh tenaga dalammu ke ba-
gian yang tertotok. Setelah itu jangan kau layani 
mahluk gila penjagal, lari, tinggalkan tempat ini!" 
"Aku tak akan meninggalkanmu! Bagaima-
na aku bisa hidup tenang jika kau tidak selamat!"

sahut Ambini sambil melakukan apa yang dipe-
rintahkan padanya.
Ucapan si gadis memiliki arti serta kesan 
mendalam bagi Gento. Dia sendiri sempat menjadi 
kaget. Hatinya terharu, tapi juga senang. Namun 
dia lebih terkejut lagi ketika melihat sepuluh ku-
ku berwarna kuning menderu mencabik bagian 
perut dan lehernya. 
"Waduh biyung celaka aku!" desis si pemu-
da yang jelas tak mungkin mampu menghindari 
serangan ganas itu karena kedua kaki dan tan-
gannya dalam keadaan terikat.
Tapi di saat maut mengincar dirinya men-
dadak sontak terdengar suara bentakan mengge-
legar laksana merobek langit disertai dengan ber-
kelebatnya satu sosok bayangan serba hijau ke 
arah Maut Kuning.
Dilain waktu tubuh Maut Kuning terpelant-
ing ke belakang, jatuh menelentang dengan dada 
berubah hijau keracunan akibat terkena pukulan. 
Di sebelah sana tepat dimana Datuk Labalang be-
rada juga terdengar pekik kesakitan! Ketika Maut 
Tanpa Suara memandang ke arah itu, dilihatnya 
Maut Biru yang hendak membunuh sang Datuk 
jatuh berlutut sambil dekap perutnya. Sedangkan 
tak jauh dari tempat kakek setinggi galah ini ter-
baring berdiri tegak seorang pemuda berkulit hi-
tam legam dengan sekujur tubuh di tumbuhi bulu 
berperut besar berpuser bodong. Kejut Maut Tan-
pa Suara bukan alang kepalang. Dia sama sekali 
tidak menyangka acara pengorbanan yang baru

dipersiapkan menjadi kacau. Lebih kaget lagi me-
lihat Ambini kini sudah dapat pula membebaskan 
diri dari pengaruh totokan.
"Dwi Kemala Hijau, cepat bantu mereka. 
Para tetamu sialan ini harus dijatuhi hukuman 
seberat-beratnya karena mereka telah mengacau-
kan acara pengorbanan!" teriak si buruk rupa 
sangat marah sekali.
Si gadis dalam menghadapi suasana seperti 
itu menjadi ragu-ragu. Sebaliknya pada saat yang 
sana terdengar sosok serba hijau yang baru saja 
menyelamatkan Gento dari serangan maut sudah 
berkata. "Acara gila ini harus dihentikan! Aku tak 
ingin melihat ada pertumpahan darah lagi terjadi 
disini!" kata laki-laki bercelana hitam komprang 
yang sekujur tubuhnya berwarna kehijauan.


7


Ucapan laki-laki serba hijau yang bukan 
lain adalah Iblis Racun Hijau ini ternyata cukup 
berpengaruh. Membuat Maut Merah menahan se-
rangan kampaknya yang tertuju ke arah Ambini. 
Maut Kuning juga berdiri tertegun, sedangkan 
Maut Biru walaupun siap menyerang Datuk Laba-
lang kembali tapi tetap terpacak di tempatnya.
Di depan sana Maut Tanpa Suara meman-
dang tajam ke arah Iblis Racun Hijau. Walaupun 
suasana di halaman Kuil Setan tidak begitu te-
rang, namun dia dapat mengenali siapa adanya

orang tua yang mulai rambut hingga ke ujung ka-
ki berwarna hijau ini. Dia adalah tokoh sesat ber-
hati baik yang masih terhitung sahabat Yang 
Agung juga sahabatnya sendiri.
"Paman Racun Hijau. Mengapa kau men-
campuri urusan kami?" bentak Maut Merah pe-
nuh teguran.
Si orang tua tertawa mengekeh. Dia melirik 
ke arah Gento Guyon sambil kedipkan mata ki-
rinya. "Bocah konyol, keadaan begini genting. Aku 
sendiri tidak mungkin sanggup menghadapi me-
reka berlima. Jika kau masih bisa semburkan lu-
dah, maka semburkan ludahmu ke seluruh be-
nang yang melilit tangan dan kakimu. Benang itu 
akan hancur dengan sendirinya.!" kata Iblis Ra-
cun Hijau yang ternyata masih kenali si gondrong. 
"Sukur kau mau datang menolong dan 
mau memberi tahu kelemahan benang sakti yang 
hampir membuatku celaka ini. Terima kasih pa-
man biang racun." Sahut Gento sambil terse-
nyum. Diam-diam pemuda ini kumpulkan air lu-
dah di rongga mulut. Tak lama kemudian mulut-
nya menyembur. Ludah berhamburan, begitu air 
ludah membasahi benang biru. Terdengar suara 
mendesis seperti besi panas yang dicelupkan ke
dalam air. Libatan benang yang mengikat tubuh-
nya raib berubah menjadi kepulan asap biru. 
Maut Biru tersentak kaget dan keluarkan suara 
menggerung begitu melihat lawan mengetahui ke-
lemahan benang saktinya.
Maut Tanpa Suara yang melihat semua ini

kini jadi tahu kalau Iblis Racun Hijau tidak berdi-
ri di pihaknya. Sekali lagi sambil memandang kea 
rah Iblis Racun Hijau dia berteriak. "Paman Iblis 
Racun Hijau, masih belum terlambat bagimu un-
tuk meninggalkan tempat ini. Jika kau tidak 
mencampuri urusan kami, aku menganggap per-
sahabatan kita tetap berjalan sebagai mana yang 
kita harapkan. Tapi jika kau membangkang dan 
tetap keras kepala bukan hanya aku saja namun 
guruku Yang Agung pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Diantara kita tetap bersahabat 
jika kau mau membatalkan acara pengorbanan 
gila ini.!" kata Iblis Racun Hijau. Mendengar ja-
waban laki-laki berkulit serba hijau itu mendidih-
lah darah Maut Tanpa Suara. Sementara itu sejak 
tadi diam-diam Iblis Racun Hijau berusaha mem-
bebaskan totokan di tubuh Gento melalui tiupan 
dengan mulut.
"Tinggalkan batu ranjang kematian. Kau ti-
dak bisa menghadapi mereka karena sebagian be-
sar kesaktian yang kau miliki saat ini dalam kea-
daan membeku." kata orang tua itu melalui ilmu 
menyusupkan suara. Gento hanya mengangguk-
kan kepala. Hembusan yang dilakukan Iblis Ra-
cun Hijau membuat totokan di beberapa bagian 
tubuhnya lenyap seketika.
Kini Gento dapat bergerak dan bangkit dari 
ranjang batu yang sangat dingin luar biasa.
"Aku tak mungkin pergi meninggalkan 
tempat ini! Kau telah menolongku paman Racun Hijau."

"Bocah edan, saat ini tidak ada waktu ber-
debat bagi kita." teriak orang tua itu. Dalam ke-
sempatan yang sama Maut Tanpa Suara berteriak 
pula memberi aba-aba pada pengawal Kuil Setan.
"Kalian bertiga, bunuh keparat serba hijau 
itu!" perintah si buruk berbaju merah.
Maut Biru, Maut Merah dan Maut Kuning 
kini serentak berbalik menghadap ke arah Iblis 
Racun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat ini se-
rentak keluarkan pekikan menggeledek. Tubuh 
mereka secara bersamaan pula melesat, berkele-
bat kea rah Iblis Racun Hijau. Dua belas tangan 
terjulur. Empat dari dua belas tangan tiga mah-
luk itu lakukan gerakan menghantam kepala, 
empat lagi menyambar ke bagian dada dan yang 
lainnya mencabik ke bagian perut. Dua belas se-
rangan maut ini tentu saja sangat berbahaya se-
kali. Karena salah satu dari mahluk ini bila mela-
kukan serangan saja sudah menimbulkan kesuli-
tan besar bagi lawannya, apalagi kini ketiganya 
maju secara bersamaan. Tapi anehnya Iblis Ra-
cun Hijau yang mendapat serangan hebat ini ti-
dak nampak gugup, apalagi menciut nyalinya. Ke-
tika dia melihat badai serangan datang dari tiga 
arah sekaligus, Iblis Racun Hijau langsung han-
tamkan salah satu kakinya ke atas tanah. Tanah 
amblas disertai letupan keras menggelegar. Men-
dadak bersamaan dengan itu pula tubuh Iblis Ra-
cun Hijau lenyap. Dua belas serangan tangan 
mengenai tempat kosong. Bukan hanya ketiga 
penyerangnya saja yang di buat kaget, tapi semua

yang melihat kejadian itu ikut terperangah. 
"Dia punya ilmu Panglemunan!" desis Gen-
to Guyon yang kini sudah berdiri tak jauh di sebe-
lah Ambini dengan tubuh terhuyung-huyung aki-
bat kehilangan tenaga dalamnya. 
"Sebaiknya kita bantu orang tua yang itu!" 
ujar Ambini
"Aku memang sedang berfikir untuk mela-
kukannya." kata si pemuda. "Tapi seperti yang di-
katakannya, kurasa aku telah kehilangan tenaga 
dalamku. Aku merasa sulit sekali menggerakkan 
tubuhku. Semuanya terasa lemas tak bertenaga." 
keluh murid si gendut Gentong ketawa.
"Kurasa hal yang sama pun terjadi padaku, 
karena aku juga tadi sempat dibaringkan di atas 
ranjang kematian." ujar Ambini. Diam-diam si ga-
dis coba salurkan tenaga dalamnya ke bagian 
tangan. Dia jadi terkejut karena tenaga dalam 
yang dimiliki ternyata tidak bekerja sebagaimana 
yang diharapkan.
Sementara itu Iblis Racun Hijau yang men-
dadak saja raib, lenyap dari serangan lawan-
lawannya dalam keadaan tidak terlihat semua 
orang yang ada di tempat itu kini berputar di uda-
ra. Dua tangan di hantamkan ke bagian kepala 
Maut Kuning, Merah dan Biru secara berturut-
turut. 
Des! Des! Des!
Hantaman keras membuat ketiga lawan 
meraung hebat. Mereka terhempas, dua kepala 
yang menghadap kedepan yang lembek itu pecah

menyemburkan darah. Tapi begitu tubuh mereka 
menyentuh tanah dan salah satu tangan menyen-
tuh kepala yang pecah. Masing-masing kepala 
yang sudah tidak utuh itu kini bertaut kembali. 
Tiga mahluk aneh ini kembali bangkit, pada saat 
itu Iblis Racun Hijau begitu jejakkan kaki ke ta-
nah, ujudnya kembali terlihat. Dia gelengkan ke-
pala. Rasa kejutnya bukan olah-olah, belum lagi 
hilang rasa kaget yang menyelimuti diri orang tua 
ini, sekarang ketiga mahluk berkepala empat itu 
sudah menyerangnya kembali dengan kecepatan 
berlipat ganda. Enam tangan yang menghadap 
searah dada menyambar ganas ke arah Iblis Ra-
cun Hijau. Berturut-turut sinar biru, merah dari 
kuning berkiblat. Laki-laki tua yang diserang 
menggerung dahsyat, tubuhnya berputar lalu mu-
lutnya yang menggembung besar menyembur. 
Pruuuh!
Laksana kilat pula cairan hijau berhambu-
ran dari mulut Iblis Racun Hijau. Melihat apa 
yang dilakukan oleh Iblis Racun Hijau, Maut Tan-
pa Suara berteriak ditujukan pada para penga-
walnya.
"Racun Hijau?! Menghindar!" 
Maut Merah, Kuning dan Biru sama sekali 
tidak menggubris peringatan murid majikan me-
reka. Bukannya mundur, sebaliknya mereka me-
rangsak maju teruskan serangan
Tes! Tes! Tes! 
Enam sinar yang melesat dari jari tiga la-
wannya langsung lenyap begitu berbenturan dengan cairan racun yang disemburkan oleh Iblis Ra-
cun Hijau.
Tiga mahluk berkepala empat itu menjerit 
tertahan. Semburan cairan beracun itu ternyata 
bukan saja hanya memusnahkan sinar berhawa 
dingin yang mencair dari ujung jari mereka. Lebih 
mengerikan lagi semburan racun lawan meng-
hanguskan kuku-kuku mereka. Tanpa menghi-
raukan rasa sakit yang mereka derita, dengan ce-
pat mereka memutar tubuh. Dua tangan yang be-
rada di bagian punggung kini menyambar. 
"Pergunakan Benang Sakti Penjerat Dewa!" 
Maut Merah berteriak memberi aba-aba pada ka-
wannya.
"Benang Sakti siap diluncurkan!" sahut
Maut Kuning dan Biru bersamaan. Karena ketika 
berteriak empat mulut berucap serentak, maka di 
puncak bukit itu terdengar gelegar berkepanjan-
gan. Ambini merasakan dadanya bergetar hebat, 
telinga berdenyut sakit dan pengang bukan main. 
Gento Guyon tutupi kedua telinganya, namun dia 
tidak dapat tinggal diam ketika melihat enam be-
nang merah, biru dan kuning laksana kawat baja 
berturut-turut melabrak ke arah Iblis Racun Hi-
jau. 
"Pengecut...!" teriak Gento. Sambil melesat 
di udara dia hantamkan kedua tangannya mele-
pas pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Pukulan 
ini warisan Tabib Setan. Walaupun Gento telah 
kehilangan sebagian tenaga dalam yang dia miliki. 
Tapi ketika dia menghantamkan kedua tangan ke

arah tiga mahluk berkepala empat, dari telapak 
tangan pemuda ini melesat berturut-turut sinar 
hitam dan merah disertai deru angin panas ber-
gulung-gulung. 
Des! Des! Des!
Tiga hantaman telak ini membuat tiga 
mahluk berkepala empat yang menyerang mereka 
jadi terhuyung-huyung, hingga serangan enam 
benang yang nyaris melibat tubuh Iblis Racun Hi-
jau meleset dari sasaran.
"Ha ha ha.. Terima kasih sobat sinting. Ji-
ka enam benang sialan itu sampai melibat tubuh-
ku, habislah sudah harapanku." celetuk Iblis Ra-
cun Hijau 
"Terima kasihnya simpan saja dulu. Lihat, 
mahluk keparat itu kini berbalik menyerangku!" 
teriak Gento. Dia yang sudah jejakkan kakinya di 
atas tanah kembali lepaskan pukulan Dewa Awan 
Mengejar Iblis sambil menghindari serangan be-
nang yang meliuk menyambar ke bagian lehernya.
Bum!
Berturut-turut tiga pukulan melabrak Maut 
Merah, Kuning dan Biru. Kembali tubuh mahluk-
mahluk ini terhuyung. Bagian dada hangus go-
song, empat mulut dari ketiga mahluk ini sem-
burkan darah. Tapi mereka seakan tidak merasa-
kan sakit sama sekali sungguhpun saat itu mere-
ka menderita luka di bagian dalam.
"Sahabat Gento menjauh, aku akan me-
mandikan mereka dengan racunku!" teriak Iblis 
Racun Hijau.

Sambil melompat mundur Gento menyahu-
ti. "Racun Hijau, kau hendak memandikan orang, 
apakah dirimu sendiri sudah mandi. Sejak kau 
hadir dalam acara gila ini aku mencium bau bu-
suknya bangkai dan asamnya bau ketiakmu. Ha 
ha ha!"
"Dasar pemuda sinting sialan!" damprat Ib-
lis Racun Hijau. Sekali lagi orang tua ini sembur-
kan mulutnya ke tiga arah. Tiga mahluk berkepa-
la empat menggerung, dua tangan di bagian bela-
kang berputar ke belakang lakukan tangkisan, 
sedangkan tangan yang berada di bagian depan 
terus gerakkan benang ke arah Iblis Racun Hijau. 
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu 
meringankan tubuh orang tua ini mampu meng-
hindar dari libatan enam benang. Sementara 
semburan cairan racun yang dilancarkan secara 
bertubi-tubi kini menghantam tangan lawan-
lawannya yang dipergunakan untuk menangkis. 
Bukan hanya itu saja sebagian cairan hijau yang 
kena ditangkis bahkan bermuncratan membasahi 
tubuh mereka.
Ces! Ces! Ces!
"Arkh...!"
Maut Biru dan Maut Merah menjerit keras, 
tubuh mereka berkaparan. Tangan hangus berlu-
bang. Tubuh mereka juga dipenuhi lubang akibat 
terkena percikan racun ganas yang disemburkan 
Iblis Racun Hijau. Sebaliknya Maut Kuning masih 
beruntung karena dia dapat selamatkan diri den-
gan melompat ke belakang. Di depan sana Maut


Biru dan Maut Kuning yang tubuhnya dipenuhi 
lubang hitam mengerikan dan mengepulkan asap 
berbau busuk dengan tertatih-tatih bangkit lagi. 
"Mahluk sialan, bagaimana dalam keadaan 
seperti itu masih dapat bertahan hidup?" memba-
tin murid Gentong Ketawa 
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini Gen-
to. Mereka bukan manusia seperti kita, tapi iblis 
yang menyaru seperti manusia!" kata Ambini 
mengisiki. Rupanya dia merasa jerih melihat ke-
hebatan mahluk penjaga Kuil Setan itu
Gento gelengkan kepala. Dalam kesempa-
tan itu, selagi Iblis Racun Hijau merasa putus asa 
menghadapi kenyataan yang ada, lapat-lapat Gen-
to mendengar satu suara membisiki. "Untuk 
membunuh mereka, hantam mulutnya, patahkan 
bagian gigi depan!"
Gento Guyon terkejut, dia memandang ke 
arah mana suara bisikan berasal. Rasa kagetnya 
semakin bertambah ketika melihat satu kenya-
taan bahwa yang memberitahu kelemahan mah-
luk berkepala empat itu bukan lain adalah gadis 
cantik berpakaian dan bertubuh serba hijau. 
"Mengapa dia malah membantuku. Apakah ini 
bukan satu tipuan?" batin si pemuda. Akan tetapi 
dia sudah tidak dapat berfikir lebih jauh lagi. Ka-
rena pada saat itu Maut Kuning telah melabrak 
ke arahnya. Sedangkan Maut Biru dan Maut Me-
rah dengan tubuh dipenuhi luka kembali menye-
rang Iblis Racun Hijau.
"Sobatku gondrong sinting. Aku harus ba

gaimana, mahluk-mahluk keparat ini agaknya tak 
mengenal mati. Tubuhnya sudah hancur begitu 
tapi tidak mau mampus. Kalau terus menerus 
semburkan ludah, mulutku bisa kering sariawan!" 
keluh si orang tua.
"Agaknya kau harus minum air kencingku 
atau air kencingmu dulu. Biar racunmu semakin 
bertambah hebat. Tapi kalau tak mau pusing, 
ikuti saran sobatmu ini. Hantam mulutnya han-
curkan giginya. Kujamin nyawa mereka amblas ke 
neraka! Ha ha ha!" sahut Gento. Sambil tertawa 
bekakakan pemuda, ini membalas serangan Maut 
Kuning. Karena dia sering bergerak, tanpa disada-
ri pemuda ini tenaga dalamnya yang sempat 
membeku akibat tersedot ranjang kematian kini 
mulai berfungsi lagi. Sehingga ketika dia meng-
hantam ke mulut lawan, terdengar suara deru 
angin laksana badai.
Maut Kuning terkesiap, empat tangannya 
lindungi mulut sambil melompat mundur. Namun 
Gento cukup cerdik. Begitu wajah di bagian de-
pan dilindungi, dia lalu berputar dan kini meng-
hantam wajah yang menghadap ke bagian bela-
kang. Demikian cepat serangan itu, hingga Maut 
Kuning tidak sempat. menyelamatkan mulutnya 
dari hantaman tangan pemuda ini.
Prok!
Satu jeritan keras laksana merobek langit 
kembali terdengar. Maut Kuning terhuyung darah 
menyembur dari mulut yang kena hantaman. Se-
lagi sosok Maut Kuning limbung, Gento Guyon

melompat tangannya menyambar ke arah mulut. 
Preet!
Sekali lagi terdengar suara jeritan keras. 
Maut Kuning terbanting. Ketika tubuh Maut Kun-
ing menyentuh tanah, sosoknya langsung hancur 
meleleh, hangus menghitam hingga berubah jadi 
seonggok debu. Gento bergidik ngeri, Ambini sen-
diri langsung tutupi wajahnya tak sanggup me-
nyaksikan kejadian aneh itu.
"Sobatku Racun Hijau, kau sudah melihat, 
kau sama menyaksikan, tanpa gigi mereka tidak 
punya daya tak mampu unjuk kekuatan. Seka-
rang tunggu apa lagi. Cepat habisi dua kunyuk 
itu!" seru Gento sambil unjukkan gigi runcing mi-
lik lawan yang berhasil dibetotnya.
"Tenang saja, kau cuma dapat dua. Aku 
akan mencabut habis semua gigi milik Maut Me-
rah dan Maut Biru." Selesai berucap Iblis Racun 
Hijau berkelebat, mulut terus semburkan ludah 
beracun, sedangkan dua tangan menyambar ke 
arah mulut lawannya.
Jika Maut Biru sibuk hindari semburan 
cairan beracun yang disemburkan lawannya sam-
bil merangsak kedepan lancarkan serangan den-
gan kedua tangan belakang yang dapat digerak-
kan ke depan. Sebaliknya Maut Merah yang su-
dah terluka parah berfikir lain. Dia kemudian ma-
lah memutar arah. Dengan cara berlawanan se-
bagaimana orang yang berjalan pada umumnya 
Maut Merah tanpa terduga berkelebat pergi mela-
rikan diri dari tempat itu. Jika Gento tertawa tergelak-gelak melihat cara Maut Merah melarikan 
diri dengan punggung menghadap ke depan dan 
dada menghadap ke belakang sambil lepaskan
pukulan saktinya. Sebaliknya Maut Tanpa Suara 
menjadi sangat marah.
"Maut Merah terkutuk, jahanam pengecut! 
Aku tak akan membiarkan dirimu mempermalu-
kan Yang Agung!" Laksana kilat tangan kanan 
Maut Tanpa Suara lepaskan satu pukulan maut-
nya. Sinar putih berkeluk-keluk laksana lintasan 
kilat menderu di udara. Kuil Setan laksana di 
guncang gempa. Puncak bukit sebelah selatan 
longsor. Pukulan Gento yang diarahkan ke arah 
Maut Merah saja sudah membuat puncak bukti 
laksana dikobari api, apalagi kini Maut Tanpa Su-
ara mengarahkan pukulannya pada Maut Merah, 
dan juga pada Ambini serta Gento. Tak ayal lagi 
Maut Merah tenggelam oleh kedua pukulan itu.
Terdengar suara ledakan laksana gunung 
meletus. Api berkobar di ujung selatan bukit, ba-
tu-batu dan pasir bertaburan di udara. Suasana 
berubah gelap. Di saat kegelapan menyelimuti 
puncak bukit, pada waktu itu pula terdengar satu 
jeritan. Semua orang tentu jadi kaget karena jeri-
tan bukan berasal dari selatan bukit dimana 
Maut Merah melarikan diri, melainkan terdengar 
begitu dekat dengan mereka. Ketika empat obor 
yang sempat meredup terkena sambaran angin 
pukulan kembali menerangi tempat itu. Semua 
mata sama terpentang lebar. Ternyata yang men-
jerit tadi adalah Maut Biru. Iblis Racun Hijau tertawa terkekeh-kekeh sambil unjukkan beberapa 
buah gigi berlumuran darah pada semua orang 
yang berada di puncak bukit itu.
"Gento... kau lihat. Aku berhasil menda-
patkan gigi lebih banyak. Sayang Maut Biru kebu-
ru hangus, sehingga aku tidak sempat mencabut 
sisa giginya yang lain. Ha ha ha!" kata si orang 
tua sambil unjukkan belasan gigi ditangannya 
pada Gento.
Melihat semua ini Gento tertawa menge-
keh. Sedangkan Ambini meski pun sempat dilan-
da ketegangan akibat hantaman pukulan Maut 
Tanpa Suara jadi tersenyum.
Jika di saat Maut Tanpa Suara melepaskan 
pukulan saktinya tadi Gento tidak cepat menarik 
pinggangnya dan membawanya menghindar dari 
pukulan lawan, mungkin saat ini dia hanya ting-
gal namanya saja.
Sebaliknya Maut Tanpa Suara yang sempat 
memandang ke arah bekas ledakan semakin ber-
tambah geram karena ternyata Maut Merah ber-
hasil menyelamatkan diri. Kini dia berbalik 
menghadap ke arah ranjang kematian yang bera-
da paling disudut kanan. Matanya mendelik besar 
mulut ternganga seakan tak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri.
"Dwi Kemala Hijau," desis Maut Tanpa Su-
ara. "Kau lihat, jahanam setinggi galah itu ternya-
ta hilang Raib dari tempatnya." kata pemuda itu 
sambil melangkah dua tindak ke depan. "Aku tak 
tahu bagaimana caranya dia melepaskan diri. Tadi aku hanya melihat ada seseorang bertubuh hi-
tam berdiri di sampingnya. Mungkin pemuda itu 
yang telah membawanya pergi!" sahut gadis se-
cantik bidadari ini tenang.
Mendengar jawaban Dwi Kemala Hijau, pu-
catlah wajah Maut Tanpa Suara. Dia memandang 
ke arah si gadis. Namun Dwi Kemala Hijau pa-
lingkan wajahnya ke arah Gento. Gento Guyon 
jadi salah tingkah dan usap keningnya tiga kali.
"Pemuda muka kunyuk itu melarikan Da-
tuk keparat, kau disini sejak tadi hanya diam sa-
ja? Tidak melakukan sesuatu apapun juga tidak 
membantu Pengawal Kuil Setan. Sejak tadi kau 
kulihat malah sering melirik pada si gondrong ke-
parat itu. Jangan-jangan....!" Maut Tanpa Suara 
terdiam sesaat sambil berfikir. Sekarang mata 
mendelik besar dengan tatapan seakan penuh ra-
sa tak percaya. "Aku tahu sekarang, kau pasti 
yang menunjukkan kelemahan para pengawal 
Kuil ini pada musuh! Eeh... Dwi Kemala Hijau, 
apa sebenarnya yang ada dalam benakmu?" har-
dik Maut Tanpa Suara.
Yang dibentak terdiam sambil tundukkan 
kepala. Iblis Racun Hijau, murid si gendut Gen-
tong Ketawa dan Ambini saling pandang. Mereka 
sendiri tak tahu kapan kakek setinggi galah pergi 
bersama pemuda berwajah monyet besar. Tapi le-
bih tak mengerti lagi melihat sikap gadis cantik 
luar biasa yang nampaknya berada di pihak mereka.

8

Untuk sementara kita tinggalkan dulu, 
Gento dan Maut Tanpa Suara yang tengah terhe-
ran-heran melihat sikap Dwi Kemala Hijau yang 
mendadak nampak berubah itu. Sementara itu 
pada waktu yang bersamaan di sebelah timur 
puncak bukit, di bawah keremangan cahaya bu-
lan sabit di malam ke sembilan terlihat satu sosok 
tubuh berjalan dengan terseok-seok menjauh dari 
halaman Kuil Setan. Sosok hitam bertelanjang 
dada ini bukan berjalan melenggang. Karena di 
atas bahunya dia memanggul satu sosok berpa-
kaian daster hitam dan berkerudung. Sosok tinggi 
panjang ini bukan lain adalah Datuk Labalang. 
Kakek setinggi galah yang tubuhnya dilibat be-
nang merah. Adapun pemuda yang memanggul-
nya dengan lidah terjulur karena lelah bukan lain 
adalah Memedi Santap Segala. 
Seperti telah dituturkan sebelumnya begitu 
Memedi Santap Segala menemukan senjata Bin-
tang Penebar Petaka, dia langsung keluar dari 
ruangan tempat penyimpanan senjata. Setelah itu 
tanpa menemui kesulitan dia langsung keluar da-
ri Kuil Setan karena pada saat itu pintu kuil da-
lam keadaan terbuka. Tapi betapa kagetnya pe-
muda ini begitu melihat seperti akan ada acara 
pengorbanan di halaman kuil. Dia melihat ada ti-
ga sosok tergeletak tanpa daya di atas ranjang. 
Saat itu Memedi Santap Segala yang telah berhasil mendapatkan Bintang Penebar Petaka yang di-
dapatnya secara tidak sengaja melihat Maut Me-
rah sudah mengayunkan kampak besar ke arah 
leher seorang gadis cantik. Karena merasa tidak 
mengenal, Memedi Santap Segala kurang begitu 
perduli. Tapi di saat dia memandang ke ranjang 
kematian yang terdapat di sudut paling kanan 
dekat obor besar, kagetlah pemuda ini. Dia lalu 
menghampiri sosok tinggi panjang yang bukan 
lain adalah junjungannya sendiri Datuk Labalang. 
Secara tak terduga pada saat itu muncul Iblis Ra-
cun Hijau hendak menolong seorang pemuda 
gondrong. Kehadiran Iblis Racun Hijau cukup 
menguntungkan bagi Memedi Santap Segala ka-
rena perhatian semua yang ada di puncak bukit 
tertuju pada manusia hijau itu. Termasuk juga 
Maut Biru yang hampir mencelakai Datuk Laba-
lang. Ketika kemudian terjadi perkelahian sengit 
dimana Maut Biru juga ikut mengeroyok Iblis Ra-
cun Hijau, maka kesempatan itu dipergunakan 
oleh Memedi Santap Segala alias Mahluk Tangan 
Rembulan untuk membawa Datuk Labalang men-
jauhi dari puncak bukit. Usaha ini tidak mudah, 
karena tubuh Datuk Labalang berat bukan main. 
Beberapa kali si pemuda nyaris terjungkal, lang-
kahnya yang terburu-buru membuat kaki atau 
kepala Datuk Labalang tersangkut pada semak 
belukar atau batang pepohonan. Semua ini mem-
buat Datuk Labalang sering mendamprat tidak 
putus-putusnya.
"Memedi Santap Segala, manusia kampret


tak berperasaan. Kau kira diriku ini batang kayu? 
Kepalaku kau benturkan ke batang kayu, muka 
kau goreskan ke semak-semak. Tidak dapatkah 
kau memilih jalan yang lebih baik lagi!" semprot si 
kakek yang kakinya terkadang terpaksa terseret 
akibat terlalu panjang menjuntai.
"Datuk.... aku takut orang mengejar kita. 
Pula tubuhmu begini panjang, selain itu beratnya 
minta ampun. Melarikan dirimu dalam malam 
yang gelap begini aku tidak ubahnya seperti ma-
kan biji kedondong Datuk. Di telan susah ditarik 
keluar juga susah. Selain tubuh Datuk yang pan-
jang bukan main, seperti yang kukatakan tadi be-
ratnya bukan kepalang. Mungkin Datuk kebanya-
kan dosa, tobat Datuk sebelum maut datang men-
jemput!"
Ketika bicara begitu Memedi Santap Segala, 
sedikitpun tidak tersenyum juga tidak tertawa. 
Malah kini semakin mempercepat langkahnya. Ti-
dak perduli walau terkadang tubuhnya terhuyung 
ke kiri dan ke kanan.
"Budak hitam terkutuk, beraninya kau 
menggurui diriku?!" hardik Datuk Labalang.
Entah sengaja atau tidak, setiap kakek se-
tinggi galah ini mendamprat, pasti kepala atau 
kaki Datuk Labalang terbentur pada batang kayu 
dan rerantingan pohon hingga membuat kakek 
berbadan kurus tinggi ini jadi semakin uring-
uringan. 
"Pemuda tukang makan, turunkan aku dis-
ini aku ingin memutuskan benang-benang celaka

itu sekarang!" perintah si kakek.
"Sekarang Datuk...?" tanya Memedi Santap 
Segala. Agak dia ragu, namun tetap hentikan 
langkahnya.
"Ya sekarang. Cukup turunkan!" perintah 
Datuk Labalang.
"Disini, Datuk? Di semak-semak ini?" tanya 
pemuda itu lagi.
"Bangsat bertanya melulu. Kupecahkan 
kepalamu!" dengus Datuk Labalang semakin ber-
tambah kesal.
Memedi Santap Segala tersenyum. "Orang 
tua tak tahu diri. Menggerakkan tangan saja tidak 
mampu, konon mau memecahkan kepalaku!" ru-
tuk si pemuda. Dia kemudian enak saja jatuhkan 
sosok Datuk Labalang di atas ranting semak. Be-
gitu jatuh Datuk ini menjerit kesakitan sambil 
menyumpah. 
"Pembantu kurang ajar, mengapa kau ja-
tuhkan aku di atas reranting semak berduri?"
"Datuk ini bagaimana? Tadi aku hendak 
mengatakan tempat ini dipenuhi semak berduri. 
Tapi kau tetap ngotot." Sahut Memedi Santap Se-
gala tenang.
Datuk Labalang menggerutu dan memaki-
maki pembantunya yang bodoh. Dia gerakkan 
tangannya bermaksud menampar, tapi ketika sa-
dar tangannya dalam keadaan terikat Datuk La-
balang terpaksa telan keinginannya. Dalam ke-
sempatan itu si pemuda membuka suara, "Datuk, 
kulihat benang ini bukan benang biasa. Sudah

kah Datuk berusaha memutuskannya?" 
"Bagus, kalau kau tahu benang terkutuk 
ini bukan benang sembarangan, sekarang coba 
katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku 
telah berusaha memutuskannya tapi aku tak 
sanggup. "ujar Datuk Labalang berterus terang.
Memedi Santap Segala, dalam gelap ke-
ningnya berkerut seakan tengah berfikir keras. 
Datuk Labalang cemberut. Dia tahu pembantunya 
ini tidak bisa memikirkan apa-apa. Otaknya tum-
pul, daya fikir tidak berkembang. Mungkin cara 
berfikir pemuda itu hanya dua tingkat di atas 
monyet.
Tapi ternyata si kakek setinggi galah salah 
menduga karena pada saat itu Memedi Santap 
Segala berucap. "Konon orang yang telah diba-
ringkan di atas ranjang kematian sebagian tenaga 
saktinya jadi membeku. Tapi itu tidak selamanya, 
begitu ia terlepas dari ranjang itu, jika masih ada 
nyawa dan nafasnya dia dapat menggunakan te-
naga dalamnya kembali. Selain itu Datuk aku 
pasti bisa memutuskan benang merah yang meli-
lit tubuhmu." ujar si pemuda. Mendengar ucapan 
si pemuda, Datuk Labalang berjingkrak kaget 
sambil delikkan matanya. Kembali dia memaki. 
"Pembantu sialan. Bicara seenak perutmu. Aku 
yang memiliki kesaktian begitu tinggi saja tak 
mampu memutuskan benang-benang ini, konon 
dirimu!" 
"Datuk apa yang kuucapkan semuanya be-
nar. Kalau Datuk tak percaya coba Datuk sekarang kerahkan tenaga dalam yang Datuk miliki." 
ujar Memedi Santap Segala dengan mulut penuh 
makanan. Melihat pemuda itu nampaknya ber-
sungguh-sungguh, Datuk Labalang diam-diam 
mencoba kerahkan tenaga dalam yang berpusat 
di bagian pusar. Mula-mula nafas ditarik perla-
han, perut dikencangkan. Dalam gelap Datuk La-
balang yang lebih dikenal dengan gelar Datuk 
Penguasa Tujuh Telaga dari tanah Andalas itu 
terkejut besar ketika merasakan hawa panas 
mengalir deras dari bagian pusarnya ke sekujur 
tubuh.
Sejenak lamanya wajah kakek setinggi ga-
lah berubah cerah, namun dilain kejab ketika dia 
teringat sesuatu wajahnya sontak berubah mu-
rung kembali.
"Apa yang kau katakan ternyata benar 
adanya, pembantuku. Tenaga dalamku pulih 
kembali, pengaruh ranjang kematian punah. Tapi 
apa gunanya? Walaupun aku memiliki tenaga da-
lam dua kali lipat dari yang ada sekarang ini, ku-
rasa aku tak bisa memutuskan benang merah 
yang melibat tubuhku!" keluh Datuk Labalang 
putus asa.
"Kau tidak bisa, tapi aku sanggup melaku-
kannya Datuk. Tapi... tapi aku takut Datuk nan-
tinya jadi marah padaku!"
"Eeh, apa maksudmu? Kalau kau bisa me-
mutus benang laknat ini mengapa tak kau laku-
kan? Jika kau sanggup menolong mengapa harus 
marah, malah aku harus berterima kasih pada

mu!"
"Datuk, ketika kita menjauh kesini, aku 
sempat mendengar orang hijau itu mengatakan 
agar gondrong sinting menggunakan air ludah-
nya. Aku tahu seumur hidup Datuk tidak pernah 
meludah, mulut Datuk kering. Kalau Datuk mau 
sekarang aku bersedia meludahi benang itu!" ujar 
Memedi Santap Segala.
"Air ludahmu tentu berbau busuk karena 
kau memakan makanan apa saja." dengus Datuk 
Labalang.
"Dua minggu setelah terkena air ludahku 
baunya memang tidak akan hilang, tapi saya kira 
sudah tidak ada jalan lain. Lebih baik badan jadi 
bau Datuk. Daripada pelarian kita diketahui oleh 
orang-orang dari Kuil Setan. Jika Datuk sampai 
tertangkap lagi, mana berani saya... aku memberi 
pertolongan."
Mendengar penjelasan pembantunya, mau 
tak mau Datuk Labalang harus bersedia meneri-
ma kenyataan yang ada. Dengan bersungut-
sungut kakek tinggi itu berkata. "Manusia salah 
kaprah, bicara beraku bersaya. Cepat lakukan tu-
gasmu. Awas jika ternyata nanti kau tak mampu 
memutuskan benang ini, lidahmu pasti kubetot 
lepas dan mulutmu kubeset menjadi dua bagian!" 
akan si kakek berdestar dan berkerudung hitam.
Memedi Santap Segala usap mulutnya sen-
diri. Membayangkan apa yang dikatakan Sang 
Datuk dia jadi miris. Karena dia sadar orang tua 
itu tak pernah bergurau dengan ucapannya.

"Datuk, ku mohon jangan menakuti aku 
dengan ancaman seberat itu. Aku hanya berusa-
ha, namun ketentuan ditangan Tuhan. Jika Da-
tuk tak suka, biarlah aku pergi." Sambil berkata 
begitu Memedi Santap Segala beranjak dari tem-
patnya. Namun Datuk Labalang buru-buru men-
cegahnya "Sudah lakukan saja, ancaman ku tidak 
berlaku lagi bagi dirimu." Si pemuda kembali ke 
tempat duduknya di samping Datuk Labalang. 
Dia kemudian kumpulkan ludah didalam mulut, 
setelah mulutnya gembung besar baru kemudian 
dia menyembur? 
Pruuuh!
Empat kali semburan dilakukannya bertu-
rut-turut. Begitu air ludah menyentuh benang 
yang melibat tangan kaki dan badan Datuk Laba-
lang, terdengar suara letupan empat kali bertu-
rut-turut. Benang merah sakti hangus gosong 
mengepulkan asap hitam. Melihat kenyataan yang 
terjadi Memedi Santap Segala berjingkrak kegi-
rangan, sedangkan Datuk Labalang segera bang-
kit sambil mengusap-usap pergelangan tangan 
dan kakinya yang baru terbebas dari ikatan be-
nang itu. Sejenak lamanya dia pandangi sang 
pembantu, matanya yang mencorong tajam me-
mancarkan rasa terima kasih yang mendalam. Di 
saat dirinya merasa terbebas dari libatan benang 
itu, barulah kini si kakek ingat dan bertanya da-
lam hati bagaimana pembantunya Memedi Santap 
Segala bisa membebaskan diri dari jebakan maut 
beberapa hari yang lalu.

"Kau telah berbuat pahala besar, pemban-
tuku. Tapi yang membuat aku heran, bagaimana 
kau bisa membebaskan diri dari lubang jebakan 
itu?", tanya sang Datuk. Sambil ajukan perta-
nyaan orang tua itu melirik ke arah kegelapan di 
sebelah kirinya dimana dia melihat ada sosok tu-
buh mendekam di balik pohon besar. Sosok itu 
telah berada di sana sejak tadi.
Memedi Santap Segala terdiam cukup la-
ma. Bukan pertanyaan junjungannya yang dia ri-
saukan. Melainkan dia tengah berfikir haruskan 
dia melaporkan apa yang ditemukannya di dalam 
ruangan penyimpanan senjata pusaka. Padahal 
kedatangan Datuk itu bersamanya ke tanah Jawa 
semata-mata adalah untuk mencari senjata yang 
kini tersimpan di dalam kantong perbekalannya.
Memedi Santap Segala jadi bimbang, dia 
sadar Datuk Labalang bukan manusia baik, ilmu 
kesaktiannya tinggi. Jauh sebelum berangkat ke 
tanah Jawa dia pernah mengatakan akan meng-
habisi sedikitnya tiga tokoh golongan putih den-
gan senjata yang dicarinya. Jika tiga tokoh sela-
tan itu dibunuh dengan senjata Bintang Penebar 
Petaka, berarti Datuk Labalang berkuasa penuh 
di daerah selatan dan timur Andalas. Ini sangat 
berbahaya, karena Datuk Labalang manusia an-
gin-anginan yang sulit ditebak maksud dan kein-
ginannya. 
"Memedi Santap Segala, mengapa kau di-
am? Jawab pertanyaanku!" suara Datuk Labalang 
memecah keheningan.

"Eeh, Datuk. Saya.... aku...dapat lolos dari 
dalam jebakan maut itu atas bantuan Batu Rem-
bulan. Batu Rembulan yang menjebol pintu, tem-
bus ke ruangan lain hingga aku dapat menyela-
matkan diri." sahut si pemuda hitam berpuser 
bodong.
"Hanya itu saja, kau tak melihat atau me-
nemukan dimana senjata yang kita cari?" tanya si 
kakek setinggi galah disertai pandangan menyeli-
dik.
"Tid... tidak Datuk. Tidak ada sesuatupun 
yang kutemukan!" jawab Memedi Santap Segala 
gugup.
"Nafasmu tersengal, suaramu gugup. Jika 
tidak ada yang kau sembunyikan apakah saat ini 
kau sedang menderita sakit?" pancing si kakek.
"Betul Datuk, aku sakit. Aku lagi tidak 
enak badan...."
Belum lagi suara Memedi Santap Segala le-
nyap, mendadak saja terdengar satu suara ber-
kumandang tak jauh dari tempat itu disertai tawa 
tergelak-gelak.
"Otaknya tolol, wajah lugu. Tapi dia adalah 
seorang pendusta besar. Ha ha ha!"
Jika si pemuda menjadi kaget, sebaliknya 
Datuk Labalang yang sudah mengetahui kehadi-
ran orang hanya tersenyum sinis sambil meman-
dang kearah datangnya suara

9

Sejenak dengan wajah pucat Memedi San-
tap Segala pandangi sosok tua berdestar dan ber-
kerudung hitam. Datuk Labalang tahu dirinya di-
perhatikan, namun dia bersikap seakan tidak ta-
hu. Tenang saja kakek setinggi galah ini berucap 
ditujukan pada orang yang baru bicara tadi. "Ta-
mu dalam gelap, sudah kuketahui kedatanganmu 
sejak tadi. Mendekam disitu mencuri dengar 
pembicaraan orang bukan tindakan terpuji, kalau 
kau punya keperluan denganku atau salah seo-
rang diantara kami sebaiknya cepat datang kema-
ri!"
Sosok yang mendekam dibalik pohon 
bangkit berdiri, lalu dengan gerakan cepat sekali 
dia berkelebat. Dilain saat sosok berpakaian me-
rah bertangan hitam itu telah berdiri tegak di ha-
dapan Datuk Labalang. Beberapa jenak lamanya 
saling berpandang, namun pandangan sosok ber-
tangan hitam itu kini lebih banyak tertuju ke arah 
Memedi Santap Segala. 
"Tadi kau mengatakan pembantuku ini te-
lah mengucapkan satu kedustaan yang besar. 
Pertama katakan siapa namamu dan apa maksud 
dari ucapanmu!" kata Datuk Labalang tegas.
"Aku Si Tangan Sial, sengaja datang ke Kuil 
Setan untuk menjalankan perintah seseorang. 
Aku ditugaskan mencari senjata Bintang Penebar 
Petaka. Senjata itu telah kuketahui letak penyimpanannya, sayang aku tak sanggup mengambil-
nya. Tak lama kemudian muncul pemuda muka 
kunyuk itu. Entah ilmu kepandaian apa yang dia 
miliki. Kulihat dengan mudah tanpa halangan dia 
mampu mengambil senjata itu. Lalu aku mengi-
kutinya. Mulai dari dalam Kuil, keluar dan sam-
pai kesini. Sekarang cepat serahkan senjata itu 
padaku!" kata Si Tangan Sial dengan mata mene-
rawang kosong dan wajah menggerimit menahan 
sakit.
Hanya sekali lihat Datuk Labalang tahu ka-
lau laki-laki dihadapan itu sesungguhnya sedang 
mengalami penderitaan hebat. Entah apa bentuk 
penderitaan itu si kakek tak tahu. Dia bahkan tak 
peduli. Kini sang Datuk memandang ke arah Me-
medi Santap Segala. Pemuda yang dipandang ce-
pat sekali tundukkan kepala. Dalam hati dia 
membatin. "Tak mungkin ku serahkan senjata 
pada Datuk Labalang, juga tidak pada Tangan Si-
al. Aku sendiri menginginkan senjata ini, tapi bila 
senjata ini sampai jatuh ke tangan orang yang sa-
lah dia bisa menjadi malapetaka. Kurasa aku ha-
rus kembali ke puncak bukit untuk mencari 
orang yang pantas mengamankan senjata ini."
"Memedi Santap Segala, pembantuku yang 
paling setia." ujar Datuk Labalang dengan suara 
lemah lembut. "Seumur hidup kau belum pernah 
berbohong padaku. Sekarang kuharapkan segala 
kejujuranmu, benarkah kau telah menemukan 
senjata Bintang Penebar Petaka?"
"Benar Datuk!" sahut si pemuda.

Datuk Labalang tersenyum. "Kau hebat. 
Hanya apakah kau tahu siapa kau?"
"Sa.. saya tahu Datuk. Engkau adalah jun-
junganku, orang yang segala perintahnya harus 
ku patuhi." 
"Kalau sudah tahu, jika sadar senjata yang 
kucari ada padamu sekarang coba serahkan sen-
jata itu padaku" perintah si kakek setinggi galah.
"Datuk.... aku... aku bukan tak mau se-
rahkan senjata padamu. Tapi sebaiknya Datuk 
singkirkan dulu orang itu Datuk. Jika Datuk su-
dah dapat menyingkirkannya, senjata pasti kuse-
rahkan padamu," janji Memedi Santap Segala. 
Datuk Labalang tergelak-gelak. Perasaannya saat 
itu gembira bukan kepalang.
"Ha ha ha. Kau mau aku berbuat apa pa-
danya? Membunuh atau melubangi dadanya?" ka-
ta Datuk Labalang.
"Mengenai itu urusan Datuk sendiri. Terse-
rah Datuk mau berbuat apa. Menunggu kau me-
ringkusnya, sekarang perutku lagi mulas Datuk, 
aku mau buang hajat besar, tidak jauh dari sini. 
Permisi dan terima kasih!" Tanpa menunggu ja-
waban majikannya, terbirit-birit Memedi Santap 
Segala tinggalkan tempat itu menuju ke balik se-
mak-semak belukar. 
"Jangan kau coba minggat apalagi meng-
hindar dariku!" seru Datuk Labalang mengin-
gatkan. Sebagai jawaban dari balik semak belukar 
terdengar suara kentut besar. Sang Datuk me-
nyumpah dalam hati. Kini dia percaya pembantunya itu memang benar-benar hendak buang ha-
jat. Karena sudah menjadi kebiasaannya setiap 
hendak buang hajat Mahluk Tangan Rembulan
selalu mengawalinya dengan kentut yang luar bi-
asa kerasnya. Yakin pemuda itu tidak akan mem-
buat ulah, maka kini Datuk Labalang langsung 
menghadap ke arah Si Tangan Sial. 
"Manusia bertangan hitam, melihat rupa-
mu melalui sinar bulan sabit ini aku tahu dirimu 
tengah menderita sakit yang sangat hebat. Orang 
menyuruhmu, kau menjalankan perintahnya 
dengan sangat terpaksa karena kulihat engkau 
sangat menderita. Jika kau mau aku bisa-
meyembuhkanmu atau mencari dimana sumber 
penyakit itu tertanam. Tapi dengan satu syarat.... 
jika aku mampu menyembuhkan penyakitmu, ha-
rap kau jangan lagi kemaruk untuk mendapatkan 
senjata Bintang Penebar Bencana. Penawaranku 
hanya berlaku satu kali, tidak pernah ku ulang. 
Kau boleh mempertimbangkannya." kata Datuk 
Labalang.
Di depan sana Si Tangan Sial memang 
sempat tertarik. Tapi begitu rasa sakit menyerang 
bahunya kiri kanan juga di bagian belakang leher, 
maka dia tak dapat berfikir normal. Apalagi ketika 
itu dia sempat ada suara orang mengancam. "Kau 
turuti perintahnya, maka penderitaanmu tidak 
hanya sampai disini saja. Kau akan kubuat men-
jadi gila, hilang akal hilang kewarasan seumur-
umur." Kata suara itu.
Bersamaan dengan itu pula hawa dingin

menyengat menyerang bagian belakang kepala 
dan terus menjalar naik ke dalam otak. Si Tangan 
Sial meraung keras, matanya seketika berubah 
merah laksana bara. Di depan sana Datuk Laba-
lang sempat tercengang. Namun segera mengeta-
hui kalau lawan dikendalikan dari jarak jauh oleh 
seorang. Ilmu hitam semacam ini banyak terdapat 
di tanah Andalas hingga membuat Datuk Laba-
lang tidak begitu heran.
Baru saja kakek setinggi galah berkeru-
dung hitam dan berdestar panjang menjela ber-
warna sama ini hendak mengatakan sesuatu. Di 
saat bersamaan Si Tangan Sial telah berkelebat 
ke arahnya, kirimkan satu jotosan ke bagian wa-
jah. Belum lagi jotosan sampai pada sasaran si-
nar hitam berhawa dingin laksana es melesat 
mendahuluinya menghantam wajah si kakek. Ini 
merupakan tanda lawan mengerahkan tenaga da-
lam penuh ketika lancarkan serangan tadi. Men-
dapat serangan hebat dan sangat mematikan ini, 
Datuk Labalang miringkan kepala sambil men-
dengus. Dua tangannya menangkis sambil beru-
saha menangkap pergelangan tangan lawan yang 
meluncur deras ke arahnya.
Tangan lawan meluncur di samping kepala 
Datuk Labalang. Begitu melihat tangan melewati 
kepalanya, tangan kiri sang Datuk langsung ber-
gerak laksana kilat menangkapnya. 
Tangan yang menjotos muka tadi kena di-
tangkap, tapi sang Datuk menjerit kesakitan dan 
langsung lepaskan cekalannya pada pergelangan
tangan lawannya. Betapa tidak orang tua itu me-
rasakan telapak tangannya laksana terbakar, me-
lepuh di beberapa bagian dan langsung menghi-
tam.
"Gila! Bagaimana dia mampu melepaskan 
pukulan berhawa dingin, sementara tangannya 
sendiri terasa panas bukan main" batin Datuk 
Labalang
"Tangan Sial. Berarti kedua tangan orang 
ini mengandung satu kesaktian aneh. Aku ingin 
melihat apakah bagian tubuhnya yang lain juga 
sama berbahayanya dengan bagian tangan" gu-
mam si kakek. 
Orang tua ini sudah tak dapat berfikir pan-
jang lagi karena pada waktu itu Si Tangan Sial te-
lah menggempurnya dengan serangan ganas ber-
tubi-tubi yang terarah di lima bagian tubuhnya 
paling mematikan. Mendapat serangan maut ini 
Datuk Labalang masih dengan berdiri tegak lang-
sung kebutkan lengah daster hitamnya. Segulung 
angin laksana topan menderu. Di udara terdengar 
ledakan menggelegar. Si kakek setinggi galah ke-
luarkan seruan kaget, sedangkan tubuhnya ter-
gontai-gontai. Didepanya sana Si Tangan Sial 
sampai tersurut sejauh dua tombak wajahnya pu-
cat, bibirnya bergetar. Selain kedua tangan sak-
tinya, bagian tubuh yang lain seperti disiram air 
panas. Akan tetapi seakan tak merasakan sakit 
apapun laki-laki itu sambil melompat ke depan 
kirimkan satu pukulan jarak jauh yang cukup 
berbahaya

Sinar hitam kembali menderu, dua tangan 
yang ikut meluncur seakan berubah besar seperti 
pohon kelapa, mencari sasaran di bagian perut 
dan kaki lawannya. Datuk Labalang memang 
sempat tercekat, mata mendelik besar seolah tak 
percaya dengan penglihatannya sendiri. Tapi hal 
itu hanya berlangsung sesaat, karena detik ke-
mudian dia sudah melompat di udara, berjumpa-
litan begitu rupa hingga kini posisinya berada di 
belakang lawan. Serangan tinju besar yang men-
garah di bagian perut memang luput, tapi tulang 
betis Datuk Labalang kena dihantam oleh lawan-
nya.
Si kakek menjerit tertahan, tapi dia masih 
meneruskan serangannya ke bagian punggung. 
Desss!
Si Tangan Sial jatuh tersungkur, Dibela-
kangnya Datuk Labalang yang baru jejakkan kaki 
nampak terhuyung. Kakinya seperti putus ketika 
dia melihat ke bagian kaki, celana di bagian de-
pan betis robek besar hangus terbakar dan masih 
mengepulkan asap berbau sangit. Lebih dari itu 
kulit dibalik celana juga nampak menghitam. 
Terpincang-pincang sambil menyeringai 
kesakitan Datuk Labalang alias Datuk Penguasa 
Tujuh Telaga melompat ke depan. Saat itu Si Tan-
gan Sial akibat terkena pukulan di belakang 
punggung semburkan darah dan masih belum 
bangkit dari tempatnya. Sambaran keras meng-
hantam bagian pinggang orang tua bertangan 
sakti ini. Sambil mengerang Si Tangan Sial begitu

merasakan sambaran angin dingin menerpa ba-
gian punggung segera menggulingkan badan se-
lamatkan diri. Gerakan yang dilakukan sayang 
kalah cepat dengan gerakan lawan. Di lain kejap 
Si Tangan Sial merasakan sekujur tubuhnya be-
rubah menjadi kaku dan dia tak kuasa mengge-
rakkan tubuhnya lagi.
"Jahanam terkutuk pengecut! Lepaskan to-
tokan ini, aku ingin mengadu jiwa denganmu 
sampai mati!" teriak laki-laki itu.
Sebagai jawabannya Datuk Labalang men-
ginjak kaki kiri lawan dengan satu hentakan yang 
keras. Si Tangan Sial meraung terlolong-lolong
Datuk Labalang tersenyum sinis, tangan-
nya kembali berkelebat, menyambar pakaian la-
wannya.
Bret! Breet!
Terdengar suara robeknya pakaian. Baju di 
bagian punggung Tangan Sial robek besar sehing-
ga punggungnya dalam keadaan polos. Datuk La-
balang pentang mata lebar memperhatikan pung-
gung lawan. Dia lalu menyeringai begitu melihat 
kedua bahu lawan sampai di bagian leher meng-
gembung besar berwarna merah seperti bisul 
yang hendak meletus.
"Tiga barang laknat yang membuatmu ber-
tindak seperti sapi gila telah kutemukan. Aku tak 
tahu apa nama benda ini, namun aku yakin in-
ilah jarum Penggedam Roh. Jika benar dugaanku, 
seperti yang sering kudengar berarti urusan se-
makin bertambah besar. Konon pemilik jarum

maut yang membuat orang kehilangan akal fiki-
ran ini adalah Begawan Panji Kwalat!" kata Datuk 
Labalang.
"Jahanam apa yang hendak kau lakukan?" 
teriak Si Tangan Sial kasar.
"Ha ha ha. Seperti yang telah kukatakan, 
jika penyakitmu dapat kusembuhkan sebaiknya 
kau tak usah repot mengurus senjata, lebih baik 
kau urus dirimu sendiri!" Sekali lagi begitu selesai 
berkata Datuk Labalang gerakkan tangannya ke 
bagian bahu, berturut-turut jarum yang terbenam 
di bagian bahu kiri kanan juga di bagian belakang 
leher dicabutnya.
"Akrkh...!"
Si Tangan sial mengeluh tertahan. Perla-
han dia merasakan belakang bagian tubuhnya 
yang terasa dingin dan menimbulkan sakit yang 
hebat di saat dia mencoba berpikir kini mulai le-
nyap. Kesadaran orang tua ini kembali pulih. Dan 
dia nampak bingung tidak ubahnya seperti orang 
yang baru terjaga dari mimpi buruk berkepanjan-
gan. 
"Oh dimanakah aku!" desis orang tua ma-
lang ini
"Kau berada di neraka, maka tidurlah 
kembali. Semoga kali ini kau mendapatkan se-
buah mimpi yang indah." selesai bicara begitu Da-
tuk Labalang acungkan telunjuknya di tengkuk Si 
Tangan Sial. Sinar biru melesat menyambar ba-
gian tengkuk orang. Begitu tengkuknya terkena 
sambaran sinar biru, Si Tangan Sial merasakan

matanya sangat berat. Mata itu dengan cepat ter-
pejam, kepala terhempas. Dalam waktu tak sebe-
rapa lama Si Tangan sial sudah mendengkur.
"Manusia bodoh." dengus Si Datuk sambil 
tinggalkan lawannya. Dia kemudian berlari ke 
arah mana tadi Memedi Santap Segala mengata-
kan ingin buang hajat. Tapi begitu sampai di balik 
semak belukar dia jadi kaget karena dia tidak me-
lihat pembantunya ada di sana.
Datuk Labalang mulai berteriak-teriak 
memanggil pembantunya. Tidak ada jawaban. 
Sunyi. Memedi Santap Segala lenyap. 
"Tangan Rembulan, kau... kau berada di-
mana?" teriak si kakek. Setelah menunggu bebe-
rapa saat lamanya ternyata tak ada sahutan atau 
jawaban apapun. "Jahanam keparat. Aku kena 
dibodohi orang tolol, dia melarikan diri!" maki Da-
tuk Labalang. Dia terdiam, mata nyalang mencari 
kian kemari. Sampai kemudian terfikir olehnya 
akan sesuatu. "Benarkah dia telah menipuku? 
Bagaimana jika dia diculik orang mengingat ba-
nyak orang yang menginginkan senjata itu. Ah... 
mengapa selama ini aku berkenan memelihara 
manusia setolol itu?!" rutuk Datuk Labalang 
sambil tinggalkan tempat itu untuk mencari pem-
bantunya.

10

Kembali ke puncak bukit di bagian hala-
man Kuil Setan. Ketika bulan sabit telah berada 
di atas kepala. Pada saat itu Iblis Racun Hijau, 
Gento Guyon juga Ambini sudah berdiri berdeka-
tan satu sama lain. Sedangkan didepan sana Dwi 
Kemala Hijau yang sejak tadi tundukkan kepala 
tanpa sadar melangkah menjauh dari saudara se-
perguruannya sendiri.
Sekian saat lamanya tempat itu diliputi ke-
sunyian. Dalam kesunyian itu yang terdengar 
hanya suara deru angin yang tidak ubahnya se-
perti suara setan yang membisikkan kejahatan di 
hati setiap manusia.
"Dwi Kemala Hijau, kau tak mau menjawab 
pertanyaanku? Aku tahu kaulah yang telah mem-
buat kehancuran bagi pengawal kuil ini. Mengapa 
kau lakukan kekejian itu Kemala? Mengapa kau 
bertindak seakan-akan berada di pihak musuh?" 
suara Maut Tanpa Suara itu terdengar memecah 
keheningan.
Untuk pertama kalinya gadis cantik yang 
wajahnya mirip bidadari itu palingkan muka, ma-
tanya yang bening memandang ke arah Maut 
Tanpa Suara. Di bawah siraman cahaya bulan 
sabit mulut bagus Dwi Kemala Hijau membuka 
berucap. "Maut Tanpa suara, sesungguhnya aku 
bukan kerabat Kuil Setan. Aku adalah penghuni 
negeri Kayangan. Satu tempat yang sangat jauh

dari sini. Sekarang ini aku ingin kembali ke negeri 
ku, tidak ada jalan kembali jika aku tidak men-
dapat bantuan seseorang. Seseorang yang ku-
maksudkan adalah pemuda gondrong yang ber-
nama Gento Guyon!" berkata begitu Dwi Kemala 
Hijau menunjuk ke arah Gento hingga membuat 
murid kakek Gendut Gentong Ketawa itu jadi ter-
cekat, bingung dan usap hidungnya. 
Di sampingnya Maut Tanpa Suara ber-
jingkrak kaget. Mata mendelik memandang tajam 
pada si gondrong. "Bantuan apa yang bisa kau 
harapkan dari pemuda gondrong edan itu? Apa-
kah kau mengira Yang Agung akan melepaskan-
mu begitu saja? Ha ha ha." tanya Maut Tanpa 
Suara disertai tawa mengejek.
"Aku tahu Yang Agung tidak akan melepas 
ku. Karena sejak dulu pun ketika diriku tersesat 
ke negeri ini dia telah menjebakku, dia memaksa 
agar aku jadi pengikutnya dengan kedok pura-
pura dijadikan murid. Saat itu dirimu belum ada 
di kuil ini Maut Tanpa Suara, mungkin ketika itu 
kau masih menjadi angin, mungkin saat itu kau 
masih berada di dalam tulang rusuk ayah ibu-
mu." ujar si gadis.
Mendengar ucapan Dwi Kemala Hijau Gen-
to tak dapat menutupi rasa kagetnya. Dia tak bisa 
memperkirakan berapa usia gadis serba hijau ini 
sekarang. Ambini gelengkan kepala. Sedangkan 
Iblis Racun Hijau hanya tersenyum sambil ke-
dipkan matanya pada Gento.
"Mungkin saat itu saudara seperguruanmu

si muka buruk itu masih berada di dalam perut 
kuda, Kemala. Lalu dia jadi kentut dan begitu 
kentut keluar terhirup oleh ibunya. Ibunya ke-
mudian hamil dan lahirlah anak manusia seba-
gaimana yang ada didepan kita. Ha ha ha!" cele-
tuk si gondrong disertai tawa berderai.
Wajah buruk Maut Tanpa Suara berubah 
mengelam. Walaupun kemarahannya pada Gento 
telah memuncak demikian hebat, namun dia ma-
sih mencoba bersabar diri dengan berkata dituju-
kan pada Dwi Kemala Hijau.
"Apapun keinginanmu, terlebih-lebih yang 
menyangkut masa lalumu apa hubungan den-
gannya? lagi pula kau tidak mungkin kembali ke 
negerimu. Yang Agung pasti tak akan memberi 
izin, begitu juga aku!" kata pemuda itu tegas.
"Mengenai apa yang harus kulakukan atau 
pertolongan apa yang kuharapkan darinya kau 
tak perlu tahu. Yang Agung boleh saja melarang, 
kau bisa saja menghalangi. Tapi aku tidak perdu-
li.!"
"Kemala, rupanya kau tak tahu bahwa se-
lama ini aku....!" Maut Tanpa Suara tidak te-
ruskan ucapannya
Gento tersenyum lebar. "Gadis cantik, aku 
tahu kelanjutan dari ucapan saudara sepergu-
ruanmu itu. Dia pasti hendak mengatakan sebe-
narnya selama ini menaruh harapan dan cinta 
padamu. Cuma karena disini ada kami dia jadi 
malu, bukankah begitu paman Racun Hijau?"
"Aku sependapat. Jika dia cinta pada gadis

secantik ini boleh saja. Tapi rasanya dia harus 
mengikis wajahnya yang buruk biar jadi bagusan 
sedikit. Jika dia tetap dalam keadaan seperti itu, 
rasanya tidak sepadan antara si buruk dan si 
cantik berdampingan hidup bersama. Mending 
gadis ini menjadi kekasihku karena kami sama-
sama memiliki kulit hijau. Ha ha ha." sahut Iblis 
Racun Hijau
"Kalau kalian jadi menikah apa jadinya 
nanti dengan warna kulit anakmu? Ha ha ha...!" 
kata Gento menimpali. 
Ambini jadi cemberut, sedangkan Dwi Ke-
mala Hijau jadi tersipu-sipu. Iblis Racun Hijau 
tertawa ngakak. Di depan sana wajah Maut Tanpa 
Suara sebentar memucat sebentar memerah. Tu-
buhnya menggigil, pelipis bergerak-gerak, rahang 
menggembung pertanda bahwa kemarahannya 
sudah sulit dikendalikan.
"Manusia kurang ajar. Malam ini kalian 
akan terkubur di puncak bukit ini secara sia-sia." 
teriak Maut Tanpa Suara. Dia kemudian berpaling 
ke arah Dwi Kemala Hijau. "Kau tidak pernah 
pergi kemana pun apalagi bersama kunyuk gon-
drong itu!" seru Maut Tanpa Suara. Bersamaan 
dengan ucapannya itu laksana kilat secara tak 
terduga Maut Tanpa Suara berkelebat ke arah si 
gadis dan langsung lancarkan satu totokan di ba-
gian dada Dwi Kemala Hijau. Tapi rupanya gadis 
ini telah bersikap waspada sejak tadi, sehingga 
begitu dia merasakan ada sambaran angin dingin 
menghantam ke bagian dada dia langsung melompat mundur sambil melancarkan serangan ba-
lasan berupa tendangan menggeledek ke bagian 
perut.
Dari bagian kaki si gadis menderu hawa 
dingin yang disertai dengan berkiblatnya sinar hi-
jau yang langsung menghantam ke arah sasaran. 
Lawan tertawa mengejek, lalu dorongkan tangan 
kanannya menyambut tendangan lawan. Dengan 
tangan kiri dia balas menghantam. Dwi Kemala 
Hijau yang tahu kehebatan dan tenaga sakti yang 
dimiliki lawannya tidak menjadi surut ketika me-
lihat lawan bukan saja hanya menangkis. Tapi 
sambil menangkis dia juga balas menghantam. 
Tak dapat dihindari lagi benturan keras 
terjadi. Si gadis menggerakkan kepala ke bela-
kang. Sehingga jotosan tangan kiri lawan luput 
namun akibat benturan antara kaki dan tangan 
kanan lawannya membuat Dwi Kemala Hijau ter-
huyung dan hampir terjatuh. Selagi dirinya dalam 
keadaan seperti itu lawan telah berkelebat ke 
arahnya sambil lancarkan satu pukulan mengge-
ledek. Si gadis nampaknya kali ini tidak dapat 
menghindar walaupun dia sudah mencoba berke-
lit dengan memutar badan ke samping 
Buuk!
"Hukh...!"
Gusrak!
Satu tendangan yang dilakukan Maut Tan-
pa Suara tepat mendarat di bagian perut gadis 
serba hijau, hingga membuat gadis ini terpelant-
ing roboh dengan perut terasa pecah, panas seolah mau meledak. Darah menetes dari sudut bibir 
Dwi Kemala Hijau. Belum lagi gadis ini sempat 
bangkit berdiri lawan telah menyerangnya kemba-
li sambil hantamkan kakinya ke arah kepala gadis 
itu. Melihat ganasnya serangan yang datang itu 
tentu membuat Gento Guyon tak dapat tinggal di-
am. Sambil berteriak keras dia menghantamkan 
kedua tangannya secara berturut-turut.
"Katanya cinta, mengapa sekarang berubah 
jadi benci? Konon sayang, mengapa sekarang ma-
lah hendak dibunuh?" Suara si pemuda yang 
menggeledek tenggelam dalam gemuruh suara 
pukulan yang dilepaskannya sendiri. Melihat se-
rangan datang dari arah sampingnya, Maut Tanpa 
Suara terpaksa batalkan serangan, kini dia berba-
lik sambil memapaki serangan ganas yang dilan-
carkan Gento Guyon.
Ketika tangan kanan Maut Tanpa Suara 
dihantamkan ke depan selarik sinar merah men-
deru di udara. Hawa panas dan hawa dingin da-
tang silih berganti. Satu benturan keras tak dapat 
dihindari lagi. 
Terdengar suara ledakan berdentum. Kuil 
Setan laksana di guncang gempa. Dua sosok tu-
buh sama terpental ke belakang. Di sebelah kiri 
dekat obor besar Gento terkapar, nafas megap-
megap dada terasa sesak bukan main sedangkan 
dari mulut dan hidungnya darah nampak me-
netes. Di depan sana tak jauh dari Kuil Setan, 
Maut Tanpa Suara jatuh terhenyak sambil dekap 
dadanya. "Pemuda gondrong itu ternyata tak dapat dianggap enteng. Entah ilmu pukulan apa 
yang dia miliki, yang jelas aku merasakan sekujur 
tulang-tulang tubuhku laksana bertanggalan!" ru-
tuk Maut Tanpa Suara. Tapi tanpa menghiraukan 
sakit dibagian dadanya pemuda itu bangkit lagi. 
Rasa dendamnya pada Gento demikian besar ka-
rena dia menganggap pemuda itu telah menarik 
perhatian Dwi Kemala Hijau. Kini selagi Gento da-
lam keadaan terlentang dia ingin menghabisinya.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Ambini 
tidak tinggal diam. Dia langsung melompat ke 
arah Gento dengan sikap melindungi. Akan tetapi
pada saat itu ternyata Maut Tanpa Suara, sesuai 
dengan julukannya tanpa mengucapkan sepatah 
katapun sudah berkelebat ke arahnya. Satu ten-
dangan diarahkan pada Gento, satu hantaman 
keras menderu ke bagian bahu Ambini. Serangan 
yang dilakukan Maut Tanpa Suara ini bukan se-
rangan biasa karena lawan telah mengerahkan 
seluruh kesaktian sekaligus tenaga dalam yang 
dia miliki. Melihat ganasnya serangan sambil ber-
gulingan Gento berteriak.
"Ambini menyingkir!" 
Entah mendengar atau tidak, yang jelas 
Ambini tidak bergeser dari tempatnya. Sementara 
Gento telah bergulingan ke samping hingga luput 
dari hantaman kaki lawan. Sebaliknya Ambini ke-
rahkan seluruh tenaga dalamnya ke bagian tan-
gan. Kedua tangan lalu didorongkan ke depan 
menyambut hantaman lawannya. 
Buuuk! Deees!

Hantaman yang luar biasa kerasnya itu 
ternyata tak dapat dibendung oleh Ambini. Tinju 
lawan menerobos pertahanannya hingga meng-
hantam bagian ulu hati.
Ambini memekik kesakitan, tubuhnya ter-
pelanting lalu jatuh terbanting dengan wajah pu-
cat laksana mayat.
"Ambini....!" jerit Gento yang menyangka 
gadis itu tewas seketika. Laksana kilat dia berlari 
mendapatkan Ambini. Dia melihat dari mulut ga-
dis itu mengucurkan banyak darah. Gento segera 
memeriksa denyut nadi gadis yang telah meno-
longnya itu. Gento segera mengetahui Ambini 
menderita luka hebat di bagian dalam. Dia cepat 
tempelkan tangannya ke perut gadis itu, tenaga 
dalam disalurkan ke dada si gadis. Hingga Ambini 
kemudian merintih dan terbatuk-batuk. Ketika 
batuk darah lebih banyak keluar. 
"Gento...!" rintih si gadis. Murid Gentong 
Ketawa memberi isyarat agar Ambini jangan bica-
ra. Dari balik kantung celananya pemuda ini 
mengambil sebuah pil berwarna hitam pemberian 
Tabib Setan. Pil itu kemudian dimasukkanya ke 
dalam mulut Ambini. Ketika obat mujarab itu 
memasuki tenggorokannya, Ambini merasakan 
dadanya yang panas laksana terbakar kini beru-
bah sejuk.
"Tetaplah kau berada disini. Kau belum bo-
leh bergerak!" kata Gento. Setelah itu dia bangkit, 
kemudian membalikkan badan, hingga mengha-
dap ke arah lawan. Namun pada saat itu lawan

sedang menghadapi gempuran hebat dari Iblis 
Racun Hijau dan juga Dwi Kemala Hijau. Ternyata 
ketika melihat Gento dan Ambini terpukul roboh, 
Iblis Racun Hijau sudah tak dapat tinggal diam 
lagi. Kini mendapat serangan bertubi-tubi dari 
dua lawan sekaligus Maut Tanpa Suara nampak 
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang di-
lancarkannya tidak mengenai sasaran. Semua ini 
membuat Maut Tanpa Suara menjadi sangat ma-
rah 
"Bangsat-bangsat pengecut beraninya main 
keroyok!" teriak pemuda berpakaian serba merah 
itu sengit. Dia kemudian salurkan tenaga dalam-
nya ke bagian tangan. Tak berselang lama kedua 
tangan itu telah berubah biru berkilauan.
"Hati-hati dia hendak menggunakan ajian 
Telapak Setan!" seru Dwi Kemala Hijau lantang. 
Gento yang saat itu hendak mengambil tindakan 
urungkan niat karena bagaimanapun dia tak mau 
bertindak pengecut dengan melakukan keroyo-
kan, sungguhpun demikian dia tetap bersikap 
waspada menjaga segala kemungkinan yang tidak 
diingini.
Pada waktu itu begitu mendengar peringa-
tan Dwi Kemala Hijau. Iblis Racun Hijau hanya 
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku tahu inilah ilmu yang paling hebat 
yang dimiliki oleh penguasa Kuil Setan. Malam ini 
aku ingin merasakan kehebatannya!" teriak Iblis 
Racun Hijau lantang. Sambil berucap begitu Iblis 
Racun Hijau tunggingkan pantatnya menghadap

ke langit. Dua tangan ditempelkan ke permukaan 
tanah. Tenaga dalam dikerahkan, lalu disalurkan 
ke bagian kedua belah tangannya. Tak berapa la-
ma kemudian dengan tubuh membungkuk dan 
tangan diacungkan ke arah lawan tubuhnya ber-
kelebat. 
"Heaaa. ..!"
Satu teriakan keras bergema di udara. Dari 
sebelah kirinya Dwi Kemala Hijau juga lepaskan 
satu pukulan menggeledek. Angin panas seperti 
puting beliung bergemuruh di udara. Maut Tanpa 
Suara yang yakin akan kehebatannya sendiri
sambil berteriak lantang langsung menghantam 
ke dua arah sekaligus.
Wuut! Wuuut!
Untuk yang kesekian kalinya Kuil Setan 
laksana di guncang gempa.
Tiga sosok tubuh yang saling lancarkan se-
rangan hebat dengan mengerahkan segenap ke-
saktian yang mereka miliki nampak tenggelam da-
lam kepulan pasir dan debu yang berterbangan di 
udara. 
Di salah satu sudut diluar tempat terjadi 
pertempuran hebat, Gento yang sempat ter-
huyung jadi gelengkan kepala, "Mereka rupanya 
sudah menjadi gila untuk membunuh hingga 
mengeluarkan seluruh kekuatan yang mereka mi-
liki!" gumam Gento. 
Bummm! Buuum!
Tak urung pemuda ini terpaksa jatuhkan 
diri sama rata dengan tanah ketika ledakan berdentum menggema di tempat itu. Satu jeritan ter-
dengar, namun suara jeritan seolah lenyap di tin-
dih suara gemuruh hebat akibat ledakan.

11


Beberapa saat kemudian ketika suara ge-
muruh lenyap, dan debu, batu yang bertaburan di 
udara juga sirna. Maka Gento dapat melihat satu 
lubang hitam menganga di samping halaman Kuil 
Setan. 
Tak jauh di depannya terlihat Iblis Racun 
Hijau tergeletak dalam keadaan terlentang. Seku-
jur tubuhnya yang hijau pucat kotor berselimut 
debu, tangan bengkak menggembung sedangkan 
kening benjol besar. Perut orang tua ini berkedut-
kedut, sedangkan nafas kembang kempis. Jauh di 
depan sana, di sebelah kiri Gento, Dwi Kemala Hi-
jau nampak terduduk. Sebagian pakaian di ba-
gian perut robek besar. Hingga terlihat kulit pe-
rutnya yang mulus kehijauan. Melihat darah yang 
mengalir dari mulut gadis ini, nampak jelas saat 
itu dia menderita luka dalam cukup parah.
Sedangkan tak jauh dari lubang besar aki-
bat ledakan terlihat satu sosok hitam hangus 
yang masih mengepulkan asap berbau busuk, 
menyengat. Itulah mayat Maut Tanpa Suara yang 
tewas akibat tak sanggup membendung pukulan 
yang dilancarkan kedua lawannya. Sekali lagi 
Gento gelengkan kepala.


Kini perhatiannya kembali tertuju ke arah 
Iblis Racun Hijau. Melihat keadaan orang tua itu 
kini dia tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh saat ini keadaan tubuhmu seper-
ti seorang bocah yang baru tercebur ke dalam air 
comberan. Paman Racun Hijau, kau mau terus 
rebahan disitu, apa perlu kutolong?!" tanya Gento 
disertai senyum mengejek.
"Bocah edan sial!" damprat Iblis Racun Hi-
jau. Dengan tertatih-tatih dan nafas megap-
megap orang tua yang sekujur tubuhnya berwar-
na hijau ini bangkit berdiri. "Keadaanku jadi tak 
karuan begini rupa, gara-gara menolongmu. Jika 
kau dan gadis itu kubiarkan sejak tadi kau sudah 
merat dari dunia ini. Aku... aku sendiri merasa 
tubuhku menjadi gerah. Aku harus kembali ke 
tempat asalku. Aku harus berendam di Telaga Hi-
jau," kata Iblis Racun Hijau. Dia lalu menoleh ke 
arah Ambini. "Gadis yang terluka itu harus ku-
bawa. Mungkin dia akan kuberi racun karena ob-
at mu kurang mujarab!"
Mendengar ucapan orang tua itu Gento 
tentu saja jadi kaget. Dia memandang pada Am-
bini dan Iblis Racun Hijau silih berganti "Paman 
Racun Hijau. Kau hendak membawa Ambini mau 
kau apakan rupanya dia?" tanya si pemuda. "La-
gipula urusan disini belum selesai. Ambini me-
mang sudah dapat kita selamatkan, tapi guruku 
entah dimana saat ini. Selain itu senjata Bintang 
Penebar Petaka juga masih belum ketahuan bera-
da di mana." ujar pemuda itu lagi.

Iblis Racun Hijau gelengkan kepala "Uru-
san senjata dan juga mengenai dirimu itu menjadi 
tanggung jawabmu sendiri. Aku terus terang saja 
tidak dapat berada di luar telaga Hijau lebih lama. 
Karena tubuhku bisa kering, jika kering aku jadi 
sulit bernafas. Bahkan tubuhku bisa meledak. 
Sekarang aku harus pergi, sampaikan salamku 
pada gurumu jika dia panjang umur. Tapi jika dia 
meninggal nanti pasti akan kukirim karangan 
bunga dan panggang ayam ke pusarannya! Nah 
bocah edan, selamat berjuang. Ha ha ha!" berkata 
begitu dengan kecepatan laksana kilat dia berke-
lebat menyambar Ambini.
"Hei, kodok.... apa-apaan ini....!" teriak 
Gento. Dia tidak tinggal diam. Dengan cepat pula 
pemuda ini menghalangi. Sayang kakinya terge-
lincir hingga membuatnya terjatuh. Ketika dia 
bangkit kembali dilihatnya Iblis Racun Hijau telah 
raib. Jauh di bagian lereng bukit sayup-sayup 
terdengar suara tawa Iblis Racun Hijau yang dis-
elingi oleh jerit Ambini yang memanggil-manggil 
nama Gento.
Dalam kebingungan pemuda ini hendak la-
kukan pengejaran. Tapi ketika dia hendak laksa-
nakan niatnya satu suara menegur.
"Biarkan saja gadis itu. Dia tak akan dis-
akiti oleh Iblis Racun Hijau!" kata satu suara. Ka-
get, Gento langsung menoleh. Kejutnya bukan ke-
palang ketika menyadari orang yang baru bicara 
tadi ternyata adalah Dwi Kemala Hijau.
"A... apa maksudmu? Apakah kau mau

mengajakku pelesiran? Aku pasti mau jika uru-
sanku telah selesai. Apalagi walaupun tubuhmu 
hijau tapi wajahmu secantik ini! Ha ha ha." kata 
Gento sambil tertawa terbahak-bahak 
"Gento, jaga kau punya mulut. Saat ini ada 
sesuatu yang amat penting ingin kubicarakan 
denganmu!" kata Dwi Kemala Hijau tegas. 
Baru saja murid kakek Gentong Ketawa 
hendak membuka mulut keluarkan ucapan. Pada 
saat itu secara tiba-tiba terdengar suara bergemu-
ruh hebat yang berasal dari bagian bawah perut 
bukit juga dari bagian dalam Kuil Setan. Bersa-
maan itu pula terdengar suara raungan aneh 
yang begitu keras menggeledek.
Kemudian terdengar suara ratap bercam-
pur amarah. "Jahanam terkutuk! Bintang Penebar 
Bencana raib, salah seorang murid jadi penghia-
nat dan satunya lagi tewas. Darahnya tertumpah 
membasahi puncak bukit. Kuil Setan tak dapat 
ku pertahankan keutuhannya. Aku akan gen-
tayangan. Semua orang yang mengusik ketenan-
ganku pasti kubunuh!" teriak suara itu.
Suara gemuruh makin bertambah menghe-
bat. Guncangan yang terjadi di puncak bukit ma-
kin menggila. Kuil Setan retak disana sini.
"Gento.... cepat kita menyingkir dari tempat 
ini. Tadi yang bicara itu adalah Iblis Berjubah Me-
rah.... dia adalah Yang Agung....!" teriak Dwi Ke-
mala Hijau. Wajahnya yang cantik itu jadi beru-
bah hijau pucat, mata mendelik memandang ke 
arah Kuil. Jelas sekali pada saat itu dia dilanda

ketegangan luar biasa 
"Lari... hendak lari kemana? Apakah ini 
yang namanya Kiamat?!" sahut Gento yang masih 
tercengang seolah tidak percaya.
"Sesuatu telah kita lakukan, darah pene-
rusnya telah tertumpah. Tempat ini segera mele-
dak!" teriak Dwi Kemala Hijau. Gadis ini kemu-
dian berlari ke arah Gento, menyambar tangan 
pemuda itu lalu bermaksud segera meninggalkan 
tempat itu. Akan tetapi di saat yang sama menda-
dak terjadi ledakan menggelegar laksana gunung 
meletus. Bukit meledak melontarkan apa saja 
yang ada di sekitarnya. 
"Akhh...!" Gento dan Dwi Kemala Hijau sa-
ma-sama berteriak ketika merasakan seakan ada 
satu tangan raksasa melontarkan mereka ke lan-
git kelam. Dalam gelap tubuh mereka entah ter-
campak ke mana. Sementara itu puncak bukit 
meledak, maka Kuil Setan juga ikut meledak dis-
ertai semburan api yang berasal dari bagian 
ruangan dalam kuil. Ledakan-ledakan keras terus 
terdengar mengiriskan hati yang mendengarnya. 
Bersamaan dengan meledaknya Kuil Setan, diba-
gian sebelah timur kuil dua sosok tubuh terpental 
di udara. Satu diantara dua sosok yang terlempar 
keluar dari dalam kuil itu yang satu berbadan 
gemuk besar luar biasa, sedangkan satunya lagi 
sangat pendek, kecil bukan main. Dua sosok ini 
kemudian melayang ke arah kegelapan dan le-
nyap bersama lenyapnya suara jeritan mereka. 
Sementara pada saat yang sama pula dekat pintu

kuil yang hancur menjadi puing-puing satu ca-
haya merah laksana api nampak melesat mening-
galkan Kuil yang hancur serta puncak bukit yang 
kini sudah sama rata dengan tanah. Cahaya me-
rah itu kemudian lenyap di sebelah timur bukit 
yang hancur.
Ledakan-ledakan keras masih terus ter-
dengar sesekali diselingi dengan suara lolong 
aneh serta pekik mengerikan seperti suara arwah 
gentayangan yang sedang menjalani penyiksaan 
yang hebat.
Malam terus berlalu, bulan sabit lenyap 
tenggelam di ufuk barat. Kuil Setan sudah tidak 
terlihat lagi. Hanya asap hitam mengepul, mem-
bubung tinggi ke angkasa menyambut datangnya 
sang fajar. 


                                -TAMAT-


NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
BIDADARI BIRU


0 komentar:

Posting Komentar