Jumat, 17 Januari 2025

RORO CENTIL EPISODE SETAN CEBOL PENYEBAR MAUT

matjenuh


SETAN CEBOL PENYEBAR MAUT
*Copyright naskah ini ditangan penerbit 
LOKAJAYA, hak cipta pengarang dilindungi 
undang-undang.
*Dilarang mengutip, tanpa seijin pener-
bit.
*Menterjemahkan karya ini dalam bahasa 
asing harus seijin penerbitnya tlebih da-
hulu.


1
PERTENGAHAN musim panas itu, tampak 
Puncak Merbabu keluarkan asap tipis yang men-
galun ke atas. Seolah tengah menjulurkan suk-
manya diantara mega yang bertebaran dilangit....
Pada sebuah lereng yang terjal, dimana di-
bawahnya mengalir sungai yang dalam, berliku-
liku diantara celah bukit dan lamping batu-batu 
terjal, yang penuh dengan pohon-pohon serta se-
mak belukar disekelilingnya... tampak satu pe-
mandangan yang membuat bangun bulu roma.
Sesosok makhluk yang masih bisa dikata-
kan manusia, walaupun sebenarnya apa yang 
tengah diperbuatnya sudah tak lazim lagi sebagai 
perbuatan manusia. Makhluk itu bertubuh kecil, 
atau cebol. Apa yang terlihat adalah hal yang 
amat mengerikan, karena ia tengah mengorek se-
suatu dari dalam tubuh seorang wanita yang isi 
perutnya telah terburai berantakan. Sementara 
seorang bayi mungil tergeletak di sisinya, dan 
tengah perdengarkan tangisannya. Namun tam-
paknya si orang kerdil itu sama sekali tak meng-
hiraukannya, cuma menoleh sejenak untuk ter-
tawa menyeringai. Sementara tangannya bekerja 
cepat untuk menarik sesuatu yang kemudian 
berhasil ditemukannya.
"Nah ini yang aku maui.... He he he...." 
Terdengar ia bicara sendiri, dan tertawa gelak-
gelak. Ternyata yang telah ditarik keluar dari isi

perut mayat wanita itu, adalah sebuah jantung 
dan hati. Yang selanjutnya segera sudah masuk 
ke dalam mulutnya, untuk segera dikunyah den-
gan mata merem melek. Tiba-tiba pada saat itu 
berkelebat sesosok tubuh tinggi besar yang per-
dengarkan tertawa berkakakan...
"Ha ha ha... ha ha ha... Setan Cebol! Agak-
nya kau sudah tak sabar untuk bersantap, se-
hingga dapat rezeki dimakan sendiri...!" Yang da-
tang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala 
botak. Bermuka mirip seperti wajah kanak-kanak. 
Tubuhnya tinggi besar. Dengan telinga yang lebar 
dan panjang. Pakaiannya mirip orang kedodoran. 
Karena baju dan celananya memang agak gom-
brong. Melihat adanya kemunculan orang ini, si 
mahluk kerdil itu cuma plengoskan wajah, seraya 
berkata :
"Eh, muka bengkak... Apa kau juga doyan 
makan jantung dan hati manusia...? Kalau me-
mang kau suka ambillah ini untukmu..!" Seraya 
berkata ia telah lemparkan bayi dihadapannya 
pada si tinggi besar yang dijulukinya si muka 
bengkak itu. Tentu saja ia jadi terkejut bukan 
main, karena lemparan itu adalah juga sebuah 
serangan yang dilancarkan terhadapnya.
"Aaaahh..!?" Si muka bocah ini perdengar-
kan teriakan kaget, untuk menangkap adalah tak 
mungkin. Untuk menyampok tubuh sang bayi itu 
juga ia tak tega, akhirnya ia cuma bisa elakkan 
diri.
Weesssss..!

Tubuh sang bayi itu meluncur deras ke be-
lakang, ketika dengan cepat si muka bocah 
menghindar dengan membungkukkan tubuh-
nya.... segera ia palingkan kepala untuk melihat 
ke arah belakang. Ia sudah dapat pastikan tubuh 
sang bayi itu akan remuk terbentur batang pohon 
atau terbentur batu. Namun pada saat yang amat 
mengerikan itu, telah berkelebat sesosok tubuh 
dibelakangnya untuk menangkapnya. Gerakan 
yang cepat itu kelanjutannya dibarengi dengan 
bersaltonya tubuh itu di udara... Dan detik beri-
kutnya disitu telah tegak berdiri seorang wanita 
yang keluarkan suara tertawa cekikikan. Semen-
tara pada pinggangnya tergantung sebuah benda 
dengan seutas rantai yang terbelit pada ping-
gangnya. Ternyata bandulan itu adalah sebuah 
besi hitam, yang besar dan bentuknya mirip den-
gan kerangka tengkorak kepala manusia.
"Hi hi hi... hi hi.... sayang-sayang seorang 
bayi yang manis seperti ini jadi bangkai tak ber-
guna. Siapa tahu ia bertulang baik, dan bisa nan-
ti kelak jadi muridku! Hi hi hi...." Tiba-tiba si 
pendatang yang aneh ini menatap sejenak pada si 
Setan Cebol yang masih asyik mengunyah tanpa 
memperdulikan keadaan di depannya. Hal ini 
membuat si wanita itu kerutkan alisnya, ketika 
terpandang pada sesosok tubuh wanita yang telah 
berantakan isi perutnya itu. Terdengar ia kelua-
rkan suara dengusan di hidung, seraya berkata :
"Hah..! Walaupun aku juga bukan wanita 
baik-baik. Tapi memandang kepada kaumku yang

diperlakukan demikian oleh seorang setan jelek, 
tentu saja membuat aku jadi sebal...! Apakah tak 
ada lagi makanan yang lebih enak dari hati dan 
jantung manusia.... ?" 
Sementara si tinggi besar bermuka bocah 
itu cepat berkelebat ke atas sebuah batu untuk 
segera duduk dengan angkat sebelah kakinya. 
Seperti juga telah mengetahui bakal adanya terja-
di suatu pertarungan seru, dan ia sudah siap-siap 
untuk menontonnya.... 
Mendengar ucapan yang bertanya dengan 
nada menyindir itu, serta terang-terangan untuk 
ungkapkan ketidak senangannya, si Setan Cebol 
tiba-tiba telah lemparkan sisa jantung dan hati 
itu pada si wanita, seraya membentak:
"Apa perdulimu dengan apa yang aku la-
kukan perempuan jalang...?" Tentu saja lemparan 
itu akan mengena, kalau saja si wanita itu tidak 
cepat menyampoknya. Yang segera gerakkan len-
gannya dengan cepat sehingga potongan hati dan 
jantung itu tahu-tahu meluncur ke arah si muka 
bocah yang tengah asyik angkat sebelah kaki di-
atas batu. Tenaga sampokan dari angin pukulan 
wanita itu ternyata sama kuatnya dengan tenaga 
lemparan dari si Setan Cebol. Karuan saja si mu-
ka bayi jadi kelabakan, karena ia tak menyangka 
kalau akan kena getahnya. Namun kali ini agak-
nya ia tak mengelak, bahkan monyongkan mulut-
nya untuk meniup ke arah datangnya serangan 
benda itu. Hebat tenaga tiupan si muka bocah, 
karena segera saja tenaga lemparannya agak


mengendur. Dan si muka bocah cepat menganga-
kan mulutnya... sehingga dengan tak mengalami 
kesukaran, potongan hati dan jantung itu telah 
masuk ke dalam mulutnya yang lobar. Saat beri-
kutnya ia sudah asyik meneruskan mengunyah 
dengan meram melek. Tentu saja hal itu membuat 
sepasang mata si wanita itu jadi mendelik.
Phuih! 
Ia segera mendengar suara si Setan Cebol 
yang telah bangkit berdiri menatapnya dengan 
menyeringai. Tampak ia melirikkan matanya pada 
si muka bocah yang tengah asyik mengunyah sisa 
santapannya.
"Eh, muka bengkak..! Rupanya nasibmu 
hari ini amat mujur. Masih kebagian juga sisa 
makanan enak itu. Apakah kau tidak berhasrat 
cari tambahan...? Mungkin juga bisa terlaksana 
tanpa jauh-jauh mencari! He he he..." Adalah 
aneh. Kalau tadi orang yang tinggi besar, berwa-
jah seperti seorang bayi atau bocah, sedangkan si 
orang kerdil yang dijuluki si Setan Cebol itu ada-
lah sebaliknya berwajah seperti orang tua, dengan 
tulang pelipis yang menonjol. Kumis dan jenggot-
nya cuma beberapa helai. Kepalanya ada tumbuh 
daging atau benjolan, tepat pada keningnya. Ber-
mata menonjol keluar. Deretan giginya terlihat 
runcing-runcing ketika menyeringai. Sedangkan 
rambutnya tegak berdiri bagaikan injuk, dengan 
tubuh bagian atas yang telanjang, hitam legam. 
Hanya selembar cawat yang dikenakannya.
"Kurang ajar. Kalian kira hati dan jantung

ku berharga murah...? Agaknya mulut kotormu 
perlu diberi hajaran..!" Dan sebentar saja Dewi 
Tengkorak telah loloskan senjatanya. Sementara 
dengan cepat ia telah menunda sang bayi diba-
wah pohon. Dan saat selanjutnya, benarlah seper-
ti apa yang telah diramalkan si muka bocah. Den-
gan berteriak keras, si wanita yang berpakaian 
memamerkan pahanya itu, sudah menerjang den-
gan senjatanya. Bersyiur bandulan besi mirip 
tengkorak kepala manusia itu, menghantam ke-
pala si Setan Cebol. Namun dengan senyum 
menghina ia telah berkelebat melesat, sehingga 
serangannya menemui tempat kosong. Gerakan si 
Setan Cebol memang amat cepat dan gesit. Na-
mun si wanita itupun bukan lawan enteng... Se-
hingga sebentar saja keduanya sudah saling ter-
jang untuk saling menjatuhkan lawan. Si wanita 
yang berpakaian seksi itu adalah yang dijuluki 
kaum persilatan sebagai si Dewi Tengkorak. En-
tah ada hubungan apa dengan si Dewa Tengkorak 
yang sudah pulang ke akherat terlebih dulu itu.
Tapi tampaknya ia ada memiliki beberapa 
jurus andalan si Dewa Tengkorak. Dilihat dari 
usia ia sudah mencapai hampir empat puluh ta-
hun. Namun masih memiliki kecantikan yang 
mengagumkan. Kepala tengkorak besi kembali 
menyambar... Si Setan Cebol jatuhkan tubuh ber-
gulingan. Sementara mulutnya tak henti hentinya 
mengejek.
"Jantung wanita yang sudah kawakan 
mungkin juga rasanya kurang memuaskan. Apa

lagi sudah sering berdebar, karena kebanyakan 
yang di gandrungi... He he he..!"
"Tutup mulutmu setan jelek! Aku toh tidak 
menggandrungi kau..!"
"Bagaimana kalau menggandrungi aku sa-
ja...?" Si muka bocah sudah lantas berteriak. Dan 
kata-katanya tidak sampai disitu...
"Aku lebih penuju dengan tubuhmu, ke-
timbang hati dan jantungmu, Dewi Tengkorak!" 
Wajah si Dewi Tengkorak tampak gerah, 
panas hatinya diejek demikian. Tiba-tiba saja ia 
telah lancarkan serangan ke arahnya. 
Dherr..!
Batu tempat ia duduk kena dihajar hancur, 
oleh senjata bandulan besi berkepala Tengkorak 
itu. Namun orangnya sudah mencelat pergi.
Buk..!
Satu hajaran keras dari serudukan kepala 
si Setan Cebol tepat menghantam punggungnya. 
Tak ampun lagi si Dewi Tengkorak terpekik ngeri 
dan jatuh bergulingan. Namun percuma ia dijulu-
ki si Dewi Tengkorak. Karena sambil bergulingan 
ia telah hantam tubuh si Setan Cebol, yang baru 
saja menggelinding, dengan senjatanya...
Krak..! Batang pohon itu kena dihajar han-
cur. Masih untung bukan batok kepala si Setan 
Cebol. Namun pada detik itu si Setan Cebol sudah 
lompat menjauh, karena pohon besar itu telah 
tumbang dengan suara yang berisik. Kalau si De-
wi Tengkorak tak segera bergulingan, iapun su-
dah pasti kena kejatuhan pohon yang dihantam

nya sendiri itu. Namun ia harus mengakui ketele-
dorannya, karena terpancing oleh kata-kata eje-
kan si Muka Bocah, hingga ia tak dapat menge-
lakkan srudukan kepala si Setan Cebol yang de-
mikian keras.... Untung saja ia telah menyalurkan 
tenaga dalamnya pada punggungnya. Hingga da-
pat menahan terjangan hebat itu dengan tidak 
begitu membahayakan. Namun ia jadi terkesiap, 
ketika mengetahui bayi yang ia letakkan dibawah 
pohon itu, telah tak dapat diselamatkan lagi.
Dalam keadaan ia terpaku itulah si Muka 
Bocah tiba-tiba telah berkelebat, dan gerakkan 
tangannya untuk menotok si Dewi Tengkorak. 
Hingga tubuhnya benar-benar jadi terpaku tanpa 
dapat bergerak.
"Keparat kau..!?" Mulutnya memaki, na-
mun ia sudah tak berdaya lagi.
"He he he... he he he... Bagus! bagus sobat 
muka bengkak..! Biar aku yang korek jantungnya 
untuk kau..!" Sambil berkata ia telah gerakkan 
tangannya ke arah perut si Dewi Tengkorak. 
Celaka! Matilah aku hari ini...! Memekik 
hati si Dewi Tengkorak. Ia sudah pejamkan mata 
menunggu kematian. Tapi pada detik itu sudah 
terdengar teriakan si Muka Bocah.
"Tunggu..! Tak baik kita pakai cara itu pa-
da kawan sendiri...!" Terpaksa si Setan Cebol 
urungkan niatnya. Bergidik ngeri si Dewi Tengko-
rak, seandainya jari-jari tangan si Setan Cebol itu 
yang bagaikan cakar iblis, dengan kuku yang 
panjang-panjang itu mencengkeram kulit perut

nya.... Sudah pasti akan terburai isi perutnya. Di-
am-diam ia bersyukur pada si Muka Bocah itu, 
yang ia ketahui berjulukan si Iblis Tertawa itu 
yang telah membatalkan niat kejinya. Walaupun 
ia mengetahui totokan pada dirinya juga si Iblis 
Tertawa itu pula yang melakukannya. Tampak si 
Iblis tertawa bisikkan kata-kata pada si Setan Ce-
bol, tentu saja dengan membungkukkan tubuh-
nya. Si manusia kerdil ini kerutkan keningnya, 
hingga benjolan pada dahinya itu terlihat ikut 
naik ke atas. Tapi sebentar kemudian ia men-
gangguk-angguk sambil tersenyum yang tak enak 
dilihat. Saat berikutnya si Iblis tertawa telah pon-
dong tubuh si Dewi Tengkorak untuk dibawa per-
gi. Namun baru saja si Setan Cebol mau gerakkan 
tubuh untuk mengikuti, tiba-tiba ia teringat akan 
korban yang dibawanya. Yaitu seorang bayi, yang 
seingatnya tadi diletakkan oleh si Dewi Tengkorak 
dibawah pohon.
"Walah...? Sudah tergencet pohon tum-
bang..." Berkata ia sendirian, dan segera berkele-
bat ke sana. Masih untung rupanya sang bayi itu 
tidak sampai remuk. Namun ternyata benar su-
dah tak bernyawa lagi, ketika ia menariknya ke-
luar dari sela-sela dahan pohon. Agak kecewa si 
Setan Cebol, namun agaknya masih bisa diman-
faatkan. Tiba-tiba saja kelima jari tangannya itu 
telah ia gerakkan untuk segera saja sudah terbe-
nam pada ubun-ubun sang korban. Dan dengan 
tertawa iblis ia telah hirup dan sedot cairan putih 
itu dengan rakus. Bahkan cairan yang melekat

pada kelima jari tangannya itu pun ia bersihkan 
dengan lidahnya. Benar-benar ia bukan manusia. 
Walaupun tubuhnya berujud manusia. Baru saja 
ia melemparkan mayat yang mengerikan dari 
sang bayi itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan 
hebat dari belakangnya.
"Iblis keji...'" Dan serangkum angin ber-
syiur dibelakang kepalanya... Itulah serangan dari 
seorang laki-laki bertubuh kekar. Yang telah me-
nerjangnya dengan sebuah kapak yang cukup be-
sar, bergagang panjang. Namun dengan mengge-
lindingkan tubuhnya, si Satan Cebol telah meng-
hindari serangan maut itu.
Crak..!
Mata kapak amblas menghunjam ke tanah. 
Namun sekejap sudah kembali terangkat, untuk 
siap menerjang lagi. Si Setan Cebol yang tingginya 
hanya separuh tubuh manusia itu, segera dapat 
lihat orang yang menerjangnya:
"He..? Siapakah kau! Datang-datang me-
nyerang orang... Apakah kau mau mengantarkan 
nyawamu..?!"
"Iblis Keparat...! Kau memang bukan ma-
nusia. Kau culik dan kau bunuh anak isteriku, 
apakah ada alasan kalau aku akan mencincang-
mu sampai lumat..?" Tiba-tiba dengan berteriak 
santar ia telah kembali menerjang dengan samba-
ran kapaknya. Tampak berkelebat kilatan cahaya 
dari benda itu yang menyambar kepala si Setan 
Cebol. Namun kembali tubuh kerdil itu mengge-
lundung dengan gesit, ke arah samping yang su

dah diterjang lagi dengan sambaran kapak beri-
kutnya. Ternyata si laki-laki itupun memiliki ke-
lincahan dalam bertarung. Gerakan kapaknya 
berseliweran mengejar kemana arah tubuh si Se-
tan Cebol menggelinding dan berkelebat. Percuma 
ia dijuluki si Kapak Sakti dari lereng Merbabu. 
Laki-laki ini tengah berada di Padepokan Cemara 
Kandang. Dimana sang guru yang bernama gelar 
Ki Reksa Permana tengah berembuk mengenai 
beberapa kejadian yang didengarnya akhir-akhir 
ini.... Ketika tiba-tiba seorang penduduk desa 
Sentul dimana ia berdiam, tampak terlihat berla-
ri-lari mendatangi Padepokan. Dan dengan dian-
tar oleh seorang murid, telah segera menghadap 
pada Ki Reksa Permana. Tentu saja yang terkejut 
adalah Jatmiko si Kapak Sakti. Karena yang dila-
porkan adalah mengenai keluarganya. Kejadian 
itu adalah beberapa saat sepeninggalnya. Dengan 
rasa terkejut luar biasa ia menerima yang ditu-
turkan penduduk desa Sentul itu, bahwa istri dan 
anaknya diculik oleh sesosok makhluk bertubuh 
kerdil.
Ia segera dapat menduga bahwa makhluk 
itu adalah si Setan Cebol. Yang ia tengah run-
dingkan oleh sang Guru Ki Reksa Permana, ten-
tang kemunculannya di sekitar daerah gunung 
Merbabu, dengan beberapa murid utama dari Pa-
depokan Cemara Kandang. Ki Reksa Permana 
tampak terkejut. Namun sebelum ia memberi pe-
ringatan akan berbahayanya menghadapi si Setan 
Cebol yang bergentayangan itu, Jatmiko alias si

Kapak Sakti telah berkelebat untuk segera berlari 
ke arah desa Sentul. Betapa ia mengkhawatirkan 
keselamatan anak dan istrinya. Kemarahannya 
tak terkendalikan lagi. Begitu sampai kerumah-
nya ia cuma mendapati orang-orang yang tengah 
berkerumun mendengarkan cerita dari beberapa 
orang yang mengetahui.
Demikianlah, dengan petunjuk salah seo-
rang penduduk yang mengetahui kemana arah si 
makhluk Cebol itu pergi... Jatmiko segera mela-
cak kemana jejak si penculik. Hingga akhirnya ia 
dapat menemukannya. Yang hampir saja ia ter-
lambat, karena baru saja si Setan Cebol mau be-
rangkat pergi. Melihat sesosok tubuh tergeletak 
dengan keadaan yang amat mengerikan, Jatmiko 
sudah mengenali bahwa itu adalah tubuh is-
trinya. Dan dilihatnya sesosok tubuh kerdil ten-
gah menghisap cairan putih dari ubun-ubun ke-
pala seorang bayi, dan baru saja dilemparkannya. 
Terkesiap bukan main Jatmiko. Dengan beringas 
ia telah menerjang si iblis kerdil itu, hingga terja-
dilah pertarungan yang seru. Kemarahannya yang 
meluap-luap, karena melihat kesadisan iblis Ce-
bol itu membuat ia menerjang dengan membabi-
buta....
Satu teriakan dari kejauhan terdengar 
memperingati laki-laki ini, namun sudah terlam-
bat. Karena disaat itu satu serudukan kepala si 
Setan Cebol, telah membuat ia jatuh terlentang... 
Dan pada saat itu pula sepasang lengan si Setan 
Cebol dengan kesepuluh jari-jarinya, telah menancap pada perutnya. Terdengar pekikan menge-
rikan dari si Kapak Sakti, ketika dengan sekali 
sentakan isi perut laki-laki itu terburai keluar. 
Tampak tubuh Jatmiko berkelojotan bagai ayam 
yang disembelih... dan sesaat kemudian diam un-
tuk selama-lamanya. Kapak Sakti tewas seketika 
dengan keadaan yang mengerikan.
"Iblis keji...!" 
"Biadab...!" Terdengar dua teriakan dengan 
berbareng. Dan pada detik itu juga dua tubuh te-
lah berkelebat menerjang dengan pedang terhu-
nus. Kedua sambaran pedang itu menabas tubuh, 
dan mengarah punggung.... Namun si Setan Cebol 
sudah balikkan tubuh untuk menangkis dengan 
tubuh sang korban. Tak ampun lagi tubuh si Ka-
pak Sakti terpapas putus jadi dua bagian. Adapun 
yang seorang segera dapat menahan serangannya.
"Keparat... Kau... kau...?! Terbeliak mata si 
pemuda yang menerjangnya. Dan melompat 
mundur tiga tindak. Sementara si Setan Cebol 
tertawa berkakakkan melihat kedua orang diha-
dapannya, seraya berkata :
"Bagus...! Agaknya kalian juga mau men-
gantar nyawa siang-siang dengan berdatangan 
kemari...? Ha ha ha... Kalian cari penyakit sendi-
ri...!" Namun pada saat itu pula terdengar suara 
dibelakang kedua murid dari Padepokan Cemara 
Kandang ini....
"Minggirlah kalian murid-muridku...!" Ter-
nyata yang datang adalah Ki Reksa Permana sen-
diri, sang Guru mereka. Segera saja kedua murid

ini melompat mundur. Sementara si Setan Cebol 
yang melihat kemunculan seorang lelaki tua ber-
jubah putih, dengan wajahnya yang menampilkan 
kewibawaan, telah melangkah ke arahnya.
"Hm... Andakah yang bergelar si Setan Ce-
bol itu?" Bertanya Ki Reksa Permana dengan me-
natap tajam pada mahkluk cebol yang juga ten-
gah mendelik ke arahnya.
"Heh, kalau sudah tahu aku si Setan Cebol, 
mengapa masih bertanya pula..?"
Melengak Ki Reksa Permana mendengar 
jawaban itu. Namun ia masih berusaha terse-
nyum sambil berkata :
"Rasanya memang tidak keliru ucapan an-
da... Tapi anda telah keliru karena mempunyai 
kepandaian tinggi hanya untuk mengumbar nafsu 
membunuh! Apakah tak ada ilmu lain yang lebih 
baik dari pada ilmu membunuh orang dengan 
tindak semena-mena?" Tampak si Setan Cebol 
mendengus mendengar kata-kata itu.
"Aku memang membutuhkan hati dan jan-
tung manusia untuk kekuatan tubuhku, juga aku 
menyukainya sebagai santapanku..! Apakah da-
pat disalahkan kalau aku membunuh untuk 
itu...?" Pertanyaan itu memang aneh, seolah-olah 
pendapatnya adalah benar. Membuat Ki Reksa 
menjadi kerutkan alisnya. Ia sadar bahwa ia ten-
gah berhadapan dengan orang yang sudah tak 
punya lagi rasa peri kemanusiaan. Entah siapa 
yang mendidik manusia Cebol ini untuk berbuat 
yang tak lumrah dengan manusia itu..? Berfikir Ki

Reksa Permana. Sementara ia sudah dengar te-
riakan dari kedua muridnya...
"Guru..! Manusia iblis ini bukan lagi ma-
nusia! Biarkan kami mencincangnya!" Namun 
sang Guru angkat sebelah tangannya untuk men-
cegah. Dan berkata pada si Setan Cebol:
"Sobat! Bolehkah aku tahu asal-usulmu 
hingga anda dapat melakukan perbuatan yang 
kami anggap keji itu..?" Tapi pertanyaan Ki Reksa 
Permana hanya dijawab dengan bentakan gusar...
"Heh..! Apa perdulimu dengan segala asal-
usul diriku..? Mau kau anggap keji atau tidak aku 
tak mau tahu. Yang penting apa yang kuperbuat 
adalah tak ada seorangpun yang berhak mela-
rangnya..!" Agaknya kata-kata itu sudah tak da-
pat membuat Ki Reksa Permana menahan diri la-
gi. Dengan berteriak keras ia sudah lakukan han-
taman telapak tangannya pada si Setan Cebol. 
"Kalau begitu kau harus dilenyapkan dari muka 
bumi ini..!" Bentaknya. Dan serangkum angin 
yang dahsyat telah menerjang si Setan Cebol, 
yang segera pergunakan kelincahannya untuk 
menghindar.
"Bagus..! Hayo suruh maju kedua muridmu 
itu, biar kuhabisi sekalian..!" Berteriak si Setan 
Cebol dengan berkelebat menghindar. Pada saat 
itu berkelebat sesosok tubuh ke arah si Setan Ce-
bol, dibarengi bentakan "Manusia Iblis macam be-
gini memang patut dilenyapkan..!" Dan sebuah 
tombak panjang telah menghantam tepat batok 
kepala si Setan Cebol. Terjangan mendadak yang


dilancarkan orang yang belum diketahui siapa 
adanya itu memang tepat mengenai sasarannya. 
Tampak si Setan Cebol terlempar bergulingan. 
Namun alangkah kagetnya si penyerang yang ter-
nyata adalah seorang wanita berumur delapan be-
las atau sembilan belas tahun itu, karena dengan 
tak mengalami cidera sedikitpun makhluk kerdil 
itu telah bangkit lagi sambil memandang si pe-
nyerang.
" Anakku... Pulanglah..! Jangan kau cari 
penyakit. Dia bukan lawanmu... Biar ayah yang 
menghadapinya..!" Berkata Ki Reksa Permana. 
Namun si gadis berbaju kuning itu cuma menja-
wab kata-kata ayahnya dengan serius :
"Apakah aku dapat berdiam diri melihat ib-
lis yang mau membunuh ayahku..? Tidak! Biar-
kan aku turut bertarung mengadu nyawa..!" Dan 
kata-katanya sudah dibarengi dengan teriakan 
keras, yang kemudian ia kembali menerjang den-
gan tombaknya. Melihat kemunculan sang gadis 
puteri Guru mereka, kedua orang murid utama Ki 
Reksa Permana sudah segera melompat untuk tu-
rut membantu. Dan sebentar saja telah terdengar 
teriakan-teriakan santar dari keduanya. Baru saja 
si Setan Cebol mengelak dari serangan tombak 
sang gadis, sudah datang serangan pedang dari 
kedua pemuda itu. Namun dengan mendengus si 
makhluk kerdil itu segera berkelebat untuk 
menghindari mata pedang... Tiba-tiba saja tubuh 
si Setan Cebol telah berada di belakang salah seo-
rang dari pemuda itu. Ia baru menggerakkan tangannya untuk mencengkeram punggung, segera 
sebuah serangan tombak menyambar kepalanya 
yang dilancarkan oleh si gadis. Segera ia urung-
kan niatnya, dan berbalik menyambar ujung tom-
bak... Dilain saat tubuh si gadis sudah terlempar 
ke udara dengan teriakan tertahan. Karena tena-
ga yang kuat dari si Setan Cebol, yang telah hen-
takkan ujung tombak itu, hingga akibatnya ceka-
lan pada senjatanya terlepas... Dan melayanglah 
tubuh si gadis ke udara. Beruntung sang ayah se-
gera menyambuti tubuh puterinya. Namun pada 
saat itu terdengar dua teriakan sekaligus... tam-
paklah kejadian yang mengerikan terpampang 
dimata Ki Reksa Permana, karena kedua lengan si 
Setan Cebol telah menjebol isi perut kedua orang 
muridnya. Dan saat selanjutnya kedua tubuh 
sang murid telah terlempar ke arahnya dengan isi 
perut berhamburan....
Bruk! Brug! Kedua tubuh itu jatuh kebumi, 
dan sesaat menggeliat-geliat... namun sekejap 
kemudian telah tak berkutik lagi. Karena kedua-
nya segera tewas. Terbeliak sepasang mata Ki 
Reksa Permana, dan sang gadis puterinya. Tiba-
tiba ia telah keluarkan bentakan pada puterinya :
"Sumirah..! Kau adalah anakku satu-
satunya. Tiada lagi harapanku selain kau..! Kalau 
kau sayang pada ayahmu, pergilah cepat, tinggal-
kan tempat ini..!" Namun jawaban sang gadis 
yang sepasang matanya telah bersimbah air mata 
itu, benar-benar membuat ia melengak...
"Tidak ayah..! Biarlah kita mati bersama..!

Aku tak dapat meninggalkan ayah seorang diri 
untuk menemui kematian!" Dan gadis ini telah 
mencabut sepasang Trisula dari belakang pung-
gungnya. Dengan sepasang mata berapi-api ia te-
lah berusaha menahan jatuhnya air mata mena-
tap tajam pada si Setan Cebol.
"Bodoh..!? Ayahmu belum tentu mati. Ka-
lau toh harus menemui ajalnya, masih ada kau 
yang akan dapat membalaskan dendam ini ke-
lak..! Apakah keluarga kita harus tumpas semua 
di tangan si iblis Cebol itu..?!" Berbisik sang ayah, 
namun dengan nada membentak.
"Cepatlah berangkat pergi sebelum terlam-
bat..!" Perintah sang ayah. Tampak si gadis ber-
nama Sumirah itu gertak gigi menahan geram, 
dan kepedihan hatinya. Kedua pemuda itu wa-
laupun hanya murid ayahnya, namun telah se-
perti saudara sendiri. Dan amat akrab dengan-
nya. Kini mereka telah tewas. Dan ayah akan 
menghadapi si Setan Cebol yang telengas dan 
berkepandaian tinggi itu? Tak tega rasanya ia 
membiarkan ayahnya menempur sang iblis sendi-
rian. Namun ia sudah terpaksa melangkahkan 
kakinya, ketika dengan mengibaskan jubahnya 
sang ayah telah mendorong tubuhnya tiga tindak.
Sesaat setelah ia menatap si Setan Cebol 
dengan sorot mata mengandung dendam, ia sege-
ra balikkan tubuh untuk berlalu... Masih terden-
gar suara ayahnya sesaat sebelum ia bertindak.
"Ingat, anakku Sumirah..! Jangan kau me-
nampakkan diri. Pergilah jauh, sampai kau temukan tempat yang aman. Bila aku berhasil me-
numpasnya, aku pasti akan mencarimu..!" Sang 
gadis hanya anggukkan kepala, dan dengan me-
nekan segala perasaannya ia telah berkelebat per-
gi. Terdengar si Setan Cebol tertawa berkakakan. 
Dan ujarnya :
"Ha ha ha ... Anakmu itu lebih baik ditukar 
saja dengan nyawamu, orang tua. Aku agak penu-
ju dengan wajahnya. Jangan kau khawatirkan 
akan kumakan hati dan jantungnya. Kalau ia da-
pat menjadi istriku. Bukankah dengan memungut 
mantu orang yang hebat macam aku, namamu 
kelak akan lebih terkenal, dan ditakuti orang..? 
Ha ha ha..."
"Tutup mulut busukmu iblis Cebol..! Siang-
siang aku mau mengampunimu, tak dinyana ma-
lah kau inginkan kematianmu! Siapa sudi ber-
mantukan iblis macam kau..?!" Membentak Ki 
Reksa Permana. Sengaja ia keluarkan kata-kata 
gertakan, untuk menahan getaran jantungnya. 
Karena ia maklum orang yang dihadapinya adalah 
seorang tokoh golongan hitam yang amat keji dan 
telengas. Ilmu kepandaiannya sudah dapat diper-
kirakan diatas ilmu kepandaiannya. Namun seba-
gai seorang yang sudah kawakan, adalah tidak 
mungkin memperlihatkan kelemahan hatinya. 
Mendengar sesumbar sang lawan, si Setan Cebol 
tampak merah mukanya. Sepasang alisnya naik 
ke atas berikut benjolan pada dahinya. Tiba-tiba 
ia sudah menggerung keras bagai suara mengge-
ramnya sang macan, atau harimau. Dan detik berikutnya ia sudah menerjang terlebih dulu dengan 
sepasang lengan terbentang menampakkan sepa-
sang cakar yang siap untuk mencengkeram... 
Ki Reksa Permana sekonyong-konyong te-
lah loloskan jubahnya, dan dengan gerakan tak 
kalah cepat, telah lemparkan pada si Setan Cebol, 
sambil elakkan diri ke samping. Sekejap saja tu-
buh si Setan Cebol telah lenyap terbungkus oleh 
jubah itu. Pada saat tubuh sang lawan yang den-
gan gelagapan itu meluncur ke bawah, ia telah ge-
rakkan telapak tangan untuk menghantamnya. 
Buk..!
Tak ampun lagi tubuh si makhluk yang 
terbungkus itu telah terlempar menggelinding be-
berapa tombak. Dan dengan gerakan cepat ia te-
lah mengejar ke sana. Satu hantaman lagi ia 
arahkan pada si Setan Kerdil itu, yang telah terle-
pas dari bungkusan jubah itu, yang jadi hancur 
terkena pukulan dahsyat Ki Reksa Permana. Na-
mun diluar dugaan, si Setan Cebol dapat meng-
hindari serangan kedua dengan bergulingan dan 
mencelat dengan cepat. Dan sesaat kemudian te-
lah berdiri lagi dengan sepasang kakinya yang 
tampak kuat mencengkram tanah.
Gila..!? Apakah tubuh manusia iblis ini 
terbuat dari karet...?! Sentak hati Ki Reksa Per-
mana. Karena jangankan luka dalam, atau seti-
dak-tidaknya remuk salah satu bagian tubuh-
nya... Namun cedera sedikitpun tidak. Hal terse-
but tentu saja membuat wajah Ki Reksa Permana 
jadi pucat pias. Lebih dari separuh tenaga dalam

yang ia pergunakan untuk menghantam tubuh 
sang lawan, dengan harapan akan dapat menum-
pasnya dengan cepat. Ternyata tak membawa ha-
sil. Bahkan si Setan Cebol tampak masih segar-
bugar dengan tertawa menyeringai...
"Ha ha ha... ha ha... Percuma kau pergu-
nakan akal lihaimu untuk menjatuhkan aku. Ka-
rena berkat hati dan jantung manusia, telah 
membuat tubuhku menjadi kebal!" Dan saat beri-
kutnya ia telah kembali menerjang dengan berin-
gas. Namun kali ini ia mempergunakan tipuan se-
rangan. Sehingga Ki Reksa Permana kelebatkan 
tubuhnya kian-kemari menghindari serangan-
serangan kosong yang dipergunakan untuk men-
cari kelengahan lawan. Hal itu membuat Ki Reksa 
Permana tiba-tiba berseru keras. Dan melesat 
tinggi beberapa tombak, untuk menjauh. Ketika 
turun ke bumi lagi, ia telah cabut senjatanya. Yai-
tu sebuah pedang tipis yang ia belitkan pada 
pinggangnya. Senjata inilah yang telah mengang-
kat namanya sebagai seorang yang terkenal bebe-
rapa puluh tahun yang silam. Memandang pada 
senjata lawan, tampak si makhluk cebol ini ke-
rutkan alisnya.
"Hm, kaukah yang bergelar si Pedang Sakti 
Bermata Delapan...?" Bertanya ia dengan suara 
santar.
"Kalau bukan aku, siapa lagi...? Lebih baik 
kau serahkan jiwamu Setan Cebol. Atau kau akan 
rasai ketajaman pedang ini...? Walaupun kulitmu 
sekeras baja, tak nantinya kalau tak dapat mengoyak kulit kepalamu..!" Ki Reksa Permana kelua-
rkan gertakannya. Namun lagi-lagi ia cuma men-
dengus dan berkata dengan nada jumawa... "Ba-
gus..! Tidak usah jauh-jauh aku mencari orang 
yang telah membunuh saudara seperguruanku, 
dan mencelakai guruku... Akhirnya sudah datang 
sendiri didepan mata." 
Terkejut juga Ki Reksa Permana. Dengan 
heran ia sudah lantas bertanya :
"Siapa Gurumu, dan siapakah saudara se-
perguruanmu itu..!" Sambil bertanya diam-diam 
ia bersyukur, akhirnya akan dapat mengetahui 
riwayat si manusia kebal ini. Dan diam-diam ia 
telah salurkan tenaga dalamnya pada gagang pe-
dang, hingga terlihat mata pedang berubah me-
rah.
"Ha ha ha... ha ha... jauh-jauh guruku su-
dah persiapkan satu ilmu yang dapat menandingi 
kehebatan ilmu pedang bermata delapan yang 
kau miliki. Hilangnya kedua belah kaki, dan se-
pasang mata beliau kiranya akan tertebus hari 
ini! Apakah kau belum juga menyadari ketelenga-
sanmu belasan tahun yang silam..?" Berkata si 
Setan Cebol dengan mata memerah, yang pancar-
kan sinar berkilatan. Tampak si Pendekar Pedang 
Sakti Bermata Delapan alias Ki Reksa Permana, 
kerutkan alisnya seperti tengah mengingat peris-
tiwa yang telah lalu itu. Tiba-tiba tampak ia ber-
kata seperti menggumam...
"Apakah dia si Sepasang Mata Iblis...?" 
tampak Ki Reksa Permana agak berubah pucat

wajahnya. Akan tetapi si Setan Cebol telah terta-
wa menyeringai dan berkata :
"Ha ha ha... Tidak salah terkaanmu, Pen-
dekar tua bangka. Pernahkah kau melihat seo-
rang budak hitam yang waktu itu berumur sepu-
luh tahun, dan tengah berlari ketakutan melihat 
Gurunya yang terluka parah, dan seorang kakak 
seperguruannya tewas oleh pedang mautmu 
itu...?" Tercenung sejenak Ki Reksa Permana... Ki-
sah puluhan tahun yang silam itu tentu saja ma-
sih terbayang dibenaknya.
2
SI SEPASANG MATA IBLIS itu sebenarnya 
adalah sahabatnya sendiri... Sayang, ternyata di-
am-diam sang sahabat itu, yang telah dianggap-
nya sebagai saudaranya sendiri. Bahkan berbalik 
menjadi musuhnya, gara-gara ia telah memaksa 
mengajak main serong pada istrinya. Saat itu ia 
tengah pergi berdagang, yang memakan waktu 
dua pekan. Reksa Permana tak menaruh curiga 
pada orang yang telah dianggapnya saudara sen-
diri itu. Apa lagi si Sepasang Mata Iblis yang wak-
tu itu belumlah bergelar demikian, adalah seo-
rang yang ramah tamah, dan amat sopan serta 
menghormatinya. Hingga terjalin kecocokan dian-
tara mereka. Hingga tak segan-segan Reksa Per-
mana mengangkatnya sebagai saudara. Keper-
giannya berdagang, tidak membuat ia bercuriga

sama sekali, hingga ia ada berpesan agar dapat 
menjaga sang kakak perempuan, bila terjadi se-
suatu dirumah. Tak dinyana sekembalinya dari 
pergi berdagang, ia dapati istrinya tengah menan-
gis tak henti-hentinya dengan mata yang sembab. 
Terkejut bukan buatan Reksa Permana, mengeta-
hui bahwa Sugriwo sang saudara angkat telah 
memaksa sang istri untuk berbuat tidak senonoh 
dengannya. Bahkan mengancam akan membu-
nuh istrinya bila berani mengadu pada Reksa 
Permana. Tak alang kepalang marahnya Reksa 
Permana, segera ia mencari kemana perginya Su-
griwo... Namun Sugriwo telah angkat kaki dari 
rumah itu dan pergi tak diketahui dimana rim-
banya.
Untuk menghilangkan rasa malu, terpaksa 
Reksa Permana meninggalkan desanya, dan pergi 
hijrah ke daerah lain. Dengan dendam yang amat 
luar biasa teramat di dadanya... Beberapa tahun 
berselang lahirlah puterinya, yang diberinya nama 
Sumirah. Tak disangka ancaman Sugriwo benar-
benar dibuktikan. Ketika menjelang anaknya be-
rusia lima tahun. Terjadi lagi hal serupa disaat ia 
sedang tak ada dirumah. Sugriwo mengulangi 
perbuatannya. Sumirah dijadikan sandera agar ia 
dapat melampiaskan nafsu bejatnya. Sementara 
sang pembantu dikunci mulutnya dengan mem-
berikannya sejumlah uang. Kemarahan Sugriwo 
pada istrinya, yang diungkapkan pada sang pem-
bantu adalah, karena sang istri telah mengatakan 
bahwa ia telah mengadukan hal itu pada sua

minya. Pertengkaran pun terjadi... Dan saat itu-
lah Sugriwo dengan kejam telah membunuh sang 
ibu dari seorang bocah perempuan, yang masih 
mengharapkan belas kasihnya.
Reksa Permana hanya dapat menjumpai 
jenazah sang istri yang telah dikebumikan. Beta-
pa hancur luluh perasaannya mendapat cobaan 
hidup yang demikian tragisnya. Apalagi si kecil 
yang amat disayanginya itupun telah dibawa pergi 
oleh Sugriwo entah kemana rimbanya. Reksa 
Permana malang melintang tak tentu tujuan. 
Dengan pedang tipisnya ia mengembara kemana-
mana. Ternyata disamping mencari jejak Sugriwo, 
Reksa Permana juga telah pergunakan kepan-
daiannya untuk menolong kaum tertindas dari 
cengkeraman golongan-golongan yang perguna-
kan kekuasaannya dengan sewenang-wenang... 
Banyak dari tokoh-tokoh jahat yang telah ia tum-
pas. Hingga sebentar saja telah terdengar keha-
ruman namanya sebagai seorang Pendekar Pem-
bela Kebenaran, yang dijuluki Si Pendekar Pedang 
Sakti Bermata Delapan.
Berita tentang kemunculan seorang tokoh 
hitam yang berjulukan si Mata Iblis, yang telah 
bertindak diluar perikemanusiaan. Disamping 
merampok harta benda penduduk, membunuh 
juga pemerkosa gadis-gadis... Telah mengundang 
kemarahannya untuk mencarinya. Akhirnya ia 
dapat menjumpai sarang tokoh jahat itu, setelah 
sekian lama menyelidiki jejaknya...

• • •
Kemarahannya yang pertama adalah meli-
hat adanya seorang bocah kecil berusia antara 10 
tahun, tengah berusaha membujuk seorang bo-
cah perempuan yang masih berusia di bawah 
umur, yaitu sekitar enam tujuh tahun untuk di-
lakukan dengan tidak senonoh. Yang kemudian 
terjadilah kekerasan. Karena si bocah yang beru-
mur 10 tahun itu telah bertindak menghajar si 
gadis cilik itu untuk menuruti perbuatannya. 
Reksa Permana terkejut bukan alang kepalang, 
karena ia mengetahui si gadis cilik itu adalah pu-
trinya sendiri, alias Sumirah... Yang tengah dica-
rinya sekian lama. Tanpa pikir panjang, pedang-
nya telah berkelebat menabas batang leher si bo-
cah itu, hingga tewas seketika. Saat itulah mun-
cul si Mata Iblis... yang ternyata telah membuat-
nya terkejut, karena si Mata Iblis itu tak lain dari 
Sugriwo adanya.
Pertarungan pun terjadi, hingga ia berhasil 
menabas putus kedua belah kaki Sugriwo. Karena 
dendamnya yang teramat sangat, Reksa Permana 
telah pula membutakan kedua matanya.... Pada 
saat itulah ia melihat seorang bocah hitam yang 
berlari ketakutan.. yang ternyata tak lain dari si 
Setan Cebol ini, yang pada waktu itu ia masih be-
rusia 10 tahun. Kiranya ia murid si Mata Iblis, 
yang telah berhasil dipecundangi. Sengaja ia tak 
membunuh orang tak berdaya. Karena dengan

demikian ia bisa puas telah membalas sakit ha-
tinya.
Sekelebat ingatan pada puluhan tahun 
yang silam itu telah lenyap seketika begitu Reksa 
Permana mendengar bentakan hebat dari si Setan 
Cebol. Yang dengan kecepatan kilat, telah mener-
jang ke arahnya... Ki Reksa Permana memang te-
lah siap dengan pedang tipisnya. Yang telah me-
merah bagai bara untuk segera menabas, bersi-
utan ke arah si Setan Cebol. Hebat gerakan si 
makhluk kecil yang berkulit hitam itu.
Terjangan itu adalah suatu gerak tipu be-
laka. Dengan gesit ia telah putar tubuh untuk 
mengelilingi Ki Reksa Permana, bagaikan bayan-
gan hitam yang berkelebatan kian kemari. Semen-
tara pedang sakti bermata delapan itu, benar-
benar bermata delapan... Karena terus mengejar 
ke arah mana tubuh si Setan Cebol berkelebat. 
Dari kejauhan yang tampak bayangan putih dan 
hitam saja yang berkelebatan saling terjang... Ki 
Reksa Permana memang masih mengenakan pa-
kaian putih yang singsat, dibalik jubahnya yang 
telah ia lemparkan untuk menyerang si Setan Ce-
bol. Kira-kira sepuluh jurus sudah Ki Reksa Per-
mana menggunakan ilmu pedangnya yang lihai 
itu, tiba-tiba ia telah merobah gerakannya. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap terbungkus bayangan pu-
tih. Membuat si Setan Cebol terkejut seketika. 
Hingga ia agak lamban bergerak. Dan pada saat 
itulah delapan mata pedang tipis itu telah melun-
cur mengarah mata, leher dan dada. Kecepatan

tak terduga yang dilancarkan Ki Reksa Permana 
adalah salah satu jurus ampuh dari ilmu pedang-
nya. Terdengar si Setan Cebol keluarkan teriakan 
tertahan. Ia cepat gulingkan tubuhnya dengan 
cepat... namun tak urung pedang tipis itu telah 
menggores dadanya. Dengan melempar tubuhnya 
bergulingan beberapa tombak, ia segera bangkit 
berdiri lagi. Tampak ia menyeringai menahan pe-
rih pada goresan didadanya yang mengucurkan 
darah. Terasa panas dan perih. Disamping terke-
jut, karena kulit tubuhnya yang kebal itu, ternya-
ta benar-benar dapat dilukai oleh pedang tipis Ki 
Reksa Permana.
***
Sementara kita beralih dulu pada lain hal... 
yaitu kemana dibawa perginya si Dewi Tengkorak 
yang telah tertotok itu, oleh si muka bocah yang 
bergelar Iblis Tertawa... Dengan tertawa senang si
tinggi besar memondong wanita yang sudah tak 
berdaya itu berkelebat melompati tebing-tebing 
terjal. Selang kira-kira semakanan nasi, ia telah 
menghentikan larinya. Dan tampak melompat ke 
sisi air terjun dilereng gunung. 
Daerah sekitar tempat itu memang tampak 
menyeramkan. Karena belasan ekor buaya tam-
pak bergentayangan di sungai yang mengalir dis-
ekitarnya, pada sebelah depan air terjun itu. Me-
mang dihadapan lereng itu terdapat rawa yang 
luas, yang menyatu dengan air sungai. Dengan

melompati batu-batu berlumut, ia tiba disebelah 
belakang air terjun itu. Yang ternyata ada sebuah 
ruangan goa, yang tak terlihat dari luar. Agaknya 
disinilah tempat persembunyian atau sarang si 
Setan Cebol dan si Iblis Tertawa... Segera ia su-
dah geletakkan si Dewi Tengkorak diatas balai-
balai bambu. Sementara sepasang mata wanita 
itu tampak melotot tajam menatap laki-laki ber-
tubuh tinggi besar itu.
"Apa yang kau mau lakukan.. muka ban-
ci..?" Berkata si Dewi Tengkorak, dengan nada 
gusar. Si Iblis Tertawa cuma mendengus menden-
garnya, dan tersenyum penuh kemenangan.
"He he he... he he... Apapun yang akan aku 
lakukan adalah sudah bukan urusanmu lagi. Bu-
kankah seorang tawanan hanya dapat mandah 
saja diperlakukan apapun. Kecuali kau dapat me-
lepaskan totokanku yang hebat itu, silahkan kau 
loloskan diri dari tanganku...!" Sambil berkata 
demikian lengan si Iblis Tertawa telah menyelu-
sup ke semak belukar di ujung lamping bukit ba-
tu yang tampak halus memukau itu. Si Dewi 
Tengkorak berusaha menggerakkan tubuhnya un-
tuk bangkit, dengan wajah merah... namun ter-
nyata untuk bergerak memutar tubuh saja terasa 
sulit.
"He he he... Sudahlah! Tak usah berlagak 
jadi perawan pingitan. Apakah begini kekarnya 
tubuhku masih kau ragukan untuk bertarung 
denganmu..? Kujamin kau akan mencariku se-
panjang pekan untuk kau ajak bertarung lagi. He

he he..." Tiba-tiba sebelah lengan si Iblis Tertawa 
telah bergerak menyelusup ke saku bajunya. Se-
buah tabung kecil telah ia keluarkan, dan tuang 
isinya di telapak tangan. Tampak lagi-lagi sepa-
sang mata si Dewi Tengkorak terbeliak menatap 
ke arah si Iblis Tertawa. "Apa lagi yang kau mau 
lakukan. Berkata si Dewi Tengkorak dengan 
naikkan alisnya ke atas. Dua butir pel telah ia si-
sakan diatas telapak tangannya. Sedang yang 
lainnya kembali ia masukkan pada bumbung ke-
cil itu, dan masukkan lagi pada saku bajunya. 
Begitu selesai... tahu-tahu sebelah tangannya te-
lah bergerak cepat memencet mulut si Dewi Teng-
korak, hingga ternganga. Wanita ini berusaha me-
lepaskan diri dengan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Namun ia sama sekali tak mampu berkutik 
lagi. Hingga ketika pel ditangan si Iblis Tertawa 
dijejalkan dalam mulutnya ia tak mampu untuk 
menolaknya. Ditambah dengan hembusan yang 
bercampur air liur dari mulut si muka bocah itu. 
Membuat kedua butir pel yang dijejalkan itu sege-
ra masuk ke dalam tenggorokannya... Dan seke-
jap ia sudah melepaskan lagi cekalannya.
"He he he... Itu adalah pel racun, yang ker-
janya amat lambat. Namun dalam jangka waktu 
satu bulan, segera kau akan menemui kema-
tian...!" Berkata si Iblis Tertawa dengan suara di-
tekan.
"Hah..!? Kau mau aku mati, mengapa tak 
kau bunuh aku dengan seketika..?" Namun kem-
bali si Muka Bocah ini tertawa gelak-gelak.

"Macam kau ini mana mungkin aku mem-
bunuh dengan sekejap. Apa kau kira nyalimu be-
gitu hebat untuk menantang kematian..? Kau 
masih menyayangi nikmatnya hidup di dunia, 
mana kau tega meninggalkannya..?" Menyahuti si 
Iblis Tertawa. Diam-diam si Dewi Tengkorak juga 
membenarkan kata-kata itu. Siapa yang mau mati 
siang-siang..? Pikirnya. Ia cuma menggertak saja. 
Walaupun hatinya kebat-kebit. Sementara si Iblis 
Tertawa sudah berkata lagi :
"Kalau kau mau obat pemunahnya, tentu 
saja kau tak berkeberatan untuk memberikan 
imbalan padaku. He he he..."
"Dasar iblis, ya tetap iblis..!" Memaki si 
Dewi Tengkorak, dengan plototkan matanya. "Kau 
yang telah beri aku racun, kini aku yang suruh 
berikan imbalannya? Benar-benar kau seorang 
yang paling licik...!" Lanjut kata-katanya.
"Itulah kelebihan dari seorang iblis sema-
cam aku. Tapi itu tak seberapa dibandingkan si 
Setan Cebol. Dia bukan saja inginkan tubuhmu, 
tapi bisa-bisa jantung dan hatimupun akan diin-
gininya pula!" Meringkuk juga bulu tengkuk si 
Dewi Tengkorak, mendengarnya. Walaupun tadi 
ia telah berani menyombong namun pada kenya-
taannya ia telah kena dipecundangi oleh kedua 
manusia yang saling berkawan itu. Terpaksa ia 
cuma mandah saja akan apa yang diperbuat si Ib-
lis Tertawa terhadap dirinya. Segera sudah terasa 
sesuatu yang bergerak untuk membuka tirai-tirai 
penghalang. Dan selanjutnya ia sudah rasakan


sebuah beban yang berat menindih tubuhnya... 
yang membuat ia megap-megap hampir tak bisa 
bernapas... Sementara dibalik air terjun itu ter-
dengar dengusan liar, dan rintih yang sayup-
sayup tersamar dengan suara gemericiknya air 
yang mengalir... 
Sementara di lain tempat, terdengar suara 
isak tangis seorang wanita, yang lari jatuh ban-
gun meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Di-
alah Sumirah adanya... Yang berlari dengan 
membawa kepedihan hati yang tak terkira. Betapa 
tidak. Karena ia harus membiarkan kematian seo-
rang ayah yang amat dicintainya. Entah mengapa
ia sudah menduga demikian? Karena detak jan-
tungnya sudah terasa, dan firasat buruk itu su-
dah menghantui benaknya. Ia amat yakin sang 
ayah, yaitu Ki Reksa Permana tak akan dapat me-
lawan keganasan si Setan Cebol.
Sepasang Trisulanya masih tergenggam di-
kedua kepalan tangannya. Namun senjata itu 
adalah senjata yang tak berarti lagi. Karena tak 
dapat dipergunakan untuk menempur musuhnya. 
Rambutnya yang terurai panjang itu berkibaran 
terkena derasnya hempasan angin.. karena ia te-
lah berlari... dan berlari dengan sekencang-
kencangnya untuk pergi sejauh-jauhnya. Napas-
nya sudah terasa tersengal-sengal, namun ia ma-
sih juga berlari. Yang terkadang ia harus sekejap 
ia sudah bangkit lagi untuk segera meneruskan 
larinya. Hingga akhirnya tanpa ia ketahui kakinya

telah menginjak tempat kosong... Terkesiap ia se-
ketika memandang apa yang ada dihadapannya... 
Namun sudah terlambat, karena sekejap saja tu-
buh sang gadis telah terjungkal jatuh, untuk se-
gera melayang ke dasar jurang yang amat dalam... 
Pekik ngeri segera terdengar mengoyak kehenin-
gan, menyibak kelengangan... yang kemudian su-
ara teriakan itupun sesaat kemudian telah kem-
bali lenyap. Hanya desahan angin yang semilir 
menyibak rumput alang-alang di pinggir jurang...
"Aiiiiiiih..!?" Terdengar satu teriakan diba-
wah jurang yang terjal itu, dan sesosok tubuh 
berkelebat cepat untuk segera menyangga jatuh-
nya tubuh sang gadis... Dan selamatlah ia dari 
kematian. Yang sudah dipastikan tubuh gadis itu, 
akan hancur remuk tulang-tulangnya. Karena di-
bawah jurang yang terjal itu batu-batu lancip ten-
gah menantinya. Namun sang gadis sudah tak 
mengetahui keadaan dirinya lagi, karena ia telah 
tak sadarkan diri lagi.
Entah berapa saat ia pingsan, dan ketika ia 
siuman, didapati dirinya telah berada dalam se-
buah kamar yang bersih dan terang. Segera ia 
mau bergerak untuk bangkit... namun kembali ia 
rebahkan tubuhnya, karena dirasakannya tubuh-
nya lenyap tak bertenaga.
Dimanakah aku..? Berfikir sang gadis. Se-
mentara benaknya segera mengingat-ingat akan 
apa yang telah terjadi pada dirinya. Kakinya telah 
menginjak tempat kosong, ketika ia tengah berlari 
dengan tak melihat jalan lagi. Dan masih terlihat

olehnya jurang curam yang terbentang dibawah-
nya ketika dengan deras ia melayang jatuh... Dan 
selanjutnya ia sudah tak ingat apa-apa lagi. Keti-
ka itulah beberapa wanita yang cantik-cantik 
dengan dandanan yang amat menyolok terlihat 
mendatangi dari pintu kamar.
"Ah, sayang-sayang... Gadis secantik ini 
mengapa sampai mau bunuh diri..?" Berkata sa-
lah seorang yang tampak cukup cantik. Dengan 
suara yang terdengar merdu sambil menatap pa-
danya.
"Benar..! Dunia kan tidak sedaun kelor. Ka-
lau patah hati cari saja gantinya..." Menimpali 
yang seorang lagi. Yang dandanannya kelewatan 
hingga sampai hampir seluruh payudaranya terli-
hat. Sedangkan bagian bawahnya memakai gaun 
yang menyibak sampai ke atas, hingga tersingkap 
betis dan pahanya... Sementara yang dua orang 
lagi tampak memandanginya seperti tengah mene-
liti wajah orang. Akan tetapi pada saat itu terden-
gar suara dari arah pintu...
"Setan-setan kuntilanak...! Siapa yang su-
ruh kalian masuk ke dalam kamar..?" Dan selan-
jutnya telah muncul dipintu seorang wanita se-
tengah tua yang juga berdandan dengan pupur 
dan bedak tebal. Tiga buah kalung permata yang 
gemerlapan tampak tergantung dilehernya. Tu-
buhnya agak jangkung, dengan alis melengkung. 
Mengenakan pakaian yang ketat berwarna kun-
ing. Rambutnya tersanggul rapi ke atas. Dan se-
buah tusuk konde dari emas terselip pada sang

gulnya. Melihat kedatangan wanita ini, segera 
wanita-wanita yang lainnya segera bungkukan 
tubuh dengan hormat, dan tampak takut. Dan 
saat berikutnya satu-persatu segera beranjak ke-
luar...
"Maaf adik...! Mereka tentu mengganggu-
mu. Syukurlah kau sudah siuman. Tahukah kau, 
bahwa sudah beberapa waktu hingga sampai hari 
ini menjelang malam begini, kau baru sadarkan 
diri...?" Berkata si wanita dengan senyum yang 
ramah tamah. Tentu saja hal itu membuat si ga-
dis bernama Sumirah itu jadi kerutkan alisnya. 
Tahulah ia bahwa wanita dihadapannya inilah 
yang telah menyelamatkan jiwanya... Segera saja 
ia kuatkan tubuh untuk bangkit duduk, namun si 
wanita telah menahannya, seraya berkata...
"Janganlah kau banyak bergerak dulu, 
adik..! Kau baru saja mengalami goncangan pada 
jantungmu. Beristirahatlah dulu. Sebentar aku 
akan bawakan kau bubur nasi yang hangat. Kau 
makanlah nanti. Baru kita bercakap-cakap..!" 
Sumirah pandang wajah orang dihadapannya itu 
dengan tatapan penuh rasa terima-kasih. 
"Kakakkah yang telah menolongku...?" 
Berkata si gadis dengan suara lemah. Si wanita 
itu menatapnya sambil anggukan kepalanya.
"Te... terima kasih atas pertolonganmu 
kak..." Ucapnya dengan memaksa bibirnya untuk 
tersenyum. Wanita itu anggukkan kepalanya 
sambil membalas dengan senyuman manis. Tera-
sa begitu akrab dan tulus, terlihat oleh sang gadis. Namun ia tak mengetahui siapa sebenarnya 
wanita itu. Karena yang ia ketahui adalah si wani-
ta itu berkepandaian tinggi, dan telah selamatkan 
jiwanya dari kematian...
3
SENJA baru saja berlalu... Alam terasa 
agak tenang, karena tak ada tanda-tanda mau tu-
run hujan. Walaupun angin gunung terasa semilir 
menerpa tubuh. Sepotong bulan tampak men-
gambang di langit. Cukup untuk menerangi jalan 
yang dilalui seorang gadis berambut panjang te-
rurai, yang melangkah dengan gontai... Sejak sen-
ja tadi ia baru angkat tubuhnya untuk bangkit 
berdiri dari duduknya, diatas batu itu. Terasa le-
mah sekali tubuhnya, karena baru saja ia selesai 
sore tadi menguburkan beberapa jenazah ditem-
pat itu. Jenazah yang ditemuinya dalam keadaan 
mengerikan. Tak sampai hatinya untuk membiar-
kan tubuh-tubuh yang berserakan ditempat itu 
untuk dimakan binatang buas. Gadis berambut 
panjang itu tak lain dari Roro Centil. Kedatan-
gannya ke tempat itu adalah secara kebetulan sa-
ja, disamping mau menjelajahi sekitar daerah gu-
nung Merbabu, yang konon kabarnya ada dihuni 
oleh sesosok mahkluk Cebol, yang gentayangan 
mencari mangsa...
Memang sejak berita dari beberapa desa 
yang disinggahinya, berita itu tampaknya bukan

lah berita bohong. Karena selalu ada terdengar 
pembicaraan orang mengenai adanya mahkluk 
Cebol yang datang untuk menyebar maut. Seba-
hagian penduduk ada yang berpendapat sosok 
tubuh kerdil yang pernah dijumpainya, adalah 
sebangsa siluman jahat. Yang gentayangan men-
curi bayi dan membunuh wanita... Hal yang amat 
ganjil itu membuat Roro Centil berhasrat untuk 
menyelidiki. Kenyataan itu benar-benar terjadi di-
depan matanya. Ketika ia mendengar suara orang 
bertempur dengan hebat diatas lamping bukit ter-
jal. Namun ia terlambat datang, sehingga hanya 
menjumpai sesosok tubuh yang baru saja berke-
lojotan meregang nyawa. Keadaannya amat men-
gerikan. Karena isi perutnya telah terburai ke-
luar... Ia hanya sempat melihat sesosok tubuh 
kerdil yang hitam berkelebat lenyap dari lamping 
bukit itu. Tak ada kesempatan ia untuk mengejar, 
karena segera memburu ke arah orang yang ter-
kapar meregang nyawa itu. Ternyata itulah tubuh 
Ki Reksa Permana. Kiranya pertarungan diatas 
tebing terjal itu berakhir dengan kematiannya. 
Yaitu disaat si Setan Cebol terluka kena goresan 
pedang tipis Ki Reksa Permana, telah membuat si 
Setan Cebol gusar bukan main.... Tiba-tiba ter-
dengar ia berteriak keras. Kedua lengannya tiba-
tiba telah digerakkan dengan cepat sekali sehing-
ga tampak oleh Ki Reksa Permana, lengan si Se-
tan Cebol telah berubah menjadi berpuluh-puluh. 
Sambil mengelilingi lawannya, si Setan Cebol te-
lah mengeluarkan ilmu sihirnya yang mempengaruhi mata sang lawan hingga yang tampak oleh Ki 
Reksa Permana adalah tubuh si Setan Cebol telah 
berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Hal itu 
tampaknya membuat Ki Reksa Permana terke-
siap. Segera ia pusatkan ilmu bathin untuk me-
lawan pandangan mata tipuan itu. Pedang tipis 
segera ia gerakkan memutar bagai baling-baling 
melindungi tubuhnya. Dengan suara yang bersi-
utan segera menerjang untuk menabas kiri dan 
kanan. Sehingga lemahlah tenaganya karena te-
rus-terusan berkelebatan ke arah sekelilingnya. 
Namun yang kena ditebas adalah hanya bayangan 
belaka... Hingga lama-kelamaan pandangan ma-
tanya mulai mengabur. Pada saat itulah si Setan 
Cebol dengan satu terjangan kilat telah berhasil 
membuat tubuhnya terjungkal kena hantaman 
srudukan kepala pada perutnya. Terlemparlah 
pedang tipisnya... Dan dilain kejap ia telah per-
dengarkan teriakan mengerikan, karena sepasang 
cakar si Setan Cebol telah terhunjam pada perut-
nya, yang langsung disentakkan. Hingga terburai-
lah isi perut si Pendekar Pedang Sakti Bermata 
Delapan. Terdengar suara tertawa si Setan Cebol 
yang berkakakan, dan sekejap ia sudah berkele-
bat pergi dan lenyap... Pada saat itulah muncul 
Roro Centil yang segera memburunya. Namun 
sudah terlambat. Luka parah yang telah membu-
raikan isi perutnya itu, membuat sang Pendekar 
yang sudah kawakan itu tak dapat memperta-
hankan nyawanya lagi. Dan tewaslah ia dihada-
pan Roro Centil yang hanya dapat menyaksikan

kematiannya...
Kini dengan melangkah gontai ia tinggal-
kan tempat itu. Sementara terlihat pada ping-
gangnya terbelit pedang tipis milik Ki Reksa Per-
mana yang ia temui disela-sela batu. Sedangkan 
senjata si Rantai Genit hanya terlihat ujungnya 
saja, pada kedua sisi pinggangnya. Karena tertu-
tup oleh bajunya.
"Aku harus segera mencari tempat tinggal 
Ki Reksa Permana untuk memberikan pedang pu-
saka ini pada puterinya yang bernama Sumirah 
itu..!" Setelah merenung sejak tadi, rupanya Roro 
Centil baru teringat yang pernah berjumpa den-
gan Ki Reksa Permana. Bahkan sempat pula ber-
tarung beberapa jurus dengan si Pendekar Pedang 
Sakti Bermata Delapan itu, akibat salah faham... 
Yang nyaris saja Roro Centil mati konyol karena 
diserang oleh beberapa prajurit Kerajaan Medang 
yang berilmu tinggi.
Namun akhirnya setelah segalanya menjadi 
beres. Ia dapat berkenalan dengan si Pendekar 
Pedang Bermata Delapan yang bernama Ki Reksa 
Permana. Dan bahkan sempat pula si Pendekar 
Tua itu menceritakan kisah hidupnya. Tentu saja 
kematian Tokoh yang dikagumi itu telah mem-
buat Roro Centil jadi bersedih... Ternyata terlalu 
banyak manusia keji yang selalu membuat keri-
cuhan di alam kehidupan ini...
4

KEJADIAN beberapa bulan yang lalu itu ia-
lah ketika iring-iringan kereta kuda dari Wono 
Segoro yang membawa upeti menuju ke Kerajaan 
Medang telah dibegal oleh seorang perampok wa-
nita yang berkepandaian tinggi. Wanita itu me-
makai cadar diwajahnya sehingga tak dikenali... 
beberapa pengawal pengawal kereta kuda yang 
membawa upeti dari Bupati Wono Segoro itu jadi 
terkejut melihat sesosok tubuh meloncat ke da-
lam kereta yang tengah dikawalnya dari jarak be-
berapa belas tombak dari mereka. Karena menga-
lami kesulitan jalan, terpaksa mereka mengambil 
jalan memutar. Tak dinyana ditempat yang sunyi 
mencekam itu telah dihadang oleh beberapa 
orang begal. Tiga orang pengawal dibagian depan 
segera lakukan pertarungan. Sementara dibagian 
tengah ternyata lebih berbahaya, karena benda-
benda berharga atau upeti itu berada dikereta 
yang berada ditengah. Empat orang pengawal 
menjerit roboh, ketika senjata-senjata rahasia 
mengenai tepat pada jantungnya... Dan sesosok 
tubuh yang dikenalinya adalah seorang wanita, 
telah melompat ke atas kereta untuk segera 
menggondol beberapa buntalan berisikan sepeti 
uang dan perhiasan kiriman dari Bupati Wono 
Segoro. Empat penunggang kuda yang melihat ke-
jadian itu dari belakang kereta, segera lakukan 
pengejaran...
"Berhenti keparat..!" Teriak salah seorang 
dari mereka. Dan dengan cepat mengejar dengan

kudanya. Sementara tiga pengawal lainnya segera 
berpencar untuk mengurung si pembegal.
Terdengar ringkikkan kuda sang pengawal 
yang segera roboh terkena senjata rahasia si wa-
nita misterius itu. Namun si penunggangnya da-
pat menyelamatkan diri, dengan melompat cepat. 
Dan dengan tombak siap ditangan ia sudah akan 
segera menerjang si pembegal. Melihat itu tiga 
orang pengawal lainnya segera turun dari ku-
danya untuk segera bantu mengepungnya. Meli-
hat dirinya sudah terkepung sedemikian rupa, 
tampaknya si pembegal itu tak menjadi ciut nya-
linya. Segera saja keempat pengawal menerjang 
dengan senjata masing-masing. Dua orang meng-
gunakan pedang, sedang dua orang lagi memper-
gunakan tombak. Hebat ternyata gerakan wanita 
bercadar itu, dengan gerakan lincah ia segera 
berkelebat kian kemari untuk menghindar.
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan masih 
sempat ia lontarkan, sementara sebelah lengan-
nya telah bergerak untuk melakukan serangan 
dengan senjata-senjata rahasianya. Namun 
keempat pengawal ini adalah pengawal-pengawal 
pilihan. Dengan segera telah menyampok mental 
senjata-senjata rahasia itu dengan memutarkan 
pedangnya. Sementara yang terkena hantaman 
telapak tangannya terjungkal beberapa tombak, 
tampak ia agak menyeringai kesakitan. Namun 
masih dapat untuk kembali bangkit. Dan kembali 
raih tombaknya yang terlempar. Terjadilah serang

dan terjang dari keempat pengawal dan si pem-
begal wanita itu. Sementara itu ketiga pengawal 
yang berada didepannya tampaknya agak kewala-
han, karena kelima begal laki-laki yang mereka 
hadapi ternyata adalah bukan begal-begal pici-
san... Namun walau demikian mereka berhasil ju-
ga membunuh tewas seorang begal. Seorang pen-
gawal terpaksa lepaskan senjatanya karena terlu-
ka pada pergelangan tangannya. Dua pengawal 
terkejut, segera mempergencar serangan... Namun 
empat begal itu bukanlah tandingannya. Tombak 
dan pedang mereka terlepas karena masing-
masing terluka oleh golok dan blencong yang te-
rus-menerus mencecarnya. Keduanya segera me-
lompat mundur... Pada saat itulah salah seorang 
dari pengawal yang terluka telah melompat ke 
atas kudanya untuk segera memacunya dengan 
cepat. Sedang kedua kawannya yang terluka sege-
ra berlari ke belakang untuk membantu menye-
lamatkan upeti. Namun sudah terlambat, karena 
sudah sejak tadi upeti berharga itu lenyap. Dan 
mereka hanya menjumpai empat pengawal yang 
sudah tergeletak tewas. Dan dikejauhan ia meli-
hat adanya pertarungan hebat dari keempat pen-
gawal yang berada dibelakang kereta dengan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi. Dalam keadaan 
yang tak terduga keempat orang pembegal itu te-
lah menerjang ke atas kereta...
"Keparat..! Sudah ada yang menggondol-
nya..!?" Berteriak salah seorang. Kemarahannya 
beralih pada si dua pengawal itu. Yang kembali

mereka gempur dengan terjangan golok dan blen-
cong. Hingga akhirnya kedua orang pengawal itu 
perdengarkan teriakan ngeri ketika senjata-
senjata dari para begal itu menebas dada dan 
menggorok leher. Kiranya perampokan itu dilaku-
kan oleh orang-orang yang tidak saling kenal. Yai-
tu kelompok pembegal dan si wanita bercadar itu, 
yang mengambil keuntungan lebih cepat, disaat 
terjadinya pertarungan. Kelima begal itu adalah 
yang dijuluki si Lima Iblis Gentayangan. Yang 
terkenal amat kejam, dan berkepandaian tinggi. 
Melihat seorang wanita bercadar yang telah ber-
hasil menggondol barang upeti itu, dan tengah 
bertarung dengan serunya dengan keempat pen-
gawal. Segera saja ia turun tangan membantu. 
Beruntunglah si wanita bercadar itu sehingga ia 
dapat bernapas lega. Segera ia sudah sambar ke-
dua buntalan rampasannya, sambil berkata :
"Lima Iblis Gentayangan...! Jangan khawa-
tir, aku akan selamatkan benda upeti ini dulu. 
Nanti aku akan kembali untuk membantu kalian 
melenyapkan kacung-kacung Bupati ini...! Hi hi 
hi..." Dan sesaat kemudian ia telah berkelebat 
menerobos dari kepungan keempat pengawal, 
yang jadi terkesiap seraya berteriak salah seo-
rang... "Setan betina! Tinggalkan barang itu..!"
Plak!
Sebuah lemparan tombak telah berhasil ia
halau dengan kibasan lengannya, dan tanpa me-
noleh lagi ia sudah melesat kabur. Akan halnya si 
keempat pembegal itu tak ada jalan lain selain

menerjang keempat pengawal itu. Dan terjadilah 
pertarungan seimbang, yaitu empat lawan empat. 
Namun keempat pengawal karena mengkhawatir-
kan keselamatan barang upeti itu, jadi kurang 
bergairah untuk bertarung, sehingga tampak ter-
desak.
Dengan menarik napas lega si wanita ber-
cadar itu berkelebat cepat untuk mencari tempat 
yang aman, bagi barang upeti rampasannya itu. 
Agaknya ia tak terlalu tamak untuk mengangkan-
gi sendiri. Segera saja ia telah mendapatkan tem-
pat persembunyian yang aman. Dibalik sebong-
kah batu besar yang tertutup rumpun bambu 
yang hanya satu-satunya rumpun bambu yang 
terdapat disitu, ia segera sembunyikan kedua 
buntalan benda berharga itu. Terdengar ia meng-
gumam :
"Tempat ini mudah di ingat..! Biarlah aku 
menolong membantu si Lima Iblis Gentayangan 
itu. Mereka bisa diajak kerja sama, untuk mem-
begal lagi dilain saat..!" Akan tetapi baru saja ia 
balikkan tubuh, terkejutlah ia karena dihadapan-
nya telah berdiri seorang gadis cantik dengan 
rambut terurai panjang. Seuntai kalung berukiran 
huruf " R " pada bandulannya yang berbentuk ha-
ti, tampak tergantung di lehernya yang jenjang. 
Sepasang matanya yang bak bintang kejora, terli-
hat menatap padanya dengan tatapan tajam.
"Siapa kau..!" Bertanya si wanita bercadar 
dengan suara bentakan. Namun yang ditanya 
dengan dibentak begitu rupa, malah tertawa geli

sekali membuat si wanita bercadar jadi terpaku 
heran.
"Hi hi hi... hi hi... Dari kecil sampai begini 
dewasa baru aku lihat ada pencuri yang malah 
membentak petugas keamanan... Apakah tidak 
salah..?" Berkata di gadis berbaju hijau yang tak 
lain adalah Roro Centil. Mendengar balasan kata-
kata itu tentu saja membuat si wanita bercadar 
jadi melengak.
"Kalau begitu kau harus mampus..!" Ben-
tak si wanita bercadar, yang tak mau mengulur 
waktu, dan segera menerjangnya. Dua hantaman 
yang ia lancarkan hampir bersamaan itu adalah 
sebuah jurus yang mematikan. Satu mengarah 
tenggorokan, dan satu lagi mengarah dada.
"Jurus yang bagus..!" Teriak Roro Centil. 
Dan ia hanya gunakan ujung rambutnya menge-
prak datangnya sambaran tangan ke arah tenggo-
rokan dengan gerakkan kepala ke arah samping. 
Sedangkan sambaran ke arah dadanya ia biarkan, 
sengaja ia menguji kekuatan tenaga lawan.
Buk! Prak!
Terdengar hantaman pada Roro Centil, 
namun akibatnya si wanita bercadar perdengar-
kan teriakan kaget. Tubuhnya terpental ke bela-
kang beberapa tombak. Terasa ia telah memukul 
benda keras, yang menolak balik pukulan tan-
gannya. Sedangkan keprakkan ujung rambut Ro-
ro, tak sempat ia mengelakkannya. Sehingga 
tampak ia meringis menahan pedasnya jari-jari 
tangannya, yang menampakkan guratan-guratan

merah. "Edan..! Sebutkan siapa namamu sebelum 
aku bertindak lebih jauh. Kau kira si Walet Ken-
cana akan membiarkan kau turut campur uru-
sanku..?" 
Roro Centil naikkan alisnya dengan juma-
wa, sambil menggendong tangannya ke belakang 
ia sudah lantas berkata :
"Siapakah Walet Kencana itu..? Paling-
paling begitu melihatku ia sudah segera bertekuk 
lutut. Apakah kau muridnya..?"
"Hm, kau belum rasai kelihaian ilmu-
ilmuku, sudah mau menyombong. Tak perlu gu-
ruku yang datang. Aku si Elang Alap-alap masih 
mampu memindahkan nyawamu ke alam Akhi-
rat..! Menggertak si wanita bercadar itu. Kembali 
Roro Centil mengikik tertawa seraya berkata :
"Hi hi hi... Memang nyawaku sudah sering 
pulang pergi ke Akhirat, mengapa harus payah-
payah kau mau memindahkan...?" Dan setelah 
kembali mengikik geli Roro sudah menyambung-
nya lagi :
"Baiklah aku beri tahu namaku... Apa kau 
belum dengar nama Roro Centil? Nah itulah 
aku..!" Berkata Roro sambil tersenyum. Agaknya 
nama yang barusan itu pernah juga didengarnya. 
Namun belum pernah lihat orangnya. Mengetahui 
orang yang dihadapannya itu adalah si Pendekar 
Wanita Pantai Selatan, tampak si wanita bercadar 
mendengus dan berkata tajam.
"Huh! Rupanya seorang gadis yang masih 
ingusan saja..! Rupanya orang terlalu menggem

bar-gemborkan namamu yang berjulukan si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan itu terlalu melebih-
lebihkan saja. Bagus...! Aku mau rasai keheba-
tanmu, sobat..!" Selanjutnya ia telah perdengar-
kan teriakan keras, dan berkelebat menerjang 
dengan serentetan pukulan, yang menggelombang 
bagaikan air bah, tanpa memberi kesempatan se-
dikitpun untuk Roro Centil berdiam sejenak. Na-
mun dengan tertawa-tawa sang lawan bahkan 
menari-nari dihadapannya, dengan gerakan yang 
mempesona. Tapi alangkah terkejutnya si Elang 
Alap-alap, mengetahui setiap hantaman pukulan-
nya telah dapat terelakkan. Hingga tiba-tiba ia 
berteriak keras untuk merubah gerakannya. Kali 
ini sepasang kakinya bergerak menyambar ke 
arah dada dan perut. Dibarengi dengan hantaman 
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam 
penuh. 
Wus ! Wus!
Dua terjangan kaki dan tangan lolos dari 
sasaran. Terpaksa ia pergunakan senjata rahasia 
andalannya untuk menyerang lawan. Berhambu-
ranlah belasan paku-paku beracun menyerang 
Roro. Yang cukup terkejut, karena serangan men-
dadak itu dibarengi dengan gerakan pukulan tan-
gan menyilang, dan terjangan tipuan ke arah 
samping. Sehingga ketika ia melompat kekanan, 
saat itulah paku-paku beracun si Elang Alap-alap 
meluruk deras ke arah delapan bagian tubuhnya. 
Roro Centil berteriak keras... dan tiba-tiba telah 
gerakkan sepasang lengannya untuk menyampok

jatuh beberapa paku beracun itu. Namun tak 
urung dua paku beracun kena juga menancap 
pada kakinya. Segera ia melompat mundur. Se-
mentara si wanita bercadar itu tersenyum sinis. 
Dilihatnya sang lawan jatuh dengan menekuk lu-
tut. Dan tampak menyeringai kesakitan... Melihat 
orang sudah tak berdaya, ia menjadi sombong. 
Tiba-tiba perdengarkan tertawanya, seraya mem-
buka topeng cadarnya.
"Hi hi hi... Pendekar Wanita Pantai Selatan 
ternyata hanya nama yang digembar-gemborkan 
belaka. Buktinya, tanpa guruku Walet Kencana... 
kau sudah bertekuk lutut dihadapanku! Hi hi hi... 
Kau boleh rasakan kehebatan racun paku yang 
amat jahat itu. Dalam waktu sepeminuman teh, 
kedua kakimu akan lumpuh tak terpakai lagi. 
Alangkah sayangnya...!"
Namun yang ditertawakan ternyata balik 
tertawa lagi dengan geli sekali. Tertawanya Roro 
Centil ternyata berkepenjangan, hingga sampai-
sampai si Elang Alap-alap mengerahkan kekuatan 
bathinnya untuk melawan getaran pada jantung-
nya yang sekonyong-konyong terasa bergetar. Tak 
ia ketahui bahwa suara tertawa itu adalah diper-
gunakan Roro untuk mengusir racun untuk sege-
ra mengalir keluar lagi, dari bekas luka senjata 
rahasia dikakinya. Yang tanpa ia ketahui, kedua 
paku beracun yang mengena pada kaki sang la-
wan, telah dicabut kembali. Darah hitam segera 
merembes keluar.
"Hentikan tertawamu bocah centil..! Kau

pasti akan cepat mampus..!" Terdengar bentakan 
keras, dibarengi dengan terjangan kedua telapak 
tangan yang menghantam Roro dengan tenaga 
penuh. Namun pada saat itu, Roro Centil sudah 
mencelat ke atas tiga tombak. Dan ketika menu-
kik dengan beberapa kali jumpalitan ia telah ge-
rakkan tangannya untuk meluncur deras ke arah 
tubuh sang lawan. Yang segera si wanita bercadar 
perdengarkan teriakan atau keluhannya, dibaren-
gi dengan ambruknya sang tubuh. Karena seko-
nyong-konyong ia rasakan tubuhnya menjadi ka-
ku dan limbung. Ternyata ia telah terkena totokan 
lengan si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Ketika ia coba palingkan kepalanya, terli-
hat olehnya sang lawan tengah cekikikan mena-
tap padanya... Seraya melemparkan paku bera-
cun yang telah sejak tadi berada dalam gengga-
mannya, Roro Centil berujar: "Hi hi hi... Siapa bi-
lang kakiku akan menjadi lumpuh..? Mungkin ju-
ga sepasang kakimu yang akan kubikin sate saat 
ini..!" Keringat dingin segera mengucur deras di 
tubuh si Elang Alap-alap. Dalam keadaan demi-
kian ia tak mampu untuk berkutik lagi. Ia cuma 
pejamkan mata dengan hati kebat-kebit. Tiba-
tiba... 
Bret! Bret! Bret! Dengan senyum-senyum 
Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk me-
robek pakaian orang. 
"Auuuw..! Apa yang kau mau lakukan..!?" 
Berteriak si wanita itu yang sudah terbuka cadar-
nya. Wajahnya segera tampak pucat pias melihat

apa yang dilakukan si Pendekar Centil ini.
"Hm, lebih baik mulutmu dikunci saja, 
agar tidak terlalu cerewet!" Berkata Roro Centil 
sambil gerakkan tangannya, hingga sekejapan sa-
ja si wanita itu, cuma bisa ngangakan mulutnya 
tanpa bisa keluarkan suara. Setelah ditelanjangi 
sampai bersih, Roro Centil angkat tubuh orang ke 
tengah semak belukar. Sementara matanya jelala-
tan mencari-cari sesuatu, ke atas dahan pohon 
dan ke beberapa tempat dibawah. Tiba-tiba ia 
menampakkan senyumnya sekilas... Dan berkele-
batanlah tubuhnya ke semak-semak. Tampak di-
bawahnya ratusan semut rangrang yang tengah 
berkerumun diatas rerumputan, seperti tengah 
membuat sarang.
Bruk! Ia sudah jatuhkan tubuh si wanita, 
yang sudah bagaikan pisang yang dikupas kulit-
nya itu. Tak ampun lagi ratusan semut rangrang 
segera mengerubutinya, untuk segera menye-
rangnya dengan gigitan-gigitannya. Adapun si 
Elang Alap-alap cuma meringis-ringis kesakitan 
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya atau berte-
riak. Sehingga ia cuma bisa menggeliat-geliat se-
bisanya tanpa bisa menangis. Apalagi tertawa... 
Roro cuma pandangi orang dihadapannya dengan 
senyum-senyum. Seraya berkata :
"Nah kau rasakanlah akibat dari ketama-
kanmu. Barang upeti itu akan kukembalikan lagi 
pada yang berhak membawanya ke Kerajaan..!" 
Setelah ucap-kan kata-kata itu, segera Roro Cen-
til berkelebat kembali ke tempat tadi. Pakaian

pakaian si wanita itu ia raih dan lemparkan. 
Hingga menyangsang didahan pohon tinggi. Se-
lanjutnya ia sudah berkelebat ke arah dimana si 
Elang Alap-alap menyembunyikan buntalan ba-
rang upeti itu. Yang sebentar saja telah berpindah 
ketangan Roro.
"Aku harus cepat antarkan kembali ba-
rang-barang berharga ini..! Menggumam ia, sam-
bil gerakkan tubuh untuk tinggalkan tempat itu. 
Memang ia telah melihat adanya perampokan itu. 
Yaitu pertarungan antara si wanita itu dengan 
keempat para pengawal. Ketika ia mau bergerak 
untuk membantu, telah keburu datang si empat 
dari Lima Iblis Gentayangan yang turut menem-
pur keempat pengawal itu. Sementara si wanita 
bercadar itu membawa kabur barang rampasan-
nya. Roro Centil segera menguntitnya. Hingga ter-
jadi pertarungan, yang berakhir dengan keunggu-
lannya. Namun baru saja ia jejakkan kakinya. 
Enam orang perwira kerajaan telah mengurung-
nya, yang muncul dari beberapa penjuru.
"Pembegal tengik..! Kau tak dapat lari lagi! 
Hayo serahkan barang rampasanmu!" Teriakan 
itu telah dibarengi dengan berkelebatnya pedang 
dari arah samping dan belakang. Terpaksa Roro 
gerakkan tubuh untuk menghindar. Namun ia 
sudah terkepung oleh enam pengawal yang tak 
mengerti akan hal ikhwalnya. Segera saja empat 
orang maju merangsak dengan teriakan sengit, 
menabas dan menusuk dari berbagai arah. Ter-
paksa Roro Centil kembali bergerak untuk selamatkan jiwanya. Kedua buntalan itu telah ia le-
paskan. Dan dengan mengegos ke kiri dan kanan 
ia hindari terjangan-terjangan keempat pengawal.
Wah...!? Celaka besar..! Aku yang dianggap 
pembegal tengik itu...!" Berkata Roro dalam hati. 
Agaknya Roro Centil tak mau berlama-lama un-
tuk mengakhiri pertarungan. Tiba-tiba ia berte-
riak keras dengan suara yang melengking pan-
jang. Inilah suara yang baru pertama kali diden-
gar oleh keenam pengawal yang baru datang itu. 
Walaupun mereka adalah pengawal-pengawal an-
dalan yang berkepandaian tinggi, namun kini su-
dah dibuat terkesima dengan lengkingan yang 
panjang itu. Lengkingan suara yang mengandung 
tenaga dalam hebat, hingga keenam pengawal itu 
berdiri terpaku dengan diluar kesadarannya. Pada 
saat itulah tiba-tiba tubuh wanita dihadapannya 
berkelebatan dengan cepat karena masing-masing 
senjata yang dicekalnya telah terlepas dan ter-
lempar dari tangannya, dengan suara yang ber-
klontangan. Saat selanjutnya bayangan tubuh 
Roro Centil tampak berkelebat lagi ke tengah-
tengah arena pertarungan. Dan sekejap telah ber-
diri lagi dekat buntalan barang upeti yang tergele-
tak dekat kakinya. Sedangkan dikedua belah len-
gannya tergantung senjata si Rantai Genit... Meli-
hat kejadian yang hampir dapat dikatakan seke-
jap mata itu, keenam pengawal itu jadi ternganga. 
Namun Roro Centil sudah lantas berkata dengan 
suara keras :
"Kalian telah salah alamat..! Aku bukanlah

si pembegal tengik yang menginginkan barang 
upeti macam begini! Pergilah ambil barang-barang 
ini..!" Sambil berkata demikian Roro telah meng-
gerakkan ujung kakinya mengungkit kedua bun-
talan itu. Segera kedua buah buntalan barang 
berharga itu melayang ke arah dua orang pen-
gawal, yang segera menyambutinya. Sementara 
keempat orang pengawal, yang tadi bertarung 
dengan keempat begal dari si Lima Iblis Gen-
tayangan, telah berkelebat ke tempat itu. Tapi 
kemunculannya diikuti seorang tua berjubah pu-
tih. Roro tetap berdiri tegak ditempatnya. Adapun 
kemunculan keempat pengawal itulah yang telah 
menolongnya dari kesalah fahaman. Karena sege-
ra mereka mengenali akan si pembegal. Rupanya 
dari pakaian yang dipakai si pembegal wanita itu 
mereka dapat membedakannya. Kalau tadi yang 
dikepungnya adalah wanita yang bercadar hitam 
pada wajahnya, dan berbaju kuning. Akan tetapi 
Roro Centil adalah berpakaian hijau. Adapun se-
pasang senjatanya yang berbentuk aneh itu, me-
nandakan ia bukanlah si pembegal yang tadi... 
Segera saja keempat pengawal menjura hormat 
pada Roro Centil. Salah seorang pengawal telah 
memeriksa isi kedua buntalan itu, yang masih 
utuh gemboknya pada peti upeti yang dikawalnya. 
Keenam pengawal lainnya pun segera menjura 
hormat sambil menyatakan maafnya atas kekeli-
ruan mereka...
Sementara si orang tua berjubah putih itu, 
segera memperkenalkan dirinya yang ternyata

bernama Ki Reksa Permana. Yang berjulukan si 
Pedang Sakti Bermata Delapan. Segera Roro men-
gambil kesimpulan bahwa kawanan pembegal tadi 
pasti telah tewas. Karena kedatangan si Pendekar 
Tua itu bersama keempat pengawal yang tadi ber-
tempur. Sudah dipastikan si Pendekar Tua berju-
bah putih itu turut membantu keempat pengawal. 
Dalam waktu singkat mereka telah saling berke-
nalan... Roro Centil segera beritahukan tentang si 
pembegal wanita yang telah dilucuti pakaiannya 
dan kini tengah merasakan siksaannya digigiti 
tubuhnya oleh semut-semut rangrang. Tentu saja 
penuturan itu membuat semua pengawal jadi ter-
tawa. Adapun si Pendekar Tua bernama Ki Reksa 
Permana itu ternyata telah mengajaknya saling 
menjajaki kepandaian masing-masing. Terutama 
sekali sang Pendekar Tua ini ingin mengetahui 
kehebatan senjata si "Rantai Genit" nya Roro Cen-
til. Terpaksa Roro pertunjukkan kelihaiannya 
memainkan senjata itu. Yang ternyata telah me-
nambah pengalamannya bertempur. Karena Ki 
Reksa Permana telah pergunakan senjata anda-
lannya yang telah membawa harum namanya itu, 
yaitu Pedang tipis yang luar biasa lemasnya. 
Hingga bila senjata itu digunakan, akan terlihat 
mata pedang yang berubah jadi delapan mata pe-
dang. Roro Centil sendiri tak menyangka kalau 
permainan sepasang senjata si Rantai Genit itu 
ternyata dapat mematahkan serangan pedang Ki 
Reksa Permana. Dengan berseru kagum sang 
Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan tiba-tiba

melompat mundur. Seraya berucap :
"Cukup..! Cukup..! Sepasang senjata yang 
hebat!" Memuji Ki Reksa Permana. Adapun kese-
puluh pengawal, jadi dibuat ternganga menyaksi-
kan pertarungan kedua tokoh ternama itu. Yang 
satu adalah seorang Pendekar Tua yang sudah 
kawakan, sedang yang seorang lagi adalah tokoh 
persilatan yang masih amat muda. Seorang gadis 
cantik yang tampaknya tidak punya ilmu kepan-
daian, tapi ternyata telah membuat mata mereka 
terbuka. Bahwa sudah muncul lagi seorang pen-
dekar muda, yang sukar dicari tandingannya di 
abad itu. Demikianlah... dengan rasa terima kasih 
tak terhingga pada kedua pendekar, kesepuluh 
pengawal itupun mohon diri. Untuk segera men-
gurus para jenazah, dan meneruskan perjalanan 
membawa kiriman upeti ke Kerajaan Medang. Se-
dangkan Roro Centil tampak masih bersama si 
Pendekar Tua itu meneruskan bercakap-cakap. 
Ternyata Ki Reksa Permana banyak bercerita ten-
tang kisah hidupnya...
Itulah kisah pertemuannya dengan Ki Rek-
sa Permana, Si Pendekar Pedang Sakti Bermata 
Delapan yang kini telah tiada. Tampak si gadis 
Pendekar itu menghela napas. Terasa trenyuh ha-
tinya, mengingat akan kisah hidup Pendekar Tua 
itu, yang akhirnya menemui kematian dengan ca-
ra yang amat mengenaskan. Perjalanan yang ditu-
junya adalah mencari tempat tinggal Ki Reksa 
Permana, yang seperti telah diceritakan oleh al

marhum, ia mempunyai seorang puteri hampir 
sebaya dengannya, bernama Sumirah. Walaupun 
sang Pendekar Tua itu tak meninggalkan pesan 
disaat kematiannya, Roro bermaksud mencari ta-
hu tentang Sumirah itu, apakah ia berada disana, 
ataukah juga telah tewas. Karena memang dida-
pati ada seorang wanita yang juga tewas dengan 
keadaan yang mengerikan. Namun wanita itu ti-
daklah dapat dikatakan masih sebayanya. Dan 
tentu saja untuk memberikan pedang Pusaka Ki 
Reksa Permana itu pada si gadis, sebagai pewaris 
pusaka orang tuanya...
Bulan sepotong yang seperti menempel di-
langit itu masih tetap seperti tadi, ketika si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan mulai gunakan ilmu 
larinya mencari jalan, untuk dapat menjumpai 
sebuah desa. Seeker kelelawar tampak terkejut di 
sebuah pohon rimbun, dan mengepakkan sayap-
nya untuk terbang menjauh, tatkala Roro berlalu 
dibawahnya...
Padepokan Cemara Kandang yang cuma 
tinggal dua belas orang itu, tampak berkumpul 
disatu ruangan. Masih terdengar suara orang ber-
cakap-cakap dengan perlahan. Namun kesemua-
nya tampaknya dilanda kegelisahan.
"Tak ada seorangpun dari murid utama 
yang kembali pulang... Apakah mereka telah da-
pat membekuk si makhluk Cebol itu, ataukah te-
lah tewas..?" Berkata salah seorang dengan suara 
berdesis perlahan. Salah seorang yang paling ter-
tua menyahuti.

"Yah, kita hanya dapat berdo'a saja akan 
keselamatannya. Kasihan Jatmiko... anak dan is-
trinya jadi korban si makhluk biadab itu. Aku 
berkeyakinan, mereka pasti telah tewas. Kare-
na..." Tampaknya si murid tertua itu tak tega un-
tuk menceritakannya. Dan sekonyong-konyong 
rasa takut menghantuinya.
"Hm... Sudahlah, jangan fikirkan yang su-
dah terjadi. Sebaiknya kita tunggu saja kedatan-
gan Guru kita, atau Jeng Sumirah... yang tengah 
melacak kemana perginya si makhluk keji itu." 
Dan semua pun terdiam. Suasana kembali men-
cekam, membuat kedua belas pemuda yang ber-
kumpul satu ruangan itu saling berdesak dengan 
wajah yang gelisah.
"Sampurasuuuun..!" Terdengar suara 
memberi salam diluar.
"Rampeees..!" Hampir berbareng kedua be-
las sisa murid di Padepokan itu menyahuti salam 
itu. Salah seorang sudah berkata pada kawannya: 
"Siapa? Jeng Sumirah kah..?" 
"Entahlah! Tak biasanya Jeng Sumirah 
mengucapkan salam demikian..!" Menyahuti ka-
wannya.
Sementara beberapa orang sudah segera 
membukakan pintu ruangan, dengan hati was-
was. Segera terlihat sesosok tubuh yang telah 
berdiri di depan Padepokan. Sinar cahaya bulan 
dan terangnya cahaya lampu yang menyorot ke-
luar dari dalam ruangan itu, segera dapat melihat 
siapa adanya yang datang.

"Siapa gadis ini..?" Salah seorang cepat 
berbisik pada kawannya. 
"Ssst. Diamlah..!" Menyahuti sang kawan 
yang bertubuh agak jangkung. Lalu dengan sege-
ra menghampiri si wanita itu, yang tak lain dari 
Roro Centil. Tanpa menunggu pertanyaan Orang, 
Roro segera berucap :
"Maaf... Boleh aku tahu, apakah disini 
tempat tinggal Ki Reksa Permana?" Terkejut si 
jangkung dan juga beberapa kawannya karena 
sang tetamu ternyata mengenai nama Guru me-
reka. Si murid tertua yang juga turut keluar, se-
gera menjawab pertanyaan itu...
"Benar, nona..! Padepokan Cemara Kan-
dang ini adalah tempat tinggal beliau. Dan Ki 
Reksa Permana adalah Guru kami. Siapakah no-
na..? Bolehkah hamba tahu, dan ada keperluan 
apakah anda datang kemari..." Jawaban si murid 
tertua dibarengi dengan pertanyaan pula, dengan 
menatap wajah sang tamu tajam-tajam, seperti 
tengah menegasi wajah orang.
"Aku ada membawa berita tentang Guru 
kalian. Dan selain itu juga untuk menyampaikan 
benda ini pada puterinya yang bernama Sumi-
rah..!" Berkata Roro Centil sambil menunjukkan 
pedang tipis Ki Reksa Permana. Terkejutlah me-
reka seketika. Dan serta merta mempersilahkan 
Roro untuk masuk. Sementara beberapa orang 
murid segera berdesakan untuk mengetahui beri-
ta itu, juga ingin melihat siapa adanya si gadis 
cantik yang datang itu. Demikianlah, Roro Centil

segera perkenalkan dirinya. Dan menceritakan 
kejadian yang telah dijumpainya. Setelah sebe-
lumnya menceritakan perjalanannya hingga sam-
pai dapat menjumpai Padepokan Cemara Kan-
dang...
5
TAK ada peristiwa lain yang amat menye-
dihkan selain kesedihan mendengar berita ten-
tang tewasnya Guru mereka yang amat mereka 
cintai. Adapun mengenai Sumirah, puteri sang 
Guru almarhum mereka sendiri tak dapat mem-
berikan keterangan. Karena menurut dugaan, 
pasti puteri sang Guru mereka itu telah menyusul 
ayahnya mencari jejak si makhluk Cebol itu. Da-
lam suasana haru itu, Roro Centil termenung... 
Yang akhirnya terdengar menghela napas. Ia juga 
turut berduka cita dengan tewasnya Ki Reksa 
Permana. Namun sebagai seorang tetamu, juga 
seorang Pendekar yang telah kebal dengan pende-
ritaan, Roro tak menampakkan kedukaannya. 
Bahkan memberi semangat pada murid-murid 
mendiang Ki Reksa Permana agar tetap tabah 
menghadapi cobaan berat yang telah menimpa 
mereka. Karena bukan mereka saja yang menga-
lami kesedihan. Penduduk desa dan masyarakat 
juga telah banyak yang mengalami musibah besar 
semacam itu. Kehilangan anak dan istri, serta 
lain-lain musibah, sejak kemunculan makhluk

Cebol gentayangan itu... Bahkan semua ini ada-
lah tanggung jawab mereka semua, yaitu para 
pendekar penegak hukum, pembela si tertindas, 
penolong yang lemah, dari segala macam kekejian 
yang berada diatas permukaan bumi ini untuk 
menumpasnya.
Namun sebagai orang yang telah cukup ju-
ga dengan pengalaman, Roro Centil dapat mema-
hami akan sia-sianya pengorbanan mereka. Kare-
na telah dapat diduganya si makhluk Cebol itu 
berkepandaian amat tinggi dan telengas. Hingga 
dengan segala senang hati Roro Centil menerima 
usul mereka untuk menetap dulu selama bebera-
pa hari di Padepokan itu. Sambil mencari kabar 
mengenai berita dimana adanya Sumirah, juga 
mencari tahu jejak si manusia iblis penyebar 
maut itu.
Berdiamnya Roro Centil di Padepokan itu 
ternyata membuat murid-murid mendiang Ki 
Reksa Permana tampak timbul lagi semangatnya. 
Apalagi mengetahui Roro Centil adalah seorang 
tokoh yang pernah diceritakan kehebatan ilmunya 
oleh mendiang Gurunya pada mereka. 
Berita yang mengejutkan terjadi di sekitar 
desa. Tampaknya seperti tenang-tenang saja. Ka-
bar tentang Sumirah yang telah dilacak ke perba-
gai desa oleh murid-murid mendiang si Pendekar 
Tua itu tak membawa hasil. Sumirah lenyap tak 
berbekas. Roro Centil tak dapat berdiam lebih la-
ma... Akhirnya iapun mohon diri untuk mening-
galkan Padepokan Cemara Kandang, dengan tujuan mencari jejak Sumirah. Demi rasa tanggung 
jawabnya, dan rasa simpati sebagai sesama pen-
dekar.
Demikianlah... Dengan hati berat, kedua 
belas murid Ki Reksa Permana itu melepas keper-
giannya. Bahkan ada diantara mereka yang ber-
sedia ikut bersama mencari jejak puteri Gurunya 
itu. Namun dengan halus Roro Centil mengu-
capkan terima kasih. Dan menyuruh mereka te-
tap berada didesa. Menjaga dari segala hal atau 
kemungkinan yang bisa saja terjadi kericuhan. 
Walaupun bukan perbuatan si makhluk Cebol itu. 
6
RORO CENTIL langkahkan kakinya untuk 
segera meninggalkan Padepokan Cemara Kan-
dang... Dan sesaat kemudian telah berkelebat le-
nyap dari pandangan kedua belas murid-murid 
mendiang Ki Reksa Permana. Yang jadi ternganga 
kagum. Matahari pagi itu bersinar cerah... Dere-
tan awan-awan putih bagaikan kapas terlihat di-
ujung cakrawala. Semilir angin bersyiur lembut 
dari arah utara terasa membuat tubuh menjadi 
sejuk. Namun tidaklah membuat sejuknya hati 
Roro Centil, yang entah mengapa amat mengkha-
watirkan nasib Sumirah. Beruntung Roro telah 
dapat mengetahui akan tanda-tanda dan raut wa-
jah si gadis yang tengah dicarinya itu, dari penje-
lasan yang ia dapati. Sehingga ia akan dapat

mengenali seandainya dapat menjumpainya.
Roro Centil telah tiba pada sebuah tempat 
yang berpemandangan indah. Bunga-bungaan 
disekitar situ terawat dengan rapi... Hampir dis-
etiap tempat terdapat rumpun bambu kuning, 
yang berkelompok-kelompok yang juga terawat 
dengan baik. Beberapa kolam kecil berair jernih 
terdapat juga disekitar tempat itu.
Tempat apakah ini..? Seperti sebuah taman 
saja layaknya..! Berfikir Roro. Sementara kakinya 
terus melangkah melalui jalan kecil yang mengeli-
lingi taman berpagar bambu kuning yang tampak 
semakin rapat dibagian depan. Tiba-tiba dikejau-
han terdengar suara orang bercakap-cakap. Roro 
kerutkan alisnya, dan cepat menyelinap ke balik 
semak disebelah kiri jalan. Sementara sepasang 
matanya menatap ke ujung jalan. Tak berapa la-
ma segera terlihat siapa yang tengah bercakap-
cakap itu. Yaitu seorang wanita setengah tua, 
dengan dandanan yang amat menyolok. Wajahnya 
masih boleh dikatakan cukup cantik. Tiga untai 
kalung mutiara tergantung pada lehernya. Wanita 
ini berkulit putih. Memakai sanggul diatas kepala, 
dengan tusuk konde emas terselip pada sanggul-
nya. Sedangkan lawannya bercakap-cakap adalah 
seorang laki-laki yang agak bungkuk. Kepalanya 
agak besar, yang mengenakan ikat kepala bersu-
lam benang emas. Berbaju dan celana yang ber-
warna hitam, yang juga tersulam dengan benang 
emas. Kain sarungnya terbuat dari sutera yang 
indah berwarna biru langit. Mengenakan ikat


pinggang yang besar. Laki-laki yang agak bung-
kuk ini membawa sebuah pipa cangklong yang 
panjang, terbuat dari gading. Bergagang perak, 
yang tampak berkilat. Sebentar-sebentar ia 
menghisap pipanya, dan menghembuskan asap 
tembakau dari mulutnya. Usianya sekitar lima 
puluhan tahun. Dapat dipastikan orang ini ada-
lah seorang bangsawan atau hartawan.
"Apakah kau sudah yakin aku akan panuju 
dengan orang barumu itu..?" Terdengar suara bi-
caranya dengan nada angkuh. Wanita setengah 
tua disebelahnya tampak tersenyum sambil lirik-
kan matanya yang agak genit.
"Aku tak tahu pasti, tapi menurutku kau 
tak akan kecewa..!" Berkata si wanita itu. Tampak 
si bangsawan bungkuk itu hisap pipa cangklong-
nya dalam-dalam, dan hembuskan asap tebal dari 
mulut dan hidungnya ke udara.
"He he he... walaupun sudah tua begini, 
aku Raden Mas Guntoro sudah banyak pengala-
man, tak akan dapat kau dustai untuk yang ke-
dua kalinya...!" Kata-kata itu membuat si wanita 
jadi tersenyum masam, namun segera terdengar 
suara tertawanya yang disambung dengan kata-
kata :
"Hi hi hi... Yang sudah lalu itu pasti tak 
akan terulang lagi, Ndoro..!" Tampak si wanita itu 
sengaja menyanjungnya dengan kata-kata seperti 
seorang abdi pada majikannya. Dan selanjutnya 
yang terdengar adalah suara cekikikan dan terta-
wa terkekeh, kekeh dari keduanya. Tiba-tiba si

bungkuk bercangklong itu hentikan suara terta-
wanya. Sebelah lengannya sekonyong-konyong 
bergerak ke arah semak disebelah kirinya, seraya 
membentak :
"Siapa disitu..!" Dan serangkum angin ke-
ras menyambar ke semak-semak, membuat daun-
daun semak itu buyar dan beberapa batangnya 
rebah. Roro Centil telah melesat dari tempat per-
sembunyiannya. Ia heran juga, yang si orang 
bungkuk itu mengetahui adanya ia disitu. Namun 
akhirnya Roro dapat mengetahui, yaitu sinar pe-
dang tipis yang cahayanya terpantul kena sorotan 
Matahari itulah yang menyebabkan orang menge-
tahui tempat persembunyiannya. Baru saja ia 
menjejakkan kakinya ke tanah, sudah terdengar 
lagi bentakan keras. Dan berkelebatannya seso-
sok bayangan, yang tak lain dari si wanita genit 
itu.
"Kuntilanak..! Apa yang kau kerjakan di-
tempat ini..!" Sebentar saja Roro telah lihat si wa-
nita itu berada dihadapannya. Sepasang matanya 
menatap tajam padanya. Sementara kedua len-
gannya bertolak pinggang. Si orang bungkuk ber-
cangklong panjang itupun telah melompat ke 
tempat itu. Tapi, tiba-tiba wajahnya jadi berubah 
menyeringai...
"He he he... Kalau macam begini sih ra-
sanya aku amat penuju sekali. Eh, Walet Kenca-
na! Apakah kaupun tidak mengenalnya..?" Ber-
tanya si bungkuk itu, sementara sepasang ma-
tanya telah merayapi setiap lekuk tubuh Roro dari

kepala sampai kekaki. "Aku sih tidak kenal, tapi 
mungkin salah seorang muridku mengenalnya..!" 
Selesai berkata tiba-tiba ia telah masukkan dua 
jarinya kebawah lidah. Dan terdengarlah suara 
suitan panjang keluar dari mulutnya. Selang be-
berapa saat terdengar suara gaduh dari beberapa 
orang wanita. Dan selanjutnya telah muncul lima 
orang murid wanita yang segera menjura hormat 
pada si wanita yang dijuluki si Walet Kencana. 
Adapun Roro Centil begitu mendengar nama Wa-
let Kencana itu, segera teringat akan si wanita 
pembegal yang telah kena dipecundangi. Dan di-
telanjangi bulat-bulat untuk diumpankan pada 
ratusan semut rangrang beberapa bulan yang la-
lu. Wanita pembegal itu bernama julukan si Elang 
Alap-alap, yang menyebut-nyebut nama Walet 
Kencana sebagai gurunya.
"Eh, murid-muridku..! Apakah salah seo-
rang dari kalian mengenal perempuan di hada-
panku ini.. ?" Salah seorang dari mereka ternyata 
ada yang telah menatap amat tajam dari balik ca-
dar tipis yang dikenakannya. Wajahnya tampak 
terpulas dengan bedak tebal. Namun tetap saja 
bekas luka-luka gigitan semut rangrang pada wa-
jah dan seluruh tubuhnya masih menampakkan 
bintik-bintik kecil yang menghitam. Ia sudah lan-
tas berkata :
"Guru..! Kalau guru dapat memaklumi ke-
bodohanku, kuntilanak inilah yang telah mengga-
galkan pekerjaanku. Dan telah menyiksaku den-
gan perbuatan kejinya..." Tampak sang Guru alias

si Walet Kencana itu cuma tersenyum.
"Hm, tak usah kau berkecil hati. Kalau kau 
ingin balas menyiksanya, baiklah akan kutang-
kapkan ia dihadapanmu. Namun sebelumnya kau 
harus mengalah dulu pada paman Guntoro Kecut 
ini. Setujukah...?" Si wanita bercadar itu men-
gangguk. Roro segera dapat mengenalinya kalau 
wanita itu tak lain dari si Elang Alap-alap.
"Kau pernah ceritakan padaku kalau si Wa-
let Kencana, ialah aku telah dihina sedemikian 
rupa oleh budak ini yang mengatakan aku akan 
tunduk bersujud dihadapannya. Nah, gadis can-
tik, cobalah kau perbuat aku untuk tunduk pa-
damu..!" Sambil berkata ia kembali palingkan wa-
jah pada Roro Centil. Tiba-tiba berkelebat sesosok 
tubuh berbaju kuning ke tempat itu, yang sudah 
lantas berkata santar :
"Kakak..! Bolehkah aku bicara sebentar 
dengan si Pendekar wanita ini..?" Si wanita seten-
gah tua itu sudah palingkan kepalanya pada si 
pendatang. Namun ia hanya perdengarkan den-
gusan hidungnya.
"Ken Wangi..! Jangan kau mencampuri 
urusanku. Sudah kukatakan hitam tetaplah hi-
tam. Aku tak mau lihat mukamu lagi, walau kau 
adalah adikku sendiri!" Semua mata jadi beralih 
menatap pada wanita berbaju kuning itu. Namun 
si wanita baju kuning itu tersenyum sinis, dan 
dengan monyongkan mulutnya ia menyahuti. 
"Huh! Siapa yang sudi akui kau kakak kandung-
ku lagi.. ? Namun perbuatanmu semakin brutal

tetap akan kutentang. Kalau tidak, akan habislah 
gadis-gadis suci yang cantik-cantik kau umpan-
kan pada para hidung belang macam si Raden 
Mas Guntoro Kecut itu.." Tampak wajah si Walet 
Kencana berubah merah padam. Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepala pada kelima muridnya.
"Murid-muridku..! Segeralah kau usir dia 
dari tempat ini. Atau kalau perlu kau bunuh 
mampus!" Mendengar perintah gurunya itu, sege-
ra kelima orang wanita itu mengurungnya.
"Heh! Lima orang kuntilanak kau suruh 
menggempurku.. ?! Apakah tidak sekalian kau 
suruh keluar semua orang-orangmu untuk mem-
bunuhku!" Berkata si wanita berbaju kuning yang 
bernama Ken Wangi itu. Namun kata-katanya su-
dah segera terhenti, karena dengan berbareng ke-
lima wanita itu telah menerjang untuk mering-
kusnya. Sebentar saja di taman itu telah terjadi 
pertarungan seru. Suasana yang tadi sunyi men-
dadak jadi ramai oleh suara bentakan-bentakan 
keras. Adapun Roro Centil segera berkelebat men-
jauh. Ia tak mau jadi sasaran pukulan dari mere-
ka, yang bertarung didekatnya.
"Tunggu..! Kau tak dapat pergi dengan be-
gitu saja. Penghinaanmu terhadap muridku, dan 
meremehkan pada diriku, harus kau pertanggung 
jawabkan!" Membentak si Walet Kencana, seraya 
berkelebat mengejar ke arah Roro.
"Aiiii..?! Siapa yang mau melarikan diri..? 
Bukankah kau ingin menangkapku hidup-hidup, 
untuk kau serahkan pada si tua bangka bungkuk


itu. Nah, tangkaplah aku, siapa tahu aku dapat 
membuktikan kata-kataku membuat kau bersu-
jud mencium kakiku. Hi hi hi...." Berkata Roro 
Centil dengan seenaknya. Saat itu si Raden Mas 
Guntoro Kecut sudah berlari mendatangi.
"Walet Kencana! Awas, jangan sampai kau 
lukai tubuhnya... Aku pasti akan membayar 
mahal untuknya..! Teriak Raden Mas Guntoro Ke-
cut, sambil menghisap pipa cangklongnya. Si Wa-
let Kencana cuma tersenyum jumawa seraya ber-
kata :
"Jangan khawatir Ndoro, hamba pasti per-
sembahkan seutuhnya buat Ndoro tanpa cacat 
secuilpun..!" Namun sebelum si wanita itu bertin-
dak lebih lanjut, Roro telah berlalu ke arah si 
Bangsawan bungkuk itu. Langkahnya seperti 
orang yang tak merasa khawatir sedikitpun. Ten-
tu saja si orang bungkuk bercangklong panjang 
itu jadi ternganga, karena gerakan langkah Roro 
amat memikat hatinya. Memang Roro Centil sen-
gaja berjalan dengan goyangkan pinggul, yang 
membuat orang jadi tercengang.. Apalagi bagi si 
hidung belang macam Raden Mas Guntoro Kecut. 
Hal itu telah membuatnya amat kagum, seraya 
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah, den-
gan mata yang nyalang merayapi indahnya tubuh 
gadis dihadapannya.
"Kalau tak ingin membuat tubuhku menja-
di lecet, sebaiknya tak usah kau payah-payah un-
tuk menangkapku Walet Kencana. Lebih bagus 
biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro Kecut ini saja

yang menangkapku...!" Mendengar kata-kata itu 
tentu saja si bangsawan bungkuk itu jadi terbe-
liak matanya, dan tiba-tiba telah tertawa terke-
keh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.
"He he he., he he... Bagus! Bagus! Bocah 
ayu..! Mengapa tidak sedari tadi kau katakan? 
Tentunya aku tak akan keluar biaya mahal untuk 
menyuntingmu..!" Sambil berkata tiba-tiba sepa-
sang lengannya telah memeluk tubuh sang gadis 
dihadapannya. Roro Centil yang memang berwa-
tak aneh sukar diterka itu, ternyata membiarkan 
tubuhnya dipeluk orang. Bahkan ia tersenyum 
manja sambil menggelendot di dada si bangsawan 
tua itu. Adapun hal itu telah membuat si Walet 
Kencana jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Dis-
amping rasa mendongkol, namun juga aneh yang 
amat luar biasa.
Apakah perempuan ini memang agak tidak 
waras..? Berfikir si Walet Kencana. Belum lagi ia 
banyak berfikir melihat sikap orang yang aneh 
itu, Roro Centil telah berkata dengan suara ber-
nada memerintah :
"Walet Kencana, segera kau suruh orang-
orangmu menyediakan kamar yang bersih untuk 
aku menginap beberapa malam bersama Ndoro-
mu ini..." Tentu saja si wanita setengah tua yang 
menjadi majikan ditempat ini, jadi melengak. 
Orang luar dihadapannya telah berani berkata 
sedemikian enaknya. Seolah-olah dialah majikan-
nya. Namun tetap saja ia menyahuti, karena me-
mandang pada si orang Bangsawan bungkuk itu

yang juga tengah menatap padanya.
"Kamar yang bersih sudah selalu tersedia
setiap saat. Atau baiklah aku periksa lagi akan 
kebersihannya..!" Berkata ia sambil segera mele-
sat lebih dulu ke arah depan. Ketika sesaat ia 
menoleh kebelakang, segera terlihat Raden Mas 
Guntoro Kecut telah memondong si gadis cantik 
yang aneh itu. Benar-benar ia seperti tidak mem-
percayai penglihatannya. Muridnya mengatakan 
gadis itu adalah yang berjulukan si Pendekar Wa-
nita Pantai Selatan. Dengan telah berhasil menga-
lahkan si Elang Alap-alap dan dapat menggagal-
kan pekerjaannya membegal barang upeti yang 
berharga, sudah dipastikan ia berilmu tinggi. Wa-
laupun terasa aneh akan sikap orang, namun te-
tap saja ia bercuriga pada Roro. Hingga diam-
diam ia telah mengatur rencana untuk dapat 
membekuknya. Cuma saja ia harus mengalah du-
lu pada tetamunya Raden Mas Guntoro Kecut, 
yang akan memberi pinjaman uang, juga salah 
seorang yang menjadi sumber pemasukan yang 
tidak kecil. Sebentar saja Roro Centil sudah diba-
wa berlari dengan cepat, mengikuti di belakang si 
Walet Kencana. 
Sebuah rumah gedung mungil segera tam-
pak dibagian depan. Sedangkan dibelakang ge-
dung itu ada terlihat juga satu wuwungan yang 
memanjang. Ternyata dikatakan mungil, gedung 
itu amat luas dibagian dalamnya. Selang sesaat 
Roro sudah berada didalam ruangan gedung yang 
amat bersih dan rapi itu. Temboknya berwarna


kuning, sedang bagian bawahnya berlantai mar-
mer yang indah. Didepan pintu ruangan wanita 
itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Seraya me-
natap pada Roro yang masih berada dalam pon-
dongan sang tamu.
"Hm, Aku agak sangsi dengan sikapmu, 
nona..! Sebaiknya agar tidak menaruh kecuri-
gaanku, harap kau lepaskan benda-benda yang 
membelit dan tersangkut di pinggangmu..!" Roro 
kerutkan alisnya dan berfikir sejenak, lalu sudah 
lantas berkata, sambil menoleh pada orang yang 
memondongnya.
"Bagaimana pendapatmu, sayang..? Aku 
sih terserah padanya!" Berkata Roro sambil pa-
lingkan wajah menatap lagi pada si Walet Kenca-
na.
"He he he... Jangan khawatir, apakah 
orang macam aku, masih perlu kau beri peringa-
tan? Siang-siang aku telah menotoknya. Walau-
pun ia hanya pura-pura saja toh sudah tak ber-
daya apa-apa..." Seraya berkata ia telah lepaskan 
pondongannya. Hingga tak ampun lagi tubuh Ro-
ro Centil jatuh terlentang diatas lantai. Masih un-
tung bagian atas tubuhnya tidak dilepaskan, 
hingga hanya kaki dan pantatnya saja yang 
menggasruk ke lantai. Tampak Roro perlihatkan 
wajah meringis. Namun sekejap sudah berpindah 
lagi dalam pondongan Raden Mas Guntoro Kecut. 
Melihat kenyataan didepan mata, wajah si Walet 
Kencana tampak perlihatkan wajah berseri, seraya berucap :
"Hi hi hi... Bagus! Silahkan kalian berse-
nang-senang. Aku akan menyelesaikan urusanku 
dengan adik keparatku dulu. Ingat, jangan kau 
coba-coba buka totokanmu, Raden Mas Guntoro 
Kecut...!" Dan setelah berkata demikian, ia segera 
melesat keluar gedung. Sementara si Bangsawan 
tua itu sudah pondong tubuh Roro ke dalam ka-
mar. Namun saat berikutnya yang terdengar ada-
lah suara keluhan Raden Mas Guntoro Kecut. 
Yang disusul dengan terdengar suara tempat ti-
dur yang berderit, ketika tubuh si bangsawan itu 
jatuh ke pembaringan. Sementara Roro Centil 
berdiri di sisi pembaringan tengah menatap laki-
laki bungkuk itu sambil tersenyum.
"Kau..? Ka.. kau...." Terdengar suara Raden 
Mas Guntoro Kecut, tapi hanya desisnya saja 
yang keluar di tenggorokan. Sedangkan sepasang 
matanya menatap Roro dengan melotot gusar, ju-
ga heran. Karena sekonyong-konyong ia telah ra-
sakan tubuhnya jadi kaku. Bukannya ia yang 
lemparkan tubuh gadis itu diatas kasur, bahkan 
ia sendiri yang terlempar ke atas pembaringan. 
Itulah akibat ulah perbuatan Roro Centil, yang te-
lah gerakkan tangannya untuk menotok didalam 
pondongan. Bukan saja menotok tubuh orang, ju-
ga menotok urat suara si bangsawan bungkuk 
itu, hingga tak bisa mengeluarkan suara. Dalam 
keadaan kaku begitu, Roro sudah segera merosot 
dari pondongannya. Dan dorong tubuh laki-laki 
tua itu ke pembaringan. Mengapa tiba-tiba Roro

dapat terlepas dari totokan si Raden Mas Guntoro 
Kecut itu? Kiranya sewaktu berjalan dengan 
goyangkan pinggulnya ke arah si bangsawan tua 
itu tadi, diam-diam Roro telah salurkan tenaga 
dalam ke seluruh tubuh untuk menjaga dari be-
berapa kemungkinan yang tak terduga. Sebagai 
pewaris ilmu si Manusia Aneh Pantai Selatan, 
tentu saja Roro mewarisi keanehan watak Gu-
runya. Bahkan Roro telah bertambah lagi il-
munya, ketika ia berjumpa dengan seorang laki-
laki bernama Joko Sangit. Yang mengajarinya il-
mu mengeluarkan racun dengan suara tertawa.... 
Demikianlah, disaat si bangsawan bungkuk itu 
menotoknya dengan diam-diam melalui gerakan 
tangan ketika memeluknya, Roro Centil telah ter-
hindar dari pengaruh totokan... Rupanya Roro 
Centil telah berani menempuh jalan lain yang cu-
kup berbahaya, dari pada bertempur. Karena 
dengan demikian ia bisa leluasa bergerak untuk 
menyelidiki dimana adanya Sumirah. Seperti te-
lah didengarnya tadi dari si wanita pendatang 
bernama Ken Wangi, yang ternyata adik kandung 
si Walet Kencana sendiri... Sang kakak ternyata 
seorang Germo, yang boleh dibilang penculik ga-
dis-gadis cantik. Yang tentu saja untuk kepentin-
gan usahanya. Juga didengarnya dari percakapan 
si Walet Kencana dengan si bangsawan tua, yang 
menyinggung-nyinggung tentang adanya seorang 
gadis yang telah dipersiapkan untuk di persem-
bahkan pada si bungkuk hidung belang itu. Ma-
kanya Roro telah mengambil jalan yang cukup

unik, namun dengan perhitungan yang sudah di-
pikir masak masak.
Demikianlah dengan cepat ia telah keluar 
kembali dari kamar. Ruangan tengah itu tampak 
sunyi... Hingga tanpa mengalami kesulitan ia ber-
hasil memasuki setiap ruangan untuk mencari 
dimana adanya si gadis Sumirah. Dengan gerakan 
cepat, namun dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa 
ragu-ragu Roro membukai setiap pintu yang ter-
tutup, dan melongok ke arah kamar yang terbu-
ka. Akan tetapi pada salah sebuah pintu kamar 
yang tertutup, terdengar suara laki-laki dan wani-
ta. Untung pintu tak terkunci. Segera saja ia buka 
pintu kamar dengan cepat, dan melompat ke da-
lam. Tampak satu pemandangan yang membuat 
darahnya berdesir... Karena dua orang manusia 
berlainan jenis bagaikan dua orang bayi yang ba-
ru dilahirkan dari perut ibunya, saling berangku-
lan di pembaringan. Walaupun pemandangan itu 
membuat darahnya tersirap, namun mengingat 
waktu sangat sempit, Roro telah berkelebat cepat 
untuk segera menotoknya, hingga kedua manusia 
itu tak dapat berkutik lagi. Dan serta-merta telah 
perhatikan wajah si wanita. Namun tampaknya ia 
sudah melompat lagi keluar kamar, dan tutupkan 
pintu. Kembali ia berkelebat ke lain ruangan. Pa-
da sebuah ruangan yang terbuka ia dapat dengar 
suara beberapa wanita... Segera ia merandek un-
tuk mendengarkan.
"Cepatlah kau melarikan diri...! Mumpung 
belum terlambat..! Nyonya majikanku tengah ber

tarung dengan adik kandungnya, bersama kelima 
orang murid-muridnya....'" Terdengar berkata sa-
lah seorang wanita.
"He...? Kau mau mati? Pergilah kalau me-
mang sudah tak inginkan hidup! Si Walet Kenca-
na tak akan membiarkan orang bawahannya un-
tuk kabur begitu saja. Hmh, rupanya diam-diam 
kau mau jadi penghianat, ya! Awas kau Laras..! 
Akan aku adukan perbuatanmu pada Ndoro Pu-
tri!" Ancam seorang wanita yang suaranya terden-
gar agak santar.
"Huh, kau memang keterlaluan Katrijah. 
Aku hanya merasa kasihan padanya kalau sam-
pai ia jadi korban bangsawan hidung belang. Jadi 
pemuas hawa nafsu manusia-manusia yang su-
dah tak mengenal batas kesusilaan..! Apakah tak 
tersirat dihatimu untuk juga lepaskan diri dari 
tempat terkutuk ini..?" Menyahuti lagi wanita 
yang bernama Laras itu dengan tak kalah sengit-
nya. Dan kata-katanya sudah terdengar disam-
bung lagi...
"Apakah kalian semua juga sudah betah 
berdiam ditempat najis seperti ini..?"
Tampak sejenak suasana jadi hening. Ter-
dengar salah seorang menghela napas, entah sia-
pa.
"Sebenarnya bukan kami tak mau mening-
galkan tempat maksiat ini, tapi kami takut untuk 
melarikan diri. Kami takut tertangkap lagi. Dan 
akan besar akibatnya. Bukankah pernah salah 
seorang teman kita yang coba-coba melarikan di

ri, telah kau lihat sendiri penyiksaan atas dirinya. 
Yang akhirnya menemui kematian..!" Kembali se-
mua terdiam, namun salah seorang terdengar 
berkata dengan suara lemah :
"Aku tak dapat tinggalkan pembaringan-
ku... Tubuhku terasa lemah tak bertenaga ...! Aku 
memang lebih baik mati dari pada berdiam di-
tempat celaka ini..!" Suara itu dibarengi dengan 
suara isak tersendat. Tersentak seketika Roro 
Centil. Segera ia sudah dapat menebak siapa 
adanya wanita itu... Dengan segera ia sudah ge-
rakkan tubuh melompat masuk ke dalam kamar. 
Kemunculan Roro membuat beberapa sosok tu-
buh melangkah mundur. Dan beberapa pasang 
mata-mata yang jeli menatap tajam ke arahnya. 
Roro sudah lantas berkata :
"Aku akan menolong kalian semua keluar 
dari neraka ini. Segera bersiaplah untuk minggat 
tinggalkan tempat celaka ini..!" Dan kata-katanya 
telah dibarengi dengan melangkah cepat ke arah 
seorang gadis yang terbaring di pembaringan. 
Yang juga tengah menatap padanya.
"Apakah kau yang bernama Sumirah..? 
Bertanya Roro. Gadis ini segera berusaha bangkit 
untuk duduk. Tampak memang tubuhnya lemah 
sekali. Segera Roro ulurkan tangan memban-
tunya. Bahkan dengan gerakan-gerakan tangan-
nya ia telah mengurut di beberapa tempat bagian 
tubuh gadis itu. Tampak si gadis tampilkan wajah 
girang. Ia segera telah dapat bangkit berdiri. Dan 
dengan memandang kagum pada orang dihadapannya, tanpa ragu-ragu ia telah peluk tubuh Ro-
ro sambil linangkan air mata.
"Be., benar! Aku Sumirah..! Siapakah ka-
kak..?" Bertanya ia sambil lepaskan pelukannya. 
Roro tampak menarik napas lega.
"Aku Roro Centil, sahabat ayahmu Ki Rek-
sa Permana.." Tutur Roro sambil tepuk-tepuk 
pundak gadis itu dengan terharu.
"Oh... ?! Andakah Pendekar Wanita Pantai 
Selatan yang diceritakan ayahku itu?" Sumirah 
belalakkan sepasang matanya dengan mulut 
ternganga. Roro angguk-anggukkan kepalanya. 
Dan tiba-tiba ia telah loloskan pedang tipis Ki 
Reksa Permana dari pinggangnya, serta berikan 
benda itu pada si gadis.
"Cepatlah kau terima pedang pusaka 
ayahmu ini. Jangan banyak bertanya..! Ayo, sege-
ra ikuti aku..!" Selanjutnya ia telah tarik lengan si 
gadis keluar dari kamar. Sembilan wanita yang 
berdesakan dikamar itu tanpa dikomandokan lagi 
turut mengikuti dibelakang. Cuma salah seorang 
yang bernama Katrijah itu tiba-tiba hentikan tin-
dakannya. Ia agak ragu untuk turut melarikan di-
ri. Namun salah seorang telah menarik lengan-
nya, hingga terpaksa iapun berlari menyusul yang 
lainnya.
"Aku tahu pintu keluar yang baik..!" Teriak 
Laras. Yang segera mendahului ke arah depan 
Roro, yang tidak gunakan gerakkan terlalu cepat, 
karena harus menunggu wanita-wanita lain dibe-
lakangnya. Dengan sebat Laras sudah berlari untuk menuju ke arah pintu belakang. Dua orang 
pembantu terperanjat melihat orang-orang diha-
dapannya berlarian, hingga ia berdiri dengan wa-
jah kebingungan.
"Sssst, Awas kau! Jangan berani laporkan 
kepergian kami..!" Laras cepat tempelkan jari te-
lunjuk pada bibirnya, sambil plototkan mata pada 
kedua pembantu itu. Namun sekali Roro berkele-
bat, kedua pembantu itu sudah perdengarkan ke-
luhannya dan jatuh menggeloso, tanpa bisa kelu-
arkan suara lagi. Kira-kira sepeminum teh, sete-
lah rombongan wanita-wanita itu melewati pintu 
belakang gedung, suasana di gedung itu kembali 
sunyi. Kedua pembantu itu cuma bisa gerakkan 
kepalanya saling berpandangan. Namun sama se-
kali ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Apala-
gi bersuara. Karena Roro telah menotok urat sua-
ranya.
Pertarungan antara si wanita pendatang 
bernama Ken Wangi itu dengan kelima orang mu-
rid wanita, merangkap primadona di gedung ber-
taman indah milik si Walet Kencana itu, tampak 
berjalan dengan seru. Suara bentakan dan teria-
kan-teriakan terdengar santar, diantara bera-
dunya senjata-senjata tajam. Tiga wanita pergu-
nakan pedangnya untuk menusuk dengan berba-
reng... Namun si wanita berbaju kuning alias Ken 
Wangi itu cuma mendengus, dan putarkan tong-
katnya untuk menyampok mental terjangan ke 
arahnya. Dua wanita yang satu gunakan sabuk 
sutera untuk belitkan pada tongkat Ken Wangi,

sedang satu lagi adalah si Elang Alap-alap, yang 
sudah gerakan tangannya menyerang dengan pa-
ku-paku beracun, senjata rahasia andalannya.
"Perempuan-perempuan bejat..!" Teriak 
Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia telah sentakkan 
tongkatnya dengan keras, hingga tubuh si wanita 
yang telah berhasil menggubat tongkatnya itu me-
luncur ke arahnya. Hal yang diluar dugaan itu te-
lah membuat si wanita bersabuk sutera terkesiap, 
terlebih-lebih si Elang Alap-alap... Karena saat itu 
telah meluncur tiga paku beracun ke arah depan. 
Namun sudah terlambat. Segera saja terdengar je-
rit si wanita bersabuk sutera itu yang roboh ter-
sungkur. Tampak tubuhnya berkelojotan bagai 
ayam baru disembelih. Namun sekejap kemudian 
telah terkulai tewas. Kiranya tiga paku beracun 
itu telah mengenai leher dan punggungnya. Tiga 
wanita berpedang melompat mundur, seraya pa-
lingkan muka ke arah si Elang Alap-alap. 
"Kau...!?" Hampir berbareng mereka berteriak 
sambil plototkan mata pada si Elang Alap-alap, 
yang seketika wajahnya berubah pias.
"Aku tak menyangkanya, akan terjadi de-
mikian..!" Berkata si wanita bercadar tipis itu 
membela diri. Dan tiba-tiba ia telah berkelebat ke 
arah Ken Wangi untuk menempurnya dengan ter-
jangan-terjangan kaki dan tangannya. Pada saat 
itulah muncul si Walet Kencana, yang segera ke-
luarkan bentakan keras.
"Menyingkir semua..! Biar aku yang meng-
hajar bocah kurang ajar ini.,!" Serentak ketiga

wanita berpedang yang telah siap untuk kembali 
menempur itu, melompat ke belakang begitu li-
hat, munculnya sang guru mereka. Si Elang Alap-
alap pun segera melompat mundur. Namun se-
saat sudah kembali melesat untuk memondong 
mayat saudara seperguruannya. Dan dibawa me-
nyingkir ke sisi.
"Murid-murid kerocomu itu baiknya kau 
ajari memasak Walet Kencana..! Mengapa hanya 
kau ajari membunuh orang dan melayani laki-laki 
hidung belang saja...?" Merah padam wajah si 
Walet Kencana.
"Kuntilanak..! Hitam kataku tetap hitam. 
Kau sudah bunuh orangku, maka tak salah jika 
aku turunkan tangan keji terhadapmu..!" Dan se-
kejap ia sudah lompat menerjang... Kedua belah 
tangannya telah bergerak menghantam ke arah 
Ken Wangi. Tersentak wanita itu, yang segera 
berkelebat menghindar, namun tak urung samba-
ran angin panas itu telah membuat kulitnya kena 
terserempet.
Busss! 
Tanah tempatnya berpijak muncrat ber-
hamburan, dan tampak berubah hitam, hangus. 
Sementara sebelah lengan Ken Wangi telah jadi 
melepuh, akibat serempetan hawa panas yang 
menyambar dahsyat itu.
"Keparat! Arwah orang tua kita pasti me-
nangis, bila dapat melihat kekejianmu Walet Ken-
cana! Manusia sepertimu, sudah tak mengenal la-
gi akan jalan yang benar. Kau mau turunkan tan

gan keji untuk membunuhku? Baik! Aku akan 
adu jiwa denganmu...!" Segera saja terdengar te-
riakan santar Ken Wangi, yang dengan beringas 
telah menerjang dengan tongkatnya.
Wuss! Wuss! Dua hantaman keras secara 
beruntun meluncur ke arah tenggorokan dan ke-
pala si Walet Kencana. Namun wanita setengah 
tua ini cuma keluarkan dengusan di hidung. Dan 
dengan sedikit mengegos ia berhasil menghin-
dar...
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan dengan 
telak telah mengenai dada Ken Wangi. Yang sege-
ra perdengarkan teriakannya. Tubuhnya terlem-
par beberapa tombak... Begitu menyentuh tanah
telah menggelogok darah kental berwarna hitam, 
keluar dari mulutnya. Terlihat baju kuningnya te-
lah berubah jadi hitam hangus. Segera saja kain 
itu menjadi serpihan lapuk ketika lengan Ken 
Wangi merabanya. Terpaksa Ken Wangi biarkan 
payudaranya terbuka, yang tampak kedua da-
gingnya menjadi berubah kehitaman. Betapa sa-
kitnya Ken Wangi merasakannya, namun lebih 
sakit lagi hatinya... Perlahan-lahan ia sudah 
bangkit lagi. Tongkatnya telah kembali disilang-
kan ke depan dada. Sepasang matanya menatap 
tajam bersinar-sinar pada kakak kandungnya, 
yang telah tega berbuat sedemikian pada adiknya 
sendiri.
"Kau terlalu mencampuri urusanku, Ken 
Wangi! Sudah kukatakan sejak dulu. Jangan kau

sok menasihati aku. Ambillah jalanmu sendiri. 
Dan biarkan aku mengambil jalan yang kutem-
puh sendiri..!"
"Keparat! Begitu hina dan rendahnya jalan 
fikiranmu! Mana aku bisa berpeluk tangan meli-
hat laku lampahmu...? Kau bukan lagi manusia. 
Ken Huma..! Kau memang ibliiiiiss..!" Dan dengan 
berteriak keras ia telah kembali menerjang. Kali 
ini tongkatnya telah diputar sedemikian rupa 
hingga sesaat Walet Kencana agak sulit menya-
rangkan pukulannya untuk menangkis putaran 
tongkat. Namun senjata sang adik tiba-tiba telah 
berubah ganas. Tolakan dari tangkisan itu mem-
buat putaran tongkatnya terhenti. Namun gera-
kan selanjutnya bahkan lebih hebat. Setiap puku-
lan mengandung tenaga dalam. Batu dan ranting 
beterbangan hancur, terkena sambaran tongkat 
Ken Wangi. Ia sudah tak menghiraukan lagi akan 
nyawanya... Serangan-serangan ganas itu sudah 
saling susul menghantam si Walet Kencana.
Plak! Plak!.... Buk!
Kembali terdengar teriakan kesakitan dari 
Ken Wangi. Tubuhnya telah terlempar lagi bergul-
ing-guling. Kali ini bajunya pada bagian pung-
gung yang terlihat hangus. Menampakkan serpi-
han-serpihan kain yang hancur, menyingkapkan 
kulit punggung wanita itu yang terlihat mengelu-
pas. Dengan menahan rasa perih pada pung-
gungnya, juga tanpa menghiraukan darah yang 
mengalir hitam dari bibirnya.... Kembali ia bang-
kit untuk menerjang. Namun Ken Huma alias si

Walet Kencana sudah menerjangnya kembali den-
gan hantaman yang sudah dipastikan akan me-
renggut nyawa sang adik... Akan tetapi pada saat 
dan detik yang membawa maut itu, telah terden-
gar bentakan keras.
"Iblis keji..!" Dan bersyiurlah angin keras 
yang menggelombang, menghantam balik pukulan 
si Walet Kencana. 
"Aiiiiii..!? Terdengar si Walet Kencana me-
mekik. Segera ia sudah lemparkan tubuhnya ber-
gulingan.
Bhusss..! Batu dan semak dibelakangnya 
buyar berantakan disertai jeritan ketiga murid si 
Walet Kencana yang tak sempat menghindar. Ter-
nyata hantaman angin yang bergelombang dah-
syat itu telah menghantam balik pukulan dahsyat 
si Walet Kencana. Tak ampun lagi ketiga murid-
nya telah perdengarkan jerit kematian, karena se-
ketika tubuhnya telah berubah hangus... Terbe-
liak sepasang mata si Walet Kencana, menyaksi-
kan ketiga murid wanitanya berkelojotan mere-
gang nyawa. Ternyata ia telah mengumbar hawa 
amarahnya untuk menghancur leburkan tubuh 
Ken Wangi. Hingga ia hantamkan kedua telapak 
tangannya dengan menyalurkan tenaga dalamnya 
dengan tenaga penuh. Akibatnya yang menjadi 
korban adalah ketiga orang muridnya sendiri. Wa-
jahnya seketika berubah pias bagai kertas, ketika 
sesosok tubuh tahu-tahu telah muncul dihada-
pannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Ki-
ranya setelah mengamankan wanita-wanita sekapan didalam gedung maksiat itu, ia kembali ke 
taman... Karena tiba-tiba ia teringat akan seorang 
pendatang wanita berbaju kuning yang tengah 
bertarung dengan kelima wanita murid si Walet 
Kencana. Memang ia telah mendengar si wanita 
pendatang itu bernama Ken Wangi yang entah 
akan bicara apa padanya... Disamping mengkha-
watirkan keselamatan dirinya. Dari kata-katanya 
ia sudah mengambil kesimpulan bahwa Ken Wan-
gi berada di pihak yang benar. Yang telah menda-
pat tantangan keras dari sang kakak.
Ken Wangi tampakkan wajah gembira me-
lihat kedatangan Roro, ia sudah segera mau ber-
gerak menghampiri... namun tiba-tiba kembali ia 
muntahkan darah hitam kental dari mulutnya. 
Sekonyong-konyong ia rasakan matanya berku-
nang-kunang. Pandangan matanya menjadi gelap. 
Dan dengan keluhan lemah, ia jatuh terjungkal... 
Namun sebelum hal itu terjadi, Roro telah berke-
lebat untuk menyangganya. Dilain kejap ia telah 
pondong tubuh Ken Wangi ke tempat yang aman.
"Celaka..? Keadaan tubuhnya luka pa-
rah..!" Menggumam Roro, dengan suara berdesis. 
Sepasang alisnya mengkerut ke bawah. Dan tak 
ayal lagi ia gunakan tenaga dalamnya untuk me-
nyalurkan hawa hangat, pada tubuh Ken Wangi. 
Namun napas Ken Wangi tinggal satu-satu... De-
tak jantungnya kian melemah. Tiba-tiba wanita 
itu telah buka kelopak matanya, menatap pada 
Roro.
"An... anda kah si Pendekar... Wanita Pan

tai Selatan i... itu...?" Dengan megap-megap wani-
ta itu berusaha buka suara. Sementara wajahnya 
tampak semakin memucat. Aliran tenaga dalam 
Roro cuma mampu membuat dia bertahan bebe-
rapa saat. Karena begitu Roro Centil mengang-
gukkan kepala dengan memandang terharu, tam-
pak si wanita malang itu tersenyum padanya. 
Tangannya tiba-tiba bergerak menggapai lemah... 
Segera Roro cepat menangkapnya dan terasa pilu 
hatinya ketika dengan kekuatan terakhir Ken 
Wangi mencekal keras tangannya, seperti tengah 
menjabat tangan tanda gembiranya akan perte-
muan yang pertama kalinya dengan sang Pende-
kar Wanita itu tetapi juga pertemuan yang terak-
hir... Karena cekalan tangannya perlahan-lahan 
mengendur. Dan kembali jatuh terkulai bersama 
hembusan nafasnya yang terakhir. Ken Wangi te-
lah wafat dengan bibir tersungging senyuman, di-
hadapan Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro 
Centil.
Menitik air mata sang Pendekar ini. Betapa 
banyak orang harus berkorban jiwa, hanya demi 
tegaknya kebenaran... Apakah kebhatilan yang 
harus tegak dimuka bumi ini..? Teriak hati Roro. 
Tapi sudah tersentak lagi hatinya untuk memban-
tah. Tidak..! Kebhatilan harus punah dari muka 
bumi ini! Setan Cebol masih hidup bergentayan-
gan. Dan kini sejenisnya tengah menanti dengan 
penuh kebencian untuk menghancurkan kebena-
ran. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang 
dari Roro Centil. Pertanda ia melepaskan kejeng

kelannya, akan manusia-manusia yang hanya 
membuat kericuhan diatas jagat ini... Dan detik 
itu juga tubuh Roro telah melesat ke arah dimana 
si Walet Kencana berada. Wanita itu telah bangkit 
berdiri. Wajahnya memerah menandakan kegusa-
rannya, melihat ketiga muridnya yang telah tewas 
akibat munculnya orang yang telah menyela-
matkan jiwa Ken Wangi. Baru saja ia mau gerak-
kan tubuh untuk melesat ke arah Roro Centil. 
Namun sudah keburu si gadis itu yang berkelebat 
kehadapannya. Ia sudah keluarkan bentakannya :
"Heh!? Kiranya kau si bocah aneh itu! Su-
dah kuduga, kau hanya berpura-pura saja..! Wa-
laupun ilmumu setinggi langit, jangan harap kau 
dapat lolos dari kematian. Benarkah kau yang 
bernama Roro Centil itu?" Kata-katanya sudah 
disambung dengan pertanyaan. Seperti juga ku-
rang yakin akan penglihatannya.
"Kalau kukatakan benar, apakah kau mau 
terus berlutut mencium kakiku...?" Balik bertanya 
Roro dengan lagak yang masih bernada jumawa. 
Terbeliak mata si Walet Kencana karena gusar-
nya, dan tiba-tiba saja ia telah perdengarkan te-
riakan keras, untuk segera lancarkan serangan.
Plak! Terdengar benturan kedua telapak 
tangan. Tubuh Roro hanya tergeser beberapa 
langkah. Namun si Walet Kencana telah memekik 
keras, karena arus balik tenaganya sendiri yang 
menyerangnya. Terhuyung-huyung ia mundur 
beberapa langkah ke belakang. Tampak ia telah 
pegangi dadanya. Sementara darah kental menetes dari bibirnya. Ternyata Roro tak mau ba-
nyak gunakan waktu untuk bertempur, dan telah 
gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor. Jurus 
langka yang diwarisinya dari Pantai Selatan. Se-
hingga tenaga dalam serangan si Walet Kencana 
berbalik menyerang sendiri. Lagi-lagi si Walet 
Kencana dibuat tak habis mengerti. Ia pandangi 
orang dihadapannya masih tenang-tenang saja 
seperti tak terjadi apa-apa. Sementara ia segera 
kerahkan tenaga dalam untuk menormalkan 
kembali keadaan tubuhnya. Dilain kejap, ia telah 
loloskan sabuk Kencana yang membelit pada 
pinggangnya. Inilah senjata ampuh yang telah 
membuat ia terkenal dengan nama julukan si Wa-
let Kencana. Senjata ini memang ada dibalik pa-
kaian tertutup baju. Benda yang panjangnya satu 
meter lebih itu adalah logam yang lemas, yang 
panjangnya mempunyai tiga ruas. Terbelit oleh 
sebuah rantai berbentuk bulatan. Sedang bagian 
kepalanya berbentuk burung walet yang tengah 
membentangkan sayapnya. Warnanya kuning 
emas. Ketika benda panjang itu diputarkan, sege-
ra membersit suara seperti burung walet yang 
mencicit tiada hentinya.
Melihat orang keluarkan senjata pusa-
kanya. Roro dengan senyum masih menghias bi-
bir, segera loloskan sepasang Rantai Genit dari 
pinggangnya. Dan segera saja iapun memutar se-
buah senjatanya, sedang sebuah lagi tetap terpe-
gang ditangan kiri. Detik selanjutnya segera ter-
dengar suara mendengung bagaikan suara ratu

san tawon yang menandingi suara cicit burung 
walet.
"Bocah jumawa..! Kau rasailah kehebatan 
Sabuk Kencana ku...!" Dan berbareng dengan su-
ara bentakannya, si Walet Kencana telah mener-
jang ke arah Roro Centil. Hebat dan ganas seran-
gan itu, segera saja bagai ratusan walet yang ber-
kelebatan. Ujung Sabuk Kencana si wanita ber-
nama Ken Huma itu telah mengurung Roro. Se-
bentar sebentar walet-walet yang bercicitan itu 
mematuk ke setiap jalan darah yang berbahaya 
ditubuh sang Pendekar Wanita. Hal mana mem-
buat Roro Centil juga terkesiap, tak menyangka 
akan kehebatan senjata lawan. Dengan berteriak 
keras ia segera putar tubuh dan berkelebatan un-
tuk menghindar. Sementara ia sudah gunakan 
sepasang senjatanya untuk menangkis setiap da-
tangnya serangan.
Tring! Tring! Tring! 
Tiga patukan yang mematikan telah berha-
sil ia tangkis dengan si Rantai Genit. Tampak si 
Walet Kencana gertak gigi, dan dengan menden-
gus ia telah robah gerakan senjatanya. Kali ini se-
rangannya membuat gerakan menyilang yang 
membingungkan lawan. Ratusan walet segera 
berserabutan menyerang Roro dari berbagai arah. 
Terkadang menukik dengan tiba-tiba. Atau me-
luncur deras mengarah tenggorokan. Senjata Sa-
buk Kencana ini memang aneh, bisa menjadi le-
mas seperti ular, tapi bisa juga menjadi keras ba-
gaikan sebatang tombak. Nyaris saja dadanya terkoyak oleh sepasang sayap walet yang tiba-tiba 
mencicit dengan menukik tajam. Untung ia telah 
pergunakan gaya orang mabuk. Sehingga loloslah 
serangan berbahaya itu. Gerakan orang mabuk 
itu ternyata banyak menolongnya. Sehingga se-
rangan menyilang yang serabutan itu bisa terha-
lau dengan mudah. 
Tampak si Walet Kencana seperti kehabi-
san akal. Tiba-tiba ia memekik keras, seraya len-
gannya yang sebelah telah mencabut sebuah se-
ruling yang pendek. Dan detik berikutnya sudah 
terdengar suara yang melengking tinggi rendah 
membisingkan telinga. Roro Centil leletkan lidah. 
Baru untuk kesekian kalinya ia menjumpai 
orang-orang lihai, yang kali ini harus berlaku ha-
ti-hati. Salah-salah nyawanya bisa terbang ke Ak-
hirat. Melihat orang sudah keluarkan senjata lagi, 
yang ternyata cukup mempengaruhi konsentra-
sinya, Roro pergunakan cara lain, inilah memang 
cara yang aneh. Cara yang jarang dipunyai oleh 
sembarang tokoh persilatan... Karena akal yang 
cerdik saja yang bisa mempergunakannya. Tiba-
tiba saja Roro telah melompat mundur tiga-empat 
tombak. Dan begitu ia sudah dapat menarik na-
pas untuk istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar 
suara tertawa Roro yang mengikik geli. Tertawa 
yang terpingkal-pingkal itu membuat si Walet 
Kencana jadi melengak, dan membuatnya ber-
tanya-tanya dalam benaknya.
Ada apakah yang lucu..? Pikir si Walet 
Kencana. Sementara tanpa disadari tiupan serul

ing pendeknya jadi berhenti. Demikian juga ter-
jangannya mendadak ia hentikan. Hal itu juga 
membuatnya mengambil keuntungan. Karena na-
pasnya memang sudah Senin-Kemis akibat terlalu 
gencar menyerang. Apalagi ia telah terluka dalam 
akibat balikan tenaga pukulannya sendiri...
"Hi hi hi... Mengapa berhenti menyerang 
Walet Kencana..? Apakah kau sudah menyerah 
kalah..! Kalau begitu bukankah dengan baik-baik 
segera bersujud mencium kakiku..! Atau aku ha-
rus perintahkan kau untuk melakukannya..? Hi 
hi hi... hi hi.." Kembali ia tertawa mengikik geli. 
Merah seketika wajah si Walet Kencana. Bocah 
Centil dihadapannya benar-benar membuatnya 
menjadi bertambah jengkel. Belum lagi ia mem-
bentak, Roro sudah menyambung lagi kata-
katanya: "Baiklah! Mungkin sepasang sepatuku 
ini sudah bau, hingga kau tak berani mencium 
kakiku. Nah, tunggulah kubuka dulu..!" Seraya 
berkata, ia telah cepat buka sepatu rumputnya. 
Dan saat berikutnya sepasang sepatu Roro benar-
benar telah dibuka.
"Uhh..." Pantas, baunya amit-amit..!" Roro 
sudah lantas mencium ujung sepatunya. Dan ti-
ba-tiba telah ia lemparkan ke atas.... seraya ber-
kata sambil mendongak.
"Nah! Terbanglah yang tinggi wahai sepa-
tuku yang sudah butut..!" Aneh, memang... Men-
gapa tahu-tahu si Walet Kencana ikut-ikutan 
mendongak ke atas. Padahal sudah sedari tadi ia 
gregetan pada si gadis, yang sudah mau dilabrak

nya itu, namun ia agak merasa ngeri akan akal li-
cik yang dipergunakannya. Makanya dengan sa-
bar ia menahan kemarahannya, juga ingin tahu 
apa yang akan diperbuat si orang aneh dihada-
pannya. Sepasang sepatu meluncur ke atas demi-
kian tinggi... Namun tanpa menunggu kembali 
benda itu jatuh, si Walet Kencana sudah tak sa-
bar untuk membentak. Namun alangkah terke-
jutnya begitu ia lihat ke depan, ternyata tubuh si 
centil dihadapannya telah lenyap.
"Bocah keparat..!" Memaki si Walet Kenca-
na. Ia segera putar tubuh untuk mencari dimana 
adanya si gadis yang menyebalkan itu. Tapi tak 
menampak batang hidungnya. Bahkan yang ter-
dengar adalah suara tertawa yang mengikik geli, 
seperti ada di berbagai tempat. Tentu saja ia tak 
dapat melihat Roro, karena jika si Walet Kencana 
putar tubuh ia segera mengikuti dibelakangnya. 
Pada saat itulah sebuah benda tiba-tiba berkele-
bat disebelahnya. Membentak si Walet Kencana, 
seraya menghantamnya.
Brak..! Benda itu hancur jadi beberapa 
keping, yang ternyata hanya sebuah batu.
"Tampakkan dirimu bocah keparat..!" Te-
riak si Walet Kencana. Akan tetapi kembali melu-
ruk deras dari atas dua buah benda ke arah kepa-
lanya.
"Edan..!" Ia segera mendongak ke atas un-
tuk menyampok jatuh benda itu. Tapi terkesiap 
ia, karena dua benda itu adalah sepasang sepatu 
Roro yang tadi dilemparkan ke atas, dan baru jatuh setelah sekian lama... Pada saat itulah ter-
dengar suara.
Tring! Tring! Dan tanpa disadarinya sepa-
sang senjata si Rantai Genit, telah menyambar ke 
arah kedua senjatanya. Yang tak ampun lagi se-
gera terlepas dari genggamannya. Sabuk Kencana 
itu terlempar seketika, yang mau tak mau telah 
dilepaskan karena getaran hebat yang menggetar-
kan tangannya hingga menjadi kesemutan. Se-
dangkan suling pendeknya telah jadi remuk, dan 
juga terlepas dari genggamannya. Belum lagi hi-
lang rasa terkejutnya, sebuah hantaman keras te-
lah mendarat di kepalanya. Seketika matanya jadi 
berkunang-kunang. Tubuhnya sekonyong-
konyong jadi limbung. Dan jatuhlah ia dengan 
menekuk lutut. Ia tak dapat lagi melihat sekeli-
lingnya karena pandangan matanya telah menjadi 
gelap.
"Nah! Kau ciumlah kakiku..! Bagus! Hi hi 
hi... Mengapa tak sedari tadi kau lakukan..?" Ter-
dengar suara Roro Centil dihadapannya. Yang te-
lah membuat hampir hilang sukmanya. Tahu-
tahu kepalanya telah ditekan kebawah, hingga 
benar-benar ia terasa mencium sepasang kaki 
yang masih ada sisa bau kecutnya.
"Bocah keparat..!" Bentak si Walet Kenca-
na. Namun tiba-tiba ia telah perdengarkan jeritan 
ngeri, karena saat itu juga Roro telah gerakkan 
kakinya untuk mencongkel tubuh si Walet Ken-
cana, hingga sang tubuh melambung ke udara. 
Pada saat itulah terdengar bentakan yang membuat terkejut Roro Centil. 
"Bocah Centil..! Penipu tengik! Kubunuh 
kau..! Sebuah sambaran benda panjang bersyiur 
dibelakang Roro. Itulah serangan mematikan yang 
mengarah kepala dari sebuah pipa cangklong si 
bangsawan bungkuk alias Raden Mas Guntoro 
Kecut. Ternyata ia telah berhasil melepaskan diri 
dari pengaruh totokan Roro Centil. Dengan gera-
kan secepat kilat, Roro Centil gulingkan tubuhnya 
ke tanah. Tak ada jalan lain selain mengambil ke-
putusan dengan cepat. Saat itulah sebelah kaki 
sang Pendekar Wanita itu telah bergerak me-
nyampok mental pipa cangklong. Itulah gerakkan 
reflek yang ia telah lakukan. Namun dengan sam-
pokan yang telah ia perhitungkan dengan cermat. 
Karena itulah jurus ilmu Meninju Tongkat Memu-
kul Anjing. Salah satu jurus dari gurunya si Mal-
ing Sakti dari lereng Gunung Rogojembangan. 
Akibatnya memang amat fantastis, karena segera 
terdengar jerit mengerikan, ketika dengan deras 
pipa cangklong itu meluncur untuk segera me-
nembus tubuh si Walet Kencana yang masih be-
rada di udara... Dan selanjutnya detik berikutnya, 
tubuh wanita yang sial itu jatuh berdebuk ke bu-
mi. Kejadian itu begitu cepat, hingga membuat 
Raden Mas Guntoro Kecut jadi terbeliak. Dilihat-
nya si Walet Kencana menggeliat untuk kembali 
bangkit. Sepasang matanya terlihat seperti merah 
menyala, menatap Roro.
"Bocah kepar... rrrratt..." Hanya itu yang 
bisa ia ucapkan, karena selanjutnya ia sudah ter

kulai lagi untuk segera melepaskan nyawanya. 
Melihat kematian si Walet Kencana. Si bangsawan 
bungkuk itu jadi menggigil ketakutan. Bukannya 
menerjang ke arah Roro yang sedang membela-
kangi, tapi dengan diam-diam ia berusaha kabur 
untuk mengambil langkah seribu. Akan tetapi Ro-
ro Centil sudah perdengarkan suara tertawanya. 
Dan tiba-tiba sebuah benda yang tak lain dari si 
Rantai Genit, telah meluncur deras ke belakang si 
manusia berakhlak bejat itu.
Prak! Terdengar suara kepala yang beradu
keras dengan bandulan Rantai Genit itu... Dan 
terdengar teriakan keras, disertai terjungkalnya 
tubuh Raden Mas Guntoro Kecut. Dan tanpa ber-
kelojotan lagi si bangsawan bungkuk hidung be-
lang itu sudah tewas dengan batok kepala pecan. 
Roro sudah enjot tubuhnya untuk kembali me-
nyambar senjatanya. Setelah bersihkan pada baju 
sang mayat ia sudah segera gerakkan tangannya 
untuk menyelipkan kembali sepasang Rantai Ge-
nit nya pada kedua sisi pinggangnya.
"Hmh, orang semacam kau lebih bagus 
siang-siang pulang ke akherat, sebelum bertam-
bah lagi dosamu..! Menggumam Roro.
7
MATAHARI semakin tinggi diatas kepala... 
burung-burungpun seperti enggan untuk me-
nampakkan diri, di panas terik itu. Mereka berlindung di balik dedaunan yang rimbun sambil 
membentangkan sayapnya. Yang terkadang men-
gibas-ngibas untuk membersihkan kotoran yang 
melekat pada bulu-bulunya. Sementara beberapa 
ekor merpati itu tampak tengah asyik mencari ku-
tu-kutu dengan paruhnya...
Roro Centil rebahkan tubuhnya terlentang 
dibawah pohon itu. Semilir angin sesekali mem-
buat kesejukan pada tubuhnya. Ia sudah pejam-
kan matanya, dengan berbantalkan lengan. Se-
lang sesaat saja ia telah terlena pulas, karena di-
hembus angin yang sepoi-sepoi membuat sepa-
sang matanya jadi mengantuk. Sehingga tanpa ia 
ketahui sepasang mata dengan tajam penuh ke-
bencian, memandang ke arahnya.... Itulah sepa-
sang mata si wanita bercadar tipis, alias si Elang 
Alap-alap. Wanita yang telah menjadi sakit hati 
terhadapnya. Tampak ia telah bertindak dengan 
pelahan-lahan menghampiri, tapi sebentar kemu-
dian ia merandek sejenak... Ia sudah keluarkan 
tiga buah paku beracun. Dan digenggam erat pa-
da tangannya. Namun tampaknya ia urungkan 
niatnya... dan masukkan lagi senjata rahasia itu 
ke dalam sakunya. Sepasang matanya beralih pa-
da sebuah batu besar didekatnya.
"Aku ingin lihat dia mati menggeletak den-
gan kepala hancur..!" Terdengar ia berdesis den-
gan amat pelahan sekali. Dan saat selanjutnya 
batu besar itu, diangkatnya dengan pelahan-
lahan. Cukup berat untuk meremukkan kepala 
orang yang amat dibencinya itu. Berfikir ia dalam

hati. Dan kembali ia melangkah dengan langkah 
hampir tak terdengar. Kini ia telah berada di ba-
gian ujung kepala Roro Centil yang masih tak ter-
lihat bergeming. Hanya napasnya saja yang keli-
hatan turun naik. Sepasang matanya masih ter-
katup rapat... Inilah saatnya kau mampus..! Ber-
sorak hati si Elang Alap-alap. Dan ia telah angkat 
batu besar itu tinggi-tinggi diatas kepala Roro... 
Namun wanita itu lupa, bahwa pasir-pasir halus 
yang berjatuhan dari bawah batu itu telah melun-
cur turun mengenai wajah, dan pelupuk mata Ro-
ro dibawahnya. Dan hal itulah yang telah mem-
buat Roro Centil membuka matanya. Nalurinya 
yang peka telah mengatakan bahwa ada apa-apa 
terjadi diatas kepalanya. Tepat pada detik itu, ba-
tu besar itu telah melayang turun ke arah kepa-
lanya. Terkesiap Roro Centil bukan kepalang me-
lihat bahaya didepan matanya... dengan berteriak 
tertahan ia telah gulingkan tubuhnya ke samping.
Buk! Terdengar batu besar itu jatuh berde-
bum menimpa tanah. Namun Roro Centil sudah 
selamat dari maut... Adapun si Elang Alap-alap 
tak menyangka sama sekali akan hal yang ber-
langsung begitu cepat. Saat ia terpaku, tiba-tiba 
sepasang lengan telah mencengkeram kakinya. 
Disertai bentakan Roro yang bagaikan geledek 
disiang hari terdengar santar ditelinganya. "Pen-
gecut licik...!" Dan tahu-tahu tubuhnya telah ja-
tuh terbanting, tepat diatas batu besar yang baru 
saja berhenti menggelinding... Terdengarlah teria-
kan ngeri dari mulut si Elang Alap-alap. Karena

dengan keras, kepalanya telah menghantam batu 
besar itu. Tak ampun lagi ia telah jatuh mengge-
loso. Namun ia masih berusaha untuk bangkit, 
walau terlihat ada darah mengalir dari belakang 
kepalanya. Pandangan matanya memang telah 
berkunang-kunang, dan rasa sakit pada kepa-
lanya terasa ngeri bukan kepalang. Tapi sebelum 
ia dapat gerakkan tubuhnya, entah apa yang ter-
jadi, karena tahu-tahu batu besar itu telah meng-
gelinding ke tubuhnya. Dan terdengarlah pekik 
mengerikan disertai terdengarnya suara remuk-
nya tulang dada, dan tengkorak kepala yang ber-
krotakan. Terlihat sepasang kaki si Elang Alap-
alap mengejang, dan bergerak-gerak... Namun se-
kejap kemudian gerakkan kaki itu terhenti untuk 
selamanya.
Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan sege-
ra tinggalkan tempat itu dengan wajah murung... 
namun membersitkan rasa bersyukur pada Tu-
han atas keselamatannya. Seperti terlihat pada 
wajahnya yang kembali tampakkan kecerahan, 
ketika ia mendongak ke langit sambil pejamkan 
mata. Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus, 
membuat leganya hati dan sejuknya perasaan... 
Dan detik selanjutnya sudah terdengar suara 
lengkingan Roro Centil, seperti melepaskan kele-
gaan hatinya. Dan detik selanjutnya ia telah ber-
kelebat cepat sekali, yang sesaat antaranya sosok 
tubuh Pendekar Wanita itupun lenyap... 
***

"Dalam sepekan ini aku perlukan empat 
orang wanita atau gadis, tentu saja yang bertu-
buh mulus, dan berwajah cukup cantik..! Terden-
gar suara bernada serius dari balik air terjun itu. 
Yang sudah ditimpali dengan suara kata-kata se-
perti suara burung gagak, namun agak besar se-
dikit.
"Benar! Wanita yang bertubuh mulus, pasti 
jantung dan hatinya pun akan mulus! Sudah tiga 
hari ini aku tak makan sarapan yang amat men-
guatkan tubuh itu, apakah tidak sebaiknya kau 
berangkat mencarinya, dan membawanya kema-
ri..? Aku khawatir, jangan-jangan aku bisa mengi-
lar untuk mengorek hati dan jantungmu, Dewi 
Tengkorak!" Itulah suara si Setan Cebol dan si Ib-
lis Tertawa dihadapan seorang wanita yang cuma 
bisa tampakkan wajah murung. Sejurus anta-
ranya wanita ini yang tak lain dari si Dewi Teng-
korak adanya, berdiam tanpa buka suara. Tiga 
hari ditempat sekapan yang tersembunyi itu 
membuat ia tak bisa berkutik apa-apa. Dan sela-
ma tiga hari itu, tenaganya hampir habis, karena 
harus melayani kehendak si Iblis Tertawa, dan si 
Setan Cebol berganti-ganti. Membuat ia mau me-
larikan diri saja dari sarang kedua iblis dan setan 
itu... Namun apalah artinya..? Dua butir pel yang 
telah dijejalkan pada mulutnya, membuyarkan 
keinginannya. Walaupun ia bisa saja tinggalkan 
pergi tempat itu, namun ia amat membutuhkan 
obat penawar dari racun yang sudah masuk pe

rutnya... Untuk membunuhnya adalah terlalu su-
lit. Apalagi pengaruh rasa takut akan kematian, 
membuat ia hilang semangatnya. Dan terpaksa ia 
harus menerima tugas dari kedua iblis dan setan 
jahat itu, mencarikan korban yang dimauinya.
"Baiklah, demi obat penawar itu, aku akan 
turuti perintah kalian. Namun aku khawatir aku 
cuma dijadikan budakmu saja. Dan nanti bila te-
lah tiba saatnya satu bulan, aku kau biarkan 
mampus keracunan..!" Berkata si Dewi Tengko-
rak. Meledaklah tertawa si Setan Cebol, diikuti si 
Iblis Tertawa, yang terdengar berkakakan didalam 
ruangan goa dibalik air terjun itu.
"Ha ha ha., ha ha... Kami berdua tak akan 
berdusta, dan pasti akan kau terima obat pemu-
nahnya sebelum waktu satu bulan..! Jangan 
khawatir nona manis..! Bukankah begitu sobat 
Setan Cebol..!?"
"He he he... Benar! Kalau aku sedang tidak 
malas, buat apa aku menyuruhmu? Aku hanya 
tengah mengajar adat padamu, agar jangan terla-
lu sombong jadi manusia..! Ha ha he he he..!" Ujar 
si Setan Cebol, yang kembali tertawa berkakakan.
"Baiklah, aku akan berangkat sekarang..!" 
Berkata si Dewi Tengkorak, seraya bergerak ke 
arah pintu goa.
"Bagus..! Agak cepatlah sedikit. Hati-hati, 
buaya-buaya di rawa itu suka naik ke darat. Aku 
khawatir kau dicaploknya..! Teriak si Iblis Terta-
wa. Namun Dewi Tengkorak, sudah tak menghi-
raukan lelucon yang tidak lucu itu. Ia segera melangkah keluar dari ruang Goa dibalik air terjun 
itu. Tapi dasar wanita yang sudah matang, dan 
berpengalaman, ia tidak terus berangkat pergi... 
melainkan berdiri disamping batu Goa. Telin-
ganya dipasang untuk mendengarkan suara dis-
ebelah dalam. Benarlah apa yang telah didu-
ganya. Karena segera terdengar suara tertawa si 
Muka Bocah alias si Iblis Tertawa itu...
"Ha ha ha...ha ha... Kalau saja ia tahu te-
lah aku bohongi, pasti siang-siang ia sudah ming-
gat tak balik lagi. Pel yang kujejalkan dimulutnya 
itu adalah obat perangsang yang pengaruhnya 
hebat luar biasa..! Buktinya ia mampu berperang 
tanding sampai menggebu-gebu melawanku! He 
he he... ha ha ha..." Terkejutlah si Dewi Tengko-
rak. Namun juga diam-diam ia bergirang hati 
yang telah dapat mendengar celoteh si Iblis Ter-
tawa. Segera ia sudah melesat cepat untuk ting-
galkan Goa yang telah membuat ia tersiksa seten-
gah mati itu. 
Huh! Buat apa aku turuti keinginannya.. 
Lebih bagus aku kabur dari daerah kekuasaan 
kedua setan dan iblis keparat itu! Berkata si Dewi 
Tengkorak dalam hati. Dan dengan beberapa kali 
ia mengenjot tubuh, sebentar saja sudah lenyap 
dari tempat yang sunyi mencekam itu.
Menjelang malam baru saja merangkak, 
Roro Centil sudah berada lagi dimuka pintu Pa-
depokan Cemara Kandang. Belum lagi ia mengu-
capkan salam, telah berteriak seorang gadis, yang 
telah memburunya keluar. Dialah si gadis Sumirah itu.
"Kakak Pendekar Roro Centil..! Aiii..!? Se-
lamat datang ditempat kediamanku!" Dan sang 
gadis itu sudah lantas memeluknya. Roro pun 
sudah balas memeluk si gadis itu dengan terharu. 
Tampak terdengar suara isak tersendat dari mu-
lut Sumirah. Dan terasa air hangat membasahi 
lengan Roro, ketika ia tengah membelai wajahnya.
"Kakak Roro... Mengapa semua ini terjadi 
pada diriku? Pada kami orang-orang Padepokan 
Cemara Kandang..? Benarlah dugaanku, ayah 
pasti tak akan mampu melawan si Iblis Cebol 
itu..?" Terdengar kata-katanya yang tersendat.
"Sudahlah dik Sumirah. Segalanya me-
mang sudah takdir Tuhan. Buat apa kau tangisi 
kematian orang yang sudah tiada? Sebaiknya ta-
wakallah. Dan jangan terlena oleh kesedihan. Aku 
berdiam di rumahmu sampai keadaan menjadi 
kembali aman..!" Sumirah tiba-tiba lepaskan pe-
lukannya, dan tatap wajah Roro dalam-dalam. 
Wajahnya kembali menampilkan kecerahan.
"Benarkah demikian kakak Roro..? Oh, te-
rima kasih! Aku amat senang sekali..!" Dan selan-
jutnya ia telah bimbing lengan Roro Centil untuk 
diajak masuk ke dalam ruang padepokan. Semen-
tara beberapa murid laki-laki mendiang Ki Reksa 
Permana tampak berdatangan menyambutnya 
sambil menjura hormat.
Malam semakin larut... namun masih juga 
terdengar suara orang bercakap-cakap didalam 
ruang Padepokan itu. Ternyata mereka berdua

tengah saling menceritakan pengalaman hidup-
nya. Dengan didengarkan pula oleh ke dua belas 
orang murid laki-laki di Padepokan itu. Hingga 
saat menjelang tengah malam, barulah Rumah 
Besar Padepokan Cemara Kandang kembali sunyi 
senyap. Semua orang telah tertidur. Hanya Roro 
Centil, yang masih duduk dihadapan Sumirah 
yang telah menggeros kelelahan. Tidurnya demi-
kian pulas. Sampai nyamuk yang hinggap di pi-
pinya sudah tak terasa lagi. Roro jentikkan jari te-
lunjuknya untuk membuat terpental mati sang 
nyamuk itu. Dan dengan bersidakep, Roro pejam-
kan matanya... Ia tidak tidur, walaupun matanya 
meram. Karena ia tengah bersemadi memulihkan 
kekuatannya lagi. Pertarungan tadi siang telah 
banyak menguras tenaganya...
Demikianlah, malam berganti siang. Dan 
siang berganti malam... Roro tinggal atau mene-
tap di Padepokan itu. Dengan diam-diam telah 
pula melatih ilmu pedang Sumirah. Dan turunkan 
beberapa jurus ilmu ampuh padanya. Bahkan ke-
dua belas murid laki-laki di padepokan itupun 
mempelajari juga beberapa jurus ilmu yang ia da-
pati dari Paderi Jayeng Rana. Hari kedua dan ke-
tiga Roro Centil tak mendapat berita mengenai si 
makhluk Cebol Itu. Tapi pada hari keempat, dua 
orang murid Ki Reksa Permana, tampak berlari-
lari menghadap pada sang Pendekar Wanita Roro 
Centil.
"Ada apakah yang terjadi..?" Bertanya Roro 
yang telah melompat kehalaman Padepokan.

Tampak terlihat kedua orang pemuda itu teren-
gah-engah. Sekujur tubuhnya bercucuran kerin-
gat.
"Celaka, Guru... Makhluk Cebol itu tengah 
mengamuk dan membantai penduduk dan orang-
orang Ki Demang, di desa Duren Sawit... Bersama 
seorang kawannya, yang telah menawan tiga 
orang gadis..!" Terkesiap seketika Roro Centil. 
Jantungnya berdetak keras karena terkejutnya. 
Saat itupun muncullah Sumirah, dengan sepa-
sang Trisula dipinggang dan pedang tipis terbelit 
dipinggang. Ternyata iapun baru saja masuk dari 
pintu belakang Padepokan.
"Guru..! Mari kita berangkat ke Desa Duren 
Sawit sebelum makhluk Cebol dan kawannya itu 
kabur dengan membawa korban..!" Roro Centil 
palingkan kepalanya.
"Kaupun baru pulang menyelidiki?" Ber-
tanya Roro. Sumirah anggukkan kepalanya. Roro 
tatap kedua murid laki-laki itu seraya berkata :
"Kalian tetaplah berada disini. Kemana 
yang lainnya?" Bertanya Roro Centil.
"Empat orang berada disana, yang lainnya 
entah. Guru. Mungkin berada dilain tempat..!" 
Menyahut salah seorang.
"Baiklah. Kalau mereka kembali, jangan
menyusul kesana. Tetaplah berdiam di Padepo-
kan!" Perintah Roro, yang ternyata telah diangkat 
sebagai Guru oleh murid mendiang Ki Reksa Per-
mana dan Sumirah. Yang mau tak mau terpaksa 
Roro menerimanya. Selesai ia berkata, segera ia

berpaling pada Sumirah yang tampaknya seperti 
tak sabar menunggu sang Guru lagi.
"Ayo Sumirah, kita berangkat...!" Dan ber-
kelebatlah dua tubuh dengan gerakan cepat me-
ninggalkan Padepokan Cemara Kandang...
Saat itu di Desa Duren Sawit tengah terjadi 
pertarungan seru. Beberapa sosok tubuh tampak 
telah tergeletak mandi darah. Itulah orang-
orangnya Ki Demang Gombal Manik, yang telah 
menyerbu kedua iblis itu. Ternyata di desa itu 
dengan diam-diam telah dipasang beberapa mata-
mata utusan Ki Demang. Dan bahkan ada pula 
dua orang pendekar suami istri yang mau turut 
membantu menumpas si Setan Cebol yang ka-
barnya semakin tersiar luas. Hingga keadaan dis-
ekitar Gunung Merbabu sebenarnya telah diper-
kuat dengan penjagaan dari beberapa golongan 
kaum Pendekar. Termasuk juga orang pemerinta-
han, yang dipimpin langsung oleh Ki Demang 
Gombal Manik. Gerakan rahasia itu memang di-
atur secara diam-diam dan dipasang di beberapa 
tempat yang rawan. Hingga ketika terjadi penculi-
kan dan pembunuhan oleh kedua tokoh persila-
tan yang keji itu. Berita segera tersebar dengan 
cepat. Dan terkurunglah si Setan Cebol bersama 
kawannya itu, yang tak lain dari si Iblis Tertawa 
yang amat rakus pada wanita cantik. Dikurung 
rapat sedemikian rupa, kedua manusia keji itu 
bahkan tertawa-tawa, dan tampak senang dapat 
membunuhi setiap orang yang menerjangnya. 
Hingga korban-korban pun jatuh bergelimpangan.

Betapa gusarnya dua orang pendekar sua-
mi istri yang melihat kekejian dua makhluk itu. 
Terlebih-lebih si makhluk Cebol itu, yang sambil 
memanggul seorang gadis, mulutnya tak pernah 
berhenti mengunyah jantung dan hati manusia 
yang telah dibunuhnya... Sedangkan si Iblis Ter-
tawa dengan tertawa berkakakan juga mengepit 
sesosok tubuh wanita yang sudah terkulai ping-
san. Sementara sebelah tangannya menghantam 
para penyerangnya yang ragu-ragu karena kha-
watir mengenai tubuh wanita yang dikepitnya itu. 
Tampak seorang yang bersenjatakan tombak itu 
roboh terjungkal dengan perdengarkan jerit kema-
tian.
"Iblis Pengecut..! Lepaskan wanita itu! Ha-
dapilah pedangku. Jangan kau buat ia sebagai 
perisai..!" Bentak seorang wanita berbaju merah, 
yang sudah melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha... he he... Payah-payah aku 
mencarinya, masa mau kulepaskan begitu saja. 
Jangan khawatir, aku akan menjaganya jangan 
sampai mengenai pedangmu, nona..!"
"He...! Muka Bengkak! Berikan padaku... 
Jangan khawatir kau tak kebagian. Aku telah 
simpan tiga orang di Goa..! Biar itu bagianku..!" 
Berteriak si Setan Cebol. Dan serta merta ia telah 
lemparkan gadis di pundaknya. Ternyata keadaan 
wanita itu telah membuat orang berteriak ngeri. 
Karena isi perutnya telah terburai keluar. Semen-
tara sebelah lengannya telah mengunyah sesuatu 
yang penuh berlepotan darah.

"Baik! Terimalah ini..!" Teriak si Iblis Ter-
tawa seraya lemparkan korbannya. Namun sebe-
lum si Setan Cebol menyambutnya, telah berkele-
bat sesosok tubuh dengan kecepatan kilat, yang 
menyambar tubuh sang wanita. 
"Iblis keji..!" Terdengar satu bentakan. Dan 
sesosok tubuh berbaju putih telah menyerangnya 
dengan pedang, disaat si Setan Cebol ternganga...
Sret! Tergoreslah punggungnya. Walaupun 
ia telah lompat menghindar. Segera ia dapat meli-
hat siapa penyerangnya. Yang tak lain dari Sumi-
rah adanya.
"Iblis keparat...! Kau telah bunuh dengan 
keji ayahku..! Kini terimalah kematianmu..!" Te-
riak si gadis, yang kemudian telah menerjang 
dengan gerakan pedang yang menyambar-
nyambar. Namun si Setan Cebol telah waspada. 
Dengan muka meringis ia telah berkelebat meng-
hindar, dan lompat menjauh tiga tombak.
"Bagus..! Kiranya kau anaknya si Pedang 
Sakti Bermata Delapan...! He he he... Beruntung 
sekali aku. Terkabullah niatku untuk menumpas 
habis keluarga manusia yang telah membunuh 
Guruku..! Namun amat disayangkan kalau kau 
harus mati siang-siang...'" Berkata si Setan Cebol, 
dengan sepasang matanya berbinar-binar mena-
tap Sumirah. Betapa marahnya Sumirah melihat 
manusia yang menatapnya sambil terus mengu-
nyah jantung dan hati manusia itu. Ia sudah me-
lompat lagi untuk menerjang. Tapi kali ini si Se-
tan Cebol telah gerakkan tangannya memukul

pergelangan tangan Sumirah. Terlepaslah pedang 
tipis itu. Saat berikutnya sepasang tangannya te-
lah bergerak untuk menotok dan merangkul gadis 
itu. Terdengarlah keluhan Sumirah. Tubuhnya te-
lah terkulai, dan sekejap kemudian telah berpin-
dah ke atas pundaknya.
"He he he... Ayo manis, kita tinggalkan saja 
tempat ini..!" Berkata si Setan Cebol, dan saat be-
rikutnya ia telah berkelebat pergi dengan cepat.
"Kejaaar!" Teriak Ki Demang yang menga-
wasi pertarungan. Beberapa orang yang mengejar 
itu cuma bisa melongo saja karena si Setan telah 
lenyap dengan cepat sekali...
Sesosok tubuh kerdil yang memanggul tu-
buh seorang wanita itu, telah memasuki Goa di 
sela air terjun... Itulah si Setan Cebol, yang den-
gan tertawa berkakakan telah membawa korban-
nya, yaitu si gadis Sumirah. Tak banyak cerita ia 
sudah lemparkan tubuh gadis itu ke pembarin-
gan. Sumirah perdengarkan keluhannya. Ia cuma 
bisa tatap orang yang telah membunuh ayahnya 
itu, tanpa ia bisa berbuat apa-apa.. Berteriakpun 
ia sudah tak sanggup. Harapan hidupnya sudah 
punah. Namun hati baja sang gadis telah mem-
buat ia menguatkan seluruh perasaannya agar ti-
dak menjatuhkan air mata. Biarlah aku mati, ka-
lau memang sudah ditakdirkan untuk mati. Pikir 
gadis itu... Bukankah demikian wejangan sang 
Guru barunya si Pendekar Wanita Roro Centil? 
Kematian memang tak perlu ditakutkan. Berkata 
ia didalam hati. Apalagi sudah didepan mata. Ke

tabahan untuk menghadapi kematian secara keji 
memang telah terpampang di depan mata Sumi-
rah. Namun ia benar-benar tabah, karena ia ber-
pendapat dengan kematiannya tak mungkin kalau 
para pendekar akan membiarkan kebhatilan terus 
merajalela dimuka bumi. Suatu saat akan datang 
masa kehancurannya. Karena memang tidak 
layak kebhatilan itu berdiam diatas bumi ini...
Bret! Bret! Bret! Terdengar sobekan kain 
pakaian yang dikenakan Sumirah, ternyata si Se-
tan Cebol telah melakukannya tanpa berlama-
lama lagi. Sumirah pejamkan matanya. Ia sudah 
tak hiraukan lagi akan dirinya. Semuanya ia pa-
srahkan pada Yang Maha Kuasa. Sepasang tan-
gan yang dingin telah menyelusuri sekujur tu-
buhnya yang terasa dingin dan panas berganti-
ganti. Keringat dingin telah mengucur deras di-
kening dan punggungnya. Namun tetap ia pejam-
kan mata dan gigit bibirnya agar tidak menjerit 
ketakutan. Terasa benda berat telah menindih tu-
buhnya... dengan dengus napas yang terasa me-
nyambar wajahnya. 
"He he he... Selesai ini segera akan kuma-
kan jantungmu, nona manis... Mumpung belum 
datang si Muka Bengkak itu, yang telah aku bo-
hongi..!" Saat yang akan menghancurkan pera-
saan itu sekejap lagi akan tiba. Tapi apalah ar-
tinya... Karena semua itupun akan diiringi den-
gan kematiannya..? Berfikir Sumirah. Terdengar-
lah si Setan Cebol itu tertawa lagi terengah-engah 
karena menahan nafsu yang menggelora, namun

anehnya tubuh yang telah menindihnya itu bah-
kan menggelinding ke sisi disertai keluhannya. 
Ketika ia buka kelopak matanya. Terbelalaklah 
sepasang matanya, karena disitu telah berdiri 
sang Pendekar Roro Centil. Ternyata Roro telah 
menotok tubuh si Setan Cebol itu, yang telah 
muncul bagaikan malaikat saja...
Plak! Sebuah hantaman telah membuat tu-
buh si Setan Cebol terguling ke bawah.
"Uuuuh..!? Sss.. sssiapa ka.. kau..?" Berka-
ta si Setan Cebol dengan meringis. Kepalanya te-
lah dibuat bertambah benjolannya. Hingga pada 
kepala yang rambutnya bagai ijuk itu telah ada 
dua benjolan.
"Hi hi hi... Aku orang yang akan mengirim 
nyawamu ke Neraka..! Kebiadabanmu telah be-
rakhir Setan Cebol!" Seraya berkata Roro telah 
tempelkan telapak tangannya pada punggung si 
Setan Cebol. Terlihatlah asap tipis yang menge-
pul. Menjeritlah si manusia terkutuk ini. Tulang-
tulangnya terdengar berkriutan, dan lenyaplah 
kekebalan tubuhnya. Punahlah segala kekuatan-
nya. Karena Roro telah pergunakan jurus keji dari 
Sepuluh Jurus Kematiannya si Dewa Tengkorak. 
Si Setan Cebol ini memang hebat. Ia masih beru-
saha untuk merangkak. Sepasang lengannya ber-
gerak mengulur dengan kesepuluh jarinya untuk 
mencengkeram kaki Roro Centil. Namun tena-
ganya memang telah punah... Kembali sepasang 
lengan itu terkulai. Dan terlihat napas yang 
memburu. Tapi sepasang matanya masih terlihat

merah menyala seperti menahan dendam yang 
amat sangat pada orang dihadapannya. Roro Cen-
til sudah bergerak lagi untuk membebaskan toto-
kan pada tubuh Sumirah. Gadis ini menatapnya 
dengan sepasang mata terbelalak seolah tak per-
caya akan apa yang terlihat dihadapannya. Dan 
sekonyong-konyong ia sudah memekik dengan 
isak tersendat. Pekik girang haru yang tak terlu-
kiskan lagi. Seolah-olah Roro Centil adalah bukan 
siapa-siapa lagi. Seolah ibunya sendiri yang ten-
gah menatapnya.
"Guruuuuu..!" Dan tenggelamlah ia dalam 
pelukan sang Guru yang mengelus-elus pung-
gungnya dengan penuh kasih sayang. Tampak air 
bening yang menetes dari pelupuk sang Pendekar 
Wanita Pantai Selatan ini. Roro Centil memang 
seorang Pendekar Wanita yang aneh. Melihat Su-
mirah roboh tertotok, dan jatuh ke tangan si Se-
tan Cebol. Ia tampak tenang-tenang saja. Karena 
ia telah mendengar dan mengetahui bahwa tak 
mungkin si Setan Cebol akan membunuhnya 
dengan sekejap mata. Apalagi ia telah mendengar 
kata-katanya tadi, yang mengatakan adanya tiga 
wanita lagi yang telah ia sekap didalam Goa. Ma-
kanya ia biarkan saja si Setan Cebol itu mening-
galkan tempat itu. Tapi dengan diam-diam ia te-
lah menguntitnya. Adapun pedang tipis yang ter-
pental dari tangan Sumirah, dengan cepat ia me-
nyambutinya. Demikianlah... Hingga ia berhasil 
memasuki Goa dengan diam-diam. Ia memang 
mengetahui si Setan Cebol itu pasti berilmu sangat tinggi. Namun seperti wejangan Gurunya si 
Manusia Aneh Pantai Selatan, yang telah menga-
takan bahwa: Tingginya suatu ilmu adalah tak 
ada batasnya. Karena diatas langit masih akan 
ada lagi langit. Tapi "kecerdikan" adalah diatas 
segalanya. Oleh sebab itulah ia telah pergunakan 
kecerdikannya untuk menjatuhkan si manusia ib-
lis Setan Cebol. Hingga berakhirlah kebiadaban-
nya.
Sejenak Roro Centil menatap pada Sumi-
rah, yang telah membenahi lagi pakaiannya. Lalu 
beralih menatap pada si manusia kerdil itu yang 
tampak amat menjijikkan. Tubuh telah tak berte-
naga lagi, bagaikan seonggok daging yang sudah 
tak bertulang... tengah menatap padanya dengan 
mata bersinar mengandung kebencian. Sementara 
giginya yang runcing-runcing itu tampak menye-
ringai mengerikan. Mengeluarkan suara geraman 
seperti seekor serigala.
"Sebaiknya manusia ini diberikan huku-
man yang setimpal atas kebiadabannya..!" Berka-
ta Roro Centil. Dan setelah berfikir sejenak, sege-
ra ia berkata pada Sumirah, seraya palingkan wa-
jahnya pada gadis itu.
"Ayolah, kau ikuti aku... untuk menyaksi-
kan hukuman apa yang akan aku berikan pada 
manusia iblis ini..!" Selesai berkata Roro telah 
jambak rambut si Setan Cebol, dan menggusur-
nya keluar dari goa itu. Ternyata Roro Centil telah 
membawa tubuh si Setan Cebol pada sebuah 
tempat ketinggian, dimana dibawahnya terdapat

rawa-rawa yang diairi serta menyambung dengan 
air sungai disebelahnya. Belasan ekor buaya tam-
pak berkeliaran dibawahnya. Ada yang tengah 
berjemur diri pada panas Matahari dengan men-
gangakan mulutnya. Ada yang tengah saling kejar 
dengan kawannya. Serta terlihat pula yang baru 
saja naik ke darat, dan merayap ke tengah-tengah 
rawa-rawa yang amat luas itu.
Ketika mereka menatap pada si Setan Ce-
bol, tampak seketika pucat dan pias wajahnya. 
Berteriak-teriaklah si manusia biadab ini ketaku-
tan, melihat beberapa ekor buaya yang telah 
mengangakan mulutnya ke arah mereka. Ru-
panya bau manusia telah membuat buaya-buaya 
ini berkerumun dibawah tempat ketinggian itu. 
Roro dan Sumirah saling berpandangan, dan sa-
ma-sama tersenyum. Dan tanpa menunggu waktu 
lama lagi Roro telah lemparkan tubuh si Setan 
Cebol ke arah makhluk-makhluk melata itu, yang 
segera saja telah menyerbunya dengan moncong-
moncong yang menganga memperlihatkan giginya 
yang runcing-runcing. Terdengar jeritan si Setan 
Cebol yang menyayat hati. Dan hanya sesaat, ka-
rena segera tubuhnya telah diterkam dan diren-
cah dengan rakus oleh binatang-binatang buas 
itu yang tampak saling berebutan. Hingga sekejap 
saja tubuh manusia kerdil itu telah terbeset jadi 
beberapa bagian...
Sumirah palingkan wajahnya untuk tidak 
melihat kejadian itu, terasa ngeri ia memandang-
nya. Namun sesaat kemudian Roro telah tarik

lengan gadis itu untuk diajak berlalu dari tempat 
itu... Segera saja tampak kedua tubuh wanita itu 
berkelebatan dengan tidak terlalu cepat mening-
galkan rawa-rawa yang telah mengubur mayat si 
manusia iblis penyebar maut itu didalam perut 
buaya-buaya penghuni rawa itu. Ternyata keda-
tangannya telah disambut oleh Ki Demang Gom-
bal Manik dengan suka cita. Juga pendekar sua-
mi istri itu, yang tak lain dari Sentanu dan Roro 
Dampit. Kiranya si Iblis Tertawa itupun ternyata 
telah menemui kematiannya ditangan sepasang 
pendekar itu yang ternyata telah bertambah il-
munya. 
Suasana di lereng Gunung Merbabu kini 
telah menjadi cerah. Petani dan pedagang sibuk 
dengan pekerjaannya seperti biasa, tanpa harus 
mengkhawatiri akan adanya manusia Iblis yang 
akan mengganggu ketentraman disetiap desa di 
lereng gunung itu. Ki Demang Gombal Manik 
menjamu tamu-tamunya dengan gembira, Bah-
kan sampai beberapa hari Roro dan Sumirah ser-
ta sepasang pendekar suami istri itu berada di-
rumah besar Ki Demang. Hingga suasana pun 
kembali sepi, ketika satu persatu mohon diri, un-
tuk kembali pulang ketempatnya masing-masing.
Roro Centil terpaksa memenuhi permin-
taan Sumirah untuk menetap sementara di Pade-
pokan Cemara Kandang. Gadis manis itu ternyata 
telah tampak bergairah lagi dalam hidupnya, ber-
kat adanya Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.


                                     TAMAT















































 

0 komentar:

Posting Komentar