SETAN CEBOL PENYEBAR MAUT
*Copyright naskah ini ditangan penerbit
LOKAJAYA, hak cipta pengarang dilindungi
undang-undang.
*Dilarang mengutip, tanpa seijin pener-
bit.
*Menterjemahkan karya ini dalam bahasa
asing harus seijin penerbitnya tlebih da-
hulu.
1
PERTENGAHAN musim panas itu, tampak
Puncak Merbabu keluarkan asap tipis yang men-
galun ke atas. Seolah tengah menjulurkan suk-
manya diantara mega yang bertebaran dilangit....
Pada sebuah lereng yang terjal, dimana di-
bawahnya mengalir sungai yang dalam, berliku-
liku diantara celah bukit dan lamping batu-batu
terjal, yang penuh dengan pohon-pohon serta se-
mak belukar disekelilingnya... tampak satu pe-
mandangan yang membuat bangun bulu roma.
Sesosok makhluk yang masih bisa dikata-
kan manusia, walaupun sebenarnya apa yang
tengah diperbuatnya sudah tak lazim lagi sebagai
perbuatan manusia. Makhluk itu bertubuh kecil,
atau cebol. Apa yang terlihat adalah hal yang
amat mengerikan, karena ia tengah mengorek se-
suatu dari dalam tubuh seorang wanita yang isi
perutnya telah terburai berantakan. Sementara
seorang bayi mungil tergeletak di sisinya, dan
tengah perdengarkan tangisannya. Namun tam-
paknya si orang kerdil itu sama sekali tak meng-
hiraukannya, cuma menoleh sejenak untuk ter-
tawa menyeringai. Sementara tangannya bekerja
cepat untuk menarik sesuatu yang kemudian
berhasil ditemukannya.
"Nah ini yang aku maui.... He he he...."
Terdengar ia bicara sendiri, dan tertawa gelak-
gelak. Ternyata yang telah ditarik keluar dari isi
perut mayat wanita itu, adalah sebuah jantung
dan hati. Yang selanjutnya segera sudah masuk
ke dalam mulutnya, untuk segera dikunyah den-
gan mata merem melek. Tiba-tiba pada saat itu
berkelebat sesosok tubuh tinggi besar yang per-
dengarkan tertawa berkakakan...
"Ha ha ha... ha ha ha... Setan Cebol! Agak-
nya kau sudah tak sabar untuk bersantap, se-
hingga dapat rezeki dimakan sendiri...!" Yang da-
tang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala
botak. Bermuka mirip seperti wajah kanak-kanak.
Tubuhnya tinggi besar. Dengan telinga yang lebar
dan panjang. Pakaiannya mirip orang kedodoran.
Karena baju dan celananya memang agak gom-
brong. Melihat adanya kemunculan orang ini, si
mahluk kerdil itu cuma plengoskan wajah, seraya
berkata :
"Eh, muka bengkak... Apa kau juga doyan
makan jantung dan hati manusia...? Kalau me-
mang kau suka ambillah ini untukmu..!" Seraya
berkata ia telah lemparkan bayi dihadapannya
pada si tinggi besar yang dijulukinya si muka
bengkak itu. Tentu saja ia jadi terkejut bukan
main, karena lemparan itu adalah juga sebuah
serangan yang dilancarkan terhadapnya.
"Aaaahh..!?" Si muka bocah ini perdengar-
kan teriakan kaget, untuk menangkap adalah tak
mungkin. Untuk menyampok tubuh sang bayi itu
juga ia tak tega, akhirnya ia cuma bisa elakkan
diri.
Weesssss..!
Tubuh sang bayi itu meluncur deras ke be-
lakang, ketika dengan cepat si muka bocah
menghindar dengan membungkukkan tubuh-
nya.... segera ia palingkan kepala untuk melihat
ke arah belakang. Ia sudah dapat pastikan tubuh
sang bayi itu akan remuk terbentur batang pohon
atau terbentur batu. Namun pada saat yang amat
mengerikan itu, telah berkelebat sesosok tubuh
dibelakangnya untuk menangkapnya. Gerakan
yang cepat itu kelanjutannya dibarengi dengan
bersaltonya tubuh itu di udara... Dan detik beri-
kutnya disitu telah tegak berdiri seorang wanita
yang keluarkan suara tertawa cekikikan. Semen-
tara pada pinggangnya tergantung sebuah benda
dengan seutas rantai yang terbelit pada ping-
gangnya. Ternyata bandulan itu adalah sebuah
besi hitam, yang besar dan bentuknya mirip den-
gan kerangka tengkorak kepala manusia.
"Hi hi hi... hi hi.... sayang-sayang seorang
bayi yang manis seperti ini jadi bangkai tak ber-
guna. Siapa tahu ia bertulang baik, dan bisa nan-
ti kelak jadi muridku! Hi hi hi...." Tiba-tiba si
pendatang yang aneh ini menatap sejenak pada si
Setan Cebol yang masih asyik mengunyah tanpa
memperdulikan keadaan di depannya. Hal ini
membuat si wanita itu kerutkan alisnya, ketika
terpandang pada sesosok tubuh wanita yang telah
berantakan isi perutnya itu. Terdengar ia kelua-
rkan suara dengusan di hidung, seraya berkata :
"Hah..! Walaupun aku juga bukan wanita
baik-baik. Tapi memandang kepada kaumku yang
diperlakukan demikian oleh seorang setan jelek,
tentu saja membuat aku jadi sebal...! Apakah tak
ada lagi makanan yang lebih enak dari hati dan
jantung manusia.... ?"
Sementara si tinggi besar bermuka bocah
itu cepat berkelebat ke atas sebuah batu untuk
segera duduk dengan angkat sebelah kakinya.
Seperti juga telah mengetahui bakal adanya terja-
di suatu pertarungan seru, dan ia sudah siap-siap
untuk menontonnya....
Mendengar ucapan yang bertanya dengan
nada menyindir itu, serta terang-terangan untuk
ungkapkan ketidak senangannya, si Setan Cebol
tiba-tiba telah lemparkan sisa jantung dan hati
itu pada si wanita, seraya membentak:
"Apa perdulimu dengan apa yang aku la-
kukan perempuan jalang...?" Tentu saja lemparan
itu akan mengena, kalau saja si wanita itu tidak
cepat menyampoknya. Yang segera gerakkan len-
gannya dengan cepat sehingga potongan hati dan
jantung itu tahu-tahu meluncur ke arah si muka
bocah yang tengah asyik angkat sebelah kaki di-
atas batu. Tenaga sampokan dari angin pukulan
wanita itu ternyata sama kuatnya dengan tenaga
lemparan dari si Setan Cebol. Karuan saja si mu-
ka bayi jadi kelabakan, karena ia tak menyangka
kalau akan kena getahnya. Namun kali ini agak-
nya ia tak mengelak, bahkan monyongkan mulut-
nya untuk meniup ke arah datangnya serangan
benda itu. Hebat tenaga tiupan si muka bocah,
karena segera saja tenaga lemparannya agak
mengendur. Dan si muka bocah cepat menganga-
kan mulutnya... sehingga dengan tak mengalami
kesukaran, potongan hati dan jantung itu telah
masuk ke dalam mulutnya yang lobar. Saat beri-
kutnya ia sudah asyik meneruskan mengunyah
dengan meram melek. Tentu saja hal itu membuat
sepasang mata si wanita itu jadi mendelik.
Phuih!
Ia segera mendengar suara si Setan Cebol
yang telah bangkit berdiri menatapnya dengan
menyeringai. Tampak ia melirikkan matanya pada
si muka bocah yang tengah asyik mengunyah sisa
santapannya.
"Eh, muka bengkak..! Rupanya nasibmu
hari ini amat mujur. Masih kebagian juga sisa
makanan enak itu. Apakah kau tidak berhasrat
cari tambahan...? Mungkin juga bisa terlaksana
tanpa jauh-jauh mencari! He he he..." Adalah
aneh. Kalau tadi orang yang tinggi besar, berwa-
jah seperti seorang bayi atau bocah, sedangkan si
orang kerdil yang dijuluki si Setan Cebol itu ada-
lah sebaliknya berwajah seperti orang tua, dengan
tulang pelipis yang menonjol. Kumis dan jenggot-
nya cuma beberapa helai. Kepalanya ada tumbuh
daging atau benjolan, tepat pada keningnya. Ber-
mata menonjol keluar. Deretan giginya terlihat
runcing-runcing ketika menyeringai. Sedangkan
rambutnya tegak berdiri bagaikan injuk, dengan
tubuh bagian atas yang telanjang, hitam legam.
Hanya selembar cawat yang dikenakannya.
"Kurang ajar. Kalian kira hati dan jantung
ku berharga murah...? Agaknya mulut kotormu
perlu diberi hajaran..!" Dan sebentar saja Dewi
Tengkorak telah loloskan senjatanya. Sementara
dengan cepat ia telah menunda sang bayi diba-
wah pohon. Dan saat selanjutnya, benarlah seper-
ti apa yang telah diramalkan si muka bocah. Den-
gan berteriak keras, si wanita yang berpakaian
memamerkan pahanya itu, sudah menerjang den-
gan senjatanya. Bersyiur bandulan besi mirip
tengkorak kepala manusia itu, menghantam ke-
pala si Setan Cebol. Namun dengan senyum
menghina ia telah berkelebat melesat, sehingga
serangannya menemui tempat kosong. Gerakan si
Setan Cebol memang amat cepat dan gesit. Na-
mun si wanita itupun bukan lawan enteng... Se-
hingga sebentar saja keduanya sudah saling ter-
jang untuk saling menjatuhkan lawan. Si wanita
yang berpakaian seksi itu adalah yang dijuluki
kaum persilatan sebagai si Dewi Tengkorak. En-
tah ada hubungan apa dengan si Dewa Tengkorak
yang sudah pulang ke akherat terlebih dulu itu.
Tapi tampaknya ia ada memiliki beberapa
jurus andalan si Dewa Tengkorak. Dilihat dari
usia ia sudah mencapai hampir empat puluh ta-
hun. Namun masih memiliki kecantikan yang
mengagumkan. Kepala tengkorak besi kembali
menyambar... Si Setan Cebol jatuhkan tubuh ber-
gulingan. Sementara mulutnya tak henti hentinya
mengejek.
"Jantung wanita yang sudah kawakan
mungkin juga rasanya kurang memuaskan. Apa
lagi sudah sering berdebar, karena kebanyakan
yang di gandrungi... He he he..!"
"Tutup mulutmu setan jelek! Aku toh tidak
menggandrungi kau..!"
"Bagaimana kalau menggandrungi aku sa-
ja...?" Si muka bocah sudah lantas berteriak. Dan
kata-katanya tidak sampai disitu...
"Aku lebih penuju dengan tubuhmu, ke-
timbang hati dan jantungmu, Dewi Tengkorak!"
Wajah si Dewi Tengkorak tampak gerah,
panas hatinya diejek demikian. Tiba-tiba saja ia
telah lancarkan serangan ke arahnya.
Dherr..!
Batu tempat ia duduk kena dihajar hancur,
oleh senjata bandulan besi berkepala Tengkorak
itu. Namun orangnya sudah mencelat pergi.
Buk..!
Satu hajaran keras dari serudukan kepala
si Setan Cebol tepat menghantam punggungnya.
Tak ampun lagi si Dewi Tengkorak terpekik ngeri
dan jatuh bergulingan. Namun percuma ia dijulu-
ki si Dewi Tengkorak. Karena sambil bergulingan
ia telah hantam tubuh si Setan Cebol, yang baru
saja menggelinding, dengan senjatanya...
Krak..! Batang pohon itu kena dihajar han-
cur. Masih untung bukan batok kepala si Setan
Cebol. Namun pada detik itu si Setan Cebol sudah
lompat menjauh, karena pohon besar itu telah
tumbang dengan suara yang berisik. Kalau si De-
wi Tengkorak tak segera bergulingan, iapun su-
dah pasti kena kejatuhan pohon yang dihantam
nya sendiri itu. Namun ia harus mengakui ketele-
dorannya, karena terpancing oleh kata-kata eje-
kan si Muka Bocah, hingga ia tak dapat menge-
lakkan srudukan kepala si Setan Cebol yang de-
mikian keras.... Untung saja ia telah menyalurkan
tenaga dalamnya pada punggungnya. Hingga da-
pat menahan terjangan hebat itu dengan tidak
begitu membahayakan. Namun ia jadi terkesiap,
ketika mengetahui bayi yang ia letakkan dibawah
pohon itu, telah tak dapat diselamatkan lagi.
Dalam keadaan ia terpaku itulah si Muka
Bocah tiba-tiba telah berkelebat, dan gerakkan
tangannya untuk menotok si Dewi Tengkorak.
Hingga tubuhnya benar-benar jadi terpaku tanpa
dapat bergerak.
"Keparat kau..!?" Mulutnya memaki, na-
mun ia sudah tak berdaya lagi.
"He he he... he he he... Bagus! bagus sobat
muka bengkak..! Biar aku yang korek jantungnya
untuk kau..!" Sambil berkata ia telah gerakkan
tangannya ke arah perut si Dewi Tengkorak.
Celaka! Matilah aku hari ini...! Memekik
hati si Dewi Tengkorak. Ia sudah pejamkan mata
menunggu kematian. Tapi pada detik itu sudah
terdengar teriakan si Muka Bocah.
"Tunggu..! Tak baik kita pakai cara itu pa-
da kawan sendiri...!" Terpaksa si Setan Cebol
urungkan niatnya. Bergidik ngeri si Dewi Tengko-
rak, seandainya jari-jari tangan si Setan Cebol itu
yang bagaikan cakar iblis, dengan kuku yang
panjang-panjang itu mencengkeram kulit perut
nya.... Sudah pasti akan terburai isi perutnya. Di-
am-diam ia bersyukur pada si Muka Bocah itu,
yang ia ketahui berjulukan si Iblis Tertawa itu
yang telah membatalkan niat kejinya. Walaupun
ia mengetahui totokan pada dirinya juga si Iblis
Tertawa itu pula yang melakukannya. Tampak si
Iblis tertawa bisikkan kata-kata pada si Setan Ce-
bol, tentu saja dengan membungkukkan tubuh-
nya. Si manusia kerdil ini kerutkan keningnya,
hingga benjolan pada dahinya itu terlihat ikut
naik ke atas. Tapi sebentar kemudian ia men-
gangguk-angguk sambil tersenyum yang tak enak
dilihat. Saat berikutnya si Iblis tertawa telah pon-
dong tubuh si Dewi Tengkorak untuk dibawa per-
gi. Namun baru saja si Setan Cebol mau gerakkan
tubuh untuk mengikuti, tiba-tiba ia teringat akan
korban yang dibawanya. Yaitu seorang bayi, yang
seingatnya tadi diletakkan oleh si Dewi Tengkorak
dibawah pohon.
"Walah...? Sudah tergencet pohon tum-
bang..." Berkata ia sendirian, dan segera berkele-
bat ke sana. Masih untung rupanya sang bayi itu
tidak sampai remuk. Namun ternyata benar su-
dah tak bernyawa lagi, ketika ia menariknya ke-
luar dari sela-sela dahan pohon. Agak kecewa si
Setan Cebol, namun agaknya masih bisa diman-
faatkan. Tiba-tiba saja kelima jari tangannya itu
telah ia gerakkan untuk segera saja sudah terbe-
nam pada ubun-ubun sang korban. Dan dengan
tertawa iblis ia telah hirup dan sedot cairan putih
itu dengan rakus. Bahkan cairan yang melekat
pada kelima jari tangannya itu pun ia bersihkan
dengan lidahnya. Benar-benar ia bukan manusia.
Walaupun tubuhnya berujud manusia. Baru saja
ia melemparkan mayat yang mengerikan dari
sang bayi itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan
hebat dari belakangnya.
"Iblis keji...'" Dan serangkum angin ber-
syiur dibelakang kepalanya... Itulah serangan dari
seorang laki-laki bertubuh kekar. Yang telah me-
nerjangnya dengan sebuah kapak yang cukup be-
sar, bergagang panjang. Namun dengan mengge-
lindingkan tubuhnya, si Satan Cebol telah meng-
hindari serangan maut itu.
Crak..!
Mata kapak amblas menghunjam ke tanah.
Namun sekejap sudah kembali terangkat, untuk
siap menerjang lagi. Si Setan Cebol yang tingginya
hanya separuh tubuh manusia itu, segera dapat
lihat orang yang menerjangnya:
"He..? Siapakah kau! Datang-datang me-
nyerang orang... Apakah kau mau mengantarkan
nyawamu..?!"
"Iblis Keparat...! Kau memang bukan ma-
nusia. Kau culik dan kau bunuh anak isteriku,
apakah ada alasan kalau aku akan mencincang-
mu sampai lumat..?" Tiba-tiba dengan berteriak
santar ia telah kembali menerjang dengan samba-
ran kapaknya. Tampak berkelebat kilatan cahaya
dari benda itu yang menyambar kepala si Setan
Cebol. Namun kembali tubuh kerdil itu mengge-
lundung dengan gesit, ke arah samping yang su
dah diterjang lagi dengan sambaran kapak beri-
kutnya. Ternyata si laki-laki itupun memiliki ke-
lincahan dalam bertarung. Gerakan kapaknya
berseliweran mengejar kemana arah tubuh si Se-
tan Cebol menggelinding dan berkelebat. Percuma
ia dijuluki si Kapak Sakti dari lereng Merbabu.
Laki-laki ini tengah berada di Padepokan Cemara
Kandang. Dimana sang guru yang bernama gelar
Ki Reksa Permana tengah berembuk mengenai
beberapa kejadian yang didengarnya akhir-akhir
ini.... Ketika tiba-tiba seorang penduduk desa
Sentul dimana ia berdiam, tampak terlihat berla-
ri-lari mendatangi Padepokan. Dan dengan dian-
tar oleh seorang murid, telah segera menghadap
pada Ki Reksa Permana. Tentu saja yang terkejut
adalah Jatmiko si Kapak Sakti. Karena yang dila-
porkan adalah mengenai keluarganya. Kejadian
itu adalah beberapa saat sepeninggalnya. Dengan
rasa terkejut luar biasa ia menerima yang ditu-
turkan penduduk desa Sentul itu, bahwa istri dan
anaknya diculik oleh sesosok makhluk bertubuh
kerdil.
Ia segera dapat menduga bahwa makhluk
itu adalah si Setan Cebol. Yang ia tengah run-
dingkan oleh sang Guru Ki Reksa Permana, ten-
tang kemunculannya di sekitar daerah gunung
Merbabu, dengan beberapa murid utama dari Pa-
depokan Cemara Kandang. Ki Reksa Permana
tampak terkejut. Namun sebelum ia memberi pe-
ringatan akan berbahayanya menghadapi si Setan
Cebol yang bergentayangan itu, Jatmiko alias si
Kapak Sakti telah berkelebat untuk segera berlari
ke arah desa Sentul. Betapa ia mengkhawatirkan
keselamatan anak dan istrinya. Kemarahannya
tak terkendalikan lagi. Begitu sampai kerumah-
nya ia cuma mendapati orang-orang yang tengah
berkerumun mendengarkan cerita dari beberapa
orang yang mengetahui.
Demikianlah, dengan petunjuk salah seo-
rang penduduk yang mengetahui kemana arah si
makhluk Cebol itu pergi... Jatmiko segera mela-
cak kemana jejak si penculik. Hingga akhirnya ia
dapat menemukannya. Yang hampir saja ia ter-
lambat, karena baru saja si Setan Cebol mau be-
rangkat pergi. Melihat sesosok tubuh tergeletak
dengan keadaan yang amat mengerikan, Jatmiko
sudah mengenali bahwa itu adalah tubuh is-
trinya. Dan dilihatnya sesosok tubuh kerdil ten-
gah menghisap cairan putih dari ubun-ubun ke-
pala seorang bayi, dan baru saja dilemparkannya.
Terkesiap bukan main Jatmiko. Dengan beringas
ia telah menerjang si iblis kerdil itu, hingga terja-
dilah pertarungan yang seru. Kemarahannya yang
meluap-luap, karena melihat kesadisan iblis Ce-
bol itu membuat ia menerjang dengan membabi-
buta....
Satu teriakan dari kejauhan terdengar
memperingati laki-laki ini, namun sudah terlam-
bat. Karena disaat itu satu serudukan kepala si
Setan Cebol, telah membuat ia jatuh terlentang...
Dan pada saat itu pula sepasang lengan si Setan
Cebol dengan kesepuluh jari-jarinya, telah menancap pada perutnya. Terdengar pekikan menge-
rikan dari si Kapak Sakti, ketika dengan sekali
sentakan isi perut laki-laki itu terburai keluar.
Tampak tubuh Jatmiko berkelojotan bagai ayam
yang disembelih... dan sesaat kemudian diam un-
tuk selama-lamanya. Kapak Sakti tewas seketika
dengan keadaan yang mengerikan.
"Iblis keji...!"
"Biadab...!" Terdengar dua teriakan dengan
berbareng. Dan pada detik itu juga dua tubuh te-
lah berkelebat menerjang dengan pedang terhu-
nus. Kedua sambaran pedang itu menabas tubuh,
dan mengarah punggung.... Namun si Setan Cebol
sudah balikkan tubuh untuk menangkis dengan
tubuh sang korban. Tak ampun lagi tubuh si Ka-
pak Sakti terpapas putus jadi dua bagian. Adapun
yang seorang segera dapat menahan serangannya.
"Keparat... Kau... kau...?! Terbeliak mata si
pemuda yang menerjangnya. Dan melompat
mundur tiga tindak. Sementara si Setan Cebol
tertawa berkakakkan melihat kedua orang diha-
dapannya, seraya berkata :
"Bagus...! Agaknya kalian juga mau men-
gantar nyawa siang-siang dengan berdatangan
kemari...? Ha ha ha... Kalian cari penyakit sendi-
ri...!" Namun pada saat itu pula terdengar suara
dibelakang kedua murid dari Padepokan Cemara
Kandang ini....
"Minggirlah kalian murid-muridku...!" Ter-
nyata yang datang adalah Ki Reksa Permana sen-
diri, sang Guru mereka. Segera saja kedua murid
ini melompat mundur. Sementara si Setan Cebol
yang melihat kemunculan seorang lelaki tua ber-
jubah putih, dengan wajahnya yang menampilkan
kewibawaan, telah melangkah ke arahnya.
"Hm... Andakah yang bergelar si Setan Ce-
bol itu?" Bertanya Ki Reksa Permana dengan me-
natap tajam pada mahkluk cebol yang juga ten-
gah mendelik ke arahnya.
"Heh, kalau sudah tahu aku si Setan Cebol,
mengapa masih bertanya pula..?"
Melengak Ki Reksa Permana mendengar
jawaban itu. Namun ia masih berusaha terse-
nyum sambil berkata :
"Rasanya memang tidak keliru ucapan an-
da... Tapi anda telah keliru karena mempunyai
kepandaian tinggi hanya untuk mengumbar nafsu
membunuh! Apakah tak ada ilmu lain yang lebih
baik dari pada ilmu membunuh orang dengan
tindak semena-mena?" Tampak si Setan Cebol
mendengus mendengar kata-kata itu.
"Aku memang membutuhkan hati dan jan-
tung manusia untuk kekuatan tubuhku, juga aku
menyukainya sebagai santapanku..! Apakah da-
pat disalahkan kalau aku membunuh untuk
itu...?" Pertanyaan itu memang aneh, seolah-olah
pendapatnya adalah benar. Membuat Ki Reksa
menjadi kerutkan alisnya. Ia sadar bahwa ia ten-
gah berhadapan dengan orang yang sudah tak
punya lagi rasa peri kemanusiaan. Entah siapa
yang mendidik manusia Cebol ini untuk berbuat
yang tak lumrah dengan manusia itu..? Berfikir Ki
Reksa Permana. Sementara ia sudah dengar te-
riakan dari kedua muridnya...
"Guru..! Manusia iblis ini bukan lagi ma-
nusia! Biarkan kami mencincangnya!" Namun
sang Guru angkat sebelah tangannya untuk men-
cegah. Dan berkata pada si Setan Cebol:
"Sobat! Bolehkah aku tahu asal-usulmu
hingga anda dapat melakukan perbuatan yang
kami anggap keji itu..?" Tapi pertanyaan Ki Reksa
Permana hanya dijawab dengan bentakan gusar...
"Heh..! Apa perdulimu dengan segala asal-
usul diriku..? Mau kau anggap keji atau tidak aku
tak mau tahu. Yang penting apa yang kuperbuat
adalah tak ada seorangpun yang berhak mela-
rangnya..!" Agaknya kata-kata itu sudah tak da-
pat membuat Ki Reksa Permana menahan diri la-
gi. Dengan berteriak keras ia sudah lakukan han-
taman telapak tangannya pada si Setan Cebol.
"Kalau begitu kau harus dilenyapkan dari muka
bumi ini..!" Bentaknya. Dan serangkum angin
yang dahsyat telah menerjang si Setan Cebol,
yang segera pergunakan kelincahannya untuk
menghindar.
"Bagus..! Hayo suruh maju kedua muridmu
itu, biar kuhabisi sekalian..!" Berteriak si Setan
Cebol dengan berkelebat menghindar. Pada saat
itu berkelebat sesosok tubuh ke arah si Setan Ce-
bol, dibarengi bentakan "Manusia Iblis macam be-
gini memang patut dilenyapkan..!" Dan sebuah
tombak panjang telah menghantam tepat batok
kepala si Setan Cebol. Terjangan mendadak yang
dilancarkan orang yang belum diketahui siapa
adanya itu memang tepat mengenai sasarannya.
Tampak si Setan Cebol terlempar bergulingan.
Namun alangkah kagetnya si penyerang yang ter-
nyata adalah seorang wanita berumur delapan be-
las atau sembilan belas tahun itu, karena dengan
tak mengalami cidera sedikitpun makhluk kerdil
itu telah bangkit lagi sambil memandang si pe-
nyerang.
" Anakku... Pulanglah..! Jangan kau cari
penyakit. Dia bukan lawanmu... Biar ayah yang
menghadapinya..!" Berkata Ki Reksa Permana.
Namun si gadis berbaju kuning itu cuma menja-
wab kata-kata ayahnya dengan serius :
"Apakah aku dapat berdiam diri melihat ib-
lis yang mau membunuh ayahku..? Tidak! Biar-
kan aku turut bertarung mengadu nyawa..!" Dan
kata-katanya sudah dibarengi dengan teriakan
keras, yang kemudian ia kembali menerjang den-
gan tombaknya. Melihat kemunculan sang gadis
puteri Guru mereka, kedua orang murid utama Ki
Reksa Permana sudah segera melompat untuk tu-
rut membantu. Dan sebentar saja telah terdengar
teriakan-teriakan santar dari keduanya. Baru saja
si Setan Cebol mengelak dari serangan tombak
sang gadis, sudah datang serangan pedang dari
kedua pemuda itu. Namun dengan mendengus si
makhluk kerdil itu segera berkelebat untuk
menghindari mata pedang... Tiba-tiba saja tubuh
si Setan Cebol telah berada di belakang salah seo-
rang dari pemuda itu. Ia baru menggerakkan tangannya untuk mencengkeram punggung, segera
sebuah serangan tombak menyambar kepalanya
yang dilancarkan oleh si gadis. Segera ia urung-
kan niatnya, dan berbalik menyambar ujung tom-
bak... Dilain saat tubuh si gadis sudah terlempar
ke udara dengan teriakan tertahan. Karena tena-
ga yang kuat dari si Setan Cebol, yang telah hen-
takkan ujung tombak itu, hingga akibatnya ceka-
lan pada senjatanya terlepas... Dan melayanglah
tubuh si gadis ke udara. Beruntung sang ayah se-
gera menyambuti tubuh puterinya. Namun pada
saat itu terdengar dua teriakan sekaligus... tam-
paklah kejadian yang mengerikan terpampang
dimata Ki Reksa Permana, karena kedua lengan si
Setan Cebol telah menjebol isi perut kedua orang
muridnya. Dan saat selanjutnya kedua tubuh
sang murid telah terlempar ke arahnya dengan isi
perut berhamburan....
Bruk! Brug! Kedua tubuh itu jatuh kebumi,
dan sesaat menggeliat-geliat... namun sekejap
kemudian telah tak berkutik lagi. Karena kedua-
nya segera tewas. Terbeliak sepasang mata Ki
Reksa Permana, dan sang gadis puterinya. Tiba-
tiba ia telah keluarkan bentakan pada puterinya :
"Sumirah..! Kau adalah anakku satu-
satunya. Tiada lagi harapanku selain kau..! Kalau
kau sayang pada ayahmu, pergilah cepat, tinggal-
kan tempat ini..!" Namun jawaban sang gadis
yang sepasang matanya telah bersimbah air mata
itu, benar-benar membuat ia melengak...
"Tidak ayah..! Biarlah kita mati bersama..!
Aku tak dapat meninggalkan ayah seorang diri
untuk menemui kematian!" Dan gadis ini telah
mencabut sepasang Trisula dari belakang pung-
gungnya. Dengan sepasang mata berapi-api ia te-
lah berusaha menahan jatuhnya air mata mena-
tap tajam pada si Setan Cebol.
"Bodoh..!? Ayahmu belum tentu mati. Ka-
lau toh harus menemui ajalnya, masih ada kau
yang akan dapat membalaskan dendam ini ke-
lak..! Apakah keluarga kita harus tumpas semua
di tangan si iblis Cebol itu..?!" Berbisik sang ayah,
namun dengan nada membentak.
"Cepatlah berangkat pergi sebelum terlam-
bat..!" Perintah sang ayah. Tampak si gadis ber-
nama Sumirah itu gertak gigi menahan geram,
dan kepedihan hatinya. Kedua pemuda itu wa-
laupun hanya murid ayahnya, namun telah se-
perti saudara sendiri. Dan amat akrab dengan-
nya. Kini mereka telah tewas. Dan ayah akan
menghadapi si Setan Cebol yang telengas dan
berkepandaian tinggi itu? Tak tega rasanya ia
membiarkan ayahnya menempur sang iblis sendi-
rian. Namun ia sudah terpaksa melangkahkan
kakinya, ketika dengan mengibaskan jubahnya
sang ayah telah mendorong tubuhnya tiga tindak.
Sesaat setelah ia menatap si Setan Cebol
dengan sorot mata mengandung dendam, ia sege-
ra balikkan tubuh untuk berlalu... Masih terden-
gar suara ayahnya sesaat sebelum ia bertindak.
"Ingat, anakku Sumirah..! Jangan kau me-
nampakkan diri. Pergilah jauh, sampai kau temukan tempat yang aman. Bila aku berhasil me-
numpasnya, aku pasti akan mencarimu..!" Sang
gadis hanya anggukkan kepala, dan dengan me-
nekan segala perasaannya ia telah berkelebat per-
gi. Terdengar si Setan Cebol tertawa berkakakan.
Dan ujarnya :
"Ha ha ha ... Anakmu itu lebih baik ditukar
saja dengan nyawamu, orang tua. Aku agak penu-
ju dengan wajahnya. Jangan kau khawatirkan
akan kumakan hati dan jantungnya. Kalau ia da-
pat menjadi istriku. Bukankah dengan memungut
mantu orang yang hebat macam aku, namamu
kelak akan lebih terkenal, dan ditakuti orang..?
Ha ha ha..."
"Tutup mulut busukmu iblis Cebol..! Siang-
siang aku mau mengampunimu, tak dinyana ma-
lah kau inginkan kematianmu! Siapa sudi ber-
mantukan iblis macam kau..?!" Membentak Ki
Reksa Permana. Sengaja ia keluarkan kata-kata
gertakan, untuk menahan getaran jantungnya.
Karena ia maklum orang yang dihadapinya adalah
seorang tokoh golongan hitam yang amat keji dan
telengas. Ilmu kepandaiannya sudah dapat diper-
kirakan diatas ilmu kepandaiannya. Namun seba-
gai seorang yang sudah kawakan, adalah tidak
mungkin memperlihatkan kelemahan hatinya.
Mendengar sesumbar sang lawan, si Setan Cebol
tampak merah mukanya. Sepasang alisnya naik
ke atas berikut benjolan pada dahinya. Tiba-tiba
ia sudah menggerung keras bagai suara mengge-
ramnya sang macan, atau harimau. Dan detik berikutnya ia sudah menerjang terlebih dulu dengan
sepasang lengan terbentang menampakkan sepa-
sang cakar yang siap untuk mencengkeram...
Ki Reksa Permana sekonyong-konyong te-
lah loloskan jubahnya, dan dengan gerakan tak
kalah cepat, telah lemparkan pada si Setan Cebol,
sambil elakkan diri ke samping. Sekejap saja tu-
buh si Setan Cebol telah lenyap terbungkus oleh
jubah itu. Pada saat tubuh sang lawan yang den-
gan gelagapan itu meluncur ke bawah, ia telah ge-
rakkan telapak tangan untuk menghantamnya.
Buk..!
Tak ampun lagi tubuh si makhluk yang
terbungkus itu telah terlempar menggelinding be-
berapa tombak. Dan dengan gerakan cepat ia te-
lah mengejar ke sana. Satu hantaman lagi ia
arahkan pada si Setan Kerdil itu, yang telah terle-
pas dari bungkusan jubah itu, yang jadi hancur
terkena pukulan dahsyat Ki Reksa Permana. Na-
mun diluar dugaan, si Setan Cebol dapat meng-
hindari serangan kedua dengan bergulingan dan
mencelat dengan cepat. Dan sesaat kemudian te-
lah berdiri lagi dengan sepasang kakinya yang
tampak kuat mencengkram tanah.
Gila..!? Apakah tubuh manusia iblis ini
terbuat dari karet...?! Sentak hati Ki Reksa Per-
mana. Karena jangankan luka dalam, atau seti-
dak-tidaknya remuk salah satu bagian tubuh-
nya... Namun cedera sedikitpun tidak. Hal terse-
but tentu saja membuat wajah Ki Reksa Permana
jadi pucat pias. Lebih dari separuh tenaga dalam
yang ia pergunakan untuk menghantam tubuh
sang lawan, dengan harapan akan dapat menum-
pasnya dengan cepat. Ternyata tak membawa ha-
sil. Bahkan si Setan Cebol tampak masih segar-
bugar dengan tertawa menyeringai...
"Ha ha ha... ha ha... Percuma kau pergu-
nakan akal lihaimu untuk menjatuhkan aku. Ka-
rena berkat hati dan jantung manusia, telah
membuat tubuhku menjadi kebal!" Dan saat beri-
kutnya ia telah kembali menerjang dengan berin-
gas. Namun kali ini ia mempergunakan tipuan se-
rangan. Sehingga Ki Reksa Permana kelebatkan
tubuhnya kian-kemari menghindari serangan-
serangan kosong yang dipergunakan untuk men-
cari kelengahan lawan. Hal itu membuat Ki Reksa
Permana tiba-tiba berseru keras. Dan melesat
tinggi beberapa tombak, untuk menjauh. Ketika
turun ke bumi lagi, ia telah cabut senjatanya. Yai-
tu sebuah pedang tipis yang ia belitkan pada
pinggangnya. Senjata inilah yang telah mengang-
kat namanya sebagai seorang yang terkenal bebe-
rapa puluh tahun yang silam. Memandang pada
senjata lawan, tampak si makhluk cebol ini ke-
rutkan alisnya.
"Hm, kaukah yang bergelar si Pedang Sakti
Bermata Delapan...?" Bertanya ia dengan suara
santar.
"Kalau bukan aku, siapa lagi...? Lebih baik
kau serahkan jiwamu Setan Cebol. Atau kau akan
rasai ketajaman pedang ini...? Walaupun kulitmu
sekeras baja, tak nantinya kalau tak dapat mengoyak kulit kepalamu..!" Ki Reksa Permana kelua-
rkan gertakannya. Namun lagi-lagi ia cuma men-
dengus dan berkata dengan nada jumawa... "Ba-
gus..! Tidak usah jauh-jauh aku mencari orang
yang telah membunuh saudara seperguruanku,
dan mencelakai guruku... Akhirnya sudah datang
sendiri didepan mata."
Terkejut juga Ki Reksa Permana. Dengan
heran ia sudah lantas bertanya :
"Siapa Gurumu, dan siapakah saudara se-
perguruanmu itu..!" Sambil bertanya diam-diam
ia bersyukur, akhirnya akan dapat mengetahui
riwayat si manusia kebal ini. Dan diam-diam ia
telah salurkan tenaga dalamnya pada gagang pe-
dang, hingga terlihat mata pedang berubah me-
rah.
"Ha ha ha... ha ha... jauh-jauh guruku su-
dah persiapkan satu ilmu yang dapat menandingi
kehebatan ilmu pedang bermata delapan yang
kau miliki. Hilangnya kedua belah kaki, dan se-
pasang mata beliau kiranya akan tertebus hari
ini! Apakah kau belum juga menyadari ketelenga-
sanmu belasan tahun yang silam..?" Berkata si
Setan Cebol dengan mata memerah, yang pancar-
kan sinar berkilatan. Tampak si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan alias Ki Reksa Permana,
kerutkan alisnya seperti tengah mengingat peris-
tiwa yang telah lalu itu. Tiba-tiba tampak ia ber-
kata seperti menggumam...
"Apakah dia si Sepasang Mata Iblis...?"
tampak Ki Reksa Permana agak berubah pucat
wajahnya. Akan tetapi si Setan Cebol telah terta-
wa menyeringai dan berkata :
"Ha ha ha... Tidak salah terkaanmu, Pen-
dekar tua bangka. Pernahkah kau melihat seo-
rang budak hitam yang waktu itu berumur sepu-
luh tahun, dan tengah berlari ketakutan melihat
Gurunya yang terluka parah, dan seorang kakak
seperguruannya tewas oleh pedang mautmu
itu...?" Tercenung sejenak Ki Reksa Permana... Ki-
sah puluhan tahun yang silam itu tentu saja ma-
sih terbayang dibenaknya.
2
SI SEPASANG MATA IBLIS itu sebenarnya
adalah sahabatnya sendiri... Sayang, ternyata di-
am-diam sang sahabat itu, yang telah dianggap-
nya sebagai saudaranya sendiri. Bahkan berbalik
menjadi musuhnya, gara-gara ia telah memaksa
mengajak main serong pada istrinya. Saat itu ia
tengah pergi berdagang, yang memakan waktu
dua pekan. Reksa Permana tak menaruh curiga
pada orang yang telah dianggapnya saudara sen-
diri itu. Apa lagi si Sepasang Mata Iblis yang wak-
tu itu belumlah bergelar demikian, adalah seo-
rang yang ramah tamah, dan amat sopan serta
menghormatinya. Hingga terjalin kecocokan dian-
tara mereka. Hingga tak segan-segan Reksa Per-
mana mengangkatnya sebagai saudara. Keper-
giannya berdagang, tidak membuat ia bercuriga
sama sekali, hingga ia ada berpesan agar dapat
menjaga sang kakak perempuan, bila terjadi se-
suatu dirumah. Tak dinyana sekembalinya dari
pergi berdagang, ia dapati istrinya tengah menan-
gis tak henti-hentinya dengan mata yang sembab.
Terkejut bukan buatan Reksa Permana, mengeta-
hui bahwa Sugriwo sang saudara angkat telah
memaksa sang istri untuk berbuat tidak senonoh
dengannya. Bahkan mengancam akan membu-
nuh istrinya bila berani mengadu pada Reksa
Permana. Tak alang kepalang marahnya Reksa
Permana, segera ia mencari kemana perginya Su-
griwo... Namun Sugriwo telah angkat kaki dari
rumah itu dan pergi tak diketahui dimana rim-
banya.
Untuk menghilangkan rasa malu, terpaksa
Reksa Permana meninggalkan desanya, dan pergi
hijrah ke daerah lain. Dengan dendam yang amat
luar biasa teramat di dadanya... Beberapa tahun
berselang lahirlah puterinya, yang diberinya nama
Sumirah. Tak disangka ancaman Sugriwo benar-
benar dibuktikan. Ketika menjelang anaknya be-
rusia lima tahun. Terjadi lagi hal serupa disaat ia
sedang tak ada dirumah. Sugriwo mengulangi
perbuatannya. Sumirah dijadikan sandera agar ia
dapat melampiaskan nafsu bejatnya. Sementara
sang pembantu dikunci mulutnya dengan mem-
berikannya sejumlah uang. Kemarahan Sugriwo
pada istrinya, yang diungkapkan pada sang pem-
bantu adalah, karena sang istri telah mengatakan
bahwa ia telah mengadukan hal itu pada sua
minya. Pertengkaran pun terjadi... Dan saat itu-
lah Sugriwo dengan kejam telah membunuh sang
ibu dari seorang bocah perempuan, yang masih
mengharapkan belas kasihnya.
Reksa Permana hanya dapat menjumpai
jenazah sang istri yang telah dikebumikan. Beta-
pa hancur luluh perasaannya mendapat cobaan
hidup yang demikian tragisnya. Apalagi si kecil
yang amat disayanginya itupun telah dibawa pergi
oleh Sugriwo entah kemana rimbanya. Reksa
Permana malang melintang tak tentu tujuan.
Dengan pedang tipisnya ia mengembara kemana-
mana. Ternyata disamping mencari jejak Sugriwo,
Reksa Permana juga telah pergunakan kepan-
daiannya untuk menolong kaum tertindas dari
cengkeraman golongan-golongan yang perguna-
kan kekuasaannya dengan sewenang-wenang...
Banyak dari tokoh-tokoh jahat yang telah ia tum-
pas. Hingga sebentar saja telah terdengar keha-
ruman namanya sebagai seorang Pendekar Pem-
bela Kebenaran, yang dijuluki Si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan.
Berita tentang kemunculan seorang tokoh
hitam yang berjulukan si Mata Iblis, yang telah
bertindak diluar perikemanusiaan. Disamping
merampok harta benda penduduk, membunuh
juga pemerkosa gadis-gadis... Telah mengundang
kemarahannya untuk mencarinya. Akhirnya ia
dapat menjumpai sarang tokoh jahat itu, setelah
sekian lama menyelidiki jejaknya...
• • •
Kemarahannya yang pertama adalah meli-
hat adanya seorang bocah kecil berusia antara 10
tahun, tengah berusaha membujuk seorang bo-
cah perempuan yang masih berusia di bawah
umur, yaitu sekitar enam tujuh tahun untuk di-
lakukan dengan tidak senonoh. Yang kemudian
terjadilah kekerasan. Karena si bocah yang beru-
mur 10 tahun itu telah bertindak menghajar si
gadis cilik itu untuk menuruti perbuatannya.
Reksa Permana terkejut bukan alang kepalang,
karena ia mengetahui si gadis cilik itu adalah pu-
trinya sendiri, alias Sumirah... Yang tengah dica-
rinya sekian lama. Tanpa pikir panjang, pedang-
nya telah berkelebat menabas batang leher si bo-
cah itu, hingga tewas seketika. Saat itulah mun-
cul si Mata Iblis... yang ternyata telah membuat-
nya terkejut, karena si Mata Iblis itu tak lain dari
Sugriwo adanya.
Pertarungan pun terjadi, hingga ia berhasil
menabas putus kedua belah kaki Sugriwo. Karena
dendamnya yang teramat sangat, Reksa Permana
telah pula membutakan kedua matanya.... Pada
saat itulah ia melihat seorang bocah hitam yang
berlari ketakutan.. yang ternyata tak lain dari si
Setan Cebol ini, yang pada waktu itu ia masih be-
rusia 10 tahun. Kiranya ia murid si Mata Iblis,
yang telah berhasil dipecundangi. Sengaja ia tak
membunuh orang tak berdaya. Karena dengan
demikian ia bisa puas telah membalas sakit ha-
tinya.
Sekelebat ingatan pada puluhan tahun
yang silam itu telah lenyap seketika begitu Reksa
Permana mendengar bentakan hebat dari si Setan
Cebol. Yang dengan kecepatan kilat, telah mener-
jang ke arahnya... Ki Reksa Permana memang te-
lah siap dengan pedang tipisnya. Yang telah me-
merah bagai bara untuk segera menabas, bersi-
utan ke arah si Setan Cebol. Hebat gerakan si
makhluk kecil yang berkulit hitam itu.
Terjangan itu adalah suatu gerak tipu be-
laka. Dengan gesit ia telah putar tubuh untuk
mengelilingi Ki Reksa Permana, bagaikan bayan-
gan hitam yang berkelebatan kian kemari. Semen-
tara pedang sakti bermata delapan itu, benar-
benar bermata delapan... Karena terus mengejar
ke arah mana tubuh si Setan Cebol berkelebat.
Dari kejauhan yang tampak bayangan putih dan
hitam saja yang berkelebatan saling terjang... Ki
Reksa Permana memang masih mengenakan pa-
kaian putih yang singsat, dibalik jubahnya yang
telah ia lemparkan untuk menyerang si Setan Ce-
bol. Kira-kira sepuluh jurus sudah Ki Reksa Per-
mana menggunakan ilmu pedangnya yang lihai
itu, tiba-tiba ia telah merobah gerakannya. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap terbungkus bayangan pu-
tih. Membuat si Setan Cebol terkejut seketika.
Hingga ia agak lamban bergerak. Dan pada saat
itulah delapan mata pedang tipis itu telah melun-
cur mengarah mata, leher dan dada. Kecepatan
tak terduga yang dilancarkan Ki Reksa Permana
adalah salah satu jurus ampuh dari ilmu pedang-
nya. Terdengar si Setan Cebol keluarkan teriakan
tertahan. Ia cepat gulingkan tubuhnya dengan
cepat... namun tak urung pedang tipis itu telah
menggores dadanya. Dengan melempar tubuhnya
bergulingan beberapa tombak, ia segera bangkit
berdiri lagi. Tampak ia menyeringai menahan pe-
rih pada goresan didadanya yang mengucurkan
darah. Terasa panas dan perih. Disamping terke-
jut, karena kulit tubuhnya yang kebal itu, ternya-
ta benar-benar dapat dilukai oleh pedang tipis Ki
Reksa Permana.
***
Sementara kita beralih dulu pada lain hal...
yaitu kemana dibawa perginya si Dewi Tengkorak
yang telah tertotok itu, oleh si muka bocah yang
bergelar Iblis Tertawa... Dengan tertawa senang si
tinggi besar memondong wanita yang sudah tak
berdaya itu berkelebat melompati tebing-tebing
terjal. Selang kira-kira semakanan nasi, ia telah
menghentikan larinya. Dan tampak melompat ke
sisi air terjun dilereng gunung.
Daerah sekitar tempat itu memang tampak
menyeramkan. Karena belasan ekor buaya tam-
pak bergentayangan di sungai yang mengalir dis-
ekitarnya, pada sebelah depan air terjun itu. Me-
mang dihadapan lereng itu terdapat rawa yang
luas, yang menyatu dengan air sungai. Dengan
melompati batu-batu berlumut, ia tiba disebelah
belakang air terjun itu. Yang ternyata ada sebuah
ruangan goa, yang tak terlihat dari luar. Agaknya
disinilah tempat persembunyian atau sarang si
Setan Cebol dan si Iblis Tertawa... Segera ia su-
dah geletakkan si Dewi Tengkorak diatas balai-
balai bambu. Sementara sepasang mata wanita
itu tampak melotot tajam menatap laki-laki ber-
tubuh tinggi besar itu.
"Apa yang kau mau lakukan.. muka ban-
ci..?" Berkata si Dewi Tengkorak, dengan nada
gusar. Si Iblis Tertawa cuma mendengus menden-
garnya, dan tersenyum penuh kemenangan.
"He he he... he he... Apapun yang akan aku
lakukan adalah sudah bukan urusanmu lagi. Bu-
kankah seorang tawanan hanya dapat mandah
saja diperlakukan apapun. Kecuali kau dapat me-
lepaskan totokanku yang hebat itu, silahkan kau
loloskan diri dari tanganku...!" Sambil berkata
demikian lengan si Iblis Tertawa telah menyelu-
sup ke semak belukar di ujung lamping bukit ba-
tu yang tampak halus memukau itu. Si Dewi
Tengkorak berusaha menggerakkan tubuhnya un-
tuk bangkit, dengan wajah merah... namun ter-
nyata untuk bergerak memutar tubuh saja terasa
sulit.
"He he he... Sudahlah! Tak usah berlagak
jadi perawan pingitan. Apakah begini kekarnya
tubuhku masih kau ragukan untuk bertarung
denganmu..? Kujamin kau akan mencariku se-
panjang pekan untuk kau ajak bertarung lagi. He
he he..." Tiba-tiba sebelah lengan si Iblis Tertawa
telah bergerak menyelusup ke saku bajunya. Se-
buah tabung kecil telah ia keluarkan, dan tuang
isinya di telapak tangan. Tampak lagi-lagi sepa-
sang mata si Dewi Tengkorak terbeliak menatap
ke arah si Iblis Tertawa. "Apa lagi yang kau mau
lakukan. Berkata si Dewi Tengkorak dengan
naikkan alisnya ke atas. Dua butir pel telah ia si-
sakan diatas telapak tangannya. Sedang yang
lainnya kembali ia masukkan pada bumbung ke-
cil itu, dan masukkan lagi pada saku bajunya.
Begitu selesai... tahu-tahu sebelah tangannya te-
lah bergerak cepat memencet mulut si Dewi Teng-
korak, hingga ternganga. Wanita ini berusaha me-
lepaskan diri dengan menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Namun ia sama sekali tak mampu berkutik
lagi. Hingga ketika pel ditangan si Iblis Tertawa
dijejalkan dalam mulutnya ia tak mampu untuk
menolaknya. Ditambah dengan hembusan yang
bercampur air liur dari mulut si muka bocah itu.
Membuat kedua butir pel yang dijejalkan itu sege-
ra masuk ke dalam tenggorokannya... Dan seke-
jap ia sudah melepaskan lagi cekalannya.
"He he he... Itu adalah pel racun, yang ker-
janya amat lambat. Namun dalam jangka waktu
satu bulan, segera kau akan menemui kema-
tian...!" Berkata si Iblis Tertawa dengan suara di-
tekan.
"Hah..!? Kau mau aku mati, mengapa tak
kau bunuh aku dengan seketika..?" Namun kem-
bali si Muka Bocah ini tertawa gelak-gelak.
"Macam kau ini mana mungkin aku mem-
bunuh dengan sekejap. Apa kau kira nyalimu be-
gitu hebat untuk menantang kematian..? Kau
masih menyayangi nikmatnya hidup di dunia,
mana kau tega meninggalkannya..?" Menyahuti si
Iblis Tertawa. Diam-diam si Dewi Tengkorak juga
membenarkan kata-kata itu. Siapa yang mau mati
siang-siang..? Pikirnya. Ia cuma menggertak saja.
Walaupun hatinya kebat-kebit. Sementara si Iblis
Tertawa sudah berkata lagi :
"Kalau kau mau obat pemunahnya, tentu
saja kau tak berkeberatan untuk memberikan
imbalan padaku. He he he..."
"Dasar iblis, ya tetap iblis..!" Memaki si
Dewi Tengkorak, dengan plototkan matanya. "Kau
yang telah beri aku racun, kini aku yang suruh
berikan imbalannya? Benar-benar kau seorang
yang paling licik...!" Lanjut kata-katanya.
"Itulah kelebihan dari seorang iblis sema-
cam aku. Tapi itu tak seberapa dibandingkan si
Setan Cebol. Dia bukan saja inginkan tubuhmu,
tapi bisa-bisa jantung dan hatimupun akan diin-
gininya pula!" Meringkuk juga bulu tengkuk si
Dewi Tengkorak, mendengarnya. Walaupun tadi
ia telah berani menyombong namun pada kenya-
taannya ia telah kena dipecundangi oleh kedua
manusia yang saling berkawan itu. Terpaksa ia
cuma mandah saja akan apa yang diperbuat si Ib-
lis Tertawa terhadap dirinya. Segera sudah terasa
sesuatu yang bergerak untuk membuka tirai-tirai
penghalang. Dan selanjutnya ia sudah rasakan
sebuah beban yang berat menindih tubuhnya...
yang membuat ia megap-megap hampir tak bisa
bernapas... Sementara dibalik air terjun itu ter-
dengar dengusan liar, dan rintih yang sayup-
sayup tersamar dengan suara gemericiknya air
yang mengalir...
Sementara di lain tempat, terdengar suara
isak tangis seorang wanita, yang lari jatuh ban-
gun meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Di-
alah Sumirah adanya... Yang berlari dengan
membawa kepedihan hati yang tak terkira. Betapa
tidak. Karena ia harus membiarkan kematian seo-
rang ayah yang amat dicintainya. Entah mengapa
ia sudah menduga demikian? Karena detak jan-
tungnya sudah terasa, dan firasat buruk itu su-
dah menghantui benaknya. Ia amat yakin sang
ayah, yaitu Ki Reksa Permana tak akan dapat me-
lawan keganasan si Setan Cebol.
Sepasang Trisulanya masih tergenggam di-
kedua kepalan tangannya. Namun senjata itu
adalah senjata yang tak berarti lagi. Karena tak
dapat dipergunakan untuk menempur musuhnya.
Rambutnya yang terurai panjang itu berkibaran
terkena derasnya hempasan angin.. karena ia te-
lah berlari... dan berlari dengan sekencang-
kencangnya untuk pergi sejauh-jauhnya. Napas-
nya sudah terasa tersengal-sengal, namun ia ma-
sih juga berlari. Yang terkadang ia harus sekejap
ia sudah bangkit lagi untuk segera meneruskan
larinya. Hingga akhirnya tanpa ia ketahui kakinya
telah menginjak tempat kosong... Terkesiap ia se-
ketika memandang apa yang ada dihadapannya...
Namun sudah terlambat, karena sekejap saja tu-
buh sang gadis telah terjungkal jatuh, untuk se-
gera melayang ke dasar jurang yang amat dalam...
Pekik ngeri segera terdengar mengoyak kehenin-
gan, menyibak kelengangan... yang kemudian su-
ara teriakan itupun sesaat kemudian telah kem-
bali lenyap. Hanya desahan angin yang semilir
menyibak rumput alang-alang di pinggir jurang...
"Aiiiiiiih..!?" Terdengar satu teriakan diba-
wah jurang yang terjal itu, dan sesosok tubuh
berkelebat cepat untuk segera menyangga jatuh-
nya tubuh sang gadis... Dan selamatlah ia dari
kematian. Yang sudah dipastikan tubuh gadis itu,
akan hancur remuk tulang-tulangnya. Karena di-
bawah jurang yang terjal itu batu-batu lancip ten-
gah menantinya. Namun sang gadis sudah tak
mengetahui keadaan dirinya lagi, karena ia telah
tak sadarkan diri lagi.
Entah berapa saat ia pingsan, dan ketika ia
siuman, didapati dirinya telah berada dalam se-
buah kamar yang bersih dan terang. Segera ia
mau bergerak untuk bangkit... namun kembali ia
rebahkan tubuhnya, karena dirasakannya tubuh-
nya lenyap tak bertenaga.
Dimanakah aku..? Berfikir sang gadis. Se-
mentara benaknya segera mengingat-ingat akan
apa yang telah terjadi pada dirinya. Kakinya telah
menginjak tempat kosong, ketika ia tengah berlari
dengan tak melihat jalan lagi. Dan masih terlihat
olehnya jurang curam yang terbentang dibawah-
nya ketika dengan deras ia melayang jatuh... Dan
selanjutnya ia sudah tak ingat apa-apa lagi. Keti-
ka itulah beberapa wanita yang cantik-cantik
dengan dandanan yang amat menyolok terlihat
mendatangi dari pintu kamar.
"Ah, sayang-sayang... Gadis secantik ini
mengapa sampai mau bunuh diri..?" Berkata sa-
lah seorang yang tampak cukup cantik. Dengan
suara yang terdengar merdu sambil menatap pa-
danya.
"Benar..! Dunia kan tidak sedaun kelor. Ka-
lau patah hati cari saja gantinya..." Menimpali
yang seorang lagi. Yang dandanannya kelewatan
hingga sampai hampir seluruh payudaranya terli-
hat. Sedangkan bagian bawahnya memakai gaun
yang menyibak sampai ke atas, hingga tersingkap
betis dan pahanya... Sementara yang dua orang
lagi tampak memandanginya seperti tengah mene-
liti wajah orang. Akan tetapi pada saat itu terden-
gar suara dari arah pintu...
"Setan-setan kuntilanak...! Siapa yang su-
ruh kalian masuk ke dalam kamar..?" Dan selan-
jutnya telah muncul dipintu seorang wanita se-
tengah tua yang juga berdandan dengan pupur
dan bedak tebal. Tiga buah kalung permata yang
gemerlapan tampak tergantung dilehernya. Tu-
buhnya agak jangkung, dengan alis melengkung.
Mengenakan pakaian yang ketat berwarna kun-
ing. Rambutnya tersanggul rapi ke atas. Dan se-
buah tusuk konde dari emas terselip pada sang
gulnya. Melihat kedatangan wanita ini, segera
wanita-wanita yang lainnya segera bungkukan
tubuh dengan hormat, dan tampak takut. Dan
saat berikutnya satu-persatu segera beranjak ke-
luar...
"Maaf adik...! Mereka tentu mengganggu-
mu. Syukurlah kau sudah siuman. Tahukah kau,
bahwa sudah beberapa waktu hingga sampai hari
ini menjelang malam begini, kau baru sadarkan
diri...?" Berkata si wanita dengan senyum yang
ramah tamah. Tentu saja hal itu membuat si ga-
dis bernama Sumirah itu jadi kerutkan alisnya.
Tahulah ia bahwa wanita dihadapannya inilah
yang telah menyelamatkan jiwanya... Segera saja
ia kuatkan tubuh untuk bangkit duduk, namun si
wanita telah menahannya, seraya berkata...
"Janganlah kau banyak bergerak dulu,
adik..! Kau baru saja mengalami goncangan pada
jantungmu. Beristirahatlah dulu. Sebentar aku
akan bawakan kau bubur nasi yang hangat. Kau
makanlah nanti. Baru kita bercakap-cakap..!"
Sumirah pandang wajah orang dihadapannya itu
dengan tatapan penuh rasa terima-kasih.
"Kakakkah yang telah menolongku...?"
Berkata si gadis dengan suara lemah. Si wanita
itu menatapnya sambil anggukan kepalanya.
"Te... terima kasih atas pertolonganmu
kak..." Ucapnya dengan memaksa bibirnya untuk
tersenyum. Wanita itu anggukkan kepalanya
sambil membalas dengan senyuman manis. Tera-
sa begitu akrab dan tulus, terlihat oleh sang gadis. Namun ia tak mengetahui siapa sebenarnya
wanita itu. Karena yang ia ketahui adalah si wani-
ta itu berkepandaian tinggi, dan telah selamatkan
jiwanya dari kematian...
3
SENJA baru saja berlalu... Alam terasa
agak tenang, karena tak ada tanda-tanda mau tu-
run hujan. Walaupun angin gunung terasa semilir
menerpa tubuh. Sepotong bulan tampak men-
gambang di langit. Cukup untuk menerangi jalan
yang dilalui seorang gadis berambut panjang te-
rurai, yang melangkah dengan gontai... Sejak sen-
ja tadi ia baru angkat tubuhnya untuk bangkit
berdiri dari duduknya, diatas batu itu. Terasa le-
mah sekali tubuhnya, karena baru saja ia selesai
sore tadi menguburkan beberapa jenazah ditem-
pat itu. Jenazah yang ditemuinya dalam keadaan
mengerikan. Tak sampai hatinya untuk membiar-
kan tubuh-tubuh yang berserakan ditempat itu
untuk dimakan binatang buas. Gadis berambut
panjang itu tak lain dari Roro Centil. Kedatan-
gannya ke tempat itu adalah secara kebetulan sa-
ja, disamping mau menjelajahi sekitar daerah gu-
nung Merbabu, yang konon kabarnya ada dihuni
oleh sesosok mahkluk Cebol, yang gentayangan
mencari mangsa...
Memang sejak berita dari beberapa desa
yang disinggahinya, berita itu tampaknya bukan
lah berita bohong. Karena selalu ada terdengar
pembicaraan orang mengenai adanya mahkluk
Cebol yang datang untuk menyebar maut. Seba-
hagian penduduk ada yang berpendapat sosok
tubuh kerdil yang pernah dijumpainya, adalah
sebangsa siluman jahat. Yang gentayangan men-
curi bayi dan membunuh wanita... Hal yang amat
ganjil itu membuat Roro Centil berhasrat untuk
menyelidiki. Kenyataan itu benar-benar terjadi di-
depan matanya. Ketika ia mendengar suara orang
bertempur dengan hebat diatas lamping bukit ter-
jal. Namun ia terlambat datang, sehingga hanya
menjumpai sesosok tubuh yang baru saja berke-
lojotan meregang nyawa. Keadaannya amat men-
gerikan. Karena isi perutnya telah terburai ke-
luar... Ia hanya sempat melihat sesosok tubuh
kerdil yang hitam berkelebat lenyap dari lamping
bukit itu. Tak ada kesempatan ia untuk mengejar,
karena segera memburu ke arah orang yang ter-
kapar meregang nyawa itu. Ternyata itulah tubuh
Ki Reksa Permana. Kiranya pertarungan diatas
tebing terjal itu berakhir dengan kematiannya.
Yaitu disaat si Setan Cebol terluka kena goresan
pedang tipis Ki Reksa Permana, telah membuat si
Setan Cebol gusar bukan main.... Tiba-tiba ter-
dengar ia berteriak keras. Kedua lengannya tiba-
tiba telah digerakkan dengan cepat sekali sehing-
ga tampak oleh Ki Reksa Permana, lengan si Se-
tan Cebol telah berubah menjadi berpuluh-puluh.
Sambil mengelilingi lawannya, si Setan Cebol te-
lah mengeluarkan ilmu sihirnya yang mempengaruhi mata sang lawan hingga yang tampak oleh Ki
Reksa Permana adalah tubuh si Setan Cebol telah
berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Hal itu
tampaknya membuat Ki Reksa Permana terke-
siap. Segera ia pusatkan ilmu bathin untuk me-
lawan pandangan mata tipuan itu. Pedang tipis
segera ia gerakkan memutar bagai baling-baling
melindungi tubuhnya. Dengan suara yang bersi-
utan segera menerjang untuk menabas kiri dan
kanan. Sehingga lemahlah tenaganya karena te-
rus-terusan berkelebatan ke arah sekelilingnya.
Namun yang kena ditebas adalah hanya bayangan
belaka... Hingga lama-kelamaan pandangan ma-
tanya mulai mengabur. Pada saat itulah si Setan
Cebol dengan satu terjangan kilat telah berhasil
membuat tubuhnya terjungkal kena hantaman
srudukan kepala pada perutnya. Terlemparlah
pedang tipisnya... Dan dilain kejap ia telah per-
dengarkan teriakan mengerikan, karena sepasang
cakar si Setan Cebol telah terhunjam pada perut-
nya, yang langsung disentakkan. Hingga terburai-
lah isi perut si Pendekar Pedang Sakti Bermata
Delapan. Terdengar suara tertawa si Setan Cebol
yang berkakakan, dan sekejap ia sudah berkele-
bat pergi dan lenyap... Pada saat itulah muncul
Roro Centil yang segera memburunya. Namun
sudah terlambat. Luka parah yang telah membu-
raikan isi perutnya itu, membuat sang Pendekar
yang sudah kawakan itu tak dapat memperta-
hankan nyawanya lagi. Dan tewaslah ia dihada-
pan Roro Centil yang hanya dapat menyaksikan
kematiannya...
Kini dengan melangkah gontai ia tinggal-
kan tempat itu. Sementara terlihat pada ping-
gangnya terbelit pedang tipis milik Ki Reksa Per-
mana yang ia temui disela-sela batu. Sedangkan
senjata si Rantai Genit hanya terlihat ujungnya
saja, pada kedua sisi pinggangnya. Karena tertu-
tup oleh bajunya.
"Aku harus segera mencari tempat tinggal
Ki Reksa Permana untuk memberikan pedang pu-
saka ini pada puterinya yang bernama Sumirah
itu..!" Setelah merenung sejak tadi, rupanya Roro
Centil baru teringat yang pernah berjumpa den-
gan Ki Reksa Permana. Bahkan sempat pula ber-
tarung beberapa jurus dengan si Pendekar Pedang
Sakti Bermata Delapan itu, akibat salah faham...
Yang nyaris saja Roro Centil mati konyol karena
diserang oleh beberapa prajurit Kerajaan Medang
yang berilmu tinggi.
Namun akhirnya setelah segalanya menjadi
beres. Ia dapat berkenalan dengan si Pendekar
Pedang Bermata Delapan yang bernama Ki Reksa
Permana. Dan bahkan sempat pula si Pendekar
Tua itu menceritakan kisah hidupnya. Tentu saja
kematian Tokoh yang dikagumi itu telah mem-
buat Roro Centil jadi bersedih... Ternyata terlalu
banyak manusia keji yang selalu membuat keri-
cuhan di alam kehidupan ini...
4
KEJADIAN beberapa bulan yang lalu itu ia-
lah ketika iring-iringan kereta kuda dari Wono
Segoro yang membawa upeti menuju ke Kerajaan
Medang telah dibegal oleh seorang perampok wa-
nita yang berkepandaian tinggi. Wanita itu me-
makai cadar diwajahnya sehingga tak dikenali...
beberapa pengawal pengawal kereta kuda yang
membawa upeti dari Bupati Wono Segoro itu jadi
terkejut melihat sesosok tubuh meloncat ke da-
lam kereta yang tengah dikawalnya dari jarak be-
berapa belas tombak dari mereka. Karena menga-
lami kesulitan jalan, terpaksa mereka mengambil
jalan memutar. Tak dinyana ditempat yang sunyi
mencekam itu telah dihadang oleh beberapa
orang begal. Tiga orang pengawal dibagian depan
segera lakukan pertarungan. Sementara dibagian
tengah ternyata lebih berbahaya, karena benda-
benda berharga atau upeti itu berada dikereta
yang berada ditengah. Empat orang pengawal
menjerit roboh, ketika senjata-senjata rahasia
mengenai tepat pada jantungnya... Dan sesosok
tubuh yang dikenalinya adalah seorang wanita,
telah melompat ke atas kereta untuk segera
menggondol beberapa buntalan berisikan sepeti
uang dan perhiasan kiriman dari Bupati Wono
Segoro. Empat penunggang kuda yang melihat ke-
jadian itu dari belakang kereta, segera lakukan
pengejaran...
"Berhenti keparat..!" Teriak salah seorang
dari mereka. Dan dengan cepat mengejar dengan
kudanya. Sementara tiga pengawal lainnya segera
berpencar untuk mengurung si pembegal.
Terdengar ringkikkan kuda sang pengawal
yang segera roboh terkena senjata rahasia si wa-
nita misterius itu. Namun si penunggangnya da-
pat menyelamatkan diri, dengan melompat cepat.
Dan dengan tombak siap ditangan ia sudah akan
segera menerjang si pembegal. Melihat itu tiga
orang pengawal lainnya segera turun dari ku-
danya untuk segera bantu mengepungnya. Meli-
hat dirinya sudah terkepung sedemikian rupa,
tampaknya si pembegal itu tak menjadi ciut nya-
linya. Segera saja keempat pengawal menerjang
dengan senjata masing-masing. Dua orang meng-
gunakan pedang, sedang dua orang lagi memper-
gunakan tombak. Hebat ternyata gerakan wanita
bercadar itu, dengan gerakan lincah ia segera
berkelebat kian kemari untuk menghindar.
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan masih
sempat ia lontarkan, sementara sebelah lengan-
nya telah bergerak untuk melakukan serangan
dengan senjata-senjata rahasianya. Namun
keempat pengawal ini adalah pengawal-pengawal
pilihan. Dengan segera telah menyampok mental
senjata-senjata rahasia itu dengan memutarkan
pedangnya. Sementara yang terkena hantaman
telapak tangannya terjungkal beberapa tombak,
tampak ia agak menyeringai kesakitan. Namun
masih dapat untuk kembali bangkit. Dan kembali
raih tombaknya yang terlempar. Terjadilah serang
dan terjang dari keempat pengawal dan si pem-
begal wanita itu. Sementara itu ketiga pengawal
yang berada didepannya tampaknya agak kewala-
han, karena kelima begal laki-laki yang mereka
hadapi ternyata adalah bukan begal-begal pici-
san... Namun walau demikian mereka berhasil ju-
ga membunuh tewas seorang begal. Seorang pen-
gawal terpaksa lepaskan senjatanya karena terlu-
ka pada pergelangan tangannya. Dua pengawal
terkejut, segera mempergencar serangan... Namun
empat begal itu bukanlah tandingannya. Tombak
dan pedang mereka terlepas karena masing-
masing terluka oleh golok dan blencong yang te-
rus-menerus mencecarnya. Keduanya segera me-
lompat mundur... Pada saat itulah salah seorang
dari pengawal yang terluka telah melompat ke
atas kudanya untuk segera memacunya dengan
cepat. Sedang kedua kawannya yang terluka sege-
ra berlari ke belakang untuk membantu menye-
lamatkan upeti. Namun sudah terlambat, karena
sudah sejak tadi upeti berharga itu lenyap. Dan
mereka hanya menjumpai empat pengawal yang
sudah tergeletak tewas. Dan dikejauhan ia meli-
hat adanya pertarungan hebat dari keempat pen-
gawal yang berada dibelakang kereta dengan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi. Dalam keadaan
yang tak terduga keempat orang pembegal itu te-
lah menerjang ke atas kereta...
"Keparat..! Sudah ada yang menggondol-
nya..!?" Berteriak salah seorang. Kemarahannya
beralih pada si dua pengawal itu. Yang kembali
mereka gempur dengan terjangan golok dan blen-
cong. Hingga akhirnya kedua orang pengawal itu
perdengarkan teriakan ngeri ketika senjata-
senjata dari para begal itu menebas dada dan
menggorok leher. Kiranya perampokan itu dilaku-
kan oleh orang-orang yang tidak saling kenal. Yai-
tu kelompok pembegal dan si wanita bercadar itu,
yang mengambil keuntungan lebih cepat, disaat
terjadinya pertarungan. Kelima begal itu adalah
yang dijuluki si Lima Iblis Gentayangan. Yang
terkenal amat kejam, dan berkepandaian tinggi.
Melihat seorang wanita bercadar yang telah ber-
hasil menggondol barang upeti itu, dan tengah
bertarung dengan serunya dengan keempat pen-
gawal. Segera saja ia turun tangan membantu.
Beruntunglah si wanita bercadar itu sehingga ia
dapat bernapas lega. Segera ia sudah sambar ke-
dua buntalan rampasannya, sambil berkata :
"Lima Iblis Gentayangan...! Jangan khawa-
tir, aku akan selamatkan benda upeti ini dulu.
Nanti aku akan kembali untuk membantu kalian
melenyapkan kacung-kacung Bupati ini...! Hi hi
hi..." Dan sesaat kemudian ia telah berkelebat
menerobos dari kepungan keempat pengawal,
yang jadi terkesiap seraya berteriak salah seo-
rang... "Setan betina! Tinggalkan barang itu..!"
Plak!
Sebuah lemparan tombak telah berhasil ia
halau dengan kibasan lengannya, dan tanpa me-
noleh lagi ia sudah melesat kabur. Akan halnya si
keempat pembegal itu tak ada jalan lain selain
menerjang keempat pengawal itu. Dan terjadilah
pertarungan seimbang, yaitu empat lawan empat.
Namun keempat pengawal karena mengkhawatir-
kan keselamatan barang upeti itu, jadi kurang
bergairah untuk bertarung, sehingga tampak ter-
desak.
Dengan menarik napas lega si wanita ber-
cadar itu berkelebat cepat untuk mencari tempat
yang aman, bagi barang upeti rampasannya itu.
Agaknya ia tak terlalu tamak untuk mengangkan-
gi sendiri. Segera saja ia telah mendapatkan tem-
pat persembunyian yang aman. Dibalik sebong-
kah batu besar yang tertutup rumpun bambu
yang hanya satu-satunya rumpun bambu yang
terdapat disitu, ia segera sembunyikan kedua
buntalan benda berharga itu. Terdengar ia meng-
gumam :
"Tempat ini mudah di ingat..! Biarlah aku
menolong membantu si Lima Iblis Gentayangan
itu. Mereka bisa diajak kerja sama, untuk mem-
begal lagi dilain saat..!" Akan tetapi baru saja ia
balikkan tubuh, terkejutlah ia karena dihadapan-
nya telah berdiri seorang gadis cantik dengan
rambut terurai panjang. Seuntai kalung berukiran
huruf " R " pada bandulannya yang berbentuk ha-
ti, tampak tergantung di lehernya yang jenjang.
Sepasang matanya yang bak bintang kejora, terli-
hat menatap padanya dengan tatapan tajam.
"Siapa kau..!" Bertanya si wanita bercadar
dengan suara bentakan. Namun yang ditanya
dengan dibentak begitu rupa, malah tertawa geli
sekali membuat si wanita bercadar jadi terpaku
heran.
"Hi hi hi... hi hi... Dari kecil sampai begini
dewasa baru aku lihat ada pencuri yang malah
membentak petugas keamanan... Apakah tidak
salah..?" Berkata di gadis berbaju hijau yang tak
lain adalah Roro Centil. Mendengar balasan kata-
kata itu tentu saja membuat si wanita bercadar
jadi melengak.
"Kalau begitu kau harus mampus..!" Ben-
tak si wanita bercadar, yang tak mau mengulur
waktu, dan segera menerjangnya. Dua hantaman
yang ia lancarkan hampir bersamaan itu adalah
sebuah jurus yang mematikan. Satu mengarah
tenggorokan, dan satu lagi mengarah dada.
"Jurus yang bagus..!" Teriak Roro Centil.
Dan ia hanya gunakan ujung rambutnya menge-
prak datangnya sambaran tangan ke arah tenggo-
rokan dengan gerakkan kepala ke arah samping.
Sedangkan sambaran ke arah dadanya ia biarkan,
sengaja ia menguji kekuatan tenaga lawan.
Buk! Prak!
Terdengar hantaman pada Roro Centil,
namun akibatnya si wanita bercadar perdengar-
kan teriakan kaget. Tubuhnya terpental ke bela-
kang beberapa tombak. Terasa ia telah memukul
benda keras, yang menolak balik pukulan tan-
gannya. Sedangkan keprakkan ujung rambut Ro-
ro, tak sempat ia mengelakkannya. Sehingga
tampak ia meringis menahan pedasnya jari-jari
tangannya, yang menampakkan guratan-guratan
merah. "Edan..! Sebutkan siapa namamu sebelum
aku bertindak lebih jauh. Kau kira si Walet Ken-
cana akan membiarkan kau turut campur uru-
sanku..?"
Roro Centil naikkan alisnya dengan juma-
wa, sambil menggendong tangannya ke belakang
ia sudah lantas berkata :
"Siapakah Walet Kencana itu..? Paling-
paling begitu melihatku ia sudah segera bertekuk
lutut. Apakah kau muridnya..?"
"Hm, kau belum rasai kelihaian ilmu-
ilmuku, sudah mau menyombong. Tak perlu gu-
ruku yang datang. Aku si Elang Alap-alap masih
mampu memindahkan nyawamu ke alam Akhi-
rat..! Menggertak si wanita bercadar itu. Kembali
Roro Centil mengikik tertawa seraya berkata :
"Hi hi hi... Memang nyawaku sudah sering
pulang pergi ke Akhirat, mengapa harus payah-
payah kau mau memindahkan...?" Dan setelah
kembali mengikik geli Roro sudah menyambung-
nya lagi :
"Baiklah aku beri tahu namaku... Apa kau
belum dengar nama Roro Centil? Nah itulah
aku..!" Berkata Roro sambil tersenyum. Agaknya
nama yang barusan itu pernah juga didengarnya.
Namun belum pernah lihat orangnya. Mengetahui
orang yang dihadapannya itu adalah si Pendekar
Wanita Pantai Selatan, tampak si wanita bercadar
mendengus dan berkata tajam.
"Huh! Rupanya seorang gadis yang masih
ingusan saja..! Rupanya orang terlalu menggem
bar-gemborkan namamu yang berjulukan si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan itu terlalu melebih-
lebihkan saja. Bagus...! Aku mau rasai keheba-
tanmu, sobat..!" Selanjutnya ia telah perdengar-
kan teriakan keras, dan berkelebat menerjang
dengan serentetan pukulan, yang menggelombang
bagaikan air bah, tanpa memberi kesempatan se-
dikitpun untuk Roro Centil berdiam sejenak. Na-
mun dengan tertawa-tawa sang lawan bahkan
menari-nari dihadapannya, dengan gerakan yang
mempesona. Tapi alangkah terkejutnya si Elang
Alap-alap, mengetahui setiap hantaman pukulan-
nya telah dapat terelakkan. Hingga tiba-tiba ia
berteriak keras untuk merubah gerakannya. Kali
ini sepasang kakinya bergerak menyambar ke
arah dada dan perut. Dibarengi dengan hantaman
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam
penuh.
Wus ! Wus!
Dua terjangan kaki dan tangan lolos dari
sasaran. Terpaksa ia pergunakan senjata rahasia
andalannya untuk menyerang lawan. Berhambu-
ranlah belasan paku-paku beracun menyerang
Roro. Yang cukup terkejut, karena serangan men-
dadak itu dibarengi dengan gerakan pukulan tan-
gan menyilang, dan terjangan tipuan ke arah
samping. Sehingga ketika ia melompat kekanan,
saat itulah paku-paku beracun si Elang Alap-alap
meluruk deras ke arah delapan bagian tubuhnya.
Roro Centil berteriak keras... dan tiba-tiba telah
gerakkan sepasang lengannya untuk menyampok
jatuh beberapa paku beracun itu. Namun tak
urung dua paku beracun kena juga menancap
pada kakinya. Segera ia melompat mundur. Se-
mentara si wanita bercadar itu tersenyum sinis.
Dilihatnya sang lawan jatuh dengan menekuk lu-
tut. Dan tampak menyeringai kesakitan... Melihat
orang sudah tak berdaya, ia menjadi sombong.
Tiba-tiba perdengarkan tertawanya, seraya mem-
buka topeng cadarnya.
"Hi hi hi... Pendekar Wanita Pantai Selatan
ternyata hanya nama yang digembar-gemborkan
belaka. Buktinya, tanpa guruku Walet Kencana...
kau sudah bertekuk lutut dihadapanku! Hi hi hi...
Kau boleh rasakan kehebatan racun paku yang
amat jahat itu. Dalam waktu sepeminuman teh,
kedua kakimu akan lumpuh tak terpakai lagi.
Alangkah sayangnya...!"
Namun yang ditertawakan ternyata balik
tertawa lagi dengan geli sekali. Tertawanya Roro
Centil ternyata berkepenjangan, hingga sampai-
sampai si Elang Alap-alap mengerahkan kekuatan
bathinnya untuk melawan getaran pada jantung-
nya yang sekonyong-konyong terasa bergetar. Tak
ia ketahui bahwa suara tertawa itu adalah diper-
gunakan Roro untuk mengusir racun untuk sege-
ra mengalir keluar lagi, dari bekas luka senjata
rahasia dikakinya. Yang tanpa ia ketahui, kedua
paku beracun yang mengena pada kaki sang la-
wan, telah dicabut kembali. Darah hitam segera
merembes keluar.
"Hentikan tertawamu bocah centil..! Kau
pasti akan cepat mampus..!" Terdengar bentakan
keras, dibarengi dengan terjangan kedua telapak
tangan yang menghantam Roro dengan tenaga
penuh. Namun pada saat itu, Roro Centil sudah
mencelat ke atas tiga tombak. Dan ketika menu-
kik dengan beberapa kali jumpalitan ia telah ge-
rakkan tangannya untuk meluncur deras ke arah
tubuh sang lawan. Yang segera si wanita bercadar
perdengarkan teriakan atau keluhannya, dibaren-
gi dengan ambruknya sang tubuh. Karena seko-
nyong-konyong ia rasakan tubuhnya menjadi ka-
ku dan limbung. Ternyata ia telah terkena totokan
lengan si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Ketika ia coba palingkan kepalanya, terli-
hat olehnya sang lawan tengah cekikikan mena-
tap padanya... Seraya melemparkan paku bera-
cun yang telah sejak tadi berada dalam gengga-
mannya, Roro Centil berujar: "Hi hi hi... Siapa bi-
lang kakiku akan menjadi lumpuh..? Mungkin ju-
ga sepasang kakimu yang akan kubikin sate saat
ini..!" Keringat dingin segera mengucur deras di
tubuh si Elang Alap-alap. Dalam keadaan demi-
kian ia tak mampu untuk berkutik lagi. Ia cuma
pejamkan mata dengan hati kebat-kebit. Tiba-
tiba...
Bret! Bret! Bret! Dengan senyum-senyum
Roro Centil telah gerakkan tangannya untuk me-
robek pakaian orang.
"Auuuw..! Apa yang kau mau lakukan..!?"
Berteriak si wanita itu yang sudah terbuka cadar-
nya. Wajahnya segera tampak pucat pias melihat
apa yang dilakukan si Pendekar Centil ini.
"Hm, lebih baik mulutmu dikunci saja,
agar tidak terlalu cerewet!" Berkata Roro Centil
sambil gerakkan tangannya, hingga sekejapan sa-
ja si wanita itu, cuma bisa ngangakan mulutnya
tanpa bisa keluarkan suara. Setelah ditelanjangi
sampai bersih, Roro Centil angkat tubuh orang ke
tengah semak belukar. Sementara matanya jelala-
tan mencari-cari sesuatu, ke atas dahan pohon
dan ke beberapa tempat dibawah. Tiba-tiba ia
menampakkan senyumnya sekilas... Dan berkele-
batanlah tubuhnya ke semak-semak. Tampak di-
bawahnya ratusan semut rangrang yang tengah
berkerumun diatas rerumputan, seperti tengah
membuat sarang.
Bruk! Ia sudah jatuhkan tubuh si wanita,
yang sudah bagaikan pisang yang dikupas kulit-
nya itu. Tak ampun lagi ratusan semut rangrang
segera mengerubutinya, untuk segera menye-
rangnya dengan gigitan-gigitannya. Adapun si
Elang Alap-alap cuma meringis-ringis kesakitan
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya atau berte-
riak. Sehingga ia cuma bisa menggeliat-geliat se-
bisanya tanpa bisa menangis. Apalagi tertawa...
Roro cuma pandangi orang dihadapannya dengan
senyum-senyum. Seraya berkata :
"Nah kau rasakanlah akibat dari ketama-
kanmu. Barang upeti itu akan kukembalikan lagi
pada yang berhak membawanya ke Kerajaan..!"
Setelah ucap-kan kata-kata itu, segera Roro Cen-
til berkelebat kembali ke tempat tadi. Pakaian
pakaian si wanita itu ia raih dan lemparkan.
Hingga menyangsang didahan pohon tinggi. Se-
lanjutnya ia sudah berkelebat ke arah dimana si
Elang Alap-alap menyembunyikan buntalan ba-
rang upeti itu. Yang sebentar saja telah berpindah
ketangan Roro.
"Aku harus cepat antarkan kembali ba-
rang-barang berharga ini..! Menggumam ia, sam-
bil gerakkan tubuh untuk tinggalkan tempat itu.
Memang ia telah melihat adanya perampokan itu.
Yaitu pertarungan antara si wanita itu dengan
keempat para pengawal. Ketika ia mau bergerak
untuk membantu, telah keburu datang si empat
dari Lima Iblis Gentayangan yang turut menem-
pur keempat pengawal itu. Sementara si wanita
bercadar itu membawa kabur barang rampasan-
nya. Roro Centil segera menguntitnya. Hingga ter-
jadi pertarungan, yang berakhir dengan keunggu-
lannya. Namun baru saja ia jejakkan kakinya.
Enam orang perwira kerajaan telah mengurung-
nya, yang muncul dari beberapa penjuru.
"Pembegal tengik..! Kau tak dapat lari lagi!
Hayo serahkan barang rampasanmu!" Teriakan
itu telah dibarengi dengan berkelebatnya pedang
dari arah samping dan belakang. Terpaksa Roro
gerakkan tubuh untuk menghindar. Namun ia
sudah terkepung oleh enam pengawal yang tak
mengerti akan hal ikhwalnya. Segera saja empat
orang maju merangsak dengan teriakan sengit,
menabas dan menusuk dari berbagai arah. Ter-
paksa Roro Centil kembali bergerak untuk selamatkan jiwanya. Kedua buntalan itu telah ia le-
paskan. Dan dengan mengegos ke kiri dan kanan
ia hindari terjangan-terjangan keempat pengawal.
Wah...!? Celaka besar..! Aku yang dianggap
pembegal tengik itu...!" Berkata Roro dalam hati.
Agaknya Roro Centil tak mau berlama-lama un-
tuk mengakhiri pertarungan. Tiba-tiba ia berte-
riak keras dengan suara yang melengking pan-
jang. Inilah suara yang baru pertama kali diden-
gar oleh keenam pengawal yang baru datang itu.
Walaupun mereka adalah pengawal-pengawal an-
dalan yang berkepandaian tinggi, namun kini su-
dah dibuat terkesima dengan lengkingan yang
panjang itu. Lengkingan suara yang mengandung
tenaga dalam hebat, hingga keenam pengawal itu
berdiri terpaku dengan diluar kesadarannya. Pada
saat itulah tiba-tiba tubuh wanita dihadapannya
berkelebatan dengan cepat karena masing-masing
senjata yang dicekalnya telah terlepas dan ter-
lempar dari tangannya, dengan suara yang ber-
klontangan. Saat selanjutnya bayangan tubuh
Roro Centil tampak berkelebat lagi ke tengah-
tengah arena pertarungan. Dan sekejap telah ber-
diri lagi dekat buntalan barang upeti yang tergele-
tak dekat kakinya. Sedangkan dikedua belah len-
gannya tergantung senjata si Rantai Genit... Meli-
hat kejadian yang hampir dapat dikatakan seke-
jap mata itu, keenam pengawal itu jadi ternganga.
Namun Roro Centil sudah lantas berkata dengan
suara keras :
"Kalian telah salah alamat..! Aku bukanlah
si pembegal tengik yang menginginkan barang
upeti macam begini! Pergilah ambil barang-barang
ini..!" Sambil berkata demikian Roro telah meng-
gerakkan ujung kakinya mengungkit kedua bun-
talan itu. Segera kedua buah buntalan barang
berharga itu melayang ke arah dua orang pen-
gawal, yang segera menyambutinya. Sementara
keempat orang pengawal, yang tadi bertarung
dengan keempat begal dari si Lima Iblis Gen-
tayangan, telah berkelebat ke tempat itu. Tapi
kemunculannya diikuti seorang tua berjubah pu-
tih. Roro tetap berdiri tegak ditempatnya. Adapun
kemunculan keempat pengawal itulah yang telah
menolongnya dari kesalah fahaman. Karena sege-
ra mereka mengenali akan si pembegal. Rupanya
dari pakaian yang dipakai si pembegal wanita itu
mereka dapat membedakannya. Kalau tadi yang
dikepungnya adalah wanita yang bercadar hitam
pada wajahnya, dan berbaju kuning. Akan tetapi
Roro Centil adalah berpakaian hijau. Adapun se-
pasang senjatanya yang berbentuk aneh itu, me-
nandakan ia bukanlah si pembegal yang tadi...
Segera saja keempat pengawal menjura hormat
pada Roro Centil. Salah seorang pengawal telah
memeriksa isi kedua buntalan itu, yang masih
utuh gemboknya pada peti upeti yang dikawalnya.
Keenam pengawal lainnya pun segera menjura
hormat sambil menyatakan maafnya atas kekeli-
ruan mereka...
Sementara si orang tua berjubah putih itu,
segera memperkenalkan dirinya yang ternyata
bernama Ki Reksa Permana. Yang berjulukan si
Pedang Sakti Bermata Delapan. Segera Roro men-
gambil kesimpulan bahwa kawanan pembegal tadi
pasti telah tewas. Karena kedatangan si Pendekar
Tua itu bersama keempat pengawal yang tadi ber-
tempur. Sudah dipastikan si Pendekar Tua berju-
bah putih itu turut membantu keempat pengawal.
Dalam waktu singkat mereka telah saling berke-
nalan... Roro Centil segera beritahukan tentang si
pembegal wanita yang telah dilucuti pakaiannya
dan kini tengah merasakan siksaannya digigiti
tubuhnya oleh semut-semut rangrang. Tentu saja
penuturan itu membuat semua pengawal jadi ter-
tawa. Adapun si Pendekar Tua bernama Ki Reksa
Permana itu ternyata telah mengajaknya saling
menjajaki kepandaian masing-masing. Terutama
sekali sang Pendekar Tua ini ingin mengetahui
kehebatan senjata si "Rantai Genit" nya Roro Cen-
til. Terpaksa Roro pertunjukkan kelihaiannya
memainkan senjata itu. Yang ternyata telah me-
nambah pengalamannya bertempur. Karena Ki
Reksa Permana telah pergunakan senjata anda-
lannya yang telah membawa harum namanya itu,
yaitu Pedang tipis yang luar biasa lemasnya.
Hingga bila senjata itu digunakan, akan terlihat
mata pedang yang berubah jadi delapan mata pe-
dang. Roro Centil sendiri tak menyangka kalau
permainan sepasang senjata si Rantai Genit itu
ternyata dapat mematahkan serangan pedang Ki
Reksa Permana. Dengan berseru kagum sang
Pendekar Pedang Sakti Bermata Delapan tiba-tiba
melompat mundur. Seraya berucap :
"Cukup..! Cukup..! Sepasang senjata yang
hebat!" Memuji Ki Reksa Permana. Adapun kese-
puluh pengawal, jadi dibuat ternganga menyaksi-
kan pertarungan kedua tokoh ternama itu. Yang
satu adalah seorang Pendekar Tua yang sudah
kawakan, sedang yang seorang lagi adalah tokoh
persilatan yang masih amat muda. Seorang gadis
cantik yang tampaknya tidak punya ilmu kepan-
daian, tapi ternyata telah membuat mata mereka
terbuka. Bahwa sudah muncul lagi seorang pen-
dekar muda, yang sukar dicari tandingannya di
abad itu. Demikianlah... dengan rasa terima kasih
tak terhingga pada kedua pendekar, kesepuluh
pengawal itupun mohon diri. Untuk segera men-
gurus para jenazah, dan meneruskan perjalanan
membawa kiriman upeti ke Kerajaan Medang. Se-
dangkan Roro Centil tampak masih bersama si
Pendekar Tua itu meneruskan bercakap-cakap.
Ternyata Ki Reksa Permana banyak bercerita ten-
tang kisah hidupnya...
Itulah kisah pertemuannya dengan Ki Rek-
sa Permana, Si Pendekar Pedang Sakti Bermata
Delapan yang kini telah tiada. Tampak si gadis
Pendekar itu menghela napas. Terasa trenyuh ha-
tinya, mengingat akan kisah hidup Pendekar Tua
itu, yang akhirnya menemui kematian dengan ca-
ra yang amat mengenaskan. Perjalanan yang ditu-
junya adalah mencari tempat tinggal Ki Reksa
Permana, yang seperti telah diceritakan oleh al
marhum, ia mempunyai seorang puteri hampir
sebaya dengannya, bernama Sumirah. Walaupun
sang Pendekar Tua itu tak meninggalkan pesan
disaat kematiannya, Roro bermaksud mencari ta-
hu tentang Sumirah itu, apakah ia berada disana,
ataukah juga telah tewas. Karena memang dida-
pati ada seorang wanita yang juga tewas dengan
keadaan yang mengerikan. Namun wanita itu ti-
daklah dapat dikatakan masih sebayanya. Dan
tentu saja untuk memberikan pedang Pusaka Ki
Reksa Permana itu pada si gadis, sebagai pewaris
pusaka orang tuanya...
Bulan sepotong yang seperti menempel di-
langit itu masih tetap seperti tadi, ketika si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan mulai gunakan ilmu
larinya mencari jalan, untuk dapat menjumpai
sebuah desa. Seeker kelelawar tampak terkejut di
sebuah pohon rimbun, dan mengepakkan sayap-
nya untuk terbang menjauh, tatkala Roro berlalu
dibawahnya...
Padepokan Cemara Kandang yang cuma
tinggal dua belas orang itu, tampak berkumpul
disatu ruangan. Masih terdengar suara orang ber-
cakap-cakap dengan perlahan. Namun kesemua-
nya tampaknya dilanda kegelisahan.
"Tak ada seorangpun dari murid utama
yang kembali pulang... Apakah mereka telah da-
pat membekuk si makhluk Cebol itu, ataukah te-
lah tewas..?" Berkata salah seorang dengan suara
berdesis perlahan. Salah seorang yang paling ter-
tua menyahuti.
"Yah, kita hanya dapat berdo'a saja akan
keselamatannya. Kasihan Jatmiko... anak dan is-
trinya jadi korban si makhluk biadab itu. Aku
berkeyakinan, mereka pasti telah tewas. Kare-
na..." Tampaknya si murid tertua itu tak tega un-
tuk menceritakannya. Dan sekonyong-konyong
rasa takut menghantuinya.
"Hm... Sudahlah, jangan fikirkan yang su-
dah terjadi. Sebaiknya kita tunggu saja kedatan-
gan Guru kita, atau Jeng Sumirah... yang tengah
melacak kemana perginya si makhluk keji itu."
Dan semua pun terdiam. Suasana kembali men-
cekam, membuat kedua belas pemuda yang ber-
kumpul satu ruangan itu saling berdesak dengan
wajah yang gelisah.
"Sampurasuuuun..!" Terdengar suara
memberi salam diluar.
"Rampeees..!" Hampir berbareng kedua be-
las sisa murid di Padepokan itu menyahuti salam
itu. Salah seorang sudah berkata pada kawannya:
"Siapa? Jeng Sumirah kah..?"
"Entahlah! Tak biasanya Jeng Sumirah
mengucapkan salam demikian..!" Menyahuti ka-
wannya.
Sementara beberapa orang sudah segera
membukakan pintu ruangan, dengan hati was-
was. Segera terlihat sesosok tubuh yang telah
berdiri di depan Padepokan. Sinar cahaya bulan
dan terangnya cahaya lampu yang menyorot ke-
luar dari dalam ruangan itu, segera dapat melihat
siapa adanya yang datang.
"Siapa gadis ini..?" Salah seorang cepat
berbisik pada kawannya.
"Ssst. Diamlah..!" Menyahuti sang kawan
yang bertubuh agak jangkung. Lalu dengan sege-
ra menghampiri si wanita itu, yang tak lain dari
Roro Centil. Tanpa menunggu pertanyaan Orang,
Roro segera berucap :
"Maaf... Boleh aku tahu, apakah disini
tempat tinggal Ki Reksa Permana?" Terkejut si
jangkung dan juga beberapa kawannya karena
sang tetamu ternyata mengenai nama Guru me-
reka. Si murid tertua yang juga turut keluar, se-
gera menjawab pertanyaan itu...
"Benar, nona..! Padepokan Cemara Kan-
dang ini adalah tempat tinggal beliau. Dan Ki
Reksa Permana adalah Guru kami. Siapakah no-
na..? Bolehkah hamba tahu, dan ada keperluan
apakah anda datang kemari..." Jawaban si murid
tertua dibarengi dengan pertanyaan pula, dengan
menatap wajah sang tamu tajam-tajam, seperti
tengah menegasi wajah orang.
"Aku ada membawa berita tentang Guru
kalian. Dan selain itu juga untuk menyampaikan
benda ini pada puterinya yang bernama Sumi-
rah..!" Berkata Roro Centil sambil menunjukkan
pedang tipis Ki Reksa Permana. Terkejutlah me-
reka seketika. Dan serta merta mempersilahkan
Roro untuk masuk. Sementara beberapa orang
murid segera berdesakan untuk mengetahui beri-
ta itu, juga ingin melihat siapa adanya si gadis
cantik yang datang itu. Demikianlah, Roro Centil
segera perkenalkan dirinya. Dan menceritakan
kejadian yang telah dijumpainya. Setelah sebe-
lumnya menceritakan perjalanannya hingga sam-
pai dapat menjumpai Padepokan Cemara Kan-
dang...
5
TAK ada peristiwa lain yang amat menye-
dihkan selain kesedihan mendengar berita ten-
tang tewasnya Guru mereka yang amat mereka
cintai. Adapun mengenai Sumirah, puteri sang
Guru almarhum mereka sendiri tak dapat mem-
berikan keterangan. Karena menurut dugaan,
pasti puteri sang Guru mereka itu telah menyusul
ayahnya mencari jejak si makhluk Cebol itu. Da-
lam suasana haru itu, Roro Centil termenung...
Yang akhirnya terdengar menghela napas. Ia juga
turut berduka cita dengan tewasnya Ki Reksa
Permana. Namun sebagai seorang tetamu, juga
seorang Pendekar yang telah kebal dengan pende-
ritaan, Roro tak menampakkan kedukaannya.
Bahkan memberi semangat pada murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana agar tetap tabah
menghadapi cobaan berat yang telah menimpa
mereka. Karena bukan mereka saja yang menga-
lami kesedihan. Penduduk desa dan masyarakat
juga telah banyak yang mengalami musibah besar
semacam itu. Kehilangan anak dan istri, serta
lain-lain musibah, sejak kemunculan makhluk
Cebol gentayangan itu... Bahkan semua ini ada-
lah tanggung jawab mereka semua, yaitu para
pendekar penegak hukum, pembela si tertindas,
penolong yang lemah, dari segala macam kekejian
yang berada diatas permukaan bumi ini untuk
menumpasnya.
Namun sebagai orang yang telah cukup ju-
ga dengan pengalaman, Roro Centil dapat mema-
hami akan sia-sianya pengorbanan mereka. Kare-
na telah dapat diduganya si makhluk Cebol itu
berkepandaian amat tinggi dan telengas. Hingga
dengan segala senang hati Roro Centil menerima
usul mereka untuk menetap dulu selama bebera-
pa hari di Padepokan itu. Sambil mencari kabar
mengenai berita dimana adanya Sumirah, juga
mencari tahu jejak si manusia iblis penyebar
maut itu.
Berdiamnya Roro Centil di Padepokan itu
ternyata membuat murid-murid mendiang Ki
Reksa Permana tampak timbul lagi semangatnya.
Apalagi mengetahui Roro Centil adalah seorang
tokoh yang pernah diceritakan kehebatan ilmunya
oleh mendiang Gurunya pada mereka.
Berita yang mengejutkan terjadi di sekitar
desa. Tampaknya seperti tenang-tenang saja. Ka-
bar tentang Sumirah yang telah dilacak ke perba-
gai desa oleh murid-murid mendiang si Pendekar
Tua itu tak membawa hasil. Sumirah lenyap tak
berbekas. Roro Centil tak dapat berdiam lebih la-
ma... Akhirnya iapun mohon diri untuk mening-
galkan Padepokan Cemara Kandang, dengan tujuan mencari jejak Sumirah. Demi rasa tanggung
jawabnya, dan rasa simpati sebagai sesama pen-
dekar.
Demikianlah... Dengan hati berat, kedua
belas murid Ki Reksa Permana itu melepas keper-
giannya. Bahkan ada diantara mereka yang ber-
sedia ikut bersama mencari jejak puteri Gurunya
itu. Namun dengan halus Roro Centil mengu-
capkan terima kasih. Dan menyuruh mereka te-
tap berada didesa. Menjaga dari segala hal atau
kemungkinan yang bisa saja terjadi kericuhan.
Walaupun bukan perbuatan si makhluk Cebol itu.
6
RORO CENTIL langkahkan kakinya untuk
segera meninggalkan Padepokan Cemara Kan-
dang... Dan sesaat kemudian telah berkelebat le-
nyap dari pandangan kedua belas murid-murid
mendiang Ki Reksa Permana. Yang jadi ternganga
kagum. Matahari pagi itu bersinar cerah... Dere-
tan awan-awan putih bagaikan kapas terlihat di-
ujung cakrawala. Semilir angin bersyiur lembut
dari arah utara terasa membuat tubuh menjadi
sejuk. Namun tidaklah membuat sejuknya hati
Roro Centil, yang entah mengapa amat mengkha-
watirkan nasib Sumirah. Beruntung Roro telah
dapat mengetahui akan tanda-tanda dan raut wa-
jah si gadis yang tengah dicarinya itu, dari penje-
lasan yang ia dapati. Sehingga ia akan dapat
mengenali seandainya dapat menjumpainya.
Roro Centil telah tiba pada sebuah tempat
yang berpemandangan indah. Bunga-bungaan
disekitar situ terawat dengan rapi... Hampir dis-
etiap tempat terdapat rumpun bambu kuning,
yang berkelompok-kelompok yang juga terawat
dengan baik. Beberapa kolam kecil berair jernih
terdapat juga disekitar tempat itu.
Tempat apakah ini..? Seperti sebuah taman
saja layaknya..! Berfikir Roro. Sementara kakinya
terus melangkah melalui jalan kecil yang mengeli-
lingi taman berpagar bambu kuning yang tampak
semakin rapat dibagian depan. Tiba-tiba dikejau-
han terdengar suara orang bercakap-cakap. Roro
kerutkan alisnya, dan cepat menyelinap ke balik
semak disebelah kiri jalan. Sementara sepasang
matanya menatap ke ujung jalan. Tak berapa la-
ma segera terlihat siapa yang tengah bercakap-
cakap itu. Yaitu seorang wanita setengah tua,
dengan dandanan yang amat menyolok. Wajahnya
masih boleh dikatakan cukup cantik. Tiga untai
kalung mutiara tergantung pada lehernya. Wanita
ini berkulit putih. Memakai sanggul diatas kepala,
dengan tusuk konde emas terselip pada sanggul-
nya. Sedangkan lawannya bercakap-cakap adalah
seorang laki-laki yang agak bungkuk. Kepalanya
agak besar, yang mengenakan ikat kepala bersu-
lam benang emas. Berbaju dan celana yang ber-
warna hitam, yang juga tersulam dengan benang
emas. Kain sarungnya terbuat dari sutera yang
indah berwarna biru langit. Mengenakan ikat
pinggang yang besar. Laki-laki yang agak bung-
kuk ini membawa sebuah pipa cangklong yang
panjang, terbuat dari gading. Bergagang perak,
yang tampak berkilat. Sebentar-sebentar ia
menghisap pipanya, dan menghembuskan asap
tembakau dari mulutnya. Usianya sekitar lima
puluhan tahun. Dapat dipastikan orang ini ada-
lah seorang bangsawan atau hartawan.
"Apakah kau sudah yakin aku akan panuju
dengan orang barumu itu..?" Terdengar suara bi-
caranya dengan nada angkuh. Wanita setengah
tua disebelahnya tampak tersenyum sambil lirik-
kan matanya yang agak genit.
"Aku tak tahu pasti, tapi menurutku kau
tak akan kecewa..!" Berkata si wanita itu. Tampak
si bangsawan bungkuk itu hisap pipa cangklong-
nya dalam-dalam, dan hembuskan asap tebal dari
mulut dan hidungnya ke udara.
"He he he... walaupun sudah tua begini,
aku Raden Mas Guntoro sudah banyak pengala-
man, tak akan dapat kau dustai untuk yang ke-
dua kalinya...!" Kata-kata itu membuat si wanita
jadi tersenyum masam, namun segera terdengar
suara tertawanya yang disambung dengan kata-
kata :
"Hi hi hi... Yang sudah lalu itu pasti tak
akan terulang lagi, Ndoro..!" Tampak si wanita itu
sengaja menyanjungnya dengan kata-kata seperti
seorang abdi pada majikannya. Dan selanjutnya
yang terdengar adalah suara cekikikan dan terta-
wa terkekeh, kekeh dari keduanya. Tiba-tiba si
bungkuk bercangklong itu hentikan suara terta-
wanya. Sebelah lengannya sekonyong-konyong
bergerak ke arah semak disebelah kirinya, seraya
membentak :
"Siapa disitu..!" Dan serangkum angin ke-
ras menyambar ke semak-semak, membuat daun-
daun semak itu buyar dan beberapa batangnya
rebah. Roro Centil telah melesat dari tempat per-
sembunyiannya. Ia heran juga, yang si orang
bungkuk itu mengetahui adanya ia disitu. Namun
akhirnya Roro dapat mengetahui, yaitu sinar pe-
dang tipis yang cahayanya terpantul kena sorotan
Matahari itulah yang menyebabkan orang menge-
tahui tempat persembunyiannya. Baru saja ia
menjejakkan kakinya ke tanah, sudah terdengar
lagi bentakan keras. Dan berkelebatannya seso-
sok bayangan, yang tak lain dari si wanita genit
itu.
"Kuntilanak..! Apa yang kau kerjakan di-
tempat ini..!" Sebentar saja Roro telah lihat si wa-
nita itu berada dihadapannya. Sepasang matanya
menatap tajam padanya. Sementara kedua len-
gannya bertolak pinggang. Si orang bungkuk ber-
cangklong panjang itupun telah melompat ke
tempat itu. Tapi, tiba-tiba wajahnya jadi berubah
menyeringai...
"He he he... Kalau macam begini sih ra-
sanya aku amat penuju sekali. Eh, Walet Kenca-
na! Apakah kaupun tidak mengenalnya..?" Ber-
tanya si bungkuk itu, sementara sepasang ma-
tanya telah merayapi setiap lekuk tubuh Roro dari
kepala sampai kekaki. "Aku sih tidak kenal, tapi
mungkin salah seorang muridku mengenalnya..!"
Selesai berkata tiba-tiba ia telah masukkan dua
jarinya kebawah lidah. Dan terdengarlah suara
suitan panjang keluar dari mulutnya. Selang be-
berapa saat terdengar suara gaduh dari beberapa
orang wanita. Dan selanjutnya telah muncul lima
orang murid wanita yang segera menjura hormat
pada si wanita yang dijuluki si Walet Kencana.
Adapun Roro Centil begitu mendengar nama Wa-
let Kencana itu, segera teringat akan si wanita
pembegal yang telah kena dipecundangi. Dan di-
telanjangi bulat-bulat untuk diumpankan pada
ratusan semut rangrang beberapa bulan yang la-
lu. Wanita pembegal itu bernama julukan si Elang
Alap-alap, yang menyebut-nyebut nama Walet
Kencana sebagai gurunya.
"Eh, murid-muridku..! Apakah salah seo-
rang dari kalian mengenal perempuan di hada-
panku ini.. ?" Salah seorang dari mereka ternyata
ada yang telah menatap amat tajam dari balik ca-
dar tipis yang dikenakannya. Wajahnya tampak
terpulas dengan bedak tebal. Namun tetap saja
bekas luka-luka gigitan semut rangrang pada wa-
jah dan seluruh tubuhnya masih menampakkan
bintik-bintik kecil yang menghitam. Ia sudah lan-
tas berkata :
"Guru..! Kalau guru dapat memaklumi ke-
bodohanku, kuntilanak inilah yang telah mengga-
galkan pekerjaanku. Dan telah menyiksaku den-
gan perbuatan kejinya..." Tampak sang Guru alias
si Walet Kencana itu cuma tersenyum.
"Hm, tak usah kau berkecil hati. Kalau kau
ingin balas menyiksanya, baiklah akan kutang-
kapkan ia dihadapanmu. Namun sebelumnya kau
harus mengalah dulu pada paman Guntoro Kecut
ini. Setujukah...?" Si wanita bercadar itu men-
gangguk. Roro segera dapat mengenalinya kalau
wanita itu tak lain dari si Elang Alap-alap.
"Kau pernah ceritakan padaku kalau si Wa-
let Kencana, ialah aku telah dihina sedemikian
rupa oleh budak ini yang mengatakan aku akan
tunduk bersujud dihadapannya. Nah, gadis can-
tik, cobalah kau perbuat aku untuk tunduk pa-
damu..!" Sambil berkata ia kembali palingkan wa-
jah pada Roro Centil. Tiba-tiba berkelebat sesosok
tubuh berbaju kuning ke tempat itu, yang sudah
lantas berkata santar :
"Kakak..! Bolehkah aku bicara sebentar
dengan si Pendekar wanita ini..?" Si wanita seten-
gah tua itu sudah palingkan kepalanya pada si
pendatang. Namun ia hanya perdengarkan den-
gusan hidungnya.
"Ken Wangi..! Jangan kau mencampuri
urusanku. Sudah kukatakan hitam tetaplah hi-
tam. Aku tak mau lihat mukamu lagi, walau kau
adalah adikku sendiri!" Semua mata jadi beralih
menatap pada wanita berbaju kuning itu. Namun
si wanita baju kuning itu tersenyum sinis, dan
dengan monyongkan mulutnya ia menyahuti.
"Huh! Siapa yang sudi akui kau kakak kandung-
ku lagi.. ? Namun perbuatanmu semakin brutal
tetap akan kutentang. Kalau tidak, akan habislah
gadis-gadis suci yang cantik-cantik kau umpan-
kan pada para hidung belang macam si Raden
Mas Guntoro Kecut itu.." Tampak wajah si Walet
Kencana berubah merah padam. Tiba-tiba ia pa-
lingkan kepala pada kelima muridnya.
"Murid-muridku..! Segeralah kau usir dia
dari tempat ini. Atau kalau perlu kau bunuh
mampus!" Mendengar perintah gurunya itu, sege-
ra kelima orang wanita itu mengurungnya.
"Heh! Lima orang kuntilanak kau suruh
menggempurku.. ?! Apakah tidak sekalian kau
suruh keluar semua orang-orangmu untuk mem-
bunuhku!" Berkata si wanita berbaju kuning yang
bernama Ken Wangi itu. Namun kata-katanya su-
dah segera terhenti, karena dengan berbareng ke-
lima wanita itu telah menerjang untuk mering-
kusnya. Sebentar saja di taman itu telah terjadi
pertarungan seru. Suasana yang tadi sunyi men-
dadak jadi ramai oleh suara bentakan-bentakan
keras. Adapun Roro Centil segera berkelebat men-
jauh. Ia tak mau jadi sasaran pukulan dari mere-
ka, yang bertarung didekatnya.
"Tunggu..! Kau tak dapat pergi dengan be-
gitu saja. Penghinaanmu terhadap muridku, dan
meremehkan pada diriku, harus kau pertanggung
jawabkan!" Membentak si Walet Kencana, seraya
berkelebat mengejar ke arah Roro.
"Aiiii..?! Siapa yang mau melarikan diri..?
Bukankah kau ingin menangkapku hidup-hidup,
untuk kau serahkan pada si tua bangka bungkuk
itu. Nah, tangkaplah aku, siapa tahu aku dapat
membuktikan kata-kataku membuat kau bersu-
jud mencium kakiku. Hi hi hi...." Berkata Roro
Centil dengan seenaknya. Saat itu si Raden Mas
Guntoro Kecut sudah berlari mendatangi.
"Walet Kencana! Awas, jangan sampai kau
lukai tubuhnya... Aku pasti akan membayar
mahal untuknya..! Teriak Raden Mas Guntoro Ke-
cut, sambil menghisap pipa cangklongnya. Si Wa-
let Kencana cuma tersenyum jumawa seraya ber-
kata :
"Jangan khawatir Ndoro, hamba pasti per-
sembahkan seutuhnya buat Ndoro tanpa cacat
secuilpun..!" Namun sebelum si wanita itu bertin-
dak lebih lanjut, Roro telah berlalu ke arah si
Bangsawan bungkuk itu. Langkahnya seperti
orang yang tak merasa khawatir sedikitpun. Ten-
tu saja si orang bungkuk bercangklong panjang
itu jadi ternganga, karena gerakan langkah Roro
amat memikat hatinya. Memang Roro Centil sen-
gaja berjalan dengan goyangkan pinggul, yang
membuat orang jadi tercengang.. Apalagi bagi si
hidung belang macam Raden Mas Guntoro Kecut.
Hal itu telah membuatnya amat kagum, seraya
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah, den-
gan mata yang nyalang merayapi indahnya tubuh
gadis dihadapannya.
"Kalau tak ingin membuat tubuhku menja-
di lecet, sebaiknya tak usah kau payah-payah un-
tuk menangkapku Walet Kencana. Lebih bagus
biar Ndoro mu Raden Mas Guntoro Kecut ini saja
yang menangkapku...!" Mendengar kata-kata itu
tentu saja si bangsawan bungkuk itu jadi terbe-
liak matanya, dan tiba-tiba telah tertawa terke-
keh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.
"He he he., he he... Bagus! Bagus! Bocah
ayu..! Mengapa tidak sedari tadi kau katakan?
Tentunya aku tak akan keluar biaya mahal untuk
menyuntingmu..!" Sambil berkata tiba-tiba sepa-
sang lengannya telah memeluk tubuh sang gadis
dihadapannya. Roro Centil yang memang berwa-
tak aneh sukar diterka itu, ternyata membiarkan
tubuhnya dipeluk orang. Bahkan ia tersenyum
manja sambil menggelendot di dada si bangsawan
tua itu. Adapun hal itu telah membuat si Walet
Kencana jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. Dis-
amping rasa mendongkol, namun juga aneh yang
amat luar biasa.
Apakah perempuan ini memang agak tidak
waras..? Berfikir si Walet Kencana. Belum lagi ia
banyak berfikir melihat sikap orang yang aneh
itu, Roro Centil telah berkata dengan suara ber-
nada memerintah :
"Walet Kencana, segera kau suruh orang-
orangmu menyediakan kamar yang bersih untuk
aku menginap beberapa malam bersama Ndoro-
mu ini..." Tentu saja si wanita setengah tua yang
menjadi majikan ditempat ini, jadi melengak.
Orang luar dihadapannya telah berani berkata
sedemikian enaknya. Seolah-olah dialah majikan-
nya. Namun tetap saja ia menyahuti, karena me-
mandang pada si orang Bangsawan bungkuk itu
yang juga tengah menatap padanya.
"Kamar yang bersih sudah selalu tersedia
setiap saat. Atau baiklah aku periksa lagi akan
kebersihannya..!" Berkata ia sambil segera mele-
sat lebih dulu ke arah depan. Ketika sesaat ia
menoleh kebelakang, segera terlihat Raden Mas
Guntoro Kecut telah memondong si gadis cantik
yang aneh itu. Benar-benar ia seperti tidak mem-
percayai penglihatannya. Muridnya mengatakan
gadis itu adalah yang berjulukan si Pendekar Wa-
nita Pantai Selatan. Dengan telah berhasil menga-
lahkan si Elang Alap-alap dan dapat menggagal-
kan pekerjaannya membegal barang upeti yang
berharga, sudah dipastikan ia berilmu tinggi. Wa-
laupun terasa aneh akan sikap orang, namun te-
tap saja ia bercuriga pada Roro. Hingga diam-
diam ia telah mengatur rencana untuk dapat
membekuknya. Cuma saja ia harus mengalah du-
lu pada tetamunya Raden Mas Guntoro Kecut,
yang akan memberi pinjaman uang, juga salah
seorang yang menjadi sumber pemasukan yang
tidak kecil. Sebentar saja Roro Centil sudah diba-
wa berlari dengan cepat, mengikuti di belakang si
Walet Kencana.
Sebuah rumah gedung mungil segera tam-
pak dibagian depan. Sedangkan dibelakang ge-
dung itu ada terlihat juga satu wuwungan yang
memanjang. Ternyata dikatakan mungil, gedung
itu amat luas dibagian dalamnya. Selang sesaat
Roro sudah berada didalam ruangan gedung yang
amat bersih dan rapi itu. Temboknya berwarna
kuning, sedang bagian bawahnya berlantai mar-
mer yang indah. Didepan pintu ruangan wanita
itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Seraya me-
natap pada Roro yang masih berada dalam pon-
dongan sang tamu.
"Hm, Aku agak sangsi dengan sikapmu,
nona..! Sebaiknya agar tidak menaruh kecuri-
gaanku, harap kau lepaskan benda-benda yang
membelit dan tersangkut di pinggangmu..!" Roro
kerutkan alisnya dan berfikir sejenak, lalu sudah
lantas berkata, sambil menoleh pada orang yang
memondongnya.
"Bagaimana pendapatmu, sayang..? Aku
sih terserah padanya!" Berkata Roro sambil pa-
lingkan wajah menatap lagi pada si Walet Kenca-
na.
"He he he... Jangan khawatir, apakah
orang macam aku, masih perlu kau beri peringa-
tan? Siang-siang aku telah menotoknya. Walau-
pun ia hanya pura-pura saja toh sudah tak ber-
daya apa-apa..." Seraya berkata ia telah lepaskan
pondongannya. Hingga tak ampun lagi tubuh Ro-
ro Centil jatuh terlentang diatas lantai. Masih un-
tung bagian atas tubuhnya tidak dilepaskan,
hingga hanya kaki dan pantatnya saja yang
menggasruk ke lantai. Tampak Roro perlihatkan
wajah meringis. Namun sekejap sudah berpindah
lagi dalam pondongan Raden Mas Guntoro Kecut.
Melihat kenyataan didepan mata, wajah si Walet
Kencana tampak perlihatkan wajah berseri, seraya berucap :
"Hi hi hi... Bagus! Silahkan kalian berse-
nang-senang. Aku akan menyelesaikan urusanku
dengan adik keparatku dulu. Ingat, jangan kau
coba-coba buka totokanmu, Raden Mas Guntoro
Kecut...!" Dan setelah berkata demikian, ia segera
melesat keluar gedung. Sementara si Bangsawan
tua itu sudah pondong tubuh Roro ke dalam ka-
mar. Namun saat berikutnya yang terdengar ada-
lah suara keluhan Raden Mas Guntoro Kecut.
Yang disusul dengan terdengar suara tempat ti-
dur yang berderit, ketika tubuh si bangsawan itu
jatuh ke pembaringan. Sementara Roro Centil
berdiri di sisi pembaringan tengah menatap laki-
laki bungkuk itu sambil tersenyum.
"Kau..? Ka.. kau...." Terdengar suara Raden
Mas Guntoro Kecut, tapi hanya desisnya saja
yang keluar di tenggorokan. Sedangkan sepasang
matanya menatap Roro dengan melotot gusar, ju-
ga heran. Karena sekonyong-konyong ia telah ra-
sakan tubuhnya jadi kaku. Bukannya ia yang
lemparkan tubuh gadis itu diatas kasur, bahkan
ia sendiri yang terlempar ke atas pembaringan.
Itulah akibat ulah perbuatan Roro Centil, yang te-
lah gerakkan tangannya untuk menotok didalam
pondongan. Bukan saja menotok tubuh orang, ju-
ga menotok urat suara si bangsawan bungkuk
itu, hingga tak bisa mengeluarkan suara. Dalam
keadaan kaku begitu, Roro sudah segera merosot
dari pondongannya. Dan dorong tubuh laki-laki
tua itu ke pembaringan. Mengapa tiba-tiba Roro
dapat terlepas dari totokan si Raden Mas Guntoro
Kecut itu? Kiranya sewaktu berjalan dengan
goyangkan pinggulnya ke arah si bangsawan tua
itu tadi, diam-diam Roro telah salurkan tenaga
dalam ke seluruh tubuh untuk menjaga dari be-
berapa kemungkinan yang tak terduga. Sebagai
pewaris ilmu si Manusia Aneh Pantai Selatan,
tentu saja Roro mewarisi keanehan watak Gu-
runya. Bahkan Roro telah bertambah lagi il-
munya, ketika ia berjumpa dengan seorang laki-
laki bernama Joko Sangit. Yang mengajarinya il-
mu mengeluarkan racun dengan suara tertawa....
Demikianlah, disaat si bangsawan bungkuk itu
menotoknya dengan diam-diam melalui gerakan
tangan ketika memeluknya, Roro Centil telah ter-
hindar dari pengaruh totokan... Rupanya Roro
Centil telah berani menempuh jalan lain yang cu-
kup berbahaya, dari pada bertempur. Karena
dengan demikian ia bisa leluasa bergerak untuk
menyelidiki dimana adanya Sumirah. Seperti te-
lah didengarnya tadi dari si wanita pendatang
bernama Ken Wangi, yang ternyata adik kandung
si Walet Kencana sendiri... Sang kakak ternyata
seorang Germo, yang boleh dibilang penculik ga-
dis-gadis cantik. Yang tentu saja untuk kepentin-
gan usahanya. Juga didengarnya dari percakapan
si Walet Kencana dengan si bangsawan tua, yang
menyinggung-nyinggung tentang adanya seorang
gadis yang telah dipersiapkan untuk di persem-
bahkan pada si bungkuk hidung belang itu. Ma-
kanya Roro telah mengambil jalan yang cukup
unik, namun dengan perhitungan yang sudah di-
pikir masak masak.
Demikianlah dengan cepat ia telah keluar
kembali dari kamar. Ruangan tengah itu tampak
sunyi... Hingga tanpa mengalami kesulitan ia ber-
hasil memasuki setiap ruangan untuk mencari
dimana adanya si gadis Sumirah. Dengan gerakan
cepat, namun dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa
ragu-ragu Roro membukai setiap pintu yang ter-
tutup, dan melongok ke arah kamar yang terbu-
ka. Akan tetapi pada salah sebuah pintu kamar
yang tertutup, terdengar suara laki-laki dan wani-
ta. Untung pintu tak terkunci. Segera saja ia buka
pintu kamar dengan cepat, dan melompat ke da-
lam. Tampak satu pemandangan yang membuat
darahnya berdesir... Karena dua orang manusia
berlainan jenis bagaikan dua orang bayi yang ba-
ru dilahirkan dari perut ibunya, saling berangku-
lan di pembaringan. Walaupun pemandangan itu
membuat darahnya tersirap, namun mengingat
waktu sangat sempit, Roro telah berkelebat cepat
untuk segera menotoknya, hingga kedua manusia
itu tak dapat berkutik lagi. Dan serta-merta telah
perhatikan wajah si wanita. Namun tampaknya ia
sudah melompat lagi keluar kamar, dan tutupkan
pintu. Kembali ia berkelebat ke lain ruangan. Pa-
da sebuah ruangan yang terbuka ia dapat dengar
suara beberapa wanita... Segera ia merandek un-
tuk mendengarkan.
"Cepatlah kau melarikan diri...! Mumpung
belum terlambat..! Nyonya majikanku tengah ber
tarung dengan adik kandungnya, bersama kelima
orang murid-muridnya....'" Terdengar berkata sa-
lah seorang wanita.
"He...? Kau mau mati? Pergilah kalau me-
mang sudah tak inginkan hidup! Si Walet Kenca-
na tak akan membiarkan orang bawahannya un-
tuk kabur begitu saja. Hmh, rupanya diam-diam
kau mau jadi penghianat, ya! Awas kau Laras..!
Akan aku adukan perbuatanmu pada Ndoro Pu-
tri!" Ancam seorang wanita yang suaranya terden-
gar agak santar.
"Huh, kau memang keterlaluan Katrijah.
Aku hanya merasa kasihan padanya kalau sam-
pai ia jadi korban bangsawan hidung belang. Jadi
pemuas hawa nafsu manusia-manusia yang su-
dah tak mengenal batas kesusilaan..! Apakah tak
tersirat dihatimu untuk juga lepaskan diri dari
tempat terkutuk ini..?" Menyahuti lagi wanita
yang bernama Laras itu dengan tak kalah sengit-
nya. Dan kata-katanya sudah terdengar disam-
bung lagi...
"Apakah kalian semua juga sudah betah
berdiam ditempat najis seperti ini..?"
Tampak sejenak suasana jadi hening. Ter-
dengar salah seorang menghela napas, entah sia-
pa.
"Sebenarnya bukan kami tak mau mening-
galkan tempat maksiat ini, tapi kami takut untuk
melarikan diri. Kami takut tertangkap lagi. Dan
akan besar akibatnya. Bukankah pernah salah
seorang teman kita yang coba-coba melarikan di
ri, telah kau lihat sendiri penyiksaan atas dirinya.
Yang akhirnya menemui kematian..!" Kembali se-
mua terdiam, namun salah seorang terdengar
berkata dengan suara lemah :
"Aku tak dapat tinggalkan pembaringan-
ku... Tubuhku terasa lemah tak bertenaga ...! Aku
memang lebih baik mati dari pada berdiam di-
tempat celaka ini..!" Suara itu dibarengi dengan
suara isak tersendat. Tersentak seketika Roro
Centil. Segera ia sudah dapat menebak siapa
adanya wanita itu... Dengan segera ia sudah ge-
rakkan tubuh melompat masuk ke dalam kamar.
Kemunculan Roro membuat beberapa sosok tu-
buh melangkah mundur. Dan beberapa pasang
mata-mata yang jeli menatap tajam ke arahnya.
Roro sudah lantas berkata :
"Aku akan menolong kalian semua keluar
dari neraka ini. Segera bersiaplah untuk minggat
tinggalkan tempat celaka ini..!" Dan kata-katanya
telah dibarengi dengan melangkah cepat ke arah
seorang gadis yang terbaring di pembaringan.
Yang juga tengah menatap padanya.
"Apakah kau yang bernama Sumirah..?
Bertanya Roro. Gadis ini segera berusaha bangkit
untuk duduk. Tampak memang tubuhnya lemah
sekali. Segera Roro ulurkan tangan memban-
tunya. Bahkan dengan gerakan-gerakan tangan-
nya ia telah mengurut di beberapa tempat bagian
tubuh gadis itu. Tampak si gadis tampilkan wajah
girang. Ia segera telah dapat bangkit berdiri. Dan
dengan memandang kagum pada orang dihadapannya, tanpa ragu-ragu ia telah peluk tubuh Ro-
ro sambil linangkan air mata.
"Be., benar! Aku Sumirah..! Siapakah ka-
kak..?" Bertanya ia sambil lepaskan pelukannya.
Roro tampak menarik napas lega.
"Aku Roro Centil, sahabat ayahmu Ki Rek-
sa Permana.." Tutur Roro sambil tepuk-tepuk
pundak gadis itu dengan terharu.
"Oh... ?! Andakah Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang diceritakan ayahku itu?" Sumirah
belalakkan sepasang matanya dengan mulut
ternganga. Roro angguk-anggukkan kepalanya.
Dan tiba-tiba ia telah loloskan pedang tipis Ki
Reksa Permana dari pinggangnya, serta berikan
benda itu pada si gadis.
"Cepatlah kau terima pedang pusaka
ayahmu ini. Jangan banyak bertanya..! Ayo, sege-
ra ikuti aku..!" Selanjutnya ia telah tarik lengan si
gadis keluar dari kamar. Sembilan wanita yang
berdesakan dikamar itu tanpa dikomandokan lagi
turut mengikuti dibelakang. Cuma salah seorang
yang bernama Katrijah itu tiba-tiba hentikan tin-
dakannya. Ia agak ragu untuk turut melarikan di-
ri. Namun salah seorang telah menarik lengan-
nya, hingga terpaksa iapun berlari menyusul yang
lainnya.
"Aku tahu pintu keluar yang baik..!" Teriak
Laras. Yang segera mendahului ke arah depan
Roro, yang tidak gunakan gerakkan terlalu cepat,
karena harus menunggu wanita-wanita lain dibe-
lakangnya. Dengan sebat Laras sudah berlari untuk menuju ke arah pintu belakang. Dua orang
pembantu terperanjat melihat orang-orang diha-
dapannya berlarian, hingga ia berdiri dengan wa-
jah kebingungan.
"Sssst, Awas kau! Jangan berani laporkan
kepergian kami..!" Laras cepat tempelkan jari te-
lunjuk pada bibirnya, sambil plototkan mata pada
kedua pembantu itu. Namun sekali Roro berkele-
bat, kedua pembantu itu sudah perdengarkan ke-
luhannya dan jatuh menggeloso, tanpa bisa kelu-
arkan suara lagi. Kira-kira sepeminum teh, sete-
lah rombongan wanita-wanita itu melewati pintu
belakang gedung, suasana di gedung itu kembali
sunyi. Kedua pembantu itu cuma bisa gerakkan
kepalanya saling berpandangan. Namun sama se-
kali ia tak dapat menggerakkan tubuhnya. Apala-
gi bersuara. Karena Roro telah menotok urat sua-
ranya.
Pertarungan antara si wanita pendatang
bernama Ken Wangi itu dengan kelima orang mu-
rid wanita, merangkap primadona di gedung ber-
taman indah milik si Walet Kencana itu, tampak
berjalan dengan seru. Suara bentakan dan teria-
kan-teriakan terdengar santar, diantara bera-
dunya senjata-senjata tajam. Tiga wanita pergu-
nakan pedangnya untuk menusuk dengan berba-
reng... Namun si wanita berbaju kuning alias Ken
Wangi itu cuma mendengus, dan putarkan tong-
katnya untuk menyampok mental terjangan ke
arahnya. Dua wanita yang satu gunakan sabuk
sutera untuk belitkan pada tongkat Ken Wangi,
sedang satu lagi adalah si Elang Alap-alap, yang
sudah gerakan tangannya menyerang dengan pa-
ku-paku beracun, senjata rahasia andalannya.
"Perempuan-perempuan bejat..!" Teriak
Ken Wangi. Dengan tiba-tiba ia telah sentakkan
tongkatnya dengan keras, hingga tubuh si wanita
yang telah berhasil menggubat tongkatnya itu me-
luncur ke arahnya. Hal yang diluar dugaan itu te-
lah membuat si wanita bersabuk sutera terkesiap,
terlebih-lebih si Elang Alap-alap... Karena saat itu
telah meluncur tiga paku beracun ke arah depan.
Namun sudah terlambat. Segera saja terdengar je-
rit si wanita bersabuk sutera itu yang roboh ter-
sungkur. Tampak tubuhnya berkelojotan bagai
ayam baru disembelih. Namun sekejap kemudian
telah terkulai tewas. Kiranya tiga paku beracun
itu telah mengenai leher dan punggungnya. Tiga
wanita berpedang melompat mundur, seraya pa-
lingkan muka ke arah si Elang Alap-alap.
"Kau...!?" Hampir berbareng mereka berteriak
sambil plototkan mata pada si Elang Alap-alap,
yang seketika wajahnya berubah pias.
"Aku tak menyangkanya, akan terjadi de-
mikian..!" Berkata si wanita bercadar tipis itu
membela diri. Dan tiba-tiba ia telah berkelebat ke
arah Ken Wangi untuk menempurnya dengan ter-
jangan-terjangan kaki dan tangannya. Pada saat
itulah muncul si Walet Kencana, yang segera ke-
luarkan bentakan keras.
"Menyingkir semua..! Biar aku yang meng-
hajar bocah kurang ajar ini.,!" Serentak ketiga
wanita berpedang yang telah siap untuk kembali
menempur itu, melompat ke belakang begitu li-
hat, munculnya sang guru mereka. Si Elang Alap-
alap pun segera melompat mundur. Namun se-
saat sudah kembali melesat untuk memondong
mayat saudara seperguruannya. Dan dibawa me-
nyingkir ke sisi.
"Murid-murid kerocomu itu baiknya kau
ajari memasak Walet Kencana..! Mengapa hanya
kau ajari membunuh orang dan melayani laki-laki
hidung belang saja...?" Merah padam wajah si
Walet Kencana.
"Kuntilanak..! Hitam kataku tetap hitam.
Kau sudah bunuh orangku, maka tak salah jika
aku turunkan tangan keji terhadapmu..!" Dan se-
kejap ia sudah lompat menerjang... Kedua belah
tangannya telah bergerak menghantam ke arah
Ken Wangi. Tersentak wanita itu, yang segera
berkelebat menghindar, namun tak urung samba-
ran angin panas itu telah membuat kulitnya kena
terserempet.
Busss!
Tanah tempatnya berpijak muncrat ber-
hamburan, dan tampak berubah hitam, hangus.
Sementara sebelah lengan Ken Wangi telah jadi
melepuh, akibat serempetan hawa panas yang
menyambar dahsyat itu.
"Keparat! Arwah orang tua kita pasti me-
nangis, bila dapat melihat kekejianmu Walet Ken-
cana! Manusia sepertimu, sudah tak mengenal la-
gi akan jalan yang benar. Kau mau turunkan tan
gan keji untuk membunuhku? Baik! Aku akan
adu jiwa denganmu...!" Segera saja terdengar te-
riakan santar Ken Wangi, yang dengan beringas
telah menerjang dengan tongkatnya.
Wuss! Wuss! Dua hantaman keras secara
beruntun meluncur ke arah tenggorokan dan ke-
pala si Walet Kencana. Namun wanita setengah
tua ini cuma keluarkan dengusan di hidung. Dan
dengan sedikit mengegos ia berhasil menghin-
dar...
Plak!
Sebuah hantaman telapak tangan dengan
telak telah mengenai dada Ken Wangi. Yang sege-
ra perdengarkan teriakannya. Tubuhnya terlem-
par beberapa tombak... Begitu menyentuh tanah
telah menggelogok darah kental berwarna hitam,
keluar dari mulutnya. Terlihat baju kuningnya te-
lah berubah jadi hitam hangus. Segera saja kain
itu menjadi serpihan lapuk ketika lengan Ken
Wangi merabanya. Terpaksa Ken Wangi biarkan
payudaranya terbuka, yang tampak kedua da-
gingnya menjadi berubah kehitaman. Betapa sa-
kitnya Ken Wangi merasakannya, namun lebih
sakit lagi hatinya... Perlahan-lahan ia sudah
bangkit lagi. Tongkatnya telah kembali disilang-
kan ke depan dada. Sepasang matanya menatap
tajam bersinar-sinar pada kakak kandungnya,
yang telah tega berbuat sedemikian pada adiknya
sendiri.
"Kau terlalu mencampuri urusanku, Ken
Wangi! Sudah kukatakan sejak dulu. Jangan kau
sok menasihati aku. Ambillah jalanmu sendiri.
Dan biarkan aku mengambil jalan yang kutem-
puh sendiri..!"
"Keparat! Begitu hina dan rendahnya jalan
fikiranmu! Mana aku bisa berpeluk tangan meli-
hat laku lampahmu...? Kau bukan lagi manusia.
Ken Huma..! Kau memang ibliiiiiss..!" Dan dengan
berteriak keras ia telah kembali menerjang. Kali
ini tongkatnya telah diputar sedemikian rupa
hingga sesaat Walet Kencana agak sulit menya-
rangkan pukulannya untuk menangkis putaran
tongkat. Namun senjata sang adik tiba-tiba telah
berubah ganas. Tolakan dari tangkisan itu mem-
buat putaran tongkatnya terhenti. Namun gera-
kan selanjutnya bahkan lebih hebat. Setiap puku-
lan mengandung tenaga dalam. Batu dan ranting
beterbangan hancur, terkena sambaran tongkat
Ken Wangi. Ia sudah tak menghiraukan lagi akan
nyawanya... Serangan-serangan ganas itu sudah
saling susul menghantam si Walet Kencana.
Plak! Plak!.... Buk!
Kembali terdengar teriakan kesakitan dari
Ken Wangi. Tubuhnya telah terlempar lagi bergul-
ing-guling. Kali ini bajunya pada bagian pung-
gung yang terlihat hangus. Menampakkan serpi-
han-serpihan kain yang hancur, menyingkapkan
kulit punggung wanita itu yang terlihat mengelu-
pas. Dengan menahan rasa perih pada pung-
gungnya, juga tanpa menghiraukan darah yang
mengalir hitam dari bibirnya.... Kembali ia bang-
kit untuk menerjang. Namun Ken Huma alias si
Walet Kencana sudah menerjangnya kembali den-
gan hantaman yang sudah dipastikan akan me-
renggut nyawa sang adik... Akan tetapi pada saat
dan detik yang membawa maut itu, telah terden-
gar bentakan keras.
"Iblis keji..!" Dan bersyiurlah angin keras
yang menggelombang, menghantam balik pukulan
si Walet Kencana.
"Aiiiiii..!? Terdengar si Walet Kencana me-
mekik. Segera ia sudah lemparkan tubuhnya ber-
gulingan.
Bhusss..! Batu dan semak dibelakangnya
buyar berantakan disertai jeritan ketiga murid si
Walet Kencana yang tak sempat menghindar. Ter-
nyata hantaman angin yang bergelombang dah-
syat itu telah menghantam balik pukulan dahsyat
si Walet Kencana. Tak ampun lagi ketiga murid-
nya telah perdengarkan jerit kematian, karena se-
ketika tubuhnya telah berubah hangus... Terbe-
liak sepasang mata si Walet Kencana, menyaksi-
kan ketiga murid wanitanya berkelojotan mere-
gang nyawa. Ternyata ia telah mengumbar hawa
amarahnya untuk menghancur leburkan tubuh
Ken Wangi. Hingga ia hantamkan kedua telapak
tangannya dengan menyalurkan tenaga dalamnya
dengan tenaga penuh. Akibatnya yang menjadi
korban adalah ketiga orang muridnya sendiri. Wa-
jahnya seketika berubah pias bagai kertas, ketika
sesosok tubuh tahu-tahu telah muncul dihada-
pannya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Ki-
ranya setelah mengamankan wanita-wanita sekapan didalam gedung maksiat itu, ia kembali ke
taman... Karena tiba-tiba ia teringat akan seorang
pendatang wanita berbaju kuning yang tengah
bertarung dengan kelima wanita murid si Walet
Kencana. Memang ia telah mendengar si wanita
pendatang itu bernama Ken Wangi yang entah
akan bicara apa padanya... Disamping mengkha-
watirkan keselamatan dirinya. Dari kata-katanya
ia sudah mengambil kesimpulan bahwa Ken Wan-
gi berada di pihak yang benar. Yang telah menda-
pat tantangan keras dari sang kakak.
Ken Wangi tampakkan wajah gembira me-
lihat kedatangan Roro, ia sudah segera mau ber-
gerak menghampiri... namun tiba-tiba kembali ia
muntahkan darah hitam kental dari mulutnya.
Sekonyong-konyong ia rasakan matanya berku-
nang-kunang. Pandangan matanya menjadi gelap.
Dan dengan keluhan lemah, ia jatuh terjungkal...
Namun sebelum hal itu terjadi, Roro telah berke-
lebat untuk menyangganya. Dilain kejap ia telah
pondong tubuh Ken Wangi ke tempat yang aman.
"Celaka..? Keadaan tubuhnya luka pa-
rah..!" Menggumam Roro, dengan suara berdesis.
Sepasang alisnya mengkerut ke bawah. Dan tak
ayal lagi ia gunakan tenaga dalamnya untuk me-
nyalurkan hawa hangat, pada tubuh Ken Wangi.
Namun napas Ken Wangi tinggal satu-satu... De-
tak jantungnya kian melemah. Tiba-tiba wanita
itu telah buka kelopak matanya, menatap pada
Roro.
"An... anda kah si Pendekar... Wanita Pan
tai Selatan i... itu...?" Dengan megap-megap wani-
ta itu berusaha buka suara. Sementara wajahnya
tampak semakin memucat. Aliran tenaga dalam
Roro cuma mampu membuat dia bertahan bebe-
rapa saat. Karena begitu Roro Centil mengang-
gukkan kepala dengan memandang terharu, tam-
pak si wanita malang itu tersenyum padanya.
Tangannya tiba-tiba bergerak menggapai lemah...
Segera Roro cepat menangkapnya dan terasa pilu
hatinya ketika dengan kekuatan terakhir Ken
Wangi mencekal keras tangannya, seperti tengah
menjabat tangan tanda gembiranya akan perte-
muan yang pertama kalinya dengan sang Pende-
kar Wanita itu tetapi juga pertemuan yang terak-
hir... Karena cekalan tangannya perlahan-lahan
mengendur. Dan kembali jatuh terkulai bersama
hembusan nafasnya yang terakhir. Ken Wangi te-
lah wafat dengan bibir tersungging senyuman, di-
hadapan Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil.
Menitik air mata sang Pendekar ini. Betapa
banyak orang harus berkorban jiwa, hanya demi
tegaknya kebenaran... Apakah kebhatilan yang
harus tegak dimuka bumi ini..? Teriak hati Roro.
Tapi sudah tersentak lagi hatinya untuk memban-
tah. Tidak..! Kebhatilan harus punah dari muka
bumi ini! Setan Cebol masih hidup bergentayan-
gan. Dan kini sejenisnya tengah menanti dengan
penuh kebencian untuk menghancurkan kebena-
ran. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang
dari Roro Centil. Pertanda ia melepaskan kejeng
kelannya, akan manusia-manusia yang hanya
membuat kericuhan diatas jagat ini... Dan detik
itu juga tubuh Roro telah melesat ke arah dimana
si Walet Kencana berada. Wanita itu telah bangkit
berdiri. Wajahnya memerah menandakan kegusa-
rannya, melihat ketiga muridnya yang telah tewas
akibat munculnya orang yang telah menyela-
matkan jiwa Ken Wangi. Baru saja ia mau gerak-
kan tubuh untuk melesat ke arah Roro Centil.
Namun sudah keburu si gadis itu yang berkelebat
kehadapannya. Ia sudah keluarkan bentakannya :
"Heh!? Kiranya kau si bocah aneh itu! Su-
dah kuduga, kau hanya berpura-pura saja..! Wa-
laupun ilmumu setinggi langit, jangan harap kau
dapat lolos dari kematian. Benarkah kau yang
bernama Roro Centil itu?" Kata-katanya sudah
disambung dengan pertanyaan. Seperti juga ku-
rang yakin akan penglihatannya.
"Kalau kukatakan benar, apakah kau mau
terus berlutut mencium kakiku...?" Balik bertanya
Roro dengan lagak yang masih bernada jumawa.
Terbeliak mata si Walet Kencana karena gusar-
nya, dan tiba-tiba saja ia telah perdengarkan te-
riakan keras, untuk segera lancarkan serangan.
Plak! Terdengar benturan kedua telapak
tangan. Tubuh Roro hanya tergeser beberapa
langkah. Namun si Walet Kencana telah memekik
keras, karena arus balik tenaganya sendiri yang
menyerangnya. Terhuyung-huyung ia mundur
beberapa langkah ke belakang. Tampak ia telah
pegangi dadanya. Sementara darah kental menetes dari bibirnya. Ternyata Roro tak mau ba-
nyak gunakan waktu untuk bertempur, dan telah
gunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor. Jurus
langka yang diwarisinya dari Pantai Selatan. Se-
hingga tenaga dalam serangan si Walet Kencana
berbalik menyerang sendiri. Lagi-lagi si Walet
Kencana dibuat tak habis mengerti. Ia pandangi
orang dihadapannya masih tenang-tenang saja
seperti tak terjadi apa-apa. Sementara ia segera
kerahkan tenaga dalam untuk menormalkan
kembali keadaan tubuhnya. Dilain kejap, ia telah
loloskan sabuk Kencana yang membelit pada
pinggangnya. Inilah senjata ampuh yang telah
membuat ia terkenal dengan nama julukan si Wa-
let Kencana. Senjata ini memang ada dibalik pa-
kaian tertutup baju. Benda yang panjangnya satu
meter lebih itu adalah logam yang lemas, yang
panjangnya mempunyai tiga ruas. Terbelit oleh
sebuah rantai berbentuk bulatan. Sedang bagian
kepalanya berbentuk burung walet yang tengah
membentangkan sayapnya. Warnanya kuning
emas. Ketika benda panjang itu diputarkan, sege-
ra membersit suara seperti burung walet yang
mencicit tiada hentinya.
Melihat orang keluarkan senjata pusa-
kanya. Roro dengan senyum masih menghias bi-
bir, segera loloskan sepasang Rantai Genit dari
pinggangnya. Dan segera saja iapun memutar se-
buah senjatanya, sedang sebuah lagi tetap terpe-
gang ditangan kiri. Detik selanjutnya segera ter-
dengar suara mendengung bagaikan suara ratu
san tawon yang menandingi suara cicit burung
walet.
"Bocah jumawa..! Kau rasailah kehebatan
Sabuk Kencana ku...!" Dan berbareng dengan su-
ara bentakannya, si Walet Kencana telah mener-
jang ke arah Roro Centil. Hebat dan ganas seran-
gan itu, segera saja bagai ratusan walet yang ber-
kelebatan. Ujung Sabuk Kencana si wanita ber-
nama Ken Huma itu telah mengurung Roro. Se-
bentar sebentar walet-walet yang bercicitan itu
mematuk ke setiap jalan darah yang berbahaya
ditubuh sang Pendekar Wanita. Hal mana mem-
buat Roro Centil juga terkesiap, tak menyangka
akan kehebatan senjata lawan. Dengan berteriak
keras ia segera putar tubuh dan berkelebatan un-
tuk menghindar. Sementara ia sudah gunakan
sepasang senjatanya untuk menangkis setiap da-
tangnya serangan.
Tring! Tring! Tring!
Tiga patukan yang mematikan telah berha-
sil ia tangkis dengan si Rantai Genit. Tampak si
Walet Kencana gertak gigi, dan dengan menden-
gus ia telah robah gerakan senjatanya. Kali ini se-
rangannya membuat gerakan menyilang yang
membingungkan lawan. Ratusan walet segera
berserabutan menyerang Roro dari berbagai arah.
Terkadang menukik dengan tiba-tiba. Atau me-
luncur deras mengarah tenggorokan. Senjata Sa-
buk Kencana ini memang aneh, bisa menjadi le-
mas seperti ular, tapi bisa juga menjadi keras ba-
gaikan sebatang tombak. Nyaris saja dadanya terkoyak oleh sepasang sayap walet yang tiba-tiba
mencicit dengan menukik tajam. Untung ia telah
pergunakan gaya orang mabuk. Sehingga loloslah
serangan berbahaya itu. Gerakan orang mabuk
itu ternyata banyak menolongnya. Sehingga se-
rangan menyilang yang serabutan itu bisa terha-
lau dengan mudah.
Tampak si Walet Kencana seperti kehabi-
san akal. Tiba-tiba ia memekik keras, seraya len-
gannya yang sebelah telah mencabut sebuah se-
ruling yang pendek. Dan detik berikutnya sudah
terdengar suara yang melengking tinggi rendah
membisingkan telinga. Roro Centil leletkan lidah.
Baru untuk kesekian kalinya ia menjumpai
orang-orang lihai, yang kali ini harus berlaku ha-
ti-hati. Salah-salah nyawanya bisa terbang ke Ak-
hirat. Melihat orang sudah keluarkan senjata lagi,
yang ternyata cukup mempengaruhi konsentra-
sinya, Roro pergunakan cara lain, inilah memang
cara yang aneh. Cara yang jarang dipunyai oleh
sembarang tokoh persilatan... Karena akal yang
cerdik saja yang bisa mempergunakannya. Tiba-
tiba saja Roro telah melompat mundur tiga-empat
tombak. Dan begitu ia sudah dapat menarik na-
pas untuk istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar
suara tertawa Roro yang mengikik geli. Tertawa
yang terpingkal-pingkal itu membuat si Walet
Kencana jadi melengak, dan membuatnya ber-
tanya-tanya dalam benaknya.
Ada apakah yang lucu..? Pikir si Walet
Kencana. Sementara tanpa disadari tiupan serul
ing pendeknya jadi berhenti. Demikian juga ter-
jangannya mendadak ia hentikan. Hal itu juga
membuatnya mengambil keuntungan. Karena na-
pasnya memang sudah Senin-Kemis akibat terlalu
gencar menyerang. Apalagi ia telah terluka dalam
akibat balikan tenaga pukulannya sendiri...
"Hi hi hi... Mengapa berhenti menyerang
Walet Kencana..? Apakah kau sudah menyerah
kalah..! Kalau begitu bukankah dengan baik-baik
segera bersujud mencium kakiku..! Atau aku ha-
rus perintahkan kau untuk melakukannya..? Hi
hi hi... hi hi.." Kembali ia tertawa mengikik geli.
Merah seketika wajah si Walet Kencana. Bocah
Centil dihadapannya benar-benar membuatnya
menjadi bertambah jengkel. Belum lagi ia mem-
bentak, Roro sudah menyambung lagi kata-
katanya: "Baiklah! Mungkin sepasang sepatuku
ini sudah bau, hingga kau tak berani mencium
kakiku. Nah, tunggulah kubuka dulu..!" Seraya
berkata, ia telah cepat buka sepatu rumputnya.
Dan saat berikutnya sepasang sepatu Roro benar-
benar telah dibuka.
"Uhh..." Pantas, baunya amit-amit..!" Roro
sudah lantas mencium ujung sepatunya. Dan ti-
ba-tiba telah ia lemparkan ke atas.... seraya ber-
kata sambil mendongak.
"Nah! Terbanglah yang tinggi wahai sepa-
tuku yang sudah butut..!" Aneh, memang... Men-
gapa tahu-tahu si Walet Kencana ikut-ikutan
mendongak ke atas. Padahal sudah sedari tadi ia
gregetan pada si gadis, yang sudah mau dilabrak
nya itu, namun ia agak merasa ngeri akan akal li-
cik yang dipergunakannya. Makanya dengan sa-
bar ia menahan kemarahannya, juga ingin tahu
apa yang akan diperbuat si orang aneh dihada-
pannya. Sepasang sepatu meluncur ke atas demi-
kian tinggi... Namun tanpa menunggu kembali
benda itu jatuh, si Walet Kencana sudah tak sa-
bar untuk membentak. Namun alangkah terke-
jutnya begitu ia lihat ke depan, ternyata tubuh si
centil dihadapannya telah lenyap.
"Bocah keparat..!" Memaki si Walet Kenca-
na. Ia segera putar tubuh untuk mencari dimana
adanya si gadis yang menyebalkan itu. Tapi tak
menampak batang hidungnya. Bahkan yang ter-
dengar adalah suara tertawa yang mengikik geli,
seperti ada di berbagai tempat. Tentu saja ia tak
dapat melihat Roro, karena jika si Walet Kencana
putar tubuh ia segera mengikuti dibelakangnya.
Pada saat itulah sebuah benda tiba-tiba berkele-
bat disebelahnya. Membentak si Walet Kencana,
seraya menghantamnya.
Brak..! Benda itu hancur jadi beberapa
keping, yang ternyata hanya sebuah batu.
"Tampakkan dirimu bocah keparat..!" Te-
riak si Walet Kencana. Akan tetapi kembali melu-
ruk deras dari atas dua buah benda ke arah kepa-
lanya.
"Edan..!" Ia segera mendongak ke atas un-
tuk menyampok jatuh benda itu. Tapi terkesiap
ia, karena dua benda itu adalah sepasang sepatu
Roro yang tadi dilemparkan ke atas, dan baru jatuh setelah sekian lama... Pada saat itulah ter-
dengar suara.
Tring! Tring! Dan tanpa disadarinya sepa-
sang senjata si Rantai Genit, telah menyambar ke
arah kedua senjatanya. Yang tak ampun lagi se-
gera terlepas dari genggamannya. Sabuk Kencana
itu terlempar seketika, yang mau tak mau telah
dilepaskan karena getaran hebat yang menggetar-
kan tangannya hingga menjadi kesemutan. Se-
dangkan suling pendeknya telah jadi remuk, dan
juga terlepas dari genggamannya. Belum lagi hi-
lang rasa terkejutnya, sebuah hantaman keras te-
lah mendarat di kepalanya. Seketika matanya jadi
berkunang-kunang. Tubuhnya sekonyong-
konyong jadi limbung. Dan jatuhlah ia dengan
menekuk lutut. Ia tak dapat lagi melihat sekeli-
lingnya karena pandangan matanya telah menjadi
gelap.
"Nah! Kau ciumlah kakiku..! Bagus! Hi hi
hi... Mengapa tak sedari tadi kau lakukan..?" Ter-
dengar suara Roro Centil dihadapannya. Yang te-
lah membuat hampir hilang sukmanya. Tahu-
tahu kepalanya telah ditekan kebawah, hingga
benar-benar ia terasa mencium sepasang kaki
yang masih ada sisa bau kecutnya.
"Bocah keparat..!" Bentak si Walet Kenca-
na. Namun tiba-tiba ia telah perdengarkan jeritan
ngeri, karena saat itu juga Roro telah gerakkan
kakinya untuk mencongkel tubuh si Walet Ken-
cana, hingga sang tubuh melambung ke udara.
Pada saat itulah terdengar bentakan yang membuat terkejut Roro Centil.
"Bocah Centil..! Penipu tengik! Kubunuh
kau..! Sebuah sambaran benda panjang bersyiur
dibelakang Roro. Itulah serangan mematikan yang
mengarah kepala dari sebuah pipa cangklong si
bangsawan bungkuk alias Raden Mas Guntoro
Kecut. Ternyata ia telah berhasil melepaskan diri
dari pengaruh totokan Roro Centil. Dengan gera-
kan secepat kilat, Roro Centil gulingkan tubuhnya
ke tanah. Tak ada jalan lain selain mengambil ke-
putusan dengan cepat. Saat itulah sebelah kaki
sang Pendekar Wanita itu telah bergerak me-
nyampok mental pipa cangklong. Itulah gerakkan
reflek yang ia telah lakukan. Namun dengan sam-
pokan yang telah ia perhitungkan dengan cermat.
Karena itulah jurus ilmu Meninju Tongkat Memu-
kul Anjing. Salah satu jurus dari gurunya si Mal-
ing Sakti dari lereng Gunung Rogojembangan.
Akibatnya memang amat fantastis, karena segera
terdengar jerit mengerikan, ketika dengan deras
pipa cangklong itu meluncur untuk segera me-
nembus tubuh si Walet Kencana yang masih be-
rada di udara... Dan selanjutnya detik berikutnya,
tubuh wanita yang sial itu jatuh berdebuk ke bu-
mi. Kejadian itu begitu cepat, hingga membuat
Raden Mas Guntoro Kecut jadi terbeliak. Dilihat-
nya si Walet Kencana menggeliat untuk kembali
bangkit. Sepasang matanya terlihat seperti merah
menyala, menatap Roro.
"Bocah kepar... rrrratt..." Hanya itu yang
bisa ia ucapkan, karena selanjutnya ia sudah ter
kulai lagi untuk segera melepaskan nyawanya.
Melihat kematian si Walet Kencana. Si bangsawan
bungkuk itu jadi menggigil ketakutan. Bukannya
menerjang ke arah Roro yang sedang membela-
kangi, tapi dengan diam-diam ia berusaha kabur
untuk mengambil langkah seribu. Akan tetapi Ro-
ro Centil sudah perdengarkan suara tertawanya.
Dan tiba-tiba sebuah benda yang tak lain dari si
Rantai Genit, telah meluncur deras ke belakang si
manusia berakhlak bejat itu.
Prak! Terdengar suara kepala yang beradu
keras dengan bandulan Rantai Genit itu... Dan
terdengar teriakan keras, disertai terjungkalnya
tubuh Raden Mas Guntoro Kecut. Dan tanpa ber-
kelojotan lagi si bangsawan bungkuk hidung be-
lang itu sudah tewas dengan batok kepala pecan.
Roro sudah enjot tubuhnya untuk kembali me-
nyambar senjatanya. Setelah bersihkan pada baju
sang mayat ia sudah segera gerakkan tangannya
untuk menyelipkan kembali sepasang Rantai Ge-
nit nya pada kedua sisi pinggangnya.
"Hmh, orang semacam kau lebih bagus
siang-siang pulang ke akherat, sebelum bertam-
bah lagi dosamu..! Menggumam Roro.
7
MATAHARI semakin tinggi diatas kepala...
burung-burungpun seperti enggan untuk me-
nampakkan diri, di panas terik itu. Mereka berlindung di balik dedaunan yang rimbun sambil
membentangkan sayapnya. Yang terkadang men-
gibas-ngibas untuk membersihkan kotoran yang
melekat pada bulu-bulunya. Sementara beberapa
ekor merpati itu tampak tengah asyik mencari ku-
tu-kutu dengan paruhnya...
Roro Centil rebahkan tubuhnya terlentang
dibawah pohon itu. Semilir angin sesekali mem-
buat kesejukan pada tubuhnya. Ia sudah pejam-
kan matanya, dengan berbantalkan lengan. Se-
lang sesaat saja ia telah terlena pulas, karena di-
hembus angin yang sepoi-sepoi membuat sepa-
sang matanya jadi mengantuk. Sehingga tanpa ia
ketahui sepasang mata dengan tajam penuh ke-
bencian, memandang ke arahnya.... Itulah sepa-
sang mata si wanita bercadar tipis, alias si Elang
Alap-alap. Wanita yang telah menjadi sakit hati
terhadapnya. Tampak ia telah bertindak dengan
pelahan-lahan menghampiri, tapi sebentar kemu-
dian ia merandek sejenak... Ia sudah keluarkan
tiga buah paku beracun. Dan digenggam erat pa-
da tangannya. Namun tampaknya ia urungkan
niatnya... dan masukkan lagi senjata rahasia itu
ke dalam sakunya. Sepasang matanya beralih pa-
da sebuah batu besar didekatnya.
"Aku ingin lihat dia mati menggeletak den-
gan kepala hancur..!" Terdengar ia berdesis den-
gan amat pelahan sekali. Dan saat selanjutnya
batu besar itu, diangkatnya dengan pelahan-
lahan. Cukup berat untuk meremukkan kepala
orang yang amat dibencinya itu. Berfikir ia dalam
hati. Dan kembali ia melangkah dengan langkah
hampir tak terdengar. Kini ia telah berada di ba-
gian ujung kepala Roro Centil yang masih tak ter-
lihat bergeming. Hanya napasnya saja yang keli-
hatan turun naik. Sepasang matanya masih ter-
katup rapat... Inilah saatnya kau mampus..! Ber-
sorak hati si Elang Alap-alap. Dan ia telah angkat
batu besar itu tinggi-tinggi diatas kepala Roro...
Namun wanita itu lupa, bahwa pasir-pasir halus
yang berjatuhan dari bawah batu itu telah melun-
cur turun mengenai wajah, dan pelupuk mata Ro-
ro dibawahnya. Dan hal itulah yang telah mem-
buat Roro Centil membuka matanya. Nalurinya
yang peka telah mengatakan bahwa ada apa-apa
terjadi diatas kepalanya. Tepat pada detik itu, ba-
tu besar itu telah melayang turun ke arah kepa-
lanya. Terkesiap Roro Centil bukan kepalang me-
lihat bahaya didepan matanya... dengan berteriak
tertahan ia telah gulingkan tubuhnya ke samping.
Buk! Terdengar batu besar itu jatuh berde-
bum menimpa tanah. Namun Roro Centil sudah
selamat dari maut... Adapun si Elang Alap-alap
tak menyangka sama sekali akan hal yang ber-
langsung begitu cepat. Saat ia terpaku, tiba-tiba
sepasang lengan telah mencengkeram kakinya.
Disertai bentakan Roro yang bagaikan geledek
disiang hari terdengar santar ditelinganya. "Pen-
gecut licik...!" Dan tahu-tahu tubuhnya telah ja-
tuh terbanting, tepat diatas batu besar yang baru
saja berhenti menggelinding... Terdengarlah teria-
kan ngeri dari mulut si Elang Alap-alap. Karena
dengan keras, kepalanya telah menghantam batu
besar itu. Tak ampun lagi ia telah jatuh mengge-
loso. Namun ia masih berusaha untuk bangkit,
walau terlihat ada darah mengalir dari belakang
kepalanya. Pandangan matanya memang telah
berkunang-kunang, dan rasa sakit pada kepa-
lanya terasa ngeri bukan kepalang. Tapi sebelum
ia dapat gerakkan tubuhnya, entah apa yang ter-
jadi, karena tahu-tahu batu besar itu telah meng-
gelinding ke tubuhnya. Dan terdengarlah pekik
mengerikan disertai terdengarnya suara remuk-
nya tulang dada, dan tengkorak kepala yang ber-
krotakan. Terlihat sepasang kaki si Elang Alap-
alap mengejang, dan bergerak-gerak... Namun se-
kejap kemudian gerakkan kaki itu terhenti untuk
selamanya.
Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan sege-
ra tinggalkan tempat itu dengan wajah murung...
namun membersitkan rasa bersyukur pada Tu-
han atas keselamatannya. Seperti terlihat pada
wajahnya yang kembali tampakkan kecerahan,
ketika ia mendongak ke langit sambil pejamkan
mata. Semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus,
membuat leganya hati dan sejuknya perasaan...
Dan detik selanjutnya sudah terdengar suara
lengkingan Roro Centil, seperti melepaskan kele-
gaan hatinya. Dan detik selanjutnya ia telah ber-
kelebat cepat sekali, yang sesaat antaranya sosok
tubuh Pendekar Wanita itupun lenyap...
***
"Dalam sepekan ini aku perlukan empat
orang wanita atau gadis, tentu saja yang bertu-
buh mulus, dan berwajah cukup cantik..! Terden-
gar suara bernada serius dari balik air terjun itu.
Yang sudah ditimpali dengan suara kata-kata se-
perti suara burung gagak, namun agak besar se-
dikit.
"Benar! Wanita yang bertubuh mulus, pasti
jantung dan hatinya pun akan mulus! Sudah tiga
hari ini aku tak makan sarapan yang amat men-
guatkan tubuh itu, apakah tidak sebaiknya kau
berangkat mencarinya, dan membawanya kema-
ri..? Aku khawatir, jangan-jangan aku bisa mengi-
lar untuk mengorek hati dan jantungmu, Dewi
Tengkorak!" Itulah suara si Setan Cebol dan si Ib-
lis Tertawa dihadapan seorang wanita yang cuma
bisa tampakkan wajah murung. Sejurus anta-
ranya wanita ini yang tak lain dari si Dewi Teng-
korak adanya, berdiam tanpa buka suara. Tiga
hari ditempat sekapan yang tersembunyi itu
membuat ia tak bisa berkutik apa-apa. Dan sela-
ma tiga hari itu, tenaganya hampir habis, karena
harus melayani kehendak si Iblis Tertawa, dan si
Setan Cebol berganti-ganti. Membuat ia mau me-
larikan diri saja dari sarang kedua iblis dan setan
itu... Namun apalah artinya..? Dua butir pel yang
telah dijejalkan pada mulutnya, membuyarkan
keinginannya. Walaupun ia bisa saja tinggalkan
pergi tempat itu, namun ia amat membutuhkan
obat penawar dari racun yang sudah masuk pe
rutnya... Untuk membunuhnya adalah terlalu su-
lit. Apalagi pengaruh rasa takut akan kematian,
membuat ia hilang semangatnya. Dan terpaksa ia
harus menerima tugas dari kedua iblis dan setan
jahat itu, mencarikan korban yang dimauinya.
"Baiklah, demi obat penawar itu, aku akan
turuti perintah kalian. Namun aku khawatir aku
cuma dijadikan budakmu saja. Dan nanti bila te-
lah tiba saatnya satu bulan, aku kau biarkan
mampus keracunan..!" Berkata si Dewi Tengko-
rak. Meledaklah tertawa si Setan Cebol, diikuti si
Iblis Tertawa, yang terdengar berkakakan didalam
ruangan goa dibalik air terjun itu.
"Ha ha ha., ha ha... Kami berdua tak akan
berdusta, dan pasti akan kau terima obat pemu-
nahnya sebelum waktu satu bulan..! Jangan
khawatir nona manis..! Bukankah begitu sobat
Setan Cebol..!?"
"He he he... Benar! Kalau aku sedang tidak
malas, buat apa aku menyuruhmu? Aku hanya
tengah mengajar adat padamu, agar jangan terla-
lu sombong jadi manusia..! Ha ha he he he..!" Ujar
si Setan Cebol, yang kembali tertawa berkakakan.
"Baiklah, aku akan berangkat sekarang..!"
Berkata si Dewi Tengkorak, seraya bergerak ke
arah pintu goa.
"Bagus..! Agak cepatlah sedikit. Hati-hati,
buaya-buaya di rawa itu suka naik ke darat. Aku
khawatir kau dicaploknya..! Teriak si Iblis Terta-
wa. Namun Dewi Tengkorak, sudah tak menghi-
raukan lelucon yang tidak lucu itu. Ia segera melangkah keluar dari ruang Goa dibalik air terjun
itu. Tapi dasar wanita yang sudah matang, dan
berpengalaman, ia tidak terus berangkat pergi...
melainkan berdiri disamping batu Goa. Telin-
ganya dipasang untuk mendengarkan suara dis-
ebelah dalam. Benarlah apa yang telah didu-
ganya. Karena segera terdengar suara tertawa si
Muka Bocah alias si Iblis Tertawa itu...
"Ha ha ha...ha ha... Kalau saja ia tahu te-
lah aku bohongi, pasti siang-siang ia sudah ming-
gat tak balik lagi. Pel yang kujejalkan dimulutnya
itu adalah obat perangsang yang pengaruhnya
hebat luar biasa..! Buktinya ia mampu berperang
tanding sampai menggebu-gebu melawanku! He
he he... ha ha ha..." Terkejutlah si Dewi Tengko-
rak. Namun juga diam-diam ia bergirang hati
yang telah dapat mendengar celoteh si Iblis Ter-
tawa. Segera ia sudah melesat cepat untuk ting-
galkan Goa yang telah membuat ia tersiksa seten-
gah mati itu.
Huh! Buat apa aku turuti keinginannya..
Lebih bagus aku kabur dari daerah kekuasaan
kedua setan dan iblis keparat itu! Berkata si Dewi
Tengkorak dalam hati. Dan dengan beberapa kali
ia mengenjot tubuh, sebentar saja sudah lenyap
dari tempat yang sunyi mencekam itu.
Menjelang malam baru saja merangkak,
Roro Centil sudah berada lagi dimuka pintu Pa-
depokan Cemara Kandang. Belum lagi ia mengu-
capkan salam, telah berteriak seorang gadis, yang
telah memburunya keluar. Dialah si gadis Sumirah itu.
"Kakak Pendekar Roro Centil..! Aiii..!? Se-
lamat datang ditempat kediamanku!" Dan sang
gadis itu sudah lantas memeluknya. Roro pun
sudah balas memeluk si gadis itu dengan terharu.
Tampak terdengar suara isak tersendat dari mu-
lut Sumirah. Dan terasa air hangat membasahi
lengan Roro, ketika ia tengah membelai wajahnya.
"Kakak Roro... Mengapa semua ini terjadi
pada diriku? Pada kami orang-orang Padepokan
Cemara Kandang..? Benarlah dugaanku, ayah
pasti tak akan mampu melawan si Iblis Cebol
itu..?" Terdengar kata-katanya yang tersendat.
"Sudahlah dik Sumirah. Segalanya me-
mang sudah takdir Tuhan. Buat apa kau tangisi
kematian orang yang sudah tiada? Sebaiknya ta-
wakallah. Dan jangan terlena oleh kesedihan. Aku
berdiam di rumahmu sampai keadaan menjadi
kembali aman..!" Sumirah tiba-tiba lepaskan pe-
lukannya, dan tatap wajah Roro dalam-dalam.
Wajahnya kembali menampilkan kecerahan.
"Benarkah demikian kakak Roro..? Oh, te-
rima kasih! Aku amat senang sekali..!" Dan selan-
jutnya ia telah bimbing lengan Roro Centil untuk
diajak masuk ke dalam ruang padepokan. Semen-
tara beberapa murid laki-laki mendiang Ki Reksa
Permana tampak berdatangan menyambutnya
sambil menjura hormat.
Malam semakin larut... namun masih juga
terdengar suara orang bercakap-cakap didalam
ruang Padepokan itu. Ternyata mereka berdua
tengah saling menceritakan pengalaman hidup-
nya. Dengan didengarkan pula oleh ke dua belas
orang murid laki-laki di Padepokan itu. Hingga
saat menjelang tengah malam, barulah Rumah
Besar Padepokan Cemara Kandang kembali sunyi
senyap. Semua orang telah tertidur. Hanya Roro
Centil, yang masih duduk dihadapan Sumirah
yang telah menggeros kelelahan. Tidurnya demi-
kian pulas. Sampai nyamuk yang hinggap di pi-
pinya sudah tak terasa lagi. Roro jentikkan jari te-
lunjuknya untuk membuat terpental mati sang
nyamuk itu. Dan dengan bersidakep, Roro pejam-
kan matanya... Ia tidak tidur, walaupun matanya
meram. Karena ia tengah bersemadi memulihkan
kekuatannya lagi. Pertarungan tadi siang telah
banyak menguras tenaganya...
Demikianlah, malam berganti siang. Dan
siang berganti malam... Roro tinggal atau mene-
tap di Padepokan itu. Dengan diam-diam telah
pula melatih ilmu pedang Sumirah. Dan turunkan
beberapa jurus ilmu ampuh padanya. Bahkan ke-
dua belas murid laki-laki di padepokan itupun
mempelajari juga beberapa jurus ilmu yang ia da-
pati dari Paderi Jayeng Rana. Hari kedua dan ke-
tiga Roro Centil tak mendapat berita mengenai si
makhluk Cebol Itu. Tapi pada hari keempat, dua
orang murid Ki Reksa Permana, tampak berlari-
lari menghadap pada sang Pendekar Wanita Roro
Centil.
"Ada apakah yang terjadi..?" Bertanya Roro
yang telah melompat kehalaman Padepokan.
Tampak terlihat kedua orang pemuda itu teren-
gah-engah. Sekujur tubuhnya bercucuran kerin-
gat.
"Celaka, Guru... Makhluk Cebol itu tengah
mengamuk dan membantai penduduk dan orang-
orang Ki Demang, di desa Duren Sawit... Bersama
seorang kawannya, yang telah menawan tiga
orang gadis..!" Terkesiap seketika Roro Centil.
Jantungnya berdetak keras karena terkejutnya.
Saat itupun muncullah Sumirah, dengan sepa-
sang Trisula dipinggang dan pedang tipis terbelit
dipinggang. Ternyata iapun baru saja masuk dari
pintu belakang Padepokan.
"Guru..! Mari kita berangkat ke Desa Duren
Sawit sebelum makhluk Cebol dan kawannya itu
kabur dengan membawa korban..!" Roro Centil
palingkan kepalanya.
"Kaupun baru pulang menyelidiki?" Ber-
tanya Roro. Sumirah anggukkan kepalanya. Roro
tatap kedua murid laki-laki itu seraya berkata :
"Kalian tetaplah berada disini. Kemana
yang lainnya?" Bertanya Roro Centil.
"Empat orang berada disana, yang lainnya
entah. Guru. Mungkin berada dilain tempat..!"
Menyahut salah seorang.
"Baiklah. Kalau mereka kembali, jangan
menyusul kesana. Tetaplah berdiam di Padepo-
kan!" Perintah Roro, yang ternyata telah diangkat
sebagai Guru oleh murid mendiang Ki Reksa Per-
mana dan Sumirah. Yang mau tak mau terpaksa
Roro menerimanya. Selesai ia berkata, segera ia
berpaling pada Sumirah yang tampaknya seperti
tak sabar menunggu sang Guru lagi.
"Ayo Sumirah, kita berangkat...!" Dan ber-
kelebatlah dua tubuh dengan gerakan cepat me-
ninggalkan Padepokan Cemara Kandang...
Saat itu di Desa Duren Sawit tengah terjadi
pertarungan seru. Beberapa sosok tubuh tampak
telah tergeletak mandi darah. Itulah orang-
orangnya Ki Demang Gombal Manik, yang telah
menyerbu kedua iblis itu. Ternyata di desa itu
dengan diam-diam telah dipasang beberapa mata-
mata utusan Ki Demang. Dan bahkan ada pula
dua orang pendekar suami istri yang mau turut
membantu menumpas si Setan Cebol yang ka-
barnya semakin tersiar luas. Hingga keadaan dis-
ekitar Gunung Merbabu sebenarnya telah diper-
kuat dengan penjagaan dari beberapa golongan
kaum Pendekar. Termasuk juga orang pemerinta-
han, yang dipimpin langsung oleh Ki Demang
Gombal Manik. Gerakan rahasia itu memang di-
atur secara diam-diam dan dipasang di beberapa
tempat yang rawan. Hingga ketika terjadi penculi-
kan dan pembunuhan oleh kedua tokoh persila-
tan yang keji itu. Berita segera tersebar dengan
cepat. Dan terkurunglah si Setan Cebol bersama
kawannya itu, yang tak lain dari si Iblis Tertawa
yang amat rakus pada wanita cantik. Dikurung
rapat sedemikian rupa, kedua manusia keji itu
bahkan tertawa-tawa, dan tampak senang dapat
membunuhi setiap orang yang menerjangnya.
Hingga korban-korban pun jatuh bergelimpangan.
Betapa gusarnya dua orang pendekar sua-
mi istri yang melihat kekejian dua makhluk itu.
Terlebih-lebih si makhluk Cebol itu, yang sambil
memanggul seorang gadis, mulutnya tak pernah
berhenti mengunyah jantung dan hati manusia
yang telah dibunuhnya... Sedangkan si Iblis Ter-
tawa dengan tertawa berkakakan juga mengepit
sesosok tubuh wanita yang sudah terkulai ping-
san. Sementara sebelah tangannya menghantam
para penyerangnya yang ragu-ragu karena kha-
watir mengenai tubuh wanita yang dikepitnya itu.
Tampak seorang yang bersenjatakan tombak itu
roboh terjungkal dengan perdengarkan jerit kema-
tian.
"Iblis Pengecut..! Lepaskan wanita itu! Ha-
dapilah pedangku. Jangan kau buat ia sebagai
perisai..!" Bentak seorang wanita berbaju merah,
yang sudah melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha... he he... Payah-payah aku
mencarinya, masa mau kulepaskan begitu saja.
Jangan khawatir, aku akan menjaganya jangan
sampai mengenai pedangmu, nona..!"
"He...! Muka Bengkak! Berikan padaku...
Jangan khawatir kau tak kebagian. Aku telah
simpan tiga orang di Goa..! Biar itu bagianku..!"
Berteriak si Setan Cebol. Dan serta merta ia telah
lemparkan gadis di pundaknya. Ternyata keadaan
wanita itu telah membuat orang berteriak ngeri.
Karena isi perutnya telah terburai keluar. Semen-
tara sebelah lengannya telah mengunyah sesuatu
yang penuh berlepotan darah.
"Baik! Terimalah ini..!" Teriak si Iblis Ter-
tawa seraya lemparkan korbannya. Namun sebe-
lum si Setan Cebol menyambutnya, telah berkele-
bat sesosok tubuh dengan kecepatan kilat, yang
menyambar tubuh sang wanita.
"Iblis keji..!" Terdengar satu bentakan. Dan
sesosok tubuh berbaju putih telah menyerangnya
dengan pedang, disaat si Setan Cebol ternganga...
Sret! Tergoreslah punggungnya. Walaupun
ia telah lompat menghindar. Segera ia dapat meli-
hat siapa penyerangnya. Yang tak lain dari Sumi-
rah adanya.
"Iblis keparat...! Kau telah bunuh dengan
keji ayahku..! Kini terimalah kematianmu..!" Te-
riak si gadis, yang kemudian telah menerjang
dengan gerakan pedang yang menyambar-
nyambar. Namun si Setan Cebol telah waspada.
Dengan muka meringis ia telah berkelebat meng-
hindar, dan lompat menjauh tiga tombak.
"Bagus..! Kiranya kau anaknya si Pedang
Sakti Bermata Delapan...! He he he... Beruntung
sekali aku. Terkabullah niatku untuk menumpas
habis keluarga manusia yang telah membunuh
Guruku..! Namun amat disayangkan kalau kau
harus mati siang-siang...'" Berkata si Setan Cebol,
dengan sepasang matanya berbinar-binar mena-
tap Sumirah. Betapa marahnya Sumirah melihat
manusia yang menatapnya sambil terus mengu-
nyah jantung dan hati manusia itu. Ia sudah me-
lompat lagi untuk menerjang. Tapi kali ini si Se-
tan Cebol telah gerakkan tangannya memukul
pergelangan tangan Sumirah. Terlepaslah pedang
tipis itu. Saat berikutnya sepasang tangannya te-
lah bergerak untuk menotok dan merangkul gadis
itu. Terdengarlah keluhan Sumirah. Tubuhnya te-
lah terkulai, dan sekejap kemudian telah berpin-
dah ke atas pundaknya.
"He he he... Ayo manis, kita tinggalkan saja
tempat ini..!" Berkata si Setan Cebol, dan saat be-
rikutnya ia telah berkelebat pergi dengan cepat.
"Kejaaar!" Teriak Ki Demang yang menga-
wasi pertarungan. Beberapa orang yang mengejar
itu cuma bisa melongo saja karena si Setan telah
lenyap dengan cepat sekali...
Sesosok tubuh kerdil yang memanggul tu-
buh seorang wanita itu, telah memasuki Goa di
sela air terjun... Itulah si Setan Cebol, yang den-
gan tertawa berkakakan telah membawa korban-
nya, yaitu si gadis Sumirah. Tak banyak cerita ia
sudah lemparkan tubuh gadis itu ke pembarin-
gan. Sumirah perdengarkan keluhannya. Ia cuma
bisa tatap orang yang telah membunuh ayahnya
itu, tanpa ia bisa berbuat apa-apa.. Berteriakpun
ia sudah tak sanggup. Harapan hidupnya sudah
punah. Namun hati baja sang gadis telah mem-
buat ia menguatkan seluruh perasaannya agar ti-
dak menjatuhkan air mata. Biarlah aku mati, ka-
lau memang sudah ditakdirkan untuk mati. Pikir
gadis itu... Bukankah demikian wejangan sang
Guru barunya si Pendekar Wanita Roro Centil?
Kematian memang tak perlu ditakutkan. Berkata
ia didalam hati. Apalagi sudah didepan mata. Ke
tabahan untuk menghadapi kematian secara keji
memang telah terpampang di depan mata Sumi-
rah. Namun ia benar-benar tabah, karena ia ber-
pendapat dengan kematiannya tak mungkin kalau
para pendekar akan membiarkan kebhatilan terus
merajalela dimuka bumi. Suatu saat akan datang
masa kehancurannya. Karena memang tidak
layak kebhatilan itu berdiam diatas bumi ini...
Bret! Bret! Bret! Terdengar sobekan kain
pakaian yang dikenakan Sumirah, ternyata si Se-
tan Cebol telah melakukannya tanpa berlama-
lama lagi. Sumirah pejamkan matanya. Ia sudah
tak hiraukan lagi akan dirinya. Semuanya ia pa-
srahkan pada Yang Maha Kuasa. Sepasang tan-
gan yang dingin telah menyelusuri sekujur tu-
buhnya yang terasa dingin dan panas berganti-
ganti. Keringat dingin telah mengucur deras di-
kening dan punggungnya. Namun tetap ia pejam-
kan mata dan gigit bibirnya agar tidak menjerit
ketakutan. Terasa benda berat telah menindih tu-
buhnya... dengan dengus napas yang terasa me-
nyambar wajahnya.
"He he he... Selesai ini segera akan kuma-
kan jantungmu, nona manis... Mumpung belum
datang si Muka Bengkak itu, yang telah aku bo-
hongi..!" Saat yang akan menghancurkan pera-
saan itu sekejap lagi akan tiba. Tapi apalah ar-
tinya... Karena semua itupun akan diiringi den-
gan kematiannya..? Berfikir Sumirah. Terdengar-
lah si Setan Cebol itu tertawa lagi terengah-engah
karena menahan nafsu yang menggelora, namun
anehnya tubuh yang telah menindihnya itu bah-
kan menggelinding ke sisi disertai keluhannya.
Ketika ia buka kelopak matanya. Terbelalaklah
sepasang matanya, karena disitu telah berdiri
sang Pendekar Roro Centil. Ternyata Roro telah
menotok tubuh si Setan Cebol itu, yang telah
muncul bagaikan malaikat saja...
Plak! Sebuah hantaman telah membuat tu-
buh si Setan Cebol terguling ke bawah.
"Uuuuh..!? Sss.. sssiapa ka.. kau..?" Berka-
ta si Setan Cebol dengan meringis. Kepalanya te-
lah dibuat bertambah benjolannya. Hingga pada
kepala yang rambutnya bagai ijuk itu telah ada
dua benjolan.
"Hi hi hi... Aku orang yang akan mengirim
nyawamu ke Neraka..! Kebiadabanmu telah be-
rakhir Setan Cebol!" Seraya berkata Roro telah
tempelkan telapak tangannya pada punggung si
Setan Cebol. Terlihatlah asap tipis yang menge-
pul. Menjeritlah si manusia terkutuk ini. Tulang-
tulangnya terdengar berkriutan, dan lenyaplah
kekebalan tubuhnya. Punahlah segala kekuatan-
nya. Karena Roro telah pergunakan jurus keji dari
Sepuluh Jurus Kematiannya si Dewa Tengkorak.
Si Setan Cebol ini memang hebat. Ia masih beru-
saha untuk merangkak. Sepasang lengannya ber-
gerak mengulur dengan kesepuluh jarinya untuk
mencengkeram kaki Roro Centil. Namun tena-
ganya memang telah punah... Kembali sepasang
lengan itu terkulai. Dan terlihat napas yang
memburu. Tapi sepasang matanya masih terlihat
merah menyala seperti menahan dendam yang
amat sangat pada orang dihadapannya. Roro Cen-
til sudah bergerak lagi untuk membebaskan toto-
kan pada tubuh Sumirah. Gadis ini menatapnya
dengan sepasang mata terbelalak seolah tak per-
caya akan apa yang terlihat dihadapannya. Dan
sekonyong-konyong ia sudah memekik dengan
isak tersendat. Pekik girang haru yang tak terlu-
kiskan lagi. Seolah-olah Roro Centil adalah bukan
siapa-siapa lagi. Seolah ibunya sendiri yang ten-
gah menatapnya.
"Guruuuuu..!" Dan tenggelamlah ia dalam
pelukan sang Guru yang mengelus-elus pung-
gungnya dengan penuh kasih sayang. Tampak air
bening yang menetes dari pelupuk sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini. Roro Centil memang
seorang Pendekar Wanita yang aneh. Melihat Su-
mirah roboh tertotok, dan jatuh ke tangan si Se-
tan Cebol. Ia tampak tenang-tenang saja. Karena
ia telah mendengar dan mengetahui bahwa tak
mungkin si Setan Cebol akan membunuhnya
dengan sekejap mata. Apalagi ia telah mendengar
kata-katanya tadi, yang mengatakan adanya tiga
wanita lagi yang telah ia sekap didalam Goa. Ma-
kanya ia biarkan saja si Setan Cebol itu mening-
galkan tempat itu. Tapi dengan diam-diam ia te-
lah menguntitnya. Adapun pedang tipis yang ter-
pental dari tangan Sumirah, dengan cepat ia me-
nyambutinya. Demikianlah... Hingga ia berhasil
memasuki Goa dengan diam-diam. Ia memang
mengetahui si Setan Cebol itu pasti berilmu sangat tinggi. Namun seperti wejangan Gurunya si
Manusia Aneh Pantai Selatan, yang telah menga-
takan bahwa: Tingginya suatu ilmu adalah tak
ada batasnya. Karena diatas langit masih akan
ada lagi langit. Tapi "kecerdikan" adalah diatas
segalanya. Oleh sebab itulah ia telah pergunakan
kecerdikannya untuk menjatuhkan si manusia ib-
lis Setan Cebol. Hingga berakhirlah kebiadaban-
nya.
Sejenak Roro Centil menatap pada Sumi-
rah, yang telah membenahi lagi pakaiannya. Lalu
beralih menatap pada si manusia kerdil itu yang
tampak amat menjijikkan. Tubuh telah tak berte-
naga lagi, bagaikan seonggok daging yang sudah
tak bertulang... tengah menatap padanya dengan
mata bersinar mengandung kebencian. Sementara
giginya yang runcing-runcing itu tampak menye-
ringai mengerikan. Mengeluarkan suara geraman
seperti seekor serigala.
"Sebaiknya manusia ini diberikan huku-
man yang setimpal atas kebiadabannya..!" Berka-
ta Roro Centil. Dan setelah berfikir sejenak, sege-
ra ia berkata pada Sumirah, seraya palingkan wa-
jahnya pada gadis itu.
"Ayolah, kau ikuti aku... untuk menyaksi-
kan hukuman apa yang akan aku berikan pada
manusia iblis ini..!" Selesai berkata Roro telah
jambak rambut si Setan Cebol, dan menggusur-
nya keluar dari goa itu. Ternyata Roro Centil telah
membawa tubuh si Setan Cebol pada sebuah
tempat ketinggian, dimana dibawahnya terdapat
rawa-rawa yang diairi serta menyambung dengan
air sungai disebelahnya. Belasan ekor buaya tam-
pak berkeliaran dibawahnya. Ada yang tengah
berjemur diri pada panas Matahari dengan men-
gangakan mulutnya. Ada yang tengah saling kejar
dengan kawannya. Serta terlihat pula yang baru
saja naik ke darat, dan merayap ke tengah-tengah
rawa-rawa yang amat luas itu.
Ketika mereka menatap pada si Setan Ce-
bol, tampak seketika pucat dan pias wajahnya.
Berteriak-teriaklah si manusia biadab ini ketaku-
tan, melihat beberapa ekor buaya yang telah
mengangakan mulutnya ke arah mereka. Ru-
panya bau manusia telah membuat buaya-buaya
ini berkerumun dibawah tempat ketinggian itu.
Roro dan Sumirah saling berpandangan, dan sa-
ma-sama tersenyum. Dan tanpa menunggu waktu
lama lagi Roro telah lemparkan tubuh si Setan
Cebol ke arah makhluk-makhluk melata itu, yang
segera saja telah menyerbunya dengan moncong-
moncong yang menganga memperlihatkan giginya
yang runcing-runcing. Terdengar jeritan si Setan
Cebol yang menyayat hati. Dan hanya sesaat, ka-
rena segera tubuhnya telah diterkam dan diren-
cah dengan rakus oleh binatang-binatang buas
itu yang tampak saling berebutan. Hingga sekejap
saja tubuh manusia kerdil itu telah terbeset jadi
beberapa bagian...
Sumirah palingkan wajahnya untuk tidak
melihat kejadian itu, terasa ngeri ia memandang-
nya. Namun sesaat kemudian Roro telah tarik
lengan gadis itu untuk diajak berlalu dari tempat
itu... Segera saja tampak kedua tubuh wanita itu
berkelebatan dengan tidak terlalu cepat mening-
galkan rawa-rawa yang telah mengubur mayat si
manusia iblis penyebar maut itu didalam perut
buaya-buaya penghuni rawa itu. Ternyata keda-
tangannya telah disambut oleh Ki Demang Gom-
bal Manik dengan suka cita. Juga pendekar sua-
mi istri itu, yang tak lain dari Sentanu dan Roro
Dampit. Kiranya si Iblis Tertawa itupun ternyata
telah menemui kematiannya ditangan sepasang
pendekar itu yang ternyata telah bertambah il-
munya.
Suasana di lereng Gunung Merbabu kini
telah menjadi cerah. Petani dan pedagang sibuk
dengan pekerjaannya seperti biasa, tanpa harus
mengkhawatiri akan adanya manusia Iblis yang
akan mengganggu ketentraman disetiap desa di
lereng gunung itu. Ki Demang Gombal Manik
menjamu tamu-tamunya dengan gembira, Bah-
kan sampai beberapa hari Roro dan Sumirah ser-
ta sepasang pendekar suami istri itu berada di-
rumah besar Ki Demang. Hingga suasana pun
kembali sepi, ketika satu persatu mohon diri, un-
tuk kembali pulang ketempatnya masing-masing.
Roro Centil terpaksa memenuhi permin-
taan Sumirah untuk menetap sementara di Pade-
pokan Cemara Kandang. Gadis manis itu ternyata
telah tampak bergairah lagi dalam hidupnya, ber-
kat adanya Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar