BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE IBLIS LEMBAH TENGKORAK


Matjenuh khairil

 

IBLIS LEMBAH TENGKORAK

oleh Teguh S.

Cetakan pertama, 1990

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Tony G.

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari

penerbit

Teguh S.

Serial Pendekar Rajawali Sakti

dalam episode:

Iblis Lembah Tengkorak



SATU


Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah

danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung.

Permukaan airnya tenang. Bias cahaya matahari

sore dari ufuk Barat, memantulkan warna

keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu.

Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau,

terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama

Lembah Bangkai.

Pemandangannya memang indah, namun jika

malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani

melintasi kawasan itu. Selain bau bangkai yang

selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu

seakan-akan menyimpan misteri yang sulit

diungkapkan.

Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor

kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari

sore membelah jalan di antara danau dan jurang. Di

belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas

kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.

Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa

mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra.

Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan

seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang

tengah mernangku bocah laki-laki berusia sekitar

lima tahun.

"Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung

Melur bergumam. Matanya menatap lurus kearah

danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra

tunggalnya.


"Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati," sahut

Adipari Karang Setra. Matanya menatap iba pada

istrinya itu.

"Adakah jalan lain selain jalan ini?" tanya Tunjung

Melur.

"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling

tidak, bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."

Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya

menatap Rangga Pati, anaknya. Hatinya merasa

gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan

lembah Bangkainya, menghantui pikirannya. Telah

banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini,

namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.

Senja terus merayap rnenjelang malam. Matahari

mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki

bukit. Sinar keemasan itu mulai redup, memberi

kesempatan pada embun dan kabut untuk

menampakkan diri. Rombongan Kadipaten Karang

Setra terus memacu menuju arah terbenamnya

matahari.

"Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui

Ayahanda Prabu," Tunjung Melur sedikit

bergumam.

"Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu

dengan cucu pertamanya."

Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu

bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya,

tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya.

Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai

seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi

orang tua Adipari Karang Setra ini.


Seorang penunggang kuda hitam yaing semula

berada di depan, menghampiri kereta. Di

seragamnya terdapat sulaman bunga karang

berjumlah lima. Tingkat dan kedudukan prajurit

Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari

sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin

banyak jumlah sulaman, makin tinggi tingkat dan

kedudukannya. Penunggang kuda itu

membungkukkan badan dan menoleh ke dalam

kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan

kepalanya.

"Ada apa, Gagak Lodra?" tanya Adipari Karang

Setra.

"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut

Gagak Lodra.

"Maksudmu?" Adipati belum menangkap makna

nya.

Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba

saja kereta terhenti. Adipati Karang Setra

melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia

mendapatkan sebuah pohon besar tumbang

menghalangi jalan mereka.

Adipari Karang Setra ke luar dari kereta.

Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon

tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya,

diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipari

Karang Setra yang ternyata sudah didampingi Gajah

Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga

karang.

Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat

itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur


tiga langkah. Kepalanya agak dimiringkan sedikit

Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi

jalan, jelas suatu kesengajaan. Meski tumbang

berikut akar-akar-nya, tetapi terasa ada keganjilan.

Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon

lain di sekitarnya pasti ikut rusak. Tapi mengapa

hanya pohon besar itu saja yang rusak?

"Hmmm..., ada tamu tak diundang," gumam

Adipari

'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak,

Gusti," sahut Gagak Lodra yang juga menangkap

suara-suara kecil yang mencurigakan di sekitarnya

"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti,"

sambung Gajah Rimang.

"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan.

Napas dan gerakannya terlatih sempurna," kata

Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya.

Suasana jadi hening.

"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!"

sambung Adipati Karang Setra seketika.

"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya

melompat menghampiri para prajurit yang juga

sudah bersiaga.

'Dan kau...," Adipati Karang Setra belum lagi

meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan

semak dan pohon-pohon bermunculan

segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan

senjata terhunus. Gajah Rimang yang baru saja

memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.

Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.

Adipati Karang Setra menatap satu persatu para


pengepungnya. Harinya terkesiap ketika matanya

tertumbuk pada Seorang laki-laki tinggi tegap

berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok

sambil memegang tongkat btrkepala tengkorak

manusia. Adipari tahu siapa laki-lakl Itu.

"Iblis Lembah Tengkorak...," desis Adipari

Karang Setra bergetar.

Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula

mendengar desisan Adipari Karang Setra. Mereka

tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah

seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari

tandingannya. 'Ilmu Tongkat Samber Nyawa' yang

dimilikinya, sangat dahsyat. Belum lagi ilmu

andalannya, yakni 'Bayangan Setan Neraka' benar-

benar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih

yang tewas di tangan iblis ini. Dan kini, dia muncul

dengan tiba-tiba!

"He he he...," Iblis itu terkekeh. Tawanya

disertai tenaga dalam yang sempurna hingga

menggema ke seluruh penjuru. Seketika itu juga

seluruh prajurit Karang Setra bergetar harinya.

"Tak kusangka, Adipari Karang Setra

mengantarkan upeti hari ini," sambung Iblis Lembah

Tengkorak. Suaranya menggelegar meski diucapkan

dengan tenang.

"Hhhh...!" Adipari Karang Setra mendesah

panjang, coba menenangkan diri. Meskipun dia

seorang Adipari dan memiliki kepandaian cukup

tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan

dengan Iblis berwajah kasar itu. Sepuluh orang yang

memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum

tentu mampu mengalahkannya.

***

Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur

berubah pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Tangannya

makin erat memeluk Rangga Pari. Tunjung Melur

memang belum pernah mendengar nama Iblis

Lembah Tengkorak. Tapi nalurinya mengatakan

bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.

"lbu...," Rangga memandang wajah ibunya

Sepertinya dia menangkap kegelisahan ibunya.

Sinar mata polos yang memandangi Tunjung

Melur itu hanya membuat hatinya gelisah. Dia

hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan

pada Yang Kuasa. Tunjung Melur hanyalah seorang

wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan

kaum bangsawan, yang tak mengerti dunia

kependekaran.

"Serang...!" tiba-tiba suara itu menyentak hati

Tunjung Melur. Disusul suara teriakan-teriakan

dan dentingan senjata beradu.

"Oh!" pekik Tunjung Melur ketika para prajurit

yang mengawalnya sudah terlibat pertempuran

sengit dengan gerombolan itu.

''Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!"

teriak Adipari Karang Setra.

Adipari telah sibuk melayani lima orang yang

mengeroyoknya dengan ganas. Terpaksa dikeluarkan

pedangnya. Dengan mengerahkan Ilmu Bayu Mega',

diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang


sangat cepat Dengan ilmu andalan itu, pedangnya

hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh

dari awan.

Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta

ketika mendengar perintah junjungannya itu.

Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut

oleh sebuah kelebatan bayangan hitam.

Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit

menjatuhkan diri ke tanah. Bayangan hitam itu

terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih

bergulingan di tanah. Dan betapa terkejutnya

Gagak Lodra ketika tahu si penyerang adalah Iblis

Lembah Tengkorak.

"Uts!" Gagak Lodra berkelit dan melompat

bangkit.

Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar

bagian kosong di sisi Gagak Lodra. Iblis itu

terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan.

Kembali Gagak Lodra bersiap dengan pedang

menyilang di dada. Matanya tajam memandang Iblis

Lembah Tengkorak yang tegak di depannya.

"Trak!" benturan senjata tajam terjadi lagi. Iblis

Lembah Tengkorak dengan tenang menangkis

serangan pedang yang begitu cepat dari Gagak

Lodra. Seketika Gagak Lodra melompat mundur

sejauh dua tombak. Tangannya seperti kesemutan

saat pedangnya berbenturan dengan tongkat

berkepala tengkorak.

Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika

melihat pedangnya telah patah menjadi dua. Rasa

terkejutnya belum lagi hilang, tiba-tiba ujung


tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya.

Gagak Lodra berusaha berkelit dengan menarik

kepalanya ke be-lakang. Namun....

"Aaaakh...!"

Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat

terhindari. Ujung tongkat yang seperti bernyawa itu

menebas leher Gagak Lodra. Hanya sebentar Gagak

Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah.

Darah dengan segera menyembur dari leher yang

telah buntung itu.

ltulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah

Tengkorak. Meskipun bentuknya bulat, namun

keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak

kalah dengan mata pedang yang tajam.

"He he he...!" kembali Iblis Lembah Tengkorak

terkekeh.

Adipari Karang Setra yang sibuk menghadapi

serangan-serangan anak buah Iblis Lembah

Tengkorak, masih sempat mendengar jeritan Gagak

Lodra. Betapa terkejutnya Adipati ketika melirik

Gagak Lodra telah membujur kaku bersimbah

darah dengan kepala terpisah.

Pertempuran terus berlangsung. Banyak prajurit

Karang Setra yang terjungkal mandi darah.

Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah

Tengkorak memang jauh di atas prajurit-prajurit

Karang Setra. Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang,

dan Adipati sendiri yang memiliki kepandaian yang

cukup tinggi.

Adipari Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan

dalam sekejap telah melayang di udara, lalu meluruk



ke arah Iblis Lembah Tengkorak. Dengan ringan

dijejakkan kakinya di depan pemimpin gerombolan

yang sudah dekat dengan kereta.

"Ayah...!" teriak Rangga ketika melihat ayahnya

sudah berdiri di samping kereta.

Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari

jendela dan berdiri di samping ayahnya. Meskipun

masih bocah, gerakannya lincah dan ringan

menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasar-

dasar ilmu kanuragan dan ilmu meringankan tubuh.

Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat

tingkah anaknya. Dengan cepat dia keluar dari

dalam kereta. Dengan wajah yang diliputi rasa

ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya.

Ditarik tangan bocah itu dan digendongnya.

Bergegas dia menjauhi tempat itu.

"He he he.... Rupanya ada bidadari di sini," Iblis

Lembah Tengkorak terkekeh. Matanya liar menatap

Tunjung Melur yang ketakutan.

Gajah Rimang yang melihat keadaan

junjungannya tak menguntungkan, segera melompat

ke arah Adipati Karang Setra. Tiga orang yang

mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat

oleh pedangnya. Ambruklah orang-orang itu dengan

perut terbelah.

"Bawa istri dan anakku pergi!" perintah Adipari

Karang Setra kepada Gajah Rimang. Pandangannya

tetap pada iblis itu. "Tapi, Gusti...."

'Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan

mereka!" sentak Adipari cepat memotong.

Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali,



Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat

dan menyerang Iblis Lembah Tengkorak. Meski

disadari bahwa lawannya jauh di atas

kepandaiannya, Adipari Karang Setra tak peduli

lagi. Harapannya, Gajah Rimang secepatnya

membawa Tunjung Melur dan Rangga Pati

menyingkir dari tempat ini.

Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan

perintah junjungannya, dia sudah disibukkan

dengan lima orang yang menyerang dengan ganas.

Adipati mendengus geram. Prajuritnya mulai kocar-

kacir. Keadaannya sendiri sudah sangat kewalahan

menghadapi Iblis itu.

Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah

bergelimpangan. Mereka kini tinggal sepuluh orang

termasuk Gajah Rimang. Sementara dari

gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh

orang saja yang tergeletak tak bernyawa.

"Aaaakh...!"

Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras.

Tubuhnya terhuyung-huyung dengan darah

mengucur dari tangannya yang telah buntung.

Belum sempat Gajah Rimang menyadari apa yang

terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya

menghunus pedang dengan kecepatan yang luar

biasa, dan tepat menembus jantung Gajah Rimang.

Prajurit Karang Setra ini men jerit keras. Hanya

sebentar dia mampu berdiri. Ketika pedang itu

ditarik, tubuhnya segera ambruk tak ber kutik.

"Keparat!" dengus Adipati saat mengetahui

Gajah Rimang tewas.


Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu

tidak disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang

berakibat fatal buat Adipati. Lalu....

"Akh!"

"Kakang...!" jerit Tunjung Melur memilukan.

Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil

mendekap dadanya yang koyak berlumuran darah.

Men tang, begitu cepat serangan itu sehingga sulit

bagi Adipati menghindari ujung tongkat Iblis

Lembah Tengkorak. Perhatiannya memang terpecah

saat itu.

"Dinda, lari...!" teriak Adipati yang teringat akan

keselamatan anak istrinya.

"Kakang..., kau terluka," bergetar suara Tunjung

Melur.

"Jangan hiraukah aku! Cepatlah lari. Selamatkan

anak kita!" perintah Adipati Karang Setra.

Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa,

ketika tiba-tiba Iblis Lembah Tengkorak melompat

ke arahnya. Melihat keselamatan istrinya terancam,

Adipati dengan sisa-sisa tenaga menggenjot

tubuhnya menghalangi Iblis Lembah Tengkorak.

Benturan di udara tak terhindarkan lagi.

Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang

menyayat, tubuh Adipati Karang Setra ambruk ke

tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak

bergerak dengan leher yang koyak, hampir putus.

Dada dan perutnya berlubang besar mengeluarkan

darah segar.

"Kakang...!" Tunjung Melur histeris.

Sambil menggendong putranya, dia berlari


menghambur ke arah suaminya yang sudah tak

bernyawa lagi Namun langkahnya tiba-tiba terhenti

karena dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak

sudah menghadang di depannya. Bibir Iblis itu

menyeringai dengan mata liar penuh nafsu menatap

keelokan tubuh Tunjung Melur.

"He he he.... Cantik, cantik sekali...," bibir Iblis

Lembah Tengkorak makin menyeringai lebar.

Liurnya tertahan.

"Oh...!" Tunjung Melur tersentak. Wajahnya

makin pucat.

Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur.

Tangannya kian erat memeluk putranya. Anehnya,

Rangga Pati sedikit pun tak menangis. Dia malah

menatap tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba

hitam yang ada di depannya itu. Nalurinya

mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baik-

baik.

Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu,

Tunjung Melur segera berbalik dan berlari sekuat-

kuat-nya. Iblis Lembah Tengkorak terkekeh sambil

berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan

tubuhnya. Meski Tunjung Melur sudah beriari

sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu

kian dekat saja.

Tunjung Melur terus beriari menerobos semak

dan pepohonan. Dia justru tak menyadari kalau

arah larinya Itu mendekati jurang. Iblis Lembah

Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal

betul daerah ini seperti dia mengenal dirinya

sendiri.


"Oh!" Tunjung Melur terkejut setelah menyadari

di depannya terdapat jurang yang menganga lebar,

siap untuk menerkam. Begitu dalamnya sehingga

dasar jurang tidak terlihat.

"He he he...," kembali Iblis itu terkekeh. "Mau ke

mana, Cah Ayu?"

"Oh, tolooong...!" jerit Tunjung Melur sekuat-

kuatnya.

"Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah

Ayu," Iblis Lembah Tengkorak makin lebar

menyeringai.

Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat

perlahan agar Tunjung Melur makin ketakutan.

Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah

mundur. Padahal... satu langkah lagi saja tubuhnya

akan terjerumuske dalam jurang!

Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah

mundur, dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak

melompat sambil mengerahkan ilmu peringan

tubuhnya meraih pinggang Tunjung Melur. Wanita

itu terkejut luar biasa. Tanpa dapat dicegah lagi,

mereka jatuh terguling menjauhi bibir jurang.

Rangga yang berada digendong-annya terlepas, dan

jatuh mendekati bibir jurang.

"Rangga...!" jerit Tunjung Melur saat melihat

putranya terguling mendekati jurang. Tubuh kecil

itu terus berguling, dan untunglah sebuah pohon

besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.

Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak

lalu berlari mengejar anaknya. Tetapi dengan

sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain


wanita itu.

"Auw...!" Tunjung Melur memekik tertahan. Kain

penutup tubuhnya sobek terjambret Tangan

Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya yang

terbuka itu.

"He he he...!" Iblis Lembah Tengkorak terkekeh

melihat tubuh putih mulus di depannya.

Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa

membuang waktu lagi, Iblis Lembah Tengkorak

memburu Tunjung Melur yang telah sampai di

dekat Rangga.

"Akh, lepaskan!" pekik Tunjung Melur ketika

tangan Iblis Lembah Tengkorak memeluk

pinggangnya.

Sekali lagi mereka bergulingan. Tampaknya kali

ini Iblis itu tak akan melepaskannya lagi. Nafsunya

kian tak terkendalikan. Dengan buas direjang dan

diciuminya tubuh Tunjung Melur. Rangga yang

menyaksikan hal itu segera bangkit dari jatuhnya.

Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan

sakit yang sangat, Rangga menubruk sambil memekik

tinggi. Tangannya yang kecil dihantamkan ke

punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya.

Hantaman itu memang tidak berarti apa-apa bagi

Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.

"Bocah setan!" dengus Iblis itu kesal karena

merasa terganggu.

Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan

tangannya. Dengan seketika tubuh kecil itu

melayang deras dan menghantam pohon di pinggir

jurang. "Rangga...!" jerit Tunjung Melur. Ingin


rasanya Tunjung Melur menghambur dan memeluk

putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak

terlampau kuat memeluknya.

Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil

menjerit-jerit berusaha melepaskan diri. Semaldn

kuat dia meronta, Iblis itu makin bergairah.

Rontaan itu dianggap sebagai geliatan yang

menggairahkan. Jeritannya terdengar bagai rintihan

kenikmatan.

Tak ada yang menolong. Tak ada yang

menyaksikan kecuali sepasang mata bulat bocah

kecil itu. Tatapannya penuh perasaan. Walau tak

mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap

ibunya, namun nalurinya mengatakan bahwa ibunya

menjadi korban manusia berhati binatang.

"Ibu...," rintih Rangga sambil berusaha bangun.

Dicobanya untuk berdiri, tapi tubuhnya terasa

lemas. Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan

meremukkan tulang-tulangnya. Untungnya dengan

ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan keras

dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit

tertahan.

Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya

lagi. Dia hanya dapat menangis dan merintih akibat

digagahi oleh Iblis Lembah Tengkorak.

"He he he...!" tawa Iblis Lembah Tengkorak

penuh kemenangan.

Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan.

Titik-titik air mata mengalir membentuk anak sungai

di pipinya. Hati Tunjung Melur kian hancur karena

telah ternoda. Sementara itu Rangga berusaha


merayap mendekati ibunya yang kini tanpa benang

sehelai pun di tubuhnya.

"Ibu...," rintih Rangga. Tangannya menggapai-

gapai berusaha meraih ibunya.

"Huh! Anak ini bisa jadi duri!" dengus Iblis

Lembah Tengkorak.

"Jangan...!" pekik Tunjung Melur ketika melihat

Iblis itu menggerakkan tongkatnya.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur

berusaha menghalangi tongkat yang terarah kepada

anaknya itu. Dan betapa malangnya nasib Tunjung

Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala

tengkorak itu menghantam kepalanya. Dia tewas

seketika. Rangga terbelalak. Matanya tajam

mengarah pada laki-laki yang telah membunuh

kedua orang tuanya.

"Setan cilik!" dengus Iblis Lembah Tengkorak

merasa mendapat tantangan dari sorot mata yang

tajam penuh kebencian.

Dengan kemarahan yang memuncak,

ditendangnya tubuh Rangga dengan kuat.

Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam

itu, membuat tubuh kecil itu meluncur deras masuk

ke dalam jurang. Tanpa teriakan dan tanpa

terhindari lagi.

Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram,

karena niatnya untuk memiliki wanita cantik itu

gagal total. Kematian Tunjung Melur diluar

dugaannya sama sekali.

Iblis Lembah Tengkorak melompat bagai kilat

meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi


dan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.

***


DUA


Jurang Lembah Bangkai memang angker. Iblis

Lembah Tengkorak yang berasal dari daerah itu

sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya

jurang itu. Yang jelas, kecil kemungkinan untuk

selamat jika terjerumus ke dalam jurang Lembah

Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat

tubuh Rangga.

Tubuh kecil itu meluncur deras hampir

menyentuh dasar. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba

seekor rajawali raksasa berwarna putih menyambar

tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan

kuat.

"Khraaaghk...!" suaranya nyaring sambil membawa

tubuh Rangga dan meletakkannya di atas tumpukan

ranting kering dan rerumputan yang ditata

menyerupai sebuah sarang

Rangga tergolek pingsan. Burung rajawali itu

memperhatikan dengan matanya yang merah, bulat.

Kepalanya terangguk-angguk.

Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang

besar dan lembab itu, selalu terselimuti kabut. Ini

membuat udara di sekitar situ menjadi dingin.

Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan

paruh, lalu ditutupinya tubuh Rangga. Dia

mendekam di samping bocah kecil itu sambil

menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang

lebar, seolah-olah ingin memberi kehangatan.

Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba mulut

Rangga mengerang. Kepalanya bergerak lemah.


Burung rajawali memandanginya dengan mata yang

berbinar-binar. Disingkirkannya daun-daun yang

menutupi tubuh Rangga.

"Ibu...!" bocah itu memekik keras ketika matanya

terbuka memandang sekelilingnya. Dia terkejut

ketika matanya tertumbuk pada rajawali putih

raksasa yang ada di dekatnya. Rangga berusaha

bangkit, namun tubuhnya sangat lemas tak

bertenaga. Hanya matanya saja yang terbelalak lebar

memancarkan ketakutan.

Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan

kepalanya, seolah-olah mengerti perasaan yang

meng-hinggapi bocah itu. Pelan-pelan dijulurkan

kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh

rangga dengan paruh yang kekar itu.

Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur

segar seketika. Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap

hilang. Burung itu memang telah menotok jalan

darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga.

Sepertinya burung itu ingin mengatakan kalau

Rangga tak perlu takut.

Dasar bocah! Rasa takut Rangga hilang

seketika. Kini Rangga malah tertawa keras karena

kegelian. Rajawali putih berkoak-koak seperti

gembira melihat Rangga tertawa gelak. Rangga kini

malah membalas canda rajawali dengan menarik-

narik paruhnya yang sebesar kepalanya itu.

Sebentar saja kedua makhluk yang berlainan

kodrat itu kian akrab. Bahkan kini burung rajawali

itu seakan-akan siap melayani segala kebutuhan

Rangga baik, makan, minum, maupun tidur. Jika


Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah

yang menyelimutinya. Pada saat Rangga melamun

teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang

selalu menghiburnya. Mengajaknya bermain dan

bercanda. Komunikasi yang berlainan, tak

menghalangi kedua makhluk itu untuk saling

mengerti dan memahami setiap kata yang terucap.

***

Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah

setahun Rangga hidup di dasar lembah Bangkai

bersama rajawali putih raksasa. Sepertinya mereka

memang telah ditakdirkan untuk bertemu di

Lembah Bangkai.

Selama setahun itu, Rangga dengan cepat

memahami dan mengikurj gerak-gerik burung

rajawali raksasa itu. Tanpa disadarinya, gerak-gerik

itu adalah dasar dari jurus-jurus silat Rajawali

Sakti, tokoh yang hidup dan tak ada tandingannya

seratus tahun yang lalu.

Rangga yang memang cerdas ditambah dasar-

dasar ilmu silat yang telah diperoleh dari mendiang

ayah dan paman-pamannya, membuat gerakan-

gerakan yang diperliharkan burung itu cepat

dipahaminya.

Sore ini, Rangga tengah berlompat-Iompatan dari

satu batu ke batu yang lain di luar goa, mengikuti

gerakan rajawali putih. Rangga tak sadar kalau

burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus

andalan yang pertama yakni,'Sayap Rajawali


Membelah Mega' Jika gerakan jurus itu dibarengi

dengan ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga

dalam yang sempurna, maka tubuh Rangga dapat

bergerak ringan seperti kapas. Seorang yang berilmu

tinggi sekalipun, akan sulit meraba dan melihat

gerakan-gerakan itu. Keistimewaan lainnya, kaki

Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh

tanah. Kibasan tangannya, bagaikan sepasang sayap

yang siap menghancurkan batu karang yang keras

sekalipun. Jari-jari tangannya bagai mata pedang

tajam yang siap membabat seba-tang pohon besar

hingga tumbang.

"Khraaaghk...!" rajawali putih berseru gembira

melihat Rangga berhasil melintasi batu terakhir

dengan mulus.

Satu kali lompatan, Rangga telah berada di

depan burung raksasa itu. Rajawali putih

menundukkan kepalanya. Rangga memeluk seraya

tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus

yang memenuhi kepala burung itu.

"Aku haus, lapar...," kata Rangga pelan.

Rajawali putih mengangguk-anggukkan

kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang diucapkan

Rangga. Dikepakkan kedua sayapnya, dan dalam

sekejap saja burung itu telah mengangkasa. Rangga

memperhatikan dengan mata bocahnya, sambil

menunggu di tempat itu.

Ketika burung raksasa itu telah kembali,

diparuhnya telah bergelayut dua butir kelapa.

Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar.

Rangga sama sekali tak tahu kalau jamur itu


mempunyai khasiat penawar segala macam racun

yang dahsyat sekalipun. Itulah santapan sehari-hari

Rangga.

'Terima kasih, kau baik sekali," Rangga menerima

kelapa dan jamur-jamur itu.

"Khraaaghk...!" Rajawali putih mengangguk-

anggukkan kepalanya.

Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga.

Dibelahnya kelapa yang kini berada di tangannya.

Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa terbelah dua!

Rajawali putih terlihat gembira ketika Rangga

berhasil membelah kelapa dengan sekali pukul.

Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu

yang telah nampak dalam kekuatan Rangga.

Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga

membentuk hawa murni secara alami. Tenaga dalam

yang tersalur lewat hawa murni ini dapat menjadi

kekuatan yang luar biasa bagi Rangga. Jika Rangga

benar-benar melatih tenaga dalamnya, tak mustahil

dalam waktu singkat dia akan menjadi seorang

tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.

Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus

silat Rajawali Sakti sepertinya ia adalah pewaris

tunggal ilmu-ilmu Rajawali Sakti, yang seratus tahun

lalu sempat menggegerkan dunia persilatan. Tak ada

seorang tokoh pun yang sanggup menandinginya.

Baik dari golongan hitam maupun putih.

Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang

begitu saja bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti

yang selalu menunggang seekor rajawali raksasa.

Rajawali itu kini bersama Rangga. Lalu, di manakah


tokoh sakti itu?


TIGA



Dunia persilatan saat ini goncang. Gerombolan

yang dipimpin Iblis Lembah Tengkorak makin

merajalela. Banyak tokoh sakti golongan putih yang

mencoba mengakhiri sepak terjang gerombolan itu,

tewas di ujung tongkat berkepala tengkorak milik

iblis itu.

Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yan9 ber

gabung dengan Iblis Lembah Tengkorak. Tentu saja

hal ini membuat cemas tokoh-tokoh aliran putih.

Karena tak mustahil kekuatan Iblis Lembah

Tengkorak akan menguasai dunia persilatan.

Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis

Lembah Tengkorak yang sebenarnya bernama Geti

Ireng, tinggal. Di sanalah markas Geti Ireng dengan

gerom-bolannya yang bernama Panji Tengkorak.

Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak

tampak ramai, Atas undangan Geti Ireng, banyak

tokoh sakti aliran hitam yang hadir di kediamannya.

Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya

seorang tokoh sakti aliran hitam bernama Kala

Srenggi. Dia dikenal sebagai Si Samber Nyawa.

Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi

jika dibandingkan dengan Geti Ireng tak berarti

apa-apa. Kulitnya putih dengan tubuh yang tegap

berisi. Wajahnya muda dan tampan namun

menyimpan garis-garis kekejaman. Senjata

andalannya adalah pedang kembar yang bertengger

menyilang di punggungnya. Ajiannya yang bernama


'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya

bertahan hidup selama sepuluh hari.

Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi

menyatakan takluk karena seminggu yang lalu Geti

Ireng berhasil mengalahkannya. Dengan demikian

Lembah Tengkorak makin ramai dengan

bergabungnya Kala Srenggi bersama murid-muridnya

yang berjumlah separuh dari jumlah anggota Panji

Tengkorak.

"Saya datang memenuhi janji," kata Kala Srenggi

setelah berhadapan dengan Geti Ireng di ruang

pertemuan markas itu.

Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang

terletak di tengah-tengah lembah. Pendopo itu

biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu

yang sealiran dengannya. Di samping Geti Ireng,

seorang gadis cantik berusia sekitar tujuh belas

tahun duduk sambil menatap sinis Kala Srenggi. Dia

bernama Saka Lintang. Saat mata Kala Srenggi

beradu pandang dengannya, harj Kala Srenggi

bergetar.

Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona

dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak

merusak suasana, Geti Ireng tak menegur tamunya

itu. Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan

pandangan Kala Srenggi.

"Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima

seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji

Tengkorak," lanjut Kala Srenggi.

"Bagus, bagus!" Geti Ireng tersenyum senang.

"Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang


mulia," ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka

Lintang.

"Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?"

pancing Geti Ireng.

Kala Srenggi terdongak. Geti Ireng memang

bermaksud menyindir. Kala Srenggi menangkap

maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya.

Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu.

Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Geti

Ireng.

"Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!"

suara Saka Lintang terdengar lembut dan halus,

namun nadanya menyimpan kebengisan dan

kekejaman.

"Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?"

Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi.

Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali

harinya bergetar saat menatap kecantikan Saka

Lintang. Harinya tak dapat dibohongi lagi kalau dia

jatuh hati kepada Saka Lintang.

"Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?" Kala

Srenggi menantang. Matanya tak berkedip

mengakui kecantikan gadis itu, Kepalang basah

Dengus Kala Srenggi dalam hati.

"Kalahkan aku!" Saka Lintang tegas.

"Ha ha ha...!" Geti Ireng terbahak-bahak. Kala

Srenggi makin tajam menatap wajah Saka Lintang.

Agak sungkan Kala Srenggi menerima tantangan

itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya

melepaskan pukulan pada gadis yang telah

menghanyutkan harinya.



"Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah

melepaskan pukulan pada kaum wanita," suara Kala

Srenggi halus.

"Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!" bentak

Geti Ireng. Dia merasa tersinggung sekali dengan

penolakan itu meski diucapkan dengan halus.

"Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi.

Tapi, rasanya saya tak dapat beriaku kasar

terhadap wanita," lanjut Kala Srenggi masih dengan

nada halus.

"Jika demikian, kau tak pantas bernaung di

bawah Panji Tengkorak!" dengus Saka Lintang

sengit.

Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau

gadis cantik ini dapat sekasar itu. Hatinya makin

terkejut saat melihat Geti Ireng mengangguk tanda

setuju. Jantungnya terasa copot.

Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi.

Meski Saka Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi,

namun tak mudah bagi Kala Srenggi untuk

menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus

sekalipun. Bahkan tidak mungkin Kala Srenggi

tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu

andalannya,'Ular Berbisa Menyebar Racun’ atau

mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari'

digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun

tak mampu menandinginya dalam waktu lama.

"Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi," kata Geti

Ireng datar dan dingin suaranya. "Memenuhi

permintaan putriku, atau kau tak akan melihat

matahari lagi!"


Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima pilihan itu.

Dia bukan gentar tapi sungkan menandingi gadis

remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya.

Untuk mati sia-sia dia pun tak mau.

"Bagaimana, Kala Srenggi?" desak Geti Ireng.

Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir

mengejek.

"Baiklah, aku terima tantanganmu!"

***

Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan

meluruk cepat ke pelataran. Gerakannya gesit dan

ringan. Ilmu ringan tubuhnya sangat sempurna.

Jejakan ke tanah bagai seekor burung.

Baru saja Saka Lintang mendarat, tiba-tiba saja

Kala Srenggi telah dihadapannya. Jarak di antara

mereka hanya sekitar satu tombak. Mereka

berhadapan dengan mata tajam saling menilai

kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu

langkah.

"Bersiaplah, Kala Srenggi!" bentak Saka Lintang

keras.

Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat

menyerang Kala Srenggi dengan pukulan yang dialiri

tenaga dalam. Begitu dahsyat pukulan itu, sehingga

angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum

pukulan itu sampai.

Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya

berkelit sedikit menghindari pukulan itu. Sejenak

dia terkejut ketika sambaran angin lewat di samping


kepalanya. Hawa pukulan itu panas sekali. Dengan

cepat Kala Srenggi melompat ke samping ketika

tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah dadanya.

Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.

"Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!"

dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk

menyerang dengan jurus lain.

"Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka

Lintang," puji Kala Srenggi tulus.

"Bersiaplah, Kala Srenggi!" segera Saka Lintang

meliuk liukkan tubuhnya dengan indah dan gemulai.

Seperti sedang menari. Kala Srenggi terpesona

dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah

mengeluarkan jurus maut,'Tarian Bidadari'

Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga

sama sekali gerakan Saka Lintang berubah cepat.

Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah ke

leher Kala Srenggi.

"Akh...!" Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat

menghlndar.

Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan

mengangkat tangan melindungi lehernya yang

terancam. Benturan keras terjadi. Tubuh Kala

Srenggi terhuyung mundur dua tindak. Dirasakan

pergelangan tangannya seperti terbakar. Panas dan

nyeri. Dia meringis sambil memegangi pergelangan

tangan kanannya yang menghitam.

Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru

saja terjadi, Saka Lintang telah mulai dengan jurus

maut lainnya. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'

yang sangat berbahaya dan sulit dihindari Lebih


lebih pada saat lawannya telah terkena hajaran

jurus 'Tarian Bidadari’. Keadaan Kala Srenggi

memang tidak menguntungkan.

"Cukup!"

Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang

tinggi, membuat Saka Lintang mengurungkan

niatnya mengeluarkan jurus maut itu. Tiba-tiba Geti

Ireng telah berada di tengah-tengah arena. Memang

dialah yang mengeluarkan suara itu.

"Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu

menurunkan maut pada Kala Srenggi," sambung

Geti Ireng.

"Huh!" Saka Lintang mendengus. Dia tak

mungkin menentang kehendak ayahnya.

"Kala Srenggi, bagaimana tanganmu?" tanya Geti

Ireng.

"Tidak apa-apa," sahut Kala Srenggi namun

sambil meringis.

"Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya,

Kala Srenggi. Kau tak akan bertahan lebih dari

sepuluh hari," kata Geti Ireng datar.

Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu. Dia

tak menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah

mengeluarkan jurus Tarian Bidadari'. Kala Srenggi

memang pemah mendengar nama jurus itu namun

baru kali inilah dia merasakan. Begitu cepat dan tak

terduga sama sekali.

Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat

Tapi cukup mematikan karena langsung menusuk

jalan darah. Betapa berbahayanya, sehingga orang

yang terkena tak akan sanggup bertahan lebih dari


sepuluh hari.

"Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!"

kata Geti Ireng.

"Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu,

Ayah!" jawab Saka Lintang pongah.

"Kau dengar, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap

Kala Srenggi yang masih meringis memegangi

pergelangan tangan kanan yang makin meluas warna

hitamnya. Tak ada jalan lain bagi Kala Srenggi

kecuali mengangguk. Dalam dunia hitam, martabat

dan nama besar bukan halangan untuk

menyelamatkan nyawanya sendiri. Tanpa malu-malu,

Kala Srenggi mengakui kekalahannya,

"Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi

sepenuhnya demi Panji Tengkorak!"

Saka Lintang tertawa senang.

"Berikan penawar racunmu, Saka Lintang," kata

Geti Ireng sekali lagi.

Saka Lintang merogoh saku bajunya dan

menyentil sebutir pil berwarna merah. Dengan

cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan

kepada Kala Srenggi. Tanpa sungkan lagi, Kala

Srenggi segera menelan pil merah itu.

Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat

deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya.

Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah

tegang. Segera dirapatkan kedua teiapak tangannya

ke depan dada.

"Jangan berlaku bodoh!" bentak Saka Lintang.

Hawa murni akan mempercepat kemarjanmu!"

Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat dilepaskan


kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu

menjalari tubuhnya. Sungguh tak tertahankan.

Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi

peringatan tadi mengurungkan niat itu.

"Hoek!"

Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut

Kala Srenggi. Kental sekali. Kala Srenggi terkulai

lemas. Hawa panas di tubuhnya, berangsur-angsur

lenyap. Warna hitam di tangan kanannya sedikit

demi sedikit memudar.

"Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama

tiga hari," kata Saka Lintang.

Setelah berkata demikian, Saka Lintang

melompat meninggalkan arena pertarungan tadi.

Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah

hilang, masuk ke dalam rumah yang besar.

Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau

Kala Srenggi dapat dikalahkan hanya dalam tiga

jurus saja. Terlebih bagi Geti Ireng. Semula dia

menduga Kala Srenggi akan melayani Saka Lintang

dengan alot. Nyatanya, hanya sekejap saja. Benar-

benar kemajuan yang luar biasa bagi Saka Lintang.

Tak percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan

ilmunya kepada anak gadisnya itu.

Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu

maut itu. Bahkan telah disempurnakannya. Bukan

tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri.

Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira.

Saka Lintang sudah dapat mewakilinya di dunia

persilatan.


***

Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja.

Tiap hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam

berdatangan untuk menyatakan takluk. Saka

Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokoh-

tokoh itu. Dari sekian banyak tokoh, hanya dua

orang saja yang mampu menandingi jurus 'Tarian

Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

Tapi harus diakui, jurus ketiga yang merupakan

gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus

'Ular Berbisa Menyebar Racun' memang tak

tertandingi.

Kedua orang itu sudah terkenal di rimba

persilatan. Yang pertama biasa dijuluki Kakek

Merah Bermata Elang. Jubahnya yang merah dan

matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan

kakek itu bergelar demikian. Kehebatan kakek ini

terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang

menyerupai cakar seekor elang. Sebongkah batu

cadas besar yang keras pun dapat ditembus oleh

jari-jarinya.

Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul

mengenakan jubah kuning. Dia seorang pendeta

dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan.

Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian

mutiara.

Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan

Saka Lintang, terbukfi mereka tak sanggup

menandingi. Dalam hati para tokoh itu berkata

'Putrinya saja tak bisa dikalahkan, apalagi ayahnya!"


Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis

Lembah Tengkorak.

Pada akhirnya, seluruh tokoh-tokoh silat yang

tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk

menjuluki Saka Lintang dengan Kembang Lembah

Tengkorak!

"Aku tak menyangka, perkumpulan Panji

Tengkorak yang baru seumur jagung mampu

mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam,"-

gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah

dia dikalahkan oleh Saka Lintang. Pendeta itu

sebenarnya bernama Pradya Dagma.

'Tak mengherankan kalau Iblis Lembah

Tengkorak akan membuat Panji Tengkorak menjadi

yang terbesar di kalangan rimba persilatan," sahut

Kakek Merah Bermata Elang. Nama aslinya adalah

Kalingga.

"Ya, anak gadisnya saja sudah sehebat itu."

"Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang

sama," jelas Kalingga.

Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari

Selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah

itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat

mempecundangi Kalingga.

"Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam

bertahun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis

cantik itu," ada kemurungan pada suara Kakek

berjubah merah itu.

"Kau menyesal, Kakek tua?" tanya Rradya

Dag¬ma.

"Sedikit," desah Kalingga pelan.


"Penasaran?"

"He he he...," Kalingga hanya tertawa.

Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain.

Mata bulat merah itu tidak lagi menyala seperti

semula. Ada keredupan di situ. Meski tak

diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek

tua itu merasa genfar jika berhadapan dengan Saka

Lintang sekali lagi.

Lawan yang mereka hadapi memang tangguh.

Pradya Dagma sendiri berpikir seribu kali jika harus

berhadapan lagi dengan Saka Lintang. Jurusnya

yang dipadu dengan gerakan lembut disertai

penyaluran tenaga dalam, dikenal sebagai jurus

'Bidadari Penyebar Maut'. Setiap gerakannya

mengandung hawa panas dan racun yang

mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian

Bidadari' dengan 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

Kehebatan jurus itu telah dirasakan oleh kedua

tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya

saja, kepala mereka menjadi pening. Tak berlebihan

jika gelar Kembang Lembah Tengkorak kini

disandang Saka Lintang. Memang, hanya gadis

inilah yang tercantik dan terkejam di Lembah

Tengkorak.

***


EMPAT


Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar

Lembah Bangkai. Selama itu pula tanpa sadar

Rangga telah digembleng dengan jurus-jurus

Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak dua

puluh itulah Rangga mulai sadar kalau gerakan

burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-

gerakan silat tingkat tinggi.

'Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa," gumam

Rangga setelah menyelesaikan jurus ketiga dari

rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.

Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan

kepala sambil merentangkan kedua sayapnya.

Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan

kegembiraannya. Diraihnya leher rajawali itu seraya

dipeluknya dengan penuh kasih sayang.

Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah

menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Tubuhnya

tegap berisi Otot-otot menonjol di seluruh

tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.

Selama lima belas tahun itu, Rangga telah

menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus

Rajawali Sakti. Jurus yang pertama adalah 'Cakar

Rajawali'. Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari

tangan yang dapat berubah menjadi keras dan

tajam, setajam mata pedang. Jurus yang kedua

adalah 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan

jurus ini Rangga dapat bertarung di udara tanpa

sedikit pun menyentuh bumi. Jurus ini

mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang


dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.

Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik

Menyambar Mangsa'. Dan kini Rangga tengah

mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh

Rajawali'. Jurus ini sangat berbahaya karena penuh

tipuan. Sasarannya adalah jalan darah lawan.

Sebenarnya jurus keempat ini hanya bisa didapat

oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang

sempurna. Tetapi berkat selama lima belas tahun

Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak

perlu lagi melatih tenaga dalamnya. Jamur-jamur

yang telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-

syarafnya dapat membangkitkan hawa murni yang

secara alami ada dalam tubuh manusia.

"Hey! Mau kemana?" teriak Rangga ketika

rajawali putih itu mengepakkan sayapnya, terbang.

Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali

Membelah Mega' dan dengan seketika tubuhnya

menjadi ringan, Salu mengangkasa. Sedemikian

cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah

berada di atas punggung rajawali.

"Khraagh...!" rajawali putih terus mengepakkan

sayapnya. Kecepatan terbangnya melebihi lesatan

anak panah.

Sebentar saja mereka telah sampai di suatu

tempat yang masih di sekitar Lembah Bangkai.

Rangga belum pernah ke tempat ini.

"Tempat apa ini?" tanya Rangga setelah melompat

dari punggung burung raksasa itu.

"Kraghk!" rajawali menjulurkan kepalanya ke

depan.


Pandangan Rangga mengikuri juluran kepala

rajawali. Matanya agak menyipit mendapatkan

sebuah goa di depannya. Tidak jauh di sisi mulut

goa sebelah kanan, terdapat semacam gubuk

terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa itu sangat

kecil, sehingga rajawali tak mungkin dapat masuk

kecuali kepalanya saja. Tapi, gubuk siapakah itu?

Rajawali putih mendorong punggung Rangga

dengan sayapnya. Agak ragu-ragu Rangga melangkah

menghampiri gubuk rusak itu. Dia tersentak ketika

melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat

makam. Sungguh aneh, keadaan makam itu terawat

rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.

Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa,

namun tetap berlutut hormat. Seketika dia teringat

kedua orang tuanya yang terbunuh lima belas tahun

silam. Rangga sendiri tak tahu di mana makam

kedua orang tuanya sendiri. Agak lama dia berlutut

dan tepekur di samping makam.

"Krhaghk!"

Rangga menoieh ke belakang. Rajawali yang

masih di belakangnya tertunduk mengangguk-

anggukkan kepalanya. Sepertinya ikut sedih melihat

makam ini. Rangga menghampiri dan memeluk leher

burung raksasa itu. Seakan ingin berbagi perasaan

dengan rajawali itu.

"Makam siapa itu?" Rangga berbisik. Rajawali

putih menggoyang-goyangkan kepala lalu

menjulurkan ke arah goa. Rangga paham kalau dia

dimohon masuk dalam goa itu.

Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke


dalam goa. Dia tertegun sejenak saat berada dalam

goa. Keadaan ruangan tak begitu besar namun

banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti

layaknya tempat tinggal. Pada salah satu dinding,

terdapat rak yang penuh dengan buku-buku. Di

samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata.

Ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang

aneh-aneh bentuknya.

Goa ini ternyata juga sebagai tempat

penyimpanan jamur-jamur yang biasa dimakan

Rangga. Anehnya, jamur berwarna putih sebesar

kepalan tangan itu hanya tumbuh pada satu dinding

dekat tempayan air. Tepatnya dinding sebelah

kanan menuju lobang ke luar goa.

"Kau juga ingin melihat?"

Rangga menggeser tubuhnya memberi

kesempatan pada kepala rajawali untuk menyelinap

masuk.

"Khraghk!"

"Ada apa dengan buku-buku itu?" tanya Rangga.

Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke

lantai goa yang berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat

menangkap maksud burung rajawali ini. Bergegas

didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu

buku yang berada paling ujung sebelah kiri.

"Khraghk!"

Rangga menoleh. Dilihatnya kepala burung

rajawali itu menggeleng-geleng beberapa kali.

Diletakkan kembali buku itu di tempatnya. Dia

berpindah mengambil buku paling ujung sebelah

kanan. Kepala burung itu mengangguk-angguk, dan


mematuk-matuk lantai goa lagi.

Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu.

Dan memang benar, buku itu temyata berisi

gambar-gambar jurus silat. Beberapa di antaranya

telah di kuasai. Namun kecerdikannya menangkap

kalau dia harus memperdalam lagi melalui buku itu.

"Punya siapa buku-buku ini?" tanya Rangga.

Kepala rajawali putih menengok ke belakang.

"Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini,

telah meninggal? Siapa dia sebenarnya?"

Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding

goa.

"Sebelah mana?"

Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah

kanan. Rangga mengikuti arah yang ditunjukkan.

Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu tebal

dan berlumut

"Khraghk" rajawali putih memutar-mutar

kepalanya beberapa kali.

Rangga menoleh. Dia melihat rajawali masih

terus memutar-mutar kepalanya. Rangga berpikir

sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata

agak menyipit, lalu mengangguk. Dengan langkah

mantap didekatinya dinding itu. Tangan kanannya

mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser

sedikit pun.

"Krhaghk!"

"Baiklah, aku sekarang mengerti," sahut Rangga.

Rangga mundur dua tindak. Dipusatkan

perhatiannya pada dinding batu itu. Dengan cepat

kedua teiapak tangannya yang terbuka mendorong


ke depan. Seketika itu juga terdengar suara

ledakan yang dahsyat, disusiil getaran seluruh

dinding goa.

Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan

dinding batu di depannya itu bergeser ke samping.

Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh,

seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh.

Matanya makin terbelalak setelah dinding batu itu

terbuka lebar.

Sebuah ruangan yang agak lebar nampak,

bersamaan dengan berhenrinya suara gemuruh itu,

Seberkas cahaya terang memancar dari api yang

berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada

apa-apa di ruangan itu kecuali sebuah batu yang

menyerupai altar. Benda itu terletak di tengah-

tengah ruangan. Sebuah buku kumal tergeletak di

atasnya.

Rangga melangkah masuk. Didekatinya batu

altar yang hitam pekat. Tangannya meraih buku

kumal dan membuka halaman pertama buku itu.

Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman

pertamanya....

***

Rangga kini tahu siapa yang sebenamya

menempati goa ini sebelumnya. Dia adalah seorang

tokoh yang tak tertandingi selama kurun waktu

seratus tahun lalu. Seorang tokoh yang bergelar

Rajawali Sakti yang bertahun-tahun malang

melintang di rimba persilatan. Sampai akhirnya


tokoh itu mengasingkan diri di dasar Lembah

Bangkai.

Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar

itu memang dapat bercerita banyak. Hingga pada

akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang telah jadi

tempat tinggalnya selama lima belas tahun adalah

tempat tinggal burung rajawali raksasa tunggangan

Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan buku itu juga

menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu

selama berkelana di dunia persilatan.

Selama dalam pengasingan diri itu, temyata

Pendekar Rajawali Sakti telah menuliskan seluruh

ilmunya ke dalam buku. Hal inilah yang membuat

Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku

yang berisi jurus-jurus silat Pendekar Rajawali

Sakti.

Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali

terkagum dengan sebuah peninggalan Pendekar

Rajawali Sakti. Sebuah pedang pusaka yang sangat

ampuh.

Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan,

dengan gagang berbentuk kepala rajawali yang

terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang itu

memang dahsyat Seluruh aliran darah Rangga

terasa bergetar ketika mencabut pedang itu dari

sarungnya. Kekaguman Rangga tak terhenti sampai

di situ. Dicobanya pedang telanjang itu pada

sebuah batu sebesar kerbau. Dan hanya sekali

tebas saja, batu hancur berkeping-keping!

"Khraaaghk...!"

Rangga menoleh ke arah Rajawali yang sejak tadi


mengawasi dari mulut goa. Dia segera memasukkan

pedang itu ke dalam sarungnya. Kepala burung

raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan

suara yang memekakkan telinga. Rangga tersenyum.

Dia tahu kalau burung itu menyatakan

kegembiraannya.

Rajawali putih gembira karena Rangga tidak

mendapat pengaruh yang berarti sewaktu

memegang dan menebaskan pedang pusaka itu.

Sebab tak sembarang orang dapat meiakukannya.

Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah darah

meski belum mencabut dari sarungnya.

"Ya, ya...! Mudah-mudahan aku bisa mengikuti

jejak Pendekar Rajawali Sakti," kata Rangga menya-

huti gerak-gerak kepala burung itu.

"Khraaaghk..!" burung rajawali seakan-akan

menyambut gembira ucapan Rangga itu.

Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan

mengepak-ngepakkan sayap dan terbang berputar-

putar. Suaranya memekakkan telinga.

"Rajawali, sudah! Aku juga gembira!" teriak

Rangga yang sudah berada di luar goa.

Burung itu segera menukik turun di depan

Rangga. Kepalanya mendesak-desak wajah Rangga.

Rangga memeluk penuh kasih sayang. Dia berjanji

dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu

Pendekar Rajawali Sakti sekaligus

menyempurnakannya.

Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang

telah terbunuh. Hatinya mendadak panas terbakar

dendam. Dia bertekad akan mencari pembunuh


orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu

Pendekar Rajawali Sakti. Kemurungan yang

tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung

rajawali. Mata bulat merah menatap lurus ke wajah

Rangga. Sepertinya ikut merasakan kepedihan yang

melanda hati anak muda ini.

"Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih," ucap

Rangga pelan.

Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan.

Sinar matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar

Rangga mengeluarkan seluruh isi hati kepadanya.

"Aku harus membalas kematian ayah dan ibu,"

ucap Rangga sedikit geram.

"Khraghk!" burung rajawali putih mengangguk-

angguk seperti menyetujui ucapan Rangga.

"Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala

bentuk kejahatan di atas bumi ini.

Rajawali berseru nyaring. Kata-kata Rangga

membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga

seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan

dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang

diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa tuhur dan

berhati bersih. Rajawali gembira karena telah

mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti

yang telah lama meninggal dunia.

***

Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya

berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar

Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka


burung rajawali putih selalu menemani dan memberi

petunjuk dengan bahasa isyarat.

Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki

Pendekar Rajawali Sakti disempumakannya. Waktu

terus berjaian hingga tak terasa lima tahun telah

berlalu. Rangga kini telah mencapai tingkat terakhir

jurus Rajawali Sakti.

Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan

empat jurus andalannya yang memang sebelumnya

sangat dahsyat. Gabungan empat jurus andalan itu

dinamakan jurus 'Seribu Rajawati'. Kedahsyatan

ilmu itu, Rangga bagaikan menjelma menjadi burung

rajawali. Kece¬patan geraknya sangat luar biasa.

Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi

seribu jumlahnya. Dengan jurus ini dia dapat

bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan

apa-apa.

"Khraaaghk...!" rajawali raksasa berseru nyaring

ketika Rangga menyelesaikan jurus terakhirnya.

Rangga menoleh dan tersenyum. Tubuhnya yang,

tegap dan kekar tampak bercahaya. Keringat

membasahi seluruh tubuhnya bagai butir-butir

permata tertimpa sinar matahari. Rangga tersenyum

puas melihat kehebatan jurus terakhirnya.

"Bagaimana, rajawali?" tanya Rangga.

"Khraaaghk!" rajawali mengangguk-anggukkan

kepalanya.

"Ada yang kurang?"

Rajawali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku merasa sudah waktunya meninggalkan

lembah ini," agak pelan suara Rangga menyampaikan


maksud itu.

Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata

Rangga. Seperti berat untuk berpisah dengan aark

muda ini. Dua puluh tahun mereka bersama dan

kini saatnya berpisah. Rangga harus mencari

pembunuh orang tuanya.

"Setiap saat kita bisa berternu," kata Rangga

seperti mengerti perasaan rajawali itu. Sebenarnya

dia juga berat untuk meninggalkan lembah ini. Tapi

dia harus membalas kematian orang tuanya.

Mata rajawali masih menatap ke bola mata

Rangga.

"Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi

kau dapat kupanggil dalam jarak jauh sekalipun,"

kata Rangga lagi.

Burung rajawali mengangguk-anggukkan

kepalanya. Sepertinya dia telah merasa lega

mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan

Sakti*. Dengan ilmu itu mereka bisa bertemu setiap

saat. Dengan demikian ikatan batin makin terjalin

erat.

"Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama

Pendekar Rajawali Sakti?" Rangga meminta

persetujuan.

"Khraghk!" rajawali raksasa itu mengangguk-

angguk tanda setuju.

"Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali

Sakti juga menyetujui," gumam Rangga pelan.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar

beberapa kali disertai suara gemuruh. Padahal

iangit saat itu cerah sekali. Bahkan kabut tebal


yang biasanya menyelimuti lembah tak nampak sejak

tadi pagi.

Rangga mendongakkan kepalanya. Gumamnya

seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang

menyambar disertai suara gemuruh seperti

pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke

dalam tubuh Rangga. Ini berarti pemuda tampan

dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar

Rajawali Sakti.

Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang,

tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat

bagai gempa. Bersamaan dengan itu burung rajawali

raksasa mengeluarkan suara nyaring sambil

mengepak-ngepakkan sayapnya, namun tak terbang.

Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-

tiba ini. Dia heran kenapa burung itu juga

mendadak seperti gila.

Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di

dalam benaknya itu, mendadak tanah kuburan yang

berada di depan Rangga terbongkar disertai suara

ledakan dahsyat. Rangga melompat mundur satu

tombak. Dia tercenung melihat rajawali putih

menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk

dalam. Kedua sayapnya terbentang lebar menutupi

rerumputan di sekitarnya.

Tiba-tiba Rangga terkejut. Dari dalam kuburan

yang terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung.

Semakin lama semakin tinggi ke angkasa, kemudian

lenyap bersamaan dengan munculnya seorang lalu-

laki berwajah tampan dan gagah berdiri di atas

tanah kuburan yang berlubang besar.


Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu

memberi isyarat agar Rangga berlutut. Walaupun

benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut.

Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.

"Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?" sopan dan

lembut suara Rangga.

"Aku Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki

tampan itu.

"Oh!" Rangga tersentak kaget. Segera dia

memberi hormat.

"Bangunlah, anak muda," kata Pendekar Rajawali

Sakti pelan berwibawa.

Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia

menghormat.

"Bertahun-tahun aku menginginkan seorang

murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku.

Akhimya, harapanku terkabul. Meskipun tak

langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga

kau dapat menguasai seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'.

Bahkan kau mungkin lebih sempurna daripada

diriku," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku

lancang," ucap Rangga dengan tutur bahasa indah.

Semua kata-kata itu didapatkannya dari salah satu

buku yang terdapat dalam goa.

"Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku

merasa bangga. Kau memang pantas menyandang

gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi

pekertimu tak kusangsikan lagi. Hanya satu yang

masih mengganjal hatiku."

"Hamba mohon petunjuk guru."


"Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam

dalam hatimu!"

Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas

dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya

belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat itu.

Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya

dibunuh di depan matanya sendiri.

"Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga,"

kata Pendekar Rajawali Sakti lembut.

"Hamba mohon ampun, Guru," ucap Rangga

pelan.

"Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah

menjadi kewajiban seorang anak membela martabat

orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian

orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."

"Apa itu, Gum?"

"Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya

bersemedilah selama tujuh hari. Bersihkan dulu jiwa

dan ragamu dari nafsu duniawi yang dapat

menjeratmu ke lembah nista."

"Baik, Gurum. Akan hamba laksanakan semua

titah Guru."

"Bagus! Rajawali putih akan menemanimu

bersemedi. Dia juga akan menunjukkan tempat yang

baik untuk bersemedi."

"Terima kasih, Guru." .

"Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang

gelar Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan

itu!"

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan

Pendekar Rajawali Sakti menghilang. Seketika itu


pula kuburan yang berlubang terrutup kembali,

disusul oleh suara guruh disertai kilat yang

menyambar-nyambar. dengan sekejap, langit kembali

cerah seperti semula.

Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling

menatap rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka

saling pandang. Kepala burung itu menggeleng lalu

menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya.

Dengan tangkas dan ringan dia melompat, hinggap

di punggung rajawali putih. "Khraagk...!"

Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali

putih melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja

mereka telah berada di udara meninggalkan

Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Rangga

menoleh ke bawah. Lembah Bangkai bagaikan

sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang

luas.

"Kau bawa ke mana aku?" tanya Rangga.

"Khraaaghk!" sahut rajawali terns terbang

menuju Utara.

"Di sanakah aku harus bersemedi?" tanya Rangga

lagi.

"Khraghk!" Kepala rajawali terangguk-angguk.

***

Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Tempat inilah yang pertama diinjaknya setelah

keluar dari Lembah Bangkai. Sebuah daerah

berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang

pohon pun tumbuh di situ. Di sekelilingnya hanya


batu-batuan yang membukit.

Dengan ujung paruhnya, rajawali putih

mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih.

Rangga memandang batu itu, lalu kembali

mengedarkan pandangannya. Matanya menatap ke

bola mata rajawali.

"Di sini tempatnya?" tanya Rangga belum yakin.

Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang

seperti ini. Tempatnya di sebuah batu di tengah-

tengah bukit, yang panas menyengat pada siang

hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Rangga

menjadi yakin. Di mana pun tempatnya, harus

dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.

Tepat purnama Rangga hams memulai semadinya.

Rangga mendongakkan kepalanya. Matahari sudah

condong ke Barat. Sebentar lagi malam tiba, dan

purnama tepat jatuh pada malam ini. Rangga harus

menyiapkan diri dari sekarang untuk bersemadi.

Proses terakhir yang sangat berat dalam latihan

kesempurnaan seorang pendekar.

Apapun beratnya, Rangga tak perduli. Hatinya

mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di

Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani

tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti. Satu

tahapan yang paling berat. Bersemadi dan berpuasa

selama tujuh hari tujuh malam.

Matahari telah tenggelam. Rangga telah bersila

dan kedua telapak tangannya merapat di depan

dada. Kepalanya tertunduk, perhatiannya terpusat

pada mata hatinya. Pikirannya kosong. Seluruh

indranya tertutup.


Sementara itu rajawali putih mendekam tidak

jauh dari Rangga. Malam teruss merambat. Dingin

mulai menusuk. Namun Rangga telah menutup

indra yang berhubungan dengan dunia luar. Dia

merasa seperti hidup di alam lain.

***


LIMA


Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung.

Awan hitam bergulung-gulung di angkasa menutupi

cahaya matahari. Angin berhembus keras

merontokkan dedaunan. Tampaknya sebentar lagi

akan turun hujan lebat.

Keadaan alam yang tak menguntungkan itu,

tidak menghalangi seorang penunggang kuda untuk

memacu dengan cepat melintasi lereng bukit

Cubung. Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan

gagah. Dilihat dari dua buah pedang kembar di

punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari

Kala Srenggi.

"Berhenti...!"

Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang

keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya.

Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua

kaki depannya, lalu berhenti.

Kala Srenggi mengedarkan pandangannya. Tak

ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Kala

Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu

mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia

waspada.

"Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus

busuk bersembunyi dalam got!" teriak Kala Srenggi

dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar se-

hingga menggema ke selumh bukit.

Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala

Srenggi, sehingga hembusan angin berhenti

seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.


"He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya

mengandalkan bacot!" terdengar suara ejekan

menggema.

"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!"

Kala Srenggi panas.

"Sejak tadi aku di sini, Kala Srenggi."

Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan

tawon. Dia cepat melompat dari punggung kudanya.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah berdiri

seorang kakek di atas batu besar. Kala Srenggi tahu

kalau kakek itu seorang tokoh sakti yang bernama

Empu Danuraga, atau biasa dijuluki Si Gila

Pembuat Pedang.

Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat

disegani. Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugal-

ugalan, tetapi dia termasuk tokoh aliran putih.

Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di

tangannya. Caranya berdiri di atas batu itu juga

seperti bocah. Dia bertumpu pada sebatang pedang

hitam jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.

"Ada urusan apa kau menghalangi jalanku,

Kakek tua" tanya Kala Srenggi dingin.

"He he he..., aku hanya minta ditemani," sahut

Empu Danuraga. Tangannya menimang-nimang

pedang hitam, bagai menimang boneka.

"Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang

lebih penting!" Kala Srenggi melompat ke punggung

kudanya.

Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong

ranting kering meluncur cepat ke arahnya. Kala

Srenggi dengan cepat berkelit. Dengan ujung jari,


disentilnya ranting itu. Tubuh Kala Srenggi lalu

bersalto di udara, kembali turun dengan manis.

"He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan

hanya nama kosohg," lagi-lagi Empu Danuraga

mengejek.

"Empu gila!" bentak Kala Srenggi gusar. "Aku

tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau halangi

jalanku?"

'Tidak ada urusan katamu? He he he.... Rupanya

kau sudah pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja

meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau

berhutang nyawa pada cucuku!"

"Jangan mencari-cari perkara, Empu Danuraga.'

Aku tidak kenal dengan cucumu!"

Empu Danuraga mendengus sambil menghentak-

kan pedang hitam nya ke atas batu. Dengan cepat

dia melompat ke arah Kala Srenggi. Batu yang

terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu

hancur luluh seperti tepung. Kala Srenggi

terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.

Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi

hanya dihentakkan satu kali. Hentakannya pun

biasa saja, namun hasilnya sangat mengejutkan.

Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh

luar biasa tenaga dalam dan pedang hitam Empu

Danuraga. Tidak mustahil pedang hitam itu

merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.

“Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala

Srenggi” dengus Empu Danuraga geram. "Apa kau

sudah lupa dengan peristiwa tiga tahun yang lalu di

Padepokan Banyu Larang?"


Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa. Padepokan

Banyu Larang adalah tempat pertama dia

menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng.

Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya,

karena tidak bersedia mengakui Panji Tengkorak

sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.

Ada seorang anak muda yang menjadi tamu di

Padepokan Banyu Larang, terbunuh oleh Kala

Srenggi. Apakah pemuda yang mencoba

membunuhnya itu cucu Empu Danuraga? Dilihat

dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan

jurus silat Empu Danu raga.

"Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau

tahu, siapa tamu yang kau bunuh di Padepokan

Banyu Larang?" geram Empu Danuraga. Matanya

tajam menatap Kala Srenggi.

"Aku tidak perduli siapa dia!" sahut Kala Srenggi

getir.

"Dia cucuku!"

Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya

sejak semula kalau anak muda itu adalah cucu

Empu Danuraga.

"Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar

nyawa!" lanjut Empu Danuraga lalu bersiap-siap

menyerang Kala Srenggi.

Kala Srenggi segera bersiap-siap pula. Dia sudah

mendengar tentang kehebatan tokoh tua ini, maka

dengan segera dicabut pedang kembarnya. Mata

pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan

tertimpa cahaya matahari yang telah kembali

bersinar. Disilangkan kedua pedang di depan dada.


Kaki kanannya ditekuk ke depan sedikit. Itulah

pembukaan jurus 'Pedang Kembar’ Jurus dahsyat

yang jadi salah satu andalan Kala Srenggi.

"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh melihat

pembukaan jums 'Pedang Kembar'. "Mainan bocah

ingusan jangan kau pamerkan di hadapanku."

"Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!" Kala

Srenggi segera menerjang dengan jurus-jurus

ampuh-nya.

Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit

ke kiri dan ke kanan, menghindari sabetan dan

tusukan pedang kembar.

Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala

Srenggi memang hebat. Gerakannya cepat sehingga

bentuk pedangnya tidak nampak lagi. Yang terlihat

hanya seberkas sinar kembar berkelebatan

mengurung Empu Danuraga. Namun begitu, Empu

Danuraga tenang saja. Bahkan kedua kakinya tidak

bergeser sedikit pun. Suara tawanya terus

terdengar.

"Setan tua!" Jangan katakan aku kejam jika kau

mampus di ujung pedangku!" dengus Kala Srenggi

melihat lawannya hanya berkelit saja.

"Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan

bocah ingusan!" ejek Empu Danuraga. Wut!

Kala Srenggi merobah serangannya. Kali ini

digunakannya jurus 'Dua Mata Pedang Maut'.

Jurus ini lebih hebat lagi. Kala Srenggi bahkan

hanya terlihat bayangannya saja. Melompat ke

segala penjuru dengan kedua pedang menyambar-

nyambar.


Trang!

Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan

pedang hitamnya untuk menangkis serangan lawan.

Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang

dimainkan Kala Srenggi. Pijaran api memercik ketika

pedang mereka berbenturan.

Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui

kehebatan kakek ini. Tangannya selalu terasa

kesemutan jika salah satu pedangnya membentur

pedang Empu Danuraga. Tapi berkat

ketrampilannya memainkan dua pedang yang

dibarengi pengerahan tenaga dalam, Kala Srenggi

masih mampu melakukan serangan-serangan

berbahaya.

Lima belas jurus telah berlalu. Belum ada

seorang pun kelihatan terdesak. Empu Danuraga

sendiri sudah membuka serangan berbahaya dengan

jurus-jurus andalannya. Kini dua puluh jurus

berlalu, namun belum juga ada yang terdesak.

Merasa tidak mungkin mengalahkan Empu

Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi

melompat ke luar pertarungan sejauh dua tombak.

Segera kaki-nya melebar. Kedua tangannya menjulur

ke atas. Kedua tangan itu pelan-pelan turun

menekuk sejajar ketiak. Kala Srenggi membuka

'Ajian Tapak Beracun'.

***

"Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba. "Kau

takut dengan 'Ajian Tapak Beracun' ku!" ejek Kala

Srenggi


"Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu,

aku bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji

Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan

Setan Racun Merah?"

"Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?"

dengus Kala Srenggi.

"Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"

desak Empu Danuraga.

"Ha ha ha...!" Kala Srenggi hanya tertawa. Empu

Danuraga mengkeretkan gerahamnya. Sinar

matanya tajam menatap Kala Srenggi. Hampir

sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar

Setan Racun Merah. Dan sekarang, tiba-tiba saja

jums ampuh itu diperagakan Kala Srenggi. Walau

dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa

mengenali dengan baik. Lebih- lebih ketika melihat

kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti

terbakar.

"Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau

kenal baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di

mana dia sekarang?" dingin suara Empu Danuraga.

"Dia sudah mati!" Kala Srenggi datar.

"Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!" Empu

Danuraga gusar merasa dipermainkan.

"Siapa yang main-main? Dia sudah mati setelah

menurunkan 'Aji Racun Merah' padaku!"

"Jadi... kau muridnya?"

"Kalau benar, kau mau apa?"

"Setan busuk!" dengus Empu Danuraga geram.

"Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah

mati! Huh, sia-sia semua yang kulakukan selama



sepuluh tahun!"

Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak

mengerti kenapa Empu Danuraga seperti menyesali

kematian Setan Racun Merah. Adakah hubungan

istimewa antara dua orang itu?

"Di mana dia dikuburkan?" tanya Empu

Danuraga lagi.

"Untuk apa kau ketahui?" balas Kala Srenggi.

"Aku harus tahu kuburnya!"

"Tidak seorang pun boleh tahu!"

"Setan alas!" geram Empu Danuraga. Kala

Srenggi terkejut setengah mati melihat perubahan

paras Empu Danuraga. Seluruh wajah kakek itu

mendadak menjadi hitam legam bagai arang. Tanpa

disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang

Geni'. Satu ajian yang sangat dahsyat dan sulit

dicari tandingannya.

Tiba-liba saja Kala Srenggi teringat pesan Setan

Merah sebelum menghembuskan napasnya yang

terakhir. Dia harus menghindari bentrokan dengan

Empu Danuraga. Lebih-lebih jika kakek ini sudah

mengerahkan 'Aji Klabang Geni’. Tidak mungkin

Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan

'Aji Racun Merah' sekalipup.

"Baiklah!" gumam Kala Srenggi sambil menarik

kembali ajiannya itu. "Kuburan Setan Racun Merah

ada di puncak Gunung Cupul"

Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu

membalikkan tubuhnya. Wajahnya kembali seperti

biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun tidak

mengurangj ketajamannya.


"Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau

menanyakan kuburannya?" tanya Kala Srenggi ingin

tahu.

"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" sahut

Empu Danuraga datar.

"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun

Merah?"

"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh.

"Apakah kau akan membela gurumu?"

"Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah

punya urusan."

"Kau akan tahu nanti, Kala Srenggi!"

"Hey...!"

Empu Danuraga mencelat bagai kilat. Sekejap

saja tubuh Empu Danuraga lenyap dari pandangan

mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski

dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.

"Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi.

Persoalan kita belum selesai!" tiba-tiba suara Empu

Danuraga bergema.

Kala Srenggi terkejut. Dia tahu itu suara Empu

Danuraga. Suara yang dihembuskan dengan jelas

tanpa diketahui ujudnya. Sungguh suatu ilmu yang

hebat. Lama juga Kala Srenggi mematung. Kata-

kata Empu Danuraga tidak bisa dianggap main-

main. Entah kapan, pasti dia akan mencari dan

menuntut balas atas kematian cucunya.

"Hhhh...!" Kala Srenggi menarik napas panjang.

Terselip rasa sesal membiarkan seorang murid

Padepokan Banyu Larang lolos. Sebenarnya bisa

saja dikejar, tapi Kala Srenggi terlalu sibuk


menghadapi ketua Padepokan itu. Tentu orang

yang lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga

tentang peristiwa di Banyu Larang.

Kala Srenggi rnenghembuskan napasnya dalam

dalam. Sudah kepalang basah, pesan Setan Racun

Merah terpaksa dilanggarnya. Toh ini bukan

kesengajaan. Jika pada akhirnya harus bentrok

dengan Empu Danuraga, dengan terpaksa harus

dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak

mampu mengalahkan Empu Danuraga. Apalagi

dirinya?

Kala Srenggi dengan sigap melompat ke

punggung kudanya. Segera kuda itu melesat setelah

Kala Srenggi menggepraknya. Debu-debu

beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan

terbang itu.

***

Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh

Giring, Kala Srenggi menghentikan kudanya. Seperti

ingin memamerkan ilmu ringan tubuhnya, dia

melompat dengan indah dari punggung kuda.

Dengan langkah tegap dan pandangan Jurus ke

depan, dia memasuki kedai itu.

Matanya langsung tertuju pada Saka Lintang

dan tiga orang laki-laki berwajah kasar. Mereka

duduk menghadapi meja yang penuh dengan

makanan. Kala Srenggi segera menghampiri dan

duduk di antara mereka. Ketiga laki-laki yang

bersama Saka Lintang adalah pengawal pribadi


gadis ini. Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai

Baja.

"Kau terlambat, Kala Srenggi," kata Saka

Lintang, Kembang Lembah Tengkorak. Suaranya

datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya pun

tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.

"Ada hambatan kecil," sahut Kala Srenggi sambil

menuang arak ke dalam gelas bambu.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu

laporanmu!" masih datar suara Saka Lintang.

"Gagal," pelan suara Kala Srenggi.

Brak!

Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar

yang digebraknya bergetar dan pecah jadi dua.

Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya,

beran-takan bersamaan dengan tergulingnya meja

itu. Tiga laki-laki yang duduk di depan Saka Lintang

melompat.

Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar

ketakutan. Bagi pengunjung yang bernyali besar,

tetap duduk tenang di meja masing-masing.

"Semua bukan salah ku, tapi ini!" Kala Srenggi

sengit. Dijambretnya kalung berkepala tengkorak

yang melilit lehernya.

Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala

Srenggi, pengunjung kedai yang masih bertahan,

segera ambil langkah seribu. Mereka tidak ingin

berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak.

Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji

Tengkorak.

"Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang


Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke

benteng Kadipaten. Pekerjaan itu memang mudah,

tapi dengan benda ini apa jadi gampang? Mereka

semua kenal tanda ini, Lintang!" Kala Srenggi

mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Lihat!

Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"

Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya

keseluruh ruangan yang kini sepi. Matanya

tertumbuk pada salah satu meja di sudut. Ternyata

masih ada beberapa orang yang masih bertahan di

kedai ini. Ada lima orang yang masih duduk

melingkari meja. Mereka seperti tak peduli dengan

keadaan kedai.

"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" kata

Saka Lintang Matanya masih menatap ke arah

sudut ruangan.

"Di mana Geti Ireng?" tanya Kala Srenggi.

"Di penginapan Mawar Jingga."

Kala Srenggi memakai kembali kalungnya,

kemudian melangkah ke luar kedai. Penginapan

Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh

Giring dengan dukuh Merang. Geti Ireng selalu

menggunakan penginapan itu jika ke luar dari

Lembah Tengkorak.

Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali lagi

dan berdiri di depan pintu. Mukanya merah padam

seperti menahan marah.

"Ada apa?" tanya Saka Lintang. Kala Srenggi tak

menyahut. Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah

Saka Lintang. Dengan tangkas gadis itu

menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar


daun lontar yang diikat dengan pita merah.

Saka Lintang mendelik setelah mengetahui

isinya. Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat,

"Kalian anggota Panji Tengkorak, hams mampus di

tangan kami!" Saka Lintang segera menatap kelima

orang yang masih acuh di sudut.

"Kurang ajar!" desis Saka Lintang seraya

meremas daun lontar hingga remuk.

Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan

pandangannya ke sudut. Kala Srenggi juga menatap

ke arah yang sama. Tiba-tiba tatapannya terganggu

oleh suara desis kuda yang ada di luar. Betapa

terkejutnya Kala Srenggi ketika melihat kudanya

telah mati. Dan yang paling membuatnya geram

adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh

ruyung yang menancap di leher. Ruyung itu kecil,

tapi sanggup membunuh kuda tanpa menimbulkan

suara sedikit pun.

"Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang

membereskan tikus-tikus ini!" sem Saka Lintang.

'Tidak!" dengus Kala Srenggi gusar. "Nyawa

kudaku harus ditebus dengan seribu nyawa!"

Kala Srenggi menatap Saka Lintang. Gadis itu

memperhatikan myung pembunuh kuda yang masih

di genggaman tangannya. Dia tadi tak melihat

bercak darah yang masih baru pada ruyung itu. Tak

disangka benda sekecil Ini bisa menewaskan seekor

kuda.

Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri.

Mereka segera menuju ke pintu keluar tanpa

mempedulikan empat orang yang dilanda geram.


Langkah kelima orang-itu terhenti ketika Tiga

Serangkai Rantai Baja melompat menghadang.

"Maaf, kami mau keluar," kata salah seorang

dengan sopan.

"Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama

dan dari mana asal kalian!" dengus salah seorang

dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang bernama

Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja

dan Wratbaja.

"Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan

keempat adikku bernama, Baga Pari, Tatra Pari,

Kanta Pari, dan Dadap Pari," sahut Langlang Pari

memperkenalkan yang lainnya. Mereka lima

bersaudara.

Kala Srenggi segera melompat ke depan.

Wajahnya makin merah membara. Matanya menyala-

nyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan

amarah. Tidak salah lagi, lima orang yang berada di

depannya kini adalah Lima Pari Emas. Andalan

mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang

sangat kecil. Biasanya ruyung itu mengandung

racun yang mematikan. Pantas saja kalau kudanya

mati seketika tanpa menimbulkan suara.

Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja yang

menjadi andalan mereka berlima. Mereka juga ahli

ilmu pedang, di samping aji-aji kesaktian lainnya yang

tidak bisa dianggap remeh.

"Kalian harus bayar nyawa kudaku!" geram Kala

Srenggi.

"Berapa harga kudamu?" tanya Langlang Pari

acuh.


"Setan! Nyawa kalian berlima belum cukup

mengganti kudaku!"

"Apakah kudamu lebih berharga dari nyawamu

sendiri?"

Kala Srenggi tidak dapat lagi menahan

amarahnya. Segera dicabutnya pedang kembarnya.

Sret!

"Keluarkan senjata kalian!" bentak Kala Srenggi

lalu membuka jurus 'Pedang Kembar'.

Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah siap

dengan. senjata masing-masing, berupa rantai baja

murni berkepala bola berduri. Mereka berlompatan

mengurung Lima Pari Emas. Hanya Saka Lintang

saja yang tetap tenang berada di tempatnya.

Matanya malah mengamati ruyung di tangannya.

"Mampus kau!" bentak Kala Srenggi seraya

menyerang Langlang Pari dengan jurus 'Pedang

Kembar'.

Langlang Pari berkelit menghindari serangan

dahsyat itu. Bersamaan dengan itu, Tiga Serangkai

Rantai Baja pun telah menyerang tiga dari Lima Pari

Emas.

Pertempuran satu lawan satu berlangsung sengit

di dalam kedai. Dalam sekejap saja keadaan kedai

menjadi berantakan. Masing-masing menggunakan

jurus andalan dan berusaha menjatuhkan lawan

secepatnya. Tetapi mereka semua adalah tokoh-

tokoh yang punya nama dalam rimba persilatan.

Yang terlihat kini hanya bayang- bayang yang

berkelebat ke setiap arah.

Saka Lintang yang tengah mengamati ruyung



kecil tiba-tiba terkejut. Dia merasakan sambaran

angin melesat ke arahnya. Dengan sigap gadis ini

melenting ke udara sehingga desiran angin hanya

lewat di bawah kakinya. Ternyata desiran itu

berasal dari sebuah ruyung yang dilepaskan oleh

Tatra Pari yang belum kebagian lawan.

"Pengecut!" dengus Saka Lintang geram. Secepat

kilat ruyung yang berada di tangannya dilemparkan

ke arah Tatra Pari. Dengan sigap pula Tatra Pari

menangkap kembali ruyung yang meluncur deras itu

dengan jari dan memasukkannya ke dalam jubah.

Tatra Pari segera melesat menerjang Saka Lintang.

Rupanya Tatra Pari tidak main-main lagi. Dia pun

melompat sambil mencabut pedang yang menempel

di punggungnya. Pedang terhunus itu telah

mengarah ke arah Saka Lintang, tiba-tiba.... Tring!

Betapa terkejutnya Tatra Pari ketika merasakan

pedangnya membentur benteng baja yang kokoh.

Tangannya terasa kesemutan. Didaratkan kakinya

ke tanah. Tanpa diketahui dari mana datangnya,

tiba-tiba di depan Saka Lintang telah berdiri

seorang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning.

"Biar aku yang memberi pelajaran pada bocah

telengas ini, Saka Lintang," kata laki-laki gemuk

berkepala gundul yang tak lain Pendeta Murtad

dari Selatan.

Saka Lintang hanya mengangguk. Sebagai putri

Ketua Panji Tengkorak, dia harus bisa bersikap

sebagai pemimpin yang dapat menunjukkan

kewibawaan diri agar disegani lawan maupun

kawan.


"Hm, rupanya Pendeta Murtad dari Selatan

sudah jadi anjing Geti Ireng," dengus Tatra Pari

bergumam.

"Jangan banyak omong, bocah setan! Keluarkan

seluruh kesaktianmu!" balas Pendeta itu yang

mempunyai nama asli, Pradya Dagma.

"Menghadapimu cukup dengan ini!" kata Tatra

Pari sambil mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan

tangan kanannya memasukkan pedang ke dalam

sarungnya di punggung.

"Sombong! Jangan katakan aku kejam membunuh

tanpa senjata!" geram Pradya Dagma merasa

terhina.

"Silakan." '

***


ENAM


Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari

Selatan mengebutkan tasbih mutiaranya. Setiap

kebutan menimbulkan suara mendem bagai angin

topan. Tatra Pari yang sudah merasakan sabetan

tasbih mutiara itu tak sungkan-sungkan lagi.

Dicabut pedangnya kembali, lalu diserangnya lawan

ke bagian-bagian yang mematikan.

Namun pendeta cebol itu dengan gesit dapat

menghindar dari sabetan dan tusukan pedang

lawannya. Bahkan dibalasnya serangan-serangan

Tatra Pari dengan tasbih mutiaranya. Dalam waktu

singkat mereka telah melampaui sepuluh jurus.

Sementara itu pertarungan lain masih terus ber-

langsung sengit. Pertarungan antara Kala Srenggi

dengan Langlang Pari telah berlangsung di luar

kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan

Baga Pari yang bertarung melawan Tiga Serangkai

Rantai Baja.

"Jangan lari, Pendeta Murtad!" seru Tatra Pari

melihat Pradya Dagma melompat menembus atap

kedai.

Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai

mereka kembali bertarung. Saka Lintang yang kini

sudah berada di luar kedai, mengawasi pertarungan

tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir

melihat salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai

Baja terpojok melawan Baga Pari.

Hingga tiba-tiba:... "Crab!"

Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah


muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu

dari Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara

sedikit pun, orang itu ambruk tidak bergerak lagi

Baga Pari berdiri tegang dengan pedang

tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung mata

pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat

Tatra Pari bertempur melawan pendeta cebol itu,

hatinya terkesiap. Pendeta Murtad dari Selatan

bukan tandingan Tatra Pari. Kecuali jika mereka

berlima bersama-sama menghadapi pendeta itu.

Namun sebagai pendekar sejati, Baga Pari tidak

mau berlaku curang Dia hanya memperhatikan saja

setiap gerakan lawan. Bibirnya tersungging melihat

saudaranya masih mampu menandingi pendeta cebol

itu.

"Aaaakh...!"

Tiba-tiba terdengar jerit melengking disusul

ambruknya seorang lagi dari Tiga Serangkai Rantai

Baja yang melawan Dadap Pari. Dari dadanya yang

koyak, menyembur darah segar. Dadap Pari

melompat menghampiri saudaranya yang lebih dulu

menyelesaikan pertarungannya. Mereka berdiri

berdampingan dengan dada bergerak turun naik

Pedang berlumuran darah masih tergenggam.

Dilihat dari tingkatannya, memang Lima Pari

Emas bukanlah tandingan Tiga Serangkai Rantai

Baja. Tidak sampai sepuluh jurus, dua dari Tiga

Serangkai itu telah tewas. Dan kini....

"Mampus!"

"Akh!"

Kanta Pari segera melompat mendekati dua


saudaranya setelah menyelesaikan pertarungannya.

Tuntas sudah Tiga Serangkai Rantai Baja! Kini

hanya Langlang Pari yang berhadapan dengan Kala

Srenggi, dan Tatra Pari yang bertarung di atas atap

melawan Pendeta Murtad dari Selatan.

Pertarungan mereka telah sampai pada tingkat

yang paling genting. Langlang Pari telah

mengeluarkan jurus Jurus andalannya. Kala Srenggi

tak kalah dengan mengeluarkan jurus 'Pedang

Kembar' nya. Tubuh mereka telah tergulung oleh

sinar pedang sehingga seperti tak nampak lagi.

Tiba-tiba Kala Srenggi mencelat ke atas. Setelah

bersalto tiga kali di udara, dijejakkan kakinya di

tanah sejauh dua tombak. Dengan sigap tangannya

memasukkan pedang kembar ke dalam sarungnya.

Segera dinaikkan tangannya ke atas, lalu turun per-

lahan-lahan, dan berhenrj sejajar di ketiak.

"Racun Merah...," desis Langlang Pari.

Tiga saudara Langlang Pari yang tengah

memperhatikan, terkejut melihat Kala Srenggi

mengeluarkan jurus 'Aji Racun Merah'. Langlang

Pari segera memasukkan pedangnya. Bergegas

dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan

dada. Sesaat kemudian tubuhnya telah menggigil

seperti orang kedinginan.

Langlang Pari mengeluarkan aji pamungkasnya.

Suatu ajian yang jarang dikeluarkan kecuali

terpaksa. Melihat Kala Srenggi mengeluarkan 'Aji

Racun Merah'nya, tiga dari Lima Pari Emas segera

berpegangan tangan. Ujung pedang mereka

satukan, lalu diarahkan ke Langlang Pari.


Dari ujung pedang yang menyatu, keluar cahaya

kuning keemasan. Cahaya itu segera menerpa

Langlang Pari. Tiba-tiba tubuh Langlang Pari

bergetar, dan secara perlahan-lahan bembah

menjadi keemasan. Setelah tubuh Langlang Pari

bembah warna, segera tiga saudaranya itu

menurunkan pedangnya.

Bukan hanya Kala Srenggi yang terkejut. Saka

Lintang pun terkesiap melihat ilmu yang

djkeluarkan Lima Pari Emas. Sementara itu telapak

tangan Kala Srenggi juga telah bembah merah.

Disalurkan seluruh tenaga dalamnya setelah dia

tahu kalau lawan mengerahkan 'Ajian Pari Emas'

yang sangat dahsyat.

Kejadian itu tak luput dari perhatian Pradya

Dagma dan Tatra Pari sehingga pertarungan

mereka terhenti dengan seketika. Pradya Dagma

segera meleompat tumn dan mendarat di samping

Saka Lintang. Sementara Tatra Pari telah berdiri di

antara saudara-saudaranya.

"Hiyaaa...!"

Dengan satu teriakan melengking, Kala Srenggi

melompat bagai kilat menyambar menerjang'

Langlang Pari. Bersamaan dengan itu Langlang Pari

pun tak kalah gesitnya. Tubuhnya melompat

menerjang. Dalam sekejap mereka bertemu di

udara.

Ledakan dahsyat pun terjadi ketika dua telapak

tangan mereka bertemu. Tubuh Kala Srenggi

terlontar ke belakang dengan keras. Dia lalu

dengan cepat bangkit. Lain halnya dengan Langlang


Pari. Tubuhnya hanya terdorong-sedikit, dan

dengan mulus kakinya terjejak di tanah.

"Edan!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya

masih segar bugar.

"Keluarkan seluruh kesaktianmu, Kala Srenggi!"

ejek Langlang Pari.

Mendengar hal itu, muka Kala Srenggi merah

padam. Ilmu andalannya ternyata tidak berarti apa-

apa bagi Langlang Pari. Bahkan hampir saja dirinya

sendiri yang roboh. Baru kali ini ditemukan lawan

yang begitu tangguh dan mampu menandingi 'Aji

Racun Merah' yang sangat dibangga-banggakannya.

"Kala Srenggi, mundur!" bentak Pradya Dagma

tiba-tiba.

Kala Srenggi yang kembali bersiap-siap akan

menyerang lagi, menoleh kepada pendeta cebol yang

telah melangkah ke depan.

"Ajianmu tak dapat menandingi 'Pari Emas',"

kata Pradya Dagma hati-hati agar tidak

menyinggung perasaan Kala Srenggi

"Huh!" Kala Srenggi mendengus sengit

"Aku datang untuk memanggilmu, Kala Srenggi.

Geti Ireng ingin bertemu dengan kau," kata pendeta

cebol itu lagi.

"Aku selesaikan dulu setan keparat ini!" dengus

Kala Srenggi.

"Tidak ada waktu. Kau bisa celaka mengabaikan

perintah Geti Ireng!"

Sambil bersungut-sungut, Kala Srenggi mundur

dua tindak. Tanpa bicara lagi, dia langsung

melompat ke atas kuda entah milik siapa. Yang jelas


Kala Srenggi segera memacu kuda itu meninggalkan

tempat itu.

'Pari Emas, di antara kita belum pernah punya

urusan. Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya

Pradya Dagma setelah Kala Srenggi tidak terlihat

lagi.

"Lima Pari Emas selalu punya urusan dengan

kejahatan. Siapa pun orangnya, berarti musuh

kami!" lantang suara Langlang Pari menyahut.

"Hm..., kau cari perkara dengan Panji

Tengkorak!" gumam Pradya Dagma.

"Pari Emas memang ingin membasmi Panji

Tengkorak!"

"Setan kutul! Kau tahu siapa Panji Tengkorak!"

panas telinga Saka Lintang.

'Tak peduli siapa, yang jelas Panji Tengkorak

harus lenyap dari muka bumi!" tegas suara Langlang

Pari.

"Setan alas! Mulutmu harus dibungkam!" dengus

Pradya Dagma.

"Aku ingin memotong lidahmu yang busuk!" ejek

Tatra Pari yang masih penasaran.

"Jaga seranganku, bocah-bocah edan!" geram

Pradya Dagma.

Setelah berkata demlkian, pendeta cebol itu

segera menyerang Lima Pari Emas sekaligus. Dia tak

sungkan-sungkan lag! mengeluarkan jurus-jurus

andalannya. Lima Pari Emas harus hati-hati

menghadapi Pendeta Murtad inl. Dengan segera

mereka menggunakan jurus 'Barlsan Dewa Pari'

yang mengandaikan kekompakan dan kerja sama


yang balk.

Pradya Dagma diserang dari lima penjuru dengan

arah yang mematikan. Serangan datang bagai

gelombang laut, silih berganti tanpa hentl. Sungguh

hebat jurus 'Barisan Dewa Pari'. Satu serangan

belum tuntas, sudah disusul dengan serangan lain.

Begitu seterusnya.

Pendeta cebol itu terlihat kewalahan

menghadapi serangan yang saling susul menyusul

itu. Beberapa kali dia harus jatuh bangun

menghindari serangan yang beruntun. Keringat

membasahi wajah dan tubuhnya. Tidak ada

kesempatan untuk ke luar dari kepungan yang rapat

itu. Seakan-akan setiap celah telah tertutup rapat.

Hati pendeta cebol itu mulai getir.

Dalam waktu yang tidak lama, dua puluh jurus

berlalu. Namun demikian Pradya Dagma belum bisa

menyentuh lawannya. Bahkan selalu saja datang

se¬rangan dari arah lain. Pradya Dagma benar-

benar ke¬walahan. Dia kuras seluruh tenaga dan

kepandaiannya. Kini digunakannya jurus 'Tasbih

Sakti Memecah Gunung'.

Ternyata jurus itu juga tidak menolong banyak

Semua serangan Pradya Dagma patah sebelum

mencapai tujuan. Dia segera menggantinya dengan

jurus andalan lain yang lebih dahsyat. Tetapi juga

tidak berarti apa-apa. Pradya Dagma hampir putus

asa. Lima Pari Emas seakan-akan dapat mengetahui

kelemahan jurus-jurusnya.

"Setan! Ilmu apa yang mereka gunakan!" rungut

Pradya Dagma dalam hati.


Di tengah keputusasaan Pradya Dagma, tiba-tiba

saja serangan-serangan Lima Pari Emas mendadak

ngawur. Hal ini membuat pendeta cebol itu

keheranan. Matanya sempat melirik Saka Lintang.

Gadis itu juga tengah keheranan tak mengerti.

Rasa heran juga menghinggapi Lima Pari Emas.

Setiap gerakan yang dilancarkan ke arah Pradya

Dagma, seperti terhalang oleh benteng kokoh yang

tidak teriihat.

"Mundur!" teriak Langlang Pari tiba-tiba.

Seketika Lima Pari Emas berlompatan mundur.

Pedang mereka tetap melintang di depan dada

dengan kedua kaki tetap kokoh menjejak tanah.

Pradya Dagma tiba-tiba terkejut melihat seorang

anak muda telah berdiri di sampingnya.

Anak muda itu mengenakan baju tanpa lengan

dengan baglan dada terbuka. Rambutnya yang

panjang diikat ke belakang. Sebuah pedang

bertengger di punggungnya. Celananya hanya

sebatas lutut. Kumal sekali keadaannya, namun

berwajah tampan dan kulit putih bagai pualam.

Pemuda itu adalah Rangga yang telah

menyelesaikan semedinya di Gunung Kapur. Hati

Rangga merasa tidak tega melihat laki-laki tua

dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak

tahu kalau laki-laki tua itu adalah seorang tokoh

dari golongan hitam. Hati Rangga. yang masih polos

belum bisa membedakan mana kawan dan mana

lawan.

"Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?"

tanya Rangga dengan sopan dan lembut.


"Mereka ingin membunuhku!" sahut Pradya

Dagma. Sekejap saja dia mampu mengukur

kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi

akal licik, segera memanfaatkan kehadiran Rangga

yang polos itu. .

"Apa salah kakek?" tanya Rangga tidak menyadari

kalau dirinya diperalat

"Mereka ingin mengambit putriku!"

Pandangan Rangga segera terarah pada Saka

Lintang yang berdiri agak jauh. Harinya tergetar

ketika melihat gadis itu. Saka Lintang yang

mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam

hati. Sudah dapat ditebak maksud Pradya Dagma.

Diam-diam hatinya tergetar juga melihat

ketampanan Rangga.

"Sebaiknya kakek pulang saja, biar saya urus

orang-orang jahat Ini," kata Rangga.

'Terima kasih, tapi ini urusanku. Biar

kuselesaikan sendiri," Pradya Dagma pura-pura.

"Anak muda! Minggir! Aku tidak ada urusan

denganmu!" bentak Langlang Pari geram.

"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kekejaman

dan kejahatan berlangsung di depan mataku!' sahut

Rangga kalem.

"Siapa yang jahat, siapa yang kejam?" dengus

Langlang Pari gusar. Dia sudah dapat menebak akal

bulus Pradya Dagma.

Rangga menatap lurus pada Langlang Pari dan

adik-adiknya. Kemudian ditatapnya pendeta cebol

yang masih berdiri di sampingnya.

"Saka Lintang, cepat pulang. Nanti ayah



menyusul!" kata Pradya Dagma meneruskan

sandiwaranya. Dia tidak ingin kedoknya terbongkar.

Baginya ini kesempatan untuk dapat meloloskan diri

dari Lima Pari Emas. Bagaimanapun dia sadar tidak

akan mampu menghadapi Lima Pari Emas sekaligus.

"Baik, Ayah!" sahut Saka Lintang segera

melompat ke atas kudanya.

Rangga kagum melihat ketangkasan gadis itu dari

caranya melompat dan melarikan kudanya dengan

cepat.

Saka Lintang tahu kalau perintah itu hanya

siasat saja, makanya dia menuruti saja perintah itu.

Dan lagi dia memang tahu kalau pendeta cebol

tidak sanggup lagi melawan Lima Pari Emas.

Perintah itu juga bisa jadi suatu tanda kalau dia

harus segera melapor pada ayahnya, Geti Ireng.

"Pendeta licik, hadapi aku!" geram Langlang Pari.

Dia sudah bisa membaca maksud yang terkandung

di benak Pradya Dagma.

"Anak muda, jangan terpancing dengan

kelicikannya! Dia Pendeta Murtad dari Selatan"

seru Dadap Pari. Matanya yang jeli bisa melihat

kalau Rangga belum mengerti tentang rimba

persilatan.

"Ah, Anak Muda. Saya mohon diri. Terima kasih,

telah menolongku," kata Pradya Dagma terburu-

buru.

Rangga belum sempat mengeluarkan sepatah

kata pun, tetapi Pradya Dagma telah melompat ke

punggung kuda dan langsung menggepraknya. Kuda

tinggi besar itu meluncur cepat. Sebentar saja



sudah jauh meninggalkan tempat itu.

"Setan ! Licik!" umpat Langlang Pari kesal. "Anak

Muda, siapa kau sebenarnya? Kenapa membantu

Pendeta Murtad itu?" tanya Dadap Pari yang lebih

besar dari lainnya.

"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan

diri. "Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung

di depan hidungku!"

Dadap Pari tersenyum mendengar kata-kata

polos itu. Dia memasukkan pedang ke dalam

sarungnya. Dihampirinya Rangga yang tetap berdiri

di tempatnya. Senyum masih terkembang di bibir

Dadap Pari. Dia bisa maklum kalau anak muda ini

masih hijau dalam dunia persilataa

Rangga mengernyitkan alisnya. Dia tidak

mengerti kenapa orang yang semula dikira jahat

justru berkata lemah lembut dan tidak

menunjukkan permusuhan. Bahkan mereka semua

memasukkan pedangnya kembali. Apakah salah

penilaiannya?

"Kami lima bersaudara dengan julukan Lima Pari

Emas. Kami berasal dari Gunung Cupu. Sedangkan

pendeta gundul itu bergelar Pendeta Murtad dari

Selatan. Sudah lama dia kami cari untuk kami

hentikan sepak terjangnya yang tidak

berperikemanusiaan," kata Dadap Pari menjelaskan.

Rangga menatap lima orang yang berdiri di

depan-nya satu persatu. Seakan-akan ingin

memastikan kalau dia tadi salah menilai. Julukan

Pendeta Murtad dari Selatan pernah dibacanya

dari salah satu buku yang di goa Lembah Bangkai


Nama itu tercantum berikut nama-nama lain yang

termasuk dalam golongan hitam.

Tetapi Rangga belum yakin. Sebab nama Pendeta

Murtad dari Selatan sudah lenyap di tangan

Pendekar Rajawali Sakti seratus tahun yang lalu.

Apakah orang tua gundul cebol itu muridnya yang

kini malang melintang di rimba persilatan dengan

nama yang sama?

"Dadap Pari, sebaiknya kita bicara di tempat lain

saja !" usul Langlang Pari

Dadap Pari mengangguk. Dia mengerti maksud

saudaranya. Sebentar lagi tentu kelompok Panji

Tengkorak akan datang. Tanpa banyak bicara, Lima

Pari Emas berlompatan ke atas punggung kuda

masing-masing.

"Ayo, Rangga! Kita pergi dari sini," ajak Dadap

Pari.

"Terima kasih!" sahut Rangga.

Ketika Dadap Pari akan membuka mulutnya,

Rangga telah lebih dulu mencelat dan lenyap

seketika dari pandangannya. Begitu cepatnya

sehingga Lima Pari Emas terkesiap. Ke mana

Rangga pergi?

***


TUJUH


Senja telah merayap menjadi malam. Udara

dingin. Angin berhembus agak kencang. Dinginnya

udara malam menjadi tak terasa di dalam sebuah

ruangan yang terang benderang oleh cahaya obor.

Sebuah kedai makan yang telah penuh oleh orang-

orang dari berbagai golongan masing-masing di

mejanya.

Di salah satu sudut yang remang-remang, duduk

Rangga menghadapi meja kecil. Hanya ada sebuah

guci arak di atas mejanya. Matanya selalu

mengawasi orang-orang yang ke luar masuk kedai

makan ini. Di kedai ini pun menyediakan kamar-

kamar untuk menginap.

Mata Rangga tertumbuk pada salah satu meja

yang jauh di depannya. Tampak Saka Lintang duduk

dikelilingi empat orang laki-laki. Rangga sama sekali

tak tahu kalau keempat laki-laki itu dari golongan

hitam. Mereka adalah Kalingga, atau berjuluk

Kakek Merah Bermata Elang. Duduk di sampingnya

adalah Kala Srenggi. Di samping kanan Saka

Lintang duduk seorang wanita dengan dandanan

menor, persis badut. Wanita itu dijuluki Dewi

Asmara Dara. Sebenarnya wanita ini cantik.

Tubuhnya pun menggiurkan. Karena dandanannya

yang berlebihan maka wanita ini jadi kurang

simpatik. Kemudian yang seorang lagi wanita tua.

Rambutnya yang putih digulung ke atas. Sebagian

rambutnya dibiarkan jatuh menjuntai. Walau

kulitnya telah keriput, tapi sorot matanya masih


menyimpan ketegaran. Dia dijuluki Dewi,

Jerangkong, karena tubuhnya yang kurus kering

bagai tulang berbalut kulit.

Keadaan kedai tenang. Semua orang menikmati

hidangan sambil bersenda gurau. Namun

ketenangan itu tiba-tiba lenyap, ketika seorang laki-

laki tersuruk-suruk masuk dengan tubuh

berlumuran darah. Laki-laki itu menghampiri meja

Saka Lintang.

"Hey! Ada apa?" pekik Saka Lintang kaget.

'Teratai Putih...," laki-laki itu tidak meneruskan

kalimatnya. Dia telah ambruk tak bernyawa.

Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari

pintu bermunculan orang-orang berpakaian serba

putih dengan suiaman bunga teratai di dada.

Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap

ruangan ini. Jumlah mereka semua tak lebih dari

dua puluh orang.

Beberapa pengunjung segera berhamburan

keluar menyeiamatkan diri. Keadaan di kedai makan

kian bembah panas dan tegang. Saka Lintang segera

berdiri diikuri yang lainnya.

"Kalian datang langsung membuat onar. Apa

maksud kalian?" dingin suara Saka Lintang. Matanya

menatap tajam pada orang yang berdiri paling

depan.

"Kami ingin menuntut balas atas kematian

saudara-saudara kami!" sahut laki-laki yang berdiri

paling depan.

'Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang

datang ke sini?!" dengus Dewi Asmara Dara.


"Guruku terlalu suci berhadapan denganmu,

perempuan liar!" sahut Pragola sinis.

Merah padam muka Dewi Asmara Dara. Bukan

rahasia lagi kalau antara dia dengan Begawan

Pasopati pernah terjadi hubungan asmara sekian

puluh tahun yang lalu, waktu mereka masih remaja.

Sekarang mereka bermusuhan. Dewi Asmara Dara

yang dahulu bemama Sutiragen memang bukan gadis

baik-baik.

Dalam usia yang masih belia, Sutiragen telah

berpengalaman menghadapi laki-laki. Tentu saja

Pasopati kecewa setelah mengetahui kelakuan

Sutiragen. Pasopati sendiri telah kalap membunuh

orang tua Sutiragen karena merasa ditipu. Kedua

orang tua Sutiragen telah menjebaknya untuk

menikahi Sutiragen yang kedapatan telah

mengandung.

Dari peristiwa itulah bibit permusuhan tumbuh

subur. Mereka telah bersumpah akan membabat

habis semua keturunan masing-masing. Oleh sebab

itulah mereka tidak menikah lagi sampai sekarang.

Sutiragen sendiri makin liar, terlebih setelah dia

mendapat gemblengan dari seorang pertapa tua

yang sakti. Mungkin otaknya memang telah dirasuki

iblis, Sutiragen yang semula berjanji akan hidup

baik- baik, telah membunuh pertapa itu dengan licik

setelah dia menguasai seluruh ilmunya.

"Bocah sombong! Kau tahu, dengan siapa kau

berhadapan!" geram Dewi Asmara Dara.

"Nenek-nenek tak tahu diri yang merasa masih

muda!" ejek Pragola.


Dewi Asmara Dara tidak dapat lagi menguasai

amarahnya yang memuncak sampai ke ubun-ubun.

Dengan sigap dia melompat dan menerjang Pragola.

Anak muda itu berkelit sedikit, bahkan

melayangkan kakinya ke perut Dewi Asmara Dara.

"Monyet jelek!" rungut Dewi Asmara Dara sambil

melentingkan tubuhnya menghindari tendangan

lanjutan Pragola. Amarah yang meluap membuat

Dewi Asmara Dara jadi lengah.

Meskipun masih muda, Pragola tidak dapat

dianggap enteng. Ilmunya sudah hampir menyamai

gurunya sendiri. Dia memang masih memerlukan

waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya.

Jurus-jurus Pragola sangat dahsyat dan sulit

diterka arahnya, membuat lawan harus hati-hati

mengha-dapinya.

Lawan yang dihadapi Pragpla pun bukan tokoh

sembarangan. Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang

sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan.

Pragola tahu siapa Dewi Asmara Dara. Oleh karena

itu, dilayaninya lawan dengan tenang dan penuh

perhitungan.

"Awas kepalamu!" teriak Dewi Asmara Dara.

Pragola tak mempedulikan peringatan lawannya.

Tangannya yang dialiri tenaga dalam ditebaskan ke

arah perut lawan. Dan memang benar, teriakan tadi

hanya tipuan belaka. Justru sasaran sebenarnya

adalah perut.

"Ih!" Dewi Asmara Dara terperanjat, cepat-

cepat ditarik tangannya.

Sungguh tak disangka kalau Pragola mengetahui


gerak silatnya, sehingga dapat ditebak arah mana

yang dituju. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba

Pragola menyerang secara beruntun. Wanita ini

makin terkesiap. Dengan cepat dilentingkan

tubuhnya mundur satu tombak.

"Kalau takut, sebaiknya kau menyingkir!" ejek

Pragola.

"Suruh si Pasopati ke sini! Biar dia tahu

bagaimana mengajar muridnya yang ceriwis!" geram

Dewi Asmara Dara atau Sutiragen ini.

"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Aku

masih sanggup membeset mulutmu!" dengus Pragola

tidak senang gurunya dihina.

"Bocah setan! Terima seranganku!" teriak

Sutiragen geram. Wuuut!

Dengan kecepatan yang luar biasa, Sutiragen

mengeluarkan senjatanya yang berupa selendang

berwarna merah darah. Ujung selendang itu segera

meluncur rneliuk-liuk bagai ular naga ke arah

Pragola. Ke mana Pragola menghindar, pasti

selendang itu mengejar.

Sungguh luar biasa selendang itu. Meja, kursi,

dan barang-barang di sekitar situ hancur

berantakan terkena sambarannya. Dewi Asmara

Dara memainkan jari-jari tangannya dengan lincah

membuat selendang itu seperti mempunyai nyawa.

Pragola terlihat kewalahan menghadapi serangan

Dewi Asmara Dara kali ini. Dia hanya bisa

menghindar dan bersalto tanpa mampu mengirimkan

serangan balasan.

"Perhatikan jari tangannya, gunakan senjata, cari


bagian tengah!"

Pragola terkejut mendengar bisikan di

telinganya. Dia tak mau berpikir panjang. Siapa pun

orangnya, pasti ingin mem bantu. Pragola segera

meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang.

Sret!

Kali ini dihiraukan ujung selendang yang

mengincar tubuhnya. Matanya menatap jari-jari

tangan Dewi Asmara Dara. Benar! Arah selendang

dapat diketahuinya dari jari-jari tangan yang

bergerak lincah. Dengan mudah Pragola dapat

menghindari ujung selendang tanpa melihatnya.

Bahkan pedangnya beberapa kali hampir menebas

selendang itu. Tapi sepertinya dia menebas

sebongkah batu cadas yang sangat keras.

"Jangan buang tenaga! Pusatkan perhatian pada

titik tengah!"

Terdengar lagi bisikan di telinga Pragola. Bisikan

itu membuatnya bingUng. Dia tidak tahu titik

tengah mana yang dimaksud. Pragola tidak lagi

membabatkan pedangnya pada selendang merah

yang masih mengancam dirinya. Matanya tetap tidak

lepas menatap jari-jari tangan Dewi Asmara Dara.

Otaknya terus bekerja memecahkan maksud bisikan

tadi.

Tiba-tiba Pragola berteriak nyaring. Tubuhnya

mencelat ke udara. Dengan kecepatan yang luar

biasa, dia menukik tepat di tengah-tengah

selendang. Dewi Asmara Dara terkejut, cepat-

cepat ditarik selendang nya. Terlambat! Ujung

pedang Pragola telah membabat tepat di tengah


tengah selendang merah itu.

"Setan!" maka Dewi Asmara Dara melihat

selendang pusakanya terpotong jadi dua.

Dewi Asmara Dara mencampakkan

selendangnya. Dia segera menggerakkan tangannya,

mengembang ke samping. Lalu dengan gerakan yang

cepat, kedua tangannya melintang di depan muka.

Pragola terkejut. Tiba-tiba saja mata Dewi

Asmara Dara berubah merah. Belum hilang rasa

terkejutnya, dari mata itu meluncur seberkas sinar

merah mengarah dirinya. Dengan cepat Pragola

mencelat menghindar. Satu berkas sinar lagi

terpaksa ditangkisnya dengan pedang.

Trak!

Pragola terlempar sejauh dua tombak.

Pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat

bangun, dua berkas sinar merah kembali menyerang

dirinya. Dengan cepat Pragola menggulingkan

tubuhnya ke samping. Sinar merah itu menghantam

lantai kedai makan. Suara menggelegar terdengar

disertai berlubangnya lantai yang keras itu.

"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Dewi

Asmara Dara mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata

Dewi'. Ilmu andalan yang sangat jarang digunakan

Dewi Asmara Dara. Kemarahan yang memuncak

karena selendang andalannya putus memancingnya

untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'.

"Jangan panik!" terdengar lagi bisikan halus di

telinga Pragola. "Hindari tatapan matanya. Gunakan

ilmu peringan tubuh, putari tubuhnya."

Pragola segera bangkit dan berlari-lari memutari


tubuh Dewi Asmara Dara dengan menggunakan

ilmu peringan tubuh. Tentu saja Dewi Asmara Dara

jadi kelabakan. Sinar-sinar merah yang dilontarkan

selalu mengenai tempat kosong. Beberapa orang

yang masih berada di kedai itu segera menyingkir,

menghindari sinar merah yang tidak mustahil nyasar

ke tubuh mereka.

"Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan

halus kembali terdengar.

Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata

rahasia satu pun juga. Gurunya tak pemah

membekali senjata rahasia. Menurut gurunya,

senjata rahasia hanya digunakan oleh orang-orang

berhati telengas dan licik Mereka tidak pantas

disebut pendekar.

Di saat otaknya berpikir keras, mendadak

matanya menangkap reruntuhan meja dan kursi.

Bibirnya segera tersenyum. Sambil terus

mengarahkan tenaga dalam dan ilmu peringan

tubuh, Pragola meraih beberapa potongan kayu.

Diremasnya potongan kayu itu hingga menjadi

serpihan.

Sementara itu Dewi Asmara Dara makin geram

karena setiap serangannya selalu luput. Setiap kali

dia memaksa Pragola untuk menatap matanya,

pemuda itu selalu memalingkan mukanya. Dewi

Asmara Dara semakin sulit karena pengaruh ilmu

'Seribu Mata Dewi' tidak mempengaruhi Pragola.

"Awas kaki!" teriak Pragola tiba-tiba. Dewi

Asmara Dara terkejut. Kayu-kayu kecil

berterbangan mengarah kakinya.



"Setan belang! Monyet buduk!" Dewi Asmara

Dara mengumpat habis-habisan.

Kayu-kayu kecil yang dilemparkan Pragola

dengan pengerahan tenaga dalam membuat wanita

itu sibuk berlompatan ke sana kemari. Lebih-lebih

Pragola melemparkannya sambil berlarian mengitari

tubuhnya. Konsentrasi Dewi Asmara Dara

terpecah.

Pada saat Dewi Asmara Dara tengah repot

dengan serangan itu, tiba-tiba meluncur sebuah

bayangan merah menahan arah lari Pragola.

Seketika kayu-kayu kecil yang terlontar ke kaki

Dewi Asmara Dara terhenti bersamaan dengan

terhentinya lari Pragola. Di depan anak muda itu

sudah berdiri seorang kakek tua berjubah merah.

"Kakek Merah Mata Elang!" bentak Pragola

gusar. "Kau melanggar aturan!"

"He he he...! Tidak ada aturan dalam rimba

persilatan," Kakek Merah Bermata Elang terkekeh

menyeringai. Matanya yang merah bagai mata elang

menatap tajam Pragola.

"Biar aku yang menghadapi orang tua tidak tahu

diri ini, Kakang!"

Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengah-

tengah arena pertempuran. Seorang anak muda

berkulit putih dan bertubuh ramping. Garis-garis

kejantanan tergambar jelas pada raut wajah yang

halus dan tampan itu.

"Hati-hati Adik Barada, orang ini sangat kejam

dan sakti," Pragola mengingatkan.

Barada hanya tersenyum. Dilangkahkan kakinya



dua tindak ke depan. Dia sudah tahu kehebatan

Kakek Merah Bermata Elang. Makanya dia harus

beriindak hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam

perkumpulan Teratai Putih, Barada hanya satu

tingkat di bawah Pragola. Jadi dia juga tak bisa

dianggap remeh.

"Majulah, Kakek tua!" seru Barada lantang dan

tenang. Setenang sikapnya.

"He he he.... Anak kemarin sore ingin

menantangku. Apakah Teratai Putih tidak memiliki

jago-jago andalan sehingga mengutus anak bau

kencur ke sini?"

Kakek Merah Bermata Elang mengejek.

'Teratai Putih tidak perlu mengeluarkan jago-

jagonya untuk membasmi Panji Tengkorak!" tenang

dan lembut suara Barada,namun menyakitkan di

telinga.

"Bocah sombong! Jangan menyesal kalau aku

memberi pelajaran padamu!" geram Kakek Merah

Bermata Bang.

"Silakan kalau kau mampu!"

"Setan! Mampus kau!"

Pertempuran antara Kakek Merah Bermata

Elang dengan Barada berlangsung sengit. Masing-

masing menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi.

Pragola pun sudah sibuk lagi melayani Dewi Asmara

Dara. Di lain pihak, Kala Srenggi, dan Dewi

Jerangkong juga telah menghajar orang-orang

Teratai Putih lainnya.

Kedai makan bembah menjadi ajang

pertempuran. Memang kelihatannya tidak seimbang.


Dua puluh dari Teratai Putih melawan empat orang

dari Panji Tengkorak. Namun keempat orang-orang

itu bukanlah orang-orang sembarangan. Malah kini

terlihat dua orang anggota Teratai Putih sudah

terjungkal. Kepalanya remuk terhajar tongkat Dewi

Jerangkong.

Seorang lagi roboh di tangan Kala Srenggi. Lalu

menyusul satu demi satu.... Pragola yang melihat

kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri

sibuk menahan gempuran Dewi Asmara Dara.

Wanita itu sangat bernafsu ingin cepat membunuh

lawannya. Dia merasa sudah dipermalukan oleh

Pragola di muka umum.

'Tahan!"

Tiba-tiba suara menggeledek terdengar bagai

petir di slang bolong. Seketika pertempuran itu

terhenti. Anggota Teratai Putih tinggal enam orang

saja. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.

Darah berceceran menyebarkan bau amis menusuk

hidung.

Semua mata segera terarah pada Rangga yang

duduk tenang di pojok. Tangannya memain-mainkan

kendi arak. Lagaknya acuh dengan suasana kedai

makan yang berantakan akibat pertamngan dua

kelom-pok itu.

"Orang asing! Berani benar kau campuri urusan

kami!" bentak Dewi Asmara Dara gusar.

Seperti orang tolol, Rangga celingukan mencari

cari sesuatu. Pelan-pelan dia bangkit dan berjalan

melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan.

Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut


berdecak-decak seperti keheranan.

"Ck ck ck..., kasihan sekali. Nyawa satu-satunya

dibuang percuma," gumam Rangga.

Rangga berhenti melangkah ketika di depannya

berdiri menghadang Kakek Merah Bermata Elang.

Rangga mengamati jari-jari tangan kakek tua itu

yang penuh darah.

"Kenapa tangan Kakek? Luka?" tanya Rangga

seperti anak kecil.

"Luka tanganku bisa diobati oleh darahmu!"

dengus Kalingga atau Kakek Merah Bermata Elang

geram.

"Wah, hebat!" seru Rangga sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya.

"Kisanak, apakah kau yang memberiku petunjuk

tadi?" tanya Pragola sopan dan lembut. Dia merasa

yakin kalau bisikan-bisikan halus datang dari

pemuda ini.

"Ah, aku hanya bicara sendiri tadi," sahut

Rangga merendah.

"Setan! Jadi kau yang membantu bocah edan ini!"

dengus Dewi Asmara Dara geram. Giginya

gemelutuk dan tangannya mengepal erat.

"Siapa yang membantu? Sejak tadi aku duduk di

sana," sahut Rangga kalem.

"Kau harus mampus!" geram Dewi Asmara Dara.

Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara

segera melompat menerjang dengan jurus

andalannya. Rangga hanya berkelit sedikit dengan

meliukkan tubuhnya. Serangan Dewi Asmara Dara

hanya mengenai angin kosong.


Kala Srenggi yang mengenai jurus-jurus Dewi

Asmara Dara, terkesima melihat cara Rangga

menghindari serangan. Merasa lawan hanya

menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi

Asmara Dara berang bercampur maiu.

"Terima aji pamungkasku!" teriak Dewi Asmara

Dara.

Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara

mengeluarkan asap kekuningan, lalu secepat kilat

menyerang Rangga. Semua mata yang memandang

menahan napas menyaksikan Rangga hanya tenang-

tenang saja.

"Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras

dengan kedua tangan menjulur ke depan.

Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang

mengepulkan asap tepat di depan mata Rangga,

anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit.

Dengan menggunakan jurus 'Cakar Rajawali'

dipapaknya punggung Dewi Asmara Dara.

"Akh!" Dewi Asmara Dara memekik tertahan.

Tubuhnya limbung sebentar lalu ambruk tidak

bangun lagi.

Semua mata terbelalak lebar seakan tidak

percaya. Hanya satu jurus. saja Dewi Asmara Dara

telah ambruk tak bernyawa! Sulit diukur tingginya

ilmu anak muda ini.

"Bocah setan! Sebutkan namamu sebelum

kukirim kau ke neraka!" bentak Kakek Merah

Bermata Elang dengan geram.

"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Rangga.

Suaranya tenang namun menggema ke seluruh


ruangan.

'Tidak mungkin!" sentak Dewi Jerangkong sambil

melompat ke depan.

Semua mata menatap nenek tua yang berdiri

dengan tongkat saktinya.

"Jangan coba-coba menggertak kami dengan

menyebut nama tokoh seratus tahun lalu!" dengus

Dewi Jerangkong.

"Kalau tidak percaya, lihat saja dia!" Rangga

menunjuk mayat Dewi Asmara yang tengkurap

kaku.

Dewi Jerangkong mendelik. Punggung Dewi

Asmara Dara hangus! Ada goresan hitarn di

punggung yang membentuk cakar burung rajawali.

Jelas, itu adalah salah satu hantaman jurus 'Cakar

Rajawali'. Dan kini jurus maut itu dimiliki seorang

pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali

Sakti!

"Bagaimana, Nenek tua? Percaya?" kalem dan

tenang suara Rangga.

"Mustahil...," gumam Dewi Jerangkong seraya

menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bukan hanya Dewi Jerangkong yang tidak

percaya. Kakek Merah Bermata Elang pun

demikian. Dua tokoh tua ini pemah mendengar

sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti meski pada

saat itu mereka belum dilahirkan. Kehebatan dan

kesaktian Pendekar Rajawali Sakti pernah menjadi

buah bibir di mana-mana. Semua orang selalu

mengharapkan kemunculannya jika terjadi

kerusuhan dan kejahatan.



Kini Pendekar Rajawali Sakti muncul kembali di

tengah dunia persilatan yang goncang. Apakah ini

pertanda Panji Tengkorak akan menghadapi

sandungan?

"Dewi Jerangkong, mart kita hadapi bocah

dungu ini!" seru Kakek Merah Bermata Elang atau

Kalingga.

Setelah selesai kata-katanya, Kalingga segera

menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya,

diikuti oleh Dewi Jerangkong dengan jurus-jurus

andalannya.

Nyali Rangga tak gentar sama sekali dikeroyok

oleh dua tokoh sakti itu. Dia kelihatan tenang-

tenang saja berkelit menghindari serangan-serangan

dahsyat dan beruntun. Gerakan-gerakan Rangga

memang cepat dan luar biasa sehingga

membingungkan lawan. Serangan-serangan dua

tokoh sakti itu selalu menemui tempat kosong.

"Maaf!" ucap Rangga kalem.

Bersamaan dengan itu, tangan Rangga

berkelebat cepat dan tepat mendarat di dada Dewi

Jerangkong dan Kalingga.

"Akh!" Dewi Jerangkong hanya mengeluh pelan.

"Ugh!" Kakek Merah Bermata Elang pun

melenguh hampir bersamaan.

Secara bersamaan pula dua tubuh tokoh itu

ambruk dan tak berkutik lagi. Di dada mereka

tergambar sebuah cakar berwarna hitam. Cakar

seekor burung rajawali. Sekali lagi Rangga berhasil

merobohkan dua tokoh sakti sekaligus hanya dalam

satu jurus saja.


Kala Srenggi yang sejak tadi hatinya sudah ciut,

diam-diam kabur ketika melihat dua tokoh sakti itu

limbung hanya dalam satu jurus saja. Saka Lintang

pun tak nampak batang hidungnya lagi. Entah sejak

kapan dia minggat.

'Terima kasih, Tuan Pendekar telah menolong

kami," Pragola segera menghormat diikuti Barada

dan empat anggota Teratai Putih yang tersisa.

Rangga hanya tersenyum lalu menepuk pundak

Pragola.

'Tuan Pendekar sangat hebat Panji Tengkorak

pasti bisa ditumpas," ujar Barada penuh harapan.

"Boleh saya tahu, siapakah saudara-saudara

semua?" tanya Rangga yang telah berjuluk Pendekar

Rajawali Sakti.

"Kami murid-murid perguruan Teratai Putih.

Kami ditugaskan untuk membendung gerakan liar

Panji Tengkorak," sahut Pragola menjelaskan.

"Siapa Panji Tengkorak?" tanya Rangga lagi.

"Gerombolan liar dan jahat. Mereka membunuh

siapa saja yang menentangnya. Sudah banyak tokoh

aliran hitam yang bergabung dengan mereka. Saat

ini Panji Tengkorak boleh dikatakan hampir

menguasai rimba persilatan," jelas Pragola rinci.

Sejak tadi dia telah kagum dengan kehebatan

Pendekar Rajawali Sakti.

"Pemimpinnya seorang tokoh sakti yang sulit

dicari tandingannya," Barada menambahkan.

"Pemimpinnya bernama Geti Ireng yang lebih dikenal

dengan julukan Iblis Lembah Tengkorak."

"Iblis Lembah Tengkorak..," gumam Rangga


pelan.

Seketika itu pula teriintas dalam benaknya

peristiwa dua puluh tahun lalu. Peristiwa yang

menyakitkan hati. Rangga juga masih ingat ketika

ayahnya menyebut orang itu Iblis Lembah

Tengkorak Orang itukah yang membunuh kedua

orang tuanya?

"Geti Ireng tinggal di Lembah Tengkorak

bersama gerombolannya," Pragola menambahkan.

"Apakah orang itu bersenjata tongkat berkepala

tengkorak?" tanya Rangga memastikan.

"Benar, Tuan Pendekar," sahut Barada cepat.

Rangga tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia

telah digodok selama dua puluh tahun di Lembah

Bangkai, ditambah bersemedi dan berpuasa selama

tujuh hari tujuh malam di Gunung Kapur. Dengan

demikian seluruh jiwanya sudah bersih dari rasa

dendam dan angkara murka.

Telah nyata bahwa Iblis Lembah Tengkorak atau

Geti Ireng yang membunuh orang tuanya, tetapi

hati Rangga sedikit pun tidak terbakar api dendam.

Jiwanya sudah bersih dari nafsu duniawi. Ingin

disatroninya Lembah Tengkorak, tetapi tidak untuk

balas dendam. Niatnya semata-mata hanya untuk

membasmi segala bentuk kejahatan.

"Tuan Pendekar...," Pragola mencegah langkah

Rangga.

Rangga menghentikan langkahnya yang telah

sampai pada pintu keluar kedai. Dia menoleh seraya

tersenyum melihat Pragola menghampirinya.

"Kami merasa mendapat kehormatan bila Tuan



Pendekar berkenan singgah di Perguruan Teratai

Putih," ajak Pragola ramah.

Rangga berpikir sebentar.

"Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira

jika Tuan Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari

beliau nanti, Tuan Pendekar dapat mengetahui

lebih banyak tentang Iblis Lembah Tengkorak," kata

Pragola setengah membujuk.

"Benarkah?" tanya Rangga dengan polos tanpa

pemah curiga terhadap siapa pun. Dalam hati

sebenarnya Rangga senang memenuhi undangan itu

yang tentu segalanya terjamin.

"Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak.

Beliau pasti senang jika penolong kami berkenan

singgah barang sebentar."

"Baiklah, aku pun senang mendapat sahabat."

Betapa gembiranya Pragola karena pendekar

yang dikaguminya berkenan menerima undangannya.

Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya

menyiap-kan kuda. Sebentar kemudian tujuh ekor

kuda sudah dipacu meninggalkan kedai, menembus

kegelapan malam. Rangga yang tidak pemah

menunggang kuda, sedikit grogi. Namun ketika agak

jauh meninggalkan kedai, dia sudah mulai terbiasa.

Bibir Rangga tersenyum-senyum. Pragola selalu

memacu kudanya di samping kiri Rangga, dan

Barada di samping kanannya. Rangga bagai

pembesar saja diapit kiri kanan. Empat kuda lain

mengiringi dari belakang. Rangga cerdas. Sebentar

saja dia telah mampu menunggang kuda dengan

baik. Pada akhirnya dirasakannya bahwa


menunggang kuda hampir tidak ada bedanya dengan

menunggang burung rajawali putih.

"Masih jauh?" tanya Rangga.

"Menjelang pagi baru sampai," sahut Pragola.

Rangga mengeluh dalam hati. Sebabnya dia harus

menunggang kuda semalaman. Namun keluhan itu

tidak ditampakkannya. Dia tetap saja tersenyum

sambil bertanya macam-macam. Banyak yang

ditanyakannya terutama tentang seluk beluk dunia

persilatan yang masih asing baginya. Pragola dengan

senang hati menjawab. Dijelaskannya setiap

pertanyaan Rangga dengan lemah lembut. Sesekali

Barada menambahkan jika penjelasan kakak

seperguruannya dirasakan belum lengkap. Semakin

banyak Rangga bertanya, semakin banyak yang

diketahui tentang gambaran rimba persilatan

sekarang ini.

Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir ke

dunia. Dia masih perlu belajar banyak mengenai

dunia bertualang sambil bertanya pada siapa saja

yang berbaik hati memberi keterangan kepadanya

seperti layaknya murid-murid Perguruan Teratai

Putih.

***


DELAPAN


Dalam pengembaraannya mencari sarang

gerombolan Panji Tengkorak, Rangga beberapa kali

harus bentrok dengan tokoh-tokoh berilmu tinggi

anggota gerombolan itu. Nama Pendekar Rajawali

Sakti makin dikenal. Di samping itu dia juga jadi

momok yang menakutkan bagi orang-orang rimba

persilatan beraliran hitam. Kini Pendekar Rajawali

Sakti bagaikan sebuah pelita yang menerangi tokoh-

tokoh aliran putih.

Dalam waktu singkat, nama Pendekar Rajawali

Sakti sudah terpatri erat di hati semua orang.

Bahkan Saka Lintang sendiri tidak pemah

melupakan pendekar tampan itu. Dalam pandangan

pertamanya, dia merasa sedikit kasmaran. Makanya

setiap kali Pendekar Rajawali Sakti bentrok dengan

orang-orang Panji Tengkorak, dia tidak ingin

melibatkan diri. Dia seperti menghindar dari

kemungkinan bentrok.

Rangga menarik tali kekang kudanya ketika

melewati pinggir hutan Dadakan. Telinganya yang

tajam tiba-tiba mendengar denting senjata beradu.

Nyata bahwa suara itu berasal dari suatu

pertarungan. Rangga segera melompat dari

kudanya. Dengan menggunakan ilmu 'Sayap Rajawali

Membelah Mega' tingkat pertama, tubuhnya telah

melayang di udara menuju arah datangnya suara

pertempuran.

Bagai rajawali mengintai mangsa, Rangga dari

atas telah melihat seorang wanita dikeroyok tiga



laki-laki bersenjata tongkat. Rangga bergegas turun

dan berdiri di pinggir arena pertarungan. Segera

dikenalinya wanita itu yang ternyata adalah Saka

Lintang. Tapi, siapakah tiga laki-laki yang

mengeroyoknya?

Melihat kedatangan Rangga, Saka Lintang cepat

melompat ke luar arena pertandingan. Dihampirinya

Rangga, dan berlindung di belakang tubuh pemuda

itu.

"Tolong, mereka dari Panjj Tengkorak," kata

Saka Lintang dengan suara dibuat memelas.

Mendengar ketiga orang itu dari Panji

Tengkorak, Rangga segera menerjang ketiga orang

itu yang masih bingung tidak mengerti. Mereka

tidak bisa berbuat apa-apa. Sekejap saja ketiga

orang itu telah bergelimpangan akibat jurus 'Cakar

Rajawali'.

'Terima kasih, kau telah menolongku," kata Saka

Lintang langsung menghampiri.

"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya

Rangga.

"Aku merasa tertipu masuk gerombolan Panji

Tengkorak! Aku ingin keluar, tapi mereka malah

ingin membunuhku!" cerita Saka Lintang

bersandiwara. Dalam hatinya tersenyum karena

rencananya berjalan mulus.

Terpaksa dikorbankannya tiga anggota Panji

Tengkorak demi mencapai keinginan merebut hati

pendekar tampan ini. Setiap hari dia selalu

terbayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti

ini. Hati Saka Lintang makin hari makin tersiksa bila


Kala Srenggi selalu mencari muka di depan ayahnya

untuk mendapatkan dirinya.

"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Rangga.

"Mereka Tiga Pendekar Toya dari Utara. Tadi

mereka mencoba memperkosaku," Saka Lintang

makin menjejali Rangga dengan cerita kosong.

"Binatang!" geram Rangga.

"Untung kau cepat datang, kalau tidak....

Mungkin aku sudah mati.

"Hm, kau akan ke mana sekarang?"

Aku tidak tahu. Sejak kecil aku hidup

sendirian." Rangga menarik napas panjang.

Dirasakan ada persamaan nasib dengan gadis ini.

Namun Rangga tidak menyadari kalau dia tengah

masuk dalam perangkap yang dibuat Saka Lintang.

Bukan perangkap nyawa, tapi perangkap asmara.

Rangga memang polos. Dia memang belum banyak

mengalami liku-liku kehidupan yang mungkin dapat

menjeratnya. Apa lagi Saka Lintang memang cantik.

"Aku ikut kamu, ya?" Saka Lintang memohon

sambil menggayut-gayutkan tangannya dengan manja

ke lengan Rangga.

"Eh, jangan!" Rangga gugup. Matanya jelalatan.

Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh wanita.

Seketika jantungnya berdetak keras.

"Kenapa?" tanya Saka Lintang semakin manja.

Dia bahkan sudah melingkarkan tangannya ke leher

Rangga.

"Aku...,aku...," Rangga benar-benar gugup.

Saka Lintang yang berpengalaman menghadapi

laki-laki, segera memanfaatkan kegugupan Rangga.



Dengan cepat dipagutnya bibir Rangga. Tentu saja

pemuda ini gelagapan. Keringat dingin mengucur

deras. Inilah rasa takutnya yang pertama. Cepat-

cepat dilepaskan pelukan Saka Lintang, dan. lompat

dua tindak ke belakang. Saka Lintang memandang

dengan senyum menggoda.

"Kau pendekar gagah dan tampan. Aku tertarik

saat pertama kali melihatmu," Saka Lintang tidak

malu-malu lagi.

"Kau memang cantik. Aku juga suka, tapi...,"

Rangga tidak meneruskan kata-katanya.

"Kenapa kita tidak bercinta?"

"Bercinta...?!" Rangga meneguk ludahnya sendiri.

Mendadak tenggorokannya terasa kering.

Saka Lintang tersenyum melihat kegugupan

Rangga. Diletakkannya pedang yang bertengger di

punggungnya. Dengan gerakan yang indah,

tangannya melolosi pakaian satu persatu. Rangga

kian tidak menentu perasaannya.

"Celaka!" sentak Rangga tiba-tiba. Tercecer

sudah seluruh pakaian Saka Lintang di rerumputan.

Tubuh indah dan putih mulus itu kini terbuka

tanpa sehelai benang pun menutupi! Kakinya

terayun mendekati Rangga. Namun mendadak

pemuda itu mencelat ke belakang, lalu beriari

sekencang-kencangnya menggunakan ilmu peringan

tubuh.

"Hey, tunggu!" teriak Saka Lintang terkejut.

Rangga telah lebih cepat menghilang di balik

rimbunan pohon. Saka Lintang menghentakkan

kakinya dengan kesal. Bergegas dikenakan kembali


pakaiannya, lalu beriari cepat ke arah Rangga pergi.

***

Di bangsal mmah yang paling besar di Lembah

Bangkai, Saka Lintang tengah hanyut oleh perasaan

malu dan marah. Dia benar- benar kecewa dengan

sikap Rangga. Namun rasa cintanya yang menggebu

dapat mengalahkan amarah dan rasa malunya.

Dalam hati dia bertekad akan memiliki Rangga

sepenuhnya.

Ketampanan dan kegagahan Rangga membuat

Saka Lintang mabuk kepayang. Dia tidak peduli lagi

dengan kedudukannya sebagai orang kedua di Panji

Tengkorak. Pikirannya selalu tertuju pada pendekar

tampan yang telah menancapkan panah cinta di

hatinya.

"Lintang...."

Saka Lintang menoleh setelah mendengar suara

panggilan dari belakang. Kala Srenggi sudah berdiri

di balik punggungnya. Saka Lintang menjauh dan

ber-balik.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Saka Lintang ketus.

Dia tahu kalau Kala Srenggi selalu berusaha men-

dekatinya.

"Aku ingin bicara padamu," sahut Kala Srenggi

memasang senyum yang menawan.

"Tentang apa?"

"Tentang kita."

Saka Lintang mengemtkan keningnya. Bagi Saka

Lintang, senyum Kala Srenggi seperti seringai


serigala liar kelaparan. Sedang bagi Kala Srenggi,

melihat Saka Lintang bagai melihat bidadari turun

dari kahyangan. Bukan rasa cinta yang ada di hati,

tetapi nafsu birahi yang berkobar-kobar.

"Sejak pertama aku melihatmu, rasanya aku tidak

bisa hidup tanpa kau, Lintang," Kala Srenggi

mengobral rayuannya.

"O..., apakah kau pantas denganku?" cibir Saka

Lintang.

"Kenapa tidak? Aku toh tidak terlalu jelek

untukmu.

"Tapi kau tidak bisa menandingiku!"

"Lintang!" merah padam wajah Kala Srenggi.

"Kalahkan aku dulu, baru kau boleh berkata

begitu padaku!"

Kala Srenggi menelan ludahnya. Terasa pahit.

Mana mungkin Saka Lintang dapat dikalahkannya.

Ilmu silatnya di bawah gadis ini. Kala Srenggi

pernah merasakan jurus 'Tarian Bidadari' dan dia

tak ingin merasakannya lagL

"Bukankah cinta tidak mengenal tingkat

kepandaian, Lintang," kata Kala Srenggi lagi.

"Siapa bilang? Bagiku, laki-laki yang ingin

memilikiku, tingkat kepandaiannya harus lebih

daripada aku!" tetap ketus suara Saka Lintang.

"Seperti Pendekar Rajawali Sakti itu?!" Kala

Srenggi mendongkol.

Saka Lintang terkejut. Dia tidak menyangka

kalau Kala Srenggi tahu dirinya tengah kasmaran.

Nada suara Kala Srenggi memberi isyarat kalau dia

tengah cemburu.


'Pendekar Rajawali Sakti musuh ayahmu, musuh

Panji Tengkorak. Berarti juga musuhmu, Lintang.

Bagaimana mungkin kau bisa mengharapkan dia!"

Kala Srenggi coba beri pengertian.

"Dia bukan musjuhku. Aku tidak pernah

bermusuhan dengan Pendekar Rajawali Sakti!"

dengus Saka Lintang.

"Mana mungkin dia bukan musuhmu, sedang kau

putri ketua Panji Tengkorak."

"Apa urusanmu?"

"Jelas ada urusannya denganku. Geti Ireng

mengijinkan aku untuk menikahimu. Dan aku tidak

rela jika Pendekar Rajawali Sakti merebutmu dari

tanganku!"

"Gila! Siapa sudi menikah denganmu? Kau boleh

merangkak di bawah kakiku, tapi jangan harap aku

dapat jadi milikmu!"

Kala Srenggi makin merah mukanya. Kata-kata

Saka Lintang telah menghina dan merendahkan

dirinya. Sungguh panas telinga Kala Srenggi

mendengar ucapan Saka Lintang itu. Darahnya

segera mendidih, bergolak penuh kemarahan.

"Dengar, Saka Lintang. Penghinaanmu tidak

akan kulupakan. Sekarang kedudukanmu masih

kuat. Tapi nanti, setelah kau lepas dari Geti

Ireng.... Kau akan menyesal!" Kala Srenggi

mengancam penuh kemarahan.

"Heh, main ancam segala rupanya," cibir Saka

Lintang mengejek.

"Huh! Dasar anak pungut tidak tahu diri!"

dengus Kala Srenggi geram.


Setelah berkata demikian, Kala Srenggi

melompat ke luar dari bangsal rumah besar.

"Hey!" Saka Lintang terkejut setengah mati

mendengar kata-kata terakhir Kala Srenggi.

Saka Lintang segera melompat ke luar, namun

Kala Srenggi sudah tak terlihat lagi. Saka Lintang

celingukan, lalu melompat ke atap. Matanya yang

tajam memandang ke sekeliling, namun Kala Srenggi

benar-benar tidak terlihat lagi.

"Anak pungut...," gumamSaka Lintang berulang-

ulang.

Benarkah dia anak pungut? Anak pungut Geti

Ireng? Lalu siapa orang tuanya yang sebenarnya?

***

Setelah didesak, Emban Girika akhirnya

menceritakan asal usul Saka Lintang. Wanita gemuk

itulah yang mengurus Saka Lintang sejak kecil.

"Saya diperintah merawat Nini Lintang ketika

masih berusia satu tahun. Waktu itu Panji

Tengkorak masih partai kecil. Gusti Geti Ireng

masih mencari pengaruh dan kekuatan. Dia

mengembara dari satu dusun ke dusun yang lain.

Beliau tidak bisa mengurus Nini Lintang, maka

sayalah yang diperintah merawat Nini di lembah ini,"

kata Emban Girika.

"Lalu siapa orang tua saya sebenarnya?" tanya

Saka Lintang tidak sabar.

"Sabar dulu, Nini. Saya akan ceritakan dari

awalnya," Emban Girika menarik napas panjang


sebentar." "Ketika itu Gusti Geti Ireng memasuki

desa Kali Anget. Di desa itu beliau mendapat

perlawanan sengit dari Kepala Desa. Namun Kepala

Desa itu akhirnya terbunuh bersama istri dan anak-

anaknya. Hanya satu yang selamat, seorang bocah

perempuan berumur satu tahun."

"Anak perempuan itu saya 'kan, Bi?" celetuk Saka

Lintang makin tidak sabar.

"Benar. Gusti Geti Ireng membawa anak

perempuan itu, karena kedua istrinya tidak

mempunyai anak sampai meninggal!"

"Apakah dibunuh ayah juga?"

"Ya, kedua istri Gusti Geti Ireng ingin melarikan

diri. Mereka tidak tahan melihat Gusti Geti Ireng

begitu kejam membunuh siapa saja yang berani

menentangnya."

Saka Lintang gemetar seluruh tubuhnya.

Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Dia

tidak tahu, apakah harus marah, kecewa, atau

berterima kasih pada ayah angkatnya yang telah

merawat dan mendidiknya hingga menjadi seorang

wanita yang berilmu.

Tetapi laki-laki itu juga yang membunuh selumh

keluarganya. Saka Lintang tidak tahu apakah dia

harus membalas kematian orang tua dan saudara-

saudaranya? Apakah akan dilupakan saja kejadian

itu? Orang yang selama ini dianggap ayahnya

sekaligus pelindung yang menyayangi dan

dihormatinya itu, ternyata pembunuh keluarganya.

Haruskah dia tinggal diam?

Saka Lintang merasa menyesal, kenapa dia harus


mengetahui semua ini. Seharusnya dia tidak perlu

tahu, sehingga tidak dituntut untuk berbakti

kepada orang tuanya. Bakti seorang anak yang

orang tuanya dibunuh laki-laki yang kini jadi ayah

angkatnya. Haruskah menuntut balas?

"Tidaaak...!" Saka Lintang menjerit sekuat-

kuatnya.

"Nini..., Nini Lintang...," Emban Girika jadi

ketakutan melihat Saka Lintang mengamuk

memporak-porandakan kamamya.

"Tidak! Dia bukan pembunuh orang tuaku!

Tidak...!" jerit Saka Lintang sambil meloloskan pe-

dangnya.

Dengan sekali tebas saja, tiang tempat tidur

patah jadi dua. Pembaringan yang beralaskan kain

surra halus itu pun ambruk disertai suara gemuruh.

Belum juga puas, Saka Lintang membabatkan

pedangnya ke sana kemari seperti kesetanan. Lalu

dia jatuh terduduk, menunduk lemas. Isaknya

terdengar memilukan.

Batin gadis itu tergoncang hebat. Sulit baginya

menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Saka

Lintang merasa hidupnya tiada berguna lagi. Semua

orang akan mengejek dan menertawakan dirinya.

"Gusti Yang Agung, betapa berat cobaan yang

kau berikan padaku!" Saka Lintang menangis terisak

menyesali hidupnya. "Mengapa aku tidak sekalian

dibunuh saja, Bi. Kenapa Geti Ireng mengambilku

sebagai anak? Kenapa, Bi...?"

'Tabahlah, Nini. Semua ini sudah kehendak Sang

Hyang Widi. Nini harus menerima kenyataan ini



dengan hati lapang," kata Emban Girika juga tidak

kuasa menahan air matanya. "Percuma saya hidup,

Bi." "Nini jangan berkata begitu. Gusti Geti Ireng

memang telah membunuh orang tua dan saudara-

saudaramu. Tapi Gusti Geti Ireng juga telah

merawat, mendidik, dan membesarkan Nini sampai

menjadi wanita berilmu sekarang ini. Bagaimanapun

juga Nini berhutang budi padanya."

'Tapi dia membunuh keluargaku, Bi!"

"Memang kewajiban seorang anak menjunjung

tinggi martabat orang tuanya. Hanya masalahnya

sekarang, pembunuhnya justru ayah angkat Nini

sendiri."

"Katakanlah, Bi. Apa yang harus saya lakukan?"

Saka Lintang kelihatan putus asa.

Emban Girika tidak menjawab. Memang serba

sulit untuk menjawabnya, Dia bersedia tinggal di

lembah ini karena merasa kasihan melihat Saka

Lintang kecil yang masih memerlukan kasih sayang

seorang ibu. Dia juga membencl Geti Ireng yang

telah membunuh seluruh keluarganya.

Kedudukan Emban Girika di lembah ini tidak

ubahnya seperti tawanan. Bisa dikatakan dia adalah

budak. Emban Girika hanya bisa menerima nasib.

Dia tidak mungkin mampu mengalahkan Geti Ireng

yang sakti. Dia sadar tak mampu melawan karena

hanya seorang wanita desa yang lemah tidak

mengerti ilmu silat dan kesakiian apa pun.

Pada saat mereka terdiam, di luar terdengar

suara-suara ribut. Suara senjata beradu dan jeritan

meiengking, saling menyusul. Saka Lintang


terdongak, lalu melompat keluar menembus dinding

yang terbuat dari potongan kayu papan.

"Nini Lintang..,!" Emban Girika bergegas ke luar.

Apa sebenarnya yang terjadi?

***

Suasana di Lembah Tengkorak seperti medan

pertempuran. Orang-orang dari partai Teratai

Putih bertarung gigih dibantu partai-partai

golongan putih lainnya melawan orang-orang Panji

Tengkorak.

Penyerbuan yang mendadak dan tak terduga ini

membuat orang-orang Panji Tengkorak kelabakan.

Namun mereka semua bukanlah orang-orang sern-

barangan.

"Pradya Dagma! Mana Kala Srenggi?" suara Geti

Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak menggelegar di

tengah-tengah suara pertempuran.

"Dia kabur!" sahut Pradya Dagma sambil terns

mengebutkan tasbih mutiara saktinya.

"Pengecut! Kupecahkan kepalanya nanti!" geram

Geti Ireng.

Pertempuran terns berlangsung. Korban dari

kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah

mengalir membasahi Lembah Tengkorak ini. Mayat-

mayat bergelimpangan tak tentu arah. Sebentar saja

pemandangan lembah ini kian mengerikan. Bau anyir

darah menyebar terbawa angin.

"Geti Ireng!"

Geti Ireng menoleh. Tiba-tiba saja seorang tokoh


tua berjubah putih melompat ke depan. Tokoh tua

Ini adalah Begawan Pasopati, guru besar dari partai

Teratai Putih. Tongkat galian asam dengan cincin

emas berbentuk kepala naga diacungkan ke depan.

Matanya tajam menatap Geti Ireng yang tegak

menggenggam tongkat berkepala tengkorak.

"Hm, Begawan Pasopati. Rupanya kau ikut ambil

bagian juga dalam kerusuhan ini," gumam Geti Ireng

dingin.

"Kerusuhan terakhir dari sepak terjangmu!" balas

Begawan Pasopati tidak kalah dinginnya.

"Ha ha ha...! Akan kulihat, sampai di mana nama

kosongmu!" ejek Geti Ireng.

'Tahan seranganku!" pekik Begawan Pasopati

segera melompat menyerang.

Geti Ireng mengernyitkan keningnya sedikit

Rupanya Begawan tua ini langsung mengeluarkan

jums 'Naga Menggempur Gunung'. Geti Ireng tahu

kehebatan jurus ini. Makanya dia tak sungkan lagi

meladeninya. Dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut'

yang menjadi andalannya dibarengi dengan 'Aji

Sangkala Bayu'. Dengan ajian ini tubuh Geti Ireng

bergerak seringan kapas. Gerakannya semakin cepat

dan lincah.

Menyadari lawan telah menggunakan ajiannya,

Begawan Pasopati segera merapal aji pamungkasnya.

'Aji Batara Karang'. Sekejap saja selumh tubuh

Begawan ini bercahaya menyilaukan mata.

"Setan! Kau licik, Begawan Pasopati!" dengus

Geti Ireng. Cahaya menyilaukan yang terpancar dari

tubuh Begawan itu membuat mata jadi perih. Geti


Ireng tidak dapat melihat jelas di mana Begawan

Pasopati berada.

Merasa keadaannya tidak menguntungkan. Geti

Ireng segera melompat tinggi sambil memekik

nyaring. Lalu dengan cepat dia meluncur ke bawah

dengan ujung tongkatnya terarah ke kepala

Begawan itu. "Awas, Eyang...!"

Begawan Pasopati menjatuhkan tubuhnya sambil

mengebutkan tongkat ke udara. Serangan Geti

Ireng luput. Hampir saja tongkat Geti Ireng

mengenai Bega¬wan itu kalau tidak cepat-cepat

berkelit di udara.

"Saka Lintang! Lancang kau!" dengus Geti Ireng

mengetahui peringatan itu datang dari putrinya

sendiri.

"Hentikan semua kekejamanmu, Geti Ireng!"

keras sekali suara Saka Lintang.

"He! Sejak kapan kau berani membentak

ayahmu?!" Geti Ireng terkejut heran.

"Sejak aku tahu, kau bukan ayahku!"

Geti Ireng terlonjak kaget sampai melompat dua

tombak.

"Dari mana kau tahu?" tanya Geti Ireng menahan

napas.

"Kala Srenggi!"

"Setan alas! Bocah itu harus mampus!" jerit Geti

Ireng kalap.

Setelah berkata demikian, Geti Ireng segera

melompat tinggi ke udara.

"Geti Ireng, jangan lari kau!" teriak Begawan

Pasopati seraya menggenjot tubuhnya ke udara.


Namun baru saja dia melesat, tiba-tiba Geti

Ireng melempar jarum-jarum beracunnya. Begawan

Pasopati tersentak. Dengan cepat diputar-putar

tongkatnya bagai baling-baling untuk menangkis

serangan gelap itu.

Jarum-jarum berpentalan terkena sambaran

tongkat. Malangnya, jarum-jarum itu menyambar

orang¬orang yang tengah bertempur di bawah. Jerit

kesakitan terdengar dari beberapa orang yang

terkena. Senjata rahasia jarum beracun itu sangat

ampuh. Dalam sekejap orang yang terkena akan

mati. Tubuhnya membiru dan kaku.

"Kejam! Semua dewa mengutukmu, Geti Ireng!"

geram Begawan Pasopati. Giginya gemerutuk

menahan amarah. Tidak sedikit murid-muridnya

yang terkena sambaran jarum-jarum beracun itu.

"Aku tidak ada urusan denganmu, Begawan

Pasopati!" seru Geti Ireng, kembali melenting

dengan meminjam landasan daun yang melayang

dihembus angin.

Ketika tubuh Geti Ireng meluncur satu tombak,

tiba-tiba sebuah bayangan cepat menghadangnya.

Geti Ireng tersentak kaget. Dengan cepat dia

meluncur ke bawah sambil berlompatan beberapa

kali di udara.

Baru saja kakinya menjejak tanah, bayangan itu

kembali menyerang. Gerakannya sangat cepat

sehingga sulit diikuti mata. Geti Ireng kewalahan

hingga jatuh bangun menghindari serangan cepat

yang beruntun.

"Demit busuk! Siapa kau?" teriak Geti Ireng


kesal.

"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"

Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, tiba-

tiba di hadapan Geti Ireng telah berdiri seorang

pemuda tampan dengan pedang bergagang kepala

burung rajawali. Begawan Pasopati tersenyum

melihat kedatangan pendekar muda itu. Dia sudah

pernah bertemu ketika pendekar itu berkunjung di

kediamannya.

Saka Lintang yang melihat kemunculan pendekar

itu menjadi berseri-seri. Dia berharap pendekar itu

tahu kalau dirinya benar-benar membenci Panji

Tengkorak. Saka Lintang berusaha menarik simpati

Pendekar Rajawali Sakti dengan membanru tokoh-

tokoh aliran putih membasmi Panji Tengkorak. Dia

memekik keras membabati orang-orang Panji

Tengkorak.

Tentu saja perbuatan Saka Lintang sangat

mengejutkan semua anggota Panji Tengkorak.

Mereka tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang

yang tiba- tiba memusuhi mereka. Tapi sikap Saka

Lintang mendapat sambutan hangat dari tokoh-

tokoh golongan putih. Mereka tahu sepak terjang

gadis itu liar dan kejam.

"Minggir semua! Biar kuhabisi mereka!" teriak

Saka Lintang.

"Minggir!" perintah Begawan Pasopati memberi

kesempatan pada Saka Lintang. Dia sudah mengerti

duduk persoalannya. Sebab Begawan Pasopati tadi

telah mendengar sedikit pembicaraan Saka Lintang

dengan Geti Ireng.


Mendengar perintah dari Begawan Pasopati,

seluruh murid-murid Teratai Putih dengan cepat

berlompatan ke luar arena. Tidak ketinggalan

tokoh-tokoh golongan putih lain bersama murid-

muridnya mengikuti petunjuk Begawan Pasopati.

"Lintang! Sudah gila, kau!" bentak Geti Ireng.

"Arwah ayah ibuku akan mengutuk kalau Panji

Tengkorak belum musnah di tanganku!" sahut Saka

Lintang keras dan lantang.

"Lintang, aku ayahmu. Aku yang

membesarkanmu!"

"Tidak! Kau bukan ayahku, kau pembunuh ayah

ibuku! Aku memang berhutang budi padamu, tapi

kau juga berhutang nyawa padaku. Bahkan, seluruh

nyawa anggota Panji Tengkorak belum cukup

menebus nyawa keluargaku!"

Merah padam muka Geti Ireng. Rahasia yang

selama ini ditutup-tutupinya, akhirnya terbongkar

juga. Rahasia ini bocor karena ulah Kala Srenggi.

Geti Ireng benar-benar murka. Dia belum puas

kalau belum mematahkan batang leher Kala Srenggi

dan menghirup darahnya.

"Demi balas budiku, aku tidak akan

membunuhmu. Aku hanya ingin melenyapkan

seluruh anggota Panji Tengkorak," kata Saka

Lintang lagi.

Semua anggota Panji Tengkorak yang terdiri dari

tokoh-tokoh golongan hitam terkejut bergetar.

Mereka semua tahu siapa Saka Lintang. Apalagi

rata-rata mereka sudah pemah merasakan

kehebatan gadis ini.


"Bersiaplah kalian semua menghadapi ajal!"

dengus Saka Lintang.

Setelah berkata demikian, Saka Lintang

berteriak nyaring. Tanpa basa-basi lagi, pedangnya

berkelebat cepat mencari mangsa. Saka Lintang

segera mengeluarkan jurus pedang andalannya yang

dibarengi dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang

sangat dahsyat. Beberapa tokoh anggota Panji

Tengkorak bemsaha membendung serangan Saka

Lintang, namun hanya beberapa gebrak saja, tiga

orang tersungkur mandi darah.

'Lintang, berhenti!" teriak Geti Ireng.

''Tidak, sebelum semua anggota Panji Tengkorak

musnah!" sahut Saka Lintang terus mengamuk.

"Bocah gila! Kubunuh kau!" geram Geti Ireng

murka.

Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, Geti

Ireng menggenjot tubuhnya menuju ke arah Saka

Lintang yang tengah merubah jurusnya dengan

'Tarian Bidadari'. Namun belum sempat Geti Ireng

sampai, sebuah bayangan kembali menahannya.

Terpaksa Geti Ireng bersalto di udara dan turun

lagi ke tanah.

"Kau masih punya persoalan denganku, Geti

Ireng," kata Rangga tegas.

"Aku tidak punya urusan denganmu. Minggir!"

sentak Geti Ireng.

"Urusan lama belum terselesaikan!" dingin suara

Rangga.

"Siapa kau?' tanya Geti Ireng.

"Aku Rangga, bocah kecil yang kau lemparkan ke


dalam jurang Lembah Bangkai!"

Lagi-lagi Geti Ireng tersentak kaget. Sungguh di

luar dugaan, hari ini dia menghadapi persoalan-

persoalan yang terjadi karena peristiwa puluhan

tahun yang lalu. Persoalan-persoalan yang telah

teriupakan. Bocah kecil yang dilempamya ke jurang

dulu, kini tiba-tiba datang untuk menuntut balas

atas kematian kedua orang tuanya. Padahal

pikirnya, bocah itu telah mati dilumat oleh batu

cadas dasar jurang Lembah Bangkai!

"Ha ha ha...!" Geti Ireng tertawa terbahak-

bahak. Tawanya sangat keras karena dibarengi oleh

penyaluran tenaga dalam yang sempurna.,

Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki

Geti Ireng hingga membuat gendang telinga sakit

karena tawanya itu. Beberapa orang yang

kemampuan ilmunya masih rendah, kesakitan sambil

memegang kedua telinga. Dari mata dan telinga,

darah segar mengaiir. Mereka berguling-guling di

tanah menahan rasa sakit. Tokoh-tokoh yang

berilmu tinggi pun harus mengerahkan tenaga

dalamnya untuk meredam suara tawa itu.

Saka Lintang yang tengah kalap, segera

menghentikan pertarungannya. Cepat-cepat

disalurkan hawa mumi ke bagian telinganya.

Dirapalkannya 'Aji Pemecah Suara'. Ajian ini telah

diajarkan oleh Geti Ireng sendiri untuk menangkal

lawan yang bisa mengeluarkan suara keras. Terbukti

suara Geti Ireng hanya terdengar biasa di telinga

Saka Lintang. Memang ampuh ajian ini.

Kesempatan ini tidak disia-siakan. Gadis itu


dengan cepat mengayunkan pedangnya menyerbu

ang-gota Panji Tengkorak yang sibuk menahan

serangan suara tawa Geti Ireng.

***

Melihat korban telah cukup banyak, Rangga

meng-geram menahan amarahnya. Tiba-tiba dia

membentak dengan pengerahan tenaga dalam yang

luar biasa.

Betapa hebat akibat bentakan Rangga. Di

Lembah Tengkorak bagaikan terjadi gempa. Batu-

batu ber-jatuhan dan pohon-pohon bertumbangan.

Orang-orang yang berada di sekitar situ sampai

terlompat beberapa tombak.

"Setan!" umpat Geti Ireng yang terlonjat sampai

dua tombak ke belakang.

"Tidak pantas kau mengumbar ilmu iblis di depan

ku, Geti Ireng!" dengus Rangga.

"Kurobek mulutmu, bocah setan!" geram Geti

Ireng.

Setelah selesai kata-katanya, Geti Ireng segera

berteriak nyaring, dan tak tanggung-tanggung, dike-

luarkannya jurus 'Tongkat Maut Mencabut Nyawa'.

Rangga menghadapinya tanpa mengeluarkan jurus

andalan. Dia hanya berkelit menghindari setiap

serangan lawan, sehingga membuat Geti Ireng makin

marah.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semua

orang yang menyaksikan tertahan napasnya. Rangga

seperti mempermainkan Geti Ireng saja. Setiap kali


ujung tongkat nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga

berkelit Beberapa kali Geti Ireng merasa tertipu

oleh gerakan Rangga yang tak terduga itu.

"Kena!" teriak Rangga tiba-tiba.

Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu kaki

Rangga berhasil menyepak punggung Geti Ireng

yang lowong. Geti Ireng bergulingan di tanah.

Dengan cepat dia bangkit kembali. Di saat yang

bersamaan, Saka Lintang memekik tertahan.

Hatinya terkesiap melihat ayah angkatnya terguling

kena tendangan Pendekar Rajawali Sakti.

Geti Ireng membuka serangan kembali. Hatinya

penasaran bercampur malu. Sudah tiga jurus

dimainkan, tapi belum juga dapat menjatuhkan

lawan nya. Malah kaki lawan telah mampir di

punggungnya. Memang tidak berbahaya. Tapi

menyebabkan Geti Ireng kehilangan muka.

Pendekar muda itu telah mempermainkannya di

depan orang banyak.

Rangga mendorong kedua tangannya ke depan.

Kesepuluh jari tangannya mengembang bagai

sepasang cakar. Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar

Rajawali'.

"Hiya...!"

Dengan suatu teriakan geledek, Rangga men-

dahului menyerang. Gerakannya sangat cepat,

sehing¬ga tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya

terlihat ba-yangannya saja. Geti Ireng makin

kewalahan mengha-dapi jums pendekar muda ini.

Hingga tiba saatnya....

"Akh!" pekik Geti Ireng tertahan.

Tubuh Geti Ireng terdorong ke belakang sejauh

dua tombak. Tangannya mendekap dada. Dari

mulut menyembur darah kental kehitaman. Cepat-

cepat disi-langkan tongkamya ke depan dada. Dan

darah kental kehitaman kembali menyembur ke luar.

"Ayah...!" pekik Saka Lintang.

Gadis yang juga membenci ayah angkatnya ini,

ternyata mengkhawatirkan keadaannya. Batinnya

terus berkecamuk antara benci dan rasa hutang

budi. Bagaimanapun juga laki-laki itu telah

merawat, membesarkan, dan mendidiknya sampai

dia dewasa. Figur seorang ayah pada Geti Ireng

sulit dilupakannya.

"Lintang, jangan!" sentak Geti Ireng yang melihat

Saka Lintang sudah mengeluarkan gabungan dari

jums 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa

Menyebar Racun'.

Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi

peringatan ayahnya. Dengan cepat Saka Lintang

menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-

gerakan Saka Lintang segera berubah gemulai

setelah berada di depan pendekar muda itu.

"Ah, indah sekali tarianmu," Rangga

memperhatikannya dengan senyum tersungging.

"Hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti. Jurus itu

sangat berbahaya!" Begawan Pasopati

mengingatkan.

"Dia hanya menari, Eyang Begawan," sahut

Rangga sambil merentangkan kedua tangannya.

Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak

gemulai. Seperti sepasang sayap yang terkembang



akan terbang. Itulah jurus 'Rajawali Pentang Sayap'.

Suatu jurus yang sebenarnya bukan jurus andalan.

Jurus ini dikeluarkan karena Rangga menganggap

jurus yang dikeluarkan Saka Lintang tidak

berbahaya. Dan lagi Rangga tidak ingin gadis itu

celaka. Hanya satu yang ingin dicabut nyawanya

yakni, Geti Ireng!

Semua orang yang menyaksikan, menahan napas

ketika gerakan gemulai dari jurus 'Tarian Bidadari'

berubah menjadi cepat dan masuk ke beberapa

bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun

pendekar muda itu hanya mengepak ngepakkan

kedua tangannya saja sambil berlompatan kian

kemari menghindari setiap totokan dan pukulan

maut Saka Lintang.

"Gila! Ilmu setan apa yang dimilikinya?!" dengus

Geti Ireng keheranan.

Racun yang menyebar dari setiap gerakan Saka

Lintang tidak berarti apa-apa pada Pendekar

Rajawali Sakti. Bahkan setiap kali tangan mereka

beradu, pendekar itu tidak terpengaruh sama

sekali. Padahal seluruh tubuh Saka Lintang kini

tengah menyebarkan racun yang sangat dahsyat dan

mematikan.

"Akh...!" tiba-tiba Saka Lintang terpekik.

Punggungnya terkena tepukan tangan kanan

Rangga. Gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dia

bergegas bangkit lagi dan bersiap-siap menyerang

kembali. Niat itu tiba-tiba terhenti ketika

mendadak saja Geti Ireng menggantikannya dengan

jurus-jurus maut



Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan

jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', jurus

andalan kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

Dengan jurus ini, kaki Rangga bergerak cepat bagai

tidak menyentuh tanah. Kedua tangannya selalu

mengembang bergerak-gerak cepat mengikuti irama

gerak tubuhnya yang meliuk-liuk lentur.

Geti Ireng makin kebingungan melihat gerakan-

gerakan yang aneh dari pendekar muda ini. Setiap

serangannya selalu kandas mengenai tempat kosong,

Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba kaki Rangga

berhasil mendarat di dada Geti Ireng.

"Ukh!" Geti Ireng kembali memuntahkah darah

kental kehitamaa

Belum sempurna posisi Geti Ireng, tiba-tiba

tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti menyampok

pinggang Geti Ireng. Tak ayal lagi, tubuh Iblis

Lembah Tengkorak ini melayang ke angkasa.

Dengan tetap menggunakan jurus 'Sayap Rajawali

Membelah Mega', Rangga mengejamya.

Sukar untuk dibayangkan. Tubuh Rangga

meluncur cepat mengejar Geti Ireng yang terlontar

ke udara. Tiba-tiba tubuh yang melayang itu

terhajar oleh Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayah...,!" pekik Saka Lintang keras, melihat

tubuh Geti Ireng terpotong-potong di angkasa.

Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti melem-

parkan setiap potongan tubuh ke tanah. Dan

sungguh hebat! Setiap potongan yang jatuh ke

tanah, tersusun kembali seperti semula. Namun

darah telah meng-genang di sekitarnya. Pendekar


Rajawali Sakti turun kembali dengan manis di

tanah.

***

Melihat pemimpinnya tewas dengan tubuh

terpotong-potong, tokoh- tokoh hitam yang

tergabung di bawah Panji Tengkorak, segera

mengambil langkah seribu.

"Pendeta Murtad! Berhenti kau!" teriak Pragola

yang melihat Pradya Dagma melarikan diri dengan

mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.

"Pragola, jangan!" teriak Begawan Pasopati.

Pragola tidak mendengarkannya lagi. Dia telah

lebih dulu mencelat mengejar pendeta murtad itu.

Tokoh-tokoh lain dari golongan putih pun segera

berlompatan mengejar anggota-anggota Panji

Tengkorak yang telah kabur. Begawan Pasopati pun

segera mencelat mengejar Pragola. Dia khawatir

karena murid kesayangannya itu mengejar lawan

yang bukan tandingannya.

Dalam sekejap saja di Lembah Tengkorak tinggal

Pendekar Rajawali Sakti dengan Saka Lintang.

Secara bergantian, Saka Lintang menatap tubuh

Iblis Lembah i Tengkorak dan Pendekar Rajawali

Sakti. Batinnya terus berperang antara percaya dan

tidak, antara kenyataan dan khayalan. Dia ingin

menangis, marah, mtmbenci, tapi tidak tahu kepada

siapa semua dilim-pakkannya.

"Dia ayahmu?" tanya Rangga dengan suara pelan

dan hati-hati.



Saka Lintang hanya menatap saja tanpa berkedip

pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga tengah

menatapnya. Dada gadis itu bergemuruh, tidak

tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Eiitah terdorong rasa apa, tanpa diminta lagi

Saka Lintang menceritakan semua yang diketahui

tentang dirinya berdasarkan cerita Emban Girika.

Rangga mendergarkan tanpa memotong sedikit pun.

Sampai Saka Lintang selesai bercerita, Rangga

masih tetap berdiam diri.

"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi.

Aku...."

"Maaf, Lintang. Masih banyak tugas yang harus

kuselesaikan," potong Rangga cepat.

Saka Lintang terdongak.

"Selamat tinggal!" seru Rangga.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya sudah melesat

ke udara, meluncur cepat menembus hutan dan

meng-hilang dari pandangan mata.

"Rangga....!" Saka Lintang menjerit sekuat-

kuatnya.

Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan

kesal. Dalam kesempatan yang sempit tadi, dia

sudah berusaha menarik simpati pendekar tampan

itu. Namun kini Rangga meninggalkannya sendirian.

Saka Lintang sungguh kecewa. Cintanya yang

berkotar-kobar tidak terbalaskan.

Dari cinta yang tak terbalaskan itu, membuat

Saka Lintang membenci Pendekar Rajawali Sakti.

Wajalnya seketika berubah tegang memerah. Rasa

cinta dan benci bercampur jadi satu. Sikap Rangga


terasa sangat merendahkan harga dirinya.

"Satu saat nanti, kau akan bertekuk lutut di

bawah kakiku!" desis Saka Lintang.

Setelah berkata demikian, Saka Lintang

melangkahkan kakinya meninggalkan markas Panji

Tengkorak, tempat dia dibesarkan. Tempat yang

penuh kenangan manis dan pahit. Kakinya terayun

dengan satu tujuan, mencari dan ingin menaklukkan

pendekar tampan yang telah merobek-robek

hatinya. Mampukah Saka Lintang menaklukkan

Pendekar Rajawali Sakti?

Nah, bagi paia pembaca yang mau tahu

petualangan selanjutnya dari Saka Lintang, silakan

ikuti kisah berikutnya dalam 'Bidadari Sungai Ular'.



                            TAMAT

 


0 komentar:

Posting Komentar