PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE IBLIS LEMBAH TENGKORAK
IBLIS LEMBAH TENGKORAK
oleh Teguh S.
Cetakan pertama, 1990
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit
Teguh S.
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode:
Iblis Lembah Tengkorak
SATU
Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah
danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung.
Permukaan airnya tenang. Bias cahaya matahari
sore dari ufuk Barat, memantulkan warna
keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu.
Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau,
terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama
Lembah Bangkai.
Pemandangannya memang indah, namun jika
malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani
melintasi kawasan itu. Selain bau bangkai yang
selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu
seakan-akan menyimpan misteri yang sulit
diungkapkan.
Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor
kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari
sore membelah jalan di antara danau dan jurang. Di
belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas
kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.
Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa
mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra.
Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan
seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang
tengah mernangku bocah laki-laki berusia sekitar
lima tahun.
"Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung
Melur bergumam. Matanya menatap lurus kearah
danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra
tunggalnya.
"Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati," sahut
Adipari Karang Setra. Matanya menatap iba pada
istrinya itu.
"Adakah jalan lain selain jalan ini?" tanya Tunjung
Melur.
"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling
tidak, bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."
Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya
menatap Rangga Pati, anaknya. Hatinya merasa
gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan
lembah Bangkainya, menghantui pikirannya. Telah
banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini,
namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.
Senja terus merayap rnenjelang malam. Matahari
mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki
bukit. Sinar keemasan itu mulai redup, memberi
kesempatan pada embun dan kabut untuk
menampakkan diri. Rombongan Kadipaten Karang
Setra terus memacu menuju arah terbenamnya
matahari.
"Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui
Ayahanda Prabu," Tunjung Melur sedikit
bergumam.
"Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu
dengan cucu pertamanya."
Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu
bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya,
tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya.
Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai
seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi
orang tua Adipari Karang Setra ini.
Seorang penunggang kuda hitam yaing semula
berada di depan, menghampiri kereta. Di
seragamnya terdapat sulaman bunga karang
berjumlah lima. Tingkat dan kedudukan prajurit
Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari
sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin
banyak jumlah sulaman, makin tinggi tingkat dan
kedudukannya. Penunggang kuda itu
membungkukkan badan dan menoleh ke dalam
kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan
kepalanya.
"Ada apa, Gagak Lodra?" tanya Adipari Karang
Setra.
"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut
Gagak Lodra.
"Maksudmu?" Adipati belum menangkap makna
nya.
Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba
saja kereta terhenti. Adipati Karang Setra
melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia
mendapatkan sebuah pohon besar tumbang
menghalangi jalan mereka.
Adipari Karang Setra ke luar dari kereta.
Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon
tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya,
diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipari
Karang Setra yang ternyata sudah didampingi Gajah
Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga
karang.
Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat
itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur
tiga langkah. Kepalanya agak dimiringkan sedikit
Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi
jalan, jelas suatu kesengajaan. Meski tumbang
berikut akar-akar-nya, tetapi terasa ada keganjilan.
Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon
lain di sekitarnya pasti ikut rusak. Tapi mengapa
hanya pohon besar itu saja yang rusak?
"Hmmm..., ada tamu tak diundang," gumam
Adipari
'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak,
Gusti," sahut Gagak Lodra yang juga menangkap
suara-suara kecil yang mencurigakan di sekitarnya
"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti,"
sambung Gajah Rimang.
"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan.
Napas dan gerakannya terlatih sempurna," kata
Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya.
Suasana jadi hening.
"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!"
sambung Adipati Karang Setra seketika.
"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya
melompat menghampiri para prajurit yang juga
sudah bersiaga.
'Dan kau...," Adipati Karang Setra belum lagi
meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan
semak dan pohon-pohon bermunculan
segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan
senjata terhunus. Gajah Rimang yang baru saja
memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.
Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.
Adipati Karang Setra menatap satu persatu para
pengepungnya. Harinya terkesiap ketika matanya
tertumbuk pada Seorang laki-laki tinggi tegap
berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok
sambil memegang tongkat btrkepala tengkorak
manusia. Adipari tahu siapa laki-lakl Itu.
"Iblis Lembah Tengkorak...," desis Adipari
Karang Setra bergetar.
Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula
mendengar desisan Adipari Karang Setra. Mereka
tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah
seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari
tandingannya. 'Ilmu Tongkat Samber Nyawa' yang
dimilikinya, sangat dahsyat. Belum lagi ilmu
andalannya, yakni 'Bayangan Setan Neraka' benar-
benar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih
yang tewas di tangan iblis ini. Dan kini, dia muncul
dengan tiba-tiba!
"He he he...," Iblis itu terkekeh. Tawanya
disertai tenaga dalam yang sempurna hingga
menggema ke seluruh penjuru. Seketika itu juga
seluruh prajurit Karang Setra bergetar harinya.
"Tak kusangka, Adipari Karang Setra
mengantarkan upeti hari ini," sambung Iblis Lembah
Tengkorak. Suaranya menggelegar meski diucapkan
dengan tenang.
"Hhhh...!" Adipari Karang Setra mendesah
panjang, coba menenangkan diri. Meskipun dia
seorang Adipari dan memiliki kepandaian cukup
tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan
dengan Iblis berwajah kasar itu. Sepuluh orang yang
memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum
tentu mampu mengalahkannya.
***
Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur
berubah pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Tangannya
makin erat memeluk Rangga Pari. Tunjung Melur
memang belum pernah mendengar nama Iblis
Lembah Tengkorak. Tapi nalurinya mengatakan
bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.
"lbu...," Rangga memandang wajah ibunya
Sepertinya dia menangkap kegelisahan ibunya.
Sinar mata polos yang memandangi Tunjung
Melur itu hanya membuat hatinya gelisah. Dia
hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan
pada Yang Kuasa. Tunjung Melur hanyalah seorang
wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan
kaum bangsawan, yang tak mengerti dunia
kependekaran.
"Serang...!" tiba-tiba suara itu menyentak hati
Tunjung Melur. Disusul suara teriakan-teriakan
dan dentingan senjata beradu.
"Oh!" pekik Tunjung Melur ketika para prajurit
yang mengawalnya sudah terlibat pertempuran
sengit dengan gerombolan itu.
''Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!"
teriak Adipari Karang Setra.
Adipari telah sibuk melayani lima orang yang
mengeroyoknya dengan ganas. Terpaksa dikeluarkan
pedangnya. Dengan mengerahkan Ilmu Bayu Mega',
diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang
sangat cepat Dengan ilmu andalan itu, pedangnya
hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh
dari awan.
Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta
ketika mendengar perintah junjungannya itu.
Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut
oleh sebuah kelebatan bayangan hitam.
Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit
menjatuhkan diri ke tanah. Bayangan hitam itu
terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih
bergulingan di tanah. Dan betapa terkejutnya
Gagak Lodra ketika tahu si penyerang adalah Iblis
Lembah Tengkorak.
"Uts!" Gagak Lodra berkelit dan melompat
bangkit.
Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar
bagian kosong di sisi Gagak Lodra. Iblis itu
terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan.
Kembali Gagak Lodra bersiap dengan pedang
menyilang di dada. Matanya tajam memandang Iblis
Lembah Tengkorak yang tegak di depannya.
"Trak!" benturan senjata tajam terjadi lagi. Iblis
Lembah Tengkorak dengan tenang menangkis
serangan pedang yang begitu cepat dari Gagak
Lodra. Seketika Gagak Lodra melompat mundur
sejauh dua tombak. Tangannya seperti kesemutan
saat pedangnya berbenturan dengan tongkat
berkepala tengkorak.
Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika
melihat pedangnya telah patah menjadi dua. Rasa
terkejutnya belum lagi hilang, tiba-tiba ujung
tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya.
Gagak Lodra berusaha berkelit dengan menarik
kepalanya ke be-lakang. Namun....
"Aaaakh...!"
Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat
terhindari. Ujung tongkat yang seperti bernyawa itu
menebas leher Gagak Lodra. Hanya sebentar Gagak
Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah.
Darah dengan segera menyembur dari leher yang
telah buntung itu.
ltulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah
Tengkorak. Meskipun bentuknya bulat, namun
keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak
kalah dengan mata pedang yang tajam.
"He he he...!" kembali Iblis Lembah Tengkorak
terkekeh.
Adipari Karang Setra yang sibuk menghadapi
serangan-serangan anak buah Iblis Lembah
Tengkorak, masih sempat mendengar jeritan Gagak
Lodra. Betapa terkejutnya Adipati ketika melirik
Gagak Lodra telah membujur kaku bersimbah
darah dengan kepala terpisah.
Pertempuran terus berlangsung. Banyak prajurit
Karang Setra yang terjungkal mandi darah.
Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah
Tengkorak memang jauh di atas prajurit-prajurit
Karang Setra. Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang,
dan Adipati sendiri yang memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
Adipari Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan
dalam sekejap telah melayang di udara, lalu meluruk
ke arah Iblis Lembah Tengkorak. Dengan ringan
dijejakkan kakinya di depan pemimpin gerombolan
yang sudah dekat dengan kereta.
"Ayah...!" teriak Rangga ketika melihat ayahnya
sudah berdiri di samping kereta.
Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari
jendela dan berdiri di samping ayahnya. Meskipun
masih bocah, gerakannya lincah dan ringan
menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasar-
dasar ilmu kanuragan dan ilmu meringankan tubuh.
Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat
tingkah anaknya. Dengan cepat dia keluar dari
dalam kereta. Dengan wajah yang diliputi rasa
ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya.
Ditarik tangan bocah itu dan digendongnya.
Bergegas dia menjauhi tempat itu.
"He he he.... Rupanya ada bidadari di sini," Iblis
Lembah Tengkorak terkekeh. Matanya liar menatap
Tunjung Melur yang ketakutan.
Gajah Rimang yang melihat keadaan
junjungannya tak menguntungkan, segera melompat
ke arah Adipati Karang Setra. Tiga orang yang
mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat
oleh pedangnya. Ambruklah orang-orang itu dengan
perut terbelah.
"Bawa istri dan anakku pergi!" perintah Adipari
Karang Setra kepada Gajah Rimang. Pandangannya
tetap pada iblis itu. "Tapi, Gusti...."
'Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan
mereka!" sentak Adipari cepat memotong.
Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali,
Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat
dan menyerang Iblis Lembah Tengkorak. Meski
disadari bahwa lawannya jauh di atas
kepandaiannya, Adipari Karang Setra tak peduli
lagi. Harapannya, Gajah Rimang secepatnya
membawa Tunjung Melur dan Rangga Pati
menyingkir dari tempat ini.
Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan
perintah junjungannya, dia sudah disibukkan
dengan lima orang yang menyerang dengan ganas.
Adipati mendengus geram. Prajuritnya mulai kocar-
kacir. Keadaannya sendiri sudah sangat kewalahan
menghadapi Iblis itu.
Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah
bergelimpangan. Mereka kini tinggal sepuluh orang
termasuk Gajah Rimang. Sementara dari
gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh
orang saja yang tergeletak tak bernyawa.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung dengan darah
mengucur dari tangannya yang telah buntung.
Belum sempat Gajah Rimang menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya
menghunus pedang dengan kecepatan yang luar
biasa, dan tepat menembus jantung Gajah Rimang.
Prajurit Karang Setra ini men jerit keras. Hanya
sebentar dia mampu berdiri. Ketika pedang itu
ditarik, tubuhnya segera ambruk tak ber kutik.
"Keparat!" dengus Adipati saat mengetahui
Gajah Rimang tewas.
Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu
tidak disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang
berakibat fatal buat Adipati. Lalu....
"Akh!"
"Kakang...!" jerit Tunjung Melur memilukan.
Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya yang koyak berlumuran darah.
Men tang, begitu cepat serangan itu sehingga sulit
bagi Adipati menghindari ujung tongkat Iblis
Lembah Tengkorak. Perhatiannya memang terpecah
saat itu.
"Dinda, lari...!" teriak Adipati yang teringat akan
keselamatan anak istrinya.
"Kakang..., kau terluka," bergetar suara Tunjung
Melur.
"Jangan hiraukah aku! Cepatlah lari. Selamatkan
anak kita!" perintah Adipati Karang Setra.
Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa,
ketika tiba-tiba Iblis Lembah Tengkorak melompat
ke arahnya. Melihat keselamatan istrinya terancam,
Adipati dengan sisa-sisa tenaga menggenjot
tubuhnya menghalangi Iblis Lembah Tengkorak.
Benturan di udara tak terhindarkan lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang
menyayat, tubuh Adipati Karang Setra ambruk ke
tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak
bergerak dengan leher yang koyak, hampir putus.
Dada dan perutnya berlubang besar mengeluarkan
darah segar.
"Kakang...!" Tunjung Melur histeris.
Sambil menggendong putranya, dia berlari
menghambur ke arah suaminya yang sudah tak
bernyawa lagi Namun langkahnya tiba-tiba terhenti
karena dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak
sudah menghadang di depannya. Bibir Iblis itu
menyeringai dengan mata liar penuh nafsu menatap
keelokan tubuh Tunjung Melur.
"He he he.... Cantik, cantik sekali...," bibir Iblis
Lembah Tengkorak makin menyeringai lebar.
Liurnya tertahan.
"Oh...!" Tunjung Melur tersentak. Wajahnya
makin pucat.
Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur.
Tangannya kian erat memeluk putranya. Anehnya,
Rangga Pati sedikit pun tak menangis. Dia malah
menatap tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba
hitam yang ada di depannya itu. Nalurinya
mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baik-
baik.
Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu,
Tunjung Melur segera berbalik dan berlari sekuat-
kuat-nya. Iblis Lembah Tengkorak terkekeh sambil
berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya. Meski Tunjung Melur sudah beriari
sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu
kian dekat saja.
Tunjung Melur terus beriari menerobos semak
dan pepohonan. Dia justru tak menyadari kalau
arah larinya Itu mendekati jurang. Iblis Lembah
Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal
betul daerah ini seperti dia mengenal dirinya
sendiri.
"Oh!" Tunjung Melur terkejut setelah menyadari
di depannya terdapat jurang yang menganga lebar,
siap untuk menerkam. Begitu dalamnya sehingga
dasar jurang tidak terlihat.
"He he he...," kembali Iblis itu terkekeh. "Mau ke
mana, Cah Ayu?"
"Oh, tolooong...!" jerit Tunjung Melur sekuat-
kuatnya.
"Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah
Ayu," Iblis Lembah Tengkorak makin lebar
menyeringai.
Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat
perlahan agar Tunjung Melur makin ketakutan.
Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah
mundur. Padahal... satu langkah lagi saja tubuhnya
akan terjerumuske dalam jurang!
Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah
mundur, dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak
melompat sambil mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya meraih pinggang Tunjung Melur. Wanita
itu terkejut luar biasa. Tanpa dapat dicegah lagi,
mereka jatuh terguling menjauhi bibir jurang.
Rangga yang berada digendong-annya terlepas, dan
jatuh mendekati bibir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur saat melihat
putranya terguling mendekati jurang. Tubuh kecil
itu terus berguling, dan untunglah sebuah pohon
besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.
Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak
lalu berlari mengejar anaknya. Tetapi dengan
sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain
wanita itu.
"Auw...!" Tunjung Melur memekik tertahan. Kain
penutup tubuhnya sobek terjambret Tangan
Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya yang
terbuka itu.
"He he he...!" Iblis Lembah Tengkorak terkekeh
melihat tubuh putih mulus di depannya.
Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa
membuang waktu lagi, Iblis Lembah Tengkorak
memburu Tunjung Melur yang telah sampai di
dekat Rangga.
"Akh, lepaskan!" pekik Tunjung Melur ketika
tangan Iblis Lembah Tengkorak memeluk
pinggangnya.
Sekali lagi mereka bergulingan. Tampaknya kali
ini Iblis itu tak akan melepaskannya lagi. Nafsunya
kian tak terkendalikan. Dengan buas direjang dan
diciuminya tubuh Tunjung Melur. Rangga yang
menyaksikan hal itu segera bangkit dari jatuhnya.
Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan
sakit yang sangat, Rangga menubruk sambil memekik
tinggi. Tangannya yang kecil dihantamkan ke
punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya.
Hantaman itu memang tidak berarti apa-apa bagi
Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.
"Bocah setan!" dengus Iblis itu kesal karena
merasa terganggu.
Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan
tangannya. Dengan seketika tubuh kecil itu
melayang deras dan menghantam pohon di pinggir
jurang. "Rangga...!" jerit Tunjung Melur. Ingin
rasanya Tunjung Melur menghambur dan memeluk
putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak
terlampau kuat memeluknya.
Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil
menjerit-jerit berusaha melepaskan diri. Semaldn
kuat dia meronta, Iblis itu makin bergairah.
Rontaan itu dianggap sebagai geliatan yang
menggairahkan. Jeritannya terdengar bagai rintihan
kenikmatan.
Tak ada yang menolong. Tak ada yang
menyaksikan kecuali sepasang mata bulat bocah
kecil itu. Tatapannya penuh perasaan. Walau tak
mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap
ibunya, namun nalurinya mengatakan bahwa ibunya
menjadi korban manusia berhati binatang.
"Ibu...," rintih Rangga sambil berusaha bangun.
Dicobanya untuk berdiri, tapi tubuhnya terasa
lemas. Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan
meremukkan tulang-tulangnya. Untungnya dengan
ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan keras
dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit
tertahan.
Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya
lagi. Dia hanya dapat menangis dan merintih akibat
digagahi oleh Iblis Lembah Tengkorak.
"He he he...!" tawa Iblis Lembah Tengkorak
penuh kemenangan.
Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan.
Titik-titik air mata mengalir membentuk anak sungai
di pipinya. Hati Tunjung Melur kian hancur karena
telah ternoda. Sementara itu Rangga berusaha
merayap mendekati ibunya yang kini tanpa benang
sehelai pun di tubuhnya.
"Ibu...," rintih Rangga. Tangannya menggapai-
gapai berusaha meraih ibunya.
"Huh! Anak ini bisa jadi duri!" dengus Iblis
Lembah Tengkorak.
"Jangan...!" pekik Tunjung Melur ketika melihat
Iblis itu menggerakkan tongkatnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur
berusaha menghalangi tongkat yang terarah kepada
anaknya itu. Dan betapa malangnya nasib Tunjung
Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala
tengkorak itu menghantam kepalanya. Dia tewas
seketika. Rangga terbelalak. Matanya tajam
mengarah pada laki-laki yang telah membunuh
kedua orang tuanya.
"Setan cilik!" dengus Iblis Lembah Tengkorak
merasa mendapat tantangan dari sorot mata yang
tajam penuh kebencian.
Dengan kemarahan yang memuncak,
ditendangnya tubuh Rangga dengan kuat.
Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam
itu, membuat tubuh kecil itu meluncur deras masuk
ke dalam jurang. Tanpa teriakan dan tanpa
terhindari lagi.
Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram,
karena niatnya untuk memiliki wanita cantik itu
gagal total. Kematian Tunjung Melur diluar
dugaannya sama sekali.
Iblis Lembah Tengkorak melompat bagai kilat
meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi
dan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
***
DUA
Jurang Lembah Bangkai memang angker. Iblis
Lembah Tengkorak yang berasal dari daerah itu
sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya
jurang itu. Yang jelas, kecil kemungkinan untuk
selamat jika terjerumus ke dalam jurang Lembah
Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat
tubuh Rangga.
Tubuh kecil itu meluncur deras hampir
menyentuh dasar. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba
seekor rajawali raksasa berwarna putih menyambar
tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan
kuat.
"Khraaaghk...!" suaranya nyaring sambil membawa
tubuh Rangga dan meletakkannya di atas tumpukan
ranting kering dan rerumputan yang ditata
menyerupai sebuah sarang
Rangga tergolek pingsan. Burung rajawali itu
memperhatikan dengan matanya yang merah, bulat.
Kepalanya terangguk-angguk.
Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang
besar dan lembab itu, selalu terselimuti kabut. Ini
membuat udara di sekitar situ menjadi dingin.
Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan
paruh, lalu ditutupinya tubuh Rangga. Dia
mendekam di samping bocah kecil itu sambil
menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang
lebar, seolah-olah ingin memberi kehangatan.
Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba mulut
Rangga mengerang. Kepalanya bergerak lemah.
Burung rajawali memandanginya dengan mata yang
berbinar-binar. Disingkirkannya daun-daun yang
menutupi tubuh Rangga.
"Ibu...!" bocah itu memekik keras ketika matanya
terbuka memandang sekelilingnya. Dia terkejut
ketika matanya tertumbuk pada rajawali putih
raksasa yang ada di dekatnya. Rangga berusaha
bangkit, namun tubuhnya sangat lemas tak
bertenaga. Hanya matanya saja yang terbelalak lebar
memancarkan ketakutan.
Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengerti perasaan yang
meng-hinggapi bocah itu. Pelan-pelan dijulurkan
kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh
rangga dengan paruh yang kekar itu.
Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur
segar seketika. Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap
hilang. Burung itu memang telah menotok jalan
darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga.
Sepertinya burung itu ingin mengatakan kalau
Rangga tak perlu takut.
Dasar bocah! Rasa takut Rangga hilang
seketika. Kini Rangga malah tertawa keras karena
kegelian. Rajawali putih berkoak-koak seperti
gembira melihat Rangga tertawa gelak. Rangga kini
malah membalas canda rajawali dengan menarik-
narik paruhnya yang sebesar kepalanya itu.
Sebentar saja kedua makhluk yang berlainan
kodrat itu kian akrab. Bahkan kini burung rajawali
itu seakan-akan siap melayani segala kebutuhan
Rangga baik, makan, minum, maupun tidur. Jika
Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah
yang menyelimutinya. Pada saat Rangga melamun
teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang
selalu menghiburnya. Mengajaknya bermain dan
bercanda. Komunikasi yang berlainan, tak
menghalangi kedua makhluk itu untuk saling
mengerti dan memahami setiap kata yang terucap.
***
Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah
setahun Rangga hidup di dasar lembah Bangkai
bersama rajawali putih raksasa. Sepertinya mereka
memang telah ditakdirkan untuk bertemu di
Lembah Bangkai.
Selama setahun itu, Rangga dengan cepat
memahami dan mengikurj gerak-gerik burung
rajawali raksasa itu. Tanpa disadarinya, gerak-gerik
itu adalah dasar dari jurus-jurus silat Rajawali
Sakti, tokoh yang hidup dan tak ada tandingannya
seratus tahun yang lalu.
Rangga yang memang cerdas ditambah dasar-
dasar ilmu silat yang telah diperoleh dari mendiang
ayah dan paman-pamannya, membuat gerakan-
gerakan yang diperliharkan burung itu cepat
dipahaminya.
Sore ini, Rangga tengah berlompat-Iompatan dari
satu batu ke batu yang lain di luar goa, mengikuti
gerakan rajawali putih. Rangga tak sadar kalau
burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus
andalan yang pertama yakni,'Sayap Rajawali
Membelah Mega' Jika gerakan jurus itu dibarengi
dengan ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga
dalam yang sempurna, maka tubuh Rangga dapat
bergerak ringan seperti kapas. Seorang yang berilmu
tinggi sekalipun, akan sulit meraba dan melihat
gerakan-gerakan itu. Keistimewaan lainnya, kaki
Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh
tanah. Kibasan tangannya, bagaikan sepasang sayap
yang siap menghancurkan batu karang yang keras
sekalipun. Jari-jari tangannya bagai mata pedang
tajam yang siap membabat seba-tang pohon besar
hingga tumbang.
"Khraaaghk...!" rajawali putih berseru gembira
melihat Rangga berhasil melintasi batu terakhir
dengan mulus.
Satu kali lompatan, Rangga telah berada di
depan burung raksasa itu. Rajawali putih
menundukkan kepalanya. Rangga memeluk seraya
tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus
yang memenuhi kepala burung itu.
"Aku haus, lapar...," kata Rangga pelan.
Rajawali putih mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang diucapkan
Rangga. Dikepakkan kedua sayapnya, dan dalam
sekejap saja burung itu telah mengangkasa. Rangga
memperhatikan dengan mata bocahnya, sambil
menunggu di tempat itu.
Ketika burung raksasa itu telah kembali,
diparuhnya telah bergelayut dua butir kelapa.
Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar.
Rangga sama sekali tak tahu kalau jamur itu
mempunyai khasiat penawar segala macam racun
yang dahsyat sekalipun. Itulah santapan sehari-hari
Rangga.
'Terima kasih, kau baik sekali," Rangga menerima
kelapa dan jamur-jamur itu.
"Khraaaghk...!" Rajawali putih mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga.
Dibelahnya kelapa yang kini berada di tangannya.
Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa terbelah dua!
Rajawali putih terlihat gembira ketika Rangga
berhasil membelah kelapa dengan sekali pukul.
Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu
yang telah nampak dalam kekuatan Rangga.
Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga
membentuk hawa murni secara alami. Tenaga dalam
yang tersalur lewat hawa murni ini dapat menjadi
kekuatan yang luar biasa bagi Rangga. Jika Rangga
benar-benar melatih tenaga dalamnya, tak mustahil
dalam waktu singkat dia akan menjadi seorang
tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.
Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus
silat Rajawali Sakti sepertinya ia adalah pewaris
tunggal ilmu-ilmu Rajawali Sakti, yang seratus tahun
lalu sempat menggegerkan dunia persilatan. Tak ada
seorang tokoh pun yang sanggup menandinginya.
Baik dari golongan hitam maupun putih.
Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang
begitu saja bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti
yang selalu menunggang seekor rajawali raksasa.
Rajawali itu kini bersama Rangga. Lalu, di manakah
tokoh sakti itu?
TIGA
Dunia persilatan saat ini goncang. Gerombolan
yang dipimpin Iblis Lembah Tengkorak makin
merajalela. Banyak tokoh sakti golongan putih yang
mencoba mengakhiri sepak terjang gerombolan itu,
tewas di ujung tongkat berkepala tengkorak milik
iblis itu.
Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yan9 ber
gabung dengan Iblis Lembah Tengkorak. Tentu saja
hal ini membuat cemas tokoh-tokoh aliran putih.
Karena tak mustahil kekuatan Iblis Lembah
Tengkorak akan menguasai dunia persilatan.
Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis
Lembah Tengkorak yang sebenarnya bernama Geti
Ireng, tinggal. Di sanalah markas Geti Ireng dengan
gerom-bolannya yang bernama Panji Tengkorak.
Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak
tampak ramai, Atas undangan Geti Ireng, banyak
tokoh sakti aliran hitam yang hadir di kediamannya.
Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya
seorang tokoh sakti aliran hitam bernama Kala
Srenggi. Dia dikenal sebagai Si Samber Nyawa.
Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi
jika dibandingkan dengan Geti Ireng tak berarti
apa-apa. Kulitnya putih dengan tubuh yang tegap
berisi. Wajahnya muda dan tampan namun
menyimpan garis-garis kekejaman. Senjata
andalannya adalah pedang kembar yang bertengger
menyilang di punggungnya. Ajiannya yang bernama
'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya
bertahan hidup selama sepuluh hari.
Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi
menyatakan takluk karena seminggu yang lalu Geti
Ireng berhasil mengalahkannya. Dengan demikian
Lembah Tengkorak makin ramai dengan
bergabungnya Kala Srenggi bersama murid-muridnya
yang berjumlah separuh dari jumlah anggota Panji
Tengkorak.
"Saya datang memenuhi janji," kata Kala Srenggi
setelah berhadapan dengan Geti Ireng di ruang
pertemuan markas itu.
Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang
terletak di tengah-tengah lembah. Pendopo itu
biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu
yang sealiran dengannya. Di samping Geti Ireng,
seorang gadis cantik berusia sekitar tujuh belas
tahun duduk sambil menatap sinis Kala Srenggi. Dia
bernama Saka Lintang. Saat mata Kala Srenggi
beradu pandang dengannya, harj Kala Srenggi
bergetar.
Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona
dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak
merusak suasana, Geti Ireng tak menegur tamunya
itu. Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan
pandangan Kala Srenggi.
"Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima
seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji
Tengkorak," lanjut Kala Srenggi.
"Bagus, bagus!" Geti Ireng tersenyum senang.
"Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang
mulia," ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka
Lintang.
"Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?"
pancing Geti Ireng.
Kala Srenggi terdongak. Geti Ireng memang
bermaksud menyindir. Kala Srenggi menangkap
maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya.
Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu.
Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Geti
Ireng.
"Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!"
suara Saka Lintang terdengar lembut dan halus,
namun nadanya menyimpan kebengisan dan
kekejaman.
"Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?"
Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi.
Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali
harinya bergetar saat menatap kecantikan Saka
Lintang. Harinya tak dapat dibohongi lagi kalau dia
jatuh hati kepada Saka Lintang.
"Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?" Kala
Srenggi menantang. Matanya tak berkedip
mengakui kecantikan gadis itu, Kepalang basah
Dengus Kala Srenggi dalam hati.
"Kalahkan aku!" Saka Lintang tegas.
"Ha ha ha...!" Geti Ireng terbahak-bahak. Kala
Srenggi makin tajam menatap wajah Saka Lintang.
Agak sungkan Kala Srenggi menerima tantangan
itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya
melepaskan pukulan pada gadis yang telah
menghanyutkan harinya.
"Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah
melepaskan pukulan pada kaum wanita," suara Kala
Srenggi halus.
"Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!" bentak
Geti Ireng. Dia merasa tersinggung sekali dengan
penolakan itu meski diucapkan dengan halus.
"Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi.
Tapi, rasanya saya tak dapat beriaku kasar
terhadap wanita," lanjut Kala Srenggi masih dengan
nada halus.
"Jika demikian, kau tak pantas bernaung di
bawah Panji Tengkorak!" dengus Saka Lintang
sengit.
Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau
gadis cantik ini dapat sekasar itu. Hatinya makin
terkejut saat melihat Geti Ireng mengangguk tanda
setuju. Jantungnya terasa copot.
Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi.
Meski Saka Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi,
namun tak mudah bagi Kala Srenggi untuk
menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus
sekalipun. Bahkan tidak mungkin Kala Srenggi
tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu
andalannya,'Ular Berbisa Menyebar Racun’ atau
mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari'
digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun
tak mampu menandinginya dalam waktu lama.
"Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi," kata Geti
Ireng datar dan dingin suaranya. "Memenuhi
permintaan putriku, atau kau tak akan melihat
matahari lagi!"
Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima pilihan itu.
Dia bukan gentar tapi sungkan menandingi gadis
remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya.
Untuk mati sia-sia dia pun tak mau.
"Bagaimana, Kala Srenggi?" desak Geti Ireng.
Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir
mengejek.
"Baiklah, aku terima tantanganmu!"
***
Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan
meluruk cepat ke pelataran. Gerakannya gesit dan
ringan. Ilmu ringan tubuhnya sangat sempurna.
Jejakan ke tanah bagai seekor burung.
Baru saja Saka Lintang mendarat, tiba-tiba saja
Kala Srenggi telah dihadapannya. Jarak di antara
mereka hanya sekitar satu tombak. Mereka
berhadapan dengan mata tajam saling menilai
kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu
langkah.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" bentak Saka Lintang
keras.
Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat
menyerang Kala Srenggi dengan pukulan yang dialiri
tenaga dalam. Begitu dahsyat pukulan itu, sehingga
angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum
pukulan itu sampai.
Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya
berkelit sedikit menghindari pukulan itu. Sejenak
dia terkejut ketika sambaran angin lewat di samping
kepalanya. Hawa pukulan itu panas sekali. Dengan
cepat Kala Srenggi melompat ke samping ketika
tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah dadanya.
Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.
"Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!"
dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk
menyerang dengan jurus lain.
"Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka
Lintang," puji Kala Srenggi tulus.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" segera Saka Lintang
meliuk liukkan tubuhnya dengan indah dan gemulai.
Seperti sedang menari. Kala Srenggi terpesona
dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah
mengeluarkan jurus maut,'Tarian Bidadari'
Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga
sama sekali gerakan Saka Lintang berubah cepat.
Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah ke
leher Kala Srenggi.
"Akh...!" Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat
menghlndar.
Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan
mengangkat tangan melindungi lehernya yang
terancam. Benturan keras terjadi. Tubuh Kala
Srenggi terhuyung mundur dua tindak. Dirasakan
pergelangan tangannya seperti terbakar. Panas dan
nyeri. Dia meringis sambil memegangi pergelangan
tangan kanannya yang menghitam.
Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru
saja terjadi, Saka Lintang telah mulai dengan jurus
maut lainnya. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'
yang sangat berbahaya dan sulit dihindari Lebih
lebih pada saat lawannya telah terkena hajaran
jurus 'Tarian Bidadari’. Keadaan Kala Srenggi
memang tidak menguntungkan.
"Cukup!"
Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang
tinggi, membuat Saka Lintang mengurungkan
niatnya mengeluarkan jurus maut itu. Tiba-tiba Geti
Ireng telah berada di tengah-tengah arena. Memang
dialah yang mengeluarkan suara itu.
"Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu
menurunkan maut pada Kala Srenggi," sambung
Geti Ireng.
"Huh!" Saka Lintang mendengus. Dia tak
mungkin menentang kehendak ayahnya.
"Kala Srenggi, bagaimana tanganmu?" tanya Geti
Ireng.
"Tidak apa-apa," sahut Kala Srenggi namun
sambil meringis.
"Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya,
Kala Srenggi. Kau tak akan bertahan lebih dari
sepuluh hari," kata Geti Ireng datar.
Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu. Dia
tak menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah
mengeluarkan jurus Tarian Bidadari'. Kala Srenggi
memang pemah mendengar nama jurus itu namun
baru kali inilah dia merasakan. Begitu cepat dan tak
terduga sama sekali.
Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat
Tapi cukup mematikan karena langsung menusuk
jalan darah. Betapa berbahayanya, sehingga orang
yang terkena tak akan sanggup bertahan lebih dari
sepuluh hari.
"Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!"
kata Geti Ireng.
"Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu,
Ayah!" jawab Saka Lintang pongah.
"Kau dengar, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap
Kala Srenggi yang masih meringis memegangi
pergelangan tangan kanan yang makin meluas warna
hitamnya. Tak ada jalan lain bagi Kala Srenggi
kecuali mengangguk. Dalam dunia hitam, martabat
dan nama besar bukan halangan untuk
menyelamatkan nyawanya sendiri. Tanpa malu-malu,
Kala Srenggi mengakui kekalahannya,
"Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi
sepenuhnya demi Panji Tengkorak!"
Saka Lintang tertawa senang.
"Berikan penawar racunmu, Saka Lintang," kata
Geti Ireng sekali lagi.
Saka Lintang merogoh saku bajunya dan
menyentil sebutir pil berwarna merah. Dengan
cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan
kepada Kala Srenggi. Tanpa sungkan lagi, Kala
Srenggi segera menelan pil merah itu.
Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat
deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah
tegang. Segera dirapatkan kedua teiapak tangannya
ke depan dada.
"Jangan berlaku bodoh!" bentak Saka Lintang.
Hawa murni akan mempercepat kemarjanmu!"
Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat dilepaskan
kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu
menjalari tubuhnya. Sungguh tak tertahankan.
Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi
peringatan tadi mengurungkan niat itu.
"Hoek!"
Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut
Kala Srenggi. Kental sekali. Kala Srenggi terkulai
lemas. Hawa panas di tubuhnya, berangsur-angsur
lenyap. Warna hitam di tangan kanannya sedikit
demi sedikit memudar.
"Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama
tiga hari," kata Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang
melompat meninggalkan arena pertarungan tadi.
Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah
hilang, masuk ke dalam rumah yang besar.
Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau
Kala Srenggi dapat dikalahkan hanya dalam tiga
jurus saja. Terlebih bagi Geti Ireng. Semula dia
menduga Kala Srenggi akan melayani Saka Lintang
dengan alot. Nyatanya, hanya sekejap saja. Benar-
benar kemajuan yang luar biasa bagi Saka Lintang.
Tak percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan
ilmunya kepada anak gadisnya itu.
Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu
maut itu. Bahkan telah disempurnakannya. Bukan
tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri.
Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira.
Saka Lintang sudah dapat mewakilinya di dunia
persilatan.
***
Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja.
Tiap hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam
berdatangan untuk menyatakan takluk. Saka
Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokoh-
tokoh itu. Dari sekian banyak tokoh, hanya dua
orang saja yang mampu menandingi jurus 'Tarian
Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Tapi harus diakui, jurus ketiga yang merupakan
gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus
'Ular Berbisa Menyebar Racun' memang tak
tertandingi.
Kedua orang itu sudah terkenal di rimba
persilatan. Yang pertama biasa dijuluki Kakek
Merah Bermata Elang. Jubahnya yang merah dan
matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan
kakek itu bergelar demikian. Kehebatan kakek ini
terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang
menyerupai cakar seekor elang. Sebongkah batu
cadas besar yang keras pun dapat ditembus oleh
jari-jarinya.
Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul
mengenakan jubah kuning. Dia seorang pendeta
dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan.
Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian
mutiara.
Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan
Saka Lintang, terbukfi mereka tak sanggup
menandingi. Dalam hati para tokoh itu berkata
'Putrinya saja tak bisa dikalahkan, apalagi ayahnya!"
Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis
Lembah Tengkorak.
Pada akhirnya, seluruh tokoh-tokoh silat yang
tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk
menjuluki Saka Lintang dengan Kembang Lembah
Tengkorak!
"Aku tak menyangka, perkumpulan Panji
Tengkorak yang baru seumur jagung mampu
mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam,"-
gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah
dia dikalahkan oleh Saka Lintang. Pendeta itu
sebenarnya bernama Pradya Dagma.
'Tak mengherankan kalau Iblis Lembah
Tengkorak akan membuat Panji Tengkorak menjadi
yang terbesar di kalangan rimba persilatan," sahut
Kakek Merah Bermata Elang. Nama aslinya adalah
Kalingga.
"Ya, anak gadisnya saja sudah sehebat itu."
"Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang
sama," jelas Kalingga.
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari
Selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah
itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat
mempecundangi Kalingga.
"Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam
bertahun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis
cantik itu," ada kemurungan pada suara Kakek
berjubah merah itu.
"Kau menyesal, Kakek tua?" tanya Rradya
Dag¬ma.
"Sedikit," desah Kalingga pelan.
"Penasaran?"
"He he he...," Kalingga hanya tertawa.
Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain.
Mata bulat merah itu tidak lagi menyala seperti
semula. Ada keredupan di situ. Meski tak
diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek
tua itu merasa genfar jika berhadapan dengan Saka
Lintang sekali lagi.
Lawan yang mereka hadapi memang tangguh.
Pradya Dagma sendiri berpikir seribu kali jika harus
berhadapan lagi dengan Saka Lintang. Jurusnya
yang dipadu dengan gerakan lembut disertai
penyaluran tenaga dalam, dikenal sebagai jurus
'Bidadari Penyebar Maut'. Setiap gerakannya
mengandung hawa panas dan racun yang
mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian
Bidadari' dengan 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Kehebatan jurus itu telah dirasakan oleh kedua
tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya
saja, kepala mereka menjadi pening. Tak berlebihan
jika gelar Kembang Lembah Tengkorak kini
disandang Saka Lintang. Memang, hanya gadis
inilah yang tercantik dan terkejam di Lembah
Tengkorak.
***
EMPAT
Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar
Lembah Bangkai. Selama itu pula tanpa sadar
Rangga telah digembleng dengan jurus-jurus
Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak dua
puluh itulah Rangga mulai sadar kalau gerakan
burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-
gerakan silat tingkat tinggi.
'Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa," gumam
Rangga setelah menyelesaikan jurus ketiga dari
rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.
Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan
kepala sambil merentangkan kedua sayapnya.
Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan
kegembiraannya. Diraihnya leher rajawali itu seraya
dipeluknya dengan penuh kasih sayang.
Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah
menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Tubuhnya
tegap berisi Otot-otot menonjol di seluruh
tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.
Selama lima belas tahun itu, Rangga telah
menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus
Rajawali Sakti. Jurus yang pertama adalah 'Cakar
Rajawali'. Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari
tangan yang dapat berubah menjadi keras dan
tajam, setajam mata pedang. Jurus yang kedua
adalah 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan
jurus ini Rangga dapat bertarung di udara tanpa
sedikit pun menyentuh bumi. Jurus ini
mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang
dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.
Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Dan kini Rangga tengah
mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Jurus ini sangat berbahaya karena penuh
tipuan. Sasarannya adalah jalan darah lawan.
Sebenarnya jurus keempat ini hanya bisa didapat
oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang
sempurna. Tetapi berkat selama lima belas tahun
Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak
perlu lagi melatih tenaga dalamnya. Jamur-jamur
yang telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-
syarafnya dapat membangkitkan hawa murni yang
secara alami ada dalam tubuh manusia.
"Hey! Mau kemana?" teriak Rangga ketika
rajawali putih itu mengepakkan sayapnya, terbang.
Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' dan dengan seketika tubuhnya
menjadi ringan, Salu mengangkasa. Sedemikian
cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah
berada di atas punggung rajawali.
"Khraagh...!" rajawali putih terus mengepakkan
sayapnya. Kecepatan terbangnya melebihi lesatan
anak panah.
Sebentar saja mereka telah sampai di suatu
tempat yang masih di sekitar Lembah Bangkai.
Rangga belum pernah ke tempat ini.
"Tempat apa ini?" tanya Rangga setelah melompat
dari punggung burung raksasa itu.
"Kraghk!" rajawali menjulurkan kepalanya ke
depan.
Pandangan Rangga mengikuri juluran kepala
rajawali. Matanya agak menyipit mendapatkan
sebuah goa di depannya. Tidak jauh di sisi mulut
goa sebelah kanan, terdapat semacam gubuk
terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa itu sangat
kecil, sehingga rajawali tak mungkin dapat masuk
kecuali kepalanya saja. Tapi, gubuk siapakah itu?
Rajawali putih mendorong punggung Rangga
dengan sayapnya. Agak ragu-ragu Rangga melangkah
menghampiri gubuk rusak itu. Dia tersentak ketika
melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat
makam. Sungguh aneh, keadaan makam itu terawat
rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.
Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa,
namun tetap berlutut hormat. Seketika dia teringat
kedua orang tuanya yang terbunuh lima belas tahun
silam. Rangga sendiri tak tahu di mana makam
kedua orang tuanya sendiri. Agak lama dia berlutut
dan tepekur di samping makam.
"Krhaghk!"
Rangga menoieh ke belakang. Rajawali yang
masih di belakangnya tertunduk mengangguk-
anggukkan kepalanya. Sepertinya ikut sedih melihat
makam ini. Rangga menghampiri dan memeluk leher
burung raksasa itu. Seakan ingin berbagi perasaan
dengan rajawali itu.
"Makam siapa itu?" Rangga berbisik. Rajawali
putih menggoyang-goyangkan kepala lalu
menjulurkan ke arah goa. Rangga paham kalau dia
dimohon masuk dalam goa itu.
Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke
dalam goa. Dia tertegun sejenak saat berada dalam
goa. Keadaan ruangan tak begitu besar namun
banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti
layaknya tempat tinggal. Pada salah satu dinding,
terdapat rak yang penuh dengan buku-buku. Di
samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata.
Ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang
aneh-aneh bentuknya.
Goa ini ternyata juga sebagai tempat
penyimpanan jamur-jamur yang biasa dimakan
Rangga. Anehnya, jamur berwarna putih sebesar
kepalan tangan itu hanya tumbuh pada satu dinding
dekat tempayan air. Tepatnya dinding sebelah
kanan menuju lobang ke luar goa.
"Kau juga ingin melihat?"
Rangga menggeser tubuhnya memberi
kesempatan pada kepala rajawali untuk menyelinap
masuk.
"Khraghk!"
"Ada apa dengan buku-buku itu?" tanya Rangga.
Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke
lantai goa yang berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat
menangkap maksud burung rajawali ini. Bergegas
didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu
buku yang berada paling ujung sebelah kiri.
"Khraghk!"
Rangga menoleh. Dilihatnya kepala burung
rajawali itu menggeleng-geleng beberapa kali.
Diletakkan kembali buku itu di tempatnya. Dia
berpindah mengambil buku paling ujung sebelah
kanan. Kepala burung itu mengangguk-angguk, dan
mematuk-matuk lantai goa lagi.
Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu.
Dan memang benar, buku itu temyata berisi
gambar-gambar jurus silat. Beberapa di antaranya
telah di kuasai. Namun kecerdikannya menangkap
kalau dia harus memperdalam lagi melalui buku itu.
"Punya siapa buku-buku ini?" tanya Rangga.
Kepala rajawali putih menengok ke belakang.
"Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini,
telah meninggal? Siapa dia sebenarnya?"
Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding
goa.
"Sebelah mana?"
Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah
kanan. Rangga mengikuti arah yang ditunjukkan.
Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu tebal
dan berlumut
"Khraghk" rajawali putih memutar-mutar
kepalanya beberapa kali.
Rangga menoleh. Dia melihat rajawali masih
terus memutar-mutar kepalanya. Rangga berpikir
sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata
agak menyipit, lalu mengangguk. Dengan langkah
mantap didekatinya dinding itu. Tangan kanannya
mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser
sedikit pun.
"Krhaghk!"
"Baiklah, aku sekarang mengerti," sahut Rangga.
Rangga mundur dua tindak. Dipusatkan
perhatiannya pada dinding batu itu. Dengan cepat
kedua teiapak tangannya yang terbuka mendorong
ke depan. Seketika itu juga terdengar suara
ledakan yang dahsyat, disusiil getaran seluruh
dinding goa.
Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan
dinding batu di depannya itu bergeser ke samping.
Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh,
seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh.
Matanya makin terbelalak setelah dinding batu itu
terbuka lebar.
Sebuah ruangan yang agak lebar nampak,
bersamaan dengan berhenrinya suara gemuruh itu,
Seberkas cahaya terang memancar dari api yang
berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada
apa-apa di ruangan itu kecuali sebuah batu yang
menyerupai altar. Benda itu terletak di tengah-
tengah ruangan. Sebuah buku kumal tergeletak di
atasnya.
Rangga melangkah masuk. Didekatinya batu
altar yang hitam pekat. Tangannya meraih buku
kumal dan membuka halaman pertama buku itu.
Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman
pertamanya....
***
Rangga kini tahu siapa yang sebenamya
menempati goa ini sebelumnya. Dia adalah seorang
tokoh yang tak tertandingi selama kurun waktu
seratus tahun lalu. Seorang tokoh yang bergelar
Rajawali Sakti yang bertahun-tahun malang
melintang di rimba persilatan. Sampai akhirnya
tokoh itu mengasingkan diri di dasar Lembah
Bangkai.
Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar
itu memang dapat bercerita banyak. Hingga pada
akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang telah jadi
tempat tinggalnya selama lima belas tahun adalah
tempat tinggal burung rajawali raksasa tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan buku itu juga
menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu
selama berkelana di dunia persilatan.
Selama dalam pengasingan diri itu, temyata
Pendekar Rajawali Sakti telah menuliskan seluruh
ilmunya ke dalam buku. Hal inilah yang membuat
Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku
yang berisi jurus-jurus silat Pendekar Rajawali
Sakti.
Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali
terkagum dengan sebuah peninggalan Pendekar
Rajawali Sakti. Sebuah pedang pusaka yang sangat
ampuh.
Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan,
dengan gagang berbentuk kepala rajawali yang
terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang itu
memang dahsyat Seluruh aliran darah Rangga
terasa bergetar ketika mencabut pedang itu dari
sarungnya. Kekaguman Rangga tak terhenti sampai
di situ. Dicobanya pedang telanjang itu pada
sebuah batu sebesar kerbau. Dan hanya sekali
tebas saja, batu hancur berkeping-keping!
"Khraaaghk...!"
Rangga menoleh ke arah Rajawali yang sejak tadi
mengawasi dari mulut goa. Dia segera memasukkan
pedang itu ke dalam sarungnya. Kepala burung
raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan
suara yang memekakkan telinga. Rangga tersenyum.
Dia tahu kalau burung itu menyatakan
kegembiraannya.
Rajawali putih gembira karena Rangga tidak
mendapat pengaruh yang berarti sewaktu
memegang dan menebaskan pedang pusaka itu.
Sebab tak sembarang orang dapat meiakukannya.
Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah darah
meski belum mencabut dari sarungnya.
"Ya, ya...! Mudah-mudahan aku bisa mengikuti
jejak Pendekar Rajawali Sakti," kata Rangga menya-
huti gerak-gerak kepala burung itu.
"Khraaaghk..!" burung rajawali seakan-akan
menyambut gembira ucapan Rangga itu.
Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan
mengepak-ngepakkan sayap dan terbang berputar-
putar. Suaranya memekakkan telinga.
"Rajawali, sudah! Aku juga gembira!" teriak
Rangga yang sudah berada di luar goa.
Burung itu segera menukik turun di depan
Rangga. Kepalanya mendesak-desak wajah Rangga.
Rangga memeluk penuh kasih sayang. Dia berjanji
dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu
Pendekar Rajawali Sakti sekaligus
menyempurnakannya.
Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang
telah terbunuh. Hatinya mendadak panas terbakar
dendam. Dia bertekad akan mencari pembunuh
orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu
Pendekar Rajawali Sakti. Kemurungan yang
tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung
rajawali. Mata bulat merah menatap lurus ke wajah
Rangga. Sepertinya ikut merasakan kepedihan yang
melanda hati anak muda ini.
"Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih," ucap
Rangga pelan.
Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan.
Sinar matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar
Rangga mengeluarkan seluruh isi hati kepadanya.
"Aku harus membalas kematian ayah dan ibu,"
ucap Rangga sedikit geram.
"Khraghk!" burung rajawali putih mengangguk-
angguk seperti menyetujui ucapan Rangga.
"Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala
bentuk kejahatan di atas bumi ini.
Rajawali berseru nyaring. Kata-kata Rangga
membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga
seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan
dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang
diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa tuhur dan
berhati bersih. Rajawali gembira karena telah
mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti
yang telah lama meninggal dunia.
***
Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya
berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar
Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka
burung rajawali putih selalu menemani dan memberi
petunjuk dengan bahasa isyarat.
Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti disempumakannya. Waktu
terus berjaian hingga tak terasa lima tahun telah
berlalu. Rangga kini telah mencapai tingkat terakhir
jurus Rajawali Sakti.
Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan
empat jurus andalannya yang memang sebelumnya
sangat dahsyat. Gabungan empat jurus andalan itu
dinamakan jurus 'Seribu Rajawati'. Kedahsyatan
ilmu itu, Rangga bagaikan menjelma menjadi burung
rajawali. Kece¬patan geraknya sangat luar biasa.
Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi
seribu jumlahnya. Dengan jurus ini dia dapat
bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan
apa-apa.
"Khraaaghk...!" rajawali raksasa berseru nyaring
ketika Rangga menyelesaikan jurus terakhirnya.
Rangga menoleh dan tersenyum. Tubuhnya yang,
tegap dan kekar tampak bercahaya. Keringat
membasahi seluruh tubuhnya bagai butir-butir
permata tertimpa sinar matahari. Rangga tersenyum
puas melihat kehebatan jurus terakhirnya.
"Bagaimana, rajawali?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" rajawali mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Ada yang kurang?"
Rajawali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku merasa sudah waktunya meninggalkan
lembah ini," agak pelan suara Rangga menyampaikan
maksud itu.
Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata
Rangga. Seperti berat untuk berpisah dengan aark
muda ini. Dua puluh tahun mereka bersama dan
kini saatnya berpisah. Rangga harus mencari
pembunuh orang tuanya.
"Setiap saat kita bisa berternu," kata Rangga
seperti mengerti perasaan rajawali itu. Sebenarnya
dia juga berat untuk meninggalkan lembah ini. Tapi
dia harus membalas kematian orang tuanya.
Mata rajawali masih menatap ke bola mata
Rangga.
"Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi
kau dapat kupanggil dalam jarak jauh sekalipun,"
kata Rangga lagi.
Burung rajawali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sepertinya dia telah merasa lega
mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan
Sakti*. Dengan ilmu itu mereka bisa bertemu setiap
saat. Dengan demikian ikatan batin makin terjalin
erat.
"Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama
Pendekar Rajawali Sakti?" Rangga meminta
persetujuan.
"Khraghk!" rajawali raksasa itu mengangguk-
angguk tanda setuju.
"Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali
Sakti juga menyetujui," gumam Rangga pelan.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar
beberapa kali disertai suara gemuruh. Padahal
iangit saat itu cerah sekali. Bahkan kabut tebal
yang biasanya menyelimuti lembah tak nampak sejak
tadi pagi.
Rangga mendongakkan kepalanya. Gumamnya
seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang
menyambar disertai suara gemuruh seperti
pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke
dalam tubuh Rangga. Ini berarti pemuda tampan
dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang,
tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat
bagai gempa. Bersamaan dengan itu burung rajawali
raksasa mengeluarkan suara nyaring sambil
mengepak-ngepakkan sayapnya, namun tak terbang.
Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-
tiba ini. Dia heran kenapa burung itu juga
mendadak seperti gila.
Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di
dalam benaknya itu, mendadak tanah kuburan yang
berada di depan Rangga terbongkar disertai suara
ledakan dahsyat. Rangga melompat mundur satu
tombak. Dia tercenung melihat rajawali putih
menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk
dalam. Kedua sayapnya terbentang lebar menutupi
rerumputan di sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga terkejut. Dari dalam kuburan
yang terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung.
Semakin lama semakin tinggi ke angkasa, kemudian
lenyap bersamaan dengan munculnya seorang lalu-
laki berwajah tampan dan gagah berdiri di atas
tanah kuburan yang berlubang besar.
Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu
memberi isyarat agar Rangga berlutut. Walaupun
benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut.
Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.
"Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?" sopan dan
lembut suara Rangga.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki
tampan itu.
"Oh!" Rangga tersentak kaget. Segera dia
memberi hormat.
"Bangunlah, anak muda," kata Pendekar Rajawali
Sakti pelan berwibawa.
Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia
menghormat.
"Bertahun-tahun aku menginginkan seorang
murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku.
Akhimya, harapanku terkabul. Meskipun tak
langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga
kau dapat menguasai seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'.
Bahkan kau mungkin lebih sempurna daripada
diriku," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku
lancang," ucap Rangga dengan tutur bahasa indah.
Semua kata-kata itu didapatkannya dari salah satu
buku yang terdapat dalam goa.
"Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku
merasa bangga. Kau memang pantas menyandang
gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi
pekertimu tak kusangsikan lagi. Hanya satu yang
masih mengganjal hatiku."
"Hamba mohon petunjuk guru."
"Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam
dalam hatimu!"
Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas
dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya
belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat itu.
Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya
dibunuh di depan matanya sendiri.
"Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga,"
kata Pendekar Rajawali Sakti lembut.
"Hamba mohon ampun, Guru," ucap Rangga
pelan.
"Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah
menjadi kewajiban seorang anak membela martabat
orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian
orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."
"Apa itu, Gum?"
"Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya
bersemedilah selama tujuh hari. Bersihkan dulu jiwa
dan ragamu dari nafsu duniawi yang dapat
menjeratmu ke lembah nista."
"Baik, Gurum. Akan hamba laksanakan semua
titah Guru."
"Bagus! Rajawali putih akan menemanimu
bersemedi. Dia juga akan menunjukkan tempat yang
baik untuk bersemedi."
"Terima kasih, Guru." .
"Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang
gelar Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan
itu!"
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan
Pendekar Rajawali Sakti menghilang. Seketika itu
pula kuburan yang berlubang terrutup kembali,
disusul oleh suara guruh disertai kilat yang
menyambar-nyambar. dengan sekejap, langit kembali
cerah seperti semula.
Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling
menatap rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka
saling pandang. Kepala burung itu menggeleng lalu
menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya.
Dengan tangkas dan ringan dia melompat, hinggap
di punggung rajawali putih. "Khraagk...!"
Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali
putih melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja
mereka telah berada di udara meninggalkan
Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Rangga
menoleh ke bawah. Lembah Bangkai bagaikan
sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang
luas.
"Kau bawa ke mana aku?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" sahut rajawali terns terbang
menuju Utara.
"Di sanakah aku harus bersemedi?" tanya Rangga
lagi.
"Khraghk!" Kepala rajawali terangguk-angguk.
***
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tempat inilah yang pertama diinjaknya setelah
keluar dari Lembah Bangkai. Sebuah daerah
berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang
pohon pun tumbuh di situ. Di sekelilingnya hanya
batu-batuan yang membukit.
Dengan ujung paruhnya, rajawali putih
mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih.
Rangga memandang batu itu, lalu kembali
mengedarkan pandangannya. Matanya menatap ke
bola mata rajawali.
"Di sini tempatnya?" tanya Rangga belum yakin.
Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang
seperti ini. Tempatnya di sebuah batu di tengah-
tengah bukit, yang panas menyengat pada siang
hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Rangga
menjadi yakin. Di mana pun tempatnya, harus
dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat purnama Rangga hams memulai semadinya.
Rangga mendongakkan kepalanya. Matahari sudah
condong ke Barat. Sebentar lagi malam tiba, dan
purnama tepat jatuh pada malam ini. Rangga harus
menyiapkan diri dari sekarang untuk bersemadi.
Proses terakhir yang sangat berat dalam latihan
kesempurnaan seorang pendekar.
Apapun beratnya, Rangga tak perduli. Hatinya
mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di
Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani
tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti. Satu
tahapan yang paling berat. Bersemadi dan berpuasa
selama tujuh hari tujuh malam.
Matahari telah tenggelam. Rangga telah bersila
dan kedua telapak tangannya merapat di depan
dada. Kepalanya tertunduk, perhatiannya terpusat
pada mata hatinya. Pikirannya kosong. Seluruh
indranya tertutup.
Sementara itu rajawali putih mendekam tidak
jauh dari Rangga. Malam teruss merambat. Dingin
mulai menusuk. Namun Rangga telah menutup
indra yang berhubungan dengan dunia luar. Dia
merasa seperti hidup di alam lain.
***
LIMA
Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung.
Awan hitam bergulung-gulung di angkasa menutupi
cahaya matahari. Angin berhembus keras
merontokkan dedaunan. Tampaknya sebentar lagi
akan turun hujan lebat.
Keadaan alam yang tak menguntungkan itu,
tidak menghalangi seorang penunggang kuda untuk
memacu dengan cepat melintasi lereng bukit
Cubung. Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan
gagah. Dilihat dari dua buah pedang kembar di
punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari
Kala Srenggi.
"Berhenti...!"
Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang
keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya.
Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua
kaki depannya, lalu berhenti.
Kala Srenggi mengedarkan pandangannya. Tak
ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Kala
Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu
mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia
waspada.
"Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus
busuk bersembunyi dalam got!" teriak Kala Srenggi
dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar se-
hingga menggema ke selumh bukit.
Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala
Srenggi, sehingga hembusan angin berhenti
seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.
"He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya
mengandalkan bacot!" terdengar suara ejekan
menggema.
"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!"
Kala Srenggi panas.
"Sejak tadi aku di sini, Kala Srenggi."
Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan
tawon. Dia cepat melompat dari punggung kudanya.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah berdiri
seorang kakek di atas batu besar. Kala Srenggi tahu
kalau kakek itu seorang tokoh sakti yang bernama
Empu Danuraga, atau biasa dijuluki Si Gila
Pembuat Pedang.
Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat
disegani. Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugal-
ugalan, tetapi dia termasuk tokoh aliran putih.
Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di
tangannya. Caranya berdiri di atas batu itu juga
seperti bocah. Dia bertumpu pada sebatang pedang
hitam jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.
"Ada urusan apa kau menghalangi jalanku,
Kakek tua" tanya Kala Srenggi dingin.
"He he he..., aku hanya minta ditemani," sahut
Empu Danuraga. Tangannya menimang-nimang
pedang hitam, bagai menimang boneka.
"Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang
lebih penting!" Kala Srenggi melompat ke punggung
kudanya.
Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong
ranting kering meluncur cepat ke arahnya. Kala
Srenggi dengan cepat berkelit. Dengan ujung jari,
disentilnya ranting itu. Tubuh Kala Srenggi lalu
bersalto di udara, kembali turun dengan manis.
"He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan
hanya nama kosohg," lagi-lagi Empu Danuraga
mengejek.
"Empu gila!" bentak Kala Srenggi gusar. "Aku
tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau halangi
jalanku?"
'Tidak ada urusan katamu? He he he.... Rupanya
kau sudah pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja
meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau
berhutang nyawa pada cucuku!"
"Jangan mencari-cari perkara, Empu Danuraga.'
Aku tidak kenal dengan cucumu!"
Empu Danuraga mendengus sambil menghentak-
kan pedang hitam nya ke atas batu. Dengan cepat
dia melompat ke arah Kala Srenggi. Batu yang
terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu
hancur luluh seperti tepung. Kala Srenggi
terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.
Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi
hanya dihentakkan satu kali. Hentakannya pun
biasa saja, namun hasilnya sangat mengejutkan.
Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh
luar biasa tenaga dalam dan pedang hitam Empu
Danuraga. Tidak mustahil pedang hitam itu
merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.
“Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala
Srenggi” dengus Empu Danuraga geram. "Apa kau
sudah lupa dengan peristiwa tiga tahun yang lalu di
Padepokan Banyu Larang?"
Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa. Padepokan
Banyu Larang adalah tempat pertama dia
menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng.
Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya,
karena tidak bersedia mengakui Panji Tengkorak
sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.
Ada seorang anak muda yang menjadi tamu di
Padepokan Banyu Larang, terbunuh oleh Kala
Srenggi. Apakah pemuda yang mencoba
membunuhnya itu cucu Empu Danuraga? Dilihat
dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan
jurus silat Empu Danu raga.
"Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau
tahu, siapa tamu yang kau bunuh di Padepokan
Banyu Larang?" geram Empu Danuraga. Matanya
tajam menatap Kala Srenggi.
"Aku tidak perduli siapa dia!" sahut Kala Srenggi
getir.
"Dia cucuku!"
Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya
sejak semula kalau anak muda itu adalah cucu
Empu Danuraga.
"Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar
nyawa!" lanjut Empu Danuraga lalu bersiap-siap
menyerang Kala Srenggi.
Kala Srenggi segera bersiap-siap pula. Dia sudah
mendengar tentang kehebatan tokoh tua ini, maka
dengan segera dicabut pedang kembarnya. Mata
pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan
tertimpa cahaya matahari yang telah kembali
bersinar. Disilangkan kedua pedang di depan dada.
Kaki kanannya ditekuk ke depan sedikit. Itulah
pembukaan jurus 'Pedang Kembar’ Jurus dahsyat
yang jadi salah satu andalan Kala Srenggi.
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh melihat
pembukaan jums 'Pedang Kembar'. "Mainan bocah
ingusan jangan kau pamerkan di hadapanku."
"Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!" Kala
Srenggi segera menerjang dengan jurus-jurus
ampuh-nya.
Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit
ke kiri dan ke kanan, menghindari sabetan dan
tusukan pedang kembar.
Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala
Srenggi memang hebat. Gerakannya cepat sehingga
bentuk pedangnya tidak nampak lagi. Yang terlihat
hanya seberkas sinar kembar berkelebatan
mengurung Empu Danuraga. Namun begitu, Empu
Danuraga tenang saja. Bahkan kedua kakinya tidak
bergeser sedikit pun. Suara tawanya terus
terdengar.
"Setan tua!" Jangan katakan aku kejam jika kau
mampus di ujung pedangku!" dengus Kala Srenggi
melihat lawannya hanya berkelit saja.
"Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan
bocah ingusan!" ejek Empu Danuraga. Wut!
Kala Srenggi merobah serangannya. Kali ini
digunakannya jurus 'Dua Mata Pedang Maut'.
Jurus ini lebih hebat lagi. Kala Srenggi bahkan
hanya terlihat bayangannya saja. Melompat ke
segala penjuru dengan kedua pedang menyambar-
nyambar.
Trang!
Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan
pedang hitamnya untuk menangkis serangan lawan.
Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang
dimainkan Kala Srenggi. Pijaran api memercik ketika
pedang mereka berbenturan.
Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui
kehebatan kakek ini. Tangannya selalu terasa
kesemutan jika salah satu pedangnya membentur
pedang Empu Danuraga. Tapi berkat
ketrampilannya memainkan dua pedang yang
dibarengi pengerahan tenaga dalam, Kala Srenggi
masih mampu melakukan serangan-serangan
berbahaya.
Lima belas jurus telah berlalu. Belum ada
seorang pun kelihatan terdesak. Empu Danuraga
sendiri sudah membuka serangan berbahaya dengan
jurus-jurus andalannya. Kini dua puluh jurus
berlalu, namun belum juga ada yang terdesak.
Merasa tidak mungkin mengalahkan Empu
Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi
melompat ke luar pertarungan sejauh dua tombak.
Segera kaki-nya melebar. Kedua tangannya menjulur
ke atas. Kedua tangan itu pelan-pelan turun
menekuk sejajar ketiak. Kala Srenggi membuka
'Ajian Tapak Beracun'.
***
"Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba. "Kau
takut dengan 'Ajian Tapak Beracun' ku!" ejek Kala
Srenggi
"Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu,
aku bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji
Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan
Setan Racun Merah?"
"Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?"
dengus Kala Srenggi.
"Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"
desak Empu Danuraga.
"Ha ha ha...!" Kala Srenggi hanya tertawa. Empu
Danuraga mengkeretkan gerahamnya. Sinar
matanya tajam menatap Kala Srenggi. Hampir
sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar
Setan Racun Merah. Dan sekarang, tiba-tiba saja
jums ampuh itu diperagakan Kala Srenggi. Walau
dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa
mengenali dengan baik. Lebih- lebih ketika melihat
kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti
terbakar.
"Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau
kenal baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di
mana dia sekarang?" dingin suara Empu Danuraga.
"Dia sudah mati!" Kala Srenggi datar.
"Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!" Empu
Danuraga gusar merasa dipermainkan.
"Siapa yang main-main? Dia sudah mati setelah
menurunkan 'Aji Racun Merah' padaku!"
"Jadi... kau muridnya?"
"Kalau benar, kau mau apa?"
"Setan busuk!" dengus Empu Danuraga geram.
"Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah
mati! Huh, sia-sia semua yang kulakukan selama
sepuluh tahun!"
Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak
mengerti kenapa Empu Danuraga seperti menyesali
kematian Setan Racun Merah. Adakah hubungan
istimewa antara dua orang itu?
"Di mana dia dikuburkan?" tanya Empu
Danuraga lagi.
"Untuk apa kau ketahui?" balas Kala Srenggi.
"Aku harus tahu kuburnya!"
"Tidak seorang pun boleh tahu!"
"Setan alas!" geram Empu Danuraga. Kala
Srenggi terkejut setengah mati melihat perubahan
paras Empu Danuraga. Seluruh wajah kakek itu
mendadak menjadi hitam legam bagai arang. Tanpa
disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang
Geni'. Satu ajian yang sangat dahsyat dan sulit
dicari tandingannya.
Tiba-liba saja Kala Srenggi teringat pesan Setan
Merah sebelum menghembuskan napasnya yang
terakhir. Dia harus menghindari bentrokan dengan
Empu Danuraga. Lebih-lebih jika kakek ini sudah
mengerahkan 'Aji Klabang Geni’. Tidak mungkin
Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan
'Aji Racun Merah' sekalipup.
"Baiklah!" gumam Kala Srenggi sambil menarik
kembali ajiannya itu. "Kuburan Setan Racun Merah
ada di puncak Gunung Cupul"
Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu
membalikkan tubuhnya. Wajahnya kembali seperti
biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun tidak
mengurangj ketajamannya.
"Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau
menanyakan kuburannya?" tanya Kala Srenggi ingin
tahu.
"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" sahut
Empu Danuraga datar.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun
Merah?"
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh.
"Apakah kau akan membela gurumu?"
"Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah
punya urusan."
"Kau akan tahu nanti, Kala Srenggi!"
"Hey...!"
Empu Danuraga mencelat bagai kilat. Sekejap
saja tubuh Empu Danuraga lenyap dari pandangan
mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski
dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.
"Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi.
Persoalan kita belum selesai!" tiba-tiba suara Empu
Danuraga bergema.
Kala Srenggi terkejut. Dia tahu itu suara Empu
Danuraga. Suara yang dihembuskan dengan jelas
tanpa diketahui ujudnya. Sungguh suatu ilmu yang
hebat. Lama juga Kala Srenggi mematung. Kata-
kata Empu Danuraga tidak bisa dianggap main-
main. Entah kapan, pasti dia akan mencari dan
menuntut balas atas kematian cucunya.
"Hhhh...!" Kala Srenggi menarik napas panjang.
Terselip rasa sesal membiarkan seorang murid
Padepokan Banyu Larang lolos. Sebenarnya bisa
saja dikejar, tapi Kala Srenggi terlalu sibuk
menghadapi ketua Padepokan itu. Tentu orang
yang lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga
tentang peristiwa di Banyu Larang.
Kala Srenggi rnenghembuskan napasnya dalam
dalam. Sudah kepalang basah, pesan Setan Racun
Merah terpaksa dilanggarnya. Toh ini bukan
kesengajaan. Jika pada akhirnya harus bentrok
dengan Empu Danuraga, dengan terpaksa harus
dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak
mampu mengalahkan Empu Danuraga. Apalagi
dirinya?
Kala Srenggi dengan sigap melompat ke
punggung kudanya. Segera kuda itu melesat setelah
Kala Srenggi menggepraknya. Debu-debu
beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan
terbang itu.
***
Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh
Giring, Kala Srenggi menghentikan kudanya. Seperti
ingin memamerkan ilmu ringan tubuhnya, dia
melompat dengan indah dari punggung kuda.
Dengan langkah tegap dan pandangan Jurus ke
depan, dia memasuki kedai itu.
Matanya langsung tertuju pada Saka Lintang
dan tiga orang laki-laki berwajah kasar. Mereka
duduk menghadapi meja yang penuh dengan
makanan. Kala Srenggi segera menghampiri dan
duduk di antara mereka. Ketiga laki-laki yang
bersama Saka Lintang adalah pengawal pribadi
gadis ini. Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai
Baja.
"Kau terlambat, Kala Srenggi," kata Saka
Lintang, Kembang Lembah Tengkorak. Suaranya
datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya pun
tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.
"Ada hambatan kecil," sahut Kala Srenggi sambil
menuang arak ke dalam gelas bambu.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu
laporanmu!" masih datar suara Saka Lintang.
"Gagal," pelan suara Kala Srenggi.
Brak!
Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar
yang digebraknya bergetar dan pecah jadi dua.
Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya,
beran-takan bersamaan dengan tergulingnya meja
itu. Tiga laki-laki yang duduk di depan Saka Lintang
melompat.
Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar
ketakutan. Bagi pengunjung yang bernyali besar,
tetap duduk tenang di meja masing-masing.
"Semua bukan salah ku, tapi ini!" Kala Srenggi
sengit. Dijambretnya kalung berkepala tengkorak
yang melilit lehernya.
Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala
Srenggi, pengunjung kedai yang masih bertahan,
segera ambil langkah seribu. Mereka tidak ingin
berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak.
Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji
Tengkorak.
"Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang
Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke
benteng Kadipaten. Pekerjaan itu memang mudah,
tapi dengan benda ini apa jadi gampang? Mereka
semua kenal tanda ini, Lintang!" Kala Srenggi
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Lihat!
Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"
Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya
keseluruh ruangan yang kini sepi. Matanya
tertumbuk pada salah satu meja di sudut. Ternyata
masih ada beberapa orang yang masih bertahan di
kedai ini. Ada lima orang yang masih duduk
melingkari meja. Mereka seperti tak peduli dengan
keadaan kedai.
"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" kata
Saka Lintang Matanya masih menatap ke arah
sudut ruangan.
"Di mana Geti Ireng?" tanya Kala Srenggi.
"Di penginapan Mawar Jingga."
Kala Srenggi memakai kembali kalungnya,
kemudian melangkah ke luar kedai. Penginapan
Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh
Giring dengan dukuh Merang. Geti Ireng selalu
menggunakan penginapan itu jika ke luar dari
Lembah Tengkorak.
Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali lagi
dan berdiri di depan pintu. Mukanya merah padam
seperti menahan marah.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang. Kala Srenggi tak
menyahut. Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah
Saka Lintang. Dengan tangkas gadis itu
menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar
daun lontar yang diikat dengan pita merah.
Saka Lintang mendelik setelah mengetahui
isinya. Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat,
"Kalian anggota Panji Tengkorak, hams mampus di
tangan kami!" Saka Lintang segera menatap kelima
orang yang masih acuh di sudut.
"Kurang ajar!" desis Saka Lintang seraya
meremas daun lontar hingga remuk.
Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan
pandangannya ke sudut. Kala Srenggi juga menatap
ke arah yang sama. Tiba-tiba tatapannya terganggu
oleh suara desis kuda yang ada di luar. Betapa
terkejutnya Kala Srenggi ketika melihat kudanya
telah mati. Dan yang paling membuatnya geram
adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh
ruyung yang menancap di leher. Ruyung itu kecil,
tapi sanggup membunuh kuda tanpa menimbulkan
suara sedikit pun.
"Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang
membereskan tikus-tikus ini!" sem Saka Lintang.
'Tidak!" dengus Kala Srenggi gusar. "Nyawa
kudaku harus ditebus dengan seribu nyawa!"
Kala Srenggi menatap Saka Lintang. Gadis itu
memperhatikan myung pembunuh kuda yang masih
di genggaman tangannya. Dia tadi tak melihat
bercak darah yang masih baru pada ruyung itu. Tak
disangka benda sekecil Ini bisa menewaskan seekor
kuda.
Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri.
Mereka segera menuju ke pintu keluar tanpa
mempedulikan empat orang yang dilanda geram.
Langkah kelima orang-itu terhenti ketika Tiga
Serangkai Rantai Baja melompat menghadang.
"Maaf, kami mau keluar," kata salah seorang
dengan sopan.
"Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama
dan dari mana asal kalian!" dengus salah seorang
dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang bernama
Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja
dan Wratbaja.
"Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan
keempat adikku bernama, Baga Pari, Tatra Pari,
Kanta Pari, dan Dadap Pari," sahut Langlang Pari
memperkenalkan yang lainnya. Mereka lima
bersaudara.
Kala Srenggi segera melompat ke depan.
Wajahnya makin merah membara. Matanya menyala-
nyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan
amarah. Tidak salah lagi, lima orang yang berada di
depannya kini adalah Lima Pari Emas. Andalan
mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang
sangat kecil. Biasanya ruyung itu mengandung
racun yang mematikan. Pantas saja kalau kudanya
mati seketika tanpa menimbulkan suara.
Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja yang
menjadi andalan mereka berlima. Mereka juga ahli
ilmu pedang, di samping aji-aji kesaktian lainnya yang
tidak bisa dianggap remeh.
"Kalian harus bayar nyawa kudaku!" geram Kala
Srenggi.
"Berapa harga kudamu?" tanya Langlang Pari
acuh.
"Setan! Nyawa kalian berlima belum cukup
mengganti kudaku!"
"Apakah kudamu lebih berharga dari nyawamu
sendiri?"
Kala Srenggi tidak dapat lagi menahan
amarahnya. Segera dicabutnya pedang kembarnya.
Sret!
"Keluarkan senjata kalian!" bentak Kala Srenggi
lalu membuka jurus 'Pedang Kembar'.
Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah siap
dengan. senjata masing-masing, berupa rantai baja
murni berkepala bola berduri. Mereka berlompatan
mengurung Lima Pari Emas. Hanya Saka Lintang
saja yang tetap tenang berada di tempatnya.
Matanya malah mengamati ruyung di tangannya.
"Mampus kau!" bentak Kala Srenggi seraya
menyerang Langlang Pari dengan jurus 'Pedang
Kembar'.
Langlang Pari berkelit menghindari serangan
dahsyat itu. Bersamaan dengan itu, Tiga Serangkai
Rantai Baja pun telah menyerang tiga dari Lima Pari
Emas.
Pertempuran satu lawan satu berlangsung sengit
di dalam kedai. Dalam sekejap saja keadaan kedai
menjadi berantakan. Masing-masing menggunakan
jurus andalan dan berusaha menjatuhkan lawan
secepatnya. Tetapi mereka semua adalah tokoh-
tokoh yang punya nama dalam rimba persilatan.
Yang terlihat kini hanya bayang- bayang yang
berkelebat ke setiap arah.
Saka Lintang yang tengah mengamati ruyung
kecil tiba-tiba terkejut. Dia merasakan sambaran
angin melesat ke arahnya. Dengan sigap gadis ini
melenting ke udara sehingga desiran angin hanya
lewat di bawah kakinya. Ternyata desiran itu
berasal dari sebuah ruyung yang dilepaskan oleh
Tatra Pari yang belum kebagian lawan.
"Pengecut!" dengus Saka Lintang geram. Secepat
kilat ruyung yang berada di tangannya dilemparkan
ke arah Tatra Pari. Dengan sigap pula Tatra Pari
menangkap kembali ruyung yang meluncur deras itu
dengan jari dan memasukkannya ke dalam jubah.
Tatra Pari segera melesat menerjang Saka Lintang.
Rupanya Tatra Pari tidak main-main lagi. Dia pun
melompat sambil mencabut pedang yang menempel
di punggungnya. Pedang terhunus itu telah
mengarah ke arah Saka Lintang, tiba-tiba.... Tring!
Betapa terkejutnya Tatra Pari ketika merasakan
pedangnya membentur benteng baja yang kokoh.
Tangannya terasa kesemutan. Didaratkan kakinya
ke tanah. Tanpa diketahui dari mana datangnya,
tiba-tiba di depan Saka Lintang telah berdiri
seorang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada bocah
telengas ini, Saka Lintang," kata laki-laki gemuk
berkepala gundul yang tak lain Pendeta Murtad
dari Selatan.
Saka Lintang hanya mengangguk. Sebagai putri
Ketua Panji Tengkorak, dia harus bisa bersikap
sebagai pemimpin yang dapat menunjukkan
kewibawaan diri agar disegani lawan maupun
kawan.
"Hm, rupanya Pendeta Murtad dari Selatan
sudah jadi anjing Geti Ireng," dengus Tatra Pari
bergumam.
"Jangan banyak omong, bocah setan! Keluarkan
seluruh kesaktianmu!" balas Pendeta itu yang
mempunyai nama asli, Pradya Dagma.
"Menghadapimu cukup dengan ini!" kata Tatra
Pari sambil mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan
tangan kanannya memasukkan pedang ke dalam
sarungnya di punggung.
"Sombong! Jangan katakan aku kejam membunuh
tanpa senjata!" geram Pradya Dagma merasa
terhina.
"Silakan." '
***
ENAM
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari
Selatan mengebutkan tasbih mutiaranya. Setiap
kebutan menimbulkan suara mendem bagai angin
topan. Tatra Pari yang sudah merasakan sabetan
tasbih mutiara itu tak sungkan-sungkan lagi.
Dicabut pedangnya kembali, lalu diserangnya lawan
ke bagian-bagian yang mematikan.
Namun pendeta cebol itu dengan gesit dapat
menghindar dari sabetan dan tusukan pedang
lawannya. Bahkan dibalasnya serangan-serangan
Tatra Pari dengan tasbih mutiaranya. Dalam waktu
singkat mereka telah melampaui sepuluh jurus.
Sementara itu pertarungan lain masih terus ber-
langsung sengit. Pertarungan antara Kala Srenggi
dengan Langlang Pari telah berlangsung di luar
kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan
Baga Pari yang bertarung melawan Tiga Serangkai
Rantai Baja.
"Jangan lari, Pendeta Murtad!" seru Tatra Pari
melihat Pradya Dagma melompat menembus atap
kedai.
Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai
mereka kembali bertarung. Saka Lintang yang kini
sudah berada di luar kedai, mengawasi pertarungan
tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir
melihat salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai
Baja terpojok melawan Baga Pari.
Hingga tiba-tiba:... "Crab!"
Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah
muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu
dari Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara
sedikit pun, orang itu ambruk tidak bergerak lagi
Baga Pari berdiri tegang dengan pedang
tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung mata
pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat
Tatra Pari bertempur melawan pendeta cebol itu,
hatinya terkesiap. Pendeta Murtad dari Selatan
bukan tandingan Tatra Pari. Kecuali jika mereka
berlima bersama-sama menghadapi pendeta itu.
Namun sebagai pendekar sejati, Baga Pari tidak
mau berlaku curang Dia hanya memperhatikan saja
setiap gerakan lawan. Bibirnya tersungging melihat
saudaranya masih mampu menandingi pendeta cebol
itu.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jerit melengking disusul
ambruknya seorang lagi dari Tiga Serangkai Rantai
Baja yang melawan Dadap Pari. Dari dadanya yang
koyak, menyembur darah segar. Dadap Pari
melompat menghampiri saudaranya yang lebih dulu
menyelesaikan pertarungannya. Mereka berdiri
berdampingan dengan dada bergerak turun naik
Pedang berlumuran darah masih tergenggam.
Dilihat dari tingkatannya, memang Lima Pari
Emas bukanlah tandingan Tiga Serangkai Rantai
Baja. Tidak sampai sepuluh jurus, dua dari Tiga
Serangkai itu telah tewas. Dan kini....
"Mampus!"
"Akh!"
Kanta Pari segera melompat mendekati dua
saudaranya setelah menyelesaikan pertarungannya.
Tuntas sudah Tiga Serangkai Rantai Baja! Kini
hanya Langlang Pari yang berhadapan dengan Kala
Srenggi, dan Tatra Pari yang bertarung di atas atap
melawan Pendeta Murtad dari Selatan.
Pertarungan mereka telah sampai pada tingkat
yang paling genting. Langlang Pari telah
mengeluarkan jurus Jurus andalannya. Kala Srenggi
tak kalah dengan mengeluarkan jurus 'Pedang
Kembar' nya. Tubuh mereka telah tergulung oleh
sinar pedang sehingga seperti tak nampak lagi.
Tiba-tiba Kala Srenggi mencelat ke atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara, dijejakkan kakinya di
tanah sejauh dua tombak. Dengan sigap tangannya
memasukkan pedang kembar ke dalam sarungnya.
Segera dinaikkan tangannya ke atas, lalu turun per-
lahan-lahan, dan berhenrj sejajar di ketiak.
"Racun Merah...," desis Langlang Pari.
Tiga saudara Langlang Pari yang tengah
memperhatikan, terkejut melihat Kala Srenggi
mengeluarkan jurus 'Aji Racun Merah'. Langlang
Pari segera memasukkan pedangnya. Bergegas
dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan
dada. Sesaat kemudian tubuhnya telah menggigil
seperti orang kedinginan.
Langlang Pari mengeluarkan aji pamungkasnya.
Suatu ajian yang jarang dikeluarkan kecuali
terpaksa. Melihat Kala Srenggi mengeluarkan 'Aji
Racun Merah'nya, tiga dari Lima Pari Emas segera
berpegangan tangan. Ujung pedang mereka
satukan, lalu diarahkan ke Langlang Pari.
Dari ujung pedang yang menyatu, keluar cahaya
kuning keemasan. Cahaya itu segera menerpa
Langlang Pari. Tiba-tiba tubuh Langlang Pari
bergetar, dan secara perlahan-lahan bembah
menjadi keemasan. Setelah tubuh Langlang Pari
bembah warna, segera tiga saudaranya itu
menurunkan pedangnya.
Bukan hanya Kala Srenggi yang terkejut. Saka
Lintang pun terkesiap melihat ilmu yang
djkeluarkan Lima Pari Emas. Sementara itu telapak
tangan Kala Srenggi juga telah bembah merah.
Disalurkan seluruh tenaga dalamnya setelah dia
tahu kalau lawan mengerahkan 'Ajian Pari Emas'
yang sangat dahsyat.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Pradya
Dagma dan Tatra Pari sehingga pertarungan
mereka terhenti dengan seketika. Pradya Dagma
segera meleompat tumn dan mendarat di samping
Saka Lintang. Sementara Tatra Pari telah berdiri di
antara saudara-saudaranya.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking, Kala Srenggi
melompat bagai kilat menyambar menerjang'
Langlang Pari. Bersamaan dengan itu Langlang Pari
pun tak kalah gesitnya. Tubuhnya melompat
menerjang. Dalam sekejap mereka bertemu di
udara.
Ledakan dahsyat pun terjadi ketika dua telapak
tangan mereka bertemu. Tubuh Kala Srenggi
terlontar ke belakang dengan keras. Dia lalu
dengan cepat bangkit. Lain halnya dengan Langlang
Pari. Tubuhnya hanya terdorong-sedikit, dan
dengan mulus kakinya terjejak di tanah.
"Edan!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya
masih segar bugar.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, Kala Srenggi!"
ejek Langlang Pari.
Mendengar hal itu, muka Kala Srenggi merah
padam. Ilmu andalannya ternyata tidak berarti apa-
apa bagi Langlang Pari. Bahkan hampir saja dirinya
sendiri yang roboh. Baru kali ini ditemukan lawan
yang begitu tangguh dan mampu menandingi 'Aji
Racun Merah' yang sangat dibangga-banggakannya.
"Kala Srenggi, mundur!" bentak Pradya Dagma
tiba-tiba.
Kala Srenggi yang kembali bersiap-siap akan
menyerang lagi, menoleh kepada pendeta cebol yang
telah melangkah ke depan.
"Ajianmu tak dapat menandingi 'Pari Emas',"
kata Pradya Dagma hati-hati agar tidak
menyinggung perasaan Kala Srenggi
"Huh!" Kala Srenggi mendengus sengit
"Aku datang untuk memanggilmu, Kala Srenggi.
Geti Ireng ingin bertemu dengan kau," kata pendeta
cebol itu lagi.
"Aku selesaikan dulu setan keparat ini!" dengus
Kala Srenggi.
"Tidak ada waktu. Kau bisa celaka mengabaikan
perintah Geti Ireng!"
Sambil bersungut-sungut, Kala Srenggi mundur
dua tindak. Tanpa bicara lagi, dia langsung
melompat ke atas kuda entah milik siapa. Yang jelas
Kala Srenggi segera memacu kuda itu meninggalkan
tempat itu.
'Pari Emas, di antara kita belum pernah punya
urusan. Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya
Pradya Dagma setelah Kala Srenggi tidak terlihat
lagi.
"Lima Pari Emas selalu punya urusan dengan
kejahatan. Siapa pun orangnya, berarti musuh
kami!" lantang suara Langlang Pari menyahut.
"Hm..., kau cari perkara dengan Panji
Tengkorak!" gumam Pradya Dagma.
"Pari Emas memang ingin membasmi Panji
Tengkorak!"
"Setan kutul! Kau tahu siapa Panji Tengkorak!"
panas telinga Saka Lintang.
'Tak peduli siapa, yang jelas Panji Tengkorak
harus lenyap dari muka bumi!" tegas suara Langlang
Pari.
"Setan alas! Mulutmu harus dibungkam!" dengus
Pradya Dagma.
"Aku ingin memotong lidahmu yang busuk!" ejek
Tatra Pari yang masih penasaran.
"Jaga seranganku, bocah-bocah edan!" geram
Pradya Dagma.
Setelah berkata demlkian, pendeta cebol itu
segera menyerang Lima Pari Emas sekaligus. Dia tak
sungkan-sungkan lag! mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Lima Pari Emas harus hati-hati
menghadapi Pendeta Murtad inl. Dengan segera
mereka menggunakan jurus 'Barlsan Dewa Pari'
yang mengandaikan kekompakan dan kerja sama
yang balk.
Pradya Dagma diserang dari lima penjuru dengan
arah yang mematikan. Serangan datang bagai
gelombang laut, silih berganti tanpa hentl. Sungguh
hebat jurus 'Barisan Dewa Pari'. Satu serangan
belum tuntas, sudah disusul dengan serangan lain.
Begitu seterusnya.
Pendeta cebol itu terlihat kewalahan
menghadapi serangan yang saling susul menyusul
itu. Beberapa kali dia harus jatuh bangun
menghindari serangan yang beruntun. Keringat
membasahi wajah dan tubuhnya. Tidak ada
kesempatan untuk ke luar dari kepungan yang rapat
itu. Seakan-akan setiap celah telah tertutup rapat.
Hati pendeta cebol itu mulai getir.
Dalam waktu yang tidak lama, dua puluh jurus
berlalu. Namun demikian Pradya Dagma belum bisa
menyentuh lawannya. Bahkan selalu saja datang
se¬rangan dari arah lain. Pradya Dagma benar-
benar ke¬walahan. Dia kuras seluruh tenaga dan
kepandaiannya. Kini digunakannya jurus 'Tasbih
Sakti Memecah Gunung'.
Ternyata jurus itu juga tidak menolong banyak
Semua serangan Pradya Dagma patah sebelum
mencapai tujuan. Dia segera menggantinya dengan
jurus andalan lain yang lebih dahsyat. Tetapi juga
tidak berarti apa-apa. Pradya Dagma hampir putus
asa. Lima Pari Emas seakan-akan dapat mengetahui
kelemahan jurus-jurusnya.
"Setan! Ilmu apa yang mereka gunakan!" rungut
Pradya Dagma dalam hati.
Di tengah keputusasaan Pradya Dagma, tiba-tiba
saja serangan-serangan Lima Pari Emas mendadak
ngawur. Hal ini membuat pendeta cebol itu
keheranan. Matanya sempat melirik Saka Lintang.
Gadis itu juga tengah keheranan tak mengerti.
Rasa heran juga menghinggapi Lima Pari Emas.
Setiap gerakan yang dilancarkan ke arah Pradya
Dagma, seperti terhalang oleh benteng kokoh yang
tidak teriihat.
"Mundur!" teriak Langlang Pari tiba-tiba.
Seketika Lima Pari Emas berlompatan mundur.
Pedang mereka tetap melintang di depan dada
dengan kedua kaki tetap kokoh menjejak tanah.
Pradya Dagma tiba-tiba terkejut melihat seorang
anak muda telah berdiri di sampingnya.
Anak muda itu mengenakan baju tanpa lengan
dengan baglan dada terbuka. Rambutnya yang
panjang diikat ke belakang. Sebuah pedang
bertengger di punggungnya. Celananya hanya
sebatas lutut. Kumal sekali keadaannya, namun
berwajah tampan dan kulit putih bagai pualam.
Pemuda itu adalah Rangga yang telah
menyelesaikan semedinya di Gunung Kapur. Hati
Rangga merasa tidak tega melihat laki-laki tua
dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak
tahu kalau laki-laki tua itu adalah seorang tokoh
dari golongan hitam. Hati Rangga. yang masih polos
belum bisa membedakan mana kawan dan mana
lawan.
"Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?"
tanya Rangga dengan sopan dan lembut.
"Mereka ingin membunuhku!" sahut Pradya
Dagma. Sekejap saja dia mampu mengukur
kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi
akal licik, segera memanfaatkan kehadiran Rangga
yang polos itu. .
"Apa salah kakek?" tanya Rangga tidak menyadari
kalau dirinya diperalat
"Mereka ingin mengambit putriku!"
Pandangan Rangga segera terarah pada Saka
Lintang yang berdiri agak jauh. Harinya tergetar
ketika melihat gadis itu. Saka Lintang yang
mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam
hati. Sudah dapat ditebak maksud Pradya Dagma.
Diam-diam hatinya tergetar juga melihat
ketampanan Rangga.
"Sebaiknya kakek pulang saja, biar saya urus
orang-orang jahat Ini," kata Rangga.
'Terima kasih, tapi ini urusanku. Biar
kuselesaikan sendiri," Pradya Dagma pura-pura.
"Anak muda! Minggir! Aku tidak ada urusan
denganmu!" bentak Langlang Pari geram.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kekejaman
dan kejahatan berlangsung di depan mataku!' sahut
Rangga kalem.
"Siapa yang jahat, siapa yang kejam?" dengus
Langlang Pari gusar. Dia sudah dapat menebak akal
bulus Pradya Dagma.
Rangga menatap lurus pada Langlang Pari dan
adik-adiknya. Kemudian ditatapnya pendeta cebol
yang masih berdiri di sampingnya.
"Saka Lintang, cepat pulang. Nanti ayah
menyusul!" kata Pradya Dagma meneruskan
sandiwaranya. Dia tidak ingin kedoknya terbongkar.
Baginya ini kesempatan untuk dapat meloloskan diri
dari Lima Pari Emas. Bagaimanapun dia sadar tidak
akan mampu menghadapi Lima Pari Emas sekaligus.
"Baik, Ayah!" sahut Saka Lintang segera
melompat ke atas kudanya.
Rangga kagum melihat ketangkasan gadis itu dari
caranya melompat dan melarikan kudanya dengan
cepat.
Saka Lintang tahu kalau perintah itu hanya
siasat saja, makanya dia menuruti saja perintah itu.
Dan lagi dia memang tahu kalau pendeta cebol
tidak sanggup lagi melawan Lima Pari Emas.
Perintah itu juga bisa jadi suatu tanda kalau dia
harus segera melapor pada ayahnya, Geti Ireng.
"Pendeta licik, hadapi aku!" geram Langlang Pari.
Dia sudah bisa membaca maksud yang terkandung
di benak Pradya Dagma.
"Anak muda, jangan terpancing dengan
kelicikannya! Dia Pendeta Murtad dari Selatan"
seru Dadap Pari. Matanya yang jeli bisa melihat
kalau Rangga belum mengerti tentang rimba
persilatan.
"Ah, Anak Muda. Saya mohon diri. Terima kasih,
telah menolongku," kata Pradya Dagma terburu-
buru.
Rangga belum sempat mengeluarkan sepatah
kata pun, tetapi Pradya Dagma telah melompat ke
punggung kuda dan langsung menggepraknya. Kuda
tinggi besar itu meluncur cepat. Sebentar saja
sudah jauh meninggalkan tempat itu.
"Setan ! Licik!" umpat Langlang Pari kesal. "Anak
Muda, siapa kau sebenarnya? Kenapa membantu
Pendeta Murtad itu?" tanya Dadap Pari yang lebih
besar dari lainnya.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan
diri. "Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung
di depan hidungku!"
Dadap Pari tersenyum mendengar kata-kata
polos itu. Dia memasukkan pedang ke dalam
sarungnya. Dihampirinya Rangga yang tetap berdiri
di tempatnya. Senyum masih terkembang di bibir
Dadap Pari. Dia bisa maklum kalau anak muda ini
masih hijau dalam dunia persilataa
Rangga mengernyitkan alisnya. Dia tidak
mengerti kenapa orang yang semula dikira jahat
justru berkata lemah lembut dan tidak
menunjukkan permusuhan. Bahkan mereka semua
memasukkan pedangnya kembali. Apakah salah
penilaiannya?
"Kami lima bersaudara dengan julukan Lima Pari
Emas. Kami berasal dari Gunung Cupu. Sedangkan
pendeta gundul itu bergelar Pendeta Murtad dari
Selatan. Sudah lama dia kami cari untuk kami
hentikan sepak terjangnya yang tidak
berperikemanusiaan," kata Dadap Pari menjelaskan.
Rangga menatap lima orang yang berdiri di
depan-nya satu persatu. Seakan-akan ingin
memastikan kalau dia tadi salah menilai. Julukan
Pendeta Murtad dari Selatan pernah dibacanya
dari salah satu buku yang di goa Lembah Bangkai
Nama itu tercantum berikut nama-nama lain yang
termasuk dalam golongan hitam.
Tetapi Rangga belum yakin. Sebab nama Pendeta
Murtad dari Selatan sudah lenyap di tangan
Pendekar Rajawali Sakti seratus tahun yang lalu.
Apakah orang tua gundul cebol itu muridnya yang
kini malang melintang di rimba persilatan dengan
nama yang sama?
"Dadap Pari, sebaiknya kita bicara di tempat lain
saja !" usul Langlang Pari
Dadap Pari mengangguk. Dia mengerti maksud
saudaranya. Sebentar lagi tentu kelompok Panji
Tengkorak akan datang. Tanpa banyak bicara, Lima
Pari Emas berlompatan ke atas punggung kuda
masing-masing.
"Ayo, Rangga! Kita pergi dari sini," ajak Dadap
Pari.
"Terima kasih!" sahut Rangga.
Ketika Dadap Pari akan membuka mulutnya,
Rangga telah lebih dulu mencelat dan lenyap
seketika dari pandangannya. Begitu cepatnya
sehingga Lima Pari Emas terkesiap. Ke mana
Rangga pergi?
***
TUJUH
Senja telah merayap menjadi malam. Udara
dingin. Angin berhembus agak kencang. Dinginnya
udara malam menjadi tak terasa di dalam sebuah
ruangan yang terang benderang oleh cahaya obor.
Sebuah kedai makan yang telah penuh oleh orang-
orang dari berbagai golongan masing-masing di
mejanya.
Di salah satu sudut yang remang-remang, duduk
Rangga menghadapi meja kecil. Hanya ada sebuah
guci arak di atas mejanya. Matanya selalu
mengawasi orang-orang yang ke luar masuk kedai
makan ini. Di kedai ini pun menyediakan kamar-
kamar untuk menginap.
Mata Rangga tertumbuk pada salah satu meja
yang jauh di depannya. Tampak Saka Lintang duduk
dikelilingi empat orang laki-laki. Rangga sama sekali
tak tahu kalau keempat laki-laki itu dari golongan
hitam. Mereka adalah Kalingga, atau berjuluk
Kakek Merah Bermata Elang. Duduk di sampingnya
adalah Kala Srenggi. Di samping kanan Saka
Lintang duduk seorang wanita dengan dandanan
menor, persis badut. Wanita itu dijuluki Dewi
Asmara Dara. Sebenarnya wanita ini cantik.
Tubuhnya pun menggiurkan. Karena dandanannya
yang berlebihan maka wanita ini jadi kurang
simpatik. Kemudian yang seorang lagi wanita tua.
Rambutnya yang putih digulung ke atas. Sebagian
rambutnya dibiarkan jatuh menjuntai. Walau
kulitnya telah keriput, tapi sorot matanya masih
menyimpan ketegaran. Dia dijuluki Dewi,
Jerangkong, karena tubuhnya yang kurus kering
bagai tulang berbalut kulit.
Keadaan kedai tenang. Semua orang menikmati
hidangan sambil bersenda gurau. Namun
ketenangan itu tiba-tiba lenyap, ketika seorang laki-
laki tersuruk-suruk masuk dengan tubuh
berlumuran darah. Laki-laki itu menghampiri meja
Saka Lintang.
"Hey! Ada apa?" pekik Saka Lintang kaget.
'Teratai Putih...," laki-laki itu tidak meneruskan
kalimatnya. Dia telah ambruk tak bernyawa.
Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari
pintu bermunculan orang-orang berpakaian serba
putih dengan suiaman bunga teratai di dada.
Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap
ruangan ini. Jumlah mereka semua tak lebih dari
dua puluh orang.
Beberapa pengunjung segera berhamburan
keluar menyeiamatkan diri. Keadaan di kedai makan
kian bembah panas dan tegang. Saka Lintang segera
berdiri diikuri yang lainnya.
"Kalian datang langsung membuat onar. Apa
maksud kalian?" dingin suara Saka Lintang. Matanya
menatap tajam pada orang yang berdiri paling
depan.
"Kami ingin menuntut balas atas kematian
saudara-saudara kami!" sahut laki-laki yang berdiri
paling depan.
'Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang
datang ke sini?!" dengus Dewi Asmara Dara.
"Guruku terlalu suci berhadapan denganmu,
perempuan liar!" sahut Pragola sinis.
Merah padam muka Dewi Asmara Dara. Bukan
rahasia lagi kalau antara dia dengan Begawan
Pasopati pernah terjadi hubungan asmara sekian
puluh tahun yang lalu, waktu mereka masih remaja.
Sekarang mereka bermusuhan. Dewi Asmara Dara
yang dahulu bemama Sutiragen memang bukan gadis
baik-baik.
Dalam usia yang masih belia, Sutiragen telah
berpengalaman menghadapi laki-laki. Tentu saja
Pasopati kecewa setelah mengetahui kelakuan
Sutiragen. Pasopati sendiri telah kalap membunuh
orang tua Sutiragen karena merasa ditipu. Kedua
orang tua Sutiragen telah menjebaknya untuk
menikahi Sutiragen yang kedapatan telah
mengandung.
Dari peristiwa itulah bibit permusuhan tumbuh
subur. Mereka telah bersumpah akan membabat
habis semua keturunan masing-masing. Oleh sebab
itulah mereka tidak menikah lagi sampai sekarang.
Sutiragen sendiri makin liar, terlebih setelah dia
mendapat gemblengan dari seorang pertapa tua
yang sakti. Mungkin otaknya memang telah dirasuki
iblis, Sutiragen yang semula berjanji akan hidup
baik- baik, telah membunuh pertapa itu dengan licik
setelah dia menguasai seluruh ilmunya.
"Bocah sombong! Kau tahu, dengan siapa kau
berhadapan!" geram Dewi Asmara Dara.
"Nenek-nenek tak tahu diri yang merasa masih
muda!" ejek Pragola.
Dewi Asmara Dara tidak dapat lagi menguasai
amarahnya yang memuncak sampai ke ubun-ubun.
Dengan sigap dia melompat dan menerjang Pragola.
Anak muda itu berkelit sedikit, bahkan
melayangkan kakinya ke perut Dewi Asmara Dara.
"Monyet jelek!" rungut Dewi Asmara Dara sambil
melentingkan tubuhnya menghindari tendangan
lanjutan Pragola. Amarah yang meluap membuat
Dewi Asmara Dara jadi lengah.
Meskipun masih muda, Pragola tidak dapat
dianggap enteng. Ilmunya sudah hampir menyamai
gurunya sendiri. Dia memang masih memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya.
Jurus-jurus Pragola sangat dahsyat dan sulit
diterka arahnya, membuat lawan harus hati-hati
mengha-dapinya.
Lawan yang dihadapi Pragpla pun bukan tokoh
sembarangan. Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang
sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan.
Pragola tahu siapa Dewi Asmara Dara. Oleh karena
itu, dilayaninya lawan dengan tenang dan penuh
perhitungan.
"Awas kepalamu!" teriak Dewi Asmara Dara.
Pragola tak mempedulikan peringatan lawannya.
Tangannya yang dialiri tenaga dalam ditebaskan ke
arah perut lawan. Dan memang benar, teriakan tadi
hanya tipuan belaka. Justru sasaran sebenarnya
adalah perut.
"Ih!" Dewi Asmara Dara terperanjat, cepat-
cepat ditarik tangannya.
Sungguh tak disangka kalau Pragola mengetahui
gerak silatnya, sehingga dapat ditebak arah mana
yang dituju. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba
Pragola menyerang secara beruntun. Wanita ini
makin terkesiap. Dengan cepat dilentingkan
tubuhnya mundur satu tombak.
"Kalau takut, sebaiknya kau menyingkir!" ejek
Pragola.
"Suruh si Pasopati ke sini! Biar dia tahu
bagaimana mengajar muridnya yang ceriwis!" geram
Dewi Asmara Dara atau Sutiragen ini.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Aku
masih sanggup membeset mulutmu!" dengus Pragola
tidak senang gurunya dihina.
"Bocah setan! Terima seranganku!" teriak
Sutiragen geram. Wuuut!
Dengan kecepatan yang luar biasa, Sutiragen
mengeluarkan senjatanya yang berupa selendang
berwarna merah darah. Ujung selendang itu segera
meluncur rneliuk-liuk bagai ular naga ke arah
Pragola. Ke mana Pragola menghindar, pasti
selendang itu mengejar.
Sungguh luar biasa selendang itu. Meja, kursi,
dan barang-barang di sekitar situ hancur
berantakan terkena sambarannya. Dewi Asmara
Dara memainkan jari-jari tangannya dengan lincah
membuat selendang itu seperti mempunyai nyawa.
Pragola terlihat kewalahan menghadapi serangan
Dewi Asmara Dara kali ini. Dia hanya bisa
menghindar dan bersalto tanpa mampu mengirimkan
serangan balasan.
"Perhatikan jari tangannya, gunakan senjata, cari
bagian tengah!"
Pragola terkejut mendengar bisikan di
telinganya. Dia tak mau berpikir panjang. Siapa pun
orangnya, pasti ingin mem bantu. Pragola segera
meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
Kali ini dihiraukan ujung selendang yang
mengincar tubuhnya. Matanya menatap jari-jari
tangan Dewi Asmara Dara. Benar! Arah selendang
dapat diketahuinya dari jari-jari tangan yang
bergerak lincah. Dengan mudah Pragola dapat
menghindari ujung selendang tanpa melihatnya.
Bahkan pedangnya beberapa kali hampir menebas
selendang itu. Tapi sepertinya dia menebas
sebongkah batu cadas yang sangat keras.
"Jangan buang tenaga! Pusatkan perhatian pada
titik tengah!"
Terdengar lagi bisikan di telinga Pragola. Bisikan
itu membuatnya bingUng. Dia tidak tahu titik
tengah mana yang dimaksud. Pragola tidak lagi
membabatkan pedangnya pada selendang merah
yang masih mengancam dirinya. Matanya tetap tidak
lepas menatap jari-jari tangan Dewi Asmara Dara.
Otaknya terus bekerja memecahkan maksud bisikan
tadi.
Tiba-tiba Pragola berteriak nyaring. Tubuhnya
mencelat ke udara. Dengan kecepatan yang luar
biasa, dia menukik tepat di tengah-tengah
selendang. Dewi Asmara Dara terkejut, cepat-
cepat ditarik selendang nya. Terlambat! Ujung
pedang Pragola telah membabat tepat di tengah
tengah selendang merah itu.
"Setan!" maka Dewi Asmara Dara melihat
selendang pusakanya terpotong jadi dua.
Dewi Asmara Dara mencampakkan
selendangnya. Dia segera menggerakkan tangannya,
mengembang ke samping. Lalu dengan gerakan yang
cepat, kedua tangannya melintang di depan muka.
Pragola terkejut. Tiba-tiba saja mata Dewi
Asmara Dara berubah merah. Belum hilang rasa
terkejutnya, dari mata itu meluncur seberkas sinar
merah mengarah dirinya. Dengan cepat Pragola
mencelat menghindar. Satu berkas sinar lagi
terpaksa ditangkisnya dengan pedang.
Trak!
Pragola terlempar sejauh dua tombak.
Pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat
bangun, dua berkas sinar merah kembali menyerang
dirinya. Dengan cepat Pragola menggulingkan
tubuhnya ke samping. Sinar merah itu menghantam
lantai kedai makan. Suara menggelegar terdengar
disertai berlubangnya lantai yang keras itu.
"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Dewi
Asmara Dara mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata
Dewi'. Ilmu andalan yang sangat jarang digunakan
Dewi Asmara Dara. Kemarahan yang memuncak
karena selendang andalannya putus memancingnya
untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'.
"Jangan panik!" terdengar lagi bisikan halus di
telinga Pragola. "Hindari tatapan matanya. Gunakan
ilmu peringan tubuh, putari tubuhnya."
Pragola segera bangkit dan berlari-lari memutari
tubuh Dewi Asmara Dara dengan menggunakan
ilmu peringan tubuh. Tentu saja Dewi Asmara Dara
jadi kelabakan. Sinar-sinar merah yang dilontarkan
selalu mengenai tempat kosong. Beberapa orang
yang masih berada di kedai itu segera menyingkir,
menghindari sinar merah yang tidak mustahil nyasar
ke tubuh mereka.
"Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan
halus kembali terdengar.
Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata
rahasia satu pun juga. Gurunya tak pemah
membekali senjata rahasia. Menurut gurunya,
senjata rahasia hanya digunakan oleh orang-orang
berhati telengas dan licik Mereka tidak pantas
disebut pendekar.
Di saat otaknya berpikir keras, mendadak
matanya menangkap reruntuhan meja dan kursi.
Bibirnya segera tersenyum. Sambil terus
mengarahkan tenaga dalam dan ilmu peringan
tubuh, Pragola meraih beberapa potongan kayu.
Diremasnya potongan kayu itu hingga menjadi
serpihan.
Sementara itu Dewi Asmara Dara makin geram
karena setiap serangannya selalu luput. Setiap kali
dia memaksa Pragola untuk menatap matanya,
pemuda itu selalu memalingkan mukanya. Dewi
Asmara Dara semakin sulit karena pengaruh ilmu
'Seribu Mata Dewi' tidak mempengaruhi Pragola.
"Awas kaki!" teriak Pragola tiba-tiba. Dewi
Asmara Dara terkejut. Kayu-kayu kecil
berterbangan mengarah kakinya.
"Setan belang! Monyet buduk!" Dewi Asmara
Dara mengumpat habis-habisan.
Kayu-kayu kecil yang dilemparkan Pragola
dengan pengerahan tenaga dalam membuat wanita
itu sibuk berlompatan ke sana kemari. Lebih-lebih
Pragola melemparkannya sambil berlarian mengitari
tubuhnya. Konsentrasi Dewi Asmara Dara
terpecah.
Pada saat Dewi Asmara Dara tengah repot
dengan serangan itu, tiba-tiba meluncur sebuah
bayangan merah menahan arah lari Pragola.
Seketika kayu-kayu kecil yang terlontar ke kaki
Dewi Asmara Dara terhenti bersamaan dengan
terhentinya lari Pragola. Di depan anak muda itu
sudah berdiri seorang kakek tua berjubah merah.
"Kakek Merah Mata Elang!" bentak Pragola
gusar. "Kau melanggar aturan!"
"He he he...! Tidak ada aturan dalam rimba
persilatan," Kakek Merah Bermata Elang terkekeh
menyeringai. Matanya yang merah bagai mata elang
menatap tajam Pragola.
"Biar aku yang menghadapi orang tua tidak tahu
diri ini, Kakang!"
Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengah-
tengah arena pertempuran. Seorang anak muda
berkulit putih dan bertubuh ramping. Garis-garis
kejantanan tergambar jelas pada raut wajah yang
halus dan tampan itu.
"Hati-hati Adik Barada, orang ini sangat kejam
dan sakti," Pragola mengingatkan.
Barada hanya tersenyum. Dilangkahkan kakinya
dua tindak ke depan. Dia sudah tahu kehebatan
Kakek Merah Bermata Elang. Makanya dia harus
beriindak hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam
perkumpulan Teratai Putih, Barada hanya satu
tingkat di bawah Pragola. Jadi dia juga tak bisa
dianggap remeh.
"Majulah, Kakek tua!" seru Barada lantang dan
tenang. Setenang sikapnya.
"He he he.... Anak kemarin sore ingin
menantangku. Apakah Teratai Putih tidak memiliki
jago-jago andalan sehingga mengutus anak bau
kencur ke sini?"
Kakek Merah Bermata Elang mengejek.
'Teratai Putih tidak perlu mengeluarkan jago-
jagonya untuk membasmi Panji Tengkorak!" tenang
dan lembut suara Barada,namun menyakitkan di
telinga.
"Bocah sombong! Jangan menyesal kalau aku
memberi pelajaran padamu!" geram Kakek Merah
Bermata Bang.
"Silakan kalau kau mampu!"
"Setan! Mampus kau!"
Pertempuran antara Kakek Merah Bermata
Elang dengan Barada berlangsung sengit. Masing-
masing menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Pragola pun sudah sibuk lagi melayani Dewi Asmara
Dara. Di lain pihak, Kala Srenggi, dan Dewi
Jerangkong juga telah menghajar orang-orang
Teratai Putih lainnya.
Kedai makan bembah menjadi ajang
pertempuran. Memang kelihatannya tidak seimbang.
Dua puluh dari Teratai Putih melawan empat orang
dari Panji Tengkorak. Namun keempat orang-orang
itu bukanlah orang-orang sembarangan. Malah kini
terlihat dua orang anggota Teratai Putih sudah
terjungkal. Kepalanya remuk terhajar tongkat Dewi
Jerangkong.
Seorang lagi roboh di tangan Kala Srenggi. Lalu
menyusul satu demi satu.... Pragola yang melihat
kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri
sibuk menahan gempuran Dewi Asmara Dara.
Wanita itu sangat bernafsu ingin cepat membunuh
lawannya. Dia merasa sudah dipermalukan oleh
Pragola di muka umum.
'Tahan!"
Tiba-tiba suara menggeledek terdengar bagai
petir di slang bolong. Seketika pertempuran itu
terhenti. Anggota Teratai Putih tinggal enam orang
saja. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.
Darah berceceran menyebarkan bau amis menusuk
hidung.
Semua mata segera terarah pada Rangga yang
duduk tenang di pojok. Tangannya memain-mainkan
kendi arak. Lagaknya acuh dengan suasana kedai
makan yang berantakan akibat pertamngan dua
kelom-pok itu.
"Orang asing! Berani benar kau campuri urusan
kami!" bentak Dewi Asmara Dara gusar.
Seperti orang tolol, Rangga celingukan mencari
cari sesuatu. Pelan-pelan dia bangkit dan berjalan
melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan.
Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut
berdecak-decak seperti keheranan.
"Ck ck ck..., kasihan sekali. Nyawa satu-satunya
dibuang percuma," gumam Rangga.
Rangga berhenti melangkah ketika di depannya
berdiri menghadang Kakek Merah Bermata Elang.
Rangga mengamati jari-jari tangan kakek tua itu
yang penuh darah.
"Kenapa tangan Kakek? Luka?" tanya Rangga
seperti anak kecil.
"Luka tanganku bisa diobati oleh darahmu!"
dengus Kalingga atau Kakek Merah Bermata Elang
geram.
"Wah, hebat!" seru Rangga sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kisanak, apakah kau yang memberiku petunjuk
tadi?" tanya Pragola sopan dan lembut. Dia merasa
yakin kalau bisikan-bisikan halus datang dari
pemuda ini.
"Ah, aku hanya bicara sendiri tadi," sahut
Rangga merendah.
"Setan! Jadi kau yang membantu bocah edan ini!"
dengus Dewi Asmara Dara geram. Giginya
gemelutuk dan tangannya mengepal erat.
"Siapa yang membantu? Sejak tadi aku duduk di
sana," sahut Rangga kalem.
"Kau harus mampus!" geram Dewi Asmara Dara.
Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara
segera melompat menerjang dengan jurus
andalannya. Rangga hanya berkelit sedikit dengan
meliukkan tubuhnya. Serangan Dewi Asmara Dara
hanya mengenai angin kosong.
Kala Srenggi yang mengenai jurus-jurus Dewi
Asmara Dara, terkesima melihat cara Rangga
menghindari serangan. Merasa lawan hanya
menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi
Asmara Dara berang bercampur maiu.
"Terima aji pamungkasku!" teriak Dewi Asmara
Dara.
Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara
mengeluarkan asap kekuningan, lalu secepat kilat
menyerang Rangga. Semua mata yang memandang
menahan napas menyaksikan Rangga hanya tenang-
tenang saja.
"Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras
dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang
mengepulkan asap tepat di depan mata Rangga,
anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Dengan menggunakan jurus 'Cakar Rajawali'
dipapaknya punggung Dewi Asmara Dara.
"Akh!" Dewi Asmara Dara memekik tertahan.
Tubuhnya limbung sebentar lalu ambruk tidak
bangun lagi.
Semua mata terbelalak lebar seakan tidak
percaya. Hanya satu jurus. saja Dewi Asmara Dara
telah ambruk tak bernyawa! Sulit diukur tingginya
ilmu anak muda ini.
"Bocah setan! Sebutkan namamu sebelum
kukirim kau ke neraka!" bentak Kakek Merah
Bermata Elang dengan geram.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Rangga.
Suaranya tenang namun menggema ke seluruh
ruangan.
'Tidak mungkin!" sentak Dewi Jerangkong sambil
melompat ke depan.
Semua mata menatap nenek tua yang berdiri
dengan tongkat saktinya.
"Jangan coba-coba menggertak kami dengan
menyebut nama tokoh seratus tahun lalu!" dengus
Dewi Jerangkong.
"Kalau tidak percaya, lihat saja dia!" Rangga
menunjuk mayat Dewi Asmara yang tengkurap
kaku.
Dewi Jerangkong mendelik. Punggung Dewi
Asmara Dara hangus! Ada goresan hitarn di
punggung yang membentuk cakar burung rajawali.
Jelas, itu adalah salah satu hantaman jurus 'Cakar
Rajawali'. Dan kini jurus maut itu dimiliki seorang
pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali
Sakti!
"Bagaimana, Nenek tua? Percaya?" kalem dan
tenang suara Rangga.
"Mustahil...," gumam Dewi Jerangkong seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bukan hanya Dewi Jerangkong yang tidak
percaya. Kakek Merah Bermata Elang pun
demikian. Dua tokoh tua ini pemah mendengar
sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti meski pada
saat itu mereka belum dilahirkan. Kehebatan dan
kesaktian Pendekar Rajawali Sakti pernah menjadi
buah bibir di mana-mana. Semua orang selalu
mengharapkan kemunculannya jika terjadi
kerusuhan dan kejahatan.
Kini Pendekar Rajawali Sakti muncul kembali di
tengah dunia persilatan yang goncang. Apakah ini
pertanda Panji Tengkorak akan menghadapi
sandungan?
"Dewi Jerangkong, mart kita hadapi bocah
dungu ini!" seru Kakek Merah Bermata Elang atau
Kalingga.
Setelah selesai kata-katanya, Kalingga segera
menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya,
diikuti oleh Dewi Jerangkong dengan jurus-jurus
andalannya.
Nyali Rangga tak gentar sama sekali dikeroyok
oleh dua tokoh sakti itu. Dia kelihatan tenang-
tenang saja berkelit menghindari serangan-serangan
dahsyat dan beruntun. Gerakan-gerakan Rangga
memang cepat dan luar biasa sehingga
membingungkan lawan. Serangan-serangan dua
tokoh sakti itu selalu menemui tempat kosong.
"Maaf!" ucap Rangga kalem.
Bersamaan dengan itu, tangan Rangga
berkelebat cepat dan tepat mendarat di dada Dewi
Jerangkong dan Kalingga.
"Akh!" Dewi Jerangkong hanya mengeluh pelan.
"Ugh!" Kakek Merah Bermata Elang pun
melenguh hampir bersamaan.
Secara bersamaan pula dua tubuh tokoh itu
ambruk dan tak berkutik lagi. Di dada mereka
tergambar sebuah cakar berwarna hitam. Cakar
seekor burung rajawali. Sekali lagi Rangga berhasil
merobohkan dua tokoh sakti sekaligus hanya dalam
satu jurus saja.
Kala Srenggi yang sejak tadi hatinya sudah ciut,
diam-diam kabur ketika melihat dua tokoh sakti itu
limbung hanya dalam satu jurus saja. Saka Lintang
pun tak nampak batang hidungnya lagi. Entah sejak
kapan dia minggat.
'Terima kasih, Tuan Pendekar telah menolong
kami," Pragola segera menghormat diikuti Barada
dan empat anggota Teratai Putih yang tersisa.
Rangga hanya tersenyum lalu menepuk pundak
Pragola.
'Tuan Pendekar sangat hebat Panji Tengkorak
pasti bisa ditumpas," ujar Barada penuh harapan.
"Boleh saya tahu, siapakah saudara-saudara
semua?" tanya Rangga yang telah berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kami murid-murid perguruan Teratai Putih.
Kami ditugaskan untuk membendung gerakan liar
Panji Tengkorak," sahut Pragola menjelaskan.
"Siapa Panji Tengkorak?" tanya Rangga lagi.
"Gerombolan liar dan jahat. Mereka membunuh
siapa saja yang menentangnya. Sudah banyak tokoh
aliran hitam yang bergabung dengan mereka. Saat
ini Panji Tengkorak boleh dikatakan hampir
menguasai rimba persilatan," jelas Pragola rinci.
Sejak tadi dia telah kagum dengan kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Pemimpinnya seorang tokoh sakti yang sulit
dicari tandingannya," Barada menambahkan.
"Pemimpinnya bernama Geti Ireng yang lebih dikenal
dengan julukan Iblis Lembah Tengkorak."
"Iblis Lembah Tengkorak..," gumam Rangga
pelan.
Seketika itu pula teriintas dalam benaknya
peristiwa dua puluh tahun lalu. Peristiwa yang
menyakitkan hati. Rangga juga masih ingat ketika
ayahnya menyebut orang itu Iblis Lembah
Tengkorak Orang itukah yang membunuh kedua
orang tuanya?
"Geti Ireng tinggal di Lembah Tengkorak
bersama gerombolannya," Pragola menambahkan.
"Apakah orang itu bersenjata tongkat berkepala
tengkorak?" tanya Rangga memastikan.
"Benar, Tuan Pendekar," sahut Barada cepat.
Rangga tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia
telah digodok selama dua puluh tahun di Lembah
Bangkai, ditambah bersemedi dan berpuasa selama
tujuh hari tujuh malam di Gunung Kapur. Dengan
demikian seluruh jiwanya sudah bersih dari rasa
dendam dan angkara murka.
Telah nyata bahwa Iblis Lembah Tengkorak atau
Geti Ireng yang membunuh orang tuanya, tetapi
hati Rangga sedikit pun tidak terbakar api dendam.
Jiwanya sudah bersih dari nafsu duniawi. Ingin
disatroninya Lembah Tengkorak, tetapi tidak untuk
balas dendam. Niatnya semata-mata hanya untuk
membasmi segala bentuk kejahatan.
"Tuan Pendekar...," Pragola mencegah langkah
Rangga.
Rangga menghentikan langkahnya yang telah
sampai pada pintu keluar kedai. Dia menoleh seraya
tersenyum melihat Pragola menghampirinya.
"Kami merasa mendapat kehormatan bila Tuan
Pendekar berkenan singgah di Perguruan Teratai
Putih," ajak Pragola ramah.
Rangga berpikir sebentar.
"Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira
jika Tuan Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari
beliau nanti, Tuan Pendekar dapat mengetahui
lebih banyak tentang Iblis Lembah Tengkorak," kata
Pragola setengah membujuk.
"Benarkah?" tanya Rangga dengan polos tanpa
pemah curiga terhadap siapa pun. Dalam hati
sebenarnya Rangga senang memenuhi undangan itu
yang tentu segalanya terjamin.
"Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak.
Beliau pasti senang jika penolong kami berkenan
singgah barang sebentar."
"Baiklah, aku pun senang mendapat sahabat."
Betapa gembiranya Pragola karena pendekar
yang dikaguminya berkenan menerima undangannya.
Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya
menyiap-kan kuda. Sebentar kemudian tujuh ekor
kuda sudah dipacu meninggalkan kedai, menembus
kegelapan malam. Rangga yang tidak pemah
menunggang kuda, sedikit grogi. Namun ketika agak
jauh meninggalkan kedai, dia sudah mulai terbiasa.
Bibir Rangga tersenyum-senyum. Pragola selalu
memacu kudanya di samping kiri Rangga, dan
Barada di samping kanannya. Rangga bagai
pembesar saja diapit kiri kanan. Empat kuda lain
mengiringi dari belakang. Rangga cerdas. Sebentar
saja dia telah mampu menunggang kuda dengan
baik. Pada akhirnya dirasakannya bahwa
menunggang kuda hampir tidak ada bedanya dengan
menunggang burung rajawali putih.
"Masih jauh?" tanya Rangga.
"Menjelang pagi baru sampai," sahut Pragola.
Rangga mengeluh dalam hati. Sebabnya dia harus
menunggang kuda semalaman. Namun keluhan itu
tidak ditampakkannya. Dia tetap saja tersenyum
sambil bertanya macam-macam. Banyak yang
ditanyakannya terutama tentang seluk beluk dunia
persilatan yang masih asing baginya. Pragola dengan
senang hati menjawab. Dijelaskannya setiap
pertanyaan Rangga dengan lemah lembut. Sesekali
Barada menambahkan jika penjelasan kakak
seperguruannya dirasakan belum lengkap. Semakin
banyak Rangga bertanya, semakin banyak yang
diketahui tentang gambaran rimba persilatan
sekarang ini.
Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir ke
dunia. Dia masih perlu belajar banyak mengenai
dunia bertualang sambil bertanya pada siapa saja
yang berbaik hati memberi keterangan kepadanya
seperti layaknya murid-murid Perguruan Teratai
Putih.
***
DELAPAN
Dalam pengembaraannya mencari sarang
gerombolan Panji Tengkorak, Rangga beberapa kali
harus bentrok dengan tokoh-tokoh berilmu tinggi
anggota gerombolan itu. Nama Pendekar Rajawali
Sakti makin dikenal. Di samping itu dia juga jadi
momok yang menakutkan bagi orang-orang rimba
persilatan beraliran hitam. Kini Pendekar Rajawali
Sakti bagaikan sebuah pelita yang menerangi tokoh-
tokoh aliran putih.
Dalam waktu singkat, nama Pendekar Rajawali
Sakti sudah terpatri erat di hati semua orang.
Bahkan Saka Lintang sendiri tidak pemah
melupakan pendekar tampan itu. Dalam pandangan
pertamanya, dia merasa sedikit kasmaran. Makanya
setiap kali Pendekar Rajawali Sakti bentrok dengan
orang-orang Panji Tengkorak, dia tidak ingin
melibatkan diri. Dia seperti menghindar dari
kemungkinan bentrok.
Rangga menarik tali kekang kudanya ketika
melewati pinggir hutan Dadakan. Telinganya yang
tajam tiba-tiba mendengar denting senjata beradu.
Nyata bahwa suara itu berasal dari suatu
pertarungan. Rangga segera melompat dari
kudanya. Dengan menggunakan ilmu 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' tingkat pertama, tubuhnya telah
melayang di udara menuju arah datangnya suara
pertempuran.
Bagai rajawali mengintai mangsa, Rangga dari
atas telah melihat seorang wanita dikeroyok tiga
laki-laki bersenjata tongkat. Rangga bergegas turun
dan berdiri di pinggir arena pertarungan. Segera
dikenalinya wanita itu yang ternyata adalah Saka
Lintang. Tapi, siapakah tiga laki-laki yang
mengeroyoknya?
Melihat kedatangan Rangga, Saka Lintang cepat
melompat ke luar arena pertandingan. Dihampirinya
Rangga, dan berlindung di belakang tubuh pemuda
itu.
"Tolong, mereka dari Panjj Tengkorak," kata
Saka Lintang dengan suara dibuat memelas.
Mendengar ketiga orang itu dari Panji
Tengkorak, Rangga segera menerjang ketiga orang
itu yang masih bingung tidak mengerti. Mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Sekejap saja ketiga
orang itu telah bergelimpangan akibat jurus 'Cakar
Rajawali'.
'Terima kasih, kau telah menolongku," kata Saka
Lintang langsung menghampiri.
"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya
Rangga.
"Aku merasa tertipu masuk gerombolan Panji
Tengkorak! Aku ingin keluar, tapi mereka malah
ingin membunuhku!" cerita Saka Lintang
bersandiwara. Dalam hatinya tersenyum karena
rencananya berjalan mulus.
Terpaksa dikorbankannya tiga anggota Panji
Tengkorak demi mencapai keinginan merebut hati
pendekar tampan ini. Setiap hari dia selalu
terbayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti
ini. Hati Saka Lintang makin hari makin tersiksa bila
Kala Srenggi selalu mencari muka di depan ayahnya
untuk mendapatkan dirinya.
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Rangga.
"Mereka Tiga Pendekar Toya dari Utara. Tadi
mereka mencoba memperkosaku," Saka Lintang
makin menjejali Rangga dengan cerita kosong.
"Binatang!" geram Rangga.
"Untung kau cepat datang, kalau tidak....
Mungkin aku sudah mati.
"Hm, kau akan ke mana sekarang?"
Aku tidak tahu. Sejak kecil aku hidup
sendirian." Rangga menarik napas panjang.
Dirasakan ada persamaan nasib dengan gadis ini.
Namun Rangga tidak menyadari kalau dia tengah
masuk dalam perangkap yang dibuat Saka Lintang.
Bukan perangkap nyawa, tapi perangkap asmara.
Rangga memang polos. Dia memang belum banyak
mengalami liku-liku kehidupan yang mungkin dapat
menjeratnya. Apa lagi Saka Lintang memang cantik.
"Aku ikut kamu, ya?" Saka Lintang memohon
sambil menggayut-gayutkan tangannya dengan manja
ke lengan Rangga.
"Eh, jangan!" Rangga gugup. Matanya jelalatan.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh wanita.
Seketika jantungnya berdetak keras.
"Kenapa?" tanya Saka Lintang semakin manja.
Dia bahkan sudah melingkarkan tangannya ke leher
Rangga.
"Aku...,aku...," Rangga benar-benar gugup.
Saka Lintang yang berpengalaman menghadapi
laki-laki, segera memanfaatkan kegugupan Rangga.
Dengan cepat dipagutnya bibir Rangga. Tentu saja
pemuda ini gelagapan. Keringat dingin mengucur
deras. Inilah rasa takutnya yang pertama. Cepat-
cepat dilepaskan pelukan Saka Lintang, dan. lompat
dua tindak ke belakang. Saka Lintang memandang
dengan senyum menggoda.
"Kau pendekar gagah dan tampan. Aku tertarik
saat pertama kali melihatmu," Saka Lintang tidak
malu-malu lagi.
"Kau memang cantik. Aku juga suka, tapi...,"
Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
"Kenapa kita tidak bercinta?"
"Bercinta...?!" Rangga meneguk ludahnya sendiri.
Mendadak tenggorokannya terasa kering.
Saka Lintang tersenyum melihat kegugupan
Rangga. Diletakkannya pedang yang bertengger di
punggungnya. Dengan gerakan yang indah,
tangannya melolosi pakaian satu persatu. Rangga
kian tidak menentu perasaannya.
"Celaka!" sentak Rangga tiba-tiba. Tercecer
sudah seluruh pakaian Saka Lintang di rerumputan.
Tubuh indah dan putih mulus itu kini terbuka
tanpa sehelai benang pun menutupi! Kakinya
terayun mendekati Rangga. Namun mendadak
pemuda itu mencelat ke belakang, lalu beriari
sekencang-kencangnya menggunakan ilmu peringan
tubuh.
"Hey, tunggu!" teriak Saka Lintang terkejut.
Rangga telah lebih cepat menghilang di balik
rimbunan pohon. Saka Lintang menghentakkan
kakinya dengan kesal. Bergegas dikenakan kembali
pakaiannya, lalu beriari cepat ke arah Rangga pergi.
***
Di bangsal mmah yang paling besar di Lembah
Bangkai, Saka Lintang tengah hanyut oleh perasaan
malu dan marah. Dia benar- benar kecewa dengan
sikap Rangga. Namun rasa cintanya yang menggebu
dapat mengalahkan amarah dan rasa malunya.
Dalam hati dia bertekad akan memiliki Rangga
sepenuhnya.
Ketampanan dan kegagahan Rangga membuat
Saka Lintang mabuk kepayang. Dia tidak peduli lagi
dengan kedudukannya sebagai orang kedua di Panji
Tengkorak. Pikirannya selalu tertuju pada pendekar
tampan yang telah menancapkan panah cinta di
hatinya.
"Lintang...."
Saka Lintang menoleh setelah mendengar suara
panggilan dari belakang. Kala Srenggi sudah berdiri
di balik punggungnya. Saka Lintang menjauh dan
ber-balik.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Saka Lintang ketus.
Dia tahu kalau Kala Srenggi selalu berusaha men-
dekatinya.
"Aku ingin bicara padamu," sahut Kala Srenggi
memasang senyum yang menawan.
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
Saka Lintang mengemtkan keningnya. Bagi Saka
Lintang, senyum Kala Srenggi seperti seringai
serigala liar kelaparan. Sedang bagi Kala Srenggi,
melihat Saka Lintang bagai melihat bidadari turun
dari kahyangan. Bukan rasa cinta yang ada di hati,
tetapi nafsu birahi yang berkobar-kobar.
"Sejak pertama aku melihatmu, rasanya aku tidak
bisa hidup tanpa kau, Lintang," Kala Srenggi
mengobral rayuannya.
"O..., apakah kau pantas denganku?" cibir Saka
Lintang.
"Kenapa tidak? Aku toh tidak terlalu jelek
untukmu.
"Tapi kau tidak bisa menandingiku!"
"Lintang!" merah padam wajah Kala Srenggi.
"Kalahkan aku dulu, baru kau boleh berkata
begitu padaku!"
Kala Srenggi menelan ludahnya. Terasa pahit.
Mana mungkin Saka Lintang dapat dikalahkannya.
Ilmu silatnya di bawah gadis ini. Kala Srenggi
pernah merasakan jurus 'Tarian Bidadari' dan dia
tak ingin merasakannya lagL
"Bukankah cinta tidak mengenal tingkat
kepandaian, Lintang," kata Kala Srenggi lagi.
"Siapa bilang? Bagiku, laki-laki yang ingin
memilikiku, tingkat kepandaiannya harus lebih
daripada aku!" tetap ketus suara Saka Lintang.
"Seperti Pendekar Rajawali Sakti itu?!" Kala
Srenggi mendongkol.
Saka Lintang terkejut. Dia tidak menyangka
kalau Kala Srenggi tahu dirinya tengah kasmaran.
Nada suara Kala Srenggi memberi isyarat kalau dia
tengah cemburu.
'Pendekar Rajawali Sakti musuh ayahmu, musuh
Panji Tengkorak. Berarti juga musuhmu, Lintang.
Bagaimana mungkin kau bisa mengharapkan dia!"
Kala Srenggi coba beri pengertian.
"Dia bukan musjuhku. Aku tidak pernah
bermusuhan dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
dengus Saka Lintang.
"Mana mungkin dia bukan musuhmu, sedang kau
putri ketua Panji Tengkorak."
"Apa urusanmu?"
"Jelas ada urusannya denganku. Geti Ireng
mengijinkan aku untuk menikahimu. Dan aku tidak
rela jika Pendekar Rajawali Sakti merebutmu dari
tanganku!"
"Gila! Siapa sudi menikah denganmu? Kau boleh
merangkak di bawah kakiku, tapi jangan harap aku
dapat jadi milikmu!"
Kala Srenggi makin merah mukanya. Kata-kata
Saka Lintang telah menghina dan merendahkan
dirinya. Sungguh panas telinga Kala Srenggi
mendengar ucapan Saka Lintang itu. Darahnya
segera mendidih, bergolak penuh kemarahan.
"Dengar, Saka Lintang. Penghinaanmu tidak
akan kulupakan. Sekarang kedudukanmu masih
kuat. Tapi nanti, setelah kau lepas dari Geti
Ireng.... Kau akan menyesal!" Kala Srenggi
mengancam penuh kemarahan.
"Heh, main ancam segala rupanya," cibir Saka
Lintang mengejek.
"Huh! Dasar anak pungut tidak tahu diri!"
dengus Kala Srenggi geram.
Setelah berkata demikian, Kala Srenggi
melompat ke luar dari bangsal rumah besar.
"Hey!" Saka Lintang terkejut setengah mati
mendengar kata-kata terakhir Kala Srenggi.
Saka Lintang segera melompat ke luar, namun
Kala Srenggi sudah tak terlihat lagi. Saka Lintang
celingukan, lalu melompat ke atap. Matanya yang
tajam memandang ke sekeliling, namun Kala Srenggi
benar-benar tidak terlihat lagi.
"Anak pungut...," gumamSaka Lintang berulang-
ulang.
Benarkah dia anak pungut? Anak pungut Geti
Ireng? Lalu siapa orang tuanya yang sebenarnya?
***
Setelah didesak, Emban Girika akhirnya
menceritakan asal usul Saka Lintang. Wanita gemuk
itulah yang mengurus Saka Lintang sejak kecil.
"Saya diperintah merawat Nini Lintang ketika
masih berusia satu tahun. Waktu itu Panji
Tengkorak masih partai kecil. Gusti Geti Ireng
masih mencari pengaruh dan kekuatan. Dia
mengembara dari satu dusun ke dusun yang lain.
Beliau tidak bisa mengurus Nini Lintang, maka
sayalah yang diperintah merawat Nini di lembah ini,"
kata Emban Girika.
"Lalu siapa orang tua saya sebenarnya?" tanya
Saka Lintang tidak sabar.
"Sabar dulu, Nini. Saya akan ceritakan dari
awalnya," Emban Girika menarik napas panjang
sebentar." "Ketika itu Gusti Geti Ireng memasuki
desa Kali Anget. Di desa itu beliau mendapat
perlawanan sengit dari Kepala Desa. Namun Kepala
Desa itu akhirnya terbunuh bersama istri dan anak-
anaknya. Hanya satu yang selamat, seorang bocah
perempuan berumur satu tahun."
"Anak perempuan itu saya 'kan, Bi?" celetuk Saka
Lintang makin tidak sabar.
"Benar. Gusti Geti Ireng membawa anak
perempuan itu, karena kedua istrinya tidak
mempunyai anak sampai meninggal!"
"Apakah dibunuh ayah juga?"
"Ya, kedua istri Gusti Geti Ireng ingin melarikan
diri. Mereka tidak tahan melihat Gusti Geti Ireng
begitu kejam membunuh siapa saja yang berani
menentangnya."
Saka Lintang gemetar seluruh tubuhnya.
Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Dia
tidak tahu, apakah harus marah, kecewa, atau
berterima kasih pada ayah angkatnya yang telah
merawat dan mendidiknya hingga menjadi seorang
wanita yang berilmu.
Tetapi laki-laki itu juga yang membunuh selumh
keluarganya. Saka Lintang tidak tahu apakah dia
harus membalas kematian orang tua dan saudara-
saudaranya? Apakah akan dilupakan saja kejadian
itu? Orang yang selama ini dianggap ayahnya
sekaligus pelindung yang menyayangi dan
dihormatinya itu, ternyata pembunuh keluarganya.
Haruskah dia tinggal diam?
Saka Lintang merasa menyesal, kenapa dia harus
mengetahui semua ini. Seharusnya dia tidak perlu
tahu, sehingga tidak dituntut untuk berbakti
kepada orang tuanya. Bakti seorang anak yang
orang tuanya dibunuh laki-laki yang kini jadi ayah
angkatnya. Haruskah menuntut balas?
"Tidaaak...!" Saka Lintang menjerit sekuat-
kuatnya.
"Nini..., Nini Lintang...," Emban Girika jadi
ketakutan melihat Saka Lintang mengamuk
memporak-porandakan kamamya.
"Tidak! Dia bukan pembunuh orang tuaku!
Tidak...!" jerit Saka Lintang sambil meloloskan pe-
dangnya.
Dengan sekali tebas saja, tiang tempat tidur
patah jadi dua. Pembaringan yang beralaskan kain
surra halus itu pun ambruk disertai suara gemuruh.
Belum juga puas, Saka Lintang membabatkan
pedangnya ke sana kemari seperti kesetanan. Lalu
dia jatuh terduduk, menunduk lemas. Isaknya
terdengar memilukan.
Batin gadis itu tergoncang hebat. Sulit baginya
menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Saka
Lintang merasa hidupnya tiada berguna lagi. Semua
orang akan mengejek dan menertawakan dirinya.
"Gusti Yang Agung, betapa berat cobaan yang
kau berikan padaku!" Saka Lintang menangis terisak
menyesali hidupnya. "Mengapa aku tidak sekalian
dibunuh saja, Bi. Kenapa Geti Ireng mengambilku
sebagai anak? Kenapa, Bi...?"
'Tabahlah, Nini. Semua ini sudah kehendak Sang
Hyang Widi. Nini harus menerima kenyataan ini
dengan hati lapang," kata Emban Girika juga tidak
kuasa menahan air matanya. "Percuma saya hidup,
Bi." "Nini jangan berkata begitu. Gusti Geti Ireng
memang telah membunuh orang tua dan saudara-
saudaramu. Tapi Gusti Geti Ireng juga telah
merawat, mendidik, dan membesarkan Nini sampai
menjadi wanita berilmu sekarang ini. Bagaimanapun
juga Nini berhutang budi padanya."
'Tapi dia membunuh keluargaku, Bi!"
"Memang kewajiban seorang anak menjunjung
tinggi martabat orang tuanya. Hanya masalahnya
sekarang, pembunuhnya justru ayah angkat Nini
sendiri."
"Katakanlah, Bi. Apa yang harus saya lakukan?"
Saka Lintang kelihatan putus asa.
Emban Girika tidak menjawab. Memang serba
sulit untuk menjawabnya, Dia bersedia tinggal di
lembah ini karena merasa kasihan melihat Saka
Lintang kecil yang masih memerlukan kasih sayang
seorang ibu. Dia juga membencl Geti Ireng yang
telah membunuh seluruh keluarganya.
Kedudukan Emban Girika di lembah ini tidak
ubahnya seperti tawanan. Bisa dikatakan dia adalah
budak. Emban Girika hanya bisa menerima nasib.
Dia tidak mungkin mampu mengalahkan Geti Ireng
yang sakti. Dia sadar tak mampu melawan karena
hanya seorang wanita desa yang lemah tidak
mengerti ilmu silat dan kesakiian apa pun.
Pada saat mereka terdiam, di luar terdengar
suara-suara ribut. Suara senjata beradu dan jeritan
meiengking, saling menyusul. Saka Lintang
terdongak, lalu melompat keluar menembus dinding
yang terbuat dari potongan kayu papan.
"Nini Lintang..,!" Emban Girika bergegas ke luar.
Apa sebenarnya yang terjadi?
***
Suasana di Lembah Tengkorak seperti medan
pertempuran. Orang-orang dari partai Teratai
Putih bertarung gigih dibantu partai-partai
golongan putih lainnya melawan orang-orang Panji
Tengkorak.
Penyerbuan yang mendadak dan tak terduga ini
membuat orang-orang Panji Tengkorak kelabakan.
Namun mereka semua bukanlah orang-orang sern-
barangan.
"Pradya Dagma! Mana Kala Srenggi?" suara Geti
Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak menggelegar di
tengah-tengah suara pertempuran.
"Dia kabur!" sahut Pradya Dagma sambil terns
mengebutkan tasbih mutiara saktinya.
"Pengecut! Kupecahkan kepalanya nanti!" geram
Geti Ireng.
Pertempuran terns berlangsung. Korban dari
kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah
mengalir membasahi Lembah Tengkorak ini. Mayat-
mayat bergelimpangan tak tentu arah. Sebentar saja
pemandangan lembah ini kian mengerikan. Bau anyir
darah menyebar terbawa angin.
"Geti Ireng!"
Geti Ireng menoleh. Tiba-tiba saja seorang tokoh
tua berjubah putih melompat ke depan. Tokoh tua
Ini adalah Begawan Pasopati, guru besar dari partai
Teratai Putih. Tongkat galian asam dengan cincin
emas berbentuk kepala naga diacungkan ke depan.
Matanya tajam menatap Geti Ireng yang tegak
menggenggam tongkat berkepala tengkorak.
"Hm, Begawan Pasopati. Rupanya kau ikut ambil
bagian juga dalam kerusuhan ini," gumam Geti Ireng
dingin.
"Kerusuhan terakhir dari sepak terjangmu!" balas
Begawan Pasopati tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Akan kulihat, sampai di mana nama
kosongmu!" ejek Geti Ireng.
'Tahan seranganku!" pekik Begawan Pasopati
segera melompat menyerang.
Geti Ireng mengernyitkan keningnya sedikit
Rupanya Begawan tua ini langsung mengeluarkan
jums 'Naga Menggempur Gunung'. Geti Ireng tahu
kehebatan jurus ini. Makanya dia tak sungkan lagi
meladeninya. Dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut'
yang menjadi andalannya dibarengi dengan 'Aji
Sangkala Bayu'. Dengan ajian ini tubuh Geti Ireng
bergerak seringan kapas. Gerakannya semakin cepat
dan lincah.
Menyadari lawan telah menggunakan ajiannya,
Begawan Pasopati segera merapal aji pamungkasnya.
'Aji Batara Karang'. Sekejap saja selumh tubuh
Begawan ini bercahaya menyilaukan mata.
"Setan! Kau licik, Begawan Pasopati!" dengus
Geti Ireng. Cahaya menyilaukan yang terpancar dari
tubuh Begawan itu membuat mata jadi perih. Geti
Ireng tidak dapat melihat jelas di mana Begawan
Pasopati berada.
Merasa keadaannya tidak menguntungkan. Geti
Ireng segera melompat tinggi sambil memekik
nyaring. Lalu dengan cepat dia meluncur ke bawah
dengan ujung tongkatnya terarah ke kepala
Begawan itu. "Awas, Eyang...!"
Begawan Pasopati menjatuhkan tubuhnya sambil
mengebutkan tongkat ke udara. Serangan Geti
Ireng luput. Hampir saja tongkat Geti Ireng
mengenai Bega¬wan itu kalau tidak cepat-cepat
berkelit di udara.
"Saka Lintang! Lancang kau!" dengus Geti Ireng
mengetahui peringatan itu datang dari putrinya
sendiri.
"Hentikan semua kekejamanmu, Geti Ireng!"
keras sekali suara Saka Lintang.
"He! Sejak kapan kau berani membentak
ayahmu?!" Geti Ireng terkejut heran.
"Sejak aku tahu, kau bukan ayahku!"
Geti Ireng terlonjak kaget sampai melompat dua
tombak.
"Dari mana kau tahu?" tanya Geti Ireng menahan
napas.
"Kala Srenggi!"
"Setan alas! Bocah itu harus mampus!" jerit Geti
Ireng kalap.
Setelah berkata demikian, Geti Ireng segera
melompat tinggi ke udara.
"Geti Ireng, jangan lari kau!" teriak Begawan
Pasopati seraya menggenjot tubuhnya ke udara.
Namun baru saja dia melesat, tiba-tiba Geti
Ireng melempar jarum-jarum beracunnya. Begawan
Pasopati tersentak. Dengan cepat diputar-putar
tongkatnya bagai baling-baling untuk menangkis
serangan gelap itu.
Jarum-jarum berpentalan terkena sambaran
tongkat. Malangnya, jarum-jarum itu menyambar
orang¬orang yang tengah bertempur di bawah. Jerit
kesakitan terdengar dari beberapa orang yang
terkena. Senjata rahasia jarum beracun itu sangat
ampuh. Dalam sekejap orang yang terkena akan
mati. Tubuhnya membiru dan kaku.
"Kejam! Semua dewa mengutukmu, Geti Ireng!"
geram Begawan Pasopati. Giginya gemerutuk
menahan amarah. Tidak sedikit murid-muridnya
yang terkena sambaran jarum-jarum beracun itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Begawan
Pasopati!" seru Geti Ireng, kembali melenting
dengan meminjam landasan daun yang melayang
dihembus angin.
Ketika tubuh Geti Ireng meluncur satu tombak,
tiba-tiba sebuah bayangan cepat menghadangnya.
Geti Ireng tersentak kaget. Dengan cepat dia
meluncur ke bawah sambil berlompatan beberapa
kali di udara.
Baru saja kakinya menjejak tanah, bayangan itu
kembali menyerang. Gerakannya sangat cepat
sehingga sulit diikuti mata. Geti Ireng kewalahan
hingga jatuh bangun menghindari serangan cepat
yang beruntun.
"Demit busuk! Siapa kau?" teriak Geti Ireng
kesal.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, tiba-
tiba di hadapan Geti Ireng telah berdiri seorang
pemuda tampan dengan pedang bergagang kepala
burung rajawali. Begawan Pasopati tersenyum
melihat kedatangan pendekar muda itu. Dia sudah
pernah bertemu ketika pendekar itu berkunjung di
kediamannya.
Saka Lintang yang melihat kemunculan pendekar
itu menjadi berseri-seri. Dia berharap pendekar itu
tahu kalau dirinya benar-benar membenci Panji
Tengkorak. Saka Lintang berusaha menarik simpati
Pendekar Rajawali Sakti dengan membanru tokoh-
tokoh aliran putih membasmi Panji Tengkorak. Dia
memekik keras membabati orang-orang Panji
Tengkorak.
Tentu saja perbuatan Saka Lintang sangat
mengejutkan semua anggota Panji Tengkorak.
Mereka tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang
yang tiba- tiba memusuhi mereka. Tapi sikap Saka
Lintang mendapat sambutan hangat dari tokoh-
tokoh golongan putih. Mereka tahu sepak terjang
gadis itu liar dan kejam.
"Minggir semua! Biar kuhabisi mereka!" teriak
Saka Lintang.
"Minggir!" perintah Begawan Pasopati memberi
kesempatan pada Saka Lintang. Dia sudah mengerti
duduk persoalannya. Sebab Begawan Pasopati tadi
telah mendengar sedikit pembicaraan Saka Lintang
dengan Geti Ireng.
Mendengar perintah dari Begawan Pasopati,
seluruh murid-murid Teratai Putih dengan cepat
berlompatan ke luar arena. Tidak ketinggalan
tokoh-tokoh golongan putih lain bersama murid-
muridnya mengikuti petunjuk Begawan Pasopati.
"Lintang! Sudah gila, kau!" bentak Geti Ireng.
"Arwah ayah ibuku akan mengutuk kalau Panji
Tengkorak belum musnah di tanganku!" sahut Saka
Lintang keras dan lantang.
"Lintang, aku ayahmu. Aku yang
membesarkanmu!"
"Tidak! Kau bukan ayahku, kau pembunuh ayah
ibuku! Aku memang berhutang budi padamu, tapi
kau juga berhutang nyawa padaku. Bahkan, seluruh
nyawa anggota Panji Tengkorak belum cukup
menebus nyawa keluargaku!"
Merah padam muka Geti Ireng. Rahasia yang
selama ini ditutup-tutupinya, akhirnya terbongkar
juga. Rahasia ini bocor karena ulah Kala Srenggi.
Geti Ireng benar-benar murka. Dia belum puas
kalau belum mematahkan batang leher Kala Srenggi
dan menghirup darahnya.
"Demi balas budiku, aku tidak akan
membunuhmu. Aku hanya ingin melenyapkan
seluruh anggota Panji Tengkorak," kata Saka
Lintang lagi.
Semua anggota Panji Tengkorak yang terdiri dari
tokoh-tokoh golongan hitam terkejut bergetar.
Mereka semua tahu siapa Saka Lintang. Apalagi
rata-rata mereka sudah pemah merasakan
kehebatan gadis ini.
"Bersiaplah kalian semua menghadapi ajal!"
dengus Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang
berteriak nyaring. Tanpa basa-basi lagi, pedangnya
berkelebat cepat mencari mangsa. Saka Lintang
segera mengeluarkan jurus pedang andalannya yang
dibarengi dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang
sangat dahsyat. Beberapa tokoh anggota Panji
Tengkorak bemsaha membendung serangan Saka
Lintang, namun hanya beberapa gebrak saja, tiga
orang tersungkur mandi darah.
'Lintang, berhenti!" teriak Geti Ireng.
''Tidak, sebelum semua anggota Panji Tengkorak
musnah!" sahut Saka Lintang terus mengamuk.
"Bocah gila! Kubunuh kau!" geram Geti Ireng
murka.
Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, Geti
Ireng menggenjot tubuhnya menuju ke arah Saka
Lintang yang tengah merubah jurusnya dengan
'Tarian Bidadari'. Namun belum sempat Geti Ireng
sampai, sebuah bayangan kembali menahannya.
Terpaksa Geti Ireng bersalto di udara dan turun
lagi ke tanah.
"Kau masih punya persoalan denganku, Geti
Ireng," kata Rangga tegas.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Minggir!"
sentak Geti Ireng.
"Urusan lama belum terselesaikan!" dingin suara
Rangga.
"Siapa kau?' tanya Geti Ireng.
"Aku Rangga, bocah kecil yang kau lemparkan ke
dalam jurang Lembah Bangkai!"
Lagi-lagi Geti Ireng tersentak kaget. Sungguh di
luar dugaan, hari ini dia menghadapi persoalan-
persoalan yang terjadi karena peristiwa puluhan
tahun yang lalu. Persoalan-persoalan yang telah
teriupakan. Bocah kecil yang dilempamya ke jurang
dulu, kini tiba-tiba datang untuk menuntut balas
atas kematian kedua orang tuanya. Padahal
pikirnya, bocah itu telah mati dilumat oleh batu
cadas dasar jurang Lembah Bangkai!
"Ha ha ha...!" Geti Ireng tertawa terbahak-
bahak. Tawanya sangat keras karena dibarengi oleh
penyaluran tenaga dalam yang sempurna.,
Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki
Geti Ireng hingga membuat gendang telinga sakit
karena tawanya itu. Beberapa orang yang
kemampuan ilmunya masih rendah, kesakitan sambil
memegang kedua telinga. Dari mata dan telinga,
darah segar mengaiir. Mereka berguling-guling di
tanah menahan rasa sakit. Tokoh-tokoh yang
berilmu tinggi pun harus mengerahkan tenaga
dalamnya untuk meredam suara tawa itu.
Saka Lintang yang tengah kalap, segera
menghentikan pertarungannya. Cepat-cepat
disalurkan hawa mumi ke bagian telinganya.
Dirapalkannya 'Aji Pemecah Suara'. Ajian ini telah
diajarkan oleh Geti Ireng sendiri untuk menangkal
lawan yang bisa mengeluarkan suara keras. Terbukti
suara Geti Ireng hanya terdengar biasa di telinga
Saka Lintang. Memang ampuh ajian ini.
Kesempatan ini tidak disia-siakan. Gadis itu
dengan cepat mengayunkan pedangnya menyerbu
ang-gota Panji Tengkorak yang sibuk menahan
serangan suara tawa Geti Ireng.
***
Melihat korban telah cukup banyak, Rangga
meng-geram menahan amarahnya. Tiba-tiba dia
membentak dengan pengerahan tenaga dalam yang
luar biasa.
Betapa hebat akibat bentakan Rangga. Di
Lembah Tengkorak bagaikan terjadi gempa. Batu-
batu ber-jatuhan dan pohon-pohon bertumbangan.
Orang-orang yang berada di sekitar situ sampai
terlompat beberapa tombak.
"Setan!" umpat Geti Ireng yang terlonjat sampai
dua tombak ke belakang.
"Tidak pantas kau mengumbar ilmu iblis di depan
ku, Geti Ireng!" dengus Rangga.
"Kurobek mulutmu, bocah setan!" geram Geti
Ireng.
Setelah selesai kata-katanya, Geti Ireng segera
berteriak nyaring, dan tak tanggung-tanggung, dike-
luarkannya jurus 'Tongkat Maut Mencabut Nyawa'.
Rangga menghadapinya tanpa mengeluarkan jurus
andalan. Dia hanya berkelit menghindari setiap
serangan lawan, sehingga membuat Geti Ireng makin
marah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semua
orang yang menyaksikan tertahan napasnya. Rangga
seperti mempermainkan Geti Ireng saja. Setiap kali
ujung tongkat nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga
berkelit Beberapa kali Geti Ireng merasa tertipu
oleh gerakan Rangga yang tak terduga itu.
"Kena!" teriak Rangga tiba-tiba.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu kaki
Rangga berhasil menyepak punggung Geti Ireng
yang lowong. Geti Ireng bergulingan di tanah.
Dengan cepat dia bangkit kembali. Di saat yang
bersamaan, Saka Lintang memekik tertahan.
Hatinya terkesiap melihat ayah angkatnya terguling
kena tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Geti Ireng membuka serangan kembali. Hatinya
penasaran bercampur malu. Sudah tiga jurus
dimainkan, tapi belum juga dapat menjatuhkan
lawan nya. Malah kaki lawan telah mampir di
punggungnya. Memang tidak berbahaya. Tapi
menyebabkan Geti Ireng kehilangan muka.
Pendekar muda itu telah mempermainkannya di
depan orang banyak.
Rangga mendorong kedua tangannya ke depan.
Kesepuluh jari tangannya mengembang bagai
sepasang cakar. Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar
Rajawali'.
"Hiya...!"
Dengan suatu teriakan geledek, Rangga men-
dahului menyerang. Gerakannya sangat cepat,
sehing¬ga tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya
terlihat ba-yangannya saja. Geti Ireng makin
kewalahan mengha-dapi jums pendekar muda ini.
Hingga tiba saatnya....
"Akh!" pekik Geti Ireng tertahan.
Tubuh Geti Ireng terdorong ke belakang sejauh
dua tombak. Tangannya mendekap dada. Dari
mulut menyembur darah kental kehitaman. Cepat-
cepat disi-langkan tongkamya ke depan dada. Dan
darah kental kehitaman kembali menyembur ke luar.
"Ayah...!" pekik Saka Lintang.
Gadis yang juga membenci ayah angkatnya ini,
ternyata mengkhawatirkan keadaannya. Batinnya
terus berkecamuk antara benci dan rasa hutang
budi. Bagaimanapun juga laki-laki itu telah
merawat, membesarkan, dan mendidiknya sampai
dia dewasa. Figur seorang ayah pada Geti Ireng
sulit dilupakannya.
"Lintang, jangan!" sentak Geti Ireng yang melihat
Saka Lintang sudah mengeluarkan gabungan dari
jums 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi
peringatan ayahnya. Dengan cepat Saka Lintang
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-
gerakan Saka Lintang segera berubah gemulai
setelah berada di depan pendekar muda itu.
"Ah, indah sekali tarianmu," Rangga
memperhatikannya dengan senyum tersungging.
"Hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti. Jurus itu
sangat berbahaya!" Begawan Pasopati
mengingatkan.
"Dia hanya menari, Eyang Begawan," sahut
Rangga sambil merentangkan kedua tangannya.
Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak
gemulai. Seperti sepasang sayap yang terkembang
akan terbang. Itulah jurus 'Rajawali Pentang Sayap'.
Suatu jurus yang sebenarnya bukan jurus andalan.
Jurus ini dikeluarkan karena Rangga menganggap
jurus yang dikeluarkan Saka Lintang tidak
berbahaya. Dan lagi Rangga tidak ingin gadis itu
celaka. Hanya satu yang ingin dicabut nyawanya
yakni, Geti Ireng!
Semua orang yang menyaksikan, menahan napas
ketika gerakan gemulai dari jurus 'Tarian Bidadari'
berubah menjadi cepat dan masuk ke beberapa
bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun
pendekar muda itu hanya mengepak ngepakkan
kedua tangannya saja sambil berlompatan kian
kemari menghindari setiap totokan dan pukulan
maut Saka Lintang.
"Gila! Ilmu setan apa yang dimilikinya?!" dengus
Geti Ireng keheranan.
Racun yang menyebar dari setiap gerakan Saka
Lintang tidak berarti apa-apa pada Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan setiap kali tangan mereka
beradu, pendekar itu tidak terpengaruh sama
sekali. Padahal seluruh tubuh Saka Lintang kini
tengah menyebarkan racun yang sangat dahsyat dan
mematikan.
"Akh...!" tiba-tiba Saka Lintang terpekik.
Punggungnya terkena tepukan tangan kanan
Rangga. Gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dia
bergegas bangkit lagi dan bersiap-siap menyerang
kembali. Niat itu tiba-tiba terhenti ketika
mendadak saja Geti Ireng menggantikannya dengan
jurus-jurus maut
Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', jurus
andalan kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Dengan jurus ini, kaki Rangga bergerak cepat bagai
tidak menyentuh tanah. Kedua tangannya selalu
mengembang bergerak-gerak cepat mengikuti irama
gerak tubuhnya yang meliuk-liuk lentur.
Geti Ireng makin kebingungan melihat gerakan-
gerakan yang aneh dari pendekar muda ini. Setiap
serangannya selalu kandas mengenai tempat kosong,
Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba kaki Rangga
berhasil mendarat di dada Geti Ireng.
"Ukh!" Geti Ireng kembali memuntahkah darah
kental kehitamaa
Belum sempurna posisi Geti Ireng, tiba-tiba
tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti menyampok
pinggang Geti Ireng. Tak ayal lagi, tubuh Iblis
Lembah Tengkorak ini melayang ke angkasa.
Dengan tetap menggunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega', Rangga mengejamya.
Sukar untuk dibayangkan. Tubuh Rangga
meluncur cepat mengejar Geti Ireng yang terlontar
ke udara. Tiba-tiba tubuh yang melayang itu
terhajar oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayah...,!" pekik Saka Lintang keras, melihat
tubuh Geti Ireng terpotong-potong di angkasa.
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti melem-
parkan setiap potongan tubuh ke tanah. Dan
sungguh hebat! Setiap potongan yang jatuh ke
tanah, tersusun kembali seperti semula. Namun
darah telah meng-genang di sekitarnya. Pendekar
Rajawali Sakti turun kembali dengan manis di
tanah.
***
Melihat pemimpinnya tewas dengan tubuh
terpotong-potong, tokoh- tokoh hitam yang
tergabung di bawah Panji Tengkorak, segera
mengambil langkah seribu.
"Pendeta Murtad! Berhenti kau!" teriak Pragola
yang melihat Pradya Dagma melarikan diri dengan
mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.
"Pragola, jangan!" teriak Begawan Pasopati.
Pragola tidak mendengarkannya lagi. Dia telah
lebih dulu mencelat mengejar pendeta murtad itu.
Tokoh-tokoh lain dari golongan putih pun segera
berlompatan mengejar anggota-anggota Panji
Tengkorak yang telah kabur. Begawan Pasopati pun
segera mencelat mengejar Pragola. Dia khawatir
karena murid kesayangannya itu mengejar lawan
yang bukan tandingannya.
Dalam sekejap saja di Lembah Tengkorak tinggal
Pendekar Rajawali Sakti dengan Saka Lintang.
Secara bergantian, Saka Lintang menatap tubuh
Iblis Lembah i Tengkorak dan Pendekar Rajawali
Sakti. Batinnya terus berperang antara percaya dan
tidak, antara kenyataan dan khayalan. Dia ingin
menangis, marah, mtmbenci, tapi tidak tahu kepada
siapa semua dilim-pakkannya.
"Dia ayahmu?" tanya Rangga dengan suara pelan
dan hati-hati.
Saka Lintang hanya menatap saja tanpa berkedip
pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga tengah
menatapnya. Dada gadis itu bergemuruh, tidak
tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Eiitah terdorong rasa apa, tanpa diminta lagi
Saka Lintang menceritakan semua yang diketahui
tentang dirinya berdasarkan cerita Emban Girika.
Rangga mendergarkan tanpa memotong sedikit pun.
Sampai Saka Lintang selesai bercerita, Rangga
masih tetap berdiam diri.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku...."
"Maaf, Lintang. Masih banyak tugas yang harus
kuselesaikan," potong Rangga cepat.
Saka Lintang terdongak.
"Selamat tinggal!" seru Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya sudah melesat
ke udara, meluncur cepat menembus hutan dan
meng-hilang dari pandangan mata.
"Rangga....!" Saka Lintang menjerit sekuat-
kuatnya.
Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan
kesal. Dalam kesempatan yang sempit tadi, dia
sudah berusaha menarik simpati pendekar tampan
itu. Namun kini Rangga meninggalkannya sendirian.
Saka Lintang sungguh kecewa. Cintanya yang
berkotar-kobar tidak terbalaskan.
Dari cinta yang tak terbalaskan itu, membuat
Saka Lintang membenci Pendekar Rajawali Sakti.
Wajalnya seketika berubah tegang memerah. Rasa
cinta dan benci bercampur jadi satu. Sikap Rangga
terasa sangat merendahkan harga dirinya.
"Satu saat nanti, kau akan bertekuk lutut di
bawah kakiku!" desis Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang
melangkahkan kakinya meninggalkan markas Panji
Tengkorak, tempat dia dibesarkan. Tempat yang
penuh kenangan manis dan pahit. Kakinya terayun
dengan satu tujuan, mencari dan ingin menaklukkan
pendekar tampan yang telah merobek-robek
hatinya. Mampukah Saka Lintang menaklukkan
Pendekar Rajawali Sakti?
Nah, bagi paia pembaca yang mau tahu
petualangan selanjutnya dari Saka Lintang, silakan
ikuti kisah berikutnya dalam 'Bidadari Sungai Ular'.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar