BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE BENCANA GOA IBLIS


Matjenuh khairil

 


BENCANAGOA IBLIS

oleh Fredy S.

Cetakan Pertama, 1991 

Penerbit Gultom Agency, Jakarta 

Setting oleh: Trianto S.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


Alam telah gulita. Kesenyapan begitu hen-

ing terasa. Angin pun seakan enggan berhembus, 

memberikan titik makna yang hilang.

Entah mengapa suasana mencekam me-

nyelimuti desa di lereng Gunung Kelud. Desa 

yang biasanya ramai dan tentram, kini bagaikan 

tengah menunggu datangnya hantu-hantu yang 

hendak berbuat jahat.

Semua penduduk seakan merasakannya. 

Namun di keheningan yang mencekam dan ma-

lam yang semakin larut, di balai desa suasana 

cukup ramai. Karena nampak beberapa orang 

pemuda dan laki-laki setengah baya tengah ber-

kumpul di sana. Hadir pula seorang laki-laki yang 

berwajah lembut dan berwibawa. Dia adalah Pan-

du Kelana, seorang lurah yang tengah menginjak 

usia 45 tahun. Sikapnya yang bijaksana dan pe-

nuh kewibawaan membuat orang-orang desa di 

sana begitu menaruh hormat padanya.

Di balai desa itu hadir pula beberapa orang 

tua yang nampaknya seperti sesepuh. Dari ra-

mainya keadaan di balai desa ditimpali dengan 

wajah-wajah yang tegang, nampak jelas kalau di 

sana tengah dibicarakan dan dibahas satu masa-

lah yang nampaknya amat rumit.

Laki-laki tua yang bernama Kendala Yoro 

mendehem, membuat semua mata tertuju padanya.


"Semakin hari kita semakin dicekam oleh 

ketakutan dan teror yang mengerikan. Teror yang 

setiap saat datang," katanya dengan suara pelan 

namun berat. "Yah... kita memang tidak bisa me-

nyalahkan Juragan Banyu Biru yang menolak pi-

nangan dari ketua Sangkur Baja, terhadap pu-

trinya. Siapa pun orangnya tentu akan menolak 

pinangan gerombolan kejam yang sadis itu.

Namun akibat dari semua ini, berulang-kali 

orang-orang Sangkur Baja menebarkan terornya. 

Sudah tentu Bojo Mayit, ketua Sangkur Baja me-

rasa terhina dan tidak bisa menerima apa yang 

telah dikatakan Juragan Banyu Biru terhadap 

utusan yang membawa pinangan nya. Jelas kita 

tidak bisa menyalahkan Juragan Banyu Biru yang 

mana akibat dari semua ini, seisi desa yang akan 

bisa terkena sasaran...."

Hening, tak ada yang bersuara. Hanya an-

gin malam yang berkesiuran dingin. Siapa pun 

akhirnya tahu, karena secara mendadak beberapa 

kali desa mereka diserang oleh orang-orang yang 

mengaku dari golongan Sangkur Baja. Namun se-

jauh itu mereka dapat menghalaunya. Dan kare-

na serbuan itu diadakan berulangkali, dan beru-

langkali pula mereka melihat sasaran yang dituju 

adalah rum ah Juragan Banyu Biru. Ini membuat 

mereka menjadi heran.

Lambat laun akhirnya mereka pun mulai 

membicarakannya, akhirnya diambil keputusan 

untuk bertanya langsung pada Juragan Banyu 

Biru yang secara ragu-ragu pun menceritakan ke



jadian sesungguhnya.

Mereka cukup terkejut mendengarnya. Di 

samping tidak menyalahkan sikap diam Juragan 

Banyu Biru juga amat geram mengingat putri 

Juragan Banyu Biru yang bernama Sekar Perak, 

putri jelita yang manis itu. Mereka pun seakan ti-

dak rela bila Sekar Perak harus menjadi pen-

damping manusia kejam Bojo Mayit yang berdiam 

di sebelah Tenggara Gunung Kelud.

Dan mulai malam itu pula mereka semua 

berjaga-jaga. Juragan Banyu Biru sendiri telah 

menyewa beberapa orang jago-jago bayaran untuk 

melindungi keluarganya.

Memang serangan dari orang-orang Sang-

kur Baja itu kembali datang, namun berkat kegi-

gihan mereka dibantu dengan jago-jago bayaran 

yang didatangkan oleh Juragan Banyu Biru, se-

muanya bisa dihalau.

Tetapi biarpun begitu, mereka cukup te-

gang dan kuatir, bila suatu waktu orang-orang 

Sangkur Baja datang dengan jumlah yang besar. 

Selama ini Bojo Mayit memang belum turun tan-

gan. Dan inilah yang dikuatirkan mereka.

Di balai desa itu keheningan masih terasa.

Juragan Banyu Biru yang hadir pula di sa-

na, hanya mendesah panjang mendengar kata-

kata Kendala Yoro. Dia pun tidak menyalahkan 

apa yang telah dikatakan Kendala Yoro itu. Kare-

na memang dia yang menjadi penyebab pangkal 

semua ini.

Kembali Kendala Yoro berkata:


"Biarpun demikian, kita semua akan tetap 

berusaha untuk menghalau sepak terjang mere-

ka. Kita tidak bisa berpangku tangan begitu saja. 

Ini sudah menjadi kewajiban kita bermasyarakat."

Orang-orang yang hadir membenarkan ka-

ta-kata Kendala Yoro itu. Mereka pun berniat un-

tuk menghalau dan bersiaga penuh terhadap 

orang-orang Sangkur Baja.

Sementara Juragan Banyu Biru tersentuh 

hatinya. Mereka adalah orang-orang yang bersa-

habat, yang membuat satu arti hidup menjadi le-

bih matang.

"Saudara-saudaraku, terima kasih atas ke-

relaan kalian untuk membantuku. Terus terang, 

aku tidak ingin menyusahkan kalian, tidak ingin 

membuat kalian resah. Namun apa daya, aku tak 

kuasa untuk membendungnya. Bila aku mau, 

aku pun rela mengorbankan putriku untuk dija-

dikan istri oleh Bojo Mayit. Namun aku tak bisa 

membayangkan bagaimana nasibnya nanti berada 

di tangan seorang suami seperti dirinya, yang ba-

nyak bergelimang dosa dan melakukan sepak ter-

jang yang mengerikan. Sekali lagi, terima kasih 

atas bantuan kalian...." Ki Lurah Pandu Kelana 

mendehem. "Banyu Biru... sudah sepatutnya ka-

mi melakukan hal itu. Karena kami pun harus 

mempertahankan diri. Kau dan keluargamu me-

rupakan bagian dari kami warga di sini. Tak perlu 

kau risaukan kembali, karena kami siap untuk 

membela...." "Terima kasih, Ki Lurah...." 

"Dalam hal ini, aku minta," kata Ki Lurah


Pandu Kelana kemudian sambil memandang se-

mua yang hadir. "Kalian harus bersiap siaga. Ka-

lian harus menjaga desa ini hingga titik darah te-

rakhir. Kita jangan hanya melimpah kesalahan ini 

pada Juragan Banyu Biru.

Dalam hal ini dia tidak bersalah. Ini bu-

kan kesalahan dan kemauannya. Bagi kita yang 

mempunyai seorang anak perawan, pasti juga ti-

dak rela bila anak kita jatuh ke tangan seorang 

laki-laki kejam seperti Bojo Mayit.

Di samping itu pula, kita harus bersatu. 

Dengan bersatu kita akan menjadi lebih berarti."

Semua yang hadir rata-rata mengangguk-

kan kepalanya mendengar wejangan dari Ki Lu-

rah Pandu Kelana. Mereka semakin menaruh 

hormat padanya.

Sejak semula mereka memang sudah me-

naruh hormat. Ini membuktikan bahwa Ki Lurah 

Pandu Kelana mempunyai wibawa dan kharisma 

yang besar.

Kendala Yoro, orang yang di pertua di desa 

itu pun diam-diam dalam hati bangga terhadap 

Pandu Kelana. Dia tahu siapa Pandu Kelana. Tak 

lain adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu 

kanuragan yang tinggi. Disegani baik lawan mau-

pun kawan.

Kendala Yoro sendiri merasa yakin, bahwa 

seorang seperti Pandu Kelana akan menjadi orang 

yang dihormati siapa saja selamanya, karena jiwa 

kepemimpinan nya, karena rasa simpatinya dan 

wibawanya yang besar.


"Lalu apa rencanamu, Pandu?" tanyanya 

kemudian.

Pandu Kelana menatap Kendala Yoro.

"Puan... tentunya kita harus bersiaga pe-

nuh. Untuk itu, aku akan mengatur beberapa 

penjagaan yang lebih ketat. Agar kita bisa me-

mantau keadaan."

"Cara apa yang akan kau lakukan?"

"Pertama, kita akan menempatkan lima 

orang di pintu masuk desa sebelah Utara, Timur, 

Barat dan Selatan pun hal yang sama. Selain itu, 

kita pun akan memberi bantuan khusus di rumah 

Juragan Banyu Biru untuk membantu para jago-

jago bayaran-

Aku tahu siapa Bojo Mayit. Dia seorang la-

ki-laki kejam yang memiliki ilmu Sangkur Baja 

yang amat hebat. Tubuhnya bisa menjadi kebal 

dan tahan terhadap segala macam senjata. Juga 

pukulan yang amat berbahaya sekalipun.

Untuk menghadapi hal ini, agaknya kita 

masih perlu dan harus berani berkorban. Karena 

aku tahu siapa Bojo Mayit itu."

Suasana kembali hening. Mereka seakan 

mendengar nada suara kecut yang diucap-kan 

oleh Ki Lurah Pandu Kelana. Namun diam-diam 

mereka pun yakin akan kehebatan ilmu yang di-

miliki oleh Ki Lurah.

Mereka pun menjadi tenang.

Namun sebelum pembicaraan itu berlan-

jut, tiba-tiba muncul satu sosok tubuh tergesa-

gesa, bahkan terlihat sempoyongan. Tangan kanannya mendekap tubuh bagian dada. Terlihat 

pula tangan dan dada itu bersimbah cairan me-

rah.

Darah! Darah yang keluar dari dada itu.

Sosok itu tiba di balai desa dan langsung 

ambruk setelah mendesis terbata-bata.

"Hei!" seru Ki Lurah Pandu Kelana terkejut 

dan sigap bangkit menolong sosok tubuh yang 

sedang menahan rasa sakit.

Yang lebih terkejut lagi adalah Juragan 

Banyu Biru. Karena sosok yang terluka parah itu 

adalah salah seorang jago bayaran yang dis-

ewanya.

"Kranggan!!" desisnya memburu. "Ada apa, 

Kranggan? Ada apa?!" lanjutnya tergesa-gesa. Se-

ketika terlihat di wajahnya kepanikan. Hatinya ti-

ba-tiba menjadi tidak enak.

Sosok itu membuka matanya yang me-

mancarkan rasa kesakitan. Wajahnya seolah me-

nahan rasa sakit.

"Tuan...." desisnya.

"Ada apa, Kranggan? Katakan cepat! Apa 

yang telah terjadi? Apa yang terjadi?!"

Kranggan menahan rasa sakitnya.

"Hgggh. Tuan... akh... mereka datang, 

Tuan... mereka... akh...."

"Siapa?! Siapa, Kranggan?!"

"Mereka... mereka, Tuan.... Orang-orang 

Sangkur Baja... akh... tiba-tiba saja mereka mun-

cul dan menyerang... kami secara membabi buta....


Teman-teman sedang... berusaha me-

nyelamatkan Putri Sekar dan Nyonya...."

Kepanikan itu semakin kentara di wajah 

Juragan Banyu Biru. Tanpa berkata apa-apa dia 

langsung berlari dengan cepat, menyusul di bela-

kangnya dua orang jago bayarannya yang nampak 

sudah tidak sabar.

Ki Lurah Pandu Kelana segera bertindak 

cepat. "Urus orang ini!" serunya lalu dia sendiri 

berlari dengan ilmu meringankan tubuhnya.

Di belakangnya berlarian pula orang-orang 

dengan hati geram dan marah. Mereka sudah ti-

dak sabar ingin segera melumat manusia-

manusia kejam itu.

Bangsat! Manusia-manusia yang lebih 

layak mati daripada hidup di muka bumi ini 

membuat onar dan merugikan manusia lain.

Beberapa orang segera menolong Kranggan 

yang kini pingsan karena kekurangan darah. 

Kendala Yoro pun dengan cepat menotok bebera-

pa bagian tubuh dari Kranggan agar darah yang 

keluar tidak mengalir lagi.

Lalu dia sendiri setelah itu segera berlari 

menuju rumah Juragan Banyu Biru.

Tongkatnya yang berwarna putih seakan 

membantunya dalam berlari karena dijadikan 

tumpuan.

*

* *


DUA


Rumah Banyu Biru adalah rumah yang te-

rindah dan terbagus di desa itu. Namun di malam 

ini, rumah indah itu seakan tidak nampak kein-

dahannya. Dari kejauhan malah terlihat api ber-

kobar menyala menjilat-jilat udara.

Api itu merayap di atas rumah Juragan

Banyu Biru.

Di halaman rumahnya terdengar suara 

orang menjerit dan senjata beradu keras.

"Trang!"

"Trang!"

"Hahaha... lebih baik kalian menyerah saja, 

Bodoh!" Terdengar makian keras sambil tertawa 

membahana.

"Bangsat! Kalian adalah orang-orang bi-

adab yang kerjanya hanya mengganggu orang sa-

ja!"

Seruan-seruan itu semakin kuat terdengar. 

Yang membentak pertama seorang laki-laki yang 

berwajah seram. Seluruh wajahnya nampak ba-

gaikan berbulu. Dia bernama Rondeng, seorang 

tangan kanan dari ketua Sangkur Baja, Bojo 

Mayit.

Sedangkan yang membentak kedua adalah 

salah seorang dari jago bayaran yang disewa oleh 

Juragan Banyu Biru. Hanya tinggal dia sendiri! 

Teman-temannya yang lain sudah mampus lebih 

dulu. Mereka memang cukup terkejut ketika tiba


tiba orang-orang itu hadir dan melancarkan se-

rangan yang membabi buta.

Namun bagi seorang jago bayaran yang te-

lah mencurahkan dirinya pada orang yang mem-

bayarnya, maka nyawalah taruhannya. Jago 

bayaran itu pun semakin memperhebat seran-

gannya, meskipun dia yakin perbuatannya itu 

akan sia-sia. Namun dia tak akan pernah mau 

menyerah begitu saja.

"Hahaha... lebih baik kau membunuh diri 

saja, Goblok!!" maki Rondeng sambil tertawa.

"Bunuh diri? Hahaha... kau bermimpi, Ka-

wan. Tak akan pernah aku mundur sejengkal pun 

dari hadapanmu!" serunya sambil menghindar 

dan membalas menyerang.

Serangan demi serangan dengan cepat ter-

jadi. Saling serang dan mengelak dengan hebat. 

Sungguh suatu hal yang luar biasa diperlihatkan 

oleh jago bayaran itu. Karena kini Rondeng diban-

tu oleh dua orang teman-nya.

"Kau masih main-main saja, Rondeng! Ha-

bisi!!" seru salah seorang temannya sambil maju 

menyerang.

Jago bayaran itu pun dengan segenap ke-

kuatannya mencoba untuk bertahan.

"Kalian memang manusia-manusia pe-

ngecut!" makinya sambil terus bertahan dan seka-

li-sekali menyerang.

Namun karena kini lawannya bertiga, maka 

dia jelas keteter dengan hebat. Senjata-senjata 

lawannya sudah berkali-kali mengenai bagian


bagian tubuhnya. Darah pun merembas ke luar. 

Tubuhnya sudah sempoyongan dengan hebat.

"Hahaha... mampuslah kau!!" seru Ron-

deng keras membahana.

Sungguh malang nasib jago bayaran itu. 

Dirinya dijadikan bulan-bulanan dengan hanta-

man-hantaman yang keras pada tubuhnya. Na-

mun sungguh mengagumkan ke-beranian yang 

diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Dengan bera-

ninya dia terus bertahan dan menyerang.

Kini dia melihat beberapa orang-orang itu 

mulai masuk ke dalam rumah. Seketika pikiran-

nya tentang Sekar Perak dan istri majikannya. 

Dengan sigap sambil menahan rasa sakitnya, dia 

bersalto ke arah orang-orang yang hendak masuk 

itu. Dan langsung menyabetkan pedangnya.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, ka-

rena pisau yang dilemparkan oleh Rondeng telah 

menancap tepat di jantungnya!

Dan tubuh itu pun langsung menggelepar 

dengan hebat diiringi suara menjerit mengerikan. 

Lalu diam tak berkutik dengan sepasang mata 

terbuka mendelik.

"Hhh! Mampuslah kau!!" bentak Rondeng.

Namun dia langsung berbalik ke kiri. Dan 

matanya terbelalak tak percaya. Dari kejauhan 

terdengar suara ramai dan derap kaki berdatan-

gan mendekat. Orang-orang Sangkur Baja yang 

berjumlah delapan orang itu menjadi saling pan-

dang.

Betapa banyaknya orang-orang yang berda


tangan. "Hancurkan!" "Bunuh!" "Ganyang!!"

"Jangan beri ampun manusia-manusia ke-

jam itu!!"

Seruan-seruan kalap itu sudah terdengar. 

Membuat orang-orang Sangkur Baja menjadi ber-

siaga.

Tiba-tiba terdengar seruan Rondeng, 

"Mangkoro! Ikut aku! Kalian hadang mereka!"

Rondeng dan Mangkoro segera menyelinap 

ke dalam rumah itu. Mereka mencari Sekar Perak 

dan ibunya. Sementara yang lain segera berhan-

tam dengan para penduduk yang kalap. Ki Lurah 

Pandu Kelana dengan tangkasnya segera mener-

junkan diri dan bergerak dengan cepat.

Tangan dan kakinya bergerak dengan cepat 

mencari sasarannya, bagaikan memiliki mata be-

laka. Dia seakan mencari sasaran yang empuk. 

Sasaran dari orang-orang yang telah berulangkali 

meneror mereka.

Sungguh hebat apa yang dilakukan Ki Lu-

rah Pandu Kelana. Kendala Yoro sendiri segera 

menerjunkan diri. Begitu pula dengan yang lain.

Kembali di halaman depan rumah Juragan 

Banyu Biru terjadi pertarungan yang hebat. 

Banyu Biru sendiri bermaksud menyelinap masuk 

ke dalam rumahnya, untuk menyelamatkan putri 

dan istrinya.

Namun orang-orang Sangkur Baja itu sea-

kan mengetahui maksudnya. Karena mereka ber-

kali-kali menghalanginya dengan sabetan-sabetan 

senjatanya.


Sehingga membuat Banyu Biru menjadi ra-

gu untuk masuk. Dia pun lama kelamaan menja-

di geram adanya. Dengan seruan yang keras, dia 

melompat menerjang orang yang menghalanginya.

"Mampuslah kau manusia busuk!"

Serangan yang dilancarkan oleh Banyu Bi-

ru sungguh hebat. Dan cepat. Bahkan orang-

orang seakan baru tahu kalau Banyu Biru sebe-

narnya memiliki kesaktian yang cukup lumayan. 

Namun selama ini ditutupi-nya.

Orang yang menghalanginya masuk itu 

pun keteter dengan cepat. Dan harus meregang 

nyawa karena tangan Banyu Biru yang mengan-

dung tenaga dalam yang kuat menghantam tepat 

di wajah dan jantungnya.

"Akkhhhhh!!"

Orang itu pun ambruk. Banyu Biru segera 

masuk ke dalam rumahnya. Sementara pertarun-

gan itu semakin seru berjalan. Masing-masing be-

rusaha untuk mempertahankan diri dan menga-

lahkan lawan-lawannya.

Malam yang gulita kini bagaikan terang 

benderang.

"Jangan beri ampun manusia-manusia ini!" 

Terdengar seruan dari Pandu Kelana yang mem-

beri semangat.

Namun jelas terlihat lama kelamaan orang-

orang Sangkur Baja tergeser. Di samping mereka 

sudah lelah, juga jumlah penduduk desa yang 

banyak yang dengan geram hendak mencabut 

nyawa mereka.


Sebentar saja mereka sudah terdesak. Se-

ruan-seruan keras kini berpadu dengan jerit ke-

sakitan.

Dan akhirnya satu per satu pun harus te-

was setelah menjerit dengan hebat.

Bersamaan dengan berakhirnya lawan-

lawan itu, muncul Banyu Biru dari dalam. Wa-

jahnya kelihatan amat panik. Dia bagaikan anak 

ayam kehilangan induk.

Ki Lurah Pandu Kelana sigap segera men-

dekatinya.

"Ada apa, Bayu?"

"Anakku... istriku...." desis Banyu Biru ba-

gaikan orang bodoh belaka. Kepalanya berkeliling 

seakan yakin kalau anak dan istrinya berada di 

sekitar sana.

"Mengapa mereka?" desis Pandu Kelana 

cemas. "Apakah mereka... oh, tidak!"

"Mereka... mereka tidak ada, Pandu.... Me-

reka tidak ada.... Oh! Ke mana kalian permata ha-

tiku?"

Pandu Kelana segera menenangkan Banyu 

Biru. "Bawa dia masuk ke rumahnya."

Beberapa orang penduduk segera mem-

bawa Banyu Biru ke kamarnya. Lalu mereka 

kembali ke halaman depan, di mana Pandu Kela-

na dan yang lainnya masih berada di ^ Hana dan 

sedang terlibat dalam satu obrolan yang panjang.

"Hmmm... agaknya kita harus mencari ma-

lam ini juga, Saudara-saudaraku!" kata Pandu 

Kelana lantang.


Sahutan-sahutan setuju pun terdengar 

ramai.

"Benar, kita harus mencari mereka!"

"Ya, kita pun akan menyerang orang-orang 

Sangkur Baja!"

"Bunuh mereka!"

"Hancurkan mereka!"

"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku...." 

kata Pandu Kelana menenangkan warga-nya. "Ki-

ta memang harus berusaha untuk menghancur-

kan Sangkur Baja. Namun pada saat ini, tugas ki-

ta adalah untuk mencari dan menemukan Sekar 

Perak serta istri dari Banyu Biru. Bila semuanya 

sudah berhasil, barulah kita mendatangi Per-

kumpulan Sangkur Baja! Kita hancurkan mereka! 

Setuju?!!"

"Setuju!!!"

"Bagus, malam ini pula kita harus segera 

berangkat mencari. Jangan sampai luput satu 

tempat pun!"

"Setuju!!"

"Bagus, marilah kita mulai!!"

Orang-orang itu pun segera berpencar un-

tuk mencari Sekar Perak dan istri dari Banyu Bi-

ru. Sementara Pandu Kelana dan Kendala Yoro 

masuk menemui Banyu Biru yang terbaring le-

mah seakan tiada daya.

Sepasang matanya memancarkan sinar ke-

pedihan dan ketidakberdayaan. Dia seperti kehi-

langan hatinya hingga membuatnya terdiam dalam kepasrahan.



Ki Lurah Pandu Kelana hanya berkata pe-

lan, "Banyu... mudah-mudahan putri dan istrimu 

ditemukan dalam keadaan selamat."

Hanya pancaran mata Banyu Birulah yang 

berkata. Mudah-mudahan. Selebihnya hanya pa-

srah.

Kendala Yoro pun mendehem. Lalu berka-

ta: 

"Kuatkanlah hatimu, Banyu.... Banyaklah 

berdoa kepada Gusti Allah, bahwa anak dan is-

trimu dalam keadaan selamat."

Namun tepat ketika ayam jantan berkokok 

menandakan waktu telah pagi, terdengar kabar, 

istri Juragan Banyu Biru telah ditemukan. Na-

mun dia telah tewas dalam keadaan yang amat 

menyedihkan.

Diperkosa terlebih dulu sebelum dibunuh!

*

* *

TIGA


"Tolong... tolong... ampun... aku mau di-

bawa ke mana... huhuhu.... Bapa tolong aku... to-

long aku, Bapa...." Seruan keras di iringi dengan 

isak tangis itu terdengar. Dan sosok tubuh yang 

dipanggul di bahu yang kekar itu meronta-ronta 

minta dilepaskan. "Tolong... tolong aku!!"

"Bangsat!!" Sosok yang memanggul itu

menggeram marah. "Diam!"

"Tolong! Lepaskan... lepaskan aku!!"

"Anjing kurapan! Diaaam!!"

Meskipun dibentak seperti itu, namun so-

sok itu terus menjerit-jerit. Membuat orang yang 

memanggulnya dengan lari ter-gesa-gesa menjadi 

jengkel. Tiba-tiba saja dia berhenti, lalu menyen-

takkan turun sosok tubuh yang dipanggulnya itu.

"Diam! Bila kau tidak diam juga, kami akan 

menyeretmu dengan paksa!"

"Huhuhu... lepaskan aku, lepaskan aku!!"

"Setttannnn!!" Orang itu semakin jengkel 

dan dengan paksa kini menyeretnya.

"Lepaskan, lepaskan!!" seru sosok tubuh 

itu sambil mencoba menahan dirinya, namun te-

naga laki-laki yang menyeretnya amat kuat dan 

mau tak mau kakinya harus terseret mengikuti 

tarikan tangan laki-laki itu bila dia tidak mau ter-

jerembab.

"Brengsek! Jangan ribut!!"

"Huhuhu... aku mau dibawa ke mana...."

"Diam!!"

Seruan-seruan itu terlontar dari mulut Se-

kar Perak dan Rondeng. Ternyata Rondeng dan 

Mangkoro masuk ke rumah Banyu Biru untuk 

membawa lari Sekar Perak dan ibunya, yang telah 

mereka perkosa sebelum mereka bunuh.

Rondeng dan Mangkoro tidak berani me-

lakukan hal itu terhadap Sekar Perak, karena Bo-

jo Mayit menginginkannya. Bila mereka mengusik 

Sekar Perak sedikit saja, maka mautlah taruhan


nya.

Itulah sebabnya mereka memperkosa dan 

membunuh ibu Sekar Perak daripada hanya me-

nyusahkan mereka saja.

Rondeng mengusulkan untuk menyem-

bunyikan Sekar Perak di Goa Alas Bantan sebe-

lum membawanya kepada ketua mereka. Karena 

dia yakin, saat ini keduanya tengah dicari oleh 

warga desa.

Goa Alas Bantan adalah sebuah goa yang 

berada amat jauh dari desa itu. Sebuah goa yang 

dikelilingi oleh hutan yang amat lebat.

Sebuah goa yang amat mengerikan.

Konon goa itu dulu tempat bertempurnya 

para tokoh sakti antara golongan putih dan hi-

tam. Mereka hendak memperebutkan goa itu se-

bagai kekuasaan. Di mana golongan putih amat 

menentang sekali perbuatan orang-orang golon-

gan hitam.

Pertempuran itu amat hebat dan ber-

langsung selama berhari-hari. Namun di saat per-

tempuran itu terjadi, mendadak saja semua 

orang-orang itu meninggal. Dan tak seorang pun 

yang tahu sebab musabab yang sesungguhnya 

sehingga orang-orang itu mati. Mereka hanya 

menduga, para jago itu mati karena saling bunuh 

dalam pertempuran.

Berita tentang goa itu hingga sekarang ti-

dak terdengar lagi. Namun Rondeng diam-diam 

tahu tentang hal itu. Dan dia yakin goa itu masih 

ada dan hingga sekarang belum ada yang memiliki.

Itu merupakan sebuah tempat persembu-

nyian yang amat aman sekali.

"Masih jauhkah goa itu, Rondeng?" tanya 

Mangkoro sambil terus mengikuti langkah Ron-

deng.

"Cukup jauh juga!"

"Kita harus lebih cepat! Karena aku yakin, 

orang-orang desa akan tetap mencari kita! Dan bi-

la suasana sudah aman, barulah kita muncul dari 

goa itu dan menyerahkan gadis cantik ini untuk 

ketua. Hmm... sayang sekali... bila bukan untuk 

ketua, sudah ku-ganyang gadis ini. Tubuhnya 

amat menggiurkan sekali...."

"Hahaha... bila kau nekad, nyawamu akan 

mampus di tangannya!"

"Ya, ya... aku pun masih sayang dengan 

nyawaku!"

"Hhh! Lebih baik kau bopong gadis ini, 

Mangkoro! Lumayan, tubuhnya yang meng-

giurkan itu akan menempel di tubuhmu!"

"Hhh! Keenakan dia! Biar saja sini aku

yang ganti menyeret!" seru Mangkoro. "Biar dia 

tahu rasa, sejak tadi aku tidak tahan mendengar 

jeritannya!!"

Lalu dengan kasarnya Mangkoro menyeret 

Sekar Perak. Hal ini semakin membuat Sekar Pe-

rak menjadi ketakutan. Dia tidak pernah mem-

bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Menurut-

nya. keluargnya baik pada siapa pun. Dan tak 

pernah punya silang sengketa.


Namun lamaran yang datang dari ketua 

penjahat itu membuat semuanya berubah. Dan 

ketakutannya semakin menjadi. Makanya dia 

menjerit-jerit untuk menghilangkan rasa takut-

nya.

"Tolong... tolong! Lepaskan, lepaskan aku, 

Orang jahat!" jeritnya keras. Dia amat takut sekali 

dengan orang-orang jahat ini.

Apalagi dengan orang yang kini menyeret-

nya, yang tak punya perikemanusiaan. Kakinya 

sampai lecet-lecet karena harus tergesa-gesa 

mengikuti langkah orang itu.

Tubuhnya sudah amat lemah. Sempo-

yongan, mau tak mau dia terus melangkah se-

mentara pergelangan tangannya terasa sakit se-

kali akibat cekalan yang keras.

Dia terus tersaruk-saruk mengikuti

langkah laki-laki yang menyeretnya. Tenaganya 

dirasakan sudah hilang sama sekali. Kini dia 

bahkan terhuyung belaka.

"Tolong... lepaskan aku... lepaskan aku... 

ampuni aku...." Kini suaranya bukan lagi jeritan, 

tetapi permohonan belas kasihan.

"Jangan rewel!" membentak Mangkoro ka-

rena jengkel. "Kalau kau masih bicara terus, ku

perkosa dan kubunuh kau seperti ibu mu, hah?!"

"Oh! Lepaskan aku... ku mohon lepaskan 

aku... huhuhu... apa salahku? Apa salah keluar-

gaku? Kalian adalah manusia-manusia laknat! 

Jahat!"

"Diam!"


"Huhuhu... lepaskan aku... kalian jahat! 

Kalian jahat!!" "Diam! Diam!" "Lepaskan aku...." 

"Plak!"

Tamparan itu melayang di pipinya. Meski-

pun dirasakannya sakit, Sekar Perak tetap merin-

tih memohon dilepaskan.

"Bangsat! Bila kau tidak mau diam juga... 

kubunuh kau?!" bentak Mangkoro saking jeng-

kelnya. Telinganya benar-benar tidak tahan men-

dengar rengekan seperti itu.

Kini Sekar Perak hanya terdiam dan me-

nangis terguguk karena tidak mau dibentak dan 

dipukuli lagi. Dia sudah tak mampu lagi untuk 

berkata-kata. Dia hanya bisa memaksakan sisa-

sisa tenaganya untuk melangkah, mengikuti 

langkah kedua orang yang berada di depannya 

itu.

Tiba-tiba Mangkoro berhenti melangkah. 

Sekar Perak yang hanya mengikuti dengan lang-

kah sempoyongan terkejut hingga menabrak 

Mangkoro.

"Bangsat! Kubunuh kau?!" bentak Mangko-

ro.

"Oh!"

"Diam!!"

"Sudahlah, Mangkoro... aku pun tidak ta-

han sebenarnya, tapi karena dia milik ketua, mau 

apa lagi?" kata Rondeng.

Mangkoro mendengus.

"Hhh! Masih jauhkah tempatnya, Ron-

deng?" tanyanya malas-malasan. Rasanya ingin



dibunuh saja gadis itu yang membuatnya jengkel 

dan harus menyeret-nyeret yang dirasakan bagai-

kan beban belaka.

"Cukup lumayan."

"Aku sudah bosan menyeret-nyeret gadis 

yang cerewet ini?!" makinya sambil melirik Sekar 

Perak yang menggunakan kesempatan itu untuk 

bisa bernafas dengan lega.

"Hahaha... itu sudah tugasmu, bukan?"

"Hhh! Jangan tertawa!"

"Hahaha... bukankah lebih asyik mem-

bawa seorang gadis montok seperti dia dari pada 

membawa seorang laki-laki seperti aku?"

"Sialan! Baiknya diapakan gadis ini, hah?!"

"Terserah! Asal jangan kau perkosa dan 

kau bunuh! Karena nyawamu sebagai taruhan-

nya!"

"Bangsat!"

"Sudahlah! Ayo kita terus! Kita nanti akan 

sampai di hutan Alas Bantan. Di ujung hutan itu-

lah, Goa Alas Bantan yang amat tersembunyi be-

rada!"

"Baiklah!"

Kembali Mangkoro menyeret tubuh Sekar 

Perak yang lagi-lagi harus tersaruk-saruk mengi-

kuti langkahnya. Dia benar-benar sudah merasa 

amat tidak berdaya.

Rondeng yang melangkah di belakang ke-

duanya terbahak-bahak. Dan diam-diam dia 

memperhatikan bentuk tubuh Sekar Perak dari 

belakang. Sebuah tubuh yang amat menggiurkan.


Gairahnya seakan bangkit perlahan-lahan.

Namun dia masih bisa bertahan dan sadar 

kalau gadis ini adalah milik ketuanya. Bila saja 

bukan, sudah dinikmatinya tubuh yang menggi-

urkan dan mengundang selera itu.

"Sialan!" makinya dalam hati.

Hutan Alas Bantan yang kini mereka ma-

suki hampir sama lebatnya dengan Hutan Alas 

Roban. Tetapi hutan Alas Bantan lebih nampak 

bagaikan menyimpan misteri yang amat mengeri-

kan. Entah apa misteri itu. Yang pasti, Goa Alas 

Bantan terletak di ujungnya, yang pasti, Rondeng 

merasakan bulu remangnya berdiri.

Hutan itu seakan hidup dan kesal karena 

dimasuki oleh tamu-tamu yang tak di undang. 

Karena begitu mereka memasukinya, angin ber-

hembus kencang, menggesek dedaunan yang me-

nimbulkan irama mengerikan.

Wajah Sekar Perak seketika pucat karena 

ketakutan. Dia benar-benar ngeri mengalami hal 

seperti ini. Sungguh suatu kejadian yang tak per-

nah dia bayangkan sebelumnya. Dan dia tak per-

nah mengerti mengapa justru dia yang harus 

mengalaminya. "Oh, Tuhan... kapankah berakhir-

nya ketegangan ini?"

Mendadak saja terdengar suara tawa yang 

amat mengerikan. Yang mampu membuat bulu 

roma berdiri.

"Hik... hik... hik...!!"

Tawa itu menggema ke seluruh hutan. Ter-

bawa angin hingga ke segenap penjuru. Tawa

yang seakan mengundang dan menyebarkan ha-

wa maut!

*

* *

EMPAT



Tawa itu terdengar lagi. "Hik... hik... hik...!"

Mengerikan. Seketika Sekar Perak men-

jerit dengan tubuh lemas. Takutnya bukan alang 

kepalang. Dia seorang gadis yang jarang sekali ke 

luar rumah. Bila pun iya, paling diantar oleh em-

bannya. Namun sekarang, selagi dia ke luar ru-

mah, merupakan sebuah kejadian yang amat me-

nyiksanya.

Sementara Rondeng dan Mangkoro segera 

waspada. Keduanya mencium sesuatu yang akan 

terjadi.

"Bersiap, Rondeng...."

"Ya... demikian pula dengan kau, Mangko-

ro...."

Dan benar saja, tiba-tiba di hadapannya 

berlompatan delapan orang laki-laki seram den-

gan golok besar di tangan. Bukan, bukan para 

warga desa. Orang-orang ini bagaikan makhluk 

mengerikan yang siap mencabut nyawa. Mata me-

reka begitu buas, lebih-lebih setelah menatap Se-

kar Perak yang semakin menggigil.

Tiba-tiba dari salah sebuah pohon ber-salto


satu sosok tubuh dengan lincahnya dan hinggap 

di hadapan orang-orang itu dengan ringannya. 

Rondeng sudah menduga, betapa tingginya ilmu 

meringankan tubuh orang Itu. Dia pun memper-

hatikan dengan seksama.

Orang yang bersalto itu bertubuh ramping 

dan gemulai. Rambutnya terurai indah. Wajahnya 

cantik dan bibir yang mungil. Di pinggangnya ter-

lilit sebuah angkin berwarna merah. Dan di pung-

gungnya terdapat sebuah pedang tipis yang amat 

tajam.

Rondeng segera mendapat kesimpulan, ga-

dis inilah yang memimpin delapan orang seram 

itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Sekar Perak 

bila diganggu orang-orang itu. Makanya Rondeng 

merasa lebih baik mati mempertahankan Sekar 

Perak daripada harus mati di tangan Bojo Mayit.

Gadis yang berdiri di hadapan mereka itu 

terkikik. Wajahnya sungguh cantik sekali.

"Hik... hik... siapakah kalian yang berani-

beraninya memasuki hutan ini, heh?!" tanyanya 

dengan suara yang genit dan lirikan mata yang 

mengundang gairah. "Agaknya kalian belum ta-

hu... kalau hutan ini akulah pemiliknya. Akulah 

yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atau 

akan terjadi di hutan ini, harus melalui aku. Hi-

hi... kalian mengerti, bukan?"

Kedua laki-laki itu berpandangan.

Rondeng yang tidak mau mencari ribut se-

gera menjura dengan hormat. "Maafkan kami, 

Nona...."


Belum habis kalimatnya, gadis itu sudah 

tertawa.

"Hik... hik... dia memanggilku Nona. No-

na... hik... hik... Nona... Nona...." Seperti orang gi-

la gadis itu menari dengan gembira. Mulutnya te-

rus berucap "Nona".

Rondeng menjadi keheranan. Juga Mang-

koro, kenapa gadis ini senang dipanggil Nona? 

Apakah baru kali ini ada yang memanggilnya 

dengan sebutan itu?

Gadis edan itu sudah berhenti menari. Dan 

kembali matanya dengan genit melirik.

"Karena kau sudah memanggilku Nona, 

kau kuterima dengan baik. Tapi katakan dulu apa 

maksud kalian datang ke mari?"

"Kami... ingin ke Goa Alas Bantan." kata 

Rondeng.

Mendengar kata Goa Alas Bantan, wajah 

gadis itu berubah. Menjadi serius dan sengit. 

Orang-orang di belakangnya pun segera bersiap. 

Nampaknya mereka tidak suka ada orang yang 

menyebutkan nama goa itu.

"Apa maksud kalian hendak ke sana?" sua-

ranya tinggi.

"Kami tidak bisa mengatakannya kepada 

kalian...."

"Hhh! Kalau kalian hendak ke sana, lain 

persoalan! Tak seorang pun yang kami izinkan ke 

sana!"

"Apakah sekarang sudah menjadi goa la-

rangan?"


"Ya! Dan kalian tidak boleh tahu apa pe-

nyebabnya?"

"Tapi kami perlu sekali ke sana."

"Dan kalian harus melalui kami!" Kedua 

tangan gadis itu terangkat ke atas. Serentak 

Orang-orang yang di belakangnya menyebar den-

gan posisi mengepung, Rondeng dan Mangkoro 

pun segera bersiap. Dilarang begini, membuat ke-

duanya menjadi semakin penasaran. Ada apa se-

benarnya di goa itu?

"Apakah pertempuran ini harus terjadi?" 

seru Mangkoro.

Gadis itu menatapnya dengan lekat. "Ya! 

Selagi kalian terus memaksa!"

"Baik! Tak ada jalan lain! Kami memang in-

gin ke sana, dan harus ke sana!"

Sehabis Mangkoro berkata demikian, gadis 

itu sudah mengibaskan tangannya ke depan. Se-

buah angin besar datang dengan cepat ke arah 

Mangkoro. Mangkoro segera berguling dengan 

menarik tangan Sekar Perak. Akibatnya, pohon 

yang berada di belakangnya, rubuh seketika.

Suatu pukulan jarak jauh yang menga-

gumkan!

"Hmmm... rupanya kau punya jurus an-

dalan juga, Orang jelek!" bentak si gadis sementa-

ra Mangkoro sudah membuka jurusnya.

"Kalian boleh mengganyang kami! Tapi 

kuminta, kalian jangan mengganggu gadis ini!" 

bentak Ki Mangkoro.

Kata-katanya itu hanya disambut dengan


tertawa oleh gadis itu.

"Hihihi... tidak mengganggu gadis itu? hi-

hihi...."

"Apa maksudmu?!"

"Hihihi... orang jelek, orang jelek... laki-laki 

mana yang tidak suka dengan gadis secantik dia, 

hah?! Kami suka padanya”.

"Gadis macam apa kau suka dengan seo-

rang gadis, hah?!" bentak Rondeng setengah jeng-

kel dan setengah heran.

"Hihihi... kalian telah tertipu rupanya...."

"Apa maksudmu?!"

"Hihihi... namaku Nimas Andini atau yang 

bergelar, Nona Berwujud Lain...." 

"Hah?!"

"Hihihi... ya, ya... gelarku Nona Berwujud 

Lain!"

Rondeng makin tersentak kaget. "Kau... 

banci...?"

Dan meradanglah gadis itu dengan gusar. 

Tatapannya memerah karena murka. Dia paling 

pantang disebut banci!

Dia memang seorang laki-laki yang pernah 

berguru pada seorang wanita yang kesemua mu-

ridnya wanita pula.

Semula guru wanita itu menolaknya untuk 

dijadikan murid. Namun Nimas Andini yang sebe-

lumnya bernama Jaka Purnama meyakinkan 

guru wanita itu, kalau dia akan belajar dengan 

baik dan sopan.

Akhirnya guru wanita itu pun meng


izinkannya menjadi murid di perguruannya.

Karena semua temannya wanita, lambat 

laun pun Jaka Purnama bertingkah laku seperti 

wanita. Namun dia tetap seorang laki-laki. Dan 

dia tetap tidak bisa meninggalkan nafsu birahi la-

ki-lakinya terhadap wanita.

Mulailah dia merayu beberapa orang murid 

wanita. Dan hampir semua murid di perguruan 

itu pernah dinodainya. Dan tak satu pun yang 

mengadu pada guru mereka, karena mereka sen-

diri pun menyukainya. Bahkan kedatangan Jaka 

Purnama dirasakan sebagai angin segar yang 

membawa kenikmatan di dalam Perguruan Pera-

wan Mustika.

Namun sepintar-pintarnya orang me-

nyembunyikan bangkai, baunya akan tetap me-

nusuk pula. Akhirnya sang guru pun mengetahui 

semua perbuatannya. Dia tak mungkin mengu-

sir hampir semua muridnya. Maka Jaka Purna-

malah yang diusirnya karena telah merusak citra 

Perguruan Perawan Mustika.

Hal ini membuat Nimas Andini marah be-

sar. Dengan kepandaiannya dia berhasil menun-

dukkan delapan orang kepala perampok dari ber-

bagai tempat. Dan dia pun segera menyusun ren-

cana untuk menyikat habis Perguruan Perawan 

Mustika. Perguruannya sendiri di mana selama 

tiga tahun tinggal di sana dia telah mendapatkan 

banyak ilmu.

Dan kala malam telah larut, mereka pun 

segera menyerang. Dengan buas orang-orang itu


menyerang dan menghancurkan mereka. Sia-sia 

perlawanan mereka karena orang-orang itu da-

tang kala mereka masih mengantuk dan tidak 

siap.

Dalam waktu singkat mereka berhasil di-

kuasai. Jaka Purnama sendiri dengan bernafsu

memperkosa gurunya sendiri. Buas dan kejam 

hingga pingsan.

Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk 

bergantian memperkosa gurunya. Masih dalam 

keadaan pingsan, gurunya yang setengah baya, 

namun berwajah cantik dan masih perawan, diga-

rap bergantian. Lalu Jaka Purnama sendiri 

menghilang beserta anak buahnya.

Ketika wanita setengah baya itu bangun 

dari pingsannya, melihat keadaan di sekelilingnya

membuat hatinya serasa hancur ber-keping-

keping.

Terlalu mengerikan!

Hampir semua muridnya mati di tangan 

orang-orang biadab itu. Dan sebagian besar di-

perkosa dengan buas.

Menyadari dirinya mengalami hal yang sa-

ma, wanita itu bergidik ngeri dan menangis. Han-

cur! Hancur sudah semuanya!

Tak tahan melihat semua itu dan kejadian 

yang menimpa dirinya, dia segera menggigit li-

dahnya sendiri hingga putus. Dan nyawanya pun 

melayang. Hilanglah nama Perguruan Perawan 

Mustika!!

Sementara itu wajah si Banci Nimas Andini


semakin memerah.

Lalu terdengar bentakannya.

"Bangsat! Apa kau bilang?!!"

Rondeng kini terbahak. "Hahaha... rupanya 

aku bertemu banci! Kau banci, bukan?!"

"Banci?!" Menggeram murka Nimas Andini 

kata-kata yang dibencinya itu terdengar lagi. 

"Bangsaaattt!!"

"Hahaha... ada banci marah rupanya!"

"Anjing kurap! Hancurkan mereka!! Serah-

kan gadis itu untukku!!"

Setelah mendengar perintah dari Nimas 

Andini, orang-orang yang tadinya perampok, sege-

ra maju menerjang dengan golok mereka. Delapan 

buah golok yang amat tajam berkilatan di timpa 

cahaya matahari. Begitu mengerikan dan begitu 

cepat.

Sekar Perak menjerit ketakutan meli-

hatnya.

Rondeng segera mengambil tempat yang 

agak terbuka. Dia bersalto ke depan dengan lin-

cahnya. Dan empat buah golok segera menyam-

bar berbalik ke arahnya. Lagi-lagi dia bersalto dan 

sambil bersalto itu dia mematahkan batang kayu 

yang agak besar. Dengan senjata kayu itu dia 

menghadapi lawan-lawannya dengan jurus yang 

amat hebat.

Begitu hebat dan tangguh, mampu mem-

buat keder hati para penyerangnya. Namun mere-

ka bukanlah orang-orang yang pengecut. Mereka 

terus mencecar dengan membabi buta.


****


LIMA


Sementara itu Mangkoro segera menyusuli 

Sekar Perak untuk menjauh ketika serangan da-

tang ke arahnya. Dia pun segera mengambil tem-

pat yang agak lapang dan menghadapi lawan-

lawannya dengan jurus Tangan Bayangannya.

Mangkoro mempunyai keuntungan sedikit, 

karena ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas 

lawan-lawannya. Dengan mengandalkan ilmunya 

itu dia menghindar dan sekali-sekali menghantam 

dengan jurus Lengan Delapannya.

Pertarungan dua orang penculik itu dengan 

delapan orang bekas perampok itu benar-benar 

hebat. Masing-masing terus melancarkan seran-

gan demi serangan dengan seruan yang keras.

Nimas Andini atau Nona Berwujud Lain 

tertawa menyaksikan pertempuran itu.

"Hihihi... kalian tidak akan bisa lari dari 

kejaran kami? Hihihi... lebih baik kalian mampus 

daripada membuang tenaga dengan percuma!"

"Banci buduk! Jangan hanya tertawa saja 

kau?!" maki Rondeng geram.

"Hihihi... kau kini masih bisa memaki juga, 

Orang jelek?!" Makin tertawa lebar Nimas Andini 

setelah melihat Rondeng terdesak. Batang kayu


yang dipakai sebagai senjata sudah terlepas. Dan 

kilatan golok semakin sering datang padanya.

Rondeng terus berusaha untuk meng-

hindar. Namun empat penyerangnya bukanlah 

lawan yang patut diremehkan. Mereka lebih baik 

mati daripada kalah. Itulah sebabnya mereka 

dengan nekat terus menyerang.

"Aaaaaahhh!!" Tiba-tiba terdengar jeritan 

Rondeng keras. Kakinya terkena sedikit sabetan 

golok lawannya.

Rondeng bersalto ke belakang. Dan me-

naikkan jurus Garuda pada tingkat akhir. Men-

dadak tangannya mengeluarkan asap putih. 

Orang-orang itu berpandangan sejenak, tetapi se-

gera menyerbu kembali dengan pekikan yang ke-

ras.

Rondeng pun menyongsong. Kembali terja-

di pertempuran yang hebat, hingga suatu ketika 

Rondeng berhasil menyarangkan sebuah puku-

lannya ke tubuh pengeroyoknya yang langsung

membiru dan mati.

Ketiga lawannya yang lain sejenak meng-

hentikan serangannya. Agak ngeri melihat puku-

lan yang ampuh itu. Tetapi mereka segera menye-

rang kembali, tidak memperdulikan maut yang 

siap menjemputnya. Setan telah menebarkan ha-

wa kematian yang sip mengundang mereka.

Benar saja, belum sepuluh jurus, dua 

orang sudah terkena pukulan maut Rondeng. Dan 

keduanya ambruk dengan pekikan melolong. Se-

kar yang sangat ketakutan tak kuasa melihatnya.


Dia menjerit-jerit dia menangis.

Mangkoro pun sudah merubuhkan dua 

Orang lawannya. Jurus tangan kosong Lengan 

Bayangannya begitu hebat. Tangannya seakan 

menjadi banyak dan bergerak dengan kecepatan 

luar biasa. Mengandung kekuatan yang luar biasa 

pula.

Melihat hal itu, Nimas Andini menggeram 

marah. Dia bersalto ke depan seraya membentak. 

"Mundur!!"

Anak buahnya yang bersisa tiga orang itu 

pun bersalto ke belakang. Rondeng dan Mangkoro 

saling mendekat. Nimas Andini atau Nona Berwu-

jud Lain memperhatikan keduanya dengan sikap 

seorang jagoan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan 

mendadak kedua tangannya mengibas ke depan. 

Serangkum angin besar datang dari masing-

masing tangannya ke arah kedua pentolan Bojo 

Mayit itu.

Keduanya terkejut dan reflek saling ber-

gulingan. Kembali dua buah pohon di belakang 

mereka tumbang seketika.

Nimas Andini terkekeh.

"Kalian jangan harap bisa keluar dari sini!" 

Suaranya tajam dan penuh ancaman. "Nyawa 

anak buahku yang terbunuh, harus kalian bayar 

lunas!"

"Banci, jangan banyak bacot kau!" bentak 

Mangkoro yang lebih bernafsuan daripada Ron-

deng. Dia memang tidak sabaran. Apalagi merasa 

perjalanan menuju Goa Alas Bantan terhambat


total. Belum lagi harus menguras tenaga!

Wajah Nimas Andini memerah seperti ke-

piting rebus dipanggil dengan sebutan yang san-

gat dibencinya.

Dengan memekik dia menerjang ke depan. 

Kedua tangannya mengembang mengancam ke 

arah tenggorokan lawan. Mangkoro langsung me-

rebahkan tubuhnya dan kakinya menyapu ke ba-

gian bawah Nimas Andini. Sedangkan Rondeng 

menangkis dan membalas dengan pukulan ke 

arah kepala.

Kedua serangan balasan itu dielakkan den-

gan bagus sekali oleh Nimas Andini. Dan tokoh 

banci yang sakti itu ternyata mampu mengimban-

gi kedua jurus-jurus dari kedua orang Kediri itu. 

Bahkan dia bisa berada di atas angin.

Selain tenaga keduanya sudah terkuras ta-

di, juga kalah sakti ilmu silat mereka. Rondeng 

sendiri heran, baru kali ini dia melihat seorang 

tokoh muda yang kosen. Yang begitu tangguh dan 

matang dalam setiap gerakannya. Yang secara tak 

disangka mampu melebihi tingkat kesaktian me-

reka. Jurus-jurus Naga yang diperlihatkan Nimas 

Andini sangat ampuh. Gerakannya aneh dan

mengandung tenaga yang sangat besar. Juga ilmu 

meringan tubuhnya yang luar biasa tinggi. Kece-

patan geraknya pun luar biasa. Salah satu keun-

tungan untuk Nimas Andini, dia masih muda ma-

sih bisa bergerak demikian lincah.

Pada jurus yang ketiga puluh, sebuah pu-

kulannya mampir di bahu Mangkoro yang ter


huyung beberapa tindak. Dia merasa seperti di-

hantam oleh godam yang besar. Dan ketika se-

rangan selanjutnya menyusul. Rondeng berusaha 

memapaki dengan jurus Rajawali Tiwikrawanya. 

"Des! Duaaarrr!"

Luar biasa. Benturan kedua jurus yang 

ampuh itu menimbulkan bunyi seperti ledakan. 

Dan yang amat mengagumkan, Rajawali Tiwikra-

wa Rondeng tak mampu untuk merubuhkan Ni-

mas Andini!

Orang itu terkekeh.

"Sudah kubilang tadi', kalau nyawa kalian 

akan kupetik saat ini juga! Nah, bersiaplah seka-

rang! Aku tidak akan bertindak tanggung lagi!!"

Keduanya pun bersiap. Masih menahan ra-

sa sakitnya. Mangkoro membuka jurusnya lagi. 

Nimas Andini hanya memperhatikan sambil ter-

tawa.

Tiba-tiba dia terdiam. Menatap dengan ta-

jam penuh ancaman. Mendadak mulutnya menge-

luarkan desisan mirip ular. Dan tangannya pun 

bergerak bagai ular, membentuk kepala ular yang 

siap mematuk.

"Kalian akan merasakan keampuhan jurus 

Dewa Ular Putih...."

Sampai di situ Nimas Andini bicara, kedu-

anya terpekik kaget. Jurus Dewa Ular Putih!! Ju-

rus yang tak asing lagi di telinga keduanya. Jurus 

yang dimiliki oleh si Dewa Ular Putih. Tokoh sakti 

yang menjadi legendaris. Si Dewa Ular Putih, to-

koh yang menjadi momok setiap lawan dan kawan. Jurus-jurusnya sangat ampuh. Dengan se-

kali totok dia mampu menghancurkan batu sebe-

sar kerbau. Dan dengan sekali kibas, pohon bisa 

tumbang. Jurus Dewa Ular Putih yang ditakuti. 

Lalu bagaimana bisa dikuasai oleh si banci ini. 

Sedangkan Dewa Ular Putih sudah meninggal le-

bih dari lima puluh tahun!

Bagaimana caranya? Melihat kedua lawan-

nya tercengang dan nampak kaget, Nimas Andini 

terkekeh. "Jangan heran, hai monyet-monyet!

Dewa Ular Putih adalah guruku yang ter-amat 

sakti!"

Rondeng tak kuasa menahan untuk ber-

tanya, "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?!"

"Hik... hik... hik... itulah sebabnya kalian 

ku larang masuk ke Goa Alas Bantan, karena se-

mua rahasia itu kudapat dari sana! Aku telah 

menemukan buku silat yang aneh, yang terdiri 

dari, ilmu meringankan tubuh, jurus Naga dan 

jurus Dewa Ular Putih! Lima tahun lamanya aku 

mendiami goa itu untuk mempelajari isi buku. 

Dan kalian lihat hasilnya, aku benar-benar telah 

menjadi seorang manusia yang sakti! Dan kalian 

beruntung karena akan kuperlihatkan jurus De-

wa Ular Putih!"

"Tunggu!" bentak Mangkoro. "Kau manusia 

iblis, kau telah mengacak kesucian Goa Alas Ban-

tan!"

"Hik... hik... bukankah kalian hendak ke 

sana? Apakah kalian tidak ingin mengacak! Su-

dah, jangan banyak bacot aku sudah ingin merenggut nyawa kalian!!"

Dan si banci pun membuka jurus sakti 

yang ditakuti hampir oleh seluruh jagoan di za-

man dulu dan zaman sekarang. Mau tak mau ke-

duanya pun segera bersiap untuk menyambut se-

rangan itu.

Dan benar-benar luar biasa, si Banci me-

mainkan jurus yang ampuh dengan cepat dan 

dahsyat. Keduanya hanya mempergunakan kelin-

cahan mereka bergerak saja dan sekali-sekali be-

rusaha untuk membalas. Dalam lima jurus saja, 

nampak keduanya terdesak hebat. Pohon dan ba-

tu besar sudah ambruk terhantam pukulan dah-

syat Itu.

Tak terasa mereka bertempur sudah sekian 

lama, karena malam mendadak saja turun, meng-

ganti senja yang mulai redup. Malam pun meng-

gantikan pekerjaan matahari yang nampak sudah 

lelah pula. Tapi pertempuran itu masih terus ber-

jalan. Akhirnya dapat terlihat, kalau keduanya itu 

terdesak hebat. Nimas Andini tidak menyianyia-

kan kesempatan itu untuk mendesak terus kedu-

anya. Dan akibatnya amat mengerikan!

Mangkoro yang nampak lelah, terjatuh be-

berapa tindak. Dan kesempatan itu dipakai Nimas 

Andini untuk menghantam kati Ki Manggada.

"Heittt!!"

Tak ada kesempatan lagi bagi Mangkoro 

untuk mengelak atau pun menyongsong serangan 

itu. Begitu tiba-tiba dan amat cepat.

Saat yang menentukan bagi Mangkoro.


Rondeng hanya mampu menghalangi se-

bentar dengan melemparkan kayu besar yang te-

lah dialiri tenaga dalamnya. Kayu itu kini ibarat 

baja yang siap merenggut nyawa lawannya.

Namun kayu besar yang dialiri tenaga da-

lam itu, hanya dikibaskan saja oleh Nona Berwu-

jud Lain dengan satu tangannya, dan selebihnya 

hanya membuat Rondeng pasrah.

Tubuhnya pun sudah letih. Tidak ada ke-

kuatan lagi untuk menyelamatkan Mangkoro dari 

ancaman maut Nimas Andini.

Maut bagi Ki Manggada memang sudah di 

ambang mata. Tubuh Nimas Andini meluncur 

dengan deras! Tangannya siap mencabut nyawa 

Ki Manggada!!

"Mampuslah kau, Orang busuk!!"

Mangkoro hanya bisa memejamkan ma-

tanya, menanti ajal yang siap menjemputnya.

*

**

ENAM



"Sreeett!!"

Mendadak selarik sinar putih melesat, 

menghalangi langkah tubuh Nimas Andini hingga 

membuat si banci itu buru-buru bersalto ke bela-

kang.

Rondeng terkejut melihat hal itu.


Mangkoro yang menyangka dirinya akan 

mampus, perlahan-lahan membuka mata-nya ke-

tika dia merasakan tidak ada sesuatu yang men-

genai tubuhnya. Dan kini dia melihat Nimas An-

dini sedang bersalto ke belakang.

Tak jauh dari mereka, tiba-tiba muncul 

seorang pemuda bertubuh gagah dengan menge-

nakan caping hingga sebagian wajahnya tertutup. 

Di punggungnya terdapat sebilah golok yang 

aneh. Golok itu bersarung dari kulit kayu yang 

bersinar kekuningan. Pemuda yang tak lain murid 

tunggal Eyang Ringkih Ireng dari Bukit Paringin 

itu menjura. Dia adalah Pandu atau yang digelari 

oleh orang-orang rimba persilatan sebagai Pende-

kar Gagak Rimang.

Dan Nimas Andini yang bersalto dengan 

lincah menghindari serangan pukulan sinar putih 

yang dilepaskan Pandu.

"Siapa kau, hah?!" menggeram banci itu 

marah. "Berani-beraninya kau mengganggu uru-

sanku! Orang yang berani berbuat seperti itu, ma-

tilah sebagai ganjarannya!"

Meskipun dalam gelap, Pandu bisa melihat 

kalau gadis yang berdiri di hadapannya lumayan 

cantik.

"Maafkan saya, Nona... saya hanya kebe-

tulan lewat... dan sungguh, saya tidak menyukai 

perbuatan nona yang sungguh kejam...."

"Sombong! Itu urusanku!"

"Dan menjadi urusan saya, Nona!" Suara 

Pandu terdengar berwibawa.


"Hmm... jadi dengan kata lain, kau ingin di 

anggap sebagai pahlawan?"

Pandu hanya tersenyum. Sementara Ron-

deng dan Mangkoro merasa tidak mengenal laki-

laki itu. Namun biarpun mereka orang kejam, 

namun mereka masih punya rasa terima kasih. 

Bila terjadi apa-apa dengan pemuda itu, mereka 

rela membantu.

"Terserah apa kata-kata nona! Yang pasti, 

aku tak pernah menyukai kekerasan! Bila lawan 

sudah kalah, tidak sepatutnya untuk dibunuh!!"

"Hhh! Baik, Pahlawan. Kini kau harus me-

nerima ganjarannya! Dan mengganti nyawa anak 

buahku!!" bentaknya keras. Lalu berseru pada 

anak buahnya yang bersisa tiga orang. "Kalian 

ganyang keduanya! Dan cabut nyawa mereka! Bi-

ar pemuda usil ini aku yang menangani!!"

Sehabis berkata begitu, Nimas Andini ber-

salto ke arah Pandu yang langsung mengirimkan 

satu pukulan. Pandu menjadi serba salah. Mak-

sudnya tadi menghalangi serangan gadis itu pada 

orang tua yang tak berdaya itu, agar menyelesai-

kan persoalan secara damai.

Tetapi kini persoalan menjadi runyam. Dan 

dia tidak mungkin dapat menghindar lagi. Mau 

tak mau terpaksa dia harus melawan.

Kini sasaran Nimas Andini adalah langsung 

memusnahkan lawan. Dia tetap menggunakan ju-

rus Dewa Ular Putih!

"Anak muda!!" seru Ki Runding Alam. "Hin-

darkan dirimu untuk bersentuhan dengannya!!"



"Bangsat kau!!" geram Nimas Andini se-

raya mengibaskan tangannya. Dengan cepat Ki 

Runding Alam bersalto ke samping. Angin besar 

yang datang ke arahnya itu menghantam sebuah 

pohon hingga tumbang. Dan ketika kakinya hing-

gap di bumi, anak buah si banci itu sudah me-

nyerangnya dengan bertubi-tubi.

Menghadapi orang-orang ini, bagi Ki Rund-

ing Alam dan Ki Manggada amatlah mudah. Apa-

lagi kini mereka berdua menggempur. Dan sisa 

lawannya pun tinggal tiga orang.

Dalam waktu yang singkat saja ketiganya 

berhasil mereka bantai. Rondeng buru-buru 

menggotong tubuh Sekar Perak yang masih ping-

san. Dan membawanya ke tempat yang agak jauh 

dari pertempuran itu.

Mangkoro sendiri langsung terjun mem-

bantu Pandu menghadapi Nimas Andini.

"Hati-hati, Kawan!!" serunya memper-

ingatkan. "Jurus-jurusnya amat mengerikan! Se-

kali saja kau bersentuhan dengannya, maka kau 

bisa mati dibuatnya!"

"Terima kasih, Kawan!" sahut Pandu sema-

kin berhati-hati.

Justru Nimas Andini yang menjadi murka. 

Dia menyerang keduanya dengan hebat dan ce-

pat. Meskipun dikeroyok, namun banci itu benar-

benar tangguh. Jurus-jurus Dewa Ular Putihnya 

membuat kedua lawannya ngeri. Pandu sendiri 

merasakan angin panas menerpa ke arahnya ke-

tika tangan Nimas Andini bergerak.


Itu menandakan satu jurus yang dahsyat!!

Pandu sendiri sudah mengeluarkan jurus 

berkelitnya yang teramat hebat, jurus Gagak Ter-

bang Lalu. Dia berusaha menghindari serangan 

Nimas Andini dengan lincah.

Namun lama kelamaan Pandu berfikir, te-

naganya bisa terkuras habis karena selalu meng-

hindar. Dan tiba-tiba dia melenting ke angkasa. 

Kali ini dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.

"Sreeet!!"

"Sreeet!!"

Serangan sinar putih itu ternyata memba-

wa hasil. Nimas Andini tunggang langgang meng-

hindarinya.

"Bangsat!!" geramnya marah dan kembali 

pontang panting menghindari Pukulan Sinar Pu-

tih yang dilepaskan oleh Pandu.

"Hahaha... mau lari ke mana kau, Gadis?!" 

terkekeh Pandu. Sementara Mangkoro bisa berna-

fas lega melihat apa yang dilakukan anak muda 

itu.

Dengan sinar putih itu, Pandu bisa mem-

buat jarak yang cukup bagi Nimas Andini untuk 

mendekat. Dan cukup kerepotan banci itu di-

buatnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan un-

tuk maju.

Ini merupakan satu keuntungan bagi Pan-

du. Dia terus mempergencar serangannya.

"Bangsat! Kubalas kau nanti!" geram Nimas 

Andini terus menghindar.

"Hahaha... mengapa tidak segera kau la


kukan, hah? Mengapa kau masih bermain akro-

bat seperti itu?!"

"Anjing sialan!!"

"Hahaha... dan kini anjing itu mampu 

membuat kau jatuh bangun, bukan?!"

Nimas Andini menggeram hebat. Namun 

sulit baginya untuk menerobos ke depan. Hingga 

suatu ketika kakinya terserempet Pukulan Sinar 

Putih itu. Seketika banci itu ambruk sambil me-

ringis kesakitan.

Barulah Pandu menghentikan serangan-

nya.

"Hmm.... Nona... aku bisa membunuhmu 

saat ini juga! Tapi aku bukan seorang pemuda 

yang telengas menurunkan tangan! Aku bukan 

seorang pembunuh! Maka pergilah kau dari sini, 

jangan sampai aku menjadi seorang pembunuh! 

Cepat!!" serunya dengan nafas kembang kempis!

Nimas Andini memandang dengan geram. 

Dia bermaksud hendak memberi perlawanan lagi, 

tapi kakinya terasa perih sekali.

"Aku mengakui kalah, Sobat! Tapi nanti... 

kau tunggu pembalasanku! Goa Alas Bantan kini 

menjadi milik kalian, tapi aku akan datang kem-

bali untuk merebutnya!"

Setelah berkata begitu, Nimas Andini 

bangkit dan pergi meninggalkan tempat yang te-

lah didiaminya selama lima tahun. Rondeng dan 

Mangkoro menghela nafas lega.

Pandu sendiri menggeleng-gelengkan ke-

palanya, secara tidak disengaja dia sudah menanamkan bibit permusuhan pada diri gadis itu. 

Sungguh sulit menjadi pembela kebenaran. Untuk 

menjadi orang pendamai. Karena tidak setiap 

orang suka karena ada yang membenci sikap se-

perti itu!

Sementara Rondeng dan Mangkoro seakan 

disadarkan oleh kesalahan-kesalahan yang sela-

ma ini mereka perbuat. Mereka telah banyak ber-

buat dosa dan kejahatan. Kini semua itu seperti 

disadarkan oleh satu hal, di mana mereka melihat 

betapa pemuda ini dengan suka rela membela 

mereka.

Padahal bila pemuda ini tahu siapa mere-

ka, apakah pemuda ini akan tetap membelanya? 

Namun melihat dari sikap dan tutur kata pemuda 

itu, mereka yakin bila pemuda itu adalah seorang 

yang bijaksana dan pemaaf.

Tiba-tiba Rondeng berkata. "Ki Sanak... be-

ribu terima kasih kami ucapkan kepada mu yang 

telah menolong kami dari maut...."

Pandu tersenyum.

"Ki Sanak... tak perlulah kau mengucap-

kan terima kasih seperti itu padaku, karena me-

mang sudah kewajibankulah untuk menolong se-

sama..." sahut Pandu. "Yah... aku hanya kebetu-

lan lewat. Lagipula, bila kalian tidak membantu 

pun aku akan sukar untuk mengalahkan manu-

sia sakti itu...."

Betapa rendahnya hati pemuda ini. Hal itu 

pun semakin membuat Rondeng dan Mangkoro 

sadar, kalau selama ini mereka telah bersikap


congkak dan sombong. Telah bergelimang banyak 

dosa dari hasil kejahatan yang mereka perbuat.

Mereka menjadi malu dan menyesal. Pa-

dahal bila mereka tidak membantu pun mereka 

yakin kalau pemuda ini akan mampu menakluk-

kan banci itu. Mereka bahkan merasa hanya 

mengganggu gerak pemuda itu saja tadi.

Dan keduanya merasa amat rendah sekali 

berhadapan dengan pemuda bercaping ini.

"Siapakah sebenarnya kisanak ini?" tanya 

Rondeng.

"Hmm... namaku Pandu!"

"Pandu... sekali lagi kami ucapkan banyak 

terima kasih padamu. Namaku Rondeng dan ini 

kawanku.... Mangkoro...."

Belum lagi Pandu berkata, tiba-tiba mun-

cul Sekar Perak yang langsung memaki-maki 

Rondeng dan Mangkoro.

"Manusia-manusia jahat! Jahat! Kalian le-

bih baik mampus!" serunya, lalu berpaling pada 

Pandu. "Ki Sanak... mengapa kau menolong 

orang-orang jahat seperti mereka? Mereka tak 

layak untuk hidup! Bunuh mereka! Bunuh!"

Pandu yang tidak mengerti hanya kerut-

kan kening.

Sekar Perak masih membentak-bentak. 

"Bunuh mereka! Bunuh! Mereka adalah orang-

orang jahat yang tidak patut dibela! Mengapa kau 

membela mereka, hah? Apakah kau orang jahat 

juga yang saling sekongkol?!"

Sekar Perak terus menjerit-jerit kalap.


Pandu akhirnya berkata karena dia semakin bin-

gung.

"Maafkan aku, Nona... siapakah nona se-

benarnya?"

"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku sebe-

narnya? Yang perlu kau tahu, kedua manusia ini 

adalah orang-orang jahat! Mereka menculik aku! 

Mereka membakar rumahku! Bahkan mereka 

memperkosa dan membunuh ibuku!!" seru Sekar 

Perak kalap hingga suaranya hilang. Lalu tubuh-

nya terjatuh dan dia terguguk sedih yang berke-

panjangan.

Pandu mendesah panjang.

Rondeng dan Mangkoro hanya menunduk-

kan kepalanya. Keduanya kini benar-benar sadar 

bahwa yang telah mereka lakukan selama ini ada-

lah hanya kebejatan belaka.

Pandu menatap keduanya.

"Ki Sanak... ceritakanlah apa yang se-

sungguhnya telah terjadi? Aku tidak mengerti 

mengapa gadis ini mengatakan kalian orang-

orang jahat? Benarkah apa yang telah dikatakan 

oleh gadis ini, Ki Sanak? Ceritakanlah... jangan 

membuatku jadi semakin bertanya-tanya ada apa 

gerangan...."

Rondeng dan Mangkoro kini bagaikan anak 

kecil belaka. Tidak terlihat lagi kegarangan dan 

kekejamannya. Mereka semakin sadar bahwa se-

lama ini mereka telah salah melangkah. Langkah 

mereka telah terlalu jauh menyimpang dari jalan 

kebenaran. Semua ini mereka lakukan karena


mereka takut pada Bojo Mayit, ketua Perkumpu-

lan Sangkur Baja.

Bila mereka keluar dari perkumpulan itu, 

sudah tentu Bojo Mayit akan mencari dan mem-

bunuh mereka. Ini merupakan di lema buat me-

reka. Karena tidak tahu sikap yang bagaimana 

yang harus mereka perlihatkan.

Rondeng mendesah sebelum angkat bi-

cara.

"Maafkan kami sebelumnya, Ki Sanak.... 

Kami memang telah banyak berbuat kesalahan. 

Dan apa yang dikatakan oleh gadis itu adalah be-

nar adanya...."

"Jadi?"

"Sekarang kami sadar, Ki Sanak... bahwa 

apa yang telah kami lakukan selama ini salah be-

sar. Dan kami seakan baru melihat titik terang itu 

pada dirimu... sehingga kami menyadari apa yang 

telah kami jalani hanyalah membuat dosa dan ke-

salahan...."

Pandu mendesah. Walaupun baru kalimat 

itu yang dilontarkan oleh Rondeng, dia dapat 

memakluminya. Gadis itu benar. Dan mereka te-

lah sadar serta mengerti bahwa apa yang telah 

mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar.

"Dan kami ingin minta maaf atas kesalahan 

yang telah kami perbuat selama ini...."

Pandu sekali lagi mendesah. Lalu berpaling 

pada Sekar Perak yang masih terduduk di tanah 

sambil terisak.

"Nona... kau dengar kata-kata itu?"


Sekar Perak tetap terguguk. Bayangan ru-

mahnya yang terbakar, ibunya yang mati terbu-

nuh dan diperkosa, semuanya bersatu di benak-

nya. Dia masih tidak bisa menerima keadaan itu.

Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya un-

tuk menatap Pandu.

"Pendekar budiman... hatiku hancur oleh 

semua yang telah dilakukan mereka.... Sulit bagi-

ku untuk memaafkan mereka.... Aku tak kuasa 

menahan semua ini.... Dan dendamku akan terus 

ada sebelum mereka mati...."

"Mereka sudah menyesali semua kesa-

lahannya...."

"Mengapa mereka tidak sadar bahwa yang 

mereka lakukan itu berdosa? Mengapa kesadaran 

itu tidak muncul sebelumnya, sehingga ibuku 

masih hidup? Keluargaku tentram dan aman? 

Mengapa?!" Kali ini suara itu bagaikan menuntut.

"Itu kesalahan mereka, Nona...."

"Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus bila 

mereka sudah mati!"

"Mereka sudah minta maaf, Nona...."

"Kata maaf hanya kamuflase saja. Bila 

keadaan sudah amat mendesak, kata maaf itu ba-

ru dilontarkan. Tapi, Tuan pendekar... apakah ka-

ta maaf itu bisa dijadikan pegangan? Apakah 

yang dimintai maaf itu langsung menerima? Ti-

dak, tak akan pernah aku memaafkan mereka!!" 

kata Sekar Perak tegas dengan mata beringas.

Pandu hanya mendesah panjang.

Mendadak terdengar jeritan yang amat ke


ras dan menyayat sekali. Pandu terkejut dan lebih 

terkejut lagi ketika melihat Rondeng dan Mangko-

ro sudah terkapar dengan leher hampir putus. 

Keduanya secara diam-diam memungut golok 

yang tergeletak di dekat kaki mereka.

Dan menggorok lehernya sendiri untuk bu-

nuh diri.

Sekar Perak sendiri terkejut. Dan menjerit, 

"Akkhhhhh!!" Sebenarnya dia tidak ingin melihat 

hal itu. Dia tidak ingin melihat orang-orang itu 

mati.

Tadi yang dilontarkan hanyalah emosi-nya 

belaka. Dia pun menangis panjang karena ngeri 

dan menyesal.

Dengan hati-hati Pandu merangkulnya. 

"Nona.., kau lihatlah... betapa mereka begitu tu-

lus untuk meminta maaf dan menyesali perbua-

tannya....

Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. 

Lebih baik, kuantar kau kembali ke rumahmu...."

*

**

TUJUH



Bulan di langit sepotong. Sebagian tersaput 

oleh awan gelap. Suasana langit begitu suram. 

Suasana sepi. Mendadak dari Istana Kediri me-

lompat sosok tubuh dengan ringannya. Dan berkelebat dengan cepat menerobos kepekatan ma-

lam.

Rupanya orang itu memiliki ilmu merin-

gankan tubuh yang amat sempurna, karena gera-

kannya hampir-hampir tidak menimbulkan suara.

Orang itu terus berlari dengan cepatnya, 

menuju ke arah sungai yang sepi, yang jaraknya 

lumayan jauh dari Kerajaan Kediri.

Di dekat sebuah sungai ada satu pondokan 

yang kecil. Dari kejauhan terlihat ada sinar yang 

agak remang-remang. Menandakan pondokan itu 

berpenghuni.

Orang yang berlari itu bergegas ke pondo-

kan tadi. Lalu dengan hati-hati dia mengetuk pin-

tu perlahan. Delapan kali. Diketuk secara lambat-

lambat. Seperti merupakan satu ketukan isyarat.

Agak berapa lama terdengar pula sahut-an 

ketukan dari dalam dua kali. Dan orang yang ba-

ru datang itu pun kembali mengetuk tiga kali. Ba-

rulah kemudian pintu itu terbuka.

Sosok tubuh kecil berdiri di ambang pintu.

Dia menyuruh orang yang baru datang itu 

agar segera masuk, dan dia sendiri melihat sekeli-

lingnya, sedang mencari apakah ada yang melihat 

kedatangan tamu itu.

Ketika akan menutup pintu lagi, tiba-tiba 

dia mengibaskan tangan kirinya ke depan. Dan 

semak-semak yang bergerak hingga membuatnya 

curiga, hancur berantakan terkena pukulan jarak 

jauhnya. Dan seekor binatang malam menggele-

par lalu mati dengan tubuh hancur lumat.


Orang itu mendengus. Lalu menutup pintu.

Orang yang datang tadi segera menegur.

“Bagaimana, Nimas? Barang itu aman?" 

Yang dipanggil ikutan duduk. 

"Kemungkinan besar masih aman, Kawan. 

Tapi..."

"Tapi kenapa, Nimas?"

"Ada kejadian yang memalukan."

"Apa maksudmu?"

"Maafkan aku, Kawan. Yah... tempat itu 

sudah dikuasai oleh orang-orang Kediri."

"Hei, kenapa bisa begitu?"

"Kami gagal mempertahankannya."

"Apa maksudmu?" Suara orang yang baru 

datang itu meninggi. Wajahnya meradang.

"Maafkan aku, Kawan... sebenarnya kami 

mampu menghabisi Rondeng, Mangkoro, dan seo-

rang gadis cantik...."

"Rondeng dan Mangkoro?!" Orang itu me-

motong dengan suara terkejut.

"Ya! Dia yang menyerang kami!"

"Lalu?"

"Saat itu kami sudah berada di atas angin 

dan mampu mengalahkan mereka. Tetapi kemu-

dian mendadak muncul seorang pemuda yang ga-

gah perkasa. Dia membuat barisan kami porak 

poranda. Bahkan dia berhasil melukai kaki kiriku 

ini dengan Pukulan Sinar Putihnya. Yah... Goa 

Alas Bantan berhasil mereka rebut."

Dari rasa terkejut kembali orang itu me-

maki geram. Nafasnya mendengus-dengus. Tangannya mengepal.

"Kau bodoh, Nimas! Kau tidak bisa men-

jalankan tugas yang kuberikan!"

"Maafkan aku, Kawan.... Aku sudah mela-

kukannya semampuku. Sebisaku. Dengan tekad 

bulat untuk menangkapnya. Tetapi pemuda itu 

benar-benar tangguh. Di samping tenaga kami 

sudah terkuras, juga kehebatan pemuda itu se-

pertinya amat sakti. Seperti seorang dewa. Dan 

dia menguasai Pukulan Patuk Gagak yang amat 

tangguh. Delapan orang anak buahku mampus di 

tangan mereka. Tetapi bila Pendekar Gagak Ri-

mang...."

"Pendekar Gagak Rimang?" potong orang 

itu lagi.

"Ya, dialah pendekar muda yang berjuluk 

Pendekar Gagak Rimang. Bila saja dia tidak ada, 

mungkin Goa Alas Bantan masih berada di tan-

gan kita!"

"Lalu bagaimana dengan barang itu?!"

"Barang itu aman!"

"Bagaimana kau bisa seyakin itu, hah?!"

"Ingat, Kawan... aku sudah lama men-

diami Goa Alas Bantan dan aku tahu seluk beluk 

rahasianya."

"Kau bisa menjamin?"

"Jiwa dan ragaku sebagai taruhannya! Goa 

Alas Bantan hanya akulah yang mengetahui ra-

hasianya. Di sana pula aku mendapatkan ilmu-

ilmu yang sangat berbahaya dan tangguh. Barang 

itu pasti aman. Mereka tidak ada yang tahu di


mana barang itu ku sembunyikan. Kau sendiri 

pun tidak tahu, bukan?"

Orang yang baru datang itu mendesah. Ke-

lihatan lega.

"Tapi ingat, Nimas... barang itu jangan 

sampai hilang. Sudah lama aku mengidamkan-

nya. Dan tak lama lagi aku akan menjadi raja di 

dunia persilatan yang gagah perkasa. Hmmm... 

maksud kedatanganku ke sini begini, Nimas. Se-

benarnya, aku masih dan ingin mengambil barang 

itu sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk mem-

pelajarinya. Dan bila selesai akan ku tantang se-

mua jago-jago di rimba persilatan ini. Ingat, Ni-

mas... tak ada yang boleh tahu siapa yang telah 

mencuri Kitab Lembayung Naga Langit itu."

"Hihihi... tak seorang pun yang akan tahu. 

Dan kau bisa mempelajarinya dengan seksama. 

Dan bila sudah tamat, jurus Dewa Ular Putih 

yang ku temukan secara tidak sengaja di Goa Alas 

Bantan pun dapat kau taklukkan...."

"Ya, ya... inilah mungkin yang bisa ku la-

kukan...."

"Hihihi.... dan tentunya kau tidak akan lu-

pa bukan dengan upah yang akan kau janjikan?"

"Hhh! Kau selalu mengeruk bagian dari-

ku? Menjaga barang itu saja kau tidak mampu!"

"Hihihi... jangan kuatir, aku akan segera 

mengambilnya. Tetapi bagianku kurang.... Kau 

tentunya tidak lupa dengan bagianku, bukan?"

"Apa maksudmu?"

"Hihihi... kau lupa kalau begitu...."



"Menurut perasaanku, semua yang kau 

minta telah kuberikan padamu. Apa lagi yang ku-

rang?"

"Hihihi... mana lagi wanita-wanita yang 

akan kau kirimkan padaku, hah? Mana? Kau lu-

pa dengan janjimu itu? Dan sialan, salah seorang 

wanita yang kau kirimkan padaku pekan lalu su-

dah tidak perawan! Tetapi... hihihi... ya, enak juga 

untuk dicicipi!" 

"Sialan!"

Keduanya terbahak.

"Hahaha... baiklah, bila kau berhasil me-

rebut kembali Goa Alas Bantan dan mengambil 

barang itu atau Kitab Lembayung Naga Langit, 

semua yang kau inginkan akan terpenuhi. Kau 

akan mendapatkan harta yang banyak dan pera-

wan-perawan cantik yang akan menemanimu se-

tiap saat. Kau suka itu, bukan?"

"Hihihi... kau membuatku malu, Kawan... 

aku ini seorang gadis, masa kau akan memberi-

kan para gadis cantik?" Banci itu tertawa ngikik.

Tersipu-sipu bagaikan seorang gadis yang 

tengah dilamar oleh pemuda idamannya.

Dan banci itu adalah seorang laki-laki yang 

penuh nafsu birahi!! Banci itu menampilkan wa-

jah tersipu-sipu.

Orang yang datang itu tertawa keras. Nam-

pak lucu mendengar kata-kata si banci.

"Hua-ha-ha... kau ini, Nimas... kau ini laki-

laki tulen, biar seperti wanita lagakmu, tapi naf-

sumu gede jika lihat perempuan cantik! Sudah


lah, jangan berlagak seperti wanita! Lakukan pe-

rintahku ini dengan cepat. Dan aku tidak ingin 

kau melaporkan hal ini dalam usaha yang gagal.

Aku harus kembali sekarang. Aku tidak in-

gin ada yang tahu siapa aku sesungguhnya. Na-

mun rencanaku ini sudah kau ketahui semuanya.

Nah, Nimas. Kau rebut kembali Goa Alas 

Bantan dan jangan sampai lupa tentang Kitab 

Lembayung Naga Langit. Aku sudah tidak sabar 

untuk mempelajarinya.

Tak lama lagi aku akan menjadi jago di 

rimba persilatan! Aku akan menjadi raja....! Hua-

ha-ha-ha...."

Kedua orang yang punya rencana busuk 

itu tertawa panjang lebar. Nimas Andini berjanji 

akan menjalankan perintah itu dengan baik.

Tak lama kemudian, laki-laki yang datang 

tadi segera berpamitan. Dia bergerak dengan ce-

pat menuju istana dan masuk ke sana tanpa seo-

rang pun melihat dan mengetahuinya, siapa 

orang itu.

Sementara itu Nimas Andini menutup pin-

tu kembali. Dan berpikir bagaimana caranya un-

tuk membunuh Prabu Kediri. Dia harus berhasil. 

Harus berhasil.

Dia sudah malu karena gagal memper-

tahankan Goa Alas Bantan. Dia berjanji akan me-

rebutnya lagi. Dan dia tidak ingin kegagalan itu 

terjadi lagi, maka dia harus berhasil membunuh 

sang Prabu Kediri!

Setelah berhasil menemukan caranya, tiba


tiba dia bangkit, membuka pintu dan memperha-

tikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Sunyi.

Tiba-tiba dia berkelebat ke luar.

Hanya lima menit dia keluar dan kembali 

lagi. Kali ini bersama seorang perempuan muda 

yang terkulai lemah di bahunya karena tertotok. 

Wajah perempuan muda itu amat cantik. Matanya 

kelihatan habis menangis dan sayu.

Nimas Andini tertawa. Dia laki-laki tulen!

Bahkan kadar gairah birahinya begitu be-

sar sekali. Daripada terbengong sendirian tanpa 

ada kerjaan, lebih baik dia puaskan nafsunya sa-

ja. Urusan pembunuhan itu gampang dan sudah 

ditemukan caranya.

Dan keesokan harinya, desa itu gempar ka-

rena seorang perempuan muda ditemukan tewas 

di tengah sawah dalam keadaan telanjang bulat 

dan darah di selangkangannya!

Para gadis-gadis di sana menjadi ngeri me-

lihatnya. Dan para laki-lakinya berjaga-jaga agar 

jangan kejadian itu sampai terulang lagi,

Namun sore harinya, ditemukan lagi se-

sosok mayat wanita dalam keadaan tergantung di 

pohon dengan tubuh telanjang bulat dan selang-

kangan berdarah pula.

Benar-benar kejam banci itu!

Dia sudah memperkosa, kini membunuh 

pula! Hanya Dewata yang tahu hukuman apa 

yang pantas untuk manusia kejam seperti Nimas 

Andini!


***


DELAPA


Bojo Mayit adalah seorang laki-laki yang 

berwajah seram. Di kepalanya terdapat sebuah 

ikatan berwarna merah. Di kedua tangannya yang 

besar dan gempal melingkar gelang-gelang yang 

terbuat dari akar bahar. Tubuhnya gempal dan 

kekar. Dia memiliki ilmu Sangkur Baja, yang 

mampu membuat tubuhnya kebal terhadap senja-

ta dan ilmu apa pun.

Sudah tiga hari ini Bojo Mayit menunggu 

para anak buahnya yang disuruhnya untuk men-

culik Sekar Perak dan membuat huru hara di de-

sa itu.

Namun hingga kini, belum seorang pun 

yang menampakkan diri. Dia menjadi amat marah 

karena merasa dipermainkan.

Anak buahnya tidak ada yang berani untuk 

menenangkannya. Begitu pula dengan para selir-

nya yang berjumlah 12 orang yang hanya bisa 

mengelus dada saja dan harus melayani kemauan 

Bojo Mayit. Karena bila dia sudah teramat kesal, 

dia pun menggumuli selirnya dengan penuh ke-

biadaban.

Hari ini pun dia marah-marah.

"Gembolo! Ke sini kau?!" bentaknya uring-

uringan sambil hilir mudik. Dia sudah tidak sabar


ingin menggumuli diri Sekar Perak yang pernah 

dilihatnya beberapa bulan yang lalu.

Dia memang sudah mengirimkan utusan 

untuk melamar Sekar Perak, namun hasilnya ni-

hil. Dan ini membuatnya geram, hingga dia pun 

memerintahkan anak buahnya untuk membuat 

onar di desa itu.

Yang membuatnya geram, karena orang-

orang desa seperti bersatu. Dan malam itu dia 

pun menyuruh langsung untuk menculik Sekar 

Perak. Namun hingga kini utusannya belum ada 

yang kembali membawa kabar yang menggembi-

rakan.

Yang dipanggil Gembolo tadi muncul den-

gan tergesa-gesa. Dia menjatuhkan diri di depan 

Bojo Mayit setelah menjura dengan hormat.

"Ada apa, Ketua?"

"Hhh! Kau cari orang-orang yang ku utus 

untuk menculik calon istriku itu! Harus dapat! 

Dan ingat, bila kau gagal, kau akan mampus se-

cara mengerikan, Gembolo!"

"Baik, Ketua!"

"Sekarang pula kau berangkat mencari me-

reka!"

"Baik, Ketua!"

"Dan ingat dengan sangsi yang akan ku-

jatuhkan padamu itu!"

"Baik, Ketua!" sahut Gembolo dengan pe-

nuh hormat. Lalu dia pun mundur untuk melak-

sanakan tugas yang diberikan oleh ke-tuanya. 

Sungguh suatu tugas yang dirasakan amat sulit


sebenarnya. Apalagi dengan ancaman yang cukup 

mengerikan.

Gembolo pun membawa beberapa orang 

teman untuk mendampinginya. Dia pernah ikut 

dalam satu serangan yang mereka lakukan, dan 

orang-orang desa sudah bersatu dan bersiap un-

tuk menghadapi mereka. Itulah sebabnya dia 

membawa teman.

Sementara itu Bojo Mayit segera bangkit

dan berjalan sambil menyeret salah seorang selir-

nya untuk dibawa ke kamar.

Sang selir hanya bisa mendesah panjang 

dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yakin, tu-

buhnya akan semakin hancur diganyang oleh 

manusia biadab ini!

*

* *

"Kau tetap tidak mau kembali ke rumah-

mu?" tanya Pandu dengan suara yang ramah.

Sekar Perak menundukkan kepalanya. La-

lu memandang sekeliling hutan. Mereka baru saja 

keluar dari Goa Alas Bantan.' Sudah dua hari me-

reka berada di sana.

Dan dua hari pula Pandu membujuk Sekar 

Perak untuk segera pulang. Karena dari peristiwa 

yang terjadi, Pandu dapat membayangkan bagai-

mana bingungnya orang tua Sekar Perak si Banyu 

Biru.

Namun gadis itu malah menolak. Dia tidak


mau kembali ke rumah dengan alasan tidak mau 

melihat lagi pertumpahan darah yang mengeri-

kan.

Bunuh diri yang dilakukan Rondeng dan 

Mangkoro masih membekas di hatinya. Dia amat 

menyesal hingga keduanya nekad membunuh di-

ri. Seharusnya dia memaafkannya.

Namun dia begitu keras kepala. Dan sung-

guh, Sekar Perak terus menyesali kejadian itu.

Hati-hati diangkatnya kepalanya. Di tatap-

nya Pandu yang membuka capingnya. Wajah itu 

begitu tampannya. Sekar Perak sebenarnya lebih 

suka berada di tempat ini berduaan dengan Pan-

du. Dua hari mereka tinggal bersama, sudah me-

numbuhkan benih kasih di hati Sekar Perak.

Pemuda ini begitu baik padanya.

Namun sudah tentu sebagaimana seorang 

gadis, amat malu untuk menunjukkan bahwa dia 

menyayangi lawan jenisnya bila lawan jenisnya 

belum memulai.

"Tidak, Kakang... aku tidak ingin kembali 

ke rumah...." katanya.

"Rayi, Sekar... tidakkah kau kasihan pada 

ayahmu yang sudah tentu amat cemas menanti 

kedatanganmu dan berpikir-pikir tentang diri-

mu?"

"Aku tahu soal itu, Kakang?"

"Lalu mengapa kau tidak ingin kembali pu-

lang?"

"Aku merasa lebih baik di sini." 

"Mengapa?"


"Di sini jauh dari keramaian. Di sini aman, 

tenang dan damai. Tidak ada orang-orang jahat 

yang selalu berkeliaran. Aku menyukai tempat ini, 

Kakang...."

Aku juga menyukai tempat ini, Rayi... kata 

Pandu dalam hati. Namun jiwa yang sudah mele-

kat pada diriku adalah jiwa petualang. Jiwa yang 

selalu mengembara. Dan aku tidak pernah me-

nyukai tempat untuk berdiam diri kecuali Bukit 

Paringin, di mana aku merasa tentram di sisi 

Eyang Ringkih Ireng.

Eyang... aku rindu padamu....

Sekar Perak yang melihat Pandu terdiam 

jadi bertanya, "Ada apa, Kakang? Mengapa kau 

diam? Adakah kata-kataku yang salah?"

Pandu buru-buru tersenyum. 

"Tidak, Rayi... tidak ada apa-apa...."

"Kakang marah karena aku tidak mau pu-

lang?" 

"Tidak."

"Atau... atau Kakang tidak mau menema-

niku di sini?"

"Mengapa kau berkata begitu?"

"Jawablah, Kakang... bukankah begitu?"

Pandu tersenyum. Tangannya disentuh-

kan kepada bahu Sekar Perak. Yang disentuh jadi 

merinding. Karena dia memang amat mengha-

rapkan sentuhan tangan dari Pandu.

"Tidak, Rayi... sungguh aku suka me-

nemanimu di sini. Namun aku tidak mau bila 

ayahmu begitu menjadi cemas terhadapmu


Sekali lagi bukannya aku melarangmu atau 

tidak suka kau tinggal di sini, namun aku tidak 

ingin terjadi apa-apa di antara kita...."

"Apa maksudmu, Kakang?"

"Rayi... tidak sadarkah kau bahwa kita 

hanya berdua?"

"Lalu?"

"Aku kuatir... akan terjadi apa-apa di anta-

ra kita. Kita masih sama-sama berjiwa muda, ge-

jolak nafsu birahi kadang bisa muncul kapan saja 

dan aku kuatir kita tidak akan bisa mengekang-

nya."

"Mengapa demikian, Kakang?"

"Aku pun tidak mengerti. Yang pasti hal

itulah yang aku kuatirkan, Rayi...."

Sekar Perak menundukkan kepalanya. 

"Malah aku suka bila hal itu benar terjadi, Ka-

kang. Aku malah mengharapkannya. Kakang 

Pandu... diam-diam aku semakin kagum padamu. 

Rasa simpati dan benih kasih yang tumbuh di ha-

tiku bisa menjadi subur, Kakang."

Namun tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya 

menangkap satu gerakan yang mencurigakan. 

Namun dia tetap tenang, karena tidak ingin mem-

buat Sekar Perak menjadi cemas.

Maka dengan hati-hati dia berkata, "Rayi... 

sebaiknya kau masuk ke dalam saja."

"Mengapa, Kakang? Aku suka berada di si-

ni?"

"Aku ingin berdiam sendiri di sini."

"Oh, kau tidak suka bila kita berdua, Ka


kang?"

"Bukan itu maksudku, Rayi... aku kuatir 

bila kita selalu berdua, akan terjadi apa-apa. Kau 

mengerti bukan maksudku, Rayi?"

*

**

Sekar Perak mengangguk. Lalu perlahan-

lahan dia bangkit masuk ke dalam goa. Di am-

bang mulut goa dia masih menoleh ke belakang 

untuk melihat Pandu.

Pandu hanya tersenyum. Setelah Sekar Pe-

rak hilang dari pandangan, dia pun segera berja-

lan ke arah hutan. Karena telinganya menangkap 

gerakan yang mencurigakan.

Lalu dia berkata pelan. "Yang mengintai... 

silahkan keluar, mengapa harus pakai sembunyi 

segala?"

Mendadak satu sosok tubuh melompat dari 

atas pohon. Dia adalah Nimas Andini yang datang 

kembali untuk membalas dendam sekaligus me-

rebut "barang" yang ada di Goa Alas Bantan.

Sejak tadi dia sudah mengintip keduanya. 

Pikirnya dia aman-aman saja. Karena sikap Pan-

du sepertinya tidak mengetahui kedatangannya.

Namun dia salah sangka. Dia terlalu remeh 

menganggap Pandu. Inilah akibatnya.

Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-

mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Andini 

untuk menampakkan diri.


Pandu tertawa melihat Nimas Andini mun-

cul.

"Ha... ha... rupanya Banci Murah Senyum 

yang main kucing-kucingan."

Wajah Nimas Andini memerah, benar-

benar dia yang bodoh, pengintaiannya rupanya 

sejak semula diketahui Pandu. Tetap dia hanya 

mendengus, menganggap remeh Pandu.

Pandu berkata lagi. "Nona yang gagah per-

kasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-

sembunyian. Ada apakah gerangan?"

Semakin memerah wajah Nimas Andini. 

Matanya melotot gusar, tetapi Pandu hanya ter-

tawa. Dia tahu kenapa Banci Murah Senyum ini 

mengintainya. Dendam! Namun sebelum dia ber-

kata, Nimas Andini sudah membentak keras.

"Aku memang sengaja datang lagi... Pandu. 

Kau tahu kenapa?"

Pandu tersenyum.

"Aku ingin membunuhmu!" Suara Nimas 

Andini kejam dan menusuk. Matanya me-

mancarkan nafsu membunuh. Apalagi teringat 

kekalahannya beberapa hari yang lalu.

Pandu melengak sebentar tapi kemudian 

tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak 

berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak

pernah berselisih!"

"Hhh! Kau harus mampus, Pandu! Seka-

rang bersiaplah kau! Sudah lama aku ingin men-

jajal kesaktian Pendekar Gagak Rimang. Tahan 

serangan!" membentak Nimas Andini dan melesat


dengan pukulan lurus ke wajah Pandu. Tak ada 

jalan lain buat Pandu kecuali melawan. Dia pun 

merunduk dan menangkis lalu balas menyerang 

lebih cepat. Nimas Andini berkelit dengan cekatan 

dan kakinya menyambar. Pandu memperlihatkan 

ilmu meringankan tubuhnya dengan melompat ke 

sana ke mari menghindari serangan Nimas Andi-

ni. Nimas Andini pun meningkatkan serangan-

serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-

ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah 

memperlihatkan kelincahannya dan kesaktian-

nya.

Dan keduanya sama-sama masih bertahan. 

Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang. 

Nimas Andini maju menyerbu dengan dorongan 

kedua tangannya. Pandu tidak mengelak, dia ma-

lah menyambut dengan dorongan yang sama.

"Dess...!"

Kedua tenaga besar itu saling bertemu 

dengan hebatnya. Tubuh Nimas Andini mental ke 

belakang dengan deras, sedangkan Pandu hanya 

terhuyung lima langkah. Itu saja sudah menan-

dakan, kalau tingkat tenaga dalam Nimas Andini 

masih jauh berada di bawah Pandu.

Nimas Andini mengusap darah yang ke-

luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan 

menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-

barangan dan tidak boleh diang-gap ringan. Nama 

besar Pandu memang suatu kenyataan yang tidak 

bisa dipungkiri.

Namun biar begitu Nimas Andini tidak gen


tar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia membuka 

angkinnya. Angkin itu diuraikan dan menjadi se-

buah selendang. Dia mengebut-ngebutkan selen-

dangnya, rupanya akan dijadikan senjata.

Pandu hanya tersenyum saja.

"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang 

menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya 

sebelum Nimas Andini menyerang. Namun Nimas 

Andini tidak mau menjawab. Dia malah terkikik. 

Dan mengibaskan angkinnya dengan cepat.

Angkin itu bagaikan digerakkan oleh tena-

ga magnit, bisa bergerak dan menangkis dengan 

cepat. Rupanya itu memang senjata andalan Ni-

mas Andini.

Pandu pun bergerak dengan cepat meng-

hindarkan serangan selendang itu yang kadang 

melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang 

seperti tombak. Namun dengan jurus Gagak Ter-

bang lalu kembali Pandu bisa menghindarkan se-

rangan-serangan itu dan membuat Nimas Andini 

semakin penasaran.

Suatu ketika Pandu membentak keras dan 

tubuhnya melentik ke atas, bersamaan dengan itu 

Nimas Andini mengibaskan angkinnya yang men-

dadak menjadi tombak dan siap menembus leher 

Pandu.

Masih di udara Pandu bersalto dan ber-

balik menyambar ujung angkin itu. Terjadilah adu 

tenaga yang kuat, masing-masing hendak mem-

pertahankan ujung angkinnya yang dipegangnya.

Nimas Andini yakin dia akan kalah dalam


hal adu tenaga dalam. Maka dia membiarkan 

angkinnya dibetot oleh Pandu. Dan bersamaan 

dengan itu dia menggenjot tubuhnya ke depan 

dengan tangan dan kaki menyerang.

Pandu sedikit terkejut dengan serangan 

demikian. Dia tidak menduga sama sekali.

Dengan gerakan yang amat cepat dia me-

lempar tubuhnya ke samping. Namun Nimas An-

dini telah" lebih dulu memburu dengan cepat. 

"Des!"

Tangan kanannya menghantam dada Pan-

du hingga bergulingan.

"Hihihi... hanya begitu saja kehebatan Pen-

dekar Gagak Rimang rupanya!"

Pandu mendengus seraya bangkit.

"Kau memang hebat, Banci! Sayang... ilmu 

yang amat hebat itu kau gunakan untuk jalan ke-

sesatan!"

"Jangan banyak omong!"

"Hmm... agaknya aku pun menjadi pena-

saran terhadapmu!" *

"Aku akan lebih penasaran bila belum 

membunuhmu, Pandu!" geram Nimas Andini. 

"Hhh! Tahan serangan!!" serunya pula.

Lalu dia menyerbu kembali diiringi dengan 

pekikan yang amat keras. Pandu pun segera me-

mapakinya. Kembali keduanya saling serang den-

gan cepat.

Hebat.

Tangkas.


Berbahaya.

Penuh dengan serangan-serangan tipuan.

Sejauh ini nampak keduanya berimbang. 

Tiba-tiba Nimas Andini bersalto ke belakang dan 

begitu hinggap di tanah langsung menggenjot tu-

buhnya kembali. Kali ini jurus Dewa Ular Putih-

nya sudah siap hendak dijotoskan kepada Pandu.

Pandu sendiri melihat keadaan yang amat 

kritis itu. Tak ada jalan lain. "Maafkan aku, 

Eyang. Terpaksa kugunakan Pukulan Cakar Ga-

gak Rimang untuk menghadapi lawan yang se-

dang gila ini."

Lalu dia pun menderu maju memapaki se-

rangan Nimas Andini. Dapat dibayangkan betapa 

dahsyatnya dua ilmu yang amat tinggi itu berte-

mu dalam gempuran tenaga yang hebat. Suasana 

menjadi amat mencekam.

"Duaaarrrr!!"

Terdengar suara bagaikan ledakan belaka 

kala kedua ilmu itu bertemu.

Terlihat pula asap putih mengepul tebal. 

Daun-daun berguguran. Dan dari balik asap tebal 

itu terlontar dua sosok tubuh ke belakang.

Nimas Andini muntah darah begitu jatuh 

ke tanah. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak me-

nyangka Pandu berani memapakinya dan tenaga 

Pandu demikian hebat.

Sementara Pandu pun merasakan hal yang 

sama. Dia tidak menyangka Pukulan Cakar Ga-

gak Rimang mampu ditandingi oleh Dewa Ular 

Putih.


Berarti di atas langit masih ada langit.

Bagi Nimas Andini bila dia masih nekad 

untuk melawan, pastilah dia akan berakhir. Lalu 

dengan dipaksakan atas sisa-sisa tenaga yang 

ada, perlahan-lahan dia bangkit sambil meme-

gang dadanya.

"Kau... hhh... hari ini... kau menang kem-

bali, Pandu... tetapi ingat... sampai kapan pun 

aku akan datang untuk membalas semua ini...."

Lalu tubuhnya pun melesat dengan cepat, 

membawa luka di dadanya.

Sementara bagi Pandu itu adalah suatu hal 

yang amat baik sekali. Karena dia pun merasakan 

nyeri di dadanya. Lalu dengan terhuyung diba-

wanya langkahnya ke Goa Alas Bantan.

Sudah tentu Sekar Perak amat terkejut me-

lihat keadaannya yang terluka. Sebelum gadis itu 

berkata apa-apa, Pandu sudah ambruk pingsan.

"Kakang!!"

*

* *

SEMBILAN



Sesosok tubuh itu menyelinap di kege-

lapan malam. Berlari menuju sebuah gubuk kecil 

yang di belakangnya ada sebuah sungai. Orang 

itu meninggalkan kudanya tak jauh dari gubuk 

itu. Angin malam berhembus dingin. Suara aliran


sungai agak keras terdengar.

Dia mengetuk pintu gubuk itu delapan kali. 

Sebuah isyarat untuk temannya yang di dalam, 

bahwa dia yang datang.

Dari dalam pun terdengar ketukan ba-

lasan sebanyak tiga kali. Tanda orang di dalam 

gubuk itu mengiyakan. Dan perlahan pintu itu 

terbuka.

Orang yang datang tadi segera menyelinap 

masuk. Perlahan pintu tertutup kembali.

"Bagaimana, Nimas? Kau berhasil membu-

nuhnya?" tanyanya kepada Nimas Andini yang ja-

di serba salah. Orang ini menjadi penasaran. Dia 

mendekati Nona Berwujud Lain itu.

"Bagaimana, Nimas? Kau sudah berhasil 

membunuhnya, bukan? Katakan secepatnya, aku 

tidak punya waktu banyak sekarang. Malam ini 

pula aku harus segera pergi."

Orang itu menunggu dengan gelisah kare-

na Nimas Andini tidak segera menjawab.

Banci itu berkali-kali menghela nafas. Dan 

dia perlahan mengangkat wajahnya. Sorot ma-

tanya penuh penyesalan, sehingga orang itu sege-

ra bisa menebaknya.

"Kau gagal lagi, Nimas?" tekannya dengan 

suara geram.

"Maafkan aku, Kawan," Suara Nimas Andi-

ni pelan.

"Bagaimana kau sampai gagal? Kau adalah 

orang kepercayaan ku, Nimas!"

"Lagi-lagi pemuda itu datang bagai setan,


Kawan."

"Pemuda yang mengalahkanmu dan mere-

but Goa Alas Bantan?" seru orang itu panas.

Nimas Andini mengangguk.

"Bangsat! Siapa dia adanya?"

"Yang ku tahu dia bernama Pandu. Dia 

memiliki kesaktian yang tinggi. Juga Golok Cin-

darbuana."

Seketika orang itu berpaling dan dengan 

suara kaget berkata, "Apa?"

"Golok Cindarbuana, Kawan."

"Golok Cindarbuana? Golok pusaka yang 

hilang 20 tahun yang lalu? Bagaimana kau bisa 

tahu dia memilikinya?"

"Dia menyerangku dengan golok itu. Ilmu 

goloknya pun hebat dan tangguh, hingga menyu-

litkanku untuk menaklukkannya."

"Hhh!" Orang itu mendengus. "Siapa pe-

muda itu sebenarnya. Dia bisa jadi 'duri pengha-

lang bagi kita untuk menjadi jago nomor satu, 

Nimas... secepatnya kau harus mengetahui siapa 

sebenarnya pemuda itu. Di mana posisi dia sebe-

narnya."

"Secepatnya, Kawan."

"Aku tidak mau kau gagal lagi, Nimas. Kita 

harus bergerak dengan cepat."

"Aku berjanji akan melaksanakannya den-

gan baik."

"Aku tidak mau hanya janji saja. Kau ha-

rus membuktikan!"

"Aku akan membuktikan."


"Bagus!"

"Dan secepatnya kau akan mendapat ke-

terangan lengkap mengenai pemuda itu."

"Baik! Aku pergi sekarang!" kata orang itu 

dan keluar menyelinap di kegelapan malam dan 

banyaknya pepohonan. Dia menaiki kudanya 

kembali. Padahal dia betapa geramnya karena 

orang suruhannya itu gagal kembali. Hhh! Seha-

rusnya dibunuh saja Nimas Andini itu. Tapi dia 

tidak mau melakukannya sekarang, karena tena-

ga Nimas Andini masih diperlukan. Kalau dia su-

dah tidak memerlukan atau banci itu gagal lagi 

menjalankan tugasnya, akan segera dihabisinya 

manusia yang tak berguna itu.

Lalu orang itu menggebrak kudanya den-

gan kencang. Menerobos malam dan angin yang 

dingin.

Dan angin dingin itu menusuk kulit Nimas 

Andini yang masih berdiri di ambang pintu, me-

natap hilangnya orang yang datang tadi.

Ini gara-gara pemuda yang bernama Pandu 

itu. Bah! Dia harus bisa membalaskan dendam 

ini. Dia tidak ingin mengalami kegagalan terus 

menerus.

Dia akan mencari pemuda itu sebelum pe-

muda itu menemukan atau mencarinya di gu-

buknya ini. Tapi toh gubuknya ini terhalang oleh 

pepohonan yang rimbun. Dia pasti amam dan 

tempat ini tidak bisa diketahui orang.

Hawa dingin yang menusuk itu memer-

cikkan gairah birahi di hati si banci. Dalam keadaan dingin begini, lebih asyik mendekap seorang 

gadis cantik dan menggumulinya sampai puas. 

Sampai tergeletak dengan peluh berluruhan.

Dia tersenyum sendiri.

Lalu menutup pintu.

Dan berkelebat dengan cepat menerobos 

malam yang pekat. Seperti biasa kalau birahinya 

sudah datang, dia sukar untuk membendungnya. 

Dia harus melampiaskannya. Apalagi hatinya se-

dang geram begini, melihat gadis cantik yang di-

gumulinya nanti menangis dan menjerit-jerit an-

tara sakit dan nikmat, bisa menghilangkan kege-

ramannya.

Apalagi juga karena udara yang sangat 

dingin ini. Seorang gadis bertubuh padat dan mu-

lus lebih enak dirasakan menggelinjang dalam 

dekapannya. Menggairahkan darahnya yang bisa 

mengalir panas.

Dan di tengah kegelapan malam itu terden-

gar pekikan keras.

"Tolong... tolong...!"

Dan dalam bayangan bulan nampak se-

sosok tubuh tengah memanggul seorang gadis 

manis. Sosok tubuh itu adalah Nimas Andini yang 

karena terlalu bernafsu lupa untuk menotok si 

gadis, yang kini meronta-ronta dalam panggulan-

nya.

Namun pekikan gadis itu sudah terdengar 

dan memecahkan keheningan malam. Menarik 

perhatian para peronda yang sedang berpatroli 

dan menjaga di posnya.



Mereka segera bergerak mencari sumber 

suaranya itu.

Samar-samar nampak di sebuah rumah 

kecil seorang laki-laki dan wanita tua tengah 

menjerit-jerit minta tolong dan me-manggil-

manggil sebuah nama.

"Priatsih! Priatsih! Hu-hu-hu... tolong, to-

long anak gadisku...!"

Para peronda itu sampai ke dekat mereka. 

Salah seorang bertanya tergesa.

"Apa yang terjadi, Pak tua?"

Laki-laki tua itu menyahut tersendat,

"Anakku... anakku.... Priatsih... dia diculik 

orang. Oh, tolong, tolong anakku...."

Para peronda itu segera bergerak dengan 

cepat, setelah ditunjukkan ke mana arah larinya 

penculik itu. Dengan membawa obor dan parang 

mereka bergegas. Mereka geram sekali. Sudah 

sering terjadi penculikan para gadis remaja di si-

ni. Dan sampai sekarang belum diketahui siapa 

yang telah melakukannya. Itulah sebabnya sudah 

beberapa minggu ini penjagaan diperketat. Tapi 

toh mereka masih kecolongan juga.

Kasihan para gadis remaja di desa itu. Me-

reka selalu ngeri dibayangi penculikan dan perko-

saan. Karena jika malamnya ada penculikan, ma-

ka besok paginya gadis itu ditemukan sudah mati 

dengan selangkangan berdarah. Rupanya pencu-

lik itu memperkosa begitu kejam, hingga darah 

itu terus menetes dari kemaluan sang perawan 

meskipun dia sudah meninggal. Tentunya merupakan satu siksaan bagi si perawan di kala dia 

masih hidup dan disiksa.

Ini sudah tentu membuat para peronda 

semakin geram. Mereka bersumpah, bila mene-

mukan penculik dan pemerkosa itu akan mencin-

cangnya sampai mati. Bahkan mayatnya akan 

diseret oleh kuda!!

Sementara itu, Nimas Andini sudah ma-kin 

menjauh dari sana. Dia sudah menotok gadis 

yang dipanggulnya, yang kini terdiam kaku.

Dia menyesali kecerobohannya tadi. Bang-

sat! Mengapa dia sampai lupa untuk menotok ta-

di? Juga kedua orang tua gadis itu. Sialan! Ham-

pir saja dia terpergoki!

Tetapi Nimas Andini yakin kalau sekarang 

dia sedang dicari, sedang menjadi buronan. Apa-

lagi samar-samar dari kejauhan dilihatnya cahaya 

yang sedang berjalan ke arahnya.

Sialan! Ini bisa mengganggu keasyikan-ku 

saja! Makinya jengkel. Lalu dia bergegas berlari 

lagi.

Di suatu tempat yang cukup sepi, Nimas 

Andini melompat ke balik semak. Gadis itu dire-

bahkannya di rumput. Dia terkekeh. Hmm... me-

lihat gadis yang montok ini, nafsu birahinya seke-

tika muncul dan sukar untuk dibendung lagi.

Tetapi kalau disikat di sini, orang-orang 

yang mencarinya bisa memergokinya. Dia hanya 

mampu menelan liurnya saja melihat dada gadis 

yang montok itu dan pahanya yang mulus karena 

kainnya sudah tersingkap.


Berdebar hati Nimas Andini melihatnya.

"Sialan! Aku hanya jadi penonton saja tu-

buh yang mulus dan aduhai ini!!" makinya jeng-

kel. Dia menggaruk-garuk kepalanya.

Sekali lagi dia menelan ludahnya. Jakun-

nya turun naik. Debaran jantungnya semakin ke-

ras terdengar. Bergedebuk.

"Kurap! Monyet! Sialan!!" makinya karena 

jengkel. Nafsu birahinya sudah benar-benar naik. 

Gara-gara orang-orang yang mengejarnya itu dia 

tidak berani langsung menggarap korbannya. Pa-

dahal hidangan itu sudah tersedia di hadapan-

nya. '

Nimas Andini tidak mau menanggung resi-

ko untuk berkelahi. Padahal baginya tentu mudah 

untuk membunuh para pengejarnya itu. Namun 

dia enggan untuk membuang tenaga banyak 

menghadapi mereka. Untuk menikmati hidangan 

ini saja, bukankah membutuhkan tenaga yang 

banyak?

Nimas Andini terkikik karena merasa geli 

sendiri. Dan kembali dia memaki-maki.

Orang-orang yang mencarinya sudah se-

makin dekat padanya. Nampak karena obor yang 

dibawa mereka menampakkan cahaya yang me-

nandakan mereka sudah semakin dekat.

Sekali-sekali mereka melihat ke kanan dan 

ke kiri. Barangkali saja penculik itu berada tak 

jauh dari mereka.

Nimas Andini terkikik.

Namun tiba-tiba telinganya yang terlatih


menangkap sebuah langkah dari arah kirinya. 

Langkah yang ringan dan tenang.

"Hhh! Siapa lagi ini? Kayaknya bukan dari 

para pengejar itu?" geramnya gusar.

Lalu dengan hati-hati dia menyibakkan 

semak itu sedikit, untuk mengintip siapa yang da-

tang!

*

* *

SEPULUH



Tiba-tiba nampak wajahnya yang terkejut 

begitu melihat dan mengenali siapa yang datang. 

Pemuda yang dibencinya! Pemuda yang berkali-

kali mempercundanginya.

Bangsat!

Yang datang itu memang Pandu. Setelah

pingsan dan terluka akibat perkelahiannya den-

gan Nimas Andini, selama dua malam dia beristi-

rahat. Dan Sekar Perak dengan penuh kasih 

sayang merawatnya.

Sudah tentu dengan penuh kasih sayang, 

karena gadis itu memang mencintainya. Dia begi-

tu telaten sekali. Dan berkali-kali di menatap wa-

jah Pandu selagi pemuda itu pingsan.

Ingin didekapnya.

Ingin dibelainya. Ingin dikecupnya.

Namun dia tidak berani melakukannya

meskipun Pandu dalam keadaan pingsan.

Ketika pemuda itu siuman, betapa gem-

biranya Sekar Perak. Barulah saat itu dia meme-

luk Pandu karena terlalu gembira. Tetapi kemu-

dian buru-buru dilepaskannya sambil menjerit 

kecil tersipu.

"Oh!"

Pandu hanya tersenyum kecil walau di-

rasakannya kasih sayang yang terpancar dari wa-

jah Sekar Perak. Dan kehangatan rangkulan yang 

baru saja dia rasakan.

Namun Pandu tetap menahan perasaan-

nya. Kalau mau jujur dia pun sebenarnya menyu-

kai gadis itu. Namun dia tidak berani pula untuk 

mengatakannya. Bukannya tidak berani, namun 

bagi Pandu bercinta dan berpacaran itu pun bila 

sampai berakhir ke pernikahan, akan membuat-

nya terbelenggu dan tidak merasa bebas me-

layang bagaikan burung terbang lepas.

Dan yang membuat Sekar Perak terkejut, 

ketika malam harinya Pandu berkata: "Rayi... aku 

bermaksud untuk keluar dari hutan ini...."

"Mengapa, Kakang?" "Aku tidak bisa terlalu 

lama berdiam di-sini. Aku semakin tidak mengerti 

dan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi." 

kata Pandu.

"Lalu bagaimana denganku, Kakang?"

"Kau tetap saja di sini."

"Mengapa, Kakang?"

"Karena kupikir kau lebih aman di sini."

"Tanpa mu kau yakin aku akan aman, Ka


kang?"

"Ya, Rayi..."

"Lalu kau sendiri?"

"Aku hanya ingin mengetahui mengapa 

semua ini terjadi? Siapa sebenarnya orang yang 

berdiri di balik semua ini."

"Sudah kuceritakan padamu, Kakang.... 

Bojo Mayitlah yang menjadi momok semua itu."

"Mungkin dia. Mungkin pula bukan." 

"Apa maksudmu, Kakang?" 

"Aku tidak mengerti tentang Nimas Andini. 

Mengapa dia begitu mendendam." 

"Karena kau mengalahkannya." 

"Bukan itu maksudku." 

"Lalu apa, Kakang?" 

"Ada rahasia apa di goa ini."

"Bukankah kau sudah mengeceknya? Dan 

tak ada satu pun yang mencurigakan?" Pandu 

mendesah. 

"Benar."

"Lalu?"

"Aku ingin mencari tahu di luar sana, ten-

tang Goa Alas Bantan." 

"Jadi?"

"Ya, aku akan tetap keluar."

"Berarti aku sendiri di sini?"

"Untuk sementara ya, Rayi. Aku tidak la-

ma. Bila sudah kudapatkan informasi tentang 

Goa Alas Bantan. Aku akan cepat kembali."

Sekar Perak menunduk.

"Aku yakin, kau adalah gadis yang pem


berani, Rayi. Dan aku yakin pula bahwa kau akan 

menungguku di sini."

"Benarkah kakang akan kembali?"

"Selama kau mengenalku, pernahkah aku 

berbohong padamu, Rayi?"

Sekar Perak menggelengkan kepala.

"Belum."

"Bahkan tidak dan tidak akan pernah. Per-

cayalah padaku, Rayi."

"Baiklah, Kakang.... Kapan kakang akan 

pergi mencari informasi itu...."

"Malam ini, Rayi...." 

"Malam ini?" 

"Ya." 

"Oh!"

"Kenapa, Rayi?" 

"Secepat itu, Kakang?" 

"Ya, biar aku semakin cepat kembali ke si-

ni," kata Pandu. 

"Tapi, Kakang...?" 

Pandu tersenyum.

"Baiklah, Rayi... besok pagi aku akan per-

gi...."

Dan keesokan paginya Pandu pun be-

rangkat. Sekar Perak hanya bisa memperhatikan 

dengan hati yang sedih. Tetapi dia berbahagia ka-

rena Pandu berjanji untuk kembali.

Pandu pun tidak menggunakan kuda-nya. 

Dia berjalan kaki. Dan tak terasa dia sudah berja-

lan cukup jauh.

Sementara itu Nimas Andini masih mem


perhatikan pemuda yang datang itu. Dia lalu 

mendengus. Hhh! Lagi-lagi manusia itu!

Tiba-tiba bibir Nimas Andini membentuk 

seulas senyum. Dia mendapat satu pikiran yang 

jahat. Ya, dia akan melakukannya sekarang ini 

juga!

Tanpa memperdulikan resiko bahaya-nya, 

pikiran Nimas Andini berbalik seratus delapan 

puluh derajat. Dengan buasnya dia memperkosa 

gadis itu saat itu juga. Dengan buas tanpa men-

genal ampun.

Gadis itu hanya menahan sakitnya. Me-

nangis, namun air matanya tidak keluar. Dia me-

nahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit di hatinya 

lebih-lebih lagi, bagai di rejam oleh ribuan jarum 

yang sangat tajam.

Tadi dia mengira penculiknya itu tidak 

akan memperkosanya karena sejak tadi dia ter-

diam. Dan gadis itu berharap para pencarinya se-

gera menemukannya. Namun harapan itu hanya-

lah kosong belaka.

Sementara Nimas Andini semakin buas 

memperkosanya. Kegeramannya seakan di-

tumpahkan kepada gadis itu. Hancurlah pertaha-

nan perawan yang menjaga kehormatannya, yang 

akan mempersembahkan kepada suaminya nanti. 

Hancur sudah! Berkeping!

Dan karena tak kuasa menahan sakit dan 

malunya, dia pingsan sementara Nimas Andini 

masih asyik memperkosanya.

"Hmmm... kebetulan sekali gadis ini ping



san," desisnya setelah selesai memuaskan naf-

sunya.

Tubuhnya agak lemas. Dan saat itulah 

Pandu tiba di dekatnya. Berjalan dengan tenang.

Namun tiba-tiba sebuah serangan bergerak 

ke arahnya. Pandu yang pendengarannya pun te-

lah terlatih, segera reflek berguling ke kiri. Justru 

inilah yang dikehendaki oleh Nimas Andini, kare-

na pemuda itu berguling ke tempat Priatsih ping-

san. Dan dengan satu gerakan yang cepat, Nimas 

Andini bergerak dan tangannya menyambar baju 

Pandu.

Pandu yang terkejut karena melihat sosok 

tubuh yang terdiam di dekatnya, tidak sempat 

mengelakkan sambaran tangan si Banci.

"Brek!!"

Baju itu robek di bagian dada. Setelah ber-

hasil, Nimas Andini pun segera berkelebat pergi.

Pandu berusaha mengejar.

"Hei!"

Namun bayangan itu sudah berkelebat 

dengan cepat dan sebentar saja menghilang.

Sedikit pun Pandu tidak sempat melihat 

siapa orang itu sebenarnya.

Pandu mengurungkan niatnya untuk men-

gejar, mengingat seorang gadis yang di lihatnya 

tadi kala dia bergulingan. Gadis itu sepertinya 

pingsan.

Entah apa yang telah dilakukan orang tadi 

terhadap gadis itu. Lalu Pandu pun segera meng-

hampiri ke balik semak untuk melihat keadaan



gadis itu. Benar, gadis itu pingsan. Keadaan ga-

dis itu begitu menyedihkan. Pakaiannya robek, 

dengan kain yang tersingkap hingga ke atas. Pan-

du terkejut melihat ada noda darah di kain gadis 

itu.

Setelah dia dapat mengerti mengapa terjadi 

seperti itu. Pandu semakin terkejut. Ya Tuhan... 

orang tadi telah memperkosanya! Ya, ya... sung-

guh kejam! Buas dan tega!

Pandu menggeram. Ah, kalau saja dia da-

tang tidak terlambat? Sesalnya dalam hati. Orang 

itu telah memperkosa gadis ini dengan kejam, 

hingga pingsan pula! Biadab!

Sungguh biadab! Hatinya pilu melihat kea-

daan gadis ini. Betapa mengenaskannya. Kasihan 

gadis manis ini. Wajah gadis itu memang cantik. 

Ah, kasihan kau, Manis.

Nyatanya badai besar telah menghadang

mu sebelum sampai ke tujuan.

Tiba-tiba Pandu melihat cahaya terang da-

tang mendekatinya.

Pandu yang tidak tahu apa sebenarnya 

yang tengah terjadi, berdiri, menyembulkan kepa-

lanya dari semak itu.

"Bapak.... Bapak...." Panggilnya tanpa me-

rasa akan terjadi sesuatu pada dirinya.

Orang-orang itu segera menoleh. Dan se-

rentak wajah mereka menjadi beringas. Dengan 

marah mereka mengacungkan parang yang dipe-

gangnya.

Salah seorang yang ternyata pimpinan pe


ronda itu, membentak, "Di mana kau sembunyi-

kan Priatsih?!"

Pandu yang tidak tahu apa-apa, kebingun-

gan.

"Saya tidak tahu apa... apa maksud an-

da...?"

Orang yang bernama Barejo itu menggeram 

marah.

"Jangan berpura-pura, penculik busuk! Di 

mana kau sembunyikan Priatsih! Atau... parang-

parang ini akan ikut menanyakan mu?!"

Pandu semakin bingung. Ada apa sebenar-

nya ini? Ada apa? Tadi ada orang yang menye-

rangnya. Lalu gadis yang pingsan diperkosa ini. 

Belum lagi orang yang muncul ini dan marah-

marah padanya. Oh... ada apa ini?

Tiba-tiba setitik kesadaran memercik mun-

cul. Dan membuat Pandu menjadi kuatir akan di-

rinya.

Orang yang memperkosa ini ternyata seo-

rang bajingan tulen. Dia ingin melemparkan kesa-

lahannya pada dirinya. Ingin membuat kambing 

hitam pada dirinya. Dan orang-orang inilah yang 

mencari gadis itu. Sudah tentu dia tidak bisa 

mengelak dari tuduhan yang dilontarkan mereka. 

Karena hanya dirinyalah yang berada di sini. 

"Hhh! Bangsat orang tadi!"

"Hei, katakan di mana Priatsih?!" bentak 

Barejo gusar.

Tiba-tiba seorang temannya meloncat ke 

semak itu. Dan dia terkejut melihat Priatsih dalam keadaan pingsan dengan baju yang compang-

camping.

"Kakang Barejo!" serunya sambil meme-

riksa tubuh Priatsih. "Jangan lepaskan pemuda 

itu! Dia telah memperkosa Priatsih!"

Serentak orang-orang itu segera me-

ngurung Pandu. Pandu yang merasa sulit meng-

hindari mencoba menerangkan apa yang telah 

terjadi.

Sudah tentu orang-orang yang geram itu 

tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. 

Bukti telah nyata, itu yang penting bagi mereka. 

Bukannya penjelasan.

"Sungguh, Bapak-bapak. Begitulah keja-

dian yang sebenarnya."

"Jangan mungkir, Anak muda!" geram Ba-

rejo. "Semua sudah jelas dan terbukti!!"

"Tapi... bukan saya yang melakukan per-

kosaan kejam itu. Seseorang telah menyerang 

saya dan membuat kambing hitam pada saya!"

"Hhh! Kau tidak bisa lari dari bukti itu, 

Anak muda. Kami mendengar suara ribut-ribut

tadi!"

"Karena aku berkelahi melawan orang ta-

di."

"Jangan berpura-pura!" bentak salah seo-

rang yang memegang obor. Dia sudah ingin mem-

bakar saja wajah pemuda yang tampan itu. "Keri-

butan tadi pasti antara kau dengan Priatsih! Ka-

rena Priatsih menolak apa yang hendak kau laku-

kan padanya! Perbuatan keji!"


"Percayalah, Bapak-bapak," kata Pandu se-

bisanya. Dia masih berusaha untuk meyakinkan

keadaan yang sebenarnya. Dia pun tidak ingin 

bentrok dengan penduduk di desa ini. "Bukan 

aku yang melakukannya. Bebaskan aku seka-

rang, aku akan mencari orang itu."

"Bangsat! Membebaskan?! Enak sekali kau 

bicara, Anak muda! Dari pakaianmu yang robek 

itu pun sudah merupakan sebuah bukti bahwa 

Priatsih menolak apa yang hendak kau lakukan 

padanya!" 

"Tapi...!"

"Bangsat! Kau masih mungkir juga! Se-

rang dia!" seru Barejo panas.

Dan serentak ketujuh parang itu berke-

lebat ke arah Pandu. Pandu segera bersalto ke 

depan. Namun mereka segera mengurungnya 

kembali. Mereka adalah peronda-peronda keper-

cayaan yang juga memiliki kepandaian bersilat. 

Sudah tentu tidak mudah bagi Pandu untuk lari 

dari kepungan itu. Namun dia tidak bisa lagi 

menghindari perkelahian ini. Orang-orang itu su-

dah marah besar. Dan mereka merasa telah me-

nemukan orang yang selama ini membuat onar di 

desa mereka. Sudah tentu mereka tidak akan me-

lepaskan manusia bejat ini. Mereka harus bisa 

membekuk dan memberi pelajaran baginya. Atau 

paling tidak, hukuman yang setimpal bagi si pe-

merkosa.

Tetapi rupanya para peronda itu belum ta-

hu siapa yang dihadapinya. Nimas Andini berhasil


membuat kambing hitam pada Pandu. Dan Pandu 

tidak memiliki kesempatan lagi untuk membela 

diri. Parang-parang itu terus berkelebatan dengan 

cepat. Kilatannya nyata terlihat karena cahaya 

rembulan. Para peronda itu geram sekali karena 

sudah beberapa lama tapi si pemuda bejat ini be-

lum juga mampu mereka lumpuhkan.

Pandu sendiri biarpun berhasil meng-

hindari setiap serangan itu merasa lama kela-

maan dia bisa terdesak pula. Tenaganya makin 

lama semakin melemah. Apalagi orang-orang itu 

banyak, tenaga mereka masih besar. Mereka me-

nyerang secara beruntun dan bergantian. Sudah 

tentu menghemat tenaga.

Dia pun mulai berusaha membalas namun 

tidak dengan pukulan mematikan. Hanya berusa-

ha untuk meloloskan diri. Tetapi biarpun telah 

berhasil, orang-orang itu telah mencapnya seba-

gai pemerkosa. Dan mereka tentu tak akan melu-

pakannya. Pemuda yang memakai baju putih-

putih dan berikat kepala biru.

Tiba-tiba salah seorang dari penyerang-nya 

itu mengibaskan tangan kirinya, melempar obor-

nya dengan gerakan cepat.

Pandu terkejut. Apalagi jaraknya dengan 

orang itu begitu dekat. Hanya refleknya sajalah 

yang membuatnya bisa menghindarkan api itu. 

Dia berguling dengan cepat dan kakinya menyapu 

orang yang melemparkan obor itu.

"Des!"

Orang itu berguling ambruk. Melihat te


mannya berhasil dilumpuhkan, keenam orang itu 

semakin garam. Serangan mereka semakin kacau 

balau namun sangat mematikan.

Dengan mengandalkan jurus berkelit-nya 

Kijang Kumala, Pandu berhasil menghindari se-

rangan itu.

Sementara api obor yang dilempar orang 

tadi, sudah mulai membakar rerumputan. Namun 

orang-orang itu seakan tak perduli, mereka terus 

mencecar pemuda bejat ini. Mereka harus berha-

sil membekuknya dan mengadilinya seberat-

beratnya.

Melihat api itu semakin besar, Pandu me-

rasa hanya api itulah yang bisa menolong. Selain 

tidak mau melukai orang-orang ini, dia juga su-

dah mulai letih. Hampir dua jam dia menghindari 

serangan itu. Juga hal ini menghambat perjala-

nannya menuju Goa Alas Bantan.

Sambil menghindar serangan itu, dia ber-

seru, "Api! Api! Api itu semakin besar!"

Dan seperti tersadar orang-orang itu 

menghentikan serangannya. Mereka terkejut me-

lihat api yang sudah membesar. Lebih terkejut la-

gi kalau di semak itu ada Priatsih yang masih da-

lam keadaan pingsan.

Barejo berseru, "Padamkan api itu! Sela-

matkan Priatsih!"

Tiga orang segera berusaha memadamkan 

api, sementara Barejo sendiri beserta kedua te-

mannya menghadapi Pandu. Hal ini mengun-

tungkan Pandu, karena serangan tidak begitu lagi


rapat.

Sambil mengibaskan tangan dan kakinya, 

dia membuat jalan keluar. Dan tiba-tiba dengan 

sangat ringannya dia melenting ke atas, meng-

hindari kepungan itu. Dan dengan cepat dia su-

dah menghilang dalam kegelapan malam.

Barejo terkejut dan berusaha mengejar,

namun bayangan pemuda itu telah menghilang.

Dia memaki-maki sendiri. Jengkel. Semen-

tara api sudah berhasil dipadam-kan. Priatsih su-

dah diangkat dan dipindahkan ke tempat yang 

agak lapang.

Dengan menghentakkan kakinya jengkel, 

Barejo kembali menemui teman-temannya.

"Kita gagal lagi, Kawan-kawan. Bangsat itu 

ternyata pemuda yang berkepandaian tinggi," ka-

tanya dengan suara menyesali.

"Kita tidak bisa tinggal diam, Kakang Bare-

jo. Kita harus segera mencari pemuda itu."

"Kita laporkan kejadian ini kepada Ki Lu-

rah."

"Ya, kita laporkan kejadian ini pada Ki Lu-

rah. Mudah-mudahan Ki Lurah bisa membawa 

persoalan ini kepada Prabu Sri Jayarasa."

Barejo masih kelihatan geram. Tetapi ke-

mudian dia segera memerintahkan teman-

temannya untuk kembali. Apalagi nampak fajar 

sudah mulai menyingsing. Lalu mereka segera 

meninggalkan tempat itu. Tiga orang membopong 

Priatsih dan tiga orang lagi membopong teman 

mereka yang pingsan.



Hati mereka geram dan marah.

Sementara Barejo masih menyesali ke-

kalahan mereka sehingga tidak bisa membekuk 

Durjana Pemetik Bunga itu. Berarti manusia bu-

suk itu masih berkeliaran. Dan ini tidak bisa di-

biarkan berlarut-larut. Karena amat membahaya-

kan jiwa para anak perawan.

Dan Barejo tidak bisa menahan pilunya 

mendengar tangis dan ratapan orangtua Priatsih. 

Mereka malah lebih rela kalau anak-nya mening-

gal saja, daripada hidup tetapi menanggung malu 

yang teramat menyiksanya. Yang bisa merendah-

kan harga diri anak tunggal mereka. Yang harus 

menanggung malu seumur hidup. Yang harus 

melahirkan bila hasil perko-saan itu membuah di 

rahimnya.

Tuhan... kesalahan apa yang telah di laku-

kan anaknya itu. Dan kesalahan apa yang telah 

mereka lakukan? Tangis dan ratapan itu masih 

terdengar. Memilukan dan menyayat hati.

Diam-diam Barejo meninggalkan tempat itu 

dengan kepala menunduk: Dia tak akan pernah 

melupakan wajah pemuda bejat itu.

Sampai kapan pun dia akan mencarinya.

Ketika dia sampai di rumahnya, terdengar bunyi 

kokok ayam jantan yang keras. Peristiwa itu akan 

diingatnya sampai kapanpun juga. Dia tak akan 

pernah memaafkannya.


                               TAMAT







 



0 komentar:

Posting Komentar