BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 09 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE RAHASIA PERKAWINAN WIRO


Rahasia Perkawinan Wiro


"CELAKA!" KATA LUHSANTlNl SETENGAH 

BERSERU. 

"JANGAN-JAMGAN KlTA DATANG TERLAMBAT! 

PERCEPAT LARIMU LUHCINTA!" 

LUHClNTA DAN LUHSANTlNl SAMPAl Dl PUNCAK 

BUKlT BATU KAWIN. LUHCINTA SERTA MERTA 

HENDAK MENGHAMBUR KE HADAPAN ORANG-

ORANG YANG BERADA Dl DEKAT RANJANG 

BATU. TAPI LUHSANTINl CEPAT MEMEGANG 

ERAT LENGANNYA DAN MENARlK GADlS INI KE 

BALlK SEBUAH BATU BESAR YANG TERTUTUP 

SEMAK BELUKAR LEBAT. 

"KITA MEMANG TERLAMBAT LUHCINTA. 

UPACARA PERNIKAHAN SUDAH 

DILAKSANAKAN. MEREKA TELAH 

BERPEGANGAN TANGAN ...." 

"MEREKA SIAPA?" TANYA LUHCINTA DENGAN 

SUARA GEMETAR. GADIS INI SIBAKKAN SEMAK 

BELUKAR LALU MEMANDANG KE DEPAN. SAAT 

ITU TERDENGAR SUARA LANTANG SANG JURU 

NIKAH LAMAHILA. 

"WIRO SABLENG DAN LUHREMBULAH! KALIAN 

BERDUA TELAH AKU NlKAHKAN DISAKSIKAN 

LANGIT DAN BUMI. APA YANG KALIAN UCAPKAN 

DlDENGAR OLEH PARA DEWA DAN SEMUA ROH 

YANG TERGANTUNG ANTARA LANGlT DAN 

BUMI. SEMOGA KALIAN MENDAPAT BERKAH. 

SAAT INI KALIAN TELAH RESMl MENJADI SUAMI 

ISTRI!"


SATU


KUDA raksasa berkaki enam itu berlari kencang di 

bawah siraman sang surya yang tengah 

menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Bulunya 

yang hitam pekat seolah menebar pantulan 

kekuning-kuningan. Di atas punggungnya dua sosok 

manusia tergantung dalam dua buah jala. ltulah 

sosok Lakasipo dan Luhsantini yang terjebak tak 

berdava di dalam jaring api biru akibat perbuatan 

jahat Hantu Bara Kaliatus. Orang ke tiga di atas 

kuda raksasa itu adalah seorang kakek yang berdiri 

di punggung kuda dengan dua tangan di sebelah 

bawah dan dua kaki di sebelah atas. Rambut, 

janggut dan kumis putihnya melambai-lambai disapu 

angin. Walau kuda hitam bernama Laekakienam 

berlari secepat setan menyambar namun di atas 

punggungnyasi kakek tampak tegak tenang tanpa 

bergeming sedikitpun. Sudah dapat diduga kakek ini 

bukan lain adalah Lasedayu alias Hantu Langit 

Terjungkir. 

"Huuii ... !" Kakek di atas kuda berseru panjang. 

"Kuda hitam gagah perkasa, kita berhenti dulu di 

sini! Aku perlu bicara dengan dua insan di dalam 

jaring!" 

Habis berkata begitu sosok si kakek melesat ke 

udara. Dua tangannya menyambar cabang satu 

pohon besar. Sesaat tubuhnya berputar sebat dua 

kali dicabang pohon itu lalu melayang turun,


menjejakkan dua tangannya yang dijadikan kaki di 

tanah tanpa keluarkan suara sedikitpun. 

Kuda hitam yang memiliki dua tanduk di atas kepala-

nya meringkik keras lalu hentikan larinya. Debu be-

terbangan di belakangnya. Setelah meringkik sekali 

lagi binatang ini lalu melangkah mendekati si kakek 

dan menjilat-jilat kaki orang tua itu dengan ujung 

lidahnya. 

"Kuda hebat! Aku berterima kasih padamu! Seumur 

hidup baru kali ini aku menunggang kuda. Aku 

serasa mau kencing menahan gamang. Tapi nikmat! 

Ha ... ha,.. ha...!" 

Si kakek tepuk-tepuk pinggul Laekakienam lalu dia 

bergerak mendekati Lakasipo dan Luhsantini yang 

berada di dalam dua jaring terpisah. Kakek ini 

pergunakan dua kakinya untuk mengait jaring. Lalu 

perlahan-lahan, enak saja dia turunkan dua jaring itu 

ke tanah. Di dalam jaring Lakasipo dan Luhsantini 

cepat bangkit lalu bersila di tanah. 

"Kakek Hantu Langit. Terjungkir! Kami berdua 

menghaturkan terima kasih. Kau telah membawa 

kami keluar dari tempat penuh bencana itu!" 

Luhsantini pertama sekali keluarkan ucapan. 

Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu sibakkan 

rambut putih menjulai yang menutupi mukanya lalu 

tatap wajah Luhsantini beberapa lamanya. Sesaat 

kemudian dia palingkan kepala memandang pada 

Lakasipo. Dipandang seperti itu Lakasipo merasa 

jangan-jangan orang tua ini masih membekal 

amarah karena tindakannya yang lalai tempo hari 

sehingga sendok emas sakti yang bisa menjadi


penyembuh bagi si kakek lenyap dirampas orang. 

Maka sebelum ditegur Lakasipo berkata duluan. 

"Kek, apakah kau masih marah padaku karena 

kesalahanku menghilangkan Sendok Pemasung 

Nasib itu...? Aku sekali lagi mohon maafmu. Janjiku 

tetap akan kupenuhi. Aku akan mencari benda itu 

sampai dapat walau harus menebus dengan 

nyawaku sendiri." 

Lasedayu menghela nafas dalam lalu menyeringai. 

"Wahai, bagaimana kau bisa mencari sendok sakti. 

Sementara dirimu berada dalam jaring iblis api biru 

itu!" 

Lakasipo terdiam mendengar kata-kata si kakek. Dia 

memandang pada Luhsantini seperti meminta 

pendapat Perempuan ini segera membuka mulut 

"Supaya kami bisa menebus kesalahan itu harap kau 

mau menolong kami keluar dari jaring ini." 

"Betul, Kek," menyambung Lakasipo. 

"Kami bukan cuma memikirkan keselamatan diri 

sendiri. Tapi begitu bebas kami akan segera kembali 

ke lembah untuk menolong kawan-kawan kami. 

Mereka berada dalam bahaya besar...." 

Lasedayu gelengkan kepala. "Tak ada hal lain yang 

bisa kuperbuat Aku hanya berkemampuan merubah 

jaring ini dari jaring api menjadi jaring tali biasa. 

Lebih dari itu aku tak bisa. Seperti penjelasanku 

dulu, hanya ada beberapa orang saja di Negeri 

Latanahsilam ini yang mampu memutus jaring api 

biru ini ...” (Kisah bagaimana Lakasipo dan 

Luhsantini terjebak dalam jaring api biru baca 

Episode Hantu Santet Laknat)


"Berarti kita bisa seumur-umur mendekam di dalam 

jaring celaka ini! Mungkin ajal lebih dulu datang 

menjemput sebelum ada yang membebaskan kita!" 

kata Luhsantini. 

"Kek, kalau aku tidak salah mengingat, kau pernah 

mengatakan siapa-siapa saja orang yang mampu 

menjebol jaring ini. Siapa tahu ada orang yang bisa 

menemui mereka untuk dimintai bantuannya ...." 

"Aku tidak yakin. Orang-orang itu seperti setan. Ada 

bernama tapi sulit dicari bahkan entah masih hidup 

atau sudah menjadi satu dengan tanah. Seorang di 

antara mereka adalah Hantu Seribu Obat. Tapi 

manusia satu ini aneh angin-anginan. Kalau hatinya 

sedang senang apapun yang diminta orang akan 

diberikannya sekalipun orang meminta telinga atau 

matanya! Tapi kalau syarafnya terganggu, sedang 

tidak karuan hati dan pikirannya, salah sedikit saja 

dalam bicara isi perut kita bisa dibedolnya untuk 

dijadikan ramuan obat!" 

"Tunggu dulu!" ucap Lakasipo setengah berseru. 

"Aku pernah bertemu dengan Hantu Seribu Obat. 

Dialah yang menolong dua saudara angkatku hingga 

sosoknya menjadi sebesar sosok orang-orang di 

negeri ini ..." berkata Lakasipo. 

"mungkin waktu itu hatinya sedang senang. Tapi jika 

bertemu sekali lagi aku tidak dapat menjamin dia 

akan bersikap sama," kata Lasedayu pula. 

"Siapa orang lainnya yang menurutmu mampu 

menolong kami Kek?" bertanya Luhsantini. 

"Seorang nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatak 

hijau. Nenek satu ini lebih kacau. Di tempat 

kediamannya yang sulit diketahui dimana letaknya,


dia memelihara ribuan kodok. Bahkan konon 

kabarnya sekujur tubuhnya diselimuti binatang itu. 

Kalau dia ingin sesuatu yang menyenangkan, si 

nenek bisa saja menyuruh kodok-kodok 

peliharaannya untuk mempesiangi orang hingga 

dalam waktu sesaat saja orang itu bisa hanya tinggai 

tulang memutik!" 

Lakasipo menatap ke arah Luhsantini dan berkata 

perlahan. 

"Agaknya tidak ada yang bisa kita lakukan.Tidak ada 

orang yang dapat menolong kita. Kalau saja nenek 

tukang kentut berjuluk Hantu Selaksa Angin itu mau 

menolong kita. ..." 

"Dia punya kemampuan," menyahuti Luhsantini. 

"Tapi apakah dia harus menghantami kita dengan 

pukulan sakti agar semua tali-tali ini bisa putus? 

Jangan-jangan kita lebih dulu remuk jadi bangkai 

sebelum dia bisa mengeluarkan kita dari dalam 

jaring celaka ini! Jika aku bisa lolos, aku bersumpah 

akan menguliti Hantu Bara Kaliatus makhluk keji 

biadab itu!" 

Hantu Langit Terjungkir mendehem beberapa kali 

lalu berkata. "Sebenarnya aku melarikan kalian 

bukan cuma karena ingin menyelamatkan kalian, 

tapi lebih dari itu ada satu perkara besar yang ingin 

aku bicarakan. ini menyangkut dirimu dan diriku, 

Lakasipo ...." 

"Maksudmu sendok emas itu Kek?" tanya Lakasipo. 

"Lupakan sendok celaka itu!" jawab si kakek. Lalu 

dia melangkah ke belakang Lakasipo yang sampai 

saat itu masih duduk bersila di tanah. Sepasang 

mata si kakek memandang tak berkesip ke arah


lengan kanan sebelah belakang Lakasipo. Seperti 

diketahui di situ terdapat tanda berbentuk sekuntum 

bunga dalam lingkaran berwarna kebiru-biruan. 

"Hal yang hendak aku bicarakan ini jauh lebih 

penting dan lebih berharga dari sendok emas itu! 

Aku malah menganggap jauh lebih penting dari 

nyawa ataupun masa depanku ...." Lasedayu 

kembali berdiri di hadapan Lakasipo. Dari balik 

juntaian rambut putihnya dia pandangi wajah lelaki 

itu dengan perasaan yang sulit untuk dikatakan. Saat 

itu dia seolah ingin menghamburkan sejuta kata 

sejuta cerita. Bahkan lebih dari itu ingin memeluk 

merangkul Lakasipo. 

"Lakasipo, di belakang lengan kananmu sebelah 

atas,dekat ketiak, ada satu tanda kecil. Seperti 

jarahan. Berbentuk bunga dalam lingkaran ...." 

"Apa Kek?!" ujar Lakasipo. Wajahnya menyatakan 

rasa heran. "Tanda bunga dalam lingkaran ... ? 

Dekat ketiak kananku sebelah belakang?" Lakasipo 

angkat tangan kanannya, mencari-cari. Dia berhasil 

melihat tanda kecil seperti yang dikatakan si kakek. 

Bunga dalam lingkaran. "Aku tak-pernah tahu kalau 

ada tanda seperti ini di lenganku. Juga tak ada orang 

yang mengatakan kalau aku punya tanda seperti ini." 

Lakasipo menatap wajah si kakek lalu bertanya. 

"Kek, apa pentingnya tanda di balik lenganku ini 

bagimu? Apa mengandung satu arti?" , 

"Tanda itu sangat penting bagiku wahai Lakasipo. 

Lebih penting dari nyawaku sendiri ...." 

"Aku tidak mengerti. Tunggu .... Aku coba 

mengingat-ingat. Rasanya aku pernah melihat tanda 

seperti yang kau katakan itu di lengan belakang 

seseorang ...."


"Ucapanmu membuat aku berdebar Lakasipo!" kata 

Hantu Langit Terjungkir. 

"Pusatkan pikiranmu, pusatkan ingatanmu! Siapa 

orang yang punya tanda seperti tanda di dekat ketiak 

kananmu itu?!" Lakasipo memijit-mijit keningnya 

berulang-ulang. Berusaha untuk mengingat Tiba-tiba 

ditepuknya keningnya. 

"Aku ingat Kek!" katanya dengan suara keras. 

"Siapa?!" tanya Hantu Langit Terjungkir tak kalah 

kerasnya. 

"Latandai alias Hantu Bara Kaliatus!" 

Si kakek tersurut satu langkah mendengar ucapan 

Lakasipo itu. Sementara Luhsantini keluarkan 

seruan tertahan karena tidak menyangka nama 

bekas suaminya itu yang bakal diucapkan Lakasipo. 

"Aku sudah menduga ..." kata Hantu Langit 

Terjungkir dengan suara bergetar. Sepasang 

matanya sekilas tampak berkaca-kaca. Ada satu 

perasaan besar yang seperti coba ditekannya. 

"Aku sendiri memang pernah melihat tanda itu di 

lengan kanan sebelah belakang Hantu Bara Kaliatus 

...." Orang tua ini kemudian berpaling pada 

Luhsantini. "Kau adalah istri Hantu Bara Kaliatus ...." 

"Saat ini aku tidak lagi jadi istri manusia keji jahat 

itu!" menukas Luhsantini. 

"Aku tahu perasaanmu wahai Luhsantini. Tapi 

bagaimanapun kau pernah menjadi istrinya. Yang 

aku ingin tanyakan, apakah kau pernah tahu, melihat 

atau menyadari bahwa Hantu Bara Kaliatus memang 

memiliki tanda seperti yang ada di lengan kanan 

Lakasipo?" 

"Aku .... Hemm . ... rasanya ku memang pernah 

melihat. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Aku

tidak pernah menanyakan atau memberitahu 

padanya. Mungkin dia sendiri tidak tahu. Kek, apa 

arti semua pembicaraan ini?" bertanya Luhsantini. 

Dada Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir 

bergemuruh. Sepasang matanya tampak semakin 

berkaca-kaca dan sekujur tubuhnya kelihatan 

bergetar. 

"Kek, ada apa dengan dirimu. Apakah kau sakit?" 

tanya Lakasipo. 

"Kek, apapun yang terjadi dengan dirimu harap kau 

menjawab pertanyaanku tadi!" ujar Luhsantini. 

"Apa artinya semua pembicaraanmu itu! Kau, 

matamu basah. Bibirmu bergetar. Kau hendak 

mengatakan sesuatu Kek?" 

"Aku ...." Si kakek tampak agak sempoyongan. Dia 

sandarkan punggungnya ke tubuh Laekakienam. Dia 

menarik nafas panjang sampai dua kali baru 

membuka mulut. 

"Dengar baik-baik apa yang akan aku ucapkan 

Lakasipo. Kalian berdua adalah ...." 

"Kalian berdua siapa maksudmu Kek," tanya 

Lakasipo ketika si kakek hentikan ucapannya seolah 

lidahnya mendadak menjadi kelu. 

"Maksudku ... kau ... kau dan Latandai adalah ...." 

Gelora jiwa dan gejolak hati yang seolah membadai 

membuat orang tua itu sulit untuk berucap. Dalam 

hati dia berdoa. 

"Wahai para Dewa, beri aku kekuatan untuk 

menyampaikan kebenaran ini. Aku harus 

mengatakan sekarang juga! karena mugkin hidupku 

ini hanya tinggal beberapa hitungan jengkal saja. 

Aku ...."


Hantu Langit Terjungkir usap lelehan air mata yang 

menggelinding jatuh ke pipinya yang keriput. 

"Lakasipo, dengar baik-baik. Kau dan Latandai 

adalah dua ...." 

Belum sempat si kakekmenyelesaikan ucapannya 

tiba-tiba di udara menggema suara seperti petir 

menyambar. Lalu ada hawa panas menyungkup. 

Ketika semua orang memandang ke atas kagetlah 

mereka. Di udara melayang turun cepat sekali 

sebuah jaring besar berwarna biru seolah terbuat 

dari kobaran api! 

"Api lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo lalu 

jatuhkan diri dan berguling sejauh yang bisa 

dilakukannya. Hal yang sama segera pula diiakukan 

Luhsantini. Hantu Langit Terjungkir hantamkan 

kakinya kiri kanan ke atas dua kali berturut-turut. 

Dua gelombang angin berwarna kebiruan 

menggebubu. 

"Bummm!" 

"Buuum!" 

Dua ledakan dahsyat menggoncang seantero 

tempat! 

Laekakienam meringkik keras! Debu dan pasir 

beterbangan ke udara. Sebaliknya dari atas 

berjatuhan puluhan daun-daun pepohonan yang 

tumbuh di sekitar tempat itu. Ranting berderak patah 

lalu ikut melayang jatuh ke tanah.


DUA


LAEKAKIENAM, kuda hitam berkaki enam milik 

Lakasipo bergulingan bergemuruh kian kemari 

sambil melejang-lejangkan kaki. Debu dan pasir 

semakin banyak beterbangan ke udara. Dua pohon 

patah dan sebuah batu besar terbelah berkeping-

keping dihantam tendangan binatang raksasa itu. 

Bau sangit daging terbakar memenuhi udara. Kuda 

bertanduk dua itu meringkik sekali lagi lalu 

"brakk!" 

Tubuhnya menghantam sebatang pohon besar. 

Pohon ini berderak keras lalu tumbang dengan suara 

menggemuruh. Di bawah pohon Laekakienam 

terkapar melejang-lejang. Sekujur tubuhnya yang 

penuh guratan luka sangat dalam, berselemak 

darah, mengepulkan asap, berada dalam jiratan 

jaring api biru. 

"Lae! Lae! Kudaku .... Kudaku!" teriak Lakasipo 

melihat apa yang terjadi dengan binatang 

tunggangannya itu. Lalu seperti orang kalap dia 

hendak mengamuk. Kakinya diangkat untuk bisa 

menginjak putus jaring di bagian bawah tapi tidak 

berhasil. Tangannya lalu digerakkan untuk melepas 

pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Kaget Lakasipo 

bukan kepalang. Apa yang terjadi dengan dirinya. 

Dia tak mampu mengerahkan tenaga dalam dan 

mengalirkan hawa sakti ke tangan kanannya! Sekian


lama berada dalam jaring api biru kekuatannya 

seolah tersedot! 

Lakasipo meraung keras lalu bersujud di tanah, 

menangis panjang. Luhsantini yang ada di tempat 

itu, setelah terpental beberapa kali kini terduduk 

dengan muka pucat lalu tutupkan dua tangan di 

depan wajahnya karena tidak sanggup melihat 

kengerian yang terjadi atas Laekakienam. 

Hantu Langit Terjungkir sendiri saat itu tegak dengan 

tubuh bergoncang keras dan wajah kaku membesi. 

Sewaktu jala yang disebut Api lblis Penjaring Roh itu 

menebar turun laksana kilat menyambar, si kakek 

masih mampu berusaha menangkis dengan dua 

tendangan yang mengeluarkan gelombang angin 

sakti. 

Bersamaan dengan itu dengan kecepatan luar biasa 

dia segera menyingkir karena maklum serangan 

yang datang dari atas langit itu bukan olah-olah 

dahsyat berbahayanya! 

Dia berhasil menyelamatkan diri. Tapi kuda hitam 

besar Laekakienam yang tadi disandarinya tertimpa 

jaring, langsung dibuntal dicabik-cabik hangus 

sekujur tubuhnya! 

Untuk beberapa lamanya tempat itu dilanda 

kesunyian mencekam. Lalu dirobek oleh suara 

raungan Lakasipo. Namun suara raungan ini lenyap 

begitu ada suara tawa mengekeh mengumandang di 

tempat itu! 

Lakasipo angkat sosoknya yang bersujud. Luhsantini 

turunkan dua tangannya yang menutupi wajah. 

Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang


menutupi mukanya. Semua mata ditujukan ke arah 

datangnya suara tawa mengekeh. 

Di depan sana berdiri seorang berjubah hitam. Tidak 

dapat dipastikan apakah dia seorang manusia atau 

penjelmaan roh yang gentayangan. Kepala dan 

mukanya berbentuk tengkorak. Anehnya di batok 

kepalanya bertumbuhan rambut-rambut warna putih. 

Matanya yang hanya berupa rongga besar 

memancarkan cahaya merah angker. Dua tangan-

nya yang tersembul keluar dari ujung lengan jubah 

hitam merupakan tulang-tulang putih. Tiba-tiba 

rambut-rambut putih itu berjingkrak kaku ke atas 

seperti kawat. Dari rongga matanya cahaya merah 

memancar keluar laksana lidah api. Lalu dari 

mulutnya yang penuh susunan gigI-gigi besar 

mengerikan kembali keluar suara tawa mengekeh. 

"Makhluk jerangkong ..." desis Hantu Langit 

Terjungkir. 

"Kalau aku tidak salah menduga dia adalah jahanam 

yang dipanggil dengan sebutan Junjungan.Yang 

konon kabarnya adalah guru Hantu Santet Laknat. 

Pasti tadi dia yang melancarkan serangan Api lblis 

Penjaring Roh! Astaga, lihat siapa yang berdiri di 

sampingnya!" 

Hantu Langit Terjungkir buka matanya lebar-lebar. 

Yang saat itu tegak disebelah makhluk jerangkong 

sang Junjungan bukan lain adalah Hantu Bara 

Kaliatus, murid Hantu Santet Laknat. Bekas suami 

Luhsentini! 

"Cucu muridku Hantu Bara Kaliatus! Orang-orang 

yang kita cari sudah ditemukan! Kematian sudah 

menjadi bagian mereka Kau tunggu apalagi?!" Sang


Junjungan keuarkan ucapan. Lalu tangan kirinya 

yang hanya merupakan tulang-tulang putih itu 

diusapnya ke punggung Hantu Bara Kaliatus. 

Usapan ini bukan usapan biasa karena bersamaan 

dengan itu makhluk jerangkong susupkan sebagian 

hawa sakti ke dalam tubuh Hantu Bara Kaliatus. 

Saat itu juga Hantu Bara Kaliatus merasa tubuhnya 

lebih ringan namun sekaligus darahnya menggejolak 

aneh, membawa amarah luar biasa. Ketika dia 

menyeringai dan mulutnya terbuka kelihatan ada 

kobaran api di dalam mulut itu. 

Seperti diketahui sampai saat itu di dalam perut 

Hantu Bara Kaliatus masih mendekam putuhan bara 

api yang sebelumnya berada di kepala, dada dan 

perutnya. 

"Tunggu dulu!" tiba-tiba Hantu Langit Terjungkir 

berseru ketika dilihatnya Hantu Bara Kaliatus 

melangkah mendekati Lakasipo dengan tangan kiri 

yang disambung besi warna biru dipentang di atas 

kepala, siap 'untuk dipukulkan. 

"Hantu Bara Kaliatus! Pasal lantaran apa kau 

hendak membunuh Lakasipo?!" 

"Cucu muridku Hantu Bara Kaliatus, kau tak usah 

menjawab pertanyaan tua bangka gila itu! Lekas 

bunuh Lakasipo! Biar aku yang menghadapi monyet 

tua itu!" Berkata sang Junjungan. 

"Terima kasih kau mau membantuku sang 

Junjungan. Tapi jika kau tidak keberatan wahai 

Junjungan biar aku beritahu padanya pasal lantaran 

apa aku ingin menghabisi keparat bebama Lakasipo 

ini!"


Sang Junjungan kelihatan tidak begitu senang 

dengan ucapan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus 

itu. Tapi dia akhirnya anggukkan kepala. Hantu Bara 

Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit Terjungkir. 

"Agar kau tahu!" kata Hantu Bara Kaliatus pula. 

"Makhluk bernama Lakasipo yang sepasang kakinya 

ditancapi Bola-Bola lblis itu sudah sejak lama 

menjadi musuh besarku. Belum sempat aku 

membalaskan sakit hati dendam kesumat, tahu-tahu 

dia main gila bergendak-gendak dengan istriku. Dia 

merampas Luhsantini dari tanganku!" 

"Mulutmu kotor! Tuduhanmu keji!" teriak Lakasipo 

dari dalam jaring. 

"Aku tidak pernah merampas Luhsantini! Perempuan 

itu meninggalkan dirimu karena kau berniat hendak 

membunuhnya! Otakmu sudah jadi gila karena dicuci 

oleh dukun jahat Hantu Santet Laknat! Kau bahkan 

tega hendak membunuh anak kandungmu sendiri!" 

"Makhluk culas bermulut keji!" Luhsantini ganti 

mendamprat dari dalam jaring api biru. 

"Aku bukan istrimu dan aku tidak pernah berbuat 

mesum dengan lelaki itu! Kau makhluk bejat 

pencelaka pembunuh anak sendiri!" 

"Ha ... ha ... ha!" Makhluk muka tengkorak tertawa 

bergelak. 

"Kau mendapat sanggahan serta caci maki yang 

menyakitkan hati wahai cucu muridku! Apa 

jawabmu? Apa tindakanmu?!" 

Rahang Hantu Bara Kaliatus menggembung. 

"Perempuan jalang! Tunggulah! Kau bakal menerima 

bagian setelah kekasih gelapmu ini kuhabisi!"


"Manusia rendah pengecut busuk! Lakasipo di dalam 

jaring tidak berdaya! Jika kau memang jantan 

keluarkan dia lebih dulu dari dalam jaring baru kau 

menghadapinya! Aku mau lihat apa kau punya 

keberanian!” 

Hantu Bara Kaliatus menyeringai. "Buat apa mencari 

susah kalau aku bisa membunuhnya semudah 

membalikkan tangan!" Lalu sambil semburkan dua 

bara api dari mulutnya Hantu Bara Kaliatus 

menerjang ke arah Lakasipo yang saat itu sudah 

tegak berdiri tapi masih terbungkus di dalam jaring 

api biru. 

Begitu melihat dua bara api melesat ke arahnya 

Lakasipo cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh. 

Namun dia tidak mampu bergerakcepat. Lawan 

segera mengejar mendatangi. Baru saja dia 

berusaha bangkit, Hantu Bara Kaliatus telah 

menghantamkan tangan kirinya yang disambung 

dengan logam biru serta dipenuhi tonjolan-tonjolan 

lancip! 

Dari dalam jala dimana dirinya terkurung Luhsantini 

berusaha menyerang Hantu Bara Kaliatus dengan 

serangan tangan kosong jarak jauh. Tapi 

gerakannya tertahan. Lebih dari itu anehnya dia juga 

tidak mampu menghimpun tenaga dalamnya. Dia 

mengalami hal yang sama seperti yang terjadi 

dengan Lakasipo. Kekuatannya tak mampu 

dikerahkan seolah telah disedot sirna oleh jaring api 

biru! 

"Celaka! Kalau tidak ada yang menolong, Lakasipo 

pasti akan menemui ajal di tangan makhluk durjana 

itu!"


Luhsantini meratap tegang dalam hatinya. Saat itu 

Hantu Langit Terjungkir yang telah melihat bahaya 

yang mengancam Lakasipo dengan satu gerakan 

kilat melesat ke arah Hantu Bara Kaliatus sambil 

tendangkan kaki kanannya. Selarik gelombang angin 

yang memancarkan hawa dingin serta sinar kebiruan 

menyambar. Semula Hantu Bara Kaliatus mengang -

gap enteng dan tetap teruskan pukulannya sambil 

menggeser kedudukannya sedikit Tapi ketika 

dirasakannya tubuhnya disengat hawa dingin luar 

biasa dan lututnya menjadi goyah kagetlah dia. 

Dengan cepat Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya 

lalu menyambar Lidah api menggebubu. Tiga bara 

menyala melesat ke arah kepala, dada dan perut 

Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang berdiri kaki ke 

atas tangan ke bawah ini melompat ke udara. Sambil 

meniup, tubuhnya membuat gerakan jungkir balik 

demikian rupa hingga dua serangan bara api 

sanggup dikelitnya. 

"Cesss!" 

Bara api ke tiga dipukul mental dengan tangan kiri. 

Tapi akibatnya tangan kiri Hantu Langit Terjungkir 

luka hangus, kulitnya terkelupas. Kobaran api yang 

menggebubu keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus 

dihadang oleh angin biru yang melesat dari mulut 

Hantu Langit Terjungkir. Bentrokan hebat tidak 

terhindar lagi. Hantu Bara Kaliatus menjerit dan 

terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Dari 

mulutnya membusa darah. Hantu Langit Terjungkir 

sendiri cidera tak katah parahnya. Kumis dan 

janggutnya terbakar hangus sedang daging sekitar 

mulutnya tampak menggembung merah. Didahului


oleh bentakan marah Hantu Langit Terjungkir 

menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus. 

"Hebat juga makhluk celaka itu!" membatin sang 

Junjungan. 

"Aku sengaja menambah hawa sakti kedalam tubuh 

Hantu Bara Kaliatus, ternyata dia masih bisa 

menciderai cucu muridku itu!" 

Sekali berkelebat makhluk jerangkong itu telah 

memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir. Entah 

dari mana dia mengambilnya tahu-tahu sebuah 

tongkat terbuat dari tulang putih telah tergenggam di 

tangan kanannya. Ujung tongkat itu dimasukkannya 

ke salah satu matanya yang hanya merupakan 

rongga yang memancarkan sinar merah. Tiba-tiba 

menyembur kobaran api menjilat ujung tongkat. 

"Wusss!" 

Di ujung tongkat kini kelihatan ada api menyala! 

Barisan gigi-gigi sang Junjungan sunggingkan 

seringai aneh. Dia hantamkan tongkatnya ke depan. 

”wuuuttttt” 

Satu lingkaran api luar biasa panasnya membuntal 

ke arah Hantu Langit Terjungkir. Yang diserang tidak 

tinggal diam. Dua kaki digerakkan melancarkan 

serangan balasan. Sementara tangan kanan 

menyelinap melancarkan pukulan ke arah badan 

tongkat tulang. 

Lingkaran api yang hendak menggulung Hantu 

Langit Terjungkir serta merta buyar begitu terkena 

sapuan angin dingin biru yang melesat keluar dari 

dua kaki Hantu Langit Terjungkir. Melihat dia mampu 

menghancurkan serangan lawan Hantu Langit


Terjungkir jadi bersemangat. Tenaga dalamnya 

dilipat gandakan ke arah tangan yang tengah 

berusaha memukul tongkat tulang. 

Sang Junjungan putar tangan kanannya. Tongkat 

tulang yang ujungnya ada apinya berputar secara 

aneh. 

"Kraaakk!" 

Hantu Langit Terjungkir berhasil memukul tongkat 

tulang itu lalu terdengar suara benda patah. 

Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras 

dari mulut Hantu Langit Terjungkir. Ternyata tulang 

lengan kanan kakek ini telah remuk terkena sabetan 

tongkat lawan! 

Karena tangannya itu juga dipergunakan sebagai 

kaki maka cidera yang dialami Hantu Langit 

Terjungkir tentu saja sangat membahayakan dirinya. 

Menyadari hal ini Hantu Langit Terjungkir segera 

lesatkan diri menjauhi lawan. 

Sang Junjungan tertawa mengekeh. Tangan 

kanannya yang memegang tongkat tulang putih 

digerakkan. 

Api di ujung tongkat menjilat panjang. Bergulung 

membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir. Kakek 

yang sedang dilanda kesakitan irii dan kini hanya 

mampu berdiri dengan tangan kiri menjadi 

kelabakan. 

Dia bergerak cepat kian kemari untuk hindari diri dari 

sundutan api. Sambil menghindar dia kerahkan 

hawa sakti yang memancarkan hawa dingin biru. 

Namun sambaran gulungan api demikian hebatnya 

hingga dia terkurung rapat. Kemanapun dia


berusaha menyingkir kobaran api datang 

membuntal. Sebagian rambut dan pakaiannya sudah 

ada yang kena disulut api! 

Luhsantini yang melihat kejadian ini jadi serba 

bingung. Dia tidak mampu menolong. Lagi pula 

kalaupun dia bisa memberikan bantuan,siapa yang 

harus ditolongnya dan apa yang bisa dilakukannya. 

Karena saat itu Lakasipo juga sedang terancam 

nyawanya. 

Kepalanya siap menjadi sasaran tangan kiri Hantu 

Bara Kaliatus yang terbuat dari logam keras penuh 

tonjolan-tonjolan runcing! Akhirnya dari dalam jala 

Luhsantini hanya bisa berteriak memohon. 

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan bunuh Lakasipo! Aku 

mohon! Jangan bunuh dia!" 

"Ha ... ha...!" Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak 

"Kau takut kehilangan gendakmu ini! Lihat! Buka 

matamu lebar-lebar Luhsantini! Lihat bagaimana 

kekasih gelapmu ini menemui kematian!" 

Tangan kiri Hantu Bara Kaliatus laksana pentungan 

besi menghantam ke batok kepala Lakasipo 

Sementara itu dalam keadaan terdesak hebat, 

pakaian dan tubuhnya dikobari api yang disulut 

tongkat sang Junjungan, Hantu Langit Terjungkir 

tidak perdulikan lagi keselamatan dirinya. Melihat 

bagaimana Lakasipo sesaat lagi akan menemui ajal 

secara mengerikan di tangan Hantu Bara Kaliatus 

maka kakek ini cepat berteriak keras. 

"Latandai! Jangan bunuh Lakasipo! Dia saudara 

kandungmu!"


TIGA


SEANDAINYA ada petir menyambar di depan 

hidungnya saat itu mungkin tidak demikian hebat kejut 

Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. 

Gerakan tangan kirinya hendak menghabisi Lakasipo 

serta merta tertahan. Dua matanya mendelik besar 

memandangi Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada 

Hantu Langit Terjungkir. 

Yang terkejut bukan cuma Hantu Bara Kaliatus. 

Lakasipo yang sebelumnya sudah pasrah menghadapi 

kemalian tersentak kaget, memandang pada Hantu 

Bara Kaliatus lalu menoleh pada Hantu Langit 

Terjungkir. 

Di dalam jaring Luhsantini tekapkan salah satu 

tangannya ke mulut, menahan seruan kaget yang 

hampir meluncur dari mulutnya. 

"Hantu Bara Kaliatus saudara kandung Lakasipo? 

Bagaimana mungkin?!" 

Luhsantini melihat Hantu Langit Terjungkir dongakkan 

kepala ke langit Dua matanya terpejam. Mulutnya 

berkomat kamit. Orang tua itu seperti tengah berdoa. 

"Jangan-jangan orang tua itu benar-benar miring 

otaknya!" pikir Luhsantini. 

Sang Junjungan termasuk orang yang ikut terkejut. 

Walau keterkejutan itu tidak terlihat pada muka 

tengkoraknya, gerakan tertahan dari tangan kanannya


yang memegang tongkat tulang berapi jelas mem 

perlihatkan hal itu. Namun makhluk ini cepat kuasai diri. 

Dia berteriak keras. 

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan dengar ucapan tua 

bangka gila yang sebentar lagi akan gosong dimakan 

api tongkatku! Bunuh Lakasipo! Cepat! Dia bukan 

saudaramu! Jangan kau kena ditipu! Bunuh Lakasipo!" 

"Jangan! Latandai! Jangan bunuh Lakasipo! Demi para 

Dewa! Aku bersumpah! Lakasipo benar-benar saudara 

kandungmu!" teriak Hantu Langit Terjungkir. 

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan dengarkan tua bangka 

gila ini!" sang Junjungan kembali berteriak lalu 

"bukkk!" 

kaki kanannya ditendangkan ke perut Hantu Langit 

Terjungkir. Kakek yang pakaiannya telah dimangsa api 

ini terpental satu tombak, terguling-guling di tanah. 

Makhluk muka tengkorak cepat mengejar. Pada saat 

tubuh Hantu Langit Terjungkir berhenti berguling dia 

tusukkan ujung tongkat berapinya ke leher si kakek! 

Sementara itu untuk sesaat Hantu Bara Kaliatus masih 

tertegun dalan keterkejutannya. Namun di lain kejap 

begitu dendam kesumat kembali melanda dirinya, 

apalagi mendengar teriakan sang Junjungan berulang 

kali, tanpa ragu dia teruskan hantaman tangan kirinya 

yang terbuat dari besi biru ke kepala Lakasipo. 

Hanya tinggal sejengkal lagi tangan besi itu akan 

merengkahkan kepala Lakasipo tiba-tiba ada sebuah 

benda biru melesat dari atas. Cepat sekali benda ini 

menggulung jala api biru lalu menariknya ke udara. 

Akibatnya hantaman Hantu Bara Kaliatus hanya 

mengenai tempat kosong. Marah sekali Hantu Bara


Kaliatus mendongak ke atas untuk melihat siapa 

kiranya yang telah meyelamatkan Lakasipo. Tangan 

kanannya siap melepaskan pukulan Selusin Bianglala 

Hitam. Begitu dia melihat siapa di atas sana 

menggelegarlah bentakan Hantu Bara Kaliatus. 

"Peri Angsa Putih! Peri jahanam! Lagi-lagi kau 

mencampuri urusanku! Aku tahu kau menaruh hati 

pada manusia satu ini! Jangan harap kau bakal 

mendapatkannya hidup-hidup!" Habis berteriak 

penuh marah begitu Hantu Bara Kaliatus pukulkan 

tangan kanannya.Masih kurang puas dia barengi 

serangan tangan itu dengan semburan dua buah 

bara api! Selusin sinar hitam berkiblat menyambar 

ke arah sosok Lakasipo yang berada dalam jaring 

api biru, tergantung-gantung di udara. lnilah pukulan 

ganas bernama Selusin Bianglala Hitam. Dengan 

pukulan inilah puluhan tahun lalu Hantu Bara 

Kaliatus mencelakai anaknya yang saat itu masih 

seorang bayi. (Baca Episode berjudul Hantu Bara 

Kaliatus) 

Namun pukulan sakti serta semburan dua bara api 

tidak mampu mengenai Lakasipo karena jala api biru 

di dalam mana Lakasipo berada dan tergantung 

telah lebih dulu ditarik tinggi ke udara. 

Di atas sana, Peri Angsa Putih yang duduk di atas 

angsa putih melayang berputar dua kali lalu 

turunkan Lakasipo dl satu tempat yang dianggapnya 

aman. 

Tidak berhasil menyerang Peri Angsa Putih, Hantu 

Bara Kaliatus tumpahkan amarahnya pada


Luhsantini. Sekali menyergap dia langsung 

hamburkan lima bara api ke arah bekas istrinya itu. 

Luhsantini keluarkan jeritan keras. Jeritannya ini bukan 

sepenuhnya jerit ketakutan tapi lebih banyak 

merupakan jerit penyesalan karena belum sempat 

membalaskan sakit hati dendam kesumat terhadap 

lelaki itu, kini justru dia sendiri yang bakal menemui 

kematian secara mengenaskan! 

Sambil menjerit Luhsantini cepat jatuhkan diri. Dia 

berhasil menghindarkan dua sambaran bara api, 

namun tiga bara api lainnya yang melesat ke arah dada 

dan perutnya, tak sanggup dikelit apalagi ditangkis! 

Sebelum ajal berpantang mati. ltulah yang terjadi 

dengan Luhsantini. Sesaat lagi tiga Bara Setan 

Penghancur Jagat yang disemburkan Hantu Bara 

Kaliatus akan menembus tubuh perempuan itu, tiba-

tiba serangkum sambaran angin melanda sosok Hantu 

Bara Kaliatus. Demikian hebatnya sambaran ini hingga 

membuat Hantu Bara Kaliatus terpental dua tombak 

lalu terjengkang di tanah. Ketika dia memperhatikan 

keadaan sekelilingnya, terkejutlah dia. Tanah di tempat 

mana dia barusan jatuh terbanting melesak sampai 

setengah jengkal. Tapi dia sendiri tidak merasa sakit. 

Tidak ada bagian tubuhnya yang cidera. Hantu Bara 

Kaliatus cepat bangkit berdiri. Memandang ke depan 

kemudian dia melihat seorang gadis tinggi semampai, 

berparas cantik jelita tegak sambil tersenyum dingin 

padanya. Di keningnya melekat sekuntum bunga 

tanjung kuning. Jelas si baju biru bukan lain adalah 

Luhcinta.


"Aku rasa-rasa pernah melihat dia di mana. Jika tadi 

dia berniat jahat aku pasti sudah cidera berat," 

membatin Hantu Bara Kaliatus. 

"Kerabat berpakaian biru, apa hubunganmu dengan 

perempuan laknat bernama Luhsantini itu hingga mau-

mauan menolongnya? Lekas terangkan siapa dirimu 

adanya!" 

Luhcinta kembali tersenyum. "Semua insan di dunia ini 

dilahirkan dari dan di dalam kasih sayang. Mengapa 

kau berpikiran dangkal membunuh seorang perempuan 

yang sesungguhnya adalah bagian dari kasih sayang 

itu sendiri?" 

Sesaat Hantu Bara Kaliatus jadi terkesima mendengar 

kata-kata gadis cantik berpakaian biru itu. Namun 

kemudian amarahnya timbul kembali. 

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu! Tapi ingin 

kukatakan, kau tidak tahu siapa adanya perempuan 

yang barusan kau tolong itu! Dia adalah seorang istri 

sesat, pengkhianat suami! Kabur dan menjadi gendak 

lelaki bernama Lakasipo yang barusan ditolong oleh 

Peri celaka itu!" Hantu Bara Kaliatus menunjuk ke arah 

kejauhan di mana Peri Angsa Putih menurunkan sosok 

Lakasipo. 

"Kemarahan bisa membuat seseorang sesat bicara. 

Dendam kesumat bisa membuat insan melupakan 

kasih. Hasutan bisa menimbulkan bencana. Kalau 

benar perempuan itu adalah seorang istri sesat, dan 

kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan suaminya 

sebelumnya?" 

Air muka Hantu Bara Kaliatus berubah, tegang 

membesi. Rahangnya menggembung dan gerahamnya 

mengeluarkan suara bergemeletak. Untuk beberapa


saat lamanya dia tak bisa membuka mulut dan hanya 

memandang pada gadis baju biru dengan mendelik 

besar. 

"Wahai, kau tidak menjawab, berarti mungkin kaulah 

bekas suaminya. Benar begitu?" 

Hantu Bara Kaliatus masih membungkam. Lalu dia 

maju satu langkah. Sanbil menuding tepat-tepat pada 

gadis baju biru dia bekata. 

"Lekas kau menyingkir dari tempat ini! Jangan mengira 

aku tidak tega membuatmu celaka!" 

"Hawa amarah masih menguasai dirimu. Padahal aku 

yakin di lubuk hatimu masih ada rasa kasihan. Baik, 

aku akan pergi dari sini. Tapi aku akan membawa serta 

perempuan dalam jala itu!" 

"Kalau begitu biar kau sekalian kupasung dalam jala 

api biru!" Hantu Bara Kaliatus lalu pukulkan tangan 

kirinya. Maka dari tonjolan-tonjolan yang ada di tangan 

besinya melesat keluar larikan-larikan sinar biru 

menyala. Larikan-larikan sinar yang panas luar biasa ini 

bergerakmembentuk jaring lalu menebar kearah gadis 

berpakaian biru! 

"Wahai, jaringmu sungguh hebat Tak pernah kulihat 

ilmu langka ini sebelumnya. Sayang kau miliki dan kau 

pergunakan untuk perbuatan sesat!" 

Habis berkata begitu gadis baju biru ini angkat dua 

tangannya ke atas lalu didorongkan. Dorongannya 

perlahan saja. Sambil mendorong dua tumitnya 

berjingkat. 

Gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari. 

Namun kekuatan yang ketuar dari dorongan tangan itu


sungguh luar biasa. Jaring Api lblis Penjaring Roh yang 

hendak melibas dirinya terangkat ke atas. Si gadis 

gerakkan lagi dua tangannya. Seperti mengikuti 

gerakan dua tangan si gadis jaring itu melayang ke kiri 

lalu di satu tempat diturunkan ke tanah. 

Kejut Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang. Jika 

gadis itu mampu mengendalikan jala Api lblis Penjaring 

Roh, dan jika dia mau, bukan mustahil dia bisa 

menjebloskan dirinya ke dalam jala miliknya sendiri! 

Walau bisa berpikir seperti itu namun Hantu Bara 

Kaliatus masih jauh dari rasa sadar. 

"Kau punya ilmu! Aku mau lihat apakah kau bisa 

menerima ini!" Didahului bentakan keras Hantu Bara 

Kaliatus semburkan lima bara menyala. Dua tangannya 

ikut bekerja. Melepas serangan Selusin Bianglala 

Hitam. 

Dua puluh empat larik sinar hitam dengan dahsyatnya 

menghantam ke arah gadis berpakaian biru. Melihat 

serangan luar biasa begitu rupa, Luhcinta tak mau 

berlaku ayal. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya 

melesat miring ke atas. Lima bara menyala lewat di sisi 

kiri kanan. Bersamaan dengan itu dua tangannya 

dipukulkan ke depan. Tak ada terdengar deru angin, 

takada kelihatan cahaya berwarna. Namun dua 

serangan tangan kiri kanan Hantu Bara Kaliatus yang 

memancarkan dua puluh empat larikan kelihatan 

tertahan di udara. Si gadis tukikkan dua tangannya ke 

bawah ke arah tanah. Dua puluh empat larikan sinar 

hitam ikut luruh kearah bawah dan menghujam amblas 

di tanah. Meninggalkan kepulan asap hitam setinggi 

dua tombak!

Hantu Bara Kaliatus berteriak marah. Dia kerahkan 

seluruh tenaga dalam yang dimilikinya lalu tumit


kirinya dihentakkan ke tanah hingga kakinya 

melesak sampai satu jengkal. Akibat hentakan ini 

secara aneh dua dari dua puluh empat larikan hitam 

Selusin Bianglala Hitam yang telah dilumpuhkan dan 

luruh ke tanah, tiba-tiba melesat ke atas lalu 

menderu kearah Luhcinta. 

Tidakmenyangka akan kejadian seperti itu si gadis 

terlambat menghindar. 

"Wusss!" 

"Wusss!" 

Dua larik sinar hitam menyambar tubuh Luhcinta di 

bagian pinggul dan bahu sebelah kanan. Si gadis 

terpekik kaget Mukanya langsung pucat Pakaiannya 

terbakar pada dua tempat yang barusan dilanda 

serangan. Dia cepat menepuk-nepuk memadamkan 

api. Begitu api padam, dari robekan hangus 

pakaiannya di dua tempat tersembul kulitnya yang 

seharusnya putih mulus itu kini kelihatan berbercak 

kehitam-hitaman. 

Masih untung kulitnya tidak terluka sampai ke dalam. 

Walau orang sudah menciderai dirinya namun si 

gadis masih bisa berucap. "Sayang .... Sungguh 

sayang. Lagi-lagi kepandaian dan limu tinggi 

dipergunakan dalam kesesatan. Hantu Bara 

Kaliatus, kau perlu istirahat Kau perlu memicingkan 

mata barang beberapa jenak agar otak dan hatimu 

bersih." 

Selesai mengeluarkan ucapan itu si gadis mengusap 

mukanya sendiri lalu meniup ke arah Hantu Bara 

Kaliatus.


EMPAT


GADlS baju biru, Aku ingat! Kau bernama Luhcinta!" 

tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus berteriak. 

"llmu kepandaianmu boleh tinggi tapi jangan harap kau 

bisa menenung diriku!" 

Habis berkata begiti Hantu Bara Kaliatus siap hendak 

menghantam kembali. Tapi tiba-tiba dia merasakan 

matanya menjadi berat. Kantuk yang amat sangat 

menyerangnya tak tertahankan. Terhuyung-huyung dia 

melangkah mendekati sebatang pohon. Sebelum 

sampai ke pohon itu tubuhnya sudah limbung lalu 

perlahan-lahan jatuh ke tanah. 

"Gadis kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap 

cucu muridku?!" 

Satu suara membentak. Satu bayangan hitam 

berkelebat. ltulah sosok sang Junjungan yang saat itu 

sebenarnya sudah siap untuk kabur dari tempat itu. 

Tapi melihat Hantu Sara Kaliatus jatuh tergeletak di 

tanah dan tak bergerak lagi dia menyempatkan diri 

untuk menyelidiki. Gadis yang dibentak tidak segera 

menjawab karena keburu tergagau ketika melihat siapa 

dan bagaimana keadaan orang yang barusan 

membentaknya. 

"Kau! Waktu Api lbiis Penjaring Roh menyerangmu, 

kau menangkis dan mematahkannya dengan llmu 

Tangan Dewa Merajam Bumi! Lalu waktu dua puluh 

empat sinar hitam pukulan Selusin BiancJala Hitam 

menggempurmu kau menangkis dengan jurus pukulan


bernama Kasih Mendorong Bumi! Lekas katakan apa 

hubunganmu dengan seorang nenek sakti berjuluk 

Hantu Lembah Laekatakhijau?!" 

Walau rasa terkejut mendengar si muka tengkorak 

menyebut nama gurunya bahkan mengetahui jurus 

jurus ilmu serangan sakti yang tadi dilancarkannya 

menghadapi serangan Hantu Bara Kaliatus, namun 

Luhcinta layangkan senyum. Dengan demikian dia 

berhasil menutupi perubahan di wajahnya yang jelita. 

"Makhluk bermuka tengkorak, matamu sungguh tajam 

pertanda pengalamanmu sangat luas. Sayang aku 

tidak kenal siapa kau adanya. Tadi kau berniat hendak 

pergi dari sini. Mengapa tidak diteruskan?" 

Sang Junjungan merasa jengkel karena pertanyaannya 

tidak dijawab. Namun dia tak mau menghabiskan waktu 

bicara berpanjang-panjang. Dia berpaling pada Hantu 

Bara Kaliatus. Makhluk Jerangkong berjubah hitam itu 

merasa heran karena dia melihat cucu muridnya itu 

mati tidak, pingsan juga tidak. Tapi tertidur lelap! 

"Aku menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi. 

Walau sakit hati, hari ini sebaiknya aku mengalah!" 

membatin sang Junjungan. Lalu dengan tongkat tulang 

putih yang tak kelihatan lagi nyala api di ujungnya 

makhluk jerangkong ini menuding kearah Luhcinta. 

"Hari ini untuk pertama kali aku melihatmu. Jika kita 

bertemu lagi di kali ke dua mungkin urusan tidak 

semudah ini bagimu! Kecantikan dan kebagusan 

tubuhmu tidak meluruhkan hatiku untuk tidak 

membakarmu hidup- hidup!" 

Habis berkata begitu makhluk jerangkong sorongkan 

ujung tongkat tulangnya ke kuduk pakaian Hantu


Bara Kaliatus. Sekali dia gerakkan tangannya maka 

sosok besar Hantu Bara Kaliatus jatuh tertelungkup 

di atas bahu kirinya. Saat itu juga ada orang 

berteriak. 

"Mahkluk jerangkong! Jangan kau berani membawa 

orang itu. Tinggalkan dia di tempat ini!" 

Yang berteriak ternyata adalah Hantu Langit 

Terjungkir. Saat itu dia terduduk di tanah sambil 

pegangi lengannya yang patah. Luka-luka bakar 

memenuhi sebagian tubuhnya. Ketika Luhcinta 

memandang ke arah si kakek kagetlah gadis ini. 

Karena disamping Hantu Bara Kaliatus saat itu 

berdiri seorang berjubah hitam yang mukanya 

tertutup oleh tanah liat dan diberi jelaga hitam. 

"Orang itu. Dia muncul kembali ..." kata Luhcinta 

dalam hati. 

"Mungkin sekali ini aku terpaksa bicara keras 

terhadapnya. Tapi apakah kasih memang mengajar 

kan aku harus berlaku seperti itu?!" 

Sang Junjungan tidak perdulikan teriakan Hantu 

Bara Kaliatus. Dengan cepat dia berkelebat hendak 

tinggalkan tempat itu. Tapi Luhcinta cepat meng 

hadangnya. 

"Menyingkirlah atau kugebuk mukamu yang cantik 

sampai cacat!" 

Mahkluk jerangkong mengancam dan angkat tongkat 

tulang di tangan kirinya ke atas, siap dipukulkan ke 

wajah Luhcinta. Si gadis tetap tenang. Malah 

berkata. 

"Kau dengar orang meminta. Mengapa sosok yang 

kau panggul itu tidak segera kau turunkan saja? 

Perlu apa berjalan dengan beban seberat itu?"


Makhluk jerangkong menyeringai. Dia melirik ke arah 

orang bermuka hitam di sebelah si gadis. Agaknya 

bukan ucapan Luhcinta tadi yang jadi bahan 

pertimbangannya. 

"Ucapanmu yang terakhir mungkin benar. Kau 

inginkan orang ini silahkan ambil!" Sang Junjungan 

gerakkan bahu kirinya. Sosok Hantu Bara Kaliatus 

terlempar ke arah Luhcinta. Selagi gadis ini 

kebingungan apakah akan menanggapi sosok Hantu 

Bara Kaliatus atau membiarkannya saja jatuh 

bergedebuk di tanah, makhluk jerangkong secepat 

kilat menggebukkan tongkat putihnya ke wajah si 

gadis! 

Mendapat serangan seperti itu Luhcinta segera 

gerakkan dua tangannya kedepan. Bersamaan 

dengan itu dia sambut sosok Hantu Bara Kaliatus 

dengan bahu kirinya. Begitu bahunya digoyangkan 

maka tubuh Hantu Bara Kaliatus terjatuh ke depan. 

Dengan kaki kanannya Luhcinta sambut tubuh itu 

lalu sambil meneruskan gerakan dua tangannya, 

tubuh Hantu Bara Kaliatus diletakkannya di tanah! 

Makhluk jerangkong berseru kaget ketika tahu-tahu 

dapatkan tongkat tulang putihnya tidak ada lagi di 

tangannya. Memandang ke depan dilihatnya benda 

itu sudah berada dalam genggaman gadis berbaju 

biru! 

"Dia mampu meiakukan dua gerakan sekaligus! 

Menanggapi sosok yang kulemparkan dan meram-

pas tongkat tulangku!" Si muka tengkorak berjubah 

hitam membatin lalu lagi-lagi dia melirik ke arah 

orang bermuka hitam.


"Lebih baik aku cari selamat! Perduli amat dengan 

Latandai!" Tanpa banyak bicara lagi sang Junjungan 

segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk 

meminta tongkatnya kembalipun dia tidak ingat. 

Sebaliknya Luhcinta yang memang tidak 

memerlukan tongkat tersebut segera melemparkan 

nya ke arah makhluk jerangkong. 

"Wuuuttt.. sett!" 

Tongkat tulang itu menyusup di sisi kiri jubah hitam 

sang Junjungan, terus menembus sampai ke bagian 

kanan. Akibatnya gerakan larinya itu terjegal 

terserimpung. Tak ampun lagi dia tersungkur tung-

gang langgang. Muka tengkoraknya berkelukuran di 

tanah. Sambil menyumpah panjang pendek orang ini 

bangkit berdiri lalu tinggalkan tempat itu diiringi 

suara tawa cekikikan Luhcinta. 

"Luhcinta, aku perlu bicara dengan Hantu Bara 

Kaliatus. Harap kau buat dia bangun dari tidurnya!" 

Ucapan Hantu Langit Terjungkir itu membuat 

Luhcinta hentikan tawanya. Gadis ini menatap ke 

arah Hantu Bara Kaliatus lalu usap mukanya dua kali 

dan meniup. Saat itu juga sosok Hantu Bara Kaliatus 

tampak bergerak Dia bangkit berdiri sambil 

memandang berkeliling, berpikir-pikir dan berusaha 

mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Dia 

dapatkan sang Junjungan tak ada lagi di tempat itu. 

Malah di samping Luhcinta kini berdiri orang yang 

mukanya dilapisi tanah liat hitam, dikenal dengan 

julukan Si Penolong Budiman. Jauh di sebelah sana 

Peri Angsa Putih kelihatan tegak di samping 

Lakasipo. Terpincang-pincang karena kini hanya


pergunakan satu tangan sebagai kaki, Hantu Langit 

Terjungkir mendekati Hantu Bara Kaliatus. 

"Latandai, ikuti aku ke tempat Lakasipo berada. Kita 

bertiga perlu bicara," berkata Hantu Langit 

Terjungkir. Dia memandang pada Luhsantini dan 

Luhcinta lalu juga pada si muka tanah liat 

"Tidak ada salahnya kalian turut mendengar apa 

yang hendak kami bicarakan. Kelak kalian semua 

bisa menjadi saksi dari satu kenyataan hidup yang 

gelap dan selama ini tersembunyi seolah terpuruk di 

kerak bumi." 

"Tua bangka buruk! Aku tidak ada urusan 

denganmu!" Hantu Bara Kaliatus menjawab. Tanpa 

banyak bicara dia segera hendak berkelebat pergi. 

Hantu Langit Terjungkir cepat menghalangi. 

"Latandai, ini bukan urusan main-main ...." 

"Kau menyebut begitu! Kau tua bangka gila! Kalian 

di sini gila semua!" Saking marahnya karena merasa 

dihalangi Hantu Bara Kaliatus lalu tendangkan kaki 

kanannya ke bawah. Karena orang tua ini tegak 

dengan kaki ke atas kepala ke bawah maka dengan 

sendirinya tendangan itu mengarah ke kepalanya. 

Dalam keadaan tangan kanan patah dan tubuh 

penuh luka, Hantu Langit Terjungkir tidak mampu 

berbuat banyak. Gerakannya menghindar terlalu 

lambat Kaki kanan Hantu Bara Kaliatusmeluncur 

deras dan ganas ke kepalanya. 

Orang berjubah hitam yang wajahnya dilapisi tanah 

liat hitam cepat hendak bergerak berikan perto 

longan. Tapi Luhcinta mendahului dengan satu 

teriakan. .


"Latandai! Jangan berlaku bodoh! Mungkin orang tua 

yang hendak kau bunuh itu adalah ayah kandungmu 

sendiri!" Kaget Hantu Bara Kaliatus bukan alang 

kepalang. Gerakannya menendang jadi tertahan. Dia 

membeliak besar ke arah Luhcinta. 

"Jangan kau berani mengada-ada! Apa maksud 

ucapanmu tadi?!" bentak Hantu Bara Kaliatus. 

"Kalau kau ingin tahu jawabnya, penuhi permintaan 

orang tua itu. Dia mengajakmu bicara dengan 

Lakasipo. Antara kalian agaknya ada pertalian darah 

yang bukan main-main ...." 

"Apapun yang ada di balik semua kegilaan ini aku 

tidak akan pernah mengakui bangsat tua ini adalah 

ayahku! Juga tidak akan pernah mengakui Lakasipo 

adalah saudaraku!" 

Habis berkata begitu Hantu Bara Kaliatus meludah 

ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. 

"Latandai!" seru Hantu Langit Terjungkir 

memanggil.Terpincang-pincang jatuh bangun dia 

berusaha mengejar Hantu Bara Kaliatus tetapi 

Luhcinta cepat mencegahnya. 

"Kek, sia-sia saat ini kau memaksa bicara dengan 

Hantu Bara Kaliatus. Hati dan pikirannya dibungkus 

oleh perasaan sombong serta hawa amarah yang 

membuat dia tidak mau mengerti perasaan orang 

lain...." 

"Aku ...." Hantu Langit Terjungkir gulingkan badan 

nya ke bawah. Dia tak kuasa melanjutkan 

ucapannya karena tenggorokannya keburu diganjal 

oleh sesenggukan. Setengah meratap orang tua ini 

berucap.


"Aku tidak menyalahkan dirinya. Kenyataan ini sung 

guh berat untuk diterima oleh siapapun ...." 

"Kek," kata Luhcinta pula. 

"Mungkin aku telah mengeluarkan ucapan salah. 

Tadi aku mengatakan kau mungkin adalah ayahnya 

sendiri. Agaknya itu yang membuat Hantu Bara 

Kaliatus marah besar. Aku tidak mengerti mengapa 

sampai bicara begitu. Aku mohon maafmu. Tapi 

terus terang seperti ada satu alur perasaan dalam 

hatiku yang tiba-tiba menyatu dengan alur perasaan 

yang ada dalam dirimu ... ;" 

"Kau tidak bersalah wahai gadis bernama Luhcinta. 

Latandai, seperti Lakasipo adalah anakku. Anak 

kandung darah dagingku. Aku yakin benar hal itu. 

Tanda yang ada di lengan Latandai, juga yang 

terdapat di lengan Lakasipo tak dapat dipungkiri ...." 

Air mata bercucuran di pipi orang tua itu. 

"Kek, untuk sementara biar kau menenangkan diri. 

Tanganmu cidera. Sekujur tubuhmu penuh luka 

bakar. Aku akan berusaha menolongmu sebisaku ..." 

"Terima kasih. Kau anak baik. Hatimu tutus dan 

penuh kasih. Kalau saja aku punya anak perempuan 

atau menantu sepertimu, hidupku tentu penuh 

bahagia. Tapi aku ingin kau membawa aku lebih 

dulu menemui Lakasipo di bukit kecil sana ...." 

Hantu Langit Terjungkir menunjuk ke arah kejauhan 

di mana tadi Peri Angsa Putih menurunkan sosok 

Lakasipo. Tapi ketika semua orang memandang 

kesana mereka jadi terkejut Peri Angsa Putih dan 

juga Lakasipo tak ada lagi di tempat itu.


"Anak itu .... Kemana dia pergi. Dia tak mungkin 

berjalan sendiri. Ada seseorang yang membawanya. 

Aku masih belum berkesempatan untuk menerang 

kan padanya .... Lakasipo anakku ...." Kembali Hantu 

Langit Terjungkir menangis terisak-isak. 

"Kek, biar aku mendukungmu, membawa ke tempat 

lebih baik untuk dirawat," orang berjubah hitam 

bermuka tanah liat tiba-tiba mendekat lalu 

mendukung si kakek di bahu kirinya. 

"Tak jauh dari sini ada sebuah telaga di kaki bukit 

kecil. Untuk sementara kurasa itu tempat yang baik 

bagimu. 

"Si muka tanah liat berpaling pada Luhcinta. 

"Aku mendukung kakek ini, harap kau menolong 

perempuan di dalam jaring ...." 

"Orang bermuka aneh, aku tahu tadi kau yang 

menolong aku dari bahaya maut tangan ganas 

makhluk muka tengkorak itu. Dia begitu ketakutan 

melihat Pukulan Menebar Budi yang kau lepaskan 

untuk menyelamatkan nyawaku. Pukulan itu 

menandakan kau adalah yang selama ini dijuluki Si 

Penolong Budiman. Tapi wahai, siapakah kau 

sebenarnya?" 

Dibalik tanah liat yang membungkus wajahnya si 

jubah hitam tersenyum rawan. Dengan suara 

perlahan dia berkata. 

"Kita orang-orang bernasib sama. Derita gelap 

kehidupan kita sama beratnya. Rahasia yang 

membalut dirimu telah mulai terungkap. Sedang aku 

entah kapan mendapat berkah para Dewa untuk 

dapat pula menyingkapnya ...."


Di ujung ucapannya si muka tanah liat melirik pada 

Luhcinta. Luhcinta yang dilirik jadi berdebar. Dalam 

hati dia membatin. "betapapun aku tidak suka 

diikutinya terus menerus tapi mungkin dia memang 

menyimpan satu rahasia besar yang ada sangkut 

pautnya dengan diriku. Bagaimana aku harus 

bertindak ... ?" 

"Penolong Budiman, tidak kusangka kau menyem 

bunyikan satu ganjalan hati yang berat dibalik 

wajahmu yang terbungkus tanah liat itu. Aku tahu 

diri. Aku tak akan menanyakan apa-apa padamu. 

Eh, mengapa kau mendadak diam saja? Katamu kau 

hendak membawaku ke satu telaga kecil ...." 

"Ah, maafkan diriku. Kita berangkat sekarang juga 

Kek," kata si muka tanah liat. Dia mulai bergerak 

melangkah. Tiba-tiba langkahnya tertahan. 

"Ada apalagi? Kau mendadak hentikan langkah ..." 

tanya Hantu Langit Terjungkir. 

"Gadis berpakaian serba biru itu. Dia tak ada lagi di 

sini. Perempuan di dalam jala juga ikut lenyap!" 

jawab Si Penolog Budiman. 

"Hemm ... aku bisa membaca. Mudah-mudahan apa 

yang terbaca tidak keliru. Agaknya gadis itu sengaja 

menjauhkan diri darimu. Apakah ini ada sangkut 

pautnya dengan rahasia hidupmu?" 

Si Penolong Budiman menarik nafasdalam. Tanpa 

menjawab pertanyaan si kakek dia segera 

melangkah tinggalkan tempat itu.


LIMA


PENDEKAR 212 Wiro Sableng tidak bisa menduga 

kemana sebenarnya danapa tujuan Hantu Santet 

Laknat membawanya. Sebelumnya dukun jahat itu 

bicara baik-baik padanya seperti orang berhati mulia. 

Dia bicara ingin membalas budi karena Wiro pernah 

menyelamatkannya. Tapi siapa percaya makhluk 

seperti nenek satu ini. Yang menyantet dan 

membunuh orang seenaknya? Karena tak tahan 

berdiam diri dan rasa was-was Wiro akhirnya ajukan 

pertanyaan. 

"Nek, kau mau bawa aku kemana sebenarnya?" 

Hantu Santet Laknat gebuk pantat Wiro dengan 

tangan kirinya. "Sudah berapa kali kau bertanya. 

Tidak pernah aku melihat orang secerewet dirimu ini! 

Biasanya yang cerewet adalah nenek-nenek 

sepertiku ini! Masih muda kau sudah begini 

cerewetnya, apalagi nanti sudah jadi kakek! Hi ... hik 

... hik!" Mendapat jawaban seperti itu Wiro akhirnya 

hanya diam saja. Dia berusaha mengerahkan tenaga 

untuk memusnahkan kelumpuhan aneh yang 

menguasai dirinya. Tapi sia-sia saja. Rupanya Hantu 

Santet Laknat mengetahui apa yang dilakukan Wiro. 

Maka nenek ini berkata. 

"Kau boleh punya kesaktian setinggi langit sedalam 

samudera. Jangan harap kau bisa membebaskan 

diri dari ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot yang 

menguasai dirimu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta


Jawab menghabiskan waktu lima puluh tahun untuk 

menyakini iimu yang membuat orang kaku tegang 

tak berdaya seperti yang kau rasakan sekarang ini!" 

"Hantu Santet Laknat, kau telah mencuri kapak 

saktiku ...." Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 

212. 

"Sudah kubilang, aku tidak mencuri senjata itu. Aku 

mengambil semata-mata karena ingin merasa dekat 

denganmu ...." 

"Aku tak perduli apapun alasanmu. Kau bisa 

menyebutkan seribu alasan. Mana kapak itu 

sekarang?" 

"Kusimpan di balik jubah hitamku." 

"Serahkan padaku!" 

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya si nenek 

sambil terus berlari. 

"Senjata itu bisa menolong diriku dari luka dalam 

yang kuderita ...." 

"Kapakmu memang senjata luar biasa. Aku pernah 

mencobanya dan berhasii. Ketika diriku cidera berat 

dihantam lawan dan menderita luka dalam. Tapi luka 

dalam yang kau derita bukan cidera biasa! Kapak 

saktimu tak akan mampu menolong. Lagi pula jika 

kuserahkan padamu, apa kau bisa memegang 

senjata itu? Kau berada dalam keadaan lumpuh. 

Apa kau bisa mengalirkan tenaga dalam dan hawa 

sakti yang kau miliki?" 

"Berarti, seumur-umur aku akan berada dalam 

keadaan seperti ini?" Si nenek tertawa panjang. 

Wiro memaki dalam hati. Dalam keadaan seperti itu 

si nenek masih bisa tertawa. Kemudian didengarnya 

Hantu Santet Laknat berkata. "Pemuda tolol, kalau


aku ingin kau menderita sengsara seumur-umur, 

tidak akan aku membawamu saat ini ...." . 

"Tapi kau tidak mau memberitahu kemana kau 

membawa diriku ...." 

"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Hari mulai 

gelap. Kalau kau ajak bicara terus aku bisa lari 

menabrak pohon. Kalau kepalamu yang mendarat. di 

batang kayu lebih dulu, apa kau tidak celaka? Nanti 

kau menuduh diriku sengaja mencelakai dirimu ...." 

Wiro menggerendeng dalam hati. Dadanya men 

denyut sakit sekali. Tubuhnya saat demi saat terasa 

semakin lemah. Hantu Santet Laknat pegang 

pundak pemuda ini. 

"Tubuhmu mulai dingin. Racun tendangan Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai bekerja. Aku harus 

bertindak cepat ...." 

Si nenek percepat larinya. Baru berlalu beberapa 

saat tiba-tiba Wiro merasakan dadanya sesak. Dia 

membuka mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi 

dari mulutnya menghambur darah segar. Saat itu 

juga murid Eyang Sito Gendeng ini jatuh pingsan tak 

sadarkan diri lagi! 

"Celaka! Celaka!" kata Hantu Santet Laknat berulang 

kali. Dia percepat larinya. Dalam udara yang mulai 

gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang, 

berkelebat ke arah matahari tenggelam. Tujuannya 

adalah sebuah bukit kecil yang ditumbuhi berbagai 

jenis tumbuhan mengandung obat mujarab bagi 

penyembuhan luka dalam yang disertai racun. 

Di puncak bukit itu ternyata ada sebuah gubuk reot 

beratap daun kelapa kering. Di dalam gubuk


terdapat tiga batang pohon kelapa yang dipotong-

potong rata dan disusun demikian rupa membentuk 

pembaringan. Hantu Santet Laknat baringkan Wiro 

di atas batang-batang kelapa itu. Lalu dia mencari 

beberapa ranting kering, digabung jadi satu. Ujung 

ranting-ranting itu dilumasinya dengan hancuran 

sejenis daun. Ketika dibakar maka ujung ranting itu 

berubah menjadi obor. Walau hanya apinya kecil 

saja tapi sudah cukup untuk menerangi seluruh 

gubuk. 

Hantu Santet Laknat berlutut di samping sosok Wiro. 

Dengan cepat dibukanya baju pemuda ini. Muka 

burungnya berubah dan sepasang matanya yang 

aneh membeliak besar ketika melihat tanda kebiruan 

berbentuk kaki di dada kiri Wiro. Itu adalah tanda 

kaki bekas tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab. 

"Tendangan Hantu Racun Tujuh .... Tepat di arah 

jantung. Tidak mudah mengobatinya.,." desis Hantu 

Santet Laknat. 

"Aku harus mencari tujuh jenis daun obat. Mungkin 

membutuhkan waktu lama. Apakah dia sanggup 

bertahan ...." Si nenek letakkan telinga kirinya di atas 

dada kiri Wiro. 

"Masih ada detak jantungnya. Tidak terlalu keras. 

Para Dewa .... Aku mohon pertolonganmu. Beri 

kekuatan pada orang ini agar dia bisa bertahan. 

Paling tidak sampai aku dapat mengumpulkan tujuh 

daun obat yang diperlukan ...." 

Hantu Santet Laknat letakkan dua telapak tangannya 

di dada kiri Pendekar 212. Lalu dia pejamkan mata.


Perlahan-lahan si nenek mulai alirkan hawa sakti ke 

dada murid Eyang Sinto Gendeng. Cukup lama 

sampai tubuhnya keringatan karena dari dada 

pemuda itu seolah ada hawa lain yang keluar 

menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa 

jahat racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab! 

"Wiro ..." bisik Hantu Santet Laknat 

"Walau kelak aku tidak mendapatkan dirimu, aku 

merasa puas jika bisa menyelamatkan jiwamu. 

Kehadiranmu membuat aku mulai menyadari betapa 

hidup di dalam kesesatan itu hanya akan membakar 

diri sendiri ...." Si nenek belai pipi Wiro lalu bangkit 

berdiri. Dia harus bertindak cepat. 

Sebelum keluar dari dalam gubuk dia mengambil 

ranting-ranting yang dijadikan obor. Mencari tujuh 

daun obat di malam gelap seperti itu bukan 

pekerjaan mudah. Obor kecil itu bisa menolongnya 

sebagai penerang jalan. 

Baru satu langkah Hantu Santet Laknat 

meninggalkan bagian depan gubuk tiba-tiba di dalam 

gelap terdengar suara tawa cekikikan. 

Kaget si nenek bukan alang kepalang. Memandang 

kedepan dia melihat dua gadis cantik berpakaian 

serba putih menyeruak keluar dari kegelapan, tegak 

berkacak pinggang, memandang ke arahnya sambil 

tertawa-tawa. 

"Sepasang Gadis Bahagia!" kata si nenek dalam 

hati. 

"Apakah sudah lama mereka berada di tempat ini? 

Apakah mereka melihat apa yang tadi aku lakukan di


dalam sana? Ah, menyaksikan mereka berdua-dua 

seperti ini membuat rasa penyesalan dalam diriku 

jadi semakin bertambah. Kalau sang Junjungan tidak 

memerintahkan aku .. Tapi bagaimana dengan berita 

yang tersiar di luaran. Wiro dikabarkan telah meru 

sak kehormatan mereka dan menganiaya keduanya. 

Jika melihat mereka saat ini tampaknya seperti tidak 

pernah terjadi apa-apa dengan mereka ....." 

Siapa adanya Sepasang Gadis Bahagia harap baca 

Episode sebelumnya berjudul Hantu Langit 

Terjungkir. 

"Hantu Santet Laknat!" gadis kembar di sebelah 

kanan bernama Luhkemboja menegur. 

"Apa yang kau lakukan di dalam gubuk barusan? Hik 

... hik ... hik!" 

"Dia benar-benar beruntung! Hik ... hik ... hik!" 

menimpali gadis satunya yakni Luhkenanga sang 

adik Hantu Santet Laknat tidak mau layani ucapan 

dua gadis kembar itu. Dia membentak keras. 

"Dua gadis liar! Perlu apa malam-malam begini 

berada di tempat ini! Jika kau mengikuti diriku dan 

punya niat tidak baik, jangan kira aku tidak tega 

membuat kalian celaka seumur-umur!" 

"Hik ... hik! Kak, kau dengar, dia mengancam kita!" 

"Dia takut ketahuan apa yang barusan diperbuatnya 

di dalam sana dengan pemuda gagah yang 

digilainya itu!" ujar Luhkemboja. Lalu dua gadis itu 

kembali tertawa panjang. 

"Nek, kami tadi mengintip kau hendak menelanjangi 

pemuda itu di dalam gubuk!" kata Luhkenanga. 

"Kau membelai kepalanya. Mengapa tidak membelai 

bagian tubuh lainnya?!"


"Gadis-gadis sesat bermulut keji! Kalau kau tidak 

menjaga ucapan akan kurobek mulut kalian saat ini 

juga!" Hantu Santet Laknat marah besar. 

"Hik ... hik! Dia takut kita mau mengambil pemuda 

itu!" kata Luhkenanga pula. 

"Hemm ... Kalian suka pada pemuda itu! Silahkan 

masuk ke dalam gubuk! Lakukan apa yang kalian 

mau!" Hantu Santet Laknat berkata seraya maju 

selangkah. 

"Kami tidak berselera! Apa lagi pemuda itu siap 

menjadi bangkai tak berguna! Siapa sudi!" jawab 

Luhkenanga. 

Seperti diketahui dua gadis kembar cucu-cucu Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini memang mempunyai 

kelainan. Yakni hanya suka pada kaum sejenis. 

"Kalau kalian tidak punya kepentingan lekas 

menyingkir! Atau api di ujung ranting ini akan 

merusak wajah kalian!" 

Habis berkata begitu Hantu Santet Laknat membuat 

lompatan, menyergap dua gadis kembar seraya 

babatkan ujung ranting berapi ke wajah mereka. 

Sepasang Gadis Bahagia tahu sekali siapa adanya 

Hantu Santet Laknat. Mereka tidak mau mencari 

celaka. Dengan sigap keduanya membuat gerakan 

melesat ke udara. Dalam melompat tinggi sosok 

mereka seolah-olah bersikap duduk enak-enakan. 

lnilah jurus yang disebut Bahagia Naik Ke 

Pelaminan. 

Sesaat kemudian keduanya lenyap dalam kegelap 

an. Hanya suara tawa mereka yang terdengar di 

kejauhan. Setelah memastikan dua gadis itu telah


pergi jauh Hantu Santet Laknat segera tinggalkan 

tempat tersebut. Namun hatinya was-was. 

"Dua gadis itu, aku tidak percaya pada mereka. 

Sejak keadaan mereka menjadi seperti itu benak 

dan hati mereka telah dilumuri segala macam 

kekejian. Aku harus melakukan sesuatu ...." 

Si nenek angkat tangan kirinya tinggi-tinggi keatas. 

Telapak tangan dipentang terbuka kearah gubuk. 

Matanya membesar tak berkesip. 

"Wussss!" 

Kepulan asap hitam melesat keluar dari lima jari dan 

telapak tangan si nenek. Asap itu membuntal ke 

arah gubuk. Tepat seperti yang diduga Hantu Santet 

Laknat, tak selang berapa lama Sepasang Gadis 

Bahagia muncul kembali. Mereka memandang 

berkeliling dalam gelap. 

"Aneh, rasanya kitasudah sampaidi tempat gubuk itu 

berada sebelumnya. Tapi mengapa gubuknya tak 

ada lagi ... ?" berucap Luhkenanga. 

"Pohon besar itu," kata Luhkemboja sambil 

memandang pada pohon besar beberapa langkah di 

hadapannya. "Apakah pohon inisebelumnya 

memang ada di sini?" 

"Aku tak dapat memastikan," jawab Luhhkenanga. 

"Perasaanku tidak enak Jika dukun jahat itu 

membokong kita di malam gelap gulita begini rupa, 

kita bisa celaka. Sebaiknya kita pergi saja. bukankah 

kita ingin menyirap kabar bagaimana keadaan dan 

apa yang dilakukan kakek kita Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab?"


"Ya, kita pergi saja. Kalau bertemu kakek kita 

beritahu bahwa pemuda asing dari negeri seribu dua 

ratus tahun mendatang itu berada di kawasan bukit 

kecil ini." 

"Tapi bagaimana kalau dia tahu kita mendustainya 

tentang tongkat batu biru itu?" ujar Luhkenanga. 

Luhkemboja jadi terdiam sesaat Akhirnya dia 

berkata. 

"Sudah, lupakan dulu mencari kakek Yang penting 

kita lekas pergi dari tempat ini!" Seperti ditelan bumi 

dan gelapnya malam, dua gadis itu kemudian 

berkelebat lenyap dari tempat itu.


ENAM


LANGlT malam laksana runtuh, tak dapat menahan 

curahan hujan yang sangat lebat. Gubuk tua itu 

seperti akan hancur luluh. Petir sabung menyabung. 

Guntur menggelegar menggetarkan puncak bukit. 

Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat 

angin dingin menerobos masuk dengan mudah. 

Pendekar 21 2 Wiro Sableng terbaring tak bergerak 

di atas tempat tidur terbuatdari susunan-batang 

pohon kelapa. Hanya dua bola matanya memandang 

berputar. Tubuhnya terasa dingin diterpa angin yang 

masuk dari luar. Tampisan air hujan dari atap dan 

dinding membasahi dirinya. 

Untuk kesekian kalinya petir menyambar. Gelegar 

guntur membuat batang-batang pohon kelapa yang 

ditiduri Wiro bergetar keras. Tiba-tiba Wiro melihat 

cahaya terang di atas gubuk. Lalu terdengar suara 

lolongan anjing di kejauhan. Sesaat kemudian 

"braakk!" 

Atap gubuk jebol ambruk. Bersamaan dengan 

guyuran air hujen satu sosok putih melayang turun 

ke dalam gubuk! Dalam kejutnya Wiro berusaha 

bangkit Tapi sekujur tubuhnya laksana direkat 

kebatang pohon kelapa. Matanya membeliak besar 

ketika mengenali siapa adanya sosok tinggi besar


berjubah putih basah kuyup yang tegak di 

sampingnya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! 

"Pemuda terkutuk dari negeri seribu dua ratus tahun 

mendatang! Aku mau melihat sampai dimana 

kesaktianmu! Apa kali ini kau sanggup menyelamat 

kan diri dari kematian? Roh teman-temanmu tidak 

sabar menunggu kedatanganmu untuk bergabung!" 

Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut besar. 

"A ... apa?! Jadi kau. .. kau telah membunuh Naga 

Kuning dan Setan Ngompol?!" 

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertawa bergelak. 

Tiba-tiba dia gerakkan dua tangannya. Dua tangan 

itu serta merta menjadi panjang dan berkelebat ke 

arah leher Wiro. Satu cekikan yang sangat kuat 

membuat lidah Wiro langsung terjulur. Dia tidak bisa 

melakukan apapun. Tangannya tak bisa digerakkan. 

Dia tidak ada daya untuk menyelamatkan diri! Suara 

tawa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab semakin 

keras. Lidah Wiro semakin panjang terjulur. Ludah 

bercampur darah berbusa di mulutnya. Nafasnya 

tidak keluar lagi dari mulut ataupun hidung! 

"Tidak ... ! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!" 

teriak Wiro. Dia berusaha mengerahkan tenaga. 

Tiba-tiba entah bagaimana, dia mampu meng 

gerakkan tangan dan kakinya. Langsung dia 

menendang dan memukul. Tapi sosok Hantu Sejuta 

Tanya Sejuta Jawab seperti bayang-bayang. Wiro 

hanya memukul angin! 

"Aku tidak mau mati! Tidaakk! Kau yang harus mati! 

Kau ... kau ... kau!" Wiro berteriak lagi lalu kembali 

dia memukul dan menendang kalap.


Mendadak pintu gubuk ditendang orang dari luar. 

Satu sosok hitam menghambur masuk. Di kepitan 

tangan kirinya dia membawa berbagai macam 

dedaunan. Di tangan kanan orang ini memegang 

obor ranting kayu. Hantu Santet Laknat! 

"Wiro! Apa yang terjadi?!" si nenek bertanya kaget 

dan heran melihat keadaan Wiro begitu rupa. "Aku 

tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus 

mati! Kau ... kau ... kaul" 

"Kau ... kau siapa maksud pemuda ini? Diriku? Dia 

ingin aku mati?" 

Si nenek sisipkan obor di sudut gubuk. Dedaunan 

dibuangnya ke lantai lalu cepat dia mendekati Wiro. 

Begitu dia menyentuh tubuh si pemuda terasa 

sangat panas. 

"Kau mimpi! kau barusan bermimpi Wiro! Sekaligus 

diserang demam panas akibat racun tendangan ...." 

Bola mata Pendekar 212 memandang seputar 

gubuk. "Mana dia? Mana dia manusia jahat yang 

hendak membunuhku itu?!" 

"Manusia jahat siapa? Tidak ada orang lain di sini 

kecuali kita berdua ...." Menjelaskan Hantu Santet 

Laknat. 

"Tidak mungkin! Aku lihat sendiri dia menerobos 

masuk dari atas atap sana! Basah kuyup karena di 

luar sedang hujan lebat!" 

Hantu Santet Laknat memandang ke arah atap yang 

ditunjuk Wiro. "Aku tidak melihat apa-apa. Coba kau 

perhatikan baik-baik. Atap gubuk itu tidak ada yang 

jebol. Di luar tidak ada hujan ...."


"Tidak mungkin! Jangan mempermainkan aku!" Si 

nenek gelengkan kepala. 

"Kataku kau bermimpi ...." 

"Kalau aku bermimpi bagaimana aku bisa 

menendang dan memukul?" 

Hantu Santet Laknat tertawa. "Waktu aku masuk aku 

dapatkan kau terbaring keringatan tapi masih dalam 

keadaan kaku di atas batang-batang kelapa itu. 

Kalau kau tidak percaya coba gerakkan tangan atau 

kakimu!" 

Wiro melakukan apa yang dikatakan si nenek. 

Ternyata dia tidak bisa menggerakkan tangan dan 

kakinya. 

"Kau masih berada dalam kelumpuhan akibat 

perbuatan Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab. 

Sekarang apa kau percaya bahwa kau tadi hanya 

bermimpi? 

Kalau kau mimpi berarti kau sempat tidur. Itu sangat 

menolong memulihkan kekuatanmu. Tapi kau masih 

belum terlepas dari bahaya. Pejamkan matamu. 

Jangan memikirkan apa-apa. Aku pernah 

mendengar dari seseorang bahwa kau mempunyai 

Tuhan yang disebut Allah. Aku tidak mengerti, tidak 

tahu siapa Dia adanya. Tapi kudengar Dia Maha 

Kuasa Maha Penolong dan Maha Pengasih. Kalau 

begitu mengapa kau tidak berdoa padaNya agar kau 

mendapat pertolonganNya. 

Aku akan berdoa untukmu pada para Dewa. Lalu 

menyiapkan ramuan obat Tetap berbaring di sini 

sampai aku kembali!" 

Setelah Hantu Santet Laknat keluar dari gubuk dan 

Pendekar 212 tinggal sendirian, murid Sinto


Gendeng ini memperhatikan seputar gubuk sambil 

berpikir-pikir. 

"Mungkin benar aku bermimpi. Atap itu tak ada yang 

jebol. Di luar ternyata tidak ada hujan. Nenek 

bernama Hantu Santet Laknat itu.. .. Aneh, mengapa 

dia berubah sebaik itu padaku? Dia hendak meramu 

obat katanya? Dia memberitahu agar aku berdoa 

pada Allah. Astaga .... Aku memang sudah banyak 

berdosa karena sejak lama tidak pernah mengingat-

ingat Dia ...." Wiro usap mukanya yang keringatan 

berulang-ulang. 

"Gusti Allah, ampuni diriku!" Wiro pejamkan 

matanya. Dadanya kembali menyentak sakit. 

* * 

Di dalam gubuk itu waktu terasa seperti merayap. 

Wiro seolah sudah menunggu berhari-hari. Matanya 

hampir terpicing ketika akhirnya Hantu Santet Laknat 

muncul kembali. Di tangannya dia membawa daun 

talas yang dibentuk demikian rupa tempat menam 

pung remasan tujuh macam daun yang meng 

hasilkan semacam cairan kental. 

"Aku datang membawa obatmu! Kau berdoalah pada 

Tuhanmu. Aku memohon pada para Dewa untuk 

kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebar-

lebar!" 

"Hantu Santet Laknat, apa yanb ada di dalam daun 

itu?" 

"Obatmu! Jangan banyak bertanya lagi! Jangan 

membuang waktu. Jangan membuat aku kesal!" 

Karena Wiro tidak mau membuka mulutnya, nenek 

berwajah seperti burung gagak hitam itu jadi tak


sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut 

Wiro terbuka Hantu Santet Laknat segera tuangkan 

cairan kental di dalam daun keladi. Wiro masih 

berusaha bertahan dengan tidak mau menelan 

cairan obat itu karena ada kekhawatiran dalam 

dirinya si nenek bukan memberinya obat tetapi racun 

jahat yang bisa mencelakainya! 

Terpaksa Hantu Santet Laknat memijat pipi Wiro 

kembali. "gluk ... gluk ... gluk!" Ketika cairan ramuan 

obat lewat di tenggorokannya, Wiro merasa seperti 

menelan cairan timah panas. Mulutnya mengepulkan 

asap. Wiro berteriak setinggi langit. Matanya 

mendelik lalu terkatup..Mulut terkancing. Hantu 

Santet Laknat tertawa panjang. 

* * 

PERLAHAN-lahan Pendekar 212 buka sepasang 

matanya. Dia memandang berkeliling dan dapatkan. 

dirinya ternyata masih berada dalam gubuk. Di sudut 

gubuk masih menyala api di ujung tumpukan ranting 

kayu yang kini hanya tinggal dua jengkal pan 

jangnya. 

Wiro coba memasang telinga. Selain kesunyian 

sesekali terdengar suara jengkerik di kejauhan 

pertanda saat itu malam hari. 

"Malam hari, apakah masih malam yang sama 

pertama kali aku dibawa ke sini? Aku masih berada 

dalam gubuk ini. Mana si nenek dukun itu ... ?" Wiro


berucap dalam hati. "Aneh, tubuhku terasa ringan. 

Dadaku lega, tak ada rasa sakit ...." Tak sadar Wiro 

gerakkan tangan kanannya. Astaga! Ternyata dia 

bisa menggerakkan tangan. Ganti tangan kiri 

digerakkan. Lalu digeserkan dua kakinya. 

"Gusti Allah! Kau telah menolongku! Aku sembuh! 

Aku bisa bergerak!" Masih kurang percaya, murid 

sinto Gendeng ini bergerak bangkit. Dia keluarkan 

seruan tertahan ketika melihat dia benar-benar bisa 

duduk di atas pembaringan terbuat dari batang 

kelapa itu! 

Wiro perhatikan dada kirinya. Sebefumnya disitu ada 

tanda kebiru-biruan bekas tendangan kaki beracun 

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak 

ada lagi, lenyap tak berbekas. "Tuhan Maha Besar!" 

Wiro bersujud di atas pembaringan. "Terima kasih 

Tuhan. Terima kasih Gusti Allah. Jika pertolongan 

dan kesembuhanku ini Kau berikan melalui kebaikan 

seseorang maka berilah orang itu berkah sebesar-

besarnya! 

Berilah kepadaku kemampuan untuk membalas 

budinya!" Setelah bersujud tak bergerak beberapa 

lamanya sambil mengucap puji syukur berkepan-

jangan Wiro turun dari pembaringan. "Aku harus 

mencari nenek itu ...." 

Hanya mengenakan celana putih tanpa baju dia 

melangkah ke pintu. Pintu gubuk mengeluarkan 

suara berkereketan ketika dibuka. Di luar kegelapan 

hitam menyambutnya. Setelah memperhatikan 

keadaan sesaat, Wiro kemudian melangkah. Dia


memeriksa sekitar gubuk malah lebih jauh lagi. Tapi 

dia tidak menemukan Hantu Santet Laknat 

"Jangan-jangan dia telah pergi entah kemana. Dia 

masih membawa kapak saktiku. Kemana aku harus 

mencarinya?!" Wiro angkat tangan kanannya 

menggaruk kepala. 

"Ah, sudah lama aku tidak menggaruk. Enak sekali 

rasanya!" Murid Sinto Gendeng lalu pergunakan dua 

tangan untuk menggaruk kepalanya habis-habisan 

sambil tersenyum-senyum. Tapi bila dia ingat 

kembali pada Hantu Santet Laknat dan kapak 

saktinya, senyumnya hilang, gerakan menggaruk 

terhenti. 

Kemudian disadarinya dia tidak mengenakan baju. 

"Aku harus kembali ke gubuk. Mengambil baju dan 

memeriksa. Siapa tahu nenek itu meninggalkan 

kapak saktiku di satu tempat di dalam gubuk itu!" 

Wiro setengah mengharap walau sebenarnya dia 

tidak yakin Hantu Santet Laknat akan meninggalkan 

Kapak Maut Naga Geni 212 begitu saja tanpa 

memberitahu padanya. 

Wiro cepat-cepat melangkah kembali ke gubuk. 

Setengah jalan di satu. tempat langkahnya tertahan. 

Telinganya tiba-tiba mendengar suara sesuatu. 

"Suara orang terisak-isak.. " kata Wiro dalam hati. 

"Siapa pula yang malam-malam begini menangis di 

tempat ini?" Dia memandang berkeliling. Matanya 

melihat sesuatu beberapa belas langkah di depan 

sana. Di bawah bayang-bayang gelap sebuah


pohon besar, di atas akar pohon yang menyembul 

tinggi di permukaan tanah dia melihat seseorang 

duduk bersandar. Seorang perempuan berpakaian 

putih panjang. 

* *


TUJUH


PERI Angsa Putih .... Bagaimana dia bisa berada di 

sini. Apa yang membuat hatinya sedih hingga 

menangis terisak-isak?" Wiro menyelinap ke balik 

serumpunan semak belukar hingga berada lebih 

dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia bisa 

melihat lebih jelas dan jadi terkejut ketika menda 

patkan perempuan berpakaian putih panjang itu 

ternyata bukanlah Peri Angsa Putih. Wiro menduga-

duga siapa adanya perempuan ini. 

"Tak pernah kulihat gadis bertubuh langsing ini 

sebelumnya. Wajahnya sungguh luar biasa. Bulat 

berseri seperti bulan empat belas hari. Paras yang 

tidak kalah cantik dengan para gadis yang pernah 

kulihat di Negeri Latanahsilam ini. 

Rambutnya sungguh hitam dan panjang sampai 

sepinggang. Kulitnya tak kalah putih dengan Peri 

Angsa Putih. Mungkinkah dia seorang Peri yang sela 

ma ini tidak pernah memunculkan diri? Tapi Kalau 

Peri biasanya tubuh serta pakaiannya mengeluarkan 

bau harum semerbak." 

Selagi Wiro berpikir-pikir apakah dia segera saja 

keluar dari balik semak belukaratau menunggu sam-

pai gadis itu pergi dan dia lalu mengikutinya, tiba-tiba 

ada suara berdesir menembus semak belukar. Dia 

hampir keluarkan seruan tertahan sewaktu meiihat


seekor ular hitam besar panjang hampir dua tombak 

melata cepat di tanah, melesat ke arah si gadis 

duduk. 

Wiro hampir berteriak hendak memberikan ingat 

karena menyangka binatang yang tubuhnya meman 

carkan cahaya aneh itu hendak menyerang atau 

mematuk si gadis. Tapi dia jadi ternganga sewaktu 

menyaksikan bagaimana ular besar itu meluncur di 

akar pohon yang menyembul tinggi lalu naik ke atas 

tubuh si gadis dan bergelung di pangkuannya! 

"Wahai sahabatku Laepanjanghitam," Terdengar si 

gadis berucap. "Tidak sangka kau datang malam 

malam begini ...." Ular hitam di pangkuan si gadis 

tegakkan kepalanya dan julurkan lidahnya yang me-

mancarkan sinar terang kebiruan lalu Keluarkan 

suara mendesis halus. Si gadis usap-usap kepala 

ular besar itu dengan tangan kirinya. Sang ular 

kedap-kedipkan sepasang matanya yang berwarna 

hitam pekat. 

"Sahabatku, saat ini aku tidak memerlukanmu. 

Mungkin aku tidak akan meminta pertolonganmu 

dalam waktu lama. Mungkin juga kita tak akan 

bertemu lagi. Walau begitu di alam seribu gaib kita 

akan tetap bersahabat Jika kau memerlukan diriku 

aku bisa muncul. Jika aku membutuhkanmu aku 

akan memanggilmu. Langit di sebelah timur mulai 

kelihatan terang. Sebentar lagi pagi akan segera 

datang. Wahai sahabatku, pergilah ...." 

Ular di pangkuan si gadis kembali keluarkan suara 

mendesis halus lalu gelungkan tubuhnya di ieher


dan dada gadis itu. Setelah mengusapkan kepalanya 

ke pipi si gadis seolah membelai, binatang ini 

meluncur turun dari pangkuannya lalu melata di 

tanah dan menghilang di arah matahari terbit. 

Tak lama setelah binatang itu lenyap gadis langsing 

berpakaian putih bangkit berdiri. Dia merapikan 

rambutnya yang tergerai sampai di pinggang, 

termenung sesaat. Sambil mengusap pipinya gadis 

ini balikkan diri, melangkah ke balik pohon besar 

tempat sebelumnya dia tadi duduk. 

Wiro yang setengah tercekat menyaksikan semua 

kejadian itu segera keluar dari balik semak belukar 

dan mengejar ke balik pohon besar. Tapi gadis 

cantik berpakaian putih berambut panjang itu tak 

kelihatan lagi. 

"Lenyap!" kata Wiro sambil memandang berkeliling 

dan garuk-garuk kepala. "Mungkin dia sebangsa - 

hantu penghuni kawasan ini. Kalau manusia biasa. 

masakan bersahabat dengan seekor ular besar 

begitu ru pa?" 

Pendekar 212 memandang ke timur. Langit semakin 

terang. "Aku harus kembali ke gubuk. Mungkin 

Hantu Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus 

mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Aku 

harus mencari kawan-kawanku. Aku harus menolong 

Lakasipo dan Luhsantini. Terakhir sewaktu di 

lembah mereka masih berada dalam jaring aneh itu 

...." Wiro lalu ingat dengan orang-orang yang hendak 

menurunkan tangan jahat terhadapnya. Seperti


Lawungu, Hantu Tangan Empat dan Hantu Sejuta 

Tanya Sejuta Jawab. 

 

"Persetan dengan mereka!" Wiro memaki sendiri lalu 

balikkan badan, kembali menuju ke gubuk. Hampir 

sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran 

dan garuk-garuk kepala. "Aneh, waktu pergi tadi 

rasanya aku tidak jauh-jauh. Mengapa sekarang 

membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk 

sialan itu?!" 

Wiro memandang berkeliling. Sementara itu langit 

sudah terang karena malam telah berganti siang. 

Ketika dia menoleh ke kiri kagetlah Wiro. Gubuk 

yang dicarinya itu ada di sana. Hanya belasan 

tombak saja dari tempatnya berdiri. 

"Sialan. Mungkin aku masih ingat-ingat gadis cantik 

tadi. Hingga gubuk di depan mata aku tidak 

melihat!" 

Wiro segera melangkah menuju gubuk. Namun 

kakinya berhenti berjalan ketika tiba-tiba pintu gubuk 

dilihatnya terbuka. Seorang berpakaian serba biru 

keluar dari dalam gubuk. Dia membawa sehelai 

pakaian putih yang sengaja ditekapkannya ke 

dadanya. 

"Luhcinta. .." desis Pendekar 212. Setengah berlari 

dia segera menuju ke gubuk. Sementara itu gadis di 

depan pintu gubuk kelihatan gugup dan berubah 

wajahnya. Pakaian putih yang didekapnya ke dada 

cepat cepat diturunkannya. Pakaian itu ternyata 

adalah baju milik Wiro. Begitu berhadap-hadapan


kedua orang ini sesaat hanya saling pandang, tak 

ada yang keluarkan ucapan. 

Luhcinta lalu ingat pada baju Wiro yang 

dipegangnya. Diulurkannya tangannya menyerahkan 

pakaian itu. Si gadis berusaha tersenyum. 

"Bajumu .... Kutemukan di dalam gubuk. Aku ...." 

Wiro melihat bekas robekan hangus pada bahu 

kanan dan pinggul Luhcinta. 

"Ada robekan di pakaianmu. Apa yang terjadi ... ?" 

"Hantu Bara Kaliatus. Dia menyerangku dengan 

bara-bara apinya. Untung tidak apa-apa. Hanya 

pakaianku yang robek ..." menerangkan Luhcinta 

dan merasa senang karena si pemuda 

memperhatikan dirinya. 

"Syukur kalau begitu. Aku gembira kita bisa bertemu 

di sini. Walau sulit menduga bagaimana kau bisa 

sampai di tempat ini," kata Wiro. Mendengar ucapan 

Wiro, si gadis merasa bahagia. Dia jadi ceria. 

"Panjang ceritanya, mungkin juga hanya satu 

kebetulan. Aku akan tuturkan padamu secara 

singkat. Setelah kau dilarikan Hantu Santet Laknat 

aku tersesat ke satu tempat dimana tengah terjadi 

perkelahian antara Hantu Bara Kaliatus dengan 

Hantu Langit Terjungkir Luhsantini juga ada di situ. 

Seperti Lakasipo dia masih terbungkus dalam jaring 

aneh. Hantu Bara Kaliatus dibantu oleh satu 

makhluk berjubah hitam bermuka jerangkong yang 

dipanggil dengan sebutan Junjungan. Ternyata 

makhluk ini memiliki kepandaian tinggi.


Hantu Bara Kaliatus hampir membunuh Lakasipo 

kalau tidak ditolong oleh Peri Angsa Putih. Hantu 

Langit Terjungkir sendiri hampir tamat riwayatnya 

kalau tidak ditolong oleh seorang aneh bermuka 

tanah liat yang selama ini dikenal dengan sebutan Si 

Penolong Budiman ...." 

"Orang itu, bukankah yang menurutmu selalu 

mengikutimu ...." Luhcinta mengangguk. "Sampai 

saat ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan 

ceritakan mengenai dirinya nanti. Biar kulanjutkan 

dulu cerita tadi. Dalam perkelahian hidup mati itu 

Hantu Langit Terjungkir sempat mengatakan pada 

Hantu Bara Kaliatus bahwa Lakasipo adalah 

saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap 

pula rahasia bahwa Hantu Langit Terjungkir itu 

sebenarnya adalah ayah kandung Hantu Bara 

Kaliatus. 

Tapi Hantu Bara Kaliatus tidak mempercayai. Malah 

marah besar. Dia kemudian meninggalkan tempat 

itu. Makhluk muka tengkorak menyusul pergi. 

Kemudian kami ketahui pula bahwa Peri Angsa Putih 

tak ada lagi di tempat itu. Lakasipo lenyap. Besar 

dugaan Peri Angsa Putih yang membawanya. Aku 

kemudian membawa Luhsantini. Si Penolong 

Budiman menolong Hantu Langit Terjungkir yang 

cidera patah lengan kanannya. Kami kemudian 

berpisah ...." 

"Luhsantini, apakah dia sudah bisa dikeluarkan dari 

dalam jala?" tanya Wiro.


Luhcinta menggeleng. "Tak ada satu kekuatanpun 

yang sanggup menjebol jaring itu. Tapi aku akan 

berusaha terus ...." 

"Kau belum menerangkan bagaimana kau tahu-tahu 

pagi ini bisa tersesat ke sini," kata Wiro pula. Dia 

ingat gada baju yang dipegangnya. Cepat-cepat 

Wiro mengenakan pakaian itu. 

"Secara kebetulan saja ..." jawab Luhcinta. 

"Setelah kau lenyap dibawa Hantu Santet Laknat 

dan kami tidak tahu dimana beradanya dua 

sahabatmu benama Naga Kuning dan Setan 

Ngompol itu, timbul perasaan khawatir. Jangan-

jangan kau sudah dicelakai oleh nenek jahat itu ...." 

"Tidak, malah sebaliknya ...." Wiro memotong. 

"Apa maksudmu tidak dan malah sebaliknya?" tanya 

Luhcinta. 

"Teruskan ceritamu. Nanti aku jelaskan," jawab Wiro. 

Si gadis tatap wajah Pendekar 212 sejurus baru 

meneruskan penuturannya. "Beberapa hari lalu aku 

menemukan sebuah gua. Luhsantini kubaringkan di 

dalam gua yang ternyata cukup bersih dan ada mata 

air di dalamnya ...." 

"Bagaimana dengan Hantu Langit Terjungkir dan Si 

Penolong Budiman?" Wiro memotong dengan 

pertanyaan. 

"Aku tak tahu pasti mereka berada di mana. Tapi 

sebelum berpisah Si Penolong Budiman 

mengatakan akan membawa kakek itu ke sebuah 

telaga tak jauh dari tempat itu. Ternyata kemudian 

kuketahui, gua dimana aku dan Luhsantini berada 

terletak tak jauh dari telaga, sama-sama tidak jauh


pula dari bukit ini. Pagi tadi, begitu fajar mulai 

menyingsing aku berjalan-jalan ke puncak bukit ini. 

Tak sengaja aku menemukan gubuk ini. Kuperiksa. 

Kosong. Tapi di dalamnya aku melihat tanda-tanda 

sebelumnya ada orang di sini. Lalu aku melihat 

sehelai baju putih. Aku yakin sekali pakaian itu 

adalah milikmu. Berarti sebelumnya kau ada di 

dalam gubuk. Aku memutuskan untuk menunggu. 

Tapi tak ada yang muncul. Aku keluar dari gubuk. 

Tepat pada saat kau tengah menuju ke sini ...." 

"Aku memang berada di gubuk ini. Aku tak ingat 

pasti berapa lama atau berapa malam aku berada di 

sini. Sebelumnya aku menderita luka dalam yang 

amat parah. Tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta 

Jawab membuat sekujur badanku lumpuh. Hantu 

Santet Laknat membawaku ke sini. Dia mengobati 

diriku hingga sembuh begini rupa ...." 

Tentu saja Luhcinta merasa terkejut mendengar 

keterangan Wiro. Dia menatap dengan pandangan 

tidak percaya. "Kau diculik Hantu Santet Laknat, dia 

juga yang mencuri kapak saktimu. Lalu kau katakan 

dia mengobati menyembuhkan luka dalam serta 

kelumpuhan akibat tendangan Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab?" 

"Benar!" jawab Wiro. 

"Maksudku, semua ini tentu saja atas kehendak 

Gusti Allah yang Maha Kuasa. Si nenek ...." 

"Sulit kupercaya Hantu Santet Laknat mau berlaku 

sebaik itu ..." kata Luhcinta pula. Lalu dalam hati dia 

berkata.


"Jangan-jangan dukun jahat itu menyembunyikan 

sesuatu dibalik semua kebaikan ini ...." 

"Kau agaknya tidak percaya kalau Hantu Santet 

Laknat benar-benar telah berubah dan 

menolongku?" tanya Wiro ketika melihat cara 

memandang si gadis. 

"Aku percaya. Mudah-mudahan kasih yang tulus dan 

budi pertolongan yang kudus telah tumbuh di lubuk 

hati nenek itu. Aku turut bergembira. Walau demikian 

aku sarankan agar kau tetap berlaku hati-hati, 

waspada. Dibalik sesuatu kebaikan mungkin 

tersembunyi satu maksud jahat. Di belakang yang 

putih mungkin mendekam sesuatu yang hitam. Di 

balik budi pertolongan bisa saja berlindung satu niat 

buruk yang tidak terduga. Tapi Kalau kasih sudah 

menjadi bagian hati seseorang rasanya kebaikan 

akan terpancar dalam segala tindakannya. ltulah 

yang kuharapkan terjadi dengan Hantu Santet 

Laknat ...." 

"Kau menduga nenek itu menaruh hati culas 

terhadapku?" tanya Wiro. 

"Aku tidak mengatakan demikian. Aku minta agar 

kau tetap berlaku hati-hati. Terhadap siapapun ...." 

"Termasuk terhadapmu?" tanya Wiro sambil 

tersenyum. 

"Bisa saja!" jawab Luhcinta. Laludia berkata. 

"Aku harus kembali ke gua. Kau mau ikut 

bersamaku? Mungkin kita berdua bisa melakukan 

sesuatu untuk melepaskan Luhsantini dari dalam jala 

api biru." 

"Aku ingin sekali ikut bersamamu. Menolong 

Luhsantini juga menjadi keinginanku. Tapi tidak 

sekarang. Tunjukkan saja di mana kira-kira letak gua


itu." Luhcinta merasa kecewa mendengar Wiro tak 

mau ikut saat itu juga bersamanya. 

"Kau turuni kaki bukit ini ke arah matahari 

tenggelam. Kau pasti akan menemukan gua itu 

Tidaksulit mencarinya." 

"Aku akan menyusul ...." 

"Apa yang hendak kau lakukan hingga tidak bisa 

berangkat bersamaku ke gua?" bertanya Luhcinta. 

"Aku,, aku harus menunggu sampai Hantu Santet 

Laknat datang. Dia adalah orang yang telah 

menolongku. Rasanya tidak baik kalau aku pergi 

sebelum bertemu dan mengucapkan terima kasih. 

Lagi pula aku ingin mendapatkan Kapak Naga Geni 

212 kembali ...." 

"Aku mengerti. Aku tunggu kau di gua." Kata 

Luhcinta pula. 

Wiro menggangguk dan memperhatikan kepergian 

Luhcinta sambil dalam hati berkata. 

"Beberapa orang mengatakan gadis itu mencintai 

diriku. Mungkin benar. Dibalik kekhawatirannya 

terhadap si nenek dukun, tersembunyi rasa 

cemburu. Aneh, gadis secantik itu bisa cemburu 

terhadap seorang nenek buruk bermuka burung 

gagak hitam!" 

Setelah Luhcinta lenyap di balik pepohonan 

Pendekar 212 segera masuk ke dalam gubuk. Dia 

memeriksa setiap sudut gubuk itu. Namun tidak 

menemukan kapak saktinya. 

"Nenek itu pasti membawanya. Di mana dia 

sekarang? Agaknya aku harus menunggu sampai 

dia datang. Tapi untuk berapa lama? 

Bagaimana kalau dia tidak muncul lagi?" Wiro garuk-

garuk kepala lalu keluar dari gubuk. Langkahnya


hampir tersurut karena kaget. Karena begitu keluar 

dari dalam gubuk sosok Hantu Santet Laknat tahu-

tahu telah berdiri di depannya. Tangan kanannya 

berada di belakang pinggang. Pandangan mata 

burungnya yang menyembul hitam, tajam tak 

berkesip. Membuat Pendekar 212 merasa tidak 

enak. 

* *


DELAPAN


”APA yang ada dalam pikiran nenek ini. Jangan-

jangan hati jahatnya muncul kembali. Dia berdiri 

menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya ..." 

membatin murid Sinto Gendeng. 

Dalam khawatirnya dia segera siapkan tenaga dalam 

ke tangan kanan. Dia merasa lega ternyata 

kesembuhannya memang menyeluruh, termasuk 

kemampuan mengerahkan hawa sakti yang 

dimilikinya. 

"Kau mencari benda ini?" tiba-tiba Hantu Santet 

Laknat ajukan pertanyaan. Lalu nenek ini gerakkan 

tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan. 

Ternyata di tangan itu dia memegang Kapak Maut 

Naga Geni 212. Sinar matahari pagi membuat 

senjata sakti itu memancarkan sinar menyilaukan. 

"Nek, berkat pertolonganmu aku sudah sembuh!" 

Wiro mengalihkan pembicaraan walau saat itu dia 

ingin sekali mengambil kapak saktinya dari tangan si 

nenek. 

"Aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro lagi 

sambil memegang bahu si nenek kiri kanan. Hantu 

Santet Laknat pandangi wajah Wiro lalu 

memperhatikan dua tangan yang mendekap 

bahunya itu. Si nenek kemudian tersenyum. "Tak 

perlu kau mengucapkan terima kasih. Kalaupun kau 

merasa perlu, sampaikan pada Tuhanmu. Aku sudah


memuji syukur semalaman tadi pada para Dewa ...." 

Hantu Santet Laknat kemudian ulurkan tangannya 

yang memegang kapak. 

"Berat hatiku mengembalikan senjata ini padamu. 

Tapi aku tahu itu bukan milikku. Kau bukan saja 

sebagaiorang yang mempunyai tapi aku tahu senjata 

itu banyak kegunaannya jika berada di tanganmu. 

Ambillah kembali. Maafkan kalau kau merasa aku 

pernah mencurinya darimu ...." Hantu Santet Laknat 

dekatkan mata kapak ke wajahnya. Untuk beberapa 

saat lamanya dia tempelkan senjata itu di pipinya 

sambil memejamkan mata. Masih dalam keadaan 

mata terpejam Kapak Maut Naga Geni 212 

diserahkannya pada Wiro. 

"Nek, kau orang baik. Waiau dulu kau pernah 

mengecewakan diriku dengan perbuatanmu yang 

aneh-aneh, tapi belakangan ini aku banyak 

berhutang budi padamu ...." Wiro ambil kapak sakti 

dari tangan si nenek. Setelah memeriksanya sesaat 

senjata itu segera diselipkan di balik pakaiannya. Dia 

benar-benar merasa lega kini. 

"Terima kasih Nek," kata Wiro pada Hantu Santet 

Laknat sambil tersenyum. Hantu Santet Laknat 

tertawa panjang. "Kau bicara soal budi! Hik ... hik! 

Urusan budi baik hanya ada di negeri asal usulmu 

yang kau sebut sebagai tanah Jawa itu. Di 

Latanahsilam, antara budi dengan kejahatan hanya 

terpisah setipis kabut pagi. Tapi aku banyak belajar 

mengenai budi luhur darimu. Aku tak akan 

melupakan hal itu !” Habis berkata begitu si nenek


memandang berkeliling. Lalu dia memperhatikan 

tanah di bagian depan gubuk, menghirup udara be-

berapa kali dan berkata. 

"Kalau tidak salah aku menduga, agaknya belum 

lama ini tempat ini telah kedatangan seorang tamu 

...." Wiro tertawa lebar. 

"Kemampuanmu melacak tanda dan hawa sungguh 

membuat aku kagum!" Wiro memuji. 

"Jika kau mau, ilmu itu akan kuberikan. Tapi 

wajahmu harus berubah jadi wajah buruk gagak 

hitam sepertiku! Hik ... hik ... huk!" Hantu Santet 

Laknat tertawa cekikikan. 

"Kau mau mengatakan siapa tamumu itu?" 

"Aku rasa dengan ketinggian ilmumu kau sudah tahu 

siapa orangnya. Tapi baik aku katakan. Aku tak mau 

berdusta pada sahabat sendiri ....'. 

"Wahai! Kau kini menganggap diriku sebagai 

sahabat? Sungguhan?!" tanya si nenek. 

Wiro mengangguk. Sepasang mata hitam dan 

menonjol si nenek kelihatan berbinar-binar lalu 

kembali dia tertawa panjang. 

"Kau kenal orangnya. Seorang gadis bernama 

Luhcinta," Wiro menerangkan. Hantu Santet Laknat 

tampak agak tercekat sesaat lalu anggukkan kepala. 

"Gadis itu! Yang kecantikannya membuat iri-para 

Peri di Negeri Atas Angin. Wahai, gerangan apakah 

yang membuat dia sampai terpesat ke puncak bukit 

ini?" 

"Dia muncul secara tidak sengaja. Sejak beberapa 

hari lalu dia dan Luhsantini berada di satu gua di 

kaki bukit. Perempuan malang bekas istri Hantu


Bara Kaliatus itu masih terkurung dalam jaring api 

biru." Sampai di situ Wiro ingat sesuatu dan hentikan 

ucapannya. Dia menatap wajah burung gagak Hantu 

Santet Laknat. 

"Apa yang ada di benakmu Wiro?" tanya Hantu 

Santet Laknat. 

"Nek, maafkan kalau aku harus membicarakan hal 

ini padamu ...." 

"Aku sudah dapat membaca hatimu dan melihat isi 

benakmu. Katakan saja lewat ucapanmu!" kata 

Hantu Santet Laknat pula. 

"Luhsantini dan Lakasipo. Mereka terjebak dalam 

jala api biru. Kabarnya tak ada yang bisa menolong 

mengeluarkan mereka dari jala itu. Hantu Bara 

Kaliatus yang mencelakai mereka. Banyak yang 

mengetahui Latandai alias Hantu Bara Kaliatus 

adalah muridmu. Dia mendapatkan ilmu jala api biru 

itu pasti darimu. Berarti selain dia, kau salah seorang 

yang mampu memusnahkan jala itu dan menolong 

membebaskan mereka. Nek, apakah kau mau 

menolong mereka? 

Luhsantini istri yang malang dan menderita sengsara 

selama bertahun-tahun akibat perlakuan jahat Hantu 

Bara Kaliatus. Lakasipo adalah saudara angkatku. 

Dia juga mengalami nasib sama. Bertahun-tahun dia 

tersiksa karena dua kakinya tenggelam dalam dua 

bola batu walau kemudian kaki-kakinya itu bisa 

dijadikan senjata sangat ampuh ...." 

"Apakah kau mengetahui bahwa Lakasipo menderita 

seperti itu juga karena perbuatanku ... ?" tanya 

Hantu Santet Laknat. Murid Eyang Sinto Gendeng


setengah terkesiap, mendengar pertanyaan yang 

merupakan pengakuan itu. 

"Ah, agaknya nenek satu ini benar-benar telah 

berubah," kata Wiro dalam hati. 

"Lakasipo pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi 

itu terjadi sebelum aku dan kawan-kawan berada di 

negeri ini. Aku tidak akan mengungkit-ungkit hal itu, 

Lagi pula Lahopeng, orang yang menjadi biang 

racun kesengsaraan Lakasipo sudah menemui ajal 

di tangan Lakasipo sendiri. Tapi aku akan berterima 

kasih besar jika kau mau menolong mereka semua." 

Lama Hantu Santet Laknat terdiam. Setelah menarik 

nafas panjang nenek ini berkata. "Aku berjanji akan 

menolong Luhsantini dan Lakasipo keluar dari jaring 

api biru. Tapi untuk melenyapkan dua bola batu di 

kaki Lakasipo memakan waktu lama. Bisa sampai 

tiga atau empat tahun ...." 

"Kalau begitu kerjakan apa yang segera bisa kau 

lakukan." Hantu Santet Laknat mengangguk "Aku 

berjanji menolong mereka. Sekarang aku harus 

pergi. Sebelum pergi aku ada satu pertanyaan dan 

satu permintaan. Kuharap kau mau menjawab satu 

pertanyaan itu dan memenuhi satu permintaan itu!" 

Wiro garuk kepalanya. "Kalau pertanyaanmu tidak 

sulit pasti akan kujawab. Kalau permintaanmu tidak 

sukar pasti akan kupenuhi." 

"Dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam tersiar 

kabar buruk mengenai dirimu. Kau dikatakan telah 

memperkosa Sepasang Gadis Bahagia cucu Hantu 

Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sehabis merusak


kehormatan mereka kau juga dituduh menganiaya 

dua gadis kembar itu. Lalu kau dituduh sebagai 

pencuri sebuah tongkat sakti terbuat dari batu biru 

yang juga milik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. 

Kemudian tersiar pula berita bahwa kau telah 

berbuat mesum dengan Luhjelita. Terakhir sekali 

yang sangat menghebohkan kau dituduh telah 

menghamili Peri Bunda! Pertanyaanku, apakah 

semua itu betul adanya?" 

Wiro tatap wajah burung gagak hitam Hantu Santet - 

Laknat lalu garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia 

berkata. "Untung nenek ini tidak menanyakan siapa 

gadis yang aku cintai di Negeri Latanahsilam ini! 

Atau lebih gila lagi, apakah aku mencintai dirinya!" 

Masih sambil menggaruk kepala, Wiro berkata "Nek, 

bagaimana aku harus menjawab. Kalau kubilang aku 

tidak melakukan semua itu mungkin tidak ada yang 

percaya. Badai fitnah telah menimpa diriku. Tetapi 

jika kau tidak keberatan, aku mau mengingatkanmu 

pada kejadian sewaktu kau berubah diri menjadi 

Luhtinti dan berusaha untuk memikatku melakukan 

hubungan badan. 

Apakah saat itu aku mau memenuhi permintaanmu? 

Padahal keadaan serba memungkinkan .... Tidak 

ada yang tahu, tidak ada yang melihat" (Baca 

Episode berjudul Hantu Santet Laknat) 

Kalau saja wajah si nenek bukan berupa muka 

burung gagak yang tertutup bulu hitam, pasti saat itu 

akan terlihat bagaimana parasnya berubah semerah 

saga. Tapi diam-diam otaknya bekerja. Dalam hati 

dia berkata. "Kalau benar dia merusak kehormatan


dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, 

mengapa ketika dua gadis itu datang ke gubuk 

mereka tidak menjatuhkan tangan jahat Padahal 

Wiro dalam keadaan tidak berdaya! Tidak mungkin 

dua gadis yang dihantui dendam kesumat begitu 

besar tidak melakukan apa-apa. Lagi pula di wajah 

atau tubuhnya tidak tampak tanda-tanda bekas 

penganiayaan. Sulit aku menduga siapa yang 

berdusta. 

Dua gadis itu atau pemuda ini. Hantu Sejuta Tanya 

Sejuta Jawab mustahil mengarang cerita..,." Sejurus 

kemudian si nenek berkata. 

"Aku percaya padamu. Kau tidak melakukan semua 

yang dituduhkan itu," kata Hantu Santet Laknat. 

"Tapi perihal tuduhan kau telah menghamili Peri 

Bunda jangan kau anggap soal kecil. Jika mereka 

tidak tidak punya bukti-bukti tidak mungkin mereka 

menjatuhkan tuduhan. Para Peri telah mengutus Peri 

Angsa Putih untuk mencarimu ...." 

"Apakah menurutmu bangsa Peri itu tidak pernak 

membuat kesalahan dan kekeliruan? Apakah para 

Peri itu hatinya tidak pernah tersentuh rasa iri, 

dengki hasut dan fitnah. Mereka tidak jauh berbeda 

dengan kita bangsa manusia. Malah pada saat yang 

tidak terduga mereka bisa lebih jahat dari kita!" 

Hantu Santet Laknat terdiam mendengar kata-kata 

Pendekar 212 itu. Wiro melanjutkan. "Aku tidak 

perduli siapa yang mencariku. Peri Angsa Putih atau 

Merah atau Hitam! Aku tidak pernah melakukan 

perbuatan keji itu ...."


"Sekarang mengenai permintaanku," kata Hantu 

Santet Laknat pula. "lngat, beberapa waktu iaiu aku 

pernah mengatakan padamu agar kau menemui aku 

di Tebing Batu Terjal di selatan Bukit Batu Kawin ...." 

"Aku ingat ..." jawab Wiro. "Kau masih menginginkan 

aku ke sana?" 

"Kau mau memenuhi permintaanku itu?" 

"Akan kupenuhi. Katakan saja kapan aku harus 

berada di sana ...." 

"Kau tidak lebih dulu hendak menanyakan apa 

keperluanku meminta kau datang ke sana?" tanya 

Hantu Santet Laknat. Wiro garuk kepala. Lalu sambil 

tersenyum dia menggeleng. 

"Aku percaya kau hanya punya satu niat. Niat baik," 

kata Wiro kemudian. 

"Kalau begitu datanglah pada dua malam 

mendatang. Aku akan menungggu di sana ...." 

"Aku pasti datang." 

"Aku pergi sekarang!" 

"Baik, tapi tunggu! Ada satu hal yang hendak 

kusampaikan padamu," kata Wiro. 

Si nenek balikkan tubuhnya yang tadi setengah 

berputar siap meiangkah pergi. Dia tegak 

memandang Wiro, menunggu apa yang hendak 

disampaikan pemuda itu. Dadanya mendadak 

berdebar.


SEMBILAN


MALAM tadi, menjelang dinihari, aku terbangun dan 

dapatkan diriku telah sembuh. Kau takadadalam 

gubuk. Diliputi perasaan gembira aku keluar. Di 

bawah satu pohon besar tak jauh dari sini aku 

melihat seorang gadis berambut panjang 

sepinggang, berpakaian putih tengah duduk 

menangis. 

Kemudian muncul seekor ular hitam besar. Gadis itu 

memangku ular tersebut, bicara dengan binatang itu. 

Ular kemudian pergi. Tak lama berselang gadis itu 

pergi pula. Aku berusaha mengejarnya tapi dia 

lenyap cepat sekali ...." 

"Kau tidak bermimpi seperti malam tempo hari?" 

tanya Hantu Santet Laknat. 

"Aku yakin aku tidak bermimpi. Karena tak berhasil 

menemukan gadis itu aku kembali ke gubuk ini 

menjelang pagi. Nek, kau pasti kenal betul kawasan 

ini. Apakah kau tahu atau bisa menduga siapa 

adanya gadis yang kulihat itu? Mungkin dia memang 

tinggal di sekitar kawasan ini?" 

"Sulit aku menduga," jawab Hantu Santet Laknat. 

"Dia muncul malam menjelang dinihari. Berpakaian 

putih dan menangis. Bersahabat seekor ular besar. 

Mungkin saja yang kau lihat makhluk jejadian ...." 

"Semula aku menduga begitu. Tapi ketika aku


memeriksa sekitar bawah pohon besar,gadis itu 

bukan makhluk jejadian. Ada bekas-bekas kakinya di 

bawah pohon ...." 

"Kalau begitu mungkin ada Peri yang turun kesasar 

ke tempat ini!" kata si nenek pula, 

"Aku yakin makhluk itu bukan seorang Peri." 

"Wahai, agaknya kau tertarik pada gadis cantik 

berpakaian putih itu. Kau ingin aku menyelidik dan 

mencarinya?" tanya Hantu Santet Laknat lalu 

tertawa cekikikan. 

Wiro hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala. 

"Ada hal lain yang hendak kau sampaikan padaku?" 

"Sekali lagi aku berterima kasih padamu Nek," kata 

Wiro pula. Hantu Santet Laknat tertawa panjang. Dia 

lambaikan tangan. 

"Jangan lupa, dua malam mendatang. Di Tebing 

Batu Terjal!" 

"Aku pasti datang Nek," kata Wiro. Setelah si nenek 

lenyap Wiro berucap seorang diri. 

"Sulit menduga. Apa benar nenek jahat itu kini telah 

berubah menjadi makhluk sangat baik?" Wiro 

keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik 

pakaiannya. Dia duduk bersila di tanah. Mata kapak 

ditempelkannya ke dadanya. Lalu setelah pejamkan 

mata murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai atur jalan 

nafas serta aliran darah. Setelah itu dia mengatur 

pula gerakan hawa sakti yang berpusat di pusarnya. 

. . 

Dibalik serumpunan semak belukar, tanpa setahu 

Wiro Luhcinta memperhatikan. Si gadis sudah sejak 

tadi berada di tempat itu dan sempat mendengar


semua pembicaraan si pemuda dengan dengan 

Hantu Santet Laknat. 

”Tebing batu terjal di selatan bukit batu kawin ......, 

mungkin aku perlu hadir secara diam-diam di tempat 

itu ” Luhcinta berkata dan mengambil keputusan 

dalam hatinya. 

"Jangan-jangan betul kabar yang tersiar di luaran. 

Dua orang ini sudah menjalin cinta gila.!” Luhcinta 

pegang keningnya yang terasa mendadak berat. 

* * 

MALAM itu adalah satu hari setelah pertemuan 

Luhcinta dengan Wiro. Di dalam gua di kaki bukit 

Luhcinta dan Luhsantini tertidur pulas. Di langit bulan 

sabit bersinar redup dan sesekaii menghilang di balik 

saputan awan hitam. Ketika awan hitam menutupi 

bulan sabit itu untuk kesekian kalinya dan suasana 

kaki bukit kembali menjadi gelap gulita serta 

diselimuti kesunyian dan udara dingin mencekam. 

Saat itulah tiba-tiba dari arah timur kaki bukit. 

berkelebat satu bayangan hitam. Gerakannya cepat 

seperti bayang-bayang. Di satu tempat sosok ini 

hentikan gerakannya. Dia berdiri tak bergerak. lalu 

memandang berkekeliling seperdi mencari sesuatu. 

Matanya yang tajam akhirnya menemui apa yang 

dicarinya yakni mulut gua di dalam mana Luhsantini 

dan Luhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera saja 

orang ini hendak melangkah cepat menuju mulut 

gua. Tapi mendadak telinganya mendengar 

sambaran angin di kejauhan.


"ltu bukan desir daun pepohonan, bukan suara 

kepak binatang malam. Ada seseorang berkepan 

daian tinggi tengah menuju ke sini!" Cepat-cepat 

orang itu menyelinap ke balik sebatang pohon besar. 

Tak lama kemudian satu bayangan lain berkelebat 

pula dalam kegelapan malam. Laksana seekor 

burung besar yang terbang rendah dia melesat ke 

mulut gua. Sesaat dia tegak memasang mata 

mementang telinga. Lalu tubuhnya lenyap masuk ke 

dalam gua.Tapi tidak lama. Beberapa saat kemudian 

dia kelihatan keluar lagi, melangkah mundur 

terbungkuk-bungkuk. Ternyata dia tengah menyeret 

sosok Luhsantini yang ada di dalam jaring api biru. 

"Aneh, diseret begitu rupa Luhsantini tidak terbangun 

dari tidurnya. Jangan-jangan orang itu telah 

menyirapnya terlebih dulu. Malam gelap sekali. Aku 

tak bisa memastikan siapa adanya orang itu. Sulit 

menduga-duga dari jarak sejauh ini. Jika dia berniat 

jahat pasti dia telah melakukannya di dalam gua. 

Tapi tidak ada salahnya aku bersiap siaga!" Orang di 

balik pohon besar berkata dalam hati lalu salurkan 

tenaga dalamnya ke tangan kanan. 

Di depan gua, orang yang barusan menyeret sosok 

Luhsantini tegak tak bergerak. Mulutnya komat 

kamit. Mungkin tengah membaca mantera. Lalu dia 

meniup ke arah kepala Luhsantini, terus ke kaki. Dari 

kaki kembali dia meniup naik sampai ke kepala. 

Selesai meniup pulang balik begitu rupa, orang ini 

masukkan ibu jari tangan kanannya ke mulut. Ketika 

dikeluarkan, ujung ibu jari yang basah itu kelihatan


memancarkan cahaya biru. Orang ini kemudian 

membungkuk. Ujung ibu jari tangan kanannya lalu 

ditempelkan ke tali jala dekat pinggang Luhsantini. 

Satu kepulan asap menggebubu di udara. Bersa 

maan dengan itu selarik cahaya biru memyap ke 

seluruh permukaan tali jala! Luhsantini yang sejak 

tadi diam tak bergerak tiba-tiba tersentak bangun 

dan berteriak keras. Dia dapatkan jala api biru yang 

selama ini melibat dirinya telah lenyap entah 

kemana. 

Pada saat ada asap menggebubu ke udara, orang di 

balik pohon merasa yakin bahwa sosok manusia di 

depan sana memang hendak mencelakai Luhsantini. 

Maka tanpa menunggu lebih lama dia segera 

hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam 

berbentuk kipas yang ditaburi serpihan-serpihan 

memancarkan cahaya berkilauan seperti bunga api, 

menderu ke arah sosok hitam yang jongkok di 

samping Luhsantini. 

"Wusss!" 

"Braaak!" 

Satu jeritan kaget dan lebih merupakan makian 

kemarahan terdengar di udara malam yang menjadi 

lebih gelap akibat bertaburnya debu dan kerikil yang 

berasal dari hancurnya mulut gua. Sosok hitam yang 

tadi ada dekat Luhsantini lenyap. 

Dari dalam gua Luhcinta tersentak bangun dan 

cepat melompat ke luar. Sesaat pemandangannya 

tertutup oleh tebaran kerikil dan debu yang masih 

menggantung di depan mulut gua. Begitu keadaan 

agak terang terlihatlah sosok Luhsantini berdiri


dengan wajah pucat, tubuh bergetar dan dua tangan 

ditekapkan ke mulut. Tak jauh dari Luhsantini berdiri 

pula satu sosok hitam yang segera dikenali Luhcinta 

bukan lain adalah makhluk muka tanah liat si 

Penolong Budiman. 

Luhcinta segera dekati Luhsantini dan rangkul tubuh 

perempuan itu. 

"Ada apa .... Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa 

lolos? Kemana perginya jaring api biru yang 

melibatmu?!" 

"Aku tidak tahu pasti ..." jawab Luhsantini dengan 

wajah masih pucat dan suara agak bergetar. 

"Aku tersentak bangun ketika ada suara meletup. 

Kulihat asap aneh mengepul seolah keluar dari 

tubuhku. Lalu jaring di sekujur badanku 

mengeluarkan cahaya biru! Aku melihat satu sosok 

hitam di dekatku. Belum sempat aku mengenali 

siapa dia adanya tiba-tiba ada cahaya hitam 

bertabur bunga api menghantam kearah orang di 

dekatku. Hantaman sinar aneh lewat di samping 

orang itu lalu menghantam mulut gua..,." 

Luhcinta melirik ke arah Si Penolong Budiman yang 

saat itu mendatangi. "Aku khawatir, jangan-jangan 

aku telah kesalahan melepas tangan," kata Si 

Penolong Budiman. 

"Aku mengira orang yang ada di dekat Luhsantini 

hendak berniat jahat. Itu sebabnya aku cepat 

melancarkan serangan dari kejauhan. Maksudku 

untuk menyelamatkan Luhsantini. Tapi aku salah 

menduga. Orang itu justru berniat baik. Hendak 

menolong membebaskan Luhsantini dari sergapan


jaring api biru. Mudah-mudahan saja dia tidak 

mengalami cidera ...." Si Penolong Budiman merasa 

sangat menyesal. Luhcinta memandang pada 

Luhsantini. 

"Orang yang menolongmu itu aku yakin adalah 

Hantu Santet Laknat. Dia yang memusnahkan jala 

api biru" 

"Bagaimana kau bisa berkata sepasti itu Luhcinta?" 

tanya Si Penolong Budiman . 

"Dia dikenal sebagai dukun jahat yang menganggap 

nyawa binatang lebih berharga dari nyawa manusia! 

Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut 

bicara Luhsantini. 

"Ada kalanya hati yang sangat jahat itu bisa berubah 

setelah tersentuh oleh apa yang dinamakan kasih ..." 

jawab Luhcinta. Luhsantini tidak mengerti maksud 

kata-kata si gadis sedang Si Penolong Budiman 

kernyitkan wajah tanah liatnya, menduga-duga apa 

arti ucapan Luhcinta barusan. 

Tentu saja Luhcinta tidak mau menerangkan bahwa 

dia telah melihat pertemuan dan mendengar 

pembicaraan antara Hantu Santet Laknat dan 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini berpaling 

pada si muka tanah liat lalu ajukan pertanyaan. "Kau 

sendiri, bagaimana bisa berada di tempat ini?" 

Si Penolong Budiman tidak bisa menjawab. Se 

benarnya malam itu dia memang sengaja 

meninggalkan telaga untuk menyelidik dimana 

beradanya gua tempat Luhcinta membawa 

Luhsantini.


"Mana kakek bernama Hantu Langit Terjungkir itu?" 

Luhcinta kembali bertanya. 

"Ada,di tepi telaga ..." jawabSi Penolong Budiman . 

"Kau seharusnya tidak meninggalkan orang tua itu. 

Bukankah kau berjanji menolong merawatnya? Kini 

dalam keadaan cidera kau tinggalkan dia seorang 

diri. Wahai, kasih dan tanggung jawab macam mana 

yang kau miliki?!" 

"Maafkan aku. Aku akan kembali ke telaga ..." kata 

Si Penolong Budiman. Lalu tanpa berkata apa-apa 

lagi dia segera tinggalkan tempat itu. 

"Luhsantini, lekas kita tinggalkan tempat ini," 

Luhcinta mengajak. 

"Aku ikut apa yang kau katakan," jawab Luhsantini. 

"Tapi kalau aku boieh bertanya, apa bukan tidak 

mungkin sebenarnya lelak! bermuka tanah liat tadi 

itulah yang telah menolong diriku?" 

Luhcinta menjawab dengan gelengan kepala. "ilmu 

Api lblis Penjaring Roh setahuku hanya dimiliki oleh 

tiga orang. Pertama seorang bermuka tengkorak 

disebut Sang Junjungan. Konon dia dianggap 

sebagai makhluk aneh yang menguasai diri Hantu 

Santet Laknat. Orang ke dua adalah Hantu Santet 

Laknat sendiri dan yang ke tiga adalah Hantu Bara 

Kaliatus. Sang Junjungan, apalagi Hantu Bara 

Kaliatus tidak mungkin menolongmu. Berarti Hantu 

Santet Laknatlah yang melakukan ...." 

"Aneh, sungguh aneh ...." Luhsantini masih tidak 

percaya dan geleng-gelengkan kepala. Luhcinta 

tersenyum dan berkata. "Disitulah letak kebesaran 

dan keagungan kasih. Kita tidak pernah bisa 

menduga apa yang bisa dilakukannya ...."


"Kau berulang kali menyebut kasih dalam setiap 

penampilan dirimu. Tapi kuiihat kau tidak begitu 

menyukai orang yang mukanya dibungkus tanah liat 

itu. Bagaimana ini ... ? Lalu kalau benar Hantu 

Santet Laknat telah berubah karena sentuhan kasih, 

siapa yang mengasihinya? Siapa yang dikasihinya?" 

Luhcinta hanya bisa tersenyum mendengar ucapan 

Luhsantini. Tanpa berikan jawaban dia cepat-cepat 

menarik tangan perempuan itu. Keduanya serta 

merta menghilang di dalam kegelapan malam. 

* *


SEPULUH


TEBlNG Batu Terjal. Tebing ini berada dalam 

kawasan bebukitan dimana di sebelah utara terletak 

bukit yang disebut Bukit Batu Kawin. 

Seperti yang pernah diceritakan di di dalam Eposide 

pertama berjudul Bola-Bola Iblis, Bukit Batu Kawin 

bagi orang-orang di Negeri Latanahsilam merupakan 

satu bukit yang sangat sakral. Karena di bukit itulah 

setiap upacara perkawinan dilakukan. Dipimpin oleh 

seorang nenek berambut putih riap-riapan bernama 

Lamahila yang dikenal sebagai sang juru nikah. 

Malam itu Tebing Batu Terjal diselimuti kesunyian 

dan kegelap gulitaan. Sesekali terdengar suara 

gelepar kelelawar yang terbang di udara kelam. 

Kadang-kadang angin yang bertiup kencang 

membuat dedaunan saling bergesek mengeluarkan 

suara berdesir aneh. Bukit ini disebut Tebing Batu 

Terjal karena lebih dari setengahnya merupakan 

batu datar membentuk dinding curam. Pada dinding 

curam ini terdapat tiga susunan batu mendatar lebar 

seperti susunan sawah bertingkat atau seperti anak 

tangga. 

Di susunan batu ke dua saat itu tampak tiga orang 

duduk bersila. Mereka duduk membentuk satu 

barisan lurus, menghadap ke lamping bukit yang 

terbuka dan gelap. Tak satupun bersuara. Tak ada 

yang bergerak. Mereka duduk diam sambil sesekali


saling pandang namun masing-masing memasang 

telinga. Di langit bulan sabit muncul begitu awan 

hitam yang sejak tadi menghalanginya bergerak 

menjauh. 

Keadaan diTebing Batu Terjal untuk beberapa 

lamanya menjadi agak terang. Namun begitu awan 

muncul kembali menutupi, suasana serta merta 

menjadi pekat menghitam kembali. Orang yang 

duduk di ujung kiri- adalah seorang lelaki berusia 

agak lanjut, bernama Laduliu. Di samping kanan 

Laduliu duduklah nenek berambut putih riap-riapan 

yang bukan lain adalah Lamahila, sang juru nikah. 

Lalu di ujung kanan, di sebelah Lamahila duduk 

sosok berjubah hitam yang memiliki wajah seekor 

burung gagak dan sudah diterka siapa adanya yaitu 

Hantu Santet Laknat. 

Lamahila mengerling pada Laduliu lalu menatap 

Hantu Santet Laknat Si nenek muka burung gagak 

yang mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia 

memandang ke depan, menyusuri lereng bukit 

sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat 

kegelapan yang menambah kecemasan hatinya. 

"Wahai, hampir tengah malam ..." kata si nenek 

bernama Lamahila. 

"Yang kita tunggu orang belum juga muncul ...." 

Lamahila termasuk orang-orang tua di Negeri 

Latanahsilam yang kalau bicara susunan kata-

katanya suka terbalik-balik.Lelaki bernama Laduliu 

ikut bicara. 

"Hantu Santet Laknat, kau yakin orang itu akan 

datang ke sini?"


"Harap kalian mau bersabar. Aku yakin dia akan 

memenuhi janji." Menjawab Hantu Santet Laknat. 

Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata 

begitu tiba-tiba di bawah bukit sana samar-samar 

kelihatan satu bayangan putih berkelebat. 

"Dia datang!" kata Hantu Santet Laknat. "Laduliu, 

lekas beri tanda agar dia tahu kalau kita berada di 

sini!" 

Dari balik pakaiannya Laduliu keluarkan sebuah batu 

bulat. Benda ini dilemparkannya di dinding terjal di 

atasnya. begitu batu dan dinding beradu maka 

terdengar letupan keras disertai memerciknya 

tebaran bunga api yang membuat tempat itu sesaat 

menjadi terang. Bayangan putih di bawah sana 

berhenti berkelebat. 

Dia memandang ke atas, memperhatikan percikan 

bunga api. Sebelum suasana menjadi gelap kembali 

orang ini telah melesat ke atas bukit.. Gerakannya 

hebat sekali hingga sebelum tujuh hitungan dia 

sudah berada di susunan ke duaTebing Batu Terjal. 

Orang yang baru datang ini segera mengenali Hantu 

Santet Laknat tadinya dia mengira si nenek hanya 

sendirian di tempat itu. 

"Wiro, kau tak usah khawatir. Dua orang ini adalah 

kerabat baikku," kata Hantu Santet Laknat. " gembira 

kau datang memenuhi permintaanku." 

Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede garuk 

kepalanya lalu berkata. "Aku sudah datang 

memenuhi janji. Sekarang harap kau mau 

menerangkan apa maksud pertemuan ini."


Nenek Lamahila batuk-batuk beberapa kali. Lalu 

membuka mulut. "Pemuda asing bernama Wiro 

Sambleng ...." 

"Wiro Sableng! Bukan Sambleng!" kata pendekar 

212 pula dengan mulut dipencongkan. 

"Maafkan aku. Lidah tua ini sukar menyebut nama 

anehmu. Kalau aku bilang Sableng padahal sableng 

artinya di negeri ini adalah kencing kuda. Hik ... hik! 

Wahai anak muda, negeri sebelum kami 

mengungkapkan maksud pertemuan ini, biarlah 

Nenek Hantu Santet Laknat menceritakan sesuatu 

menyangkut dirinya. Ini sangat penting. Karena 

tanpa kau mengetahui siapa dia adanya, sukar 

bagimu untuk menerima kenyataan ...." 

"Aku tidak mengerti ..." ujar Wiro sambil garuk 

kepala. 

"Walaupun tidak lama mengenal tapi rasanya aku 

sudah tahu siapa adanya nenek ini. Lahirnya 

memang jelek, tapi hatinya ternyata baik ... ." Hantu 

Santet Laknat menyeringai mendengar kata-kata 

Pendekar 212 itu. 

"Terima kasih, kau mau mengatakan apa adanya. 

Mukaku memang jelek tapi hatiku sekarang mungkin 

tidak seperti yang kau katakan itu. Untuk menyingkat 

waktu biarlah aku mulai saja." Hantu Santet Laknat 

memberi isyarat agar Wiro duduk bersila di 

hadapannya. Setelah Wiro duduk di batu maka 

nenek inipun memulai penuturannya. 

"Aku dilahirkan tanpa mengenal siapa ayahku siapa 

ibuku. Juga aku tidak pernah tahu apakah aku

mempunyai kakak atau adik. Aku dipelihara dan 

dirawat oleh seorang perempuan tua bernama 

Lamagundala yang kemudian kuketahui adalah 

seorang saudara sepupu dari nenek Lamahila yang 

duduk di sebelahku ini. Menurut orang yang 

mengetahui, ketika aku dilahirkan keadaanku tiada 

beda seperti bayi-bayi anak manusia yang dilahirkan 

ke muka bumi ini ...." 

. "Tapi mengapa ...." Wiro memotong penuturan si 

nenek. Hantu Santet Laknat angkat tangan 

kanannya. 

"Aku tahu maksud ucapanmu. Biarlah aku menerus 

kan cerita." Wiro garuk kepala, si nenek melanjutkan 

kisahnya. "Aku dilahirkan tiada beda dengan bayi-

bayi lainnya. Tanpa cacat, tanpa kelainan apapun. 

Namun memasuki hari ke empat puluh dan 

seterusnya terjadi perubahan pada wajahku. Sedikit 

demi sedikit mukaku mulai ditumbuhi bulu-bulu halus 

berwarna hitam. Hidung dan mulutku menyatu, lalu 

berubah membentuk paruh burung. Sepasang 

mataku mengecil dan bola mata menyembul hitam 

keluar. Rambut tipis di kepalaku berubah menjadi 

bulu-bulu kasar. Ketika aku berusia tiga ratus enam 

puluh hari, kepala dan keseluruhan wajahku telah 

berubah menjadi wajah seekor burung gagak, 

seperti yang kau lihat saat ini ...." 

Pendekar 21 2 sampai ternganga mendengar-cerita 

si nenek. "Nek, apa kau atau orang lain, mengetahui 

mengapa bisa terjadi perubahan aneh atas wajahmu 

itu?" 

"Lamagundala, orang yang merawatku, yang kini 

telah tiada memberitahu. Perubahan yang kualami


adalah akibat dosa warisan yang menjadi kutuk 

turun temurun. Konon jika kelak aku mempunyai 

anak maka anak itu akan memiliki wajah seperti 

wajahku. Aku tidak tahu dosa apa yang telah 

diperbuat kedua orang tuaku. Dosa apa yang telah 

dilakukan kedua orang tua mereka dan seterusnya. 

Kini aku anak cucu mereka yang akan kejatuhan 

warisan kutuk ini. Selama dunia terkembang, selama 

roh masih tergantung antara langit dan bumi maka 

konon selama itu pula dosa warisan itu akan 

menimpa keturunan kami." 

Pendekar 212 jadi merinding. Dia garuk-garuk 

kepala, menatap pada si nenek Ada rasa kasihan 

tapi juga ada rasa ngeri dalam hatinya. 

"Nek, apakah tidak ada orang pandai, atau mungkin 

para Peri dan para Dewa yang dapat melepaskan 

dirimu dari dosa warisan atau kutuk yang kau 

alami?" 

Hantu Santet Laknat mamandang pada sang juru 

nikah Lamahila. Nenek berambut riap-riapan ini 

anggukan kepala. Hantu Santet Laknat lalu bersuara 

menjawab pertanyaan Pendekar.212 tadi. 

"Kutuk yang jatuh padadiriku sulit untuk ditelusuri 

pangkal sebabnya. Selain itu tidak ada satu makhluk 

pun baik di bumi maupun di atas langit sana yang 

mampu membebaskan diriku dari dosa warisan 

kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah hatiku, 

merubah jalan pikiranku. Lebih lanjut merubah diriku 

menjadi seorang buruk rupa dan jahat hati. Aku 

melakukan kekejian apa saja menurut sukaku. Apa 

lagi jika ada yang mendorong. Lebih celaka ketika


aku jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan sempat 

menjadi budak suruhannya ...." 

"Kalau begitu, mungkin Hantu Muka Dua yang bisa 

menolongmu lepas dari kutuk dosa warisan itu," kata 

Wiro pula. Hantu Santet Laknat gelengkan kepala. 

"Aku pernah mendapat petunjuk yang datangnya 

dalam mimpi. Konon kutuk tersebut bisa disingkirkan 

sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni ketika 

otak keji dan hati jahatku berubah bersih, atau aku 

tenggelam dalam penyesalan mendalam. Atau ketika 

kasih suci memasuki diriku ..." 

"Kalau begitu bukankah gampang bagimu untuk bisa 

melepaskan diri dari kutukan itu? Kau hanya tinggal 

merubah semua sifatmu, meninggalkan jalan sesat 

Berbuat baik dan mengasihi sesama insan ..." kata 

Wiro pula. Wajah burung gagak Hantu Santet Laknat 

mendongak ke langit kelam. "Tidaksemudah itu 

melakukan apa yang kau katakan. Hati jahatku 

sudah mengakar sedalam samudra. Otak kejiku 

sudah menjulang setinggi langit. Namun sesekali 

ketika tabir gelap itu tersingkap secara aneh, aku 

menyadari bahwa semua yang aku telah perbuat 

sungguh merupakan dosa besar, maka ketika 

penyesalan menyelinap ke dalam hatiku dan ada 

kehendak untuk ingin hidup baik, pada saat itulah 

kutukan tersebut lenyap. Wajah burukku berubah ke 

wajah asli. Tapi tidak bertahan lama. Paling lama se 

jarak jatuh dan mengeringnya air mata penyesalan ." 

"Nek, dari kebaikan yang telah kau lakukan 

terhadapku, aku yakin kau memang sudah sampai 

pada titik penyesalan itu ...."


"Memang sudah, dan aku berhasil. Tapi seperti 

kataku tadi hanya selama jatuh sampai keringnya air 

mata di pipiku ...." 

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Memang, kau tentu 

saja tidak bisa menangis terus seumur-umur ...." 

"Pemuda asing," tiba-tiba nenek juru nikah Lamahila 

membuka mulut. 

"Sentuhan kasih telah merubah hati kerabatku ini. 

Jika kau mau, aku bisa menolong dirinya hingga 

kutuk dosa warisan akan lenyap dari dirinya untuk 

selama-lamanya. Aku percaya, aku sudah 

menyelidik, kau bisa menolohgnya ...." 

"Menolong bagaimana?" tanya Wiro 

"Kau mau menolongnya?" 

"Tentu saja," jawab Wiro 

"Benarkan? Kau berdusta tidak?" menegaskan 

Lamahila. 

"Masakan aku mau berselingkuh janji menolong 

orang yang telah menyelamatkan diriku," jawab Wiro 

pula. Tapi hati kecilnya mulai bertanya-tanya apa 

maksud semua kata-kata si nenek juru nikah itu. 

Tiba-tiba meluncur pertanyaan berikutnya dari mulut 

Lamahila. 

"Kau bersedia menikahinya?" Pendekar 212 tersurut 

dua langkah mendengar pertanyaan Lamahila itu.


SEBELAS


LAMAHILA tertawa datar. Wiro pandangi nenek 

berambut putih itu sesaat lalu menoleh pada Hantu 

Santet Laknat Pemuda ini akhirnya geleng-

gelengkan kepala. 

"Aku tidak mengira kau akan menanyakan hal itu. 

Tentu saja aku tidak bisa .... Tidak mungkin aku 

kawin dengan Hantu Santet Laknat!" Lamahila 

melirik pada Hantu Santet Laknat yang saat itu serta 

merta tundukkan kepala begitu mendengar ucapan 

Pendekar 212. Hatinya terpukul. Matanya yang 

hitam kecil menonjol tampak mulai berkaca-kaca. 

"Mengapa tidak bisa. Mengapa tidak mungkin? 

Bukankah kau sudah berkata akan bersedia meno 

longnya?" Lamahila berucap. 

"Betul, tapi mana aku menduga pertolongan yang 

kau maksudkan itu adalah dengan cara mengawi 

ninya. Aku ...." 

"Aku tahu, kau tidak mau karena kerabatku ini 

adalah seorang nenek buruk bermuka burung gagak 

hitam. Tapi anak muda sebentar tagi kau akan 

melihat bentuk tubuh dan raut wajahnya yang 

sebenarnya .... Saat ini dia berada dalam kesedihan 

yang mendalam mendengar kata-katamu tadi. Dia 

menyadari dirinya sebenarnya siapa. Walau 

penyesalan dan niat untuk kembali ke jalan baik 

sudah memasuki hati nuraninya namun dia hanya 

mampu bertahan sementara. Lihat dirinya wahai


pemuda asing. Pandang baik-baik. Apakah kau nanti 

masih tega untuk menampik permintaan kami ... ?" 

Wiro memandang ke arah Hantu Santet Laknat. Saat 

itu si nenek masih tundukkan kepala. Bahunya 

bergetar. Air mata mulai meluncur ke pipinya yang 

tertutup bulu. Mulutnya ingin mengeluarkan seribu - 

ucapan tapi dia tidak kuasa menyampaikan. 

Wahai makhluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau 

hidup tersiksa dalam kutuk yang jatuh menimpa 

dirimu bukan karena mau dan bukan karena 

kesalahanmu. Puluhan tahun kau tenggelam dalam 

kesesatan. Menyantet dan membunuh orang-orang 

yang tak berdosa. Kini ketika sentuhan kasih 

membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau 

mengambil keputusan bahwa kau bisa 

meninggalkanjalan sesat dan memilih hidup baik, 

ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. 

Wahai makhluk tua berwajah buruk. Sudah takdir 

dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara 

begini rupa seumur bumi terbentang, seusia langit 

terkembang .... " 

Hantu Santet Laknat seka deraian air mata yang 

jatuh ke pipinya. Pada saat itulah Pendekar 212 

keluarkan seruan tertahan. Matanya membeliak 

besar, memandang si nenek tak berkesip. Kakinya 

kembali bergerak tersurut. 

"Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini? Jangan 

jangan dia pergunakan ilmu hitam untuk merubah 

dirinya. Tapi .... Astaga, bukankah dia ...."


Di hadapan Wiro, Lamahila dan Laduliu, sosok 

Hantu Santet Laknat perlahan-lahan mengalami 

perubahan. Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya 

berubah menjadi sehelai baju panjang berwarna 

putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya. 

Rambutnya yang pendek acak-acakan dan sebagian 

telah berwarna kelabu berganti dengan rambut hitam 

panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke 

pinggang. Sosoknya yang seperti pohon lapuk 

penuh keriput kini berganti menjadi sosok yang 

bagus mulus, langsing semampai. Dan yang 

membuat Pendekar 212 jadi tercekat besar adalah 

ketika menyaksikan perubahan pada wajah si nenek. 

Wajah yang sebelumnya berupa wajah burung 

gagak hitam kini berubah menjadi wajah seorang 

gadis yang luar biasa cantiknya. Wiro garuk-garuk 

kepala. Matanya masih tak berkedip. 

 

"Kau .... Kau! Wajahmu sama dengan wajah gadis 

berpakaian putih yang kulihat beberapa malam lalu 

di dekat gubuk di puncak bukit! Apa ... apa kau gadis 

yang sama?" 

Hantu Santet Laknat yang berubah sosok dan 

bentuk itu tidak menjawab. Dia hanya menatap 

dengan pandangan kuyu pada pendekar 212. Lalu 

terdengar suara Lamahila. 

"Pemuda asing, gadis berpakaian putih yang kau 

lihat beberapa malam lalu di puncak bukit itu 

memang sama dan adalah juga gadis yang kini 

duduk di hadapanmu. Namanya sebenarnya adalah 

Luhrembulan.


Perhatikan baik-baik. Karena begitu air matanya 

mengering, sosok dan wajahnya akan kembali ke 

bentuk semula, buruk menjijikkan. Mudah-mudahan 

apa yang kau saksikan dapat menyentuh hatimu 

untuk menolongnya secara tulus ...." 

Wiro gigit-gigit bibirnya sendiri seolah untuk memas 

tikan dia masih merasa sakit pertanda bahwa dia 

tidak bermimpi. Lalu tangannya mulai menggaruk. 

Dia hendak mengusap matanya tapi saat itu sosok 

dan wajah gadis cantik di hadapannya telah berubah 

kembali ke sosok dan wajah Hantu Santet Laknat. 

"Anak muda, setelah menyaksikan kenyataan ini, 

apakah sekarang hatimu bisa berubah? Apakah kau 

masih tega untuk tidak mau menolongnya?" 

Lamahila bertanya. 

Masih menggaruk kepala dan masih menatap 

kearah Hantu Santet Laknat, Wiro menjawab. "Aku 

menyaksikan satu keanehan yang menyentuh hati. 

Tapi aku juga tahu kepandaian Hantu Santet Laknat 

Dia bisa merubah ujudnya menjadi apa saja yang 

dikehendakinya ...," 

"Memang dia mempunyai ilmu hitm yang disebut 

llmu Bersalin Wajah Tapi aku bersumpah demi 

segala roh yang tergantung di antara langit dan 

bumi, demi para Peri dan para Dewa. Yang kau 

saksikan tadi adalah satu kenyataan. Hantu Santet 

Laknat tidak menipumu dengan ilmu hitamnya. 

Apakah hatimu masih membeku dan perasaanmu 

masih bimbang untuk memenuhi permintaanku demi 

menolongnya?


Kau bisa membayangkan bagaimana sengsaranya 

dia. Puluhan tahun hidup tersiksa dalam kutuk akibat 

dosa warisan nenek moyangnya yang dia sendiri 

tidak tahu siapa mereka adanya atau dosa apa yang 

telah mereka lakukan!" 

"Demi Tuhan, aku ingin menolong. Tapi tidak dengan 

cara mengawininya ...." Wiro garuk kepala lalu 

bangkit berdiri dan melangkah mundar-mandir di 

hadapan tiga orang yang masih terus duduk bersila 

di atas batu. 

Si nenek bernama Lamahila tertawa perlahan tapi 

panjang. "Pemuda asing, jangan kau salah mengerti. 

Aku tidak meminta kau mengawininya, tapi 

menikahinya!" 

Pendekar212 hentikan langkah. Dia menatap pada si 

nenek juru nikah. 

"Aku tidak mengerti. Memangnya nikah dan kawin 

ada bedanya?!" tanya Wiro. "Bagiku sama saja. Tapi 

di negeriku di tanah Jawa memang ada mulut-mulut 

nakal berolok-olok. Katanya kalau nikah pakai surat. 

Entah surat apa. Mungkin surat dari Pamong Desa 

Lalu kalau kawin pakai urat! Ha. .. ha ... ha!" 

Lamahila ikut tertawa. "Aku suka mendengar olok-

olok lucu itu. Orang memang bisa kawin-tanpa nikah. 

Tapi orang juga bisa nikah tanpa kawin. Terserah 

padamu nanti. Kami di sini tidak punya surat. 

Setelah nikah nanti kau mau memgergunakan urat 

atau bagaimana terserah dirimu. Hik. .. hik ... hik. 

Yang jelas dengan pernikahan ini kau bisa menolong


nenek kerabatku ini kembali ke ujud asalnya untuk 

selamalamanya ...." 

"Nek, apapun istilah yang kau katakan, apakah 

kawin atau nikah, tetap aku tidak mungkin 

melakukannya." 

"Setahuku kau masih bujangan. Belum pernah 

menikah, entah kalau kawin .... Hik ... hi ... hik! 

Orang yang hendak kau nikahi memiliki kecantikan 

melebihi peri. Apa yang membuatmu tak mau 

menolong? 

Apakah kau telah mempunyai kekasih di Negeri 

Latanahsilam ini? 

Apa kau tak pernah memikirkan bahwa mungkin kau 

tak pernah bisa kembali ke negeri asalmu?" 

Wiro jadi terdiam mendengar kata-kata sang juru 

nikah itu. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian dia 

kembali gelengkan kepala. "Maafkan aku Hantu 

Santet Laknat . Aku ingin menolong. Mungkin ada 

cara lain ...." 

Wiro memandang pada Hantu Santet Laknat Si 

nenek balas menatapnya dengan pandangan sayu. 

Ketika matanya berkaca-kaca kembali wajah aslinya 

membayang. Hampir raut wajah itu akan sempurna 

tiba-tiba lenyap kembali. Lamahila melirik pada 

Laduliu yang duduk di sebelahnya. Lelaki ini balas 

melirik lalu anggukan kepalanya. 

"Kalau hatimu begitu teguh dan tak bisa dirubah 

wahai pemuda asing, aku ataupun Hantu Santet 

Laknat tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita 

berakhir di tempat ini. Malang nasibmu wahai 

kerabatku Hantu Santet Laknat Entah sampai kapan 

kau akan tetap berada daiam keadaan ujudmu


sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing kita akan 

segera meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Namun 

sebelum berpisah, agar hati sama bersih, tiada 

perasaan yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit hati 

apalagi dendam kesumat, ada baiknya kita sama 

sama meneguk air suci yang di sebut embun murni” 

Kata-kata Lamahila itu membuat hati dan perasaan 

Hantu santer laknat jadi terenyuh. Dia berusaha 

menabahkan diri agar tidak mengucurkan air mata. 

“Kerabatku Laduliu, harap kau segera mengeluarkan 

empat piala perak yang kau bawa." Mendengar 

ucapan Lamahila, lelaki bernama Laduliu segera 

keluarkan empat buah-piala kecil terbuat dari perak 

dari dalam sebuah kantong jerami yang sejak tadi 

terletak di atas pangkuannya. 

Empat piala itu diletakkannya di atas batu. 

Sementara itu dari balik punggungnya Lamahila 

keluarkan sebuah batangan bambu. Ketika 

penyumpal bambu dibukanya, serangkum asap tipis 

keluar dari dalam bambu menyusul menebarnya bau 

yang harum segar. Bau ini mengingatkan Wiro pada 

Tuak Kayangan minuman kakek saki berjuluk Dewa 

Tuak yang selalu dibawanya kemana-mana dalam 

dua buah tabung bambu besar. 

Dari dalam bambu Lamahila tuangkan sejenis cairan 

yang sangat bening dan mengeluarkan cahaya 

berkilauan walau tempat itu diselimuti kegelapan 

malam. Empat piala terisi penuh. Lamahila gosok-

gosok telapak tangannya satu sama lain Idu berkata.


"Semua kerabat yang ada di sini. Sebentar lagi 

masing-masing kita akan meninggalkan Tebing Batu 

Terjal ini. Sebelum pergi mari kita sama meneguk air 

suci Embun Murni ini agar hati kita sama-sama 

bersih ...." 

Si nenek yang pertama sekali mengambil piala perak 

yang terletak di depannya. Diikuti Hantu Santet 

Laknat dan Laduliu. Kini tinggal satu piala di atas 

pedataran batu. 

"Wahai pemuda asing, kalau kau tak mau menolong 

sahabat kami, apakah kau begitu tega dan sampai 

hati tidak mau sama-sama meneguk air suci Embun 

Murni?" 

Wiro garuk kepalanya. Saat itu dia masih berdiri dan 

memandang pada tiga orang yang duduk di 

pedataran batu, yang balas memandang padanya 

"Mungkin dia takut kita akan meracuninya!" berkata 

Laduliu. 

"Kalau begitu sebaiknya kau tak usah menyentuh 

minuman itu. Jika benar kami bemiat jahat dan 

minuman ini mengandung racun, biarlah kami 

bertiga menemui ajal lebih dulu!" 

Habis berkata begitu Lamahila diikuti oleh Hantu 

Santet Laknat dan Laduliu segera teguk habis isi 

piala. Wajah si nenek dan Laduliu kelihatan merah 

segar. sedang Hantu Santet Laknat tampak 

bercahaya sepasang mata hitamnya. Melihatan itu 

Wiro jadi merasa tidak enak. 

"Kalau cuma minum air dalam piala itu kurasa tak 

ada salahnya. Bau minuman itu harum menyegar 

kan. Jadi pasti bukan air kencing si nenek rambut


putih ini," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia 

garuk kepala lalu duduk bersila di pedataran batu. 

Dengan tangan kanannya diambilnya piala perak lalu 

air putih bening dan sejuk di dalam piala ini 

diteguknya sampai habis. Selesai meneguk air 

Embun Murni di dalam piala, wajah Pendekar 212 

kelihatan segar kemerah-merahan. 

Di dalam tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala 

mengalir hawa aneh sejuk yang menimbulkan 

gerasaan gembira bahagia. Pedataran batu di 

samping Tebing Batu Terjal itu terasa sangat lapang. 

Hidungnya menghirup hawa harum semerbak seolah 

dia berada di dalam taman yang penuh dengan 

bunga-bunga harum tengah berkembang. Wiro 

memandang berkeliling sambil mengulum senyum. 

Hatinya membatin. 

"Aneh, segala sesuatunya tampak indah di mataku. 

Orang-orang yang ada di hadapanku, mereka semua 

menunjukkan wajah bahagia dan senang 

terhadapku. Mereka begitu baik, mengapa aku tidak 

membalas kebaikan dengan kebaikan pula? Ah, 

hatiku sangat hiba dan kasihan terhadap mereka. 

Terutama terhadap nenek benwajah burung gagak 

ini. Betapa sengsara dirinya .... Aku harus berbuat 

sesuatu untuk menolongnya." 

"Terima kasih, kau telah mau minum bersama kami," 

kata Hantu Santet Laknat Lalu nenek ini bangkit 

berdiri. Pada Lamahila dan Laduliu dia berkata. 

"Kalian telah berusaha menolong, tapi nasib diriku 

yang buruk pinta. Aku tetap berterima kasih atas


jerih payah kalian. Semoga rahmat dari para Dewa 

akan menjadi bagian kalian. lzinkan aku meminta 

diri." 

"Tunggu dulu wahai kerabatku! Sebelum kau pergi, 

sebelum kita berpisah di malam kelam gulita ini, 

ingin aku menanyakan sekali lagi pada pemuda ini. 

Mungkin hatinya telah berubah. Mungkin perasa 

annya telah berbalik. Wahai anak muda, apakah kau 

tega membiarkan nenek malang itu pergi tanpa kau 

mau menolongnya dengan memenuhi permintaan 

kami untuk menikahinya? Aku yakin, dalam hatimu 

pasti ada rasa hiba betas kasihan ...." 

Pendekar 212 diam seperti merenung. Akhirnya dia 

berucap. "Menolong sesama manusia adalah satu 

kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari 

nenek ini. Kurasa kurang pantas rasanya kalau aku 

membiarkan dirinya sengsara seumur-umur. 

Padahal aku bisa dan mampu menolongnya ...." 

"Jadi kau bersedia aku nikahkan dengan Hantu 

Santet Laknat?" 

"Tidak dengan Hantu Santet Laknat Tapi dengan 

gadis berpakaian serba putih yang kau sebut dengan 

nama Luhrembulan itu ..." jawab Wiro. 

Hantu Santet Laknat keluarkan pekik halus. Dua 

tangannya dinaikkan ke atas dengan telapak 

terbuka. Matanya dipejamkan dan mulutnya yang 

berbentuk paruh burung gagak bergetar. Makhluk ini 

kelihatan seperti tengah menghaturkan doa. 

Perlahan-lahan air mata mengucur ke pipinya yang 

tertutup bulu hitam. Lamahila bangkit berdiri dari 

duduknya, diikuti Laduliu. Dipegangnya bahu


Pendekar 212 seraya berkata "Budimu sungguh 

luhur! Lihatlah, gadis bernama Luhrembulan itu telah 

menunjukkan ujudnya di hadapanmu. Pertanda 

sentuhan kasih sayang darimu telah mampu 

mengembalikan diriqya ke bentuk sebenamya ...." 

Wiro berpaling. Apa yang dikatakan Lamahila 

memang betul. Saat itu sosok Hantu Santet Laknat 

telah berubah kembali menjadi sosok Luhrembulan 

yang berwajah cantik jelita. Mau tak mau hati 

Pendekar 212 jadi tergerak. 

"Berdirilah anak muda. Kita berangkat sekarang juga 

menuju Bukit Batu Kawin." 'Lamahila berkata. 

Dipegangnya lengan Wiro. Wiro bangkit berdiri. Lalu 

melangkah mengikuti si nenek juru nikah. Di 

belakangnya menyusul Luhrenibulan dan Laduliu. 

* *


DUA BELAS


BUKIT Batu Kawin. Sunyi senyap diselimuti 

kegelapan. Hawa dingin mencucuk sampai ke tulang 

sungsum. Empat sosok duduk di hadapan sebuah 

batu besar setinggi lutut, menyerupai ranjang 

ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah 

gundukan batu rata-rata seperti dua buah bantal. Di 

ujung ranjang batu ada perapian kecil. 

Nenek rambut putih Lamahila masukkan sebongkah 

benda putih ke dalam perapian. Saat itu juga udara 

di tempat itu dipenuhi bau sangat harum. Hantu 

Santet Laknat yang saat itu berada dalam ujud 

wajah burung gagaknya, duduk tundukkan kepala. 

Laduliu memandang ke langit dengan mata 

terpejam. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan ke 

tigaorang itu satu persatu. 

Sesekali dia menggaruk kepala. Perasaannya 

kosong. Dia diam tak bergerak menyaksikan semua 

apa yang terjadi di hadapannya. talu dari mulut 

Lamahila keluar suara panjang meracau tak 

berkeputusan. Si nenek agaknya tengah merapal 

semacam mantera. Perapian keluarkan letupan-

letupan kecil dan bau harum semakin santar 

memenuhi bukit itu. 

"Kalian semua harap bersabar. Begitu langit di 

sebelah timur mulai terang tanda menyingsing sang 

fajar, upacara pernikahan ini akan segera kita


laksanakan. Tak pernah hatiku sebahagia ini. 

Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang 

sudah aku. nikahkan di bukit sakral ini. Tapi rasanya 

tidak ada yang seindah upacara kali ini ...." Lalu si 

nenek kembali meracau mantera. 

Ketika seberkas sinar terang memancar di langit 

sebelah timur, Lamahila hentikan rapalannya. 

Laduliu turunkan kepalanya yang sejaktadi 

mendongak. Hantu Santet Laknat menatap berdebar 

pada Wiro lalu memandang pada sang juru nikah. 

Pendekar 212 sendiri masih tetap tak bergerak dan 

perhatikan orang-orang itu dengan pandangan tetap 

kosong. 

"Fajar telah menyingsing. Upacara akan segera kita 

mulai. Semoga para Dewa memberkahi acara 

pernikahan ini!" 

** 

TAK LAMA setelah Lamahila, Wiro, Laduliu dan 

Hantu Santet Laknat meninggalkan Tebing Batu 

Terjal, di udara malam yang gelap dan bertambah 

dingin itu kelihatan berkelebat dua bayangan. 

Setelah bergerak ke berbagai jurusan beberapa 

lamanya, di satu tempat dua bayangan itu berhenti. 

Mereka ternyata adalah dua perempuan cantik. Satu 

mengenakan pakaian serba merah, satu lagi 

berpakaian biru gelap. Yang berpakaian biru gelap 

berkata. 

"Luhsantini,kau yakin tempat di mana kita berada ini 

adalah-yang disebut Tebing Batu Terjal?"


"Aku yakin sekali, Luhcinta. Aku telah sering ke 

tempat ini sebelumnya. Banyak orang di 

Latanahsilam datang kemari." 

"Tempat apa bukit batu ini sebenarnya? Mengapa 

banyak didatangi orang?" tanya Luhcinta. 

"lni bukit doa. Di sini orang-orang berdoa meminta 

sesuatu, memohon agar keinginannya dikabulkan 

oleh para Dewa," menerangkan Luhsantini. 

Luhcinta memandang berkeliling. "Kita telah 

menyelidik hampir seluruh tebing batu ini. Orang 

yang kita cari tidak ada. Mungkin ada gua 

tersembunyi di sekitar sini?" 

"Tidak ada gua di sini. Jangan-jangan ke dua orang 

itu membatalkan pertemuan di tempat ini ...." 

"Mungkin saja," kata Luhcinta. 

"Tapi aku kurang yakin. Coba kita menyelidik sekali 

lagi." 

"Tunggu dulu!" kata Luhsantini seraya memegang 

tangan Luhcinta. 

"Tidakkah hidungmu membaui sesuatu?" Luhcinta 

menghirup udara di tempat itu dalam-dalam. 

"Aku mencium bau harum aneh ..." kata gadis cantik 

yang keningnya ditempeli sekuntum bunga tanjung 

kuning ini. 

"lkuti aku," kata Luhsantini. Dia bergerak ke kanan. 

Tiba-tiba tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu. 

Terdengar suara berkerontangan di pedataran batu 

itu. 

"Aku menendang sesuatu..." kata Luhsantini sambil 

memandang ke bawah. Luhcinta lebih cepat Saat itu 

dia telah mengambil benda.yang tersentuh kaki


Luhsantini tadi lalu memperlihatkannya pada 

Luhsantini. 

"Piala perak.." desis Luhsantini. "Aku rasa-rasa 

pernah melihat piala seperti ini sebelumnya. 

Dimana... kapan ... ?" Luhsantini dekatkan piala 

perak itu ke hidungnya. Dia menghirup bau minuman 

aneh. Mungkinkah minuman suci bernama Embun 

Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini 

menyebut "Tebing Batu Terjal .... Piala perak. Wiro 

.... Hantu Santet Laknat .... Agaknya telah terjadi 

satu upacara pemanjatan doa di tempat ini. Doa 

khusus karena jarang yang mempergunakan piala 

dari perak. Biasanya cukup piala dari tanah ...." 

"Luhsantini, lihat! Ada tiga piala lagi bertebaran di 

tempat ini!" berseru Luhcinta lalu menunjuk pada tiga 

buah piala yang bertebaran di pedataran batu yang 

gelap itu. 

"Tiga piala perak. Empat dengan yang kupegang. 

Berarti ada empat orang melakukan satu upacara di 

tempat ini. Wiro, Hantu Santet Laknat Lalu siapa dua 

orang lagi?" Luhsantini coba berpikir menduga-duga. 

Dalam hati dia membatin. "Hanya ada satu 

kemungkinan. Dua orang itu mungkin Lamahila dan 

pembantunya si Laduliu ...." Paras Luhsantini 

mendadak berubah. 

"Aku khawatir terjadi sesuatu dengan pemuda itu," 

kata Luhcinta. 

"Sebelumnya .dia berjanji akan datang ke gua 

dimana kita berada. Tapi dia tak pernah muncul. Hai, 

aku ingat sesuatu. Ketika aku mencuri dengar 

pembicaraan Wiro dengan Hantu Santet Laknat


tentang rencana pertemuan mereka, nenek itu selain 

menyebut Tebing Batu Terjal dia juga menyebut 

nama satu bukit. Kalau aku tidak salah ingat bukit 

bernama Bukit Batu Kawin. Menurut si nenek Tebing 

Batu Terjal ini terletak di selatan Bukit Batu Kawin. 

Aku kira ...." 

"Cukup!" kata Luhsantini tiba-tiba seraya menarik 

tangan Luhcinta. 

"Untung kau ingat dan menyebut nama bukit itu! 

Letaknya tak jauh dari sini. Kita menuju ke sana 

sekarang juga!" 

"Wahai, menurutmu apakah Wiro dan Hantu Santet 

Laknat pergi ke bukit itu!" 

"Aku khawatir, mereka bukan cuma pergi ke sana! 

Tapi jangan-jangan telah melakukan satu upacara!" 

Paras Luhcinta dalam gelap mendadak berubah. 

"Upacara apa?" tanya si Luhcinta pula. Lalu dia 

menjawab sendiri dengan berkata. "Kalau memang 

mereka melakukan upacara,setahuku Bukit Batu 

Kawin adalah satu-satunya tempat mengadakan 

upacara perkawinan! Tapi siapa yang kawin?!" 

Mendadak gadis itu merasa tidak enak. Mukanya 

berubah lagi menjadi pucat . "Sudah! Jangan 

membuang waktu! Lekas kita ke sana sekarang 

juga!" kata Luhsantini lalu cepat-cepat menarik 

tangan gadis itu. 

Dl BAWAH cahaya fajar menyingsing Bukit Batu 

Kawin tampak indah sekali dari kejauhan. Dua 

perempuan berpakaian merah dan biru yang bukan 

lain adalah Luhsantini dan Luhcinta datang berlari 

dari arah tenggara, naik ke puncak bukit secepat 

yang bisa mereka lakukan. Ketika mereka sampai di 

puncak Bukit Batu Kawin hari telah terang. Dalam


kesunyian yang hanya disaput oleh sapuan suara 

angin di kejauhan - terdengar suara orang berucap 

lantang, 

"Disaksikan oleh matahari penerang jagat, disirami 

oleh cahaya yang hangat bersih pertanda membawa 

keberuntungan bagi setiap insan. Aku Lamahila, juru 

nikah di Negeri-Latanahsilam ingin menanyakan 

pada kalian.Tapi sebelum pertanyaan diajukan 

terlebih dahulu harap kalian menerangkan nama 

katian satu persatu!" 

"Aku Wiro Sableng!" 

"Aku Luhrembulan!" kata Hantu Santet Laknat yang 

saat itu masih berujud burung gagak hitam. 

"Celaka!" kata Luhsantini setengah berseru. 

"Jangan-jangan kita datang terlambat! Percepat 

larimu Luhcinta!" 

Luhcinta yang sejak dari Tebing Batu terjal sudah 

merasa khawatir, mendengar ucapan Luhsantini 

segera kerahkan seluruh kemampuannya. 

Dia.melesat sebat dan tinggalkan Luhsantini 

beberapa tombak di belakangnya. . 

"Pengantin lelaki bemama Wiro Sableng. Pengantin 

perempuan bemama Luhrembulan. Berdirilah kalian. 

Mendekatlah satu sama lain. Letakkan dua tangan 

Kalian diata satu dengan yang lainnya. Lalu 

genggam erat-erat”. 

Lamahila menatap tajam pada dua orang di 

hadapannya itu. Sementara matahari mulai naik dan 

keadaan di puncak bukit Batu Kawin bertambah 

terang. Wiro bangkit berdiri . Begitu juga Hant Santet 

Laknat. Keduanya lalu bergerak saling mendekat. 

Dalam jarak hanya terpisah setengah langkah di


nenek ulurkan dua tangannya. wiro menyambuti. 

Empat tangan saling bertindih lalu menggenggam 

satu sama lain.Kalau wiro memandang kosong ke 

wajah burung gagak dihadapannya. Maka Hantu 

santet laknat menatap dengan mata berkaca-kaca. 

”Wahai wiro sableng, apakah kau bersedia aku 

nikahkan dengan gadis yang terlahir dengan nama 

Luhrembulan yang kini dua tangannya berada dalam 

genggaman dua tanganmu?" 

Sebelum menjawab Wiro hendak tarik tangan kirinya 

untuk menggaruk kepala. 

"Anak manusia bernama Wiro Sableng! Jawab saja 

pertanyaanku! Jangan pakai menggaruk kepala 

segala! Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan 

Luhrembulan?" 

"aku bersedia” jawab Wiro, keras tapi agak tercekik. 

.Air mata mengucur deras dari dua mata burung 

Gagak Hantu Santet Laknat Tubuhnya bergetar. 

"Wahai mahluk malang terlahir dengan nama 

Luhrembulan, apakah kau bersedia aku nikahkan 

dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng yang 

jarijarinya kau genggam dengan penuh khidmat?" 

"Aku bersedia, karena aku mengasihinya dengan 

sepenuh hati!" Jawab Hantu Santet Laknat. Saat itu 

juga satu cahaya biru memancar di tubuh Hantu 

Santet Laknat. Sosoknya mulai dari kepala sampai 

ke kaki mendadak sontak berubah. Jubah hitam 

kumalnya kini menjadi sehelai pakaian putih 

panjang. Muka burung gagaknya berganti dengan 

wajah seorang gadis cantik jelita. Air mata mengucur


dari dua matanya yang bagus. Rambut hitam 

panjangnya bergoyang indah dihembus angin pagi. 

Luhcinta dan Luhsantini sampai di puncak Bukit Batu 

Kawin. Luhcinta serta merta hendak menghambur ke 

hadapan orang-orang yang ada di dekat ranjang 

batu. Tapi Luhsantini cepat memegang erat 

tangannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah 

batu besar yang tertutup semak belukar lebat. 

"Kita memang terlambat Luhcinta. Upacara 

pernikahan sudah dilaksanakan .... Mereka telah 

berpegangan tangan ...." 

"Mereka siapa?" tanya Luhcinta dengan suara 

gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu 

memandang ke depan. Saat itu terdengar suara 

lantang sang juru nikah Lamahila. 

"Wiro Sableng dan Luhrembulan! Kalian berdua -

telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa 

yang kalian ucapkan di dengar oleh para Dewa dan 

semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. 

Semoga kalian mendapat berkah. Saat mi kalian 

telah resmi menjadi suami istri!" 

"Menjadisuami istri?" Wiro kerenyitkan kening lalu 

garuk-garuk kepala. Di batik batu besar dan semak 

belukar, Luhcinta merasa lututnya goyah. Tanah 

yang dipijaknya seolah runtuh. Sosoknya niscaya 

jatuh terduduk kalau tidak lekas dipegang oleh 

huhsanthi. 

"Siapa gadis berpakaian putih itu .... Siapa dia?" 

Ucapan itu taerulang kali kesuar dari mufut Luhcinta. 

"Luhcinta, ada apa dengan kau? Astaga ... kau 

menangis! Tubuhmu berguncang! Kau sakit atau


bagaimana?" Luhsantini bicara seperlahan mungkin 

agar tidak terdengar orang-orang di sebelah sana. 

"Luhsantini, tolong aku. Bawa aku meninggaikan 

bukit ini. cepat! Seolah ada sejuta jarum menusuk 

jantung dan hatiku ... Aku ... aku tidak Mau 

menyaksikan semua ini. Aku tidak sanggup mende 

ngar ucapan nenek berambut putih itu! Aku inging 

pergi dari sini. Bawa aku pergi Luhsantini. Aku ingin 

mati saja! Aku ingin mati sajal" 

Luhsantini menjadi bingung.Dia hendak bertanya, 

dia hendak mengguncang tubuh gadis ltu. Tapi saat 

itu mendadak sosok Luhcinta berubah lunglai. 

Sebelum gadis ini jatuh terjerembab di tanah 

Luhsantini cepat rangkul pinggangnya. Dia berusaha 

menyadarkan gadis itu dengan menepuk-nepuk 

pipinya. 

"Astaga! Dia pingsan!" Luhsantini memandang ke 

tempat Wiro dan yang lain-lainnya berada. Sulit 

kuduga, sulit kuduga. Ada apa sebenarnya di antara 

mereka!" Luhsantini cepat mendukung sosok 

Luhcinta lalu tinggalkan puncak Bukit Batu Kawin. 

"Wahai Wiro dan Luhrembulan, sekarang kalian 

berdua telah menjadi sepasang suami istri yang 

saling mencinta. Aku dan Laduliu tidak ingin 

berlama-lama di tempat ini. Ranjang perkawinan 

telah tersedia. Selagi matahari belum panas 

menyengat, selagi hawa pagi begini segar dan 

keharuman masih menebar tempat ini, mengapa 

kalian berdua tidak segera bersenang-senang, 

melaksanakan hajat sebagai suami istri? Selamat 

tinggal wahai sepasang pengantin!" Lamahila


memberi isyarat pada Laduliu. Lalu kedua orang ini 

segera tinggalkan tempat itu. 

Kini tinggal Wiro dan Luhrembulan berdua. Angin 

sejuk di puncak Bukit Batu Kawin bertiup lembut. 

Luhrembulan menatap tersenyum pada Pendekar 

212 Wiro Sableng. "Aku sangat berterima kasih. Aku 

benar-benar merasa bahagia. Budimu tak akan 

kulupakan sepanjang masa. Berkat pertolonganmu 

aku telah kembali ke ujud asliku seperti yang kau 

lihat ...." 

"Kau cantik sekali. Belum pernah aku melihat gadis 

secantikmu di negeri ini ..." memuji Wiro sambil 

tersenyum. 

"Kecantikanku, apapun yang ada di diriku, bukankah 

semua kini menjadi milikmu?" ujar Luhrembulan, 

gadis yang berubah ujud itu. Lalu dia menyambung 

ucapannya. 

"Aku akan abdikan diriku menjadi seorang istri yang 

baik dan setia...." 

"Seorang istri memang seharusnya begitu. Tapi 

kalau aku boleh bertanya kau akan mengabdikan diri 

pada siapa?" 

Pertanyaan Wiro terasa aneh di telinga Luhrembulan 

Karena menganggap Wiro'bergurau dia pun 

menjawab. "Kepada siapa lagi, kalau bukan 

kepadamu, suamiku." 

"Aku suamimu?!" Wiro tertawa lebar. 

"Kau bergurau, Luhrembulan. Eh, betul namamu 

LuhrembuIan?" 

"Kau yang bergurau wahai suamiku. Bukankah 

barusan saja kita melangsungkan upacara 

pernikahan di Bukit Batu Kawin ini ...."


"Upacara pernikahan? Siapa yang nikah? Kita?!" 

Luhrembulan semakin merasa aneh melihat sikap 

,dan mendengar ucapan-ucapan Wiro. Dalam hati 

dia membatin. 

"Dia tidak seperti bergurau. Apa yang terjadi dengan 

dirinya? Tidak mungkin! Bagaimana dia bisa berucap 

aneh seperti itu!" 

'”Wiro! Nenek Lamahila disaksikan oleh pembantu 

nya Laduliu telah menikahkan kita di tempat ini! Kau 

dan aku resmi menjadi suami istri. Kau mau 

menikahiku karena hatimu tulus bersih untuk 

menolongku kembali ke ujud asliku! Kini kau lihat 

sendiri keadaanku! Aku bukan lagi nenek buruk 

benwajah burung gagak hitam bernama Hantu 

Santet Laknat itu! Aku kini adatah Luhrembulan. 

Istrimu!" 

Wiro garuk kepala. "Lamahila menikahan kita! 

Dan kau kini adalah istriku! Gusti Allah! Bagaimana 

semua ini bisa terjadi?!" 

Pada saat Wiro menyebut nama Tuhan, tiba-tiba 

menggelegar suara guntur. Puncak Bukit Batu Kawin 

bergeletar seperti digoncang gempa. Di langit 

menyambar halilintar dua kali beihrut-turut. Langit 

pagi yang tadinya cerah mendadak berubah gelap. 

Hujan deras disertai gemuruh angin dahsyat 

menyapu puncak bukit 

"Wiro!" Luhrembulan berteriak memanggil. Udara 

tambah gelap. Gadis itu tak dapat melihat lebih jauh 

dari tiga langkah. 

"Wiro!" teriak Luhrembulan lebih keras. Tapi 

suaranya lenyap tenggelam ditelan gemuruh deru 

angin. Lalu satu gelombang angin yang sangat 

kencang datang menerpa. Gadis ini terpelanting


sampai beberapa tombak. Untung dia masih sempat 

menyambar dan mendekap sebatang pohon besar. 

Kalau tidak niscaya dirinya terlempar masuk ke 

dalam jurang batu sedalam seratus tombak. Di 

jurang inilah dulu Luhrinjani, istri Lakasipo menemui 

ajal bunuh diri. (Baca Episode pertama berjudul 

Bolabola lblis) 

Angin laksana badai masih terus melanda puncak 

Bukit Batu Kawin. Pohon besar tempat Luhrembulan 

berlindung berderak-derak. "Kalau pohon ini 

tumbang celaka diriku!" Luhrembulan berpaling di 

belakang dimana membentang jurang dalam dan 

gehp menggidikkan. 

"Wiro suamiku ... ! Dimana kau! Wahai para Dewa, 

tolong dia. Selamatkan dirinya!" 

Tak selang berapa lama angin deras mulai reda. 

Udara yang tadinya gelap perlahan-lahan kembali 

terang. Luhrembulan keluar dari balik batang pohon 

besar tempat dia berlindung. Dia memandang ke 

seantero puncak Bukit Batu Kawin. Tapi Wiro tak 

ada lagi di situ. Takseorangpun kelihatan di tempat 

itu. 

* *


TIGA BELAS


KITA tinggalkan Luhrembulan yang kehilangan 

Pendekar 212 Wiro Sableng di puncak Bukit Batu 

Kawin. Kita kembali kepada Lakasipo yang 

nyawanya telah diselamatkan oleh Peri Angsa Putih 

dari tangan maut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus 

yang adalah saudara kandungnya sendiri. Sang Peri 

yang menunggangi angsa putih raksasa ternyata 

membawa Lakasipo ke satu tempat tak jauh dari 

telaga dimana Si Penolong Budiman dan Hantu 

Langit Terjungkir berada. 

"Peri Angsa Putih, aku berterima kasih kau lagi lagi 

telah menyelamatkan diriku dari bahaya maut!" 

berkata Lakasipo begitu dirinya yang masih 

terbungkus jala api biru diturunkan ke tanah. 

"Tak perlu berterima kasih padaku..Karena nasib 

baik sebenarnya yang telah menolong dirimu!" jawab 

Peri Angsa Putih sambil tegak membelakangi 

Lakasipo. 

"Aneh sekali sikapnya 'kali ini," kata Lakasipo dalam 

hati. "Suaranya ketus dan dia bicara tidak mau 

melihat padaku ...." 

"Kau tahu!" Peri Angsa Putih kembali membuka 

mulut sambil tetap berdiri membelakangi Lakasipo. 

"Aku menolongmu karena aku butuh satu 

keterangan penting!"


"Kita bersahabat. Jangankan satu, seribu keterangan 

pun kalau kau tanya dan aku bisa menjawab pasti 

akan kujawab!" Peri Angsa Putih keluarkan suara 

mendengus. 

"Kau bisa bicara begitu tapi pertanyaan yang satu 

inipun aku sangsikan apa kau mau menjawab!" 

"Katakan saja! Aku pasti menjawab!" 

"Dimana pemuda bernama Wiro Sableng sahabatmu 

itu berada?" Lakasipo tatap punggung sang Peri. 

Ketika dia tidak segera menjawab tiba-tiba Peri 

Angsa Putih membalik dan membentak. "Terbukti 

kau tidak mau menjawab! Kau tidak memberitahu! 

Kau sama saja busuk menjijikkan seperti dua 

sahabat Wiro bernama Setan Ngompol dan Naga 

Kuning!" 

"Peri Angsa Putih, kita bersahabat. Aku banyak 

menerima budi pedolongan darimu. Sungguh aku 

tidak menyangka kau akan bicara seperti itu 

padaku!" 

"Saat ini memang baru mulutku bicara! Jangan 

sampai dua tanganku ikut bicara!" 

"Peri Angsa Putih ...." 

"Jawab saja pertanyaanku! Dimana Pendekar 212 

Wiro Sableng berada?!" 

"Aku tidak tahu! Dia dibawa kabur oleh nenek 

bemama Hantu Santet Laknat," jawab Lakasipo. 

"Aku tidak percaya!" Lakasipo habis kesabarannya. 

"Kau bertanya. Aku menjawab memberitahu! Jika 

kau tidak percaya itu adalah urusanmu!" 

Peri Angsa Putih kembali keluarkan suara men 

dengus. Sambil memutar tubuh dengan air muka 

mengejek dia berkata. "Jangan harapkan aku akan 

menolong dirimu keluar dari dalam jala itu, Lakasipo!


Aku datang bukan untuk menolongmu! Aku datang 

mencari saudaramu bemama Wiro Sableng itu! Dia 

telah menghamili Peri Bunda!" 

Lakasipo sesaat jadi terkesiap mendengar kata-kata 

sang Peri. Rasa jengkel membuat hilang sikap 

hormatnya pada Peri Angsa Putih. Maka diapun 

membuka mulut dengan suara lantang. 

"Aku tidak akan mengemis meminta tolong padamu! 

Aku tidak akan menjatuhkan diri di bawah lututmu 

agar kau melepaskan diriku dari dalam jaring ini! 

Dan aku tidak perduli dengan ucapanmu tentang 

saudara angkatku! Karena aku berani bersumpah 

kaki ke atas kepala ke bawah, biar kau mati dengan 

roh tersiksa seumur dunia, saudaraku Wiro Sableng 

tidak akan pemah melakukan perbuatan mesum itu! 

Siapapun yang menghamili Peri Bunda, perbuatan 

itu pasti tidak dilakukan secara paksa. Pasti terjadi 

atas dasar suka sama suka!" 

"Lakasipo! Jaga mulutmu! Jangan memandang 

rendah kami bangsa Peri!" bentak Peri Angsa Putih. 

"Aku tidak pernah memandang rendah siapapun! 

Tapi bukan rahasia lagi kalian bangsa Peri sejak 

bertahun-tahun belakangan ini telah terpengaruh 

akan kehidupan wajar sebagaimana kami bangsa 

manusia! Kalian mendambakan cinta kasih. lngin 

dikasihi dan ingin mengasihi! Jika salah seorang dari 

kalian melakukan kesalahan karena tak dapat 

menahan diri, masuk ke dalam kehidupan berkasih 

sayang, kalian lantas mengutuk dan mengucil 

kannya! Bukankah itu yang telah kalian lakukan 

terhadap Hantu Jatilandak?


Bayi yang terlahir dari perkawinan seorang Peri 

dengan Lahambalang! Padahal bayi itu tidak 

menanggung dosa tidak menanggung kesalahan! 

Kehidupan hebat seperti itukah yang kau banggakan 

wahai Peri Angsa Putih?! 

Sekarang menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak 

ingin melihat dirimu! Aku tidak ingin bicara lagi 

denganmu! Kalian bangsa Peri hidup dengan lain 

kata lain perbuatan! 

Sungguh memalukan! 

Kalian hidup bersembunyi dibalik topeng kesucian! 

Padahal apa yang kami lakukan bangsa manusia 

juga ingin kalian lakukan! Bercinta berkasih sayang! 

Kawin!" 

(Mengenai Hantu Jatitandak dan Lahambalang baca 

Episode berjudul Hantu Jatilandak) 

Wajah Peri Angsa Putih menjadi marah seperti saga 

mendengar kata-kata Lakasipo itu. Didorong oleh 

hawa amarah yang menggelegak, tanpa disadarinya 

Peri Angsa Putih tendangkan kaki kanannya. 

Lakasipo dan jala api biru yang membungkusnya 

terpental sampai dua Iombak. Walau tadi sang Peri 

menendang tidak sepenuh hati hingga dia tidak 

sampai semburkan darah, tapi tetap saja Lakasipo 

merasa dadanya seperti hancur. Sakitnya bukan 

main. Namun sakit badan tidak seberapa jika 

dibandingkan dengan rasa sakit hati. Dia berusaha 

bangkit dan duduk di tanah. Matanya memandang 

tak berkesip pada Peri Angsa Putih yang tegak 

terkesima seolah menyesal telah menendang lelaki 

itu.


"Peri Angsa Putih, aku tidak akan melupakan apa 

yang hari ini kau lakukan terhadapku!" kata Lakasipo 

dengan suara bergetar menahan amarah dan sakit. 

"Apa yang terjadi dengan Negeri Atas Langit. 

Apakah sudah terjungkir balik hingga kau 

menjatuhkan tangan sejahat ini kepadaku?!" 

Tiga bayangan tiba-tiba berkelebat. Menyusul suara 

berucap. "Lakasipo, kami saudara-saudara 

angkatmu juga tidak melupakan apa yang kami lihat 

hari ini!" Lakasipo berpaling dan melihat Naga 

Kuning serta Setan Ngompol tegak di sampingnya. 

Di dekat mereka berdiri pula banci berkepandaian 

tinggi yang dikenal dengan nama Betina Bercula. 

"Kalian. .." ujar Lakasipo. "Apa kalian juga 

mendengar apa yang telah diucapkannya tentang 

saudara kita Wiro Sableng?" 

"Kami sudah mendengar. Sebelumnya dalam satu 

pertemuan dia juga telah mengatakan hal itu! Tapi 

siapa yang percaya! Seperti katamu tadi kehidupan , 

para Peri kini jauh dari suci! Entah siapa yang 

menghamili, Wiro yang difitnah! Keterlaluan!" Yang 

bicara adalah Naga Kuning. 

"Bocah konyol bermulut seenaknya! Jika kalian tidak 

percaya silahkan datang ke Puri Kebahagiaan! 

Kalian saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Peri 

Bunda. Dia terbaring menderita malu besar dan 

sengsara berat!" 

"Jika Peri Bunda memang hamil tanpa adanya 

keributan, berarti dia sendiri ikut senang melakukan 

perbuatan itu! Mengapa kini persoalannya dibesar-

besarkan?


Bukankah kau menambah malu kaummu sendiri?" 

"Jika terbukti Peri Bunda berlaku seperti itu dia pasti 

mendapat hukuman. Tapi sahabatmu Wiro Sableng 

tidak akan lolos dari tangan kami!" 

Sambil pegang bahu Lakasipo Si Setan Ngompol 

memandang pada Peri Angsa Putih dan berkata. 

"Peri Angsa Putih, kau memang wajib menyelidiki 

persoalan ini sampai tuntas. Mencari tahu siapa 

yang telah menyebabkan hamilnya Peri Bunda. Tapi 

jika seandainya orang itu tidak berhasil diketahui dan 

tidak dapat ditemukan, aku Setan Ngompol bersedia 

dengan hati ikhlas menjadi ayah pengganti calon 

bayi yang akan dilahirkan; Kasihan Kalau bayi itu 

sampai lahir tanpa punya ayah! Tapi kuharap kalian 

para Peri segera memberi persetujuan jauh hari 

sebelum sang bayi lahir." Habis berkata begitu si 

kakek berpaling pada Naga Kuning lalu kedipkan 

matanya. 

Ke dua orang ini kemudian tertawa gelak-gelak. Si 

Betina Bercula ikut tertawa cekikikan. Di dalam jala 

Lakasipo akhimya tak dapat pula menahan ledakan 

tawanya. Peri Angsa Putih tak dapat lagi menahan 

amarahnya. Tangan kanannya diangkat dan siap 

dihantamkan ke arah orang-orang yang ada di 

tempat itu. Namun tiba-tiba satu tangan halus 

mencekal lengan nya hingga sang Peri tak mampu 

menggerakkan tangan barang sedikitpun. Ketika dia 

berpaling terkejutlah Peri Angsa Putih. 

"Luhrinjani ..." desis sang Peri. 

"Wahai, kau sudah tahu namaku. Berarti aku tidak 

perlu menerangkan lagi siapa diriku!" Yang muncul 

dan memegang tangan Peri Angsa Putih memang


adalah Luhrinjani, makhluk setengah manusia 

setengah roh jejadian yang dulunya adalah istri 

Lakasipo, tapi kemudian menemui ajal karena bunuh 

diri di jurang Bukit Batu Kawin. (Baca Bola Bola 

Iblis). 

"Luhrinjani, kau lagi-lagi berani mencampuri 

urusanku dan menghalangi diriku yang hendak 

mengambil tindakan! Sungguh kurang ajar 

perbuatanmu! Apa kau lupa kalau kami bangsa Peri 

yang memberikan kehidupan baru padamu setelah 

kau menemui kematian di dalam jurang batu?! 

Kau makhluk rendah yang tidak tahu berterima 

kasih!" 

"Wahai Peri Angsa Putih, aku Luhrinjani tidak pernah 

melupakan pertolongan kalian bangsa Peri. Aku juga 

bukan makhluk yang tidak tahu berterima kasih. 

Tetapi itu bukan berarti aku akan menelan mentah-

mentah semua perbuatanmu. Bukan berarti aku 

harus diam mematung kalau kau hendak mencelakai 

para sahabat dan suamiku sendiri. Kau tadi 

menendang Lakasipo. Padahal dia terada dalam 

keadaan tidak berdaya? Apa itu satu perbuatan 

berbudi luhur? Atau memang begitu kini cara hidup 

kalian bangsa Peri dari Negeri Atas Langit!" 

Peri Angsa Putih kerahkan tenaga untuk lepaskan 

lengannya yang dicekal. Tapi tidak berhasil. 

Luhrinjani tersenyum. Perlahan-lahan dia kendurkan 

cekalannya hingga Peri Angsa Putih bisa 

melepaskan diri. Begitu tangannya bebas tanpa 

banyak cerita lagi Peri ini segera melompat ke atas


punggung angsa putih tunggangannya dan melesat 

terbang meninggalkan tempat itu. 

"Peri geblek!" kata Naga Kuning begitu angsa putih 

dan penunggangnya lenyap di kejauhan. 

"Makhluk-makhluktolol!" Betina Bercula berucap. 

"Siapa yang tolol! Apa maksudmu?!" tanya Naga 

Kuning. 

"Soal Peri hamil saja diributkan! Kuda atau sapi 

bunting tidak pemah jadi masalah! Tidak pernah 

dicari siapa yang menghamili! Hik.. hik! Sebenamya, 

wahai! Bagaimana rasanya kalau hamil itu! 

Ingin,sekali aku merasakannya! Apakah di antara 

kalian ada yang mau menghamili diriku?!" 

Orang-orang yang ada disitu sama memandang 

temganga ke arah Betina Bercula. Lalu semuanya 

tertawa gelak-gelak. Tidak terduga tiba-tiba enak 

saja tangan-lelaki banci berkepandaian tinggi ini 

bergerak ke bawah pusar Setan Ngompol yang 

sedang meleng karena sibuk menahan kencing. 

"Kek! Awas kantong menyanmu mau disambar!" 

Naga Kuning mengingatkan. Setan Ngompol cepat 

menyingkir sambil memaki panjang pendek. "Banci 

kalengan! Kau selalu saja mencari kesempatan!" 

Betina Bercula tertawa cekikikan. Julurkan lidahnya 

sambil menowel-nowel puncak hidungnya dengan 

ujung telunjuk tangan kanan. 

*** 

TAMAT 


Segera terbit!!! Serial. : 

HANTU SELAKSA ANGlN 

(HANTUSELAKSAKENTUT)

 

0 komentar:

Posting Komentar