WIRO SABLENG EPISODE HANTU SELAKSA ANGIN
SATU
SENGATAN sinar matahari di wajah dan sekujur
badannya menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Perlahan-lahan dia buka kedua matanya tapi serta
merta dipicingkan kembali, tak tahan oleh silaunya cahaya
matahari. Sambil melindungi matanya dengan tangan kiri
Wiro mencoba bangkit dan duduk di tanah.
“Ampun, sekujur tubuhku sakit bukan main. Tulang-
tulang serasa copot. Kepalaku mendenyut tak karuan. Apa
yang terjadi dengan diriku...?” Wiro buka kembali sepasang
matanya. Lalu memandang berkeliling. Dia dapatkan
dirinya berada di satu kawasan berbatu-batu di kaki
sebuah bukit kecil. Pakaiannya kotor bahkan ada robekan-
robekan di beberapa tempat. Lengan serta kakinya lecet.
Ketika dia meraba kening sebelah kiri ternyata kening itu
benjut cukup besar. Di depan sana dia melihat beberapa
pohon besar bertumbangan. Semak belukar berserabutan
dan bertebaran di mana-mana.
“Kaki bukit batu... Pohon-pohon tumbang... Sunyi. Di
mana ini... Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Wiro
kembali memandang berkeliling. Dia coba mengingat-ingat
sambil menggaruk kepala. Seperti diceritakan dalam
episode terdahulu, “Rahasia Perkawinan Wiro”, sebelum
dinikahkan oleh Lamahila, si nenek juru nikah itu telah
memberi minuman yang disebut Embun Murni kepada
Wiro. Akibat meneguk minuman aneh itu Wiro menjadi
seperti hilang kesadarannya dan mau melakukan apa yang
dikatakan si nenek. Bahkan dia tidak sadar kalau telah
melakukan upacara pernikahan dengan Hantu Santet
Laknat yang berubah ke ujud aslinya, berupa seorang dara
cantik jelita bernama Luhrembulan.
“Edan!” Wiro tepuk keningnya sendiri. “Otakku tak bisa
bekerja! Jangan-jangan otakku sudah tak ada lagi dalam
batok kepala!” Wiro jitak-jitak keningnya sendiri hingga
mengeluarkan suara tuk... tuk... tuk. Pendekar ini lalu
menyeringai sendiri. “Ah...! Dari bunyinya jelas otakku
masih ada dalam kepala. Tapi mengapa aku tak bisa
berpikir, tak bisa mengingat-ingat! Agaknya aku harus
menenangkan diri, atur jalan nafas dan peredaran darah!
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan diriku!” Wiro
ingat pada senjatanya. Dia susupkan tangan ke balik
pakaian. Dia merasa lega. Ternyata Kapak Maut Naga Geni
212 masih terselip di pinggangnya. Lalu batu sakti hitam
pasangan kapak juga ada di dekat senjata itu.
Untuk sesaat Wiro genggam hulu kapak sakti bermata
dua itu. Hawa sejuk memasuki tangannya, perlahan-lahan
mengalir ke dalam tubuh. Di dalam aliran darah hawa
sejuk itu berubah menjadi hangat. Bilamana perasaan dan
pikirannya menjadi tenang, Wiro rubah duduknya jadi
bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha, mata
dipejamkan. Begitu dirasakannya ada ketenangan dalam
dirinya, sang pendekar mulai mengerahkan hawa sakti
serta mengatur pernafasan dan aliran darah dalam
tubuhnya.
Tak selang berapa lama didahului dengan menghirup
udara segar lewat hidung, kemudian perlahan-lahan
menghembuskannya lewat mulut, Wiro buka sepasang
matanya.
“Hemmm... Syukur otakku tidak sableng benaran. Kini
aku ingat apa yang terjadi. Aku berada di puncak bukit
ketika tiba-tiba badai datang mengamuk. Mungkin aku
dihantam badai celaka itu, terlempar ke bawah bukit ini.
Sebelum terlempar aku ingat betul. Ada satu suara
memanggil namaku. Siapa dia...? Luh... Luhrembulan!
Astaga...! Bukankah gadis cantik penjelmaan Hantu Santet
Laknat itu yang memanggil aku sebagai suaminya?
Katanya aku dan dia telah dinikahkan oleh Lamahila. Ya
Tuhan! Bagaimana semua itu bisa terjadi?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta bangkit berdiri.
Dia memandang ke puncak bukit. “Luhrembulan... Apakah
dia masih ada di atas bukit itu? Jangan-jangan badai telah
mencelakainya. Apakah aku harus menyelidik naik ke atas
bukit? Tapi kalau aku memang sudah jadi suaminya, bisa-
bisa aku... Gila! Aku tak mau cari penyakit. Lebih baik
segera aku angkat kaki saja dari tempat ini!” Wiro
layangkan lagi pandangan ke arah puncak bukit lalu tanpa
menunggu lebih lama dia segera balikkan badan untuk
melangkah pergi. Tapi belum sempat langkah dibuat tiba-
tiba dari balik serumpunan semak belukar melesat dua
sosok tubuh. Lalu dari atas sebatang pohon miring,
laksana seekor burung besar melayang turun seorang
berpakaian serba hitam. Dari sepasang matanya
menyambar dua larik kobaran api.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersurut satu langkah. Dia
cepat memasang kuda-kuda. Dua kaki tegak merenggang
seperti dipantek ke tanah. Dua tangan disilang di depan
dada. Saat itu dia dapatkan dirinya telah dikurung oleh tiga
orang. Ternyata tidak cuma tiga! Orang ke empat muncul
dari balik tumbangan pohon besar. Dia melangkah sambil
menggoyang sebuah rebana yang ada kerincingannya di
tangan kiri. Mukanya yang kempot keriputan cengar-cengir.
Barisan giginya tonggos berserabutan ke depan. Setiap
langkah yang dibuatnya seperti orang menari mengikuti
suara kerincingan yang sesekali diseling tabuhan rebana.
Di punggungnya tersisip sebuah payung terbuat dari
rangkaian daun-daun kering. Lalu di sebelah bawah
kelihatan celananya yang di bagian belakang selalu
didodorkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap
tersingkap ke mana-mana!
“Pelawak Sinting palsu! Jahanam ini dulu yang hampir
mencelakaiku di sarangnya Hantu Muka Dua...” membatin
Wiro. “Kabarnya sejak didamprat saudara kembarnya Si
Pelawak Sinting asli, dia telah berubah baik. Sekarang dia
muncul di sini! Apa membawa niat baik atau niat jahat! Apa
dia muncul bersama yang lain-lain ini?”
Wiro melirik ke samping kiri. Di situ tegak sosok berju–
bah hitam berwajah dan bertubuh jerangkong. Makhluk ini
bukan lain adalah Sang Junjungan, guru Hantu Santet
Laknat. Sebelumnya Wiro memang tidak pernah melihat
makhluk ini hingga tidak mengetahui siapa dia adanya.
Orang ke tiga berdiri berdampingan dengan orang ke
empat. Yang di sebelah kanan ternyata adalah Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Otaknya yang terletak di atas
kepala tampak mendenyut keras, mukanya mengelam
pertanda orang tua berkepandaian tinggi ini tengah
berusaha menindih hawa amarah yang saat itu
menggelegak di dadanya. Dua matanya memandang
garang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Sebaliknya
Wiro balas memandang dengan hidung dan mulut
dipencongkan. Dalam hati dia berkata. “Bangsat tua yang
otaknya di luar kepala ini yang telah mencelakai diriku.
Kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat, tendangan
beracunnya pasti membuat aku saat ini sudah berada di
alam roh! Sialan betul!”
Di sebelah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tegak
seorang kakek berpakaian serba ungu. Dialah Lawungu,
kakek yang pernah disantet oleh Hantu Santet Laknat.
Berkat sebuah sendok sakti terbuat dari emas bernama
Sendok Pemasung Nasib kakek yang hampir meregang
nyawa ini berhasil ditolong dan disembuhkan.
Tidak beda dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,
kakek satu ini juga memandang penuh geram pada Wiro.
Seperti dituturkan dalam episode “Badai Fitnah
Latanahsilam”, demi menolong Pendekar 212 Wiro
Sableng, Hantu Santet Laknat mengikat Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab dengan ular jejadian yang sebenarnya
adalah tali yang terbuat dari akar gantung pohon besar.
Ilmu hitam si nenek ternyata berhasil membuat Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak berdaya. Hantu Santet
Laknat kemudian melarikan Wiro, membawanya ke sebuah
gubuk di satu bukit di mana dia memberikan pengobatan
pada sang pendekar hingga sembuh.
Begitu juga Lawungu. Ketika dia muncul dan hendak
menolong Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Naga Kuning
dan Setan Ngompol bersama Betina Bercula yang juga
muncul tak terduga di tempat itu segera bertindak. Kakek
satu ini berhasil mereka lumpuhkan dengan jalan menotok.
Setelah itu baik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab maupun
Lawungu dipermainkan habis-habisan oleh ketiga orang itu.
Lawungu dikencingi mulutnya oleh Setan Ngompol sedang
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pakaiannya sebelah
bawah perut disusupi berbagai binatang seperti
kalajengking, kodok, semut rangrang, kadal, cacing dan
sebagainya.
Bagaimana kini dua kakek sakti itu bisa membebaskan
diri lain tidak adalah berkat pertolongan Si Pelawak Sinting
palsu yang kebetulan lewat di tempat itu. Semula Si
Pelawak Sinting yang otaknya agak miring angin-anginan ini
tidak mau menolong kedua orang itu. Namun setelah
dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga melepaskan ikatan di
tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu memusnahkan
totokan yang membuat kaku tegak Lawungu. Malah
kemudian karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan
dua kakek itu, Si Pelawak Sinting palsu mengikuti
perjalanan keduanya.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Lawungu jelas
tidak bersahabat denganku! Sebelumnya mereka hendak
menggantungku. Nyawaku pasti amblas kalau tidak
ditolong Hantu Santet Laknat. Si muka jerangkong ini
melihat gerak-geriknya dia juga tidak berada di pihakku.
Entah si Pelawak Sinting brengsek itu...” Begitu Wiro
membatin. Dia memutuskan berdiam diri. Menunggu apa
yang hendak diperbuat orang-orang yang telah
mengurungnya itu. Ternyata Wiro tidak menunggu lama.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuka mulut pertama
kali. Suaranya keras lantang dan bergetar.
***
PEMUDA asing seribu laknat seribu keparat! Akhirnya
kutemui juga kau! Kali ini jangan harap bisa lolos dari
tanganku!”
“Orang tua! Percuma otakmu berada di luar kepala. Kau
pasti masih saja menuduhku sebagai perusak dan
penganiaya dua cucumu!”
“Hal itu sudah jelas!” ikut bicara Lawungu. “Sebelum
sahabatku ini membunuhmu lekas kau memberitahu di
mana beradanya nenek jahat bernama Hantu Santet
Laknat itu!”
Seperti diketahui, Lawungu membekal dendam
kesumat sangat besar terhadap si nenek karena Hantu
Santet Laknatlah yang telah menyantet tubuhnya hingga
hampir menemui ajal dalam keadaan membusuk.
Sebenarnya diam-diam Lawungu dan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab juga tengah mencari Setan Ngompol dan
Naga Kuning yang beberapa waktu lalu telah mengerjainya.
Tapi karena ada rasa takut terhadap Naga Kuning, maka
Lawungu tidak menanyakan tentang kedua orang itu pada
Wiro.
Wiro melirik ke arah orang bermuka tengkorak
berbadan jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Sang
Junjungan. Orang ini tegak tak bergerak. Rambut putih di
batok kepalanya kelihatan aneh. Di dalam sepasang
matanya yang bolong kelihatan cahaya merah seperti ada
kobaran api di dalam kepalanya. “Agaknya si makhluk
jerangkong ini tidak datang bersama Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab dan kakek jubah ungu itu,” Wiro menduga
dalam hati.
Tiba-tiba ada suara kerincingan disusul suara rebana
ditabuh. “Na... na... na... Ni... ni... ni!” Di sebelah sana si
Pelawak Sinting mulai menyanyi sambil menari. Pantatnya
tersingkap ogel-ogelan kian kemari!
“Jahanam sinting! Berhenti menabuh rebana! Tutup
mulut dan berhenti menari! Aku tidak membawamu kemari!
Kau yang mengikuti perjalanan kami berdua. Jadi harap
kau tahu diri! Jangan mengacau urusan orang lain! Kalau
tidak bisa berdiam diri lindang hapus dari sini!” Yang
membentak penuh marah adalah Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab.
Dibentak seperti itu Si Pelawak Sinting tampak kaget.
Mukanya yang keriput sampai pucat sesaat. Lalu dia
geleng-geleng kepala. “Nasibku buruk amat! Karena hati
gembira aku menari dan menyanyi. Tapi orang
menganggap aku mengacau! Aku diusir pergi! Mungkin
suaraku tidak bagus! Tarianku buruk!”
“Pelawak Sinting! Jangan kau mengomel tak karuan di
sini!” Lawungu ikut membentak.
Si Pelawak Sinting letakkan rebananya di atas kepala.
Lalu di atas rebana ini diletakkannya gagang daun payung.
Walau melangkah sambil goleng-golengkan kepala tapi
rebana dan payung itu tidak jatuh. Sembari berjalan ke
arah satu pohon besar kakek ini menjawabi bentakan
Lawungu dengan gerutuan.
“Terima kasih! Aku tidak mengomel. Hanya saja apa
kau tidak bisa mengingat budi orang? Kalau aku tidak
menemukan kalian berdua, kalau bukan aku yang
menolong kalian akan mati membusuk di tengah rimba
belantara! Tidak kalian usirpun aku memang ingin pergi!
Orang sinting macamku mana cocok di satu tempat dengan
orang-orang hebat seperti kalian!” Si Pelawak Sinting
songgengkan pantatnya lalu teruskan langkahnya.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab marah bukan main.
Lawungu hendak mengejar kakek itu tapi Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab cepat memberi isyarat dan berkata.
“Biarkan saja orang gila itu pergi! Kita tidak
membutuhkannya lagi! Urusan kita adalah dengan pemuda
jahanam ini!”
“Na... na... na! Ni... ni... ni! Terima kasih! Begitulah sifat
manusia. Ketika membutuhkan, mengemis bahkan
menjilat pantat orangpun mau! Hik... hik! Tapi kalau sudah
terlepas dari kesulitan, uhhh... Sombongnya minta ampun.
Hik... hik... hik!” Sambil melangkah ke arah pohon besar di
depannya Si Pelawak Sinting palsu terus nyerocos. “Orang
bijak berkata bahwa orang tua-tua itu menjadi pegangan
hati dan perasaannya, menjadi cermin otak dan jalan
pikirannya, menjadi panutan sikap dan tindakannya. Tapi
kalian berdua semakin tua semakin lupa diri. Tidak heran
kalau berkat dan perlindungan para Dewa tidak sampai
atas diri kalian! Musibah berkepanjangan. Tidak heran
makhluk yang namanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
kini tidak punya kemampuan lagi untuk jadi tempat
bertanya dan tempat mencari jawab! Na... na... na! Ni... ni...
ni! Hik... hik!”
Wajah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjadi merah
padam mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting palsu itu.
Wiro sendiri sempat tercengang tapi sekaligus membatin.
“Jangan-jangan apa yang dikatakan kakek sinting itu benar
adanya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah kehilangan
kepandaiannya dalam mengetahui banyak hal. Karena
sikap dan perbuatannya telah banyak menyimpang. Tidak
lagi mendapat restu Yang Kuasa!”
Otak di atas kepala Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
mendenyut keras seperti hendak meledak keluar. “Tua
bangka jahanam ini harus kupatahkan batang lehernya
sekarang juga!” katanya penuh geram.
“Sabar wahai kerabatku! Jangan sampai terpancing!
Manusia tak berguna itu bisa kita urus kemudian. Yang
penting pemuda ini dulu!” Kembali Lawungu memberi ingat
sahabatnya itu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terpaksa tekan
amarahnya yang meluap. Dia dan Lawungu berpaling
kembali menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng. Akan
halnya Si Pelawak Sinting ternyata kakek ini tidak benar-
benar pergi. Begitu dia kelindungan di balik pohon, dengan
satu lompatan enteng dia melesat ke atas pohon lalu
duduk di salah satu cabang. Luar biasanya walau dia
membuat lompatan cukup tinggi, rebana dan payung di
atas kepalanya tidak bergerak seolah menempel erat.
Kerincingan yang ada di sekeliling rebana juga tidak
mengeluarkan suara sedikitpun!
“Pemuda asing! Apa kau mendadak jadi bisu! Tidak
mau menjawab pertanyaanku! Di mana beradanya Hantu
Santet Laknat! Kami tahu dia yang membawamu setelah
mencelakai sahabatku ini!” Lawungu kembali membuka
mulut.
“Dia memang membawaku. Dia mengobati luka dalam
akibat tendangan beracun kakek yang otaknya di luar
kepala ini! Setelah menolong diriku dia pergi begitu saja. Di
mana dia kini berada aku tidak tahu!”
“Hemmm...” Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
keluarkan suara bergumam. “Setelah menerima budi orang
kau unjukkan sikap baik, sengaja melindungi dirinya. Tidak
mau memberitahu di mana dia berada! Makin jelas bagiku
kalau kau memang terlibat cinta dengan nenek jahat buruk
itu!”
Wiro jadi kesal. Dalam hati dia membatin. “Tua bangka
berotak geblek! Kalau kau melihat ujud asli Hantu Santet
Laknat, rasanya aku berani bertaruh mencungkil mataku
sendiri. Kau pasti terpikat habis-habisan padanya!” Wiro
pandangi otak si kakek yang bertengger berdenyut di atas
kepalanya. Murid Sinto Gendeng lalu meneruskan
ucapannya.
“Aku memang tidak tahu di mana nenek itu berada!
Bukan karena ingin melindunginya. Tapi karena aku orang
tolol tidak tahu apa-apa! Sebaliknya kau orang pintar!
Percuma kau bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
kalau tidak mampu mengetahui di mana Hantu Santet
Laknat berada. Mungkin benar ucapan Si Pelawak Sinting
tadi. Kau telah kehilangan kepandaianmu karena kelewat
sombong! Mulai hari ini biar kuganti namamu menjadi
Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu!”
Mendidihlah amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
mendengar ejekan Pendekar 212. Apalagi Lawungu ikut
membakar.
“Sahabatku! Orang tak mau memberi keterangan.
Apalagi yang ditunggu. Kita habisi dia sekarang juga!”
“Kau benar Lawungu! Tanganku memang sudah gatal
ingin menghajarnya! Dia tidak layak berada lebih lama di
bumi Latanahsilam ini! Tempatnya adalah alam kematian!
Rohnya akan tergantung sengsara antara langit dan bumi!
Aku lebih puas jika aku sendiri yang menghabisinya!”
Begitu selesai berucap Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
langsung menerjang.
Sebenarnya melihat Wiro dalam keadaan hidup
merupakan satu tanda tanya besar bagi kakek sakti yang
otaknya ada di luar batok kepala ini. Sebelumnya dalam
satu perkelahian dia berhasil menghantam dada Pendekar
212 dengan Tendangan Hantu Racun Tujuh. Selama ini
tidak ada satu orangpun yang selamat dari tendangan itu.
Kalaupun mampu bertahan maka dalam waktu dua hari
akhirnya akan menemui ajal. Kalau Wiro masih hidup
berarti memang ada seorang berkepandaian tinggi yang
telah menolongnya. Tetapi sulit dipercaya kalau Hantu
Santet Laknat yang menolong pemuda ini. Walau tadi dia
menuduh Wiro mempunyai hubungan asmara dengan
Hantu Santet Laknat namun setahu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab si nenek sejak lama berseteru hebat dengan
Wiro dan kawan-kawannya.
Sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melesat di
udara. Kakek sakti ini siap melancarkan pukulan yang
disebut Menara Mayat Meminta Nyawa. Ini merupakan
salah satu serangan sangat berbahaya. Jelas si kakek
memang ingin membunuh Wiro. Sang pendekar tentu saja
tidak tinggal diam. Sebelumnya dia mempunyai rasa
hormat dan kagum terhadap orang tua ini. Ternyata sifat
dan sikap serta bicara Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
jauh berbeda dengan apa yang diduganya. Karenanya
Wiropun tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu dirinya
diserang dia segera siapkan pukulan Sinar Matahari di
tangan kanan sedang tangan kiri digerakkan untuk
melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
Tiba-tiba dari arah kiri menggelegar satu bentakan.
Suara bentakan ini seolah datang dari liang jurang batu
yang dalam hingga untuk beberapa lamanya menggema di
seantero tempat.
“Tahan serangan!”
Menyusul berkelebat satu bayangan hitam, membuat
gerakan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertahan.
Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu
terdorong ke samping.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terkejut besar.
Terlebih ketika dia melihat yang barusan memapaki
serangan mautnya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng
adalah si jubah hitam muka tengkorak tubuh jerangkong.
“Makhluk salah ujud! Tempatmu seharusnya di neraka!
Jadi kalau kau sesat datang kemari jangan berani
mencampuri urusan orang!” Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab membentak marah. “Setahuku bukankah kau
adalah guru Hantu Santet Laknat. Kita memang tidak
berada di satu pihak. Tapi adalah aneh kau membela
pemuda asing yang menjadi musuh muridmu itu! Malah
bukankah kau yang selama ini memberi perintah pada
Hantu Santet Laknat untuk menghabisi pemuda asing ini
bersama teman-temannya?! Jangan memaksa diriku untuk
ikut menghabisi dirimu saat ini juga!”
Makhluk muka tengkorak yang dipanggil dengan
sebutan Sang Junjungan tertawa bergelak.
“Otak anehmu rupanya tahu banyak. Kau tentunya
makhluk paling pintar di bumi Negeri Latanahsilam ini. Tapi
mengapa tadi pemuda itu menyebutmu sebagai Hantu
Sejuta Tolol Sejuta Dungu! Ha... ha... ha...! Orang tua
berotak aneh! Kau dengar baik-baik. Langit di atas bumi
Latanahsilam ini boleh tetap sama. Samudera yang
mengelilingi negeri ini juga tetap sama. Tapi ujud hubungan
manusia bisa berubah!”
“Apa maksudmu?” tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab.
“Sahabatku! Kau tidak perlu bicara berpanjang lebar
pada makhluk yang kesasar datang dari liang kubur ini!
Kau bunuh pemuda asing itu! Aku biar menghabisi
jahanam sesat bermuka tengkorak bertubuh jerangkong
ini!” Yang bicara adalah Lawungu.
Ketika Sang Junjungan memapasi serangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Pendekar 212 sebenarnya juga
merasa heran. Semula dia menduga makhluk muka
tengkorak itu menghalangi serangan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab karena dia tidak ingin kedahuluan. Karena
pasti dia juga membekal maksud untuk membunuh dirinya.
Namun mendengar ucapan si muka tengkorak tadi, hati
sang pendekar jadi bertanya-tanya.
Setuju akan ucapan Lawungu maka Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab segera menyerbu. Dari tangan kanannya yang
dihantamkan ke arah Wiro menderu keluar satu gulungan
sinar putih sebesar batang kelapa. Dalam jarak beberapa
langkah dari Wiro tiba-tiba sinar ini memecah menjadi
tujuh! Inilah kedahsyatan ilmu pukulan yang disebut
Menara Mayat Meminta Nyawa!
Di bagian lain Lawungu sudah menghantam pula ke
arah si muka tengkorak. Dua tangannya dipukulkan ke
depan. Dua larik sinar ungu berkiblat dari ujung-ujung
lengan jubahnya! Si muka tengkorak berseru keras ketika
merasakan tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
laksana dihimpit dua dinding batu!
“Pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh!” teriak si muka
tengkorak mengenali pukulan yang dilepaskan Lawungu.
***
SETELAH berteriak makhluk muka tengkorak tubuh
jerangkong yang dikenal dengan panggilan Sang
Junjungan itu angkat dua tangannya di depan dada,
lalu ditepiskan ke kiri dan ke kanan. Bersamaan dengan itu
dia goyangkan kepalanya. Dari sepasang matanya yang
hanya merupakan bolongan melesat keluar dua larik lidah
api. Lalu dari dua tangannya yang tadi dipukulkan
menyilang menderu satu gelombang angin yang
dahsyatnya bukan alang kepalang!
Wusss! Wusss!
Bummm!
Sang Junjungan terpental dua tombak.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede terbeliak
kaget ketika melihat apa yang terjadi dengan sosok Sang
Junjungan. Akibat pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh
yang dilancarkan Lawungu, tubuh makhluk muka
tengkorak badan jerangkong itu ciut gepeng laksana habis
digencet dua batu besar! Walau masih berdiri tapi tingginya
hanya tinggal selutut. Dari tubuh gepeng itu mengepul asap
kelabu. Dari mata, telinga, liang hidung dan mulutnya
mengucur cairan putih.
“Aneh, apakah makhluk ini memiliki darah berwarna
putih...” pikir Wiro. Dia terus memperhatikan.
Tubuh gepeng Sang Junjungan berdiri dengan lutut
goyah, terhuyung limbung. Jubah hitamnya menjela-jela di
tanah dan kelihatan hangus robek di beberapa bagian,
menyembulkan sosok tubuhnya yang hanya merupakan
tulang belulang putih. Sang Junjungan gerak-gerakkan
kepalanya berulang kali. Dua tangannya digeliatkan ke
samping. Lalu sepasang kakinya yang tinggal pendek
dihentak-hentakkan ke tanah. Rambut putihnya berjingkrak
tegak seperti kawat. Tiba-tiba, rrrttttt!
Seperti sebuah benda kenyal terbuat dari karet, tubuh
Sang Junjungan membal ke atas, berubah panjang,
kembali ke bentuknya semula!
Di bagian lain kakek berjubah ungu Lawungu terduduk
di tanah. Mukanya yang penuh keriput kelihatan merah
kelam dan mengepulkan asap seperti udang baru direbus.
Bahu dan dadanya tersentak-sentak. Dari mulutnya
mengucur darah merah. Jubah ungunya tak karuan rupa,
hangus dan cabik-cabik di sana-sini. Matanya terbelalak
memandang ke arah Sang Junjungan.
“Seumur hidup baru kali ini pukulan Bumi Langit
Menghimpit Roh yang kulepaskan tidak sanggup
memusnahkan lawan! Seharusnya dia sudah hancur ludes
berkeping-keping.” Lawungu batuk-batuk beberapa kali.
Dari mulutnya menyembur darah kental. “Aku terluka di
dalam...” si kakek menyadari apa yang terjadi dengan
dirinya. Dua tangannya cepat ditekapkan ke dada untuk
mengalirkan tenaga dalam.
Dengan susah payah Lawungu coba bangkit berdiri.
Mukanya semakin mengelam merah ketika di depan sana
makhluk muka tengkorak keluarkan suara tertawa
mengekeh. Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara
rebana ditabuh, disusul gema suara kerincingan. Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke atas pohon besar.
Ternyata Si Pelawak Sinting palsu berada di atas pohon itu,
duduk berjuntai di salah satu cabang sambil memukul
rebana dan menggoyang kerincingannya. Ketika tahu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke arahnya, kakek
geblek ini julurkan lidahnya! Sang Junjungan kembali
tertawa mengekeh. Lalu dia hentikan tawanya dan
memandang dengan dua bolongan merah yang merupakan
mata di kepala tengkoraknya.
“Sudah lama aku mendengar kehebatan pukulan sakti
Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata hanya ilmu kosong
tak ada apa-apanya! Lawungu, apa kau masih punya daya
menghadapiku barang dua tiga jurus lagi?!”
Rahang Lawungu sampai menggembung dan keluarkan
suara bergemeretak saking marahnya mendengar ejekan
orang. Kakek ini jadi kalap.
“Makhluk sesat keparat! Aku mengadu nyawa
denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan
kembalikan kau ke sana!”
Wuuuttt!
Tubuh Lawungu berkelebat. Sosoknya berubah menjadi
bayang-bayang ungu. Dibarengi suara menggemuruh
bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima,
melabrak ke arah Sang Junjungan. Inilah serangan yang
disebut Badai Lima Penjuru. Sosok Sang Junjungan seolah
dihantam badai yang datang dari lima penjuru, semuanya
melabrak dari arah depan!
Makhluk muka tengkorak keluarkan teriakan keras.
Lalu melompat setinggi dua tombak. Sambil menghindari
serangan Badai Lima Penjuru orang ini pukulkan dua
tangannya ke depan. Belasan larikan sinar biru
menggelegar di udara, bergulung membuntal membentuk
dua jaring besar yang kemudian menukik menerpa ke arah
Lawungu.
“Api Iblis Penjaring Roh!” seru Lawungu kaget. Dia yang
sudah tahu kehebatan jaring api biru ini segera jatuhkan
diri ke tanah lalu berguling menjauh. Jaring pertama jatuh
di atas sebuak semak belukar. Semak belukar ini langsung
tenggelam dan musnah dalam kobaran api. Jaring kedua
mendarat di atas sebuah batu besar. Batu ini
bergemeretak keras, hancur lebur dalam kepingan
berwarna merah menyala!
Lawungu usap mukanya yang pucat. Tengkuknya
keluarkan keringat dingin. Nyalinya bukan saja ciut akibat
serangan ganas dua buah jaring api biru tadi, tapi dia juga
jadi terperangah karena serangan Badai Lima Penjuru yang
dilancarkannya hanya menghantam udara kosong lalu
menyambar beberapa pohon besar hingga bertumbangan.
Dalam hati Lawungu membatin. “Kalau aku terus
melayani makhluk ini dalam pertempuran jarak jauh, cepat
atau lambat aku pasti akan kena dicelakainya. Tak ada
jalan lain. Aku harus mengeluarkan ilmu Menyatu Jazad
Dengan Alam. Tubuhnya harus aku pantek ke pohon atau
ke batu. Tapi bagaimana caranya aku bisa merangsak
mendekatinya!”
Sementara itu di bagian yang lain Pendekar 212 Wiro
Sableng tengah menghadapi serbuan serangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tubuh si kakek telah berubah
menjadi bayang-bayang putih. Tendangan dan pukulannya
mendera ganas. Wiro yang sebelumnya pernah berkelahi
melawan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan hampir
menemui ajal akibat tendangan Hantu Racun Tujuh
berlaku sangat hati-hati.
Dalam lima jurus pertama Wiro keluarkan jurus-jurus
Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila. Walau
dia bisa mengimbangi namun ada rasa khawatir lawan
akan berhasil menjebol pertahanannya. Maka murid Sirito
Gendeng menghantam dengan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera, disusul dengan terjangan Segulung
Ombak Menerpa Karang. Selagi lawan dibikin sibuk Wiro
lanjutkan gerakannya dengan jurus-jurus hebat dari ilmu
silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget
ketika merasakan gelombang serangan lawan
mengeluarkan hawa aneh yang membuat tubuhnya
tertekan ke belakang sementara kuda-kuda sepasang
kakinya menjadi berat, membuat dia sulit bergerak cepat
walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Karenanya tidak menunggu lebih lama kakek ini segera
keluarkan ilmu andalannya yaitu Memeluk Bumi
Menghantam Matahari.
Tangan kiri Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendadak
berubah menjadi panjang. Meluncur seperti ular besar,
melibat ke bagian belakang Wiro. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya datang menggebuk dari depan.
Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan ketika tiba-
tiba merasa lehernya kena dicekal lalu ditarik ke depan. Di
saat yang sama dari depan datang melabrak jotosan
tangan kanan lawan yang mempunyai daya berat atau
bobot sebesar lima puluh kati!
Wiro cepat bentengi dirinya dengan jurus Membuka
Jendela Memanah Matahari. Dua tangannya menghantam
ke kiri dan ke kanan.
Bukk! Bukkk!
Dua lengan saling beradu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab hampir tidak percaya ketika merasa dua kakinya
terangkat dari tanah sampai satu jengkal. Tangan
kanannya yang dipakai menjotos seperti dihantam
pentungan besi. Sambil menahan sakit kakek ini terpaksa
melompat mundur. Wiro yang menyangka berhasil
mendesak lawan dengan cepat kirimkan serangan susulan
dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan
kanannya laksana kilat menyusup ke atas, mencari
sasaran di dagu si kakek. Tetapi justru saat itu Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah menunggu dengan ilmu
yang bisa membuat lawan menjadi kaku dan gagu tanpa
menyentuh. Tangan kanannya diletakkan di otak di atas
kepalanya. Lalu tangan kiri dipukulkan di depan.
“Pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot! Wiro! Cepat
menghindar!” Tiba-tiba ada orang berteriak.
Pendekar 212 serta merta ingat. Dengan ilmu itulah
dulu dia pernah dilumpuhkan oleh Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Ketika dia dibawa lari diselamatkan Hantu
Santet Laknat dia hanya mampu memusnahkan
kelumpuhan pada jalan suaranya tapi dia sama sekali tidak
sanggup membebaskan tubuhnya dari kekakuan.
“Benar-benar goblok kalau aku sampai dua kali kena
dikerjai kakek sialan ini!” pikir Wiro. Tapi entah mengapa
dua kakinya mendadak seperti hilang rasa. Otaknya masih
bekerja menyuruhnya segera melompat tapi saat itu Wiro
merasa seolah dia tidak punya kaki lagi!
“Celaka!” keluh murid Sinto Gendeng. “Kakek sialan ini
pasti punya ilmu aneh! Aku tak bisa menggerakkan kaki!
Aku tak bisa melompat selamatkan diri!”
Sesaat lagi angin pukulan yang melumpuhkan itu akan
menyentuh muka dan tubuh Pendekar 212 mendadak ada
suara siutan keras. Sebuah benda ungu melayang di udara,
memapas antara Wiro dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Lalu terdengar suara orang berteriak.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Tahan serangan!”
Kakek berjubah putih yang otaknya di atas kepala itu
tersentak kaget Dia cepat menarik pulang tangannya
ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di
hadapannya itu. Namun terlambat! Angin pukulan
Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa
sosok yang melayang di depan Wiro. Begitu terkena sosok
ini langsung kaku dan, buukkk! Jatuh bergedebuk keras di
tanah!
“Lawungu!” teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu
dengan cepat dia jatuhkan diri menubruk sosok Lawungu
yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku. Mulutnya
terbuka tapi suaranya yang keluar hanya suara megap-
megap.
Sang Junjungan tertawa mengekeh sambil rangkapkan
tangan di depan dada. Dialah tadi yang telah melemparkan
sosok Lawungu untuk dipakai sebagai tameng melindungi
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya antara Lawungu
dan Sang Junjungan kembali terjadi pertempuran hebat.
Ternyata Lawungu tidak mampu menghadapi lawannya.
Delapan jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat,
Sang Junjungan berhasil menggebuknya dengan beberapa
pukulan. Ketika dia terhuyung hampir roboh, Sang
Junjungan yang melihat bahaya besar mengancam Wiro
segera sambar tubuh Lawungu lalu dilemparkannya ke
arah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah
melepas pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot, Akibatnya
tak ampun lagi serangan yang melumpuhkan itu
menghantam kawan sendiri!
Suara tawa Sang Junjungan membuat Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab seperti dipanggang. Darahnya
mendidih. Otak di dalam selubung bening di atas
kepalanya mendenyut keras dan mengepulkan asap!
Perlahan-lahan dilepaskannya sosok Lawungu yang tadi
dirangkulnya. Kepalanya diangkat. Sepasang matanya
membeliak memandangi makhluk muka tengkorak. Tiba-
tiba tokoh utama rimba persilatan Latanahsilam ini
kebutkan lengan jubahnya kiri kanan.
Didahului suara menderu dan sambaran sinar putih,
sepuluh benda berbentuk paku hitam melesat ke arah
makhluk muka tengkorak. Karena masih asyik tertawa
ketika menyadari kalau dirinya dibokong orang, sepuluh
paku hitam itu telah berada dekat sekali di depan kepala
dan tubuhnya!
“Kurang ajar! Pembokong curang!” teriak Sang
Junjungan. Dia cepat bergerak namun masih kalah cepat
dengan datangnya sambaran sepuluh paku.
Tiba-tiba dari samping berkiblat satu sinar putih
menyilaukan. Lalu di antara suara seperti tawon
mengamuk terdengar suara berdentringan. Delapan paku
hitam patah bermentalan. Dua lainnya terlempar entah ke
mana. Sekilas Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih
sempat melihat sosok senjata kapak bermata dua sebelum
lenyap ke balik pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dari atas pohon kembali terdengar tabuhan rebana dan
suara nyaring kerincingan si Pelawak Sinting.
Kekeh panjang Sang Junjungan yang tadi sempat
terhenti sewaktu diserang senjata rahasia yang dilepaskan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kini kembali meledak. Di
atas pohon Si Pelawak Sinting menimpali dengan tabuhan
rebana dan goyangan kerincingan.
Walau darahnya mendidih, amarahnya menggelegak,
namun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih bisa
menggunakan jalan pikiran sehat. Dalam keadaan seperti
itu tidak ada gunanya dia melanjutkan pertempuran
melawan dua musuh yang ternyata memiliki kepandaian
tinggi itu. Dengan cepat dia angkat tubuh Lawungu lalu
dipanggul di bahu kanan. Setelah lemparkan pandangan
menyorot pada Sang Junjungan dan Wiro, kakek ini segera
berkelebat pergi dari tempat itu.
Sang Junjungan hentikan tawanya, mengusap muka
tengkoraknya dengan telapak tangan yang hanya
merupakan tulang belulang putih lalu berpaling ke arah
Wiro.
“Anak muda! Lekas datang ke hadapanku!” Tiba-tiba
Sang Junjungan berkata dengan suara lantang keras.
“Ah, makhluk salah kaprah ini pasti marah padaku! Aku
lupa menghaturkan terima kasih. Padahal dia tadi sudah
menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab!” Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah
ke hadapan Sang Junjungan. Hatinya agak bimbang dan
juga kecut. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat
makhluk bermuka tengkorak dan bertubuh jerangkong
yang bukan saja memiliki kepandaian tinggi tapi juga bisa
bicara! Sekaligus angker menyeramkan!
“Orang tua...” Wiro menegur.
“Tunggu dulu!” Sang Junjungan memotong. “Bagaimana
kau bisa tahu aku ini orang tua! Padahal mukaku tidak
berkulit tidak berdaging! Mukaku berbentuk tengkorak
terdiri dari tulang! Dan gigi-gigiku masih utuh semua!”
Wiro garuk-garuk kepalanya tak bisa menjawab.
Sang Junjungan tertawa mengekeh. Wiro merasa
kuduknya dingin. Suara makhluk itu ketika bicara apalagi
sewaktu tertawa terdengar aneh, seperti keluar dari jurang
batu yang dalam. “Celaka betul makhluk satu ini. Aku tak
tahu apa dia lawan atau teman.”
“Makhluk muka tengkorak...”
“Wahai! Itu lebih tepat! Teruskan ucapanmu! Apa yang
hendak kau ucapkan!” Sang Junjungan berkata.
“Tadi kau telah menyelamatkan diriku dari serangan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku mengucapkan
terima kasih padamu.”
Sang Junjungan mendongak ke langit lalu kembali
tertawa mengekeh.
“Tapi ada satu hal yang jadi pertanyaan bagiku!” Wiro
berkata. “Antara kita tidak saling kenal sebelumnya.
Mengapa kau menolongku?”
“Anak muda! Kau bernasib untung! Ketahuilah,
sebelumnya justru aku telah memerintahkan seseorang
untuk membunuhmu!”
Wiro terkejut “Lalu... lalu mengapa sekarang kau malah
menyelamatkan diriku?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Hal itu harus dan wajib kulakukan. Karena kau adalah
menantuku!”
Kaget Wiro bukan olah-olah. Dia sampai tersurut dua
langkah. Matanya memandang membelalak, mulut
ternganga.
“Apa... apa maksudmu?” tanya Wiro dengan suara
bergetar.
“Dengar baik-baik anak muda. Belum lama ini aku
menyirap kabar bahwa kau telah melangsungkan
pernikahan di Bukit Batu Kawin dengan Hantu Santet
Laknat yang konon telah berubah ujud menjadi seorang
gadis cantik jelita bernama Luhrembulan...”
“Aku tidak pernah...”
“Bicaraku belum habis!” menukas Sang Junjungan.
“Hantu Santet Laknat adalah muridku. Lebih dari itu dia
telah kuanggap sebagai anak! Kalau kau kawin dengan dia
bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga bisa
kuanggap sebagai anak pula?!”
“Celaka... celaka!” keluh Wiro berulang-ulang. Air
mukanya tampak pucat. Ketika makhluk muka tengkorak
melangkah mendekatinya, mau tak mau Wiro bertindak
mundur.
“Anak muda, lekas kau berlutut di hadapanku. Aku
mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada
diriku! Ha... ha... ha!”
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. Rasa takut
membuat saat itu dia jadi kepingin kencing. Makhluk di
hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia
menolak berlutut makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi
jika dia mematuhi berlutut buntutnya bisa jadi panjang.
“Sialan betul! Aku tidak tahu makhluk ini apa lelaki apa
perempuan. Atau banci! Aku harus mencari akal...” pikir
murid Sinto Gendeng. Dia lalu melangkah mendekati
makhluk muka tengkorak dengan tubuh membungkuk-
bungkuk, seolah siap untuk berlutut di hadapan ‘sang
mertua’.
Melihat sikap Wiro, Sang Junjungan dongakkan kepala
tengkoraknya lalu tertawa panjang mengekeh. Saat itulah
Wiro tiba-tiba membalikkan badannya lalu melompat ke
balik pohon besar. Dari sini dia melesat ke belakang semak
belukar lalu ambil langkah seribu, lari sekencang yang bisa
dilakukannya.
“Menantu kurang ajar! Menantu tidak tahu diri!
Mengapa kau berani lari?!” teriak Sang Junjungan marah
sekali.
Di atas pohon besar tiba-tiba terdengar suara rebana
ditabuh diseling suara kerincingan.
“Sang Junjungan! Jangankan dia anak manusia! Aku
saja yang buruk ini kalau jadi menantumu pasti tidak bisa
nyaman melihat tampangmu! Mana ada di negeri ini orang
yang mau jadi menantu makhluk salah ujud sepertimu!
Ha... ha... ha!”
“Monyet sinting di atas pohon! Siapa sudi
mengambilmu jadi menantu! Berpakaian saja tidak keruan!
Pantat hitam gosongmu kau tebar ke mana-mana! Coba
kau makan dulu bekas tanganku ini!” Sang Junjungan
gerakkan tangan kanannya.
Di atas pohon Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
Goyang dan tabuh rebananya lalu melompat lenyap, tepat
ketika pukulan tangan kosong yang dilepaskan Sang
Junjungan sampai dan menghantam cobang pohon
tempatnya tadi duduk berjuntai. Cabang pohon itu hancur
berkeping-keping!
***
EMPAT
OMBAK besar bergulung dahsyat dan memecah di
teluk Labuntusamudera di kawasan selatan Negeri
Latanahsilam. Seorang berpakaian serba kuning
berlari kencang, berkelebat ke arah timur teluk tak lama
setelah sang surya memunculkan diri siap menerangi jagat
raya. Ketika segulung ombak luar biasa besarnya menderu
di arah teluk, sosok berpakaian kuning itu yang ternyata
adalah seorang nenek bermuka kuning hentikan larinya.
Tiga buah sunting di atas kepalanya bergoyang-goyang.
Nenek ini yang bukan lain adalah Hantu Selaksa Angin
alias Hantu Selaksa Kentut alias Luhkentut diam sejenak.
Dua matanya berkilat-kilat besar menatap ke arah laut.
Didahului suara teriakan nyaring dia melompat setinggi dua
tombak. Begitu dua kakinya menginjak pasir dia kembali
lari. Kali ini bukan menyusuri teluk tapi malah ke arah laut,
menyongsong datangnya gelombang ombak besar.
Byuuurrrrr! Ombak setinggi rumah itu bergulung lalu
menimbun sosok berpakaian kuning dan akhirnya
memecah di pasir hitam Teluk Labuntusamudera.
Butt... prett! Nenek berpakaian kuning pancarkan angin
keras dari bagian bawah tubuhnya lalu tertawa gelak-gelak.
Sekujur tubuhnya mulai dari atas kepala sampai ke kaki
dan juga seluruh pakaian kuningnya basah kuyup. Dia
baringkan tubuhnya di atas pasir. Dua kakinya dinaikkan
ke atas dan ditendang-tendangkan. Kembali dari bagian
bawah tubuhnya keluar suara butt prett-butt prett.
Beberapa kali ombak kecil datang mengguyur tubuhnya.
Puas berbasah-basah Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri
lalu setengah berlari menuju pertengahan teluk. Di satu
tempat yang kelindungan di balik kerapatan pohon-pohon
kelapa dan semak belukar nenek ini menemukan sebuah
goa batu. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk ke dalam goa
tersebut.
Bagian dalam goa berbentuk segi empat dengan atap
batu menyerupai kerucut. Udara di tempat ini terasa sejuk.
Hantu Selaksa Angin melangkah ke sudut kanan goa di
mana terdapat hamparan tikar jerami kering. Perlahan-
lahan si nenek mendudukkan dirinya di atas tikar jerami
itu. Dia menatap sejurus ke langit-langit goa yang
berbentuk kerucut lalu dari mulutnya meluncur ucapan.
“Wahai guruku, Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud, aku
muridmu datang menghadap...”
Suara si nenek menggema perlahan di dalam goa batu
itu. Dia menunggu tak bergerak sambil sepasang matanya
yang kuning menatap terus ke langit-langit goa. “Tak ada
jawaban, jangan-jangan dia tak ada di sini... Atau mungkin
dia marah karena sejak pergi dulu aku tak pernah
mengunjunginya di tempat ini.” Hantu Selaksa Angin
membatin. Setelah menunggu sesaat lagi dia kembali
mengulang. “Guru, apakah kau ada di dalam goa? Aku
muridmu datang menghadap.”
Tiba-tiba di ujung kerucut langit-langit goa kelihatan
satu bintik kecil memancarkan cahaya putih terang. Lalu
terdengar suara halus menggema di dalam goa.
“Hantu Selaksa Angin muridku. Aku gembira kau
akhirnya muncul. Tadinya aku merasa kecewa karena
setelah belasan tahun baru sekali ini kau kembali ke goa.
Sejak kau meninggalkan goa belasan tahun silam aku
menyirap kabar di luar sana telah terjadi banyak hal. Aku
berharap rakhmat akan menjadi bagian penghuni Negeri
Latanahsilam. Tetapi justru malapetaka dan bencana
terjadi di mana-mana, maksiat dan dosa berkubang di
hampir setiap penjuru negeri. Muridku, harap kau ceritakan
padaku apa yang telah kau alami dan lakukan selama ini.
Bagaimana dengan penyakit dirimu, apakah kau berhasil
mendapat kesembuhan? Yang paling penting apakah
selama ini kau telah mampu mengetahui siapa dirimu
adanya?”
“Wahai Guru, aku gembira kau telah menyirap apa yang
terjadi di luaran sana. Hingga aku tidak perlu menutur
berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku
berhasil menemukan seorang pemuda asing dan dua
kawannya. Konon mereka datang dari negeri seribu dua
ratus tahun mendatang. Pemuda inilah yang telah
memberitahu obat yang harus kumakan agar penyakit
kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan
tanpa bisa ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi makanan
satu-satunya selama aku berada di goa ini...”
Di langit-langit goa kembali ada kelihatan bintik yang
memancarkan sinar terang tadi. Lalu menyusul suara
menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si nenek.
“Jadi penyakit kentutmu benar-benar telah lenyap
wahai muridku?”
“Lenyap habis seluruhnya memang tidak. Masih ada
tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau
menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus.
Begitu kata pemuda yang menolongku itu...”
Gema tawa sang guru yang dipanggil dengan nama
Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud mememuhi goa. Bintik
terang kembali bercahaya.
“Muridku, dulu kentutmu panjang dan berulang-ulang.
Aku ingin mendengar bagaimana bunyinya sekarang
setelah diobati oleh pemuda asing itu...”
“Kalau guru memang mau mendengar, akan kulakukan.
Mohon maafmu Guru. Terus terang sejak tadi sebenarnya
aku memang sudah tidak tahan mau kentut!” kata Hantu
Selaksa Angin pula sambil menekap mulutnya menahan
ketawa. Lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya. Karena
berada di dalam ruangan batu maka kentut itu menggema
beralun-alun!
Kembali sang guru yang tidak kelihatan rupa ataupun
ujudnya itu tertawa gelak-gelak. “Muridku, obat apa yang
telah diberikan pemuda itu hingga kau mendapatkan
kesembuhan seperti sekarang ini?”
“Dia meyuruh saya makan kibul ayam sebanyak tujuh
puluh tujuh buah...”
“Kibul ayam. Benda apa itu, bagaimana ujudnya?”
bertanya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.
“Itu Guru... Bagian lancip yang menempel di pantat
ayam...” menerangkan Hantu Selaksa Angin.
“Aha...!” Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud berseru lalu
tertawa gelak-gelak (Mengenai riwayat kibul ayam ini harap
baca episode sebelumnya berjudul “Hantu Langit
Terjungkir”).
“Muridku, jika kau sudah puas dengan kentutmu yang
indah itu, berarti kau telah mencapai kesembuhan. Apakah
kau telah menghaturkan terima kasihmu pada pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?”
“Aku memang merencanakan untuk mencarinya dan
menyampaikan rasa terima kasihku. Namun sebelum hal
itu kesampaian kuketahui dia ternyata seorang jahanam
besar...”
“Jahanam besar bagaimana maksudmu, muridku?”
“Dia menimbulkan bencana busuk dan keji di mana-
mana!”
“Bencana busuk keji yang bagaimana?”
“Dia ternyata seorang pemuda hidung belang. Dia telah
merusak kehormatan seorang gadis baik-baik bernama
Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua orang cucu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kabarnya dia juga
berselingkuh dengan Peri Angsa Putih. Lalu diketahui pula
dia juga yang telah menghamili Peri Bunda!”
Sang Datuk yang tidak kelihatan ujudnya terdengar
mendesah dan tarik nafas dalam. “Muridku, kalau benar
pemuda itu telah menebar kekejian di mana-mana
sungguh sangat disayangkan. Namun antara kau dengan
dirinya ada hutang piutang yang harus dilunasi. Dalam
membalas budi seseorang kau tidak boleh melihat siapa
dia adanya. Dia pernah menolong dirimu, berarti kau harus
berusaha membalas budinya...”
“Aku telah melakukan banyak hal untuknya. Juga
menolong dua temannya...”
“Kalau itu kau rasakan pantas dan sudah cukup
memang tak perlu kau berbuat terlalu banyak. Tapi
mengenai kekejian yang dikabarkan telah dilakukannya,
kurasa harus kau selidiki kebenarannya. Tidak baik
menuduh seseorang busuk, jahat dan keji kalau tidak ada
saksi jujur dan bukti nyata...”
“Mengenai kemesuman yang dilakukan pemuda itu
terhadap dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, tokoh
itu sendiri yang bicara memberi kesaksian...”
“Muridku, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab memang
adalah satu tokoh besar dan sangat dihormati di Negeri
Latanahsilam. Bukan saja karena ilmu silat dan
kesaktiannya yang tinggi, tapi juga karena dengan
kemampuannya melihat ke masa depan dan masa silam,
membaca segala sesuatu yang bersifat gaib. Namun
belakangan ini rasa-rasanya dia telah banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Dia terlalu banyak
mendekatkan diri dalam urusan dunia dan kepentingan diri
sendiri. Akibatnya lama kelamaan dia kehilangan
kemampuan untuk melihat ke dalam alam gaib. Aku
meragukan kemampuannya. Apakah dia memang masih
bisa diandalkan sebagai tokoh tempat bertanya dan
mencari jawab. Sebagai contoh, dia hanya menurutkan
kata hati, kemarahan dan dendam kesumat atas musibah
yang menimpa dua cucunya. Tapi apakah dia pernah
menyelidik? Aku menyirap kabar dua cucunya itu
mempunyai kelainan yang menjijikan... Jadi muridku,
dalam segala suatu perkara, penyelidikan adalah sangat
penting. Jangan hanya percaya pada apa yang kita dengar
saja. Jangan hanya percaya pada berita yang disampaikan
orang dari mulut ke mulut...”
“Nasihatmu akan aku perhatikan Datuk...”
“Sekarang ada hal lain yang lebih penting dari penyakit
kentutmu itu. Yaitu mengenai penyakit yang menyangkut
ingatanmu pada masa silam. Apakah kau sudah
mendapatkan kesembuhan? Apakah kau sudah
mengetahui siapa dirimu sebenarnya serta riwayat atau
asal usul dirimu?”
Karena Hantu Selaksa Angin alias Hantu selaksa Kentut
tidak segera menjawab, sang Datuk yang tidak kelihatan
orangnya dan hanya terdengar suaranya berkata. “Sekedar
mengingatkanmu wahai muridku. Seperti yang aku pernah
ceritakan padamu, kau kutemukan tergeletak pingsan di
atas lumpur hitam di antara batu-batu besar yang
bertebaran di muara sungai Lahulupanjang. Mungkin kau
salah satu korban yang dihanyutkan banjir besar yang
sebelumnya terjadi di kawasan utara. Perutmu gembung
sampai ke dada. Aku memerlukan tujuh hari tujuh malam
untuk mengeluarkan air kotor yang ada dalam perut dan
rongga dadamu. Ketika hari ke dua belas kau siuman
ternyata kau tidak ingat siapa dirimu, tak ingat apa yang
telah terjadi dengan dirimu. Juga tidak ingat asal usulmu.
Kemudian kuketahui ada satu luka besar di belakang
kepalamu. Mungkin ini akibat benturan dengan benda
keras. Aku rasa, benturan inilah yang telah mempengaruhi
daya ingatanmu...”
Mendengar penjelasan sang Guru, Hantu Selaksa Angin
pegang dan usap-usap bagian belakang kepalanya. Dia
merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera
luka yang telah sembuh dan meninggalkan bekas. Sang
Datuk teruskan ucapannya.
“Namun... muridku, aku juga menaruh dugaan.
Hilangnya daya ingatmu mungkin juga disebabkan oleh
satu penderitaan sangat berat yang bersarang mulai dari
hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman
kau mempunyai satu sifat aneh. Yakni suka akan warna
dan benda apa saja yang berwarna kuning. Itu sebabnya
kau membuat sendiri jubah berwarna kuning. Mengecat
wajahmu dengan jelaga kuning. Memakai sunting dan
subang serta kalung dan gelang warna kuning. Selama
bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat dan
kesaktian padamu di dalam goa ini, aku berusaha
menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil.
Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang
mampu membuat kau mengingat-ingat siapa dirimu
sebenarnya?”
Si nenek terdiam sejurus. Lalu gelengkan kepala.
“Aku yakin selama belasan tahun di luaran kau bertemu
banyak orang. Apakah tidak satupun di antara mereka yang
menimbulkan rasa ingat dalam dirimu...?”
“Aku tidak bisa memastikan wahai Guru. Hanya saja...”
Hantu Selaksa Kentut mendongak ke langit-langit ruangan,
memperhatikan bintik terang yang ada di ujung kerucut
pertanda gurunya masih berada di tempat itu. “Hanya saja
satu kali aku memang pernah bertemu beberapa kali
dengan seorang kakek aneh. Dia berjalan dan
mempergunakan dua tangannya sebagai kaki. Kakek ini
dijuluki Hantu Langit Terjungkir. Satu kali dia pernah
menyebutkan ‘asap’. Samar-samar aku ingat dulu ada
seseorang yang sangat suka pada ikan asap atau ikan
pindang itu. Tapi aku lupa siapa orangnya. Aku berusaha
menyelidik, meneliti wajah kakek itu. Walau aku berhasil
melihat jelas-jelas wajahnya tapi kesadaranku tetap saja
tidak muncul. Daya ingatku tidak datang. Aku tidak bisa
mengetahui siapa dia sebenarnya.”
“Aku bisa membantu. Menurut kabar yang aku sirap
nama sebenarnya dari kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir itu adalah Lasedayu. Dia pernah mendekam
selama puluhan tahun di Lembah Seribu Kabut. Apakah
nama dan penjelasanku ini bisa menimbulkan satu daya
ingat dalam benakmu wahai muridku?”
Nenek wajah kuning berusaha keras mengerahkan
daya ingatnya. Matanya dipejamkan. Namun sampai
keringat memercik di keningnya dia tak mampu mengingat.
“Maafkan diriku Guru. Aku tidak tahu siapa adanya orang
bernama Lasedayu itu.”
“Kalau begitu aku sarankan padamu agar kau mencari
kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir itu. Ikuti ke mana
dia pergi sampai kau mendapatkan satu petunjuk
mengenai dirinya.”
“Hal itu akan aku lakukan Guru...”
“Selain itu kau juga harus berusaha mencari Hantu Raja
Obat. Siapa tahu dia bisa menyembuhkan penyakitmu.”
“Baik Guru. Petunjukmu akan aku laksanakan. Maaf
Guru, aku mau kentut dulu...”
Butt... prett!
Sang Guru yang dipanggil dengan sebutan Datuk Tanpa
Bentuk Tanda Ujud tertawa panjang. “Muridku, belum lama
berselang beberapa kali aku mendapat petunjuk dari alam
gaib. Suatu senja ketika aku berada di tempat ini, tiba-tiba
ada satu cahaya terang menggantung di depan goa.
Hidungku membaui sesuatu yang sangat harum. Aku
berusaha mendekati cahaya itu agar bisa melihat lebih
jelas. Namun seperti ada satu kekuatan yang membuat
aku tidak bisa mendekati cahaya itu. Kemudian kudengar
satu suara gaib berkata padaku. ‘Wahai anak manusia,
ketahuilah, akan terjadi satu peristiwa besar di bumi Negeri
Latanahsilam ini. Karena itulah, sebelum hari kejadian,
lakukan sesuatu. Carilah Allah. Dialah Tuhanmu Seru
Sekalian Alam, Maha Besar dan Maha Pengasih Maha
Penyayang, Penguasa Tunggal Jagat Raya, Pencipta Langit
dan Bumi serta Makhluk yang ada di antaranya termasuk
dirimu.’ Muridku, apakah kau mendengar kata-kataku?”
“Aku mendengar wahai Datuk,” jawab nenek muka
kuning.
“Aku tidak mengerti ucapan gaib itu. Aku berusaha
membuka mulut hendak bertanya tapi mulutku terkatup,
lidahku seperti terkancing. Kemudian cahaya terang
benderang yang ada di depan goa lenyap. Begitu juga bau
harum semerbak. Saat itu mendadak aku bisa membuka
mulut dan bertanya. ‘Suara dari alam gaib! Siapakah kau
adanya?!’ Di kejauhan terdengar jawaban. Tapi ucapannya
hanya pengulangan dari kata-kata yang kudengar
sebelumnya. Aneh, apa kiranya yang akan terjadi di Negeri
Latanahsilam ini. Lalu siapa yang dimaksudkan dengan
Allah oleh suara gaib itu. Siapa pula Tuhan. Bagaimana aku
harus mencari? Setahuku bukankah para Dewa yang
menjadi junjungan dan pelindung kita semua di negeri ini?”
“Tunggu dulu!” Hantu Selaksa Angin berkata. “Aku
ingat, aku pernah mendengar. Orang-orang dari negeri
seribu dua ratus mendatang itu. Kalau aku tidak salah
mereka pernah menyebut nama itu. Tuhan... Gusti Allah...”
“Kalau benar begitu wahai muridku, ada satu tugas
baru lagi bagimu. Selidikilah melalui orang-orang itu siapa
adanya Tuhan dan Gusti Allah itu. Tapi yang lebih penting
saat ini bagimu ialah mendahului mencari kesadaran atau
dirimu sendiri...”
“Aku mengerti Datuk...”
“Aku telah memberi banyak ilmu kepandaian padamu.
Pergunakan semua itu di jalan yang baik. Jika kau tidak
ada pertanyaan atau ingin mengatakan sesuatu, aku akan
segera meninggalkan tempat ini.”
“Datuk Guruku, sebelum kita berpisah, aku mohon,
sudilah Datuk memperlihatkan bentuk diri dan ujud Datuk
padaku... Selama belasan tahun kita bersama, banyak
pelajaran dan budi baik yang aku terima darimu. Tapi tidak
barang sekalipun aku pernah melihat jazad darimu.”
Bintik terang di langit-langit goa yang berbentuk kerucut
kelihatan bersinar menyilaukan. Lalu terdengar suara sang
Datuk. “Muridku, saat ini aku belum bisa memperlihatkan
diri. Dan aku tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh
mata insani sepertimu. Harap kau tidak kecewa. Suatu kali
kita pasti akan bertatap ujud. Selamat tinggal muridku.
Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu...”
“Terima kasih Datuk,” kata Hantu Selaksa Angin lalu
membungkuk sampai keningnya hampir menyentuh lantai
goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak
bisa menahan kentutnya. Akibatnya butt prett! Kentutnya
memancar. Di langit-langit goa bintik terang lenyap,
pertanda Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi di
tempat itu.
***
LIMA
SEBELUM mengikuti apa yang akan dilakukan Hantu
Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut setelah dia
meninggalkan goa di teluk Labuntusamudera itu, kita
kembali pada Luhcinta dan Luhsantini. Seperti dikisahkan
dalam episode sebelumnya, “Rahasia Perkawinan Wiro”,
kedua orang itu meninggalkan Bukit Batu Kawin setelah
menyaksikan upacara pernikahan Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Hantu Santet Laknat yang berubah
menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama
Luhrembulan. Karena datang terlambat Luhsantini dan
Luhrembulan tidak mengetahui siapa sebenarnya
Luhrembulan itu.
Luhcinta yang masih berada dalam keadaan pingsan
akibat tidak tahan melihat upacara pernikahan Wiro
dengan Luhrembulan, oleh Luhsantini dilarikan ke goa di
mana mereka sebelumnya berada. Luhsantini
membaringkan Luhcinta di lantai goa lalu setelah
memeriksa keadaan gadis itu, istri Hantu Bara Kaliatus ini
cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya ke tubuh
Luhcinta melalui pergelangan tangan dan dada. Karena
pingsannya Luhcinta bukan akibat cidera atau luka dalam
maka sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri.
Begitu siuman, belum lagi dia membuka mata dari
mulutnya keluar desahan halus. “Wiro... Wiro. Kau tahu
perasaanku terhadapmu. Sampai hati kau...” Ingatan
Luhcinta semakin pulih. Dia berusaha menahan isak lalu
membuka matanya. Pandangannya membentur wajah
Luhsantini. “Kau...” desis Luhcinta karena tidak mengira
kalau ada orang lain di tempat itu. Mungkin malu karena
telah ketelepasan bicara, Luhcinta balikkan dirinya
menghadap ke dinding goa.
Luhsantini diam memperhatikan. Dalam hati dia
berkata. “Dugaanku ternyata benar. Gadis ini memang
mencintai pemuda asing bernama Wiro itu... Apa yang
harus aku lakukan untuk menolongnya? Pernikahan Wiro
dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin dibatalkan.
Berarti Luhcinta akan kehilangan orang yang dicintainya
selama-lamanya...”
“Luhsantini...” tiba-tiba terdengar suara Luhcinta.
“Aku di sini Luhcinta. Ada apa? Ada sesuatu yang bisa
kulakukan untukmu...?”
“Aku tahu, aku ingat. Kau pasti yang membawaku dari
bukit itu ke sini... Aku berterima kasih padamu, Luhsantini.”
“Benar, kau tak usah khawatir. Kau tidak cidera atau
mengalami luka apa-apa...”
“Aku tahu. Walau tak ada cidera atau luka yang terlihat
di mata namun... Ada luka yang tak mungkin terlihat oleh
mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya wahai
Luhsantini.”
Luhsantini jadi terdiam haru mendengar kata-kata
Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
“Luhsantini...”
“Yaa...?”
“Apakah benar apa yang kita saksikan di Bukit Batu
Kawin itu?” tanya Luhcinta. Air mata yang tak terbendung
mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat.
Luhsantini tak kuasa menjawab.
Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa
seseorang menyelinap dan mencuri dengar semua
pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta. Dari pakaian hitam
serta mukanya yang tertutup lapisan tanah liat berjelaga
hitam sudah dapat diterka orang ini adalah Si Penolong
Budiman, manusia aneh berkepandaian tinggi.
“Kau masih ada di sampingku Luhsantini?”
“Ya, aku masih di sini. Di dalam goa ini bersamamu.
Aku tidak akan meninggalkanmu...”
“Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Tetapi
mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku tadi?”
Luhsantini gigit bibirnya. Matanya jadi ikut berkaca-kaca
karena dia bisa merasakan keperihan hati Luhcinta
kehilangan orang yang dikasihinya. “Kau harus tabah,
Luhcinta...”
“Aku cukup tabah Luhsantini. Sejak kecil kesengsaraan
hidup telah mendera diriku. Laksana hantaman palu
godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang
yang sanggup kukuh dalam ketabahan. Tetapi, mengapa
kejadian dan perubahan yang satu ini begitu tiba-tiba?
Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya? Aku
masih belum bisa menemukan ayahku dan kini aku
kehilangan seorang calon ayah.” Luhcinta seka air mata
yang berderai jatuh di pipinya.
Di luar goa, Si Penolong Budiman sesaat tampak
termenung. “Tidak kusangka dia sangat mencintai pemuda
itu. Ah...” Orang ini menarik nafas dalam lalu geleng-
gelengkan kepalanya.
“Ketabahan tidak mengajarkan kita untuk berputus asa
wahai Luhcinta...” terdengar suara Luhsantini.
“Aku tidak putus asa. Tapi cobaan ini datangnya begitu
bertubi-tubi...”
“Luhcinta, jangan sampai kehilangan pemuda itu kau
seolah menemui jalan buntu dalam hidupmu. Seolah kau
sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan
menghadang sebuah jurang batu yang dalam dan gelap.
Aku sendiri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari
keadaanmu. Aku kehilangan suami dan juga kehilangan
seorang anak darah dagingku sendiri. Kau jauh masih
beruntung. Masa depan masih terbuka lebar di
hadapanmu...”
“Aku menyangsikan wahai Luhsantini, apakah aku
masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam
apa yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan
sekarang aku mengalami nasib seperti ini...” Luhcinta
kembali menyeka air matanya.
“Luhcinta, siapakah gadis yang beruntung
mempersuamikan pemuda itu?”
Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Luhcinta
suara lantang Lamahila si juru nikah. “Wiro Sableng dan
Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan
langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh
para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit
dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian
telah resmi menjadi suami istri.”
Luhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi
dingin. Dia menggigil. Melihat ini Luhsantini berkata.
“Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari
kayu untuk menyalakan unggun. Biar goa ini menjadi
hangat...”
“Tidak usah Luhsantini, aku masih bisa menahan
gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi... kau tahu siapa
adanya gadis yang menjadi istri Wiro itu?”
“Aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Lamahila menyebut namanya Luhrembulan. Satu nama
yang juga rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di
Negeri Latanahsilam ini...”
“Apapun keanehan yang terjadi rasanya tidak mungkin
Wiro mengawini seorang yang tidak dikenalnya. Berarti
Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal
Luhrembulan...”
“Sulit aku menduga wahai Luhcinta. Aku merasa seperti
ada keanehan dalam semua kejadian ini...”
“Kejadian bagaimana maksudmu?”
“Entahlah, aku tidak bisa mengatakan tapi aku dapat
merasakan,” jawab Luhsantini. Lalu sambil membelai
rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. “Maafkan kalau
pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu wahai
Luhcinta. Namun aku ingin tahu, apakah selama ini
pemuda itu mengetahui kalau kau mencintainya...?”
“Aku tak tahu. Aku tak bisa menduga,” jawab Luhcinta
dengan mata basah menatap tak berkedip pada
Luhsantini.
“Kau tak pernah mengatakan terus terang padanya
dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa kau
mencintainya?”
Luhcinta tersenyum sedih. “Luhsantini, kita ini sama-
sama perempuan. Mana mungkin perempuan berlancang
diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang
pemuda?”
“Aku mengerti...”
“Lagi pula sejak beberapa waktu belakangan ini aku
banyak diselimuti rasa bingung.”
“Kau bingung? Apa yang membuatmu bingung?”
“Pertama, kenyataan bahwa begitu banyak gadis dan
perempuan jatuh cinta terhadap pemuda itu...”
“Wahai! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Apa kau
punya bukti...?”
“Untuk melihat seorang jatuh cinta tidak perlu bukti
segala. Dari sikap, cara bicara, bahkan cara memandang
saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang mencintai
seorang lainnya.”
“Kalau kau tahu coba katakan siapa saja yang
menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda asing itu!”
“Misalnya saja Luhjelita. Lalu Luhtinti. Yang paling gila
Si Hantu Santet Laknat. Kemudian Peri Angsa Putih. Dan
terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri Sesepuh!”
Luhsantini geleng-gelengkan kepala lalu sambil
tersenyum. “Untung aku tidak termasuk dalam daftarmu...”
“Masih ada hal lain yang menimbulkan kebingungan
dalam diriku,” melanjutkan Luhcinta.
“Apa?”
“Di seluruh Negeri Latanahsilam kini tersiar kabar kalau
Wiro telah melakukan hubungan mesum dengan Luhjelita.
Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah
melakukan hubungan badan dengan Hantu Santet Laknat.
Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda
itu telah menghamili Peri Bunda!”
Di luar goa kembali Si Penolong Budiman menarik nafas
dalam mendengar pembicaraan kedua orang itu. Namun
sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga terdengar
sampai ke dalam goa.
“Tunggu...” bisik Luhsantini. “Aku merasa ada
seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik...”
“Kita sama-sama menyelidik” kata Luhcinta lalu bangkit
berdiri.
“Tak ada siapa-siapa!” kata Luhsantini sambil
memandang sekitar goa. “Padahal tadi jelas sekali aku
mendengar seperti ada suara orang menarik nafas...”
“Kita masuk saja. Mungkin hanya suara desau angin
atau dedaunan yang saling bergesek,” kata Luhcinta. Dia
memegang lengan Luhsantini. Kedua orang itu masuk
kembali ke dalam goa.
Ke mana lenyapnya Si Penolong Budiman? Ketika
menyadari kehadirannya sudah diketahui orang dengan
cepat manusia berwajah tanah liat ini melesat ke satu
pohon besar berdaun lebat. Dia mendekam bersembunyi di
sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini masuk kembali ke
dalam goa cepat-cepat dia melompat ke pohon yang lain
lalu lenyap tak kelihatan lagi. Sepanjang larinya kembali ke
telaga di mana dia meninggalkan Hantu Langit Terjungkir,
hatinya terasa goncang. Batinnya berulang kali berkata.
“Gadis itu... Dia mencintai pemuda asing itu? Luhcinta, dia
mencintai Wiro! Ah...!”
Kembali ke dalam goa. Luhcinta dan Luhsantini
melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku tidak
menyalahkan begitu banyak gadis dan perempuan bahkan
sampai ke bangsa Peri jatuh cinta terhadap pemuda asing
itu. Selain kegagahan wajahnya serta ketinggian ilmunya,
dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu
orang mencintainya, apakah dia mencintai salah satu dari
mereka?”
“Pertanyaanmu itu sudah terjawab Luhsantini. Wiro
telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya. Berarti gadis
itulah yang dicintainya.”
Luhsantini menarik nafas panjang. Sambil gelengkan
kepala dia berkata. “Seperti kataku tadi, ada keanehan di
balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal
bernama Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar
nanti keadaan yang akan mengungkapnya sendiri. Lalu
mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa
pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau
memang itu benar sungguh sangat disayangkan. Aku tak
tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta, kalau boleh aku
mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita
perpanjang. Jangan kau sampai berlarut-larut tenggelam
dalam perasaan hatimu sendiri.”
“Aku setuju,” jawab Luhcinta perlahan. Namun dalam
hati gadis ini berkata. “Luhsantini, kau tidak tahu atau
mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja
tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam
kehancuran. Sejak lama aku berputus asa karena tidak
kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak
dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku.
Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak
dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa
malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut
manusia?”
“Luhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?”
bertanya Luhsantini ketika dilihatnya sepasang mata
Luhcinta tampak memandang sayu dan kosong.
Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Luhcinta.
Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran
yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak
berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Luhsantini
melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta
berkata. “Luhsantini, aku ingin menyelidik. Harus! Aku ingin
tahu siapa sebenarnya gadis bernama Luhrembulan itu!”
Luhsantini pandangi wajah Luhcinta seketika.
Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta tidak perlu
melakukan hal itu. Namun khawatir perasaan dan jiwa si
gadis akan semakin tertekan Luhsantini akhirnya berkata.
“Jika itu keinginanmu, sebaiknya kita datangi tempat
kediaman si juru nikah Lamahila!”
“Tepat! Kita cari nenek itu sekarang juga!” kata
Luhcinta. Kedua orang itu segera bangkit berdiri.
Namun sebelum sempat melangkah ke mulut goa tiba-
tiba di luar sana terdengar suara tawa bergelak dahsyat
sekali.
“Dua perempuan di dalam goa! Jangan kalian berani
menyelidik persoalan menyangkut anak dan menantuku!
Ini peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau
berani lancang melanggar!”
Di luar goa terdengar deru angin keras sekali. Menyusul
berkiblatnya cahaya merah seperti ada lidah api membeset
turun dari langit.
Wussss!
Bummmm!
Braaakkk!
Mulut goa batu hancur berkeping-keping. Kepingannya
berpelantingan di udara, berubah menjadi bara-bara
menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat
jatuhkan diri ke lantai batu. Lidah api menderu lewat di
atas punggung mereka.
“Kurang ajar! Siapa berani main gila terhadap kita!”
teriak Luhsantini marah. Sambil lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi,
perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar.
Tapi sampai di luar tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di
kejauhan terdengar suara bergelak, menggema di seantero
tempat lalu lenyap.
“Aneh, tak bisa kuduga siapa adanya manusia itu!” kata
Luhsantini.
“Dia menyebut Luhrembulan dan Wiro sebagai anak
dan menantunya! Siapa dia?!” kata Luhcinta pula sambil
kepalkan tinju.
“Melihat pukulan yang dilancarkannya bukan mustahil
dia adalah Hantu Bara Kaliatus...” ujar Luhsantini. “Tapi
kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak punya anak
perempuan...”
“Mungkin tanpa setahumu, suamimu itu telah kawin
dengan perempuan lain? Bukankah perpisahan kalian
berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?”
Luhsantini menatap wajah Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya lengan gadis itu seraya berkata. “Aku tidak
tahu Luhcinta, tak bisa aku menduga... Masakan selama ini
tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara Kaliatus punya
istri lagi dan punya anak? Wiro sebagai menantunya?
Wahai! Tak masuk di akalku!” Luhsantini terdiam beberapa
saat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana sekarang? Apa yang
akan kita lakukan?”
“Walau ada orang mengancam, aku tetap akan
menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku akan mencari
nenek juru nikah bernama Lamahila itu...” jawab Luhcinta
penuh kepastian. Tekadnya teguh dan bulat sudah!
***
ENAM
KITA ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir yang aslinya bernama Lasedayu, ayah
kandung dari empat orang anak yang terlahir
membawa tanda bunga dalam lingkaran pada lengan
sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua
orang yang memiliki tanda tersebut yakni Lakasipo alias
Hantu Kaki Batu dan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Pagi itu Hantu Langit Terjungkir tegak bersandar di
batang sebuah pohon tak jauh dari tepi telaga. Kaki ke
atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai
kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman
tongkat tulang Sang Junjungan masih dibalut dengan
segulung pelepah pisang. Begitu sosok berjubah hitam
bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di hadapannya,
dia segera menegur.
“Sahabat bermuka tanah liat, sejak pagi kau
menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu
kembali kulihat kau berubah sikap...”
“Kek, apa maksudmu?” tanya orang bermuka tanah liat
yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan panggilan Si
Penolong Budiman.
“Walau wajahmu tertutup tanah liat hitam, tetapi aku
tahu kau sedang diselimuti rasa gundah yang amat sangat.
Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah
begitu adanya?”
“Anu Kek... Bagaimana tanganmu yang patah?”
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. Sambil
pegang lengannya yang cidera dia berkata. “Tanganku
sudah banyak kesembuhannya. Tapi jangan kau
mengalihkan pembicaraan. Apa yang merisaukan hatimu?
Katakan dari mana kau sejak pagi buta tadi?”
Karena didesak akhirnya Si Penolong Budiman
bercerita juga. “Kau ingat ceritaku bahwa Luhsantini dan
Luhcinta berada di sebuah goa tak jauh dari telaga ini?”
“Wahai! Aku memang sudah menduga kau pasti
menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar berada, ke situ
biasanya kumbang melayang. Tentu banyak sekali yang
kalian bicarakan...”
“Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk
bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri
dengar pembicaraan dua perempuan itu...”
“Kau bangsa orang yang suka menguping rupanya.
Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar,” kata Hantu
Langit Terjungkir pula. Lalu dia rebahkan tubuhnya di
tanah.
Si Penolong Budiman menuturkan semua pembicaraan
Luhsantini dan Luhcinta yang sempat didengarnya di dalam
goa sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan tempat
itu karena takut ketahuan.
“Pemuda asing itu. Namanya Wiro Sableng. Aku kenal
dia. Dia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi mengenai
gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku
mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Latanahsilam
ini tidak ada gadis bernama seperti itu...” Si kakek
menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
“Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan
suaramu. Setiap kau menyebut nama Luhcinta, ada suatu
getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu
wahai sahabatku?”
“Kek, aku...”
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Katakan
saja terus terang...”
“Dia mencintai pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu!”
“Kalaupun memang begitu tapi sekarang apa artinya
lagi? Bukankah si pemuda telah kawin dengan gadis
bernama Luhrembulan? Kau punya kesempatan besar
untuk mendapatkan Luhcinta... Kau harus cepat, jangan
membuang-buang waktu!”
“Kau ini ada-ada saja Kek. Mukaku saja begini! Mana
ada gadis yang mau padaku!” Si Penolong Budiman geleng-
gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Kek, tidak
mungkin...”
“Maksudmu tidak mungkin dia mau denganmu? Ha...
ha... ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat itu kau
memiliki wajah tak kalah gagah dengan pemuda asing
bernama Wiro Sableng itu. Sekarang tinggal terserah
padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan
wajahmu di balik tanah liat?”
“Aku telah bersumpah tidak akan menanggalkan tanah
liat ini sebelum apa yang tengah kuselidiki terungkap
secara nyata!” Si Penolong Budiman lupa kalau dia pernah
memperlihatkan wajah aslinya pada Luhcinta.
“Kerabatku,” kata Hantu Langit Terjungkir. “Jangan
suka mudah bersumpah. Lagi pula urusan selidik
menyelidik itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau
harus cepat-cepat berusaha mendapatkan Luhcinta. Jika
kau malu, aku mau jadi perantara menemuinya.
Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju?!”
“Jangan Kek! Aku harap jangan kau lakukan hal itu!”
“Aneh kau ini! Mau tapi malu. Suka tapi berpura-pura!”
“Aku tidak malu, aku tidak berpura-pura...”
“Lalu apa sebenarnya?! Jangan-jangan kau ini
sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha... ha... ha!”
“Aku tidak bisa mengatakan padamu Kek...”
“Kalau begitu katakan pada kami!” tiba-tiba ada suara
menyeruak. Membuat kaget Hantu Langit Terjungkir dan Si
Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi tempat
itu tanpa mereka mendengar dan mengetahui lebih awal,
itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa mereka memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu lama, dari balik
sebuah batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul
dua sosok. Satu mengenakan jubah hijau pekat satunya
lagi berjubah kuning gelap.
Hantu Langit Terjungkir goyangkan kepalanya agar bisa
melihat jelas siapa yang datang. Si Penolong Budiman
cepat bangkit berdiri dan memutar tubuh.
Yang berjubah kuning gelap adalah seorang kakek
berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil
sebaliknya mata kiri besar membeliak. Di pinggangnya
kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk clurit besar
berwarna hitam legam.
Di sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri
seorang nenek yang penampilannya luar biasa aneh dan
menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya seperti
terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata
kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di pipinya
yang tidak berdaging. Nenek ini tidak mempunyai tangan
kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya menempel
satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan
tangan kanan sendiri! Seperti si kakek dia membekal
sebilah clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah dua tua bangka aneh ini? Dalam rimba
persilatan Latanahsilam mereka pernah dikenal dengan
julukan Sepasang Hantu Bercinta. Si kakek bernama
Lajahilio sedang si nenek bernama Luhjahilio. Selama
puluhan tahun mereka mengelana, hidup bersama
bermesraan tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki
Sepasang Hantu Bercinta.
Seperti banyak para tokoh di masa itu, sepasang kakek
ini ternyata telah jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan
dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka
bentrokan dengan berbagai pihak. Terakhir sekali mereka
bertempur menghadapi Luhcinta. Walau Luhcinta banyak
mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar kembali
ke jalan yang benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama si nenek yang terus mendesak Luhcinta dengan
serangan-serangan ganas. Akhirnya terpaksa Luhcinta
menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut Pukulan
Kasih Mendorong Bumi. Si nenek amblas ke dalam dinding
batu. Ketika kakek kekasihnya menariknya keluar dari
batu, dirinya menjadi cacat mengerikan, terutama di
bagian wajah, dada dan perut. Kulit serta dagingnya
terkelupas, menyembulkan tulang putih menggidikkan!
Mata kanannya terbetot keluar! (Mengenai riwayat Lajahilio
dan Luhjahilio harap baca dua episode sebelum ini
berjudul “Rahasia Patung Menangis” dan “Rahasia Mawar
Beracun”).
Saat itu Hantu Langit Terjungkir telah bangkit berdiri,
dua tangan menginjak bumi, dua kaki naik ke atas. Dari
balik celah-celah rambut putihnya dia perhatikan gerak-
gerik dua tamu tak diundang itu.
Si Penolong Budiman walau berdiri dengan sikap
tenang sambil rangkapkan dua tangan di depan dada
namun penuh waspada.
Luhjahilio perhatikan Hantu Langit Terjungkir dengan
wajah sinis sementara mata kanannya yang melotot keluar
bergerak-gerak mengerikan. Mata kirinya melirik sekilas
pada Si Penolong Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu
dia berkata.
“Hantu Langit Terjungkir, aku mengenali siapa dirimu.
Kau bangsa manusia yang tidak pernah berdusta!”
“Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji
biasanya membekal maksud tersembunyi!” menyahuti
Hantu Langit Terjungkir.
Luhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari
tangan kanannya yang menempel di atas keningnya
kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio
mendekat dan berbisik. “Aku tidak takut pada manusia
yang hidup menyungsang itu. Tapi harap kau berhati-hati
pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu.
Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si
Penolong Budiman? Ingat, dia yang dulu menghancurkan
pedang kita dengan Ilmu Keppeng!” (Baca episode berjudul
“Rahasia Patung Menangis”).
“Aku ingat!” jawab si nenek. “Tapi kau diam sajalah
Lajahilio. Biar aku yang bicara. Biar aku yang mengatur!
Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau
langsung membokong Hantu Langit Terjungkir!” Memang
antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun itu si
nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih
tinggi.
Luhjahilio kemudian alihkan perhatiannya pada Hantu
Langit Terjungkir. “Makhluk yang hidupnya menyungsang,
kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu di
mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu!”
Sementara Si Penolong Budiman terkejut mendengar
pertanyaan si nenek, Hantu Langit Terjungkir keluarkan
tawa mengekeh. Diam-diam Si Penolong Budiman khawatir
kalau Hantu Langit Terjungkir memberitahu di mana
beradanya Luhcinta. Maka dia memberi isyarat dengan
kedipan mata. Namun dia tidak mengetahui apakah si
kakek mengerti arti isyaratnya itu.
“Luhjahilio...” kata Hantu Langit Terjungkir. “Biasanya
hanya seorang pemuda yang menanyakan di mana
beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang nenek-
nenek buruk justru yang mengajukan pertanyaan... Aku
mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si
Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha... ha... ha!”
“Tua bangka keparat! Jangan kau berani menghina
istriku!” hardik Lajahilio marah besar. Dia hendak
menerjang tapi cepat dipegang oleh Luhjahilio.
“Istrimu katamu...?!” ujar Hantu Langit Terjungkir
sambil sibakkan rambut putih yang menutupi wajahnya.
Bola matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu
tertawa gelak-gelak. “Sejak kapan kau kawin dengan nenek
itu? Siapa yang mengawinkan kalian? Ha... ha... ha! Kalian
mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri bicara
tidak karuan!”
Lajahilio tak dapat lagi menahan amarahnya. Sekali
terjang saja kaki kanannya menderu ke arah dada Hantu
Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali
mengenai sasarannya dada Hantu Langit Terjungkir pasti
akan hancur luluh!
“Lajahilio! Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama
kekasihmu si nenek buruk itu tidak mau bermesraan
denganmu! Ha... ha... ha!”
Hantu Langit Terjungkir kerahkan hawa sakti yang
didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut (Baca
Episode berjudul “Rahasia Kincir Hantu”). Sekujur
badannya mendadak sontak memancarkan sinar kebiru-
biruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek
berubah laksana kabut, melesat mumbul ke atas.
Tendangan Lajahilio mendera udara kosong kemudian
menghantam pohon besar tempat Hantu Langit Terjungkir
tadi tegak bersandar.
Braakkk!
Pohon yang batangnya seukuran pemelukan manusia
itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara
menggemuruh tumbang ke tanah!
Lajahilio menggembor keras lalu berteriak. “Hantu
salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari senjataku
ini!” Lalu manusia berjubah kuning gelap ini gerakkan
tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjatanya
yang berbentuk sebuah clurit besar berwarna hitam legam.
“Kekasihku, jangan turutkan amarahmu! Biarkan aku
bicara dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya
kurasa bisa kita urus kemudian!”
Lajahilio banting kaki mendengar kata-kata si nenek.
Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya itu, tapi si
nenek mencekalnya dengan kencang. “Turuti kemauanku!
Atau kau tidak ingin aku punya kesempatan untuk
membalas dendam?!”
“Huh!” Lajahilio unjukkan tampang merengut. Masih
penuh geram dia sisipkan senjatanya kembali ke pinggang.
Si nenek Luhjahilio berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir. “Sekarang harap kau memberitahu di mana
beradanya gadis bernama Luhcinta itu! Jika kau berani
macam-macam aku akan biarkan kekasihku mencincang
tubuhmu mulai dari kaki sampai kepala!”
“Nenek sesat! Orang telah memindahkan tangan
kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah cukup menjadi
pelajaran dan peringatan bagimu! Tapi rupanya kau
memang tidak bisa dibuat sadar!”
“Keparat hidup menyungsang! Jangan banyak mulut di
hadapanku! Tanganku sebenarnya sejak tadi sudah gatal
untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan di
mana gadis bernama Luhcinta itu atau mampus sekarang
juga?!” Tangan kiri si nenek bergerak ke pinggang di mana
tergantung clurit putih berkilat.
Hantu Langit Terjungkir tidak takut ancaman orang.
Sambil menyeringai dia berkata.
“Aku baru memberitahu kalau kau mau mengatakan
mengapa kau mencari gadis itu?” tanya Hantu Langit
Terjungkir pula.
“Kau bertanya aku akan menjawab!” kata si nenek
pula. “Kau lihat keadaan mukaku! Kau lihat dada dan
perutku. Putih hanya tinggal tulang belulang. Lihat
hidungku! Lihat mata kananku yang terjulur keluar! Ini
semua adalah akibat perbuatan gadis bernama Luhcinta
itu! Dia memukulku hingga melesak masuk ke dalam
dinding batu!”
“Wahai! Kau memang patut dikasihani! Tetapi mengapa
gadis itu menghajarmu kalau tidak ada sebab
musababnya?!”
“Tua bangka jahanam! Jangan kau memperpanjang
pembicaraan dengan segala macam pertanyaan! Lekas
katakan di mana Luhcinta berada!” Tangan kiri si nenek
bergerak menggenggam gagang clurit besar yang
memantulkan cahaya angker berkilauan terkena sinar
matahari. Di sampingnya si kakek yang jadi kekasihnya
tidak tinggal diam. Dia juga segera menghunus senjatanya.
***
TUJUH
TAHAN! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua
sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata
berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana
senjata itu sekarang?! Sudah kalian jual karena kehabisan
biaya hidup?! Ha... ha... ha!”
Wuuttt!
Clurit putih di tangan kiri Luhjahilio berkelebat dan tahu-
tahu bagian tajamnya sudah melingkar di leher Hantu
Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher kakek ini pasti
akan amblas putus.
Seperti diketahui, ilmu kepandaian Hantu Langit
Terjungkir alias Lasedayu telah amblas dirampas Hantu
Muka Dua. Peristiwanya terjadi ketika Hantu Muka Dua
dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang
didapatnya dari makhluk bernama Lamanyala, berhasil
mencungkil pusar Lasedayu yakni bagian tubuh yang
menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki
ilmu kesaktian lagi, namun secara diam-diam di tempat
kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu berhasil
menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang
cukup dapat diandalkan dan bukan sembarangan orang
bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau lehernya sudah
dikalungi Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa
cengar-cengir, malah julur-julurkan lidahnya. Lalu dia
berkata. “Aku hidup sudah puluhan tahun. Sudah lebih dari
cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat ini, aku akan
sangat berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!”
“Tua bangka gila! Kau benar-benar minta mati! Aku
masih mau memberi kesempatan! Katakan di mana
Luhcinta!”
“Wahai...! Kalau kau sangat mendesak baiklah akan
aku katakan. Harap kau pasang telinga. Dengar baik-baik!”
“Kek, jangan kau beritahu!” teriak Si Penolong
Budiman.
“Jangan campuri urusan orang!” bentak Lajahilio. Sekali
berkelebat tahu-tahu ujung clurit hitamnya sudah
mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali tangan itu bergerak, jebollah perut orang dan
ususnya akan berhamburan keluar!
Si Penolong Budiman tampak tenang saja. Tapi diam-
diam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua
tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati
mengadu jiwa dengan Lajahilio.
“Tenang... Tenang semua!” Hantu Langit Terjungkir
berkata. “Aku akan beritahu di mana gadis itu berada...”
“Katakan cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak
karuan!” bentak Luhjahilio.
“Gadis itu berada di tempat yang aku tidak tahu!” kata
Hantu Langit Terjungkir pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Keparat jahanam! Mampus kau!” teriak Luhjahilio.
Tangan kirinya yang memegang clurit putih siap
disentakkan.
Di sebelah sana Lajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa
banyak cerita dia siap menekankan ujung clurit hitamnya
untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun dalam keadaan yang sangat menegangkan itu
tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.
Butt! Prett!
Gerakan bayangan yang sangat sebat disertai bunyi
suara kentut mau tak mau menyita perhatian Sepasang
Hantu Bercinta yang siap menghabisi Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan
suara kentut yang muncul. Di saat bersamaan dua larik
sinar kuning berbentuk tombak menderu ke arah Luhjahilio
dan Lajahilio!
“Tombak Kuning Pengantar Mayat!” teriak Luhjahilio
dan Lajahilio hampir berbarengan. Tampang sepasang
kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan. Keduanya
sama-sama jatuhkan diri menghindari sambaran sinar
kuning sambil tetap meneruskan niat untuk menghabisi
dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit Terjungkir
dan Si Penolong Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir yang ada di udara tiba-
tiba sekali melesat ke bawah. Dua tumitnya menghantam
ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu betul
kehebatan dua kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri
batok kepalanya akan amblas dihantam dua tumit Hantu
Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya tersita pada
serangan lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara
tangan kirinya bekerja, menarik clurit besar yang melingkar
di leher Hantu Langit Terjungkir. Tapi sekali ini si nenek
kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan.
Hantaman dua kaki yang dilancarkan Hantu Langit
Terjungkir ke arah kepala Luhjahilio sebenarnya hanya
tipuan belaka. Begitu perhatian lawan terbagi dan
membuat gerakan mengelak, Hantu Langit Terjungkir cepat
melesat mumbul ke atas untuk lepaskan leher dari
kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dipukulkan.
Bukkkk!
Kraaakkk!
Luhjahilio terpental dua tombak, bergulingan di tanah
sambil keluarkan suara raungan. Dari mulutnya
menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh
entah ke mana. Ketika dia bangkit terbungkuk-bungkuk
sambil pegangi dadanya yang remuk dilabrak jotosan
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya
yang sebelumnya terbujur kini tak kelihatan lagi. Mata itu
kini hanya tinggal lobang digenangi darah menggidikkan.
Matanya yang satu bergerak liar kian kemari mencari
cluritnya. Kemudian nenek ini keluarkan seruan tertahan
ketika di sebelah sana dilihatnya kekasihnya tergeletak tak
bergerak!
Walau lolos dari maut, namun Hantu Langit Terjungkir
ternyata mengalami cidera cukup parah. Ketika tadi dia
menghantam si nenek, dia pergunakan tangan kanannya.
Kakek ini lupa kalau tangannya itu masih dibalut dan
belum sembuh betul dari patah akibat hantaman tongkat
tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu
dipergunakan menghantam dada lawan, tak ampun lengan
yang patah itu ambruk kembali! Si kakek terguling di tanah,
menggeliat-geliat menahan sakit. Si Penolong Budiman
cepat menghampiri orang tua ini, mendukungnya dan
membawanya ke tempat yang aman dekat sebuah batu
besar di tepi telaga.
“Kek, kau tak apa-apa?”
“Sial betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol
pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini
pasti sudah patah lagi! Celaka betul!”
“Aku akan menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,”
kata Si Penolong Budiman sambil hendak membuka
pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.
“Jangan pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek
nenek sesat itu! Mereka tidak segan-segan membokong
kita secara curang!”
“Tak usah khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat
pukulanmu! Kekasihnya kakek satu itu agaknya tak akan
sadar dalam waktu satu minggu!”
Apa yang terjadi dengan Lajahilio seperti yang
disaksikan oleh si nenek kekasihnya?
Ketika tadi sinar kuning berbentuk tombak
menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Lajahilio
jadi terbagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk
menambus perut Si Penolong Budiman. Karena itu sambil
jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya demikian
rupa. Namun manusia muka tanah liat telah lebih dulu
bergerak. Tangan kiri memukul lengan Lajahilio hingga
dirinya terpental ke samping. Bersamaan dengan itu
tangan kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya
perlahan saja. Dari tangan kanan itu menyembur keluar
selarik sinar hitam yang merebak berbentuk kipas. Dalam
larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar terang aneh
seperti bunga api.
“Pukulan Menebar Budi!” teriak Lajahilio. Kakek ini
serta merta menyingkir selamatkan diri. Tapi terlambat.
Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari
dada sampai ke lutut!
Wuuuusss!
Lajahilio menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai
tiga tombak lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi.
Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak
hangus mengepulkan asap hitam!
Pukulan yang barusan dilepaskan si muka tanah liat
memang pukulan yang disebut Pukulan Menebar Budi.
Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di
Negeri Latanahsilam dan sangat ditakuti lawan. Pukulan
Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni Pukulan
Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi
Hari ke Tujuh. Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam
Lajahilio adalah Pukulan Menebar Budi Hari Pertama.
Akibatnya seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia
menghantam dengan Pukulan Menebar Budi Hari ke Dua,
saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi. Rupanya
manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas
kasihan hingga tidak mau menjatuhkan tangan terlalu
keras. Tapi karena jarak mereka begitu dekat maka akibat
yang menimpa Lajahilio sungguh parah walau orang ini
tidak sampai meregang nyawa.
“Jahanam! Kau membunuh kekasihku!” teriak
Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga mengalami
cidera parah ini jatuhkan diri ke atas tubuh Lajahilio lalu
menggerung keras.
Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara
tawa mengikik disusul suara butt prett!
“Luhjahilio nenek sesat! Kau dan kekasihmu sama-
sama tak tahu diri! Masih untung orang tidak membunuh
kekasihmu itu! Kau sendiri, apa peringatanku masih
kurang jelas? Aku sudah memindahkan tangan kananmu
ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup jahat dan
sesat! Apa tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke
selangkangan?! Hik... hik... hik...!”
Mata kanan Luhjahilio kucurkan darah. Mata kirinya
bergerak berputar memandang ke arah sosok serba kuning
yang tertawa cekikikan di hadapannya.
“Hantu Selaksa Angin! Aku menyatakan perang tujuh
turunan denganmu! Kau akan rasakan pembalasanku!”
Nenek muka kuning songgengkan pantatnya lalu butt
prett! Dia pancarkan kentutnya. “Tua bangka tolol! Anak
saja kau tidak punya, apalagi cucu! Bagaimana kau bisa
bicara tak karuan menyatakan perang tujuh turunan?!
Hik... hik... hik! Bagusnya kau lekas angkat kaki dari tempat
ini! Bawa kekasihmu itu selagi bisa diselamatkan!”
Luhjahilio meludah ke tanah. Ludahnya bercampur
darah. Dengan matanya yang tinggal satu dia membeliak
memandang ke arah Si Penolong Budiman.
“Makhluk muka tanah liat, nasibmu tak akan kalah
sengsara dari nenek keparat itu! Lihat saja pembalasanku
nanti!” Habis berkata begitu Luhjahilio lalu coba
mengangkat tubuh kekasihnya. Maksudnya hendak
didukung di pundak kirinya. Ternyata dia tidak mampu
melakukan.
“Aku mau menolongmu mendukung kakek butut itu.
Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan kau mau
bayar aku dengan apa?! Hik... hik... hik!”
Mendengar ejekan Hantu Selaksa Angin itu Luhjahilio
jadi mendidih amarahnya. Melupakan keadaan dirinya
sendiri dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang
tergeletak di tanah lalu menyerbu Hantu Selaksa Angin.
Dalam satu gebrakan saja dia sudah kirimkan dua babatan
dan satu bacokan.
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya lalu cepat
berkelebat. Ketika lengan jubah kirinya dikebutkan, selarik
cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu menolong
Hantu Langit Terjungkir dan makhluk muka tanah liat,
nenek muka kuning itu kembali lepaskan pukulan Tombak
Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang dengan pukulan
sakti itu, namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja
menerjang dengan clurit besar di tangan kiri. Hantu
Selaksa Angin arahkan pukulan saktinya ke tangan kiri
lawan.
Cahaya kuning berbentuk tombak kembali berkiblat di
udara.
Traanggg!
Luhjahilio terpekik keras. Clurit hitamnya patah dua dan
terlepas mental. Tangan kirinya bergetar keras dan ada
rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar dalam
keadaan seperti itu dia tak bakalan dapat menghadapi
lawan, Luhjahilio banting-banting kaki. Dengan tangan
kirinya dia cekal leher berjubah kuning Lajahilio lalu seret
si kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk
serapah.
“Nenek sesat! Kalau saja kau tahu diri akan
kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!” kata
nenek muka kuning mengantar kepergian Luhjahilio.
Mendengar ucapan itu Luhjahilio hentikan langkahnya dan
berteriak.
“Aku tidak perlu belas kasihanmu nenek muka
comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan
nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!”
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut jawab
ucapan Luhjahilio dengan pancaran kentutnya lalu tertawa
cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio meninggalkan
tempat itu bersama kekasihnya, Hantu Selaksa Angin
berpaling ke arah orang bermuka tanah liat yang tengah
menolong Hantu Langit Terjungkir. Nenek muka kuning ini
segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si
kakek lalu berkata. “Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit
sedikit saja tapi mengerang tak putus-putus!”
Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi
kepalanya. “Tua bangka tukang kentut! Kau rupanya! Kau
tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau yang
cidera!”
Si kakek tempelkan belakang tangan kirinya ke bibir
lalu preettt! Dia tirukan suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih
pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama
kentutku sudah berbeda dari dulu! Hik... hik... hik! Makhluk
yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu
kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi
ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau
melakukannya?!” (Baca episode berjudul “Hantu Santet
Laknat”).
“Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau
bicara yang bukan-bukan! Lama-lama aku jadi muak
melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”
“Tua bangka tak tahu diri!”
“Nenek sialan, apa maksudmu?!”
“Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik
daripada wajah nenek sepertiku ini! Itu sebabnya kau
suruh aku pergi!”
“Nek,” Si Penolong Budiman menengahi pembicaraan.
“Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha
menolongnya. Harap kau jangan mengajaknya bicara
dulu...”
“Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli
saja! Apa kau punya kemampuan menolong tukang ikan
pindang itu?!”
“Nenek muka kuning itu ingin kubuat jadi ikan pepes
rupanya!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Dulu kau suka ikan asap ikan pindang. Sekarang kau
suka ikan pepes. Nanti kau suka ikan apa lagi? Hik... hik...
hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah
apa kau mau menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Memangnya kau tabib atau dukun? Puah!” Hantu
Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
“Aku memang bukan tabib, juga bukan dukun. Apalagi
dukun beranak! Hik... hik... hik! Tapi sekali lihat saja aku
sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai
membusuk! Tak ada harapan untuk disembuhkan!”
Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam. Dia melirik pada Si
Penolong Budiman. Manusia muka tanah liat ini berkata.
“Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia menakut-nakuti
dirimu. Aku pasti bisa menolongmu...”
“Aku hanya memberitahu!” kata Hantu Selaksa Angin.
“Kalau tangan kananmu sampai busuk dan kelak kau
cuma punya satu tangan, apakah kau masih bisa berjalan
dengan mempergunakan hanya satu tangan? Tua bangka
tolol! Kelak kau berjalan dengan tangan kiri. Makan
dengan tangan kiri! Lalu cebok dengan tangan kiri juga!
Hik... hik... hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang tolol!
Kalau bukan guruku yang menyuruh mencarimu, mana
sudi aku melihat tampangmu yang lebih jorok dari
pengemis ini!” Setelah berkata begitu si nenek segera
bergerak hendak tinggalkan tempat itu.
Hantu Langit Terjungkir kembali melirik pada Si
Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini berseru. “Nenek
muka kuning! Tunggu dulu! Aku bersedia menjawab
pertanyaanmu. Tapi aku ingin agar kau mengobati
tanganku lebih dulu!”
“Kalau aku mengobatimu lebih dulu, apa nanti kau
akan memenuhi janji menjawab pertanyaanku?”
“Nek, kakek sahabatku ini bukan orang berhati culas.
Kalau setelah kau obati ternyata dia ingkar, biar aku
mematahkan tangannya yang satu lagi!” kata Si Penolong
Budiman pula.
Butt prett!
Yang berbunyi bukanlah kentut si nenek muka kuning,
tapi suara mulut dan tangan Hantu Langit Terjungkir
sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Baik, aku akan
tolong kakek sahabatmu ini. Tua bangka jelek, ayo ulurkan
tangan kananmu!”
Masih dalam keadaan berbaring Hantu Langit
Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera. Si nenek
perhatikan tangan itu sesaat. “Hemmm... apa kataku.
Tanganmu sudah busuk. Malah kulihat sudah mulai ada
belatungnya kecil-kecil!”
Hantu Langit Terjungkir jadi kaget. Dia buka matanya
lebar-lebar memperhatikan. Tapi dia tidak melihat apa-apa.
Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek. Hantu
Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau mana bisa melihat
belatungnya. Matamu hanya bisa melihat gadis cantik.
Bukan begitu? Hik... hik... hik!”
“Kau mau menolongku atau mau bersenda gurau?!”
Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
“Walah, sudah tua bangka kau masih cepat marah.
Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang juga akan kuobati
tanganmu!” Si nenek buang sisa-sisa pelepah pisang yang
masih menempel di tangan kanan Hantu Langit Terjungkir.
Caranya melakukan hal itu seenaknya saja hingga si kakek
menjerit-jerit kesakitan.
Butt prett!
“Jangan cengeng!” bentak si nenek muka kuning
setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang patah
sementara mulutnya berkomat-kamit Masih dengan tangan
kirinya dia cekal tangan itu di bagian siku. Lalu dipelintirnya
kuat-kuat!
Klek!
Tangan kanan Hantu Langit Terjungkir tanggal di bagian
siku! Si kakek menjerit setinggi langit. Saking sakitnya dia
hendak berguling-guling di tanah. Tapi si nenek cepat injak
dadanya. “Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!”
bentak si nenek.
“Uh... uh... uh...” Hantu Langit Terjungkir terpaksa
menahan rasa sakitnya walau muka dan badannya sampai
mandi keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah
mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Hantu Langit
Terjungkir ditempelkannya di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia
mematahkan cabang pohon yang besar dan panjangnya
kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang
pohon itu lalu enak saja disambungkannya ke tangan
kanan Hantu Langit Terjungkir.
“Untuk sementara kau pakai dulu cabang pohon itu
sebagai pengganti tanganmu yang patah!” kata si nenek
sambil menyeringai.
Si Penolong Budiman tersentak kaget. Hantu Langit
Terjungkir sendiri membeliak besar.
“Kau menipuku!” teriak Hantu Langit Terjungkir marah.
***
DELAPAN
NENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett!
Lalu unjukkan wajah cemberut. “Siapa yang
menipumu kakek buruk?!”
“Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang
patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di
pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau
tempelkan di tanganku!”
“Walah, memang begitu caraku menolongmu!” jawab
Hantu Selaksa Angin.
“Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi
punya tangan batang kayu seperti ini!” ujar Hantu Langit
Terjungkir sementara Si Penolong Budiman tertegak tak
tahu mau berbuat atau bicara apa.
“Ck... ck... ck... Kau benar-benar bangsa manusia yang
tidak tahu ditolong orang. Aku telah pergunakan ilmu
Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu
bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu
belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah
sengaja aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya
tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu dengan batang
kayu? Nanti kalau tanganmu yang di pohon sudah bertaut
kembali tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya
semula! Paling lama kau hanya menunggu beberapa hari
sampai tanganmu sembuh! Nanti aku pasti akan
memasangkannya ke tanganmu itu kembali!”
“Cara pengobatanmu tidak masuk akal! Kau
menipuku...!” teriak Hantu Langit Terjungkir.
“Itulah kalau hidup cuma tahu ikan asap, hanya tahu
ikan pindang! Sekarang kau juga tahu ikan pepes! Ditolong
orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan! Apa
tanganmu yang kusambung dengan cabang pohon itu
terasa sakit?”
“Memang tidak! Tapi aku tidak sudi punya tangan
batang kayu seperti ini!”
“Sombongnya manusia satu ini!” mengomel si nenek.
“Selama puluhan tahun kau hidup kaki ke atas kepala ke
bawah. Apa kau pernah berkata tidak sudi hidup
menyungsang seperti itu?!”
Mendengar ucapan si nenek, Hantu Langit Terjungkir
jadi terdiam.
“Nek, bagaimana kalau selama di pohon terjadi apa-
apa dengan tangan kakek sahabatku itu?” Si Penolong
Budiman bertanya.
“Apa maksudmu manusia muka tanah liat?”
“Mungkin saja potongan tangan itu dipagut dan
dimakan ular. Atau dimakan musang...”
“Kalau kau memikir sampai di situ mudah saja
jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan itu berjaga-jaga
siang malam di bawah pohon sampai tangannya sembuh!
Kalau nanti tangannya masih saja dijadikan santapan
binatang hutan, mungkin itu sudah nasibnya! Hik... hik...
hik! Bukankah tugasku hanya menolongnya? Bukan
menjadi pengawal tangan buntungnya? Kalau kau merasa
sahabatnya kau harus membantunya!”
Butt prett! Si nenek kentut dulu lalu meneruskan
ucapannya. “Sekarang sesuai perjanjian kau harus
menjawab beberapa pertanyaanku.”
“Aku tidak akan menjawab apapun!” Hantu Langit
Terjungkir berkata setengah berteriak.
Si nenek tampak jengkel. Matanya yang kuning
memandang tajam pada Hantu Langit Terjungkir. “Aku
sudah menduga kau akan ingkar janji. Tapi tak jadi apa!
Aku akan pergi, tapi tanganmu kubawa serta!”
Lalu dengan mulut berkomat-kamit si nenek hendak
tanggalkan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang
menempel di batang pohon.
“Kek, sebaiknya kau menjawab saja apa yang hendak
ditanyakannya. Kurasa tak ada susahnya. Daripada urusan
menjadi panjang tak karuan...” Si Penolong Budiman
memberi nasihat
“Aku...! Wahai! Sialan! Sudah! Baik aku akan jawab. Apa
yang mau kau tanyakan!” Hantu Langit Terjungkir akhirnya
mengalah juga.
Hantu Selaksa Angin tatap wajah si kakek beberapa
saat baru berkata. “Kau dikenal dengan nama Hantu Langit
Terjungkir. Waktu lahir kau pasti punya nama. Aku ingin
tahu siapa namamu sebenarnya.”
“Kau menanyakan namaku segala! Apa juga perlu hari
dan bulan lahirku? Rupanya kau mau meramal menujumi
diriku atau bagaimana?”
“Jangan banyak bicara yang tak karuan. Jawab saja
pertanyaanku. Siapa namamu kakek buruk?”
Hantu Langit Terjungkir pandangi nenek muka kuning
itu mulai dari sunting yang menancap di kepalanya, turun
ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung sampai ke
kaki. Semuanya serba kuning. Dalam benak dan hati si
kakek berbagai pertanyaan muncul. Sambil melangkah
seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir membatin.
“Nenek aneh serba kuning ini. Siapa dia sebenarnya? Aku
yakin dia sengaja memoles wajahnya dengan semacam cat
kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi nanti aku
akan balas bertanya...”
“Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Lasedayu.”
“Lasedayu... Lasedayu...” Si nenek ketuk-ketuk
keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. “Hemmm...
Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu
sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak
kenal nama itu!”
“Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!” menyahuti si
kakek.
“Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak
menyuruh...”
“Siapa gurumu?” bertanya Si Penolong Budiman.
“Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu
muka hitam!”
“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Si Penolong
Budiman tenang.
“Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri,
Lasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!”
tanya Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah
tertawa cekikikan dia berkata. “Jawab saja pertanyaanku!”
“Aku tak punya istri!”
“Maksudmu kau tidak pernah kawin? Tak pernah punya
anak?!”
“Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua
pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau
bagaimana?”
“Jangan-jangan kau kaki tangan Hantu Muka Dua.” Si
Penolong Budiman menimpali.
“Aku bukan kaki tangan Hantu Muka Dua! Soal
menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!”
“Untuk apa?!” sentak Hantu Langit Terjungkir.
“Aku tidak tahu!” jawab si nenek.
“Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!” kata
Hantu Langit Terjungkir pula.
“Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya,
tanganmu yang di pohon itu kubuat remuk hingga kau tidak
punya tangan kanan lagi seumur-umur. Bagaimana, mau
kita coba? Mau kubuktikan kalau diriku bisa tidak waras?!”
Ketika si kakek tidak menjawab, Hantu Selaksa Angin
tertawa gelak-gelak. “Kakek buruk. Kau belum menjawab
pertanyaanku. Apa kau pernah kawin? Kalau pernah siapa
nama istrimu. Lalu apa kau pernah punya anak?”
“Nenek muka kuning, kau harus jawab pertanyaanku
dulu. Apa perlu kau menyelidiki diriku?”
“Sudah kukatakan tadi. Guruku yang menyuruh!”
“Siapa gurumu?!”
“Aku tidak tahu!”
“Betul-betul gila! Kau disuruh gurumu tapi kau tidak
tahu siapa gurumu!”
“Aku tidak dusta! Karena aku memang tidak pernah
melihat ujudnya!”
“Kau punya guru, tapi tidak tahu ujudnya! Gurumu
angin atau sebangsa kentut yang keluar dari pantatmu
itu?!”
“Jangan kau berani menghina guruku. Tua bangka
bermulut tak karuan. Kau yang gila, bukan aku! Aku tak
mau lagi bicara denganmu!”
“Bagus, sekarang aku yang bicara! Aku yang bertanya!
Siapa namamu sebenarnya?”
“Aku tidak tahu!”
“Apa kau pernah punya suami?”
“Hik... hik! Jika aku tak punya suami apa kau mau jadi
lakiku? Hik... hik!”
“Sialan betul!” maki Hantu Langit Terjungkir.
Sebaliknya si nenek banting-banting kaki lalu tanpa
banyak bicara lagi putar tubuhnya. Setelah pancarkan
kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
“Syukur nenek sinting itu sudah pergi!” kata Hantu
Langit Terjungkir lega. Tetapi sebenarnya si nenek tidak
pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata kedua
orang itu diam-diam dia menyelinap kembali, melompat ke
atas sebatang pohon berdaun lebat di seberang telaga.
Dari sini dia mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Si
Penolong Budiman sambil kerahkan kesaktiannya untuk
mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu.
“Nenek muka kuning itu benar-benar aneh...” kata
Hantu Langit Terjungkir. “Apa maksudnya menyelidiki
diriku. Katanya disuruh gurunya. Tapi dia tidak tahu mau
memberitahu siapa gurunya.”
“Kau tidak bisa mengenali atau menduga siapa dia
adanya, Kek?” tanya Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala.
“Aku menduga dia tengah menyelidiki dirimu dan masa
silammu Kek.”
“Bisa saja. Tapi untuk apa?”
“Kuncinya ada pada gurunya. Sayangnya dia tidak mau
memberitahu siapa gurunya! Katanya dia tak pernah
melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?”
“Sebaiknya kita tidak membicarakan nenek sinting itu!”
kata Hantu Langit Terjungkir pula. Tiba-tiba dia ingat dan
berseru. “Wahai! Celaka diriku!”
“Ada apa Kek?”
“Tanganku yang menempel di pohon! Kalau tulangnya
yang patah bertaut kembali, bagaimana aku menyam–
bungkannya ke tubuhku?!” Wajah si kakek jadi pucat.
“Berarti dalam waktu beberapa hari di muka nenek itu
akan datang kembali mencarimu Kek.”
“Kalau dia datang, kalau tidak...!”
Di atas pohon di seberang telaga Hantu Selaksa Angin
senyum-senyum mendengar percakapan kedua orang itu.
“Lasedayu... Lasedayu...” katanya berulang kali dalam hati.
“Ah, aku tidak kenal nama itu. Aku tidak ingat lagi...” Si
nenek pukul-pukul kepalanya sendiri.
***
PAGI hari ke empat ketika Hantu Langit Terjungkir
bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama sekali
diperhatikannya adalah pohon di mana tangan kanannya
yang patah ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin. Sekali
ini begitu dia memandang ke pohon langsung dia tersentak
kaget dan melompat bangun sambil berseru memanggil Si
Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini serta merta terbangun
pula. “Ada apa Kek?”
“Tanganku! Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi
di pohon itu! Pasti sudah dibawa lari binatang hutan!
Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu
benar-benar telah menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan
kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu biar dua
tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!”
Hantu Langit Terjungkir pukul-pukul keningnya sendiri
dengan tangan kanan.
Si Penolong Budiman dapat merasakan kemarahan si
kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!”
katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli
kepalanya sendiri. Tiba-tiba manusia bermuka tanah liat ini
berseru keras. “Kek!”
“Ada apa?!” tanya Hantu Langit Terjungkir kesal.
“Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu
dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”
“Astaga!” Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan
kanannya dengan mendelik besar. Ternyata tangannya
yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah
berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke
samping kiri dia melihat cabang pohon yang tadinya
dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah. Si
kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat
ke atas, diturunkan ke bawah. Direntangkan ke samping
seolah-olah tak percaya!
“Nenek itu! Wahai! Aku telah berburuk sangka! Ternyata
dia tidak menipuku. Ternyata dia benar-benar menolongku!
Tanganku yang patah dan telah sembuh disambungkannya
kembali!”
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Si Penolong
Budiman dengan sepasang mata berkaca-kaca. “Dosa
besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning
itu menyembuhkan tanganku yang patah.
Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan dia
melakukan. Pasti malam tadi!”
“Kek, kalau dia melakukan secara diam-diam berarti
dia menolongmu tanpa menginginkan balas jasa. Berarti
hatinya polos. Tapi mungkin juga...” Si Penolong Budiman
tidak meneruskan ucapannya. Tapi justru malah
tersenyum.
“Tapi apa muka tanah liat? Kau tidak meneruskan
ucapanmu. Kau tersenyum seperti ada yang lucu...”
“Kek, dia menolongmu secara diam-diam mungkin
karena dia malu...”
“Malu? Aku tak mengerti...”
“Setahuku, jika seorang perempuan malu-malu
terhadap seorang lelaki berarti dia menyimpan satu
perasaan tertentu...”
“Perasaan tertentu apa maksudmu?” tanya Hantu
Langit Terjungkir pula.
“Maafkan aku Kek. Mungkin nenek itu suka padamu,”
jawab Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir berteriak. “Gila kau! Aku dan
dia sudah tua bangka begini masih mau bersuka-sukaan!
Gila!”
Si Penolong Budiman tertawa lebar. “Yang namanya
cinta itu Kek, kalau datang tidak memilih waktu, tempat
dan usia!”
“Kau gila!” Hantu Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba tawanya berhenti. Dia pandangi muka yang
tertutup tanah liat kering itu. Mulutnya terbuka tapi tak ada
suara yang keluar.
“Kau hendak mengatakan apa Kek? Ada suatu
perasaan yang tiba-tiba mengendap di lubuk hatimu?”
“Aku tidak tahu! Tapi nenek itu ternyata seorang yang
baik sekali. Kalau saja aku bisa menemuinya lagi. Aku akan
mengucapkan terima kasih padanya...”
“Hanya mengucapkan terima kasih saja Kek?”
“Lalu apa lagi?!”
“Bagaimana kalau terbukti dia memang menyukai
dirimu. Apakah kau mau padanya. Maksudku mau kawin
dengannya?”
Wajah Hantu Langit Terjungkir menjadi merah. Namun
sambil senyum-senyum dia berkata. “Nenek itu, mana
mungkin dia suka padaku. Aku terus-terusan dikatakannya
kakek buruk. Lagipula keadaanku yang selalu kaki di atas
kepala di bawah begini...”
“Justru mungkin karena keadaanmu inilah yang
menimbulkan rasa kasihan dalam dirinya padamu. Rasa
kasihan berganti dengan rasa suka...”
Si kakek garuk-garuk pipinya yang tidak gatal. “Aku...
Hemmm... Kalau dia memang punya hati terhadapku,
rasanya tak ada salahnya aku membalas dengan perasaan
yang serupa...”
“Kau mau kawin dengan Hantu Selaksa Angin itu Kek?”
“Yaaa... Aku mau apalagi nenek satu itu memang aneh,
tapi rasa-rasanya aku cocok dengan dirinya. Selama
puluhan tahun, sejak aku kehilangan istri dan anak-
anakku, aku hidup sengsara sebatang kara. Mungkin para
Dewa menakdirkan sudah saatnya hidupku harus
berubah...”
“Kalau begitu sehabis mandi di telaga kita cari saja
nenek itu. Sekalian kita mencari Lakasipo dan Hantu Bara
Kaliatus yang menurutmu kau yakin adalah sebagai dua
dari empat anakmu yang lenyap itu...”
“Cari nenek itu dulu! Dua anakku bisa menyusul
kemudian!” kata Hantu Langit Terjungkir seraya kedipkan
matanya lalu tertawa gelak-gelak.
Di seberang telaga, di atas pohon berdaun rimbun
Hantu Selaksa Angin dengan kesaktiannya walaupun agak
sayup-sayup masih dapat mendengar semua percakapan
Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Wajahnya yang kuning tampak berseri-seri. Senyum tak
henti-hentinya menyeruak di mulutnya. Berulang kali dia
mengusapi wajahnya. Lalu dalam hati dia berkata. “Kakek
satu itu sebenarnya tak buruk-buruk amat Walau
keadaannya seperti itu tapi hatinya pasti baik. Katanya dia
mau kawin dengan aku! Hik... hik... hik! Bagaimana ini! Aku
harus memberitahu Sang Datuk. Aku harus menemui Guru!
Hik... hik... hik! Ada orang yang mau mengawini aku! Wahai
bagaimana rasanya kawin! Apakah dulu aku pernah
kawin...?! Aku tak ingat lagi! Hik... hik... hik.” Tanpa
mengeluarkan suara dan goyangan pada pohon, nenek
muka kuning ini berkelebat turun dan lenyap di arah timur
telaga.
***
SEMBILAN
HUJAN turun dengan lebat membuat malam
menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar
menerangi jagat. Lalu suara guntur menggelegar
seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah hujan
lebat itu dua bayangan berkelebat ke arah selatan. Ketika
sekali lagi kilat menyabung dan keadaan terang benderang
sesaat, kelihatanlah bahwa dua bayangan itu adalah dua
sosok perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain
adalah Luhcinta dan Luhsantini yang tengah dalam
perjalanan menuju tempat kediaman Lamahila.
Luhsantini yang mengetahui letak rumah juru nikah
terkenal di Negeri Latanahsilam itu berlari di sebelah
depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari
tempat berteduh. Namun karena sudah terlanjur diguyur
hujan keduanya terus saja melanjutkan perjalanan. Selain
itu Luhcinta mendesak terus agar bisa menemui Lamahila
secepatnya.
Lamahila memiliki beberapa rumah namun dia lebih
sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit kecil
di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Karena bukit itu
tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan maka dari jauh
bangunan kediaman sang juru nikah telah terlihat
menghitam dalam kegelapan malam dan curahan air
hujan.
Bangunan itu cukup besar, berhalaman luas. Kedua
orang yang mendatangi langsung menuju pintu depan.
“Tak ada nyala dian atau obor di dalam rumah. Jangan-
jangan nenek itu tak ada di sini...” kata Luhcinta.
“Kita masuk saja. Setahuku Lamahila memang suka
bergelap-gelap,” jawab Luhsantini. Dia melangkah ke
depan pintu yang terbuat dari papan tebal. Sambil
mengetuk keras Luhsantini berteriak.
“Nenek Lamahila! Nenek Lamahila! Kau ada di
rumah?!”
Sampai berulang kali pintu diketuk dan diteriaki namun
tak ada jawaban, Luhsantini hendak mengetuk untuk
kesekian kalinya. Saat itulah dia menyadari kalau pintu
papan itu ternyata tidak dikunci.
“Kawasan ini memang aman. Tapi adalah aneh kalau si
nenek tidak mengunci rumahnya. Ini di luar
kebiasaannya...” kata Luhsantini. Lalu dengan tangan
kirinya dia mendorong. Daun pintu terbuka mengeluarkan
suara berkereketan. Lewat celah pintu kedua orang itu
memandang ke dalam.
“Gelap... Agaknya nenek itu memang tidak ada di sini,”
Luhsantini berkata setengah berbisik. Dia mendorong lagi
daun pintu lebih lebar.
“Nenek Lamahila! Kau ada di dalam?!” Luhsantini
memanggil. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba kilat
menyambar dan guntur menggelegar membuat dua
perempuan ini sama-sama terkejut.
“Kalau nenek itu memang tidak ada di rumah, apa yang
akan kita lakukan?” tanya Luhsantini.
“Kita menumpang berteduh saja. Menunggu sampai
pagi. Siapa tahu nenek itu kemudian muncul,” jawab
Luhcinta.
Luhsantini membuka pintu lebih lebar. Ketika dia
hendak melangkah masuk mendadak ada suara berkelik
disusul suara mendesir. Luhcinta yang mendengar lebih
dulu dengan cepat menarik tangan Luhsantini. Kedua
orang itu jatuh saling tindih di lantai serambi rumah kayu.
Dua benda hitam berdesing di atas mereka.
“Apa-apaan kau ini?!” tanya Luhsantini. Luhcinta
menjawab dengan acungan jari telunjuk tangan kanannya.
Sambil menunjuk dia goyangkan kepala ke kiri. Berubahlah
paras Luhsantini. Pada tiang serambi rumah besar tampak
menancap dua buah pisau berbentuk aneh. Gagangnya
masih bergetar bergoyang-goyang.
“Ada orang memasang peralatan rahasia di dalam
rumah. Diarahkan ke pintu. Jika pintu dibuka peralatan itu
akan bekerja, melesatkan senjata pembunuh. Siapa yang
berada di depan pintu dan terlambat menyelamatkan diri
akan ditambus pisau-pisau itu!”
“Manusia pengecut! Akan kuhajar habis-habisan orang
yang memasang peralatan rahasia itu!” kata Luhsantini
geram seraya beringsut menjauhi pintu. “Tapi apa maunya
Lamahila memasang peralatan pembunuh itu?!”
“Bukan dia yang memasang. Orang lain,” jawab
Luhcinta. “Saat ini aku mengawatirkan, jangan-jangan
Lamahila sendiri berada dalam bahaya. Bagaimana kalau
kita masuk menjebol atap?”
“Setuju!” jawab Luhsantini.
Di bawah hujan yang masih mengucur lebat dua
perempuan itu bergerak ke samping rumah. Mereka
mendapatkan bagian tanah yang agak tinggi. Dari sini
keduanya lalu melompat setinggi dua tombak. Naik ke atas
wuwungan atau atap yang terbuat dari jerami.
“Kau siap?” tanya Luhsantini. Tangan kanannya
diangkat ke samping kepala. Begitu Luhcinta mengangguk
Luhsantini hantamkan tangan kanannya ke bawah.
Serangkum angin dahsyat menderu membobolkan atap
rumah. Sebuah lobang besar terkuak. Tanpa menunggu
lebih lama dua orang ini terjun ke bawah. Di lain saat
mereka telah berada di dalam rumah kayu. Sesaat mereka
sengaja tegak tak bergerak untuk membiasakan mata
dengan kegelapan.
“Rumah ini kosong...” bisik Luhcinta.
“Kita periksa dulu. Kau di sebelah depan, aku di bagian
belakang.” Luhsantini bergerak lebih dulu. Tiba-tiba dia
hampir terpekik dan serta merta hentikan langkah lalu
menghindar ke samping.
“Ada apa?” tanya Luhcinta.
“Aku menginjak sesuatu. Sepertinya tubuh manusia...”
Luhsantini memperhatikan ke lantai. Luhcinta
mengikuti pandangan kerabatnya itu. Keduanya langsung
berubah pucat ketika melihat apa yang tergeletak di lantai.
Sosok si juru nikah Lamahila. Tergeletak tertelentang di
lantai. Dua buah pisau seperti yang tadi hampir mencelakai
dua perempuan itu menancap di kening dan lehernya.
Muka serta dada nenek sang juru nikah ini bersimbah
darah mengerikan.
Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba di luar sana
terdengar suara tawa aneh, seolah keluar dari liang jurang
yang dalam.
“Dua perempuan tolol! Aku sudah melarang kalian
untuk menyelidik perihal anak dan menantuku! Kalian
mengabaikan! Kini kalian muncul di tempat ini, membunuh
nenek juru nikah bernama Lamahila itu!”
“Siapa kau?!” teriak Luhsantini.
“Kami tidak membunuh! Nenek ini sudah jadi mayat
pada saat kami masuk ke dalam rumah!” berteriak
Luhcinta.
Kembali di luar sana menggema suara tawa. “Jangan
berdusta! Aku melihat sendiri kalian berdua melemparkan
masing-masing sebilah pisau ke arah Lamahila. Satu
menancap di kening. Satu menembus lehernya! Kalian
masih hendak berdusta?!”
“Tuduhan busuk dan keji!” teriak Luhcinta.
“Kau berani bicara tak berani ujukkan muka!”
“Biarlah aku jadi orang pengecut! Kalian berdua
memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian juga
harus berani mempertanggungjawabkan pembunuhan atas
diri Lamahila! Aku akan segera menyebar kabar ke suluruh
Negeri Latanahsilam! Ha... ha... ha!”
“Jahanam kurang ajar! Makhluk di luar sana sengaja
menjebak dan memfitnah kita!” kata Luhsantini.
“Suaranya datang dari samping rumah sebelah kanan!”
bisik Luhcinta. Dia memberi isyarat pada Luhsantini. “Kau
terus layani dia bicara. Aku akan naik ke atas atap dan
menghantamnya dari sana!” Begitu habis bicara Luhcinta
melesat ke atas atap rumah lewat bagian yang jebol. Di
dalam rumah Luhsantini kembali berteriak. “Makhluk
pengecut! Walau kau tidak berani unjukkan muka tapi dari
suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!”
“Hebat! Dugaan tidak ada artinya dibanding dengan
kenyataan yang akan aku sebar luaskan di Negeri
Latanahsilam. Dua perempuan bernama Luhcinta dan
Luhsantini membunuh Lamahila. Marah besar karena
nenek itu telah menikahkan pemuda asing bernama Wiro
dengan seorang gadis! Ha... ha... ha! Cemburu dan
keputus-asaan memang bisa merubah seseorang menjadi
pembunuh tanpa perasaan! Ha... ha... ha!”
Sementara di dalam rumah Luhsantini terus berusaha
melayani ucapan-ucapan orang di luar sana, di atas atap
Luhcinta sudah mengetahui di mana kira-kira beradanya
orang yang bicara dengan suara menggema aneh itu. Tak
menunggu lebih lama dia lepaskan satu pukulan bertenaga
dalam tinggi ke balik serumpun semak belukar. Dia
sengaja melepaskan pukulan yang disebut Tangan Dewa
Merajam Bumi. Dengan pukulan ini lawan bukan saja bisa
cidera berat tapi serta merta menjadi lumpuh dan tak bisa
melarikan diri lagi.
Semak belukar rambas bertaburan. Di dalam gelap
terdengar suara orang mengeluh.
“Kena!” teriak Luhcinta. Dinding di samping kanan
rumah Lamahila jebol. Sosok Luhsantini melesat keluar.
Perempuan ini rupanya tak sabar untuk keluar dari rumah
lewat atap. Dia langsung menghantam jebol dinding
bangunan lalu menerobos keluar.
“Luhcinta! Di sebelah sini! Aku melihat ada sosok
melarikan diri di sebelah sini!” teriak Luhsantini seraya
menghambur ke arah kegelapan. Dari atas atap, masih di
bawah hujan lebat Luhcinta melayang turun sambil kembali
menghantam ke arah yang ditunjukkan Luhsantini.
Luhsantini sendiri telah mendahului pula dengan satu
pukulan ganas. Dua pukulan sakti melanda bukit kecil itu.
Tiba-tiba dari arah yang menjadi sasaran hantaman dua
perempuan itu berkiblat dua jalur lidah api! Menyambar ke
arah Luhsantini dan Luhcinta. Karena datangnya lidah api
ini lebih cepat dari pukulan tangan kosong yang mereka
lepaskan, baik Luhcinta maupun Luhsantini terpaksa
menyingkir selamatkan diri. Ketika mereka hendak
mengejar kembali mereka tidak menemukan siapa-siapa.
Luhcinta usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Bisa kau menduga siapa orang yang melarikan diri
itu?” tanya Luhcinta.
“Suaranya sama dengan suara orang yang mengancam
dan menghancurkan goa beberapa waktu lalu... Kita harus
bertindak cepat sebelum tersiar fitnah di Negeri
Latanahsilam bahwa kita telah membunuh Lamahila.”
“Kita tidak berbuat, mengapa harus takut?!” ujar
Luhcinta pula.
“Aku ingat sesuatu,” kata Luhsantini. “Lamahila punya
seorang pembantu. Namanya Laduliu. Dia pasti tahu apa
yang berlangsung di Bukit Batu Kawin. Dia pasti tahu siapa
adanya Luhrembulan!”
“Kau tahu tempat kediaman orang itu?” tanya Luhcinta.
“Ikuti aku! Tempatnya cukup jauh. Mungkin menjelang
dinihari kita baru sampai di sana.”
“Kita harus bertindak cepat Luhsantini, Aku khawatir
pembantu bernama Ladului itu tengah terancam pula
nyawanya!”
Dalam gelapnya malam dan lebatnya hujan, dua
perempuan itu berkelebat lenyap meninggalkan bukit kecil.
Apa yang diduga Luhcinta ternyata memang betul.
Ketika bersama Luhsantini dia sampai ke tempat
kediaman Ladului di kaki timur Bukit Batu Kawin, orang itu
mereka temui dalam keadaan tak bernyawa lagi. Laduliu
menemui ajal dengan cara sama seperti dialami Lamahila.
Dua buah pisau menancap di leher dan dada tepat
jantungnya!
“Kejam sekali! Aku bersumpah mencari sampai dapat
siapa pembunuh keji itu!” kata Luhcinta sambil kepalkan
jari-jari tangannya.
Luhsantini melangkah ke pintu. Namun dia berpaling
kembali, memperhatikan mayat Laduliu.
“Ada apa Luhsantini?” tanya Luhcinta.
“Tunggu dulu. Mayat ini. Aku mau memeriksa sekali
lagi...” jawab Luhsantini. Lalu perempuan ini berbalik dan
jongkok di samping mayat Laduliu. Sepasang matanya
memperhatikan lekat-lekat wajah dan sosok mayat. “Ini
bukan Laduliu!” kata Luhsantini sesaat kemudian. “Aku
ingat betul. Pembantu Lamahila bernama Laduliu itu
bertubuh agak kurus, sudah tua. Yang mati ini bertubuh
agak gemuk dan masih muda...”
Paras Luhcinta berubah. Seberkas harapan muncul
dalam hatinya. “Berarti... Jangan-jangan si pembunuh telah
kesalahan tangan. Salah sasaran. Dia menemui orang ini di
dalam rumah, mengiranya Laduliu lalu membunuhnya...”
“Jalan pikiranmu sama denganku!” kata Luhsantini.
“Berarti kita masih ada kesempatan. Mencari Laduliu!”
Luhcinta pegang tangan kerabatnya itu lalu menariknya.
“Kita harus bertindak cepat...” katanya. Kedua perempuan
itu segera tinggalkan tempat tersebut.
***
SEPULUH
HANTU Selaksa Angin lari sekencang yang bisa
dilakukannya. Saking cepatnya dia berlalu hanya
kelebatan warna kuning jubahnya saja yang
kelihatan. Setelah mendengar percakapan Hantu Langit
Terjungkir dengan Si Penolong Budiman nenek ini dengan
perasaan hati penuh gembira meninggalkan telaga, lari
menuju kawasan pantai selatan di mana terletak Teluk
Labuntusamudera. Di teluk ini terdapat sebuah goa.
Seperti diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si
nenek selalu menemui gurunya, suatu makhluk tanpa ujud
bernama Sang Datuk yang hanya dikenal lewat suaranya
saja.
“Lasedayu! Lasedayu! Aku mau kawin! aku mau kawin
dengan kakek itu! Hik... hik... hik...! Bagaimana rasanya
kawin! Apa aku pernah kawin sebelumnya? Aku tak ingat
Tapi hik... hik! Pantatku rasanya jadi gatal!”
Ketika matahari mulai condong ke barat, sepasang
telinga Hantu Selaksa Angin mulai mendengar deru ombak
di kejauhan. Hatinya gembira. Debur ombak yang terdengar
pertanda dia sudah dekat ke tempat tujuan. Agar lebih
cepat sampai di goa, Hantu Selaksa Angin sengaja
menempuh jalan setapak, memintas langsung tanpa harus
berputar mengikuti teluk.
Selagi berlari kencang dengan perasaan penuh suka
cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan kening. Di jalan setapak
yang lurus dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan
sana ada seorang kakek mengenakan jubah coklat gelap,
berkepala agak botak. Kumis, janggut dan alis putih. Kakek
ini duduk menjelepok seenaknya di tengah jalan. Sepasang
matanya terpejam-pejam. Tangan kirinya memegang
sebatang pipa berwarna kuning yang asyik disedotnya
sampai pipinya terkempot-kempot. Asap tembakau yang
menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa
kuning. Ketika Hantu Selaksa Angin sampai di hadapan si
kakek, karena jalan setapak itu kecil dan sempit dengan
sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan terpaksa berhenti.
Berdiri sedekat itu Hantu Selaksa Angin jadi berdebar
dadanya. Pipa kuning si kakek tak dikenal ternyata terbuat
dari emas murni! Hati si nenek jadi tergerak. Seperti
diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda
berwarna kuning, apalagi yang terbuat dari emas. Sampai
saat itu di lehernya masih tergantung kalung sendok emas
sakti yang pernah dirampasnya dari tangan Lakasipo
sewaktu hendak diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir.
“Pipa dari emas. Wahai bagusnya! Siapa gerangan
adanya kakek beralis putih ini?” membatin Hantu Selaksa
Angin. Diam-diam hatinya mulai tergoda ingin memiliki pipa
emas itu. Namun begitu dia ingat Lasedayu yang ingin
mengawininya itu, si nenek serta merta menegur.
“Makhluk tolol! Mengapa melintang di tengah jalan! Aku
mau lewat! Harap beri jalan!”
Kakek beralis putih yang duduk di jalan setapak sedot
pipanya dalam-dalam sampai dua pipinya menjadi kempot
lalu hembuskan asap tembakau dari mulut dan hidungnya.
Bau harum aneh tembakau menebar ke mana-mana.
Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Dua mata ini
tidak segera memandang ke arah si nenek, tapi
mendongak dulu ke arah langit. Lalu dari mulutnya yang
ompong keluar suara tawa berderai, lama dan panjang. Dia
tertawa seperti dibarengi satu perasaan mendalam hingga
dari sudut-sudut matanya meleleh air mata.
“Tujuh hari tujuh malam menunggu! Ternyata tidak sia-
sia! Akhirnya orang yang aku tunggu datang juga!” Ucapan
itu keluar dari mulut kakek berjubah coklat tua.
“Kakek tolol! Tujuh hari tujuh malam kau menunggu!
Menunggu siapa?! Ayo lekas menyingkir atau mau kuinjak
kepalamu yang botak!”
Si kakek yang duduk di tanah cabut pipanya dari sela
bibir, memutar bola matanya menatap ke arah si nenek
sambil hembuskan lagi asap tembakau dari mulutnya. Lalu
dalam keadaan masih duduk dia bungkukkan badan
memberi hormat.
“Tujuh hari tujuh malam menunggu. Siapa lagi kalau
bukan menunggu dirimu wahai nenek agung berwajah
kuning! Nenek tercantik di kawasan Negeri Latanahsilam!
Hatiku senang, hatiku puas! Jerih payahku menunggu saat
ini telah terbayar! Aku mengucapkan selamat datang dan
selamat bertemu denganmu wahai Hantu Selaksa Angin
alias Hantu Selaksa Kentut!”
Butt prett!
Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah pandangi si
kakek dengan sepasang matanya yang kuning, dia berkata.
“Baru sekali bertemu kau sudah memuji! Pujianmu
membuat aku curiga! Siapa kau adanya kakek alis putih!
Mengapa berani menghadang jalanku! Apa keperluanmu
sengaja menunggu aku di tempat ini sampai tujuh hari
tujuh malam!”
Si kakek alis putih kembali membungkuk.
“Aku yang rendah bukan orang terkenal seperti dirimu.
Hingga kalaupun kusebutkan siapa diriku kau pasti tidak
tahu...”
“Kau tak perlu bicara panjang lebar. Katakan saja siapa
namamu apa keperluanmu! Kalau kau terlalu banyak
bicara akan kusumpal mulutmu dengan kentutku!”
“Maafkan diriku wahai Hantu Selaksa Angin. Orang
hebat sepertimu tentu banyak kepentingan, banyak
urusan. Aku harus tahu diri, tak boleh mengganggu terlalu
lama. Wahai, jika kau ingin tahu namaku, panggil saja
diriku yang rendah ini Hantu Berpipa Emas!”
“Hantu Berpipa Emas! Tak pernah aku dengar nama itu
sebelumnya!” kata si nenek sambil cibirkan mulut.
“Itulah! Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang
terkenal seperti dirimu...”
Dalam hati si nenek berkata. “Kau bisa saja bukan
orang terkenal. Tapi aku dapat mengukur. Kau memiliki
ilmu kepandaian tinggi di balik sikapmu yang penuh
hormat dan pandai bicara!”
“Kau sudah menyebut siapa dirimu! Sekarang katakan
apa keperluanmu menghadang diriku di tengah jalan begini
rupa!”
“Maafkan diriku! Aku bukan menghadangmu wahai
Hantu Selaksa Angin. Aku menunggumu di sini. Tujuh hari
tujuh malam penuh sabar. Aku menunggumu karena
hendak menyerahkan satu barang sangat berguna!”
“Barang apa?!” tanya si nenek.
Hantu Berpipa Emas cabut pipanya dari mulut lalu
mengetuk-ngetukkan pipa ini ke pahanya hingga tembakau
yang menyala jatuh ke tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya
beberapa kali sampai bersih, lalu badan pipa emas itu
disekanya dengan ujung jubahnya hingga berkilat-kilat.
Setelah membersihkan, pipa itu diangsurkannya ke arah si
nenek.
“Pipa emas ini. Benda inilah yang akan kuserahkan
padamu! Harap kau sudi menerima dengan hati gembira
karena aku menyerahkan dengan hati ikhlas!”
Walau setengah tak percaya bakal mendapat rezeki
besar seperti itu si nenek sambil tersenyum ulurkan
tangannya hendak mengambil pipa. Namun sebelum
sempat jari tangannya menyentuh pipa emas itu si kakek
alis putih tiba-tiba menarik pipa.
“Kurang ajar! Kau mempermainkan aku!” bentak si
nenek gusar.
“Harap maafkan diriku yang rendah wahai Hantu
Selaksa Angin,” kata si kakek alis putih sambil
membungkuk. “Siapa berani mempermainkanmu. Aku
hanya ingin mengatakan sesuatu terlebih dulu sebelum
menyerahkan pipa emas ini padamu...”
“Mengatakan apa?!” sentak Hantu Selaksa Angin jadi
tak sabaran.
“Maksudku begini... Pipa ini jelas-jelas dan pasti akan
kuserahkan padamu. Tapi sebagai gantinya aku minta
sesuatu darimu. Pasti kau tidak keberatan dan setuju
saja...”
“Kau minta ganti sesuatu? Sesuatu apa?” tanya si
nenek.
“Aku tahu, di balik dada pakaianmu tergantung sebuah
sendok emas. Kalungmu sudah begitu banyak. Sendok
buruk yang satu itu tentu tak ada harganya bagimu. Ini
terimalah pipa emasku. Berikan padaku sendok emas
itu...”
Hantu Selaksa Angin tak segera menjawab. Tangan
kirinya meraba ke dada di mana tergantung sendok emas
yang disebut Sendok Pemasung Nasib. Kebimbangan
terlihat di wajahnya yang kuning. Melihat ini Hantu Berpipa
Emas segera membuka mulut.
“Apa yang kau bimbangkan. Sendok butut yang ada
padamu walau terbuat dari emas tak ada artinya dengan
pipa ini. Pipa emas ini belasan kali lebih berat dari sendok
itu. Jika kau gantung di lehermu, kau akan kelihatan lebih
gagah dan agung! Apa kau tidak suka pada pipa emas ini?”
“Aku suka, tapi sendok yang kau minta tak bisa
kuberikan!”
“Wahai, mengapa begitu?”
“Sendok itu sudah kujanjikan pada seseorang yang
pernah menolongku!”
Hantu Berpipa Emas kembali perdengarkan tawa
berderai sampai air matanya membasahi sudut-sudut
matanya.
“Janji masa sekarang setipis kabut di pagi hari. Begitu
mentari muncul kabutpun hilang! Janji masa sekarang sulit
dipertahankan, apalagi kalau kita memiliki kepentingan
dan pilihan lebih utama. Aku tahu, bukankah sendok emas
itu hendak kau berikan pada seorang pemuda asing
bernama Wiro Sableng?!”
Terkejut si nenek mendengar kata-kata Hantu Berpipa
Emas itu. “Bagaimana kau bisa tahu?!”
“Tak ada gunanya sendok itu kau berikan pada pemuda
asing itu wahai Nenek Selaksa Angin. Lagipula pemuda itu
entah berada di mana sekarang. Mungkin juga sudah
menemui ajal karena banyak pihak yang ingin merenggut
nyawanya! Bukankah dia yang selama ini dikabarkan
berbuat mesum di mana-mana?!”
Kebimbangan semakin nampak di wajah si nenek.
Si alis putih kembali mengipas. “Sendok itu selama ini
hanya bisa kau jadikan sebagai hiasan tak berguna. Tapi
kalau kau memiliki pipa ini, lihat apa yang bakal dapat kau
lakukan!” Habis berkata begitu si kakek kerahkan tenaga
dalamnya lalu hantamkan pipa kuning ke arah sebuah batu
besar yang terletak sekitar tiga tombak di sebelah sana.
Wusss!
Selarik sinar kuning berkiblat.
Byaaarr!
Batu besar di sebelah sana mengeluarkan suara seperti
hancur tapi tetap terlihat utuh tak bergerak. Namun ketika
si kakek meniup ke depan, batu besar itu berubah menjadi
debu dan beterbangan ke udara!
Sementara Hantu Selaksa Angin terkejut dan terbelalak,
Hantu Berpipa Emas tergelak-gelak sampai kucurkan air
mata.
“Hantu Selaksa Angin, harap maafkan diriku yang
rendah. Jangan anggap aku sengaja membanggakan ilmu
kepandaian padamu. Aku hanya sekedar ingin
memperlihatkan bahwa pipa emas ini jauh lebih berharga
daripada sendok butut itu!”
Si nenek tak dapat lagi menahan dorongan hatinya.
Segera saja dia tanggalkan Sendok Pemasung Nasib dan
menyerahkannya pada si kakek. Padahal sendok sakti ini
adalah satu-satunya benda yang bisa mengembalikan
kesaktian Hantu Langit Terjungkir serta membuatnya bisa
berdiri secara wajar kaki di bawah kepala di atas. Pada
ujung sendok emas itu masih melekat pusar Hantu Langit
Terjungkir yang dulu dicungkil oleh Hantu Muka Dua. Pusar
itu kini seperti telah membatu, kotor tertutup debu tebal.
Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Hantu. Berpipa
Emas langsung menyambar. Lalu sambil membungkuk dia
mengucapkan terima kasih berulang kali.
“Aku sudah memberikan sendok yang kau minta!
Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!” kata si nenek
seraya ulurkan tangannya, siap untuk mengambil.
“Wahai! Aku sampai terlupa!” kata si kakek. Perlahan-
lahan dia bangkit berdiri. Astaga! Ternyata kakek ini
memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai satu
setengah kali tinggi si nenek hingga Hantu Selaksa Angin
terpaksa memandang mendongak padanya.
“Hantu Selaksa Angin, aku siap menyerahkan benda
yang kau minta!” berucap si kakek. Lalu dia ulurkan
tangannya yang memegang pipa emas. Hanya sesaat lagi si
nenek akan menyentuh pipa itu, tiba-tiba Hantu Berpipa
Emas gerakkan tangan kanannya.
Cahaya kuning berkelebat. Ujung pipa menyambar ke
kepala Hantu Selaksa Angin.
Praakkk!
***
SEBELAS
HANTU Selaksa Angin menjerit keras. Tubuhnya
mencelat sampai dua tombak, tergeletak di jalan
setapak. Ketika dia mencoba bangkit kelihatan luka
besar menguak di keningnya. Mukanya yang kuning
bersimbah darah. Baru saja nenek ini mampu berlutut di
tanah, Hantu Berpipa Emas sudah melompat ke
hadapannya dan tertawa bergelak.
“Nenek tolol! Ilmumu boleh setinggi langit tapi otakmu
ternyata sedangkal kubangan! Ha... ha... ha!”
“Kau menipuku! Keparat jahanam! Kau menipuku! Kau
menyerangku secara pengecut! Kau bakal merasakan
pembalasanku!”
“Kau tak akan punya kesempatan membalas dendam
nenek tolol! Karena aku akan menghabisi riwayatmu saat
ini juga!”
Sekujur tubuh Hantu Selaksa Angin bergetar dilanda
hawa amarah. Dua tangannya dinaikkan ke dada, jari-jari
yang terkepal dibuka. Dua larik sinar kuning yang
kemudian berubah menjadi putih memancar pada dua
tangan si nenek. Bau harumnya setanggi menyambar
hidung. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat dingin.
“Ha... ha... ha! Kau hendak keluarkan Pukulan Salju
Putih Latinggimeru! Aku mau lihat sampai di mana
kehebatan ilmu kesaktian itu. Tapi harap kau terima dulu
hadiah dariku!” Kakek alis putih tertawa bergelak. Lalu
wuuutt! Kaki kanannya menderu ke dada orang. Kalau tadi
darah mengucur keluar dari luka di kening si nenek maka
kini darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan
jarak dekat itu. Untuk kedua kalinya Hantu Selaksa Angin
terkapar di tanah, menggeliat-geliat keluarkan erangan
panjang dan megap-megap sulit bernafas.
“Nenek tolol, mana kentutmu! Aku mau dengar
kentutmu yang butt preett itu!” ejek Hantu Berpipa Emas.
Tangan kanan memegang pipa emas, tangan kiri
memegang Sendok Pemasung Nasib.
Dalam keadaan setengah sekarat Hantu Selaksa Angin
melapat aji kesaktian untuk merubah dirinya menjadi
kepompong. Namun Hantu Berpipa Emas tidak memberi
kesempatan. Dengan pipa emas di tangan kanannya
kembali dia menghantam kepala si nenek. Yang jadi
sasaran kali ini adalah bagian belakang kepala di atas
telinga kanan di mana ada cacat bekas luka lama. Untuk
kesekian kalinya Hantu Selaksa Angin terpental. Terkapar
di tanah. Dua sunting yang menancap di kepalanya hancur.
Rambutnya yang kuning berubah menjadi merah oleh
kucuran darah dari luka besar hantaman pipa emas.
“Aku tak ingin mati... Aku tak mau mati! Aku akan
kawin! Lasedayu... Guru... Aku harus menemui Guru...”
kata-kata itu keluar dari mulut si nenek. Dia kumpulkan
seluruh sisa tenaga yang ada dan berusaha bangkit berdiri.
“Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya
mengigau!” kata Hantu Berpipa Emas lalu tertawa gelak-
gelak. Dia sisipkan pipa emasnya ke pinggang. Lalu
pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke tangan kanan.
Begitu Hantu Selaksa Angin mencoba berdiri, Hantu
Berpipa Emas tusukkan sendok emas ke tenggorokan si
nenek!
Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar satu suitan
keras. Disusul berkiblatanya sinar putih menyilaukan.
Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik
berada satu jengkal di atas kepala. Serentak dengan itu
suara aneh seperti seribu tawon mengamuk terdengar
menyakitkan telinga.
Craaassss!
Hantu Berpipa Emas keluarkan jeritan setinggi langit.
Tubuhnya terlempar dua tombak lalu bergulingan di tanah.
Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak
melayang dua buah benda. Yang pertama adalah potongan
tangan kanan Hantu Berpipa Emas. Benda kedua adalah
sendok emas yang tadi hendak dicucukkan kakek itu ke
leher Hantu Selaksa Angin!
Satu bayangan putih berkelebat ke udara, dengan cepat
menyambar sendok emas. Lalu dengan gerakan jungkir
balik dua kali berturut-turut bayangan putih itu melayang
turun ke tanah. Tepat di samping Hantu Selaksa Angin
yang saat itu megap-megap berusaha keras mencoba
berdiri. Tapi roboh kembali. Sebelum tubuhnya jatuh ke
tanah, bayangan putih tadi cepat merangkul pinggangnya.
“Nek, bertahanlah! Aku akan menolongmu!”
Hantu Selaksa Angin masih bisa membuka matanya
untuk melihat siapa yang menolong dirinya. “Kau...”
katanya perlahan lalu butt prett. Sehabis pancarkan
kentutnya si nenek langsung pingsan. Orang yang
menolongnya cepat melakukan totokan pada beberapa
jalan darah si nenek. Darah yang mengucur dari kepala
dan meleleh dari mulut Hantu Selaksa Angin serta merta
berhenti. Sambil memanggul sosok si nenek, si penolong
memutar tubuh ke arah Hantu Berpipa Emas yang saat itu
jatuh berlutut di tanah sambil pegangi tangan kanannya
yang buntung dan masih terus mengucurkan darah. Dalam
menahan sakit, matanya berkilat-kilat memandang ke arah
orang yang tadi menyerang dan membabat putus tangan
kanannya.
“Kapak bermata dua...” desis Hantu Berpipa Emas.
“Pasti dia pemuda asing yang dikatakan Hantu Muka
Dua...” Hantu Berpipa Emas kumpulkan seluruh
kekuatannya. Dia sanggup berdiri namun sekujur tubuhnya
saat itu terasa seperti dipanggang. Ujung tangannya yang
buntung hangus kehitaman.
“Aku keracunan. Kapak bermata dua itu pasti
mengandung racun jahat! Celaka!” Hantu Berpipa Emas
menggembor keras lalu balikkan tubuhnya. Terhuyung-
huyung kakek ini lari sekencang yang bisa dilakukannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. Dia putar
Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya lalu meniup.
Darah Hantu Berpipa Emas yang tadi masih menempel di
mata kapak serta merta sirna.
“Sebentar lagi sore akan memasuki senja. Ke-mana
harus kubawa nenek tukang kentut ini!” Wiro memandang
berkeliling sambil berpikir-pikir.
Tiba-tiba secara aneh, seolah mengetahui apa yang
dipikirkan Wiro, si nenek buka matanya sedikit. Dari
mulutnya keluar suara perlahan. “Berjalan ter... terus ke
arah kiri. Di balik seder... sederetan pohon kelapa yang
tumbuh rapat. Ada satu goa. Bawa aku masuk ke sana...
Aku mau kawin! Aku harus bertemu Guru memberitahu!”
“Nek, kau mengigau atau bagaimana?!” tanya Wiro.
Namun si nenek hanya menjawab dengan kentut satu
kali lalu pingsan kembali!
“Tua bangka geblek! Sudah mau mati masih juga bisa
kentut!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia
masukkan senjatanya ke balik baju putih, simpan Sendok
Pemasung Nasib di balik pinggang. Lalu seperti yang
dikatakan si nenek dia segera berlari cepat ke arah kiri.
Tak lama berlari Wiro temukan goa yang dikatakan si
nenek. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk. Di dalam goa
yang sejuk itu Wiro bujurkan sosok Hantu Selaksa Angin di
atas lantai.
Baru saja sosok si nenek terbaring tiba-tiba di atas
langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan satu
cahaya putih berkilat. Bersamaan dengan itu entah dari
mana datangnya, di atas lantai goa jatuh dua buah benda.
Ketika diperhatikan ternyata daun pisang yang dilipat-lipat.
“Aneh, tak ada orang lain di goa ini. Satu-satunya jalan
masuk adalah pintu goa sebelah sana. Bagaimana dua
bungkus daun pisang itu bisa berada di dalam goa? Siapa
yang melemparkan? Jangan-jangan goa ini goa siluman!
Jangan-jangan si nenek tadi hanya mengigau menyuruh
aku membawanya ke tempat ini!”
Baru saja murid Sinto Gendeng berkata dalam hati
seperti itu, mendadak cahaya aneh di langit-langit goa
menyala lebih terang. Lalu berkumandang satu suara
halus.
“Anak muda berbudi baik. Lekas kau ambil dan
bungkus daun pisang di atas lantai...”
Wiro tersentak kaget. Dia memandang seputar ruangan.
Berpaling ke mulut goa. Dia tak melihat siapa-siapa.
“Anak muda, lekas lakukan apa yang aku katakan!”
“Siapa kau?!” Wiro bertanya sambil kembali
memandang berkeliling.
“Siapa diriku nanti ada yang bakal menerangkan.
Sekarang lekas lakukan apa yang aku katakan. Dalam
bungkusan daun pisang sebelah kanan ada sejenis bubuk
putih. Masukkan bubuk itu ke dalam mulut Hantu Selaksa
Angin. Buat agar dia bisa menelan seluruh bubuk. Kalau
sudah, ambil bungkusan daun pisang kedua. Tebarkan
bubuk hitam dalam bungkusan itu ke semua luka yang ada
di dada dan kepala Hantu Selaksa Angin. Aku berterima
kasih padamu wahai anak muda!”
“Sunyi, yang bicara tadi itu apa sudah meninggalkan
goa ini atau bagaimana?” pikir Wiro sambil garuk-garuk
kepala. Dia ingat pada ucapan makhluk tanpa ujud tadi.
Wiro segera mengambil bungkusan daun pisang di lantai
sebelah kanan. Begitu dibukanya bungkusan itu memang
berisi bubuk putih. Dengan cepat bubuk itu dimasukkannya
ke dalam mulut si nenek. Lalu dengan satu totokan
perlahan, lidah si nenek yang tadinya kelu bergerak
demikian rupa hingga seluruh bubuk yang ada dalam
mulutnya masuk ke dalam tenggorokan.
Wiro mengambil bungkusan daun pisang kedua. Di
dalam bungkusan daun pisang ini ditemuinya bubuk hitam.
Sesuai ucapan makhluk tanpa ujud tadi murid Sinto
Gendeng tebarkan bubuk itu pada kening, kepala bagian
belakang serta dada Hantu Selaksa Angin yang cidera
berat akibat keganasan kakek bernama Hantu Berpipa
Emas yang kini telah melarikan diri. Dengan ujung jubah
kuning yang dikenakan si nenek Wiro bersihkan noda-noda
darah di muka dan kepala Hantu Selaksa Angin.
Sambil menunggu apa yang bakal terjadi dengan si
nenek, Pendekar 212 perhatikan seputar ruangan goa
berbentuk empat persegi itu. Beberapa kali dia mendongak
memperhatikan langit-langit goa berbentuk kerucut. Pada
ujung kerucut dia melihat satu titik putih, bersinar seperti
permata.
“Goa aneh. Udara di sini terasa sejuk. Apakah ini
tempat kediaman nenek tukang kentut ini? Sombong amat
dia punya goa sebagus ini!” kata Wiro dalam hati. Tiba-tiba
dilihatnya sosok si nenek menggeliat. Lalu ada suara
erangan halus. Wiro membungkuk dan tepuk-tepuk pipi
kanan Hantu Selaksa Angin.
“Nek, sadar Nek. Nek...!”
Namun nenek itu tidak segera siuman. Wiro garuk
kepalanya. “Mungkin harus kubantu dengan tenaga dalam
dan kapak sakti.” Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212. Cahaya kapak memantul ke dinding dan atap
goa. Ketika bertemu dengan titik putih di langit-langit goa,
titik putih memancarkan cahaya terang, menyambar ke
arah kapak. Begitu menyentuh mata kapak, cahaya terang
itu berpijar terang dan memecah menjadi empat lalu setiap
pecahan melesat ke arah empat sudut atap goa. Saat itu
juga tempat itu menjadi terang benderang.
“Apa yang terjadi?!” ujar Wiro terheran-heran seraya
pandangi empat titik bercahaya terang di empat sudut atas
goa. Saat itu tiba-tiba menggema satu suara yang sulit
diduga oleh Wiro dari arah mana datangnya karena suara
itu seolah datang dari empat sudut goa.
“Anak muda, sinar jati diriku mampu bersatu dengan
cahaya sakti senjatamu! Itu satu pertanda kita saling
berjodoh!”
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget. “Yang bicara ini
lelaki atau perempuan?” pikir Wiro. “Makhluk tanpa ujud
itu menyebut-nyebut soal jodoh. Jangan-jangan dia minta
kawin dengan aku! Celaka!”
“Orang yang barusan bicara! Siapa kau? Apakah aku
bisa melihat dirimu?!”
“Anak muda, teruskan dulu usahamu menolong
muridku. Nanti kita bicara lagi,” jawab suara yang orangnya
tidak kelihatan itu.
“Aneh... benar-benar aneh,” membatin Wiro. Lalu dia
letakkan dua tangannya di atas mata kapak. Perlahan-
lahan dia mulai kerahkan tenaga dalam dari perut, naik ke
dada lalu disalurkan pada dua tangannya. Begitu tenaga
dalam memasuki kapak dan mengalir ke dalam dada si
nenek, sosok Hantu Selaksa Angin tersentak keras. Dari
mulutnya keluar suara erangan panjang. Lalu begitu suara
erangan lenyap, dari bagian bawah tubuh si nenek
memancarkan kentut. Kali ini tidak seperti biasanya,
kentut si nenek panjang bertalu-talu seolah-olah tidak ada
putus-putusnya dan menebar bau busuk sekali.
“Sialan! Bisa tanggal hidungku!” maki Wiro. Dia segera
ambil kapaknya, menghambur keluar goa dan meludah-
ludah berulang kali sambil gosok-gosok hidungnya. Tak
selang berapa lama di dalam goa terdengar suara dari
orang tanpa ujud tadi.
“Anak muda, kau telah menyembuhkan muridku! Aku
berterima kasih padamu. Sekarang masuklah kembali ke
dalam goa!”
Sambil menekap hidungnya karena khawatir tempat itu
masih dipenuhi bau kentut busuk, Wiro masuk ke dalam
goa. Begitu masuk dilihatnya nenek muka kuning telah
duduk di lantai, bersandar ke dinding, memandang ke
arahnya. Si nenek tersenyum padanya. Tapi ketika melihat
Wiro menekap hidungnya dia langsung bertanya.
“Mengapa kau masuk sambil memencet hidung!
Memangnya aku atau tempat ini bau?”
“Tadi memang bau Nek. Kentutmu membuncah tempat
ini! Hidungku seperti disambar petir!”
“Kentutku tak pernah bau! Saat ini aku tidak mencium
bau apa-apa! Jangan kau mengada-ada...!”
“Tadi Nek, waktu aku menolongmu. Mungkin sekarang
baunya sudah hilang!” kata Wiro pula lalu lepaskan jarinya
yang dipakai memencet hidung. “Benar Nek, sekarang bau
kentut busuknya sudah hilang!”
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan.
“Nek, tadi ada orang bicara di tempat ini. Ada suara tapi
orangnya tidak kelihatan...”
“Tunggu!” si nenek memotong. “Tadi kau bilang
menolongku. Menolong apa?”
Belum sempat Wiro menerangkan tiba-tiba suara tanpa
ujud memenuhi seantero goa.
“Muridku Hantu Selaksa Angin, pemuda itu telah
menyelamatkan jiwamu. Dia membawamu ke tempat ini
dalam keadaan sekarat bersimbah darah... Apa yang
terjadi dengan dirimu sebelumnya?”
Hantu Selaksa Angin tampak kaget “Guru aku...” Si
nenek perhatikan pakaiannya. Dua tangannya, lalu
mengusap muka dan meraba rambutnya. Lalu ditariknya
belasan kalung yang bergelantungan di lehernya. Matanya
memperhatikan gelang-gelang kuning di kedua tangannya.
Kemudian satu-satunya sunting kuning yang masih
melekat di kepalanya dicabutnya. Dia memandang
berkeliling lalu menatap ke langit-langit goa. “Datuk Tanpa
Bentuk Tanpa Ujud! Apa yang terjadi dengan diriku...?!”
“Wahai, apa maksud pertanyaanmu itu, muridku?”
“Jubah kuning ini, sunting kuning, gelang kuning,
kalung-kalung kuning. Kulit tanganku. Bahkan rambutku!
Semua berwarna kuning! Mengapa aku berdandan seperti
ini?! Apa yang terjadi dengan diriku!”
“Muridku, sesuatu agaknya telah terjadi dengan dirimu.
Suaramupun kini terdengar berubah! Wahai para Dewa jika
ini benar-benar terjadi aku bersimpuh di hadapanmu
menghaturkan rasa terima kasih atas rakhmatmu...”
“Guru...”
“Muridku, selama ini kau menyebut dirimu Hantu
Selaksa Angin, terkadang Hantu Selaksa Kentut. Kau juga
acap kali memakai nama Luhkentut! Jika rakhmat
penyembuhan dari para Dewa telah menjadi bagianmu,
aku bertanya sekarang. Apakah kau ingat siapa namamu
sebenarnya?”
“Namaku sebenarnya?” ujar Hantu Selaksa Angin. “Kau
bergurau Guru. Masakan aku tidak ingat namaku sendiri.
Aku Luhpingitan...”
“Muridku! Dewa telah memberikan kesembuhan
padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Wahai!
Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi?! Muridku, aku akan
mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Aku ingin
membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau
alami!”
“Aku tidak mengeri Guru...” ujar si nenek. Dia berpaling
pada Wiro dan bertanya. “Kau mengerti?” Murid Sinto
Gendeng menggaruk lalu gelengkan kepala.
“Muridku, aku pernah menuturkan padamu perihal
riwayat pertama kali aku menemui dirimu. Aku akan
mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali
tergeletak pingsan di muara sungai Lahulupanjang.
Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di sebelah
utara telah terjadi malapetaka air bah besar. Mungkin
sekali kau salah satu korban yang dihanyutkan banjir tetapi
selamat tak sampai menemui ajal. Apakah kini
penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang
sebenarnya telah kau alami puluhan tahun silam?”
Sepasang mata kuning Hantu Selaksa Angin terbuka
lebar, memancarkan sinar aneh. Dia menatap ke langit-
langit kamar, memandang seputar ruangan lalu
memperhatikan ke arah mulut goa. Tiba-tiba nenek ini
mulai terisak-isak. Suara isakannya berubah menjadi
tangisan dan berlanjut menjadi ratapan panjang yang
menyayat hati.
“Nek, kenapa kau menangis...?” tanya Wiro heran.
“Muridku... Kau menangis, kau meratap sedih. Berarti
pikiranmu mengingat sesuatu yang terjadi di masa silam.
Katakan padaku muridku. Hentikan tangismu. Ceritakan
padaku riwayat masa silam darimu wahai Luhpingitan...”
“Guru...” Hantu Selaksa Angin meraba ke bagian
belakang kepalanya, di dekat telinga sebelah kanan. “Guru,
aku ingat, bukankah kau pernah mengatakan, ketika kau
menemui diriku di muara sungai, pada bagian belakang
kepalaku ini ada satu luka besar akibat benturan benda
keras. Mungkin kepalaku menghantam batu besar sewaktu
dihanyutkan banjir. Siang tadi aku berkelahi melawan
seorang mengaku bernama Hantu Berpipa Emas. Dia
hendak merampas sebuah sendok emas...” Si nenek ingat.
Dia segera tanggalkan semua kalung yang menggelantung
di lehernya. Lalu menjerit “Sendok itu! Sendok emas sakti
itu hilang!” Si nenek langsung hendak menggerung.
Wiro cepat keluarkan Sendok Pemasung Nasib yang
ada dalam saku bajunya dan menyerahkannya pada si
nenek. “Sendok yang kau cari itu kebetulan berhasil
kurebut kembali dari Hantu Berpipa Emas...” Wiro letakkan
sendok emas itu di pangkuan si nenek.
Luhpingitan lepaskan nafas lega.
***
DUA BELAS
MURIDKU, barang milikmu yang hilang ternyata
diselamatkan pemuda itu. Lagi-lagi kau berhutang
budi besar padanya. Sekarang teruskan
ceritamu...” kata sang guru yang ada suara tapi tidak
menunjukkan ujud itu.
“Hantu Berpipa Emas menghantam kepalaku sampai
dua kali dengan pipanya. Satu kali di kening, satu lagi di
bagian belakang kepala. Tepat di bagian yang dulu pernah
cidera akibat benturan keras! Guru, mungkin hantaman
kakek jahat itu tepat di tempat dulu aku kehilangan
ingatan, secara tak sengaja membuat ingatanku kini
kembali pulih!”
“Benar muridku. Tapi itu adalah sebab belaka. Yang
Kuasa justru yang menyembuhkan dirimu. Teruskan
ceritamu, Luhpingitan.”
“Seingatku waktu itu memang terjadi bencana banjir
besar di kawasan tempat kediamanku. Penduduk setempat
tidak berdaya melawan keganasan alam. Aku dan empat
anakku dihanyutkan banjir...” Sampai di sini si nenek
kembali tak dapat menahan tangis.
“Tabahkan hatimu wahai muridku! Kuatkan jiwamu!
Teruskan kisahmu...”
“Datuk... Guru... Aku dan empat anakku dihanyutkan
banjir besar. Kami terpisah bercerai berai. Sampai saat ini
aku tidak tahu apakah keempat anakku, semuanya laki-
laki, selamat dari malapetaka...” Sampai di sini Luhpingitan
tak dapat lagi menahan tangisnya.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa diam termangu
mendengar penuturan si nenek.
Sang guru yang tak berwujud menunggu sampai tangis
muridnya mereda. “Luhpingitan, kau bercerita tentang
empat anakmu. Apakah kau ingat nama-nama mereka?”
“Waktu itu mereka masih kecil-kecil. Aku dan suamiku
masih belum sempat memberi mereka nama...”
“Kau dan suamimu! Wahai, kau menyebut suamimu.
Apakah kau ingat siapa nama suamimu?”
“Tentu aku masih ingat Guru. Namanya Lasedayu!”
Wiro tersentak kaget.
Si nenek kerenyitkan kening. “Kau kenal pada
Lasedayu?”
“Nek, aku pernah bertemu beberapa kali dengan kakek
itu. Dia yang selama ini dikenal dengan nama Hantu Langit
Terjungkir! Dia pernah menuturkan riwayat malangnya
padaku! Sendok emas yang ada di pangkuanmu itu justru
pernah aku minta untuk menolong dirinya!”
Luhpingitan terpekik. “Lasedayu! Dia! Wahai para Dewa!
Dialah yang menyatakan bersedia mengawini diriku. Dia...
dia suamiku! Aku bertemu dengannya belum lama ini. Aku
malah sempat mempermainkannya! Betapa kurang ajarnya
diriku ini! Aku harus segera ke telaga itu! Aku harus segera
menemuinya...”
Si nenek hentikan ucapannya lalu menutup mulut
menahan tawa. “Guru, sebenarnya kedatanganku ke sini
adalah untuk memberitahu padamu bahwa kakek bernama
Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu itu mau mengawini
diriku. Ternyata dia adalah suamiku sendiri! Dia tak perlu
mengawini diriku! Karena aku adalah istrinya! Pantas dia
menyebut ikan asap, ikan pindang! Dia memang suka
sekali makanan itu!” Si nenek bangkit berdiri. “Guru, aku
minta diri. Wiro kuharap kau mau menyertaiku ke telaga di
mana suamiku berada. Kita sama-sama menyerahkan
sendok emas sakti ini untuk menyembuhkan dirinya...”
“Muridku,” tiba-tiba sang Datuk Tanpa Bentuk Tanpa
Ujud keluarkan suara kembali. “Aku gembira kau telah
mengalami kesembuhan. Kegembiraanku malah
bertambah karena kau tahu siapa dan di mana beradanya
suamimu yang bernama Lasedayu itu. Sewaktu kau
pingsan tadi aku telah berkata pada pemuda asing ini yang
ternyata adalah seorang baik-baik. Aku berkata padanya
bahwa dia berjodoh dengan diriku...”
Sampai di situ Wiro cepat dekati Luhpingitan dan
berbisik. “Nek, gurumu ini laki-laki atau perempuan?”
“Aku sendiri tidak tahu! Mengapa kau bertanya...?”
“Aku khawatir dia mau minta kawin dengan aku!” jawab
Wiro.
“Gila kau! Betapa lancangnya mulutmu!” kata si nenek
sambil delikkan mata.
Saat itu goa dipenuhi suara tawa Datuk Tanpa Bentuk
Tanpa Ujud. “Anak muda, bicara soal jodoh bukan berarti
selalu menyangkut perkawinan. Ketika aku melihat kapak
bermata dua yang kau pergunakan untuk menolong
Luhpingitan, aku segera maklum kalau inti ilmu
kepandaian dan kesaktian yang kumiliki sebenarnya
bersumber sama dengan senjata yang kau punyai itu. Aku
tak bisa menjelaskan dan bagimu mungkin tak masuk akal.
Tapi melihat bagaimana titik putih di ujung kerucut bersatu
dengan cahaya senjatamu lalu memecah menjadi empat,
itulah satu pertanda bahwa nenek moyang kita berasal dari
rumpun yang sama...”
“Aku tidak mengerti...” kata Wiro sambil garuk-garuk
kepala.
“Kau tak perlu mengerti,” jawab makhluk tanpa ujud.
“Aku sudah mewariskan banyak ilmu kepandaianku pada
Luhpingitan. Aku bermaksud meneruskannya padamu
wahai anak muda. Kau akan menerima semua ilmuku dari
Luhpingitan...”
“Aku tak berani menerima. Aku tidak punya maksud...”
Si nenek muka kuning tertawa cekikikan. “Wiro, kau
mendengar apa ucapan guruku. Ucapan itu berarti perintah
bagiku. Saat ini aku ingin segera menemui suamiku.
Setelah itu semua ilmu kepandaian yang ada padaku akan
kuajarkan padamu...”
“Maafkan aku Nek. Bukan aku menolak atau
bermaksud sombong. Tapi betul-betul aku tidak berani
menerima kebaikan hatimu itu...”
“Anak muda, saat ini kau menolak, kami tak bisa
memaksa. Tapi di lain waktu jika hatimu terbuka jangan
segan-segan memberitahu muridku bahwa kau bersedia
menerima semua pelajaran ilmu kesaktian darinya. Saat ini
biarlah aku berikan satu ilmu kepandaian yang mungkin
ada gunanya bagi dirimu kelak di kemudian hari.
Menataplah ke langit-langit goa. Pusatkan perhatianmu
pada titik cahaya yang ada di ujung kerucut...”
“Datuk, aku tidak berani...”
Ucap Wiro terputus karena tiba-tiba Luhpingitan
mencekal kepalanya dari belakang lalu didongakkan ke
atas hingga kepala Wiro terpentang dan matanya
memandang ke arah titik yang memancarkan cahaya
terang di atas goa. Saat itu juga terdengar suara berdesir.
Titik bercahaya itu melesat ke arah mulut Wiro yang agak
terbuka.
Hekkk!
Wiro keluarkan suara tercekik ketika ada hawa sejuk
aneh meluncur masuk ke dalam mulutnya, melewati
tenggorokan terus masuk ke dalam tubuhnya. Bersamaan
dengan itu empat cahaya terang yang ada di empat sudut
langit-langit goa menderu ke arah kepala Wiro. Kembali
murid Sinto Gendeng merasakan ada hawa sejuk menjalari
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Anak muda bernama Wiro, kau kini menguasai ilmu
yang disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Dengan
ilmu itu kau bisa bicara dan suaramu terdengar di empat
penjuru hingga orang yang berniat jahat terhadapmu akan
bingung dan ketakutan sendiri...”
“Guru... Datuk... Aku...”
Sang Datuk keluarkan suara tertawa lalu berkata. “Jika
kau tempelkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kananmu
lalu kau bicara, maka suaramu akan terdengar di empat
penjuru.”
“Datuk, aku... Aku ingat. Hantu Tangan Empat juga
memiliki ilmu seperti yang kau berikan padaku ini. Empat
Penjuru Angin Menebar Suara. Apakah...?”
“Tak perlu heran. Hantu Tangan Empat pernah menjadi
muridku puluhan tahun silam. Tapi karena orangnya
bersifat angin-anginan aku hanya memberikan satu-
satunya ilmu itu padanya. Sekarang aku harus pergi.
Selamat tinggal anak muda. Jika ada kesempatan, di lain
waktu kita akan bertemu lagi. Muridku Luhpingitan, aku
segera meninggalkan goa ini. Ingat, kau punya kewajiban
untuk mengajarkan semua kesaktianmu pada pemuda
itu...”
“Akan aku lakukan Datuk,” kata Luhpingitan pula.
Wiro merasa ada angin menyambar di hadapannya.
Lalu di atas sana cahaya putih benderang di atas langit-
langit yang berbentuk kerucut sirna tanpa bekas.
“Guru sudah pergi. Sekarang saatnya kita
meninggalkan goa ini,” kata Luhpingitan pula. Lalu tanpa
malu-malu nenek ini pegang lengan Wiro dan menariknya
keluar goa. Di luar ternyata sang surya mulai menggelincir
memasuki titik tenggelamnya.
Sambil berlari mengikuti si nenek Wiro berkata. “Nek,
aku gembira kau mengalami kesembuhan dan bisa
mengingat masa silammu kembali. Tapi aku melihat satu
kelainan pada dirimu.”
Hantu Selaksa Angin hentikan larinya. “Kelainan apa
maksudmu, Wiro?”
“Sejak kau keluarkan kentut yang baunya gila-gilaan itu,
kuperhatikan kau tidak kentut-kentut lagi!”
“Eh, apa iya?” si nenek jadi bertanya sambil usap-usap
pantatnya.
“Aku tidak dusta. Aku mengira mungkin kau tidak mau
berlaku kurang ajar di hadapan gurumu,” kata Wiro pula.
“Memang, seharusnya aku sudah kentut beberapa kali
hah? Kalau aku tidak kentut-kentut bisa jadi penyakit
kentutku sudah sembuh keseluruhan. Biar kucoba dulu!” Si
nenek lalu angkat sedikit jubah kuningnya lalu
songgengkan pantatnya. Sampai matanya mendelik dan
keningnya keringatan tetap saja kentutnya tidak mau
keluar. Si nenek keluarkan suara mengedan.
“Sudah Nek, jangan dipaksa!” kata Wiro. “Nanti yang
keluar bukan angin tapi induknya alias kecepirit!”
Tapi Hantu Selaksa Angin masih mau mencoba. Dia
goyang-goyangkan pantatnya yang disonggengkan.
Kentutnya tak mau juga keluar.
“Sudah Nek, ayo kita lanjutkan perjalanan. Jangan
dipaksa kentut kalau memang tidak bisa!”
Si nenek tidak perduli. Dan kembali goyang-goyangkan
pantatnya. Saking kesalnya Wiro tepuk pantat Hantu
Selaksa Angin dengan tangan kirinya.
Butt prett!
Si nenek langsung pancarkan kentutnya. Lalu dia
tertawa cekikikan melihat Wiro melompat jauhkan diri.
TAMAT
Episode Berikutnya: MUKA TANAH LIAT
0 komentar:
Posting Komentar