BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 24 November 2024

PEDANG KAYU HARUM


 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Kiam-kok-san (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun 

Lun San yang tidak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena 

pemandangan di Kiam-kok-san kurang indah. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari 

puncak gunung ini amat indahnya.

Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi bagai menara bei menembus awan, tak nampak 

ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak 

batu berawan itu adalah tempat kediaman dewa-dewa penjaga gunung.

Awan putih yang berarak bagai domba-domba kapas, yang tak pernah berhenti dihembus angin langit, 

menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam-kok-san, berkumpul di sekeliling puncak seperti sehelai selimut 

bulu domba yang hangat. Dari puncak ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah 

kaki, menyusupi lembah-lembah bukit yang amat curam.

Indah, sukar dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari puncak Kiam 

Kok-san. Betapa taman surga terbentang luas di bawah kaki gunung, suram-suram terselimut tirai halimun 

menciptakan sifat yang ajaib penuh rahasia.

Bukan karena kurang indah, namun kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi 

manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah yang penuh dengan batu gunung 

yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki 

puncak, tidak ada pula jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut mengintai 

setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu.

Jurang-jurang yang amat curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas, rumput-rumput 

hijau yang menjadi topeng bagi muara-muara dalam penuh lumpur dan ular berbisa, serta bahaya tersesat 

jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka yang sudah memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa 

dan para pendekar masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya 

seperti Kiam-kok-san.

Pagi hari itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari pagi dapat 

menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, lalu mengusir halimun serta menerangi 

tanah puncak yang penuh lumut dan rumput hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang 

bermandi cahaya keemasan matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tenteram.

Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang dijanjikan sebagai anugerah 

tempat tinggal bagi para manusia yang di dalam hidupnya menjauhkan diri dari pada segala kemaksiatan 

dan kejahatan.

Pada saat sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan langit, 

tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah sangat tua, terbukti 

dari kulit wajahnya yang dipenuhi keriput, dagingnya yang sudah tipis hingga tulang-tulangnya menonjol di 

balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua 

pundaknya. Apa bila ditaksir, usia kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun.

Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke 

tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu 

dengan sepasang kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata 

dipejamkan.

Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu dari pada seorang manusia 

hidup. Namun sebenarnya dia bukanlah arca, karena bila diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain 

putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasan kakek itu yang halus dan panjang.


Di atas tanah, di depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas 

paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan sesudah tertimpa cahaya 

matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda dari pada pedang-

pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah 

sebatang pedang kayu!

Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari seakan memandikan wajah tua keriputan itu. Di 

bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak sangat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa 

kakek ini dahulu tentunya seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas 

membayangkan ketampanan seorang pria.

Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari semedhi. Dia membuka kedua 

matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas sudah amat tua, namun 

sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli 

kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi, 

karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) yang amat kuat saja yang bisa mempunyai 

sepasang mata seperti itu.

Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri, dengan sinar 

matanya seolah-olah dia menyantap dan menikmati segala keindahan yang diciptakan oleh sinar keemasan 

sang surya itu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-

kata lirih.

"Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu terhadap seorang penuh dosa seperti 

aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tidak mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan 

ganjaran kepada orang yang sudah berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam 

pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup? 

Tidak ada! Hanya mala petaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku 

pandai ilmu silat, karena... karena Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh, Tuhanku! Aku tidak 

akan mengelak dari pada kenyataan. Aku rela dan siap sedia untuk menerima hukuman-hukumannya. Tidak 

mungkin aku membebaskan diri dari pada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan 

kasihMu, ya Tuhan...!"

Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua matanya 

seolah-olah dia tak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang terbentang luas di depannya. 

Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali?

Tidak! Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus lewat 

mempermainkan daun-daun pohon. Paduan suara ini seakan-akan mengejek kakek itu, seolah-olah 

menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia.

Tuhan Maha Kasih tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, pasti akan menerima uluran 

kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang 

Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan 

tergantung dari pada rasa penerimaan si manusia sendiri!

Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini berubah 

cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tak wajar di tempat itu. Kemudian 

muncullah bayangan orang-orang yang berkelebat cepat. Gerakan mereka tangkas bagaikan burung-

burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di hadapan 

kakek yang bersemedhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter.

Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu 

saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung 

hinggap di atas dahan.

Mereka berdiri tak bergerak, akan tetapi dalam keadaan siap siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya 

masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan pedang yang 

tergeletak di depannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam,


ada pun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak 

disembunyikan.

Meski kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai dengan perubahan pada kicau burung, ternyata 

sudah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersemedhi. Dia membuka kedua matanya dan 

menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk 

lingkaran kipas. Mulutnya tersenyum, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan 

mereka itu memang telah diduganya.

Ada pun sembilan orang itu pada saat bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, langsung 

menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka 

bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya.

"Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang semestinya 

kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadapmu lunas!"

Kakek itu menoleh ke kanan karena yang berbicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan dalam 

lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak bergigi lagi, seperti senyum 

seorang bayi yang belum bergigi.

Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang 

nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya, 

digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak.

Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang tentu dahulunya amat 

indah manis itu kini agak ‘nyamprut’ karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya pasti tinggi 

semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, 

tampak gagang pedang tersembul dari balik pundak kanannya.

"Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ahh, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun semangatmu 

benar-benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan kini menghendaki pedang Siang-

bhok-kiam sebagai pengganti jiwaku? Eh, dalam hal apakah engkau mendendam kepadaku?"

"Keparat tua bangka! Jangan kau kira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk membikin aku 

malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, tidak perlu 

malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggagahi 

dan memperkosaku. Dendamku kepadamu setinggi langit!"

Kakek itu tertawa, kemudian mengangguk-angguk. "Benar, betapa cepatnya sang waktu meluncur. Pada 

waktu itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal sebagai seorang pendekar 

wanita yang selain lihai juga amat cantik dan terutama sekali amat angkuh sehingga engkau menolak 

semua pinangan pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Aku pun ketika itu masih 

muda, belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan kepandaian memasuki kamarmu 

dan memperkosamu. Akan tetapi, heh,Lu Sian Cu! Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku 

dengan penuh kehangatan, betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan? 

Lupakah engkau betapa engkau sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang juga 

menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar lidah?"

"Cih, laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku masih dapat menerima pria lain? 

Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau 

sudah mempermainkan cintaku. Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau bahkan 

mengejek dan minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!"

"Ha-ha-ha, engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang 

yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan termasuk ikatan rumah tangga!

Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu, namun kita berdua, engkau dan aku, telah menikmatinya 

bersama dan hal yang menyenangkan orang lain mana bisa kau sebut sebagai hal yang menyakitkan hati 

orang itu?"

"Sie Cun Hong! Tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan nyawamu!" Sambil 

berseru demikian, nenek itu kemudian mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan.


Senjata ini berupa cambuk warna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada ujungnya 

terpecah menjadi sembilan dan di setiap ujung diberi baja pengait seperti mata kail. Inilah senjata cambuk 

sembilan ekor yang sudah membuat nama nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan 

yang dapat bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu.

Dan senjata itu pulalah yang membuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toanio (Nyonya Besar Berekor Sembilan), 

sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati

terhadap penjahat. Telah puluhan tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang 

tokoh-tokoh lain yang hadir di sana mendengar namanya disebut oleh kakek itu, yaitu Lu Sian Cu!

"Tar-tar-tar...!" Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara nyaring meledak-ledak. 

"Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tetap tidak mau menyerahkan pedangmu?"

"Ha-ha-ha, engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah melempem, 

apa bila kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini, nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!"

Nenek itu mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan telinga, yang 

mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta ditolak. Cambuknya menyambar ke 

depan sehingga tiga buah di antara sembilan ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-

ubun kepala kakek itu masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak 

menyentil tiga kali.

"Tring-tring-tringgg...!"

"Aiiihhh...!" Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor 

cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara mendadak membalik dan menerjangnya 

pada tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar.

Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk 

terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil 

menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.

"Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin... cabul!"

Kakek itu hanya tertawa-tawa saja, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara 

yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud...!"

Pada saat melihat bahwa yang kini maju adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh 

tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia

tidak mengenal dua orang pendeta ini.

"Locianpwe betul-betul telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Sakti) 

adalah tepat karena tangan Locianpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya 

putih dan tubuhnya kecil kurus.

Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan di depan

dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...!”

Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di 

depan dada sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang 

bersikap merendahkan diri sehingga mau menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua 

tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tidak perlu dikhawatirkan 

atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati 

karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.

"Ahh, berat sekali menerima pujian ji-wi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang 

tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-

wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya 

dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa maksud kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-

san?"


"Omitohud...! Kami berdua hanyalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai 

untuk menemui Locianpwe."

"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan yang besar sekali!" 

Kakek itu berkata tercengang.

"Pinceng Thian Ti Hwesio dan dia ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu 

yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe supaya suka menyerahkan Siang-bhok-

kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak 

menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to Ci-keng (Kitab 

Perjalanan Bintang) dan I-kiong Hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu

suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan 

menyerahkan Siang-bhok-kiam supaya semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke 

tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"

"Aha, ternyata ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi merupakan tokoh-tokoh 

tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan 

sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, 

dan hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-

pai agaknya telah lupa bahwa pada waktu mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan 

memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan maksud agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua 

manusia hingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh pihak Siauw-lim-pai ilmu-

ilmu itu dipendam dan disembunyikan, hanya sebagian dari ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru lalu diturunkan 

kepada murid-murid. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu itu semakin lama semakin berkurang dan 

menjadi rendah nilainya? Walau pun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki 

ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dengan pindahnya kitab ke tanganku, Siauw-lim-pai 

sebenarnya tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang 

manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab 

pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh."

"Omitohud!" Hwesio tinggi besar Thian kek Hwesio melangkah maju sambil membentak keras.

Sekarang hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata kedua matanya 

lebar sekali. Wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan 

dalam cerita Sam Kok.

"Locianpwe agaknya menghendaki kami pun menggunakan cara Locianpwe sendiri. Tidak boleh meminjam 

kitab-kitab lalu mempergunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak 

Locianpwe berikan, apakah berarti bahwa kami juga harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan 

pedang Siang-bhok-kiam itu?"

Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang 

yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah 

dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab,

"Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."

"Hemm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang, tapi pinceng sedikit-sedikit 

juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio membalikkan 

badannya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu lalu mendorong dengan 

pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri.

Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda 

angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andai kata manusia 

diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pastilah tulang-tulangnya akan remuk, dan rontok isi 

dadanya!

Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat 

tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, tapi merusak amatlah mudahnya. Memang manusia 

adalah perusak terbesar di antara segala makhluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan 

pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang mampu dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah


engkau membuat sehelai daun saja? Hemm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya, 

sungguh pun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Thian!"

Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-

daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan... bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua 

daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon kemudian menempel sejadinya pada 

cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang 

pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah!

Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan 

sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan 

kedua tangan di depan dada dan menggumam,

"Omitohud...!"

"Maaf, sute-ku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini 

sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang tergeletak di depan kaki Sin-jiu 

Kiam-ong dan... pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah 

kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu.

Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi 

dari pada kekuatan sute-nya. Sin-jiu Kiam-ong bahkan mengeluarkan suara memuji,

"Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kau tidak boleh berganti majikan. Sekarang kembalilah!"

Dia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti 

Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong!

Thian Ti Hwesio menjadi penasaran sekali. Dia segera menambah kekuatan pada kedua lengannya, 

bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam 

kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang 

kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu di tempatnya yang tadi.

Thian Ti Hwesio mengusap peluh pada keningnya, lalu menjura sambil merangkap kedua tangan di depan 

dada.

"Sin-jiu Kiam-ong makin tua semakin gagah, tepat seperti apa yang sudah diperingatkan suhu kami. 

Siancai...siancai...!"

"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.

"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi 

perutmu! Aku adalah seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku 

dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta 

diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!"

Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang berbicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek 

berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan

kegagahan dan ketampanan. Sebatang golok telanjang mengeluarkan cahaya berkeredepan berada di 

tangan kanannya, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.

"Ehhh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada 

permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Kenapa engkau datang-datang memaki 

orang?"

"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu tidak akan lenyap 

sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah di sini yang 

mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Pada lima puluh tahun yang lalu, 

dengan kepandaianmu merayu engkau sudah mengganggu isteriku dan memaksanya melakukan hubungan 

perjinahan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu memang aku kalah terhadapmu, akan tetapi sekarang 

coba-coba kita buktikan! Bangkitlah dan lawan golokku!"


Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu. "Sin-to Gi-hiap, 

sebelum memaki orang kenapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Dahulu aku memang melakukan 

hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya hal itu kalau dia sendiri juga 

menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan perbuatan itu karena mengingat betapa 

engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa! Engkau 

mendapatkan dia dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas 

isterinya yang cantik. Apakah kau sangka aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan 

sekali-kali akibat terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang 

cantik? Engkau merampas wanita dengan jalan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa 

bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!"

"Dasar keparat! Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi 

engkau tentu mampus di sini dan biarlah nanti akan kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh di 

atas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!"

Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap kemudian meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar 

manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebat dan menggulung-gulung di 

sekitar batu itu sehingga terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.

Sesudah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu di antara debu itu, 

kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biar pun

kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil 

memandang arca itu dan tersenyum!

"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang 

kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Apakah tidak dapat diperhalus lagi? Biar 

kubantu engkau."

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong lalu mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di 

depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring.

Segulung sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung, terus sinar itu mengelilingi arca batu kemudian 

terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang memandang dan... arca batu yang tadinya kasar, 

kini telah menjadi halus seperti digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah!

"Kiam-sut (ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to Gi-hiap yang sudah marah 

sekali menerjang maju dengan goloknya.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerak berputar mengelilingi golok 

lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, oleh karena kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan 

jarak antara mereka masih jauh. Namun si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur 

kemudian memandang ujung lengan bajunya yang sudah buntung!

"Kiam-ong masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan kini dua orang 

kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-

ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat kemajuan batin, sehingga kulitnya indah akan tetapi isinya 

busuk! Sin-jiu Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi utusan 

dari Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu. Engkau pernah mencuri 

seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat 

oleh Sucouw kami. Ketua kami akan berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap 

kami kalau engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!"

Kakek tua renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika ia menjawab. 

"Bermacam-macam alasan yang dikemukakan dan bermacam-macam pula yang dipergunakan, tetapi

sebenarnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal 

semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku pernah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan 

obat. Akan tetapi semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang 

Cui Bi yang cantik manis, dahulu pergi mengikuti aku secara suka rela dan berdasarkan cinta kasih, bukan 

karena kupaksa! Ada pun pedang pusaka Hoa-san-pai, hingga sekarang pun masih kusimpan bersama

koleksiku yang lain, karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang 

dibuat oleh mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw kalian karena ternyata obat


itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar supaya dapat kembali bersemangat laksana seekor kuda 

jantan yang muda. Ha-ha-ha!"

Dua orang pendekar itu sejenak saling pandang, kemudian wajah mereka menjadi merah. Ucapan Sin-jiu 

Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apa lagi kata-kata yang terakhir. Setelah saling 

memberi isyarat dengan pandang mata, kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan…

"Singgg…!" tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka.

"Sin-jiu Kiam-ong, ucapanmu yang menghina ini telah menambah dosamu terhadap kami. Biar pun engkau

memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami dua saudara Coa jeri padamu. Hadapilah 

sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya, 

Coa Bu juga sudah siap dengan pedangnya.

Mereka ini masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau memainkan

pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka kedua orang ini mendapat 

julukan Sepasang Pedang Sakti!

"Hemmm, aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang dan apa 

adanya, sama sekali tak ingin menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak memperlihatkan Siang-sin-kiam 

untuk menundukkan aku, maka kalian telah melamunkan hal yang bukan-bukan karena aku tak mudah 

ditundukkan oleh siapa pun juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan dengan 

halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja.

Coa Kiu dan Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka segera berkelebat dan tahu-tahu telah 

menjadi sebuah gulungan cahaya tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh 

mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Dengan suara mencicit nyaring, mendadak 

gulungan sinar pedang ini melayang ke arah sebatang pohon dan pecah menjadi dua, lalu bagaikan mata 

gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon.

Tidak terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang itu melayang 

kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah kembali menjadi dua orang kakek Hoa-san-pai yang 

sudah berdiri berdampingan, tiba-tiba batang pohon itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus 

membuat batang pohon itu seolah-olah baru saja digergaji!

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini pun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!" Sin-jiu Kiam-ong 

mentertawakan.

Kakek Coa Kiu dan Coa Bu marah sekali. “Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi pedang kami?"

"Mengapa tidak?"

"Lihat pedang!"

Dua orang kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar terang menjadi 

satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba saja terdengar suara mencicit keras ketika sinar 

pedang itu menyambar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa sambil menyambar pedang kayu di 

depan kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya 

seperti kilat itu.

"Cing..cing..trang...!"

Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya. Meski berkali-kali mengitari tubuh 

Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu, akan tetapi selalu terhalang sinar hijau dari pedang 

kayu, bahkan kemudian terdengar suara keras dan... sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi 

dua, yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua orang kakek itu sudah

berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak sedikit.

Mereka saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka tidaklah nekat dan 

cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri, 

lalu kembali ke tempat tadi, memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang 

masing-masing.


Sin-jiu Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga orang yang 

masih belum bergerak dan belum mengeluarkan kata-kata, sampai saat itu hanya menonton saja.

Dia melihat seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua orang Hwesio

Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Ada pun yang dua orang lain adalah sepasang suami 

isteri tua yang dia tahu dulu pernah dia jumpai, namun lupa lagi kapan dan di mana.

Karena dia menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila dan berkata, 

"Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini, akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu 

dan datang ke sini, tentu juga membawa keperluan yang amat penting."

"Siancai..., Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda, segan mengalah 

dan tidak mau menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu mudanya sungguh patut disayangkan!"

"Ha-ha-ha-ha, Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan, apa 

gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan bersiap menerima hukumannya sebab berdosa atau 

tidak tergantung pada penilainya, sedangkan penilainya sendiri penuh dosa dan bergelimang nafsu 

mementingkan diri pribadi! Ehhh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran dan lebih 

menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya dari pada orang yang 

pura-pura suci akan tetapi di dalam hatinya sangat kotor, tidak sama dengan yang keluar dari mulutnya. 

Karenanya, aku merasa senang sekali dengan ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini…”

Kemudian Sin-jiu Kiam-ong mengucapkan ujar-ujar itu seperti melantunkan lagu,

“Langit tiada peri kemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban.

Orang suci tiada peri kemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban.

Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan!

Kosong namun tak pernah berkurang

makin besar gerakan makin besar tiupan!

Banyak bicara sering kali menghamburkan tenaga

Lebih baik menjaga kejujuran!"

"Sin-jiu Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih mempunyai kesombongan! Menggunakan 

ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti pinto (aku)! Sungguh amat 

menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan 

engkau pura-pura lupa betapa dulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai. 

Kedatangan pinto ini hendak mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang. Kami bukanlah

orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya kalau engkau menyerahkan pedang 

Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap kami."

Sin-jiu Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ahh, jadi Toyu ini seorang di antara Kong-thong Ngo-lojin (Lima 

Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya 

melatih diri dan kini kabarnya mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya 

Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar di seluruh dunia, 

juga merasa jeri untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada kalian lima kakek sakti ini! Dan kini seorang 

di antara mereka memberi kehormatan kepadaku? Ha-ha-ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke 

berapakah?"

"Yang empat lain adalah para suheng-ku (kakak seperguruan)".

"Ahhh, jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan tetapi aku percaya 

yang termuda sekali pun tentu memiliki kesaktian luar biasa. Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat 

menyerahkan pedang ini kepadamu."

"Kalau begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!"

"Begitukah wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu kenapa dulu 

lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok di tempat judi! Aku yang 

sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di waktu muda, tidak usah disebut-sebut lagi 

mengapa aku bisa berada di tempat judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di 

tempat judi yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah tentang


kebatinan? Ahh…, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya berpura-pura menjadi orang suci 

akan tetapi batinnya kotor melebihi orang-orang yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan 

dan teguranku, mereka marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang 

kalah, yang menang hidup dan yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam hal itu? Kalau Toyu 

menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang kesalahan mereka menantangku, terserah."

Wajah tosu itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya kereng, "Sebagai seorang tokoh Kong-thong-

pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan dari satu pihak saja. Untuk minta keterangan anak murid 

kami yang tewas, tak mungkin lagi. Yang jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran, 

sedangkan nama Sin-jiu Kiam-ong, siapa tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami 

Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah dan mari 

kita mulai!"

"Engkau yang berniat mengadu ilmu, engkau pulalah yang mulai, Toyu. Aku sudah siap melayanimu!"

Tosu ini melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata, 

"Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dulu engkau membunuh lima orang murid Kong-thong-

pai dengan tangan kosong, maka sudah semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan 

kosong. Bila mana pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, apa bila engkau yang 

kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan dosa!"

"Ha-ha-ha, dalam setiap perbuatan selalu tersembunyi pamrih, di mana-mana manusia sama, menjadi 

hamba nafsu pribadi. Silakan."

Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-jarinya itu 

mengeluarkan suara berkerotokan dan tergetar hebat. Kedua tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga,

ada pun kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan!

Inilah Ilmu Ang-liong Jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang telah sangat terkenal 

kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi amat hebat sehingga 

tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau 

mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi!

Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di hadapan Sin-jiu Kiam-ong, kedua tangannya 

dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala dan dada kakek yang duduk bersila

dengan tenangnya itu.

"Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!" 

Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring, sedangkan dua tangannya sudah menggetar-getar amat hebatnya.

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak pendekar. 

Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi sayang masih dikotori rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong 

Jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?"

Sambil berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulurkan sepasang lengannya dan sebelum tosu tua 

itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu.

"Wesssss...!"

Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api membara bertemu 

benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak tangan yang saling bertemu.

Tosu tua itu merendahkan tubuh sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-

liong Jiauw-kang, namun sia-sia saja karena kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama 

menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak 

tangannya, menjalar dari telapak tangan ke atas!

Wajah tosu itu mulai berkeringat, matanya merah dan mulutnya terbuka karena napasnya menjadi terengah-

engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah 

Kok Cin Cu bahwa kalau adu tenaga sinkang ini terus dilanjutkan, maka ia akan roboh binasa. Terpaksa 

tosu tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang 

tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya.


Kok Cin Cu melangkah mundur ke tempat semula. Tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat 

memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah,

"Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali pinto akan datang 

kembali bersama para suheng."

Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami isteri tua yang semenjak tadi hanya menonton, 

melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera menudingkan telujuknya.

"Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau pada kami suami isteri yang pernah mengalami penghinaan 

darimu?"

Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak di samping 

suaminya, kemudian dia menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah di 

mana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini

pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya."

Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!"

Akan tetapi suaminya cepat-cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami memiliki perusahaan 

pengawal barang kiriman. Apakah engkau lupa kepada Hek-houw Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan 

Hitam)?"

"Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau adalah orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok itu? Dan 

isterimu yang dulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata rahasia)? Hemm, aku pernah 

merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan 

kerajaan, bukan? Malah puterinya, ahh, masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis 

itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan 

terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku.

Tusuk konde dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku. 

Ehh…, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"

"Sin-jiu Kiam-ong, pada waktu muda engkau sudah melakukan segala macam kejahatan. Merampok barang 

milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal barang dan puteri. 

Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua 

ini menutup ucapannya dengan satu gerakan tangan yang langsung diikuti oleh isterinya.

Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan tahu-

tahu suami-isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata rahasia mereka.

Piauwsu itu menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau sambit) dan Toat-beng-cui (Bor 

Pencabut Nyawa), ada pun isterinya mempergunakan Ngo-tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih 

cepat dan lebih berbahaya dari pada kedua macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata 

rahasia itu menyambar ke bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu langsung mengarah ke 

jalan-jalan darah yang mematikan!

Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya dan 

sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak bagaikan sepuluh ekor ular hidup, namun kuku-kuku jari 

tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan 

aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan 

senjata rahasia dari kedua pihak, yang menyerang dan yang mengembalikan!

"Sahabat-sahabat yang sealiran! Apa bila hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk, mau tunggu 

sampai kapan lagi? Marilah kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek, piauwsu tua itu sambil terus 

menyerang dengan senjata rahasianya.

Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada Sin-jiu 

Kiam-ong dan sudah jelas tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan kepandaian masing-masing, tidak

akan mungkin mereka dapat mengalahkan kakek sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua 

mencabut senjata dan menerjang maju!


Akan tetapi mendadak tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang, 

kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam sudah lenyap pula. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan 

dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun 

tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah 

suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh halimun tebal.

"Ha-ha-ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! Kalau aku tadi menghendaki, apa susahnya 

membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa, alangkah mudahnya bagi 

kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih 

ingin menikmati tamasya alam yang sangat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian 

karena aku tak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena 

aku masih ingin menikmati keindahan alam di sini. Bila mana kalian masih belum terima dan merasa 

penasaran, hayo siapa yang berani boleh naik!"

Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang berilmu tinggi, 

kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat 

didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki ke atas 

seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu!

Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha-ha-ha! Jangan kira aku amat pelit untuk menyerahkan 

nyawa di dalam tubuh tua ini atau menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk 

menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki jiwaku, datanglah ke kaki gunung 

sebelah selatan, di dalam hutan mawar, di sana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!"

Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada suara lagi. 

Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apa lagi mencoba untuk mengejar kakek sakti itu ke atas 

puncak batu pedang yang ujungnya lenyap tersembunyi di balik kabut tebal, akhirnya sembilan orang gagah 

itu pergi meninggalkan Kiam-kok-san dan di dalam hati berjanji untuk mencari hutan mawar yang 

dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian…..

********************

Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Dinasti Beng 

didirikan oleh Ciu Goan Ciang yang berhasil mengusir pemerintah penjajah Goan (Mongol) dan kemudian 

menjadi Kaisar pertama Dinasti Beng dengan julukan Kaisar Thai Cu (1368-1398).

Peking (ibu kota utara) yang tadinya merupakan kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini 

tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya Nanking (ibu kota selatan) yang letaknya di 

lembah Sungai Yang-ce-kiang, di daerah yang lebih subur tanahnya.

Akan tetapi kota Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk 

mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang sudah diusir dari pedalaman, 

tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat dengan bala tentara besar dan dipimpin 

oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.

Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertama meninggal. Kaisar Thai Cu 

meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah meninggal dunia, maka sebelum 

meninggal Kaisar Thai Cu sudah menunjuk keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat 

dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik tahta pada tahun berikutnya. Cucu yang menjadi kaisar ke 

dua dari kerajaan Beng ini bernama Hui Ti. Dan peristiwa inilah yang menimbulkan perang saudara.

Pangeran Yung Lo atau lebih tepat disebut Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di 

Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa 

lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan, 

ke Nanking. Terjadilah perang saudara.

Perang saudara selalu mengerikan, di mana terjadi bunuh-membunuh di antara saudara sendiri, antara 

bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah 

atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk dapat mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan, 

kedok, perisai dan senjata. Padahal ketika cita-cita sudah tercapai kemudian pribadinya dimabuk kemuliaan, 

kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja!


Di bagian mana pun di dunia ini, tiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita paling hebat. Di 

dalam masa yang keruh ini bermunculan orang-orang yang menggunakan kesempatan melampiaskan 

nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum 

rimba bermunculan di mana-mana.

Sudah lazim bahwa di dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang. 

Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat yang berlainan, bahkan celakanya berlawanan, 

maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan dan akhirnya mengakibatkan perpecahan dan 

keributan.

Juga di dunia persilatan terjadi pula perpecahan sebagai akibat dari pada pendapat yang berlawanan 

terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang masih baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda 

Yung Lo), tapi ada pula yang pro selatan (Kaisar Hui To). Maka di antara mereka terjadilah perang sendiri.

Akan tetapi banyak pula golongan atau tokoh persilatan yang mengundurkan diri dan tak mau mencampuri 

segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-

tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara saudara sebangsa.

Thian Seng Cinjin, yaitu tosu tua berusia seratus tahun yang pada saat ini menjadi ketua Kun-lun-pai, sudah 

mengeluarkan larangan keras kepada semua anak murid Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang 

saudara itu. Bahkan ketua ini telah memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di 

puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan semedhi sebagai 

latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka 

tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism).

"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," begitu antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil memandang 

murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, camkanlah 

baik-baik pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang 

mengandung makna dalam sekali.

"Dengan keadilan, negara dapat diatur.

Dengan siasat, peperangan dapat dilakukan.

Namun hanya dengan mengekang diri (tak bertindak),

dunia dapat dimenangkan!

Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?

Karena ini:

Makin banyak larangan, orang makin menderita.

Makin banyak digunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan.

Makin banyak hukum diundangkan, makin banyak pelanggaran terjadi.

Makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh.

Maka Orang Bijaksana berkata:

Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan.

Kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai.

Kami tidak bertindak, rakyat hidup makmur.

Kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.”

Selanjutnya, dengan suara penuh kesabaran Thian Seng Cinjin juga memberi wejangan kepada murid-

murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut ajaran Tao dan murid Kun-lun-pai yang gagah 

perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan 

kewajaran. Hanya akan bergerak untuk menghadapi serta menanggulangi keadaan sebagai akibat. Tak 

sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam 

dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi.

Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, 

karena sekali mereka turun tangan, mereka akan semakin mengeruhkan suasana dan memperbesar 

penyembelihan antara saudara sebangsa.

Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruang belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian 

oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain 

kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian 

sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang


matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, 

pandangan yang luas dan penuh pengertian.

Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini bernama Cia Keng Hong, dan sudah dua 

tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan 

saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang saudara mulai pecah.

Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini terbasmi habis 

ketika gerombolan perampok yang muncul pada waktu perang saudara ini menyerbu dan merampok serta 

membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Oleh karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua 

keluarganya terbasmi habis.

Keng Hong yang pada saat itu kebetulan ikut menggembalakan kerbau bersama seorang pelayan di luar 

dusun, selamat dan terbebas dari pada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang Tojin, tosu 

yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin.

Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar 

sekailigus penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat 

menggunakan kepandaiannya menolong penduduk kemudian berhasil mengusir para perampok.

Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, lalu mengajak anak itu ke Kun-lun-san dan di situ Keng 

Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan 

tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai harus seorang 

calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.

Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang 

kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah segera 

dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan

menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakan untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun 

dan rajin.

Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya mengijinkannya, dia memasuki kamar 

perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dulu, Keng Hong telah belajar

ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia kelak menjadi seorang 

terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi.

Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat 

Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat 

menangkap jelas inti sarinya.

Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng Cinjin

sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa kecewa mengapa anak yang 

berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu.

Di lain pihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Dia melihat sesuatu yang aneh 

dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama sekali dari 

pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu.

Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng Cinjin dan 

anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa 

mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat serta mendengar semua.

Suasana di ruangan belajar itu amat hening sebab para murid mendengarkan wejangan guru mereka 

dengan penuh hormat dan kesungguhan hati, membuat Keng Hong berkerja makin hati-hati agar tidak 

mengganggu. Akan tetapi dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal 

yang amat menarik hatinya. Dia mendengarkan terus.

"Suhu, kemarin di puncak Kiam-kok-san sudah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya dan 

merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong 

sudah kumat lagi watak mudanya yang suka dengan keributan. Menurut laporan dari para murid, Suhu, ada 

sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk pula dua orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-

pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatangi dia untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka telah


dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah 

selatan kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita."

"Siancai..., siancai...! Sejak dahulu Sie-taihiap (pendekar besar she sie) selalu mengejar kesenangan dan 

ketegangan. Akan tetapi harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu tersembunyi watak 

pendekar yang patut kita puji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal 

budi. Dulu Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita mengijinkan dia bertapa di Kiam-kok-

san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw (Kakek guru) kita memilih tempat itu 

sebagai tempat bertapa sampai musnah dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita 

tidak mencampurinya. Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biar

Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yang dia kehendaki."

Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, hati Keng Hong menjadi 

tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca kisah tentang keanehan para pendekar. Walau pun Kun-lun-pai 

merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah 

orang yang berilmu tinggi, apa lagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, tetapi mereka tak 

memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini 

pada saat mendengar tentang Sin-jiu Kiam-ong yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung 

sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton.

Demikianlah, pada hari yang telah ditentukan, sebulan setelah pertemuan di puncak yang disebut puncak 

Lembah Pedang, Keng Hong menggembalakan kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya bila dia 

menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu, dia akan pergi menuju ke utara. Akan tetapi sekali ini 

dia sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau 

gemuk di luar hutan mawar.

Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti 

seperti yang dia ketahui dari percakapan antara ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia lalu berbaring 

menelungkup di atas punggung kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya.

Keng Hong mempunyai kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil ia sudah bermain 

suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia 

dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguh pun dirangkai sejadinya 

namun amat sedap didengar.

Sementara itu, sejak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong sudah duduk bersila di antara sekelompok bunga 

mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, sekarang pedang Siang-bhok-kiam juga 

tergeletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tanpa bergerak, dengan kedua mata dipejamkan, 

hening tenggelam ke dalam semedhi.

Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak, kemudian perlahan-lahan dia mengejapkan matanya. Ia 

mengerutkan kening saat mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini mempunyai 

kebiasaan yang aneh, yaitu apa bila dia mendengar sesuatu yang mengesankan, maka daun telinga kirinya 

dapat bergerak seperti telinga kelinci!

Kalau dia sedang semedhi, meski pun ada suara halilintar menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan 

terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang di dalam siulan-nya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari 

siulan-nya (semedhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran 

sangat mengharukan, yang sangat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun bambu.

Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan 

halus ini lebih kuat pengaruhnya dari pada ledakan halilintar, menggugah dia dari semedhi dan membuat 

kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu!

Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya, 

berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang sangat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi 

tingkat kebatinannya saja yang akan dapat meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran asli

dari watak yang belum dikotori oleh segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini bangkit 

berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan 

dari mana tiupan suling datang.


Ketika sampai di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang sedang 

duduk di atas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu 

Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.

"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Di mana bisa terdapat orang yang begitu bersih hatinya sehingga 

tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah saja yang akan sanggup meniup suling seperti itu. 

Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?"

Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-gelengkan kepala dan 

mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah kusuk bersila lagi, akan tetapi kali ini dia tidak 

bersemedhi, namun memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari 

lubang-lubang suling.

Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah 

mengunjunginya di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia tak peduli, bahkan pura-pura tidak tahu dan masih 

menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai.

Dia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang 

kembali kepada masa mudanya sehingga diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa 

malu bahwa di ambang kematiannya, karena memang dia sudah mengambil keputusan hendak

menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa 

sedikit pun selama hidupnya.

Bahkan sebaliknya ia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasih dengan banyak 

wanita yang dibalasnya hanya berdasarkan dorongan nafsu birahi. Belum pernah selama hidupnya dia 

menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni.

Betapa dia hidup secara berandalan, tidak pernah membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan, 

merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagoan-jagoan hanya untuk memuaskan 

nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.

Walau pun semenjak dahulu dia tidak pernah mempunyai niat untuk menjahati orang lain, namun wataknya 

yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan 

makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah hatinya.

Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa 

bosan dan lelah, seperti juga dia yang sudah merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk 

berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya dari pada senangnya.

Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para 

pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata pada

tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata 

sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sebenarnya 

merupakan sebab utama kunjungan mereka.

"Ahh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku takkan melawan bila hendak 

membunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-

bhok-kiam maka lebih dulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu 

dari depannya.

Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang 

terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya Sin-jiu Kiam-ong 

mendapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.

Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya tersisa beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya. 

Kayu yang sangat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi di samping harum kayu ini juga 

merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apa bila tersentuh kayu ini 

seakan-akan terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.

"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang 

dan mencium pedang itu dengan ujung hidung. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat 

keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat simpanan seluruh milikku, mulai dari


kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga 

dan senjata-senjata mustika. Betapa pun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat 

memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian juga harus ingat baik-baik, karena kalian semua 

menghendaki pedang ini, maka kurasa siapa pun di antara kalian tidak akan mudah dapat membunuhku 

sungguh pun aku berjanji tak akan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau 

turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya di atas

tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum ikhlas, sama ikhlasnya dengan 

hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.

"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau mau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan 

Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu.

Teriakan itu disusul bunyi bergeletar nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung 

cambuk yang memiliki kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.

"Trang-trang-trang...!" Bunga api berpijar dan kesembilan ‘ekor’ cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah. Matanya mendelik 

memandang ke arah delapan orang lain yang sudah serentak maju menangkis cambuknya.

"Hemm, bukan kau seorang saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, Kiu-bwe Toanio, kami pun 

memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu 

dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah cahaya

panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang 

kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.

"Trang-trang...!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental akibat ditangkis oleh banyak senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh…!" Thian Kek Hwesio tokoh 

Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan 

kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapa pun

di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biar pun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu 

sudah dapat menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling di 

atas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah 

tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk 

menentramkan hatinya yang berdebar-debar.

Dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan 

mawar itu. Sambil menahan napas dia pun menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam 

timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apa lagi setelah dia 

mendengar ucapan kakek itu seakan-akan telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang 

sikapnya mengancam itu.

Dan pada saat yang sama timbullah rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang 

watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang selalu menjunjung 

tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang 

kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak ada seorang pun 

di antara mereka mengeluarkan kata-kata, tetapi pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan 

mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk 

memperebutkan pedang pusaka yang sangat mereka inginkan itu.

Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata, 

suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.


"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat 

sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan, 

siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh untuk memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata 

demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan…

"Singgg…!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk 

baja yang tipis dan halus.

Kiranya sabuk ini adalah senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang 

tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil 

memutar sabuk itu di atas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu

Ang-liong Jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai dari pada sabuk baja itu sendiri!

"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih 

kepada sute-nya sambil memutar tongkat yang dibawanya.

Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut 

Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya 

tidak akan kurang dari dua ratus kati!

Sute-nya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hwesio juga telah mengeluarkan suara gerengan dan 

segera dia menggerakkan tangan kanan.

"Wuuuuttt...!" terdengar suara dan angin keras menyambar.

Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu sudah dia pegang ujungnya. Jangan 

anggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah 

menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Dia melihat betapa kakek tua renta 

yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di 

mulutnya jelas mengandung ejekan, seakan-akan kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak 

tertawa bergelak.

Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang 

dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan 

tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. 

Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa kalau menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan 

senjata semua?

Pada lain saat pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara 

desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebat. Dia ternganga keheranan dan 

hampir tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri.

Tubuh sembilan orang-orang tua itu telah lenyap dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan 

berkelebatan dibungkus bermacam-macam sinar, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising 

sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan 

seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti di situ terdapat 

banyak pandai besi bekerja!

Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas nampak kakek tua renta masih duduk 

bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih tetap menggeletak mati di depan kakinya.

Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan 

untuk mencegah lain orang merampas pedang. Maka, sampai lama tak ada korban yang jatuh, apa lagi

karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa 

mereka sadari, mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.

Biar pun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan 

hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh 

jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak


manusia yang sangat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang 

menggelikan!

Manusia di dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang 

mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka hanya memperebutkan kedudukan, atau nama, atau 

harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai ‘cita-cita’ ini, mereka tidak segan-segan untuk saling 

menjatuhkan fitnah, saling menyalahkan, saling mengejek, saling menipu, saling merugikan dan apa bila

perlu saling membunuh!

Yang besar melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap 

oleh yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita 

cantik diperebutkan secara tak kenal malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam 

hidup masing-masing.

Padahal, dan hal ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan tahun, semuanya 

itu kosong belaka. Semuanya itu akan musnah kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan 

yang didapat, melainkan terlalu sering sekali bahkan mendatangkan kepahitan. Karena yang menang akan 

mabuk dan diintai mata dan hati si kalah yang penuh iri dan dendam, yang kalah akan mabuk oleh dendam 

dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang!

Kakek ini seakan-akan dapat melihat betapa siapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam 

selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara tawa yang memekakkan telinga, yang membuat 

Keng Hong tiba-tiba saja roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak berkelebat tiga bayangan 

hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu 

terpelanting ke kanan kiri.

Sekarang mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh keringat, mata liar mengganas 

memandang ke arah tiga orang yang mendadak muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang 

sembilan orang tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi itu terpelanting ke kanan kiri.

Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang itu. Jantungnya 

berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak, hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia 

yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan.

Belum pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian mengerikan. Orang 

pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal yang kasar serta riap-riapan 

menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri merah seperti udang direbus, mulutnya menyeringai 

memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan 

selalu menyeringai.

Pakaiannya dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat hingga melekat di kulit tubuhnya, 

mencetak tubuhnya bagaikan telanjang bulat sehingga tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar 

seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya 

panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan!

Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan puluh 

tahun. Tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, tentu sedikitnya ada dua meter, besar dan kulitnya hitam 

arang penuh bulu. Apa bila tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut disebut orang hutan.

Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Oleh karena kulit mukanya juga hitam seperti arang, 

maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang 

mengerikan adalah sepasang tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung pada kedua 

rantai baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua 

tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya.

Ada pun orang ke tiga, sungguh pun tidak tinggi besar menyeramkan, akan tetapi cukup mengerikan karena 

bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, namun kepalanya besar sekali dan berbentuk lonjong 

seperti buah labu. Mukanya sempit dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil, 

sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang


gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu 

bergerak-gerak seperti orang membaca doa!

Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar masih tertawa 

sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya turut bergerak-gerak dan saling beradu 

menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa.

Sembilan orang tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, sesudah dapat memandang tiga 

orang ini, tampak terkejut sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang manusia iblis ini memang jarang 

muncul di dunia ramai, namun sebagai tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mereka mengenal siapa 

adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini.

Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah merajai kaum sesat 

pada sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu

adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar 

di utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga 

yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan 

Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang sanggup

menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada masa itu merupakan tokoh-

tokoh yang tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat penjuru.

"Ha-ha-ha!" Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang 

matanya. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, sungguh menyeramkan. "Ternyata

sembilan tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum 

berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi pemenang terlebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai 

golongan, setelah melihat kami bertiga datang, tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun 

tangan dan menjadikan kalian sebagai setan-setan tanpa kepala?"

"Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Apa bila dibunuh, tentu kelak teman-temannya akan menggonggong, 

akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai.

Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Meski pun pada saat itu mereka 

saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi mereka tetap merasa diri mereka 

bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa 

bertemu dengan lawan sehingga otomatis mereka melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati sudah 

bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai 

tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar.

"Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis 

Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan 

tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami 

semua pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!"

Terdengar suara ketawa terkekeh melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo telah menerjang maju menyerang 

Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan puluh tahun, sudah banyak

pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi 

kaget bukan main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu...rambutnya!

Rambut yang gimbal kasar panjang ini bagai ratusan ekor ular serentak menerjangnya, mengeluarkan suara 

seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar 

goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian dari pada rambut itu menggulung goloknya dan sebagian lagi 

terus menyambar ke arah lehernya!

Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian Ti Hwesio 

dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan.

Thian Ti Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio 

menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap! Sambil 

terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur kemudian ia 

mengulurkan kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari 

pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada.


Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu telah berubah makin menghitam dan jari-jari tangan itu 

bergerak-gerak aneh, sangat mengerikan. Betapa pun juga, dua orang tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to 

Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya.

Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Walau pun tidak ada yang memimpin dan tidak ada 

komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toanio bersama dua orang tokoh Hoa-san-pai telah 

maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio lantas menggerak-gerakkan pecut berekor sembilan 

yang mengeluarkan bunyi ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah 

menyatukan pedang mereka.

Sedangkan sepasang suami isteri piauwsu, yakni Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama Kok Cin 

Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak tenang-tenang saja. Si kate 

kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun 

hudtim yang hanya dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara bersiutan seakan-akan datang 

angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya 

ada sepasang tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.

Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat 

mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan bayangannya lenyap terganti oleh 

sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi ketiga orang manusia iblis yang mengerikan. Meski

pun mereka itu belum saling serang, akan tetapi keadaan sudah amat menegangkan.

Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong 

masih duduk diam tidak bergerak, namun senyum mengejek di bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua 

mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu 

mengeluarkan sinar yang berkilat!

Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik dengan pertandingan yang telah dimulai. Begitu dia 

mengalihkan pandangan matanya, dia menjadi pening. Pertandingan sekali ini ternyata lebih hebat dan 

cepat dari pada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebat, sukar dia mengenali bayangan siapa, 

berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulungan uap hitam, kemudian terdengar pula 

bermacam-macam suara yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau yang amis dan keras 

memuakkan.

Namun pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa 

Pak-san Kwi-ong, disusul oleh suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu 

terpelanting lagi ke kanan kiri, akan tetapi sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.

Pada saat sinar-sinar itu mulai lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada yang terbanting 

roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini menyeringai kesakitan dan bangkit bangun lagi 

dengan wajah pucat.

Pecut sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini ekornya tinggal lima, Liong-cu-pang di tangan Thian Ti 

Hwesio semplak pada bagian ujung yang bulat, jubah di tangan Thian Kek Hwesio robek, pundak Sin-to Gi-

hiap berdarah.

Napas kedua Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah, sedangkan tangan mereka yang memegang pedang 

menggigil. Juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan 

tenaga sambil mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kedua suami-isteri piauwsu itu pun memandang 

pedang mereka yang tinggal sepotong, adapun kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong 

karena isinya hanya habis dihamburkan dengan sia-sia.

"Hi-hi-hik-hik! Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata Ang-bin Kwi-bo.

"Kelancangan kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa.

"Bersembahyanglah lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!" Kini untuk pertama kalinya 

terdengar suara Pat-jiu Sian-ong dan ternyata suaranya halus dan seperti suara orang yang penuh kasih 

sayang!


Sembilan orang itu sudah bersiap-siap. Mereka itu semuanya sudah menderita luka, dan yang tak terluka 

telah mengorbankan senjatanya yang menjadi rusak. Akan tetapi karena maklum bahwa nyawa mereka 

terancam maut, mereka siap-siaga untuk melawan sampai detik terakhir.

Meski pun tidak tahu akan ilmu silat, apa lagi ilmu silat tinggi yang dimainkan mereka, dari percakapan itu 

Keng Hong maklum pula bahwa ketiga orang manusia iblis itu siap untuk membunuh sembilan orang tokoh 

pendekar itu, maka dia membelalakkan matanya sambil memandang dengan penuh ketegangan. Suling 

bambu di tangannya dia pegang erat-erat, seolah-olah dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut.

Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Gerakan mereka berbarengan, masing-masing 

mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut pada kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlomba 

cepat dengan rantai tengkorak serta hudtim pada tangan kedua orang kawannya.

Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tak berdaya menghadapi 

kehebatan ketiga orang lawan ini, apa lagi sekarang setelah mereka terluka dan lemah. Betapa pun juga 

mereka terluka dan lemah, mereka tetap saja menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.

Tiba-tiba saja terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar hijau yang 

panjang dan tebal, kemudian disusul bunyi nyaring.

"Cring-cring-tranggg...!"

Tiga orang manusia iblis itu cepat mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangkisan cahaya

hijau tadi membuat sebagian rambut di kepala Ang-bin Kwi-bo rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong

berputaran, ada pun kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai!

Peristiwa ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka 

mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan heran, mereka 

mencelat mundur dan kini mereka memandang dengan mata terbelalak penuh dengan kemarahan.

Kiranya di hadapan mereka sudah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang Siang-

bhok-kiam yang diperebutkan itu sudah berada di tangan kanannya. Kakek ini tenang-tenang saja menoleh 

ke belakang dan berkata kepada sembilan orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak 

kagum.

"Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biar aku yang menghadapi mereka karena tiga iblis ini 

adalah tandinganku!"

Meski berwatak angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang yang 

mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah mundur dan hanya 

menonton dari pinggiran.

"Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek 

tua renta itu. "Kabarnya engkau sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai. 

Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah menyerahkan nyawa, tak akan melakukan perlawanan. 

Kenapa sekarang engkau hendak menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan 

hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya yang gemanya pun 

masih terdengar?"

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah baik-baik! Aku 

sama sekali tak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili 

partai-partai yang dahulu pernah kuganggu. Aku berhutang kepada mereka, karena itu sekarang aku 

bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan nyawaku, maka 

kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas 

nyawaku!"

"Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka bicara 

denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali mengira bahwa 

kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah.


"Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki kesukaan yang 

sama dengan aku, yaitu berenang di dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau 

buruk sekali...!"

"Gila...!" Ang-bin Kwi-bo langsung menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku runcing 

mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong.

Kakek ini menggoyang pergelangan tangannya. Sinar hijau lantas berkelebat dan si nenek memekik keras 

kemudian cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam 

dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam!

Kedua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang 

lebih dahsyat lagi dari pada tadi. Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan 

seruan-seruan kagum.

Mereka adalah orang-orang sakti, karena itu dengan pandang mata yang terlatih mereka dapat menikmati 

dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar belum pernah mereka saksikan 

keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga 

orang iblis itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.

Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu Kiam-ong dan tiga 

orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang kelihatan olehnya hanyalah segulung sinar hijau 

bagaikan seekor naga bermain-main di antara mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada 

yang putih dan ada yang kemerahan.

Pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sehingga Keng Hong terpaksa harus 

memejamkan matanya. Bila ia membuka matanya, ia menjadi silau dan berkunang lagi. Terpaksa ia 

pejamkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan 

suara bercuitan, dia tidak tahu bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang 

kalah.

Jangankan bagi mata Keng Hong yang belum terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang telah tinggi tingkat 

kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan ketiga orang 

lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan, semakin cepat sehingga sukar diikuti 

pandangan mata lagi.

Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali pada waktu terdengar Sin-jiu 

Kiam-ong membentak, kemudian nampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul 

pekik kesakitan tiga orang iblis itu. Tetapi tampak jelas oleh kesembilan orang itu betapa ujung pedang 

Siang-bhok-kiam sudah berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-

ong terkena guratan kuku tangan Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan salah sebuah 

tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu.

Sin-jiu Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga tombak 

jauhnya. Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak. Tiga orang iblis itu terengah-engah, pandang 

mata mereka beringas, mulut menyeringai.

Tiga orang iblis ini diam-diam merasa girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong sudah terkena luka beracun. Racun-

racun pada kuku Ang-bin Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah 

ampuhnya.

Apa bila mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar patut berjuluk 

Raja Pedang oleh karena permainan pedangnya memang hebat di samping pedang itu sendiri amat ampuh. 

Akan tetapi kalau mereka mengadu sinkang, pengerahan tenaga sakti akan membuat racun itu menjalar 

secara hebat dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka terkena tusukan ujung pedang Siang-

bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka itu tidak terlalu dalam, juga tak mengandung racun, 

mereka tidak khawatir untuk mengerahkan seluruh sinkang di tubuh mereka.

"Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong.

Ia telah menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok, kemudian setelah melibatkan senjata rantai di 

pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Itulah


pukulan jarak jauh yang mengandalkan Iweekang yang sudah sempurna, dikendalikan oleh sinkang (hawa 

sakti) untuk memukul lawan dari jarak jauh.

Pada waktu yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya sehingga 

terdengar suara berkerotokan dan kedua lengannya menggigil, kini mendorong lengan kanan ke depan 

sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan menghadap ke atas.

Pat-jiu Sian-ong telah menancapkan hudtim-nya di pinggang, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak 

mendorong ke depan. Berbeda dengan dua kawannya yang mendorong sambil mengerahkan sinkang tanpa 

menggerakkan lengan, kakek kate ini terus-menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak 

tangan menghadap ke arah Sin-jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak 

tangan.

“Wut-wuut-wuutt…!” Terdengar bunyi dari kedua telapak tangan itu.

Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu sinkang. Di 

samping Kiam-ong (Raja Pedang) dia juga berjulukan Sin-jiu (Tangan Sakti). Dia maklum bahwa lukanya 

yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu sinkang, namun karena tiga orang lawannya 

sudah siap menantang, dia sebagai seorang yang berjuluk Sin-jiu, bagaimana mungkin akan menolak? 

Penolakan mengadu sinkang berarti memperlihatkan rasa jeri.

Karena itu sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu menggerakkan 

lengan, dia pun langsung mendorong ke depan dengan kedua lengannya, menghadapi lawan. Segera 

terasa olehnya tenaga gabungan lawan menyerang dirinya. Dia mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam 

kedua lengannya, berkumpul pada kedua telapak tangannya dan ketika dia mendorong, serangkum tenaga 

dahsyat menerjang ke depan dan menahan angin pukulan tiga orang lawannya.

Apa bila sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, maka Keng Hong

memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka lakukan, pikirnya. Sungguh 

lucu. Mengapa mereka itu diam tidak bergerak seperti patung dengan lengan diluruskan ke arah lawan dan 

hanya kakek kate itu saja yang terus menggerak-gerakkan kedua lengan, mendorong-dorong angin 

kosong? Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka sudah sedemikian tuanya sehingga 

menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan yang serba cepat tadi?

“Trik-trik-trik…!” Tiba-tiba terdengar suara terus-menerus, makin lama makin nyaring.

Kiranya suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil mendorong 

menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri sehingga mengeluarkan bunyi seperti itu.

Beberapa detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari kerongkongan 

mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah, tetapi tiada hentinya, sambung-

menyambung dan mengandung getaran hebat.

Segera dua suara ini disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng. 

Kiranya suara ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi kelenengan. Pat-jiu Sian-ong 

memegang tambur ini dengan tangan kirinya sedang tangan kanan masih terus didorong-dorongkan ke arah 

Sin-jiu Kiam-ong. Oleh kakek pendek ini tambur itu dipukul-pukulkan pada paha dan lututnya, sekali 

dipukulkan pada kulit tambur kemudian pada tepi lingkaran sehingga menimbulkan suara duk-creng-duk-

creng nyaring sekali.

Sembilan orang itu mendadak duduk bersila dan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi heran sekali dan 

lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk. Jantungnya berdebar 

aneh dan telinganya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Ia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya penuh keringat 

dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan yang dilonjorkan ke depan bergoyang-

goyang! Dia tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu bahwa suara-suara yang dikeluarkan oleh ketiga 

orang manusia iblis itu merupakan suara mukjijat yang mengandung tenaga getaran amat hebat dan dapat

melumpuhkan bahkan membinasakan lawan!

Untung bahwa Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang, karena kalau dia sudah mempelajarinya 

dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia pun telah roboh binasa. Memang suara-suara mukjijat


tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap mereka yang tidak mengerti sama sekali, hanya menimbulkan

suara tidak enak yang menusuk-nusuk telinga, dan getaran itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas.

"Dasar manusia-manusia iblis!" Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak pada telinganya hampir 

tak tertahankan olehnya.

Dia teringat akan sulingnya, maka dengan gemas dan marah dia lalu meniup sulingnya. Suara-suara itu 

begitu bising dan amat tidak enak didengar, pikirnya. Maka lebih baik aku memperdengarkan suara suling 

yang merdu untuk mengusir suara tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak 

lama kemudian, suara-suara bising tidak enak itu sudah bercampur dengan suara tiupan sulingnya.

Bocah ini memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Tapi karena tidak ada yang membimbing, 

maka dia merupakan peniup murid alam! Dia dapat menirukan suara-suara yang didengarnya. Kalau 

hatinya senang, tiupannya mengandung suara yang gembira ria dan tentu terasa oleh siapa pun juga yang 

mendengarnya. Kalau dia berduka atau marah, suara sulingnya tentu membawa getaran perasaannya ini 

tanpa disadarinya.

Sekarang ia sedang marah, maka suara sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung 

tinggi, melengking-lengking bagai bocah rewel menangis. Akan tetapi akibat terpengaruh oleh bunyi-bunyi

lain, kepandaiannya yang timbul dari bakatnya membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah 

suara suling yang amat aneh.

Kadang-kadang meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo, kadang-kadang seperti menggerengnya 

tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali mengarah suara tambur di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-

pikuk tak karuan, akan tetapi justru kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekan dan daya serang 

rangkaian tiga suara yang dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi!

Setelah meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang tak sedap 

didengar itu, Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia kemudian mengangkat muka memandang 

dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu kini tidak lagi menggigil sungguh pun wajahnya 

masih pucat.

Sepasang mata kakek itu ditujukan kepadanya, hanya sekilas pandang, akan tetapi Keng Hong dapat 

merasa betapa pandang mata kepadanya itu penuh kagum, rasa syukur dan gembira! Hal ini menimbulkan 

kegembiraan di dalam hatinya.

Keng Hong bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia sangat cerdik dan biar pun dia tidak 

mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara sulingnya tadi sudah membantu 

kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad untuk mengacau terus suara-suara bising yang keluar 

dari tiga orang manusia iblis itu.

Setelah meniup sulingnya makin keras dan makin kacau, tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya untuk 

diganti dengan suara nyanyian yang nyaring. Bocah ini memang memiliki suara yang nyaring dan cukup 

merdu. Akan tetapi karena dia ingin mangejek orang-orang yang mengganggu kakek tua itu, dia teringat 

akan bunyi ujar-ujar dalam kitab-kitab kuno yang dibacanya, yang kini dia lupa lagi entah dari kitab mana.

Kemudian dia menyanyikan ujar-ujar itu dengan lagu yang dikarangnya sendiri sejadi-jadinya:

Mengerti akan orang lain adalah bijaksana pikirannya,

mengerti akan diri pribadi adalah waspada batinnya!

Menaklukkan orang lain adalah perkasa tubuhnya,

menaklukkan diri pribadi adalah kokoh kuat batinnya!

Merasa puas dengan keadaannya berarti kaya raya,

memaksakan kehendak kepada orang lain berarti nekat!

Tahan tanpa derita berarti terus berlangsung,

mati tapi tidak musnah berarti panjang usia!

Karena banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya, bocah ini lupa bahwa yang tadi 

dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab To-tik-kheng yang menjadi pegangan penganut Agama To, dan 

tidak tahu bahwa ujar-ujar itu mengandung makna yang amat dalam. Akan tetapi sebagian dari pada kata-

kata itu kena betul dan mengejek mereka semua yang berada di sana, tidak hanya tiga orang manusia iblis, 

bahkan juga sembilan orang sakti yang kini sudah tidak lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau 

oleh Keng Hong dan yang mendengarkan dengan mata terbelalak.


Mereka ini, sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa jiwa Sin-jiu Kiam-ong sudah tertolong. 

Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah serangan mereka dengan suara-suara menekan, kakek itu 

telah terdesak amat hebat dan sewaktu-waktu pasti akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-

jiu Kiam-ong kembali dapat menekan mereka tiga orang lawannya.

Tiga orang iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru marah mereka itu 

lantas meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini dalam keadaan masih bersila

mengeluarkan seruan panjang pula. Tubuhnya mencelat ke atas menyambut terjangan ke tiga orang lawan.

Pertemuan hebat terjadi di udara dan terdengar suara nyaring bertemunya senjata yang disusul dengan 

jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang terpelanting ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun 

lagi dan berdiri tegak dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan.

Tiga orang manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher mereka bertiga lecet dan terluka oleh guratan Siang-

bhok-kiam. Setelah memandang sejenak, mereka cepat membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa 

kali loncatan saja ketiganya sudah lenyap dari tempat itu. Kiranya mereka kini menjadi jeri karena maklum 

bahwa mereka bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguh pun selisihnya hanya 

sedikit saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan) yang 

menjadi orang keempat dari Bu-tek Su-kwi!

Setelah tiga orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik napas panjang dan 

tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini lalu bangkit dan duduk bersila, 

wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan tiba-tiba dari mulutnya menetes-netes darah segar!

Melihat keadaan kakek ini, sembilan orang tokoh sakti itu maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah terluka 

parah dan mereka melihat kesempatan yang sangat baik untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam yang 

kini masih berada di dalam genggaman Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya mereka sudah dapat menerka isi hati 

masing-masing, karena seperti mendapat komando, sembilan orang itu lalu bergerak maju menghampiri 

Sin-jiu Kiam-ong.

Terdengar kakek itu tertawa di balik batu, kemudian berkata, "Ha-ha-ha...! Kalian hendak mengambil Siang-

bhok-kiam? Sudah kukatakan, aku tidak akan melawan, apa lagi dalam keadaan seperti ini... uh-huh... Bu-

tek Sam-kwi betul-betul tangguh... Nah, ambillah siapa yang berjodoh...!" Ia menancapkan pedang kayu itu 

di depannya di atas tanah.

Sembilan orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tak akan melarang 

kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah lemah sekali. Akan tetapi mereka 

tidak ada yang berani bergerak karena tahu pula bahwa jika ada yang berani mengambil pedang, tentu akan 

dihalangi oleh yang lain! Hal ini yang membuat mereka menjadi ragu-ragu.

"Tahan...! Tahan...! Kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba terdengar teriakan marah.

Keng Hong yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu sekarang menghampiri Sin-jiu Kiam-ong dan 

memeluk leher kakek itu dari belakang sambil memandang sembilan orang itu dengan pandang mata penuh 

kemarahan.

Sembilan orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling dan mengacau Bu-tek 

Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah yang sangat berani itu karena mereka 

terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang. Kini baru mereka teringat dan mereka lalu menduga-duga 

apakah hubungan anak ini dengan Sin-jiu Kiam-ong.

"Heh, bocah lancang! Siapakah engkau dan mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio dengan pandang mata 

marah.

Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu Kiam-ong, 

"Kongkong (kakek), engkau terluka? Ahhh, mereka ini orang-orang yang tidak mengenal budi!"

Sin-jiu Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh kekaguman 

dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata yang menitik turun dari kedua mata kakek itu!


Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai seorang petualang di dunia persilatan dan selalu hidup gembira, tak 

pernah berduka apa lagi sampai menangis! Bahkan ratusan kali menghadapi ancaman maut sekali pun

belum pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi sekarang dia menitikkan air mata! Sesudah menarik 

napas panjang, Sin-jiu Kiam-ong memejamkan matanya kembali.

Keng Hong melepaskan rangkulannya pada kakek itu, cepat meloncat ke depan Sin-jiu Kiam-ong seolah-

olah dia hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan orang itu, "Kalian ini orang-orang gagah 

macam apa? Tidak kenal budi, berhati kejam! Siapa tidak tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian 

sudah mati semua di tangan tiga iblis tadi? Kakek ini yang tadi menolong kalian mengusir tiga iblis dan

mengorbankan dirinya hingga terluka, namun kini kalian tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh 

pengecut, curang dan kalian ini lebih jahat dari pada si tiga iblis! Mereka itu sudah terang adalah orang-

orang jahat dan menggunakan nama iblis, tetapi mereka sedikitnya lebih jujur dari pada kalian. Sebaliknya 

kalian, yang tadi kudengar menggunakan nama sebagai golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar 

perkasa, namun kenyataannya kalian ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja bersih namun 

di sebelah dalam lebih busuk dari pada yang busuk! Aku Cia Keng Hong walau pun tidak ada hubungan 

dengan kakek ini, akan tetapi sebagai manusia aku tidak rela menyaksikan kejahatan yang melewati batas. 

Kalau kalian hendak membunuh penolong kalian yang terluka parah ini, jangan kepalang tanggung 

melakukan kekejaman, bunuhlah aku terlebih dahulu!"

Wajah kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak kecil ini sangat 

tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke ulu hati mereka. Akan tetapi urusan yang 

mereka hadapi jauh lebih besar. Apa artinya makian seorang anak kecil penggembala kerbau? Tadi pada 

saat memasuki hutan, mereka telah melihat Keng Hong menyuling di atas kerbaunya.

Di balik perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang kelihatan kejam, tersembunyi persoalan-

persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak perlu diperdebatkan dengan seorang bocah! Tidak 

mungkin kalau hanya karena maki-makian bocah ini mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung 

di hati, dibela dengan perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek 

Sam-kwi.

"Bocah bermulut lancang, kau tahu apa? Hayo minggat dari sini!" Hek-how Tan Kai Sek piauwsu tua itu 

melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng Hong.

Akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung mundur akibat ada tenaga hebat yang mendorongnya. Kiranya Sin-jiu 

Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong. Wajah kakek ini masih pucat, akan tetapi sinar 

matanya berseri-seri dan mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum.

"Tiada seorang pun yang boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah ahli warisku. 

Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia muridku, orang yang akan mewarisi 

semua milikku termasuk pedang Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!"

Sembilan orang itu tercengang! Mereka bersusah payah mengandalkan dendam mereka untuk berusaha 

mendapatkan pedang pusaka serta warisan kitab-kitab dan ilmu si raja pedang, tetapi kini begitu saja si raja 

pedang mengangkat murid dan hendak mewariskan Siang-bhok-kiam kepada seorang bocah penggembala 

kerbau!

"Omitohud! Kehendak Tuhan terjadi penuh mukjijat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang.

"Sin-jiu Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa. "Siapa melanggar janji? Bukankah kukatakan bahwa aku tidak akan melawan 

kalau kalian hendak membunuhku di sini? Bukankah aku pun tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak 

menghalangi bila mana kalian hendak merampas pedang Siang-bhok-kiam? Bukankah kukatakan sebulan 

yang lalu bahwa yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam ialah orang yang berjodoh dengannya? Nah, 

ternyata bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan ketahuilah, sesudah aku 

mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi untuk 

mendidiknya, sesuai dengan tugas kewajiban seorang guru! Pergilah kalian, pergilah...!"

Sembilan orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biar pun Sin-jiu Kiam-ong sudah 

terluka, akan tetapi ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar dilawan. Selain itu, mereka sendiri pun 

sudah terluka dan kehilangan senjata.


Mereka ini adalah orang-orang cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua, apa lagi

menderita luka hebat. Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu jelas belum mengenal ilmu silat 

sama sekali. Digembleng bagaimana hebat pun, hanya dalam beberapa tahun apa artinya? Akhirnya 

mereka tentu akan dapat merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong, 

melainkan dari tangan ahli warisnya ini!

Pada saat itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang tosu yang berwajah gagah 

penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang berilmu tinggi itu.

Ketika semua orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang Tojin yang datang, melainkan banyak 

sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh orang, semua memegang pedang seperti Kiang 

Tojin. Gerakan mereka begitu rapi, tangkas dan ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung!

Sejenak Kiang Tojin memandang pada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura penuh hormat 

kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada Sie-taihiap (pendekar besar she Sie) bila 

mana pinto dan saudara-saudara mengganggu. Kehadiran banyak sahabat kang-ouw di Kun-lun-san masih 

dapat kami biarkan mengingat bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, Hanya kehadiran tiga Bu-tek 

Sam-kwi benar-benar tak dapat kami biarkan begitu saja. Tokoh-tokoh datuk hitam macam mereka tidak 

berhak mengotori bumi Kun-lun! Harap Taihiap maklum dan maafkan pinto yang datang karena memenuhi 

perintah suhu."

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap amat sabar, sungguh 

patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan orang tokoh yang mengganggunya dan berkata, "Apa 

bila kalian sembilan orang masih tidak hendak lekas pergi, aku tidak akan menganggap kalian sebagai tamu 

lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai akan menganggap kalian bagaimana."

Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan lalu ia berkata, 

suaranya penuh wibawa dan kereng. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat tokoh-tokoh partai persilatan 

besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini 

berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat 

dikatakan keterlaluan kalau terpaksa mengusir cu-wi."

Sikap Kiang Tojin amat kereng dan sembilan orang itu sudah cukup mengenal siapa tosu ini, maklum 

bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya sangat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang berjumlah 

tiga puluh orang dan telah mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin sanggup dilawan 

oleh mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai 

sendiri yang datang!

Maka setelah menjura dan menggumamkan kata-kata maaf, mereka segera membalikkan tubuh dan pergi 

meninggalkan tempat itu. Karena mereka merupakan orang-orang pandai, maka gerakan-gerakan mereka 

amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak 

lagi.

Kiang Tojin sudah menyimpan kembali pedangnya, ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri 

menjauh karena mereka itu semuanya merupakan tokoh-tokoh yang sangat menghormati si raja pedang 

yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai 

diserbu oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga Kun-

lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.

Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, telah terdesak dan hanya setelah Sin-jiu Kiam-ong 

yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini kemudian datang membantu, maka pihak musuh dapat 

dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu 

dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap 

keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.

"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian Seng Cinjin guru kalian, bahwa aku meminta perkenannya 

untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi, atau lebih jelasnya sampai 

matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong 

meraba kepala Keng Hong yang semenjak tadi sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-

saudaranya muncul.

Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang hingga terdengar seruan-seruan kaget dan heran.


"Siancai..., sungguh luar biasa sekali nasib anak ini...! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa hal itu tidak 

mungkin dapat dilakukan oleh karena... karena anak ini adalah orang Kun-lun-pai...!"

Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama hidupnya dia selalu 

membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai 

dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa jika memang anak ini adalah seorang murid Kun-lun-pai, 

amat tidak baik kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapa pun sukanya dia terhadap 

anak ini. Dia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong.

"Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?"

Keng Hong tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia 

diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh 

sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi 

murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai agar bisa menghadapi manusia-manusia jahat, terutama 

sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat di jagat ini. Sekarang mendengar percakapan antara 

tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia pun cepat berkata,

"Bukan, aku bukan murid Kun-lun-pai! Memang sekarang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai, akan 

tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali belum pernah mempelajari ilmu silat di Kun-

lun-pai!"

"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh kepada tosu itu 

dengan pandang mata penuh teguran.

"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak mengatakan 

bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai, tetapi hanya mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-

lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana 

perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkan dia

kemudianmembawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi 

kami terbentur oleh peraturan baru. Belum lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak

murid dari Kun-lun-pai harus seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon 

tosu, maka hingga kini dia berada di Kun-lun-pai dan selama dua tahun ini bekerja sebagai pembantu. 

Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri."

"Hemm, begitukah? Kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung, tiada halangan bagiku 

untuk mengambilnya sebagai murid. Ehhh, Kiang-toyu, apakah engkau berkeberatan kalau dia kuambil 

murid?"

"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah ini sendiri. Keng Hong, pinto 

sudah menyelamatkanmu dari pada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak 

meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?"

Keng Hong bangkit berdiri. Sesudah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis dan sembilan 

orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin terhadap Kun-lun-pai yang 

tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang budiman. Dia memandang tajam kepada 

Kiang Tojin lalu berkata,

"Totiang, sampai mati pun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang sudah menolong nyawa saya dan 

sampai mati pun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang itu. Akan tetapi, apakah 

budi yang dulu Totiang lepas mengandung pamrih supaya selama hidup saya harus ikut dan menuruti

segala kehendak Totiang? Apakah Totiang hendak merampas kebebasan saya? Totiang, pernah saya 

membaca ujar-ujar di dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, akan 

tetapi pemberian hutang yang harus dibayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang

menghutangkan budi kepada saya?"

"Ha-ha-ha...!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak itu. "Bocah, 

engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu, maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah 

ketularan watakku! Sekarang engkau hendak bilang apa lagi, Toyu?"


Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sebetulnya tidak ada sedikit 

pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-

jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong

menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata timbul karena rasa sayang kepada Keng 

Hong.

Dia mengenal orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang sejak mudanya hanya 

mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tak pernah segan-segan melakukan 

segala jenis kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Dia ingin melihat Keng Hong menjadi 

seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan 

mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela napas dan berkata,

"Siancai... hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya ingin 

mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi murid Taihiap. Akan 

tetapi ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri. 

Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka pada

kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap 

dipersilakan menempati Kiam-kok-san sebab Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi 

kelak bila mana Taihiap tidak lagi berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong untuk 

berada di wilayah kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan 

berkahNya."

Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian setelah menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong 

segera meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi laporan kepada Thian Seng Cinjin.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong untuk diajak mendaki puncak Kiam-kok-san 

sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang 

yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan...! Segala aturan yang dibuat oleh

manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Ehh, namamu 

memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang kita berjodoh... aughhh...!" Kakek itu memegangi 

dadanya dan kakinya terhuyung.

"Ehh... kenapa? Suhu... Suhu terluka...?"

Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ahh, tidak seberapa hebat. Tahukah engkau 

bahwa pada saat engkau menyebut Kongkong kepadaku, aku merasa seolah-olah engkau ini cucuku 

sendiri? Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah, bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih 

tepat menjadi muridku. Hemmm..., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan 

saja tak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak 

banyak. Aku... setan laknat tiga iblis itu... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah dipunahkan Siang-

bhok-kiam, akan tetapi... ahhh…, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-

mudahan tidak terlambat..."

Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya, namun dengan patuh dia lalu mengikuti suhu-

nya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan 

merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak 

menyatakan rasa ngerinya!

Ketika mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir 

menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil hingga gigi atas beradu dengan gigi bawah.

Namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali.

Ketika suhu-nya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia 

berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncak itu tidak meruncing seperti nampaknya dari bawah.

Halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawahnya.

Puncak itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu cukup lebar berbentuk segi 

empat, seolah puncak itu tadinya meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di 

situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda.

Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian dunia lagi, 

melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat


lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki 

gurunnya!

Keng Hong sadar di dekat api unggun. Ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya bersila di 

dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.

"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang panas, tekankan 

dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu, 

kubantu engkau."

Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak terasa sama sekali 

olehnya. Apa bila tidak ada telapak tangan gurunya yang menempel pada punggungnya, telapak tangannya 

yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat 

menahan.

Akan tetapi dia mematuhi perintah suhu-nya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, 

sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sebetulnya tidak sedingin yang dianggapnya semula. Memang 

tadinya agak sukar, akan tetapi semakin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang 

dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai mulailah keluar 

peluh di lehernya!

"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Bila mana batin kita kuat, maka kita akan dapat menguasai alat 

yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Kau harus berlatih seperti ini, memperkuat 

kemauan hingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Jika hatimu bilang panas, tubuhmu 

harus merasa panas, sebaliknya bila menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin pula." Demikian 

kakek itu memberi pelajaran pertama.

Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun, si guru yang 

mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak 

ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah 

sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya 

gemblengan yang diberikan gurunya.

Ia mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan 

kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum kalau kerongkongannya 

sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang dan

menggantikan pekerjaan gurunya untuk mencari bahan makanan.

Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya itu dengan cara-cara yang luar biasa. Segala pengertian dasar 

ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih 

terus-menerus oleh muridnya. Latihan semedhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang 

(hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit ‘memindahkan’ sinkang-nya sendiri melalui telapak 

tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.

Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat cerdik, setiap 

pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi sebaliknya, bila Keng Hong

memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat.

Kakek ini semakin sering terbatuk-batuk, dan kadang kala batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini 

menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan 

sekarang karena terlampau rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah.

Namun hal ini tidak mengurangi semangatnya. Dia terus melatih muridnya secara tekun dan teliti karena dia 

merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir di dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi 

itu…..

********************

Sang waktu lewat dengan sangat cepatnya. Memang tidak keliru apa bila dikatakan oleh penyair kuno 

bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, akan tetapi lambatnya mengalahkan kelambatan seekor keong

berjalan. Bila tidak diperhatikan setahun terasa seperti sehari, sebaliknya bila diperhatikan dan ditunggu, 

sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak tampak dan tak terasa lagi,


seakan-akan berhenti, padahal segala sesuatu terseret kemudian hanyut dalam perputarannya, dilahap dan 

ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan lagi.

Tanpa terasa, apa lagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng Hong hidup berdua 

dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas tahun, kini berusia tujuh

belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan 

membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan mukjijat tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya 

model sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat secara kasar pula. Warna kuning 

adalah warna kesukaannya.

Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si guru semakin 

lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya, tentu 

akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang 

matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itu pun hanya kalau dia sedang 

melatih muridnya.

Pada hari itu, sinar matahari sudah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu pedang. 

Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera agar bisa menerima sinar 

matahari pagi yang mengandung daya kekuatan mukjijat untuk meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya. 

Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia duduk.

"Keng Hong...!"

Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang sanggup menyadarkan Keng Hong setiap saat, karena 

selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Dia cepat sadar dari 

latihannya dan membuka mata, memandang gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar.

Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya. Biar pun wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, 

namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya 

berdebar. Hari ini wajah gurunya bagaikan matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan 

cahayanya.

"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum sambil mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika dia 

menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara denganmu."

Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya ini pun tidak seperti biasanya. Tentu ada sesuatu yang 

amat penting. Ia cepat-cepat bangkit dan menghampiri suhu-nya, lalu duduk bersila di depan suhu-nya.

Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak sedang 

berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang dengan penuh perhatian. Kini nyatalah 

olehnya betapa suhu-nya amat kurus, tinggal kulit membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan 

yang luar biasa saja suhu-nya dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhu-nya menderita 

luka-luka parah di sebelah dalam tubuh, luka yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu 

beberapa bulan saja. Namun suhu-nya dapat bertahan sampai lima tahun!

"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"

"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi kalau melihat dari banyaknya perubahan musim, tentu 

kurang lebih lima tahun."

"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah cukup banyak kau belajar dariku. Sayang waktunya 

amat tergesa-gesa hingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan Iweekang kepadamu. 

Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir 

kau akan mudah terkalahkan oleh orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu... ahh…, tidak ada waktu bagi kita 

sehingga hanya dasar-dasarnya saja kau kuasai. Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng 

Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong 

yang sederhana dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang 

memberatkan hatiku, karena apa bila engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan orang 

tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apa lagi bertemu dengan Bu-tek Su-kwi (Empat 

Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan."


Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa hubungannya 

kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu hendak belajar ilmu kepada suhu 

untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri dari pada serangan dari luar, baik itu 

serangan lahir mau pun batin. Teecu tidak ingin mencari musuh!"

"Ha-ha-ha, muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum mengenal watak 

dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Bila mana engkau sudah turun ke dunia ramai, 

akan kau temui semua sepak terjang manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri. 

Kau tidak mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan terseret dan 

terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan dan permusuhan antara manusia demi 

untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi 

seorang di antara mereka yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi 

orang, juga tak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang lain. Akan tetapi, 

pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok dengan lain orang, dan membuat aku dicap 

sebagai seorang tokoh sesat. Baru sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat? 

Biarlah, akan kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu supaya engkau pun kelak 

akan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi seorang manusia yang 

munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih, usahakan supaya bersih luar dalam. Kalau engkau tak 

kuasa menahan hasrat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan berani 

bertanggung jawab atas segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti melakukan sesuatu dengan mata dan 

hati terbuka."

"Teecu mengerti, suhu."

"Nah, kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi lawan yang tangguh. 

Akan tetapi tiada waktu lagi bagiku." Ia menghela napas panjang. "Bu-tek Su-kwi benar-benar hebat. 

Sampai sekarang masih ada bekas tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin Kwi-bo amat berbahaya, juga 

senjata tengkorak milik Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu Kiam-ong sukar 

dilawan pula. Apa lagi kalau kau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni... wah, sukar dikatakan atau diukur sampai 

di mana sekarang tingkat kepandaian wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka 

bila engkau sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat persembunyiannya berada 

di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku."

Keng Hong memandang ke arah pedang di tangan suhu-nya itu dengan perasaan penuh heran. Mengertilah 

dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang kayu ini, kiranya merupakan kunci 

pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat tinggi yang dahulu telah dikumpulkan oleh suhu-nya.

Sudah sering kali dia diperbolehkan mempergunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang Siang-

bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tak pernah dia melihat sesuatu yang 

aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan 

ujar-ujar kuno.

"Apakah suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanya Keng Hong untuk menyembunyikan 

ketegangan hatinya.

"Barang yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga, Hong-ji. Kitab-kitab 

dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau 

mendapatkannya dengan sukar. Akan tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali

jodoh! Apa bila engkau memang berjodoh dengan peninggalanku itu, tentu kelak akan bisa kau dapatkan. 

Boleh kau cari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kini kau terimalah Siang-bhok-kiam, pedang ini 

kuberikan kepadamu, muridku..."

Keng Hong terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Dia belum menerima pedang 

yang diangsurkan kepadanya, malah bertanya meragu, "Akan tetapi... Suhu pernah bilang bahwa Siang-

bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu... bagaimana dapat diberikan kapada teecu...?"

"Ha-ha-ha, pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa? Kau terimalah sebagai tanda patuh kepada 

guru."

Keng Hong tidak berani membantah, kemudian menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang itu.


"Keng Hong, meski pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran, akan tetapi ada 

sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu kecuali Siang-bhok-kiam, dan mudah-mudahan pemberianku ini 

akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi semua lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di 

pinggang dan mendekatlah."

Keng Hong segera menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya, kemudian menggeser duduknya 

mendekati suhu-nya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia taruh di atas ubun-ubun 

kepala Keng Hong, dan yang kanan diletakkan di punggung pemuda itu, baru kemudian dia berkata lirih,

"Pusatkan segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkang-mu untuk membuka semua jalan 

darah, jangan pernah menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya penyedot…"

"Suhu... suhu hendak..."

Keng Hong gelisah sebab dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa sinkang yang disalurkan oleh 

suhu-nya ke dalam tubuhnya, dan yang selalu mengakibatkan kelemahan tubuh suhu-nya sehingga 

akhirnya dia memohon agar suhu-nya tidak mengulangi hal itu. Kini suhu-nya hendak melakukannya lagi!

"Apakah dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?"

Suara ini halus, namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak 

menentang. Dia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan darah dan 

mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang dari gurunya.

Sebentar saja sudah terasa oleh Keng Hong betapa hawa yang sangat kuat menerobos masuk melalui 

kepala serta punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan perlahan-lahan berubah dingin lalu 

panas kembali. Terasa pula olehnya betapa dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang 

membuat aliran hawa sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lantas buyar dan 

menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya.

Hebat bukan main sinkang dari suhu-nya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Ada kalanya hawa yang 

memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tidak tertahankan, akan tetapi karena dia pun sudah 

bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya 

sehingga secara perlahan-lahan yang panas itu terasa hangat-hangat saja.

Entah berapa lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng Hong sendiri tidak tahu karena dia telah 

memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Dia seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau 

pingsan. Baru dia sadar ketika merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki 

tubuhnya melalui kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya terasa 

dingin.

Keng Hong membuka mata, melihat suhu-nya masih bersila sambil memejamkan mata, bibirnya tersenyum

membayangkan kepuasan. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong cepat memegang kedua 

lengan suhu-nya yang tadinya masih terletak di atas ubun-ubun dan punggungnya.

Sepasang tangan suhu-nya terkulai lemas dan dingin. Suhu-nya telah menghembuskan napas terakhir, 

entah sudah berapa lamanya.

"Suhu...!!" Keng Hong meloncat bangun.

Melihat tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat-cepat dia menyangganya 

dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia memeriksa detak jantung dan napas. Tak 

terasa lagi! Suhu-nya sudah meninggal dunia karena dia! Karena ‘mengoper’ sinkang sampai kehabisan 

segala-galanya.

Tiba-tiba Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua tangannya. 

Dia merasa seolah-olah dialah yang membunuh suhu-nya! Kenapa dia tadi begitu bodoh dan mau saja 

padahal ini akan membahayakan kesehatan suhu-nya?

Rasa duka, menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah dan 

beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya mendadak melesat ke arah permukaan puncak batu 

pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya menghantam.


"Pyarrrrr...!" Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil yang 

beterbangan ke sana sini!

Keng Hong berdiri dan ternganga heran. Memang dia sudah memiliki kekuatan sinkang yang tidak lemah, 

tapi kalau dia memukul batu, biasanya tentu hanya akan memecahkan bagian ujung saja. Akan tetapi sekali 

ini, dari tangannya keluar kekuatan yang sedemikian hebatnya sehingga batu yang menonjol setinggi orang 

itu hancur sama sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga!

Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang 

yang tadi telah disalurkan ke tubuhnya oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat, 

bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat dari pada biasa.

Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia kembali melesat 

ke dekat suhu-nya kemudian menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-

jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan 

meletakkannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.

Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon 

kepada Thian agar supaya dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan 

tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu. Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan 

memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong.

Oleh karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah 

hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhu-nya, dia lantas mengumpulkan abu jenasah dan 

pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong lalu menabur-

naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap 

jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang 

dicintanya itu.

Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, di samping terkenang pada suhu-nya juga memikirkan 

keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari segenap

perhatiannya dia curahkan untuk belajar serta berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang 

membuat dia tidak merasa kesepian.

Akan tetapi sekarang, sesudah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan bekas-bekasnya tidak ada lagi, dia 

mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini! 

Sesudah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya 

selanjutnya? Kembali ke kampung halaman?

Dia masih ingat dengan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan bermain-main 

sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi 

habis, rumah pun tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama 

yang sangat tidak menyenangkan hati.

Ke kuil Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah 

terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan 

Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan ‘orang Kun-lun-pai’, maka dia tidak boleh 

tinggal di Kun-lun-pai, bahkan dia tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san 

kalau suhu-nya tidak ada!

Habis ke mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tidak tahu malu. 

Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang ‘mondok’ karena Kiam-kok-san merupakan 

wilayah Kun-lun-pai. Dan bila mana tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal di sana, dia pun tidak sudi 

memaksa. Akan tetapi kalau pergi, kemanakah?

Dalam bingungnya, Keng Hong teringat pada suhu-nya. Andai kata dia menjadi suhu-nya, apa yang akan 

dilakukannya? Suhu-nya adalah seorang yang selalu hidup gembira ria. Jangankan berduka, bingung dan 

takut pun tidak pernah dikenalnya. Teringatlah dia akan semua cerita suhu-nya tentang diri suhu-nya pada

waktu muda. Masih terngiang-ngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum, 

wajah cerah dan mata berseri itu.


"Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan dan kesenangan 

dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah dari Dia yang telah dilimpahkan untuk kita, mengapa

mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah itu!"

Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia 

mengenang semua cerita suhu-nya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya.

"Aku paling suka dengan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, semua bunyi-bunyian 

merdu, ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut. 

Gunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu 

untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indah, lihat bunga-bunga yang 

cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakanlah telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang 

merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut? 

Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu adalah hak kita. Rasakan segala rasa di dunia ini. 

Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda 

harum, sedap dan wangi! Pendek kata, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan 

sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."

Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhu-nya ini. Biar pun pada lahirnya dia tak berani 

membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang 

dikemukakan suhu-nya. Mungkin sudah terlalu banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan 

tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan, peradaban dan kebudayaan.

Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguh pun dia 

tidak menyetujui pendapat suhu-nya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah sangat mendalam 

pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tidak dibuat-buat, dan tahu 

pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhu-nya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan 

gagah perkasa.

"Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong." Demikian suhu-nya pernah

bercerita. "Aku tak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang 

membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu aku tidak pernah menolaknya, tidak peduli dia itu cantik 

jelita, manis, buruk, muda mau pun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek, tidak peduli dia itu 

gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka 

dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku 

tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita 

yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!"

Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Suhu-nya benar-benar seorang mata 

keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tak ingin seperti suhu-nya, akan tetapi dia merasa terharu kalau 

teringat akan pendirian terakhir suhu-nya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya. 

Tentu saja merupakan hal yang sangat buruk kalau suhu-nya berjinah dengan wanita yang bersuami, akan 

tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana.

"Hanya satu pesanku, Keng Hong. Engkau boleh saja mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali 

kau membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, maka akan lenyaplah kebebasanmu 

dan tak mungkin pula dapat mempertahankan hidup seperti aku!"

Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapa 

pun juga suhu-nya bukan golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhu-nya tidak pernah 

dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain.

Bila dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih 

wanita-wanita isteri orang lain, kemudian apa bila menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja 

dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-

benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai 

persilatan besar, permainan jinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia 

memiliki banyak sekali musuh!

Keng Hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhu-nya

yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung kemudian dikejar-kejar 

mereka yang hendak merampas Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya,


akan tetapi bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa 

mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam?

"Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua 

kitab-kitab peninggalanku..." Begitu antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata.

Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Kenapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian 

yang akan cukup kuat dipakai mempertahankan Siang-bhok-kiam? Lebih baik dia mencari dan mempelajari 

kitab-kitab itu!

Pada esok harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak 

bersarung, pedang telanjang yang terbuat dari pada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya 

kehijauan dan kerasnya melebihi baja!

Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam sambil meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah 

dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:

Kebijaksanaan tertinggi seperti air!

Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan.

Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!

Keng Hong mengerutkan kening. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang 

yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap sebagai orang-orang munafik yang pura-

pura suci. Karena itu, pengetahuan suhu-nya mengenai kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan 

ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya 

dipergunakan di dalam kitab-kitab suci?

Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhu-nya yang 

bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah bisa menuliskan huruf-huruf kecil 

pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya 

huruf-huruf itu? Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu?

Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini. Akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu 

betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang mana pun juga! Sehari semalam 

lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti.

Akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak di dalam baris-baris sajak yang tidak 

karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, ditekan sana-sini, dicarinya kalau-

kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun dia tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di 

pedang itu kecuali huruf-huruf tadi.

Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus 

asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau 

ada goa rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di 

situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhu-nya.

Namun, sampai sebulan sejak suhu-nya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di 

permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan sudah habis. Maka diambilnya 

keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak 

berhak tinggal di situ lebih lama lagi.

Untuk penghabisan kalinya ia berlutut dan bersembahyang ke arah empat penjuru sambil menyebut nama 

suhu-nya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-

bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang.

Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada

lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya.

Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Ia harus 

menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri 

sendiri! Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira?


Dengan wajah berseri, pemuda remaja yang tampan ini lalu menuruni puncak ini. Setelah mengoper 

sinkang darisuhu-nya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang 

membuat dia dapat meringankan tubuhnya. Menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat 

mudahnya, jauh lebih mudah dari pada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk 

suhu-nya dan dia…..

********************

"Aiiih...! Tolonggg...! Lepaskan aku...!" Jerit melengking ini jelas keluar dari mulut seorang wanita.

Keng Hong yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan langsung dihadang musuh, mendapatkan

kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu pedang sunyi saja. Akan tetapi 

tiba-tiba saja dia mendengar lengking yang mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apa lagi

karena sebagai seorang yang telah tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak pasang 

mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya.

Keng Hong tidak mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah suara yang 

menjerit tadi. Apa pun yang akan terjadi, sudah pasti bahwa di sana ada seorang wanita yang minta tolong, 

yang membutuhkan bantuan karena keselamatannya terancam.

"Jangan menolak setiap uluran tangan yang minta pertolongan," demikian pesan gurunya, "Namun 

waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu."

Bukan karena teringat akan pesan suhu-nya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati sendiri. Keng 

Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya, timbul dari dorongan welas asih yang 

memang sudah ada pada setiap hati manusia.

Tidak lama kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ telah berkumpul 

puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan paling depan tampak penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap 

angker, tangan kirinya mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan merintih-

rintih.

Dan selain tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian Seng Cinjin sendiri berdiri dengan bersandar pada 

tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali. Sikap mereka semua yang kini memandang 

Keng Hong membayangkan bahwa mereka semua memang sedang menantinya!

Keng Hong menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti sudah diduganya tadi, di

sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah, 

berhadapan dengan Kiang Tojin yang menangkap wanita cantik itu serta ketua Kun-lun-pai yang berdiri 

dengan sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor kelinci yang 

dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan!

Akan tetapi, dia adalah seorang yang semenjak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang Tojin yang 

menjadi penolongnya serta para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas budi selama dua tahun kepadanya, 

dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata,

"Boanpwe (saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe (orang-

orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!"

Thian Seng Cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan tangannya yang 

mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya, "Belenggu wanita jahat ini!"

Dua orang tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng Hong melirik 

dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar dua puluhan tahun dan amat cantik 

jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat

mengalihkan perhatiannya ketika Kiang Tojin berkata.

"Baik sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami, juga bukan kacung 

kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggumu. Apakah yang menyebabkan engkau terlambat 

sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?"


Keng Hong terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhu-nya telah meninggal sebulan 

yang lalu dan diam-diam sudah menjaga dan menanti dia turun dari puncak batu pedang. Yang menjaga 

dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah anak murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang 

Tojin masih tak mau melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san!

Kemudian dia teringat betapa dia sudah membakar jenasah suhu-nya di dalam pondok. Agaknya 

pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena melihat dia meragu 

dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi,

"Kami melihat betapa ada asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang 

murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah 

banyaknya orang yang sedang menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari 

kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu."

"Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu? Aku 

hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan 

menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kau kira 

aku tidak tahu? Kalian hanya pura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk 

meraba-raba dan membelai-belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"

Hebat bukan main penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya, 

entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang 

melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian.

Akan tetapi Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum saja, sedikit pun tidak terpengaruh oleh 

ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya 

bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu.

Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan... tubuh wanita itu lantas 

menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari 

jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan.

Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini 

sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi 

penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang 

Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus!

"Keng Hong, ketahuilah bahwa baik kaum sesat atau orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada 

gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam serta rahasia penyimpanan kitab-

kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tak menghendaki 

apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-

pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Jadi bila 

mana Siang-bhok-kiam berada bersamamu, pedang itu harus kau tinggalkan pada pinto. Begitu pula segala 

benda lain yang kau bawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena 

pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan mala petaka

padamu, dan dari pada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami 

simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!"

Keng Hong mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini merupakan pemberian suhu, 

bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"

Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal 

dunia di Kiam-kok-san, maka semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biar pun

engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san."

"Kalau saya menolak?"

Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tidak tahukah engkau bahwa 

peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? Kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan 

pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"


Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-

lun-pai yang bijaksana serta cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apa lagi

tidak ada kesempatan yang lebih baik dari pada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat 

buruk terhadap dirinya. Biarlah dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.

"Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ini ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang 

dalam hal ilmu silat."

Kiang Tojin tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh 

menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong!

Mulailah!"

Biar pun belum pernah menggunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk 

bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, akan tetapi Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar 

ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasehat dan petunjuk suhu-nya. Ia ingat akan nasehat 

gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik diserang lebih dahulu dari pada

menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga 

mudah ‘dimasuki’ dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula.

Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju 

memukul dengan gerakan perlahan dan berhati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya 

saja untuk menyerang, yang tiga perempat bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu 

lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan.

"Wuuuttt!" Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.

"Bagus...!" Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuatnya pukulan Keng Hong sehingga 

tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih 

seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia 

kecewa menyaksikan gerakan-gerakan yang amat sederhana itu, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu 

silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.

Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya, 

bahkan jelas menunggu serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar 

hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah 

jelas bahwa dia tadi memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya 

seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya?

Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua dari Kun-lun-pai ini, apa 

lagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia pun berkata,

"Totiang, maafkan kelancanganku!"

Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia 

mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia 

menggunakan ginkang-nya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan 

sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai.

Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya 

digembleng dengan pengertian dan gerakan-gerakan dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan 

geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir, tetapi rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari 

karena waktunya tidak mengijinkan.

Dari suhu-nya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in 

Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini 

merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari 

delapan buah jurus serangan saja!

Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu sudah mempergunakan jurus yang disebut 

Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat, 

namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, ada pun kedua lengannya 

didorong ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya


"Siuuuuttt...!"

"Siancai...!" Kiang Tojin terkejut bukan kepalang.

Ia sudah merasa amat kagum melihat tenaga pada serangan pertama tadi, tapi serangan kedua ini benar-

benar membuat ia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda 

yang baru lima tahun belajar ilmu silat!

Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan 

tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biar pun Kiang Tojin sendiri tidak 

berani menerima pukulan sehebat itu.

Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuhnya sambil mengangkat tangan karena melihat 

kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan 

tendangan. Dugaannya memang tepat, karena itu baik dorongan tangan mau pun tendangan Keng Hong

hanya mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.

Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima akan serangan balasan, 

lalu segera menggunakan ginkang-nya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik dibarengi seruannya 

yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di angkasa dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung 

menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak.

Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa sekali, apa lagi tenaga serangan 

itu yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, maka kini tosu ini melongo menyaksikan 

ginkang sehebat itu. Tapi pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari 

atas seperti seekor burung garuda menyambar.

Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in Kun-hoat, 

yaitu jurus yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling 

sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi.

Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhu-nya supaya tidak dipandang 

rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul 

dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-

ubun kepala lawannya!

Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mukjijat karena pada saat itu dia 

mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya! 

Ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dengan pukulan seperti inilah dia telah 

menggempur batu menonjol hingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.

"Hayaaaa...!" Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang.

Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa 

serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia lalu mengerahkan perhatian dan tenaganya.

Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula 

pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke arah ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya 

sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena sedikit saja bagian kepalanya terkena, tentu akan 

mendatangkan bencana hebat. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh, lantas

secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka.

Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah mempunyai tingkat kepandaian amat tinggi, juga 

mempunyai tenaga sinkang yang sukar dicari bandingannya. Maka sangatlah mengherankan kalau 

sekarang menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati 

dan mengerahkan tenaganya.

"Plakk...! Aihhhh...!"

Kiang Tojin berseru kaget bukan main. Ketika ia menangkis tamparan Keng Hong dengan telapak 

tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih oleh tenaga yang sangat kuat dan berat sehingga


hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu! 

Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak 

tangannya bergerak, membuat tubuh Keng Hong terbanting ke bawah.

Akan tetapi, karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri 

sungguh pun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan 

tangan Kiang Tojin yang menangkapnya.

"Heeiiiitttt...!" Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan 

pegangannya.

Akan tetapi sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat 

dibayangkan betapa terkejut dan herannya ketika dia merasa betapa semakin dia mengerahkan sinkang, 

maka hawa sakti itu seakan-akan air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini 

tidak dapat lagi dia menahan sinkang-nya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk 

ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!

"Iiiiihhhh..., ehhhh...!"

Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan ia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya. 

Namun sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mukjijat yang membuat tangannya lekat dan dia pun tak 

dapat menahan sinkang-nya yang menerobos keluar!

Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong adalah akibat 

pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat 

dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu

Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri mau pun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga ‘menyedot’ luar 

biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam 

tubuh pemuda itu!

Pada saat Keng Hong merasa betapa ada hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos 

memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia pun tahu apa yang sedang terjadi dan 

dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang sudah dilakukan mendiang 

suhu-nya, tosu penolongnya ini pun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi saat melihat 

wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan 

pegangan, dia menjadi kaget bukan main.

Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam ‘penyakit’ yang tak mampu diobatinya 

sendiri, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang amat hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi 

diluar di luar kehendaknya. Dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkang-nya

berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong

dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini.

Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya sambil mulutnya berkata gagap, "Totiang...

lepaskan..., lepaskan tanganku...!"

Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang 

tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang 

berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak 

seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup serta bingung, mereka itu sebanyak empat 

orang sudah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah.

"Bocah jahat, lepaskan!"

Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang lalu menyentuh tubuh Keng Hong. 

Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan 

dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut.

Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya 

empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak.

"Lepaskan...!"


Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh

Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke 

dalam tubuh pemuda itu!

"Bocah berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung 

Keng Hong.

“Plakkk!” terdengar suara keras, akan tetapi upayanya sia-sia belaka.

Kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat, maka makin hebatlah tenaga tosu ini tersedot sehingga 

dia menjadi pucat dan lemas seketika!

Keliru besar kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang 

berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah 

sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya 

penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya 

menjadi merah bagai udang rebus!

Dia merasa tersiksa sekali, apa lagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka 

tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana 

caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka 

supaya melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya mampu mengeluarkan suara "ah-ah-uh-

uh" bagaikan orang gagu.

Keadaan Kiang Tojin beserta empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga 

sinkang mereka makin lama semakin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya. 

Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, 

membuat mereka menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Siancai... siancai...!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus saja dan tahu-tahu 

tubuh kakek ini sudah melayang mendekat.

Kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua 

tangannya dia memegang dua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan menghentak keras.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya, dan tenaga yang jauh lebih kuat dari pada

tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya ini sudah menghentikan hubungan atau aliran hawa 

sakti itu, melepaskan dua lengannya sehingga tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih 

jauh sampai bergulingan.

Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget sebab tubuhnya itu 

mencelat jauh lebih tinggi dari pada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa 

yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga amat berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi 

tubuhnya minta dikeluarkan, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang 

mulutnya kepedasan!

"Aahhhh... minggir... aaahhhhh... minggir semua...!" pekiknya dengan suara menggereng bagaikan seekor 

harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar.

Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi amat kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis 

mereka lalu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua 

hawa sakti yang kini memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya serta

kepalanya bagaikan akan meledak.

Maka dia terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di 

hadapannya. Dia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lantas memainkan 

keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in Kun-hoat.

“Dessss… kraaak-kraaaaak... bruuuuk!"


Terdengar suara-suara dahsyat berkali-kali, dan begitu ia selesai mainkan delapan belas jurus Ilmu Silat 

San-in Kun-hoat maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang, 

batangnya remuk dan kini malang melintang seperti baru saja diamuk topan!

Setelah dapat mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui 

pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong

merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi. Dadanya dan kepalanya tidak lagi terasa seperti mau meledak, 

napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam 

air yang amat dalam tanpa dapat berenang!

Ia kini menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir sisa kepeningan, lalu memandang ke depan. Ia 

melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sute-nya sudah duduk bersila mengatur pernapasan serta

mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, 

maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan 

kepala penuh penyesalan.

"Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis 

sesenggukan!

"Siancai..., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis milik Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi 

wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih...!" Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya 

yang putih.

Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, pasti dia akan kehilangan 

beberapa orang murid. Mala petaka besar tentu akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa 

sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, akan tetapi kepada manusia.

Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar tapi pandang matanya penuh kengerian dan 

juga kekaguman. "Keng Hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan..."

"Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Sekarang saya mohon kepada 

Totiang agar Totiang sudi melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini. 

Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian 

aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tidak lain hanya sebagai sebuah penyakit 

hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!

"Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku dapat melenyapkan ilmu 

iblis itu. Entah kalau suhu, barang kali bisa kalau kau suka memohon kepada suhu."

Keng Hong sudah menoleh dan hendak memohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin

sudah mengangkat tangannya sambil berkata, suaranya halus namun penuh wibawa.

"Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara 

kerjanya juga menyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tak ada lagi yang 

mempunyai ilmu yang mukjijat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-

ong sengaja atau tidak telah menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan 

ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan sudah terjadi keanehan yang sangat ajaib. 

Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, maka tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari 

tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang 

mengusahakannya. Ilmu tetap saja ilmu, baik buruknya atau hitam putihnya tergantung dia yang 

mempergunakannya. Walau pun Thi-khi-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat 

menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian, 

kakek ini lalu merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa.

"Bagaimana, Kiang Totiang...?" sekarang Keng Hong menujukan pertanyaannya kepada penolongnya.

Kiang Tojin tersenyum dan menghela napas. "Tepat seperti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-

lun-pai, karena itu kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus 

meninggalkan pula pedangmu kepada kami."

Keng Hong menarik napas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara 

melenyapkan ‘penyakit’ yang berada dalam tubuhnya, kenapa tidak mau menolongnya?


Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Dia lalu mencabut pedang 

kayu dari pinggangnya dan meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata,

"Saya tidak mempunyai niat buruk, kenapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa 

pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang 

saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?"

Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh sayang, 

Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam, engkau masih belum mengerti akan 

maksud baik kami. Akan tetapi biarlah, kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau 

meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami."

"Ehh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam 

kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau sudah ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. 

Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan ilmu kepandaianmu yang mukjijat seperti iblis mereka takkan bisa

memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon.

Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja 

sudah membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu 

kepandaian yang cukup tinggi.

"Sudah cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya 

baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami 

ini tanpa perkenan kami. Apa bila ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus 

datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."

Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia takkan sudi datang ke situ lagi 

dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata,

"Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."

"Permintaan apa? Sekiranya patut dan bisa pinto lakukan tentu permintaanmu akan pinto kabulkan."

"Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"

Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenang, 

sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata 

dipejamkan.

"Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka kau minta supaya dia dibebaskan?"

"Tanpa alasan apa-apa, Totiang, hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu 

ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"

"Apa? Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran.

"Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat 

pihak yang ditindas dan diancam. Suhu tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Kun-lun-pai, akan 

tetapi suhu tetap menolongnya. Saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi 

melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."

"Ahh, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Dulu gurumu membantu kami melawan golongan 

hitam, kaum sesat dan orang jahat. Sebaliknya, kau harus tahu bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, 

bahkan kedatangannya memiliki niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."

"Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong...!" wanita itu memaki.

Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tak dapat mengenal watak suhu. Saya yakin

bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi 

suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil 

karena menurutkan kepentingan diri pribadi."


"Ehh, apa maksudmu?"

"Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang, dipengaruhi 

oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Apa bila seseorang melihat orang lain yang 

menguntungkan dia, juga bersikap menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang 

itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tak menyenangkan 

hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan menganggap orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak 

percaya dengan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong 

oleh perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang? 

Permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang telah saya penuhi, apakah Kun-lun-pai demikian pelit 

untuk menolak permintaanku yang tidak sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?" 

Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin 

untung sendiri!

Kiang Tojin tercengang. "Pendapat keliru..., wawasan yang menyeleweng..."

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak lebih menggegerkan 

dari pada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"

Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu segera menghampiri wanita itu hendak melepaskan 

ikatannya. Akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan 

tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum 

mengejek.

"Bocah tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-

banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu.

Keng Hong tidak peduli. Ia lantas berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai, 

kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri.

Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji di dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan 

cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya, 

yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimana pun selalu gembira dan dengan tekad: 

Bagaimana nanti sajalah…..

********************

"Heii, tolol! berhenti dulu!"

Keng Hong menghentikan langkahnya. Dia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah 

hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara 

yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.

"Kau mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.

"Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"

"Aku tidak merasa sombong, walau pun mungkin kau benar bahwa aku tolol," jawabnya sabar sambil 

tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun menyakitkan hati dan 

pahitnya maki-makian itu.

"Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukankah itu sikap sombong, sikap 

orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? Jika tidak sombong, lihatlah ke sini. 

Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!"

Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar dan 

menyenangkan hatinya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas 

rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan paha besar seekor ayam hutan. Daging paha itu 

masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala.

"Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"


"Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan 

aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"

"Ehh..., adik yang baik..."

"Cih! Aku bukan adikmu!"

"Cici yang baik..."

"Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?"

Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?"

"Panggil aku nona!"

"Wah, nona...?"

"Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?" 

Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih dari paha ayam, mukanya coreng 

moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.

"Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok. 

Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kau suruh bagaimana supaya tidak kau

maki angkuh?"

"Aku mau berbicara denganmu, duduklah di sini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium 

ikan asin!"

Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. Selamanya baru sekali ini ia bicara dengan 

gadis, apa lagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian 

teringat dia akan watak suhu-nya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, lalu 

menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu.

Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam 

panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk wajah bulat 

telur. Rambut hitam gemuk yang kacau dan tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu 

agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih 

sekali, dengan kerling yang sangat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan 

gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya.

Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah 

dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seakan-akan sepasang bibir itu mudah pecah, berwarna kemerahan 

dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing, jelas menambah kemanisan.

Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, tapi potongannya amat ketat sehingga membayangkan 

dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher 

baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali.

Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhu-nya dan diumpamakan setangkai bunga yang 

harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang laksana bunga sehingga membuat hati ini 

kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.

"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini sama sekali aku tak mencium bau ikan asin, melainkan 

mencium bau sedap gurih daging panggang!"

"Kau kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya. Mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah 

perlahan, matanya mengerling Keng Hong.

Pemuda remaja ini memandang mulut yang sedang mengunyah itu. Tanpa terasa lagi dia menelan ludah 

dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia lalu mengangguk sambil kembali menelan ludah.


"Kalau kepingin, ambillah. Kau tunggu apa lagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak 

ambil dan makan sejak tadi?"

"Ahh, tapi daging itu punyamu..."

"Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"

"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya..."

"Sudahlah, cerewet benar sih engkau ini! Ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa 

kenyang?"

Meski ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di 

hatinya. Cocok benar dengan watak suhu-nya. Bagaimana jika suhu-nya yang bertemu dengan gadis 

seperti ini?

Dia segera menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar 

lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar.

Setelah habis semua makanan, gadis itu lalu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara 

menggelogoknya dari mulut guci. Air minum memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi 

pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan 

menyerahkannya kepada Keng Hong.

Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci, akan tetapi dia merasa 

ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu

ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.

"Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"

"Tidak punya cawan!"

"Habis bagaimana minumnya?"

"Tuang saja, seperti aku "

"Tapi... tapi... bekasmu..."

Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata 

terbelalak.

"Kau... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"

Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia betul-betul

merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina...? Aku... aku tidak... ehh, apa sih maksudmu?"

"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas 

mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? Kau jijik?"

"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan... bukan begitu, hanya...

aku tadi khawatir kau tidak suka..."

"Tidak suka apanya? Kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki 

sepertimu!"

Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau wanita ini dilayani, bisa habis dia dimaki-

maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuang air ke dalam mulutnya, tidak peduli 

bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.

"Terima Kasih," katanya sambil mengembalikan guci air.


"Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut kalau minuman ini kucampuri racun?" Sambil berkata 

demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih 

lagi.

Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi 

diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga 

mendengar ucapan itu. Betul-betul wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia 

kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-

bukan. Ia menjadi gemas dan andai kata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!

"Aku tidak takut kau beri racun," jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan, 

"Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"

Sampai lama gadis itu tak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. 

Pemuda itu tahu akan hal ini sebab dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu terus 

memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya.

Kemudian terdengar gadis itu bertanya, "Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"

"Cia Keng Hong... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."

"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku..."

"Mengapa heran?"

"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"

Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah tahu aku tolol, 

kenapa engkau menghentikan aku?"

Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, tawa cekikikan. "Ehh, 

kau marah?"

Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa 

dia itu seorang wanita tentu sudah ditamparnya. Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya.

"Ahh, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"

Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas 

memaki. Akan tetapi melihat mata yang bening dan indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi 

tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.

"Kau memang tolol. Jika kau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu."

"Itu adalah hak mereka dan aku tak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang 

bijaksana dan baik, permintaan mereka patut dipatuhi. Pula, tak mungkin menggunakan kekerasan 

menentang. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."

"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal 

menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa, tak mengenal takut terhadap siapa pun juga dan 

amat cerdik."

Keng Hong menarik napas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah 

mengenal takut. "Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapa pun juga, dan tentang kebodohan...

hemm, tentu saja aku tidak secerdik suhu."

Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk sebab teringat akan suhu-nya dan mulailah hilang 

kegembiraannya. Pada hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, telah terjadi hal-hal yang tidak 

menyenangkan hatinya. Apa bila begini terus nasibnya, bertemu seorang wanita saja selalu mengejek dan 

memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhu-nya yang menghadapi segala sesuatu dengan 

gembira. Betapa mungkin bisa bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan 

dan memaki-makinya?


"Keng Hong..."

Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dia terkejut juga 

dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri.

"Hemm...?" Ia menengok dan makin gugup melihat betapa kedua mata itu memandang dirinya tajam-tajam 

dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja sebab bibir yang merah itu segera cemberut 

lagi. "Kau memanggilku?"

"Kau laki-laki canggung benar..."

"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa..."

"Engkau marah?"

"Tidak"

"Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya... ahhh, apakah kau tidak ingin tahu 

siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"

Baru sekarang Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian, "Siapakah nama 

Nona?"

Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar amat canggung dan gugup sehingga kelihatan 

lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"

"Bagus... bagus...," jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus 

bercerita.

"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji..."

"Ehh..., aku... ahhh, teruskanlah, Nona."

"Aku mendengar tentang keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-

kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu 

Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang sangat diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."

"Termasuk engkau sendiri, nona."

"Tentu saja! Apa kau kira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja? Dan aku malah 

berhasil sekali, lebih berhasil dari pada mereka yang memakai kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh 

tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia kang-ouw, sama sekali tak berhasil, melihatnya 

pun tidak! Aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa 

kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apa lagi tosu she 

Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang 

karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu kau serahkan pedang itu begitu saja!"

Mulai lagi maki-makian! Sekarang mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri 

dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya 

ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.

"Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"

"Eh-ehh-ehh, masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong, 

katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka 

yang terdapat di pedang itu?"

Pandang mata itu penuh gairah, agaknya gadis ini bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong.

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Belum dan agaknya tak akan dapat kutemukan. Aku pun 

selamanya tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan 

rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?"

Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan terheran. "Engkau benar-benar masih 

hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kau pelajari dari Sin-jiu 

Kiam-ong? Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mukjijat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, 

bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus di tanganmu. Ilmu apakah itu? Sukakah kau 

menceritakannya padaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali. Wajahnya berseri, matanya bersinar-

sinar dan bibirnya tersenyum.

Keng Hong hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi 

murung dia pun cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit 

yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat serta beberapa 

pukulan dan permainan pedang. Apa bila dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya."

"Hemm, engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya dengan gambaran 

mengenai gurumu!" Akan tetapi kegalakan ini segera berubah lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan 

membuka tutup guci hendak diminumnya. Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri, 

"Ahh, air ini kurang sedap!"

Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata berisi daun-daun 

dan kembang-kembang kering. Dia menuangkan sebungkus daun dan kembang kering ini ke dalam guci 

airnya, lantas dikocoknya guci itu sambil memandang kepada Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti 

itu, Keng Hong menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya,

"Apakah yang kau masukkan dalam air minum itu?"

"Daun wangi dan kembang harum, pengganti teh yang sangat lezat dan sedap!" jawab gadis itu sambil 

menggelogok air dari guci seperti tadi. Segera tercium bau yang harum keluar dari mulut guci. Selesai 

minum gadis itu lalu menyerahkan gucinya kepada Keng Hong sambil berkata, "Kau minumlah."

Keng Hong menggelengkan kepala. "Aku tidak haus."

"Ehh, walau pun tidak haus, air ini sekarang sudah menjadi minuman enak. Coba cium, tidak harumkah?"

Gadis itu mendekatkan mukanya kemudian membuka mulutnya, menghembuskan napas ke arah muka 

Keng Hong. Pemuda itu terkejut sehingga mukanya terasa panas sekali, jantungnya berdebar tegang. Ia 

merasa canggung dan juga jengah.

"Apakah kau takut kalau air ini kucampuri racun?"

Untuk mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak cakap Keng Hong

segera menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan terasa agak manis, akan tetapi mulut 

dan lidahnya yang terlatih mendadak merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang 

amat kuat dan jahat!

Tetapi dia cepat-cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, bahkan 

lalu terus menuangkan air beracun itu hinggahabis berpindah ke dalam perutnya! Gadis itu memandangnya 

dengan sepasang mata bersinar-sinar pada saat dia menurunkan guci kosong dan berkata, "Lezat sekali!"

Sambil tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya itu agaknya 

berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju bagian atas. Cara ia membuka 

kancing secara terang-terangan begitu saja di depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali.

Keng Hong terbelalak, lebih merasa heran dari pada terkejut dan jengah, melihat betapa bagian atas baju 

itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang mencuat. 

Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Pada 

waktu dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah.


Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya, 

kemudian seakan terlupa, gadis itu tidak mengancingkan kembali bagian atas bajunya terbuka itu. Keng 

Hong terpaksa menundukkan muka agar matanya jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.

"Keng Hong, lihatlah kepadaku!"

Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, berupaya mengusir ketegangan dan kebingungan 

hatinya. Gadis jelita ini jelas berusaha hendak meracun dirinya. Apakah maksudnya? Kenapa hendak 

membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapa pun kuatnya.

"Lihat baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?" 

Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya sambil menggerak-gerakkan mukanya 

supaya dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan.

"Hemm, begitulah...," jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Dia kini dapat 

menduga bahwa pil merah tadi merupakan obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air 

beracun.

"Lihatlah baik-baik dan pandanglah…, apakah kulitku tidak halus dan putih bersih, Keng Hong?" Suaranya 

kini sangat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar 

belahan dada itu tampak makin nyata.

Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan dia cepat-cepat menekan dengan kekuatan 

batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum!

Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan 

lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular.

"Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku, 

pinggulku..."

"Hemm, agaknya begitulah...!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena tiba-tiba kerongkongannya 

seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan.

"Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! Aku seorang gadis yang sangat menarik hati, 

bukan?"

"Hemm…, begitulah!"

Tiba-tiba saja Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum 

manis dan kerling mata tajam kini telah lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati 

kesal.

"Begitulah! Begitulah! Begitulah! Apakah tidak bisa berkata lain, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong 

kabarnya adalah pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita. 

Apakah gurumu yang... terkutuk itu tidak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah 

tolol?"

Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, akan tetapi sekaligus 

wanita yang sangat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraan hatinya karena 

terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia 

menggeleng kepala dan tersenyum mengejek.

"Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kulihat ke mana perginya 

wajahmu yang tampan itu jika nanti sudah digerogoti cacing. Kau tahu bahwa kau sudah minum racun? Di 

dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) 

yang kini sudah memasuki perutmu dan segera akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu 

menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah 

seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh 

empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti


Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tak asing 

baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena 

terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini.

"Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Kenapa kau meracuniku?"

"Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar dan perlu 

dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang...

terkutuk!"

"Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau... aku tidak akan sudi melayanimu bicara lagi!"

Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh 

mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena dia mengira bahwa hal itu timbul karena 

kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya.

"Engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu 

tidak ada artinya bagiku. Belum tentu dapat menangkan pedangku ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan...

"Swingggg...!"

Tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu 

amat tipis, terbuat dari pada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu 

menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong.

"Aku tak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan adalah semua kitab-kitab pusaka dan barang-barang 

mustika peninggalan suhu-mu. Engkau turun dari Kiam-kok-san dengan hanya membawa pedang, berarti 

bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kau antar aku ke sana, berikan semua itu 

kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu... hemmm, kalau 

kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"

Keng Hong bukan seorang bodoh sungguh pun kelihatannya dia ketolol-tololan. Dia telah diracun, akan 

tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tak akan dibunuh. Gadis ini 

menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tak akan membunuhnya, melainkan hendak 

memaksanya dengan jalan meracuninya.

Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati 

sekejam itu? Dia merasa sangat penasaran dan perasaan inilah yang mendorongnya hendak menyaksikan 

lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.

"Aku tidak pernah menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun tidak tahu 

rahasianya."

"Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tidak mungkin kau tidak 

mewarisi pusaka-pusaka itu, apa lagi Siang-bhok-kiam telah diberikan kepadamu. Ingat, nyawamu berada di 

tanganku, tahu? Andai kata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. 

Andai kata kau mempergunakan ilmu mukjijatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam 

ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih 

baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."

"Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak 

menginginkan barang milik orang lain? Apa bila engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah 

bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena 

sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu-ku. 

Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."

"Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!" bentak Cui Im dengan suara 

marah dan kecewa sekali.

Mendadak terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!" 

Dan tampak bayangan orang berkelebat.


"Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!" 

berkelebat pula bayangan lain.

Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu. 

Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong.

Yang pertama adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe Toanio. 

Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita itu, Kiu-bwe Toanio dulunya adalah 

seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan 

dan gagah.

Akan tetapi ternyata wanita ini dikecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah membiarkan 

hatinya jatuh cinta dan hubungannya dengan Lu Sian Cu hanya dianggapnya sebagai permainan cinta 

petualangan biasa saja. Sebaliknya, cinta kasih wanita itu amat mendalam sehingga hatinya menjadi hancur 

dan patah pada saat Kiam-ong meninggalkan dirinya.

Ada pun orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap, Pendekar Budiman Bergolok Sakti yang juga 

mengandung dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan pribadi. Isterinya yang sebenarnya adalah 

hasil rampasan dari seorang kepala rampok, isterinya yang cantik jelita dan amat dicintanya, sudah ‘dicuri’

oleh Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan Kiam-ong terjadi 

perhubungan rahasia.

Melihat dua orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, kemudian dia membalikkan 

tubuhnya menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan pedang merah itu di depan 

dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Hemm, Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing diusir oleh tosu-

tosu bau Kun-lun-pai, dan sekarang muncul lagi di depanku dengan niat apakah?"

Keng Hong memandang dengan heran. Semakin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im. Gadis cantik 

jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan kadang kala juga amat halus memikat, 

kemudian terbukti berhati palsu dan keji, kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti 

menghadapi dua orang biasa saja!

Tokoh macam apakah gadis yang aneh ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang locianpwe 

(orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang lebih mengherankan lagi, dua orang tua 

itu pun agaknya tidak menganggapnya sebagai gadis muda.

"Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas kau keluarkan pil pemunah racun. Orang 

muda ini tidak boleh dibunuh," kata Sin-to Gi-hiap.

"Benar sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam telah dirampas oleh Kun-lun-pai, bila pemuda ini dibunuh, 

sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang tidak bersalah apa-apa...," sambung Kiu-bwe 

Toanio.

Tiba-tiba Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng Hong semakin 

terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-

li (Dewi Beracun Berpedang Merah)! Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang 

Tojin menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi masih 

begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap?

"Hi-hi-hi-hi! Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Semenjak muda engkau terkenal sebagai 

pendekar wanita, akan tetapi ternyata engkau pun hanya seorang yang pada lahirnya saja pendekar 

padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung maksud-maksud yang tidak lebih bersih dari pada

maksud hatiku. Kau pura-pura merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kau inginkan 

adalah benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki benda-benda itu tetapi

aku berterus terang, tidak pura-pura seperti engkau!"

"Hemm, Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih mau berlaku 

hormat padamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang aku menghendaki barang-

barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang


harus dia bayar lunas dengan semua benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak 

merampok begitu saja dengan menekan muridnya."

"Hi-hik-hik, nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada Kiam-ong, kau 

sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam pelukannya, menikmati cumbu rayu dan 

belaiannya! Kiam-ong tak sudi menjadi suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh 

menjemukan!"

"Tok-sian-li, biar pun engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu ini harus dibayar dengan 

nyawa!" Kiu-bwe Toanio marah sekali dan dia menggerakkan pecutnya yang berekor sembilan itu di udara 

sehingga terdengar suara ledakan-ledakan.

"Tar-tar-tar...!"

"Huh, pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!" Cui Im mengejek dan 

tiba-tiba tangan kirinya bergerak.

Sinar-sinar merah yang kecil-kecil lantas menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan laksana kilat 

menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang sangat dahsyat dan berbahaya, sekali sambit,

secara beruntun ada dua puluh satu buah jarum halus yang menyambar lawan.

Setiap batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya lebih dari cukup untuk 

merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan mengarah jalan-jalan darah yang 

penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya!

"Perempuan keji!" Kiu-bwe Toanio memaki.

Akan tetapi dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan memutar 

cambuk itu cepat-cepat maka ia baru dapat menghindarkan jarum-jarum yang tak berani ia anggap ringan 

itu.

"Nenek tua mampuslah!"

Cui Im sudah melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi cahaya merah yang bergulung-gulung 

pada saat ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan dari pada jarum-jarumnya. Gadis ini selain 

pandai dalam melepas jarum, ternyata juga amat cerdik.

Dia maklum bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat secara mudah dirobohkan dengan jarum-jarumnya, 

maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan kini selagi lawannya memutar cambuk 

menghindarkan diri dari pada ancaman jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang 

gerakannya amat cepat dan kuat.

Keng Hong yang melihat gerakan gadis ini diam-diam merasa kagum dan terkejut sekali. Dilihat dari 

gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan agaknya tidak berada di sebelah 

bawah tingkat sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu suhu-nya.

"Tar-tar-tar... wuuuuutttttt... trang-tranggg...!"

Sembilan ekor ujung cambuk yang dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah telah menjadi sembilan 

ekor ular yang bergerak hidup, sebagian menangkis pedang lawan dan sebagian lagi membalas dengan 

totokan-totokan kilat yang disusul oleh gerakan mengait!

Betapa pun hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi oleh sembilan ujung cambuk yang 

menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali. Pedangnya diputar sambil ia mengeluarkan pekik 

nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang 

berputar-putaran di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke 

belakang didahului oleh Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan serangan enam buah 

kaitan.

Ia turun dan melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa lihai 

nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain pihak, nenek itu mengeluarkan suara


gerengan marah karena tiga buah kaitan berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang 

amat lihai di tangan Cui Im.

Pada saat itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng Hong dan 

berkata, "Orang muda, kau harus ikut denganku sebagai wakil suhu-mu!"

Dengan golok telanjang di tangan kanannya, kakek itu menyambar Keng Hong dengan tangan kirinya, 

hendak mencengkeram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat mengelak, sinar merah berkelebat 

dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya sebab kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat oleh 

pedang yang dibacokkan Cu Im.

"Kakek tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!"

Sin-to Gi-hiap menghela napas panjang. "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami orang tua mengalah. 

Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya, 

dan kalau kita bertiga membagi rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe 

Toanio juga tidak keberatan."

Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Dia maklum bahwa ilmu pedang gadis itu amat lihai, apa 

lagi kalau dia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan 

kawan. Maka ia mengangguk dan menggumam, "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua, 

aku pun bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka."

Cu Im melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan tangan kanannya 

yang menyembunyikan pedang di balik lengan.

"Uhh, kalian hanya mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu Kiam-ong ini? Aku! 

Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan 

seorang tawanan! Setelah aku berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian! 

Benar-benar tak tahu malu!"

Tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangan kiri, membanting sesuatu di hadapan dua orang lawan itu dan 

terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang tua itu adalah orang-orang sakti yang 

sudah berpengalaman. Cepat mereka melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap 

hitam yang timbul dari ledakan itu.

Dan memang tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan sampai 

menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh asap hitam yang amat beracun 

itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak 

kelihatan lagi bayangannya.

"Kurang ajar! Mari kita kejar!" Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan pecutnya yang tinggal 

berekor enam itu.

"Tar-tar-tarrr…!"

Dua orang tokoh lihai ini segera melesat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena mereka berdua 

tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar secara ngawur dan ternyata mereka menuju 

ke jurusan yang berlawanan. Apa bila Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka 

malah mengejar ke barat…..

********************

"Keng Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata Cui Im sambil melempar tubuh Keng Hong di atas 

rumput hijau dalam sebuah hutan.

Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu menyalakan api 

dan membuat api unggun sehingga selain hangat dan tak terganggu oleh nyamuk, tempat itu juga menjadi 

agak terang. Kemudian gadis cantik itu duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon.

"Keng Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini saja. Jika kau tidak kuberi obat penawar, 

besok pagi engkau mampus."


Keng Hong menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia menjadi geli. 

"Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan seperti sekarang ini!"

"Eh, ehh, ehh! kau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap kenikmatan hidup, 

mengapa ingin mati?"

"Ingin mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa berbuat apakah?"

"Engkau tidak ngeri? Tidak takut mati?"

"Mengapa takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?"

Gadis itu mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum.

"Hemmm, alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang pernah 

mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana bila sudah mati? Apakah menakutkan? Kalau 

belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, 

seperti juga dahulu aku tidak takut lahir karena ketika itu pun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut 

hidup!"

"Wah, engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!"

"Engkau lebih aneh lagi. Pada waktu berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu menjadi tawanan, 

berpura-pura seperti orang yang tidak mempunyai kepandaian, padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe 

Toanio, engkau lihai sekali."

Cui Im tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun. "Kalau tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai itu 

mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak akan mudah untuk melepaskan aku pergi, biar pun

engkau yang memintanya."

"Engkau siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang bagus 

sekaligus juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari) memang bagus, akan tetapi 

terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan buktinya engkau memang tukang meracuni orang! 

Mengapa seorang gadis muda jelita semacam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti."

Cui Im tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra.

"Kau bilang aku jelita? Benarkah?"

"Kalau aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang jelita, Cui Im."

Gadis itu semakin girang hatinya. "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku, aku menjadi tak tega 

membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis akan kehilangan hatinya kelak kalau 

berhadapan denganmu."

Jantung Keng Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan cantik, 

belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan mengalihkan percakapan.

"Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap merupakan dua orang locianpwe yang berilmu tinggi, akan tetapi 

terhadapmu seperti orang jeri, dan selalu menyebut-nyebut gurumu. Siapa sih gurumu yang agaknya amat 

mereka takuti itu, Cui Im?"

"Guruku ialah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong saja yang bisa

menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku menjadi jago nomor satu di dunia! Dia

adalah orang pertama dari keempat Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah 

selatan dan berjuluk Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Tapi... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ke

tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhu-mu, kita mempelajari bersama dan... kita berdua akan 

menjadi sepasang jago nomor satu di dunia. Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah, 

kekasih...!" Cui Im merangkul leher Keng Hong.


Tercium keharuman yang sangat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong menjadi 

makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya.

"Bagaimana, Keng Hong? Engkau kuberi obat pemunah, ya? Kemudian... kemudian kita bersenang-senang 

malam ini dan besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san dan mengambil semua pusaka 

peninggalan suhu-mu... ya?"

Keng Hong sudah memejamkan mata dan sudah pula mengumpulkan seluruh panca indra untuk menekan 

batinnya yang bagaikan air tenang yang mulai diguncang oleh nafsu. Dia menggelengkan kepala dan 

berbisik, "Aku tidak tahu di mana tempatnya itu."

Cui Im melepaskan rangkulannya dan seketika lenyap pula kemesraannya. Ia mendengus kemudian 

menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka matanya dan memandang 

punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari tangannya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali 

menarik napas panjang dan nampak jengkel sekali.

Keng Hong terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan jahat, 

mengejar kepandaian secara membuta. Dia merasa sayang sekali. Kalau dia terbayang akan belaian dan 

bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan diperbuat gurunya, andai kata Sin-jiu Kiam-ong yang 

menjadi dia? Dia tidak takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu 

Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit demi sedikit!

"Kaki tangan seorang lawan dapat kau hadapi dengan kaki tangan pula, muridku," begitu gurunya memberi 

keterangan, "akan tetapi lawan yang licik suka mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau 

minuman. Banyak terdapat racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa. 

Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi biasa dan dapat 

mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga, dengan cara sedikit demi sedikit, 

semakin lama makin bertambah takarannya, dengan memasukan racun-racun itu ke perut, engkau akan 

menjadi kebal terhadap segala macam racun."

Demikianlah, ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan tetapi dengan 

mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum terus sampai habis. Dengan sinkang yang

disalurkan ke perutnya, dia tadi telah mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia 

dipanggul Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini perutnya bersih dari 

pada racun.

Kembali Keng Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya hingga wajah yang cantik 

itu tampak dari samping. Wajah yang disinari dengan api merah, sedikit tertutup juntaian rambut hitam, 

benar-benar sangat mempesonakan.

Ketika tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya yang penuh harap, 

Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk, maka sekarang dia mengambil 

ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak mau lagi mempedulikan gadis itu.

"Keng Hong...!"

Pemuda itu membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya.

"Enak saja kau tidur!"

"Habis mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?"

Gadis itu makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, tapi masih enak-enak 

saja. Meski pun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw macam mereka yang disebut 

locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan akan berdaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan 

nyawanya. Akan tetapi pemuda ini enak-enak saja tidur.

Selain heran dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah mencari seorang

pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya?


Memang dia tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja akan 

membuyarkan cita-citanya untuk mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong, juga gurunya pasti akan 

menjadi marah sekali padanya. Apa yang ia harus lakukan untuk dapat membujuk pemuda ini?

"Keng Hong, apakah kau tidak merasa sakit?"

Keng Hong menggeleng kepala.

"Perutmu tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja."

Kembali pemuda itu hanya menggeleng.

"Kau memang orang yang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini saja, biarlah kuhadiahi engkau dengan 

arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang yang kuberi arak ini, kalau bukan orang yang kusenangi."

"Hemm…, engkau senang kepadaku?"

Cui Im memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali. "Ahhh, betapa bodohnya 

engkau Keng Hong. Tentu aku senang kepadamu, aku cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak 

ingin melihat engkau mati besok."

"Engkau ingin memaksa aku mencari pusaka suhu, bukan tidak ingin melihat aku mati."

"Betul juga, akan tetapi aku cinta padamu. Kau seorang pemuda yang jantan, tabah dan luar biasa. Mari, 

kuhadiahi engkau arak wangi."

Cui Im mengeluarkan sebuah guci arak kecil dari balik bajunya, membuka tutupnya dan terciumlah bau 

yang sangat wangi, seperti puluhan macam bunga wangi dikumpulkan di dalam guci arak itu. Keng Hong

tidak banyak cakap lagi, namun dia haus dan bau arak itu amat sedap. Ia menerima guci itu dan 

menodongkan ke mulutnya.

"Racun atau obat penawar?" tanyanya sebelum minum.

Cui Im makin kagum. Di dunia ini tak mungkin menjumpai orang seperti pemuda ini, yang sedemikian

tenang dan dinginnya menghadapi ancaman racun, padahal pemuda itu telah mengenal namanya sebagai 

Tok-sianli (Dewi Beracun)! Hebat bukan main!

"Kalau arak ini beracun, bagaimana?" Ia bertanya, memancing.

"Racun pun boleh, asal enak diminum. Aku sudah diracuni, bila ditambah lagi sedikit atau banyak apa 

bedanya?" Jawab Keng Hong lalu meminum arak itu dari guci.

Lidahnya segera dapat merasa bahwa di dalam arak ada racunnya, akan tetapi racun ini berbeda dengan 

racun tadi. Racun yang berada di dalam arak ini racun yang amat halus, bahkan bukan racun cair karena 

begitu diminum, racun itu menjadi segumpal hawa yang harum.

Dia tidak tahu racun apa ini, akan tetapi dia mengerahkan sinkang-nya menerima racun itu dan membiarkan 

gumpalan hawa wangi itu berkumpul di dalam dadanya. Setelah guci kecil itu kosong, baru dia 

mengembalikannya kepada Cui Im, kemudian mengusap mulut dengan ujung lengan bajunya.

Cui Im memandang dengan mata terbelalak, kemudian tersenyum-senyum ketika melihat pemuda itu 

menyandarkan diri di batang pohon dan meramkan mata seperti orang sangat mengantuk. Dia percaya 

penuh akan kemanjuran racun araknya dan mengharapkan hasil sekali ini.

Arak yang dicampur racun itu amatlah kuatnya dan merupakan arak buatan gurunya yang ampuh sekali. 

Bukan racun untuk membunuh, melainkan racun untuk pembangkit birahi, racun perangsang yang dibuat 

dari beberapa macam lalat dan semut kemudian dicampur sari bunga-bunga wangi.

Dengan cara pembuatan yang sederhana, penduduk di kepulauan selatan menggunakan sebagian kecil 

saja untuk meracuni kuda yang hendak dikawinkan. Tanpa racun ini, sukar sekali untuk mengawinkan kuda 

betina. Kini, yang diminumkan oleh Cui Im kepada Keng Hong merupakan inti sarinya, kerasnya bukan main 

dan kiranya cukup untuk pembangkit nafsu birahi dua puluh ekor kuda! Mantap…!


Keng Hong yang meramkan mata itu sebenarnya tidak tidur. Dia mendengarkan semua gerak-gerik Cui Im

yang menurut pendengarannya seperti orang gelisah. Akan tetapi dia tidak peduli dan meramkan mata, 

mengheningkan cipta dan mengerahkan sinkang untuk menahan gumpalan hawa beracun yang aneh itu.

Ia tahu bahwa racun ini amat berbahaya, biar pun dia tidak tahu bagaimana bahayanya. Tubuhnya menjadi 

panas, padahal racun itu masih tertahan olehnya. Ia menanti saat baik untuk menghembuskan keluar racun 

itu di luar tahu Cui Im, karena dia pun hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya.

Akan tetapi, apa yang akan dihadapinya sungguh di luar dugaannya sama sekali. Lewat tengah malam, 

Keng Hong yang mengantuk itu tiba-tiba saja mendengar panggilan yang mesra dan halus, dibisikkan dekat 

telinganya.

"Keng Hong..., ahhh, Keng Hong...!"

Dia membuka matanya. Api unggun masih menyala dan di antara sinar merah api itu, dia melihat Cui Im

merangkul dan membelainya, lengan yang telanjang membelit lehernya seperti ular, dada yang tidak ditutupi 

apa-apa membusung dan menekan dadanya sendiri. Gadis itu memeluk dan membelainya dalam keadaan 

telanjang bulat.

Keng Hong membelalakkan matanya, mulutnya ternganga dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya 

ketika pada saat itu Cui Im mencium mulutnya yang sedang ternganga itu sehingga mulut mereka bertemu 

seperti guci arak dengan sumbatnya.

Karena kaget, Keng Hong mengeluarkan suara dari dadanya, "Ahhh…!"

Dan... segumpal hawa racun wangi yang telah dia kumpulkan dan tahan dengan kekuatan sinkang kini 

sudah terhembus keluar, memasuki mulut Cui Im yang terbuka dan langsung ke dalam dada gadis itu.

"Aiiihhhh...!" Cui Im menjerit dan terjengkang ke belakang. Ia terbatuk-batuk, memegangi leher yang serasa 

tercekik, tubuhnya mengeliat-geliat seperti seekor ular terkena api.

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak, setengah kasihan, setengah geli bahwa tanpa disengaja 

racun itu meracuni Cui Im sendiri, juga setengah kagum menyaksikan betapa tubuh yang indah itu 

mengeliat-geliat seperti itu.

Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keindahan tubuh seperti tubuh Cui 

Im. Dalam mimpi pun tidak pernah. Kini barulah dia mengerti mengapa mendiang Sin-jiu Kiam-ong, suhu-

nya itu, dikatakan mata keranjang dan tukang memikat wanita.

Kiranya tubuh indah serta wajah cantik seperti yang dimiliki Cui Im inilah yang membuat suhu-nya menjadi 

seperti itu. Hati pria mana takkan tertarik? Bukankah keindahan wanita memang khusus diciptakan untuk 

menarik hati pria? Kerbau, kuda, burung dan segala macam binatang tentu akan tertarik dengan keindahan 

wajah dan tubuh seorang wanita!

"Tamasya alam yang indah memang minta kita pandang dan kagumi. Kembang-kembang cantik wangi 

memang minta kita pandang dan ciumi. Wanita-wanita cantik jelita memang minta kita cinta dengan kasih 

mesra. Engkau bahagia dalam hidupmu kalau tidak terjerat cinta kasih yang mendalam, muridku. Sekali 

terjerat, engkau akan menikah, dan sekali engkau menikah, berarti engkau memberikan kaki tanganmu 

untuk diikat selama-lamanya dengan kewajiban-kewajiban! Karena itu jauhkan dirimu dari pada ikatan cinta 

kasih yang mendalam, walau pun engkau telah berhubungan dengan banyak wanita. Kalau memang 

engkau suka, jangan menolak cinta wanita, hanya jangan berikan hatimu, jangan berikan cinta kasihmu,

cukup kau berikan tubuhmu." Demikianlah pernah dia mendengar nasehat gurunya yang terkenal sebagai 

seorang pemikat wanita!

Tadinya wejangan seperti itu hanya lewat saja di hatinya sebab belum terpikirkan olehnya bahwa dia akan 

menghadapi hal-hal seperti itu, tidak terpikirkan olehnya bahwa dia akan bertemu dengan wanita-wanita 

hingga timbul persoalan cinta kasih. Akan tetapi sekarang, baru saja dia turun dari Kiam-kok-san, dia telah 

bertemu dengan hal yang dikatakan oleh suhu-nya itu!

Kini Cui Im sudah tidak menggeliat-geliat lagi laksana cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah 

dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang


terurai itu sebagian menutupi wajahnya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak 

terbuka lebih merah lagi, matanya menatap penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan 

liangnya terlalu sempit untuk jalan keluar pernapasan.

"Keng Hong... Ah-ahhh... Keng Hong..."

Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk 

pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian 

tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong.

Keng Hong menjadi geli hatinya dan di luar kesadarannya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui 

Im. Dia teringat akan gurunya, teringat akan nasehat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang 

terdapat di dalam sudut hati setiap orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal.

Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang 

melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk oleh nafsu birahi yang dirangsang oleh hawa 

racunnya sendiri.

Cui Im sama sekali tak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri menjadi 

korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka 

itu pun timbul pula daya sedot mukjijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im

terkulai bagaikan orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput.

Ada pun Keng Hong yang telah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja duduk nongkrong di 

bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, serta 

pandang matanya berbeda dari kemarin karena kini pandang matanya menjadi ‘masak’. Mulai lewat tengah 

malam tadi Keng Hong telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar 

seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-

ong!

"Keng Hong...!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, dan keluar dari mulut 

Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa 

dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang.

Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian secara tiba-tiba dia 

meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih 

enak-enak membesarkan api unggun.

"Keng Hong! Kau... kau... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu...! Ahh, sudah pagi... celaka, terlambat 

sudah... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku...!" Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher 

Keng Hong.

"Kau ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh.

"Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah 

tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"

Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia kini tidak tertarik 

oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia 

akan keterangan suhu-nya mengenai perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu.

Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, juga tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan 

ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua pihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang 

timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya setebal kulit sehingga cinta 

nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.

"Aku tidak akan mati."

"Apa? Dan racun itu...? Racun ganas sekali!"

"Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."


Gadis itu terbelalak dan hatinya tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah 

lenyap cinta kasihnya padanya. Padahal baru saja, selama setengah malam penuh, mereka bercinta kasih 

tak mengenal batas.

Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya. 

Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus dia akui pula bahwa belum pernah selamanya 

ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Dia segera menghampiri dan merangkul pundak 

Keng Hong.

"Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita sudah... sudah menjadi suami isteri yang tidak sah! 

Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Ahh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati 

bersama, bukan? Mari kita pergi untuk mencari peninggalan suhu-mu yang sakti..."

"Tidak! Kau pergilah, Cui Im. Agaknya sudah cukup aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu. 

Aku tidak menyesal karena terus terang saja, aku senang kepadamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat 

membujuk atau memaksa aku agar mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga 

aku tidak mau. Pergilah!"

"Ihhh...! Keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah. 

"Heeeee...? Ke... kenapa...?"

Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah 

kehilangan tenaga sinkang-nya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetapi kemarahannya 

membuat dia melupakan keadaan yang aneh ini dan dia telah bangkit berdiri, lalu memaki.

"Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Sesudah menikmati tubuhku, kau lantas mengusir aku pergi 

begitu saja!"

"Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"

"Jahanam!" Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.

"Bukkk! Aiiihhh...!"

Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke 

belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak. 

Dalam pukulannya tadi dia merasa betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung 

pemuda itu bagaikan dilindungi hawa yang amat kuat.

"Aku... aku… kenapa...?" Kembali Cui Im berseru heran, hatinya penuh kengerian. "Keng Hong... kau

apakan aku...?"

Keng Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh untuk menghadapi gadis itu. "Cui Im, kau tahu aku tidak 

melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, justru engkaulah yang selalu menggangguku."

"Aku... tenaga sinkang-ku... kosong dan kering... tenagaku amat lemah..."

Keng Hong juga tidak mengerti kenapa, dan dia tak peduli sebab merasa bukan dia yang menyebabkan 

gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dulu saat di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia 

sudah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar 

sinkang di tubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya.

Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang 

yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. 

Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong

tak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Sekarang dia hanya 

merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah.

Sementara itu, Cui Im juga telah menekan keguncangan hatinya. Ia coba menghilangkan kebingungannya 

dengan menganggap bahwa sebagian besar sinkang-nya lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu 

racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika dia mencium mulut


Keng Hong semalam. Ia kini menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan 

hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.

"Keng Hong, sungguh pun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim 

nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"

Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu ia menghela napas panjang. "Sayang 

sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, akan tetapi semua itu tak ada 

artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkang-mu sudah sangat lemah, kalau aku mempergunakan 

tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan mempergunakan tenaga,

dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah 

menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."

Cui Im membuat gerakan menusukkan pedangnya. Akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng 

Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu 

hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im.

Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebatang ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api 

unggun malam tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu 

Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang 

Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik dari pada

dia menggunakan pedang logam karena sifat kayu ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu 

Harum.

"Nah, marilah kita berlatih ilmu pedang," katanya.

Ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah 

melingkari lehernya sendiri terus turun dan ditudingkan ke atas tanah. Ini adalah kuda-kuda atau gerakan 

pembukaan Siang-bhok Kiam-sut. Dengan dua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti 

gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan ulu hati dalam keadaan miring 

seperti orang menyembah dengan satu tangan.

Cui Im maklum akan kelihaian pemuda ini dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia 

sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang 

tosu Kun-lun-pai yang lain, maka dia merasa ngeri dan jeri untuk beradu kekuatan sinkang.

Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat. Karena itu dia 

pikir bahwa kalau bermain pedang, apa lagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Dia 

sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun 

semua itu tidak berhasil menundukkan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!

Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras kemudian menerjang maju dengan dahsyat sekali, mengirim 

jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah sangat tinggi, apa 

lagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomor satu dari si empat 

besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang luar biasa cepatnya, sungguh pun sekarang tidak dapat 

digunakan karena sinkang-nya sebagian besar telah ‘pindah’ ke tubuh Keng Hong, dia juga mempunyai ilmu 

pedang yang amat ganas.

Keng Hong bersikap hati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini dalam bermain pedang 

ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka sekarang ia cepat menggerakkan rantingnya, digetarkan ujungnya 

lantas menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.

"Ayaaaa...!" Cui Im terkejut sekali.

Begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang bergetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu 

terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja dia terpaksa 

melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah 

mundur.

Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, dia hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis 

itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin di dalam hal ilmu silat dia kalah


pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut merupakan ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan 

sinkang dia menang jauh. Asal dia bisa menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.

"Kau... kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya kembali menerjang maju mengirim tusukan 

dan bacokan bertubi-tubi.

Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, perubahannya juga sangat sukar diduga sehingga pandang mata 

Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan 

membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya.

Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar-mutar ranting itu melindungi 

tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi 

puluhan banyaknya saking cepat dan tak terduga-duga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental 

kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.

Akan tetapi, meski pun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong juga sama sekali tidak ada kesempatan 

untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih 

amat kaku dan pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-

sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus 

saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!

Makin lama Cui Im makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan 

dengan nekat dia memutar pedang lebih cepat lagi. Namun, makin cepat dia menggerakkan pedang, juga 

makin banyak dia menambah tenaga, dan dia semakin lelah pula sehingga setiap kali terbentur ranting 

pedangnya segera membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri.

Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, lalu mencabut keluar sehelai 

sapu tangan merah dan menggunakan sapu tangan itu sebagai penyeling serangan pedangnya, 

mengebutkannya ke arah Keng Hong.

Keng Hong maklum akan bahayanya sapu tangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa 

racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia 

setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat 

berbahaya.

Melihat berkelebatnya sapu tangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan 

menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada sapu tangan itu. Ia berhasil merobek sapu tangan

dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan sapu tangan itu hanya pancingan 

belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadinya

disembunyikan di balik sapu tangan.

Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali 

dan melompat, namun terlambat. Dia telah menghisap asap hitam yang berbau amis, kepalanya pening, 

pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im

menyambar dan menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Tranggg...!" Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im.

Akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut 

kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin 

banyak asap hitam tersedot olehnya!

Cui Im menjadi girang sekali. Dia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, 

disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.

"Singgggg... tranggg...!"

Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, 

hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke 

atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.


"Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak engkau lakukan itu?" Terdengar teguran halus dan 

ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian 

sutera putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutera putih panjang yang tadi 

dipergunakan secara luar biasa sekali untuk merampas pedang di tangan Cui Im.

"Sumoi (adik perempuan seperguruan)...! Engkau...??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jeri.

Memang aneh kelihatannya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik 

seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.

"Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!" kata pula gadis baju putih itu.

Sekali menggerakkan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur 

ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakkan 

sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong laksana seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang 

masih pening dan mabuk itu, lantas sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu!

Cui Im memandang dengan muka berubah merah karena penasaran ketika sumoi-nya mengeluarkan 

segulung sutera hitam, kemudian mengikat dua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah 

terlentang kebingungan. Setelah mengikat dua tangan pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu 

memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.

"Sumoi mengapa kau tawan dia? Dia itu... punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas 

dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun dia tetap tidak berani 

mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoi-nya ini.

"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.

"Karena dia adalah punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya 

karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang 

menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat 

semalam tadi dan saat ini, sungguh mengecewakan sekali. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu birahi dan 

nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat, mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku 

menangkapnya dan membawanya kepada ibu."

"Aahhhhh...!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik dengan peninggalan 

Sin-jiu Kiam-ong... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri..."

"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."

"Tapi subo (ibu guru)..."

"Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak sehingga suci-nya terdiam.

Kemudian gadis baju putih itu menggerakkan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking 

yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali 

menuju ke tempat itu.

Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri oleh seorang wanita 

muda yang cantik, ada pun di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-

cantik dan bersikap garang. Empat wanita yang datang ini semuanya memakai pakaian kuning dan di 

punggung mereka tampak gagang pedang.

"Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi 

perintah kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda.

Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, 

didudukkan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri 

dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan 

dada dan kepalanya.


"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki 

sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. 

Berangkatlah!"

Empat orang itu mengangguk. Wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara 

mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh 

kekecewaan, akan tetapi tanpa banyak membantah dia lalu pindah duduk ke depan dan menjadi kusir. Ada 

pun gadis baju putih itu kini duduk berhadapan dengan Keng Hong.

Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang segera membedal sambil mengeluarkan suara 

meringkik keras. Roda-roda kereta menderu-deru di atas jalan yang berbatu, dan guncangan-guncangan ini 

membuat Keng Hong cepat sadar kembali.

Sejak tadi Keng Hong tidak pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih 

dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi dan dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh 

gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu 

lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im.

Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada Cui Im sendiri 

dan amat ditaati oleh suci-nya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman 

pendengarannya saja karena tadi matanya masih berkunang dan kabur pandangannya.

Sekarang, sesudah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu yang membuat 

pandangan matanya terang kembali, dia lalu membuka mata memandang nona yang duduk anteng di 

depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah kedua mata itu.

Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, 

dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening bagai air telaga, tajam melebihi pedang 

pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu jelas tersembunyi sifat dingin yang sangat menyeramkan!

Mata itu agaknya bisa menangkap kesadarannya akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, 

kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seakan-akan dapat menembus segala yang berada di 

depannya.

Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih 

muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat 

cantik jelita.

Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu.

Rambutnya hitam sekali dan sangat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua 

pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya kelihatan sedikit dan terhias dua buah anting-anting 

bermata merah. Alis itu sangat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tak ada bekas-bekas 

goresan pensil dan agaknya alis ini beserta bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah 

keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit oleh

sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum.

Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada 

sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya laksana

gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya 

sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.

Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang lebih ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-

benar membuat dia terpesona. Gadis ini sangat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk 

tubuhnya... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguh pun pakaian sutera putih itu membungkusnya. 

Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya 

dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka 

terdapat di dalam dunia!

"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"


Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! 

Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya apa bila dia menerima tamparan keras.

"Ehhh... ohhh... aku..." Dia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun 

tajam menembus dada.

"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah 

seorang wanita murahan seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke 

arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.

Keng Hong menghela napas panjang dan tidak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu 

itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-

gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, 

terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.

"Jangan mencoba-coba untuk mematahkan belenggu," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain 

kau tak akan berhasil, juga aku akan menyeretmu di belakang kereta kalau kau banyak tingkah."

Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak dari pada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap 

wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang laksana air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia 

dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada.

Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini sudah menyelamatkan 

nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak 

mengenal budi.

"Nona..." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak 

memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya.

Keng Hong bergidik. Gadis ini bagaikan arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi 

melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi 

bicara, kilatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah 

gadis itu kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!

"Nona...!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan 

bergerak melirik pun tidak.

"Bledak... dak... dorrr...!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar 

sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.

"Heiiiii... ehhh...!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali.

Akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya 

itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja!

Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu 

sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.

"Nona...!"

Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir, maka mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu 

itu ke depan hidung kecil mancung itu. Dia hendak memastikan apakah napas nona itu masih ada. Dan 

tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak 

menyentuh urat nadi lengan nona itu.

"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang 

keretakah?"

Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.

"Walah...! Kau bikin kaget aku saja, Nona. Hampir saja aku mati karena kaget! Kusangka kau... kau tidak 

bernapas lagi..."


"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi Hoan-

hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"

"Ohhh...!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena semakin lama dia merasa 

semakin kagum dan heran.

Dia pernah mendengar dari suhu-nya akan ilmu Pi-khi Hoan-hiat ini, semacam ilmu untuk selalu 

mengadakan pengendalian terhadap jalan darah dan berhubungan dengan tenaga sinkang. Akan tetapi ilmu 

yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah 

melatih ilmu itu di dalam kereta yang berguncang-guncang!

Meski pun semenjak tadi hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh, akan tetapi suara ini jelas membayangkan 

kekaguman. Hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, 

tentu saja amat senang hatinya mendapat pujian.

"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"

"Nona, aku Cia Keng Hong bukanlah orang yang tak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa 

kepadamu..."

"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"

"Ehh, aku... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im..."

"Hmm, hubunganmu dengan suci sudah begitu jauh ya sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang 

pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!

"Kumaksudkan... nona Bhe Cui Im... aku sudah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun 

selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Tetapi, sesudah menyelamatkan nyawaku yang tak 

berharga ini, mengapa Nona malah menawan aku?"

"Heii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki yang pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti 

dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hik-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara 

mengejek.

Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat 

dirobohkan rayuan orang? Aku tidak seperti engkau yang begitu mudah dapat dipikat oleh rayuan bocah ini,

Suci!"

"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam 

pelukan dan belaiannya, nanti..."

"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.

Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga 

jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat 

mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam tidak bergerak seperti nona di depannya.

Mulailah nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan tetapi

pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

"Nona, jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu, Nona, 

melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini malah menawanku."

"Ibuku yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku sudi 

menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu, biar suci mau membunuh seribu orang macam 

engkau, aku tidak akan peduli."


Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi 

seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"

"Lam-hai Sin-ni!"

"Ohhhh...!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini merupakan murid 

ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biar pun disebut 

sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani 

oleh suci-nya itu.

"Kau sudah mengenal nama ibuku?"

"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"

"Hemm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."

"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu."

"Hemm..., sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."

"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu 

membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"

"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"

"Suci, berhenti dulu!"

Kereta berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat 

ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih 

berdiri ketika dia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki 

Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!

"Jalan terus, Suci!"

"Hi-hi-hik-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah..., engkau sama 

sekali belum berpengalaman."

"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-

kekeh.

Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua 

tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung sabuk lainnya oleh gadis itu 

diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari 

kereta.

Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Apa bila

tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di 

tubuhnya melindungi kulitnya, akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja 

habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.

Diam-diam Keng Hong mengutuk, "Wah, gadis setan! Dua orang gadis itu benar-benar seperti iblis-iblis 

betina, sungguh pun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, 

sebaliknya sumoi-nya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya mempunyai kekejaman yang sama. 

Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."

Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat keadaan di kanan 

kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. 

Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap 

menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan


menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi

penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?

Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni dua orang 

laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, 

memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang 

dengan alis berkerut marah.

"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"

"Hemm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok 

Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang 

muka suhu kami, harap kau suka mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang 

sebelah kiri.

Setelah kini berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. 

Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia tertawa mengejek.

"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun gurumu sendiri 

yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"

"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik,

akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang 

unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"

Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan 

menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan tenaga sinkang yang 

sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang 

yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk 

Bu-tek Su-kwi!

Kalau dalam keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan 

mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan 

sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.

Keng Hong yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa 

Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang menggunakan julukan

Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam 

beberapa gebrakan saja ia akan roboh.

Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu melakukan 

serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga 

sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai 

sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.

"Sumoi, tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.

Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat segulung cahaya 

putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.

Mereka cepat menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat ke 

belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan mengeluarkan darah. Yang 

melukai mereka ialah dua butir bola putih yang permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan 

pada saat dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan 

melukai lengan mereka.

Pada waktu dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut 

dan cepat menjura ke arah kereta.


"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas kelancangan kami!" 

Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.

"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" 

Cui Im berteriak-teriak menantang.

"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah dikenal oleh Keng Hong berkata 

halus.

Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri telentang lagi, 

diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik 

Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, 

sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!

"Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan muncul pula."

"Untung kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku kehilangan sebagian besar 

sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"

"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.

"Benar, tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. 

Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot habis... uhhh..."

"Suci, diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"

Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun 

tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, 

di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.

Akan tetapi pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan 

Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.

Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia 

mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.

Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan 

menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah nampak 

genteng-genteng rumah yang kemerahan.

Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang 

mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua padanya, membuat rambut dan alisnya 

menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu 

yang tebal ini.

Tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang 

menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.

"Jalan terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.

Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam 

cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak 

pinggang, tangan kanannya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa

bergerak, hanya matanya saja yang menatap tajam ke depan.

Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang ke dua ke arah 

Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, walau pun warnanya juga hitam seperti 

tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.

Cui Im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap mencurahkan 

seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkannya dengan cepat. Dia


sudah percaya penuh akan penjagaan sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara

cambuk meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.

Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakkan

cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan... terdengar jerit-jerit mengerikan 

yang lantas disusul dengan terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. 

Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing 

dan secara kontan keras telah membalas mereka!

Tiba-tiba terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang 

sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara 

berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di 

hutan ini!"

"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.

Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta 

itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam 

gerombolan-gerombolan semak.

Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih 

tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring 

dan bergema lebih dahsyat dari pada suara banyak orang tadi.

"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-

sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu tawanan!"

Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu 

siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi 

yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan 

tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh 

hitam yang amat lihai.

Namun, baik tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki 

Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah keinginan hatinya untuk mencari serta

mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, 

sudah barang tentu pusaka itu amat berharga dan penting.

Sesudah mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi ragu-ragu dan 

mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. 

Di tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!

Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang berkulit hitam 

arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. 

Senjata kakek itu pun berupa seutas rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya 

bedanya, rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.

"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. 

Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona 

Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, 

mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."

"Hi-hi-hik-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan,

tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan 

kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya 

dari tangan guruku!"

"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan 

mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil 

menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.


"Hemm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal 

tawanan penting!"

"Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.

Tenaga sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak selemah tadi 

karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia 

masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada 

pun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.

Empat orang tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan 

terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar sekali dan dari mulut 

tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!

Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta 

dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan lawan yang tiga 

orang diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.

Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga 

dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika dibandingkan dengan Thian-te 

Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan 

Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar 

mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.

Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi menghadapi 

ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun 

nomor satu di dunia ini!

Baik Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna kuning yang amat 

harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, 

kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap 

beracun.

Biar pun tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li 

memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang merah, dan kecerdikannya serta 

kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan 

diborong sumoi-nya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup

mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas

bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.

Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak 

turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Sekarang mengikuti 

pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi 

ilmunya, matanya menjadi kabur.

Gulungan sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang 

makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada 

pun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar 

hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali. Sinar hitam ini 

dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis 

muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia kang-ouw itu.

Mendadak Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya pada saat

dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan orang dan jelas sekali mereka berniat 

untuk menangkapnya.

Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap mengancam,

seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya 

apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua 

orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih 

mengerikan pula.


Kenapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah 

pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, 

karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.

Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong

menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling 

gasak itu.

Keng Hong mengerahkan sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang 

dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutera hitam yang 

mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih 

tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti 

tarikan dua buah belalai gajah.

Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas 

tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Dia cepat membungkuk dan melepaskan 

tali sutera putih yang mengikat kakinya. Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk 

sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali 

kakinya.

Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada 

yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng 

Hong tidak peduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat 

di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li 

yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.

"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"

Dia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang mengeluarkan 

suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan 

sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.

Tampak sinar putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih perak dan 

dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, 

rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!

Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dilayani oleh gadis 

baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih 

tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.

Keng Hong masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan sambil 

berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau 

kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut.

Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang 

tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. 

Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi menempel di tubuhnya, mencelat ke empat 

penjuru sampai lima enam meter jauhnya lalu menimpa teman-teman sendiri!

"Tangkap...!"

"Jangan sampai dia lari!"

Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil mengepung. 

Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan 

pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang 

terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.

Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka 

itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki 

dan tangannya, menendang dan memukul.


Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki 

tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-

kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong 

menjadi kacau permainannya.

Apa lagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka tiga orang 

tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im

berhasil melukai pundak kiri lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya

yang amat lihai itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya 

terluka dan berdarah.

Melihat empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng 

Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita 

melanjutkan perjalanan!"

Keng Hong berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan 

perjalananku sendiri, Nona."

"Kau... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya dingin, dan sabuknya siap 

di tangan.

"Hati-hati, Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak 

mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan meninggalkan tempat itu 

karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.

"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru 

mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat 

mempertahankan engkau lagi!" berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan 

merupakan bujukan, melainkan peringatan.

Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi 

pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan. Dia menggeleng kepala dan 

memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.

"Tidak, aku ingin bebas!"

"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap 

dengan pedang merahnya.

"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku 

telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan aku? Beginikah kegagahan murid Sin-

jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak 

mengenal budi."

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa 

nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas 

pertolonganmu. Sesudah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!" 

Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.

Cui Im menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng Hong yang 

tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"

Gadis baju putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah sekali. Matanya 

yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang 

yang compang-camping dan kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah 

punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang 

bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang dipenuhi

tenaga di atas kaki yang kuat.

Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci, kau selalu 

mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka


dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi 

tubuh belakangnya secara pantas!"

Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.

"Keng Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-

hik!"

Kemudian dia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah 

sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan sikap tidak acuh.

Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan 

merampas tawanan itu!"

Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan 

kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah 

terlepas dari wajah gadis di depannya.

Dia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui 

Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah 

memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini 

mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti 

suci-nya itu.

Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im

hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa peduli

akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau 

tidak.

Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja 

tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini 

memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-

olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang 

terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin 

itu.

Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak sehingga sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang 

matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan matanya, pura-pura 

melihat pohon-pohon di pinggir jalan.

"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.

Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."

"Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."

Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat dia mengangkat 

muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang 

tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, 

sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.

"Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."

Song-bun Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah 

bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan 

mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu 

memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, 

silakan makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.


Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu guci arak Ai-ang-ciu (Arak 

Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"

Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan bagaimana 

perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya saja bibirnya yang 

tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.

"Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."

Tangan kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, 

berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu 

menghabiskan rotinya, nona ini lalu menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,

"Minumlah dulu."

Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"

"Hi-hik-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir diracuni? Ahh, 

jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun, lagi pula segala macam racun jika

dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek 

sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali.

Dia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya menghabiskan 

rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.

"Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.

Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh 

sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh

namun dingin.

Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan mengangkat guci 

ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya 

yang dingangakan.

Keng Hong menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat 

jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang 

terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu

kejatuhan air jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan serta

kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul 

sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.

Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi 

sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai 

mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun 

sebenarnya telah meresap di hatinya.

Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis itu sesudah dia 

mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat mesra pada malam itu bukan timbul dari 

hati mencinta melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus 

mendahului gadis itu minum airnya.

"Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.

Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata 

genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoi-nya tadi. Kemudian ia 

mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai 

tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh.

Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini 

diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan suci


nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum 

sekali.

Roti kering tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. 

Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa 

bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah 

Biauw Eng,

"Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."

Sesudah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian meramkan 

matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng 

Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.

Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang 

melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan 

gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata 

menghimpun tenaga.

Untuk apa? Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini 

sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa 

mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak 

mungkin dapat mengalahkannya, apa lagi ibunya!

Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona 

itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam 

semedhinya walau pun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.

Sampai malam tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung yang banyak 

terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air 

gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.

Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong

sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti 

seekor kucing memancing belaian.

Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan 

malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Ada pun

gadis baju putih itu duduk bersila dan seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-

rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.

"Cui Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan 

mengibaskan tangan Cui Im.

"Aihh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, 

engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng 

Hong... ahhh..."

"Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.

Sekarang dia menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini. Pengalamannya 

yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im

benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, 

melayani cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa 

sukanya kepada segala yang indah.

Kalau saja Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, 

kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im

sebagai kenangan yang manis. Tapi sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan 

yang memalukan dan menjijikan.

"Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus.


Kedua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar 

datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar goa, benar saja, di bawah 

sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.

Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, 

suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak 

karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian 

melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!

"Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.

"Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri urusan kami, kau 

tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk 

keluar dari goa menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke 

arah goa.

Keng Hong hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan 

telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.

"Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-

sian-li!"

Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-

nama itu, kemudian terdengar suara.

"Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam 

untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"

Dalam remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga 

orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringat dia akan dua orang tokoh 

Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu 

pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.

"Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia 

Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan 

tampaknya mereka itu kuat-kuat.

"Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu kami untuk 

membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan jika tidak 

keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang 

pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja.

Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin 

mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang semuanya merupakan murid-

murid tokoh besar yang sakti?

Akan tetapi, baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara 

Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.

"Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. 

Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak 

tahu malu telah merusak kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami 

berdua tidak gentar menghadapi kalian!"

"Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong sekali!" bentak 

seorang murid Siauw-lim-pai.

Dia langsung menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga segera 

berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai 

Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui


Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan 

lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.

Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian 

murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya 

menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun

takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.

Jadi bila mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang 

mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi 

terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan 

memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.

Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain 

dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali 

Cui Im mengeluarkan teriakan marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung 

senjata lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit 

mengeluarkan darah.

"Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin 

membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan 

dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-

san-pai berkata nyaring.

"Mulut besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, 

baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"

"Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang anak murid Kong-

thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni

menjadi semakin repot untuk melindungi tubuh mereka dari cengkeraman maut.

Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai 

memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Dia maklum 

bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.

Dia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang itu juga 

mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukkan tempat simpanan 

pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk 

mencari pusaka gurunya itu.

Sebaliknya, pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua pihak itu 

tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang 

dianggapnya berada di pihak yang harus dia bantu.

Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan 

gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya

menasehatinya,

"Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, 

jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan 

ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin 

menolong seperti itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."

Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biar 

pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, akan tetapi harus dia 

akui bahwa dia telah mengalami kesenangan dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui 

Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.

Apa lagi terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskan

dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak akan tega membiarkan gadis ini mati 

dikeroyok.


Keng Hong lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, 

dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok 

anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"

"Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia dikatakan anak perempuan 

kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para 

pengeroyok untuk melarikan pemuda itu.

Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan 

mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu 

seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun

yang sepuluh orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena 

mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing.

Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng 

Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka, 

ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya.

Mereka berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa 

mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh 

dianggap remeh. Sekarang mereka maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih 

dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.

Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi dia merasa kaku 

sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini 

banyak orang.

Hujan pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai 

tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah terlepas, bajunya yang kena 

dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan dalam hati Keng Hong.

"Kalian nekat, ya?!" bentaknya.

Ketika seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke arah pundak

kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan 

kanannya memapaki cengkeraman itu hingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.

"Plakkk!!"

Hwesio dari Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Dia cepat-

cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia belaka, tangannya sudah melekat dengan 

tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan 

keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!

Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul teriakan-teriakan 

lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam 

orang di antara para pengroyok yang sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan 

sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.

Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan 

seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah.

Kini mereka membetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil.

Padahal mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara mereka menempel 

pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher 

pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek 

terhadap tubuh si pemuda!

Empat orang gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti 

mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman 

sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,


"Kita kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya 

yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas memegang pundak mereka yang tersedot dan 

bersiap-siap mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, 

hwesio itu memberi aba-aba.

"Satu... dua... tiga, tarikkk…!"

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang 

lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah 

melekat, menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk menarik 

itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk melalui tubuh yang mereka 

pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam tubuh Keng Hong!

Keng Hong sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai, kini pun dia merasa 

betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya bagai

menjadi sebesar gentong beras, terus berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat 

keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.

Sungguh pun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang 

sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus 

berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-

desak ini untuk mengibas tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-

san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa.

Sementara itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka sebentar 

saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya, ada pun 

Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.

Sekarang dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang! 

Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah, 

sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih 

mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan rintihan 

putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.

"Itulah, Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu... heiii! 

Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap! Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot 

hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki.

"Heran benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang 

mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh 

orang ini tentu akan mati semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan 

dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."

"Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan yang mengerikan!"

"Aku mengetahui caranya, suci."

"Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui 

Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.

"Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau 

menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot habis!"

Biauw Eng segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.

"Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau 

kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-

tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"

Cui Im mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa bergerak sambil 

berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya ke atas hingga terdengar suara berdetak


detak, lalu kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng 

Hong.

Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti 

yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan cambuknya melibat tangan-tangan yang 

menempel pada tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya.

Dengan menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam beberapa 

saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila 

lalu mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka 

tidak roboh pingsan terus tewas.

Keng Hong yang sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-

goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan 

menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya 

menjadi kaku dan kejang. Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang 

dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunang-kunang, dua orang 

gadis itu kini berubah menjadi empat!

Keng Hong mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya 

berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan 

Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur akibat ketakutan!

"Heh-heh-heh, terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan 

diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"

Biauw Eng memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot 

sinkang itu."

Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan bagai mana? Tubuhku 

terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"

Keng Hong memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin 

dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang 

liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh apa saja.

Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua orang gadis 

itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan mendatangkan bibit permusuhan, kini 

juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, 

dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di kepalanya bagai berdiri satu-satu. 

Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang 

membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang 

yang amat luar biasa.

Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek ini tak 

sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh 

muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke 

dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan 

mengeluarkan, datangnya membanjir secara liar.

Jika saja Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur hingga hawa yang 

masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu 

dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan hawa itu sesuai dengan keperluannya.

Kini, sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk 

tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa 

untuk bertanding! Maka hawa itu pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet 

yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat.


Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke tempat itu. 

Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga partai persilatan itu yang tadi 

meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah agar mereka dapat mengepung kereta tanpa 

mengeluarkan suara.

Kini belasan ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau, dan dalam 

keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah orang-orang yang sedang terheran-heran 

memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak.

Biar pun mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi pada waktu itu mereka sedang 

menderita luka bahkan sebagian besar tenaga sinkang-nya hampir habis tersedot oleh Keng Hong. Maka 

kini menghadapi pasukan kuda yang menerobos liar ini mereka tidak sempat untuk menghindarkan diri. Dan 

jangan dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan menerjang 

apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!

Keng Hong dapat melihat keadaan bahaya ini. Meski pun dia sedang tersiksa oleh hawa sinkang yang 

memenuhi badannya, melihat keadaan bahaya mengancam orang-orang itu, dia lalu cepat meloncat.

Tubuhnya bagaikan sebuah bola karet penuh gas, begitu digerakkan lalu meluncur cepat sekali 

menghadang rombongan kuda. Pemuda ini secara aneh sekali telah menjadi buas dan ingin sekali 

menghancurkan atau menbunuh apa yang merintang di depannya. Hal ini adalah disebabkan dorongan 

sinkang yang berlebihan itu sehingga dia tersiksa dan ingin melampiaskan rasa marah yang timbul akibat 

siksaan ini. Keadaannya itu tiada bedanya dengan seorang yang diserang sakit gigi lalu menjadi marah-

marah dan ingin mengamuk.

Maka kini melihat betapa rombongan kuda itu mengancam keselamatan orang-orang yang menderita luka 

akibat dirinya, dia lantas mendorong-dorongkan kedua lengan dan kakinya sambil mengeluarkan seruan-

seruan yang aneh bunyinya sebab suara ini digerakkan oleh sinkang yang padat, yang dikeluarkan untuk 

mengimbangi gerakan-gerakan pukulan dan tendangan itu.

Akibatnya hebat sekali! Belasan ekor kuda itu bagaikan diamuk angin taufan, roboh dan terbanting ke kanan 

kiri, lantas berkelojotan sambil mengeluarkan suara meringkik-ringkik kesakitan. Di antara suara hiruk-pikuk 

ini, Keng Hong sudah menerjang maju terus dan terdengarlah gerakan dahsyat.

Dalam waktu beberapa menit saja, belasan ekor kuda sudah menggeletak tak bernapas lagi, dan paling 

belakang nampak seekor harimau besar berkelojotan sekarat! Ada pun Keng Hong sendiri berdiri tegak, 

mukanya penuh peluh, muka yang masih merah sekali akan tetapi jalan pernapasannya sudah tenang dan 

kini wajahnya tidak beringas seperti tadi, melainkan tenang, bahkan kelihatannya lega.

Memang kini dadanya telah lapang, sinkang yang menggelora di dalam tubuhnya sudah dia salurkan keluar 

melalui pukulan dan tendangan yang mengakibatkan tewasnya enam belas ekor kuda ditambah seekor 

harimau besar!

Biauw Eng dan Cui Im terbelalak, terpesona dan penuh kekaguman mereka memandang Keng Hong. Kini 

mereka berdua maklum bahwa kalau Keng Hong menghendaki, pemuda itu tentu dapat membebaskan diri 

dari mereka dan jika mereka menggunakan kekerasan, mereka tidak akan dapat menangkap pemuda aneh 

itu.

Akan tetapi pemuda itu tidak pernah melawan dan menurut saja menjadi orang tangkapan mereka berdua! 

Teringat akan ini, Cui Im dan Biauw Eng bergidik.

Pada saat itu, terjadilah hal yang sama dalam hati dua orang murid Lam-hai Sin-ni, yaitu bahwa cinta kasih 

mereka jatuh terhadap Keng Hong! Cui Im yang telah berhasil merayu Keng Hong sehingga pemuda yang 

mewarisi ilmu kepandaian juga mewarisi pula sifat mendiang Sin-jiu Kiam-ong itu pernah melayaninya

bermain cinta, sekarang benar-benar menghedaki pemuda itu menjadi kekasihnya untuk selamanya.

Bukan hanya karena Keng Hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, pula seorang yang masih jejaka 

sebelum bertemu dengannya, juga terutama sekali karena Keng Hong mempunyai ilmu kepandaian 

mukjijat, di samping ini menjadi pewaris pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Jika dia dapat memiliki 

pemuda ini sampai selamanya, atau paling tidak sampai dia dapat mengoper semua ilmu dan pusaka itu, 

alangkah akan senang hatinya!


Ada pun perasaan cinta kasih yang mulai bersemi di hati Biauw Eng adalah cinta kasih yang wajar dari 

seorang gadis yang selamanya belum pernah jatuh cinta pada seorang pemuda yang amat menarik hatinya. 

Biauw Eng melihat adanya sifat luar biasa pada diri Keng Hong, sifat kegagahan yang aneh dan sukar dicari 

keduanya.

Hatinya jatuh, akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang pendiam, dingin dan keras, tentu saja tak ada 

sesuatu pun terbayang pada wajah atau pandang matanya, berbeda dengan Cui Im yang memandang Keng 

Hong penuh nafsu menyala-nyala, yang terbayang pada wajahnya yang menjadi kemerahan dan sinar 

matanya yang bersinar-sinar.

Enam belas orang anak-anak murid partai persilatan besar itu kini merasa putus harapan untuk dapat 

merampas murid Sin-jiu Kiam-ong seperti yang mereka harapkan semula, sesuai dengan tugas yang 

mereka terima dari guru-guru mereka. Tadinya menghadapi dua orang murid Lam-hai Sin-ni, mereka masih 

mempunyai harapan untuk berhasil.

Biar pun mereka itu terdiri dari empat orang murid Hoa-san-pai, tiga orang murid Siauw-lim-pai, dan 

sembilan orang murid Kong-thong-pai, namun karena semuanya berasal dari partai-partai persilatan yang 

bersahabat, mereka sudah bersatu untuk merampas Keng Hong agar semua pusaka peninggalan Sin-jiu 

Kiam-ong dapat ditemukan sehingga selain mereka dapat mengambil benda-benda pusaka yang dahulu 

dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong, juga mendapat bagian pusaka-pusaka lain sebagai ‘bunganya’.

Akan tetapi sesudah mereka menyaksikan betapa murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi tawanan kedua 

orang murid Lam-hai Sin-ni itu turun tangan dan ternyata memiliki ilmu yang mengerikan dan amat lihai 

seperti iblis sendiri, bahwa pemuda aneh itu membantu dua orang nona yang menawannya, mereka pun 

kehilangan harapan untuk melanjutkan perampasan dengan kekerasan.

Dengan hati penuh kemarahan mereka berpendapat bahwa tentu murid Sin-jiu Kiam-ong ini berwatak 

seperti mendiang gurunya dan kini tergila-gila kepada dua orang murid iblis betina yang cantik itu sehingga 

malah membantunya.

"Omitohud..., mendiang Sin-jiu Kiam-ong mempunyai dua sifat, yaitu sifat pendekar besar yang gagah 

perkasa dan sifat kenakalan lain yang sangat buruk sehingga beliau memiliki banyak musuh. Kini muridnya 

agaknya tidak mewarisi sifat yang baik itu melainkan hanya mewarisi sifat buruknya!" berkata salah seorang 

di antara tiga murid Siauw-lim-pai yang berpakaian pendeta dan berkepala gundul.

Keng Hong tersenyum, akan tetapi hatinya panas. Gurunya adalah seorang yang amat dihormat dan 

disayangnya, merupakan orang satu-satunya yang amat baik terhadapnya. Kini gurunya sudah mati akan 

tetapi masih saja dipercakapkan orang! Ia lalu memandang hwesio itu dan menjawab,

"Losuhu, sudah jamak bahwa manusia itu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Baik dan buruk yang hanya 

disebut mulut manusia dan menurutkan penilaian manusia pula, tentu saja disesuaikan dengan sifat ingin 

enak sendiri. Bila menguntungkan bagi dirinya disebut baik, yang merugikan disebut buruk. Aku tak akan 

menyangkal, seperti juga suhu, bahwa aku pun tentu mempunyai sifat-sifat buruk selain sifat-sifat baik. 

Setidaknya, orang-orang seperti mendiang suhu dan aku masih mau berterus terang, mengakui kelemahan 

sendiri. Dan sebaliknya, Losuhu dan anak murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang tergolong sebagai 

pemeluk-pemeluk serta pemimpin agama yang memiliki kewajiban membimbing manusia ke arah kebaikan. 

Sekarang Sam-wi Losuhu (Bapak Pendeta Bertiga) bukan membawa kitab suci untuk meberi wejangan, tapi 

sebaliknya membawa-bawa toya untuk menghantam dan membunuh orang! Apakah pakaian pendeta serta

dibuangnya rambut kepala itu hanya untuk kedok belaka?"

"Omitohud...! Juga mulutnya jahat seperti gurunya!" teriak pendeta Siauw-lim-pai ke dua.

Cui Im tertawa hingga terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan. "Bagus sekali, Keng Hong! Memang mereka 

itu monyet-monyet berbulu berkedok ular! Kepalanya gundul akan tetapi hatinya berbulu, hi-hi-hik!"

Wajah Keng Hong menjadi merah. Ucapan dan sikap Cui Im tak menyenangkan hatinya. Dia tadi 

mengeluarkan ucapan dari hatinya untuk membela gurunya, bukan seperti Cui Im yang semata-mata 

mengejek. Maka dia segera menjura kepada tiga orang hwesio itu dan berkata,

"Aku tahu bahwa mendiang suhu mempunyai hutang kitab-kitab Seng-to Cin-keng dan I-kiong Hoan-hiat

kepada Siauw-lim-pai. Aku berjanji, bila kelak aku berhasil mendapatkan kitab-kitab itu, pada suatu hari aku 

akan mengembalikannya kepada Siauw-lim-pa

Tiga orang hwesio itu hanya mendengus dan seorang di antara mereka berkata, "Pinceng bertiga hanya 

memikul tugas, kesemuanya akan pinceng laporkan kepada suhu." Setelah berkata demikian, mereka lalu 

membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan kepala tunduk.

"Ihhh, kenapa begitu bodoh, Keng Hong? Dari pada kedua kitab penting itu diserahkan kepada setan-setan 

gundul itu, lebih baik kau berikan kepadaku!" kata Cui Im pula dengan sikap genit, sama sekali tidak peduli 

bahwa di sana masih ada tiga belas orang lain. Dia sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang 

terang-terangan merayu pemuda itu dengan senyum bibir dan kerling mata memikat.

Salah seorang murid Hoa-san-pai, yakni wanita cantik yang berbaju hijau, melihat ini lalu mengeluarkan 

suara mendengus tanda jijik dan berkata, "Murid Sin-jiu Kiam-ong memang tidak ada bedanya dengan 

gurunya! Gurunya laki-laki cabul muridnya mana bisa berhati bersih? Kalau dia ini seorang bersih dan 

gagah, tentu menginsyafi kebiadaban gurunya terhadap Hoa-san-pai, sedikitnya tentu akan mengembalikan 

pedang pusaka Hoa-san-pai yang telah dicurinya. Akan tetapi, ia malah bersahabat dengan murid iblis 

betina Lam-hai Sin-ni. Mengharapkan apa lagi? Burung gagak tak akan berkawan dengan burung hong, 

orang jahat tentu memilih kawan kaum sesat! Lebih baik kita pergi dan melaporkan hal ini kepada suhu!"

Jika saja murid perempuan Hoa-san-pai itu hanya memaki-makinya, Keng Hong tentu tak akan mengambil 

pusing. Akan tetapi gadis itu juga membawa-bawa nama gurunya, malah memaki-maki gurunya. Keng Hong

memandang dengan mata marah, lalu dia tersenyum sindir dan berkata,

"Nona yang baik, kalau aku tidak salah sangka, bibi atau bibi tuamu yang bernama Cui Bi dan yang lari dari 

Hoa-san-pai karena cintanya kepada mendiang suhu, tentu jauh lebih manis dari padamu, baik mukanya 

mau pun budinya! Kalau tidak begitu, mana suhu mau membalas cintanya? Tentang pedang Hoa-san-pai, 

jangan khawatir, apa bila aku berhasil mendapatkannya, pasti kukirim kembali ke Hoa-san-pai! Aku 

bersahabat dengan siapa pun juga, adalah hak kebebasanku dan tentang kaum bersih dan kaum sesat, aku 

tidak tahu. Yang kutahu bahwa engkau pun kurasa tidak begitu jijik untuk bercinta, buktinya pinggulku yang 

tidak tertutup ini masih terasa panas karena kau pegang-pegang dengan telapak tanganmu yang halus. 

Nah, kini mukamu menjadi merah. Semua orang melihat belaka betapa tadi engkau memegang-megang 

pinggulku. Hayo katakan, mau apa kau pegang-pegang pinggul orang?"

"Cih, laki-laki cabul...!" Wanita murid Hoa-san-pai itu menjerit lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti 

oleh tiga orang suheng-suheng-nya.

"Heh-heh-hi-hi-hik, mulutmu benar lihai sekali!" Cui Im kembali bertepuk tangan, bahkan Biauw Eng juga 

tersenyum sedikit, akan tetapi alisnya yang hitam melengkung panjang itu berkerut. Terlalu tajam mulut 

pemuda ini, pikirnya.

Kini tinggallah sembilan orang anggota Kong-thong-pai dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk membuka 

mulut, karena mendapat kenyataan bahwa selain ilmunya tinggi, pemuda itu mulutnya juga lihai sekali. 

Melihat keadaan mereka, Keng Hong sudah mendahului dengan ucapan yang serius.

"Cui-wi enghiong adalah orang-orang gagah dari Kong-thong-pai yang tentu saja memiliki pandangan luas. 

Seperti Cu-wi tentu telah mendengar penuturan orang-orang tua, urusan yang timbul di antara mendiang 

suhu dengan Kong-thong-pai adalah karena dahulu suhu pernah menewaskan lima orang anak murid Kong-

thong-pai. Sebab dari pada bentrokan itu adalah karena kedua pihak berbantahan dalam sebuah rumah 

judi, sehingga urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak menyangkut perkumpulan. Apa lagi jika diingat 

bahwa suhu telah meninggal dunia, begitu pula lima orang anggota Kong-thong-pai itu. Setelah kedua pihak

yang bermusuhan sudah tewas semua, apakah kita yang tidak tahu apa-apa harus terseret ke dalam 

permusuhan? Apakah yang kita perebutkan?"

Para murid Kong-thong-pai dapat mengerti alasan ini. Diam-diam mereka ini kagum juga mendengar 

ucapan Keng Hong yang mengandung pendapat yang dalam dan pandangan yang luas.

Akan tetapi, karena mereka itu seperti juga yang lainnya hanyalah merupakan pelaksana-pelaksana tugas, 

maka seorang tosu yang tertua di antara mereka segera berkata,

"Persoalannya tidaklah begitu sederhana, orang muda. Pula, kami hanyalah murid-murid yang 

melaksanakan perinta


"Hemm, agaknya Kong-thong Ngo-lojin yang sudah menurunkan perintah. Baiklah, kalau begitu harap Cu-wi 

sampaikan kepada Kong-thong Ngo-lojin bahwa kalau mereka tetap menginginkan barang-barang pusaka 

peninggalan suhu, suruh saja mereka pergi mencari sendiri karena hal itu merupakan keinginan pribadi 

kenapa harus membawa-bawa nama perkumpulan? Di dunia ini betapa banyaknya manusia-manusia yang 

sebetulnya memiliki cita-cita untuk kepentingan pribadi akan tetapi mempergunakan kedok demi 

perkumpulan, mempergunakan anak buah dan para murid untuk berjuang demi perkumpulan, padahal 

sesungguhnya yang menjadi pamrih adalah kepentingan dan kesenangan pribadi!"

Sembilan orang anak murid Kong-thong-pai itu marah sekali karena nama baik guru-guru mereka dicela 

terang-terangan oleh pemuda yang masih ingusan ini. Akan tetapi karena mereka mengerti bahwa melawan

tak akan ada gunanya, mereka lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu sambil 

membantu kawan-kawan mereka yang terluka.

"Bagus… bagus, Keng Hong! Engkau telah memberi tamparan dengan kata-kata kepada orang-orang yang 

mengaku sebagai golongan pendekar-pendekar itu, golongan suci, dan golongan bersih, hi-hi-hik!" Cui Im

berkata girang sambil merangkul pundak pemuda itu dengan sikap manja memikat.

"Cukup, Suci! Kita lanjutkan perjalanan!" terdengar Biauw Eng berkata, suaranya dingin dan sikapnya 

seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kereta sudah hancur oleh setan-setan itu, semua kuda binasa oleh Keng Hong. Wah, kita harus 

melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, padahal masih amat jauh!" kata Cui Im dengan wajah jengkel. 

Akan tetapi gadis ini lalu tertawa memandang Keng Hong.

"Keng Hong, perjalanan masih jauh dan kita harus berjalan kaki. Menggunakan ilmu lari cepat memang 

tidak kalah dengan berkuda atau berkereta, akan tetapi amat melelahkan. Bagaimana kalau kita saling 

gendong? Bergantian, kan enak? Kalau sumoi mau, biarlah aku mengalah dan kau lebih dulu menggendong 

sumoi..."

"Suci, diam! Bukan waktunya untuk main-main!" bentak Biauw Eng dengan suara dingin dan ketus sehingga 

Cui Im tidak berani lagi membuka mulut.

"Nona berdua tak perlu repot-repot karena perjalanan bersama kita hanya sampai di sini. Aku tidak dapat 

menemani kalian lebih lama lagi," kata Keng Hong dengan suara tenang. "Sudah cukup aku mendatangkan 

kerepotan dan bahaya kepada kalian, karena aku tahu bahwa selama nona berdua melakukan perjalanan 

bersamaku, tentu akan menghadapi bahaya serangan orang-orang kang-ouw yang kini seolah-olah 

memperebutkan aku."

"Ahhh...!" Cui Im mengeluarkan suara kecewa dan lenyap pula sikap gadis ini yang manis tadi, bahkan 

tangan kanannya bergerak mencabut pedangnya.

"Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami dan menghadap ibuku, Lam-hai Sin-ni, mau atau tidak, 

hidup atau mati!" Suara Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng terdengar tegas dan mengandung ancaman yang 

mengerikan.

Berbeda dengan Cui Im yang sudah mencabut pedangnya, gadis berbaju putih ini masih berdiri tenang, 

belum mengeluarkan senjata, bahkan sikapnya masih biasa, hanya kedua matanya yang mengeluarkan 

sinar penuh ancaman maut.

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Tadinya memang aku berniat untuk menghadap Lam-hai Sin-ni

dan niat itu terdorong oleh rasa terima kasihku terhadap Sie-siocia yang telah menyelamatkan nyawaku dari 

ancaman pedang Cui Im. Akan tetapi, tadi pada saat nona dikeroyok, aku sudah membantumu dan berarti 

aku sudah pula menyelamatkanmu, dengan demikian hutangku telah kubayar lunas. Karena itu, kini aku 

telah bebas dan aku tidak berniat lagi untuk ikut bersama Ji-wi menghadap Lam-hai-Sin-ni!"

Setelah berkata demikian, Keng Hong mengangkat tangan ke depan dada dan memberi hormat, kemudian 

membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan dua orang gadis yang tertegun penuh 

kekecewaan.

"Keng Hong, pertama-tama kau mempermainkan aku, kini berani mempermainkan sumoi! Kau kira kami tak 

mampu menawanmu dengan kekerasan?" terdengar Cui Im membentak dan sinar merah berkelebat ketika 

gadis ini menerjang Keng Hong dari belakang.


Pengalaman-pengalaman pahit telah membuat Keng Hong berhati-hati sekali menghadapi Cui Im. 

Mendengar desing senjata yang menyerangnya, Keng Hong cepat memiringkan tubuh sehingga sinar 

merah meluncur lewat di samping lehernya, kemudian mengangkat tangannya yang dikibaskan ke arah 

pedang dan tangan yang memegang pedang.

Hawa pukulan yang amat kuat mendorong pedang dan tangan Cui Im dari bawah. Gadis itu maklum akan 

lihainya tangan Keng Hong, cepat menarik tangannya namun masih saja tangannya terdorong ke samping 

begitu kerasnya sehingga tubuhnya ikut terdorong dan hampir dia terpelanting kalau tidak cepat meloncat 

menjauhi Keng Hong ke sebelah kiri.

"Kau tahu, aku tak ingin bermusuhan denganmu, Cui Im," kata Keng Hong. "Harap kalian suka membiarkan 

aku pergi."

Akan tetapi dengan muka merah karena marahnya, Cui Im sudah siap menerjang lagi. Sekarang tangan 

kirinya mencabut keluar sehelai sapu tangan merah, sapu tangan yang mengandung bubuk beracun dan 

yang pernah merobohkan Keng Hong.

Sambil berteriak keras Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im maju menerjang lagi, pedangnya diputar menjadi 

sinar pedang merah bergulung-gulung seperti seorang penari selendang sutera merah, kemudian ia 

menerjang Keng Hong dengan bacokan bertubi-tubi mengikuti perputaran pedang.

Keng Hong sudah siap dan waspada karena maklum bahwa bahaya besar mengancam dirinya, bukan dari 

pedang itu melainkan terutama sekali dari sapu tangan merah. Maka dia segera menghindarkan diri dari 

terjangan pedang itu dengan meloncat cepat ke kanan.

Cui Im sudah menduga akan hal ini, bahkan sudah siap-siap. Begitu tubuh Keng Hong berkelebat ke kanan,

tangan kirinya langsung bergerak dan tiga batang jarum menyambar dari dalam sapu tangannya ke arah 

sepasang mata dan tenggorokan Keng Hong.

Pemuda yang berilmu tinggi tetapi belum banyak pengalamannya dalam pertandingan ini terkejut, cepat 

merendahkan tubuhnya setengah berjongkok sambil mengibaskan tangan kirinya ke atas sehingga tiga 

batang jarum itu terlempar entah ke mana. Akan tetapi pada saat yang memang sengaja diciptakan Cui Im

ini, sinar merah dari sapu tangan sudah menyambar ke arah muka Keng Hong, didahului oleh asap 

kemerahan dari bubuk racun berwarna merah.

Semenjak menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong, Keng Hong setiap hari diberi minuman racun sedikit demi sedikit 

oleh Kiam-ong sehingga dari mulut sampai ke perutnya, Keng Hong mengenal segala macam racun,

bahkan sudah menjadi kebal. Akan tetapi dia tidak kebal jika menghadapi hawa beracun berupa asap atau 

bubuk yang tersedot melalui hidung dan menyerang paru-paru.

Pengalamannya ketika dia roboh oleh racun sapu tangan merah itu membuat dia menjadi waspada. Walau 

pun saat itu dia baru saja lolos dari cengkeraman maut yang dibawa jarum-jarum itu sedangkan posisi 

tubuhnya setengah berjongkok sehingga sukar baginya untuk mengelak, dia masih ingat akan bahaya ini.

Maka dia telah menyedot napas dalam-dalam kemudian menutup saluran pernapasannya dan begitu gadis 

itu menubruk sambil mengebutkan sapu tangan ke arah mukanya, dia meniup ke arah sapu tangan itu 

dengan pengerahan tenaga lweekang. Sapu tangan itu tiba-tiba saja membalik ke arah Cui Im sendiri tanpa 

mampu dicegah lagi oleh gadis ini yang menjadi terkejut dan menjerit.

Tentu saja dia sudah memakai obat penawar sehingga sapu tangannya itu takkan dapat meracuninya. Akan 

tetapi karena sapu tangannya itu secara tiba-tiba menyerang ke arah mukanya, sejenak dia tidak dapat 

melihat apa-apa dan tiba-tiba dia merasa pergelangan tangan kanannya terasa nyeri sekali sampai menjadi 

lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Ternyata pergelangan tangan kanannya sudah kena 

disentil oleh telunjuk kiri Keng Hong.

Melihat betapa dia berhasil membuat gadis yang ganas itu sementara ini tidak berdaya, Keng Hong cepat 

meloncat untuk lari pergi dari sana. Akan tetapi selagi tubuhnya masih melayang di udara, tiba-tiba kaki 

kirinya dilibat oleh sesuatu, kemudian kakinya tertarik ke belakang sehingga tanpa dapat dia cegah lagi 

tubuhnya terjungkal lantas terbanting jatuh ke atas tanah!


Keng Hong cepat meloncat bangun dan seperti yang sudah dia duga, Biauw Eng sudah berdiri di 

hadapannya dengan senjatanya yang aneh, yaitu sabuk sutera putih yang kini ujungnya telah melibat kaki 

kirinya seperti ekor ular. Biauw Eng mengerahkan tenaganya menarik lagi untuk membuat Keng Hong

terjungkal, akan tetapi pemuda itu juga sudah mengerahkan tenaga ke kaki kirinya sehingga biar pun gadis 

yang lihai itu membetot-betot, sedikit pun tubuhnya tidak bergeming!

Biauw Eng menjebikan bibirnya dan mendengus. Sabuk yang melibat kaki itu mendadak saja terlepas dan 

sinar putih berkelebat ketika ujung sabuk itu bagaikan bernyawa sudah meluncur dengan kecepatan 

mengagumkan, kini menyerang seperti ular mematuk ke arah mata Keng Hong!

Pemuda ini kaget sekali. Cepat dia miringkan kepala dan berusaha untuk mencengkeram sinar putih itu. 

Akan tetapi ujung sabuk putih itu amat cepat gerakannya, tahu-tahu telah meluncur ke bawah dan tanpa 

dapat dielakkan lagi oleh Keng Hong, ujung sabuk itu telah menotok jalan darahnya di tiga bagian secara 

bertubi-tubi.

Sungguh lihai nona itu, gerakan sabuknya amat cepat sehingga dalam waktu sedetik saja ujung sabuk telah 

menotok jalan darah di kedua pundak disusul totokan di atas ulu hati! Bila hanya pendekar biasa saja yang 

terkena totokan berantai itu, yang dilakukan dengan cepat dan keras karena tenaga lweekang tersalur 

melalui sabuk membuat ujung sabuk menjadi kaku, tentu roboh lemas tak mampu berkutik lagi.

Untung bagi Keng Hong bahwa sungguh pun suhu-nya belum cukup menggemblengnya dengan ilmu-ilmu 

silat tinggi, namun pemuda ini mempunyai sumber tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga begitu 

tubuhnya disentuh pengaruh dari luar, otomatis sinkang-nya bergerak dan pergerakan hawa sakti ini 

cepatnya melebihi segala macam gerakan yang dapat dilakukan manusia, maka totokan-totokan itu sedikit 

pun tidak mempengaruhi jalan darah di tubuh Keng Hong, bahkan hampir tak terasa olehnya.

Sebaliknya, tangan Biauw Eng yang memegang sabuknya tergetar hebat karena tenaga totokan-totokan itu 

membalik dan menyerang tangannya sendiri! Namun Biauw Eng yang merasa penasaran itu menerjang 

terus, kini dia memegang cambuknya di bagian tengah sehingga cambuk itu bergerak-gerak sedemikian 

rupa, kedua ujungnya menyerang cepat dan seolah-olah telah berubah menjadi ratusan banyaknya.

Hebatnya, kini ujung cambuk tidak lagi menotok jalan-jalan darah yang diketahui gadis itu takkan ada 

hasilnya, melainkan menotok ke arah bagian-bagian berbahaya seperti kedua mata, telinga, tenggorokan, 

pusar dan bawah pusar, pergelangan tangan, siku, dan lutut.

Tentu saja Keng Hong menjadi sibuk sekali. Selain mengelak ke sana ke mari juga dia mengibaskan dua 

tangannya untuk menghalau sinar putih yang mengeroyoknya secara hebat itu. Selagi dia terdesak, tampak 

sinar merah berkelebat dan kiranya Cui Im sudah pula membantu sumoi-nya!

"Cia Keng Hong, menyerahlah kalau tak ingin kami seret ke depan subo sebagai mayat!" bentak Cui Im

yang di dalam hatinya masih merasa sayang kalau seorang pria seperti Keng Hong harus mati.

Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat jauh hendak melarikan diri. 

Sesungguhnya, kalau pemuda ini menggunakan ginkang-nya, biar pun dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu 

dapat bergerak cepat, mereka masih tidak akan mampu mengimbangi ginkang yang dimiliki Keng Hong.

Akan tetapi karena mereka itu pandai menggunakan senjata rahasia, mereka mengejar sambil terus 

menyerang Keng Hong dengan senjata rahasia ini. Cui Im menghujankan jarum-jarum beracun, bahkan 

meledakkan bola-bola peledak yang mengeluarkan asap hitam akan tetapi kini tak dapat mempengaruhi 

Keng Hong yang sudah menahan napas. Ada pun Biauw Eng menyerang dari belakang dengan senjata 

rahasia tusuk konde perak yang kepalanya berukiran bunga bwee.

Mendengar desir angin senjata-senjata rahasia ini, Keng Hong cepat-cepat mengelak dan mengibaskan 

kedua tangannya sambil membalik sehingga semua senjata rahasia runtuh oleh angin yang menyambar 

dari dua tangannya. Karena itu tentu saja larinya terlambat dan dua orang gadis itu sudah menerjangnya 

lagi dengan dahsyat.

Keng Hong menjadi repot sekali setelah sinar merah pedang Cui Im menyambar-nyambar di antara sinar 

putih sabuk Biauw Eng yang berkelebatan membentuk lingkaran-lingkaran maut. Dalam keadaan terdesak 

timbul marahnya.


Tadinya dia tidak mau membalas karena dia tidak tega untuk melukai dua orang gadis itu, terutama sekali 

Biauw Eng yang dalam pandangannya merupakan seorang gadis remaja yang selain cantik jelita dan tidak 

genit seperti Cui Im, namun juga telah menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi setelah sekarang didesak 

hebat sekali, mau tidak mau dia harus membela diri.

Untuk menggunakan sinkang-nya yang luar biasa, yaitu menggunakan daya sedot yang telah mengalahkan 

banyak orang pandai, di samping tidak tega juga dia tidak mempunyai kesempatan. Dua orang gadis 

berilmu tinggi ini agaknya maklum akan ilmu yang mukjijat itu dan mereka tidak pernah mendekatkan diri, 

tidak pernah memberi kesempatan untuk ditangkap oleh tangan pemuda yang mempunyai ilmu mukjijat, 

melainkan menyerang dari jarak jauh mengandalkan panjangnya senjata mereka.

Tiba-tiba lingkaran sinar putih itu berkelebat menyambar ke arah kedua matanya, bukan hanya dengan satu 

kali totokan, melainkan secara bertubi-tubi sehingga repotlah Keng Hong harus mengelak ke kanan kiri dan 

ke belakang. Pada waktu pandangan matanya menjadi silau dan kabur, dia mendengar desing pedang Cui 

Im mengarah lambungnya.

Cepat dia miringkan tubuh, namun pedang itu mengejarnya dan merobek celana berikut kulit dan sedikit 

daging pahanya. Darah mengalir dan Keng Hong menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan 

dahsyat, tangannya meraih ke arah pedang yang tajam.

Tangannya berhasil mencengkeram pedang dan sekali renggut pedang itu telah berpindah tangan! 

Kemudian dia melempar pedang itu jauh-jauh dan sekarang kembali tangannya mencengkeram ke arah 

sinar putih, dan berhasil pula menangkap sabuk sutera itu lantas dia mengerahkan tenaganya merenggut.

Akan tetapi Biauw Eng mempertahankan sabuknya dan akibatnya tubuh gadis ini terbawa oleh tenaga 

renggutan yang amat kuat, tubuhnya terangkat ke udara. Keng Hong terkejut dan melepaskan sabuk itu dan 

hal ini malah mengakibatkan seolah-olah tubuh gadis itu dilempar ke atas.

Cui Im berteriak ngeri melihat tubuh sumoi-nya terlempar ke atas seperti itu. Juga Keng Hong terbelalak 

memandang, namun dia lantas bernapas lega dan dengan penuh kagum dia mengikuti gerakan gadis baju 

putih itu.

Meski pun tubuhnya terlempar dengan cepat sekali, ternyata Biauw Eng tidak kehilangan akal. Di atas 

udara, tubuhnya dapat berjungkir balik dan sabuk di tangannya menyambar ke depan, ujungnya mengait 

dan membelit dahan pohon sehingga tubuhnya tergantung dan luncuran itu patah. Kemudian dengan ringan 

ia meloncat turun membawa sabuknya, bukan hanya meloncat biasa, melainkan meloncat sambil 

menyerang Keng Hong dengan sambaran sabuk putih.

Juga Cui Im yang menjadi lega melihat sumoi-nya selamat, sudah menyerang lagi, bukan dengan senjata 

tajam sebab pedangnya telah dilempar entah ke mana, melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman 

tangan yang menangkap pemuda itu diseling cengkeraman-cengkeraman ke arah bagian tubuh yang 

lemah.

Keng Hong menjadi gemas. Kedua orang gadis ini benar-benar keras kepala dan sudah nekat sekali. 

Sesudah dia meloncat mundur dan melihat dua orang gadis itu terus maju menerjangnya, dia mengeluarkan 

pekik yang melengking nyaring terbawa oleh sinkang yang terdorong hawa marah.

Tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dari angkasa dia menggerakkan kaki tangannya yang bertubi-tubi 

menyerang ke depan, menimbulkan hawa pukulan yang amat kuat dan menyerang dua orang gadis itu dari 

kanan kiri, atas dan bawah. Inilah jurus yang terakhir atau jurus ke delapan dari ilmu pukulan San-in Kun-

hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu.

Biar pun hanya terdiri dari delapan jurus, namun ilmu silat yang kelihatannya sederhana ini merupakan 

gerakan-gerakan inti sari dari ilmu silat tinggi, sebab itu jurus yang disebut jurus In-keng Hong-wi (Awan 

Menggetarkan Angin Hujan) ini amatlah hebatnya sehingga pernah Kiang Tojin tokoh Kun-lun-pai yang 

amat sakti itu sendiri menjadi gelagapan dan kelabakan menghadapi jurus ini. Selain jurusnya yang sangat 

hebat, yaitu dilakukan dari udara dengan terjangan dua pasang kaki dan tangan yang digerakkan secara 

bertubi-tubi, juga terutama sekali karena kedua tangan dan kedua kaki Keng Hong itu mengandung hawa 

sakti yang amat kuat.

Dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu merupakan orang-orang yang lihai, terutama sekali Biauw Eng. 

Menghadapi serangan yang tiba-tiba dilakukan Keng Hong ini, mereka tidak gentar, akan tetapi juga tak


berani menangkis, melainkan menggunakan kegesitan tubuh mereka mengelak. Akan tetapi alangkah kaget 

hati kedua orang gadis itu ketika mereka mengelak, mereka bertemu dengan angin pukulan dari mana-

mana, seolah-olah gerakan serangan Keng Hong ini mendatangkan semacam angin berpusingan yang 

datang dari sekitar mereka.

"Aihhh...!" Cui Im sudah menjerit dan tubuhnya terpelanting seperti tersedot angin ke arah Keng Hong, ada 

pun Biauw Eng berusaha menahan hingga tubuhnya terhuyung-huyung, juga mendekati Keng Hong.

Kalau saja pemuda itu melanjutkan pukulan dan tendangannya, kedua orang gadis yang mendekat itu 

sudah berada di dalam jarak jangkauannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong mendengus dan menarik 

kembali kaki tangannya, lalu mengenjot tubuh dan lari menjauh tanpa menoleh lagi.

Akan tetapi Cui Im dan terutama sekali Biauw Eng bukan gadis-gadis yang mudah putus asa. Sama sekali 

tidak. Semenjak kecil mereka dilatih untuk bersikap berani dan pantang mundur, kalau perlu mengejar cita-

cita dengan taruhan nyawa.

Kini melihat betapa pemuda yang tadinya sudah menjadi tawanan mereka itu hendak lari meloloskan diri, 

mereka menjadi penasaran sekali dan hanya sebentar saja mereka tadi tertegun dan terkesima 

menyaksikan kehebatan jurus yang hebat dari pemuda itu. Tetapi setelah Keng Hong lari, keduanya segera

mengejar dan kembali mereka menghujankan senjata rahasia mereka.

Keng Hong tidak mengelak, juga tidak menangkis karena pada saat pemuda itu hendak menggerakkan

tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu merasa tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan, tanda bahwa jalan 

darahnya tertotok secara hebat sekali. Hal ini dapat terjadi karena dia hanya memusatkan perhatian di 

sebelah belakang karena dia tahu bahwa dua orang gadis nekat itu mengejarnya. Ia tadi hanya melihat 

bayangan berkelebat dekat dan tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku tertotok! Andai kata dia tadi tahu akan 

serangan luar biasa ini dan mengerahkan sinkang, kiranya takkan mudah dia tertotok.

Keanehan yang terjadi pada diri Keng Hong ini terlihat oleh dua orang gadis pengejarnya itu dalam keadaan 

lain. Mereka hanya melihat Keng Hong diam tak bergerak, juga tidak mengelakkan serangan senjata-

senjata rahasia itu sehingga mereka sendiri menjadi amat terkejut dan mengira bahwa tentu pemuda itu 

tewas akibat penyerangan senjata-senjata rahasia mereka yang beracun dan lihai.

Akan tetapi tiba-tiba mata mereka terbelalak karena tahu-tahu di belakang Keng Hong muncul seorang 

nenek dan semua senjata rahasia itu runtuh oleh kebutan rambut kepala nenek itu yang digerakkan ke 

depan! Nenek itu tertawa-tawa, seorang nenek yang sangat menyeramkan.

Usia nenek ini tentu tak kurang dari delapan puluh tahun, namun mukanya merah seperti berlumur darah.

Giginya besar-besar, rambut kepalanya riap-riap dan panjang. Mukanya yang buruk menakutkan itu sangat 

tidak sesuai dengan tubuhnya. Biar pun tubuh seorang nenek-nenek, namun pakaian sutera hitam itu 

mencetak bentuk tubuh yang masih padat dengan sepasang buah dada yang besar!

"Bibi Ang-bin Kwi-bo...!" Bhe Cui Im berseru kaget dan cepat-cepat membungkuk penuh hormat.

Dalam kalangan kaum sesat, sebutan untuk mereka yang lebih tinggi kedudukannya tidak digunakan 

ucapan menghormat atau sungkan, maka Cui Im biar pun kelihatan takut-takut dan menghormati nenek ini, 

tetap saja dia tidak segan-segan menyebut julukan nenek itu yang tidak sedap, yaitu Ang-bin Kwi-bo (Hantu 

Wanita Bermuka Merah).

"Hi-hi-hik! Kalian murid-murid Lam-hai Sin-ni betul-betul tidak memalukan menjadi murid orang pandai. 

Karena aku melihat kalian berhasil menemukan bocah ini akan tetapi tidak berhasil menguasainya, maka 

biarlah kalian serahkan bocah ini kepadaku dan sebagai upah jerih payah kalian yang sudah dapat 

menemukannya, biarlah aku tidak membunuh kalian dan kalian boleh pergi dengan aman!"

Ucapan seperti ini bagi telinga Keng Hong merupakan ucapan yang terlalu bocengli dan mau mencari enak 

perutnya sendiri. Akan tetapi bagi dua orang gadis itu tidak aneh oleh karena mereka sendiri pun sejak kecil 

dididik untuk membawa pendapat sendiri tanpa peduli akan kesopanan dan keadilan umum. Pendeknya,

yang benar bagi mereka adalah apa bila setiap tindakan ditujukan untuk keuntungan diri pribadi. Karena itu, 

ucapan nenek ini pun tidak mereka anggap bocengli, bahkan sudah wajar!


Cui Im sudah mengenal betapa saktinya Ang-bin Kwi-bo yang merupakan salah seorang di antara Bu-tek 

Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), setingkat dengan gurunya. Karena itu dia tidak berani menentang dan 

hanya menundukkan muka tanda menyerah.

Akan tetapi sikapnya berbeda dengan Biauw Eng. Gadis ini adalah puteri Lam-hai Sin-ni, dan karena tugas 

yang sedang dilaksanakan ini adalah perintah ibunya, maka tentu saja mengandalkan nama besar ibunya 

dia tidak mau mengalah dan mempertahankan haknya sebagai orang yang menahan Keng Hong.

"Menyesal sekali bahwa terpaksa saya tidak dapat memenuhi kehendak bibi itu, karena tugas ini perintah 

dari ibu sehingga terpaksa saya harus mempertahankan hak saya atas diri murid Sin-jiu Kiam-ong yang 

telah kami tawan."

Mendengar ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi tercengang dan fia memandang gadis baju putih itu penuh 

perhatian. Kemudian dia tertawa terkekeh dan berkata, "Eh, kiranya engkau ini puteri Lam-hai Sin-ni? 

Engkaukah yang membuat nama besar dengan julukan Song-bun Siu-li itu?"

"Benar, bibi. sayalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng."

"Hi-hi-hik! Engkau berani melawan aku?"

"Saya harus tahu diri dan saya pun maklum bahwa bibi bukanlah lawan saya. Seharusnya saya takut 

melawan bibi, namun saya lebih takut menghadapi ibu kalau saya melalaikan tugas yang diperintahkannya."

"Bagus! Kalau begitu, biarlah kita menggunakan hak seorang pemenang dan mari kita lihat siapa di antara 

kita yang akan menang dan juga berhak atas diri bocah ini!" Sambil berkata demikian, Ang-bin Kwi-bo telah 

meloncat ke depan menghadapi Biauw Eng yang sudah siap pula dengan senjatanya.

Gadis ini bersikap hati-hati sekali karena dia cukup maklum bahwa dia menghadapi lawan yang jauh lebih 

tinggi tingkatnya. Akan tetapi sedikit pun tidak terbayang rasa gentar pada wajahnya yang cantik namun 

dingin itu.

"Hi-hi-hik lumayan juga engkau! Agaknya sudah cukup matang sehingga maklum bahwa yang diam lebih 

kuat dari pada yang bergerak, yang diserang lebih untung dari pada yang menyerang. Biarlah kau jaga 

seranganku!"

Ucapan Ang-bin Kwi-bo ini memang berlaku bagi dua orang lawan yang kepandaiannya setingkat, karena 

dalam ilmu silat, yang diam itu lebih waspada sedangkan si penyerang selalu membuka lubang untuk 

dirinya sendiri dan serangannya membuat kedudukannya agak lemah.

Namun tingkat kepandaian Ang-bin Kwi-bo jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sie Biauw Eng. 

Gadis ini paling banyak baru mampu mewarisi setengah dari kepandaian ibunya. Berdasarkan tingkat 

kepandaian, Lam-hai Sin-ni memang merupakan orang paling pandai di antara empat tokoh datuk sesat, 

namun tidak banyak selisihnya.

Biar pun Ang-bin Kwi-bo menyatakan hendak menyerang, akan tetapi kedua kakinya tidak bergerak maju, 

juga kedua tangannya tidak bergerak. Yang bergerak hanya kepalanya karena ia menggunakan rambutnya 

yang riap-riapan itu untuk menyerang!

Memang yang menyambar hanya rambut kepala itu, akan tetapi Biauw Eng yang lihai itu sama sekali tak 

berani menangkis, maklum bahwa senjata rambut ini merupakan senjata keistimewaan Ang-bin Kwi-bo dan 

bahwa rambut-rambut halus itu kalau digunakan oleh Ang-bin Kwi-bo berubah menjadi rambut-rambut yang 

kaku kuat melebihi baja!

Biauw Eng mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, kemudian sekali pergelangan lengan tangannya 

bergerak, cahaya putih sabuknya sudah meluncur cepat sekali menotok jalan darah maut di tenggorokan 

nenek iblis itu! Nenek itu sambil terkekeh menangkis totokan ujung sabuk ini dengan tangan kirinya, bahkan

berusaha mencengkeram ujung sabuk dengan kuku-kukunya yang panjang. Akan tetapi ujung sabuk sutera 

itu lemas dan cepat sekali gerakannya, sebelum menyentuh tangan lawan sudah meluncur ke samping lalu

melakukan totokan-totokan bertubi-tubi dari jarak jauh.

Biauw Eng amat cerdik. Karena maklum bahwa kelihaian nenek itu terletak pada rambut dan kukunya, ia 

sengaja menjatuhkan diri sehingga tidak dapat tercapai rambut mau pun kuku, sebaliknya ia dapat


mengandalkan sabuknya yang panjang untuk menyerang terus secara bertubi-tubi. Setiap kali nenek itu 

menangkis dan hendak mencengkeram ujung sabuk, sabuk itu sudah melejit pergi untuk menotok lain 

bagian.

Dilihat begitu saja, pertandingan ini sangatlah menarik. Ujung sabuk putih itu seolah-olah seekor kupu-kupu 

putih yang lincah bukan main, hinggap di sana-sini dan selalu luput dari cengkeraman tangan Ang-bin Kwi-

bo.

Bukan hanya sampai di situ usaha Biauw Eng untuk mengalahkan lawannya yang lihai. Ia harus 

mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ia memang bersungguh-sungguh dalam usahanya untuk 

memenangkan perebutan ini biar pun tidak mungkin menurut perhitungan.

Selain menghujankan totokan-totokan dari jarak jauh, kini tangan kirinya kadang-kadang bergerak dalam 

saat-saat yang tidak terduga lawan dan meluncurlah senjata rahasianya yang ampuh, yaitu bola-bola putih 

yang berduri dan kadang-kadang diseling pula dengan senjata piauw berbentuk tusuk konde putih dengan 

ukiran bunga bwee.

Karena senjata-senjata rahasia ini dilepas dari jarak sangat dekat dan dilontarkan dengan pengerahan 

tenaga lweekang, juga pada saat yang tak terduga-duga dan memilih selagi kedudukan tubuh lawan lemah, 

mau tidak mau Ang-bin Kwi-bo harus mengelak ke sana ke mari sehinga untuk beberapa lama dia seperti 

terdesak! Ia terdesak bukan karena ilmu silat, melainkan karena kecerdikan lawan yang masih muda itu. Hal 

ini membuat Ang-bin Kwi-bo menjadi penasaran, malu dan marah sekali.

Pada saat nenek iblis ini repot mengelak dari hujan senjata rahasia, Biauw Eng tidak ingin menyia-nyiakan 

kesempatan, sabuk suteranya mengirim totokan yang amat kuat ke arah ulu hati nenek itu. Agaknya nenek 

yang sedang sibuk mengelak dari sambaran senjata rahasia ini tidak sempat lagi mengelak dari totokan 

maut ini sehingga Biauw Eng yang masih muda tidak dapat menahan rasa girangnya.

Inilah pantangan bagi orang yang sedang bertanding. Ibunya sudah menggemblengnya sedemikian rupa 

sehingga dia menjadi seorang gadis berdarah dingin berurat syaraf baja, tidak dapat digoyangkan oleh

segala macam perasaan.

Akan tetapi karena sekali ini dia menghadapi lawan yang jauh lebih lihai, begitu melihat betapa dia mampu

mendesak, bahkan totokan mautnya hampir mengenai sasaran, Biauw Eng tidak dapat menahan 

kegembiraan hatinya dan hal ini, biar pun hanya sedikit, tetap saja telah mengurangi kewaspadaannya. 

Dalam kegembiraannya ia lupa bahwa nenek itu amat sakti dan keadaan yang mendesak itu mungkin hanya 

merupakan siasat yang lihai belaka.

Dia sadar sesudah terlambat karena ketika totokan ujung sabuknya sudah dekat dengan dada nenek itu, 

tiba-tiba rambut nenek itu menyambar ke depan dan membelit-belit sabuk sutera putihya!

Biauw Eng sangat terkejut dan terpaksa hendak melepaskan sabuknya, namun sebagian dari rambut nenek 

itu sudah bergerak lagi dan seperti hidup, rambut itu telah menangkap lengan kanannya, membelit bagian 

pergelangan sehingga lengan gadis itu bagaikan telah diikat kuat-kuat.

"Hi-hi-hik-hik! Engkau berani melawan aku, ya? Sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, aku akan mengampuni 

nyawamu, akan tetapi sebagai seoang gadis yang berani melawanku, kau harus dihukum!"

Biauw Eng maklum bahwa dari seorang nenek seperti ini dia tidak dapat mengharapkan maaf, maka ia pun 

tidak mau minta maaf, bahkan tiba-tiba ia memukulkan tangan kirinya ke arah lambung nenek itu. Pukulan 

ini hebat sekali dan biar pun Ang-bin Kwi-bo seorang tokoh besar dalam dunia sesat, akan tetapi jika

pukulan tangan kiri Biauw Eng mengenai lambungnya, tentu dia akan celaka, sedikitnya luka hebat.

Akan tetapi pada saat itu si nenek sudah membuat Biauw Eng tak berdaya dengan hanya menggunakan 

rambutnya saja sedangkan dua tangannya masih menganggur, tentu saja pukulan tangan kiri Biauw Eng ini 

tidak ada artinya baginya. Sekali tangan kanannya yang berkuku panjang itu bergerak, maka pergelangan 

tangan kiri Biauw Eng sudah ia tangkap sehingga gadis itu tidak mampu berkutik lagi!

"Hi-hi-hik! Hukuman apa yang harus kau terima? Tanganmu? Apa kubuntungkan sebelah tanganmu saja?" 

Nenek itu mengancam sambil menyeringai hingga tampak giginya yang besar-besar.


Sie Biauw Eng yang sudah tidak dapat berkutik lagi itu memandang dengan wajah tetap dingin, bahkan 

mulutnya yang bentuknya bagus itu sudah membentuk senyum mengejek, seolah-olah ancaman itu sama 

sekali tidak membuat hatinya menjadi jeri.

"Wah, kalau hanya lenganmu yang buntung, tentu iblis betina tua bangka Lam-hai Sin-ni masih dapat 

menurunkan ilmu untuk sebelah tanganmu lagi. Tidak, lebih baik kakimu saja yang kubuntungkan sebelah. 

Dengan hanya sebelah kaki, berdiri pun kau tak akan tegak. Benar, kubuntungkan saja kakimu sebatas 

paha, hi-hi-hik, dan setiap orang laki-laki akan jijik melihat kakimu yang buntung, heh-heh-heh!"

"Tidak! Tak boleh kau lakukan itu, bibi Ang-bin Kwi-bo!" Tiba-tiba Bhe Cui Im membentak marah dan 

dengan nekat gadis ini sudah menerjang dari belakang tubuh nenek itu untuk menolong sumoi-nya.

Karena pedangnya sudah hilang ketika tadi dirampas dan dibuang Keng Hong, kini Cui Im menyerang 

dengan tangan kosong. Akan tetapi walau pun hanya memukul dengan tangan kosong, gadis ini diam-diam 

telah melumuri kedua tangannya dengan racun yang selalu dibawa-bawanya, sesuai dengan julukannya 

Dewi Racun!

Kini kedua tangannya itu mengeluarkan asap hijau sebab racun yang dipakai pada kedua tangannya itu 

amat jahat. Jangankan lawan yang terpukul sampai robek kulitnya hingga racun itu dapat meracuni darah, 

bahkan baru tersentuh saja, racun ini dapat meresap melalui lubang-lubang kulit dan membuat daging 

menjadi membusuk dalam waktu singkat!

Kini gadis ini menerjang nenek itu dari belakang, mencengkeram tengkuk dengan tangan kiri dan 

menghantam lambung dengan tangan kanan. Ang-bin Kwi-bo mendengus marah, tangan kirinya bergerak 

ke belakang dan kakinya diputar sedikit. Ketika tangan kirinya itu dengan jari-jari terpentang lebar dia 

dorongkan ke depan, menyambarlah angin pukulan yang hebat, lima buah kuku jarinya tergetar 

mengeluarkan suara dan tercium bau yang aneh sekali, ada bau harum, ada yang amis, dan ada pula yang 

berbau bangkai.

Hebatnya, tubuh Bhe Cui Im terhuyung-huyung mundur seperti terbawa angin badai, lalu terdengar gadis ini 

memekik dan Cui Im roboh sambil merintih-rintih. Dengan dua tangan menggigil gadis ini cepat merobek 

bajunya, maka tampaklah sebagian dadanya berwarna biru!

Dengan tangan masih menggigil, Cui Im mencari-cari di dalam saku bajunya. Setelah dia menemukan 

bungkusan yang dicarinya, cepat dia membukanya dan dengan jari-jari tetap menggigil dia segera menelan 

tiga butir pil berwarna hijau, kuning dan merah!

"Hi-hi-hik! Kau bocah lihai, dapat menahan sedikit dorongan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa 

Racun), tentu engkau yang disebut Ang-kiam Tok-sian-li Si Dewi Racun!"

Keadaan Cui Im tidak terlalu menderita lagi. Dia masih lemas, akan tetapi sudah dapat bangkit dan duduk 

bersila, mengatur napas. Tiga buah pil yang ditelannya itu mempunyai khasiat yang sangat manjur, dapat 

memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun.

Ang-bin Kwi-bo kini kembali menghadapi Biauw Eng yang sejak tadi hanya memandang semua itu dengan 

mata tidak peduli. Baginya, majunya Cui Im untuk membantunya sudah sewajarnya, dan robohnya Cui Im

pun bukan hal yang aneh.

Dia sendiri tak mampu berkutik, apa lagi yang dapat ia lakukan? Tidak lain hanya menanti datangnya 

hukuman yang dia tahu pasti sangat mengerikan. Akan tetapi sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, terutama sekali 

sebagai seorang tokoh muda yang berjulukan Song-bun Siu-li, dia harus menjaga nama dan akan 

menghadapi semua yang akan terjadi dengan mata tak berkedip.

"He-he-heh, sekarang kau boleh pilih, Song-bun Siu-li! Lebih baik kubuntungkan sebelah lenganmu, 

ataukah sebelah kakimu?"

"Ang-bin Kwi-bo, aku sudah kalah olehmu, Mau membuntungi lengan, kaki atau pun leher, terserah! Di sana 

masih ada ibuku yang kelak akan mencarimu untuk menagih hutang berikut bunga-bunganya!"

Ang-bin Kwi-bo menjadi marah setengah mati. Sudah menjadi kesukaan para tokoh sesat terutama Bu-tek 

Su-kwi empat datuk besar kaum sesat, untuk melihat calon korbannya merengek-rengek minta ampun dan 

merintih-rintih oleh siksaan. Maka kini menyaksikan sikap Biauw Eng yang malah menantang dan wajah


yang cantik itu tetap dingin bahkan senyumnya mengejek, nenek itu menjadi penasaran sekali dan merasa 

terhina.

Alangkah akan malunya dan rendah namanya apa bila ada yang melihat betapa Ang-bin Kwi-bo yang 

terkenal itu sekarang malah diejek oleh seorang tawanannya, seorang gadis muda! Kalau begitu sia-sia saja 

ia menjadi seorang di antara empat iblis yang sepatutnya membuat semua orang yang mendengar 

namanya menggigil ketakutan. Bocah ini sudah berada di ambang siksaan, akan dibuntungi kaki tangannya, 

tetapi bukannya takut malah mengejek dan menantang!

"Heh-heh-heh, siapa takut terhadap Lam-hai Sin-ni? Suruh dia datang! Kalau aku sudah dapat memiliki 

kitab-kitab Sin-jiu Kiam-ong, biar pun ada sepuluh Lam-hai Sin-ni, aku tidak takut. Eh, kau tidak gentar 

dibuntungi kaki atau tanganmu? Apakah yang paling berharga bagimu? Wajahmu begini cantik... hemmm, 

dahulu aku pun cantik sekali melebihimu, dan ribuan orang laki-laki jatuh bertekuk lutut di depan kakiku, 

mengagumi dan mencintaiku! Hi-hi-hik-hik, apakah yang lebih berharga bagi wanita kecuali kecantikannya? 

Kata orang, kecantikan jasmani hanyalah setebal kulit, akan tetapi tanpa adanya kecantikan jasmani, mana 

mungkin hati pria dapat bangkit seleranya? Memang setebal kulit karena kalau kulit mukamu yang cantik ini, 

yang halus putih kemerahan dan hangat, kubuang, kukupas, apa yang tinggal? Hanya tengkorak dengan 

daging membusuk saja! Ihhh, kau menjadi pucat? Bagus, ini tandanya kau mengenal takut, hi-hi-hik!" Nenek 

iblis itu terkekeh-kekeh, mulai senang hatinya karena ia mulai dapat menyiksa hati gadis itu.

Jantung Biauw Eng mulai berdebar karena ngeri. Dia tidak takut disiksa, tidak takut mati, akan tetapi 

bagaimana pun juga, dia adalah seorang gadis remaja, seorang gadis muda yang tentu saja sadar akan 

kecantikannya dan merasa ngeri mendengar ancaman ini. Namun dia memaksa diri tersenyum mengejek 

dan berkata,

"Lakukanlah, Ang-bin Kwi-bo! Kupaslah kulit mukaku sampai menjadi seburuk-buruknya! Akhirnya toh aku 

mati dan setelah menjadi mayat, apa bedanya cantik atau tidak?"

Ucapan ini keluar dari hatinya sehingga mengusir bayangan ngeri dari wajahnya. Hal ini membuat nenek ini 

mencak-mencak saking marahnya.

"Baik, kalau begitu aku tidak akan membuatmu mati! Kalau dikupas semua kulit mukamu, tentu kau akan

mampus. Terlalu enak buatmu! Ahhh, aku pernah melihat seorang wanita yang menderita sakit kotor 

sehingga hilang hidung dan bibirnya. Hidungnya hanya berupa sebuah lubang dan mulutnya juga sebuah 

lubang melompong. Lalat-lalat keluar masuk melalui lubang-lubang hidung dan mulut. Dan dia tidak mati! 

Hi-hi-hik, benar sekali. Kalau kupotong hidungmu yang kecil mancung ini, kemudian kukerat habis sepasang 

bibirmu yang begini penuh, halus kemerahan hingga membuat hati laki-laki ingin sekali mencium dan 

menggigitnya, kau tentu akan menjadi seperti dia! Kalau hidung dan mulutnya sudah menjadi dua lubang 

yang dirubung lalat, biar pun bagian tubuhnya yang lain amat bagus, laki-laki mana yang akan tertarik? 

Mereka akan menjadi jijik sekali, baru melihat pun akan muntah! Hi-hi-hik, menangislah, berteriaklah, tetapi 

aku tetap akan melakukan hukuman ini, hi-hi-hik!"

Iblis betina itu berjingkrak-jingkrak sambil terkekeh-kekeh karena kini Baiuw Eng menjadi pucat sekali dan 

dari sepasang matanya mengalir air mata! Selama hidupnya Biauw Eng belum pernah menangis karena 

ngeri dan takut, tetapi sekali ini dia benar-benar menjadi ketakutan karena tidak tahan mengingat ancaman 

yang amat mengerikan itu.

"Heh-heh-heh! Biar kupandang mukamu sampai puas dulu supaya aku nanti ingat betapa cantiknya engkau 

sebelumnya. Julukanmu Siu-li (Perawan Jelita), sungguh tepat! Cantik sekali kau! Sekarang, mana yang 

lebih dulu dipotong? Hidungmu atau bibirmu? Hidungmu saja agar bibirmu dapat menjerit-jerit, kemudian 

baru bibirmu. Wah, kuku tanganku sudah gatal-gatal, kini mendapat makanan empuk, hidung mancung bibir 

merah. Hi-hi-hik!"

Nenek itu sudah mendekatkan tangan kirinya ke depan hidung Biauw Eng, dan gadis ini memejamkan 

matanya, mukanya pucat, napasnya terengah-engah dan dadanya terisak menangis. Telah tercium olehnya 

bau kuku-kuku tangan kiri nenek itu hingga ia menahan napas, dan hampir pingsan dia ketika kuku-kuku itu 

sudah menyentuh cuping hidungnya. Agaknya nenek itu sengaja berlaku lambat agar lebih banyak ia dapat 

menikmati siksaan ini. Cui Im yang masih duduk dengan tubuh lemas memandang dengan muka pucat dan 

mata terbelalak.

"Iblis kejam...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.


Keng Hong telah meloncat tinggi dan dari atas dia mengirim serangan dorongan dengan kedua tangan ke 

arah punggung nenek itu. Tadi dia menjadi marah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan Biauw Eng. 

Meski tadinya dia tak mampu bergerak karena totokan yang istimewa dari nenek itu membuat tubuhnya 

kaku, namun sinkang di tubuhnya yang hebat luar biasa itu terus mendesak-desak sehingga akhirnya, 

dalam saat terakhir bagi keselamatan Biauw Eng, dia berhasil membebaskan diri dari totokan itu dan serta 

merta dia meloncat dan menyerang.

Dalam kemarahannya, dia langsung menggunakan jurus Siang-in Twi-san, yaitu jurus ke tiga dari satu-

satunya ilmu silat tangan kosong yang pernah dia kenal, San-in Kun-hoat. Serangannya hebat sekali karena 

kedua lengannya penuh dengan hawa sinkang yang amat kuat.

Nenek yang sakti itu terkejut mendengar desir angin serangan yang demikian hebatnya, maka cepat-cepat

dia menarik kedua tangannya dari Biauw Eng, tubuhnya membalik dan tangannya menangkis.

"Plak-plakkk...!"

"Aiiihhh...!" Ang-bin Kwi-bo menjerit kaget ketika tubuhnya tergetar dan dia dipaksa untuk mundur sampai 

tiga langkah ke belakang.

Apa lagi ketika ia melihat betapa pemuda yang menyerangnya itu hanya terhuyung sedikit oleh 

tangkisannya, sama sekali tak terpengaruh oleh tangkisan kedua tangannya, nenek ini benar-benar 

tercengang. Akan tetapi hatinya merasa girang sekali karena hal ini hanya membuktikan betapa hebatnya 

ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong yang dalam beberapa tahun saja dapat melatih muridnya selihai ini. Ia 

percaya bahwa kalau ia sampai berhasil menguasai kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, pasti ia akan 

menemukan ilmu-ilmu yang hebat.

"Heh-heh-heh, bocah hebat engkau! Bagaimana kau berhasil membebaskan totokanku?" Memang hal ini 

saja sudah menimbulkan keheranan dan kekaguman yang luar biasa bagi Ang-bin Kwi-bo. Di dunia ini 

jarang ada tokoh yang sanggup membebaskan totokannya, kecuali orang-orang yang setingkat dengan dia 

seperti ketiga datuk hitam yang lain.

Akan tetapi Keng Hong tidak memperhatikan nenek itu karena dia melihat betapa tubuh Biauw Eng menjadi 

limbung dan hampir roboh. Cepat dia melangkah maju dan berhasil memeluk pundak gadis itu sehingga 

Biauw Eng tidak sampai roboh.

Gadis ini merintih perlahan, terhimpit rasa ketegangan yang amat hebat sehingga setelah dia terbebas dari 

pada ancaman yang lebih hebat dari pada maut tadi, dia menjadi lemas sekali. Ketika ada orang 

memeluknya, dia lalu merintih dan membuka matanya perlahan. Melihat bahwa yang memeluknya dan 

memandangnya penuh rasa iba itu adalah pemuda yang telah membebaskan dirinya dari pada siksaan 

hebat, dia segera balas memeluk dan membenamkan mukanya di dada Keng Hong.

Sejenak keduanya berpelukan ketat dan Keng Hong merasa betapa jantungnya berdebar. Sama sekali tidak 

bangkit nafsunya terhadap gadis ini seperti ketika dia memeluk Cui Im, yang ada hanya rasa kasihan dan 

sayang.

"...terima kasih..." Ucapan ini perlahan sekali, hanya merupakan bisikan yang hampir tak bersuara, akan 

tetapi mendatangkan rasa lega dan kepuasan di hati Keng Hong dan dia pun tersenyum.

"Hi-hi-hik! Persis Sin-jiu Kiam-ong! Gurunya pemogoran, tentu muridnya hidung belang! Heh-heh-heh, 

setiap orang wanita tentu akan jatuh hati kepada bocah ini."

Ucapan Ang-bin Kwi-bo menyadarkan Biauw Eng dan sekali rengut ia melepaskan dirinya dari pelukan 

Keng Hong, kemudian mencelat ke belakang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia tidak merasa 

malu, hanya merasa heran terhadap diri sendiri mengapa dia mempunyai perasaan seperti ini!

Padahal selama hidupnya dia digembleng oleh ibunya supaya jangan jatuh hati pada pria mana pun. Dan 

selamanya dia tidak pernah memikirkan pria. Sekarang, tanpa disadari ia tadi telah memeluk pemuda itu 

dengan mesra, di depan mata orang-orang lain pula!

"Ha-ha-ha-ha, Sumoi, betul tidak kataku? Hati-hati terhadap dia, kau akan pulas di dalam pelukannya yang 

nyaman...


"Suci, tutup mulutmu...!" Bentakan ini mengandung kemarahan yang membuat Cui Im tak berani bersuara 

lagi, namun mulut wanita ini tersenyum dan pandang matanya terhadap Biauw Eng mengandung sesuatu 

yang aneh.

Akan tetapi Ang-bin Kwi-bo kini sudah menghadapi Keng Hong dan sambil tertawa dia berkata, "Bocah, aku 

masih ingat kepadamu. Semenjak kecil engkau sudah hebat, berani meniup suling mengacaukan 

pertandingan kami melawan Sin-jiu Kiam-ong."

"Ang-bin Kwi-bo, aku pun masih ingat kepadamu ketika engkau dengan iblis-iblis lainnya secara tidak tahu 

malu mengeroyok mendiang suhu. Sekarang engkau hendak menyiksa seorang gadis muda. Benar-benar 

engkau keji dan jahat seperti iblis sendiri!"

Nenek itu tertawa-tawa dengan hati girang. Maki-makian yang menunjukkan betapa kejam dan jahatnya 

bagi telinganya merupakan puji-pujian yang membesarkan hati. "Hi-hi-hik, dan aku dapat lebih kejam lagi 

kalau kau tidak menurut kepadaku. Kau harus ikut aku dan membawaku ke tempat penyimpanan pusaka 

peninggalan gurumu."

"Aku tidak sudi!"

"Aku akan memaksamu, bocah keras kepala!"

"Dipaksa juga aku tetap tidak dapat menunjukkan tempat itu!"

"Aku akan menyiksamu, membuat kau mati tidak hidup pun tidak, menjadi tiga perempat mati dan yang 

seperempat hanya kubiarkan hidup untuk mengalami derita yang hebat!" Nenek itu mengancam dengan 

suara marah.

"Percuma, biar disiksa sampai mati pun tidak ada gunanya karena aku sendiri tidak tahu di mana tempat 

yang kau maksudkan itu."

"Bohong...!"

"Sudahlah! Percaya atau tidak terserah, aku tak ada waktu lebih lama lagi untuk melayani ocehanmu. Aku 

pergi!" Setelah berkata demikian, Keng Hong meloncat dan lari pergi dari situ.

Akan tetapi tampak bayangan hitam berkelebat dan tiba-tiba saja nenek itu sudah berdiri menghadang di 

depannya. Keng Hong kaget dan merasa kagum. Ginkang dari nenek ini benar-benar mengejutkan, seperti 

terbang saja ketika mendahuluinya dan menghadang.

"Kau mau apa?" tanya Keng Hong.

"Kau harus ikut bersamaku!"

Keng Hong teringat akan pesan suhu-nya. Suhu-nya pernah menyatakan bahwa di dunia persilatan banyak 

sekali orang pandai yang takkan bisa dilawan olehnya, terutama sekali orang-orang seperti Bu-tek Su-kwi 

yang berilmu tinggi. Hanya bila dia sudah mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-nya, barulah ia akan 

cukup kuat untuk menghadapi mereka, demikian pesan suhu-nya. Dan sekarang dia berhadapan dengan 

salah seorang di antara mereka!

Sayang pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau saja dia bersenjatakan pedang itu, ingin 

sekali ia mencoba ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut untuk melawan nenek yang lihai bermain silat 

dengan senjata rambut dan kuku-kukunya ini! Betapa pun juga, dia harus melawannya.

"Aku tidak sudi."

"Hi-hi-hik, kau kira aku tidak dapat memaksamu? Kau kira dengan sedikit kepandaianmu itu engkau akan 

dapat menentang Ang-bin Kwi-bo? Hi-hi-hik!"

"Aku tidak dapat!" bentak Keng Hong.


Pemuda ini sudah menerjang maju, membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan yang diputar dari 

atas kepala terus ke bawah, cepat sekali sehingga kedua lengannya merupakan gulungan sinar putih, 

kemudian dari gumpalan sinar ini menyambarlah kedua pukulannya bertubi-tubi.

Keng Hong sudah memainkan jurus ke lima dari ilmu silatnya, yaitu jurus San-in Ci-tian (Awan Gunung 

Mengeluarkan Kilat). Angin pukulan kedua tangannya yang mengandung tenaga sinkang itu sampai 

mengeluarkan suara menderu dan membuat rambut riap-riapan serta baju nenek itu berkibar-kibar disambar 

angin pukulan.

"Pukulan yang aneh dan hebat...!" Nenek itu berseru gembira sekali karena harus ia akui bahwa sebanyak 

itu ia mengenal ilmu silat pelbagai aliran, belum pernah ia menyaksikan jurus pukulan yang dipergunakan 

pemuda ini.

Sebagai seorang ahli, dia segera dapat menilai bahwa jurus ini hebat sekali, mengandung segi yang rumit 

dan dahsyat. Akan tetapi hanya tenaga pemuda ini saja yang hebat luar biasa, tapi gerakannya belum 

‘matang’. Oleh karena itu, dengan mudah ia menghindarkan diri sambil meloncat ke kanan, kemudian 

membalik ke kiri cepat sekali dan rambutnya sudah menyambar ke arah leher Keng Hong!

Apa bila diukur kepandaian ilmu silatnya, tentu saja Keng Hong kalah jauh, maka ketika serangannya itu 

selain gagal juga dia dibalas secara kontan, pemuda ini menjadi sibuk menangkis dengan kebutan 

tangannya. Tenaganya memang hebat sekali, karena angin tangkisannya dapat membuat rambut nenek itu 

buyar, kemudian dia meloncat ke depan dan dari atas dia mengirim pukulan dengan jurus Siang-in Twi-san.

Serangan ini pun hebat sekali dan nenek iblis itu semakin gembira. Mula-mula yang akan dipelajarinya 

adalah jurus-jurus ini, pikirnya. Kalau dia sudah dapat memahami jurus-jurus seperti ini, kemudian dia yang 

memainkannya tentu daya serangnya akan hebat sekali dan sukarlah tokoh-tokoh tandingannya akan 

mampu menangkisnya! Kini secara tiba-tiba dia menggulingkan tubuhnya dan pada saat tubuh Keng Hong

yang menyambar lewat itu meluncur di atas kepalanya, ia mengulur kedua tangan mencengkeram ke arah 

kaki Keng Hong!

Keng Hong terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas. Gerakan ini 

bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi sehingga dia dapat menghindarkan dua 

kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah 

menerjangnya dengan pukulan Ban-tok Sin-ciang!

"Rebahlah!" teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa lari 

karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu datang membantu, dan lebih 

khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda 

murid Sin-jiu Kiam-ong ini.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat harum dan 

amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan menangkis dengan tangan digerakkan

dari samping.

"Desssss!"

Sekali ini tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang merasa betapa 

kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya hingga rambutnya yang riap-riapan itu 

terpecah menjadi tujuh buah pecut yang menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh 

Keng Hong!

Pemuda itu terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan sekaligus itu. Dia 

cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut 

itu mengenai sasaran lantas membalik ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu 

merasa tubuhnya bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan karena 

seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah menubruknya.

Keng Hong mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh oleh totokan-

totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya pening. Dalam pandang matanya yang 

berkunang dia melihat wajah nenek yang tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.

"Keng Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.


Gadis ini sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya masih lemah. Ada 

pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah membayangkan sikapnya yang 

dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak 

dapat ia sangkal bahwa ia mencinta pemuda itu!

Mendengar teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat mempergunakan 

pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan serangan dan kembali dia sudah 

mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin 

Kwi-bo sengaja memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua 

tangannya sendiri.

"Plakkk...!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.

Hebat bukan main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh Keng Hong 

terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng Hong makin turun dan akhirnya kedua 

kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.

"Ha, kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran, juga seruan girang sekali.

Wanita sakti yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa sinkang-nya mulai 

tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu 

melakukan totokan ke arah kedua pergelangan tangan Keng Hong.

Pemuda itu merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya sedotnya 

berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua tangannya hingga terlepas. Kemudian 

sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu 

terkena totokan pada kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya 

sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.

Dalam diri pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah dengan ilmu Thi-khi 

I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan! Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu 

saja, dilatihnya sempurna, maka dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!

"Ang-bin Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.

Gadis ini sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari atas dan 

bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah 

serangan yang amat berbahaya, serangan maut!

Ang-bin Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan kanannya 

untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya mengempit dan melingkar di 

pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek 

itu melanjutkan tangan kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu 

Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.

Gadis ini yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia mengelak ke 

samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-

ong telah berada di tangannya, karena itu dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek berpakaian putih 

yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini 

usianya sebaya dengan Ang-bin Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah 

menyeramkan dan buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang cantik 

sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang ramping, dan gerak-geriknya 

halus.

"Kwi-bo, sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur dengan suara halus 

akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi, 

"Kau ingin merasakan Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan tetapi tangan 

nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan 

nenek ini sudah mengancam muka Ang-bin Kwi-bo!


Ang-bin Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil mengerahkan 

tenaga Ban-tok Sin-ciang.

"Plakkk!"

Dua tangan bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya sudah 

tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang keluar dari tubuh Keng Hong

tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.

Ang-bin Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih mudah baginya 

untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga hanya dengan sebelah tangan saja akan 

sukarlah baginya menyelamatkan diri.

Cepat Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya, kemudian dia 

memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya mencengkeram ke arah dada 

lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-

ular hitam yang banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.

Nenek tinggi kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini, menggunakan 

tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi tubuh. Putaran tangannya ini 

mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo

dapat digagalkan semua karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran 

tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan si nenek sakti.

Akan tetapi, karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat ganas itu, 

tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo berhasil membebaskan diri lalu 

meloncat mundur dengan muka beringas.

Sementara itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah cepat-cepat 

menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui Im yang memikat, sebab pada saat 

itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.

"Lam-hai Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah menjadi mayat 

kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang engkau datang-datang langsung 

menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.

"Dia bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu, 

teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama 

subo!"

Nenek tinggi kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan bejuluk Lam-hai Sin-

ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,

"Ang-bin Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat dan aku di selatan, 

masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun. Sungguh pun kini timbul urusan 

memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan 

mengandalkan kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau hendak 

memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"

Melihat sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal siapa adanya 

datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan 

untuk menang.

Apa lagi dia melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan Song-bun Siu-li 

Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih berat menghadapinya. Belum lagi pemuda 

aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.

Ang-bin Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang pengalamannya. 

melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa mengejek.

BACA SELENGKAPNYA

👇👇👇

https://drive.google.com/file/d/1MSh5JPbH7q4mG5B2xd7Qu9Ngbl0xtMJd/view?usp=drivesdk



0 komentar:

Posting Komentar