PEDANG KAYU HARUM
Kiam-kok-san (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun
Lun San yang tidak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena
pemandangan di Kiam-kok-san kurang indah. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari
puncak gunung ini amat indahnya.
Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi bagai menara bei menembus awan, tak nampak
ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak
batu berawan itu adalah tempat kediaman dewa-dewa penjaga gunung.
Awan putih yang berarak bagai domba-domba kapas, yang tak pernah berhenti dihembus angin langit,
menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam-kok-san, berkumpul di sekeliling puncak seperti sehelai selimut
bulu domba yang hangat. Dari puncak ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah
kaki, menyusupi lembah-lembah bukit yang amat curam.
Indah, sukar dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari puncak Kiam
Kok-san. Betapa taman surga terbentang luas di bawah kaki gunung, suram-suram terselimut tirai halimun
menciptakan sifat yang ajaib penuh rahasia.
Bukan karena kurang indah, namun kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi
manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah yang penuh dengan batu gunung
yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki
puncak, tidak ada pula jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut mengintai
setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu.
Jurang-jurang yang amat curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas, rumput-rumput
hijau yang menjadi topeng bagi muara-muara dalam penuh lumpur dan ular berbisa, serta bahaya tersesat
jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka yang sudah memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa
dan para pendekar masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya
seperti Kiam-kok-san.
Pagi hari itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari pagi dapat
menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, lalu mengusir halimun serta menerangi
tanah puncak yang penuh lumut dan rumput hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang
bermandi cahaya keemasan matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tenteram.
Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang dijanjikan sebagai anugerah
tempat tinggal bagi para manusia yang di dalam hidupnya menjauhkan diri dari pada segala kemaksiatan
dan kejahatan.
Pada saat sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan langit,
tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah sangat tua, terbukti
dari kulit wajahnya yang dipenuhi keriput, dagingnya yang sudah tipis hingga tulang-tulangnya menonjol di
balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua
pundaknya. Apa bila ditaksir, usia kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun.
Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke
tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu
dengan sepasang kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata
dipejamkan.
Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu dari pada seorang manusia
hidup. Namun sebenarnya dia bukanlah arca, karena bila diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain
putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasan kakek itu yang halus dan panjang.
Di atas tanah, di depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas
paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan sesudah tertimpa cahaya
matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda dari pada pedang-
pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah
sebatang pedang kayu!
Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari seakan memandikan wajah tua keriputan itu. Di
bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak sangat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa
kakek ini dahulu tentunya seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas
membayangkan ketampanan seorang pria.
Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari semedhi. Dia membuka kedua
matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas sudah amat tua, namun
sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli
kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi,
karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) yang amat kuat saja yang bisa mempunyai
sepasang mata seperti itu.
Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri, dengan sinar
matanya seolah-olah dia menyantap dan menikmati segala keindahan yang diciptakan oleh sinar keemasan
sang surya itu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-
kata lirih.
"Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu terhadap seorang penuh dosa seperti
aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tidak mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan
ganjaran kepada orang yang sudah berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam
pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup?
Tidak ada! Hanya mala petaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku
pandai ilmu silat, karena... karena Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh, Tuhanku! Aku tidak
akan mengelak dari pada kenyataan. Aku rela dan siap sedia untuk menerima hukuman-hukumannya. Tidak
mungkin aku membebaskan diri dari pada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan
kasihMu, ya Tuhan...!"
Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua matanya
seolah-olah dia tak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang terbentang luas di depannya.
Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali?
Tidak! Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus lewat
mempermainkan daun-daun pohon. Paduan suara ini seakan-akan mengejek kakek itu, seolah-olah
menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia.
Tuhan Maha Kasih tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, pasti akan menerima uluran
kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang
Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan
tergantung dari pada rasa penerimaan si manusia sendiri!
Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini berubah
cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tak wajar di tempat itu. Kemudian
muncullah bayangan orang-orang yang berkelebat cepat. Gerakan mereka tangkas bagaikan burung-
burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di hadapan
kakek yang bersemedhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter.
Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu
saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung
hinggap di atas dahan.
Mereka berdiri tak bergerak, akan tetapi dalam keadaan siap siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya
masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan pedang yang
tergeletak di depannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam,
ada pun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak
disembunyikan.
Meski kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai dengan perubahan pada kicau burung, ternyata
sudah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersemedhi. Dia membuka kedua matanya dan
menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk
lingkaran kipas. Mulutnya tersenyum, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan
mereka itu memang telah diduganya.
Ada pun sembilan orang itu pada saat bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, langsung
menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka
bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya.
"Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang semestinya
kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadapmu lunas!"
Kakek itu menoleh ke kanan karena yang berbicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan dalam
lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak bergigi lagi, seperti senyum
seorang bayi yang belum bergigi.
Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang
nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya,
digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak.
Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang tentu dahulunya amat
indah manis itu kini agak ‘nyamprut’ karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya pasti tinggi
semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan,
tampak gagang pedang tersembul dari balik pundak kanannya.
"Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ahh, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun semangatmu
benar-benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan kini menghendaki pedang Siang-
bhok-kiam sebagai pengganti jiwaku? Eh, dalam hal apakah engkau mendendam kepadaku?"
"Keparat tua bangka! Jangan kau kira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk membikin aku
malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, tidak perlu
malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggagahi
dan memperkosaku. Dendamku kepadamu setinggi langit!"
Kakek itu tertawa, kemudian mengangguk-angguk. "Benar, betapa cepatnya sang waktu meluncur. Pada
waktu itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal sebagai seorang pendekar
wanita yang selain lihai juga amat cantik dan terutama sekali amat angkuh sehingga engkau menolak
semua pinangan pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Aku pun ketika itu masih
muda, belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan kepandaian memasuki kamarmu
dan memperkosamu. Akan tetapi, heh,Lu Sian Cu! Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku
dengan penuh kehangatan, betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan?
Lupakah engkau betapa engkau sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang juga
menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar lidah?"
"Cih, laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku masih dapat menerima pria lain?
Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau
sudah mempermainkan cintaku. Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau bahkan
mengejek dan minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!"
"Ha-ha-ha, engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang
yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan termasuk ikatan rumah tangga!
Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu, namun kita berdua, engkau dan aku, telah menikmatinya
bersama dan hal yang menyenangkan orang lain mana bisa kau sebut sebagai hal yang menyakitkan hati
orang itu?"
"Sie Cun Hong! Tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan nyawamu!" Sambil
berseru demikian, nenek itu kemudian mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan.
Senjata ini berupa cambuk warna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada ujungnya
terpecah menjadi sembilan dan di setiap ujung diberi baja pengait seperti mata kail. Inilah senjata cambuk
sembilan ekor yang sudah membuat nama nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan
yang dapat bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu.
Dan senjata itu pulalah yang membuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toanio (Nyonya Besar Berekor Sembilan),
sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati
terhadap penjahat. Telah puluhan tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang
tokoh-tokoh lain yang hadir di sana mendengar namanya disebut oleh kakek itu, yaitu Lu Sian Cu!
"Tar-tar-tar...!" Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara nyaring meledak-ledak.
"Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tetap tidak mau menyerahkan pedangmu?"
"Ha-ha-ha, engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah melempem,
apa bila kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini, nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!"
Nenek itu mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan telinga, yang
mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta ditolak. Cambuknya menyambar ke
depan sehingga tiga buah di antara sembilan ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-
ubun kepala kakek itu masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak
menyentil tiga kali.
"Tring-tring-tringgg...!"
"Aiiihhh...!" Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor
cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara mendadak membalik dan menerjangnya
pada tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar.
Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk
terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil
menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.
"Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin... cabul!"
Kakek itu hanya tertawa-tawa saja, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara
yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud...!"
Pada saat melihat bahwa yang kini maju adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia
tidak mengenal dua orang pendeta ini.
"Locianpwe betul-betul telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Sakti)
adalah tepat karena tangan Locianpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya
putih dan tubuhnya kecil kurus.
Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan di depan
dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...!”
Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di
depan dada sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang
bersikap merendahkan diri sehingga mau menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua
tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tidak perlu dikhawatirkan
atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati
karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.
"Ahh, berat sekali menerima pujian ji-wi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang
tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-
wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya
dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa maksud kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-
san?"
"Omitohud...! Kami berdua hanyalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai
untuk menemui Locianpwe."
"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan yang besar sekali!"
Kakek itu berkata tercengang.
"Pinceng Thian Ti Hwesio dan dia ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu
yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe supaya suka menyerahkan Siang-bhok-
kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak
menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to Ci-keng (Kitab
Perjalanan Bintang) dan I-kiong Hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu
suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan
menyerahkan Siang-bhok-kiam supaya semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke
tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"
"Aha, ternyata ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi merupakan tokoh-tokoh
tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan
sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan,
dan hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-
pai agaknya telah lupa bahwa pada waktu mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan
memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan maksud agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua
manusia hingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh pihak Siauw-lim-pai ilmu-
ilmu itu dipendam dan disembunyikan, hanya sebagian dari ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru lalu diturunkan
kepada murid-murid. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu itu semakin lama semakin berkurang dan
menjadi rendah nilainya? Walau pun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki
ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dengan pindahnya kitab ke tanganku, Siauw-lim-pai
sebenarnya tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang
manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab
pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh."
"Omitohud!" Hwesio tinggi besar Thian kek Hwesio melangkah maju sambil membentak keras.
Sekarang hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata kedua matanya
lebar sekali. Wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan
dalam cerita Sam Kok.
"Locianpwe agaknya menghendaki kami pun menggunakan cara Locianpwe sendiri. Tidak boleh meminjam
kitab-kitab lalu mempergunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak
Locianpwe berikan, apakah berarti bahwa kami juga harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan
pedang Siang-bhok-kiam itu?"
Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang
yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah
dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab,
"Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."
"Hemm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang, tapi pinceng sedikit-sedikit
juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio membalikkan
badannya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu lalu mendorong dengan
pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri.
Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda
angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andai kata manusia
diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pastilah tulang-tulangnya akan remuk, dan rontok isi
dadanya!
Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat
tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, tapi merusak amatlah mudahnya. Memang manusia
adalah perusak terbesar di antara segala makhluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan
pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang mampu dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah
engkau membuat sehelai daun saja? Hemm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya,
sungguh pun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Thian!"
Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-
daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan... bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua
daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon kemudian menempel sejadinya pada
cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang
pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah!
Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan
sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan
kedua tangan di depan dada dan menggumam,
"Omitohud...!"
"Maaf, sute-ku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini
sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang tergeletak di depan kaki Sin-jiu
Kiam-ong dan... pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah
kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu.
Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi
dari pada kekuatan sute-nya. Sin-jiu Kiam-ong bahkan mengeluarkan suara memuji,
"Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kau tidak boleh berganti majikan. Sekarang kembalilah!"
Dia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti
Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong!
Thian Ti Hwesio menjadi penasaran sekali. Dia segera menambah kekuatan pada kedua lengannya,
bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam
kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang
kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu di tempatnya yang tadi.
Thian Ti Hwesio mengusap peluh pada keningnya, lalu menjura sambil merangkap kedua tangan di depan
dada.
"Sin-jiu Kiam-ong makin tua semakin gagah, tepat seperti apa yang sudah diperingatkan suhu kami.
Siancai...siancai...!"
"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.
"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi
perutmu! Aku adalah seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku
dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta
diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!"
Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang berbicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek
berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan
kegagahan dan ketampanan. Sebatang golok telanjang mengeluarkan cahaya berkeredepan berada di
tangan kanannya, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.
"Ehhh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada
permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Kenapa engkau datang-datang memaki
orang?"
"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu tidak akan lenyap
sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah di sini yang
mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Pada lima puluh tahun yang lalu,
dengan kepandaianmu merayu engkau sudah mengganggu isteriku dan memaksanya melakukan hubungan
perjinahan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu memang aku kalah terhadapmu, akan tetapi sekarang
coba-coba kita buktikan! Bangkitlah dan lawan golokku!"
Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu. "Sin-to Gi-hiap,
sebelum memaki orang kenapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Dahulu aku memang melakukan
hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya hal itu kalau dia sendiri juga
menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan perbuatan itu karena mengingat betapa
engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa! Engkau
mendapatkan dia dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas
isterinya yang cantik. Apakah kau sangka aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan
sekali-kali akibat terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang
cantik? Engkau merampas wanita dengan jalan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa
bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!"
"Dasar keparat! Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi
engkau tentu mampus di sini dan biarlah nanti akan kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh di
atas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!"
Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap kemudian meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar
manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebat dan menggulung-gulung di
sekitar batu itu sehingga terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.
Sesudah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu di antara debu itu,
kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biar pun
kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil
memandang arca itu dan tersenyum!
"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang
kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Apakah tidak dapat diperhalus lagi? Biar
kubantu engkau."
Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong lalu mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di
depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring.
Segulung sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung, terus sinar itu mengelilingi arca batu kemudian
terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang memandang dan... arca batu yang tadinya kasar,
kini telah menjadi halus seperti digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah!
"Kiam-sut (ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to Gi-hiap yang sudah marah
sekali menerjang maju dengan goloknya.
Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerak berputar mengelilingi golok
lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, oleh karena kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan
jarak antara mereka masih jauh. Namun si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur
kemudian memandang ujung lengan bajunya yang sudah buntung!
"Kiam-ong masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan kini dua orang
kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-
ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat kemajuan batin, sehingga kulitnya indah akan tetapi isinya
busuk! Sin-jiu Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi utusan
dari Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu. Engkau pernah mencuri
seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat
oleh Sucouw kami. Ketua kami akan berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap
kami kalau engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!"
Kakek tua renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika ia menjawab.
"Bermacam-macam alasan yang dikemukakan dan bermacam-macam pula yang dipergunakan, tetapi
sebenarnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal
semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku pernah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan
obat. Akan tetapi semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang
Cui Bi yang cantik manis, dahulu pergi mengikuti aku secara suka rela dan berdasarkan cinta kasih, bukan
karena kupaksa! Ada pun pedang pusaka Hoa-san-pai, hingga sekarang pun masih kusimpan bersama
koleksiku yang lain, karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang
dibuat oleh mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw kalian karena ternyata obat
itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar supaya dapat kembali bersemangat laksana seekor kuda
jantan yang muda. Ha-ha-ha!"
Dua orang pendekar itu sejenak saling pandang, kemudian wajah mereka menjadi merah. Ucapan Sin-jiu
Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apa lagi kata-kata yang terakhir. Setelah saling
memberi isyarat dengan pandang mata, kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan…
"Singgg…!" tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka.
"Sin-jiu Kiam-ong, ucapanmu yang menghina ini telah menambah dosamu terhadap kami. Biar pun engkau
memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami dua saudara Coa jeri padamu. Hadapilah
sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya,
Coa Bu juga sudah siap dengan pedangnya.
Mereka ini masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau memainkan
pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka kedua orang ini mendapat
julukan Sepasang Pedang Sakti!
"Hemmm, aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang dan apa
adanya, sama sekali tak ingin menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak memperlihatkan Siang-sin-kiam
untuk menundukkan aku, maka kalian telah melamunkan hal yang bukan-bukan karena aku tak mudah
ditundukkan oleh siapa pun juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan dengan
halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja.
Coa Kiu dan Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka segera berkelebat dan tahu-tahu telah
menjadi sebuah gulungan cahaya tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh
mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Dengan suara mencicit nyaring, mendadak
gulungan sinar pedang ini melayang ke arah sebatang pohon dan pecah menjadi dua, lalu bagaikan mata
gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon.
Tidak terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang itu melayang
kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah kembali menjadi dua orang kakek Hoa-san-pai yang
sudah berdiri berdampingan, tiba-tiba batang pohon itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus
membuat batang pohon itu seolah-olah baru saja digergaji!
"Ha-ha-ha-ha, kalian ini pun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!" Sin-jiu Kiam-ong
mentertawakan.
Kakek Coa Kiu dan Coa Bu marah sekali. “Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi pedang kami?"
"Mengapa tidak?"
"Lihat pedang!"
Dua orang kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar terang menjadi
satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba saja terdengar suara mencicit keras ketika sinar
pedang itu menyambar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa sambil menyambar pedang kayu di
depan kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya
seperti kilat itu.
"Cing..cing..trang...!"
Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya. Meski berkali-kali mengitari tubuh
Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu, akan tetapi selalu terhalang sinar hijau dari pedang
kayu, bahkan kemudian terdengar suara keras dan... sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi
dua, yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua orang kakek itu sudah
berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak sedikit.
Mereka saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka tidaklah nekat dan
cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri,
lalu kembali ke tempat tadi, memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang
masing-masing.
Sin-jiu Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga orang yang
masih belum bergerak dan belum mengeluarkan kata-kata, sampai saat itu hanya menonton saja.
Dia melihat seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua orang Hwesio
Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Ada pun yang dua orang lain adalah sepasang suami
isteri tua yang dia tahu dulu pernah dia jumpai, namun lupa lagi kapan dan di mana.
Karena dia menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila dan berkata,
"Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini, akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu
dan datang ke sini, tentu juga membawa keperluan yang amat penting."
"Siancai..., Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda, segan mengalah
dan tidak mau menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu mudanya sungguh patut disayangkan!"
"Ha-ha-ha-ha, Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan, apa
gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan bersiap menerima hukumannya sebab berdosa atau
tidak tergantung pada penilainya, sedangkan penilainya sendiri penuh dosa dan bergelimang nafsu
mementingkan diri pribadi! Ehhh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran dan lebih
menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya dari pada orang yang
pura-pura suci akan tetapi di dalam hatinya sangat kotor, tidak sama dengan yang keluar dari mulutnya.
Karenanya, aku merasa senang sekali dengan ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini…”
Kemudian Sin-jiu Kiam-ong mengucapkan ujar-ujar itu seperti melantunkan lagu,
“Langit tiada peri kemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban.
Orang suci tiada peri kemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban.
Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan!
Kosong namun tak pernah berkurang
makin besar gerakan makin besar tiupan!
Banyak bicara sering kali menghamburkan tenaga
Lebih baik menjaga kejujuran!"
"Sin-jiu Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih mempunyai kesombongan! Menggunakan
ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti pinto (aku)! Sungguh amat
menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan
engkau pura-pura lupa betapa dulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai.
Kedatangan pinto ini hendak mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang. Kami bukanlah
orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya kalau engkau menyerahkan pedang
Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap kami."
Sin-jiu Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ahh, jadi Toyu ini seorang di antara Kong-thong Ngo-lojin (Lima
Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya
melatih diri dan kini kabarnya mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya
Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar di seluruh dunia,
juga merasa jeri untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada kalian lima kakek sakti ini! Dan kini seorang
di antara mereka memberi kehormatan kepadaku? Ha-ha-ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke
berapakah?"
"Yang empat lain adalah para suheng-ku (kakak seperguruan)".
"Ahhh, jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan tetapi aku percaya
yang termuda sekali pun tentu memiliki kesaktian luar biasa. Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat
menyerahkan pedang ini kepadamu."
"Kalau begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!"
"Begitukah wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu kenapa dulu
lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok di tempat judi! Aku yang
sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di waktu muda, tidak usah disebut-sebut lagi
mengapa aku bisa berada di tempat judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di
tempat judi yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah tentang
kebatinan? Ahh…, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya berpura-pura menjadi orang suci
akan tetapi batinnya kotor melebihi orang-orang yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan
dan teguranku, mereka marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang
kalah, yang menang hidup dan yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam hal itu? Kalau Toyu
menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang kesalahan mereka menantangku, terserah."
Wajah tosu itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya kereng, "Sebagai seorang tokoh Kong-thong-
pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan dari satu pihak saja. Untuk minta keterangan anak murid
kami yang tewas, tak mungkin lagi. Yang jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran,
sedangkan nama Sin-jiu Kiam-ong, siapa tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami
Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah dan mari
kita mulai!"
"Engkau yang berniat mengadu ilmu, engkau pulalah yang mulai, Toyu. Aku sudah siap melayanimu!"
Tosu ini melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata,
"Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dulu engkau membunuh lima orang murid Kong-thong-
pai dengan tangan kosong, maka sudah semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan
kosong. Bila mana pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, apa bila engkau yang
kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan dosa!"
"Ha-ha-ha, dalam setiap perbuatan selalu tersembunyi pamrih, di mana-mana manusia sama, menjadi
hamba nafsu pribadi. Silakan."
Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-jarinya itu
mengeluarkan suara berkerotokan dan tergetar hebat. Kedua tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga,
ada pun kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan!
Inilah Ilmu Ang-liong Jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang telah sangat terkenal
kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi amat hebat sehingga
tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau
mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi!
Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di hadapan Sin-jiu Kiam-ong, kedua tangannya
dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala dan dada kakek yang duduk bersila
dengan tenangnya itu.
"Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!"
Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring, sedangkan dua tangannya sudah menggetar-getar amat hebatnya.
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak pendekar.
Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi sayang masih dikotori rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong
Jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?"
Sambil berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulurkan sepasang lengannya dan sebelum tosu tua
itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu.
"Wesssss...!"
Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api membara bertemu
benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak tangan yang saling bertemu.
Tosu tua itu merendahkan tubuh sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-
liong Jiauw-kang, namun sia-sia saja karena kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama
menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak
tangannya, menjalar dari telapak tangan ke atas!
Wajah tosu itu mulai berkeringat, matanya merah dan mulutnya terbuka karena napasnya menjadi terengah-
engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah
Kok Cin Cu bahwa kalau adu tenaga sinkang ini terus dilanjutkan, maka ia akan roboh binasa. Terpaksa
tosu tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang
tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya.
Kok Cin Cu melangkah mundur ke tempat semula. Tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat
memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah,
"Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali pinto akan datang
kembali bersama para suheng."
Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami isteri tua yang semenjak tadi hanya menonton,
melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera menudingkan telujuknya.
"Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau pada kami suami isteri yang pernah mengalami penghinaan
darimu?"
Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak di samping
suaminya, kemudian dia menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah di
mana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini
pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya."
Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!"
Akan tetapi suaminya cepat-cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami memiliki perusahaan
pengawal barang kiriman. Apakah engkau lupa kepada Hek-houw Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan
Hitam)?"
"Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau adalah orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok itu? Dan
isterimu yang dulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata rahasia)? Hemm, aku pernah
merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan
kerajaan, bukan? Malah puterinya, ahh, masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis
itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan
terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku.
Tusuk konde dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku.
Ehh…, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"
"Sin-jiu Kiam-ong, pada waktu muda engkau sudah melakukan segala macam kejahatan. Merampok barang
milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal barang dan puteri.
Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua
ini menutup ucapannya dengan satu gerakan tangan yang langsung diikuti oleh isterinya.
Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan tahu-
tahu suami-isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata rahasia mereka.
Piauwsu itu menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau sambit) dan Toat-beng-cui (Bor
Pencabut Nyawa), ada pun isterinya mempergunakan Ngo-tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih
cepat dan lebih berbahaya dari pada kedua macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata
rahasia itu menyambar ke bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu langsung mengarah ke
jalan-jalan darah yang mematikan!
Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua tangannya dan
sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak bagaikan sepuluh ekor ular hidup, namun kuku-kuku jari
tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua senjata rahasia, bahkan dengan sentilan
aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan
senjata rahasia dari kedua pihak, yang menyerang dan yang mengembalikan!
"Sahabat-sahabat yang sealiran! Apa bila hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk, mau tunggu
sampai kapan lagi? Marilah kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek, piauwsu tua itu sambil terus
menyerang dengan senjata rahasianya.
Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam kepada Sin-jiu
Kiam-ong dan sudah jelas tadi bahwa kalau mereka hanya mengandalkan kepandaian masing-masing, tidak
akan mungkin mereka dapat mengalahkan kakek sakti itu. Sambil menyatakan setuju mereka semua
mencabut senjata dan menerjang maju!
Akan tetapi mendadak tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang,
kakek sakti itu bersama Siang-bhok-kiam sudah lenyap pula. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan
dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau halimun
tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa tergelak, seolah-olah
suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang tertutup oleh halimun tebal.
"Ha-ha-ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! Kalau aku tadi menghendaki, apa susahnya
membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa, alangkah mudahnya bagi
kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena dalam hari-hari terakhir ini aku masih
ingin menikmati tamasya alam yang sangat indahnya di Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian
karena aku tak ingin mengotori tempat seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena
aku masih ingin menikmati keindahan alam di sini. Bila mana kalian masih belum terima dan merasa
penasaran, hayo siapa yang berani boleh naik!"
Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang berilmu tinggi,
kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi batu pedang itu tidak dapat
didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang. Dan kalau mereka mendaki ke atas
seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa kepada kakek itu!
Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha-ha-ha! Jangan kira aku amat pelit untuk menyerahkan
nyawa di dalam tubuh tua ini atau menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu sebulan lamanya untuk
menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih menghendaki jiwaku, datanglah ke kaki gunung
sebelah selatan, di dalam hutan mawar, di sana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!"
Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada suara lagi.
Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apa lagi mencoba untuk mengejar kakek sakti itu ke atas
puncak batu pedang yang ujungnya lenyap tersembunyi di balik kabut tebal, akhirnya sembilan orang gagah
itu pergi meninggalkan Kiam-kok-san dan di dalam hati berjanji untuk mencari hutan mawar yang
dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian…..
********************
Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara. Dinasti Beng
didirikan oleh Ciu Goan Ciang yang berhasil mengusir pemerintah penjajah Goan (Mongol) dan kemudian
menjadi Kaisar pertama Dinasti Beng dengan julukan Kaisar Thai Cu (1368-1398).
Peking (ibu kota utara) yang tadinya merupakan kota raja Kerajaan Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini
tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota dipilihnya Nanking (ibu kota selatan) yang letaknya di
lembah Sungai Yang-ce-kiang, di daerah yang lebih subur tanahnya.
Akan tetapi kota Peking yang merupakan daerah pergolakan dan pangkalan penting untuk
mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara yang sudah diusir dari pedalaman,
tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini diperkuat dengan bala tentara besar dan dipimpin
oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.
Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertama meninggal. Kaisar Thai Cu
meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah meninggal dunia, maka sebelum
meninggal Kaisar Thai Cu sudah menunjuk keturunan dari putera sulungnya, jadi cucunya yang amat
dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik tahta pada tahun berikutnya. Cucu yang menjadi kaisar ke
dua dari kerajaan Beng ini bernama Hui Ti. Dan peristiwa inilah yang menimbulkan perang saudara.
Pangeran Yung Lo atau lebih tepat disebut Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di
Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa
lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke selatan,
ke Nanking. Terjadilah perang saudara.
Perang saudara selalu mengerikan, di mana terjadi bunuh-membunuh di antara saudara sendiri, antara
bangsa sendiri. Rakyat pun terpecah-pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah
atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk dapat mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan,
kedok, perisai dan senjata. Padahal ketika cita-cita sudah tercapai kemudian pribadinya dimabuk kemuliaan,
kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja!
Di bagian mana pun di dunia ini, tiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita paling hebat. Di
dalam masa yang keruh ini bermunculan orang-orang yang menggunakan kesempatan melampiaskan
nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum
rimba bermunculan di mana-mana.
Sudah lazim bahwa di dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang.
Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat yang berlainan, bahkan celakanya berlawanan,
maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan dan akhirnya mengakibatkan perpecahan dan
keributan.
Juga di dunia persilatan terjadi pula perpecahan sebagai akibat dari pada pendapat yang berlawanan
terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan Beng yang masih baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda
Yung Lo), tapi ada pula yang pro selatan (Kaisar Hui To). Maka di antara mereka terjadilah perang sendiri.
Akan tetapi banyak pula golongan atau tokoh persilatan yang mengundurkan diri dan tak mau mencampuri
segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai yang dipimpin oleh tosu-
tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara saudara sebangsa.
Thian Seng Cinjin, yaitu tosu tua berusia seratus tahun yang pada saat ini menjadi ketua Kun-lun-pai, sudah
mengeluarkan larangan keras kepada semua anak murid Kun-lun-pai untuk melibatkan diri dalam perang
saudara itu. Bahkan ketua ini telah memanggil semua tokoh-tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di
puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan semedhi sebagai
latihan dan sebagai keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka
tentang pelajaran dalam Agama To (Taoism).
"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," begitu antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil memandang
murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan seperti sekarang ini, camkanlah
baik-baik pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini bersenandung membaca isi pelajaran yang
mengandung makna dalam sekali.
"Dengan keadilan, negara dapat diatur.
Dengan siasat, peperangan dapat dilakukan.
Namun hanya dengan mengekang diri (tak bertindak),
dunia dapat dimenangkan!
Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?
Karena ini:
Makin banyak larangan, orang makin menderita.
Makin banyak digunakan senjata, makin banyak timbul kekacauan.
Makin banyak hukum diundangkan, makin banyak pelanggaran terjadi.
Makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-aneh.
Maka Orang Bijaksana berkata:
Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah kebaikan.
Kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai.
Kami tidak bertindak, rakyat hidup makmur.
Kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.”
Selanjutnya, dengan suara penuh kesabaran Thian Seng Cinjin juga memberi wejangan kepada murid-
murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut ajaran Tao dan murid Kun-lun-pai yang gagah
perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan
kewajaran. Hanya akan bergerak untuk menghadapi serta menanggulangi keadaan sebagai akibat. Tak
sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam
dan tidak mencampuri urusan yang tidak menyangkut diri pribadi.
Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara,
karena sekali mereka turun tangan, mereka akan semakin mengeruhkan suasana dan memperbesar
penyembelihan antara saudara sebangsa.
Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruang belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian
oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain
kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah tampan dan berpakaian
sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang
matanya amat tajam, dengan biji mata yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam,
pandangan yang luas dan penuh pengertian.
Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini bernama Cia Keng Hong, dan sudah dua
tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan
saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang saudara mulai pecah.
Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun dan keluarga Cia ini terbasmi habis
ketika gerombolan perampok yang muncul pada waktu perang saudara ini menyerbu dan merampok serta
membasmi seluruh penduduk Kwi-bun. Oleh karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua
keluarganya terbasmi habis.
Keng Hong yang pada saat itu kebetulan ikut menggembalakan kerbau bersama seorang pelayan di luar
dusun, selamat dan terbebas dari pada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang Tojin, tosu
yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin.
Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar
sekailigus penyebar Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat
menggunakan kepandaiannya menolong penduduk kemudian berhasil mengusir para perampok.
Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, lalu mengajak anak itu ke Kun-lun-san dan di situ Keng
Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan
tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai harus seorang
calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.
Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja sebagai seorang
kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah segera
dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan
menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakan untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun
dan rajin.
Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya mengijinkannya, dia memasuki kamar
perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dulu, Keng Hong telah belajar
ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia kelak menjadi seorang
terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi.
Kitab-kitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat
Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa dapat
menangkap jelas inti sarinya.
Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian Seng Cinjin
sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa kecewa mengapa anak yang
berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu.
Di lain pihak, Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Dia melihat sesuatu yang aneh
dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama sekali dari
pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk isi hatinya itu.
Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng Cinjin dan
anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa
mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat serta mendengar semua.
Suasana di ruangan belajar itu amat hening sebab para murid mendengarkan wejangan guru mereka
dengan penuh hormat dan kesungguhan hati, membuat Keng Hong berkerja makin hati-hati agar tidak
mengganggu. Akan tetapi dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar hal-hal
yang amat menarik hatinya. Dia mendengarkan terus.
"Suhu, kemarin di puncak Kiam-kok-san sudah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya dan
merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor. "Agaknya Sin-jiu Kiam-ong
sudah kumat lagi watak mudanya yang suka dengan keributan. Menurut laporan dari para murid, Suhu, ada
sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk pula dua orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-
pai dan seorang tosu Kong-thong-pai, mendatangi dia untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka telah
dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah
selatan kaki gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita."
"Siancai..., siancai...! Sejak dahulu Sie-taihiap (pendekar besar she sie) selalu mengejar kesenangan dan
ketegangan. Akan tetapi harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu tersembunyi watak
pendekar yang patut kita puji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan merupakan golongan yang tak kenal
budi. Dulu Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka kita mengijinkan dia bertapa di Kiam-kok-
san yang merupakan tempat suci bagi kita karena dahulu sucouw (Kakek guru) kita memilih tempat itu
sebagai tempat bertapa sampai musnah dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita
tidak mencampurinya. Pinto melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biar
Sie-taihiap menyelesaikan urusannya sebagaimana yang dia kehendaki."
Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, hati Keng Hong menjadi
tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca kisah tentang keanehan para pendekar. Walau pun Kun-lun-pai
merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang Tojin penolongnya adalah
orang yang berilmu tinggi, apa lagi guru penolongnya itu tentu seorang yang sakti, tetapi mereka tak
memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini
pada saat mendengar tentang Sin-jiu Kiam-ong yang hendak menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung
sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia menjadi ingin sekali menonton.
Demikianlah, pada hari yang telah ditentukan, sebulan setelah pertemuan di puncak yang disebut puncak
Lembah Pedang, Keng Hong menggembalakan kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya bila dia
menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu, dia akan pergi menuju ke utara. Akan tetapi sekali ini
dia sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput hijau
gemuk di luar hutan mawar.
Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti
seperti yang dia ketahui dari percakapan antara ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia lalu berbaring
menelungkup di atas punggung kerbau yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya.
Keng Hong mempunyai kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil ia sudah bermain
suling, pandai meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia
dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguh pun dirangkai sejadinya
namun amat sedap didengar.
Sementara itu, sejak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong sudah duduk bersila di antara sekelompok bunga
mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, sekarang pedang Siang-bhok-kiam juga
tergeletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tanpa bergerak, dengan kedua mata dipejamkan,
hening tenggelam ke dalam semedhi.
Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak, kemudian perlahan-lahan dia mengejapkan matanya. Ia
mengerutkan kening saat mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini mempunyai
kebiasaan yang aneh, yaitu apa bila dia mendengar sesuatu yang mengesankan, maka daun telinga kirinya
dapat bergerak seperti telinga kelinci!
Kalau dia sedang semedhi, meski pun ada suara halilintar menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan
terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang di dalam siulan-nya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari
siulan-nya (semedhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran
sangat mengharukan, yang sangat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun bambu.
Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan
halus ini lebih kuat pengaruhnya dari pada ledakan halilintar, menggugah dia dari semedhi dan membuat
kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah itu!
Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan mendatanginya,
berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang sangat sakti. Hanya orang sakti yang sudah tinggi
tingkat kebatinannya saja yang akan dapat meniup seindah dan sebersih itu, dengan getaran-getaran asli
dari watak yang belum dikotori oleh segala macam nafsu duniawi. Saking tertariknya, kakek ini bangkit
berdiri, menyambar pedang kayunya lalu seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan
dari mana tiupan suling datang.
Ketika sampai di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang sedang
duduk di atas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak Sin-jiu
Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.
"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Di mana bisa terdapat orang yang begitu bersih hatinya sehingga
tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah saja yang akan sanggup meniup suling seperti itu.
Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang bocah?"
Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah kusuk bersila lagi, akan tetapi kali ini dia tidak
bersemedhi, namun memasang pendengarannya menikmati alunan lagu yang terhembus keluar dari
lubang-lubang suling.
Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu telah
mengunjunginya di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia tak peduli, bahkan pura-pura tidak tahu dan masih
menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai.
Dia seperti orang terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang
kembali kepada masa mudanya sehingga diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus merasa
malu bahwa di ambang kematiannya, karena memang dia sudah mengambil keputusan hendak
menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia melakukan jasa
sedikit pun selama hidupnya.
Bahkan sebaliknya ia selalu hidup mengejar kesenangan, bergelimang dalam cinta kasih dengan banyak
wanita yang dibalasnya hanya berdasarkan dorongan nafsu birahi. Belum pernah selama hidupnya dia
menjatuhkan hati, mencinta seorang wanita dengan murni.
Betapa dia hidup secara berandalan, tidak pernah membedakan antara baik dan buruk, ugal-ugalan,
merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka, mendatangi jagoan-jagoan hanya untuk memuaskan
nafsunya ingin menang, menyerbu partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.
Walau pun semenjak dahulu dia tidak pernah mempunyai niat untuk menjahati orang lain, namun wataknya
yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan
makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah hatinya.
Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa
bosan dan lelah, seperti juga dia yang sudah merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk
berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya dari pada senangnya.
Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya menyapu para
pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga, dengan senjata pada
tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak, bukan untuk bicara lagi. Semua mata
sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam yang menjadi pusat perhatian dan yang sebenarnya
merupakan sebab utama kunjungan mereka.
"Ahh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku takkan melawan bila hendak
membunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku berhak memiliki Siang-
bhok-kiam maka lebih dulu hendak kujelaskan kegunaan pedang ini." Kakek itu mengambil pedang kayu
dari depannya.
Pedang ini terbuat dari kayu yang jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang
terdapat di dekat Puncak Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya Sin-jiu Kiam-ong
mendapatkan pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.
Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya tersisa beberapa batang saja di seluruh puncak Himalaya.
Kayu yang sangat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi di samping harum kayu ini juga
merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apa bila tersentuh kayu ini
seakan-akan terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.
"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik napas panjang
dan mencium pedang itu dengan ujung hidung. "Bukan hanya merupakan pedang wasiat yang amat
keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia tempat simpanan seluruh milikku, mulai dari
kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga
dan senjata-senjata mustika. Betapa pun juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat
memiliki semua itu melalui pedang ini. Akan tetapi kalian juga harus ingat baik-baik, karena kalian semua
menghendaki pedang ini, maka kurasa siapa pun di antara kalian tidak akan mudah dapat membunuhku
sungguh pun aku berjanji tak akan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap, siapa mau
turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"
Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya di atas
tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum ikhlas, sama ikhlasnya dengan
hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.
"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau mau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar teriakan
Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu.
Teriakan itu disusul bunyi bergeletar nyaring sekali. Sinar-sinar hitam manyambar karena sembilan ujung
cambuk yang memiliki kaitan-kaitan itu telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.
"Trang-trang-trang...!" Bunga api berpijar dan kesembilan ‘ekor’ cambuk terpental.
"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah. Matanya mendelik
memandang ke arah delapan orang lain yang sudah serentak maju menangkis cambuknya.
"Hemm, bukan kau seorang saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, Kiu-bwe Toanio, kami pun
memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai dan secepat kilat Coa Kiu
dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan pedang mereka menjadi sebuah cahaya
panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam dengan maksud mendahului dan merampas pedang
kayu itu sebelum yang lain sempat bergerak.
"Trang-trang...!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental akibat ditangkis oleh banyak senjata.
"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh…!" Thian Kek Hwesio tokoh
Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.
Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu mengerutkan
kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang mengatakan bahwa siapa pun
di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biar pun si kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu
sudah dapat menduga lebih dulu bahwa di antara sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!
Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya meniup suling di
atas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup sulingnya perlahan-lahan. Setelah
tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk
menentramkan hatinya yang berdebar-debar.
Dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan terbuka di hutan
mawar itu. Sambil menahan napas dia pun menonton dan mendengarkan seluruh percakapan. Diam-diam
timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang duduk bersila, apa lagi setelah dia
mendengar ucapan kakek itu seakan-akan telah menyerahkan nyawanya kepada sembilan orang yang
sikapnya mengancam itu.
Dan pada saat yang sama timbullah rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang
watak orang-orang budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok seorang
kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik dan hina!
Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak ada seorang pun
di antara mereka mengeluarkan kata-kata, tetapi pandang mata mereka sudah menyatakan perasaan
mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang, siap menggempur lawan untuk
memperebutkan pedang pusaka yang sangat mereka inginkan itu.
Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang dan berkata,
suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.
"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu saja amat
sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita semua membuktikan,
siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh untuk memiliki Siang-bhok-kiam." Setelah berkata
demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan…
"Singgg…!" terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk
baja yang tipis dan halus.
Kiranya sabuk ini adalah senjata istimewa tosu itu, dimainkan seperti orang memegang sebuah pecut yang
tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil
memutar sabuk itu di atas kepala, lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu
Ang-liong Jiauw-kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai dari pada sabuk baja itu sendiri!
"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio yang beralis putih
kepada sute-nya sambil memutar tongkat yang dibawanya.
Bukan tongkat sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut
Liong-cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan beratnya
tidak akan kurang dari dua ratus kati!
Sute-nya, si tinggi besar berkulit hitam Thian Kek Hwesio juga telah mengeluarkan suara gerengan dan
segera dia menggerakkan tangan kanan.
"Wuuuuttt...!" terdengar suara dan angin keras menyambar.
Kiranya dia telah melolos jubah yang dipakainya tadi dan kini jubah itu sudah dia pegang ujungnya. Jangan
anggap ringan senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah
menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya menandingi pedang!
Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Dia melihat betapa kakek tua renta
yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan tetapi senyum di
mulutnya jelas mengandung ejekan, seakan-akan kakek itu menahan rasa geli dan memaksa diri tidak
tertawa bergelak.
Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang
dianggapnya seperti badut-badut tak tahu malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan
tulang. Dari tempat dia sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja.
Akan tetapi mana mungkin dia bisa tertawa kalau menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan
senjata semua?
Pada lain saat pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika terdengar suara
desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebat. Dia ternganga keheranan dan
hampir tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri.
Tubuh sembilan orang-orang tua itu telah lenyap dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan
berkelebatan dibungkus bermacam-macam sinar, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising
sekali, ada suara meledak-ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan
seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti di situ terdapat
banyak pandai besi bekerja!
Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas nampak kakek tua renta masih duduk
bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu masih tetap menggeletak mati di depan kakinya.
Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing ditujukan
untuk mencegah lain orang merampas pedang. Maka, sampai lama tak ada korban yang jatuh, apa lagi
karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat. Tanpa
mereka sadari, mereka itu saling bantu dalam pertempuran kacau-balau itu.
Biar pun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya pertandingan dan
hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar. Beginilah watak manusia di seluruh
jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak
manusia yang sangat bodoh dan lucu, seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang
menggelikan!
Manusia di dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang
mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka hanya memperebutkan kedudukan, atau nama, atau
harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai ‘cita-cita’ ini, mereka tidak segan-segan untuk saling
menjatuhkan fitnah, saling menyalahkan, saling mengejek, saling menipu, saling merugikan dan apa bila
perlu saling membunuh!
Yang besar melahap yang kecil, yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap
oleh yang lebih besar lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita
cantik diperebutkan secara tak kenal malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia dalam
hidup masing-masing.
Padahal, dan hal ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama petualangannya puluhan tahun, semuanya
itu kosong belaka. Semuanya itu akan musnah kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan
yang didapat, melainkan terlalu sering sekali bahkan mendatangkan kepahitan. Karena yang menang akan
mabuk dan diintai mata dan hati si kalah yang penuh iri dan dendam, yang kalah akan mabuk oleh dendam
dan penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang!
Kakek ini seakan-akan dapat melihat betapa siapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam
selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau memikirkan hal ini!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara tawa yang memekakkan telinga, yang membuat
Keng Hong tiba-tiba saja roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak berkelebat tiga bayangan
hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba berhenti karena sembilan orang itu
terpelanting ke kanan kiri.
Sekarang mereka bersembilan berdiri siap siaga dengan wajah penuh keringat, mata liar mengganas
memandang ke arah tiga orang yang mendadak muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang
sembilan orang tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi itu terpelanting ke kanan kiri.
Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang itu. Jantungnya
berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak, hatinya diliputi kengerian. Tentu bukan manusia
yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan.
Belum pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian mengerikan. Orang
pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal yang kasar serta riap-riapan
menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri merah seperti udang direbus, mulutnya menyeringai
memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan
selalu menyeringai.
Pakaiannya dari sutera hitam berkembang merah dengan potongan ketat hingga melekat di kulit tubuhnya,
mencetak tubuhnya bagaikan telanjang bulat sehingga tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar
seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari tangannya
panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam kemerahan, amat mengerikan!
Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih delapan puluh
tahun. Tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, tentu sedikitnya ada dua meter, besar dan kulitnya hitam
arang penuh bulu. Apa bila tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut disebut orang hutan.
Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Oleh karena kulit mukanya juga hitam seperti arang,
maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan. Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang
mengerikan adalah sepasang tengkorak kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung pada kedua
rantai baja, dua buah tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua
tengkorak itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya.
Ada pun orang ke tiga, sungguh pun tidak tinggi besar menyeramkan, akan tetapi cukup mengerikan karena
bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, namun kepalanya besar sekali dan berbentuk lonjong
seperti buah labu. Mukanya sempit dengan sepasang mata yang hanya merupakan dua buah garis kecil,
sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang
gagangnya hitam namun bulu kebutannya putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu
bergerak-gerak seperti orang membaca doa!
Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar masih tertawa
sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya turut bergerak-gerak dan saling beradu
menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula tertawa.
Sembilan orang tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, sesudah dapat memandang tiga
orang ini, tampak terkejut sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang manusia iblis ini memang jarang
muncul di dunia ramai, namun sebagai tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan tentu saja mereka mengenal siapa
adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari golongan sesat ini.
Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah) yang seolah-olah merajai kaum sesat
pada sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu
adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar
di utara, bahkan terkenal sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga
yang kate dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa Lengan
Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada tokoh yang sanggup
menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang pada masa itu merupakan tokoh-
tokoh yang tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat penjuru.
"Ha-ha-ha!" Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan pandang
matanya. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, sungguh menyeramkan. "Ternyata
sembilan tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-ha! Memang benar sekali, sebelum
berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi pemenang terlebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai
golongan, setelah melihat kami bertiga datang, tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun
tangan dan menjadikan kalian sebagai setan-setan tanpa kepala?"
"Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Apa bila dibunuh, tentu kelak teman-temannya akan menggonggong,
akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai.
Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Meski pun pada saat itu mereka
saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, akan tetapi mereka tetap merasa diri mereka
bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum sesat, tentu saja mereka merasa
bertemu dengan lawan sehingga otomatis mereka melupakan pertentangan sendiri, di dalam hati sudah
bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai
tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar.
"Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis
Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak memiliki Siang-bhok-kiam, akan
tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami
semua pendekar golongan bersih untuk membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!"
Terdengar suara ketawa terkekeh melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo telah menerjang maju menyerang
Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan puluh tahun, sudah banyak
pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari tandingannya dalam permainan golok, menjadi
kaget bukan main karena nenek itu menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu...rambutnya!
Rambut yang gimbal kasar panjang ini bagai ratusan ekor ular serentak menerjangnya, mengeluarkan suara
seperti anak panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar
goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian dari pada rambut itu menggulung goloknya dan sebagian lagi
terus menyambar ke arah lehernya!
Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian Ti Hwesio
dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan.
Thian Ti Hwesio menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio
menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap! Sambil
terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur kemudian ia
mengulurkan kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir saja terlepas dari
pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan dada.
Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu telah berubah makin menghitam dan jari-jari tangan itu
bergerak-gerak aneh, sangat mengerikan. Betapa pun juga, dua orang tokoh Siauw-lim-pai bersama Sin-to
Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya.
Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Walau pun tidak ada yang memimpin dan tidak ada
komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toanio bersama dua orang tokoh Hoa-san-pai telah
maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio lantas menggerak-gerakkan pecut berekor sembilan
yang mengeluarkan bunyi ledakan-ledakan kecil, sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah
menyatukan pedang mereka.
Sedangkan sepasang suami isteri piauwsu, yakni Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama Kok Cin
Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak tenang-tenang saja. Si kate
kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya seperti orang mengusir lalat, namun
hudtim yang hanya dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu mengeluarkan suara bersiutan seakan-akan datang
angin topan yang dahsyat! Suara ini diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya
ada sepasang tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.
Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat
mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan bayangannya lenyap terganti oleh
sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi ketiga orang manusia iblis yang mengerikan. Meski
pun mereka itu belum saling serang, akan tetapi keadaan sudah amat menegangkan.
Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong
masih duduk diam tidak bergerak, namun senyum mengejek di bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua
mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu
mengeluarkan sinar yang berkilat!
Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik dengan pertandingan yang telah dimulai. Begitu dia
mengalihkan pandangan matanya, dia menjadi pening. Pertandingan sekali ini ternyata lebih hebat dan
cepat dari pada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebat, sukar dia mengenali bayangan siapa,
berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-gulungan uap hitam, kemudian terdengar pula
bermacam-macam suara yang menusuk-nusuk telinga, selain itu tercium bau yang amis dan keras
memuakkan.
Namun pertandingan itu berjalan sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa
Pak-san Kwi-ong, disusul oleh suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu
terpelanting lagi ke kanan kiri, akan tetapi sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.
Pada saat sinar-sinar itu mulai lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada yang terbanting
roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini menyeringai kesakitan dan bangkit bangun lagi
dengan wajah pucat.
Pecut sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini ekornya tinggal lima, Liong-cu-pang di tangan Thian Ti
Hwesio semplak pada bagian ujung yang bulat, jubah di tangan Thian Kek Hwesio robek, pundak Sin-to Gi-
hiap berdarah.
Napas kedua Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah, sedangkan tangan mereka yang memegang pedang
menggigil. Juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan
tenaga sambil mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kedua suami-isteri piauwsu itu pun memandang
pedang mereka yang tinggal sepotong, adapun kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong
karena isinya hanya habis dihamburkan dengan sia-sia.
"Hi-hi-hik-hik! Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata Ang-bin Kwi-bo.
"Kelancangan kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa.
"Bersembahyanglah lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!" Kini untuk pertama kalinya
terdengar suara Pat-jiu Sian-ong dan ternyata suaranya halus dan seperti suara orang yang penuh kasih
sayang!
Sembilan orang itu sudah bersiap-siap. Mereka itu semuanya sudah menderita luka, dan yang tak terluka
telah mengorbankan senjatanya yang menjadi rusak. Akan tetapi karena maklum bahwa nyawa mereka
terancam maut, mereka siap-siaga untuk melawan sampai detik terakhir.
Meski pun tidak tahu akan ilmu silat, apa lagi ilmu silat tinggi yang dimainkan mereka, dari percakapan itu
Keng Hong maklum pula bahwa ketiga orang manusia iblis itu siap untuk membunuh sembilan orang tokoh
pendekar itu, maka dia membelalakkan matanya sambil memandang dengan penuh ketegangan. Suling
bambu di tangannya dia pegang erat-erat, seolah-olah dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut.
Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Gerakan mereka berbarengan, masing-masing
mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut pada kepala Ang-bin Kwi-bo menyambar ke depan, berlomba
cepat dengan rantai tengkorak serta hudtim pada tangan kedua orang kawannya.
Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka tak berdaya menghadapi
kehebatan ketiga orang lawan ini, apa lagi sekarang setelah mereka terluka dan lemah. Betapa pun juga
mereka terluka dan lemah, mereka tetap saja menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.
Tiba-tiba saja terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar hijau yang
panjang dan tebal, kemudian disusul bunyi nyaring.
"Cring-cring-tranggg...!"
Tiga orang manusia iblis itu cepat mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangkisan cahaya
hijau tadi membuat sebagian rambut di kepala Ang-bin Kwi-bo rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-ong
berputaran, ada pun kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai!
Peristiwa ini bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka
mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan heran, mereka
mencelat mundur dan kini mereka memandang dengan mata terbelalak penuh dengan kemarahan.
Kiranya di hadapan mereka sudah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-senyum dan pedang Siang-
bhok-kiam yang diperebutkan itu sudah berada di tangan kanannya. Kakek ini tenang-tenang saja menoleh
ke belakang dan berkata kepada sembilan orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak
kagum.
"Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biar aku yang menghadapi mereka karena tiga iblis ini
adalah tandinganku!"
Meski berwatak angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang yang
mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah mundur dan hanya
menonton dari pinggiran.
"Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek
tua renta itu. "Kabarnya engkau sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia ramai.
Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah menyerahkan nyawa, tak akan melakukan perlawanan.
Kenapa sekarang engkau hendak menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan
hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali ucapannya yang gemanya pun
masih terdengar?"
Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah baik-baik! Aku
sama sekali tak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada sembilan orang yang mewakili
partai-partai yang dahulu pernah kuganggu. Aku berhutang kepada mereka, karena itu sekarang aku
bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini sama harganya dengan nyawaku, maka
kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas
nyawaku!"
"Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka bicara
denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali mengira bahwa
kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah.
"Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki kesukaan yang
sama dengan aku, yaitu berenang di dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang, heh-heh-heh, engkau
buruk sekali...!"
"Gila...!" Ang-bin Kwi-bo langsung menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku runcing
mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong.
Kakek ini menggoyang pergelangan tangannya. Sinar hijau lantas berkelebat dan si nenek memekik keras
kemudian cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam
dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam!
Kedua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang
lebih dahsyat lagi dari pada tadi. Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan
seruan-seruan kagum.
Mereka adalah orang-orang sakti, karena itu dengan pandang mata yang terlatih mereka dapat menikmati
dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-benar belum pernah mereka saksikan
keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga
orang iblis itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.
Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu Kiam-ong dan tiga
orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang kelihatan olehnya hanyalah segulung sinar hijau
bagaikan seekor naga bermain-main di antara mega-mega yang beraneka warna, ada mega hitam, ada
yang putih dan ada yang kemerahan.
Pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sehingga Keng Hong terpaksa harus
memejamkan matanya. Bila ia membuka matanya, ia menjadi silau dan berkunang lagi. Terpaksa ia
pejamkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang terdengar hanya lengking dan
suara bercuitan, dia tidak tahu bagaimana jalannya pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang
kalah.
Jangankan bagi mata Keng Hong yang belum terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang telah tinggi tingkat
kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu Kiam-ong dan ketiga orang
lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan, semakin cepat sehingga sukar diikuti
pandangan mata lagi.
Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang hijau itu mendadak menjadi lebar sekali pada waktu terdengar Sin-jiu
Kiam-ong membentak, kemudian nampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul
pekik kesakitan tiga orang iblis itu. Tetapi tampak jelas oleh kesembilan orang itu betapa ujung pedang
Siang-bhok-kiam sudah berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-
ong terkena guratan kuku tangan Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan salah sebuah
tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu.
Sin-jiu Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga tombak
jauhnya. Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak. Tiga orang iblis itu terengah-engah, pandang
mata mereka beringas, mulut menyeringai.
Tiga orang iblis ini diam-diam merasa girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong sudah terkena luka beracun. Racun-
racun pada kuku Ang-bin Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah
ampuhnya.
Apa bila mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar patut berjuluk
Raja Pedang oleh karena permainan pedangnya memang hebat di samping pedang itu sendiri amat ampuh.
Akan tetapi kalau mereka mengadu sinkang, pengerahan tenaga sakti akan membuat racun itu menjalar
secara hebat dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka terkena tusukan ujung pedang Siang-
bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka itu tidak terlalu dalam, juga tak mengandung racun,
mereka tidak khawatir untuk mengerahkan seluruh sinkang di tubuh mereka.
"Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong.
Ia telah menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok, kemudian setelah melibatkan senjata rantai di
pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Itulah
pukulan jarak jauh yang mengandalkan Iweekang yang sudah sempurna, dikendalikan oleh sinkang (hawa
sakti) untuk memukul lawan dari jarak jauh.
Pada waktu yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya sehingga
terdengar suara berkerotokan dan kedua lengannya menggigil, kini mendorong lengan kanan ke depan
sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Pat-jiu Sian-ong telah menancapkan hudtim-nya di pinggang, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak
mendorong ke depan. Berbeda dengan dua kawannya yang mendorong sambil mengerahkan sinkang tanpa
menggerakkan lengan, kakek kate ini terus-menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak
tangan menghadap ke arah Sin-jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak
tangan.
“Wut-wuut-wuutt…!” Terdengar bunyi dari kedua telapak tangan itu.
Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu sinkang. Di
samping Kiam-ong (Raja Pedang) dia juga berjulukan Sin-jiu (Tangan Sakti). Dia maklum bahwa lukanya
yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu sinkang, namun karena tiga orang lawannya
sudah siap menantang, dia sebagai seorang yang berjuluk Sin-jiu, bagaimana mungkin akan menolak?
Penolakan mengadu sinkang berarti memperlihatkan rasa jeri.
Karena itu sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu menggerakkan
lengan, dia pun langsung mendorong ke depan dengan kedua lengannya, menghadapi lawan. Segera
terasa olehnya tenaga gabungan lawan menyerang dirinya. Dia mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam
kedua lengannya, berkumpul pada kedua telapak tangannya dan ketika dia mendorong, serangkum tenaga
dahsyat menerjang ke depan dan menahan angin pukulan tiga orang lawannya.
Apa bila sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, maka Keng Hong
memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka lakukan, pikirnya. Sungguh
lucu. Mengapa mereka itu diam tidak bergerak seperti patung dengan lengan diluruskan ke arah lawan dan
hanya kakek kate itu saja yang terus menggerak-gerakkan kedua lengan, mendorong-dorong angin
kosong? Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka sudah sedemikian tuanya sehingga
menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan yang serba cepat tadi?
“Trik-trik-trik…!” Tiba-tiba terdengar suara terus-menerus, makin lama makin nyaring.
Kiranya suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil mendorong
menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri sehingga mengeluarkan bunyi seperti itu.
Beberapa detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari kerongkongan
mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah, tetapi tiada hentinya, sambung-
menyambung dan mengandung getaran hebat.
Segera dua suara ini disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng.
Kiranya suara ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi kelenengan. Pat-jiu Sian-ong
memegang tambur ini dengan tangan kirinya sedang tangan kanan masih terus didorong-dorongkan ke arah
Sin-jiu Kiam-ong. Oleh kakek pendek ini tambur itu dipukul-pukulkan pada paha dan lututnya, sekali
dipukulkan pada kulit tambur kemudian pada tepi lingkaran sehingga menimbulkan suara duk-creng-duk-
creng nyaring sekali.
Sembilan orang itu mendadak duduk bersila dan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi heran sekali dan
lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk. Jantungnya berdebar
aneh dan telinganya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Ia melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya penuh keringat
dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan yang dilonjorkan ke depan bergoyang-
goyang! Dia tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu bahwa suara-suara yang dikeluarkan oleh ketiga
orang manusia iblis itu merupakan suara mukjijat yang mengandung tenaga getaran amat hebat dan dapat
melumpuhkan bahkan membinasakan lawan!
Untung bahwa Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang, karena kalau dia sudah mempelajarinya
dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia pun telah roboh binasa. Memang suara-suara mukjijat
tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap mereka yang tidak mengerti sama sekali, hanya menimbulkan
suara tidak enak yang menusuk-nusuk telinga, dan getaran itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas.
"Dasar manusia-manusia iblis!" Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak pada telinganya hampir
tak tertahankan olehnya.
Dia teringat akan sulingnya, maka dengan gemas dan marah dia lalu meniup sulingnya. Suara-suara itu
begitu bising dan amat tidak enak didengar, pikirnya. Maka lebih baik aku memperdengarkan suara suling
yang merdu untuk mengusir suara tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak
lama kemudian, suara-suara bising tidak enak itu sudah bercampur dengan suara tiupan sulingnya.
Bocah ini memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Tapi karena tidak ada yang membimbing,
maka dia merupakan peniup murid alam! Dia dapat menirukan suara-suara yang didengarnya. Kalau
hatinya senang, tiupannya mengandung suara yang gembira ria dan tentu terasa oleh siapa pun juga yang
mendengarnya. Kalau dia berduka atau marah, suara sulingnya tentu membawa getaran perasaannya ini
tanpa disadarinya.
Sekarang ia sedang marah, maka suara sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung
tinggi, melengking-lengking bagai bocah rewel menangis. Akan tetapi akibat terpengaruh oleh bunyi-bunyi
lain, kepandaiannya yang timbul dari bakatnya membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah
suara suling yang amat aneh.
Kadang-kadang meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo, kadang-kadang seperti menggerengnya
tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali mengarah suara tambur di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-
pikuk tak karuan, akan tetapi justru kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekan dan daya serang
rangkaian tiga suara yang dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi!
Setelah meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang tak sedap
didengar itu, Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia kemudian mengangkat muka memandang
dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu kini tidak lagi menggigil sungguh pun wajahnya
masih pucat.
Sepasang mata kakek itu ditujukan kepadanya, hanya sekilas pandang, akan tetapi Keng Hong dapat
merasa betapa pandang mata kepadanya itu penuh kagum, rasa syukur dan gembira! Hal ini menimbulkan
kegembiraan di dalam hatinya.
Keng Hong bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia sangat cerdik dan biar pun dia tidak
mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara sulingnya tadi sudah membantu
kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad untuk mengacau terus suara-suara bising yang keluar
dari tiga orang manusia iblis itu.
Setelah meniup sulingnya makin keras dan makin kacau, tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya untuk
diganti dengan suara nyanyian yang nyaring. Bocah ini memang memiliki suara yang nyaring dan cukup
merdu. Akan tetapi karena dia ingin mangejek orang-orang yang mengganggu kakek tua itu, dia teringat
akan bunyi ujar-ujar dalam kitab-kitab kuno yang dibacanya, yang kini dia lupa lagi entah dari kitab mana.
Kemudian dia menyanyikan ujar-ujar itu dengan lagu yang dikarangnya sendiri sejadi-jadinya:
Mengerti akan orang lain adalah bijaksana pikirannya,
mengerti akan diri pribadi adalah waspada batinnya!
Menaklukkan orang lain adalah perkasa tubuhnya,
menaklukkan diri pribadi adalah kokoh kuat batinnya!
Merasa puas dengan keadaannya berarti kaya raya,
memaksakan kehendak kepada orang lain berarti nekat!
Tahan tanpa derita berarti terus berlangsung,
mati tapi tidak musnah berarti panjang usia!
Karena banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya, bocah ini lupa bahwa yang tadi
dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab To-tik-kheng yang menjadi pegangan penganut Agama To, dan
tidak tahu bahwa ujar-ujar itu mengandung makna yang amat dalam. Akan tetapi sebagian dari pada kata-
kata itu kena betul dan mengejek mereka semua yang berada di sana, tidak hanya tiga orang manusia iblis,
bahkan juga sembilan orang sakti yang kini sudah tidak lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau
oleh Keng Hong dan yang mendengarkan dengan mata terbelalak.
Mereka ini, sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa jiwa Sin-jiu Kiam-ong sudah tertolong.
Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah serangan mereka dengan suara-suara menekan, kakek itu
telah terdesak amat hebat dan sewaktu-waktu pasti akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-
jiu Kiam-ong kembali dapat menekan mereka tiga orang lawannya.
Tiga orang iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru marah mereka itu
lantas meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini dalam keadaan masih bersila
mengeluarkan seruan panjang pula. Tubuhnya mencelat ke atas menyambut terjangan ke tiga orang lawan.
Pertemuan hebat terjadi di udara dan terdengar suara nyaring bertemunya senjata yang disusul dengan
jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang terpelanting ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun
lagi dan berdiri tegak dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan.
Tiga orang manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher mereka bertiga lecet dan terluka oleh guratan Siang-
bhok-kiam. Setelah memandang sejenak, mereka cepat membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa
kali loncatan saja ketiganya sudah lenyap dari tempat itu. Kiranya mereka kini menjadi jeri karena maklum
bahwa mereka bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguh pun selisihnya hanya
sedikit saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan) yang
menjadi orang keempat dari Bu-tek Su-kwi!
Setelah tiga orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik napas panjang dan
tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini lalu bangkit dan duduk bersila,
wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan tiba-tiba dari mulutnya menetes-netes darah segar!
Melihat keadaan kakek ini, sembilan orang tokoh sakti itu maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah terluka
parah dan mereka melihat kesempatan yang sangat baik untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam yang
kini masih berada di dalam genggaman Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya mereka sudah dapat menerka isi hati
masing-masing, karena seperti mendapat komando, sembilan orang itu lalu bergerak maju menghampiri
Sin-jiu Kiam-ong.
Terdengar kakek itu tertawa di balik batu, kemudian berkata, "Ha-ha-ha...! Kalian hendak mengambil Siang-
bhok-kiam? Sudah kukatakan, aku tidak akan melawan, apa lagi dalam keadaan seperti ini... uh-huh... Bu-
tek Sam-kwi betul-betul tangguh... Nah, ambillah siapa yang berjodoh...!" Ia menancapkan pedang kayu itu
di depannya di atas tanah.
Sembilan orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tak akan melarang
kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah lemah sekali. Akan tetapi mereka
tidak ada yang berani bergerak karena tahu pula bahwa jika ada yang berani mengambil pedang, tentu akan
dihalangi oleh yang lain! Hal ini yang membuat mereka menjadi ragu-ragu.
"Tahan...! Tahan...! Kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba terdengar teriakan marah.
Keng Hong yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu sekarang menghampiri Sin-jiu Kiam-ong dan
memeluk leher kakek itu dari belakang sambil memandang sembilan orang itu dengan pandang mata penuh
kemarahan.
Sembilan orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling dan mengacau Bu-tek
Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah yang sangat berani itu karena mereka
terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang. Kini baru mereka teringat dan mereka lalu menduga-duga
apakah hubungan anak ini dengan Sin-jiu Kiam-ong.
"Heh, bocah lancang! Siapakah engkau dan mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio dengan pandang mata
marah.
Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu Kiam-ong,
"Kongkong (kakek), engkau terluka? Ahhh, mereka ini orang-orang yang tidak mengenal budi!"
Sin-jiu Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh kekaguman
dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata yang menitik turun dari kedua mata kakek itu!
Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai seorang petualang di dunia persilatan dan selalu hidup gembira, tak
pernah berduka apa lagi sampai menangis! Bahkan ratusan kali menghadapi ancaman maut sekali pun
belum pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi sekarang dia menitikkan air mata! Sesudah menarik
napas panjang, Sin-jiu Kiam-ong memejamkan matanya kembali.
Keng Hong melepaskan rangkulannya pada kakek itu, cepat meloncat ke depan Sin-jiu Kiam-ong seolah-
olah dia hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan orang itu, "Kalian ini orang-orang gagah
macam apa? Tidak kenal budi, berhati kejam! Siapa tidak tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian
sudah mati semua di tangan tiga iblis tadi? Kakek ini yang tadi menolong kalian mengusir tiga iblis dan
mengorbankan dirinya hingga terluka, namun kini kalian tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh
pengecut, curang dan kalian ini lebih jahat dari pada si tiga iblis! Mereka itu sudah terang adalah orang-
orang jahat dan menggunakan nama iblis, tetapi mereka sedikitnya lebih jujur dari pada kalian. Sebaliknya
kalian, yang tadi kudengar menggunakan nama sebagai golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar
perkasa, namun kenyataannya kalian ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja bersih namun
di sebelah dalam lebih busuk dari pada yang busuk! Aku Cia Keng Hong walau pun tidak ada hubungan
dengan kakek ini, akan tetapi sebagai manusia aku tidak rela menyaksikan kejahatan yang melewati batas.
Kalau kalian hendak membunuh penolong kalian yang terluka parah ini, jangan kepalang tanggung
melakukan kekejaman, bunuhlah aku terlebih dahulu!"
Wajah kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak kecil ini sangat
tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke ulu hati mereka. Akan tetapi urusan yang
mereka hadapi jauh lebih besar. Apa artinya makian seorang anak kecil penggembala kerbau? Tadi pada
saat memasuki hutan, mereka telah melihat Keng Hong menyuling di atas kerbaunya.
Di balik perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang kelihatan kejam, tersembunyi persoalan-
persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak perlu diperdebatkan dengan seorang bocah! Tidak
mungkin kalau hanya karena maki-makian bocah ini mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung
di hati, dibela dengan perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek
Sam-kwi.
"Bocah bermulut lancang, kau tahu apa? Hayo minggat dari sini!" Hek-how Tan Kai Sek piauwsu tua itu
melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng Hong.
Akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung mundur akibat ada tenaga hebat yang mendorongnya. Kiranya Sin-jiu
Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong. Wajah kakek ini masih pucat, akan tetapi sinar
matanya berseri-seri dan mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum.
"Tiada seorang pun yang boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah ahli warisku.
Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia muridku, orang yang akan mewarisi
semua milikku termasuk pedang Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!"
Sembilan orang itu tercengang! Mereka bersusah payah mengandalkan dendam mereka untuk berusaha
mendapatkan pedang pusaka serta warisan kitab-kitab dan ilmu si raja pedang, tetapi kini begitu saja si raja
pedang mengangkat murid dan hendak mewariskan Siang-bhok-kiam kepada seorang bocah penggembala
kerbau!
"Omitohud! Kehendak Tuhan terjadi penuh mukjijat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang.
"Sin-jiu Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap.
Sin-jiu Kiam-ong tertawa. "Siapa melanggar janji? Bukankah kukatakan bahwa aku tidak akan melawan
kalau kalian hendak membunuhku di sini? Bukankah aku pun tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak
menghalangi bila mana kalian hendak merampas pedang Siang-bhok-kiam? Bukankah kukatakan sebulan
yang lalu bahwa yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam ialah orang yang berjodoh dengannya? Nah,
ternyata bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan ketahuilah, sesudah aku
mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi untuk
mendidiknya, sesuai dengan tugas kewajiban seorang guru! Pergilah kalian, pergilah...!"
Sembilan orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biar pun Sin-jiu Kiam-ong sudah
terluka, akan tetapi ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar dilawan. Selain itu, mereka sendiri pun
sudah terluka dan kehilangan senjata.
Mereka ini adalah orang-orang cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua, apa lagi
menderita luka hebat. Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu jelas belum mengenal ilmu silat
sama sekali. Digembleng bagaimana hebat pun, hanya dalam beberapa tahun apa artinya? Akhirnya
mereka tentu akan dapat merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong,
melainkan dari tangan ahli warisnya ini!
Pada saat itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang tosu yang berwajah gagah
penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang berilmu tinggi itu.
Ketika semua orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang Tojin yang datang, melainkan banyak
sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh orang, semua memegang pedang seperti Kiang
Tojin. Gerakan mereka begitu rapi, tangkas dan ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung!
Sejenak Kiang Tojin memandang pada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura penuh hormat
kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada Sie-taihiap (pendekar besar she Sie) bila
mana pinto dan saudara-saudara mengganggu. Kehadiran banyak sahabat kang-ouw di Kun-lun-san masih
dapat kami biarkan mengingat bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, Hanya kehadiran tiga Bu-tek
Sam-kwi benar-benar tak dapat kami biarkan begitu saja. Tokoh-tokoh datuk hitam macam mereka tidak
berhak mengotori bumi Kun-lun! Harap Taihiap maklum dan maafkan pinto yang datang karena memenuhi
perintah suhu."
Sin-jiu Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap amat sabar, sungguh
patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan orang tokoh yang mengganggunya dan berkata, "Apa
bila kalian sembilan orang masih tidak hendak lekas pergi, aku tidak akan menganggap kalian sebagai tamu
lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai akan menganggap kalian bagaimana."
Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan lalu ia berkata,
suaranya penuh wibawa dan kereng. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat tokoh-tokoh partai persilatan
besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini
berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat
dikatakan keterlaluan kalau terpaksa mengusir cu-wi."
Sikap Kiang Tojin amat kereng dan sembilan orang itu sudah cukup mengenal siapa tosu ini, maklum
bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya sangat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang berjumlah
tiga puluh orang dan telah mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin sanggup dilawan
oleh mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai
sendiri yang datang!
Maka setelah menjura dan menggumamkan kata-kata maaf, mereka segera membalikkan tubuh dan pergi
meninggalkan tempat itu. Karena mereka merupakan orang-orang pandai, maka gerakan-gerakan mereka
amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak
lagi.
Kiang Tojin sudah menyimpan kembali pedangnya, ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri
menjauh karena mereka itu semuanya merupakan tokoh-tokoh yang sangat menghormati si raja pedang
yang pernah melepas budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai
diserbu oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga Kun-
lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.
Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, telah terdesak dan hanya setelah Sin-jiu Kiam-ong
yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini kemudian datang membantu, maka pihak musuh dapat
dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu
dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap
keramat oleh golongan Kun-lun-pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.
"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian Seng Cinjin guru kalian, bahwa aku meminta perkenannya
untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi, atau lebih jelasnya sampai
matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong
meraba kepala Keng Hong yang semenjak tadi sudah berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-
saudaranya muncul.
Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang hingga terdengar seruan-seruan kaget dan heran.
"Siancai..., sungguh luar biasa sekali nasib anak ini...! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa hal itu tidak
mungkin dapat dilakukan oleh karena... karena anak ini adalah orang Kun-lun-pai...!"
Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama hidupnya dia selalu
membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai
dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa jika memang anak ini adalah seorang murid Kun-lun-pai,
amat tidak baik kalau dia memaksa dan mengambilnya sebagai murid, betapa pun sukanya dia terhadap
anak ini. Dia lalu menunduk dan bertanya kepada Keng Hong.
"Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?"
Keng Hong tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia
diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun, perasaan yang aneh
sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di hatinya bahwa dia harus menjadi
murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai agar bisa menghadapi manusia-manusia jahat, terutama
sekali manusia-manusia munafik yang banyak terdapat di jagat ini. Sekarang mendengar percakapan antara
tosu penolongnya dan Sin-jiu Kiam-ong, dia pun cepat berkata,
"Bukan, aku bukan murid Kun-lun-pai! Memang sekarang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai, akan
tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali belum pernah mempelajari ilmu silat di Kun-
lun-pai!"
"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh kepada tosu itu
dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak mengatakan
bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai, tetapi hanya mengatakan bahwa dia adalah orang Kun-
lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah dusun yang dilanda bencana
perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan pinto dapat menyelamatkan dia
kemudianmembawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi
kami terbentur oleh peraturan baru. Belum lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak
murid dari Kun-lun-pai harus seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon
tosu, maka hingga kini dia berada di Kun-lun-pai dan selama dua tahun ini bekerja sebagai pembantu.
Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri."
"Hemm, begitukah? Kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung, tiada halangan bagiku
untuk mengambilnya sebagai murid. Ehhh, Kiang-toyu, apakah engkau berkeberatan kalau dia kuambil
murid?"
"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah ini sendiri. Keng Hong, pinto
sudah menyelamatkanmu dari pada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat budi dan hendak
meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong bangkit berdiri. Sesudah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis dan sembilan
orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin terhadap Kun-lun-pai yang
tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang budiman. Dia memandang tajam kepada
Kiang Tojin lalu berkata,
"Totiang, sampai mati pun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang sudah menolong nyawa saya dan
sampai mati pun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang itu. Akan tetapi, apakah
budi yang dulu Totiang lepas mengandung pamrih supaya selama hidup saya harus ikut dan menuruti
segala kehendak Totiang? Apakah Totiang hendak merampas kebebasan saya? Totiang, pernah saya
membaca ujar-ujar di dalam kitab kuno bahwa budi disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, akan
tetapi pemberian hutang yang harus dibayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang
menghutangkan budi kepada saya?"
"Ha-ha-ha...!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus kepala anak itu. "Bocah,
engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu, maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah
ketularan watakku! Sekarang engkau hendak bilang apa lagi, Toyu?"
Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sebetulnya tidak ada sedikit
pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha memisahkan Keng Hong dari Sin-
jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong
menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini semata-mata timbul karena rasa sayang kepada Keng
Hong.
Dia mengenal orang macam apa adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang sejak mudanya hanya
mengandalkan kepandaian malang melintang, seorang petualang yang tak pernah segan-segan melakukan
segala jenis kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Dia ingin melihat Keng Hong menjadi
seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu akan
mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela napas dan berkata,
"Siancai... hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya ingin
mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi murid Taihiap. Akan
tetapi ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama oleh Keng Hong sendiri.
Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kun-lun-pai, maka pada
kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap
dipersilakan menempati Kiam-kok-san sebab Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi
kelak bila mana Taihiap tidak lagi berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong untuk
berada di wilayah kami. Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan
berkahNya."
Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian setelah menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong
segera meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi laporan kepada Thian Seng Cinjin.
Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong untuk diajak mendaki puncak Kiam-kok-san
sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu adalah orang-orang
yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan...! Segala aturan yang dibuat oleh
manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat kaki tangannya sendiri. Ehh, namamu
memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang kita berjodoh... aughhh...!" Kakek itu memegangi
dadanya dan kakinya terhuyung.
"Ehh... kenapa? Suhu... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ahh, tidak seberapa hebat. Tahukah engkau
bahwa pada saat engkau menyebut Kongkong kepadaku, aku merasa seolah-olah engkau ini cucuku
sendiri? Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah, bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih
tepat menjadi muridku. Hemmm..., akan kuberikan seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan
saja tak terlambat. Mari kita naik ke Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak
banyak. Aku... setan laknat tiga iblis itu... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah dipunahkan Siang-
bhok-kiam, akan tetapi... ahhh…, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-
mudahan tidak terlambat..."
Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya, namun dengan patuh dia lalu mengikuti suhu-
nya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-ong mengempitnya dan
merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak
menyatakan rasa ngerinya!
Ketika mereka memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir
menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil hingga gigi atas beradu dengan gigi bawah.
Namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali.
Ketika suhu-nya melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia
berada di puncak batu pedang, dan bahwa puncak itu tidak meruncing seperti nampaknya dari bawah.
Halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawahnya.
Puncak itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu cukup lebar berbentuk segi
empat, seolah puncak itu tadinya meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima puluh meter dan di
situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi rumput dan lumut hijau muda.
Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian dunia lagi,
melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan tetapi Keng Hong tidak kuat
lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki
gurunnya!
Keng Hong sadar di dekat api unggun. Ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya bersila di
dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang panas, tekankan
dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak panas. Jangan ragu-ragu,
kubantu engkau."
Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak terasa sama sekali
olehnya. Apa bila tidak ada telapak tangan gurunya yang menempel pada punggungnya, telapak tangannya
yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat
menahan.
Akan tetapi dia mematuhi perintah suhu-nya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang,
sambil menekankan keyakinan bahwa hawa sebetulnya tidak sedingin yang dianggapnya semula. Memang
tadinya agak sukar, akan tetapi semakin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa memang
dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas sampai mulailah keluar
peluh di lehernya!
"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Bila mana batin kita kuat, maka kita akan dapat menguasai alat
yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Kau harus berlatih seperti ini, memperkuat
kemauan hingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat kepadamu. Jika hatimu bilang panas, tubuhmu
harus merasa panas, sebaliknya bila menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa dingin pula." Demikian
kakek itu memberi pelajaran pertama.
Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun, si guru yang
mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih tanpa mengenal waktu. Tidak
ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak batu pedang itu sedang terang ataukah
sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya
gemblengan yang diberikan gurunya.
Ia mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan
kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum kalau kerongkongannya
sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia sudah dapat turun dari batu pedang dan
menggantikan pekerjaan gurunya untuk mencari bahan makanan.
Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya itu dengan cara-cara yang luar biasa. Segala pengertian dasar
ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan tekankan agar dilatih
terus-menerus oleh muridnya. Latihan semedhi dan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang
(hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi sedikit ‘memindahkan’ sinkang-nya sendiri melalui telapak
tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.
Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat cerdik, setiap
pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi sebaliknya, bila Keng Hong
memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat.
Kakek ini semakin sering terbatuk-batuk, dan kadang kala batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini
menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan
sekarang karena terlampau rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah.
Namun hal ini tidak mengurangi semangatnya. Dia terus melatih muridnya secara tekun dan teliti karena dia
merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir di dalam hidupnya yang tidak berapa lama lagi
itu…..
********************
Sang waktu lewat dengan sangat cepatnya. Memang tidak keliru apa bila dikatakan oleh penyair kuno
bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, akan tetapi lambatnya mengalahkan kelambatan seekor keong
berjalan. Bila tidak diperhatikan setahun terasa seperti sehari, sebaliknya bila diperhatikan dan ditunggu,
sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak tampak dan tak terasa lagi,
seakan-akan berhenti, padahal segala sesuatu terseret kemudian hanyut dalam perputarannya, dilahap dan
ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan lagi.
Tanpa terasa, apa lagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng Hong hidup berdua
dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas tahun, kini berusia tujuh
belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit yang segar dan putih kemerahan
membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan mukjijat tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya
model sederhana, hanya kain polos berwarna kuning yang kasar, dibuat secara kasar pula. Warna kuning
adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si guru semakin
lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong kini melihatnya, tentu
akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya kurus kering dan hanya sepasang
matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh semangat, itu pun hanya kalau dia sedang
melatih muridnya.
Pada hari itu, sinar matahari sudah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu pedang.
Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera agar bisa menerima sinar
matahari pagi yang mengandung daya kekuatan mukjijat untuk meningkatkan tenaga sinkang di tubuhnya.
Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia duduk.
"Keng Hong...!"
Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang sanggup menyadarkan Keng Hong setiap saat, karena
selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Dia cepat sadar dari
latihannya dan membuka mata, memandang gurunya. Hati pemuda remaja ini berdebar.
Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya. Biar pun wajah itu masih membayangkan seri dan gembira,
namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya
berdebar. Hari ini wajah gurunya bagaikan matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan
cahayanya.
"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum sambil mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika dia
menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara denganmu."
Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya ini pun tidak seperti biasanya. Tentu ada sesuatu yang
amat penting. Ia cepat-cepat bangkit dan menghampiri suhu-nya, lalu duduk bersila di depan suhu-nya.
Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya dalam keadaan tidak sedang
berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang dengan penuh perhatian. Kini nyatalah
olehnya betapa suhu-nya amat kurus, tinggal kulit membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan
yang luar biasa saja suhu-nya dapat bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhu-nya menderita
luka-luka parah di sebelah dalam tubuh, luka yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu
beberapa bulan saja. Namun suhu-nya dapat bertahan sampai lima tahun!
"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi kalau melihat dari banyaknya perubahan musim, tentu
kurang lebih lima tahun."
"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah cukup banyak kau belajar dariku. Sayang waktunya
amat tergesa-gesa hingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan Iweekang kepadamu.
Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai landasan dan aku tidak khawatir
kau akan mudah terkalahkan oleh orang lain. Akan tetapi ilmu silatmu... ahh…, tidak ada waktu bagi kita
sehingga hanya dasar-dasarnya saja kau kuasai. Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng
Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong
yang sederhana dan juga ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang
memberatkan hatiku, karena apa bila engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan orang
tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apa lagi bertemu dengan Bu-tek Su-kwi (Empat
Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan."
Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa hubungannya
kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu hendak belajar ilmu kepada suhu
untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri dari pada serangan dari luar, baik itu
serangan lahir mau pun batin. Teecu tidak ingin mencari musuh!"
"Ha-ha-ha, muridku, engkau masih hijau dan tidak mengenal watak manusia, juga belum mengenal watak
dan dirimu pribadi. Tidak ada makhluk seserakah manusia. Bila mana engkau sudah turun ke dunia ramai,
akan kau temui semua sepak terjang manusia yang membabi buta karena dorongan nafsu mereka sendiri.
Kau tidak mencari musuh, namun engkau akan dimusuhi! Dan mau tidak mau engkau akan terseret dan
terlibat ke dalam rantai yang tak kunjung putus, rantai pergulatan dan permusuhan antara manusia demi
untuk memenangkan dan memuaskan hawa nafsu yang menguasai diri pribadi. Aku pun dahulu menjadi
seorang di antara mereka yang menjadi abdi nafsuku sendiri, Keng Hong. Aku tidak pernah memusuhi
orang, juga tak pernah mengandung maksud hati melakukan kejahatan terhadap diri orang lain. Akan tetapi,
pengejaran ke arah pemuasan nafsuku membuat aku bentrok dengan lain orang, dan membuat aku dicap
sebagai seorang tokoh sesat. Baru sekarang aku menyesal, namun apa gunanya sesal yang terlambat?
Biarlah, akan kutanggung segala akibat dan hukuman. Dan aku minta kepadamu supaya engkau pun kelak
akan berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu! Jangan menjadi seorang manusia yang
munafik, yang pura-pura alim. Kalau memang bersih, usahakan supaya bersih luar dalam. Kalau engkau tak
kuasa menahan hasrat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan dasar tidak merugikan orang lain dan berani
bertanggung jawab atas segala akibat kelakuanmu itu. Hal ini berarti melakukan sesuatu dengan mata dan
hati terbuka."
"Teecu mengerti, suhu."
"Nah, kuulangi lagi. Kepandaianmu masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi lawan yang tangguh.
Akan tetapi tiada waktu lagi bagiku." Ia menghela napas panjang. "Bu-tek Su-kwi benar-benar hebat.
Sampai sekarang masih ada bekas tangan mereka. Rambut dan kuku Ang-bin Kwi-bo amat berbahaya, juga
senjata tengkorak milik Pak-san Kwi-ong. Hudtim dan ilmu silat tangan kosong Pat-jiu Kiam-ong sukar
dilawan pula. Apa lagi kalau kau bertemu dengan Lam-hai Sin-ni... wah, sukar dikatakan atau diukur sampai
di mana sekarang tingkat kepandaian wanita iblis itu! Kiranya engkau baru akan dapat menandingi mereka
bila engkau sudah mempelajari semua kitab peninggalanku yang rahasia tempat persembunyiannya berada
di dalam Siang-bhok-kiam ini, muridku."
Keng Hong memandang ke arah pedang di tangan suhu-nya itu dengan perasaan penuh heran. Mengertilah
dia sekarang mengapa tokoh-tokoh sakti itu memperebutkan pedang kayu ini, kiranya merupakan kunci
pembuka rahasia kitab-kitab pelajaran silat tinggi yang dahulu telah dikumpulkan oleh suhu-nya.
Sudah sering kali dia diperbolehkan mempergunakan Siang-bhok-kiam untuk berlatih ilmu pedang Siang-
bhok Kiam-sut yang sengaja diciptakan gurunya untuk dia, akan tetapi tak pernah dia melihat sesuatu yang
aneh pada pedang itu, kecuali huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang pedang yang isinya merupakan
ujar-ujar kuno.
"Apakah suhu menyuruh teecu untuk mempelajari kitab-kitab itu?" tanya Keng Hong untuk menyembunyikan
ketegangan hatinya.
"Barang yang mudah didapat tidak akan dihargai, yang sukar didapat barulah berharga, Hong-ji. Kitab-kitab
dan benda-benda yang terkumpul di dalam tempat rahasiaku itu juga baru akan berharga bagimu kalau kau
mendapatkannya dengan sukar. Akan tetapi tidak hanya kesukaran menjadi syarat, namun terutama sekali
jodoh! Apa bila engkau memang berjodoh dengan peninggalanku itu, tentu kelak akan bisa kau dapatkan.
Boleh kau cari sendiri melalui Siang-bhok-kiam ini. Nah, kini kau terimalah Siang-bhok-kiam, pedang ini
kuberikan kepadamu, muridku..."
Keng Hong terkejut dan memandang wajah gurunya dengan mata terbelalak. Dia belum menerima pedang
yang diangsurkan kepadanya, malah bertanya meragu, "Akan tetapi... Suhu pernah bilang bahwa Siang-
bhok-kiam seperti nyawa bagi suhu... bagaimana dapat diberikan kapada teecu...?"
"Ha-ha-ha, pedang ini milik siapa dan nyawa ini milik siapa? Kau terimalah sebagai tanda patuh kepada
guru."
Keng Hong tidak berani membantah, kemudian menerima pedang Siang-bhok-kiam yang telanjang itu.
"Keng Hong, meski pusaka warisanku harus kau cari dengan dasar jodoh dan kesukaran, akan tetapi ada
sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu kecuali Siang-bhok-kiam, dan mudah-mudahan pemberianku ini
akan dapat menjadi perisai bagimu menghadapi semua lawan tangguh. Selipkan Siang-bhok-kiam di
pinggang dan mendekatlah."
Keng Hong segera menyelipkan pedang kayu di ikat pinggangnya, kemudian menggeser duduknya
mendekati suhu-nya. Sin-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya, yang kiri dia taruh di atas ubun-ubun
kepala Keng Hong, dan yang kanan diletakkan di punggung pemuda itu, baru kemudian dia berkata lirih,
"Pusatkan segala dan buka semua, Keng Hong, pergunakan sinkang-mu untuk membuka semua jalan
darah, jangan pernah menentang sedikit pun juga, dan bantu dengan daya penyedot…"
"Suhu... suhu hendak..."
Keng Hong gelisah sebab dia sudah beberapa kali menerima bantuan hawa sinkang yang disalurkan oleh
suhu-nya ke dalam tubuhnya, dan yang selalu mengakibatkan kelemahan tubuh suhu-nya sehingga
akhirnya dia memohon agar suhu-nya tidak mengulangi hal itu. Kini suhu-nya hendak melakukannya lagi!
"Apakah dalam saat terakhir ini muridku hendak membantah perintah gurunya?"
Suara ini halus, namun penuh wibawa dan sekaligus memusnahkan niat hati Keng Hong hendak
menentang. Dia terpaksa lalu bersila dan memusatkan perhatiannya, membuka semua jalan darah dan
mengosongkan hawa di pusarnya untuk menerima saluran hawa sinkang dari gurunya.
Sebentar saja sudah terasa oleh Keng Hong betapa hawa yang sangat kuat menerobos masuk melalui
kepala serta punggungnya, hawa yang sebentar hangat, lalu panas dan perlahan-lahan berubah dingin lalu
panas kembali. Terasa pula olehnya betapa dari dirinya sendiri timbul semacam tenaga menyedot yang
membuat aliran hawa sinkang itu makin lancar menerobos, berputaran di dalam pusarnya lantas buyar dan
menyusup-nyusup ke seluruh bagian tubuhnya.
Hebat bukan main sinkang dari suhu-nya dan hampir dia tidak kuat menerimanya. Ada kalanya hawa yang
memasuki tubuhnya sedemikian panasnya hampir tidak tertahankan, akan tetapi karena dia pun sudah
bertahun-tahun berlatih, dia dapat melawannya dengan menyesuaikan diri melalui kekuatan kemauannya
sehingga secara perlahan-lahan yang panas itu terasa hangat-hangat saja.
Entah berapa lamanya guru dan murid ini duduk tak bergerak. Keng Hong sendiri tidak tahu karena dia telah
memusatkan seluruh perhatiannya ke dalam tubuh. Dia seolah-olah berada dalam keadaan mimpi atau
pingsan. Baru dia sadar ketika merasa betapa hawa yang terasa seolah-olah air mancur memasuki
tubuhnya melalui kepala dan punggung itu telah berhenti, dan betapa ubun-ubun dan punggungnya terasa
dingin.
Keng Hong membuka mata, melihat suhu-nya masih bersila sambil memejamkan mata, bibirnya tersenyum
membayangkan kepuasan. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Keng Hong cepat memegang kedua
lengan suhu-nya yang tadinya masih terletak di atas ubun-ubun dan punggungnya.
Sepasang tangan suhu-nya terkulai lemas dan dingin. Suhu-nya telah menghembuskan napas terakhir,
entah sudah berapa lamanya.
"Suhu...!!" Keng Hong meloncat bangun.
Melihat tubuh yang bersila itu kini kehilangan sandaran dan akan roboh, cepat-cepat dia menyangganya
dan merebahkannya di atas permukaan batu. Sekali lagi dia memeriksa detak jantung dan napas. Tak
terasa lagi! Suhu-nya sudah meninggal dunia karena dia! Karena ‘mengoper’ sinkang sampai kehabisan
segala-galanya.
Tiba-tiba Keng Hong meraung, meloncat berdiri dengan muka merah sambil memandang kedua tangannya.
Dia merasa seolah-olah dialah yang membunuh suhu-nya! Kenapa dia tadi begitu bodoh dan mau saja
padahal ini akan membahayakan kesehatan suhu-nya?
Rasa duka, menyesal dan marah kepada diri sendiri membuat wajah pemuda itu menjadi merah dan
beringas. Tiba-tiba dia memekik lagi dan tubuhnya mendadak melesat ke arah permukaan puncak batu
pedang yang menonjol setinggi orang, tangannya menghantam.
"Pyarrrrr...!" Batu gunung yang keras itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil yang
beterbangan ke sana sini!
Keng Hong berdiri dan ternganga heran. Memang dia sudah memiliki kekuatan sinkang yang tidak lemah,
tapi kalau dia memukul batu, biasanya tentu hanya akan memecahkan bagian ujung saja. Akan tetapi sekali
ini, dari tangannya keluar kekuatan yang sedemikian hebatnya sehingga batu yang menonjol setinggi orang
itu hancur sama sekali sedangkan tangannya tidak merasakan nyeri sedikit pun juga!
Rasa girang, tercengang, kaget dan duka bercampur menjadi satu, membuat dia terharu sekali. Sinkang
yang tadi telah disalurkan ke tubuhnya oleh gurunya ternyata membuat dia memiliki tenaga yang hebat,
bahkan loncatannya juga sepuluh kali lebih cepat dari pada biasa.
Ginkang dan lweekang di tubuhnya sekaligus mendapat kemajuan yang amat luar biasa. Ia kembali melesat
ke dekat suhu-nya kemudian menangis sambil memeluk mayat Sin-jiu Kiam-ong. Sesuai dengan pesan Sin-
jiu Kiam-ong yang pernah dinyatakan kepadanya, Keng Hong mengangkat jenasah gurunya itu dan
meletakkannya ke dalam gubuk kecil tempat gurunya beristirahat.
Kemudian, setelah menangisi mayat itu dan bersembahyang tanpa upacara karena tiada alat, memohon
kepada Thian agar supaya dosa-dosa gurunya diperingan hukumannya dan arwah gurunya mendapatkan
tempat yang baik, Keng Hong lalu membakar gubuk itu. Dengan hati penuh keharuan dia menjaga dan
memandang api yang berkobar membakar gubuk berikut jenasah Sin-jiu Kiam-ong.
Oleh karena dia harus selalu menambah bahan bakar, pembakaran jenasah ini memakan waktu setengah
hari lamanya. Kemudian, sesuai pula dengan pesan suhu-nya, dia lantas mengumpulkan abu jenasah dan
pada malam hari itu, disaksikan laksaan bintang yang menghias langit biru, Keng Hong lalu menabur-
naburkan abu itu dari puncak batu pedang. Angin bertiup dan membawa abu itu bertebaran ke segenap
jurusan, seolah-olah Sin-jiu Kiam-ong benar-benar kini bersatu dengan alam di sekeliling tempat yang
dicintanya itu.
Semalam suntuk Keng Hong duduk melamun, di samping terkenang pada suhu-nya juga memikirkan
keadaan dirinya sendiri. Tadinya dia tak pernah memikirkan keadaan dirinya karena setiap hari segenap
perhatiannya dia curahkan untuk belajar serta berlatih, dan selain itu ada gurunya di sampingnya yang
membuat dia tidak merasa kesepian.
Akan tetapi sekarang, sesudah Sin-jiu Kiam-ong tidak ada lagi, bahkan bekas-bekasnya tidak ada lagi, dia
mulai merasa dan melihat kenyataan bahwa dia sesungguhnya hanya seorang diri saja di dunia ini!
Sesudah gurunya tidak ada, apa yang akan dilakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa tujuan hidupnya
selanjutnya? Kembali ke kampung halaman?
Dia masih ingat dengan kampung halamannya, dusun Kwi-bun di mana dia terlahir dan bermain-main
sampai usia sepuluh tahun. Akan tetapi, mau apa dia kembali ke Kwi-bun? Keluarganya sudah terbasmi
habis, rumah pun tidak ada, dan kembalinya ke sana hanya akan membongkar kenangan-kenangan lama
yang sangat tidak menyenangkan hati.
Ke kuil Kun-lun-pai? Di sana banyak orang-orang yang baik hati, tosu-tosu yang selain baik dan ramah
terhadapnya, seperti pernah dia alami sampai dua tahun lamanya. Akan tetapi dia teringat akan pesan
Kiang Lojin kepada Sin-jiu Kiam-ong bahwa karena dia bukan ‘orang Kun-lun-pai’, maka dia tidak boleh
tinggal di Kun-lun-pai, bahkan dia tidak diperkenankan tinggal di batu pedang yang berada di Kiam-kok-san
kalau suhu-nya tidak ada!
Habis ke mana? Tetap tinggal di situ? Tidak mungkin! Dia bukan seorang yang nekat dan tidak tahu malu.
Dia maklum bahwa gurunya dan dia adalah orang-orang yang ‘mondok’ karena Kiam-kok-san merupakan
wilayah Kun-lun-pai. Dan bila mana tuan rumah tidak memperbolehkan tinggal di sana, dia pun tidak sudi
memaksa. Akan tetapi kalau pergi, kemanakah?
Dalam bingungnya, Keng Hong teringat pada suhu-nya. Andai kata dia menjadi suhu-nya, apa yang akan
dilakukannya? Suhu-nya adalah seorang yang selalu hidup gembira ria. Jangankan berduka, bingung dan
takut pun tidak pernah dikenalnya. Teringatlah dia akan semua cerita suhu-nya tentang diri suhu-nya pada
waktu muda. Masih terngiang-ngiang di telinganya ucapan yang keluar dari bibir tua yang masih tersenyum,
wajah cerah dan mata berseri itu.
"Hidup satu kali di dunia, apa gunanya berkeluh kesah dan berhati susah? Kegembiraan dan kesenangan
dapat dinikmati, tinggal meraih saja! Semua berkah dari Dia yang telah dilimpahkan untuk kita, mengapa
mesti disia-siakan? Nikmatilah berkah itu!"
Keng Hong mulai berseri wajahnya. Sambil menengadah memandang bintang-bintang di langit, dia
mengenang semua cerita suhu-nya dan mengenang kembali semua ucapan-ucapannya.
"Aku paling suka dengan keindahan. Tamasya alam yang indah, makanan lezat, semua bunyi-bunyian
merdu, ganda yang harum, wanita-wanita cantik! Kita sudah dianugerahi mata, hidung, telinga, mulut.
Gunakanlah sebaik-baiknya untuk menikmati berkah-berkah yang memenuhi dunia. Pergunakan matamu
untuk segala keindahan dan menikmatinya. Lihat tamasya alam yang amat indah, lihat bunga-bunga yang
cantik, lihat wanita-wanita yang jelita! Pergunakanlah telingamu untuk menikmati segala bunyi-bunyian yang
merdu, burung-burung berkicau, margasatwa berdendang, alat tetabuhan dan nyanyian merdu. Mulut?
Nikmati segala makanan yang lezat karena memang itu adalah hak kita. Rasakan segala rasa di dunia ini.
Manis, asin, gurih, masam dan pahit! Hidung? Pakailah untuk menikmati hidup, untuk mencium ganda
harum, sedap dan wangi! Pendek kata, selama seratus tahun aku hidup cukup penuh kenikmatan dan
sekarang menghadapi mati aku tidak penasaran dan menyesal lagi, Keng Hong."
Keng Hong tersenyum pahit mengenang ucapan suhu-nya ini. Biar pun pada lahirnya dia tak berani
membantah, namun di dalam hatinya dia kurang menyetujui pendapat tentang hidup seperti yang
dikemukakan suhu-nya. Mungkin sudah terlalu banyak dia dipengaruhi kitab-kitab kuno yang mengajarkan
tentang filsafat hidup, tentang kesusilaan, peradaban dan kebudayaan.
Gurunya tidak mempedulikan semua itu. Gurunya pengejar kesenangan duniawi. Namun, sungguh pun dia
tidak menyetujui pendapat suhu-nya yang dalam hal ilmu bun (sastra) tidaklah sangat mendalam
pengetahuannya, dia dapat menemukan kesederhanaan dan kejujuran yang tidak dibuat-buat, dan tahu
pula bahwa di balik cara hidup ugal-ugalan seperti suhu-nya itu tersembunyi dasar watak yang baik dan
gagah perkasa.
"Entah berapa ratus orang wanita cantik yang menjadi kekasihku, Keng Hong." Demikian suhu-nya pernah
bercerita. "Aku tak pernah menolak cinta kasih seorang wanita! Wanita bagiku adalah bunga yang
membutuhkan belaian dan kasih sayang. Karena itu aku tidak pernah menolaknya, tidak peduli dia itu cantik
jelita, manis, buruk, muda mau pun tua! Tentu saja terutama sekali yang cantik molek, tidak peduli dia itu
gadis, janda, atau sudah bersuami, sudah beranak atau bercucu! Aku menerima kedatangan mereka
dengan hati dan kedua lengan terbuka! Hanya satu yang merupakan pantangan bagiku, yaitu bahwa aku
tidak sudi mendekati wanita yang tidak suka menerima kedatanganku. Aku tidak sudi menggagahi wanita
yang tidak menghendaki aku. Aku tidak sudi cinta sepihak saja!"
Teringat akan ini, Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Suhu-nya benar-benar seorang mata
keranjang! Pelahap wanita! Tentu saja dia tak ingin seperti suhu-nya, akan tetapi dia merasa terharu kalau
teringat akan pendirian terakhir suhu-nya yang tidak sudi menggagahi wanita yang tidak cinta kepadanya.
Tentu saja merupakan hal yang sangat buruk kalau suhu-nya berjinah dengan wanita yang bersuami, akan
tetapi kalau si wanita itu sendiri suka..., sungguh dia tidak tidak tahu harus menilai bagaimana.
"Hanya satu pesanku, Keng Hong. Engkau boleh saja mencinta seribu wanita, akan tetapi jangan sekali-kali
kau membiarkan kakimu terikat oleh pernikahan! Sekali engkau terikat, maka akan lenyaplah kebebasanmu
dan tak mungkin pula dapat mempertahankan hidup seperti aku!"
Keng Hong makin bingung. Soal-soal tentang cinta dan pernikahan masih belum menarik perhatian. Betapa
pun juga suhu-nya bukan golongan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Dan suhu-nya tidak pernah
dengan sengaja melakukan kejahatan kepada orang lain.
Bila dia sampai dimusuhi adalah sebagai akibat dari sikapnya yang ugal-ugalan, melayani cinta kasih
wanita-wanita isteri orang lain, kemudian apa bila menghendaki setiap benda, terus diambilnya begitu saja
dengan dasar bahwa yang kehilangan benda itu tidak akan menderita! Maka terjadilah perampokan benda-
benda berharga milik pembesar-pembesar tinggi yang kaya raya, pencurian kitab-kitab dari partai-partai
persilatan besar, permainan jinah dengan isteri-isteri cantik, dan sebagainya sehingga di dunia ini dia
memiliki banyak sekali musuh!
Keng Hong bergidik ngeri. Ia tahu bahwa banyak sekali orang sakti menginginkan pusaka warisan suhu-nya
yang kuncinya terdapat dalam Siang-bhok-kiam. Bagaimana kalau dia turun gunung kemudian dikejar-kejar
mereka yang hendak merampas Siang-bhok-kiam? Gurunya selama ini dapat mempertahankan pedangnya,
akan tetapi bagaimana dengan dia? Musuh terlalu banyak, dan di antara mereka banyak yang sakti. Betapa
mungkin dia dapat menandingi mereka dan mempertahankan Siang-bhok-kiam?
"Kiranya engkau baru akan dapat menandingi kesaktian mereka itu kalau engkau sudah mempelajari semua
kitab-kitab peninggalanku..." Begitu antara lain gurunya meninggalkan pesan sebelum menutup mata.
Dan rahasianya berada di Siang-bhok-kiam! Kenapa turun gunung sebelum dia mendapat bekal kesaktian
yang akan cukup kuat dipakai mempertahankan Siang-bhok-kiam? Lebih baik dia mencari dan mempelajari
kitab-kitab itu!
Pada esok harinya, Keng Hong mulai memeriksa dan meneliti pedang Siang-bhok-kiam. Pedang itu tidak
bersarung, pedang telanjang yang terbuat dari pada bahan kayu yang berbau sedap harum. Warnanya
kehijauan dan kerasnya melebihi baja!
Keng Hong meraba-raba pedang Siang-bhok-kiam sambil meneliti ukiran huruf-huruf kecil yang pernah
dilihat dan dibacanya. Kini dia memeriksa dan membacanya kembali:
Kebijaksanaan tertinggi seperti air!
Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan.
Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!
Keng Hong mengerutkan kening. Sepanjang pengetahuannya, Sin-jiu Kiam-ong gurunya itu adalah orang
yang paling memandang rendah para pendeta yang dia anggap sebagai orang-orang munafik yang pura-
pura suci. Karena itu, pengetahuan suhu-nya mengenai kitab-kitab suci hanya sepotong-sepotong dan
ngawur saja. Akan tetapi mengapa pedang itu diukir dengan bait-bait yang terdiri dari kata-kata yang hanya
dipergunakan di dalam kitab-kitab suci?
Sudah jelas bahwa gurunya yang membuat huruf-huruf ini. Dia mengenal huruf tulisan suhu-nya yang
bengkak-bengkok tidak dapat dikatakan indah. Namun orang yang sudah bisa menuliskan huruf-huruf kecil
pada tubuh Siang-bhok-kiam, kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan! Apakah artinya
huruf-huruf itu? Apakah artinya sajak yang bukan sajak, ujar-ujar yang setengah matang itu?
Keng Hong merasa seperti sering membaca kalimat-kalimat ini. Akan tetapi setelah dia ingat-ingat, dia tahu
betul bahwa tidak ada ujar-ujar seperti itu bunyinya dalam kitab yang mana pun juga! Sehari semalam
lamanya dia merenungi arti tiga baris tulisan ini, namun tetap saja dia tidak dapat mengerti.
Akhirnya dia berpendapat bahwa mungkin rahasianya bukan terletak di dalam baris-baris sajak yang tidak
karuan ini, melainkan pada pedang itu sendiri. Diperiksanya pedang itu, ditekan sana-sini, dicarinya kalau-
kalau ada bagian yang mengandung rahasia. Namun dia tak berhasil menemukan sesuatu yang aneh di
pedang itu kecuali huruf-huruf tadi.
Keng Hong telah berlatih ketekunan selama lima tahun di tempat itu, maka kini pun dia tidak mudah putus
asa. Dengan tekun dia lalu mencari-cari di seluruh permukaan puncak batu pedang memeriksa kalau-kalau
ada goa rahasia atau ada lubang-lubang yang cocok dengan ukuran pedang untuk dicongkel, kalau-kalau di
situ terdapat pintu rahasia tempat penyimpanan pusaka suhu-nya.
Namun, sampai sebulan sejak suhu-nya meninggal dunia, dia tidak berhasil menemukan pusaka itu di
permukaan puncak batu pedang. Sementara itu, persediaan buah-buahan sudah habis. Maka diambilnya
keputusan untuk meninggalkan tempat itu, sesuai dengan pesan Kiang Tojin karena dia merasa tidak
berhak tinggal di situ lebih lama lagi.
Untuk penghabisan kalinya ia berlutut dan bersembahyang ke arah empat penjuru sambil menyebut nama
suhu-nya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di sebelah dalam bajunya. Ketika menyelipkan Siang-
bhok-kiam ini, dia tersenyum dan menoleh ke sebuah sudut di atas permukaan puncak batu pedang.
Ia merasa girang bahwa akhirnya timbul keberaniannya untuk turun dan menghadapi apa saja dengan dada
lapang. Dia sudah lupa akan watak ayah bundanya, namun dia masih ingat benar akan watak gurunya.
Gurunya seorang periang, mengapa dia sebagai muridnya tidak mencontoh watak guru? Ia harus
menghadapi segala rintangan yang mungkin timbul dengan hati riang dan penuh kepercayaan kepada diri
sendiri! Dia kini bebas lepas seperti seekor burung terbang di udara. Mengapa tidak gembira?
Dengan wajah berseri, pemuda remaja yang tampan ini lalu menuruni puncak ini. Setelah mengoper
sinkang darisuhu-nya sebulan yang lalu, dia merasa tubuhnya demikian penuh hawa yang amat kuat, yang
membuat dia dapat meringankan tubuhnya. Menuruni tebing yang curam itu dapat dia lakukan dengan amat
mudahnya, jauh lebih mudah dari pada yang sudah-sudah kalau dia turun mencari persediaan makan untuk
suhu-nya dan dia…..
********************
"Aiiih...! Tolonggg...! Lepaskan aku...!" Jerit melengking ini jelas keluar dari mulut seorang wanita.
Keng Hong yang tadinya mengira bahwa turunnya tentu akan langsung dihadang musuh, mendapatkan
kenyataan bahwa Kiam-kok-san (Puncak Lembah Pedang) di bawah batu pedang sunyi saja. Akan tetapi
tiba-tiba saja dia mendengar lengking yang mengerikan itu, yang membuat bulu tengkuknya berdiri! Apa lagi
karena sebagai seorang yang telah tergembleng hebat, dia mendapat perasaan seolah-olah banyak pasang
mata yang selalu mengikuti gerak-geriknya.
Keng Hong tidak mempedulikan perasaan ini karena dia sudah melesat ke kiri, berlari ke arah suara yang
menjerit tadi. Apa pun yang akan terjadi, sudah pasti bahwa di sana ada seorang wanita yang minta tolong,
yang membutuhkan bantuan karena keselamatannya terancam.
"Jangan menolak setiap uluran tangan yang minta pertolongan," demikian pesan gurunya, "Namun
waspadalah terhadap tangan yang berniat menolongmu."
Bukan karena teringat akan pesan suhu-nya, melainkan terutama sekali karena dorongan hati sendiri. Keng
Hong melesat cepat untuk menolong wanita yang terancam bahaya, timbul dari dorongan welas asih yang
memang sudah ada pada setiap hati manusia.
Tidak lama kemudian tibalah dia di sebuah lapangan terbuka dan dia tercengang. Di situ telah berkumpul
puluhan orang tosu Kun-lun-pai dan paling depan tampak penolongnya, Kiang Tojin berdiri dengan sikap
angker, tangan kirinya mencengkeram pundak seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan merintih-
rintih.
Dan selain tokoh-tokoh Kun-lun-pai, tampak pula Thian Seng Cinjin sendiri berdiri dengan bersandar pada
tongkatnya! Ketua Kun-lun-pai ini tampak sudah tua sekali. Sikap mereka semua yang kini memandang
Keng Hong membayangkan bahwa mereka semua memang sedang menantinya!
Keng Hong menghentikan larinya dan otomatis dia menoleh. Benar saja seperti sudah diduganya tadi, di
sebelah belakangnya kini muncul belasan orang tosu Kun-lun-pai dan dia berdiri terkurung di tengah,
berhadapan dengan Kiang Tojin yang menangkap wanita cantik itu serta ketua Kun-lun-pai yang berdiri
dengan sikapnya yang agung dan ramah! Keng Hong merasa seolah-olah menjadi seekor kelinci yang
dikurung oleh puluhan ekor harimau kelaparan!
Akan tetapi, dia adalah seorang yang semenjak kecil sudah belajar kesopanan. Melihat Kiang Tojin yang
menjadi penolongnya serta para tosu Kun-lun-pai yang pernah melepas budi selama dua tahun kepadanya,
dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin sambil berkata,
"Boanpwe (saya yang rendah) bekas kacung Cia Keng Hong datang menghadap para locianpwe (orang-
orang tua gagah), mohon di maafkan segala kesalahan boanpwe!"
Thian Seng Cinjin tersenyum lebar dan Kiang tojin berseri wajahnya lalu menggerakkan tangannya yang
mencengkeram pundak wanita itu sambil berkata kepada anak muridnya, "Belenggu wanita jahat ini!"
Dua orang tosu lalu datang dan mengikat kaki tangan wanita itu pada sebatang pohon. Keng Hong melirik
dengan ujung matanya, melihat betapa wanita yang usianya sekitar dua puluhan tahun dan amat cantik
jelita itu menangis perlahan sehingga hatinya merasa kasihan sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat
mengalihkan perhatiannya ketika Kiang Tojin berkata.
"Baik sekali, Keng Hong. Bangun dan berdirilah karena engkau bukan anak murid kami, juga bukan kacung
kami lagi. Sudah sebulan lamanya kami menunggumu. Apakah yang menyebabkan engkau terlambat
sampai sebulan baru turun dari Kiam-kok-san?"
Keng Hong terkejut. Kiranya para tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa suhu-nya telah meninggal sebulan
yang lalu dan diam-diam sudah menjaga dan menanti dia turun dari puncak batu pedang. Yang menjaga
dan memata-matai di Kiam-kok-san hanyalah anak murid Kun-lun-pai, agaknya ketua Kun-lun-pai dan Kiang
Tojin masih tak mau melanggar pantangan untuk mengotori Kiam-kok-san!
Kemudian dia teringat betapa dia sudah membakar jenasah suhu-nya di dalam pondok. Agaknya
pembakaran itulah yang memberitahukan para tosu. Sebelum dia menjawab, karena melihat dia meragu
dan bingung, Kiang Tojin sudah berkata lagi,
"Kami melihat betapa ada asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang
murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah
banyaknya orang yang sedang menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari
kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu? Aku
hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan
menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kau kira
aku tidak tahu? Kalian hanya pura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk
meraba-raba dan membelai-belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"
Hebat bukan main penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya,
entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang
melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian.
Akan tetapi Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum saja, sedikit pun tidak terpengaruh oleh
ucapan-ucapan menghina itu. Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya
bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu.
Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan... tubuh wanita itu lantas
menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari
jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan.
Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini
sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi
penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang
Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus!
"Keng Hong, ketahuilah bahwa baik kaum sesat atau orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada
gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam serta rahasia penyimpanan kitab-
kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tak menghendaki
apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-
pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Jadi bila
mana Siang-bhok-kiam berada bersamamu, pedang itu harus kau tinggalkan pada pinto. Begitu pula segala
benda lain yang kau bawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena
pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan mala petaka
padamu, dan dari pada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami
simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!"
Keng Hong mengerutkan keningnya, "Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini merupakan pemberian suhu,
bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"
Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk, "Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal
dunia di Kiam-kok-san, maka semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biar pun
engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san."
"Kalau saya menolak?"
Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya. "Keng Hong, tidak tahukah engkau bahwa
peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? Kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan
pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"
Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-
lun-pai yang bijaksana serta cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apa lagi
tidak ada kesempatan yang lebih baik dari pada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat
buruk terhadap dirinya. Biarlah dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.
"Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ini ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang
dalam hal ilmu silat."
Kiang Tojin tertawa, "Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh
menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong!
Mulailah!"
Biar pun belum pernah menggunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk
bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh, akan tetapi Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar
ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasehat dan petunjuk suhu-nya. Ia ingat akan nasehat
gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik diserang lebih dahulu dari pada
menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga
mudah ‘dimasuki’ dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula.
Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju
memukul dengan gerakan perlahan dan berhati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya
saja untuk menyerang, yang tiga perempat bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu
lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan.
"Wuuuttt!" Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.
"Bagus...!" Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuatnya pukulan Keng Hong sehingga
tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih
seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia
kecewa menyaksikan gerakan-gerakan yang amat sederhana itu, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu
silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.
Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya,
bahkan jelas menunggu serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar
hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah
jelas bahwa dia tadi memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya
seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya?
Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua dari Kun-lun-pai ini, apa
lagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia pun berkata,
"Totiang, maafkan kelancanganku!"
Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia
mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia
menggunakan ginkang-nya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan
sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai.
Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya
digembleng dengan pengertian dan gerakan-gerakan dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan
geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir, tetapi rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari
karena waktunya tidak mengijinkan.
Dari suhu-nya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in
Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini
merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari
delapan buah jurus serangan saja!
Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu sudah mempergunakan jurus yang disebut
Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat,
namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, ada pun kedua lengannya
didorong ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya
"Siuuuuttt...!"
"Siancai...!" Kiang Tojin terkejut bukan kepalang.
Ia sudah merasa amat kagum melihat tenaga pada serangan pertama tadi, tapi serangan kedua ini benar-
benar membuat ia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda
yang baru lima tahun belajar ilmu silat!
Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan
tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biar pun Kiang Tojin sendiri tidak
berani menerima pukulan sehebat itu.
Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuhnya sambil mengangkat tangan karena melihat
kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan
tendangan. Dugaannya memang tepat, karena itu baik dorongan tangan mau pun tendangan Keng Hong
hanya mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.
Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima akan serangan balasan,
lalu segera menggunakan ginkang-nya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik dibarengi seruannya
yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di angkasa dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung
menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak.
Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa sekali, apa lagi tenaga serangan
itu yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, maka kini tosu ini melongo menyaksikan
ginkang sehebat itu. Tapi pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari
atas seperti seekor burung garuda menyambar.
Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in Kun-hoat,
yaitu jurus yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Jurus inilah yang paling
sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi.
Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhu-nya supaya tidak dipandang
rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul
dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-
ubun kepala lawannya!
Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mukjijat karena pada saat itu dia
mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya!
Ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dengan pukulan seperti inilah dia telah
menggempur batu menonjol hingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.
"Hayaaaa...!" Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang.
Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa
serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia lalu mengerahkan perhatian dan tenaganya.
Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula
pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke arah ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya
sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena sedikit saja bagian kepalanya terkena, tentu akan
mendatangkan bencana hebat. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh, lantas
secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka.
Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah mempunyai tingkat kepandaian amat tinggi, juga
mempunyai tenaga sinkang yang sukar dicari bandingannya. Maka sangatlah mengherankan kalau
sekarang menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati
dan mengerahkan tenaganya.
"Plakk...! Aihhhh...!"
Kiang Tojin berseru kaget bukan main. Ketika ia menangkis tamparan Keng Hong dengan telapak
tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih oleh tenaga yang sangat kuat dan berat sehingga
hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu!
Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak
tangannya bergerak, membuat tubuh Keng Hong terbanting ke bawah.
Akan tetapi, karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri
sungguh pun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan
tangan Kiang Tojin yang menangkapnya.
"Heeiiiitttt...!" Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan
pegangannya.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat
dibayangkan betapa terkejut dan herannya ketika dia merasa betapa semakin dia mengerahkan sinkang,
maka hawa sakti itu seakan-akan air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini
tidak dapat lagi dia menahan sinkang-nya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk
ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!
"Iiiiihhhh..., ehhhh...!"
Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan ia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya.
Namun sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mukjijat yang membuat tangannya lekat dan dia pun tak
dapat menahan sinkang-nya yang menerobos keluar!
Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong adalah akibat
pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat
dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu
Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri mau pun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga ‘menyedot’ luar
biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam
tubuh pemuda itu!
Pada saat Keng Hong merasa betapa ada hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos
memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia pun tahu apa yang sedang terjadi dan
dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang sudah dilakukan mendiang
suhu-nya, tosu penolongnya ini pun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi saat melihat
wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan
pegangan, dia menjadi kaget bukan main.
Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam ‘penyakit’ yang tak mampu diobatinya
sendiri, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang amat hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi
diluar di luar kehendaknya. Dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkang-nya
berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong
dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini.
Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya sambil mulutnya berkata gagap, "Totiang...
lepaskan..., lepaskan tanganku...!"
Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang
tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang
berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak
seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup serta bingung, mereka itu sebanyak empat
orang sudah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah.
"Bocah jahat, lepaskan!"
Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang lalu menyentuh tubuh Keng Hong.
Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan
dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut.
Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya
empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak.
"Lepaskan...!"
Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh
Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke
dalam tubuh pemuda itu!
"Bocah berilmu iblis!" Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung
Keng Hong.
“Plakkk!” terdengar suara keras, akan tetapi upayanya sia-sia belaka.
Kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat, maka makin hebatlah tenaga tosu ini tersedot sehingga
dia menjadi pucat dan lemas seketika!
Keliru besar kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang
berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah
sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya
penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya
menjadi merah bagai udang rebus!
Dia merasa tersiksa sekali, apa lagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka
tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana
caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka
supaya melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya mampu mengeluarkan suara "ah-ah-uh-
uh" bagaikan orang gagu.
Keadaan Kiang Tojin beserta empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga
sinkang mereka makin lama semakin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya.
Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi,
membuat mereka menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Siancai... siancai...!" Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus saja dan tahu-tahu
tubuh kakek ini sudah melayang mendekat.
Kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua
tangannya dia memegang dua pangkal lengan Keng Hong, lalu merenggut dan menghentak keras.
Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya, dan tenaga yang jauh lebih kuat dari pada
tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya ini sudah menghentikan hubungan atau aliran hawa
sakti itu, melepaskan dua lengannya sehingga tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih
jauh sampai bergulingan.
Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget sebab tubuhnya itu
mencelat jauh lebih tinggi dari pada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa
yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga amat berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi
tubuhnya minta dikeluarkan, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang
mulutnya kepedasan!
"Aahhhh... minggir... aaahhhhh... minggir semua...!" pekiknya dengan suara menggereng bagaikan seekor
harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar.
Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi amat kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis
mereka lalu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua
hawa sakti yang kini memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya serta
kepalanya bagaikan akan meledak.
Maka dia terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di
hadapannya. Dia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lantas memainkan
keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in Kun-hoat.
“Dessss… kraaak-kraaaaak... bruuuuk!"
Terdengar suara-suara dahsyat berkali-kali, dan begitu ia selesai mainkan delapan belas jurus Ilmu Silat
San-in Kun-hoat maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang,
batangnya remuk dan kini malang melintang seperti baru saja diamuk topan!
Setelah dapat mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui
pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong
merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi. Dadanya dan kepalanya tidak lagi terasa seperti mau meledak,
napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam
air yang amat dalam tanpa dapat berenang!
Ia kini menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir sisa kepeningan, lalu memandang ke depan. Ia
melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sute-nya sudah duduk bersila mengatur pernapasan serta
mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya,
maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan
kepala penuh penyesalan.
"Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!" Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis
sesenggukan!
"Siancai..., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis milik Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi
wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih...!" Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya
yang putih.
Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, pasti dia akan kehilangan
beberapa orang murid. Mala petaka besar tentu akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa
sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, akan tetapi kepada manusia.
Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar tapi pandang matanya penuh kengerian dan
juga kekaguman. "Keng Hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan..."
"Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Sekarang saya mohon kepada
Totiang agar Totiang sudi melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini.
Tolonglah, Totiang...!" Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian
aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tidak lain hanya sebagai sebuah penyakit
hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!
"Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku dapat melenyapkan ilmu
iblis itu. Entah kalau suhu, barang kali bisa kalau kau suka memohon kepada suhu."
Keng Hong sudah menoleh dan hendak memohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin
sudah mengangkat tangannya sambil berkata, suaranya halus namun penuh wibawa.
"Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara
kerjanya juga menyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tak ada lagi yang
mempunyai ilmu yang mukjijat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-
ong sengaja atau tidak telah menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan
ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan sudah terjadi keanehan yang sangat ajaib.
Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, maka tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari
tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang
mengusahakannya. Ilmu tetap saja ilmu, baik buruknya atau hitam putihnya tergantung dia yang
mempergunakannya. Walau pun Thi-khi-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat
menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?" setelah berkata demikian,
kakek ini lalu merenung dan memejamkan mata, mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa.
"Bagaimana, Kiang Totiang...?" sekarang Keng Hong menujukan pertanyaannya kepada penolongnya.
Kiang Tojin tersenyum dan menghela napas. "Tepat seperti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-
lun-pai, karena itu kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus
meninggalkan pula pedangmu kepada kami."
Keng Hong menarik napas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara
melenyapkan ‘penyakit’ yang berada dalam tubuhnya, kenapa tidak mau menolongnya?
Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Dia lalu mencabut pedang
kayu dari pinggangnya dan meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata,
"Saya tidak mempunyai niat buruk, kenapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa
pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang
saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?"
Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh sayang,
Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam, engkau masih belum mengerti akan
maksud baik kami. Akan tetapi biarlah, kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau
meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami."
"Ehh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam
kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau sudah ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu.
Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan ilmu kepandaianmu yang mukjijat seperti iblis mereka takkan bisa
memaksamu!" Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon.
Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu
kepandaian yang cukup tinggi.
"Sudah cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya
baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami
ini tanpa perkenan kami. Apa bila ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus
datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."
Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia takkan sudi datang ke situ lagi
dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata,
"Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."
"Permintaan apa? Sekiranya patut dan bisa pinto lakukan tentu permintaanmu akan pinto kabulkan."
"Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenang,
sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata
dipejamkan.
"Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka kau minta supaya dia dibebaskan?"
"Tanpa alasan apa-apa, Totiang, hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu
ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"
"Apa? Apa maksudmu?" Kiang Tojin memandang heran.
"Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat
pihak yang ditindas dan diancam. Suhu tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Kun-lun-pai, akan
tetapi suhu tetap menolongnya. Saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi
melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."
"Ahh, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Dulu gurumu membantu kami melawan golongan
hitam, kaum sesat dan orang jahat. Sebaliknya, kau harus tahu bahwa wanita itu bukan orang baik-baik,
bahkan kedatangannya memiliki niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."
"Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong...!" wanita itu memaki.
Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya Totiang tak dapat mengenal watak suhu. Saya yakin
bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi
suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil
karena menurutkan kepentingan diri pribadi."
"Ehh, apa maksudmu?"
"Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang, dipengaruhi
oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Apa bila seseorang melihat orang lain yang
menguntungkan dia, juga bersikap menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang
itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tak menyenangkan
hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan menganggap orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak
percaya dengan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong
oleh perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang?
Permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang telah saya penuhi, apakah Kun-lun-pai demikian pelit
untuk menolak permintaanku yang tidak sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?"
Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin
untung sendiri!
Kiang Tojin tercengang. "Pendapat keliru..., wawasan yang menyeleweng..."
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus, "Bocah ini kelak lebih menggegerkan
dari pada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"
Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu segera menghampiri wanita itu hendak melepaskan
ikatannya. Akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan
tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum
mengejek.
"Bocah tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!" Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-
banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu.
Keng Hong tidak peduli. Ia lantas berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai,
kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri.
Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji di dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan
cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya,
yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimana pun selalu gembira dan dengan tekad:
Bagaimana nanti sajalah…..
********************
"Heii, tolol! berhenti dulu!"
Keng Hong menghentikan langkahnya. Dia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah
hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara
yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.
"Kau mau apakah?" tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.
"Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"
"Aku tidak merasa sombong, walau pun mungkin kau benar bahwa aku tolol," jawabnya sabar sambil
tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun menyakitkan hati dan
pahitnya maki-makian itu.
"Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukankah itu sikap sombong, sikap
orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? Jika tidak sombong, lihatlah ke sini.
Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!"
Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar dan
menyenangkan hatinya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas
rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan paha besar seekor ayam hutan. Daging paha itu
masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala.
"Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"
"Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan
aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"
"Ehh..., adik yang baik..."
"Cih! Aku bukan adikmu!"
"Cici yang baik..."
"Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?"
Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal). "Habis, harus kusebut apa?"
"Panggil aku nona!"
"Wah, nona...?"
"Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?"
Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih dari paha ayam, mukanya coreng
moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.
"Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok.
Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kau suruh bagaimana supaya tidak kau
maki angkuh?"
"Aku mau berbicara denganmu, duduklah di sini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium
ikan asin!"
Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. Selamanya baru sekali ini ia bicara dengan
gadis, apa lagi gadis yang begini lincah. Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian
teringat dia akan watak suhu-nya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, lalu
menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu.
Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam
panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk wajah bulat
telur. Rambut hitam gemuk yang kacau dan tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu
agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih
sekali, dengan kerling yang sangat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan
gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya.
Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah
dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seakan-akan sepasang bibir itu mudah pecah, berwarna kemerahan
dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing, jelas menambah kemanisan.
Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, tapi potongannya amat ketat sehingga membayangkan
dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher
baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali.
Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhu-nya dan diumpamakan setangkai bunga yang
harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang laksana bunga sehingga membuat hati ini
kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.
"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini sama sekali aku tak mencium bau ikan asin, melainkan
mencium bau sedap gurih daging panggang!"
"Kau kepingin?" Gadis itu menghentikan gigitannya. Mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah
perlahan, matanya mengerling Keng Hong.
Pemuda remaja ini memandang mulut yang sedang mengunyah itu. Tanpa terasa lagi dia menelan ludah
dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia lalu mengangguk sambil kembali menelan ludah.
"Kalau kepingin, ambillah. Kau tunggu apa lagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak
ambil dan makan sejak tadi?"
"Ahh, tapi daging itu punyamu..."
"Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"
"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya..."
"Sudahlah, cerewet benar sih engkau ini! Ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa
kenyang?"
Meski ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di
hatinya. Cocok benar dengan watak suhu-nya. Bagaimana jika suhu-nya yang bertemu dengan gadis
seperti ini?
Dia segera menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar
lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar.
Setelah habis semua makanan, gadis itu lalu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara
menggelogoknya dari mulut guci. Air minum memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi
pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan
menyerahkannya kepada Keng Hong.
Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci, akan tetapi dia merasa
ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu
ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.
"Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"
"Tidak punya cawan!"
"Habis bagaimana minumnya?"
"Tuang saja, seperti aku "
"Tapi... tapi... bekasmu..."
Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata
terbelalak.
"Kau... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"
Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia betul-betul
merasa tolol berhadapan dengan nona ini. "Menghina...? Aku... aku tidak... ehh, apa sih maksudmu?"
"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas
mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? Kau jijik?"
"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan... bukan begitu, hanya...
aku tadi khawatir kau tidak suka..."
"Tidak suka apanya? Kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki
sepertimu!"
Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau wanita ini dilayani, bisa habis dia dimaki-
maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuang air ke dalam mulutnya, tidak peduli
bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.
"Terima Kasih," katanya sambil mengembalikan guci air.
"Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut kalau minuman ini kucampuri racun?" Sambil berkata
demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih
lagi.
Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi
diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga
mendengar ucapan itu. Betul-betul wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia
kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-
bukan. Ia menjadi gemas dan andai kata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!
"Aku tidak takut kau beri racun," jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan,
"Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"
Sampai lama gadis itu tak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian.
Pemuda itu tahu akan hal ini sebab dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu terus
memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya.
Kemudian terdengar gadis itu bertanya, "Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"
"Cia Keng Hong... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."
"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku..."
"Mengapa heran?"
"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"
Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya. "Kalau sudah tahu aku tolol,
kenapa engkau menghentikan aku?"
Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, tawa cekikikan. "Ehh,
kau marah?"
Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa
dia itu seorang wanita tentu sudah ditamparnya. Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya.
"Ahh, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"
Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas
memaki. Akan tetapi melihat mata yang bening dan indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi
tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.
"Kau memang tolol. Jika kau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu."
"Itu adalah hak mereka dan aku tak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang
bijaksana dan baik, permintaan mereka patut dipatuhi. Pula, tak mungkin menggunakan kekerasan
menentang. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."
"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal
menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa, tak mengenal takut terhadap siapa pun juga dan
amat cerdik."
Keng Hong menarik napas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah
mengenal takut. "Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapa pun juga, dan tentang kebodohan...
hemm, tentu saja aku tidak secerdik suhu."
Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk sebab teringat akan suhu-nya dan mulailah hilang
kegembiraannya. Pada hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, telah terjadi hal-hal yang tidak
menyenangkan hatinya. Apa bila begini terus nasibnya, bertemu seorang wanita saja selalu mengejek dan
memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhu-nya yang menghadapi segala sesuatu dengan
gembira. Betapa mungkin bisa bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan
dan memaki-makinya?
"Keng Hong..."
Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dia terkejut juga
dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri.
"Hemm...?" Ia menengok dan makin gugup melihat betapa kedua mata itu memandang dirinya tajam-tajam
dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja sebab bibir yang merah itu segera cemberut
lagi. "Kau memanggilku?"
"Kau laki-laki canggung benar..."
"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa..."
"Engkau marah?"
"Tidak"
"Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya... ahhh, apakah kau tidak ingin tahu
siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"
Baru sekarang Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian, "Siapakah nama
Nona?"
Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar amat canggung dan gugup sehingga kelihatan
lucu. "Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"
"Bagus... bagus...," jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus
bercerita.
"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji..."
"Ehh..., aku... ahhh, teruskanlah, Nona."
"Aku mendengar tentang keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-
kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu
Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang sangat diinginkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."
"Termasuk engkau sendiri, nona."
"Tentu saja! Apa kau kira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja? Dan aku malah
berhasil sekali, lebih berhasil dari pada mereka yang memakai kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh
tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia kang-ouw, sama sekali tak berhasil, melihatnya
pun tidak! Aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa
kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apa lagi tosu she
Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang
karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu kau serahkan pedang itu begitu saja!"
Mulai lagi maki-makian! Sekarang mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri
dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya
ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.
"Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"
"Eh-ehh-ehh, masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong,
katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka
yang terdapat di pedang itu?"
Pandang mata itu penuh gairah, agaknya gadis ini bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong.
Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Belum dan agaknya tak akan dapat kutemukan. Aku pun
selamanya tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan
rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?"
Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan terheran. "Engkau benar-benar masih
hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kau pelajari dari Sin-jiu
Kiam-ong? Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mukjijat, kau pandai menyedot sinkang orang lain,
bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus di tanganmu. Ilmu apakah itu? Sukakah kau
menceritakannya padaku?" Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali. Wajahnya berseri, matanya bersinar-
sinar dan bibirnya tersenyum.
Keng Hong hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi
murung dia pun cepat berkata, "Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit
yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat serta beberapa
pukulan dan permainan pedang. Apa bila dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya."
"Hemm, engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya dengan gambaran
mengenai gurumu!" Akan tetapi kegalakan ini segera berubah lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan
membuka tutup guci hendak diminumnya. Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri,
"Ahh, air ini kurang sedap!"
Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata berisi daun-daun
dan kembang-kembang kering. Dia menuangkan sebungkus daun dan kembang kering ini ke dalam guci
airnya, lantas dikocoknya guci itu sambil memandang kepada Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti
itu, Keng Hong menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya,
"Apakah yang kau masukkan dalam air minum itu?"
"Daun wangi dan kembang harum, pengganti teh yang sangat lezat dan sedap!" jawab gadis itu sambil
menggelogok air dari guci seperti tadi. Segera tercium bau yang harum keluar dari mulut guci. Selesai
minum gadis itu lalu menyerahkan gucinya kepada Keng Hong sambil berkata, "Kau minumlah."
Keng Hong menggelengkan kepala. "Aku tidak haus."
"Ehh, walau pun tidak haus, air ini sekarang sudah menjadi minuman enak. Coba cium, tidak harumkah?"
Gadis itu mendekatkan mukanya kemudian membuka mulutnya, menghembuskan napas ke arah muka
Keng Hong. Pemuda itu terkejut sehingga mukanya terasa panas sekali, jantungnya berdebar tegang. Ia
merasa canggung dan juga jengah.
"Apakah kau takut kalau air ini kucampuri racun?"
Untuk mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak cakap Keng Hong
segera menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan terasa agak manis, akan tetapi mulut
dan lidahnya yang terlatih mendadak merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang
amat kuat dan jahat!
Tetapi dia cepat-cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, bahkan
lalu terus menuangkan air beracun itu hinggahabis berpindah ke dalam perutnya! Gadis itu memandangnya
dengan sepasang mata bersinar-sinar pada saat dia menurunkan guci kosong dan berkata, "Lezat sekali!"
Sambil tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya itu agaknya
berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju bagian atas. Cara ia membuka
kancing secara terang-terangan begitu saja di depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali.
Keng Hong terbelalak, lebih merasa heran dari pada terkejut dan jengah, melihat betapa bagian atas baju
itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang mencuat.
Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Pada
waktu dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah.
Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya,
kemudian seakan terlupa, gadis itu tidak mengancingkan kembali bagian atas bajunya terbuka itu. Keng
Hong terpaksa menundukkan muka agar matanya jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.
"Keng Hong, lihatlah kepadaku!"
Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, berupaya mengusir ketegangan dan kebingungan
hatinya. Gadis jelita ini jelas berusaha hendak meracun dirinya. Apakah maksudnya? Kenapa hendak
membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapa pun kuatnya.
"Lihat baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?"
Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya sambil menggerak-gerakkan mukanya
supaya dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan.
"Hemm, begitulah...," jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Dia kini dapat
menduga bahwa pil merah tadi merupakan obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air
beracun.
"Lihatlah baik-baik dan pandanglah…, apakah kulitku tidak halus dan putih bersih, Keng Hong?" Suaranya
kini sangat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar
belahan dada itu tampak makin nyata.
Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan dia cepat-cepat menekan dengan kekuatan
batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum!
Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan
lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular.
"Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku,
pinggulku..."
"Hemm, agaknya begitulah...!" hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena tiba-tiba kerongkongannya
seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan.
"Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! Aku seorang gadis yang sangat menarik hati,
bukan?"
"Hemm…, begitulah!"
Tiba-tiba saja Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum
manis dan kerling mata tajam kini telah lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati
kesal.
"Begitulah! Begitulah! Begitulah! Apakah tidak bisa berkata lain, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong
kabarnya adalah pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita.
Apakah gurumu yang... terkutuk itu tidak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah
tolol?"
Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, akan tetapi sekaligus
wanita yang sangat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraan hatinya karena
terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia
menggeleng kepala dan tersenyum mengejek.
"Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak kulihat ke mana perginya
wajahmu yang tampan itu jika nanti sudah digerogoti cacing. Kau tahu bahwa kau sudah minum racun? Di
dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi)
yang kini sudah memasuki perutmu dan segera akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu
menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah
seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh
empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti
Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tak asing
baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena
terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini.
"Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Kenapa kau meracuniku?"
"Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar dan perlu
dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang...
terkutuk!"
"Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau... aku tidak akan sudi melayanimu bicara lagi!"
Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh
mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena dia mengira bahwa hal itu timbul karena
kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya.
"Engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu
tidak ada artinya bagiku. Belum tentu dapat menangkan pedangku ini!" Gadis itu meraba pinggangnya dan...
"Swingggg...!"
Tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu
amat tipis, terbuat dari pada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu
menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong.
"Aku tak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan adalah semua kitab-kitab pusaka dan barang-barang
mustika peninggalan suhu-mu. Engkau turun dari Kiam-kok-san dengan hanya membawa pedang, berarti
bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kau antar aku ke sana, berikan semua itu
kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu... hemmm, kalau
kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"
Keng Hong bukan seorang bodoh sungguh pun kelihatannya dia ketolol-tololan. Dia telah diracun, akan
tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tak akan dibunuh. Gadis ini
menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tak akan membunuhnya, melainkan hendak
memaksanya dengan jalan meracuninya.
Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati
sekejam itu? Dia merasa sangat penasaran dan perasaan inilah yang mendorongnya hendak menyaksikan
lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.
"Aku tidak pernah menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun tidak tahu
rahasianya."
"Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tidak mungkin kau tidak
mewarisi pusaka-pusaka itu, apa lagi Siang-bhok-kiam telah diberikan kepadamu. Ingat, nyawamu berada di
tanganku, tahu? Andai kata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku.
Andai kata kau mempergunakan ilmu mukjijatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam
ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih
baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."
"Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak
menginginkan barang milik orang lain? Apa bila engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah
bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena
sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu-ku.
Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."
"Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!" bentak Cui Im dengan suara
marah dan kecewa sekali.
Mendadak terdengar suara bentakan keras "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!"
Dan tampak bayangan orang berkelebat.
"Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!"
berkelebat pula bayangan lain.
Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu.
Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong.
Yang pertama adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe Toanio.
Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita itu, Kiu-bwe Toanio dulunya adalah
seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan
dan gagah.
Akan tetapi ternyata wanita ini dikecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah membiarkan
hatinya jatuh cinta dan hubungannya dengan Lu Sian Cu hanya dianggapnya sebagai permainan cinta
petualangan biasa saja. Sebaliknya, cinta kasih wanita itu amat mendalam sehingga hatinya menjadi hancur
dan patah pada saat Kiam-ong meninggalkan dirinya.
Ada pun orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap, Pendekar Budiman Bergolok Sakti yang juga
mengandung dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan pribadi. Isterinya yang sebenarnya adalah
hasil rampasan dari seorang kepala rampok, isterinya yang cantik jelita dan amat dicintanya, sudah ‘dicuri’
oleh Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan Kiam-ong terjadi
perhubungan rahasia.
Melihat dua orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, kemudian dia membalikkan
tubuhnya menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan pedang merah itu di depan
dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Hemm, Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing diusir oleh tosu-
tosu bau Kun-lun-pai, dan sekarang muncul lagi di depanku dengan niat apakah?"
Keng Hong memandang dengan heran. Semakin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im. Gadis cantik
jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan kadang kala juga amat halus memikat,
kemudian terbukti berhati palsu dan keji, kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti
menghadapi dua orang biasa saja!
Tokoh macam apakah gadis yang aneh ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang locianpwe
(orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang lebih mengherankan lagi, dua orang tua
itu pun agaknya tidak menganggapnya sebagai gadis muda.
"Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas kau keluarkan pil pemunah racun. Orang
muda ini tidak boleh dibunuh," kata Sin-to Gi-hiap.
"Benar sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam telah dirampas oleh Kun-lun-pai, bila pemuda ini dibunuh,
sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang tidak bersalah apa-apa...," sambung Kiu-bwe
Toanio.
Tiba-tiba Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng Hong semakin
terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-
li (Dewi Beracun Berpedang Merah)! Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang
Tojin menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi masih
begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap?
"Hi-hi-hi-hi! Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Semenjak muda engkau terkenal sebagai
pendekar wanita, akan tetapi ternyata engkau pun hanya seorang yang pada lahirnya saja pendekar
padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung maksud-maksud yang tidak lebih bersih dari pada
maksud hatiku. Kau pura-pura merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kau inginkan
adalah benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki benda-benda itu tetapi
aku berterus terang, tidak pura-pura seperti engkau!"
"Hemm, Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih mau berlaku
hormat padamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang aku menghendaki barang-
barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang
harus dia bayar lunas dengan semua benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak
merampok begitu saja dengan menekan muridnya."
"Hi-hik-hik, nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada Kiam-ong, kau
sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam pelukannya, menikmati cumbu rayu dan
belaiannya! Kiam-ong tak sudi menjadi suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh
menjemukan!"
"Tok-sian-li, biar pun engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu ini harus dibayar dengan
nyawa!" Kiu-bwe Toanio marah sekali dan dia menggerakkan pecutnya yang berekor sembilan itu di udara
sehingga terdengar suara ledakan-ledakan.
"Tar-tar-tar...!"
"Huh, pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!" Cui Im mengejek dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar-sinar merah yang kecil-kecil lantas menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan laksana kilat
menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang sangat dahsyat dan berbahaya, sekali sambit,
secara beruntun ada dua puluh satu buah jarum halus yang menyambar lawan.
Setiap batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya lebih dari cukup untuk
merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan mengarah jalan-jalan darah yang
penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Perempuan keji!" Kiu-bwe Toanio memaki.
Akan tetapi dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan memutar
cambuk itu cepat-cepat maka ia baru dapat menghindarkan jarum-jarum yang tak berani ia anggap ringan
itu.
"Nenek tua mampuslah!"
Cui Im sudah melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi cahaya merah yang bergulung-gulung
pada saat ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan dari pada jarum-jarumnya. Gadis ini selain
pandai dalam melepas jarum, ternyata juga amat cerdik.
Dia maklum bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat secara mudah dirobohkan dengan jarum-jarumnya,
maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan kini selagi lawannya memutar cambuk
menghindarkan diri dari pada ancaman jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang
gerakannya amat cepat dan kuat.
Keng Hong yang melihat gerakan gadis ini diam-diam merasa kagum dan terkejut sekali. Dilihat dari
gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan agaknya tidak berada di sebelah
bawah tingkat sembilan orang sakti yang dulu pernah menyerbu suhu-nya.
"Tar-tar-tar... wuuuuutttttt... trang-tranggg...!"
Sembilan ekor ujung cambuk yang dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah telah menjadi sembilan
ekor ular yang bergerak hidup, sebagian menangkis pedang lawan dan sebagian lagi membalas dengan
totokan-totokan kilat yang disusul oleh gerakan mengait!
Betapa pun hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi oleh sembilan ujung cambuk yang
menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali. Pedangnya diputar sambil ia mengeluarkan pekik
nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang
berputar-putaran di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke
belakang didahului oleh Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan serangan enam buah
kaitan.
Ia turun dan melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa lihai
nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain pihak, nenek itu mengeluarkan suara
gerengan marah karena tiga buah kaitan berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang
amat lihai di tangan Cui Im.
Pada saat itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng Hong dan
berkata, "Orang muda, kau harus ikut denganku sebagai wakil suhu-mu!"
Dengan golok telanjang di tangan kanannya, kakek itu menyambar Keng Hong dengan tangan kirinya,
hendak mencengkeram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat mengelak, sinar merah berkelebat
dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya sebab kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat oleh
pedang yang dibacokkan Cu Im.
"Kakek tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!"
Sin-to Gi-hiap menghela napas panjang. "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami orang tua mengalah.
Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya,
dan kalau kita bertiga membagi rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe
Toanio juga tidak keberatan."
Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Dia maklum bahwa ilmu pedang gadis itu amat lihai, apa
lagi kalau dia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan
kawan. Maka ia mengangguk dan menggumam, "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua,
aku pun bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka."
Cu Im melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan tangan kanannya
yang menyembunyikan pedang di balik lengan.
"Uhh, kalian hanya mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu Kiam-ong ini? Aku!
Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan
seorang tawanan! Setelah aku berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian!
Benar-benar tak tahu malu!"
Tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangan kiri, membanting sesuatu di hadapan dua orang lawan itu dan
terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang tua itu adalah orang-orang sakti yang
sudah berpengalaman. Cepat mereka melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap
hitam yang timbul dari ledakan itu.
Dan memang tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan sampai
menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh asap hitam yang amat beracun
itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak
kelihatan lagi bayangannya.
"Kurang ajar! Mari kita kejar!" Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan pecutnya yang tinggal
berekor enam itu.
"Tar-tar-tarrr…!"
Dua orang tokoh lihai ini segera melesat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi karena mereka berdua
tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar secara ngawur dan ternyata mereka menuju
ke jurusan yang berlawanan. Apa bila Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka
malah mengejar ke barat…..
********************
"Keng Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata Cui Im sambil melempar tubuh Keng Hong di atas
rumput hijau dalam sebuah hutan.
Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu menyalakan api
dan membuat api unggun sehingga selain hangat dan tak terganggu oleh nyamuk, tempat itu juga menjadi
agak terang. Kemudian gadis cantik itu duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon.
"Keng Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini saja. Jika kau tidak kuberi obat penawar,
besok pagi engkau mampus."
Keng Hong menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia menjadi geli.
"Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan seperti sekarang ini!"
"Eh, ehh, ehh! kau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap kenikmatan hidup,
mengapa ingin mati?"
"Ingin mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa berbuat apakah?"
"Engkau tidak ngeri? Tidak takut mati?"
"Mengapa takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?"
Gadis itu mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum.
"Hemmm, alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang pernah
mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana bila sudah mati? Apakah menakutkan? Kalau
belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana,
seperti juga dahulu aku tidak takut lahir karena ketika itu pun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut
hidup!"
"Wah, engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!"
"Engkau lebih aneh lagi. Pada waktu berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu menjadi tawanan,
berpura-pura seperti orang yang tidak mempunyai kepandaian, padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe
Toanio, engkau lihai sekali."
Cui Im tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun. "Kalau tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai itu
mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak akan mudah untuk melepaskan aku pergi, biar pun
engkau yang memintanya."
"Engkau siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang bagus
sekaligus juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari) memang bagus, akan tetapi
terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan buktinya engkau memang tukang meracuni orang!
Mengapa seorang gadis muda jelita semacam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti."
Cui Im tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra.
"Kau bilang aku jelita? Benarkah?"
"Kalau aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang jelita, Cui Im."
Gadis itu semakin girang hatinya. "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku, aku menjadi tak tega
membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis akan kehilangan hatinya kelak kalau
berhadapan denganmu."
Jantung Keng Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan cantik,
belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan mengalihkan percakapan.
"Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap merupakan dua orang locianpwe yang berilmu tinggi, akan tetapi
terhadapmu seperti orang jeri, dan selalu menyebut-nyebut gurumu. Siapa sih gurumu yang agaknya amat
mereka takuti itu, Cui Im?"
"Guruku ialah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong saja yang bisa
menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku menjadi jago nomor satu di dunia! Dia
adalah orang pertama dari keempat Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah
selatan dan berjuluk Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Tapi... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ke
tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhu-mu, kita mempelajari bersama dan... kita berdua akan
menjadi sepasang jago nomor satu di dunia. Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah,
kekasih...!" Cui Im merangkul leher Keng Hong.
Tercium keharuman yang sangat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong menjadi
makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya.
"Bagaimana, Keng Hong? Engkau kuberi obat pemunah, ya? Kemudian... kemudian kita bersenang-senang
malam ini dan besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san dan mengambil semua pusaka
peninggalan suhu-mu... ya?"
Keng Hong sudah memejamkan mata dan sudah pula mengumpulkan seluruh panca indra untuk menekan
batinnya yang bagaikan air tenang yang mulai diguncang oleh nafsu. Dia menggelengkan kepala dan
berbisik, "Aku tidak tahu di mana tempatnya itu."
Cui Im melepaskan rangkulannya dan seketika lenyap pula kemesraannya. Ia mendengus kemudian
menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka matanya dan memandang
punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari tangannya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali
menarik napas panjang dan nampak jengkel sekali.
Keng Hong terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan jahat,
mengejar kepandaian secara membuta. Dia merasa sayang sekali. Kalau dia terbayang akan belaian dan
bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan diperbuat gurunya, andai kata Sin-jiu Kiam-ong yang
menjadi dia? Dia tidak takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu
Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit demi sedikit!
"Kaki tangan seorang lawan dapat kau hadapi dengan kaki tangan pula, muridku," begitu gurunya memberi
keterangan, "akan tetapi lawan yang licik suka mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau
minuman. Banyak terdapat racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa.
Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi biasa dan dapat
mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga, dengan cara sedikit demi sedikit,
semakin lama makin bertambah takarannya, dengan memasukan racun-racun itu ke perut, engkau akan
menjadi kebal terhadap segala macam racun."
Demikianlah, ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan tetapi dengan
mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum terus sampai habis. Dengan sinkang yang
disalurkan ke perutnya, dia tadi telah mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia
dipanggul Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini perutnya bersih dari
pada racun.
Kembali Keng Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya hingga wajah yang cantik
itu tampak dari samping. Wajah yang disinari dengan api merah, sedikit tertutup juntaian rambut hitam,
benar-benar sangat mempesonakan.
Ketika tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya yang penuh harap,
Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk, maka sekarang dia mengambil
ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak mau lagi mempedulikan gadis itu.
"Keng Hong...!"
Pemuda itu membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya.
"Enak saja kau tidur!"
"Habis mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?"
Gadis itu makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, tapi masih enak-enak
saja. Meski pun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw macam mereka yang disebut
locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan akan berdaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan
nyawanya. Akan tetapi pemuda ini enak-enak saja tidur.
Selain heran dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah mencari seorang
pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya?
Memang dia tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja akan
membuyarkan cita-citanya untuk mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong, juga gurunya pasti akan
menjadi marah sekali padanya. Apa yang ia harus lakukan untuk dapat membujuk pemuda ini?
"Keng Hong, apakah kau tidak merasa sakit?"
Keng Hong menggeleng kepala.
"Perutmu tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja."
Kembali pemuda itu hanya menggeleng.
"Kau memang orang yang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini saja, biarlah kuhadiahi engkau dengan
arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang yang kuberi arak ini, kalau bukan orang yang kusenangi."
"Hemm…, engkau senang kepadaku?"
Cui Im memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali. "Ahhh, betapa bodohnya
engkau Keng Hong. Tentu aku senang kepadamu, aku cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak
ingin melihat engkau mati besok."
"Engkau ingin memaksa aku mencari pusaka suhu, bukan tidak ingin melihat aku mati."
"Betul juga, akan tetapi aku cinta padamu. Kau seorang pemuda yang jantan, tabah dan luar biasa. Mari,
kuhadiahi engkau arak wangi."
Cui Im mengeluarkan sebuah guci arak kecil dari balik bajunya, membuka tutupnya dan terciumlah bau
yang sangat wangi, seperti puluhan macam bunga wangi dikumpulkan di dalam guci arak itu. Keng Hong
tidak banyak cakap lagi, namun dia haus dan bau arak itu amat sedap. Ia menerima guci itu dan
menodongkan ke mulutnya.
"Racun atau obat penawar?" tanyanya sebelum minum.
Cui Im makin kagum. Di dunia ini tak mungkin menjumpai orang seperti pemuda ini, yang sedemikian
tenang dan dinginnya menghadapi ancaman racun, padahal pemuda itu telah mengenal namanya sebagai
Tok-sianli (Dewi Beracun)! Hebat bukan main!
"Kalau arak ini beracun, bagaimana?" Ia bertanya, memancing.
"Racun pun boleh, asal enak diminum. Aku sudah diracuni, bila ditambah lagi sedikit atau banyak apa
bedanya?" Jawab Keng Hong lalu meminum arak itu dari guci.
Lidahnya segera dapat merasa bahwa di dalam arak ada racunnya, akan tetapi racun ini berbeda dengan
racun tadi. Racun yang berada di dalam arak ini racun yang amat halus, bahkan bukan racun cair karena
begitu diminum, racun itu menjadi segumpal hawa yang harum.
Dia tidak tahu racun apa ini, akan tetapi dia mengerahkan sinkang-nya menerima racun itu dan membiarkan
gumpalan hawa wangi itu berkumpul di dalam dadanya. Setelah guci kecil itu kosong, baru dia
mengembalikannya kepada Cui Im, kemudian mengusap mulut dengan ujung lengan bajunya.
Cui Im memandang dengan mata terbelalak, kemudian tersenyum-senyum ketika melihat pemuda itu
menyandarkan diri di batang pohon dan meramkan mata seperti orang sangat mengantuk. Dia percaya
penuh akan kemanjuran racun araknya dan mengharapkan hasil sekali ini.
Arak yang dicampur racun itu amatlah kuatnya dan merupakan arak buatan gurunya yang ampuh sekali.
Bukan racun untuk membunuh, melainkan racun untuk pembangkit birahi, racun perangsang yang dibuat
dari beberapa macam lalat dan semut kemudian dicampur sari bunga-bunga wangi.
Dengan cara pembuatan yang sederhana, penduduk di kepulauan selatan menggunakan sebagian kecil
saja untuk meracuni kuda yang hendak dikawinkan. Tanpa racun ini, sukar sekali untuk mengawinkan kuda
betina. Kini, yang diminumkan oleh Cui Im kepada Keng Hong merupakan inti sarinya, kerasnya bukan main
dan kiranya cukup untuk pembangkit nafsu birahi dua puluh ekor kuda! Mantap…!
Keng Hong yang meramkan mata itu sebenarnya tidak tidur. Dia mendengarkan semua gerak-gerik Cui Im
yang menurut pendengarannya seperti orang gelisah. Akan tetapi dia tidak peduli dan meramkan mata,
mengheningkan cipta dan mengerahkan sinkang untuk menahan gumpalan hawa beracun yang aneh itu.
Ia tahu bahwa racun ini amat berbahaya, biar pun dia tidak tahu bagaimana bahayanya. Tubuhnya menjadi
panas, padahal racun itu masih tertahan olehnya. Ia menanti saat baik untuk menghembuskan keluar racun
itu di luar tahu Cui Im, karena dia pun hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya.
Akan tetapi, apa yang akan dihadapinya sungguh di luar dugaannya sama sekali. Lewat tengah malam,
Keng Hong yang mengantuk itu tiba-tiba saja mendengar panggilan yang mesra dan halus, dibisikkan dekat
telinganya.
"Keng Hong..., ahhh, Keng Hong...!"
Dia membuka matanya. Api unggun masih menyala dan di antara sinar merah api itu, dia melihat Cui Im
merangkul dan membelainya, lengan yang telanjang membelit lehernya seperti ular, dada yang tidak ditutupi
apa-apa membusung dan menekan dadanya sendiri. Gadis itu memeluk dan membelainya dalam keadaan
telanjang bulat.
Keng Hong membelalakkan matanya, mulutnya ternganga dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya
ketika pada saat itu Cui Im mencium mulutnya yang sedang ternganga itu sehingga mulut mereka bertemu
seperti guci arak dengan sumbatnya.
Karena kaget, Keng Hong mengeluarkan suara dari dadanya, "Ahhh…!"
Dan... segumpal hawa racun wangi yang telah dia kumpulkan dan tahan dengan kekuatan sinkang kini
sudah terhembus keluar, memasuki mulut Cui Im yang terbuka dan langsung ke dalam dada gadis itu.
"Aiiihhhh...!" Cui Im menjerit dan terjengkang ke belakang. Ia terbatuk-batuk, memegangi leher yang serasa
tercekik, tubuhnya mengeliat-geliat seperti seekor ular terkena api.
Keng Hong memandang dengan mata terbelalak, setengah kasihan, setengah geli bahwa tanpa disengaja
racun itu meracuni Cui Im sendiri, juga setengah kagum menyaksikan betapa tubuh yang indah itu
mengeliat-geliat seperti itu.
Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keindahan tubuh seperti tubuh Cui
Im. Dalam mimpi pun tidak pernah. Kini barulah dia mengerti mengapa mendiang Sin-jiu Kiam-ong, suhu-
nya itu, dikatakan mata keranjang dan tukang memikat wanita.
Kiranya tubuh indah serta wajah cantik seperti yang dimiliki Cui Im inilah yang membuat suhu-nya menjadi
seperti itu. Hati pria mana takkan tertarik? Bukankah keindahan wanita memang khusus diciptakan untuk
menarik hati pria? Kerbau, kuda, burung dan segala macam binatang tentu akan tertarik dengan keindahan
wajah dan tubuh seorang wanita!
"Tamasya alam yang indah memang minta kita pandang dan kagumi. Kembang-kembang cantik wangi
memang minta kita pandang dan ciumi. Wanita-wanita cantik jelita memang minta kita cinta dengan kasih
mesra. Engkau bahagia dalam hidupmu kalau tidak terjerat cinta kasih yang mendalam, muridku. Sekali
terjerat, engkau akan menikah, dan sekali engkau menikah, berarti engkau memberikan kaki tanganmu
untuk diikat selama-lamanya dengan kewajiban-kewajiban! Karena itu jauhkan dirimu dari pada ikatan cinta
kasih yang mendalam, walau pun engkau telah berhubungan dengan banyak wanita. Kalau memang
engkau suka, jangan menolak cinta wanita, hanya jangan berikan hatimu, jangan berikan cinta kasihmu,
cukup kau berikan tubuhmu." Demikianlah pernah dia mendengar nasehat gurunya yang terkenal sebagai
seorang pemikat wanita!
Tadinya wejangan seperti itu hanya lewat saja di hatinya sebab belum terpikirkan olehnya bahwa dia akan
menghadapi hal-hal seperti itu, tidak terpikirkan olehnya bahwa dia akan bertemu dengan wanita-wanita
hingga timbul persoalan cinta kasih. Akan tetapi sekarang, baru saja dia turun dari Kiam-kok-san, dia telah
bertemu dengan hal yang dikatakan oleh suhu-nya itu!
Kini Cui Im sudah tidak menggeliat-geliat lagi laksana cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah
dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang
terurai itu sebagian menutupi wajahnya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak
terbuka lebih merah lagi, matanya menatap penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan
liangnya terlalu sempit untuk jalan keluar pernapasan.
"Keng Hong... Ah-ahhh... Keng Hong..."
Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk
pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian
tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong.
Keng Hong menjadi geli hatinya dan di luar kesadarannya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui
Im. Dia teringat akan gurunya, teringat akan nasehat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang
terdapat di dalam sudut hati setiap orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal.
Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang
melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk oleh nafsu birahi yang dirangsang oleh hawa
racunnya sendiri.
Cui Im sama sekali tak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri menjadi
korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka
itu pun timbul pula daya sedot mukjijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im
terkulai bagaikan orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput.
Ada pun Keng Hong yang telah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja duduk nongkrong di
bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, serta
pandang matanya berbeda dari kemarin karena kini pandang matanya menjadi ‘masak’. Mulai lewat tengah
malam tadi Keng Hong telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar
seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-
ong!
"Keng Hong...!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, dan keluar dari mulut
Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa
dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang.
Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian secara tiba-tiba dia
meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih
enak-enak membesarkan api unggun.
"Keng Hong! Kau... kau... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu...! Ahh, sudah pagi... celaka, terlambat
sudah... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku...!" Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher
Keng Hong.
"Kau ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh.
"Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah
tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"
Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia kini tidak tertarik
oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia
akan keterangan suhu-nya mengenai perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu.
Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, juga tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan
ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua pihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang
timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya setebal kulit sehingga cinta
nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.
"Aku tidak akan mati."
"Apa? Dan racun itu...? Racun ganas sekali!"
"Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."
Gadis itu terbelalak dan hatinya tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah
lenyap cinta kasihnya padanya. Padahal baru saja, selama setengah malam penuh, mereka bercinta kasih
tak mengenal batas.
Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya.
Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus dia akui pula bahwa belum pernah selamanya
ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Dia segera menghampiri dan merangkul pundak
Keng Hong.
"Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita sudah... sudah menjadi suami isteri yang tidak sah!
Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Ahh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati
bersama, bukan? Mari kita pergi untuk mencari peninggalan suhu-mu yang sakti..."
"Tidak! Kau pergilah, Cui Im. Agaknya sudah cukup aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu.
Aku tidak menyesal karena terus terang saja, aku senang kepadamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat
membujuk atau memaksa aku agar mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga
aku tidak mau. Pergilah!"
"Ihhh...! Keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah.
"Heeeee...? Ke... kenapa...?"
Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah
kehilangan tenaga sinkang-nya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetapi kemarahannya
membuat dia melupakan keadaan yang aneh ini dan dia telah bangkit berdiri, lalu memaki.
"Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Sesudah menikmati tubuhku, kau lantas mengusir aku pergi
begitu saja!"
"Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"
"Jahanam!" Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.
"Bukkk! Aiiihhh...!"
Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke
belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak.
Dalam pukulannya tadi dia merasa betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung
pemuda itu bagaikan dilindungi hawa yang amat kuat.
"Aku... aku… kenapa...?" Kembali Cui Im berseru heran, hatinya penuh kengerian. "Keng Hong... kau
apakan aku...?"
Keng Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh untuk menghadapi gadis itu. "Cui Im, kau tahu aku tidak
melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, justru engkaulah yang selalu menggangguku."
"Aku... tenaga sinkang-ku... kosong dan kering... tenagaku amat lemah..."
Keng Hong juga tidak mengerti kenapa, dan dia tak peduli sebab merasa bukan dia yang menyebabkan
gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dulu saat di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia
sudah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar
sinkang di tubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya.
Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang
yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah.
Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong
tak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Sekarang dia hanya
merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah.
Sementara itu, Cui Im juga telah menekan keguncangan hatinya. Ia coba menghilangkan kebingungannya
dengan menganggap bahwa sebagian besar sinkang-nya lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu
racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika dia mencium mulut
Keng Hong semalam. Ia kini menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan
hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.
"Keng Hong, sungguh pun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim
nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"
Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu ia menghela napas panjang. "Sayang
sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, akan tetapi semua itu tak ada
artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkang-mu sudah sangat lemah, kalau aku mempergunakan
tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan mempergunakan tenaga,
dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah
menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."
Cui Im membuat gerakan menusukkan pedangnya. Akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng
Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu
hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im.
Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebatang ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api
unggun malam tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang
Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik dari pada
dia menggunakan pedang logam karena sifat kayu ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu
Harum.
"Nah, marilah kita berlatih ilmu pedang," katanya.
Ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah
melingkari lehernya sendiri terus turun dan ditudingkan ke atas tanah. Ini adalah kuda-kuda atau gerakan
pembukaan Siang-bhok Kiam-sut. Dengan dua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti
gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan ulu hati dalam keadaan miring
seperti orang menyembah dengan satu tangan.
Cui Im maklum akan kelihaian pemuda ini dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia
sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang
tosu Kun-lun-pai yang lain, maka dia merasa ngeri dan jeri untuk beradu kekuatan sinkang.
Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat. Karena itu dia
pikir bahwa kalau bermain pedang, apa lagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Dia
sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun
semua itu tidak berhasil menundukkan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!
Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras kemudian menerjang maju dengan dahsyat sekali, mengirim
jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah sangat tinggi, apa
lagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomor satu dari si empat
besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang luar biasa cepatnya, sungguh pun sekarang tidak dapat
digunakan karena sinkang-nya sebagian besar telah ‘pindah’ ke tubuh Keng Hong, dia juga mempunyai ilmu
pedang yang amat ganas.
Keng Hong bersikap hati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini dalam bermain pedang
ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka sekarang ia cepat menggerakkan rantingnya, digetarkan ujungnya
lantas menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.
"Ayaaaa...!" Cui Im terkejut sekali.
Begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang bergetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu
terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja dia terpaksa
melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah
mundur.
Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, dia hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis
itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin di dalam hal ilmu silat dia kalah
pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut merupakan ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan
sinkang dia menang jauh. Asal dia bisa menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.
"Kau... kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya kembali menerjang maju mengirim tusukan
dan bacokan bertubi-tubi.
Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, perubahannya juga sangat sukar diduga sehingga pandang mata
Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan
membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya.
Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar-mutar ranting itu melindungi
tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi
puluhan banyaknya saking cepat dan tak terduga-duga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental
kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.
Akan tetapi, meski pun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong juga sama sekali tidak ada kesempatan
untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih
amat kaku dan pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-
sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus
saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!
Makin lama Cui Im makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan
dengan nekat dia memutar pedang lebih cepat lagi. Namun, makin cepat dia menggerakkan pedang, juga
makin banyak dia menambah tenaga, dan dia semakin lelah pula sehingga setiap kali terbentur ranting
pedangnya segera membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri.
Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, lalu mencabut keluar sehelai
sapu tangan merah dan menggunakan sapu tangan itu sebagai penyeling serangan pedangnya,
mengebutkannya ke arah Keng Hong.
Keng Hong maklum akan bahayanya sapu tangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa
racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia
setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat
berbahaya.
Melihat berkelebatnya sapu tangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan
menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada sapu tangan itu. Ia berhasil merobek sapu tangan
dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan sapu tangan itu hanya pancingan
belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadinya
disembunyikan di balik sapu tangan.
Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali
dan melompat, namun terlambat. Dia telah menghisap asap hitam yang berbau amis, kepalanya pening,
pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im
menyambar dan menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Tranggg...!" Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im.
Akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut
kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin
banyak asap hitam tersedot olehnya!
Cui Im menjadi girang sekali. Dia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya,
disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.
"Singgggg... tranggg...!"
Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara,
hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke
atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.
"Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak engkau lakukan itu?" Terdengar teguran halus dan
ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian
sutera putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutera putih panjang yang tadi
dipergunakan secara luar biasa sekali untuk merampas pedang di tangan Cui Im.
"Sumoi (adik perempuan seperguruan)...! Engkau...??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jeri.
Memang aneh kelihatannya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik
seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.
"Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!" kata pula gadis baju putih itu.
Sekali menggerakkan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur
ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakkan
sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong laksana seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang
masih pening dan mabuk itu, lantas sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu!
Cui Im memandang dengan muka berubah merah karena penasaran ketika sumoi-nya mengeluarkan
segulung sutera hitam, kemudian mengikat dua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah
terlentang kebingungan. Setelah mengikat dua tangan pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu
memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.
"Sumoi mengapa kau tawan dia? Dia itu... punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas
dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun dia tetap tidak berani
mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoi-nya ini.
"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.
"Karena dia adalah punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya
karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang
menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat
semalam tadi dan saat ini, sungguh mengecewakan sekali. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu birahi dan
nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat, mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku
menangkapnya dan membawanya kepada ibu."
"Aahhhhh...!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik dengan peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri..."
"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."
"Tapi subo (ibu guru)..."
"Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak sehingga suci-nya terdiam.
Kemudian gadis baju putih itu menggerakkan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking
yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali
menuju ke tempat itu.
Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri oleh seorang wanita
muda yang cantik, ada pun di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-
cantik dan bersikap garang. Empat wanita yang datang ini semuanya memakai pakaian kuning dan di
punggung mereka tampak gagang pedang.
"Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi
perintah kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda.
Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta,
didudukkan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri
dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan
dada dan kepalanya.
"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki
sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini.
Berangkatlah!"
Empat orang itu mengangguk. Wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara
mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh
kekecewaan, akan tetapi tanpa banyak membantah dia lalu pindah duduk ke depan dan menjadi kusir. Ada
pun gadis baju putih itu kini duduk berhadapan dengan Keng Hong.
Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang segera membedal sambil mengeluarkan suara
meringkik keras. Roda-roda kereta menderu-deru di atas jalan yang berbatu, dan guncangan-guncangan ini
membuat Keng Hong cepat sadar kembali.
Sejak tadi Keng Hong tidak pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih
dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi dan dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh
gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu
lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im.
Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada Cui Im sendiri
dan amat ditaati oleh suci-nya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman
pendengarannya saja karena tadi matanya masih berkunang dan kabur pandangannya.
Sekarang, sesudah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu yang membuat
pandangan matanya terang kembali, dia lalu membuka mata memandang nona yang duduk anteng di
depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah kedua mata itu.
Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit,
dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening bagai air telaga, tajam melebihi pedang
pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu jelas tersembunyi sifat dingin yang sangat menyeramkan!
Mata itu agaknya bisa menangkap kesadarannya akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya,
kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seakan-akan dapat menembus segala yang berada di
depannya.
Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih
muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat
cantik jelita.
Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu.
Rambutnya hitam sekali dan sangat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua
pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya kelihatan sedikit dan terhias dua buah anting-anting
bermata merah. Alis itu sangat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tak ada bekas-bekas
goresan pensil dan agaknya alis ini beserta bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah
keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit oleh
sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum.
Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada
sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya laksana
gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya
sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.
Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang lebih ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-
benar membuat dia terpesona. Gadis ini sangat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk
tubuhnya... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguh pun pakaian sutera putih itu membungkusnya.
Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya
dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka
terdapat di dalam dunia!
"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"
Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung!
Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya apa bila dia menerima tamparan keras.
"Ehhh... ohhh... aku..." Dia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun
tajam menembus dada.
"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah
seorang wanita murahan seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke
arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.
Keng Hong menghela napas panjang dan tidak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu
itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-
gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu,
terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.
"Jangan mencoba-coba untuk mematahkan belenggu," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain
kau tak akan berhasil, juga aku akan menyeretmu di belakang kereta kalau kau banyak tingkah."
Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak dari pada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap
wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang laksana air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia
dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada.
Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini sudah menyelamatkan
nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak
mengenal budi.
"Nona..." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak
memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya.
Keng Hong bergidik. Gadis ini bagaikan arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi
melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi
bicara, kilatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah
gadis itu kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!
"Nona...!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan
bergerak melirik pun tidak.
"Bledak... dak... dorrr...!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar
sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.
"Heiiiii... ehhh...!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali.
Akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya
itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja!
Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu
sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.
"Nona...!"
Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir, maka mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu
itu ke depan hidung kecil mancung itu. Dia hendak memastikan apakah napas nona itu masih ada. Dan
tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak
menyentuh urat nadi lengan nona itu.
"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang
keretakah?"
Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.
"Walah...! Kau bikin kaget aku saja, Nona. Hampir saja aku mati karena kaget! Kusangka kau... kau tidak
bernapas lagi..."
"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi Hoan-
hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"
"Ohhh...!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena semakin lama dia merasa
semakin kagum dan heran.
Dia pernah mendengar dari suhu-nya akan ilmu Pi-khi Hoan-hiat ini, semacam ilmu untuk selalu
mengadakan pengendalian terhadap jalan darah dan berhubungan dengan tenaga sinkang. Akan tetapi ilmu
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah
melatih ilmu itu di dalam kereta yang berguncang-guncang!
Meski pun semenjak tadi hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh, akan tetapi suara ini jelas membayangkan
kekaguman. Hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang sebagai seorang manusia normal, terutama wanita,
tentu saja amat senang hatinya mendapat pujian.
"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"
"Nona, aku Cia Keng Hong bukanlah orang yang tak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa
kepadamu..."
"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"
"Ehh, aku... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im..."
"Hmm, hubunganmu dengan suci sudah begitu jauh ya sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang
pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!
"Kumaksudkan... nona Bhe Cui Im... aku sudah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun
selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Tetapi, sesudah menyelamatkan nyawaku yang tak
berharga ini, mengapa Nona malah menawan aku?"
"Heii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki yang pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti
dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hik-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara
mengejek.
Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat
dirobohkan rayuan orang? Aku tidak seperti engkau yang begitu mudah dapat dipikat oleh rayuan bocah ini,
Suci!"
"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam
pelukan dan belaiannya, nanti..."
"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.
Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga
jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat
mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam tidak bergerak seperti nona di depannya.
Mulailah nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan tetapi
pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.
"Nona, jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu, Nona,
melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini malah menawanku."
"Ibuku yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku sudi
menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu, biar suci mau membunuh seribu orang macam
engkau, aku tidak akan peduli."
Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi
seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"
"Lam-hai Sin-ni!"
"Ohhhh...!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini merupakan murid
ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biar pun disebut
sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani
oleh suci-nya itu.
"Kau sudah mengenal nama ibuku?"
"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"
"Hemm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."
"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu."
"Hemm..., sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."
"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu
membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"
"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"
"Suci, berhenti dulu!"
Kereta berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat
ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih
berdiri ketika dia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki
Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!
"Jalan terus, Suci!"
"Hi-hi-hik-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah..., engkau sama
sekali belum berpengalaman."
"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-
kekeh.
Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua
tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung sabuk lainnya oleh gadis itu
diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari
kereta.
Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Apa bila
tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di
tubuhnya melindungi kulitnya, akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja
habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.
Diam-diam Keng Hong mengutuk, "Wah, gadis setan! Dua orang gadis itu benar-benar seperti iblis-iblis
betina, sungguh pun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu,
sebaliknya sumoi-nya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya mempunyai kekejaman yang sama.
Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."
Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat keadaan di kanan
kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun.
Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap
menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan
menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi
penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?
Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni dua orang
laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan,
memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang
dengan alis berkerut marah.
"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"
"Hemm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok
Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang
muka suhu kami, harap kau suka mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang
sebelah kiri.
Setelah kini berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar.
Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia tertawa mengejek.
"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun gurumu sendiri
yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"
"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik,
akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang
unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"
"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"
Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan
menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan tenaga sinkang yang
sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang
yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk
Bu-tek Su-kwi!
Kalau dalam keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan
mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan
sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.
Keng Hong yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa
Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang menggunakan julukan
Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam
beberapa gebrakan saja ia akan roboh.
Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu melakukan
serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga
sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai
sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.
"Sumoi, tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.
Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat segulung cahaya
putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.
Mereka cepat menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat ke
belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan mengeluarkan darah. Yang
melukai mereka ialah dua butir bola putih yang permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan
pada saat dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan
melukai lengan mereka.
Pada waktu dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut
dan cepat menjura ke arah kereta.
"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas kelancangan kami!"
Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.
"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!"
Cui Im berteriak-teriak menantang.
"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah dikenal oleh Keng Hong berkata
halus.
Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri telentang lagi,
diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik
Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai,
sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!
"Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan muncul pula."
"Untung kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku kehilangan sebagian besar
sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"
"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.
"Benar, tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu.
Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot habis... uhhh..."
"Suci, diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"
Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun
tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san,
di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.
Akan tetapi pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan
Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.
Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia
mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.
Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan
menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah nampak
genteng-genteng rumah yang kemerahan.
Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang
mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua padanya, membuat rambut dan alisnya
menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu
yang tebal ini.
Tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang
menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.
"Jalan terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.
Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam
cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak
pinggang, tangan kanannya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa
bergerak, hanya matanya saja yang menatap tajam ke depan.
Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang ke dua ke arah
Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, walau pun warnanya juga hitam seperti
tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.
Cui Im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap mencurahkan
seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkannya dengan cepat. Dia
sudah percaya penuh akan penjagaan sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara
cambuk meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.
Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakkan
cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan... terdengar jerit-jerit mengerikan
yang lantas disusul dengan terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon.
Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing
dan secara kontan keras telah membalas mereka!
Tiba-tiba terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang
sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara
berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di
hutan ini!"
"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.
Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta
itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam
gerombolan-gerombolan semak.
Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih
tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring
dan bergema lebih dahsyat dari pada suara banyak orang tadi.
"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-
sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu tawanan!"
Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu
siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi
yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan
tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh
hitam yang amat lihai.
Namun, baik tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki
Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah keinginan hatinya untuk mencari serta
mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu,
sudah barang tentu pusaka itu amat berharga dan penting.
Sesudah mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi ragu-ragu dan
mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih.
Di tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!
Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang berkulit hitam
arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong.
Senjata kakek itu pun berupa seutas rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya
bedanya, rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.
"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu.
Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona
Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian,
mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."
"Hi-hi-hik-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan,
tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan
kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya
dari tangan guruku!"
"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan
mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil
menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.
"Hemm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal
tawanan penting!"
"Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.
Tenaga sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak selemah tadi
karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia
masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada
pun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.
Empat orang tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan
terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar sekali dan dari mulut
tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!
Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta
dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan lawan yang tiga
orang diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.
Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga
dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika dibandingkan dengan Thian-te
Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan
Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar
mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.
Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi menghadapi
ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun
nomor satu di dunia ini!
Baik Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna kuning yang amat
harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka,
kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap
beracun.
Biar pun tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li
memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang merah, dan kecerdikannya serta
kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan
diborong sumoi-nya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup
mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas
bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.
Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak
turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Sekarang mengikuti
pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi
ilmunya, matanya menjadi kabur.
Gulungan sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang
makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada
pun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar
hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali. Sinar hitam ini
dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis
muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia kang-ouw itu.
Mendadak Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya pada saat
dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan orang dan jelas sekali mereka berniat
untuk menangkapnya.
Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap mengancam,
seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya
apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua
orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih
mengerikan pula.
Kenapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah
pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua,
karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong
menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling
gasak itu.
Keng Hong mengerahkan sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang
dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutera hitam yang
mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih
tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti
tarikan dua buah belalai gajah.
Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas
tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Dia cepat membungkuk dan melepaskan
tali sutera putih yang mengikat kakinya. Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk
sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali
kakinya.
Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada
yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng
Hong tidak peduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat
di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li
yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.
"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"
Dia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang mengeluarkan
suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan
sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.
Tampak sinar putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih perak dan
dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut,
rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!
Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dilayani oleh gadis
baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih
tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.
Keng Hong masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan sambil
berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau
kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut.
Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang
tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan.
Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi menempel di tubuhnya, mencelat ke empat
penjuru sampai lima enam meter jauhnya lalu menimpa teman-teman sendiri!
"Tangkap...!"
"Jangan sampai dia lari!"
Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil mengepung.
Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan
pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang
terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.
Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka
itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki
dan tangannya, menendang dan memukul.
Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki
tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-
kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong
menjadi kacau permainannya.
Apa lagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka tiga orang
tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im
berhasil melukai pundak kiri lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya
yang amat lihai itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya
terluka dan berdarah.
Melihat empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng
Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita
melanjutkan perjalanan!"
Keng Hong berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan
perjalananku sendiri, Nona."
"Kau... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya dingin, dan sabuknya siap
di tangan.
"Hati-hati, Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak
mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan meninggalkan tempat itu
karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.
"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru
mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat
mempertahankan engkau lagi!" berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan
merupakan bujukan, melainkan peringatan.
Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi
pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan. Dia menggeleng kepala dan
memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.
"Tidak, aku ingin bebas!"
"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap
dengan pedang merahnya.
"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku
telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan aku? Beginikah kegagahan murid Sin-
jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak
mengenal budi."
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa
nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas
pertolonganmu. Sesudah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!"
Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.
Cui Im menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng Hong yang
tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"
Gadis baju putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah sekali. Matanya
yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang
yang compang-camping dan kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah
punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang
bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang dipenuhi
tenaga di atas kaki yang kuat.
Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci, kau selalu
mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka
dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi
tubuh belakangnya secara pantas!"
Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.
"Keng Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-
hik!"
Kemudian dia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah
sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan sikap tidak acuh.
Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan
merampas tawanan itu!"
Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan
kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah
terlepas dari wajah gadis di depannya.
Dia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui
Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah
memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini
mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti
suci-nya itu.
Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im
hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa peduli
akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau
tidak.
Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja
tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini
memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-
olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang
terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin
itu.
Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak sehingga sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang
matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan matanya, pura-pura
melihat pohon-pohon di pinggir jalan.
"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.
Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."
"Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."
Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat dia mengangkat
muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang
tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang,
sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.
"Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."
Song-bun Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah
bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan
mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu
memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci,
silakan makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.
Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu guci arak Ai-ang-ciu (Arak
Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"
Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan bagaimana
perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya saja bibirnya yang
tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.
"Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."
Tangan kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap,
berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu
menghabiskan rotinya, nona ini lalu menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,
"Minumlah dulu."
Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"
"Hi-hik-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir diracuni? Ahh,
jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun, lagi pula segala macam racun jika
dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek
sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali.
Dia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya menghabiskan
rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.
"Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.
Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh
sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh
namun dingin.
Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan mengangkat guci
ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya
yang dingangakan.
Keng Hong menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat
jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang
terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu
kejatuhan air jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan serta
kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul
sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.
Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi
sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai
mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun
sebenarnya telah meresap di hatinya.
Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis itu sesudah dia
mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat mesra pada malam itu bukan timbul dari
hati mencinta melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus
mendahului gadis itu minum airnya.
"Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.
Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata
genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoi-nya tadi. Kemudian ia
mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai
tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh.
Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini
diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan suci
nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum
sekali.
Roti kering tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi.
Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa
bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah
Biauw Eng,
"Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."
Sesudah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian meramkan
matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng
Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.
Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang
melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan
gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata
menghimpun tenaga.
Untuk apa? Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini
sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa
mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak
mungkin dapat mengalahkannya, apa lagi ibunya!
Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona
itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam
semedhinya walau pun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.
Sampai malam tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung yang banyak
terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air
gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.
Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong
sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti
seekor kucing memancing belaian.
Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan
malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Ada pun
gadis baju putih itu duduk bersila dan seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-
rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.
"Cui Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan
mengibaskan tangan Cui Im.
"Aihh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku,
engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng
Hong... ahhh..."
"Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.
Sekarang dia menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini. Pengalamannya
yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im
benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya,
melayani cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa
sukanya kepada segala yang indah.
Kalau saja Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya,
kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im
sebagai kenangan yang manis. Tapi sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan
yang memalukan dan menjijikan.
"Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus.
Kedua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar
datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar goa, benar saja, di bawah
sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.
Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk,
suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak
karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian
melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!
"Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.
"Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri urusan kami, kau
tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk
keluar dari goa menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke
arah goa.
Keng Hong hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan
telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.
"Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-
sian-li!"
Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-
nama itu, kemudian terdengar suara.
"Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam
untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"
Dalam remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga
orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringat dia akan dua orang tokoh
Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu
pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.
"Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia
Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan
tampaknya mereka itu kuat-kuat.
"Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu kami untuk
membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan jika tidak
keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang
pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja.
Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin
mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang semuanya merupakan murid-
murid tokoh besar yang sakti?
Akan tetapi, baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara
Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.
"Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni.
Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak
tahu malu telah merusak kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami
berdua tidak gentar menghadapi kalian!"
"Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong sekali!" bentak
seorang murid Siauw-lim-pai.
Dia langsung menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga segera
berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai
Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui
Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan
lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.
Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian
murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya
menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun
takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.
Jadi bila mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang
mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi
terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan
memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.
Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain
dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali
Cui Im mengeluarkan teriakan marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung
senjata lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit
mengeluarkan darah.
"Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin
membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan
dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-
san-pai berkata nyaring.
"Mulut besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami,
baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"
"Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang anak murid Kong-
thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni
menjadi semakin repot untuk melindungi tubuh mereka dari cengkeraman maut.
Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai
memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Dia maklum
bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.
Dia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang itu juga
mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukkan tempat simpanan
pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk
mencari pusaka gurunya itu.
Sebaliknya, pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua pihak itu
tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang
dianggapnya berada di pihak yang harus dia bantu.
Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan
gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya
menasehatinya,
"Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya,
jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan
ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin
menolong seperti itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."
Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biar
pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, akan tetapi harus dia
akui bahwa dia telah mengalami kesenangan dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui
Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.
Apa lagi terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskan
dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak akan tega membiarkan gadis ini mati
dikeroyok.
Keng Hong lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting,
dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok
anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"
"Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia dikatakan anak perempuan
kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para
pengeroyok untuk melarikan pemuda itu.
Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan
mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu
seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun
yang sepuluh orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena
mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing.
Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng
Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka,
ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya.
Mereka berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa
mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh
dianggap remeh. Sekarang mereka maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih
dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.
Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi dia merasa kaku
sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini
banyak orang.
Hujan pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai
tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah terlepas, bajunya yang kena
dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan dalam hati Keng Hong.
"Kalian nekat, ya?!" bentaknya.
Ketika seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke arah pundak
kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan
kanannya memapaki cengkeraman itu hingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.
"Plakkk!!"
Hwesio dari Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Dia cepat-
cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia belaka, tangannya sudah melekat dengan
tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan
keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!
Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul teriakan-teriakan
lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam
orang di antara para pengroyok yang sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan
sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.
Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan
seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah.
Kini mereka membetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil.
Padahal mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara mereka menempel
pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher
pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek
terhadap tubuh si pemuda!
Empat orang gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti
mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman
sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,
"Kita kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya
yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas memegang pundak mereka yang tersedot dan
bersiap-siap mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng,
hwesio itu memberi aba-aba.
"Satu... dua... tiga, tarikkk…!"
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang
lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah
melekat, menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk menarik
itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk melalui tubuh yang mereka
pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam tubuh Keng Hong!
Keng Hong sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai, kini pun dia merasa
betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya bagai
menjadi sebesar gentong beras, terus berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat
keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.
Sungguh pun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang
sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus
berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-
desak ini untuk mengibas tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-
san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa.
Sementara itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka sebentar
saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya, ada pun
Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.
Sekarang dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang!
Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah,
sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih
mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan rintihan
putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.
"Itulah, Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu... heiii!
Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap! Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot
hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki.
"Heran benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang
mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh
orang ini tentu akan mati semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan
dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."
"Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan yang mengerikan!"
"Aku mengetahui caranya, suci."
"Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui
Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.
"Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau
menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot habis!"
Biauw Eng segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.
"Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau
kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-
tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"
Cui Im mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa bergerak sambil
berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya ke atas hingga terdengar suara berdetak
detak, lalu kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng
Hong.
Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti
yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan cambuknya melibat tangan-tangan yang
menempel pada tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya.
Dengan menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam beberapa
saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila
lalu mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka
tidak roboh pingsan terus tewas.
Keng Hong yang sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-
goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan
menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya
menjadi kaku dan kejang. Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang
dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunang-kunang, dua orang
gadis itu kini berubah menjadi empat!
Keng Hong mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya
berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan
Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur akibat ketakutan!
"Heh-heh-heh, terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan
diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"
Biauw Eng memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot
sinkang itu."
Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan bagai mana? Tubuhku
terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"
Keng Hong memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin
dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang
liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh apa saja.
Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua orang gadis
itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan mendatangkan bibit permusuhan, kini
juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus,
dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di kepalanya bagai berdiri satu-satu.
Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang
membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang
yang amat luar biasa.
Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek ini tak
sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh
muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke
dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan
mengeluarkan, datangnya membanjir secara liar.
Jika saja Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur hingga hawa yang
masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu
dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan hawa itu sesuai dengan keperluannya.
Kini, sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk
tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa
untuk bertanding! Maka hawa itu pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet
yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke tempat itu.
Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga partai persilatan itu yang tadi
meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah agar mereka dapat mengepung kereta tanpa
mengeluarkan suara.
Kini belasan ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau, dan dalam
keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah orang-orang yang sedang terheran-heran
memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak.
Biar pun mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi pada waktu itu mereka sedang
menderita luka bahkan sebagian besar tenaga sinkang-nya hampir habis tersedot oleh Keng Hong. Maka
kini menghadapi pasukan kuda yang menerobos liar ini mereka tidak sempat untuk menghindarkan diri. Dan
jangan dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan menerjang
apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!
Keng Hong dapat melihat keadaan bahaya ini. Meski pun dia sedang tersiksa oleh hawa sinkang yang
memenuhi badannya, melihat keadaan bahaya mengancam orang-orang itu, dia lalu cepat meloncat.
Tubuhnya bagaikan sebuah bola karet penuh gas, begitu digerakkan lalu meluncur cepat sekali
menghadang rombongan kuda. Pemuda ini secara aneh sekali telah menjadi buas dan ingin sekali
menghancurkan atau menbunuh apa yang merintang di depannya. Hal ini adalah disebabkan dorongan
sinkang yang berlebihan itu sehingga dia tersiksa dan ingin melampiaskan rasa marah yang timbul akibat
siksaan ini. Keadaannya itu tiada bedanya dengan seorang yang diserang sakit gigi lalu menjadi marah-
marah dan ingin mengamuk.
Maka kini melihat betapa rombongan kuda itu mengancam keselamatan orang-orang yang menderita luka
akibat dirinya, dia lantas mendorong-dorongkan kedua lengan dan kakinya sambil mengeluarkan seruan-
seruan yang aneh bunyinya sebab suara ini digerakkan oleh sinkang yang padat, yang dikeluarkan untuk
mengimbangi gerakan-gerakan pukulan dan tendangan itu.
Akibatnya hebat sekali! Belasan ekor kuda itu bagaikan diamuk angin taufan, roboh dan terbanting ke kanan
kiri, lantas berkelojotan sambil mengeluarkan suara meringkik-ringkik kesakitan. Di antara suara hiruk-pikuk
ini, Keng Hong sudah menerjang maju terus dan terdengarlah gerakan dahsyat.
Dalam waktu beberapa menit saja, belasan ekor kuda sudah menggeletak tak bernapas lagi, dan paling
belakang nampak seekor harimau besar berkelojotan sekarat! Ada pun Keng Hong sendiri berdiri tegak,
mukanya penuh peluh, muka yang masih merah sekali akan tetapi jalan pernapasannya sudah tenang dan
kini wajahnya tidak beringas seperti tadi, melainkan tenang, bahkan kelihatannya lega.
Memang kini dadanya telah lapang, sinkang yang menggelora di dalam tubuhnya sudah dia salurkan keluar
melalui pukulan dan tendangan yang mengakibatkan tewasnya enam belas ekor kuda ditambah seekor
harimau besar!
Biauw Eng dan Cui Im terbelalak, terpesona dan penuh kekaguman mereka memandang Keng Hong. Kini
mereka berdua maklum bahwa kalau Keng Hong menghendaki, pemuda itu tentu dapat membebaskan diri
dari mereka dan jika mereka menggunakan kekerasan, mereka tidak akan dapat menangkap pemuda aneh
itu.
Akan tetapi pemuda itu tidak pernah melawan dan menurut saja menjadi orang tangkapan mereka berdua!
Teringat akan ini, Cui Im dan Biauw Eng bergidik.
Pada saat itu, terjadilah hal yang sama dalam hati dua orang murid Lam-hai Sin-ni, yaitu bahwa cinta kasih
mereka jatuh terhadap Keng Hong! Cui Im yang telah berhasil merayu Keng Hong sehingga pemuda yang
mewarisi ilmu kepandaian juga mewarisi pula sifat mendiang Sin-jiu Kiam-ong itu pernah melayaninya
bermain cinta, sekarang benar-benar menghedaki pemuda itu menjadi kekasihnya untuk selamanya.
Bukan hanya karena Keng Hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, pula seorang yang masih jejaka
sebelum bertemu dengannya, juga terutama sekali karena Keng Hong mempunyai ilmu kepandaian
mukjijat, di samping ini menjadi pewaris pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Jika dia dapat memiliki
pemuda ini sampai selamanya, atau paling tidak sampai dia dapat mengoper semua ilmu dan pusaka itu,
alangkah akan senang hatinya!
Ada pun perasaan cinta kasih yang mulai bersemi di hati Biauw Eng adalah cinta kasih yang wajar dari
seorang gadis yang selamanya belum pernah jatuh cinta pada seorang pemuda yang amat menarik hatinya.
Biauw Eng melihat adanya sifat luar biasa pada diri Keng Hong, sifat kegagahan yang aneh dan sukar dicari
keduanya.
Hatinya jatuh, akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang pendiam, dingin dan keras, tentu saja tak ada
sesuatu pun terbayang pada wajah atau pandang matanya, berbeda dengan Cui Im yang memandang Keng
Hong penuh nafsu menyala-nyala, yang terbayang pada wajahnya yang menjadi kemerahan dan sinar
matanya yang bersinar-sinar.
Enam belas orang anak-anak murid partai persilatan besar itu kini merasa putus harapan untuk dapat
merampas murid Sin-jiu Kiam-ong seperti yang mereka harapkan semula, sesuai dengan tugas yang
mereka terima dari guru-guru mereka. Tadinya menghadapi dua orang murid Lam-hai Sin-ni, mereka masih
mempunyai harapan untuk berhasil.
Biar pun mereka itu terdiri dari empat orang murid Hoa-san-pai, tiga orang murid Siauw-lim-pai, dan
sembilan orang murid Kong-thong-pai, namun karena semuanya berasal dari partai-partai persilatan yang
bersahabat, mereka sudah bersatu untuk merampas Keng Hong agar semua pusaka peninggalan Sin-jiu
Kiam-ong dapat ditemukan sehingga selain mereka dapat mengambil benda-benda pusaka yang dahulu
dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong, juga mendapat bagian pusaka-pusaka lain sebagai ‘bunganya’.
Akan tetapi sesudah mereka menyaksikan betapa murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi tawanan kedua
orang murid Lam-hai Sin-ni itu turun tangan dan ternyata memiliki ilmu yang mengerikan dan amat lihai
seperti iblis sendiri, bahwa pemuda aneh itu membantu dua orang nona yang menawannya, mereka pun
kehilangan harapan untuk melanjutkan perampasan dengan kekerasan.
Dengan hati penuh kemarahan mereka berpendapat bahwa tentu murid Sin-jiu Kiam-ong ini berwatak
seperti mendiang gurunya dan kini tergila-gila kepada dua orang murid iblis betina yang cantik itu sehingga
malah membantunya.
"Omitohud..., mendiang Sin-jiu Kiam-ong mempunyai dua sifat, yaitu sifat pendekar besar yang gagah
perkasa dan sifat kenakalan lain yang sangat buruk sehingga beliau memiliki banyak musuh. Kini muridnya
agaknya tidak mewarisi sifat yang baik itu melainkan hanya mewarisi sifat buruknya!" berkata salah seorang
di antara tiga murid Siauw-lim-pai yang berpakaian pendeta dan berkepala gundul.
Keng Hong tersenyum, akan tetapi hatinya panas. Gurunya adalah seorang yang amat dihormat dan
disayangnya, merupakan orang satu-satunya yang amat baik terhadapnya. Kini gurunya sudah mati akan
tetapi masih saja dipercakapkan orang! Ia lalu memandang hwesio itu dan menjawab,
"Losuhu, sudah jamak bahwa manusia itu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Baik dan buruk yang hanya
disebut mulut manusia dan menurutkan penilaian manusia pula, tentu saja disesuaikan dengan sifat ingin
enak sendiri. Bila menguntungkan bagi dirinya disebut baik, yang merugikan disebut buruk. Aku tak akan
menyangkal, seperti juga suhu, bahwa aku pun tentu mempunyai sifat-sifat buruk selain sifat-sifat baik.
Setidaknya, orang-orang seperti mendiang suhu dan aku masih mau berterus terang, mengakui kelemahan
sendiri. Dan sebaliknya, Losuhu dan anak murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang tergolong sebagai
pemeluk-pemeluk serta pemimpin agama yang memiliki kewajiban membimbing manusia ke arah kebaikan.
Sekarang Sam-wi Losuhu (Bapak Pendeta Bertiga) bukan membawa kitab suci untuk meberi wejangan, tapi
sebaliknya membawa-bawa toya untuk menghantam dan membunuh orang! Apakah pakaian pendeta serta
dibuangnya rambut kepala itu hanya untuk kedok belaka?"
"Omitohud...! Juga mulutnya jahat seperti gurunya!" teriak pendeta Siauw-lim-pai ke dua.
Cui Im tertawa hingga terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan. "Bagus sekali, Keng Hong! Memang mereka
itu monyet-monyet berbulu berkedok ular! Kepalanya gundul akan tetapi hatinya berbulu, hi-hi-hik!"
Wajah Keng Hong menjadi merah. Ucapan dan sikap Cui Im tak menyenangkan hatinya. Dia tadi
mengeluarkan ucapan dari hatinya untuk membela gurunya, bukan seperti Cui Im yang semata-mata
mengejek. Maka dia segera menjura kepada tiga orang hwesio itu dan berkata,
"Aku tahu bahwa mendiang suhu mempunyai hutang kitab-kitab Seng-to Cin-keng dan I-kiong Hoan-hiat
kepada Siauw-lim-pai. Aku berjanji, bila kelak aku berhasil mendapatkan kitab-kitab itu, pada suatu hari aku
akan mengembalikannya kepada Siauw-lim-pa
Tiga orang hwesio itu hanya mendengus dan seorang di antara mereka berkata, "Pinceng bertiga hanya
memikul tugas, kesemuanya akan pinceng laporkan kepada suhu." Setelah berkata demikian, mereka lalu
membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan kepala tunduk.
"Ihhh, kenapa begitu bodoh, Keng Hong? Dari pada kedua kitab penting itu diserahkan kepada setan-setan
gundul itu, lebih baik kau berikan kepadaku!" kata Cui Im pula dengan sikap genit, sama sekali tidak peduli
bahwa di sana masih ada tiga belas orang lain. Dia sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang
terang-terangan merayu pemuda itu dengan senyum bibir dan kerling mata memikat.
Salah seorang murid Hoa-san-pai, yakni wanita cantik yang berbaju hijau, melihat ini lalu mengeluarkan
suara mendengus tanda jijik dan berkata, "Murid Sin-jiu Kiam-ong memang tidak ada bedanya dengan
gurunya! Gurunya laki-laki cabul muridnya mana bisa berhati bersih? Kalau dia ini seorang bersih dan
gagah, tentu menginsyafi kebiadaban gurunya terhadap Hoa-san-pai, sedikitnya tentu akan mengembalikan
pedang pusaka Hoa-san-pai yang telah dicurinya. Akan tetapi, ia malah bersahabat dengan murid iblis
betina Lam-hai Sin-ni. Mengharapkan apa lagi? Burung gagak tak akan berkawan dengan burung hong,
orang jahat tentu memilih kawan kaum sesat! Lebih baik kita pergi dan melaporkan hal ini kepada suhu!"
Jika saja murid perempuan Hoa-san-pai itu hanya memaki-makinya, Keng Hong tentu tak akan mengambil
pusing. Akan tetapi gadis itu juga membawa-bawa nama gurunya, malah memaki-maki gurunya. Keng Hong
memandang dengan mata marah, lalu dia tersenyum sindir dan berkata,
"Nona yang baik, kalau aku tidak salah sangka, bibi atau bibi tuamu yang bernama Cui Bi dan yang lari dari
Hoa-san-pai karena cintanya kepada mendiang suhu, tentu jauh lebih manis dari padamu, baik mukanya
mau pun budinya! Kalau tidak begitu, mana suhu mau membalas cintanya? Tentang pedang Hoa-san-pai,
jangan khawatir, apa bila aku berhasil mendapatkannya, pasti kukirim kembali ke Hoa-san-pai! Aku
bersahabat dengan siapa pun juga, adalah hak kebebasanku dan tentang kaum bersih dan kaum sesat, aku
tidak tahu. Yang kutahu bahwa engkau pun kurasa tidak begitu jijik untuk bercinta, buktinya pinggulku yang
tidak tertutup ini masih terasa panas karena kau pegang-pegang dengan telapak tanganmu yang halus.
Nah, kini mukamu menjadi merah. Semua orang melihat belaka betapa tadi engkau memegang-megang
pinggulku. Hayo katakan, mau apa kau pegang-pegang pinggul orang?"
"Cih, laki-laki cabul...!" Wanita murid Hoa-san-pai itu menjerit lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti
oleh tiga orang suheng-suheng-nya.
"Heh-heh-hi-hi-hik, mulutmu benar lihai sekali!" Cui Im kembali bertepuk tangan, bahkan Biauw Eng juga
tersenyum sedikit, akan tetapi alisnya yang hitam melengkung panjang itu berkerut. Terlalu tajam mulut
pemuda ini, pikirnya.
Kini tinggallah sembilan orang anggota Kong-thong-pai dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk membuka
mulut, karena mendapat kenyataan bahwa selain ilmunya tinggi, pemuda itu mulutnya juga lihai sekali.
Melihat keadaan mereka, Keng Hong sudah mendahului dengan ucapan yang serius.
"Cui-wi enghiong adalah orang-orang gagah dari Kong-thong-pai yang tentu saja memiliki pandangan luas.
Seperti Cu-wi tentu telah mendengar penuturan orang-orang tua, urusan yang timbul di antara mendiang
suhu dengan Kong-thong-pai adalah karena dahulu suhu pernah menewaskan lima orang anak murid Kong-
thong-pai. Sebab dari pada bentrokan itu adalah karena kedua pihak berbantahan dalam sebuah rumah
judi, sehingga urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak menyangkut perkumpulan. Apa lagi jika diingat
bahwa suhu telah meninggal dunia, begitu pula lima orang anggota Kong-thong-pai itu. Setelah kedua pihak
yang bermusuhan sudah tewas semua, apakah kita yang tidak tahu apa-apa harus terseret ke dalam
permusuhan? Apakah yang kita perebutkan?"
Para murid Kong-thong-pai dapat mengerti alasan ini. Diam-diam mereka ini kagum juga mendengar
ucapan Keng Hong yang mengandung pendapat yang dalam dan pandangan yang luas.
Akan tetapi, karena mereka itu seperti juga yang lainnya hanyalah merupakan pelaksana-pelaksana tugas,
maka seorang tosu yang tertua di antara mereka segera berkata,
"Persoalannya tidaklah begitu sederhana, orang muda. Pula, kami hanyalah murid-murid yang
melaksanakan perinta
"Hemm, agaknya Kong-thong Ngo-lojin yang sudah menurunkan perintah. Baiklah, kalau begitu harap Cu-wi
sampaikan kepada Kong-thong Ngo-lojin bahwa kalau mereka tetap menginginkan barang-barang pusaka
peninggalan suhu, suruh saja mereka pergi mencari sendiri karena hal itu merupakan keinginan pribadi
kenapa harus membawa-bawa nama perkumpulan? Di dunia ini betapa banyaknya manusia-manusia yang
sebetulnya memiliki cita-cita untuk kepentingan pribadi akan tetapi mempergunakan kedok demi
perkumpulan, mempergunakan anak buah dan para murid untuk berjuang demi perkumpulan, padahal
sesungguhnya yang menjadi pamrih adalah kepentingan dan kesenangan pribadi!"
Sembilan orang anak murid Kong-thong-pai itu marah sekali karena nama baik guru-guru mereka dicela
terang-terangan oleh pemuda yang masih ingusan ini. Akan tetapi karena mereka mengerti bahwa melawan
tak akan ada gunanya, mereka lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu sambil
membantu kawan-kawan mereka yang terluka.
"Bagus… bagus, Keng Hong! Engkau telah memberi tamparan dengan kata-kata kepada orang-orang yang
mengaku sebagai golongan pendekar-pendekar itu, golongan suci, dan golongan bersih, hi-hi-hik!" Cui Im
berkata girang sambil merangkul pundak pemuda itu dengan sikap manja memikat.
"Cukup, Suci! Kita lanjutkan perjalanan!" terdengar Biauw Eng berkata, suaranya dingin dan sikapnya
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Kereta sudah hancur oleh setan-setan itu, semua kuda binasa oleh Keng Hong. Wah, kita harus
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, padahal masih amat jauh!" kata Cui Im dengan wajah jengkel.
Akan tetapi gadis ini lalu tertawa memandang Keng Hong.
"Keng Hong, perjalanan masih jauh dan kita harus berjalan kaki. Menggunakan ilmu lari cepat memang
tidak kalah dengan berkuda atau berkereta, akan tetapi amat melelahkan. Bagaimana kalau kita saling
gendong? Bergantian, kan enak? Kalau sumoi mau, biarlah aku mengalah dan kau lebih dulu menggendong
sumoi..."
"Suci, diam! Bukan waktunya untuk main-main!" bentak Biauw Eng dengan suara dingin dan ketus sehingga
Cui Im tidak berani lagi membuka mulut.
"Nona berdua tak perlu repot-repot karena perjalanan bersama kita hanya sampai di sini. Aku tidak dapat
menemani kalian lebih lama lagi," kata Keng Hong dengan suara tenang. "Sudah cukup aku mendatangkan
kerepotan dan bahaya kepada kalian, karena aku tahu bahwa selama nona berdua melakukan perjalanan
bersamaku, tentu akan menghadapi bahaya serangan orang-orang kang-ouw yang kini seolah-olah
memperebutkan aku."
"Ahhh...!" Cui Im mengeluarkan suara kecewa dan lenyap pula sikap gadis ini yang manis tadi, bahkan
tangan kanannya bergerak mencabut pedangnya.
"Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami dan menghadap ibuku, Lam-hai Sin-ni, mau atau tidak,
hidup atau mati!" Suara Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng terdengar tegas dan mengandung ancaman yang
mengerikan.
Berbeda dengan Cui Im yang sudah mencabut pedangnya, gadis berbaju putih ini masih berdiri tenang,
belum mengeluarkan senjata, bahkan sikapnya masih biasa, hanya kedua matanya yang mengeluarkan
sinar penuh ancaman maut.
Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Tadinya memang aku berniat untuk menghadap Lam-hai Sin-ni
dan niat itu terdorong oleh rasa terima kasihku terhadap Sie-siocia yang telah menyelamatkan nyawaku dari
ancaman pedang Cui Im. Akan tetapi, tadi pada saat nona dikeroyok, aku sudah membantumu dan berarti
aku sudah pula menyelamatkanmu, dengan demikian hutangku telah kubayar lunas. Karena itu, kini aku
telah bebas dan aku tidak berniat lagi untuk ikut bersama Ji-wi menghadap Lam-hai-Sin-ni!"
Setelah berkata demikian, Keng Hong mengangkat tangan ke depan dada dan memberi hormat, kemudian
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan dua orang gadis yang tertegun penuh
kekecewaan.
"Keng Hong, pertama-tama kau mempermainkan aku, kini berani mempermainkan sumoi! Kau kira kami tak
mampu menawanmu dengan kekerasan?" terdengar Cui Im membentak dan sinar merah berkelebat ketika
gadis ini menerjang Keng Hong dari belakang.
Pengalaman-pengalaman pahit telah membuat Keng Hong berhati-hati sekali menghadapi Cui Im.
Mendengar desing senjata yang menyerangnya, Keng Hong cepat memiringkan tubuh sehingga sinar
merah meluncur lewat di samping lehernya, kemudian mengangkat tangannya yang dikibaskan ke arah
pedang dan tangan yang memegang pedang.
Hawa pukulan yang amat kuat mendorong pedang dan tangan Cui Im dari bawah. Gadis itu maklum akan
lihainya tangan Keng Hong, cepat menarik tangannya namun masih saja tangannya terdorong ke samping
begitu kerasnya sehingga tubuhnya ikut terdorong dan hampir dia terpelanting kalau tidak cepat meloncat
menjauhi Keng Hong ke sebelah kiri.
"Kau tahu, aku tak ingin bermusuhan denganmu, Cui Im," kata Keng Hong. "Harap kalian suka membiarkan
aku pergi."
Akan tetapi dengan muka merah karena marahnya, Cui Im sudah siap menerjang lagi. Sekarang tangan
kirinya mencabut keluar sehelai sapu tangan merah, sapu tangan yang mengandung bubuk beracun dan
yang pernah merobohkan Keng Hong.
Sambil berteriak keras Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im maju menerjang lagi, pedangnya diputar menjadi
sinar pedang merah bergulung-gulung seperti seorang penari selendang sutera merah, kemudian ia
menerjang Keng Hong dengan bacokan bertubi-tubi mengikuti perputaran pedang.
Keng Hong sudah siap dan waspada karena maklum bahwa bahaya besar mengancam dirinya, bukan dari
pedang itu melainkan terutama sekali dari sapu tangan merah. Maka dia segera menghindarkan diri dari
terjangan pedang itu dengan meloncat cepat ke kanan.
Cui Im sudah menduga akan hal ini, bahkan sudah siap-siap. Begitu tubuh Keng Hong berkelebat ke kanan,
tangan kirinya langsung bergerak dan tiga batang jarum menyambar dari dalam sapu tangannya ke arah
sepasang mata dan tenggorokan Keng Hong.
Pemuda yang berilmu tinggi tetapi belum banyak pengalamannya dalam pertandingan ini terkejut, cepat
merendahkan tubuhnya setengah berjongkok sambil mengibaskan tangan kirinya ke atas sehingga tiga
batang jarum itu terlempar entah ke mana. Akan tetapi pada saat yang memang sengaja diciptakan Cui Im
ini, sinar merah dari sapu tangan sudah menyambar ke arah muka Keng Hong, didahului oleh asap
kemerahan dari bubuk racun berwarna merah.
Semenjak menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong, Keng Hong setiap hari diberi minuman racun sedikit demi sedikit
oleh Kiam-ong sehingga dari mulut sampai ke perutnya, Keng Hong mengenal segala macam racun,
bahkan sudah menjadi kebal. Akan tetapi dia tidak kebal jika menghadapi hawa beracun berupa asap atau
bubuk yang tersedot melalui hidung dan menyerang paru-paru.
Pengalamannya ketika dia roboh oleh racun sapu tangan merah itu membuat dia menjadi waspada. Walau
pun saat itu dia baru saja lolos dari cengkeraman maut yang dibawa jarum-jarum itu sedangkan posisi
tubuhnya setengah berjongkok sehingga sukar baginya untuk mengelak, dia masih ingat akan bahaya ini.
Maka dia telah menyedot napas dalam-dalam kemudian menutup saluran pernapasannya dan begitu gadis
itu menubruk sambil mengebutkan sapu tangan ke arah mukanya, dia meniup ke arah sapu tangan itu
dengan pengerahan tenaga lweekang. Sapu tangan itu tiba-tiba saja membalik ke arah Cui Im sendiri tanpa
mampu dicegah lagi oleh gadis ini yang menjadi terkejut dan menjerit.
Tentu saja dia sudah memakai obat penawar sehingga sapu tangannya itu takkan dapat meracuninya. Akan
tetapi karena sapu tangannya itu secara tiba-tiba menyerang ke arah mukanya, sejenak dia tidak dapat
melihat apa-apa dan tiba-tiba dia merasa pergelangan tangan kanannya terasa nyeri sekali sampai menjadi
lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Ternyata pergelangan tangan kanannya sudah kena
disentil oleh telunjuk kiri Keng Hong.
Melihat betapa dia berhasil membuat gadis yang ganas itu sementara ini tidak berdaya, Keng Hong cepat
meloncat untuk lari pergi dari sana. Akan tetapi selagi tubuhnya masih melayang di udara, tiba-tiba kaki
kirinya dilibat oleh sesuatu, kemudian kakinya tertarik ke belakang sehingga tanpa dapat dia cegah lagi
tubuhnya terjungkal lantas terbanting jatuh ke atas tanah!
Keng Hong cepat meloncat bangun dan seperti yang sudah dia duga, Biauw Eng sudah berdiri di
hadapannya dengan senjatanya yang aneh, yaitu sabuk sutera putih yang kini ujungnya telah melibat kaki
kirinya seperti ekor ular. Biauw Eng mengerahkan tenaganya menarik lagi untuk membuat Keng Hong
terjungkal, akan tetapi pemuda itu juga sudah mengerahkan tenaga ke kaki kirinya sehingga biar pun gadis
yang lihai itu membetot-betot, sedikit pun tubuhnya tidak bergeming!
Biauw Eng menjebikan bibirnya dan mendengus. Sabuk yang melibat kaki itu mendadak saja terlepas dan
sinar putih berkelebat ketika ujung sabuk itu bagaikan bernyawa sudah meluncur dengan kecepatan
mengagumkan, kini menyerang seperti ular mematuk ke arah mata Keng Hong!
Pemuda ini kaget sekali. Cepat dia miringkan kepala dan berusaha untuk mencengkeram sinar putih itu.
Akan tetapi ujung sabuk putih itu amat cepat gerakannya, tahu-tahu telah meluncur ke bawah dan tanpa
dapat dielakkan lagi oleh Keng Hong, ujung sabuk itu telah menotok jalan darahnya di tiga bagian secara
bertubi-tubi.
Sungguh lihai nona itu, gerakan sabuknya amat cepat sehingga dalam waktu sedetik saja ujung sabuk telah
menotok jalan darah di kedua pundak disusul totokan di atas ulu hati! Bila hanya pendekar biasa saja yang
terkena totokan berantai itu, yang dilakukan dengan cepat dan keras karena tenaga lweekang tersalur
melalui sabuk membuat ujung sabuk menjadi kaku, tentu roboh lemas tak mampu berkutik lagi.
Untung bagi Keng Hong bahwa sungguh pun suhu-nya belum cukup menggemblengnya dengan ilmu-ilmu
silat tinggi, namun pemuda ini mempunyai sumber tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga begitu
tubuhnya disentuh pengaruh dari luar, otomatis sinkang-nya bergerak dan pergerakan hawa sakti ini
cepatnya melebihi segala macam gerakan yang dapat dilakukan manusia, maka totokan-totokan itu sedikit
pun tidak mempengaruhi jalan darah di tubuh Keng Hong, bahkan hampir tak terasa olehnya.
Sebaliknya, tangan Biauw Eng yang memegang sabuknya tergetar hebat karena tenaga totokan-totokan itu
membalik dan menyerang tangannya sendiri! Namun Biauw Eng yang merasa penasaran itu menerjang
terus, kini dia memegang cambuknya di bagian tengah sehingga cambuk itu bergerak-gerak sedemikian
rupa, kedua ujungnya menyerang cepat dan seolah-olah telah berubah menjadi ratusan banyaknya.
Hebatnya, kini ujung cambuk tidak lagi menotok jalan-jalan darah yang diketahui gadis itu takkan ada
hasilnya, melainkan menotok ke arah bagian-bagian berbahaya seperti kedua mata, telinga, tenggorokan,
pusar dan bawah pusar, pergelangan tangan, siku, dan lutut.
Tentu saja Keng Hong menjadi sibuk sekali. Selain mengelak ke sana ke mari juga dia mengibaskan dua
tangannya untuk menghalau sinar putih yang mengeroyoknya secara hebat itu. Selagi dia terdesak, tampak
sinar merah berkelebat dan kiranya Cui Im sudah pula membantu sumoi-nya!
"Cia Keng Hong, menyerahlah kalau tak ingin kami seret ke depan subo sebagai mayat!" bentak Cui Im
yang di dalam hatinya masih merasa sayang kalau seorang pria seperti Keng Hong harus mati.
Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat jauh hendak melarikan diri.
Sesungguhnya, kalau pemuda ini menggunakan ginkang-nya, biar pun dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu
dapat bergerak cepat, mereka masih tidak akan mampu mengimbangi ginkang yang dimiliki Keng Hong.
Akan tetapi karena mereka itu pandai menggunakan senjata rahasia, mereka mengejar sambil terus
menyerang Keng Hong dengan senjata rahasia ini. Cui Im menghujankan jarum-jarum beracun, bahkan
meledakkan bola-bola peledak yang mengeluarkan asap hitam akan tetapi kini tak dapat mempengaruhi
Keng Hong yang sudah menahan napas. Ada pun Biauw Eng menyerang dari belakang dengan senjata
rahasia tusuk konde perak yang kepalanya berukiran bunga bwee.
Mendengar desir angin senjata-senjata rahasia ini, Keng Hong cepat-cepat mengelak dan mengibaskan
kedua tangannya sambil membalik sehingga semua senjata rahasia runtuh oleh angin yang menyambar
dari dua tangannya. Karena itu tentu saja larinya terlambat dan dua orang gadis itu sudah menerjangnya
lagi dengan dahsyat.
Keng Hong menjadi repot sekali setelah sinar merah pedang Cui Im menyambar-nyambar di antara sinar
putih sabuk Biauw Eng yang berkelebatan membentuk lingkaran-lingkaran maut. Dalam keadaan terdesak
timbul marahnya.
Tadinya dia tidak mau membalas karena dia tidak tega untuk melukai dua orang gadis itu, terutama sekali
Biauw Eng yang dalam pandangannya merupakan seorang gadis remaja yang selain cantik jelita dan tidak
genit seperti Cui Im, namun juga telah menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi setelah sekarang didesak
hebat sekali, mau tidak mau dia harus membela diri.
Untuk menggunakan sinkang-nya yang luar biasa, yaitu menggunakan daya sedot yang telah mengalahkan
banyak orang pandai, di samping tidak tega juga dia tidak mempunyai kesempatan. Dua orang gadis
berilmu tinggi ini agaknya maklum akan ilmu yang mukjijat itu dan mereka tidak pernah mendekatkan diri,
tidak pernah memberi kesempatan untuk ditangkap oleh tangan pemuda yang mempunyai ilmu mukjijat,
melainkan menyerang dari jarak jauh mengandalkan panjangnya senjata mereka.
Tiba-tiba lingkaran sinar putih itu berkelebat menyambar ke arah kedua matanya, bukan hanya dengan satu
kali totokan, melainkan secara bertubi-tubi sehingga repotlah Keng Hong harus mengelak ke kanan kiri dan
ke belakang. Pada waktu pandangan matanya menjadi silau dan kabur, dia mendengar desing pedang Cui
Im mengarah lambungnya.
Cepat dia miringkan tubuh, namun pedang itu mengejarnya dan merobek celana berikut kulit dan sedikit
daging pahanya. Darah mengalir dan Keng Hong menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan
dahsyat, tangannya meraih ke arah pedang yang tajam.
Tangannya berhasil mencengkeram pedang dan sekali renggut pedang itu telah berpindah tangan!
Kemudian dia melempar pedang itu jauh-jauh dan sekarang kembali tangannya mencengkeram ke arah
sinar putih, dan berhasil pula menangkap sabuk sutera itu lantas dia mengerahkan tenaganya merenggut.
Akan tetapi Biauw Eng mempertahankan sabuknya dan akibatnya tubuh gadis ini terbawa oleh tenaga
renggutan yang amat kuat, tubuhnya terangkat ke udara. Keng Hong terkejut dan melepaskan sabuk itu dan
hal ini malah mengakibatkan seolah-olah tubuh gadis itu dilempar ke atas.
Cui Im berteriak ngeri melihat tubuh sumoi-nya terlempar ke atas seperti itu. Juga Keng Hong terbelalak
memandang, namun dia lantas bernapas lega dan dengan penuh kagum dia mengikuti gerakan gadis baju
putih itu.
Meski pun tubuhnya terlempar dengan cepat sekali, ternyata Biauw Eng tidak kehilangan akal. Di atas
udara, tubuhnya dapat berjungkir balik dan sabuk di tangannya menyambar ke depan, ujungnya mengait
dan membelit dahan pohon sehingga tubuhnya tergantung dan luncuran itu patah. Kemudian dengan ringan
ia meloncat turun membawa sabuknya, bukan hanya meloncat biasa, melainkan meloncat sambil
menyerang Keng Hong dengan sambaran sabuk putih.
Juga Cui Im yang menjadi lega melihat sumoi-nya selamat, sudah menyerang lagi, bukan dengan senjata
tajam sebab pedangnya telah dilempar entah ke mana, melainkan dengan cengkeraman-cengkeraman
tangan yang menangkap pemuda itu diseling cengkeraman-cengkeraman ke arah bagian tubuh yang
lemah.
Keng Hong menjadi gemas. Kedua orang gadis ini benar-benar keras kepala dan sudah nekat sekali.
Sesudah dia meloncat mundur dan melihat dua orang gadis itu terus maju menerjangnya, dia mengeluarkan
pekik yang melengking nyaring terbawa oleh sinkang yang terdorong hawa marah.
Tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dari angkasa dia menggerakkan kaki tangannya yang bertubi-tubi
menyerang ke depan, menimbulkan hawa pukulan yang amat kuat dan menyerang dua orang gadis itu dari
kanan kiri, atas dan bawah. Inilah jurus yang terakhir atau jurus ke delapan dari ilmu pukulan San-in Kun-
hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu.
Biar pun hanya terdiri dari delapan jurus, namun ilmu silat yang kelihatannya sederhana ini merupakan
gerakan-gerakan inti sari dari ilmu silat tinggi, sebab itu jurus yang disebut jurus In-keng Hong-wi (Awan
Menggetarkan Angin Hujan) ini amatlah hebatnya sehingga pernah Kiang Tojin tokoh Kun-lun-pai yang
amat sakti itu sendiri menjadi gelagapan dan kelabakan menghadapi jurus ini. Selain jurusnya yang sangat
hebat, yaitu dilakukan dari udara dengan terjangan dua pasang kaki dan tangan yang digerakkan secara
bertubi-tubi, juga terutama sekali karena kedua tangan dan kedua kaki Keng Hong itu mengandung hawa
sakti yang amat kuat.
Dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu merupakan orang-orang yang lihai, terutama sekali Biauw Eng.
Menghadapi serangan yang tiba-tiba dilakukan Keng Hong ini, mereka tidak gentar, akan tetapi juga tak
berani menangkis, melainkan menggunakan kegesitan tubuh mereka mengelak. Akan tetapi alangkah kaget
hati kedua orang gadis itu ketika mereka mengelak, mereka bertemu dengan angin pukulan dari mana-
mana, seolah-olah gerakan serangan Keng Hong ini mendatangkan semacam angin berpusingan yang
datang dari sekitar mereka.
"Aihhh...!" Cui Im sudah menjerit dan tubuhnya terpelanting seperti tersedot angin ke arah Keng Hong, ada
pun Biauw Eng berusaha menahan hingga tubuhnya terhuyung-huyung, juga mendekati Keng Hong.
Kalau saja pemuda itu melanjutkan pukulan dan tendangannya, kedua orang gadis yang mendekat itu
sudah berada di dalam jarak jangkauannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong mendengus dan menarik
kembali kaki tangannya, lalu mengenjot tubuh dan lari menjauh tanpa menoleh lagi.
Akan tetapi Cui Im dan terutama sekali Biauw Eng bukan gadis-gadis yang mudah putus asa. Sama sekali
tidak. Semenjak kecil mereka dilatih untuk bersikap berani dan pantang mundur, kalau perlu mengejar cita-
cita dengan taruhan nyawa.
Kini melihat betapa pemuda yang tadinya sudah menjadi tawanan mereka itu hendak lari meloloskan diri,
mereka menjadi penasaran sekali dan hanya sebentar saja mereka tadi tertegun dan terkesima
menyaksikan kehebatan jurus yang hebat dari pemuda itu. Tetapi setelah Keng Hong lari, keduanya segera
mengejar dan kembali mereka menghujankan senjata rahasia mereka.
Keng Hong tidak mengelak, juga tidak menangkis karena pada saat pemuda itu hendak menggerakkan
tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu merasa tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan, tanda bahwa jalan
darahnya tertotok secara hebat sekali. Hal ini dapat terjadi karena dia hanya memusatkan perhatian di
sebelah belakang karena dia tahu bahwa dua orang gadis nekat itu mengejarnya. Ia tadi hanya melihat
bayangan berkelebat dekat dan tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku tertotok! Andai kata dia tadi tahu akan
serangan luar biasa ini dan mengerahkan sinkang, kiranya takkan mudah dia tertotok.
Keanehan yang terjadi pada diri Keng Hong ini terlihat oleh dua orang gadis pengejarnya itu dalam keadaan
lain. Mereka hanya melihat Keng Hong diam tak bergerak, juga tidak mengelakkan serangan senjata-
senjata rahasia itu sehingga mereka sendiri menjadi amat terkejut dan mengira bahwa tentu pemuda itu
tewas akibat penyerangan senjata-senjata rahasia mereka yang beracun dan lihai.
Akan tetapi tiba-tiba mata mereka terbelalak karena tahu-tahu di belakang Keng Hong muncul seorang
nenek dan semua senjata rahasia itu runtuh oleh kebutan rambut kepala nenek itu yang digerakkan ke
depan! Nenek itu tertawa-tawa, seorang nenek yang sangat menyeramkan.
Usia nenek ini tentu tak kurang dari delapan puluh tahun, namun mukanya merah seperti berlumur darah.
Giginya besar-besar, rambut kepalanya riap-riap dan panjang. Mukanya yang buruk menakutkan itu sangat
tidak sesuai dengan tubuhnya. Biar pun tubuh seorang nenek-nenek, namun pakaian sutera hitam itu
mencetak bentuk tubuh yang masih padat dengan sepasang buah dada yang besar!
"Bibi Ang-bin Kwi-bo...!" Bhe Cui Im berseru kaget dan cepat-cepat membungkuk penuh hormat.
Dalam kalangan kaum sesat, sebutan untuk mereka yang lebih tinggi kedudukannya tidak digunakan
ucapan menghormat atau sungkan, maka Cui Im biar pun kelihatan takut-takut dan menghormati nenek ini,
tetap saja dia tidak segan-segan menyebut julukan nenek itu yang tidak sedap, yaitu Ang-bin Kwi-bo (Hantu
Wanita Bermuka Merah).
"Hi-hi-hik! Kalian murid-murid Lam-hai Sin-ni betul-betul tidak memalukan menjadi murid orang pandai.
Karena aku melihat kalian berhasil menemukan bocah ini akan tetapi tidak berhasil menguasainya, maka
biarlah kalian serahkan bocah ini kepadaku dan sebagai upah jerih payah kalian yang sudah dapat
menemukannya, biarlah aku tidak membunuh kalian dan kalian boleh pergi dengan aman!"
Ucapan seperti ini bagi telinga Keng Hong merupakan ucapan yang terlalu bocengli dan mau mencari enak
perutnya sendiri. Akan tetapi bagi dua orang gadis itu tidak aneh oleh karena mereka sendiri pun sejak kecil
dididik untuk membawa pendapat sendiri tanpa peduli akan kesopanan dan keadilan umum. Pendeknya,
yang benar bagi mereka adalah apa bila setiap tindakan ditujukan untuk keuntungan diri pribadi. Karena itu,
ucapan nenek ini pun tidak mereka anggap bocengli, bahkan sudah wajar!
Cui Im sudah mengenal betapa saktinya Ang-bin Kwi-bo yang merupakan salah seorang di antara Bu-tek
Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), setingkat dengan gurunya. Karena itu dia tidak berani menentang dan
hanya menundukkan muka tanda menyerah.
Akan tetapi sikapnya berbeda dengan Biauw Eng. Gadis ini adalah puteri Lam-hai Sin-ni, dan karena tugas
yang sedang dilaksanakan ini adalah perintah ibunya, maka tentu saja mengandalkan nama besar ibunya
dia tidak mau mengalah dan mempertahankan haknya sebagai orang yang menahan Keng Hong.
"Menyesal sekali bahwa terpaksa saya tidak dapat memenuhi kehendak bibi itu, karena tugas ini perintah
dari ibu sehingga terpaksa saya harus mempertahankan hak saya atas diri murid Sin-jiu Kiam-ong yang
telah kami tawan."
Mendengar ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi tercengang dan fia memandang gadis baju putih itu penuh
perhatian. Kemudian dia tertawa terkekeh dan berkata, "Eh, kiranya engkau ini puteri Lam-hai Sin-ni?
Engkaukah yang membuat nama besar dengan julukan Song-bun Siu-li itu?"
"Benar, bibi. sayalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng."
"Hi-hi-hik! Engkau berani melawan aku?"
"Saya harus tahu diri dan saya pun maklum bahwa bibi bukanlah lawan saya. Seharusnya saya takut
melawan bibi, namun saya lebih takut menghadapi ibu kalau saya melalaikan tugas yang diperintahkannya."
"Bagus! Kalau begitu, biarlah kita menggunakan hak seorang pemenang dan mari kita lihat siapa di antara
kita yang akan menang dan juga berhak atas diri bocah ini!" Sambil berkata demikian, Ang-bin Kwi-bo telah
meloncat ke depan menghadapi Biauw Eng yang sudah siap pula dengan senjatanya.
Gadis ini bersikap hati-hati sekali karena dia cukup maklum bahwa dia menghadapi lawan yang jauh lebih
tinggi tingkatnya. Akan tetapi sedikit pun tidak terbayang rasa gentar pada wajahnya yang cantik namun
dingin itu.
"Hi-hi-hik lumayan juga engkau! Agaknya sudah cukup matang sehingga maklum bahwa yang diam lebih
kuat dari pada yang bergerak, yang diserang lebih untung dari pada yang menyerang. Biarlah kau jaga
seranganku!"
Ucapan Ang-bin Kwi-bo ini memang berlaku bagi dua orang lawan yang kepandaiannya setingkat, karena
dalam ilmu silat, yang diam itu lebih waspada sedangkan si penyerang selalu membuka lubang untuk
dirinya sendiri dan serangannya membuat kedudukannya agak lemah.
Namun tingkat kepandaian Ang-bin Kwi-bo jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sie Biauw Eng.
Gadis ini paling banyak baru mampu mewarisi setengah dari kepandaian ibunya. Berdasarkan tingkat
kepandaian, Lam-hai Sin-ni memang merupakan orang paling pandai di antara empat tokoh datuk sesat,
namun tidak banyak selisihnya.
Biar pun Ang-bin Kwi-bo menyatakan hendak menyerang, akan tetapi kedua kakinya tidak bergerak maju,
juga kedua tangannya tidak bergerak. Yang bergerak hanya kepalanya karena ia menggunakan rambutnya
yang riap-riapan itu untuk menyerang!
Memang yang menyambar hanya rambut kepala itu, akan tetapi Biauw Eng yang lihai itu sama sekali tak
berani menangkis, maklum bahwa senjata rambut ini merupakan senjata keistimewaan Ang-bin Kwi-bo dan
bahwa rambut-rambut halus itu kalau digunakan oleh Ang-bin Kwi-bo berubah menjadi rambut-rambut yang
kaku kuat melebihi baja!
Biauw Eng mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, kemudian sekali pergelangan lengan tangannya
bergerak, cahaya putih sabuknya sudah meluncur cepat sekali menotok jalan darah maut di tenggorokan
nenek iblis itu! Nenek itu sambil terkekeh menangkis totokan ujung sabuk ini dengan tangan kirinya, bahkan
berusaha mencengkeram ujung sabuk dengan kuku-kukunya yang panjang. Akan tetapi ujung sabuk sutera
itu lemas dan cepat sekali gerakannya, sebelum menyentuh tangan lawan sudah meluncur ke samping lalu
melakukan totokan-totokan bertubi-tubi dari jarak jauh.
Biauw Eng amat cerdik. Karena maklum bahwa kelihaian nenek itu terletak pada rambut dan kukunya, ia
sengaja menjatuhkan diri sehingga tidak dapat tercapai rambut mau pun kuku, sebaliknya ia dapat
mengandalkan sabuknya yang panjang untuk menyerang terus secara bertubi-tubi. Setiap kali nenek itu
menangkis dan hendak mencengkeram ujung sabuk, sabuk itu sudah melejit pergi untuk menotok lain
bagian.
Dilihat begitu saja, pertandingan ini sangatlah menarik. Ujung sabuk putih itu seolah-olah seekor kupu-kupu
putih yang lincah bukan main, hinggap di sana-sini dan selalu luput dari cengkeraman tangan Ang-bin Kwi-
bo.
Bukan hanya sampai di situ usaha Biauw Eng untuk mengalahkan lawannya yang lihai. Ia harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ia memang bersungguh-sungguh dalam usahanya untuk
memenangkan perebutan ini biar pun tidak mungkin menurut perhitungan.
Selain menghujankan totokan-totokan dari jarak jauh, kini tangan kirinya kadang-kadang bergerak dalam
saat-saat yang tidak terduga lawan dan meluncurlah senjata rahasianya yang ampuh, yaitu bola-bola putih
yang berduri dan kadang-kadang diseling pula dengan senjata piauw berbentuk tusuk konde putih dengan
ukiran bunga bwee.
Karena senjata-senjata rahasia ini dilepas dari jarak sangat dekat dan dilontarkan dengan pengerahan
tenaga lweekang, juga pada saat yang tak terduga-duga dan memilih selagi kedudukan tubuh lawan lemah,
mau tidak mau Ang-bin Kwi-bo harus mengelak ke sana ke mari sehinga untuk beberapa lama dia seperti
terdesak! Ia terdesak bukan karena ilmu silat, melainkan karena kecerdikan lawan yang masih muda itu. Hal
ini membuat Ang-bin Kwi-bo menjadi penasaran, malu dan marah sekali.
Pada saat nenek iblis ini repot mengelak dari hujan senjata rahasia, Biauw Eng tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan, sabuk suteranya mengirim totokan yang amat kuat ke arah ulu hati nenek itu. Agaknya nenek
yang sedang sibuk mengelak dari sambaran senjata rahasia ini tidak sempat lagi mengelak dari totokan
maut ini sehingga Biauw Eng yang masih muda tidak dapat menahan rasa girangnya.
Inilah pantangan bagi orang yang sedang bertanding. Ibunya sudah menggemblengnya sedemikian rupa
sehingga dia menjadi seorang gadis berdarah dingin berurat syaraf baja, tidak dapat digoyangkan oleh
segala macam perasaan.
Akan tetapi karena sekali ini dia menghadapi lawan yang jauh lebih lihai, begitu melihat betapa dia mampu
mendesak, bahkan totokan mautnya hampir mengenai sasaran, Biauw Eng tidak dapat menahan
kegembiraan hatinya dan hal ini, biar pun hanya sedikit, tetap saja telah mengurangi kewaspadaannya.
Dalam kegembiraannya ia lupa bahwa nenek itu amat sakti dan keadaan yang mendesak itu mungkin hanya
merupakan siasat yang lihai belaka.
Dia sadar sesudah terlambat karena ketika totokan ujung sabuknya sudah dekat dengan dada nenek itu,
tiba-tiba rambut nenek itu menyambar ke depan dan membelit-belit sabuk sutera putihya!
Biauw Eng sangat terkejut dan terpaksa hendak melepaskan sabuknya, namun sebagian dari rambut nenek
itu sudah bergerak lagi dan seperti hidup, rambut itu telah menangkap lengan kanannya, membelit bagian
pergelangan sehingga lengan gadis itu bagaikan telah diikat kuat-kuat.
"Hi-hi-hik-hik! Engkau berani melawan aku, ya? Sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, aku akan mengampuni
nyawamu, akan tetapi sebagai seoang gadis yang berani melawanku, kau harus dihukum!"
Biauw Eng maklum bahwa dari seorang nenek seperti ini dia tidak dapat mengharapkan maaf, maka ia pun
tidak mau minta maaf, bahkan tiba-tiba ia memukulkan tangan kirinya ke arah lambung nenek itu. Pukulan
ini hebat sekali dan biar pun Ang-bin Kwi-bo seorang tokoh besar dalam dunia sesat, akan tetapi jika
pukulan tangan kiri Biauw Eng mengenai lambungnya, tentu dia akan celaka, sedikitnya luka hebat.
Akan tetapi pada saat itu si nenek sudah membuat Biauw Eng tak berdaya dengan hanya menggunakan
rambutnya saja sedangkan dua tangannya masih menganggur, tentu saja pukulan tangan kiri Biauw Eng ini
tidak ada artinya baginya. Sekali tangan kanannya yang berkuku panjang itu bergerak, maka pergelangan
tangan kiri Biauw Eng sudah ia tangkap sehingga gadis itu tidak mampu berkutik lagi!
"Hi-hi-hik! Hukuman apa yang harus kau terima? Tanganmu? Apa kubuntungkan sebelah tanganmu saja?"
Nenek itu mengancam sambil menyeringai hingga tampak giginya yang besar-besar.
Sie Biauw Eng yang sudah tidak dapat berkutik lagi itu memandang dengan wajah tetap dingin, bahkan
mulutnya yang bentuknya bagus itu sudah membentuk senyum mengejek, seolah-olah ancaman itu sama
sekali tidak membuat hatinya menjadi jeri.
"Wah, kalau hanya lenganmu yang buntung, tentu iblis betina tua bangka Lam-hai Sin-ni masih dapat
menurunkan ilmu untuk sebelah tanganmu lagi. Tidak, lebih baik kakimu saja yang kubuntungkan sebelah.
Dengan hanya sebelah kaki, berdiri pun kau tak akan tegak. Benar, kubuntungkan saja kakimu sebatas
paha, hi-hi-hik, dan setiap orang laki-laki akan jijik melihat kakimu yang buntung, heh-heh-heh!"
"Tidak! Tak boleh kau lakukan itu, bibi Ang-bin Kwi-bo!" Tiba-tiba Bhe Cui Im membentak marah dan
dengan nekat gadis ini sudah menerjang dari belakang tubuh nenek itu untuk menolong sumoi-nya.
Karena pedangnya sudah hilang ketika tadi dirampas dan dibuang Keng Hong, kini Cui Im menyerang
dengan tangan kosong. Akan tetapi walau pun hanya memukul dengan tangan kosong, gadis ini diam-diam
telah melumuri kedua tangannya dengan racun yang selalu dibawa-bawanya, sesuai dengan julukannya
Dewi Racun!
Kini kedua tangannya itu mengeluarkan asap hijau sebab racun yang dipakai pada kedua tangannya itu
amat jahat. Jangankan lawan yang terpukul sampai robek kulitnya hingga racun itu dapat meracuni darah,
bahkan baru tersentuh saja, racun ini dapat meresap melalui lubang-lubang kulit dan membuat daging
menjadi membusuk dalam waktu singkat!
Kini gadis ini menerjang nenek itu dari belakang, mencengkeram tengkuk dengan tangan kiri dan
menghantam lambung dengan tangan kanan. Ang-bin Kwi-bo mendengus marah, tangan kirinya bergerak
ke belakang dan kakinya diputar sedikit. Ketika tangan kirinya itu dengan jari-jari terpentang lebar dia
dorongkan ke depan, menyambarlah angin pukulan yang hebat, lima buah kuku jarinya tergetar
mengeluarkan suara dan tercium bau yang aneh sekali, ada bau harum, ada yang amis, dan ada pula yang
berbau bangkai.
Hebatnya, tubuh Bhe Cui Im terhuyung-huyung mundur seperti terbawa angin badai, lalu terdengar gadis ini
memekik dan Cui Im roboh sambil merintih-rintih. Dengan dua tangan menggigil gadis ini cepat merobek
bajunya, maka tampaklah sebagian dadanya berwarna biru!
Dengan tangan masih menggigil, Cui Im mencari-cari di dalam saku bajunya. Setelah dia menemukan
bungkusan yang dicarinya, cepat dia membukanya dan dengan jari-jari tetap menggigil dia segera menelan
tiga butir pil berwarna hijau, kuning dan merah!
"Hi-hi-hik! Kau bocah lihai, dapat menahan sedikit dorongan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa
Racun), tentu engkau yang disebut Ang-kiam Tok-sian-li Si Dewi Racun!"
Keadaan Cui Im tidak terlalu menderita lagi. Dia masih lemas, akan tetapi sudah dapat bangkit dan duduk
bersila, mengatur napas. Tiga buah pil yang ditelannya itu mempunyai khasiat yang sangat manjur, dapat
memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun.
Ang-bin Kwi-bo kini kembali menghadapi Biauw Eng yang sejak tadi hanya memandang semua itu dengan
mata tidak peduli. Baginya, majunya Cui Im untuk membantunya sudah sewajarnya, dan robohnya Cui Im
pun bukan hal yang aneh.
Dia sendiri tak mampu berkutik, apa lagi yang dapat ia lakukan? Tidak lain hanya menanti datangnya
hukuman yang dia tahu pasti sangat mengerikan. Akan tetapi sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, terutama sekali
sebagai seorang tokoh muda yang berjulukan Song-bun Siu-li, dia harus menjaga nama dan akan
menghadapi semua yang akan terjadi dengan mata tak berkedip.
"He-he-heh, sekarang kau boleh pilih, Song-bun Siu-li! Lebih baik kubuntungkan sebelah lenganmu,
ataukah sebelah kakimu?"
"Ang-bin Kwi-bo, aku sudah kalah olehmu, Mau membuntungi lengan, kaki atau pun leher, terserah! Di sana
masih ada ibuku yang kelak akan mencarimu untuk menagih hutang berikut bunga-bunganya!"
Ang-bin Kwi-bo menjadi marah setengah mati. Sudah menjadi kesukaan para tokoh sesat terutama Bu-tek
Su-kwi empat datuk besar kaum sesat, untuk melihat calon korbannya merengek-rengek minta ampun dan
merintih-rintih oleh siksaan. Maka kini menyaksikan sikap Biauw Eng yang malah menantang dan wajah
yang cantik itu tetap dingin bahkan senyumnya mengejek, nenek itu menjadi penasaran sekali dan merasa
terhina.
Alangkah akan malunya dan rendah namanya apa bila ada yang melihat betapa Ang-bin Kwi-bo yang
terkenal itu sekarang malah diejek oleh seorang tawanannya, seorang gadis muda! Kalau begitu sia-sia saja
ia menjadi seorang di antara empat iblis yang sepatutnya membuat semua orang yang mendengar
namanya menggigil ketakutan. Bocah ini sudah berada di ambang siksaan, akan dibuntungi kaki tangannya,
tetapi bukannya takut malah mengejek dan menantang!
"Heh-heh-heh, siapa takut terhadap Lam-hai Sin-ni? Suruh dia datang! Kalau aku sudah dapat memiliki
kitab-kitab Sin-jiu Kiam-ong, biar pun ada sepuluh Lam-hai Sin-ni, aku tidak takut. Eh, kau tidak gentar
dibuntungi kaki atau tanganmu? Apakah yang paling berharga bagimu? Wajahmu begini cantik... hemmm,
dahulu aku pun cantik sekali melebihimu, dan ribuan orang laki-laki jatuh bertekuk lutut di depan kakiku,
mengagumi dan mencintaiku! Hi-hi-hik-hik, apakah yang lebih berharga bagi wanita kecuali kecantikannya?
Kata orang, kecantikan jasmani hanyalah setebal kulit, akan tetapi tanpa adanya kecantikan jasmani, mana
mungkin hati pria dapat bangkit seleranya? Memang setebal kulit karena kalau kulit mukamu yang cantik ini,
yang halus putih kemerahan dan hangat, kubuang, kukupas, apa yang tinggal? Hanya tengkorak dengan
daging membusuk saja! Ihhh, kau menjadi pucat? Bagus, ini tandanya kau mengenal takut, hi-hi-hik!" Nenek
iblis itu terkekeh-kekeh, mulai senang hatinya karena ia mulai dapat menyiksa hati gadis itu.
Jantung Biauw Eng mulai berdebar karena ngeri. Dia tidak takut disiksa, tidak takut mati, akan tetapi
bagaimana pun juga, dia adalah seorang gadis remaja, seorang gadis muda yang tentu saja sadar akan
kecantikannya dan merasa ngeri mendengar ancaman ini. Namun dia memaksa diri tersenyum mengejek
dan berkata,
"Lakukanlah, Ang-bin Kwi-bo! Kupaslah kulit mukaku sampai menjadi seburuk-buruknya! Akhirnya toh aku
mati dan setelah menjadi mayat, apa bedanya cantik atau tidak?"
Ucapan ini keluar dari hatinya sehingga mengusir bayangan ngeri dari wajahnya. Hal ini membuat nenek ini
mencak-mencak saking marahnya.
"Baik, kalau begitu aku tidak akan membuatmu mati! Kalau dikupas semua kulit mukamu, tentu kau akan
mampus. Terlalu enak buatmu! Ahhh, aku pernah melihat seorang wanita yang menderita sakit kotor
sehingga hilang hidung dan bibirnya. Hidungnya hanya berupa sebuah lubang dan mulutnya juga sebuah
lubang melompong. Lalat-lalat keluar masuk melalui lubang-lubang hidung dan mulut. Dan dia tidak mati!
Hi-hi-hik, benar sekali. Kalau kupotong hidungmu yang kecil mancung ini, kemudian kukerat habis sepasang
bibirmu yang begini penuh, halus kemerahan hingga membuat hati laki-laki ingin sekali mencium dan
menggigitnya, kau tentu akan menjadi seperti dia! Kalau hidung dan mulutnya sudah menjadi dua lubang
yang dirubung lalat, biar pun bagian tubuhnya yang lain amat bagus, laki-laki mana yang akan tertarik?
Mereka akan menjadi jijik sekali, baru melihat pun akan muntah! Hi-hi-hik, menangislah, berteriaklah, tetapi
aku tetap akan melakukan hukuman ini, hi-hi-hik!"
Iblis betina itu berjingkrak-jingkrak sambil terkekeh-kekeh karena kini Baiuw Eng menjadi pucat sekali dan
dari sepasang matanya mengalir air mata! Selama hidupnya Biauw Eng belum pernah menangis karena
ngeri dan takut, tetapi sekali ini dia benar-benar menjadi ketakutan karena tidak tahan mengingat ancaman
yang amat mengerikan itu.
"Heh-heh-heh! Biar kupandang mukamu sampai puas dulu supaya aku nanti ingat betapa cantiknya engkau
sebelumnya. Julukanmu Siu-li (Perawan Jelita), sungguh tepat! Cantik sekali kau! Sekarang, mana yang
lebih dulu dipotong? Hidungmu atau bibirmu? Hidungmu saja agar bibirmu dapat menjerit-jerit, kemudian
baru bibirmu. Wah, kuku tanganku sudah gatal-gatal, kini mendapat makanan empuk, hidung mancung bibir
merah. Hi-hi-hik!"
Nenek itu sudah mendekatkan tangan kirinya ke depan hidung Biauw Eng, dan gadis ini memejamkan
matanya, mukanya pucat, napasnya terengah-engah dan dadanya terisak menangis. Telah tercium olehnya
bau kuku-kuku tangan kiri nenek itu hingga ia menahan napas, dan hampir pingsan dia ketika kuku-kuku itu
sudah menyentuh cuping hidungnya. Agaknya nenek itu sengaja berlaku lambat agar lebih banyak ia dapat
menikmati siksaan ini. Cui Im yang masih duduk dengan tubuh lemas memandang dengan muka pucat dan
mata terbelalak.
"Iblis kejam...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.
Keng Hong telah meloncat tinggi dan dari atas dia mengirim serangan dorongan dengan kedua tangan ke
arah punggung nenek itu. Tadi dia menjadi marah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan Biauw Eng.
Meski tadinya dia tak mampu bergerak karena totokan yang istimewa dari nenek itu membuat tubuhnya
kaku, namun sinkang di tubuhnya yang hebat luar biasa itu terus mendesak-desak sehingga akhirnya,
dalam saat terakhir bagi keselamatan Biauw Eng, dia berhasil membebaskan diri dari totokan itu dan serta
merta dia meloncat dan menyerang.
Dalam kemarahannya, dia langsung menggunakan jurus Siang-in Twi-san, yaitu jurus ke tiga dari satu-
satunya ilmu silat tangan kosong yang pernah dia kenal, San-in Kun-hoat. Serangannya hebat sekali karena
kedua lengannya penuh dengan hawa sinkang yang amat kuat.
Nenek yang sakti itu terkejut mendengar desir angin serangan yang demikian hebatnya, maka cepat-cepat
dia menarik kedua tangannya dari Biauw Eng, tubuhnya membalik dan tangannya menangkis.
"Plak-plakkk...!"
"Aiiihhh...!" Ang-bin Kwi-bo menjerit kaget ketika tubuhnya tergetar dan dia dipaksa untuk mundur sampai
tiga langkah ke belakang.
Apa lagi ketika ia melihat betapa pemuda yang menyerangnya itu hanya terhuyung sedikit oleh
tangkisannya, sama sekali tak terpengaruh oleh tangkisan kedua tangannya, nenek ini benar-benar
tercengang. Akan tetapi hatinya merasa girang sekali karena hal ini hanya membuktikan betapa hebatnya
ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong yang dalam beberapa tahun saja dapat melatih muridnya selihai ini. Ia
percaya bahwa kalau ia sampai berhasil menguasai kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, pasti ia akan
menemukan ilmu-ilmu yang hebat.
"Heh-heh-heh, bocah hebat engkau! Bagaimana kau berhasil membebaskan totokanku?" Memang hal ini
saja sudah menimbulkan keheranan dan kekaguman yang luar biasa bagi Ang-bin Kwi-bo. Di dunia ini
jarang ada tokoh yang sanggup membebaskan totokannya, kecuali orang-orang yang setingkat dengan dia
seperti ketiga datuk hitam yang lain.
Akan tetapi Keng Hong tidak memperhatikan nenek itu karena dia melihat betapa tubuh Biauw Eng menjadi
limbung dan hampir roboh. Cepat dia melangkah maju dan berhasil memeluk pundak gadis itu sehingga
Biauw Eng tidak sampai roboh.
Gadis ini merintih perlahan, terhimpit rasa ketegangan yang amat hebat sehingga setelah dia terbebas dari
pada ancaman yang lebih hebat dari pada maut tadi, dia menjadi lemas sekali. Ketika ada orang
memeluknya, dia lalu merintih dan membuka matanya perlahan. Melihat bahwa yang memeluknya dan
memandangnya penuh rasa iba itu adalah pemuda yang telah membebaskan dirinya dari pada siksaan
hebat, dia segera balas memeluk dan membenamkan mukanya di dada Keng Hong.
Sejenak keduanya berpelukan ketat dan Keng Hong merasa betapa jantungnya berdebar. Sama sekali tidak
bangkit nafsunya terhadap gadis ini seperti ketika dia memeluk Cui Im, yang ada hanya rasa kasihan dan
sayang.
"...terima kasih..." Ucapan ini perlahan sekali, hanya merupakan bisikan yang hampir tak bersuara, akan
tetapi mendatangkan rasa lega dan kepuasan di hati Keng Hong dan dia pun tersenyum.
"Hi-hi-hik! Persis Sin-jiu Kiam-ong! Gurunya pemogoran, tentu muridnya hidung belang! Heh-heh-heh,
setiap orang wanita tentu akan jatuh hati kepada bocah ini."
Ucapan Ang-bin Kwi-bo menyadarkan Biauw Eng dan sekali rengut ia melepaskan dirinya dari pelukan
Keng Hong, kemudian mencelat ke belakang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia tidak merasa
malu, hanya merasa heran terhadap diri sendiri mengapa dia mempunyai perasaan seperti ini!
Padahal selama hidupnya dia digembleng oleh ibunya supaya jangan jatuh hati pada pria mana pun. Dan
selamanya dia tidak pernah memikirkan pria. Sekarang, tanpa disadari ia tadi telah memeluk pemuda itu
dengan mesra, di depan mata orang-orang lain pula!
"Ha-ha-ha-ha, Sumoi, betul tidak kataku? Hati-hati terhadap dia, kau akan pulas di dalam pelukannya yang
nyaman...
"Suci, tutup mulutmu...!" Bentakan ini mengandung kemarahan yang membuat Cui Im tak berani bersuara
lagi, namun mulut wanita ini tersenyum dan pandang matanya terhadap Biauw Eng mengandung sesuatu
yang aneh.
Akan tetapi Ang-bin Kwi-bo kini sudah menghadapi Keng Hong dan sambil tertawa dia berkata, "Bocah, aku
masih ingat kepadamu. Semenjak kecil engkau sudah hebat, berani meniup suling mengacaukan
pertandingan kami melawan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ang-bin Kwi-bo, aku pun masih ingat kepadamu ketika engkau dengan iblis-iblis lainnya secara tidak tahu
malu mengeroyok mendiang suhu. Sekarang engkau hendak menyiksa seorang gadis muda. Benar-benar
engkau keji dan jahat seperti iblis sendiri!"
Nenek itu tertawa-tawa dengan hati girang. Maki-makian yang menunjukkan betapa kejam dan jahatnya
bagi telinganya merupakan puji-pujian yang membesarkan hati. "Hi-hi-hik, dan aku dapat lebih kejam lagi
kalau kau tidak menurut kepadaku. Kau harus ikut aku dan membawaku ke tempat penyimpanan pusaka
peninggalan gurumu."
"Aku tidak sudi!"
"Aku akan memaksamu, bocah keras kepala!"
"Dipaksa juga aku tetap tidak dapat menunjukkan tempat itu!"
"Aku akan menyiksamu, membuat kau mati tidak hidup pun tidak, menjadi tiga perempat mati dan yang
seperempat hanya kubiarkan hidup untuk mengalami derita yang hebat!" Nenek itu mengancam dengan
suara marah.
"Percuma, biar disiksa sampai mati pun tidak ada gunanya karena aku sendiri tidak tahu di mana tempat
yang kau maksudkan itu."
"Bohong...!"
"Sudahlah! Percaya atau tidak terserah, aku tak ada waktu lebih lama lagi untuk melayani ocehanmu. Aku
pergi!" Setelah berkata demikian, Keng Hong meloncat dan lari pergi dari situ.
Akan tetapi tampak bayangan hitam berkelebat dan tiba-tiba saja nenek itu sudah berdiri menghadang di
depannya. Keng Hong kaget dan merasa kagum. Ginkang dari nenek ini benar-benar mengejutkan, seperti
terbang saja ketika mendahuluinya dan menghadang.
"Kau mau apa?" tanya Keng Hong.
"Kau harus ikut bersamaku!"
Keng Hong teringat akan pesan suhu-nya. Suhu-nya pernah menyatakan bahwa di dunia persilatan banyak
sekali orang pandai yang takkan bisa dilawan olehnya, terutama sekali orang-orang seperti Bu-tek Su-kwi
yang berilmu tinggi. Hanya bila dia sudah mempelajari kitab-kitab peninggalan suhu-nya, barulah ia akan
cukup kuat untuk menghadapi mereka, demikian pesan suhu-nya. Dan sekarang dia berhadapan dengan
salah seorang di antara mereka!
Sayang pedang Siang-bhok-kiam tidak berada di tangannya. Kalau saja dia bersenjatakan pedang itu, ingin
sekali ia mencoba ilmu pedangnya Siang-bhok Kiam-sut untuk melawan nenek yang lihai bermain silat
dengan senjata rambut dan kuku-kukunya ini! Betapa pun juga, dia harus melawannya.
"Aku tidak sudi."
"Hi-hi-hik, kau kira aku tidak dapat memaksamu? Kau kira dengan sedikit kepandaianmu itu engkau akan
dapat menentang Ang-bin Kwi-bo? Hi-hi-hik!"
"Aku tidak dapat!" bentak Keng Hong.
Pemuda ini sudah menerjang maju, membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan yang diputar dari
atas kepala terus ke bawah, cepat sekali sehingga kedua lengannya merupakan gulungan sinar putih,
kemudian dari gumpalan sinar ini menyambarlah kedua pukulannya bertubi-tubi.
Keng Hong sudah memainkan jurus ke lima dari ilmu silatnya, yaitu jurus San-in Ci-tian (Awan Gunung
Mengeluarkan Kilat). Angin pukulan kedua tangannya yang mengandung tenaga sinkang itu sampai
mengeluarkan suara menderu dan membuat rambut riap-riapan serta baju nenek itu berkibar-kibar disambar
angin pukulan.
"Pukulan yang aneh dan hebat...!" Nenek itu berseru gembira sekali karena harus ia akui bahwa sebanyak
itu ia mengenal ilmu silat pelbagai aliran, belum pernah ia menyaksikan jurus pukulan yang dipergunakan
pemuda ini.
Sebagai seorang ahli, dia segera dapat menilai bahwa jurus ini hebat sekali, mengandung segi yang rumit
dan dahsyat. Akan tetapi hanya tenaga pemuda ini saja yang hebat luar biasa, tapi gerakannya belum
‘matang’. Oleh karena itu, dengan mudah ia menghindarkan diri sambil meloncat ke kanan, kemudian
membalik ke kiri cepat sekali dan rambutnya sudah menyambar ke arah leher Keng Hong!
Apa bila diukur kepandaian ilmu silatnya, tentu saja Keng Hong kalah jauh, maka ketika serangannya itu
selain gagal juga dia dibalas secara kontan, pemuda ini menjadi sibuk menangkis dengan kebutan
tangannya. Tenaganya memang hebat sekali, karena angin tangkisannya dapat membuat rambut nenek itu
buyar, kemudian dia meloncat ke depan dan dari atas dia mengirim pukulan dengan jurus Siang-in Twi-san.
Serangan ini pun hebat sekali dan nenek iblis itu semakin gembira. Mula-mula yang akan dipelajarinya
adalah jurus-jurus ini, pikirnya. Kalau dia sudah dapat memahami jurus-jurus seperti ini, kemudian dia yang
memainkannya tentu daya serangnya akan hebat sekali dan sukarlah tokoh-tokoh tandingannya akan
mampu menangkisnya! Kini secara tiba-tiba dia menggulingkan tubuhnya dan pada saat tubuh Keng Hong
yang menyambar lewat itu meluncur di atas kepalanya, ia mengulur kedua tangan mencengkeram ke arah
kaki Keng Hong!
Keng Hong terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas. Gerakan ini
bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi sehingga dia dapat menghindarkan dua
kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah
menerjangnya dengan pukulan Ban-tok Sin-ciang!
"Rebahlah!" teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa lari
karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu datang membantu, dan lebih
khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda
murid Sin-jiu Kiam-ong ini.
Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat harum dan
amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan menangkis dengan tangan digerakkan
dari samping.
"Desssss!"
Sekali ini tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang merasa betapa
kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya hingga rambutnya yang riap-riapan itu
terpecah menjadi tujuh buah pecut yang menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh
Keng Hong!
Pemuda itu terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan sekaligus itu. Dia
cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut
itu mengenai sasaran lantas membalik ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu
merasa tubuhnya bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan karena
seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah menubruknya.
Keng Hong mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh oleh totokan-
totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya pening. Dalam pandang matanya yang
berkunang dia melihat wajah nenek yang tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.
"Keng Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.
Gadis ini sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya masih lemah. Ada
pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah membayangkan sikapnya yang
dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak
dapat ia sangkal bahwa ia mencinta pemuda itu!
Mendengar teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat mempergunakan
pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan serangan dan kembali dia sudah
mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin
Kwi-bo sengaja memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua
tangannya sendiri.
"Plakkk...!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.
Hebat bukan main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh Keng Hong
terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng Hong makin turun dan akhirnya kedua
kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.
"Ha, kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran, juga seruan girang sekali.
Wanita sakti yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa sinkang-nya mulai
tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu
melakukan totokan ke arah kedua pergelangan tangan Keng Hong.
Pemuda itu merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya sedotnya
berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua tangannya hingga terlepas. Kemudian
sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu
terkena totokan pada kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya
sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.
Dalam diri pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah dengan ilmu Thi-khi
I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan! Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu
saja, dilatihnya sempurna, maka dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!
"Ang-bin Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.
Gadis ini sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari atas dan
bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah
serangan yang amat berbahaya, serangan maut!
Ang-bin Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan kanannya
untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya mengempit dan melingkar di
pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek
itu melanjutkan tangan kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu
Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.
Gadis ini yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia mengelak ke
samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-
ong telah berada di tangannya, karena itu dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.
Akan tetapi tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek berpakaian putih
yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini
usianya sebaya dengan Ang-bin Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah
menyeramkan dan buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang cantik
sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang ramping, dan gerak-geriknya
halus.
"Kwi-bo, sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur dengan suara halus
akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi,
"Kau ingin merasakan Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan tetapi tangan
nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan
nenek ini sudah mengancam muka Ang-bin Kwi-bo!
Ang-bin Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil mengerahkan
tenaga Ban-tok Sin-ciang.
"Plakkk!"
Dua tangan bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya sudah
tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang keluar dari tubuh Keng Hong
tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.
Ang-bin Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih mudah baginya
untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga hanya dengan sebelah tangan saja akan
sukarlah baginya menyelamatkan diri.
Cepat Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya, kemudian dia
memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya mencengkeram ke arah dada
lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-
ular hitam yang banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.
Nenek tinggi kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini, menggunakan
tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi tubuh. Putaran tangannya ini
mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo
dapat digagalkan semua karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran
tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan si nenek sakti.
Akan tetapi, karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat ganas itu,
tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo berhasil membebaskan diri lalu
meloncat mundur dengan muka beringas.
Sementara itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah cepat-cepat
menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui Im yang memikat, sebab pada saat
itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.
"Lam-hai Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah menjadi mayat
kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang engkau datang-datang langsung
menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.
"Dia bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu,
teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama
subo!"
Nenek tinggi kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan bejuluk Lam-hai Sin-
ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,
"Ang-bin Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat dan aku di selatan,
masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun. Sungguh pun kini timbul urusan
memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan
mengandalkan kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau hendak
memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"
Melihat sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal siapa adanya
datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan
untuk menang.
Apa lagi dia melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan Song-bun Siu-li
Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih berat menghadapinya. Belum lagi pemuda
aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.
Ang-bin Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang pengalamannya.
melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa mengejek.
https://drive.google.com/file/d/1MSh5JPbH7q4mG5B2xd7Qu9Ngbl0xtMJd/view?usp=drivesdk
0 komentar:
Posting Komentar