SATU
PUNCAK bukit Sono Keling yang sunyi,
membuat suara derap langkah kuda makin
jelas hingga Pendekar Pedang Tumpul 131
terkesiap. Sepasang matanya cepat
berputar liar memperhatikan ke bawah. Kepalanya
bergerak ke samping kanan dan kiri.
Pendengarannya ditajamkan. Namun murid
Pendeta Sinting jadi makin tersekat. Karena
mendadak saja suara derap langkah-langkah kaki
kuda lenyap seolah direnggut setan! (Untuk lebih
jelasnya mengenal adegan sebelum ini, dapat
dibaca pada serial Joko Sableng dalam episode
perdana berjudul: 'Pesanggrahan Keramat').
"Aneh. Baru saja langkah-langkah kuda itu
terdengar. Tapi.... Apakah hanya telingaku yang
tertipu? Atau han...," pemuda murid Pendeta
Sinting Ini tak teruskan kata hatinya. Bulu
kuduknya meremang. Dan belum sirna rasa
gelisahnya, tiba-tiba dua bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu dua orang telah tegak di
hadapannya!
Joko Sableng surutkan langkah satu tindak. Bola
matanya membesar memperhatikan dua sosok di
hadapannya. Di sebelah kanan adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Mukanya cekung hitam
dengan sepasang mata sipit. Rambutnya panjang
menjulai sampai punggung dan sebagian menutupi
wajahnya. Mulutnya lebar dan tak henti-hentinya
komat-kamit. Mengenakan pakaian panjang berupa
jubah toga warna hitam. Sedangkan orang di
sebelah kiri adalah laki-laki setengah baya.
Parasnya keras dengan mata melotot besar.
Rambutnya dipotong pendek dan tampak kaku
seperti ijuk. Laki-laki Ini mengenakan baju warna
gelap.
Sejenak kedua laki-laki ini saling pandang satu
sama lain. Lalu serentak arahkan pandangannya
pada Joko Sableng. Namun keduanya masih tak
buka mulut. Sebaliknya laki-laki yang mengenakan
jubah hitam sorongkan tubuhnya ke kiri. Lalu
berbisik.
"Dandang Wulung. Kau kenal manusia Ini?"
Laki-laki yang mengenakan baju biru gelap dan
di panggil dengan Dandang Wulung menyeringai.
Lalu dengan mengawasi Joko dari atas hingga
bawah, kepalanya menggeleng.
"Sawung Rono. Kita tak perlu tahu siapa adanya
manusia ini. Jikalau dia di tempat ini, pasti
tujuannya sama dengan kitai Dia harus segera
disingkirkan!"
Laki-laki berusia lanjut yang dipanggil dengan
Sawung Rono tertawa pendek. Tiba-tiba sepasang
matanya yang sipit membuka lebar. Mulutnya
makin cepat berkomat-kamit. Tubuhnya sedikit
bergetar. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar
dari mulutnya keluar gumaman pelan.
"Tak dapat kupercaya...."
Dandang Wulung berpaling. Melihat perubahan
pada wajah Sawung Rono, dia kerutkan dahi.
"Ada apa?! Apa yang tak kau percaya?!"
Entah karena masih tak percaya dengan apa
yang dilihat atau karena tak mendengar
pertanyaan, Sawung Rono tak segera menjawab.
Sebaliknya sepasang matanya memandang lurus
ke depan, lalu menebar ke sekeliling.
"Puncak bukit Ini masih sama seperti satu tahun
silam. Dan aku tidak buta. Aku melihat makam itu!
Tapi kemana sekarang makam itu?!"
"Dandang Wulung. Ada yang tak beres di sini!"
bisik Sawung Rono dengan suara serak.
"Sialan! Lekas katakan apa sebenarnya yang
terjadi!" hardik Dandang Wulung sedikit geram.
Karena Sawung Rono tidak segera
memberitahukan apa yang ada dalam benaknya.
"Makam Itu tidak ada! Padahal kita ada di
tempat ynng tidak salah!" kata Sawung Rono pada
akhirnya meski dengan mendengus keras karena
dirinya dlhardik demikian rupa.
Mendengar ucapan Sawung Rono, sepasang mata
Dandang Wulung mendelik angker. Lalu menebar
menyapu ke sekitar puncak bukit. Meski dia belum
pernah ke puncak bukit Sono Keling, namun
mendengar cerita yang berhasil diserapnya, di
puncak bukit Sono Keling memang terdapat
sebuah makam yang disebut orang Pesanggrahan
Keramat.
"Jangan-jangan kita terlambat!" desis Dandang
Wulung begitu matanya tidak melihat sebuah
makam sepertl yang pernah didengarnya.
"Bukan hanya terlambat, tapi seseorang telah
mendahului kita dan mendapatkan pedang pusaka
itu! Lalu meratakan makam untuk mengelabui
orang!" sahut Sawung Rono seraya memperhatikan
lagi pada murid Pendekar Sinting.
Untuk kali kedua, dahi laki-laki berwajah cekung
hitam Ini berkerut. Dalam hati diam-diam dia
berkata.
"Hm.... Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi
pakaian pemuda Ini tampak bercak-bercak tanah.
Kulitnya pun kotor. Mungkin saja...."
Niat pertama yang tak ingin mengetahui siapa
adanya si pemuda sirna, berubah menjadi curiga.
Seraya menyeringai dia membentak garang.
"Manusia! Siapa kau?!"
"Sebutkan juga siapa gelarmu!" sambung
Dandang Wulung yang ikut curiga.
Di depan sana, Pendekar Pedang Tumpul 131
sunggingkan senyum meski dalam hati sedikit
kecut. Karena baru pertama kali ini berhadapan
dengan orang yang lagaknya sangat tidak
bersahabat. Dan diam-diam pula dia dapat
menduga apa tujuan dari dua orang dihadapannya.
"Mereka pasti menginginkan pedang tumpul...."
Berpikir sampai di situ, Joko Sableng meraba
pakaiannya di mana tersimpan Pedang Tumpul
131.
"Aku Joko Sablengi Kalian siapa?!"
Sawung Rono keluarkan gerengan keras.
Sementara Dandang Wulung mendengus. Kedua
orang ini saling pandang. Tiba-tiba Sawung Rono
sentakkan kepalanya tengadah memandangi bulan
yang makin tersuruk ke barat. Seraya usap-usap
dadanya dia berseru.
"Sobatku, aku curiga dengan manusia Ini. Kita
telah berjanji akan menyingkirkan siapa saja yang
menghalangi! Sebelum kita korek mulutnya ada
baiknya kau katakan siapa adanya kita!"
Dandang Wulung gosok-gosokkan kedua
tangannya. Lalu berteriak keras.
"Buka telinga lebar-lebar! Aku dikenal orang
dengan julukan Bayangan Setan. Sobatku ini
bergelar Bayangan Ibllsl" sejenak Dandang Wulung
alias Bayangan Setan hentikan ucapannya, lalu
menyambung.
"Malam sudah hampir habis. Aku tak punya
waktu banyak. Jawab pertanyaanku atau kau
pulang tanpa kepala!"
Meski mulai agak geram, Joko tersenyum lebar.
Dia memang belum pernah dengar tentang siapa
manusia yang bergelar Bayangan Setan dan
Bayangan Iblis. Namun dari tampang dan cara
mereka bicara, murid Pendeta Sinting ini telah
dapat mengira-ngira siapa adanya dua orang itu.
"Kita rasanya belum pernah kenal. Tapi tak
apalah. Lekas katakan apa yang ingin kalian
tanyakan! Tapi jangan memaksaku mengatakan
apa yang tidak kuketahui!"
Pelipis kanan kiri Bayangan Setan bergerak-
gerak. Rahangnya terangkat dengan mata makin
melotot.
“Apa yang kau kerjakan di tempat inl?!"
"Hem.... Aku tersesat. Apa kalian juga tersesat
seperti diriku?!" Joko Sableng balik ajukan tanya.
Sementara sepasang matanya melirik pada Sawung
Rono yang melangkah mengitari bukit. Dari mulut
laki-laki bergelar Bayangan Iblis Ini tak henti-
hentinya terdengar umpatan dan seruan tak
percaya seraya geleng-gelengkan kepala.
Bayangan Setan tidak segera menjawab
pertanyaan Joko. Sebaliknya laki-laki setengah
baya ini mengawasi gerak-gerik Bayangan Iblis
dengan kening mengernyit.
"Bagaimana?!" tanya Bayangan Setan begitu
Bayangan Iblis telah berada di sampingnya.
Bayangan Iblis gelengkan kepalanya. Mulutnya
yang komat-kamit terhenti. "Hampir tak dapat
kupercaya. Makam itu benar-benar musnah!
Bekasnya pun tak terlihat! Orang yang
memusnahkan makam itu betul-betul
berpengalaman.... Tapi tak ada salahnya kita
geledah manusia itu! Siapa tahu dia yang
melakukan semua ini! Lihat. Pakaian dan
tubuhnya kotor oleh tanah!"
Mendengar ucapan Bayangan Iblis, Bayangan
Setan manggut-manggut. Di depan sana, Joko
Sableng berpaling sembunyikan perubahan air
mukanya.
"He! Aku tahu, kau berkata dusta! Dan kau akan
tahu akibatnya berani berkata dusta pada
Bayangan Setan dan Bayangan Iblis!" ujar
Bayangan Setan seraya melangkah dua tindak ke
depan. Matanya terus memperhatikan pakaian dan
tubuh Joko yang memang kotor oleh bercak-bercak
tanah.
"Kalian tidak mempercayai aku, itu terserah
pada kalian! Yang pasti aku telah menjawab apa
adanya! Aku harus pergi sekarang," kata Pendekar
131 seraya melangkah hendak meninggalkan
puncak bukit.
Bayangan Iblis komat-kamitkan mulutnya
dangan keras hingga terdengar desisan beberapa
kali. Kepalanya digelengkan ke kanan kiri. "Tidak
semudah itu kau bisa meninggalkan tempat Ini,
Bocah!" si kakek berambut panjang ini lantas
melangkah mendekati Joko yang urungkan
niatnya.
"Ingatanku masih jernih. Setahun silam, aku
melihat makam di sini. Sekarang makam itu
lenyap. Sedangkan pakaian dan tubuhmu kotor
oleh tanah. Padahal tidak mungkin kau tersesat
dan bergulung-gulung di tanah ini!"
"Kau mencurigai aku melenyapkan makan itu?!"
tanya Joko seraya memandang tajam pada
Bayangan Iblis yang terus melangkah mendekat.
"Terserah kau katakan apa namanya. Namun
aku akan menggeledahmu!" ujar Bayangan Iblis
seraya selinapkan tangan kanan ke balik jubah
hitamnya. Ketika tangan itu ditarik kembali
tampak sebuah tongkat kecil berwarna hitam.
Murid Pendeta Sinting segera menangkap
bahaya. Seraya mundur satu langkah, dia berkata.
"Orang Tua. Tunggu! Apa yang hendak kau
lakukan?!"
"Manusia Keparat! Kau telah dengar kata-
kataku. Aku akan menggeledahmu!" sambil
berkata, Bayangan Iblis putar-putar tongkat di
tangan kanannya. Terdengar deru angin keras.
Tongkat kecil itu laksana lenyap berganti menjadi
bayang-bayang. Jelas jika tongkat itu digerakkan
dengan tenaga dalam kuat.
"Orang Tua! Tindakanmu sudah melewati batas.
Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk
menjawab pertanyaan. Namun rupanya kau minta
lebih yang tak bisa kupenuhi!"
Bayangan Iblis menyeringai. "Kalau kau tak mau
digeledah, terpaksa kau harus berhadapan dengan
maut!"
Habis berkata demikian. Bayangan Iblis
melompat ke depan. Tongkat di tangan kanannya
disentakkan. Bayangan hitam segera melesat
dengan keluarkan suara menderu keras. Mengarah
pada perut Joko Sableng.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak kaget,
dan buru-buru selamatkan diri dari sambaran
tongkat dengan membuang diri ke arah samping.
Hingga tongkat kecil itu lewat satu jengkal di
samping kanannya menghantam tempat kosong.
Bayangan Iblis kancingkan mulut rapat-rapat.
Dia tak menduga sama sekail jika pemuda di
hadapannya begitu mudah mengelakkan sambaran
tongkatnya. Padahal dia sudah memastikan jika
perut lawan akan segera terhantam tongkatnya
lalu roboh dengan darah mengucur deras!
"Hem.... Rupanya kau punya simpanan sedikit
ilmu. Aku ingin tahu sampai di mana Ilmumu!"
seraya berujar demikian, sepasang matanya yang
sipit melirik pada Bayangan Setan yang tegak
mengawasi.
"Ucapan Bayangan Iblis benar. Pemuda ini
menyimpan Ilmu. Tapi sebaiknya aku menunggu.
Berhasil mengelak dari serangan pertama bukan
jaminan bisa menghindar dari jurus berikutnya...,"
membatin Bayangan Setan. Lalu tanpa
memandang pada Bayangan Iblis yang melirik ke
arahnya dia berkata.
"Sobatku Bayangan Iblis. Cepat selesaikan
manusia itu! Waktu kita tidak banyak. Kita harus
segera menyelidik, kalau perlu kita aduk-aduk
tanah di puncak bukit ini !"
Meski dadanya panas mendengar kata-kata
Bayangan Setan yang nadanya memerintah itu,
namun Bayangan Iblis segera berpaling pada Joko
dan tanpa berkata lagi dia melesat ke depan.
Wuuuttt! Seeettt!
Bayangan hitam yang keluarkan suara menderu
melesat ke arah kepala Pendekar 131, sementara
serangkum angin dahsyat segera melesat
menyusuli. Bayangan hitam adalah tongkat hitam
si kakek, sedangkan serangkum angin dahsyat
keluar dari tangan kiri nya.
Melihat serangan beruntun, Joko Sableng tak
tinggal diam. Selain harus menyelamatkan dirinya,
dia juga harus menyelamatkan Pedang Tumpul 131
yang kini berada di genggamannya.
Didahului bentakan keras, Pendekar Pedang
Tumpul 131 angkat kedua tangannya.
Kraaakkk! Praaakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Tongkat
hitam di tangan kanan Bayangan Iblis hancur
berkeping. Kakek ini cepat menarik tangan kirinya
yang baru saja bentrok dengan tangan Joko.
Tubuhnya digeser dua langkah ke belakang dengan
wajah pias namun mata melotot. Dia segera
meneliti. Tangan kanan kirinya terlihat bergetar
dan kesemutan. Dadanya berdebar dan sesak.
Kakek ini segera maklum jika pemuda di
hadapannya tidak lagi bisa dipandang sebelah
mata.
Sementara itu di hadapannya, Joko terlihat
kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja
menangkis tongkat dan tangan kiri Bayangan Iblis.
Wajahnya sedikit berubah, namun hanya sejenak.
Sesaat kemudian murid Pendeta Sinting ini telah
tersenyum-senyum, membuat Bayangan Iblis naik
pitam.
"Keparat Busuk! Terimalah kematianmu,
Bangsat!" Kedua tangannya dihantamkan lepaskan
pukulan tangan kosong jarak jauh yang telah
dialiri tenaga dalam.
Byuuurrr!
Tanah di mana Joko berdiri muncrat ke udara
menghalangi pandangan. Belum sampai tanah itu
sirap kembali, terdengar suara tawa pendek.
Bayangan Iblis tersedak. Dia cepat berpaling.
Sepuluh langkah di sampingnya, tampak Joko
Sableng cengengesan seraya masukkan jari
kelingkingnya ke lubang telinganya! Sepasang mata
si kakek membeliak angker. Mulutnya menganga
tanpa keluarkan suara. Diam-diam dada kakek ini
berdebar keras. Dia rupanya sudah tidak sangsi
lagi jika pemuda yang dihadapinya kali Ini benar-
benar mempunyai Ilmu yang tidak cetek!
"Siapa pemuda Ini sebenarnya?!" batinnya
dengan kerahkan tenaga dalam untuk kembali
lepaskan pukulan. DI sampingnya Bayangan Setan
tampak memperhatikan lebih seksama. Laki-laki
setengah baya ini pun tampak terkejut melihat apa
yang terjadi. Namun dia masih belum bergerak.
"Orang Tua! Aku tak mau membuat perselisihan
dengan kailan. Aku harus segera pergi!" habis
berkata, Pendekar Pedang Tumpul 131 putar
tubuh dan berkelebat hendak meninggalkan
tempat itu. Namun langkahnya tertahan, karena
tahu-tahu di depannya sudah menghadang
Bayangan Setan!
"Silakan pergi, asal kepalamu kau tinggal di
slni!" dengus Bayangan Setan. Kedua matanya
melirik pada Bayangan Iblis, lalu kepalanya
mengangguk memberi isyarat. Bersamaan dengan
itu, terdengar bentakan lantang. Bayangan Iblis
tekuk lututnya sedikit hingga tubuhnya melorot.
Tiba-tiba kedua tangannya mengembang dan
dihantamkan ke arah Joko. Pada saat yang sama
Bayangan Setan lepaskan pukulan dengan
sentakkan kedua tangannya!
Serangkum angin dahsyat keluarkan suara
laksana gelombang disertai hamparan hawa panas
segera menggebrak ke arah Joko dari arah
Bayangan Iblis. Pada saat yang bersamaan, Joko
melihat sinar hitam membersit dengan keluarkan
suara berdengung dari pukulan kedua tangan
Bayangan Setan.
Puncak bukit Sono Keling laksana dihantam
gelombang. Tanahnya bergetar dan berhamburan.
Batu-batu padas rengkah dan beberapa di
antaranya langsung berderak pecah lalu tersapu
dan mencelat jatuh ke bawah. Lamping bukit
berguguran dan serentak membuat lekukan
menganga!
Murid Pendeta Sinting segera melompat mundur.
Kedua tangannya cepat disejajarkan dada. Tiba-
tiba kedua tangannya berubah menjadi kuning
keperakan. Secepat kilat kedua tangannya
disentakkan dengan telapak mengembang.
Wuuutttl Wuuutttl
Dua berkas sinar kuning melesat keluar dari
masing-masing telapak tangan Pendekar 131. Di
tengah jalan, sinar kuning itu mengembang.
Bersamaan dengan itu suasana berubah menjadi
semburat warna kuning dan panas bukang alang
kepalang. Murid Pendeta Sinting telah lepaskan
pukulan 'Lembur Kuning'!
Terdengar letupan keras beberapa kali tatkala
pukulan 'Lembur Kuning' bentrok dengan
gabungan pukulan yang dilepas Bayangan Setan
dan Bayangan Iblis. Joko keluarkan seruan tegang.
Tubuhnya mental ke udara hingga beberapa
tombak. Pakaian yang dikenakannya tampak robek
di bagian bahu. Wajahnya pias dengan mulut
megap-megap seakan sulit bernapas. Dalam
keadaan demikian, tubuhnya menukik turun dan
terkapar di atas tanah!
Di depan sana, Bayangan Setan berseru keras.
Tubuhnya mencelat ke belakang dan bergulingan
dengan sudut bibir mengalirkan darah segar.
Pakaian yang dikenakan hangus dan robek di
sana-sini! Laki-laki Ini merasakan dadanya seakan
pecah dan panas. Namun dia segera katupkan
sepasang matanya untuk mengatur pernapasan. Di
sebelah kanan, Bayangan Iblis keluarkan jeritan
lengking tatkala pukulannya bentrok dengan
pukulan Pendekar 131. Mungkin karena usianya
telah lanjut, maka tenaga yang dikeluarkan tidak
begitu kuat, Ini menyebabkan tubuhnya melesat
cepat laksana kapas ditiup angin kencang. Jubah
hitamnya hangus dan langsung terpotong sebatas
pinggang! Darah hitam mengucur dari mulut dan
hidungnya. Karena tak bisa kuasai tubuhnya lagi,
kakek Ini tersungkur di lamping bukit. Masih
untung tangan kanannya segera menggapai batu.
Jika tidak, tubuhnya pasti akan melayang jatuh ke
bawah!
"Jahanam betul!" sungut Bayangan Iblis pelan
seraya merangkak ke atas. Mulutnya yang biasa
komat-kamit kini dikancingkan rapat-rapat, takut
darah akan lebih banyak keluar. Namun gerakan
kakek Ini hanya sebentar. Begitu tubuhnya sampai
di atas, tubuhnya bergetar keras lalu dari
mulutnya terdengar erangan tertahan bersama
muncratnya darah hitam. Tangannya menggapai-
gapai lalu perlahan-lahan lunglai dan luruh ke
tanah. Bersamaan dengan itu erangannya terputus
seketika dan tubuhnya tak bernyawa lagi!
Mendapati Bayangan Iblis tewas, Bayangan
Setan pupus nyalinya. Apalagi merasa dirinya telah
terluka. Tengkuk laki-laki setengah baya ini
merinding. Sepasang matanya jelalatan menyebar
berkeliling mencari kesempatan untuk meloloskan
diri. Namun laki-laki Ini seketika berpaling dengan
terkejut. Di sebelahnya telah tegak Joko Sableng
dengan senyum dingin. Mencium adanya bahaya,
Bayangan Setan cepat gulingkan tubuhnya agak
menjauh. Lalu dengan sentakan tangan kiri
kanannya di atas tanah, dia bergerak berdiri.
Terhuyung-huyung sebentar lalu tegak lurus
dengan mata tak berkedip memperhatikan Joko.
Mendadak sepasang mata Bayangan Setan
makin membeliak besar. Dahinya berkerut dengan
alis mata terangkat naik. Bukan heran memandang
sang pemuda yang kini meringis-ringis sendiri,
namun terkesiap melihat seberkas sinar kuning
yang memancar dari pinggang Pendekar Pedang
Tumpul 131 yang ternyata telah robek. Karena saat
itu cuaca sudah agak terang, maka dengan jelas
Bayangan Setan dapat melihat benda apa yang
memancar dari pinggang Joko.
"Sarung pedang.... Tak salah lagi. Sarung pedang
itu pasti berisi Pedang Tumpul 131 yang menjadi
rebutan para tokoh rimba persilatan dan
dikabarkan tersimpan dalam makam Pesanggrahan
Keramat. Sialan betul. Rupanya manusia ini telah
berhasil mendapatkan-nya! Ah.... Seandalnya aku
tidak terluka. Hem.... Bagaimanapun juga aku
harus dapat melarikan diri. Hal Ini harus
kukatakan pada Ratu Pemikat...."
Bayangan Setan diam-diam kerahkan sisa-sisa
tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya
dihantamkan ke arah Joko. Bersamaan dengan itu
tubuhnya melesat menuruni bukit Sono Keling.
Murid Pendeta Sinting menggerendeng panjang
pendek. Dia buru-buru melompat ke samping dan
berkelebat ke arah bukit. Sepasang matanya masih
dapat menangkap kelebatan tubuh Bayangan
Setan di sela-sela pohon.
"Hem.... Tak ada gunanya dikejar...," gumam
Joko lalu menoleh ke arah mayat Bayangan Iblis.
Kepalanya menggeleng perlahan.
"Apa yang diucapkan Guru benar adanya. Rimba
persilatan penuh dengan manusia-manusia
serakah dan tak tahu diri. Manusia yang tega
menurunkan tangan maut untuk mencapai
maksudnya...."
Pendekar Pedang Tumpul 131 Ini lantas
tengadahkan kepala ke sebeiah timur. Nun jauh di
atas sana, di bawah cahaya sang rembulan
sepenggal yang semakin condong ke kaki langit,
samar-samar membersit cahaya terang pertanda
tak lama lagi sang mentari akan segera unjuk diri.
DUA
LAKI-LAKI setengah baya mengenakan pakaian
warna biru gelap yang telah hangus dan
sebagian robek itu hentikan larinya di bawah
pohon besar di tepi sebuah lembah yang
ditumbuhi beberapa pohon rindang hingga
dedaunan itu seakan bersatu padu menghadang
teriknya sang mentari, membuat lembah itu
tampak temaram meski di luar sana terang bende-
rang.
Laki-laki ini mengusap bibirnya yang
mengucurkan darah segar. Lalu mengurut dadanya
yang bergerak tak teratur. Sejenak dia
memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-
tiba dari mulutnya terdengar makian panjang
pendek.
"Jahanam betul! Kejadian ini tak akan kulupa.
Manusia itu akan tetap kuburu sampai kapan pun!
Hem... Joko Sableng. Tunggulah saatnya nanti!"
Laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah
Bayangan Setan ini arahkan pandangannya ke
lembah. "Ratu Pemikat.... Apakah dia akan percaya
dengan keteranganku? Ah, itu terserah padanya...,"
Bayangan Setan menarik napas dalam-dalam. "Aku
gagal menjalankan tugas, berarti aku tak akan
dapat menikmati kehangatan tubuhnya.... Tapi aku
masih punya kesempatan!" setelah diam beberapa
lama dan deburan dadanya sedikit reda, laki-laki
ini melangkah menuju lembah.
Pada sebatang pohon besar di tengah-tengah
lembah, Bayangan Setan hentikan langkah.
Memandang sejenak ke sekitarnya, lalu melangkah
menyelinap ke balik batang pohon. Ternyata di
balik batang pohon besar itu terdapat sebuah
lubang sebesar satu putaran tombak. Pada sisi
lubang tampak sebuah tangga turun dari batu.
Dengan langkah-langkah sedikit gemetar,
Bayangan Setan menuruni tangga. Suasana di situ
cukup terang, karena pada sisi tangga terdapat
beberapa obor. Sampai tangga paling bawah,
Bayangan Setan berhenti. Ternyata tangga itu
menghubungkan dengan sebuah ruangan agak
luas yang dinding dan langit-langitnya terbuat dari
batu. Pada sudut kanan, terdapat sebuah ranjang
besar dari batu yang diberi kelambu tembus
pandang.
Bayangan Setan memandang ke arah ranjang
besar. Meski ditutup kelambu namun karena
tembus pandang, dari tempatnya berdiri dia bisa
melihat Jelas bagian dalam ranjang. Sepasang
mata Bayangan Setan tiba-tiba membesar dengan
dada berdebar keras, jakunnya bergerak turun
naik. Laki-laki ini melihat dua orang sedang
berpelukan rapat. Telinganya juga menangkap
suara desahan panjang yang ditingkahi dengan
tawa cekikikan pelan.
"Sialan! Dia sedang bermesraan. Bagaimana
sekarang? Apakah aku harus menunggu sampai
mereka selesai atau aku langsung saja
memberitahukan masalah ini? Jahanam betul! Aku
jadi ingin...," Bayangan Setan tak meneruskan kata
hatinya, karena saat itu juga dari arah ranjang
besar tampak sesosok tubuh menoleh padanya.
Lalu berpaling lagi dan membungkuk sebentar,
mencium orang di sampingnya dengan keluarkan
suara lembut.
"Permainan ini belum selesai. Nanti kita
lanjutkan. Tunggulah sebentar...."
Habis berkata begitu, sosok ini merapikan
rambutnya yang panjang. Lalu bergerak turun dari
ranjang dan menyingkapkan kelambu. Kini jelas
wajah sosok ini. Ternyata dia adalah seorang
perempuan berambut panjang. Meski tidak muda,
namun wajahnya cantik jelita. Dadanya
membusung kencang dengan pinggul mencuat
bagus. Sepasang matanya bundar dengan bibir
bagus. Mengenakan pakaian tipis panjang yang di
bagian dadanya dibuat amat rendah, hingga
sembulan payudaranya tampak jelas. Pakaiannya
dibuat membelah di bagian depan dengan beberapa
kancing hingga ke bawah.
Si perempuan pandangi Bayangan Setan dengan
dahi berkerut.
"Hem.... Rupanya dia kembali tanpa membawa
hasil seperti yang kuharapkan...," kata si
perempuan dalam hati. Lalu dia melangkah ke
arah Bayangan Setan dan berkata.
"Bagaimana perjalananmu, Bayangan Setan?!"
Bayangan Setan tidak segera menjawab.
Mungkin karena masih terkesima dengan
pemandangan di hadapannya. Karena mungkin
lupa atau entah disengaja, kanclng-kanclng baju
bagian bawah si perempuan tidak dikancingkan,
hingga kulit pahanya yang putih mulus dari betis
hingga hampir pangkal paha tampak dengan jeias.
Juga satu kancing di dadanya terbuka, hingga
payudaranya lebih menyembul terpentang.
Karena tak ada jawaban dari Bayangan Setan, si
perempuan segera palingkan wajahnya dengan
tubuh sedikit diputar. Namun hal Ini tampaknya
membuat Bayangan Setan semakin terpana.
Karena dengan keadaan miring begitu rupa,
payudara si perempuan lebih jelas terlihat hampir
seluruhnyal
"Kau datang sendiri, padahal kau berangkat
berdua. Aku mempunyai firasat kau pulang
berhampa tangan. Katakan padaku apa yang telah
kau peroleh selama kau menjalankan apa yang
kuinginkan!" kata si perempuan berparas cantik
itu dengan nada sedikit keras.
Bayangan Setan tersentak dari keterkesimaan
nya membuat si perempuan keluarkan suara tawa
nyaring namun jelas nada tawanya penuh dengan
cemooh.
"Kau tak buka mulut. Berarti dugaanku benar
bukan?! Kau gagal?!"
"Ratu Pemikat... Segala kemampuan telah
kukerahkan. Tapi nasib jelek nampaknya berpihak
padaku. Selain aku terluka cukup parah,
Bayangan Iblis nyawanya tidak bisa
kuselamatkan...."
Si perempuan cantik yang dipanggil dengan Ratu
Pemikat berpaling. Memperhatikan keadaan
Bayangan Setan sejenak lalu mengajukan
pertanyaan.
"Kau bentrok dengan seseorang? Siapa dia?!"
Bayangan Setan menggumam sebentar. Dengar
masih menindih gejolak di dadanya, dia berkata.
"Seorang pemuda berilmu tinggi. Aku baru
pertama kali Ini bertemu dengannya...."
Mendengar ucapan Bayangan Setan, Ratu
Pemikat dongakkan kepala. Dari mulutnya
terdengar lagi suara tawa mengekeh panjang.
Hingga dadanya terlihat naik turun.
"Hanya seorang pemuda kailan tak mampu
melawannya, lebih menyedihkan lagi Bayangan
Iblis harus tewas. Hem.... Percuma kau bergelar
Bayangan Setan jika harus terbirit-birit melawan
seorang pemuda!"
"Tapi, Ratu.... Dia benar-benar berilmu tinggi.
Nyatanya dia berhasil melukaiku dan menewaskan
Bayangan Iblis. Lebih gila lagi ternyata pemuda itu
berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131!"
Mungkin karena sangat terkejut, tawa Ratu
Pemikat tiba-tiba terputus seketika. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya bergerak kembali
menghadap Bayangan Setan dan serentak
melompat ke depan.
Tangan kanannya bergetar memegang pundak
Bayangan Setan. Dari mulutnya keluar suara
keras. "Apa kau bliang? Pemuda itu berhasil
mendapatkan Pedang tumpul 131?!"
Bayangan Setan menjawab dengan anggukan ke-
palanya. Dada laki-laki ini makin bergetar karena
tangan Ratu Pemikat menyentuh pundaknya. Bau
harum sang ratu menambah gejolaknya makin
membara. Namun laki-laki ini tak berani berbuat
banyak. Dia hanya bisa memandang payudara di
depan hidungnya dengan mata membeliak.
Ratu Pemikat tarik tangan kanannya dari
pundak Bayangan Setan. Wajahnya merah padam.
Dadanya bergerak makin keras. Tanpa memandang
pada laki-laki di hadapannya, dia berkata.
"Siapa nama pemuda keparat itu?! Siapa pula
gelarnya?!"
"Dia tidak menyebutkan gelar. Dia hanya
sebutkan namanya. Namanya Joko... Joko
Sableng!"
"Katakan ciri-cirinya!" kata Ratu Pemikat sambil
palingkan wajahnya dan memandang Bayangan
Setan dengan mata membeliak tak berkedip.
Perempuan ini coba menahan rasa geram yang
menyesakkan dadanya.
"Jahanam! Dia memerintah seenak dengkulnya
saja! Seandainya aku tak menginginkan tubuhnya,
tak akan mau menuruti keinginannya!" gerutu
Bayangan Setan dalam hati.
"Dia kira-kira berusia tujuh belas atau delapan
belas tahun. Parasnya tampan. Rambutnya
panjang dengan mengenakan ikat kepala. Matanya
tajam...."
"Bodoh! Ciri-ciri seperti itu banyak orang punyai.
Yang kumaksud ciri-ciri tertentu yang tidak
dipunyai orang lain!" tukas Ratu Pemikat memutus
keterangan Bayangan Setan.
Bayangan Setan kernyitkan dahi seolah
mengingat-ingat. Namun tak lama kemudian
kepalanya menggeleng. "Aku tidak melihat ciri-ciri
tertentu. Karena suasananya waktu itu agak
gelap...."
"Kalau begitu, dari mana kau tahu jika pemuda
itu telah berhasil mendapatkan Pedang Tumpul
131? Apakah dia tunjukkan padamu?!"
Bayangan Setan kembali gelengkan kepalanya.
"Waktu terlibat bentrok, gempuran pukulanku
dan pukulan Bayangan Iblis berhasil merobek
pakaiannya Saat itulah aku menangkap sinar
kuning dari pinggangnya yang robek. Meski cuaca
agak gelap sinar kuning itu dengan jelas
memperlihatkan benda apa yang bersinar. Ternyata
benda itu adalah sebuah sarung pedang pendek
berwarna kuning. Aku yakin, itu adalah Pedang
Tumpul 131!"
"Hem..... Keparat benar. Bartahun-tahun
kuburu-buru dan kuselidiki, tahu-tahu dengan
mudahnya di dapat oleh pemuda kemarin sore!
Menyesal, sungguh ak merasa menyesal menyuruh
manusia-manusia yang cuma besar mulut dan
besar nafsu tapi kecil nyali dan kering llmu!"
Bayangan Setan jadi terdiam gagu. Lalu dengan
suara agak bergetar karena menahan gejoiak dia
berkata .
"Ratu.... Kalau perjanjian kita masih berlaku,
aku akan turun tangan lagi. Selain membalas
tewasnya Bayangan iblis, aku akan merebut
pedang itu dan membawanya untukmu!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Hem.... Manusia
jika sudah dirasuki hawa nafsu ternyata mudah
dikendalikan. Pikiran jernihnya lenyap hingga tak
tahu lagi barang apa yang digadaikannya untuk
memuaskan nafsu itu.... Hik.... Hik ... Hik...," pikir
sang ratu dalam hati.
Sebaliknya mesti berkata hendak merebut
pedang dan akan menyerahkan pada Ratu
Pemikat, namun dalam hatinya diam-diam
Bayangan Setan membatin lain. "Aku bukan
manusia bodoh. Sekali pedang dapat kurebut,
pantang berpindah tangan! Kau boleh memiliki
tubuh yang menggiurkan, desah yang
mengundang.... Tapi terlalu mahal jika ditukar
dengan pedang pusaka yang menggegerkan rimba
persilatan itu!"
"Bayangan Setan. Sebenarnya aku hendak
memutuskan perjanjian itu. Namun melihat
semangatmu, rasanya kurang enak jika
membatalkannya. Dengarlah, kalau kau berhasil
membawa pedang itu untukku, kau bukan saja
berhak memilikiku selama satu purnama.
Namun...," Ratu Pemikat putuskan ucapannya.
Bibirnya sunggingkan senyum. Kedua kakinya
direntangkan hingga pahanya terlihat jelas.
Dadanya dibusungkan hingga kancingnya terbuka
satu lagi, membuat payudaranya terpentang. Lalu
mulutnya membuka lagi keluarkan suara lembut.
"Kau bisa menikmati apa yang kau lihat kapan
saja kau menginginkan!"
Meski Bayangan Setan telah membatin tak akan
mudah dikelabui dengan tubuh, namun melihat
pemandangan di hadapannya, hatinya berguncang
juga.
"Sialan! Perempuan ini benar-benar
menggoda...."
"Bayangan Setan. Kau telah dengar ucapanku.
Apa iagi yang kau tunggu? Kalau kau ingin segera
menikmati, syaratnya sudah kau ketahui!" ujar
Ratu Pemikat sambil berpaling.
Bayangan Setan menggerendeng dalam hati. Lalu
putar tubuh. Sebelum melangkah meninggalkan
ruangan itu dia berkata.
"Ratu.... Tunggulah! Aku akan datang dengan
membawa permintaamu!" habis berkata begitu,
laki-laki ini melangkah menaiki tangga batu diiringi
suara tawa sang ratu.
"Kalau berdua tak sanggup, mana mungkin
sendirian akan berhasil? Hik.... Hik.... Hik...," desis
Ratu Pemikat seraya melirik ke arah ranjang.
"Melihat keadaan, tampaknya sudah waktunya
aku turun tangan sendiri! Lambat laun berita
tentang pedang itu pasti akan tersebar. Sebelum
banyak orang yang tahu, aku harus segera
memburu pemuda itu! Pemuda.... Berparas
tampan. Hem.... Lebih muda untuk
menaklukkannya...."
Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu
melangkah perlahan ke arah ranjang. Tangannya
bergerak membuka kelambu, dan sekejap
kemudian tubuhnya telah membungkuk. Kedua
tangan tampak menggapai dan merangkulnya dari
bawah, lalu dengan cekatan tangan itu melepas
kancing-kancing pakaian sang ratu. Ketika tubuh
Ratu Pemikat naik ke ranjang, tubuh itu telah
tanpa penutup lagi!
TIGA
MATAHARI sudah lama tenggelam di
bentangan kaki langit sebelah barat
Namun angkasa raya tampak cerah,
karena tak ada awan mengambang.
Bulan bulat penuh perlahan-lahan me-
manjat langit dari sebelah selatan, membuat
suasana lingkaran bumi makin benderang.
DI sebelah timur Teluk Panarukan, tepatnya
pada sebuah gugusan batu karang, salah satu dari
beberapa gugusan batu karang yang berjajar
mengelilingi teluk, terlihat dua sosok sedang duduk
berhadapan. Angin dari laut berhembus kencang,
membuat pakaian yang dikenakan dua sosok Ini
berkibar-kibar. Hawa laut yang menebar garam
menghampar menyesakkan dada. Namun kedua
sosok Ini tampaknya tidak terpengaruh dengan
suasana sekitar teluk.
Dibantu cahaya bulan purnama, wajah-wajah
sosok Ini terlihat agak jelas. Ternyata mereka
adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda.
Sang laki-laki duduk bersila di atas sebuah
gugusan batu karang, sementara sang gadis duduk
bersila di hamparan pasir di bawahnya.
Sang laki-laki adalah seorang yang berusia amat
.anjut. Kulit sekujur tubuhnya telah mengeriput.
Paras wajahnya bulat besar dengan dilapis kulit
yang sangat tipis dan putih pucat. Rambutnya
putih tipis dan dikuncir ke belakang. Jambang,
kumis dan jenggotnya lebat dan hampir menutupi
permukaan wajahnya. Mengenakan pakaian rompi
panjang besar berwarna kuning. Yang membuat
laki-laki ini makin tampak angker adalah bahwa
dia hanya memiliki satu mata sebelah kanan. Mata
itu besar dan masuk ke dalam cekungan sangat
dalam. Sementara mata kirinya ditutup dengan
sebuah kulit bundar yang diikatkan ke belakang
kepala.
Dalam kancah rimba persilatan, laki-laki
bermata satu ini sudah banyak dikenal orang.
Karena selain berilmu tinggi, laki-laki ini juga
dikenai sebagai momok yang ditakuti dan disegani.
Berpuluh-puluh tahun laki-laki ini malang
melintang dalam rimba persilatan dengan menebar
hawa kematian di mana-mana. Tidak jelas apa
yang menjadi tujuan utamanya karena beberapa
korban yang tewas di tangannya bukan hanya dari
kaum persilatan golongan putih saja. Namun
beberapa tokoh golongan hitam pun banyak yang
menemui ajal di tangannya. Hingga rimba
persilatan menggelari laki-laki Ini dengan gelaran
angker Maut Mata Satu!
Sementara gadis muda yang duduk di bawah
Maut Mata Satu adalah seorang gadis berwajah
cantik. Rambutnya panjang dengan sepasang mata
bulat tajam. Hidungnya mancung dengan bulu
mata lentik. Gadis ini mengenakan pakaian warna
merah ketat hingga bentuk dada dan pinggulnya
terbayang jelas.
Setelah agak lama saling berdiam diri, Maut
Mata Satu membuka mulut, memecahkan
kesunyian.
"Larasati, Muridku. Beberapa tahun kau
kugembleng dan kudidik. Malam ini tiba saatnya
bagimu mengetahui dunia luar. Dunia di mana kau
bisa mempergunakan apa yang telah kau peroleh!
Dan seperti yang sering kukatakan padamu, tugas
utama yang harus segera kau lakukan adalah
mencari dan mendapatkan pedang pusaka Tumpul
131...."
"Guru.... Segala yang kau katakan akan segera
kulaksanakan. Tapi kalau boleh tahu, apakah
Guru tahu di mana kira-kira pedang itu berada?"
Beberapa lama Maut Mata Satu terdiam. Mata
satu-satunya memandang tajam pada Larasati.
Sejenak kemudian kepalanya bergerak tengadah.
"Larasati. Berpuluh-puluh tahun aku mencoba
mencari tahu di mana berada pedang itu. Namun
usahaku tak membawa hasil, padahal telah sekian
manusia yang kukorek mulutnya bahkan sebagian
harus kucabut nyawanya. Hingga aku hampir
berkesimpulan jika Pedang Tumpul 131 itu
hanyalah cerita bohong. Anehnya, begitu aku
menyembunyikan diri, kabar di mana beradanya
pedang itu menyebar. Memang belum bisa
dibuktikan kebenaran berita itu, namun melihat
banyaknya tokoh-tokoh yang muncul lagi, aku
berkeyakinan berita itu tidak bisa dilewatkan
begitu saja. Kau harus segera menyelidik...," Maut
Mata Satu hentikan penuturannya. Lalu
melanjutkan.
"Kabar yang berhasil kusirap, pedang itu berada
puncak bukit Sono Keling. Di situ ada sebuah
makma tua yang disebut orang dengan
Pesanggrahan Keramat."
Larasati mendengar ucapan Maut Mata Satu
dengan seksama. Setelah gurunya diam, gadis
cantik itu ajukan pertanyaan.
"Apakah tidak ada hal lain mengenai pedang itu
Guru?"
“Maksudmu...?!" Maut Mata Satu balik bertanya.
"Tentang ciri-ciri Pedang Tumpul 131 itu!"
"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun
menurut beberapa tokoh juga beberapa ahli gaib,
pedang itu berwarna kuning yang di tubuhnya
bergurat angka 131. Tubuh pedang itu tidak terlalu
panjang. Gagangnya berwarna hijau dari batu giok.
Jelas?!"
Larasati anggukkan kepalanya.
"Nah, Larasati. Kau bisa mulai menyelidik sejak
malam Ini. Tapi ingat. Kau harus waspada dan
hati-hati. Tidak mustahil kau akan berhadapan
dengan dedengkot rimba persliatan yang kabarnya
kini muncul kembali. Pergunakan segala akal,
kerahkan segala tenaga! Dan sejak malam ini kau
harus menggunakan gelar Dewi Seribu Bunga,
seperti nama pukulan sakti yang kuajarkan
padamul"
Larasati yang kini telah digelari gurunya dengan
Dewi Seribu Bunga menjura dalam. "Murid pamit
sekarang, Guru...."
Maut Mata Satu mendehem seraya anggukkan
kepalanya. "Dapatkan Pedang Tumpul 131. Kita
akan menjadi raja rimba persilatan, Dewi!"
"Sebagai balas budi atas segala ilmu yang kau
wariskan padaku, aku tidak akan
mengecewakanmu. Aku akan berusaha
mendapatkan pedang itu, Guru!" kata Dewi Seribu
Bunga seraya berdiri, menjura sekali lagi lalu putar
tubuhnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
* *
Hari ini adalah hari kelima Dewi Seribu Bunga
mengadakan perjalanan mencari bukit Sono Keling.
Di tengah jalan beberapa kali gadis cantik Ini
bertanya pada para penduduk yang dilewatinya.
"Hem.... Orang terakhir yang kutanya, menunjuk
pada bukit Itu. Semoga benar apa yang
dikatakannyal" gumam Dewi Seribu Bunga seraya
arahkan pandangan pada sebuah bukit.
"Pedang Tumpul 131.... Moga-moga aku tak
kedahuluan orang lain. Dan mumpung masih pagi,
aku harus segera ke sana...."
Dewi Seribu Bunga cepat berkelebat ke arah
timur, menuju sebuah bukit yang ditunjuk orang.
Pada kaki bukit, gadis Ini hentikan larinya. Dia
tampak ragu-ragu seraya memandang ke sebuah
kedai!
"Ah, urusan perut bisa diurus nanti!" ujar Dewi
Seribu Bunga lirih. Lalu teruskan langkah. Tatkala
kedai Itu tak terlihat lagi, gadis Ini segera kerahkan
Ilmu peringan tubuhnya, lalu berkelebat laksana
anak panah mendaki ke puncak bukit.
Tak berapa lama kemudian, murid Maut Mata
Satu ini sampai pada puncak bukit. Bau busuk
yang amat menyengat segera menyambut gadis Itu.
"Menilik busuknya, pasti ini adalah bangkai
manusia!" duga Dewi Seribu Bunga seraya tekap
hidung dengan mata jeialatan mencari sumber bau
busuk. Tiba-tiba sepasang mata gadis ini
membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, dia
melihat sesosok mayat di tepi lamping bukit
"Ada mayat, tanah banyak yang terbongkar.
Hem.... Berarti telah terjadi bentrok di sini. Pasti
orang-orang persilatan yang memburu Pedang
Tumpul 13 Apakah pedang Itu telah jatuh ke
tangan orang...? Dan mana makam tua itu...?!"
batin Dewi Seribu Bunga seraya mulai melangkah
ke hamparan puncak bukit. Sepasang matanya
meneliti.
"Jahanaml Bau busuk mayat itu mengganggu
sekali!" gadis ini melangkah mendekati bangkai
mayat sambil terus tekap hidungnya. DI depan
mayat, murid Maut Mata Satu ini berhenti. Dengan
kaki kanan, dibalikkannya tubuh mayat Itu. Gadis
ini terpekik kaget. Ternyata raut wajah mayat
sudah tak dapat dikenali lagi, karena di muka itu
telah dipenuhi cacing-cacing tanah. Dengan tubuh
menggigil karena jijik, gadis ini segera dorongkan
kaki kanannya ke tubuh mayat. Mayat itu
bergulingan dua kali sebelum akhirnya meluncur
ke bawah.
"Hem.... Aku harus waspada, mungkin masih
banyak orang di sini...," gumam Dewi Seribu Bunga
lalu tajamkan sepasang telinganya. Sepasang
matanya menyapu berkeliling hingga sampai
lamping-lamping bukit. Merasa aman, gadis ini
segera melangkah lagi ke tengah hamparan puncak
bukit. Dia mondar-mandir beberapa kali dengan
mata tak berkedip memperhatikan setiap jengkal
tanah puncak bukit Namun hingga sekian lama,
gadis ini tak menemukan apa yang dicari.
"Pedang Tumpul 131...," ujar Dewi Seribu Bunga
pelan seraya, menghela napas dalam. "Kata Guru
berada di makam tua puncak bukit Sono Keling.
Tapi hingga mataku pedih, aku tak menemukan
makam itu! Apakah kabar yang sampai pada Guru
itu berita bohong? Atau aku salah tempat..?"
Dewi Seribu Bunga terdiam sejenak sambil
mengawasi hamparan puncak bukit. "Melihat
keadaan di sini, juga adanya mayat, aku yakin ada
di tempat yang benar. Tak mungkin terjadi bentrok
di puncak bukit kalau tidak memperebutkan
pedang itu. Tapi mana makam itu...?!"
Benak Dewi Seribu Bunga kembali diselimuti ke-
bimbangan. Selagi gadis ini dilanda kebimbangan,
tiba-tiba terdengar deru angin menyambar dari
arah belakang.
Dewi Seribu Bunga tersentak dan cepat berpaling
dengan terkejut. Gadis ini putar tubuh dan
surutkan langkah satu tindak ke belakang dengan
mata membelok memandang ke depan.
Di hadapan Dewi Seribu Bunga tampak berdiri
tegak seorang laki-laki. Berusia kira-kira lima
puluh tahunan. Mengenakan jubah warna biru.
Kepalanya botak kelimis. Sepasang matanya sipit
dengan bibir sangat tebal. Sosoknya tinggi besar
dengan leher panjang. Pada leher itu melingkar
untaian kalung dari Kayu bundar-bundar berwarna
coklat. Tangan kanannya pun tampak memainkan
untaian kalung dari kayu bundar-bundar berwarna
coklat. Seraya memainkan kalung di tangannya,
mulut laki-laki ini berkemak-kemik mengucapkan
sesuatu yang tak jelas.
"Siapa kau?” seru Dewi Seribu Bunga dengan
suara parau.
Laki-laki berkepala botak hanya tersenyum
menyeringai. Tangan kirinya bergerak mengelus-
elus kepalanya. Sementara sepasang matanya yang
sipit dibeliakkan memandang pada Dewi Seribu
Bunga dari bawah hingga atas, lalu berhenti pada
dada, membuat si gadis kesal dan wajahnya
berubah merah padam.
"Hem.... Tak ada gunanya aku meladeni laki-laki
seperti dia. Di sini rupanya sudah tak ada yang
bisa diharapkan lagi. Terpaksa aku akan
menyelidik dengan caraku sendiri...," habis berkata
begitu, Dewi Seribu Bunga putar tubuh hendak
tinggalkan tempat itu, namun belum sampai
tubuhnya berkelebat, laki-laki berkepala botak
telah buka mulut.
"Gadis cantik. Kau kira semudah itu bisa pergi
tanpa terlebih dahulu mengatakan siapa dirimu
dan memberi keterangan yang kubutuhkan?!*
Sepasang mata Dewi Seribu Bunga mendelik.
Dadanya bergetar menahan rasa geram. Dengan
keluarkan dengusan keras, gadis ini balikkan
tubuh.
"Ternyata kau bukan laki-laki bisu! Tapi jangan
dikira aku takut mendengar gertakanmul"
Mendapati ucapan lantang gadis di hadapannya,
si laki-laki botak bukannya marah, malah
keluarkan suara tawa panjang seraya usap-usap
kepalanya.
"Bagus! Gadis seperti kaulah yang aku senangi!
Garang dan Liar...," desisnya dengan senyum aneh.
"Tapi kalau kau tahu sedang berhadapan dengan
siapa, kau akan menyesal!"
"Kau boleh mengatakan hal demikian, tapi
bukan padaku, Orang Tua!"
Laki-laki berkepala botak terdiam. Sepasang
matanya memandang ke hamparan puncak bukit.
Dia menarik napas dalam. "Ternyata kabar tentang
adanya makam tua itu hanya bohong belaka. Di
sini tak ada makam! Gadis Ini tampaknya juga
terkecoh dengan kabar angin yang sekarang
tersebar.... Hem.... Daripada tak mendapat apa-
apa, tubuh gadis ini pun dapat mengobati
kekecewaanku. Dadanya besar, pinggulnya
menggoda. Tentunya hangat..," sepasang mata laki-
laki berkepala botak kembali mengarah pada gadis
di hadapannya.
"Anak gadis. Siapa kau sebenarnya?!" tanya si
laki-laki dengan suara berubah rendah.
Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab
pertanyaan si laki-iakl. Namun setelah berpikir
sejenak, seraya tersenyum sinis dia berkata.
"Aku Dewi Seribu Bunga. Kau sendiri siapa?l"
"Dewi Seribu Bunga. Hem.... Nama bagus.
Rasanya baru kali ini aku mendengar gelar itu.
Melihat gerak-geriknya gadis ini tampaknya punya
sedikit iimu...," membatin si laki-laki lalu arahkan
pandangannya pada jurusan lain seraya berujar.
"Kau telah sebutkan siapa dirimu, tak enak
rasanya jika aku tak katakan siapa diriku...,"
kepala si laki-laki kembail berpaling dengan mata
menatap pada Dewi Seribu Bunga. Kau sedang
berhadapan dengan Resi Mahayana!"
Dewi Seribu Bunga beringsut mundur satu
tindak! Mulutnya bergerak-gerak namun tidak ada
suara yang terdengar.
"Resi Mahayana. Seperti apa yang pernah
kudengar dari Guru. Manusia bergelar Resi
Mahayana adalah seorang dedengkot rimba
persilatan yang berilmu tinggi dan doyan
perempuan. Hem.... Tentunya dia juga sedang
memburu pedang Itu. Beberapa dedengkot rimba
persilatan nyatanya memang muncul seperti
ucapan Guru.... Aku harus cepat tinggalkan tempat
ini. Aku akan coba menyelidik di tempat lain, siapa
tahu...."
Ucapan dalam hati Dewi Seribu Bunga terputus
karena saat itu juga tiga sosok tubuh berkelebat
dan langsung mengurung Dewi Seribu Bunga serta
Resi Mahayana.
"Siapa kalian?! Berani berlaku macam-macam,
kalian akan jadi bangkai di puncak bukit ini!"
teriak Dew Seribu Bunga begitu menangkap gelagat
tidak baik dari sosok yang mengurungnya. Dada
gadis ini makin berdebar.
Sebaliknya Resi Mahayana terlihat tenang-
tenang saja meski sejurus tadi sempat terkejut.
Seraya mendongak laki-laki berkepala botak ini
berkata dalam hati.
"Berita jahanam tentang pedang itu ternyata
telah menyebar ke mana-mana. Jika tidak, tak
mungkin keparat-keparat dari tanah seberang ini
muncui di sini! Hem.... Sialan benar! Terpaksa aku
harus menunda dulu keinginanku untuk
menggeluti tubuh gadis itu. Keparat-keparat
pendatang haram ini harus kuusir dahulu...!"
Resi Mahayana sentakkan kepalanya.
Memandang satu persatu pada tiga orang yang
mengurung. Mulutnya berkemak-kemik.
"Tiga Dayang Setan! Kuperingatkan pada kalian.
Tapi ingat, peringatan bagi kalian adalah sebuah
perintah! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Mendengar Resi Mahayana menyebut siapa
adanya tiga orang yang mengurung, mulut Dewi
Seribu Bunga ternganga. Serentak sepasang
matanya memperhatikan lebih seksama pada tiga
orang yang mengurung.
Tiga orang yang dipanggil dengan Tiga Dayang
Setan sama-sama keluarkan gerengan tertahan.
Dari tampang mereka memang tidak salah jika
mereka bergelar Tiga Dayang Setan. Raut wajah
masing-masing orang ini tampak seram meski
ketiganya adalah perempuan. Tiga orang ini
memiliki wajah mirip satu sama lain. Usia mereka
telah lanjut, terlihat dari rambut mereka yang telah
memutih. Paras mereka lonjong dengan kulit ber-
lipat-lipat. Mata mereka besar menjorok ke luar.
Hidungnya melesak ke dalam hampir-hampir tak
bisa disebut hidung. Bibirnya tipis dan dipoles
merah menyala. Mereka mengenakan pakaian
panjang sebatas lutut berwarna hitam. Namun
meski mereka tidak muda lagi, dada mereka
terlihat membusung kencang dan besar. Pinggul
mereka pun padat dan membentuk bagus. Apalagi
pakaian yang mereka kenakan sangat tipis dan
ketat, seakan ingin menunjukkan liku-liku bentuk
tubuhnya.
Tiba-tiba orang yang di sebelah kanan angkat
tangannya. Melihat gerak-geriknya orang sebelah
kanan ini adalah yang paling tua dan jadi
pimpinan.
"Laki-laki botak! Rupanya kau telah mengetahui
siapa adanya kami. Berarti kami tak usah lagi
memperkenalkan diri! Tapi rasanya aku sulit
mengenali siapa adanya kau. Tak keberatan jika
sebutkan namamu?!"
"Kau juga dua kembaranmu tak perlu tahu siapa
aku! Cepat laksanakan apa yang kukatakan pada
kalian atau kalian akan jadi mayat di sini!"
Tampang masing-masing dari Tiga Dayang Setan
berubah mengelam. Mata mereka membelalak
dengan mulut terkatup rapat. Sejurus kemudian,
satu sama lain saling berpandangan. Namun
sebelum ada yang keluarkan suara. Resi Mahayana
telah berkata kembali.
"Kalian dengar ucapanku. Apa kailan memang
minta segera mati?!"
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan tiba-tiba
surutkan kaki. Kedua tangannya mengepal dan
siap lepaskan pukulan. Perempuan sebelah kanan
kembal angkat tangannya seraya berseru. "Tak
perlu turuti ucapan tua botak Ini. Bagi kita
membuat nyawanya melayang semudah kita
mematahkan ranting kering! Kiti tanya dulu,
apakah bangsat ini telah mendapatkan api yang
kita cari. Aku curiga, karena tempat yang kita tuju
tak seperti apa yang kita dengar. Jangan-jangan
bangsat ini telah menghilangkan tanda-tandanya
setelah mendapatkan barang pusaka Itu!"
Meski masih menindih rasa geram, perempuan
yang tadi hendak lepaskan pukulan menuruti
ucapan perempuan di sebelah kanan.
Perempuan sebelah kanan segera melangkah
satu tindak. Dengan mata menyengat tajam, dia
berkata.
"Botak! Dengar baik-baik. Kami telah
mengadakan perjalanan jauh dari seberang laut.
Urusan mati bukan hal yang kami takutkan! Kami
datang ke puncak bukit Ini untuk mencari pedang
pusaka. Namun ternyata kau dan gadis itu telah
mendahului. Kulihat tempat ini telah porak-
poranda, dan tanda-tanda di mana pedang itu
disimpan telah lenyap. Aku yakin kau atau gadis
itu telah mendapatkan pedang Itu, lalu
menghilangkan makam di mana tadi tersimpan
pedang. Kami akan tinggalkan tempat ini dengan
pedang yang ada padamu!"
Resi Mahayana menyeringai. Lalu menoleh pada
Dewi Seribu Bunga.
"Dewi! Tetap di tempatmu. Urusan kita belum
selesai. Aku akan merobek dulu mulut keparat-
keparat dari daratan Nias ini! Mereka rupanya
belum sadar jika hamparan Tanah'Jawa masih
terlalu keras untuk mereka!"
Dewi Seribu Bunga hentakkan sepasang kakinya
ke tanah, hingga tanah itu bergetar. "Kau tak
punya hak memerintahku!" habis berkata begitu,
Dewi Seribu Bunga melangkah menjauh.
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan hendak
menghalangi, sementara Resi Mahayana gerakkan
tangannya. Namun kedua orang ini urungkan niat
masing-masing demi melihat si gadis hanya
melangkah menjauh lalu berhenti seraya
mengawasi.
"Tiga Dayang Setan! Akan kutunjukkan pada
kalian jika hamparan Tanah Jawa belum waktunya
kalian injak!"
Habis berkata demikian, Resi Mahayana
sentakkah tangan kirinya. Gelombang angin
dahsyat segera menyambar ke arah salah seorang
dari Tiga Dayang Setan yang tadi hendak
melepaskan pukulan.
Yang diserang melompat maju, kedua tangannya
dihantamkan dengan keluarkan bentakan keras.
Sementara dua lainnya beringsut mundur seakan
memberi kesempatan pada kembarannya untuk
menghadapi Resi Mahayana.
Terdengar letupan keras tatkala pukulan
mengandung tenaga dalam itu bertemu. Salah
seorang dari Tiga Dayang Setan cepat menarik diri
ke belakang dengan wajah berubah. Tangannya
bergetar dengan dada sesak. Sementara Resi
Mahayana hanya menyeringai dingin sambii usap-
usap kepalanya. Dari bentrok tadi Tiga Dayang
Setan telah maklum jika laki-laki botak ini bukan
lawan yang bisa dianggap enteng.
Mendapati hal demikian, salah seorang dari Tiga
Dayang Setan ini lipat gandakan tenaga dalamnya.
Sekali loncat, perempuan ini telah tegak dua
langkah di depan Resi Mahayana. Lau secepat kilat
tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah
kepala sang Resi.
Bukkk!
Kepala Resi Mahayana tersentak ke atas terkena
pukulan tangan kanan salah satu Tiga Dayang
Setan itu, karena sang Resi tidak membuat
gerakan menangkis atau menghindar. Hebatnya,
Resi Mahayana tidak bergeming, malah keluarkan
tawa pendek. Sementara perempuan yang lepaskan
pukulan terlihat meringis kesakitan sambil
mengernyit. Lalu cepat-cepat mundur. Namun
gerakannya tertahan, karena pada saat yang sama,
Resi Mahayana melesat ke depan. Tangan kirinya
bergerai! menghantam.
Wuuuttt!
Serangkum angin deras datang mendahului
sebelum tangan itu sendiri melabrak sasaran.
Perempuan yang diserang geser kepalanya ke kiri,
sementara kedua tangannya siap hendak lepaskan
hantaman balik, hantaman tangan Resi Mahayana
lewat sejengkal di sebelah kanan kepala lawan.
Namun begitu hantaman tangan kirinya
melabrak tempat kosong dan kepala lawan yang
dihantam bergetar ke kanan, secepat kilat tangan
kanan sang Resi yang memegang untaian tasbih
menderu memapak dari samping kanan!
Praaakkk!
Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini meraung
keras. Tubuhnya tersuruk ke samping hingga satu
tombak lalu terbanting di atas tanah dengan pelipis
berlubang dan mengucurkan darah! Sejenak
perempuan ini ineiejat-iejat kejang. Laiu menjerit
tinggi sebelum akhirnya menggelepar lalu diam tak
bergerak-gerak lagi!
Dua perempuan kembaran Tiga Dayang Setan
memekik keras melihat kematian saudara mereka.
Mereka tak menduga sama sekali jika lawan begitu
cepat dapat menewaskan saudaranya. Sementara
dari tempat agak jauh, Dewi Seribu Bunga
kancingkan mulut rapat-rapat. Di depan sana, Resi
Mahayana tertawa mengekeh!
"Sudah kukatakan, gelombang Tanah Jawa
belum saatnya kalian jajaki. Kalian masih punya
pilihan. Menuruti perintahku atau menyusul
saudara kalian!"
"Jahanam!" teriak dua perempuan dari Tiga
Dayang Setan ini berbarengan. "Botak bangsat!
Kami tak akan kembali ke daratan Nias sebelum
membetot putus nyawa busukmu!"
Habis membentak begitu, perempuan yang jadi
pimpinan Tiga Dayang Setan ini lorotkan tubuh
hingga lutut hampir menekuk. Kedua tangannya
segera didorong ke depan. Satunya lagi tak tinggal
diam. Kedua tangannya dikembangkan lalu
dihantamkan!
Geiombang angin yang keiuarkan hawa panas
dan suara menggeledek segera menghampar ke
arah Resi Mahayana dari dua jurusan.
Resi Mahayana terkesiap sejurus. Namun buru-
buru membuat gerakan aneh dengan rebahkan
tubuh sejajar tanah. Tangan kirinya lepaskan
pukulan sementara tangan kanannya putar-putar
untaian tasbihnya.
Ledakan keras segera mengguncang puncak
bukit itu tatkala tiga pukuian bentrok di udara.
Tubuh Resi Mahayana terguling beberapa kali,
sementara dua dari Tiga Dayang Setan terlihat
terseret masing-masing satu tombak ke belakang.
Namun salah seorang dari perempuan ini segera
dapat menguasai tubuh. Tanpa keluarkan suara
bentakan perempuan yang jadi pimpinan ini cepat
melesat ke arah Resi Mahayana.
Resi Mahayana terperangah kaget. Namun
sebelum laki-laki berkepala botak ini sempat
membuat gerakan, tendangan salah seorang dari
Tiga Dayang Setan ini telah menghujam ke arah
dadanya!
Bukkk!
Resi Mahayana berseru tegang. Tubuhnya
mencelat lalu jatuh bergedebukan dengan mulut
mengeluarkan darah!
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya usap
darah dari mulutnya. Laki-iaki ini segera bangkit.
Namun sebelum tegak, sosok salah seorang dari
Tiga Dayang Setan telah berada di depannya. Lalu
Resi Mahayana melihat dua bayangan berkelebat.
Tahu-tahu sepasang tangan sang perempuan telah
berada di depan matanya!
Resi Mahayana cepat tarik kepalanya ke
belakang. Pukulan lawan menderu sejari telunjuk
dari kepalanya. Namun laki-iaki ini masih
merasakan perih di kedua matanya.
Begitu serangan lawan lewat. Resi Mahayana
angkat kakinya dengan kepala terus digeser ke
belakang hingga menempel tanah dan dibuat
sebagai tumpuan.
Bukkk!
Satu tendangan keras mendarat di lambung
perempuan di hadapannya. Tubuh perempuan ini
langsung terjajar tiga langkah ke belakang dengan
keluarkan jerit kesakitan.
Kesempatan ini tak disia-siakan sang Resi.
Begitu si perempuan terjajar dan belum dapat
menguasai diri, kepala lakl-iaki botak ini berputar
cepat. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat
ke depan dengan kaki lurus!
Di depan sana, si perempuan menahan rasa
terkejut. Buru-buru rebahkan tubuh untuk
selamatkan diri dari tendangan lawan. Tapi
sebelum tubuhnya benar-benar roboh, tangan
kanan Resi Mahayana yang memegang tasbih telah
bergerak dari bawah dan membabat ke arah
punggung lawan.
Kraaakkk!
Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini berteriak
keras ketika tulang punggungnya patah terhantam
tasbih. Walau tasbih itu hanya terbuat dari
untaian kayu bundar-bundar, namun karena
digerakkan dengan tenaga dalam, maka tenaga
yang keluar dapat mematahkan pohon
membongkar tanah!
Karena terhantam dari arah bawah, tubuh si
perempuan mental ke udara, Resi Mahayana
tertawa panjang! Kakinya menjejak tanah.
Tubuhnya melesat menyusul ke udara.
Di atas udara, tasbihnya diputar-putar lalu
secepat kilat digerakkan dan disentakkan.
Settt!
Salah satu dari Tiga Dayang Setan terperangah!
Karena tasbih lawan tiba-tiba telah melingkar di
lehernya! Si perempuan coba hantamkan
tangannya meski dengan mengerang karena
punggungnya sakit bukan alang kepalang. Namun
sebelum kedua tangannya bergerak lepaskan
hantaman, tangan kanan Resi Mahal yang telah
bergerak menghentak.
Kraaakkk!
Tulang leher si perempuan salah satu dari Tiga
Dayang Setan ini patah. Kepalanya lunglai ke
samping kanan dengan erangan pelan. Ketika Resi
Mahayana angkat tangannya dan keluarkan tasbih
dari leher si perempuan, perempuan itu meluncur
turun dengan tubuh tanpa nyawa lagi!
***
EMPAT
KETIKA Resi Mahayana berpaling, laki-laki
botak ini melengak kaget, salah satu dari
Tiga Dayang Setan yang masih hidup juga
Dewi Seribu Bunga tidak ada lagi!
"Keparat jadah! Mereka kira Resi
Mahayana akan membiarkan ikan yang telah
masuk jaring. Ha.... Ha.... Ha..." laki-laki ini cepat
berkelebat lalu berdiri tegak di lamping bukit.
Sepasang matanya yang sipit dijerengkan,
kepalanya melongok ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini masih
menangkap kelebatan dua sosok di antara
kerapatan pohon di bawahnya. "Beium jauh...,"
gumamnya dengan senyum seringai. Sejenak dia
berpaling, memandang pada dua sosok dari Tiga
Dayang Setan yang telah jadi mayat.
"Kasihan. Jauh-jauh hanya cari matil" sepasang
matanya lantas mengedar ke hamparan tanah di
puncak bukit. Menarik napas sebentar. Dan sekali
kelebat, tubuhnya lenyap dari puncak bukit Sono
Keiing.
Di bawah sana, salah satu dari Tiga Dayang
Setan yang masih tersisa kerahkan segenap ilmu
peringan tubuhnya. Demikian juga Dewi Seribu
Bunga, tapi salah satu dari Tiga Dayang Satan ini
menempuh jalan yang banyak ditumbuhi semak
belukar lebat, dengan maksud agar Resi Mahayana
kesulitan jika berniat mengejar. Sedangkan Dewi
Seribu Bunga menempuh jalan yang ada, hingga
meski keduanya berkelebat turun bersamaan, si
gadis murid Maut Mata Satu telah jauh
meninggalkan si perempuan salah satu dari Tiga
Dayang Setan.
Pada hamparan semak belukar lebat di lereng
bukit, salah satu dari Tiga Dayang Setan hentikan
lari!
"Sialan. Aku terpaksa harus beristirahat
sebentar, dadaku serasa jebol. ini gara-gara
pukulan laki-laki keparat itu! Ah, ternyata Tanah
Jawa penuh dengan orang-orang yang berilmu
tinggi. Dua saudaraku telah jadi korban. Hem....
Aku harus secepatnya kembali ke Nias. Kelak aku
akan kembali ke sini dan menagih darah
saudaraku!'
Setelah mengurut dadanya, perempuan ini diam
sejurus. Kepalanya lantas tengadah ke atas.
Merasa tak ada orang yang mengejar ke arahnya,
perempuan ini melangkah hendak teruskan
menuruni bukit. Namun langkahnya tertahan. Di
belakangnya terdengar suara tawa berderai disusul
dengan teguran keras.
"Tak adil jika kau tak merasakan seperti yang
dinikmati saudara-saudaramu! Ha.... Ha.... Ha...!"
Tanpa berpaling, si perempuan sudah tahu siap
adanya orang yang keluarkan teguran. Sesaat
perempuan ini ragu-ragu. Akan terus melarikan
diri atau melakukan perlawanan.
"Tak ada jaian lain. Terpaksa harus mengadu
jiwa” si perempuan segera putar tubuh. Tapi
perempuan ini terperangah. Di hadapannya tak
ada siapa-siapa! Hanya semak belukar lebat.
"Baru saja kudengar suaranya, tapi mana
keparatnya? Telingaku juga mendengar tawanya,
namun mana bangsatnya?! Jahanam betul!"
Selagi mencari-cari, sepuluh langkah di
depannya semak belukar itu bergerak menguak.
Lalu muncul kepala botak dengan keluarkan suara
tawa bergelak.
Si perempuan tak membuang waktu. Belum
sampai tubuh Resi Mahayana keluar dari semak
belukar, si perempuan dari Tiga Dayang Setan
telah hantamkan kedua tangannya.
Brettt! Breeettt!
Semak belukar lebat di depan si perempuan
terbabat rata, malah sebagian tercerabut dari
akarnya dan berhamburan ke udara. Namun
sebelum hantaman itu menghajar sasaran, laki-
laki botak telah lenyap dari tempatnya berdiri!
"Setan Alas! Ke mana lenyapnya botak bangsat
ltu?!"
Selagi perempuan ini tajamkan telinga dan
beliakan mata mencari tahu di mana beradanya
Resi Mahayana, dari arah belakang berdesir angin
kencang. Si perempuan cepat berpaling dengan
tangan menghantam. Namun sebelum tangannya
lepaskan pukulan, sebuah kalung telah melingkar
di lehernya. Si perempuan tak pedulikan.
Tangannya terus menghantam ke depan. Namun
hantaman tangannya hanya menerpa tempat
kosong. Bersamaan dengan lenyapnya pukulan,
tiba-tiba perempuan ini merasakan tubuhnya
terangkat ke atas.
Mencium adanya bahaya, si perempuan hantam-
kan lagi tangan kiri kanannya ke atas. Kakinya
pun bergerak menendang ke belakang. Namun lagi-
lagi pukulannya hanya menghajar angin. Malah
pada saat yang sama, terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Tiba-liba kepala si perempuan
laksana disentakkan hingga tengadah. Namun
cuma sesaat, sekejap kemudian tasbih di lehemya
terbetot ke belakang dengan kerasnya. Terdengar
tulang patah. Disusul kemudian dengan keluarnya
raungan keras dari mulut si perempuan. Ketika
tasbih melesat keluar dari leher, sebuah kaki
berkelebat menendang ke arah punggung.
Bukkk!
Si perempuan dari Tiga Dayang Setan ini hanya
sempat mengerang sebentar. Tubuhnya mental ke
depan lalu terjerembab di hamparan semak
belukar dengan nyawa melayang!
Resi Mahayana komat-kamitkan mulut.
Menyeringai sebentar lalu berkelebat meninggalkan
tempat itu.
*
* *
Pada suatu tempat yang dirasa aman karena
sudah jauh dari bukit Sono Keiing, Dewi Seribu
Bunga hentikan larinya. Lalu duduk bersandar
pada sebuah pohon dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana sekarang...? Apa aku akan kembali
menemui Guru dahulu memberitahukan semua
ini, atau terus saja meiakukan penyelidikan? Ah....
Lebih baik teruskan saja melakukan penyelidikan.
Jika gagal, baru menemuinya! Hem.... Pedang
Tumpul. Apakah telah jatuh ke tangan orang lain?
Atau apakah pedang itu tidak ada? Hanya kabar
bohong yang direncanakan seseorang untuk suatu
tujuan tertentu? Bukankah Guru pernah
mengatakan jika rimba persiiatan selalu diselimuti
dengan akal licik dan muslihat?!" gadis ini lantas
teringat pada Resi Mahayana. "Seandainya aku
tidak sedang kebingungan untuk penyelidikan
pedang Itu, rasanya tanganku sudah gatal untuk
merobek mulutnya yang kelewat besar itu. Tiga
Dayang Setan.... ilmu masih sebatas mata kaki
sudah berani keluar sarang...."
Mungkin karena terlalu lelah, lagi pula angin
bertiup semilir, membuat Dewi Seribu Bunga
menguap dari sesaat kemudian gadis ini terlelap.
Namun baru saja sepasang mata si gadis menga-
tup, sebuah bayangan biru berkelebat dan tegak di
samping sang gadis yang tertidur setengah
berbaring bersandar pada pohon. Sosok ini
memperhatikan dada sang gadis yang bergerak
turun naik sambil mengelus-elus kepalanya yang
botak kelimis.
"Nasibku baik. Ternyata dia kutemukan di sini.
hem.... Mungkin dia kelelahan...." Sepasang mata
sosok berkepala botak yang bukan lain adaiah Resi
Mahayana mengerjap beberapa kali menelusuri
sekujur tubuh gadis di hadapannya. Jakunnya
mulai turun naik dengan dada berdebar. Karena
sang gadis tanpa disengaja angkat kaki sebelahnya
hingga pahanya tersingkap.
Rangsangan yang mendera dada Resi Mahayana.
tampaknya sudah tak bisa dibendung iagi. Tanpa
pikir panjang lagi, laki-laki berkepala botak ini
bungkukkan tubuhnya hendak mencium wajah si
gadis, sementara tangan kirinya bergerak meraba
paha si gadis.
Merasa ada hawa panas bersiur di wajah serta
usapan di pahanya, Dewi Seribu Bunga membuka
kelopak matanya. Mengerjap sebentar lalu
tengadah. Gadis Ini tersentak dan cepat menarik
tubuhnya ke samping. Lalu bangkit tegak dengan
keluarkan bentakan marah.
"Kurang ajar! Laki-iaki terkutuk!"
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Dewi Seribu Bunga bergerak
lepaskan hantaman ke arah kepala Resi Mahayana
dari arah kanan kiri.
Resi Mahayana tak melakukan gerakan sedikit
pun. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Dewi
Seribu Bunga telah menghajar kepalanya dari arah
samping kanan dan kiri. Kepala botak ini tersentak
ke kiri lalu ke kanan. Tubuhnya yang tinggi besar
surut satu tindak ke belakang. Namun dari mulut
laki-laki ini tak terdengar seruan kesakitan.
Sebaliknya bibirnya keluarkan tawa pelan lalu
tangan kirinya mengusap kepalanya yang baru saja
terkena pukuian Dewi Seribu Bunga.
"Kepala manusia ini tampaknya kebal terhadap
pukulan. Tapi tidak bagian tubuhnya yang lain...."
Dewi Seribu Bunga kembaii maju. Tenaga dalam-
nya dilipatgandakan. Didahului bentakan keras,
kedua tangannya kembali melesat. Tangan kiri
mengarah pada perut, tangan kanan menghantam
ke bahu.
Kali ini Resi Mahayana tak tinggai diam. Tangan
kirinya mengibas sementara tangan kanannya yang
memegang tasbih diangkat dan menyentakkan
tasbihnya ke bawah.
Bukkk! Prakkk!
Benturan segera terdengar. Dewi Seribu Bunga
terpekik dan cepat mundur. Sepasang matanya
mendelik besar ketika mendapati tangan kanannya
berubah merah sedangkan tangan kirinya bergetar
dan ada warna kebiru-biruan membentuk tiga
bundaran.
Di depan sana, Resi Mahayana sedikit terkejut
ketika tangannya sempat bentrok dengan tangan si
gadis. Dia tak menyangka sama sekali jika si gadis
memiiiki tenaga dalam tinggi. Selagi iaki-iaki ini
bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang siapa
sebenarnya adanya si gadis, tiba-tiba terdengar
suara bentakan garang melengking. Pada saat yang
sama, dari arah depan menyambar satu sinar
menyebarkan cahaya berwarna-warni.
Wuuusss!
Setengah jalan, mendadak saja sinar itu pecah.
Lalu melesat berpuluh-puiuh pijaran api yang
selain keluarkan hawa panas juga berdesing tajam!
Resi Mahayana terkesiap. Dan buru-buru
hantamkan tangan kirinya sementara tangan
kanannya diputar-putar. Habis lakukan tangkisan,
laki-laki ini melesat ke samping, menghindar dari
muncratan pijar-pijar api. Terdengar beberapa
letupan yang keluarkan kobaran begitu pijaran-
pijaran api itu terkena pukulan tangan Resi
Mahayana. Namun karena banyaknya pijaran yang
muncrat, sebagian lolos dan menghajar pepohonan
di sekitar tempat itu. Pohon yang terkena pijaran
api langsung hangus dan terbakar! Tidak lama
kemudian pohon itu berkeretekan lalu tumbang
terbelah! Tanah yang terkena percikan pijaran api
langsung muncrat ke udara dan berhamburan
dengan berubah menjadi panas!
"Pukuian 'Api Seribu Bunga'!" desis Resi Maha-
yana mengenal pukuian yang dilepaskan Dewi
Seribu Bunga. "Tak bisa kupercaya! Dalam rimba
persilatan hanya satu orang yang memiiiki pukulan
sakti itu! Tokoh yang sudah lama tak unjuk diri
lagi entah sudah tewas atau masih sembunyikan
diri. Maut Mata Satu! Apakah dia murid Mata
Satu?! Hem.... Tak heran jika dia bergelar Dewi
Seribu Bunga. Tapi aku tadi masih belum mengira
jika gelar itu ada hubungannya dengan pukuian
'Api Seribu Bunga'...."
Ketika pijaran bunga-bunga api sirap, Resi
Mahayana memperhatikan Dewi Seribu Bunga
yang saat itu juga menatap ke arahnya. Pelipis
gadis ini bergerak-gerak dengan mata berkilat
merah, karena pukulan yang dilepaskan tidak
menghantam sasaran.
"Apa hubunganmu dengan Maut Mata Satu?l"
bentak Resi Mahayana.
"Di sini bukan tempatnya untuk bertanya!" seru
Dewi Seribu Bunga meski parasnya sedikit
berubah karena merasa orang mengenali siapa
gurunya. Namun perasaan itu segera lenyap begitu
mengingat perlakuan laki-laki di hadapannya yang
baru saja mencoba mencium dan menggerayangi
pahanya. Amarahnya kembaii menggelora. Dan
tanpa berkata iagi, gadis ini tarik kedua tangannya
ke belakang dengan telapak mengepal. Lalu
didorong ke depan sambil mengembangkan telapak
tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar yang menebarkan sinar berwarna-
warni kembali melesat keluar dari telapak tangan
Dewi Seribu Bunga. Setengah jalan, sinar itu pecah
lalu bermuncratan kembang-kembang api yang
membawa hawa panas dan keluarkan suara
mendesis tajam!
Tahu akan kehebatan pukulan yang dilancarkan
si gadis, Resi Mahayana cepat takupkan kedua
tangan nya. Tubuhnya melorot turun hingga duduk
bersila.
Sesaat kemudian tubuh resi ini terangkat dan
mengapung di udara masih dengan bersila dan
mata mengatup. Tiba-tiba kedua tangannya
bergerak dan di hantamkan ke depan.
Asap biru membersit dari kedua tangan sang
Resi. Begitu keluar, asap itu melebar lau
menghampar di tempat itu dan sebagian
membentuk gulungan-gulungan dan melesat ke
arah Dewi Seribu Bunga.
Beberapa bunga pijaran api meletup lalu padam
namun sebagian lagi terus melesat ke arah Resi
Mahayana dari berbagai jurusan.
Laki-laki ini melengak kaget. Cepat dia angkat
tangan kanannya dan putar tasbihnya. Angin
menderu-deru segera melindungi tubuhnya yang
masih mengapung di udara. Beberapa bunga api
yang mengarah padanya segera mental lalu padam.
Namun karena banyaknya bunga api, mau tak mau
membuat sang Resi kewalahan. Hingga tak pelak
lagi satu dua bunga api sempat menyambar
tubuhnya!
"Setan Jahanami" maki Resi Mahayana seraya
tekapkan tangan kirinya ke lambung. Tangan
kanannya terus putar-putar tasbihnya. Tiba-tiba
laki-laki ini gerakkan kepalanya. Tubuhnya yang
mengapung bergerak melayang ke belakang. Lalu
perlahan-lahan turun ke atas tanah.
Cepat-cepat ditelitinya bagian tubuh yang
terkena pijaran. Dia berkerut. Kulit di bagian
lambungnya telah melepuh begitu juga lengan
kirinya. Dan belum sempat laki-laki ini kerahkan
tenaga daiam, lambung dan lengannya berkedut-
kedut. Lalu lepuhan itu muncrat dengan keluarkan
cairan hitam. Ternyata kulit lambung dan lengan
itu berlubang dan mengucurkan darah! Tahu
akibat apa yang akan terjadi kalau sampai
terlambat, Resi Mahayana cepat menotok
permukaan kulit sekitar lubang yang mengucurkan
darah itu. Lalu dari balik pakaiannya dia
keiuarkan butiran kecil yang segera ditelan. Kedua
tangannya lantas menakup dengan mata
memejam, mulutnya perdengarkan suara yang tak
jelas.
Di depan sana, Dewi Seribu Bunga terlihat
tersapu oleh hamparan asap biru. Tubuhnya
melayang dengan mulut megap-megap tanpa ada
suara yang terdengar. Tubuhnya baru terhenti
ketika menghantam sebatang pohon. Lalu terkapar
dengan dada bergerak turun naik.
"Keparat! Dadaku seakan tak bisa digunakan
untuk bernapas. Asap gila apa lni?i" gumam Dewi
Seribu Bunga seraya tarik tubuhnya bersandar ke
batang pohon. Gadis ini segera kerahkan hawa
murni untuk mengatasi dadanya. Namun gadis ini
tertegun dengan wajah makin pucat. Kekuatannya
tiba-tiba lenyap! Hingga dia tak mampu kerahkan
tenaga daiam!
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Padahal tubuhku tidak mengalami cidera yang
parah. Benar-benar gila. ilmu apa yang dilepaskan
laki-laki bangsat itu?!"
Selagi Dewi Seribu Bunga dilanda kecemasan, di
depan sana Resi Mahayana buka kelopak matanya.
Darah yang mengucur telah berhenti. Sejenak
sepasang matanya memandang ke arah Dewi
Seribu Bunga. Tiba-tiba bibir laki-laki berkepala
botak ini ulaskan senyum.
"Pukuian 'Pelebur Tenaga' ternyata telah
terhirup. Hem.... Sekarang tanpa tenaga pun aku
bisa meringkusnya! Aku harus segera bertindak.
'Pelebur Tenaga’ itu hanya akan melebur tenaganya
selama seperempat hari!"
Resi Mahayana bangkit. Melangkah perlahan ke
arah Dewi Seribu Bunga dengan bibir tersenyum.
"Celaka! Keparat itu mendekat. Padahal
tenagaku masih belum bisa puiih. Apa yang harus
kulakukan...?”
Dewi Seribu Bunga mencoba duduk. Merasa
mampu, gadis ini segera hendak bangkit. Namun
mulutnya segera keluarkan keluhan pendek tatkala
baru saja bergerak, tubuhnya limbung dan
akhirnya jatuh kembali.
Resi Mahayana tertawa bergelak-gelak.
"Dewi.... Tenagamu akan pulih jika kita telah
bersatu dalam asmara. Ha.... Ha.... Ha...!"
Laki-laki berkepala botak ini hentikan langkah di
samping Dewi Seribu Bunga. Tasbihnya disimpan
ke balik jubahnya. Kedua tangannya lantas
bergerak menjulur ke depan dengan tubuh sedikit
dibungkukkan.
"Jahanam! Apa yang hendak kau lakukan?!"
teriak gadis berbaju merah dengan tubuh
gemetaran dan mata mendelik.
"Sudah kukatakan. Tenagamu akan pulih jika
kita bersatu dalam kemesraan. Bukankah kau
ingin tenagamu kembali?" sambii berkata, tangan
laki-laki ini telah mengusap pundak si gadis,
sedangkan tangan satunya merayap dari arah
bawah, menyingkap pakaian si gadis!
Dewi Seribu Bunga berteriak-teriak. Karena
hanya itu yang dapat dilakukan. Seluruh tubuhnya
lemas tak bisa digerakkan. Dan teriakan itu
berubah menjadi bentakan-bentakan marah serta
dampratan panjang pendek tatkala tangan kanan
Resi Mahayana telah menyingkap pakaian
bawahnya hingga pahanya terlihat, sementara
tangan kirinya terus bergerak ke arah dadanya,
Breeettt!
Resi Mahayana sentakkan tangan kirinya.
Pakaian si gadis di bagian dada langsung robek.
Sepasang mata sang Resi membentang besar
melihat payudara putih membusung dan bergerak
turun naik.
Tanpa mempedulikan teriakan dan makian si
gadis yang sudah tak berdaya. Resi Mahayana
rebahkan tubuhnya hendak menindih Dewi Seribu
Bunga. Namun gerakan laki-laki ini tertahan.
Karena dari arah samping menderu angin deras
menghantam ke arahnya. Mendapati gelagat
buruk, Resi Mahayana segera berpaiing dan cepat
membuat gerakan memutar tubuh sambil
melompat ke samping.
Brakkk!
Pohon di belakang Dewi Seribu Bunga berderak
dan tumbang begitu terkena pukulan yang berhasil
dihindari Resi Mahayana.
"Terkutuk! Siapa berani berlagak jual ilmu
kepadaku?!" teriak Resi Mahayana seraya putar
kepala dengan mata liar ke sana kemari.
Belum lenyap gema teriakan Resi Mahayana,
sesosok bayangan berkelebat tahu-tahu tegak di
hadapan sang Resi dengan kepala celingukan!
***
LIMA
Dari tempatnya masing-masing, Resi
Mahayana dan Dewi Seribu Bunga melihat
seorang pemuda mengenakan pakaian putih
dengan ikat kepala putih melingkar di
rambutnya yang panjang dan sedikit acak-acakan.
Pemuda ini berparas tampan dengan tubuh tegap.
Namun gerak-geriknya membuat orang yang
melihat kerutkan dahi, karena jari kelingking
tangan kanannya dimasukkan pada lubang
telinganya hingga wajahnya meringis dengan tubuh
sedikit menggelinjang!
"Tingkah dan gerak-geriknya seperti orang
sedeng. Tapi melihat pukulannya tadi, jelas
mengandung tenaga dalam tinggi. Hem.... Siapa
pemuda ini?" Resi Mahayana membatin dengan
memandang tak berkedip. Kemarahan akibat
urusannya tertundak dicoba ditahan.
Seraya.melangkah maju, dia keluarkan bentakan.
"Anak Muda. Kau mencari mati berani ikut
campur urusanku!"
Si pemuda seakan tak mendengar bentakan
orang. Malah dia telengkan kepalanya lalu
digerakkan ke kanan kiri dengan tubuh berjingkat,
karena kelingkingnya masuk makin dalam!
"Heran. Apa yang dilakukan pemuda ini?
Tingkahnya mirip anak-anak saja! Tapi
pukulannya tadi membuat laki-iaki keparat itu
urungkan niatnya. Mudah-mudahan dia bersedia
menolongku...," Dewi Seribu Bunga membatin
seraya coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun
gagal hingga yang keluar dari mulutnya adalah
keluhan pendek.
"Rupanya kau ingin mati dalam keadaan begitu!"
seru Resi Mahayana. Kemarahannya tak dapat
dibendung lagi karena merasa dirinya tidak
digubris.
"Makan pukulanku ini!" teriaknya seraya
hantamkan kedua tangannya sekaligus.
Angin deras segera melesat mengarah pada si
pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng,
Pendekar Pedang Tumpul 131.
Paras Joko berubah seketika. Jari kelingkingnya
cepat ditarik. Sambil mundur satu langkah, kedua
tangannya segera menyentak.
Tanah di tempat itu segera bergetar tatkala dua
pukulan itu bertemu di udara. Resi Mahayana
cepat-cepat kerahkan tenaga dalamnya karena
merasa tubuhnya terdorong keras ke belakang.
"Anak Setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Joko hanya menyeringai sambil gosok-gosokkan
tangannya.
"Orang Tua! Manusia macam kau tak pantas
mengetahui siapa aku! Aku memberimu
kesempatan untuk segera enyah dari tempat ini!"
"Begitu? Apa kau juga menginginkan tubuh
montok itu?! Hah...?!"
Paras Dewi Seribu Bunga tampak mengelam.
Gadis ini berteriak memaki.
"Orang tua gila! Ternyata pakaianmu saja yang
menunjukkan layaknya seorang resi. Tapi
kelakuanmu lebih rendah dari binatang!"
Dimaki demikian, Resi Mahayana naik pitam.
"Diam kau, gadis keparat! Kau layak berterima
kasih karena nasib burukmu tertunda! Tapi jangan
cepat bergembira, setelah orang gila itu menerima
kematian, pekerjaan nikmat itu kita teruskan!"
"Jangan mimpi bisa mereguk kenikmatan itu,
Orang Tua!"
"Anak Keparat! Kau masih muda, belum
merasakan bentangan ganasnya rimba persilatan
hingga tak tahu siapa yang sedang kau hadapi"
"Hem.... Bukankah aku sedang berhadapan
dengan resi berwatak kambing?"
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya
kembangkan telapak tangan lalu didorong ke
depan.
Dua asap biru membersit. Laiu menghampar dan
sebagian membentuk gulungan-gulungan. Resi ini
telah lepaskan kembali pukulan 'Pelebur Tenaga'.
Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tersadar. "Mungkin
tenagaku ienyap karena menghirup asap itu! Aku
tadi megap-megap tatkala pertama kali
menghirupnya!" berpikir sampai di situ sambil
menahan napas gadis ini berteriak.
"He! Tahan napas. Asap itu beracunl" Mendapati
peringatan, Joko cepat tutup pernapasannya.
Kedua tangannya dikembangkan lalu dihantamkan
ke depan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar kuning keperakan segera menyambar
keluar. Suasana di tempat itu berubah menjadi
semburat warna kuning dan panas!
Asap biru yang menghampar dan bergulung-
gulung ambyar dengan keluarkan ledakan dahsyat.
Namun tubuh murid Pendeta Sinting dari jurang
Tiatah Perak ini terlihat terhuyung-huyung karena
tersapu oleh hamparan angin yang keluar dari
asap biru. Di depan sana. Resi Mahayana
terdorong mundur sampai tiga langkah sebelum
akhirnya lorotkan tubuh untuk duduk bersila.
Tubuh orang tua ini tampak bergetar keras. Kedua
tangannya gemetar. Sedangkan wajahnya berubah
pucat pasi. Laki iaki ini segera sentakkan kedua
bahunya. Perlahan-lahan tubuhnya terangkat dan
mengapung di udara. Kelopak matanya segera
memejam, lalu membuka kembali bersamaan
dengan menyentaknya kedua tangan.
Untuk kedua kalinya asap biru menghampar.
Namun kali ini daya lesatnya lebih cepat. Bahkan
angin deras yang menyertainya seolah datang dari
segenap penjuru. Hingga saat itu juga hamparan
tanah di tempat itu laksana air yang terpukul,
muncrat ke udara menutupi pemandangan!
Joko cepat takupkan kedua tangannya.
Tangannya berubah kekuningan. Lalu dengan
keluarkan bentakan keras, kedua tangannya
didorong.
Blaaammm!
Tempat itu berguncang. Asap biru berantakan
sebelum akhirnya terseret ke atas dan lenyap!
Angin deras yang menyertai asap biru pukulan
‘Pelebur Tenaga’ pun menyibak ke kanan dan kiri.
Menghantam segala yang ada di sekitarnya!
Dewi Seribu Bunga yang berada di sebelah
kanan keluarkan seruan tertahan tatkala
tubuhnya mencelat tersapu angin. Sementara di
sebelah depan, Resi Mahayana terdorong mundur
dengan derasnya, hingga tak bisa lagi kuasai
keadaan, laki-laki berkepala botak ini terjerembab
dengan kepala mendahului tubuh! Ketika orang
tua ini angkat kepalanya, dari hidung dan sudut
bibirnya mengucur darah kehitaman!
Dua puluh langkah di hadapan Resi Mahayana
Joko Sableng berlutut dengan raut pucat seakan
tak berdarah. Dadanya bergetar keras. Urat-urat
tubuhnya bertonjolan keluar membentuk guratan-
guratan merah.
Perlahan-lahan Resi Mahayana bergerak duduk.
"Hari ini aku menemui dua keanehan besar.
Pertama tentang pukulan yang dilepas gadis
keparat itu. Yang kedua pukulan yang dilepas
pemuda edan itu. Aku ingat betul. Pukulan yang
dilepas adalah milik tokoh sinting yang puluhan
tahun lalu pernah menggedorkan rimba persilatan.
Bagaimana ini? Apakah kedua orang ini murid-
murid tokoh itu?! Hem.... Meski pukulan 'Pelebur
Tenaga'-ku tak berhasil, namun aku yakin pemuda
Itu juga cidera dalam. Aku harus segera
menyelesaikannya. Jika tidak, urusan kenikmatan
dengan gadis Itu akan tertunda!"
Resi Mahayana segera bangkit, tangan kanannya
menyeilnap ke balik jubahnya mengambil tasbih.
Joko kerutkan dahi. "Dia menggunakan senjata.
Meski hanya, berupa untaian kayu, aku yakin itu
bukan senjata sembarangan! Apakah aku harus
menggunakan pedang ini?l Hem.... Tak ada
salahnya jika aku mencoba kehebatannya!" Dia
segera selinapkan tangan kanan ke balik pakaian
bagian pinggang di mana terselip Pedang Tumpul
131.
Resi Mahayana telah bergerak melangkah seraya
putar-putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera
melingkupi tempat itu. Tangan kiri sang Resi
diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun
gerakannya tertahan tatkala di depan sana cahaya
kuning segera menghampar berkilat-kilat.
Resi Mahayana sejenak tertegun seakan tak
percaya dengan pandangan matanya. Mulutnya
berkemik. Lalu tanpa sadar dari mulutnya keluar
desisan keras.
"Pedang Tumpul 131!"
"Hem.... Jadi manusia ini telah berhasil
mendapatkan pedang itu! Bagus. Rezekiku besar.
Selain mendapatkan apa yang kucari, sekaligus
bisa menikmati tubuh montok...."
"Anak Muda! Selembar nyawamu kuampuni,
bahkan kalau mau kau boleh mengambil gadis itu.
Tapi serahkan pedang itu padaku!" sambil berkata,
tangan kirinya membuat gerakan orang meminta.
Di samping, mendengar ucapan Resi Mahayana,
Dewi Seribu Bunga buka kelopak matanya yang
sejak tadi dikatupkan. Sejurus mata gadis itu
terpentang besar. Memperhatikan pedang di tangan
kanan Joko.
"Pedang pendek berwarna kuning keperakan.
Gagangnya hijau dari batu giok. Di tubuh pedang
terdapi guratan angka 131. Tak salah lagi. itu
Pedang Tumpul 131! Jadi...," Dewi Seribu Bunga
tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-tiba Resi
Mahayana telah kembali membentak.
"Kau dengar ucapanku. Tunggu apa lagi?!
Serahkan pedang itu!"
Pendekar 131 tersenyum. "Orang Tua! Kau ini
minta atau apa?!"
"Banyak mulut!" hardik Resi Mahayana.
Semangat laki-laki ini kini bertambah besar. Dia
memutuskan merebut pedang itu dengan jalan apa
saja, malah ingatannya pada Dewi Seribu Bunga
seakan lenyap seketika. Dan tanpa menunggu lebih
lama lagi, dia melompati depan. Tangan kirinya
melepas pukulan tangan kosong sementara tangan
kanannya menyentakkan tasbih.
"Saatnya bagiku melihat kehebatannya!" gumam
Joko seraya hantamkan tangan kirinya untuk
menangkis hantaman pukulan tangan kiri sang
Resi. Sementara tangan kanannya mengayunkan
pedang.
Letupan keras terdengar ketika pukulan tangan
kosong masing-masing orang ini bertemu.
Kemudian disusul dengan suara benturan benda
tatkala Pedang Tumpul 131 menderu dan
menghantam tasbih Resi Mahayana.
Tasbih di tangan Resi Mahayana langsung
berantakan dan berhamburan. Laki-laki botak ini
berseru keras. Tangan kanannya bergetar hebat
dengan wajah pias! Sosoknya terhuyung ke
belakang. Saat itulah Pendekar Pedang Tumpul
131 melesat ke depan. Tangan kanan yang
memegang pedang diangkat tinggi-tinggi. Resi
Mahayana menduga lawan akan babatkan
pedangnya. Dia meliukkan tubuhnya ke bawah.
Namun dugaan Sang Resi melesat. Karena bukan
pedang Joko yang bergerak membabat, melainkan
tangan kirinya yang menghantam.
Bukkk!
Resi Mahayana terpekik keras. Sosoknya mental
hingga dua tombak lalu berputar dan terbanting di
atas tanah. Karena pukulan tangan Joko Sableng
tepat mengenai lambungnya yang telah terluka,
lambung yang berlubang itu kembali keluarkan
darah hitam!
Resi Mahayana keluarkan suara gemeretak dari
mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia hendak
hantamkan tangannya. Namun tulang lengan
kanannya patah, hingga akhirnya dia hanya bisa
hantamkan pukulan dengan tangan kiri.
Pendekar Pedang Tumpui 131 bergerak ke
samping menghindar. Hingga pukulan tangan
kosong itu lewat. Saat itulah berdesing lingkaran
coklat berputar-putar. Ternyata Resi Mahayana
telah cabut kalung di lehernya dan dilemparkan ke
arah Joko. Karena lemparan itu bukan lemparan
biasa, meski hanya sebuah kalung dari untaian
kayu, namun dapat mengeluarkan desingan tajam
dan mempunyai daya lesat luar biasa.
Murid Pendeta Sinting angkat pedangnya. Sinar
kuning keperakan membersit dengan keluarkan
suara bergemuruh ketika Pedang Tumpul 131
diayunkan memapak datangnya kalung.
Praaakkk!
Untaian kalung hancur berkeping-keping.
Anehnya, hancuran kalung yang terbuat dari kayu
itu masih berlesatan ke sana kemari. Joko segera
melompat, namun tak urung juga salah satu dari
hancuran kalung menerpa tubuhnya. Murid
Pendeta Sinting seakan tak percaya. Pakaian yang
dikenakannya serta-merta terbakar dan tubuhnya
terdorong hingga jatuh berlutut!
Melihat Joko terjatuh berlutut, Resi Mahayana
tanpa memberi kesempatan. Tubuhnya bangkit
lalu melesat dengan tangan kiri menghantam.
Dengan menindih rasa panas, Joko cepat
gulingkan tubuh. Pada gulingan ketiga, pemuda ini
berbalik lalu hantamkan tangan kirinya.
Sinar kuning keperakan membersit. Karena Resi
Mahayana datang menyongsong tepat saat sinar
mengembang, maka tak ampun lagi tubuh laki-laki
berkepala botak ini mencelat mental hingga
beberapa tombak, lalu terbanting di tanah. Pakaian
yang dikenakannya telah hangus. Sekujur
tubuhnya melepuh. Untuk beberapa saat lamanya
laki-laki botak ini mengerang dengan berguling-
gulingan menahan rasa panas.
Namun makin lama erangannya makin pelan,
gulingan tubuhnya pun tiba-tiba berhenti.
Pendekar Pedang Tumpui 131 memandang
sekilas. Lalu melangkah mendekat dengan pedang
siap diayunkan sementara tangan kiri siap
lepaskan pukulan. Tapi tiba-tiba Joko hentikan
langkahnya tatkala dilihatnya Resi Mahayana
meraung keras yang serta-merta putus laksana
disentakkan! Laki-laki ini kaku dan tak bergerak
lagi!
Pendekar 131 teruskan langkah mendekat.
Sejenak diperhatikannya tubuh Resi Mahayana
yang terkapar mati dengan tubuh melepuh dan
darah menggumpal dari hidung dan mulut.
Murid Pendeta Sinting ini menarik napas dalam,
lalu memasukkan Pedang Tumpui 131 ke
sarungnya di balik pakaiannya.
"Sebenarnya aku tak mengharapkan ini terjadi,
tapi...," murid Pendeta Sinting ini tak lanjutkan
gumamannya, karena terdengar orang menegur.
"Hei.. Kau tidak menolongku?!"
"Astaga! itu suara gadis...." Joko cepat putar
tubuh lalu melangkah lebar-lebar ke arah Dewi
Seribu Bunga.
***
ENAM
PENDEKAR Pedang Tumpul 131 melangkah
mendekati Dewi Seribu Bunga yang masih
terkapar tak berdaya. Begitu berada di
samping sang gadis, pemuda murid Pendeta
Sinting ini tertegun lalu cepat arahkan
pandangannya ke jurusan lain karena dada gadis
di hadapannya terpentang memperlihatkan
payudaranya yang kencang putih!
Si gadis sendiri berubah parasnya menjadi
merah mengelam. Namun karena tak berdaya
untuk menggerakkan anggota tubuhnya akibat
pukulan 'Pelebur Tenaga' yang dilepas Resi
Mahayana, gadis ini tak bisa berbuat banyak.
Hingga pada akhirnya dia buka mulut dengan
suara pelan.
"Akibat pukulan laki-laki tadi, tenagaku lenyap.
Harap kau sudi menolongku dengan coba alirkan
tenaga dalam ke tubuhku. Siapa tahu bisa
membantu. Kau tak keberatan bukan?!"
"Hem.... Bagaimanapun juga gadis ini telah
memperingatkanku sewaktu laki-laki itu lepaskan
pukulan. Jika tidak, mungkin aku mengalami hal
yang sama. Aku akan memenuhi
permintaannya...."
Joko berpaling lagi. Namun matanya sengaja
diarahkan pada sepasang mata si gadis. Hingga
untuk beberapa saat kedua orang ini saling adu
pandang.
"Hem.... Gadis cantik. Matanya bundar tajam.
Dan...," Joko coba meiirik agak ke bawah, ke dada
si gadis. Namun baru saja matanya beralih ke
dada, Dewi Seribu Bunga telah menegur.
"Apa lagi yang kau tunggu? Atau kau merasa
keberatan?!"
Seakan baru tersadar, Joko segera gelengkan
kepalanya. Lalu dengan dada berdebar pemuda ini
duduk disamping Dewi Seribu Bunga. Dewi Seribu
Bunga sendiri tampak bersemu merah malah
begitu Joko duduk, gadis ini segera arahkan
pandangannya ke atas. Diam-diam dalam hati dia
berkata.
"Mudah-mudahan pemuda ini tak punya niat
jelek. Ah, kenapa aku berpikir sampai ke sana?
Kalau dia berniat jeiek, bukankah mudah saja
baginya melakukan apa yang diinginkan karena
aku tak berdaya? Siapa pemuda ini sebenarnya...?
Sungguh beruntung pemuda ini. Berhasil
mendapatkan pedang pusaka yang diperebutkan
banyak tokoh rimba persilatan. Hem.... Bagaimana
sekarang? Apa yang harus kulakukan setelah dia
nanti berhasil menolongku? Apakah aku harus
merebut pedang itu dari tangannya? Atau.... Ah.
Aku jadi bingung...."
Murid Pendeta Sinting ini sekilas menatap wajah
Dewi Seribu Bunga. Lalu turun ke dadanya. Jakun
pemuda ini bergerak turun naik dengan wajah
hangat. Namun pemuda ini segera sadar bahwa si
gadis memerlukan pertolongan. Kedua tangannya
segera menjulur ke depan. Tubuh si gadis
digerakkan membalik. Lalu kedua telapak
tangannya ditempelkan ke punggung si gadis.
Sepasang matanya lantas mengatup. Setelah
menarik napas dalam-dalam, murid Pendeta
Sinting ini mulai alirkan tenaga dalam pada sang
gadis.
Dewi Seribu Bunga merasakan hawa sejuk
menembus kulit punggungnya lalu mengalir kesekujur tubuhnya. Perlahan-lahan anggota
tubuhnya berubah hangat. Aliran darahnya teratur
dan normal seperti sediakala.
Dengan masih menelungkup, Dewi Seribu Bunga
coba menggebrakkan jari-jari tangannya. Gadis ini
bernapas lega, karena jari-jari itu bisa digerakkan.
Merasa berhasil, gadis ini coba angkat tangannya.
Ternyata tangannya pun dapat digerakkan!
"Tenagaku pulih kembali...," batin Dewi Seribu
Bunga dengan merentangkan tangan.
Ketika Joko tarik kedua tangannya dari
punggung Dewi Seribu Bunga, gadis ini segera
gerakkan tubuhnya membalik. Kepalanya berpaling
ke samping dengan mata memandang lekat-lekat
pada Joko Sableng.
"Terima kasih...," katanya sambil bergerak ke
atas lalu bangkit duduk. Mungkin karena merasa
gembira tenaganya bisa pulih kembaii, Dewi Seribu
Bunga segera rentang-rentangkan kembali kedua
tangannya. Sementara Joko cepat-cepat alihkan
pandangan meski ekor matanya meiirik.
Melihat tingkah pemuda di sampingnya, Dewi
Seribu Bunga kerutkan dahinya. Namun mulutnya
segera keluarkan seruan tertahan tatkala
mengetahui apa yang membuat sang pemuda
melirik. Ternyata dadanya yang terbuka terpentang
lebar tatkaia dia merentangkan tangannya. Dengan
wajah berubah, gadis ini buru-buru menutupkan
pakaiannya yang robek pada dadanya yang
terbuka.
“Tak keberatan sebutkan siapa kau sebenarnya?"
Joko ajukan pertanyaan untuk mengatasi keadaan
yang kaku itu.
"Aku... Dewi Seribu Bunga. Kau?!"
Joko Sabieng,berpaling memandang. "Joko...
Joko Sableng "
"Joko Sableng.... Hem.... Pantas. Meski dia tak
berniat jahat, namun matanya itu nakal.
Jelalatan...”
Joko bangkit. Tersenyum lalu berkata.
"Tenagamu telah pulih, dan kau bisa teruskan
perjalanan. Sedangkan aku pun harus pergi. Ada
urusan yang perlu kuselesaikan."
Pendekar Pedang Tumpui 131 putar tubuh. Lalu
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun suara
menahan langkahnya.
"Tunggu!" Dewi Seribu Bunga melangkah
mendekat. "Kau hendak ke mana?!"
Joko balikkan tubuh. Dewi Seribu Bunga tampak
kikuk karena harus memegangi robekan kain di
dadanya. Joko segera lepaskan ikat kepalanya dan
diberikan pada si gadis. Tahu akan maksud Joko,
Dewi Seribu Bunga segera menyambuti ikat kepala
itu. Lalu diikatkan pada robekan kain di dadanya
dan diikatkan ke belakang. Hingga sejenak
kemudian gadis ini bebas gerakkan tangannya. Dia
mengulangi pertanyaannya.
"Aku pergi ke mana aku suka, ke mana kaki
mengajak. Kau sendiri hendak ke mana?!"
Mendengar pertanyaan Pendekar 131, Dewi
Seribu Bunga berubah seakan terkejut.
Memandang lekat-lekat pada pemuda di
hadapannya dari bawah hingga atas.
"Bagaimana aku harus menjawab? Apakah aku
akan berterus terang tentang tujuan perjalananku
ini? Padahal pedang itu telah berhasil didapatnya!
Apakah aku harus merebut dari tangannya?
Sedangkan dia baru saja menolongku? Kalau tidak
karena pertolongannya, aku tak tahu apa yang
akan menimpaku! Menuruti ucapan Guru, ingin
rasanya aku merebut pedang itu. Tapi aku tak
kuasa melakukannya...."
"Wajahmu berubah. Kau memikirkan sesuatu?"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepaianya
sembunyikan perasaan bimbang. Antara menuruti
ucapan gurunya yang harus mendapatkan pedang
dengan segala cara dan kerahkan segenap tenaga
atau menuruti kata hatinya yang tak kuasa
melakukan terhadap orang yang telah
menolongnya. Lebih-iebih hati gadis ini sebenarnya
mulai tertarik dengan pemuda di hadapannya!
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Dewi
Seribu Bunga berkata.
"Tak mau jika aku ikut ke mana kau pergi?!"
Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Dia tak
menduga akan ucapan gadis di hadapannya.
Hingga untuk sesaat lamanya dia tak menjawab.
"Bagaimana ini?! Padahal aku akan menemui
Guru.... Apa nanti kata Guru jika aku menemuinya
dengan membawa seorang gadis?"
"Bagaimana?! Apa kau merasa keberatan?!" Dewi
Seribu Bunga ajukan lagi pertanyaan setelah Joko
tidak memberikan jawaban.
"Sebenarnya terlalu sayang jika menolak tawaran
seorang gadis cantik macam dia. Hem....
Sementara aku akan mengajaknya, sambil cari
jalan bagaimana sebaiknya...." Joko Sableng
tersenyum lalu berkata.
"Jika itu maumu, baiklah.”
Dewi Seribu Bunga tersenyum lebar. Joko
mengangguk dengan sebelah mata dikedipkan lalu
balikka tubuh. Si gadis segera melangkah
menjajari.
Namun baru saja kedua muda-mudi ini hendak
melangkah, terdengar makian keras.
"Anak Jahanam! Diberi tugas keluar dari
kandang malah digunakan untuk bermain gila!"
***
TUJUH
JOKO dan Dewi Seribu Bunga tersentak kaget.
Keduanya serentak palingkan kepala masing-
masing ke samping kanan dari mana suara
teguran datang. Di situ tampak tegak seorang
kakek berparas bulat besar. Kulitnya tipis dan
pucat. Berambut putih dikuncir ke belakang. Raut
wajahnya hampir tak kelihatan karena ditutupi
sebagian jambang, kumis, dan jenggotnya yang
lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang
berwarna kuning. Matanya hanya sebelah,
sedangkah sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah
kulit bundar yang diikat dengan tali ke belakang
kepalanya.
Joko sempat tersekat melihat tampang angker si
orang tua. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa
yang dimaki oleh kakek itu. Sebaliknya Dewi
Seribu Bunga tampak tercengang hingga untuk
sesaat dia pandangi kakek di hadapannya dengan
mulut terkancing rapat.
"Dewi.... Kau kenai dengan hantu ini?!" gumam
Joko tanpa berpaling.
Tersadar oleh pertanyaan Joko, Dewi Seribu
Bunga segera menghambur ke depan lalu
membungkuk dalam-dalam di hadapan si kakek.
"Guru...."
Mata kanan si kakek berompi kuning ini
mendelik angker. Memandang lurus pada Dewi
Seribu Bunga, lalu beralih pada Joko Sableng.
Seteiah keluarkan dengusan beberapa kali, kakek
yang bukan lain adalah Maut Mata Satu, guru
Dewi Seribu Bunga keluarkan bentakan keras.
"Bagaimana tugasmu, Larasati?!"
"Guru. Murid minta maaf...," Dewi Seribu Bunga
tidak dapat meneruskan ucapannya. Apa yang
akan dikatakan serasa tersekat di tenggorokan.
"Larasati! Kenapa kau berhenti?! Ayo teruskan
kata-katamu!" seraya berkata Maut Mata Satu
terus memandang ke arah Joko tanpa berkedip.
Sementara Joko sendiri sepertinya acuh tak acuh,
meski keterkejutan tak bisa lenyap dari parasnya.
Namun diam-diam murid Pendeta Sinting ini kini
mengetahui hubungan antara Dewi Seribu Bunga
dengan kakek bermata satu itu.
"Gadis itu muridnya. Hem.... Tugas apa yang
dibebankan pada gadis itu? Kenapa dia tak
menjawab pertanyaan gurunya? Kalau sampai
salah ucap, mungkin aku dicurigai! Sialan benar!
Perempuan ternyata bisa membuat masalah!"
Karena Dewi Seribu Bunga belum juga membuka
mulut, Maut Mata Satu akhirnya berkata. "Kau tak
berhasil dengan tugasmu. Benar?!"
Seribu Bunga anggukkan kepalanya. Maut Mata
Satu mendengus keras.
"Seseorang mendahuluinya mendapatkannya.
Begitu?!"
Untuk kedua kalinya Dewi Seribu Bunga
gerakkan kepalanya mengangguk.
"Kau tahu siapa orangnya?!"
Dewi Seribu Bunga berlutut. Lalu tengadahkan
kepalanya memandang pada sang guru. Wajah
gadis ini jelas menunjukkan rasa khawatir.
"Bagaimana harus mengatakannya bahwa
pedang itu sebenarnya telah jatuh ke tangan Joko?
Jika kukatakan terus terang, pasti Guru akan
bertindak! Kalau tidak kukatakan, dia pasti akan
marah besar.... Ah!"
"Larasati. Baru beberapa hari kau merasakan
dunia luar sikapmu telah berubah! Kau
menyimpan sesuatu! Dan hem.... Pakaianmu tak
karuan. Apa yang telah kau lakukan dengan anak
ingusan itu, nah?!"
"Guru.... Guru jangan salah sangka. Justru
kalau tidak karena pertolongannya, aku akan
menemui ajal di tangan bangsat laki-laki itu!" Dewi
Seribu Bunga arahkan pandangannya pada mayat
Resi Mahayana.
Maut Mata Satu mengikuti arah pandangan
muridnya. Kulit bundar penutup mata kirinya
bergerak-gerak mengikuti alis matanya yang
terangkat naik.
"Berkepala botak, mengenakan jubah biru,
tubuh tinggi besar. Hem.... Bukankah bangkai itu
Resi Mahayana? Resi cabul doyan perempuan yang
malang melintang memburu Pedang Tumpui 131?!"
Maut Mata Satu berpaling kembali ke arah Joko.
"Larasati mengatakan ditolong oleh anak ingusan
ini. Kalau Resi Mahayana dapat dibuat mayat,
meski tampak ugal-ugalan, anak ini berarti
mempunyai ilmu. Hem.... Siapa dia sebenarnya?!"
"Larasati. Kau telah menyelidik. Kau telah tahu
bahwa seseorang telah mendahului. Katakan siapa
orangnya! Jangan berani berdusta kalau tidak
ingin kulumat mulutmu!"
Tubuh Dewi Seribu Bunga bergetar ketakutan.
Kepalanya ditundukkan tak berani memandang
pada gurunya, membuat Maut Mata Satu naik
pitam.
"Ternyata dugaanku keliru, Larasati. Kau belum
matang. Keadaan telah membuatmu berubah.
Lingkungan telah menjadikanmu lain. Hingga kau
berani menyembunyikan sesuatu padaku. Tahu
begini jadinya, aku akan bertindak sendiri!"
"Orang Tua! Jangan...."
"Diam kau! Jangan berani ikut campur
urusanku. Nanti tiba giiiranmu untuk menjawab
pertanyaanku!" tukas Maut Mata Satu memotong
ucapan Joko Sableng, membuat murid Pendeta
Sinting ini geleng-gelengkan kepala seraya
mengangkat bahu.
"Bagaimana? Kau masih tak mau mengatakan
siapa orangnya?!"
"Gila! Apa sih yang dibicarakan mereka ini?! Dan
kenapa Dewi tak mau mengatakan orang yang
ditanyakan gurunya?!" Pendekar Pedang Tumpul
131 coba menduga-duga, namun tak menemukan
jawaban.
"Guru. Kalau seseorang telah mendahului dan
mendapatkan, kukira aku memang tak berjodoh!"
"Haram jadah! Kau rupanya telah pandai pula
menggurui gurumu! Larasati.... Kalau kau tetap
membisu, berarti kau memilih mati!" habis berkata
begitu Maut Mata Satu maju mendekat.
Melihat gurunya mendekat, buru-buru Dewi
Seribu Bunga angkat kepalanya dan berkata pelan.
"Guru.... Aku akan mengatakan siapa orangnya,
tapi kumohon Guru tidak akan bertindak
terhadapnya.... Aku berhutang budi padanya!"
Maut Mata Satu kernyitkan kening. "Anak ini
benar-benar berubah. Apa yang membuatnya
berubah demikian cepat? Seakan-akan dia
melindungi orang itu melebihi nyawanya sendiri.
Aneh...."
"Larasati. Kau tak usah banyak permintaan.
Katakan cepat!"
Sejenak gadis ini melirik pada gurunya.
Mulutnya bergetar tatkala dia berkata. "Pemuda
itulah orangnya!"
Saking kagetnya, jenggot dan kumis Maut Mata
Satu sampai bergerak-gerak. Satu-satunya mata
yang dimiliki mendelik besar memandang pada
Joko. Murid Pendeta Sinting sendiri bukan main
terkejutnya. Dia sekarang tahu apa yang sejak tadi
menjadi perdebatan antara murid dengan gurunya
ini.
"Tak salah iagi. Pasti yang mereka percakapkan
adalah Pedang Tumpui 131. Hem.... Aku harus
mempertahankannya kalau orang tua ini
bertingkah macam-macami" kata Joko daiam hati.
Tangan kanannya segera bergerak meraba
pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul
131.
Tiba-tiba Maut Mata Satu melompat ke depan.
"Jangan berdusta padaku. Katakan siapa dirimu
dan apakah benar kau telah mendapatkan Pedang
Tumpui 131!"
"Guru...," seru Dewi Seribu Bunga seraya
balikkan tubuh dan memandang berganti-ganti
pada Joko dan gurunya.
"Larasati! Kalau mulutmu tak bisa diam, jangan
menyesal jika kurobek-robek!" bentak Maut Mata
Satu tanpa berpaling.
Merasa tak ada gunanya lagi berkelit, akhirnya
Pendekar Pedang Tumpui 131 berkata.
"Orang Tua. Namaku Joko Sableng. Aku memang
telah mendapatkan Pedang Tumpui 131...."
"Bagus! Aku tak akan banyak bicara lagi.
Serahkan pedang itu padaku!"
"Sayang. Kalau itu yang kau minta, aku tak
dapat memenuhinya!"
"Anak Muda. Kuingatkan padamu, hari-hari
selanjutnya masih sangat panjang dibanding
dengan hari-hari yang telah kau lewati.
Kenikmatan tentunya masih sedikit yang kau
enyam. Masih banyak kesenangan yang belum
sempat kau nikmati. Dan kau tak akan merasakan
kenikmatan itu kalau tak menyerahkan pedang
itu!"
"Heh. Apa hubungannya antara pedang dan
kenimatan?!"
"Kau akan menemui ajal dahulu sebelum
merasakan kenikmatan jika tak memberikan
pedang itu pada ku!"
"Hem.... Begitu? Bagaimana kaiau aku tak
menginginkan kenikmatan itu?!"
Maut Mata Satu terdiam beberapa lama sebelum
akhirnya berkata kembali.
"Kalau kau memang tak menginginkan, akan
kuantar kau secepatnya!"
"Guru...," teriak Dewi Seribu Bunga sambil
melompat menghalang-halangi gurunya. "Dia telah
menolong menyelamatkan jiwaku. Kuharap kau
mengerti...."
Plaaakkk!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Dewi
Seribu Bunga, membuat gadis itu terhuyung-
huyung seraya memegangi pipinya yang telah
berubah menjadi merah.
"Sekali lagi kau berani bicara, aku pun tak segan
membuatmu menjadi mayat. Kau dengar?"
Dewi Seribu Bunga tak menyahut. Dia
memandangi gurunya dengan pandangan tak
percaya. Dia tadinya mengira Maut Mata Satu tidak
akan bertindak meminta pedang itu mengingat dia
diselamatkan oleh Joko Sableng. Namun
dugaannya ternyata meleset. Tapi dia tak bisa
berbuat banyak. Gadis ini menjadi serba salah.
satu pihak harus berhadapan dengan gurunya, ya
bagaimanapun jahatnya, telah menurunkan ilmu
dan mendidiknya selama bertahun-tahun. Di pihak
lain, dia mengkhawatirkan Joko. Karena meski dia
telah, tahu ilmu yang dimiliki Joko, namun dia
masih ragu jika bentrok dengan gurunya.
Ditunggu agak lama Pendekar 131 tak juga
memberikan apa yang diminta, Maut Mata Satu
habis kesabaran.
"Anak tak tahu diuntung. Kau akan merasakan
akibat ulahmu!"
Maut Mata Satu maju satu langkah. Kedua
tangannya disentakkan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar membersit keluar dari kedua
tangannya. Di tengah jalan sinar itu pecah lalu
muncrat menjadi puluhan bunga-bunga api yang
membawa hawa panas dan keluarkan suara
menggemuruh! Di lain kejap angin deras
menyusuli.
Mendapati serangan ganas, Pendekar Pedang
Tumpul 131 tak berani berlaku ayal. Murid
Pendeta Sinting ini cepat pula dorong kedua
tangannya.
Seberkas sinar kuning keperakan menyambar
keluar. Pada saat yang sama suasana di tempat itu
berubah menjadi semburat warna kuning dan
panas.
Bunga-bunga api langsung meletup dan padam
begitu terhajar oleh pukuian Joko. Namun murid
Pendeta Sinting Ini terkesiap tatkala tiba-tiba di
depannya menghampar angin deras laksana
gelombang. Tubuhnya terasa kesemutan, dadanya
sesak. Di lain saat, sosoknya telah mencelat mental
ke belakang lalu terjerembab di tanah. Mungkin
karena derasnya, tanah di mana dia terjerembab
kontan membentuk kubangan menganga!
Di seberang, Maut Mata Satu hanya terjajar
beberapa langkah ke belakang. Namun iaki-iaki
berusia lanjut ini langsung berubah parasnya. Dia
merasakan sekujur tubuhnya panas laksana
dipanggang bara api. Dada berdebar keras.
Sebelum kedua kakinya goyah, tokoh rimba
persilatan yang sangat ditakuti ini segera kerahkan
tenaga dalamnya hingga huyungan tubuhnya
terhenti.
"Pukulan 'Lembur Kuning'! Apa hubungannya
anak ini dengan keparat Pendata Sinting?!" gumam
Maut Mata Satu seraya usap-usap dadanya. Lalu
melangkah ke arah Joko dengan senyum seringai.
Yang paling cemas melihat keadaan Joko Sableng
adalah Dewi Seribu Bunga. Wajah gadis ini tampak
pucat. Mulutnya membuka hendak memperingati
Joko agar melarikan diri menghindar. Namun tiada
suara yang terdengar dari mulutnya.
"Kalau kau menuruti kata-kataku, tak akan
mengalami kematian semasa masih muda!" ujar
Maut Mata Satu seraya terus melangkah dan
memandang tajam pada Joko yang berusaha
bangkit.
Mendadak Maut Matu Satu hentikan langkahnya
dan serta-merta berseru geram tatkala dilihatnya
kedua tangan Pendekar 131 telah berubah menjadi
kuning keperakan. Dia maklum jika lawan akan
segera lepaskan pukulan.
Belum lenyap gema seruan Maut Mata Satu,
hawa panas dan hamparan warna kuning telah
melingkupi tempat itu. Bersamaan dengan itu, dua
berkas sinar kuning bercahaya melesat deras ke
arahnya!
Seraya melompat mundur, Maut Mata Satu
hantamkan kedua tangannya kembali.
Wuuuttt!
Gelombang sinar hitam menderu dahsyat. Tanah
dan pohon serta semak belukar di sekitar tempat
itu bergetar sebagian langsung tumbang
mengeluarkan suara berdebam. Daun dan tanah
berhamburan menutupi pemandangan. Sekejap
kemudian terdengar ledakan keras tatkala dua
pukulan mengandung tenaga dalam itu bersatu di
udara.
Saat keadaan telah sirap, Maut Mata Satu telah
terduduk dua tombak dari tempatnya semula.
Pakaian yang dikenakan telah hangus dan dari
julaian jenggotnya yang lebat tampak menetes
darah, pertanda dari mulutnya yang tertutup
kumis telah mengeluarkan darah. Tampang kakek
ini pias laksana tak dialiri darah sama sekali. Dan
mata satu-satunya membeliak tatkaia dia dapatkan
kedua tangannya melepuh merah dan panas bukan
alang kepalang.
Murid Pendeta Sinting terlihat terkapar sepuluh
tombak di seberang. Diam tak bergerak-gerak.
Hanya deburan dadanya tampak turun naik
dengan mulut keluarkan erangan pelan. Mulut dan
hidungnya mengeluarkan darah.
Melihat Pendekar Pedang Tumpui 131 roboh tak
bergerak, Dewi Seribu Bunga yang tadinya
menjauh untuk menghindar dari sapuan pukulan
yang sedang bentrok segera menghambur ke
depan. Tapi langkahnya tertahan ketika bayangan
Maut Mata Satu telah terlebih dahulu berkelebat
dan berdiri empat langkah di depan Joko.
Pendekar Pedang Tumpul 131 cepat beringsut
menggeser tubuhnya ke atas lalu bergerak duduk.
Tangan kanannya meraba pinggang di mana
Pedang Tumpui 131 tersimpan.
"Terpaksa aku menggunakannya. Kalau tidak
nyawaku mungkin tak akan selamat...," Joko
segera cabut pedang dari sarungnya di balik
pakaiannya.
Seberkas sinar kuning segera memancar. Maut
Mata Satu mendelik tak berkedip. Kumisnya
bergerak-gerak.
"Itu pedang yang kuimpikan!" hardik Maut Mata
Satu. "Lekas serahkan pedang itu!"
Joko Sableng menatapnya dingin. Tangannya
bergerak mengangkat pedang tinggi-tinggi.
Sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang
Melihat hal demikian, Maut Mata Satu tertawa
pajang.
"Wajahmu berubah. Tanganmu bergetar. Aku tak
bisa kau bodohi. Sebenarnya kau sudah tak bisa
kerahkan tenaga dalam!"
Pendekar Pedang Tumpul 131 merinding sendiri
karena lawan telah tahu keadaannya. Murid
Pendeta Sinting ini mengangkat tangan dan
menarik tangan satunya ke belakang untuk
menunjukkan bahwa dirinya masih sanggup
melepaskan pukulan, padahal dia menutupi
keadaannya yang sebenarnya. Dan dia jadi
melengak ketika kakek di hadapannya telah
mengetahui tipu muslihatnya.
"Sialan! Dia tak dapat dikelabui!" rutuknya
seraya tersenyum kecut.
Maut Mata Satu mendengus. Meski dia tahu
bahwa lawan belum bisa kerahkan tenaga
dalamnya secara penuh karena telah terluka
dalam, namun dia tak berani bertindak ceroboh.
Pedang di tangan kanan lawan masih merupakan
ancaman yang tidak main-main. Hingga dia tak
segera maju untuk merebut pedang yang telah
sekian puluh tahun diimpi-impikannya. Sebaliknya
disurutkan kaki satu tindak dengan kedua tangan
saling digosokkan.
"Baik. Rupanya kau minta aku mengambil
pedang dan tubuhmu yang telah jadi bangkai!"
Habis berkata begitu, laki-laki bermata satu ini
angkat kedua tangannya. Di hadapannya Joko
memperhatikan dengan kuduk berdiri. Keringat
dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Celaka! Apa riwayatku hanya sampai di sini?!"
Maut Mata Satu membentak dengan sentakkan
kedua tangannya. Namun bersamaan dengan itu
gelombang angin dahsyat datang menderu dari
arah samping dan mengarah pada Maut Mata Satu,
membuatnya melompat mundur selamatkan diri
lalu bergerak ke samping seraya berseru kaget.
Gelombang sinar hitam yang melesat keluar dari
kedua tangan Maut Mata Satu terus melarik ke
depan dengan dahsyatnya. Namun karena
tubuhnya bergerak mundur ke samping, pukulan
yang dilepaskan untuk menghajar Pendekar
Pedang Tumpul 131 menyamping tak mengenai
sasaran!
"Keparat jahanam! Siapa main gila ini, hah?!"
teriak Maut Mata Satu dengan dagu terangkat dan
mata mendelik merah.
Belum lenyap teriakan Maut Mata Satu,
terdengar suara tawa mengekeh panjang. Di lain
kejap, sesosok bayangan berkelebat dan berdiri
tegak menghalang-halangi antara Maut Mata Satu
dan Joko Sableng!
***
DELAPAN
MATA satu-satunya milik Maut Mata Satu
bergerak liar memandang beringas pada
sosok hadapannya. Sosok ini adalah
seorang perempuan. Meski tidak muda, namun
paras wajahnya cantik jelita. Rambutnya panjang
dengan bulu mata lentik. Sepasang matanya bagus
dan bibir merah menyala. Dia mengenakan
pakaian ketat warna biru yang bagian dadanya
dibuat rendah hingga payudaranya setengah
menyembul. Putih membusung dan kencang
menantang.
Tiba-tiba Maut Mata Satu berseru lantang.
"Ratu Pemikat! Kau rupanya. Hem.... Kita
memang sahabat lama, namun untuk urusan ini
kuperingatkan agar kau tak ikut campur tangan!
Lebih dari itu kau harus segera tinggalkan tempat
ini!"
Si perempuan berwajah cantik dan bukan lain
memang Ratu Pemikat adanya keluarkan tawa
panjang "Meski kita sudah lama tak jumpa
nyatanya kau masih bisa mengenaliku, Maut Mata
Satu! Tapi aku sedih mendengar ucapanmu tadi."
"Sedih? Apa maksudmu...?!"
"Aku sedih karena tak dapat memenuhi apa yang
kau minta! Aku punya kepentingan di sini!" habis
berkata begitu, perempuan Ini berpaling pada Joko
yang ada di belakangnya. Sepasang mata bulat
perempuan membesar dengan senyum
menyungging. Namun dadanya berdebar keras.
Bukan karena melihat pada Joko, melainkan pada
tangan kanan Joko yang masih memegang Pedang
Tumpul 131. Sesaat kemudian, matanya
memperhatikan Joko dari rambut sampai kaki.
"Seorang pemuda berparas tampan. Tubuh
tegap. Rambut gondrong sedikit acak-acakan.
Hem.... Sesuai dengan keterangan Bayangan Setan.
Dan pedang itu memang berada di tangannya....
Aku harus dapat merebutnya walau harus
bertarung dulu dengan Maut Mata Satu. Aku
yakin, si mata satu itu pasti tak akan tinggal
diam!"
Murid Pendeta Sinting yang semula merasa
gembira karena muncul orang yang
menyelamatkan jiwanya tiba-tiba tersirap dengan
dahi berkerut ketika Ratu Pemikat berpaling
padanya.
"Heran...," gumam Joko Sableng dalam hati.
"Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan ini.
Tapi di mana...?" Joko memperhatikan lebih
seksama. "Benar. Aku pernah melihatnya. Sayang
aku tak dapat mengingatnya di mana dan kapan!
Hem.... Parasnya cantik, tubuhnya bagus, dan
dadanya...."
Di seberang, Dewi Seribu Bunga diam-diam juga
bersyukur karena Joko telah diselamatkan
seseorang. Namun kelegaan dada gadis ini hanya
sesaat. Ketika dilihatnya sang penolong berbalik
dan memandang Pendekar Pedang Tumpul 131
dengan pandangan aneh, sementara Joko sendiri
balas memandang, dada gadis ini berdebar-debar.
Dia sendiri tak tahu, kenapa hal itu terjadi. Yang
pasti dia tak senang dengan pandangan si
perempuan berparas cantik pada Joko!
"Ratu Pemikat!" Maut Mata Satu berkata. "Kau
berkata punya kepentingan. Kepentingan apa?!"
"Selama dunia masih terkembang. Selama rimba
persilatan masih riuh rendah. Hanya orang tak
waras jika tak menginginkan senjata pada pemuda
Itu!"
Maut Mata Satu tidak terkejut mendengar ucap
Ratu Pemikat. Karena ia sebelumnya telah
menduga apa kepentingan sebenarnya perempuan
berdandan seronok ini. Namun lain halnya dengan
Dewi Seribu Bunga lebih-lebih Joko Sableng.
Malah karena terkejutnya, Pendekar Pedang
Tumpui 131 semakin kencang memegang gagang
pedang dan buru-buru masukkan pedang ke
sarungnya di balik pakaian. Lalu perlahan-lahan
coba kerahkan tenaga dalamnya.
"Sial benar nasibku hari ini. Yang satu belum
selesai, satu lagi telah menyusuli"
Lain yang dibatin murid Pendeta Sinting, lain
yang dibatin murid Maut Mata Satu. "Kalau
perempuan itu sampai berulah macam-macam
terhadap Joko, aku tak akan tinggal diam!"
Di hadapan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
keluarkan dengusan keras. Lalu berucap dingin.
"Dulu kita bersahabat. Kita sama-sama satu
golongan. Apakah hal itu akan rusak gara-gara
perkara ini?! Harap kau berpikir dua kali. Juga
perlu kau pertimbangkan, siapa yang akan kau
hadapi!"
Ratu Pemikat keluarkan tawa mengekeh hingga
dadanya bergerak turun naik. Kepalanya lalu
tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapannya.
"Maut Mata Satu. Sahabat memang perlu. Tapi
tujuan adalah segala-galanya! Kalau perlu, demi
tujuan sahabat harus disingkirkan!" Ratu Pemikat
lurus kepalanya ke arah Maut Mata Satu. "Aku
tahu siapa yang akan kuhadapi. Kau tak usah
memberi pertimbangan!"
"Begitu? Berarti kau ingin mati di tanganku!"
bentak Maut Mata Satu seraya melompat ke depan.
Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan sementara
kedua tangannya disentakkan ke bawah. Ratu
Pemikat cepat angkat kedua tangannya menyilang
di depan dada. Menyangka lawan akan menghajar
dengan tangan, perempuan ini pun rundukkan
sedikit kepalanya.
Namun dugaan Ratu Pemikat meleset. Maut
Mata satu tiba-tiba putar tubuhnya. Karena waktu
doyongkan tubuh ke depan tadi kedua tangannya
menyentak ke bawah, membuat kakinya amblas
masuk sebatas mata kaki ke dalam tanah.
Mendadak, kaki kanannya diangkat dan ketika
tubuhnya berbalik menghadap Ratu Pemikat, kaki
kanannya telah menggebrak ke depan!
Ratu Pemikat terperangah. Dia hanya dapat
merasakan deruan angin keras. Lalu melihat
tendangan kaki Maut Mata Satu telah berada di
depan matanya! Perempuan ini cepat sentakkan
kedua tangannya sekaligus ke bawah menghadang
tendangan lawan yang sengaja diarahkan ke
selangkangannya! Namun ternyata tendangan kaki
itu lebih cepat datangnya.
Brettt! Bukkk!
Ratu Pemikat terpekik keras. Sosoknya terjajar
sampai lima langkah ke belakang. Untung
perempuan ini masih sempat sorongkan tubuhnya
ke samping saat tendangan menghajar, hingga
tendangan itu hanya menghantam pahanya. Kain
bagian pahanya langsung robek dan kulit paha di
baliknya membiru. Perempuan cantik ini
merasakan pahanya seakan patah.
Dalam keadaan marah besar, Ratu Pemikat cepat
melesat ke depan. Kedua tangannya dihantamkan
sekaligus ke arah kepala Maut Mata Satu.
Wuuuttt!
Maut Mata Satu angkat pula kedua tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Dua seruan
tertahan segera terdengar. Ratu Pemikat cepat
surutkan langkah satu tindak. Lalu secepat kilat
kaki kiri diangkat dan dilesatkan ke arah dada
Maut Mata Satu.
Maut Mata Satu kaget. Dia berusaha mundur,
namun lesatan kaki telah menghantam lebih dulu.
Bukkk!
Laki-iakl bermata satu itu terseret hingga satu
tombak ke belakang. Parasnya yang pucat makin
pucar. Dari hidungnya terdengar dengusan keras.
Mata memandang berkilat-kilat pada Ratu Pemikat.
"Kita sudahi masalah ini sampai ada di antara
kita yang menemui ajal!" ujarnya dengan suara
keras. Kedua tangannya lantas diangkat sejajar
dada. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan
ke arah Ratu Pemikat
Wuuuttt! Wuuuttt!
Tangan kiri mengeluarkan sinar hitam, sedang
tangan kanannya membersitkan sinar berwarna-
warni. Laki-laki bermata satu ini telah lepaskan
dua pukul sakti sekaligus. Tangan kiri yang
mengeluarkan sinar hitam lepaskan pukulan
'Gelombang Kematian' sedangkan tangan kanan
lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Hingga saat
itu juga gelombang hitam yang membawa angin
dahsyat segera menderu, disusul kemudian dengan
pecahnya sinar warna-warni yang memuncratkan
puluhan bunga-bunga api yang menghamparkan
hawa panas!
Ratu Pemikat yang sudah lama bersahabat
dengan Maut Mata Satu telah tahu bagaimana
kehebatan dua pukulan sakti itu. Maka perempuan
sakti ini tak berani main-main. Dia cepat pula
hantamkan kedua tangannya.
Dari kedua tangannya langsung mengembang
sinar terang biru dan serentak menyungkup
tempat itu! Ratu cantik ini telah lepaskan pukulan
sakti 'Hamparan Langit'.
Bummm! Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat dua kali
mengguncang tempat itu. Disusul dengan beberapa
letupan dari bunga-bunga api yang ambyar dan
padam.
Joko Sableng yang berada tak jauh dari situ
tersapu mental dan terguling sampai beberapa
tombak jauhnya. Dadanya terasa sesak dan sulit
digunakan untuk bernapas hingga untuk beberapa
lama murid Pendeta Sinting ini buka mulutnya
lebar-lebar!
Dewi Seribu Bunga sendiri terdorong hingga
beberapa langkah ke belakang. Tapi karena
tempatnya berdiri agak jauh membuat gadis Ini
tidak mengalami cidera parah. Hingga dia cepat
memperhatikan ke arah Joko yang sedang terkapar
dengan mulut menganga tanpa ada suara yang
keluar. Sejak tadi, murid Maut Mata Satu ini tak
mau lepaskan perhatiannya pada murid Pendeta
Sinting. Dia khawatir, karena dia tahu jika
Pendekar Pedang Tumpul 131 telah terluka akibat
bentrokan dengan gurunya.
Mungkin tak dapat menguasai rasa khawatirnya,
Dewi Seribu Bunga beranjak melangkah ke arah di
mana Joko Sableng terkapar. Namun baru empat
langkah, Joko telah bergerak bangkit. Begitu
pemuda ini melihat Dewi Seribu Bunga hendak
mendekat ke arahnya, dia memberi isyarat dengan
gelengan kepalanya, membuat Dewi Seribu Bunga
hentikan langkah dan memandang dengan dahi
mengernyit. Setelah memperhatikan Pendekar 131
sejurus, gadis ini menghela napas dalam, lalu
melangkah lagi ke tempatnya semula dengan dada
dipenuhi beberapa perasaan.
Di bagian lain, Ratu Pemikat tampak berlutut
dengan dada bergetar dan mulut keluarkan darah.
Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan dan
sebagian mengelinting seperti rambut terbakar.
Wajahnya pucat pasi dengan mata setengah
terpejam menahan rasa sakit.
Jauh di depan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
duduk bersandar pada sebatang pohon kecil,
hingga pohon itu doyong ke belakang. Kumis dan
jenggot laki-laki itu telah berwarna kemerahan
karena terkena darah yang keluar dari hidung dan
mulutnya.
Beberapa saat berlalu. Masing-masing orang
tempat itu coba mengatasi diri masing-masing dari
luka dalam yang mendera. Orang pertama yang
mengadakan gerakan adalah Ratu Pemikat. Kepala
perempua ini sejenak terlihat bergoyang-goyang.
Lalu sepasang matanya melirik ke tempat di mana
Pendekar Pedang Tumpul 131 berada. Lalu
memandang ke depan, arah Maut Mata Satu yang
masih nampak memejamkan mata pulihkan tenaga
dalam.
"Hem.... Kesempatan ini tak akan kusia-siakan.
Mumpung keparat itu masih tenggelam...," berpikir
begitu, perempuan cantik bertubuh sintal ini
arahkan pandangannya kembali pada Joko.
Mendadak dia hentikan sepasang bahunya.
Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di
hadapan Joko yang sedang mengerahkan tenaga
dalamnya.
Tanpa keluarkan suara sedikit pun, Ratu
Pemikat langsung hantamkan kakinya ke arah
lambung Pendekar 131. Dewi Seribu Bunga
terkesiap kaget. Karena dia berada agak jauh,
maka jika lepaskan pukulan pun tak ada artinya,
sebab kaki Ratu Pemikat telah bergerak
menendang. Bahkan kalau Ratu Pemikat sempat
bisa meloloskan diri dari pukulannya, pukulan itu
bukan tak mungkin akan melesat ke arah Joko
Sableng. Hingga satu-satunya jalan yang bisa
dilakukannya adalah berseru memperingatkan
Joko.
Di lain pihak, bersamaan dengan melesatnya
tendangan Ratu Pemikat, satu-satunya mata milik
Maut Mata Satu membuka. Dan begitu melihat apa
yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, laki-iaki
bermata satu ini cepat bangkit lalu hantamkan
kedua tangannya.
"Jahanam! Jangan mimpi bisa mendahuluiku,
Perempuan Sundal!" maki Maut Mata Satu.
Ratu Pemikat mendengar makian Maut Mata
Satu, namun perempuan ini tak menghiraukan.
Tendangan terus dilakukan.
Namun sebelum kedua tangan Maut Mata Satu
menghantam, dan sebelum Dewi Seribu Bunga
berteriak memperingatkan, mendadak di tempat itu
terdengar suara tawa panjang yang kemudian
diputus mendadak laksana direnggutkan. Semua
orang di tempat itu jadi terkesiap. Pendekar 131
buka kelopak matanya. Pemuda murid Pendeta
Sinting ini tersirap darahnya melihat tendangan
telah melesat di depannya. Tak ada kesempatan
lagi baginya untuk menghindar. Namun bersamaan
dengan terhentinya suara tawa. tendangan kaki
Ratu Pemikat laksana ditahan!
Ratu Pemikat tersentak. Sebelum perempuan ini
mengetahui apa yang menahan gerakannya,
tubuhnya tiba-tiba laksana dihempos gelombang
angin dahsyat. Meski dia lipat gandakan tenaga
dalamnya namun sia-sia. Malah hempasan
gelombang itu makin deras, hingga tak lama
kemudian tubuhnya mental ke belakang sampai
dua tombak!
Pada saat bersamaan, terdengar orang berucap.
"Manusia hidup punya tujuan dan langkah.
Siapa salah melangkah dan salah menuju
hidupnya akan sia-sia. Manusia dicipta dengan
takdir sendiri-sendiri. Siapa mengingkari takdirnya
apalagi meminta sesuatu yang ditakdirkan pada
orang lain, bukan saja akan sengsara tapi akan
merana sepanjang hidupnya. Jangan salah
melangkah, jangan keliru menuju. Lebih-lebih
jangan meminta yang tidak ditakdirkan. Hidup
akan tenang. Dunia akan damai...."
Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga, Pendekar
Pedang Tumpul 131, lebih-lebih Ratu Pemikat
serentak palingkan kepala masing-masing ke arah
datangnya suara. Dari tempat masing-masing
mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut
sedang duduk bersila tanah. Mengenakan pakaian
jubah tanpa leher warna kuning. Rambutnya yang
putih dan panjang dikelabang serta dikalungkan di
lehernya. Raut wajahnya bulat dengan alis mata
saling bertaut. Bibirnya selalu bergerak gerak
mengucapkan sesuatu. Sementara kedua telapak
tangannya saling ditakupkan dan tegakkan di
bawah dagu, membuat gerakan seperti orang
menyembah.
***
SEMBILAN
MATA masing-masing orang di tempat Itu
membelalak lebar-lebar. Memperhatikan
dan mengawasi segala gerak-gerik kakek
mirip seorang biksu itu. Tiba-tiba sepasang kaki
Ratu Pemikat tersurut satu tindak. Matanya
menyipit lalu melebar, alis matanya naik sesaat.
"Manusia Dewa...! Tokoh Budha yang terjun
dalam rimba persilatan dan memiliki kepandaian
yang sulit dijajaki. Kudengar dia telah lama tak
muncul lagi, malah ada yang memberitakan bahwa
dia telah undur diri. Apa karena santernya berita
tentang pedang pusaka itu yang membuatnya
muncul lagi? Atau ada hal lain...?! Hem.... Yang
pasti, dengan kemunculannya di sini dan
mendengar ucapannya, maka urusan di sini akan
jadi panjang?!" membatin Ratu Pemikat mengenali
siapa adanya kakek yang duduk bersila.
Tak beda dengan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
pun diam-diam berkata dalam hati begitu
mengenali siapa adanya si kakek.
"Manusia Dewa! Sulit dipercaya jika manusia ini
muncul lagi. Terakhir kali aku bertemu dengannya
kira-kira dua puluh lima tahun silam. Urusan ini
tak akan selesai jika dia turut campuri. Jahanam
betul! Keadaanku tidak lagi memungkinkan jika
harus bentrok dengannya!"
Sementara Joko dan Dewi Seribu Bunga hanya
bengong karena keduanya tidak mengenai! siapa
adanya sang kakek. Namun Joko Sableng sedikit
banyak bisa menduga siapa adanya orang dari
kata-kata yang diucapkannya. Malah dengan
begitu mudahnya membuat Ratu Pemikat
terlempar jauh padahal si kakek berada jauh dari
tempatnya, murid Pendeta Sinting yakin jika kakek
itu berkepandaian sangat tinggi sekali.
"Kek..!" kata Joko seraya menjura dalam-dalam
"Terima kasih atas pertolonganmu...."
Kakek mirip biksu yang tidak lain adalah tokoh
rimba persilatan berkepandaian amat tinggi dari
kalangan Budha yang beberapa puluh tahun lalu
sempat menggegerkan kancah rimba persilatan
karena peranannya yang ikut serta membasmi
kejahatan, anggukkan kepalanya.
Melihat sikap bersahabat dari kakek yang
digelari kalangan rimba persilatan dengan julukan
Manusia Dewa, Joko bergerak melangkah
mendekat. Namun lankahnya tertahan tatkala
terdengar bentakan.
"Tetap di tempatmu! Sekali melangkah putus
nyawamu!" yang keluarkan bentakan adalah Maut
Mata Satu. Habis membentak, laki-laki mata satu
ini hadapkan mukanya pada Manusia Dewa.
"Manusia Dewa! Harap kau tak melibatkan diri
dengan turut campur urusan ini!"
"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" Ratu Pemikat
menimpali.
Manusia Dewa yang selalu dikenai sebagai tokoh
berilmu tinggi juga dikenal sebagai tokoh yang
aneh ini keluarkan tawa ngakak, membuat semua
mata di situ terbeliak, karena meski suara tawanya
keras menyakitkan gendang telinga, namun
mulutnya hanya terbuka sedikit!
Begitu suara tawanya berhenti, dia berkata.
Kedua tangannya terus menakup di bawah dagu.
"Manusia dicipta untuk menjadi pimpinan di
bumi. untuk mengelola bumi. Manusia berhak
mendiami bumi di mana dia suka. Tak seorang pun
mempunyai kuasa untuk memerintah orang lain
meninggalkan bumi yang disukai. Tahan mulut
Tahan kemarahan. Di situ akan ditemukan
keselamatan!"
"Jahanam! Kataksn saja apa maumu
sebenarnya, Manusia Dewa!" hardik Maut Mata
Satu.
Manusia Dewa palingkan wajahnya pada Maut
Mata Satu. Bibirnya yang selalu bergerak-gerak
terhenti. Kepalanya menggeleng perlahan.
"Kata-kata bukan hal yang sebenarnya, Maut
Mata Satu! Seringkaii kata-kata adalah kebalikan
apa yang di hati. Jangan pandang manusia dari
kata-katanya. Hati adalah cermin. Dari situlah
manusia diukur!"
"Keparat! Kuperingatkan sekali lagi, Manusia
Dewa! Kau tinggalkan tempat ini atau menemui
ajal ditempat ini!" bentak Maut Mata Satu marah.
"Manusia tidak dapat menentukan di tempat
mana dia mati."
Maut Mata Satu habis kesabaran. Namun diam-
diam laki-laki ini sebenarnya merasa kecut, karena
dia terluka dalam sedangkan Manusia Dewa
bukanlah tokoh sembarangan. Dia sadar, dalam
keadaan tidak terluka saja dirinya bukan
tandingan Manusia Dewa. Apa yang ada dalam
benak Maut Mata Satu tampaknya bisa dibaca oleh
Ratu Pemikat yang sebenarnya juga mempunyai
perasaan yang sama.
Ratu Pemikat tiba-tiba berkelebat dan tegak lima
langkah di samping Maut Mata Satu.
"Kita punya tujuan sama. Tapi kita juga punya
penghalang yang sama. Bagaimana kalau
sementara ini kita singkirkan dulu penghalang
itu?!" bisik Ratu Pemikat tanpa berpaling pada
Maut Mata Satu.
"Hem.... Ternyata dia keder juga menghadapi
Manusia Dewa. Tapi tawarannya adalah jalan satu-
satunya...," batin Maut Mata Satu. Lalu laki-laki
bermata satu ini melirik pada Ratu Pemikat.
"Kita dalam keadaan terluka. Manusia itu
memang terlalu tangguh jika kita hadapi sendiri-
sendiri. Aku setuju dengan usulmu!"
Belum usai ucapan Maut Mata Satu, Ratu
Pemikat telah tarik kaki kirinya ke belakang.
Tubuhnya dilorotkan. Bersamaan dengan itu kedua
tangannya dihatamkan ke arah Manusia Dewa.
Di sampingnya, melihat Ratu Pemikat telah
lepaskan pukulan, Maut Mata Satu segera pula
hantamkan kedua tangannya.
Tempat Itu mendadak berubah menjadi panas.
Hamparan sinar, biru pukulan sakti 'Hamparan
Langit’ milik Ratu Pemikat bersatu dengan bunga-
bunga api dan gelombang hitam pukulan sakti 'Api
Seribu Bunga' dan 'Gelombang Kematian' milik
Maut Mata Satu menderu dahsyat menuju
Manusia Dewa!
Melihat ganasnya pukulan, Pendekar Pedang
Tumpul 131 dan Dewi Seribu Bunga cepat-cepat
menjauh. Mereka telah merasakan bagaimana
ganasnya tiga pukulan tadi saat bentrok di udara.
Kini tiga pukulan sakti itu bersatu, mereka tak
dapat membayangkan apa jadi nya.
Di depan sana, melihat datangnya serangan yang
begitu dahsyat, Manusia Dewa sesaat jadi terkesiap
Dan sadar akan dahsyatnya pukulan, kakek yang
rambutnya dikelabang dan dikalungkan ke
lehernya ini segera angkat kedua tangannya ke
atas kepala. Kedua telapak tangannya yang saling
menakup dibuka lalu didorong perlahan ke depan
dengan telapak tangan masih berdekatan satu
sama lain.
Weeesss!
Dua gulungan cahaya melesat tanpa keluarkan
suara. Namun bersamaan dengan Itu angin
dahsyat menghempas. Gulungan cahaya berputar-
putar aneh makin lama makin besar.
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terpana
seketika tatkala melihat bunga-bunga api serta
sinar hitam dan hamparan sinar biru pukulan
mereka terhenti di tengah jalan dan sesaat
kemudian masuk dalam gulungan cahaya!
Gulungan cahaya yang telah menggulung pukulan
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terus melesat ke
atas. Kira-kira lima belas tombak di atas udara,
gulungan cahaya itu meledak keluarkan suara
menggelegar dahsyat!
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat sama-sama
keluarkan pekikan tegang. Sosok keduanya
mencelat melayang ke belakang sampai beberapa
tombak lantas sama-sama terkapar di atas tanah
dengan mulut keluarkan darah! Masing-masing
orang merasakan dadanya laksana dibakar, aliran
darah seakan tersumbat. Hingga otot-otot di
sekujur tubuh keduanya bersembulan keluar
membentuk guratan-guratan!
Di seberang, begitu ledakan terjadi, sosok
Manusia Dewa terseret deras ke belakang. Namun
tiba-tiba kakek ini membuat gerakan berputar.
Sosoknya yang masih bersila melenting ke udara
lalu perlahan-lahan turun di atas tanah dengan
tangan menakup di bawah dagu dan tetap bersila!
Tubuh kakek Ini sesaat bergoyang-goyang keras
dengan wajah pucat pasi. Namun sekejap
kemudian goyangan tubuhnya berhenti. Kedua
kelopak matanya membuka memandang pada
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat.
Sejenak Manusia Dewa menghela napas dalam-
dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak
tangan kanan.
"Manusia-manusia tak beruntung.... ilmunya
tinggi. Namun hawa nafsu yang
mengendalikannya. Hem.... Sayang sekali...,"
gumamnya seraya takupkan kembali tangan
kanannya di bawah dagu. Matanya pun perlahan-
lahan mengatup dengan mulut bergerak-gerak
perdengarkan suara tak jelas. Sekail dia gerakkan
bahunya, tubuhnya melesat ke belakang lalu
lenyap!
Sesaat setelah suasana reda, Dewi Seribu Bunga
yang sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan
Joko sapukan pandangan berkeliling. Seketika
gadis cantik ini terkejut. Joko tak ada lagi di
tempat itu! Tak percaya dengan pandangan
matanya, juga menduga Joko Sableng sembunyi di
balik semak belukar di sekitar tempat itu, gadis ini
segera berkelebat ke tempat di mana Pendekar
Pedang Tumpul 131 tadi berada. Dan hingga
matanya lelah mencari, ternyata yang dicari
memang sudah tidak ada di tempat itu.
"Ke mana dia?" gumamnya seraya menarik napas
panjang. Pandangannya lalu membentur pada
sosok gurunya yang terkapar. Buru-buru gadis ini
melangkah mendekat.
"Guru...," desis Dewi Seribu Bunga sambil
menolong gurunya bangkit.
Maut Mata Satu sejenak memandang muridnya.
Lalu beralih ke arah Ratu Pemikat yang saat itu
juga bergerak-gerak bangkit, saat dia berpaling ke
arah depan laki-laki bermata satu ini keluarkan
dengusan keras. "Jahanam itu lenyap!"
Maut Mata Satu lalu sapukan pandangannya
berkeliling. Rahangnya tiba-tiba terangkat
membatu tatkala matanya tak mendapati Joko.
"Keparat! Pemuda itu juga lenyap!" dia lalu
menoleh pada Dewi Seribu Bunga yang ada di
sampingnya.
"Ke mana lenyapnya pemuda itu?!"
Dewi Seribu Bunga menggeleng. "Waktu terjadi
bentrok pukulan aku menjauh. Begitu aku
kembali, dia sudah tak ada lagi!"
"Keparat! ini gara-gara laki-laki tua jahanam itu!"
maki Maut Mata Satu sambil hantamkan
tangannya ke tanah saking marahnya. Tanah itu
langsung melesak membentuk lubang.
"Larasati! Kita tinggalkan tempat ini!" bentak
Maut Mata Satu. Mungkin karena belum hilang
rasa jengkelnya pada sang murid hingga untuk
beberapa saat dia pandangi muridnya dengan mata
berkilat dan mulut berkomat-kamit. Dan tanpa
memandang lagi pada Dewi Seribu Bunga, Maut
Mata Satu melangkah meninggalkan tempat itu.
Dewi Seribu Bunga menghela napas dalam,
pandangannya sekali lagi diputar, takut kalau-
kalau Joko Sableng masih berada di tempat itu.
Begitu merasa bahwa Joko telah tidak ada lagi di
tempat itu, gadis ini berkelebat mengikuti gurunya.
Sesaat setelah Maut Mata Satu dan Dewi Seribu
Bunga pergi. Ratu Pemikat bangkit. Dia terhenyak
dengan sepasang mata serentak mendelik besar
tatkala mengetahui tinggal dirinya sendiri di
tempat itu. "Apa mungkin Maut Mata Satu berhasil
merebut pedang it Hem.... Tak mungkin. Aku tak
mendengar behtrok lagi. Jadi mereka pergi sendiri-
sendiri...."
Sambil memutar kepalanya perempuan berwajah
cantik ini keluarkan makian panjang pendek.
"Aku harus mencari bantuan! Manusia Dewa
harus mati di tangankul Gara-gara laknat itu,
urusan jadi berantakan begini rupa!" perempuan
ini menghela napas dalam, lalu mengusap
wajahnya yang keringatan. Tiba-tiba dia teringat
pada Joko. Dahi perempuan mengernyit dengan
kepala tengadah.
"Heran.... Aku rasa-rasanya pernah jumpa
dengan pemuda itu, setidak-tidaknya pernah
melihatnya.... Pedang Tumpul 131. Hem....
Sebelum rahasia ini terbuka, orang yang dicari-cari
yang diduga kuat menyimpan rahasia di mana
tersimpan pedang itu adalah Bandung
Bandawangsa tokoh bergelar Malaikat Lembah
Hijau...," berpikir sampai di situ tiba-tiba
perempuan' tersentak. "Astaga! Tak salah lagi.
Pemuda itu adalah anak kecil yang beberapa tahun
lalu masuk jurang bersama Bandung
Bandawangsa! Melihat bahwa dia telah berhasil
mendapatkan senjata pusaka itu, dugaanku tak
mungkin salah! Bandung Bandawangsa juga anak
itu selamat. Lalu Bandung Bandawangsa
memberikan petunjuk pada anak itu. Hem....
Bandung Bandawangsa mungkin mengambil anak
itu sebagal murid. Jika demikian, anak itu
sekarang pasti sedang menuju ke tempat Bandung
Bandawangsa di Lembah Hijau. Aku akan
secepatnya menyusui ke sana...." Sebelum bangkit,
Ratu Pemikat teringat pada seseorang yang
beberapa tahu silam mengejar Bandung
Bandawangsa dengannya.
"Hantu Makam Setan.... Sejak peristiwa pengejan
itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan manusia
menjijikkan itu. Tak ada salahnya aku meminta
bantuan padanya...," gumam sang ratu seraya
mengusap mulut dengan punggung tangannya.
"Dia pasti tak akan menolak permintaanku...."
Seperti dituturkan dalam episode 'Pesanggrahan
Keramat', seorang tokoh bergelar Malaikat Lembah
Hijau tiba-tiba diburu dan diintai oleh beberapa
tokoh rimba persilatan, karena Malaikat Lembah
Hijau diduga berat menyimpan petunjuk tentang
beradanya pedang pusaka yang sejak lama
diperebutkan. Di antara para pemburu itu adalah
Hantu Makam Setan serta Dewi Asmara. Kedua
orang ini akhirnya dapat menemukan Malaikat
Lembah Hijau. Namun Malaikat Lembah Hijau
yang tak merasa memiliki petunjuk itu
mengadakan perlawanan. Pada akhirnya Malaikat
Lembah Hijau terluka parah. Dia meloloskan diri.
Di tengah hutan dia tertolong oleh seorang anak
laki-laki. Saat anak laki-laki ini melakukan
pertolongan, Hantu Makam Setan dan Dewi
Asmara datang. Untuk menyelamatkan nyawa si
anak laki-laki, Malaikat Lembah Hijau akhirnya
membawa serta anak itu. Setelah terjadi kejar-
kejaran, pada akhirnya Bandung Bandawangsa
alias Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki
masuk ke jurang.
Peristiwa itu telah delapan tahun berlalu, namun
Ratu Pemikat masih mengingatnya, karena salah
seorang dari pengejar yang menyebabkan Malaikat
Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk jurang
adalah dirinya sendiri! Yakni Dewi Asmara.
Setelah peristiwa itu, Dewi Asmara memang
terus mengadakan penyelidikan. Karena cara yang
digunakan Dewi Asmara dengan menggaet
beberapa tokoh menggunakan kecantikan dan
tubuh, lambat laun Dewi Asmara lebih dikenal
orang dengan gelar Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perlahan-lahan bangkit. Kepalanya
tengadah memandang ke sebelah barat. Terlihat
cahaya kuning telah menyemaraki langit di
belahan barat pertanda senja telah datang dan tak
lama lagi malam akan menjelang.
"Tiga hari cukup untuk memulihkan tenaga
sebelum menemui Hantu Makam Setan...,"
desisnya seraya meninggalkan tempat itu.
***
SEPULUH
PENDEKAR 131 Joko Sableng tak mampu
berlari kencang karena dadanya masih
terasa sesak jika dibuat berlari akibat
bentrok dengan Resi Mahayana dan Maut
Mata Satu. Namun murid Pendeta Sinting ini
sedikit merasa lega karena dirinya merasa berada
pada suatu tempat yang aman, lebih dari itu dekat
dengan tempat yang dituju, yakni jurang Tiatah
Perak, tempat di mana Pendeta Sinting gurunya
berada.
Pada hamparan ilalang dekat jurang Tiatah
Perak, Joko hentikan larinya. Lalu melangkah
pelan sambil mengurut dadanya yang sesak ke
arah jajaran pohon rindang. Pantatnya segera
dihenyakkan begitu sampai pada salah satu pohon.
Bersandar punggung pada batang pohon dengan
kaki diselonjorkan. Tiba-tiba Joko ingat sesuatu, ia
meraba pinggangnya. Napasnya berhembus
panjang ketika tangannya masih merasakan
sembulan senjata di balik pakaiannya.
"Aku harus lebih berhati-hati. Siapa pun juga
saat ini pasti menginginkan senjata ini...," ingat hal
demikian, menjadikan murid Pendeta Sinting ini
teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya.
Mendadak dia melengak sendiri dengan tangan
menepuk jidat.
"Aku ingat sekarang. Perempuan bergelar Ratu
Pemikat Itu.... Ah, betul. Dia adalah perempuan
yang beberapa tahun lalu mengejar Bandung
Bandawangsa dan aku. Hingga aku dan Bandung
Bandawangsa kecebur masuk ke dalam jurang!"
Ingat hal itu dada murid Pendeta Sinting ini
berdebar keras. Sepasang matanya berkiiat-kiiat
dengan wajah membesi menahan marah.
Selagi Pendekar Pedang Tumpul 131 dilanda
kemarahan begitu rupa, tiba-tiba ilalang di depan
sana tampak bergoyang-goyang keras laksana
dilanda angin kencang.
"Di sini tak ada angin, aneh jika ilalang itu
bergoyang-goyang...." Merasa ada yang tak beres
dan mencium gelagat tak enak, murid Pendeta
Sinting sepat gulingkan tubuh lalu mendekam di
balik pohon.
Apa yang dikhawatirkan Joko Sableng tak lama
kemudian jadi kenyataan. Begitu dia mendekam di
balik pohon dan baru saja kepalanya diangkat
sedikit memandang ke arah ilalang, dari arah
belakang menderu angin kencang ke arahnya!
Seraya memaki tak karuan, Joko cepat balikkan
tubuh dan geser tubuhnya ke samping.
Praaasss!
Tanah di samping Pendekar Pedang Tumpul 131
terbongkar muncrat membentuk lubang menganga!
Pohon di mana dia bersembunyi bergoyang keras
terkena sambatan angin yang berhasil dielakkan
Joko.
"Jahanam! Tunjukkan dirimu! Jangan main
seperti pengecut!" teriak Joko Sableng seraya
bangkit dan putar kepalanya dengan mata
mendelik mencari-cari,
Bukan terdengarnya suara atau munculnya
seseorang yang menjawab teriakan marah Joko,
sebaliknya gelombang angin lebih dahsyat menderu
kembali ke arahnya! Membuat murid Pendeta
Sinting ini makin geram. Seraya berpaling ke arah
dari mana datangnya gelombang angin, Joko cepat
hantamkan kedua tangannya sambil melompat
menghindari datangnya serangan.
Rimbun dedaunan di depan sana terabas rata
dan langsung berhamburan terkena hantaman
kedua tangan Pendekar 131. Namun hingga
hamburan dedaunan itu sirap, Joko Sabieng tak
melihat adanya seseorang!
"Pengecut Jahanam! Kenapa kau masih
sembunyi tak berani unjukkan diri?!" kembali Joko
berteriak.
Belum lenyap gema teriakan Joko, dari arah
depan membersit sinar kuning membawa hawa
panas. Sekitar tempat itu mendadak berubah
semburat warna kuning.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak, dahinya
berkerut. Namun dia tak dapat berpikir panjang
karena sinar itu telah melesat dua tombak di
depannya, membuat murid Pendeta Sinting ini
mau tak mau harus menghadang serangan. Kedua
tangannya segera ditakupkan. Kedua tangan Joko
serentak berubah menjadi laksana dilapis warna
kuning keperakan. Pertanda murid Pendata Sinting
ini telah kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tak menunggu
lama, kedua tangannya segera saja didorong ke
depan.
Blaaammm!
Ledakan segera mengguncang tempat itu tatkala
sinar kuning yang melesat dari dorongan tangan
Joko menghajar sinar kuning yang datang.
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, ilalang
di depan sana semburat berhamburan. Tanahnya
beterbangan menutupi pemandangan. Tubuh Joko
Sableng terhuyung-huyung ke belakang sebelum
akhirnya jatuh terduduk. Namun sekilas sepasang
matanya menangkap berkelebatnya sesosok
bayangan melayang turun dari pohon jauh di
depan, di antara semburatan ilalang dan
hamburan tanah.
Begitu suasana sirap, Joko melihat seorang
kakek duduk bersila sepuluh langkah di depannya.
Karena tipisnya kulit yang membungkus wajahnya,
hingga kerutan wajahnya hanya merupakan garis
samar-samar. Rambutnya putih dan dibiarkan
menjulai menutupi hampir seluruh wajah dan
lehernya. Orang tua ini mengenakan jubah besar
bertambal-tambal dari beberapa kain berwarna-
warni.
Untuk beberapa lama Joko tercekat. Dan begitu
sadar siapa adanya kakek di hadapannya, pemuda
ini cepat membungkuk dalam-dalam seraya
berseru.
"Guru....!"
Si orang tua komat-kamitkan mulutnya. Lalu
mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa
bergelak. Karena tawa itu bukan tawa biasa,
namun mengandung tenaga dalam tinggi, membuat
Joko Sableng tekap kedua telinganya. Tatkaia
suara tawa sang orang tua yang bukan lain adalah
Pendeta Sinting, tokoh sakti rimba persilatan yang
berdiam di jurang Tiatah Perak berhenti, Joko
kembali menjura.
"Guru. Maafkan ucapanku yang tadi
memakimu!"
Pendeta Sinting memandang sejurus pada Joko.
"Sudah! Jangan banyak basa-basi! Aku sengaja
menghadangmu di sini sekaligus untuk
mengujimu. Tenaga dalammu masih harus terus
kau latih. Demikian juga gerakanmu! Sekarang aku
ingin tahu bagaimana dengan tugasmu!"
Joko Sabieng kemudian menuturkan
perjalanannya sejak keluar dari jurang Tiatah
Perak hingga sampai mendapatkan Pedang Tumpul
131 dan sampai di tempat itu.
“Hem.... Bagus! Coba perlihatkan pedang itu!”
perintah Pendeta Sinting setelah mendengar cerita
muridnya.
Joko keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik
pakaiannya. Lalu dia bangkit dan melangkah
mendekat. Pedang Tumpul 131 diberikan pada
gurunya.
Untuk beberapa saat lamanya Pendeta Sinting
menimang-nimang pedang di tangannya. Pedang
ditarik dari sarungnya, lalu diamati dengan
seksama. Lalu memandang pada Joko dan berkata.
"Joko. Kau harus bersyukur, hanya karena
kemurahan-Nya kau akhirnya berhasil
mendapatkan pedang ini. Namun kau juga harus
ingat, dengan keberhasilanmu mendapatkan
senjata pusaka ini, beban di pundakmu makin
berat! Selain mempertahankan senjata ini dari
gerayangan tangan-tangan kotor, kau juga dituntut
untuk dapat menggunakan senjata ini
sebagaimana mestinya!"
Pendeta Sinting masukkan kembali Pedang
Tumpul 131 dalam sarungnya lalu diberikan pada
Joko yang segera menyimpannya lagi di balik
pakaiannya.
"Hem.... Mendengar ceritamu, rupanya makin
banyak tokoh lama yang muncul kembali juga
tokoh-tokoh yang belum kukenal...," Pendeta
Sinting sejenak manggut-manggut, lalu teruskan
ucapannya.
"Melihat gelagatnya, aku menangkap adanya
sesuatu di balik munculnya tokoh-tokoh itu...."
"Apa bukan karena mereka memperebutkan
pedang ini, Guru?!" Joko coba menduga-duga.
"Kemungkinan itu bisa saja. Namun aku merasa
ada sesuatu lain daripada sekadar memburu
pedang itu. Munculnya Manusia Dewa
menandakan hai itu! Manusia Dewa adalah
seorang tokoh yang jarang sekali muncul. Kalau
dia memang muncul, pertanda akan adanya
sesuatu yang besar! Kau tahu, selain dikenai
sebagai tokoh sakti berkepandaian tinggi, dia juga
dikenal sebagai orang yang mampu melihat
sesuatu yang kemungkinan besar bakal terjadi!"
"Maksudmu, dia seorang perama!?!"
"Bukan. Peramal adalah orang yang mereka-reka
apa yang akan terjadi. Sedangkan Manusia Dewa
tidak. Dia melihat apa yang bakal terjadi dengan
tanda-tanda alam yang ada! Apa namanya aku tak
tahu.... Hanya saja, dengan kemunculannya pasti
akan segera disusul dengan munculnya tokoh-
tokoh sakti lainnya.... Hm.... Kegegeran apa lagi
yang akan mengguncang rimba persilatan ini?" ujar
Pendeta Sinting seraya menarik napas dalam tapi
lantas dia tertawa mengekeh panjang, membuat
Joko Sableng nyengir.
"Rimba persilatan memang dunia giia! Kegegeran
satu belum selesai, kegegeran lebih besar sudah
menghadangi. Hingga tak heran jika orang-
orangnya banyak yang mirip seperti orang giia!
Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting kembali tertawa
bergelak-gelak. Namun tiba-tiba tawanya
dipenggal. Kakek sakti dari jurang Tiatah Perak ini
dongakkan kepala. Rambut yang menutupi
telinganya bergerak-gerak pertanda telinga di
baliknya mempertajam pendengaran. Tiba-tiba
kepalanya berpaling ke arah utara. "Ada seseorang
menuju tempat ini...," desisnya seraya kerutkan
dahi. Joko jadi ikut-ikutan berpaling ke arah mana
sang guru memandang.
Belum sampai di antara keduanya ada yang
buka mulut iagi, kedua orang ini melihat ilalang
jauh di sebelah utara bergerak menyibak. Lalu
terlihat sesosok tubuh melayang lurus menerabas
ilalang! Anehnya, iialang yang hendak diterabas
menyibak terlebih dahulu sebelum sosok tersebut
lewat seakan membentuk jalan setapak! Bukan
hanya sampai di situ. Ternyata sosok yang
menerabas ilalang duduk bersila dengan kedua
tangan menakup di bawah dagu!
Empat tombak di depan Pendeta Sinting, sosok
yang menerbas ilalang berhenti. Perlahan-lahan
tubuhnya turun ke atas tanah dengan sikap masih
bersila dan tangan menakup di bawah dagu. Orang
ini seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat
dengan kedua alis mata saling bertaut. Bibirnya
tiada henti bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.
Rambutnya panjang dikelabang dan dikalungkan
ke lehernya. Mengenakan jubah warna kuning
tanpa leher. Orang ini bukan lain adalah tokoh
rimba persilatan yang digelari orang Manusia
Dewa!
***
SEBELAS
BEBERAPA saat lamanya Pendeta Sinting
terdiam seraya memandang tak berkedip ke
arah Manusia Dewa. Di hadapannya Joko
bergumam tak jelas mengisyaratkan bahwa
dia terkejut bercampur kagum.
Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak
dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta
Sinting. Melihat Pendeta Sinting tertawa,
mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikut-
ikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian
di tempat itu riuh rendah dengan suara tawa
bergelak-gelak, membuat Joko Sableng geleng-
geleng kepaia.
"Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara
tokoh-tokoh rimba persilatan? Berha... ha... ha...,
dulu sebelum berkata?!"
Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting
usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya.
"Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita
jumpa lagi. Rasanya sudah lama kita tak jumpa,
bagaimana? Apa kau baik-baik saja selama ini
sobatku, Manusia Dewa?"
Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan
dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik
kembali, terdengar dia berucap.
"Selama angin masih berhembus. Selama laut
masih bergelombang. Selama takdir manusia
masih menggantung di langit. Tak ada yang tak
mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan
terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini
baik-baik saja! Kau sendiri?!"
"Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku
tak mengerti maksud ucapannya. Berhadapan
macam orang begini mulutku jadi ngilu...," kata
Pendeta Sinting. Lalu guru Joko Sableng ini angkat
bicara iagi.
"Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik
saja...," sejenak Pendeta Sinting putuskan kata-
katanya. Sesaat kemudian menyambung. "Aku
sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun
tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh
datang ke sini!"
Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu
matahari sudah hampir tenggelam, namun
pantulan cahayanya masih menyeruak, dan
perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit
dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk
beberapa lama Manusia Dewa menatap bulan yang
baru muncul.
"Takdir telah membawaku ke sini. isyarat alam
menuntun pikiranku bahwa arakan awan kelam
mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap
meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya.
Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!"
Pendekar Pedang Tumpui 131 terkesiap
mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia
menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. "Hem....
Nampaknya apa yang baru saja dibicarakan
Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar kata-
kata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa...?!"
Joko berpaling pada gurunya. Yang dipandang
geleng-geieng kepala seakan menjawab apa yang
hendak ditanyakan Joko.
"Sobatku, Manusia Dewa," kata Pendeta Sinting
pada akhirnya setelah diam beberapa lama.
"Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi
sesuatu hai yang luar biasa?!"
Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap
Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap
menakup di bawah dagu.
"Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak
menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu
bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi
menunjuk ke arah pertanyaanmu. Peristiwa besar!
Tanda-tanda itu mengarah ke sana!"
Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada
sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan
bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah
membuka perdengarkan suara tawa perlahan.
"Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang
Suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi
pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa?! Apa
kau juga menangkap peristiwa besar apa yang
hendak terjadi?!"
"Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku.
Aku mungkin bisa menjawab semua
pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan
terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian,
tanda-tanda zaman sedikit banyak bisa menjawab
apa sebenarnya yang akan terjadi!"
"Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi
pusing sendiri!" rungut Pendeta Sinting yang
rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia
Dewa. Penghuni jurang Tiatah Perak ini lantas
jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka
hendak berkata, namun sebelum ucapannya
keluar, Manusia Dewa telah berujar.
"Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura
besar yang terjadi ratusan tahun silam di Pulau
Biru?!"
"Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti
yang memiliki Kitab Serat Biru itu? Memang, aku
pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu
hanya mengada-ada saja! Ternyata hingga
sekarang aku tak dengar seorang pun yang
mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita
itu lenyap!" kala Pendeta Sinting pula.
Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan
Pendeta Sinting.
"Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau
mengasingkan diri tak terjun dalam belantara
persilatan?!"
Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah
mengingat. Lalu bergumam.
"Menurut perhitunganku sudah kurang lebih
dua puluh empat tahun!"
"Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu
yang pendek. Masa selama itu telah cukup untuk
membuat suasana benar-benar berubah!"
"Maksudmu...?!"
"Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba
persilatan diramaikan dengan perburuan kaum
persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul
131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena
Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya
karena si pembawa petunjuk lenyap berpindah-
pindah, orang rimba persilatan mengarahkan
pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru,
meski dengan diam-diam juga menyelidik tentang
pedang pusaka itu!"
Pendeta Sinting dan Joko Sabieng terkejut.
"Manusia Dewa. Pedang Tumpui 131 sekarang .,"
Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.
"Aku tahu.... Pemuda di depanmu itu telah
berhasil mendapatkan pedang pusaka itu.
Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya.
Dan tak diduga jika dia orang yang dekat
denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku
mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya.
Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku
khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang
yang tidak kita inginkan...."
"Dia muridku!" sahut Pendeta Sinting.
Manusia Dewa arahkan pandangannya pada
Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan
lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. "Syukur jika
demikian. Hatiku sekarang tenteram!"
"Kembali pada Kitab Serai Biru itu...," ujar
Pendeta Sinting seakan tak sabar. "Aku rasanya
masih menyangsikan adanya!"
"Justru aku hampir yakin adanya!" tukas
Manusia Dewa. "Dan entah siapa yang memulai,
akhir-akhir ini beberapa tokoh rimba persilatan
telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan
mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah
berada di sekitar pulau!"
"Kau tahu banyak tentang kitab itu?!” tanya
Pendeta Sinting.
Manusia Dewa gelengkan kepalanya. "Tentang
kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya yang
kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut
yang pernah kudengar dari orang terpercaya, orang
sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak
jelas apa Ki Ageng telah mati atau belum. Yang
pasti suatu keanehan melekat padanya!"
"Keanahan? Keanehan apa?!"
"Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan
sebagian di dalam tanah!"
Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak
kaget mendengar keterangan Manusia Dewa.
Mereka berdua seakan tak percaya.
Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan
orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem
beberapa kali sebelum berkata.
"Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-
hentinya diselimuti beberapa keanehan yang
rasanya tak masuk akal. Namun begitulah
kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin
menyedot perhatian orang dan mengundang orang
berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu.
Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak,
semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih
mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih
daripada segala misteri di alam ini!"
"Ucapanmu benar...," desis Pendeta Sinting.
"Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan
sekarang?!"
"Manusia punya tugas mendamaikan umat.
Rimba persilatan tak akan damai jika masalah
Pulau Biru tak cepat diselesaikan!"
Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut.
"Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu.
Begitu?!"
"Aku tidak mengajak. Manusia diberi
kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa
mampu kenapa tidak digunakan?!"
Pendeta Sinting menyeringai lalu mengangguk-
angguk. Berpaling pada Joko Sabieng dan berkata.
"Kau telah dengar semua penuturannya.
Bagaimana pendapatmu?!"
Pertdekar 131 tersenyum-senyum sambil
membatin daam hati. "Aku tahu. Dia akan
melimpahkan tugas ini kepadaku...."
"Sontoloyo! Jangan cengengesan. Aku
bersungguh-sungguh!" bentak Pendeta Sinting
meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.
"Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru
itu Guru..., rasa-rasanya ucapanmu tadi
sebenarnya tidak menanyakan bagaimana
pendapatku, namun menanyakan kesiapanku!
Benar bukan?"
"Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan
ucapanku! Bagus kalau kau telah mengerti!"
gumam Pendeta Sinting. "Kau bersedia bukan?!"
"Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun
yang terjadi, aku siap melakukannya!" ujar Joko
pula.
Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta
Sinting dan muridnya berpaling.
"Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan
mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu
memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi
yang kau andalkan? ilmu...? ingat, Anak Muda. Di
atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita
menggali lubang semakin gelap yang kita lihat!"
"Kau dengar ucapannya, Sontoloyo?! Kau jangan
sombong, itu akan membawamu ke arah
kegelapan!" desis Pendeta Sinting pada Joko,
membuat Joko terpekur dan angguk-anggukkan
kepala.
"Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku
harus pergi. Jika guratan masih menggariskan,
tentu kita akan jumpa iagi...," habis berkata
demikian, tiba-tiba Manusia Dewa keluarkan suara
tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan JOKO
Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya
kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa
yang menusuk gendang telinga.
Karena suara tawa itu terus menggema tak
henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera
palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia
Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak
dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa
tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya
masih terdengar!
"Dia sudah tidak ada lagi, bukan?!" gumam
Pendeta Sinting tanpa berpaling pada Joko.
"Benar. Padahal suaranya masih terdengar
hingga sekarang!"
"Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya
memang sulit diukur!"
Sang guru lantas arahkan pandangannya pada
Joko. "Hem.... Kau memikirkan sesuatu?!"
"Aku kagum dengan ketinggian Ilmunya. Waktu
terjadi bentrok tempo hari dia hanya mendorong
kedua telapak tangannya untuk menangkis
serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat
roboh terluka dalam...."
"Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu
bukan? Hem..,. Mudah saja asalkan kau sudah
dapat membutakan sepasang mata dan mata
hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya
memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk
sampai ke sana...."
"Kenapa bisa begitu, Guru...?!"
"Selama hati masih kotor, selama mata masih
tergiur melihat paha dan dada apalagi pinggul yang
bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!"
Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk
leher. Dalam hati dia berbisik.
"Rasanya keinginan bukan saja hanya
tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan.
Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha.
Apalagi pinggul besar yang bergoyang-goyang.
He.... He….He...!"
"Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap?!” tiba-
tiba Pendeta Sinting menyentakkan lamunan Joko.
"Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku
siap, Guru!"
"Hem.... Mendengar keterangan Manusia Dewa
apa yang akan kau hadapi bukan urusan ringan!
Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik
dan tipu daya keji akan menghadangmu! Meski
matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha
mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya
pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin
jangan sampai tergadai!"
"Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru.... Aku
pamit sekarang...."
Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit
dan di kejap kemudian lenyap meninggalkan
tempat Itu.
"Mudah-mudahan Sontoloyo itu kuat
menghadapi tantangan! Hem.... Menurut Manusia
Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba
persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak
ada salahnya aku melihat-lihat dunia iuar yang
telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi
ikut-ikutan bingung...? Apakah aku memang orang
bingung? Bukan, bukan bingung, tapi sinting.
Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting tertawa sendiri,
lalu bangkit dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
DUA BELAS
BAYANGAN biru berkelebat cepat laksana
busur anak panah melewati sela-sela jajaran
pohon hutan belantara di sebelah tenggara
bukit Wono Ayu. Sampai pada ujung hutan yang
berbatasan dengan sebuah dataran luas dengan
gundukan tanah di sana-sini, bayangan biru
hentikan larinya.
Cahaya bulan yang menggantung di langit
membantu memperjelas siapa adanya sosok ini.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah
cantik jelita. Usianya kira-kira empat puluh
tahunan. Namun demikian, tubuhnya terlihat jauh
lebih muda dari usianya. Dadanya besar
menantang dengan pinggul padat menggoda.
Kulitnya putih dengan mata bulat. Rambutnya
panjang bergerai. Mengenakan pakaian warna biru
tipis dan ketat dengan bagian dada dibuat begitu
rendah, seakan ingin menampakkan sembulan
payudaranya.
Sejenak perempuan cantik yang tak lain Dewi
Asmara alias Ratu Pemikat ini menghela napas
panjang dalam-dalam. Dadanya bergerak turun
naik. Tangan kanannya lalu mengusap keringat
yang membasahi lehernya yang jenjang. Melihat
gerak-geriknya dia saat itu amat letih pertanda
baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun
keletihan itu tiba-tiba saja lenyap begitu sadar apa
yang dilihat di hadapannya! Malah tak sadar, dari
mulutnya terlontar seruan tertahan.
"Gila! Apa aku tak salah alamat?!" gumamnya
seraya beliakkan sepasang matanya tak berkedip
memandang pada dataran di depannya.
Dataran itu luasnya kira-kira delapan puluh
tombak berkeliling. Di sana sini banyak terlihat
gundukan-gundukan tanah yang panjangnya satu
setengah tombak membujur mirip gundukan
makam. Memang itu adalah dataran yang dipenuhi
dengan makam, namun anehnya mayat yang
dimakamkan di situ tidak ditimbun masuk ke
dalam gundukan. Melainkan dibiarkan berserakan
di kanan kiri gundukan tanahi. Hingga dataran itu
selain menyeramkan karena banyaknya tulang dan
tengkorak yang berserakan, bau busuk melingkupi
tempat itu!
"Gila! Bagaimana mungkin seorang anak
manusia dapat tinggal di tempat yang begini
menyeramkan dan busuk. Aku saja rasanya ingin
muntah!" desis Ratu Pemikat seraya menahan
napas.
"Seandainya tak ada masalah penting, aku ingin
cepat pergi saja!" Ratu Pemikat terus bergumam
seraya arahkan pandangannya berkeliling. Meski
saat itu malam, namun karena rembulan bersinar
terang, sepasang mata Ratu Pemikat dapat melihat
sampai ujung dataran. Tapi sekian lama
memandang rupanya dia tak menemukan apa yang
dicari di tempat itu.
"Aku tak melihat adanya sebuah tempat yang
patut dihuni. Di mana aku dapat menemukan
Hantu Makam Setan itu? Atau jangan-jangan dia
telah berpindah tempat! Atau.... Ah, lebih baik aku
mencoba berkeliling...."
Sambil membekap hidung dan telapak
tangannya, perempuan cantik bertubuh montok ini
melangkah memasuki dataran. Bulu kuduknya
merinding melihat berserakannya tulang dan
bangkai, namun perempuan ini terus melangkah
ke tengah-tengah dataran.
Sampai tengah dataran, kepalanya diputar
berkeliling. Namun baru saja kepalanya bergerak
setengah putaran, dari sebuah lubang yang hanya
samar-samar karena terlindung oleh gundukan di
kanan kirinya menderu gelombang angin dahsyat!
Mengarah pada perempuan berwajah cantik yang
tegak membelakangi lubang itu.
Meski terkesiap kaget karena tak menyangka
akan mendapat serangan, namun karena dia
sudah makan asam garam dan bertahun-tahun
malang-melintang dalam rimba persilatan,
membuatnya segera sigap dan seraya melirik dari
mana asalnya serangan, perempuan ini berkelebat
ke samping. Serangan gelap menghajar angin
setengah tombak di samping kanan Ratu Pemikat
lalu menghantam gundukan tanah makam.
Gundukan itu langsung terbongkar dan tanahnya
berhamburan! Tulang belulang di sekitar tempat
itu ikut tersapu dan kontan hancur berkeping-
keping.
"Sialan! Apakah dia...?!" desis Ratu Pemikat lalu
seraya siapkan pukulan, dia melangkah ke arah
datangnya serangan tadi. Baru saja kepalanya
melongok ke dalam lubang, dari arah belakangnya
kembali menderu angin lebih dahsyat dari yang
pertama!
"Keparat!" maki sang ratu seraya berbalik dan
buru-buru menyingkir. Mungkin karena geram,
kedua tangannya yang sudah siap lepaskan
pukulan dihantamkan ke arah sumber serangan.
Wuuuttt!
Bluuurrr!
Lubang di mana serangan tadi bersumber
langsung porak-poranda. Gundukan di sekitar
lubang pun ambyar ke udara. Bersamaan dengan
itu dari dalam lubang yang terbongkar melesat
sesosok bayangan dengan perdengarkan dengusan
keras lalu makian panjang pendek.
Ratu Pemikat tengadahkan kepala mengikuti
lesatan sang bayangan. Ketika matanya
menangkap gerakan tangan sang bayangan yang
hendak lepaskan pukulan, Ratu Pemikat segera
berseru keras.
"Hantu Makam Setan! Tahan serangan. Aku Ratu
Pemikat!"
Bayangan yang masih melayang di udara
kembali perdengarkan makian tak karuan, namun
kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan
pukulan diurungkan.
"Dia mengenaliku Hem.... Dia sebutkan diri Ratu
Pemikat. Aku dengar tentang gelar itu. Tapi ada
apa dia menggangguku? Padahal aku belum
pernah jumpa dengan yang namanya Ratu
Pemikat!" sang bayangan membatin, lalu turun dan
tegak sembilan langkah di hadapan Ratu Pemikat.
"Hem.... Memang dia!" ujar Ratu Pemikat lirih
tatkala sang bayangan tadi telah tegak di
hadapannya dan dia dapat mengenalinya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Mengenakan jubah warna merah. Parasnya
bulat besar dengan kulit amat tipis. Matanya besar
dan menjorok masuk dalam cekungan tulang yang
dalam. Alis Matanya tebal dengan rambut
disanggul ke atas. Laki-laki ini makin angker jika
orang memandang hidungnya. Karena ternyata
laki-laki ini hanya memiliki hidung separo.
Separonya hanya merupakan cekungan dalam!
Namun demikian, dari cekungan hidungnya itu
menghembus angin deras ketika dia bernapas!
Laki-laki ini bukan lain adalah dedengkot rimba
persilatan yang sangat ditakuti, yakni Hantu
Makam Setan.
Untuk beberapa saat, sepasang mata Hantu
Makam Setan memandang tak berkedip ke arah
Ratu Pemikat. Alis matanya terangkat, mulut
komat-kamit. Dadanya berdebar keras melihat
busungan dada satengah menyembul dari
perempuan di hadapannya.
"Kau!" tiba-tiba Hantu Makam Setan keluarkan
suara setelah agak lama terdiam menguasai
debaran dadanya.
Begitu Ratu Pemikat melihat Hantu Makam
Setan telah mengenalinya, perempuan ini
tersenyum.
"Bukankah kau Dewi Asmara...?"
"Tak salah!"
"Tadi kau sebutkan diri dengan Ratu Pemikat.
Jadi...," Hantu Makam Setan tak teruskan
ucapannya.
"Ratu Pemikat adalah Dewi Asmara. Tapi
sudahlah! Soal gelar tak perlu diperdebatkan. Ada
masalah lain yang lebih penting!" sahut Ratu
Pemikat seraya maju tiga langkah. Dada
perempuan ini terlihat naik turun karena sejak tadi
menahan bau busuk yang menebar di tempat itu.
Membuat Hantu Makam Setan makin
membeliakkan mata.
"Hantu Makam Setan. Kau masih ingat
pengejaran kita terhadap Malaikat Lembah Hijau
beberapa tahun silam?"
"Hemmm...," Hantu Makam Setan menggumam.
"Bangsat yang tewas masuk jurang itu?!"
"Ingatanmu masih bagus! Tapi dugaanmu salah!"
tukas Ratu Pemikat.
Hantu Makam Setan terperanjat. Sebelum d!a
berkata lagi, Ratu Pemikat telah menyambung
ucapannya.
"Ternyata Malaikat Lembah Hijau tak tewas!"
"Dari mana kau mengetahuinya? Kau jumpa
dengannya?!"
Ratu Pemikat gelengkan kepalanya. Lain ajukan
pertanyaan lagi. "Apa kau juga masih ingat anak
laki-iaki yang ikut masuk jurang bersama Malaikat
Lembah Hijau?!"
"Aku ingat! Lalu apa hubungannya?!"
"Aku menduga Malaikat Lembah Hijau masih
hidup dari anak laki-laki itu. Anak itu masih hidup
dan kini telah besar. Dia tampaknya membekal
ilmu tinggi. Labih dari itu semua, dia ternyata
berhasil mendapatkan Pedang Tumpui 131!"
Ratu Pemikat sudah menduga jika Hantu Makam
Setan akan terkejut mendengar keterangannya.
Namun dugaannya meleset. Hantu Makam Setan
tak menunjukkan rasa terkejut, membuat Ratu
Pemikat kernyitkan kening dan menduga-duga apa
sebabnya.
"Apa kau telah mendengar semua ini
sebelumnya?!" tanya Ratu Pemikat coba
menyelidik.
Hantu Makam Setan gelengkan kepala. "Sudah
hampir empat belas bulan aku menyendiri. Dan
baru malam ini aku keluar dari tempatku!"
"Kau dulu tampaknya begitu menggebu untuk
merebut pedang itu. Hal apa yang membuat kau
sekarang berubah? Pedahal pedang itu sekarang
tinggal merebutnya!" Ratu Pemikat terus mendesak
ingin tahu perubahan pada laki-laki berhidung
sebelah ini.
Hantu Makam Setan tertawa pelan namun
panjang. Seraya menatap pada dada perempuan di
hadapannya, dia berujar.
"Pedang Tumpul 131 boleh hebat. Tapi belum
tentu menang jika dibanding dengan Kitab Serat
Biru!"
"Aha.... Tampaknya kau termakan juga dengan
cerita isapan jempoi itu! Jadi itukah yang
membuatmu berubah? Dengar, Sobatku. Pedang
Tumpui 131 sudah nyata adanya. Sedangkan Kitab
Serat Biru masih teka-teki. Adakah kau memilih
yang kedua?!"
Hantu Makam Setan tertawa kembali seraya
menggeleng-geleng.
"Apakah jika tokoh-tokoh dedengkot rimba
persilatan rela menyabung satu-satunya nyawa
yang dimiliki demi sesuatu, sesuatu itu masih
teka-teki...? Tidak! Sesuatu itu pasti adanya!
Mereka yang mengatakan bahwa cerita tentang
kitab itu isapan jempol pasti bertujuan agar jalan
mereka mulus tanpa banyak orang yang terlibat!"
Mendengar ucapan Hantu Makam Setan, Ratu
Pemikat terdiam. Keyakinannya semula jika Kitab
Serat Biru cerita isapan jempol perlahan-lahan
sirna. Apalagi jika ditambah dengan kabar yang
kini terdengar santer jika para dedengkot
persilatan mulai kasak-kusuk membicarakan kitab
itu. Malah beberapa tokoh yang telah lama
menghliang kini banyak berkeliaran lagi. Di antara
yang jelas ditemuinya adalah Manusia Dewa dan
Maut Mata Satu.
"Dewi Asmara...," kata Hantu Makam Setan
menyentak lamunan sang perempuan. "Tentunya
ada maksud penting hingga kau jauh-jauh datang
ke dataran Makam Setan ini. Katakan apa
maksudmu! Atau kau hanya ingin
memberitahukan tentang telah diketemukannya
pedang itu?!"
Sesaat Ratu Pemikat berpikir. Dia sebenarnya
ingin minta bantuan setidak-tidaknya mengajak
bergabung Hantu Makam Setan untuk merebut
Pedang Tumpul 131 dan membunuh Manusia
Dewa, namun sebagai tokoh yang lama malang-
melintang dia pantang berterus terang
mengatakannya. Dia tak mau dikatakan sebagai
orang yang kurang ilmu, apalagi oleh orang satu
golongan!
Melihat Ratu Pemikat tak segera menjawab
pertanyaannya, Hantu Makam Setan segera dapat
menangkap apa yang dipikirkan perempuan itu.
Seraya menyeringai dia akhirnya berkata.
"Aku menduga kau ingin mengajakku bergabung
untuk memburu pedang itu. Benar?!"
"Karena orang yang memburu Maiaikat Lembah
Hijau hingga orang itu masuk jurang adalah kau
dan aku, maka aku pikir tak ada salahnya jika kita
menyelidik bersama-sama! Kalau sekarang ada dua
masalah besar, itu sangat kebetulan sekali. Kalau
kau menginginkan kitab itu aku akan membantu,
sebaliknya kau juga harus membantuku untuk
merebut pedang itu!"
Hantu Makam Setan kembali keluarkan tawa
bergelak.
"Aku meiihat nada ketakutan pada ucapanmu.
Mau mengatakan apa sebabnya? Karena terus
terang empat belas bulan terakhir ini aku tak tahu
perubahan dalam rimba persilatan. Biasanya,
dalam situasi berselimut begini, satu hari saja bisa
terjadi perubahan besar!"
"Hantu Makam Setan!" tiba-tiba Ratu Pemikat
berkata dengan suara agak tinggi, karena
dikatakan takut. "Aku tak pernah takut
menghadapi segaia hal! Aku punya kepandaian!
Hanya yang perlu kau ketahui, sekarang telah
muncul beberapa tokoh rimba persilatan yang
sebelumnya diduga orang tak mungkin muncul
lagi!"
"Hem.... Begitu? Berarti kegegeran besar benar-
benar akan segera terjadi. Peristiwa besar ratusan
tahun yang lalu akan terulang kembali...," gumam
Hantu Makam Setan acuh tak acuh dengan
kegeraman Ratu Pemikat.
"Hantu Makam Setan! Bagaimana? Apa kita jadi
menyelidik bersama-sama?"
"Hem.... Perempuan macam dia banyak tipu
muslihatnya. Dulu waktu mengejar Maiaikat
Lembah Hijau dia mengatakan punya dendam
dengan Malaikat Lembah Hijau. Sekarang tanpa
disadari dia membuka kedoknya sendiri jika
pengejaran itu karena ingin pedang pusaka itu.
Bergabung dengannya akan menyusahkan saja.
Apalagi urusan Kitab Serat Biru bukan masalah
main-main. Hem.... Sebenarnya dengan bergabung,
setidaknya aku bisa mencicipi tubuhnya, tapi
sementara ini Kitab Serat Biru lebih dari
segalanya!" kata Hantu Makam Setan dalam hati.
Lalu tengadahkan kepala dan berkata.
"Dalam banyak hal, kita memang punya
kepentingan sama. Tapi tidak untuk urusan Kitab
Serat Biru. Biarlah untuk masalah ini aku
menyelidik sendiri!"
"Jahanam! Dia menolak tawaranku. Atau
mungkin dia pura-pura menolak karena di balik itu
ingin...," Ratu Pemikat tak meneruskan kata
hatinya. Bibir perempuan berwajah cantik Ini
sunggingkan senyum. Laiu dia melangkah ke arah
Hantu Makam Setan dengan bibir setengah dibuka
dan mata sedikit memejam. Dadanya dibusungkan,
hingga makin menyembul!
Perempuan ini bersikeras mengajak bergabung
Hantu Makam Setan karena dia sadar, tokoh yang
bakal menghadang adalah para dedengkot rimba
persilatan yang kemampuannya tidak disangsikan
lagi.
Tiga langkah di depan Hantu Makam Setan, Ratu
Pemikat hentikan langkah. Dari sudut matanya
yang setengah memejam dia memandang lekat-
lekat pada laki-laki berhidung sebelah ini.
"Kau menolak menyelidik bersama-sama, Hantu
Makam Setan...?"
"Bededah! Dia rupanya mulai pasang perangkap.
Tapi jangan mimpi aku akan masuk jaring laba-
labanya!"
"Dewi Asmara...," bisik Hantu Makam Setan
dengan suara bergetar menindih gejolak nafsu yang
mau tak mau mendera dadanya juga melihat
tingkah perempuan di hadapannya. "Urusan di
depan begitu besar. Kalau kau mau bersenang-
senang denganku, datanglah setelah urusan ini
selesai. Aku akan membuatmu tak sempat
mengenakan pakaian selama satu purnama
penuh!"
Dada Ratu Pemikat bergerak turun naik dengan
keras. Bukan karena gejoiak nafsu meiainkan
geram mendengar kata-kata Hantu Makam Setan.
Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak
menghantam ke depan!
Wuuuttt! Wuuutit!
Namun Ratu Pemikat tersentak sendiri. Kedua
tangannya hanya menghantam angin. Karena
waktu menghantam kedua matanya setengah
memejam, perempuan ini tak tahu jika begitu
Hantu Makam Setan selesai berkata, laki-laki ini
cepat melompat ke belakang lalu masuk dalam
lubang dan lenyap seakan ditelan bumi!
Seraya memaki, Ratu Pemikat buka kedua mata-
nya. Begitu tak melihat Hantu Makam Setan,
kemarahan perempuan ini makin menggebu.
Sejenak matanya liar memandang kian kemari.
Lalu berkelebat ke arah lubang di mana Hantu
Makam Setan keluar. Perempuan ini terlihat
bimbang, karena lubang itu tampak gelap dan
berkelok.
"Tak ada gunanya kukejar masuk. Aku masih
bisa mencari orang iain untuk urusan ini. Bangsat
ini tak lama lagi pasti keluar menyelidik Kitab
Serat Biru. Hem...," Ratu Pemikat condongkan
kepalanya ke lubang. Di kejap kemudian terdengar
teriakannya.
"Hantu Makam Setan! Kau akan menyesal
karena tindakan bodohmu! Ingat! Saat kau keluar
dari lubang busuk ini, Ratu Pemikat adalah orang
pertama yang menginginkan selembar nyawamu!"
Ratu Pemikat mengharap ada sahutan dari
dalam lubang. Namun apa yang diharap tak jadi
kenyataan, membuat perempuan bertubuh sintal
ini makin marah.
"Keparat Jahanam!" bentaknya seraya menarik
kepalanya. Kemarahannya dilampiaskan pada apa
yang ada di depannya. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi. Karena di depannya adalah lubang di
mana Hantu Makam Setan masuk, lubang itu
segera dihantamnya!
Byuuurrr!
Lubang itu langsung terbongkar. Tanahnya
berhamburan ke udara dan sebagian jatuh
menimbun ke dalam lubang, hingga tatkala
suasana sirap, lubang itu lenyap berganti dengan
tanah berserakan. Sosok Rat Pemikat pun tak
tampak lagi di dataran Makam Setan itui
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar