Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE RATU PEMIKAT

JOKO SABLENG EPISODE RATU PEMIKAT

 SATU



PUNCAK bukit Sono Keling yang sunyi,

membuat suara derap langkah kuda makin

jelas hingga Pendekar Pedang Tumpul 131

terkesiap. Sepasang matanya cepat

berputar liar memperhatikan ke bawah. Kepalanya

bergerak ke samping kanan dan kiri.

Pendengarannya ditajamkan. Namun murid

Pendeta Sinting jadi makin tersekat. Karena

mendadak saja suara derap langkah-langkah kaki

kuda lenyap seolah direnggut setan! (Untuk lebih

jelasnya mengenal adegan sebelum ini, dapat

dibaca pada serial Joko Sableng dalam episode

perdana berjudul: 'Pesanggrahan Keramat').

"Aneh. Baru saja langkah-langkah kuda itu

terdengar. Tapi.... Apakah hanya telingaku yang

tertipu? Atau han...," pemuda murid Pendeta

Sinting Ini tak teruskan kata hatinya. Bulu

kuduknya meremang. Dan belum sirna rasa

gelisahnya, tiba-tiba dua bayangan hitam

berkelebat dan tahu-tahu dua orang telah tegak di

hadapannya!

Joko Sableng surutkan langkah satu tindak. Bola

matanya membesar memperhatikan dua sosok di

hadapannya. Di sebelah kanan adalah seorang

laki-laki berusia lanjut. Mukanya cekung hitam

dengan sepasang mata sipit. Rambutnya panjang

menjulai sampai punggung dan sebagian menutupi

wajahnya. Mulutnya lebar dan tak henti-hentinya

komat-kamit. Mengenakan pakaian panjang berupa

jubah toga warna hitam. Sedangkan orang di

sebelah kiri adalah laki-laki setengah baya.

Parasnya keras dengan mata melotot besar.

Rambutnya dipotong pendek dan tampak kaku


seperti ijuk. Laki-laki Ini mengenakan baju warna

gelap.

Sejenak kedua laki-laki ini saling pandang satu

sama lain. Lalu serentak arahkan pandangannya

pada Joko Sableng. Namun keduanya masih tak

buka mulut. Sebaliknya laki-laki yang mengenakan

jubah hitam sorongkan tubuhnya ke kiri. Lalu

berbisik.

"Dandang Wulung. Kau kenal manusia Ini?"

Laki-laki yang mengenakan baju biru gelap dan

di panggil dengan Dandang Wulung menyeringai.

Lalu dengan mengawasi Joko dari atas hingga

bawah, kepalanya menggeleng.

"Sawung Rono. Kita tak perlu tahu siapa adanya

manusia ini. Jikalau dia di tempat ini, pasti

tujuannya sama dengan kitai Dia harus segera

disingkirkan!"

Laki-laki berusia lanjut yang dipanggil dengan

Sawung Rono tertawa pendek. Tiba-tiba sepasang

matanya yang sipit membuka lebar. Mulutnya

makin cepat berkomat-kamit. Tubuhnya sedikit

bergetar. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar

dari mulutnya keluar gumaman pelan.

"Tak dapat kupercaya...."

Dandang Wulung berpaling. Melihat perubahan

pada wajah Sawung Rono, dia kerutkan dahi.

"Ada apa?! Apa yang tak kau percaya?!"

Entah karena masih tak percaya dengan apa

yang dilihat atau karena tak mendengar

pertanyaan, Sawung Rono tak segera menjawab.

Sebaliknya sepasang matanya memandang lurus

ke depan, lalu menebar ke sekeliling.

"Puncak bukit Ini masih sama seperti satu tahun

silam. Dan aku tidak buta. Aku melihat makam itu!

Tapi kemana sekarang makam itu?!"


"Dandang Wulung. Ada yang tak beres di sini!"

bisik Sawung Rono dengan suara serak.

"Sialan! Lekas katakan apa sebenarnya yang

terjadi!" hardik Dandang Wulung sedikit geram.

Karena Sawung Rono tidak segera

memberitahukan apa yang ada dalam benaknya.

"Makam Itu tidak ada! Padahal kita ada di

tempat ynng tidak salah!" kata Sawung Rono pada

akhirnya meski dengan mendengus keras karena

dirinya dlhardik demikian rupa.

Mendengar ucapan Sawung Rono, sepasang mata

Dandang Wulung mendelik angker. Lalu menebar

menyapu ke sekitar puncak bukit. Meski dia belum

pernah ke puncak bukit Sono Keling, namun

mendengar cerita yang berhasil diserapnya, di

puncak bukit Sono Keling memang terdapat

sebuah makam yang disebut orang Pesanggrahan

Keramat.

"Jangan-jangan kita terlambat!" desis Dandang

Wulung begitu matanya tidak melihat sebuah

makam sepertl yang pernah didengarnya.

"Bukan hanya terlambat, tapi seseorang telah

mendahului kita dan mendapatkan pedang pusaka

itu! Lalu meratakan makam untuk mengelabui

orang!" sahut Sawung Rono seraya memperhatikan

lagi pada murid Pendekar Sinting.

Untuk kali kedua, dahi laki-laki berwajah cekung

hitam Ini berkerut. Dalam hati diam-diam dia

berkata.

"Hm.... Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi

pakaian pemuda Ini tampak bercak-bercak tanah.

Kulitnya pun kotor. Mungkin saja...."

Niat pertama yang tak ingin mengetahui siapa

adanya si pemuda sirna, berubah menjadi curiga.

Seraya menyeringai dia membentak garang.


"Manusia! Siapa kau?!"

"Sebutkan juga siapa gelarmu!" sambung

Dandang Wulung yang ikut curiga.

Di depan sana, Pendekar Pedang Tumpul 131

sunggingkan senyum meski dalam hati sedikit

kecut. Karena baru pertama kali ini berhadapan

dengan orang yang lagaknya sangat tidak

bersahabat. Dan diam-diam pula dia dapat

menduga apa tujuan dari dua orang dihadapannya.

"Mereka pasti menginginkan pedang tumpul...."

Berpikir sampai di situ, Joko Sableng meraba

pakaiannya di mana tersimpan Pedang Tumpul

131.

"Aku Joko Sablengi Kalian siapa?!"

Sawung Rono keluarkan gerengan keras.

Sementara Dandang Wulung mendengus. Kedua

orang ini saling pandang. Tiba-tiba Sawung Rono

sentakkan kepalanya tengadah memandangi bulan

yang makin tersuruk ke barat. Seraya usap-usap

dadanya dia berseru.

"Sobatku, aku curiga dengan manusia Ini. Kita

telah berjanji akan menyingkirkan siapa saja yang

menghalangi! Sebelum kita korek mulutnya ada

baiknya kau katakan siapa adanya kita!"

Dandang Wulung gosok-gosokkan kedua

tangannya. Lalu berteriak keras.

"Buka telinga lebar-lebar! Aku dikenal orang

dengan julukan Bayangan Setan. Sobatku ini

bergelar Bayangan Ibllsl" sejenak Dandang Wulung

alias Bayangan Setan hentikan ucapannya, lalu

menyambung.

"Malam sudah hampir habis. Aku tak punya

waktu banyak. Jawab pertanyaanku atau kau

pulang tanpa kepala!"


Meski mulai agak geram, Joko tersenyum lebar.

Dia memang belum pernah dengar tentang siapa

manusia yang bergelar Bayangan Setan dan

Bayangan Iblis. Namun dari tampang dan cara

mereka bicara, murid Pendeta Sinting ini telah

dapat mengira-ngira siapa adanya dua orang itu.

"Kita rasanya belum pernah kenal. Tapi tak

apalah. Lekas katakan apa yang ingin kalian

tanyakan! Tapi jangan memaksaku mengatakan

apa yang tidak kuketahui!"

Pelipis kanan kiri Bayangan Setan bergerak-

gerak. Rahangnya terangkat dengan mata makin

melotot.

“Apa yang kau kerjakan di tempat inl?!"

"Hem.... Aku tersesat. Apa kalian juga tersesat

seperti diriku?!" Joko Sableng balik ajukan tanya.

Sementara sepasang matanya melirik pada Sawung

Rono yang melangkah mengitari bukit. Dari mulut

laki-laki bergelar Bayangan Iblis Ini tak henti-

hentinya terdengar umpatan dan seruan tak

percaya seraya geleng-gelengkan kepala.

Bayangan Setan tidak segera menjawab

pertanyaan Joko. Sebaliknya laki-laki setengah

baya ini mengawasi gerak-gerik Bayangan Iblis

dengan kening mengernyit.

"Bagaimana?!" tanya Bayangan Setan begitu

Bayangan Iblis telah berada di sampingnya.

Bayangan Iblis gelengkan kepalanya. Mulutnya

yang komat-kamit terhenti. "Hampir tak dapat

kupercaya. Makam itu benar-benar musnah!

Bekasnya pun tak terlihat! Orang yang

memusnahkan makam itu betul-betul

berpengalaman.... Tapi tak ada salahnya kita

geledah manusia itu! Siapa tahu dia yang


melakukan semua ini! Lihat. Pakaian dan

tubuhnya kotor oleh tanah!"

Mendengar ucapan Bayangan Iblis, Bayangan

Setan manggut-manggut. Di depan sana, Joko

Sableng berpaling sembunyikan perubahan air

mukanya.

"He! Aku tahu, kau berkata dusta! Dan kau akan

tahu akibatnya berani berkata dusta pada

Bayangan Setan dan Bayangan Iblis!" ujar

Bayangan Setan seraya melangkah dua tindak ke

depan. Matanya terus memperhatikan pakaian dan

tubuh Joko yang memang kotor oleh bercak-bercak

tanah.

"Kalian tidak mempercayai aku, itu terserah

pada kalian! Yang pasti aku telah menjawab apa

adanya! Aku harus pergi sekarang," kata Pendekar

131 seraya melangkah hendak meninggalkan

puncak bukit.

Bayangan Iblis komat-kamitkan mulutnya

dangan keras hingga terdengar desisan beberapa

kali. Kepalanya digelengkan ke kanan kiri. "Tidak

semudah itu kau bisa meninggalkan tempat Ini,

Bocah!" si kakek berambut panjang ini lantas

melangkah mendekati Joko yang urungkan

niatnya.

"Ingatanku masih jernih. Setahun silam, aku

melihat makam di sini. Sekarang makam itu

lenyap. Sedangkan pakaian dan tubuhmu kotor

oleh tanah. Padahal tidak mungkin kau tersesat

dan bergulung-gulung di tanah ini!"

"Kau mencurigai aku melenyapkan makan itu?!"

tanya Joko seraya memandang tajam pada

Bayangan Iblis yang terus melangkah mendekat.

"Terserah kau katakan apa namanya. Namun

aku akan menggeledahmu!" ujar Bayangan Iblis


seraya selinapkan tangan kanan ke balik jubah

hitamnya. Ketika tangan itu ditarik kembali

tampak sebuah tongkat kecil berwarna hitam.

Murid Pendeta Sinting segera menangkap

bahaya. Seraya mundur satu langkah, dia berkata.

"Orang Tua. Tunggu! Apa yang hendak kau

lakukan?!"

"Manusia Keparat! Kau telah dengar kata-

kataku. Aku akan menggeledahmu!" sambil

berkata, Bayangan Iblis putar-putar tongkat di

tangan kanannya. Terdengar deru angin keras.

Tongkat kecil itu laksana lenyap berganti menjadi

bayang-bayang. Jelas jika tongkat itu digerakkan

dengan tenaga dalam kuat.

"Orang Tua! Tindakanmu sudah melewati batas.

Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk

menjawab pertanyaan. Namun rupanya kau minta

lebih yang tak bisa kupenuhi!"

Bayangan Iblis menyeringai. "Kalau kau tak mau

digeledah, terpaksa kau harus berhadapan dengan

maut!"

Habis berkata demikian. Bayangan Iblis

melompat ke depan. Tongkat di tangan kanannya

disentakkan. Bayangan hitam segera melesat

dengan keluarkan suara menderu keras. Mengarah

pada perut Joko Sableng.

Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak kaget,

dan buru-buru selamatkan diri dari sambaran

tongkat dengan membuang diri ke arah samping.

Hingga tongkat kecil itu lewat satu jengkal di

samping kanannya menghantam tempat kosong.

Bayangan Iblis kancingkan mulut rapat-rapat.

Dia tak menduga sama sekail jika pemuda di

hadapannya begitu mudah mengelakkan sambaran

tongkatnya. Padahal dia sudah memastikan jika


perut lawan akan segera terhantam tongkatnya

lalu roboh dengan darah mengucur deras!

"Hem.... Rupanya kau punya simpanan sedikit

ilmu. Aku ingin tahu sampai di mana Ilmumu!"

seraya berujar demikian, sepasang matanya yang

sipit melirik pada Bayangan Setan yang tegak

mengawasi.

"Ucapan Bayangan Iblis benar. Pemuda ini

menyimpan Ilmu. Tapi sebaiknya aku menunggu.

Berhasil mengelak dari serangan pertama bukan

jaminan bisa menghindar dari jurus berikutnya...,"

membatin Bayangan Setan. Lalu tanpa

memandang pada Bayangan Iblis yang melirik ke

arahnya dia berkata.

"Sobatku Bayangan Iblis. Cepat selesaikan

manusia itu! Waktu kita tidak banyak. Kita harus

segera menyelidik, kalau perlu kita aduk-aduk

tanah di puncak bukit ini !"

Meski dadanya panas mendengar kata-kata

Bayangan Setan yang nadanya memerintah itu,

namun Bayangan Iblis segera berpaling pada Joko

dan tanpa berkata lagi dia melesat ke depan.

Wuuuttt! Seeettt!

Bayangan hitam yang keluarkan suara menderu

melesat ke arah kepala Pendekar 131, sementara

serangkum angin dahsyat segera melesat

menyusuli. Bayangan hitam adalah tongkat hitam

si kakek, sedangkan serangkum angin dahsyat

keluar dari tangan kiri nya.

Melihat serangan beruntun, Joko Sableng tak

tinggal diam. Selain harus menyelamatkan dirinya,

dia juga harus menyelamatkan Pedang Tumpul 131

yang kini berada di genggamannya.

Didahului bentakan keras, Pendekar Pedang

Tumpul 131 angkat kedua tangannya.

Kraaakkk! Praaakkk!


Terdengar benturan keras dua kali. Tongkat

hitam di tangan kanan Bayangan Iblis hancur

berkeping. Kakek ini cepat menarik tangan kirinya

yang baru saja bentrok dengan tangan Joko.

Tubuhnya digeser dua langkah ke belakang dengan

wajah pias namun mata melotot. Dia segera

meneliti. Tangan kanan kirinya terlihat bergetar

dan kesemutan. Dadanya berdebar dan sesak.

Kakek ini segera maklum jika pemuda di

hadapannya tidak lagi bisa dipandang sebelah

mata.

Sementara itu di hadapannya, Joko terlihat

kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja

menangkis tongkat dan tangan kiri Bayangan Iblis.

Wajahnya sedikit berubah, namun hanya sejenak.

Sesaat kemudian murid Pendeta Sinting ini telah

tersenyum-senyum, membuat Bayangan Iblis naik

pitam.

"Keparat Busuk! Terimalah kematianmu,

Bangsat!" Kedua tangannya dihantamkan lepaskan

pukulan tangan kosong jarak jauh yang telah

dialiri tenaga dalam.

Byuuurrr!

Tanah di mana Joko berdiri muncrat ke udara

menghalangi pandangan. Belum sampai tanah itu

sirap kembali, terdengar suara tawa pendek.

Bayangan Iblis tersedak. Dia cepat berpaling.

Sepuluh langkah di sampingnya, tampak Joko

Sableng cengengesan seraya masukkan jari

kelingkingnya ke lubang telinganya! Sepasang mata

si kakek membeliak angker. Mulutnya menganga

tanpa keluarkan suara. Diam-diam dada kakek ini

berdebar keras. Dia rupanya sudah tidak sangsi

lagi jika pemuda yang dihadapinya kali Ini benar-

benar mempunyai Ilmu yang tidak cetek!


"Siapa pemuda Ini sebenarnya?!" batinnya

dengan kerahkan tenaga dalam untuk kembali

lepaskan pukulan. DI sampingnya Bayangan Setan

tampak memperhatikan lebih seksama. Laki-laki

setengah baya ini pun tampak terkejut melihat apa

yang terjadi. Namun dia masih belum bergerak.

"Orang Tua! Aku tak mau membuat perselisihan

dengan kailan. Aku harus segera pergi!" habis

berkata, Pendekar Pedang Tumpul 131 putar

tubuh dan berkelebat hendak meninggalkan

tempat itu. Namun langkahnya tertahan, karena

tahu-tahu di depannya sudah menghadang

Bayangan Setan!

"Silakan pergi, asal kepalamu kau tinggal di

slni!" dengus Bayangan Setan. Kedua matanya

melirik pada Bayangan Iblis, lalu kepalanya

mengangguk memberi isyarat. Bersamaan dengan

itu, terdengar bentakan lantang. Bayangan Iblis

tekuk lututnya sedikit hingga tubuhnya melorot.

Tiba-tiba kedua tangannya mengembang dan

dihantamkan ke arah Joko. Pada saat yang sama

Bayangan Setan lepaskan pukulan dengan

sentakkan kedua tangannya!

Serangkum angin dahsyat keluarkan suara

laksana gelombang disertai hamparan hawa panas

segera menggebrak ke arah Joko dari arah

Bayangan Iblis. Pada saat yang bersamaan, Joko

melihat sinar hitam membersit dengan keluarkan

suara berdengung dari pukulan kedua tangan

Bayangan Setan.

Puncak bukit Sono Keling laksana dihantam

gelombang. Tanahnya bergetar dan berhamburan.

Batu-batu padas rengkah dan beberapa di

antaranya langsung berderak pecah lalu tersapu

dan mencelat jatuh ke bawah. Lamping bukit


berguguran dan serentak membuat lekukan

menganga!

Murid Pendeta Sinting segera melompat mundur.

Kedua tangannya cepat disejajarkan dada. Tiba-

tiba kedua tangannya berubah menjadi kuning

keperakan. Secepat kilat kedua tangannya

disentakkan dengan telapak mengembang.

Wuuutttl Wuuutttl

Dua berkas sinar kuning melesat keluar dari

masing-masing telapak tangan Pendekar 131. Di

tengah jalan, sinar kuning itu mengembang.

Bersamaan dengan itu suasana berubah menjadi

semburat warna kuning dan panas bukang alang

kepalang. Murid Pendeta Sinting telah lepaskan

pukulan 'Lembur Kuning'!

Terdengar letupan keras beberapa kali tatkala

pukulan 'Lembur Kuning' bentrok dengan

gabungan pukulan yang dilepas Bayangan Setan

dan Bayangan Iblis. Joko keluarkan seruan tegang.

Tubuhnya mental ke udara hingga beberapa

tombak. Pakaian yang dikenakannya tampak robek

di bagian bahu. Wajahnya pias dengan mulut

megap-megap seakan sulit bernapas. Dalam

keadaan demikian, tubuhnya menukik turun dan

terkapar di atas tanah!

Di depan sana, Bayangan Setan berseru keras.

Tubuhnya mencelat ke belakang dan bergulingan

dengan sudut bibir mengalirkan darah segar.

Pakaian yang dikenakan hangus dan robek di

sana-sini! Laki-laki Ini merasakan dadanya seakan

pecah dan panas. Namun dia segera katupkan

sepasang matanya untuk mengatur pernapasan. Di

sebelah kanan, Bayangan Iblis keluarkan jeritan

lengking tatkala pukulannya bentrok dengan

pukulan Pendekar 131. Mungkin karena usianya


telah lanjut, maka tenaga yang dikeluarkan tidak

begitu kuat, Ini menyebabkan tubuhnya melesat

cepat laksana kapas ditiup angin kencang. Jubah

hitamnya hangus dan langsung terpotong sebatas

pinggang! Darah hitam mengucur dari mulut dan

hidungnya. Karena tak bisa kuasai tubuhnya lagi,

kakek Ini tersungkur di lamping bukit. Masih

untung tangan kanannya segera menggapai batu.

Jika tidak, tubuhnya pasti akan melayang jatuh ke

bawah!

"Jahanam betul!" sungut Bayangan Iblis pelan

seraya merangkak ke atas. Mulutnya yang biasa

komat-kamit kini dikancingkan rapat-rapat, takut

darah akan lebih banyak keluar. Namun gerakan

kakek Ini hanya sebentar. Begitu tubuhnya sampai

di atas, tubuhnya bergetar keras lalu dari

mulutnya terdengar erangan tertahan bersama

muncratnya darah hitam. Tangannya menggapai-

gapai lalu perlahan-lahan lunglai dan luruh ke

tanah. Bersamaan dengan itu erangannya terputus

seketika dan tubuhnya tak bernyawa lagi!

Mendapati Bayangan Iblis tewas, Bayangan

Setan pupus nyalinya. Apalagi merasa dirinya telah

terluka. Tengkuk laki-laki setengah baya ini

merinding. Sepasang matanya jelalatan menyebar

berkeliling mencari kesempatan untuk meloloskan

diri. Namun laki-laki Ini seketika berpaling dengan

terkejut. Di sebelahnya telah tegak Joko Sableng

dengan senyum dingin. Mencium adanya bahaya,

Bayangan Setan cepat gulingkan tubuhnya agak

menjauh. Lalu dengan sentakan tangan kiri

kanannya di atas tanah, dia bergerak berdiri.

Terhuyung-huyung sebentar lalu tegak lurus

dengan mata tak berkedip memperhatikan Joko.

Mendadak sepasang mata Bayangan Setan

makin membeliak besar. Dahinya berkerut dengan


alis mata terangkat naik. Bukan heran memandang

sang pemuda yang kini meringis-ringis sendiri,

namun terkesiap melihat seberkas sinar kuning

yang memancar dari pinggang Pendekar Pedang

Tumpul 131 yang ternyata telah robek. Karena saat

itu cuaca sudah agak terang, maka dengan jelas

Bayangan Setan dapat melihat benda apa yang

memancar dari pinggang Joko.

"Sarung pedang.... Tak salah lagi. Sarung pedang

itu pasti berisi Pedang Tumpul 131 yang menjadi

rebutan para tokoh rimba persilatan dan

dikabarkan tersimpan dalam makam Pesanggrahan

Keramat. Sialan betul. Rupanya manusia ini telah

berhasil mendapatkan-nya! Ah.... Seandalnya aku

tidak terluka. Hem.... Bagaimanapun juga aku

harus dapat melarikan diri. Hal Ini harus

kukatakan pada Ratu Pemikat...."

Bayangan Setan diam-diam kerahkan sisa-sisa

tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya

dihantamkan ke arah Joko. Bersamaan dengan itu

tubuhnya melesat menuruni bukit Sono Keling.

Murid Pendeta Sinting menggerendeng panjang

pendek. Dia buru-buru melompat ke samping dan

berkelebat ke arah bukit. Sepasang matanya masih

dapat menangkap kelebatan tubuh Bayangan

Setan di sela-sela pohon.

"Hem.... Tak ada gunanya dikejar...," gumam

Joko lalu menoleh ke arah mayat Bayangan Iblis.

Kepalanya menggeleng perlahan.

"Apa yang diucapkan Guru benar adanya. Rimba

persilatan penuh dengan manusia-manusia

serakah dan tak tahu diri. Manusia yang tega

menurunkan tangan maut untuk mencapai

maksudnya...."

Pendekar Pedang Tumpul 131 Ini lantas

tengadahkan kepala ke sebeiah timur. Nun jauh di


atas sana, di bawah cahaya sang rembulan

sepenggal yang semakin condong ke kaki langit,

samar-samar membersit cahaya terang pertanda

tak lama lagi sang mentari akan segera unjuk diri.



DUA


LAKI-LAKI setengah baya mengenakan pakaian

warna biru gelap yang telah hangus dan

sebagian robek itu hentikan larinya di bawah

pohon besar di tepi sebuah lembah yang

ditumbuhi beberapa pohon rindang hingga

dedaunan itu seakan bersatu padu menghadang

teriknya sang mentari, membuat lembah itu

tampak temaram meski di luar sana terang bende-

rang.

Laki-laki ini mengusap bibirnya yang

mengucurkan darah segar. Lalu mengurut dadanya

yang bergerak tak teratur. Sejenak dia

memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-

tiba dari mulutnya terdengar makian panjang

pendek.

"Jahanam betul! Kejadian ini tak akan kulupa.

Manusia itu akan tetap kuburu sampai kapan pun!

Hem... Joko Sableng. Tunggulah saatnya nanti!"

Laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah

Bayangan Setan ini arahkan pandangannya ke

lembah. "Ratu Pemikat.... Apakah dia akan percaya

dengan keteranganku? Ah, itu terserah padanya...,"

Bayangan Setan menarik napas dalam-dalam. "Aku

gagal menjalankan tugas, berarti aku tak akan

dapat menikmati kehangatan tubuhnya.... Tapi aku

masih punya kesempatan!" setelah diam beberapa

lama dan deburan dadanya sedikit reda, laki-laki

ini melangkah menuju lembah.

Pada sebatang pohon besar di tengah-tengah

lembah, Bayangan Setan hentikan langkah.

Memandang sejenak ke sekitarnya, lalu melangkah

menyelinap ke balik batang pohon. Ternyata di


balik batang pohon besar itu terdapat sebuah

lubang sebesar satu putaran tombak. Pada sisi

lubang tampak sebuah tangga turun dari batu.

Dengan langkah-langkah sedikit gemetar,

Bayangan Setan menuruni tangga. Suasana di situ

cukup terang, karena pada sisi tangga terdapat

beberapa obor. Sampai tangga paling bawah,

Bayangan Setan berhenti. Ternyata tangga itu

menghubungkan dengan sebuah ruangan agak

luas yang dinding dan langit-langitnya terbuat dari

batu. Pada sudut kanan, terdapat sebuah ranjang

besar dari batu yang diberi kelambu tembus

pandang.

Bayangan Setan memandang ke arah ranjang

besar. Meski ditutup kelambu namun karena

tembus pandang, dari tempatnya berdiri dia bisa

melihat Jelas bagian dalam ranjang. Sepasang

mata Bayangan Setan tiba-tiba membesar dengan

dada berdebar keras, jakunnya bergerak turun

naik. Laki-laki ini melihat dua orang sedang

berpelukan rapat. Telinganya juga menangkap

suara desahan panjang yang ditingkahi dengan

tawa cekikikan pelan.

"Sialan! Dia sedang bermesraan. Bagaimana

sekarang? Apakah aku harus menunggu sampai

mereka selesai atau aku langsung saja

memberitahukan masalah ini? Jahanam betul! Aku

jadi ingin...," Bayangan Setan tak meneruskan kata

hatinya, karena saat itu juga dari arah ranjang

besar tampak sesosok tubuh menoleh padanya.

Lalu berpaling lagi dan membungkuk sebentar,

mencium orang di sampingnya dengan keluarkan

suara lembut.

"Permainan ini belum selesai. Nanti kita

lanjutkan. Tunggulah sebentar...."


Habis berkata begitu, sosok ini merapikan

rambutnya yang panjang. Lalu bergerak turun dari

ranjang dan menyingkapkan kelambu. Kini jelas

wajah sosok ini. Ternyata dia adalah seorang

perempuan berambut panjang. Meski tidak muda,

namun wajahnya cantik jelita. Dadanya

membusung kencang dengan pinggul mencuat

bagus. Sepasang matanya bundar dengan bibir

bagus. Mengenakan pakaian tipis panjang yang di

bagian dadanya dibuat amat rendah, hingga

sembulan payudaranya tampak jelas. Pakaiannya

dibuat membelah di bagian depan dengan beberapa

kancing hingga ke bawah.

Si perempuan pandangi Bayangan Setan dengan

dahi berkerut.

"Hem.... Rupanya dia kembali tanpa membawa

hasil seperti yang kuharapkan...," kata si

perempuan dalam hati. Lalu dia melangkah ke

arah Bayangan Setan dan berkata.

"Bagaimana perjalananmu, Bayangan Setan?!"

Bayangan Setan tidak segera menjawab.

Mungkin karena masih terkesima dengan

pemandangan di hadapannya. Karena mungkin

lupa atau entah disengaja, kanclng-kanclng baju

bagian bawah si perempuan tidak dikancingkan,

hingga kulit pahanya yang putih mulus dari betis

hingga hampir pangkal paha tampak dengan jeias.

Juga satu kancing di dadanya terbuka, hingga

payudaranya lebih menyembul terpentang.

Karena tak ada jawaban dari Bayangan Setan, si

perempuan segera palingkan wajahnya dengan

tubuh sedikit diputar. Namun hal Ini tampaknya

membuat Bayangan Setan semakin terpana.

Karena dengan keadaan miring begitu rupa,

payudara si perempuan lebih jelas terlihat hampir

seluruhnyal


"Kau datang sendiri, padahal kau berangkat

berdua. Aku mempunyai firasat kau pulang

berhampa tangan. Katakan padaku apa yang telah

kau peroleh selama kau menjalankan apa yang

kuinginkan!" kata si perempuan berparas cantik

itu dengan nada sedikit keras.

Bayangan Setan tersentak dari keterkesimaan

nya membuat si perempuan keluarkan suara tawa

nyaring namun jelas nada tawanya penuh dengan

cemooh.

"Kau tak buka mulut. Berarti dugaanku benar

bukan?! Kau gagal?!"

"Ratu Pemikat... Segala kemampuan telah

kukerahkan. Tapi nasib jelek nampaknya berpihak

padaku. Selain aku terluka cukup parah,

Bayangan Iblis nyawanya tidak bisa

kuselamatkan...."

Si perempuan cantik yang dipanggil dengan Ratu

Pemikat berpaling. Memperhatikan keadaan

Bayangan Setan sejenak lalu mengajukan

pertanyaan.

"Kau bentrok dengan seseorang? Siapa dia?!"

Bayangan Setan menggumam sebentar. Dengar

masih menindih gejolak di dadanya, dia berkata.

"Seorang pemuda berilmu tinggi. Aku baru

pertama kali Ini bertemu dengannya...."

Mendengar ucapan Bayangan Setan, Ratu

Pemikat dongakkan kepala. Dari mulutnya

terdengar lagi suara tawa mengekeh panjang.

Hingga dadanya terlihat naik turun.

"Hanya seorang pemuda kailan tak mampu

melawannya, lebih menyedihkan lagi Bayangan

Iblis harus tewas. Hem.... Percuma kau bergelar

Bayangan Setan jika harus terbirit-birit melawan

seorang pemuda!"


"Tapi, Ratu.... Dia benar-benar berilmu tinggi.

Nyatanya dia berhasil melukaiku dan menewaskan

Bayangan Iblis. Lebih gila lagi ternyata pemuda itu

berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131!"

Mungkin karena sangat terkejut, tawa Ratu

Pemikat tiba-tiba terputus seketika. Bersamaan

dengan itu, tubuhnya bergerak kembali

menghadap Bayangan Setan dan serentak

melompat ke depan.

Tangan kanannya bergetar memegang pundak

Bayangan Setan. Dari mulutnya keluar suara

keras. "Apa kau bliang? Pemuda itu berhasil

mendapatkan Pedang tumpul 131?!"

Bayangan Setan menjawab dengan anggukan ke-

palanya. Dada laki-laki ini makin bergetar karena

tangan Ratu Pemikat menyentuh pundaknya. Bau

harum sang ratu menambah gejolaknya makin

membara. Namun laki-laki ini tak berani berbuat

banyak. Dia hanya bisa memandang payudara di

depan hidungnya dengan mata membeliak.

Ratu Pemikat tarik tangan kanannya dari

pundak Bayangan Setan. Wajahnya merah padam.

Dadanya bergerak makin keras. Tanpa memandang

pada laki-laki di hadapannya, dia berkata.

"Siapa nama pemuda keparat itu?! Siapa pula

gelarnya?!"

"Dia tidak menyebutkan gelar. Dia hanya

sebutkan namanya. Namanya Joko... Joko

Sableng!"

"Katakan ciri-cirinya!" kata Ratu Pemikat sambil

palingkan wajahnya dan memandang Bayangan

Setan dengan mata membeliak tak berkedip.

Perempuan ini coba menahan rasa geram yang

menyesakkan dadanya.

"Jahanam! Dia memerintah seenak dengkulnya

saja! Seandainya aku tak menginginkan tubuhnya,


tak akan mau menuruti keinginannya!" gerutu

Bayangan Setan dalam hati.

"Dia kira-kira berusia tujuh belas atau delapan

belas tahun. Parasnya tampan. Rambutnya

panjang dengan mengenakan ikat kepala. Matanya

tajam...."

"Bodoh! Ciri-ciri seperti itu banyak orang punyai.

Yang kumaksud ciri-ciri tertentu yang tidak

dipunyai orang lain!" tukas Ratu Pemikat memutus

keterangan Bayangan Setan.

Bayangan Setan kernyitkan dahi seolah

mengingat-ingat. Namun tak lama kemudian

kepalanya menggeleng. "Aku tidak melihat ciri-ciri

tertentu. Karena suasananya waktu itu agak

gelap...."

"Kalau begitu, dari mana kau tahu jika pemuda

itu telah berhasil mendapatkan Pedang Tumpul

131? Apakah dia tunjukkan padamu?!"

Bayangan Setan kembali gelengkan kepalanya.

"Waktu terlibat bentrok, gempuran pukulanku

dan pukulan Bayangan Iblis berhasil merobek

pakaiannya Saat itulah aku menangkap sinar

kuning dari pinggangnya yang robek. Meski cuaca

agak gelap sinar kuning itu dengan jelas

memperlihatkan benda apa yang bersinar. Ternyata

benda itu adalah sebuah sarung pedang pendek

berwarna kuning. Aku yakin, itu adalah Pedang

Tumpul 131!"

"Hem..... Keparat benar. Bartahun-tahun

kuburu-buru dan kuselidiki, tahu-tahu dengan

mudahnya di dapat oleh pemuda kemarin sore!

Menyesal, sungguh ak merasa menyesal menyuruh

manusia-manusia yang cuma besar mulut dan

besar nafsu tapi kecil nyali dan kering llmu!"


Bayangan Setan jadi terdiam gagu. Lalu dengan

suara agak bergetar karena menahan gejoiak dia

berkata .

"Ratu.... Kalau perjanjian kita masih berlaku,

aku akan turun tangan lagi. Selain membalas

tewasnya Bayangan iblis, aku akan merebut

pedang itu dan membawanya untukmu!"

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Hem.... Manusia

jika sudah dirasuki hawa nafsu ternyata mudah

dikendalikan. Pikiran jernihnya lenyap hingga tak

tahu lagi barang apa yang digadaikannya untuk

memuaskan nafsu itu.... Hik.... Hik ... Hik...," pikir

sang ratu dalam hati.

Sebaliknya mesti berkata hendak merebut

pedang dan akan menyerahkan pada Ratu

Pemikat, namun dalam hatinya diam-diam

Bayangan Setan membatin lain. "Aku bukan

manusia bodoh. Sekali pedang dapat kurebut,

pantang berpindah tangan! Kau boleh memiliki

tubuh yang menggiurkan, desah yang

mengundang.... Tapi terlalu mahal jika ditukar

dengan pedang pusaka yang menggegerkan rimba

persilatan itu!"

"Bayangan Setan. Sebenarnya aku hendak

memutuskan perjanjian itu. Namun melihat

semangatmu, rasanya kurang enak jika

membatalkannya. Dengarlah, kalau kau berhasil

membawa pedang itu untukku, kau bukan saja

berhak memilikiku selama satu purnama.

Namun...," Ratu Pemikat putuskan ucapannya.

Bibirnya sunggingkan senyum. Kedua kakinya

direntangkan hingga pahanya terlihat jelas.

Dadanya dibusungkan hingga kancingnya terbuka

satu lagi, membuat payudaranya terpentang. Lalu

mulutnya membuka lagi keluarkan suara lembut.


"Kau bisa menikmati apa yang kau lihat kapan

saja kau menginginkan!"

Meski Bayangan Setan telah membatin tak akan

mudah dikelabui dengan tubuh, namun melihat

pemandangan di hadapannya, hatinya berguncang

juga.

"Sialan! Perempuan ini benar-benar

menggoda...."

"Bayangan Setan. Kau telah dengar ucapanku.

Apa iagi yang kau tunggu? Kalau kau ingin segera

menikmati, syaratnya sudah kau ketahui!" ujar

Ratu Pemikat sambil berpaling.

Bayangan Setan menggerendeng dalam hati. Lalu

putar tubuh. Sebelum melangkah meninggalkan

ruangan itu dia berkata.

"Ratu.... Tunggulah! Aku akan datang dengan

membawa permintaamu!" habis berkata begitu,

laki-laki ini melangkah menaiki tangga batu diiringi

suara tawa sang ratu.

"Kalau berdua tak sanggup, mana mungkin

sendirian akan berhasil? Hik.... Hik.... Hik...," desis

Ratu Pemikat seraya melirik ke arah ranjang.

"Melihat keadaan, tampaknya sudah waktunya

aku turun tangan sendiri! Lambat laun berita

tentang pedang itu pasti akan tersebar. Sebelum

banyak orang yang tahu, aku harus segera

memburu pemuda itu! Pemuda.... Berparas

tampan. Hem.... Lebih muda untuk

menaklukkannya...."

Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu

melangkah perlahan ke arah ranjang. Tangannya

bergerak membuka kelambu, dan sekejap

kemudian tubuhnya telah membungkuk. Kedua

tangan tampak menggapai dan merangkulnya dari

bawah, lalu dengan cekatan tangan itu melepas

kancing-kancing pakaian sang ratu. Ketika tubuh


Ratu Pemikat naik ke ranjang, tubuh itu telah

tanpa penutup lagi!




TIGA


MATAHARI sudah lama tenggelam di

bentangan kaki langit sebelah barat

Namun angkasa raya tampak cerah,

karena tak ada awan mengambang.

Bulan bulat penuh perlahan-lahan me-

manjat langit dari sebelah selatan, membuat

suasana lingkaran bumi makin benderang.

DI sebelah timur Teluk Panarukan, tepatnya

pada sebuah gugusan batu karang, salah satu dari

beberapa gugusan batu karang yang berjajar

mengelilingi teluk, terlihat dua sosok sedang duduk

berhadapan. Angin dari laut berhembus kencang,

membuat pakaian yang dikenakan dua sosok Ini

berkibar-kibar. Hawa laut yang menebar garam

menghampar menyesakkan dada. Namun kedua

sosok Ini tampaknya tidak terpengaruh dengan

suasana sekitar teluk.

Dibantu cahaya bulan purnama, wajah-wajah

sosok Ini terlihat agak jelas. Ternyata mereka

adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda.

Sang laki-laki duduk bersila di atas sebuah

gugusan batu karang, sementara sang gadis duduk

bersila di hamparan pasir di bawahnya.

Sang laki-laki adalah seorang yang berusia amat

.anjut. Kulit sekujur tubuhnya telah mengeriput.

Paras wajahnya bulat besar dengan dilapis kulit

yang sangat tipis dan putih pucat. Rambutnya

putih tipis dan dikuncir ke belakang. Jambang,

kumis dan jenggotnya lebat dan hampir menutupi

permukaan wajahnya. Mengenakan pakaian rompi

panjang besar berwarna kuning. Yang membuat

laki-laki ini makin tampak angker adalah bahwa


dia hanya memiliki satu mata sebelah kanan. Mata

itu besar dan masuk ke dalam cekungan sangat

dalam. Sementara mata kirinya ditutup dengan

sebuah kulit bundar yang diikatkan ke belakang

kepala.

Dalam kancah rimba persilatan, laki-laki

bermata satu ini sudah banyak dikenal orang.

Karena selain berilmu tinggi, laki-laki ini juga

dikenai sebagai momok yang ditakuti dan disegani.

Berpuluh-puluh tahun laki-laki ini malang

melintang dalam rimba persilatan dengan menebar

hawa kematian di mana-mana. Tidak jelas apa

yang menjadi tujuan utamanya karena beberapa

korban yang tewas di tangannya bukan hanya dari

kaum persilatan golongan putih saja. Namun

beberapa tokoh golongan hitam pun banyak yang

menemui ajal di tangannya. Hingga rimba

persilatan menggelari laki-laki Ini dengan gelaran

angker Maut Mata Satu!

Sementara gadis muda yang duduk di bawah

Maut Mata Satu adalah seorang gadis berwajah

cantik. Rambutnya panjang dengan sepasang mata

bulat tajam. Hidungnya mancung dengan bulu

mata lentik. Gadis ini mengenakan pakaian warna

merah ketat hingga bentuk dada dan pinggulnya

terbayang jelas.

Setelah agak lama saling berdiam diri, Maut

Mata Satu membuka mulut, memecahkan

kesunyian.

"Larasati, Muridku. Beberapa tahun kau

kugembleng dan kudidik. Malam ini tiba saatnya

bagimu mengetahui dunia luar. Dunia di mana kau

bisa mempergunakan apa yang telah kau peroleh!

Dan seperti yang sering kukatakan padamu, tugas

utama yang harus segera kau lakukan adalah


mencari dan mendapatkan pedang pusaka Tumpul

131...."

"Guru.... Segala yang kau katakan akan segera

kulaksanakan. Tapi kalau boleh tahu, apakah

Guru tahu di mana kira-kira pedang itu berada?"

Beberapa lama Maut Mata Satu terdiam. Mata

satu-satunya memandang tajam pada Larasati.

Sejenak kemudian kepalanya bergerak tengadah.

"Larasati. Berpuluh-puluh tahun aku mencoba

mencari tahu di mana berada pedang itu. Namun

usahaku tak membawa hasil, padahal telah sekian

manusia yang kukorek mulutnya bahkan sebagian

harus kucabut nyawanya. Hingga aku hampir

berkesimpulan jika Pedang Tumpul 131 itu

hanyalah cerita bohong. Anehnya, begitu aku

menyembunyikan diri, kabar di mana beradanya

pedang itu menyebar. Memang belum bisa

dibuktikan kebenaran berita itu, namun melihat

banyaknya tokoh-tokoh yang muncul lagi, aku

berkeyakinan berita itu tidak bisa dilewatkan

begitu saja. Kau harus segera menyelidik...," Maut

Mata Satu hentikan penuturannya. Lalu

melanjutkan.

"Kabar yang berhasil kusirap, pedang itu berada

puncak bukit Sono Keling. Di situ ada sebuah

makma tua yang disebut orang dengan

Pesanggrahan Keramat."

Larasati mendengar ucapan Maut Mata Satu

dengan seksama. Setelah gurunya diam, gadis

cantik itu ajukan pertanyaan.

"Apakah tidak ada hal lain mengenai pedang itu

Guru?"

“Maksudmu...?!" Maut Mata Satu balik bertanya.

"Tentang ciri-ciri Pedang Tumpul 131 itu!"



"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun

menurut beberapa tokoh juga beberapa ahli gaib,

pedang itu berwarna kuning yang di tubuhnya

bergurat angka 131. Tubuh pedang itu tidak terlalu

panjang. Gagangnya berwarna hijau dari batu giok.

Jelas?!"

Larasati anggukkan kepalanya.

"Nah, Larasati. Kau bisa mulai menyelidik sejak

malam Ini. Tapi ingat. Kau harus waspada dan

hati-hati. Tidak mustahil kau akan berhadapan

dengan dedengkot rimba persliatan yang kabarnya

kini muncul kembali. Pergunakan segala akal,

kerahkan segala tenaga! Dan sejak malam ini kau

harus menggunakan gelar Dewi Seribu Bunga,

seperti nama pukulan sakti yang kuajarkan

padamul"

Larasati yang kini telah digelari gurunya dengan

Dewi Seribu Bunga menjura dalam. "Murid pamit

sekarang, Guru...."

Maut Mata Satu mendehem seraya anggukkan

kepalanya. "Dapatkan Pedang Tumpul 131. Kita

akan menjadi raja rimba persilatan, Dewi!"

"Sebagai balas budi atas segala ilmu yang kau

wariskan padaku, aku tidak akan

mengecewakanmu. Aku akan berusaha

mendapatkan pedang itu, Guru!" kata Dewi Seribu

Bunga seraya berdiri, menjura sekali lagi lalu putar

tubuhnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu.

* *

Hari ini adalah hari kelima Dewi Seribu Bunga

mengadakan perjalanan mencari bukit Sono Keling.

Di tengah jalan beberapa kali gadis cantik Ini

bertanya pada para penduduk yang dilewatinya.


"Hem.... Orang terakhir yang kutanya, menunjuk

pada bukit Itu. Semoga benar apa yang

dikatakannyal" gumam Dewi Seribu Bunga seraya

arahkan pandangan pada sebuah bukit.

"Pedang Tumpul 131.... Moga-moga aku tak

kedahuluan orang lain. Dan mumpung masih pagi,

aku harus segera ke sana...."

Dewi Seribu Bunga cepat berkelebat ke arah

timur, menuju sebuah bukit yang ditunjuk orang.

Pada kaki bukit, gadis Ini hentikan larinya. Dia

tampak ragu-ragu seraya memandang ke sebuah

kedai!

"Ah, urusan perut bisa diurus nanti!" ujar Dewi

Seribu Bunga lirih. Lalu teruskan langkah. Tatkala

kedai Itu tak terlihat lagi, gadis Ini segera kerahkan

Ilmu peringan tubuhnya, lalu berkelebat laksana

anak panah mendaki ke puncak bukit.

Tak berapa lama kemudian, murid Maut Mata

Satu ini sampai pada puncak bukit. Bau busuk

yang amat menyengat segera menyambut gadis Itu.

"Menilik busuknya, pasti ini adalah bangkai

manusia!" duga Dewi Seribu Bunga seraya tekap

hidung dengan mata jeialatan mencari sumber bau

busuk. Tiba-tiba sepasang mata gadis ini

membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, dia

melihat sesosok mayat di tepi lamping bukit

"Ada mayat, tanah banyak yang terbongkar.

Hem.... Berarti telah terjadi bentrok di sini. Pasti

orang-orang persilatan yang memburu Pedang

Tumpul 13 Apakah pedang Itu telah jatuh ke

tangan orang...? Dan mana makam tua itu...?!"

batin Dewi Seribu Bunga seraya mulai melangkah

ke hamparan puncak bukit. Sepasang matanya

meneliti.


"Jahanaml Bau busuk mayat itu mengganggu

sekali!" gadis ini melangkah mendekati bangkai

mayat sambil terus tekap hidungnya. DI depan

mayat, murid Maut Mata Satu ini berhenti. Dengan

kaki kanan, dibalikkannya tubuh mayat Itu. Gadis

ini terpekik kaget. Ternyata raut wajah mayat

sudah tak dapat dikenali lagi, karena di muka itu

telah dipenuhi cacing-cacing tanah. Dengan tubuh

menggigil karena jijik, gadis ini segera dorongkan

kaki kanannya ke tubuh mayat. Mayat itu

bergulingan dua kali sebelum akhirnya meluncur

ke bawah.

"Hem.... Aku harus waspada, mungkin masih

banyak orang di sini...," gumam Dewi Seribu Bunga

lalu tajamkan sepasang telinganya. Sepasang

matanya menyapu berkeliling hingga sampai

lamping-lamping bukit. Merasa aman, gadis ini

segera melangkah lagi ke tengah hamparan puncak

bukit. Dia mondar-mandir beberapa kali dengan

mata tak berkedip memperhatikan setiap jengkal

tanah puncak bukit Namun hingga sekian lama,

gadis ini tak menemukan apa yang dicari.

"Pedang Tumpul 131...," ujar Dewi Seribu Bunga

pelan seraya, menghela napas dalam. "Kata Guru

berada di makam tua puncak bukit Sono Keling.

Tapi hingga mataku pedih, aku tak menemukan

makam itu! Apakah kabar yang sampai pada Guru

itu berita bohong? Atau aku salah tempat..?"

Dewi Seribu Bunga terdiam sejenak sambil

mengawasi hamparan puncak bukit. "Melihat

keadaan di sini, juga adanya mayat, aku yakin ada

di tempat yang benar. Tak mungkin terjadi bentrok

di puncak bukit kalau tidak memperebutkan

pedang itu. Tapi mana makam itu...?!"

Benak Dewi Seribu Bunga kembali diselimuti ke-

bimbangan. Selagi gadis ini dilanda kebimbangan,


tiba-tiba terdengar deru angin menyambar dari

arah belakang.

Dewi Seribu Bunga tersentak dan cepat berpaling

dengan terkejut. Gadis ini putar tubuh dan

surutkan langkah satu tindak ke belakang dengan

mata membelok memandang ke depan.

Di hadapan Dewi Seribu Bunga tampak berdiri

tegak seorang laki-laki. Berusia kira-kira lima

puluh tahunan. Mengenakan jubah warna biru.

Kepalanya botak kelimis. Sepasang matanya sipit

dengan bibir sangat tebal. Sosoknya tinggi besar

dengan leher panjang. Pada leher itu melingkar

untaian kalung dari Kayu bundar-bundar berwarna

coklat. Tangan kanannya pun tampak memainkan

untaian kalung dari kayu bundar-bundar berwarna

coklat. Seraya memainkan kalung di tangannya,

mulut laki-laki ini berkemak-kemik mengucapkan

sesuatu yang tak jelas.

"Siapa kau?” seru Dewi Seribu Bunga dengan

suara parau.

Laki-laki berkepala botak hanya tersenyum

menyeringai. Tangan kirinya bergerak mengelus-

elus kepalanya. Sementara sepasang matanya yang

sipit dibeliakkan memandang pada Dewi Seribu

Bunga dari bawah hingga atas, lalu berhenti pada

dada, membuat si gadis kesal dan wajahnya

berubah merah padam.

"Hem.... Tak ada gunanya aku meladeni laki-laki

seperti dia. Di sini rupanya sudah tak ada yang

bisa diharapkan lagi. Terpaksa aku akan

menyelidik dengan caraku sendiri...," habis berkata

begitu, Dewi Seribu Bunga putar tubuh hendak

tinggalkan tempat itu, namun belum sampai

tubuhnya berkelebat, laki-laki berkepala botak

telah buka mulut.


"Gadis cantik. Kau kira semudah itu bisa pergi

tanpa terlebih dahulu mengatakan siapa dirimu

dan memberi keterangan yang kubutuhkan?!*

Sepasang mata Dewi Seribu Bunga mendelik.

Dadanya bergetar menahan rasa geram. Dengan

keluarkan dengusan keras, gadis ini balikkan

tubuh.

"Ternyata kau bukan laki-laki bisu! Tapi jangan

dikira aku takut mendengar gertakanmul"

Mendapati ucapan lantang gadis di hadapannya,

si laki-laki botak bukannya marah, malah

keluarkan suara tawa panjang seraya usap-usap

kepalanya.

"Bagus! Gadis seperti kaulah yang aku senangi!

Garang dan Liar...," desisnya dengan senyum aneh.

"Tapi kalau kau tahu sedang berhadapan dengan

siapa, kau akan menyesal!"

"Kau boleh mengatakan hal demikian, tapi

bukan padaku, Orang Tua!"

Laki-laki berkepala botak terdiam. Sepasang

matanya memandang ke hamparan puncak bukit.

Dia menarik napas dalam. "Ternyata kabar tentang

adanya makam tua itu hanya bohong belaka. Di

sini tak ada makam! Gadis Ini tampaknya juga

terkecoh dengan kabar angin yang sekarang

tersebar.... Hem.... Daripada tak mendapat apa-

apa, tubuh gadis ini pun dapat mengobati

kekecewaanku. Dadanya besar, pinggulnya

menggoda. Tentunya hangat..," sepasang mata laki-

laki berkepala botak kembali mengarah pada gadis

di hadapannya.

"Anak gadis. Siapa kau sebenarnya?!" tanya si

laki-laki dengan suara berubah rendah.

Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab

pertanyaan si laki-iakl. Namun setelah berpikir

sejenak, seraya tersenyum sinis dia berkata.


"Aku Dewi Seribu Bunga. Kau sendiri siapa?l"

"Dewi Seribu Bunga. Hem.... Nama bagus.

Rasanya baru kali ini aku mendengar gelar itu.

Melihat gerak-geriknya gadis ini tampaknya punya

sedikit iimu...," membatin si laki-laki lalu arahkan

pandangannya pada jurusan lain seraya berujar.

"Kau telah sebutkan siapa dirimu, tak enak

rasanya jika aku tak katakan siapa diriku...,"

kepala si laki-laki kembail berpaling dengan mata

menatap pada Dewi Seribu Bunga. Kau sedang

berhadapan dengan Resi Mahayana!"

Dewi Seribu Bunga beringsut mundur satu

tindak! Mulutnya bergerak-gerak namun tidak ada

suara yang terdengar.

"Resi Mahayana. Seperti apa yang pernah

kudengar dari Guru. Manusia bergelar Resi

Mahayana adalah seorang dedengkot rimba

persilatan yang berilmu tinggi dan doyan

perempuan. Hem.... Tentunya dia juga sedang

memburu pedang Itu. Beberapa dedengkot rimba

persilatan nyatanya memang muncul seperti

ucapan Guru.... Aku harus cepat tinggalkan tempat

ini. Aku akan coba menyelidik di tempat lain, siapa

tahu...."

Ucapan dalam hati Dewi Seribu Bunga terputus

karena saat itu juga tiga sosok tubuh berkelebat

dan langsung mengurung Dewi Seribu Bunga serta

Resi Mahayana.

"Siapa kalian?! Berani berlaku macam-macam,

kalian akan jadi bangkai di puncak bukit ini!"

teriak Dew Seribu Bunga begitu menangkap gelagat

tidak baik dari sosok yang mengurungnya. Dada

gadis ini makin berdebar.

Sebaliknya Resi Mahayana terlihat tenang-

tenang saja meski sejurus tadi sempat terkejut.


Seraya mendongak laki-laki berkepala botak ini

berkata dalam hati.

"Berita jahanam tentang pedang itu ternyata

telah menyebar ke mana-mana. Jika tidak, tak

mungkin keparat-keparat dari tanah seberang ini

muncui di sini! Hem.... Sialan benar! Terpaksa aku

harus menunda dulu keinginanku untuk

menggeluti tubuh gadis itu. Keparat-keparat

pendatang haram ini harus kuusir dahulu...!"

Resi Mahayana sentakkan kepalanya.

Memandang satu persatu pada tiga orang yang

mengurung. Mulutnya berkemak-kemik.

"Tiga Dayang Setan! Kuperingatkan pada kalian.

Tapi ingat, peringatan bagi kalian adalah sebuah

perintah! Lekas tinggalkan tempat ini!"

Mendengar Resi Mahayana menyebut siapa

adanya tiga orang yang mengurung, mulut Dewi

Seribu Bunga ternganga. Serentak sepasang

matanya memperhatikan lebih seksama pada tiga

orang yang mengurung.

Tiga orang yang dipanggil dengan Tiga Dayang

Setan sama-sama keluarkan gerengan tertahan.

Dari tampang mereka memang tidak salah jika

mereka bergelar Tiga Dayang Setan. Raut wajah

masing-masing orang ini tampak seram meski

ketiganya adalah perempuan. Tiga orang ini

memiliki wajah mirip satu sama lain. Usia mereka

telah lanjut, terlihat dari rambut mereka yang telah

memutih. Paras mereka lonjong dengan kulit ber-

lipat-lipat. Mata mereka besar menjorok ke luar.

Hidungnya melesak ke dalam hampir-hampir tak

bisa disebut hidung. Bibirnya tipis dan dipoles

merah menyala. Mereka mengenakan pakaian

panjang sebatas lutut berwarna hitam. Namun

meski mereka tidak muda lagi, dada mereka

terlihat membusung kencang dan besar. Pinggul


mereka pun padat dan membentuk bagus. Apalagi

pakaian yang mereka kenakan sangat tipis dan

ketat, seakan ingin menunjukkan liku-liku bentuk

tubuhnya.

Tiba-tiba orang yang di sebelah kanan angkat

tangannya. Melihat gerak-geriknya orang sebelah

kanan ini adalah yang paling tua dan jadi

pimpinan.

"Laki-laki botak! Rupanya kau telah mengetahui

siapa adanya kami. Berarti kami tak usah lagi

memperkenalkan diri! Tapi rasanya aku sulit

mengenali siapa adanya kau. Tak keberatan jika

sebutkan namamu?!"

"Kau juga dua kembaranmu tak perlu tahu siapa

aku! Cepat laksanakan apa yang kukatakan pada

kalian atau kalian akan jadi mayat di sini!"

Tampang masing-masing dari Tiga Dayang Setan

berubah mengelam. Mata mereka membelalak

dengan mulut terkatup rapat. Sejurus kemudian,

satu sama lain saling berpandangan. Namun

sebelum ada yang keluarkan suara. Resi Mahayana

telah berkata kembali.

"Kalian dengar ucapanku. Apa kailan memang

minta segera mati?!"

Salah seorang dari Tiga Dayang Setan tiba-tiba

surutkan kaki. Kedua tangannya mengepal dan

siap lepaskan pukulan. Perempuan sebelah kanan

kembal angkat tangannya seraya berseru. "Tak

perlu turuti ucapan tua botak Ini. Bagi kita

membuat nyawanya melayang semudah kita

mematahkan ranting kering! Kiti tanya dulu,

apakah bangsat ini telah mendapatkan api yang

kita cari. Aku curiga, karena tempat yang kita tuju

tak seperti apa yang kita dengar. Jangan-jangan


bangsat ini telah menghilangkan tanda-tandanya

setelah mendapatkan barang pusaka Itu!"

Meski masih menindih rasa geram, perempuan

yang tadi hendak lepaskan pukulan menuruti

ucapan perempuan di sebelah kanan.

Perempuan sebelah kanan segera melangkah

satu tindak. Dengan mata menyengat tajam, dia

berkata.

"Botak! Dengar baik-baik. Kami telah

mengadakan perjalanan jauh dari seberang laut.

Urusan mati bukan hal yang kami takutkan! Kami

datang ke puncak bukit Ini untuk mencari pedang

pusaka. Namun ternyata kau dan gadis itu telah

mendahului. Kulihat tempat ini telah porak-

poranda, dan tanda-tanda di mana pedang itu

disimpan telah lenyap. Aku yakin kau atau gadis

itu telah mendapatkan pedang Itu, lalu

menghilangkan makam di mana tadi tersimpan

pedang. Kami akan tinggalkan tempat ini dengan

pedang yang ada padamu!"

Resi Mahayana menyeringai. Lalu menoleh pada

Dewi Seribu Bunga.

"Dewi! Tetap di tempatmu. Urusan kita belum

selesai. Aku akan merobek dulu mulut keparat-

keparat dari daratan Nias ini! Mereka rupanya

belum sadar jika hamparan Tanah'Jawa masih

terlalu keras untuk mereka!"

Dewi Seribu Bunga hentakkan sepasang kakinya

ke tanah, hingga tanah itu bergetar. "Kau tak

punya hak memerintahku!" habis berkata begitu,

Dewi Seribu Bunga melangkah menjauh.

Salah seorang dari Tiga Dayang Setan hendak

menghalangi, sementara Resi Mahayana gerakkan

tangannya. Namun kedua orang ini urungkan niat

masing-masing demi melihat si gadis hanya


melangkah menjauh lalu berhenti seraya

mengawasi.

"Tiga Dayang Setan! Akan kutunjukkan pada

kalian jika hamparan Tanah Jawa belum waktunya

kalian injak!"

Habis berkata demikian, Resi Mahayana

sentakkah tangan kirinya. Gelombang angin

dahsyat segera menyambar ke arah salah seorang

dari Tiga Dayang Setan yang tadi hendak

melepaskan pukulan.

Yang diserang melompat maju, kedua tangannya

dihantamkan dengan keluarkan bentakan keras.

Sementara dua lainnya beringsut mundur seakan

memberi kesempatan pada kembarannya untuk

menghadapi Resi Mahayana.

Terdengar letupan keras tatkala pukulan

mengandung tenaga dalam itu bertemu. Salah

seorang dari Tiga Dayang Setan cepat menarik diri

ke belakang dengan wajah berubah. Tangannya

bergetar dengan dada sesak. Sementara Resi

Mahayana hanya menyeringai dingin sambii usap-

usap kepalanya. Dari bentrok tadi Tiga Dayang

Setan telah maklum jika laki-laki botak ini bukan

lawan yang bisa dianggap enteng.

Mendapati hal demikian, salah seorang dari Tiga

Dayang Setan ini lipat gandakan tenaga dalamnya.

Sekali loncat, perempuan ini telah tegak dua

langkah di depan Resi Mahayana. Lau secepat kilat

tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah

kepala sang Resi.

Bukkk!

Kepala Resi Mahayana tersentak ke atas terkena

pukulan tangan kanan salah satu Tiga Dayang

Setan itu, karena sang Resi tidak membuat

gerakan menangkis atau menghindar. Hebatnya,


Resi Mahayana tidak bergeming, malah keluarkan

tawa pendek. Sementara perempuan yang lepaskan

pukulan terlihat meringis kesakitan sambil

mengernyit. Lalu cepat-cepat mundur. Namun

gerakannya tertahan, karena pada saat yang sama,

Resi Mahayana melesat ke depan. Tangan kirinya

bergerai! menghantam.

Wuuuttt!

Serangkum angin deras datang mendahului

sebelum tangan itu sendiri melabrak sasaran.

Perempuan yang diserang geser kepalanya ke kiri,

sementara kedua tangannya siap hendak lepaskan

hantaman balik, hantaman tangan Resi Mahayana

lewat sejengkal di sebelah kanan kepala lawan.

Namun begitu hantaman tangan kirinya

melabrak tempat kosong dan kepala lawan yang

dihantam bergetar ke kanan, secepat kilat tangan

kanan sang Resi yang memegang untaian tasbih

menderu memapak dari samping kanan!

Praaakkk!

Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini meraung

keras. Tubuhnya tersuruk ke samping hingga satu

tombak lalu terbanting di atas tanah dengan pelipis

berlubang dan mengucurkan darah! Sejenak

perempuan ini ineiejat-iejat kejang. Laiu menjerit

tinggi sebelum akhirnya menggelepar lalu diam tak

bergerak-gerak lagi!

Dua perempuan kembaran Tiga Dayang Setan

memekik keras melihat kematian saudara mereka.

Mereka tak menduga sama sekali jika lawan begitu

cepat dapat menewaskan saudaranya. Sementara

dari tempat agak jauh, Dewi Seribu Bunga

kancingkan mulut rapat-rapat. Di depan sana, Resi

Mahayana tertawa mengekeh!


"Sudah kukatakan, gelombang Tanah Jawa

belum saatnya kalian jajaki. Kalian masih punya

pilihan. Menuruti perintahku atau menyusul

saudara kalian!"

"Jahanam!" teriak dua perempuan dari Tiga

Dayang Setan ini berbarengan. "Botak bangsat!

Kami tak akan kembali ke daratan Nias sebelum

membetot putus nyawa busukmu!"

Habis membentak begitu, perempuan yang jadi

pimpinan Tiga Dayang Setan ini lorotkan tubuh

hingga lutut hampir menekuk. Kedua tangannya

segera didorong ke depan. Satunya lagi tak tinggal

diam. Kedua tangannya dikembangkan lalu

dihantamkan!

Geiombang angin yang keiuarkan hawa panas

dan suara menggeledek segera menghampar ke

arah Resi Mahayana dari dua jurusan.

Resi Mahayana terkesiap sejurus. Namun buru-

buru membuat gerakan aneh dengan rebahkan

tubuh sejajar tanah. Tangan kirinya lepaskan

pukulan sementara tangan kanannya putar-putar

untaian tasbihnya.

Ledakan keras segera mengguncang puncak

bukit itu tatkala tiga pukuian bentrok di udara.

Tubuh Resi Mahayana terguling beberapa kali,

sementara dua dari Tiga Dayang Setan terlihat

terseret masing-masing satu tombak ke belakang.

Namun salah seorang dari perempuan ini segera

dapat menguasai tubuh. Tanpa keluarkan suara

bentakan perempuan yang jadi pimpinan ini cepat

melesat ke arah Resi Mahayana.

Resi Mahayana terperangah kaget. Namun

sebelum laki-laki berkepala botak ini sempat

membuat gerakan, tendangan salah seorang dari


Tiga Dayang Setan ini telah menghujam ke arah

dadanya!

Bukkk!

Resi Mahayana berseru tegang. Tubuhnya

mencelat lalu jatuh bergedebukan dengan mulut

mengeluarkan darah!

"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya usap

darah dari mulutnya. Laki-iaki ini segera bangkit.

Namun sebelum tegak, sosok salah seorang dari

Tiga Dayang Setan telah berada di depannya. Lalu

Resi Mahayana melihat dua bayangan berkelebat.

Tahu-tahu sepasang tangan sang perempuan telah

berada di depan matanya!

Resi Mahayana cepat tarik kepalanya ke

belakang. Pukulan lawan menderu sejari telunjuk

dari kepalanya. Namun laki-iaki ini masih

merasakan perih di kedua matanya.

Begitu serangan lawan lewat. Resi Mahayana

angkat kakinya dengan kepala terus digeser ke

belakang hingga menempel tanah dan dibuat

sebagai tumpuan.

Bukkk!

Satu tendangan keras mendarat di lambung

perempuan di hadapannya. Tubuh perempuan ini

langsung terjajar tiga langkah ke belakang dengan

keluarkan jerit kesakitan.

Kesempatan ini tak disia-siakan sang Resi.

Begitu si perempuan terjajar dan belum dapat

menguasai diri, kepala lakl-iaki botak ini berputar

cepat. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat

ke depan dengan kaki lurus!

Di depan sana, si perempuan menahan rasa

terkejut. Buru-buru rebahkan tubuh untuk

selamatkan diri dari tendangan lawan. Tapi

sebelum tubuhnya benar-benar roboh, tangan

kanan Resi Mahayana yang memegang tasbih telah


bergerak dari bawah dan membabat ke arah

punggung lawan.

Kraaakkk!

Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini berteriak

keras ketika tulang punggungnya patah terhantam

tasbih. Walau tasbih itu hanya terbuat dari

untaian kayu bundar-bundar, namun karena

digerakkan dengan tenaga dalam, maka tenaga

yang keluar dapat mematahkan pohon

membongkar tanah!

Karena terhantam dari arah bawah, tubuh si

perempuan mental ke udara, Resi Mahayana

tertawa panjang! Kakinya menjejak tanah.

Tubuhnya melesat menyusul ke udara.

Di atas udara, tasbihnya diputar-putar lalu

secepat kilat digerakkan dan disentakkan.

Settt!

Salah satu dari Tiga Dayang Setan terperangah!

Karena tasbih lawan tiba-tiba telah melingkar di

lehernya! Si perempuan coba hantamkan

tangannya meski dengan mengerang karena

punggungnya sakit bukan alang kepalang. Namun

sebelum kedua tangannya bergerak lepaskan

hantaman, tangan kanan Resi Mahal yang telah

bergerak menghentak.

Kraaakkk!

Tulang leher si perempuan salah satu dari Tiga

Dayang Setan ini patah. Kepalanya lunglai ke

samping kanan dengan erangan pelan. Ketika Resi

Mahayana angkat tangannya dan keluarkan tasbih

dari leher si perempuan, perempuan itu meluncur

turun dengan tubuh tanpa nyawa lagi!

***



EMPAT



KETIKA Resi Mahayana berpaling, laki-laki

botak ini melengak kaget, salah satu dari

Tiga Dayang Setan yang masih hidup juga

Dewi Seribu Bunga tidak ada lagi!

"Keparat jadah! Mereka kira Resi

Mahayana akan membiarkan ikan yang telah

masuk jaring. Ha.... Ha.... Ha..." laki-laki ini cepat

berkelebat lalu berdiri tegak di lamping bukit.

Sepasang matanya yang sipit dijerengkan,

kepalanya melongok ke bawah.

Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini masih

menangkap kelebatan dua sosok di antara

kerapatan pohon di bawahnya. "Beium jauh...,"

gumamnya dengan senyum seringai. Sejenak dia

berpaling, memandang pada dua sosok dari Tiga

Dayang Setan yang telah jadi mayat.

"Kasihan. Jauh-jauh hanya cari matil" sepasang

matanya lantas mengedar ke hamparan tanah di

puncak bukit. Menarik napas sebentar. Dan sekali

kelebat, tubuhnya lenyap dari puncak bukit Sono

Keiing.

Di bawah sana, salah satu dari Tiga Dayang

Setan yang masih tersisa kerahkan segenap ilmu

peringan tubuhnya. Demikian juga Dewi Seribu

Bunga, tapi salah satu dari Tiga Dayang Satan ini

menempuh jalan yang banyak ditumbuhi semak

belukar lebat, dengan maksud agar Resi Mahayana

kesulitan jika berniat mengejar. Sedangkan Dewi

Seribu Bunga menempuh jalan yang ada, hingga

meski keduanya berkelebat turun bersamaan, si

gadis murid Maut Mata Satu telah jauh

meninggalkan si perempuan salah satu dari Tiga

Dayang Setan.


Pada hamparan semak belukar lebat di lereng

bukit, salah satu dari Tiga Dayang Setan hentikan

lari!

"Sialan. Aku terpaksa harus beristirahat

sebentar, dadaku serasa jebol. ini gara-gara

pukulan laki-laki keparat itu! Ah, ternyata Tanah

Jawa penuh dengan orang-orang yang berilmu

tinggi. Dua saudaraku telah jadi korban. Hem....

Aku harus secepatnya kembali ke Nias. Kelak aku

akan kembali ke sini dan menagih darah

saudaraku!'

Setelah mengurut dadanya, perempuan ini diam

sejurus. Kepalanya lantas tengadah ke atas.

Merasa tak ada orang yang mengejar ke arahnya,

perempuan ini melangkah hendak teruskan

menuruni bukit. Namun langkahnya tertahan. Di

belakangnya terdengar suara tawa berderai disusul

dengan teguran keras.

"Tak adil jika kau tak merasakan seperti yang

dinikmati saudara-saudaramu! Ha.... Ha.... Ha...!"

Tanpa berpaling, si perempuan sudah tahu siap

adanya orang yang keluarkan teguran. Sesaat

perempuan ini ragu-ragu. Akan terus melarikan

diri atau melakukan perlawanan.

"Tak ada jaian lain. Terpaksa harus mengadu

jiwa” si perempuan segera putar tubuh. Tapi

perempuan ini terperangah. Di hadapannya tak

ada siapa-siapa! Hanya semak belukar lebat.

"Baru saja kudengar suaranya, tapi mana

keparatnya? Telingaku juga mendengar tawanya,

namun mana bangsatnya?! Jahanam betul!"

Selagi mencari-cari, sepuluh langkah di

depannya semak belukar itu bergerak menguak.

Lalu muncul kepala botak dengan keluarkan suara

tawa bergelak.


Si perempuan tak membuang waktu. Belum

sampai tubuh Resi Mahayana keluar dari semak

belukar, si perempuan dari Tiga Dayang Setan

telah hantamkan kedua tangannya.

Brettt! Breeettt!

Semak belukar lebat di depan si perempuan

terbabat rata, malah sebagian tercerabut dari

akarnya dan berhamburan ke udara. Namun

sebelum hantaman itu menghajar sasaran, laki-

laki botak telah lenyap dari tempatnya berdiri!

"Setan Alas! Ke mana lenyapnya botak bangsat

ltu?!"

Selagi perempuan ini tajamkan telinga dan

beliakan mata mencari tahu di mana beradanya

Resi Mahayana, dari arah belakang berdesir angin

kencang. Si perempuan cepat berpaling dengan

tangan menghantam. Namun sebelum tangannya

lepaskan pukulan, sebuah kalung telah melingkar

di lehernya. Si perempuan tak pedulikan.

Tangannya terus menghantam ke depan. Namun

hantaman tangannya hanya menerpa tempat

kosong. Bersamaan dengan lenyapnya pukulan,

tiba-tiba perempuan ini merasakan tubuhnya

terangkat ke atas.

Mencium adanya bahaya, si perempuan hantam-

kan lagi tangan kiri kanannya ke atas. Kakinya

pun bergerak menendang ke belakang. Namun lagi-

lagi pukulannya hanya menghajar angin. Malah

pada saat yang sama, terdengar suara tawa

mengekeh panjang. Tiba-liba kepala si perempuan

laksana disentakkan hingga tengadah. Namun

cuma sesaat, sekejap kemudian tasbih di lehemya

terbetot ke belakang dengan kerasnya. Terdengar

tulang patah. Disusul kemudian dengan keluarnya

raungan keras dari mulut si perempuan. Ketika


tasbih melesat keluar dari leher, sebuah kaki

berkelebat menendang ke arah punggung.

Bukkk!

Si perempuan dari Tiga Dayang Setan ini hanya

sempat mengerang sebentar. Tubuhnya mental ke

depan lalu terjerembab di hamparan semak

belukar dengan nyawa melayang!

Resi Mahayana komat-kamitkan mulut.

Menyeringai sebentar lalu berkelebat meninggalkan

tempat itu.

*

* *

Pada suatu tempat yang dirasa aman karena

sudah jauh dari bukit Sono Keiing, Dewi Seribu

Bunga hentikan larinya. Lalu duduk bersandar

pada sebuah pohon dengan napas terengah-engah.

"Bagaimana sekarang...? Apa aku akan kembali

menemui Guru dahulu memberitahukan semua

ini, atau terus saja meiakukan penyelidikan? Ah....

Lebih baik teruskan saja melakukan penyelidikan.

Jika gagal, baru menemuinya! Hem.... Pedang

Tumpul. Apakah telah jatuh ke tangan orang lain?

Atau apakah pedang itu tidak ada? Hanya kabar

bohong yang direncanakan seseorang untuk suatu

tujuan tertentu? Bukankah Guru pernah

mengatakan jika rimba persiiatan selalu diselimuti

dengan akal licik dan muslihat?!" gadis ini lantas

teringat pada Resi Mahayana. "Seandainya aku

tidak sedang kebingungan untuk penyelidikan

pedang Itu, rasanya tanganku sudah gatal untuk

merobek mulutnya yang kelewat besar itu. Tiga

Dayang Setan.... ilmu masih sebatas mata kaki

sudah berani keluar sarang...."


Mungkin karena terlalu lelah, lagi pula angin

bertiup semilir, membuat Dewi Seribu Bunga

menguap dari sesaat kemudian gadis ini terlelap.

Namun baru saja sepasang mata si gadis menga-

tup, sebuah bayangan biru berkelebat dan tegak di

samping sang gadis yang tertidur setengah

berbaring bersandar pada pohon. Sosok ini

memperhatikan dada sang gadis yang bergerak

turun naik sambil mengelus-elus kepalanya yang

botak kelimis.

"Nasibku baik. Ternyata dia kutemukan di sini.

hem.... Mungkin dia kelelahan...." Sepasang mata

sosok berkepala botak yang bukan lain adaiah Resi

Mahayana mengerjap beberapa kali menelusuri

sekujur tubuh gadis di hadapannya. Jakunnya

mulai turun naik dengan dada berdebar. Karena

sang gadis tanpa disengaja angkat kaki sebelahnya

hingga pahanya tersingkap.

Rangsangan yang mendera dada Resi Mahayana.

tampaknya sudah tak bisa dibendung iagi. Tanpa

pikir panjang lagi, laki-laki berkepala botak ini

bungkukkan tubuhnya hendak mencium wajah si

gadis, sementara tangan kirinya bergerak meraba

paha si gadis.

Merasa ada hawa panas bersiur di wajah serta

usapan di pahanya, Dewi Seribu Bunga membuka

kelopak matanya. Mengerjap sebentar lalu

tengadah. Gadis Ini tersentak dan cepat menarik

tubuhnya ke samping. Lalu bangkit tegak dengan

keluarkan bentakan marah.

"Kurang ajar! Laki-iaki terkutuk!"

Wuuuttt! Wuuuttt!

Kedua tangan Dewi Seribu Bunga bergerak

lepaskan hantaman ke arah kepala Resi Mahayana

dari arah kanan kiri.


Resi Mahayana tak melakukan gerakan sedikit

pun. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Dewi

Seribu Bunga telah menghajar kepalanya dari arah

samping kanan dan kiri. Kepala botak ini tersentak

ke kiri lalu ke kanan. Tubuhnya yang tinggi besar

surut satu tindak ke belakang. Namun dari mulut

laki-laki ini tak terdengar seruan kesakitan.

Sebaliknya bibirnya keluarkan tawa pelan lalu

tangan kirinya mengusap kepalanya yang baru saja

terkena pukuian Dewi Seribu Bunga.

"Kepala manusia ini tampaknya kebal terhadap

pukulan. Tapi tidak bagian tubuhnya yang lain...."

Dewi Seribu Bunga kembaii maju. Tenaga dalam-

nya dilipatgandakan. Didahului bentakan keras,

kedua tangannya kembali melesat. Tangan kiri

mengarah pada perut, tangan kanan menghantam

ke bahu.

Kali ini Resi Mahayana tak tinggai diam. Tangan

kirinya mengibas sementara tangan kanannya yang

memegang tasbih diangkat dan menyentakkan

tasbihnya ke bawah.

Bukkk! Prakkk!

Benturan segera terdengar. Dewi Seribu Bunga

terpekik dan cepat mundur. Sepasang matanya

mendelik besar ketika mendapati tangan kanannya

berubah merah sedangkan tangan kirinya bergetar

dan ada warna kebiru-biruan membentuk tiga

bundaran.

Di depan sana, Resi Mahayana sedikit terkejut

ketika tangannya sempat bentrok dengan tangan si

gadis. Dia tak menyangka sama sekali jika si gadis

memiiiki tenaga dalam tinggi. Selagi iaki-iaki ini

bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang siapa

sebenarnya adanya si gadis, tiba-tiba terdengar

suara bentakan garang melengking. Pada saat yang


sama, dari arah depan menyambar satu sinar

menyebarkan cahaya berwarna-warni.

Wuuusss!

Setengah jalan, mendadak saja sinar itu pecah.

Lalu melesat berpuluh-puiuh pijaran api yang

selain keluarkan hawa panas juga berdesing tajam!

Resi Mahayana terkesiap. Dan buru-buru

hantamkan tangan kirinya sementara tangan

kanannya diputar-putar. Habis lakukan tangkisan,

laki-laki ini melesat ke samping, menghindar dari

muncratan pijar-pijar api. Terdengar beberapa

letupan yang keluarkan kobaran begitu pijaran-

pijaran api itu terkena pukulan tangan Resi

Mahayana. Namun karena banyaknya pijaran yang

muncrat, sebagian lolos dan menghajar pepohonan

di sekitar tempat itu. Pohon yang terkena pijaran

api langsung hangus dan terbakar! Tidak lama

kemudian pohon itu berkeretekan lalu tumbang

terbelah! Tanah yang terkena percikan pijaran api

langsung muncrat ke udara dan berhamburan

dengan berubah menjadi panas!

"Pukuian 'Api Seribu Bunga'!" desis Resi Maha-

yana mengenal pukuian yang dilepaskan Dewi

Seribu Bunga. "Tak bisa kupercaya! Dalam rimba

persilatan hanya satu orang yang memiiiki pukulan

sakti itu! Tokoh yang sudah lama tak unjuk diri

lagi entah sudah tewas atau masih sembunyikan

diri. Maut Mata Satu! Apakah dia murid Mata

Satu?! Hem.... Tak heran jika dia bergelar Dewi

Seribu Bunga. Tapi aku tadi masih belum mengira

jika gelar itu ada hubungannya dengan pukuian

'Api Seribu Bunga'...."

Ketika pijaran bunga-bunga api sirap, Resi

Mahayana memperhatikan Dewi Seribu Bunga

yang saat itu juga menatap ke arahnya. Pelipis


gadis ini bergerak-gerak dengan mata berkilat

merah, karena pukulan yang dilepaskan tidak

menghantam sasaran.

"Apa hubunganmu dengan Maut Mata Satu?l"

bentak Resi Mahayana.

"Di sini bukan tempatnya untuk bertanya!" seru

Dewi Seribu Bunga meski parasnya sedikit

berubah karena merasa orang mengenali siapa

gurunya. Namun perasaan itu segera lenyap begitu

mengingat perlakuan laki-laki di hadapannya yang

baru saja mencoba mencium dan menggerayangi

pahanya. Amarahnya kembaii menggelora. Dan

tanpa berkata iagi, gadis ini tarik kedua tangannya

ke belakang dengan telapak mengepal. Lalu

didorong ke depan sambil mengembangkan telapak

tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua sinar yang menebarkan sinar berwarna-

warni kembali melesat keluar dari telapak tangan

Dewi Seribu Bunga. Setengah jalan, sinar itu pecah

lalu bermuncratan kembang-kembang api yang

membawa hawa panas dan keluarkan suara

mendesis tajam!

Tahu akan kehebatan pukulan yang dilancarkan

si gadis, Resi Mahayana cepat takupkan kedua

tangan nya. Tubuhnya melorot turun hingga duduk

bersila.

Sesaat kemudian tubuh resi ini terangkat dan

mengapung di udara masih dengan bersila dan

mata mengatup. Tiba-tiba kedua tangannya

bergerak dan di hantamkan ke depan.

Asap biru membersit dari kedua tangan sang

Resi. Begitu keluar, asap itu melebar lau

menghampar di tempat itu dan sebagian

membentuk gulungan-gulungan dan melesat ke

arah Dewi Seribu Bunga.


Beberapa bunga pijaran api meletup lalu padam

namun sebagian lagi terus melesat ke arah Resi

Mahayana dari berbagai jurusan.

Laki-laki ini melengak kaget. Cepat dia angkat

tangan kanannya dan putar tasbihnya. Angin

menderu-deru segera melindungi tubuhnya yang

masih mengapung di udara. Beberapa bunga api

yang mengarah padanya segera mental lalu padam.

Namun karena banyaknya bunga api, mau tak mau

membuat sang Resi kewalahan. Hingga tak pelak

lagi satu dua bunga api sempat menyambar

tubuhnya!

"Setan Jahanami" maki Resi Mahayana seraya

tekapkan tangan kirinya ke lambung. Tangan

kanannya terus putar-putar tasbihnya. Tiba-tiba

laki-laki ini gerakkan kepalanya. Tubuhnya yang

mengapung bergerak melayang ke belakang. Lalu

perlahan-lahan turun ke atas tanah.

Cepat-cepat ditelitinya bagian tubuh yang

terkena pijaran. Dia berkerut. Kulit di bagian

lambungnya telah melepuh begitu juga lengan

kirinya. Dan belum sempat laki-laki ini kerahkan

tenaga daiam, lambung dan lengannya berkedut-

kedut. Lalu lepuhan itu muncrat dengan keluarkan

cairan hitam. Ternyata kulit lambung dan lengan

itu berlubang dan mengucurkan darah! Tahu

akibat apa yang akan terjadi kalau sampai

terlambat, Resi Mahayana cepat menotok

permukaan kulit sekitar lubang yang mengucurkan

darah itu. Lalu dari balik pakaiannya dia

keiuarkan butiran kecil yang segera ditelan. Kedua

tangannya lantas menakup dengan mata

memejam, mulutnya perdengarkan suara yang tak

jelas.


Di depan sana, Dewi Seribu Bunga terlihat

tersapu oleh hamparan asap biru. Tubuhnya

melayang dengan mulut megap-megap tanpa ada

suara yang terdengar. Tubuhnya baru terhenti

ketika menghantam sebatang pohon. Lalu terkapar

dengan dada bergerak turun naik.

"Keparat! Dadaku seakan tak bisa digunakan

untuk bernapas. Asap gila apa lni?i" gumam Dewi

Seribu Bunga seraya tarik tubuhnya bersandar ke

batang pohon. Gadis ini segera kerahkan hawa

murni untuk mengatasi dadanya. Namun gadis ini

tertegun dengan wajah makin pucat. Kekuatannya

tiba-tiba lenyap! Hingga dia tak mampu kerahkan

tenaga daiam!

"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?

Padahal tubuhku tidak mengalami cidera yang

parah. Benar-benar gila. ilmu apa yang dilepaskan

laki-laki bangsat itu?!"

Selagi Dewi Seribu Bunga dilanda kecemasan, di

depan sana Resi Mahayana buka kelopak matanya.

Darah yang mengucur telah berhenti. Sejenak

sepasang matanya memandang ke arah Dewi

Seribu Bunga. Tiba-tiba bibir laki-laki berkepala

botak ini ulaskan senyum.

"Pukuian 'Pelebur Tenaga' ternyata telah

terhirup. Hem.... Sekarang tanpa tenaga pun aku

bisa meringkusnya! Aku harus segera bertindak.

'Pelebur Tenaga’ itu hanya akan melebur tenaganya

selama seperempat hari!"

Resi Mahayana bangkit. Melangkah perlahan ke

arah Dewi Seribu Bunga dengan bibir tersenyum.

"Celaka! Keparat itu mendekat. Padahal

tenagaku masih belum bisa puiih. Apa yang harus

kulakukan...?”

Dewi Seribu Bunga mencoba duduk. Merasa

mampu, gadis ini segera hendak bangkit. Namun


mulutnya segera keluarkan keluhan pendek tatkala

baru saja bergerak, tubuhnya limbung dan

akhirnya jatuh kembali.

Resi Mahayana tertawa bergelak-gelak.

"Dewi.... Tenagamu akan pulih jika kita telah

bersatu dalam asmara. Ha.... Ha.... Ha...!"

Laki-laki berkepala botak ini hentikan langkah di

samping Dewi Seribu Bunga. Tasbihnya disimpan

ke balik jubahnya. Kedua tangannya lantas

bergerak menjulur ke depan dengan tubuh sedikit

dibungkukkan.

"Jahanam! Apa yang hendak kau lakukan?!"

teriak gadis berbaju merah dengan tubuh

gemetaran dan mata mendelik.

"Sudah kukatakan. Tenagamu akan pulih jika

kita bersatu dalam kemesraan. Bukankah kau

ingin tenagamu kembali?" sambii berkata, tangan

laki-laki ini telah mengusap pundak si gadis,

sedangkan tangan satunya merayap dari arah

bawah, menyingkap pakaian si gadis!

Dewi Seribu Bunga berteriak-teriak. Karena

hanya itu yang dapat dilakukan. Seluruh tubuhnya

lemas tak bisa digerakkan. Dan teriakan itu

berubah menjadi bentakan-bentakan marah serta

dampratan panjang pendek tatkala tangan kanan

Resi Mahayana telah menyingkap pakaian

bawahnya hingga pahanya terlihat, sementara

tangan kirinya terus bergerak ke arah dadanya,

Breeettt!

Resi Mahayana sentakkan tangan kirinya.

Pakaian si gadis di bagian dada langsung robek.

Sepasang mata sang Resi membentang besar

melihat payudara putih membusung dan bergerak

turun naik.


Tanpa mempedulikan teriakan dan makian si

gadis yang sudah tak berdaya. Resi Mahayana

rebahkan tubuhnya hendak menindih Dewi Seribu

Bunga. Namun gerakan laki-laki ini tertahan.

Karena dari arah samping menderu angin deras

menghantam ke arahnya. Mendapati gelagat

buruk, Resi Mahayana segera berpaiing dan cepat

membuat gerakan memutar tubuh sambil

melompat ke samping.

Brakkk!

Pohon di belakang Dewi Seribu Bunga berderak

dan tumbang begitu terkena pukulan yang berhasil

dihindari Resi Mahayana.

"Terkutuk! Siapa berani berlagak jual ilmu

kepadaku?!" teriak Resi Mahayana seraya putar

kepala dengan mata liar ke sana kemari.

Belum lenyap gema teriakan Resi Mahayana,

sesosok bayangan berkelebat tahu-tahu tegak di

hadapan sang Resi dengan kepala celingukan!

***


LIMA


Dari tempatnya masing-masing, Resi

Mahayana dan Dewi Seribu Bunga melihat

seorang pemuda mengenakan pakaian putih

dengan ikat kepala putih melingkar di

rambutnya yang panjang dan sedikit acak-acakan.

Pemuda ini berparas tampan dengan tubuh tegap.

Namun gerak-geriknya membuat orang yang

melihat kerutkan dahi, karena jari kelingking

tangan kanannya dimasukkan pada lubang

telinganya hingga wajahnya meringis dengan tubuh

sedikit menggelinjang!

"Tingkah dan gerak-geriknya seperti orang

sedeng. Tapi melihat pukulannya tadi, jelas

mengandung tenaga dalam tinggi. Hem.... Siapa

pemuda ini?" Resi Mahayana membatin dengan

memandang tak berkedip. Kemarahan akibat

urusannya tertundak dicoba ditahan.

Seraya.melangkah maju, dia keluarkan bentakan.

"Anak Muda. Kau mencari mati berani ikut

campur urusanku!"

Si pemuda seakan tak mendengar bentakan

orang. Malah dia telengkan kepalanya lalu

digerakkan ke kanan kiri dengan tubuh berjingkat,

karena kelingkingnya masuk makin dalam!

"Heran. Apa yang dilakukan pemuda ini?

Tingkahnya mirip anak-anak saja! Tapi

pukulannya tadi membuat laki-iaki keparat itu

urungkan niatnya. Mudah-mudahan dia bersedia

menolongku...," Dewi Seribu Bunga membatin

seraya coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun

gagal hingga yang keluar dari mulutnya adalah

keluhan pendek.


"Rupanya kau ingin mati dalam keadaan begitu!"

seru Resi Mahayana. Kemarahannya tak dapat

dibendung lagi karena merasa dirinya tidak

digubris.

"Makan pukulanku ini!" teriaknya seraya

hantamkan kedua tangannya sekaligus.

Angin deras segera melesat mengarah pada si

pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng,

Pendekar Pedang Tumpul 131.

Paras Joko berubah seketika. Jari kelingkingnya

cepat ditarik. Sambil mundur satu langkah, kedua

tangannya segera menyentak.

Tanah di tempat itu segera bergetar tatkala dua

pukulan itu bertemu di udara. Resi Mahayana

cepat-cepat kerahkan tenaga dalamnya karena

merasa tubuhnya terdorong keras ke belakang.

"Anak Setan! Siapa kau sebenarnya?!"

Joko hanya menyeringai sambil gosok-gosokkan

tangannya.

"Orang Tua! Manusia macam kau tak pantas

mengetahui siapa aku! Aku memberimu

kesempatan untuk segera enyah dari tempat ini!"

"Begitu? Apa kau juga menginginkan tubuh

montok itu?! Hah...?!"

Paras Dewi Seribu Bunga tampak mengelam.

Gadis ini berteriak memaki.

"Orang tua gila! Ternyata pakaianmu saja yang

menunjukkan layaknya seorang resi. Tapi

kelakuanmu lebih rendah dari binatang!"

Dimaki demikian, Resi Mahayana naik pitam.

"Diam kau, gadis keparat! Kau layak berterima

kasih karena nasib burukmu tertunda! Tapi jangan

cepat bergembira, setelah orang gila itu menerima

kematian, pekerjaan nikmat itu kita teruskan!"



"Jangan mimpi bisa mereguk kenikmatan itu,

Orang Tua!"

"Anak Keparat! Kau masih muda, belum

merasakan bentangan ganasnya rimba persilatan

hingga tak tahu siapa yang sedang kau hadapi"

"Hem.... Bukankah aku sedang berhadapan

dengan resi berwatak kambing?"

"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya

kembangkan telapak tangan lalu didorong ke

depan.

Dua asap biru membersit. Laiu menghampar dan

sebagian membentuk gulungan-gulungan. Resi ini

telah lepaskan kembali pukulan 'Pelebur Tenaga'.

Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tersadar. "Mungkin

tenagaku ienyap karena menghirup asap itu! Aku

tadi megap-megap tatkala pertama kali

menghirupnya!" berpikir sampai di situ sambil

menahan napas gadis ini berteriak.

"He! Tahan napas. Asap itu beracunl" Mendapati

peringatan, Joko cepat tutup pernapasannya.

Kedua tangannya dikembangkan lalu dihantamkan

ke depan.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Sinar kuning keperakan segera menyambar

keluar. Suasana di tempat itu berubah menjadi

semburat warna kuning dan panas!

Asap biru yang menghampar dan bergulung-

gulung ambyar dengan keluarkan ledakan dahsyat.

Namun tubuh murid Pendeta Sinting dari jurang

Tiatah Perak ini terlihat terhuyung-huyung karena

tersapu oleh hamparan angin yang keluar dari

asap biru. Di depan sana. Resi Mahayana

terdorong mundur sampai tiga langkah sebelum

akhirnya lorotkan tubuh untuk duduk bersila.

Tubuh orang tua ini tampak bergetar keras. Kedua

tangannya gemetar. Sedangkan wajahnya berubah


pucat pasi. Laki iaki ini segera sentakkan kedua

bahunya. Perlahan-lahan tubuhnya terangkat dan

mengapung di udara. Kelopak matanya segera

memejam, lalu membuka kembali bersamaan

dengan menyentaknya kedua tangan.

Untuk kedua kalinya asap biru menghampar.

Namun kali ini daya lesatnya lebih cepat. Bahkan

angin deras yang menyertainya seolah datang dari

segenap penjuru. Hingga saat itu juga hamparan

tanah di tempat itu laksana air yang terpukul,

muncrat ke udara menutupi pemandangan!

Joko cepat takupkan kedua tangannya.

Tangannya berubah kekuningan. Lalu dengan

keluarkan bentakan keras, kedua tangannya

didorong.

Blaaammm!

Tempat itu berguncang. Asap biru berantakan

sebelum akhirnya terseret ke atas dan lenyap!

Angin deras yang menyertai asap biru pukulan

‘Pelebur Tenaga’ pun menyibak ke kanan dan kiri.

Menghantam segala yang ada di sekitarnya!

Dewi Seribu Bunga yang berada di sebelah

kanan keluarkan seruan tertahan tatkala

tubuhnya mencelat tersapu angin. Sementara di

sebelah depan, Resi Mahayana terdorong mundur

dengan derasnya, hingga tak bisa lagi kuasai

keadaan, laki-laki berkepala botak ini terjerembab

dengan kepala mendahului tubuh! Ketika orang

tua ini angkat kepalanya, dari hidung dan sudut

bibirnya mengucur darah kehitaman!

Dua puluh langkah di hadapan Resi Mahayana

Joko Sableng berlutut dengan raut pucat seakan

tak berdarah. Dadanya bergetar keras. Urat-urat

tubuhnya bertonjolan keluar membentuk guratan-

guratan merah.


Perlahan-lahan Resi Mahayana bergerak duduk.

"Hari ini aku menemui dua keanehan besar.

Pertama tentang pukulan yang dilepas gadis

keparat itu. Yang kedua pukulan yang dilepas

pemuda edan itu. Aku ingat betul. Pukulan yang

dilepas adalah milik tokoh sinting yang puluhan

tahun lalu pernah menggedorkan rimba persilatan.

Bagaimana ini? Apakah kedua orang ini murid-

murid tokoh itu?! Hem.... Meski pukulan 'Pelebur

Tenaga'-ku tak berhasil, namun aku yakin pemuda

Itu juga cidera dalam. Aku harus segera

menyelesaikannya. Jika tidak, urusan kenikmatan

dengan gadis Itu akan tertunda!"

Resi Mahayana segera bangkit, tangan kanannya

menyeilnap ke balik jubahnya mengambil tasbih.

Joko kerutkan dahi. "Dia menggunakan senjata.

Meski hanya, berupa untaian kayu, aku yakin itu

bukan senjata sembarangan! Apakah aku harus

menggunakan pedang ini?l Hem.... Tak ada

salahnya jika aku mencoba kehebatannya!" Dia

segera selinapkan tangan kanan ke balik pakaian

bagian pinggang di mana terselip Pedang Tumpul

131.

Resi Mahayana telah bergerak melangkah seraya

putar-putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera

melingkupi tempat itu. Tangan kiri sang Resi

diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun

gerakannya tertahan tatkala di depan sana cahaya

kuning segera menghampar berkilat-kilat.

Resi Mahayana sejenak tertegun seakan tak

percaya dengan pandangan matanya. Mulutnya

berkemik. Lalu tanpa sadar dari mulutnya keluar

desisan keras.

"Pedang Tumpul 131!"

"Hem.... Jadi manusia ini telah berhasil

mendapatkan pedang itu! Bagus. Rezekiku besar.


Selain mendapatkan apa yang kucari, sekaligus

bisa menikmati tubuh montok...."

"Anak Muda! Selembar nyawamu kuampuni,

bahkan kalau mau kau boleh mengambil gadis itu.

Tapi serahkan pedang itu padaku!" sambil berkata,

tangan kirinya membuat gerakan orang meminta.

Di samping, mendengar ucapan Resi Mahayana,

Dewi Seribu Bunga buka kelopak matanya yang

sejak tadi dikatupkan. Sejurus mata gadis itu

terpentang besar. Memperhatikan pedang di tangan

kanan Joko.

"Pedang pendek berwarna kuning keperakan.

Gagangnya hijau dari batu giok. Di tubuh pedang

terdapi guratan angka 131. Tak salah lagi. itu

Pedang Tumpul 131! Jadi...," Dewi Seribu Bunga

tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-tiba Resi

Mahayana telah kembali membentak.

"Kau dengar ucapanku. Tunggu apa lagi?!

Serahkan pedang itu!"

Pendekar 131 tersenyum. "Orang Tua! Kau ini

minta atau apa?!"

"Banyak mulut!" hardik Resi Mahayana.

Semangat laki-laki ini kini bertambah besar. Dia

memutuskan merebut pedang itu dengan jalan apa

saja, malah ingatannya pada Dewi Seribu Bunga

seakan lenyap seketika. Dan tanpa menunggu lebih

lama lagi, dia melompati depan. Tangan kirinya

melepas pukulan tangan kosong sementara tangan

kanannya menyentakkan tasbih.

"Saatnya bagiku melihat kehebatannya!" gumam

Joko seraya hantamkan tangan kirinya untuk

menangkis hantaman pukulan tangan kiri sang

Resi. Sementara tangan kanannya mengayunkan

pedang.


Letupan keras terdengar ketika pukulan tangan

kosong masing-masing orang ini bertemu.

Kemudian disusul dengan suara benturan benda

tatkala Pedang Tumpul 131 menderu dan

menghantam tasbih Resi Mahayana.

Tasbih di tangan Resi Mahayana langsung

berantakan dan berhamburan. Laki-laki botak ini

berseru keras. Tangan kanannya bergetar hebat

dengan wajah pias! Sosoknya terhuyung ke

belakang. Saat itulah Pendekar Pedang Tumpul

131 melesat ke depan. Tangan kanan yang

memegang pedang diangkat tinggi-tinggi. Resi

Mahayana menduga lawan akan babatkan

pedangnya. Dia meliukkan tubuhnya ke bawah.

Namun dugaan Sang Resi melesat. Karena bukan

pedang Joko yang bergerak membabat, melainkan

tangan kirinya yang menghantam.

Bukkk!

Resi Mahayana terpekik keras. Sosoknya mental

hingga dua tombak lalu berputar dan terbanting di

atas tanah. Karena pukulan tangan Joko Sableng

tepat mengenai lambungnya yang telah terluka,

lambung yang berlubang itu kembali keluarkan

darah hitam!

Resi Mahayana keluarkan suara gemeretak dari

mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia hendak

hantamkan tangannya. Namun tulang lengan

kanannya patah, hingga akhirnya dia hanya bisa

hantamkan pukulan dengan tangan kiri.

Pendekar Pedang Tumpui 131 bergerak ke

samping menghindar. Hingga pukulan tangan

kosong itu lewat. Saat itulah berdesing lingkaran

coklat berputar-putar. Ternyata Resi Mahayana

telah cabut kalung di lehernya dan dilemparkan ke

arah Joko. Karena lemparan itu bukan lemparan

biasa, meski hanya sebuah kalung dari untaian


kayu, namun dapat mengeluarkan desingan tajam

dan mempunyai daya lesat luar biasa.

Murid Pendeta Sinting angkat pedangnya. Sinar

kuning keperakan membersit dengan keluarkan

suara bergemuruh ketika Pedang Tumpul 131

diayunkan memapak datangnya kalung.

Praaakkk!

Untaian kalung hancur berkeping-keping.

Anehnya, hancuran kalung yang terbuat dari kayu

itu masih berlesatan ke sana kemari. Joko segera

melompat, namun tak urung juga salah satu dari

hancuran kalung menerpa tubuhnya. Murid

Pendeta Sinting seakan tak percaya. Pakaian yang

dikenakannya serta-merta terbakar dan tubuhnya

terdorong hingga jatuh berlutut!

Melihat Joko terjatuh berlutut, Resi Mahayana

tanpa memberi kesempatan. Tubuhnya bangkit

lalu melesat dengan tangan kiri menghantam.

Dengan menindih rasa panas, Joko cepat

gulingkan tubuh. Pada gulingan ketiga, pemuda ini

berbalik lalu hantamkan tangan kirinya.

Sinar kuning keperakan membersit. Karena Resi

Mahayana datang menyongsong tepat saat sinar

mengembang, maka tak ampun lagi tubuh laki-laki

berkepala botak ini mencelat mental hingga

beberapa tombak, lalu terbanting di tanah. Pakaian

yang dikenakannya telah hangus. Sekujur

tubuhnya melepuh. Untuk beberapa saat lamanya

laki-laki botak ini mengerang dengan berguling-

gulingan menahan rasa panas.

Namun makin lama erangannya makin pelan,

gulingan tubuhnya pun tiba-tiba berhenti.

Pendekar Pedang Tumpui 131 memandang

sekilas. Lalu melangkah mendekat dengan pedang

siap diayunkan sementara tangan kiri siap


lepaskan pukulan. Tapi tiba-tiba Joko hentikan

langkahnya tatkala dilihatnya Resi Mahayana

meraung keras yang serta-merta putus laksana

disentakkan! Laki-laki ini kaku dan tak bergerak

lagi!

Pendekar 131 teruskan langkah mendekat.

Sejenak diperhatikannya tubuh Resi Mahayana

yang terkapar mati dengan tubuh melepuh dan

darah menggumpal dari hidung dan mulut.

Murid Pendeta Sinting ini menarik napas dalam,

lalu memasukkan Pedang Tumpui 131 ke

sarungnya di balik pakaiannya.

"Sebenarnya aku tak mengharapkan ini terjadi,

tapi...," murid Pendeta Sinting ini tak lanjutkan

gumamannya, karena terdengar orang menegur.

"Hei.. Kau tidak menolongku?!"

"Astaga! itu suara gadis...." Joko cepat putar

tubuh lalu melangkah lebar-lebar ke arah Dewi

Seribu Bunga.

***



ENAM


PENDEKAR Pedang Tumpul 131 melangkah

mendekati Dewi Seribu Bunga yang masih

terkapar tak berdaya. Begitu berada di

samping sang gadis, pemuda murid Pendeta

Sinting ini tertegun lalu cepat arahkan

pandangannya ke jurusan lain karena dada gadis

di hadapannya terpentang memperlihatkan

payudaranya yang kencang putih!

Si gadis sendiri berubah parasnya menjadi

merah mengelam. Namun karena tak berdaya

untuk menggerakkan anggota tubuhnya akibat

pukulan 'Pelebur Tenaga' yang dilepas Resi

Mahayana, gadis ini tak bisa berbuat banyak.

Hingga pada akhirnya dia buka mulut dengan

suara pelan.

"Akibat pukulan laki-laki tadi, tenagaku lenyap.

Harap kau sudi menolongku dengan coba alirkan

tenaga dalam ke tubuhku. Siapa tahu bisa

membantu. Kau tak keberatan bukan?!"

"Hem.... Bagaimanapun juga gadis ini telah

memperingatkanku sewaktu laki-laki itu lepaskan

pukulan. Jika tidak, mungkin aku mengalami hal

yang sama. Aku akan memenuhi

permintaannya...."

Joko berpaling lagi. Namun matanya sengaja

diarahkan pada sepasang mata si gadis. Hingga

untuk beberapa saat kedua orang ini saling adu

pandang.

"Hem.... Gadis cantik. Matanya bundar tajam.

Dan...," Joko coba meiirik agak ke bawah, ke dada

si gadis. Namun baru saja matanya beralih ke

dada, Dewi Seribu Bunga telah menegur.


"Apa lagi yang kau tunggu? Atau kau merasa

keberatan?!"

Seakan baru tersadar, Joko segera gelengkan

kepalanya. Lalu dengan dada berdebar pemuda ini

duduk disamping Dewi Seribu Bunga. Dewi Seribu

Bunga sendiri tampak bersemu merah malah

begitu Joko duduk, gadis ini segera arahkan

pandangannya ke atas. Diam-diam dalam hati dia

berkata.

"Mudah-mudahan pemuda ini tak punya niat

jelek. Ah, kenapa aku berpikir sampai ke sana?

Kalau dia berniat jeiek, bukankah mudah saja

baginya melakukan apa yang diinginkan karena

aku tak berdaya? Siapa pemuda ini sebenarnya...?

Sungguh beruntung pemuda ini. Berhasil

mendapatkan pedang pusaka yang diperebutkan

banyak tokoh rimba persilatan. Hem.... Bagaimana

sekarang? Apa yang harus kulakukan setelah dia

nanti berhasil menolongku? Apakah aku harus

merebut pedang itu dari tangannya? Atau.... Ah.

Aku jadi bingung...."

Murid Pendeta Sinting ini sekilas menatap wajah

Dewi Seribu Bunga. Lalu turun ke dadanya. Jakun

pemuda ini bergerak turun naik dengan wajah

hangat. Namun pemuda ini segera sadar bahwa si

gadis memerlukan pertolongan. Kedua tangannya

segera menjulur ke depan. Tubuh si gadis

digerakkan membalik. Lalu kedua telapak

tangannya ditempelkan ke punggung si gadis.

Sepasang matanya lantas mengatup. Setelah

menarik napas dalam-dalam, murid Pendeta

Sinting ini mulai alirkan tenaga dalam pada sang

gadis.

Dewi Seribu Bunga merasakan hawa sejuk

menembus kulit punggungnya lalu mengalir kesekujur tubuhnya. Perlahan-lahan anggota

tubuhnya berubah hangat. Aliran darahnya teratur

dan normal seperti sediakala.

Dengan masih menelungkup, Dewi Seribu Bunga

coba menggebrakkan jari-jari tangannya. Gadis ini

bernapas lega, karena jari-jari itu bisa digerakkan.

Merasa berhasil, gadis ini coba angkat tangannya.

Ternyata tangannya pun dapat digerakkan!

"Tenagaku pulih kembali...," batin Dewi Seribu

Bunga dengan merentangkan tangan.

Ketika Joko tarik kedua tangannya dari

punggung Dewi Seribu Bunga, gadis ini segera

gerakkan tubuhnya membalik. Kepalanya berpaling

ke samping dengan mata memandang lekat-lekat

pada Joko Sableng.

"Terima kasih...," katanya sambil bergerak ke

atas lalu bangkit duduk. Mungkin karena merasa

gembira tenaganya bisa pulih kembaii, Dewi Seribu

Bunga segera rentang-rentangkan kembali kedua

tangannya. Sementara Joko cepat-cepat alihkan

pandangan meski ekor matanya meiirik.

Melihat tingkah pemuda di sampingnya, Dewi

Seribu Bunga kerutkan dahinya. Namun mulutnya

segera keluarkan seruan tertahan tatkala

mengetahui apa yang membuat sang pemuda

melirik. Ternyata dadanya yang terbuka terpentang

lebar tatkaia dia merentangkan tangannya. Dengan

wajah berubah, gadis ini buru-buru menutupkan

pakaiannya yang robek pada dadanya yang

terbuka.

“Tak keberatan sebutkan siapa kau sebenarnya?"

Joko ajukan pertanyaan untuk mengatasi keadaan

yang kaku itu.

"Aku... Dewi Seribu Bunga. Kau?!"


Joko Sabieng,berpaling memandang. "Joko...

Joko Sableng "

"Joko Sableng.... Hem.... Pantas. Meski dia tak

berniat jahat, namun matanya itu nakal.

Jelalatan...”

Joko bangkit. Tersenyum lalu berkata.

"Tenagamu telah pulih, dan kau bisa teruskan

perjalanan. Sedangkan aku pun harus pergi. Ada

urusan yang perlu kuselesaikan."

Pendekar Pedang Tumpui 131 putar tubuh. Lalu

melangkah meninggalkan tempat itu. Namun suara

menahan langkahnya.

"Tunggu!" Dewi Seribu Bunga melangkah

mendekat. "Kau hendak ke mana?!"

Joko balikkan tubuh. Dewi Seribu Bunga tampak

kikuk karena harus memegangi robekan kain di

dadanya. Joko segera lepaskan ikat kepalanya dan

diberikan pada si gadis. Tahu akan maksud Joko,

Dewi Seribu Bunga segera menyambuti ikat kepala

itu. Lalu diikatkan pada robekan kain di dadanya

dan diikatkan ke belakang. Hingga sejenak

kemudian gadis ini bebas gerakkan tangannya. Dia

mengulangi pertanyaannya.

"Aku pergi ke mana aku suka, ke mana kaki

mengajak. Kau sendiri hendak ke mana?!"

Mendengar pertanyaan Pendekar 131, Dewi

Seribu Bunga berubah seakan terkejut.

Memandang lekat-lekat pada pemuda di

hadapannya dari bawah hingga atas.

"Bagaimana aku harus menjawab? Apakah aku

akan berterus terang tentang tujuan perjalananku

ini? Padahal pedang itu telah berhasil didapatnya!

Apakah aku harus merebut dari tangannya?

Sedangkan dia baru saja menolongku? Kalau tidak

karena pertolongannya, aku tak tahu apa yang


akan menimpaku! Menuruti ucapan Guru, ingin

rasanya aku merebut pedang itu. Tapi aku tak

kuasa melakukannya...."

"Wajahmu berubah. Kau memikirkan sesuatu?"

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepaianya

sembunyikan perasaan bimbang. Antara menuruti

ucapan gurunya yang harus mendapatkan pedang

dengan segala cara dan kerahkan segenap tenaga

atau menuruti kata hatinya yang tak kuasa

melakukan terhadap orang yang telah

menolongnya. Lebih-iebih hati gadis ini sebenarnya

mulai tertarik dengan pemuda di hadapannya!

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Dewi

Seribu Bunga berkata.

"Tak mau jika aku ikut ke mana kau pergi?!"

Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Dia tak

menduga akan ucapan gadis di hadapannya.

Hingga untuk sesaat lamanya dia tak menjawab.

"Bagaimana ini?! Padahal aku akan menemui

Guru.... Apa nanti kata Guru jika aku menemuinya

dengan membawa seorang gadis?"

"Bagaimana?! Apa kau merasa keberatan?!" Dewi

Seribu Bunga ajukan lagi pertanyaan setelah Joko

tidak memberikan jawaban.

"Sebenarnya terlalu sayang jika menolak tawaran

seorang gadis cantik macam dia. Hem....

Sementara aku akan mengajaknya, sambil cari

jalan bagaimana sebaiknya...." Joko Sableng

tersenyum lalu berkata.

"Jika itu maumu, baiklah.”

Dewi Seribu Bunga tersenyum lebar. Joko

mengangguk dengan sebelah mata dikedipkan lalu

balikka tubuh. Si gadis segera melangkah

menjajari.


Namun baru saja kedua muda-mudi ini hendak

melangkah, terdengar makian keras.

"Anak Jahanam! Diberi tugas keluar dari

kandang malah digunakan untuk bermain gila!"

***


TUJUH


JOKO dan Dewi Seribu Bunga tersentak kaget.

Keduanya serentak palingkan kepala masing-

masing ke samping kanan dari mana suara

teguran datang. Di situ tampak tegak seorang

kakek berparas bulat besar. Kulitnya tipis dan

pucat. Berambut putih dikuncir ke belakang. Raut

wajahnya hampir tak kelihatan karena ditutupi

sebagian jambang, kumis, dan jenggotnya yang

lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang

berwarna kuning. Matanya hanya sebelah,

sedangkah sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah

kulit bundar yang diikat dengan tali ke belakang

kepalanya.

Joko sempat tersekat melihat tampang angker si

orang tua. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa

yang dimaki oleh kakek itu. Sebaliknya Dewi

Seribu Bunga tampak tercengang hingga untuk

sesaat dia pandangi kakek di hadapannya dengan

mulut terkancing rapat.

"Dewi.... Kau kenai dengan hantu ini?!" gumam

Joko tanpa berpaling.

Tersadar oleh pertanyaan Joko, Dewi Seribu

Bunga segera menghambur ke depan lalu

membungkuk dalam-dalam di hadapan si kakek.

"Guru...."

Mata kanan si kakek berompi kuning ini

mendelik angker. Memandang lurus pada Dewi

Seribu Bunga, lalu beralih pada Joko Sableng.

Seteiah keluarkan dengusan beberapa kali, kakek

yang bukan lain adalah Maut Mata Satu, guru

Dewi Seribu Bunga keluarkan bentakan keras.

"Bagaimana tugasmu, Larasati?!"


"Guru. Murid minta maaf...," Dewi Seribu Bunga

tidak dapat meneruskan ucapannya. Apa yang

akan dikatakan serasa tersekat di tenggorokan.

"Larasati! Kenapa kau berhenti?! Ayo teruskan

kata-katamu!" seraya berkata Maut Mata Satu

terus memandang ke arah Joko tanpa berkedip.

Sementara Joko sendiri sepertinya acuh tak acuh,

meski keterkejutan tak bisa lenyap dari parasnya.

Namun diam-diam murid Pendeta Sinting ini kini

mengetahui hubungan antara Dewi Seribu Bunga

dengan kakek bermata satu itu.

"Gadis itu muridnya. Hem.... Tugas apa yang

dibebankan pada gadis itu? Kenapa dia tak

menjawab pertanyaan gurunya? Kalau sampai

salah ucap, mungkin aku dicurigai! Sialan benar!

Perempuan ternyata bisa membuat masalah!"

Karena Dewi Seribu Bunga belum juga membuka

mulut, Maut Mata Satu akhirnya berkata. "Kau tak

berhasil dengan tugasmu. Benar?!"

Seribu Bunga anggukkan kepalanya. Maut Mata

Satu mendengus keras.

"Seseorang mendahuluinya mendapatkannya.

Begitu?!"

Untuk kedua kalinya Dewi Seribu Bunga

gerakkan kepalanya mengangguk.

"Kau tahu siapa orangnya?!"

Dewi Seribu Bunga berlutut. Lalu tengadahkan

kepalanya memandang pada sang guru. Wajah

gadis ini jelas menunjukkan rasa khawatir.

"Bagaimana harus mengatakannya bahwa

pedang itu sebenarnya telah jatuh ke tangan Joko?

Jika kukatakan terus terang, pasti Guru akan

bertindak! Kalau tidak kukatakan, dia pasti akan

marah besar.... Ah!"


"Larasati. Baru beberapa hari kau merasakan

dunia luar sikapmu telah berubah! Kau

menyimpan sesuatu! Dan hem.... Pakaianmu tak

karuan. Apa yang telah kau lakukan dengan anak

ingusan itu, nah?!"

"Guru.... Guru jangan salah sangka. Justru

kalau tidak karena pertolongannya, aku akan

menemui ajal di tangan bangsat laki-laki itu!" Dewi

Seribu Bunga arahkan pandangannya pada mayat

Resi Mahayana.

Maut Mata Satu mengikuti arah pandangan

muridnya. Kulit bundar penutup mata kirinya

bergerak-gerak mengikuti alis matanya yang

terangkat naik.

"Berkepala botak, mengenakan jubah biru,

tubuh tinggi besar. Hem.... Bukankah bangkai itu

Resi Mahayana? Resi cabul doyan perempuan yang

malang melintang memburu Pedang Tumpui 131?!"

Maut Mata Satu berpaling kembali ke arah Joko.

"Larasati mengatakan ditolong oleh anak ingusan

ini. Kalau Resi Mahayana dapat dibuat mayat,

meski tampak ugal-ugalan, anak ini berarti

mempunyai ilmu. Hem.... Siapa dia sebenarnya?!"

"Larasati. Kau telah menyelidik. Kau telah tahu

bahwa seseorang telah mendahului. Katakan siapa

orangnya! Jangan berani berdusta kalau tidak

ingin kulumat mulutmu!"

Tubuh Dewi Seribu Bunga bergetar ketakutan.

Kepalanya ditundukkan tak berani memandang

pada gurunya, membuat Maut Mata Satu naik

pitam.

"Ternyata dugaanku keliru, Larasati. Kau belum

matang. Keadaan telah membuatmu berubah.

Lingkungan telah menjadikanmu lain. Hingga kau

berani menyembunyikan sesuatu padaku. Tahu

begini jadinya, aku akan bertindak sendiri!"


"Orang Tua! Jangan...."

"Diam kau! Jangan berani ikut campur

urusanku. Nanti tiba giiiranmu untuk menjawab

pertanyaanku!" tukas Maut Mata Satu memotong

ucapan Joko Sableng, membuat murid Pendeta

Sinting ini geleng-gelengkan kepala seraya

mengangkat bahu.

"Bagaimana? Kau masih tak mau mengatakan

siapa orangnya?!"

"Gila! Apa sih yang dibicarakan mereka ini?! Dan

kenapa Dewi tak mau mengatakan orang yang

ditanyakan gurunya?!" Pendekar Pedang Tumpul

131 coba menduga-duga, namun tak menemukan

jawaban.

"Guru. Kalau seseorang telah mendahului dan

mendapatkan, kukira aku memang tak berjodoh!"

"Haram jadah! Kau rupanya telah pandai pula

menggurui gurumu! Larasati.... Kalau kau tetap

membisu, berarti kau memilih mati!" habis berkata

begitu Maut Mata Satu maju mendekat.

Melihat gurunya mendekat, buru-buru Dewi

Seribu Bunga angkat kepalanya dan berkata pelan.

"Guru.... Aku akan mengatakan siapa orangnya,

tapi kumohon Guru tidak akan bertindak

terhadapnya.... Aku berhutang budi padanya!"

Maut Mata Satu kernyitkan kening. "Anak ini

benar-benar berubah. Apa yang membuatnya

berubah demikian cepat? Seakan-akan dia

melindungi orang itu melebihi nyawanya sendiri.

Aneh...."

"Larasati. Kau tak usah banyak permintaan.

Katakan cepat!"

Sejenak gadis ini melirik pada gurunya.

Mulutnya bergetar tatkala dia berkata. "Pemuda

itulah orangnya!"


Saking kagetnya, jenggot dan kumis Maut Mata

Satu sampai bergerak-gerak. Satu-satunya mata

yang dimiliki mendelik besar memandang pada

Joko. Murid Pendeta Sinting sendiri bukan main

terkejutnya. Dia sekarang tahu apa yang sejak tadi

menjadi perdebatan antara murid dengan gurunya

ini.

"Tak salah iagi. Pasti yang mereka percakapkan

adalah Pedang Tumpui 131. Hem.... Aku harus

mempertahankannya kalau orang tua ini

bertingkah macam-macami" kata Joko daiam hati.

Tangan kanannya segera bergerak meraba

pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul

131.

Tiba-tiba Maut Mata Satu melompat ke depan.

"Jangan berdusta padaku. Katakan siapa dirimu

dan apakah benar kau telah mendapatkan Pedang

Tumpui 131!"

"Guru...," seru Dewi Seribu Bunga seraya

balikkan tubuh dan memandang berganti-ganti

pada Joko dan gurunya.

"Larasati! Kalau mulutmu tak bisa diam, jangan

menyesal jika kurobek-robek!" bentak Maut Mata

Satu tanpa berpaling.

Merasa tak ada gunanya lagi berkelit, akhirnya

Pendekar Pedang Tumpui 131 berkata.

"Orang Tua. Namaku Joko Sableng. Aku memang

telah mendapatkan Pedang Tumpui 131...."

"Bagus! Aku tak akan banyak bicara lagi.

Serahkan pedang itu padaku!"

"Sayang. Kalau itu yang kau minta, aku tak

dapat memenuhinya!"

"Anak Muda. Kuingatkan padamu, hari-hari

selanjutnya masih sangat panjang dibanding

dengan hari-hari yang telah kau lewati.

Kenikmatan tentunya masih sedikit yang kau


enyam. Masih banyak kesenangan yang belum

sempat kau nikmati. Dan kau tak akan merasakan

kenikmatan itu kalau tak menyerahkan pedang

itu!"

"Heh. Apa hubungannya antara pedang dan

kenimatan?!"

"Kau akan menemui ajal dahulu sebelum

merasakan kenikmatan jika tak memberikan

pedang itu pada ku!"

"Hem.... Begitu? Bagaimana kaiau aku tak

menginginkan kenikmatan itu?!"

Maut Mata Satu terdiam beberapa lama sebelum

akhirnya berkata kembali.

"Kalau kau memang tak menginginkan, akan

kuantar kau secepatnya!"

"Guru...," teriak Dewi Seribu Bunga sambil

melompat menghalang-halangi gurunya. "Dia telah

menolong menyelamatkan jiwaku. Kuharap kau

mengerti...."

Plaaakkk!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Dewi

Seribu Bunga, membuat gadis itu terhuyung-

huyung seraya memegangi pipinya yang telah

berubah menjadi merah.

"Sekali lagi kau berani bicara, aku pun tak segan

membuatmu menjadi mayat. Kau dengar?"

Dewi Seribu Bunga tak menyahut. Dia

memandangi gurunya dengan pandangan tak

percaya. Dia tadinya mengira Maut Mata Satu tidak

akan bertindak meminta pedang itu mengingat dia

diselamatkan oleh Joko Sableng. Namun

dugaannya ternyata meleset. Tapi dia tak bisa

berbuat banyak. Gadis ini menjadi serba salah.

satu pihak harus berhadapan dengan gurunya, ya

bagaimanapun jahatnya, telah menurunkan ilmu


dan mendidiknya selama bertahun-tahun. Di pihak

lain, dia mengkhawatirkan Joko. Karena meski dia

telah, tahu ilmu yang dimiliki Joko, namun dia

masih ragu jika bentrok dengan gurunya.

Ditunggu agak lama Pendekar 131 tak juga

memberikan apa yang diminta, Maut Mata Satu

habis kesabaran.

"Anak tak tahu diuntung. Kau akan merasakan

akibat ulahmu!"

Maut Mata Satu maju satu langkah. Kedua

tangannya disentakkan.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua sinar membersit keluar dari kedua

tangannya. Di tengah jalan sinar itu pecah lalu

muncrat menjadi puluhan bunga-bunga api yang

membawa hawa panas dan keluarkan suara

menggemuruh! Di lain kejap angin deras

menyusuli.

Mendapati serangan ganas, Pendekar Pedang

Tumpul 131 tak berani berlaku ayal. Murid

Pendeta Sinting ini cepat pula dorong kedua

tangannya.

Seberkas sinar kuning keperakan menyambar

keluar. Pada saat yang sama suasana di tempat itu

berubah menjadi semburat warna kuning dan

panas.

Bunga-bunga api langsung meletup dan padam

begitu terhajar oleh pukuian Joko. Namun murid

Pendeta Sinting Ini terkesiap tatkala tiba-tiba di

depannya menghampar angin deras laksana

gelombang. Tubuhnya terasa kesemutan, dadanya

sesak. Di lain saat, sosoknya telah mencelat mental

ke belakang lalu terjerembab di tanah. Mungkin

karena derasnya, tanah di mana dia terjerembab

kontan membentuk kubangan menganga!


Di seberang, Maut Mata Satu hanya terjajar

beberapa langkah ke belakang. Namun iaki-iaki

berusia lanjut ini langsung berubah parasnya. Dia

merasakan sekujur tubuhnya panas laksana

dipanggang bara api. Dada berdebar keras.

Sebelum kedua kakinya goyah, tokoh rimba

persilatan yang sangat ditakuti ini segera kerahkan

tenaga dalamnya hingga huyungan tubuhnya

terhenti.

"Pukulan 'Lembur Kuning'! Apa hubungannya

anak ini dengan keparat Pendata Sinting?!" gumam

Maut Mata Satu seraya usap-usap dadanya. Lalu

melangkah ke arah Joko dengan senyum seringai.

Yang paling cemas melihat keadaan Joko Sableng

adalah Dewi Seribu Bunga. Wajah gadis ini tampak

pucat. Mulutnya membuka hendak memperingati

Joko agar melarikan diri menghindar. Namun tiada

suara yang terdengar dari mulutnya.

"Kalau kau menuruti kata-kataku, tak akan

mengalami kematian semasa masih muda!" ujar

Maut Mata Satu seraya terus melangkah dan

memandang tajam pada Joko yang berusaha

bangkit.

Mendadak Maut Matu Satu hentikan langkahnya

dan serta-merta berseru geram tatkala dilihatnya

kedua tangan Pendekar 131 telah berubah menjadi

kuning keperakan. Dia maklum jika lawan akan

segera lepaskan pukulan.

Belum lenyap gema seruan Maut Mata Satu,

hawa panas dan hamparan warna kuning telah

melingkupi tempat itu. Bersamaan dengan itu, dua

berkas sinar kuning bercahaya melesat deras ke

arahnya!

Seraya melompat mundur, Maut Mata Satu

hantamkan kedua tangannya kembali.

Wuuuttt!


Gelombang sinar hitam menderu dahsyat. Tanah

dan pohon serta semak belukar di sekitar tempat

itu bergetar sebagian langsung tumbang

mengeluarkan suara berdebam. Daun dan tanah

berhamburan menutupi pemandangan. Sekejap

kemudian terdengar ledakan keras tatkala dua

pukulan mengandung tenaga dalam itu bersatu di

udara.

Saat keadaan telah sirap, Maut Mata Satu telah

terduduk dua tombak dari tempatnya semula.

Pakaian yang dikenakan telah hangus dan dari

julaian jenggotnya yang lebat tampak menetes

darah, pertanda dari mulutnya yang tertutup

kumis telah mengeluarkan darah. Tampang kakek

ini pias laksana tak dialiri darah sama sekali. Dan

mata satu-satunya membeliak tatkaia dia dapatkan

kedua tangannya melepuh merah dan panas bukan

alang kepalang.

Murid Pendeta Sinting terlihat terkapar sepuluh

tombak di seberang. Diam tak bergerak-gerak.

Hanya deburan dadanya tampak turun naik

dengan mulut keluarkan erangan pelan. Mulut dan

hidungnya mengeluarkan darah.

Melihat Pendekar Pedang Tumpui 131 roboh tak

bergerak, Dewi Seribu Bunga yang tadinya

menjauh untuk menghindar dari sapuan pukulan

yang sedang bentrok segera menghambur ke

depan. Tapi langkahnya tertahan ketika bayangan

Maut Mata Satu telah terlebih dahulu berkelebat

dan berdiri empat langkah di depan Joko.

Pendekar Pedang Tumpul 131 cepat beringsut

menggeser tubuhnya ke atas lalu bergerak duduk.

Tangan kanannya meraba pinggang di mana

Pedang Tumpui 131 tersimpan.

"Terpaksa aku menggunakannya. Kalau tidak

nyawaku mungkin tak akan selamat...," Joko


segera cabut pedang dari sarungnya di balik

pakaiannya.

Seberkas sinar kuning segera memancar. Maut

Mata Satu mendelik tak berkedip. Kumisnya

bergerak-gerak.

"Itu pedang yang kuimpikan!" hardik Maut Mata

Satu. "Lekas serahkan pedang itu!"

Joko Sableng menatapnya dingin. Tangannya

bergerak mengangkat pedang tinggi-tinggi.

Sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang

Melihat hal demikian, Maut Mata Satu tertawa

pajang.

"Wajahmu berubah. Tanganmu bergetar. Aku tak

bisa kau bodohi. Sebenarnya kau sudah tak bisa

kerahkan tenaga dalam!"

Pendekar Pedang Tumpul 131 merinding sendiri

karena lawan telah tahu keadaannya. Murid

Pendeta Sinting ini mengangkat tangan dan

menarik tangan satunya ke belakang untuk

menunjukkan bahwa dirinya masih sanggup

melepaskan pukulan, padahal dia menutupi

keadaannya yang sebenarnya. Dan dia jadi

melengak ketika kakek di hadapannya telah

mengetahui tipu muslihatnya.

"Sialan! Dia tak dapat dikelabui!" rutuknya

seraya tersenyum kecut.

Maut Mata Satu mendengus. Meski dia tahu

bahwa lawan belum bisa kerahkan tenaga

dalamnya secara penuh karena telah terluka

dalam, namun dia tak berani bertindak ceroboh.

Pedang di tangan kanan lawan masih merupakan

ancaman yang tidak main-main. Hingga dia tak

segera maju untuk merebut pedang yang telah

sekian puluh tahun diimpi-impikannya. Sebaliknya


disurutkan kaki satu tindak dengan kedua tangan

saling digosokkan.

"Baik. Rupanya kau minta aku mengambil

pedang dan tubuhmu yang telah jadi bangkai!"

Habis berkata begitu, laki-laki bermata satu ini

angkat kedua tangannya. Di hadapannya Joko

memperhatikan dengan kuduk berdiri. Keringat

dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.

"Celaka! Apa riwayatku hanya sampai di sini?!"

Maut Mata Satu membentak dengan sentakkan

kedua tangannya. Namun bersamaan dengan itu

gelombang angin dahsyat datang menderu dari

arah samping dan mengarah pada Maut Mata Satu,

membuatnya melompat mundur selamatkan diri

lalu bergerak ke samping seraya berseru kaget.

Gelombang sinar hitam yang melesat keluar dari

kedua tangan Maut Mata Satu terus melarik ke

depan dengan dahsyatnya. Namun karena

tubuhnya bergerak mundur ke samping, pukulan

yang dilepaskan untuk menghajar Pendekar

Pedang Tumpul 131 menyamping tak mengenai

sasaran!

"Keparat jahanam! Siapa main gila ini, hah?!"

teriak Maut Mata Satu dengan dagu terangkat dan

mata mendelik merah.

Belum lenyap teriakan Maut Mata Satu,

terdengar suara tawa mengekeh panjang. Di lain

kejap, sesosok bayangan berkelebat dan berdiri

tegak menghalang-halangi antara Maut Mata Satu

dan Joko Sableng!

***



DELAPAN


MATA satu-satunya milik Maut Mata Satu

bergerak liar memandang beringas pada

sosok hadapannya. Sosok ini adalah

seorang perempuan. Meski tidak muda, namun

paras wajahnya cantik jelita. Rambutnya panjang

dengan bulu mata lentik. Sepasang matanya bagus

dan bibir merah menyala. Dia mengenakan

pakaian ketat warna biru yang bagian dadanya

dibuat rendah hingga payudaranya setengah

menyembul. Putih membusung dan kencang

menantang.

Tiba-tiba Maut Mata Satu berseru lantang.

"Ratu Pemikat! Kau rupanya. Hem.... Kita

memang sahabat lama, namun untuk urusan ini

kuperingatkan agar kau tak ikut campur tangan!

Lebih dari itu kau harus segera tinggalkan tempat

ini!"

Si perempuan berwajah cantik dan bukan lain

memang Ratu Pemikat adanya keluarkan tawa

panjang "Meski kita sudah lama tak jumpa

nyatanya kau masih bisa mengenaliku, Maut Mata

Satu! Tapi aku sedih mendengar ucapanmu tadi."

"Sedih? Apa maksudmu...?!"

"Aku sedih karena tak dapat memenuhi apa yang

kau minta! Aku punya kepentingan di sini!" habis

berkata begitu, perempuan Ini berpaling pada Joko

yang ada di belakangnya. Sepasang mata bulat

perempuan membesar dengan senyum

menyungging. Namun dadanya berdebar keras.

Bukan karena melihat pada Joko, melainkan pada

tangan kanan Joko yang masih memegang Pedang

Tumpul 131. Sesaat kemudian, matanya

memperhatikan Joko dari rambut sampai kaki.


"Seorang pemuda berparas tampan. Tubuh

tegap. Rambut gondrong sedikit acak-acakan.

Hem.... Sesuai dengan keterangan Bayangan Setan.

Dan pedang itu memang berada di tangannya....

Aku harus dapat merebutnya walau harus

bertarung dulu dengan Maut Mata Satu. Aku

yakin, si mata satu itu pasti tak akan tinggal

diam!"

Murid Pendeta Sinting yang semula merasa

gembira karena muncul orang yang

menyelamatkan jiwanya tiba-tiba tersirap dengan

dahi berkerut ketika Ratu Pemikat berpaling

padanya.

"Heran...," gumam Joko Sableng dalam hati.

"Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan ini.

Tapi di mana...?" Joko memperhatikan lebih

seksama. "Benar. Aku pernah melihatnya. Sayang

aku tak dapat mengingatnya di mana dan kapan!

Hem.... Parasnya cantik, tubuhnya bagus, dan

dadanya...."

Di seberang, Dewi Seribu Bunga diam-diam juga

bersyukur karena Joko telah diselamatkan

seseorang. Namun kelegaan dada gadis ini hanya

sesaat. Ketika dilihatnya sang penolong berbalik

dan memandang Pendekar Pedang Tumpul 131

dengan pandangan aneh, sementara Joko sendiri

balas memandang, dada gadis ini berdebar-debar.

Dia sendiri tak tahu, kenapa hal itu terjadi. Yang

pasti dia tak senang dengan pandangan si

perempuan berparas cantik pada Joko!

"Ratu Pemikat!" Maut Mata Satu berkata. "Kau

berkata punya kepentingan. Kepentingan apa?!"

"Selama dunia masih terkembang. Selama rimba

persilatan masih riuh rendah. Hanya orang tak

waras jika tak menginginkan senjata pada pemuda

Itu!"


Maut Mata Satu tidak terkejut mendengar ucap

Ratu Pemikat. Karena ia sebelumnya telah

menduga apa kepentingan sebenarnya perempuan

berdandan seronok ini. Namun lain halnya dengan

Dewi Seribu Bunga lebih-lebih Joko Sableng.

Malah karena terkejutnya, Pendekar Pedang

Tumpui 131 semakin kencang memegang gagang

pedang dan buru-buru masukkan pedang ke

sarungnya di balik pakaian. Lalu perlahan-lahan

coba kerahkan tenaga dalamnya.

"Sial benar nasibku hari ini. Yang satu belum

selesai, satu lagi telah menyusuli"

Lain yang dibatin murid Pendeta Sinting, lain

yang dibatin murid Maut Mata Satu. "Kalau

perempuan itu sampai berulah macam-macam

terhadap Joko, aku tak akan tinggal diam!"

Di hadapan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu

keluarkan dengusan keras. Lalu berucap dingin.

"Dulu kita bersahabat. Kita sama-sama satu

golongan. Apakah hal itu akan rusak gara-gara

perkara ini?! Harap kau berpikir dua kali. Juga

perlu kau pertimbangkan, siapa yang akan kau

hadapi!"

Ratu Pemikat keluarkan tawa mengekeh hingga

dadanya bergerak turun naik. Kepalanya lalu

tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapannya.

"Maut Mata Satu. Sahabat memang perlu. Tapi

tujuan adalah segala-galanya! Kalau perlu, demi

tujuan sahabat harus disingkirkan!" Ratu Pemikat

lurus kepalanya ke arah Maut Mata Satu. "Aku

tahu siapa yang akan kuhadapi. Kau tak usah

memberi pertimbangan!"

"Begitu? Berarti kau ingin mati di tanganku!"

bentak Maut Mata Satu seraya melompat ke depan.

Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan sementara

kedua tangannya disentakkan ke bawah. Ratu


Pemikat cepat angkat kedua tangannya menyilang

di depan dada. Menyangka lawan akan menghajar

dengan tangan, perempuan ini pun rundukkan

sedikit kepalanya.

Namun dugaan Ratu Pemikat meleset. Maut

Mata satu tiba-tiba putar tubuhnya. Karena waktu

doyongkan tubuh ke depan tadi kedua tangannya

menyentak ke bawah, membuat kakinya amblas

masuk sebatas mata kaki ke dalam tanah.

Mendadak, kaki kanannya diangkat dan ketika

tubuhnya berbalik menghadap Ratu Pemikat, kaki

kanannya telah menggebrak ke depan!

Ratu Pemikat terperangah. Dia hanya dapat

merasakan deruan angin keras. Lalu melihat

tendangan kaki Maut Mata Satu telah berada di

depan matanya! Perempuan ini cepat sentakkan

kedua tangannya sekaligus ke bawah menghadang

tendangan lawan yang sengaja diarahkan ke

selangkangannya! Namun ternyata tendangan kaki

itu lebih cepat datangnya.

Brettt! Bukkk!

Ratu Pemikat terpekik keras. Sosoknya terjajar

sampai lima langkah ke belakang. Untung

perempuan ini masih sempat sorongkan tubuhnya

ke samping saat tendangan menghajar, hingga

tendangan itu hanya menghantam pahanya. Kain

bagian pahanya langsung robek dan kulit paha di

baliknya membiru. Perempuan cantik ini

merasakan pahanya seakan patah.

Dalam keadaan marah besar, Ratu Pemikat cepat

melesat ke depan. Kedua tangannya dihantamkan

sekaligus ke arah kepala Maut Mata Satu.

Wuuuttt!

Maut Mata Satu angkat pula kedua tangannya.

Prakkk! Prakkk!


Dua pasang tangan beradu di udara. Dua seruan

tertahan segera terdengar. Ratu Pemikat cepat

surutkan langkah satu tindak. Lalu secepat kilat

kaki kiri diangkat dan dilesatkan ke arah dada

Maut Mata Satu.

Maut Mata Satu kaget. Dia berusaha mundur,

namun lesatan kaki telah menghantam lebih dulu.

Bukkk!

Laki-iakl bermata satu itu terseret hingga satu

tombak ke belakang. Parasnya yang pucat makin

pucar. Dari hidungnya terdengar dengusan keras.

Mata memandang berkilat-kilat pada Ratu Pemikat.

"Kita sudahi masalah ini sampai ada di antara

kita yang menemui ajal!" ujarnya dengan suara

keras. Kedua tangannya lantas diangkat sejajar

dada. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan

ke arah Ratu Pemikat

Wuuuttt! Wuuuttt!

Tangan kiri mengeluarkan sinar hitam, sedang

tangan kanannya membersitkan sinar berwarna-

warni. Laki-laki bermata satu ini telah lepaskan

dua pukul sakti sekaligus. Tangan kiri yang

mengeluarkan sinar hitam lepaskan pukulan

'Gelombang Kematian' sedangkan tangan kanan

lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Hingga saat

itu juga gelombang hitam yang membawa angin

dahsyat segera menderu, disusul kemudian dengan

pecahnya sinar warna-warni yang memuncratkan

puluhan bunga-bunga api yang menghamparkan

hawa panas!

Ratu Pemikat yang sudah lama bersahabat

dengan Maut Mata Satu telah tahu bagaimana

kehebatan dua pukulan sakti itu. Maka perempuan

sakti ini tak berani main-main. Dia cepat pula

hantamkan kedua tangannya.


Dari kedua tangannya langsung mengembang

sinar terang biru dan serentak menyungkup

tempat itu! Ratu cantik ini telah lepaskan pukulan

sakti 'Hamparan Langit'.

Bummm! Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat dua kali

mengguncang tempat itu. Disusul dengan beberapa

letupan dari bunga-bunga api yang ambyar dan

padam.

Joko Sableng yang berada tak jauh dari situ

tersapu mental dan terguling sampai beberapa

tombak jauhnya. Dadanya terasa sesak dan sulit

digunakan untuk bernapas hingga untuk beberapa

lama murid Pendeta Sinting ini buka mulutnya

lebar-lebar!

Dewi Seribu Bunga sendiri terdorong hingga

beberapa langkah ke belakang. Tapi karena

tempatnya berdiri agak jauh membuat gadis Ini

tidak mengalami cidera parah. Hingga dia cepat

memperhatikan ke arah Joko yang sedang terkapar

dengan mulut menganga tanpa ada suara yang

keluar. Sejak tadi, murid Maut Mata Satu ini tak

mau lepaskan perhatiannya pada murid Pendeta

Sinting. Dia khawatir, karena dia tahu jika

Pendekar Pedang Tumpul 131 telah terluka akibat

bentrokan dengan gurunya.

Mungkin tak dapat menguasai rasa khawatirnya,

Dewi Seribu Bunga beranjak melangkah ke arah di

mana Joko Sableng terkapar. Namun baru empat

langkah, Joko telah bergerak bangkit. Begitu

pemuda ini melihat Dewi Seribu Bunga hendak

mendekat ke arahnya, dia memberi isyarat dengan

gelengan kepalanya, membuat Dewi Seribu Bunga

hentikan langkah dan memandang dengan dahi

mengernyit. Setelah memperhatikan Pendekar 131


sejurus, gadis ini menghela napas dalam, lalu

melangkah lagi ke tempatnya semula dengan dada

dipenuhi beberapa perasaan.

Di bagian lain, Ratu Pemikat tampak berlutut

dengan dada bergetar dan mulut keluarkan darah.

Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan dan

sebagian mengelinting seperti rambut terbakar.

Wajahnya pucat pasi dengan mata setengah

terpejam menahan rasa sakit.

Jauh di depan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu

duduk bersandar pada sebatang pohon kecil,

hingga pohon itu doyong ke belakang. Kumis dan

jenggot laki-laki itu telah berwarna kemerahan

karena terkena darah yang keluar dari hidung dan

mulutnya.

Beberapa saat berlalu. Masing-masing orang

tempat itu coba mengatasi diri masing-masing dari

luka dalam yang mendera. Orang pertama yang

mengadakan gerakan adalah Ratu Pemikat. Kepala

perempua ini sejenak terlihat bergoyang-goyang.

Lalu sepasang matanya melirik ke tempat di mana

Pendekar Pedang Tumpul 131 berada. Lalu

memandang ke depan, arah Maut Mata Satu yang

masih nampak memejamkan mata pulihkan tenaga

dalam.

"Hem.... Kesempatan ini tak akan kusia-siakan.

Mumpung keparat itu masih tenggelam...," berpikir

begitu, perempuan cantik bertubuh sintal ini

arahkan pandangannya kembali pada Joko.

Mendadak dia hentikan sepasang bahunya.

Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di

hadapan Joko yang sedang mengerahkan tenaga

dalamnya.

Tanpa keluarkan suara sedikit pun, Ratu

Pemikat langsung hantamkan kakinya ke arah

lambung Pendekar 131. Dewi Seribu Bunga


terkesiap kaget. Karena dia berada agak jauh,

maka jika lepaskan pukulan pun tak ada artinya,

sebab kaki Ratu Pemikat telah bergerak

menendang. Bahkan kalau Ratu Pemikat sempat

bisa meloloskan diri dari pukulannya, pukulan itu

bukan tak mungkin akan melesat ke arah Joko

Sableng. Hingga satu-satunya jalan yang bisa

dilakukannya adalah berseru memperingatkan

Joko.

Di lain pihak, bersamaan dengan melesatnya

tendangan Ratu Pemikat, satu-satunya mata milik

Maut Mata Satu membuka. Dan begitu melihat apa

yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, laki-iaki

bermata satu ini cepat bangkit lalu hantamkan

kedua tangannya.

"Jahanam! Jangan mimpi bisa mendahuluiku,

Perempuan Sundal!" maki Maut Mata Satu.

Ratu Pemikat mendengar makian Maut Mata

Satu, namun perempuan ini tak menghiraukan.

Tendangan terus dilakukan.

Namun sebelum kedua tangan Maut Mata Satu

menghantam, dan sebelum Dewi Seribu Bunga

berteriak memperingatkan, mendadak di tempat itu

terdengar suara tawa panjang yang kemudian

diputus mendadak laksana direnggutkan. Semua

orang di tempat itu jadi terkesiap. Pendekar 131

buka kelopak matanya. Pemuda murid Pendeta

Sinting ini tersirap darahnya melihat tendangan

telah melesat di depannya. Tak ada kesempatan

lagi baginya untuk menghindar. Namun bersamaan

dengan terhentinya suara tawa. tendangan kaki

Ratu Pemikat laksana ditahan!

Ratu Pemikat tersentak. Sebelum perempuan ini

mengetahui apa yang menahan gerakannya,

tubuhnya tiba-tiba laksana dihempos gelombang

angin dahsyat. Meski dia lipat gandakan tenaga


dalamnya namun sia-sia. Malah hempasan

gelombang itu makin deras, hingga tak lama

kemudian tubuhnya mental ke belakang sampai

dua tombak!

Pada saat bersamaan, terdengar orang berucap.

"Manusia hidup punya tujuan dan langkah.

Siapa salah melangkah dan salah menuju

hidupnya akan sia-sia. Manusia dicipta dengan

takdir sendiri-sendiri. Siapa mengingkari takdirnya

apalagi meminta sesuatu yang ditakdirkan pada

orang lain, bukan saja akan sengsara tapi akan

merana sepanjang hidupnya. Jangan salah

melangkah, jangan keliru menuju. Lebih-lebih

jangan meminta yang tidak ditakdirkan. Hidup

akan tenang. Dunia akan damai...."

Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga, Pendekar

Pedang Tumpul 131, lebih-lebih Ratu Pemikat

serentak palingkan kepala masing-masing ke arah

datangnya suara. Dari tempat masing-masing

mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut

sedang duduk bersila tanah. Mengenakan pakaian

jubah tanpa leher warna kuning. Rambutnya yang

putih dan panjang dikelabang serta dikalungkan di

lehernya. Raut wajahnya bulat dengan alis mata

saling bertaut. Bibirnya selalu bergerak gerak

mengucapkan sesuatu. Sementara kedua telapak

tangannya saling ditakupkan dan tegakkan di

bawah dagu, membuat gerakan seperti orang

menyembah.

***



SEMBILAN



MATA masing-masing orang di tempat Itu

membelalak lebar-lebar. Memperhatikan

dan mengawasi segala gerak-gerik kakek

mirip seorang biksu itu. Tiba-tiba sepasang kaki

Ratu Pemikat tersurut satu tindak. Matanya

menyipit lalu melebar, alis matanya naik sesaat.

"Manusia Dewa...! Tokoh Budha yang terjun

dalam rimba persilatan dan memiliki kepandaian

yang sulit dijajaki. Kudengar dia telah lama tak

muncul lagi, malah ada yang memberitakan bahwa

dia telah undur diri. Apa karena santernya berita

tentang pedang pusaka itu yang membuatnya

muncul lagi? Atau ada hal lain...?! Hem.... Yang

pasti, dengan kemunculannya di sini dan

mendengar ucapannya, maka urusan di sini akan

jadi panjang?!" membatin Ratu Pemikat mengenali

siapa adanya kakek yang duduk bersila.

Tak beda dengan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu

pun diam-diam berkata dalam hati begitu

mengenali siapa adanya si kakek.

"Manusia Dewa! Sulit dipercaya jika manusia ini

muncul lagi. Terakhir kali aku bertemu dengannya

kira-kira dua puluh lima tahun silam. Urusan ini

tak akan selesai jika dia turut campuri. Jahanam

betul! Keadaanku tidak lagi memungkinkan jika

harus bentrok dengannya!"

Sementara Joko dan Dewi Seribu Bunga hanya

bengong karena keduanya tidak mengenai! siapa

adanya sang kakek. Namun Joko Sableng sedikit

banyak bisa menduga siapa adanya orang dari

kata-kata yang diucapkannya. Malah dengan

begitu mudahnya membuat Ratu Pemikat

terlempar jauh padahal si kakek berada jauh dari


tempatnya, murid Pendeta Sinting yakin jika kakek

itu berkepandaian sangat tinggi sekali.

"Kek..!" kata Joko seraya menjura dalam-dalam

"Terima kasih atas pertolonganmu...."

Kakek mirip biksu yang tidak lain adalah tokoh

rimba persilatan berkepandaian amat tinggi dari

kalangan Budha yang beberapa puluh tahun lalu

sempat menggegerkan kancah rimba persilatan

karena peranannya yang ikut serta membasmi

kejahatan, anggukkan kepalanya.

Melihat sikap bersahabat dari kakek yang

digelari kalangan rimba persilatan dengan julukan

Manusia Dewa, Joko bergerak melangkah

mendekat. Namun lankahnya tertahan tatkala

terdengar bentakan.

"Tetap di tempatmu! Sekali melangkah putus

nyawamu!" yang keluarkan bentakan adalah Maut

Mata Satu. Habis membentak, laki-laki mata satu

ini hadapkan mukanya pada Manusia Dewa.

"Manusia Dewa! Harap kau tak melibatkan diri

dengan turut campur urusan ini!"

"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" Ratu Pemikat

menimpali.

Manusia Dewa yang selalu dikenai sebagai tokoh

berilmu tinggi juga dikenal sebagai tokoh yang

aneh ini keluarkan tawa ngakak, membuat semua

mata di situ terbeliak, karena meski suara tawanya

keras menyakitkan gendang telinga, namun

mulutnya hanya terbuka sedikit!

Begitu suara tawanya berhenti, dia berkata.

Kedua tangannya terus menakup di bawah dagu.

"Manusia dicipta untuk menjadi pimpinan di

bumi. untuk mengelola bumi. Manusia berhak

mendiami bumi di mana dia suka. Tak seorang pun

mempunyai kuasa untuk memerintah orang lain


meninggalkan bumi yang disukai. Tahan mulut

Tahan kemarahan. Di situ akan ditemukan

keselamatan!"

"Jahanam! Kataksn saja apa maumu

sebenarnya, Manusia Dewa!" hardik Maut Mata

Satu.

Manusia Dewa palingkan wajahnya pada Maut

Mata Satu. Bibirnya yang selalu bergerak-gerak

terhenti. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Kata-kata bukan hal yang sebenarnya, Maut

Mata Satu! Seringkaii kata-kata adalah kebalikan

apa yang di hati. Jangan pandang manusia dari

kata-katanya. Hati adalah cermin. Dari situlah

manusia diukur!"

"Keparat! Kuperingatkan sekali lagi, Manusia

Dewa! Kau tinggalkan tempat ini atau menemui

ajal ditempat ini!" bentak Maut Mata Satu marah.

"Manusia tidak dapat menentukan di tempat

mana dia mati."

Maut Mata Satu habis kesabaran. Namun diam-

diam laki-laki ini sebenarnya merasa kecut, karena

dia terluka dalam sedangkan Manusia Dewa

bukanlah tokoh sembarangan. Dia sadar, dalam

keadaan tidak terluka saja dirinya bukan

tandingan Manusia Dewa. Apa yang ada dalam

benak Maut Mata Satu tampaknya bisa dibaca oleh

Ratu Pemikat yang sebenarnya juga mempunyai

perasaan yang sama.

Ratu Pemikat tiba-tiba berkelebat dan tegak lima

langkah di samping Maut Mata Satu.

"Kita punya tujuan sama. Tapi kita juga punya

penghalang yang sama. Bagaimana kalau

sementara ini kita singkirkan dulu penghalang

itu?!" bisik Ratu Pemikat tanpa berpaling pada

Maut Mata Satu.


"Hem.... Ternyata dia keder juga menghadapi

Manusia Dewa. Tapi tawarannya adalah jalan satu-

satunya...," batin Maut Mata Satu. Lalu laki-laki

bermata satu ini melirik pada Ratu Pemikat.

"Kita dalam keadaan terluka. Manusia itu

memang terlalu tangguh jika kita hadapi sendiri-

sendiri. Aku setuju dengan usulmu!"

Belum usai ucapan Maut Mata Satu, Ratu

Pemikat telah tarik kaki kirinya ke belakang.

Tubuhnya dilorotkan. Bersamaan dengan itu kedua

tangannya dihatamkan ke arah Manusia Dewa.

Di sampingnya, melihat Ratu Pemikat telah

lepaskan pukulan, Maut Mata Satu segera pula

hantamkan kedua tangannya.

Tempat Itu mendadak berubah menjadi panas.

Hamparan sinar, biru pukulan sakti 'Hamparan

Langit’ milik Ratu Pemikat bersatu dengan bunga-

bunga api dan gelombang hitam pukulan sakti 'Api

Seribu Bunga' dan 'Gelombang Kematian' milik

Maut Mata Satu menderu dahsyat menuju

Manusia Dewa!

Melihat ganasnya pukulan, Pendekar Pedang

Tumpul 131 dan Dewi Seribu Bunga cepat-cepat

menjauh. Mereka telah merasakan bagaimana

ganasnya tiga pukulan tadi saat bentrok di udara.

Kini tiga pukulan sakti itu bersatu, mereka tak

dapat membayangkan apa jadi nya.

Di depan sana, melihat datangnya serangan yang

begitu dahsyat, Manusia Dewa sesaat jadi terkesiap

Dan sadar akan dahsyatnya pukulan, kakek yang

rambutnya dikelabang dan dikalungkan ke

lehernya ini segera angkat kedua tangannya ke

atas kepala. Kedua telapak tangannya yang saling

menakup dibuka lalu didorong perlahan ke depan


dengan telapak tangan masih berdekatan satu

sama lain.

Weeesss!

Dua gulungan cahaya melesat tanpa keluarkan

suara. Namun bersamaan dengan Itu angin

dahsyat menghempas. Gulungan cahaya berputar-

putar aneh makin lama makin besar.

Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terpana

seketika tatkala melihat bunga-bunga api serta

sinar hitam dan hamparan sinar biru pukulan

mereka terhenti di tengah jalan dan sesaat

kemudian masuk dalam gulungan cahaya!

Gulungan cahaya yang telah menggulung pukulan

Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terus melesat ke

atas. Kira-kira lima belas tombak di atas udara,

gulungan cahaya itu meledak keluarkan suara

menggelegar dahsyat!

Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat sama-sama

keluarkan pekikan tegang. Sosok keduanya

mencelat melayang ke belakang sampai beberapa

tombak lantas sama-sama terkapar di atas tanah

dengan mulut keluarkan darah! Masing-masing

orang merasakan dadanya laksana dibakar, aliran

darah seakan tersumbat. Hingga otot-otot di

sekujur tubuh keduanya bersembulan keluar

membentuk guratan-guratan!

Di seberang, begitu ledakan terjadi, sosok

Manusia Dewa terseret deras ke belakang. Namun

tiba-tiba kakek ini membuat gerakan berputar.

Sosoknya yang masih bersila melenting ke udara

lalu perlahan-lahan turun di atas tanah dengan

tangan menakup di bawah dagu dan tetap bersila!

Tubuh kakek Ini sesaat bergoyang-goyang keras

dengan wajah pucat pasi. Namun sekejap

kemudian goyangan tubuhnya berhenti. Kedua


kelopak matanya membuka memandang pada

Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat.

Sejenak Manusia Dewa menghela napas dalam-

dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak

tangan kanan.

"Manusia-manusia tak beruntung.... ilmunya

tinggi. Namun hawa nafsu yang

mengendalikannya. Hem.... Sayang sekali...,"

gumamnya seraya takupkan kembali tangan

kanannya di bawah dagu. Matanya pun perlahan-

lahan mengatup dengan mulut bergerak-gerak

perdengarkan suara tak jelas. Sekail dia gerakkan

bahunya, tubuhnya melesat ke belakang lalu

lenyap!

Sesaat setelah suasana reda, Dewi Seribu Bunga

yang sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan

Joko sapukan pandangan berkeliling. Seketika

gadis cantik ini terkejut. Joko tak ada lagi di

tempat itu! Tak percaya dengan pandangan

matanya, juga menduga Joko Sableng sembunyi di

balik semak belukar di sekitar tempat itu, gadis ini

segera berkelebat ke tempat di mana Pendekar

Pedang Tumpul 131 tadi berada. Dan hingga

matanya lelah mencari, ternyata yang dicari

memang sudah tidak ada di tempat itu.

"Ke mana dia?" gumamnya seraya menarik napas

panjang. Pandangannya lalu membentur pada

sosok gurunya yang terkapar. Buru-buru gadis ini

melangkah mendekat.

"Guru...," desis Dewi Seribu Bunga sambil

menolong gurunya bangkit.

Maut Mata Satu sejenak memandang muridnya.

Lalu beralih ke arah Ratu Pemikat yang saat itu

juga bergerak-gerak bangkit, saat dia berpaling ke


arah depan laki-laki bermata satu ini keluarkan

dengusan keras. "Jahanam itu lenyap!"

Maut Mata Satu lalu sapukan pandangannya

berkeliling. Rahangnya tiba-tiba terangkat

membatu tatkala matanya tak mendapati Joko.

"Keparat! Pemuda itu juga lenyap!" dia lalu

menoleh pada Dewi Seribu Bunga yang ada di

sampingnya.

"Ke mana lenyapnya pemuda itu?!"

Dewi Seribu Bunga menggeleng. "Waktu terjadi

bentrok pukulan aku menjauh. Begitu aku

kembali, dia sudah tak ada lagi!"

"Keparat! ini gara-gara laki-laki tua jahanam itu!"

maki Maut Mata Satu sambil hantamkan

tangannya ke tanah saking marahnya. Tanah itu

langsung melesak membentuk lubang.

"Larasati! Kita tinggalkan tempat ini!" bentak

Maut Mata Satu. Mungkin karena belum hilang

rasa jengkelnya pada sang murid hingga untuk

beberapa saat dia pandangi muridnya dengan mata

berkilat dan mulut berkomat-kamit. Dan tanpa

memandang lagi pada Dewi Seribu Bunga, Maut

Mata Satu melangkah meninggalkan tempat itu.

Dewi Seribu Bunga menghela napas dalam,

pandangannya sekali lagi diputar, takut kalau-

kalau Joko Sableng masih berada di tempat itu.

Begitu merasa bahwa Joko telah tidak ada lagi di

tempat itu, gadis ini berkelebat mengikuti gurunya.

Sesaat setelah Maut Mata Satu dan Dewi Seribu

Bunga pergi. Ratu Pemikat bangkit. Dia terhenyak

dengan sepasang mata serentak mendelik besar

tatkala mengetahui tinggal dirinya sendiri di

tempat itu. "Apa mungkin Maut Mata Satu berhasil

merebut pedang it Hem.... Tak mungkin. Aku tak

mendengar behtrok lagi. Jadi mereka pergi sendiri-

sendiri...."


Sambil memutar kepalanya perempuan berwajah

cantik ini keluarkan makian panjang pendek.

"Aku harus mencari bantuan! Manusia Dewa

harus mati di tangankul Gara-gara laknat itu,

urusan jadi berantakan begini rupa!" perempuan

ini menghela napas dalam, lalu mengusap

wajahnya yang keringatan. Tiba-tiba dia teringat

pada Joko. Dahi perempuan mengernyit dengan

kepala tengadah.

"Heran.... Aku rasa-rasanya pernah jumpa

dengan pemuda itu, setidak-tidaknya pernah

melihatnya.... Pedang Tumpul 131. Hem....

Sebelum rahasia ini terbuka, orang yang dicari-cari

yang diduga kuat menyimpan rahasia di mana

tersimpan pedang itu adalah Bandung

Bandawangsa tokoh bergelar Malaikat Lembah

Hijau...," berpikir sampai di situ tiba-tiba

perempuan' tersentak. "Astaga! Tak salah lagi.

Pemuda itu adalah anak kecil yang beberapa tahun

lalu masuk jurang bersama Bandung

Bandawangsa! Melihat bahwa dia telah berhasil

mendapatkan senjata pusaka itu, dugaanku tak

mungkin salah! Bandung Bandawangsa juga anak

itu selamat. Lalu Bandung Bandawangsa

memberikan petunjuk pada anak itu. Hem....

Bandung Bandawangsa mungkin mengambil anak

itu sebagal murid. Jika demikian, anak itu

sekarang pasti sedang menuju ke tempat Bandung

Bandawangsa di Lembah Hijau. Aku akan

secepatnya menyusui ke sana...." Sebelum bangkit,

Ratu Pemikat teringat pada seseorang yang

beberapa tahu silam mengejar Bandung

Bandawangsa dengannya.

"Hantu Makam Setan.... Sejak peristiwa pengejan

itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan manusia

menjijikkan itu. Tak ada salahnya aku meminta


bantuan padanya...," gumam sang ratu seraya

mengusap mulut dengan punggung tangannya.

"Dia pasti tak akan menolak permintaanku...."

Seperti dituturkan dalam episode 'Pesanggrahan

Keramat', seorang tokoh bergelar Malaikat Lembah

Hijau tiba-tiba diburu dan diintai oleh beberapa

tokoh rimba persilatan, karena Malaikat Lembah

Hijau diduga berat menyimpan petunjuk tentang

beradanya pedang pusaka yang sejak lama

diperebutkan. Di antara para pemburu itu adalah

Hantu Makam Setan serta Dewi Asmara. Kedua

orang ini akhirnya dapat menemukan Malaikat

Lembah Hijau. Namun Malaikat Lembah Hijau

yang tak merasa memiliki petunjuk itu

mengadakan perlawanan. Pada akhirnya Malaikat

Lembah Hijau terluka parah. Dia meloloskan diri.

Di tengah hutan dia tertolong oleh seorang anak

laki-laki. Saat anak laki-laki ini melakukan

pertolongan, Hantu Makam Setan dan Dewi

Asmara datang. Untuk menyelamatkan nyawa si

anak laki-laki, Malaikat Lembah Hijau akhirnya

membawa serta anak itu. Setelah terjadi kejar-

kejaran, pada akhirnya Bandung Bandawangsa

alias Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki

masuk ke jurang.

Peristiwa itu telah delapan tahun berlalu, namun

Ratu Pemikat masih mengingatnya, karena salah

seorang dari pengejar yang menyebabkan Malaikat

Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk jurang

adalah dirinya sendiri! Yakni Dewi Asmara.

Setelah peristiwa itu, Dewi Asmara memang

terus mengadakan penyelidikan. Karena cara yang

digunakan Dewi Asmara dengan menggaet

beberapa tokoh menggunakan kecantikan dan


tubuh, lambat laun Dewi Asmara lebih dikenal

orang dengan gelar Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat perlahan-lahan bangkit. Kepalanya

tengadah memandang ke sebelah barat. Terlihat

cahaya kuning telah menyemaraki langit di

belahan barat pertanda senja telah datang dan tak

lama lagi malam akan menjelang.

"Tiga hari cukup untuk memulihkan tenaga

sebelum menemui Hantu Makam Setan...,"

desisnya seraya meninggalkan tempat itu.

***



SEPULUH


PENDEKAR 131 Joko Sableng tak mampu

berlari kencang karena dadanya masih

terasa sesak jika dibuat berlari akibat

bentrok dengan Resi Mahayana dan Maut

Mata Satu. Namun murid Pendeta Sinting ini

sedikit merasa lega karena dirinya merasa berada

pada suatu tempat yang aman, lebih dari itu dekat

dengan tempat yang dituju, yakni jurang Tiatah

Perak, tempat di mana Pendeta Sinting gurunya

berada.

Pada hamparan ilalang dekat jurang Tiatah

Perak, Joko hentikan larinya. Lalu melangkah

pelan sambil mengurut dadanya yang sesak ke

arah jajaran pohon rindang. Pantatnya segera

dihenyakkan begitu sampai pada salah satu pohon.

Bersandar punggung pada batang pohon dengan

kaki diselonjorkan. Tiba-tiba Joko ingat sesuatu, ia

meraba pinggangnya. Napasnya berhembus

panjang ketika tangannya masih merasakan

sembulan senjata di balik pakaiannya.

"Aku harus lebih berhati-hati. Siapa pun juga

saat ini pasti menginginkan senjata ini...," ingat hal

demikian, menjadikan murid Pendeta Sinting ini

teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya.

Mendadak dia melengak sendiri dengan tangan

menepuk jidat.

"Aku ingat sekarang. Perempuan bergelar Ratu

Pemikat Itu.... Ah, betul. Dia adalah perempuan

yang beberapa tahun lalu mengejar Bandung

Bandawangsa dan aku. Hingga aku dan Bandung

Bandawangsa kecebur masuk ke dalam jurang!"



Ingat hal itu dada murid Pendeta Sinting ini

berdebar keras. Sepasang matanya berkiiat-kiiat

dengan wajah membesi menahan marah.

Selagi Pendekar Pedang Tumpul 131 dilanda

kemarahan begitu rupa, tiba-tiba ilalang di depan

sana tampak bergoyang-goyang keras laksana

dilanda angin kencang.

"Di sini tak ada angin, aneh jika ilalang itu

bergoyang-goyang...." Merasa ada yang tak beres

dan mencium gelagat tak enak, murid Pendeta

Sinting sepat gulingkan tubuh lalu mendekam di

balik pohon.

Apa yang dikhawatirkan Joko Sableng tak lama

kemudian jadi kenyataan. Begitu dia mendekam di

balik pohon dan baru saja kepalanya diangkat

sedikit memandang ke arah ilalang, dari arah

belakang menderu angin kencang ke arahnya!

Seraya memaki tak karuan, Joko cepat balikkan

tubuh dan geser tubuhnya ke samping.

Praaasss!

Tanah di samping Pendekar Pedang Tumpul 131

terbongkar muncrat membentuk lubang menganga!

Pohon di mana dia bersembunyi bergoyang keras

terkena sambatan angin yang berhasil dielakkan

Joko.

"Jahanam! Tunjukkan dirimu! Jangan main

seperti pengecut!" teriak Joko Sableng seraya

bangkit dan putar kepalanya dengan mata

mendelik mencari-cari,

Bukan terdengarnya suara atau munculnya

seseorang yang menjawab teriakan marah Joko,

sebaliknya gelombang angin lebih dahsyat menderu

kembali ke arahnya! Membuat murid Pendeta

Sinting ini makin geram. Seraya berpaling ke arah

dari mana datangnya gelombang angin, Joko cepat


hantamkan kedua tangannya sambil melompat

menghindari datangnya serangan.

Rimbun dedaunan di depan sana terabas rata

dan langsung berhamburan terkena hantaman

kedua tangan Pendekar 131. Namun hingga

hamburan dedaunan itu sirap, Joko Sabieng tak

melihat adanya seseorang!

"Pengecut Jahanam! Kenapa kau masih

sembunyi tak berani unjukkan diri?!" kembali Joko

berteriak.

Belum lenyap gema teriakan Joko, dari arah

depan membersit sinar kuning membawa hawa

panas. Sekitar tempat itu mendadak berubah

semburat warna kuning.

Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak, dahinya

berkerut. Namun dia tak dapat berpikir panjang

karena sinar itu telah melesat dua tombak di

depannya, membuat murid Pendeta Sinting ini

mau tak mau harus menghadang serangan. Kedua

tangannya segera ditakupkan. Kedua tangan Joko

serentak berubah menjadi laksana dilapis warna

kuning keperakan. Pertanda murid Pendata Sinting

ini telah kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'.

Pendekar Pedang Tumpul 131 tak menunggu

lama, kedua tangannya segera saja didorong ke

depan.

Blaaammm!

Ledakan segera mengguncang tempat itu tatkala

sinar kuning yang melesat dari dorongan tangan

Joko menghajar sinar kuning yang datang.

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, ilalang

di depan sana semburat berhamburan. Tanahnya

beterbangan menutupi pemandangan. Tubuh Joko

Sableng terhuyung-huyung ke belakang sebelum

akhirnya jatuh terduduk. Namun sekilas sepasang


matanya menangkap berkelebatnya sesosok

bayangan melayang turun dari pohon jauh di

depan, di antara semburatan ilalang dan

hamburan tanah.

Begitu suasana sirap, Joko melihat seorang

kakek duduk bersila sepuluh langkah di depannya.

Karena tipisnya kulit yang membungkus wajahnya,

hingga kerutan wajahnya hanya merupakan garis

samar-samar. Rambutnya putih dan dibiarkan

menjulai menutupi hampir seluruh wajah dan

lehernya. Orang tua ini mengenakan jubah besar

bertambal-tambal dari beberapa kain berwarna-

warni.

Untuk beberapa lama Joko tercekat. Dan begitu

sadar siapa adanya kakek di hadapannya, pemuda

ini cepat membungkuk dalam-dalam seraya

berseru.

"Guru....!"

Si orang tua komat-kamitkan mulutnya. Lalu

mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa

bergelak. Karena tawa itu bukan tawa biasa,

namun mengandung tenaga dalam tinggi, membuat

Joko Sableng tekap kedua telinganya. Tatkaia

suara tawa sang orang tua yang bukan lain adalah

Pendeta Sinting, tokoh sakti rimba persilatan yang

berdiam di jurang Tiatah Perak berhenti, Joko

kembali menjura.

"Guru. Maafkan ucapanku yang tadi

memakimu!"

Pendeta Sinting memandang sejurus pada Joko.

"Sudah! Jangan banyak basa-basi! Aku sengaja

menghadangmu di sini sekaligus untuk

mengujimu. Tenaga dalammu masih harus terus

kau latih. Demikian juga gerakanmu! Sekarang aku

ingin tahu bagaimana dengan tugasmu!"


Joko Sabieng kemudian menuturkan

perjalanannya sejak keluar dari jurang Tiatah

Perak hingga sampai mendapatkan Pedang Tumpul

131 dan sampai di tempat itu.

“Hem.... Bagus! Coba perlihatkan pedang itu!”

perintah Pendeta Sinting setelah mendengar cerita

muridnya.

Joko keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik

pakaiannya. Lalu dia bangkit dan melangkah

mendekat. Pedang Tumpul 131 diberikan pada

gurunya.

Untuk beberapa saat lamanya Pendeta Sinting

menimang-nimang pedang di tangannya. Pedang

ditarik dari sarungnya, lalu diamati dengan

seksama. Lalu memandang pada Joko dan berkata.

"Joko. Kau harus bersyukur, hanya karena

kemurahan-Nya kau akhirnya berhasil

mendapatkan pedang ini. Namun kau juga harus

ingat, dengan keberhasilanmu mendapatkan

senjata pusaka ini, beban di pundakmu makin

berat! Selain mempertahankan senjata ini dari

gerayangan tangan-tangan kotor, kau juga dituntut

untuk dapat menggunakan senjata ini

sebagaimana mestinya!"

Pendeta Sinting masukkan kembali Pedang

Tumpul 131 dalam sarungnya lalu diberikan pada

Joko yang segera menyimpannya lagi di balik

pakaiannya.

"Hem.... Mendengar ceritamu, rupanya makin

banyak tokoh lama yang muncul kembali juga

tokoh-tokoh yang belum kukenal...," Pendeta

Sinting sejenak manggut-manggut, lalu teruskan

ucapannya.

"Melihat gelagatnya, aku menangkap adanya

sesuatu di balik munculnya tokoh-tokoh itu...."


"Apa bukan karena mereka memperebutkan

pedang ini, Guru?!" Joko coba menduga-duga.

"Kemungkinan itu bisa saja. Namun aku merasa

ada sesuatu lain daripada sekadar memburu

pedang itu. Munculnya Manusia Dewa

menandakan hai itu! Manusia Dewa adalah

seorang tokoh yang jarang sekali muncul. Kalau

dia memang muncul, pertanda akan adanya

sesuatu yang besar! Kau tahu, selain dikenai

sebagai tokoh sakti berkepandaian tinggi, dia juga

dikenal sebagai orang yang mampu melihat

sesuatu yang kemungkinan besar bakal terjadi!"

"Maksudmu, dia seorang perama!?!"

"Bukan. Peramal adalah orang yang mereka-reka

apa yang akan terjadi. Sedangkan Manusia Dewa

tidak. Dia melihat apa yang bakal terjadi dengan

tanda-tanda alam yang ada! Apa namanya aku tak

tahu.... Hanya saja, dengan kemunculannya pasti

akan segera disusul dengan munculnya tokoh-

tokoh sakti lainnya.... Hm.... Kegegeran apa lagi

yang akan mengguncang rimba persilatan ini?" ujar

Pendeta Sinting seraya menarik napas dalam tapi

lantas dia tertawa mengekeh panjang, membuat

Joko Sableng nyengir.

"Rimba persilatan memang dunia giia! Kegegeran

satu belum selesai, kegegeran lebih besar sudah

menghadangi. Hingga tak heran jika orang-

orangnya banyak yang mirip seperti orang giia!

Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting kembali tertawa

bergelak-gelak. Namun tiba-tiba tawanya

dipenggal. Kakek sakti dari jurang Tiatah Perak ini

dongakkan kepala. Rambut yang menutupi

telinganya bergerak-gerak pertanda telinga di

baliknya mempertajam pendengaran. Tiba-tiba

kepalanya berpaling ke arah utara. "Ada seseorang

menuju tempat ini...," desisnya seraya kerutkan


dahi. Joko jadi ikut-ikutan berpaling ke arah mana

sang guru memandang.

Belum sampai di antara keduanya ada yang

buka mulut iagi, kedua orang ini melihat ilalang

jauh di sebelah utara bergerak menyibak. Lalu

terlihat sesosok tubuh melayang lurus menerabas

ilalang! Anehnya, iialang yang hendak diterabas

menyibak terlebih dahulu sebelum sosok tersebut

lewat seakan membentuk jalan setapak! Bukan

hanya sampai di situ. Ternyata sosok yang

menerabas ilalang duduk bersila dengan kedua

tangan menakup di bawah dagu!

Empat tombak di depan Pendeta Sinting, sosok

yang menerbas ilalang berhenti. Perlahan-lahan

tubuhnya turun ke atas tanah dengan sikap masih

bersila dan tangan menakup di bawah dagu. Orang

ini seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat

dengan kedua alis mata saling bertaut. Bibirnya

tiada henti bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.

Rambutnya panjang dikelabang dan dikalungkan

ke lehernya. Mengenakan jubah warna kuning

tanpa leher. Orang ini bukan lain adalah tokoh

rimba persilatan yang digelari orang Manusia

Dewa!

***



SEBELAS


BEBERAPA saat lamanya Pendeta Sinting

terdiam seraya memandang tak berkedip ke

arah Manusia Dewa. Di hadapannya Joko

bergumam tak jelas mengisyaratkan bahwa

dia terkejut bercampur kagum.

Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak

dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta

Sinting. Melihat Pendeta Sinting tertawa,

mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikut-

ikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian

di tempat itu riuh rendah dengan suara tawa

bergelak-gelak, membuat Joko Sableng geleng-

geleng kepaia.

"Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara

tokoh-tokoh rimba persilatan? Berha... ha... ha...,

dulu sebelum berkata?!"

Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting

usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya.

"Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita

jumpa lagi. Rasanya sudah lama kita tak jumpa,

bagaimana? Apa kau baik-baik saja selama ini

sobatku, Manusia Dewa?"

Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan

dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik

kembali, terdengar dia berucap.

"Selama angin masih berhembus. Selama laut

masih bergelombang. Selama takdir manusia

masih menggantung di langit. Tak ada yang tak

mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan

terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini

baik-baik saja! Kau sendiri?!"


"Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku

tak mengerti maksud ucapannya. Berhadapan

macam orang begini mulutku jadi ngilu...," kata

Pendeta Sinting. Lalu guru Joko Sableng ini angkat

bicara iagi.

"Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik

saja...," sejenak Pendeta Sinting putuskan kata-

katanya. Sesaat kemudian menyambung. "Aku

sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun

tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh

datang ke sini!"

Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu

matahari sudah hampir tenggelam, namun

pantulan cahayanya masih menyeruak, dan

perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit

dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk

beberapa lama Manusia Dewa menatap bulan yang

baru muncul.

"Takdir telah membawaku ke sini. isyarat alam

menuntun pikiranku bahwa arakan awan kelam

mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap

meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya.

Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!"

Pendekar Pedang Tumpui 131 terkesiap

mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia

menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. "Hem....

Nampaknya apa yang baru saja dibicarakan

Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar kata-

kata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa...?!"

Joko berpaling pada gurunya. Yang dipandang

geleng-geieng kepala seakan menjawab apa yang

hendak ditanyakan Joko.

"Sobatku, Manusia Dewa," kata Pendeta Sinting

pada akhirnya setelah diam beberapa lama.

"Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi

sesuatu hai yang luar biasa?!"


Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap

Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap

menakup di bawah dagu.

"Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak

menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu

bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi

menunjuk ke arah pertanyaanmu. Peristiwa besar!

Tanda-tanda itu mengarah ke sana!"

Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada

sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan

bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah

membuka perdengarkan suara tawa perlahan.

"Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang

Suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi

pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa?! Apa

kau juga menangkap peristiwa besar apa yang

hendak terjadi?!"

"Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku.

Aku mungkin bisa menjawab semua

pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan

terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian,

tanda-tanda zaman sedikit banyak bisa menjawab

apa sebenarnya yang akan terjadi!"

"Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi

pusing sendiri!" rungut Pendeta Sinting yang

rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia

Dewa. Penghuni jurang Tiatah Perak ini lantas

jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka

hendak berkata, namun sebelum ucapannya

keluar, Manusia Dewa telah berujar.

"Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura

besar yang terjadi ratusan tahun silam di Pulau

Biru?!"

"Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti

yang memiliki Kitab Serat Biru itu? Memang, aku


pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu

hanya mengada-ada saja! Ternyata hingga

sekarang aku tak dengar seorang pun yang

mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita

itu lenyap!" kala Pendeta Sinting pula.

Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan

Pendeta Sinting.

"Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau

mengasingkan diri tak terjun dalam belantara

persilatan?!"

Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah

mengingat. Lalu bergumam.

"Menurut perhitunganku sudah kurang lebih

dua puluh empat tahun!"

"Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu

yang pendek. Masa selama itu telah cukup untuk

membuat suasana benar-benar berubah!"

"Maksudmu...?!"

"Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba

persilatan diramaikan dengan perburuan kaum

persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul

131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena

Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya

karena si pembawa petunjuk lenyap berpindah-

pindah, orang rimba persilatan mengarahkan

pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru,

meski dengan diam-diam juga menyelidik tentang

pedang pusaka itu!"

Pendeta Sinting dan Joko Sabieng terkejut.

"Manusia Dewa. Pedang Tumpui 131 sekarang .,"

Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.

"Aku tahu.... Pemuda di depanmu itu telah

berhasil mendapatkan pedang pusaka itu.

Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya.

Dan tak diduga jika dia orang yang dekat

denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku


mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya.

Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku

khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang

yang tidak kita inginkan...."

"Dia muridku!" sahut Pendeta Sinting.

Manusia Dewa arahkan pandangannya pada

Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan

lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. "Syukur jika

demikian. Hatiku sekarang tenteram!"

"Kembali pada Kitab Serai Biru itu...," ujar

Pendeta Sinting seakan tak sabar. "Aku rasanya

masih menyangsikan adanya!"

"Justru aku hampir yakin adanya!" tukas

Manusia Dewa. "Dan entah siapa yang memulai,

akhir-akhir ini beberapa tokoh rimba persilatan

telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan

mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah

berada di sekitar pulau!"

"Kau tahu banyak tentang kitab itu?!” tanya

Pendeta Sinting.

Manusia Dewa gelengkan kepalanya. "Tentang

kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya yang

kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut

yang pernah kudengar dari orang terpercaya, orang

sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak

jelas apa Ki Ageng telah mati atau belum. Yang

pasti suatu keanehan melekat padanya!"

"Keanahan? Keanehan apa?!"

"Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan

sebagian di dalam tanah!"

Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak

kaget mendengar keterangan Manusia Dewa.

Mereka berdua seakan tak percaya.


Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan

orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem

beberapa kali sebelum berkata.

"Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-

hentinya diselimuti beberapa keanehan yang

rasanya tak masuk akal. Namun begitulah

kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin

menyedot perhatian orang dan mengundang orang

berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu.

Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak,

semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih

mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih

daripada segala misteri di alam ini!"

"Ucapanmu benar...," desis Pendeta Sinting.

"Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan

sekarang?!"

"Manusia punya tugas mendamaikan umat.

Rimba persilatan tak akan damai jika masalah

Pulau Biru tak cepat diselesaikan!"

Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut.

"Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu.

Begitu?!"

"Aku tidak mengajak. Manusia diberi

kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa

mampu kenapa tidak digunakan?!"

Pendeta Sinting menyeringai lalu mengangguk-

angguk. Berpaling pada Joko Sabieng dan berkata.

"Kau telah dengar semua penuturannya.

Bagaimana pendapatmu?!"

Pertdekar 131 tersenyum-senyum sambil

membatin daam hati. "Aku tahu. Dia akan

melimpahkan tugas ini kepadaku...."

"Sontoloyo! Jangan cengengesan. Aku

bersungguh-sungguh!" bentak Pendeta Sinting

meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.


"Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru

itu Guru..., rasa-rasanya ucapanmu tadi

sebenarnya tidak menanyakan bagaimana

pendapatku, namun menanyakan kesiapanku!

Benar bukan?"

"Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan

ucapanku! Bagus kalau kau telah mengerti!"

gumam Pendeta Sinting. "Kau bersedia bukan?!"

"Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun

yang terjadi, aku siap melakukannya!" ujar Joko

pula.

Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta

Sinting dan muridnya berpaling.

"Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan

mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu

memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi

yang kau andalkan? ilmu...? ingat, Anak Muda. Di

atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita

menggali lubang semakin gelap yang kita lihat!"

"Kau dengar ucapannya, Sontoloyo?! Kau jangan

sombong, itu akan membawamu ke arah

kegelapan!" desis Pendeta Sinting pada Joko,

membuat Joko terpekur dan angguk-anggukkan

kepala.

"Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku

harus pergi. Jika guratan masih menggariskan,

tentu kita akan jumpa iagi...," habis berkata

demikian, tiba-tiba Manusia Dewa keluarkan suara

tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan JOKO

Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya

kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa

yang menusuk gendang telinga.

Karena suara tawa itu terus menggema tak

henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera

palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia


Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak

dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa

tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya

masih terdengar!

"Dia sudah tidak ada lagi, bukan?!" gumam

Pendeta Sinting tanpa berpaling pada Joko.

"Benar. Padahal suaranya masih terdengar

hingga sekarang!"

"Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya

memang sulit diukur!"

Sang guru lantas arahkan pandangannya pada

Joko. "Hem.... Kau memikirkan sesuatu?!"

"Aku kagum dengan ketinggian Ilmunya. Waktu

terjadi bentrok tempo hari dia hanya mendorong

kedua telapak tangannya untuk menangkis

serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat

roboh terluka dalam...."

"Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu

bukan? Hem..,. Mudah saja asalkan kau sudah

dapat membutakan sepasang mata dan mata

hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya

memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk

sampai ke sana...."

"Kenapa bisa begitu, Guru...?!"

"Selama hati masih kotor, selama mata masih

tergiur melihat paha dan dada apalagi pinggul yang

bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!"

Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk

leher. Dalam hati dia berbisik.

"Rasanya keinginan bukan saja hanya

tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan.

Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha.

Apalagi pinggul besar yang bergoyang-goyang.

He.... He….He...!"

"Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap?!” tiba-

tiba Pendeta Sinting menyentakkan lamunan Joko.


"Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku

siap, Guru!"

"Hem.... Mendengar keterangan Manusia Dewa

apa yang akan kau hadapi bukan urusan ringan!

Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik

dan tipu daya keji akan menghadangmu! Meski

matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha

mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya

pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin

jangan sampai tergadai!"

"Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru.... Aku

pamit sekarang...."

Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit

dan di kejap kemudian lenyap meninggalkan

tempat Itu.

"Mudah-mudahan Sontoloyo itu kuat

menghadapi tantangan! Hem.... Menurut Manusia

Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba

persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak

ada salahnya aku melihat-lihat dunia iuar yang

telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi

ikut-ikutan bingung...? Apakah aku memang orang

bingung? Bukan, bukan bingung, tapi sinting.

Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting tertawa sendiri,

lalu bangkit dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

***



DUA BELAS



BAYANGAN biru berkelebat cepat laksana

busur anak panah melewati sela-sela jajaran

pohon hutan belantara di sebelah tenggara

bukit Wono Ayu. Sampai pada ujung hutan yang

berbatasan dengan sebuah dataran luas dengan

gundukan tanah di sana-sini, bayangan biru

hentikan larinya.

Cahaya bulan yang menggantung di langit

membantu memperjelas siapa adanya sosok ini.

Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah

cantik jelita. Usianya kira-kira empat puluh

tahunan. Namun demikian, tubuhnya terlihat jauh

lebih muda dari usianya. Dadanya besar

menantang dengan pinggul padat menggoda.

Kulitnya putih dengan mata bulat. Rambutnya

panjang bergerai. Mengenakan pakaian warna biru

tipis dan ketat dengan bagian dada dibuat begitu

rendah, seakan ingin menampakkan sembulan

payudaranya.

Sejenak perempuan cantik yang tak lain Dewi

Asmara alias Ratu Pemikat ini menghela napas

panjang dalam-dalam. Dadanya bergerak turun

naik. Tangan kanannya lalu mengusap keringat

yang membasahi lehernya yang jenjang. Melihat

gerak-geriknya dia saat itu amat letih pertanda

baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun

keletihan itu tiba-tiba saja lenyap begitu sadar apa

yang dilihat di hadapannya! Malah tak sadar, dari

mulutnya terlontar seruan tertahan.

"Gila! Apa aku tak salah alamat?!" gumamnya

seraya beliakkan sepasang matanya tak berkedip

memandang pada dataran di depannya.


Dataran itu luasnya kira-kira delapan puluh

tombak berkeliling. Di sana sini banyak terlihat

gundukan-gundukan tanah yang panjangnya satu

setengah tombak membujur mirip gundukan

makam. Memang itu adalah dataran yang dipenuhi

dengan makam, namun anehnya mayat yang

dimakamkan di situ tidak ditimbun masuk ke

dalam gundukan. Melainkan dibiarkan berserakan

di kanan kiri gundukan tanahi. Hingga dataran itu

selain menyeramkan karena banyaknya tulang dan

tengkorak yang berserakan, bau busuk melingkupi

tempat itu!

"Gila! Bagaimana mungkin seorang anak

manusia dapat tinggal di tempat yang begini

menyeramkan dan busuk. Aku saja rasanya ingin

muntah!" desis Ratu Pemikat seraya menahan

napas.

"Seandainya tak ada masalah penting, aku ingin

cepat pergi saja!" Ratu Pemikat terus bergumam

seraya arahkan pandangannya berkeliling. Meski

saat itu malam, namun karena rembulan bersinar

terang, sepasang mata Ratu Pemikat dapat melihat

sampai ujung dataran. Tapi sekian lama

memandang rupanya dia tak menemukan apa yang

dicari di tempat itu.

"Aku tak melihat adanya sebuah tempat yang

patut dihuni. Di mana aku dapat menemukan

Hantu Makam Setan itu? Atau jangan-jangan dia

telah berpindah tempat! Atau.... Ah, lebih baik aku

mencoba berkeliling...."

Sambil membekap hidung dan telapak

tangannya, perempuan cantik bertubuh montok ini

melangkah memasuki dataran. Bulu kuduknya

merinding melihat berserakannya tulang dan

bangkai, namun perempuan ini terus melangkah

ke tengah-tengah dataran.


Sampai tengah dataran, kepalanya diputar

berkeliling. Namun baru saja kepalanya bergerak

setengah putaran, dari sebuah lubang yang hanya

samar-samar karena terlindung oleh gundukan di

kanan kirinya menderu gelombang angin dahsyat!

Mengarah pada perempuan berwajah cantik yang

tegak membelakangi lubang itu.

Meski terkesiap kaget karena tak menyangka

akan mendapat serangan, namun karena dia

sudah makan asam garam dan bertahun-tahun

malang-melintang dalam rimba persilatan,

membuatnya segera sigap dan seraya melirik dari

mana asalnya serangan, perempuan ini berkelebat

ke samping. Serangan gelap menghajar angin

setengah tombak di samping kanan Ratu Pemikat

lalu menghantam gundukan tanah makam.

Gundukan itu langsung terbongkar dan tanahnya

berhamburan! Tulang belulang di sekitar tempat

itu ikut tersapu dan kontan hancur berkeping-

keping.

"Sialan! Apakah dia...?!" desis Ratu Pemikat lalu

seraya siapkan pukulan, dia melangkah ke arah

datangnya serangan tadi. Baru saja kepalanya

melongok ke dalam lubang, dari arah belakangnya

kembali menderu angin lebih dahsyat dari yang

pertama!

"Keparat!" maki sang ratu seraya berbalik dan

buru-buru menyingkir. Mungkin karena geram,

kedua tangannya yang sudah siap lepaskan

pukulan dihantamkan ke arah sumber serangan.

Wuuuttt!

Bluuurrr!

Lubang di mana serangan tadi bersumber

langsung porak-poranda. Gundukan di sekitar

lubang pun ambyar ke udara. Bersamaan dengan

itu dari dalam lubang yang terbongkar melesat


sesosok bayangan dengan perdengarkan dengusan

keras lalu makian panjang pendek.

Ratu Pemikat tengadahkan kepala mengikuti

lesatan sang bayangan. Ketika matanya

menangkap gerakan tangan sang bayangan yang

hendak lepaskan pukulan, Ratu Pemikat segera

berseru keras.

"Hantu Makam Setan! Tahan serangan. Aku Ratu

Pemikat!"

Bayangan yang masih melayang di udara

kembali perdengarkan makian tak karuan, namun

kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan

pukulan diurungkan.

"Dia mengenaliku Hem.... Dia sebutkan diri Ratu

Pemikat. Aku dengar tentang gelar itu. Tapi ada

apa dia menggangguku? Padahal aku belum

pernah jumpa dengan yang namanya Ratu

Pemikat!" sang bayangan membatin, lalu turun dan

tegak sembilan langkah di hadapan Ratu Pemikat.

"Hem.... Memang dia!" ujar Ratu Pemikat lirih

tatkala sang bayangan tadi telah tegak di

hadapannya dan dia dapat mengenalinya.

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi

besar. Mengenakan jubah warna merah. Parasnya

bulat besar dengan kulit amat tipis. Matanya besar

dan menjorok masuk dalam cekungan tulang yang

dalam. Alis Matanya tebal dengan rambut

disanggul ke atas. Laki-laki ini makin angker jika

orang memandang hidungnya. Karena ternyata

laki-laki ini hanya memiliki hidung separo.

Separonya hanya merupakan cekungan dalam!

Namun demikian, dari cekungan hidungnya itu

menghembus angin deras ketika dia bernapas!

Laki-laki ini bukan lain adalah dedengkot rimba


persilatan yang sangat ditakuti, yakni Hantu

Makam Setan.

Untuk beberapa saat, sepasang mata Hantu

Makam Setan memandang tak berkedip ke arah

Ratu Pemikat. Alis matanya terangkat, mulut

komat-kamit. Dadanya berdebar keras melihat

busungan dada satengah menyembul dari

perempuan di hadapannya.

"Kau!" tiba-tiba Hantu Makam Setan keluarkan

suara setelah agak lama terdiam menguasai

debaran dadanya.

Begitu Ratu Pemikat melihat Hantu Makam

Setan telah mengenalinya, perempuan ini

tersenyum.

"Bukankah kau Dewi Asmara...?"

"Tak salah!"

"Tadi kau sebutkan diri dengan Ratu Pemikat.

Jadi...," Hantu Makam Setan tak teruskan

ucapannya.

"Ratu Pemikat adalah Dewi Asmara. Tapi

sudahlah! Soal gelar tak perlu diperdebatkan. Ada

masalah lain yang lebih penting!" sahut Ratu

Pemikat seraya maju tiga langkah. Dada

perempuan ini terlihat naik turun karena sejak tadi

menahan bau busuk yang menebar di tempat itu.

Membuat Hantu Makam Setan makin

membeliakkan mata.

"Hantu Makam Setan. Kau masih ingat

pengejaran kita terhadap Malaikat Lembah Hijau

beberapa tahun silam?"

"Hemmm...," Hantu Makam Setan menggumam.

"Bangsat yang tewas masuk jurang itu?!"

"Ingatanmu masih bagus! Tapi dugaanmu salah!"

tukas Ratu Pemikat.


Hantu Makam Setan terperanjat. Sebelum d!a

berkata lagi, Ratu Pemikat telah menyambung

ucapannya.

"Ternyata Malaikat Lembah Hijau tak tewas!"

"Dari mana kau mengetahuinya? Kau jumpa

dengannya?!"

Ratu Pemikat gelengkan kepalanya. Lain ajukan

pertanyaan lagi. "Apa kau juga masih ingat anak

laki-iaki yang ikut masuk jurang bersama Malaikat

Lembah Hijau?!"

"Aku ingat! Lalu apa hubungannya?!"

"Aku menduga Malaikat Lembah Hijau masih

hidup dari anak laki-laki itu. Anak itu masih hidup

dan kini telah besar. Dia tampaknya membekal

ilmu tinggi. Labih dari itu semua, dia ternyata

berhasil mendapatkan Pedang Tumpui 131!"

Ratu Pemikat sudah menduga jika Hantu Makam

Setan akan terkejut mendengar keterangannya.

Namun dugaannya meleset. Hantu Makam Setan

tak menunjukkan rasa terkejut, membuat Ratu

Pemikat kernyitkan kening dan menduga-duga apa

sebabnya.

"Apa kau telah mendengar semua ini

sebelumnya?!" tanya Ratu Pemikat coba

menyelidik.

Hantu Makam Setan gelengkan kepala. "Sudah

hampir empat belas bulan aku menyendiri. Dan

baru malam ini aku keluar dari tempatku!"

"Kau dulu tampaknya begitu menggebu untuk

merebut pedang itu. Hal apa yang membuat kau

sekarang berubah? Pedahal pedang itu sekarang

tinggal merebutnya!" Ratu Pemikat terus mendesak

ingin tahu perubahan pada laki-laki berhidung

sebelah ini.


Hantu Makam Setan tertawa pelan namun

panjang. Seraya menatap pada dada perempuan di

hadapannya, dia berujar.

"Pedang Tumpul 131 boleh hebat. Tapi belum

tentu menang jika dibanding dengan Kitab Serat

Biru!"

"Aha.... Tampaknya kau termakan juga dengan

cerita isapan jempoi itu! Jadi itukah yang

membuatmu berubah? Dengar, Sobatku. Pedang

Tumpui 131 sudah nyata adanya. Sedangkan Kitab

Serat Biru masih teka-teki. Adakah kau memilih

yang kedua?!"

Hantu Makam Setan tertawa kembali seraya

menggeleng-geleng.

"Apakah jika tokoh-tokoh dedengkot rimba

persilatan rela menyabung satu-satunya nyawa

yang dimiliki demi sesuatu, sesuatu itu masih

teka-teki...? Tidak! Sesuatu itu pasti adanya!

Mereka yang mengatakan bahwa cerita tentang

kitab itu isapan jempol pasti bertujuan agar jalan

mereka mulus tanpa banyak orang yang terlibat!"

Mendengar ucapan Hantu Makam Setan, Ratu

Pemikat terdiam. Keyakinannya semula jika Kitab

Serat Biru cerita isapan jempol perlahan-lahan

sirna. Apalagi jika ditambah dengan kabar yang

kini terdengar santer jika para dedengkot

persilatan mulai kasak-kusuk membicarakan kitab

itu. Malah beberapa tokoh yang telah lama

menghliang kini banyak berkeliaran lagi. Di antara

yang jelas ditemuinya adalah Manusia Dewa dan

Maut Mata Satu.

"Dewi Asmara...," kata Hantu Makam Setan

menyentak lamunan sang perempuan. "Tentunya

ada maksud penting hingga kau jauh-jauh datang

ke dataran Makam Setan ini. Katakan apa

maksudmu! Atau kau hanya ingin


memberitahukan tentang telah diketemukannya

pedang itu?!"

Sesaat Ratu Pemikat berpikir. Dia sebenarnya

ingin minta bantuan setidak-tidaknya mengajak

bergabung Hantu Makam Setan untuk merebut

Pedang Tumpul 131 dan membunuh Manusia

Dewa, namun sebagai tokoh yang lama malang-

melintang dia pantang berterus terang

mengatakannya. Dia tak mau dikatakan sebagai

orang yang kurang ilmu, apalagi oleh orang satu

golongan!

Melihat Ratu Pemikat tak segera menjawab

pertanyaannya, Hantu Makam Setan segera dapat

menangkap apa yang dipikirkan perempuan itu.

Seraya menyeringai dia akhirnya berkata.

"Aku menduga kau ingin mengajakku bergabung

untuk memburu pedang itu. Benar?!"

"Karena orang yang memburu Maiaikat Lembah

Hijau hingga orang itu masuk jurang adalah kau

dan aku, maka aku pikir tak ada salahnya jika kita

menyelidik bersama-sama! Kalau sekarang ada dua

masalah besar, itu sangat kebetulan sekali. Kalau

kau menginginkan kitab itu aku akan membantu,

sebaliknya kau juga harus membantuku untuk

merebut pedang itu!"

Hantu Makam Setan kembali keluarkan tawa

bergelak.

"Aku meiihat nada ketakutan pada ucapanmu.

Mau mengatakan apa sebabnya? Karena terus

terang empat belas bulan terakhir ini aku tak tahu

perubahan dalam rimba persilatan. Biasanya,

dalam situasi berselimut begini, satu hari saja bisa

terjadi perubahan besar!"

"Hantu Makam Setan!" tiba-tiba Ratu Pemikat

berkata dengan suara agak tinggi, karena

dikatakan takut. "Aku tak pernah takut


menghadapi segaia hal! Aku punya kepandaian!

Hanya yang perlu kau ketahui, sekarang telah

muncul beberapa tokoh rimba persilatan yang

sebelumnya diduga orang tak mungkin muncul

lagi!"

"Hem.... Begitu? Berarti kegegeran besar benar-

benar akan segera terjadi. Peristiwa besar ratusan

tahun yang lalu akan terulang kembali...," gumam

Hantu Makam Setan acuh tak acuh dengan

kegeraman Ratu Pemikat.

"Hantu Makam Setan! Bagaimana? Apa kita jadi

menyelidik bersama-sama?"

"Hem.... Perempuan macam dia banyak tipu

muslihatnya. Dulu waktu mengejar Maiaikat

Lembah Hijau dia mengatakan punya dendam

dengan Malaikat Lembah Hijau. Sekarang tanpa

disadari dia membuka kedoknya sendiri jika

pengejaran itu karena ingin pedang pusaka itu.

Bergabung dengannya akan menyusahkan saja.

Apalagi urusan Kitab Serat Biru bukan masalah

main-main. Hem.... Sebenarnya dengan bergabung,

setidaknya aku bisa mencicipi tubuhnya, tapi

sementara ini Kitab Serat Biru lebih dari

segalanya!" kata Hantu Makam Setan dalam hati.

Lalu tengadahkan kepala dan berkata.

"Dalam banyak hal, kita memang punya

kepentingan sama. Tapi tidak untuk urusan Kitab

Serat Biru. Biarlah untuk masalah ini aku

menyelidik sendiri!"

"Jahanam! Dia menolak tawaranku. Atau

mungkin dia pura-pura menolak karena di balik itu

ingin...," Ratu Pemikat tak meneruskan kata

hatinya. Bibir perempuan berwajah cantik Ini

sunggingkan senyum. Laiu dia melangkah ke arah

Hantu Makam Setan dengan bibir setengah dibuka



dan mata sedikit memejam. Dadanya dibusungkan,

hingga makin menyembul!

Perempuan ini bersikeras mengajak bergabung

Hantu Makam Setan karena dia sadar, tokoh yang

bakal menghadang adalah para dedengkot rimba

persilatan yang kemampuannya tidak disangsikan

lagi.

Tiga langkah di depan Hantu Makam Setan, Ratu

Pemikat hentikan langkah. Dari sudut matanya

yang setengah memejam dia memandang lekat-

lekat pada laki-laki berhidung sebelah ini.

"Kau menolak menyelidik bersama-sama, Hantu

Makam Setan...?"

"Bededah! Dia rupanya mulai pasang perangkap.

Tapi jangan mimpi aku akan masuk jaring laba-

labanya!"

"Dewi Asmara...," bisik Hantu Makam Setan

dengan suara bergetar menindih gejolak nafsu yang

mau tak mau mendera dadanya juga melihat

tingkah perempuan di hadapannya. "Urusan di

depan begitu besar. Kalau kau mau bersenang-

senang denganku, datanglah setelah urusan ini

selesai. Aku akan membuatmu tak sempat

mengenakan pakaian selama satu purnama

penuh!"

Dada Ratu Pemikat bergerak turun naik dengan

keras. Bukan karena gejoiak nafsu meiainkan

geram mendengar kata-kata Hantu Makam Setan.

Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak

menghantam ke depan!

Wuuuttt! Wuuutit!

Namun Ratu Pemikat tersentak sendiri. Kedua

tangannya hanya menghantam angin. Karena

waktu menghantam kedua matanya setengah

memejam, perempuan ini tak tahu jika begitu

Hantu Makam Setan selesai berkata, laki-laki ini


cepat melompat ke belakang lalu masuk dalam

lubang dan lenyap seakan ditelan bumi!

Seraya memaki, Ratu Pemikat buka kedua mata-

nya. Begitu tak melihat Hantu Makam Setan,

kemarahan perempuan ini makin menggebu.

Sejenak matanya liar memandang kian kemari.

Lalu berkelebat ke arah lubang di mana Hantu

Makam Setan keluar. Perempuan ini terlihat

bimbang, karena lubang itu tampak gelap dan

berkelok.

"Tak ada gunanya kukejar masuk. Aku masih

bisa mencari orang iain untuk urusan ini. Bangsat

ini tak lama lagi pasti keluar menyelidik Kitab

Serat Biru. Hem...," Ratu Pemikat condongkan

kepalanya ke lubang. Di kejap kemudian terdengar

teriakannya.

"Hantu Makam Setan! Kau akan menyesal

karena tindakan bodohmu! Ingat! Saat kau keluar

dari lubang busuk ini, Ratu Pemikat adalah orang

pertama yang menginginkan selembar nyawamu!"

Ratu Pemikat mengharap ada sahutan dari

dalam lubang. Namun apa yang diharap tak jadi

kenyataan, membuat perempuan bertubuh sintal

ini makin marah.

"Keparat Jahanam!" bentaknya seraya menarik

kepalanya. Kemarahannya dilampiaskan pada apa

yang ada di depannya. Kedua tangannya diangkat

tinggi-tinggi. Karena di depannya adalah lubang di

mana Hantu Makam Setan masuk, lubang itu

segera dihantamnya!

Byuuurrr!

Lubang itu langsung terbongkar. Tanahnya

berhamburan ke udara dan sebagian jatuh

menimbun ke dalam lubang, hingga tatkala

suasana sirap, lubang itu lenyap berganti dengan


tanah berserakan. Sosok Rat Pemikat pun tak

tampak lagi di dataran Makam Setan itui



                                 SELESAI









0 komentar:

Posting Komentar