BTemplates.com

Blogroll

Kamis, 21 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE JENAZAH SIMPANAN


Jenazah Simpanan


 “Ratusan Makhluk yang tubuhnya dipenuhi kobaran api perlahan-

lahan beringsut mundur dari kepungannya terhadap Resi Kali Jagat dan yang 

lainnya. ada rasa jerih bercampur takut kala mendengar bunyi suara Saluang

(alat musik tradisional Minangkabau) yang mendayu perlahan dari arah barat

Pohon Jati dimana Resi Kali Jagat beserta kawan-kawannya terkepung. Lain 

halnya dengan Resi Kali Jagat dan kawan-kawannya, bunyi saluang yang 

mengalun terasa begitu menyejukkan kalbu dan jiwa sehingga tanpa sadar

ucap puji dan syukur atas Rahmat Dewata berkumandang dari bibir 

ketiganya. Tak sampai sepeminuman teh kemudian dari arah barat menyeruak 

kabut tipis beserta hawa dingin yang menggigit, hawa dingin ini tidak begitu 

terasa bagi Resi Kali Jagat dan yang lain, namun tidaklah demikian bagi

Kawanan Makhluk yang dikobari Api! jeritan dan lolongan panjang keluar 

dari mulut mereka! Tubuh mereka mulai bergelimpangan satu persatu 

disertai dengan padamnya api di tubuh mereka kala satu sosok yang berjalan 

diantara kabut tipis melewati tubuh mereka! Seekor Menjangan Bertanduk 

dan berbulu keemasan terlihat berjalan diantara kabut putih, dipunggungnya 

duduk seorang kakek berjubah putih.berambut panjang. Rambut serta janggut 

dan kumisnya yang putih terlihat menjela tertiup angin diantara jemari 

tangannya yang bergerak lincah memainkan sebuah Saluang yang berwarna 

keemasan. Dipinggangnya tergantung sebuah kantung kulit tersamak dimana

terselip enam buah Saluang dengan warna yang beragam!”



SATU 


Nenek Katai Ning Rakanini delikkan matanya yang besar 

sebelah, kedua tangannya yang berwarna hitam pekat

berkilat bersiap untuk melepaskan pukulan sakti kearah

makhluk raksasa bertanduk yang kepalanya menjulur dari

dalam lubang atap yang hancur karena pukulan bocah sakti 

Dirga Purana (baca episode sebelumnya: Jabang Bayi dalam 

Guci). Sesaat lagi kedua tangannya yang berwarna hitam 

mengkilat melepaskan sebuah pukulan sakti yang bernama 

Dalam Sesat Mencari Ketentraman, Resi Kali Jagat berteriak 

mencegahnya “Tahan, Jangan!!” Nenek Katai Penguasa Rumah 

Ketentraman dan Keselamatan memalingkan wajahnya kearah

Resi Kali Jagat, Hidungnya yang dicanteli anting-anting emas 

bergoyang-goyang sementara urat besar terlihat menonjol di 

pelipisnya pertanda menahan amarah “Ampusena! Apa 

maksudmu menahan serangan ku? Tidakkah kau dengar apa 

yang diucapkan makhluk ini? Dia menginginkan orok dalam

Guci! Dia pasti sudah menjadi salah satu kawanan Gerombolan

Sukma Merah!” Resi Kali Jagat menghela nafas sesaat. “semoga


berkah Hyang Jagatnatha turun atas diri kita semua, Apa 

kabar Arwah Ketua Penguasa Candi Miring? Lama kita tidak 

berjumpa” makhluk dengan tanduk berkilat keluarkan tawa 

keras kemudian Wujud kepala Raksasa bertanduk bercahaya

merah keluarkan satu letusan kecil dan berubah menjadi

gumpalan asap kelabu. Asap kelabu itu kemudian berputar

layaknya topan dan memasuki ruangan candi melalui lubang

diatas atap. Gumpalan asap kemudian bergulung membentuk 

satu sosok yang berdiri dihadapan Resi Kali Jagat dan Nenek 

Ning Rakanini, sekejapan mata kemudian gulungan asap pun

akhirnya sirna meninggalkan satu sosok yang tidak lagi 

berbentuk raksasa seperti sebelumnya, sosok kali ini

merupakan sosok seorang kakek bertubuh kekar berjanggut

dan berkumis berkeluk berwarna hitam. pakaiannya

merupakan jubah biru yang bagian atasnya tidak dikancing

sehingga memperlihatkan bulu dadanya yang lebat. Wajah 

kakek ini terlihat pucat tak berdarah sehingga jalur urat

membayang biru dibalik kulit wajahnya. sepasang matanya 

berwarna putih menjorok keluar dengan lensa berbentuk titik 

kecil dan di kepalanya yang botak terlihat sebuah tanduk 

tunggal mencuat dari keningnya. Tanduk tersebut tidak terlalu 

besar namun memancarkan cahaya merah berpendar. “ 

Semoga berkah Para Dewa menyertaimu Sahabatku Ampusena,


maafkan kelancangan ku wahai Penghuni Rumah Ketentraman 

dan Keselamatan” ucap sosok Arwah Ketua sembari mengedip-

ngedipkan matanya yang juling kearah Nenek Ning Rakanini.

Sang Nenek merutuk dalam hati sembari menurunkan kedua 

tangannya, kedua tangan tersebutpun perlahan kembali

kewarna asalnya. sementara Resi Kali jagat menggelengkan

kepalanya untuk kemudian berkata “berbilang tahun kita tidak 

berjumpa, sungguh tidak dinyana dapat bertemu denganmu 

disini wahai Arwah Ketua, gerangan apakah yang membawamu 

ketempat ini?” “wahai Sahabatku Ampusena, tak usahlah lagi

kita berpanjang cakap, maksud kedatanganku kali ini adalah 

meminta kau untuk memberikan saja jabang bayi dalam guci

itu kepadaku, toh disini tidak ada orang yang mau 

menampungnya, bagaimana Ampusena? Kau tidak keberatan

bukan?”ucap Arwah ketua sembari melirik kearah guci bening 

yang berisi bayi merah yang tergeletak diatas meja batu.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Arwah Ketua, Nenek Katai

Ning Rakanini menjadi meradang, alisnya yang menyambung 

menjadi satu terlihat terjungkat “Kowe, jangan sembarang

omong! siapa bilang aku tidak mau menampungnya? aku 

Cuma khawatir tidak bisa menjamin keselamatannya!” hardik

Sang Nenek. Arwah Ketua memandang sinis kepada Nenek 

Ning Rakanini “Ampusena, kau sudah mendengar sendiri


bukan? Nenek ini tidak mampu menjaga Guci itu, jadi

sebaiknya kau titipkan saja kepadaku.”ucap Kakek Bertanduk

ini sambil terkekeh. “Kurang ajar! Makan Pencarianmu!” jerit

Nenek Ning Rakanini, Nenek satu ini tampaknya sudah tidak 

bisa lagi mengendalikan emosinya sehingga tanpa bisa dicegah

lagi tangan kirinya mencabut tusuk konde yang tertancap di 

batok kepalanya dan dengan secepat kilat ditusukkannya 

tusuk konde tersebut kearah perut Arwah Ketua! “Ning

Rakanini! Jangan!” Resi Kali Jagat Berseru tertahan Namun tak 

kuasa Mencegah, Sementara itu Kakek bertanduk yang 

diserang oleh Nenek Katai Ning Rakanini hanya senyum-

senyum saja dan tampak adem ayem tidak berusaha untuk 

menghindari serangan tusuk konde terbuat dari batu yang 

berwarna merah pekat itu. Sesaat lagi tusuk konde yang

berada di tangan Ning Rakanini menembus perut Arwah Ketua,

tiba-tiba didahului suara letusan kecil dan mengepulnya asap 

kelabu tipis dari arah bawah tanah tempat antara Arwah Ketua

dan Ning Rakanini berdiri mencuat sebuah tangan berbentuk 

tulang jerangkong yang dengan secara sigap menahan tangan

Ning Rakanini sehingga tusuk konde yang hendak

ditusukkannya berhenti hanya sejarak setengah jengkel dari 

perut Arwah Ketua! “Ketentraman dan keselamatan berasal dari 

hati yang suci dan bersih, hawa marah dan kebencian hanya


akan membawa setiap insan ke dalam musibah dan

penyesalan! Rakanini kendalikan emosimu.” Satu suara keluar

dari satu sosok berbentuk jerangkong putih yang keluar dari 

dalam tanah. “Lor Pengging Jumena…!” seru Resi Kali Jagat

Ampusena kala melihat sosok Jerangkong Putih yang 

memegang tangan Nenek Katai Ning Rakanini. “Mbah Buyut…” 

Desis Sang Nenek Katai Penghuni Rumah Ketentraman dan 

keselamatan tersebut dengan tubuh bergetar. 

***


DUA


Disatu tempat terpaut delapan ratus tahun dari negeri

Bhumi Mataram, diselatan Kaki Gunung Gajah tak jauh 

dari Bukit Menoreh terlihat seorang kakek berambut tipis

sedang duduk bertopang dagu dibawah satu pohon Jamblang.

Kakek ini memiliki sepasang mata jereng yang selalu berputar

kesana-kemari tidak bisa diam sementara sebuah telinganya 

terlihat terpasang terbalik menghadap kebelakang, bau pesing

santer keluar dari tubuh dan pakaiannya. “aduh biyung, tobat

aku..! kemana lagi aku harus mencari anak setan itu! Setahun

lebih tak tahu rimbanya tak tahu juntrungannya jangan-jangan 

Bocah Gemblung itu balik lagi ke Latanah Silam! Buseet!” 

gerutu si kakek sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Pluk..pluk.. tiba-tiba dari atas pohon jamblang berjatuhan dua

buah jemblang yang langsung jatuh menimpuk kepala dan 

tubuh si kakek bau pesing yang bukan lain adalah Setan 

Ngompol tokoh kosen dunia persilatan tanah jawa pada saat

itu. “Naga Kuning anak setan! kamu Jangan kurang ajar sama 

orang tua!” bentak sang kakek sembari meraupkan kedua


tangannya kebalik celananya yang basah kuyup kemudian

dipeperkannya tangannya yang basah oleh air kencing itu 

keatas pohon, serangkum angin beserta titik-titik air berbau 

pesing menghambur deras kearah Pohon menggetarkan batang

pohon dan meluruhkan sebagian daun pohon Jamblang!

Sementara itu dari balik rimbunan pohon satu bayangan hitam 

melesat sambil terkekeh-kekeh menghindari serangan peperan 

air kencing Setan Ngompol. (Mengenai riwayat Setan Ngompol 

dan Naga Kuning silahkan baca Petualangan Wiro Sableng di 

Lembah Akhirat dan Negeri Latanah Silam) “kakek Setan 

Ngompol! Jangan marah begitu, aku kan Cuma becanda! Aku 

juga tahu kamu itu bukannya mikirin si Wiro yang kamu bilang

balik lagi ke Latanah Silam, tapi kamu lagi mikirin si Nenek 

genit menor siapa tuh namanya? Luh Lemper apa ya?” ucap

seorang bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga

Kuning sambil mengorek-ngorek hidungnya! “ Lemper… 

Lemper…!! Yang kamu ingat Cuma lemper!! Anak Geblek! 

Namanya Luh Lampiri!” sembur Setan Ngompol sembari 

membeliakkan matanya yang jereng, mata diatas yang jereng 

mata dibawah ikut-ikutan mancur! Naga Kuning terkekeh

melihat tingkah kakek sahabatnya itu sementara Setan 

Ngompol menggerutu panjang-pendek! Dikisahkan setelah 

kepergian Wiro ke Mataram Kuna negeri delapan ratus tahun


silam banyak terjadi perubahan di tanah jawa, di tanah jawa 

mulai bermunculan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi dan

aneh-aneh. berbagai macam peristiwa dan kejadian-kejadian

aneh dibarengi bermacam kasus penculikan terjadi di seantero

negeri. Korban-korban penculikan itu biasanya adalah para 

pemuda yang sudah mencapai akil balik. Suasana dunia

persilatan tanah jawa pun mulai mencekam, saling tuding dan 

berbuntut pertumpahan darah pun akhirnya terjadi. Kyai Gede 

Tapa Pamungkas yang melihat keadaan ini pun merasa 

prihatin sehingga mengutus Naga Kuning dan Setan Ngompol 

untuk mencari dan menemukan Wiro Sableng beserta Sinto 

Gendeng yang diketahui menghilang bersamaan dengan 

menghilangnya Wiro Sableng. Adapun Gondoruwo Patah Hati 

atau Ning Intan Lestari yang datang menghadap Kyai Gede 

Tapa Pamungkas bersama Naga Kuning ditahan oleh sang Kyai 

dengan alasan untuk mempersiapkan Pernikahannya dengan

Naga Kuning. Rupanya Sang Kyai sudah merestui hubungan 

putri angkatnya tersebut dengan Naga Kuning. Meskipun 

dengan berat hati akhirnya Ning Intan Lestari atau Gondoruwo 

Patah Hati melepas kepergian Naga Kuning yang sesungguhnya 

adalah seorang Kakek Sakti Berjuluk Kyai Paus Samudera 

Biru! Dalam pencarian terhadap Wiro, kedua orang konyol

tersebut akhirnya terpesat di kaki gunung gajah. “hei Naga


Kuning, mana jamblangnya? Masih ada? Bagi kemari aku 

masih lapar.” Ucap Setan Ngompol sambil menatap Naga

Kuning. “waladalah kek, habis semuanya! Sisanya tuh sudah

rontok semua kena air kencing sampeyan.” Tunjuk Naga

Kuning ke bawah pohon dimana beberapa buah jamblang 

terlihat berguguran rontok akibat angin pukulan Setan 

Ngompol. Setan Ngompol mengelus perutnya yang kerempeng 

sembari mendesah “Nasibmu biyung, sedari pagi Cuma diisi 

Jamblang! Naga Kuning kamu masih ada bekal tidak?” Naga

Kuning menggelengkan kepalanya “aku juga masih lapar kek” 

ucap polos Naga Kuning “kalo lagi laper gini jadi inget Nasi

timbelnya Yu Pinem, janda penjual timbel di simpang lima 

Godeyan. Hemm, sambel pincuk, ikan asin..” belum habis

berucap Naga Kuning tiba-tiba merasa tubuhnya diangkat dan 

dikepit Setan Ngompol. “kek! Apa-apan ini?”jerit Naga Kuning. 

“Simpang Lima Godeyan tidak jauh dari sini, hanya 

sepenanakan nasi..” Gumam Setan Ngompol. “memangnya 

sampeyan punya duit kek?” tanya Naga Kuning. “urusan 

belakangan…”seru Setan Ngompol seraya berlari sambil

menaikkan kempitan Tubuh Naga Kuning, malangnya kepala 

sang bocah terbenam di ketiak Setan Ngompol. Satu suara 

Tercekik keluar dari tenggorokan Naga Kuning. 

***


TIGA


Jurang Langit Pendam merupakan satu Jurang yang Cukup 

dalam dan terjal, letak jurang ini juga sangat terpencil dan 

tersembunyi. jika seseorang berdiri di pinggir jurang dan

mencoba untuk menengok kebawah, maka orang tersebut tidak 

akan bisa untuk melihat apa yang ada di dasar jurang karena

yang hanya bisa dilihat hanyalah gumpalan awan dan kabut

putih tebal. oleh karena itu pula jurang yang terletak di salah

satu lereng gunung Salak ini disebut dengan Jurang Langit

Pendam. Kawasan Jurang langit pendam sudah dikenal oleh 

masyarakat sekitar sebagai suatu tempat keramat yang bahkan

dipercayai sebagai tempat bermukimnya banyak makhluk 

halus, demit dan sejenisnya. Oleh karenanya tidaklah

mengherankan jika tidak ada seorangpun penduduk setempat 

maupun pendatang yang berani untuk mendatangi tempat itu.

Keangkeran tempat ini juga ditambah dengan tumbuhnya 

sebatang pohon beringin Raksasa yang tumbuh tidak jauh dari 

bibir jurang. Pohon berusia ratusan bahkan mungkin ribuan

tahun ini memang amatlah besar sehingga bisa dilihat dari


kejauhan. Sedemikian besarnya pohon beringin itu sehingga

Jika dikumpulkan orang untuk memeluk batang pohon ini saja

diperkirakan membutuhkan kurang lebih dua puluh satu 

orang! Keangkeran pohon ini ditambah dengan bertebarannya

delapan buah batu besar berwarna merah yang berjejer

mengelilingi Pohon beringin Raksasa tersebut. Batu-batu 

merah tersebut dililiti sejenis kain bermotif catur yang sudah 

sangat tua hingga warnanya sudah terlihat pudar, kain yang 

menutupi batu-batu tersebut juga sudah banyak yang robek. 

bau anyir tercium cukup keras dari bagian batu yang berwarna 

merah kehitaman. Saat itu belum lagi senja namun kesunyian 

amat terasa melingkupi areal Jurang dan sekelilingnya, namun

hanya beberapa saat kemudian kesunyian itu terpecah oleh

satu suara letusan kecil yang datangnya dari bawah tanah 

beberapa tombak dari pohon Beringin raksasa berada. Tanah 

dimana letusan kecil tadi terjadi terlihat rengkah dan perlahan 

mulai terkuak memperlihatkan satu lubang hitam yang 

memancarkan cahaya merah gelap, tiba-tiba dari arah lubang

tersebut melompat seorang anak lelaki berpakaian mewah

serba hitam, pada salah satu telinganya terpasang sebuah 

anting-anting emas. Bocah ini tidak sendirian, di bahunya 

tersampir tubuh seorang perempuan muda. Perempuan ini

terlihat memejamkan matanya sementara itu beberapa bagian


tubuhnya tersingkap hingga mempertunjukkan auratnya yang 

putih menantang, sesekali Bocah yang tidak lain adalah Dirga 

Purana Bocah sakti yang dipanggil dengan sebutan Sang 

junjungan membelai dan meremas gemas tubuh perempuan

yang dibawanya. Udara sore yang berhembus membawa angin

dingin rupanya membuat gairah Dirga Purana makin berkobar,

setelah memandang kekiri dan kekanan bocah sakti ini 

perlahan menurunkan sembari terus memeluk tubuh Menur 

Kembiri pelayan penghuni Rumah Ketentraman dan 

keselamatan ke tanah bersebelahan dengan salah satu batu

merah yang mengelilingi pohon beringin “he.he.he. manis ayo 

buka matamu.”ucap sang bocah sembari menepuk nepuk pipi

sang gadis. Menur Kembiri yang ditepuki pipinya perlahan 

membuka matanya. Saat memandang wajah Dirga Purna untuk 

sesaat gadis ini tersentak dan hendak memberontak dari

rangkulan sang bocah namun saat melihat sepasang mata

Dirga Purana yang sesaat memancarkan cahaya kuning

kemerahan gadis ini pun mulai diam, bahkan Menur Kembiri

terlihat tersenyum dan mendesah lirih kala melihat wajah 

bocah dihadapannya berubah menjadi wajah seorang pemuda

yang sangat tampan. gairah kewanitaan Menur kembiri pun

terbangkitkan! tanpa kuasa Menur Kembiri mulai membalas 

pelukan Dirga Purana dengan liar dan ganas! Menur Kembiri


pun mulai memagut dan melumat Bibir Dirga Purana yang 

mencumbunya dengan rakus. kemudian untuk beberapa saat

yang terdengar hanyalah dengus nafas dan desah kenikmatan 

keduanya. Pohon beringin dan kedelapan batu menjadi saksi

bisu Kebejatan yang dilakukan oleh Dirga Purana. Selang

beberapa lama kemudian Dirga Purana menghempaskan

tubuhnya ke atas dada Menur Kembiri yang montok dan basah

oleh keringat, nafasnya yang sebelumnya terdengar memburu 

perlahan mulai teratur dan tenang. Sementara itu tanpa 

disadari oleh sang bocah udara yang tadinya masih terang-

terang tanah tiba-tiba mulai mengelam, kabut tipis berhembus 

membawa udara yang dingin menggigit. mendung kelabu 

mendadak muncul dan bergelung membentuk lingkaran tepat

diatas kepala kedua anak manusia yang baru habis

melampiaskan hasrat berahi tersebut. Kala Dirga Purana mulai

menyadari keanehan yang terjadi, pada saat itulah didengarnya 

Menur Kembiri Berucap. anehnya suara yang keluar dari bibir

gadis ini bukanlah suara milik sang gadis, suara yang 

didengarnya kali ini merupakan satu suara yang amat

ditakutinya! Suara yang didengarnya adalah suara seorang

lelaki yang terdengar berat, serak dan dalam seolah diucapkan 

dari dasar sebuah jurang! “Dirga Purana!!! Anak Keparat!! Lain

disuruh lain pula kau lakukan! Mana Jabang bayi yang


kuminta!! Kenapa aku tidak bisa mencium, dan merasakannya 

dari tempatku berada?” Dirga Purana tersentak dan meloncat 

kebelakang dalam keterkejutannya. sementara itu dilihatnya 

Menur Kembiri yang dalam keadaan bugil dan rambut acak-

acakan tertatih bangkit dari tanah. Saat pandangan sang gadis 

bentrok dengan tatapan matanya, maka terperangahlah sang 

Bocah! Sepasang mata gadis yang tadinya bening bagus kini

tidak terlihat lagi namun tergantikan oleh sepasang mata yang

berwarna hitam tanpa bagian putih disekitarnya. Yang lebih

mengerikan lagi dari sudut mata sang gadis meluncur beberapa 

ekor belatung gemuk yang berwarna hitam berkilat! Belatung-

belatung tersebut tidak hanya keluar dari sepasang mata 

namun juga dari hidung, mulut, kedua telinga, Pusar, dan 

Kemaluan Menur Kembiri! Saat sang bocah melirik ke arah

belakang sang gadis, tampak menyembul keluar dari dalam

tanah sesuatu seperti Akar beringin yang menyembul dan 

masuk kedalam Dubur gadis itu! Walau keadaannya

sedemikian rupa, namun sang gadis seperti tidak merasakan

Bagaimana binatang-binatang menjijikan itu keluar dari

tubuhnya, maupun akar beringin yang menembus duburnya! 

Dengan tubuh terbungkuk dan tertatih gadis tersebut 

melangkah mendekati Dirga Purana yang saat itu merasakan

seluruh tubuhnya kaku laksana terpantek ke bumi, keringat


dingin memercik di keningnya. “Junjungan Tertinggi Yang 

Mulia Jenazah Simpanan…”ucap sang Bocah tercekat. “Anak 

keparat!!! Kerjamu hanya bersenang-senang menyalurkan

nafsu terkutukmu! Menyesal aku memberikan kepercayaan

untuk menyelesaikan tugas ini…” seru sang gadis masih

dengan suara yang terdengar bagai dari dalam jurang.

“tu..tunggu yang mulia, dengar dulu penjelasan hamba, hamba 

tidak mampu mengambil bayi itu karena bayi itu dilindungi 

oleh satu kekuatan yang luar biasa! Disamping itu banyak 

tokoh berilmu tinggi yang melindunginya! Hamba mengaku 

salah, hamba mohon diberi kesempatan sekali lagi…” ucap 

Dirga Purana tersendat sementara dalam hatinya berkata 

“Celaka!! Mega Kuning Menyembah Bumi!! Aku tak bisa 

menggerakkan tubuhku!!” hati sang bocah mulai gelisah, sang

bocah berusaha mengalirkan tenaga dalam kearah kedua

kakinya yang terpantek namun sia-sia! Nampak asap kuning

tipis keluar dari dalam tanah pertanda dengan ilmu yang sama,

sang bocah berusaha untuk membebaskan diri namun

usahanya gagal! “he.he.he. kau pikir kau bisa Melarikan diri 

dengan ilmu itu? Ilmu Mega kuning menyembah bumi milikku 

seratus kali lebih kuat dari milikmu! Karena akulah yang 

menciptakannya! Kau sudah tidak ada gunanya lagi! Tapi aku 

masih membutuhkan mu… tepatnya Jenazahmu…!”ucap sang


gadis dengan terkikik lalu dengan gerakan secepat kilat Menur

Kembiri mengembangkan kedua tangannya dan ajaib! Kedua 

tangan Menur Kembiri tiba-tiba berubah panjang dan

mencengkram kedua pundak Dirga Purana! Tidak hanya 

sampai disitu, tiba-tiba saja leher sang gadis pun berubah

memanjang sehingga tahu-tahu kepala sang gadis telah tiba 

sejengkal didepan wajah dirga purana yang pucat pasi!

Mendadak dari kejauhan terdengar bunyi Lonceng berdentang 

laluu dari angkasa laksana tabir turun sinar berwarna kuning 

yang mengarah ke tubuh Menur Kembiri! “Adinda Mimba 

Purana..” desis Dirga Purana, sementara Menur Kembiri 

memalingkan wajahnya memandang kearah tabir Sinar Kuning 

yang hendak melabrak dirinya. puluhan belatung berhamburan

dari bibirnya kala mulutnya menyunggingkan senyum yang 

menggidikkan. “Bara Moksa Geni!!!” satu teriakan membahana 

keluar dari mulut Menur Kembiri, sesaat lagi sinar kuning

menghantam Menur Kembiri tiba-tiba Pohon Beringin

mendadak dilamun api berwarna hitam! Sungguh aneh! Api 

berwarna Hitam yang mengobari Pohon Beringin tiba-tiba 

menggebubu keatas dan langsung menyongsong datangnya 

sinar kuning terang! Tapi yang terjadi tidak hanya sampai 

disitu! Mendadak ke delapan batu merah yang mengelilingi 

pohon beringin terlihat berpendar dan nampak delapan sinar


putih Redup berkiblat keluar dari kedelapan batu merah

memapasi serangan Api Hitam yang dilontarkan Pohon 

Beringin Raksasa! Satu letusan keras terdengar membahana di

seantero Jurang langit pendam, Cahaya kuning, putih dan

hitam yang saling bentrok membuat satu ledakan bola api yang 

sangat besar dan menyilaukan mata! Tampak potongan kain

bermotif catur berhamburan diudara yang panas akibat 

pertemuan tiga hawa sakti yang bentrok diudara! Hantaman

tiga hawa sakti di langit Jurang pendam membawa pengaruh

yang hebat di daerah sekitarnya, pohon-pohon dan rerumputan

tercabut dari tempatnya dalam keadaan hangus merangas,

kedelapan batu yang berdiri mengelilingi pohon beringin 

tampak bergulingan tumpang tindih! Di beberapa tempat 

terlihat onggokan daging mengepulkan asap menyebar

menggidikkan! Sebenarnya apa yang terjadi? Pada saat terjadi 

bentrok antara tiga kekuatan yang berbeda, Dirga Purana yang

tak kuasa untuk bergerak hanya bisa mendelikkan matanya 

pasrah! Sementara Menur Kembiri yang disusupi oleh satu 

kekuatan tiba-tiba dengan sekuat tenaga menghentakkan 

tangannya yang memegang bahu Dirga Purana dan 

melemparkan bocah tersebut kearah Pohon Beringin! Dirga 

Purana menjerit keras kala tubuhnya menghantam kulit pohon 

yang membara! punggungnya laksana digarang diatas


Pendiangan! Tiba-tiba dalam hitungan detik sebelum ledakan

pecah diudara, dari dalam pohon keluar sulur-sulur akar yang 

langsung membelit tubuh dan menarik Tubuh Dirga Purana 

masuk Kedalam Pohon beringin! Sementara itu diluar pohon

bunyi letusan dan kekuatan ledakan dari bentroknya tiga hawa 

sakti menghantam ke segala arah termasuk menghantam 

kearah Tubuh Menur Kembiri yang tegak tergontai “Akhirnya 

bebas…” ujarnya sembari tersenyum sepersekian detik sebelum 

tubuhnya meledak terhempas kekuatan dahsyat hasil

bentrokan tiga kekuatan sakti. Sementara itu sesaat setelah 

letusan besar terjadi, dari atas langit perlahan turun sebentuk 

awan kelabu mengitari daerah seputar jurang langit pendam.

Sesosok bocah berbaju hitam dengan perawakan sama dengan

Dirga Purana tampak terduduk lesu diatas awan sembari

menatap kearah pohon beringin raksasa. “Kakang Dirga 

Purana… aku terlambat…” desisnya penuh duka. Sementara 

itu Dirga Purana Yang tubuhnya terbelit rangkaian akar pohon 

beringin tidak kuasa untuk bergerak dan membuka mata, 

seluruh tubuhnya serasa ditancapi ratusan jarum berapi!

Untuk beberapa saat dia merasa tubuhnya seakan diseret di

semacam lobang yang pengap dan panas! setelah merasa 

tubuhnya tidak terseret lagi, sang bocah berusaha untuk 

membuka matanya dan ajaibnya kali ini dia mampu untuk


membuka matanya! Dan apa yang disaksikannya membuat

sang bocah merinding dan tercekat! Sang bocah mendapati

dirinya berada dalam satu ruangan atau rongga bawah tanah

yang amat luas. ruangan itu terlihat terang benderang namun

cahaya terang yang menyinari ruangan itu bukan berasal dari 

sinar matahari melainkan berasal dari lahar yang menggelegak 

didasar ruangan! Ya, ruangan yang berada dibawah pohon

beringin itu tidak memiliki dasar selain dasar berupa lahar 

yang mendidih menggelegak! Saat memandang keadaan dirinya 

maka terkejutlah sang bocah! Dirinya ternyata hanya 

tergantung diudara bebas hanya dibelitkan oleh beberapa helai 

akar beringin! Kembali sang bocah menyapukan 

pandangannya, dan sang bocah kembali terpaku karena sang

bocah mendapati bahwa ternyata dia tidak sendiri! Di

sekelilingnya tidak kurang dari ratusan bahkan mungkin 

ribuan orang tergantung oleh akar beringin yang menjuntai 

diatas kepulan lahar yang membara! Orang-orang tersebut

terdiri dari orang tua, muda, pria dan wanita dari berbagai

umur dan kalangan. Sekali memandang saja Sang Bocah tahu 

kalau semua orang yang tergantung itu semuanya sudah lama 

menjadi mayat, ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Hal ini 

bisa disimpulkan dari pakaian yang dikenakan oleh mayat-

mayat tersebut. Yang menjadi tanda tanya dihati sang bocah


adalah bagaimana mayat-mayat yang sudah meninggal lama 

tersebut tetap awet dan tidak membusuk. Selagi sang bocah

termangu menatap pemandangan disekelilingnya tiba-tiba 

dirinya dikejutkan oleh satu suara yang bergaung seakan dari 

dasar jurang “Dirga Purana, apa yang kau lihat merupakan

seluruh koleksi ku yang paling berharga. Mereka adalah orang-

orang hebat dijamannya yang takluk dan tunduk dibawah

kekuasaanku. Dan sebentar lagi kau akan mendapat

kehormatan menjadi salah satu bagian dari mereka” ucap

suara tersebut. Dirga purana berusaha memandang keatas 

mencari asal suara dan pandangannya pun terbentur pada 

satu sosok yang menggidikan! Sosok tersebut hanya 

merupakan jerangkong yang terbenam pada salah satu bonggol

akar beringin. kepala tengkoraknya berwarna hitam dan 

dikening nya terlihat mencuat sepasang tanduk yang berwarna 

hitam. sosok tersebut kedua tangan terlihat bersidekap 

menggenggam suatu benda bercahaya yang tidak bisa dilihat 

oleh Dirga Purana, tampak akar-akar beringin mengitari 

seluruh tubuh tengkoraknya sementara bagian pinggul dan

kedua paha serta kakinya tidak terlihat karena terbenam dalam 

Pokok bonggol akar beringin dan dari pokok-pokok akar 

beringin inilah terangkai satu sambungan pokok-pokok akar 

halus lainnya yang membelit dan menghubungkan ratusan


bahkan mungkin ribuan jenazah dibawahnya! Tiba-tiba 

makhluk tengkorak hitam mengeluarkan bentakan keras 

“Lamanyala! Bangun! Pimpin seratus Laskar Iblis dan Rebut

Jabang Bayi Pantangan! Setelah itu bergabung dengan dua

kawanmu yang lain dan bumi hanguskan Mataram!” satu 

untaian akar yang tergantung hingga kebawah Lahar tiba-tiba 

bergerak naik dan dari dalamnya terlihat satu sosok yang 

dilamun kobaran api bergerak bangkit seraya melepaskan diri 

dari belitan akar dan langsung berdiri diatas Lahar mendidih! 

Tidak hanya sampai disitu, perlahan dari dalam lahar mendidih

mencuat kepala lalu seluruh badan ratusan makhluk yang

tubuhnya dikobari api! Sosok yang dipanggil dengan sebutan 

Lamanyala adalah satu sosok jerangkong berjubah hitam dan

seluruh tubuhnya dilamun api sementara bagian tubuhnya 

sebelah kiri hanya merupakan sebuah geroakan besar! (Perihal

diri Lamanyala, Silahkan mengikuti serial Wiro Sableng di 

negeri Latanahsilam dalam episode : Hantu Langit

Terjungkir) Lamanyala terlihat membungkukkan diri diikuti

oleh seratus makhluk api lainnya. “Titah Yang Mulia 

Junjungan Tertinggi Jenazah Simpanan adalah hukum, dan

hukum Adalah Yang Mulia Jenazah Simpanan, kami siap 

menjalankan titah” sosok jerangkong hitam bertanduk yang 

dipanggil Yang Mulia Tertinggi Jenazah Simpanan ganda


tertawa kemudian kembali menyahut. “cepat laksanakan

tugasmu wahai Lamanyala! Ingat waktu kita hanya sampai

Bulan Biru di Mataram Berakhir! Setelah itu kita akan kembali

tertidur dan hanya bisa bangkit delapan ratus tahun 

mendatang! Ingat itu! Oleh karena itu kau harus bisa 

membunuh Jabang Bayi Pantangan dan membumi hanguskan 

Mataram dalam waktu semalam ini!”ucap Jenazah simpanan

menggetarkan pelosok ruang goa. Lamanyala terlihat 

menganggukan kepala “Ucapan Yang Mulia akan kami

laksanakan, Kami pergi sekarang, mohon bantuan yang mulia 

untuk mengirim kami ke atas. Makhluk jerangkong ganda 

tertawa lalu dari sepasang matanya yang bolong memancar

sinar merah yang langsung menyambar tubuh Lamanyala dan 

seratus Laskar Iblis. Sinar tersebut langsung membungkus 

tubuh mereka dan mengubah tubuh mereka menjadi cahaya 

merah yang sangat kecil. Dengan sekali sentak cahaya-cahaya 

merah terlihat melesat menembus keatas melalui cabang-

cabang akar beringin yang ada di bawah tanah. Kepala 

jerangkong hitam kembali berpaling kearah Dirga Purana. 

“Sekarang adalah Giliranmu…”kekeh sang Jerangkong yang 

dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Tertinggi Jenazah 

Simpanan sembari menatap Dirga Purana. Bocah yang 

dipandang menjadi ketakutan setengah mati sebelum akhirnya


terhenyak kala tiba-tiba satu sinar berkiblat melalui akar –akar 

pohon yang melilit tubuhnya! Diga purana berusaha 

memberontak untuk membebaskan diri, namun sia-sia semata! 

Perlahan dirasakannya seluruh tenaga baik dalam maupun

luar yang dimilikinya terhisap oleh akar-akar pohon beringin.

“benar-benar tenaga dalam yang maha dahsyat! Benar-benar

anak pilihan! Jika saja aku bisa menyerap seluruh tenaga 

Adikmu Mimba Purana, Pastilah tak ada yang akan mampu 

mengalahkan aku bahkan Dewa sekalipun! Ha.ha.ha.” ucap

Sang Jerangkong Hitam sembari tertawa terbahak-bahak.

sementara itu perlahan demi perlahan dalam rasa sakit yang

amat sangat akhirnya meninggallah Dirga Purana, bocah yang

selama hidupnya bergelimang dosa dan menjadi budak nafsu 

dirinya sendiri. Mati dalam keadaan habis terhisap seluruh 

tenaganya luar dalam! 

***


EMPAT


Sementara itu ditempat lain, setelah menerapkan ilmu 

Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung ke seantero

pelosok Keraton dan sekitarnya Wiro pun menghembuskan 

nafas lega. "Yang Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah

aman. Yang Mulia dan keluarga bisa segera masuk ke dalam 

istana. Saya dan para sahabat akan tetap berada di sini sampai

sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya saya harus 

menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi Kepada Yang Mulia” 

Ucap Sang Pendekar sembari mengangsurkan bungkusan kain 

putih berisi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi kepada Raja mataram

yang berdiri didepannya. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Raja 

Mataram tersenyum dan menerima Keris yang diangsurkan 

Wiro. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ditaruhnya dikening 

kemudian sesudah merangkapkan tangan diatas kepala keris

sakti tersebut kemudian dicium. Raja Kemudian

memerintahkan keluarganya dan anggota kerajaan lainnya 

untuk segera masuk ke dalam keraton. “Ksatria Panggilan, aku 

selaku raja Mataram sungguh berterima kasih atas semua yang


kau lakukan, Aku memberimu izin untuk menggunakan Keris

Kanjeng Sepuh Pelangi untuk Mengobati penyakit sahabatmu

Sakuntaladewi” ucap sang raja sembari mengangsurkan Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi kepada wiro. Wiro pun menerima 

kembali keris yang diangsurkan kepadanya, saat tangannya

menyentuh bungkusan keris dirasakannya perbedaan dari

sebelum dia memberikan keris sakti tersebut kepada raja

mataram. Ada hawa hangat menjalari kedua tangannya yang 

memegang keris tersebut.”Tampaknya daya Linuwih dan Kuasa 

Keris ini bertambah setelah mendapat restu dari Paduka Raja”

gumam sang pendekar dalam hati. “dan jangan lupa wahai 

Ksatria Panggilan, kesembuhan sahabatmu Dewi Kaki Tunggal

akan terlaksana sepenuhnya setelah kau melaksanakan Kaul 

yang telah diucapkannya dan disetujui oleh Dewata” Sambung

sang raja. “Buset, apa benar aku harus kawin dengan Dewi

Kaki Tunggal? Kalau dihitung-hitung Sudah dua Kali aku 

kawin, dengan ini bakalan jadi yang ketiga! Maknya!” ucap

sang pendekar sambil menggaruk-garuk rambutnya yang 

gondrong. (mengenai perkawinan wiro yang pertama silahkan 

baca serial Wiro ditanah silam dalam episode: Rahasia 

Perkawinan Wiro. Sedangkan perihal perkawinan Wiro yang 

kedua dengan Mendiang Puti Andini silahkan baca serial Wiro

episode: Kitab Seribu Pengobatan) Wiro beranjak mendekati


tempat dimana Sakuntaladewi atau Dewi Kaki Tunggal berdiri. 

“Dewi, maafkan kelancanganku aku akan mencoba mengobati 

penyakitmu, kuharap kau mau menaikkan sedikit kainmu”

ucap sang pendekar sembari menatap Sakuntaladewi. Orang

yang ditatap menjadi merah wajahnya dan tak kuasa untuk 

membalas tatapan Wiro. Sakuntaladewi kemudian beranjak ke

sebuah batu berbentuk datar yang ada di tepian sebuah kolam 

atau sendang kecil yang berada di depan Keraton diikuti oleh 

semua orang disitu termasuk Raja Mataram Rakai Kayuwangi 

Dyah Lokapala. Setelah Sakuntaladewi duduk bersimpuh

diatas batu tersebut, Sakuntaladewi kemudian menaikkan 

kain penutup kakinya hingga sebatas paha sehingga 

memperlihatkan auratnya yang meski hanya berupa sebuah 

kaki namun berwarna putih menantang. wajah sang gadis 

terlihat merah jengah. Wiro menenggak ludah melihat apa yang 

dilihatnya didepan, sementara itu Raja Rakai kayuwangi dan 

Kakek Kumara Gandamayana hanya memandang sejurus 

kemudian berganti memperhatikan Wiro. Senyum-senyum 

kedua orang penting di Bhumi Mataram ini memperhatikan

Sang Pendekar yang tubuhnya gemetaran panas dingin! 

Sementara itu Ratu Randang dan Kunti Ambiri tampak 

meneteskan airmata. Dalam hati keduanya sesungguhnya amat 

mencintai Wiro. Walaupun terpaut jauh usianya dengan Wiro,


Ratu Randang maupun Kunti ambiri yang dulunya dikenal

sebagai Dewi Ular telah mengalami banyak peristiwa yang

membuat hati mereka amat dekat dengan sang pendekar. Kini 

saat melihat sang pendekar hendak melaksanakan Kaulan

untuk mengobati dan menikahi Sakuntaladewi, walaupun 

dalam hati ada rasa senang akan kesembuhan seorang

sahabat, namun dalam hati keduanya cukup banyak juga

tidak relanya! Perlahan Wiro mulai membuka kain Putih

pembungkus keris Kanjeng Sepuh Pelangi, Cahaya biru diiringi 

seiris warna pelangi tampak menerangi udara. Wiro kemudian

meletakkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke atas keningnya lalu 

dalam hati sang pendekar berdoa “Ya Gusti Allah, Jika 

Kesembuhan memang kehendakmu, Biarlah Dengan Restumu 

kau berikan kesembuhan melalui keris di tangan Hambamu 

ini..” Sang Pendekar kemudian menyapukan perlahan Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi diatas permukaan kaki Sakuntaladewi.

Sakuntaladewi terpekik kecil kala dari sekujur kakinya terlihat 

letupan-letupan api lelatu berwarna biru! Asap tipis berbau

setanggi menggebubu menyelimuti kaki Sakuntaladewi “Wiro 

Lihat! Kakiku…”Tiba-tiba Sakuntaladewi memekik sembari

memeluk leher sang pendekar kala asap tipis berbau setanggi 

yang menutup kakinya sirna, kini dihadapan semua orang

tertampak sepasang kaki putih bagus menjela diatas Batu


datar. Sakuntaladewi mengusap kedua kakinya silih berganti 

kemudian kembali sang Gadis menatap Wiro, sementara yang 

ditatap hanya cengar-cengir sembari mengaruk rambutnya 

yang gondrong, kemudian tanpa disangka-sangka sang gadis 

menghamburkan diri memeluk sang pendekar air matanya

menitik kala ucapannya lirih terdengar ditelinga Wiro “Terima 

kasih.. Suamiku..” Murid Sinto Gendeng yang mendengar

ucapan sang gadis tiba-tiba langsung meriang! Mendadak

udara malam yang sebelumnya dingin sejuk tiba-tiba berubah 

panas dan pengap! Kala itulah tiba-tiba keris Kanjeng Sepuh

Pelangi yang masih berada digenggaman Wiro bergetar dan

tiba-tiba melesat keangkasa lalu menukik kearah Sang baginda 

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Sementara itu 

berbarengan dengan melesatnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi

Ke angkasa tiba-tiba berhamburanlah hampir ratusan Cahaya

merah bergeredepan kearah Wiro dan Kawan-kawan! “Awas 

Serangan…! Wiro Lindungi Raja..!” Ratu Randang yang pertama 

menyadari adanya serangan berteriak memperingati sembari 

melepaskan pukulan sakti kearah cahaya merah yang ternyata

adalah puluhan bahkan ratusan batu merah menyala yang

berhamburan kearah mereka! Sementara itu Kunti Ambiri yang

berada disebelahnya juga tidak tinggal diam, dengan cepat 

disebatkannya kedua tangannya kedepan, satu rangkum angin


berbau amis menderu memapaki datangnya batu-batu merah

menyala tersebut. Sementara itu saat batu-batu merah

membara melesat menghantam Wiro dan temannya-temannya, 

tak jauh dari situ Eyang Kumara Gandamayana bergerak cepat 

kedepan untuk melindungi Raja Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala, Sorbannya hendak dikebutkan kedepan kala dari

arah yang sama dimana Batu-batu merah melesat, melesat

pula sepuluh larik sinar hitam yang saling bersilang! Wiro yang 

sempat sesaat melihat kearah Raja akibat teriakan Ratu 

Randang, terkejut besar dan tanpa sadar berteriak kencang

kala melihat cahaya pukulan yang sedang menghantam Eyang 

Kumara Gandamayana dan Raja Rakai Kayuwangi Dyah 

Lokapala. “Lima Kutuk Dari Langit! Astaga Bagaimana bisa..?” 

sang pendekar tidak sempat berpikir lebih lama, cepat diangkat

tangannya yang sebelumnya dipakai untuk memeluk 

Sakuntaladewi, Namun sebelum Wiro sempat melepaskan

Pukulan Matahari, dari angkasa secara tiba-tiba Menukik Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi kearah Raja Rakai Kayu wangi Dyah 

Lokapala! Saat jarak keris mencapai kurang dari sepuluh depa 

dari Raja Mataram, keris itu bergerak berputar membentuk 

kipas dengan cahaya pelangi melindungi Raja Mataram!

Kesepuluh larik cahaya hitam yang hendak menghantam Raja 

dan Eyang Kumara Gandamayana langsung terpental dan


berhamburan sirna di angkasa! “Sang Hyang Jagatnatha!

Terimakasih Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, Kau sudah 

melindungiku…” ucap syukur Raja Rakai Kayuwangi Dyah

Lokapala kala Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang sebelumnya 

berputar di hadapannya dan telah menangkis serangan

kesepuluh Larik cahaya hitam perlahan turun dan berhenti 

tegak dihadapannya. Sang raja pun langsung mengambil keris

yang tergantung di udara itu meletakkan dikening dan

kemudian menciumnya. Sementara itu dari atas sebuah Pohon

Randu sejauh lima puluh lemparan tombak dari tempat wiro 

dan kawan-kawan berada meloncat turun dua sosok tinggi 

besar, sosok pertama berjalan mendekati kearah kawanan

Wiro, saat sosok tersebut mulai tampak jelas, berdirilah bulu 

kuduk sang pendekar! Sosok didepannya berwujud seorang

pria dengan keadaan tubuh yang mengerikan, sepasang

matanya memiliki masing-masing dua bola mata berwarna 

biru! Pakaian yang dikenakan adalah sehelai celana gombrang

dari kulit kayu yeng diberi jelaga hitam. Namun yang paling

mengerikan adalah dikepala pria ini mulai pertengahan kening 

melekat ratusan batu-batu berwarna merah membara 

mengepulkan asap tipis! Batu-batu yang sama juga terlihat 

melekat sepanjang perut dan dada makhluk satu ini! “Hantu

Bara Kaliatus! Tidak mungkin! Bagaimana makhluk kapiran


satu ini bisa ada di tanah Mataram? Kalau begitu seorang lagi

jangan-jangan…” Wiro hendak berdiri untuk memastikan

namun terpaksa ditunda saat satu tangan halus mencekal

pundaknya. satu erangan keluar dari mulut gadis yang masih

berada dalam pelukannya. “Wiro…” kejut sang pendekar bukan 

kepalang kala didapati Sakuntaladewi yang masih berada

dalam pelukannya terkulai bersimbah darah, dibagian dadanya

terlihat satu geroakan lobang sebesar hampir sekepalan anak

kecil mengeluarkan asap dan hawa panas! “Ya Tuhan! Dewi… 

apa.. apa yang…??” tergagap Wiro kala melihat wajah Dewi 

Kaki Tunggal yang pucat dengan luka parah dibagian dadanya,

rupanya saat serangan batu-batu merah menyala yang 

dilontarkan oleh makhluk yang bukan lain adalah Hantu Bara

Kaliatus salah satu Musuh Wiro di Negeri Latanahsilam ini,

Sang gadis adalah orang yang pertama kali melihat datangnya 

serangan, namun sang dara tidak sempat memperingati 

maupun menangkis serangan karena kedua tangannya 

memeluk leher Wiro, yang bisa dilakukan adalah menggerakan

tubuhnya sehingga menggeser tubuh Wiro kesamping! 

Akibatnya bisa dilihat sendiri! ada sebuah batu yang tidak 

sempat ditembus oleh pukulan sakti Ratu Randang dan Kunti 

Ambiri, Dengan telak menghantam dadanya! Selekasnya Wiro 

mengeluarkan kedelapan bunga Matahari kecil yang ada dibalik


pinggangnya dan disapukan ke dada Sakuntaladewi. “Dewi 

bertahanlah! Kau pasti sembuh” ucap sang pendekar sembari 

terus membelai kedelapan Bunga Matahari Kedada sang gadis.

Saat itulah terdengar suara kecil yang tidak tampak. “Ksatria 

Panggilan, kami tidak bisa membantumu menyembuhkan gadis

ini walaupun kami sangat ingin… gadis itu telah meninggal… 

rohnya telah pergi…” Wiro terkejut besar kala mendengar suara 

yang diketahuinya berasal dari Kedelapan Bunga Matahari 

ditangannya. “tidak mungkin! Kemampuan kalian begitu hebat! 

Masakan kalian tidak mampu menolong Gadis ini?” teriak sang

pendekar sembari memeluk erat tubuh Sakuntaladewi.

Sementara itu Kunti Ambiri dan Ratu Randang terlihat

berpelukan sembari menangis sesenggukan “kuasa kami sangat 

terbatas wahai ksatria panggilan, hidup dan mati merupakan

kuasa Sang Hyang Jagatnatha, kami tidak punya kemampuan

membangkitkan nyawa orang yang sudah meninggal!” suara 

kecil kembali terdengar lalu tiba-tiba bunga matahari di tangan 

wiro menghilang dan kembali ke balik pinggangnya. Sang 

pendekar terlihat terpaku menatap wajah dingin yang 

tersenyum padanya itu. perlahan dikecupnya kening jenazah 

Sakuntala Dewi lalu dibaringkannya ke tanah. mata sang 

pendekar terlihat memancarkan cahaya aneh saat memandang

kearah Hantu Bara Kaliatus yang berdiri dihadapannya.


Didahului raungan keras sang pendekar melesat terbang

laksana kilat kearah Hantu Bara Kaliatus! “Hantu

Keparat…!!!Kembalikan Nyawa istriku!” teriak sang pendekar

penuh kemarahan. Kedua tangannya yang bersinar keperakan 

langsung menghantam kearah Hantu Bara Kaliatus! Sesaat lagi

dua sinar pukulan matahari meluluh lantakkan tubuh Hantu 

Bara Kaliatus, tiba-tiba Wiro merasakan Sambaran Angin 

tendangan dahsyat dari atas Kepalanya! “Kaki Batu Penghantar

Roh!” teriak Wiro Kala mengenali jurus tendangan yang

mengancam kepalanya! Secepat kilat Wiro melompat

menyelamatkan diri. Pukulan Matahari yang di hantamkan ke 

arah Hantu Bara Kaliatus menjadi melenceng jauh dan 

menghantam gapura keraton yang langsung hancur hangus

berantakan! Untuk sesaat Wiro memegang pundaknya yang

terasa perih terkena serempetan angin tendangan. Kala 

matanya menumbuk satu sosok yang tadi berusaha 

menggagalkan serangannya pada Hantu Bara Kaliatus tubuh

Sang Pendekar tiba-tiba Bergetar keras! Satu teriakan

terdengar keluar dari mulut sang pendekar! “Lakasipo….! Ya 

Tuhan…!” 

***


LIMA


Smentara itu Didalam Candi yang disebut dengan sebutan

Rumah Ketentraman dan Keselamatan, satu sosok 

jerangkong terlihat keluar dari dalam tanah sembari mencekal

tangan Ning Rakanini yang berusaha menusukkan tusuk konde 

dikepalanya ke perut Arwah Ketua Penguasa Candi Miring.

“Tanggalkanlah Amarah Dan Kebencianmu Ajeng Puteri, 

janganlah masalah Pribadi membutakan hati dan akal

sehatmu…” ucap Sang jerangkong atau yang lebih dikenal 

dengan sebutan Lor Pengging Jumena seraya melepaskan

pegangannya pada tangan Nenek Katai Ning Rakanini. Sang 

nenek perlahan menurunkan tangannya lalu menancapkan 

kembali tusuk konde di tangannya yang sedianya tadi hendak 

ditusukkan ke perut Arwah Ketua kembali ke batok Kepalanya.

Kepalanya tertunduk tak berani menatap mata jerangkong

makhluk yang berdiri dihadapannya. Sementara itu Arwah

Ketua terlihat merangkapkan tangannya kearah lor Pengging 

Jumena “Salam hormatku Wahai Lor Pengging Jumena 

maafkan ketidak sopananku ini…” ucap sang kakek penjaga


Candi miring ini. Kepala jerangkong Embah Buyut Kumara 

Gandamayana ini berputar memandang kearah makhluk yang

dipanggil dengan sebutan Arwah Ketua ini. “aku menerima 

salam Hormatmu wahai Arwah Ketua, semoga berkat sang

Hyang Jagatnatha turun keatasmu..” setelah membalas hormat

Arwah Ketua, Lor Pengging Jumena kemudian memalingkan

wajahnya kearah Resi Kali Jagat, sebelum makhluk jerangkong

ini membuka suara, Resi Kali Jagat Ampusena telah terlebih 

dahulu membuka suara tangannya bersidekap didepan dada 

sementara tubuhnya dirundukkan sejajar dengan pinggang

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya Kepada Mbah Buyut

Kumara Gandamayana eyang sepuh pelindung kerajaan

Mataram, hamba tidak mengetahui sebelumnya kalo hamba 

berhadapan bahkan sudah ditolong oleh sang Pelindung Bhumi

Mataram sendiri. Hamba benar-benar lancang dan pantas

dihukum” ucap sang Resi bergetar. Lor Pengging Jumena 

kemudian berjalan kearah Sang Resi lalu memegang kedua 

bahunya dan membangunkan Sang Resi. “Berdirilah 

Ampusena, kau tidak lancang dan tidak ada yang harus

dihukum karena kau tidak bersalah! Justru kau sudah 

melakukan tugas mulia yang dibebankan kepadamu dengan

baik dan tanpa pamrih, tanpa adanya kau niscaya bayi suci 

dan malang ini tak akan bisa diselamatkan. Perlu kau dan


semua orang yang ada disini ketahui, ditangan jabang bayi ini 

nanti seluruh keselamatan dan ketentraman Bhumi Mataram 

bahkan seluruh Tanah Jawa Dwipa digantungkan…” Lor 

Pengging Jumena sesaat memandang kearah Ning Rakanini 

dan Arwah Ketua lalu kembali memandang kepada Resi Kali 

Jagat Ampusena.” Aku Meminta maaf sebelumnya kalo tadi aku 

bersikap seolah tidak mengetahui mengenai dirimu dan perihal 

jabang bayi dalam Guci tersebut. Pada sesungguhnya aku pun 

pada dasarnya sama sepertimu, ditugaskan untuk menjaga dan

melindungi Bayi Dalam Guci bening tersebut karna

sesungguhnya ada satu makhluk jahat yang tidak mengingini

kehadiran bayi suci ini ke muka bumi” suasana hening sejenak 

terasa kala lor Pengging Jumena mengakhiri ucapannya, 

setelah beberapa saat Arwah Ketua mulai membuka suara “Aku 

juga sesungguhnya datang kesini atas petunjuk yang kuterima 

saat bersemadi di candi miring, Petunjuk tersebut tidak begitu

jelas, yang pastinya petunjuk tersebut hanya berupa kisikan

yang meminta aku untuk secepatnya datang ke daerah hutan

jati ini. Saat aku melihat bayi dalam Guci di tangan Sahabatku 

Ampusena, aku jadi teringat pada Mimba Purana saat masih

orok dulu di sumur api. Aku jadi rindu dan jadi ingin 

memelihara bayi itu, apalagi tadi kudengar Ning Rakanini 

menolak saat Ampusena memohon untuk menitipkan bayi


padanya jadi kupikir-pikir tidak salah kalo sebaiknya aku saja

yang menjaga bayi tersebut bagaimana Lor Pengging Jumena? 

Apa salah ucapanku?” ucap sang kakek bertanduk yang

langsung dibalas pelototan mata jereng Nenek Katai Ning 

Rakanini. (Mengenai Riwayat Mimba Purana, Silahkan baca 

Serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa. Karya Bastian

Tito) Resi Kali Jagat Ampusena menghembuskan nafas berat. 

“itulah yang menjadi pikiranku saat ini Mbah buyut, aku tidak 

tahu lagi harus kubawa kemana bayi ini, aku tidak tahu lagi 

tempat yang aman selain disini. Sampai sekarang Roh Putih

yang menjadi penuntun dan pemberi petunjuk juga belum

memberitahukan kemana dan apalagi yang harus kulakukan

dengan bayi ini.. sungguh aku sangat khawatir dengan 

keselamatan bayi ini..”ujar sang Resi sembari menatap sayu 

kearah Jabang Bayi dalam Guci yang terletak diatas meja batu.

Ning Rakanini yang masih mendelikkan matanya ke Arwah 

Ketua juga mulai membuka suara. “aku sesungguhnya tidak 

keberatan dan tidak menolak dengan permintaan Resi Kali

Jagat untuk menyimpan bayi itu disini, tapi seperti yang 

Embah buyut lihat, aku tidak menyangka karena

keteledoranku tempatku ini masih bisa dibobol orang.. 

Rumahku yang disebut orang Rumah Ketentraman dan 

keselamatan akhirnya tidak membawa ketentraman dan


keselamatan lagi buat penghuni didalamnya.”ucap sang nenek 

masih sambil melotot memandang kearah Arwah Ketua!

Makhluk yang dipelototin hanya senyum-senyum saja, namun

tiba-tiba Arwah ketua memandang kearah Resi Kali Jagat 

dengan pandangan gembira. “tunggu dulu, bukankah masih

ada satu tempat yang bisa dijadikan tempat untuk menyimpan

jabang bayi ini, satu tempat yang tidak bisa ditembus dan

dimasuki oleh sembarang orang, tempat dulu bersemayamnya

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” lonjak Arwah Ketua kegirangan. 

“Maksudmu Ruangan Segitiga Nyawa? Tempat itu sudah 

pernah dibobol sebelumnya oleh Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah melalui Empu Semirang Biru, Disamping Itu ruangan 

tersebut juga kini sudah tidak ada lagi alias sudah Hancur” 

Sambung Lor Pengging Jumena membuat Arwah Ketua duduk 

menjeplok ditanah saking dongkolnya. Kakek berjubah biru ini

mengetuk-ngetukan kepalannya ke kepalanya yang bertanduk 

seakan sedang berpikir namun tiba-tiba tubuhnya terlonjak 

keatas seakan pantatnya disengat kalajengking! Sementara itu 

mata bolong jerangkong Lor Pengging Jumena terlihat bergerak 

menatap kearah luar bangunan Candi. “Musuh kembali

datang…”ujarnya. “yah, dan jumlahnya tidak kepalang

tangung!” keluh Arwah Ketua sembari mengebas pantat

jubahnya yang kotor karena debu. Baru saja Arwah Ketua


berucap, Candi batu hitam terasa bergetar keras! Hawa panas 

luar biasa terasa melingkupi ruangan candi. Sesaat kemudian 

satu sisi dinding bergerak terbuka dan masuklah tiga orang 

gadis bermuka bopeng yang sedang membopong seorang gadis

yang terluka ditengah-tengah mereka, Mereka langsung 

berlutut dihadapan Nenek Ning Rakanini “ Mohon ampunan

Ajeng Puteri, Ada ratusan Makhluk jahat yang menyerang 

Rumah Ketentraman dan Keselamatan kita, kami tidak kuasa 

menahan mereka karena mereka terlalu banyak! Sudilah 

kiranya Ajeng Puteri menurunkan perintah ” ucap salah

seorang gadis masih sembari memeluk gadis yang terluka. Ning 

Rakanini cepat menghambur kearah gadis yang terluka 

diperhatikan dengan seksama wajah gadis yang pucat tersebut,

terlihat satu luka hangus berbau sangit didadanya. Sang nenek 

maklum bahwa nyawa sang gadis tidak akan bisa tertolong lagi 

“Kunir Arum…”desah sang nenek menyebut nama sang gadis

pelayan, sementara itu gadis yang dipanggil namanya hanya 

tersenyum sesaat kemudian kepalanya pun terkulai kesamping. 

Sang nenek menyeka air matanya kemudian bersuara kereng”

kalian kembali ke Rumah Dasar! Bawa dan urus jenazah Kunir 

Arum baik-baik dan jangan sekali-kali bergerak tanpa 

menunggu perintahku!” kedua gadis yang membopong jenazah

temannya tersebut kemudian duduk bersujud, seorang dari


mereka kemudian menggeserkan sisi kiri kakinya ke lantai, 

tampak perlahan tubuh para pelayan Ning Rakanini ini seolah

amblas kedalam tanah dan kemudian menghilang dari lantai 

ruangan candi. Resi Kali Jagat menghela nafas berat 

“tampaknya kedatanganku dan bayi ini hanya membawa 

musibah dan petaka bagimu dan tempatmu ini Ning

Rakanini…” keluh sang Resi sembari menatap sayu kearah

Nenek Katai tersebut “sudahlah Ampusena, apa yang terjadi 

bukanlah salahmu, ini semua pasti kehendak Para Dewa. Yang 

terlebih penting saat ini adalah bagaimana cara kita

menghadapi para Makhluk Keparat yang menginginkan Bayi

yang kaubawa Ampusena!” ujar sang nenek. Baru habis 

berucap dinding candi kembali bergetar keras, kali ini lebih

keras dari getaran sebelumnya! Hawa panas terlihat turun dari 

atap candi yang berlubang. “tidak ada pilihan lagi! Kita harus 

keluar dan menghadapi mereka atau tewas ditempat ini!” ucap 

Arwah Ketua. Nenek ning Rakanini memandang kearah Lor

Pengging Jumena seakan meminta persetujuan, kepala

jerangkong Embah Buyut mengangguk menanggapi pandangan 

sang Nenek, sang Nenek menggerakkan tangannya kearah 

dinding dihadapannya hingga dinding tersebut bergeser

membentuk sebuah pintu. Sedetik kemudian tubuh sang nenek 

sudah melesat keluar diiringi kelebatan Arwah Ketua, Embah


Buyut, dan terakhir Resi Kali Jagat Ampusena yang terlebih

dahulu mengambil bungkusan kain hitam berisi Jabang Bayi 

Dalam guci yang terletak di atas meja batu. Sesampainya

mereka di luar candi terkejutlah keempat orang ini! Pohon Jati

besar yang menaungi Candi Batu Hitam yang disebut dengan

Rumah Ketentraman dan Keselamatan terlihat dikobari api

mulai dari pucuk batang hingga ke seluruh akarnya! Tidak 

heran Candi Batu terasa panas laksana dipanggang! Tidak 

hanya sampai disitu, kala Ning Rakanini dan kawan-kawannya 

menyapukan pandangan ke segala arah tampak bahwa seluruh

pohon jati dalam jarak sepuluh tombak dari candi batu 

semuanya mengalami nasib yang sama dengan pohon jati

raksasa, semuanya dilamun kobaran api! Namun bukan hal ini 

saja yang membuat Resi Kali Jagat dan yang lainnya terkejut,

yang membuat mereka terhenyak adalah keberadaan ratusan

sosok yang tubuhnya dikobari oleh api menyala yang kini telah 

mengepung mereka! Sosok-sosok ini tidak dapat diketahui jenis

kelaminnya karena sekujur tubuh yang hangus terpanggang 

dan dilamun kobaran api, makhluk-makhluk api ini berdiri 

menyebar mengelilingi kawasan Candi batu mengepung Resi 

Kali Jagat dan yang lainnya. Beberapa dari mereka terlihat 

bergelayutan diantara pohon jati yang terbakar. “Gila! Makhluk 

apa mereka ini? Bagaimana bisa sebanyak ini?”desis Ning


Rakanini sembari menyiapkan satu pukulan sakti di tangan

kanannya sementara tangan kirinya menggenggam tusuk 

konde dari batu yang dicabut dari kepalanya. “kita tidak 

mungkin bisa mengalahkan mereka sekaligus, apabila mereka 

menyerang berbarengan kita bisa…”ucap Arwah Ketua

Khawatir sembari celingukan kesana-sini, belum habis kakek 

satu ini berucap, tiba-tiba hampir selusin makhluk yang berdiri 

mengepung menggerakkan tanggannya kearah Resi Kali Jagat 

dan kawan-kawan! Dua belas jalur kobaran api sebesar pohon

kelapa terlihat mengahantam secepat kilat kearah candi batu! 

Nenek Katai Ning Rakanini menggerakkan kedua tangannya, 

tusuk kundai dan satu sinar hitam terlihat berkiblat, sosok 

jerangkong Lor Pengging Jumena tidak tinggal diam, kedua

tangannya juga mengibas kedepan satu rangkum cahaya biru

keluar dari kedua tangan nya yang berbentuk tulang belulang,

sementara itu Resi Kali Jagat semakin erat memeluk guci

dalam pelukkannya. “Sang Hayang Jagathnata, Tolong 

Lindungi bayi ini!” Arwah Ketua yang berdiri paling dekat

dengan Resi Kali Jagat langsung berdiri membelakangi sang 

Resi. “Jangan Khawatir Resi! Masih ada aku disini!” ujarnya 

tubuh sang Kakek Arwah Ketua tiba-tiba berubah membesar

menjadi satu sosok raksasa! Tingginya bahkan mencapai pucuk 

pohon jati yang terbakar! Tangannya yang besar bergerak turut


memapaki dua belas jalur bara api yang datang menghadang!

Satu suara dentuman terdengar keras memekakkan telinga 

terdengar kala dua belas jalur pukulan makhluk berapi 

menghantam pukulan-pukulan sakti yang dihantamkan oleh 

Lor Pengging Jumena dan Ning Rakanini. Sang nenek terlihat

terduduk menjeplok ditanah sembari menekan dadanya yang 

sakit, tampak lelehan darah menetes di sudut bibirnya, 

sementara itu sosok jerangkong Lor Pengging Jumena terlihat

tergontai-gontai mengepulkan asap! Kepala jerangkongnya

tertunduk sementara tubuhnya sebatas pinggang terlihat

melesak kedalam tanah! Namun yang paling parah dari

semuanya adalah Arwah Ketua! Sosoknya sudah kembali

mengecil dan tersandar di satu lamping candi yang turut

hancur sebagian akibat kekuatan pukulan, jubah birunya 

hancur berantakan kedua bola matanya yang kecil tak tampak 

dikedua matanya yang membeliak! Darah mengucur dari 

mulut, hidung, telinga dan sudut matanya. Hal ini terjadi 

karena kakek satu ini nekat memapaki datangnya serangan

dengan tangan kosong! Sementara itu hanya Resi Kali Jagat

yang tidak kurang suatu apapun karena dilindungi oleh Arwah 

Ketua. Sementara itu diseberang sana kedua belas makhluk 

berapi yang tadi melancarkan serangan dan kemudian

terpental akibat serangan balik yang dilakukan oleh Lor


Pengging Jumena dan Ning Rakanini kini tampak bangkit dan 

kini hampir semua makhluk berapi yang berjumlahnya ratusan

itu terlihat bergerak mendekati Resi Kali Jagat dan lainnya 

sembari bersiap menlancarkan serangan susulan! “Celaka… 

matilah kita kali ini…”keluh Nenek Katai Ning Rakanini 

sembari menyeka darah dibibirnya. Sang nenek yang terluka

parah dibagian dalam akibat bentrok hawa pukulan sakti ini 

tampak pasrah kala melihat ratusan makhluk api bergerak 

kearah mereka. sementara itu tubuh Jerangkong Mbah buyut

juga bergerak perlahan berusaha membebaskan diri dari dalam 

tanah, namun saat melihat ratusan makhluk api yang

mendekat, kakek jerangkong ini juga hanya bisa keluarkan

desahan. Ratusan makhluk api mulai mengangkat kedua 

tangannya hendak melancarkan satu pukulan secara serentak,

Resi Kali Jagat yang melihat hal itu hanya bisa memeluk guci

berisi bayi dengan sepenuh tenaga, matanya terpejam pasrah. 

Disat genting itulah tiba-tiba dari hutan jati sebelah barat

terdengar satu alunan suara alat musik Saluang yang mendayu 

membawakan satu gending lagu yang tidak dikenali oleh semua

yang ada disitu. Resi Kali Jagat membuka kedua matanya 

untuk melihat apa yang terjadi. dirinya heran kala mendapati

ratusan makhluk yang sedianya hendak menyerang mereka

secara bersamaan terlihat terdiam di tempat. Resi Kali Jagat


dan yang lainnya tampak saling pandang seakan-akan saling

bertanya dalam hati mengenai apa yang terjadi. Sementara itu 

Ratusan Makhluk yang tubuhnya dipenuhi kobaran api tampak 

perlahan-lahan beringsut mundur dari kepungannya terhadap Resi 

Kali Jagat dan yang lainnya. ada rasa jerih bercampur takut kala 

mendengar bunyi suara Saluang (alat musik tradisional Minangkabau) 

yang mendayu perlahan dari arah barat Pohon Jati dimana Resi Kali 

Jagat beserta kawan-kawannya terkepung. Lain halnya dengan Resi

Kali Jagat dan kawan-kawannya, bunyi saluang yang mengalun terasa 

begitu menyejukkan kalbu dan jiwa sehingga tanpa sadar ucap puji 

dan syukur atas Rahmat Dewata berkumandang dari bibir ketiganya. 

Tak sampai sepeminuman teh kemudian dari arah barat menyeruak 

kabut tipis beserta hawa dingin yang menggigit, hawa dingin ini tidak 

begitu terasa bagi Resi Kali Jagat dan yang lain, namun tidaklah 

demikian bagi Kawanan Makhluk yang dikobari Api! jeritan dan 

lolongan panjang keluar dari mulut mereka! Tubuh mereka mulai 

bergelimpangan satu persatu disertai dengan padamnya api di tubuh 

mereka kala satu sosok yang berjalan diantara kabut tipis melewati 

tubuh mereka! Seekor Menjangan Bertanduk dan berbulu keemasan 

terlihat berjalan diantara kabut putih, dipunggungnya duduk seorang 

kakek berjubah putih.berambut panjang. Rambut serta janggut dan 

kumisnya yang putih terlihat menjela tertiup angin diantara jemari


tangannya yang bergerak lincah memainkan sebuah Saluang yang 

berwarna keemasan. Dipinggangnya tergantung sebuah kantung kulit 

tersamak dimana terselip enam buah Saluang dengan warna yang 

beragam! kala kakek yang duduk diatas menjangan ini tiba dihadapan 

Resi Kali Jagat dan yang lainnya, tampak tak satu pun makhluk api 

ada yang masih berdiri tegak. semua makhluk api bahkan yang 

bergelayutan di atas pohon tampak terkapar! Tak ada lagi nyala api, 

yang ada hanya tumpukan tubuh-tubuh gosong yang 

menghamburkan asap sangit! Sang kakek menghentikan tiupan 

saluangnya dan memandang kearah Resi Kali Jagat dan tersenyum 

“kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik Ampusena, sekarang 

biarlah aku yang menjaga dan membawa bayi yang dititipkan 

kepadamu” ucap sang kakek lembut. Sembari berucap sang kakek 

kemudian menggambbil sebuah saluang berwarna putih dari kantung 

kulit dipinggangnya lalu kemudian ditiupnya perlahan sungguh ajaib! 

Setelah mendengar irama yang keluar dari saluang putih yang ditiup 

oleh sang kakek diatas menjangan, Ning Rakanini merasakan sekujur 

tubuhnya terasa segar! Dadanya yang sakit tiba-tiba merasa lega dan 

longgar, darah yang tadi merembes dibibirnya juga perlahan berhenti

mengucur nenek ini merasakan seluruh tenaganya pulih dengan cepat! 

Hal yang sama juga dirasakan oleh Lor Pengging Jumena dan Arwah


Ketua, Arwah Ketua yang keadaanya benar-benar mengenaskan 

tadinya kina sudah bisa tersadar dan bangkit, tubuhnya yang terluka 

luar dalam dan mengucurkan darah sudah sembuh seperti sedia kala. 

Disampingnya Lor Pengging Jumena juga tampak telah keluar dari 

himpitan tanah yang menghimpitnya yang menjadi suatu keanehan 

adalah tubuh nya yang tadi berbentuk tengkorak telah berubah 

menjadi seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu. “Tembang 

Mulih Smaradhana…”desis sang kakek sembari berlutut dihadapan 

Kakek Peniup Saluang diikuti oleh Resi Kali Jagat, Ning Rakanini dan 

Arwah Ketua. “Bangkitlah kalian, tidak sepatutnya kalian bersujud 

menyembah kepadaku…”ucap sang kakek perlahan setelah 

menghentikan tiupan saluangnya. “waktuku tidak banyak lagi, hawa 

kejahatan sudah mulai bergerak sudah saatnya aku harus membawa 

bayi itu ke tempat tetirahannya, Ampusena majulah kemari.”lanjut

sang kakek sembari menunjuk kepada Resi Kali Jagat Ampusena. Sang 

resi perlahan maju sembari mendekap Guci berisi jabang bayi. 

“maafkan kelancangan hamba yang hina ini, tapi bolehkah hamba 

tahu apakah hamba saat ini berhadapan dengan Roh Putih pemberi 

petunjuk? Hamba tidak bermaksud mencurigai, namun hamba hanya 

ingin sekedar memastikan. Harap kelancangan hamba 

dimaafkan”ucap Resi Kali Jagat. Kakek peniup saluang tersenyum lalu


setelah mengelus tengkuk Menjangan tunggangannya, sang kakek pun 

turun dari tunggangannya tersebut namun yang aneh adalah sepasang 

kaki kekek yang tidak berkasut ini berdiri hanya beberapa jengkal dari 

bumi alias mengambang! Sementara itu Resi Kali Jagat mendadak 

sontak terkejut kala tubuhnya perlahan melayang keatas sementara 

kasut putih yang dikenakannya tiba-tiba berpendar lalu lepas dari 

kakinya dan akhirnya melayang dan memasuki sepasang telapak kaki 

kake peniup saluang didepannya. “Bagaimana Ampusena, sudah 

terjawabkah pertanyaanmu?” tegur sang kakek lembut. Resi Kali jagat 

merundukkan kepalanya lalu menghaturkan Guci yang terbungkus 

kain hitam ditangannya ke arah Kakek Peniup Saluang. “hamba 

meminta maaf atas kekurang ajaran hamba terhadap Roh Putih, 

sekarang juga hamba menyerahkan Bayi ini ke tangan Roh Putih.” 

Ucap Resi Kali Jagat seraya mengangsurkan guci berisi bayi yang 

langsung disambut oleh kakek peniup Saluang. “kau sudah 

menjalankan tugasmu dengan baik Resi Kali Jagat Ampusena, aku 

akan memberikan sesuatu kepadamu dan juga yang lain, namun aku 

harap untuk seterusnya kalian jangan memanggil aku dengan sebutan 

Roh Putih, Panggil aku dengan namaku, Datuk Rao Basaluang Pitu!” 

ucap sang kakek seraya menggendong Jabang Bayi dalam Guci. 


TA M A T 


Episode Berikut: Si Pengumpul Bangkai


0 komentar:

Posting Komentar